Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Eksepsi Perkara Pidana Tipu Gelap

Eksepsi merupakan langkah hukum yang diajukan dalam suatu proses persidangan perkara yang mencoba mengkaji kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam dakwaan yang diajukan penuntut umum pada perkara pidana.

Kepada Yang Mulia; Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Pidana Nomor : 2152/Pid.B/2013/PN.Sby Pada Pengadilan Negeri Surabaya di SURABAYA    Yang bertanda tangan di bawah ini : --------------------------------- NOOR AUFA, SH -------------------------------------- ----------------------------- S.P. WIBOWO, SH, MH --------------------------------- Semuanya adalah Advokat pada Kantor Hukum LN & Associates, Advocates – Legal Consultants – Attorney at Law - Mediator; berdomisili hukum di Sun City Mall Blok A-2 Jalan Pahlawan No. 1 Sidoarjo Jawa Timur; Phone : +6231-8078777; Fax ; +6231-8077077; email ; lnassociates@lnassociates.com ; website : www.lnassociates.com, Bertindak untuk dan atas nama terdakwa : Nama : Soleh Harijanto Bin Slamet alias Hok Kian Lai Tempat Lahir : Surabaya Tanggal Lahir : 31 Mei 1956 Jenis Kelamin : Laki-Laki Kebangsaan : Indonesia Agama : Kristen Tempat Tinggal : Jln. Kenjeran No. 232 RT 07 RW o1 Kel. Rangkah Kec. Tambak Sari Kota Surabaya Pendidikan : SLTA Pekerjaan : Wiraswasta Majelis Hakim Yang Kami Muliakan; Rekan Penuntut Umum Yang Terhormat; Serta hadirin sidang sekalian yang berbahagia; Setelah pada persidangan lalu kita mendengarkan Dakwaan Rekan Penuntut Umum, maka perkenankan kami para Penasihat Hukum Terdakwa menyampaikan eksepsi/ tangkisan/ keberatan atas dakwaan tersebut. Bahwa Terdakwa Soleh Harijanto Binj Slamet alias Hok Kian Lai telah didakwa dengan dakwaan sebagai berikut : KESATU : Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam Pasal 378 KUHP, dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan rangkaian perkataan-perkataan bohong, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya member utang maupun menghapuskan piutang ATAU KEDUA : Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam Pasal 372 KUHP, dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Berangkat dari Surat Dakwaan yang disampaikan pada persidangan sebelumnya, kiranya kami para Penasihat Hukum Terdakwa merasa urgent menyampaikan Eksepsi ini demi kepentingan hukum dan keadilan serta memperoleh jaminan perlindungan hak-hak asasi terdakwa atas kebenaran, kepastian hukum dan keadilan. Selain itu, eksepsi ini perlu kami sampaikan demi perlindungan hukum yang lebih luas bagi masyarakat pada umumnya maupun pembangunan hukum dalam proses beracara persidangan  pidana, dimana semuanya dijamin Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bertitik tolak dari kerangka yang dibangun Berita Acara Pemeriksaan (BAP)  kepolisian untuk kemudian berlanjut pada Dakwaan Penuntut Umum, pada dasarnya adalah langkah penegakan hukum demi menemukan kebenaran materiil –bukan hanya kebenaran formil belaka- pada hukum pidana. Dalam arti proses yang kita adalah menegakkan prinsip-prinsip hukum pidana yang berlaku bagi segenap warga negara tanpa pandang bulu, demi terwujudnya kebenaran dan keadilan yang dituangkan dalam putusan Majelis Hakim Yang Mulia yang sering diibaratkan sebagai perpanjangan tangan Tuhan di dunia ini.  