Studi perubahan lingkungan pengendapan berdasarkan kajian paleontologi moluska ini diterapkan di ... more Studi perubahan lingkungan pengendapan berdasarkan kajian paleontologi moluska ini diterapkan di daerah penelitian Formasi Kaliwangu – Formasi Citalang, Ujung Jaya, Sumedang, Jawa Barat; Formasi Kalibiuk-Formasi Kaliglagah, Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah dan Formasi Bantardawa-Talanggundang, Patikraja, Banyumas, juga di Jawa Tengah. Tujuan penelitian ini menentukan asosiasi moluska dan merekonstruksi lingkungan pengendapan di tiga daerah penelitian. Kemudian dihasilkan perbandingan asosiasi moluska dan lingkungan pengendapan di tiga daerah penelitian. Data yang digunakan adalah distribusi kumpulan fosil moluska hasil determinasi dan analisis semikuantitatif di tiga daerah penelitian. Secara lateral tiga daerah penelitian pada umur Plio-Plistosen mengalami proses pendangkalan dari laut dangkal pada akhir Pliosen menjadi lingkungan non marin memasuki Plistosen. Secara vertikal tiga daerah penelitian menunjukkan proses pendangkalan yang berbeda-beda. Lokasi penelitian F. Kaliwangu, Ujung...
Secara administratif daerah penelitian berada di daerah Surian dan sekitarnya Kecamatan Surian, K... more Secara administratif daerah penelitian berada di daerah Surian dan sekitarnya Kecamatan Surian, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, dengan luas 8,5 km x 8,5 km atau sekitar 63 km2. Geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi 3 (tiga) satuan geomorfologi, yakni : perbukitan lipat patahan, perbukitan gunungapi dan dataran aluvial sungai. Pola aliran sungai yang berkembang adalah pola aliran denritik, pola aliran rektangular dengan stadia sungainya berada pada tahapan dewasa dan stadia geomorfiknya muda- dewas Tatanan batuan di daerah penelitian dari tua ke muda adalah satuan batulempung sisipan batupasir (Formasi Subang) berumur Miosen Akhir (N16-N17) dan diendapkan pada lingkungan laut dangkal yaitu neritik tengah. Dengan kedalaman di perkirakan 20-100 m. Secara selaras diatas satuan ini diendapkan satuan batupasir (Formasi Kaliwangu) yang berumur Pliosen (N18-N19), diendapkan pada lingkungan laut dangkal yaitu neritik luar-transisi, kedalaman 4-20 m diatas satuan batupasir di...
Analisis mikrofauna dan umur Formasi Jonggrangan menjadi menarik untuk dikaji karena belum banyak... more Analisis mikrofauna dan umur Formasi Jonggrangan menjadi menarik untuk dikaji karena belum banyak peneliti terdahulu yang melakukan penelitian tersebut khususnya di Desa Jatimulyo, Girimulyo, Kulon Progo,Yogyakarta. Maksud dilakukan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis fosil yang ada di lokasi penelitian kemudian tujuan akhirnya adalah dapat menentukan keragaman mikrofauna dari Formasi Jonggrangan dan dapat menentukan umur relatif Formasi Jonggrangan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode stratigrafi terukur dengan meteran sepanjang 50m, dan menggunakan metode pengamatan mikroskopik dengan mikroskop binokuler Z8 untuk mengamati mikrofosil yang ada di dalam bubuk sampel batuan. Sampel yang diambil dari lokasi penelitian berjumlah 9 sampelmulai dari lapisan bawah, tengah dan atas, litologi yang berkembang pada lokasi penelitian berupa batugamping berukuran pasir (calcarenite ), batugamping berukuran kerikil ( calcirudite ), dan batugamping terumbu. Set...
Abstrak Analisis mikrofauna dan umur Formasi Jonggrangan menjadi menarik untuk dikaji karena belu... more Abstrak Analisis mikrofauna dan umur Formasi Jonggrangan menjadi menarik untuk dikaji karena belum banyak peneliti terdahulu yang melakukan penelitian tersebut khususnya di Desa Jatimulyo, Girimulyo, Kulon Progo,Yogyakarta. Maksud dilakukan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis fosil yang ada di lokasi penelitian kemudian tujuan akhirnya adalah dapat menentukan keragaman mikrofauna dari Formasi Jonggrangan dan dapat menentukan umur relatif Formasi Jonggrangan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode stratigrafi terukur dengan meteran sepanjang 50m, dan menggunakan metode pengamatan mikroskopik dengan mikroskop binokuler Z8 untuk mengamati mikrofosil yang ada di dalam bubuk sampel batuan. Sampel yang diambil dari lokasi penelitian berjumlah 9 sampelmulai dari lapisan bawah, tengah dan atas, litologi yang berkembang pada lokasi penelitian berupa batugamping berukuran pasir (calcarenite), batugamping berukuran kerikil (calcirudite), dan batugamping terumbu. Setelah sampel batuan selesai dianalisis menggunakan mikroskop dapat dijumpai mikrofosil dari 3 filum yaitu Filum Protozoa, Filum Arthropoda dan Filum moluska. Dilihat dari keragamannya fosil Foraminifera yang jumlahnya paling dominan dari 9 sampel tersebut, yaitu fosil moluska dengan jumlah 17 spesies, kemudian fosil ostracoda 12 spesies dan fosil moluska mikro (mikromoluska) 6 spesies. Dari seluruh sampel tersebut dilakukan penarikan umur relatif batuan menggunakan fosil yang telah ditemukan, hasilnya umur relatif yang dapat ditemukan adalah kisaran Miosen – Pliosen, beberapa fosil indeks yang menjadi penciri umur ini adalah Cytherella ovata,
Abstrak Ditemukannya singkapan yang menunjukkan adanya endapan akhir Kuarter yang terdiri dari si... more Abstrak Ditemukannya singkapan yang menunjukkan adanya endapan akhir Kuarter yang terdiri dari sistem sungai-danau mengindikasikan adanya Sub-cekungan Leles. Sub-cekungan Leles ini merupakan bagian dari Cekungan Garut yang berdasarkan ekspresi morfologi pada permukaan dispisahkan oleh beberapa gunung api dan produk hasil kegiatan gunung api. Sistem sedimentasi dengan umur muda ini membutuhkan serangkaian penelitian untuk mengetahui asal mula sedimen serta lebih lanjut lagi untuk mengetahui proses evolusi sub-cekungan. Evaluasi batuan induk dilakukan sebagai suatu penelitian pendahuluan terhadap sampel dari sub-cekungan leles untuk mengetahui potensi batuan dengan umur Kuarter.Evaluasi ini juga dapat digunakan sebagai analog pembentukan batuan induk pada cekungan dengan sedimen berumur Kuarter. Terdapat lima sampel batuan lempung yang diambil dari beberapa tempat di singkapan Sub-cekungan Leles. Lima sampel ini kemudian diuji untuk mengetahui nilai Total Organic Karbon-nya (TOC) serta dianalisis menggunakan alat Rock-Eval pyrolysis untuk mengetahui karakteristik batuan induknya. Dari kelima sampel didapat nilai TOC yang bervariasi, yaitu antara 0,15-5,55%. Data dari Rock-Evalmenunjukkan bahwa sampel batuan memiliki tingkat kematangan rendah, tingkat indeks oksigen tinggi, potensial generasi hidrokarbon rendah, serta tipe kerogen yang merujuk pada kerogen tipe III.Sebagai suatu analaog pembentukan batuan induk, informasi yang didapat dari hasil evaluasi TOC dan data Rock-Eval pyrolysis dapat memberikan gambaran terhadap karakteristik sedimen yang diduga merupakan batuan induk.
