In this article, I propose a collaborative preaching model for healing collective trauma. It begi... more In this article, I propose a collaborative preaching model for healing collective trauma. It begins with the preaching context of a society in the grip of collective trauma after a traumatic event. Taking the May 1998 tragedy in Jakarta, Indonesia, as a case study and employing descriptive, historical, and analytical methods, this study argues that the Church is called to respond to collective trauma in its ministries as part of God’s mission. The research focuses specifically on the ministry of preaching and explores theories of trauma-aware preaching to affirm that preaching can indeed be a medium for healing collective trauma. I then present a collaborative preaching model for collective trauma healing by integrating a conversational preaching approach with the local Indonesian traditions of gotong-royong and musyawarah-mufakat.
Asian and Asian American Women in Theology and Religion, 2020
This chapter presents three letters by three Asian women scholars—Vietnamese, Indonesian, and Kor... more This chapter presents three letters by three Asian women scholars—Vietnamese, Indonesian, and Korean—written to the intellectual and spiritual “sisters-mothers-aunties” who have influenced, empowered, motivated, and challenged how they live, move, and have being as academics, educators, ministers, and “artivists” in Asian transpacific America. Juxtaposed against the decisive print typically found in academic prose, each metaphoric cursive in these correspondences reveal the vitalities and vulnerabilities of identity and vocation, of belonging and estrangement, of timid wonderment and brazen path-blazing, of grateful remembrances and outrageous future-projections, as each letter-writer picks up her pen, closes her eyes, and dreams of peaceable worlds in which they can flourish.
This chapter presents three letters by three Asian women scholars—Vietnamese, Indonesian, and Kor... more This chapter presents three letters by three Asian women scholars—Vietnamese, Indonesian, and Korean—written to the intellectual and spiritual “sisters-mothers-aunties” who have influenced, empowered, motivated, and challenged how they live, move, and have being as academics, educators, ministers, and “artivists” in Asian transpacific America. Juxtaposed against the decisive print typically found in academic prose, each metaphoric cursive in these correspondences reveal the vitalities and vulnerabilities of identity and vocation, of belonging and estrangement, of timid wonderment and brazen path-blazing, of grateful remembrances and outrageous future-projections, as each letter-writer picks up her pen, closes her eyes, and dreams of peaceable worlds in which they can flourish.
Banyak manusia mendambakan hidup bahagia. Hanya saja hal-hal yang membuatnya bahagia berbeda satu... more Banyak manusia mendambakan hidup bahagia. Hanya saja hal-hal yang membuatnya bahagia berbeda satu sama lain. Ada yang bahagia dengan keluarganya. Ada pula yang bahagia ketika dia memiliki karier yang gemilang. Ada pula yang bahagia dengan prestasi, bahkan popularitas dirinya di depan manusia lainnya. 2 Unsu adalah seorang pemuda yang memiliki nilai kebahagiaan ketika dia bisa berbagi kebahagiaan kepada sesamanya. Dia bukan pemuda popular dengan kekayaan yang dimilikinya. Atau dengan puncak kariernya yang luar biasa. Dia hanya pemuda biasa yang punya kebiasaan berjalan kaki sepulang kantor menuju rumahnya. Dalam perjalanannya, dia menemukan berbagai kebahagiaan dengan segala tindakan positif yang dia kerjakan. Pertanyaannya apakah sumber kebahagiaan hidupnya? Apakah kebahagiaannya ini berkaitan dengan apa yang dia yakini dan nilai hidupnya? Bagaimana dengan kita? Nilai Hidup dalam Dunia Masa Kini Globalisasi, menurut Thomas L. Friedman, menghasilkan dunia yang 'datar' sehingga memunculkan dunia yang serba terhubung, cepat dan terbuka. Batas-batas, bukan hanya teroterial namun juga kebenaran, menjadi kabur. Dunia yang 'datar' ini pula menghasilkan budaya yang memberikan perhatian besar pada diri sendiri, nafsu memuaskan keinginan dirinya serta kesuksesan yang instan. Keterbukaan yang tak terkendali menyebabkan manusia bebas melakukan apapun yang diinginkannya selama dia mampu mengendalikan sesamanya. Manusia berupaya untuk tetap eksis selama dia mampu memenuhi kebutuhan orang-orang dalam komunitasnya. Oleh karena itu Joas Adiprasetya mengatakan bahwa hidup manusia dalam konteks masa kini ditentukan oleh tiga hal: I'm what I do; I'm what I have; I'm what people say about me. Pada bagian pertama, manusia masa kini berlomba untuk menjadi yang terbaik dengan apa yang dikerjakannya. Secara positif, kita dapat memandang situasi ini sebagai rasa percaya diri atas kemampuan yang Tuhan anugerahkan. Sayangnya nilai positif ini berubah menjadi upaya 'memamerkan' kemampuan diri, upaya bersaing menjadi yang terbaik dengan menghalalkan berbagai cara. Begitu pula ketika orang memberi penilaian dan perhargaan setingginya kepada apa yang mereka miliki. Orang dihargai karena banyaknya harta benda dan mewahnya barang-barang yang dimilikinya. Bahkan orang yang memiliki banyak harta mampu 'membeli' dan bebas menindas sesamanya. Hal ketiga yang tidak kalah pentingnya pada manusia masa kini adalah pendapat orang lain terhadap dirinya. Manusia bertindak berdasarkan apa yang orang lain katakan, apa yang orang lain inginkan dan nilai dari dirinya. Dia rela mengubah dirinya menjadi 'yang lain' agar dia dinilai baik, saleh, dan bahagia
In this article, I propose a collaborative preaching model for healing collective trauma. It begi... more In this article, I propose a collaborative preaching model for healing collective trauma. It begins with the preaching context of a society in the grip of collective trauma after a traumatic event. Taking the May 1998 tragedy in Jakarta, Indonesia, as a case study and employing descriptive, historical, and analytical methods, this study argues that the Church is called to respond to collective trauma in its ministries as part of God’s mission. The research focuses specifically on the ministry of preaching and explores theories of trauma-aware preaching to affirm that preaching can indeed be a medium for healing collective trauma. I then present a collaborative preaching model for collective trauma healing by integrating a conversational preaching approach with the local Indonesian traditions of gotong-royong and musyawarah-mufakat.
