Tahun 2004 menjadi titik balik Aceh berbenah dan bangkit dari keterpurukan. Sebagai daerah kaya p... more Tahun 2004 menjadi titik balik Aceh berbenah dan bangkit dari keterpurukan. Sebagai daerah kaya potensi alam dan warisan sejarah dan budaya masa lampau, Aceh bergulir dalam beragam cuaca politik dan kebijakan, mulai dari periode kesultanan, kolonial, hingga kemerdekaan Indonesia. Pergolakan dan peperangan panjang juga menghiasi tiga periode tersebut di Aceh, baik pertikaian internal, perang saudara, maupun konflik vertikal dan horizontal. Akibatnya, cagar budaya dan kearifan masyarakat terkubur oleh bencana kemanusia tersebut, terlebih “kekayaan alam dan kearifan” musnah saat bencana alam terbesar terjadi di abad ke-21. Dampak dari bencana alam dan kemanusiaan di Aceh hampir pada seluruh aspek, fisik dan non-fisik, “infrastruktur keras” ataupun “lunak” yang melumpuhkan sistem edukasi, pengetahuan/informasi masyarakat, sosial keagamaan, ekonomi, politik dan lainnya. Kedua bencana tersebut jutaan data manuskrip, dan dokumen-dokumen penting lainnya di koleksi masyarakat dan pemerintahan. Putusnya informasi dan warisan sebelumnya merupakan bencana bagi generasi selanjutnya terhadap nilai sejarah dan kearifan masyarakat sebelumnya. Pasca 2004, geliat inventarisasi naskah di Aceh semakin berkembang, termasuk di dalamnya penyusunan katalog manual dan online, sehingga jumlah naskah mencapai lebih dari 4000 manuskrip di Aceh.
Aceh dan Fathani (Pattani) memiliki hubungan sejarah yang panjang dan dinamis. Keduanya memiliki ... more Aceh dan Fathani (Pattani) memiliki hubungan sejarah yang panjang dan dinamis. Keduanya memiliki persamaan dan kekhassan, terutama dalam bidang keagamaan dan spiritualitas. Antara Aceh dan Fathani memiliki kesamaan visi untuk memajukan intelektual masyarakat Melayu, tanpa menghiraukan identitas dirinya. Dan juga memperjuangkan agama dalam bidang keilmuan dan intelektual. Kesamaan visi ini terhubung oleh jaringan ulama antar keduanya saat berada di perantauan, khususnya di Haramain. Kesamaan visi dan misi itulah yang jelas terwujud pada abad ke-18 dan 19 Masehi, sehingga antara ulama Aceh dan Fathani memiliki tiga karakateristik yang sama pada era tersebut; pertama membentuk keilmuan yang kredibel dengan tashih dan tahqiq kitab, kedua menjalin hubungan tarekat antar Melayu-Nusantara, dan terakhir memajukan bahasa sastra Aceh dan Melayu.
The 2004 Indian Ocean earthquake is an undersea megathrust earthquake that occurred, with an epic... more The 2004 Indian Ocean earthquake is an undersea megathrust earthquake that occurred, with an epicentre off the west coast of Aceh, Sumatra, Indonesia. The quake itself is known by the scientific community as the Sumatra-Andaman earthquake, which are invariably associated with megathrust events in subduction zones, have seismic moments that can account for a significant fraction of the global earthquake moment across century-scale time periods. The sudden vertical rise of the seabed by several metres during the earthquake displaced massive volumes of water, resulting in a tsunami that struck the coasts of the Indian Ocean. Especially in the Aceh, at 2004 earthquake and tsunami is the deadliest in recorded history. Prior to 2004, the deadliest recorded tsunami in the Bengkulu and Simeulu-Aceh Ocean was in November 1833 (Rajab 1249 H) and in Mentawai-Padang was in 1797 (1211 H). In the Ta’bir Gempa manuscripts wrote the effect of earthquakes focus on the potential of local wisdom to improve disaster risk reduction policies and early warning systems.
