I am Andreas Lako, lecturer and researcher at Faculty of Economics and Business, Soegijapranata Catholic University, Indonesia. Currently, I am Director of Doctoral Program in Environmental Science of Soegijapranata Catholic University. I am Professor in Green Accounting, CSR and Green Business.
Setelah masa reses DPR (19/3-4/4), rencananya lembaga legislatif akan melanjutkan pembahasan Ranc... more Setelah masa reses DPR (19/3-4/4), rencananya lembaga legislatif akan melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak. Pemerintah mendesak agar pembahasan RUU tersebut segera diselesaikan dan disahkan menjadi undang-undang (UU) untuk menambal APBN 2016. DPR harus hati-hati dan jeli dalam membahas RUU tersebut. Alasannya, RUU tersebut mengandung sejumlah permasalahan serius dan bisa jadi bumerang bagi penerimaan pajak apabila dipaksakan segera disahkan. Ada beberapa alasan utama yang mendasari kekhawatiran tersebut. Pertama, masalah penggelapan pajak adalah menyangkut iktikad dan perilaku buruk dari para wajib pajak yang sengaja tidak mau membayar pajak kepada negara. Selama inik mereka berhasil menggunakan berbagai cara tipuan dan pembohongan untuk mengelabui pemerintah agar bisa menghindari dan meng-gelapkan pajak. Mereka sangat lihai dan sistematis dalam melakukan aksi-aksi tipuan tersebut. Pertanyaannya, apakah mereka akan tergiur oleh imingiming insentif amnesti pajak yang ditawarkan pemerintah? Jawabannya, tidak! Mereka tentu tidak akan gegabah mau mengakui telah melakukan kejahatan pajak hanya karena ada iming-iming amnesti pajak. Tergiur oleh amnesti pajak merupakan tindakan konyol dan sama saja bunuh diri. Apalagi, seandainya mau memanfaatkan amnesti pajak, mereka justru akan dikenakan sejumlah kewajiban yang memberatkan. Dalam draf RUU Pengampunan Pajak disebutkan bagi wajib pajak yang mengikuti skema pengampunan pajak maka harus menyerahkan Surat Permohonan Pengampunan Pajak dan NPWP, membayar uang tebusan, melunasi tunggakan pajak dan mengalihkan harta yang berada di luar negeri ke bank yang ditunjuk. Selain itu, kekayaan mereka dan besaran pajak yang harus dibayarkan kepada negara juga pasti akan diaudit lebih lanjut oleh pemerintah. Itu berarti, semua trik-trik kejahatan pajak yang telah mereka lakukan selama ini akan diketahui pemerintah. Karena itu, sangat tidak mungkin para wajib pajak nakal akan memanfaatkan amnesti pajak karena mereka tahu skema tersebut hanyalah perangkap yang mematikan. Kedua, RUU Pengampunan Pajak memiliki dua sisi yang sama-sama berisiko tinggi bagi negara. Di satu sisi, pengampunan pajak merupakan pemberian insentif dari negara kepada para wajib pajak nakal, yang selama ini telah merugikan negara. Harapannya, insentif tersebutakanefektifmendorong para wajib pajak nakal bertobat, mengaku dosa,
Akibat terhimpit defisit APBN 2016 sebesar Rp 273,2 triliun, Presiden Joko Widodo mendesak DPR se... more Akibat terhimpit defisit APBN 2016 sebesar Rp 273,2 triliun, Presiden Joko Widodo mendesak DPR segera menyelesaikan pembahasan RUU Pengampunan Pajak. RUU yang sedang dibahas DPR itu diharapkan segera disahkan menjadi UU dan bisa berlaku efektif per 1 Juli 2016 (Kompas, 9/6/2016). Dengan begitu, pemerintah bisa segera melaksanakan program amnesti pajak untuk mendapatkan dana segar sekitar Rp 165 triliun guna mengurangi defisit APBN. Namun, menyimak pemberitaan media massa berkenaan dengan substansi RUU Pengampunan Pajak, saya menilai RUU tersebut mengandung ketidakadilan yang serius dan mesti direvisi. Tidak adil Substansi RUU yang justru juga memberikan amnesti pajak kepada para individu dan korporasi pelaku kejahatan keuangan yang selama ini berhasil mengelabui dan merugikan keuangan negara, dengan menyembunyikan aset-aset haram mereka di sejumlah negara surga pajak, sungguh sangat aneh dan mengusik rasa keadilan masyarakat. Apalagi tarif amnesti pajak yang bakal diberikan juga sangat rendah, berkisar 1 persen-3 persen bagi yang mau repatriasi aset, dan 4 persen-6 persen bagi yang tidak melakukan repatriasi aset. Bahkan, dalam RUU tersebut muncul sejumlah pasal aneh yang berusaha memproteksi kerahasiaan data wajib pajak nakal yang mengikuti program amnesti pajak dari kejaran penegak hukum. Substansi RUU tersebut sangat tak adil dan sangat mungkin bakal digugat masyarakat luas apabila disahkan menjadi UU. Pertanyaan, mengapa pemerintah (dan DPR) justru memberikan amnesti pajak kepada para pelaku kejahatan keuangan negara? Apakah hanya karena terimpit defisit APBN dan karena para wajib pajak pelaku kejahatan keuangan memiliki aset yang nilainya mencapai ribuan triliun rupiah, lalu Presiden Jokowi rela mengalah demi mendapatkan dana amnesti pajak sekitar Rp 165 triliun? Ataukah, RUU Pengampunan Pajak yang sedang dibahas di DPR sesungguhnya adalah produk hasil rancangan dari sejumlah pihak (elite) yang bakal mendapatkan amnesti pajak akibat mereka mulai terdesak oleh bocornya Dokumen Panama beberapa waktu lalu? Entahlah! Namun, yang pasti, melegalkan program amnesti pajak dan melindungi para pelaku kejahatan keuangan negara via UU adalah salah kaprah dan sangat tidak adil. Program tersebut jika diterapkan justru akan menjadi bumerang karena akan
Setelah berakhirnya program amnesti pajak pada 31 Maret 2017, saat ini ada dua perasaan berbeda d... more Setelah berakhirnya program amnesti pajak pada 31 Maret 2017, saat ini ada dua perasaan berbeda di kalangan pengemplang dan penggelap pajak. Pada umumnya, para pengemplang pajak (tax avoider), yaitu mereka yang sudah mengikuti amnesti pajak namun belum seluruhnya melaporkan hartanya maupun mereka yang belum berpartisipasi, merasa cemas dan takut terhadap ancaman Presiden Jokowi dan Menkeu Sri Mulyani yang akan mengusut dan memberi sanksi berat kepada mereka. Apabila ancaman itu terealisir, habislah reputasi dan harta mereka. Namun di sisi lain, para penggelap pajak (tax evader), yaitu mereka yang selama ini tidak membayar pajak atau sangat sedikit membayar pajak karena menggunakan cara-cara ilegal untuk menggelapkan pajak, merasa tetap aman dan bahkan mungkin sedang menertawakan pemerintah. Mereka yakin aksi-aksi tipuan mereka yang selama ini telah berhasil mengelabui negara tidak akan terendus. Keyakinan itu