Nama buah-buahan tidak termasuk ke dalam daftar 200 kosakata dasar swadesh. Kendati demikian, per... more Nama buah-buahan tidak termasuk ke dalam daftar 200 kosakata dasar swadesh. Kendati demikian, perbedaan nama buah-buahan di tingkat dialek pada daerah yang berbeda merepresentasikan adanya tingkat kedekatan antardaerah tersebut. Secara umum, penelitian ini berangkat pada pertanyaan tentang fakta pembeda terkait perbedaan nama buah-buahan yang ada di tiga daerah, yakni Lumajang, Malang, dan Kediri.Untuk selanjutnya, terdapat dua tujuan khusus, yakni mendeskripsikan (1) perubahan fonologis nama buah-buahan dalam bahasa Jawa dialek Lumajang, dialek Malang, dan dialek Kediri dan (2) persentase perbedaan fonologis nama buah-buahan dalam bahasa Jawa dialek Lumajang, dialek Malang, dan dialek Kediri dengan menerapkan analisis dialektometri segitiga.Pendekatan metodologis menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan pengumpulan data yang dipakai adalah metode lapangan langsung agar data yang dihimpun benar-benar mengambarkan fakta bahasa terkini yang ada. Data penelitian ini dianalisis ...
Proceedings 2nd ISLLAC (International Seminar on Language, Literature, Art, and Culture), 2018
Gastronomi sastra adalah perspektif pemahaman karya sastra tentang makanan. Dalam kajian sastra d... more Gastronomi sastra adalah perspektif pemahaman karya sastra tentang makanan. Dalam kajian sastra dan gastronomi, makanan dapat dilihat sebagai medium untuk membangun karakterisasi tokoh. Identitas lokal dan nasional dari tokoh bisa digambarkan melalui kecenderungan melestarikan makanan berakar lokal dan nasional. Munculnya kajian sastra berwasasan kuliner diharapkan akan meningkatkan minat sastrawan untuk menulis sastra bertema kuliner. Dengan demikian, secara tidak langsung kajian sastra berwawasan kuliner bisa menghidupkan sastra kuliner untuk memperkaya identitas sastra Indonesia sekaligus sebagai wahana mengenalkan dan melestarikan kuliner Nusantara. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk membahas konsep-konsep gastronomi, membahas muatan konsep-konsep gastronomi dalam dalam karya sastra, serta menjelaskan manifestasi gastronomi sastra dalam upaya mengangkat boga dan budaya bermuatan lokalitas sebagai bentuk penggalian kekayaan budaya Nusantara.
Puisi merupakan karya sastra berupa susunan kata-kata yang dipilih dan dirangkai untuk menimbulka... more Puisi merupakan karya sastra berupa susunan kata-kata yang dipilih dan dirangkai untuk menimbulkan efek dan daya sentuh, tentunya dengan maksud yang lebih luas. Sebagai salah satu bentuk karya sastra, puisi juga mengandung petanda-petanda yang harus ditafsirkan pembaca agar mampu mencapai makna yang dimaksudkan penyair. Puisi Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar menceritakan tentang tragedi kemanusiaan di Karawang-Bekasi yang menimbulkan banyak korban dari kalangan penduduk dan para pejuang pemertahanan kemerdekaan Indonesia. Artikel ini menganalisis puisi tersebut dengan pendekatan stilistika untuk mengkaji makna penggunaan kata "kami" dalam puisi serta dampak apa yang ditimbulkan dari penggunaan kata tersebut. Hasil yang didapat adalah kata "kami" merujuk pada para korban tragedi pembantaian Karawang-Bekasi. Dampak dari penggunaan pilihan kata "kami" dalam puisi tersebut ialah pembaca lebih bisa merasakan empati mendalam terhadap "kami" selaku pencerita sekaligus korban tragedi. Selain itu, "kami" sebagai subjek kisah dalam puisi seolah mampu membawa pembaca untuk turut serta membayangkan bagaimana tragedi Karawang-Bekasi terjadi. Pendahuluan Karya sastra merupakan hasil pemikiran tentang kehidupan manusia yang perwujudannya dalam bentuk fiksi. Karya sastra hadir sebagai bentuk perenungan terhadap berbagai fenomena kehidupan masyarakat sehingga hasil karya tersebut tidak hanya dianggap sekadar cerita khayal semata, melainkan perwujudan kreativitas pengarang dalam menggali gagasannya (Yuliawati, dkk, 2012). Melalui karyanya, pengarang ingin mengungkapkan masalah kemanusiaan, penderitaan, perjuangan, kebencian, dan segala kompleksitas kehidupan manusia di dunia. Oleh sebab itu, karya sastra tidak lahir dari fenomena-fenomena kehidupan lugas, tetapi juga kesadaran pengarangnya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif dan fiktif harus mampu memuat misi untuk menyampaikan nilai-nilai yang dapat dipertanggungjawabkan.