Majelis Hakim Yang Kami Muliakan; Rekan Penuntut Umum Yang Terhormat; Serta hadirin sidang sekalian yang berbahagia; Proses persidangan perkara pidana merupakan rangkaian dari adanya dugaan tindak pidana yang berlanjut dengan penyelidikan dan penyidikan kepolisian, untuk kemudian diserahkan kepada Penuntut Umum guna dilaksanakan penuntutan, dan Penuntut Umum menyerahkan kepada Pengadilan untuk mengadili guna menghasilkan putusan hukum berdasarkan nilai-nilai hukum dan keadilan. Rangkaian proses ini tidak satupun yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan proses saling terkait guna melahirkan penegakan hukum yang bermartabat. Rangkaian proses ini pula yang diadopsi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan dikenal dengan istilah Criminal Justice System. Surat dakwaan yang memuat berbagai uraian verbal tindak pidana yang di duga dilakukan terdakwa, haruslah disusun berdasarkan bahan-bahan/fakta-fakta, kemudian ditarik dan disimpulkan dari hasil pemeriksaan penyidikan yang sudah tertuang secara resmi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dilimpahkan penyidik kepada Kejaksaan. Namun demikian, memperhatikan apa yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di kepolisian serta Surat Dakwaan yang telah disampaikan Penuntut Umum, kami merasa perlu untuk menyampaikan eksepsi ini. Bukan demi kepentingan terdakwa yang duduk pada kursi panas persidangan, melainkan demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan seharusnya. Merupakan kewajiban Penasihat Hukum untuk mengajukan eksepsi/tangkisan/bantahan atas Surat Dakwaan Penuntut Umum apabila dalam Dakwaan tersebut ada sesuatu yang tidak sesuai dengan seharusnya dan/atau Dakwaan tersebut bermula dari proses yang menyalahi prosedur hukum yang tentunya akan mencederai tujuan mulia hukum itu sendiri. Majelis Hakim Yang Kami Muliakan; Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat; Serta hadirin sidang sekalian yang berbahagia; Pada Tahun 399 SM, Socrates sebagai filsuf besar dalam usianya yang 70 Tahun, dihadapkan pada persidangan yang terkenal dengan “Court of The Heliast”, dimana pada persidangan tersebut Socrates diadili oleh 501 Warga Athena. Jumlah Ganjil untuk menjamin suatu putusan bebas atau bersalah dalam peradilan tersebut. Pada dasarnya, peradilan ini menuduh Socrates melakukan dua kejahatan, yaitu : Pertama           : Socrates sengaja menolak menyembah dewa resmi Yunani Kedua              : Socrates sengaja merusak pikiran generasi muda Yunani Tiga orang Penuduh (Penuntut) yaitu Anytus, Meletus dan Cylin maju ke hadapan persidangan dan membacakan kedua tuduhan yang didakwakan kepada Socrates. Dari awal dibuka persidangan, Socrates telah dengan sadar menyakini bahwa ia sama sekali tidak punya peluang untuk keluar dari persidangan sebagai orang bebas, karena sebagian besar hakim adalah musuh-musuhnya dan demikian pula dengan penuduhnya. Untuk tuduhan tidak beragama, Socrates akan dengan mudah menangkis karena pokok masalahnya tidak langsung menyangkut kehidupan warga Athena. Tapi, untuk tuduhan “merusak pikiran generasi muda” sangat tidak mungkin bagi Socrates untuk menangkisnya karena sebagian besar warga Athena telah bersikap antipati terhadap Socrates. Kaum muda Yunani kala itu dianggap sering membangkang dan selalu membantah bila diberi nasehat kaum tua yang di duga akibat tindakan Socrates dengan melatih kaum mudanya berpikir kritis dan konstruktif. Selain itu, fakta lain yang menimbulkan kebencian terhadap Socrates adalah ramalan dari Kuil Apollo di Delphi yang menyatakan Socrates sebagai orang terpandai saat itu. Seiring dengan itu, isu-isu politik dan tuduhan-tuduhan selalu dilancarkan kepada Socrates dan berbagai nilai etika serta moral pun diabaikan. Semua ini