Abstrak " Everybody knows of the problems between a man and a woman, between a pianist and the mu... more Abstrak " Everybody knows of the problems between a man and a woman, between a pianist and the musician or singer who has to be accompanied. Most of you (…) will agree that a similar conflict exists between the archivist and the historian " (De Rooij, 1989: 49). Sejarawan Belanda Piet de Rooy menggunakan kutipan di atas dari seorang arsiparis, Van der Meiden, dalam sebuah artikel dimana ia secara terbuka mengungkapkan pengalamannya sebagai seorang sejarawan dalam penelitian yang menggunakan record. Dia menyampaikan hubungan cinta-benci antara arsiparis dengan sejarawan. Cinta mereka tentu saja tidak menjadi lebih besar pada masa lalau, bahkan dapat dikatakan bahwa kearsipan (atau ilmu kearsipan) dan sejarah saling terasing satu sama lain. Dalam artikel ini, saya ingin menyampaikan gagasan saya tentang hubungan ilmu kearsipan dengan sejarah. Secara kasar, saya akan membuat sketsa tentang bagaimana hubungan antara kedua disipilin, sebelum menyampaikan bahwa tidak satu pun dari mereka yang dapat bekerja tanpa peran yang lain, dan bahwa kearsipan dapat memberikankontribusi yang lebih baik dalam menggunakan informasi historis. Oleh karena kontribusi penting Belanda pada masa lalu (terutama pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20) dalam perkembangan ilmu kearsipan, oleh karenanya saya tidak segan untuk mengawalinya dalam perspektif Belanda. From munimenta to monumenta In order to understand the relationship which has grown between archivists and historians we have to go back to the early days of the modern society. I will start with an example in The Netherlands, my home country. Until 1795 the Netherlands were a decentralized country, with almost independent cities and provinces. This changed dramatically in 1795, when the French armies marched in. For the first time in history, the Netherlands became a unified, central state. The new constitution of 1798 had near enough demolished the old state building down to the last stone, and the administration, in the words of the Dutch historian H. Brugmans was decentralised " to an absurd degree " .(Brugmans, sa: 90-1). The old " archives and state papers " no longer had much meaning for the continuity of the administration. The old archives from before the turnaround then became a collection of historical sources in the first place. The munimenta, or the legal proofs of the old days, were downgraded to monumenta or memory aids as the first Dutch professor in archivistics J.L. van der Gouw, called them (Van der Gouw, 1980: 497-514). And they have retained that status since then. That downgrading formed at the same time, however, the starting point of a development which, a century later, was to lead to a professionalized and institutionalised scientific historic enterprise (Dorsman in Tollebeek, 2002: 159-76). The basic material for the scientific historical research was provided by the historical sources. In the eighteen twenties the German historian Leopold von Ranke gave a significant impulse to the professionalisation and scientisation of historical studies. He rejected every form of historiography which was not based on primary sources (Iggers, 1997: 24-35). The sources had to show " how it had really been " , as he wrote at the age of 29 in the foreword to his first book (Von Ranke, 1824). He wanted to observe the past from inside (Geyl, 1954: 12 and 14). And that was, in essence, what was new in the treatment of history. The narrative chronicle gave way to the reconstructed past on the basis of archival material (Iggers and Powell, 1990).
Wujud arsitektur sebagai bentuk suatu bangunan produk manusia, baik suatu kelompok maupun individ... more Wujud arsitektur sebagai bentuk suatu bangunan produk manusia, baik suatu kelompok maupun individu di dalam masyarakat, oleh karena itu, dinamika sosial budaya masyarakat akan mempengaruhi dinamika arsitektur tersebut. Arsitektur adalah lingkungan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dari alam yang dikuasainya untuk memungkinkan kedudukannya dan sikap hidupnya dalam suasana yang diinginkan dan dalam status yang diharapkan.1 Sedangkan Yuswaldi Salya mengatakan bahwa arsitektur tidak hanya dilihat dari aspek fisiknya saja, melainkan juga dilihat dari aspek non fisiknya juga.2 Pada dasarnya, kebudayaanlah yang membentuk suatu gaya arsitektur. Budaya tiap-tiap kelompok yang berbeda sesuai kebutuhan untuk bertahan hidup inilah yang membuat kebudayaan sekaligus gaya arsitektur ini menjadi berbeda-beda. Gaya arsitektur tiap-tiap kelompok tersebut dibuat secara disengaja, dimana banyak faktor yang membuat suatu bentuk arsitektur, semisal kepercayaan, kebutuhan, serta keadaan geografis suatu wilayah. Dengan adanya suatu migrasi atau perpindahan penduduk, secara tidak disengaja budaya yang berasal dari daerah asal masyarakat tersebut juga lambat laun akan berkembang ke daerah tujuan. Hal ini dikarenakan suatu sistem serta tata cara dalam menjalani hidup juga berpindah serta semua itu masih harus dipercayai oleh masyarakat terutama masyarakat tradisional karena mereka masih menganggap bahwa segala sesuatu yang dilakukan masih erat kaitannya dengan nilai-nilai religius, salah satunya dalam bidang arsitektur. Namun hal tersebut juga tidak menampik adanya pembawaan budaya seperti gaya arsitektur pada budaya-budaya yang modern seperti halnya budaya Eropa yang masuk ke Indonesia.
