Papers by Risdo Simangunsong
Kebutuhan agar gerakan toleransi (khususnya dalam ranah kerukunan umat beragama) untuk mengambil ... more Kebutuhan agar gerakan toleransi (khususnya dalam ranah kerukunan umat beragama) untuk mengambil wajah dan pemaknaan baru, tidak segera dirasakan kegentingannya saat Indonesia masuk ke era reformasi. Dalam sejumlah catatan, isu ini hanya diusung oleh sedikit tokoh nasional. Narasi besar di era emas itu adalah penggulingan rezim otoriter, seruan anti korupsi serta kesadaran akan HAM, terutama kebebasan berekspresi dan reaksi terhadap pelanggaran HAM struktural (negara pada masyarakat). Meski sudah ada alarm lewat kerusuhan di Situbondo dan Tasikmalaya (1996), juga konflik panjang di Aceh, Irian Jaya dan Timor Timur, kebanyakan kita saat itu – sadar atau tak sadar – masih memegang ilusi naratif kerukunan ala Orde Baru. Meyakini bahwa bahaya disintegrasi bangsa adalah semata karena masalah Politik Han-kam dan Ekonomi. Meyakini bahwa penerimaan akan kebhinekaan adalah suatu hal yang niscaya, biarpun semua orang Indonesia kini bebas bicara. Sampai akhirnya meletus tragedi 1998, lalu disusul kerusuhan Ambon dan Poso, bahkan di sejumlah daerah yang selama ini dikenal sebagai 'kampung toleransi'. Lantas menguatnya narasi fundamentalisme dan radikalisme agama. Kita pun tersentak karena pemaknaan kita soal toleransi ternyata gagu menjawab sejumlah kenyataan ini.
Sayangnya kegaguan yang sama masih cukup terasa sampai sekarang, walau reformasi sudah menginjak akhir dasawarsa kedua. Apa yang sedari awal diupayakan tokoh semacam Gus Dur – yaitu pengarus-utamaan gerakan kebudayaan dan civil society untuk memaknai serta menghayati ulang toleransi beragama dalam konteks masyarakat demokratis, sembari tetap menekankan kemandirian dan kesinambungan tradisi – masih belum jadi nafas besar kesadaran gerakan toleransi di Indonesia. Alih-alih menjadi membumi dan mewujud dalam bentuk pemaknaan baru, isu toleransi sering kali tidak menjadi wacana populer yang ajeg. Hanya sesekali didengungkan dengan gaya memori-kolektif untuk tujuan politis. Selebihnya isu ini kerap kali hanya menjadi program elit.
Tulisan ini di satu sisi mencoba menguraikan bentuk-bentuk utama dari narasi gerakan toleransi antar umat beragamayang selama ini berkembang di Indonesia pasca Reformasi. Narasi tentu tak lepas dari kuasa dalam bahasa, sebagaimana diungkapkan Fairclough dan Wodak, hal itu menyebabkan dan menunjukkan kelompok sosial yang ada, bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing. Maka di sisi lain penguraian bentuk-bentuk narasi juga dimaksudkan untuk menilai celah yang dominan menganga dan kurang diisi oleh gerakan toleransi. Mencoba menjawab mengapa narasi selama ini belum ampuh dan masih gagu dalam mewacanakan toleransi. Dari sana sejumlah alternatif yang terpikirkan bisa digagas, meski masih banyak alternatif lain yang semestinya juga sahih.
Meninjau Kembali Makna serta Praktik Pemuridan dan Kelompok Kecil di Kalangan Mahasiswa Kristiani... more Meninjau Kembali Makna serta Praktik Pemuridan dan Kelompok Kecil di Kalangan Mahasiswa Kristiani. Disampaikan dalam Diskusi Publik PMK FH UNPAD, 12 Maret 2015
Talks by Risdo Simangunsong
Deskripsi yang sifatnya opini provokatif mengenai permasalahan identitas manakah yang disebut seb... more Deskripsi yang sifatnya opini provokatif mengenai permasalahan identitas manakah yang disebut sebagai Suku Batak di wilayah Sumatera Utara.
Penulis meyakini keragaman etnisitas Sumatera Utara hendaknya tidak dipandang dengan garis batas yang tegas, melainkan dengan cara pandang yang melihatnya sebagai spektrum dan gradasi.