Novel Puya ke Puya adalah salah satu karya sastra ciptaan Faisal Oddang yang merepresentasikan ke... more Novel Puya ke Puya adalah salah satu karya sastra ciptaan Faisal Oddang yang merepresentasikan kehidupan budaya masyarakat Toraja sebagai latar utama dalam karya. Tulisan ini akan mengulas tentang novel Puya ke Puya ditinjau dari unsur intrinsiknya yaitu latar yang dalam hal ini latar sosial. Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi, mencakup tata cara kehidupan sosial masyarakat, meliputi berbagai masalah dalam lingkup yang relatif kompleks. Pengkajian latar sosial yang digambarkan dalam novel akan diinterpretasikan berdasarkan kutipan-kutipan dari novel. Adapun hasil yang didapat adalah terdapat hubungan antara estetika kultur masyarakat Toraja dengan penggambaran latar sosial yang diceritakan dalam novel Puya ke Puya tersebut. Berlatar di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, yang sarat akan nilai-nilai tradisi dan adat-istiadat, Puya ke Puya mengandung muatan nilai budaya yang digambarkan di awal hingga akhir novel. Kata kunci: Toraja, novel, adat, rambu solo, setting Latar atau setting merupakan salah satu unsur pembentuk karya sastra prosa. Latar dapat didefinisikan sebagai lingkungan fisik dan temporal tempat terjadinya suatu peristiwa. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010) menyatakan bahwa latar dari karya naratif atau drama adalah tempat secara umum dan waktu historis tindakan terjadi. Sementara itu, Wellek dan Warren (2014:268) menjelaskan bahwa latar adalah elemen fiksi yang menunjukkan di mana dan kapan terjadi peristiwa. Dengan kata lain, istilah latar mengacu pada titik waktu dan ruang dari peristiwa-peristiwa dalam plot terjadi. Latar juga dibedakan menjadi tiga yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial (Nurgiyantoro, 2010:230). Latar tempat bersifat fisikal dan berhubungan dengan tempat-tempat terjadinya peristiwa dalam drama. Latar waktu dikaitkan dengan waktu faktual atau waktu terjadinya suatu peristiwa. Sementara itu latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi, yang mencakup tata cara kehidupan sosial masyarakat, meliputi berbagai masalah dalam lingkup yang relatif kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, cara bersikap, dan lain-lain. Latar sosial berperan
Kasus konflik beragama Sunni-Syiah di Sampang seolah menjadi tamparan bagi kebhinekaan bangsa Ind... more Kasus konflik beragama Sunni-Syiah di Sampang seolah menjadi tamparan bagi kebhinekaan bangsa Indonesia. Dalam satu agama yang sama pun tidak menutup kemungkinan akan terjadi konflik horizontal yang disebabkan oleh perbedaan mazhab atau ideologi sama. Sila pertama Pancasila yang berbunyi ”Ketuhanan Yang Maha Esa” serta sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” memang memberikan kebebasan bagi tiap warga negara untuk menganut ajaran agama yang dipercayai. Hal tersebut juga sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Namun, dalam kasus Syiah-Sunni di Sampang memberikan gambaran realitas di mana masyarakat membatasi kebebasan beragama bagi kelompok Syiah. Makalah ini dibuat untuk memberikan penjelasan lebih detail terkait konflik beragama kelompok Sunni-Syiah di Sampang, Madura. Kasus tersebut penting untuk dibahas karena memberikan gambaran nilai kebhinekaan dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan beragama yang sudah mulai luntur di masyarakat.
Pada abad ke XIX, kajian kebahasaan yang ada fokus kajiannya hanya pada pengelompokkan bahasa-bah... more Pada abad ke XIX, kajian kebahasaan yang ada fokus kajiannya hanya pada pengelompokkan bahasa-bahasa saja, sementara memasuki abad ke XX, telaah kajian linguistik memfokuskan pada struktur atau substansi bahasa. Oleh sebab itu studi kebahasaan abad ke XX disebut juga aliran strukturalisme. Tokoh yang paling berjasa dalam memperkenalkan linguistik strukturalis atau linguistik modern adalah Ferdinand de Saussure, yang mendeskripsikan konsep dan pandangan baru dalam kajian kebahasaan melalui bukunya, Course de Linguistique Generale. Buku itu mampu mengubah jalannya studi bahasa dari perbandingan kesejarahan ke linguistik struktural, biar pun hanya menampilkan kompilasi catatan-catatan perkuliahan yang dikumpulkan murid-muridnya di Universitas Swiss.