Turbidite sedimentation occurred throughout the Cretaceous to Recent history of the Angola Basin ... more Turbidite sedimentation occurred throughout the Cretaceous to Recent history of the Angola Basin but was particularly important in three discrete intervals of fan development. Three turbidite classes are identified: classical sandy tur-bidites (both volcanogenic and calcarenite types); silt and mud turbidites (including five types based on Stow turbidite divisions); and biogenic turbidites (both pelagic and calcilutite types). These various turbidites are best described and interpreted in terms of two related turbidite models (Bouma, 1962; Stow, 1977). Complete and partial sequences of each model can be interpreted in terms of depositional process and subenvironment. The composition of the sediment (sand, mud, biogenic, terrigenous, etc.) is found to play an important part in the nature of turbidites deposited. Vertical facies sequences on the sandy volcanogenic "green fan" are interpreted as channel, lobe, and basin plain environments. For the muddy biogenic "brown fan," inner and outer fan and basin plain environments are more appropriate. Characteristic facies associations for each of these settings are described, based on facies types and proportions , turbidite frequency, bed thickness, grain size, and sedimentary structures. These associations are characteristic of open-ocean deep-water fans and basin plains and are significantly different from those described from land-based studies of ancient fans in small, more shallow-water, tectonically active basins.
Many authors have written and drawn that Sumatra is a homogeneous continental segment because it ... more Many authors have written and drawn that Sumatra is a homogeneous continental segment because it was constructed by continental blocks derived from Gondwana in different time and periods since initiation of Sundaland in the Triassic. There is an idea to suggest that Sumatra is fully recognized as a continental margin of Sundaland, while another idea draws that Sumatra consists of Sibumasu, West Sumatra Block and continental crust accreted onto Sundaland. However, both ideas have shown that Sumatra is composed of continental blocks. Geochemical signatures of Pasaman volcanic, collected from West Sumatra, using Ta/Yb versus Th/Yb discriminant diagram indicate that the rocks are derived from two different tectonic settings, not only from active continental margin (ACM) but also from oceanic arc tectonic environments. The discrimination becomes more clear and explicit in Yb (ppm) versus Th/Ta diagram where the ACM-derived rocks have Th/Ta ratio between 6-20 while the arc-derived samples show the ratio greater than 20. Identification of the tectonic setting origin of the volcanic can also be done using spider diagrams of selected trace elements, but it is not possible based on spider diagrams of REE. The geochemical signatures of Pasaman volcanic give evidence that Sumatra actually is not a homogenous segment of Gondwana-derived continental blocks, but consists of two different segments including ACM and arc tectonic settings. These evidences strengthen previous studies results in Lampung, Bengkulu and Central Sumatra. ABSTRAK Banyak penulis yang telah menulis dan menggambarkan bahwa Sumatera adalah sebuah segmen benua yang homogen, karena ia disusun oleh sejumlah blok bersifat benua yang berasal dari Gondwana dalam waktu dan periode yang berbeda-beda sejak pembentukan Sundaland pada Zaman Trias. Terdapat pemikiran yang menganggap bahwa Sumatera sepenuhnya dikenali sebagai tepian benua dari Sundaland, sementara itu pendapat lain menggambarkan bahwa Sumatera terdiri dari Sibumasu, Blok Sumatera Barat dan kerak benua yang didorong naik ke atas Sundaland. Namun demikian, kedua pendapat tersebut menunjukkan bahwa Sumatera dibentuk oleh blok-blok benua. Ciri geokimia batuan volkanik daerah Pasaman, yang dikumpulkan dari Sumatera Barat, dengan
ABSTRAK Secara administratif daerah penelitian berada di daerah Surian dan sekitarnya Kecamatan S... more ABSTRAK Secara administratif daerah penelitian berada di daerah Surian dan sekitarnya Kecamatan Surian, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, dengan luas 8,5 km x 8,5 km atau sekitar 63 km2. Geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi 3 (tiga) satuan geomorfologi, yakni : perbukitan lipat patahan, perbukitan gunungapi dan dataran aluvial sungai. Pola aliran sungai yang berkembang adalah pola aliran denritik, pola aliran rektangular dengan stadia sungainya berada pada tahapan dewasa dan stadia geomorfiknya muda-dewas Tatanan batuan di daerah penelitian dari tua ke muda adalah satuan batulempung sisipan batupasir (Formasi Subang) berumur Miosen Akhir (N16-N17) dan diendapkan pada lingkungan laut dangkal yaitu neritik tengah. Dengan kedalaman di perkirakan 20-100 m. Secara selaras diatas satuan ini diendapkan satuan batupasir (Formasi Kaliwangu) yang berumur Pliosen (N18-N19), diendapkan pada lingkungan laut dangkal yaitu neritik luar-transisi, kedalaman 4-20 m diatas satuan batupasir di endapkan selaras satuan batupasir selang seling konglomerat pada kala Pliosen (N20), dengan lingkungan pengendapan sungai, secara tidak selaras diatas satuan ini diendapkan Satuan endapan vulkanik breksi vulkanik dan tuff lapili Formasi Tambakan (Koenigswald, 1935), yaitu berumur Pleistosen Awal pada lingkungan darat / proximal volcaniclastic facies (Boggie n Makienzie, 1998). Pada kala holosen, satuan aluvial sungai menutupi satuan-satuan yang lebih tua yang tersingkap di daerah penelitian Struktur geologi yang berkembang adalah kekar, lipatan dan sesar. Sedangkan lipatan yang berkembang adalah antiklin Cipondoh, sinklin Surian, Antiklin Cidongke, dan sesar yang berkembang adalah sesar mendatar menganan Cijurey, sesar mendatar mengiri Cidongke, sesar mendatar mengiri Cikaro, sesar mendatar mengiri Cikandung, dan sesar naik Cidongke.struktur yang berkembang didaerah penelitian terjadi kala pliestosen dengan gaya Utara-Selatan N175 E
