RISET KESEHATAN DASAR
RISKESDAS 2013
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
TAHUN 2013
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb.
Puji syukur kepada Allah SWT selalu kami panjatkan, karena hanya dengan rahmat dan
karuniaNya Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 telah dapat diselesaikan.
Dalam laporan ini dimunculkan perkembangan status kesehatan masyarakat Indonesia khususnya
yang berkaitan indikator yang telah disepakati pada Millenium Development Goals (MDG) untuk
tingkat nasional dan tingkat provinsi.
Pelaksanaan pengumpulan data Riskesdas 2013 dilakukan pada bulan Mei-Juni 2013, di 33
provinsi dan 497 kabupaten/kota. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes)
mengerahkan sekitar 10.000 enumerator yang menyebar di seluruh kabupaten/kota, seluruh peneliti
Balitbangkes, dosen Poltekkes, Jajaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta
Perguruan Tinggi. Untuk data kesehatan masyarakat, berhasil dihimpun data dasar kesehatan dari
300.000 sampel rumah tangga. Untuk data biomedis, berhasil dihimpun dan diperiksa spesimen urin
dan darah dari 25.000 sampel rumah tangga.
Proses manajemen data mulai dari data dikumpulkan, kemudian dientri ke komputer yang
dilakukan di masing-masing daerah, selanjutnya cleaning data dilakukan di Badan Litbangkes.
Proses pengumpulan data dan manajemen data ini sungguh memakan waktu, stamina dan pikiran,
sehingga tidaklah mengherankan bila diwarnai dengan dinamika kehidupan yang indah dalam dunia
ilmiah.
Laporan ini menyajikan pokok-pokok hasil Riskesdas 2013 dan beberapa indikator
ditampilkan perubahannya dari hasil 2007 dan 2010. Hasil akhir Riskesdas disajikan juga secara
rinci pada buku Riskesdas 2013 dalam angka.
Perkenankanlah kami menyampaikan penghargaan yang tinggi serta terima kasih yang tulus
atas semua kerja cerdas dan penuh dedikasi dari seluruh peneliti, litkayasa dan staf Balitbangkes,
rekan sekerja dari BPS, para pakar dari Perguruan Tinggi, Para Dosen Poltekkes, Penanggung
Jawab Operasional dari jajaran Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, seluruh enumerator
serta semua pihak yang telah berpartisipasi mensukseskan Riskesdas. Simpati mendalam disertai
doa kami haturkan kepada mereka yang mengalami kecelakaan sewaktu melaksanakan Riskesdas.
Secara khusus, perkenankan ucapan terima kasih kami dan para peneliti kepada Ibu Menteri
Kesehatan yang telah memberi kepercayaan kepada kita semua, anak bangsa, dalam menunjukkan
karya baktinya.
Kami telah berupaya maksimal, namun pasti masih banyak kekurangan, kelemahan dan
kesalahan. Untuk itu kami mohon kritik, masukan dan saran, demi penyempurnaan Riskesdas
dimasa yang akan datang.
Billahi taufiq wal hidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 1 Desember 2013
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI
Dr. dr. Trihono, MSc
i
SAMBUTAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Dalam lima tahun terakhir ini Pembangunan Kesehatan telah diperkuat dengan tersedianya data
dan informasi yang dihasilkan oleh Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas. Tiga Riskesdas telah
dilaksanakan di Indonesia, masing–masing pada tahun 2007, 2010, dan 2013.
Riskesdas 2013 berbasis komunitas, mencakup seluruh provinsi di Indonesia dan menghasilkan
data serta informasi yang bermanfaat bagi para pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan.
Dengan adanya data dan informasi hasil Riskesdas, maka perencanaan dan perumusan kebijakan
kesehatan serta intervensi yang dilaksanakan akan semakin terarah, efektif dan efisien.
Saya minta agar segenap pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan memanfaatkan data
dan informasi yang dihasilkan Riskesdas dalam merumuskan kebijakan dan mengembangkan
program kesehatan, demi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi–tingginya. Saya
juga mengundang para pakar perguruan tinggi, para pemerhati kesehatan, para peneliti Badan
Litbangkes, dan para anggota APKESI (Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia) untuk mengkaji hasil
Riskesdas 2013, guna mengindentifikasi asupan bagi peningkatan Pembangunan Kesehatan dan
penyempurnaan Sistem Kesehatan Nasional. Dengan demikian dapat dikembangkan tatanan
kesehatan yang semakin baik bagi Rakyat Indonesia.
Ucapan selamat dan apresiasi saya sampaikan kepada peneliti Badan Litbang, para enumerator,
para penanggung jawab teknis Badan Litbangkes dan Poltekkes, para penanggung jawab
operasional dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, para pakar dari universitas dan
BPS, serta semua pihak yang terlibat dalam Riskesdas 2013 ini. Peran dan dukungan anda sangat
penting dalam mendukung upaya menyempurnakan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
Pembangunan Kesehatan di negeri ini.
Kepada peneliti Badan Litbangkes, saya minta agar meningkatkan kinerja dan prestasinya, serta
tidak jemu–jemu mencari terobosan riset, baik dalam lingkup kesehatan masyarakat, kedokteran
klinis, maupun biomolekuler yang bersifat translating research into policy. Selain itu, hendaknya
selalu menjunjung tinggi nilai–nilai yang berlaku, bekerja dengan integritas tinggi, bekerjasama
dalam tim, selalu terbuka dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan potensinya.
Semoga buku ini bermanfaat,
Selamat bekerja.
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
A.Ringkasan eksekutif
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 merupakan riset kedua yang mengumpulkan data
dasar dan indikator kesehatan setelah tahun 2007 yang merepresentasikan gambaran
wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Indikator yang dihasilkan antara lain status
kesehatan dan faktor penentu kesehatan yang bertumpu pada konsep Henrik Blum.
Pertanyaan penelitian yang menjadi dasar pengembangan Riskesdas 2013 adalah: 1)
bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota; 2) Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik di setiap
provinsi, dan kabupaten/kota; 3) Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi
status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; 4) Faktor
apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan; dan 5) Bagaimana
korelasi antar faktor terhadap status kesehatan? Laporan ini baru dapat menjawab
pertanyaan penelitian 1, dan 2 sedangkan pertanyaan penelitian 3, 4, dan 5 akan
dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk analisis lanjut.
Untuk menjawab kelima pertanyaan tersebut, dirumuskan tujuan antara lain yaitu
penyediaan data dasar dan status kesehatan dan faktor penentu kesehatan, baik di tingkat
rumah tangga maupun tingkat individual, dengan ruang lingkup sebagai berikut: 1) Akses
dan pelayanan kesehatan; 2) Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional; 3) Kesehatan
lingkungan; 4) Pemukiman dan ekonomi; 5) Penyakit menular; 6) Penyakit tidak menular; 7)
Cedera; 8) Gigi dan mulut; 9) Disabilitas; 10) Kesehatan jiwa; 11) Pengetahuan, sikap dan
perilaku; 12) Pembiayan kesehatan; 13) Kesehatan reproduksi; 14) Kesehatan anak; 15)
Pengukuran antropometri (berat badan, tinggi/panjang badan, lingkar lengan atas, lingkar
perut) dan tekanan darah; 16) Pemeriksaan indera mata dan telinga; 17) Pemeriksaan
status gigi permanen; 18) Pengambilan spesimen darah dan urin, garam dan air rumah
tangga.
Disain Riskesdas 2013 merupakan survei cross sectional yang bersifat deskriptif. Populasi
dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga di 33 provinsi, 497 kabupaten/kota.
Sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dirancang
terpisah dengan daftar sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga Susenas 2013.
Berbagai ukuran sampling error termasuk didalamnya standard error, relative standard
error, confidence interval, design effect, dan jumlah sampel tertimbang menyertai setiap
estimasi variabel.
Riskesdas 2013 berhasil mengunjungi 11.986 blok sensus (BS) dari 12.000 BS yang
ditargetkan (99,9%), 294.959 dari 300.000 RT (98,3%), dan 1.027.763 anggota RT (93,0%).
Riskesdas 2013 juga mengumpulkan 49.931 spesimen darah anggota RT umur ≥ 1 tahun
untuk pemeriksaan hemoglobin, malaria, glukosa, dan beberapa parameter kimia klinis.
Untuk mengetahui status iodium, dilakukan tes cepat iodium dari seluruh sampel garam RT
(294.959); pemeriksaan garam iodium dari sub-sampel nasional (11.430 RT); pemeriksaan
air untuk melihat level iodium (3.028 RT), dan pemeriksaan iodium dalam urin pada 6.154
anak usia sekolah (6-12 tahun) dan 13.811 wanita usia subur (15-49 tahun).
Keterbatasan Riskesdas 2013 mencakup: 1) non-sampling error antara lain: blok sensus
yang tidak terjangkau atau terjadi konflik di wilayah tersebut, RT yang tidak dijumpai,
iii
anggota RT yang tidak bisa diwawancarai karena tidak ada ditempat sampai waktu
pengumpulan data selesai, 2) estimasi tingkat kabupaten tidak bisa berlaku untuk semua
indikator karena keterbatasan jumlah sampel untuk keperluan analisis.
Seluruh hasil Riskesdas ini bermanfaat sebagai masukan dalam pengembangan kebijakan
dan perencanan program kesehatan. Dengan 1060 variabel yang dikelompokkan
berdasarkan dua jenis kuesioner (RKD13.RT dan RKD13.IND), maka hasil Riskesdas 2013
telah dan dapat digunakan antara lain untuk melihat kecenderungan perubahan beberapa
indikator yang sama dengan Riskesdas 2007, pengembangan riset dan analisis lanjut,
penelusuran hubungan kausal-efek, dan pemodelan statistik.
Riskesdas menghasilkan berbagai peta masalah kesehatan dan kecenderungannya, dari
bayi lahir sampai dewasa. Misalnya, prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U<-2SD)
memberikan gambaran yang fluktuatif dari 18,4 persen (2007) menurun menjadi 17,9
persen (2010) kemudian meningkat lagi menjadi 19,6 persen (tahun 2013). Beberapa
provinsi, seperti Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah
menunjukkan kecenderungan menurun. Dua provinsi yang prevalensinya sangat tinggi
(>30%) adalah NTT diikuti Papua Barat, dan dua provinsi yang prevalensinya <15 persen
terjadi di Bali, dan DKI Jakarta. Masalah stunting/pendek pada balita masih cukup serius,
angka nasional 37,2 persen, bervariasi dari yang terendah di Kepulauan Riau, DI
Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur (<30%) sampai yang tertinggi (>50%) di
Nusa Tenggara Timur. Tidak berubahnya prevalensi status gizi, kemungkinan besar belum
meratanya pemantauan pertumbuhan, dan terlihat kecenderungan proporsi balita yang
tidak pernah ditimbang enam bulan terakhir semakin meningkat dari 25,5 persen (2007)
menjadi 34,3 persen (2013).
Jika diamati dari bayi lahir, prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
berkurang dari 11,1 persen tahun 2010 menjadi 10,2 persen tahun 2013. Variasi antar
provinsi sangat mencolok dari terendah di Sumatera Utara (7,2%) sampai yang tertinggi di
Sulawesi Tengah (16,9%). Untuk pertama kali tahun 2013 dilakukan juga pengumpulan
data panjang bayi lahir, dengan angka nasional bayi lahir pendek <48 cm adalah 20,2
persen, bervariasi dari yang tertinggi di Nusa Tenggara Timur (28,7%) dan terendah di Bali
(9,6%).
Ada perbaikan untuk cakupan imunisasi lengkap yang angkanya meningkat dari 41,6
persen (2007) menjadi 59,2 persen (2013), akan tetapi masih dijumpai 32,1 persen yang
diimunisasi tapi tidak lengkap, serta 8,7 persen yang tidak pernah diimunisasi, dengan
alasan takut panas, sering sakit, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh, tidak
tahu tempat imunisasi, serta sibuk/repot. Program pelayanan kesehatan anak yang juga
membaik adalah kunjungan neonatus (KN) lengkap meningkat dari 31,8 persen (2007)
menjadi 39,3 persen (2013), cakupan pemberian kapsul vitamin A (dari 71,5% tahun 2007
menjadi 75,5% tahun 2013). Menyusui hanya ASI saja dalam 24 jam terakhir pada bayi
umur 6 bulan meningkat dari 15,3 persen (2010) menjadi 30,2 persen (2013), demikian juga
inisiasi menyusu dini <1 jam meningkat dari 29,3 persen (2010) menjadi 34,5 persen
(2013).
Untuk pelayanan kesehatan ibu antara lain penggunaan KB saat ini (cara modern maupun
cara tradisional), dimana untuk angka nasional meningkat dari 55,8 persen (2010) menjadi
59,7 persen (2013), dengan variasi antar provinsi mulai dari yang terendah di Papua
(19,8%) sampai yang tertinggi di Lampung (70,5%). Dari 59,7 persen yang menggunakan
KB saat ini, 59,3 persen menggunakan cara modern: 51,9 persen penggunaan KB
iv
hormonal, dan 7,5 persen non-hormonal. Menurut metodenya 10,2 persen penggunaan
kontrasepsi jangka panjang (MKJP), dan 49,1 persen non-MKJP. Selain penggunaan KB
dikumpulkan juga cakupan pelayanan masa hamil, persalinan, dan pasca melahirkan.
Dari pemetaan penyakit menular yang mencolok adalah penurunan angka period
prevalence diare dari 9,0 persen tahun 2007 menjadi 3,5 persen tahun 2013. Untuk menjadi
catatan penurunan prevalensi diasumsikan tahun 2007 pengumpulan data tidak dilakukan
secara serentak, sementara tahun 2013 pengumpulan data dilakukan bersamaan di bulan
Mei-Juni. Terjadi juga kecenderungan yang meningkat untuk period prevalence pneumonia
semua umur dari 2,1 persen (2007) menjadi 2,7 persen (2013). Prevalensi TB –paru masih
di posisi yang sama untuk tahun 2007 dan 2013 (0,4%). Terjadi peningkatan prevalensi
hepatitis semua umur dari 0,6 persen tahun 2007 menjadi 1,2 persen tahun 2013.
Penyakit tidak menular, terutama hipertensi terjadi penurunan dari 31,7 persen tahun 2007
menjadi 25,8 persen tahun 2013. Asumsi terjadi penurunan bisa bermacam-macam mulai
dari alat pengukur tensi yang berbeda sampai pada kemungkinan masyarakat sudah mulai
datang berobat ke fasilitas kesehatan. Terjadi peningkatan prevalensi hipertensi
berdasarkan wawancara (apakah pernah didiagnosis nakes dan minum obat hipertensi)
dari 7,6 persen tahun 2007 menjadi 9,5 persen tahun 2013. Hal yang sama untuk stroke
berdasarkan wawancara (berdasarkan jawaban responden yang pernah didiagnosis nakes
dan gejala) juga meningkat dari 8,3 per1000 (2007) menjadi 12,1 per1000 (2013). Demikian
juga untuk Diabetes melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1
persen (2007) menjadi 2,1 persen (2013).
Terjadi penurunan prevalensi kebutaan penduduk umur ≥6 tahun dari 0,9 persen (2007)
menjadi 0,4 persen (2013), sedangkan prevalensi katarak semua umur tahun 2013 adalah
1,8 persen, kekeruhan kornea 5,5 persen, serta pterygium 8,3 persen. Untuk gangguan
pendengaran tercatat 2,6 persen pada penduduk ≥5 tahun dengan antar provinsi dari yang
terendah di DKI Jakarta (1,6%) dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur (3,7%).
Terjadi penurunan prevalensi gangguan emosional dari 11,6 persen (2007) menjadi 6,0
persen (2013). Demikian pula halnya dengan disabilitas terjadi penurunan dari 2007
dibandingkan 2013 untuk 11 item disabilitas. Angka nasional disabilitas tahun 2013 adalah
11 persen, bervariasi dari yang terendah di Papua Barat (4,6%) sampai yang tertinggi di
Sulawesi Selatan (23,8%). Sedangkan untuk masalah cedera, terjadi peningkatan dari 7,5
persen (2007) menjadi 8,2 persen (2013), dengan variasi antar provinsi yang sangat lebar
dari yang terendah di Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung (>4,5%), sampai yang
tertinggi di NTT, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan (>12%).
Perilaku merokok penduduk 15 tahun keatas masih belum terjadi penurunan dari 2007 ke
2013, cenderung meningkat dari 34,2 persen tahun 2007 menjadi 36,3 persen tahun 2013.
64,9 persen laki-laki dan 2,1 persen perempuan masih menghisap rokok tahun 2013.
Ditemukan 1,4 persen perokok umur 10-14 tahun, 9,9 persen perokok pada kelompok tidak
bekerja, dan 32,3 persen pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terendah. Sedangkan
rerata jumlah batang rokok yang dihisap adalah sekitar 12,3 batang, bervariasi dari yang
terendah 10 batang di DI Yogyakarta dan tertinggi di Bangka Belitung (18,3 batang).
Untuk kesehatan lingkungan, ada kecenderungan meningkat untuk rumah tangga yang bisa
akses ke sumber air minum ‘improved’ 62,0 persen tahun 2007 menjadi 66,8 persen tahun
2013, dan variasi antar provinsi yang sangat lebar dari yang terendah di Kep. Riau (24,0%)
dan yang tertinggi Bali dan DI Yogyakarta (>80%). Demikian halnya untuk rumah tangga
yang memiliki akses ke fasilitas sanitasi ‘improved’ juga meningkat dari 40,3 persen (2007)
v
menjadi 59,8 persen (2013), walaupun masih ada provinsi yang hanya 30,5 persen (NTT
dan Papua).
Ringkasan hasil per topik riskesdas 2013 disajikan pada tulisan berikut ini.
B. Ringkasan hasil
Akses pelayanan kesehatan
Akses pelayanan kesehatan yang didapatkan dari Riskesdas 2013 merupakan tingkat pengetahuan
RT terhadap jenis pelayanan kesehatan terdekat yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Jenis
pelayanan kesehatan yang ditanyakan ada 8 jenis yaitu keberadaan: (1) RS pemerintah; (2) RS
swasta; (3) puskesmas atau pustu; (4) praktek dokter atau klinik; (5) praktek bidan atau rumah
bersalin; (6) posyandu; (7) poskesdes atau poskestren; dan (8) polindes. Selain data itu juga
diketahui tentang keterjangkauan terhadap fasilitas pelayanan kesehatan tersebut yang dilihat dari
jenis moda transportasi, waktu tempuh, dan biaya menuju fasilitas kesehatan tersebut.
Secara nasional proporsi RT mengetahui keberadaan RS pemerintah sebanyak 69,6 persen,
sedangkan RS swasta 53,9 persen. RT yang mengetahui keberadaan RS pemerintah tertinggi Bali
(88,6%) sedangkan terendah Nusa Tenggara Timur (39,6%). Pengetahuan RT tentang keberadaan
RS swasta tertinggi DI Yogyakarta (82,4%) dan terendah Sulawesi Barat (15,1%). Pengetahuan RT
tentang keberadaan praktek bidan atau rumah bersalin secara nasional adalah 66,3 persen, tertinggi
di Bali (85,2%) dan terendah di Papua (9,9%). Pengetahuan tentang keberadaan posyandu
sebanyak 65,2 persen, tertinggi di Jawa Barat (78,2%) dan terendah di Bengkulu (26,0%).
Proporsi RT yang menggunakan berbagai moda transportasi sepeda motor menuju RS pemerintah
di perkotaan 53,6 persen dan perdesaan 46,5 persen. Untuk penggunaan kendaraan umum di
perkotaan 28,0 persen dan perdesaan 35,5 persen. Sedangkan yang menggunakan lebih dari satu
moda transportasi di perkotaan 8,5 persen sedangkan di perdesaan 11,4 persen.
Waktu tempuh RT menuju fasilitas kesehatan ke RS pemerintah lebih dari 60 menit sebanyak 18,5
persen, sedangkan ke RS swasta sebanyak 12,4 persen. Berbeda dengan waktu tempuh ke
fasilitas kesehatan ke puskesmas atau pustu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah
bersalin, poskesdes atau poskestren, polindes dan posyandu hanya membutuhkan waktu 15 menit
atau kurang.
Biaya transportasi paling banyak sejumlah Rp.10.000,- atau kurang untuk menuju RS pemerintah
(63,6%), RS swasta (71,6%), puskesmas atau pustu (91,3%), dokter praktek atau klinik ( 90,5%)
dan praktek bidan atau rumah bersalin (95,2%). Demikian juga biaya transportasi ke poskesdes atau
poskestren (97,4%), polindes (97,8%) dan posyandu (97,8%).
Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional
Bahasan farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional (yankestrad) bertujuan mengetahui proporsi
RT yang menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), proporsi RT yang memiliki
pengetahuan benar tentang obat generik (OG) dan sumber informasi tentang OG, serta jenis dan
alasan memanfaatkan Yankestrad dalam kurun waktu satu tahun terakhir.
Sejumlah 103.860 atau 35,2 persen dari 294.959 RT di Indonesia menyimpan obat untuk
swamedikasi, dengan proporsi tertinggi RT di DKI Jakarta (56,4%) dan terendah di Nusa Tenggara
Timur (17,2%). Rerata sediaan obat yang disimpan hampir 3 macam. Dari 35,2 persen RT yang
menyimpan obat, proporsi RT yang menyimpan obat keras 35,7 persen dan antibiotika 27,8 persen.
Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan penggunaan obat yang tidak
rasional. Terdapat 81,9 persen RT menyimpan obat keras dan 86,1 persen RT menyimpan
antibiotika yang diperoleh tanpa resep. Jika status obat dikelompokkan menurut obat yang ‘sedang
digunakan’, obat ‘untuk persediaan’ jika sakit, dan ‘obat sisa’ maka 32,1 persen RT menyimpan obat
vi
yang sedang digunakan, 47,0 persen RT menyimpan obat sisa dan 42,2 persen RT yang
menyimpan obat untuk persediaan. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat
sisa dari penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Seharusnya obat sisa resep secara umum
tidak boleh disimpan karena dapat menyebabkan penggunaan salah (misused) atau disalah
gunakan atau rusak/kadaluarsa.
RT yang pernah mendengar atau mengetahui mengenai OG secara nasional sebanyak 31,9
persen. 82 persen RT mempunyai persepsi OG sebagai obat murah, 71,9 persen obat program
pemerintah, 42,9 persen OG berkhasiat sama dengan obat bermerek dan 21,0 persen OG adalah
obat tanpa merek dagang. Sumber informasi tentang OG di perkotaan maupun perdesaaan paling
banyak diperoleh dari tenaga kesehatan (63,1%). Oleh karena itu masih sangat perlu promosi
mengenai obat generik secara strategik terutama di era Jaminan Kesehatan Nasional.
Yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, keterampilan
tanpa alat, dan keterampilan dengan pikiran. Sejumlah 89.753 dari 294.962 (30,4%) RT di Indonesia
memanfaatkan yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan proporsi RT yang memanfaatkan yankestrad
tertinggi di Kalimantan Selatan (63,1%) dan terendah di Papua Barat (5,9%). Jenis yankestrad yang
dimanfaatkan oleh RT terbanyak adalah keterampilan tanpa alat (77,8%) dan ramuan (49,0%).
Alasan utama RT memanfaatkan yankestrad terbanyak secara umum adalah untuk menjaga
kesehatan/kebugaran, kecuali yankestrad keterampilan dengan pikiran alasan pemanfaatannya
berdasarkan tradisi/kepercayaan. Hasil ini menunjukkan bahwa pemanfaatan yankestrad masih
cukup banyak.
Kesehatan lingkungan
Air minum
Proporsi RT yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di Indonesia adalah sebesar
66,8 persen (perkotaan: 64,3%; perdesaan: 69,4%). Lima provinsi dengan proporsi tertinggi untuk
RT yang memiliki akses terhadap air minum improved adalah Bali (82,0%), DI Yogyakarta (81,7%),
Jawa Timur (77,9%), Jawa Tengah (77,8%), dan Maluku Utara (75,3%); sedangkan lima provinsi
terendah adalah Kepulauan Riau (24,0%), Kalimantan Timur (35,2%), Bangka Belitung (44,3), Riau
(45,5%), dan Papua (45,7%).
Berdasarkan gender, ART yang biasa mengambil air di Indonesia pada umumnya adalah laki-laki
dewasa dan perempuan dewasa (masing-masing 59,5% dan 38,4%). Masih terdapat anak laki-laki
(1,0%) dan anak perempuan (1,1%) berumur di bawah 12 tahun yang biasa mengambil air untuk
kebutuhan minum RT.
Secara kualitas fisik, masih terdapat RT dengan kualitas air minum keruh (3,3%), berwarna (1,6%),
berasa (2,6%), berbusa (0,5%), dan berbau (1,4%). Berdasarkan provinsi, proporsi RT tertinggi
dengan air minum keruh adalah di Papua (15,7%), berwarna juga di Papua (6,6%), berasa adalah di
Kalimantan Selatan (9,1%), berbusa dan berbau adalah di Aceh (1,2%, dan 3,8%).
Proporsi RT yang mengolah air sebelum diminum di Indonesia adalah sebesar 70,1 persen. Dari
70,1 persen RT yang melakukan pengolahan air sebelum diminum, 96,5 persennya melakukan
pengolahan dengan cara dimasak. Cara pengolahan lainnya adalah dengan dijemur di bawah sinar
mata hari/solar disinfection (2,3%), menambahkan larutan tawas (0,2%), disaring dan ditambah
larutan tawas (0,2%) dan disaring saja (0,8%).
Sanitasi
Proporsi RT di Indonesia menggunakan fasilitas BAB milik sendiri adalah 76,2 persen, milik
bersama sebanyak 6,7 persen, dan fasilitas umum adalah 4,2 persen. Masih terdapat RT yang tidak
memiliki fasiltas BAB/BAB sembarangan, yaitu sebesar 12,9 persen. Lima provinsi tertinggi RT yang
tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan adalah Sulawesi Barat (34,4%), NTB (29,3%),
Sulawesi Tengah (28,2%), Papua (27,9%), dan Gorontalo (24,1%).
vii
Proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved (kriteria JMP WHO–Unicef) di
Indonesia adalah sebesar 58,9 persen. Lima provinsi tertinggi proporsi RT yang memiliki akses
terhadap fasilitas sanitasi improved adalah DKI Jakarta (78,2%), Kepulauan Riau (74,8%),
Kalimantan Timur (74,1%), Bangka Belitung (73,9%), dan Bali (75,5%).
Untuk penampungan air limbah RT di Indonesia umumnya dibuang langsung ke got (46,7%). Hanya
15,5 persen yang menggunakan penampungan tertutup di pekarangan dengan dilengkapi SPAL,
dan 13,2 persen menggunakan penampungan terbuka di pekarangan, dan 7,4% ditampung di luar
pekarangan. Sedangkan dalam hal pengelolaan sampah RT umumnya dilakukan dengan cara
dibakar (50,1%) dan hanya 24.9 persen yang diangkut oleh petugas. Cara lainnya dengan cara
ditimbun dalam tanah, dibuat kompos, dibuang ke kali/parit/laut dan dibuang sembarangan. Lima
provinsi dengan proporsi RT yang mengelola sampah dengan cara dibakar tertinggi adalah
Gorontalo (79,5%), Aceh (70,6%), Lampung (69,9%), Riau (66,4%), dan Kalimantan Barat (64,3%).
Perumahan
Berdasarkan status penguasaan bangunan, sebagian besar RT di Indonesia menempati rumah milik
sendiri (81,4%), sisanya kontrak, sewa, menempati milik orang lain, milik orang tua/sanak/ saudara
atau menempati rumah dinas. Menurut kepadatan hunian, terdapat 13,4 persen rumah dengan
kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang (padat). Untuk kondisi ruangan
dalam rumah, sebagian besar ruangan-ruangan terpisah dari ruang lainnya. Begitu pula dalam hal
kebersihan, sekitar tiga perempat RT kondisi ruang tidur, ruang keluarga maupun dapurnya bersih
dengan pencahayaan cukup. Kurang dari 50 persen RT yang ventilasinya cukup dan dilengkapi
dengan jendela yang dibuka setiap hari.
Dalam penggunaan bahan bakar untuk keperluan RT, yang menggunakan bahan bakar aman
(listrik, gas/elpiji) sebesar 64,1 persen, di perkotaan lebih tinggi (90,0%) dibandingkan di perdesaan
(51,7%). Untuk pencegahan gigitan nyamuk dalam rumah, sebagian besar RT menggunakan obat
anti nyamuk bakar (48,4%), diikuti oleh penggunaan kelambu (25,9%), repelen (16,9%), insektisida
(12,2%), dan kasa nyamuk (8,0%). Sekitar 20 persen RT di Indonesia menyimpan/menggunakan
pestisida/insektisida/pupuk kimia dalam rumah.
Penyakit menular
Penyakit menular yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 berdasarkan media/cara penularan
yaitu: 1) melalui udara (Infeksi Saluran Pernafasan Akut/ISPA, pneumonia, dan TB paru); (2) melalui
makanan, air dan lainnya (hepatitis, diare); (3) melalui vektor (malaria).
Ditularkan melalui udara
Period prevalence Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
dan keluhan penduduk adalah 25,0 persen. Lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa
Tenggara Timur, Papua, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur. Pada Riskesdas 2007, Nusa
Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA.
Insiden dan prevalensi Indonesia tahun 2013 adalah 1,8 persen dan 4,5 persen. Lima provinsi yang
mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara
Timur, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan.
Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2007 dan 2013
tidak berbeda (0,4%). Lima provinsi dengan TB tertinggi adalah Jawa Barat, Papua, DKI Jakarta,
Gorontalo, Banten, dan Papua Barat. Penduduk yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan, 44,4
persen diobati dengan obat program.
Ditularkan melalui makanan, air dan lainnya
Prevalensi hepatitis tahun 2013 (1,2%) dua kali lebih tinggi dibanding tahun 2007. Lima provinsi
dengan prevalensi tertinggi hepatitis adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Selatan,
viii
Sulawesi Tengah, dan Maluku. Pada Riskesdas 2007 Nusa Tenggara Timur juga merupakan
provinsi tertinggi dengan hepatitis
Insiden dan period prevalence diare untuk seluruh kelompok umur di Indonesia adalah 3,5 persen
dan 7,0 persen. Lima provinsi dengan insiden maupun period prevalen diare tertinggi adalah Papua,
Sulawesi Selatan, Aceh, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah. Insiden diare pada kelompok usia
balita di Indonesia adalah 10,2 persen. Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah Aceh,
Papua, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, dan Banten.
Ditularkan vektor
Insiden Malaria penduduk Indonesia tahun 2007 adalah 2,9 persen dan tahun 2013 adalah 1,9
persen. Prevalensi malaria tahun 2013 adalah 6,0 persen. Lima provinsi dengan insiden dan
prevalensi tertinggi adalah Papua, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Sulawesi Tengah dan
Maluku.
Penyakit tidak menular
Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak ditularkan dari orang ke orang.
Data PTM dalam Riskesdas 2013 meliputi : (1) asma; (2) penyakit paru obstruksi kronis (PPOK); (3)
kanker; (4) DM; (5) hipertiroid; (6) hipertensi; (7) jantung koroner; (8) gagal jantung; (9) stroke; (10)
gagal ginjal kronis; (11) batu ginjal; (12) penyakit sendi/rematik. Data penyakit asma/mengi/bengek
dan kanker diambil dari responden semua umur, PPOK dari umur ≥30 tahun, DM, hipertiroid,
hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal,
penyakit sendi/rematik/encok dan stroke ditanyakan pada responden umur ≥15 tahun.
Data prevalensi penyakit ditentukan berdasarkan hasil wawancara berupa gabungan kasus penyakit
yang pernah didiagnosis dokter/tenaga kesehatan atau kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM
(berdasarkan diagnosis atau gejala). Prevalensi kanker, gagal ginjal kronis, dan batu ginjal
ditentukan berdasarkan informasi pernah didiagnosis dokter saja. Untuk hipertensi, selain
berdasarkan hasil wawancara, prevalensi juga disampaikan berdasarkan hasil pengukuran tekanan
darah.
Prevalensi asma, PPOK, dan kanker berdasarkan wawancara di Indonesia masing-masing 4,5
persen, 3,7 persen, dan 1,4 per mil. Prevalensi asma dan kanker lebih tinggi pada perempuan,
prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki.
Prevalensi DM dan hipertiroid di Indonesia berdasarkan jawaban pernah didiagnosis dokter sebesar
1,5 persen dan 0,4 persen. DM berdasarkan diagnosis atau gejala sebesar 2,1 persen. Prevalensi
hipertensi pada umur ≥18 tahun di Indonesia yang didapat melalui jawaban pernah didiagnosis
tenaga kesehatan sebesar 9,4 persen, sedangkan yang pernah didiagnosis tenaga kesehatan atau
sedang minum obat hipertensi sendiri sebesar 9,5 persen. Jadi, terdapat 0,1 persen penduduk yang
minum obat sendiri, meskipun tidak pernah didiagnosis hipertensi oleh nakes. Prevalensi hipertensi
di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 25,8 persen. Jadi
cakupan nakes hanya 36,8 persen, sebagian besar (63,2%) kasus hipertensi di masyarakat tidak
terdiagnosis. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi pada perempuan cenderung lebih tinggi
daripada laki-laki.
Prevalensi jantung koroner berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,5 persen,
dan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5 persen. Prevalensi gagal jantung
berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,13 persen, dan berdasarkan
diagnosis dokter atau gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per mil dan yang berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
atau gejala sebesar 12,1 per mil. Jadi, sebanyak 57,9 persen penyakit stroke telah terdiagnosis oleh
nakes. Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke terlihat meningkat seiring
peningkatan umur responden. Prevalensi stroke sama banyak pada laki-laki dan perempuan.
ix
Prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2
persen dan penyakit batu ginjal sebesar 0,6 persen. Prevalensi penyakit sendi berdasarkan pernah
didiagnosis nakes di Indonesia 11,9 persen dan berdasarkan diagnosis atau gejala 24,7 persen.
Cedera
Prevalensi cedera secara nasional adalah 8,2 persen, dengan prevalensi tertinggi ditemukan di
Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi (4,5%). Perbandingan hasil Riskesdas 2007
dengan Riskesdas 2013 menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi cedera dari 7,5
persen menjadi 8,2 persen.
Penyebab cedera terbanyak, yaitu jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%). Proporsi
jatuh tertinggi di Nusa Tenggara Timur (55,5%) dan terendah di Bengkulu (26,6%). Dibandingkan
dengan hasil Riskesdas 2007, Riskesdas 2013 menunjukkan kecenderungan penurunan proporsi
jatuh dari 58 persen menjadi 40,9 persen. Berdasarkan karakteristik, proporsi jatuh terbanyak pada
penduduk umur <1 tahun, perempuan, tidak sekolah, tidak bekerja, di perdesaan, dan pada kuintil
terbawah.
Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu (56,4%) dan terendah
di Papua (19,4%). Proporsi terbanyak terjadi pada umur 15-24 tahun, laki-laki, tamat SMA, status
pegawai, dan kuintil teratas. Dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007, Riskesdas 2013
menunjukkan kecenderungan peningkatan proporsi cedera transportasi darat (sepeda motor dan
darat lain) dari 25,9 persen menjadi 47,7 persen.
Tiga urutan terbanyak jenis cedera yang dialami penduduk adalah luka lecet/memar (70,9%), terkilir
(27,5%) dan luka robek (23,2%). Adapun urutan proporsi terbanyak untuk tempat terjadinya cedera,
yaitu di jalan raya (42,8%), rumah (36,5%), area pertanian (6,9%) dan sekolah (5,4%).
Gigi dan mulut
Untuk mengetahui besarnya permasalahan di bidang kesehatan gigi dan mulut secara menyeluruh
perlu dilakukan pengukuran di masyarakat dalam skala nasional. Melalui Riskesdas 2013, telah
dilakukan pengumpulan data berbagai indikator kesehatan gigi dan mulut masyarakat, dengan cara
wawancara dan observasi dengan menggunakan instrumen genggam (kaca mulut) dan bantuan
penerangan sinar matahari atau lampu senter. Wawancara dilakukan pada responden semua umur
dengan jumlah sampel keseluruhan 1.027.763 orang. Data yang didapat adalah masyarakat
bermasalah gigi dan mulut, tindakan yang diterima oleh responden dari tenaga medis gigi dan
EMD. Untuk perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut (umur ≥10 tahun) dengan jumlah
sampel 835.256 responden, dan pemeriksaan gigi serta melihat kondisi gigi dan mulut (umur ≥12
tahun) dengan jumlah sampel 789.771 responden.
Prevalensi nasional masalah gigi dan mulut adalah 25,9 persen, sebanyak 14 provinsi mempunyai
prevalensi masalah gigi dan mulut diatas angka nasional. Secara keseluruhan kemampuan untuk
mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi sebesar 8,1 persen (EMD). Ditemukan EMD
meningkat pada kelompok umur yang lebih tinggi umur 45-54 tahun meningkat (EMD:10,6 dibanding
EMD umur 12 tahun: 7,0), EMD di perkotaan (8,6) lebih besar dari EMD perdesaan (7,5), dan EMD
meningkat pada status ekonomi lebih tinggi (EMD teratas: 9,0). Prevalensi nasional menyikat gigi
setiap hari adalah 94,2 persen sebanyak 15 provinsi berada dibawah prevalensi nasional.
Untuk perilaku benar dalam menyikat gigi berkaitan dengan faktor gender, ekonomi, dan daerah
tempat tinggal. Ditemukan sebagian besar penduduk Indonesia menyikat gigi pada saat mandi pagi
maupun mandi sore, (76,6%). Menyikat gigi dengan benar adalah setelah makan pagi dan sebelum
tidur malam, untuk Indonesia ditemukan hanya 2,3 persen.
Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi.Indeks DMF-T merupakan
penjumlahan dari indeks D-T, M-T, dan F-T. Indeks DMF-T ini meningkat seiring dengan
bertambahnya umur. Prevalensi nasional Indeks DMF-T adalah 4,6. Sebanyak 15 provinsi memiliki
x
prevalensi diatas prevalensi nasional. Indeks DMF-T lebih tinggi pada perempuan (5,0) dibanding
laki-laki (4,1). Namun untuk kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi kuintil, semakin rendah nilai
DMF-T, hal ini terlihat pada kuintil indeks kepemilikan terbawah nilai DMF-T nya 5,1, sedangkan
untuk yang teratas nilai DMF-T nya lebih rendah (3,9%).
Disabilitas
Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya tentang pengalaman hidup
penduduk karena kondisi kesehatan termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Setiap orang
memiliki peran tertentu, seperti bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang diperlukan.
Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk mendapatkan informasi sejauh mana
seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial lain, hal
yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin (WHO, 2010). Informasi
besaran masalah disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas dan mengevaluasi
efektivitas dan kinerja program kesehatan.
Riskesdas 2013 menunjukkan 83 persen penduduk Indonesia disability free. Interpretasi lain adalah
penduduk Indonesia cenderung tidak menganggap kesulitan sangat ringan yang dialami dalam
melakukan aktivitas rutin, sebagai hal yang menyulitkan. Menggunakan komponen pembanding
Riskesdas 2007, prevalensi disabilitas 11 persen. Status disabilitas berbanding lurus dengan umur,
namun berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan. Kelompok
nelayan dan non pekerja merupakan kelompok dengan disabilitas tertinggi. Sulawesi Selatan
merupakan provinsi dengan prevalensi disabilitas tertinggi, DIY terendah.
Kesehatan jiwa
Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat
terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Proporsi RT yang
pernah memasung ART gangguan jiwa berat 14,3 persen dan terbanyak pada penduduk yang
tinggal di perdesaan (18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan
terbawah (19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia 6,0 persen.
Provinsi dengan prevalensi ganguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.
Pengetahuan, sikap, dan perilaku
Pengetahuan, sikap dan perilaku dikumpulkan pada penduduk kelompok umur 10 tahun atau lebih.
Jumlah responden adalah 835.258 orang.
Berdasarkan analisis kecenderungan secara rerata nasional, terdapat peningkatan proporsi
penduduk berperilaku cuci tangan secara benar pada tahun 2013 (47,0%) dibandingkan tahun 2007
(23,2%). Demikian pula dengan perilaku BAB benar terjadi peningkatan dari 71,1 persen menjadi
82,6 persen. Peningkatan tertinggi proporsi penduduk berperilaku cuci tangan benar terjadi di
Bangka Belitung dengan besar kenaikan 35,0 persen (20,6% pada tahun 2007 menjadi 55,6% pada
2013). Peningkatan terbesar proporsi penduduk berperilaku BAB benar terjadi di Sumatera Barat
sebesar 14,8 persen.
Rerata batang rokok yang dihisap perhari penduduk umur ≥10 tahun di Indonesia adalah 12,3
batang (setara satu bungkus). Jumlah rerata batang rokok terbanyak yang dihisap ditemukan di
Bangka Belitung (18 batang). Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari pada umur 30-34 tahun
sebesar 33,4 persen, pada laki-laki lebih banyak di bandingkan perokok perempuan (47,5% banding
1,1%). Berdasarkan jenis pekerjaan, petani/nelayan/buruh adalah perokok aktif setiap hari yang
mempunyai proporsi terbesar (44,5%) dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya. Proporsi perokok
setiap hari tampak cenderung menurun pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi.
Proporsi penduduk umur ≥15 tahun yang merokok dan mengunyah tembakau cenderung meningkat
dalam Riskesdas (34,2%), Riskesdas 2010 (34,7%) dan Riskesdas 2013 (36,3%). Proporsi tertinggi
xi
pada tahun 2013 adalah Nusa Tenggara Timur (55,6%). Dibandingkan dengan penelitian Global
Adults Tobacco Survey (GATS) pada penduduk kelompok umur ≥15 tahun, proporsi perokok laki-laki
67,0 persen dan pada Riskesdas 2013 sebesar 64,9 persen, sedangkan pada perempuan menurut
GATS adalah 2,7 persen dan 2,1 persen menurut Riskesdas 2013. Proporsi mengunyah tembakau
menurut GATS 2011 pada laki-laki 1,5 persen dan perempuan 2,7 persen, sementara Riskesdas
2013 menunjukkan proporsi laki-laki 3,9 persen dan 4,8 persen pada perempuan.
Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 26,1 persen. Terdapat 22 provinsi
dengan penduduk aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada di atas rerata Indonesia. Proporsi
penduduk Indonesia dengan perilaku sedentari ≥6 jam perhari 24,1 persen. Lima provinsi diatas
rerata nasional adalah Riau (39,1%), Maluku Utara (34,5%), Jawa Timur (33,9%), Jawa Barat
(33,0%), dan Gorontalo (31,5%).
Proporsi rerata nasional perilaku konsumsi kurang sayur dan atau buah 93,5 persen, tidak tampak
perubahan dibandingkan tahun 2007. Perilaku konsumsi makanan berisiko pada penduduk umur
≥10 tahun paling banyak konsumsi bumbu penyedap (77,3%), diikuti makanan dan minuman manis
(53,1%), dan makanan berlemak (40,7%).
Satu dari sepuluh penduduk mengonsumsi mi instan ≥1 kali per hari. Provinsi yang mengonsumsi mi
instan ≥1 kali per hari diatas rerata nasional adalah Sulawesi Tenggara (18,4%), Sumatera Selatan
(18,2%), Sulawesi Selatan (16,9%), Papua (15,9%), Kalimantan Tengah (15,6%), Maluku (14,8%)
dan Kalimantan Barat (14,8%).
Analisis PHBS meliputi 294.959 RT (220.895 RT tanpa balita dan 74.064 RT memiliki balita).
Proporsi nasional RT dengan PHBS baik adalah 32,3 persen, dengan proporsi tertinggi DKI Jakarta
(56,8%) dan proporsi terendah Papua (16,4%). Terdapat 20 provinsi yang masih memiliki RT
dengan PHBS baik dibawah proporsi nasional. Proporsi nasional RT PHBS baik pada tahun 2007
adalah sebesar 38,7 persen.
Pembiayaan
Kepemilikan Jaminan Kesehatan
Secara nasional, sebanyak 50,5 persen penduduk Indonesia belum memiliki jaminan kesehatan.
Askes/ ASABRI dimiliki oleh sekitar 6 persen penduduk, Jamsostek 4,4 persen, asuransi kesehatan
swasta dan tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 1,7 persen. Kepemilikan
jaminan didominasi oleh Jamkesmas (28,9%) dan Jamkesda (9,6%).
Provinsi Aceh adalah provinsi yang paling tinggi cakupan kepemilikan jaminan diantara provinsi lain,
yaitu sekitar 96,6 persen penduduk atau hanya 3,4 persen yang tidak punya jaminan apapun.
Sebaliknya DKI Jakarta menjadi provinsi dengan cakupan kepemilikan jaminan kesehatan yang
paling rendah dan 69,1 persen penduduknya tidak punya jaminan.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, Jamkesmas dimiliki oleh kelompok penduduk terbawah,
menengah bawah dan menengah, masing-masing sebesar 50,3 persen, 43,0 persen dan 32,1
persen. Akan tetapi Jamkesmas dimiliki juga pada penduduk menengah atas (18,8%) dan teratas
(8,9%).
Mengobati sendiri
Proporsi penduduk Indonesia yang mengobati sendiri dalam satu bulan terakhir dengan membeli
obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep dokter adalah 26,4 persen dengan rerata (median)
mengeluarkan uang sebanyak Rp.5.000. Gorontalo merupakan provinsi tertinggi (38,1%) dengan
pengeluaran sebesar Rp.2.000. Sebaliknya, Papua merupakan provinsi terendah (8,7%) dengan
rerata pengeluaran terbesar untuk mengobati sendiri (Rp.20.000).
xii
Rawat jalan
Sebanyak 10,4 persen penduduk Indonesia dalam satu bulan terakhir melakukan rawat jalan dan
biaya rerata yang dikeluarkan sebesar Rp.35.000. DI Yogyakarta merupakan provinsi tertinggi yang
melakukan rawat jalan (16,3%) dengan biaya rerata sebesar Rp.35.000. Bengkulu merupakan
provinsi terendah dalam pemanfaatan fasilitas rawat jalan (3,5%) dengan pengeluaran rerata
sebesar Rp.35.000. Rerata pengeluaran terbesar rawat jalan Rp.100.000 di Papua.
Sumber biaya rawat jalan secara keseluruhan untuk Indonesia masih didominasi (67,9%)
pembiayaan yang dibayar oleh pasien sendiri atau keluarga (out of pocket), kemudian berturut-turut
disusul pembiayaan oleh Jamkesmas (14,2%) dan Jamkesda (5,8%), sedangkan yang terendah
adalah pembiayaan oleh asuransi swasta (0,7%). Sumber biaya rawat jalan dari Askes/ASABRI
sebesar 3,2 persen, Jamsostek 2,0 persen, tunjangan kesehatan perusahaan 1,8 persen, sumber
lainnya 3,3 persen dan sebanyak 1,1 persen dibiayai lebih dari satu sumber.
Rawat inap
Dalam satu tahun terakhir 2,3 persen penduduk Indonesia melakukan rawat inap dengan biaya
rerata sebesar Rp.1.700.000. Penduduk DI Yogyakarta ternyata selain tertinggi dalam pemanfaatan
rawat jalan juga tertinggi untuk pemanfaatan rawat inap yaitu sebesar 4,4 persen dengan biaya
rerata dalam satu tahun terakhir sebesar Rp.2.000.000 disusul oleh Sulawesi Selatan (3,4%)
dengan biaya rerata sebesar Rp.800.000. Penduduk Bengkulu, Lampung, dan Kalimantan Barat
merupakan tiga provinsi terendah untuk pemanfaatan rawat inap yaitu dengan besaran yang sama
sebesar 0,9 persen. Besaran biaya diantara tiga provinsi tersebut berbeda-beda, Bengkulu sebesar
Rp.1.000.000, Lampung Rp.2.000.000 dan Kalimantan Barat sebesar Rp.1.450.000. Pengeluaran
untuk rawat inap terbesar adalah di DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp.5.000.000.
Sumber biaya yang dipakai untuk rawat inap pada semua fasilitas kesehatan di Indonesia masih
didominasi oleh biaya sendiri (out of pocket), yaitu sekitar 53,5 persen. Selanjutnya berturut-turut
adalah Jamkesmas 15,6 persen, Jamkesda 6,4 persen, Askes/ASABRI 5,4 persen, sebanyak 4,9
persen penduduk indonesia yang rawat inap menggunakan lebih dari satu sumber biaya dan 4,8
persen dari sumber lainnya. Sementara itu sumber biaya untuk rawat inap dari Jamsostek
digunakan oleh 3,5 persen RT, 1,8 persen dari asuransi kesehatan swasta dan 4,0 persen dari
tunjangan kesehatan perusahaan.
Kesehatan reproduksi
Blok Kesehatan Reproduksi yang dikumpulkan bertujuan untuk menyediakan informasi cakupan
pelayanan kesehatan ibu terkait dengan indikator MDG yaitu pelayanan KB, pelayanan kesehatan
selama masa hamil sampai masa nifas.
Permasalahan kesehatan reproduksi di mulai dengan adanya perkawinan/hidup bersama. Di antara
perempuan 10-54 tahun, 2,6 persen menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9
persen menikah pada umur 15-19 tahun. Menikah pada usia dini merupakan masalah kesehatan
reproduksi karena semakin muda umur menikah semakin panjang rentang waktu untuk
bereproduksi.
Angka kehamilan penduduk perempuan 10-54 tahun adalah 2,68 persen, terdapat kehamilan pada
umur kurang 15 tahun, meskipun sangat kecil (0,02%) dan kehamilan pada umur remaja (15-19
tahun) sebesar 1,97 persen. Apabila tidak dilakukan pengaturan kehamilan melalui program
keluarga berencana (KB) akan mempengaruhi tingkat fertilitas di Indonesia.
Pelaksanaan program keluarga berencana dinyatakan dengan pemakaian alat/cara KB saat ini.
Pemakaian alat KB modern yang dinyatakan dengan CPR modern di antara WUS (wanita usia
kawin 15-49 tahun) merupakan salah satu dari indikator universal akses kesehatan reproduksi. Hasil
Riskesdas 2013, pemakaian cara/alat KB di Indonesia sebesar 59,7 persen dan CPR modern
sebesar 59,3 persen. Diantara penggunaan KB modern tersebut, sebagian besar menggunakan
cara KB suntikan (34,3%), dan merupakan penyumbang terbesar pada kelompok non MKJP dan
xiii
jenis hormonal. Pelayanan KB di Indonesia sebagian besar diberikan oleh bidan (76,6%) di fasilitas
pelayanan swasta yaitu tempat praktek bidan (54,6%).
Setiap ibu hamil menghadapi risiko terjadinya kematian, sehingga salah satu upaya menurunkan
tingkat kematian ibu adalah meningkatkan status kesehatan ibu hamil sampai bersalin melalui
pelayanan ibu hamil sampai masa nifas. Pada Riskesdas 2013, indikator cakupan pelayanan ibu
hamil sampai masa nifas diperoleh dari informasi riwayat kehamilan berdasarkan kelahiran yang
terjadi pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara.
Pemeriksaan kehamilan sangat penting dilakukan oleh semua ibu hamil untuk mengetahui
pertumbuhan janin dan kesehatan ibu. Hampir seluruh ibu hamil di Indonesia (95,4%) sudah
melakukan pemeriksaan kehamilan (K1) dan frekuensi kehamilan minimal 4 kali selama masa
kehamilannya adalah 83,5 persen. Adapun untuk cakupan pemeriksaan kehamilan pertama pada
trimester pertama adalah 81,6 persen dan frekuensi ANC 1-1-2 atau K4 (minimal 1 kali pada
trimester pertama, minimal 1 kali pada trimester kedua dan minimal 2 kali pada trimester3) sebesar
70,4 persen. Tenaga yang paling banyak memberikan pelayanan ANC adalah bidan (88%) dan
tempat pelayanan ANC paling banyak diberikan di praktek bidan (52,5%).
Proses persalinan dihadapkan pada kondisi kritis terhadap masalah kegawatdaruratan persalinan,
sehingga sangat diharapkan persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Hasil Riskesdas 2013,
persalinan di fasilitas kesehatan adalah 70,4 persen dan masih terdapat 29,6 persen di
rumah/lainnya. Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten (dokter spesialis, dokter
umum dan bidan) mencapai 87,1 persen, namun masih bervariasi antar provinsi.
Pelayanan kesehatan masa nifas dimulai dari 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Terdapat
81,9 persen ibu bersalin yang mendapat pelayanan nifas pertama pada periode 6 jam sampai 3 hari
setelah melahirkan (KF1), periode 7 sampai 28 hari setelah melahirkan (KF2) sebesar 51,8 persen
dan periode 29 sampai 42 hari setelah melahirkan (KF3) sebesar 43,4 persen. Akan tetapi angka
nasional untuk KF lengkap yang dicapai baru sebesar 32,1 persen. Ibu bersalin yang mendapat
pelayanan KB pasca bersalin mencapai 59,6 persen.
Kesehatan anak
Untuk kesehatan anak, cakupan imunisasi dasar lengkap semakin meningkat jika dibandingkan
tahun 2007, 2010 dan 2013 yaitu menjadi 58,9 persen di tahun 2013. Persentase tertinggi di DI
Yogyakarta (83,1%) dan terendah di Papua (29,2%). Cakupan pemberian vitamin A meningkat dari
71,5 persen (2007) menjadi 75,5 persen (2013). Persentase tertinggi terdapat di Nusa Tenggara
Barat (89,2%) dan yang terendah di Sumatera Utara (52,3%).
Kunjungan neonatus pada 6-48 jam pertama (KN1) telah dilakukan pada 71,3 persen bayi yang
dilahirkan hampir tidak ada perbedaan dengan hasil Riskesdas 2010 (71,4%). Walaupun KN1
meningkat dibanding 2010 (31,8%), tetapi kunjungan neonatus lengkap sampai dengan 28 hari
hanya dilakukan oleh 39,3 persen bayi lahir.
Informasi tentang berat badan lahir dan panjang badan lahir anak balita didasarkan kepada
dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota RT (buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak
lainnya). Sebanyak 52,6 persen balita dengan catatan berat badan lahir dan 45 persen balita
dengan catatan panjang badan lahir. Masih terdapat 10,2 persen bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR), yaitu kurang dari 2.500 gram. Persentase ini menurun dari Riskesdas 2010 (11,1%).
Persentase bayi dengan panjang badan lahir pendek (<48 cm) cukup tinggi, yaitu sebesar 20,2
persen. Jika dikombinasikan antara BBLR dan panjang badan lahir pendek, maka terdapat 4,3
persen balita yang BBLR dan juga memiliki panjang badan lahir pendek dan prevalensi tertinggi di
Papua (7,6%), sedangkan yang terendah di Maluku (0,8%).
Pemantauan pertumbuhan balita yang dilakukan setiap bulan menunjukkan bahwa persentase balita
umur 6-59 bulan yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir cenderung meningkat dari
25,5 persen (2007), 23,8 persen (2010) menjadi 34,3 persen (2013).
xiv
Persentase pemberian ASI saja dalam 24 jam terakhir dan tanpa riwayat diberikan makanan
prelakteal pada umur 6 bulan sebesar 30,2 persen. Inisiasi menyusu dini kurang dari satu jam
setelah bayi lahir adalah 34,5 persen, tertinggi di Nusa Tenggara Barat, yaitu sebesar 52,9 persen
dan terendah di Papua Barat (21,7%).
Riskesdas 2013 menyajikan informasi prevalensi anak usia 24-59 bulan yang mengalami kecacatan.
Kecacatan yang dimaksud adalah semua kecacatan yang dapat diobservasi, termasuk karena
penyakit atau trauma/kecelakaan. Data ini menunjukkan bahwa persentase anak tuna wicara dan
tuna netra meningkat hampir 2 kali lipat dibandingkan hasil Riskesdas 2010.
Persentase cara perawatan tali pusar pada anak usia 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa
meningkat dari 2010 (11,6%) menjadi 24,1 persen di 2013, tetapi yang diberi betadine/alkohol masih
lebih besar (68,9%). Persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun sebesar
51,2 persen, tertinggi di Gorontalo (83,7%), dan terendah di Nusa Tenggara Timur (2,7%).
Kesehatan indera
Prevalensi kebutaan nasional sebesar 0,4 persen, jauh lebih kecil dibanding prevalensi kebutaan
tahun 2007 (0,9%). Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas tertinggi ditemukan di
Gorontalo (1,1%) diikuti Nusa Tenggara Timur (1,0%), Sulawesi Selatan, dan Bangka Belitung
(masing-masing 0,8%). Prevalensi kebutaan terendah ditemukan di Papua (0,1%) diikuti Nusa
Tenggara Barat dan DI Yogyakarta (masing-masing 0,2%).
Prevalensi severe low vision penduduk umur 6 tahun keatas secara nasional sebesar 0,9 persen.
Prevalensi severe low vision tertinggi terdapat di Lampung (1,7%), diikuti Nusa Tenggara Timur dan
Kalimantan Barat (masing-masing 1,6%). Provinsi dengan prevalensi severe low vision terendah
adalah DI Yogyakarta (0,3%) diikuti oleh Papua Barat dan Papua (masing-masing 0,4%).
Prevalensi pterygium, kekeruhan kornea, dan katarak secara nasional berturut-turut adalah 8,3
persen; 5,5 persen; dan 1,8 persen. Prevalensi pterygium tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), diikuti
Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara Barat (17,0%). Provinsi DKI Jakarta mempunyai prevalensi
pterygium terendah, yaitu 3,7 persen, diikuti oleh Banten 3,9 persen.
Prevalensi kekeruhan kornea tertinggi juga ditemukan di Bali (11,0%), diikuti oleh DI Yogyakarta
(10,2%) dan Sulawesi Selatan (9,4%). Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Papua
Barat (2,0%) diikuti DKI Jakarta (3,1%).
Prevalensi katarak tertinggi di Sulawesi Utara (3,7%) diikuti oleh Jambi (2,8%) dan Bali (2,7%).
Prevalensi katarak terendah ditemukan di DKI Jakarta (0,9%) diikuti Sulawesi Barat (1,1%). Tiga
alasan utama penderita katarak belum dioperasi adalah karena ketidaktahuan (51,6%),
ketidakmampuan (11,6%), dan ketidakberanian (8,1%).
Prevalensi ketulian Indonesia sebesar 0,09 persen dan prevalensi tertinggi ditemukan di Maluku
(0,45%), sedangkan yang terendah di Kalimantan Timur (0,03%). Prevalensi gangguan
pendengaran secara nasional sebesar 2,6 persen dan prevalensi tertinggi terdapat di Nusa
Tenggara Timur (3,7%), sedangkan yang terendah di Banten (1,6%).
Biomedis
Pemeriksaan spesimen biomedis dimaksud untuk mengetahui status iodium dan konfirmasi penyakit
menular dan tidak menular. Status iodium dinilai dari kadar iodium dalam air minum dan garam RT,
serta urin anak umur 6-12 tahun dan WUS 15-49 tahun.
Proporsi sumber air minum RT yang tidak mengandung iodium 40,1 persen, air mengandung rendah
iodium 52,0 persen, sedangkan air mengandung iodium tinggi 0,4 persen. Proporsi kadar iodium
dalam garam RT hasil metoda titrasi yang tidak beriodium 1,0 persen, mengandung kurang iodium
50,8 persen, sedangkan garam kelebihan iodium adalah 5,0 persen. Proporsi RT mengonsumsi
xv
garam mengandung cukup iodium adalah 77,1 persen, garam mengandung kurang iodium 14,8
persen dan garam tidak mengandung iodium 8,1 persen.
Pada anak umur 6–12 tahun didapatkan nilai ekskresi iodium dalam urin (EIU) risiko kekurangan
iodium 14,9 persen, cukup iodium 29,9 persen, mengandung iodium lebih dari cukup 24,8 persen
dan risiko kelebihan iodium 30,4 persen. Pada wanita usia subur (15–49 tahun) didapatkan nilai
ekskresi iodium dalam urin: (1) WUS risiko kekurangan iodium 22,1 persen, cukup iodium 30,6
persen, mengandung iodium lebih dari cukup 22,4 persen dan risiko kelebihan iodium 24,9 persen;
(2) pada ibu hamil risiko kekurangan iodium 24,3 persen, cukup iodium 36,9 persen, mengandung
iodium lebih dari cukup 17,6 persen, dan risiko kelebihan iodium 21,3 persen; (3) pada ibu menyusui
risiko kekurangan iodium 23,9 persen, cukup iodium 36,9 persen, mengandung iodium lebih dari
cukup 21,1 persen dan risiko kelebihan iodium 18,1 persen.
Proporsi penduduk ≥15 tahun dengan diabetes mellitus (DM) adalah 6,9 persen. Secara nasional,
proporsi anemia penduduk ≥1 tahun adalah 21,7 persen, pada balita 12-59 bulan adalah 28,1
persen, dan ibu hamil sebesar 37,1 persen. Angka kesakitan malaria penduduk >1 tahun dengan
pemeriksaan RDT adalah 1,3 persen dengan infeksi P. falciparum yang dominan dibandingkan
spesies lainnya.
Pada penduduk >15 tahun didapatkan kolesterol total abnormal 35,9 persen, HDL rendah 22,9
persen, LDL tidak optimal dengan kategori gabungan near optimal-borderline tinggi 60,3 persen dan
kategori tinggi-sangat tinggi 15,9 persen, trigliserida abnormal dengan kategori borderline tinggi 13,0
persen dan kategori tinggi-sangat tinggi 11,9 persen, serta kreatinin serum abnormal 6,0 persen
xvi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................Error! Bookmark not defined.
RINGKASAN EKSEKUTIF........................................................................................................ iii
DAFTAR ISI............................................................................................................................... xvii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................................ xxi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. xxvi
DAFTAR SINGKATAN ......................................................................................................... xxxiii
BAB 1.
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................... 1
1.2. Ruang Lingkup Riskesdas 2013 ................................................................................. 2
1.3. Pertanyaan Penelitian ................................................................................................... 2
1.4. Tujuan Riskesdas 2013 ................................................................................................ 2
1.5. Kerangka Pikir ................................................................................................................ 3
1.6. Alur Pikir Riskesdas 2013 ............................................................................................ 4
1.7. Pengorganisasian Riskesdas 2013 ............................................................................ 6
1.8. Manfaat Riskesdas 2013 .............................................................................................. 6
1.9. Persetujuan Etik Riskesdas 2013 ............................................................................... 7
BAB 2.
METODOLOGI RISKESDAS .................................................................................. 8
2.1. Metode Sampling ........................................................................................................... 8
2.2. Populasi dan Sampel .................................................................................................. 10
2.3. Penjaminan mutu data Riskesdas 2013 .................................................................. 15
2.4. Variabel ......................................................................................................................... 22
2.5. Alat pengumpul data dan cara pengumpulan data ................................................ 23
2.6. Manajemen data .......................................................................................................... 24
2.7. Keterbatasan data ....................................................................................................... 26
2.8. Pengolahan dan analisis data ................................................................................... 26
2.9. Estimasi kesalahan sampling (sampling error) ....................................................... 26
2.10. Pengembangan kuintil indeks kepemilikan ............................................................. 27
BAB 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 32
3.1. Akses dan Pelayanan Kesehatan ............................................................................. 33
3.1.1.Keberadaan pelayanan kesehatan ........................................................................ 33
3.1.2. Keterjangkauan fasilitas kesehatan ..................................................................... 35
xvii
3.2. Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional ..................................................... 40
3.2.1. Obat dan Obat Tradisional (OT) di Rumah tangga ............................................ 40
3.2.2. Pengetahuan Rumah tangga tentang Obat Generik (OG) ............................... 44
3.2.3. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) ....................... 47
3.3. Kesehatan Lingkungan ............................................................................................... 50
3.3.1. Air minum ................................................................................................................. 50
3.3.2. Sanitasi ..................................................................................................................... 55
3.3.3. Perumahan ............................................................................................................... 59
3.4. Penyakit Menular ......................................................................................................... 65
3.4.1. Penyakit yang ditularkan melalui Udara .............................................................. 65
3.4.2. Penyakit yang ditularkan melalui Makanan, Air dan lainnya ............................ 71
3.4.3. Penyakit yang ditularkan oleh Vektor (Malaria) .................................................. 76
3.5. Penyakit Tidak Menular .............................................................................................. 83
3.5.1. Asma ......................................................................................................................... 85
3.5.2. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) ............................................................. 85
3.5.3. Kanker ....................................................................................................................... 85
3.5.4. Diabetes melitus ...................................................................................................... 87
3.5.5. Penyakit hipertiroid ................................................................................................. 88
3.5.6. Hipertensi/Tekanan darah tinggi ........................................................................... 88
3.5.7. Penyakit Jantung ..................................................................................................... 90
3.5.8. Stroke ........................................................................................................................ 91
3.5.9. Penyakit ginjal .......................................................................................................... 94
3.5.10. Penyakit Sendi/Rematik/Encok........................................................................... 94
3.5.11. Kecenderungan PTM 2007-2013 ....................................................................... 97
3.6. Cedera ......................................................................................................................... 100
3.6.1. Prevalensi Cedera dan penyebabnya ................................................................ 101
3.6.2. Jenis cedera ........................................................................................................... 104
3.6.3. Tempat Terjadinya Cedera .................................................................................. 107
3.7. Kesehatan Gigi dan Mulut ........................................................................................ 110
3.7.1. Effective Medical Demand ................................................................................... 110
3.7.2. Perilaku menyikat gigi penduduk umur ≥ 10 tahun .......................................... 114
3.7.3. Indeks DMF-T dan Komponen D-T, M-T, F-T .................................................. 118
3.8. Status Disabilitas ....................................................................................................... 120
3.9. Kesehatan Jiwa .......................................................................................................... 125
xviii
3.9.1. Gangguan Jiwa Berat ........................................................................................... 125
3.9.2. Gangguan Mental Emosional .............................................................................. 127
3.10.
Pengetahuan, sikap dan perilaku ........................................................................ 130
3.10.1. Perilaku Higienis ................................................................................................. 130
3.10.2. Penggunaan Tembakau..................................................................................... 132
3.10.3. Perilaku aktivitas fisik ......................................................................................... 139
3.10.4. Perilaku konsumsi sayur dan buah .................................................................. 142
3.10.5. Pola konsumsi makanan berisiko ..................................................................... 143
3.10.6. Konsumsi makanan olahan dari tepung .......................................................... 146
3.10.7. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)......................................................... 147
3.11.
Pembiayaan kesehatan ........................................................................................ 151
3.11.1.
Kepemilikan jaminan kesehatan .................................................................. 151
3.11.2.
Mengobati sendiri ........................................................................................... 154
3.11.3.
Rawat Jalan ..................................................................................................... 155
3.11.4.
Rawat inap ....................................................................................................... 157
3.11.5.
Sumber pembiayaan ...................................................................................... 159
3.12.
Kesehatan reproduksi ........................................................................................... 163
3.12.1. Kehamilan ............................................................................................................ 164
3.12.2. Pelayanan program Keluarga Berencana (KB) .............................................. 164
3.12.3. Pelayanan kesehatan masa kehamilan, persalinan, dan nifas ................... 169
3.13.
Kesehatan Anak ..................................................................................................... 182
3.13.1. Berat dan panjang badan lahir .......................................................................... 182
3.13.2. Kecacatan ............................................................................................................ 188
3.13.3. Status Imunisasi .................................................................................................. 189
3.13.4. Kunjungan neonatus........................................................................................... 196
3.13.5. Perawatan tali pusar ........................................................................................... 200
3.13.6. Pola pemberian ASI ............................................................................................ 202
3.13.7. Cakupan vitamin A .............................................................................................. 204
3.13.8. Pemantauan pertumbuhan ................................................................................ 205
3.13.9. Sunat Perempuan ............................................................................................... 206
3.14.
Status Gizi ............................................................................................................... 209
3.14.1. Status gizi anak balita ........................................................................................ 209
3.14.2. Status gizi anak umur 5-18 tahun..................................................................... 216
3.14.3. Status gizi dewasa .............................................................................................. 223
xix
3.15.
Kesehatan Indera................................................................................................... 231
3.15.1 Kesehatan mata ................................................................................................... 231
3.15.2 Kesehatan telinga ................................................................................................ 243
3.16.
Pemeriksaan biomedis .......................................................................................... 247
3.16.1 Rekrutmen sampel biomedis .............................................................................. 247
3.16.2. Status Iodium ....................................................................................................... 249
3.16.3. Hasil pemeriksaan spesimen darah ................................................................. 253
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 262
LAMPIRAN ................................................................................................................................ 268
xx
DAFTAR TABEL
Tabel 2.2.1
Tabel 2.2.2
Tabel 2.2.3
Tabel 2.3.1
Tabel 2.3.2
Tabel 2.3.3
Tabel 2.10.1
Tabel 2.10.2
Tabel 2.10.3
Tabel 2.10.4
Tabel 2.10.5
Tabel 3.2.1
Tabel 3.2.2
Tabel 3.2.3
Tabel 3.2.4
Tabel 3.2.5
Tabel 3.2.6
Tabel 3.2.7
Tabel 3.2.8
Tabel 3.2.9
Tabel 3.2.10
Tabel 3.2.11
Tabel 3.2.12
Tabel 3.4.1
Tabel 3.4.2
Tabel 3.4.3
Tabel 3.4.4
Tabel 3.4.5
Tabel 3.4.6
Distribusi BS, RT, dan ART yang dapat dikunjungi (response rate) menurut
Provinsi, ............................................................................................................ 11
Distribusi jumlah sampel menurut umur dan jenis kelamin, Indonesia 2013 ......... 12
Jumlah sampel untuk penilaian status iodium penduduk, Indonesia 2013 ............ 14
Validasi variabel rumah tangga............................................................................. 21
Validasi Variabel Individu ..................................................................................... 21
Validasi proses pengukuran dan pemeriksaan ..................................................... 22
Variabel kepemilikan data Riskesdas 2013 .......................................................... 28
Gambaran kuintil indeks kepemilikan menurut provinsi, Indonesia 2013 .............. 29
Gambaran status ekonomi berdasarkan tempat tinggal, Indonesia 2013 .............. 30
Persentase RT penerima pelayanan gratis berdasarkan kuintil ............................ 30
Persentase Rumah Tangga Mendapat Beras Miskin (Raskin) Berdasarkan
Kuintil ............................................................................................................... 31
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata ................................... 41
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat berdasarkan jenis obat ................. 42
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika .................... 43
Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat.......................... 44
Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat yang disimpan........................... 44
Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar ................ 45
Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar ................ 46
Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsinya tentang obat generik (OG)....... 46
Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik
(OG) ................................................................................................................. 47
Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1
tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut provinsi,
Indonesia 2013 ................................................................................................. 48
Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1
tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut
karakteristik,
Indonesia 2013 ................................................................................................. 49
Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan...... 49
Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi
pneumonia
menurut provinsi, Indonesia 2013 ....................................... 66
Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi
pneumonia
menurut karaktristik, Indonesia 2013 .................................. 68
Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru menurut
provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................... 69
Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru menurut
karakteristik, ..................................................................................................... 70
Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence
diare menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................................................ 73
Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence
diare menurut karakteristik, Indonesia 2013 ..................................................... 74
xxi
Tabel 3.4.7
Proporsi Penderita hepatitis A, B, C, dan hepatitis lain menurut provinsi,
Indonesia 2013 ................................................................................................. 75
Tabel 3.4.8 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut provinsi, Indonesia
2013 ................................................................................................................. 76
Tabel 3.4.9 Insiden dan prevalensi malaria menurut provinsi, Indonesia 2013 ........................ 78
Tabel 3.4.10 Insiden dan prevalen malaria menurut karakteristik, Indonesia 2013 .................... 79
Tabel 3.4.11 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program
dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut provinsi, Indonesia
2013 ................................................................................................................. 81
Tabel 3.4.12 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program
dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut karakteristik,
Indonesia 2013 ................................................................................................. 82
Tabel 3.5.1 Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut provinsi, Indonesia
2013 ................................................................................................................. 86
Tabel 3.5.2 Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik, Indonesia
2013 ................................................................................................................. 87
Tabel 3.5.3 Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥15 tahun dan hipertensi pada
umur ≥18 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 ........................................... 89
Tabel 3.5.4 Prevalensi diabetes, hipertiroid, hipertensi menurut karakteristik, Indonesia
2013 ................................................................................................................. 90
Tabel 3.5.5 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥
15 tahun menurut Provinsi, Indonesia 2013 ...................................................... 92
Tabel 3.5.6 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥15
tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013 .................................................... 93
Tabel 3.5.7 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥15
tahun ................................................................................................................ 95
Tabel 3.5.8 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15
tahun ................................................................................................................ 96
Tabel 3.6.1 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut provinsi, Indonesia 2013............. 102
Tabel 3.6.2 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Indonesia 2013 ...... 103
Tabel 3.6.3 Proporsi jenis cedera menurut provinsi, Indonesia 2013 ..................................... 105
Tabel 3.6.4 Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Indonesia 2013 .............................. 106
Tabel 3.6.5 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut provinsi, Indonesia 2013 ................. 108
Tabel 3.6.6 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Indonesia 2013 .......... 109
Tabel 3.7.1 Prevalensi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir
sesuai effective medical demand menurut provinsi, Indonesia 2013 .............. 111
Tabel 3.7.2 Proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir
menurut karakteristik, Indonesia 2013 ........................................................... 112
Tabel 3.7.3 Proporsi penduduk berobat gigi sesuai jenis nakes menurut provinsi,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 114
Tabel 3.7.4 Persentase penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan
berperilaku benar menyikat gigi menurut provinsi, Indonesia 2013 ................ 116
Tabel 3.7.5 Persentase Penduduk ≥10 tahun yang menyikat gigi setiap hari dan
berperilaku benar menyikat gigi menurut karakteristik, Indonesia 2013 .......... 117
Tabel 3.7.6 Komponen D, M, F dan Index DMF -T menurut provinsi, Indonesia 2013 ........... 118
xxii
Tabel 3.7.7
Tabel 3.8.1
Komponen D, M, F dan Index DMF-T Menurut Karakteristik, Indonesia ,2013.... 119
Proporsi tingkat kesulitan penduduk menurut komponen disabilitas, Indonesia
2013 ............................................................................................................... 120
Tabel 3.8.2 Persentil skor WHODAS 2 .................................................................................. 121
Tabel 3.8.3 Kecenderungan prevalensi penduduk menurut komponen disabilitas 2007 2013 ............................................................................................................... 122
Tabel 3.8.4 Indikator disabilitas menurut provinsi, Indonesia 2013 ........................................ 123
Tabel 3.8.5 Indikator disabilitas menurut karakteristik, Indonesia 2013 ................................. 124
Tabel 3.9.1 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut provinsi, Indonesia 2013..................... 126
Tabel 3.9.2 Proporsi rumah tangga yang memiliki ARTgangguan jiwa berat yang pernah
dipasung menurut tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Indonesia
2013 ............................................................................................................... 127
Tabel 3.9.3 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur ≥15 tahun .......... 128
Tabel 3.10.1 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang berperilaku benardalam buang air
besar dan cuci tangan menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................... 130
Tabel 3.10.2 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan provinsi, . 133
Tabel 3.10.3 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan
karakteristik, ................................................................................................... 134
Tabel 3.10.4 Rerata Jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur ≥10 tahun ............... 135
Tabel 3.10.5 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah ... 136
Tabel 3.10.6 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun sesuai jenis aktivitas fisik ........................... 140
Tabel 3.10.7 Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari ............................ 141
Tabel 3.10.8 Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktivitas sedentari ........................... 142
Tabel 3.10.9 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi berisiko............. 144
Tabel 3.10.10 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan
olahan dari tepung menurut provinsi, Indonesia, 2013 .................................... 147
Tabel 3.11.1 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan provinsi,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 152
Tabel 3.11.2 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik,
Indonesia 2013 .............................................................................................. 153
Tabel 3.11.3 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan ....................... 154
Tabel 3.11.4 Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp)............. 157
Tabel 3.11.5 Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta biaya ........................ 159
Tabel 3.11.6 Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan
karakteristik, Indonesia 2013 ......................................................................... 161
Tabel 3.11.7 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut
karakteristik, Indonesia 2013 .......................................................................... 162
Tabel 3.13.1 Jumlah sampel dan indikator kesehatan anak, Indonesia 2013 .......................... 182
Tabel 3.13.2 Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 184
Tabel 3.13.3 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut provinsi,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 185
Tabel 3.13.4 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 186
xxiii
Tabel 3.13.5 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-23 bulan menurut provinsi, ..... 191
Tabel 3.13.6 Persentase jenis imunisasi dasar pada anak umur 12-23 bulan ......................... 192
Tabel 3.13.7 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan menurut
provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................ 193
Tabel 3.13.8 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan menurut
karakteristik, Indonesia 2013 .......................................................................... 194
Tabel 3.13.9 Persentase alasan tidak pernah imunisasi pada anak umur 12-23 bulan
menurut karakteristik, Indonesia 2013 *) ......................................................... 195
Tabel 3.13.10 Persentase kunjungan neonatal pada anak anak umur 0-59 bulan menurut
karakteristik, Indonesia 2013 .......................................................................... 198
Tabel 3.13.11 Persentase kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak umur 059 bulan menurut karakteristik, Indonesia 2013 .............................................. 200
Tabel 3.13.12 Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut
provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................ 201
Tabel 3.13.13 Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut
provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................. 203
Tabel 3.15.1 Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan
kebutaan pada penduduk umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal
menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................... 237
Tabel 3.15.2 Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan
kebutaan pada penduduk umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal
menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................... 238
Tabel 3.15.3 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada penduduk semua umur
menurut karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................ 240
Tabel 3.15.4 Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak
pada penduduk semua umur menurut provinsi, Indonesia 2013 ..................... 242
Tabel 3.15.5 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥5 tahun
sesuai tes konversasi menurut karakteristik, Indonesia 2013.......................... 244
Tabel 3.16.1 Proporsi RT yang mengonsumsi garam berdasarkan kandungan iodium ............ 250
Tabel 3.16.2 Proporsi RT yang mengonsumsi garam yang mengandung cukup iodium........... 251
Tabel 3.16.3 Kecenderungan proporsi kadar iodium (ppm KIO3) dalam garam RT .................. 252
Tabel 3.16.4 Proporsi kadar iodium dalam sumber air minum RT menurut karakteristik,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 253
Tabel 3.16.5 Proporsi DM pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, ................................... 254
Tabel 3.16.6 Proporsi GDP terganggu pada umur ≥15 tahun berdasarkan kriteria ADA .......... 255
Tabel 3.16.7 Proporsi TGT pada umur ≥15 tahun TGT menurut karakteristik, Indonesia 2013 255
Tabel 3.16.8 Proporsi DM umur ≥15 tahun yang didiagnosis oleh Nakes menurut
karakteristik, ................................................................................................... 255
Tabel 3.16.9 Proporsi anemia penduduk umur ≥1 tahun menurut karakteristik, Indonesia
2013 ............................................................................................................... 256
Tabel 3.16.10 Proporsi malaria dengan pemeriksaan RDT menurut karakteristik, Indonesia
2013 ............................................................................................................... 257
Tabel 3.16.11 Proporsi malaria dengan pemeriksaan RDT sesuai spesies parasit menurut
karakteristik, Indonesia 2013 .......................................................................... 258
xxiv
Tabel 3.16.12 Proporsi kolesterol abnormal penduduk umur ≥15 tahun menurut karakteristik,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 259
Tabel 3.16.13 Proporsi HDL rendah pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia
2013 ............................................................................................................... 259
Tabel 3.16.14 Proporsi LDL abnormal pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia
2013 ............................................................................................................... 260
Tabel 3.16.15 Proporsi trigliserida abnormal pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 260
Tabel 3.16.16 Proporsi penduduk ≥15 tahun dengan kreatinin abnormal menurut
karakteristik, ................................................................................................... 261
xxv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.5.1
Gambar 1.6.1
Gambar 2.2.1
Gambar 2.2.2
Gambar 2.2.3
Gambar 2.2.4
Gambar 3.1.1
Gambar 3.1.2
Gambar 3.1.3
Gambar 3.1.4
Gambar 3.1.5
Gambar 3.1.6
Gambar 3.1.7
Gambar 3.1.8
Gambar 3.1.9
Gambar 3.2.1
Gambar 3.2.2
Gambar 3.3.1
Gambar 3.3.2
Gambar 3.3.3
Gambar 3.3.4
Gambar 3.3.5
Gambar 3.3.6
Gambar 3.3.7
Kerangka pikir Riskesdas 2013 dikembangkan dari Gabungan Sistem
Kesehatan WHO dengan konsep model BLUM .................................................. 3
Alur Pikir Riskesdas 2013 ................................................................................... 5
Rentang sampel RT untuk masing-masing Kabupaten/Kota menurut
Provinsi, Indonesia 2013 .................................................................................. 13
Rentang sampel ART untuk masing-masing Kabupaten/Kota menurut
Provinsi, Indonesia 2013 .................................................................................. 13
Jumlah sampel hasil pengambilan spesimen darah, Indonesia 2013 ................. 14
Sampling Air, garam, dan urin untuk penilaian status iodium, Indonesia 2013 ... 15
Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit
pemerintah dan rumah sakit swasta menurut provinsi, Indonesia 2013 ............ 33
Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan bidan praktek atau
rumah bersalin menurut provinsi, Indonesia 2013............................................. 34
Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan posyandu menurut
provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................... 35
Proporsi moda transportasi ke rumah sakit pemerintah berdasarkan
karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................................ 36
Proporsi moda transportasi ke Puskesmas berdasarkan karakteristik,
Indonesia 2013 ................................................................................................. 36
Waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan terdekat menurut pengetahuan
pengetahuan rumah tangga, Indonesia 2013 .................................................... 37
Waktu tempuh menuju rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik,
Indonesia 2013 ................................................................................................. 38
Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan terdekat, Indonesia 2013 ........... 38
Biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Indonesia 2013 .............................. 39
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan,
Indonesia 2013 ................................................................................................. 40
Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun
terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan, Indonesia 2013................... 47
Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum
Improved menurut karakteristik, Indonesia 2013............................................... 51
Kecenderungan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap
sumber air minum Improved menurut provinsi, 2007, 2010, dan 2013 ............ 52
Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa
mengambil air, Indonesia 2013 ......................................................................... 52
Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa
mengambil air menurut karakteristik, Indonesia 2013 ....................................... 53
Proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas fisik air minum menurut
karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................................ 54
Proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum
menurut provinsi, Indonesia 2013 ..................................................................... 54
Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum ...................... 55
xxvi
Gambar 3.3.8
Gambar 3.3.9
Gambar 3.3.10
Gambar 3.3.11
Gambar 3.3.12
Gambar 3.3.13
Gambar 3.3.14
Gambar 3.3.15
Gambar 3.3.16
Gambar 3.3.17
Gambar 3.3.18
Gambar 3.3.19
Gambar 3.3.20
Gambar 3.3.21
Gambar 3.3.22
Gambar 3.4.1
Gambar 3.4.2
Gambar 3.4.3
Gambar 3.4.4
Gambar 3.4.5
Gambar 3.4.6
Gambar 3.4.7
Gambar 3.5.1
Gambar 3.5.2
Gambar 3.5.3
Gambar 3.5.4
Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja menurut
provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................... 56
Kecenderungan rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas
sanitasi Improved menurut provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013 .............. 57
Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi
Improved menurut karakteristik, Indonesia 2013 ............................................... 57
Proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah, Indonesia
2013 ................................................................................................................. 58
Proporsi rumah tangga menurut pengelolaan sampah, Indonesia 2013 ............ 58
Proporsi rumah tangga berdasarkan pengelolaan sampah dengan dibakar
menurut provinsi, Indonesia, 2013 .................................................................... 59
Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan tempat
tinggal, Indonesia 2013.................................................................................... 60
Proporsi rumah tangga berdasarkan kepadatan hunian menurut provinsi,
Indonesia 2013 ................................................................................................. 60
Proporsi rumah tangga berdasarkan keberadaan plafon/langit-langit, dinding
terbuat dari tembok dan lantai bukan tanah, Indonesia 2013 ............................ 61
Proporsi rumah tangga berdasarkan ketersediaan ruang tidur, ruang
keluarga dan ruang dapur dengan kebersihan, keberadaan jendela,
ventilasi, dan pencahayaan alami, Indonesia 2013 ......................................... 61
Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan, Indonesia
2013 ................................................................................................................. 62
Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan non listrik
menurut provinsi, Indonesia 2013 ..................................................................... 62
Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis bahan bakar/energi, Indonesia
2013 ................................................................................................................. 63
Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku mencegah gigitan nyamuk,
Indonesia 2013 ................................................................................................. 63
Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan
pestisida/insektisida/pupuk kimia, Indonesia 2013 ............................................ 64
Period prevalence ISPA, menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 ............... 65
Period prevalence pneumonia menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 ..... 67
Insidens pneumonia per 1000 balita menurut kelompok umur, Indonesia
2013 ................................................................................................................. 67
Prevalensi TB paru menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 ...................... 71
Prevalensi Hepatitis menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 ..................... 71
Period Prevalence Diare menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 .............. 72
Insiden Malaria menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 ............................ 77
Besar sampel yang digunakan untuk analisis penyakit tidak menular (PTM) ..... 83
Kecenderungan prevalensi DM berdasarkan wawancara pada umur ≥ 15
tahun menurut provinsi, 2007 dan 2013 ............................................................ 97
Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara pada umur
≥18 tahun menurut provinsi, 2007 dan 2013 ..................................................... 98
Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran pada umur ≥
18 tahun menurut provinsi, 2007 dan 2013 ....................................................... 98
xxvii
Gambar 3.5.5
Kecenderungan prevalensi stroke permil pada umur ≥15 tahun menurut
provinsi, 2007 dan 2013 ................................................................................... 99
Gambar 3.5.6 Kecenderungan prevalensi sendi/rematik/encok berdasarkan wawancara
pada umur ≥15 tahun menurut provinsi, 2007 dan 2013 ................................... 99
Gambar 3.6.1 Kecenderungan prevalensi cedera dan penyebabnya, Indonesia 2007 dan
2013 ............................................................................................................... 104
Gambar 3.7.1 Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta
mendapat perawatan, dan EMD, Indonesia 2013 ........................................... 110
Gambar 3.7.2 Kecenderungan penduduk bermasalah gigi dan mulut, menerima perawatan
dari tenaga medis dan EMD menurut Riskesdas 2007 dan 2013 .................... 113
Gambar 3.8.1 Persentil skor disabilitas .................................................................................. 121
Gambar 3.8.2 Kecenderungan prevalensi komponen disabilitas 2007 - 2013 ........................ 122
Gambar 3.9.1 Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik,
Riskesdas 2007 dan 2013 .............................................................................. 129
Gambar 3.10.1 Kecenderungan proporsi penduduk umur ≥10 tahun berperilaku cuci tangan
dengan benar menurut provinsi, Indonesia 2007- 2013 .................................. 131
Gambar 3.10.2 Kecenderungan proporsi penduduk Umur ≥10 tahun berperilaku BAB
dengan benar menurut provinsi, Indonesia 2007- 2013 .................................. 132
Gambar 3.10.3 Kecenderungan proporsi penduduk umur ≥15 tahun yang mempunyai
kebiasaan menghisap dan mengunyah tembakau menurut provinsi,
Indonesia 2007, 2010 dan 2013...................................................................... 137
Gambar 3.10.4 Kecenderungan proporsi perokok umur≥15 tahun berdasarkan hasil survei
GATS tahun 2011 dan Riskesdas 2013 .......................................................... 138
Gambar 3.10.5 Kecenderungan proporsi penduduk umur ≥15 tahun mengunyah tembakau
berdasarkan GATS 2011 dan Riskesdas 2013 ............................................... 138
Gambar 3.10.6 Kecenderungan proporsi penduduk ≥10 tahun kurang makan sayur dan
buah menurut provinsi, ................................................................................... 143
Gambar 3.10.7 Proporsi penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan berisiko >1 kali
sehari, 2013 .................................................................................................... 145
Gambar 3.10.8 Kecenderungan Penduduk umur ≥10 tahun perilaku konsumsi makanan
berisiko >1 kali sehari, Indonesia tahun 2007 dan 2013.................................. 145
Gambar 3.10.9 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut frekuensi makanan .................... 146
Gambar 3.10.10 Proporsi RT melakukan PHBS menurut 10 indikator, 2013 ............................. 149
Gambar 3.10.11 Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) baik menurut provinsi, Indonesia 2013 ..................................... 150
Gambar 3.10.12 Proporsi rumah tangga memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) baik menurut karakteristik, Indonesia 2013 ....................................... 150
Gambar 3.11.1 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran
biayanya menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................... 155
Gambar 3.11.2 Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp)
berdasarkan provinsi, Indonesia 2013 ........................................................... 156
Gambar 3.11.3 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp)
berdasarkan provinsi, Indonesia 2013 ........................................................... 158
Gambar 3.11.4 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat jalan, Indonesia 2013 .... 160
Gambar 3.11.5 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap, Indonesia 2013 ..... 161
xxviii
Gambar 3.12.1 Proporsi penduduk yang sedang hamil berdasarkan laporan rumah tangga .... 164
Gambar 3.12.2 Pengggunaan KB saat ini menurut provinsi, Indonesia 2010-2013 .................. 165
Gambar 3.12.3 Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini WUS kawin dan kelompok umur,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 165
Gambar 3.12.4 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan
kelompok kandungan hormonal menurut provinsi, Indonesia 2013 ................. 166
Gambar 3.12.5 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan
kelompok jangka waktu efektivitas KB menurut provinsi, Indonesia, 2013 ...... 167
Gambar 3.12.6 Proporsi pemanfaatan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dalam
mendapatkan pelayanan KB, Indonesia 2013 ................................................. 168
Gambar 3.12.7 Proporsi alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB bagi WUS kawin
pernah dan tidak pernah ber-KB, Indonesia 2013 ........................................... 169
Gambar 3.12.8 Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut provinsi,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 171
Gambar 3.12.9 Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut provinsi,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 171
Gambar 3.12.10 Proporsi kelahiran yang melakukan pemeriksaan kehamilan menurut
tenaga dan tempat mendapat pelayanan ANC, Indonesia 2013 ..................... 172
Gambar 3.12.11 Proporsi kelahiran menurut konsumsi zat besi (Fe) dan jumlah hari
mengonsumsi, Indonesia 2013 ....................................................................... 173
Gambar 3.12.12 Proporsi kelahiran menurut kepemilikan buku KIA dan isian 5 Komponen
P4K berdasarkan hasil observasi lembar Amanat Persalinan dari yang
dapat menunjukkan Buku KIA, Indonesia 2013............................................... 174
Gambar 3.12.13 Proporsi persalinan sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai
saat wawancara menurut provinsi, Indonesia 2013 ........................................ 175
Gambar 3.12.14 Proporsi persalinan sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai
saat wawancara menurut karakteristik, Indonesia 2013 .................................. 175
Gambar 3.12.15 Proporsi kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut
penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan terendah, Indonesia 2013 .......... 176
Gambar 3.12.16 Proporsi kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut tempat
bersalin dan provinsi, Indonesia 2013 ............................................................. 177
Gambar 3.12.17 Proporsi kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut tempat
bersalin di faskes dan polindes/poskesdes vs di rumah/lainnya dan
karakteristik, Indonesia 2013 .......................................................................... 178
Gambar 3.12.18 Proporsi kelahiran hidup periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara
menurut pelayanan pemeriksaan masa nifas, Indonesia 2013........................ 179
Gambar 3.12.19 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan
periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut provinsi,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 179
Gambar 3.12.20 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan
periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut karakteristik,
Indonesia 2013. .............................................................................................. 180
Gambar 3.12.21 Proporsi kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut
pelayanan KB pasca salin dan provinsi, Indonesia 2013 ................................ 181
Gambar 3.13.1 Kecenderungan berat badan lahir rendah (BBLR) pada balita, Indonesia
2010 dan 2013 *) ............................................................................................ 183
xxix
Gambar 3.13.2 Persentase umur 0-59 bulan dengan berat badan lahir <2500 gram dan
panjang badan lahir <48 cm menurut Provinsi, Indonesia 2013 ...................... 187
Gambar 3.13.3 Persentase anak dengan berat badan <2500 gram dan panjang badan lahir
<48 cm menurut karakteristik, Indonesia 2013................................................ 187
Gambar 3.13.4 Kecenderungan persentase kecacatan pada anak 24-59 bulan, Indonesia
2010 dan 2013................................................................................................ 189
Gambar 3.13.5 Kecenderungan imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan,
Indonesia tahun 2007, 2010, dan 2013 ........................................................... 190
Gambar 3.13.6 Persentase keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur
12-23 bulan, Indonesia 2013 .......................................................................... 196
Gambar 3.13.7 Kecenderungan kunjungan neonatus lengkap, Indonesia 2010 dan 2013 ....... 196
Gambar 3.13.8 Kecenderungan KN1 menurut provinsi, Indonesa 2010 dan 2013 ................... 197
Gambar 3.13.9 Kecenderungan kunjungan neonatus lengkap menurut provinsi, Indonesia
2010 dan 2013................................................................................................ 199
Gambar 3.13.10 Kecenderungan proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan,
Indonesia 2010 dan 2013 ............................................................................... 202
Gambar 3.13.11 Pemberian ASI saja 24 jam terakhir menurut umur ......................................... 204
Gambar 3.13.12 Kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59
bulan, Indonesia 2007 dan 2013 .................................................................... 204
Gambar 3.13.13 Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan
dalam 6 bulan terakhir, Indonesia 2007 dan 2013 .......................................... 205
Gambar 3.13.14 Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan balita ≥4 kali dalam 6
bulan terakhir menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 ............................. 206
Gambar 3.13.15 Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat dan
umur ketika disunat, Indonesia 2013 .............................................................. 207
Gambar 3.13.16 Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat
menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................... 207
Gambar 3.13.17 Persentase anak perempuan umur 0 - 11 tahun yang pernah disunat
menurut karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................ 208
Gambar 3.14.1 Kecenderungan prevalensi status gizi BB/U <-2SD menurut provinsi,
Indonesia 2007, 2010, dan 2013..................................................................... 212
Gambar 3.14.2 Kecenderungan prevalensi status gizi TB/U <-2 SD menurut provinsi,
Indonesia 2007, 2010, dan 2013..................................................................... 213
Gambar 3.14.3 Kecenderungan prevalensi status gizi BB/TB <-2 SD menurut provinsi,
Indonesia 2007, 2010, dan 2013..................................................................... 214
Gambar 3.14.4 Kecenderungan prevalensi gizi kurang, pendek, kurus, dan gemuk pada
balita, Indonesia 2007,2010, dan 2013 ........................................................... 215
Gambar 3.14.5 Kecenderungan prevalensi status gizi balita menurut gabungan indikator
TB/U dan BB/TB, Indonesia 2007, 2010, dan 2013 ........................................ 216
Gambar 3.14.6 Prevalensi pendek anak umur 5-18 tahun, menurut jenis kelamin, Indonesia
2013 ............................................................................................................... 217
Gambar 3.14.7 Prevalensi pendek anak umur 5–12 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013.. 217
Gambar 3.14.8 Prevalensi kurus (IMT/U) anak umur 5 – 12 tahun menurut provinsi,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 218
xxx
Gambar 3.14.9 Prevalensi gemuk & sangat gemuk anak umur 5–12 tahun menurut provinsi,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 218
Gambar 3.14.10 Prevalensi pendek remaja umur 13–15 tahun menurut provinsi, Indonesia
2013 ............................................................................................................... 219
Gambar 3.14.11 Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut provinsi,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 220
Gambar 3.14.12 Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja umur 13 –
15 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 .................................................... 220
Gambar 3.14.13 Prevalensi pendek (TB/U) remaja umur 16–18 tahun menurut provinsi,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 221
Gambar 3.14.14 Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 16 – 18 tahun menurut provinsi,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 221
Gambar 3.14.15 Prevalensi status gizi gemuk (IMT/U) remaja umur 16–18 tahun .................... 222
Gambar 3.14.16 Kecenderungan status gizi (IMT/U) umur 16–18 tahun, Indonesia 2010 dan
2013 ............................................................................................................... 223
Gambar 3.14.17 Prevalensi status gizi kurus, BB lebih, obesitas penduduk dewasa (>18
tahun) menurut provinsi, Indonesia 2013 ........................................................ 224
Gambar 3.14.18 Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT>25) pada laki-laki umur >18
tahun, Indonesia 2007, 2010, dan 2013 ......................................................... 224
Gambar 3.14.19 Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT>25) pada perempuan umur >18
tahun berdasarkan data Riskesdas 2007, 2010, dan 2013 ............................. 225
Gambar 3.14.20 Kecenderungan status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) berdasarkan
komposit TB dan IMT, Indonesia 2010 - 2013............................................... 226
Gambar 3.14.21 Kecenderungan prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun
menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 ................................................... 227
Gambar 3.14.22 Prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15-49 tahun menurut provinsi,
Indonesia 2013 ............................................................................................... 228
Gambar 3.14.23 Prevalensi risiko KEK wanita usia subur (WUS) 15–49 tahun menurut
provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................. 228
Gambar 3.14.24 Prevalensi wanita usia subur risiko kurang energi kronis (KEK), menurut
umur, Indonesia 2007 dan 2013 .................................................................. 229
Gambar 3.14.25 Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi (tinggi badan <150 cm) menurut
provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................. 229
Gambar 3.15.1 Prevalensi kebutaan pada responden umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi
optimal menurut provinsi, Indonesia 2007-2013.............................................. 233
Gambar 3.15.2 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan
kebutaan menurut kelompok umur, Indonesia 2013........................................ 233
Gambar 3.15.3 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan
kebutaan menurut pendidikan, Indonesia 2013............................................... 234
Gambar 3.15.4 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan
kebutaan menurut kuintil indeks kepemilikan, Indonesia 2013 ........................ 235
Gambar 3.15.5 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan
kebutaan menurut tempat tinggal, Indonesia 2013 ......................................... 235
Gambar 3.15.6 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea menurut provinsi, Indonesia
2013 ............................................................................................................... 239
xxxi
Gambar 3.15.7 Proporsi tiga alasan utama penderita katarak belum menjalani operasi
menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................... 241
Gambar 3.15.8 Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes
konversasi menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................. 245
Gambar 3.15.9 Prevalensi ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut
provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................ 245
Gambar 3.16.1 Rekrutmen sampel air, garam dan urin, Indonesia 2013 .................................. 248
Gambar 3.16.2 Rekrutmen spesimen darah, Indonesia 2013................................................... 249
Gambar 3.16.3 Kecenderungan rumah tangga yang mengonsumsi garam dengan
kandungan cukup iodium berdasarkan hasil tes cepat menurut provinsi,
Indonesia 2007 dan 2013 ............................................................................... 251
Gambar 3.16.4 Kecenderungan nilai median ekskresi iodium dalam urin (µg/L) pada anak,
WUS, Ibu hamil, ibu menyusui, Indonesia 2007 dan 2013 .............................. 252
Gambar 3.16.5 Proporsi ekskresi iodium dalam urin anak umur 6-12 tahun, wanita usia
subur, ibu hamil dan ibu menyusui menurut kategori EIU, Indonesia 2013 .... 253
xxxii
DAFTAR SINGKATAN
µg/L
ACT
ADA
Amanat Persalinan
ANC
ANC 4x +
:
:
:
:
:
:
APN
ART
Asabri
ASI
Askes
BAB
Babel
Badan Litbangkes
Balita
BB
BB/TB
BB/U
BBLR
BP
BPS
BS
Buku KIA
CPR
D
D1
D3
DG
Dinkes
DIY
DKI
DM
DO
EIU
EKG
EMD
FKM
G
GAKI
GATS
GDP
GDPP
GDS
GGK
Hb
HDL
HIV/ AIDS
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
microgram per Liter
Artemisinin-based combination therapy
American Diabetes Assocation
Menyambut Persalinan Agar Aman dan Selamat
Antenatal care
proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil
minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan.