muncul karena selama pelaksanaan amnesti pajak (1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017), fokus perhatian pemerintah tertuju kepada para pengemplang pajak. Tidak tersentuhnya para penggelap pajak sesungguhnya merupakan pelanggaran serius terhadap asas keadilan pajak, keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Akibat pembiaran itu, kerugian negara diperkirakan mencapai ribuan triliun rupiah. Jumlah kerugian itu bahkan diestimasi jauh lebih besar dibanding kerugian akibat pengemplangan pajak. Karena itu, praktik ilegal tersebut harus segera diusut tuntas. Tulisan ini membahas modus dan strategi pengusutan penggelapan pajak pada level korporasi. Modus penggelapan Secara teoritis, penggelapan pajak (tax evasion) merupakan tindakan rekayasa perpajakan yang dilakukan wajib pajak individu, korporasi atau entitas (tax payers) untuk mengurangi jumlah pajak terutang atau menghindari pajak kepada negara dengan menggunakan teknik-teknik perekayasaan keuangan yang ilegal (Slemrod, 2007). Sandmo (2004) menyatakan bahwa tindakan penggelapan pajak dilakukan dengan cara menyembunyikan data dan fakta dari otoritas pajak. Sedangkan Gunny (2005) menyatakan bahwa perekayasaan tersebut dapat dilakukan dengan teknik accounting fraud, accounting management dan real earnings management. Dalam banyak kasus penggelapan pajak yang terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia, tindakan ilegal tersebut bahkan dilakukan secara sistematis oleh wajib pajak (WP) berkonspirasi dengan akuntan internal dan otoritas pajak (McGee, 2006). Di Indonesia, dari sejumlah kasus penggelapan pajak yang terungkap ke publik, tampak konspirasi penggelapan pajak dilakukan secara rapih dengan
Keberhasilan pemerintah dalam pelaksanaan program amnesti pajak yang mampu memikat 965.983 pesert... more Keberhasilan pemerintah dalam pelaksanaan program amnesti pajak yang mampu memikat 965.983 peserta wajib pajak (WP) dan menghasilkan Rp 4.866 triliun harta yang dideklarasikan serta pemasukan negara Rp 135 triliun dari hasil tebusan pajak dan lainnya patut diapresiasi. Meski masih jauh dari target, namun pencapaian tersebut merupakan prestasi luarbiasa dari pemerintahan Jokowi-JK. Pertanyaan krusialnya, apa agenda prioritas yang perlu dilakukan pemerintah pasca amnesti pajak? Sejumlah pihak menyarankan agar Menteri Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), fokus mengolah dan memperkuat database hasil amnesti pajak agar bisa digunakan untuk melakukan reformasi perpajakan secara menyeluruh. Sementara dalam Tajuk Rencana " Mengevaluasi Amnesti Pajak " , Kompas (1/4/2017) menyarankan agar Ditjen Pajak fokus pada penegakan hukum bagi pengemplang pajak dan mengawasi komitmen peserta pajak. Pemerintah juga diharapkan menciptakan iklim kondusif bagi investasi dan penempatan dana untuk menarik kembali aset WNI di luar negeri. Secara umum, saya mendukung sejumlah usulan tersebut. Namun, saya mengusulkan agar prioritasnya diarahkan untuk mengusut para pengemplang dan penggelap pajak. Tulisan ini memfokuskan pada pengemplang pajak yang menyembunyikan asetnya di luar negeri dan penggelapan pajak oleh korporasi PMA (penanaman modal asing). Keberhasilan menuntaskan dua agenda tersebut bakal menghasilkan ribuan triliunan rupiah untuk pendapatan negara. Mengusut pengemplang pajak Prioritas mengusut pengemplang pajak yang tidak berpartisipasi dalam amnesti pajak pada periode I,II dan III sangat penting karena terkait aspek keadilan pajak dan kepatuhan WP sebagai warga negara. Data amnesti pajak yang dirilis DJP menunjukkan partisipasi WP besar yang selama ini memarkirkan asetnya di sejumlah negara surga pajak (tax haven) seperti
Menanggapi bocornya dokumen rahasia firma hukum Mossack Fonseca yang berbasis di Panama atau dise... more Menanggapi bocornya dokumen rahasia firma hukum Mossack Fonseca yang berbasis di Panama atau disebut Panama Papers pada awal April 2016, dimana terdapat 2.961 nama individu dan korporasi dari Indonesia, pemerintah menanggapinya secara ambigu. Antara Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla (JK), dan antar Menteri Kabinet Kerja memberikan respon yang berbeda-beda sehingga membingungkan publik. Awalnya, Presiden Jokowi merespon serius bocornya dokumen mega skandal keuangan rahasia tersebut dengan memerintahkan Menteri Keuangan dan sejumlah lembaga negara terkait untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Namun pada pertengahan April 2016, Presiden justru berubah sikap. Presiden melakukan kesepakatan dengan Ketua DPR untuk mempercepat pembahasan RUU Pengampunan Pajak. Alasannya, untuk memberikan landasan yuridis bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan amnesti pajak kepada para individu dan korporasi Indonesia agar segera membawa kembali dananya ke Indonesia di luar negeri (Kompas, 16/4/2016). Sementara Wapres JK justru merespon bocornya dokumen Panama Papers (PP) dan tercantumnya nama-nama individu dan korporasi dari Indonesia dalam dokumen tersebut sebagai hal yang wajar. Dalam sejumlah kesempatan JK selalu mengatakan bahwa nama-nama yang tercantum dalam dokumen PP belum tentu melakukan kejahatan keuangan dan penggelapan pajak seperti dituduhkan banyak orang. Menurut JK, mendirikan perusahaan cangkang di luar negeri (offshore) adalah praktik lazim secara internasional demi kemudahan dalam berbisnis. Respon tersebut sungguh aneh karena kontradiksi dengan reaksi keras sejumlah kepala negara seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Belanda, Brasil, Australia, Austria dan lainnya. Berbeda dengan sikap Pemerintah Indonesia yang terkesan justru ingin " melindungi " para individu dan korporasi yang namanya tercantum dalam PP, sejumlah negara tersebut justru bertekad mengusut tuntas keterlibatan para individu dan korporasi dari negaranya masing-masing dalam dokumen tersebut. Pertanyaannya, ada apa dibalik sikap pemerintah yang terkesan aneh tersebut? Apakah layak memberikan amnesti pajak kepada pelaku kejahatan yang selama ini menyembunyikan asetnya di negara-negara surga pajak? Apakah harapan pemerintah bahwa amnesti pajak akan memotivasi para penyembunyi aset dan penggelap pajak menarik kembali dananya ke dalam negeri akan dapat terwujud?