Surabaya yang memiliki luas sekitar 333, 063 kilometer persegi, merupakan salah satu kota metropo... more Surabaya yang memiliki luas sekitar 333, 063 kilometer persegi, merupakan salah satu kota metropolitan yang ada di Indonesia. Lewis Mumford mengatakan bahwa ciri kota metropolitan yaitu didalamnya sudah terkandung akumulasi penduduk yang besar serta adanya pengembangan jaringan perdagangan dengan luar daerah. Selain itu, ciri yang sangat menonjol adalah mulai banyaknya individualisme yang cenderung menghancurkan ikatan-ikatan sosial tanpa diikuti penciptaan tatanan baru seiring perkembangan teknologi yang diikuti disorganisasi sosial. Meskipun sekarang Kota Surabaya menjadi kota terbesar kedua setelah Jakarta, namun kemegahan ini tak luput dari peran kolonial yang ikut membangun serta kota ini. Surabaya yang oleh H.W.Dick dijuluki sebagai city of work atau " kota kerja " , pada abad ke-19, ketika Jawa menjadi pusat ekonomi perkebunan, Surabaya dengan pelabuhan alamnya telah tumbuh menjadi kota besar. Hal tersebut juga tak telepas dari pemerintah kolonial yang memberi perhatian lebih dan juga memiliki rencana jauh kedepan untuk kemajuan Kota Surabaya. Surabaya sebagai kota yang pernah sangat lama merasakan pengaruh Belanda, merupakan salah satu kota kolonial di Indonesia. Selanjutnya, ciri-ciri kota kolonial secara gambling dijelaskan oleh Mc. Gee. Menurut beliau, kota kolonial dicirikan sebagai berikut: 1) memiliki pemukiman yang sudah stabil, 2) Terdapat garnisun atau markas militer, 3) pemukiman pedagang yang merupakan tempat untuk dagang, 4) tempat penguasa-penguasa kolonial dapat menyelenggarakan perjanjian dagang dengan penguasa-penguasa pribumi, serta 5) mempunyai lokasi yang memungkinkan untuk jalur transportasi. Kelima unsur diatas terdapat pada struktur kota Surabaya. Sebelum kolonial bahkan, Surabaya sudah memiliki pemukiman yang stabil. Hal tersebut dikarenakan sudah adanya pemukiman-pemukiman yang tersusun dan sudah terkelompokkan. Misalnya adalah pemukiman orang-orang Arab di daerah Ampel. Para etnis Arab bermukim di daerah Ampel sejak Islam pertama muncul di daerah ini. Mereka membaur dengan budaya-budaya lokal orang-orang pribumi. Sementara itu, etnis Tionghoa yang ada di Surabaya juga mendirikan pemukiman mereka sendiri. Faktor kesamaan nasib serta kesmaan visi menjadikan mereka komunitas yang mampu bertahan hingga sekarang. Pemukiman penduduk kedua etnis tersebut tergolong stabil karena tempatnya sudah menetap dan sudah tidak berpindah-pindah
Sebagai salah satu negara yang berkembang, Indonesia ternyata tidak terlepas dari pengaruh barat,... more Sebagai salah satu negara yang berkembang, Indonesia ternyata tidak terlepas dari pengaruh barat, salah satunya adalah komik. Perkembangan komik di Indonesia se-populer novel ataupun cerpen yang sampai saat ini menjamur di kalangan kaum muda. Ironisnya, para penikmat komik di Indonesia terganjal oleh beton para komikus yang berasal dari luar
Abstrak " Everybody knows of the problems between a man and a woman, between a pianist and the mu... more Abstrak " Everybody knows of the problems between a man and a woman, between a pianist and the musician or singer who has to be accompanied. Most of you (…) will agree that a similar conflict exists between the archivist and the historian " (De Rooij, 1989: 49). Sejarawan Belanda Piet de Rooy menggunakan kutipan di atas dari seorang arsiparis, Van der Meiden, dalam sebuah artikel dimana ia secara terbuka mengungkapkan pengalamannya sebagai seorang sejarawan dalam penelitian yang menggunakan record. Dia menyampaikan hubungan cinta-benci antara arsiparis dengan sejarawan. Cinta mereka tentu saja tidak menjadi lebih besar pada masa lalau, bahkan dapat dikatakan bahwa kearsipan (atau ilmu kearsipan) dan sejarah saling terasing satu sama lain. Dalam artikel ini, saya ingin menyampaikan gagasan saya tentang hubungan ilmu kearsipan dengan sejarah. Secara kasar, saya akan membuat sketsa tentang bagaimana hubungan antara kedua disipilin, sebelum menyampaikan bahwa tidak satu pun dari mereka yang dapat bekerja tanpa peran yang lain, dan bahwa kearsipan dapat memberikankontribusi yang lebih baik dalam menggunakan informasi historis. Oleh karena