Sultan Aceh ‘Alauddin Muhammad Syah (1206 H/ 1791 M) harus bekerja keras dalam penanganan krisis ... more Sultan Aceh ‘Alauddin Muhammad Syah (1206 H/ 1791 M) harus bekerja keras dalam penanganan krisis pangan, khususnya sektor pertanian (padi). Pada periodenya tersebut telah terjadi hama tikus yang menyerang pertanian Aceh secara besar-besaran dalam kurun waktu yang cukup panjang. Negeri Peusangan (kini kabupaten Bireuen) yang dinobatkan sebagai wilayah penghasil komoditi beras terbesar periode tersebut menjadi lokus utama. Hingga saat ini, kabupaten Bireuen manjadi lahan paling potensial penghasil komoditas beras di Aceh, baik dengan cara penanaman satu kali atau dua kali dalam setahun. Surat sultan (sarakata) dari Banda Aceh menitahkan kepada hulubalang penduduk di wilayah Peusangan, Monklayu, Tanoh Mirah, Peudada, dan sekitarnya untuk dapat menghibahkan tanah perbukitan kepada Teungku Sayyid Abdurrahman ibn al-‘Alawi sebagai lahan karantina tikus. Sebab, dalam ideologi filosofi sufi, setiap binatang ciptaan Tuhan tidak boleh dibunuh dan dijaga kelestariannya. Tehnik dan tatacara karantina tikus di lahan atau perbukitan tersebut warisan kakeknya, Ahmad Habsyi, seorang tokoh terkemuka berasal dari semenanjung Arab. Dari sisi biologis, pemusnahan satu kelompok hama akan memutuskan mata rantai makanan yang mengakibatkan hama lain berkembang biak. Atas surat keputusan (sarakata) Sultan untuk mengkarantina tikus di daerah pesisir pantai timur dengan metode khusus. Ahmad Habsyi dan cucunya Teungku Sayyid Abdurrahman ibn al-‘Alawi telah menciptakan stabilitas perekonomian pangan. Dalam naskah-naskah klasik Aceh pun diperoleh teks-teks, baik dalam bentuk do’a ataupun simbol sebagai penangkal hama dan sekaligus untuk menjaga stabilitas pangan dan pengolahan makanan tersebut
Tis article discusses the development of Syattariyah Sfi order as
one of religious traditions in ... more Tis article discusses the development of Syattariyah Sfi order as one of religious traditions in Aceh in the colonial era based on the manuscript of Muhammad Khatib Langien’s Mi‘rāj al-Sālikīn ilá Martabat al-Wāsilīn bi-Jāh Sayyid al-Mursalīn. The Syattariyah teachings in Mi‘rāj al-Sālikīn have proved the existence of Muhammad Khatib Langien in the Malayarchipelago world. In applying his teachings, Muhammad Khatib Langien has the different procedures than that one of ‘Abd al-Raūf al-Fansuri. In addition to practical teachings, Muhammad Khatib Langien employs local symbols such as wearing skullcaps and turbans in the swear oath (bay‘ah) process. Tis tradition is meant to respond the foreign culture as well as to show the identity of each members of Syattariyah su order. It is proved that Muhammad Khatib Langien’s teachings that can be accepted by all people and groups even without having support from the local authorities at the time
Tulisan ini bertujuan memetakan aliran sesat di Aceh secara tekstual dan kontekstual sesuai perio... more Tulisan ini bertujuan memetakan aliran sesat di Aceh secara tekstual dan kontekstual sesuai periodisasi paham keagamaan yang berkembang melalui karya Nuruddin Ar-aniry yang berjudul Tibyan fi Ma„rifat al-Adyan (TMA). Naskah ini ditulis pada periode Sultanah Safiyatuddin Tajul Alam (1641-1675 M) sebagai penguatan fatwa persekusinya terhadap kelompok paham Wahdatul Wujud pada periode Iskandar Tsani (w.1641). Paham ini terus mendapat sorotan dan pembahasan pasca masa Kesultanan baik pada periode kolonial maupun periode kemerdekaan, sebab persoalan konteks mistiko-sufistik ketuhanan dan konsepsi alambegitu sensitif di Aceh,sehingga memiliki kesamaan kasus dan penanganannya antara periode masa lampau dengan sekarang, sebagaimana Nuruddin Ar-Raniry membuat cluster (kelompok) sesuai tipologi periode dan identitasnya, yang masing-masing berdampak pada sosio-agama dan pemerintahan.