Keputusan DPR menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan alasanperlu wak... more Keputusan DPR menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan alasanperlu waktu untuk mencermati naskah akademik dan draf RUU disesalkan banyak pihak. Pemerintah yang menginisiasi RUU tersebutkecewa karena penundaan itu bisa menyebabkan kerugian besar bagi negara dan kepercayaan masyarakat yang hendak melakukan pengampunan pajak menjadi rendah (Kompas, 26/2/2016). Saya justru menilai sebaliknya. Keputusan itu seharusnya perlu diapresiasi. Alasannya, keputusan menyangkut perlu tidaknya regulasi pengampunan pajak harus dilakukan secara cermat dan bertanggung jawab agar tidak menimbulkan komplikasi masalah di kemudian hari. Sebagai lembaga tinggi negara pengembanaspirasi rakyat, DPR memang harus mencermati dan mempertimbangkan berbagai aspek kepentingan negara sebelum menyetujui suaturancangan undang-undang (RUU)menjadi undang-undang (UU). Selain itu,permasalahan pengampunan pajak juga tidak hanya menyangkut aspek kepentingan penerimaan negara dan ketidakmampuan wajib pajak, tetapi juga menyangkut itikad buruk dan keperilakuan tak etis dari para wajib pajak. Oleh karena itu,penyelesaiannya bukan dengancara pengampunan, tetapi harusmelalui penciptaan mekanisme sistem dan tata kelola perpajakan, atau melalui regulasi penegakan hukum yang akuntabel dan transparan. Bumerang pengampunan Dari perspektif yang berbeda, saya justru menilai RUU Pengampunan Pajak yang diusulkan pemerintah bisa menjadi bumerang yang merugikan negara apabila semangatnya adalah demi mendapatkan dana ratusan triliun rupiah yang selama ini tidak bisa dibayarkan para wajib pajak atau sengaja dihindari para wajib pajak nakal yang menempatkan dananya di luar negeri. Seandainya DPR menyetujuinya, pasti akan muncul sejumlah permasalahan yang kompleks. Belum tentu juga harapan pemerintah mendapatkan pemasukan pajak dalam jumlah besar dari skema amnesti bakal terwujud. Mengapa? Jawabnya, karena tidak terbayarnya utang pajak oleh para wajib pajak tidak semata-mata disebabkan mereka mengalami krisis keuangan akibat bisnis atau pendapatan mereka memburuk. Sangat mungkin juga karena mereka memang tidak memiliki itikad baik untuk membayar pajak. Mereka menganggap membayar pajak merupakan suatu beban yang merugikan sehingga sedapat mungkin harus dihindari.
Dalam satu dekade terakhir, orientasi dari visi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, tanggung j... more Dalam satu dekade terakhir, orientasi dari visi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, tanggung jawab dan perilaku serta tolok ukur penilaian kinerja dari entitas korporasi di Indonesia sedang mengalami transformasi besar. Orientasi visi, tujuan, sasaran, tanggung jawab dan perilaku bisnis dari entitas korporasi yang sebelumnya hanya berfokus pada upaya-upaya untuk memaksimalkan laba sehingga mendorong korporasi berperilaku tamak, serakah dan merusak, sejak tahun 2007 hingga saat ini mulai bertransformasi ke arah yang lebih hijau (green) atau ramah terhadap masyarakat dan lingkungan. Dalam penilaian kinerja dan pengambilan keputusan investasi, operasi dan pendanaan, para pelaku bisnis dan stakeholder juga mulai menggunakan indikator-indikator kinerja tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSLP) yang bersifat wajib karena melekat dalam dokumen Amdal perusahaan dan kinerja corporate social responsibility (CSR) yang bersifat sukarela sebagai dasar pertimbangan. Proses transformasi tersebut tampaknya dipicu oleh intervensi negara melalui sejumlah regulasi. Melalui sejumlah regulasi, seperti UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No.25 Tahun 2007 tentang Penaman Modal, PP No.47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, Perda TJSLP di sejumlah daerah dan sejumlah regulasi lainnya, pemerintah memaksa entitas-entitas korporasi di Indonesia untuk mereformasi, merekonstruksi dan mentransformasi paradigma tanggung jawab korporasi atau bisnis ke arah yang lebih ramah masyarakat dan lingkungan. Dalam sejumlah regulasi tersebut, entitas korporasi diminta untuk mengintegrasikan dan mensinergiskan visi dan tanggung jawab perseroan untuk memaksimumkan laba (profit maximize) dengan visi dan tanggung jawab perseroan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan alam. Pemerintah bahkan mewajibkan korporasi mendesain dan melaksanakan sistem tatakelola korporasi yang baik (good corporate governance/GCG) yang mengintegrasikan dan mensinergiskan ketiga tanggung jawab tersebut.
Sejak DPR mengesahkan UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang di dalamnya mema... more Sejak DPR mengesahkan UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang di dalamnya memasukkan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) sebagai kewajiban perseroan (Pasal 66 dan Pasal 74), isu tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih dikenal sebagai CSR (corporate social resposisbililty) mendapat perhatian luas dari para pelaku usaha, pemerintah dan masyarakat luas. Banyak perusahaan yang awalnya enggan atau menolak melakukan CSR, dalam beberapa tahun terakhir mulai peduli melaksanakan CSR secara berkesinambungan. Hasil-hasil riset yang dilakukan para mahasiswa bimbingan saya memperlihatkan bahwa jumlah perusahaan yang melaksanakan CSR dan mengungkapkan informasinya dalam pelaporan tahunan terus meningkat dalam tujuh tahun terakhir. Luas pengungkapannya, yang tercermin dalam Indeks Pengungkapan CSR (CSR Disclosure Index), juga semakin luas. Yang mengejutkan, hasil-hasil riset itu juga menunjukkan perusahaan-perusahaan yang melaksanakan CSR dan mengungkapkan informasinya kepada publik tidak hanya berasal dari industri yang berkaitan dengan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 74 UUPT. Tapi, juga meliputi perusahaan-perusahaan yang bidang usahanya tidak berkaitan dengan SDA seperti perbankan, asuransi, perdagangan dan jasa. Tampaknya, perusahaan-perusahaan publik dan privat di Tanah Air mulai meningkat kesadarannya bahwa CSR bukanlah semata-semata sebagai beban atau kewajiban perseroan yang dipaksakan oleh regulasi. Tapi, juga menjadi kebutuhan hakiki dari para pebisnis agar bisnisnya bisa beroperasi secara nyaman dan bisa bertumbuh serta berkembang secara berkelanjutan. Paradigma para pebisnis tampaknya telah berubah dengan memandang CSR sebagai pengorbanan untuk investasi strategis. Yang juga menarik dari hasil–hasil riset tersebut adalah pelaksanaan CSR ternyata berdampak positif meningkatkan kinerja bisnis, kinerja keuangan dan nilai perusahaan.
