Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

RISKESDAS 2013

RISET KESEHATAN DASAR RISKESDAS 2013 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI TAHUN 2013 i KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum wr. wb. Puji syukur kepada Allah SWT selalu kami panjatkan, karena hanya dengan rahmat dan karuniaNya Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 telah dapat diselesaikan. Dalam laporan ini dimunculkan perkembangan status kesehatan masyarakat Indonesia khususnya yang berkaitan indikator yang telah disepakati pada Millenium Development Goals (MDG) untuk tingkat nasional dan tingkat provinsi. Pelaksanaan pengumpulan data Riskesdas 2013 dilakukan pada bulan Mei-Juni 2013, di 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) mengerahkan sekitar 10.000 enumerator yang menyebar di seluruh kabupaten/kota, seluruh peneliti Balitbangkes, dosen Poltekkes, Jajaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Perguruan Tinggi. Untuk data kesehatan masyarakat, berhasil dihimpun data dasar kesehatan dari 300.000 sampel rumah tangga. Untuk data biomedis, berhasil dihimpun dan diperiksa spesimen urin dan darah dari 25.000 sampel rumah tangga. Proses manajemen data mulai dari data dikumpulkan, kemudian dientri ke komputer yang dilakukan di masing-masing daerah, selanjutnya cleaning data dilakukan di Badan Litbangkes. Proses pengumpulan data dan manajemen data ini sungguh memakan waktu, stamina dan pikiran, sehingga tidaklah mengherankan bila diwarnai dengan dinamika kehidupan yang indah dalam dunia ilmiah. Laporan ini menyajikan pokok-pokok hasil Riskesdas 2013 dan beberapa indikator ditampilkan perubahannya dari hasil 2007 dan 2010. Hasil akhir Riskesdas disajikan juga secara rinci pada buku Riskesdas 2013 dalam angka. Perkenankanlah kami menyampaikan penghargaan yang tinggi serta terima kasih yang tulus atas semua kerja cerdas dan penuh dedikasi dari seluruh peneliti, litkayasa dan staf Balitbangkes, rekan sekerja dari BPS, para pakar dari Perguruan Tinggi, Para Dosen Poltekkes, Penanggung Jawab Operasional dari jajaran Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, seluruh enumerator serta semua pihak yang telah berpartisipasi mensukseskan Riskesdas. Simpati mendalam disertai doa kami haturkan kepada mereka yang mengalami kecelakaan sewaktu melaksanakan Riskesdas. Secara khusus, perkenankan ucapan terima kasih kami dan para peneliti kepada Ibu Menteri Kesehatan yang telah memberi kepercayaan kepada kita semua, anak bangsa, dalam menunjukkan karya baktinya. Kami telah berupaya maksimal, namun pasti masih banyak kekurangan, kelemahan dan kesalahan. Untuk itu kami mohon kritik, masukan dan saran, demi penyempurnaan Riskesdas dimasa yang akan datang. Billahi taufiq wal hidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Jakarta, 1 Desember 2013 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Dr. dr. Trihono, MSc i SAMBUTAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Dalam lima tahun terakhir ini Pembangunan Kesehatan telah diperkuat dengan tersedianya data dan informasi yang dihasilkan oleh Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas. Tiga Riskesdas telah dilaksanakan di Indonesia, masing–masing pada tahun 2007, 2010, dan 2013. Riskesdas 2013 berbasis komunitas, mencakup seluruh provinsi di Indonesia dan menghasilkan data serta informasi yang bermanfaat bagi para pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan. Dengan adanya data dan informasi hasil Riskesdas, maka perencanaan dan perumusan kebijakan kesehatan serta intervensi yang dilaksanakan akan semakin terarah, efektif dan efisien. Saya minta agar segenap pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan memanfaatkan data dan informasi yang dihasilkan Riskesdas dalam merumuskan kebijakan dan mengembangkan program kesehatan, demi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi–tingginya. Saya juga mengundang para pakar perguruan tinggi, para pemerhati kesehatan, para peneliti Badan Litbangkes, dan para anggota APKESI (Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia) untuk mengkaji hasil Riskesdas 2013, guna mengindentifikasi asupan bagi peningkatan Pembangunan Kesehatan dan penyempurnaan Sistem Kesehatan Nasional. Dengan demikian dapat dikembangkan tatanan kesehatan yang semakin baik bagi Rakyat Indonesia. Ucapan selamat dan apresiasi saya sampaikan kepada peneliti Badan Litbang, para enumerator, para penanggung jawab teknis Badan Litbangkes dan Poltekkes, para penanggung jawab operasional dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, para pakar dari universitas dan BPS, serta semua pihak yang terlibat dalam Riskesdas 2013 ini. Peran dan dukungan anda sangat penting dalam mendukung upaya menyempurnakan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Pembangunan Kesehatan di negeri ini. Kepada peneliti Badan Litbangkes, saya minta agar meningkatkan kinerja dan prestasinya, serta tidak jemu–jemu mencari terobosan riset, baik dalam lingkup kesehatan masyarakat, kedokteran klinis, maupun biomolekuler yang bersifat translating research into policy. Selain itu, hendaknya selalu menjunjung tinggi nilai–nilai yang berlaku, bekerja dengan integritas tinggi, bekerjasama dalam tim, selalu terbuka dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan potensinya. Semoga buku ini bermanfaat, Selamat bekerja. ii RINGKASAN EKSEKUTIF A.Ringkasan eksekutif Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 merupakan riset kedua yang mengumpulkan data dasar dan indikator kesehatan setelah tahun 2007 yang merepresentasikan gambaran wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Indikator yang dihasilkan antara lain status kesehatan dan faktor penentu kesehatan yang bertumpu pada konsep Henrik Blum. Pertanyaan penelitian yang menjadi dasar pengembangan Riskesdas 2013 adalah: 1) bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; 2) Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik di setiap provinsi, dan kabupaten/kota; 3) Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; 4) Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan; dan 5) Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan? Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian 1, dan 2 sedangkan pertanyaan penelitian 3, 4, dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk analisis lanjut. Untuk menjawab kelima pertanyaan tersebut, dirumuskan tujuan antara lain yaitu penyediaan data dasar dan status kesehatan dan faktor penentu kesehatan, baik di tingkat rumah tangga maupun tingkat individual, dengan ruang lingkup sebagai berikut: 1) Akses dan pelayanan kesehatan; 2) Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional; 3) Kesehatan lingkungan; 4) Pemukiman dan ekonomi; 5) Penyakit menular; 6) Penyakit tidak menular; 7) Cedera; 8) Gigi dan mulut; 9) Disabilitas; 10) Kesehatan jiwa; 11) Pengetahuan, sikap dan perilaku; 12) Pembiayan kesehatan; 13) Kesehatan reproduksi; 14) Kesehatan anak; 15) Pengukuran antropometri (berat badan, tinggi/panjang badan, lingkar lengan atas, lingkar perut) dan tekanan darah; 16) Pemeriksaan indera mata dan telinga; 17) Pemeriksaan status gigi permanen; 18) Pengambilan spesimen darah dan urin, garam dan air rumah tangga. Disain Riskesdas 2013 merupakan survei cross sectional yang bersifat deskriptif. Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga di 33 provinsi, 497 kabupaten/kota. Sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dirancang terpisah dengan daftar sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga Susenas 2013. Berbagai ukuran sampling error termasuk didalamnya standard error, relative standard error, confidence interval, design effect, dan jumlah sampel tertimbang menyertai setiap estimasi variabel. Riskesdas 2013 berhasil mengunjungi 11.986 blok sensus (BS) dari 12.000 BS yang ditargetkan (99,9%), 294.959 dari 300.000 RT (98,3%), dan 1.027.763 anggota RT (93,0%). Riskesdas 2013 juga mengumpulkan 49.931 spesimen darah anggota RT umur ≥ 1 tahun untuk pemeriksaan hemoglobin, malaria, glukosa, dan beberapa parameter kimia klinis. Untuk mengetahui status iodium, dilakukan tes cepat iodium dari seluruh sampel garam RT (294.959); pemeriksaan garam iodium dari sub-sampel nasional (11.430 RT); pemeriksaan air untuk melihat level iodium (3.028 RT), dan pemeriksaan iodium dalam urin pada 6.154 anak usia sekolah (6-12 tahun) dan 13.811 wanita usia subur (15-49 tahun). Keterbatasan Riskesdas 2013 mencakup: 1) non-sampling error antara lain: blok sensus yang tidak terjangkau atau terjadi konflik di wilayah tersebut, RT yang tidak dijumpai, iii anggota RT yang tidak bisa diwawancarai karena tidak ada ditempat sampai waktu pengumpulan data selesai, 2) estimasi tingkat kabupaten tidak bisa berlaku untuk semua indikator karena keterbatasan jumlah sampel untuk keperluan analisis. Seluruh hasil Riskesdas ini bermanfaat sebagai masukan dalam pengembangan kebijakan dan perencanan program kesehatan. Dengan 1060 variabel yang dikelompokkan berdasarkan dua jenis kuesioner (RKD13.RT dan RKD13.IND), maka hasil Riskesdas 2013 telah dan dapat digunakan antara lain untuk melihat kecenderungan perubahan beberapa indikator yang sama dengan Riskesdas 2007, pengembangan riset dan analisis lanjut, penelusuran hubungan kausal-efek, dan pemodelan statistik. Riskesdas menghasilkan berbagai peta masalah kesehatan dan kecenderungannya, dari bayi lahir sampai dewasa. Misalnya, prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U<-2SD) memberikan gambaran yang fluktuatif dari 18,4 persen (2007) menurun menjadi 17,9 persen (2010) kemudian meningkat lagi menjadi 19,6 persen (tahun 2013). Beberapa provinsi, seperti Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah menunjukkan kecenderungan menurun. Dua provinsi yang prevalensinya sangat tinggi (>30%) adalah NTT diikuti Papua Barat, dan dua provinsi yang prevalensinya <15 persen terjadi di Bali, dan DKI Jakarta. Masalah stunting/pendek pada balita masih cukup serius, angka nasional 37,2 persen, bervariasi dari yang terendah di Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur (<30%) sampai yang tertinggi (>50%) di Nusa Tenggara Timur. Tidak berubahnya prevalensi status gizi, kemungkinan besar belum meratanya pemantauan pertumbuhan, dan terlihat kecenderungan proporsi balita yang tidak pernah ditimbang enam bulan terakhir semakin meningkat dari 25,5 persen (2007) menjadi 34,3 persen (2013). Jika diamati dari bayi lahir, prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) berkurang dari 11,1 persen tahun 2010 