dilakukan demi mencapai tujuan sesaat dan bukan demi kemaslahatan umat, apalagi demi menegakkan hukum dan keadilan. Berangkat dari peristiwa peradilan Socrates tersebut, terlihat nyata bagaimana etika, moral dan nilai-nilai mulia hukum dicabut dari akar KEADILAN, hanya demi tujuan sesaat guna memenuhi kepentingan kelompok tertentu. Sungguh sebuah ironi, Athena yang terkenal sebagai negeri paling demokratis di zamannya ternyata memberikan dan menorehkan noda paling hitam yang menjadi pengalaman sungguh berarti dalam dunia hukum dan peradilan. Hukum telah dijadikan sebagai senjata paling ampuh guna mengangkangi nilai-nilai kebebasan dan keadilan. Majelis Hakim Yang Kami Muliakan; Rekan Penuntut Umum Yang Terhormat; Serta hadirin sidang sekalian yang berbahagia; Berkaca dari hal tersebut, sudah sepantasnya apabila kita yang hadir dalam persidangan ini kembali mengetuk hati nurani masing-masing dalam melihat dan mempelajari dengan seksama perkara yang tengah kita hadapi. Marilah, bersama-sama menghilangkan segala tendensi atau kepentingan apapun. “Hukum adalah suatu perintah yang masuk akal, ditujukan untuk kesejahteraan umum, dibuat oleh mereka yang mengemban tugas suatu masyarakat yang dipromulgasikan”. Demikianlah defisini hukum menurut Thomas Aquinas, dimana definisi ini tetap menjadi definisi yang lengkap dan aktual hingga saat ini. Hukum adalah suatu perintah yang logis. Kalau ada hukum yang tidak logis maka hukum itu bertentangan dengan eksistensinya sendiri. Kelogisan hukum itu sendiri dapat diverifikasikan dalam kalimat-kalimat yang tertuang dalam perumusan suatu tata aturan serta tata system yang kemudian menjadi tolak ukur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ketika proses dalam memperoleh keadilan pada suatu peradilan pidana yang dimulai dari tahap penyidikan hingga adanya putusan peradilan yang memiliki kekuatan hukum tetap gagal untuk mewujudkan keadilan, maka terjadilah apa yang kita kenal dengan “Miscarriage of Justice” (Kegagalan dalam penegakan keadilan). Persoalan “Misscarriage of Justice” sendiri merupakan persoalan yang universal dan faktual yang dihadapi hampir semua negara dalam penegakan sistem peradilan pidananya, termasuk dalam hal ini penegakan hukum pidana di Indonesia. Majelis Hakim Yang Kami Muliakan; Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat; Serta hadirin sidang sekalian yang berbahagia; Pengajuan eksepsi dalam suatu persidangan perkara pidana oleh Terdakwa dan/atau Penasihat Hukumnya memang sering dinilai sebagai langkah sia-sia dan mengada-ada guna mengulur waktu persidangan. Ada pula yang beranggapan pengajuan eksepsi sebagai kebodohan Terdakwa dan/atau Penasihat Hukunya, karena hal itu akan memberikan peluang bagi Jaksa Penuntut umum untuk memperkuat strategi menggolkan surat dakwaannya. Terlepas dari semua itu, kami para Penasihat hukum dari Terdakwa berkeyakinan Pasal 156 KUHAP yang memberikan kesempatan Terdakwa dan/atau Penasihat Hukumnya mengajukan keberatan tiada lain bermaksud memberikan hak sekaligus kewajiban kepada Terdakwa dan/atau Penasihat Hukum guna mengajukan Eksepsi apabila memang dalam Surat Dakwaan terdapat kekurangan-kekurangan atau kekeliruan bersifat yuridis yang akan menyebabkan Terdakwa tidak dapat membela dirinya atau dibela Penasihat Hukum dengan sebaik-baknya dan seadil-adilnya sesuai dengan aturan hukum yang seharusnya. Menurut Yahya Harahap,SH; dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali”, Penerbit Sinar Grafika, halaman 121, menjelaskan : Eksepsi Tuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima adalah merupakan eksepsi yang dilakukan Terdakwa atau penasihat hukumnya apabila tata cara pemeriksaan terhadap Terdakwa tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau yang dimintakan undang-undang. Dalam mengajukan eksepsi ini, permohonan yang dimintakan kepada hakim adalah agar hakim menjatuhkan putusan dengan amar menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Termasuk dalam kategori eksepsi ini adalah : Eksepsi pelanggaran Miranda Rule; bahwa penyidikan tidak memenuhi ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP Eksepsi pemeriksaan tidak memenuhi syarat klacht delicten Eksepsi penyidikan tidak memenuhi ketentuan yang diwajibkan dalam KUHAP dan atau peraturan perundangan lainnya yang berkaitan Sedangkan menurut Lilik Mulyadi,SH,MH, dalam bukunya “Hukum Acara Pidana, Suatu Tinjaan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan”; Penerbit Citra Aditya Bhakti, Bandung, halaman 102 – 103, menjelaskan, yang dimaksud eksepsi tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, adalah : Apa yang didakwakan penuntut umum dalam durat dakwaannya telah kadaluwarsa Bahwa adanya nebis in idem yaitu seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya terhadap perbuatan yang sama Bahwa tidak ada unsur pengaduan padahal terdakwa didakwa telah melakukan perbuatan tindak pidana yang masuk dalam kategori delik aduan (klacht delict). Adanya unsur yang didakwakan penuntut umum kepada Terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan/disangkakan Bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bukan merupakan tindak pidana akan tetapi merupakan ruang lingkup dalam bidang hukum perdata Majelis Hakim Yang Kami Muliakan; Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat; Serta hadirin sidang sekalian yang berbahagia;  Jenis Eksepsi Yang Diajukan Penegakan peraturan tanpa memperhatikan dan memperhitungkan nilai-nilai keadilan justru melahirkan chaos hukum, sebaliknya keadilan yang diberikan tanpa didasari penegakan hukum yang benar akan menghilangkan nurani keadilan manusia. Namun demikian, keadilan dengan menelantarkan kepastian hukum dan hak asasi bagi TERSANGKA atau TERDAKWA justru menjadikan keadilan sebagai sarana kepentingan orang-orang tertentu, bahkan akan menjadikan kepastian hukum sebagai sarana persuasi dari makna Rule of Law suatu negara. Bahwa eksepsi yang kami ajukan selaku Para Penasihat Hukum Terdakwa Soleh Harijanto Bin Slamet alias Hok Kian Lai adalah eksepsi Dakwaan Tidak Dapat Diterima dengan alasan perkara yang didakwakan terdapat “Prae Judicieel Geschil” atau adanya unsur keperdataan yang harus memiliki kejelasan dalam putusan perdata sehingga tidak sepantasnya bila diajukan atau diselesaikan melalui sarana penegakan hukum pidana. Prae Judicieel Geschil merupakan sengketa yang bersifat preliminer dan timbul dalam suatu pemeriksaan karena adanya suatu hak perdata atau hubungan hukum antara 2 (dua) pihak tertentu. Dalam hal adanya Prae Judicieel Geschil, maka Hakim pidana mempunyai kewenangan untuk menangguhkan perkara pidana sampai adanya putusan perdata tentang ada atau tidaknya hak perdata atau hubungan hukum itu. Putusan sela berupa penangguhan itu diberikan oleh Hakim Pidana sebelum memasuki pokok perkara, dengan demikian Hakim Pidana belumlah memeriksa dan memutuskan pokok perkara yang ada. Dalam teori dan filsafat hukum pidana yang dikenal luas bangsa dan negara yang bermartabat mengenal pemahaman bahwa hukum pidana adalah “ULTIMUM REMEDIUM”. Dikatakannya