Buku pidato pengukuhan guru besar ini memaparkan tentang miskonsepsi dan konstruksi tentang Tang... more Buku pidato pengukuhan guru besar ini memaparkan tentang miskonsepsi dan konstruksi tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan (TJSLP), urgensi reformasi paradigma pebisnis tentang TJSLP atau CSR, dan manfaat investasi TJSLP. Buku ini juga membahas usulan penulis tentang perlunya mereformasi paradigma akuntansi konvensional yang memperlakukan semua costs untuk melaksanakan dengan TJSLP dan CSR sebagai beban periodik dengan paradigma Akuntansi Berkelanjutan. Juga dibahas tentang reformasi pendidikan akuntansi menuju pendidikan akuntansi berkelanjutan....
Dalam tiga dekade terakhir, masyarakat global dihadapkan pada dua kondisi dilematis dalam membang... more Dalam tiga dekade terakhir, masyarakat global dihadapkan pada dua kondisi dilematis dalam membangun tata dunia baru. Di satu sisi, muncul berbagai inisiatif politik dan gerakan global dari para pemimpin negara, korporasi dan masyarakat dunia untuk membangun kolaborasi global dalam rangka mengintegrasikan berbagai kepentingan politik, ekonomi, perdagangan, keamanan dan lainnya ke dalam satu visi, misi dan tujuan yang sama dalam upaya membangun tata dunia baru yang lebih aman, damai dan sejahtera. Namun di sisi lain, dunia juga dihadapkan pada realitas yang mengkuatirkan, yaitu bumi tempat dimana manusia berada dan membangun peradaban kehidupan sedang mengalami multikrisis yang serius. Bumi sedang mengalami "sakit parah" akibat perbuatan manusia. Perilaku hidup manusia yang tidak ramah lingkungan telah menyebabkan pemanasan global, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang parah sehingga menimbulkan berbagai bencana lingkungan dan sosial yang serius pula. Karena itu, muncul pula berbagai agenda aksi global untuk menyelamatkan bumi dan kehidupan semesta alam agar tetap sehat dan lestari.
This study purposes to investigate the free-riding behattior from stoek market actors in respondi... more This study purposes to investigate the free-riding behattior from stoek market actors in responding to the good and bad news earnings an
Beberapa waktu lalu, muncul lagi berita buruk yang mencoreng wajah dunia pendidikan Indonesia. Se... more Beberapa waktu lalu, muncul lagi berita buruk yang mencoreng wajah dunia pendidikan Indonesia. Seorang dosen dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ketahuan melakukan tindakan kejahatan intelektual dalam penulisan artikel ilmiah. Ia melakukan plagiat atau penjiplakan karya skripsi mahasiswa bimbingannya untuk kenaikan jabatan fungsional akademik. Rektor UIN langsung memberi sanksi pemecatan sebagai dosen pada yang bersangkutan. Sebelum muncul kasus itu, juga muncul sejumlah kasus plagiarisme yang membuat malu dunia akademik kita. Sejumlah dosen dari beberapa perguruan tinggi yang sedang mengajukan jabatan Lektor Kepala dan Guru Besar ke Dikti ketahuan melakukan tindakan plagiasi dalam sejumlah karya ilmiahnya. Dirjen Dikti mengembalikan berkas akademik dari para plagiator tersebut dan meminta pimpinan perguruan tingginya masing-masing untuk memberi sanksi tegas. Beberapa waktu sebelumnya, masyarakat juga dikejutkan oleh perilaku tidak etis dari beberapa guru besar yang seharusnya menjadi teladan akademik. Seorang profesor dari salah satu PTS terkenal di Bandung melakukan plagiasi dalam penulisan artikel populer di koran nasional. Gelar profesornya dicopot. Ia juga dipecat sebagai dosen. Seorang profesor lainnya dari Sumatera juga ketahuan melakukan plagiasi dalam penulisan buku. Akibatnya, penerbit terpaksa menarik kembali buku itu dan yang bersangkutan juga dikenakan sanksi berat. Walau tidak terpublikasi ke masyarakat, sejumlah pimpinan perguruan tinggi (PT) yang memiliki komitmen tinggi menegakkan etika akademik juga sudah banyak melakukan tindakan tegas kepada para mahasiswa, alumni dan dosennya yang terbukti melakukan plagiasi. Misalnya, terpaksa mencabut gelar sarjana kepada para alumni yang terbukti melakukan plagiasi karya orang lain dalam penulisan skripsi, tesis dan disertasi. Sejumlah dosen yang terbukti melakukan pelanggaran etika ilmiah akademik juga diberikan sanksi tegas sesuai dengan kadar dan tingkat pelanggarannya. 1 Tulisan ini sudah dimuat harian Jawa Pos Radar Semarang, 25 Juni 2012.
