Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Lompat ke isi

Pulau Flores

Koordinat: 8°40′29″S 121°23′04″E / 8.67472°S 121.38444°E / -8.67472; 121.38444
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Suku Flores)

Flores
Nama lokal:
Pulau Flores
Topografi Flores
Geografi
LokasiAsia Tenggara
Koordinat8°40′29″S 121°23′04″E / 8.67472°S 121.38444°E / -8.67472; 121.38444
KepulauanKepulauan Sunda Kecil
Luas14,731.67 km2[1]
Peringkat luaske-60
Panjang354 km
Lebar66 km
Titik tertinggiGunung Poco Mandasawu (2,370 m)
Pemerintahan
NegaraIndonesia
ProvinsiNusa Tenggara Timur
Kota terbesarMaumere (91,550 jiwa)
Kependudukan
Penduduk1,962,405 jiwa (pertengahan 2023)
Kepadatan133.2 jiwa/km2
Kelompok etnikUntuk suku, lihat Suku bangsa
Peta

Flores adalah sebuah pulau yang berada di wilayah administrasi Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Kata Flores berasal dari bahasa Portugis "cabo de flores" yang berarti 'tanjung bunga'. Nama tersebut semula di berikan oleh S.M. Cabot untuk menyebut wilayah timur dari pulau ini. Nama ini akhirnya dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Sebuah studi oleh Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah "Nusa Nipa", yang berarti 'pulau ular'. Dari sudut antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural, dan tradisi masyarakat Flores.

Flores termasuk dalam gugusan Gugusan pulau Nusa tenggara bersama Bali dan Nusa Tenggara Barat, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Penduduk di Flores pada tahun 2007, mencapai 1,6 juta jiwa. Puncak tertingginya adalah Poco Mandasawu (2.370 mdpl) yang merupakan gunung tertinggi kedua di Nusa Tenggara Timur, sesudah Gunung Mutis (2.427 mdpl) di Timor Barat.

Pulau Flores bersama Pulau Timor, Pulau Sumba, dan Pulau Alor merupakan empat pulau besar di provinsi Nusa Tenggara Timur. Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi kepulauan di Indonesia dengan 566 pulau.

Di ujung barat dan timur Pulau Flores ada beberapa gugusan pulau kecil. Di sebelah timur ada gugusan Pulau Lembata, Adonara, dan Solor, sedangkan di sebelah barat ada gugusan Pulau Komodo dan Rinca. Di bagian selatannya juga terdapat pulau Nuca Molas.

Di sebelah barat pulau Flores, setelah gugusan pulau-pulau kecil tersebut, terdapat Pulau Sumbawa. Sedangkan di sebelah timur setelah gugusan pulau-pulau kecil tersebut, terdapat Kepulauan Alor. Di sebelah tenggara terdapat Timor. Di sebelah barat daya terdapat pulau Sumba, di sebelah selatan terdapat Laut Sawu, sebelah utara, di seberang Laut Flores terdapat Sulawesi.

Demografi

[sunting | sunting sumber]

Suku bangsa

[sunting | sunting sumber]
Peta sebaran kelompok etnis dan bahasa di Pulau Flores dan pulau-pulau kecil sekitarnya.

Suku bangsa di Flores adalah percampuran etnis antara Melayu, Melanesia, dan Portugis. Akibat penjajahan Portugis, maka interaksi dengan kebudayaan Portugis sangat terasa dalam kebudayaan Flores, baik melalui genetik, agama, dan budaya. Ada beberapa suku-suku yang secara turun-temurun terdapat di Pulau Flores dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, antara lain:

Masyarakat asli
  1. Suku Ende
  2. Suku Keo
  3. Suku Komodo
  4. Suku Lamaholot
  5. Suku Lio
  6. Suku Manggarai
  7. Suku Nage
  8. Suku Ngada
  9. Suku Palue
  10. Suku Rajong
  11. Suku Rembong
  12. Suku Riung
  13. Suku Rongga
  14. Suku Sikka
  15. Suku Tana Ai
Pendatang turun-temurun
  1. Suku Bajo Wuring (bagian dari masyarakat Sama-Bajau 'gipsi laut' yang lebih besar)
  2. Suku Bima (pendatang dari Sumbawa bagian timur)
  3. Suku Bugis (pendatang dari Sulawesi bagian selatan)

Perbedaan kebudayaan antara suku Tana Ai, Nage, Keo, Ende, Lio, dan Sikka tidak terlalu signifikan. Sedangkan perbedaan antara kelompok etnis tersebut dengan orang Manggarai dan Ngada cukup signifikan. Seperti halnya dari segi bentuk fisik, ada satu perbedaan yang mencolok. Penduduk Flores mulai dari orang-orang Nage-Keo ke arah timur menunjukkan lebih banyak ciri-ciri Melanesia, seperti penduduk Maluku, sedangkan orang Manggarai dan Ngada lebih banyak menunjukkan ciri-ciri Mongoloid-Melayu. Adapun suku Larantuka (Nage) berbeda dari yang lain. Hal ini dikarenakan mereka lebih tercampur dengan mendapat pengaruh unsur-unsur kebudayaan dari bangsa Portugis dan kelompok etnis lain di Nusantara yang datang dan bercampur di kota Larantuka.

Berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik kita dapat membagi beberapa unsur bahasa daerah di Flores yang didasarkan pada perbedaan tiap-tiap suku. Masing-masing suku ini memiliki berbagai macam bahasa dan cara-cara pelafalannya. Secara umum bahasa tersebut berasal dari bahasa Melayu yang turut berkembang menyesuaikan daerah-daerah yang dihuni oleh suku-suku tersebut. Seperti daerah lain di NTT, Manggarai juga mendapat pengaruh pengembaraan dari orang-orang dari seberang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Makasar, Belanda dan sebagainya. Maka tidak heran apabila bahasa Manggarai juga memiliki bahasa yang lebih khas terlepas dari ciri-ciri fisiknya yang berbeda dari orang-orang suku lain yang berada di Flores. Walaupun tiap wilayah tertentu memiliki ragam dialektika berbeda tetapi secara umum orang Flores memiliki setidaknya 6 bahasa daerah utama yaitu:

  1. Bahasa Lamaholot: umumnya dilafalkan oleh orang Flores Timur yang terdiri dari bagian Flores daratan, pulau Adonara, pulau Solor, dan pulau Lembata bagian barat-tengah.
  2. Bahasa Sikka: Secara umum digunakan oleh orang Flores pada wilayah kabupaten Sikka.
  3. Bahasa Ende-Lio: Digunakan oleh orang Flores dari suku Ende dan Lio.
  4. Bahasa Ngada: Pemakaian bahasa ini meliputi masyarakat kabupaten Ngada.
  5. Bahasa Nage-Keo: Pemakaian bahasa ini meliputi masyarakat kabupaten Nagekeo.
  6. Bahasa Manggarai: Penuturnya umumnya orang yang mendiami kabupaten Manggarai termasuk pemekaran wilayahnya yaitu Manggarai Timur dan Manggarai Barat.

Dikatakan umumnya atau secara umum, karena pada wilayah-wilayah perbatasan tertentu secara geografis dan secara kultur sosial berbeda dan saling berpengaruh sehingga bahasa daerah pada wilayah tersebut juga ikut terpengaruh. Misalnya pada perbatasan kabupaten Flores Timur dan Kabupeten Sikka, pada bagian barat kabupaten Flores Timur ada beberapa wilayah tertentu yang masyarakatnya berbahasa Sikka, begitu juga terjadi di beberapa wilayah lain seperti perbatasan wilayah kabupaten Ende dan Maumere.

Disamping 6 bahasa utama tersebut, orang Flores juga menggunakan bahasa Melayu Larantuka sebagai bahasa ibu, penuturnya umumnya orang yang tinggal di kota Larantuka dan beberapa daerah lain seperti Hokeng di wilayah Kecamatan Wulanggitang di kabupaten Flores Timur.

Sistem kepercayaan

[sunting | sunting sumber]

Masyarakat Flores sudah menganut agama seperti Katolik, Islam, Kristen dan lain sebagainya. Namun masih terdapat tradisi atau kepercayaan leluhur yang dipertahankan, salah satunya adalah tradisi megalitik di beberapa kelompok etnis asli Flores. Misalnya, tradisi mendirikan dan memelihara bangunan-bangunan pemujaan bagi arwah leluhur sebagai wujud penghormatan (kultus) terhadap para leluhur dan arwahnya berawal sejak sekitar 2.500–3.000 tahun lalu dan sebagian diantaranya masih berlangsung sampai sekarang.

Dampak pendirian monumen-monumen tradisi megalitik itu begitu luas mencakup aspek simbolisme, pandangan terhadap kosmos (jagat raya), asal mula kejadian manusia, binatang dan sebagainya. Upacara doa dan mantra, serta berbagai media untuk mengekspresikan simbol-simbol secara fisik dalam kebersamaan. Tradisi megalitik yang berkembang di Pulau Flores awal pemunculannya, tampak pada sisa-sisa peninggalan seperti rancang rumah adat dan monumen-monumen pemujaan terhadap arwah leluhur, termasuk seni ragam hiasnya.

Selain itu, tampak juga pada upacara pemujaan termasuk prosesi doa mantra, pakaian, pelaku seni, seni suara, dan tari serta perlengkapan-perlengkapan upacara (ubarampe) dan sebagainya. Tradisi megalitik pun tampak pada tata ruang, fungsi, konstruksi serta struktur bangunan. Pada upacara siklus hidup mulai dari lahir, inisiasi, perkawinan dan pola menetap setelah perkawinan dan kematian, penguburan serta perkabungan. Sudah tentu juga berkaitan dengan upacara untuk mencari mata pencarian, seperti pembukaan lahan, penebaran benih, panen, perburuan, pengolahan logam dan sebagainya, serta pembuatan benda-benda gerabah, tenun, dan senjata.