Asuhan Persalinan Normal
Anggota Rumah Tangga
Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Air Susu Ibu
Asuransi kesehatan
Buang air besar
Bangka Belitung
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Bawah lima tahun
Berat Badan
Berat badan/Tinggi Badan
Berat badan/umur
Berat Badan Lahir Rendah
Balai Pengobatan
Badan Pusat Statistik
Blok Sensus
Buku Kesehatan Ibu dan Anak
Contraceptive Prevalence Rate
Diagnosis dokter/tenaga kesehatan
Diploma 1
Diploma 3
Diagnosis atau gejala
Dinas Kesehatan
Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Khusus Ibukota
Diabetes Mellitus
Diagnosis tenaga kesehatan atau minum obat sendiri
Eksresi Iodium Urin
Elektro Kardio Gram
Effective Medical Demand
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Gejala klinis spesifik penyakit
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium
Global Adults Tobacco Survey
Glukosa Darah Puasa
Glukosa Darah Pasca Pembebanan
Glukosa Darah Sewaktu
Gagal ginjal kronik
Hemoglobin
High-Density Lipoprotein
Human Immunodeficiency Virus Infection / Acquired Immunodeficiency
xxxiii
ICCIDD
ICF
IFCC
IMD
IMT
Indeks DMF-T
IPKM
ISPA
IU
IUD
Jabar
Jamkesda
Jamkesmas
Jamsostek
Jateng
Jatim
JMP
JNC
JPK
K1
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
K1 ideal
:
K4
:
Kadinkes
Kalbar
Kalsel
Kalteng
Kaltim
Kasie litbang
Kasie Litbangda
Kasie puldata
Kasubdin
Katim
KB
KDRT
KEK
Kep. Riau
KEPK
Kepmenkes
Kespro
KF
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
KIA
KIO3
KIPI
KK
KLB
KMS
:
:
:
:
:
:
Syndrome
International Council for Control of Iodine Deficiency Disorders
International Classification of Functioning
International Federation of Clinical Chemistry
Inisiasi Menyusu Dini
Indeks Massa Tubuh
Penjumlahan dari D(Decay), M(Missing), F(Filling)-T (teeth)
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
Infeksi Saluran Pernapasan Akut
International Unit
Intra Uterine Device
Jawa Barat
Jaminan Kesehatan Daerah
Jaminan Kesehatan Masyarakat
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Jawa Tengah
Jawa Timur
Joint Monitoring Programme
Joint National Committee
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil
minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan
Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil
pertama kali pada trimester 1
Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil
selama 4 kali dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1 kali pada
trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada
trimester 3.
Kepala Dinas Kesehatan
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan
Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Daerah
Kepala Seksi Pengumpulan Data
Kepala Sub Dinas
Ketua Tim
Keluarga Berencana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kurang Energi Kronis
Kepulauan Riau
Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Keputusan Menteri Kesehatan
Kesehatan Reproduksi
Pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama periode 6 jam
sampai 42 hari setelah melahirkan.
Kesehatan Ibu dan Anak
Kalium Iodat
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
Kepala Keluarga
Kejadian Luar Biasa
Kartu Menuju Sehat
xxxiv
KN
Korwil
Lansia
LDL
LH
LiLA
Linakes
:
:
:
:
:
:
:
LM
LP
Malut
MDGs
Menkes
MKJP
MPASI
Nakes
NCEP-ATP III
NLIS
Non MKJP
NTB
NTT
OAT
OG
OT
P4K
Pabar
PB
PBTDK
PCA
PD3I
PDBK
PERDAMI
PERHATI
Permenkes
Perpres
PHBS
PJK
PM
PMT
PNS
Polindes
Poltekkes
Poskesdes
Poskestren
Posyandu
PPI
Ppm
PPS
PPOK
PSU
PT
PTM
PUS
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Kunjungan Neonatus
Koordinator Wilayah
Lanjut usia
Low-Density Lipoprotein
Lahir Hidup
Lingkar Lengan Atas
Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter spesialis
kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan)
Lahir Mati
Lingkar Perut
Maluku Utara
Millennium Development Goals
Menteri Kesehatan
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
Makanan Pendamping Air Susu Ibu
Tenaga Kesehatan
National Cholesterol Education Program- Adult Treatment Panel III
Nutrition Landscape Information System
Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Obat Anti Tuberkulosis
Obat Generik
Obat Tradisional
Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi
Papua Barat
Panjang Badan
Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan
Principal Component Analysis
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan
Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia
Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia
Peraturan Menteri Kesehatan
Peraturan Presiden
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Penyakit Jantung Koroner
Penyakit Menular
Pemberian Makanan Tambahan
Pegawai Negeri Sipil
Pondok Bersalin Desa
Politeknik Kesehatan
Pos Kesehatan Desa
Pos Kesehatan Pesantren
Pos Pelayanan Terpadu
Program Pengembangan Imunisasi
Part per million
Probability Proportional To Size
Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Primary Sampling Unit
Perguruan Tinggi
Penyakit Tidak Menular
Pasangan Usia Subur
xxxv
Puskesmas
Pustu
PWS KIA
RB
RDT
RI
Riskesdas
RKD
RPJMN
RS
RT
SD/MI
SDM
SKN
SKRT
SLTA
SLTP
SMA/MA
SMP/MTS
SP 2010
SPK
SRQ
STIKES
Sulbar
Sulsel
Sulteng
Sultra
Sulut
Sumbar
Sumsel
Sumut
Susenas
TB
TB
TB/U
TGT
TKP
TNI/Polri
U
UI
UKBM
UNAIR
UNHAS
UNICEF
USI
UU
WG
WHO
WHODAS 2
WUS
Yankestrad
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Pusat Kesehatan Masyarakat
Puskesmas Pembantu
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak
Rumah Bersalin
Rapid Diagnostic Test
Republik Indonesia
Riset Kesehatan Dasar
Riskesdas
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Rumah Sakit
Rumah Tangga
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
Sumber Daya Manusia
Sistem Kesehatan Nasional
Survei Kesehatan Rumah Tangga
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah
Sekolah Menengah Pertama/MadrasahTsanawiyah
Sensus Penduduk 2010
Standar Pelayanan Kebidanan
Self Reporting Questionnaire
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Survei Sosial Ekonomi Nasional
Tinggi Badan
Tuberkulosis
Tinggi badan/Umur
Toleransi Glukosa Terganggu
Tempat Kejadian Perkara
Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian RI
Ukur
Universitas Indonesia
Upaya kesehatan Bersumberdaya Masyarakat
Universitas Airlangga
Universitas Hasanuddin
United Nations Children’s Fund
Universal Salt Iodization
Undang – Undang
Washington Group
World Health Organization
WHO Disability Assessment Schedule 2
Wanita Usia Subur
Pelayanan Kesehatan Tradisional
xxxvi
xxxvii
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Visi rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025 adalah Indonesia yang maju, adil,
dan makmur. Visi tesebut direalisasikan pada empat misi pembangunan. Misi pembangunan
kesehatan 2010-2014 adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui
pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan
masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata,
bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan;
dan menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Sistem kesehatan nasional pada tahun
2012 memasukkan penelitian dan pengembangan dalam salah satu sub sistem dari tujuh sub sistem
yang ada (UU No 17 Tahun 2000).
Untuk mencapai visi dan misi di atas, maka salah satu strategi Kementerian Kesehatan RI adalah
“Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta
berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif”. Untuk itu diperlukan data
kesehatan berskala nasional berbasis fasilitas maupun komunitas yang dikumpulkan secara
berkesinambungan dan dapat dipercaya (SKN, PP Nomor 72 Tahun 2012).
Dalam upaya menyediakan data kesehatan yang berkesinambungan maka Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI melaksanakan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas). Riskesdas merupakan Riset Kesehatan berbasis komunitas yang
dirancang dapat berskala nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Riskesdas dilaksanakan secara
berkala dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program kesehatan sekaligus sebagai
bahan untuk perencanaan kesehatan.
Pada tahun 2007, Riskesdas pertama telah dilakukan, meliputi indikator kesehatan utama, yaitu
status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan
status gizi), kesehatan lingkungan, konsumsi gizi rumah tangga, pengetahuan-sikap-perilaku
kesehatan (Flu Burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol,
aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan
(akses, cakupan, mutu layanan, pembiayaan kesehatan), termasuk sampel darah anggota rumah
tangga (kecuali bayi) pada sub sampel daerah perkotaan (Balitbangkes, 2007).
Hasil Riskesdas 2007 telah banyak dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan dan
penyelenggara program kesehatan baik di pusat maupun daerah. Selain telah digunakan sebagai
bahan penyusunan RPJMN 2010-2014, data Riskesdas juga telah digunakan sebagai dasar
penyusunan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat/IPKM (Balitbangkes, 2010) yang berguna
untuk membuat peringkat kabupaten/kota berdasarkan hasil pembangunan kesehatan serta sebagai
dasar Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan/PDBK (Permenkes No 27 Tahun 2012).
Pada tahun 2013 dilakukan kembali Riskesdas yang serupa dengan tahun 2007 yaitu dengan
keterwakilan sampel hingga tingkat Kabupaten/Kota. Untuk pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut
mewakili tingkat provinsi dan sampel biomedis mewakili tingkat nasional.
Tahapan persiapan Riskesdas 2013 telah dilakukan selama satu tahun pada 2012, diawali dengan
meninjau kembali indikator kesehatan yang dikumpulkan pada Riskesdas 2007 untuk meningkatkan
kualitas data. Selanjutnya beberapa indikator ditambahkan seperti Pemukiman dan Ekonomi,
Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional, Kesehatan Mental ditambah informasi mengenai
gangguan jiwa berat dan pasung, Kesehatan Reproduksi, Frekuensi Konsumsi Makanan Olahan
yang Bersumber dari Tepung Terigu, Kesehatan Indera Pendengaran, Pemeriksaan Iodium dalam
Air dan Pemeriksaan Iodium Urin pada Wanita Usia Subur (WUS). Indikator status ekonomi
dikembangkan dari komposit variabel aset yang termasuk dalam blok Pemukiman dan Ekonomi.
1
Untuk merespon polemik mengenai sunat perempuan, pada Riskesdas 2013 ditambahkan informasi
sunat perempuan. Sebaliknya ada satu indikator Riskesdas 2007 yang tidak dikumpulkan seperti
konsumsi gizi rumah tangga dengan alasan akan dilakukan survei tersendiri. Demikian pula ada
beberapa variabel yang tidak dikumpulkan antara lain ketanggapan pelayanan kesehatan,
pengetahuan tentang HIV/AIDS, kebiasaan minum minuman beralkohol, pengetahuan tentang flu
burung, kebisingan di sekitar rumah tangga, dan penyebab kematian.
1.2. Ruang Lingkup Riskesdas 2013
Seperti telah diuraikan sebelumnya, fokus Riskesdas 2013 ini adalah untuk mengumpulkan data
berbasis masyarakat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi perubahan status kesehatan di
tingkat Kabupaten/kota, Provinsi dan Nasional termasuk IPKM dan indikator MDGs kesehatan.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian untuk Riskesdas 2013 yaitu:
1) Bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota tahun 2013?
2) Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik di setiap provinsi, dan
kabupaten/kota?
3) Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di
tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota?
4) Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan?
5) Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan?
Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian 1 dan 2 sedangkan pertanyaan penelitian
3,4 dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk analisis lanjut.
1.4. Tujuan Riskesdas 2013
Tujuan Umum:
Menyediakan informasi berbasis bukti untuk perumusan kebijakan pembangunan kesehatan di
berbagai tingkat administrasi.
Tujuan Khusus:
1) Menyediakan informasi untuk perencanaan kesehatan termasuk alokasi sumber daya di
berbagai tingkat administrasi.
2) Menyediakan peta status dan masalah kesehatan di tingkat nasional, provinsi dan
kabupaten/kota pada tahun 2013.
3) Menyediakan informasi perubahan status kesehatan masyarakat yang terjadi dari 2007 ke 2013.
4) Menilai kembali disparitas wilayah kabupaten kota menggunakan IPKM.
5) Mengkaji korelasi antar faktor yang menyebabkan perubahan status kesehatan..
2
1.5. Kerangka Pikir
FUNGSI SISTEM KESEHATAN
TUJUAN SISTEM KESEHATAN
Visi, Misi,
strategi dan
kebijakan
-
Manajemen Sumber
daya
Akses Pelayanan
Kesehatan
Pembiayaan
Kesehatan
Pendidikan, Pekerjaan, Status
Ekonomi
Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Kesehatan
Farmasi dan Pelayanan Kesehatan
Tradisional
Derajat Kesehatan
Pemerataan & Keadilan
Pembiayaan Kesehatan
-------: tidak dikumpulkan dalam Riskesdas 2013
-
Status Gizi
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Bayi dan Balita
Morbiditas Penyakit Menular
Penyakit Tidak Menular
Penyakit Bawaan
Gangguan Indera
Kesehatan Jiwa & gangguan
emosional
Gigi dan Mulut
Cedera,
Disabilitas
Kecacatan
Pemeriksaan Spesimen Darah
Status Iodium
Kesehatan Lingkungan
Gambar 1.5.1
Kerangka pikir Riskesdas 2013 dikembangkan dari Gabungan Sistem Kesehatan WHO dengan konsep model BLUM
3
1.6. Alur Pikir Riskesdas 2013
Alur pikir (Gambar 1.6.1) ini secara skematis menggambarkan enam tahapan penting dalam
Riskesdas 2007 dan 2013. Keenam tahapan ini terkait erat dengan ide dasar Riskesdas untuk
menyediakan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat dibandingkan serta dapat
menghasilkan estimasi yang dapat mewakili rumah tangga dan individu sampai ke tingkat
kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Siklus yang dimulai dari tahapan 1 hingga tahapan 6
menggambarkan sebuah pemikiran yang sistematis dan berlangsung secara berkesinambungan.
Dengan demikian, hasil Riskesdas 2013 bukan saja harus mampu menjawab pertanyaan
kebijakan, namun dapat memberikan arah bagi pengembangan kebijakan berikutnya.
Untuk menjamin kelayakan dan ketepatgunaan dalam penyediaan data kesehatan yang sahih,
akurat dan dapat dibandingkan, maka pada setiap tahapan Riskesdas 2013 dilakukan upaya
penjaminan mutu yang ketat. Substansi pertanyaan, pengukuran dan pemeriksaan Riskesdas
2013 mencakup data kesehatan yang mengadaptasi sebagian pertanyaan World Health Survey
(WHO, 2002) tahun 2002 yang dikembangkan oleh World Health Organization dan diacu oleh 70
negara di dunia.
.
4
1. Indikator
Status gizi
Kesehatan Ibu & Anak
Morbiditas PM, & PTM
Cedera & Kes. Jiwa
Disabilitas
Kecacatan
Sanitasi lingkungan
Perumahan &
Pemukiman
Pengetahuan, Sikap &
Perilaku
Farmasi dan
Pelayanan Kes.
Tradisional
Akses Pel. Kesehatan
Pembiayaan Kes
2. Disain Alat
Pengumpul Data
Kuesioner wawancara,
pengukuran,
pemeriksaan
Validitas
Reliabilitas
Dapat diterima
Policy
Questions
Research
Questions
Riskesdas
2013
6. Laporan
Tabel Dasar
Hasil Pendahuluan
Nasional
Hasil Pendahuluan
Provinsi
Hasil Akhir Nasional
Hasil Akhir Provinsi
5. Statistik
Deskriptif
Bivariat
Multivariat
Uji Hipotesis
4. Manajemen Data
Riskesdas 2013
Editing
Entry
Cleaning follow up
Perlakuan terhadap
missing data
Perlakuan terhadap
outliers
Consistency check
Analisis syntax
appropriateness
Pengarsipan
3. Pelaksanaan
Riskesdas 2013
Pengembangan
manual Riskesdas
Pengembangan modul
pelatihan
Pelatihan pelaksana
Penelusuran sampel
Pengorganisasian
Logistik
Pengumpulan data
Supervisi / bimbingan
teknis
Validasi
Gambar 1.6.1
Alur Pikir Riskesdas 2013
5
1.7. Pengorganisasian Riskesdas 2013
Dasar hukum persiapan Riskesdas 2013 adalah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
113/MENKES/SK/III/2012 tentang Tim Riset Kesehatan Nasional Berbasis Komunitas Tahun
2012-2014. Organisasi persiapan pelaksanaan Riskesdas 2013 dikukuhkan dengan Surat
Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan No. HK.02.04/I.4/15/2013,
tanggal 2 Januari 2013 tentang Tim Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.
Organisasi pengumpulan data Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut:
1. Di tingkat pusat dibentuk Tim Penasehat, Tim Pengarah, Tim Pakar, Tim Teknis, Tim
Manajemen dan Tim Pelaksana Pusat :
Tim Penasehat terdiri dari Menkes dan Kepala BPS dan Pejabat eselon I Kementerian
Kesehatan.
Tim Pengarah terdiri dari Kabadan, Pejabat eselon I dan sektor terkait.
Tim Pakar terdiri dari para ahli di bidangnya masing-masing.
Tim Teknis terdiri dari Pejabat eselon II, Peneliti di lingkungan Badan Litbangkes
Tim Manajemen terdiri dari Pejabat eselon II, eselon III dan staf Badan Litbangkes
Tim Pelaksana Pusat membentuk Koordinator Wilayah (korwil), setiap korwil yang
akan mengkoordinir beberapa provinsi.
2. Di tingkat provinsi dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi:
Tim Pelaksana di tingkat provinsi diketuai oleh Kadinkes Provinsi, Kasubdin Bina
Program, Peneliti Badan Litbangkes, dan Kasie Litbang/Kasie Puldata Dinkes Provinsi.
3. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Kabupaten/Kota :
Tim Pelaksana di tingkat kabupaten/ kota diketuai oleh Kadinkes Kabupaten/kota,
Kasubdin Bina Program tingkat kabupaten/kota, Peneliti Badan Litbangkes, Politeknik
Kesehatan (Poltekkes), dan Kasie Litbangda Dinkes Kab/Kota.
Di tingkat kabupaten/kota dibentuk tim pengumpul dan manajemen data. Setiap tim
pengumpul data mencakup 6 BS (150 Rumah Tangga). Tiap tim pengumpul data terdiri dari 5
orang yang diketuai oleh seorang ketua tim (Katim). Kualifikasi tim pengumpul dan
manajemen data termasuk Katim, minimal mempunyai pendidikan D3 Kesehatan.
Tenaga pengumpul dan manajemen data direkrut dari Poltekkes, STIKES, Universitas
(Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan, Fakultas
Kedokteran Gigi), dll. Di beberapa daerah yang kekurangan tenaga pengumpul dan
manajemen data digunakan staf dinas kesehatan kabupaten/ kota dengan persetujuan kepala
bidang masing-masing untuk dibebaskan dari tugas rutin.
1.8. Manfaat Riskesdas 2013
Manfaat Penelitian
1. Untuk kabupaten/kota:
a. Mampu menyusun perencanaan program lebih akurat sesuai perkembangan masalah
kesehatan dalam enam tahun terakhir.
b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti.
c. Mampu merencanakan dan melaksanakan survei kesehatan lanjutan di wilayahnya.
6
2. Untuk provinsi dan pusat:
a. Mampu memetakan perubahan masalah kesehatan dan menajamkan prioritas
pembangunan kesehatan antar wilayah.
b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti.
c. Mampu merencanakan penelitian lanjutan sesuai dengan permasalahan kesehatan.
3. Untuk Peneliti
a. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut.
b. Sebagai sumber data untuk pengembangan indeks kesehatan.
4. Untuk Institusi Pendidikan
a. Sebagai sumber data untuk bahan penulisan tugas akhir.
b. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut dikaitkan dengan sumber data lainnya.
1.9. Persetujuan Etik Riskesdas 2013
Pelaksanaan Riskesdas tahun 2013, telah memperoleh persetujuan etik dari Komisi Etik
Penelitian Kesehatan (KEPK), Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI dengan nomor
LB.02.01/5.2/KE.006/2013. Persetujuan etik, naskah penjelasan serta formulir Informed Consent
(Persetujuan Setelah Penjelasan) dapat dilihat pada Lampiran.
7
BAB 2. METODOLOGI RISKESDAS
Atmarita, Julianty Pradono, Dewi Permaesih, Purnawan Junadi, Poerwanto, Dwi Hapsari
Tjandrarini, Wahyu Pudji Nugraheni, Rofingatul Mubasyiroh, dan Sri Poedji Hastuti
2.1. Metode Sampling
Riskesdas adalah sebuah survei dengan desain cross sectional. Riskesdas 2013 dimaksudkan
untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok Indonesia, yang terwakili
oleh penduduk di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Mempertimbangkan parameter
yang dikumpulkan pada Riskesdas 2013, untuk memudahkan perbedaan, maka Riskesdas dibagi
menjadi 3 Modul, yaitu Modul Kabupaten, Modul Provinsi, dan Modul Nasional.
1) Modul Kabupaten dirancang untuk penyajian data kabupaten/kota yang tujuannya untuk
mengembangkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakt (IPKM)
2) Modul Provinsi dirancang untuk penyajian data provinsi, merupakan subsample dari modul
Kabupaten
3) Modul Nasional dirancang untuk penyajian data tingkat nasional khususnya untuk
kepentingan sampel biomedis, yang merupakan subsample dari modul Provinsi.
a. Kerangka Sampel
Kerangka sampel yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu kerangka sampel untuk penarikan
sampel tahap pertama dan kerangka sampel untuk penarikan sampel tahap kedua.
Kerangka sampel pemilihan tahap pertama adalah daftar primary sampling unit (PSU)
dalam master sampel. Jumlah PSU dalam master sampel adalah 30.000 yang dipilih
secara probability proportional to size (PPS) dengan jumlah rumah tangga hasil sensus
penduduk (SP) 2010. PSU adalah gabungan dari beberapa blok sensus (BS) yang
merupakan wilayah kerja tim pencacahan SP2010. PSU juga dilengkapi informasi jumlah
dan daftar nama kepala rumah tangga, alamat, tingkat pendidikan kepala rumah tangga
berdasarkan klasifikasi wilayah urban/rural.
Kerangka sampel pemilihan tahap kedua adalah seluruh bangunan sensus yang
didalamnya terdapat rumah tangga biasa tidak termasuk institutional household (panti
asuhan, barak polisi/militer, penjara, dsb) hasil pencacahan lengkap SP2010 (SP2010C1). Bangunan sensus terpilih dan rumah tangga di dalam bangunan sensus terpilih
terlebih dahulu dilakukan pemutakhiran. Pemutakhiran dilakukan oleh enumerator
Riskesdas 2013 sebelum mulai melakukan wawancara.
b. Desain Sampel
1) Estimasi Kabupaten/Kota
Metode sampling yang digunakan yaitu penarikan sampel tiga tahap berstrata. Tahapan dari
metode ini diuraikan sebagai berikut:
Tahap pertama, memilih sejumlah PSU dari PSU terpilih secara sistematik pada setiap
kabupaten/kota sesuai alokasi domain.
Tahap kedua, dari PSU terpilih, dipilih 2 BS secara PPS dengan jumlah rumah tangga
Sensus Penduduk 2010 – Rekap Jumlah Rumah tangga hasil listing (SP2010-RBL1) pada
setiap kabupaten/kota sesuai alokasi domain. Selanjutnya dipilih secara acak satu blok
untuk Riskesdas dan satu blok sensus untuk Susenas.
8
-
Tahap ketiga, dari setiap BS Riskesdas dipilih sejumlah bangunan sensus (m=25) secara
sistematik berdasarkan data bangunan sensus hasil SP2010-C1.
Tahap keempat, dari setiap bangunan sensus terpilih terlebih dahulu dilakukan
pengecekan keberadaan di lapangan. Selanjutnya memilih 1 (satu) rumah tangga sebagai
sampel secara acak. Rumah tangga di dalam bangunan sensus terlebih dahulu
dimutakhirkan.
2) Estimasi Provinsi
Metode sampling yang digunakan yaitu penarikan sampel dua tahap berstrata dan merupakan sub
sampel dari estimasi kabupaten/kota. Tahapan dari metode ini diuraikan sebagai berikut:
Tahap pertama, memilih sejumlah BS secara sistematik dari BS terpilih estimasi
kabupaten/kota sesuai alokasi domain kabupaten/kota.
Tahap kedua, dari setiap BS terpilih dipilih sejumlah bangunan sensus (m=25) secara
sistematik berdasarkan data bangunan sensus hasil SP2010-C1.
Tahap ketiga, dari setiap bangunan sensus terpilih terlebih dahulu dilakukan pengecekan
keberadaan di lapangan. Selanjutnya memilih 1 (satu) rumah tangga sebagai sampel
secara acak. Rumah tangga di dalam bangunan sensus terlebih dahulu dimutakhirkan.
3) Estimasi Nasional
Metode sampling yang digunakan yaitu penarikan sampel dua tahap berstrata dan sub sampel
dari estimasi propinsi. Tahapan dari metode ini diuraikan sebagai berikut:
Tahap pertama,memilih 250 kabupaten/kota secara probability proportional to size with
replacement (PPS WR). Metode ini memanfaatkan informasi jumlah rumah tangga
perkabupaten/kota hasil SP2010 sebagai ukuran (size) yang dijadikan sebagai dasar
peluang dalam pemilihan sampel. Dari hasil penarikan sampel, jumlah realisasi sampel
yang efektif (effective sample size) sebanyak 177 kabupaten/kota.
Tahap kedua, dari setiap kabupaten/kota terpilih, dilakukan pemilihan BS secara
systematic sampling dari daftar BS sampel Riskesdas Modul MDG’s. Dengan demikian,
BS terpilih Modul Biomedis merupakan subsampel dari BS yang digunakan dalam Modul
Provinsi sejumlah 1000 BS. Rumah tangga yang menjadi sampel dalam Riskesdas Modul
Biomedis adalah sebanyak 25 rumah tangga yang terpilih pada Modul Provinsi di BS
sampel Modul Biomedis.
4) Kepentingan sampel untuk Validasi Riskesdas 2013
Untuk kepentingan menjaga mutu sampel yang dikumpulkan Riskesdas, dilakukan validasi oleh
tiga perguruan tinggi: Universitas Indonesia, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Airlangga.
Penarikan sampel dilakukan dari sub sampel nasional sejumlah 150 BS yang tersebar di 33
provinsi.
c. Jumlah Sampel Blok Sensus dan Rumah Tangga
Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, jumlah sampel BS dan rumah tangga ditujukan untuk
beberapa domain estimasi sebagai berikut:
Estimasi kabupaten/kota: merupakan minimum sampel untuk estimasi kabupaten dengan
total sampel rumah tangga 300.000 ruta (dari 12.000 BS). Sampel BS dialokasikan
menurut daerah perkotaan dan perdesaan.
Estimasi provinsi : merupakan minimum sampel untuk estimasi propinsi dengan total
sampel rumah tangga 75.000 ruta (3.000 BS). Sampel blok sensus dialokasikan menurut
daerah perkotaan dan perdesaan.
Estimasi nasional : merupakan minimum sampel untuk estimasi nasional dengan total
sampel rumah tangga 25.000 ruta (1.000 BS). Sampel blok sensus dialokasikan menurut
daerah perkotaan dan perdesaan.
9
-
Sampel Validasi: merupakan minimum sampel dari subsampel nasional (150 BS), yang
dialokasikan menurut perkotaan dan perdesaan.
2.2. Populasi dan Sampel
Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga biasa yang mewakili 33 provinsi.
Sampel rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk (SP)
2010. Proses pemilihan rumah tangga ditentukan oleh BPS yang memberikan daftar bangunan
sensus terpilih yang berasal dari Blok Sensus terpilih yang tahapannya seperti yang sudah
diuraikan sebelumnya. Berikut ini adalah uraian singkat proses penarikan sampel rumah tangga
dimaksud.
Proses Pemilihan rumah tangga sampel
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, BPS memilih BS untuk Riskesdas 2013 berdasarkan
sampling frame SP 2010. Daftar 12.000 BS berikut dengan 300.000 daftar Bangunan Sensus
(bangsen) yang telah dilengkapi dengan nama-nama kepala rumah tangga saat SP 2010
dilakukan. Nama-nama kepala rumah tangga tersebut dilakukan pemutakhiran oleh enumerator
sebelum melakukan pencacahan. Beberapa catatan pada proses pemilihan dan pemutakhiran
rumah tangga dari BS dan bangsen terpilih adalah sebagai berikut:
1) Kasus blok sensus yang sudah tidak ditemukan/hilang karena bencana (banjir, longsor,
gempa bumi), seperti di Mentawai, beberapa kabupaten di Kalimantan
2) Kasus blok sensus yang merupakan daerah konflik dan sangat sulit untuk dijangkau
seperti Papua
3) Kasus bangunan sensus yang tidak ditemukan, karena berubah fungsi, bukan rumah
tangga biasa
Untuk kasus-kasus seperti diatas dilaporkan ke BPS sehingga dilakukan pemilihan ulang BS
berikut dengan bangsennya.
Jumlah sampel yang terkumpul (Response rates)
Dari 12.000 BS terpilih untuk sampel Riskesdas 2013, berhasil ditemukan dan dikunjungi 11.986
BS (99,9%) yang tersebar di 33 Provinsi, 497 kabupaten/kota. 14 BS dengan rincian 12 BS di
Papua, 1 BS di Papua Barat, dan 1 BS di DKI Jakarta tidak berhasil dikunjungi dengan alasan sulit
dijangkau, dan penolakan warga setempat.
Adapun jumlah rumah tangganya adalah 294.959 dari 300.000 RT yang ditargetkan (98,3%)
dengan jumlah anggota rumah tangga (ART) 1.027.763 orang. Berdasarkan SP2010, dengan ratarata jumlah ART per RT adalah 3.8 orang, maka response rate untuk ART adalah 93 persen. Dari
294.959 RT, ada sejumlah 77.830 ART yang tidak bisa dikumpulkan informasinya, karena tidak
ada di tempat pada kurun waktu pengumpulan data Riskesdas 2013. Jumlah sampel tersebut,
termasuk untuk estimasi kabupaten/kota, provinsi, dan nasional (biomedis) tergantung BS masingmasing.
Tabel 2.2.1 adalah distribusi jumlah BS, RT dan ART menurut provinsi, dan tabel 2.2.2 adalah
distribusi jumlah sampel menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Pengelompokan umur
dilakukan berdasarkan kepentingan analisis parameter Riskesdas 2013.
10
Tabel 2.2.1
Distribusi BS, RT, dan ART yang dapat dikunjungi (response rate) menurut Provinsi,
Indonesia 2013
BS
Kode
11
12
13
14
15
16
17
18
19
21
31
32
33
34
35
36
51
52
53
61
62
63
64
71
72
73
74
75
76
81
82
91
94
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
RT
467
756
407
305
250
383
204
373
144
145
208
958
1.098
150
1.197
271
231
254
436
324
277
300
293
298
240
553
237
122
106
199
161
160
479
Response
Rate (%)
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
99,5
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
99,4
97,6
11.986
99,9
Dikunjungi
ART
Sampel
Dikunjungi
11.675
18.900
10.175
7.625
6.250
9.575
5.100
9.325
3.600
3.625
5.225
23.950
27.450
3.750
29.925
6.775
5.775
6.350
10.900
8.100
6.925
7.500
7.325
7.450
6.000
13.825
5.925
3.050
2.650
4.975
4.025
4.025
12.275
11.617
18.693
10.023
7.520
6.189
9.549
5.072
9.268
3.569
3.546
4.684
23.694
27.255
3.704
29.717
6.679
5.761
6.339
10.747
8.000
6.773
7.298
6.950
7.395
5.800
13.598
5.908
3.029
2.628
4.945
3.913
3.836
11.260
Response
Rate (%)
99.5
98.9
98.5
98.6
99.0
99.7
99.5
99.4
99.1
97.8
89.6
98.9
99.3
98.8
99.3
98.6
99.8
99.8
98.6
98.8
97.8
97.3
94.9
99.3
96.7
98.4
99.7
99.3
99.2
99.4
97.2
95.3
91.7
300.000
294.959
98,3
11
44.368
75.547
38.913
29.621
23.056
38.089
18.897
33.440
12.759
12.837
16.343
83.522
93.650
12.100
104.483
26.277
21.508
23.486
46.206
30.670
24.021
26.248
25.747
25.293
23.185
52.425
24.387
12.029
10.817
22.301
17.301
15.288
40.779
40,951
72,935
36,955
28,017
22,605
37,393
18,154
32,745
11,765
11,844
13,766
77,701
85,310
11,104
97,339
24,247
20,403
22,256
43,732
29,050
22,284
24,532
23,931
24,047
21,128
48,129
22,766
11,242
9,952
19,665
15,755
13,046
33,014
Response
Rate (%)
92,3
96,5
95,0
94,6
98,0
98,2
96,1
97,9
92,2
92,3
84,2
93,0
91,1
91,8
93,2
92,3
94,9
94,8
94,6
94,7
92,8
93,5
92,9
95,1
91,1
91,8
93,4
93,5
92,0
88,2
91,1
85,3
81,0
1.105.593
1.027.763
93,0
Sampel
Didata
Tabel 2.2.2
Distribusi jumlah sampel menurut umur dan jenis kelamin, Indonesia 2013
Laki-laki
Perempuan
Sampel Riskesdas 2013
Laki+Perempuan
N
%
N
%
Anak Balita (bulan)
0-5
3.801
51.3
3.613
48.7
7.414
6 -11
3.818
50.6
3.724
49.4
7.542
12 -23
8.086
50.6
7.891
49.4
15.977
24 - 35
8.043
50.7
7.831
49.3
15.874
36 - 47
9.009
51.5
8.484
48.5
17.493
48 - 60
9.470
51.6
8.896
48.4
18.366
Jumlah
42.227
51.1
40.439
48.9
82.666
Anak Usia Sekolah (tahun)
5
10.618
52.3
9.699
47.7
20.317
6
11.679
52.5
10.556
47.5
22.235
7
11.315
52.7
10.171
47.3
21.486
8
11.457
51.4
10.842
48.6
22.299
9
12.088
51.4
11.416
48.6
23.504
10
12.164
51.8
11.328
48.2
23.492
11
11.451
52.1
10.542
47.9
21.993
12
12.144
51.5
11.454
48.5
23.598
13
12.211
51.6
11.465
48.4
23.676
14
10.232
50.7
9.936
49.3
20.168
15
9.898
50.7
9.611
49.3
19.509
16
9.487
50.8
9.197
49.2
18.684
17
9.317
51.1
8.899
48.9
18.216
18
8.450
51.9
7.845
48.1
16.295
Jumlah
152.511
51.6
142.961
48.4
295.472
Umur Dewasa (tahun)
19
7.122
52.7
6.396
47.3
13.518
20-24
31.796
50.6
31.082
49.4
62.878
25-29
29.497
45.5
35.402
54.5
64.899
30-34
35.303
45.2
42.723
54.8
78.026
35-39
36.807
46.2
42.924
53.8
79.731
40-44
38.811
48.0
42.107
52.0
80.918
45-49
33.626
48.0
36.370
52.0
69.996
50-54
30.452
49.9
30.549
50.1
61.001
55-59
23.504
49.5
23.965
50.5
47.469
;60-64
17.406
50.6
17.000
49.4
34.406
65-69
10.400
47.8
11.358
52.2
21.758
70-74
8.418
47.9
9.173
52.1
17.591
75+
7.529
43.2
9.905
56.8
17.434
Jumlah
310.671
47.8
338.954
52.2
649.625
Total
505.409
49.2
522.354
50.8
1.027.763
Gambar 2.2.1 dan gambar 2.2.2 memperlihatkan rata-rata jumlah sampel RT dan ART untuk
masing-masing kabupaten/kota di 33 Provinsi. Tergantung jumlah penduduk, sampel RT dan ART
bervariasi antar kabupaten/kota. Contoh sampel RT di DKI Jakarta bervariasi dari 249 RT di
Kepulauan Seribu, sampai dengan 1.125 RT di Jakarta Timur. Demikian halnya dengan jumlah
ART yang juga bervariasi antara 822 orang di Kepulauan seribu sampai dengan 3.338 orang di
Jakarta Barat.
12
Gambar 2.2.1
Rentang sampel RT untuk masing-masing Kabupaten/Kota menurut Provinsi, Indonesia 2013
Gambar 2.2.2
Rentang sampel ART untuk masing-masing Kabupaten/Kota menurut Provinsi, Indonesia 2013
13
Sampel Biomedis
Sampel untuk pengukuran biomedis merupakan sub-sampel dari 3.000 BS yang mewakili provinsi
atau sejumlah 1.000 BS. Pada BS yang terpilih untuk biomedis, rumah tangganya dan anggota
rumah tangganya selain dikumpulkan variabel kesehatan masyarakat juga dilakukan pengambilan
spesimen darah dan urin. Spesimen darah dikumpulkan pada sampel umur ≥1 tahun untuk
pemeriksaan malaria, anemia, diabetes mellitus, kolesterol, dan kreatinin. Urin dikhususkan untuk
menilai status iodium pada sampel anak usia 6-12 tahun, dan wanita usia subur (WUS) 15-49
tahun termasuk hamil dan menyusui. Selain pengambilan urin, dilakukan juga pengambilan garam
dan air untuk pemeriksaan iodium rumah tangga.
Untuk pemeriksaan spesimen darah, jumlah sampel umur ≥1 tahun dari 1.000 BS diperkirakan
92.000 orang. Dengan berbagai alasan, antara lain takut dan sakit, maka sampel yang diperoleh
menjadi 49.931 orang. Jumlah sampel specimen darah yang dapat digunakan untuk kepentingan
analisis menjadi seperti gambar 2.2.3 berikut ini.
Gambar 2.2.3
Jumlah sampel hasil pengambilan spesimen darah, Indonesia 2013
Jumlah sampel untuk kepentingan penilaian status iodium dapat dilihat pada tabel 2.2.3 berikut ini.
Tabel 2.2.3
Jumlah sampel untuk penilaian status iodium penduduk, Indonesia 2013
Sampel
Responden
Garam
Tes cepat
Semua RT sampel (294.959 RT)
Kabupaten/Kota
Titrasi iodium di
laboratorium
11.430 RT
Nasional
Urin
Pemeriksaan
Eksresi iodium
dalam urin (EIU) di
laboratorium
WUS 15-49 tahun (13.811 sampel);
Anak 6-12 tahun (6.154 sampel)
Nasional
Air
Pemeriksaan iodium
air di laboratorium
3.028 RT
Nasional
14
Rincian rekrutmen sampel untuk status iodium pada proses pengambilan urin, garam, dan air
dapat dilihat pada gambar 2.2.4
Gambar 2.2.4
Sampling air, garam, dan urin untuk penilaian status iodium, Indonesia 2013
2.3. Penjaminan mutu data Riskesdas 2013
Data berbasis bukti yang diperoleh dari Riskesdas 2013 harus terjaga kualitasnya. Beberapa
upaya penjaminan mutu data Riskesdas 2013 adalah melakukan uji coba instrumen dan validasi.
Uji coba dilakukan oleh peneliti Badan Litbangkes, akademisi, dan organisasi profesi. Validasi
dilakukan oleh tim universitas (Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, dan Universitas
Hasanuddin).
2.3.1. Uji coba
Uji coba bertujuan untuk menilai keabsahan instrumen antara lain mendapatkan kuesioner yang
sesuai dengan tujuan dalam Riskesdas, menentukan kelayakan dari peralatan yang akan
digunakan serta manajemen pengumpulan data. Uji coba yang dilakukan antara lain :
Uji coba kuesioner yang digunakan dalam pengumpulan data kesehatan masyarakat agar
mendapatkan pemahaman substansi dalam kuesioner serta alur dari pertanyaan dalam
masing-masing blok, untuk menghindari kesalahpahaman pengisian dan menyeleksi isi dari
kuesioner
Uji coba pengumpulan spesimen darah, urin dan garam,
Uji coba peralatan yang digunakan untuk pengumpulan data kesehatan masyarakat
maupun biomedis dengan melihat fisibilitas dan validitas alat.
Uji coba proses data entry
Manajemen dan pengorganisasian lapangan, termasuk administrasi dan logistik.
Uji coba lengkap Riskesdas dilakukan sebanyak dua kali. Uji coba pertama dilakukan di Sumatera
Utara. Untuk menggambarkan situasi perkotaan dan perdesaan/daerah sulit diambil lokasi di Kota
Pematang Siantar dan Kabupaten Nias Selatan. Di setiap lokasi uji coba pengumpulan data
dilakukan di dua blok sensus (BS). Untuk Kabupaten Nias Selatan, BS yang terpilih adalah Desa
Pasar Pulau Tello dan Desa Bawinofoso, sedangkan di Kota Pematang Siantar dipilih BS di
Kelurahan Bantan dan Simarito. Pengumpulan data dilakukan oleh enumerator yang direkrut oleh
Dinas Kesehatan setempat. Enumerator yang terpilih merupakan pegawai Dinas
Kesehatan/honorer di Puskesmas setempat. Pengumpulan data di empat BS tersebut dikerjakan
15
oleh empat tim. Setiap tim terdiri dari lima orang. Khusus untuk di Kota Pematang Siantar
dilakukan pula pengumpulan data biomedis.
Sebelum dilakukannya pengumpulan data di lapangan, enumerator dilatih terlebih dahulu oleh tim
teknis Riskesdas. Pelatihan dilaksanakan selama tujuh hari di Medan. Selama pelatihan
enumerator diberikan pemahaman mengenai kuesioner yang akan mereka tanyakan kepada
responden dan juga cara pengukuran serta pengambilan sampel biomedis. Setelah pelatihan,
enumerator langsung turun lapangan untuk melaksanakan pengumpulan data di BS yang telah
ditentukan.
Rumah tangga yang dikunjungi di setiap BS berjumlah 25. Pada rumah tangga tersebut dilakukan
wawancara, observasi, pengukuran, dan pemeriksaan. Kuesioner uji coba Riksesdas 2013 terdiri
dari 12 blok pertanyaan sebagai berikut:
Blok I. Pengenalan tempat
Blok II. Keterangan rumah tangga
Blok III. Keterangan pengumpul data
Blok IV. Keterangan anggota rumah tangga
Blok V. Akses dan pelayanan kesehatan
Blok VI. Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional
Blok VII. Gangguan jiwa berat dalam keluarga
Blok VIII. Kebijakan program dan pemberdayaan masyarakat
Blok IX. Kesehatan lingkungan dan sanitasi pangan
Blok X. Pengeluaran rumah tangga
Blok XI. Keterangan wawancara individu
Blok XII. Keterangan individu
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.
t.
Penyakit menular
Penyakit tidak menular
Genetik dan riwayat keluarga
Cedera
Kesehatan indera
Gigi dan mulut
Ketidakmampuan/disabilitas
Kesehatan jiwa
Pengetahuan, sikap dan perilaku
Pembiayaan kesehatan
Kesehatan ibu
Kesehatan anak dan imunisasi
Pengukuran dan pemeriksaan
Pemeriksaan mata
Pemeriksaan THT
Pemeriksaan status gigi permanen
Pengambilan spesimen darah dan sampel urin.
EKG
Spirometer
Konsumsi makanan.
16
Dari uji coba yang dilakukan didapat gambaran waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
pengumpulan data di satu BS adalah delapan hari. Selama pengumpulan data ditemui banyak
kendala, antara lain waktu wawancara terlalu lama yang disebabkan banyaknya pertanyaan yang
tercantum dalam kuesioner. Beberapa pertanyaan, antara lain konsumsi makanan individu,
ketanggapan pelayanan kesehatan serta kebijakan program dan pemberdayaan masyarakat sulit
dipahami, baik oleh enumerator maupun oleh responden. Beberapa pemeriksaan, seperti
pemeriksaan EKG, spirometri dan pH air sulit dilakukan di lapangan karena keterbatasan jumlah
alat dan SDM.
Uji coba laboratorium yang juga dilakukan adalah pengumpulan sampel urin. Secara teori urin
yang akan digunakan untuk pemeriksaan iodium adalah urin sewaktu, namun untuk pemeriksaan
natrium sampel urin yang dikumpulkan sehari penuh. Kondisi ini tentu tidak mungkin dilakukan di
lapangan, sehingga dilakukan uji coba analisis sampel urin sewaktu dan sampel urin 24 jam. Hasil
analisis kadar natrium dalam urin pada sampel terbatas menunjukkan tidak ada perbedaan
(p>0,05), sehingga diputuskan sampel urin untuk pemeriksaan iodium maupun natrium adalah urin
sewaktu.
Setelah dilakukan evaluasi hasil uji coba disepakati untuk dilakukan pengurangan pertanyaan dari
instrumen Riskesdas. Berdasarkan uji coba pertama ditentukan variabel yang akan digunakan
pada Riskesdas 2013 menjadi sebagai berikut:
Blok I. Pengenalan tempat
Blok II. Keterangan rumah tangga
Blok III. Keterangan pengumpul data
Blok IV. Keterangan anggota rumah tangga
Blok V. Akses dan pelayanan kesehatan
Blok VI. Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional
Blok VII. Gangguan jiwa berat dalam keluarga
Blok VIII. Kesehatan lingkungan
Blok IX. Pemukiman dan ekonomi.
Blok X. Keterangan wawancara individu
Blok XI. Keterangan individu
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
Penyakit menular
Penyakit tidak menular
Cedera
Gigi dan mulut
Ketidakmampuan/disabilitas
Kesehatan jiwa
Pengetahuan, sikap dan perilaku
Pembiayaan kesehatan
Kesehatan reproduksi
Kesehatan anak dan imunisasi
Pengukuran dan pemeriksaan
Pemeriksaan mata
Pemeriksaan telinga
Pemeriksaan status gigi permanen
Pengambilan spesimen darah dan sampel urin.
17
Selain itu dari hasil uji coba kuesioner disepakati kuesioner dengan muatan pertanyaan yang
sudah diseleksi. Proses pembuatan kuesioner didiskusikan dengan para pakar terkait semua topik
Riskesdas 2013.
Instrumen yang digunakan dalam pengukuran dan pemeriksaan dalam uji coba Riskesdas 2013
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Timbangan badan
Alat ukur tinggi badan
Alat ukur lingkar perut dan lingkar lengan atas
Tensimeter IA2
Lup, senter, pinhole, tali ukur 6 meter, snellen chart
Spekulum
Kaca mulut, antiseptik, tisu, sarung tangan, masker
Spirometer
Timbangan makanan
Alat pH-meter
Peralatan pemeriksaan dan pengiriman spesimen biomedis (darah, urin, air dan garam)
Laptop untuk mengentri (uji coba paperless data entry).
Peralatan yang diuji coba terutama adalah alat untuk pengukuran antropometri yaitu pengukur
tinggi badan dan penimbang berat badan, serta tensimeter untuk mengukur tekanan darah.
Berdasarkan pengalaman Riskesdas terdahulu, membawa peralatan pengukur tinggi badan
berbahan dasar fiber glass menjadi beban yang cukup berat bagi enumerator, sehingga
diputuskan peralatan pengukur tinggi badan berbahan dasar aluminium.
Penimbangan berat badan menggunakan timbangan digital dengan ketepatan 0,1 kg. Pada
tahapan uji coba ini dilakukan seleksi beberapa merek timbangan (Fesco, Camry dan AND).
Pemilihan merek timbangan didasarkan pada akurasi dan presisi, kekuatan timbangan, bobot
timbangan, dan pertimbangan harga. Setelah melalui berbagai tahapan uji coba, maka diputuskan
menggunakan timbangan digital merek Fesco.
Untuk menentukan alat yang digunakan dalam mengukur tekanan darah dilakukan uji coba pada
alat tensimeter, yaitu tensimeter digital merek Omron tipe IA2 dan tensimeter air raksa merek
Nova. Uji alat ini bertujuan untuk mendapatkan faktor koreksi dari alat yang digunakan terhadap
alat standar baku. Uji coba alat lainnya adalah spirometer untuk melengkapi diagnosis Penyakit
Paru Obstruktif Kronis (PPOK) pada responden umur 30 tahun keatas.
Berdasarkan uji coba tersebut diputuskan bahwa instrumen yang digunakan pada Riskesdas 2013
adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Timbangan badan merek Fesco
Alat ukur tinggi badan yang dibuat dari alumumium
Alat ukur lingkar perut dan lingkar lengan atas
Tensimeter merek Omron tipe IA1
Lup, lampu senter, pinhole, tali ukur 6 meter, tumbling E
Spekulum telinga
Kaca mulut, antiseptik, tisu, sarung tangan, masker
Peralatan pemeriksaan dan pengiriman spesimen biomedis (darah, urin, air dan
garam)
Pada uji coba ini, entri data dilakukan di lapangan. Rekam data dilakukan dengan dua cara yaitu
secara paperless (tanpa menggunakan kuesioner, data langsung di entri dengan software yang
sudah disiapkan oleh tim mandat) dan secara manual menggunakan kuesioner, data diedit dan
dientri setelah wawancara.
18
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa cara paperless sulit diaplikasikan di lapangan karena
beberapa kendala, seperti keterampilan enumerator yang bervariasi, membutuhkan waktu
pengumpulan data lebih lama, dan masalah teknis komputerisasi. Disimpulkan pengumpulan data
Riskesdas 2013 dilakukan secara manual menggunakan kuesioner, selanjutnya data diedit dan
dientri di lapangan.
Pengumpulan data dan pemeriksaan biomedis dilakukan di laboratorium Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) dan laboratorium swasta di Pematang Siantar. Disimpulkan beberapa
pemeriksaan biomedis dilakukan di laboratorium lapangan yang dapat berupa laboratorium
Puskesmas, rumah sakit atau di fasilitas lain yang memungkinkan.
Instrumen yang telah diperbaiki harus diujicobakan kembali untuk finalisasi instrumen yang
digunakan. Uji coba kedua diselenggarakan di Cisarua, Jawa Barat, dengan tahapan pelatihan
enumerator sesuai hasil uji coba pertama. Terdapat dua tim enumerator yang mengumpulkan data
di dua BS. Enumerator adalah alumni Poltekkes Jawa Barat yang direkrut oleh Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Barat. Uji coba kedua lebih menekankan pada manajemen Riskesdas, mulai dari
proses persiapan di lapangan sampai dengan data entri dan pengiriman data online, pengambilan,
serta pengiriman spesimen darah dan urin. Diperhitungkan pula lama waktu pengiriman spesimen
dari laboratorium lapangan ke laboratorium Badan Litbangkes dan kemungkinan kerusakan
spesimen yang diterima akibat kondisi lapangan terkait.
Dari hasil uji coba kedua, diputuskan instrumen, alat ukur yang akan digunakan, mekanisme
pengumpulan data dan spesimen, pengisian formulir biomedis, serta finalisasi pedoman pengisian
kuesioner dan pedoman manajemen pengumpulan data Riskesdas secara lengkap.
2.3.2 Validasi
Validasi Riskesdas 2013 adalah kunjungan ulang sub sampel Riskesdas 2013 yang dilakukan
sebagai salah satu bagian dari quality assurance untuk menjamin kualitas data Riskesdas 2013.
Pelaksanaan validasi Riskesdas 2013 dilakukan oleh tim independen, gabungan dari Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, dan Universitas Hasanuddin.
i.
ii.
Metodologi
Validasi dilakukan mulai dari pra-survai yaitu validasi yang dilakukan dengan disain kualitatif
dan observasi partisipatif pada pelaksanaan penyiapan petugas di tingkat Pusat dan Provinsi.
Kemudian validasi pasca survai yang mengikuti disain Riskesdas 2013, yaitu cross sectional
survey.
Populasi dalam validasi adalah seluruh RT di Indonesia, yang terpilih untuk validasi
Riskesdas 2013 di 150 BS (sub sampel dari 1000 BS sampel nasional Riskesdas 2013).
Pemilihan sampel dilakukan secara PPS memperhatikan besarnya BS di setiap provinsi serta
perkotaan dan perdesaan. Dari setiap BS terpilih diambil secara acak 10 dari 25 RT yang
sudah dikunjungi enumerator Riskesdas 2013.
Komponen validasi dan variabelnya
Komponen Riskesdas 2013 yang divalidasi adalah keseluruhan proses yang dilakukan
Riskesdas mulai dari pra survei, selama survei sampai dengan pasca survei (validasi proses
dan validasi isi/substansi). Variabel yang dipilih untuk validasi Riskesdas 2013 adalah variabel
dalam kuesioner RT dan kuesioner individu yang menjawab tujuan Riskesdas dan yang
relatif stabil dalam kurun waktu 1-2 minggu setelah kunjungan enumerator Riskesdas 2013.
Sebanyak 50 persen variabel RT dan 30 persen variabel individu digunakan dalam survei
validasi untuk menilai reliabilitas variabel tersebut. Variabel biomedik dan variabel pengukuran,
seperti antropometri, pemeriksaan tajam penglihatan dan tajam pendengaran, hanya dilakukan
validasi proses. Jadi validasi proses menilai apakah benar responden diambil datanya, apakah
benar responden diukur, dan apakah benar proses pengambilan data sesuai pedoman.
19
iii.
Manajemen data
Pengambilan data dilakukan oleh tim validator dari FKM UI, UNAIR, dan UNHAS dengan
memperhatikan jarak dan besarnya BS terhadap lokasi instansi validator. Data yang sudah
dikumpulkan diinput Pusat Data Base setiap universitas dengan menggunakan web based
program dibawah koordinasi FKM UNAIR.
iv.
Pengolahan dan analisis data
Analisis validasi proses
Untuk validasi proses pelaksanaan analisis dilakukan secara sederhana yaitu analisis
persen, dengan penilaian adalah sbb: 90 persen keatas disebut sangat valid; 80-90
persen disebut valid; 60-80 persen disebut kurang valid; <60 persen dinyatakan
mempunyai masalah validitas.
Analisis validasi isi
Ada dua analisis yang digunakan, yaitu:
-
v.
Koefisien kesepakatan (agreement coefficient) dengan statistik Kappa. Alpha <
0,05 menunjukkan variabel itu reliabilitasnya baik.
Dihitung juga seberapa jauh persen kesesuaian antara hasil pengukuran studi
validasi dengan hasil pengukuran Riskesdas 2013. Penilaian reliabilitasnya adalah
sbb: 90 persen keatas adalah sangat baik, 80-90 persen dinilai baik, 60-80 persen
dinilai kurang , dan <60 persen dinilai mempunyai masalah reliabilitas.
Kesimpulan validasi
Hasil validasi pra-survei untuk pelaksanaan penyiapan petugas pusat, dan provinsi secara umum
dikatakan bahwa Riskesdas 2013 dapat memenuhi tujuan yang diharapkan untuk menyiapkan
peserta mampu melaksanakan tugasnya sebagai fasilitator/ supervisor penanggung jawab pada
kegiatan training enumerator. Sebagian besar peserta mampu menguasai materi yang terdapat
pada kurikulum penyiapan petugas pusat dan provinsi. Ada catatan kecil untuk laboratorium,
dimana kemampuan praktik di kelas dan lapangan belum memuaskan dikarenakan tidak semua
peserta diminta untuk dapat mendemonstrasikan ulang seluruh keterampilan praktik.
Manajemen/pengorganisasian penyiapan petugas pusat dan provinsi secara umum juga
berlangsung dengan baik dilihat dari sisi pelayanan maupun fasilitas yang menunjang
pelaksanaan pelatihan yang berjalan lancar, dengan catatan perlu perbaikan penyiapan materi
maupun evaluasi.
Hasil validasi proses dan isi Riskesdas 2013 yang dilaksanakan setelah pengumpulan data selesai
oleh tim enumerator Riskesdas. Pertama, tim validator mengecek bagaimana kualitas wawancara
Riskesdas 2013 dilakukan yang meliputi 1) kesesuaian waktu wawancara, 2) masalah dengan
responden, 3) proses pengumpulan data, 4) sikap dan perilaku petugas pengumpul data dan 5)
persepsi responden terhadap kemampuan petugas untuk melakukan wawancara. Kelima aspek ini
mendapat nilai baik (80,9%).
Kedua, adalah hasil validasi terhadap variabel rumah tangga seperti tercantum pada tabel 2.3.1.
Kelompok variabel pengenalan tempat dipakai untuk mengenali sampel untuk di validasi.
Kelompok II, yaitu keterangan rumah tangga mempunyai validasi proses yang kurang baik, dan
mempunyai masalah reliabilitas. Artinya perlu ada perbaikan dalam hal menyusun kuesioner. Di
pihak lain, kelompok variabel keterangan anggota rumah tangga cukup baik, sehingga bisa dipakai
untuk memperbaiki kelompok variabel keterangan rumah tangga. Kelompok variabel lainnya yaitu
kelompok V sampai IX dari hasil validasi, kurang valid dan reliabel. Beberapa variabel yang masuk
dalam kelompok pengetahuan tentang obat generik dan kesehatan lingkungan mempunyai
masalah reliabilitas, sehingga menyebabkan angka rata-rata tidak mencapai 80 persen.
20
Tabel 2.3.1
Validasi variabel rumah tangga
Kelompok Variabel
Validasi
Proses
Isi
NA
74,4
*
NA
77,5
83,1
79,0
73,2
I.Pengenalan Tempat
II.Keterangan Rumah Tangga
III.Keterangan Pengumpul Data
IV.Keterangan Anggota Rumah Tangga
V.Akses dan Pelayanan Kesehatan
VI.Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional
VI.B Pengetahuan ttg Obat Generik
70,3
66,2
VIII.Kesehatan Lingkungan
60,0
78,2
IX.Pemukiman dan Ekonomi
75,0
Kesimpulan
Keterangan
Untuk pengumpulan data
Kurang reliabel
Untuk pengumpulan data
valid dan reliabel
valid tetapi kurang
reliabel
Kurang valid dan
kurang reliabel
Kurang valid
Beberapa variabel
bermasalah reliabilitasnya
Beberapa variabel
bermasalah validitas dan
reliabilitasnya
Kurang valid
Ketiga, validasi kelompok variabel individu dapat dilihat pada tabel 2.3.2. Variabel kepemilikan
jaminan kesehatan, alat dan cara KB, riwayat kehamilan, persalinan dan masa nifas dengan
reliabilitas sangat baik, yaitu diatas 90 persen. Kelompok variabel penyakit menular, penyakit tidak
menular, cedera, kesehatan jiwa dan kesehatan bayi dan anak mempunyai tingkat reliabilitas yang
baik. Kelompok variabel sisanya reliabilitas kurang baik.
Kelompok Variabel
X.Keterangan Wawancara
XI. Keterangan Wawancara Individu
A.Penyakit Menular
B.Penyakit Tidak Menular
Tabel 2.3.2
Validasi Variabel Individu
Validasi isi Kesimpulan
NA
NA
87,6
Baik reliabilitasnya
88,8
Baik reliabilitasnya
C.Cedera
D.Gigi dan Mulut
E.Disabilitas
F.Kesehatan Jiwa
G.Pengetahuan,Sikap dan Perilaku
87,9
68,4
72,7
83,3
68,5
Baik reliabilitasnya
Kurang reliabel
Kurang reliabel
Baik reliabilitasnya
Kurang reliabel
94,1
Sangat reliabel
94,3
94,8
Sangat reliabel
Sangat reliabel
85,4
70,0
Baik reliabilitasnya
Kurang reliabel
H.Pembiayaan Kesehatan
Ha.Kepemilikan Jaminan Kesehatan
I. Kesehatan Reproduksi
Ia.Alat/Cara KB
Ic.Riwayat Kehamilan Persalinan dan
Masa Nifas
J.Kesehatan Anak
Ja.Kesehatan Bayi dan Anak Balita
Jb.ASI dan MP-ASI
21
Keterangan
Digunakan untuk pengumpulan data
Digunakan untuk pengumpulan data
Ada masalah reliabilitas pengukuran
asma, kanker
Ada masalah reliabilitas pengukuran
perilaku higienis dan penggunaan
tembakau
Beberapa variabel bermasalah
reliabilitasnya
Beberapa variabel bermasalah
reliabilitasnya
Catatan yang perlu dikemukakan, ada beberapa variabel yang secara rinci mempunyai masalah
reliabilitas yaitu asma, kanker, cedera, perilaku higienis, penggunaan tembakau, dan pemeriksaan
kehamilan.
Keempat, validasi variabel pengukuran dan pemeriksaan dijelaskan pada tabel 2.3.3. Secara
umum validasi proses pengukuran dan pemeriksaan berkisar dari kurang valid sampai sangat
valid, dengan beberapa catatan. Catatan pertama pengukuran berat badan anak yang bisa berdiri
validasi prosesnya sangat baik, namun menurun (79,8%) ketika mengukur berat badan anak yang
harus ditimbang dengan ibunya, ditemui pelaksanaan yang tidak sesuai SOP. Catatan kedua,
mirip dengan yang pertama, ketika mengukur tinggi badan anak balita, validasi prosesnya sangat
baik, nilai menurun menjadi kurang valid ketika mengukur panjang badan anak, karena ditemui
beberapa penyimpangan SOP. Catatan ketiga, ditemui beberapa penyimpangan SOP dalam
mengukur LILA, tekanan darah dan pemeriksaan THT. Terakhir, validasi proses kesiapan lab
hasilnya sangat baik.
Tabel 2.3.3
Validasi proses pengukuran dan pemeriksaan
Kelompok variabel
Validasi Proses Kesimpulan
Keterangan
K.Pengukuran dan Pemeriksaan
Berat Badan Anak
98,9
Sangat valid
Berat badan Baduta
79,8
Valid
Ada penyimpangan SOP
Tinggi Badan Anak
98,1
Sangat valid
Panjang Badan Anak
72,7
Kurang valid Ada penyimpangan SOP
Lila
78,8
Valid
Ada penyimpangan SOP
Lingkar Perut
79,5
Valid
Tekanan Darah
89,8
Valid
Ada penyimpangan SOP
L.Pemeriksaan Mata
81,7
Valid
M.Pemeriksaan THT
74,2
Kurang valid Ada penyimpangan SOP
N.Pemeriksaan Status Gigi Permanen
O.Pengambilan Spesimen darah dan Urin
Darah Vena
96,9
Sangat valid
Darah Kapiler
91,6
Sangat valid
Urin
83,9
Sangat valid
LL: Kesiapan Pemeriksaan Laboratorium
94,7
Sangat baik
2.4. Variabel
Pada pelaksanaan Riskesdas 2013 terdapat kurang lebih 1.060 variabel yang terkelompokkan
menjadi 2 (dua) jenis kuesioner (lihat file terlampir), dengan rincian variabel pokok sebagai berikut:
1) Kuesioner rumah tangga (RKD13.RT) yang terdiri dari kurang lebih 160 variabel:
a. Blok I tentang pengenalan tempat;
b. Blok II tentang keterangan rumah tangga;
c. Blok III tentang keterangan pengumpul data;
d. Blok IV tentang anggota rumah tangga;
e. Blok V tentang akses dan pelayanan kesehatan:
f. Blok VI tentang farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional;
g. Blok VII tentang gangguan jiwa berat dalam keluarga;
h. Blok VIII tentang kesehatan lingkungan;
i. Blok IX tentang pemukiman dan ekonomi.
2) Kuesioner individu (RKD13.IND), yang terdiri dari 900 variabel meliputi:
22
a. Blok X tentang keterangan wawancara indvidu/identifikasi individu
b. Blok XI tentang identifikasi responden yang dikelompokkan menjadi
i. Blok
XI-A
tentang
penyakit
menular:
ISPA,
diare/mencret,
pneumonia/radang paru, malaria, tuberkulosis/TB paru, dan hepatitis/sakit
liver/sakit kuning;
ii. Blok XI-B tentang penyakit tidak menular: asma dan PPOK, kanker,
diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit
gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendi/rematik/encok, dan stroke;
iii. Blok XI-C tentang cedera;
iv. Blok XI-D tentang gigi dan mulut;
v. Blok XI-E tentang disabilitas;
vi. Blok XI-F tentang kesehatan jiwa;
vii. Blok XI-G tentang pengetahuan, sikap dan perilaku: perilaku higienis,
penggunaan tembakau, aktivitas fisik, perilaku konsumsi buah dan sayur,
perilaku makanan berisiko, perilaku makanan olahan dari tepung terigu;
viii. Blok XI-H tentang pembiayaan kesehatan: kepemilikan jaminan kesehatan,
rawat jalan, dan rawat inap
ix. Blok XI-I tentang kesehatan reproduksi: alat/cara KB, riwayat kehamilan
seumur hidup, serta riwayat kehamilan persalinan, dan masa nifas;
x. Blok XI-J tentang kesehatan anak: kesehatan bayi dan anak balita, ASI dan
MP-ASI, serta sunat perempuan;
xi. Blok XI-K tentang pengukuran berat dan tinggi/panjang badan, lingkar
lengan atas (LILA), lingkar perut, tekanan darah, dan
xii. Blok XI-L tentang pemeriksaan mata;
xiii. Blok XI-M tentang pemeriksaan telinga;
xiv. Blok XI-N tentang pemeriksaaan status gigi permanen;
xv. Blok XI-O tentang pengambilan spesimen darah dan urin, garam, air
(status iodium)
2.5. Alat pengumpul data dan cara pengumpulan data
Pengumpulan data Riskesdas 2013 menggunakan instrumen sebagai berikut:
1) Pengumpulan data rumah tangga dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan
Kuesioner RKD13.RT dan Pedoman Pengisian Kuesioner
a. Responden untuk Kuesioner RKD13.RT adalah Kepala Keluarga atau Ibu rumah
tangga atau ART yang dapat memberikan informasi.
b. Dalam Kuesioner RKD13.RT terdapat keterangan tentang apakah seluruh anggota
rumah tangga diwawancarai langsung, didampingi, diwakili, atau sama sekali tidak
diwawancarai.
2) Pengumpulan data individu pada berbagai kelompok umur dilakukan dengan teknik
wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.IND dan Pedoman Pengisian Kuesioner.
a. Responden untuk Kuesioner RKD13.IND adalah setiap anggota rumah tangga.
b. Khusus untuk anggota rumah tangga yang berusia kurang dari 15 tahun, dalam
kondisi sakit maka wawancara dilakukan terhadap anggota rumah tangga yang
menjadi pendampingnya.
23
3) Untuk data tinggi badan diukur dengan alat ukur tinggi badan “Multifungsi” dengan
kapasitas ukur dua meter dan ketelitian 0,1 cm. Untuk data berat badan diukur dengan
timbangan berat badan digital merek “Fesco”, yang dikalibrasi setiap hari. Pengukuran
lingkar perut dan LILA menggunakan satu alat medline, alat ukur yang didisain untuk
mengukur lingkar lengan dan lingkar perut. Seluruh pengukuran antropometri dilakukan
dengan menggunakan pedoman pengukuran.
4) Untuk pengukuran tensi digunakan tensimeter digital merek Omron tipe IA1, yang
diharuskan untuk mengganti batu baterai setiap satu BS selesai dilakukan pengukuran.
Pengukuran tensimeter dilakukan dengan menggunakan pedoman pengukuran tensi.
5) Untuk pemeriksaan mata peralatan yang digunakan mencakup kartu tumbling E, pinhole,
kaca pembesar, lampu senter, dan kartu peraga serta pedoman pemeriksaan.
6) Untuk pemeriksaan telinga peralatan yang digunakan spekulum telinga dan pedoman
pemeriksaan.
7) Untuk pemeriksaan gigi digunakan satu set peralatan yang terdiri dari kaca mulut, sarung
tangan, lampu senter, masker, dan dentogram berikut dengan pedoman pemeriksaan.
8) Untuk pengambilan data biomedis, peralatan satu set laboratorium lapangan mencakup
formulir (BM01 sampai BM05), perlengkapan penanganan limbah, serta alat untuk
pengambilan urin, spesimen darah, tes cepat iodium, pengambilan sampel air, dan sampel
garam, serta pedoman pengumpulan spesimen biomedis.
2.6. Manajemen data
Proses manajemen data Riskesdas 2013 terdiri dari dua tahap, tahap pertama dilakukan
di kabupaten/kota yang terdiri dari kegiatan: pengumpulan data, receiving-batching
(penerimaan-pembukuan), editing (kontrol kualitas data), data entry, dan pengiriman data
elektronik. Tahap kedua dilakukan di satuan kerja Badan Litbangkes pusat yang terdiri:
dari kegiatan: penerimaan dan penggabungan data seluruh kabupaten/kota, cleaning
data, penggabungan data provinsi, penggabungan data nasional, cleaning data nasional,
imputasi, pembobotan, dan penyimpanan data elektronik. Seluruh kegiatan tersebut
membutuhkan waktu kurang lebih lima bulan. Tim Manajemen Data yang dipusatkan di
Jakarta mengkoordinir manajemen data Riskesdas 2013 secara keseluruhan. Laporan
kemajuan pengumpulan data dan manajemen data dapat dikomunikasikan dan dilihat di
website Badan Litbangkes. Urutan kegiatan manajemen data secara rinci sebagai berikut.
2.6.1 Receiving batching
Proses receiving-batching adalah pencatatan penerimaan kuesioner. Pencatatan dilakukan
pada electronic file yang berisi tentang identitas wilayah yang telah diwawancarai, jumlah RT
dan ART yang diwawancarai dan jumlah yang telah dientri. Manfaat dari proses ini untuk
menilai konsistensi jumlah data responden yang diwawancarai, dientri, dikirim, dan diterima
oleh tim manajemen data, dan juga untuk memantau sampel yang belum diwawancarai. Hal
ini untuk menghindari adanya data yang hilang karena proses-proses input atau pengiriman
elektronik.
2.6.2 Editing data
Dalam pelaksanaan pengumpulan data Riskesdas 2013, editing merupakan salah satu mata
rantai yang secara potensial dapat menjadi kontrol kualitas data. Editing mulai dilakukan oleh
ketua tim dilanjutkan oleh supervisor atau PJT Kabupaten/Kota semenjak enumerator selesai
melakukan wawancara dengan responden. PJT Kabupaten/Kota harus memahami makna dan
alur pertanyaan.
24
PJT Kabupaten/Kota melakukan editing kuesioner meliputi pemeriksaan kembali kelengkapan
jawaban, termasuk konsistensi alur jawaban, untuk setiap responden pada setiap Blok Sensus.
Kelengkapan jawaban dan konsistensi alur jawaban, antara lain seperti :
• Semua pertanyaan terisi sesuai dengan kelompok kriteria yang ditentukan, contoh pertanyaan
kesehatan reproduksi hanya diperuntukkan bagi perempuan berumur 10-54 tahun.
• Blok pemeriksaan dan pengukuran sudah terisi.
• Kelengkapan formulir biomedis (BM01 sd BM05), termasuk stiker nomor laboratorium,
sebelum dilakukan entri data.
2.6.3 Entri data
Program entri data Riskesdas 2013 dikembangkan oleh tim manajemen data Riskesdas Badan
Litbangkes menggunakan software CSPro 4.1 dengan operating system windows 7 yang memiliki
fasilitas autorun. Program entri tersebut mencakup kuesioner RT, individu, dan hasil pemeriksaan
biomedis (formulir spesimen darah, urin, garam, dan air, termasuk sticker nomor laboratorium).
Entri data kuesioner kesmas dilakukan oleh tim pengumpul data di lokasi pengumpulan data,
sedangkan data hasil pemeriksaan spesimen darah dan urin dilakukan oleh tim biomedis di
Jakarta dan Balai GAKI – Magelang.
Pertanyaan pada kuesioner Riskesdas 2013 ditujukan untuk responden dengan berbagai
kelompok umur yang berbeda, sehingga kuesioner disusun dengan beberapa lompatan
pertanyaan (skip questions) yang secara teknis memerlukan ketelitian untuk menjaga
konsistensi data dari satu blok pertanyaan ke blok pertanyaan berikutnya. Oleh karena itu
maka dibuat program entri yang diperkuat dengan batasan-batasan entri secara komputerisasi.
Hasil entri data ini menjadi salah satu bagian penting dalam proses manajemen data,
khususnya yang berkaitan dengan cleaning data.
2.6.4 Penggabungan data
File data yang telah dikirim oleh PJT Kabupaten/Kota, digabung oleh tim manajemen data
pusat. Langkah selanjutnya dilakukan penggabungan data dan cleaning sementara agar dapat
segera memberi umpan balik pada tim pewawancara untuk memperbaiki data, dilanjutkan
dengan penggabungan data elektronik secara nasional. Hasil penggabungan data dari hampir
12000 BS terdiri dari file RT, file daftar ART, file Individu, dan file biomedis. Satu tim
manajemen data pusat menangani data satu atau dua provinsi.
2.6.5 Cleaning data
Tahapan cleaning dalam manajemen data merupakan proses yang penting untuk menunjang
kualitas data. Tim manajemen data di pusat sudah melakukan cleaning awal pada data
elektronik setiap provinsi pada saat menerima data elektronik dari PJT Kabupaten/Kota.
Apabila ada data yang perlu dikonfirmasi ke tim pengumpul data di kabupaten, maka tim
manajemen data pusat akan berkoordinasi dengan PJT Kabupaten untuk entri ulang dan
mengirimkan kembali yang sudah diperbaiki melalui email.
Cleaning sementara hanya dilakukan pada variabel-variabel tertentu yang dianggap sangat
berisiko untuk salah. Setelah penggabungan keseluruhan provinsi, dilakukan cleaning
variabel secara keseluruhan. Hanya data yang sudah dinyatakan clean yang dianalisis lebih
lanjut.
Tim Manajemen Data menyediakan pedoman khusus untuk melakukan cleaning data
Riskesdas. Perlakuan terhadap missing values, no responses, outliers amat menentukan
akurasi dan presisi dari analisis yang dihasilkan Riskesdas 2013.
2.6.6 Imputasi data
Imputasi adalah proses untuk penanganan data missing dan outlier. Tim Manajemen Data
melakukan imputasi data elektronik secara nasional. Pada data Riskesdas 2013 imputasi
25
dilakukan untuk data kontinyu yang outlier, sedangkan jika responden tidak bersedia menjawab
maka diberikan kode sebagai data missing.
2.7. Keterbatasan data
Keterbatasan data Riskesdas 2013 berkaitan dengan keterbatasan metoda dan keterbatasan
manajemen operasional.
Keterbatasan metoda
Beberapa indikator tidak dapat disajikan sampai tingkat kabupaten/kota karena masalah besar
sampel yang mewakili untuk pertanyaan tertentu. Batasan jumlah sampel untuk masing-masing
indikator yang masih dapat diterima adalah jika n sampel >30. Misalnya untuk penentuan status
gizi pada balita, jika jumlah sampel balita di suatu kabupaten/kota kurang dari 30, maka walapun
hasil analisis disajikan, akan diberi tanda (*) agar pembaca berhati-hati dalam menginterpretasikan
hasil tersebut.
Keterbatasan manajemen operasional
Beberapa keterbatasan yang disebabkan faktor manajemen antara lain:
1) Blok sensus tidak terjangkau, karena ketidaktersediaan alat transportasi menuju lokasi
tersebut, karena kondisi alam yang tidak memungkinkan, seperti gelombang besar yang
membahayakan, atau alasan keamanan. Riskesdas tidak berhasil mengumpulkan 14 BS
yang terpilih.
2) Sejumlah RT yang menjadi sampel ternyata tidak seluruhnya dapat ditemukan oleh tim
enumerator. Rumah tangga yang berhasil dikunjungi Riskesdas 2013 adalah sebanyak
98,3 persen yang tersebar di seluruh kabupaten/kota.(Tabel 2.2.1)
3) Sejumlah ART dari RT terpilih tidak seluruhnya bisa diwawancarai oleh tim enumerator.
Pada saat pengumpulan data dilakukan sebagian ART tidak berada di tempat. Jumlah
ART yang berhasil dikumpulkan adalah 93,0 persen.(Tabel 2.2.1)
2.8. Pengolahan dan analisis data
Hasil pengolahan dan analisis data dipresentasikan pada Bab III. Pada laporan ini seluruh analisis
dilakukan berdasarkan jumlah sampel RT maupun ART setelah missing values dan outlier
dikeluarkan serta dilakukan pembobotan sesuai dengan jumlah masing-masing sampel. Analisis
data dengan menggunakan perangkat lunak statistik SPSS17.0®.
2.9. Estimasi kesalahan sampling (sampling error)
Data yang dikumpulkan dari survei tidak bisa terlepas dari kesalahan (error), demikian halnya
dengan Riskesdas 2013. Ada dua jenis tipe kesalahan yang bisa terjadi yaitu sampling error dan
nonsampling error. Kesalahan tersebut mungkin terjadi karena kesalahan cakupan, kesalahan
kerena ketidaklengkapan jawaban, kesalahan penentuan responden, maupun kesalahan
pengukuran. Survei yang baik adalah survei dengan kesalahan seminimal mungkin. Untuk
mengetahui sejauh mana tingkat kesalahan data survei, sangat diperlukan evaluasi statistik
terhadap data survei. Nilai kesalahan sampling biasanya diukur dari besar kecilnya nilai relatif
standard error suatu karakteristik yang dirumuskan sebagai berikut
rse(Yˆ )
se(Yˆ )
100%
Yˆ
26
se(Yˆ ) v(Yˆ )
adalah estimasi standard error dari estimasi. Estimasi varians dilakukan
dengan
mengikuti disain sampling Riskesdas 2013 yang bersifat multistage dimana dasar perhitungan nilai
varians ditentukan berdasarkan pertimbangan strata, primary sampling unit dan weight atau
n n
v(Yˆ )
( z yi z y ) 2
n 1 i 1
dimana
z yi wij yij
25
z yi wij yij
25
j 1
j 1
menggunakan rumus
dan
sedangkan wij adalah nilai penimbang untuk rumah tangga terpilih ke-j di blok sensus terpilih ke-i.
Perhitungan nilai estimasi untuk seluruh variabel, standard error, dan relative standard error
menggunakan software program stata versi 8.
Penilaian kesalahan sampling (sampling error) Riskesdas 2013 dihitung hanya untuk beberapa
variable penting, yang mewakili seluruh komponen pokok yang dikumpulkan Riskesdas 2013.
Hasil penilaiannya dapat dilihat pada lampiran “Estimasi kesalahan sampel Riskesdas 2013”
menurut karakterisktik kelompok umur, dan estimasi 33 provinsi.
2.10. Pengembangan kuintil indeks kepemilikan
Riskesdas 2013 tidak mengumpulkan pengeluaran rumah tangga untuk prediksi status ekonomi
yang digunakan sebagai salah satu karakteristik untuk kepentingan analisis, tetapi digunakan
pendekatan perhitungan indeks kepemilikan.
1. Penentuan kuintil indeks kepemilikan
Status sosial ekonomi merupakan salah satu variabel proxy yang sering digunakan untuk
mengukur tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Terdapat tiga cara untuk mengukur status
sosio-ekonomi, yaitu melalui data penghasilan per bulan, atau pengeluaran per bulan atau
berdasarkan kepemilikan barang tahan lama. Ketiga proxy pengukuran status ekonomi tersebut
mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Pengukuran status ekonomi berdasarkan data penghasilan per bulan mudah ditanyakan, namun
mempunyai akurasi yang sulit dipercaya, mengingat tidak semua responden bersedia menjawab
dengan jujur jumlah penghasilan per bulan mereka. Di beberapa negara berkembang, sebagian
besar penduduk berkerja pada sektor informal, sehingga sulit untuk mendapatkan informasi jumlah
penghasilan pasti per bulannya.
Mengukur status ekonomi berdasarkan data pengeluaran per bulan mempunyai akurasi yang
cukup baik diantara ketiga cara pengukuran, namun untuk dapat memperoleh informasi
pengeluaran tersebut diperlukan data rinci tentang berbagai jenis pengeluaran RT secara detail
yang seringkali membingungkan responden dan time consumed.
Pada beberapa tahun terakhir, pengukuran status ekonomi banyak menggunakan data
kepemilikan barang tahan lama, seperti rumah, mobil, motor, sepeda, kulkas dan lain sebagainya.
Kelebihan pengukuran berdasarkan kepemilikan barang tahan lama ini lebih mudah ditanyakan
dan diobservasi, namun memerlukan perhitungan yang lebih kompleks untuk menyusun satu
indeks kepemilikan yang merupakan komposit dari beberapa variabel terkait kepemilikan RT yang
bersangkutan.
Principal Component Analysis (PCA) merupakan salah satu teknik statistik yang menyatukan
beberapa variabel menjadi indikator tunggal, seperti yang dilaporkan Ariawan (2006). Indikator
tersebut berisi skor, bobot atau indeks untuk mengukur status ekonomi RT yang selanjutnya
disebut indeks kepemilikan.
Simulasi model penyusunan indeks dilakukan dengan cara mengidentifikasi variabel yang
menunjukkan kepemilikan. Adapun hasil identifikasi variabel kepemilikan data Riskesdas 2013
dapat dilihat pada Tabel 2.10.1. Simulasi model penyusunan indeks kepemilikan untuk Riskesdas
27
2013 menggunakan variabel kepemilikan Susenas 2010 yang dibandingkan dengan pengukuran
status ekonomi berdasarkan pengeluaran per bulan pada survei yang sama.
Dari 21 variabel pada Tabel 2.10.1 terdapat 17 variabel yang dimiliki kedua survei (Susenas dan
Riskesdas 2013) untuk analisis PCA dengan menggunakan korelasi polychoric. Dari matriks yang
terbentuk hanya variabel yang memiliki nilai korelasi diatas 0,3 yang digunakan sebagai prediksi
status ekonomi. Penapisan variabel dilakukan dengan mengeliminasi satu persatu variable secara
bertahap yang memiliki korelasi dengan variabel lain dibawah 0,3 sampai didapat seluruh variabel
dengan nilai korelasi diatas 0,3 dan besarnya proportion explained diatas 0,5.
Dari 17 variabel tersebut diperoleh sembilan variabel yang memiliki korelasi diatas 0,3 dengan
proportion explained 0,57, yang berarti komposit sembilan variabel tersebut dapat menjelaskan
57 persen status ekonomi RT. Tahap selanjutnya adalah membagi semua sampel RT menjadi
lima kelompok sesuai indeks kepemilikan. Hasil pengelompokan RT tersebut diuji tabulasi silang
dengan pengelompokan RT berdasarkan pengeluaran per bulan untuk melihat apakah rumah
tangga kuintil terbawah pada status ekonomi berdasarkan indeks kepemilikan juga termasuk
kuintil terbawah berdasarkan pengeluaran. Metoda yang sama juga dilakukan terhadap kuintil
lainnya. Dari ke lima kuintil tersebut hanya kuintil terbawah dan teratas yang mempunyai
ketepatan cukup baik. Artinya indeks kepemilikan mempunyai sensitivitas yang baik pada RT
dengan status ekonomi terendah dan tertinggi.
Model yang dibentuk dari 9 variabel tersebut diterapkan kedalam variabel yang ada pada data
Riskesdas 2013, ditambah dengan 4 variabel kepemilikan pada Riskesdas 2013 yang tidak
terdapat pada data Susenas 2010, kemudian dilakukan penapisan variabel dengan cara yang
sama, pada akhirnya diperoleh 12 variabel yang mempunyai korelasi di atas 0,3 dan Proportion
explained 53,6 persen. Variabel pembentuk indeks adalah: 1) sumber air utama untuk minum, 2)
bahan bakar memasak, 3) kepemilikan fasilitas buang air besar, 4) jenis kloset, 5) tempat
pembuangan akhir tinja, 6) sumber penerangan, 7) sepeda motor, 8) TV, 9) pemanas air, 10)
tabung gas 12 kg, 11) lemari es, dan 12) mobil. Tahapan selanjutnya indeks yang sudah terbentuk
dikelompokkan kedalam 5 kuintil: terbawah, menengah bawah, menengah, menengah atas, dan
teratas
Tabel 2.10.1
Variabel kepemilikan data Riskesdas 2013
Variabel Kepemilikan Data Riskesdas 2013
Variabel
1
Status kepemilikan rumah
B9R1
2
Jenis atap terluas
B9R6
3
Jenis dinding terluas
B9R5
4
Jenis lantai terluas
B9R4
5
Luas lantai
B9R2
6
Jenis sumber air utama untuk minum
B8R2
7
Kepemilikan fasilitas tempat BAB
B9R8a
8
Jenis kloset
B9R8b
9
Tempat pembuangan akhir tinja
B9R8c
10
Sumber penerangan
B9R7
11
Jenis bahan bakar/energi untuk memasak
B8R12
12
Kepemilikan sepeda
B9R9a
13
Kepemilikan sepeda motor
B9R9b
14
Kepemilikan perahu
B9R9c
15
TV/TV kabel
B9R9d
16
AC
B9R9e
17
Pemanas air
B9R9f
18
Kepemilikan tabung gas 12 kg atau lebih
B9R9g
19
Kepemilikan lemari es/kulkas
B9R9h
20
Kepemilikan perahu motor
B9R9i
21
Mobil
B9R9j
28
2. Gambaran status ekonomi penduduk Indonesia
Status ekonomi berdasarkan indeks kepemilikan memberi gambaran bahwa semakin tinggi kuintil
RT, semakin banyak barang tahan lama yang dimiliki. Dalam tabel 2.10.2 terlihat bahwa secara
nasional status ekonomi RT berdasarkan indeks kepemilikan: kuintil terbawah 15,6 persen, kuintil
menengah bawah 19,3 persen, kuintil menengah 21,7 persen, kuintil menengah atas 23,7 persen
dan kuintil teratas 19,7 persen. Pada tabel 2.10.2 nampak hampir seluruh provinsi mempunyai
sebaran kuintil terbawah hingga teratas yang tidak jauh berbeda, kecuali di Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Bali, dan Kalimantan Timur, yaitu kuintil terbawah jauh lebih kecil
dari kuintil teratas. Tujuh provinsi lain, yaitu Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Papua memiliki persentase sebaran kuintil
terbawah jauh lebih besar daripada kuintil teratas. Papua merupakan provinsi dengan kuintil
terbawah terbesar (63,3%), sedangkan DKI Jakarta merupakan provinsi dengan kuintil terbawah
terkecil (0,5%). Untuk kuintil teratas, Bangka Belitung merupakan provinsi dengan kuintil teratas
terbesar (50,6%), persentase terkecil provinsi NTT (2,3%).
Tabel 2.10.2
Gambaran kuintil indeks kepemilikan menurut provinsi, Indonesia 2013
Provinsi
Terbawah
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Jogjakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenngara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
17,9
13,9
20,4
13,4
12,8
16,3
16,3
13,9
9,3
4,8
0,5
10,4
12,9
5,7
17,1
10,7
9,0
30,7
55,6
24,7
26,2
17,3
6,3
14,3
29,3
17,3
24,6
30,2
41,7
32,8
31,4
27,3
63,3
Indonesia
15,6
Kuintil indeks kepemilikan (%)
Menengah
Menengah
Menengah
bawah
atas
18,8
14,9
17,0
13,8
18,5
28,7
20,2
20,1
17,1
17,5
15,9
20,3
17,7
19,5
20,5
19,9
19,2
24,0
17,6
20,3
19,4
22,8
25,1
18,8
11,4
11,4
17,4
11,9
17,7
34,8
5,2
16,5
43,9
20,0
24,4
28,0
23,4
28,3
21,3
19,3
29,7
20,6
22,1
23,9
22,9
11,5
17,6
31,5
14,2
19,4
24,9
28,9
20,2
12,9
24,2
10,3
7,1
19,2
23,3
16,5
22,8
15,8
16,0
20,7
19,8
19,2
11,7
15,3
27,6
23,1
21,5
22,0
24,7
17,3
15,3
16,8
17,2
21,8
22,8
21,6
17,8
22,3
17,5
17,2
23,3
14,1
11,3
25,0
18,9
17,8
28,0
18,6
15,3
22,6
18,4
19,6
11,3
7,8
7,8
19,3
29
21,7
23,7
Teratas
31,4
25,2
22,1
33,0
29,4
20,5
26,4
19,4
50,6
30,8
33,9
17,3
14,3
24,7
14,0
28,6
32,6
7,2
2,3
16,3
19,1
23,0
39,1
19,2
13,3
26,9
13,1
12,7
9,6
5,6
6,7
12,1
9,9
19,7
Gambaran status ekonomi berdasarkan tempat tinggal dapat dilihat pada Tabel 2.10.3. Pada tabel
tersebut terlihat bahwa proporsi terbesar RT yang tinggal di perkotaan berada pada kelompok
kuintil menengah atas.