hukum pidana sebagai “ULTIMUM REMEDIUM” berangkat dari dasar pemikiran proses hukum pidana akan melahirkan kenestapaan bagi orang tertentu dan hukum pidana adalah suatu “pedang yang bermata dua”. Artinya bahwa sanksi pidana dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang lain sudah tidak berdaya. Dengan perkataan lain, dalam suatu undang-undang sanksi pidana dicantumkan sebagai sanksi yang terakhir, setelah sanksi perdata maupun sanksi administratif dirasakan tidak lagi bisa mencapai tujuannya. Selain itu kami selaku Para Penasihat Hukum Terdakwa melihat Surat Dakwaan dari Rekan Jaksa Penuntut adalah dakwaan tidak cermat karena tidak didasarkan atas suatu penyidikan sebenarnya dan adanya bagian-bagian dalam proses penyidikan yang dihilangkan serta diitambahkan begitu saja untuk kemudian dimasukkan dalam Dakwaan oleh Rekan Penuntut Umum. Majelis Hakim Yang Kami Muliakan; Rekan Jaksa Penuntut Umum; Serta hadirin sekalian yang terhormat; Keberatan mengenai dakwaan tidak dapat diterima Bahwa ketentuan Pasal 140 Ayat (1) KUHAP dengan tegas menentukan dalam hal penuntut umum berpendapat dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan; Bahwa ketentuan ini mengisyaratkan penuntut umum baru membuat surat dakwaan apabila berpendapat hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan dan berarti apabila hasil penyidikan tidak dapat dilakukan penuntutan, ia belum atau tidak boleh membuat surat dakwaan; Bahwa ketentuan ini mengisyaratkan hasil penyidikan yang dilakukan penyidik merupakan dasar pembuatan surat dakwaan, sesuai dengan pendapat H.M.A. KUFFAL dalam bukunya “Penerapan KUHAP dalam Praktek Hukum” (Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2003, halaman 221) yang menyatakan: Surat Dakwaan adalah sebuah akte yang dibuat oleh penuntut umum berisi perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan. Bahwa karena surat dakwaan itu disusun berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan, dengan sendirinya apabila hasil penyidikan itu mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in procedure), maka surat dakwaan itu pun menjadi cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in procedure); Bahwa untuk mengukur sejauh mana hak-hak asasi tersangka telah dirugikan oleh penyidik dalam penyidikan atau untuk mengukur sejauh mana Surat Dakwaan Penuntut Umum telah mengalami cacat formal atau kekeliruan beracara (error in procedure), hal itu tergantung pada sejauh mana penuntut umum membuat surat dakwaannya, juga sejauh mana penyidik melakukan penyidikan telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam KUHAP; Bahwa karena semua atau sebagian besar hasil penyidikan telah tertuang dalam Berkas Perkara yang dibuat penyidik pada Polresta Surabaya Nomor : BP / 355 / IV / 2013 /Satreskrim Tanggal 29 April 2013 , selanjutnya disebut juga: BERKAS PERKARA, maka untuk keperluan penyusunan KEBERATAN ini selain Surat Dakwaan Penuntut Umum, Berkas Perkara yang dibuat oleh penyidik itu juga akan menjadi bahan analisis yang sangat penting dalam KEBERATAN yang kami ajukan selaku Penasihat Hukum terdakwa ini; Bahwa karena keterbatasan waktu yang tersedia, dalam penyusunan KEBERATAN ini Terdakwa atau para advokatnya tidak dapat menganalisis seluruh bagian dari Berkas Perkara yang dibuat oleh penyidik Polrestabes Surabaya a quo dan karena itu Terdakwa atau advokatnya hanya akan mengemukakan beberapa cacat formal atau kekeliruan beracara (error in procedure) seperti diuraikan di bawah ini; Majelis Hakim Yang Kami Muliakan; Rekan