Setelah masa reses DPR (19/3-4/4), rencananya lembaga legislatif akan melanjutkan pembahasan Ranc... more Setelah masa reses DPR (19/3-4/4), rencananya lembaga legislatif akan melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak. Pemerintah mendesak agar pembahasan RUU tersebut segera diselesaikan dan disahkan menjadi undang-undang (UU) untuk menambal APBN 2016. DPR harus hati-hati dan jeli dalam membahas RUU tersebut. Alasannya, RUU tersebut mengandung sejumlah permasalahan serius dan bisa jadi bumerang bagi penerimaan pajak apabila dipaksakan segera disahkan. Ada beberapa alasan utama yang mendasari kekhawatiran tersebut. Pertama, masalah penggelapan pajak adalah menyangkut iktikad dan perilaku buruk dari para wajib pajak yang sengaja tidak mau membayar pajak kepada negara. Selama inik mereka berhasil menggunakan berbagai cara tipuan dan pembohongan untuk mengelabui pemerintah agar bisa menghindari dan meng-gelapkan pajak. Mereka sangat lihai dan sistematis dalam melakukan aksi-aksi tipuan tersebut. Pertanyaannya, apakah mereka akan tergiur oleh imingiming insentif amnesti pajak yang ditawarkan pemerintah? Jawabannya, tidak! Mereka tentu tidak akan gegabah mau mengakui telah melakukan kejahatan pajak hanya karena ada iming-iming amnesti pajak. Tergiur oleh amnesti pajak merupakan tindakan konyol dan sama saja bunuh diri. Apalagi, seandainya mau memanfaatkan amnesti pajak, mereka justru akan dikenakan sejumlah kewajiban yang memberatkan. Dalam draf RUU Pengampunan Pajak disebutkan bagi wajib pajak yang mengikuti skema pengampunan pajak maka harus menyerahkan Surat Permohonan Pengampunan Pajak dan NPWP, membayar uang tebusan, melunasi tunggakan pajak dan mengalihkan harta yang berada di luar negeri ke bank yang ditunjuk. Selain itu, kekayaan mereka dan besaran pajak yang harus dibayarkan kepada negara juga pasti akan diaudit lebih lanjut oleh pemerintah. Itu berarti, semua trik-trik kejahatan pajak yang telah mereka lakukan selama ini akan diketahui pemerintah. Karena itu, sangat tidak mungkin para wajib pajak nakal akan memanfaatkan amnesti pajak karena mereka tahu skema tersebut hanyalah perangkap yang mematikan. Kedua, RUU Pengampunan Pajak memiliki dua sisi yang sama-sama berisiko tinggi bagi negara. Di satu sisi, pengampunan pajak merupakan pemberian insentif dari negara kepada para wajib pajak nakal, yang selama ini telah merugikan negara. Harapannya, insentif tersebutakanefektifmendorong para wajib pajak nakal bertobat, mengaku dosa,
Akibat terhimpit defisit APBN 2016 sebesar Rp 273,2 triliun, Presiden Joko Widodo mendesak DPR se... more Akibat terhimpit defisit APBN 2016 sebesar Rp 273,2 triliun, Presiden Joko Widodo mendesak DPR segera menyelesaikan pembahasan RUU Pengampunan Pajak. RUU yang sedang dibahas DPR itu diharapkan segera disahkan menjadi UU dan bisa berlaku efektif per 1 Juli 2016 (Kompas, 9/6/2016). Dengan begitu, pemerintah bisa segera melaksanakan program amnesti pajak untuk mendapatkan dana segar sekitar Rp 165 triliun guna mengurangi defisit APBN. Namun, menyimak pemberitaan media massa berkenaan dengan substansi RUU Pengampunan Pajak, saya menilai RUU tersebut mengandung ketidakadilan yang serius dan mesti direvisi. Tidak adil Substansi RUU yang justru juga memberikan amnesti pajak kepada para individu dan korporasi pelaku kejahatan keuangan yang selama ini berhasil mengelabui dan merugikan keuangan negara, dengan menyembunyikan aset-aset haram mereka di sejumlah negara surga pajak, sungguh sangat aneh dan mengusik rasa keadilan masyarakat. Apalagi tarif amnesti pajak yang bakal diberikan juga sangat rendah, berkisar 1 persen-3 persen bagi yang mau repatriasi aset, dan 4 persen-6 persen bagi yang tidak melakukan repatriasi aset. Bahkan, dalam RUU tersebut muncul sejumlah pasal aneh yang berusaha memproteksi kerahasiaan data wajib pajak nakal yang mengikuti program amnesti pajak dari kejaran penegak hukum. Substansi RUU tersebut sangat tak adil dan sangat mungkin bakal digugat masyarakat luas apabila disahkan menjadi UU. Pertanyaan, mengapa pemerintah (dan DPR) justru memberikan amnesti pajak kepada para pelaku kejahatan keuangan negara? Apakah hanya karena terimpit defisit APBN dan karena para wajib pajak pelaku kejahatan keuangan memiliki aset yang nilainya mencapai ribuan triliun rupiah, lalu Presiden Jokowi rela mengalah demi mendapatkan dana amnesti pajak sekitar Rp 165 triliun? Ataukah, RUU Pengampunan Pajak yang sedang dibahas di DPR sesungguhnya adalah produk hasil rancangan dari sejumlah pihak (elite) yang bakal mendapatkan amnesti pajak akibat mereka mulai terdesak oleh bocornya Dokumen Panama beberapa waktu lalu? Entahlah! Namun, yang pasti, melegalkan program amnesti pajak dan melindungi para pelaku kejahatan keuangan negara via UU adalah salah kaprah dan sangat tidak adil. Program tersebut jika diterapkan justru akan menjadi bumerang karena akan
Setelah berakhirnya program amnesti pajak pada 31 Maret 2017, saat ini ada dua perasaan berbeda d... more Setelah berakhirnya program amnesti pajak pada 31 Maret 2017, saat ini ada dua perasaan berbeda di kalangan pengemplang dan penggelap pajak. Pada umumnya, para pengemplang pajak (tax avoider), yaitu mereka yang sudah mengikuti amnesti pajak namun belum seluruhnya melaporkan hartanya maupun mereka yang belum berpartisipasi, merasa cemas dan takut terhadap ancaman Presiden Jokowi dan Menkeu Sri Mulyani yang akan mengusut dan memberi sanksi berat kepada mereka. Apabila ancaman itu terealisir, habislah reputasi dan harta mereka. Namun di sisi lain, para penggelap pajak (tax evader), yaitu mereka yang selama ini tidak membayar pajak atau sangat sedikit membayar pajak karena menggunakan cara-cara ilegal untuk menggelapkan pajak, merasa tetap aman dan bahkan mungkin sedang menertawakan pemerintah. Mereka yakin aksi-aksi tipuan mereka yang selama ini telah berhasil mengelabui negara tidak akan terendus. Keyakinan itu muncul karena selama pelaksanaan amnesti pajak (1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017), fokus perhatian pemerintah tertuju kepada