Sebetulnya sih kerinduan untuk menulis upus lagi udah lama menggelitik hati, menyelip di antara k... more Sebetulnya sih kerinduan untuk menulis upus lagi udah lama menggelitik hati, menyelip di antara kesibukan-kesibukan lain yang menyita hampir seluruh waktu dan perhatian. Kerinduan ini mungkin muncul karena kebosanan saya menulis sinetron kejar tayang, mengurus rumah produksi, dan lain-lain yang malah jadi sebuah rutinitas. Dan saya butuh break, padahal menulis cerita Lupus buat saya adalah sebuah kenikmatan. Seperti nikmatnya menyesap kopi hangat, sambil merenung, di sebuah pagi yang hujan sambil duduk di sofa empuk milik kedai kopi yang kini menjamur di tiap sudut kota. It will lift up your life. Tapi sekarang ini, menulis Lupus jadi sebuah kemewahan buat saya. Sesuatu yang nggak bisa saya lakukan setiap hari. Buku ini saja sudah mulai saya tulis sejak setahun yang lalu. Belum lagi ketika menulis, tuntutan kelincahan bahasanya yang harus update dengan bahasa anak-anak remaja sekarang memaksa saja jadi harus gaul lagi, mendengar radio remaja, dan membaca buku-buku remaja yang sekarang banyak terbit. Sesekali saya malu juga ketika Vera, editor saya yang memprotes bahwa bahasa yang saya pakai, joke-joke-nya, tebak-tebakannya, kok jadul banget? Ternyata saya memang harus mengasah kepekaan lagi untuk menangkap bahasa anak muda sekarang, setelah 20 tahun yang lalu pertama kali saya menulis Lupus dengan lancar, mengalir tanpa kendala. Begitu mudah. Nggak terasa ya, Lupus udah 20 tahun menemani pembaca Indonesia. Kalo diibaratkan anak remaja, usia 20 tahun ya udah nggak remaja lagi. Jadi wajar dong ya, kalo emang agak-agak out of date dikit. Hihihi.
Sebetulnya sih kerinduan untuk menulis upus lagi udah lama menggelitik hati, menyelip di antara k... more Sebetulnya sih kerinduan untuk menulis upus lagi udah lama menggelitik hati, menyelip di antara kesibukan-kesibukan lain yang menyita hampir seluruh waktu dan perhatian. Kerinduan ini mungkin muncul karena kebosanan saya menulis sinetron kejar tayang, mengurus rumah produksi, dan lain-lain yang malah jadi sebuah rutinitas. Dan saya butuh break, padahal menulis cerita Lupus buat saya adalah sebuah kenikmatan. Seperti nikmatnya menyesap kopi hangat, sambil merenung, di sebuah pagi yang hujan sambil duduk di sofa empuk milik kedai kopi yang kini menjamur di tiap sudut kota. It will lift up your life. Tapi sekarang ini, menulis Lupus jadi sebuah kemewahan buat saya. Sesuatu yang nggak bisa saya lakukan setiap hari. Buku ini saja sudah mulai saya tulis sejak setahun yang lalu. Belum lagi ketika menulis, tuntutan kelincahan bahasanya yang harus update dengan bahasa anak-anak remaja sekarang memaksa saja jadi harus gaul lagi, mendengar radio remaja, dan membaca buku-buku remaja yang sekarang banyak terbit. Sesekali saya malu juga ketika Vera, editor saya yang memprotes bahwa bahasa yang saya pakai, joke-joke-nya, tebak-tebakannya, kok jadul banget? Ternyata saya memang harus mengasah kepekaan lagi untuk menangkap bahasa anak muda sekarang, setelah 20 tahun yang lalu pertama kali saya menulis Lupus dengan lancar, mengalir tanpa kendala. Begitu mudah. Nggak terasa ya, Lupus udah 20 tahun menemani pembaca Indonesia. Kalo diibaratkan anak remaja, usia 20 tahun ya udah nggak remaja lagi. Jadi wajar dong ya, kalo emang agak-agak out of date dikit. Hihihi.
Uploads
Papers by chandra alpiandi