Jaksa Penuntut Umum; Serta hadirin sekalian yang terhormat; Bahwa Terdakwa dan para advokatnya yakin karena cacat formal atau kekeliruan beracara (error in procedure) yang terjadi baik dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum maupun selama dalam tahap penyidikan itu cukup mengganggu fondamen penegakan hukum, khususnya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang telah diamanatkan pembentuk undang-undang melalui KUHAP, maka sangat diharapkan Majelis Hakim Yang Mulia mau memberi tempat yang selayaknya bagi KEBERATAN yang diajukan Terdakwa atau para advokatnya dalam perkara ini. Pembuatan Surat Dakwaan dilakukan Penuntut Umum secara menyimpang dari hasil penyidikan, sehingga penuntutan dalam perkara ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 140 Ayat (2) Huruf a KUHAP dan Pasal 8 Ayat (4) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Bahwa lebih tegas lagi dikemukakan Leden Marpaung dalam bukunya “Proses Penanganan Perkara Pidana. Bagian Kedua di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri, Upaya Hukum dan Eksekusi” (Sinar Grafika, Jakarta, 1992, halaman 434) sebagai berikut: Hasil penyidikan yang dihimpun dalam bundel/ berkas disebut “berkas perkara”. Berkas perkara tersebut tidak dapat dipisahkan dengan surat dakwaan karena surat dakwaan tersebut bermula dari berkas perkara. Jika surat dakwaan dengan berkas tidak nampak keterkaitannya maka dakwaan tersebut dapat dinyatakan Hakim/pengadilan negeri “tidak dapat diterima”. Bahwa kami para Penasihat Hukum Terdakwa menyadari benar apa yang dikemukakan Pror. Mr. Taverne, bahwa Jaksa dalam menyusun dakwaan hidup dibawah tirani tuduhan. Dalam pada itu, banyak tuduhan yang dituangkan dalam bentuk tidak menguntungkan “lessbarheid”nya yaitu mengurangi pengertian bagi terdakwa dan menimbulkan kesulitan (“ingewikkeldheid”), sehingga sudah cukup sempurna apabila disebutkan secara singkat mengenai “feiten” disertai penyebutan tempat dan waktu dimana perbuatan dilakukan. Bahwa apakah Penuntut Umum telah membuat Surat Dakwaan dalam perkara ini mendasarkan pada hasil penyidikan tanpa menghilangkan bagian-bagian tertentu yang menurut Terdakwa dapat menguntungkan Terdakwa atau dengan menambahkan bagian-bagian tertentu yang menurut Terdakwa dapat merugikan Terdakwa? Menjawab pertanyaan tersebut, harus dilihat Surat Dakwaan Penuntut Umum dan membandingkannya dengan hasil penyidikan sebagaimana tertuang dalam Berkas Perkara yang dibuat oleh penyidik serta berbagai rangkaian proses penyidikan yang telah dilaksanakan penyidik dalam perkara a quo; Bahwa hasil pembandingan ternyata terdapat bagian-bagian tertentu yang dihilangkan atau disembunyikan Penuntut Umum dan terdapat pula bagian-bagian tertentu yang ditambahkan Penuntut Umum sehingga seolah-olah memang demikian fakta hukum dalam perkara ini; Parahnya lagi, keterangan Legal Opini Ahli Pidana (Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono,SH,MH) yang pernah diajukan Terdakwa dan para Penasihat Hukumnya sama sekali tidak dilampirkan dalam berkas perkara dan juga tidak disertakan sebagai salah satu alat bukti yang dalam berkas perkara ini. Padahal jelas dan tegas keterangan ahli dalam legal opini yang diberikan saat penyidikan menyatakan perkara yang sedang disidik Penyidik Polrestabes Surabaya atas nama tersangka Soleh Harijanto bukanlah perkara pidana dan tidak dapat diproses melalui hukum pidana. Bahkan saat pelimpahan Tersangka kepada Penuntut Umum, ketika ditanyakan keberadaan Legal Opini Ahli Pidana dalam berkas