Munir. Nama itu sudah otomatis muncul dalam benak jika sampai pada bahasan keadilan dan HAM di Nu... more Munir. Nama itu sudah otomatis muncul dalam benak jika sampai pada bahasan keadilan dan HAM di Nusantara. Ia adalah sang aktivis yang menjadi saksi kelam sekaligus memorial tentang betapa kacaunya pelaksanaan konsepsi hak asasi di negeri ini. Sepak terjangnya dalam menegakkan prinsip-prinsip kemanusiaan di atas roda tirani pemerintahan, menunjukkan betapa layak ia dikenang sebagai Pahlawan Bangsa, meski pada akhirnya gelar itu tak dipunyanya. Wafat secara mendadak, dalam pelukan angkasa saat melaju menuju Belanda demi ilmu yang hendak dituntutnya. Kematian Munir jelas menyisakan pertanyaan besar, mengingat terlalu banyak alibi tidak masuk akal dalam upaya pengungkapan kasus penyebab kematiannya. Siapakah sebenarnya Munir itu? Mengapa ia seolah menjadi 'simbolisasi' dari penegakan HAM di Indonesia?
Indonesia terdiri atas berbagai suku dengan bahasanya masing-masing. Berdasarkan laporan hasil pe... more Indonesia terdiri atas berbagai suku dengan bahasanya masing-masing. Berdasarkan laporan hasil penelitian Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa di Indonesia yang dilakukan oleh Badan Bahasa pada tahun 2008, telah berhasil diidentifikasi sejumlah 442 bahasa. Hingga tahun 2011, tercatat terjadi penambahan sejumlah 72 bahasa sehingga jumlah keseluruhannya menjadi 514 bahasa. Jumlah tersebut masih dapat bertambah karena masih ada beberapa daerah yang belum diteliti. Di dalam situasi yang multikultural dan multilingual tersebut, sentuh bahasa dan sentuh budaya tidak dapat dihindari. Kontak bahasa itu menimbulkan saling serap antara unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain.
Nama buah-buahan tidak termasuk ke dalam daftar 200 kosakata dasar swadesh. Kendati demikian, per... more Nama buah-buahan tidak termasuk ke dalam daftar 200 kosakata dasar swadesh. Kendati demikian, perbedaan nama buah-buahan di tingkat dialek pada daerah yang berbeda merepresentasikan adanya tingkat kedekatan antardaerah tersebut. Secara umum, penelitian ini berangkat pada pertanyaan tentang fakta pembeda terkait perbedaan nama buah-buahan yang ada di tiga daerah, yakni Lumajang, Malang, dan Kediri.Untuk selanjutnya, terdapat dua tujuan khusus, yakni mendeskripsikan (1) perubahan fonologis nama buah-buahan dalam bahasa Jawa dialek Lumajang, dialek Malang, dan dialek Kediri dan (2) persentase perbedaan fonologis nama buah-buahan dalam bahasa Jawa dialek Lumajang, dialek Malang, dan dialek Kediri dengan menerapkan analisis dialektometri segitiga.Pendekatan metodologis menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan pengumpulan data yang dipakai adalah metode lapangan langsung agar data yang dihimpun benar-benar mengambarkan fakta bahasa terkini yang ada. Data penelitian ini dianalisis ...
Proceedings 2nd ISLLAC (International Seminar on Language, Literature, Art, and Culture), 2018
Gastronomi sastra adalah perspektif pemahaman karya sastra tentang makanan. Dalam kajian sastra d... more Gastronomi sastra adalah perspektif pemahaman karya sastra tentang makanan. Dalam kajian sastra dan gastronomi, makanan dapat dilihat sebagai medium untuk membangun karakterisasi tokoh. Identitas lokal dan nasional dari tokoh bisa digambarkan melalui kecenderungan melestarikan makanan berakar lokal dan nasional. Munculnya kajian sastra berwasasan kuliner diharapkan akan meningkatkan minat sastrawan untuk menulis sastra bertema kuliner. Dengan demikian, secara tidak langsung kajian sastra berwawasan kuliner bisa menghidupkan sastra kuliner untuk memperkaya identitas sastra Indonesia sekaligus sebagai wahana mengenalkan dan melestarikan kuliner Nusantara. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk membahas konsep-konsep gastronomi, membahas muatan konsep-konsep gastronomi dalam dalam karya sastra, serta menjelaskan manifestasi gastronomi sastra dalam upaya mengangkat boga dan budaya bermuatan lokalitas sebagai bentuk penggalian kekayaan budaya Nusantara.