Negeri yang sedang kita duduki ini memiliki ruh dan nilai sejarah yang cukup kental. Ruh tersebu... more Negeri yang sedang kita duduki ini memiliki ruh dan nilai sejarah yang cukup kental. Ruh tersebut tercermin dari semangat keagamaan dan sejarah-budaya yang terus dilestarikan, semangat yang terus dipertahankan dari berbagai hambatan yang ada. Walaupun sebagian orang menyebut bahwa Aceh, khususnya Banda Aceh telah menanggalkan sejarahnya, mengabaikan warisan leluhur. Namun, jiwa dan semangat tersebut masih kental dalam diri setiap generasi Aceh, walaupun tidak ada jaminan akan keberlanjutannya. Karenanya, tidak ada alasan bagi setiap warga Aceh-khususnya Banda Aceh-untuk tidak belajar sejarah, dan atau tahu tentang sejarahnya, sebab sejarah adalah identitas. Tanpa tanda-tanda di masa lalu, identitas kita sebagai orang Aceh di masa sekarang tidaklah utuh. Hari lahir, peristiwa dan tempat penting sudah menjadi unsur dasar identitas yang terus dibawa ke mana saja. Misalnya, penggunaan sebutan Malahayati pada kapal angkatan Laut Indonesia menautkan semangat Laksamana Malahayati dalam menjaga dan mengamankan laut, ataupun penggunaan Syiah Kuala, Ar-Raniry, dan Pante Kulu di nama lembaga pendidikan, adalah mengisyaratkan identitas dunia intelektual, berilmu dan berakal. Itu menunjukkan identitas kita yang selalu mengikat kepada pendahulunya, dan keberadaannya memiliki akar kuat di masa silam. Jika demikian, dimensi sejarah tidak hanya tentang masa lalu, tetapi juga mencakup sekarang dan hari esok (masa depan). Kondisi yang kita alami sekarang adalah hasil investasi dan manifestasi dari perbuatan para pendahulu, dan apapun yang kita perbuat saat ini akan menjadi sejarah bagi generasi mendatang.
Tahun 2004 menjadi titik balik Aceh berbenah dan bangkit dari keterpurukan. Sebagai daerah kaya p... more Tahun 2004 menjadi titik balik Aceh berbenah dan bangkit dari keterpurukan. Sebagai daerah kaya potensi alam dan warisan sejarah dan budaya masa lampau, Aceh bergulir dalam beragam cuaca politik dan kebijakan, mulai dari periode kesultanan, kolonial, hingga kemerdekaan Indonesia. Pergolakan dan peperangan panjang juga menghiasi tiga periode tersebut di Aceh, baik pertikaian internal, perang saudara, maupun konflik vertikal dan horizontal. Akibatnya, cagar budaya dan kearifan masyarakat terkubur oleh bencana kemanusia tersebut, terlebih “kekayaan alam dan kearifan” musnah saat bencana alam terbesar terjadi di abad ke-21. Dampak dari bencana alam dan kemanusiaan di Aceh hampir pada seluruh aspek, fisik dan non-fisik, “infrastruktur keras” ataupun “lunak” yang melumpuhkan sistem edukasi, pengetahuan/informasi masyarakat, sosial keagamaan, ekonomi, politik dan lainnya. Kedua bencana tersebut jutaan data manuskrip, dan dokumen-dokumen penting lainnya di koleksi masyarakat dan pemerintahan. Putusnya informasi dan warisan sebelumnya merupakan bencana bagi generasi selanjutnya terhadap nilai sejarah dan kearifan masyarakat sebelumnya. Pasca 2004, geliat inventarisasi naskah di Aceh semakin berkembang, termasuk di dalamnya penyusunan katalog manual dan online, sehingga jumlah naskah mencapai lebih dari 4000 manuskrip di Aceh.