Tabel 2.10.3
Gambaran status ekonomi berdasarkan tempat tinggal, Indonesia 2013
Kuintil indeks kepemilikan (%)
Tempat
Terbawah
Menengah
Menengah
Menengah
Teratas
tinggal
bawah
atas
Perkotaan
4,4
11,6
22,1
32,1
29,7
Perdesaan
26,9
27,1
21,3
15,2
9,5
Indonesia
15,6
19,3
21,7
23,7
19,7
Sebagai langkah untuk menilai ketepatan indeks yang terbentuk, maka dilakukan tabulasi silang
dengan variabel yang menunjukkan tingkatan sosial ekonomi. Variabel yang digunakan
merupakan program pemerintah dikhususkan bagi tingkatan ekonomi tertentu, yaitu pelayanan
kesehatan gratis dan program beras miskin. Pemerintah memberikan pelayanan kesehatan gratis
bagi masyarakat miskin di seluruh Indonesia melalui berbagai program diantaranya Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), Program Keluarga
Harapan (PKH) dan Kartu Sehat. Selain itu, masyarakat miskin yang tidak tercantum dalam
database Jamkesmas, Jamkesda, PKH dan Kartu Sehat juga mendapatkan pelayanan
kesehatan gratis dengan menggunakan surat keterangan tidak mampu (SKTM). Tabel 2.10.4
menunjukkan secara nasional, semakin rendah tingkat kekayaan rumah tangga semakin banyak
yang mendapatkan pelayanan kesehatan gratis. Secara keseluruhan, hasil Riskesdas tidak
membedakan wilayah-wilayah yang menerapkan kebijakan pelayanan kesehatan gratis bagi
seluruh tingkatan sosial ekonomi masyarakat di wilayahnya.
Tabel 2.10.4
Persentase RT penerima pelayanan gratis berdasarkan kuintil
Pelayanan Gratis (%)
Kuintil Indeks Kepemilikan
Ya
Tidak
Terbawah
37,1
62,9
Menengah Bawah
32,3
67,7
Menengah
26,7
73,3
Menengah Atas
20,1
80,0
Teratas
14,3
85,7
Program Beras Untuk Keluarga Miskin (Raskin) merupakan subsidi pangan yang diperuntukkan
bagi keluarga miskin sebagai upaya dari pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan dan
memberikan perlindungan pada keluarga miskin. Tujuan program beras miskin adalah untuk
mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sasaran (RTS) melalui pemenuhan sebagian
kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras dan mencegah penurunan konsumsi energi dan
protein. Selain itu raskin bertujuan untuk meningkatkan / membuka akses pangan keluarga melalui
penjualan beras kepada keluarga penerima manfaat dengan jumlah yang telah ditentukan.
Persentase rumah tangga mendapatkan beras miskin (Raskin) berdasarkan kuintil dapat dilihat
pada tabel 2.10.5 Secara nasional, tampak semakin rendah tingkat kekayaan rumah tangga
semakin banyak rumah tangga penerima beras miskin.
30
Tabel 2.10.5
Persentase Rumah Tangga Mendapat Beras Miskin (Raskin)
Berdasarkan Kuintil
Kuintil indeks kepemilikan
Rumah tangga yang mendapat Raskin (%)
Ya
Tidak
Terbawah
80,3
19,7
Menengah Bawah
75,5
24,5
Menengah
62,9
37,1
Menengah Atas
41,9
58,1
Teratas
19,5
80,5
31
BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan tujuan dari Riskesdas 2013 yaitu memberikan informasi terkini keadaan kesehatan
masyarakat dan juga memperhatikan perubahan yang terjadi dari 2007 untuk beberapa indikator,
seperti status gizi, beberapa penyakit menular dan penyakit tidak menular, cakupan pelayanan
kesehatan, serta kondisi lingkungan. Seluruh pembahasan disajikan menurut provinsi dan
karakteristik penduduk. Untuk masing-masing bahasan mencantumkan jumlah sampel yang
teranalisis baik untuk rumah tangga dan anggota rumah tangga.
Penyajian berupa hasil analisis deskriptif yang dipresentasikan dalam bentuk prevalensi,
proporsi, insiden, atau period prevalence berdasarkan definisi penyakit terkait, misalnya: 1)
prevalensi gizi kurang pada balita adalah persentase jumlah balita yang berat badan menurut
umurnya lebih kecil dari -2 SD standar WHO 2005 dari jumlah balita yang diukur; 2) insiden
diare adalah kejadian diare dalam kurun waktu 2 minggu terakhir berdasarkan gejala atau
diagnosis tenaga kesehatan; 3) period prevalence pneumonia adalah kejadian pneumonia
dalam kurun waktu 1 bulan terakhir berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan. Beberapa
prevalensi ditentukan berdasarkan hasil wawancara pernah didiagnosis tenaga kesehatan,
atau minum obat, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium.
Hasil pemeriksaan spesimen darah dan urin terbatas pada sampel yang dapat
menggambarkan status kesehatan nasional dari penduduk perkotaan dan perdesaan. Analisis
dilakukan untuk mengetahui proporsi anemia, diabetes mellitus, malaria, parameter kimia
klinis untuk umur satu tahun keatas, sedangkan status iodium pada anak umur 6-12 tahun
dan wanita usia subur 15-49 tahun. Data biomedis merupakan korfirmasi objektif untuk
beberapa indikator status kesehatan, seperti malaria, anemia, diabetes mellitus, dan
kecukupan konsumsi iodium.
Tidak seluruh tabel hasil analisis disajikan dalam laporan ini. Fokus laporan pada buku ini
lebih banyak pada hasil analisis kecenderungan untuk beberapa indikator yang dikumpulkan
tahun 2007, 2010, dan 2013. Secara rinci laporan Riskesdas yang memuat tabel dipisahkan
dan dirangkum dalam buku kedua “Riskesdas 2013 dalam Angka”.
32
3.1.
Akses dan Pelayanan Kesehatan
Gurendro Putro, Dwi Hapsari Tjandrarini, AntoniusYudi Kristanto, Agung Dwi Laksono
Akses Pelayanan Kesehatan dalam Riskesdas 2013 mengetahui keberadaan fasilitas kesehatan
yang terdiri dari rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas atau puskesmas
pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, posyandu, poskesdes
atau poskestren dan polindes. Moda transportasi yang dapat digunakan oleh rumah tangga
menuju fasilitas kesehatan yang terdiri dari mobil pribadi, kendaraan umum, jalan kaki, sepeda
motor, sepeda, perahu, transportasi udara dan lainnya serta penggunaan lebih dari dari satu moda
transportasi atau kombinasi. Waktu tempuh dengan moda transportasi tersebut yang paling sering
digunakan oleh rumah tangga dalam bentuk menit. Kemudian yang terakhir memperoleh
gambaran tentang biaya atau ongkos transportasi oleh rumah tangga menuju fasilitas kesehatan
dalam satu kali pergi.
3.1.1.Keberadaan pelayanan kesehatan
Pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan (faskes) yang terdiri dari
rumah sakit pemerintah dan swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu (pustu), praktek
dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, posyandu, poskesdes atau poskestren, dan
polindes, terkait erat dengan akses rumah tangga terhadap faskes. Sampel rumah tangga yang
diwawancara dan dianalisis sebanyak 294.959 rumah tangga. Data yang ditampilkan berupa
persentase rumah tangga dengan pengetahuan tentang keberadaan faskes tertentu.
Keberadaan fasilitas kesehatan secara nasional menurut provinsi pada hasil ini diuraikan tentang
pengetahuan rumah tangga pada rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, bidan praktek dan
posyandu. Data secara lengkap tentang fasilitas kesehatan ini secara nasional dan berdasarkan
karakteristik yang diuraikan tentang tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan dapat dilihat
pada buku Riskesdas 2013 dalam angka.
69,6
80,0
53,9
100,0
60,0
40,0
20,0
NTT
Sultra
Bengkulu
Sulteng
Papua Barat
Papua
Riau
Maluku
KalBar
Sumut
Sulut
Lampung
KalTeng
NTB
Jambi
Sulsel
Kep. Riau
Banten
Sumsel
Malut
Indonesia
Jawa Barat
Gorontalo
Sumbar
Jawa Timur
KalSel
Kaltim
Babel
DKI Jakarta
DIY
Jateng
Sulbar
Aceh
Bali
0,0
RS Pemerintah
RS Swasta
Gambar 3.1.1
Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah dan rumah sakit
swasta menurut provinsi, Indonesia 2013
33
Gambar 3.1.1 menunjukkan secara nasional 69,6 persen rumah tangga mengetahui keberadaan
rumah sakit pemerintah, sedangkan rumah sakit swasta diketahui oleh 53,9 persen rumah tangga.
Rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah tertinggi di Bali (88,6%)
sedangkan terendah di Nusa Tenggara Timur (39,6%). Sedangkan pengetahuan rumah tangga
tentang keberadaan rumah sakit swasta tertinggi di DI Yogyakarta (82,4%) dan terendah di
Sulawesi Barat (15,1%).
100,0
85,2
80,0
66,3
60,0
40,0
0,0
9,9
Papua
NTT
Papua Barat
Maluku
Sultra
Sulut
Malut
Sulbar
Sulteng
Gorontalo
NTB
Sulsel
KalBar
KalTeng
Aceh
Bengkulu
KalTim
Kepri
Babel
KalSel
Jambi
Riau
DIY
Indonesia
DKI Jakarta
Sumbar
Sumut
Sumsel
Banten
Lampung
Jawa Timur
Jawa Barat
Jawa Tengah
Bali
20,0
Gambar 3.1.2
Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan bidan praktek atau rumah bersalin menurut
provinsi, Indonesia 2013
Pada gambar 3.1.2 menunjukkan pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan praktek bidan
atau rumah bersalin secara nasional angkanya 66,3 persen, namun jika dilihat antar provinsi,
maka tertinggi di Bali (85,2%) dan terendah di Papua (9,9%).
34
100,0
78,2
80,0
65,2
60,0
40,0
26
0,0
Bengkulu
Papua Barat
Papua
KalTeng
Sulut
NTT
Sulteng
KalBar
Jambi
Riau
Sulsel
Kepri
Sumut
Lampung
Sultra
Maluku
Babel
Gorontalo
Sumbar
Sumsel
KalSel
Aceh
KalTim
Malut
Indonesia
Banten
Jawa Timur
DIY
Jawa Tengah
Sulbar
NTB
DKI Jakarta
Bali
Jawa Barat
20,0
Gambar 3.1.3
Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan posyandu menurut provinsi, Indonesia 2013
Pengetahuan rumah tentang keberadaan posyandu secara nasional angkanya 65,2 persen. Jika
dilihat menurut provinsi, maka tertinggi di Jawa Barat (78,2%) dan terendah di Bengkulu (26%).
3.1.2. Keterjangkauan fasilitas kesehatan
Keterjangkauan faskes dalam Riskesdas 2013 ini dilihat dari aspek moda transportasi yang
digunakan, waktu tempuh (dalam satuan menit), dan biaya transportasi menuju faskes. Moda
transportasi yang digunakan menuju faskes dapat berupa mobil pribadi, kendaraan umum, jalan
kaki, sepeda motor, sepeda, perahu, transportasi udara (kecuali ke posyandu, poskesdes, dan
polindes) dan yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi.
Waktu tempuh rumah tangga menuju faskes dihitung dalam satuan menit dan dibagi menjadi 4
kategori, yaitu ≤15 menit; 16 – 30 menit; 31-60 menit; dan >60 menit. Biaya transportasi menuju
faskes dikelompokkan dalam 3 kategori untuk pengobatan modern (rumah sakit pemerintah,
rumah sakit swasta, puskesmas, praktek dokter atau klinik dan praktek bidan atau rumah bersalin,
yaitu ≤ Rp.10.000; >Rp.10.000 – 50.000 dan >Rp.50.000,- dan 2 kategori untuk Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yaitu di posyandu, poskesdes atau poskestren dan polindes
yaitu ≤ Rp.10.000 dan >Rp.10.000.
35
70,0
60,0
50,0
40,0
30,0
20,0
10,0
0,0
Perkotaan Perdesaan
Kendaraan Umum
Terbawah Menengah Menengah Menengah
bawah
Atas
Lebih dari 1 Alat Transportasi
Sepeda Motor
Mobil Pribadi
Teratas
Lainnya
Gambar 3.1.4
Proporsi moda transportasi ke rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Indonesia 2013
Proporsi rumah tangga yang menggunakan berbagai moda transportasi sepeda motor menuju
rumah sakit pemerintah berdasarkan tempat tinggal di perkotaan 53,6 persen dan perdesaan 46,5
persen. Untuk penggunaan kendaraan umum di perkotaan 28 persen dan perdesaan 35,5 persen.
Sedangkan yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi di perkotaan 8,5 persen
sedangkan di perdesaan 11,4 persen. Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka.
80,0
60,0
40,0
20,0
0,0
Perkotaan
Perdesaan
Kendaraan Umum
Terbawah
Lebih dari 1 Alat Transportasi
Menengah
bawah
Menengah
Sepeda Motor
Menengah
Atas
Mobil Pribadi
Teratas
Lainnya
Gambar 3.1.5
Proporsi moda transportasi ke Puskesmas berdasarkan karakteristik, Indonesia 2013
36
Proporsi rumah tangga menuju puskesmas yang dapat menggunakan kendaraan umum di
perkotaan 2,7 persen dan perdesaan 0,9 persen. Sedangkan yang menggunakan lebih dari satu
moda transportasi di perkotaan 1,9 persen dan perdesaan 1,8 persen. Rumah tangga yang
menggunakan sepeda motor di perkotaan 14,1 persen dan perdesaan 11,4 persen, sedangkan
yang jalan kaki di perkotaan 57,3 persen dan perdesaan 63,7 persen.
Menurut kuintil indeks kepemilikan bahwa yang tertinggi adalah dengan sepeda motor, tertinggi
pada rumah tangga teratas (68,7%) dan terendah rumah tangga terbawah (44,9%). Sedangkan
pada pemakaian kendaraan umum tertinggi pada rumah tangga terbawah (21,8%) dan terendah di
rumah tangga teratas (8,4%). Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka.
100,0
80,0
60,0
40,0
20,0
0,0
≤ 15 menit
16-30 menit
31-60 menit
> 60 menit
Gambar 3.1.6
Waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan terdekat menurut pengetahuan rumah tangga,
Indonesia 2013
Waktu tempuh rumah tangga menuju fasilitas kesehatan di rumah sakit pemerintah tertinggi pada
16-30 menit (34,4%) dan terendah > 60 menit (18,5%). Pola ini hampir sama dengan waktu
tempuh menuju rumah sakit swasta dimana tertinggi pada 16 – 30 menit (37,3%) dan terendah >
60 menit (12,4%). Sedangkan pada fasilitas kesehatan di puskesmas atau pustu, praktek dokter
atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, poskesdes atau poskestren, polindes dan
posyandu terbanyak pada waktu tempuh ≤ 15 menit. Data dapat dilihat pada buku Riskesdas
2013 dalam angka.
37
50,0
40,0
30,0
20,0
10,0
0,0
Perkotaan Perdesaan
≤ 15 menit
Terbawah Menengah Menengah Menengah
bawah
atas
16-30 menit
31-60 menit
Teratas
> 60 menit
Gambar 3.1.7
Waktu tempuh menuju rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Indonesia 2013
Waktu tempuh rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menurut tempat tinggal dengan
waktu 16-30 menit, tertinggi di perkotaan (41%) dan perdesaan 25,6 persen. Dengan waktu 31-60
menit di perkotaan 24,7 persen dan perdesaan 34,5 persen. Sedangkan dengan waktu tempuh ≤
15 menit di perkotaan 27,3 persen dan perdesaan 6,3 persen.
Sedangkan menurut kuintil indeks kepemilikan, dengan waktu tempuh 16-30 menit, tertinggi pada
rumah tangga teratas (38,5%) dan terendah pada rumah tangga terbawah (22,2%). Dengan
waktu tempuh 31-60 menit, tertinggi pada rumah tangga terbawah (31,3%) dan terendah pada
rumah tangga teratas (25,5%). Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka.
100,0
80,0
60,0
40,0
20,0
0,0
RS Pemerintah
≤ Rp.10.000
RS Swasta
Puskesmas/Pustu
> Rp. 10.000 -Rp.50.000
Praktek dokter/klinik
Praktek bidan/RB
> Rp.50.000
Gambar 3.1.8
Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan terdekat, Indonesia 2013
Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta,
puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah
bersalin dengan 3 kategori yaitu ≤ Rp.10.000,-; >Rp.10.000 – Rp.50.000 dan > Rp,50.000,-. Biaya
transportasi masih didominasi pada ≤ Rp.10.000,- di rumah sakit pemerintah (63,6%), rumah sakit
swasta (71,6%), puskesmas atau puskesmas pembantu (91,3%), dokter praktek atau klinik
(90,5%) dan praktek bidan atau rumah bersalin (95,2%). Data dapat dilihat pada buku Riskesdas
2013 dalam angka.
38
100,0
80,0
60,0
40,0
20,0
0,0
Poskesdes/Poskestren
≤ Rp.
Polindes
.
Posyandu
> Rp. 10.000
Gambar 3.1.9
Biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Indonesia 2013
Biaya transportasi menuju Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat seperti Poskesdes atau
poskestren, polindes dan posyandu dibuat dalam 2 kategori yaitu yaitu ≤Rp.10.000,- dan
>Rp.10.000,-. Pada biaya transportasi ini masih banyak yang ≤Rp.10.000,- yaitu di poskesdes
atau poskestren (97,4%), polindes (97,8%) dan posyandu (97,8%). Data dapat dilihat pada buku
Riskesdas 2013 dalam angka.
39
3.2.
Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional
Retno Gitawati, Andi Leni Susyanti, Rini Sasanti H, Selma Siahaan, Ani Isnawati, Lucie Widowati,
Anggita BA, Olwin Nainggolan dan Dwi Hapsari Tjandrarini
Bahasan Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) bertujuan mengetahui
proporsi rumah tangga (RT) yang menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi),
proporsi rumah tangga yang memiliki pengetahuan benar tentang Obat Generik (OG) dan sumber
informasi tentang OG. Pertanyaan Yankestrad mencakup jenis dan alasan memanfaatkan dalam
kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir. Sampel yang dianalisis sejumlah 294.969 rumah tangga,
dikelompokkan menjadi tiga: 1) Obat dan Obat Tradisional (OT); 2) Pengetahuan rumah tangga
tentang obat generik (OG), dan 3) Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad).
Farmasi dan Yankestrad merupakan bahasan baru yang dikumpulkan informasinya pada
Riskesdas 2013.
3.2.1. Obat dan Obat Tradisional (OT) di rumah tangga
Gambar 3.2.1 menunjukkan bahwa dari 35,2 persen rumah tangga yang menyimpan obat untuk
swamedikasi, terdapat obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang
tidak teridentifikasi.
Gambar 3.2.1
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan, Indonesia 2013
Secara nasional proporsi RT yang menyimpan obat keras 35,7 persen dan antibiotika 27,8 persen.
Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan penggunaan obat yang tidak
rasional. Tabel 3.2.1 menunjukkan variasi RT yang menyimpan obat untuk keperluan
swamedikasi, dengan proporsi tertinggi rumah tangga di DKI Jakarta (56,4%) dan terendah di
Nusa Tenggara Timur (17,2%). Rerata sediaan obat yang disimpan hampir 3 macam, tertinggi di
Gorontalo (4) dan terendah di Lampung (2).
40
Tabel 3.2.1
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata
jumlah obat yang disimpan menurut provinsi, Indonesia 2013
Menyimpan obat
Ya
(%)
Rerata jumlah obat
Provinsi
31,6
2,8
Aceh
33,5
2,7
Sumatera Utara
25,5
2,9
Sumatera Barat
28,0
2,3
Riau
33,6
2,4
Jambi
32,6
2,7
Sumatera Selatan
24,8
2,3
Bengkulu
19,8
2,0
Lampung
46,0
2,9
Bangka Belitung
47,4
2,8
Kepulauan Riau
56,4
2,9
DKI Jakarta
36,3
3,0
Jawa Barat
31,9
2,6
Jawa Tengah
50,7
3,2
DI Yogyakarta
36,6
3,3
Jawa Timur
36,6
2,8
Banten
35,1
2,8
Bali
25,5
2,9
Nusa Tenggara Barat
17,2
2,9
Nusa Tenggara Timur
34,4
2,6
Kalimantan Barat
39,7
2,9
Kalimantan Tengah
55,5
3,3
Kalimantan Selatan
43,1
2,7
Kalimantan Timur
37,3
3,6
Sulawesi Utara
38,4
3,4
Sulawesi Tengah
41,0
3,2
Sulawesi Selatan
30,3
2,8
Sulawesi Tenggara
28,6
4,4
Gorontalo
23,6
2,7
Sulawesi Barat
28,9
3,8
Maluku
25,1
3,6
Maluku Utara
26,0
3,4
Papua Barat
17,3
2,8
Papua
35,2
2,9
Indonesia
Berdasarkan karakteristik, hampir tidak ada perbedaan dalam hal jenis obat yang disimpan di
rumah tangga (Tabel 3.2.2).
41
Tabel 3.2.2
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat berdasarkan jenis obat
menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Indonesia
Obat keras
Obat
bebas
Antibiotika
Obat
tradisional
Obat tidak
teridentifikasi
35,5
35,9
83,6
79,2
26,4
30,1
17,2
13,2
6,8
6,8
33,7
33,4
35,1
36,2
37,1
35,7
75,9
77,6
80,2
83,2
85,9
82,0
31,5
28,6
27,6
27,7
26,5
27,8
6,8
8,1
7,5
6,8
4,3
15,7
12,6
13,0
13,9
16,3
18,7
6,4
Dari 35,7 persen rumah tangga yang menyimpan obat, 81,9 persen rumah tangga menyimpan
obat keras yang diperoleh tanpa resep dokter (Tabel 3.2.3). Variasi antar provinsi, proporsi
tertinggi di Lampung (90,5%) dan terendah di Gorontalo (70,8%). Demikian halnya dengan
antibiotika, delapan puluh enam persen rumah tangga menyimpan antibiotika tanpa resep, dengan
proporsi tertinggi di Kalimantan Tengah (93,4%) dan terendah di Gorontalo (74,7%). Proporsi
rumah tangga yang menyimpan antibiotik dan obat keras tanpa resep ini cukup tinggi..
Secara nasional Tabel 3.2.4 menunjukkan apotek dan toko obat/warung merupakan sumber
utama mendapatkan obat rumah tangga dengan proporsi masing-masing 41,1 persen dan 37,2
persen. Berdasarkan tempat tinggal, proporsi rumah tangga yang memperoleh obat di apotek lebih
tinggi di perkotaan, sebaliknya proporsi rumah tangga yang memperoleh obat di toko obat/warung
lebih tinggi di perdesaan. Namun, 23,4 persen rumah tangga memperoleh obat langsung dari
tenaga kesehatan (nakes), proporsi tertinggi di perdesaan (31,5%). Semakin tinggi kuintil indeks
kepemilikan, cenderung semakin rendah memperoleh obat dari sumber nakes. Proporsi rumah
tangga yang mendapatkan obat dari pelayanan kesehatan formal (puskesmas, rumah sakit, klinik)
tidak berbeda antara perkotaan (16,9%) dan perdesaan (16,6%).
Tabel 3.2.5 menunjukkan status obat yang ada di rumah tangga untuk tujuan swamedikasi. Status
obat dikelompokkan menurut obat yang ‘sedang digunakan’, obat ‘untuk persediaan’ jika sakit, dan
‘obat sisa’. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa dari penggunaan
sebelumnya yang tidak dihabiskan. Secara nasional 47,0 persen rumah tangga menyimpan obat
sisa, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi rumah tangga yang menyimpan obat untuk
persediaan (42,2%). Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat sisa juga lebih tinggi di
perdesaan dan kuintil indeks kepemilikan terendah.
42
Tabel 3.2.3
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika
tanpa resep menurut provinsi, Indonesia 2013
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Jenis obat tanpa resep
Obat keras
Antibiotika
81,4
85,9
85,4
87,0
81,7
85,2
87,3
89,1
86,6
87,9
84,3
85,6
86,0
89,2
90,5
92,0
84,0
86,7
80,6
87,7
85,1
89,0
81,3
84,9
82,0
87,1
78,1
90,2
79,7
85,5
82,3
84,9
80,8
87,1
77,9
79,7
77,9
77,7
87,9
90,2
89,7
93,4
86,3
90,6
80,0
87,1
73,8
81,4
80,2
83,3
76,3
79,7
83,9
84,6
70,8
74,7
82,2
83,2
78,4
80,1
82,2
86,1
85,6
85,7
82,1
85,4
81,9
86,1
43
Tabel 3.2.4
Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat
menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Apotek
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Indonesia
Toko
obat/
warung
Pemberian
orang lain
Yankes
formal
Nakes
Yankes
- trad
Penjual OT
keliling
50,2
25,5
35,3
40,5
1,7
1,9
16,9
16,6
18,7
31,5
1,4
1,3
1,1
1,7
15,4
25,0
35,7
45,5
55,5
41,1
43,1
41,3
39,1
37,0
32,3
37,2
2,9
1,7
2,1
1,6
1,3
1,7
19,7
17,3
18,3
16,8
14,7
16,8
30,5
28,7
24,4
22,3
19,2
23,4
0,9
1,1
1,3
1,3
1,7
1,3
2,0
1,7
1,4
0,9
1,3
1,3
Tabel 3.2.5
Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat yang disimpan
menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Indonesia
Status obat di rumah tangga
Sedang digunakan
Untuk persediaan
Obat sisa
31,1
33,8
46,7
34,4
46,3
48,1
35,2
34,9
33,3
31,4
29,7
32,1
29,8
32,4
37,0
45,1
51,3
42,2
48,1
48,0
48,1
47,1
45,1
47,0
3.2.2. Pengetahuan rumah tangga tentang Obat Generik (OG)
Bahasan ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang mengetahui atau pernah
mendengar dan ’berpengetahuan benar’, serta persepsi mengenai OG. Definisi rumah tangga
’berpengetahuan benar’ tentang OG adalah rumah tangga mengetahui bahwa obat generik
merupakan obat yang khasiatnya sama dengan obat bermerek dan tanpa menggunakan merek
dagang. Selain itu pada sub-blok ini juga disajikan proporsi rumah tangga berdasarkan sumber
informasi OG.
Tabel 3.2.6 menunjukkan bahwa secara nasional terdapat 31,9 persen rumah tangga yang
mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG. Dari jumlah tersebut, sebagian besar (85,9%)
tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang OG. Tabel 3.2.7 menunjukkan pengetahuan benar
tentang OG rendah baik di rumah tangga perkotaan maupun di perdesaan. Semakin tinggi kuintil
indeks kepemilikan, semakin tinggi proporsi RT dengan pengetahuan benar tentang OG.
Tabel 3.2.8 menunjukkan 82,3 persen rumah tangga mempunyai persepsi OG sebagai obat murah
dan 71,9 persen obat program pemerintah. Sejumlah 42,9 persen rumah tangga mempersepsikan
OG berkhasiat sama dengan obat bermerek. Persepsi tersebut perlu dipromosikan lebih gencar
44
untuk mendorong penggunaan OG lebih luas dan lebih baik di masyarakat. Proporsi rumah tangga
dengan persepsi bahwa OG adalah obat tanpa merek dagang, paling rendah (21,0%), padahal
persepsi tersebut adalah salah satu persepsi benar yang diharapkan diketahui masyarakat luas.
Tabel 3.2.6
Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar
tentang obat generik (OG ) menurut provinsi, Indonesia 2013
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Mengetahui
tentang OG
30,8
31,0
25,2
29,0
36,7
24,7
17,9
18,1
33,6
38,9
63,6
38,0
29,1
51,4
25,8
37,8
49,5
20,0
12,0
23,1
25,5
29,2
42,3
36,5
21,4
25,2
28,1
39,2
19,8
24,0
19,2
33,3
17,3
31,9
45
Pengetahuan tentang OG
Benar
Salah
20,7
79,3
11,3
88,7
13,0
87,0
10,8
89,2
11,4
88,6
12,0
88,0
8,2
91,8
9,2
90,8
12,4
87,6
11,7
88,3
14,9
85,1
17,4
82,6
12,7
87,3
17,1
82,9
12,0
88,0
13,3
86,7
19,4
80,6
8,2
91,8
23,5
76,5
12,8
87,2
14,8
85,2
11,5
88,5
12,2
87,8
13,2
86,8
7,5
92,5
10,0
90,0
11,8
88,2
30,9
69,1
7,2
92,8
15,9
84,1
14,6
85,4
13,9
86,1
16,4
83,6
14,1
85,9
Tabel 3.2.7
Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar
Tentang obat generik (OG ) menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Mengetahui
tentang OG
Pengetahuan tentang OG
Benar
Salah
46,1
17,4
14,9
12,1
85,1
87,9
6,2
15,2
27,1
43,1
60,2
9,2
10,8
11,9
13,4
17,1
90,8
89,2
88,1
86,6
82,9
Tabel 3.2.8
Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsinya tentang obat generik (OG)
menurut karakteristik, Indonesia 2013
Persepsi rumah tangga tentang OG
Obat
Obat
Obat
Dapat
Obat
Khasiat
Obat
Karakteristik
gratis murah
bagi
dibeli di
tanpa
sama dg program
pasien warung
merek
obat ber pemerinmiskin
dagang
merek
tah
Tempat tinggal
Perkotaan
41,1
84,7
43,8
22,7
21,6
46,0
73,4
Perdesaan
47,6
75,8
44,0
21,7
19,1
34,5
67,8
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
52,8
69,4
48,7
24,4
16,6
27,8
61,8
Menengah bawah
45,6
74,4
46,5
22,3
17,9
33,6
65,0
Menengah
43,2
80,0
46,7
21,8
19,0
38,9
70,1
Menengah atas
41,8
83,6
45,3
21,8
20,3
42,9
72,0
Teratas
42,2
85,4
40,2
23,1
23,6
48,4
75,1
Indonesia
42,9
82,3
43,9
22,4
21,0
42,9
71,9
Sumber informasi tentang OG di perkotaan maupun perdesaan paling banyak diperoleh dari
tenaga kesehatan (63,1%). Informasi oleh tenaga kesehatan ini, juga merata pada semua kuintil
indeks kepemilikan (Tabel 3.2.9). Sumber informasi OG dari media cetak dan elektronik lebih
banyak diakses oleh rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi.
46
Tabel 3.2.9
Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (OG)
menurut karakteristik, Indonesia 2013
Sumber informasi tentang OG
Karakteristik
Media
Media
Tenaga
Kader, Teman, Pendidikan
cetak elektronik kesehatan toma kerabat
Tempat tinggal
Perkotaan
26,5
57,4
62,9
15,4
20,0
8,3
Perdesaan
22,9
52,3
63,4
20,0
22,6
8,3
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
16,3
38,9
65,1
22,0
24,4
6,0
Menengah bawah
16,8
46,9
60,0
17,1
20,0
4,3
Menengah
19,7
51,8
60,2
16,2
18,0
5,7
Menengah atas
22,9
54,9
62,3
15,5
19,5
6,2
Teratas
33,7
62,7
65,7
17,2
22,9
12,6
Indonesia
25,6
56,0
63,1
16,6
20,7
8,3
3.2.3. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad)
Yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu yankestrad ramuan (pelayanan kesehatan yang menggunakan
jamu, aromaterapi, gurah, homeopati dan spa), keterampilan dengan alat (akupunktur, chiropraksi,
kop/bekam, apiterapi, ceragem, dan akupresur), keterampilan tanpa alat (pijat-urut, pijat-urut
khusus ibu/bayi, pengobatan patah tulang, dan refleksi), dan keterampilan dengan pikiran
(hipnoterapi, pengobatan dengan meditasi, prana, dan tenaga dalam). Gambar dan tabel pada
bahasan berikut ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan
yankestrad dalam satu tahun terakhir, jenis-jenis yankestrad yang dimanfaatkan serta alasan
utama memanfaatkannya.
Gambar 3.2.2
Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis
Yankestrad yang dimanfaatkan, Indonesia 2013
47
Sejumlah 89.753 dari 294.962 (30,4%) rumah tangga di Indonesia memanfaatkan yankestrad
dalam 1 tahun terakhir. Jenis yankestrad yang dimanfaatkan oleh rumah tangga terbanyak adalah
keterampilan tanpa alat (77,8%) dan ramuan (49,0%) (Gambar 3.2.2).
Tabel 3.2.10 menunjukkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan yankestrad tertinggi di
Kalimantan Selatan (63,1%) dan terendah di Papua Barat (5,9%). Proporsi rumah tangga yang
memanfaatkan yankestrad ramuan tertinggi di Jawa Timur (65,2%) dan yang terendah di Bengkulu
(23,5%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan yankestrad keterampilan dengan alat
tertinggi di DKI Jakarta (20,7%) dan terendah di Gorontalo (1,3%).
Tabel 3.2.10
Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis
yankestrad yang dimanfaatkan menurut provinsi, Indonesia 2013
Jenis yankestrad
Pernah
Ramuan
Keterampilan
memanfaatProvinsi
kan
Dengan alat Tanpa alat
Dengan
yankestrad
pikiran
Aceh
18,5
44,3
4,9
61,1
17,1
Sumatera Utara
26,3
38,8
6,0
79,5
2,0
Sumatera Barat
31,6
32,3
3,9
81,9
6,0
Riau
20,1
29,4
7,0
84,4
2,4
Jambi
29,4
42,6
2,5
84,2
2,8
Sumatera Selatan
26,4
29,3
5,1
87,3
1,2
Bengkulu
22,9
23,5
4,7
86,3
1,7
Lampung
19,3
36,9
3,7
85,1
1,6
Bangka Belitung
29,1
32,7
6,0
79,6
4,7
Kepulauan Riau
23,2
25,8
11,1
73,4
6,1
DKI Jakarta
31,0
44,7
20,7
62,3
2,1
Jawa Barat
23,7
48,0
13,1
68,1
2,2
Jawa Tengah
27,7
46,4
6,2
73,5
2,1
DI Yogyakarta
44,0
58,1
5,9
72,6
1,1
Jawa Timur
58,0
65,2
3,9
84,7
1,7
Banten
33,0
40,7
10,3
78,4
2,2
Bali
25,0
39,4
9,7
72,6
5,1
Nusa Tenggara Barat
19,6
25,1
2,1
76,5
8,8
Nusa Tenggara Timur
19,6
30,3
1,6
80,2
7,1
Kalimantan Barat
13,5
42,0
6,6
76,9
5,2
Kalimantan Tengah
30,0
36,4
4,7
89,0
0,7
Kalimantan Selatan
61,3
43,3
3,5
90,8
1,3
Kalimantan Timur
29,0
40,1
8,5
81,7
0,6
Sulawesi Utara
13,4
28,4
8,2
77,1
1,8
Sulawesi Tengah
26,1
29,4
4,8
83,8
3,7
Sulawesi Selatan
11,8
39,1
9,7
47,8
18,0
Sulawesi Tenggara
15,0
32,8
3,2
72,5
5,1
Gorontalo
49,8
23,7
1,3
93,6
1,0
Sulawesi Barat
6,8
26,1
5,4
72,5
1,1
Maluku
18,0
44,3
3,0
73,8
3,9
Maluku Utara
9,4
41,7
1,9
65,7
11,1
Papua Barat
5,9
30,6
3,2
73,8
1,6
Papua
6,5
55,7
3,1
54,0
3,1
Indonesia
30,4
49,0
7,1
77,8
2,6
Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan yankestrad keterampilan tanpa alat tertinggi di
Gorontalo (93,6%) dan terendah di Sulawesi Selatan (47,8%). Proporsi rumah tangga yang
48
memanfaatkan yankestrad keterampilan dengan pikiran tertinggi di Sulawesi Selatan (18,0%) dan
terendah di Kalimantan Timur (0,6%).
Tabel 3.2.11 menunjukkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan yankestrad keterampilan
tanpa alat di perdesaan (81,8%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (74,3%). Sebaliknya,
pemanfaatan yankestrad keterampilan dengan alat di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan
perdesaan (10,4% vs 3,3%). Yankestrad ramuan dimanfaatkan rumah tangga di perkotaan dan
perdesaan dengan proporsi yang seimbang.
Tabel 3.2.11
Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis
yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Indonesia 2013
Jenis yankestrad
Pernah
Ramuan
Keterampilan
memanfaatkan
Karakteristik
Dengan alat Tanpa alat
Dengan
yankestrad
pikiran
Tempat tinggal
Perkotaan
32,2
49,3
10,4
74,3
2,2
Perdesaan
28,7
48,6
3,3
81,8
3,1
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
26,0
48,6
1,7
81,7
3,4
Menengah bawah
29,1
52,1
3,4
79,5
2,7
Menengah
30,4
53,9
5,3
75,9
2,6
Menengah atas
32,5
49,0
8,6
76,2
2,1
Teratas
32,7
41,5
13,7
77,4
2,5
Tabel 3.2.12 memperlihatkan alasan utama terbanyak pemanfaatan berbagai yankestrad oleh
rumah tangga. Yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, dan keterampilan tanpa alat
sebagian besar dimanfaatkan rumah tangga dengan alasan utama ‘menjaga kesehatan,
kebugaran’. Proporsi rumah tangga dengan alasan utama ‘coba-coba’ cukup tinggi untuk
yankestrad keterampilan dengan alat (20,7%), perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya dampak
negatif dari penggunaan alat yang belum terstandardisasi. Alasan utama karena ‘tradisi
kepercayaan’ terlihat dominan pada pemanfaatan yankestrad keterampilan dengan pikiran
(37,2%).
Tabel 3.2.12
Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan
yankestrad, Indonesia 2013
Alasan memanfaatkan yankestrad
Menjaga
Tradisi,
Lebih
CobaPutus
Biaya
Jenis yankestrad
kesehatan,
kepermanjur
coba
asa
murah
Kebugaran cayaan
Yankestrad ramuan
52,7
12,3
18,4
2,8
1,8
6,8
Keterampilan dengan alat
32,1
10,4
19,5
20,7
5,8
5,7
Keterampilan tanpa alat
55,4
12,9
17,2
1,8
2,1
5,7
Keterampilan dengan pikiran
12,9
37,2
17,8
11,4
12,5
4,1
49
3.3.
Kesehatan Lingkungan
Athena Anwar, Agustina Lubis, D. Anwar Musadad, Sri Irianti, Ika Dharmayanti, Inswiasri, Sonny
Warouw, Miko Hananto, Puguh PP dan Yusniar
Topik kesehatan lingkungan pada Riskesdas 2013 bertujuan untuk mengevaluasi program yang
sudah ada, menindaklanjuti upaya perbaikan yang akan dijalankan, dan mengidentifikasi faktor
risiko lingkungan berbagai jenis penyakit dan gangguan kesehatan. Dengan diperolehnya data
kesehatan lingkungan termutakhir, diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan dalam
upaya pengendalian penyakit berbasis lingkungan. Pada Riskesdas 2013 disajikan data
kesehatan lingkungan yang meliputi, air minum, sanitasi (jamban dan sampah), dan kesehatan
perumahan. Data kesehatan perumahan meliputi jenis bahan bangunan, lokasi rumah dan kondisi
ruang rumah, kepadatan hunian, jenis bahan bakar untuk memasak, dan penggunaan atau
penyimpanan pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Di samping itu disajikan data
perilaku rumah tangga dalam menguras bak mandi berkaitan dengan risiko penyebaran penyakit
tular vektor (DBD, malaria).
Sebagai unit analisis adalah rumah tangga. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara
menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan. Analisis data dilakukan secara
deskriptif dengan menyajikan keadaan kesehatan lingkungan menurut provinsi, tempat tinggal dan
kuintil indeks kepemilikan.
3.3.1. Air minum
Ruang lingkup air dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi, jenis sumber air untuk keperluan rumah
tangga dan minum. Rerata pemakaian air per orang per hari, jarak sumber air minum terhadap
penampungan tinja, jarak dan waktu tempuh ke sumber air minum, anggota rumah tangga yang
mengambil air minum, kualitas fisik air minum, pengelolaan (pengolahan dan penyimpanan) air
minum. Tabel secara lengkap disajikan pada Buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Untuk akses
terhadap sumber air minum digunakan kriteria JMP WHO - Unicef tahun 2006. Menurut kriteria
tersebut, rumah tangga memiliki akses ke sumber air minum improved adalah rumah tangga
dengan sumber air minum dari air ledeng/ PDAM, sumur bor/ pompa, sumur gali terlindung, mata
air terlindung, penampungan air hujan, dan air kemasan (HANYA JIKA sumber air untuk keperluan
rumah tangga lainnya improved).
Hasil menunjukkan bahwa jenis sumber air untuk seluruh kebutuhan rumah tangga di Indonesia
pada umumnya adalah sumur gali terlindung (29,2%), sumur pompa (24,1%),
dan air
ledeng/PDAM (19,7%) (Riskesdas 2013 dalam Angka). Di perkotaan, lebih banyak rumah tangga
yang menggunakan air dari sumur bor/pompa (32,9%) dan air ledeng/PDAM (28,6%), sedangkan
di perdesaan lebih banyak yang menggunakan sumur gali terlindung (32,7%). (Buku Riskesdas
2013 dalam Angka).
Pada rumah tangga yang menggunakan sumber air untuk seluruh keperluan rumah tangga selain
air sungai/danau/irigasi, pemakaian air per orang per hari oleh rumah tangga di Indonesia, pada
umumnya berjumlah antara 50 sampai 99,9 liter (28,3%), dan antara 100 sampai 300 liter (40%).
Proporsi rumah tangga tertinggi untuk pemakaian air antara 100 liter sampai 300 liter per orang
per hari paling tinggi adalah Banten (54,5%), sedangkan proporsi terendah adalah Nusa Tenggara
Timur (10,1%). Masih terdapat rumah tangga dengan pemakaian air kurang dari 20 liter per orang
per hari, bahkan kurang dari 7,5 liter per orang per hari (masing-masing 4,9 persen dan 0,1
persen). Berdasarkan provinsi, proporsi rumah tangga dengan jumlah pemakaian air per orang per
hari kurang dari 20 liter tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (30,4%) diikuti Papua (22,5%)
(Buku Riskesdas 2013 dalam Angka).
Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan pemakaian air kurang dari 20 liter per orang
per hari di perdesaan lebih tinggi (5,8%) dibandingkan di perkotaan (4,0%), sebaliknya proporsi
rumah tangga jumlah pemakaian air per orang per hari 20 liter atau lebih di perkotaan lebih tinggi
50
95,9%) dibandingkan dengan di perdesaan (94,2%). Rumah tangga dengan kuintil indeks
kepemilikan menengah sampai teratas cenderung menggunakan air lebih dari 100 liter per orang
per hari, sedangkan rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah dan
terbawah kecenderungan pemakaian air kurang dari 20 liter per orang per hari (Buku Riskesdas
2013 dalam Angka).
Untuk sumber air minum, rumah tangga di Indonesia menggunakan air kemasan, air isi
ulang/depot air minum, air ledeng baik dari PDAM maupun membeli eceran, sumur bor/pompa,
sumur terlindung, mata air (baik terlindung maupun tidak terlindung), penampungan air hujan dan
air sungai/irigasi (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka).
Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di Indonesia
adalah sebesar 66,8 persen. Lima provinsi dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga yang
memiliki akses terhadap air minum improved adalah Bali (82,0%), DI Yogyakarta (81,7%), Jawa
Timur (77,9%), Jawa Tengah (77,8%), dan Maluku Utara (75,3%); sedangkan lima provinsi
terendah adalah Kepulauan Riau (24,0%), Kalimantan Timur (35,2%), Bangka Belitung (44,3%),
Riau (45,5%), dan Papua (45,7%) (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka).
Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air
minum improved di perkotaan (64,3%) lebih rendah dibandingkan di perdesaan (69,4%). Proporsi
rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved paling tinggi adalah
rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan menengah (75,7%) dan menengah bawah
(74,0%) (Gambar 3.3.1).
100,0
80,0
74,0
69,4
64,3
63,7
75,7
61,2
59,2
60,0
40,0
20,0
0,0
Perkotaan Perdesaan
Terbawah Menengah Menengah Menengah
bawah
atas
Teratas
Gambar 3.3.1
Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum Improved menurut
karakteristik, Indonesia 2013
Apabila dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007 dan 2010, maka proporsi rumah tangga
di Indonesia yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved cenderung meningkat
(tahun 2007: 62,0%; tahun 2010: 62,9%; tahun 2013: 66,8%) (Gambar 3.3.2).
51
100,0
80,0
66,8
60,0
60,8
62,0
40,0
20,0
Kepri
Kaltim
Babel
Riau
Papua
Aceh
Kalteng
Sumbar
Kalsel
Papbar
Sumut
Jambi
Sulsel
Sulut
DKI
Banten
Jabar
Sumsel
Sulbar
Bengkulu
Sulteng
Indonesia
Kalbar
Maluku
NTT
Gorontalo
Lampung
NTB
Sultra
Malut
Jateng
Jatim
DIY
Bali
0,0
2007
2010
2013
Gambar 3.3.2
Kecenderungan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum
Improved menurut provinsi, 2007, 2010, dan 2013
Gambar 3.3.3 menunjukkan situasi anggota rumah tangga menurut gender yang biasa mengambil
air di Indonesia. Pada umumnya yang biasa mengambil air minum adalah laki-laki dewasa dan
perempuan dewasa (masing-masing 59,5% dan 38,4%). Apabila dibandingkan, proporsi anggota
rumah tangga laki-laki dewasa mengambil air di perkotaan (72,2%) lebih tinggi dibandingkan di
perdesaan (49,8%); sedangkan untuk perempuan dewasa di perdesaan (47,3%) lebih tinggi
dibandingkan di perkotaan (26,7%).
1,1
80,0
1,0
38,4
72,2
60,0
49,8
47,3
40,0
59,5
26,7
20,0
Dewasa P
Anak P
0,0
Dewasa L
Anak L
1,5 1,3
0,4 0,7
Perkotaan
Dewasa P
Dewasa L
Perdesaan
Anak P
Gambar 3.3.3
Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa
mengambil air, Indonesia 2013
52
Anak L
Masih terdapat anak laki-laki (1,0%) dan anak perempuan (1,1%) berumur di bawah 12 tahun
yang biasa mengambil air untuk kebutuhan minum rumah tangga. Proporsi rumah tangga dengan
anak perempuan berumur di bawah 12 tahun sebagai pengambil air minum di perdesaan (1,5%)
lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (0,4%)
Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi juga proporsi rumah tangga dengan
anggota rumah tangga laki-laki dewasa mengambil air; sebaliknya semakin tinggi kuintil indeks
kepemilikan, semakin rendah proporsi rumah tangga dengan anggota rumah tangga perempuan
dewasa mengambil air (Gambar 3.3.4).
79,6
Teratas
0,3
Anak P
0,6
0,4
19,4
23,9
Menengah
Dewasa L
Menengah atas
0,8
0,5
0,9
Menengah bawah
Dewasa P
74,9
60,7
38,0
52,2
46,2
Terbawah
0,9
0,0
0,7
20,0
1,7
40,0
39,5
60,0
2,7
80,0
56,1
100,0
Anak L
Gambar 3.3.4
Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa
mengambil air menurut karakteristik, Indonesia 2013
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI (Permenkes RI) No.492/Menkes/Per/IV/2010 tentang
Kualitas Air Minum disebutkan bahwa air minum harus memenuhi persyaratan kesehatan secara
fisik, kimia, dan mikrobiologi. Dalam laporan ini air minum yang dikonsumsi dikategorikan baik
apabila memenuhi persyaratan kualitas fisik; yaitu tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak
berbusa, dan tidak berbau. Pada umumnya air minum rumah tangga di Indonesia (94,1%)
termasuk dalam kategori baik (tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak
berbau). Masih terdapat rumah tangga dengan kualitas air minum keruh (3,3%), berwarna (1,6%),
berasa (2,6%), berbusa (0,5%), dan berbau (1,4%). Berdasarkan provinsi, proporsi rumah tangga
tertinggi dengan air minum keruh adalah di Papua (15,7%), berwarna juga di Papua (6,6%),
berasa adalah di Kalimantan Selatan (9,1%), berbusa dan berbau adalah di Aceh (1,2%, dan
3,8%). (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka).
Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan kualitas air minum kategori baik (tidak keruh,
tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau) di perkotaan (96,0%) lebih tinggi
dibandingkan dengan di perdesaan (92,0%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, proporsi
rumah tangga dengan kualitas air minum kategori baik cenderung meningkat (Gambar 3.3.5).
53
100,0
96,0
92,0
92,7
87,0
94,8
96,4
97,4
80,0
60,0
40,0
20,0
0,0
Perkotaan Perdesaan
Terbawah Menengah Menengah Menengah
bawah
atas
Teratas
Gambar 3.3.5
Proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas fisik air minum menurut karakteristik,
Indonesia 2013
Gambar 3.3.6 memperlihatkan proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum
diminum menurut provinsi. Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum di minum di
Indonesia sebesar 70,1 persen. Lima provinsi tertinggi dengan rumah tangga mengolah air
sebelum diminum adalah Maluku Utara (92,7%), Nusa Tenggara Timur (90,6%), Maluku (87,8%),
Jawa Tengah (85,9%), dan Bengkulu (85,8%) sedangkan lima provinsi terendah adalah Nusa
Tenggara Barat, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Bali, dan Bangka Belitung.
100,0
80,0
70,1
60,0
40,0
20,0
NTB
Kepri
DKI
Bali
Babel
Kaltim
Banten
Papua
Riau
Aceh
Kalteng
Sulut
Jabar
Papbar
Sumut
Jatim
Indonesia
Sumbar
Sulsel
Kalsel
Jambi
Sulteng
DIY
Kalbar
Sumsel
Gorontalo
Sulbar
Lampung
Sultra
Bengkulu
Jateng
Maluku
NTT
Malut
0,0
Gambar 3.3.6
Proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum menurut provinsi,
Indonesia 2013
Dari 70,1 persen rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum, 96,5
persennya melakukan pengolahan dengan cara dimasak. Cara pengolahan lainnya adalah
dengan dijemur di bawah sinar matahari/solar disinfection (2,3%), menambahkan larutan
tawas (0,2%), disaring dan ditambah larutan tawas (0,2%) dan disaring saja (0,8%) (Gambar
3.3.7).
54
0,2 0,2
0,8
2,3
96,5
Masak
Sinar
Tawas
Saring + Tawas
Saring
Gambar 3.3.7
Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum
sebelum diminum, Indonesia 2013
Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum
dengan cara pemanasan/dimasak, di perkotaan (96,5%) hampir sama dengan di perdesaan
(96,6%). Tidak ada perbedaan proporsi diantara tingkat kuintil indeks kepemilikan dalam
melakukan pengolahan air minum dengan cara dipanaskan atau dimasak (Buku Riskesdas 2013
dalam angka).
3.3.2. Sanitasi
Ruang lingkup sanitasi dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi penggunaan fasilitas buang air
besar (BAB), jenis tempat BAB, tempat pembuangan akhir tinja, jenis tempat penampungan air
limbah, jenis tempat penampungan sampah, dan cara pengelolaan sampah. Tabel secara lengkap
disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Untuk akses terhadap fasilitas tempat buang
air besar (sanitasi) digunakan kriteria JMP WHO - Unicef tahun 2006. Menurut kriteria tersebut,
rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved adalah rumah tangga yang
menggunakan fasilitas BAB milik sendiri, jenis tempat BAB jenis leher angsa atau plengsengan,
dan tempat pembuangan akhir tinja jenis tangki septik.
Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga di Indonesia menggunakan fasilitas BAB
milik sendiri (76,2%), milik bersama (6,7%), dan fasilitas umum (4,2%). Lima provinsi tertinggi
untuk proporsi rumah tangga menggunakan fasilitas BAB milik sendiri adalah Riau (88,4%),
Kepulauan Riau (88,1%), Lampung (88,1%), Kalimantan Timur (87,8%), dan DKI Jakarta (86,2%).
Meskipun sebagian besar rumah tangga di Indonesia memiliki fasilitas BAB, masih terdapat rumah
tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB sehingga melakukan BAB sembarangan, yaitu sebesar
12,9 persen. Lima provinsi rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan
tertinggi adalah Sulawesi Barat (34,4%), NTB (29,3%), Sulawesi Tengah (28,2%), Papua (27,9%),
dan Gorontalo (24,1%) (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka).
Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri di
perkotaan lebih tinggi (84,9%) dibandingkan di perdesaan (67,3%); sedangkan proporsi rumah
tangga BAB di fasilitas milik bersama dan umum maupun BAB sembarangan di perdesaan
(masing-masing 6,9%, 5,0%, dan 20,8%) lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan (6,6%,
3,5%, dan 5,1%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi juga proporsi rumah
tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri. Semakin rendah kuintil indeks kepemilikan,
55
proporsi rumah tangga yang melakukan BAB sembarangan semakin tinggi (Buku Riskesdas 2013
dalam angka) .
Gambar 3.3.8 menunjukkan bahwa pembuangan akhir tinja rumah tangga di Indonesia sebagian
besar menggunakan tangki septik (66,0%). Lima provinsi dengan proporsi tertinggi untuk rumah
tangga dengan pembuangan akhir tinja berupa tangki septik adalah DKI Jakarta (88,8%), Bali
(84,6%), DI Yogyakarta (82,7%), Bangka Belitung (81,6%), dan Kepulauan Riau (81,4%). Masih
terdapat rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja tidak ke tangki septik (SPAL, kolam/sawah,
langsung ke sungai/danau/laut, langsung ke lubang tanah, atau ke pantai/kebun). Lima provinsi
dengan proporsi pembuangan akhir tinja tidak ke tangki septik tertinggi adalah Papua (65,4%),
Nusa Tenggara Timur (65,3%), Nusa Tenggara Barat (49,7%), Sumatera Barat (46,1%),
Kalimantan Tengah (44,9%), dan Sulawesi Barat (44,1%).
100,0
34,0
80,0
60,0
40,0
66,0
0,0
Papua
NTT
NTB
Sumbar
Kalteng
Sulbar
Kalbar
Kalsel
Jambi
Jabar
Sumsel
Jatim
Aceh
Lampung
Sulsel
Sulteng
Indonesia
Riau
Maluku
Bengkulu
Sultra
Jateng
Gorontalo
Sumut
Papbar
Malut
Banten
Sulut
Kaltim
Kepri
Babel
DIY
Bali
DKI
20,0
Tangki septik
Bukan T Septk
Gambar 3.3.8
Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja
menurut provinsi, Indonesia 2013
Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja menggunakan
tangki septik di perkotaan lebih tinggi (79,4%) dibanding di perdesaan (52,4%). Semakin tinggi
kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga dengan pembuangan tinja ke tangki septik juga
semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kuintil indeks kepemilikan; proporsi rumah tangga
yang tidak menggunakan tangki septik semakin tinggi (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka).
Gambar 3.3.9 menyajikan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi improved
dan kecenderungannya (tahun 2007, 2010, dan 2013) sesuai dengan kriteria JMP WHO - Unicef
tahun 2006. Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved di
Indonesia tahun 2013 adalah sebesar 59,8 persen. Lima provinsi dengan proporsi dengan rumah
tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved tertinggi adalah DKI Jakarta
(78,2%), Kepulauan Riau (74,8%), Kalimantan Timur (74,1%), Bangka Belitung (73,9%), Bali
(72,5%); sedangkan lima provinsi dengan proporsi akses terendah adalah NTT (30,5%), Papua
(30,5%), NTB (41,1%), Sulawesi Barat (42,9%), dan Gorontalo (45,9%).
Apabila dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007 dan 2010, proporsi rumah tangga di
Indonesia yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved cenderung mengalami
peningkatan (tahun 2007: 40,3%; tahun 2010:51,5%; tahun 2013:59,8%).
56
100,0
80,0
59,8
60,0
40,0
20,0
NTT
Papua
NTB
Sulbar
Gorontalo
Sumbar
Kalteng
Sulteng
Aceh
Maluku
Kalsel
Sulsel
Malut
Pabar
Kalbar
Jatim
Sultra
Jabar
Sumsel
Jambi
Indonesia
Lampung
Bengkulu
Jateng
Sulut
Riau
Sumut
Banten
DIY
Bali
Babel
Kaltim
Kep.Riau
DKI
0,0
40,3
2007
2010
2013
Gambar 3.3.9
Kecenderungan rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi Improved menurut
provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013
Gambar 3.3.10 menyajikan Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi
improved menurut karakteristik, Riskesdas 2013. Dari Gambar tersebut terlihat bahwa proporsi
rumah tangga yang memilki akses terhadap fasilitas sanitasi improved di perkotaan (72,5%) lebih
tinggi dibandingkan di perdesaan (46,9%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin
tinggi juga proporsi rumah tangga yang memilki akses terhadapa fasilitas sanitasi improved.
100,0
93,6
85,5
80,0
60,0
72,5
69,3
46,9
40,0
30,1
20,0
0,0
1,5
Perkotaan Perdesaan
Terbawah Menengah Menengah Menengah
bawah
atas
Teratas
Gambar 3.3.10
Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi Improved menurut
karakteristik, Indonesia 2013
Gambar 3.3.11 menunjukkan proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah dari
kamar mandi, tempat cuci, maupun dapur. Pada umumnya limbah rumah tangga di Indonesia
membuang limbahnya langsung ke got (46,7%) dan tanpa penampungan (17,2%). Hanya 15,5
57
persen yang menggunakan penampungan tertutup di pekarangan dengan dilengkapi SPAL, 13,2
persen menggunakan penampungan terbuka di pekarangan, dan 7,4 persen penampungannya di
luar pekarangan.
7,4
13,2
46,7
15,5
17,2
Penampungan di luar pekarangan
Penampungan terbuka di pekarangan
SPAL
Tanpa penampungan
Langsung ke got
Gambar 3.3.11
Proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah,
Indonesia 2013
Dalam hal cara pengelolaan sampah, hanya 24,9 persen rumah tangga di Indonesia yang
pengelolaan sampahnya diangkut oleh petugas. Sebagian besar rumah tangga mengelola sampah
dengan cara dibakar (50,1%), ditimbun dalam tanah (3,9%), dibuat kompos (0,9%), dibuang ke
kali/parit/laut (10,4%), dan dibuang sembarangan (9,7%) (Gambar 3.3.12).
100,0
80,0
60,0
50,1
40,0
24,9
20,0
3,9
0,0
Diangkut
Ditimbun
10,4
9,7
Kali/parit/laut
Sembarangan
0,9
Kompos
Dibakar
Gambar 3.3.12
Proporsi rumah tangga menurut pengelolaan sampah, Indonesia 2013
Lima provinsi dengan proporsi rumah tangga mengelola sampah dengan cara diangkut petugas
tertinggi adalah DKI Jakarta (87,0,%), Kepulauan Riau (55,8%), Kalimantan Timur (49,9%), Bali
(38,2%), dan Banten (34,4%) (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka).
58
Menurut karakteristik, porporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara diangkut
petugas lebih tinggi di perkotaan (46,0%) dibandingkan di perdesaan (3,4%), sedangkan proporsi
rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara dibakar di perdesaan (62,8%) lebih tinggi
dibanding perkotaan (37,7%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga
yang mengelola sampah dengan cara diangkut petugas semakin tinggi. Sebaliknya, proporsi
rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara dibakar cenderung lebih tinggi pada kuintil
indeks kepemilikan yang lebih rendah (Buku Riskesdas 2013 dalam angka).
Lima provinsi dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga yang mengelola sampahnya dengan
dibakar adalah Gorontalo (79,5%), Aceh (70,6%), Lampung (69,9%), Riau (66,4%), Kalimantan
Barat (64,3%). Lima provinsi terendah adalah DKI Jakarta (5,3%), Maluku Utara (25,9%), Maluku
(28,9%), Kepulauan Riau (31%), Kalimantan Timur (32,1%) (Gambar 3.3 13).
100,0
79,5
80,0
60,0
50,1
40,0
0,0
DKI
Malut
Maluku
Kepri
Kaltim
NTB
Bali
Sulsel
Papua
Papbar
Kalsel
Sultra
Kalteng
Sulbar
Banten
Sulut
Jabar
Babel
Sumsel
Indonesia
Sulteng
DIY
Bengkulu
NTT
Jatim
Jateng
Jambi
Sumut
Sumbar
Kalbar
Riau
Lampung
Aceh
Gorontalo
20,0
Gambar 3.3.13
Proporsi rumah tangga berdasarkan pengelolaan sampah dengan dibakar menurut provinsi,
Indonesia, 2013
3.3.3. Perumahan
Data perumahan yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 adalah data status penguasaan
bangunan, kepadatan hunian, jenis bahan bangunan (plafon/langit-langit, dinding, lantai), lokasi
rumah, kondisi ruang rumah (terpisah, kebersihan, ketersedian dan kebiasaan membuka jendela,
ventilasi, dan pencahayaan alami), penggunaan bahan bakar untuk memasak, perilaku rumah
tangga dalam menguras bak mandi, dan penggunaan/penyimpanan bahan berbahaya dan
beracun seperti pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Tabel secara lengkap
disajikan pada Buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan dapat dilihat pada Gambar
3.3.14. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada umumnya rumah tangga di Indonesia
menempati rumah milik sendiri (81,4%). Masih terdapat rumah tangga yang menempati rumah
dengan cara kontrak dan sewa, menempati rumah milik orang lain, milik orang tua/sanak/ saudara
maupun rumah dinas.
59
6,3
2,3
1,1 7,3
1,4
81,4
Milik sendiri
Kontrak
Sewa
Bebas sewa*)
Bebas sewa**)
Rumah dinas
Lain nya
*) milik orang lain
**) milik orang tua/sanak/ saudara
Gambar 3.3.14
Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan tempat tinggal,
Indonesia 2013
Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan status penguasaan bangunan milik sendiri di
perkotaan lebih rendah (72,6%) dari pada di perdesaan (90,4%). Sebaliknya proporsi rumah
tangga dengan status penguasaan bangunan kontrak maupun sewa, di perkotaan lebih tinggi
(kontrak: 11,4%, sewa 4,1%) dari pada di perdesaan (kontrak: 1,1%, sewa 0,5%) (Buku Riskesdas
2013 dalam angka).
Kepadatan hunian merupakan salah satu persyaratan rumah sehat. Dalam Keputusan Menteri
Kesehatan no 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, disebutkan
bahwa kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang dikategorikan sebagai tidak
padat. Proporsi rumah tangga di Indonesia yang termasuk ke dalam kriteria tidak padat adalah
sebesar 86,6%. Lima provinsi dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga dengan kategori tidak
padat (≥ 8m2/orang) adalah Jawa Tengah (96,6%), DI Yogyakarta (94,2%), Lampung (93,1%),
Bangka Belitung (92,8%) Jambi (92,6%). Lima provinsi terendah adalah Papua (55,0%), NTT
(64,0%), DKI Jakarta (68,3%), Gorontalo (69,0%), dan Maluku (72,7%) (Gambar 3.3.15).
100,0
80,0
86,6
60,0
40,0
0,0
Papua
NTT
DKI
Gorontalo
Maluku
NTB
Papbar
Sulut
Sulbar
Sumsel
Bali
Sulteng
Sumbar
Sultra
Sumut
Kalbar
Jabar
Aceh
Kepri
Kalteng
Kalsel
Indonesia
Riau
Bengkulu
Banten
Malut
Kaltim
Sulsel
Jatim
Jambi
Babel
Lampung
DIY
Jateng
20,0
Gambar 3.3.15
Proporsi rumah tangga berdasarkan kepadatan hunian menurut provinsi,
Indonesia 2013
60
Gambar 3.3.16 memperlihatkan kondisi fisik bangunan rumah (jenis bahan) yang meliputi
plafon/langit-langit, dinding dan lantai terluas. Proporsi rumah tangga dengan atap rumah terluas
berplafon adalah sebesar 59,4 persen, dinding terbuat dari tembok sebesar 69,6 persen, dan
lantai bukan tanah sebesar 93,1 persen.
Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa proporsi rumah dengan atap terluas berplafon di
perkotaan lebih tinggi (75,7%) dibandingkan di perdesaan (42,8%). Demikian juga untuk dinding
dan lantai, jenis bahan dinding terluas terbuat dari tembok dan jenis lantai bukan tanah untuk
wilayah perkotaan lebih tinggi (dinding tembok: 83,5%; lantai bukan tanah: 97,4%) dibandingkan
perdesaan (dinding tembok: 55,3%; lantai bukan tanah: 88,7%).
93,1
100,0
80,0
69,6
59,4
60,0
80,0
30,4
6,9
Atap berpafon
Dinding
tembok
Ya
88,7
55,3
42,8
40,0
20,0
0,0
97,4
83,5
75,7
60,0
40,6
40,0
100,0
20,0
0,0
Lantai bukan
tanah
Atap berpalfon
Tidak
Dinding
tembok
Perkotaan
Lantai bukan
tanah
Perdesaan
Gambar 3.3.16
Proporsi rumah tangga berdasarkan keberadaan plafon/langit-langit, dinding terbuat dari tembok
dan lantai bukan tanah, Indonesia 2013
Pada gambar 3.3.17 ini disajikan kondisi ruangan dalam rumah seperti ketersediaan ruang tidur,
ruang dapur dan ruang keluarga dilihat dari keadaan, kebersihan, tersediaan jendela, ventilasi dan
pencahayaannya. Sebagian besar ruangan-ruangan tersebut terpisah dari ruang lainnya. Dalam
hal kebersihan, sekitar tiga perempat rumah tangga kondisi ruang tidur, ruang keluarga maupun
dapurnya bersih dan berpencahayaan cukup. Tetapi kurang dari 50 persen rumah tangga yang
ventilasinya cukup dan dilengkapi dengan jendela yang dibuka setiap hari.
100,0
92,4
80,0
60,0
85,6
77,8
69,8
92,4
49,8
47,9
42,1
40,0
78,5
78,5
47,8
69,7
68,9
42,3
40,2
20,0
0,0
Terpisah
Ruang tidur
Bersih
Ruang keluarga
Jendela dibuka tiap hari
Ventilasi cukup
Ruang dapur
Pencahayaan Cukup
Gambar 3.3.17
Proporsi rumah tangga berdasarkan ketersediaan ruang tidur, ruang keluarga dan ruang dapur
dengan kebersihan, keberadaan jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami,
Indonesia 2013
61
Gambar 3.3.18 memperlihatkan jenis sumber penerangan di Indonesia, sebagian besar (97,4%)
rumah tangga di Indonesia menggunakan listrik sebagai sumber penerangan dalam rumah,
siasanya (2,6%) menggunakan petromaks/aladin, pelita/sentir/obor (non listrik).
2,6
97,4
Listrik
Non listrik
Gambar 3.3.18
Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan, Indonesia 2013
Gambar 3.3.19 memperlihatkan proporsi rumah tangga sesuai jenis penerangan non listrik
menurut provinsi. Lima provinsi dengan proporsi rumah tangga yang tidak menggunakan listrik
adalah Papua (43,6%), Nusa Tenggara Timur (26,9%), Maluku (14,1%), Gorontalo (10,9%) dan
Maluku Utara (9,9%).
60,0
50,0
43,6
40,0
30,0
20,0
0,0
2,6
DIY
DKI
Banten
Jabar
Jateng
Jatim
Bali
Sulut
Lampung
Babel
Kalsel
Kepri
Kaltim
Aceh
Sumsel
NTB
Indonesia
Sumut
Riau
Jambi
Bengkulu
Sulsel
Sumbar
Kalteng
Sultra
Kalbar
Sulbar
Papbar
Sulteng
Malut
Gorontalo
Maluku
NTT
Papua
10,0
Gambar 3.3.19
Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan non listrik
menurut provinsi, Indonesia 2013
Jenis penggunaan bahan bakar di rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 3.3.20. Menurut
Keputusan Menterian Kesehatan Republik Indonesia (Kepmenkes RI)No 829/Menkes/SK/VII/1999
tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, jenis bahan bakar/energi utama dalam rumah tangga
per provinsi dikelompokan menjadi dua, yaitu yang aman artinya tidak berpotensi menimbulkan
pencemaran (listrik dan gas/elpiji) dan tidak aman yaitu yang berpotensi menimbulkan
pencemaran (minyak tanah, arang dan kayu bakar). Proporsi rumah tangga yang menggunakan
bahan bakar aman di Indonesia adalah sebesar 64,1 persen.
Menurut karakteristik, penggunaan bahan bakar yang aman di perkotaan (81,9%) lebih tinggi
dibandingkan di perdesaan (46,0%). Sebaliknya, proporsi rumah tangga yang menggunakan
62
bahan bakar tidak aman lebih tinggi di perdesaan (54,0%) dibanding di perkotaan (18,1%)
(Gambar 3.3.20).
100,0
81,9
80,0
54,0
46,0
60,0
35,9
64,1
40,0
18,1
20,0
0,0
Aman
Perkotaan
Tdk aman
Aman
Perdesaan
Tdk aman
Gambar 3.3.20
Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis bahan bakar/energi, Indonesia 2013
Gambar 3.3.21 memperlihatkan proporsi rumah tangga dalam upaya mencegah gigitan nyamuk di
Indonesia. Baik secara mekanis (kelambu, kasa nyamuk) maupun kimiawi (insektisida, obat anti
nyamuk bakar, repelen). Proporsi tertinggi rumah tangga dalam upaya pencegahan gigitan
nyamuk adalah dengan menggunakan obat anti nyamuk bakar (48,4%), diikuti oleh penggunaan
kelambu (25,9%), repelen (16,9%), insektisida (12,2%), dan kasa nyamuk (8,0%). Menurut
karakteristik, proporsi penggunaan obat anti nyamuk bakar di perdesaan (50,0%) lebih tinggi
dibanding di perkotaan (46,9%). Demikian juga penggunaan kelambu, proporsi di perdesaan
(39,5%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (12,5%). Sebaliknya, proporsi rumah tangga yang
menggunakan repelen, insektisida dan kasa nyamuk di perkotaan (masing-masing 23,2%; 17,9%,
dan 12,3%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (masing-masing 10,4%; 6,4%; dan 3,6%).
60,0
39,5
40,0
12,2
48,4
20,0
12,5
23,2
17,9
12,3
3,6
16,9
0,0
8,0
Kelambu
Kasa nyamuk
Insektisida
50,0
46,9
25,9
Perkotaan
Kelambu
Kasa nyamuk
Insektisida
Obat nyamuk bakar
Repelen
10,4
6,4
Perdesaan
O nyamuk bakar
Repelen
Gambar 3.3.21
Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku mencegah gigitan nyamuk, Indonesia 2013
Gambar 3.3.22 menunjukkan penyimpanan/penggunaan pestisida/insektisida/pupuk kimia di
dalam rumah di Indonesia. Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan
pestisida/insektisida/pupuk kimia sebesar 20,2 persen. Penyimpanan/penggunaan pestisida/
63
insektisida/pupuk kimia di perkotaan (20,5%) sedikit lebih tinggi dibandingkan di perdesaan
(19,9%).
60,0
79,8
40,0
20,2
20,0
0,0
menyimpan
Tdk menyimpan
20,5
19,9
Perkotaan
Perdesaan
Gambar 3.3.22
Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia,
Indonesia 2013
64
3.4.
Penyakit Menular
Ainur Rofiq, Muhammad Karyana, Khadijah Azhar, Armaji Kamaludin Syarif dan Retna Mustika
Indah
Informasi mengenai penyakit menular pada Riskesdas 2013 diperoleh dari seluruh kelompok umur
dengan total sampel 1.027.766 responden di 33 provinsi seluruh Indonesia. Informasi yang
diperoleh berupa insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit yang dikumpulkan melalui
teknik wawancara menggunakan kuesioner baku (RKD13.IND), dengan pertanyaan terstruktur
secara klinis dan informasi laboratorium bila diperlukan. Responden ditanya apakah pernah
didiagnosis menderita penyakit tertentu oleh tenaga kesehatan (D: diagnosis). Responden yang
menyatakan tidak pernah didiagnosis, ditanyakan lagi apakah pernah/sedang menderita gejala
klinis spesifik penyakit tersebut (G: gejala). Jadi insiden, period prevalence dan prevalensi
penyakit merupakan data yang didapat dari D maupun G (D/G) yang ditanyakan dalam kurun
waktu tertentu.
Data penyakit menular yang dikumpulkan terbatas pada beberapa penyakit, yaitu penyakit yang
ditularkan melalui udara (infeksi saluran pernapasan akut/ISPA, pneumonia, dan tuberkulosis
paru), penyakit yang ditularkan oleh vektor (malaria), penyakit yang ditularkan melalui makanan,
air, dan lewat penularan lainnya (diare dan hepatitis). Penyakit-penyakit tersebut berhubungan
dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), MDG’s dan program pengendalian
hepatitis di Indonesia yang pertama kali dilakukan di dunia.
3.4.1.Penyakit yang ditularkan melalui udara
Tabel 3.4.1 menunjukkan insiden, period prevalence, prevalensi penyakit yang ditularkan melalui
udara, meliputi ISPA, pneumonia, dan tuberkulosis paru menurut provinsi. Tabel 3.4.2.
menunjukkan hal yang sama menurut karakteristik. Semua penyakit ini juga dikumpulkan pada
Riskesdas 2007.
3.4.1.1. ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan
panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering
atau berdahak. Period prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Lima provinsi
dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%),
Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara
Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA. Period prevalence ISPA Indonesia
menurut Riskesdas 2013 (25,0%) tidak jauh berbeda dengan 2007 (25,5%) (gambar 3.4.1)
50,0
40,0
25,5
30,0
20,0
25,0
10,0
Jambi
Riau
Malut
Lampung
Kalbar
Kep.Riau
Sumut
Sumsel
Bengkulu
Sulbar
Sultra
Bali
Kaltim
Gorontalo
DIY
Babel
Sulteng
Sulut
Jabar
Sulsel
Maluku
Kalteng
Indonesia
DKI
Sumbar
Banten
Pabar
Jateng
Kalsel
Jatim
NTB
Aceh
Papua
NTT
0,0
2007
2013
Gambar 3.4.1
Period prevalence ISPA, menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013
65
Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun
(25,8%). Menurut jenis kelamin, tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Penyakit ini lebih
banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan
menengah bawah.(Tabel 3.4.2).
Tabel 3.4.1
Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumonia
menurut provinsi, Indonesia 2013
Periode
Period
Periode
Prevalensi
prevalence
prevalence
Prevalence
pneumonia
ISPA
Pneumonia
Pneumonia Balita
(persen)
Provinsi
(persen)
(persen)
(permil)
D
D/G
D
D/G
D
D/G
D
D/G
Aceh
20,1
30,0
0,4
2,6
6,1
35,6
1,8
5,4
Sumatera Utara
10,9
19,9
0,1
1,3
1,0
12,4
1,1
3,2
Sumatera Barat
16,1
25,7
0,2
1,2
3,4
10,2
1,4
3,1
Riau
10,9
17,1
0,1
0,9
1,7
8,3
1,0
2,1
Jambi
9,8
17,0
0,1
0,9
0,0
9,8
1,7
3,1
Sumatera Selatan
11,3
20,2
0,1
0,9
0,8
10,8
0,9
2,4
Bengkulu
13,0
20,8
0,1
0,8
0,0
8,8
1,3
2,7
Lampung
12,0
17,8
0,1
0,6
0,0
7,7
1,2
2,3
Bangka Belitung
9,2
23,4
0,1
2,4
4,1
34,8
0,9
4,3
Kepulauan Riau
8,9
19,6
0,1
1,4
0,0
22,0
1,3
3,2
DKI Jakarta
12,5
25,2
0,2
2,4
2,9
19,6
1,8
5,9
Jawa Barat
13,2
24,8
0,2
1,9
3,5
18,5
2,0
4,9
Jawa Tengah
15,7
26,6
0,2
1,9
2,8
19,0
2,0
5,0
DI Yogyakarta
11,3
23,3
0,2
1,7
3,2
27,8
1,2
4,6
Jawa Timur
15,6
28,3
0,2
1,7
2,0
15,8
1,3
4,2
Banten
16,4
25,8
0,2
1,5
2,2
19,3
1,6
3,8
Bali
12,2
22,6
0,2
1,5
1,6
8,6
0,8
3,1
Nusa Tenggara Barat
13,2
28,9
0,2
2,2
4,1
20,3
1,5
5,1
Nusa Tenggara Timur
19,2
41,7
0,3
4,6
2,0
38,5
1,4
10,3
Kalimantan Barat
11,1
18,2
0,1
1,1
2,1
15,5
1,1
2,7
Kalimantan Tengah
14,3
25,0
0,2
2,0
5,8
32,7
1,4
4,4
Kalimantan Selatan
10,6
26,7
0,1
2,4
0,7
25,0
1,1
4,8
Kalimantan Timur
14,8
22,7
0,2
1,0
2,0
6,6
1,2
3,0
Sulawesi Utara
13,3
24,7
0,3
2,3
4,3
23,2
1,9
5,7
Sulawesi Tengah
8,9
23,6
0,2
3,5
0,9
29,9
1,5
7,2
Sulawesi Selatan
11,9
24,9
0,2
2,8
1,0
30,3
1,7
6,8
Sulawesi Tenggara
13,4
22,2
0,3
2,2
3,2
29,0
1,5
5,2
Gorontalo
9,5
23,2
0,2
1,7
2,7
10,7
1,2
4,1
Sulawesi Barat
9,3
20,9
0,2
3,1
0,0
34,8
1,0
6,1
Maluku
13,3
24,9
0,2
2,3
1,5
27,9
1,4
4,9
Maluku Utara
6,9
17,7
0,2
2,0
0,0
18,7
0,8
4,5
Papua Barat
18,9
25,9
0,2
1,3
2,8
14,1
2,0
4,2
Papua
17,2
33,1
0,5
2,6
4,2
21,2
2,9
8,2
Indonesia
13,8
25,0
0,2
1,8
2,4
18,5
1,6
4,5
66
3.4.1.2. Pneumonia
Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi disertai
batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya (sakit
kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang). Pneumonia ditanyakan pada semua penduduk untuk
kurun waktu 1 bulan atau kurang dan dalam kurun waktu 12 bulan atau kurang. Period prevalence
dan prevalensi tahun 2013 sebesar 1,8 persen dan 4,5 persen. Lima provinsi yang mempunyai
insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur
(4,6% dan 10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%), Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi Barat
(3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan (2,4% dan 4,8%) (Tabel 3.4.1). Period Prevalence
pneumonia di Indonesia tahun 2013 menurun dibandingkan dengan tahun 2007.(Gambar 3.4.2).
8,0
6,0
4,0
2,13
2,0
1,80
Lampung
Bengkulu
Riau
Sumsel
Jambi
Kaltim
Kalbar
Sumbar
Pabar
Sumut
Kep.Riau
Banten
Bali
Jatim
DIY
Gorontalo
Indonesia
Jabar
Jateng
Malut
Kalteng
Sultra
NTB
Sulut
Maluku
Babel
Kalsel
DKI
Papua
Aceh
Sulsel
Sulbar
Sulteng
NTT
0,0
2007
2013
Gambar 3.4.2
Period prevalence pneumonia menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013
Berdasarkan kelompok umur penduduk, Period prevalence pneumonia yang tinggi terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus meninggi
pada kelompok umur berikutnya. Period prevalence pneumonia balita di Indonesia adalah 18,5 per
mil. Balita pneumonia yang berobat hanya 1,6 per mil. Lima provinsi yang mempunyai insiden
pneumonia balita tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (38,5‰), Aceh (35,6‰), Bangka Belitung
(34,8‰), Sulawesi Barat (34,8‰), dan Kalimantan Tengah (32,7‰) (tabel 3.4.1). Insidens tertinggi
pneumonia balita terdapat pada kelompok umur 12-23 bulan (21,7‰) (Gambar 3.4.3). Pneumonia
balita lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah
(27,4‰).
30,0
20,0
17,9
18,2
48-59 bulan
36-47 bulan
21,0
21,7
24-35 bulan
12-23 bulan
13,6
10,0
0,0
0-11 bulan
Gambar 3.4.3
Insidens pneumonia per 1000 balita menurut kelompok umur, Indonesia 2013
67
Tabel 3.4.2
Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumonia
menurut karaktristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Kelompok umur (tahun)
<1
1-4
5-14
15-24
25-34
35-44
45-54
55-64
65-74
≥75
Balita (bulan)
0-11
12-23
24-35
36-47
48-59
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak sekolah
Tidak tamat SD/MI
Tamat SD/MI
Tamat SMP/MTS
Tamat SMA/MA
Tamat D1-D3/PT
Pekerjaan
Tidak bekerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani/Nelayan/Buruh
Lainnya
Tempat Tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah
Menengah Bawah
Menengah
Menengah Atas
Teratas
D
D/G
Period
prevalence
Pneumonia
(persen)
D
D/G
22,0
25,8
15,4
10,4
11,1
11,8
12,8
13,5
15,2
15,3
35,2
41,9
27,8
20,7
20,8
21,8
23,4
24,6
27,3
27,3
0,2
0,2
0,1
0,1
0,2
0,2
0,2
0,3
0,4
0,5
ISPA
(persen)
Period
prevalence
Pneumonia
Balita (per mil)
D
D/G
1,4
2,0
1,5
1,6
1,6
1,8
2,1
2,5
3,1
3,2
2,2
2,6
2,6
2,0
2,4
13,6
21,7
21,0
18,2
17,9
2,5
2,3
19,0
18,0
Prevalensi
Pneumonia
(persen)
D
D/G
1,2
1,6
1,3
1,3
1,4
1,5
1,9
2,3
2,9
2,6
2,9
4,3
3,7
4,1
4,2
4,5
5,4
6,2
7,7
7,8
1,7
1,4
4,8
4,3
13,7
13,8
25,1
24,9
0,2
0,2
1,9
1,7
16,3
14,4
12,7
11,3
10,3
9,5
29,7
27,1
23,5
21,5
19,4
16,4
0,2
0,2
0,2
0,2
0,2
0,2
2,6
2,1
2,0
1,7
1,3
0,9
1,9
1,6
1,6
1,4
1,5
1,6
6,2
5,0
4,9
4,3
3,8
3,1
12,1
10,8
11,0
12,6
11,8
22,5
19,4
20,7
24,4
22,7
0,2
0,2
0,2
0,2
0,2
1,8
1,2
1,6
2,4
1,9
1,6
1,6
1,5
1,7
1,7
4,5
3,7
4,1
5,8
4,9
13,2
14,4
24,1
26,0
0,2
0,2
1,6
2,0
2,3
2,5
15,0
22,0
1,6
1,6
4,2
4,9
14,6
14,7
14,4
13,5
12,1
29,1
26,8
25,8
24,0
20,8
0,2
0,2
0,2
0,2
0,2
2,8
2,2
1,7
1,5
1,2
2,4
3,1
2,7
1,9
2,0
27,4
22,5
17,5
16,0
12,4
1,6
1,7
1,6
1,6
1,5
6,3
5,1
4,4
4,0
3,4
68
3.4.1.3. Tuberkulosis paru (TB paru)
Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Gejala utama adalah batuk selama 2 minggu atau lebih, batuk
disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak, dahak bercampur darah, sesak nafas, badan lemas,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan
fisik, demam lebih dari 1 bulan.
Penyakit TB paru ditanyakan pada responden untuk kurun waktu ≤1 tahun berdasarkan diagnosis
yang ditegakkan oleh tenaga kesehatan melalui pemeriksaan dahak, foto toraks atau keduanya.
Tabel 3.4.3
Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru menurut provinsi, Indonesia 2013
Gejala TB paru
Provinsi
Diagnosis TB
Batuk ≥ 2 mgg
Batuk darah
Aceh
4,2
3,5
0,3
Sumatera Utara
3,8
2,7
0,2
Sumatera Barat
0,2
3,2
3,0
Riau
1,8
2,5
0,1
Jambi
2,7
2,7
0,2
Sumatera Selatan
0,2
3,2
2,8
Bengkulu
3,2
1,8
0,2
Lampung
2,5
2,2
0,1
Bangka Belitung
0,3
3,8
2,2
Kepulauan Riau
2,3
2,5
0,2
DKI Jakarta
4,2
1,9
0,6
Jawa Barat
0,7
3,3
2,8
Jawa Tengah
3,8
3,0
0,4
DI Yogyakarta
4,9
0,9
0,3
Jawa Timur
0,2
5,0
2,4
Banten
2,7
3,2
0,4
Bali
4,0
2,5
0,1
Nusa Tenggara Barat
0,3
4,4
3,8
Nusa Tenggara Timur
8,8
4,0
0,3
Kalimantan Barat
2,8
3,0
0,2
Kalimantan Tengah
0,3
3,2
2,8
Kalimantan Selatan
4,4
3,1
0,3
Kalimantan Timur
2,5
1,6
0,2
Sulawesi Utara
0,3
4,1
3,7
Sulawesi Tengah
4,9
3,7
0,2
Sulawesi Selatan
0,3
6,6
3,3
Sulawesi Tenggara
0,2
4,3
4,4
Gorontalo
4,6
4,8
0,5
Sulawesi Barat
0,3
4,6
3,1
Maluku
0,3
3,4
3,8
Maluku Utara
4,7
4,3
0,2
Papua Barat
0,4
3,5
2,7
Papua
0,6
5,1
4,5
Indonesia
0,4
3,9
2,8
Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013
adalah 0.4 persen, tidak berbeda dengan 2007 (Gambar 3.4.4). Lima provinsi dengan TB paru
tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten
(0.4%) dan Papua Barat (0.4%).
69
Tabel 3.4.4
Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru menurut karakteristik,
Indonesia 2013
Gejala TB paru
Karakteristk
Diagnosis TB paru
Batuk ≥ 2
Batuk
minggu
darah
Kelompok umur (tahun)
<1
0,2
1-4
0,4
5-14
0,3
3,6
1,3
15-24
0,3
3,3
1,5
25-34
0,3
3,4
2,2
35-44
0,3
3,7
3,0
45-54
0,5
4,5
2,9
55-64
0,6
5,6
3,4
65-74
0,8
6,6
3,4
≥75
0,7
7,0
3,7
Jenis Kelamin
Laki-laki
0,4
4,2
3,1
Perempuan
0,3
3,7
2,6
Pendidikan
Tidak sekolah
0,5
5,6
3,6
Tidak tamat SD/MI
0,4
4,5
3,0
Tamat SD/MI
0,4
4,1
3,7
Tamat SMP/MTS
0,3
3,5
2,7
Tamat SMA/MA
0,3
3,2
2,3
Tamat D1-D3/PT
0,2
2,9
2,6
Pekerjaan
Tidak bekerja
11,7
1,6
2,7
Pegawai
10,5
1,5
2,3
Wiraswasta
9,5
1,5
3,2
Petani/nelayan/buruh
8,6
1,7
4,4
Lainnya
8,1
1,6
3,9
Tempat Tinggal
Perkotaan
0,4
3,6
2,3
Perdesaan
0,3
4,3
3,3
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah
0,4
5,3
4,3
Menengah Bawah
0,4
4,4
3,1
Menengah
0,4
3,8
2,7
Menengah Atas
0,4
3,6
2,2
Teratas
0,2
3,0
1,9
Proporsi penduduk dengan gejala TB paru batuk ≥2 minggu sebesar 3,9 persen dan batuk darah
2.8 persen (Tabel 3.4.3). Berdasarkan karakteristik penduduk, prevalensi TB paru cenderung
meningkat dengan bertambahnya umur, pada pendidikan rendah, tidak bekerja. Prevalensi TB
paru terendah pada kuintil teratas.(Tabel 3.4.4).
Dari seluruh penduduk yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan, hanya 44.4% diobati
dengan obat program. Lima provinsi terbanyak yang mengobati TB dengan obat program adalah
DKI Jakarta (68.9%). DI Yogyakarta (67,3%), Jawa Barat (56,2%), Sulawesi Barat (54,2%) dan
Jawa Tengah (50.4%) (Buku Riskesdas 2013 dalam angka).
70
1,5
1,2
0,9
0,6
0,3
0,0
Bali
Riau
Lampung
Jambi
Bengkulu
Sultra
Kep.Riau
Sumsel
Malut
Kalbar
Sumut
Kaltim
Sulteng
Jatim
Sumbar
Kalteng
Maluku
Sulbar
DIY
Sulsel
NTB
Babel
Kalsel
NTT
Aceh
Sulut
Jateng
Indonesia
Pabar
Banten
Gorontalo
DKI
Papua
Jabar
0,4
2007
2013
Gambar 3.4.4
Prevalensi TB paru menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013
3.4.2.Penyakit yang ditularkan melalui Makanan, Air dan lainnya
Penyakit yang ditularkan melalui makanan, air dan lainnya pada Riskesdas 2013 adalah diare dan
hepatitis. Penyakit ini juga diteliti pada Riskesdas 2007. Pada Riskesdas 2013, pertanyaan diare
ditambahkan dalam kurun waktu < 2 minggu, sesuai dengan kebutuhan program.
3.4.2.1. Hepatitis
Hepatitis adalah penyakit infeksi hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis A, B, C, D atau E.
Hepatitis dapat menimbulkan gejala demam, lesu, hilang nafsu makan, mual, nyeri pada perut
kanan atas, disertai urin warna coklat yang kemudian diikuti dengan ikterus (warna kuning pada
kulit dan/sklera mata karena tingginya bilirubin dalam darah). Hepatitis dapat pula terjadi tanpa
menunjukkan gejala (asimptomatis).
Prevalensi hepatitis 2013 adalah 1,2 persen, dua kali lebih tinggi dibandingkan 2007 (Gambar
3.4.5). Lima provinsi dengan prevalensi hepatitis tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (4,3%),
Papua (2,9%), Sulawesi Selatan (2,5%), Sulawesi Tengah (2,3%) dan Maluku (2,3%) (Tabel
3.4.5). Bila dibandingkan dengan Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur masih merupakan
provinsi dengan prevalensi hepatitis tertinggi.
6,0
5,0
4,0
3,0
2,0
1,0
0,0
1,2
Kaltim
Banten
Bali
Jambi
Riau
Sumsel
Lampung
DKI
Kalbar
Babel
Jateng
Kep.Riau
DIY
Bengkulu
Jatim
Pabar
Jabar
Gorontalo
Indonesia
Sulbar
Sumbar
Kalsel
Sumut
Kalteng
Malut
NTB
Aceh
Sulut
Sultra
Maluku
Sulteng
Sulsel
Papua
NTT
0,6
2007
2013
Gambar 3.4.5
Prevalensi Hepatitis menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013
71
Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, kelompok terbawah menempati prevalensi hepatitis
tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Prevalensi semakin meningkat pada penduduk
berusia diatas 15 tahun (Tabel 3.4.6). Jenis hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk
Indonesia adalah hepatitis B (21,8 %) dan hepatitis A (19,3 %) (Tabel 3.4.7).
3.4.2.2. Diare
Diare adalah gangguan buang air besar/BAB ditandai dengan BAB lebih dari 3 kali sehari dengan
konsistensi tinja cair, dapat disertai dengan darah dan atau lendir.
Riskesdas 2013 mengumpulkan informasi insiden diare agar bisa dimanfaatkan program, dan
period prevalens diare agar bisa dibandingkan dengan Riskesdas 2007.
Period prevalen diare pada Riskesdas 2013 (3,5%) lebih kecil dari Riskesdas 2007 (9,0%).
Penurunan period prevalen yang tinggi ini dimungkinkan karena waktu pengambilan sampel yang
tidak sama antara 2007 dan 2013. Pada Riskesdas 2013 sampel diambil dalam rentang waktu
yang lebih singkat. Insiden diare untuk seluruh kelompok umur di Indonesia adalah 3.5 persen.