kontribusi penting Belanda pada masa lalu (terutama pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20) dalam perkembangan ilmu kearsipan, oleh karenanya saya tidak segan untuk mengawalinya dalam perspektif Belanda. From munimenta to monumenta In order to understand the relationship which has grown between archivists and historians we have to go back to the early days of the modern society. I will start with an example in The Netherlands, my home country. Until 1795 the Netherlands were a decentralized country, with almost independent cities and provinces. This changed dramatically in 1795, when the French armies marched in. For the first time in history, the Netherlands became a unified, central state. The new constitution of 1798 had near enough demolished the old state building down to the last stone, and the administration, in the words of the Dutch historian H. Brugmans was decentralised " to an absurd degree " .(Brugmans, sa: 90-1). The old " archives and state papers " no longer had much meaning for the continuity of the administration. The old archives from before the turnaround then became a collection of historical sources in the first place. The munimenta, or the legal proofs of the old days, were downgraded to monumenta or memory aids as the first Dutch professor in archivistics J.L. van der Gouw, called them (Van der Gouw, 1980: 497-514). And they have retained that status since then. That downgrading formed at the same time, however, the starting point of a development which, a century later, was to lead to a professionalized and institutionalised scientific historic enterprise (Dorsman in Tollebeek, 2002: 159-76). The basic material for the scientific historical research was provided by the historical sources. In the eighteen twenties the German historian Leopold von Ranke gave a significant impulse to the professionalisation and scientisation of historical studies. He rejected every form of historiography which was not based on primary sources (Iggers, 1997: 24-35). The sources had to show " how it had really been " , as he wrote at the age of 29 in the foreword to his first book (Von Ranke, 1824). He wanted to observe the past from inside (Geyl, 1954: 12 and 14). And that was, in essence, what was new in the treatment of history. The narrative chronicle gave way to the reconstructed past on the basis of archival material (Iggers and Powell, 1990).
Wujud arsitektur sebagai bentuk suatu bangunan produk manusia, baik suatu kelompok maupun individ... more Wujud arsitektur sebagai bentuk suatu bangunan produk manusia, baik suatu kelompok maupun individu di dalam masyarakat, oleh karena itu, dinamika sosial budaya masyarakat akan mempengaruhi dinamika arsitektur tersebut. Arsitektur adalah lingkungan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dari alam yang dikuasainya untuk memungkinkan kedudukannya dan sikap hidupnya dalam suasana yang diinginkan dan dalam status yang diharapkan.1 Sedangkan Yuswaldi Salya mengatakan bahwa arsitektur tidak hanya dilihat dari aspek fisiknya saja, melainkan juga dilihat dari aspek non fisiknya juga.2 Pada dasarnya, kebudayaanlah yang membentuk suatu gaya arsitektur. Budaya tiap-tiap kelompok yang berbeda sesuai kebutuhan untuk bertahan hidup inilah yang membuat kebudayaan sekaligus gaya arsitektur ini menjadi berbeda-beda. Gaya arsitektur tiap-tiap kelompok tersebut dibuat secara disengaja, dimana banyak faktor yang membuat suatu bentuk arsitektur, semisal kepercayaan, kebutuhan, serta keadaan geografis suatu wilayah. Dengan adanya suatu migrasi atau perpindahan penduduk, secara tidak disengaja budaya yang berasal dari daerah asal masyarakat tersebut juga lambat laun akan berkembang ke daerah tujuan. Hal ini dikarenakan suatu sistem serta tata cara dalam menjalani hidup juga berpindah serta semua itu masih harus dipercayai oleh masyarakat terutama masyarakat tradisional karena mereka masih menganggap bahwa segala sesuatu yang dilakukan masih erat kaitannya dengan nilai-nilai religius, salah satunya dalam bidang arsitektur. Namun hal tersebut juga tidak menampik adanya pembawaan budaya seperti gaya arsitektur pada budaya-budaya yang modern seperti halnya budaya Eropa yang masuk ke Indonesia.