Aceh dan Fathani (Pattani) memiliki hubungan sejarah yang panjang dan dinamis. Keduanya memiliki ... more Aceh dan Fathani (Pattani) memiliki hubungan sejarah yang panjang dan dinamis. Keduanya memiliki persamaan dan kekhassan, terutama dalam bidang keagamaan dan spiritualitas. Antara Aceh dan Fathani memiliki kesamaan visi untuk memajukan intelektual masyarakat Melayu, tanpa menghiraukan identitas dirinya. Dan juga memperjuangkan agama dalam bidang keilmuan dan intelektual. Kesamaan visi ini terhubung oleh jaringan ulama antar keduanya saat berada di perantauan, khususnya di Haramain. Kesamaan visi dan misi itulah yang jelas terwujud pada abad ke-18 dan 19 Masehi, sehingga antara ulama Aceh dan Fathani memiliki tiga karakateristik yang sama pada era tersebut; pertama membentuk keilmuan yang kredibel dengan tashih dan tahqiq kitab, kedua menjalin hubungan tarekat antar Melayu-Nusantara, dan terakhir memajukan bahasa sastra Aceh dan Melayu.
The 2004 Indian Ocean earthquake is an undersea megathrust earthquake that occurred, with an epic... more The 2004 Indian Ocean earthquake is an undersea megathrust earthquake that occurred, with an epicentre off the west coast of Aceh, Sumatra, Indonesia. The quake itself is known by the scientific community as the Sumatra-Andaman earthquake, which are invariably associated with megathrust events in subduction zones, have seismic moments that can account for a significant fraction of the global earthquake moment across century-scale time periods. The sudden vertical rise of the seabed by several metres during the earthquake displaced massive volumes of water, resulting in a tsunami that struck the coasts of the Indian Ocean. Especially in the Aceh, at 2004 earthquake and tsunami is the deadliest in recorded history. Prior to 2004, the deadliest recorded tsunami in the Bengkulu and Simeulu-Aceh Ocean was in November 1833 (Rajab 1249 H) and in Mentawai-Padang was in 1797 (1211 H). In the Ta’bir Gempa manuscripts wrote the effect of earthquakes focus on the potential of local wisdom to improve disaster risk reduction policies and early warning systems.