20,0
15,0
9,0
10,0
5,0
3,5
Babel
Kep.Riau
Lampung
Kalbar
Sumsel
Bali
Kalteng
Banten
Jambi
Malut
Kaltim
Pabar
Kalsel
Maluku
Bengkulu
Riau
Jateng
Sumut
DIY
Sumbar
Gorontalo
Indonesia
Jabar
Jatim
Sulut
Sultra
Aceh
DKI
NTB
Sulteng
Sulsel
Sulbar
NTT
Papua
0,0
2007
2013
Gambar 3.4.6
Period prevalence diare menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013
72
Tabel 3.4.5
Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut provinsi,
Indonesia 2013
Prevalensi
Insiden Diare
Period
Insiden Diare
Hepatitis
balita
prevalence Diare
Provinsi
D
D/G
D
D/G
D
D/G
D
D/G
Aceh
0,3
1,8
4,1
5,0
9,0
10,2
7,4
9,3
Sumatera Utara
0,2
1,4
2,1
3,3
4,9
6,7
4,3
6,7
Sumatera Barat
0,2
1,2
2,3
3,1
5,6
7,1
4,8
6,6
Riau
0,1
0,7
1,6
2,3
4,1
5,2
3,5
5,4
Jambi
0,2
0,7
1,4
1,9
3,5
4,1
3,5
4,8
Sumatera Selatan
0,2
0,7
1,3
2,0
3,9
4,8
2,9
4,5
Bengkulu
0,1
0,9
1,6
2,0
5,3
6,3
3,8
5,2
Lampung
0,4
0,8
1,3
1,6
3,5
3,9
2,9
3,7
Bangka Belitung
0,1
0,8
1,2
1,9
3,5
3,9
2,1
3,4
Kepulauan Riau
0,2
0,9
1,1
1,7
3,0
3,7
2,3
3,5
DKI Jakarta
0,3
0,8
2,5
4,3
6,7
8,9
5,0
8,6
Jawa Barat
0,4
1,0
2,5
3,9
6,1
7,9
4,9
7,5
Jawa Tengah
0,2
0,8
2,3
3,3
5,4
6,5
4,7
6,7
DI Yogyakarta
0,3
0,9
1,7
3,1
3,9
5,0
3,8
6,6
Jawa Timur
0,3
1,0
2,3
3,8
5,1
6,6
4,7
7,4
Banten
0,2
0,7
2,4
3,5
6,3
8,0
4,3
6,4
Bali
0,2
0,7
1,9
2,8
4,0
5,0
3,6
5,5
Nusa Tenggara Barat
0,3
1,8
2,6
4,1
5,3
6,6
5,3
8,5
Nusa Tenggara Timur
0,3
4,3
2,6
4,3
4,6
6,7
6,3
10,9
Kalimantan Barat
0,2
0,8
1,3
1,9
3,5
4,4
2,8
3,9
Kalimantan Tengah
0,4
1,5
1,8
2,6
4,4
5,5
3,7
5,4
Kalimantan Selatan
0,4
1,4
1,7
3,3
3,9
5,6
3,2
6,3
Kalimantan Timur
0,2
0,6
1,5
2,4
2,6
3,3
3,4
5,3
Sulawesi Utara
0,6
1,9
1,8
3,0
2,9
4,2
4,1
6,6
Sulawesi Tengah
0,5
2,3
2,2
4,4
3,8
6,8
4,5
8,8
Sulawesi Selatan
0,3
2,5
2,8
5,2
5,3
8,1
5,6
10,2
Sulawesi Tenggara
0,2
2,1
2,0
3,4
3,9
5,9
4,1
7,3
Gorontalo
0,4
1,1
2,1
3,6
4,5
5,9
4,3
7,1
Sulawesi Barat
0,1
1,2
2,5
4,7
4,5
7,2
5,3
10,1
Maluku
0,2
2,3
1,8
2,9
4,6
6,6
3,7
6,0
Maluku Utara
0,2
1,7
0,9
1,8
2,5
4,6
2,6
4,7
Papua Barat
0,1
1,0
1,7
2,2
5,1
5,6
3,9
5,2
Papua
0,4
2,9
4,1
6,3
6,8
9,6
8,7
14,7
Indonesia
0,3
1,2
2,2
3,5
5,2
6,7
4,5
7,0
73
Tabel 3.4.6
Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut
karakteristik, Indonesia 2013
Period
Prevalensi
Insiden diare
Insiden Diare
prevalence
Hepatitis
balita
Karakteristik
Diare
D
D/G
D
D/G
D
D/G
Kelompok umur (tahun)
<1
0,1
0,5
5,5
7,0
8,6
11,2
1-4
0,1
0,8
5,1
6,7
9,2
12,2
5-14
0,2
1,0
2,0
3,0
4,1
6,2
15-24
0,3
1,1
1,7
3,2
3,5
6,3
25-34
0,3
1,3
1,9
3,1
3,8
6,4
35-44
0,3
1,3
1,9
3,2
4,2
6,7
45-54
0,4
1,4
2,2
3,6
4,5
7,3
55-64
0,3
1,3
1,9
3,2
4,3
6,8
65-74
0,3
1,4
2,3
3,4
4,7
7,0
≥75
0,2
1,3
2,7
3,7
5,1
7,4
Kelompok umur balita (bulan)
0-11
5,5
7,0
12-23
7,6
9,7
24-35
5,8
7,4
36-47
4,3
5,6
48-59
3,0
4,2
Jenis Kelamin
Laki-laki
0,3
1,3
2,2
3,4
5,5
7,1
4,5
7,0
Perempuan
0,2
1,1
2,3
3,6
4,9
6,3
4,5
7,1
Pendidikan
Tidak sekolah
0,3
1,5
2,5
3,8
5,2
8,0
Tidak tamat SD/MI
0,3
1,3
2,1
3,3
4,4
6,9
Tamat SD/MI
0,3
1,3
2,1
3,3
4,3
6,8
Tamat SMP/MTS
0,3
1,1
1,7
3,0
3,7
6,3
Tamat SMA/MA
0,4
1,1
1,6
2,8
3,5
5,8
Tamat D1-D3/PT
0,3
0,9
1,4
2,5
3,2
5,3
Pekerjaan
Tidak bekerja
0,3
1,1
2,0
3,2
4,0
6,5
Pegawai
0,4
1,0
1,6
2,7
3,6
5,7
Wiraswasta
0,3
1,2
1,9
3,1
3,8
6,3
Petani/Nelayan/Buruh
0,3
1,6
2,0
3,3
4,4
7,1
Lainnya
0,3
1,4
1,9
3,3
4,3
7,1
Tempat Tinggal
Perkotaan
0,3
0,9
2,1
3,5
5,0
6,6
4,3
6,8
Perdesaan
0,3
1,4
2,3
3,5
5,3
6,9
4,8
7,3
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah
0,3
2,0
2,9
4,5
6,2
8,6
5,7
9,3
Menengah Bawah
0,3
1,4
2,4
3,6
5,4
6,9
4,8
7,3
Menengah
0,3
1,0
2,2
3,5
5,4
7,2
4,5
6,9
Menengah Atas
0,3
0,9
2,1
3,3
4,9
6,2
4,3
6,7
Teratas
0,3
0,9
1,8
2,8
4,3
5,3
3,7
5,7
74
Tabel 3.4.7
Proporsi penderita hepatitis A, B, C, dan hepatitis lain menurut provinsi, Indonesia 2013
Jenis Hepatitis yang Diderita
Provinsi
Hepatitis
Hepatitis
Hepatitis C
Hepatitis Lain
A
B
Aceh
13.4
15.8
0.1
1.3
Sumatera Utara
12.3
12.7
1.5
1.3
Sumatera Barat
22.4
15.2
7.4
0.0
Riau
28.0
26.2
2.4
2.1
Jambi
10.9
9.3
4.6
2.0
Sumatera Selatan
22.4
22.4
0.0
1.6
Bengkulu
8.6
19.2
4.5
0.0
Lampung
37.4
14.8
1.2
0.0
Bangka Belitung
6.5
48.2
0.0
0.0
Kepulauan Riau
53.6
7.1
21.3
0.0
DKI Jakarta
17.1
37.7
5.0
3.3
Jawa Barat
21.1
27.3
1.6
0.9
Jawa Tengah
16.4
21.9
3.1
2.7
DI Yogyakarta
15.1
15.5
0.0
3.7
Jawa Timur
17.5
17.4
2.5
1.1
Banten
28.6
25.5
6.0
5.1
Bali
25.7
20.1
6.4
6.7
Nusa Tenggara Barat
8.4
18.9
1.3
0.0
Nusa Tenggara Timur
27.9
29.7
3.2
1.0
Kalimantan Barat
7.8
30.7
3.1
6.2
Kalimantan Tengah
12.9
25.2
0.0
0.0
Kalimantan Selatan
23.5
15.7
0.9
0.6
Kalimantan Timur
27.1
8.7
5.2
0.0
Sulawesi Utara
14.0
6.8
0.0
2.4
Sulawesi Tengah
15.9
16.3
0.7
3.4
Sulawesi Selatan
17.8
15.1
3.2
5.8
Sulawesi Tenggara
24.5
14.5
0.0
1.6
Gorontalo
4.9
10.1
0.0
0.0
Sulawesi Barat
6.3
39.0
0.0
0.0
Maluku
2.0
47.6
0.0
3.5
Maluku Utara
10.9
19.3
0.0
0.0
Papua Barat
5.2
30.3
0.0
6.2
Papua
8.9
36.5
4.6
2.1
Indonesia
19,3
21,8
2,5
1,8
Lima provinsi dengan insiden dan period prevalen diare tertinggi adalah Papua (6,3% dan 14,7%),
Sulawesi Selatan (5,2% dan 10,2%), Aceh (5,0% dan 9,3%), Sulawesi Barat (4,7% dan 10,1%),
dan Sulawesi Tengah (4,4% dan 8,8%) (tabel 3.4.5).
Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok umur balita adalah kelompok yang paling tinggi
menderita diare. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah kuintil indeks
kepemilikan, maka semakin tinggi proporsi diare pada penduduk. Petani/nelayan/buruh
mempunyai proporsi tertinggi untuk kelompok pekerjaan (7,1%), sedangkan jenis kelamin dan
tempat tinggal menunjukkan proporsi yang tidak jauh berbeda (tabel 3.4.6).
75
Insiden diare balita di Indonesia adalah 6,7 persen. Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi
adalah Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan (8,1%), dan Banten
(8,0%) (tabel 3.4.5). Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan
(7,6%), laki-laki (5,5%), tinggal di daerah pedesaan (5,3%), dan kelompok kuintil indeks
kepemilikan terbawah (6,2%) (tabel 3.4.6).
Tabel 3.4.8
Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut provinsi, Indonesia 2013
Provinsi
Oralit
Zn
Aceh
33,3
22,8
Sumatera Utara
23,6
11,6
Sumatera Barat
38,4
21,5
Riau
36,5
32,3
Jambi
51,4
10,6
Sumatera Selatan
42,2
18,5
Bengkulu
33,0
21,0
Lampung
48,9
31,4
Bangka Belitung
40,5
3,5
Kepulauan Riau
44,5
16,7
DKI Jakarta
23,8
19,0
Jawa Barat
33,6
16,0
Jawa Tengah
23,1
14,6
DI Yogyakarta
26,4
12,6
Jawa Timur
29,6
13,9
Banten
29,1
19,5
Bali
37,4
23,7
Nusa Tenggara Barat
52,3
25,8
Nusa Tenggara Timur
51,5
15,8
Kalimantan Barat
41,7
23,3
Kalimantan Tengah
26,7
11,6
Kalimantan Selatan
24,6
8,9
Kalimantan Timur
43,3
14,7
Sulawesi Utara
37,0
10,6
Sulawesi Tengah
33,3
15,6
Sulawesi Selatan
31,4
12,4
Sulawesi Tenggara
43,0
16,6
Gorontalo
33,4
23,1
Sulawesi Barat
36,1
20,0
Maluku
30,7
18,7
Maluku Utara
37,8
16,2
Papua Barat
52,4
22,7
Papua
59,3
20,8
Indonesia
33,3
16,9
Oralit dan zinc sangat dibutuhkan pada pengelolaan diare balita. Oralit dibutuhkan sebagai
rehidrasi yang penting saat anak banyak kehilangan cairan akibat diare dan kecukupan zinc di
dalam tubuh balita akan membantu proses penyembuhan diare. Pengobatan dengan pemberian
oralit dan zinc terbukti efektif dalam menurunkan tingginya angka kematian akibat diare sampai 40
persen. Pemakaian oralit dalam mengelola diare pada penduduk Indonesia adalah 33,3 persen.
Lima provinsi tertinggi penggunaan oralit adalah Papua (59,3%), Papua Barat (52,4%), Nusa
Tenggara Barat (52,3%), Nusa Tenggara Timur (51,5%), dan Jambi (51,4%). Pengobatan diare
dengan menggunakan zinc pada penduduk Indonesia adalah 16,9 persen. Lima provinsi tertinggi
76
pemakaian zinc pada pengobatan diare adalah Riau (32,3%), Lampung (31,4%), Nusa Tenggara
Barat (25,8%), Bali (23,7%), dan Kalimantan Barat (23,3%).
3.4.3. Penyakit yang ditularkan oleh Vektor (Malaria)
Malaria merupakan penyakit menular yang menjadi perhatian global. Penyakit ini masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat karena sering menimbulkan KLB, berdampak luas
terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta dapat mengakibatkan kematian. Penyakit ini dapat
bersifat akut, laten atau kronis. Kepada responden yang menyatakan “tidak pernah didiagnosis
malaria oleh tenaga kesehatan” ditanyakan apakah pernah menderita panas disertai menggigil
atau panas naik turun secara berkala, dapat disertai sakit kepala, berkeringat, mual, muntah
dalam waktu satu bulan terakhir atau satu tahun terakhir. Ditanyakan pula apakah pernah minum
obat malaria dengan atau tanpa gejala panas. Untuk responden yang menyatakan “pernah
didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan” ditanyakan apakah mendapat pengobatan dengan
obat program kombinasi artemisinin dalam 24 jam pertama menderita panas atau lebih dari 24 jam
pertama menderita panas dan apakah habis diminum dalam waktu 3 hari.
Insiden Malaria pada penduduk Indonesia tahun 2013 adalah 1,9 persen menurun dibanding
tahun 2007 (2,9%), tetapi di Papua Barat mengalami peningkatan tajam jumlah penderita malaria
(gambar 3.4.7). Prevalensi malaria tahun 2013 adalah 6,0 persen. Lima provinsi dengan insiden
dan prevalensi tertinggi adalah Papua (9,8% dan 28,6%), Nusa Tenggara Timur (6,8% dan
23,3%), Papua Barat (6,7% dan 19,4%), Sulawesi Tengah (5,1% dan 12,5%), dan Maluku (3,8%
dan 10,7%) (tabel 3.4.9). Dari 33 provinsi di Indonesia, 15 provinsi mempunyai prevalensi malaria
di atas angka nasional, sebagian besar berada di Indonesia Timur. Provinsi di Jawa-Bali
merupakan daerah dengan prevalensi malaria lebih rendah dibanding provinsi lain, tetapi sebagian
kasus malaria di Jawa-Bali terdeteksi bukan berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan.
30,0
25,0
20,0
15,0
2,9
1,9
10,0
0,0
Riau
Lampung
Kep.Riau
Bali
Kaltim
Sumsel
Jambi
Sumut
Sumbar
Kalbar
DIY
Banten
Kalteng
Jateng
Jabar
Jatim
Gorontalo
Sultra
Indonesia
DKI
Bengkulu
Aceh
Babel
Sulut
Kalsel
Sulbar
NTB
Sulsel
Malut
Maluku
Sulteng
Pabar
NTT
Papua
5,0
2007
2013
Gambar 3.4.7
Insiden Malaria menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013
77
Tabel 3.4.9
Insiden dan prevalensi malaria menurut provinsi, Indonesia 2013
Insiden Malaria
Prevalensi Malaria
Provinsi
D/G
D
D
D/G
Aceh
0,3
2,4
1,6
6,1
Sumatera Utara
0,3
1,4
1,2
5,2
Sumatera Barat
0,3
1,4
1,1
4,3
Riau
0,1
0,6
0,8
2,5
Jambi
0,5
1,3
1,9
4,7
Sumatera Selatan
0,2
1,0
1,3
4,0
Bengkulu
1,5
2,3
5,7
9,3
Lampung
0,2
0,7
1,3
3,4
Bangka Belitung
0,9
2,6
4,4
8,7
Kepulauan Riau
0,1
0,8
1,5
4,2
DKI Jakarta
0,0
2,0
0,3
5,8
Jawa Barat
0,1
1,6
0,5
4,7
Jawa Tengah
0,0
1,5
0,6
5,1
DI Yogyakarta
0,1
1,4
0,5
5,3
Jawa Timur
0,0
1,8
0,5
5,2
Banten
0,0
1,4
0,4
4,3
Bali
0,0
0,8
0,4
2,7
Nusa Tenggara Barat
0,5
3,0
2,5
9,0
Nusa Tenggara Timur
2,6
6,8
10,3
23,3
Kalimantan Barat
0,4
1,4
1,6
4,6
Kalimantan Tengah
0,4
1,5
2,2
6,4
Kalimantan Selatan
0,1
2,8
1,1
7,3
Kalimantan Timur
0,2
0,9
1,4
4,3
Sulawesi Utara
0,7
2,7
3,7
10,0
Sulawesi Tengah
1,3
5,1
4,0
12,5
Sulawesi Selatan
0,2
3,1
1,0
8,1
Sulawesi Tenggara
0,2
1,9
1,2
5,6
Gorontalo
0,2
1,9
1,1
5,6
Sulawesi Barat
0,4
2,8
1,3
7,5
Maluku
1,2
3,8
3,9
10,7
Maluku Utara
1,1
3,2
4,7
11,3
Papua Barat
4,5
6,7
12,2
19,4
Papua
6,1
9,8
17,5
28,6
Indonesia
0,3
1,9
1,4
6,0
Tabel 3.4.10 menunjukkan prevalensi malaria pada anak kurang dari 15 tahun relatif lebih rendah
dibanding pada orang dewasa, tetapi proporsi pengobatan dengan obat malaria program pada
kelompok umur tersebut lebih baik pada anak dibandingkan orang dewasa (Tabel 3.4.12).
Keadaan ini menunjukkan kewaspadaan dan kepedulian penanganan penyakit malaria pada anak
sudah baik.
78
Tabel 3.4.10
Insiden dan prevalen malaria menurut karakteristik, Indonesia 2013
Insiden malaria
Prevalen malaria
Karakteristik
D/G
D
D
D/G
Kelompok umur (tahun)
1,0
<1
0,1
0,6
3,1
1,9
1-4
0,3
1,2
5,6
1,9
5-14
0,3
1,3
5,9
1,9
15-24
0,3
1,3
6,0
2,0
25-34
0,4
1,6
6,3
2,1
35-44
0,3
1,6
6,6
2,0
45-54
0,3
1,5
6,3
1,8
55-64
0,3
1,3
5,8
1,7
65-74
0,2
1,3
5,6
1,6
≥75
0,2
1,0
4,8
Jenis Kelamin
1,9
Laki-laki
0,4
1,6
6,2
1,9
Perempuan
0,3
1,2
5,8
Pendidikan
Tidak sekolah
0,4
2,5
1,7
7,3
Tidak tamat SD/MI
0,4
2,3
1,5
6,7
Tamat SD/MI
0,3
2,2
1,5
6,5
Tamat SMP/MTS
0,3
1,8
1,5
6,0
Tamat SMA/MA
0,3
1,5
1,3
5,2
Tamat D1-D3/PT
0,3
1,0
1,2
4,1
Pekerjaan
0,3
1,9
Tidak bekerja
1,3
5,9
Pegawai
0,2
1,2
1,1
4,7
Wiraswasta
0,2
1,4
1,2
5,2
Petani/nelayan/buruh
0,5
2,5
2,1
7,8
Lainnya
2,1
0,4
1,7
6,5
Tempat Tinggal
1,5
Perkotaan
0,2
1,0
5,0
2,3
Pedesaan
0,5
1,9
7,1
Kuintil Indeks Kepemilikan
3,6
Terbawah
0,8
2,9
10,1
2,3
Menengah bawah
0,4
1,6
6,8
1,7
Menengah
0,2
1,2
5,4
1,5
Menengah atas
0,2
1,0
5,0
Teratas
1,1
0,2
1,0
4,3
Pengobatan malaria harus dilakukan secara efektif. Pemberian jenis obat harus benar, dan cara
meminumnya harus tepat waktu yang sesuai dengan acuan program pengendalian malaria.
Pengobatan efektif adalah pemberian ACT pada 24 jam pertama pasien panas dan obat harus
diminum habis dalam 3 hari. Proporsi pengobatan efektif Indonesia adalah 45,5 persen. Lima
provinsi yang tertinggi dalam mengobati malaria secara efektif adalah Bangka Belitung (59,2%),
Sumatera Utara (55,7%), Bengkulu (53,6%), Kalimantan Tengah (50,5%) dan Papua (50,0%).
Penduduk Indonesia yang yang mengobati sendiri penyakit malaria yang dideritanya adalah 0,6
persen (tabel 3.4.11). Lima provinsi tertinggi yang penduduknya mengobati sendiri penyakit
79
malaria adalah Papua Barat (5,1%), Papua (4,1%), Sulawesi Tengah (2,8%), Nusa Tenggara
Timur (2,7%) dan Maluku Utara (2,3%) (Tabel 3.4.11) .
80
Tabel 3.4.11
Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria
yang mengobati sendiri menurut provinsi, Indonesia 2013
Minum obat
Pengobatan malaria sesuai program
anti malaria
Mendapatkan Minum Pengobatan
dengan/
Mendapatkan
efektif dgn
Provinsi
obat dalam
obat
tanpa
obat ACT
ACT*
24 jam
selama
gejala
khas
program
pertama
3 hari
malaria
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
33,1
20,9
18,9
13,4
21,7
22,4
28,6
13,9
47,9
43,7
14,3
7,9
18,7
11,6
21,1
10,8
23,2
36,4
55,0
17,8
25,5
29,9
39,4
34,9
29,9
29,8
27,8
44,8
26,8
39,6
52,3
42,8
49,6
33,7
44,1
62,9
42,2
60,0
59,4
48,0
62,7
45,1
67,1
37,9
20,1
25,3
50,1
51,6
50,4
44,3
53,7
52,3
52,9
59,7
56,2
48,4
54,2
55,5
48,9
35,8
34,8
46,2
44,0
54,6
49,6
63,4
55,2
52,9
70,4
84,8
69,4
76,4
72,2
76,6
81,9
71,4
86,4
83,6
81,6
78,6
84,8
71,0
65,1
69,0
89,2
70,6
86,8
70,6
81,6
69,7
88,1
85,2
72,4
74,1
67,1
75,3
72,2
78,1
80,5
78,0
83,6
81,1
33,3
55,7
30,2
48,8
46,1
41,5
53,6
36,5
59,2
33,6
20,1
24,0
45,2
40,3
34,1
32,4
49,1
36,1
48,3
44,9
50,5
31,2
48,4
47,2
40,4
27,9
20,4
32,2
34,5
44,6
42,0
49,6
50,0
45,5
0,7
0,8
0,7
0,2
0,4
0,6
1,1
0,4
0,9
0,7
0,5
0,4
0,3
0,4
0,4
0,2
0,3
0,8
2,7
0,7
0,6
0,9
0,4
1,7
2,8
0,8
0,6
1,0
0,8
1,9
2,3
5,1
4,1
0,6
*Pengobatan efektif ( pengobatan malaria sesuai program) adalah pemberian ACT pada 24 jam pertama pasien panas
dan obat diminum habis dalam 3 hari.
81
Tabel 3.4.12
Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria
yang mengobati sendiri menurut karakteristik, Indonesia 2013
Kewaspadaan dan kepedulian penanganan penyakit malaria
Mendapatkan obat
Karakteristik
Minum obat
Mendapatkan obat ACT program
dalam 24 jam
selama 3 hari
pertama
Kelompok umur (tahun)
<1
21,3
56,7
92,1
1-4
32,6
56,0
84,3
5-14
35,3
55,3
82,7
15-24
34,1
51,4
78,2
25-34
36,2
52,1
80,1
35-44
34,6
49,9
80,4
45-54
31,1
53,0
83,0
55-64
31,6
54,4
80,6
65-74
22,0
54,4
83,8
≥75
24,1
65,3
81,3
Jenis Kelamin
Laki-laki
33,9
51,8
81,0
Perempuan
33,4
54,3
81,3
Pendidikan
Tidak sekolah
32,1
61,3
83,8
Tidak tamat SD/MI
36,0
53,2
82,3
Tamat SD/MI
31,7
49,5
80,7
Tamat SMP/MTS
33,1
50,0
77,7
Tamat SMA/MA
35,7
53,5
81,2
Tamat D1-D3/PT
35,2
55,2
78,2
Pekerjaan
Tidak bekerja
32,2
53,2
79,1
Pegawai
34,0
51,4
78,8
Wiraswasta
31,0
53,5
79,4
Petani/Nelayan/Buruh
35,5
50,3
82,2
Lainnya
34,8
58,1
81,5
Tempat Tinggal
Perkotaan
29,4
53,2
80,8
Pedesaan
35,9
52,8
81,2
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah
39,8
53,7
82,1
Menengah Bawah
34,3
51,4
81,1
Menengah
29,7
49,7
80,5
Menengah Atas
30,7
52,7
77,5
Teratas
28,3
57,6
83,7
82
3.5. Penyakit Tidak Menular
Laurentia K. Mihardja, Delima, Farida Soetiarto, Suhardi dan Antonius Yudi Kristanto
Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang.
PTM mempunyai durasi yang panjang dan umumnya berkembang lambat. Empat jenis PTM
utama menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner, stroke), kanker,
penyakit pernafasan kronis (asma dan penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes.
Data penyakit tidak menular didapat melalui pertanyaan/wawancara responden tentang penyakit
tidak menular yang terdiri dari: (1) asma, (2) penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), (3) kanker, (4)
diabetes melitus (DM), (5) hipertiroid. (6) hipertensi, (7) jantung koroner, (8) gagal jantung, (9)
stroke, (10) gagal ginjal kronis (GGK), (11) batu ginjal, (12) penyakit sendi/rematik. Jenis
pertanyaan meliputi: PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan atau berdasarkan keluhan/gejala
tertentu dan onset PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan atau keluhan/gejala yang dialami
responden.
Besar sampel yang digunakan dalam analisis Penyakit Tidak Menular (PTM) dapat dilihat pada
gambar 3.5.1
Total sampel Riskesdas : 1.027.763
(L: 505.409 & P: 522.354)
Asma, Kanker
(SU= 1.027.763)
(L: 505.409 &
P: 522.354)
PPOK
(≥30 tahun= 508.330)
(L: 242.256 &
P: 266.074)
Kanker cervix
(P= 522.354)
DM, Hipertiroid,
Hipertensi (W),
PJK, Gagal Jantung,
Stroke,
GGK, Batu Ginjal,
Sendi
(≥15 tahun= 722.329)
(L: 347.823 &
P: 374.506)
Hipertensi ≥18 tahun
(W = 665.920
U = 661.367)
L: 319.121 (W),
316.617 (U)
P: 346.799 (W),
344.750(U)
Kanker prostat
(L= 505.409)
Kanker selain cervix & prostat
(semua umur= 1.027.763)
(L: 505.409 & P: 522.354)
Catatan: SU = semua umur
W = wawancara
U = ukur
L = laki-laki
P = perempuan
Gambar 3.5.1
Besar sampel yang digunakan untuk analisis penyakit tidak menular (PTM)
Prevalensi penyakit adalah gabungan kasus penyakit yang
pernah didiagnosis tenaga
medis/kesehatan dan kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM. Pada kanker hipertiroid, gagal
ginjal kronis dan batu ginjal hanya berdasarkan yang terdiagnosis dokter. Data penyakit
83
asma/mengi/bengek dan kanker diambil dari responden semua umur, untuk penyakit paru
obstruksi kronis umur >30 tahun, untuk penyakit kencing manis/diabetes melitus, hipertiroid,
hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal,
penyakit sendi/rematik/encok dan stroke ditanya pada umur ≥15 tahun. Riwayat penyakit
ditanyakan mengenai umur mulai serangan atau tahun pertama didiagnosis, sedangkan
pertanyaan gejala ditanyakan mengenai pernah atau dalam kurun waktu 1 bulan mengalami
gejala. Hipertensi dinilai melalui 2 cara yaitu wawancara dan pengukuran. Untuk hipertensi
wawancara, ditanyakan mengenai riwayat didiagnosis oleh nakes, dan kondisi sedang minum
obat anti-hipertensi saat diwawancara. Untuk hipertensi berdasarkan hasil pengukuran, dilakukan
pengukuran tekanan darah/tensi menggunakan alat pengukur/tensimeter digital. Setiap responden
diukur tensinya minimal 2 kali. Jika hasil pengukuran kedua berbeda ≥10 mmHg dibanding
pengukuran pertama, maka dilakukan pengukuran ketiga. Dua data pengukuran dengan selisih
terkecil dengan pengukuran terakhir dihitung reratanya sebagai hasil ukur tensi. Walaupun ditanya
dan diukur pada umur > 15 tahun prevalensi yang ditampilkan dalam tabel adalah pada umur > 18
tahun sesuai kriteria JNC VII, 2003.
Terdapat beberapa perbedaan pertanyaan dalam kuesioner Riskesdas (RKD) 2013 dibandingkan
RKD 2007. Untuk kasus asma pada RKD 2007 ditanyakan apakah pernah didiagnosis asma oleh
tenaga kesehatan, kemudian untuk yang menjawab tidak, dilanjutkan dengan pertanyaan apakah
ada mengalami gejala asma seperti sesak dengan disertai mengi, dada rasa tertekan di pagi hari
atau waktu lainnya. Pada RKD 2013 pertanyaan asma berdasarkan pertanyaan yang lebih
komplit, seperti sesak yang timbul bila terpapar udara dingin/rokok/debu/ infeksi/kelelahan/alergi
obat/makanan, ada gejala mengi/sesak lebih berat malam hari atau menjelang pagi/ gejala hilang
dengan atau tanpa pengobatan. PPOK hanya ada pada RKD 2013. Pertanyaan PPOK
berdasarkan gejala meliputi sesak, batuk berdahak, dan merokok dengan Indek Brinkman ≥ 200,
sesak bertambah ketika beraktifitas dan bertambah dengan meningkatnya usia. Pertanyaan
kanker pada RKD 2007, apakah pernah didiagnosis tumor/kanker oleh tenaga kesehatan?
Hasilnya dinilai agak bias karena pertanyaan tumor/kanker meliputi tumor jinak dan ganas. RKD
2013 menanyakan apakah pernah didiagnosis kanker oleh dokter. Jadi lebih memfokuskan pada
tumor ganas/kanker. Pertanyaan tentang hipertiroid tidak ada dalam RKD 2007 namun pada RKD
2013 ditanyakan apakah pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter. Prevalensi yang didapat
berdasar pertanyaan tentu akan lebih rendah dari kenyataan sebenarnya karena biasanya
penduduk berobat ke tenaga medis setelah ada gejala dimana penyakit sebenarnya sudah
berlanjut. Tekanan darah pada waktu RKD 2007 diukur dengan tensimeter digital merek Omron
tipe IA2 dan pengukuran dilakukan pada lengan kanan sesuai pedoman. RKD 2013
mengggunakan tensimeter digital merek Omron tipe IA1 karena tipe IA2 diskontinu dan sesuai
pedoman, diukur pada lengan kiri. Pada RKD 2007 pertanyaan penyakit jantung digabung
(kongenital/ jantung koroner/ gagal jantung/ jantung reumatik, dll) yaitu apakah pernah didiagnosis
penyakit jantung oleh tenaga kesehatan. Pada RKD 2013 pertanyaan berupa apakah pernah
didiagnosis menderita penyakit jantung koroner oleh dokter? Bagi yang belum terdiagnosis
dilanjutkan dengan pertanyaan gejala sesuai kriteria “Rose Quesionnaire”. Untuk penyakit gagal
jantung pertanyaan yang diajukan adalah apakah pernah didiagnosis penyakit gagal jantung oleh
dokter. Bagi yang belum terdiagnosis dilanjutkan dengan pertanyaan gejala terkait gagal jantung.
Pada RKD 2013 juga terdapat pertanyaan apakah pernah didiagnosis penyakit gagal ginjal kronis
dan batu ginjal oleh dokter. Pertanyaan untuk stroke dan rematik sama dengan tahun 2007 yaitu
apakah pernah didiagnosis oleh tenaga kesehatan dan dilanjutkan dengan pertanyaan gejala
terkait penyakit.
Informasi hasil analisis penyakit tidak menular (PTM) meliputi (1) asma (2) PPOK (3) kanker (4)
DM (5) hipertiroid (6) hipertensi (7) jantung koroner (8) gagal jantung (9) stroke (10) gagal ginjal
kronis (11) batu ginjal (12) penyakit sendi/rematik disajikan dalam bentuk tabel. Untuk beberapa
penyakit, ditambahkan bentuk grafik kecenderungan 2007 dan 2013. Tabel menunjukkan
prevalensi nasional dan provinsi, serta karakteristik sosiodemografi. Istilah D dalam tabel berarti
prevalensi penyakit berdasarkan diagnosis dokter atau tenaga kesehatan, D/G berarti prevalensi
84
penyakit berdasarkan diagnosis dokter/ tenaga kesehatan atau berdasarkan gejala yang dialami.
Untuk kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes diberi inisial D, dan gabungan kasus
hipertensi berdasarkan diagnosis nakes dengan kasus hipertensi berdasarkan riwayat sedang
minum obat hipertensi sendiri diberi istilah DO (diagnosis atau minum obat sendiri), hasil
berdasarkan pengukuran diberi inisial U. Kecenderungan prevalensi penyakit dalam RKD 2007
dan 2013 (DM, hipertensi, stroke, dan sendi/rematik) disajikan dalam bentuk grafik.
3.5.1. Asma
Asma merupakan gangguan inflamasi kronis di jalan napas. Dasar penyakit ini adalah
hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas. Gejala asma adalah gangguan pernapasan
(sesak), batuk produktif terutama pada malam hari atau menjelang pagi, dan dada terasa tertekan.
Gejala tersebut memburuk pada malam hari, adanya alergen (seperti debu, asap rokok) atau saat
sedang menderita sakit seperti demam. Gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan.
Didefinisikan sebagai asma jika pernah mengalami gejala sesak napas yang terjadi pada salah
satu atau lebih kondisi: terpapar udara dingin dan/atau debu dan/atau asap rokok dan/atau stres
dan/atau flu atau infeksi dan/atau kelelahan dan/atau alergi obat dan/atau alergi makanan dengan
disertai salah satu atau lebih gejala: mengi dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang
dengan pengobatan dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang tanpa pengobatan
dan/atau sesak napas lebih berat dirasakan pada malam hari atau menjelang pagi dan jika
pertama kali merasakan sesak napas saat berumur <40 tahun (usia serangan terbanyak).
3.5.2. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
PPOK adalah penyakit kronis saluran napas yang ditandai dengan hambatan aliran udara
khususnya udara ekspirasi dan bersifat progresif lambat (semakin lama semakin memburuk),
disebabkan oleh pajanan faktor risiko seperti merokok, polusi udara di dalam maupun di luar
ruangan. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang
dengan pengobatan. Didefinisikan sebagai PPOK jika pernah mengalami sesak napas yang
bertambah ketika beraktifitas dan/atau bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk
berdahak atau pernah mengalami sesak napas disertai batuk berdahak dan nilai Indeks Brinkman
≥200. Indeks Brinkman adalah jumlah batang rokok yang diisap, dihitung sebagai lama merokok
(dalam tahun) dikalikan dengan jumlah rokok yang diisap per hari. Hasil yang didapat melalui
kuesioner akan lebih rendah dibanding pemeriksaan spirometri karena PPOK baru ada keluhan
bila fungsi paru sudah menurun banyak.
3.5.3. Kanker
Kanker atau tumor ganas adalah pertumbuhan sel/jaringan yang tidak terkendali, terus
bertumbuh/bertambah, immortal (tidak dapat mati). Sel kanker dapat menyusup ke jaringan sekitar
dan dapat membentuk anak sebar. Diagnosis kanker maupun jenis kanker ditegakkan
berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan pernah didiagnosis menderita kanker oleh
dokter.
Tabel 3.5.1 mencakup informasi prevalensi asma, PPOK, dan kanker di Indonesia masing-masing
4,5 persen, 3,7 persen, dan 1,4 per mil. Prevalensi asma tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah
(7,8%), diikuti Nusa Tenggara Timur (7,3%), DI Yogyakarta (6,9%), dan Sulawesi Selatan (6,7%).
Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah
(8,0%), Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan masing-masing 6,7 persen. Prevalensi kanker
tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (4,1‰), diikuti Jawa Tengah (2,1‰), Bali (2‰), Bengkulu, dan
DKI Jakarta masing-masing 1,9 per mil.
85
Tabel 3.5.1
Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut provinsi, Indonesia 2013
Provinsi
Asma*
PPOK**
Kanker (‰)***
Aceh
4,0
4,3
1,4
Sumatera Utara
2,4
3,6
1,0
Sumatera Barat
2,7
3,0
1,7
Riau
2,0
2,1
0,7
Jambi
2,4
2,1
1,5
Sumatera Selatan
2,5
2,8
0,7
Bengkulu
2,0
2,3
1,9
Lampung
1,6
1,4
0,7
Bangka Belitung
4,3
3,6
1,3
Kepulauan Riau
3,7
2,1
1,6
DKI Jakarta
5,2
2,7
1,9
Jawa Barat
5,0
4.0
1,0
Jawa Tengah
4,3
3,4
2,1
DI Yogyakarta
6,9
3,1
4,1
Jawa Timur
5,1
3,6
1,6
Banten
3,8
2,7
1,0
Bali
6,2
3,5
2,0
Nusa Tenggara Barat
5,1
5,4
0,6
Nusa Tenggara Timur
7,3
10,0
1,0
Kalimantan Barat
3,2
3,5
0,8
Kalimantan Tengah
5,7
4,3
0,7
Kalimantan Selatan
6,4
5.0
1,6
Kalimantan Timur
4,1
2,8
1,7
Sulawesi Utara
4,7
4,0
1,7
Sulawesi Tengah
7,8
8.0
0,9
Sulawesi Selatan
6,7
6,7
1,7
Sulawesi Tenggara
5,3
4,9
1,1
Gorontalo
5,4
5,2
0,2
Sulawesi Barat
5,8
6,7
1,1
Maluku
5,3
4,3
1,0
Maluku Utara
5,0
5,2
1,2
Papua Barat
3,6
2,5
0,6
Papua
5,8
5,4
1,1
Indonesia
4,5
3,7
1,4
*Wawancara semua umur berdasarkan gejala
**Wawancara umur >30 tahun berdasarkan gejala
***Wawancara semua umur menurut diagnosis dokter
Dari tabel 3.5.2 menurut karakteristik terlihat prevalensi asma, PPOK, dan kanker meningkat
seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi asma pada kelompok umur ≥45 tahun mulai
menurun. Prevalensi kanker agak tinggi pada bayi (0,3‰) dan meningkat pada umur ≥15 tahun,
dan tertinggi pada umur ≥75 tahun (5‰). Prevalensi asma dan kanker pada perempuan
cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki, PPOK lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan.
Prevalensi asma terlihat sama antara perkotaan dan perdesaan, PPOK lebih tinggi di perdesaan
dibanding perkotaan. Prevalensi kanker di kota cenderung lebih tinggi dari pada di desa.
Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan kuintil
indeks kepemilikan terbawah. Asma cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan kuintil indeks
kepemilikan terbawah. Pada penyakit kanker, prevalensi cenderung lebih tinggi pada pendidikan
tinggi dan pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan teratas.
86
Tabel 3.5.2
Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik, Indonesia 2013
Kanker (‰)***
Karakteristik
Asma*
PPOK**
Kelompok umur (tahun)
<1
1,5
0,3
1- 4
3,8
0,1
5-14
3,9
0,1
15-24
5,6
0,6
25-34
5,7
1,6
0,9
35-44
5,6
2,4
2,1
45-54
3,4
3,9
3,5
55-64
2,8
5,6
3,2
65-74
2,9
8,6
3,9
75+
2,6
9,4
5,0
Jenis Kelamin
Laki-Laki
4,4
4,2
0,6
Perempuan
4,6
3,3
2,2
Pendidikan
Tidak Sekolah
4,2
7,9
1,3
Tidak Tamat SD
4,4
6,0
1,1
Tamat SD
4,9
4,2
1,8
Tamat SMP
5,0
2,3
1,1
Tamat SMA
4,5
1,6
1,8
Tamat D1-D3/PT
3,8
1,1
3,1
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja
4,8
4,3
2,0
Pegawai
4,3
1,4
1,6
Wiraswasta
4,4
2,6
1,7
Petani/Nelayan/Buruh
4,9
4,7
1,2
Lainnya
5,3
3,5
1,1
Tempat Tinggal
Perkotaan
4,5
3,0
1,7
Perdesaan
4,5
4,5
1,1
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah
5,8
7,0
0,8
Menengah bawah
4,7
4,8
1,4
Menengah
4,4
3,6
1,2
Menengah atas
4,3
2,7
1,5
Teratas
3,6
1,8
1,8
*Wawancara semua umur berdasarkan gejala
**Wawancara umur >30 tahun berdasarkan gejala
***Wawancara semua umur menurut diagnosis dokter
3.5.4. Diabetes melitus
Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang
timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal.
Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara
absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe I/diabetes juvenile yaitu
diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II yaitu diabetes yang
didapat setelah dewasa.
Gejala diabetes antara lain: rasa haus yang berlebihan (polidipsi), sering kencing (poliuri) terutama
malam hari, sering merasa lapar (poliphagi), berat badan yang turun dengan cepat, keluhan
87
lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, impotensi, luka sulit
sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan kulit, dan pada ibu-ibu sering
melahirkan bayi besar dengan berat badan >4 kg. Didefinisikan sebagai DM jika pernah
didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita
kencing manis oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala: sering lapar dan sering
haus dan sering buang air kecil & jumlah banyak dan berat badan turun.
3.5.5. Penyakit hipertiroid
Penyakit hipertiroid adalah suatu keadaan ketika fungsi kelenjar gondok (tiroid) menjadi
berlebihan. Kelebihan fungsi kelenjar tersebut meningkatkan produksi hormon tiroid yang
mempengaruhi metabolisme tubuh. Gejala penyakit hipertiroid antara lain: jantung berdebardebar, berkeringat banyak, penurunan berat badan, cemas, tidak tahan terhadap udara dingin,
dan lain-lain. Didefinisikan sebagai hipertiroid jika pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter.
3.5.6. Hipertensi/Tekanan darah tinggi
Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara
kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu
fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. Didefinisikan
sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi oleh
tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita hipertensi
tetapi saat diwawancara sedang minum obat medis untuk tekanan darah tinggi (minum obat
sendiri). Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus merujuk pada kriteria diagnosis
JNC VII 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah
diastolik ≥90 mmHg. Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk umur ≥18 tahun, maka prevalensi
hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah dihitung hanya pada penduduk umur ≥18
tahun. Mengingat pengukuran tekanan darah dilakukan pada penduduk umur ≥15 tahun maka
temuan kasus hipertensi pada umur 15-17 tahun sesuai kriteria JNC VII 2003 akan dilaporkan
secara garis besar sebagai tambahan informasi.
Dari tabel 3.5.3 terlihat prevalensi diabetes dan hipertiroid di Indonesia berdasarkan wawancara
yang terdiagnosis dokter sebesar 1,5 persen dan 0,4 persen. DM terdiagnosis dokter atau gejala
sebesar 2,1 persen. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI
Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%).
Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah
(3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur 3,3 persen.
Prevalensi hipertiroid tertinggi di DI Yogyakarta dan DKI Jakarta (masing-masing 0,7%), Jawa
Timur (0,6%), dan Jawa Barat (0,5%).
Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar
25,8 persen, tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan
Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%). Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui
kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,4 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan
atau sedang minum obat sebesar 9,5 persen. Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat sendiri.
Responden yang mempunyai tekanan darah normal tetapi sedang minum obat hipertensi sebesar
0.7 persen. Jadi prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5 persen (25,8% + 0,7 %).
88
Tabel 3.5.3
Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥15 tahun dan hipertensi pada umur ≥18 tahun
menurut provinsi, Indonesia 2013
Hipertensi
Provinsi
Diabetes
Hipertiroid
Wawancara
Pengukuran
D
D/G
D
D
D/O
U
Aceh
1,8
2,6
0,3
9,7
9,8
21,5
Sumatera Utara
1,8
2,3
0,3
6,6
6,7
24,7
Sumatera Barat
1,3
1,8
0,3
7,8
7,9
22,6
Riau
1,0
1,2
0,1
6,0
6,1
20,9
Jambi
1,1
1,2
0,2
7,4
7,4
24,6
Sumatera Selatan
0,9
1,3
0,1
7,0
7,0
26,1
Bengkulu
0,9
1,0
0,2
7,8
7,9
21,6
Lampung
0,7
0,8
0,2
7,4
7,4
24,7
Bangka Belitung
2,1
2,5
0,4
9,9
10,0
30,9
Kepulauan Riau
1,3
1,5
0,2
8,8
8,8
22,4
DKI Jakarta
2,5
3,0
0,7
10,0
10,1
20,0
Jawa Barat
1,3
2,0
0,5
10,5
10,6
29,4
Jawa Tengah
1,6
1,9
0,5
9,5
9,5
26,4
DI Yogyakarta
2,6
3,0
0,7
12,8
12,9
25,7
Jawa Timur
2,1
2,5
0,6
10,7
10,8
26,2
Banten
1,3
1,6
0,4
8,6
8,6
23,0
Bali
1,3
1,5
0,4
8,7
8,8
19,9
Nusa Tenggara Barat
0,9
1,3
0,2
6,7
6,8
24,3
Nusa Tenggara Timur
1,2
3,3
0,4
7,2
7,4
23,3
Kalimantan Barat
0,8
1,0
0,1
8,0
8,1
28,3
Kalimantan Tengah
1,2
1,6
0,2
10,6
10,7
26,7
Kalimantan Selatan
1,4
2,0
0,2
13,1
13,3
30,8
Kalimantan Timur
2,3
2,7
0,3
10,3
10,4
29,6
Sulawesi Utara
2,4
3,6
0,5
15,0
15,2
27,1
Sulawesi Tengah
1,6
3,7
0,4
11,6
11,9
28,7
Sulawesi Selatan
1,6
3,4
0,5
10,3
10,5
28,1
Sulawesi Tenggara
1,1
1,9
0,3
7,6
7,8
22,5
Gorontalo
1,5
2,8
0,3
11,1
11,3
29,0
Sulawesi Barat
0,8
2,2
0,3
9,5
9,6
22,5
Maluku
1,0
2,1
0,2
6,6
6,8
24,1
Maluku Utara
1,2
2,2
0,2
6,9
7,0
21,2
Papua Barat
1,0
1,2
0,2
5,0
5,2
20,5
Papua
0,8
2,3
0,2
3,2
3,3
16,8
Indonesia
1,5
2,1
0,4
9,4
9,5
25,8
Dari tabel 3.5.4 terlihat prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dokter dan gejala
meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur ≥65 tahun cenderung menurun.
Prevalensi hipertiroid cenderung meningkat seiring bertambahnya umur dan menetap mulai umur
≥45 tahun. Prevalensi hipertensi berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan pengukuran
terlihat meningkat dengan bertambahnya umur. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi pada
perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi di
perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada perdesaan.
Prevalensi DM cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi dan
dengan kuintil indeks kepemilikan tinggi. Prevalensi hipertensi cenderung lebih tinggi pada
89
kelompok pendidikan lebih rendah dan kelompok tidak bekerja, kemungkinan akibat ketidaktahuan
tentang pola makan yang baik.
Pada analisis hipertensi terbatas pada usia 15-17 tahun menurut JNC VII 2003 didapatkan
prevalensi nasional sebesar 5,3 persen (laki-laki 6,0% dan perempuan 4,7%), perdesaan (5,6%)
lebih tinggi dari perkotaan (5,1%).
Tabel 3.5.4
Prevalensi diabetes, hipertiroid, hipertensi menurut karakteristik, Indonesia 2013
Hipertensi**
Diabetes *
Hipertiroid*
Karakteristik
Wawancara
Pengukuran
D
D/G
D
D
D/O
U
Kelompok umur (tahun)
15-24
0,1
0,6
0,4
1,2
1,2
8,7
25-34
0,3
0,8
0,3
3,4
3,4
14,7
35-44
1,1
1,7
0,4
8,1
8,2
24,8
45-54
3,3
3,9
0,5
14,8
15,0
35,6
55-64
4,8
5,5
0,5
20,5
20,7
45,9
65-74
4,2
4,8
0,5
26,4
26,7
57,6
75+
2,8
3,5
0,5
27,7
27,9
63,8
Jenis Kelamin
Laki-Laki
1,4
2,0
0,2
6,5
6,6
22,8
Perempuan
1,7
2,3
0,6
12,2
12,3
28,8
Pendidikan
Tidak Sekolah
1,8
2,7
0,4
17,4
17,6
42,0
Tidak Tamat SD
1,9
2,8
0,4
13,9
14,1
34,7
Tamat SD
1,6
2,3
0,4
11,3
11,5
29,7
Tamat SMP
1,0
1,5
0,4
6,8
6,9
20,6
Tamat SMA
1,4
1,8
0,4
5,7
5,8
18,6
Tamat D1-D3/PT
2,5
2,8
0,6
7,3
7,5
22,1
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja
1,8
2,4
0,5
12,4
12,5
29,2
Pegawai
1,7
2,1
0,5
6,3
6,4
20,6
Wiraswasta
2,0
2,4
0,4
8,5
8,6
24,7
Petani/Nelayan/Buruh
0,8
1,6
0,3
7,8
7,8
25,0
Lainnya
1,8
2,4
0,4
8,8
8,9
24,1
Tempat Tinggal
Perkotaan
2,0
2,5
0,5
9,9
10,0
26,1
Perdesaan
1,0
1,7
0,4
8,8
8,9
25,5
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah
0,5
1,6
0,3
8,4
8,5
25,5
Menengah bawah
0,9
1,6
0,4
9,6
9,7
27,2
Menengah
1,2
1,8
0,4
9,6
9,7
25,9
Menengah atas
1,9
2,4
0,5
9,6
9,7
25,1
Teratas
2,6
3,0
0,5
9,4
9,5
25,4
*Umur > 15 tahun
**Umur ≥ 18 tahun
3.5.7. Penyakit Jantung
Penyakit jantung pada orang dewasa yang sering ditemui adalah penyakit jantung koroner dan
gagal jantung. Responden biasanya mengetahui penyakit jantung yang diderita sebagai penyakit
jantung saja. Cara membedakannya dengan menanyakan gejala yang dialami responden.
90
3.5.7.1 Penyakit jantung koroner
Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah
karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis, ditandai dengan nyeri dada
atau terasa tidak nyaman di dada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang mendaki/kerja
berat ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan jauh.
Didefinisikan sebagai PJK jika pernah didiagnosis menderita PJK (angina pektoris dan/atau infark
miokard) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita PJK tetapi pernah mengalami
gejala/riwayat: nyeri di dalam dada/rasa tertekan berat/tidak nyaman di dada dan nyeri/tidak
nyaman di dada dirasakan di dada bagian tengah/dada kiri depan/menjalar ke lengan kiri dan
nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan ketika mendaki/naik tangga/berjalan tergesa-gesa dan
nyeri/tidak nyaman di dada hilang ketika menghentikan aktifitas/istirahat.
3.5.7.2 Penyakit gagal jantung
Gagal Jantung/Payah Jantung (fungsi jantung lemah) adalah ketidakmampuan jantung memompa
darah yang cukup ke seluruh tubuh yang ditandai dengan sesak nafas pada saat beraktifitas
dan/atau saat tidur terlentang tanpa bantal, dan/atau tungkai bawah membengkak. Didefinisikan
sebagai penyakit gagal jantung jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung
(decompensatio cordis) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit gagal
jantung tetapi mengalami gejala/riwayat: sesak napas pada saat aktifitas dan sesak napas saat
tidur terlentang tanpa bantal dan kapasitas aktivitas fisik menurun/mudah lelah dan tungkai bawah
bengkak.
3.5.8. Stroke
Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal dan/atau global,
munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi syaraf pada stroke disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut menimbulkan gejala
antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo),
mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai stroke
jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan)
atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh nakes tetapi pernah mengalami
secara mendadak keluhan kelumpuhan pada satu sisi tubuh atau kelumpuhan pada satu sisi
tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh atau mulut menjadi mencong tanpa
kelumpuhan otot mata atau bicara pelo atau sulit bicara/komunikasi dan atau tidak mengerti
pembicaraan.
Tabel 3.5.5 menunjukkan prevalensi jantung koroner berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter
di Indonesia sebesar 0,5 persen, dan berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5
persen. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Sulawesi Tengah
(0,8%) diikuti Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Aceh masing-masing 0,7 persen. Sementara
prevalensi jantung koroner menurut diagnosis atau gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur
(4,4%), diikuti Sulawesi Tengah (3,8%), Sulawesi Selatan (2,9%), dan Sulawesi Barat (2,6%).
Prevalensi gagal jantung berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,13
persen, dan yang terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi gagal jantung
berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi DI Yogyakarta (0,25%), disusul Jawa Timur (0,19%), dan
Jawa Tengah (0,18%). Prevalensi gagal jantung berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi di
Nusa Tenggara Timur (0,8%), diikuti Sulawesi Tengah (0,7%), sementara Sulawesi Selatan dan
Papua sebesar 0,5 persen.
Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per mil dan
yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil. Prevalensi Stroke
berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi Utara (10,8‰), diikuti DI Yogyakarta (10,3‰),
Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan
91
terdiagnosis nakes dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9‰), DI Yogyakarta
(16,9‰), Sulawesi Tengah (16,6‰), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil.
Tabel 3.5.5
Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥15 tahun menurut
provinsi, Indonesia 2013
Jantung Koroner
Gagal jantung
Stroke (‰)
Provinsi
D
D/G
D
D/G
D
D/G
Aceh
0,7
2,3
0,10
0,3
6,6
10,5
Sumatera Utara
0,5
1,1
0,13
0,3
6,0
10,3
Sumatera Barat
0,6
1,2
0,13
0,3
7,4
12,2
Riau
0,2
0,3
0,12
0,2
4,2
5,2
Jambi
0,2
0,5
0,04
0,1
3,6
5,3
Sumatera Selatan
0,4
0,7
0,07
0,2
5,2
7,8
Bengkulu
0,3
0,6
0,10
0,1
7,0
9,4
Lampung
0,2
0,4
0,08
0,1
3,7
5,4
Bangka Belitung
0,6
1,2
0,05
0,1
9,7
14,6
Kepulauan Riau
0,4
1,1
0,17
0,3
7,6
8,5
DKI Jakarta
0,7
1,6
0,15
0,3
9,7
14,6
Jawa Barat
0,5
1,6
0,14
0,3
6,6
12,0
Jawa Tengah
0,5
1,4
0,18
0,3
7,7
12,3
DI Yogyakarta
0,6
1,3
0,25
0,4
10,3
16,9
Jawa Timur
0,5
1,3
0,19
0,3
9,1
16,0
Banten
0,5
1,0
0,09
0,2
5,1
9,6
Bali
0,4
1,3
0,13
0,3
5,3
8,9
Nusa Tenggara Barat
0,2
2,1
0,04
0,2
4,5
9,6
Nusa Tenggara Timur
0,3
4,4
0,10
0,8
4,2
12,1
Kalimantan Barat
0,3
0,9
0,08
0,2
5,8
8,2
Kalimantan Tengah
0,3
1,7
0,07
0,2
6,2
12,1
Kalimantan Selatan
0,5
2,2
0,06
0,3
9,2
14,5
Kalimantan Timur
0,5
1,0
0,08
0,1
7,7
10,0
Sulawesi Utara
0,7
1,7
0,14
0,4
10,8
14,9
Sulawesi Tengah
0,8
3,8
0,12
0,7
7,4
16,6
Sulawesi Selatan
0,6
2,9
0,07
0,5
7,1
17,9
Sulawesi Tenggara
0,4
1,7
0,04
0,2
4,8
8,8
Gorontalo
0,4
1,8
0,06
0,2
8,3
12,3
Sulawesi Barat
0,3
2,6
0,07
0,3
5,9
15,5
Maluku
0,5
1,7
0,09
0,4
4,2
8,7
Maluku Utara
0,2
1,7
0,02
0,2
4,6
10,7
Papua Barat
0,3
1,2
0,08
0,2
4,2
5,8
Papua
0,2
1,3
0,07
0,5
2,3
9,4
Indonesia
0,5
1,5
0,13
0,3
7,0
12,1
Tabel 3.5.6 menunjukkan prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan wawancara yang
didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter atau gejala meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 65 -74 tahun yaitu 2,0 persen dan 3,6 persen,
menurun sedikit pada kelompok umur ≥ 75 tahun. Prevalensi PJK yang didiagnosis dokter maupun
berdasarkan diagnosis dokter atau gejala lebih tinggi pada perempuan (0,5% dan 1,5%).
Prevalensi PJK lebih tinggi pada masyarakat tidak bersekolah dan tidak bekerja. Berdasar PJK
terdiagnosis dokter prevalensi lebih tinggi di perkotaan, namun berdasarkan terdiagnosis dokter
dan gejala lebih tinggi di perdesaan dan pada kuintil indeks kepemilikan terbawah.
92
Tabel 3.5.6
Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥15 tahun menurut
karakteristik, Indonesia 2013
Jantung Koroner
Gagal Jantung
Stroke (‰)
Karakteristik Responden
D
D/G
D
D/G
D
D/G
Kelompok umur (tahun)
15-24
0,1
0,7
0,02
0,1
0,2
2,6
25-34
0,2
0,9
0,05
0,1
0,6
3,9
35-44
0,3
1,3
0,09
0,2
2,5
6,4
45-54
0,7
2,1
0,19
0,4
10,4
16,7
55-64
1,3
2,8
0,38
0,7
24,0
33,0
65-74
2,0
3,6
0,49
0,9
33,2
46,1
75+
1,7
3,2
0,41
1,1
43,1
67,0
Jenis Kelamin
Laki-Laki
0,4
1,3
0,1
0,3
7,1
12,0
Perempuan
0,5
1,6
0,2
0,3
6,8
12,1
Pendidikan
Tidak Sekolah
0,6
2,8
0,2
0,8
16,5
32,8
Tidak Tamat SD
0,6
2,3
0,2
0,5
12,0
21,0
Tamat SD
0,5
1,7
0,2
0,4
7,8
13,2
Tamat SMP
0,3
1,1
0,1
0,2
4,0
7,2
Tamat SMA
0,4
1,0
0,1
0,1
4,0
6,9
Tamat D1 - D3 / PT
0,8
1,1
0,1
0,2
7,6
9,8
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja
0,7
1,6
0,2
0,4
11,4
18,0
Pegawai
0,4
0,9
0,1
0,1
3,9
6,2
Wiraswasta
0,5
1,2
0,1
0,3
4,6
8,6
Petani/Nelayan/Buruh
0,3
1,6
0,1
0,3
3,7
8,8
Lainnya
0,4
1,3
0,1
0,3
5,8
10,0
Tempat Tinggal
Perkotaan
0,6
1,4
0,2
0,3
8,2
12,7
Perdesaan
0,4
1,6
0,1
0,3
5,7
11,4
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah
0,2
2,1
0,1
0,4
5,1
13,1
Menengah bawah
0,4
1,6
0,1
0,3
6,9
12,6
Menengah
0,5
1,4
0,1
0,3
6,9
12,0
Menengah atas
0,6
1,3
0,1
0,2
7,6
11,8
Teratas
0,7
1,2
0,2
0,2
7,7
11,2
Prevalensi penyakit gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada
umur 65 – 74 tahun (0,5%) untuk yang terdiagnosis dokter, menurun sedikit pada umur ≥75 tahun
(0,4%), tetapi untuk yang terdiagnosis dokter atau gejala tertinggi pada umur ≥75 tahun (1,1%).
Untuk yang didiagnosis dokter prevalensi lebih tinggi pada perempuan (0,2%) dibanding laki-laki
(0,1%), berdasar didiagnosis dokter atau gejala prevalensi sama banyaknya antara laki-laki dan
perempuan (0,3%). Prevalensi yang didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter atau gejala
lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah. Prevalensi yang didiagnosis dokter lebih
tinggi di perkotaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan tinggi. Untuk yang terdiagnosis dokter
atau gejala sama banyak antara perkotaan dan perdesaan.
Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis nakes serta yang didiagnosis nakes
atau gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur ≥75 tahun (43,1‰
93
dan 67,0‰). Prevalensi stroke yang terdiagnosis nakes maupun berdasarkan diagnosis atau
gejala sama tinggi pada laki-laki dan perempuan.
Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik yang
didiagnosis nakes (16,5‰) maupun diagnosis nakes atau gejala (32,8‰). Prevalensi stroke di
kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan diagnosis nakes (8,2‰) maupun berdasarkan
diagnosis nakes atau gejala (12,7‰). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja
baik yang didiagnosis nakes (11,4‰) maupun yang didiagnosis nakes atau gejala (18‰).
Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis atau gejala lebih tinggi pada kuintil indeks kepemilikan
terbawah dan menengah bawah masing masing 13,1 dan 12,6 per mil.
3.5.9. Penyakit ginjal
Penyakit ginjal adalah kelainan yang mengenai organ ginjal yang timbul akibat berbagai faktor,
misalnya infeksi, tumor, kelainan bawaan, penyakit metabolik atau degeneratif, dan lain-lain.
Kelainan tersebut dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal dengan tingkat keparahan yang
berbeda-beda. Pasien mungkin merasa nyeri, mengalami gangguan berkemih, dan lain-lain.
Terkadang pasien penyakit ginjal tidak merasakan gejala sama sekali. Pada keadaan terburuk,
pasien dapat terancam nyawanya jika tidak menjalani hemodialisis (cuci darah) berkala atau
transplantasi ginjal untuk menggantikan organ ginjalnya yang telah rusak parah. Di Indonesia,
penyakit ginjal yang cukup sering dijumpai antara lain adalah penyakit gagal ginjal dan batu ginjal.
Didefinisikan sebagai gagal ginjal kronis jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal ginjal
kronis (minimal sakit selama 3 bulan berturut-turut) oleh dokter. Didefinisikan sebagai penyakit
batu ginjal jika pernah didiagnosis mengalami penyakit batu ginjal oleh dokter.
3.5.10. Penyakit Sendi/Rematik/Encok
Penyakit sendi/rematik/encok adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik pada sendi-sendi
tubuh. Gejala klinik penyakit sendi/ rematik berupa gangguan nyeri pada persendian yang disertai
kekakuan, merah, dan pembengkakan yang bukan disebabkan karena benturan/kecelakaan dan
berlangsung kronis. Gangguan terutama muncul pada waktu pagi hari. Didefinisikan sebagai
penyakit sendi/rematik/encok jika pernah didiagnosis menderita penyakit sendi/rematik/encok oleh
tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau ketika bangun tidur pagi hari pernah menderita
salah satu gejala: sakit/nyeri atau merah atau kaku atau bengkak di persendian yang timbul bukan
karena kecelakaan.
Tabel 3.5.7 menunjukkan prevalensi gagal ginjal kronis berdasar diagnosis dokter di Indonesia
sebesar 0,2 persen. Prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah sebesar 0,5 persen, diikuti Aceh,
Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4 persen. Sementara Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur masing–
masing 0,3 persen.
Prevalensi penderita batu ginjal berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,6
persen. Prevalensi tertinggi di DI Yogyakarta (1,2%), diikuti Aceh (0,9%), Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Sulawesi Tengah masing–masing sebesar 0,8 persen.
Prevalensi penyakit sendi berdasar diagnosis nakes di Indonesia 11,9 persen dan berdasar
diagnosis atau gejala 24,7 persen. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Bali
(19,3%), diikuti Aceh (18,3%), Jawa Barat (17,5%) dan Papua (15,4%). Prevalensi penyakit sendi
berdasarkan diagnosis nakes atau gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (33,1%), diikuti Jawa
Barat (32,1%), dan Bali (30%).
94
Tabel 3.5.7
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥15 tahun
menurut provinsi, Indonesia 2013
Gagal Ginjal Kronis
Batu Ginjal
Penyakit Sendi
Provinsi
D
D
D
D/G
Aceh
0,4
0,9
18,3
25,3
Sumatera Utara
0,2
0,3
8,4
19,2
Sumatera Barat
0,2
0,4
12,7
21,8
Riau
0,1
0,2
6,8
10,8
Jambi
0,2
0,4
8,6
14,2
Sumatera Selatan
0,1
0,3
8,4
15,6
Bengkulu
0,2
0,4
10,2
16,5
Lampung
0,3
0,5
11,5
18,9
Bangka Belitung
0,1
0,1
5,8
17,8
Kepulauan Riau
0,1
0,3
5,9
11,6
DKI Jakarta
0,1
0,5
8,9
21,8
Jawa Barat
0,3
0,8
17,5
32,1
Jawa Tengah
0,3
0,8
11,2
25,5
DI Yogyakarta
0,3
1,2
5,6
22,7
Jawa Timur
0,3
0,7
11,1
26,9
Banten
0,2
0,4
9,5
20,6
Bali
0,2
0,7
19,3
30,0
Nusa Tenggara Barat
0,1
0,3
9,8
23,7
Nusa Tenggara Timur
0,3
0,7
12,6
33,1
Kalimantan Barat
0,2
0,4
13,3
22,3
Kalimantan Tengah
0,2
0,4
12,6
21,8
Kalimantan Selatan
0,2
0,4
9,5
25,8
Kalimantan Timur
0,1
0,4
8,2
16,0
Sulawesi Utara
0,4
0,5
10,3
19,1
Sulawesi Tengah
0,5
0,8
11,4
26,7
Sulawesi Selatan
0,3
0,5
10,6
27,7
Sulawesi Tenggara
0,2
0,5
12,0
20,8
Gorontalo
0,4
0,6
10,4
17,7
Sulawesi Barat
0,2
0,2
8,0
22,5
Maluku
0,2
0,5
8,9
18,8
Maluku Utara
0,2
0,4
5,9
17,4
Papua Barat
0,2
0,3
8,3
15,4
Papua
0,2
0,4
15,4
26,5
Indonesia
0,2
0,6
11,9
24,7
Tabel 3.5.8 menunjukkan prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara yang
didiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur, meningkat tajam pada
kelompok umur 35-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), dan umur 55-74 tahun
(0,5%), tertinggi pada kelompok umur ≥75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih
tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak
bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks
kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3 persen.
Prevalensi penyakit batu ginjal berdasarkan wawancara meningkat seiring dengan bertambahnya
umur, tertinggi pada kelompok umur 55-64 tahun (1,3%), menurun sedikit pada kelompok umur
65-74 tahun (1,2%) dan umur ≥75 tahun (1,1%). Prevalensi lebih tinggi pada laki-laki (0,8%)
dibanding perempuan (0,4%). Prevalensi tertinggi pada masyarakat tidak bersekolah dan tidak
tamat SD (0,8%) serta masyarakat wiraswasta (0,8%) dan status ekonomi hampir sama mulai
95
kuintil indeks kepemilikan menengah bawah sampai menengah atas (0,6%). Prevalensi di
perdesaan sama tinggi dengan perkotaan (0,6%).
Tabel 3.5.8
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥15 tahun
menurut karakteristik, Indonesia 2013
Gagal Ginjal Kronis
Batu Ginjal
Penyakit Sendi
Karakteristik
D/G
D
D
D
Kelompok umur (tahun)
15-24
25-34
35-44
45-54
55-64
65-74
75+
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak Sekolah
Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat PT
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani/Nelayan/Buruh
Lainnya
Tempat Tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
0,1
0,1
0,3
0,4
0,5
0,5
0,6
0,1
0,3
0,7
1,0
1,3
1,2
1,1
1,5
6,0
12,4
19,3
25,2
30,6
33,0
7,0
16,1
26,9
37,2
45,0
51,9
54,8
0,3
0,2
0,8
0,4
10,3
13,4
21,8
27,5
0,4
0,3
0,3
0,2
0,1
0,2
0,8
0,8
0,7
0,4
0,5
0,6
24,1
19,8
16,3
7,5
5,8
5,8
45,7
38,0
31,8
17,5
14,9
13,2
0,2
0,2
0,3
0,3
0,3
0,5
0,7
0,8
0,7
0,6
11,5
6,3
11,1
15,3
11,0
23,4
15,4
23,7
31,2
24,0
0,2
0,3
0,6
0,6
10,0
13,8
22,1
27,4
0,3
0,3
0,2
0,2
0,2
0,5
0,6
0,6
0,6
0,6
15,4
14,5
12,3
10,1
8,6
32,1
29,0
25,4
22,0
18,1
Prevalensi penyakit sendi berdasarkan wawancara yang didiagnosis nakes meningkat seiring
dengan bertambahnya umur, demikian juga yang didiagnosis nakes atau gejala. Prevalensi
tertinggi pada umur ≥75 tahun (33% dan 54,8%). Prevalensi yang didiagnosis nakes lebih tinggi
pada perempuan (13,4%) dibanding laki-laki (10,3%) demikian juga yang didiagnosis nakes atau
gejala pada perempuan (27,5%) lebih tinggi dari laki-laki (21,8%). Prevalensi lebih tinggi pada
masyarakat tidak bersekolah baik yang didiagnosis nakes (24,1%) maupun diagnosis nakes atau
gejala (45,7%). Prevalensi tertinggi pada pekerjaan petani/nelayan/buruh baik yang didiagnosis
nakes (15,3%) maupun diagnosis nakes atau gejala (31,2%). Prevalensi yang didiagnosis nakes di
perdesaan (13,8%) lebih tinggi dari perkotaan (10,0%), demikian juga yang diagnosis nakes atau
gejala di perdesaan (27,4%), di perkotaan (22,1%). Kelompok yang didiagnosis nakes, prevalensi
96
tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan terbawah (15,4%) dan menengah bawah (14,5%).
Demikian juga pada kelompok yang terdiagnosis nakes atau gejala, prevalensi tertinggi pada
kuintil indeks kepemilikan terbawah (32,1%) dan menengah bawah (29,0%).
3.5.11. Kecenderungan PTM 2007-2013
Beberapa penyakit tidak menular yang dapat dilihat kecenderungan dari tahun 2007 ke tahun
2013 adalah prevalensi DM berdasarkan wawancara, prevalensi hipertensi berdasarkan
wawancara dan pengukuran, prevalensi stroke dan sendi/rematik/encok berdasarkan wawancara.
Kecenderungan dibandingkan menurut provinsi di Indonesia dan dilihat kenaikan atau penurunan
prevalensi.
Gambar 3.5.2 menunjukkan kecenderungan prevalensi DM berdasarkan wawancara tahun 2013
adalah 2,1 persen (Indonesia), lebih tinggi dibanding tahun 2007 (1,1%). Dua provinsi, yaitu Papua
Barat dan Nusa Tenggara Barat terlihat ada kecenderungan menurun, 31 provinsi lainnya
menunjukkan kenaikan prevalensi DM yang cukup berarti seperti Maluku (0,5% menjadi 2,1%),
Sulawesi Selatan (0,8% menjadi 3,4%), dan Nusa Tenggara Timur (1,2% menjadi 3,3%).
5,0
4,0
3,0
2,1
2,0
1,1
0,0
Lampung
Bengkulu
Kalbar
Riau
Jambi
Pabar
Sumsel
NTB
Kep,Riau
Bali
Banten
Kalteng
Sumbar
Jateng
Sultra
Jabar
Kalsel
Sulbar
Maluku
Indonesia
Malut
Sumut
Papua
Babel
Jatim
Aceh
Kaltim
Gorontalo
DKI
DIY
NTT
Sulsel
Sulut
Sulteng
1,0
2007
2013
Gambar 3.5.2
Kecenderungan prevalensi DM berdasarkan wawancara pada umur ≥ 15 tahun menurut provinsi,
2007 dan 2013
Gambar 3.5.3 menunjukkan kecenderungan prevalensi hipertensi diagnosis oleh nakes
berdasarkan wawancara tahun 2013 (9,5%) lebih tinggi dibanding tahun 2007(7,6%). Tiga
provinsi, yaitu Papua, Papua Barat dan Riau terlihat ada penurunan. Enam provinsi tidak terjadi
perubahan seperti Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan Barat, Aceh, dan
DKI Jakarta. Di provinsi lainnya prevalensi hipertensi cenderung meningkat.
97
20,0
16,0
12,0
9,5
8,0
7,6
0,0
Papua
Pabar
Riau
Sumut
NTB
Maluku
Sumsel
Malut
Jambi
Lampung
NTT
Sultra
Sumbar
Bengkulu
Kalbar
Banten
Kep. Riau
Bali
Jateng
Indonesia
Sulbar
Aceh
Babel
DKI
Kaltim
Sulsel
Jabar
Kalteng
Jatim
Gorontalo
Sulteng
DIY
Kalsel
Sulut
4,0
Gambar 3.5.3
Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara pada umur ≥18 tahun menurut
provinsi, 2007 dan 2013
50,0
40,0
31,7
30,0
20,0
25,8
0,0
Papua
Bali
DKI
Pabar
Riau
Malut
Aceh
Bengkulu
Kep. Riau
Sultra
Sulbar
Sumbar
Banten
NTT
Maluku
NTB
Jambi
Sumut
Lampung
DIY
Indonesia
Sumsel
Jatim
Jateng
Kalteng
Sulut
Sulsel
Kalbar
Sulteng
Gorontalo
Jabar
Kaltim
Kalsel
Babel
10,0
2007
2013
Gambar 3.5.4
Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran pada umur ≥ 18 tahun menurut
provinsi, 2007 dan 2013
Gambar 3.5.4 menunjukkan kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran yang
menunjukkan penurunan yang sangat berarti dari 31,7 persen tahun 2007 menjadi 25,8 persen
tahun 2013. Asumsi penurunan, diperkirakan karena (i) perbedaan alat ukur yang digunakan tahun
2007 tidak diproduksi lagi (discontinue) pada tahun 2013, (ii) kesadaran masyarakat yang semakin
membaik pada tahun 2013. Asumsi (ii) terlihat pada gambar 3.5.3 dimana prevalensi hipertensi
berdasarkan diagnosis atau gejala meningkat. Hal ini menunjukkan kesadaran masyarakat yang
sudah memeriksakan diri ke tenaga kesehatan agak meningkat sedikit.
98
Gambar 3.5.5 menunjukkan kecenderungan prevalensi stroke berdasarkan wawancara
menunjukkan kenaikan dari 8,3 per mil tahun 2007 menjadi 12,1 per mil. Terlihat kecenderungan
menurun yang cukup berarti di dua provinsi yaitu Kepulauan Riau dan Aceh, provinsi lainnya
cenderung meningkat.
20,0
16,0
12,1
12,0
8,0
4,0
Riau
Jambi
Lampung
Pabar
Sumsel
Kalbar
Kep.Riau
Maluku
Sultra
Bali
Papua
Bengkulu
Banten
NTB
Kaltim
Sumut
Aceh
Malut
Jabar
Indonesia
NTT
Kalteng
Sumbar
Jateng
Gorontalo
Kalsel
Babel
DKI
Sulut
Sulbar
Jatim
Sulteng
DIY
Sulsel
0,0
8,3
2007
2013
Gambar 3.5.5
Kecenderungan prevalensi stroke permil pada umur ≥15 tahun menurut provinsi, 2007 dan 2013
45,0
30,3
36,0
27,0
18,0
24,7
0,0
Riau
Kepri
Jambi
Pabar
Sumsel
Kaltim
Bengkulu
Malut
Gorontalo
Babel
Maluku
Lampung
Sulut
Sumut
Banten
Sultra
Sumbar
DKI
Kalteng
Kalbar
Sulbar
DI Y
NTB
Indonesia
Aceh
Jateng
Kalsel
Papua
Sulteng
Jatim
Sulsel
Bali
Jabar
NTT
9,0
Gambar 3.5.6
Kecenderungan prevalensi sendi/rematik/encok berdasarkan wawancara pada umur ≥15 tahun
menurut provinsi, 2007 dan 2013
Gambar 3.5.6 menunjukkan kecenderungan prevalensi penyakit sendi/rematik/encok berdasarkan
wawancara tahun 2013 (24,7%) lebih rendah dibanding tahun 2007 (30,3%). Kecenderungan
penurunan prevalensi diasumsikan kemungkinan perilaku penduduk yang sudah lebih baik, seperti
berolah raga dan pola makan. Dalam hal ini diperlukan analisis lanjut.
99
3.6.
Cedera
Woro Riyadina, Anna Maria Sirait, Sulistyowati Tuminah, FX Suharyanto, dan Zainul Nantabah
Cedera merupakan kerusakan fisik pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh kekuatan yang
tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga sebelumnya (WHO, 2004). Kasus cedera diperoleh
berdasarkan wawancara. Cedera yang ditanyakan adalah peristiwa yang dialami responden
selama 12 bulan terakhir untuk semua umur. Definisi cedera dalam Riskesdas adalah kejadian
atau peristiwa yang mengalami cedera yang menyebabkan aktivitas sehari-hari terganggu. Untuk
kasus cedera yang kejadiannya lebih dari 1 kali dalam 12 bulan, kasus cedera yang ditanyakan
adalah cedera yang paling parah menurut pengakuan responden.
Jumlah data yang dianalisis seluruhnya 1.027.758 orang untuk semua umur. Adapun responden
yang pernah mengalami cedera 84.774 orang dan tidak cedera 942.984 orang. Responden yang
mengalami cedera akibat kecelakaan transportasi sepeda motor sebanyak 34.409 orang. Khusus
untuk analisis pemakaian helm diseleksi hanya pada kelompok umur 1 tahun keatas yang
jumlahnya sekitar 34.398 orang. Skema jumlah data yang dianalisis sebagai berikut :
Jumlah total responden (semua umur)
1.027.758
Cedera
84.774
Tidak cedera
942.984
Penyebab cedera
Transportasi sepeda motor
34.409
Umur ≥ 1 tahun
34.398
Umur < 1 tahun
11
Penyebab lain
50.373
Jenis cedera
Tempat kejadian
Pemakaian helm
34.398
Keterangan:
: ada pada Buku Riskesdas 2013 dalam angka
100
Bagian tubuh
cedera
Lama rawat
Kecacatan
3.6.1. Prevalensi Cedera dan penyebabnya
Penyebab terjadinya cedera meliputi penyebab yang disengaja (intentional injury), penyebab yang
tidak disengaja (unintentional injury) dan penyebab yang tidak bisa ditentukan (undeterminated
intent) (WHO, 2004). Penyebab cedera yang disengaja meliputi bunuh diri, Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) seperti dipukul orang tua/suami/istri/anak), penyerangan, tindakan
kekerasan/pelecehan dan lain-lain. Penyebab cedera yang tidak disengaja antara lain:
terbakar/tersiram air panas/bahan kimia, jatuh dari ketinggian, digigit/diserang binatang,
kecelakaan transportasi darat/laut/udara, kecelakaan akibat kerja, terluka karena benda
tajam/tumpul/mesin, kejatuhan benda, keracunan, bencana alam, radiasi, terbakar dan lainnya.
Penyebab cedera yang tidak dapat ditentukan (undeterminated intent) yaitu penyebab cedera
yang sulit untuk dimasukkan kedalam kelompok penyebab yang disengaja atau tidak disengaja.
Penyebab cedera yang dituliskan dalam laporan ini adalah penyebab yang tidak disengaja.
Prevalensi dan proporsi penyebab cedera menurut provinsi disajikan pada Tabel 3.6.1.
Prevalensi cedera secara nasional adalah 8,2 persen, prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi
Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi (4,5%). Provinsi yang mempunyai prevalensi cedera lebih
tinggi dari angka nasional sebanyak 15 provinsi.
Penyebab cedera terbanyak yaitu jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%),
selanjutnya penyebab cedera karena terkena benda tajam/tumpul (7,3%), transportasi darat lain
(7,1%) dan kejatuhan (2,5%). Sedangkan untuk penyebab yang belum disebutkan proporsinya
sangat kecil.
Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu (56,4 persen) dan
terendah di Papua (19,4%). Adapun untuk transportasi darat lain proporsi tertinggi terjadi di
Kalimantan Selatan (10,1%) dan terendah ditemukan di Papua (2,5%). Proporsi jatuh tertinggi di
NTT (55,5%) dan terendah di Bengkulu (26,6%). Proporsi tertinggi terkena benda tajam/tumpul
terjadi di Papua (29%) dan terendah di DI Yogyakarta (4,7%). Penyebab cedera karena terbakar
ditemukan proporsi tertinggi di Papua (2%) dan terendah (tanpa kasus) di Kalimantan Timur.
Untuk penyebab cedera karena gigitan hewan tertinggi terjadi di DI Yogyakarta (2,6%) terendah
terjadi di 3 provinsi yaitu Lampung, Banten dan Kalimantan Selatan (0,1%). Proporsi kejatuhan
tertinggi ditemukan di Papua (10,1%) dan terendah di Sumatera Selatan (1,3%). Keracunan
sebagian besar tidak ditemukan kasusnya, proporsi tertinggi terjadi di Jambi (0,10%).
Adapun untuk gambaran prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik disajikan pada
Tabel 3.6.2.
Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok umur 15-24
tahun (11,7%), laki-laki (10,1%), pendidikan tamat SMP/MTS (9,1%), yang tidak bekerja atau
bekerja sebagai pegawai (8,4% persen), bertempat tinggal di perkotaan (8,7%) pada kuintil
Indeks kepemilikan menengah atas (8,7%).
Ditinjau dari penyebab cederanya, proporsi tertinggi adalah cedera karena jatuh (91,3%) pada
kelompok umur <1 tahun, perempuan (49,3%), tidak sekolah (61,6%), tidak bekerja (39,9%),
tinggal di perdesaan (42,3%) dan kuintil indeks kepemilikan terbawah (50,8%). Selain itu
penyebab cedera karena kecelakaan sepeda motor menempati peringkat kedua menunjukkan
proporsi tertinggi yaitu 67,4 persen pada kelompok umur 15-24 tahun, laki-laki (44,6%), tingkat
pendidikan tamat SMA/MA (63,9%), bekerja sebagai pegawai (65,3%), tinggal di perkotaan
(42,8%), dan kuintil indeks kepemilikan teratas (46,9%). Sedangkan penyebab cedera transportasi
darat lain proporsi tertinggi terjadi pada umur 5-14 tahun (14,7%), laki-laki (7,3%), tidak tamat SD
(12,7%), tidak bekerja (7,5%) dan bertempat tinggal di perkotaan dan kuintil indeks kepemilikan
teratas masing-masing 7,8 persen.
101
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Tabel 3.6.1
Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut provinsi, Indonesia 2013
Penyebab cedera
Cedera Sepeda Trans
Benda
Ter
Gigitan
Ke
motor
darat
Jatuh
tajam/
bakar
hewan
jatuhan
lain
tumpul
7,3
48,6
8,1
30,2
7,7
0,7
0,2
3,7
7,2
36,3
8,8
38,9
10,1
0,9
0,4
4,1
5,8
49,5
5,4
33,2
7,4
0,2
0,5
3,0
5,7
41,8
5,6
41,2
5,9
1,1
0,3
3,8
4,5
46,8
6,0
36,2
6,0
0,4
0,5
3,7
4,6
54,5
5,4
32,4
5,3
0,8
0,2
1,3
5,8
56,4
4,7
26,6
7,4
0,6
0,9
3,0
4,6
41,8
4,6
43,0
7,9
0,4
0,1
2,0
8,1
49,0
7,1
28,8
10,2
1,4
0,4
2,7
5,9
48,1
6,2
33,5
6,3
0,7
0,5
4,3
9,7
44,7
5,9
40,9
4,5
0,8
0,2
2,2
8,5
39,1
6,8
43,7
6,2
0,9
0,2
2,7
7,7
40,1
8,1
42,1
6,7
0,6
0,2
1,6
12,4
39,2
9,9
41,0
4,7
0,7
2,6
1,7
9,3
37,9
8,5
43,2
7,2
0,7
0,3
1,7
9,0
45,1
7,5
38,4
6,2
0,6
0,1
1,9
8,6
43,3
5,8
37,7
8,7
0,7
1,2
1,9
8,9
45,6
6,6
37,7
5,9
1,0
0,4
2,2
12,1
30,4
3,8
55,5
6,1
0,4
0,7
2,7
5,2
41,7
7,7
38,0
7,2
0,7
0,2
3,7
8,2
39,0
6,2
42,6
8,2
0,7
0,7
2,2
9,6
42,3
10,1
36,5
8,2
0,7
0,1
1,4
8,7
39,8
5,4
40,4
10,3
0,0
0,4
3,0
8,3
47,2
4,7
38,2
6,1
0,2
0,3
2,6
8,8
47,7
6,2
32,7
8,9
0,4
0,2
3,3
12,8
43,6
6,8
37,6
8,1
0,5
0,5
2,5
10,0
38,6
7,6
40,5
8,4
0,6
0,5
3,5
9,0
44,8
7,3
36,2
8,4
0,4
0,3
2,3
7,1
41,8
6,1
32,8
13,8
0,5
0,5
4,1
7,0
34,5
4,2
44,7
9,9
0,9
0,6
4,5
6,5
38,6
4,5
41,3
8,9
0,9
0,7
4,5
7,9
34,0
2,7
46,7
11,2
0,3
1,1
3,6
7,5
19,4
2,5
35,2
29,0
2,0
0,8
10,1
8,2
40,6
7,1
40,9
7,3
102
0,7
0,4
2,5
Ke
racunan
Lainnya
0
0,06
0,07
0
0,10
0
0,03
0
0
0
0
0
0,02
0
0,03
0
0
0,02
0,06
0
0,05
0,04
0,01
0,02
0,02
0
0
0
0,07
0,02
0
0
0
0,8
0,6
0,6
0,3
0,4
0,2
0,3
0,2
0,4
0,4
0,9
0,6
0,7
0,2
0,5
0,2
0,8
0,6
0,3
0,8
0,2
0,7
0,6
0,7
0,5
0,4
0,3
0,2
0,4
0,6
0,6
0,3
0,9
0,02
0,5
Karakteristik
Tabel 3.6.2
Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Indonesia 2013
Penyebab Cedera
Cedera
Sepe
Trans
Benda
Ter
Gigitan
Ke
da
darat
Jatuh
tajam/
Bakar
Hewan
jatuh
motor
lain
tumpul
an
Kelompok umur (th)
<1
1–4
5 – 14
15 – 24
25 – 34
35 – 44
45 – 54
55 – 64
65 – 74
75+
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak sekolah
Tidak tamat SD/MI
Tamat SD/MI
Tamat SMP/MTS
Tamat SMA/MA
Tamat Diploma/PT
Status pekerjaan
Tidak bekerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani/nelayan/ buruh
Lainnya
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil Indeks kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Ke
racun
an
Lain
nya
1,9
8,2
9,7
11,7
7,3
6,6
6,4
6,6
6,9
8,5
2,8
6,5
19,0
67,4
56,6
49,8
40,8
30,3
15,3
6,1
1,0
5,4
14,7
4,1
4,4
4,5
5,7
5,6
5,8
4,4
91,3
79,4
57,3
20,4
25,0
29,9
37,7
49,4
67,1
78,2
2,5
4,2
5,4
5,7
9,6
10,6
10,3
9,3
6,5
6,3
0,7
1,5
0,6
0,5
0,9
0,9
0,6
0,6
0,3
0,5
0,0
0,3
0,3
0,2
0,3
0,5
0,6
0,8
0,8
0,8
0,9
2,3
2,4
1,5
2,4
3,3
3,6
3,4
3,4
2,0
0
0
0,003
0,013
0,026
0,046
0
0,039
0
0,027
0,9
0,5
0,4
0,3
0,8
0,6
0,6
0,6
0,9
1,7
10,1
6,4
44,6
34,2
7,3
6,8
35,7
49,3
8,1
6,0
0,6
0,8
0,4
0,3
2,7
2,1
0,014
0,019
0,6
0,5
8,6
8,8
7,9
9,1
8,3
6,2
16,1
21,2
43,0
59,9
63,9
62,6
8,5
12,7
6,7
4,5
4,2
4,3
61,6
54,6
37,3
24,2
21,8
24,6
8,5
7,0
8,7
7,8
6,6
6,0
0,7
0,6
0,5
0,7
0,7
0,7
0,8
0,4
0,4
0,3
0,3
0,2
3,2
2,8
2,9
2,1
2,0
1,1
0,008
0,029
0,012
0,012
0,023
0
0,7
0,6
0,5
0,5
0,5
0,5
8,4
8,4
7,8
8,0
8,2
43,4
65,3
59,3
43,9
53,2
7,5
4,3
5,3
4,5
6,3
39,9
20,0
23,5
33,5
27,4
5,8
6,8
7,7
12,6
8,6
0,6
0,7
0,9
0,6
0,7
0,3
0,3
0,3
0,7
0,3
2,0
2,1
2,4
3,6
2,9
0,010
0
0,002
0,053
0
0,5
0,6
0,5
0,5
0,8
8,7
7,8
42,8
38,2
7,8
6,4
39,7
42,3
5,8
8,9
0,8
0,6
0,3
0,4
2,3
2,7
0,010
0,022
0,5
0,5
8,3
8,4
8,4
8,7
7,5
28,1
37,0
41,5
45,1
46,9
5,5
7,2
7,2
7,4
7,8
50,8
43,6
40,0
37,9
35,7
10,4
8,0
7,2
6,0
5,8
0,7
0,5
0,8
0,7
0,9
0,6
0,4
0,3
0,3
0,2
3,6
2,6
2,5
2,1
2,0
0,038
0,024
0,009
0,002
0,014
0,5
0,6
0,4
0,5
0,6
Prevalensi cedera dikumpulkan pada Riskesdas tahun 2007 dan tahun 2013 dengan pertanyaan
yang sama. Gambaran kecenderungan prevalensi cedera dan penyebabnya disajikan pada
Gambar 3.6.1.
Kecenderungan prevalensi cedera menunjukkan sedikit kenaikan dari 7,5 persen (RKD 2007)
menjadi 8,2 persen (RKD 2013). Penyebab cedera yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari
tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk transportasi darat (transportasi sepeda motor dan darat
lainnya), jatuh dan terkena benda tajam/tumpul. Adapun untuk penyebab cedera akibat
transportasi darat tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7 persen.
103
Sedangkan untuk penyebab cedera yang menunjukkan penurunan proporsi terlihat pada jatuh
yaitu dari 58 persen menjadi 40,9 persen dan terkena benda tajam/tumpul dari 20,6 persen
menjadi hanya 7,3 persen.
Gambar 3.6.1
Kecenderungan prevalensi cedera dan penyebabnya, Indonesia 2007 dan 2013
3.6.2. Jenis cedera
Jenis cedera merupakan jenis atau macam luka akibat trauma yang telah dialami yang dapat
menyebabkan terganggunya aktifitas sehari-hari. Seseorang yang cedera bisa mengalami
minimal 1 jenis (multiple injuries). Gambaran proporsi jenisi cedera yang dialami penduduk
menurut provinsi disajikan pada Tabel 3.6.3.
Proporsi jenis cedera di Indonesia didominasi oleh luka lecet/memar sebesar 70,9 persen,
terbanyak terdapat di Banten (76,2%) dan yang terendah di Papua yaitu 59,4 persen. Jenis cedera
terbanyak ke dua adalah terkilir, rata-rata di Indonesia 27,5 persen. Ditemukan terkilir terbanyak di
Kalimantan Selatan sebesar 39,3 persen. Luka robek menduduki urutan ketiga jenis cedera
terbanyak, jenis luka ini tertinggi ditemukan di Papua sekitar 48,5 persen jauh di atas Indonesia
yaitu 23,2 persen dan terendah di DI Yogyakarta (14,6%). Jenis cedera lainnya proporsinya kecil,
patah tulang 5,8 persen, anggota tubuh terputus, cedera mata dan gegar otak masing-masing
proporsinya di Indonesia 0,3 persen, 0,6 persen dan 0,4 persen.
Adapun untuk gambaran proporsi jenis cedera menurut karakteristik disajikan pada Tabel 3.6.4
yang menunjukkan proporsi jenis cedera menurut karakteristik responden. Proporsi jenis luka yang
menunjukkan 3 urutan tertinggi adalah luka lecet/memar, terkilir dan luka robek.
Berdasarkan kelompok umur, proporsi lecet/memar, luka robek, anggota tubuh terputus dan
cedera mata menunjukkan pola atau kecenderungan yang sama yaitu pada usia <1 tahun
proporsinya rendah, meningkat di usia muda dan menurun di usia lanjut. Adapun kecenderungan
proporsi yang menggambarkan pola positif yaitu semakin bertambah umur proporsinya semakin
tinggi ditunjukkan pada jenis cedera patah tulang, sedangkan terkilir tinggi di usia <1 tahun
selanjutnya semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Kelompok umur yang mempunyai
proporsi tertinggi untuk jenis cedera lecet/memar pada umur 15-24 tahun (77,1%), luka robek
104
pada umur 25-34 tahun (26,9%), patah tulang pada umur 75 tahun keatas (10%), terkilir pada
umur 65-74 tahun (43,2%), anggota tubuh terputus pada usia produktif (25-54 tahun) sekitar 0,4
persen, cedera mata pada umur 35 – 64 tahun sekitar 0,8 persen, gegar otak pada umur 65-74
tahun (0,9%) dan jenis cedera lainnya pada umur 75 tahun keatas (3,8%).
Tabel 3.6.3
Proporsi jenis cedera menurut provinsi, Indonesia 2013
Jenis Cedera
Lecet/
Luka
Patah
Terkilir
Anggota
Cedera
Provinsi
Memar
robek
Tulang
Tubuh
Mata
terputus
Aceh
66,7
27,8
7,4
38,9
0,1
0,9
Sumatera Utara
68,9
31,4
5,1
26,3
0,5
0,7
Sumatera Barat
65,2
25,3
7,3
37,2
0,6
1,1
Riau
72,1
22,2
5,9
28,7
0,9
0,8
Jambi
71,5
20,9
6,9
28,3
0,5
0,3
Sumatera Selatan
72,6
18,7
6,4
32,4
0,3
0,9
Bengkulu
73,1
24,6
6,8
31,3
0
1,4
Lampung
76,3
19,7
4,9
36,2
0,1
0,6
Baangka Belitung
65,8
24,5
7,4
25,9
0,1
0,3
Kepulauan Riau
63,3
22,5
6,8
23,5
1,2
0,8
DKI Jakarta
75,5
18,1
5,7
28,4
0
0,3
Jawa Barat
70,8
24,9
6,0
33,2
0,2
0,7
Jawa Tengah
72,6
16,7
6,2
26,6
0,2
0,5
DI Yogyakarta
73,7
14,6
4,8
24,1
0,2
0,3
Jawa Timur
68,0
22,7
6,0
27,3
0,3
0,5
Banten
76,2
20,1
6,1
29,0
0,2
0,4
Bali
68,2
24,9
5,4
21,6
0,1
0,2
Nusa Tenggara Barat
72,2
25,5
7,2
21,0
0,5
0,1
Nusa Tenggara Timur
72,4
36,4
4,9
19,8
0,2
0,3
Kalimantan Barat
71,1
23,2
6,0
25,4
0
0,6
Kalimantan Tengah
70,2
23,4
4,2
24,0
0,2
0,2
Kalimantan Selatan
60,5
22,1
4,2
39,3
0,2
0,6
Kalimantan Timur
71,3
22,1
4,8
23,2
0,5
0,8
Sulawesi Utara
74,8
18,6
5,6
24,2
0
0,9
Sulawesi Tengah
69,9
25,7
5,4
22,1
0,1
0,2
Sulawesi Selatan
74,6
24,3
4,3
14,1
0,2
0,6
Sulawesi Tenggara
71,6
25,5
6,2
24,2
0,2
0,6
Gorontalo
69,2
13,9
4,6
20,9
0
0
Sulawesi Barat
68,4
27,2
6,3
12,3
0,4
0,4
Maluku
65,7
28,4
6,8
16,9
0,1
0,8
Maluku Utara
68,9
26,0
7,5
24,9
0,6
0,2
Papua Barat
74,5
24,3
4,5
15,6
0,6
0,3
Papua
59,4
48,5
8,3
24,5
2,3
1,1
Indonesia
70,9
23,2
5,8
27,5
0,3
0,6
Gegar
otak
0,6
0,2
0,8
0,4
0,7
0,1
0,9
0,3
0,9
0,5
0,4
0,2
0,4
0,5
0,7
0,2
0,6
0,4
0,4
0,7
0
0,3
0,3
0,1
0,5
0,4
0,2
0,3
0,3
0,6
0,2
0,4
1,0
0,4
Lainn
ya
1,5
1,3
1,3
1,8
2,4
1,5
1,5
0,7
2,0
1,8
3,3
1,8
2,1
2,9
1,7
1,6
2,1
1,6
1,0
1,7
1,9
1,5
1,2
0,5
1,4
1,6
0,8
2,2
1,5
1,4
2,0
1,3
1,4
1,8
Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan angka proporsi
yang lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, kecuali pada jenis cedera
lecet/memar, terkilir dan lainnya.