Puisi merupakan karya sastra berupa susunan kata-kata yang dipilih dan dirangkai untuk menimbulka... more Puisi merupakan karya sastra berupa susunan kata-kata yang dipilih dan dirangkai untuk menimbulkan efek dan daya sentuh, tentunya dengan maksud yang lebih luas. Sebagai salah satu bentuk karya sastra, puisi juga mengandung petanda-petanda yang harus ditafsirkan pembaca agar mampu mencapai makna yang dimaksudkan penyair. Puisi Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar menceritakan tentang tragedi kemanusiaan di Karawang-Bekasi yang menimbulkan banyak korban dari kalangan penduduk dan para pejuang pemertahanan kemerdekaan Indonesia. Artikel ini menganalisis puisi tersebut dengan pendekatan stilistika untuk mengkaji makna penggunaan kata "kami" dalam puisi serta dampak apa yang ditimbulkan dari penggunaan kata tersebut. Hasil yang didapat adalah kata "kami" merujuk pada para korban tragedi pembantaian Karawang-Bekasi. Dampak dari penggunaan pilihan kata "kami" dalam puisi tersebut ialah pembaca lebih bisa merasakan empati mendalam terhadap "kami" selaku pencerita sekaligus korban tragedi. Selain itu, "kami" sebagai subjek kisah dalam puisi seolah mampu membawa pembaca untuk turut serta membayangkan bagaimana tragedi Karawang-Bekasi terjadi. Pendahuluan Karya sastra merupakan hasil pemikiran tentang kehidupan manusia yang perwujudannya dalam bentuk fiksi. Karya sastra hadir sebagai bentuk perenungan terhadap berbagai fenomena kehidupan masyarakat sehingga hasil karya tersebut tidak hanya dianggap sekadar cerita khayal semata, melainkan perwujudan kreativitas pengarang dalam menggali gagasannya (Yuliawati, dkk, 2012). Melalui karyanya, pengarang ingin mengungkapkan masalah kemanusiaan, penderitaan, perjuangan, kebencian, dan segala kompleksitas kehidupan manusia di dunia. Oleh sebab itu, karya sastra tidak lahir dari fenomena-fenomena kehidupan lugas, tetapi juga kesadaran pengarangnya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif dan fiktif harus mampu memuat misi untuk menyampaikan nilai-nilai yang dapat dipertanggungjawabkan.
Novel Puya ke Puya adalah salah satu karya sastra ciptaan Faisal Oddang yang merepresentasikan ke... more Novel Puya ke Puya adalah salah satu karya sastra ciptaan Faisal Oddang yang merepresentasikan kehidupan budaya masyarakat Toraja sebagai latar utama dalam karya. Tulisan ini akan mengulas tentang novel Puya ke Puya ditinjau dari unsur intrinsiknya yaitu latar yang dalam hal ini latar sosial. Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi, mencakup tata cara kehidupan sosial masyarakat, meliputi berbagai masalah dalam lingkup yang relatif kompleks. Pengkajian latar sosial yang digambarkan dalam novel akan diinterpretasikan berdasarkan kutipan-kutipan dari novel. Adapun hasil yang didapat adalah terdapat hubungan antara estetika kultur masyarakat Toraja dengan penggambaran latar sosial yang diceritakan dalam novel Puya ke Puya tersebut. Berlatar di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, yang sarat akan nilai-nilai tradisi dan adat-istiadat, Puya ke Puya mengandung muatan nilai budaya yang digambarkan di awal hingga akhir novel. Kata kunci: Toraja, novel, adat, rambu solo, setting Latar atau setting merupakan salah satu unsur pembentuk karya sastra prosa. Latar dapat didefinisikan sebagai lingkungan fisik dan temporal tempat terjadinya suatu peristiwa. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010) menyatakan bahwa latar dari karya naratif atau drama adalah tempat secara umum dan waktu historis tindakan terjadi. Sementara itu, Wellek dan Warren (2014:268) menjelaskan bahwa latar adalah elemen fiksi yang menunjukkan di mana dan kapan terjadi peristiwa. Dengan kata lain, istilah latar mengacu pada titik waktu dan ruang dari peristiwa-peristiwa dalam plot terjadi. Latar juga dibedakan menjadi tiga yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial (Nurgiyantoro, 2010:230). Latar tempat bersifat fisikal dan berhubungan dengan tempat-tempat terjadinya peristiwa dalam drama. Latar waktu dikaitkan dengan waktu faktual atau waktu terjadinya suatu peristiwa. Sementara itu latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi, yang mencakup tata cara kehidupan sosial masyarakat, meliputi berbagai masalah dalam lingkup yang relatif kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, cara bersikap, dan lain-lain. Latar sosial berperan