Sari Studi perubahan lingkungan pengendapan berdasarkan kajian paleontologi moluska ini diterapka... more Sari Studi perubahan lingkungan pengendapan berdasarkan kajian paleontologi moluska ini diterapkan di daerah penelitian Formasi Kaliwangu – Formasi Citalang, Ujung Jaya, Sumedang, Jawa Barat; Formasi Kalibiuk-Formasi Kaliglagah, Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah dan Formasi Bantardawa-Talanggundang, Patikraja, Banyumas, juga di Jawa Tengah. Tujuan penelitian ini menentukan asosiasi moluska dan merekonstruksi lingkungan pengendapan di tiga daerah penelitian. Kemudian dihasilkan perbandingan asosiasi moluska dan lingkungan pengendapan di tiga daerah penelitian. Data yang digunakan adalah distribusi kumpulan fosil moluska hasil determinasi dan analisis semikuantitatif di tiga daerah penelitian. Secara lateral tiga daerah penelitian pada umur Plio-Plistosen mengalami proses pendangkalan dari laut dangkal pada akhir Pliosen menjadi lingkungan non marin memasuki Plistosen. Secara vertikal tiga daerah penelitian menunjukkan proses pendangkalan yang berbeda-beda. Lokasi penelitian F. Kaliwangu, Ujung Jaya dijumpai asosiasi moluska Dentallium sp.-Turritella simplex (laut dangkal terbuka); Nassa ovum (intertidal-subtidal) dan Turritella simplex-Turritella javana (laut dangkal terbuka). Memasuki F. Citalang pada lingkungan pengendapan non-marin tidak dijumpai asosiasi moluska. Lokasi penelitian F. Kalibiuk, Bumiayu dijumpai asosiasi moluska Finella rufocincta-Solariella ambligoniata (subtidal) dan Turritella djadjariensis-Turritella javana (laut dangkal terbuka). Memasuki F. Kaliglagah pada lingkungan pengendapan non marin dijumpai asosiasi moluska air tawar Sulcospira foeda-Sulcospira testudinaria (non marin); Melanoides tuberculata-Brotia oppenoorthi (non-marin) dan Sulcospira foeda (no-marin). Lokasi penelitian F. Bantardawa-Talanggudang, Patikraja dijumpai asosiasi moluska Sigaretornus planus-Paphia sp. (subtidal) dan Tellina sp.-Paphia sp. (intertidal). Memasuki umur Kuarter pada lingkungan pengendapan non-marin tidak dijumpai asosiasi moluska. Batas perubahan lingkungan pengendapan dari lingkungan pengendapan laut menjadi lingkungan pengendapan non-marin di tiga lokasi penelitian menunjukkan batas yang relatif sama yaitu pada Plio Plistosen. Kata kunci: lingkungan pengendapan, asosiasi moluska, Plio-Plistosen Abstract Depositional environmental study based on paleontological mollusca were done for Kaliwangu Formation and Citalang Formation around Ujung Jaya area, Sumedang, West Jawa; Kalibiuk Formation and Kaliglagah Formation, Bumiayu area, Brebes, Central Jawa and Bantardawa-Talanggudang Formation, Patikraja area, Banyumas in Central Jawa. The aim of this study were determined mollusc association and to reconstruct environment deposition for each research areas, and made comparation among them. Data used in this study are distribution of molluscs fossils assemblages as determination and semi-quantitative result from all areas. Lateralty in Plio-Pleistocene age all areas study have regretion processed from shallow marine in late Pliocene to non-marine entering Pleistocene. Vertically all areas study show different process of regretion. In Kaliwangu Formation Ujung Jaya area, mollusc associations that found are Dentallium sp.-Turritella simplex (open shallow marine); Nassa ovum (intertidal-subtidal) and Turritella simplex-Turritella javana (open shallow marine). Entering Citalang Formation non-marine deposit there is no molluscs association found. In Kalibiuk Formation Bumiayu area, mollusc associations that found are Finella rufocincta-Solariella ambligoniata (subtidal) and Turritella djadjariensis-Turritella javana (shallow open marine). Entering Kaliglagah Formation mollusc associations that found are Sulcospira foeda-Sulcospira testudinaria (non marin); Melanoides tuberculata-Brotia oppenoorthi (non marin) and Sulcospira foeda (non marin). In Bantardawa-Talanggudang Formation Patikraja area, mollusc associations that found are Sigaretornus planus-Paphia sp. (subtidal) and Tellina sp.-Paphia sp. (intertidal). Entering non-marine quaternary deposit there is no molluscs association found. The boundary between marine and non-marine depositional environment from these three areas indicates relatively analogue boundary of Plio-Pleistocene.
Epithermal gold (± Cu & Ag) deposits form at shallower crustal levels than porphyry Cu-Au systems... more Epithermal gold (± Cu & Ag) deposits form at shallower crustal levels than porphyry Cu-Au systems, and are primarily distinguished as low and high sulphidation using criteria of varying gangue and ore mineralogy, deposited by the interaction of different ore fluids with host rocks and groundwaters. Low sulphidation deposits are in turn further divided according to mineralogy related to the depth and environment of formation, while high sulphidation systems vary with depth and permeability control, and are distinguished from several styles of barren acid alteration. Low sulphidation epithermal Au + Cu + Ag deposits develop from dilute near neutral pH fluids and are divided into two groups: those which display mineralogies derived dominantly from magmatic source rocks (arc low sulphidation), and others with mineralogies dominated from circulating geothermal fluid sources (rift low sulphidation). The former are classed with decreasing crustal level as: quartz-sulphide gold + copper, passing to polymetallic gold-silver veins, carbonate-base metal gold and shallowest epithermal quartz gold-silver. These ore types are zoned in time and space with shallower styles overprinting the deeper, and metal contents which vary as high Cu at depth, to Ag and Au dominant in elevated crustal settings. Low sulphidation adularia-sericite epithermal gold-silver systems comprise the rift low sulphidation style. These are dominated by gangue mineralogies deposited from meteoric water rich circulating geothermal fluids, typically formed in rift settings. Sediment hosted replacement gold deposits are interpreted to develop from low sulphidation fluids in reactive carbonate bearing rocks. High sulphidation Au + Cu ore systems develop from the reaction with host rocks of hot acidic magmatic fluids to produce characteristic zoned alteration and later sulphide and Au + Cu + Ag deposition. Ore systems display permeability controls governed by lithology, structure and breccias and changes in wall rock alteration and ore mineralogy with depth of formation. One of the challenges is to distinguish the mineralised systems from a group of generally non-economic acidic alteration styles including lithocaps or barren shoulders, steam heated, magmatic solfatara and acid sulphate alteration.