Berdasarkan pendidikan sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan pola meningkat
seiring dengan kenaikan tingkat pendidikan yaitu ada kecenderungan proporsi jenis cedera
meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan semakin tinggi, kecuali pada luka robek. Sedangkan
menurut status pekerjaan, proporsi jenis cedera tidak menunjukkan pola tertentu.
105
Berdasarkan pada tempat tinggal, proporsi jenis cedera sebagian besar menunjukkan tidak ada
perbedaan antar perkotaan dan perdesaan, kecuali pada proporsi lecet/memar yang lebih tinggi di
perkotaan dan luka robek lebih tinggi proporsinya di perdesaan.
Karakteristik
Kelompok umur (th)
<1
1–4
5 – 14
15 – 24
25 – 34
35 – 44
45 – 54
55 – 64
65 – 74
75+
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak sekolah
Tidak tamat SD/MI
Tamat SD/MI
Tamat SMP/MTS
Tamat SMA/MA
Tamat Diploma/PT
Status pekerjaan
Tidak bekerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani/nelayan/ buruh
Lainnya
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Tabel 3.6.4
Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Indonesia 2013
Jenis Cedera
Lecet/
Luka
Patah
Terkilir
Anggota
Cedera
Memar
robek
Tulang
Tubuh
Mata
terputus
Gegar
otak
Lainnya
69,6
77,0
75,3
77,1
69,5
65,6
62,1
57,5
54,3
54,9
2,1
16,3
21,0
25,7
26,9
26,0
24,8
21,8
16,5
11,2
0,3
1,6
4,5
5,5
6,1
7,7
8,0
8,4
9,8
10,0
30,2
17,3
19,9
27,0
31,0
32,0
34,5
36,6
43,2
40,6
0
0,2
0,1
0,3
0,4
0,4
0,4
0,3
0,3
0,3
0
0,4
0,3
0,5
0,7
0,8
0,8
0,8
0,6
0,6
0
0,1
0,3
0,5
0,4
0,5
0,4
0,7
0,9
0,4
1,2
2,4
1,4
1,4
1,6
2,0
2,0
2,7
3,0
3,7
70,6
71,2
26,6
17,8
6,6
4,6
26,9
28,6
0,4
0,1
0,6
0,4
0,5
0,3
1,5
2,1
67,3
70,2
68,1
72,3
71,9
72,4
21,6
22,5
25,3
24,8
24,5
20,6
6,4
5,4
6,7
6,2
6,5
7,5
27,6
25,0
30,1
28,7
31,0
29,8
0,4
0,2
0,3
0,2
0,4
0,3
0,6
0,4
0,7
0,6
0,6
0,7
0,4
0,3
0,5
0,5
0,5
0,6
2,0
1,5
1,7
1,5
1,9
2,7
71,3
72,1
70,2
64,5
70,2
21,3
23,9
25,8
29,2
24,7
6,2
7,2
7,3
6,6
7,4
28,9
29,5
31,6
31,4
30,2
0,2
0,5
0,3
0,4
0,4
0,5
0,7
0,7
0,7
0,8
0,4
0,6
0,5
0,5
0,6
1,8
1,8
1,7
1,6
1,8
72,5
69,0
22,1
24,5
5,7
6,0
27,3
27,8
0,3
0,3
0,6
0,6
0,4
0,4
1,9
1,6
66,5
69,6
70,3
73,2
73,2
26,9
23,9
22,9
22,2
21,4
5,7
5,8
6,0
5,7
6,0
29,4
28,0
27,6
26,9
26,5
0,3
0,3
0,2
0,4
0,2
0,6
0,5
0,6
0,6
0,5
0,5
0,4
0,4
0,3
0,5
1,5
1,5
2,0
1,7
2,0
*Responden biasanya mempunyai lebih dari 1 jenis cedera (multiple injuries)
Menurut kuintil indeks kepemilikan tampak bahwa pola yang jelas hanya ditunjukkan pada 3 jenis
cedera yang proporsinya menunjukkan angka besar dibandingkan dengan jenis cedera lainnya
yaitu luka lecet, luka robek dan terkilir. Luka lecet menunjukkan pola positif dengan semakin tinggi
kuintil indeks kepemilikan semakin besar proporsi luka lecetnya, sedangkan untuk luka robek dan
106
terkilir sebaliknya dengan semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan tampak jenis lukanya semakin
menurun proporsinya.
3.6.3. Tempat Terjadinya Cedera
Tempat terjadinya cedera adalah lokasi atau area dimana peristiwa atau kejadian yang
mengakibatkan cedera terjadi atau disebut juga dengan istilah TKP (Tempat Kejadian Perkara).
Tempat kejadian cedera hanya menginformasikan data tentang lokasi/tempat tanpa disertai
keterangan aktivitas yang sedang dilakukan responden pada saat kejadian cedera di lokasi
tersebut. Keterangan tempat rumah dan sekolah termasuk lingkungan sekitarnya (indoor dan
outdoor). Ruang lingkup pertanian termasuk perkebunan dan sejenisnya. Gambaran tentang
tempat terjadinya cedera menurut provinsi disajikan pada Tabel 3.6.5.
Secara nasional, cedera terjadi paling banyak di jalan raya yaitu 42,8 persen selanjutnya di rumah
(36,5%), area pertanian (6,9%) dan sekolah (5,4%). Provinsi yang memilki angka proporsi tempat
cedera di rumah dan sekitanya tertinggi adalah Lampung (44%) dan terendah di Bengkulu (23%).
Adapun untuk proporsi tempat cedera di sekolah tertinggi di Kalimantan Tengah (8,2%) dan
terendah di Sulawesi Barat (2,7%). Tempat kejadian cedera di jalan raya mempunyai proporsi
paling tinggi dibandingkan dengan tempat yang lain. Provinsi yang mempunyai proporsi tempat
kejadian cedera di jalan raya yang melebihi angka nasional sebanyak 21 provinsi. Adapun
proporsi kejadian cedera di jalan raya terbanyak di Bengkulu (56%) dan terendah di Papua
(21,5%). Kejadian cedera di tempat umum dan industri proporsinya tampak lebih kecil
dibandingkan tempat lain. Sedangkan proporsi di area pertanian menunjukkan angka proporsi
yang sangat melebihi angka nasional yaitu 30,4 persen terjadi di Papua dan terendah di DKI
Jakarta (0,3%).
Gambaran proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik disajikan pada Tabel 3.6.6.
Menurut kelompok umur tampak bahwa rumah menunjukkan proporsi yang tinggi terjadinya
cedera pada kelompok umur balita dan lansia (Lanjut usia). Adapun tempat kejadian cedera di
sekolah kebanyakan terjadi pada kelompok umur 5–14 tahun, demikian juga dengan tempat
kejadian cedera di area olahraga. Adapun jalan raya merupakan tempat kejadian cedera yang
banyak terjadi pada umur produktif dan tampak tertinggi khusus pada umur 15-24 yaitu 66,7
persen. Tempat umum, industri dan area pertanian menunjukkan pola yang sama yaitu
kebanyakan terjadi pada kelompok umur produktif, kecuali di area pertanian proporsi tertinggi
pada umur 65-74 tahun (21,0%).
Menurut jenis kelamin, proporsi tempat kejadian cedera mayoritas lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan perempuan kecuali di rumah dan sekolah. Adapun berdasarkan pendidikan yang
menunjukkan pola negatif yaitu semakin tinggi pendidikan proporsi cedera semakin rendah terjadi
di rumah, sekolah dan pertanian. Sedangkan proporsi menunjukkan pola positif dengan semakin
tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi proporsi cedera ditunjukkan pada tempat kejadian cedera
di area olahraga, jalan raya dan tempat umum.
Menurut status pekerjaan tampak proporsi tertinggi pada yang tidak bekerja, demikian juga pada
sekolah dan area olahraga. Sedangkan di jalan raya, tepat umum dan industri memperlihatkan
proporsi tertinggi pada status pegawai. Adapun untuk area pertanian tampak proporsi tertinggi
pada status pekerjaan sebagai buruh/petani (21,4%).
.
107
Tabel 3.6.5
Proporsi tempat terjadinya cedera menurut provinsi, Indonesia 2013
Tempat terjadinya cedera
Provinsi
Rumah
Sekolah
Olah
Jalan
Tempat
Industri
Pertanian
raga
raya
umum
Aceh
30,7
4,9
3,6
47,3
2,0
0,8
9,9
Sumatera Utara
39,2
6,2
3,6
38,0
2,2
2,3
7,7
Sumatera Barat
31,1
4,9
1,6
48,7
2,5
1,3
9,3
Riau
36,7
5,6
4,9
41,8
1,7
2,0
6,8
Jambi
35,1
5,8
3,6
43,4
2,5
1,5
7,1
Sumatera Selatan
29,0
5,7
2,1
50,6
3,1
1,2
7,8
Bengkulu
23,0
5,1
1,5
56,0
0,8
1,3
11,9
Lampung
44,0
6,0
2,6
33,4
1,3
1,5
10,8
Baangka Belitung
28,2
4,9
4,2
47,7
3,0
3,2
6,8
Kepulauan Riau
32,3
3,0
4,5
49,9
4,4
3,5
1,2
DKI Jakarta
37,1
7,0
4,2
46,7
3,6
0,5
0,3
Jawa Barat
37,4
4,9
4,2
42,1
2,7
2,6
5,3
Jawa Tengah
36,5
4,3
3,4
43,7
2,0
2,1
7,0
DI Yogyakarta
37,2
6,0
4,8
43,8
1,9
0,9
5,1
Jawa Timur
36,3
6,0
3,5
42,1
2,3
2,1
6,9
Banten
40,9
5,5
3,8
42,4
1,8
1,8
3,3
Bali
34,3
4,0
3,9
44,9
3,1
1,2
8,1
Nusa Tenggara Barat
31,5
4,7
3,5
49,8
1,5
0,6
7,4
Nusa Tenggara Timur
40,5
7,4
2,1
35,5
0,9
0,4
12,7
Kalimantan Barat
34,0
5,7
3,5
43,9
1,9
2,3
7,7
Kalimantan Tengah
35,6
8,2
2,4
37,1
2,1
3,5
9,8
Kalimantan Selatan
35,6
6,0
3,0
43,1
2,1
1,2
7,4
Kalimantan Timur
39,3
5,8
4,0
40,2
1,9
2,0
5,1
Sulawesi Utara
32,6
3,9
2,6
50,5
1,8
0,8
6,9
Sulawesi Tengah
28,8
4,0
3,3
49,8
2,0
1,0
10,3
Sulawesi Selatan
36,7
5,2
2,6
45,0
1,9
1,0
6,8
Sulawesi Tenggara
33,0
6,4
2,7
45,0
2,4
1,1
8,3
Gorontalo
35,0
3,8
2,2
49,1
3,4
0,8
5,1
Sulawesi Barat
37,2
2,7
2,8
43,3
2,7
0,3
9,7
Maluku
37,5
4,2
3,6
40,7
1,9
0,9
9,7
Maluku Utara
30,3
3,7
2,9
43,3
3,0
1,1
15,0
Papua Barat
41,9
7,5
2,4
36,9
1,7
1,0
6,5
Papua
35,8
7,1
2,5
21,5
1,6
0,6
30,4
Indonesia
36,5
5,4
3,5
42,8
2,3
1,8
6,9
Lainnya
0,8
0,7
0,5
0,5
0,9
0,5
0,5
0,5
2,1
1,1
0,6
0,6
1,0
0,3
0,9
0,6
0,6
1,0
0,6
1,0
1,3
1,6
1,7
0,8
0,9
1,0
1,0
0,8
1,2
1,5
0,7
2,0
0,5
0,8
Berdasarkan tempat tinggal, mayoritas proporsi tempat kejadian cedera yang menunjukkan lebih
tinggi pada perkotaan dibanding perdesaan kecuali pada area pertanian.
Menurut kuintil indeks kepemilikan tampak bahwa mayoritas kecenderungan proporsi semakin
tinggi seiring dengan status ekonomi, kecuali pada tempat kejadian di rumah dan area pertanian
menunjukkan sebaliknya yaitu dengan semakin tinggi tingkat ekonominya kejadian cedera di
kedua tempat tersebut semakin rendah.
108
Tabel 3.6.6
Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Indonesia 2013
Tempat terjadinya cedera
Karakteristik
Rumah
Sekolah
Olah
Jalan
Tempat
Industri Pertanian
raga
raya
umum
Kelompok umur (th)
<1
97,7
0
0,4
1,6
0,1
0
0,2
1–4
87,0
2,4
1,0
8,0
0,5
0
0,5
5 – 14
52,9
14,4
4,9
24,2
1,0
0,1
2,1
15 – 24
15,9
4,6
5,9
66,7
2,2
1,5
2,7
25 – 34
21,0
1,5
3,3
58,0
3,7
3,8
7,9
35 – 44
24,9
1,7
1,9
50,5
3,4
3,8
12,3
45 – 54
29,2
1,6
0,8
44,3
3,4
3,0
16,1
55 – 64
39,1
1,3
1,0
34,0
2,6
2,0
18,7
65 – 74
52,2
1,1
1,2
20,5
2,3
0,9
21,0
75+
74,5
0,9
2,0
10,5
1,7
0,1
9,4
Jenis Kelamin
Laki-laki
29,9
5,0
5,0
46,6
2,5
2,6
7,5
Perempuan
47,1
6,2
1,2
36,7
1,9
0,4
6,0
Pendidikan
Tidak sekolah
55,5
5,8
2,4
19,8
1,4
0,7
13,5
Tidak tamat SD/MI
47,5
11,0
3,4
26,9
1,5
0,9
7,9
Tamat SD/MI
29,1
5,6
3,0
45,0
2,3
2,2
11,7
Tamat SMP/MTS
20,3
4,2
4,4
60,3
2,5
2,7
5,0
Tamat SMA/MA
18,6
2,2
4,9
64,2
3,6
2,8
2,9
Tamat Diploma/PT
19,5
2,3
5,7
64,7
4,4
0,9
1,8
Status pekerjaan
Tidak bekerja
34,4
8,2
5,2
45,6
1,6
0,4
4,0
Pegawai
14,9
1,6
4,8
66,3
4,9
4,6
2,1
Wiraswasta
21,5
1,7
2,3
61,9
3,8
3,0
5,1
Petani/nelayan/ buruh
22,1
1,4
1,4
44,9
2,9
4,1
21,4
Lainnya
24,0
2,5
4,1
57,7
4,1
2,2
4,4
Tempat tinggal
Perkotaan
36,8
5,5
4,2
45,5
2,9
2,1
2,3
Perdesaan
36,2
5,4
2,7
39,7
1,5
1,4
12,0
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah
39,4
5,3
2,2
31,2
1,5
1,3
17,5
Menengah bawah
37,5
5,0
2,6
40,1
1,9
1,5
10,5
Menengah
36,8
5,0
3,4
43,7
2,3
2,2
5,8
Menengah atas
35,1
5,7
3,9
47,1
2,7
2,2
2,6
Teratas
34,7
6,2
5,1
47,8
2,6
1,2
1,8
109
Lainnya
0
0,5
0,4
0,6
0,9
1,6
1,5
1,3
0,9
1,0
1,0
0,5
0,9
0,9
1,2
0,6
0,6
0,7
0,5
0,8
0,9
1,7
1,0
0,7
0,9
1,5
0,9
0,8
0,7
0,4
3.7. Kesehatan Gigi dan Mulut
Indirawati Tjahja N, Tince Jovina, Sintawati, Magdarina. D. Agtini, CH. Kristanti, Sekartuti,dan
Putisari
Survei kesehatan gigi pertama kali dilaksanakan oleh Badan Penelitian Pengembangan
Kesehatan melalui Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, selanjutnya secara periodik
dilaksanakan melalui survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, SKRT 2001, SKRT 2004,
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, dan Riskesdas 2013.
Riskesdas 2013 mengumpulkan data kesehatan gigi secara komprehensif yang meliputi indikator
status kesehatan gigi, indikator jangkauan pelayanan dan perilaku kesehatan gigi. Pengumpulan
data melalui wawancara maupun pemeriksaan gigi dan mulut dengan jumlah sampel keseluruhan
1.027.763 responden. Wawancara dilakukan terhadap responden semua umur. Pertanyaan
perilaku ditanyakan kepada kelompok umur ≥10 tahun. Pemeriksaan gigi dan mulut dilakukan
pada kelompok umur ≥12 tahun. Hasil ini dapat dibandingkan dengan Riskesdas 2007 sebagai
evaluasi keberhasilan intervensi berbagai program perbaikan derajat kesehatan gigi dan mulut
penduduk Indonesia. Pada tabel menurut karakteristik responden, ditambahkan juga kelompok
umur menurut WHO. Pembagian kelompok menurut WHO ini diperlukan karena pada umur ≥12
tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar satu sudah tumbuh semua (permanen), umur 15
tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar 2 sudah tumbuh semua, dan usia 18 tahun, seluruh
gigi dari insisivus hingga molar tiga diharapkan sudah tumbuh semua. Penilaian dalam dentogram
ini untuk gigi permanen saja. Demikian juga pada umur 35-54 tahun, dan umur >65 tahun
diharapkan 20 gigi berfungsi dengan baik (hasil lengkap di buku Riskesdas 2013 dalam Angka).
3.7.1. Effective Medical Demand
Effective Medical Demand (EMD) didefinisikan sebagai persentase penduduk yang bermasalah
dengan gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir x persentase penduduk yang menerima perawatan
atau pengobatan gigi dari tenaga medis gigi (dokter gigi spesialis, dokter gigi, perawat gigi).
Gambar 3.7.1
Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat perawatan,
dan EMD, Indonesia 2013
Berdasarkan hasil wawancara sebesar 25,9 persen penduduk Indonesia mempunyai masalah
gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir (potential demand). Diantara mereka, terdapat 31,1
110
persen yang menerima perawatan dan pengobatan dari tenaga medis gigi (perawat gigi, dokter
gigi atau dokter gigi spesialis), sementara 68,9 persen lainnya tidak dilakukan perawatan.
Secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk mendapatkan pelayanan dari tenaga
medis gigi/EMD hanya 8,1 persen (lihat gambar 3.7.1).
Tabel 3.7.1
Prevalensi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai effective
medical demand menurut provinsi, Indonesia 2013
Provinsi
Bermasalah
Menerima perawatan dari
Effective medical
Gigi dan mulut (%)
tenaga medis gigi (%)
Demand (%)
Aceh
30,5
45,9
14,0
Sumatera Utara
19,4
25,3
4,9
Sumatera Barat
22,2
35,3
7,8
Riau
16,2
33,2
5,4
Jambi
16,8
36,2
6,1
Sumatera Selatan
19,5
29,3
5,7
Bengkulu
18,4
31,1
5,7
Lampung
15,3
33,2
5,1
Bangka Belitung
23,0
30,3
7,0
Kepulauan Riau
23,1
32,5
7,5
DKI Jakarta
29,1
31,2
9,1
Jawa Barat
28,0
33,4
9,4
Jawa Tengah
25,4
31,0
7,9
DI Yogyakarta
32,1
31,9
10,3
Jawa Timur
28,6
30,0
8,6
Banten
23,7
33,1
7,9
Bali
24,0
38,8
9,3
Nusa Tenggara Barat
26,9
34,0
9,2
NusaTenggara Timur
27,2
27,0
7,3
Kalimantan Barat
20,6
28,4
5,9
Kalimantan Tengah
24,3
21,5
5,2
Kalimantan Selatan
36,1
22,2
8,0
Kalimantan Timur
24,1
36,4
8,8
Sulawesi Utara
31,6
25,1
7,9
Sulawesi Tengah
35,6
18,0
6,4
Sulawesi Selatan
36,2
28,5
10,3
Sulawesi Tenggara
28,6
31,2
8,9
Gorontalo
30,1
28,1
8,4
Sulawesi Barat
32,2
24,5
7,9
Maluku
27,2
24,6
6,7
Maluku Utara
26,9
19,3
5,2
Papua Barat
20,6
33,4
6,9
Papua
18,6
35,9
6,7
Indonesia
25,9
31,1
8,1
Tabel 3.7.1 menggambarkan proporsi penduduk dengan masalah gigi dan mulut yang menerima
perawatan dari tenaga medis gigi dalam 12 bulan terakhir menurut provinsi. Tiga provinsi yaitu
Sulawesi Selatan, Kalimatan Selatan, dan Sulawesi Tengah mempunyai masalah gigi dan mulut
yang cukup tinggi (>35%), dengan masing – masing EMD 10,3 persen, 8 persen, dan 6,4 persen.
111
Tabel 3.7.2
Proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir menurut karakteristik,
Indonesia 2013
Karakteristik
Bermasalah
Menerima perawatan dari tenaga
Effective medical
gigi dan mulut
medis gigi
demand
Kelompok Umur
<1
1,1
36,9
0,4
1–4
10,4
25,8
2,7
5–9
28,9
35,1
10,1
10 – 14
25,2
28,3
7,1
15 – 24
24,3
26,2
6,4
25 – 34
28,5
32,5
9,3
35 – 44
30,5
33,8
10,3
45 – 54
31,9
33,4
10,6
55 – 64
28,3
29,5
8,3
65 +
19,2
24,7
4,8
Kelompok Umur (WHO)
12
24,8
28,4
7,0
15
23,1
25,7
5,9
18
24,0
24,8
5,9
35-44
30,5
33,8
10,3
45-54
31,9
33,4
10,6
55-64
28,3
29,5
8,3
≥ 65
19,2
24,7
4,8
Jenis Kelamin
Laki – laki
24,8
28,6
7,1
Perempuan
27,1
33,4
9,1
Pendidikan
Tidak Skolah
27,0
28,9
7,8
Tidak Tamat SD
29,2
30,2
8,8
Tamat SD
28,6
28,6
8,2
Tamat SLTP
26,9
30,5
8,2
Tamat SLTA
26,4
34,4
9,1
Tamat PT
24,8
45,7
11,3
Pekerjaan
Tidak Bekerja
26,5
31,3
8,3
Pegawai
26,1
37,5
9,8
Wiraswasta
28,4
32,2
9,1
Petani/Nelayan/Buruh
29,2
26,6
7,8
Lainnya
30,3
29,2
8,8
Tempat Tinggal
Perkotaan
26,0
33,1
8,6
Pedesaan
25,9
29,1
7,5
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah
27,1
22,7
6,2
Menengah Bawah
27,2
27,8
7,6
Menengah
26,4
30,9
8,1
Menengah Atas
26,3
33,3
8,8
Teratas
23,0
39,0
9,0
Tabel 3.7.2 menunjukkan proporsi penduduk dengan masalah gigi dan mulut (potential demand)
menurut karakteristik. Proporsi tertinggi pada usia produktif 35 – 44 tahun sebesar 30,5 persen
dan 45-54 tahun sebesar 31,9 persen. Demikian pula proporsi EMD masing – masing 10,3 persen
112
dan 10,6 persen. Proporsi EMD pada laki – laki (9,1%) lebih tinggi dibanding perempuan (7,1%).
Terdapat kecenderungan peningkatan proporsi EMD pada kelompok pendidikan lebih tinggi
(11,3%). Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok pegawai memiliki EMD terbesar (9,8%).
Berdasarkan tempat tinggal, di daerah perkotaan (8,6%) lebih tinggi dibandingkan perdesaan
(7,5%), dan cenderung meningkat pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi.
60,0
50,0
40,0
29,7
30,0
23,2
31,1
25,9
20,0
8,1
6,9
10,0
0,0
bermasalah gigi dan mulut
menerima perawatan
2007
EMD
2013
Gambar 3.7.2
Kecenderungan penduduk bermasalah gigi dan mulut, menerima perawatan dari tenaga medis
dan EMD menurut Riskesdas 2007 dan 2013
Tabel 3.7.3 memperlihatkan proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis tenaga pelayanan
menurut provinsi. Proporsi penduduk yang berobat ke dokter gigi spesialis terbanyak di DI
Yogyakarta (16,4%). Responden yang berobat ke dokter gigi lebih banyak di kota besar, seperti di
DKI Jakarta (76,3%), dan Banten sebesar (61,5%). Pemanfaatan pelayanan dokter gigi terendah
di Kalimantan Barat (19,5%). Pemanfaatan pelayanan perawat gigi terbanyak di Kalimantan Barat
(51,2%) dan terendah di DKI Jakarta (5,8%).
Proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis tenaga pelayanan menurut karakteristik dapat
dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
113
Tabel 3.7.3
Proporsi penduduk berobat gigi sesuai jenis nakes menurut provinsi, Indonesia 2013
Dokter gigi
Dokter
Perawat
Paramedik
Tukang
Lainnya
Provinsi
Spesialis
Gigi
Gigi
lainnya
gigi
Aceh
3,1
25,0
34,4
38,2
1,7
8,9
Sumatera Utara
4,4
42,6
9,6
41,9
2,4
5,4
Sumatera Barat
3,6
42,1
12,8
35,1
1,7
10,2
Riau
3,2
49,3
9,1
34,0
2,7
6,6
Jambi
2,0
38,6
33,2
24,3
3,7
6,0
Sumatera Selatan
4,7
32,3
24,7
34,8
0,9
10,4
Bengkulu
4,5
27,5
9,7
50,9
0,9
11,5
Lampung
2,3
25,0
28,6
40,4
0,6
7,9
Bangka Belitung
3,6
49,0
24,9
25,6
2,6
3,9
Kepulauan Riau
4,0
58,9
8,4
22,7
4,8
4,3
DKI Jakarta
11,4
76,3
5,8
5,0
1,6
4,9
Jawa Barat
5,3
49,0
21,9
21,2
1,0
7,5
Jawa Tengah
5,8
42,7
17,6
28,5
1,3
10,0
DI Yogyakarta
16,4
60,3
7,4
15,3
1,3
5,4
Jawa Timur
6,0
50,7
12,4
25,2
1,5
8,1
Banten
5,5
61,5
11,0
18,3
0,4
10,1
Bali
6,1
59,1
12,8
17,6
0,5
9,8
Nusa Tenggara Barat
2,2
33,9
36,1
29,3
2,4
4,8
Nusa Tenggara Timur
1,5
27,4
39,7
34,4
1,1
2,9
Kalimantan Barat
1,6
19,5
51,2
29,2
1,9
1,1
Kalimantan Tengah
3,6
28,0
28,6
35,9
2,2
7,9
Kalimantan Selatan
4,8
33,7
30,8
24,8
2,0
12,1
Kalimantan Timur
7,0
60,6
17,5
17,6
2,2
3,3
Sulawesi Utara
7,3
33,3
35,1
26,5
1,3
3,6
Sulawesi Tengah
5,5
33,1
18,6
35,0
7,9
4,9
Sulawesi Selatan
4,6
52,4
25,2
19,5
5,4
2,8
Sulawesi Tenggara
1,4
38,0
25,3
32,2
7,2
3,3
Gorontalo
5,7
34,8
28,8
33,1
0,8
1,8
Sulawesi Barat
1,7
39,6
15,6
35,2
7,6
7,4
Maluku
4,8
28,0
15,0
44,3
3,7
6,1
Maluku Utara
5,0
44,2
10,4
30,4
10,4
3,8
Papua Barat
1,6
40,7
33,0
30,5
1,6
0,4
Papua
3,3
36,0
19,4
49,5
1,4
4,0
Indonesia
5,4
46,6
19,2
25,8
1,8
7,3
3.7.2. Perilaku menyikat gigi penduduk umur ≥ 10 tahun
Setiap orang perlu menjaga kesehatan gigi dan mulut dengan cara menyikat gigi dengan benar
untuk mencegah terjadinya karies gigi. Pertanyaan tentang perilaku menyikat gigi dalam
Riskesdas 2013 bertujuan untuk mengetahui kebiasaan dan waktu menyikat gigi. Jumlah sampel
untuk kelompok umur ≥10 tahun berjumlah 835.256 responden. Definisi berperilaku benar dalam
menyikat gigi adalah kebiasaan menyikat gigi setiap hari sesudah makan pagi dan sebelum tidur
malam. Tabel 3.7.4 menunjukkan proporsi penduduk umur ≥10 tahun sebagian besar (93,8%)
menyikat gigi setiap hari. Provinsi dengan proporsi tertinggi adalah DKI Jakarta (98,1%) dan
terendah Papua (49,6%). Sebagian besar penduduk juga menyikat gigi pada saat mandi sore,
yaitu sebesar 79,7 persen dengan urutan tertinggi di Bengkulu sebesar 94,2 persen, dan yang
terendah di Sulawesi Selatan sebesar 43,2 persen. Sebagian besar penduduk menyikat gigi
setiap hari saat mandi pagi atau mandi sore. Kebiasaan yang keliru hampir merata tinggi di
seluruh kelompok umur. Kebiasaan benar menyikat gigi penduduk Indonesia hanya 2,3
114
persen, Provinsi tertinggi untuk perilaku menyikat gigi dengan benar adalah Sulawesi Barat
yaitu 8,0 persen.
Tabel 3.7.5 menggambarkan proporsi penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan
berperilaku benar menurut karakteristik. Menurut tempat tinggal, responden di perkotaan lebih
banyak berperilaku menyikat gigi benar dibandingkan perdesaan. Laki-laki (2,0) lebih rendah
dibandingkan perempuan (2,5). Demikian pula semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks
kepemilikan, maka semakin baik perilaku menyikat gigi dengan benar. Berdasarkan jenis
pekerjaan, kelompok pegawai lebih banyak berperilaku menyikat gigi dengan benar.
115
Tabel 3.7.4
Persentase penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut provinsi, Indonesia 2013
Waktu Menyikat Gigi
Provinsi
Sikat Gigi
Setiap Hari
Mandi
Pagi
Mandi
Sore
Sesudah
Makan
Pagi
Sesudah
Bangun
Pagi
Sebelum
Tidur
Malam
Sesudah
makan
siang
Mandi Pagi
dan sore
Menyikat
gigi dengan
benar
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
89,9
94,4
93,7
95,6
95,7
96,0
96,0
96,1
91,7
94,6
98,1
97,0
94,6
93,6
93,5
97,1
91,8
93,8
74,7
94,1
95,5
94,7
96,4
95,3
90,1
89,4
91,4
96,1
90,1
92,4
88,0
90,7
49,6
91,9
94,5
94,3
97,0
95,8
97,9
99,1
99,1
94,4
95,4
94,7
95,9
93,0
88,6
95,2
96,9
86,8
95,7
80,7
93,2
92,7
89,6
95,5
83,6
89,4
89,3
90,6
93,4
89,3
91,5
89,7
93,5
93,6
75,1
83,5
73,5
84,1
88,6
88,6
94,2
95,3
78,6
68,6
73,5
81,4
86,0
77,4
84,0
84,2
69,5
74,7
57,1
65,9
81,3
64,0
83,1
70,0
74,4
43,2
61,2
80,9
58,9
78,1
72,0
72,7
60,0
4,1
2,6
2,5
3,5
4,5
3,5
3,8
1,2
4,9
3,4
4,9
3,2
2,9
5,2
2,8
2,4
5,7
5,2
9,2
4,8
4,8
6,7
4,7
5,0
7,5
7,9
10,0
8,7
11,3
7,5
5,7
4,6
5,8
10,1
4,2
7,9
9,0
3,9
4,2
3,9
1,3
6,4
6,4
5,2
6,1
7,2
10,6
5,1
4,1
6,9
4,6
17,0
8,0
8,0
9,1
8,3
19,7
12,0
7,6
8,0
15,8
9,0
16,7
13,5
7,0
7,2
29,7
17,2
21,6
24,1
17,8
18,8
12,7
8,5
39,9
38,6
43,4
29,5
21,2
34,8
22,6
29,1
33,7
28,4
17,3
38,9
25,0
43,0
33,8
32,4
33,6
58,0
47,6
39,5
43,9
27,9
25,3
28,8
26,4
5,8
3,0
2,7
3,9
3,1
5,3
2,8
1,9
9,0
6,0
5,5
7,5
4,5
6,6
9,2
5,0
4,0
6,6
3,0
5,7
6,7
11,8
4,7
6,3
8,2
9,8
8,1
9,8
8,6
7,4
7,8
3,6
4,8
71,7
79,1
70,8
82,5
86,8
87,7
93,7
94,7
76,7
67,1
71,4
79,6
82,3
72,7
81,4
82,8
64,0
73,1
51,8
64,4
78,5
61,1
81,4
62,0
68,7
40,5
58,5
78,6
55,4
73,4
66,1
69,9
57,6
2,2
1,2
1,4
2,3
3,2
2,2
1,9
0,4
3,6
1,9
3,5
1,8
1,7
3,4
1,5
1,5
4,1
2,5
4,8
3,5
2,9
5,0
3,2
3,3
4,0
5,6
6,6
6,0
8,0
4,2
2,8
2,7
3,4
Indonesia
93,8
94,2
79,7
3,8
6,5
27,3
6,2
77,1
2,3
116
Tabel 3.7.5
Persentase Penduduk ≥10 tahun yang menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Sikat Gigi Setiap
Hari
Waktu Menyikat Gigi
Sesudah Bangun
Pagi
Mandi
Pagi
Mandi Sore
Sesudah
Makan Pagi
Sebelum
Tidur Malam
Sesudah
makan siang
Mandi Pagi
dan sore
Menyikat gigi
benar
95,7
97,8
97,2
96,6
94,4
87,2
62,8
96,3
95,0
94,1
93,6
93,2
92,6
92,0
79,6
80,4
79,7
80,0
80,2
78,5
76,0
3,2
4,1
4,0
3,7
3,7
3,7
3,8
4,3
6,6
6,9
7,0
7,1
6,9
6,8
22,4
32,3
30,6
27,9
24,6
20,8
16,9
4,3
6,1
6,1
6,7
7,1
7,3
7,1
78,1
78,2
77,2
77,1
77,0
74,9
72,0
1,7
2,6
2,5
2,3
2,3
2,0
1,9
95,7
97,4
97,8
96,6
94,4
87,2
62,8
96,4
95,9
95,5
93,6
93,2
92,6
92,0
78,7
81,5
80,9
80,0
80,2
78,5
76,0
3,4
3,7
4,3
3,7
3,7
3,7
3,8
4,3
5,4
6,4
7,0
7,1
6,9
6,8
23,1
29,5
32,7
27,9
24,6
20,8
16,9
4,3
5,4
6,5
6,7
7,1
7,3
7,1
77,4
79,6
78,9
77,1
77,0
74,9
72,0
1,8
2,2
2,6
2,3
2,3
2,0
1,9
93,4
94,2
94,1
94.3
78.8
80.7
3.6
3,9
5,7
7.3
23,6
30,9
5,4
7.1
76,-0
78,2
2,0
2,5
73,8
89,4
93,8
97,3
98,2
99,7
92,9
94,0
94,1
94,5
94,4
94,0
77,6
79,5
82,0
81,2
77,6
73,2
3,3
3,1
3,1
3,6
4,5
7,8
6,2
5,8
6,2
6,5
7,0
8,7
15,9
19,1
20,5
27,3
36,9
53,8
7,4
6,4
6,6
5,9
5,6
6,8
73,9
76,4
79,1
78,7
75,6
71,9
1,4
1,5
1,6
2,1
3,0
6,2
93,8
98,4
97,1
90,3
95,1
95,0
95,0
94,1
92,3
93,1
79,7
76,5
79,9
81,5
77,8
3,8
5,3
3,6
2,9
4,5
6,5
6,6
7,0
6,2
7,8
29,0
41,5
28,4
16,1
30,3
6,2
6,2
6,1
6,3
7,2
77,7
75,0
77,5
77,2
76,1
2,3
3,9
2,2
1,3
2,8
96,2
91,4
94.9
93,4
78,5
81.1
4.1
3.5
6,5
6,6
34,3
19,7
6.2
6.3
76,5
77,8
2,7
1,9
83.4
92,6
95,1
96,8
97.4
92,4
93,4
94,2
95,0
94,9
78,6
81,2
81,4
79,6
77,6
3,4
3,2
3,4
3,6
5,1
6,3
6,5
6,3
6,2
7,3
15,0
19,0
23,7
31,2
41,0
7,0
6,7
6,1
6,0
5,8
74,5
77,7
78,6
77,6
76,0
1.5
1.6
1,9
2.2
3.8
Kelompok Umur ( thn )
10 – 14
15 – 24
25 – 34
35 – 44
45 – 54
55 – 64
65 +
Kelompok umur (tahun)
12
15
18
35-44
45-64
55-64
≥65
Jenis Kelamin
Laki – laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak Sekolah
Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
Tamat PT
Pekerjaan
Tidak Kerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani/Nelayan/Buruh
Lainnya
Tempat Tinggal
Perkotaan
Pedesaan
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah
Menengah Bawah
Menengah
Menengah Atas
Teratas
117
3.7.3. Indeks DMF-T dan Komponen D-T, M-T, F-T
Jumlah sampel untuk usia ≥12 tahun, berjumlah 789.771 responden. X adalah rata-rata dari D,
rata-rata M, rata-rata F dan rata-rata DF. Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari komponen
D-T, M-T, dan F-T yang menunjukkan banyaknya kerusakan gigi yang pernah dialami seseorang,
baik berupa Decay/D (merupakan jumlah gigi permanen yang mengalami karies dan belum
diobati atau ditambal), Missing/M (jumlah gigi permanen yang dicabut atau masih berupa sisa
akar), dan Filling/F adalah jumlah gigi permanen yang telah dilakukan penumpatan atau ditambal.
Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi permanen.
Tabel 3.7.6
Komponen D, M, F dan Index DMF -T menurut provinsi, Indonesia 2013
D–T
M–T
F–T
DF-T
Provinsi
(X)
(X)
(X)
(X)
Aceh
1,4
2,6
0,08
0,02
Sumatra Utara
1,3
2,3
0,05
0,02
Sumatra Barat
1,7
3,1
0,06
0,03
Riau
1,6
2,3
0,12
0,03
Jambi
2,3
3,1
0,04
0,01
Sumatra Selatan
1,9
3,3
0,09
0,03
Bengkulu
1,3
2,0
0,09
0,03
Lampung
2,1
2,3
0,07
0,02
Bangka Belitung
3,0
5,5
0,05
0,01
Kepulauan Riau
1,6
3,2
0,11
0,03
DKI Jakarta
1,1
2,5
0,32
0,08
Jawa Barat
1,6
2,5
0,08
0,02
Jawa Tengah
1,4
2,9
0,05
0,01
DI Yogyakarta
1,3
4,5
0,13
0,02
Jawa Timur
1,6
3,8
0,08
0,03
Banten
1,6
2,0
0,09
0,02
Bali
1,1
3,0
0,12
0,02
Nusa TenggaraBarat
0,8
2,1
0,03
0,01
Nusa Tenggara Timur
1,5
1,7
0,04
0,01
Kalimantan Barat
3,2
2,9
0,10
0,03
Kalimantan Tengah
2,2
2,8
0,13
0,04
Kalimantan Selatan
2,2
5,0
0,11
0,02
Kalimantan Timur
1,9
2,8
0,09
0,02
Sulawesi Utara
1,9
3,4
0,06
0,03
Sulawesi Tengah
2,0
3,5
0,05
0,01
Sulawesi Selatan
2,0
4,0
0,05
0,01
Sulawesi Tenggara
1,4
2,8
0,08
0,04
Gorontalo
1,3
3,0
0,01
0,00
Sulawesi Barat
1,5
4,0
0,03
0,01
Maluku
1,5
2,9
0,07
0,03
Maluku Utara
0,9
2,1
0,02
0,01
Papua Barat
1,1
1,5
0,02
0,00
Papua
1,6
1,5
0,11
0,03
Indonesia
1,6
2,9
0,08
0,02
DMF – T
(X)
4,0
3,6
4,7
4,0
5,5
5,3
3,3
4,5
8,5
4,9
3,8
4,1
4,3
5,9
5,5
3,7
4,1
3,0
3,2
6,2
5,0
7,2
4,7
5,4
5,5
6,0
4,3
4,3
5,5
4,5
3,0
2,6
3,1
4,6
Indeks DMF-T Indonesia sebesar 4,6 dengan nilai masing-masing:D-T=1,6; M-T=2,9; F-T=0,08;
yang berarti kerusakan gigi penduduk Indonesia 460 buah gigi per 100 orang.
118
Provinsi yang mempunyai indeks DMF-T tertinggi adalah Bangka Belitung (8,5) dan terendah
adalah Papua Barat (2,6). (Tabel 3.7.6)
Tabel 3.7.7
Komponen D, M, F dan Index DMF-T Menurut Karakteristik, Indonesia ,2013
D–T
M–T
F–T
DF-T
DMF – T
Karakteristik
(X)
(X)
(X)
(X)
(X)
Kelompok Umur (WHO)
12
15
18
35 – 44
45 – 54
55 – 64
65 +
Kelompok Umur (Tahun)
12-14
15-24
25-34
35-44
45-54
55-64
≥ 65
Jenis Kelamin
Laki – laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak Sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
Tamat PT
Pekerjaan
Tidak bekerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani Nelayan/ Buruh
Lainnya
Tempat Tinggal
Perkotaan
Pedesaan
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah
Menengah Terbawah
Menengah
Menengah Atas
Teratas
1,02
1,07
1,14
2,00
2,13
2,15
1,84
0,34
0,34
0,45
3,35
5,65
10,13
17,05
0,04
0,05
0,07
0,11
0,14
0,09
0,06
0,02
0,01
0,03
0,03
0,04
0,03
0,02
1,4
1,5
1,6
5,4
7,9
12,3
18,9
1,02
1,22
1,78
2,00
2,13
2,15
1,84
0,33
0,51
1,91
3,35
5,65
10,13
17,05
0,04
0,06
0,11
0,11
0,14
0,09
0,06
0,01
0,02
0,03
0,03
0,04
0,03
0,02
1,4
1,8
3,8
5,4
7,9
12,3
18,9
1,58
1,59
2,49
3,30
0,07
0,10
0,02
0,03
4,1
4,9
2,10
1,70
1,64
1,45
1,49
1,39
8,51
4,19
3,00
1,70
2,18
2,36
0,04
0,04
0,05
0,07
0,15
0,38
0,02
0,01
0,02
0,02
0,03
0,05
10,6
5,9
4,7
3,2
3,8
4,1
1,35
1,60
1,80
2,07
1,78
2,31
2,23
3,61
4,30
3,64
0,07
0,22
0,13
0,05
0,07
0,02
0,04
0,03
0,02
0,02
3,7
4,0
5,5
6,4
5,5
1,46
1,71
2,76
3,06
0,12
0,05
0,03
0,02
4,3
4,8
1,84
1,65
1,63
1,50
1,36
3,23
3,21
3,10
2,70
2,41
0,03
0,04
0,05
0,10
0,19
0,02
0,01
0,02
0,02
0,04
5,1
4,9
4,8
4,3
3,9
Tabel 3.7.7, menunjukkan indeks DMF-T menurut karakteristik. Index DMF-T meningkat seiring
dengan bertambahnya umur yaitu sebesar 1,4 pada kelompok umur 12 tahun, kemudian 1,5
pada umur 15 tahun, 1,6 pada umur 18 tahun. Demikian pula pada umur 34-44 tahun, umur 4554 tahun 55-63 tahun dan umur ≥ 65 tahun. Namun untuk kuintil indeks kepemilikan, semakin
tinggi kuintil indeks, semakin rendah nilai DMF-T, hal ini terlihat pada kuintil indeks kepemilikan
terbawah nilai DMF-T nya 5,1 sedang untuk yang teratas nilai DMF-T nya lebih rendah yaitu 3,9.
119
3.8. Status Disabilitas
Betty Roosihermiatie, Siti isfandari, Julianty Pradono, Sri Prihatini
Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya tentang pengalaman hidup
penduduk karena kondisi kesehatan termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Setiap orang
memiliki peran tertentu, seperti bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang
diperlukan. Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk mendapatkan informasi sejauh
mana seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial
lain, hal yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin (WHO 2010).
Informasi besaran masalah disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas dan
mengevaluasi efektivitas dan kinerja program kesehatan.
Instrumen untuk data disabilitas pada Riskesdas 2013 diadaptasi dari WHODAS 2 sebagai
operasionalisasi dari konsep International classification of functioning (ICF), yang terdiri dari 12
pernyataan/komponen untuk mendapatkan informasi tentang status disabilitas seseorang.
Instrumen ini dapat digunakan oleh enumerator non medis. Responden untuk topik disabilitas
adalah kelompok umur >15 tahun. Data yang dikumpulkan meliputi ada tidaknya kondisi
disabilitas dalam kurun waktu satu bulan sebelum survei. Terdapat lima opsi jawaban untuk
responden, yaitu 1) tidak ada kesulitan, 2) sedikit kesulitan/ringan, 3) cukup mengalami
kesulitan/sedang, 4) kesulitan berat, dan 5) sangat berat/tidak mampu melakukan kegiatan.
Selanjutnya bagi responden dengan jawaban 2, 3, 4 atau 5 ditanyakan lama hari mengalami
kesulitan, terdiri dari jumlah hari sama sekali tidak mampu melakukan aktivitas rutin dan jumlah
hari masih dapat melakukan aktivitas rutin walaupun tidak optimal.
Tabel 3.8.1
Proporsi tingkat kesulitan penduduk menurut komponen disabilitas, Indonesia 2013
1.
Sulit berdiri dalam waktu lama misalnya 30
menit?
2. Sulit mengerjakan kegiatan rumah tangga
yang menjadi tanggung jawabnya
3. Sulit mempelajari/ mengerjakan hal-hal baru,
seperti untuk menemukan tempat/alamat
baru, mempelajarai permainan, resep baru
4. Sulit dapat berperan serta dalam kegiatan
kemasyarakatan (misalnya dalam kegiatan
keagamaan, sosial)
5. Seberapa besar masalah kesehatan yang
dialami mempengaruhi keadaan emosi?
6. Seberapa sulit memusatkan pikiran dalam
melakukan sesuatu selama 10 menit?
7. Seberapa sulit dapat berjalan jarak jauh
misalnya 1 kilometer?
8. Seberapa sulit membersihkan seluruh tubuh?
9. Seberapa sulit mengenakan pakaian?
10. Seberapa sulit berinteraksi/ bergaul dengan
orang yang belum dikenal sebelumnya?
11. Seberapa sulit memelihara persahabatan?
12. Seberapa sulit mengerjakan pekerjaan seharihari?
Tidak ada
Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat
88,9
5,3
3,1
2,2
0,5
90,1
5,3
2,8
1,5
0,4
90,4
4,9
2,6
1,6
0,4
91,3
4,8
2,2
1,2
0,4
90,1
5,5
3,0
1,1
0,3
90,9
5,1
2,5
1,1
0,3
88,5
4,6
2,9
2,9
1,0
94,1
94,5
4,1
3,9
1,1
1,0
0,5
0,4
0,2
0,2
92,9
4,6
1,7
0,6
0,2
93,3
4,5
1,5
0,5
0,2
91,9
4,7
1,9
1,0
0,4
120
Tabel 3.8.1 menunjukkan kesulitan berjalan jauh dialami oleh 12 dari 100 penduduk Indonesia
termasuk 6,8 persen dengan level sedang hingga sangat berat, diikuti oleh kesulitan berdiri
selama 30 menit. Kesulitan membersihkan diri dialami oleh hampir 6 persen penduduk, termasuk
1,8 persen dengan tingkat sedang hingga sangat berat/tidak mampu membersihkan diri tanpa
dibantu.
Tabel 3.8.2
Persentil skor WHODAS 2
Skor
0,0
2,8
5,6
8,3
11,1
13,9
16,7
19,4
22,2
25,0
27,8
30,6
41,7
58,3
100,0
Persentil
penduduk
Indonesia
83,3
85,0
86,8
88,2
89,3
90,2
91,0
91,7
92,3
92,9
93,5
94,0
97,2
98,9
100,0
Persentil
laporan
WHODAS2
50,0
63,2
73,3
78,1
82,0
86,5
89,6
92,4
93,0
93,8
94,7
94,9
97,2
99,7
100,0
100,0
90,0
80,0
70,0
60,0
50,0
40,0
0,0
20,0
40,0
Persentil penduduk
Indonesia
Gambar
3.8.1
60,0
80,0
Persentil laporan WHODAS
Persentil skor disabilitas
Tabel 3.8.2 dan Gambar 3.8.1 menunjukkan 83 persen penduduk Indonesia tidak mengalami
kesulitan melakukan aktivitas rutin dalam kurun waktu 1 bulan sebelum survei. Laporan
WHODAS 2, dari responden pada survei beberapa negara mendapatkan 50 persen tidak
mengalami kesulitan melakukan aktivitas rutin.
Persentil penduduk Indonesia dan persentil yang dilaporkan WHO menunjukkan kesesuaian
pada tingkat disabilitas lebih tinggi, yaitu mulai skor 19,4, yang menunjukkan 8,3 persen
penduduk Indonesia dan 7,6 persen penduduk yang dilaporkan WHO mengalami disabilitas
dengan skor 19,4 atau lebih. Dapat diinterpretasikan bahwa kesesuaian proporsi penduduk
Indonesia dan populasi sesuai laporan WHO mulai stabil di level disabilitas dengan skor 19,4.
Proporsi penduduk Indonesia dengan disabilitas ringan (skor <19,4) sebesar 8,4 persen,
sedangkan WHO melaporkan 42,4 persen penduduk mengalami disabilitas ringan. Interpretasi
lain dari tabel dan gambar di atas adalah penduduk Indonesia cenderung tidak menganggap
kesulitan sangat ringan yang dialami dalam melakukan aktivitas rutin sebagai hal yang
menyulitkan.
121
Tabel 3.8.3
Kecenderungan prevalensi penduduk menurut komponen disabilitas 2007 - 2013
No
Komponen
Sulit mengenakan pakaian
Sulit membersihkan tubuh
Sulit memelihara persahabatan
Sulit bergaul dgn orang yg blm dikenal
Sulit mengerjakan pekerjaan sehari hari
Sulit berperan serta dlm kegiatan kemasyarakatan
Sulit memusatkan pikiran selama 10 menit
Besar masalah kesehatan yg mempengaruhi emosi
Sulit mengerjakan kegiatan rumahtangga
Sulit untuk berdiri dalam waktu lama
Sulit berjalan jarak jauh
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
2013
1.6
1.8
2.2
2.5
3.3
3.9
3.9
4.4
4.6
5.8
6.8
Komponen Jenis Disabilitas
14,0
12,0
11,6
10,0
8,0
9,2
8,2
5,4
4,0
2,5
2,0
1
5,2
2,8
1,8
1,6
2
3
2,5
2,2
4
8,8
6,9
6,6
6,0
0,0
2007
2.5
2.8
5.4
6.6
5.2
8.2
9.2
6.9
6.8
8.8
11.6
6
5,8
6,8
4,6
3,9
3,3 3,9
5
6,8
7
8
4,4
9
10
11
Jenis Disabilitas
2007
!. Sulit mengenakan pakaian
2.Sulit membersihkan tubuh
3.Sulit memelihara persahabatan
4. Sulit bergaul dgn orang yg belum dikenal
5. Sulit mengerjakan pekerjaan sehari hari
6. Sulit berperan serta dlm kegiatan kemasyarakatan
7.Sulit memusatkan pikiran selama 10 menit
8.Besar masalah kesehatan yg mempengaruhi emosi
9. Sulit mengerjakan kegiatan rumah tangga
10. Sulit untuk berdiri dalam waktu lama
11.Sulit berjalan jarak jauh
2013
Gambar 3.8.2
Kecenderungan prevalensi komponen disabilitas
2007 - 2013
Pengukuran disabilitas 2013 menggunakan instrumen adaptasi WHODAS 2, sedangkan
disabilitas 2007 menggunakan instrumen adaptasi Washington Group (WG). Terdapat 11
komponen yang sama pada kedua instrumen tersebut, sehingga dapat dibandingkan prevalensi
komponen pada tahun 2007 dan 2013. Perbedaan prevalensi 11 komponen disabilitas 2007 2013 ditunjukkan dalam Tabel 3.8.3 dan Gambar 3.8.2. Perbedaan terkecil pada komponen
mengenakan pakaian dan membersihkan tubuh. Perbedaan tertinggi pada komponen sulit
berperan serta dalam kegiatan masyarakat, berkonsentrasi, berdiri lama dan berjalan jauh.
Tabel 3.8.4 dan tabel 3.8.5 menunjukkan prevalensi disabilitas, rerata skor, rerata hari produktif
hilang, dan jumlah hari hilang menurut provinsi dan karakteristik. Prevalensi penduduk Indonesia
dengan disabilitas sedang sampai sangat berat sebesar 11 persen, bervariasi dari yang tertinggi
di Sulawesi Selatan (23,8%) dan yang terendah di Papua Barat (4,6%). Rerata skor diperoleh
dari sistem skoring WHODAS 2, dengan rerata skor maksimal 100, semakin tinggi rerata skor
mencerminkan semakin berat derajat disabilitas. Rerata skor penduduk Indonesia adalah 25,24.
Rerata skor disabilitas tertinggi dimiliki penduduk di Gorontalo (31,85), sedangkan yang terendah
di DI Yogyakarta (17,05) dan DKI Jakarta (17,92). Rerata hari produktif hilang adalah rerata lama
hari seseorang tidak dapat berfungsi optimal dalam satu bulan, karena disabilitas. Rata–rata
122
penduduk Indonesia tidak dapat berfungsi optimal selama 6,7 hari. Rerata hari produktif hilang
tertinggi di Bali (10.1 hari) dan terendah di Papua dan Maluku Utara (masing-masing 4,8 hari).
Tabel 3.8.4
Indikator disabilitas menurut provinsi, Indonesia 2013
Prevalensi
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesiia
12,7
9,3
13,1
8,5
5,8
8,1
6,0
5,0
10,1
6,7
8,0
12,7
10,3
11,5
11,6
5,1
10,6
15,9
19,2
6,4
7,7
14,4
7,5
10,0
19,6
23,8
12,9
17,6
13,4
8,4
11,3
4,6
7,0
11,0
Rerata
skor
28,16
25,71
30,18
27,32
25,96
27,76
30,24
27,71
23,15
23,55
17,92
22,88
26,94
17,05
24,27
22,95
25,08
30,29
28,01
23,17
27,08
24,58
27,30
29,01
27,56
29,01
29,16
31,85
25,74
26,12
24,98
22,48
22,41
25,24
Rerata hari produktif
Jumlah hari produktif
hilang
hilang
Total
Tidak
Masih
Tidak
Masih
mampu mampu
mampu
mampu
6,0
2,3
3,8 1.474.725
2.440.441
6,8
1,8
5,0 2.322.726
6.487.602
7,4
1,8
5,6 1.159.778
3.566.209
5,3
1,2
4,0
623.543
2.056.580
5,5
1,8
3,7
426.754
893.777
5,0
1,8
3,1 1.334.071
2.291.886
6,9
1,9
5,1
218.843
600.676
7,5
2,5
5,0 1.231.413
2.511.217
6,5
1,8
4,7
267.197
677.957
7,1
1,3
5,8
189.144
876.262
6,1
1,4
4,7 1.423.128
4.733.856
5,5
1,5
4,0 9.439.751 24.505.736
8,2
1,9
6,4 6.882.136 23.180.195
8,4
1,0
7,5
494.809
3.878.277
8,2
1,9
6,3 9.208.380 30.832.372
5,1
1,6
3,5 1.108.726
2.480.543
10,1
1,5
8,6
696.113
4.087.107
5,8
1,9
4,0 1.273.984
2.692.585
6,6
2,2
4,4 1.807.616
3.630.968
6,5
1,6
4,8
544.199
1.603.855
6,0
1,8
4,2
346.949
797.877
6,3
1,5
4,9
825.084
2.699.254
5,4
2,2
3,3
708.028
1.077.520
7,4
2,6
4,7
669.663
1.205.355
6,1
1,8
4,4
873.565
2.180.170
5,8
1,5
4,3 2.840.192
8.015.326
5,0
2,2
2,8
693.483
901.513
5,5
1,9
3,6
324.249
599.107
7,4
1,5
6,0
230.244
927.735
6,4
2,7
3,7
412.945
554.109
4,8
2,1
2,7
273.004
357.469
5,8
2,1
3,6
99.136
167.177
4,8
2,1
2,7
530.294
701.631
6,7
1,7
4,9 50.953.873 144.212.342
Jumlah hari produktif hilang merupakan jumlah hari seseorang tidak mampu melakukan kegiatan
rutin secara optimal, diperoleh dari perkalian antara rerata hari produktif hilang dan jumlah
penduduk dengan disabilitas. Indonesia mengalami jumlah kehilangan hari produktif 195.166.215.
Papua Barat merupakan provinsi dengan jumlah hari produktif hilang paling rendah karena
penduduk dengan disabilitasnya terkecil. Disebabkan oleh sedikitnya populasi dan kecilnya
prevalensi penduduk dengan disabilitas di wilayah tersebut.
Kelompok umur >75 tahun merupakan kelompok dengan indikator disabilitas tertinggi. Lebih
tingginya hari produktif hilang kelompok umur 65–74 tahun dapat disebabkan tingginya populasi
123
kelompok ini dibanding kelompok umur 75 tahun atau lebih. Perempuan cenderung lebih rentan
mengalami disabilitas daripada laki-laki pada semua indikator disabilitas. Fenomena serupa
terjadi untuk kelompok tidak sekolah dan kelompok kuintil terbawah. Dibandingkan wilayah
perkotaan, penduduk di wilayah perdesaan memiliki prevalensi, rerata skor, dan hari produktif
hilang serta jumlah hari produktif hilang lebih tinggi. Walaupun merupakan kelompok dengan
prevalensi terendah, tingginya jumlah hari produktif hilang pada kelompok tidak bekerja
disebabkan tingginya rerata hari produktif hilang.
Tabel 3.8.5
Indikator disabilitas menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Kelompok umur
15-24 tahun
25-34 tahun
35-44 tahun
45-54 tahun
55-64 tahun
65-74 tahun
75+ tahun
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak sekolah
Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
Tamat D1-D3/PT
Pekerjaan
Tidak berkerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani/Nelayan/Buruh
Lainnya
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Rerata hari tidak mampu
Tidak
Masih
Total
mampu
mampu
Jumlah hari tidak mampu
Masih
Tidak mampu
mampu
Prevalensi
Rerata
skor
6,2
7,1
7,9
10,9
18,6
34,6
55,9
21,1
20,9
20,9
22,2
25,8
33,0
43,4
4,3
4,5
4,8
5,9
7,5
10,3
13,8
1,2
1,2
1,2
1,4
1,9
2,6
3,9
3,2
3,3
3,6
4,4
5,6
7,7
9,9
4.923.956
6.071.755
5.924.629
6.766.573
8.321.712
9.491.333
9.453.915
13.269.966
16.860.087
17.375.825
20.979.668
24.042.238
27.697.900
23.986.657
9,2
12,8
25,1
25,4
6,5
6,8
1,8
1,7
4,7
5,1
22.638.758
28.315.114
58.786.726
85.425.616
29,8
18,0
11,7
7,6
7,0
6,4
29,2
18,3
19,9
23,0
21,6
35,7
10,8
8,0
6,6
5,0
4,6
4,8
2,8
2,1
1,8
1,3
1,2
1,2
7,9
5,9
4,9
3,7
3,5
3,6
10.490.660
10.491.177
16.378.977
6.000.503
6.091.688
1.500.868
29.533.071
29.167.015
45.396.942
17.093.641
18.302.770
4.718.903
14.4
6.0
8.0
10.2
9.2
29,2
18,34
19,9
23,0
21,64
8,2
4,0
5,1
5,6
5,1
2,3
0,9
1,1
1,4
1,2
5,9
3,1
4,1
4,3
4,0
32.950.366
2.285.515
3.269.820
11.299.147
1.149.024
84.481.485
7.700.261
12.655.833
35.454.731
3.920.032
10,8
11,2
23,5
27,1
6,3
7,1
1,6
1,9
4,7
5,2
23.613.627
27.340.245
69.605.943
74.606.399
15,2
12,8
10,8
9,6
8,3
28,9
27,4
24,5
22,6
22,9
7,3
7,6
6,8
6,1
5,6
2,1
2,0
1,7
1,5
1,5
5,2
5,6
5,0
4,6
4,1
11.303.534
11.969.384
10.808.408
9.563.120
7.309.427
28.291.352
34.057.066
31.790.518
30.000.602
20.072.804
124
3.9. Kesehatan Jiwa
Sri Idaiani, Indri Yunita, Sri Prihatini, dan Lely Indrawati
Indikator kesehatan jiwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 antara lain gangguan jiwa berat,
gangguan mental emosional serta cakupan pengobatannya. Gangguan jiwa berat adalah
gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight)
yang buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham,
gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya agresivitas atau
katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis dan salah satu contoh psikosis
adalah skizofrenia.
Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta masyarakat oleh
karena produktivitas pasien menurun dan akhirnya menimbulkan beban biaya yang besar bagi
pasien dan keluarga. Dari sudut pandang pemerintah, gangguan ini menghabiskan biaya
pelayanan kesehatan yang besar. Sampai saat ini masih terdapat pemasungan serta perlakuan
salah pada pasien gangguan jiwa berat di Indonesia. Hal ini akibat pengobatan dan akses ke
pelayanan kesehatan jiwa belum memadai. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui
Kementerian Kesehatan adalah menjadikan Indonesia bebas pasung oleh karena tindakan
pemasungan dan perlakukan salah merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia.
Disamping gangguan jiwa berat, Riskesdas 2013 juga melakukan penilaian gangguan mental
emosional pada penduduk Indonesia seperti pada Riskesdas 2007. Gangguan mental emosional
adalah istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi ini adalah keadaan yang
mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. Berbeda dengan
gangguan jiwa berat psikosis dan skizofrenia, gangguan mental emosional adalah gangguan
yang dapat dialami semua orang pada keadaan tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula.
Gangguan ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil
ditanggulangi.
Prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007
adalah 11,6 persen dan bervariasi di antara provinsi dan kabupaten/kota. Pada Riskesdas tahun
2013, prevalensi gangguan mental emosional dinilai kembali dengan menggunakan alat ukur
serta metode yang sama. Gangguan mental emosional diharapkan tidak berkembang menjadi
lebih serius apabila orang yang mengalaminya dapat mengatasi atau melakukan pengobatan
sedini mungkin ke pusat pelayanan kesehatan atau berobat ke tenaga kesehatan yang
kompeten.
Cakupan pengobatan ditanyakan berdasarkan kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan dan
tenaga kesehatan, termasuk dikunjungi oleh tenaga kesehatan.
3.9.1. Gangguan Jiwa Berat
Gangguan jiwa berat dinilai melalui serangkaian pertanyaan yang ditanyakan oleh pewawancara
(enumerator) kepada kepala rumah tangga atau ART yang mewakili kepala rumah tangga. Inti
pertanyaan adalah mengenai ada tidaknya anggota rumah tangga (tanpa melihat umur) yang
mengalami gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) pada rumah tangga tersebut. Angka
prevalensi yang diperoleh merupakan prevalensi gangguan jiwa berat seumur hidup (life time
prevalence). Rumah tangga yang memiliki ART dengan gangguan jiwa, ditanya mengenai riwayat
pemasungan yang mungkin pernah dialami ART selama hidupnya. Pewawancara telah dilatih
mengenai cara melakukan wawancara serta pengetahuan singkat mengenai ciri-ciri gangguan
jiwa. Pelatihan singkat tersebut memberikan keterampilan kepada pewawancara tentang cara
melakukan klarifikasi atau verifikasi terhadap jawaban yang diberikan oleh kepala rumah tangga
atau orang yang mewakilinya.
125
Keterbatasan pengumpulan data dengan cara wawancara adalah adanya kemungkinan kasus
tidak dilaporkan serta diagnosis yang kurang tepat mengenai gangguan jiwa berat. Upaya untuk
mengatasi kelemahan ini dilakukan dengan cara menetapkan batasan operasional bahwa yang
dinilai pada Riskesdas 2013 adalah gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) yang dapat
dikenali oleh masyarakat umum, sehingga gangguan jiwa berat dengan diagnosis tertentu dan
memerlukan kemampuan diagnostik oleh dokter spesialis jiwa, kemungkinan tidak terdata.
Tabel 3.9.1
Prevalensi gangguan jiwa berat menurut provinsi, Indonesia 2013
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
JawaTimur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia) permil
2,7
0,9
1,9
0,9
0,9
1,1
1,9
0,8
2,2
1,3
1,1
1,6
2,3
2,7
2,2
1,1
2,3
2,1
1,6
0,7
0,9
1,4
1,4
0,8
1,9
2,6
1,1
1,5
1,5
1,7
1,8
1,6
1,2
1,7
Jumlah seluruh RT yang dianalisis adalah 294.959 terdiri dari 1.027.763 ART yang berasal dari
semua umur. Rumah tangga yang menjawab memiliki ART dengan gangguan jiwa berat
sebanyak 1.655, terdiri dari 1.588 RT dengan 1 orang ART, 62 RT memiliki 2 orang ART, 4 RT
memiliki 3 ART, dan 1 RT dengan 4 orang ART yang mengalami gangguan jiwa berat. Jumlah
seluruh responden dengan gangguan jiwa berat berdasarkan data Riskesdas 2013 adalah
sebanyak 1.728 orang.
126
Berdasarkan Tabel 3.9.1, terlihat bahwa prevalensi psikosis tertinggi di DI Yogyakarta dan Aceh
(masing-masing 2,7‰), sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat (0,7‰). Prevalensi
gangguan jiwa berat nasional sebesar 1,7 per mil. Prevalensi gangguan jiwa berat berdasarkan
tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan dipaparkan pada buku Riskesdas 2013 dalam
Angka.
Angka prevalensi seumur hidup skizofrenia di dunia bervariasi berkisar 4 permil sampai dengan
1,4 persen (Lewis et al.,2001). Beberapa kepustakaan menyebutkan secara umum prevalensi
skizofrenia sebesar 1 persen penduduk. Selanjutnya dipaparkan proporsi RT yang pernah
melakukan pemasungan terhadap ART dengan gangguan jiwa berat.
Tabel 3.9.2
Proporsi rumah tangga yang memiliki ARTgangguan jiwa berat yang pernah dipasung menurut
tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Indonesia 2013
Karakteristik
RT dengan riwayat pemasungan ART (%)
Tempat tinggal
Perkotaan
10,7
Perdesaan
18,2
Kuintil indeks kepemilikan
19,5
Terbawah
17,3
Menengah bawah
12,7
Menengah
7,3
Menengah atas
7,4
Teratas
Indonesia
14,3
Proporsi rumah tangga dengan ART gangguan jiwa berat yang pernah dipasung dihitung
terhadap 1.655 rumah tangga dengan penderita gangguan jiwa berat. Metode pemasungan tidak
terbatas pada pemasungan secara tradisional (menggunakan kayu atau rantai pada kaki), tetapi
termasuk tindakan pengekangan lain yang membatasi gerak, pengisolasian, termasuk
mengurung, dan penelantaran yang menyertai salah satu metode pemasungan.
Proporsi RT yang pernah memasung ART gangguan jiwa berat sebesar 14,3 persen dan
terbanyak pada RT di perdesaan. RT yang melakukan tindakan pemasungan terbanyak pada
kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah. Proporsi cakupan RT yang membawa ART
gangguan jiwa berobat ke fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan dipaparkan pada laporan
Riskesdas 2013 dalam angka.
3.9.2. Gangguan Mental Emosional
Di dalam kuesioner Riskesdas 2013, pertanyaan mengenai gangguan mental emosional
tercantum dalam kuesioner individu butir F01–F20. Gangguan mental emosional dinilai dengan
Self Reporting Questionnaire (SRQ) yang terdiri dari 20 butir pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan
SRQ ditanyakan pewawancara kepada ART umur ≥15 tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Ke20 butir pertanyaan ini mempunyai pilihan jawaban “ya” dan “tidak”. Nilai batas pisah yang
ditetapkan pada survei ini adalah 6, yang berarti apabila responden menjawab minimal 6 atau
lebih jawaban “ya”, maka responden tersebut diindikasikan mengalami gangguan mental
emosional. Nilai batas pisah tersebut sesuai penelitian uji validitas yang dilakukan Hartono, 1995.
Data yang dikumpulkan menggunakan instrumen SRQ memiliki keterbatasan hanya mengungkap
status emosional individu sesaat (±30 hari) dan tidak dirancang untuk mendiagnosis gangguan
jiwa secara spesifik.
Jumlah ART umur ≥15 tahun yang dianalisis untuk gangguan mental emosional sebanyak
703.946 orang, yang menjawab langsung semua pertanyaan yang dibacakan pewawancara.
127
Responden yang terpaksa diwakili atau didampingi ART lain saat diwawancara dengan alasan
karena yang bersangkutan menderita gangguan jiwa berat dengan kemampuan komunikasi
sangat buruk, menderita penyakit fisik berat atau disabilitas lainnya yang menyebabkan
responden tidak mampu menjawab pertanyaan yang diberikan, tidak dianalisis dalam laporan ini.
Tabel 3.9.3
Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur ≥15 tahun
berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20*) menurut provinsi, Indonesia 2013
Provinsi
Gangguan mental emosional (%)
Aceh
6,6
Sumatera Utara
4,5
Sumatera Barat
4,5
Riau
2,7
Jambi
1,6
Sumatera Selatan
4,6
Bengkulu
2,2
Lampung
1,2
Bangka Belitung
6,0
Kepulauan Riau
2,6
DKI Jakarta
5,7
Jawa Barat
9,3
Jawa Tengah
4,7
DI Yogyakarta
8,1
JawaTimur
6,5
Banten
5,1
Bali
4,4
Nusa Tenggara Barat
6,4
Nusa Tenggara Timur
7,8
Kalimantan Barat
2,5
Kalimantan Tengah
3,2
Kalimantan Selatan
5,1
Kalimantan Timur
3,2
Sulawesi Utara
5,9
Sulawesi Tengah
11,6
Sulawesi Selatan
9,3
Sulawesi Tenggara
4,1
Gorontalo
4,9
Sulawesi Barat
6,1
Maluku
4,9
Maluku Utara
5,4
Papua Barat
2,5
Papua
4,2
Indonesia
6,0
*Nilai Batas Pisah (cut off point) > 6
Prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional secara nasional adalah 6,0%
(37.728 orang dari subyek yang dianalisis). Provinsi dengan prevalensi gangguan mental
emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah (11,6%), sedangkan yang terendah di Lampung
(1,2%). Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik individu dan cakupan
pengobatan seumur hidup serta 2 minggu terakhir terdapat pada laporan Riskesdas 2013 dalam
Angka.
128
Penilaian gangguan mental emosional pada tahun 2007 dan 2013 menggunakan kuesioner serta
metode pengumpulan data yang sama. Prevalensi nasional serta beberapa prevalensi
berdasarkan karakteristik diperlihatkan dalam Gambar 3.9.1.
50,0
40,0
30,0
20,0
10,0
2007
Perdesaan
Perkotaan
Tamat D1-D3/PT
Tamat SLTA
Tamat SLTP
Tamat SD
Tidak Tamat SD
Tidak Sekolah
Perempuan
Laki-laki
75+ thn
65 - 74 thn
55 – 64 thn
45 – 54 thn
35 – 44 thn
25 – 34 thn
15 – 24 thn
Indonesia
0,0
2013
Gambar 3.9.1
Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik, Riskesdas 2007 dan 2013
Gambar 3.9.1 memperlihatkan bahwa pola prevalensi gangguan mental emosional sesuai
kelompok umur, jenis kelamin, dan pendidikan ART menurut Riskesdas 2013 senada dengan
hasil Riskesdas 2007, kecuali pola menurut tempat tinggal. Pada Riskesdas 2007 prevalensi
gangguan mental emosional di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan, tetapi dalam
Riskesdas 2013 prevalensi tersebut berbalik dan prevalensi di perkotaan menjadi lebih tinggi
dibanding di perdesaan.
129
3.10. Pengetahuan, sikap dan perilaku
Niniek L. Pratiwi, Julianty Pradono, Nunik Kusumawardhani, dan Ingan Ukur Tarigan
Pengetahuan, sikap dan perilaku dikumpulkan pada penduduk umur >10 tahun. Jumlah sampel
sebesar 835.258 orang. Topik yang dikumpulkan meliputi perilaku higienis, penggunaan
tembakau, aktivitas fisik, perilaku konsumsi buah dan sayur, makanan berisiko (makan/minum
manis, makanan asin, makanan berlemak, makanan dibakar, makanan olahan dengan pengawet,
bumbu penyedap, kopi dan minuman berkafein buatan bukan kopi) dan konsumsi makanan
olahan dari tepung terigu.
3.10.1. Perilaku Higienis
Perilaku higienis yang dikumpulkan meliputi kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) dan
perilaku mencuci tangan.
Tabel 3.10.1
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang berperilaku benar dalam buang air besar dan cuci
tangan menurut provinsi, Indonesia 2013
Berperilaku benar dalam
Berperilaku benar dalam hal
Provinsi
BAB
cuci tangan
Aceh
73,1
33,6
Sumatera Utara
85,0
32,9
Sumatera Barat
74,1
29,0
Riau
86,6
37,7
Jambi
82,0
44,1
Sumatera Selatan
77,0
45,3
Bengkulu
81,1
34,5
Lampung
83,6
46,7
Bangka Belitung
87,0
55,6
Kepulauan Riau
93,7
55,4
DKI Jakarta
98,9
59,2
Jawa Barat
87,8
45,7
Jawa Tengah
82,7
49,5
DI Yogyakarta
94,2
49,8
Jawa Timur
77,0
48,1
Banten
83,3
48,3
Bali
91,1
66,7
Nusa Tenggara Barat
73,3
39,3
Nusa Tenggara Timur
77,5
38,1
Kalimantan Barat
76,0
60,3
Kalimantan Tengah
75,1
58,8
Kalimantan Selatan
75,5
32,3
Kalimantan Timur
92,0
53,2
Sulawesi Utara
88,9
65,9
Sulawesi Tengah
73,2
44,3
Sulawesi Selatan
82,7
54,8
Sulawesi Tenggara
78,9
55,1
Gorontalo
77,5
64,9
Sulawesi Barat
69,8
63,2
Maluku
77,4
51,4
Maluku Utara
83,5
59,5
Papua Barat
83,2
54,6
Papua
57,0
29,5
Indonesia
82,6
47,0
130
Perilaku BAB yang dianggap benar adalah bila penduduk melakukannya di jamban. Perilaku
mencuci tangan yang benar adalah bila penduduk mencuci tangan dengan sabun sebelum
menyiapkan makanan, setiapkali tangan kotor (antara lain setelah memegang uang, binatang,
berkebun), setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak, setelah menggunakan
pestisida/insektisida, dan sebelum menyusui bayi (Promkes, 2011).
Dari Tabel 3.10.1 menunjukkan rerata nasional proporsi perilaku cuci tangan secara benar
sebesar 47,0 persen dan lima provinsi terendah adalah Sumatera Barat (29,0%), Papua
(29,5%), Kalimantan Selatan (32,3%), Sumatera Utara (32,9%) dan Aceh (33,6%).
Rerata nasional perilaku BAB di jamban adalah 82,6 persen. Lima provinsi terendah adalah
Papua (57,0%), Sulawesi Barat (69,8%), Aceh (73,1%), Sulawesi Tengah (73,2%) dan Nusa
Tenggara Barat (73,3%).
Berdasarkan analisis kecenderungan Gambar 3.10.1 terlihat bahwa rerata nasional proporsi
penduduk umur ≥10 tahun berperilaku cuci tangan dengan benar meningkat tahun 2007 (23,2%)
menjadi 47,0 persen pada tahun 2013.
100,0
80,0
47,0
60,0
40,0
20,0
23,2
Sumbar
Papua
Kalsel
Sumut
Aceh
Bengkulu
Riau
NTT
NTB
Jambi
Sulteng
Sumsel
Jabar
Lampung
Indonesia
Jatim
Banten
Jateng
DIY
Maluku
Kaltim
Papua Barat
Sulsel
Gorontalo
Kep. Riau
Babel
Kalteng
DKI
Maluku Utara
Kalbar
Sulbar
Sulbar
Sulut
Bali
0,0
2007
2013
Gambar 3.10.1
Kecenderungan proporsi penduduk umur ≥10 tahun berperilaku cuci tangan dengan benar
menurut provinsi, Indonesia 2007- 2013
Kecenderungan penduduk yang berperilaku BAB dengan benar terlihat pada Gambar 3.10.2,
yaitu adanya peningkatan proporsi perilaku penduduk Indonesia umur ≥10 tahun yang semula
71,1 persen (2007) menjadi 82,6 persen (2013).
131
100,0
82,6
80,0
60,0
71,1
40,0
20,0
Papua
Sulbar
Aceh
Sulteng
NTB
Sumbar
Kalteng
Kalsel
Kalbar
Sumsel
Jatim
Maluku
NTT
Sulbar
Gorontalo
Bengkulu
Jambi
Indonesia
Jateng
Sulsel
Papua Barat
Banten
Maluku Utara
Lampung
Sumut
Riau
Babel
Jabar
Sulut
Bali
Kaltim
Kep. Riau
DIY
DKI
0,0
2007
2013
Gambar 3.10.2
Kecenderungan proporsi penduduk Umur ≥10 tahun berperilaku BAB dengan benar menurut
provinsi, Indonesia 2007- 2013
3.10.2. Penggunaan Tembakau
Informasi perilaku penggunaan tembakau dalam Riskesdas tahun 2013 dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu perilaku merokok dan perilaku penggunaan tembakau dengan mengunyah. Hal
tersebut dikarenakan efek samping yang ditimbulkan akibat merokok dan dengan metode
mengunyah tembakau berbeda. Perokok hisap menimbulkan polusi pada perokok pasif dan
lingkungan sekitarnya, sedangkan mengunyah tembakau hanya berdampak pada dirinya sendiri.
Berdasarkan tabel 3.10.2 rerata proporsi perokok saat ini di Indonesia adalah 29,3 persen.
Proporsi perokok saat ini terbanyak di Kepulauan Riau dengan perokok setiap hari 27,2 persen
dan kadang-kadang merokok 3,5 persen.
132
Tabel 3.10.2
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan provinsi,
Indonesia 2013
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Perokok saat ini
Perokok
Perokok
kadangsetiap hari
kadang
25,0
4,3
24,2
4,2
26,4
3,9
24,2
4,1
22,9
4,7
24,7
5,4
27,1
3,3
26,5
4,8
26,7
3,1
27,2
3,5
23,2
6,0
27,1
5,6
22,9
5,3
21,2
5,7
23,9
5,0
26,0
5,3
18,0
4,4
26,8
3,5
19,7
6,2
23,6
3,1
22,5
4,0
22,1
3,6
23,3
4,4
24,6
5,9
26,2
4,5
22,8
4,2
21,8
4,2
26,8
5,5
22,0
4,2
22,1
6,5
25,8
6,1
22,1
6,0
16,3
5,6
24,3
5,0
Tidak merokok
Mantan
perokok
2,5
3,3
3,1
3,2
2,9
3,4
2,4
2,6
3,6
4,8
6,0
4,5
4,3
9,1
4,1
3,3
4,6
2,2
2,4
2,7
3,1
4,6
4,2
6,2
4,4
4,6
2,8
3,4
3,6
2,0
4,1
2,6
2,8
4,0
Bukan
perokok
68,2
68,2
66,0
68,5
69,5
66,6
67,2
66,0
66,6
64,4
64,8
62,8
67,6
64,1
67,0
65,3
73,0
67,5
71,6
70,0
69,8
69,8
68,1
63,3
64,9
68,5
71,1
64,3
70,2
69,4
64,0
69,3
75,4
66,6
Tabel 3.10.3 menunjukkan proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut karakteristik. Proporsi
terbanyak perokok aktif setiap hari pada umur 30-34 tahun sebesar 33,4 persen, umur 35-39
tahun 32,2 persen, sedangkan proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih banyak di
bandingkan perokok perempuan (47,5% banding 1,1%). Berdasarkan jenis pekerjaan,
petani/nelayan/buruh adalah proporsi perokok aktif setiap hari yang terbesar (44,5%)
dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya. Proporsi perokok setiap hari tampak cenderung
menurun pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi.
133
Tabel 3.10.3
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan karakteristik,
Indonesia 2013
Karakteristik
Kelompok umur (tahun)
10-14
15-19
20-24
25-29
30-34
35-39
40-44
45-49
50-54
55-59
60-64
65+
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat D1-D3/PT
Pekerjaan
Tidak bekerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani/nelayan/buruh
Lain-lain
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Perokok setiap hari
Perokok saat ini
Perokok kadang-kadang
0,5
11,2
27,2
29,8
33,4
32,2
31,0
31,4
31,4
30,3
27,6
21,7
0,9
7,1
6,9
5,0
5,1
5,2
5,4
5,5
5,3
5,0
4,8
5,1
47,5
1,1
9,2
0,8
19,7
18,3
25,2
25,7
28,7
18,9
3,1
3,2
4,5
5,7
6,6
5,6
6,9
33,6
39,8
44,5
32,4
3,0
7,4
6,5
6,9
5,8
23,2
25,5
5,1
4,9
27,3
26,9
25,5
23,5
19,5
5,0
5,1
5,1
5,0
4,7
Dari tabel 3.10.4 tampak bahwa rerata batang rokok yang dihisap per hari per orang di Indonesia
adalah 12,3 batang (setara satu bungkus). Jumlah rerata batang rokok terbanyak yang dihisap
ditemukan di Bangka Belitung (18 batang) dan di Riau (16-17 batang).
134
Tabel 3.10.4
Rerata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur ≥10 tahun
menurut provinsi, Indonesia 2013
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Perokok
15,3
14,9
15,8
16,5
14,4
13,4
14,0
12,1
18,3
15,1
11,6
10,7
10,1
9,9
11,5
12,3
12,0
11,6
10,8
14,9
15,0
16,7
15,6
13,2
13,8
14,6
14,4
12,4
14,9
12,0
12,4
12,8
13,0
12,3
135
Tabel 3.10.5
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah
tembakau menurut provinsi, Indonesia, 2013
Pengunyah tembakau saat ini
Setiap hari
Terkadang
4,0
7,3
3,1
3,0
2,7
2,4
2,0
1,5
1,4
1,0
3,0
1,2
2,9
1,0
1,3
0,8
2,1
1,4
1,1
0,9
1,1
0,6
1,6
0,9
2,0
0,7
2,2
1,1
1,9
0,8
1,7
0,8
3,8
1,2
3,1
1,7
17,7
12,1
2,9
2,5
2,9
2,8
1,5
0,7
1,8
1,1
2,5
1,1
3,0
1,3
1,8
1,1
2,7
1,0
2,6
1,0
2,1
1,1
5,7
4,1
7,1
8,0
11,4
8,8
6,7
7,3
2,5
1,6
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Tabel 3.10.5 menjelaskan proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang mempunyai kebiasaan
mengunyah tembakau menurut provinsi. Terlihat kebiasaan mengunyah tembakau atau
smokeless setiap hari di Indonesia sebesar 2,5 persen, sedangkan proporsi pengunyah
tembakau terkadang sebesar 1,6 persen. Proporsi tertinggi pengunyah tembakau setiap hari
yang berada diatas proporsi nasional adalah Nusa Tenggara Timur (17,7%), Papua Barat
(11,4%), Maluku utara (7,1%), Papua (6,7%) dan Maluku (5,7%).
Untuk melihat kecenderungan perokok 2007, 2010, dan 2013 ditampilkan pada gambar 3.10.3
data gabungan perokok hisap dan kunyah tembakau pada kelompok umur ≥15 tahun. Proporsi
penduduk umur ≥15 tahun yang merokok dan mengunyah tembakau cenderung meningkat,
berdasarkan Riskesdas 2007 sebesar 34,2 persen, Riskesdas 2010 sebesar 34,7 persen
136
dan Riskesdas 2013 menjadi 36,3 pesen. Proporsi tertinggi pada tahun 2013 adalah di Nusa
Tenggara Timur (55,6%).
80,0
60,0
36,3
40,0
20,0
Bali
Kalsel
DIY
Jambi
Sulsel
Gorontalo
Sulbar
Kaltim
Jateng
DKI
Jatim
Papua
Kalteng
Riau
Kep. Riau
Kalbar
Babel
Indonesia
Sulut
Bengkulu
Sumsel
Lampung
Banten
Sumbar
Sulteng
Sumut
Jabar
NTB
Sulbar
Aceh
Maluku
Papua Barat
Maluku Utara
NTT
0,0
2007
2010
2013
Gambar 3.10.3
Kecenderungan proporsi penduduk umur ≥15 tahun yang mempunyai kebiasaan menghisap dan
mengunyah tembakau menurut provinsi, Indonesia 2007, 2010 dan 2013
Di Indonesia, analisis survei penggunaan tembakau nasional yang memisahkan tembakau hisap
dan tembakau kunyah, selain Riskesdas juga dilakukan oleh Global Adults Tobacco Survey
(GATS).
Gambar 3.10.4 menunjukkan proporsi penduduk umur ≥15 tahun dari 2 survei tersebut, hasil
GATS 2011 dan Riskesdas 2013. Tampak proporsi perokok laki-laki 67,0 persen tahun 2011,
menjadi 64,9 persen tahun 2013. Demikian halnya dengan perokok perempuan yang menurut
GATS adalah 2,7 persen tahun 2011 dan 2,1 persen menurut Riskesdas 2013.
137
100,0
80,0
67,0
64,9
60,0
40,0
20,0
2,7
0,0
Laki-laki
GATS 2011
2,1
Perempuan
Riskesdas 2013
Gambar 3.10.4
Kecenderungan proporsi perokok umur≥15 tahun berdasarkan
hasil survei GATS tahun 2011 dan Riskesdas 2013
Gambar 3.10.5 menunjukkan proporsi penduduk mengunyah tembakau menurut jenis kelamin
dari data GATS 2011 dan Riskesdas 2013. Proporsi mengunyah tembakau cenderung sedikit
meningkat pada Riskesdas 2013 dibandingkan hasil GATS 2011. Tahun 2011 proporsi
mengunyah tembakau pada laki-laki adalah 1,5 persen dan pada perempuan sebesar 2,7 persen,
sementara menurut Riskesdas 2013 proporsi laki-laki sebesar 3,9 persen dan 4,8 persen pada
perempuan.
8,0
6,0
4,8
3,9
4,0
2,7
2,0
0,0
1,5
Laki-Laki
GATS 2011
Perempuan
Riskesdas 2013
Gambar 3.10.5
Kecenderungan proporsi penduduk umur ≥15 tahun mengunyah tembakau berdasarkan GATS
2011 dan Riskesdas 2013
138
3.10.3. Perilaku aktivitas fisik
Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan serta menguatkan sistem
jantung dan pembuluh darah. Dikumpulkan data frekuensi beraktivitas fisik dalam seminggu
terakhir untuk penduduk umur >10 tahun. Aktivitas fisik berat adalah kegiatan yag secara terus
menerus melakukan kegiatan fisik minimal 10 menit sampai meningkatnya denyut nadi dan
napas lebih cepat dari biasanya (misalnya menimba air, mendaki gunung, lari cepat, menebang
pohon, mencangkul, dll) selama minimal tiga hari dalam satu minggu dan total waktu beraktivitas
≥1500 MET minute. MET minute aktivitas fisik berat adalah lamanya waktu (menit) melakukan
aktivitas dalam satu minggu dikalikan bobot sebesar 8 kalori. Aktivitas fisik sedang apabila
melakukan aktivitas fisik sedang (menyapu, mengepel, dll) minimal lima hari atau lebih dengan
total lamanya beraktivitas 150 menit dalam satu minggu. Selain dari dua kondisi tersebut
termasuk dalam aktivitas fisik ringan (WHO GPAQ, 2012; WHO STEPS, 2012).
Dalam Riskesdas 2013 ini kriteria aktivitas fisik "aktif" adalah individu yang melakukan aktivitas
fisik berat atau sedang atau keduanya, sedangkan kriteria 'kurang aktif' adalah individu yang tidak
melakukan aktivitas fisik sedang ataupun berat.
Perilaku sedentari adalah perilaku duduk atau berbaring dalam sehari-hari baik di tempat kerja
(kerja di depan komputer, membaca, dll), di rumah (nonton TV, main game, dll), di perjalanan
/transportasi (bis, kereta, motor), tetapi tidak termasuk waktu tidur.
Penelitian di Amerika tentang perilaku sedentari yang menggunakan cut off points <3 jam, 3-5,9
jam, ≥6jam, menunjukkan bahwa pengurangan aktivitas sedentari sampai dengan <3 jam per
hari dapat meningkatkan umur harapan hidup sebesar 2 tahun (Katzmarzyk, P & Lee, 2012).
Perilaku sedentari merupakan perilaku berisiko terhadap salah satu terjadinya penyakit
penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan bahkan mempengaruhi umur harapan
hidup.
Berikut proporsi penduduk yang melakukan aktivitas fisik “aktif” dan “kurang aktif” (Tabel 3.10.6).
Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 26,1 persen. Terdapat 22
provinsi dengan penduduk aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada diatas rata-rata Indonesia.
Lima tertinggi adalah provinsi penduduk DKI Jakarta (44,2%), Papua (38,9%), Papua Barat
(37,8%), Sulawesi Tenggara dan Aceh (masing-masing 37,2%)
139
Tabel 3.10.6
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun sesuai jenis aktivitas fisik
menurut provinsi, Indonesia 2013
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Aktivitas fisik
Aktif
62,8
76,5
71,2
69,4
68,8
73,3
70,4
76,2
80,0
66,5
55,8
74,6
79,5
79,2
78,7
77,1
85,8
66,0
71,3
67,8
74,7
80,2
64,3
68,3
73,0
69,0
62,8
68,0
72,5
63,2
68,1
62,2
61,1
73,9
Kurang aktif
37,2
23,5
28,8
30,6
31,2
26,7
29,6
23,8
20,0
33,5
44,2
25,4
20,5
20,8
21,3
22,9
14,2
34,0
28,7
32,2
25,3
19,8
35,7
31,7
27,0
31,0
37,2
32,0
27,5
36,8
31,9
37,8
38,9
26,1
Tabel 3.10.7 menunjukkan hampir separuh proporsi penduduk kelompok umur ≥10 tahun dengan
perilaku sedentari 3-5,9 jam (42,0%), sedangkan sedentari ≥6 jam per hari meliputi hampir satu
dari empat penduduk. Lima provinsi dengan proporsi penduduk sedentari ≥6 jam adalah Riau
(39,1%), Maluku Utara (34,5%), Jawa Timur (33,9%), Jawa Barat (33,0%), dan Gorontalo
(31,5%).
140
Tabel 3.10.7
Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktivitas sedentari
menurut karakteristik, Indonesia 2013
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
<3 jam
52,3
42,9
24,1
25,2
42,2
39,5
43,5
39,0
36,7
32,8
48,1
24,8
33,1
42,1
22,7
25,9
35,0
37,1
66,6
50,7
43,1
35,0
41,9
42,3
33,6
46,6
60,3
36,4
43,3
36,2
33,9
50,4
47,0
33,9
Aktivitas sedentari
3- 5,9 jam
36,6
41,3
45,5
35,7
41,2
42,8
42,0
49,4
38,9
48,9
39,0
42,2
43,2
40,7
43,5
50,2
36,3
47,8
29,9
41,3
42,3
44,7
37,8
38,9
35,5
36,2
36,0
32,1
34,4
38,2
31,6
40,8
42,9
42,0
≥6 jam
11,2
15,7
30,3
39,1
16,5
17,8
14,5
11,7
24,4
18,3
12,9
33,0
23,1
17,1
33,9
23,9
28,7
15,1
3,5
8,0
13,9
20,4
20,2
18,8
30,9
17,2
3,1
31,5
22,3
25,5
34,5
8,8
10,1
24,1
Tabel 3.10.8 menunjukkan proporsi perilaku sedentari berdasarkan karakteristik penduduk umur
≥10 tahun. Berdasarkan kelompok umur terdapat kecenderungan semakin bertambah umur
semakin menurun proporsi perilaku sedentari ≥6 jam, namun proporsi tersebut mulai meningkat
pada umur ≥50 tahun. Proporsi perilaku sedentari ≥6 jam lebih banyak pada perempuan,
penduduk dengan pendidikan rendah, tidak bekerja, tinggal di daerah perkotaan, dan penduduk
dengan kuintil indeks kepemilikan lebih tinggi dibandingkan dengan yang lebih rendah.