Hal yang diyakini juga bisa dijadikan rujukan untuk pembagian suku lainnya.
Uploads
Papers by Risdo Simangunsong
Sayangnya kegaguan yang sama masih cukup terasa sampai sekarang, walau reformasi sudah menginjak akhir dasawarsa kedua. Apa yang sedari awal diupayakan tokoh semacam Gus Dur – yaitu pengarus-utamaan gerakan kebudayaan dan civil society untuk memaknai serta menghayati ulang toleransi beragama dalam konteks masyarakat demokratis, sembari tetap menekankan kemandirian dan kesinambungan tradisi – masih belum jadi nafas besar kesadaran gerakan toleransi di Indonesia. Alih-alih menjadi membumi dan mewujud dalam bentuk pemaknaan baru, isu toleransi sering kali tidak menjadi wacana populer yang ajeg. Hanya sesekali didengungkan dengan gaya memori-kolektif untuk tujuan politis. Selebihnya isu ini kerap kali hanya menjadi program elit.
Tulisan ini di satu sisi mencoba menguraikan bentuk-bentuk utama dari narasi gerakan toleransi antar umat beragamayang selama ini berkembang di Indonesia pasca Reformasi. Narasi tentu tak lepas dari kuasa dalam bahasa, sebagaimana diungkapkan Fairclough dan Wodak, hal itu menyebabkan dan menunjukkan kelompok sosial yang ada, bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing. Maka di sisi lain penguraian bentuk-bentuk narasi juga dimaksudkan untuk menilai celah yang dominan menganga dan kurang diisi oleh gerakan toleransi. Mencoba menjawab mengapa narasi selama ini belum ampuh dan masih gagu dalam mewacanakan toleransi. Dari sana sejumlah alternatif yang terpikirkan bisa digagas, meski masih banyak alternatif lain yang semestinya juga sahih.
Talks by Risdo Simangunsong
Penulis meyakini keragaman etnisitas Sumatera Utara hendaknya tidak dipandang dengan garis batas yang tegas, melainkan dengan cara pandang yang melihatnya sebagai spektrum dan gradasi.
Hal yang diyakini juga bisa dijadikan rujukan untuk pembagian suku lainnya.
Sayangnya kegaguan yang sama masih cukup terasa sampai sekarang, walau reformasi sudah menginjak akhir dasawarsa kedua. Apa yang sedari awal diupayakan tokoh semacam Gus Dur – yaitu pengarus-utamaan gerakan kebudayaan dan civil society untuk memaknai serta menghayati ulang toleransi beragama dalam konteks masyarakat demokratis, sembari tetap menekankan kemandirian dan kesinambungan tradisi – masih belum jadi nafas besar kesadaran gerakan toleransi di Indonesia. Alih-alih menjadi membumi dan mewujud dalam bentuk pemaknaan baru, isu toleransi sering kali tidak menjadi wacana populer yang ajeg. Hanya sesekali didengungkan dengan gaya memori-kolektif untuk tujuan politis. Selebihnya isu ini kerap kali hanya menjadi program elit.
Tulisan ini di satu sisi mencoba menguraikan bentuk-bentuk utama dari narasi gerakan toleransi antar umat beragamayang selama ini berkembang di Indonesia pasca Reformasi. Narasi tentu tak lepas dari kuasa dalam bahasa, sebagaimana diungkapkan Fairclough dan Wodak, hal itu menyebabkan dan menunjukkan kelompok sosial yang ada, bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing. Maka di sisi lain penguraian bentuk-bentuk narasi juga dimaksudkan untuk menilai celah yang dominan menganga dan kurang diisi oleh gerakan toleransi. Mencoba menjawab mengapa narasi selama ini belum ampuh dan masih gagu dalam mewacanakan toleransi. Dari sana sejumlah alternatif yang terpikirkan bisa digagas, meski masih banyak alternatif lain yang semestinya juga sahih.
Penulis meyakini keragaman etnisitas Sumatera Utara hendaknya tidak dipandang dengan garis batas yang tegas, melainkan dengan cara pandang yang melihatnya sebagai spektrum dan gradasi.
Hal yang diyakini juga bisa dijadikan rujukan untuk pembagian suku lainnya.