menjadi 10,2 persen tahun 2013. Variasi antar provinsi sangat mencolok dari terendah di Sumatera Utara (7,2%) sampai yang tertinggi di Sulawesi Tengah (16,9%). Untuk pertama kali tahun 2013 dilakukan juga pengumpulan data panjang bayi lahir, dengan angka nasional bayi lahir pendek <48 cm adalah 20,2 persen, bervariasi dari yang tertinggi di Nusa Tenggara Timur (28,7%) dan terendah di Bali (9,6%). Ada perbaikan untuk cakupan imunisasi lengkap yang angkanya meningkat dari 41,6 persen (2007) menjadi 59,2 persen (2013), akan tetapi masih dijumpai 32,1 persen yang diimunisasi tapi tidak lengkap, serta 8,7 persen yang tidak pernah diimunisasi, dengan alasan takut panas, sering sakit, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh, tidak tahu tempat imunisasi, serta sibuk/repot. Program pelayanan kesehatan anak yang juga membaik adalah kunjungan neonatus (KN) lengkap meningkat dari 31,8 persen (2007) menjadi 39,3 persen (2013), cakupan pemberian kapsul vitamin A (dari 71,5% tahun 2007 menjadi 75,5% tahun 2013). Menyusui hanya ASI saja dalam 24 jam terakhir pada bayi umur 6 bulan meningkat dari 15,3 persen (2010) menjadi 30,2 persen (2013), demikian juga inisiasi menyusu dini <1 jam meningkat dari 29,3 persen (2010) menjadi 34,5 persen (2013). Untuk pelayanan kesehatan ibu antara lain penggunaan KB saat ini (cara modern maupun cara tradisional), dimana untuk angka nasional meningkat dari 55,8 persen (2010) menjadi 59,7 persen (2013), dengan variasi antar provinsi mulai dari yang terendah di Papua (19,8%) sampai yang tertinggi di Lampung (70,5%). Dari 59,7 persen yang menggunakan KB saat ini, 59,3 persen menggunakan cara modern: 51,9 persen penggunaan KB iv hormonal, dan 7,5 persen non-hormonal. Menurut metodenya 10,2 persen penggunaan kontrasepsi jangka panjang (MKJP), dan 49,1 persen non-MKJP. Selain penggunaan KB dikumpulkan juga cakupan pelayanan masa hamil, persalinan, dan pasca melahirkan. Dari pemetaan penyakit menular yang mencolok adalah penurunan angka period prevalence diare dari 9,0 persen tahun 2007 menjadi 3,5 persen tahun 2013. Untuk menjadi catatan penurunan prevalensi diasumsikan tahun 2007 pengumpulan data tidak dilakukan secara serentak, sementara tahun 2013 pengumpulan data dilakukan bersamaan di bulan Mei-Juni. Terjadi juga kecenderungan yang meningkat untuk period prevalence pneumonia semua umur dari 2,1 persen (2007) menjadi 2,7 persen (2013). Prevalensi TB –paru masih di posisi yang sama untuk tahun 2007 dan 2013 (0,4%). Terjadi peningkatan prevalensi hepatitis semua umur dari 0,6 persen tahun 2007 menjadi 1,2 persen tahun 2013. Penyakit tidak menular, terutama hipertensi terjadi penurunan dari 31,7 persen tahun 2007 menjadi 25,8 persen tahun 2013. Asumsi terjadi penurunan bisa bermacam-macam mulai dari alat pengukur tensi yang berbeda sampai pada kemungkinan masyarakat sudah mulai datang berobat ke fasilitas kesehatan. Terjadi peningkatan prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara (apakah pernah didiagnosis nakes dan minum obat hipertensi) dari 7,6 persen tahun 2007 menjadi 9,5 persen tahun 2013. Hal yang sama untuk stroke berdasarkan wawancara (berdasarkan jawaban responden yang pernah didiagnosis nakes dan gejala) juga meningkat dari 8,3 per1000 (2007) menjadi 12,1 per1000 (2013). Demikian juga untuk Diabetes melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1 persen (2007) menjadi 2,1 persen (2013). Terjadi penurunan prevalensi kebutaan penduduk umur ≥6 tahun dari 0,9 persen (2007) menjadi 0,4 persen (2013), sedangkan prevalensi katarak semua umur tahun 2013 adalah 1,8 persen, kekeruhan kornea 5,5 persen, serta pterygium 8,3 persen. Untuk gangguan pendengaran tercatat 2,6 persen pada penduduk ≥5 tahun dengan antar provinsi dari yang terendah di DKI Jakarta (1,6%) dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur (3,7%). Terjadi penurunan prevalensi gangguan emosional dari 11,6 persen (2007) menjadi 6,0 persen (2013). Demikian pula halnya dengan disabilitas terjadi penurunan dari 2007 dibandingkan 2013 untuk 11 item disabilitas. Angka nasional disabilitas tahun 2013 adalah 11 persen, bervariasi dari yang terendah di Papua Barat (4,6%) sampai yang tertinggi di Sulawesi Selatan (23,8%). Sedangkan untuk masalah cedera, terjadi peningkatan dari 7,5 persen (2007) menjadi 8,2 persen (2013), dengan variasi antar provinsi yang sangat lebar dari yang terendah di Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung (>4,5%), sampai yang tertinggi di NTT, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan (>12%). Perilaku merokok penduduk 15 tahun keatas masih belum terjadi penurunan dari 2007 ke 2013, cenderung meningkat dari 34,2 persen tahun 2007 menjadi 36,3 persen tahun 2013. 