Asian and Asian American Women in Theology and Religion, 2020
This chapter presents three letters by three Asian women scholars—Vietnamese, Indonesian, and Kor... more This chapter presents three letters by three Asian women scholars—Vietnamese, Indonesian, and Korean—written to the intellectual and spiritual “sisters-mothers-aunties” who have influenced, empowered, motivated, and challenged how they live, move, and have being as academics, educators, ministers, and “artivists” in Asian transpacific America. Juxtaposed against the decisive print typically found in academic prose, each metaphoric cursive in these correspondences reveal the vitalities and vulnerabilities of identity and vocation, of belonging and estrangement, of timid wonderment and brazen path-blazing, of grateful remembrances and outrageous future-projections, as each letter-writer picks up her pen, closes her eyes, and dreams of peaceable worlds in which they can flourish.
This chapter presents three letters by three Asian women scholars—Vietnamese, Indonesian, and Kor... more This chapter presents three letters by three Asian women scholars—Vietnamese, Indonesian, and Korean—written to the intellectual and spiritual “sisters-mothers-aunties” who have influenced, empowered, motivated, and challenged how they live, move, and have being as academics, educators, ministers, and “artivists” in Asian transpacific America. Juxtaposed against the decisive print typically found in academic prose, each metaphoric cursive in these correspondences reveal the vitalities and vulnerabilities of identity and vocation, of belonging and estrangement, of timid wonderment and brazen path-blazing, of grateful remembrances and outrageous future-projections, as each letter-writer picks up her pen, closes her eyes, and dreams of peaceable worlds in which they can flourish.
Banyak manusia mendambakan hidup bahagia. Hanya saja hal-hal yang membuatnya bahagia berbeda satu... more Banyak manusia mendambakan hidup bahagia. Hanya saja hal-hal yang membuatnya bahagia berbeda satu sama lain. Ada yang bahagia dengan keluarganya. Ada pula yang bahagia ketika dia memiliki karier yang gemilang. Ada pula yang bahagia dengan prestasi, bahkan popularitas dirinya di depan manusia lainnya. 2 Unsu adalah seorang pemuda yang memiliki nilai kebahagiaan ketika dia bisa berbagi kebahagiaan kepada sesamanya. Dia bukan pemuda popular dengan kekayaan yang dimilikinya. Atau dengan puncak kariernya yang luar biasa. Dia hanya pemuda biasa yang punya kebiasaan berjalan kaki sepulang kantor menuju rumahnya. Dalam perjalanannya, dia menemukan berbagai kebahagiaan dengan segala tindakan positif yang dia kerjakan. Pertanyaannya apakah sumber kebahagiaan hidupnya? Apakah kebahagiaannya ini berkaitan dengan apa yang dia yakini dan nilai hidupnya? Bagaimana dengan kita? Nilai Hidup dalam Dunia Masa Kini Globalisasi, menurut Thomas L. Friedman, menghasilkan dunia yang 'datar' sehingga memunculkan dunia yang serba terhubung, cepat dan terbuka. Batas-batas, bukan hanya teroterial namun juga kebenaran, menjadi kabur. Dunia yang 'datar' ini pula menghasilkan budaya yang memberikan perhatian besar pada diri sendiri, nafsu memuaskan keinginan dirinya serta kesuksesan yang instan. Keterbukaan yang tak terkendali menyebabkan manusia bebas melakukan apapun yang diinginkannya selama dia mampu mengendalikan sesamanya. Manusia berupaya untuk tetap eksis selama dia mampu memenuhi kebutuhan orang-orang dalam komunitasnya. Oleh karena itu Joas Adiprasetya mengatakan bahwa hidup manusia dalam konteks masa kini ditentukan oleh tiga hal: I'm what I do; I'm what I have; I'm what people say about me. Pada bagian pertama, manusia masa kini berlomba untuk menjadi yang terbaik dengan apa yang dikerjakannya. Secara positif, kita dapat memandang situasi ini sebagai rasa percaya diri atas kemampuan yang Tuhan anugerahkan. Sayangnya nilai positif ini berubah menjadi upaya 'memamerkan' kemampuan diri, upaya bersaing menjadi yang terbaik dengan menghalalkan berbagai cara. Begitu pula ketika orang memberi penilaian dan perhargaan setingginya kepada apa yang mereka miliki. Orang dihargai karena banyaknya harta benda dan mewahnya barang-barang yang dimilikinya. Bahkan orang yang memiliki banyak harta mampu 'membeli' dan bebas menindas sesamanya. Hal ketiga yang tidak kalah pentingnya pada manusia masa kini adalah pendapat orang lain terhadap dirinya. Manusia bertindak berdasarkan apa yang orang lain katakan, apa yang orang lain inginkan dan nilai dari dirinya. Dia rela mengubah dirinya menjadi 'yang lain' agar dia dinilai baik, saleh, dan bahagia
Uploads