Abstrak: Hasil kajian sekarang telah mengubahsuai stratigrafi kawasan Lembangan Malibau di mana i... more Abstrak: Hasil kajian sekarang telah mengubahsuai stratigrafi kawasan Lembangan Malibau di mana ianya terdiri daripada Formasi Tanjong yang berusia Miosen Awal hingga awal Miosen Tengah, dan Formasi Kapilit yang berusia pertengahan Miosen Tengah hingga awal Miosen Akhir. Formasi Tanjong ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Kapilit. Taburan formasi-formasi tersebut telah diubahsuai. Formasi Tanjong meliputi bahagian selatan dan timur kawasan kajian, manakala Formasi Kapilit meliputi bahagian tengah kawasan kajian atau Lembangan Malibau. Formasi Tanjong terdiri daripada tiga unit jujukan stratigrafi iaitu Unit I merupakan jujukan sedimen pelagik, Unit II pula merupakan jujukan sedimen fluvio-deltaik yang mengandungi batu arang, manakala Unit III pula merupakan jujukan sedimen pelagik. Formasi Kapilit pula terdiri daripada dua unit iaitu Unit I yang merupakan jujukan sedimen deltaik yang mengandungi batu arang, manakala Unit II pula merupakan jujukan sedimen pelagik. Asosiasi fasies dan jujukan dalam Formasi Tanjong menunjukkan kehadiran megajujukan yang mengkasar ke atas antara Unit I dan II, dan seterusnya megajujukan yang menghalus ke atas dalam Unit III. Ini menggambarkan perubahan persekitaran pengendapan dari keadaan progradsi ke agradasi. Manakala Unit I dan II Formasi Kapilit menunjukkan kehadiran megajujukan yang menghalus ke atas yang menggambarkan sekitaran keadaan agradasi. Analisis arus kuno telah menunjukkan bahawa punca sedimen adalah dari arah barat dan utara kawasan kajian. Ketebalan Formasi Tanjong di kawasan kajian dianggarkan sekitar 6,200 meter manakala Formasi Kapilit pula dianggarkan sekitar 4,500 meter. Walau bagaimanapun, ketebalan keseluruhan Formasi Tanjong dianggarkan sekitar 7,000 meter manakala Formasi Kapilit sekitar 6,500 hingga 7,000 meter. Abstract: The present research has revised the stratigraphy ofthe Malibau Basin which comprises the Tanjong Formation of Early to Middle Miocene and Kapilit Formation of middle Middle Miocene to early Late Miocene. The Kapilit Formation lies unconformably on Tanjong Formation. The distribution of these formations have also been revised. The Tanjong Formation covers the southern and eastern parts of the area whereas the Kapilit Formation underlie the central part of the area or the Malibau Basin. The Tanjong Formation comprises three stratigraphic units. Unit I contains a sequence of pelagic sediments, Unit II contains a sequence offluvio-deltaic sediments and is coal-bearing, whereas Unit III contains a sequence of pelagic sediments. On the other hand the Kapilit Formation comprises two stratigraphic units. Unit I contains a sequence of deltaic sediments and a coal-bearing, whereas Unit II contains a sequence of pelagic sediments. Facies and sequence association in Tanjong Formation indicates the presence of coarsening upwards megasequence between the Units I and II, and fining upwards megasequence in Unit III. This shows the changes in depositional environment from progradational to aggradational. Units I and II ofKapilit Formation, however, indicate the presence of fining upwards megasequence which is aggradational. Palaeocurrent analysis indicates that the sources of sediments are from west and north of the area. The thickness of the Tanjong Formation in the study area is estimated to be 6,200 metre whereas the Kapilit Formation is about 4,500 metre. The overall thickness of the Tanjong Formation, however, is estimated to be 7,000 metre whereas the Kapilit Formation is about 6,500 to 7,000 metre.
Sari Kajian seismogenetik menunjukkan pulau Jawa dengan sistem tektonik tunjamannya merupakan bag... more Sari Kajian seismogenetik menunjukkan pulau Jawa dengan sistem tektonik tunjamannya merupakan bagian dari Satuan Seismotektonik Busur Sangat Aktif (Jawa Barat bagian barat dan Sumatera) dan Satuan Seismotektonik Busur Aktif (Jawa Barat bagian barat – Jawa Tengah – Jawa Timur). Secara keseluruhan daerah ini merupakan Daerah Rawan Gempa Bumi Indonesia No. VI, VII, VII dan IX. Di daerah ini gempa bumi berkekuatan > 8,5 SR pernah terjadi (Jawa bagian barat), gempa bumi berkekuatan 7 SR sering terjadi dan gempa bumi berkekuatan 5-6 SR umum terjadi (Jawa bagian selatan). Gempa bumi berpotensi merusak Pulau Jawa umumnya berkekuatan > 5,6 SR dan merupakan gempa bumi lajur tunjaman selatan Jawa yang berkedalaman dangkal < 30 km. Jarak sumber, kekuatan gempa bumi, kondisi geologi setempat serta kepadatan penduduk dan infrastruktur sangat menentukan indeks kebencanaan dan risiko di Pulau Jawa. Guna mewaspadai bahaya gempa bumi yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, penilaian risiko bahaya gempa bumi yang berbasiskan makrozonasi dan mikrozonasi kerentanan bencana dan risiko gempa bumi merupakan hal utama dan mendasar yang diperlukan di berbagai wilayah tingkat provinsi, kabupaten maupun kota yang terkait. Kata kunci: Seismotektonik, seismogenetik, makro dan mikro zonasi, potensi bencana dan risiko Abstract A seismogenetic study shows the Jawa Island Arc and its subduction zone system belong to a highly active seismotectonic arc unit (west Jawa and Sumatera) and an active seismotectonic arc unit (western part of West Jawa – Central Jawa – East Jawa). In general, these regions are part of the Indonesian Earthquake Hazard Zones No. VI, VII, VII and IX. The regions are characterized by the presence of rare earthquake of magnitude > 8.5 Richter Scale (western part of Java), frequent magnitude of 7 Richter Scale and common 5-6 Richter Scale (Southern part of Java). The potential hazardous earthquake in Jawa that is > 5,6 Richter Scale of magnitude and shallow depth (< 30 km) is due to a subduction zone earthquake. Epicenter distance, magnitude, geological site conditions, population, and infrastructure are the index of earthquake hazard and risk in these regions. The earthquake hazard mitigation programme in the near future is a risk assesment based on macro and microzonation of earthquake hazard and risk. These macrozonation and microzonation assessments are essentially needed for provinces, districts, and cities.