64,9 persen laki-laki dan 2,1 persen perempuan masih menghisap rokok tahun 2013. Ditemukan 1,4 persen perokok umur 10-14 tahun, 9,9 persen perokok pada kelompok tidak bekerja, dan 32,3 persen pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terendah. Sedangkan rerata jumlah batang rokok yang dihisap adalah sekitar 12,3 batang, bervariasi dari yang terendah 10 batang di DI Yogyakarta dan tertinggi di Bangka Belitung (18,3 batang). Untuk kesehatan lingkungan, ada kecenderungan meningkat untuk rumah tangga yang bisa akses ke sumber air minum ‘improved’ 62,0 persen tahun 2007 menjadi 66,8 persen tahun 2013, dan variasi antar provinsi yang sangat lebar dari yang terendah di Kep. Riau (24,0%) dan yang tertinggi Bali dan DI Yogyakarta (>80%). Demikian halnya untuk rumah tangga yang memiliki akses ke fasilitas sanitasi ‘improved’ juga meningkat dari 40,3 persen (2007) v menjadi 59,8 persen (2013), walaupun masih ada provinsi yang hanya 30,5 persen (NTT dan Papua). Ringkasan hasil per topik riskesdas 2013 disajikan pada tulisan berikut ini. B. Ringkasan hasil Akses pelayanan kesehatan Akses pelayanan kesehatan yang didapatkan dari Riskesdas 2013 merupakan tingkat pengetahuan RT terhadap jenis pelayanan kesehatan terdekat yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Jenis pelayanan kesehatan yang ditanyakan ada 8 jenis yaitu keberadaan: (1) RS pemerintah; (2) RS swasta; (3) puskesmas atau pustu; (4) praktek dokter atau klinik; (5) praktek bidan atau rumah bersalin; (6) posyandu; (7) poskesdes atau poskestren; dan (8) polindes. Selain data itu juga diketahui tentang keterjangkauan terhadap fasilitas pelayanan kesehatan tersebut yang dilihat dari jenis moda transportasi, waktu tempuh, dan biaya menuju fasilitas kesehatan tersebut. Secara nasional proporsi RT mengetahui keberadaan RS pemerintah sebanyak 69,6 persen, sedangkan RS swasta 53,9 persen. RT yang mengetahui keberadaan RS pemerintah tertinggi Bali (88,6%) sedangkan terendah Nusa Tenggara Timur (39,6%). Pengetahuan RT tentang keberadaan RS swasta tertinggi DI Yogyakarta (82,4%) dan terendah Sulawesi Barat (15,1%). Pengetahuan RT tentang keberadaan praktek bidan atau rumah bersalin secara nasional adalah 66,3 persen, tertinggi di Bali (85,2%) dan terendah di Papua (9,9%). Pengetahuan tentang keberadaan posyandu sebanyak 65,2 persen, tertinggi di Jawa Barat (78,2%) dan terendah di Bengkulu (26,0%). Proporsi RT yang menggunakan berbagai moda transportasi sepeda motor menuju RS pemerintah di perkotaan 53,6 persen dan perdesaan 46,5 persen. Untuk penggunaan kendaraan umum di perkotaan 28,0 persen dan perdesaan 35,5 persen. Sedangkan yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi di perkotaan 8,5 persen sedangkan di perdesaan 11,4 persen. Waktu tempuh RT menuju fasilitas kesehatan ke RS pemerintah lebih dari 60 menit sebanyak 18,5 persen, sedangkan ke RS swasta sebanyak 12,4 persen. Berbeda dengan waktu tempuh ke fasilitas kesehatan ke puskesmas atau pustu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, poskesdes atau poskestren, polindes dan posyandu hanya membutuhkan waktu 15 menit atau kurang. Biaya transportasi paling banyak sejumlah Rp.10.000,- atau kurang untuk menuju RS pemerintah (63,6%), RS swasta (71,6%), puskesmas atau pustu (91,3%), dokter praktek atau klinik ( 90,5%) dan praktek bidan atau rumah bersalin (95,2%). Demikian juga biaya transportasi ke poskesdes atau poskestren (97,4%), polindes (97,8%) dan posyandu (97,8%). Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional Bahasan farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional (yankestrad) bertujuan mengetahui proporsi RT yang menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), proporsi RT yang memiliki pengetahuan benar tentang obat generik (OG) dan sumber informasi tentang OG, serta jenis dan alasan memanfaatkan Yankestrad dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Sejumlah 103.860 atau 35,2 persen dari 294.959 RT di Indonesia menyimpan obat untuk swamedikasi, dengan proporsi tertinggi RT di DKI Jakarta (56,4%) dan terendah di Nusa Tenggara Timur (17,2%). Rerata sediaan obat yang disimpan hampir 3 macam. Dari 35,2 persen RT yang menyimpan obat, proporsi RT yang menyimpan obat keras 35,7 persen dan antibiotika 27,8 persen. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional. Terdapat 81,9 persen RT menyimpan obat keras dan 86,1 persen RT menyimpan antibiotika yang diperoleh tanpa resep. Jika status obat dikelompokkan menurut obat yang ‘sedang digunakan’, obat ‘untuk persediaan’ jika sakit, dan ‘obat sisa’ maka 32,1 persen RT menyimpan obat vi yang sedang digunakan, 47,0 persen RT menyimpan obat sisa dan 42,2 persen RT yang menyimpan obat untuk persediaan. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa dari penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Seharusnya obat sisa resep secara umum tidak boleh disimpan karena dapat menyebabkan penggunaan salah (misused) atau disalah gunakan atau rusak/kadaluarsa. RT yang pernah mendengar atau mengetahui mengenai OG secara nasional sebanyak 31,9 persen. 