Surabaya yang memiliki luas sekitar 333, 063 kilometer persegi, merupakan salah satu kota metropo... more Surabaya yang memiliki luas sekitar 333, 063 kilometer persegi, merupakan salah satu kota metropolitan yang ada di Indonesia. Lewis Mumford mengatakan bahwa ciri kota metropolitan yaitu didalamnya sudah terkandung akumulasi penduduk yang besar serta adanya pengembangan jaringan perdagangan dengan luar daerah. Selain itu, ciri yang sangat menonjol adalah mulai banyaknya individualisme yang cenderung menghancurkan ikatan-ikatan sosial tanpa diikuti penciptaan tatanan baru seiring perkembangan teknologi yang diikuti disorganisasi sosial. Meskipun sekarang Kota Surabaya menjadi kota terbesar kedua setelah Jakarta, namun kemegahan ini tak luput dari peran kolonial yang ikut membangun serta kota ini. Surabaya yang oleh H.W.Dick dijuluki sebagai city of work atau " kota kerja " , pada abad ke-19, ketika Jawa menjadi pusat ekonomi perkebunan, Surabaya dengan pelabuhan alamnya telah tumbuh menjadi kota besar. Hal tersebut juga tak telepas dari pemerintah kolonial yang memberi perhatian lebih dan juga memiliki rencana jauh kedepan untuk kemajuan Kota Surabaya. Surabaya sebagai kota yang pernah sangat lama merasakan pengaruh Belanda, merupakan salah satu kota kolonial di Indonesia. Selanjutnya, ciri-ciri kota kolonial secara gambling dijelaskan oleh Mc. Gee. Menurut beliau, kota kolonial dicirikan sebagai berikut: 1) memiliki pemukiman yang sudah stabil, 2) Terdapat garnisun atau markas militer, 3) pemukiman pedagang yang merupakan tempat untuk dagang, 4) tempat penguasa-penguasa kolonial dapat menyelenggarakan perjanjian dagang dengan penguasa-penguasa pribumi, serta 5) mempunyai lokasi yang memungkinkan untuk jalur transportasi. Kelima unsur diatas terdapat pada struktur kota Surabaya. Sebelum kolonial bahkan, Surabaya sudah memiliki pemukiman yang stabil. Hal tersebut dikarenakan sudah adanya pemukiman-pemukiman yang tersusun dan sudah terkelompokkan. Misalnya adalah pemukiman orang-orang Arab di daerah Ampel. Para etnis Arab bermukim di daerah Ampel sejak Islam pertama muncul di daerah ini. Mereka membaur dengan budaya-budaya lokal orang-orang pribumi. Sementara itu, etnis Tionghoa yang ada di Surabaya juga mendirikan pemukiman mereka sendiri. Faktor kesamaan nasib serta kesmaan visi menjadikan mereka komunitas yang mampu bertahan hingga sekarang. Pemukiman penduduk kedua etnis tersebut tergolong stabil karena tempatnya sudah menetap dan sudah tidak berpindah-pindah
Sebagai salah satu negara yang berkembang, Indonesia ternyata tidak terlepas dari pengaruh barat,... more Sebagai salah satu negara yang berkembang, Indonesia ternyata tidak terlepas dari pengaruh barat, salah satunya adalah komik. Perkembangan komik di Indonesia se-populer novel ataupun cerpen yang sampai saat ini menjamur di kalangan kaum muda. Ironisnya, para penikmat komik di Indonesia terganjal oleh beton para komikus yang berasal dari luar
Sebuah Telaah Hubungan antara Demografi dengan Sejarah Mengapa perkembangan ilmu sejarah atau stu... more Sebuah Telaah Hubungan antara Demografi dengan Sejarah Mengapa perkembangan ilmu sejarah atau studi sejarah kritis sejak akhir Perang Dunia II menunjukkan kecenderungan kuat untuk mempergunakan pendekatan ilmu sosial telah diterangkan di bagian depan. Rapproachement atau proses saling mendekati antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
Sebagai salah satu negara yang berkembang, Indonesia ternyata tidak terlepas dari pengaruh barat,... more Sebagai salah satu negara yang berkembang, Indonesia ternyata tidak terlepas dari pengaruh barat, salah satunya adalah komik. Perkembangan komik di Indonesia se-populer novel ataupun cerpen yang sampai saat ini menjamur di kalangan kaum muda. Ironisnya, para penikmat komik di Indonesia terganjal oleh beton para komikus yang berasal dari luar
Uploads
Papers by yunanto eka