para pengemplang pajak. Tidak tersentuhnya para penggelap pajak sesungguhnya merupakan pelanggaran serius terhadap asas keadilan pajak, keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Akibat pembiaran itu, kerugian negara diperkirakan mencapai ribuan triliun rupiah. Jumlah kerugian itu bahkan diestimasi jauh lebih besar dibanding kerugian akibat pengemplangan pajak. Karena itu, praktik ilegal tersebut harus segera diusut tuntas. Tulisan ini membahas modus dan strategi pengusutan penggelapan pajak pada level korporasi. Modus penggelapan Secara teoritis, penggelapan pajak (tax evasion) merupakan tindakan rekayasa perpajakan yang dilakukan wajib pajak individu, korporasi atau entitas (tax payers) untuk mengurangi jumlah pajak terutang atau menghindari pajak kepada negara dengan menggunakan teknik-teknik perekayasaan keuangan yang ilegal (Slemrod, 2007). Sandmo (2004) menyatakan bahwa tindakan penggelapan pajak dilakukan dengan cara menyembunyikan data dan fakta dari otoritas pajak. Sedangkan Gunny (2005) menyatakan bahwa perekayasaan tersebut dapat dilakukan dengan teknik accounting fraud, accounting management dan real earnings management. Dalam banyak kasus penggelapan pajak yang terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia, tindakan ilegal tersebut bahkan dilakukan secara sistematis oleh wajib pajak (WP) berkonspirasi dengan akuntan internal dan otoritas pajak (McGee, 2006). Di Indonesia, dari sejumlah kasus penggelapan pajak yang terungkap ke publik, tampak konspirasi penggelapan pajak dilakukan secara rapih dengan
Keberhasilan pemerintah dalam pelaksanaan program amnesti pajak yang mampu memikat 965.983 pesert... more Keberhasilan pemerintah dalam pelaksanaan program amnesti pajak yang mampu memikat 965.983 peserta wajib pajak (WP) dan menghasilkan Rp 4.866 triliun harta yang dideklarasikan serta pemasukan negara Rp 135 triliun dari hasil tebusan pajak dan lainnya patut diapresiasi. Meski masih jauh dari target, namun pencapaian tersebut merupakan prestasi luarbiasa dari pemerintahan Jokowi-JK. Pertanyaan krusialnya, apa agenda prioritas yang perlu dilakukan pemerintah pasca amnesti pajak? Sejumlah pihak menyarankan agar Menteri Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), fokus mengolah dan memperkuat database hasil amnesti pajak agar bisa digunakan untuk melakukan reformasi perpajakan secara menyeluruh. Sementara dalam Tajuk Rencana " Mengevaluasi Amnesti Pajak " , Kompas (1/4/2017) menyarankan agar Ditjen Pajak fokus pada penegakan hukum bagi pengemplang pajak dan mengawasi komitmen peserta pajak. Pemerintah juga diharapkan menciptakan iklim kondusif bagi investasi dan penempatan dana untuk menarik kembali aset WNI di luar negeri. Secara umum, saya mendukung sejumlah usulan tersebut. Namun, saya mengusulkan agar prioritasnya diarahkan untuk mengusut para pengemplang dan penggelap pajak. Tulisan ini memfokuskan pada pengemplang pajak yang menyembunyikan asetnya di luar negeri dan penggelapan pajak oleh korporasi PMA (penanaman modal asing). Keberhasilan menuntaskan dua agenda tersebut bakal menghasilkan ribuan triliunan rupiah untuk pendapatan negara. Mengusut pengemplang pajak Prioritas mengusut pengemplang pajak yang tidak berpartisipasi dalam amnesti pajak pada periode I,II dan III sangat penting karena terkait aspek keadilan pajak dan kepatuhan WP sebagai warga negara. Data amnesti pajak yang dirilis DJP menunjukkan partisipasi WP besar yang selama ini memarkirkan asetnya di sejumlah negara surga pajak (tax haven) seperti
Menanggapi bocornya dokumen rahasia firma hukum Mossack Fonseca yang berbasis di Panama atau dise... more Menanggapi bocornya dokumen rahasia firma hukum Mossack Fonseca yang berbasis di Panama atau disebut Panama Papers pada awal April 2016, dimana terdapat 2.961 nama individu dan korporasi dari Indonesia, pemerintah menanggapinya secara ambigu. Antara Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla (JK), dan antar Menteri Kabinet Kerja memberikan respon yang berbeda-beda sehingga membingungkan publik. Awalnya, Presiden Jokowi merespon serius bocornya dokumen mega skandal keuangan rahasia tersebut dengan memerintahkan Menteri Keuangan dan sejumlah lembaga negara terkait untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Namun pada pertengahan April 2016, Presiden justru berubah sikap. Presiden melakukan kesepakatan dengan Ketua DPR untuk mempercepat pembahasan RUU Pengampunan Pajak. Alasannya, untuk memberikan landasan yuridis bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan amnesti pajak kepada para individu dan korporasi Indonesia agar segera membawa kembali dananya ke Indonesia di luar negeri (Kompas, 16/4/2016). Sementara Wapres JK justru merespon bocornya dokumen Panama Papers (PP) dan tercantumnya nama-nama individu dan korporasi dari Indonesia dalam dokumen tersebut sebagai hal yang wajar. Dalam sejumlah kesempatan JK selalu mengatakan bahwa nama-nama yang tercantum dalam dokumen PP belum tentu melakukan kejahatan keuangan dan penggelapan pajak seperti dituduhkan banyak orang. Menurut JK, mendirikan perusahaan cangkang di luar negeri (offshore) adalah praktik lazim secara internasional demi kemudahan dalam berbisnis. Respon tersebut sungguh aneh karena kontradiksi dengan reaksi keras sejumlah kepala negara seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Belanda, Brasil, Australia, Austria dan lainnya. Berbeda dengan sikap Pemerintah Indonesia yang terkesan justru ingin " melindungi " para individu dan korporasi yang namanya tercantum dalam PP, sejumlah negara tersebut justru bertekad mengusut tuntas keterlibatan para individu dan korporasi dari negaranya masing-masing dalam dokumen tersebut. Pertanyaannya, ada apa dibalik sikap pemerintah yang terkesan aneh tersebut? Apakah layak memberikan amnesti pajak kepada pelaku kejahatan yang selama ini menyembunyikan asetnya di negara-negara surga pajak? Apakah harapan pemerintah bahwa amnesti pajak akan memotivasi para penyembunyi aset dan penggelap pajak menarik kembali dananya ke dalam negeri akan dapat terwujud?
