Kekristenan di Korea
Kekristenan di Korea adalah sebuah periode sejarah tentang perkembangan agama Kristen di Korea. Agama Kristen di Korea pertama kali diperkenalkan pada tahun 1608. Agama ini berkembang pesat mulai pada abad ke-18.[1] Kristen Protestan mulai diterima secara luas di Korea ditandai dengan penyelenggaraan Konferensi-konferensi Pemahaman Alkitab skala besar dari tahun 1905.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Abad ke-18
[sunting | sunting sumber]Di Korea pada awalnya agama Katolik disebut Seohak atau Ajaran dari Barat.[1] Istilah Seohak dipopulerkan oleh kaum Sirhak (cendekiawan).[1] Kaum Sirhak mulai membawa buku-buku teks Kristen serta membuat fondasi pertama bagi agama Katolik di Korea walau ditentang oleh pemerintahan dan kaum bangsawan.[1] Salah satu orang Korea yang pertama yang dikenal masuk agama Kristen adalah Yi Seung-hun (1756-1801) yang dibaptis di Beijing, Cina.[1] Ilmuwan Sirhak terkenal yang pertama kali memeluk Katolik adalah Jeong Yak-yong.[1]
Anti Kristen pada masa Dinasti Joseon
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1791 pemerintahan Dinasti Joseon mulai mengeluarkan maklumat anti-Katolik dan menyiksa orang-orang Katolik.[1] Namun begitu, agama baru ini terus tumbuh dan pada tahun 1831 untuk pertama kalinya Keuskupan Korea dibentuk.[1]
Pada tahun 1838—1837 para pastor dan penginjil dari Prancis datang ke Korea, salah satunya adalah Pierre P. Maubant.[1] Penyiksaan-penyiksaan terjadi pada tahun 1839 dan 1846 dan banyak yang menjadi martir, di antaranya adalah Andrew Kim Taegon (1822—1846).[2] Namun begitu, pemerintah tidak mampu memotong akar Katolik yang terus tumbuh.[1]
Anti-Katolik mereda pada tahun 1849 dengan dimulainya masa pemerintahan Raja Cheoljong sehingga jumlah orang yang masuk Katolik bertambah dari 11.000 orang pada tahun 1850 menjadi 23.000 orang pada tahun 1865.[1] Pada masa pemerintahannya seorang misionaris Prancis bernama Pastor Berneux datang ke Korea.[1]
Tekanan kembali dilancarkan setelah Raja Gojong naik tahta pada tahun 1864, tetapi yang mengendalikannya adalah ayahnya, Heungseon Daewongun yang anti Katolik.[1] Pada masa ini sebanyak 8000 orang Katolik tewas terbunuh termasuk beberapa misionaris Prancis.[1]
Peningkatan pesat
[sunting | sunting sumber]Setelah peristiwa Kudeta Gapsin pada tahun 1884 dan dimulainya pengesahan kebebasan beragama, maka agama Kristen tumbuh dengan pesat.[1] Para misionaris Protestan asal Amerika (metodis dan presbiterian) seperti Drs.Homer B. Hulbert, Henry G. Appenzeller, Horace G. Underwood, Horace N. Allen, dan Mrs. Mary F. Scranton mulai datang ke Korea.[1] Para misionaris ini berkontribusi pada perkembangan pendidikan modern di Korea.[1] Pada tahun 1883 sekolah istana yang mendidik anak-anak bangsawan dibuka. Lalu pada tahun 1885 dibuka sekolah misi presbiterian untuk anak laki-laki yang bernama Paejae dan pada tahun 1886 dibuka sekolah anak perempuan Ewha.[1] Para misionaris Amerika ini membuka pintu untuk anak-anak rakyat biasa agar bisa menerima pendidikan.[1] Tak lama setelah itu semakin banyak sekolah serupa yang dibuka di Korea.[1]
Gerakan sosial, politik dan moderenisasi
[sunting | sunting sumber]Tokoh pelopor Protestan Korea seperti Seo Jae-pil, Yi Sang-jae, Yun Chi-ho mulai berkomitmen untuk mengggapai tujuan-tujuan politis. Sekolah-sekolah Protestan seperti Yonhi dan Ewha mengembangkan pemikiran-permikiran kebangsaan di tengah masyarakat Korea. Asosiasi Kaum Muda Kristen Seoul (Seoul YMCA) didirikan pada tahun 1903. Gerakan Sosial Politik secara aktif mendorong terbentuknya kelompok-kelompok pemuda yang tidak hanya mengejar tujuan-tujuan politik dan pendidikan tetapi juga membangun kesadaran sosial melawan praktik-praktik takhayul dan kebiasaan buruk, mempromosikan kesetaraan laki-laki dan perempuan serta penyederhanaan upacara ibadah.
Agama Kristen berkembang pesat seiring moderenisasi walaupun menghadapi penolakan dari kaum konservatif. Namun semakin banyak rakyat Korea yang masuk agama Kristen. Misionaris Protestan dari berbagai denominasi tak hanya mengajarkan agama, tetapi juga mendirikan rumah sakit, sekolah, percetakan dan mengajar kuliah dalam berbagai bidang selain agama, seperti pertanian, perdagangan, industri, konsep kebebasan, dan tren budaya yang baru.
Abad ke-20
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1925, 79 orang Korea yang menjadi martir dalam penganiayaan pada masa Dinasti Joseon diabadikan di Basilika Santo Petrus di Vatikan. Pada tahun 1968, 24 orang Korea lagi dikukuhkan menjadi orang suci. Selama Perang Korea (1950-1953) jumlah organisasi sosial misionaris Katolik meningkat. Gereja Katolik berkembang pesat dan hierarki kepemimpinan didirikan pada tahun 1962. Pada tahun 1984, Gereja Katolik Korea merayakan hari jadi ke-200 tahun yang ditandai dengan kunjungan Paus Yohanes Paulus serta kanonisasi 93 martir Korea dan 10 orang martir Prancis. Ini menjadi pertama kalinya kanonisasi terjadi di luar Vatikan dan Korea memiliki jumlah orang suci Katolik terbesar ke-4 di dunia walaupun pertumbuhan agama Katolik di negara itu lambat.
Hubungan dengan kepercayaan tradisional
[sunting | sunting sumber]Dari seluruh negara di timur, Korea Selatan adalah salah satu negara yang paling berhasil dalam pemberitaan injil.[3] Agama Kristen mencakup 20-25% total populasi Korea Selatan.[3] Orang Korea relatif menerima kepercayaan Kristen sejak awal pengenalannya dikarenakan konsep ketuhanan yang personal dan pengalaman langsung dengan hal yang bersifat gaib adalah konsep spiritual yang sudah familiar.[3] Menurut sejarahnya, gereja yang menekankan pengalaman langsung dengan Tuhan, apapun bentuknya, dan dapat memenuhi keinginan manusia terhadap kehidupan di dunia, diterima oleh manusia dengan baik, begitu pula dengan di Korea.[3]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t (Inggris) Nahm. Ph. D, Andrew (2009). A Panorama of 5000 Years: Korean History. Hollym International Corp, Elizabeth, New Jersey. ISBN 0-930878-68-X.
- ^ (Inggris)Andrew Kim Taegon, Paul Chong Hasang and Companions, americancatholic. Diakses pada 26 Mei 2010.
- ^ a b c d (Inggris) Yoon Yee-Heum (1992 Vol.6 No.2). "The Role of Shamanism in Korean History" (PDF). Koreana. 6 (2): 9. Diakses tanggal 27 Agustus 2010. [pranala nonaktif permanen]