Studi perubahan lingkungan pengendapan berdasarkan kajian paleontologi moluska ini diterapkan di ... more Studi perubahan lingkungan pengendapan berdasarkan kajian paleontologi moluska ini diterapkan di daerah penelitian Formasi Kaliwangu – Formasi Citalang, Ujung Jaya, Sumedang, Jawa Barat; Formasi Kalibiuk-Formasi Kaliglagah, Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah dan Formasi Bantardawa-Talanggundang, Patikraja, Banyumas, juga di Jawa Tengah. Tujuan penelitian ini menentukan asosiasi moluska dan merekonstruksi lingkungan pengendapan di tiga daerah penelitian. Kemudian dihasilkan perbandingan asosiasi moluska dan lingkungan pengendapan di tiga daerah penelitian. Data yang digunakan adalah distribusi kumpulan fosil moluska hasil determinasi dan analisis semikuantitatif di tiga daerah penelitian. Secara lateral tiga daerah penelitian pada umur Plio-Plistosen mengalami proses pendangkalan dari laut dangkal pada akhir Pliosen menjadi lingkungan non marin memasuki Plistosen. Secara vertikal tiga daerah penelitian menunjukkan proses pendangkalan yang berbeda-beda. Lokasi penelitian F. Kaliwangu, Ujung...
Secara administratif daerah penelitian berada di daerah Surian dan sekitarnya Kecamatan Surian, K... more Secara administratif daerah penelitian berada di daerah Surian dan sekitarnya Kecamatan Surian, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, dengan luas 8,5 km x 8,5 km atau sekitar 63 km2. Geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi 3 (tiga) satuan geomorfologi, yakni : perbukitan lipat patahan, perbukitan gunungapi dan dataran aluvial sungai. Pola aliran sungai yang berkembang adalah pola aliran denritik, pola aliran rektangular dengan stadia sungainya berada pada tahapan dewasa dan stadia geomorfiknya muda- dewas Tatanan batuan di daerah penelitian dari tua ke muda adalah satuan batulempung sisipan batupasir (Formasi Subang) berumur Miosen Akhir (N16-N17) dan diendapkan pada lingkungan laut dangkal yaitu neritik tengah. Dengan kedalaman di perkirakan 20-100 m. Secara selaras diatas satuan ini diendapkan satuan batupasir (Formasi Kaliwangu) yang berumur Pliosen (N18-N19), diendapkan pada lingkungan laut dangkal yaitu neritik luar-transisi, kedalaman 4-20 m diatas satuan batupasir di...
Analisis mikrofauna dan umur Formasi Jonggrangan menjadi menarik untuk dikaji karena belum banyak... more Analisis mikrofauna dan umur Formasi Jonggrangan menjadi menarik untuk dikaji karena belum banyak peneliti terdahulu yang melakukan penelitian tersebut khususnya di Desa Jatimulyo, Girimulyo, Kulon Progo,Yogyakarta. Maksud dilakukan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis fosil yang ada di lokasi penelitian kemudian tujuan akhirnya adalah dapat menentukan keragaman mikrofauna dari Formasi Jonggrangan dan dapat menentukan umur relatif Formasi Jonggrangan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode stratigrafi terukur dengan meteran sepanjang 50m, dan menggunakan metode pengamatan mikroskopik dengan mikroskop binokuler Z8 untuk mengamati mikrofosil yang ada di dalam bubuk sampel batuan. Sampel yang diambil dari lokasi penelitian berjumlah 9 sampelmulai dari lapisan bawah, tengah dan atas, litologi yang berkembang pada lokasi penelitian berupa batugamping berukuran pasir (calcarenite ), batugamping berukuran kerikil ( calcirudite ), dan batugamping terumbu. Set...
Abstrak Analisis mikrofauna dan umur Formasi Jonggrangan menjadi menarik untuk dikaji karena belu... more Abstrak Analisis mikrofauna dan umur Formasi Jonggrangan menjadi menarik untuk dikaji karena belum banyak peneliti terdahulu yang melakukan penelitian tersebut khususnya di Desa Jatimulyo, Girimulyo, Kulon Progo,Yogyakarta. Maksud dilakukan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis fosil yang ada di lokasi penelitian kemudian tujuan akhirnya adalah dapat menentukan keragaman mikrofauna dari Formasi Jonggrangan dan dapat menentukan umur relatif Formasi Jonggrangan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode stratigrafi terukur dengan meteran sepanjang 50m, dan menggunakan metode pengamatan mikroskopik dengan mikroskop binokuler Z8 untuk mengamati mikrofosil yang ada di dalam bubuk sampel batuan. Sampel yang diambil dari lokasi penelitian berjumlah 9 sampelmulai dari lapisan bawah, tengah dan atas, litologi yang berkembang pada lokasi penelitian berupa batugamping berukuran pasir (calcarenite), batugamping berukuran kerikil (calcirudite), dan batugamping terumbu. Setelah sampel batuan selesai dianalisis menggunakan mikroskop dapat dijumpai mikrofosil dari 3 filum yaitu Filum Protozoa, Filum Arthropoda dan Filum moluska. Dilihat dari keragamannya fosil Foraminifera yang jumlahnya paling dominan dari 9 sampel tersebut, yaitu fosil moluska dengan jumlah 17 spesies, kemudian fosil ostracoda 12 spesies dan fosil moluska mikro (mikromoluska) 6 spesies. Dari seluruh sampel tersebut dilakukan penarikan umur relatif batuan menggunakan fosil yang telah ditemukan, hasilnya umur relatif yang dapat ditemukan adalah kisaran Miosen – Pliosen, beberapa fosil indeks yang menjadi penciri umur ini adalah Cytherella ovata,
Abstrak Ditemukannya singkapan yang menunjukkan adanya endapan akhir Kuarter yang terdiri dari si... more Abstrak Ditemukannya singkapan yang menunjukkan adanya endapan akhir Kuarter yang terdiri dari sistem sungai-danau mengindikasikan adanya Sub-cekungan Leles. Sub-cekungan Leles ini merupakan bagian dari Cekungan Garut yang berdasarkan ekspresi morfologi pada permukaan dispisahkan oleh beberapa gunung api dan produk hasil kegiatan gunung api. Sistem sedimentasi dengan umur muda ini membutuhkan serangkaian penelitian untuk mengetahui asal mula sedimen serta lebih lanjut lagi untuk mengetahui proses evolusi sub-cekungan. Evaluasi batuan induk dilakukan sebagai suatu penelitian pendahuluan terhadap sampel dari sub-cekungan leles untuk mengetahui potensi batuan dengan umur Kuarter.Evaluasi ini juga dapat digunakan sebagai analog pembentukan batuan induk pada cekungan dengan sedimen berumur Kuarter. Terdapat lima sampel batuan lempung yang diambil dari beberapa tempat di singkapan Sub-cekungan Leles. Lima sampel ini kemudian diuji untuk mengetahui nilai Total Organic Karbon-nya (TOC) serta dianalisis menggunakan alat Rock-Eval pyrolysis untuk mengetahui karakteristik batuan induknya. Dari kelima sampel didapat nilai TOC yang bervariasi, yaitu antara 0,15-5,55%. Data dari Rock-Evalmenunjukkan bahwa sampel batuan memiliki tingkat kematangan rendah, tingkat indeks oksigen tinggi, potensial generasi hidrokarbon rendah, serta tipe kerogen yang merujuk pada kerogen tipe III.Sebagai suatu analaog pembentukan batuan induk, informasi yang didapat dari hasil evaluasi TOC dan data Rock-Eval pyrolysis dapat memberikan gambaran terhadap karakteristik sedimen yang diduga merupakan batuan induk.