141
Tabel 3.10.8
Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktivitas sedentari
menurut karakteristik, Indonesia 2013
Aktivitas sedentary
Karakteristik
<3 jam
3- 5,9 jam
≥6 jam
Kelompok umur (tahun)
10-14
28,2
42,7
29,1
15-19
30,9
43,1
25,5
20-24
33,8
43,0
23,2
25-29
35,4
42,5
22,1
30-34
36,7
42,3
21,0
35-39
37,1
42,1
20,8
40-44
37,5
41,8
20,6
45-49
37,7
41,7
20,6
50-54
36,1
41,9
22,0
55-59
34,4
41,1
24,5
60-64
32,8
40,3
26,9
65+
25,9
36,7
37,4
Jenis kelamin
Laki-laki
34,7
43,1
22,2
Perempuan
33,0
40,9
26,1
Pendidikan
Tidak sekolah
32,8
40,3
26,9
Tidak tamat SD
32,0
41,4
26,6
Tamat SD
33,4
42,3
24,3
Tamat SLTP
34,4
42,6
23,1
Tamat SLTA
35,4
42,1
22,4
Tamat D1-D3/PT
34,9
41,2
23,9
Pekerjaan
Tidak bekerja
30,0
41,1
28,9
Pegawai
36,8
42,2
21,0
Wiraswasta
35,2
42,7
22,1
Petani/buruh/nelayan
38,8
43,4
17,8
Lainnya
36,6
40,9
22,6
Tempat tinggal
Perkotaan
32,3
41,6
26,1
Perdesaan
35,4
42,5
22,1
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
37,6
41,2
21,2
Menengah bawah
33,6
42,1
24,3
Menengah
32,4
42,8
24,8
Menengah atas
33,1
41,9
25,0
Teratas
33,9
41,7
24,3
3.10.4. Perilaku konsumsi sayur dan buah
Informasi frekuensi dan porsi asupan sayur dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah
hari konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan
‘cukup’ mengonsumsi sayur dan/atau buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi
per hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ’kurang’ apabila konsumsi sayur dan/atau
buah kurang dari ketentuan di atas. Riskesdas 2007 dan 2013 mengumpulkan hal yang sama
142
sehingga dapat dilakukan analisis kecenderungan proporsi penduduk umur >10 tahun yang
mengonsumsi kurang sayur dan buah.
Pada gambar 3.10.6 terlihat bahwa secara nasional tidak terjadi perubahan yang berarti antara
data 2007 dan 2013. Perubahan yang paling menonjol terjadi di Gorontalo, dengan proporsi
kurang konsumsi sayur dan buah semakin meningkat, dari 83,5 persen menjadi 92,5 persen.
100,0
93,5
95,0
90,0
93,6
85,0
80,0
DIY
Lampung
Papua
NTT
Jatim
Jateng
Papua Barat
Maluku
Maluku Utara
Gorontalo
Sumut
Aceh
Kalteng
Kaltim
Indonesia
Kep. Riau
Bali
Sulut
Sultra
Sulteng
NTB
DKI
Bengkulu
Kalbar
Jambi
Banten
Jabar
Babel
Sumsel
Sulsel
Sumbar
Sulbar
Riau
Kalsel
75,0
2007
2013
Gambar 3.10.6
Kecenderungan proporsi penduduk ≥10 tahun kurang makan sayur dan buah menurut provinsi,
Indonesia 2007 dan 2013
3.10.5. Pola konsumsi makanan berisiko
Perilaku konsumsi makanan berisiko, antara lain kebiasaan mengonsumsi makanan/minuman
manis, asin, berlemak, dibakar/panggang, diawetkan, berkafein, dan berpenyedap adalah
perilaku berisiko penyakit degeneratif. Perilaku konsumsi makanan berisiko dikelompokkan
‘sering’ apabila penduduk mengonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari.
Tabel 3.10.9 mempresentasikan proporsi penduduk ≥10 tahun dengan makanan berisiko menurut
provinsi. Konsumsi makanan/minuman manis ≥1 kali dalam sehari secara nasional adalah 53,1
persen (Gambar 3.10.7). Lima provinsi dengan proporsi tertinggi dilaporkan di Kalimantan
Selatan (70,4%), DI Yogyakarta (69,2%), Kalimantan Tengah (67,6%), Sumatera Selatan (63,3%)
dan Sumatera Utara (62,5%) (Tabel 3.10.9).
Proporsi nasional penduduk dengan perilaku konsumsi makanan berlemak, berkolesterol dan
makanan gorengan ≥1 kali per hari 40,7 persen (Gambar 3.10.7). Lima provinsi tertinggi di atas
rerata nasional adalah Jawa Tengah (60,3%), DI Yogyakarta (50,7%), Jawa Barat (50,1%), Jawa
Timur (49,5%), dan Banten (48,8%). (Tabel 3.10.9).
Hampir empat dari lima (Gambar 3.10.7) penduduk Indonesia mengonsumsi penyedap ≥1 kali
dalam sehari (77,3%), tertinggi di Bangka Belitung (87,4%) terendah di Aceh (37,9%). (Tabel
3.10.9). Untuk mengetahui karakteristik penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan
berisiko dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka.
143
Tabel 3.10.9
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi berisiko >1 kali sehari
menurut provinsi, Indonesia 2013
Perilaku konsumsi berisiko ≥1 kali per hari
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Manis
52,3
62,5
48,1
54,9
52,3
63,3
42,6
59,3
42,5
60,5
61,4
50,1
62,0
69,2
47,8
47,1
22,4
32,2
30,0
58,8
67,6
70,4
60,6
53,8
49,8
50,8
44,4
51,8
52,1
62,2
50,6
61,0
42,6
53,1
Asin
12,3
15,9
6,8
15,6
22,8
37,8
21,5
32,4
7,9
8,7
20,3
45,3
30,4
12,4
24,3
33,6
6,4
10,9
8,2
30,0
23,4
16,6
15,6
5,8
9,3
19,4
11,5
8,4
30,1
9,2
13,1
9,0
11,0
26,2
Berlemak
Dibakar
Hewani
berpengawet
21,2
21,4
34,3
25,2
17,7
26,9
21,2
21,4
22,4
34,2
47,8
50,1
60,3
50,7
49,5
48,8
18,4
26,1
7,9
25,9
41,8
35,8
23,9
42,7
30,6
25,0
17,9
44,4
17,6
33,0
38,0
27,0
20,2
40,7
3,6
2,7
2,6
4,0
3,6
2,9
2,8
1,7
6,1
4,4
4,2
3,2
2,4
2,2
2,6
3,3
2,0
5,6
4,1
3,8
5,5
4,1
4,0
11,5
17,1
10,4
12,1
15,0
11,2
12,7
11,6
11,8
48,1
4,4
4,0
2,8
4,0
6,3
3,6
3,1
4,3
2,2
2,7
3,9
6,9
5,4
3,1
4,0
3,4
3,9
4,7
4,4
2,4
6,5
5,4
5,8
5,5
2,3
1,8
4,0
3,0
1,6
1,3
6,8
3,1
4,8
8,4
4,3
144
Penyedap
37,9
44,6
48,5
78,1
74,5
79,6
84,1
82,7
87,4
75,9
77,8
87,1
83,1
77,8
80,5
82,9
72,5
84,8
69,6
74,7
81,7
82,6
69,1
75,0
76,5
77,1
68,6
74,7
64,0
82,6
66,2
70,7
48,4
77,3
Kopi
34,3
13,6
21,5
17,1
21,5
39,2
36,5
35,1
35,5
23,0
28,2
31,4
20,2
14,9
36,0
31,9
49,0
37,5
47,6
45,8
31,7
20,9
22,9
33,5
30,1
27,4
18,5
26,3
37,5
21,9
23,9
23,0
25,0
29,3
Kafein
selain
kopi
9,3
3,1
4,7
4,9
6,0
5,6
5,6
3,6
4,3
8,5
7,5
6,9
4,4
5,3
4,6
3,9
8,3
4,3
4,1
9,6
4,0
14,5
5,9
7,4
4,5
5,7
6,8
6,4
3,9
6,1
6,8
5,1
7,6
5,6
Daging yang diawetkan
4,3
Dibakar
4,4
Kopi non kafein
5,6
Makanan Asin
26,2
Kopi
29,3
Berlemak
40,7
Makanan Manis
53,1
Bumbu penyedap
77,3
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Gambar 3.10.7
Proporsi penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan berisiko >1 kali sehari, 2013
Analisis kecenderungan makanan berisiko tahun 2007 dan tahun 2013 hanya bisa dibandingkan
berdasarkan empat kelompok konsumsi makanan berisiko, yaitu jenis makanan yang dibakar,
makanan asin, makanan dan minuman manis serta makanan berbahan bumbu penyedap,
Gambar 3.10.8 menunjukan kebiasaan penduduk dalam mengkonsumsi makanan dibakar,
makanan,minuman manis dan pemakaian bumbu penyedap terjadi penurunan pada tahun 2013
dibandingan tahun 2007, sedangkan kebiasaan konsumsi makanan asin terjadi peningkatan.
100,0
77,8 77,3
80,0
65,2
60,0
53,1
40,0
20,0
0,0
24,5 26,2
4,9 4,4
DIBAKAR
ASIN
2007
MANIS
2013
BUMBU
PENYEDAP
Gambar 3.10.8
Kecenderungan Penduduk umur ≥10 tahun perilaku konsumsi makanan berisiko >1 kali sehari,
Indonesia tahun 2007 dan 2013
145
3.10.6. Konsumsi makanan olahan dari tepung
Perilaku mengonsumsi makanan jadi dari olahan tepung juga dikumpulkan pada Riskesdas 2013.
Makanan olahan dari tepung dicurigai mengandung bahan atau lapisan lilin, dan bahan
pengawet. Contoh makanan jadi olahan dari tepung adalah mi instan, mi basah, roti dan biskuit.
Analisis jenis makanan ini dapat dilihat pada Gambar 3.10.9.
20,0
20,0
16,0
16,0
12,0
13,4
12,0
10,1
8,0
8,0
3,8
4,0
0,0
15,6
Mie Instan
4,0
0,0
Mie Basah
Roti
Biskuit
Gambar 3.10.9
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut frekuensi makanan
bersumber tepung terigu ≥1 kali/hari
Tabel 3.10.10 menunjukkan rerata penduduk Indonesia berperilaku mengonsumsi mi instan. Satu
dari sepuluh penduduk mengonsumsi mi instan ≥1 kali per hari. Tujuh provinsi tertinggi yang
mengonsumsi mi instan ≥1 kali per hari di atas rerata nasional adalah Sulawesi Tenggara
(18,4%), Sumatera Selatan (18,2%), Sulawesi Selatan (16,9%), Papua (15,9%), Kalimantan
Tengah (15,6%), Maluku dan Kalimantan Barat (14,8%). Hanya 3,8 persen penduduk
mengonsumsi mi basah ≥1 kali per hari.
Sebanyak 13,4 persen penduduk Indonesia mengonsumsi biskuit ≥1 kali per hari. Proporsi
penduduk mengonsumsi biskuit berada diatas rerata nasional yaitu Kepulauan Riau (29,8%),
Sumatera Utara (21,1%), DKI Jakarta (19,6%), Sumatera Barat (18,7%), Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Timur (masing-masing 17,2%)
Informasi yang sama menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013
dalam Angka.
146
Tabel 3.10.10
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung >1
kali sehari menurut provinsi, Indonesia, 2013
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Makanan olahan tepung ≥1 kali per hari
Biskuit
Mi Instant
Mi Basah
Roti
9,6
6,7
17,1
15,9
5,6
3,6
25,0
21,1
4,1
3,0
23,2
18,7
9,9
4,7
19,2
16,0
10,3
5,2
19,2
15,0
18,2
3,1
12,1
9,5
7,5
2,5
9,3
8,3
6,4
2,4
7,9
8,2
14,2
3,4
18,1
13,1
10,0
3,0
34,2
29,8
12,4
4,8
24,1
19,6
13,8
5,7
16,4
14,6
6,5
2,6
12,3
11,1
5,1
1,6
16,2
13,4
6,7
2,3
9,4
8,3
11,8
3,3
19,0
14,6
5,3
1,7
20,5
16,2
13,9
4,4
14,3
13,1
7,7
2,4
8,0
7,3
14,8
5,1
18,9
16,9
15,6
4,3
14,7
14,6
13,5
3,0
20,3
17,2
12,6
4,6
17,7
17,2
5,8
4,0
20,9
15,2
10,9
2,3
12,6
11,8
16,9
6,4
14,6
14,7
18,4
4,8
20,0
13,2
5,5
2,6
10,7
10,3
9,6
2,5
10,0
8,5
14,8
4,4
43,1
15,7
11,2
3,0
24,2
16,2
11,6
5,2
15,2
10,8
15,9
6,6
11,1
12,1
10,1
3,8
15,6
13,4
3.10.7. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
Indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terdiri dari sepuluh indikator yang mencakup
perilaku individu dan gambaran rumah tangga (Promkes 2009). Data PHBS pada tahun 2007
mengacu pada indikator PHBS yang sudah ditetapkan tahun 2004. Pada Indikator individu
meliputi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, bayi 0-6 bulan mendapat ASI eksklusif,
kepemilikan/ketersediaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, penduduk tidak merokok, penduduk
cukup beraktivitas fisik, dan penduduk cukup mengonsumsi sayur dan buah. Indikator Rumah
Tangga meliputi rumah tangga memiliki akses terhadap air bersih, akses jamban sehat,
kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni (≥8m 2/ orang), dan rumah tangga dengan lantai
rumah bukan tanah. Pada PHBS tahun 2007 untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10
147
indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri
dari 8 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah delapan (8) PHBS diklasifikasikan “kurang” apabila
mendapatkan nilai kurang dari enam (6) untuk rumah tangga mempunyai balita dan nilai kurang
dari lima (5) untuk rumah tangga tanpa balita.
Pada tahun 2011 telah dibuat indikator PHBS yang baru dan sedikit berbeda dengan indikator
PHBS ditetapkan sebelumnya. Indikator PHBS yang ditetapkan pada tahun 2011 oleh Pusat
Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan mencakup 10 indikator yang meliputi :1) Persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan; 2) melakukan penimbangan bayi dan balita; 3) memberikan ASI
eksklusif; 4) penggunaan air bersih; 5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; 6)
memberantas jentik nyamuk; 7) memakai jamban sehat; 8) makan buah dan sayur setiap hari; 9)
melakukan aktivitas fisik setiap hari; 10) tidak merokok dalam rumah. Pada PHBS tahun 2013
untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10;
sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 7 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah
tujuh. Penilaian PHBS rumah tangga baik diukur dengan batasan yang sama dengan penilaian
rumah tangga PHBS tahun 2007. Kriteria rumah tangga dengan PHBS baik adalah rumah tangga
yang memenuhi indikator baik, sebesar 6 indikator atau lebih untuk rumah tangga yang punya
balita dan 5 indikator atau lebih untuk rumah tangga yang tidak mempunyai balita, Jumlah sampel
rumah tangga dalam analisis PHBS ini adalah sebesar 294.959 (220.895 rumah tangga tanpa
balita dan 74.064 rumah tangga yang memiliki balita).
Dalam Riskesdas 2013 indikator yang dapat digunakan untuk PHBS sesuai dengan kriteria PHBS
yang ditetapkan oleh Pusat Promkes pada tahun 2011, yaitu mencakup delapan indikator individu
(cuci tangan, BAB dengan jamban, konsumsi sayur dan buah, aktivitas fisik, merokok dalam
rumah, persalinan oleh tenaga kesehatan, memberi ASI eksklusif, menimbang balita), dan dua
indikator rumah tangga (sumber air bersih dan memberantas jentik nyamuk). Pengertian indikator
yang digunakan dalam PHBS Riskesdas 2013 ini adalah sebagai berikut:
1. Persalinan oleh tenaga kesehatan,
Data ini didapatkan dari data persalinan yang terakhir yang ditolong oleh tenaga
kesehatan dari riwayat persalinan dalam tiga tahun terakhir sebelum survei (kurun waktu
tahun 2010 sampai tahun 2013)
2. Melakukan penimbangan bayi dan balita,
Indikator ini menggunakan variabel individu usia 0 sampai 59 bulan yang mempunyai
riwayat pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir
3. Memberikan ASI eksklusif,
Indikator ini menggunakan data dari riwayat pernah diberikan ASI eksklusif diantara
individu baduta usia 0 – 23 bulan. Pengertian pemberian ASI eksklusif dalam analisis ini
adalah bayi usia ≤6 bulan yang hanya mendapatkan ASI saja dalam 24 jam terakhir saat
wawancara atau individu baduta yang pertama kali diberi minuman atau makanan
berumur enam bulan atau lebih
4. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun,
Indikator mencuci tangan dengan benar mencakup mencuci tangan dengan air bersih dan
sabun saat sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor, setelah buang air
besar, setelah menggunakan pestisida (bila menggunakan), setelah menceboki bayi dan
sebelum menyusui bayi (bila sedang menyusui)
5. Memakai jamban sehat,
Perilaku menggunakan jamban sehat diukur dari perilaku buang air besar menggunakan
jamban saja
6. Melakukan aktivitas fisik setiap hari,
Indikator ini diukur berdasarkan individu yang biasa melakukan aktivitas fisik berat atau
sedang dalam tujuh hari seminggu
7. Konsumsi buah dan sayur setiap hari,
Perilaku konsumsi buah dan sayur diukur berdasarkan individu yang biasa konsumsi
buah dan sayur selama tujuh hari dalam seminggu
148
8. Tidak merokok dalam rumah,
Pengertian tidak merokok di dalam rumah adalah individu yang tidak mempunyai
kebiasaan merokok di dalam rumah pada saat ada anggota rumah tangga lainnya serta
memperhitungkan juga rumah tangga yang tidak ada anggota rumah tangga yang
merokok
9. Penggunaan air bersih,
Perilaku menggunakan air bersih didapatkan dari data rumah tangga yang menggunakan
sumber air bersih dengan kategori baik untuk seluruh keperluan rumah tangga
10. Memberantas jentik nyamuk,
Rumah tangga dengan perilaku memberantas jentik nyamuk dalam indikator ini adalah
rumah tangga yang menguras bak mandi satu kali atau lebih dalam seminggu atau yang
tidak menggunakan bak mandi dan tidak mandi di sungai
Beberapa indikator yang digunakan dalam Riskesdas 2013 ini berbeda dengan indikator yang
digunakan dalam Riskesdas 2007, sehingga tidak bisa menggambarkan kecenderungan
kenaikan atau penurunan proporsi rumah tangga ber-PHBS.
Berikut adalah proporsi rumah tangga dengan 10 indikator PHBS yang dikumpulkan dalam
Riskesdas 2013.
Persalinan nakes
87,6
Sumber air bersih baik
82,2
BAB di jamban
81,9
Tidak merokok di dalam rumah
78,8
Perilaku cegah jentik
77,4
Menimbang balita
68,0
Aktifitas fisik tiap hari
52,8
Cuci tangan dengan benar
47,2
Memberi ASI eksklusif
Konsumsi sayur dan buah tiap hari
38,0
10,7
0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 90,0 100,0
Gambar 3.10.10
Proporsi RT melakukan PHBS menurut 10 indikator, 2013
Ada perbedaan angka pada indikator PHBS dengan cakupan pada pelayanan kesehatan, antara
lain: 1) penolong persalinan oleh nakes, reproduksi ditampilkan data 3 tahun terakhir dan data
yang digunakan adalah data penolong persalinan terakhir; 2) ASI 24 jam untuk kelompok umur 6
bulan merupakan data bayi yang mendapatkan ASI saja dalam 24 jam terakhir dan tidak
diberikan makanan prelakteal, sedangkan pada anak usia 6–59 bulan ditanyakan pada usia
berapa pertama kali diberikan makanan tambahan; 3) penimbangan balita adalah frekuensi
penimbangan anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan terakhir; 4) sumber air bersih “baik” adalah air
bersih yang digunakan RT selain air minum; 5) aktivitas fisik mencakup aktivitas fisik “berat” atau
149
“sedang” setiap hari tanpa memperhitungkan lama beraktivitas; 6) konsumsi buah dan sayur
adalah konsumsi buah dan sayur setiap hari tanpa memperhitungkan jumlah porsi.
100,0
80,0
60,0
40,0
32,3
0,0
Papua
Aceh
NTT
Sumbar
Lampung
Jambi
Kalbar
Bengkulu
Riau
Sultra
Sumsel
Kalteng
NTB
Sumut
Sulteng
Maluku
Kalsel
Sulbar
Malut
Pabar
INDONESIA
Babel
Jatim
Jabar
Kep.Riau
Banten
Kaltim
Gorontalo
Sulsel
Jateng
Sulut
DIY
Bali
DKI
20,0
Catatan: PHBS baik adalah ruta yang memenuhi kriteria >= enam indikator untuk rumah tangga dengan balita dan
>=5 indikator untuk rumah tangga tidak punya balita,
Gambar 3.10.11
Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik
menurut provinsi, Indonesia 2013
Gambar 3.10.11 menunjukkan bahwa proporsi nasional rumah tangga dengan PHBS baik
adalah 32,3 persen, dengan proporsi tertinggi pada DKI Jakarta (56,8%) dan terendah pada
Papua (16,4%). Terdapat 20 dari 33 provinsi yang masih memiliki rumah tangga PHBS baik di
bawah proporsi nasional. Proporsi nasional rumah tangga PHBS pada tahun 2007 adalah
sebesar 38,7%.
Gambar 3.10.12 menyajikan proporsi rumah tangga dengan PHBS baik lebih tinggi di perkotaan
(41,5%) dibandingkan di perdesaan (22,8%). Proporsi rumah tangga dengan PHBS baik
meningkat dengan semakin tingginya kuintil indeks kepemilikan (terbawah 9,0%, teratas 48,3%).
60,0
50,0
48,3
42,3
41,3
40,0
35,2
30,0
24,5
22,9
20,0
9,2
10,0
0,0
Perkotaan
Perdesaan
Terbawah
Menengah
bawah
Menengah
Menengah
atas
Teratas
Gambar 3.10.12
Proporsi rumah tangga memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut
karakteristik, Indonesia 2013
150
3.11. Pembiayaan kesehatan
Endang Indriasih dan Anni Yulianty
Salah satu tujuan sistem kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan (health status),
ketanggapan (responsiveness), dan keadilan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan (fairness
of financing, WHO, 2000). Pada topik ini dikumpulkan informasi tentang jenis kepemilikan dan
penggunaan jaminan kesehatan, pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan, dan sumber
pembiayaan yang paling sering dimanfaatkan penduduk beserta besaran biaya yang
dikeluarkannya.
Pembiayaan kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan
dan atau memanfaatkan upaya kesehatan/memperbaiki keadaan kesehatan yang diperlukan oleh
perorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Tujuan dari pembiayaan kesehatan adalah
untuk menjamin dana yang cukup, tidak hanya bagi penyedia pelayanan kesehatan, namun juga
seluruh penduduk dapat memiliki akses kepada upaya pelayanan kesehatan masyarakat dan
perorangan yang efektif dan berkualitas.(WHO,2000)
Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh
manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan, yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya
dibayar oleh pemerintah (Perpres no 12 tahun 2013).
Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 130 bahwa pembiayaan kesehatan
bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah
yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya
guna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Unsur-unsur pembiayaan terdiri atas sumber
pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan. Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah
pusat, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, dan sumber lain.
Syarat pokok pembiayaan kesehatan meliputi: (1) jumlah harus memadai untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan tidak menyulitkan masyarakat yang
memanfaatkan; (2) distribusinya harus sesuai dengan kebutuhan untuk penyelenggaraan
pelayanan kesehatan; serta (3) pemanfaatannya harus diatur setepat mungkin agar tercapai
efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang optimal (UU No. 36,
2009).
Pada Riskesdas 2013, analisis pembiayaan kesehatan meliputi kepemilikan jaminan kesehatan
serta pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap berikut sumber dan
besaran biayanya. Sumber biaya dibedakan menjadi biaya sendiri, asuransi kesehatan sosial
(meliputi Askes PNS, Pensiun, Veteran, TNI/Polri), Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja),
asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, jaminan kesehatan
masyarakat (Jamkesmas), dan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda).
3.11.1. Kepemilikan jaminan kesehatan
Hasil analisis memberikan informasi tentang proporsi penduduk yang telah tercakup maupun
yang tidak tercakup jaminan kesehatan. Jenis jaminan kesehatan terdiri dari; asuransi kesehatan
(PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementerian
Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari
perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda. Untuk kepentingan analisis Askes dan ASABRI
dimasukkan dalam satu kelompok dikarenakan pemerintah juga membayar sebagian dari iuran
jaminan tersebut.
151
Tabel 3.11.1
Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan provinsi, Indonesia 2013
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Jenis Jaminan Kesehatan
Askes/
ASABRI
8,8
5,6
8,7
5,2
8,1
5,6
9,3
5,0
8,7
4,8
4,8
4,7
5,1
11,9
5,1
4,8
7,3
5,2
7,1
5,5
9,7
7,4
6,7
11,3
9,5
7,7
10,8
9,3
6,6
10,9
9,6
8,8
8,2
6,0
Jamsostek
1,5
5,4
1,6
5,6
2,9
3,4
3,3
1,4
3,3
20,3
10,1
5,7
3,0
4,7
3,6
8,7
5,5
0,6
0,1
1,7
2,9
5,5
12,5
4,3
1,7
2,3
1,0
1,5
1,4
1,6
1,1
2,9
1,5
4,4
Askes
Swasta
0,4
1,4
1,0
3,0
0,9
1,6
0,7
0,7
2,1
4,0
6,2
2,1
1,1
3,7
1,2
3,7
3,9
0,3
0,3
0,6
0,6
1,1
2,1
1,4
0,2
0,6
0,2
0,7
0,1
0,6
0,4
0,3
1,8
1,7
Perusahaan
0,5
1,9
0,4
2,9
0,6
1,4
0,5
1,2
1,2
5,7
4,7
2,3
0,9
2,5
1,0
4,3
3,5
0,2
0,1
0,9
4,4
1,0
2,7
0,7
0,3
0,5
0,3
0,2
1,2
0,1
0,2
0,7
2,3
1,7
Jamkesmas
Jamkesda
56,7
23,3
26,1
15,4
23,9
21,6
28,5
33,9
13,0
13,5
3,4
29,4
35,8
41,0
28,3
23,9
12,4
40,4
58,6
22,2
16,8
15,9
15,4
32,3
31,2
31,4
34,0
47,6
39,0
37,5
26,3
62,1
50,9
28,9
30,8
4,1
9,3
13,9
2,2
25,8
0,7
15,1
45,5
7,9
6,3
3,4
2,9
7,7
1,3
2,9
67,7
4,1
2,8
12,5
26,4
9,6
35,4
3,5
7,7
49,2
11,0
15,3
15,8
5,6
10,6
6,4
26,0
9,6
Tidak
punya
3,4
59,3
53,6
57,8
61,9
45,7
57,7
46,7
34,0
48,3
69,1
54,7
52,9
32,5
60,5
54,5
11,0
49,4
31,7
58,6
46,4
60,9
30,2
48,0
50,5
14,0
43,8
26,6
41,4
44,5
52,5
26,3
34,8
50,5
Tabel 3.11.1 menunjukkan 50,5 persen penduduk Indonesia belum memiliki jaminan kesehatan.
Askes/ASABRI dimiliki oleh sekitar 6 persen penduduk, Jamsostek 4,4 persen, asuransi
kesehatan swasta dan tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 1,7 persen.
Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (28,9%) dan Jamkesda (9,6%). Dari data
tersebut juga menyiratkan adanya kepemilikan jaminan lebih dari satu jenis jaminan untuk
individu yang sama.
Kepemilikan jaminan kesehatan penduduk menurut provinsi sangat bervariasi. Provinsi Aceh
menjadi provinsi yang paling tinggi cakupan kepemilikan jaminan diantara provinsi lain, yaitu
sekitar 96,6 persen penduduk atau hanya 3,4 persen yang tidak punya jaminan apapun.
Sebaliknya DKI Jakarta menjadi provinsi dengan cakupan kepemilikan jaminan kesehatan yang
paling rendah dengan 69,1 persen penduduk tidak punya jaminan.
152
Walaupun DKI Jakarta diketahui tidak masuk dalam kuota program Jamkesmas, namun terdapat
3,4 persen penduduk yang menyatakan memiliki Jamkesmas. Empat provinsi dengan cakupan
kepemilikan jaminan kesehatan kurang dari 40 persen adalah DKI Jakarta, Jambi, Kalimantan
Selatan, dan Jawa Timur.
Tabel 3.11.2
Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik, Indonesia 2013
Jenis Jaminan Kesehatan
Karakteristik
Kelompok umur (tahun)
0-4
5 -14
15-24
25-34
35-44
45-54
55-64
65-74
75+
Pekerjaan
Tidak bekerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani/Nelayan/Buruh
Lainnya
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Askes/
ASABRI
Jamsostek
Askes
Swasta
Jamkesmas
Jamkesda
Tidak
punya
3,1
4,4
5,9
4,1
5,9
10,4
10,1
10,0
8,4
4,0
3,3
4,9
7,7
5,6
2,9
1,0
0,3
0,2
1,8
1,5
1,4
2,4
2,3
1,6
1,0
0,5
0,3
1,8
1,5
1,7
2,5
2,1
1,6
0,7
0,4
0,2
19,1
31,6
28,1
26,9
30,3
29,9
31,6
35,0
35,3
9,5
9,9
9,3
9,9
1,,0
9,2
9,3
9,0
8,3
62,6
50,2
51,5
50,3
47,3
47,2
48,2
46,6
48,7
6,9
21,2
3,6
0,7
5,4
3,1
18,9
3,0
1,7
2,8
1,4
6,1
2,1
0,2
1,2
1,4
6,8
0,9
0,5
0,9
30,0
11,6
22,1
41,1
29,6
9,7
7,1
10,0
10,0
11,0
49,9
36,0
60,1
48,1
51,6
8,4
3,5
7,1
1,7
3,1
0,3
2,8
0,6
22,1
35,7
8,4
10,8
51,3
49,8
0,5
1,2
2,7
6,5
17,0
0,3
1,3
2,9
7,1
8,6
0,1
0,2
0,5
1,4
5,8
0,2
0,4
0,9
2,1
4,5
50,3
43,0
32,1
18,8
8,9
10,1
8,4
8,4
9,6
11,5
41,7
47,6
54,3
56,8
48,3
Perusahaan
Tabel 3.11.2 menggambarkan kepemilikan jaminan menurut karakteristik penduduk meliputi
kelompok umur, pekerjaan, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut tempat
tinggal, penduduk di perkotaan lebih banyak yang memiliki jaminan kesehatan dibanding di
perdesaan, terutama untuk jenis selain jamkesmas dan jamkesda. Sebaliknya, kepemilikan
Jamkesmas dan Jamkesda lebih tinggi di perdesaan dibanding perkotaan.
Kondisi kepemilikan jaminan menurut kelompok umur memberikan gambaran yang bervariasi
antar kelompok bayi, balita, anak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Kelompok umur di bawah 5
tahun adalah kelompok tertinggi yang tidak memiliki jaminan (62,6%), sedangkan kelompok umur
diatas 55 tahun kepemilikan jaminan pada kisaran 46,6 persen sampai 48,7 persen sementara
pada kelompok umur selain balita dan lanjut usia, juga masih tinggi atau diatas 46 persen yang
tidak memiliki jaminan kesehatan.
Kepemilikan jaminan kesehatan menurut status pekerjaan menunjukkan kelompok tertinggi yang
tidak memiliki jaminan adalah kelompok wiraswasta (60,1%), sedangkan yang terendah adalah
pegawai (36%). Kelompok wiraswasta ini terdiri dari pedagang besar ataupun eceran, sedangkan
untuk kelompok pegawai terdiri dari pegawai formal ataupun non formal. Sebanyak 48,1 persen
153
kelompok petani/nelayan dan buruh masih belum memiliki jaminan kesehatan apapun, sementara
bagi yang telah memiliki jaminan sebagian besar adalah Jamkesmas atau Jamkesda. Sedangkan
bagi penduduk yang tidak bekerja 49,9 persen diantaranya belum memiliki jaminan.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, Jamkesmas dimiliki oleh kelompok penduduk terbawah,
menengah bawah dan menengah, masing-masing sebesar 50,3 persen, 43,0 persen dan 32,1
persen. Akan tetapi Jamkesmas dimiliki juga pada penduduk menengah atas (18,8%) dan
teratas (8,9%). Berbeda dengan Jamkesmas, kepemilikan Jamkesda tidak terlalu bervariasi untuk
masing-masing kelompok penduduk berdasarkan kuintil indeks kepemilikan. Pada jenis jaminan
kesehatan selain Jamkesmas dan Jamkesda, kecenderungan kepemilikan jaminan kesehatan
lebih banyak pada indeks kuintil kepemilikan teratas.
3.11.2. Mengobati sendiri
Pola pencarian pengobatan seseorang dikategorikan dalam mengobati sendiri, memanfaatkan
rawat jalan, dan memanfaatkan rawat inap. Informasi mengobati sendiri didapatkan dengan
mengetahui perilaku seseorang yang pernah mengobati sendiri dengan cara membeli obat di
apotik atau toko obat tanpa resep dalam satu bulan terakhir. Besaran biaya juga ditanyakan dan
hasil analisis merupakan rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir dengan menggunakan
median.
Gambar 3.11.1 menggambarkan proporsi penduduk Indonesia yang mengobati diri sendiri dalam
satu bulan terakhir dengan membeli obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep dokter adalah
26,4 persen dengan rerata pengeluaran sebesar Rp.5.000. Gorontalo merupakan provinsi
tertinggi (38.1%) dengan rerata pengeluaran sebesar Rp.2.000. Sebaliknya, Papua merupakan
provinsi dengan proporsi terendah (8.7%) namun dengan rerata pengeluaran terbesar yaitu
sebesar Rp.20.000.
Tabel 3.11.3 menggambarkan bahwa penduduk daerah perkotaan lebih banyak yang mengobati
sendiri dengan cara membeli obat di toko obat atau diwarung (28.5%) dari pada perdesaan
(24,2%). Dari segi biaya, rerata biaya yang dikeluarkan perkotaan juga lebih besar, yaitu sebesar
Rp.5.000, nilai yang sama dengan angka nasional. Di perdesaan, rerata biaya yang dikeluarkan
untuk mengobati sendiri dengan membeli obat sebesar Rp.3.000.
Tabel 3.11.3
Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan
besaran biayanya menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Mengobati diri sendiri
%
Rp
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
28,5
24,2
5.000
3.000
24,9
27,0
27,8
27,8
23,8
2.000
3.000
4.000
5.000
10.000
Menurut kuintil indeks kepemilikan, kelompok teratas merupakan kelompok yang terbawah untuk
mengobati sendiri (23.8%) namun dari sisi biaya yang dikeluarkan adalah terbesar diantara
lainnya yaitu Rp.10.000.
154
Utilisasi
Gorontalo
Kalsel
Jatim
Sulteng
DKI
DIY
Jabar
Sulsel
Jateng
Banten
Babel
Indonesia
Malut
Kalteng
Aceh
Maluku
Sulut
NTB
Kep.Riau
Sultra
Kaltim
Sulbar
NTT
Pabar
Sumut
Sumsel
Bali
Jambi
Kalbar
Sumbar
Riau
Lampung
Bengkulu
Papua
Besar biaya
Gorontalo
Kalsel
Jatim
Sulteng
DKI
DIY
Jabar
Sulsel
Jateng
Banten
Babel
Indonesia
Malut
Kalteng
Aceh
Maluku
Sulut
NTB
Kep.Riau
Sultra
Kaltim
Sulbar
NTT
Pabar
Sumut
Sumsel
Bali
Jambi
Kalbar
Sumbar
Riau
Lampung
Bengkulu
Papua
38,1
26,4
8,7
0,0
10,0
20,0
30,0
40,0
50,0
2.000
5.000
20.000
0
5.000
10.000 15.000 20.000 25.000
Gambar 3.11.1
Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biayanya
menurut provinsi, Indonesia 2013
3.11.3. Rawat Jalan
Pelayanan rawat jalan adalah semua pelayanan kepada pasien untuk observasi, diagnosis,
pengobatan dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa tinggal dirawat inap. Pemanfaatan atau
utilisasi fasilitas kesehatan ditanyakan dalam satu bulan terakhir termasuk besaran biayanya.
Hasil analisis disajikan secara umum tanpa melihat jenis fasilitas kesehatan dan besar biaya
merupakan rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir (rawat jalan) dengan menggunakan
median.
Pemanfaatan rawat jalan menurut fasilitas kesehatan dapat dibaca dalam Buku Laporan
Riskedas 2013 dalam angka.
155
Utilisasi
DIY
Papua
Aceh
Jatim
Bali
Jateng
Gorontalo
NTT
Jabar
Sulsel
Indonesia
Babel
Pabar
Banten
NTB
DKI
Kep.Riau
Kaltim
Sultra
Sulut
Maluku
Sulteng
Sumbar
Malut
Kalsel
Sumut
Kalteng
Lampung
Sumsel
Riau
Kalbar
Jambi
Sulbar
Bengkulu
Besar biaya
16,3
10,4
3,5
0,0
5,0
10,0
15,0
DIY
Papua
Aceh
Jatim
Bali
Jateng
Goront…
NTT
Jabar
Sulsel
Indonesia
Babel
Pabar
Banten
NTB
DKI
Kep.Riau
Kaltim
Sultra
Sulut
Maluku
Sulteng
Sumbar
Malut
Kalsel
Sumut
Kalteng
Lampung
Sumsel
Riau
Kalbar
Jambi
Sulbar
Bengkulu
35.000
0
50.000
20,0
35.000
35.000
100.000
150.000
Gambar 3.11.2
Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp)
berdasarkan provinsi, Indonesia 2013
Gambar 3.11.2 menggambarkan 10,4 persen penduduk Indonesia dalam satu bulan terakhir
melakukan rawat jalan dan rerata biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.35.000. Penduduk DI
Yogyakarta merupakan provinsi tertinggi yang melakukan rawat jalan (16,3%) dengan rerata
biaya sebesar Rp.35.000. Penduduk Bengkulu merupakan yang terendah dalam memanfaatkan
fasilitas rawat jalan (3,5%) dengan pengeluaran rerata sebesar Rp.35.000. Sedangkan di Papua,
14.4 persen penduduk memanfaatkan rawat jalan dengan rerata biaya sebesar Rp.100.000 yang
juga merupakan pengeluaran tertinggi, jika dibandingkan dengan provinsi lainnya.
156
Tabel 3.11.4
Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp)
berdasarkan karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Rawat Jalan
%
Rp
Kelompok umur (tahun)
0-4
16,9
30.000
5-14
8,6
30.000
15-24
6,8
35.000
25-34
8,8
35.000
35-44
9,7
37.000
45-54
12,3
40.000
55-64
14,3
45.000
65-74
16,5
40.000
75+
16,8
40.000
Tempat tinggal
Perkotaan
10,6
45.000
Perdesaan
10,2
30.000
Indeks Kuintil Kepemilikan
Terbawah
9,6
25.000
Menengah bawah
10,8
30.000
Menengah
11,1
30.000
Menengah atas
10,8
40.000
Teratas
9,5
60.000
Tabel 3.11.4. menggambarkan pemanfaatan rawat jalan di berbagai fasilitas kesehatan dalam
satu bulan terakhir. Sebanyak 16,9 persen balita melakukan rawat jalan dan kelompok ini
merupakan kelompok proporsi tertinggi yang melakukan rawat jalan dengan rerata biaya sebesar
Rp.30.000, sebaliknya penduduk umur 15-24 tahun adalah kelompok terendah. Makin bertambah
umur, penduduk makin banyak yang memanfaatkan rawat jalan dan rerata biayanya pun
cenderung semakin besar. Penduduk umur 55–64 tahun adalah kelompok dengan rerata
pengeluaran rawat jalan terbesar (Rp.45.000) dan proporsi sebanyak 14,3 persen.
Pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap di perkotaan dan perdesaan tidak terlalu berbeda,
namun untuk rerata biaya yang dikeluarkan dalam satu bulan terakhir untuk rawat jalan di
perkotaan sebesar Rp.45.000, sedangkan di perdesaan sebesar Rp.30.000.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, rerata pengeluaran untuk rawat jalan paling tinggi pada
kelompok penduduk kuintil teratas (Rp.60.000) dengan proporsi pemanfaatan terendah (9,5%).
Pemanfaatan tertinggi rawat jalan terdapat pada kuintil menengah dengan rerata pengeluaran
sebesar Rp. 30.000.
3.11.4. Rawat inap
Rawat Inap menurut Azwar Azrul (1996:73) adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan
kedokteran intensif (hospitalization) yang diselenggarakan oleh rumah sakit, rumah sakit bersalin,
maupun rumah bersalin. Pemanfaatan rawat inap ditanyakan dalam kurun waktu dua belas bulan
terakhir. Hasil analisis dsajikan secara umum tanpa melihat jenis fasilias kesehatan dan besar
biaya merupakan rerata total besar biaya dalam dua belas bulan terakhir dengan menggunakan
median.
Pemanfaatan rawat inap menurut fasilitas kesehatan dapat dibaca dalam Buku Riskedas 2013
dalam angka.
157
Besar biaya
Utilisasi
DIY
Sulsel
Jatim
Jateng
NTB
Gorontalo
Sulteng
Kep.Riau
Bali
Sulut
Aceh
Indonesia
NTT
DKI
Babel
Pabar
Kaltim
Kalsel
Jabar
Papua
Banten
Malut
Sumbar
Maluku
Sultra
Kalteng
Sumsel
Sumut
Sulbar
Jambi
Riau
Kalbar
Lampung
Bengkulu
4,4
2,3
0,9
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
DIY
Sulsel
Jatim
Jateng
NTB
Gorontalo
Sulteng
Kep.Riau
Bali
Sulut
Aceh
Indonesia
NTT
DKI
Babel
Pabar
Kaltim
Kalsel
Jabar
Papua
Banten
Malut
Sumbar
Maluku
Sultra
Kalteng
Sumsel
Sumut
Sulbar
Jambi
Riau
Kalbar
Lampung
Bengkulu
2.000.000
1.700.000
1.000.000
0
2.000.000
4.000.000
6.000.000
Gambar 3.11.3
Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp)
berdasarkan provinsi, Indonesia 2013
Gambar 3.11.3 menggambarkan 2,3 persen penduduk Indonesia dalam dua belas bulan terakhir
melakukan rawat inap dan rerata biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.1.700.000. Penduduk DI
Yogyakarta ternyata selain tertinggi dalam pemanfaatan rawat jalan juga tertinggi untuk
pemanfaatan rawat inap yaitu sebesar 4,4 persen dengan rerata biaya dalam satu tahun terakhir
sebesar Rp.2.000.000 disusul oleh Sulawesi Selatan (3,4%) dengan rerata biaya sebesar
Rp.800.000. Penduduk Bengkulu, Lampung, dan Kalimantan Barat merupakan tiga terendah
untuk pemanfaatan rawat inap, yaitu masing-masing 0,9 persen. Rerata biaya di tiga provinsi
tersebut berbeda-beda, Bengkulu sebesar Rp.1.000.000, Lampung Rp.2.000.000, dan
Kalimantan Barat sebesar Rp.1.450.000. Pengeluaran untuk rawat inap terbesar adalah di DKI
Jakarta, yaitu sebesar Rp.5.000.000.
158
Tabel 3.11.5
Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta biaya
yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Rawat Inap
%
Rp
Kelompok umur (tahun)
0-4
2,8 1.300.000
5-14
1,3 1.200.000
15-24
2,1 1.500.000
25-34
2,5 1.800.000
35-44
2,2 2.000.000
45-54
2,5 2.000.000
55-64
3,4 2.100.000
65-74
4,3 2.500.000
75+
4,4 2.200.000
Tempat tinggal
Perkotaan
2,7 2.100.000
Perdesaan
2,0 1.000.000
Indeks Kuintil Kepemilikan
Terbawah
1,5
575.000
Menengah bawah
2,0
830.000
Menengah
2,2 1.495.000
Menengah atas
2,6 2.000.000
Teratas
2,9 3.000.000
Tabel 3.11.5. menggambarkan sebesar 2,8 persen balita memanfaatkan rawat inap dan jumlah
tersebut lebih tinggi daripada angka nasional (2,3%). Kelompok usia lanjut merupakan kelompok
tertinggi yang memanfaatkan fasilitas rawat inap dan juga besaran biayanya. Pemanfaatan rawat
jalan di perkotaan dan perdesaan tidak terlalu berbeda, namun untuk rerata biaya rawat inap dua
belas bulan terakhir di perkotaan sebesar Rp.2.100.000. Jumlah tersebut sekitar dua kali lipat
rerata biaya rawat inap di perdesaan, yaitu sebesar Rp.1.000.000. Menurut kuintil indeks
kepemilikan, kelompok penduduk kuintil teratas merupakan kelompok paling tinggi dalam
pemanfaatan rawat inap (2,9%) dan pengeluaran sebesar Rp.3.000.000.
3.11.5. Sumber pembiayaan
Sumber biaya kesehatan menurut SKN terdiri dari biaya pemerintah dan masyarakat. Riskesdas
2013 memberikan informasi tentang proporsi sumber biaya kesehatan penduduk yang
memanfaatkan rawat jalan dalam satu bulan terakhir dan atau rawat inap dalam dua belas bulan
terakhir. Sumber biaya dikelompokkan menjadi: biaya sendiri, asuransi kesehatan (PNS, veteran,
pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementerian Hukum dan
Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan,
Jamkesmas dan Jamkesda.
159
Lebih dari 1 sumber
1,1
Sumber lainnya
3,3
Perusahaan
1,8
Jamkesda
5,8
Jamkesmas
14,2
Asuransi Swasta
0,7
Jamsostek
2,0
Askes/ASABRI
3,2
Biaya sendiri
67,9
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Gambar 3.11.4
Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat jalan, Indonesia 2013
Gambar 3.11.4 memperlihatkan bahwa sumber biaya rawat jalan secara keseluruhan untuk
Indonesia masih didominasi (67,9%) pembiayaan yang dibayar oleh pasien sendiri atau keluarga
(out of pocket), kemudian berturut-turut disusul pembiayaan oleh Jamkesmas (14,2%) dan
Jamkesda (5,8%), dan terendah adalah pembiayaan oleh asuransi swasta (0.7%). Sumber biaya
rawat jalan dari Askes/ASABRI sebesar 3,2 persen, Jamsostek 2 persen, tunjangan kesehatan
Perusahaan 1,8 persen, sumber lainnya 3,3 persen dan sebanyak 1,1 persen dibiayai lebih dari
satu sumber.
Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan provinsi dapat dibaca
dalam Buku Laporan Riskesdas 2013 dalam angka.
Tabel 3.11.6 memperlihatkan bahwa menurut tempat tinggal, sumber biaya rawat jalan pada
semua jenis fasilitas kesehatan dari berbagai jaminan kesehatan baik Askes, ASABRI, JPK
Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, dan tunjangan kesehatan perusahaan lebih banyak
dimanfaatkan di daerah perkotaan. Di daerah perdesaan lebih banyak
memanfaatkan
Jamkesmas dan Jamkesda.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, sumber biaya rawat jalan untuk semua jenis fasilitas
kesehatan yang berasal dari biaya sendiri pada semua kelompok penduduk mempunyai proporsi
lebih dari 57 persen. Pada penduduk kuintil terbawah didapati 57,3 persen melakukan rawat
jalan dengan biaya sendiri atau tanpa jaminan kesehatan apapun dan pada penduduk teratas
terdapat 68,5 persen. Sumber biaya rawat jalan dari Jamkesmas yang tertinggi adalah pada
penduduk kuintil terbawah (30,7%), sebaliknya pada penduduk kuintil teratas ada 3,4 persen
yang menggunakannya. Proporsi dan pemanfaatan sumber biaya rawat jalan dari Askes,
ASABRI, JPK-Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, dan tunjangan kesehatan perusahaan
cenderung meningkat pada kuintil indeks kepemilikan yang semakin tinggi. Sedangkan
160
pemanfaatan sumber biaya dari Jamkesda menunjukan variasi yang tidak terlalu berbeda antar
karakteristik penduduk baik menurut tempat tinggal maupun kuintil indeks kepemilikan.
Tabel 3.11.6
Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan karakteristik,
Indonesia 2013
Sumber Biaya Rawat inap Semua Fasilitas
Karakteristik
Biaya Askes/
Asuransi
Sumber
Sendiri ASABRI Jamsostek Swasta Jamkesmas Jamkesda Perusahaan Lainnya
Tempat tinggal
11,5
5,7
Kota
66,3
4,5
3,1
1,2
2,9
3,8
17,1
5,9
Desa
69,6
1,8
0,8
0,2
0,7
2,8
Kuintil indeks kepemilikan
30,7
6,2
Terbawah
57,3
0,4
0,2
0,0
0,3
2,8
20,6
5,0
Menengah bawah 68,0
0,8
0,6
0,1
0,8
3,2
14,5
5,5
Menengah
71,1
1,5
1,2
0,2
1,0
4,1
8,1
6,6
Menengah atas
70,2
3,9
3,4
0,8
2,3
3,7
3,4
5,7
Teratas
68,5
8,9
3,5
2,1
4,3
2,3
Lebih dari
1 Sumber
Gambar 3.11.5 memperlihatkan bahwa sumber biaya yang dipakai untuk rawat inap pada semua
fasilitas kesehatan di Indonesia masih didominasi oleh biaya sendiri (out of pocket), yaitu sekitar
53,5 persen. Kondisi ini dimungkinkan karena masih sekitar 50,5 persen penduduk Indonesia
belum memiliki jaminan kesehatan. Sebanyak 11 provinsi memiliki persentase out of pocket
diatas angka nasional (Tabel 3.11.13). Pola pemanfaatan jaminan kesehatan sebagai sumber
biaya untuk rawat jalan dan rawat inap tidak berbeda.
4,8
4
4,9
6,4
53,5
15,6
1,8
3,5
5,4
Biaya sendiri
Askes/ASABRI
Jamsostek
Asuransi Swasta
Jamkesmas
Jamkesda
Perusahaan
Sumber lainnya
Lebih dari 1 sumber
Gambar 3.11.5
Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap, Indonesia 2013
161
1,1
1,1
2,0
0,8
0,9
0,9
1,2
Selanjutnya, sumber biaya yang paling banyak digunakan untuk rawat inap berturut-turut adalah
Jamkesmas 15,6 persen, Jamkesda 6,4 persen, Askes/ASABRI 5,4 persen, sebanyak 4,9 persen
penduduk indonesia yang rawat inap menggunakan lebih dari satu sumber biaya dan 4,8 persen
dari sumber lainnya. Sementara itu sumber biaya untuk rawat inap dari Jamsostek digunakan
oleh 3,5 persen, 1,8 persen dari Asuransi kesehatan swasta dan 4 persen dari tunjangan
kesehatan perusahaan.
Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat inap berdasarkan provinsi dapat dibaca
dalam Buku Laporan Riskesdas 2013 dalam angka.
Tabel 3.11.7
Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut karakteristik, Indonesia 2013
Sumber Biaya Rawat inap Semua Fasilitas
Karakteristik
Biaya Askes/
Asuransi
Sumber Lebih dari
Sendiri ASABRI Jamsostek Swasta Jamkesmas Jamkesda Perusahaan Lainnya 1 Sumber
Tempat tinggal
12,7
6,0
Kota
50,1
7,1
4,9
2,9
5,8
4,9
5,6
19,5
7,0
Desa
58,2
3,1
1,7
0,4
1,5
4,6
4,0
Kuintil indeks kepemilikan
32,4
9,0
Terbawah
47,8
0,3
0,3
0,3
0,5
5,3
4,0
28,6
5,9
Menengah bawah 50,8
1,0
1,1
0,5
2,1
5,9
4,2
18,1
6,6
Menengah
56,5
2,7
2,6
0,7
2,3
6,3
4,2
10,0
7,2
Menengah atas
56,1
5,4
5,5
1,4
4,5
4,5
5,4
4,8
4,8
Teratas
52,4
12,4
5,1
4,5
7,2
2,9
5,8
Tabel 3.11.7 memperlihatkan bahwa menurut tempat tinggal sumber biaya rawat inap pada
semua jenis fasilitas kesehatan dari berbagai jaminan kesehatan baik Askes, ASABRI, JPK
Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, dan tunjangan kesehatan perusahaan lebih banyak
dimanfaatkan di daerah perkotaan. Sumber biaya rawat inap dari Jamkesmas dan Jamkesda
lebih banyak dimanfaatkan di daerah perdesaan.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi sumber biaya rawat inap dari jaminan kesehatan
selain Jamkesmas dan Jamkesda cenderung meningkat seiring dengan makin tingginya kuintil.
Sumber biaya rawat inap untuk semua jenis fasilitas kesehatan yang berasal dari biaya sendiri
pada semua kelompok penduduk mempunyai proporsi lebih dari 47 persen. Pada penduduk
kuintil terbawah didapati 47,8 persen melakukan rawat inap dengan biaya sendiri atau tanpa
jaminan kesehatan apapun dan pada penduduk teratas didapatkan 52,4 persen. Sumber biaya
rawat inap dari Jamkesmas yang tertinggi adalah pada penduduk kuintil terbawah (32,4%),
sebaliknya pada penduduk teratas hanya 4,8 persen yang menggunakannya.
162
3.12. Kesehatan reproduksi
Tin Afifah, Ika Saptarini, Nurillah Amaliah, Anissa Rizkianti dan Ning Sulistiyowati
Kesehatan reproduksi (Kespro) mulai dimasukkan dalam Riskesdas 2010 yang hanya
memberikan gambaran nasional dan provinsi. Riskesdas 2013 menyediakan informasi kesehatan
reproduksi baik tingkat nasional, provinsi, bahkan kabupaten/kota (terbatas untuk indikator
tertentu), sehingga provinsi dapat menilai cakupan pelayanan kesehatan ibu berbasis komunitas
sebagai komplemen dari data rutin.
Blok kespro menyediakan informasi status kesehatan ibu dan beberapa isu kesehatan reproduksi
pada semua perempuan umur 10-54 tahun. Informasi yang dikumpulkan meliputi: 1) kejadian
kehamilan saat wawancara yang ditanyakan dalam kuesioner rumah tangga; 2) penggunaan
alat/cara Keluarga Berencana (KB); 3) cakupan pelayanan kesehatan ibu dari masa kehamilan
sampai masa nifas dan 4) masalah kespro lainnya.
Jumlah sampel yang digunakan untuk analisis disajikan dalam Tabel 3.12.1.
Table 3.12.1
Indikator utama, unit analisis dan jumlah sampel yang digunakan
Blok Kesehatan Reproduksi, Riskesdas 2013
Indikator
Kejadian kehamilan
Proporsi kehamilan
Pelayanan program KB
Penggunaan KB saat ini, CPR, jenis
KB yang digunakan
Tenaga & tempat pelayanan KB
modern
Alasan utama tidak KB
Pelayanan kesehatan ibu
Masa kehamilan:
Pemeriksaan kehamilan:
K1, K1 ideal, K4 dan ANC minimal 4
kali
Tempat dan tenaga ANC
Konsumsi zat besi,
buku KIA
Saat bersalin:
Cakupan pelayanan ibu bersalin:
- Proporsi linakes,
- Proporsi tempat bersalin
Masa nifas:
Cakupan masa nifas (KF)
Cakupan KB pasca salin
Unit analisis
Jumlah sampel
Semua anggota rumah tangga
perempuan 10-54 tahun
357.830
WUS (15-49 tahun) berstatus kawin
191.818
WUS kawin yg menggunakan KB modern
104.851
WUS kawin yang tidak menggunakan KB
86.024
Jumlah kelahiran (LH dan LM) dari
riwayat kehamilan 1 Jan 2010 sd
wawancara
Jumlah kelahiran (LH dan LM) periode 1
Januari 2010 sd saat wawancara, yang
melakukan ANC
49.605 kelahiran
46.189 kelahiran
Jumlah kelahiran (LH dan LM) periode 1
Jan 2010 sd wawancara
49.605 kelahiran
Jumlah kelahiran (LH dan LM) periode 1
Jan 2010 sd wawancara
49.605 kelahiran
163
3.12.1. Kehamilan
Informasi tentang kehamilan ini memberi gambaran proporsi penduduk Indonesia yang sedang
hamil (Gambar 3.12.1). Proporsi kehamilan umur 10-54 tahun di Indonesia adalah 2,68 persen, di
perkotaan (2,8%) lebih tinggi dibanding perdesaan (2,55%) (lihat buku Riskesdas 2013 dalam
Angka tabel 3.12.1). Pola kehamilan berbeda menurut kelompok umur dan tempat tinggal. Di
antara penduduk perempuan umur 10-54 tahun tersebut, terdapat kehamilan pada umur sangat
muda (<15 tahun), meskipun dengan proporsi yang sangat kecil (0,02%), terutama terjadi di
perdesaan (0,03%). Proporsi kehamilan pada umur remaja (15-19 tahun) adalah 1,97 persen,
perdesaan (2,71%) lebih tinggi dibanding perkotaan (1,28%).
8,00
7,08
7,00
5,96
6,00
6,46
5,81
5,00
4,00
3,00
2,71
2,00
1,00
0,00
1,97
1,28
0,03
0,02
0,00
10-14 th 15-19 th 20-24 th 25-29 th 30-34 th 35-39 th 40-44 th 45-49 th 50-54 th
Perkotaan
Perdesaan
Perkotaan+Perdesaan
Gambar 3.12.1
Proporsi penduduk yang sedang hamil berdasarkan laporan rumah tangga
menurut kelompok umur dan tempat tinggal, Indonesia 2013
3.12.2. Pelayanan program Keluarga Berencana (KB)
Pelayanan KB merupakan upaya untuk mendukung kebijakan program KB nasional. Salah satu
indikator program KB yaitu penggunaan KB saat ini dan CPR (Contraceptive Prevalence Rate).
CPR adalah persentase penggunaan alat/cara KB oleh pasangan usia subur (PUS) yaitu WUS
(umur 15-49 tahun) berstatus menikah atau hidup bersama (Rajaguguk, Omas Bulan, 2010).
Pada laporan ini, informasi tentang KB dianalisis pada kelompok WUS berstatus menikah atau
hidup bersama. Analisis jenis alat/cara KB yang digunakan merujuk pada alat/cara KB yang
paling efektif.
a. Pola penggunaan KB saat ini
Gambar 3.12.2 menunjukkan proporsi penggunaan KB di Indonesia pada tahun Riskesdas 2010
(55,8%) dan Riskesdas 2013 (59,7%). Secara umum terjadi peningkatan dalam periode tiga
tahun. Penggunaan KB tahun 2013 bervariasi menurut provinsi, proporsi penggunaan KB saat ini
terendah di Papua (19,8%) dan tertinggi di Lampung (70,5%), proporsi WUS kawin yang tidak
pernah menggunakan KB tertinggi di Papua (68,7) dan terendah di Kalimantan Tengah (8,6%).
164
Proporsi penggunaan KB saat ini hasil Riskesdas 2013 menurut provinsi secara rinci dapat dilihat
pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka Tabel 3.12.2.
100,0
80,0
59,7
60,0
40,0
55,8
0,0
Papua
Maluku
NTT
Pabar
Kep.Riau
Sumut
Malut
Aceh
Sulbar
Sulsel
Sultra
Sumbar
DKI
DIY
Riau
Kaltim
NTB
Sulteng
INDONESIA
Banten
Jatim
Jateng
Bali
Jabar
Babel
Gorontalo
Sulut
Kalsel
Sumsel
Bengkulu
Kalteng
Jambi
Kalbar
Lampung
20,0
2010
2013
Gambar 3.12.2
Pengggunaan KB saat ini menurut provinsi, Indonesia 2010-2013
Penggunaan alat/cara KB terdiri dari alat KB modern dan KB cara tradisional. Penggunaan
menurut alat atau cara tersebut juga mencerminkan CPR KB modern dan CPR KB tradisional.
Indikator CPR modern merupakan salah satu indikator MDGs kelima dengan target peningkatan
CPR modern sebesar 65 persen (Kemenkes RI, 2011).
100,0
24,4
80,0
16,2
40,0
15,8
20,8
12,3
13,5
22,4
22,3
13,5
17,3
27,6
42,3
60,0
14,0
40,0
59,8
20,0
0,0
63,0
65,3
66,1
58,9
46,0
15-19
40,4
20-24
25-29
Sekarang pakai
30-34
Pernah KB
35-39
40-44
45-49
Tidak Pernah
Gambar 3.12.3
Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini WUS kawin dan kelompok umur, Indonesia 2013
Gambar 3.12.3 menunjukkan dominasi penggunaan alat/cara KB modern (59,3%). Provinsi
dengan penggunaan KB modern adalah tertinggi di Lampung (70,2%) dan terendah di Papua
(19,6%). Penggunaan KB menurut provinsi secara lengkap dapat dilihat pada buku Riskesdas
2013 dalam Angka Tabel 3.12.2.
165
Gambar 3.12.3 juga menunjukkan bahwa proporsi penggunaan KB saat ini terbanyak pada
kelompok umur 35-39 tahun (66,1%), sedangkan pada kelompok umur berisiko masih rendah
yaitu pada 45-49 tahun (40,4%) dan kelompok umur 15-19 tahun (46%).
Proporsi penggunaan alat/cara KB menurut karakteristik lainnya disajikan pada buku Riskesdas
2013 dalam Angka Tabel 3.12.3. Proporsi penggunaan alat/cara KB di perdesaan (61,6%) lebih
banyak dibandingkan di perkotaan (57,9%), sedangkan berdasarkan kuintil indeks kepemilikan
terbanyak adalah kelompok menengah bawah (63,3%). WUS kawin yang tidak pernah
menggunakan KB lebih banyak pada kelompok yang tidak sekolah (30,4%) dan pada kelompok
umur 15-19 tahun (40,0%).
b. Penggunaan KB menurut jenis kandungan hormonal dan jangka waktu efektivitas
Penggunaan KB menurut jenis alat/cara KB di Indonesia didominasi oleh penggunaan KB jenis
suntikan KB (34,3%). Penggunaan KB menurut jenisnya dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013
dalam Angka Tabel 3.12.4 dan Tabel 3.12.5, dan berdasarkan jenis alat/cara KB modern dari
kedua tabel tersebut dapat dikelompokkan menurut jenis kandungan hormonal dan jangka waktu
efektivitas.
Kelompok KB hormonal terdiri dari KB modern jenis susuk, suntikan dan pil sedangkan kelompok
non hormonal adalah sterilisasi pria, sterilisasi wanita, spiral/IUD, diafragma dan kondom.
Kelompok alat/cara KB modern menurut jangka waktu efektivitas untuk MKJP (Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang) terdiri dari susuk, sterilisasi pria, sterilisasi wanita serta, spiral/IUD,
sedangkan kelompok non MKJP adalah jenis suntikan, pil, diafragma dan kondom.
Pada Tabel 3.12.4 buku Riskesdas 2013 dalam Angka, memperlihatkan dominasi kelompok
hormonal dan non MKJP yang sangat dipengaruhi oleh penggunaan KB suntikan yang tinggi.
Gambar 3.12.3 menunjukkan pola penggunaan alat/cara KB modern berdasarkan jenis
kandungan hormonal menurut provinsi. Proporsi penggunaan KB hormonal paling tinggi di
Kalimantan Tengah (66,5%) dan paling rendah di Papua (17,8%). Sementara untuk proporsi alat
KB non hormonal paling tinggi di Bali (24,0%) dan paling rendah di Maluku (1,4%).
100,0
80,0
7,5
60,0
40,0
Kalbar
Kalteng
Jambi
Lampung
Kalsel
Sumsel
Sulut
Bengkulu
Gorontalo
Jabar
Babel
Banten
NTB
Sulteng
Jatim
Jateng
Riau
Hormonal
Kaltim
Sultra
Malut
Sulbar
Aceh
Sulsel
Sumbar
DKI
Bali
Pabar
Sumut
Maluku
DIY
Kep.Riau
NTT
Papua
0,0
INDONESIA*
51,8
20,0
Non Hormonal
Gambar 3.12.4
Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok kandungan
hormonal menurut provinsi, Indonesia 2013
166
Gambar 3.12.5 adalah variasi proporsi penggunaan KB menurut jenis jangka waktu efektivitas
(MKJP dan Non MKJP). Proporsi penggunaan KB non MKJP tertinggi di Kalimantan Barat
(64,9%) dan paling rendah di Papua (16,2%). Penggunaan alat/cara KB dengan MKJP paling
tinggi di Bali (24,6%) sedangkan paling kecil adalah Papua (3,3%).
100,0
80,0
10,2
60,0
40,0
49,1
0,0
Papua
NTT
Maluku
Sumut
DIY
Pabar
Kep.Riau
Bali
Malut
Sumbar
Sulbar
DKI
Sulsel
Aceh
Sultra
Gorontalo
NTB
Jateng
Riau
INDONESIA
Kaltim
Sulut
Jatim
Sulteng
Bengkulu
Banten
Jabar
Babel
Sumsel
Lampung
Kalsel
Jambi
Kalteng
Kalbar
20,0
NON MKJP
MKJP
Gambar 3.12.5
Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok jangka
waktu efektivitas KB menurut provinsi, Indonesia, 2013
Proporsi penggunaan KB modern kelompok hormonal menurut karakteristik paling tinggi pada
kelompok umur 25-29 tahun (58,4%), tamat SD dan tamat SLTP (57,7%), petani/nelayan/buruh
(55,2%), tinggal di perdesaan (56,4%) dan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah (58,2%)
(Tabel 3.12.7 pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka).
Proporsi penggunan KB modern berdasarkan jangka waktu efektivifas menurut karakteristik, non
MKJP banyak digunakan oleh kelompok umur 25-29 tahun, tamat SLTP, tidak bekerja, tinggal di
perdesaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah. Pengguna jenis MKJP
paling tinggi pada kelompok umur 40-44 tahun, pendidikan tinggi (tamat PT), pegawai, bertempat
tinggal di perkotaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan teratas (Tabel 3.12.7 pada buku
Riskesdas 2013 dalam Angka).
c. Tempat dan tenaga untuk pelayanan KB modern
Informasi tempat dan tenaga pelayanan KB modern bermanfaat untuk mengevaluasi
pelaksanaan program pelayanan KB.
167
Posyandu;Fasilitas
1,9
Polindes/
Apotek/
Poskesdes
lainnya;
; 4,7
11,7
Praktek
perawat; 2
Praktek
bidan; 54,6
Tenaga Kesehatan
Kesehatan
90,0
76,5
80,0
RS; 6,5
70,0
Puskesma
s/ Pustu;
14,3
Klinik/
BP;
1,6
Tim KB/
Medis
keliling;
0,8
Praktek
dokter;
1,9
60,0
50,0
40,0
30,0
20,0
10,0
6,0
3,0
2,8
11,7
0,0
dr kebid & dr umum
kandungan
Bidan
Perawat
Lainnya
Gambar 3.12.6
Proporsi pemanfaatan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dalam mendapatkan pelayanan
KB, Indonesia 2013
Gambar 3.12.6 memperlihatkan penggunaan tempat dan tenaga yang memberi pelayanan KB.
Terlihat bahwa praktek bidan dan bidan banyak perperan dalam pelayanan KB. Proporsi tersebut
bervariasi menurut karakteristik. Tempat yang banyak dikunjungi adalah praktek bidan (54,6%)
dan paling kecil adalah tim KB keliling (0,8%). Proporsi WUS kawin berdasarkan tempat
mendapatkan pelayanan KB modern menurut provinsi dan karakteristik yang dapat dilihat secara
lengkap pada Tabel 3.12.8 dan 3.12.9 buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Hasil ini tidak terlalu
berbeda dengan Riskesdas 2010 yang juga menunjukkan dominasi praktek bidan (51,9%) dan
yang terendah adalah tim KB keliling (0,9%) (Badan Litbangkes, 2010).
Gambar 3.12.6 juga menunjukkan proporsi WUS kawin berdasarkan tenaga kesehatan yang
memberi pelayanan KB. Tenaga yang paling banyak memberi pelayanan KB adalah bidan
(76,5%), dibandingkan tenaga kesehatan lainnya. Proporsi WUS kawin berdasarkan tenaga
pemberi pelayanan KB modern menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat secara lengkap
pada Tabel 3.12.10 dan 3.12.11 buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
d. Alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB
Pada Riskesdas 2013, responden ditanyakan alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB.
Secara umum, alasan utama terkait dengan hak setiap perempuan untuk mempunyai anak
sehingga tidak menggunakan KB. Alasan tidak menggunakan KB karena masalah fertilitas dan
ingin punya anak mengindikasi kelompok yang tidak memerlukan KB. Alasan lainnya seperti
masalah kepercayaan, dilarang suami/keluarga, kurang pengetahuan, masalah akses alat KB,
takut efek samping dan alasan tidak nyaman dapat menjadi informasi penting bagi pemerintah
dalam merancang program intervensi untuk meningkatkan cakupan KB.
Alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB dapat dilihat pada Gambar 3.12.7, sedangkan
alasan menurut provinsi disajikan pada Tabel 3.12.12 buku Riskesdas 2013 dalam Angka untuk
kelompok WUS kawin yang pernah menggunakan KB dan Tabel 3.12.13 untuk kelompok WUS
kawin yang tidak pernah menggunakan KB. Berdasarkan Tabel 3.12.12 buku Riskesdas 2013
dalam Angka, provinsi dengan persentase paling tinggi tidak menggunakan KB karena alasan
dilarang agama/kepercayaan adalah di Kalimantan Barat (2,4%), alasan dilarang suami atau
keluarga di Nusa Tenggara Barat (5,9%) dan alasan kurang pengetahuan di Papua (1,9%). DI
Yogyakarta adalah provinsi yang paling tinggi dengan alasan takut efek samping (26,0%). Alasan
permasalahan akses alat KB paling tinggi di Papua Barat dan Maluku, masing-masing 4,3 persen
sedangkan alasan ketidaknyamanan paling tinggi dikeluhkan di Sumatera Utara (21,8%).
168
Kelompok WUS kawin yang tidak pernah menggunakan KB (Tabel 3.12.13 buku Riskesdas 2013
dalam Angka) menunjukkan bahwa Papua adalah provinsi paling tinggi yang beralasan utama
masalah agama (9,8%), dilarang suami/keluarga (12,0%) dan kurang pengetahuan (18,5%). DI
Yogyakarta adalah provinsi yang paling banyak memberi alasan takut efek samping (24,9%)
sedangkan Papua Barat adalah provinsi paling tinggi dengan alasan masalah akses terhadap
alat/cara KB (3,5%) serta Maluku paling tinggi menyatakan alasan tidak nyaman (11,4%). Alasan
tersebut merupakan informasi yang dapat menjadi masukan bagi perencana program dalam
merancang intervensi untuk meningkatkan pelayanan KB di daerah tersebut.
5,2
Tidak nyaman
12,2
1,4
1,5
Masalah akses alat KB
11,0
Takut efek samping
17,2
3,4
Kurang pengetahuan
0,3
6,1
Dilarang suami/ keluarga
2,0
3,3
0,7
Masalah kepercayaan/agama
15,7
Responden tidak ingin
9,3
46,6
Ingin punya anak
36,6
7,2
Fertilitas
20,1
0,0
10,0
Tidak pernah KB
20,0
30,0
40,0
50,0
Pernah KB
Gambar 3.12.7
Proporsi alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB bagi WUS kawin pernah dan tidak
pernah ber-KB, Indonesia 2013
3.12.3. Pelayanan kesehatan masa kehamilan, persalinan, dan nifas
Setiap kehamilan dapat menimbulkan risiko kematian ibu. Pemantauan dan perawatan kesehatan
yang memadai selama kehamilan sampai masa nifas sangat penting untuk kelangsungan hidup
ibu dan bayinya. Dalam upaya mempercepat penurunan kematian ibu, Kementerian Kesehatan
menekankan pada ketersediaan pelayanan kesehatan ibu di masyarakat.
169
Riskesdas 2013 menanyakan kepada semua perempuan 10-54 tahun yang pernah melahirkan.
Selanjutnya pada responden yang pernah melahirkan (lahir hidup dan lahir mati) pada periode 1
Januari 2010 sampai saat wawancara
Definisi operasional indikator ANC
ditanyakan lebih lanjut tentang pengalaman
mendapat pelayanan kesehatan selama
K1 atau ANC minimal 1 kali adalah proporsi
periode hamil sampai masa nifas. Analisis
kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan
dilakukan terhadap 49.603 kelahiran untuk
ibu
hamil
minimal
1
kali
tanpa
mendapat gambaran indikator pelayanan
memperhitungkan periode waktu pemeriksaan.
kehamilan, persalinan sampai masa nifas.
K1 ideal adalah proporsi kelahiran yang
Terdapat 2 indikator MDGs yang diperoleh
mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil
dari bagian ini yaitu cakupan ANC minimal 1
pertama kali pada trimester 1.
kali dan ANC minimal 4 kali serta proporsi
K4 adalah proporsi kelahiran yang mendapat
penolong persalinan oleh tenaga kesehatan
pelayanan kesehatan ibu hamil selama 4 kali
yang kompeten.
dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1
a. Pelayanan kesehatan ibu hamil kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada
dan indikator cakupan ANC
trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3.
Antenatal Care (ANC) adalah pelayanan
ANC minimal 4 kali adalah proporsi kelahiran
kesehatan yang diberikan oleh tenaga
yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil
kesehatan untuk ibu selama kehamilannya
minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode
dan dilaksanakan sesuai dengan standar
waktu pemeriksaan.
pelayanan yang ditetapkan dalam Standar
Pelayanan Kebidanan/SPK (Direktorat Bina
Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010). Tenaga kesehatan yang dimaksud di atas adalah dokter
spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat.
Pada laporan ini disajikan indikator ANC yang sesuai dengan MDGs (K1 dan ANC minimal 4 kali)
maupun indikator ANC untuk evaluasi program pelayanan kesehatan ibu di Indonesia seperti
cakupan K1 ideal dan K4.
Gambar 3.12.8 menunjukkan bahwa 95,4 persen dari kelahiran mendapat ANC (K1). Persentase
K1 dan ANC minimal 4 kali merupakan indikator ANC tanpa memperhatikan periode trimester
saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Cakupan K1 bervariasi dengan rentang antara 71,7
persen (Papua) dan 99,6 persen (Bali). Namun untuk cakupan ANC minimal 4 kali, DI Yogyakarta
(96,5%) lebih tinggi dibandingkan dengan Bali (95,8%). Selisih antara K1 dan ANC 4 kali
menunjukkan adanya kehamilan yang tidak optimal mendapat pelayanan ANC.
Gambar 3.12.9 menyajikan cakupan K1 ideal dan K4. Indikator K1 ideal dan K4 adalah indikator
untuk melihat frekuensi yang merujuk pada periode trimester saat melakukan pemeriksaan
kehamilan. Kementerian Kesehatan menetapkan K4 sebagai salah satu indikator ANC (Direktorat
Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010).
Indikator K1 ideal dan K4 yang merujuk pada frekuensi dan periode trimester saat dilakukan ANC
menunjukkan adanya keberlangsungan pemeriksaan kesehatan semasa hamil. Setiap ibu hamil
yang menerima ANC pada trimester 1 (K1 ideal) seharusnya mendapat pelayanan ibu hamil
secara berkelanjutan dari trimester 1 hingga trimester 3. Hal ini dapat dilihat dari indikator ANC
K4. Cakupan K1 ideal secara nasional adalah 81,6 persen dengan cakupan terendah di Papua
(56,3%) dan tertinggi di Bali (90,3%). Cakupan K4 secara nasional adalah 70,4 persen dengan
cakupan terendah adalah Maluku (41,4%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (85,5%). Berdasarkan
penjelasan di atas, selisih dari cakupan K1 ideal dan K4 secara nasional memperlihatkan bahwa
terdapat 12 persen dari ibu yang menerima K1 ideal tidak melanjutkan ANC sesuai standar
minimal (K4).
Cakupan ANC menurut karakteristik menunjukkan bahwa semakin muda umur, semakin tinggi
pendidikan ibu, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan dan tinggal di perkotaan, maka ibu
170
cenderung untuk melakukan ANC. Cakupan K1 ideal menurut karakteristik memiliki pola yang
hampir sama dengan cakupan K1 (Tabel 3.12.15 pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka).
95,4
99,6
100,0
71,7
80,0
95,8
83,5
60,0
40,0
50,9
0,0
Papua
Maluku
Pabar
NTT
Malut
Sulbar
Kalbar
Kalteng
Sumut
Riau
Sumsel
Sulteng
Kalsel
Jambi
Sultra
Aceh
Lampung
INDONESIA
Banten
Sulsel
Jabar
Sumbar
Sulut
Bengkulu
Kaltim
Gorontalo
Kep.Riau
Jatim
Babel
DKI
NTB
Jateng
DIY
Bali
20,0
K1
ANC <4x
Gambar 3.12.8
Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut provinsi, Indonesia 2013
100,0
70,4
81,6
80,0
60,0
40,0
20,0
Maluku
Papua
Malut
Pabar
Sulteng
Sulbar
Kalteng
Gorontalo
Sultra
NTT
Sulsel
Kalbar
Sumsel
Sumut
Jambi
Sulut
Kalsel
Aceh
Bengkulu
Sumbar
Riau
Kaltim
Banten
INDONESIA
Babel
NTB
Jabar
Jatim
Lampung
DKI
Kep.Riau
Jateng
Bali
DIY
0,0
ANC K4
K1 Ideal
Gambar 3.12.9
Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut provinsi, Indonesia 2013
171
b. Tenaga dan tempat pemeriksaan kehamilan
Tenaga kesehatan yang kompeten memberi pelayanan pemeriksaan kesehatan ibu hamil adalah
dokter kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat (Direktorat Bina Kesehatan
Ibu, Kemkes RI, 2009). Fasilitas kesehatan disediakan untuk meningkatkan cakupan pelayanan
kesehatan ibu hamil dari rumah sakit hingga posyandu.
Gambar 3.12.10 adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan ANC menurut tenaga dan
tempat menerima ANC. Bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling berperan (87,8%) dalam
memberikan pelayanan kesehatan ibu hamil dan fasilitas kesehatan yang banyak dimanfaatkan
ibu hamil adalah praktek bidan (52,5%), Puskesmas/Pustu (16,6%) dan Posyandu (10,0%). Hal
ini juga terlihat di semua provinsi.
Poskesdes/Pol
indes
6,0
Bidan
87,8
Posyandu
10,0
Lainnya
0,6
RS
6,5
RB
3,5
Puskesmas/
Pustu
16,6
Praktek dr/
klinik
4,3
Perawat
0,4
Praktek bidan
52,5
Dr umum
0,7
Dr kebid. &
kandungan
11,1
Gambar 3.12.10
Proporsi kelahiran yang melakukan pemeriksaan kehamilan menurut tenaga dan tempat
mendapat pelayanan ANC, Indonesia 2013
Proporsi tenaga kesehatan yang memberi pelayanan pemeriksaan kehamilan menurut provinsi
dan karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka (Tabel 3.12.16 dan
3.12.17). Masyarakat dengan karakteristik tinggal di perdesaan, pendidikan rendah dan berada
pada kuintil indeks kepemilikan terbawah hingga menengah cenderung memilih bidan saat
melakukan pemeriksaan kehamilan. Sebaliknya dokter spesialis kebidanan dan kandungan dipilih
oleh masyarakat di perkotaan, pendidikan tinggi dan kuintil indeks kepemilikan teratas.
Proporsi tempat mendapat layanan ANC menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada
buku Riskesdas 2013 dalam Angka (Tabel 3.12.18 dan 3.12.19).
c.
Konsumsi zat besi
Zat besi sangat dibutuhkan oleh ibu hamil untuk mencegah terjadinya anemia dan menjaga
pertumbuhan janin secara optimal. Kementerian Kesehatan menganjurkan agar ibu hamil
mengonsumsi paling sedikit 90 pil zat besi selama kehamilannya (Depkes RI, 2001). Pada
Riskesdas 2013 menanyakan apakah mengonsumsi zat besi selama hamil dan berapa hari
mengonsumsi zat besi selama hamil. Zat besi yang dimaksud adalah semua konsumsi zat besi
selama masa kehamilannya termasuk yang dijual bebas maupun multivitamin yang mengandung
zat besi.
Gambar 3.12.11 menunjukkan konsumsi zat besi dan variasi jumlah asupan zat besi selama
hamil di Indonesia sebesar 89,1 persen. Di antara yang mengonsumsi zat besi tersebut, terdapat
33,3 persen mengonsumsi minimal 90 hari selama kehamilannya.
172
Tidak
konsum
si zat
besi
10,9
Mengon
sumsi
Fe
89,1
90+
33,3
< 90
34,4
Lupa
21,4
Gambar 3.12.11
Proporsi kelahiran menurut konsumsi zat besi (Fe) dan jumlah hari mengonsumsi, Indonesia
2013
Provinsi dengan asupan zat besi minimal 90 hari tertinggi di DI Yogyakarta (58,1%) dan terendah
di Lampung (15,4%) (lihat Tabel 3.12.20 Buku Riskesdas 2013 dalam Angka). Konsumsi zat besi
menurut karakteristik pada Tabel 3.12.21 buku Riskesdas 2013 dalam Angka menunjukkan
semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, maka semakin besar persentase
cakupan konsumsi zat besi.
d. Kepemilikan buku KIA dan pelaksanaan P4K
Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA) telah dirintis sejak 1997 dengan dukungan dari JICA
(Japan International Cooperation Agency). Buku KIA berisi catatan kesehatan ibu (hamil, bersalin
dan nifas) dan anak (bayi baru lahir, bayi dan anak balita). Buku KIA juga memuat informasi
tentang cara memelihara dan merawat kesehatan ibu dan anak. Setiap kehamilan mendapat 1
buku KIA.
Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) merupakan program
terobosan Kementerian Kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat tentang kesehatan ibu
sebagai upaya untuk menurunkan kematian ibu (Factsheet Ditjen Bina Kesehatan Ibu). P4K
adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat yang difasilitasi oleh tenaga kesehatan, kader, tokoh
agama/tokoh masyarakat untuk meningkatkan peran aktif suami, keluarga dan masyarakat dalam
perencanaan persalinan, persiapan menghadapi komplikasi kehamilan/persalinan, perencanaan
penggunaan kontrasepsi pasca persalinan bagi setiap ibu hamil dengan menggunakan media
stiker sebagai penanda. Wujud penerapan P4K tersebut juga dituliskan pada Buku KIA dalam
lembar ‘Amanat Persalinan’. Setiap kehamilan yang mendapat buku KIA dan membuat
perencanaan persalinan dituliskan pada lembar tersebut (Kementerian Kesehatan, 1997).
Pada Riskesdas 2013, enumerator menanyakan kepemilikan Buku KIA. Apabila responden bisa
menunjukkan buku KIA, maka dilanjutkan dengan observasi 5 komponen P4K terhadap lembar
Amanat Persalinan yang terkait dengan perencanaan persalinan, persiapan kegawatdaruratan
dan perencanaan KB yaitu :
1. Penolong persalinan (nama-nama tenaga kesehatan yang akan menangani saat bersalin).
2. Dana persalinan (rencana sumber pembiayaan yang akan digunakan untuk biaya persalinan).
3. Kendaraan/ambulans desa (kendaraan yang disiapkan untuk membawa ibu hamil menuju
tempat bersalin jika sewaktu-waktu akan melahirkan/perlu rujukan).
4. Metode KB (rencana jenis KB yang akan dipilih setelah melahirkan), dan
5. Sumbangan darah (nama-nama calon donor darah apabila sewaktu-waktu terjadi kasus
perdarahan/komplikasi lain yang memerlukan sumbangan darah).
173
40
35,5
35
30
40,4
40,4
25
17,5
20
19,2
14,6
12,2
15
19,2
10,7
10
5
0
Tidak memiliki Buku KIA
Penolong
Dana Kendaraan/
persalinan persalinan ambulans
desa
Metode
KB
5 Komponen
Donor
Darah
Isian
Lengkap
Kelengkapan
Memiliki Buku KIA-tidak bisa menunjuk kan
Memiliki Buku KIA-menunjukkan buku KIA
Gambar 3.12.12
Proporsi kelahiran menurut kepemilikan buku KIA dan isian 5 Komponen P4K berdasarkan hasil
observasi lembar Amanat Persalinan dari yang dapat menunjukkan Buku KIA, Indonesia 2013
Hasil analisis menunjukkan bahwa 80,8 persen mempunyai buku KIA, namun yang bisa
menunjukkan hanya 40,4 persen. Variasi kepemilikan buku KIA dan bisa menunjukkan buku KIA
menurut provinsi antara cakupan terendah di Papua Barat (14,8%) dan tertinggi di DI Yogyakarta
(63,5%).
Gambar 3.12.12 menunjukkan hasil observasi buku KIA terhadap 5 komponen P4K menunjukkan
bahwa isian penolong persalinan sebesar 35,4 persen, dana persalinan sebesar 17,3 persen,
kendaraan/ambulans desa sebesar 14,4 persen, metode KB pasca salin sebesar 19,2 persen
dan 12,1 persen untuk isian sumbangan darah. Kelengkapan isian pada semua komponen
sebesar 10,7 persen dan 64,0 persen tidak ada isian. Kepemilikan buku KIA dan isian 5
komponen hasil observasi menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 3.12.22
dan 3.12.23 buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
e. Metode persalinan
Masa bersalin merupakan periode kritis bagi seorang ibu hamil. Masalah komplikasi atau adanya
faktor penyulit menjadi faktor risiko terjadinya kematian ibu sehingga perlu dilakukan tindakan
medis sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu dan anak.
Di Indonesia, bedah sesar hanya dilakukan atas dasar indikasi medis tertentu dan kehamilan
dengan komplikasi (Depkes, 2001c). Pada Riskesdas 2013 menanyakan proses persalinan yang
dialami. Gambar 3.12.13 menyajikan proporsi persalinan dengan bedah sesar menurut provinsi
dan Gambar 3.12.14 menurut karakteristik. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan kelahiran bedah
sesar sebesar 9,8 persen dengan proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan terendah di
Sulawesi Tenggara (3,3%) dan secara umum pola persalinan melalui bedah sesar menurut
karakteristik menunjukkan proporsi tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan teratas (18,9%),
tinggal di perkotaan (13,8%), pekerjaan sebagai pegawai (20,9%) dan pendidikan tinggi/lulus PT
(25,1%). Proporsi metoda persalinan menurut provinsi dan karakteristik secara lengkap dapat
dilihat dalam buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
174
25,0
19,9
20,0
15,0
9,8
10,0
0,0
3,3
Sultra
Pabar
Kalbar
NTT
Maluku
Lampung
Sulbar
NTB
Bengkulu
Sumsel
Papua
Kalteng
Maluku Utara
Jambi
Kaltim
Sulsel
Jabar
Sulteng
Kalsel
Riau
Sulut
Aceh
Babel
INDONESIA
Jateng
Banten
Jatim
Sumut
Sumbar
Gorontalo
DIY
Bali
Kep. Riau
DKI
5,0
Pendidikan
Pekerjaan
Tempat
Tinggal
Kuintil Indeks
Kepemilikan
Gambar 3.12.13
Proporsi persalinan sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut
provinsi, Indonesia 2013
Teratas
Menengah atas
Menengah
Menengah bawah
Terbawah
18,9
Perdesaan
Perkotaan
13,8
Lainnya
Petani/Nelayan/Buruh
Wiraswasta
Pegawai
Tidak berkerja
20,9
Tamat D1-D3/PT
Tamat SLTA
Tamat SLTP
Tamat SD
Tidak Tamat SD
Tidak sekolah
25,1
0,0
10,0
20,0
30,0
Gambar 3.12.14
Proporsi persalinan sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut
karakteristik, Indonesia 2013
175
f. Penolong persalinan
Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten merupakan salah satu indikator
MDGs target kelima. Tenaga kesehatan yang kompeten sebagai penolong persalinan (linakes)
menurut PWS-KIA adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan.
Kementerian Kesehatan menetapkan target 90 persen persalinan ditolong oleh tenaga
kesehatan pada tahun 2012 (Depkes, 2000c). Untuk mengukur kemajuan dalam mencapai target
ini, responden ditanya mengenai siapa saja yang menolong selama proses persalinan. Dalam
analisis Riskesdas, penolong persalinan dinyatakan dalam penolong persalinan kualifikasi
tertinggi dan kualifikasi terendah. Penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi apabila lebih
dari satu penolong maka dipilih yang paling tinggi. Penolong persalinan dengan kualifikasi
terendah apabila lebih dari satu penolong maka dipilih tenaga dengan kualifikasi yang paling
rendah.
Gambar 3.12.15 menunjukkan bahwa pada persalinan kualifikasi tertinggi dan kualifikasi
terendah, sebagian besar persalinan ditolong oleh bidan (68,6% dan 66,6%). Sehingga penolong
linakes (dokter atau bidan) untuk kualifikasi tertinggi sebesar 87,1 persen dan kualifikasi terendah
adalah 80,9 persen.
100,0
87,1
80,0
80,9
68,6 66,6
60,0
40,0
20,0
0,0
18,0
13,9
10,9 13,4
0,5 0,3
0,9 2,9
0,3 2,1
Kualifikasi tertinggi
0,8 0,8
Kualifikasi terendah
Gambar 3.12.15
Proporsi kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut penolong persalinan
kualifikasi tertinggi dan terendah, Indonesia 2013
DI Yogyakarta dan Bali merupakan provinsi dengan proporsi penolong persalinan kualifikasi
tertinggi oleh dokter spesialis yang tinggi dibandingkan provinsi lainnya yaitu masing-masing 41,7
persen dan 39,7 persen.
Pola penolong persalinan menurut provinsi untuk kualifikasi tertinggi dengan proporsi penolong
linakes terendah di Papua (57,7%), dan tertinggi di DI Yogyakarta (99,9%). Pola penolong
persalinan menurut karakteristik memperlihatkan bahwa semakin tinggi pendidikan ibu,
persentase dokter spesialis kebidanan dan kandungan semakin besar baik kualifikasi tertinggi
maupun terendah. Demikian juga untuk ibu yang bekerja sebagai pegawai, tinggal di perkotaan
dan kuintil indeks kepemilikan teratas. Sebaliknya penggunaan dukun sebagai tenaga penolong
persalinan lebih besar pada kelahiran dari ibu yang mempunyai pendidikan rendah (tidak
176
sekolah), petani/ nelayan/buruh tinggal di perdesaan dan kuintil indeks kepemilikan terbawah.
Informasi pola penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi menurut provinsi dan karakteristik
dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka Tabel 3.12.26 dan 3.12.27 sedangkan
kualifikasi terendah menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam
Angka Tabel 3.12.28 dan 3.12.29.
g. Tempat persalinan
Tempat persalinan yang ideal adalah di rumah sakit karena apabila sewaktu-waktu memerlukan
penanganan kegawatdaruratan tersedia fasilitas yang dibutuhkan atau minimal bersalin di
fasilitas kesehatan lainnya sehingga apabila perlu rujukan dapat segera dilakukan. Sebaliknya
jika melahirkan di rumah dan sewaktu-waktu membutuhkan penanganan medis darurat maka
tidak dapat segera ditangani.
Gambar 3.12.16 menunjukkan 70,4 persen kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sampai saat
wawancara terjadi di fasilitas kesehatan dan polindes/poskesdes dengan persentase tertinggi di
rumah bersalin, klinik, praktek dokter/praktek bidan (38,0%) dan terendah di Poskesdes/Polindes
(3,7%). Namun masih terdapat 29,6 persen yang melahirkan di rumah/lainnya. Provinsi dengan
persentase melahirkan di rumah yang paling tinggi adalah Maluku (74,9%).
100,0
90,0
29,6
80,0
70,0
60,0
50,0
40,0
70,4
30,0
20,0
10,0
Maluku
Sumbar
kalteng
Sultra
Maluku Utara
Sulteng
Kalsel
Bengkulu
Papua
Jambi
Papua barat
Kalbar
Sumut
Sulsel
Aceh
NTT
Riau
Sumsel
Sulut
Jabar
Banten
Gorontalo
Lampung
INDONESIA
Babel
Kaltim
Sumbar
NTB
Jateng
Kep.Riau
Jatim
DKI
Bali
DIY
0,0
Faskes dan polindes/poskesdes
Rumah/ lainnya
Gambar 3.12.16
Proporsi kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut tempat bersalin dan provinsi,
Indonesia 2013
Gambar 3.12.17 menyajikan proporsi tempat bersalin di fasilitas kesehatan (RS, RB/klinik/praktek
nakes, puskesmas/pustu) dan polindes/poskesdes serta di rumah menurut karakteristik. Pada
kelompok ibu berumur risiko tinggi (umur ibu kurang dari 20 tahun dan umur 35 tahun ke atas)
lebih banyak melahirkan di rumah yang mencapai 64,5 persen. Sedangkan ibu dengan tingkat
pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan teratas, bekerja sebagai pegawai dan tinggal di
perkotaan paling banyak melahirkan di fasilitas kesehatan. Sebaliknya ibu dengan pendidikan
177
rendah, tinggal di perdesaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah memilih melahirkan
di rumah.
100,0
89,4
87,2
85,4
44,8
47,5
53,3
55,2
29,3
35,2
60,0
40,0
60,9
80,0
Umur saat
bersalin
Pendidikan
Pekerjaan
Faskes dan Polindes/Poskesdes
Tempat
tinggal
Teratas
Menengah atas
Menengah
Menengah bawah
Terbawah
Perdesaan
Perkotaan
Lainnya
Petani/nelayan/buruh
Wiraswasta
Pegawai
Tidak berkerja
Tamat D1-D3/PT
Tamat SLTA
Tamat SLTP
Tamat SD
Tidak tamat SD
≥ 35
20-34
< 20
0,0
Tidak sekolah
20,0
Kuintil indeks
kepemilikan
Rumah/ lainnya
Gambar 3.12.17
Proporsi kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut tempat bersalin di faskes dan
polindes/poskesdes vs di rumah/lainnya dan karakteristik, Indonesia 2013
h. Pelayanan kesehatan masa nifas
Masa nifas masih merupakan masa yang rentan bagi kelangsungan hidup ibu baru bersalin.