perkara, Rekan Penuntut Umum dengan yakinnya menjawab tidak perlu dan nanti saja di persidangan kalau mau diungkapkan. Ada apa dengan ini semua?? (Legal Opinion terlampir dalam Eksepsi) Selain itu, apabila dikaji lebih dalam Surat Dakwaan penuntut Umum, ternyata bagian tertentu yang dihilangkan atau disembunyikan adalah bagian yang sangat merugikan posisi Terdakwa, dan sebaliknya bagian tertentu yang ditambahkan Penuntut Umum adalah bagian yang menguntungkan posisi Saksi Irwan Candra sehingga perkara ini dengan yakinnya oleh Penuntut Umum dilanjutkankan ke proses pelimpahan perkara ke Pengadilan Negeri Surabaya di Surabaya untuk disidangkan. Majelis Hakim Yang Kami Muliakan; Rekan Jaksa Penuntut Umum; Serta hadirin sekalian yang terhormat; Berdasarkan Uraian kami diatas, Surat Dakwaan Penuntut Umum masih terlalu Prematur (belum waktunya) diajukan ke depan persidangan Pengadilan Negeri Surabaya di Kota Surabaya dan perkara pidana ini terkandung sengketa kepemilikan dan harus diperjelas dulu secara Hukum Perdata. Berdasarkan fakta ini, kami para Penasehat hukum Terdakwa menilai Dakwaan Penuntut Umum masih bergantung kepada badan peradilan lain sehingga Dakwaan dinilai prematur “Karenanya, Surat Dakwaan Penuntut Umum sepantasnya dinyatakan tidak dapat diterima dan terdakwa harus lepas dari segala tuntutan hukum,” Karena itu, kami sependapat dengan Ahli Hukum Pidana Hoenagels yang menyebutkan “Jangan menggunakan Hukum Pidana untuk mempidana Perbuatan yang tidak jelas korbannya dan Kerugiannya”  Jika ada Sengketa mengenai Hak Milik menjadi Objek Sengketa dimana ada 2 (dua) Orang atau lebih sama–sama mengaku berhak, maka terlebih dahulu harus diselesaikan secara perdata hingga mendapatkan kekuatan hukum tetap karena proses secara pidana merupakan upaya terakhir (ULTIMUM REMEDIUM). Bahwa andaikata saksi Irwan Candra merasa berhak atas obyek tersebut seharusnya yang bersangkutan menempuh jalur hukum perdata dengan mengajukan gugatan secara perdata bukan dengan cara–cara melakukan PERAMPASAN KEBEBASAN SESEORANG dengan menggunakan pedang aturan hukum pidana meskipun masih sangat kabur unsur pidananya. Bahwa hukum kita tetap memberikan perlindungan kepada seseorang yang menguasai akan sesuatu barang. Dalam hal ini terlihat jelas pihak saksi Irwan Candra telah main hakim sendiri karena tidak ada satu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang mengatakan tanah dan bangunan dalam perkara a quo adalah miliknya. Padahal, kita semua telah sepakat tindakan main hakim sendiri tidak dibenarkan dalam suatu masyarakat yang tertib dan teratur. Bahwa kasus pidana yang sedang kita hadapi ini adalah merupakan “Kasus Rekayasa” yang dilakukan segilintir orang yang Profesional Litigator (Tukang Pembuat Perkara). Sungguh sangat disayangkan Rekan Penuntut Umum dalam kasus Terdakwa Soleh Harijanto Bin Slamet alias Hok Kian Lai ikut hanyut dalam Permainan Tukang Pembuat Perkara dengan memperkosa kaedah-kaedah Hukum untuk maksud–maksud tertentu dan dengan tujuan tertentu, dimana Terdakwa Soleh Harijanto ataupun kami para Penasihat Hukum terdakwa tidak mengetahuinya. Majelis Hakim Yang Kami Muliakan; Rekan Jaksa Penuntut Umum; Serta hadirin sekalian yang terhormat; Kegagalan Penegakan keadilan (Miscarriage of Justice) adalah merupakan persoalan universal dan aktual yang dihadapi hampir semua bangsa dalam menegakkan sistem peradilan pidananya. Seorang Pejabat yang mempunyai kuasa dan wewenang menegakkan hukum dan keadilan, ternyata menggunakan kuasa dan wewenang yang ada padanya justru