Kasus konflik beragama Sunni-Syiah di Sampang seolah menjadi tamparan bagi kebhinekaan bangsa Ind... more Kasus konflik beragama Sunni-Syiah di Sampang seolah menjadi tamparan bagi kebhinekaan bangsa Indonesia. Dalam satu agama yang sama pun tidak menutup kemungkinan akan terjadi konflik horizontal yang disebabkan oleh perbedaan mazhab atau ideologi sama. Sila pertama Pancasila yang berbunyi ”Ketuhanan Yang Maha Esa” serta sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” memang memberikan kebebasan bagi tiap warga negara untuk menganut ajaran agama yang dipercayai. Hal tersebut juga sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Namun, dalam kasus Syiah-Sunni di Sampang memberikan gambaran realitas di mana masyarakat membatasi kebebasan beragama bagi kelompok Syiah. Makalah ini dibuat untuk memberikan penjelasan lebih detail terkait konflik beragama kelompok Sunni-Syiah di Sampang, Madura. Kasus tersebut penting untuk dibahas karena memberikan gambaran nilai kebhinekaan dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan beragama yang sudah mulai luntur di masyarakat.
Pada abad ke XIX, kajian kebahasaan yang ada fokus kajiannya hanya pada pengelompokkan bahasa-bah... more Pada abad ke XIX, kajian kebahasaan yang ada fokus kajiannya hanya pada pengelompokkan bahasa-bahasa saja, sementara memasuki abad ke XX, telaah kajian linguistik memfokuskan pada struktur atau substansi bahasa. Oleh sebab itu studi kebahasaan abad ke XX disebut juga aliran strukturalisme. Tokoh yang paling berjasa dalam memperkenalkan linguistik strukturalis atau linguistik modern adalah Ferdinand de Saussure, yang mendeskripsikan konsep dan pandangan baru dalam kajian kebahasaan melalui bukunya, Course de Linguistique Generale. Buku itu mampu mengubah jalannya studi bahasa dari perbandingan kesejarahan ke linguistik struktural, biar pun hanya menampilkan kompilasi catatan-catatan perkuliahan yang dikumpulkan murid-muridnya di Universitas Swiss.
Munir. Nama itu sudah otomatis muncul dalam benak jika sampai pada bahasan keadilan dan HAM di Nu... more Munir. Nama itu sudah otomatis muncul dalam benak jika sampai pada bahasan keadilan dan HAM di Nusantara. Ia adalah sang aktivis yang menjadi saksi kelam sekaligus memorial tentang betapa kacaunya pelaksanaan konsepsi hak asasi di negeri ini. Sepak terjangnya dalam menegakkan prinsip-prinsip kemanusiaan di atas roda tirani pemerintahan, menunjukkan betapa layak ia dikenang sebagai Pahlawan Bangsa, meski pada akhirnya gelar itu tak dipunyanya. Wafat secara mendadak, dalam pelukan angkasa saat melaju menuju Belanda demi ilmu yang hendak dituntutnya. Kematian Munir jelas menyisakan pertanyaan besar, mengingat terlalu banyak alibi tidak masuk akal dalam upaya pengungkapan kasus penyebab kematiannya. Siapakah sebenarnya Munir itu? Mengapa ia seolah menjadi 'simbolisasi' dari penegakan HAM di Indonesia?
Indonesia terdiri atas berbagai suku dengan bahasanya masing-masing. Berdasarkan laporan hasil pe... more Indonesia terdiri atas berbagai suku dengan bahasanya masing-masing. Berdasarkan laporan hasil penelitian Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa di Indonesia yang dilakukan oleh Badan Bahasa pada tahun 2008, telah berhasil diidentifikasi sejumlah 442 bahasa. Hingga tahun 2011, tercatat terjadi penambahan sejumlah 72 bahasa sehingga jumlah keseluruhannya menjadi 514 bahasa. Jumlah tersebut masih dapat bertambah karena masih ada beberapa daerah yang belum diteliti. Di dalam situasi yang multikultural dan multilingual tersebut, sentuh bahasa dan sentuh budaya tidak dapat dihindari. Kontak bahasa itu menimbulkan saling serap antara unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain.
Uploads