Menurut Studi Tindak Lanjut Kematian Ibu SP 2010 (Afifah dkk, 2011), sebagian besar kematian
ibu terjadi pada masa nifas sehingga pelayanan kesehatan masa nifas berperan penting dalam
upaya menurunkan angka kematian ibu. Pelayanan masa nifas adalah pelayanan kesehatan
yang diberikan pada ibu selama periode 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Kementerian
Kesehatan menetapkan program pelayanan atau kontak ibu nifas yang dinyatakan dalam
indikator:
1) KF1, kontak ibu nifas pada periode 6 jam sampai 3 hari setelah melahirkan
2) KF2, kontak ibu nifas pada periode 7-28 hari setelah melahirkan dan
3) KF3, kontak ibu nifas pada periode 29-42 hari setelah melahirkan.
178
100,0
81,9
80,0
60,0
51,8
43,4
40,0
32,1
20,0
0,0
6 jam-3 hr
7-28 hr
29-42
KF lengkap
Gambar 3.12.18
Proporsi kelahiran hidup periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut pelayanan
pemeriksaan masa nifas, Indonesia 2013
Gambar 3.12.18 memperlihatkan bahwa cakupan pelayanan kesehatan masa nifas seiring
dengan periode waktu setelah bersalin proporsi semakin menurun. Kelahiran yang mendapat
pelayanan kesehatan masa nifas secara lengkap yang meliputi KF1, KF2 dan KF3 hanya 32,1
persen.
Periode masa nifas yang berisiko terhadap komplikasi pasca persalinan terutama terjadi pada
periode 3 hari pertama setelah melahirkan. Cakupan pelayanan kesehatan masa nifas periode 3
hari pertama setelah melahirkan bervariasi menurut provinsi (Gambar 3.12.19) yaitu tertinggi di
DI Yogyakarta (93,5%) dan terendah di Papua (54,9%)
100,0
93,5
90,0
81,9
80,0
70,0
60,0 54,9
50,0
40,0
30,0
20,0
0,0
Papua
Maluku
Pabar
NTT
Malut
Sulbar
Kalbar
Kalteng
Jabar
Kep.Riau
Sulteng
Sumsel
Banten
Sultra
Lampung
Sulut
Sulsel
Indonesia
Babel
Sumbar
Kaltim
Riau
Kalsel
Aceh
Jambi
Sumut
Jatim
NTB
Gorontalo
Jateng
DKI
Bali
Bengkulu
DIY
10,0
Gambar 3.12.19
Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari 2010
sampai saat wawancara menurut provinsi, Indonesia 2013
179
Cakupan KF1 menurut karakteristik pada Gambar 3.12.20 memperlihatkan bahwa semakin tinggi
pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan cakupan makin besar, proporsi di perkotaan lebih tinggi
dibanding perdesaan. Tidak ada perbedaan mencolok menurut karakteristik umur saat bersalin
dan pekerjaan.
Teratas
Menengah atas
Menengah
Menengah bawah
Terbawah
Pekerjaan
Lainnya
Petani/Nelayan/Buruh
Wiraswasta
Pegawai
Tidak berkerja
Umur saat
bersalin
Pendidikan
Kuintil
Indeks
Tempat
tinggal Kepemilikan
Rincian data cakupan pelayanan KF menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada Tabel
3.12.32 dan Tabel 3.12.33 pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
91,5
Perdesaan
Perkotaan
86,5
91,6
Tamat D1-D3/PT
Tamat SLTA
Tamat SLTP
Tamat SD
Tidak Tamat SD
Tidak sekolah
93,4
>= 35 th
20 - 34 th
< 20 th
82,6
0,0
20,0
40,0
60,0
80,0
100,0
Gambar 3.12.20
Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari 2010
sampai saat wawancara menurut karakteristik, Indonesia 2013.
h. Pelayanan KB pasca salin
Salah satu program terobosan Kementerian Kesehatan dalam upaya melakukan percepatan
penurunan angka kematian ibu adalah peningkatan KB pasca persalinan. KB pasca salin adalah
penggunaan metode kontrasepsi pada masa nifas sampai dengan 42 hari setelah melahirkan
sebagai langkah untuk mencegah kehilangan kesempatan ber-KB. Dalam Riskesdas 2013
menanyakan tentang pelayanan KB yang diterima pada periode masa nifas sampai 42 hari
setelah melahirkan.
Gambar 3.12.21 menunjukkan bahwa cakupan pelayanan KB pasca salin di Indonesia sebesar
59,6 persen dan bervariasi menurut provinsi, dengan rentang 26,0 persen (Papua) dan 73,2
persen (Bangka Belitung).
180
80,0
73,2
70,0
59,6
60,0
50,0
40,0
30,0 26,0
20,0
0,0
Papua
NTT
Maluku
Sulbar
Sumut
Papua Barat
DIY
Maluku Utara
Sultra
Kep.Riau
Sulsel
Sumbar
Aceh
Riau
Jatim
Sulteng
NTB
Indonesia
Sulut
Kaltim
Kalbar
Jateng
Bali
DKI
Kalteng
Lampung
Sumsel
Bengkulu
Jambi
Banten
Kalsel
Jabar
Gorontalo
Babel
10,0
Gambar 3.12.21
Proporsi kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut pelayanan KB pasca
salin dan provinsi, Indonesia 2013
Penerimaan pelayanan KB pasca salin di perkotaan (60,9%) lebih besar daripada di perdesaan
(58,3%). Tidak ada kecenderungan bermakna menurut karakteristik lainnya. Tabel KB pasca
salin menurut provinsi dan karakteristik secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3.12.34 dan
3.12.35 buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
181
3.13. Kesehatan Anak
Yuana Wiryawan, Suparmi, Kencana Sari,Yekti Widodo, Sudikno, dan Sandjaja
Topik kesehatan anak bertujuan untuk memberikan informasi berbagai indikator kesehatan anak
yang meliputi status kesehatan anak dan cakupan pelayanan. Indikator status kesehatan anak
meliputi prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), panjang badan lahir pendek, gangguan
kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatus, cacat lahir atau kecacatan pada anak balita.
Sedangkan indikator yang terkait dengan cakupan pelayanan kesehatan anak meliputi perilaku
perawatan tali pusar bayi baru lahir, pemeriksaan bayi baru lahir, imunisasi, kepemilikan akte
kelahiran, kepemilikan buku KMS dan KIA, pemantauan pertumbuhan, pemberian kapsul vitamin
A, pemberian ASI dan MPASI, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian
makanan prelakteal, ASI eksklusif, dan sunat perempuan.
Indikator yang terkait dengan prevalensi gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatus,
kepemilikan akte kelahiran anak balita, cakupan kepemilikan KMS dan buku KIA, pemberian
kolostrum dan pemberian makanan prelakteal akan ditampilkan dalam buku Riskesdas 2013
dalam Angka. Tabel 3.13.1 menunjukkan jumlah responden yang dianalisis sesuai indikator yang
diukur.
Tabel 3.13.1
Jumlah sampel dan indikator kesehatan anak, Indonesia 2013
Responden
Perempuan umur 0-11 tahun
Anak umur 0-59 bulan
Jumlah sampel
114.993
82.666
Anak umur 6-59 bulan
75.186
Anak umur 24-59 bulan
Anak umur 0-23 bulan
Anak umur 12-23 bulan
51.865
30.801
15.727
Indikator
Sunat perempuan
Kunjungan neonatus
Berat dan panjang lahir
Perawatan tali pusar
Kepemilikan KMS dan buku KIA
Kepemilikan akte kelahiran
Cakupan vitamin A
Pemantauan pertumbuhan
Kecacatan
ASI dan MPASI
Imunisasi
3.13.1. Berat dan panjang badan lahir
Berat dan panjang badan lahir dicatat atau disalin berdasarkan dokumen/catatan yang dimiliki
oleh anggota rumah tangga, seperti buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak lainnya.
Persentase anak balita yang memiliki catatan berat badan lahir adalah 52,6 persen.
Kategori berat badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu <2500 gram (BBLR), 2500-3999
gram, dan ≥4000 gram. Kecenderungan BBLR pada anak umur 0-59 bulan menurut provinsi
tahun 2010 dan 2013 disajikan pada Gambar 3.13.1. Persentase BBLR tahun 2013 (10,2%) lebih
rendah dari tahun 2010 (11,1%). Persentase BBLR tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Tengah
(16,9%) dan terendah di Sumatera Utara (7,2%).
182
25,0
20,0
11,1
15,0
10,0
0,0
10,2
Sulteng
Papua
NTT
Kalbar
Kalteng
Gorontalo
Sulsel
NTB
Sulbar
Malut
Maluku
Jatim
Kaltim
Jabar
Pabar
Indonesia
Kalsel
Bengkulu
Jateng
Banten
Sultra
Babel
DIY
Sumsel
Kep.Riau
DKI
Bali
Aceh
Riau
Jambi
Lampung
Sulut
Sumbar
Sumut
5,0
2010
2013
*) Berdasarkan 52,6% sampel balita yang punya catatan
Gambar 3.13.1
Kecenderungan berat badan lahir rendah (BBLR) pada balita, Indonesia 2010 dan 2013 *)
Tabel 3.13.2 menyajikan persentase berat badan bayi baru lahir anak balita menurut karakteristik.
Karakteristik pendidikan dan pekerjaan adalah gambaran dari kepala rumah tangga. Menurut
kelompok umur, persentase BBLR tidak menunjukkan pola kecenderungan yang jelas.
Persentase BBLR pada perempuan (11,2%) lebih tinggi daripada laki-laki (9,2%), namun
persentase berat lahir ≥4000 gram pada laki-laki (5,6%) lebih tinggi dibandingkan perempuan
(3,9%).
Menurut pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan terlihat adanya kecenderungan semakin tinggi
pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah prevalensi BBLR. Menurut jenis
pekerjaan, persentase BBLR tertinggi pada anak balita dengan kepala rumah tangga yang tidak
bekerja (11,6%), sedangkan persentase terendah pada kelompok pekerjaan pegawai (8,3%).
Persentase BBLR di perdesaan (11,2%) lebih tinggi daripada di perkotaan (9,4%).
183
Tabel 3.13.2
Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Kelompok umur (bulan)
0–5
6 – 11
12 – 23
24 – 35
36 – 47
48 – 59
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak pernah sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat D1/D2/D3/PT
Pekerjaan
Tidak bekerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani/Nelayan/Buruh
Lainnya
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Indonesia
<2500 gr
Ada catatan
2500 - 3999 gr
≥4000 gr
10,4
10,4
10,4
10,0
10,2
10,0
85,1
84,6
84,8
84,8
85,2
85,5
4,5
5,0
4,8
5,1
4,7
4,5
9,2
11,2
85,2
84,8
5,6
3,9
11,8
13,1
11,6
9,7
9,2
8,2
83,5
82,4
83,9
85,2
85,9
87,4
4,7
4,5
4,5
5,1
5,0
4,3
11,6
8,3
9,5
11,6
11,0
84,6
87,1
85,2
83,7
84,2
3,9
4,6
5,3
4,7
4,8
9,4
11,2
86,2
83,4
4,3
5,4
13,4
12,2
11,0
9,1
8,2
10,2
81,5
83,3
84,1
86,1
87,0
85,0
5,1
4,5
4,9
4,8
4,8
4,8
Tabel 3.13.3 menyajikan persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut provinsi.
Kategori panjang badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu <48 cm, 48-52 cm, dan >52 cm.
Persentase panjang badan lahir <48 cm sebesar 20,2 persen dan 48-52 cm sebesar 76,4 persen.
Persentase bayi lahir pendek (panjang badan lahir <48 cm) tertinggi di Nusa Tenggara Timur
(28,7%) dan terendah di Bali (9,6%).
184
Tabel 3.13.3
Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut provinsi, Indonesia 2013
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
<48 cm
13,7
19,6
15,5
15,7
21,7
24,1
11,8
22,4
25,8
17,1
19,7
20,6
24,5
28,6
17,1
21,2
9,6
18,8
28,7
23,2
22,1
14,5
17,2
25,7
27,1
22,6
18,6
15,4
19,9
13,6
22,6
19,2
25,6
20,2
Ada catatan
48 - 52 cm
82,1
74,3
82,4
80,8
74,4
72,6
81,0
75,5
70,3
80,8
77,0
76,0
73,2
70,0
80,1
76,5
85,3
77,6
65,7
72,7
74,9
79,6
75,9
70,9
69,1
74,2
72,5
80,5
77,2
79,7
72,6
74,0
71,1
76,4
>52 cm
4,2
6,1
2,1
3,5
3,9
3,3
7,2
2,1
3,8
2,1
3,3
3,4
2,2
1,4
2,7
2,3
5,1
3,6
5,6
4,0
3,0
5,9
6,9
3,5
3,8
3,2
8,9
4,0
2,9
6,8
4,8
6,8
3,3
3,3
Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik disajikan pada Tabel
3.13.4. Menurut kelompok umur, bayi lahir pendek tidak menunjukkan adanya pola yang jelas.
Persentase bayi lahir pendek pada anak perempuan (21,4%) lebih tinggi daripada anak laki-laki
(19,1%).
Menurut pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan terlihat adanya kecenderungan semakin tinggi
pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah persentase anak lahir pendek.
Menurut jenis pekerjaan, persentase anak lahir pendek tertinggi pada anak balita dengan kepala
rumah tangga yang tidak bekerja (22,3%), sedangkan persentase terendah pada kelompok
pekerjaan pegawai (18,1%). Persentase anak lahir pendek di perdesaan (21,9%) lebih tinggi
daripada di perkotaan (19,1%).
185
Tabel 3.13.4
Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
<48 cm
Ada catatan
48 - 52 cm
>52 cm
22,7
21,4
20,7
20,9
18,3
17,7
74,1
75,6
75,9
76,0
78,3
78,5
3,2
3,1
3,4
3,2
3,4
3,8
19,1
21,4
77,3
75,6
3,6
3,1
24,9
22,5
22,1
21,1
18,5
16,7
73,1
75,1
74,9
76,0
77,6
79,0
2,0
2,4
3,0
2,8
3,9
4,3
22,3
18,1
18,8
22,3
21,1
74,7
77,9
77,7
74,9
75,5
3,0
4,0
3,5
2,8
3,4
19,1
21,9
77,5
74,9
3,4
3,2
24,1
22,5
21,6
19,0
17,8
73,5
74,6
75,9
77,3
78,0
2,4
2,9
2,5
3,7
4,2
Kelompok umur (bulan)
0–5
6 – 11
12 – 23
24 – 35
36 – 47
48 – 59
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak pernah sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat D1/D2/D3/PT
Pekerjaan
Tidak bekerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani/Nelayan/Buruh
Lainnya
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Gambar 3.13.2 menyajikan persentase umur 0-59 bulan dengan berat badan lahir <2500 gram
(BBLR) dan panjang badan lahir <48 cm (lahir pendek) menurut provinsi. Persentase balita yang
memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR sebesar 4,3 persen, tertinggi di Papua (7,6%) dan
terendah di Maluku (0,8%).
186
10,0
7,6
8,0
6,0
4,3
4,0
0,0
0,8
Maluku
Bengkulu
Aceh
Sultra
Kalsel
Sumbar
Gorontalo
Malut
Pabar
Kalteng
Riau
Jambi
Sulut
Kep.Riau
Bali
Lampung
Jabar
Sumut
Banten
Indonesia
Babel
Sulsel
Sulbar
DKI
NTB
Kaltim
Sumsel
NTT
Jatim
Kalbar
Jateng
DIY
Sulteng
Papua
2,0
Gambar 3.13.2
Persentase umur 0-59 bulan dengan berat badan lahir <2500 gram dan panjang badan lahir <48
cm menurut Provinsi, Indonesia 2013
Gambar 3.13.3 menyajikan persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR
menurut karakteristik. Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR pada
kelompok umur 0-5 bulan paling tinggi dibanding kelompok umur lainnya. Informasi ini
menunjukkan persentase balita dengan riwayat lahir pendek dan BBLR semakin meningkat.
Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR pada perempuan (4,9%) lebih
tinggi daripada laki-laki (3,8%).
Gambar 3.13.3
Persentase anak dengan berat badan <2500 gram dan panjang badan lahir <48 cm menurut
karakteristik, Indonesia 2013
187
Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR cenderung menurun seiring
dengan semakin meningkatnya pendidikan. Menurut pekerjaan, terlihat kecenderungan
persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR lebih tinggi pada kelompok
kepala rumah tangga yang tidak bekerja dan petani/nelayan/buruh dibandingkan kepala rumah
tangga yang bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/Pegawai. Menurut tempat tinggal, balita yang tinggal
di perkotaan (4,4%) sedikit lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (4,2%). Menurut kelompok
kuintil indeks kepemilikan, tidak terlihat adanya pola kecenderungan yang jelas.
3.13.2. Kecacatan
Riskesdas 2013 menyajikan informasi prevalensi anak umur 24-59 bulan yang mengalami
kecacatan. Kecacatan yang dimaksud adalah semua kecacatan yang dapat diobservasi termasuk
karena penyakit atau trauma/kecelakaan. Anak yang mempunyai kecacatan termasuk anak
berkebutuhan khusus, seperti di bawah ini:
a. Tuna netra (penglihatan/buta) adalah anak yang memiliki lemah penglihatan atau
akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan
(Kaufman & Hallahan).
b. Tuna wicara (berbicara/bisu) adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran,
baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam
berbicara, sehingga mereka biasa disebut tuna wicara. Gangguan berbicara pada anak
balita (<5 tahun) bisanya terjadi karena anak mengalami hambatan pendengaran, baik
permanen maupun tidak permanen yang berakibat anak mengalami hambatan berbicara.
Jadi anak mengalami gangguan pendengaran dan berbicara (tuli bisu).
c. Down syndrom adalah kelainan genetik yang terjadi pada masa pertumbuhan janin
(pada kromosom 21/trisomi 21) dengan gejala yang sangat bervariasi dari gejala minimal
sampai muncul tanda khas berupa keterbelakangan mental dengan tingkat IQ kurang dari
70 serta bentuk muka (Mongoloid) dan garis telapak tangan yang khas (Simian crease).
Ciri-ciri anak down syndrome adalah muka rata, hidung tipis (pesek), jarak antara kedua
mata tampak lebih dekat, jarak ibu jari dan telunjuk pada jari kaki lebih lebar, garis tangan
melengkung tidak terputus.
d. Tuna daksa (tubuh/cacat anggota badan) adalah anak yang memiliki gangguan gerak
yang disebabkan oleh kelainan neuromuskular (syaraf otot) dan struktur tulang yang
bersifat bawaan, sakit, atau akibat kecelakaan termasuk polio dan lumpuh.
e. Bibir sumbing adalah kelainan pada bibir, langit-langit atas mulut atau kedua-duanya.
f.
Tuna rungu (pendengaran/tuli) adalah anak yang memiliki hambatan dalam
pendengaran baik permanen maupun tidak permanen.
Gambar 3.13.4 menunjukkan kecenderungan persentase kecacatan pada anak 24-59 bulan.
Persentase jenis kecacatan yang tertinggi adalah tuna netra (cacat penglihatan/buta) sebesar
0,17 persen dan terendah adalah tuna rungu 0,07 persen. Data ini menunjukkan persentase anak
tuna wicara 2 kali lebih tinggi daripada persentase anak tuna rungu. Persentase anak tuna netra
meningkat hampir dua kali lipat bila dibandingkan hasil Riskesdas 2010.
188
0,53
0,6
0,5
0,4
0
Minimal satu Tuna netra Tuna wicara
Down
Tuna daksa
jenis cacat
syndrome
2010
Bibir
sumbing
0,07
0,08
0,08
0,17
0,13
0,12
0,14
0,15
0,08
0,1
0,09
0,2
0,17
0,3
Tuna rungu
2013
Gambar 3.13.4
Kecenderungan persentase kecacatan pada anak 24-59 bulan, Indonesia 2010 dan 2013
3.13.3. Status Imunisasi
Program imunisasi dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1956. Kementerian Kesehatan
melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya menurunkan
kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu tuberkulosis, difteri,
pertusis, campak, polio, tetanus serta hepatitis B. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 1611/MENKES/SK/XI/2005, program pengembangan imunisasi mencakup satu kali HB-0,
satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali imunisasi polio, dan satu kali
imunisasi campak. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi
polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat
minggu; imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua bulan, tiga bulan empat bulan dengan interval
minimal empat minggu; dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan.
Informasi cakupan imunisasi pada Riskesdas 2013 ditanyakan kepada ibu yang mempunyai
balita umur 0-59 bulan. Informasi imunisasi dikumpulkan berdasarkan empat sumber informasi,
yaitu wawancara kepada ibu balita atau anggota rumah tangga yang mengetahui, catatan dalam
KMS, catatan dalam buku KIA, dan catatan dalam buku kesehatan anak lainnya. Apabila salah
satu dari keempat sumber tersebut menyatakan bahwa anak sudah diimunisasi, disimpulkan
bahwa anak tersebut sudah diimunisasi untuk jenis yang ditanyakan.
Selain setiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila sudah
mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali
polio, dan satu kali imunisasi campak. Jadwal imunisasi untuk HB-0, BCG, polio, DPT-HB, dan
campak berbeda, sehingga bayi umur 0-11 bulan tidak dianalisis. Analisis dilakukan pada anak
umur 12-23 bulan, yang telah melewati masa imunisasi dasar.
Analisis imunisasi hanya dilakukan pada anak umur 12-23 bulan karena beberapa alasan, yaitu:
(1) hasil analisis dapat mendekati perkiraan “valid immunization”; (2) survei-survei lain juga
menggunakan kelompok umur 12-23 bulan untuk menilai cakupan imunisasi, sehingga dapat
dibandingkan dan; (3) bias karena ingatan ibu yang diwawancara pada saat pengumpulan data
lebih rendah dibanding kelompok umur di atasnya.
189
Tidak semua balita dapat diketahui status imunisasinya (missing). Hal ini disebabkan beberapa
alasan, yaitu ibu lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum, ibu lupa berapa kali sudah
diimunisasi, ibu tidak mengetahui secara pasti jenis imunisasi, catatan dalam KMS/ buku KIA
tidak lengkap/tidak terisi, tidak dapat menunjukkan karena hilang atau tidak disimpan oleh ibu.
Alasan lainnya karena subyek yang ditanya tentang imunisasi bukan ibu balita, memory recall
bias dari ibu, ataupun ketidakakuratan pewawancara saat proses wawancara dan pencatatan.
Oleh karena itu, perlu menjadi catatan bahwa dalam interpretasi hasil cakupan imunisasi terdapat
kekurangan metode survei (desain potong lintang) dalam Riskesdas 2013.
Gambar 3.13.5 menunjukkan cakupan imunisasi lengkap pada anak umur 12-23 bulan, yang
merupakan gabungan dari satu kali imunisasi HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali
polio, dan satu kali imunisasi campak. Cakupan imunisasi lengkap cenderung meningkat dari
tahun 2007 (41,6%), 2010 (53,8%), dan 2013 (59,2%).
100,0
80,0
60,0
40,0
53,8
59,2
49,2
41,6
33,5 32,1
20,0
0,0
9,1
Lengkap
Tidak lengkap
2007
2010
12,7
8,7
Tidak diimunisasi
2013
Gambar 3.13.5
Kecenderungan imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan,
Indonesia tahun 2007, 2010, dan 2013
Tabel 3.13.5 menunjukkan cakupan tiap jenis imunisasi yaitu HB-0, BCG, polio empat kali (polio
4), DPT-HB kombo tiga kali (DPT-HB 3), dan campak menurut provinsi. Berdasarkan jenis
imunisasi persentase tertinggi adalah BCG (87,6%) dan terendah adalah DPT-HB3 (75,6%).
Papua mempunyai cakupan imunisasi terendah untuk semua jenis imunisasi, meliputi HB-0
(45,7%), BCG (59,4%), DPT-HB 3 (75,6%), Polio 4 (48,8%), dan campak (56,8%). Provinsi DI
Yogyakarta mempunyai cakupan imunisasi tertinggi untuk jenis imunisasi dasar HB-0 (98,4%),
BCG (98,9%), DPT-HB 3 (95,1%), dan campak (98,1%) sedangkan cakupan imunisasi polio 4
tertinggi di Gorontalo (95,8%).
190
Tabel 3.13.5
Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-23 bulan menurut provinsi,
Indonesia 2013
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
HB-0
64,8
63,0
70,5
68,8
79,1
70,8
81,0
79,9
87,5
87,4
87,8
78,8
90,5
98,4
91,2
76,9
93,4
92,7
70,7
62,3
57,7
69,1
83,4
82,4
64,7
72,9
59,8
87,5
67,6
47,8
57,3
50,6
45,7
79,1
BCG
72,9
78,1
81,0
81,4
85,5
84,9
93,0
90,0
92,8
92,0
90,9
87,8
94,8
98,9
93,3
83,6
97,6
92,2
84,2
81,2
77,0
83,2
87,3
97,3
84,3
84,8
84,8
97,2
79,3
73,6
83,6
80,4
59,5
87,6
Jenis imunisasi dasar
DPT-HB-3
Polio-4
52,9
58,3
63,1
67,5
60,2
64,4
70,0
70,9
76,7
77,4
73,6
76,3
86,7
87,6
82,5
84,6
83,7
88,3
87,4
88,0
79,1
76,7
71,5
73,9
89,2
87,6
95,1
88,3
85,7
86,2
63,3
64,0
90,4
92,4
85,2
87,7
66,0
68,5
71,9
74,1
67,9
69,9
72,0
73,2
81,4
81,6
83,3
81,4
72,6
74,0
69,5
70,9
75,3
76,9
93,0
95,8
67,1
70,2
53,8
61,8
68,9
71,9
60,0
62,8
40,8
48,8
75,6
77,0
Campak
62,4
70,1
71,4
77,3
79,7
82,6
90,2
87,9
86,4
91,9
85,3
80,8
92,6
98,1
89,0
66,7
93,5
90,6
84,1
77,3
77,4
74,1
84,1
94,4
76,7
76,9
83,8
94,9
72,5
70,5
80,3
76,9
56,8
82,1
Tabel 3.13.6 menunjukkan cakupan jenis imunisasi dasar menurut karakteristik. Cakupan
imunisasi tidak berbeda menurut jenis kelamin. Persentase semua jenis imunisasi lebih tinggi di
perkotaan dibandingkan di perdesaan. Terlihat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi cakupan jenis imunisasi. Pada kepala
rumah tangga yang bekerja sebagai pegawai, cakupan jenis imunisasi lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok pekerjaan lainnya.
191
Tabel 3.13.6
Persentase jenis imunisasi dasar pada anak umur 12-23 bulan
menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak pernah sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat D1/D2/D3/PT
Pekerjaan
Tidak bekerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani/Nelayan/Buruh
Lainnya
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
HB-0
Persentase imunisasi dasar
BCG
DPT-HB-3
Polio-4
79,8
78,3
87,9
87,2
75,6
75,7
76,0
77,9
81,5
82,8
68,6
69,4
74,2
80,1
85,5
89,3
75,5
79,3
84,7
89,6
91,9
93,2
64,8
66,6
70,8
77,0
81,4
86,0
66,8
67,7
73,1
78,2
82,2
86,1
73,2
74,6
78,9
83,1
86,6
89,2
80,3
88,4
82,7
72,2
80,2
85,6
94,1
89,0
83,8
86,8
75,5
83,9
77,3
70,5
75,3
78,0
83,8
79,1
72,4
75,4
83,2
87,9
83,2
78,3
83,0
85,9
71,9
91,0
83,9
79,9
71,1
80,3
73,4
84,1
80,0
56,5
74,2
82,2
86,6
87,2
73,2
85,6
88,8
91,7
93,3
56,6
73,4
76,9
80,5
83,9
60,1
76,0
78,4
81,0
83,6
68,9
81,7
82,6
86,0
86,7
Campak
Cakupan imunisasi dasar lengkap menurut provinsi dapat dilihat pada Tabel 3.13.7. Cakupan
imunisasi dasar lengkap bervariasi antar provinsi, yaitu tertinggi di DI Yogyakarta (83,1%) dan
terendah di Papua (29,2%). Secara nasional, terdapat 8,7 persen anak 12-23 bulan yang tidak
pernah mendapatkan imunisasi dengan persentase tertinggi di Papua (36,6%) dan terendah di DI
Yogyakarta (1,1%).
192
Tabel 3.13.7
Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan menurut provinsi,
Indonesia 2013
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Kelengkapan imunisasi dasar
Lengkap Tidak lengkap
Tidak imunisasi
38,3
41,9
19,8
39,1
44,5
16,4
39,7
46,9
13,4
52,2
31,9
15,8
60,3
27,5
12,3
48,3
40,2
11,6
62,1
33,0
4,9
62,4
31,1
6,5
67,7
27,3
5,1
71,6
23,2
5,3
64,5
30,7
4,8
56,6
35,1
8,3
76,9
19,5
3,5
83,1
15,7
1,1
74,5
21,7
3,7
45,8
43,9
10,4
80,8
18,0
1,2
75,4
21,1
3,6
50,3
40,2
9,6
47,4
38,3
14,2
42,0
43,2
14,8
52,0
33,9
14,0
65,9
26,3
7,8
60,9
36,7
2,3
47,1
42,7
10,1
49,5
41,7
8,7
47,3
41,8
10,9
80,6
16,7
2,8
52,4
31,0
16,7
29,7
48,6
21,7
42,6
46,8
10,6
35,6
45,8
18,6
29,2
34,3
36,6
59,2
32,1
8,7
Tabel 3.13.8. menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap menurut karakteristik. Persentase
imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (64,5%) daripada di perdesaan (53,7%) dan
terdapat 11,7 persen anak umur 12-23 bulan di perdesaan yang tidak diberikan imunisasi sama
sekali. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks
kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula cakupan imunisasi dasar lengkapnya.
Menurut pendidikan kepala rumah tangga, cakupan imunisasi dasar lengkap anak umur 12-23
bulan tertinggi pada kelompok perguruan tinggi (72,5%) dan terendah pada kelompok tidak tamat
SD (49,0%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan semakin tinggi cakupan imunisasi dasar
lengkap. Menurut pekerjaan, terlihat kecenderungan peningkatan cakupan imunisasi lengkap
anak umur 12-23 bulan pada kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai maupun
wiraswasta.
193
Tabel 3.13.8
Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan menurut karakteristik,
Indonesia 2013
Karakteristik
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak pernah sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat D1/D2/D3/PT
Pekerjaan
Tidak bekerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani/Nelayan/Buruh
Lainnya
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Kelengkapan imunisasi dasar
Lengkap
Tidak lengkap Tidak imunisasi
59,0
59,4
32,3
31,8
8,6
8,8
50,6
49,0
53,3
59,2
66,6
72,5
31,6
37,2
35,9
33,1
27,9
22,9
17,8
13,8
10,8
7,7
5,4
4,6
59,2
69,5
61,7
52,9
58,7
32,5
26,3
30,8
35,6
32,2
8,4
4,3
7,5
11,6
9,1
64,5
53,7
29,6
34,7
5,8
11,7
39,5
55,1
61,1
65,4
67,8
39,7
35,4
30,9
29,5
27,9
20,8
9,5
8,0
5,1
4,3
Gambar 3.13.5 menunjukkan bahwa 8,7 persen anak 12-23 bulan belum pernah diberikan
imunisasi. Pada Tabel 3.13.9, alasan utama tidak diimunisasi adalah takut anak menjadi panas
(28,8%), namun Gambar 3.13.6 memperlihatkan bahwa persentase anak umur 12-23 bulan yang
mengalami demam tinggi setelah imunisasi hanya 6,8 persen. Tabel 3.13.9 juga menunjukkan
terdapat 26,3 persen yang menyatakan bahwa keluarga tidak mengizinkan anak diimunisasi.
Semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi pula persentase
keluarga yang tidak mengizinkan anaknya diimunisasi. Persentase anak di perkotaan yang tidak
diizinkan keluarga untuk diimunisasi (35,5%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (21,3%).
Persentase balita yang menyatakan bahwa keluarga tidak mengizinkan diimunisasi tertinggi pada
kelompok kepala rumah tangga yang bekerja sebagai pegawai.
Pada balita yang tidak diimunisasi karena tempat imunisasi jauh, terlihat bahwa semakin tinggi
pendidikan kepala rumah tangga, persentase balita yang tidak diimunisasi semakin rendah.
Persentase anak di perkotaan yang tidak diimunisasi karena tempat jauh (7,4%) lebih rendah
dibandingkan di perdesaan (29,2%).
194
Tabel 3.13.9
Persentase alasan tidak pernah imunisasi pada anak umur 12-23 bulan menurut karakteristik,
Indonesia 2013 *)
Alasan tidak pernah imunisasi
Keluarga
Takut anak
Anak
Tidak tahu
Tempat
Karakteristik
tidak
menjadi
sering
tempat
imunisasi
Sibuk/repot
mengijinkan
panas
sakit
imunisasi
jauh
Jenis kelamin
Laki-laki
27,2
28,2
7,5
5,0
21,5
18,7
Perempuan
25,1
29,7
5,7
8,7
22,0
14,2
Pendidikan
Tidak pernah sekolah
11,4
9,7
2,1
8,3
47,1
25,7
Tidak tamat SD
20,7
28,7
5,8
6,7
25,1
20,0
19,3
32,5
7,8
7,1
22,3
15,6
Tamat SD
Tamat SMP
33,0
26,4
5,1
8,8
21,4
14,4
Tamat SMA
41,4
33,1
10,0
3,9
7,8
13,5
56,4
22,9
0,4
3,8
13,7
13,7
Tamat D1/D2/D3/PT
Pekerjaan
Tidak bekerja
30,7
14,7
10,3
0,9
27,2
23,2
42,7
31,6
4,4
4,5
12,0
15,5
Pegawai
Wiraswasta
34,8
42,3
5,7
7,6
6,7
12,5
Petani/Nelayan/Buruh
21,6
25,2
6,6
6,1
28,3
17,4
12,8
38,5
10,4
24,3
9,7
13,1
Lainnya
Tempat tinggal
Perkotaan
35,5
37,9
7,7
6,6
7,4
15,7
21,3
24,3
6,1
6,8
29,2
16,9
Perdesaan
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
14,0
19,7
4,9
6,8
40,4
18,3
23,8
33,0
8,1
4,2
21,1
16,5
Menengah bawah
Menengah
31,3
34,4
11,0
6,2
6,0
18,3
Menengah atas
42,8
40,5
5,2
10,6
4,1
9,9
44,8
29,0
4,1
6,8
6,7
15,6
Teratas
Indonesia
26,3
28,8
6,8
6,7
21,9
16,3
*) dari 8,7% anak yang tidak diimunisasi
Gambar 3.13.6 menunjukkan bahwa dari 91,3 persen yang pernah diimunisasi, terdapat 33,4
persen yang pernah mengalami KIPI. Keluhan yang sering terjadi adalah kemerahan dan
bengkak, sedangkan keluhan demam tinggi dialami oleh 6,8 persen anak.
195
Gambar 3.13.6
Persentase keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur 12-23 bulan,
Indonesia 2013
3.13.4. Kunjungan neonatus
Pada Riskesdas 2013 dilakukan pengumpulan data kunjungan neonatus yang meliputi kunjungan
pada saat bayi saat berumur 6-48 jam (KN1), 3-7 hari (KN2), dan 8-28 hari (KN3). Gambar 3.13.7
menunjukkan hampir tidak ada perbedaan persentase KN1 dan KN2 antara hasil Riskesdas 2010
dan 2013, sedangkan persentase KN3 (8-28 hari) meningkat dari tahun 2010 (38,0%) ke tahun
2013 (47,5%). Cakupan kunjungan neonatus lengkap juga meningkat dari 31,8 persen (2010)
menjadi 39,3 persen (2013). Kunjungan neonatus tertinggi pada bayi umur 6-48 jam (71,3%) dan
terendah pada bayi umur 8-28 hari (47,5%).
100,0
80,0
60,0
40,0
71,4 71,3
61,3 61,3
47,5
38,0
31,8
39,3
20,8 21,5
20,0
0,0
KN1 (6-48 jam) KN2 (3-7 hari) KN3 (8-28 hari)
2010
KN lengkap
Tidak KN
2013
Gambar 3.13.7
Kecenderungan kunjungan neonatus lengkap, Indonesia 2010 dan 2013
196
Persentase KN1 pada anak balita menurut provinsi disajikan pada Gambar 3.13.8 Persentase
kunjungan neonatus pada 6-48 jam adalah 71,3 persen pada Riskesdas 2013 dan hampir tidak
ada perbedaan dengan hasil Riskesdas 2010 (71,4%). Pada tahun 2013, provinsi dengan
persentase KN1 tertinggi adalah DKI Jakarta (82,8%) dan terendah di Papua Barat (42,1%).
100,0
71,3
80,0
60,0
71,4
40,0
0,0
Pabar
Papua
Maluku
Malut
NTT
Kep.Riau
Kalbar
Sumsel
Kalteng
Sulteng
Sulbar
Banten
Jabar
Sumbar
Sultra
Sumut
Babel
Indonesia
Lampung
Kaltim
Riau
Sulsel
Kalsel
Aceh
Sulut
Gorontalo
Jateng
Jambi
NTB
Jatim
Bengkulu
DIY
Bali
DKI
20,0
2010
2013
Gambar 3.13.8
Kecenderungan KN1 menurut provinsi, Indonesa 2010 dan 2013
Persentase kunjungan neonatus menurut karakteristik disajikan pada Tabel 3.13.10. Dari Tabel
3.13.10, persentase kunjungan neonatus 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari setelah lahir semakin
rendah seiring dengan bertambahnya umur anak. Persentase kunjungan neonatus menurut jenis
kelamin anak hampir tidak ada perbedaan, sedangkan menurut tempat tinggal, persentase
kunjungan neonatus di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula persentase
kunjungan neonatus pada bayi berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Menurut jenis
pekerjaan kepala rumah tangga, persentase kunjungan neonatus pada umur 6-48 jam, 3-7 hari,
dan 8-28 hari tertinggi pada kelompok pekerjaan pegawai, yaitu 79,8 persen untuk KN1, 70,5
persen untuk KN2, dan 57,7 persen untuk KN3.
197
Tabel 3.13.10
Persentase kunjungan neonatal pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik,
Indonesia 2013
Karakteristik
Kelompok umur (bulan)
0–5
6 – 11
12 – 23
24 – 35
36 – 47
48 – 59
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak pernah sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat D1/D2/D3/PT
Pekerjaan
Tidak bekerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani/Nelayan/Buruh
Lainnya
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Indonesia
KN1 (6 – 48 jam)
Kunjungan Neonatal
KN3 (8 – 28 hari)
KN2 (3 – 7 hari)
75,7
75,9
72,5
71,2
69,8
67,1
63,8
64,3
63,1
61,6
60,4
57,4
49,3
49,6
49,2
47,3
47,2
44,3
71,6
70,9
61,6
61,0
47,6
47,4
59,2
61,8
65,7
71,6
78,0
83,3
48,9
52,4
56,1
62,5
67,0
73,0
40,0
41,3
42,5
45,9
53,0
60,7
70,8
79,8
75,1
65,0
71,3
58,8
70,5
65,4
54,7
61,7
47,5
57,7
49,8
41,1
47,2
76,1
66,2
66,8
55,5
54,3
40,3
49,9
65,9
73,5
77,7
80,9
71,3
39,8
55,6
64,1
68,4
70,0
61,3
30,6
40,7
48,9
54,4
55,5
47,5
Setiap bayi baru lahir sebaiknya mendapatkan semua kunjungan neonatus, yaitu pada saat bayi
berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Bayi yang mendapat kunjungan neonatus tiga kali
yaitu pada saat berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari, dapat dinyatakan melakukan
kunjungan neonatus lengkap (KN1, KN2, KN3). Persentase kunjungan neonatus lengkap
menurut provinsi disajikan pada Gambar 3.13.9.
Gambar 3.13.9 menunjukkan bahwa persentase anak balita dengan kunjungan neonatus lengkap
adalah 39,3 persen pada Riskesdas tahun 2013, lebih tinggi daripada tahun 2010 (31,8%).
Persentase kunjungan neonatus lengkap tahun 2013 tertinggi di DI Yogyakarta (58,3%) dan
terendah di Papua Barat (6,8%).
198
100,0
80,0
60,0
39,3
40,0
20,0
Pabar
Papua
Kalbar
Sulsel
Sulbar
Maluku
Babel
Riau
Malut
Kalteng
Sumut
Sumsel
NTT
Sumbar
Sulteng
Kalsel
Kep.Riau
Sultra
Bengkulu
Aceh
Kaltim
Jambi
Lampung
Indonesia
Banten
Gorontalo
Sulut
Jabar
NTB
Jateng
Bali
Jatim
DKI
DIY
0,0
31,8
2010
2013
Gambar 3.13.9
Kecenderungan kunjungan neonatus lengkap menurut provinsi, Indonesia 2010 dan 2013
Tabel 3.13.11 menunjukkan bahwa hampir tidak ada perbedaan persentase kunjungan neonatus
lengkap menurut jenis kelamin anak. Menurut tempat tinggal, persentase kunjungan neonatus
lengkap di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Di perdesaan, 26,7 persen anak balita
tidak pernah melakukan kunjungan neonatus. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah
tangga dan kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi pula persentase kunjungan neonatus
lengkap. Menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga, kunjungan neonatus lengkap tertinggi
pada jenis pekerjaan pegawai (49,3%) dan terendah pada kelompok pekerjaan
petani/buruh/nelayan (33,2%).
Persentase balita yang tidak pernah melakukan kunjungan neonatus semakin rendah seiring
dengan semakin tingginya tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut jenis
pekerjaan, balita yang tidak pernah melakukan kunjungan neonatus tertinggi pada jenis
pekerjaan petani/nelayan/buruh (27,6%) dan terendah pada kelompok pekerjaan pegawai
(13,4%).
199
Tabel 3.13.11
Persentase kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak umur 0-59 bulan menurut
karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Kelompok umur (bulan)
0–5
6 – 11
12 – 23
24 – 35
36 – 47
48 – 59
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak pernah sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat D1/D2/D3/PT
Pekerjaan
Tidak bekerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani/Nelayan/Buruh
Lainnya
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Indonesia
Tidak pernah KN
Kategori kunjungan neonatal
KN tidak lengkap
KN lengkap
18,4
18,0
20,0
21,2
22,4
25,5
40,6
39,7
39,6
39,7
38,7
38,0
41,0
42,3
40,5
39,1
38,9
36,6
21,2
21,7
39,1
39,3
39,7
39,0
34,0
30,1
26,2
20,4
15,6
11,6
33,6
37,2
39,4
42,2
39,5
34,8
32,4
32,7
34,4
37,4
44,8
53,7
22,8
13,4
17,5
27,6
20,7
37,5
37,3
41,2
39,2
40,6
39,8
49,3
41,3
33,2
38,7
16,4
26,7
38,1
40,4
45,4
32,9
42,2
25,8
18,4
15,4
13,6
21,5
34,9
41,7
41,1
38,6
39,0
39,2
22,9
32,5
40,5
46,0
47,5
39,3
3.13.5. Perawatan tali pusar
Riskesdas 2013 menyediakan informasi tentang cara perawatan tali pusar bayi baru lahir. Menurut
standar Asuhan Persalinan Normal (APN) tali pusar yang telah dipotong dan diikat, tidak diberi
apa-apa. Sebelum metode APN diterapkan, tali pusar dirawat dengan alkohol atau antiseptik
lainnya.
Tabel 3.13.12 menyajikan persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan
menurut provinsi. Dari tabel tersebut diketahui bahwa persentase cara perawatan tali pusar pada
anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa sebesar 24,1 persen, diberi betadine/alkohol
sebesar 68,9 persen, dan diberi obat tabur sebesar 1,6 persen. Persentase perawatan tali pusar
200
dengan tidak diberi apa-apa meningkat dari 11,6 persen (2010) menjadi 24,1 persen (2013).
Sebaliknya, perawatan tali pusar dengan pemberian betadine/alkohol menurun dari 78,9 persen
(2010) menjadi 68,9 persen (2013). Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59
bulan dengan tidak diberi apa-apa tertinggi di Bali (49,6%) dan terendah di Sulawesi Utara
(4,6%).
Tabel 3.13.12
Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut provinsi,
Indonesia 2013
Cara perawatan tali pusar
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Tidak diberi apa-apa
Diberi betadine/
alkohol
Diberi obat
tabur
25,7
9,3
22,2
11,6
34,8
8,4
24,8
35,4
14,9
17,1
27,0
30,1
18,1
45,8
33,6
14,9
49,6
45,0
26,7
16,8
16,8
16,0
17,7
4,6
9,7
17,4
22,7
13,2
20,2
6,1
18,2
16,5
37,3
24,1
66,9
81,7
75,3
78,5
58,0
80,9
68,2
59,0
76,3
79,3
71,6
64,8
81,1
53,6
63,3
76,2
45,2
41,8
49,7
60,7
59,1
75,5
77,8
93,9
76,0
72,9
59,0
78,7
59,9
71,6
47,4
66,7
48,2
68,9
1,3
4,3
0,6
1,5
1,2
0,9
2,5
1,1
0,8
1,0
0,3
1,8
0,2
0,2
0,7
0,9
0,3
2,7
4,8
2,8
4,1
2,3
1,3
0,6
4,1
2,9
3,4
2,5
2,9
2,0
2,9
0,9
2,1
1,6
201
Diberi
ramuan/obat
tradisional
6,1
4,7
1,9
8,5
5,9
9,8
4,5
4,5
7,9
2,6
1,1
3,4
0,6
0,3
2,3
8,0
5,0
10,5
18,8
19,7
19,9
6,3
3,3
0,9
10,3
6,8
14,9
5,6
17,0
20,3
31,6
15,9
12,4
5,5
3.13.6. Pola pemberian ASI
Dalam Riskesdas 2013 dikumpulkan data tentang pola pemberian ASI dan pola pemberian
makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak umur 0-23 bulan yang meliputi: proses mulai
menyusu, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal,
menyusu eksklusif, dan pemberian MP-ASI. Dalam buku ini ditampilkan proses menyusui dan
menyusu ekslusif. Kriteria menyusu ekslusif ditegakkan bila anak umur 0-6 bulan hanya diberi
ASI saja pada 24 jam terakhir dan tidak diberi makanan prelakteal.
Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. Bagi bayi,
menyusui mempunyai peran penting untuk menunjang pertumbuhan, kesehatan, dan
kelangsungan hidup bayi karena ASI kaya dengan zat gizi dan antibodi. Sedangkan bagi ibu,
menyusui dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas karena proses menyusui akan
merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (postpartum).
Menyusui dalam jangka panjang dapat memperpanjang jarak kelahiran karena masa amenorhoe
lebih panjang. UNICEF dan WHO membuat rekomendasi pada ibu untuk menyusui eksklusif
selama 6 bulan kepada bayinya. Sesudah umur 6 bulan, bayi baru dapat diberikan makanan
pendamping ASI (MP-ASI) dan ibu tetap memberikan ASI sampai anak berumur minimal 2 tahun.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan juga merekomendasikan para ibu untuk
menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya.
Gambar 3.13.10 menunjukkan kecenderungan proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan
pada tahun 2010 dan 2013. Dari gambar tersebut dapat dinilai bahwa proses menyusu kurang
dari satu jam (inisiasi menyusu dini) meningkat menjadi 34,5 persen (2013) dari 29,3 persen
(2010).
50,0
40,7
40,0
30,0
34,5
35,2
29,3
20,0
11,3
13,0
11,1
13,7
7,6
10,0
3,7
0,0
< 1 Jam (IMD)
1-6 Jam
7-23 Jam
2010
24-47 jam
≥ 48 jam
2013
Gambar 3.13.10
Kecenderungan proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan, Indonesia 2010 dan 2013
Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut provinsi disajikan pada
Tabel 3.13.13. Persentase nasional proses mulai menyusu kurang dari satu jam (IMD) setelah
bayi lahir adalah 34,5 persen, dengan persentase tertinggi di Nusa Tenggara Barat (52,9%) dan
terendah di Papua Barat (21,7%).
202
Tabel 3.13.13
Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut provinsi, Indonesia 2013
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
<1 jam (IMD)
39,7
22,9
44,2
22,1
41,1
29,6
35,7
24,1
37,4
22,7
41,9
35,7
37,5
39,3
33,3
33,8
42,2
52,9
40,5
29,6
23,9
28,6
35,1
29,0
29,0
44,9
33,2
42,7
34,0
24,8
27,0
21,7
31,5
34,5
Kategori proses mulai menyusu
1-6 jam
7-23 jam
24-47 jam
27,7
2,9
15,7
32,9
4,2
17,1
36,6
3,9
9,3
43,9
5,1
10,9
34,5
2,8
11,0
36,4
5,3
11,7
34,0
1,0
18,9
46,3
4,1
13,6
26,4
2,0
14,6
39,5
7,0
14,5
27,3
3,5
16,1
37,4
3,7
11,3
34,6
5,0
9,9
39,4
2,0
10,8
33,5
3,3
15,3
37,7
3,7
13,5
33,2
1,6
13,5
30,8
1,4
10,2
40,3
3,2
9,1
36,9
1,9
16,3
34,8
2,7
21,0
32,8
2,6
15,9
41,0
2,0
10,5
34,7
4,1
15,7
24,7
4,2
15,7
26,0
3,7
10,2
35,3
3,0
12,0
35,0
1,8
11,6
35,5
3,2
9,9
42,4
3,8
9,7
39,6
3,8
12,6
43,5
3,2
18,0
40,5
3,0
19,2
35,2
3,7
13,0
≥48 jam
14,0
22,9
6,1
18,0
10,6
17,0
10,3
12,0
19,6
16,4
11,3
11,9
13,0
8,4
14,7
11,4
9,5
4,6
6,8
15,3
17,5
20,0
11,4
16,4
26,4
15,1
16,5
8,9
17,4
19,2
17,0
13,7
5,8
13,7
Gambar 3.13.11 menunjukkan bahwa persentase pemberian ASI saja dalam 24 jam terakhir
semakin menurun seiring meningkatnya umur bayi dengan persentase terendah pada anak umur
6 bulan (30,2%).
203
100,0
Persen
80,0
60,0
52,7
48,7
46,0
42,2
40,0
41,9
36,6
30,2
20,0
0,0
0
1
2
3
Umur ( bulan)
4
5
6
Gambar 3.13.11
Pemberian ASI saja 24 jam terakhir menurut umur
3.13.7. Cakupan vitamin A
Kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak
berumur enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur 6-11 bulan dan
kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan.
Gambar 3.13.12 menunjukkan kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak
6-59 bulan menurut propinsi pada tahun 2007 dan 2013. Cakupan pemberian vitamin A
meningkat dari 71,5 persen (2007) menjadi 75,5 persen (2013). Persentase anak umur 6-59
bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir tertinggi di Nusa Tenggara
Barat (89,2%) dan terendah di Sumatera Utara (52,3%).
100,0
75,5
80,0
60,0
71,5
40,0
0,0
Sumut
Papua
Sulbar
Riau
Pabar
Malut
Maluku
Kalteng
Sumsel
Kalbar
Sulsel
Kep.Riau
Babel
Sulteng
Sumbar
NTT
Kalsel
Sultra
Lampung
Aceh
Bengkulu
Banten
Jambi
DKI
Indonesia
Bali
Kaltim
Sulut
Jabar
Gorontalo
Jatim
Jateng
DIY
NTB
20,0
2007
2013
Gambar 3.13.12
Kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan,
Indonesia 2007 dan 2013
204
3.13.8. Pemantauan pertumbuhan
Pemantauan pertumbuhan balita sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan
pertumbuhan (growth faltering) secara dini. Untuk mengetahui pertumbuhan tersebut,
penimbangan balita setiap bulan sangat diperlukan. Penimbangan balita dapat dilakukan di
berbagai tempat seperti Posyandu, Polindes, Puskesmas atau sarana pelayanan kesehatan yang
lain.
Pada Riskesdas 2013, informasi tentang pemantauan pertumbuhan anak diperoleh dari frekuensi
penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir. Idealnya dalam enam bulan
anak balita ditimbang minimal enam kali.
Gambar 3.13.13 menunjukkan kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 659 bulan dalam enam bulan terakhir pada tahun 2007 dan 2013. Dari gambar tersebut terlihat
bahwa frekuensi penimbangan >4 kali sedikit menurun pada tahun 2013 (44,6%) dibanding tahun
2007 (45,4%). Anak umur 6-59 bulan yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir
meningkat dari 25,5 persen (2007) menjadi 34,3 persen (2013).
60,0
50,0
45,4
44,6
40,0
34,3
29,1
30,0
21,1
20,0
25,5
10,0
0,0
≥ 4 kali
1 – 3 kali
2007
Tidak Pernah
2013
Gambar 3.13.13
Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan
terakhir, Indonesia 2007 dan 2013
Gambar 3.13.14 menyajikan kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan balita >4 kali
dalam enam bulan terakhir menurut provinsi pada tahun 2007 dan 2013. Dari gambar tersebut
terlihat bahwa frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir
sebanyak ≥4 kali tertinggi di DI Yogyakarta (79,0%) dan terendah di Sumatera Utara (12,5%).
205
100,0
80,0
44,6
60,0
40,0
45,4
0,0
Sumut
Bengkulu
Papua
Sumsel
Lampung
Riau
Kalteng
Jambi
Sulteng
Sultra
Kalsel
Sulsel
Kalbar
Pabar
Kep.Riau
Aceh
Sulut
Sulbar
Maluku
Banten
Malut
Kaltim
Babel
Sumbar
Indonesia
Bali
Gorontalo
DKI
Jabar
NTT
Jateng
Jatim
NTB
DIY
20,0
2007
2013
Gambar 3.13.14
Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan balita ≥4 kali dalam 6 bulan terakhir
menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013
3.13.9. Sunat Perempuan
Riskesdas 2013 menyajikan data atau informasi tentang kebiasaan/perilaku sunat pada anak
perempuan umur 0-11 tahun, berupa presentase pernah disunat dan presentase kategori umur
ketika disunat. Selain itu juga disajikan data tentang presentase orang yang menyarankan untuk
melakukan sunat dan presentase yang melakukan sunat anak perempuan, keduanya disajikan
lengkap dalam buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun menurut provinsi disajikan
pada Gambar 3.13.15. Secara nasional, persentase pernah disunat pada anak perempuan umur
0-11 tahun sebesar 51,2 persen, dengan umur waktu disunat tertinggi ketika umur 1-5 bulan
(72,4%), namun ada juga yang disunat ketika usia 1-4 tahun (13,9%), dan 5-11 tahun (3,3%).
Menurut provinsi persentase tertinggi di Gorontalo (83,7%) dan terendah di Nusa Tenggara Timur
(2,7%) (Gambar 3.13.16).
206
Gambar 3.13.15
Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat dan umur ketika disunat,
Indonesia 2013
Gambar 3.13.16
Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat menurut provinsi, Indonesia
2013
Gambar 3.13.17 menyajikan persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun
menurut karakteristik. Menurut pendidikan dan pekerjaan kepala rumah tangga, persentase
pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun bervariasi antar tingkat pendidikan,
maupun jenis pekerjaan kepala rumah tangga. Persentase pernah disunat pada anak perempuan
umur 0-11 tahun di perkotaan sebesar 55,8 persen, lebih tinggi daripada di perdesaan (46,9%).
Menurut kuintil indeks kepemilikan, persentase terendah pernah disunat pada anak perempuan
umur 0-11 tahun terdapat di kelompok kuintil terbawah (44,5%).
207
Gambar 3.13.17
Persentase anak perempuan umur 0 - 11 tahun yang pernah disunat menurut karakteristik,
Indonesia 2013
208
3.14. Status Gizi
Anies Irawati, Atmarita, Dyah Santi Puspitasari, Yurista P., Fithya Puspitasari, dan Agus
Triwinarto
Uraian status gizi terdiri dari: (1) status gizi balita; (2) status gizi anak umur 5 – 18 tahun; (3)
status gizi penduduk dewasa; (4) risiko kurang energi kronis (KEK); dan (5) wanita hamil risiko
tinggi (risti). Selain itu disajikan juga gambaran kecenderungan status gizi hasil dari Riskesdas
2007, 2010, dan 2013. Informasi lengkap status gizi secara lengkap menurut provinsi maupun
karakteristik disajikan di buku Riskesdas 2013 dalam angka.
Jumlah responden yang dianalisis seperti skema berikut:
Rumah Tangga
294.959
anak balita
82.661
anak balita
dianalisis BB/U
82.661
remaja 13-15 th
63.354
anak 5-12 th
178.931
anak balita
dianalisis TB/U
76.160
remaja 16-18 th
53.194
anak balita
dianalisis BB/TB
71.117
wanita usia
subur
272.556
dewasa ≥ 18 th
649.625
Ibu hamil
7.664
3.14.1. Status gizi anak balita
1. Cara penilaian status gizi anak balita
Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Berat
badan anak balita ditimbang menggunakan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg,
panjang atau tinggi badan diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm.
Variabel BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U,
TB/U, dan BB/TB.
Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap anak balita
dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita
WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore dari masing-masing indikator tersebut
ditentukan status gizi anak balita dengan batasan sebagai berikut :
a. Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/U :
Gizi buruk
Gizi kurang
Gizi baik
:
:
:
Zscore < -3,0
Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore < -2,0
Zscore ≥ -2,0
209
b. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U:
Sangat pendek
Pendek :
Normal
:
:
:
Zscore <-3,0
Zscore ≥- 3,0 s/d Zscore < -2,0
Zscore ≤-2,0
c. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/TB:
Sangat kurus
Kurus
Normal
Gemuk
:
:
:
:
Zscore < -3,0
Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore < -2,0
Zscore ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0
Zscore > 2,0
d. Klasifikasi status gizi berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB:
Pendek-kurus
Pendek-normal
Pendek-gemuk
TB Normal-kurus
TB Normal-normal
TB Normal-gemuk
:
:
:
:
:
:
Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0
Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0
Zscore ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0
Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0
Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0
Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB > 2,0
Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut:
Berdasarkan indikator BB/U:
Prevalensi gizi buruk
Prevalensi gizi kurang
Prevalensi gizi baik
Berdasarkan indikator TB/U
Prevalensi sangat pendek
Prevalensi pendek
Prevalensi normal
:
:
:
(∑ Balita gizi buruk/ ∑Balita) x 100%
(∑ Balita gizi kurang/ ∑Balita) x 100%
(∑ Balita gizi baik/∑Balita) x 100%
:
:
:
(∑ Balita sangat pendek/ ∑Balita) x 100%
(∑ Balita pendek/∑ Balita) x 100%
(∑ Balita normal/∑Balita) x 100%
:
:
:
:
(∑ Balita sangat kurus/∑ Balita) x 100%
(∑ Balita kurus/∑ Balita) x 100%
(∑ Balita normal/∑ Balita) x 100%
(∑ Balita gemuk/∑ Balita) x 100%
Berdasarkan indikator BB/TB:
Prevalensi sangat kurus
Prevalensi kurus
Prevalensi normal
Prevalensi gemuk
Berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB
Prevalensi pendek-kurus
Prevalensi pendek-normal
Prevalensi pendek-gemuk
Prevalensi TB normal-kurus
Prevalensi TB normal-normal
Prevalensi TB normal-gemuk
:
:
:
:
:
:
(∑ Balita pendek-kurus/ ∑ Balita) x 100%
(∑ Balita pendek-normal/∑ Balita) x 100%
(∑ Balita pendek-gemuk/∑ Balita) x 100%
(∑ Balita normal-kurus/∑ Balita) x 100%
(∑ Balita normal-normal/∑ Balita) x 100%
(∑ Balita normal-gemuk/∑ Balita) x 100%
210
Dalam laporan ini ada beberapa istilah status gizi yang digunakan, yaitu:
Berat kurang
Pendek
Kurus
:
:
:
istilah untuk gabungan gizi buruk dan gizi kurang (underweight)
istilah untuk gabungan sangat pendek dan pendek (stunting)
istilah untuk gabungan sangat kurus dan kurus (wasting)
2. Sifat-sifat indikator status gizi
Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum.
Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut
karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang
rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau
penyakit infeksi lain (masalah gizi akut).
Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya
kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup
tidak sehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang
mengakibatkan anak menjadi pendek.
Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya
akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Misalnya:
terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi
kurus. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah
kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif pada
saat dewasa (Teori Barker).
Masalah gizi akut-kronis adalah masalah gizi yang memiliki sifat masalah gizi akut dan kronis.
Sebagai contoh adalah anak yang kurus dan pendek.
3. Status gizi balita menurut indikator BB/U
Gambar 3.14.1 menyajikan prevalensi berat-kurang (underweight) menurut provinsi dan nasional.
Secara nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari 5,7
persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi
nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Perubahan terutama
pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007, 4,9 persen pada tahun 2010, dan 5,7
persen tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9 persen dari 2007 dan
2013 (Gambar 3.14.4). Untuk mencapai sasaran MDG tahun 2015 yaitu 15,5 persen maka
prevalensi gizi buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4.1 persen dalam periode
2013 sampai 2015. (Bappenas, 2012)
Diantara 33 provinsi di Indonesia,18 provinsi memiliki prevalensi gizi buruk-kurang di atas angka
prevalensi nasional yaitu berkisar antara 21,2 persen sampai dengan 33,1 persen. Urutan ke 19
provinsi tersebut dari yang tertinggi sampai terendah adalah (1) Nusa Tenggara Timur; (2) Papua
Barat; (3) Sulawesi Barat; (4) Maluku; (5) Kalimantan Selatan; (6) Kalimantan Barat; (7) Aceh; (8)
Gorontalo; (9) Nusa Tenggara Barat; (10) Sulawesi Selatan; (11) Maluku Utara; (12) Sulawesi
Tengah; (13) Sulawesi Tenggara; (14) Kalimantan Tengah; (15) Riau; (16) Sumatera Utara; (17)
Papua, (18) Sumatera Barat dan (19) Jambi
Atas dasar sasaran MDG 2015, terdapat tiga provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk-kurang
sudah mencapai sasaran yaitu: (1) Bali, (2) DKI Jakarta, (3) Bangka Belitung. Masalah kesehatan
masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi buruk-kurang antara 20,0-29,0 persen, dan
dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥30 persen (WHO, 2010). Pada tahun 2013, secara
nasional prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 19,6 persen, yang berarti
211
masalah gizi berat-kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
mendekati prevalensi tinggi. Diantara 33 provinsi, terdapat tiga provinsi termasuk kategori
prevalensi sangat tinggi, yaitu Sulawesi Barat, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.
40,0
35,0
30,0
25,0
19,6
20,0
15,0
10,0
18,4
0,0
Bali
DKI
Babel
Kep.Riau
Jabar
DIY
Sulut
Kaltim
Banten
Jateng
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Jatim
Indonesia
Jambi
Sumbar
Papua
Sumut
Riau
Kalteng
Sultra
Sulteng
Malut
Sulsel
NTB
Gorontalo
Aceh
Kalbar
Kalsel
Maluku
Sulbar
Pabar
NTT
5,0
2007
2010
2013
Gambar 3.14.1
Kecenderungan prevalensi status gizi BB/U <-2SD menurut provinsi,
Indonesia 2007, 2010, dan 2013
4. Status gizi anak balita berdasarkan indikator TB/U
Gambar 3.14.2 menyajikan prevalensi pendek (stunting) menurut provinsi dan nasional.
Prevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2 persen, yang berarti terjadi
peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi pendek sebesar
37,2 persen terdiri dari 18,0 persen sangat pendek dan 19,2 persen pendek. Pada tahun 2013
prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 18,8 persen tahun 2007 dan 18,5 persen
tahun 2010. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0 persen pada tahun 2007 menjadi 19,2
persen pada tahun 2013.
Terdapat 20 provinsi diatas prevalensi nasional dengan urutan dari prevalensi tertinggi sampai
terendah, yaitu:(1) Nusa Tenggara Timur, (2) Sulawesi Barat, (3) Nusa Tenggara Barat, (4)
Papua Barat, (5) Kalimantan Selatan, (6) Lampung, (7) Sulawesi Tenggara, (8) Sumatera Utara,
(9) Aceh, (10) Kalimantan Tengah, (11) Maluku Utara, (12) Sulawesi Tengah, (13) Sulawesi
Selatan, (14) Maluku, (15) Papua, (16) Bengkulu, (17) Sumatera Barat, (18) Gorontalo, (19)
Kalimantan Barat dan (20) Jambi.
Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 – 39 persen
dan serius bila prevalensi pendek ≥40 persen (WHO 2010). Sebanyak 14 provinsi termasuk
kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori serius. Ke 15 provinsi tersebut
adalah: (1) Papua, (2) Maluku, (3) Sulawesi Selatan, (4) Maluku Utara, (5) Sulawesi Tengah, (6)
Kalimantan Tengah, (7) Aceh, (8) Sumatera Utara, (9) Sulawesi Tenggara, (10) Lampung, (11).
Kalimantan Selatan, (12). Papua Barat, (13). Nusa Tenggara Barat, (14). Sulawesi Barat dan (15)
Nusa Tenggara Timur.
212
70,0
60,0
50,0
37,2
40,0
30,0
36,8
20,0
10,0
Kep.Riau
DIY
DKI
Kaltim
Babel
Bali
Banten
Sulut
Jabar
Jatim
Sumsel
Jateng
Riau
Indonesia
Jambi
Kalbar
Gorontalo
Sumbar
Bengkulu
Papua
Maluku
Sulsel
Malut
Sulteng
Kalteng
Aceh
Sumut
Sultra
Lampung
Kalsel
Pabar
NTB
Sulbar
NTT
0,0
2007
2010
2013
Gambar 3.14.2
Kecenderungan prevalensi status gizi TB/U <-2 SD menurut provinsi,
Indonesia 2007, 2010, dan 2013
3.14.1.5. Status gizi anak balita berdasarkan indikator BB/TB
Gambar 3.14.3 menyajikan prevalensi kurus menurut provinsi dan nasional. Salah satu indikator
untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah keadaan sangat
kurus yaitu anak dengan nilai Zscore <-3,0 SD. Prevalensi sangat kurus secara nasional tahun
2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3 persen, terdapat penurunan dibandingkan tahun 2010 (6,0 %)
dan tahun 2007 (6,2 %). Demikian pula halnya dengan prevalensi kurus sebesar 6,8 persen
juga menunjukkan adanya penurunan dari 7,3 persen (tahun 2010) dan 7,4 persen (tahun 2007).
Secara keseluruhan prevalensi anak balita kurus dan sangat kurus menurun dari 13,6 persen
pada tahun 2007 menjadi 12,1 persen pada tahun 2013 (Gambar 3.14.4).
Terdapat 17 provinsi dimana prevalensi kurus diatas angka nasional, dengan urutan dari
prevalensi tertinggi sampai terendah, adalah: Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Riau, Nusa
Tenggara Timur, Papua Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Papua, Banten, Jambi, Kalimantan
Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau dan Maluku
Utara.
Pada tahun 2013 prevalensi gemuk secara nasional di Indonesia adalah 11,9 persen, yang
menunjukkan terjadi penurunan dari 14,0 persen pada tahun 2010. Terdapat 12 provinsi yang
memiliki masalah anak gemuk di atas angka nasional dengan urutan prevalensi tertinggi sampai
terendah,yaitu: (1) Lampung, (2) Sumatera Selatan, (3) Bengkulu, (4) Papua, (5) Riau, (6)
Bangka Belitung, (7) Jambi, (8) Sumatera Utara, (9) Kalimantan Timur, (10) Bali, (11) Kalimantan
Barat, dan (12) Jawa Tengah.(Gambar 3.14.3)
Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10,0 14,0
persen, dan dianggap kritis bila ≥15,0 persen (WHO 2010). Pada tahun 2013, secara nasional
prevalensi kurus pada anak balita masih 12,1 persen, yang artinya. masalah kurus di Indonesia
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Diantara 33 provinsi, terdapat 16
provinsi yang masuk kategori serius, dan 4 provinsi termasuk kategori kritis, yaitu Kalimantan
Barat, Maluku, Aceh dan Riau.
213
25,0
20,0
13,6
15,0
10,0
12,1
5,0
Bali
Sulteng
DIY
Sulut
DKI
Babel
Sulbar
Jabar
Sulsel
Jateng
Jatim
Sultra
Kaltim
Gorontalo
Lampung
NTB
Indonesia
Malut
Kep.Riau
Kalteng
Sumsel
Sumbar
Kalsel
Jambi
Banten
Papua
Bengkulu
Sumut
Pabar
NTT
Riau
Aceh
Maluku
Kalbar
0,0
2007
2010
2013
Gambar 3.14.3
Kecenderungan prevalensi status gizi BB/TB <-2 SD menurut provinsi,
Indonesia 2007, 2010, dan 2013
6. Kecenderungan prevalensi status gizi anak balita tahun 2007- 2013
Gambar 3.14.4 menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi anak balita menurut ketiga
indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Terlihat prevalensi gizi buruk dan gizi kurang meningkat dari
tahun 2007 ke tahun 2013. Prevalensi sangat pendek turun 0,8 persen dari tahun 2007, tetapi
prevalensi pendek naik 1,2 persen dari tahun 2007. Prevalensi sangat kurus turun 0,9 persen
tahun 2007. Prevalensi kurus turun 0,6 persen dari tahun 2007. Prevalensi gemuk turun 2,1
persen dari tahun 2010 dan turun 0,3 persen dari tahun 2007.
214
25,0
19,2
18,8 18,5 18,0 18,0
17,1
20,0
14,0
13,0 13,0 13,9
15,0
12,2
10,0
5,0
6,2 6,0 5,3
5,4 4,9 5,7
11,9
7,4 7,3 6,8
0,0
Gizi Buruk
Gizi Kurang
BB/U
Sangat
Pendek
Pendek
Sangat Kurus
TB/U
2007
Kurus
BB/TB
2010
Gemuk
BB/TB
2013
Gambar 3.14.4
Kecenderungan prevalensi gizi kurang, pendek, kurus, dan gemuk pada balita, Indonesia
2007,2010, dan 2013
7. Status gizi anak balita berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB
Gambar 3.14.5. menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi gabungan indikator TB/U dan
BB/TB secara nasional. Berdasarkan Riskesdas 2007, 2010 dan 2013 terlihat adanya
kecenderungan bertambahnya prevalensi anak balita pendek-kurus, bertambahnya anak balita
pendek-normal (2,1%) dan normal-gemuk (0,3%) dari tahun 2010. Sebaliknya, ada
kecenderungan penurunan prevalensi pendek-gemuk (0,8 %), normal-kurus (1,5 %) dan normalnormal (0,5 %) dari tahun 2010.
Secara lebih rinci, data status gizi anak balita menurut provinsi dan karakteristik disajikan pada
buku Riskesdas 2013 dalam Angka tabel 3.14.1, 3.14.3, dan 3.14.5. Data status gizi anak balita
menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku yang sama tabel 3.14.2, 3.14.4 dan
3.14.6.
215
100,0
80,0
4,8
3,9
45,9
5,1
49,1
48,6
60,0
11,4
40,0
7,4
11,1
7,6
9,6
6,8
20,0
29,1
25,3
27,4
2,3
2,1
2,5
0,0
2007
2010
2013
Pendek-kurus
Pendek-Normal
Pendek-Gemuk
Normal-kurus
Normal-normal
Normal-gemuk
Gambar 3.14.5
Kecenderungan prevalensi status gizi balita menurut gabungan indikator TB/U dan BB/TB,
Indonesia 2007, 2010, dan 2013
3.14.2. Status gizi anak umur 5-18 tahun
Status gizi anak umur 5-18 tahun dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur yaitu 5-12 tahun,
13-15 tahun dan 16-18 tahun. Indikator status gizi yang digunakan untuk kelompok umur ini
didasarkan pada hasil pengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang
disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan Indeks Massa Tubuh menurut
umur (IMT/U).
Berdasarkan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun, status gizi ditentukan
berdasarkan nilai Zscore TB/U dan IMT/U. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore ini status gizi
anak dikategorikan sebagai berikut:
Klasifikasi indikator TB/U:
Sangat pendek
Pendek
Normal
:Zscore< -3,
: Zscore≥ -3,0 s/d < -2,0
: Zscore≥ -2,0
Klasifikasi indikator IMT/U:
Sangat kurus
Kurus
Normal
Gemuk
Obesitas
: Zscore< -3,0
: Zscore≥ -3,0 s/d < -2,0
: Zscore≥-2,0 s/d ≤1,0
: Zscore> 1,0 s/d ≤ 2,0
: Zscore> 2,0
216
50,0
45,0
40,0
35,0
30,0
25,0
20,0
15,0
10,0
5,0
0,0
29,0
27,5
27,7
25,5
27,6
25,1
28,1
27,8
30,8
30,7
32,3
33,7
35,1
35,8
37,7
34,9
40,2
34,1
36,7
32,8
35,9
29,7
36,5
26,0
38,9
23,3
37,4
26,2
Secara keseluruhan, prevalensi pendek (TB/U) pada anak umur 5-18 tahun menurut jenis
kelamin disajikan pada gambar 3.14.6. Pada anak laki-laki, prevalensi pendek tertinggi di umur
13 tahun (40,2 %), sedangkan pada anak perempuan di umur 11 tahun (35,8%).
5
6
7
8
9
10
Laki-laki
11
12
13
14
15
16
17
18
Perempuan
Gambar 3.14.6
Prevalensi pendek anak umur 5-18 tahun, menurut jenis kelamin, Indonesia 2013
1. Status gizi anak umur 5–12 tahun
Gambar 3.14.7. menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi pendek pada anak umur 5-12
tahun adalah 30,7 persen (12,3% sangat pendek dan 18,4% pendek). Prevalensi sangat pendek
terendah di DI Yogyakarta (14,9%) dan tertinggi di Papua (34,5 %).
50,0
40,0
30,0
18,4
20,0
10,0
12,3
DIY
Kep. Riau
Bali
DKI
Babel
Kalsel
Sulut
Kaltim
Maluku Utara
Jatim
Sulteng
Sulsel
Sulbar
Jateng
Jabar
Banten
Papua Barat
Riau
Indonesia
Kalteng
Aceh
Sumsel
Jambi
NTB
Gorontalo
Bengkulu
Maluku
Sulbar
Sumbar
Sumut
Kalbar
NTT
Lampung
Papua
0,0
Sangat pendek
Pendek
Gambar 3.14.7
Prevalensi pendek anak umur 5–12 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013
Sebanyak 15 provinsi dengan prevalensi sangat pendek di atas prevalensi nasional yaitu
Kalimantan Tengah, Aceh, Sumatera Selatan, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo,
217
Bengkulu, Maluku, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur,
Lampung, dan Papua
Gambar 3.14.8. menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi kurus (menurut IMT/U) pada
anak umur 5-12 tahun adalah 11.2 persen, terdiri dari 4,0 persen sangat kurus dan 7,2 persen
kurus. Prevalensi sangat kurus paling rendah di Bali (2,3%) dan paling tinggi di Nusa Tenggara
Timur (7,8%). Sebanyak 16 provinsi dengan prevalensi sangat kurus diatas nasional, yaitu
Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua, Papua
Barat, Sulawesi Tengah, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Maluku, Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat, Riau, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur.
25,0
20,0
7,2
4,0
15,0
10,0
5,0
DIY
Kep. Riau
Bali
Sulut
Sulbar
Sulbar
Jabar
Lampung
Jatim
Sumut
Sulsel
Bengkulu
Aceh
Jambi
Maluku Utara
Babel
DKI
Indonesia
Sumbar
NTB
Kalteng
Kaltim
Papua
Papua Barat
Sulteng
Banten
Jateng
Kalsel
Maluku
Sumsel
Kalbar
Riau
Gorontalo
NTT
0,0
Sangat kurus
Kurus
Gambar 3.14.8
Prevalensi kurus (IMT/U) anak umur 5 – 12 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013
Secara nasional masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8 persen,
terdiri dari gemuk 10,8 persen dan sangat gemuk (obesitas) 8,8 persen. Prevalensi gemuk
terendah di Nusa Tenggara Timur (8,7%) dan tertinggi di DKI Jakarta (30,1%). Sebanyak 15
provinsi dengan prevalensi sangat gemuk diatas nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Jawa Timur,
Banten, Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jambi,
Papua, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung dan DKI Jakarta.
40,0
30,0
20,0
8,0
10,0
10,8
NTT
Sulbar
Maluku Utara
Sulsel
Sulteng
Gorontalo
Maluku
NTB
Sulbar
Papua Barat
Aceh
Kalsel
DIY
Riau
Sulut
Sumbar
Jabar
Jateng
Indonesia
Kalteng
Jatim
Banten
Kaltim
Bali
Kalbar
Sumut
Kep. Riau
Jambi
Sumsel
Papua
Bengkulu
Babel
Lampung
DKI
0,0
Gemuk
Sangat gemuk
Gambar 3.14.9
Prevalensi gemuk & sangat gemuk anak umur 5–12 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013
218
Lebih rinci, data status gizi anak umur 5-12 tahun menurut provinsi disajikan pada buku
Riskesdas 2013 dalam angka tabel 3.14.9 serta data status gizi menurut karakteristik penduduk
dapat dilihat pada buku yang sama pada tabel 3.14.8. sampai tabel 3.14.10.
2. Status gizi remaja umur 13 -15 tahun
Sama halnya dengan anak umur 5-12 tahun, untuk kelompok umur 13-15 tahun penilaian status
gizi berdasarkan TB/U dan IMT/U. Gambar 3.14.11. menyajikan prevalensi pendek pada remaja
umur 13-15 tahun. Secara nasional, prevalensi pendek pada remaja adalah 35,1 persen (13,8%
sangat pendek dan 21,3% pendek. Prevalensi sangat pendek terendah di DI Yogyakarta (4,0 %)
dan tertinggi di Papua (27,4%). Sebanyak 16 provinsi dengan prevalensi sangat pendek diatas
prevalensi nasional yaitu Nusa Tenggara Barat, Riau, Banten, Maluku, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Gorontalo, Aceh, Bengkulu, Sumatera Utara, Jambi, Sulawesi Barat,
Kalimantan Barat, Lampung, Nusa Tenggara Timur dan Papua.
60,0
50,0
40,0
30,0
20,0
10,0
21,3
13,8
DIY
Kep. Riau
Bali
DKI
Kaltim
Kalsel
Sulut
Jateng
Jatim
Sulsel
Babel
Sulbar
Maluku Utara
Jabar
Sulteng
Kalteng
Papua Barat
Indonesia
NTB
Riau
Banten
Maluku
Sumbar
Sumsel
Gorontalo
Aceh
Bengkulu
Sumut
Jambi
Sulbar
Kalbar
Lampung
NTT
Papua
0,0
Sangat pendek
Pendek
Gambar 3.14.10
Prevalensi pendek remaja umur 13–15 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013
Gambar 3.14.11 menunjukkan prevalensi kurus pada remaja umur 13-15 tahun adalah 11,1
persen terdiri dari 3,3 persen sangat kurus dan 7,8 persen kurus. Prevalensi sangat kurus terlihat
paling rendah di Bangka Belitung (1,4 %) dan paling tinggi di Nusa Tenggara Timur (9,2%).
Sebanyak 17 provinsi dengan prevalensi anak sangat kurus (IMT/U) diatas prevalensi nasional
yaitu Riau, Aceh, Jawa Tengah, Lampung, Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan,
Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Banten, Papua, Sumatera Selatan, Gorontalo, Papua Barat,
Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di Indonesia sebesar 10.8 persen, terdiri dari
8,3 persen gemuk dan 2,5 persen sangat gemuk (obesitas). Sebanyak 13 provinsi dengan
prevalensi gemuk diatas nasional, yaitu Jawa Timur, Kepulauan Riau, DKI, Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Bali, Kalimantan Timur, Lampung, Sulawesi Utara dan Papua
219
30,0
25,0
20,0
15,0
7,8
10,0
5,0
3,3
Babel
Kep. Riau
DKI
Bali
Sulut
Sulbar
DIY
Maluku Utara
Sumut
Jabar
Jatim
Sulteng
Sulbar
Bengkulu
Kalsel
Kaltim
Indonesia
Riau
Aceh
Jateng
Lampung
Jambi
Kalteng
Sulsel
Sumbar
Kalbar
Banten
Papua
Sumsel
Gorontalo
Maluku
Papua Barat
NTB
NTT
0,0
Sangat kurus
Kurus
Gambar 3.14.11
Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013
18,0
16,0
14,0
12,0
10,0
8,0
6,0
4,0
2,0
0,0
2,5
NTT
Maluku
Sulbar
NTB
Kalsel
Malut
Kalteng
DIY
Sulsel
Pabar
Jateng
Sulteng
Jabar
Sultra
Jambi
Banten
Gorontalo
Aceh
Sumbar
Riau
Indonesia
Jatim
Kep.Riau
DKI
Sumsel
Kalbar
Babel
Bali
Sumut
Kaltim
Lampung
Bengkulu
Sulut
Papua
8,3
Gemuk
Sangat gemuk
Gambar 3.14.12
Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut
provinsi, Indonesia 2013
Secara lebih rinci, data status gizi remaja umur 13-15 tahun menurut provinsi disajikan pada buku
Riskesdas dalam Angka tabel 3.14.13 dan 3.14.15, dan menurut karakteristik penduduk dapat
dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka tabel 3.14.14. sampai tabel 3.14.16.
3. Status gizi remaja umur 16–18 tahun
Gambar 3.14.13 menyajikan status gizi remaja umur 16–18 tahun. Secara nasional prevalensi
pendek adalah 31,4 persen (7,5% sangat pendek dan 23,9% pendek). Sebanyak 17 provinsi
dengan prevalensi pendek diatas prevalensi nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Sumatera
Selatan, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Aceh, Banten, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara,
220
Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Lampung, Sumatera Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo,
Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
60,0
50,0
40,0
23,9
30,0
20,0
10,0
7,5
Bali
DIY
Kep.Riau
DKI
Jateng
Sulut
Kalsel
Jatim
Kaltim
Malut
Jabar
Jambi
NTB
Pabar
Sulsel
Maluku
Indonesia
Kalteng
Sumsel
Riau
Sumbar
Bangkulu
Aceh
Banten
Babel
Sultra
Kalbar
Sulteng
Lampung
Sumut
Sulbar
Gorontalo
NTT
Papua
0,0
Sangat pendek
Pendek
Gambar 3.14.13
Prevalensi pendek (TB/U) remaja umur 16–18 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013
Gambar 3.14.14 menyajikan prevalensi kurus pada remaja umur 16-18 tahun secara nasional
sebesar 9,4 persen (1,9% sangat kurus dan 7,5% kurus). Sebanyak 11 provinsi dengan
prevalensi kurus diatas nasional, yaitu Aceh, Riau, Kalimantan Selatan, Maluku Utara, DKI
Jakarta, Kalimantan Tengah, Banten, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Papua
dan Nusa Tenggara Timur.
20,0
16,0
12,0
7,5
8,0
4,0
1,9
Bali
Kalbar
Bengkulu
Sulbar
Sulbar
DIY
Sulut
Lampung
Babel
Sumut
Kep. Riau
Jabar
Gorontalo
Sulteng
Sulsel
Papua Barat
Jambi
Sumbar
Jateng
Jatim
Kaltim
Indonesia
Aceh
Riau
Kalsel
Maluku Utara
DKI
Kalteng
Banten
Sumsel
NTB
Maluku
Papua
NTT
0,0
Sangat kurus
Kurus
Gambar 3.14.14
Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 16 – 18 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013
221
Prevalensi gemuk pada remaja umur 16 – 18 tahun sebanyak 7,3 persen yang terdiri dari 5,7
persen gemuk dan 1,6 persen obesitas. Provinsi dengan prevalensi gemuk tertinggi adalah DKI
Jakarta (4,2%) dan terendah adalah Sulawesi Barat (0,6%). Lima belas provinsi dengan
prevalensi sangat gemuk diatas prevalensi nasional, yaitu Bangka Belitung, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan, Banten, Kalimantan Tengah, Papua, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Gorontalo,
DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan DKI Jakarta.
16,0
14,0
12,0
10,0
8,0
6,0
4,0
2,0
0,0
5,7
Sulbar
Riau
Lampung
NTB
NTT
Sultra
Maluku
Jambi
Kalbar
Sulteng
Aceh
Sumsel
Pabar
Malut
Sumut
Jabar
Sumbar
Bengkulu
Indonesia
Babel
Jateng
Sulsel
Banten
Kalteng
Papua
Jatim
Kep.Riau
Kalsel
Gorontalo
DIY
Bali
Kaltim
Sulut
DKI
1,6
Sangat gemuk
Gemuk
Gambar 3.14.15
Prevalensi status gizi gemuk (IMT/U) remaja umur 16–18 tahun
menurut provinsi, Indonesia 2013
Secara lebih rinci, data status gizi remaja umur 16-18 tahun menurut provinsi disajikan pada buku
Riskesdas dalam Angka tabel 3.14.15 dan 3.14.17, dan menurut karakteristik penduduk dapat
dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka tabel 3.14.16. sampai tabel 3.14.18.
4. Kecenderungan status gizi (IMT/U) remaja umur 16–18 tahun tahun 2010 dan 2013
Pada gambar 3.14.16 menyajikan kecenderungan prevalensi remaja kurus relatif sama tahun
2007 dan 2013, dan prevalensi sangat kurus naik 0,4 persen. Sebaliknya prevalensi gemuk naik
dari 1,4 persen (2007) menjadi 7,3 persen (2013).
222
20,0
16,0
12,0
7,1
8,0
4,0
1,8
7,5
1,9
7,3
1,4
0,0
Sangat Kurus
Kurus
2010
Gemuk
2013
Gambar 3.14.16
Kecenderungan status gizi (IMT/U) umur 16–18 tahun, Indonesia 2010 dan 2013
3.14.3. Status gizi dewasa
Status gizi dewasa penduduk berumur >18 tahun terdiri dari 1). status gizi menurut Indeks Masa
Tubuh (IMT) dan kecenderungan komposit TB dan IMT/U; 2). status gizi menurut lingkar perut
(LP); 3). risiko kurang energi kronis (KEK) wanita usia subur wanita hamil dan tidak hamil; 4).
wanita hamil risiko tinggi (TB<150 cm).
1. Status gizi dewasa ( >18 tahun) menurut indeks masa tubuh (IMT)
Status gizi menurut IMT dinilai dengan rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:
Batasan IMT yang digunakan untuk menilai status gizi penduduk dewasa adalah sebagai berikut:
Kategori kurus
Kategori normal
Kategori BB lebih
Kategori obesitas
IMT < 18,5
IMT ≥18,5 - <24,9
IMT ≥25,0 - <27,0
IMT ≥27,0
Gambar 3.14.17 menyajikan prevalensi penduduk umur dewasa kurus, gizi lebih dan obesitas
menurut IMT/U di masing masing provinsi. Prevalensi penduduk dewasa kurus 8,7 persen, berat
badan lebih 13,5 persen dan obesitas 15,4 persen. Prevalensi penduduk kurus terendah di
provinsi Sulawesi Utara (5,6%) dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur (19,5%). Dua belas provinsi
dengan prevalensi penduduk dewasa kurus diatas prevalensi nasional, yaitu Kalimantan Tengah,
Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Jawa Timur, Maluku, Jawa Tengah, Banten, Sulawesi Selatan,
Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur. Prevalensi
penduduk obesitas terendah di provinsi Nusa tenggara Timur (6,2%) dan tertinggi di Sulawesi
Utara (24,0%). Enam belas provinsi dengan prevalensi diatas nasional, yaitu Jawa Barat, Bali,
Papua, DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Bangka Belitung, Sumatera Utara,
Papua Barat, Kepulauan Riau, Maluku Utara, Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Gorontalo dan
Sulawesi Utara.
223
15,4
50,0
13,3
8,7
40,0
30,0
20,0
10,0
NTT
Lampung
Sulbar
NTB
Kalbar
Sumsel
Jambi
Kalteng
Sultra
Jateng
Bengkulu
Sumbar
Sulsel
Banten
Riau
Kalsel
Maluku
Indonesia
Jabar
Bali
DIY
Papua
Aceh
Jatim
Sulteng
Babel
Sumut
Pabar
Kep.Riau
Malut
Kaltim
DKI
Gorontalo
Sulut
0,0
Kurus
BB lebih
Obesitas
Gambar 3.14.17
Prevalensi status gizi kurus, BB lebih, obesitas penduduk dewasa (>18 tahun) menurut provinsi,
Indonesia 2013
Gambar 3.14.18 menyajikan kecenderungan prevalensi obesitas penduduk laki-laki dewasa (>18
tahun) di masing-masing provinsi tahun 2007, 2010 dan 2013. Prevalensi penduduk laki-laki
dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7 persen, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%)
dan tahun 2010 (7,8%). Pada tahun 2013, prevalensi terendah di Nusa Tenggara Timur (9,8%)
dan tertinggi di provinsi Sulawesi Utara (34,7%). Enam belas provinsi dengan prevalensi diatas
prevalensi nasional, yaitu Aceh, Riau, Sulawesi Tengah, Bangka Belitung, Jawa Timur, DI
Yogyakarta, Maluku Utara, Gorontalo, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Papua Barat, Bali,
Kalimantan Timur, Papua, DKI Jakarta dan Sulawesi Utara.
Laki-laki >18 tahun
50,0
40,0
19,7
30,0
20,0
10,0
13,9
NTT
NTB
Lampung
Sulbar
Sumsel
Kalbar
Sumbar
Sulsel
Jateng
Bengkulu
Jambi
Kalteng
Kalsel
Sultra
Jabar
Banten
Maluku
Indonesia
Aceh
Riau
Sulteng
Babel
Jatim
DIY
Malut
Gorontalo
Kep.Riau
Sumut
Pabar
Bali
Kaltim
Papua
DKI
Sulut
0,0
2007
2010
2013
Gambar 3.14.18
Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT>25) pada laki-laki umur >18 tahun,
Indonesia 2007, 2010, dan 2013
224
Pada tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9 persen, naik 18,1
persen dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari tahun 2010 (15,5%). Prevalensi obesitas
terendah di Nusa Tenggara Timur (5,6%), dan prevalensi obesitas tertinggi di provinsi Sulawesi
Sulawesi Utara (19,5%). Tiga belas provinsi dengan prevalensi obesitas di atas prevalensi
nasional, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Aceh, Papua Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah,
Kepulauan Riau, Maluku Utara, DKI Jakarta, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Gorontalo dan
Sulawesi Utara.
Perempuan >18 tahun
50,0
32,9
40,0
30,0
20,0
10,0
14,8
NTT
Lampung
Kalbar
NTB
Sumsel
Sulbar
Sultra
Jambi
Kalteng
Bali
Papua
Jateng
Sumbar
Maluku
Banten
Kalsel
Bengkulu
DIY
Sulsel
Riau
Indonesia
Jatim
Jabar
Aceh
Pabar
Sumut
Sulteng
Kep.Riau
Malut
DKI
Babel
Kaltim
Gorontalo
Sulut
0,0
2007
2010
2013
Gambar 3.14.19
Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT>25) pada perempuan umur >18 tahun berdasarkan
data Riskesdas 2007, 2010, dan 2013
Gambar 3.14.20 menyajikan kecenderungan status gizi dewasa menurut komposit TB dan IMT.
Terlihat tidak terlalu banyak perubahan status gizi normal dari tahun 2007 ke tahun 2013 (<40%),
selebihnya adalah variasi masalah pendek-gemuk, serta normal-gemuk. Terlihat kecenderungan
meningkat untuk pendek gemuk, dan normal gemuk.
225
100,0
80,0
60,0
40,0
20,0
0,0
10,3
12,2
15,4
38,4
37,7
36,8
6,9
8,8
6,9
9,6
6,3
10,9
30,0
28,2
25,9
5,6
5,3
4,8
2007
Pendek-kurus
Normal-kurus
2010
Pendek-Normal
Normal-normal
2013
Pendek-Gemuk
Normal-gemuk
Gambar 3.14.20
Kecenderungan status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) berdasarkan komposit TB dan IMT,
Indonesia 2010 - 2013
2. Status gizi dewasa berdasarkan indikator lingkar perut (LP)
Gambar 3.14.21 menyajikan informasi prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun
menurut provinsi. Obesitas sentral dianggap sebagai faktor risiko yang berkaitan erat dengan
beberapa penyakit kronis. Untuk laki-laki dengan LP >90 cm atau perempuan dengan LP >80 cm
dinyatakan sebagai obesitas sentral (WHO Asia-Pasifik, 2005).
Secara nasional, prevalensi obesitas sentral adalah 26.6 persen, lebih tinggi dari prevalensi pada
tahun 2007 (18,8%). Prevalensi obesitas sentral terendah di Nusa Tenggara Timur (15,2 %) dan
tertinggi di DKI Jakarta (39,7 %). Sebanyak 18 provinsi memiliki prevalensi obesitas sentral di
atas angka nasional, yaitu Jawa Timur, Bali, Riau, DI Yogyakarta, Sulawesi Tengah, Maluku,
Maluku Utara, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Papua
Barat, Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Papua, Gorontalo, Sulawesi Utara, dan DKI Jakarta.
226
50,0
40,0
30,0
26,6
20,0
0,0
18,8
NTT
Lampung
Kalbar
Jambi
Kalteng
NTB
Sumsel
Sulbar
Bengkulu
Jateng
Kalsel
Banten
Aceh
Sultra
Jabar
Indonesia
Jatim
Bali
Riau
DIY
Sulteng
Maluku
Malut
Kep.Riau
Sumbar
Sumut
Sulsel
Pabar
Kaltim
Babel
Papua
Gorontalo
Sulut
DKI
10,0
2007
2013
Gambar 3.14.21
Kecenderungan prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun menurut provinsi,
Indonesia 2007 dan 2013
Secara lebih rinci, data status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) menurut provinsi disajikan
pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka Tabel 3.14.19 dan menurut karakteristik penduduk
dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Tabel 3.14.20. sampai Tabel 3.14.21.
Prevalensi obesitas sentral (>15 tahun) menurut provinsi disajikan pada Tabel 3.14.22 dan
menurut karakteristik pada Tabel 3.14.23.
