Peringatan Hari Kelahiran Pancasila di Jakarta kemarin dinodai oleh aksi pemukulan terhadap massa... more Peringatan Hari Kelahiran Pancasila di Jakarta kemarin dinodai oleh aksi pemukulan terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan oleh sekelompok massa lain yang dikenal sebagai penuntut pembubaran sebuah sekte keagamaan. Ironisnya, polisi tinggal diam, seolah merestui aksi penolakan kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi dan semangat kebhinnekaan yang menjadi jiwa Pancasila. Polisi tak menangkap satu pun pelaku pemukulan dan penganiayaan di lapangan Monas, sementara mereka justru kerasukan menangkapi dan menganiaya para mahasiswa yang menentang kenaikan harga BBM. Kepala Polri pun membantah jika aksi kekerasan polisi di kampus Unas melanggar HAM. Masih ada sederet fakta empiris yang menunjukkan betapa Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia kini tak lebih bagaikan macan kertas. Nilai-nilai ekonomi kerakyatan, misalnya, sudah mulai ditinggalkan pelan-pelan digantikan sistem ekonomi pro-" kapital ". Pasar-pasar tradisional digusur digantikan dengan supermarket. Semuanya dilakukan seolah-olah sebagai hal wajar dan tidak memiliki dampak jangka panjang. Akibatnya, rakyat mulai kehilangan mata pencarian di satu sisi dan di sisi lain bangsa ini mulai kehilangan daya kritisnya karena bekerja dalam bidang apa pun berada di bawah tekanan global. Nasib buruh semakin ternistakan karena keserakahan juragannya dan kebijakan pemerintah yang membiarkan praktik outsourcing yang kerap tak manusiawi. Elite politik tampak membiarkan dirinya tercebur dalam pusaran arus global tanpa proteksi. Kebanggaan diri sebagai bangsa bukan lagi menjadi acuan. Orientasi hidup hanya mencari popularitas, maka munculnya fenomena " mengiklankan diri sendiri " tanpa memerhatikan aspek penderitaan rakyat. Pemerintah sulit menjadikan rasa empati sebagai bahan pertimbangan utama merancang kebijakan, yang di luar terlihat populis tetapi substansinya sebenarnya menindas. Relevansi Tantangan implementasi Pancasila saat ini lebih relevan dikaitkan dengan bagaimana nilai-nilai mendasar seperti kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tersebut diaplikasikan dalam perilaku nyata kehidupan publik. Pancasila kita sekarang diuji bukan lagi sekadar untuk membendung aliran komunisme, tetapi diuji apakah ideologi ini bisa mengatasi kemiskinan. Pancasila kita sedang menghadapi krisis multidimensional. Pancasila kita sedang berhadapan dengan pola perilaku elite yang tidak lagi peka terhadap rakyatnya. Pancasila kita juga sedang menghadapi tantangan bagaimana membuat orang-orang beragama lebih toleran terhadap lainnya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus dimaknai bersama-sama dengan sila-sila lainnya. Sebagai bangsa yang bertuhan, meyakini kebenaran Tuhan tidak boleh dilakukan dengan cara
Peringatan Hari Kelahiran Pancasila di Jakarta kemarin dinodai oleh aksi pemukulan terhadap massa... more Peringatan Hari Kelahiran Pancasila di Jakarta kemarin dinodai oleh aksi pemukulan terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan oleh sekelompok massa lain yang dikenal sebagai penuntut pembubaran sebuah sekte keagamaan. Ironisnya, polisi tinggal diam, seolah merestui aksi penolakan kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi dan semangat kebhinnekaan yang menjadi jiwa Pancasila. Polisi tak menangkap satu pun pelaku pemukulan dan penganiayaan di lapangan Monas, sementara mereka justru kerasukan menangkapi dan menganiaya para mahasiswa yang menentang kenaikan harga BBM. Kepala Polri pun membantah jika aksi kekerasan polisi di kampus Unas melanggar HAM. Masih ada sederet fakta empiris yang menunjukkan betapa Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia kini tak lebih bagaikan macan kertas. Nilai-nilai ekonomi kerakyatan, misalnya, sudah mulai ditinggalkan pelan-pelan digantikan sistem ekonomi pro-" kapital ". Pasar-pasar tradisional digusur digantikan dengan supermarket. Semuanya dilakukan seolah-olah sebagai hal wajar dan tidak memiliki dampak jangka panjang. Akibatnya, rakyat mulai kehilangan mata pencarian di satu sisi dan di sisi lain bangsa ini mulai kehilangan daya kritisnya karena bekerja dalam bidang apa pun berada di bawah tekanan global. Nasib buruh semakin ternistakan karena keserakahan juragannya dan kebijakan pemerintah yang membiarkan praktik outsourcing yang kerap tak manusiawi. Elite politik tampak membiarkan dirinya tercebur dalam pusaran arus global tanpa proteksi. Kebanggaan diri sebagai bangsa bukan lagi menjadi acuan. Orientasi hidup hanya mencari popularitas, maka munculnya fenomena " mengiklankan diri sendiri " tanpa memerhatikan aspek penderitaan rakyat. Pemerintah sulit menjadikan rasa empati sebagai bahan pertimbangan utama merancang kebijakan, yang di luar terlihat populis tetapi substansinya sebenarnya menindas. Relevansi Tantangan implementasi Pancasila saat ini lebih relevan dikaitkan dengan bagaimana nilai-nilai mendasar seperti kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tersebut diaplikasikan dalam perilaku nyata kehidupan publik. Pancasila kita sekarang diuji bukan lagi sekadar untuk membendung aliran komunisme, tetapi diuji apakah ideologi ini bisa mengatasi kemiskinan. Pancasila kita sedang menghadapi krisis multidimensional. Pancasila kita sedang berhadapan dengan pola perilaku elite yang tidak lagi peka terhadap rakyatnya. Pancasila kita juga sedang menghadapi tantangan bagaimana membuat orang-orang beragama lebih toleran terhadap lainnya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus dimaknai bersama-sama dengan sila-sila lainnya. Sebagai bangsa yang bertuhan, meyakini kebenaran Tuhan tidak boleh dilakukan dengan cara
Uploads
Papers by wira tama