Keputusan DPR menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan alasanperlu wak... more Keputusan DPR menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan alasanperlu waktu untuk mencermati naskah akademik dan draf RUU disesalkan banyak pihak. Pemerintah yang menginisiasi RUU tersebutkecewa karena penundaan itu bisa menyebabkan kerugian besar bagi negara dan kepercayaan masyarakat yang hendak melakukan pengampunan pajak menjadi rendah (Kompas, 26/2/2016). Saya justru menilai sebaliknya. Keputusan itu seharusnya perlu diapresiasi. Alasannya, keputusan menyangkut perlu tidaknya regulasi pengampunan pajak harus dilakukan secara cermat dan bertanggung jawab agar tidak menimbulkan komplikasi masalah di kemudian hari. Sebagai lembaga tinggi negara pengembanaspirasi rakyat, DPR memang harus mencermati dan mempertimbangkan berbagai aspek kepentingan negara sebelum menyetujui suaturancangan undang-undang (RUU)menjadi undang-undang (UU). Selain itu,permasalahan pengampunan pajak juga tidak hanya menyangkut aspek kepentingan penerimaan negara dan ketidakmampuan wajib pajak, tetapi juga menyangkut itikad buruk dan keperilakuan tak etis dari para wajib pajak. Oleh karena itu,penyelesaiannya bukan dengancara pengampunan, tetapi harusmelalui penciptaan mekanisme sistem dan tata kelola perpajakan, atau melalui regulasi penegakan hukum yang akuntabel dan transparan. Bumerang pengampunan Dari perspektif yang berbeda, saya justru menilai RUU Pengampunan Pajak yang diusulkan pemerintah bisa menjadi bumerang yang merugikan negara apabila semangatnya adalah demi mendapatkan dana ratusan triliun rupiah yang selama ini tidak bisa dibayarkan para wajib pajak atau sengaja dihindari para wajib pajak nakal yang menempatkan dananya di luar negeri. Seandainya DPR menyetujuinya, pasti akan muncul sejumlah permasalahan yang kompleks. Belum tentu juga harapan pemerintah mendapatkan pemasukan pajak dalam jumlah besar dari skema amnesti bakal terwujud. Mengapa? Jawabnya, karena tidak terbayarnya utang pajak oleh para wajib pajak tidak semata-mata disebabkan mereka mengalami krisis keuangan akibat bisnis atau pendapatan mereka memburuk. Sangat mungkin juga karena mereka memang tidak memiliki itikad baik untuk membayar pajak. Mereka menganggap membayar pajak merupakan suatu beban yang merugikan sehingga sedapat mungkin harus dihindari.
Dalam satu dekade terakhir, orientasi dari visi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, tanggung j... more Dalam satu dekade terakhir, orientasi dari visi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, tanggung jawab dan perilaku serta tolok ukur penilaian kinerja dari entitas korporasi di Indonesia sedang mengalami transformasi besar. Orientasi visi, tujuan, sasaran, tanggung jawab dan perilaku bisnis dari entitas korporasi yang sebelumnya hanya berfokus pada upaya-upaya untuk memaksimalkan laba sehingga mendorong korporasi berperilaku tamak, serakah dan merusak, sejak tahun 2007 hingga saat ini mulai bertransformasi ke arah yang lebih hijau (green) atau ramah terhadap masyarakat dan lingkungan. Dalam penilaian kinerja dan pengambilan keputusan investasi, operasi dan pendanaan, para pelaku bisnis dan stakeholder juga mulai menggunakan indikator-indikator kinerja tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSLP) yang bersifat wajib karena melekat dalam dokumen Amdal perusahaan dan kinerja corporate social responsibility (CSR) yang bersifat sukarela sebagai dasar pertimbangan. Proses transformasi tersebut tampaknya dipicu oleh intervensi negara melalui sejumlah regulasi. Melalui sejumlah regulasi, seperti UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No.25 Tahun 2007 tentang Penaman Modal, PP No.47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, Perda TJSLP di sejumlah daerah dan sejumlah regulasi lainnya, pemerintah memaksa entitas-entitas korporasi di Indonesia untuk mereformasi, merekonstruksi dan mentransformasi paradigma tanggung jawab korporasi atau bisnis ke arah yang lebih ramah masyarakat dan lingkungan. Dalam sejumlah regulasi tersebut, entitas korporasi diminta untuk mengintegrasikan dan mensinergiskan visi dan tanggung jawab perseroan untuk memaksimumkan laba (profit maximize) dengan visi dan tanggung jawab perseroan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan alam. Pemerintah bahkan mewajibkan korporasi mendesain dan melaksanakan sistem tatakelola korporasi yang baik (good corporate governance/GCG) yang mengintegrasikan dan mensinergiskan ketiga tanggung jawab tersebut.
Sejak DPR mengesahkan UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang di dalamnya mema... more Sejak DPR mengesahkan UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang di dalamnya memasukkan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) sebagai kewajiban perseroan (Pasal 66 dan Pasal 74), isu tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih dikenal sebagai CSR (corporate social resposisbililty) mendapat perhatian luas dari para pelaku usaha, pemerintah dan masyarakat luas. Banyak perusahaan yang awalnya enggan atau menolak melakukan CSR, dalam beberapa tahun terakhir mulai peduli melaksanakan CSR secara berkesinambungan. Hasil-hasil riset yang dilakukan para mahasiswa bimbingan saya memperlihatkan bahwa jumlah perusahaan yang melaksanakan CSR dan mengungkapkan informasinya dalam pelaporan tahunan terus meningkat dalam tujuh tahun terakhir. Luas pengungkapannya, yang tercermin dalam Indeks Pengungkapan CSR (CSR Disclosure Index), juga semakin luas. Yang mengejutkan, hasil-hasil riset itu juga menunjukkan perusahaan-perusahaan yang melaksanakan CSR dan mengungkapkan informasinya kepada publik tidak hanya berasal dari industri yang berkaitan dengan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 74 UUPT. Tapi, juga meliputi perusahaan-perusahaan yang bidang usahanya tidak berkaitan dengan SDA seperti perbankan, asuransi, perdagangan dan jasa. Tampaknya, perusahaan-perusahaan publik dan privat di Tanah Air mulai meningkat kesadarannya bahwa CSR bukanlah semata-semata sebagai beban atau kewajiban perseroan yang dipaksakan oleh regulasi. Tapi, juga menjadi kebutuhan hakiki dari para pebisnis agar bisnisnya bisa beroperasi secara nyaman dan bisa bertumbuh serta berkembang secara berkelanjutan. Paradigma para pebisnis tampaknya telah berubah dengan memandang CSR sebagai pengorbanan untuk investasi strategis. Yang juga menarik dari hasil–hasil riset tersebut adalah pelaksanaan CSR ternyata berdampak positif meningkatkan kinerja bisnis, kinerja keuangan dan nilai perusahaan.