Sultan Aceh ‘Alauddin Muhammad Syah (1206 H/ 1791 M) harus bekerja keras dalam penanganan krisis ... more Sultan Aceh ‘Alauddin Muhammad Syah (1206 H/ 1791 M) harus bekerja keras dalam penanganan krisis pangan, khususnya sektor pertanian (padi). Pada periodenya tersebut telah terjadi hama tikus yang menyerang pertanian Aceh secara besar-besaran dalam kurun waktu yang cukup panjang. Negeri Peusangan (kini kabupaten Bireuen) yang dinobatkan sebagai wilayah penghasil komoditi beras terbesar periode tersebut menjadi lokus utama. Hingga saat ini, kabupaten Bireuen manjadi lahan paling potensial penghasil komoditas beras di Aceh, baik dengan cara penanaman satu kali atau dua kali dalam setahun. Surat sultan (sarakata) dari Banda Aceh menitahkan kepada hulubalang penduduk di wilayah Peusangan, Monklayu, Tanoh Mirah, Peudada, dan sekitarnya untuk dapat menghibahkan tanah perbukitan kepada Teungku Sayyid Abdurrahman ibn al-‘Alawi sebagai lahan karantina tikus. Sebab, dalam ideologi filosofi sufi, setiap binatang ciptaan Tuhan tidak boleh dibunuh dan dijaga kelestariannya. Tehnik dan tatacara karantina tikus di lahan atau perbukitan tersebut warisan kakeknya, Ahmad Habsyi, seorang tokoh terkemuka berasal dari semenanjung Arab. Dari sisi biologis, pemusnahan satu kelompok hama akan memutuskan mata rantai makanan yang mengakibatkan hama lain berkembang biak. Atas surat keputusan (sarakata) Sultan untuk mengkarantina tikus di daerah pesisir pantai timur dengan metode khusus. Ahmad Habsyi dan cucunya Teungku Sayyid Abdurrahman ibn al-‘Alawi telah menciptakan stabilitas perekonomian pangan. Dalam naskah-naskah klasik Aceh pun diperoleh teks-teks, baik dalam bentuk do’a ataupun simbol sebagai penangkal hama dan sekaligus untuk menjaga stabilitas pangan dan pengolahan makanan tersebut
Tis article discusses the development of Syattariyah Sfi order as
one of religious traditions in ... more Tis article discusses the development of Syattariyah Sfi order as one of religious traditions in Aceh in the colonial era based on the manuscript of Muhammad Khatib Langien’s Mi‘rāj al-Sālikīn ilá Martabat al-Wāsilīn bi-Jāh Sayyid al-Mursalīn. The Syattariyah teachings in Mi‘rāj al-Sālikīn have proved the existence of Muhammad Khatib Langien in the Malayarchipelago world. In applying his teachings, Muhammad Khatib Langien has the different procedures than that one of ‘Abd al-Raūf al-Fansuri. In addition to practical teachings, Muhammad Khatib Langien employs local symbols such as wearing skullcaps and turbans in the swear oath (bay‘ah) process. Tis tradition is meant to respond the foreign culture as well as to show the identity of each members of Syattariyah su order. It is proved that Muhammad Khatib Langien’s teachings that can be accepted by all people and groups even without having support from the local authorities at the time
Tulisan ini bertujuan memetakan aliran sesat di Aceh secara tekstual dan kontekstual sesuai perio... more Tulisan ini bertujuan memetakan aliran sesat di Aceh secara tekstual dan kontekstual sesuai periodisasi paham keagamaan yang berkembang melalui karya Nuruddin Ar-aniry yang berjudul Tibyan fi Ma„rifat al-Adyan (TMA). Naskah ini ditulis pada periode Sultanah Safiyatuddin Tajul Alam (1641-1675 M) sebagai penguatan fatwa persekusinya terhadap kelompok paham Wahdatul Wujud pada periode Iskandar Tsani (w.1641). Paham ini terus mendapat sorotan dan pembahasan pasca masa Kesultanan baik pada periode kolonial maupun periode kemerdekaan, sebab persoalan konteks mistiko-sufistik ketuhanan dan konsepsi alambegitu sensitif di Aceh,sehingga memiliki kesamaan kasus dan penanganannya antara periode masa lampau dengan sekarang, sebagaimana Nuruddin Ar-Raniry membuat cluster (kelompok) sesuai tipologi periode dan identitasnya, yang masing-masing berdampak pada sosio-agama dan pemerintahan.