Turbidite sedimentation occurred throughout the Cretaceous to Recent history of the Angola Basin ... more Turbidite sedimentation occurred throughout the Cretaceous to Recent history of the Angola Basin but was particularly important in three discrete intervals of fan development. Three turbidite classes are identified: classical sandy tur-bidites (both volcanogenic and calcarenite types); silt and mud turbidites (including five types based on Stow turbidite divisions); and biogenic turbidites (both pelagic and calcilutite types). These various turbidites are best described and interpreted in terms of two related turbidite models (Bouma, 1962; Stow, 1977). Complete and partial sequences of each model can be interpreted in terms of depositional process and subenvironment. The composition of the sediment (sand, mud, biogenic, terrigenous, etc.) is found to play an important part in the nature of turbidites deposited. Vertical facies sequences on the sandy volcanogenic "green fan" are interpreted as channel, lobe, and basin plain environments. For the muddy biogenic "brown fan," inner and outer fan and basin plain environments are more appropriate. Characteristic facies associations for each of these settings are described, based on facies types and proportions , turbidite frequency, bed thickness, grain size, and sedimentary structures. These associations are characteristic of open-ocean deep-water fans and basin plains and are significantly different from those described from land-based studies of ancient fans in small, more shallow-water, tectonically active basins.
Many authors have written and drawn that Sumatra is a homogeneous continental segment because it ... more Many authors have written and drawn that Sumatra is a homogeneous continental segment because it was constructed by continental blocks derived from Gondwana in different time and periods since initiation of Sundaland in the Triassic. There is an idea to suggest that Sumatra is fully recognized as a continental margin of Sundaland, while another idea draws that Sumatra consists of Sibumasu, West Sumatra Block and continental crust accreted onto Sundaland. However, both ideas have shown that Sumatra is composed of continental blocks. Geochemical signatures of Pasaman volcanic, collected from West Sumatra, using Ta/Yb versus Th/Yb discriminant diagram indicate that the rocks are derived from two different tectonic settings, not only from active continental margin (ACM) but also from oceanic arc tectonic environments. The discrimination becomes more clear and explicit in Yb (ppm) versus Th/Ta diagram where the ACM-derived rocks have Th/Ta ratio between 6-20 while the arc-derived samples show the ratio greater than 20. Identification of the tectonic setting origin of the volcanic can also be done using spider diagrams of selected trace elements, but it is not possible based on spider diagrams of REE. The geochemical signatures of Pasaman volcanic give evidence that Sumatra actually is not a homogenous segment of Gondwana-derived continental blocks, but consists of two different segments including ACM and arc tectonic settings. These evidences strengthen previous studies results in Lampung, Bengkulu and Central Sumatra. ABSTRAK Banyak penulis yang telah menulis dan menggambarkan bahwa Sumatera adalah sebuah segmen benua yang homogen, karena ia disusun oleh sejumlah blok bersifat benua yang berasal dari Gondwana dalam waktu dan periode yang berbeda-beda sejak pembentukan Sundaland pada Zaman Trias. Terdapat pemikiran yang menganggap bahwa Sumatera sepenuhnya dikenali sebagai tepian benua dari Sundaland, sementara itu pendapat lain menggambarkan bahwa Sumatera terdiri dari Sibumasu, Blok Sumatera Barat dan kerak benua yang didorong naik ke atas Sundaland. Namun demikian, kedua pendapat tersebut menunjukkan bahwa Sumatera dibentuk oleh blok-blok benua. Ciri geokimia batuan volkanik daerah Pasaman, yang dikumpulkan dari Sumatera Barat, dengan
ABSTRAK Secara administratif daerah penelitian berada di daerah Surian dan sekitarnya Kecamatan S... more ABSTRAK Secara administratif daerah penelitian berada di daerah Surian dan sekitarnya Kecamatan Surian, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, dengan luas 8,5 km x 8,5 km atau sekitar 63 km2. Geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi 3 (tiga) satuan geomorfologi, yakni : perbukitan lipat patahan, perbukitan gunungapi dan dataran aluvial sungai. Pola aliran sungai yang berkembang adalah pola aliran denritik, pola aliran rektangular dengan stadia sungainya berada pada tahapan dewasa dan stadia geomorfiknya muda-dewas Tatanan batuan di daerah penelitian dari tua ke muda adalah satuan batulempung sisipan batupasir (Formasi Subang) berumur Miosen Akhir (N16-N17) dan diendapkan pada lingkungan laut dangkal yaitu neritik tengah. Dengan kedalaman di perkirakan 20-100 m. Secara selaras diatas satuan ini diendapkan satuan batupasir (Formasi Kaliwangu) yang berumur Pliosen (N18-N19), diendapkan pada lingkungan laut dangkal yaitu neritik luar-transisi, kedalaman 4-20 m diatas satuan batupasir di endapkan selaras satuan batupasir selang seling konglomerat pada kala Pliosen (N20), dengan lingkungan pengendapan sungai, secara tidak selaras diatas satuan ini diendapkan Satuan endapan vulkanik breksi vulkanik dan tuff lapili Formasi Tambakan (Koenigswald, 1935), yaitu berumur Pleistosen Awal pada lingkungan darat / proximal volcaniclastic facies (Boggie n Makienzie, 1998). Pada kala holosen, satuan aluvial sungai menutupi satuan-satuan yang lebih tua yang tersingkap di daerah penelitian Struktur geologi yang berkembang adalah kekar, lipatan dan sesar. Sedangkan lipatan yang berkembang adalah antiklin Cipondoh, sinklin Surian, Antiklin Cidongke, dan sesar yang berkembang adalah sesar mendatar menganan Cijurey, sesar mendatar mengiri Cidongke, sesar mendatar mengiri Cikaro, sesar mendatar mengiri Cikandung, dan sesar naik Cidongke.struktur yang berkembang didaerah penelitian terjadi kala pliestosen dengan gaya Utara-Selatan N175 E