3. Status risiko kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) 15–49 tahun
Gambar 3.14.22 dan Gambar 3.14.23 menyajikan informasi masalah kurang energi
kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) dan wanita hamil yang berumur 15-49
tahun, berdasarkan indikator Lingkar Lengan Atas (LiLA). Untuk menggambarkan adanya risiko
(KEK) dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi pada wanita hamil dan WUS digunakan
ambang batas nilai rerata LILA <23,5 cm.
Tabel 3.14.22 menyajikan prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15–49 tahun, secara nasional
sebanyak 24,2 persen. Prevalensi risiko KEK terendah di Bali (10,1%) dan tertinggi di Nusa
Tenggara Timur (45,5%). Sebanyak 13 provinsi dengan prevalensi risiko KEK diatas nasional,
yaitu Maluku Utara, Papua Barat, Kepulauan Riau, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Timur, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku, Papua dan
Nusa Tenggara Timur.
227
50,0
40,0
30,0
24,2
20,0
0,0
Bali
Sumut
DKI
Sumbar
Gorontalo
NTB
Sulbar
Aceh
Sumsel
Babel
Lampung
Jabar
Kalteng
DIY
Sulut
Jambi
Jateng
Riau
Sultra
Bengkulu
Indonesia
Malut
Pabar
Kep.Riau
Banten
Kalsel
Kaltim
Kalbar
Jatim
Sulsel
Sulteng
Maluku
Papua
NTT
10,0
Gambar 3.14.22
Prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15-49 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013
Gambar 3.14.23 menunjukkan prevalensi risiko KEK wanita usia subur (tidak hamil). Secara
nasional prevalensi risiko KEK WUS sebanyak 20,8 persen. Prevalensi terendah di Bali (14%)
dan prevalensi tertinggi di Nusa Tenggara Timur (46,5%). Enam belas provinsi dengan prevalensi
risiko KEK diatas nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Selatan,
Aceh, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Papua Barat, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur.
50,0
40,0
30,0
20,0
20,8
0,0
Bali
DKI
Bengkulu
Riau
Sumsel
Lampung
Sumut
Jambi
Babel
Kaltim
Sulut
Gorontalo
Kalbar
Jabar
Sumbar
Kep.Riau
Jateng
Indonesia
Kalteng
Jatim
Banten
Kalsel
Aceh
DIY
NTB
Sulsel
Sulteng
Malut
Sultra
Sulbar
Pabar
Malut
Papua
NTT
10,0
Gambar 3.14.23
Prevalensi risiko KEK wanita usia subur (WUS) 15–49 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013
Gambar 3.14.24 menyajikan prevalensi wanita usia subur risiko kurang energi kronis (KEK)
menurut umur tahun 2007 dan 2013. Secara keseluruhan, prevalensi risiko kurang energi
kronis naik pada semua kelompok umur dan kondisi wanita (hamil dan tidak hamil). Pada
wanita tidak hamil kelompok umur 15-19 tahun prevalensinya naik 15,7 persen. Demikian
juga pada wanita hamil kelompok umur 45-49 tahun naik 15,1 persen.
228
2013
40,0
40,0
0,0
30,1
30,6
20,7
11,8
17,6
10,7
17,3
21,4
13,6
20,9
19,3
10,0
0,0
15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49
Hamil
11,3
5,6
8,1
20,0
10,3
7,9
12,6
8,9
10,0
12,7
10,2
23,8
16,1
13,1
20,0
30,0
18,2
30,0
38,5
50,0
31,3
30,9
50,0
46,6
2007
Tidak Hamil
15-19 20-24 25=29 30-34 35-39 40-44 45-49
Hamil
Tidak Hamil
Gambar 3.14.24
Prevalensi wanita usia subur risiko kurang energi kronis (KEK), menurut umur,
Indonesia 2007 dan 2013
4. Wanita hamil berisiko tinggi
Pada Riskesdas 2013 disajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi yaitu wanita hamil dengan
tinggi badan<150 cm (WHO 2007). Gambar 3.14.25 menyajikan prevalensi wanita hamil berisiko
tinggi sebesar 31,3 persen. Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi terendah di Bali (12,1%) dan
tertinggi di Sumatera Barat (39,8%). Sembilan belas provinsi dengan prevalensi diatas nasional,
yaitu Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Aceh, Sulawesi Tengah. Gorontalo,
Sulawesi Selatan, Papua Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Jawa
Timur, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Bangka Belitung
dan Sumatera Barat.
50,0
40,0
30,0
31,3
20,0
0,0
Bali
Papua
Kaltim
DKI
Lampung
Maluku
Kep.Riau
Banten
Sumsel
Sulut
Riau
NTB
Malut
Jateng
Indonesia
Sultra
Sumut
Jambi
Bengkulu
Aceh
Sulteng
Gorontalo
Sulsel
Pabar
Kalteng
NTT
Jabar
Jatim
DIY
Kalbar
Kalsel
Sulbar
Babel
Sumbar
10,0
Gambar 3.14.25
Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi (tinggi badan <150 cm) menurut provinsi, Indonesia 2013
229
Lebih rinci, data status gizi wanita usia subur dan ibu hamil menurut provinsi disajikan pada buku
Riskesdas 2013 dalam Angka Tabel 3.14.12 sampai 3.14.14, dan menurut karakteristik penduduk
dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka Tabel 3.14.27. dan 3.14.28.
230
3.15. Kesehatan Indera
Lutfah Rif’ati, Tita Rosita, Nur Hasanah, dan Lely Indrawati
Sistem indera merupakan salah satu sistem yang sangat berperan dalam mengoptimalkan
proses perkembangan setiap individu. Sejak bayi sistem indera merupakan alat utama manusia
untuk mengumpulkan berbagai informasi visual, audio, olfaktoris, rasa, dan fisik. Informasi visual
ditangkap oleh mata (indera penglihatan), informasi audio ditangkap oleh telinga (indera
pendengaran), informasi olfaktoris diterima oleh hidung (indera penciuman), informasi rasa
ditangkap oleh lidah (indera perasa) dan informasi fisik diterima melalui permukaan kulit (indera
peraba). Sekitar 90 persen informasi berupa informasi visual dan audio, yang dikumpulkan
melalui indera penglihatan dan pendengaran. Pengukuran fungsi indera yang lazim dilakukan
secara objektif adalah pengukuran fungsi penglihatan (tajam penglihatan/visus) dan fungsi
pendengaran (tajam pendengaran).
Data nasional yang menggambarkan besaran masalah gangguan indera penglihatan dan
pendengaran terakhir dikumpulkan antara tahun 1993-1997 dan belum diperbarui hingga saat ini.
Riskesdas 2007 bermaksud menyediakan data tentang prevalensi kebutaan yang lebih mutakhir,
tetapi karena metoda pengumpulan data masih dianggap tidak adekuat oleh organisasi profesi,
maka data angka kebutaan yang dihasilkan dari Riskesdas 2007 juga dinilai kontroversial. Pada
Riskesdas 2007, data termutakhir untuk prevalensi gangguan pendengaran masyarakat tidak
dikumpulkan.
Riskesdas 2013 kembali mengumpulkan data prevalensi kebutaan dengan metoda yang serupa
dengan Riskesdas 2007, tetapi sudah disempurnakan dan merupakan hasil diskusi dengan
organisasi profesi. Organisasi profesi Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI)
dan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia (PERHATI) juga
melengkapi Riskesdas dengan studi validasi yang akan dilaksanakan segera setelah semua data
Riskesdas 2013 terkumpul. Studi validasi tersebut dimaksudkan untuk memperkuat reliabilitas
pengukuran prevalensi kebutaan dan ketulian dalam survei nasional berbasis komunitas.
3.15.1 Kesehatan mata
Data yang dikumpulkan untuk mengetahui indikator kesehatan mata pada Riskesdas 2013
meliputi pengukuran tajam penglihatan menggunakan kartu tumbling-E (dengan dan tanpa pinhole) pada responden umur 6 tahun keatas serta pemeriksaan segmen anterior mata terhadap
responden semua umur. Pemeriksaan visus dan observasi morbiditas permukaan mata dilakukan
di luar ruangan dengan sumber cahaya matahari, tetapi pemeriksaan lensa dilakukan dalam
ruangan redup dengan bantuan pen-light. Pemeriksaan visus dilakukan dengan jarak pengukuran
6 atau 3 meter, dengan kartu E yang dapat diputar ke segala arah (tumbling E) disesuaikan
dengan tinggi mata responden yang diperiksa. Responden yang sakit berat dan tidak
memungkinkan untuk duduk dan diperiksa visus dieksklusi dalam penghitungan prevalensi
kebutaan, begitu pula responden yang menolak atau tidak dapat bekerja sama dengan tim
enumerator.
Prevalensi low vision dan kebutaan dihitung berdasarkan hasil pengukuran visus dengan atau
tanpa kaca mata/lensa kontak koreksi. Kebutaan didefinisikan sebagai visus pada mata terbaik
<3/60 atau dengan kata lain buta bilateral. Severe low vision didefinisikan sebagai visus pada
mata terbaik <6/60-3/60 atau mencakup severe low vision bilateral dan buta unilateral yang
disertai severe low vision unilateral. Prevalensi pterygium, kekeruhan kornea, dan katarak
dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan dan observasi nakes pada semua responden tanpa
batasan umur.
Keterbatasan pengumpulan data visus adalah tidak dilakukannya koreksi visus, tetapi dilakukan
pemeriksaan visus tanpa pin-hole dan jika visus tidak normal (kurang dari 6/6 atau 20/20)
dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan pin-hole, seperti yang dilakukan saat Riskesdas 2007.
231
Keterbatasan pengumpulan data prevalensi morbiditas permukaan mata dan lensa adalah
kemampuan klinis pengumpul data (enumerator) yang bervariasi dalam menilai permukaan mata
dan lensa menggunakan alat bantu pen-light, sehingga prevalensi pterygium, kekeruhan kornea,
serta katarak cenderung kurang valid.
3.15.1.1 Prevalensi kebutaan dan severe low vision
Terdapat perbedaan metoda pengukuran tajam penglihatan/visus antara Riskesdas 2007 yang
menggunakan Snellen chart dan Riskesdas 2013 yang menggunakan tumbling E, peraga yang
lebih sederhana daripada Snellen chart dan mempunyai keterbatasan mengidentifikasi visus
dengan rentang tertentu, bukan visus satu nilai seperti Snellen chart. Tumbling E jauh lebih
mudah digunakan dan dilaporkan cukup spesifik mengidentifikasi adanya gangguan penglihatan
(Limburg, 2001), sedangkan Snellen chart lebih detail, perlu waktu pemeriksaan lebih lama, dan
format pelaporan angka ukuran visus yang lebih rumit.
Alat yang dipergunakan untuk pemeriksaan visus adalah tali pengukur jarak sepanjang 6 meter,
satu set kartu tumbling E (ukuran besar untuk visus 6/60, sedang untuk visus 6/18, dan kecil
untuk visus 6/6), serta penutup mata dengan pin-hole. Disediakan 6 pilihan jawaban untuk
kategori visus, yaitu:
1. Dapat melihat E kecil (jarak 6m)
2. Tidak dapat melihat E kecil, tetapi dapat melihat E sedang (jarak 6m)
3. Tidak dapat melihat E sedang, tetapi dapat melihat E besar (jarak 6m)
4. Tidak dapat melihat E besar (jarak 6m), tetapi dapat melihat E besar (jarak 3m)
5. Tidak dapat melihat E besar pada jarak 3m
6. TIDAK DIPERIKSA
Interpretasi kode visus tiap mata adalah sebagai berikut: kode 1 berarti visus normal (6/6), kode 2
berarti gangguan visus ringan (visus kurang dari 6/6 sampai 6/18), kode 3 berarti low vision (visus
kurang dari 6/18 sampai 6/60), kode 4 berarti severe low vision (kurang dari 6/60 sampai 3/60)
dan kode 5 berarti buta (kurang dari 3/60). Visus tidak diperiksa jika responden berumur 6 tahun
keatas, tetapi tidak kooperatif, atau tidak memungkinkan untuk diperiksa visusnya, seperti
responden dengan kelainan jiwa berat atau mereka yang mengalami kelumpuhan total.
Responden umur 6 tahun keatas yang memenuhi kriteria untuk dianalisis berjumlah 924.780
orang.
232
3,0
2,6
2,5
2,0
1,5
1,0
0,4
0,9
0,0
Papua
NTB
DIY
Pabar
Sulteng
Kaltim
Kalbar
Bali
Banten
Jabar
Kep. Riau
Bengkulu
Jambi
Sumut
INDONESIA
Malut
Sulbar
Sultra
Kalsel
Jatim
DKI
Sumsel
Riau
Sumbar
Aceh
Maluku
Kalteng
Jateng
Lampung
Babel
Sulsel
Sulut
NTT
Gorontalo
0,5
Tahun 2007
Tahun 2013
Gambar 3.15.1
Prevalensi kebutaan pada responden umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut
provinsi, Indonesia 2007-2013.
Gambar 3.15.1 menunjukkan bahwa prevalensi kebutaan pada Riskesdas 2013 cenderung lebih
rendah dibandingkan prevalensi kebutaan tahun 2007. Prevalensi kebutaan penduduk umur 6
tahun keatas tertinggi ditemukan di Gorontalo (1,1%) diikuti Nusa Tenggara Timur (1,0%),
Sulawesi Selatan, dan Bangka Belitung (masing-masing 0,8%). Pada Riskesdas 2007 prevalensi
kebutaan tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (2,6%) diikuti Nusa Tenggara Timur (1,4%) dan
Bengkulu (1,3%). Prevalensi kebutaan terendah ditemukan di Papua (0,1%) diikuti Nusa
Tenggara Barat dan DI Yogyakarta (masing-masing 0,2%). Response rate Papua rendah,
sehingga angka kebutaan untuk Papua diragukan validitasnya, seperti juga saat Riskesdas 2007
(prevalensi kebutaan 0,4%) dan diperkirakan tidak mewakili keadaan sebenarnya untuk wilayah
Papua.
14,0
11,6
12,7
13,90
16,0
7,60
10,0
0,0
6-14
15-24
25-34
3,00
35-44
Pakai Kacamata/Lensa Kontak
1,10
0,30
1,00
0,10
0,30
0,07
0,13
0,03
0,06
0,01
1,0
0,03
4,0
2,8
2,9
4,1
6,0
3,50
8,0
2,0
8,40
9,5
9,7
12,0
45-54
55-64
Severe Low vision
65-74
75+
Kebutaan
Gambar 3.15.2
Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut
kelompok umur, Indonesia 2013
233
Gambar 3.15.2 memperlihatkan kecenderungan kepemilikan dan pemakaian alat bantu/koreksi
penglihatan jauh (kaca mata atau lensa kontak) meningkat sesuai pertambahan umur, prevalensi
tertinggi pada kelompok umur 55-64 tahun, tetapi menurun kembali pada kelompok penduduk
lanjut usia (65 tahun keatas). Hal ini mungkin berkaitan dengan produktivitas penduduk lanjut
usia yang cenderung menurun, sehingga kebutuhan memiliki penglihatan jarak jauh yang optimal
juga berkurang. Dengan kata lain, penduduk lanjut usia merasa cukup dengan kualitas
penglihatan jarak jauh yang kurang baik karena mereka masih dapat melakukan aktivitas sosial
harian tanpa gangguan yang bermakna.
Prevalensi severe low vision pada usia produktif (15-54 tahun) sebesar 1,49 persen dan
prevalensi kebutaan sebesar 0,5 persen. Prevalensi severe low vision dan kebutaan meningkat
pesat pada penduduk kelompok umur 45 tahun keatas dengan rata-rata peningkatan sekitar dua
sampai tiga kali lipat setiap 10 tahunnya. Prevalensi severe low vision dan kebutaan tertinggi
ditemukan pada penduduk kelompok umur 75 tahun keatas sesuai peningkatan proses
degeneratif pada pertambahan usia.
Gambar 3.15.3 dan 3.15.4 memperlihatkan bahwa terdapat kecenderungan, makin tinggi tingkat
pendidikan formal dan kuintil indeks kepemilikan penduduk, maka makin tinggi pula proporsi
penduduk yang memiliki kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh. Keadaan tersebut
dapat berkaitan dengan kebutuhan penduduk akan tajam penglihatan optimal yang makin besar
sesuai dengan prioritas subjektif penduduk dalam memenuhi kebutuhan sosial sehari-hari
mereka. Diasumsikan bahwa penduduk dengan tingkat pendidikan formal atau kuintil indeks
kepemilikan lebih tinggi, cenderung memilih jenis pekerjaan formal, seperti menjadi
pegawai/karyawan, sehingga butuh visus maksimal untuk melihat jauh sesuai jenis dan aktivitas
utama pekerjaan formalnya.
20,0
15,9
16,0
12,0
7,0
8,0
4,0
0,0
2,3
2,9
2,2
1,7
Tidak sekolah
4,0
3,6
1,1
0,5
Tidak tamat SD
1,2
0,4
Tamat SD
Pakai Kacamata/Lensa Kontak
0,4 0,1
0,3 0,1
Tamat SMP
Tamat SMA
Severe Low vision
0,3 0,1
Tamat PT
Kebutaan
Gambar 3.15.3
Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut
pendidikan, Indonesia 2013
Sebaliknya, prevalensi severe low vision dan kebutaan cenderung menurun seiring dengan makin
tingginya tingkat pendidikan formal dan kuintil indeks kepemilikan. Keadaan ini diperkirakan
berkaitan erat dengan kesadaran penduduk akan pentingnya tajam penglihatan maksimal serta
makin tingginya upaya penduduk untuk mendapatkan kualitas hidup optimal, termasuk memiliki
penglihatan yang baik, didukung oleh pengetahuan individu yang lebih baik tentang derajat
kesehatan serta kemampuan ekonomi yang lebih tinggi.
234
10,0
9,2
8,0
5,5
6,0
3,5
4,0
2,0
0,0
1,4
2,2
1,4
0,7
Terbawah
1,4
1,0
0,6
Menengah bawah
0,4
Menengah
Pakai Kacamata/Lensa Kontak
0,6
Menengah atas
Severe Low vision
0,5
0,3
0,2
Teratas
Kebutaan
Gambar 3.15.4
Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kuintil
indeks kepemilikan, Indonesia 2013
Gambar 3.15.5 menunjukkan proporsi penduduk yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak
di perkotaan sekitar dua kali lebih banyak dibandingkan responden di perdesaan. Prevalensi
severe low vision dan kebutaan cenderung lebih tinggi di perdesaan. Prevalensi severe low vision
dan kebutaan cenderung lebih tinggi pada penduduk di perdesaan.
10,0
8,0
6,6
6,0
4,0
2,6
2,0
0,0
0,8
Pakai Kacamata/Lensa
Kontak
1,1
Severe Low vision
Perkotaan
0,4
0,5
Kebutaan
Perdesaan
Gambar 3.15.5
Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut tempat
tinggal, Indonesia 2013
Tabel 3.15.1 menunjukkan proporsi pegawai yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak tiga
kali lebih banyak dibanding kelompok petani/nelayan/buruh. Penduduk perempuan cenderung
lebih banyak yang menggunakan kaca mata atau lensa kontak untuk penglihatan jarak jauh.
Penduduk yang tidak bekerja atau bekerja sebagai petani/nelayan/ buruh cenderung lebih banyak
yang menderita severe low vision dan kebutaan. Prevalensi severe low vision dan kebutaan
235
cenderung menurun pada kelompok penduduk dengan tingkat pendidikan formal dan kuintil
indeks kepemilikan yang lebih tinggi.
Tabel 3.15.2 memperlihatkan distribusi ketersediaan kaca mata atau lensa kontak untuk melihat
jauh menurut provinsi. Proporsi ketersediaan kaca mata atau lensa kontak paling tinggi
ditemukan di DKI Jakarta (11,9%) diikuti DI Yogyakarta (9,2%), dan Sulawesi Utara (7,5%).
Tabel 3.15.2 juga menunjukkan bahwa prevalensi severe low vision penduduk umur 6 tahun
keatas secara nasional sebesar 0,9 persen. Prevalensi severe low vision tertinggi terdapat di
Lampung (1,7%), diikuti Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat (masing-masing 1,6%). Di
Nusa Tenggara Timur, prevalensi severe low vision dan kebutaan pada Riskesdas 2013 cukup
tinggi.
Provinsi dengan prevalensi severe low vision terendah adalah DI Yogyakarta (0,3%) diikuti oleh
Papua Barat dan Papua (masing-masing 0,4%).
Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas secara nasional adalah 0,4 persen dan
prevalensi tertinggi, seperti telah disebutkan sebelumnya, ditemukan di Gorontalo (1,1%) diikuti
Nusa Tenggara Timur (1,0%), Sulawesi Selatan, dan Bangka Belitung (masing-masing 0,8%).
Prevalensi kebutaan terendah, seperti telah disebutkan sebelumnya, ditemukan di Papua (0,1%)
diikuti Nusa Tenggara Barat dan DI Yogyakarta (masing-masing 0,2%). Di Papua dan DI
Yogyakarta prevalensi severe low vision dan kebutaan sangat rendah dibandingkan provinsi lain.
236
Tabel 3.15.1
Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada
penduduk umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut provinsi, Indonesia 2013
Pakai kaca mata/
Karakteristik
Severe low vision
Kebutaan
lensa kontak
Kelompok umur (tahun)
6-14
1,0
0,03
0,01
15-24
2,9
0,06
0,03
25-34
2,8
0,13
0,07
35-44
4,1
0,3
0,1
45-54
9,5
1,0
0,3
55-64
12,7
3,0
1,1
65-74
11,6
7,6
3,5
75+
9,7
13,9
8,4
Jenis kelamin
Laki-laki
4,3
0,7
0,3
Perempuan
5,0
1,2
0,5
Pendidikan
Tidak sekolah
2,3
2,9
1,7
Tidak tamat SD
2,2
1,1
0,5
Tamat SD
3,6
1,2
0,4
Tamat SMP
4,0
0,4
0,1
Tamat SMA
7,0
0,3
0,1
Tamat D1-D3/PT
15,9
0,3
0,1
Pekerjaan
Tidak bekerja
4,6
1,2
0,6
Pegawai
9,7
0,2
0,1
Wiraswasta
6,6
0,6
0,2
Petani/nelayan/buruh
3,0
1,3
0,4
Lainnya
5,2
0,8
0,3
Tempat tinggal
Perkotaan
6,6
0,8
0,4
Perdesaan
2,6
1,1
0,5
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
1,4
1,4
0,7
Menengah bawah
2,2
1,4
0,6
Menengah
3,5
1,0
0,4
Menengah atas
5,5
0,6
0,3
Teratas
9,2
0,5
0,2
237
Tabel 3.15.2
Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada
penduduk umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut provinsi, Indonesia 2013
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Pakai kaca mata/
lensa kontak
Severe low
vision
2,6
4,0
6,6
3,6
4,5
4,5
3,7
3,1
4,2
7,3
11,9
4,8
4,0
9,2
4,8
5,3
5,2
1,8
2,0
3,4
4,0
4,4
4,2
7,5
3,2
2,6
3,0
3,1
1,7
3,5
2,2
3,5
2,4
1,2
0,9
0,8
0,7
0,9
1,0
0,7
1,7
1,0
0,5
0,6
0,8
1,1
0,3
1,0
0,7
0,6
0,6
1,6
1,6
1,1
0,9
0,7
0,9
0,6
1,2
0,9
1,3
0,5
1,3
0,8
0,4
0,4
0,4
0,3
0,4
0,4
0,3
0,4
0,3
0,6
0,7
0,3
0,4
0,3
0,5
0,2
0,4
0,3
0,3
0,2
1,0
0,3
0,5
0,4
0,3
0,8
0,3
0,8
0,4
1,1
0,4
0,5
0,4
0,3
0,1
4,6
0,9
0,4
Kebutaan
3.15.1.2 Kelainan permukaan mata dan lensa
Kelainan atau morbiditas permukaan mata yang diperiksa oleh surveyor adalah pterygium dan
kekeruhan kornea, sedangkan kelainan lensa yang diharapkan dapat diidentifikasi oleh
enumerator adalah kekeruhan lensa (katarak) yang tebal dan biasanya sudah disertai gangguan
penglihatan. Pemeriksaan morbiditas permukaan mata dan lensa ini dilakukan pada semua
responden. Jumlah responden semua umur yang dianalisis sebesar 1.027.763 orang.
238
Pterygium merupakan penebalan konjungtiva (bagian putih mata) pada sisi medial dan atau
lateral, biasanya pada orang tua, tetapi bisa juga ditemukan pada dewasa muda, semakin lama
semakin meluas kearah kornea. Kekeruhan kornea adalah kelainan pada kornea berupa bercak
berwarna putih keruh dan biasanya tidak berkaitan dengan faktor pertambahan usia.
30,0
25,2
25,0
Pterygium
Kekeruhan Kornea
20,0
15,0
11,0
8,3
10,0
0,0
3,7
2,0
DKI
Banten
Lampung
Sumsel
Kalteng
Pabar
Kep.Riau
Sumut
Jambi
Kalbar
Jabar
Riau
Kaltim
Jateng
Sultra
Sumbar
NTT
Indonesia
Bengkulu
Kalsel
Papua
Aceh
Gorontalo
Babel
Sulbar
Jatim
Sulut
Sulsel
Sulteng
DIY
Malut
NTB
Maluku
Bali
5,0
5,5
Gambar 3.15.6
Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea menurut provinsi, Indonesia 2013
Gambar 3.15.6 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium nasional adalah sebesar 8,3 persen
dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara
Barat (17,0%). Provinsi DKI Jakarta mempunyai prevalensi pterygium terendah yaitu 3,7 persen,
diikuti oleh Banten 3,9 persen.
Prevalensi kekeruhan kornea nasional adalah 5,5 persen dengan prevalensi tertinggi juga
ditemukan di Bali (11,0%), diikuti oleh DI Yogyakarta (10,2%) dan Sulawesi Selatan (9,4%).
Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Papua Barat (2,0%) diikuti DKI Jakarta
(3,1%).
Tabel 3.15.3 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea semakin
meningkat dengan bertambahnya umur. Tidak lazim pterygium terjadi pada anak umur 0-4 tahun,
sehingga data prevalensi pterygium pada anak balita dalam analisis ini dinilai kurang valid.
Prevalensi kekeruhan kornea yang meningkat seiring bertambahnya usia mungkin disebabkan
karena kurangnya keahlian enumerator dalam melakukan penilaian untuk kekeruhan kornea,
sehingga data yang dikumpulkan cenderung kurang valid.
Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada laki-laki cenderung sedikit lebih tinggi
dibanding prevalensi pada perempuan. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea yang paling
tinggi (16,8% untuk pterygium dan 13,6% untuk kekeruhan kornea) ditemukan pada kelompok
responden yang tidak sekolah. Petani/nelayan/buruh mempunyai prevalensi pterygium dan
kekeruhan kornea tertinggi (15,8% untuk pterygium dan 9,7% untuk kekeruhan kornea) dibanding
kelompok pekerja lainnya. Tingginya prevalensi pterygium pada kelompok pekerjaan tersebut
mungkin berkaitan dengan tingginya paparan matahari yang mengandung sinar ultraviolet. Sinar
ultraviolet merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kejadian pterygium. Prevalensi
kekeruhan kornea yang tinggi pada kelompok pekerjaan petani/nelayan/buruh mungkin berkaitan
dengan riwayat trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat pemakaian alat
pelindung diri saat bekerja belum optimal dilaksanakan di Indonesia.
239
Tabel 3.15.3
Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada penduduk semua umur menurut karakteristik,
Indonesia 2013
Karakteristik
Kelompok umur (tahun)
0-4
5-14
15-24
25-34
35-44
45-54
55-64
65-74
75+
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat PT
Pekerjaan
Tidak bekerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani/nelayan/buruh
Lainnya
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
Menengah bawah
Menengah
Menengah atas
Teratas
Morbiditas permukaan mata
Pterygium
Kekeruhan kornea
0,8
0,8
2,0
5,4
11,0
17,6
25,2
32,2
36,4
0,8
0,9
1,2
2,1
4,7
10,6
19,5
30,7
39,6
8,5
8,0
5,5
5,4
16,8
8,7
11,4
6,5
6,6
6,9
13,6
6,4
7,7
3,6
3,4
3,6
7,3
7,4
10,7
15,8
12
5,8
3,6
6,3
9,7
7,3
7,1
9,4
5,0
6,0
11,3
10,1
8,3
7,0
6,0
7,5
6,8
5,8
4,4
3,8
Penduduk yang tinggal di perdesaan mempunyai prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea
yang lebih besar dibandingkan penduduk di perkotaan. Prevalensi pterygium dan kekeruhan
kornea cenderung menurun seiring dengan meningkatnya kuintil indeks kepemilikan.
Pada tabel 3.15.4 terlihat bahwa prevalensi katarak tertinggi di Sulawesi Utara (3,7%) diikuti oleh
Jambi (2,8%) dan Bali (2,7%). Prevalensi katarak terendah ditemukan di DKI Jakarta (0,9%)
diikuti Sulawesi Barat (1,1%).
Sebagian besar penduduk dengan katarak di Indonesia belum menjalani operasi katarak karena
faktor ketidaktahuan penderita mengenai penyakit katarak yang dideritanya dan mereka tidak
240
tahu bahwa buta katarak bisa dioperasi/ direhabilitasi. Alasan kedua terbanyak penderita katarak
belum dioperasi adalah karena tidak dapat membiayai operasinya.(Gambar 3.15.7)
Laporan lengkap tentang prevalensi katarak dan alasan utama belum menjalani operasi katarak
menurut karakteristik disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
100,0
80,0
51,9
60,0
40,0
Tidak mampu membiayai
NTB
Takut Operasi
Gambar 3.15.7
Proporsi tiga alasan utama penderita katarak belum menjalani operasi menurut provinsi,
Indonesia 2013
241
Jambi
Sulut
Aceh
Sumut
Jabar
Kalsel
Kep. Riau
NTT
Pabar
4,5
Riau
INDONESIA
Babel
Sultra
Sumbar
DKI
Jatim
Bali
Sulsel
Kalbar
Tidak tahu kalau katarak
Jateng
DIY
Sumsel
Kaltim
Banten
Lampung
Gorontalo
Maluku
Sulteng
Malut
Kalteng
Sulbar
Bengkulu
0,0
Papua
11,9
20,0
Tabel 3.15.4
Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada penduduk
semua umur menurut provinsi, Indonesia 2013
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Katarak
2,8
1,4
2,3
1,9
2,8
1,7
1,9
1,5
1,8
1,4
0,9
1,5
2,4
2,0
1,6
1,8
2,7
1,6
2,3
1,8
1,4
1,4
2,0
3,7
2,4
2,5
1,8
1,9
1,1
2,2
2,3
1,5
2,4
1,8
Alasan Belum Operasi
Tidak tahu
Tidak mampu
Takut
kalau katarak
membiayai
operasi
27,7
11,0
14,6
36,6
10,6
13,9
41,2
16,6
11,8
32,0
20,2
11,6
53,3
8,4
8,5
42,1
9,0
7,7
56,3
14,7
4,5
47,5
11,0
8,3
60,7
13,0
5,8
42,5
16,8
2,9
29,9
24,0
10,3
55,4
12,8
7,1
60,8
8,1
6,1
63,1
4,8
9,1
51,3
12,1
11,3
69,3
10,5
3,6
64,6
4,4
9,2
55,7
11,6
9,1
41,4
14,1
5,7
49,7
12,8
4,7
51,9
11,9
4,5
51,6
14,1
6,9
42,7
10,1
5,0
48,5
15,3
10,0
44,2
20,4
3,4
55,0
7,7
5,9
36,8
22,8
7,6
31,9
29,3
15,9
41,6
28,8
7,0
33,6
13,0
16,0
46,1
10,8
11,7
32,2
13,7
9,3
63,4
8,2
3,3
51,6
11,6
8,1
242
3.15.2 Kesehatan telinga
Data yang dikumpulkan terkait status kesehatan telinga meliputi anatomi liang telinga, kelainan
pada telinga tengah dan daerah retroaurikular, keutuhan gendang telinga, serta adanya
gangguan fungsi pendengaran. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik oleh
nakes terlatih pada responden berumur 2 tahun keatas dan untuk fungsi pendengaran dilakukan
tes konversasi bagi responden yang kooperatif dan tidak tuna wicara.
Keterbatasan pengumpulan data terkait kesehatan telinga adalah kemampuan klinis nakes yang
sangat bervariasi dalam mengenali kelainan telinga dan retroaurikular. Keterbatasan untuk
pengukuran tajam pendengaran adalah tidak tersedianya alat audiometer di lapangan, sehingga
hanya dilakukan uji/tes konversasi.
3.15.2.1 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian
Pada survei ini interpretasi dari skor yang digunakan adalah sebagai berikut:
Pemeriksa membisikkan kalimat sederhana dan responden diminta mengulanginya. Jika
responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “0”. Jika
responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu
kalimat dengan volume suara normal dan responden kembali diminta mengulanginya. Jika
responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “1”
pendengaran NORMAL.
Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu
kalimat dengan volume suara yang lebih keras dan responden kembali diminta mengulanginya
dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “2”
gangguan pendengaran ringan.
Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan meneriakkan satu
kalimat pada telinga dengan fungsi pendengaran lebih baik dan responden kembali diminta
mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden
adalah “3 gangguan pendengaran sedang.
Jika responden tidak dapat mengikuti teriakan kata-kata pemeriksa, maka skor responden
adalah “4” ketulian.
Dalam Riskesdas 2013 diperoleh prevalensi gangguan pendengaran tertinggi pada kelompok
umur 75 tahun ke atas (36,6%), disusul oleh kelompok umur 65-74 tahun (17,1%). Angka
prevalensi terkecil berada pada kelompok umur 5-14 tahun dan 15-24 tahun (masing-masing
0,8%) sesuai Tabel 3.16.1. Prevalensi tertinggi ketulian terdapat pada kelompok umur yang sama
dengan gangguan pendengaran, yaitu umur ≥75 tahun (1,45%), begitu pula dengan prevalensi
terkecil terdapat pada kelompok umur 5-14 tahun dan 15-24 tahun (masing-masing 0,04%).
Prevalensi responden dengan gangguan pendengaran pada perempuan cenderung sedikit lebih
tinggi daripada laki-laki (2,8%:2,4%), begitu juga prevalensi ketulian prevalensi perempuan 0,10
persen dan laki-laki 0,09 persen.
Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian tertinggi ditemukan pada kelompok tingkat
pendidikan tidak sekolah (8,0% gangguan pendengaran dan 0,38% ketulian). Gangguan
pendengaran pada kelompok responden tidak bekerja memiliki angka prevalensi tertinggi, yaitu
3,4 persen, disusul oleh petani/nelayan/buruh sebesar 3,3 persen. Prevalensi gangguan
pendengaran terendah ditemukan pada kelompok pegawai (1,0%). Prevalensi ketulian tertinggi
ditemukan pada kelompok responden tidak bekerja (0,15%) dan terendah pada pegawai (0,02%).
Terdapat perbedaan angka prevalensi ketulian dan gangguan pendengaran menurut tempat
tinggal. Di perkotaan diperoleh prevalensi gangguan pendengaran sebesar 2,2 persen dan
prevalensi ketulian 0,09 persen. Prevalensi gangguan pendengaran di perdesaan cenderung
sedikit lebih tinggi, yaitu sebesar 3 persen dan prevalensi ketulian 0,1 persen.
243
Tabel 3.15.5
Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi
menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Gangguan pendengaran
Ketulian
Kelompok Umur (tahun)
5-14
0,8
0,04
15-24
0,8
0,04
25-34
1,0
0,05
35-44
1,2
0,05
45-54
2,3
0,06
55-64
5,7
0,14
65-74
17,1
0,52
75+
36,6
1,45
Jenis kelamin
Laki-laki
2,4
0,09
Perempuan
2,8
0,10
Pendidikan
Tidak sekolah
8,0
0,38
Tidak tamat SD
3,2
0,12
Tamat SD
2,9
0,08
Tamat SMP
1,3
0,04
Tamat SMA
1,1
0,03
Tamat PT
1,2
0,04
Pekerjaan
Tidak bekerja
3,4
0,15
Pegawai
1,0
0,02
Wiraswasta
1,6
0,03
Petani/nelayan/buruh
3,3
0,07
Lainnya
2,2
0,10
Tempat tinggal
Perkotaan
2,2
0,09
Perdesaan
3,0
0,10
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
4,1
0,14
Menengah bawah
3,4
0,13
Menengah
2,6
0,08
Menengah atas
1,9
0,06
Teratas
1,6
0,07
Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian memiliki pola yang sama menurut kuintil indeks
kepemilikan, yaitu semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin kecil prevalensi gangguan
pendengaran dan ketuliannya. Pada kuintil indeks kepemilikan terbawah ditemukan prevalensi
gangguan pendengaran tertinggi (4,1%) dan prevalensi ketulian tertinggi (0,14%). Prevalensi
gangguan pendengaran dan ketulian terendah ditemukan pada kuintil indeks kepemilikan teratas
(berturut-turut 1,6% dan 0,07%).
244
4,0
3,7
*) Berdasarkan tes konversasi
3,5
3,0
2,6
2,5
2,0 1,6
1,5
1,0
0,0
Banten
DKI
Babel
Kep. Riau
Pabar
NTB
Bali
Bengkulu
Kalteng
Kalsel
Riau
Kalbar
Aceh
Gorontalo
Jambi
Kaltim
Sulteng
Sultra
Sulut
Sumbar
Jabar
Maluku
INDONESIA
Papua
Sunut
DIY
Sulbar
Jatim
Malut
Sulsel
Sumsel
Jateng
Lampung
NTT
0,5
Gambar 3.15.8
Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut
provinsi, Indonesia 2013
Berdasarkan provinsi, prevalensi gangguan pendengaran tertinggi terdapat di Nusa Tenggara
Timur (3,7%), dan terendah di Banten (1,6%). Terdapat sembilan provinsi dengan prevalensi
gangguan pendengaran yang lebih besar dari rata-rata nasional (2,6%), seperti terlihat pada
Gambar 3.15.8.
0,50
0,40
0,30
0,45
*) Berdasarkan tes konversasi
0,20
0,00
0,09
0,03
Kaltim
Babel
Banten
Sunut
Kalbar
Sulbar
Aceh
DKI
Bali
Sumsel
Kep. Riau
Jabar
Kalteng
Sulteng
Lampung
Papua
Bengkulu
Malut
INDONESIA
Sumbar
Jambi
NTB
Pabar
Jateng
NTT
Kalsel
Sulut
Sulsel
Sultra
Riau
DIY
Jatim
Gorontalo
Maluku
0,10
Gambar 3.15.9
Prevalensi ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut provinsi,
Indonesia 2013
Gambar 3.15.9 menunjukkan prevalensi ketulian Indonesia sebesar 0,09 persen dan terdapat
dua provinsi yang mempunyai prevalensi ketulian sama dengan angka nasional, yaitu Bengkulu
dan Maluku Utara. Provinsi dengan prevalensi ketulian diatas rata-rata nasional sejumlah 15
provinsi dan prevalensi ketulian tertinggi ditemukan di Maluku (0,45%), sedangkan yang terendah
di Kalimantan Timur (0,03%).
245
3.15.2.2 Morbiditas Telinga Lainnya
Untuk mengetahui prevalensi morbiditas (kejadian sakit) telinga, selain gangguan pendengaran
dan ketulian, dilakukan pemeriksaan fisik/anatomis terhadap responden umur 2 tahun keatas.
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan luar telinga untuk mengetahui keberadaan abses/fistel
retroautrikular,serta pemeriksaan liang telinga untuk mengetahui adanya serumen maupun sekret
dalam liang telinga. Sekret dalam liang telinga menandakan adanya infeksi akut/kronis, tumor,
maupun kelainan telinga lainnya. Keberadaan abses/fistel retroaurikular dapat menunjukkan
adanya infeksi telinga yang sedang berlangsung.
Kelompok umur ≥75 tahun mempunyaii prevalensi tertinggi dalam hal keberadaan serumen,
sekret dalam liang telinga, dan abses/fistel retroaurikular, yaitu berturut-turut 37,3 persen ; 3,8
persen ; dan 0,77 persen . Prevalensi terendah morbiditas telinga ditemukan pada kelompok
umur 15-24 tahun, yaitu untuk prevalensi serumen (14,3%), 15-24 tahun dan 25-34 tahun untuk
sekret (masing-masing 2,0%), dan 2-4 tahun untuk abses/fistel retroaurikular. Berdasarkan
provinsi, prevalensi penduduk dengan serumen tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (40,1%)
dan terendah di Sumatera Selatan (5,7%). Laporan lengkap tentang morbiditas telinga lainnya
menurut karakteristik dan provinsi disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
246
3.16. Pemeriksaan biomedis
Rita Marleta Dewi, Frans Dany, Khariri, Widoretno, Kambang Sariadji, Sarwo Handayani, Vivi
Lisdawati, Indri Rooslamiati, Holly Arif Wibowo, M. Samsudin, Djoko Kartono, Dwi Hapsari
Tjandrarini, dan Ina Kusrini
Data biomedis merupakan bagian dari Riskesdas 2013 yang sampelnya mewakili skala nasional
untuk perkotaan dan perdesaan. Data biomedis yang diperoleh melalui pemeriksaan sampel dan
spesimen merupakan indikator untuk beberapa penyakit meliputi penyakit menular (PM), penyakit
tidak menular (PTM) atau penyakit kronik degeneratif, penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I), dan gangguan status gizi. Informasi tentang berbagai penyakit tersebut
berhubungan erat dengan beban ganda masalah kesehatan masyarakat Indonesia yang mulai
bergeser dari penyakit infeksi menuju penyakit degeneratif dan keganasan. Data biomedis
tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan kesehatan yang lebih
tepat dan proporsional.
Jenis sampel dan spesimen biomedis pada Riskesdas 2013 terdiri dari air, garam, urin, dan
darah. Pemeriksaan biomedis dilaksanakan di beberapa tempat, yaitu: (1) Laboratorium
Lapangan seperti puskesmas, pustu, posyandu, poskesdes atau fasilitas lain yang sesuai kriteria
untuk melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah, hemoglobin (Hb) dan Rapid Diagnostic Test
(RDT) malaria; (2) Laboratorium Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan (PBTDK),
Badan Litbangkes untuk pemeriksaan kimia klinis dan mikroskopis malaria; (3) Laboratorium
Balai Litbang GAKI Magelang untuk pemeriksaan spesimen urin, sampel air minum dan garam;
(4) Rumah responden untuk pemeriksaan kadar iodium dalam garam yang dikonsumsi rumah
tangga dengan rapid test kit (RTK) pada 12,000 BS.
Pemeriksaan biomedis meliputi pemeriksaan kadar iodium pada sumber air minum RT, garam
RT, urin wanita usia subur (WUS) umur 15-49 tahun, urin anak umur 6-12 tahun; pemeriksaan
kadar Hb dan RDT malaria pada penduduk umur ≥1 tahun, khusus responden dengan riwayat
demam dalam 2 hari terakhir dilakukan pemeriksaan sediaan darah tebal malaria; pemeriksaan
kadar glukosa darah dan pemeriksaan kimia klinis pada penduduk umur ≥15 tahun.
3.16.1 Rekrutmen sampel biomedis
Sampel air berasal dari sumber air minum utama RT yang diambil minimal dari tiga RT di setiap
BS (BS) biomedis. Sampel garam diambil dari semua RT pada BS biomedis. Spesimen urin
untuk pemeriksaan iodium dikumpulkan dari satu ART (ART) umur 6-12 tahun dan satu ART
wanita usia subur (WUS) 15-49 tahun yang terpilih sebagai sampel di setiap RT dalam BS
biomedis. Khusus pada ART WUS umur 15–49 tahun lebih diprioritaskan ibu hamil dan
menyusui.
Jumlah target sampel air adalah 3.000 sampel, sedangkan yang diterima dan diperiksa di
laboratorium Balai Litbang GAKI Magelang adalah 3.268 sampel. Sebanyak 3.028 sampel air
yang diperiksa di laboratorium dapat dimasukkan dalam analisis, sedangkan 240 sampel
dikeluarkan dari analisis karena identitas tidak lengkap atau duplikasi.
Untuk mengetahui kadar iodium dalam sampel garam (part per million kalium iodat /ppm KIO3)
ditargetkan 25.000 sampel sesuai jumlah RT dalam BS biomedis. Sebanyak 21.741 sampel
garam diterima dan 12.653 sampel sudah diperiksa di laboratorium. Namun hanya 11.430 hasil
pemeriksaan yang dapat dianalisis, sedangkan 1.223 sampel dengan identitas yang tidak
lengkap tidak dapat dimasukkan dalam analisis.
Jumlah target sampel urin adalah 26.000 (18.000 WUS umur 15–49 tahun dan 8.000 umur 6-12
tahun). Sebanyak 23.067 sampel urin diterima dan 22.794 dapat diperiksa di laboratorium,
sedangkan 273 sampel urin tidak dapat diperiksa karena menggunakan wadah yang tidak
standar dan volume urin tidak mencukupi. Dari 22.794 hasil pemeriksaan di laboratorium, hanya
19.965 yang dapat dimasukkan dalam analisis, sedangkan 2.829 identitasnya tidak lengkap. Dari
247
19.965 yang dapat dianalisis terdiri dari 13.811 spesimen urin WUS (termasuk ibu hamil dan ibu
menyusui) dan 6.154 spesimen urin umur 6-12 tahun.
Gambar 3.16.1
Rekrutmen sampel air, garam dan urin, Indonesia 2013
Proses pengambilan spesimen darah dilakukan di laboratorium lapangan. Pengambilan darah
pada ART umur ≥15 tahun sebanyak 10 ml dan ART umur 1-14 tahun serta wanita hamil
sebanyak 5 ml.
Pada pelaksanaan pengumpulan data biomedis spesimen darah, dari 92.000 responden yang
ditargetkan hanya 56.719 yang bersedia diambil darah untuk pemeriksaan biomedis. Dari
responden yang telah bersedia dan menandatangani informed consent, hanya 50.912 yang
datang ke laboratorium lapangan. Selanjutnya pada saat diterapkan kriteria inklusi/eksklusi dalam
pengambilan darah oleh dokter pendamping, jumlah responden yang berhasil diperiksa adalah
49.931.
Dari responden yang berhasil diperiksa, pada responden umur ≥1 tahun didapatkan 48.404
responden dengan pemeriksaan Hb dan 46.394 responden dengan pemeriksaan RDT malaria.
Dari responden umur ≥15 tahun didapatkan 39.202 responden dengan pemeriksaan glukosa,
39.377 responden yang diperiksa kimia klinis dan 47.746 responden yang berhasil dikumpulkan
spesimen serum. Pada analisa selanjutnya setelah data biomedis digabung dengan data
kesmas, didapatkan 46.428 responden dengan pemeriksaan Hb, 44.731 responden dengan
pemeriksaan RDT malaria, 38.136 responden dengan pemeriksaan glukosa darah, dan 35.609
responden dengan pemeriksaan kimia klinis.
248
Gambar 3.16.2
Rekrutmen spesimen darah, Indonesia 2013
Berkurangnya jumlah responden yang diperiksa dibandingkan dengan target disebabkan karena
terdapat dua BS yang menolak berpartisipasi. Sebab lainnya adalah pada beberapa BS terpilih
terdapat jumlah RT kurang dari 25, atau responden tidak mendapatkan izin untuk meninggalkan
pekerjaan atau ujian sekolah, medan yang sulit dan cuaca buruk saat pengambilan/pemeriksaan
biomedis, adanya gangguan keamanan, dieksklusi oleh dokter pendamping, atau responden
mengundurkan diri.
3.16.2. Status Iodium
Status iodium dilakukan berdasarkan pemeriksaan seluruh sampel garam RT di 12.000 BS
dengan metoda tes cepat meneteskan Iodina ke garam, dan mengambil garam dari sub-sampel
nasional yang dikonfirmasi di laboratorium dengan metoda titrasi. Untuk status iodium penduduk
dinilai berdasarkan ekskresi iodium dalam urin, dan juga dilakukan pemeriksaan air sebagai salah
satu sumber asupan iodium penduduk selain garam.
Dari hasil tes cepat sampel garam RT di 12.000 BS yang mencakup seluruh kabupaten/kota.
Sebanyak 289.660 sampel garam RT dapat dikumpulkan. Metoda tes cepat dilakukan dengan
cara meneteskan larutan RTK pada sampel garam yang digunakan RT. Rumah tangga
dinyatakan mengonsumsi garam yang mengandung cukup iodium (30 ppm KIO3), bila hasil tes
menunjukkan warna biru/ungu tua; mengonsumsi garam yang mengandung kurang iodium bila
hasil tes menunjukkan warna biru/ungu muda; dan dinyatakan mengonsumsi garam tidak
mengandung iodium bila hasil tes tidak menunjukkan perubahan warna.
Tabel 3.16.1 menunjukkan secara nasional 77,1 persen RT yang mengonsumsi garam dengan
kandungan cukup iodium, 14,8 persen RT mengonsumsi garam dengan kandungan kurang
iodium dan 8,1 persen RT mengonsumsi garam yang tidak mengandung iodium. Provinsi dengan
proporsi RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium tertinggi adalah Bangka
Belitung (98,1%) dan terendah adalah Aceh (45,7%). Secara nasional angka ini masih belum
mencapai target Universal Salt Iodization (USI) atau “garam beriodium untuk semua”, yaitu
minimal 90 persen RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium
(WHO/UNICEF ICCIDD, 2010).
Gambar 3.16.3 menyajikan kecenderungan RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan
iodium cukup berdasarkan hasil tes cepat pada tahun 2013 (77,1%) mengalami peningkatan
dibanding tahun 2007 (62,3%). Target WHO untuk universal salt iodization (USI) atau garam
beriodium untuk semua, yaitu minimal 90 persen RT mengonsumsi garam dengan kandungan
iodium cukup, masih belum tercapai. Pada tahun 2013, sebanyak 13 provinsi telah mencapai
USI, sedangkan pada tahun 2007 hanya 6 provinsi.
249
Tabel 3.16.2 menunjukkan proporsi RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup
iodium berdasarkan hasil tes cepat menurut karakteristik. Berdasarkan tingkat pendidikan kepala
RT, semakin tinggi pendidikan kepala RT, maka semakin tinggi pula proporsi garam yang
mengandung cukup iodium. Berdasarkan status pekerjaan kepala RT, proporsi tertinggi pada
status pekerjaan pegawai dan terendah pada petani/nelayan/buruh. Proporsi di perkotaan lebih
tinggi dibandingkan di perdesaan.
Tabel 3.16.1
Proporsi rumah tangga yang mengonsumsi garam berdasarkan kandungan iodium
sesuai hasil tes cepat menurut provinsi, Indonesia 2013
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Cukup
45,7
87,6
63,2
88,0
90,5
92,2
93,7
85,0
98,1
83,0
83,9
68,6
80,1
90,0
75,4
80,1
50,8
54,6
52,4
91,2
90,5
91,6
94,1
94,4
91,6
65,6
77,9
95,2
72,5
62,5
91,4
96,4
85,6
77,1
250
Iodium dalam garam
Kurang
Tidak ada
28,8
25,5
11,1
1,2
28,2
8,5
9,1
2,9
7,2
2,3
6,4
1,4
5,6
0,7
13,5
1,5
1,5
0,3
14,1
2,9
12,6
3,5
20,5
10,9
13,2
6,7
7,3
2,7
13,7
10,9
15,1
4,8
19,1
30,1
25,6
19,8
26,5
21,1
7,3
1,5
7,0
2,5
6,8
1,6
4,1
1,8
5,4
0,2
7,4
1,0
18,7
15,8
16,1
6,0
3,9
0,8
22,6
4,9
18,8
18,8
7,9
0,7
2,6
0,9
13,6
0,7
14,8
8,1
100,0
77,1
80,0
60,0
62,3
40,0
0,0
Aceh
Bali
NTT
NTB
Maluku
Sumbar
Sulsel
Jabar
Sulbar
Jatim
Indonesia
Sultra
Banten
Jateng
Kep.Riau
DKI
Lampung
Papua
Sumut
Riau
DIY
Jambi
Kalteng
Kalbar
Malut
Kalsel
Sulteng
Sumsel
Bengkulu
Kaltim
Sulut
Gorontalo
Pabar
Babel
20,0
2007
2013
Gambar 3.16.3
Kecenderungan rumah tangga yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium
berdasarkan hasil tes cepat menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013
Tabel 3.16.2
Proporsi rumah tangga yang mengonsumsi garam yang mengandung cukup iodium
berdasarkan hasil tes cepat menurut karakteristik, Indonesia 2007 dan 2013
Karakteristik
Karakteristik
Pendidikan
Tidak sekolah
Tamat SD/MI
Tamat SMP/MTs
Tamat SMA/MA
Tamat Diploma/PT
Pekerjaan
Tidak bekerja
Pegawai
Wiraswasta
Petani/nelayan/buruh
Lainnya
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Indonesia
2007
2013
50,9
59,5
68,8
75,1
80,8
74,0
76,8
82,0
85,1
88,1
60,7
79,2
75,7
56,9
56,5
77,9
86,9
83,3
75,4
78,6
70,4
56,3
62,3
82,0
72,3
77,1
Nilai rata-rata dan simpang baku kadar iodium dalam garam RT berdasarkan hasil metoda titrasi
tahun 2013 adalah 34,1+ 25,1 ppm kalium iodat (KIO3), sedangkan tahun 2007 adalah 38,9 +
28,3 ppm kalium iodat. Dari nilai rata-rata ini menunjukkan hampir tidak ada perbaikan kualitas
garam beriodium dari tahun 2007 sampai tahun 2013. Akan tetapi jika diperhatikan berdasarkan
empat klasifikasi proporsi RT berdasarkan kadar iodium: tidak beriodium, kurang, cukup, dan
lebih, maka terlihat terjadi pergeseran kearah yang lebih baik.
Tabel 3.16.3 menunjukkan kecenderungan proporsi kadar iodium dalam garam RT berdasarkan
hasil metoda titrasi tahun 2013. Setengah sampel RT mempunyai garam kurang iodium (50,8%),
251
jauh lebih rendah dibanding tahun 2007 (67,7%), sedangkan proporsi cukup iodium (43,2%)
meningkat dibanding tahun 2007 (23,4%), dan RT dengan proporsi lebih iodium meningkat dari
satu persen (2007) menjadi lima persen (2013).
Tabel 3.16.3
Kecenderungan proporsi kadar iodium (ppm KIO3) dalam garam rumah tangga
hasil metoda titrasi, Indonesia 2007 dan 2013
Kadar iodium
Tidak beriodium
Kurang
Cukup
Lebih
2007
7,8
67,7
23,4
1,1
2013
1,0
50,8
43,2
5,0
Ekskresi iodium urin (EIU)
Gambar 3.16.4 menyajikan kecenderungan nilai median EIU (µg/L) dari sampel urin sesaat
menurut karakteristik penduduk. Nilai median EIU pada anak umur 6-12 tahun adalah 215 µg/L,
dengan EIU perkotaan (237 µg/L) lebih tinggi dari perdesaan (201 µg/L). Nilai median EIU pada
WUS adalah 187 µg/L, pada ibu hamil 163 µg/L dan ibu menyusui 164 µg/L, dengan masingmasing lebih tinggi di perkotaan. Nilai median EIU terendah ditemukan pada ibu menyusui dan
yang tertinggi adalah pada anak umur 6-12 tahun.
300
Median EIU (µg/L)
250
200
237
201
215
203
176
190
179
151
150
163
169
159 164
100
50
0
Anak 6-12 tahun
WUS 15 -49 tahun
Perkotaan
Perdesaan
Ibu Hamil
Ibu Menyusui
Kota+Desa
Gambar 3.16.4
Kecenderungan nilai median ekskresi iodium dalam urin (µg/L) pada anak, WUS, Ibu hamil, ibu
menyusui, Indonesia 2007 dan 2013
Gambar 3.16.5 menunjukkan proporsi nilai EIU anak umur 6–12 tahun, WUS, ibu hamil dan ibu
menyusui menurut kategori EIU tahun 2013: risiko kekurangan (<100 µg/L), cukup (100-199
µg/L), lebih dari cukup (200-299 µg/L) dan risiko kelebihan (≥300 µg/L). Pada anak umur 6–12
tahun, persentase risiko kekurangan dan risiko kelebihan iodium tahun 2013 cenderung lebih
tinggi dibandingkan tahun 2007.
252
50,0
36,9 36,9
30,6
29,9
40,0
30,0
22,1
20,0
30,4
24,8
24,3 23,9
14,9
24,9
21,3
22,4
21,1
17,6
18,1
10,0
0,0
<100 µg/L
Anak 6-12 tahun
100-199 µg/L
200-299 µg/L
WUS 15-49 tahun
Ibu hamil
>=300 µg/L
Ibu menyusui
Gambar 3.16.5
Proporsi ekskresi iodium dalam urin anak umur 6-12 tahun, wanita usia subur, ibu hamil
dan ibu menyusui menurut kategori EIU, Indonesia 2013
Kadar iodium sumber air minum RT
Secara nasional, nilai median kadar iodium sumber air minum adalah 15,0 µg/L dan nilai medium
perkotaan (17,0 µg/L), lebih tinggi dari perdesaan (13,0 µg/L).
Kadar iodium sumber air minum RT di perkotaan dan perdesaan pada tahun 2013 dapat dilihat
pada Tabel 3.16.4. Kadar iodium sumber air minum RT sebagian besar rendah atau tidak
mengandung iodium (92,1%) dan proporsi di perdesaan lebih tinggi. Secara nasional, proporsi air
minum RT yang mempunyai kandungan cukup iodium masih sangat rendah (6,0%) dengan
proporsi di perkotaan (7,4%), lebih tinggi daripada di perdesaan (4,6%).
Tabel 3.16.4
Proporsi kadar iodium dalam sumber air minum RT menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Perkotaan
Perdesaan
Indonesia
Tidak
beriodium
38,0
42,3
40,1
Rendah
iodium
52,5
51,5
52,0
Cukup
iodium
7,4
4,6
6,0
Lebih dari
cukup
1,6
1,3
1,5
Tinggi iodium
0,5
0,3
0,4
3.16.3. Hasil pemeriksaan spesimen darah
Penyajian hasil pemeriksaan spesimen darah dikelompokkan menjadi empat: 1) pemeriksaan
kadar glukoa darah: 2) pemeriksaan kadar hemoglobin; 3) pemeriksaan malaria berdasarkan
rapid diagnostic test/RDT; dan 4) pemeriksaan kimia klinis.
1. Pemeriksaan kadar glukosa darah
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar
gula darah akibat gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Secara umum,
penyakit ini dibagi atas dua tipe, yaitu tipe 1 dengan kerusakan sel beta pankreas akibat faktor
autoimun, genetik atau idiopatik dan tipe 2 yang umumnya timbul akibat resistensi insulin terkait
perubahan gaya hidup.
253
Penyakit tersebut telah menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat global dan menurut
International Diabetes Federation (IDF) pemutakhiran ke-5 tahun 2012, jumlah penderitanya
semakin bertambah. Menurut estimasi IDF tahun 2012, lebih dari 371 juta orang di seluruh dunia
mengalami DM, 4,8 juta orang meninggal akibat penyakit metabolik ini dan 471 miliar dolar
Amerika dikeluarkan untuk pengobatannya.
Menurut pedoman American Diabetes Association (ADA) 2011 dan konsensus Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2011 untuk pencegahan dan pengelolaan DM tipe 2, kriteria
diagnostik DM dapat ditegakkan bila: 1) glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl bila terdapat
keluhan klasik DM penyerta, seperti banyak kencing (poliuria), banyak minum (polidipsia), banyak
makan (polifagia), dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya; 2)
glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl dengan gejala klasik penyerta; 3) glukosa 2 jam pasca
pembebanan ≥200 mg/dl.
Di pihak lain, seseorang dengan kadar glukosa darah diatas normal, tetapi belum memenuhi
kriteria diabetes dianggap mengalami keadaan pra-diabetes yang berisiko berkembang menjadi
DM tipe 2. Beberapa faktor yang diduga berperan penting menyebabkan keadaan pradiabetes
antara lain: faktor genetik, rokok, jenis kelamin laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, diet yang tidak
sehat, dan keadaan abnormal terkait perawakan pendek pada orang dewasa. Keadaan
pradiabetes tersebut meliputi glukosa darah puasa (GDP) terganggu dan toleransi glukosa
terganggu (TGT). Menurut ADA 2011, kriteria GDP terganggu adalah bila kadar glukosa darah
puasa seseorang berada dalam rentang 100-125 mg/dl, sedangkan kriteria TGT ditegakkan bila
hasil glukosa darah 2 jam pasca pembebanan berada dalam kisaran 140-199 mg/dl.
Berdasarkan hasil pemeriksaan glukosa darah, parameter yang dianalisis adalah proporsi DM,
GDP terganggu, dan TGT. Tabel 3.16.5 menunjukkan proporsi DM pada penduduk umur ≥15
tahun berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dengan cut off points merujuk pada ADA 2011
dan gejala khas DM. Proporsi DM di Indonesia sebesar 6,9 persen dengan proporsi DM pada
perempuan cenderung lebih tinggi, tetapi hampir sama antara proporsi di perkotaan (6,8%) dan
perdesaan (7,0%).
Tabel 3.16.5
Proporsi DM pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik,
Indonesia 2013
Karakteristik
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Indonesia
DM (%)
5,6
7,7
6,8
7,0
6,9
Catatan:
Ditemukan sejumlah responden dengan kadar glukosa darah normal, tetapi sedang menjalani pengobatan DM, sehingga
kemungkinan dapat menambah proporsi penduduk DM.
Tabel 3.16.6 menggambarkan proporsi penduduk umur ≥15 tahun dengan glukosa darah puasa
(GDP) terganggu, yakni suatu keadaan yang berisiko tinggi akan berkembang menjadi DM.
Kriteria keadaan tersebut ditentukan berdasarkan pemeriksaan glukosa darah puasa dengan nilai
cut off yang merujuk pada ADA 2011. Kriteria GDP terganggu ditentukan bila kadar glukosa
darah puasa dalam kisaran 100-125 mg/dl.
Secara keseluruhan, lebih dari sepertiga penduduk (36,6%) mengalami keadaan GDP terganggu,
dan laki-laki lebih banyak mengalami keadaan tersebut dibandingkan perempuan dengan
perbedaan sekitar 6 persen. Jika dilihat berdasarkan karakteristik tempat tinggal, proporsi GDP
terganggu di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan.
254
Tabel 3.16.6
Proporsi GDP terganggu pada umur ≥15 tahun berdasarkan kriteria ADA
menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Indonesia
DM (%)
40,4
34,4
34,9
38,2
36,6
Tabel 3.16.7 menunjukan proporsi penduduk umur >15 tahun dengan toleransi glukosa
terganggu (TGT), yakni suatu keadaan yang berisiko tinggi akan berkembang menjadi DM.
Kriteria keadaan tersebut ditentukan berdasarkan pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca
pembebanan dengan nilai cut off yang merujuk pada ADA 2011. Kriteria TGT ditentukan bila
kadar glukosa darah 2 jam pasca-pembebanan dalam kisaran 140-199 mg/dl.
Proporsi penduduk dengan TGT mencapai 29,9 persen, dan proporsi di perkotaan hampir sama
dengan proporsi di perdesaan. Namun menurut jenis kelamin, proporsi perempuan dengan TGT
lebih tinggi (32,7%) dibandingkan dengan laki-laki (25,0%).
Tabel 3.16.7
Proporsi TGT pada umur ≥15 tahun TGT menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Indonesia
DM (%)
25,0
32,7
29,9
29,8
29,9
Tabel 3.16.8 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk yang diperiksa gula darah tidak
terdiagnosis mengidap DM oleh tenaga kesehatan (nakes).
Tabel 3.16.8
Proporsi DM umur ≥15 tahun yang didiagnosis oleh Nakes menurut karakteristik,
Indonesia 2013
Karakteristik
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Indonesia
DM (%)
2,2
2,5
3,3
1,5
2,4
Meskipun angka cakupan diagnosis nakes tersebut lebih tinggi di perkotaan (3,3%) dibandingkan
dengan di perdesaan (1,5%), secara keseluruhan banyak penduduk umur ≥15 tahun yang tidak
terdiagnosis mengidap DM (hanya 2,4% yang terdiagnosis).
255
3.
Pemeriksaan kadar hemoglobin
Anemia merupakan suatu keadaan ketika jumlah sel darah merah atau konsentrasi pengangkut
oksigen dalam darah (Hb) tidak mencukupi untuk kebutuhan fisiologis tubuh. Menurut WHO dan
pedoman Kemenkes 1999, cut-off points anemia berbeda-beda antar kelompok umur, maupun
golongan individu. Kelompok umur atau golongan individu tertentu dianggap lebih rentan
mengalami anemia dibandingkan kelompok lainnya.
Rujukan cut-off point anemia balita 12-59 bulan adalah kadar Hb dibawah 11,0 g/dL. Anak
sekolah usia 6-12 tahun dianggap mengalami anemia bila kadar Hbnya <12,0 g/dL. Di pihak lain,
ibu hamil dianggap sebagai salah satu kelompok yang rentan mengalami anemia, meskipun jenis
anemia pada kehamilan umumnya bersifat ‘fisiologis’. Anemia tersebut terjadi karena
peningkatan volume plasma yang berakibat pengenceran kadar Hb tanpa perubahan bentuk sel
darah merah. Ibu hamil dianggap mengalami anemia bila kadar Hb-nya di bawah 11,0 g/dL.
Sementara itu, laki-laki berusia ≥15 tahun dianggap mengalami anemia bila kadar Hb <13,0 g/dL
dan wanita usia subur 15-49 tahun mengalami anemia bila kadar Hb <12,0 g/dL.
Tabel 3.16.9 menunjukkan proporsi penduduk umur ≥1 tahun dengan keadaan anemia mencapai
21,7 persen secara nasional. Berdasarkan pengelompokan umur, didapatkan bahwa anemia
pada balita cukup tinggi, yaitu 28,1 persen dan cenderung menurun pada kelompok umur anak
sekolah, remaja sampai dewasa muda (34 tahun), tetapi cenderung meningkat kembali pada
kelompok umur yang lebih tinggi. Berdasarkan jenis kelamin didapatkan bahwa proporsi anemia
pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki. Jika dibandingkan berdasarkan tempat
tinggal didapatkan bahwa anemia di perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan.
Tabel 3.16.9
Proporsi anemia penduduk umur ≥1 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Kelompok umur
12-59 bulan
5-14 tahun
15-24 tahun
25-34 tahun
35-44 tahun
45-54 tahun
55-64 tahun
65-74 tahun
>75 tahun
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Indonesia
Anemia (%)
28,1
26,4
18,4
16,9
18,3
20,1
25,0
34,2
46,0
18,4
23,9
20,6
22,8
21,7
Kelompok ibu hamil (bumil) merupakan salah satu kelompok yang berisiko tinggi mengalami
anemia, meskipun anemia yang dialami umumnya merupakan anemia relatif akibat perubahan
fisiologis tubuh selama kehamilan. Anemia pada populasi ibu hamil menurut kriteria anemia yang
ditentukan WHO dan pedoman Kemenkes 1999, adalah sebesar 37,1 persen dan proporsinya
hampir sama antara bumil di perkotaan (36,4%) dan perdesaan (37,8%).
256
4.
Malaria berdasarkan hasil rapid diagnostic test (RDT)
Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium sp. dan dapat bersifat
kronis karena parasit dapat bersembunyi dalam tubuh pejamu dan menimbulkan manifestasi
klinis sewaktu-waktu, ketika daya tahan tubuh pejamu menurun. Spesies parasit yang dominan
menyebabkan malaria di Indonesia sampai saat ini masih Plasmodium falciparum dan
Plasmodium vivax, yang juga diketahui dapat menimbulkan malaria berat. Malaria berat tersebut
terutama disebabkan infeksi Plasmodium falciparum karena menyerang otak dan komplikasi
lainnya, seperti kegagalan organ multipel pada kasus yang sangat parah.
Angka kesakitan malaria yang didapat pada Riskesdas 2013 ini adalah berdasarkan hasil
pemeriksaan darah penduduk dengan menggunakan alat RDT. Tabel 3.16.10 memperlihatkan
proporsi penduduk positif malaria menurut karakteristik umur, jenis kelamin, dan tempat tinggal.
Pada Riskesdas 2013 ini, proporsi penduduk dengan malaria positif mencapai 1,3 persen, atau
sekitar dua kali lipat dari angka yang diperoleh Riskesdas 2010 (0,6%). Sementara itu, pada
kelompok rentan, seperti anak-anak umur 1-9 tahun dan bumil, didapatkan angka positif malaria
yang cukup tinggi (1,9%) dibandingkan kelompok umur lainnya. Proporsi penduduk perdesaan
yang positif juga sekitar dua kali lipat lebih banyak (1,7%) dibandingkan dengan penduduk
perkotaan (0,8%).
Tabel 3.16.10
Proporsi malaria dengan pemeriksaan RDT menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Umur
1-9 tahun
10-14 tahun
≥ 15 tahun
Wanita hamil
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Indonesia
Positif malaria (%)
1,9
1,1
1,2
1,9
1,6
1,1
0,8
1,7
1,3
Tabel 3.16.11 menunjukkan proporsi malaria berdasarkan spesies parasit malaria yang
menginfeksi, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax atau infeksi campuran (P.
falciparum dan P. vivax). Walaupun secara keseluruhan besarnya infeksi P. falciparum sama
dengan P. vivax, berdasarkan pengelompokan umur, jenis kelamin dan ibu hamil didapatkan
bahwa infeksi P. falciparum terlihat lebih dominan dengan angka kesakitan pada anak berumur 19 tahun sebesar 1,2 persen dan 1,3 persen pada ibu hamil. Berdasarkan lokasi tempat tinggal
didapatkan bahwa di daerah perkotaan infeksi dengan P. vivax (0,5%) lebih tinggi dibandingkan
infeksi P. falciparum (0,3%), sebaliknya di daerah perdesaan didapatkan infeksi P. falciparum
lebih tinggi.
257
Tabel 3.16.11
Proporsi malaria dengan pemeriksaan RDT sesuai spesies parasit menurut karakteristik,
Indonesia 2013
Karakteristik
Umur
1-9 tahun
10-14 tahun
≥ 15 tahun
Ibu hamil
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Indonesia
5.
P. falciparum (%)
P. vivax (%)
Mix (%)
1,2
0,5
0,5
1,3
0,6
0,4
0,5
0,4
0,1
0,2
0,3
0,2
0,6
0,5
0,5
0,4
0,4
0,1
0,3
0,8
0,5
0,5
0,5
0,5
0,1
0,4
0,3
Pemeriksaan kimia klinis
Pada pemeriksaan kimia klinis, parameter yang didapat adalah kadar kolesterol, HDL, LDL,
trigliserida, dan kreatinin. Penentuan cut off kolesterol abnormal, HDL abnormal atau dibawah
normal, LDL direct diatas nilai optimal, dan trigliserida abnormal merujuk pada National
Cholesterol Education Program—Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III), sedangkan untuk
kreatinin serum abnormal merujuk pada International Federation of Clinical Chemistry (IFCC).
Abnormalitas kadar lipid dalam darah merupakan salah satu faktor risiko timbulnya penyakit
kardiovaskular dan metabolik, misalnya aterosklerosis, penyakit jantung koroner, stroke, sindrom
metabolik dan sebagainya. Menurut pedoman NCEP-ATP III, pemeriksaan profil lipoprotein
(kolesterol total, HDL, LDL dan trigliserida) perlu dilakukan berkala setiap 5 tahun sekali pada
setiap individu umur ≥20 tahun. Serangkaian penelitian mengindikasikan bahwa kadar LDL yang
tinggi diduga menjadi penyebab utama penyakit jantung coroner, sehingga penurunan kadar LDL
masih menjadi target utama penatalaksanaan abnormalitas kadar kolesterol. Sementara itu,
peningkatan kadar trigliserida diketahui sebagai salah satu faktor risiko independen penyakit
jantung koroner dan paling sering dijumpai pada penderita sindrom metabolik, yang menjadi
target sekunder penatalaksanaan gangguan profil lipid.
Menurut pedoman yang dikeluarkan The Royal Australian College of General Practitioners
(RACGP) edisi ke-8 terkait tindakan pencegahan penyakit metabolik dan kardiovaskular, 90%
penduduk Australia berusia 45 tahun ke atas lebih berisiko mengalami penyakit kardiovaskular
sehingga skrining profil lipid perlu dilakukan minimal 5 tahun sekali, sedangkan batasan usia
skrining tersebut untuk ras Aborigin dan penduduk asli di pulau Torres Strait adalah 35 tahun ke
atas. Berdasarkan pedoman US Preventive Services Task Force (USPSTF), pria berusia 35
tahun keatas dan wanita berusia 45 tahun keatas sangat dianjurkan menjalani skrining rutin
pemeriksaan profil lipid. USPSTF membuktikan bahwa pemeriksaan profil lipid dapat
mengidentifikasi penduduk berusia pertengahan yang berisiko mengalami penyakit jantung
koroner, tetapi belum mengalami gejala klinis. USPSTF juga membuktikan bahwa pemberian
obat penurun kadar lipid pada individu-individu berisiko tersebut bermanfaat dalam menurunkan
insidens penyakit jantung koroner tanpa menimbulkan risiko yang bermakna.
Penggolongan abnormalitas setiap parameter lipid menurut NCEP-ATP III berhubungan dengan
penilaian risiko penyakit jantung koroner dan penatalaksanaannya sesuai grup risiko tersebut.
258
4.1. Pemeriksaan kadar kolesterol total
Tabel 3.16.12 menggambarkan proporsi penduduk >15 tahun dengan kadar kolesterol total di
atas nilai normal merujuk nilai yang ditentukan pada NCEP-ATP III adalah sebesar 35,9 persen,
yang merupakan gabungan penduduk kategori borderline (nilai kolesterol total 200-239 mg/dl)
dan tinggi (nilai kolesterol total >240 mg/dl).
Penilaian berdasarkan jenis kelamin dan tempat tinggal didapatkan bahwa proporsi penduduk
dengan kadar kolesterol di atas normal pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki,
dan di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan.
Tabel 3.16.12
Proporsi kolesterol abnormal penduduk umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Kolesterol abnormal (%)
30,0
39,6
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Indonesia
39,5
32,1
35,9
4.2. Kadar high-density lipoprotein (HDL)
Tabel 3.16.13 memperlihatkan proporsi penduduk ≥15 tahun dengan kadar HDL di bawah nilai
normal menurut NCEP-ATP III. Secara keseluruhan didapatkan 22,9 persen penduduk Indonesia
memiliki kadar HDL dibawah nilai normal, dan pada laki-laki didapatkan proporsi dua kali lipat
lebih (34,8%) dibandingkan dengan perempuan (15,3%). Berdasarkan tempat tinggal didapatkan
bahwa proporsi HDL rendah di daerah perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan.
Tabel 3.16.13
Proporsi HDL rendah pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Indonesia
HDL rendah (%)
34,8
15,3
21,5
24,4
22,9
4.3. Pemeriksaan kadar low-density lipoprotein (LDL)
Tabel 3.16.14 menunjukkan proporsi penduduk >15 tahun dengan kadar LDL direct diatas nilai
optimal, dan penentuan nilai cut off merujuk pada NCEP-ATP III. Berdasarkan rujukan tersebut
didapatkan kelompok penduduk dengan kategori near optimal/above optimal (nilai LDL 100-129
mg/dl), borderline tinggi (nilai LDL 130-159 mg/dl), tinggi (nilai LDL 160-189 mg/dl) dan sangat
tinggi (≥190 mg/dl).
Pada tabel 3.16.14 disajikan proporsi penduduk dengan kategori near optimal yang digabungkan
dengan kategori borderline tinggi, sedangkan kategori tinggi digabung dengan kategori sangat
259
tinggi. Secara keseluruhan didapatkan sebagian besar penduduk Indonesia masuk dalam
kategori near optimal dan borderline (60,3%), dan lebih dari 15,9 persen penduduk dengan kadar
LDL tinggi dan sangat tinggi. Secara umum, angka proporsi kategori gabungan near optimal dan
borderline hampir sama menurut karakteristik.
Tabel 3.16.14
Proporsi LDL abnormal pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
LDL tidak optimal
Near optimal dan
Tinggi dan sangat tinggi
borderline tinggi
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Indonesia
59,2
60,9
13,4
17,6
59,8
60,7
60,3
17,9
14,0
15,9
4.4. Pemeriksaan kadar trigliserida
Tabel 3.16.15 menggambarkan proporsi penduduk ≥15 tahun dengan kadar trigliserida di atas
nilai normal menurut NCEP-ATP III, yang mencakup kategori borderline tinggi (nilai trigliserida
150-199 mg/dl), tinggi (nilai LDL 200-499 mg/dl) dan sangat tinggi (≥500 mg/dl). Pada tabel
tersebut disajikan data kadar trigliserida kategori tinggi yang digabung dengan kategori sangat
tinggi.
Secara nasional, proporsi penduduk ≥15 tahun dengan kategori borderline tinggi tidak berbeda
jauh dengan kategori gabungan tinggi-sangat tinggi, yaitu 13,0 persen versus 11,9 persen.
Menurut jenis kelamin, laki-laki yang memiliki kadar trigliserida borderline tinggi lebih banyak
(15,1%) daripada perempuan (11,7%), begitu juga untuk kategori gabungan trigliserida tinggi dan
sangat tinggi.
Tabel 3.16.15
Proporsi trigliserida abnormal pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013
Karakteristik
Trigliserida tidak optimal
Borderline tinggi
Tinggi dan sangat tinggi
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Indonesia
15,1
11,7
14,7
10,2
13,1
12,9
13,0
13,2
10,6
11,9
4.5. Pemeriksaan kadar kreatinin serum
Pemeriksaan fungsi ginjal penting dilakukan untuk mengidentifikasi adanya penyakit ginjal sedini
mungkin agar penatalaksanaan yang efektif dapat diberikan. Pengukuran fungsi ginjal terbaik
adalah dengan mengukur laju filtrasi glomerulus (LFG). Pengukuran LFG tidak dapat dilakukan
secara langsung, tetapi hasil estimasinya dapat dinilai melalui bersihan ginjal dari suatu penanda
filtrasi. Salah satu penanda tersebut yang sering digunakan dalam praktik klinis adalah kreatinin
serum.
260
Kreatinin serum tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya faktor dalam memprediksi fungsi
ginjal seseorang karena dipengaruhi banyak hal, antara lain: ras, diet, umur, jenis kelamin,
konsumsi obat dan lain-lain. Meskipun begitu, pemeriksaan kreatinin serum masih dilakukan
karena relatif mudah dilakukan dan murah. Pertambahan usia seseorang dapat menurunkan
bersihan kadar kreatinin serum, yang menggambarkan penurunan fungsi ginjal. Penurunan
tersebut dijumpai baik pada individu normal maupun pada individu dengan penyakit ginjal dan
terkait dengan stres oksidan dan peradangan yang semakin meningkat seiring proses penuaan.
Tabel 3.16.16 memperlihatkan proporsi penduduk berumur ≥15 tahun dengan kadar kreatinin
serum di atas nilai normal dengan nilai cut off yang merujuk pada IFCC. Nilai cut off kriteria
abnormal berbeda antara kedua jenis kelamin, yaitu diatas 1,18 mg/dl untuk laki-laki dan diatas
1,02 mg/dl untuk perempuan.
Menurut jenis kelamin, proporsi laki-laki dengan kadar kreatinin serum abnormal tiga kali lipat
lebih banyak (10,4%) daripada perempuan (3,1%). Angka proporsi laki-laki tersebut juga lebih
tinggi daripada angka nasional untuk kadar kreatinin serum abnormal sebesar 6,0 persen.
Proporsi penduduk dengan kadar kreatinin serum abnormal di perkotaan dan perdesaan hampir
sama.
Tabel 3.16.16
Proporsi penduduk ≥15 tahun dengan kreatinin abnormal menurut karakteristik,
Indonesia 2013
Karakteristik
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Indonesia
Kreatinin abnormal (%)
10,4
3,1
6,1
5,8
6,0
261
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. Diagnosis and classification of diabetes. Diabetes Care, vol.34,
Suppl 1, 2011.
Azwar Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Jakarta : Binarupa Aksara. 1996
Backer H and J.Hollowell. 2000. Use of iodine for water disinfection: iodine toxicity and
maximum recommended dose. Environ Healtb Perspect 108:679-684.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional. Laporan Singkat Pencapaian Millenium Development Goals
Indonesia 2009.
Badan POM RI. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI). 2008
Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan.
Survei Demografi dan Kesehatan 2002-2003. ORC Macro 2002-2003.
Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan.
Survei Demografi dan Kesehatan 2007. ORC Macro 2007.
Brown, Judith E. Et al., "Nutrition Through the Life Cycle, 2002. New York.
Buku Pedoman Pemberian Tablet Besi dan Syrup Besi bagi Petugas Kesehatan, Kemenkes
1999.
Dandona R, Dandona L. Sosioeconomic status and blindness. Br J Ophthalmol 2001;95:1494-9.
Database
Registrasi,
Badan
POM
RI.
Accessed
September
2013
from
http://www.pom.go.id/webreg/index.php/home/produk/
Departemen Kesehatan dan Badan Pusat Statistik.
2005. Integrasi Indikator Gizi Dalam
SUSENAS Tahun 2005. Program Perbaikan Gizi Masyarakat Tahun 2005. Laporan
Kegiatan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia
(Riskesdas). 2007
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia
(Riskesdas). 2010
Departemen Kesehatan RI. SKRT 1995. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI. 1997
Departemen Kesehatan, Direktorat Epim-Kesma. Program Imunisasi di Indonesia, Bagian I,
Jakarta, Depkes, 2003.
Departemen Kesehatan. 1995. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Departemen Kesehatan. 2010. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Badan
Litbangkes, Depkes RI, 2010
Departemen Kesehatan. 2007. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 Bidang
Biomedis. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2007.
Departemen Kesehatan. 2010. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 Bidang
Biomedis. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2010.
Departemen Kesehatan. Survey Kesehatan Nasional. Laporan.Depkes RI Jakarta. 2001.
Departemen Kesehatan. Survey Kesehatan Nasional. Laporan.Depkes RI Jakarta 2004.
262
Depkes RI, 2003, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWSKIA), Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Kesehatan Keluarga,
Jakarta.
Direktorat
Bina
Kesehatan
Ibu,
Factsheet
Pelayanan
KB
Pasca
Salin,
www.kesehatanibu.depkes.go.id/wp-content/.../download.php?id=56
----------- Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang
Persyaratan Kesehatan Perumahan
----------- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 1077/Menkes/Per/V/2011
----------- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.492/Menkes/Per/IV/2010 tentang
Kualitas air Minum
----------- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.027/Menkes/Per/IV/2012 tentang
Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan
Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Factsheet Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi,
Jakarta,
diunduh
dari
www.kesehatanibu.depkes.go.id/wpcontent/.../download.php?id=59
Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat
Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. 2009.
Djaja, S. et al. Statistik Penyakit Penyebab Kematian, SKRT 1995
Djoko Kartono et al. 2012. Effect of excess iodine intakes on thyroid function among school
children: multicentre study. Final Report. Joint work: Centre for Applied Health Technology
and Clinical Epidemiology and UNICEF. Jakarta.
------. 2005. World Health Assembly resolution calls for global strengthening of effort to eliminate
IDD. IDD Newsletter. Vol.21, 21:1-3.
Dunn JT, HE.Crutchfield, R.Gutekunst and AD Dunn. 1993. Methods for measuring iodine in
urine. ICCIDD/UNICEF/WHO. The Netherland.
Eguchi K, Yacoub M, Jhalani J et al. Consistency of blood pressure differences between the left
and right arms. Arch Intern Med 2007;167 (4): 388 – 93.
Færch K, Borch-Johnsen K, Holst JJ, Vaag A. Pathophysiology and aetiology of impaired fasting
glycaemia and impaired glucose tolerance: does it matter for prevention and treatment of
type 2 diabetes? Diabetologia (2009) 52:1714-23.
Foster A. Cataract and “Vision 2020-the right to sight” initiative. Br J Ophthalmol 2001;95:635-7.
Gottret, Pablo and Schieber, George. Health Financing Revisited: A Practioner’s Guide. The
World Bank. Washington DC, 2006
Hallahan, D. P., Kauffman, J. M., & Lloyd, J. W. (1996; 1999 [2nd ed.]). Introduction to learning
disabilities. Boston: Allyn & Bacon.
Hardinsyah & D. Martianto. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu
Gizi Konsumsi Pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Institut
Pertanian Bogor. Penerbit Wirasari. Jakarta.
Hardinsyah dan V. Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat
Makanan. Dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan Pangan dan Gizi di
Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta 17-19 Mei 2004.
263
Hardon A, Hodgkin C and Fresle D. How to investigate the use of medicines by consumers. WHO
and University of Amsterdam, 2004.
Hartono, I. G. 1995. Psychiatric morbidity among patients attending the Bangetayu community
health centre in Indonesia. Thesis, University of Western Australia.
ICCIDD/UNICEF/WHO. 2007. Assessment of Iodine deficiency Disorders and Monitoring Their
Elimination: A guide for programme managers. Third edition.
ICCIDD/UNICEF/WHO. 2010. Assessment of Iodine deficiency Disorders and Monitoring Their
Elimination: A guide for programme managers. France.
Institute of Medicine. 2005. Dietary Reference Intakes for Energy, Carbohydrate,Fiber, Fatty
Acids. National Academy Press.
International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems. Vol 1. Tenth
Revision (ICD-10). World Health Organization. Geneva, 1992. vol 1, p: 891 – 1010.
Kemenkes RI, 2011. “Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan”, Jakarta.
Kemenkes RI. Pemetaan Status Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia. Jakarta , 2012 hal 173.
Kemenkes RI. Profil Kesehatan Gigi dan Mulut. Jakarta 1999.
Kementerian Kesehatan, 1997, Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta, cetakan tahun 2012.
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group. KDIGO 2012 Clinical
Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Kidney
inter., Suppl. 2013; 3: 1—150.
Kramer, M.S. and Kakuma, R. The Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding. A Systematic
Review. WHO. 2001.
Kumar N. and Zheng H. Stage-specific gametocytocidal effect in vitro of the antimalaria drug
qinghaosu on Plasmodium falciparum. Parasitol. Res 1990;76:214-218.
LA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I. Laporan SKRT
2001: Studi Kesehatan Ibu dan Anak.
Lembaga Demografi UI, 2013, Dasar-Dasar Demografi, Salemba Empat, Jakarta.
Lewis, G. H., Thomas, H. V., Cannon, M. & Jones, P. B. 2001. Epidemiological methods. In:
Thornicroft, G. & Szmukler, G. (eds.) Textbook of community psychiatry. New York: Oxford
University Press.
Limburg H. Manual for rapid assessment of cataract surgical services. Switzerland: WHO
Prevention of blindness and deafness; 2001.p.1-39.
Media Informasi Obat dan Penyakit – online. http://medicastore.com/
MI/ICCIDD/UNICEF/WHO.
Netherland.
1995.
Salt Iodization for the Elimination of iodine deficiency.
MIMS Indonesia.108th. Edition. 2007.
National Heart, Lung, and Blood Institute, National Institute of Health, US. 2004. The seventh
report of the Joint Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high
blood pressure. NIH Publication No. 04-5230, August 2004. (cited 2007 Nov 2). Diakses dari
: http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/jnc7full.pdf.
National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation, Classification and Stratification. Am J Kidney Dis 39:S1-S266, 2002 (suppl 1).
264
Diakses dari http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/pdf/ckd_evaluation_classification_
stratification.pdf.
National Vascular Disease Prevention Alliance. Guidelines for the assessment of absolute
cardiovascular disease risk. 2009.
NCEP-ATP III. Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel
on Detection, Evaluation , and Treatment of High Blood Colesterol in Adults (Adult Treatment
Panel III). Executive Summary. NIH Publication No. 01-3670, 2001.
Panteghini M (on behalf of IFCC Scientific Division). Enzymatic assays for creatinine: time for
action. International Federation of Clinical Chemistry. Clin Chem Lab Med 46(4): 2008,
p.567-72.
Papua Province Health Office. Case finding and treatment malaria patients 2006. Jayapura,
Ministry of Health 2007.
Pearce EN et al. 2002. Effect of chronic iodine excess in a cohort of long-term American workers
in West Africa. J Clin Endocrinol Metab 87: 5499–5502.
Pedersen KM, P.Laurberg, S.Nohr, A.Jorgensen and S.Andersen. 1999. Iodine in drinking water
varies by more than 100-fold in Denmark, importance for iodine content of infant formulas.
European Journal of Endocrinology 140 400–403.
Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional
Petunjuk Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal, Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat, Departemen Kesehatan RI., 2004
Policy Paper for Directorate General of Public Health, June 2002
Price RN, Nosten F, Luxemburger C ter Kuile FO, Paiphun L, Chongsuphajaisiddhi T. and White
NJ. Effects of artemisinin derivatives on malaria transmissibility. Lancet 1996;347:1654-1658.
Proyek Intensifikasi Penanggulangan GAKY. 2003. Konsumsi Garam Beryodium di Rumah
Tangga. Kerjasama Badan Pusat Statistik daan Direktorat Bina Gizi Masyarakat, DepKes.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan dan UNICEF. 2008. Survei Indikator
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Desember.
Rajagukguk, Omas Bulan, 2010, Keluarga Berencana dalam Dasar-Dasar Demografi, Salemba
Empat, Jakarta.
Rencana Strategis Departemen Kesehatan 2005-2009, Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2005
Report of WHO. Definition and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate hyperglycaemia.
Geneva: WHO; 2006. P.9—43
Republik Indonesia, 2002, Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Jakarta
Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang RI No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional
Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang RI No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Tindakan
Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Republik Indonesia, 2007, Undang-Undang RI No 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 20052025
Republik Indonesia, 2009, Undang-Undang RI No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Republik Indonesia, 2012, Peraturan pemerintah no. 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan
Nasional
265
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpul Data.
Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2013
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpul Data.
Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2007
Riyadina, W,. Pola dan Determinan Cedera di Indonesia. Laporan hasil analisis lanjut data
Riskesdas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 2008.
Royal Australian College of General Practitioners (RACGP). Prevention of vascular and metabolic
disease from Guidelines for preventive activities in general practices, 8th edition. 2012.
Sandjaja, Titiek Setyowati, Sudikno. Cakupan penimbangan balita di Indonesia. Makalah
disajikan pada Simposium Nasional Litbang Kesehatan.Jakarta, 7-8 Desember 2005.
Sandjaja, Titiek Setyowati, Sudikno. Cakupan viramin A untuk bayi dan balita di Indonesia.
Prosiding temu Ilmiah dan Kongres XIII Persagi, Denpasar, 20-22 November 2005.
Seri Survei Kesehatan RT DepKes RI, ISSN: 0854-7971, No. 15 Th. 1999
Sethi D et. al., Guidelines for conducting community surveys on injuries and violence. World
Health Organization. Geneva. 2004.
Sikka District Health Office. Malaria cases in Sikka District, 2000-2006. Maumere, Ministry of
Health 2007.
T.Weiping et al. 2006. Effect of iodine intake on thyroid diseases in China. The new england
journal o f medicine, 354;26: 2783-279.
The World Health Report 2000: Health systems: Improving Performance. World Health
Organization, Geneva, 2000
The World Health report 2010: Health Systems Financing The Path To Universal Coverage.
World Health Organization, Geneva, 2010
Tim Penanggulangan GAKY Pusat. 2011. Rencana Aksi Nasional: Akselerasi Konsumsi Garam
Beriodium untuk Semua 2011-2015. Jakarta.
UNICEF. Breast Crawl. Initiation of Breastfeeding by Breast Crawl. 2007.
US Preventive Service Task Force Review. Screening for lipid disorders in adults. Selective
update of 2001. Diakses dari: http://www.uspreventiveservicestaskforce.org/uspstf08/lipid/
lipides.pdf.
WHO and UNICEF. 2007. Reaching optimal iodine nutrition in pregnant and lactating women
and young children. Joint Statement by the World Health Organization and the United
Nations Children’s Fund. Geneva.
WHO, Media Centre. Nocommunicable diseases. Updated March 2013. Access 18 November
2013. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs355/en/
WHO,UNICEF. 2006. Meeting The MDG Drinking Water and Sanitation Target: The Urban and
Rural Challenge of The Decade. WHO Press. Geneva.Hal 1- 41
WHO,UNICEF. 2013. Progress on Sanitation and Drinking Water – 2013 Update . WHO Press.
Geneva. Hal 1-38
WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity.
Vitamin and Mineral Nutrition Information System. Geneva, World Health Organization, 2011
(WHO/MNH/NHD/MNN/11.1)
266
World Health Organization. Antimalarial drug combination therapy. Report of WHO Technical
Consultation. WHO/CDS/RBM/2001.35. Geneva., WHO 2001.
World Health Organization. Guidelines for the regulatory assessment of Medicinal Products for
use in self-medication. WHO/EDM/QSM/00.1, 2000.
World Health Organization. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and
assessment of severity. Vitamin and Mineral Nutrition Information System. Geneva, WHO,
2011 (WHO/MNH/NHD/MNN/11.1).
World Health Organization.www.WHO.int/healthinfo/survey/en .2002
World Health Organization. Report of the Expert Consultation on the Optimal Duration of
Exclusive Breastfeeding. Geneva, Switzerland. 28-30 March 2013.
World Health Organization. World Malaria Report 2008. WHO/HTM/GMP/2008.1. Geneva, WHO
2008.
267
LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
SK.Menkes untuk Riskesdas 2013
Kuesioner Rumah Tangga (RKD13.RT)
Kuesioner Individu (RKD13.IND)
Formulir Biomedis
Inform consent
Estimasi Kesalahan Sampel Riskesdas 2013
7. Indikator Kesehatan Reproduksi, Riskesdas 2013 (Lampiran 3.3.1)
268