Negeri yang sedang kita duduki ini memiliki ruh dan nilai sejarah yang cukup kental. Ruh tersebu... more Negeri yang sedang kita duduki ini memiliki ruh dan nilai sejarah yang cukup kental. Ruh tersebut tercermin dari semangat keagamaan dan sejarah-budaya yang terus dilestarikan, semangat yang terus dipertahankan dari berbagai hambatan yang ada. Walaupun sebagian orang menyebut bahwa Aceh, khususnya Banda Aceh telah menanggalkan sejarahnya, mengabaikan warisan leluhur. Namun, jiwa dan semangat tersebut masih kental dalam diri setiap generasi Aceh, walaupun tidak ada jaminan akan keberlanjutannya. Karenanya, tidak ada alasan bagi setiap warga Aceh-khususnya Banda Aceh-untuk tidak belajar sejarah, dan atau tahu tentang sejarahnya, sebab sejarah adalah identitas. Tanpa tanda-tanda di masa lalu, identitas kita sebagai orang Aceh di masa sekarang tidaklah utuh. Hari lahir, peristiwa dan tempat penting sudah menjadi unsur dasar identitas yang terus dibawa ke mana saja. Misalnya, penggunaan sebutan Malahayati pada kapal angkatan Laut Indonesia menautkan semangat Laksamana Malahayati dalam menjaga dan mengamankan laut, ataupun penggunaan Syiah Kuala, Ar-Raniry, dan Pante Kulu di nama lembaga pendidikan, adalah mengisyaratkan identitas dunia intelektual, berilmu dan berakal. Itu menunjukkan identitas kita yang selalu mengikat kepada pendahulunya, dan keberadaannya memiliki akar kuat di masa silam. Jika demikian, dimensi sejarah tidak hanya tentang masa lalu, tetapi juga mencakup sekarang dan hari esok (masa depan). Kondisi yang kita alami sekarang adalah hasil investasi dan manifestasi dari perbuatan para pendahulu, dan apapun yang kita perbuat saat ini akan menjadi sejarah bagi generasi mendatang.
Uploads
Papers by Herman syah
Dampak dari bencana alam dan kemanusiaan di Aceh hampir pada seluruh aspek, fisik dan non-fisik, “infrastruktur keras” ataupun “lunak” yang melumpuhkan sistem edukasi, pengetahuan/informasi masyarakat, sosial keagamaan, ekonomi, politik dan lainnya. Kedua bencana tersebut jutaan data manuskrip, dan dokumen-dokumen penting lainnya di koleksi masyarakat dan pemerintahan. Putusnya informasi dan warisan sebelumnya merupakan bencana bagi generasi selanjutnya terhadap nilai sejarah dan kearifan masyarakat sebelumnya.
Pasca 2004, geliat inventarisasi naskah di Aceh semakin berkembang, termasuk di dalamnya penyusunan katalog manual dan online, sehingga jumlah naskah mencapai lebih dari 4000 manuskrip di Aceh.
Surat sultan (sarakata) dari Banda Aceh menitahkan kepada hulubalang penduduk di wilayah Peusangan, Monklayu, Tanoh Mirah, Peudada, dan sekitarnya untuk dapat menghibahkan tanah perbukitan kepada Teungku Sayyid Abdurrahman ibn al-‘Alawi sebagai lahan karantina tikus. Sebab, dalam ideologi filosofi sufi, setiap binatang ciptaan Tuhan tidak boleh dibunuh dan dijaga kelestariannya. Tehnik dan tatacara karantina tikus di lahan atau perbukitan tersebut warisan kakeknya, Ahmad Habsyi, seorang tokoh terkemuka berasal dari semenanjung Arab. Dari sisi biologis, pemusnahan satu kelompok hama akan memutuskan mata rantai makanan yang mengakibatkan hama lain berkembang biak.