Sari Studi perubahan lingkungan pengendapan berdasarkan kajian paleontologi moluska ini diterapka... more Sari Studi perubahan lingkungan pengendapan berdasarkan kajian paleontologi moluska ini diterapkan di daerah penelitian Formasi Kaliwangu – Formasi Citalang, Ujung Jaya, Sumedang, Jawa Barat; Formasi Kalibiuk-Formasi Kaliglagah, Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah dan Formasi Bantardawa-Talanggundang, Patikraja, Banyumas, juga di Jawa Tengah. Tujuan penelitian ini menentukan asosiasi moluska dan merekonstruksi lingkungan pengendapan di tiga daerah penelitian. Kemudian dihasilkan perbandingan asosiasi moluska dan lingkungan pengendapan di tiga daerah penelitian. Data yang digunakan adalah distribusi kumpulan fosil moluska hasil determinasi dan analisis semikuantitatif di tiga daerah penelitian. Secara lateral tiga daerah penelitian pada umur Plio-Plistosen mengalami proses pendangkalan dari laut dangkal pada akhir Pliosen menjadi lingkungan non marin memasuki Plistosen. Secara vertikal tiga daerah penelitian menunjukkan proses pendangkalan yang berbeda-beda. Lokasi penelitian F. Kaliwangu, Ujung Jaya dijumpai asosiasi moluska Dentallium sp.-Turritella simplex (laut dangkal terbuka); Nassa ovum (intertidal-subtidal) dan Turritella simplex-Turritella javana (laut dangkal terbuka). Memasuki F. Citalang pada lingkungan pengendapan non-marin tidak dijumpai asosiasi moluska. Lokasi penelitian F. Kalibiuk, Bumiayu dijumpai asosiasi moluska Finella rufocincta-Solariella ambligoniata (subtidal) dan Turritella djadjariensis-Turritella javana (laut dangkal terbuka). Memasuki F. Kaliglagah pada lingkungan pengendapan non marin dijumpai asosiasi moluska air tawar Sulcospira foeda-Sulcospira testudinaria (non marin); Melanoides tuberculata-Brotia oppenoorthi (non-marin) dan Sulcospira foeda (no-marin). Lokasi penelitian F. Bantardawa-Talanggudang, Patikraja dijumpai asosiasi moluska Sigaretornus planus-Paphia sp. (subtidal) dan Tellina sp.-Paphia sp. (intertidal). Memasuki umur Kuarter pada lingkungan pengendapan non-marin tidak dijumpai asosiasi moluska. Batas perubahan lingkungan pengendapan dari lingkungan pengendapan laut menjadi lingkungan pengendapan non-marin di tiga lokasi penelitian menunjukkan batas yang relatif sama yaitu pada Plio Plistosen. Kata kunci: lingkungan pengendapan, asosiasi moluska, Plio-Plistosen Abstract Depositional environmental study based on paleontological mollusca were done for Kaliwangu Formation and Citalang Formation around Ujung Jaya area, Sumedang, West Jawa; Kalibiuk Formation and Kaliglagah Formation, Bumiayu area, Brebes, Central Jawa and Bantardawa-Talanggudang Formation, Patikraja area, Banyumas in Central Jawa. The aim of this study were determined mollusc association and to reconstruct environment deposition for each research areas, and made comparation among them. Data used in this study are distribution of molluscs fossils assemblages as determination and semi-quantitative result from all areas. Lateralty in Plio-Pleistocene age all areas study have regretion processed from shallow marine in late Pliocene to non-marine entering Pleistocene. Vertically all areas study show different process of regretion. In Kaliwangu Formation Ujung Jaya area, mollusc associations that found are Dentallium sp.-Turritella simplex (open shallow marine); Nassa ovum (intertidal-subtidal) and Turritella simplex-Turritella javana (open shallow marine). Entering Citalang Formation non-marine deposit there is no molluscs association found. In Kalibiuk Formation Bumiayu area, mollusc associations that found are Finella rufocincta-Solariella ambligoniata (subtidal) and Turritella djadjariensis-Turritella javana (shallow open marine). Entering Kaliglagah Formation mollusc associations that found are Sulcospira foeda-Sulcospira testudinaria (non marin); Melanoides tuberculata-Brotia oppenoorthi (non marin) and Sulcospira foeda (non marin). In Bantardawa-Talanggudang Formation Patikraja area, mollusc associations that found are Sigaretornus planus-Paphia sp. (subtidal) and Tellina sp.-Paphia sp. (intertidal). Entering non-marine quaternary deposit there is no molluscs association found. The boundary between marine and non-marine depositional environment from these three areas indicates relatively analogue boundary of Plio-Pleistocene.
Epithermal gold (± Cu & Ag) deposits form at shallower crustal levels than porphyry Cu-Au systems... more Epithermal gold (± Cu & Ag) deposits form at shallower crustal levels than porphyry Cu-Au systems, and are primarily distinguished as low and high sulphidation using criteria of varying gangue and ore mineralogy, deposited by the interaction of different ore fluids with host rocks and groundwaters. Low sulphidation deposits are in turn further divided according to mineralogy related to the depth and environment of formation, while high sulphidation systems vary with depth and permeability control, and are distinguished from several styles of barren acid alteration. Low sulphidation epithermal Au + Cu + Ag deposits develop from dilute near neutral pH fluids and are divided into two groups: those which display mineralogies derived dominantly from magmatic source rocks (arc low sulphidation), and others with mineralogies dominated from circulating geothermal fluid sources (rift low sulphidation). The former are classed with decreasing crustal level as: quartz-sulphide gold + copper, passing to polymetallic gold-silver veins, carbonate-base metal gold and shallowest epithermal quartz gold-silver. These ore types are zoned in time and space with shallower styles overprinting the deeper, and metal contents which vary as high Cu at depth, to Ag and Au dominant in elevated crustal settings. Low sulphidation adularia-sericite epithermal gold-silver systems comprise the rift low sulphidation style. These are dominated by gangue mineralogies deposited from meteoric water rich circulating geothermal fluids, typically formed in rift settings. Sediment hosted replacement gold deposits are interpreted to develop from low sulphidation fluids in reactive carbonate bearing rocks. High sulphidation Au + Cu ore systems develop from the reaction with host rocks of hot acidic magmatic fluids to produce characteristic zoned alteration and later sulphide and Au + Cu + Ag deposition. Ore systems display permeability controls governed by lithology, structure and breccias and changes in wall rock alteration and ore mineralogy with depth of formation. One of the challenges is to distinguish the mineralised systems from a group of generally non-economic acidic alteration styles including lithocaps or barren shoulders, steam heated, magmatic solfatara and acid sulphate alteration.