untuk memberi ketidakadilan. Seharusnya Rekan Penuntut Umum tidak mengeluarkan P.21 (Menyatakan Berkas Lengkap) dalam perkara ini karena Sdr. Penuntut Umum mengetahui dari awalnya kejadian perkara ini dan tidak perlu juga Rekan Penuntut Umum melakukan penahanan atas diri Terdakwa setelah Berkas Perkara dan Barang Bukti diserahkan kepada Penuntut Umum. Sebagaimana kita ketahui bersama eksepsi merupakan bagian dari Pledooi dan merupakan ujung tombak Pledooi yang amat penting mematahkan argumentasi-argumentasi Penuntut Umum yang telah membawa suatu yang tidak mempunyai dasar hukum untuk diajukan perkara pidana. Bukan rahasia lagi banyak oknum penyidik menggunakan peradilan pidana sebagai alat untuk memuaskan rasa dendam kepada seseorang yang tidak memenuhi keinginannya ataupun untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu meski dengan cara “pemaksaan” perkara pidana tersebut. Suatu perkara yang tidak ada dasar hukumnya untuk dipidanakan, dibawa ke pengadilan dengan dalih “Nanti pengadilan saja yang membuktikan bahwa bersalah atau tidak“ Sebaliknya Penuntut Umum kadang-kadang juga lupa, adakalanya karena merasa sesama aparatur negara di bidang hukum harus ada tenggang rasa, sehingga berusaha tidak mengecewakan oknum penyidik dan meneruskan perkara tersebut ke pengadilan, tetap dengan prinsip yang sama “Nanti saja dibuktikan di Pengadilan”. Kami para Penasehat Hukum Terdakwa, memohon dengan sangat agar Majelis Hakim Yang Muia dapat meneliti Perkara TERDAKWA SOLEH HARIJANTO BIN SLAMET alias HOK KIAN LAI yang diajukan Rekan Penuntut Umum yang nyata-nyata telah memaksakan suatu keadaan dan rangkaian peristiwa sehingga seakan terlihat benar suatu tindak pidana telah dilakukan oleh Terdakwa, meskipun hal itu masih jauh panggang dari api. Majelis Hakim Yang Kami Muliakan; Rekan Jaksa Penuntut Umum; Serta hadirin sekalian yang terhormat; Atas uraian eksepsi/keberatan yang telah kami sampaikan maka dengan ini kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa Soleh Harijanto Bin Slamet alias Hok Kian Lai memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim pemeriksa perkara ini agar berkenan menetapkan dan memutuskan :  Menerima dalil-dalil serta alasan-alasan yang kami uraikan dalam eksepsi atau keberatan kami atas surat dakwaan jaksa penuntut umum dalam perkara ini Menyatakan Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima . Menyatakan Perkara ini tidak dapat dilanjutkan pemeriksaannya atau Setidak- tidaknya Menunda Pemeriksaan Perkara Pidana atas nama Terdakwa Soleh Harijanto Bin Slamet alias Hok Kian Lai dalam Perkara Nomor : 2152/Pid.B/2013/PN.Sby pada Pengadilan Negeri Surabaya di Surabaya karena ada Perselisihan Prayudisial.  Menetapkan Mengembalikan Berkas Perkara kepada Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Surabaya Menetapkan Perkara A.n.Terdakwa Soleh Harijanto Bin Slamet alias Hok Kian Lai dicoret dari Register Perkara Pidana pada Pengadilan Negeri Surabaya di Surabaya Memerintahkan agar Terdakwa dibebaskan dari Tahanan. Membebankan Biaya Perkara Kepada Negara.  Demikianlah eksepsi/keberatan ini kami ajukan ke hadapan Yang Mulia Majelis Hakim pemeriksa perkara ini. Atas perhatian serta terkabulnya eksepsi/keberatan yang kami ajukan ini kami ucapkan terima kasih dan bila ada kekurangan atau kesalahan didalamnya kami mohon maaf atas keterbatasan kami selaku manusia. Surabaya; September 2013 Penasihat Hukum Terdakwa     NOOR AUFA, SH S.P. WIBOWO, SH, MH PAGE \* MERGEFORMAT 13 | EKSEPSI Perkara Nomor : 2152/Pid.B/2013/PN.SBY