Buku pidato pengukuhan guru besar ini memaparkan tentang miskonsepsi dan konstruksi tentang Tang... more Buku pidato pengukuhan guru besar ini memaparkan tentang miskonsepsi dan konstruksi tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan (TJSLP), urgensi reformasi paradigma pebisnis tentang TJSLP atau CSR, dan manfaat investasi TJSLP. Buku ini juga membahas usulan penulis tentang perlunya mereformasi paradigma akuntansi konvensional yang memperlakukan semua costs untuk melaksanakan dengan TJSLP dan CSR sebagai beban periodik dengan paradigma Akuntansi Berkelanjutan. Juga dibahas tentang reformasi pendidikan akuntansi menuju pendidikan akuntansi berkelanjutan....
Dalam tiga dekade terakhir, masyarakat global dihadapkan pada dua kondisi dilematis dalam membang... more Dalam tiga dekade terakhir, masyarakat global dihadapkan pada dua kondisi dilematis dalam membangun tata dunia baru. Di satu sisi, muncul berbagai inisiatif politik dan gerakan global dari para pemimpin negara, korporasi dan masyarakat dunia untuk membangun kolaborasi global dalam rangka mengintegrasikan berbagai kepentingan politik, ekonomi, perdagangan, keamanan dan lainnya ke dalam satu visi, misi dan tujuan yang sama dalam upaya membangun tata dunia baru yang lebih aman, damai dan sejahtera. Namun di sisi lain, dunia juga dihadapkan pada realitas yang mengkuatirkan, yaitu bumi tempat dimana manusia berada dan membangun peradaban kehidupan sedang mengalami multikrisis yang serius. Bumi sedang mengalami "sakit parah" akibat perbuatan manusia. Perilaku hidup manusia yang tidak ramah lingkungan telah menyebabkan pemanasan global, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang parah sehingga menimbulkan berbagai bencana lingkungan dan sosial yang serius pula. Karena itu, muncul pula berbagai agenda aksi global untuk menyelamatkan bumi dan kehidupan semesta alam agar tetap sehat dan lestari.
This study purposes to investigate the free-riding behattior from stoek market actors in respondi... more This study purposes to investigate the free-riding behattior from stoek market actors in responding to the good and bad news earnings an
Beberapa waktu lalu, muncul lagi berita buruk yang mencoreng wajah dunia pendidikan Indonesia. Se... more Beberapa waktu lalu, muncul lagi berita buruk yang mencoreng wajah dunia pendidikan Indonesia. Seorang dosen dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ketahuan melakukan tindakan kejahatan intelektual dalam penulisan artikel ilmiah. Ia melakukan plagiat atau penjiplakan karya skripsi mahasiswa bimbingannya untuk kenaikan jabatan fungsional akademik. Rektor UIN langsung memberi sanksi pemecatan sebagai dosen pada yang bersangkutan. Sebelum muncul kasus itu, juga muncul sejumlah kasus plagiarisme yang membuat malu dunia akademik kita. Sejumlah dosen dari beberapa perguruan tinggi yang sedang mengajukan jabatan Lektor Kepala dan Guru Besar ke Dikti ketahuan melakukan tindakan plagiasi dalam sejumlah karya ilmiahnya. Dirjen Dikti mengembalikan berkas akademik dari para plagiator tersebut dan meminta pimpinan perguruan tingginya masing-masing untuk memberi sanksi tegas. Beberapa waktu sebelumnya, masyarakat juga dikejutkan oleh perilaku tidak etis dari beberapa guru besar yang seharusnya menjadi teladan akademik. Seorang profesor dari salah satu PTS terkenal di Bandung melakukan plagiasi dalam penulisan artikel populer di koran nasional. Gelar profesornya dicopot. Ia juga dipecat sebagai dosen. Seorang profesor lainnya dari Sumatera juga ketahuan melakukan plagiasi dalam penulisan buku. Akibatnya, penerbit terpaksa menarik kembali buku itu dan yang bersangkutan juga dikenakan sanksi berat. Walau tidak terpublikasi ke masyarakat, sejumlah pimpinan perguruan tinggi (PT) yang memiliki komitmen tinggi menegakkan etika akademik juga sudah banyak melakukan tindakan tegas kepada para mahasiswa, alumni dan dosennya yang terbukti melakukan plagiasi. Misalnya, terpaksa mencabut gelar sarjana kepada para alumni yang terbukti melakukan plagiasi karya orang lain dalam penulisan skripsi, tesis dan disertasi. Sejumlah dosen yang terbukti melakukan pelanggaran etika ilmiah akademik juga diberikan sanksi tegas sesuai dengan kadar dan tingkat pelanggarannya. 1 Tulisan ini sudah dimuat harian Jawa Pos Radar Semarang, 25 Juni 2012.
This paper aims to explain fundamental issues in the conceptual framework, accounting standards a... more This paper aims to explain fundamental issues in the conceptual framework, accounting standards and accounting practices based on conventional accounting that are less responsive to corporate social and environmental responsibility issues, as well as green business and green corporation practices. In the perspective of conventional accounting, the costs of carrying out social and environmental responsibilities and the costs of greening firms and businesses are a periodic burden that diminishes earnings, the value of owner's equity and corporate assets. In such cases, these costs have considerable economic benefits certainly for the company in the future so it should be treated as a social investment and green investment in the group of corporate assets. Therefore, the transformation towards Green Accounting becomes very important. This paper describes the process of transformation.
BUKU ini memaparkan tentang konsep-konsep dan hakikat CSR, praktik CSR dalam korporasi, dan hipot... more BUKU ini memaparkan tentang konsep-konsep dan hakikat CSR, praktik CSR dalam korporasi, dan hipotesis tentang manfaat ekonomi dan nonekonomi CSR. Juga disajikan dan dibahas bukti-bukti empiris berkah CSR di Indonesia dan di negara-negara lain. Buku ini menyimbulkan bahwa pelaksanaan CSR mendatangkan banyak berkah atau berkah berlimpah. Karena itu, pada bagian terakhir, disajikan konstruksi tatakelola CSR yang baik.
Buku ini membahas secara mendalam tentang tentang Misteri CSR, hakikat dan praktik CSR, serta for... more Buku ini membahas secara mendalam tentang tentang Misteri CSR, hakikat dan praktik CSR, serta formulasi hipotesis tentang manfaat ekonomi dan nonekonomi CSR. Buku ini juga menyajikan bukti-bukti empiris tentang manfaat CSR di Indonesia dan di negara-negara lain. Karena CSR memberikan berkah berlimpah bagi korporasi maka manajemen perlu mengelolanya secara baik. Pada bagian terakhir buku ini, disajikan kerangka tatakelola korporasi yang baik terhadap CSR
Uploads
Papers by Andreas Lako