Abstrak: Hasil kajian sekarang telah mengubahsuai stratigrafi kawasan Lembangan Malibau di mana i... more Abstrak: Hasil kajian sekarang telah mengubahsuai stratigrafi kawasan Lembangan Malibau di mana ianya terdiri daripada Formasi Tanjong yang berusia Miosen Awal hingga awal Miosen Tengah, dan Formasi Kapilit yang berusia pertengahan Miosen Tengah hingga awal Miosen Akhir. Formasi Tanjong ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Kapilit. Taburan formasi-formasi tersebut telah diubahsuai. Formasi Tanjong meliputi bahagian selatan dan timur kawasan kajian, manakala Formasi Kapilit meliputi bahagian tengah kawasan kajian atau Lembangan Malibau. Formasi Tanjong terdiri daripada tiga unit jujukan stratigrafi iaitu Unit I merupakan jujukan sedimen pelagik, Unit II pula merupakan jujukan sedimen fluvio-deltaik yang mengandungi batu arang, manakala Unit III pula merupakan jujukan sedimen pelagik. Formasi Kapilit pula terdiri daripada dua unit iaitu Unit I yang merupakan jujukan sedimen deltaik yang mengandungi batu arang, manakala Unit II pula merupakan jujukan sedimen pelagik. Asosiasi fasies dan jujukan dalam Formasi Tanjong menunjukkan kehadiran megajujukan yang mengkasar ke atas antara Unit I dan II, dan seterusnya megajujukan yang menghalus ke atas dalam Unit III. Ini menggambarkan perubahan persekitaran pengendapan dari keadaan progradsi ke agradasi. Manakala Unit I dan II Formasi Kapilit menunjukkan kehadiran megajujukan yang menghalus ke atas yang menggambarkan sekitaran keadaan agradasi. Analisis arus kuno telah menunjukkan bahawa punca sedimen adalah dari arah barat dan utara kawasan kajian. Ketebalan Formasi Tanjong di kawasan kajian dianggarkan sekitar 6,200 meter manakala Formasi Kapilit pula dianggarkan sekitar 4,500 meter. Walau bagaimanapun, ketebalan keseluruhan Formasi Tanjong dianggarkan sekitar 7,000 meter manakala Formasi Kapilit sekitar 6,500 hingga 7,000 meter. Abstract: The present research has revised the stratigraphy ofthe Malibau Basin which comprises the Tanjong Formation of Early to Middle Miocene and Kapilit Formation of middle Middle Miocene to early Late Miocene. The Kapilit Formation lies unconformably on Tanjong Formation. The distribution of these formations have also been revised. The Tanjong Formation covers the southern and eastern parts of the area whereas the Kapilit Formation underlie the central part of the area or the Malibau Basin. The Tanjong Formation comprises three stratigraphic units. Unit I contains a sequence of pelagic sediments, Unit II contains a sequence offluvio-deltaic sediments and is coal-bearing, whereas Unit III contains a sequence of pelagic sediments. On the other hand the Kapilit Formation comprises two stratigraphic units. Unit I contains a sequence of deltaic sediments and a coal-bearing, whereas Unit II contains a sequence of pelagic sediments. Facies and sequence association in Tanjong Formation indicates the presence of coarsening upwards megasequence between the Units I and II, and fining upwards megasequence in Unit III. This shows the changes in depositional environment from progradational to aggradational. Units I and II ofKapilit Formation, however, indicate the presence of fining upwards megasequence which is aggradational. Palaeocurrent analysis indicates that the sources of sediments are from west and north of the area. The thickness of the Tanjong Formation in the study area is estimated to be 6,200 metre whereas the Kapilit Formation is about 4,500 metre. The overall thickness of the Tanjong Formation, however, is estimated to be 7,000 metre whereas the Kapilit Formation is about 6,500 to 7,000 metre.
Sari Kajian seismogenetik menunjukkan pulau Jawa dengan sistem tektonik tunjamannya merupakan bag... more Sari Kajian seismogenetik menunjukkan pulau Jawa dengan sistem tektonik tunjamannya merupakan bagian dari Satuan Seismotektonik Busur Sangat Aktif (Jawa Barat bagian barat dan Sumatera) dan Satuan Seismotektonik Busur Aktif (Jawa Barat bagian barat – Jawa Tengah – Jawa Timur). Secara keseluruhan daerah ini merupakan Daerah Rawan Gempa Bumi Indonesia No. VI, VII, VII dan IX. Di daerah ini gempa bumi berkekuatan > 8,5 SR pernah terjadi (Jawa bagian barat), gempa bumi berkekuatan 7 SR sering terjadi dan gempa bumi berkekuatan 5-6 SR umum terjadi (Jawa bagian selatan). Gempa bumi berpotensi merusak Pulau Jawa umumnya berkekuatan > 5,6 SR dan merupakan gempa bumi lajur tunjaman selatan Jawa yang berkedalaman dangkal < 30 km. Jarak sumber, kekuatan gempa bumi, kondisi geologi setempat serta kepadatan penduduk dan infrastruktur sangat menentukan indeks kebencanaan dan risiko di Pulau Jawa. Guna mewaspadai bahaya gempa bumi yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, penilaian risiko bahaya gempa bumi yang berbasiskan makrozonasi dan mikrozonasi kerentanan bencana dan risiko gempa bumi merupakan hal utama dan mendasar yang diperlukan di berbagai wilayah tingkat provinsi, kabupaten maupun kota yang terkait. Kata kunci: Seismotektonik, seismogenetik, makro dan mikro zonasi, potensi bencana dan risiko Abstract A seismogenetic study shows the Jawa Island Arc and its subduction zone system belong to a highly active seismotectonic arc unit (west Jawa and Sumatera) and an active seismotectonic arc unit (western part of West Jawa – Central Jawa – East Jawa). In general, these regions are part of the Indonesian Earthquake Hazard Zones No. VI, VII, VII and IX. The regions are characterized by the presence of rare earthquake of magnitude > 8.5 Richter Scale (western part of Java), frequent magnitude of 7 Richter Scale and common 5-6 Richter Scale (Southern part of Java). The potential hazardous earthquake in Jawa that is > 5,6 Richter Scale of magnitude and shallow depth (< 30 km) is due to a subduction zone earthquake. Epicenter distance, magnitude, geological site conditions, population, and infrastructure are the index of earthquake hazard and risk in these regions. The earthquake hazard mitigation programme in the near future is a risk assesment based on macro and microzonation of earthquake hazard and risk. These macrozonation and microzonation assessments are essentially needed for provinces, districts, and cities.
Uploads
Papers by Purwo Ko
Books by Purwo Ko
Drafts by Purwo Ko