Budaya dan kesenian

[sunting | sunting sumber]

Tarian yang berasal dari Flores salah satunya adalah tari caci, yakni tari perang sekaligus permainan rakyat antara sepasang penari laki-laki yang bertarung dengan cambuk dan perisai. Caci merupakan tarian atraksi dari Congkasae, Manggarai. Hampir semua daerah di wilayah ini mengenal tarian ini. Tari kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering dibawakan pada acara-acara khusus. Tarian caci berasal dari kata "ca" dan "ci". "Ca" berarti 'satu' dan "ci" berarti 'uji'. Jadi, caci bermakna ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah dan merupakan ritual penting Manggarai. Selain dari tarian caci di Manggarai terdapat pula tarian-tarian asal Flores yang mulai digemari secara nasional yakni gawi, sodh'a, rokatenda, ja'i.

Administrasi

[sunting | sunting sumber]

Flores adalah bagian dari provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini dibagi menjadi sejumlah 8 kabupaten; dari barat ke timur sebagai berikut:

  1. Manggarai Barat dengan ibu kota Labuan Bajo
  2. Manggarai dengan ibu kota Ruteng
  3. Manggarai Timur dengan ibu kota Borong
  4. Ngada dengan ibu kota Bajawa
  5. Nagekeo dengan ibu kota Mbay
  6. Ende dengan ibu kota Ende
  7. Sikka dengan ibu kota Maumere
  8. Flores Timur dengan ibu kota Larantuka
  9. Lembata dengan ibu kota Lewoleba
Topografi Flores.

Flores memiliki beberapa gunung berapi aktif dan tidur, termasuk Ia(Ende), Egon, Ilimuda, Lereboleng, Lewotobi, dan ile Ape (lembata), Rokatenda (Palu'e), Ebulobo(Boawae), Ine rie (Ngada)

Flora and fauna

[sunting | sunting sumber]

Flores memiliki satu dari sekian satwa langka dan dilindungi di dunia yakni Varanus komodoensis atau lebih dikenal dengan Biawak raksasa. Raptil ini hidup di Pulau Komodo dan Pulau Rinca, keduanya berada di Kabupaten Manggarai Barat, Flores Barat. Selain Pulau Komodo dan Pulau Rinca yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo, Flores juga memiliki satu Taman Nasional lagi yang terletak di Kabupaten Ende, yakni Taman Nasional Kelimutu. Daya tarik utama Taman Nasional Kelimutu adalah Danau Tiga Warna-nya yang selalu berubah warna air danaunya. Akan tetapi sesungguhnya di dalam Kawasan Taman Nasional Kelimutu itu tumbuh dan berkembang secara alami berbagai jenis spesies tumbuhan dan lumut. Oleh karena itu pada awal tahun 2007, pihak pengelola Taman Nasional Kelimutu mulai mengadakan identifikasi terhadap kekayaan hayati Taman Nasional Kelimutu untuk kemudian dikembangkan menjadi Kebun Raya Kelimutu. Jadi, nantinya para wisatawan yang datang ke Kawasan Wisata Alam Kelimutu, selain dapat menikmati keajaiban Danau Tiga Warna, juga dapat mengamati keanekaragaman hayati dalam Kebun Raya Kelimutu.

Di Mataloko, Kabupaten Ngada terdapat sumber panas bumi yang saat ini sedang dikembangkan menjadi sumber listrik. Di Soa, sebelah timur kota Bajawa, ibu kota kabupaten Ngada terdapat tempat pemandian air panas alami. Banyak turis asing yang datang ke sana.

Di Riung, utara kabupaten Ngada, terdapat taman laut 17 Pulau yang seindah Taman laut Bunaken di Manado. Yang unik dari taman laut ini adalah terdapat sebuah pulau yang bernama pulau Kelelawar yang menjadi tempat tinggal ribuan kelelawar.[2]

Situs arkeologi

[sunting | sunting sumber]

Pada September 2003, di gua Liang Bua di Flores barat, paleoantropologis menemukan tengkorak spesies hominid yang sebelumnya tak diketahui. Temuan ini dinamakan "manusia Flores" (Homo floresiensis, dijuluki hobbit). Penemuan ini dimuat dalam majalah Nature edisi 28 Oktober 2004. Status temuan ini sekarang masih diperdebatkan, apakah termasuk Homo erectus atau Homo sapiens.

Transportasi

[sunting | sunting sumber]

Sedikitnya ada enam bandar udara yang tersebar di seluruh Flores (diurutkan dari barat ke timur):

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Monk, K.A.; Fretes, Y.; Reksodiharjo-Lilley, G. (1996). The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. 7. ISBN 962-593-076-0. 
  2. ^ "Menengok keindahan Pulau Kelelawar dan Pulau Pasir di NTT". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-02-12. 

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]