Atas surat keputusan (sarakata) Sultan untuk mengkarantina tikus di daerah pesisir pantai timur dengan metode khusus. Ahmad Habsyi dan cucunya Teungku Sayyid Abdurrahman ibn al-‘Alawi telah menciptakan stabilitas perekonomian pangan. Dalam naskah-naskah klasik Aceh pun diperoleh teks-teks, baik dalam bentuk do’a ataupun simbol sebagai penangkal hama dan sekaligus untuk menjaga stabilitas pangan dan pengolahan makanan tersebut
one of religious traditions in Aceh in the colonial era based on the manuscript of Muhammad Khatib Langien’s Mi‘rāj al-Sālikīn ilá Martabat al-Wāsilīn bi-Jāh Sayyid al-Mursalīn. The Syattariyah teachings in Mi‘rāj al-Sālikīn have proved the existence of Muhammad Khatib Langien in the Malayarchipelago world. In applying his teachings, Muhammad Khatib Langien has the different procedures than that one of ‘Abd al-Raūf al-Fansuri. In addition to practical teachings, Muhammad Khatib Langien employs local symbols such as wearing skullcaps and turbans in the swear oath (bay‘ah) process. Tis tradition is meant to respond the foreign culture as well as to show the identity of each members of Syattariyah su order. It is proved that Muhammad Khatib Langien’s teachings that can be accepted by all people and groups even without having support from the local authorities at the time
Conference Presentations by Herman syah
Dampak dari bencana alam dan kemanusiaan di Aceh hampir pada seluruh aspek, fisik dan non-fisik, “infrastruktur keras” ataupun “lunak” yang melumpuhkan sistem edukasi, pengetahuan/informasi masyarakat, sosial keagamaan, ekonomi, politik dan lainnya. Kedua bencana tersebut jutaan data manuskrip, dan dokumen-dokumen penting lainnya di koleksi masyarakat dan pemerintahan. Putusnya informasi dan warisan sebelumnya merupakan bencana bagi generasi selanjutnya terhadap nilai sejarah dan kearifan masyarakat sebelumnya.
Pasca 2004, geliat inventarisasi naskah di Aceh semakin berkembang, termasuk di dalamnya penyusunan katalog manual dan online, sehingga jumlah naskah mencapai lebih dari 4000 manuskrip di Aceh.
Surat sultan (sarakata) dari Banda Aceh menitahkan kepada hulubalang penduduk di wilayah Peusangan, Monklayu, Tanoh Mirah, Peudada, dan sekitarnya untuk dapat menghibahkan tanah perbukitan kepada Teungku Sayyid Abdurrahman ibn al-‘Alawi sebagai lahan karantina tikus. Sebab, dalam ideologi filosofi sufi, setiap binatang ciptaan Tuhan tidak boleh dibunuh dan dijaga kelestariannya. Tehnik dan tatacara karantina tikus di lahan atau perbukitan tersebut warisan kakeknya, Ahmad Habsyi, seorang tokoh terkemuka berasal dari semenanjung Arab. Dari sisi biologis, pemusnahan satu kelompok hama akan memutuskan mata rantai makanan yang mengakibatkan hama lain berkembang biak.
Atas surat keputusan (sarakata) Sultan untuk mengkarantina tikus di daerah pesisir pantai timur dengan metode khusus. Ahmad Habsyi dan cucunya Teungku Sayyid Abdurrahman ibn al-‘Alawi telah menciptakan stabilitas perekonomian pangan. Dalam naskah-naskah klasik Aceh pun diperoleh teks-teks, baik dalam bentuk do’a ataupun simbol sebagai penangkal hama dan sekaligus untuk menjaga stabilitas pangan dan pengolahan makanan tersebut
one of religious traditions in Aceh in the colonial era based on the manuscript of Muhammad Khatib Langien’s Mi‘rāj al-Sālikīn ilá Martabat al-Wāsilīn bi-Jāh Sayyid al-Mursalīn. The Syattariyah teachings in Mi‘rāj al-Sālikīn have proved the existence of Muhammad Khatib Langien in the Malayarchipelago world. In applying his teachings, Muhammad Khatib Langien has the different procedures than that one of ‘Abd al-Raūf al-Fansuri. In addition to practical teachings, Muhammad Khatib Langien employs local symbols such as wearing skullcaps and turbans in the swear oath (bay‘ah) process. Tis tradition is meant to respond the foreign culture as well as to show the identity of each members of Syattariyah su order. It is proved that Muhammad Khatib Langien’s teachings that can be accepted by all people and groups even without having support from the local authorities at the time