82 persen RT mempunyai persepsi OG sebagai obat murah, 71,9 persen obat program pemerintah, 42,9 persen OG berkhasiat sama dengan obat bermerek dan 21,0 persen OG adalah obat tanpa merek dagang. Sumber informasi tentang OG di perkotaan maupun perdesaaan paling banyak diperoleh dari tenaga kesehatan (63,1%). Oleh karena itu masih sangat perlu promosi mengenai obat generik secara strategik terutama di era Jaminan Kesehatan Nasional. Yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, keterampilan tanpa alat, dan keterampilan dengan pikiran. Sejumlah 89.753 dari 294.962 (30,4%) RT di Indonesia memanfaatkan yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan proporsi RT yang memanfaatkan yankestrad tertinggi di Kalimantan Selatan (63,1%) dan terendah di Papua Barat (5,9%). Jenis yankestrad yang dimanfaatkan oleh RT terbanyak adalah keterampilan tanpa alat (77,8%) dan ramuan (49,0%). Alasan utama RT memanfaatkan yankestrad terbanyak secara umum adalah untuk menjaga kesehatan/kebugaran, kecuali yankestrad keterampilan dengan pikiran alasan pemanfaatannya berdasarkan tradisi/kepercayaan. Hasil ini menunjukkan bahwa pemanfaatan yankestrad masih cukup banyak. Kesehatan lingkungan Air minum Proporsi RT yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di Indonesia adalah sebesar 66,8 persen (perkotaan: 64,3%; perdesaan: 69,4%). Lima provinsi dengan proporsi tertinggi untuk RT yang memiliki akses terhadap air minum improved adalah Bali (82,0%), DI Yogyakarta (81,7%), Jawa Timur (77,9%), Jawa Tengah (77,8%), dan Maluku Utara (75,3%); sedangkan lima provinsi terendah adalah Kepulauan Riau (24,0%), Kalimantan Timur (35,2%), Bangka Belitung (44,3), Riau (45,5%), dan Papua (45,7%). Berdasarkan gender, ART yang biasa mengambil air di Indonesia pada umumnya adalah laki-laki dewasa dan perempuan dewasa (masing-masing 59,5% dan 38,4%). Masih terdapat anak laki-laki (1,0%) dan anak perempuan (1,1%) berumur di bawah 12 tahun yang biasa mengambil air untuk kebutuhan minum RT. Secara kualitas fisik, masih terdapat RT dengan kualitas air minum keruh (3,3%), berwarna (1,6%), berasa (2,6%), berbusa (0,5%), dan berbau (1,4%). Berdasarkan provinsi, proporsi RT tertinggi dengan air minum keruh adalah di Papua (15,7%), berwarna juga di Papua (6,6%), berasa adalah di Kalimantan Selatan (9,1%), berbusa dan berbau adalah di Aceh (1,2%, dan 3,8%). Proporsi RT yang mengolah air sebelum diminum di Indonesia adalah sebesar 70,1 persen. Dari 70,1 persen RT yang melakukan pengolahan air sebelum diminum, 96,5 persennya melakukan pengolahan dengan cara dimasak. Cara pengolahan lainnya adalah dengan dijemur di bawah sinar mata hari/solar disinfection (2,3%), menambahkan larutan tawas (0,2%), disaring dan ditambah larutan tawas (0,2%) dan disaring saja (0,8%). Sanitasi Proporsi RT di Indonesia menggunakan fasilitas BAB milik sendiri adalah 76,2 persen, milik bersama sebanyak 6,7 persen, dan fasilitas umum adalah 4,2 persen. Masih terdapat RT yang tidak memiliki fasiltas BAB/BAB sembarangan, yaitu sebesar 12,9 persen. Lima provinsi tertinggi RT yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan adalah Sulawesi Barat (34,4%), NTB (29,3%), Sulawesi Tengah (28,2%), Papua (27,9%), dan Gorontalo (24,1%). vii Proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved (kriteria JMP WHO–Unicef) di Indonesia adalah sebesar 58,9 persen. Lima provinsi tertinggi proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved adalah DKI Jakarta (78,2%), Kepulauan Riau (74,8%), Kalimantan Timur (74,1%), Bangka Belitung (73,9%), dan Bali (75,5%). Untuk penampungan air limbah RT di Indonesia umumnya dibuang langsung ke got (46,7%). Hanya 15,5 persen yang menggunakan penampungan tertutup di pekarangan dengan dilengkapi SPAL, dan 13,2 persen menggunakan penampungan terbuka di pekarangan, dan 7,4% ditampung di luar pekarangan. Sedangkan dalam hal pengelolaan sampah RT umumnya dilakukan dengan cara dibakar (50,1%) dan hanya 24.9 persen yang diangkut oleh petugas. Cara lainnya dengan cara ditimbun dalam tanah, dibuat kompos, dibuang ke kali/parit/laut dan dibuang sembarangan. Lima provinsi dengan proporsi RT yang mengelola sampah dengan cara dibakar tertinggi adalah Gorontalo (79,5%), Aceh (70,6%), Lampung (69,9%), Riau (66,4%), dan Kalimantan Barat (64,3%). Perumahan Berdasarkan status penguasaan bangunan, sebagian besar RT di Indonesia menempati rumah milik sendiri (81,4%), sisanya kontrak, sewa, menempati milik orang lain, milik orang tua/sanak/ saudara atau menempati rumah dinas. Menurut kepadatan hunian, terdapat 13,4 persen rumah dengan kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang (padat). Untuk kondisi ruangan dalam rumah, sebagian besar ruangan-ruangan terpisah dari ruang lainnya. Begitu pula dalam hal kebersihan, sekitar tiga perempat RT kondisi ruang tidur, ruang keluarga maupun dapurnya bersih dengan pencahayaan cukup. Kurang dari 50 persen RT yang ventilasinya cukup dan dilengkapi dengan jendela yang dibuka setiap hari. Dalam penggunaan bahan bakar untuk keperluan RT, yang menggunakan bahan bakar aman (listrik, gas/elpiji) sebesar 64,1 persen, di perkotaan lebih tinggi (90,0%) dibandingkan di perdesaan (51,7%). Untuk pencegahan gigitan nyamuk dalam rumah, sebagian besar RT menggunakan obat anti nyamuk bakar (48,4%), diikuti oleh penggunaan kelambu (25,9%), repelen (16,9%), insektisida (12,2%), dan kasa nyamuk (8,0%). Sekitar 20 persen RT di Indonesia menyimpan/menggunakan pestisida/insektisida/pupuk kimia dalam rumah. Penyakit menular Penyakit menular yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 berdasarkan media/cara penularan yaitu: 1) melalui udara (Infeksi Saluran Pernafasan Akut/ISPA, pneumonia, dan TB paru); (2) melalui makanan, air dan lainnya (hepatitis, diare); (3) melalui vektor (malaria). Ditularkan melalui udara Period prevalence Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan penduduk adalah 25,0 persen. Lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur. Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA. Insiden dan prevalensi Indonesia tahun 2013 adalah 1,8 persen dan 4,5 persen. Lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan. Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2007 dan 2013 tidak berbeda (0,4%). Lima provinsi dengan TB tertinggi adalah Jawa Barat, Papua, DKI Jakarta, Gorontalo, Banten, dan Papua Barat. Penduduk yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan, 44,4 persen diobati dengan obat program. Ditularkan melalui makanan, air dan lainnya Prevalensi hepatitis tahun 2013 (1,2%) dua kali lebih tinggi dibanding tahun 2007. Lima provinsi dengan prevalensi tertinggi hepatitis adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Selatan, viii Sulawesi Tengah, dan Maluku. Pada Riskesdas 2007 Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan hepatitis Insiden dan period prevalence diare untuk seluruh kelompok umur di Indonesia adalah 3,5 persen dan 7,0 persen. Lima provinsi dengan insiden maupun period prevalen diare tertinggi adalah Papua, Sulawesi Selatan, Aceh, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah. Insiden diare pada kelompok usia balita di Indonesia adalah 10,2 persen. Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah Aceh, Papua, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, dan Banten. Ditularkan vektor Insiden Malaria penduduk Indonesia tahun 2007 adalah 2,9 persen dan tahun 2013 adalah 1,9 persen. Prevalensi malaria tahun 2013 adalah 6,0 persen. Lima provinsi dengan insiden dan prevalensi tertinggi adalah Papua, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Sulawesi Tengah dan Maluku. Penyakit tidak menular Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak ditularkan dari orang ke orang. Data PTM dalam Riskesdas 2013 meliputi : (1) asma; (2) penyakit paru obstruksi kronis (PPOK); (3) kanker; (4) DM; (5) hipertiroid; (6) hipertensi; (7) jantung koroner; (8) gagal jantung; (9) stroke; (10) gagal ginjal kronis; (11) batu ginjal; (12) penyakit sendi/rematik. Data penyakit asma/mengi/bengek dan kanker diambil dari responden semua umur, PPOK dari umur ≥30 tahun, DM, hipertiroid, hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendi/rematik/encok dan stroke ditanyakan pada responden umur ≥15 tahun. Data prevalensi penyakit ditentukan berdasarkan hasil wawancara berupa gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis dokter/tenaga kesehatan atau kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM (berdasarkan diagnosis atau gejala). Prevalensi kanker, gagal ginjal kronis, dan batu ginjal ditentukan berdasarkan informasi pernah didiagnosis dokter saja. Untuk hipertensi, selain berdasarkan hasil wawancara, prevalensi juga disampaikan berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah. Prevalensi asma, PPOK, dan kanker berdasarkan wawancara di Indonesia masing-masing 4,5 persen, 3,7 persen, dan 1,4 per mil. Prevalensi asma dan kanker lebih tinggi pada perempuan, prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki. Prevalensi DM dan hipertiroid di Indonesia berdasarkan jawaban pernah didiagnosis dokter sebesar 1,5 persen dan 0,4 persen. DM berdasarkan diagnosis atau gejala sebesar 2,1 persen. Prevalensi hipertensi pada umur ≥18 tahun di Indonesia yang didapat melalui jawaban pernah didiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,4 persen, sedangkan yang pernah didiagnosis tenaga kesehatan atau sedang minum obat hipertensi sendiri sebesar 9,5 persen. Jadi, terdapat 0,1 persen penduduk yang minum obat sendiri, meskipun tidak pernah didiagnosis hipertensi oleh nakes. Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 25,8 persen. Jadi cakupan nakes hanya 36,8 persen, sebagian besar (63,2%) kasus hipertensi di masyarakat tidak terdiagnosis. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi pada perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki. Prevalensi jantung koroner berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,5 persen, dan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5 persen. Prevalensi gagal jantung berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,13 persen, dan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per mil dan yang berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil. Jadi, sebanyak 57,9 persen penyakit stroke telah terdiagnosis oleh nakes. Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke terlihat meningkat seiring peningkatan umur responden. Prevalensi stroke sama banyak pada laki-laki dan perempuan. ix Prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2 persen dan penyakit batu ginjal sebesar 0,6 persen. Prevalensi penyakit sendi berdasarkan pernah didiagnosis nakes di Indonesia 11,9 persen dan berdasarkan diagnosis atau gejala 24,7 persen. Cedera Prevalensi cedera secara nasional adalah 8,2 persen, dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi (4,5%). Perbandingan hasil Riskesdas 2007 dengan Riskesdas 2013 menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi cedera dari 7,5 persen menjadi 8,2 persen. Penyebab cedera terbanyak, yaitu jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%). Proporsi jatuh tertinggi di Nusa Tenggara Timur (55,5%) dan terendah di Bengkulu (26,6%). Dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007, Riskesdas 2013 menunjukkan kecenderungan penurunan proporsi jatuh dari 58 persen menjadi 40,9 persen. Berdasarkan karakteristik, proporsi jatuh terbanyak pada penduduk umur <1 tahun, perempuan, tidak sekolah, tidak bekerja, di perdesaan, dan pada kuintil terbawah. Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu (56,4%) dan terendah di Papua (19,4%). Proporsi terbanyak terjadi pada umur 15-24 tahun, laki-laki, tamat SMA, status pegawai, dan kuintil teratas. Dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007, Riskesdas 2013 menunjukkan kecenderungan peningkatan proporsi cedera transportasi darat (sepeda motor dan darat lain) dari 25,9 persen menjadi 47,7 persen. Tiga urutan terbanyak jenis cedera yang dialami penduduk adalah luka lecet/memar (70,9%), terkilir (27,5%) dan luka robek (23,2%). Adapun urutan proporsi terbanyak untuk tempat terjadinya cedera, yaitu di jalan raya (42,8%), rumah (36,5%), area pertanian (6,9%) dan sekolah (5,4%). Gigi dan mulut Untuk mengetahui besarnya permasalahan di bidang kesehatan gigi dan mulut secara menyeluruh perlu dilakukan pengukuran di masyarakat dalam skala nasional. Melalui Riskesdas 2013, telah dilakukan pengumpulan data berbagai indikator kesehatan gigi dan mulut masyarakat, dengan cara wawancara dan observasi dengan menggunakan instrumen genggam (kaca mulut) dan bantuan penerangan sinar matahari atau lampu senter. Wawancara dilakukan pada responden semua umur dengan jumlah sampel keseluruhan 1.027.763 orang. Data yang didapat adalah masyarakat bermasalah gigi dan mulut, tindakan yang diterima oleh responden dari tenaga medis gigi dan EMD. Untuk perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut (umur ≥10 tahun) dengan jumlah sampel 835.256 responden, dan pemeriksaan gigi serta melihat kondisi gigi dan mulut (umur ≥12 tahun) dengan jumlah sampel 789.771 responden. Prevalensi nasional masalah gigi dan mulut adalah 25,9 persen, sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi masalah gigi dan mulut diatas angka nasional. Secara keseluruhan kemampuan untuk mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi sebesar 8,1 persen (EMD). Ditemukan EMD meningkat pada kelompok umur yang lebih tinggi umur 45-54 tahun meningkat (EMD:10,6 dibanding EMD umur 12 tahun: 7,0), EMD di perkotaan (8,6) lebih besar dari EMD perdesaan (7,5), dan EMD meningkat pada status ekonomi lebih tinggi (EMD teratas: 9,0). Prevalensi nasional menyikat gigi setiap hari adalah 94,2 persen sebanyak 15 provinsi berada dibawah prevalensi nasional. Untuk perilaku benar dalam menyikat gigi berkaitan dengan faktor gender, ekonomi, dan daerah tempat tinggal. Ditemukan sebagian besar penduduk Indonesia menyikat gigi pada saat mandi pagi maupun mandi sore, (76,6%). Menyikat gigi dengan benar adalah setelah makan pagi dan sebelum tidur malam, untuk Indonesia ditemukan hanya 2,3 persen. Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi.Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari indeks D-T, M-T, dan F-T. Indeks DMF-T ini meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Prevalensi nasional Indeks DMF-T adalah 4,6. Sebanyak 15 provinsi memiliki x prevalensi diatas prevalensi nasional. Indeks DMF-T lebih tinggi pada perempuan (5,0) dibanding laki-laki (4,1). Namun untuk kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi kuintil, semakin rendah nilai DMF-T, hal ini terlihat pada kuintil indeks kepemilikan terbawah nilai DMF-T nya 5,1, sedangkan untuk yang teratas nilai DMF-T nya lebih rendah (3,9%). Disabilitas Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya tentang pengalaman hidup penduduk karena kondisi kesehatan termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Setiap orang memiliki peran tertentu, seperti bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang diperlukan. Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk mendapatkan informasi sejauh mana seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial lain, hal yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin (WHO, 2010). Informasi besaran masalah disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas dan mengevaluasi efektivitas dan kinerja program kesehatan. Riskesdas 2013 menunjukkan 83 persen penduduk Indonesia disability free. Interpretasi lain adalah penduduk Indonesia cenderung tidak menganggap kesulitan sangat ringan yang dialami dalam melakukan aktivitas rutin, sebagai hal yang menyulitkan. Menggunakan komponen pembanding Riskesdas 2007, prevalensi disabilitas 11 persen. Status disabilitas berbanding lurus dengan umur, namun berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan. Kelompok nelayan dan non pekerja merupakan kelompok dengan disabilitas tertinggi. Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan prevalensi disabilitas tertinggi, DIY terendah. Kesehatan jiwa Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Proporsi RT yang pernah memasung ART gangguan jiwa berat 14,3 persen dan terbanyak pada penduduk yang tinggal di perdesaan (18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia 6,0 persen. Provinsi dengan prevalensi ganguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur. Pengetahuan, sikap, dan perilaku Pengetahuan, sikap dan perilaku dikumpulkan pada penduduk kelompok umur 10 tahun atau lebih. Jumlah responden adalah 835.258 orang. Berdasarkan analisis kecenderungan secara rerata nasional, terdapat peningkatan proporsi penduduk berperilaku cuci tangan secara benar pada tahun 2013 (47,0%) dibandingkan tahun 2007 (23,2%). Demikian pula dengan perilaku BAB benar terjadi peningkatan dari 71,1 persen menjadi 82,6 persen. Peningkatan tertinggi proporsi penduduk berperilaku cuci tangan benar terjadi di Bangka Belitung dengan besar kenaikan 35,0 persen (20,6% pada tahun 2007 menjadi 55,6% pada 2013). Peningkatan terbesar proporsi penduduk berperilaku BAB benar terjadi di Sumatera Barat sebesar 14,8 persen. Rerata batang rokok yang dihisap perhari penduduk umur ≥10 tahun di Indonesia adalah 12,3 batang (setara satu bungkus). Jumlah rerata batang rokok terbanyak yang dihisap ditemukan di Bangka Belitung (18 batang). Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari pada umur 30-34 tahun sebesar 33,4 persen, pada laki-laki lebih banyak di bandingkan perokok perempuan (47,5% banding 1,1%). Berdasarkan jenis pekerjaan, petani/nelayan/buruh adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai proporsi terbesar (44,5%) dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya. Proporsi perokok setiap hari tampak cenderung menurun pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi. Proporsi penduduk umur ≥15 tahun yang merokok dan mengunyah tembakau cenderung meningkat dalam Riskesdas (34,2%), Riskesdas 2010 (34,7%) dan Riskesdas 2013 (36,3%). Proporsi tertinggi xi pada tahun 2013 adalah Nusa Tenggara Timur (55,6%). Dibandingkan dengan penelitian Global Adults Tobacco Survey (GATS) pada penduduk kelompok umur ≥15 tahun, proporsi perokok laki-laki 67,0 persen dan pada Riskesdas 2013 sebesar 64,9 persen, sedangkan pada perempuan menurut GATS adalah 2,7 persen dan 2,1 persen menurut Riskesdas 2013. Proporsi mengunyah tembakau menurut GATS 2011 pada laki-laki 1,5 persen dan perempuan 2,7 persen, sementara Riskesdas 2013 menunjukkan proporsi laki-laki 3,9 persen dan 4,8 persen pada perempuan. Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 26,1 persen. Terdapat 22 provinsi dengan penduduk aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada di atas rerata Indonesia. Proporsi penduduk Indonesia dengan perilaku sedentari ≥6 jam perhari 24,1 persen. Lima provinsi diatas rerata nasional adalah Riau (39,1%), Maluku Utara (34,5%), Jawa Timur (33,9%), Jawa Barat (33,0%), dan Gorontalo (31,5%). Proporsi rerata nasional perilaku konsumsi kurang sayur dan atau buah 93,5 persen, tidak tampak perubahan dibandingkan tahun 2007. Perilaku konsumsi makanan berisiko pada penduduk umur ≥10 tahun paling banyak konsumsi bumbu penyedap (77,3%), diikuti makanan dan minuman manis (53,1%), dan makanan berlemak (40,7%). Satu dari sepuluh penduduk mengonsumsi mi instan ≥1 kali per hari. Provinsi yang mengonsumsi mi instan ≥1 kali per hari diatas rerata nasional adalah Sulawesi Tenggara (18,4%), Sumatera Selatan (18,2%), Sulawesi Selatan (16,9%), Papua (15,9%), Kalimantan Tengah (15,6%), Maluku (14,8%) dan Kalimantan Barat (14,8%). Analisis PHBS meliputi 294.959 RT (220.895 RT tanpa balita dan 74.064 RT memiliki balita). Proporsi nasional RT dengan PHBS baik adalah 32,3 persen, dengan proporsi tertinggi DKI Jakarta (56,8%) dan proporsi terendah Papua (16,4%). Terdapat 20 provinsi yang masih memiliki RT dengan PHBS baik dibawah proporsi nasional. Proporsi nasional RT PHBS baik pada tahun 2007 adalah sebesar 38,7 persen. Pembiayaan Kepemilikan Jaminan Kesehatan Secara nasional, sebanyak 50,5 persen penduduk Indonesia belum memiliki jaminan kesehatan. Askes/ ASABRI dimiliki oleh sekitar 6 persen penduduk, Jamsostek 4,4 persen, asuransi kesehatan swasta dan tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 1,7 persen. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (28,9%) dan Jamkesda (9,6%). Provinsi Aceh adalah provinsi yang paling tinggi cakupan kepemilikan jaminan diantara provinsi lain, yaitu sekitar 96,6 persen penduduk atau hanya 3,4 persen yang tidak punya jaminan apapun. Sebaliknya DKI Jakarta menjadi provinsi dengan cakupan kepemilikan jaminan kesehatan yang paling rendah dan 69,1 persen penduduknya tidak punya jaminan. Menurut kuintil indeks kepemilikan, Jamkesmas dimiliki oleh kelompok penduduk terbawah, menengah bawah dan menengah, masing-masing sebesar 50,3 persen, 43,0 persen dan 32,1 persen. Akan tetapi Jamkesmas dimiliki juga pada penduduk menengah atas (18,8%) dan teratas (8,9%). Mengobati sendiri Proporsi penduduk Indonesia yang mengobati sendiri dalam satu bulan terakhir dengan membeli obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep dokter adalah 26,4 persen dengan rerata (median) mengeluarkan uang sebanyak Rp.5.000. Gorontalo merupakan provinsi tertinggi (38,1%) dengan pengeluaran sebesar Rp.2.000. Sebaliknya, Papua merupakan provinsi terendah (8,7%) dengan rerata pengeluaran terbesar untuk mengobati sendiri (Rp.20.000). xii Rawat jalan Sebanyak 10,4 persen penduduk Indonesia dalam satu bulan terakhir melakukan rawat jalan dan biaya rerata yang dikeluarkan sebesar Rp.35.000. DI Yogyakarta merupakan provinsi tertinggi yang melakukan rawat jalan (16,3%) dengan biaya rerata sebesar Rp.35.000. Bengkulu merupakan provinsi terendah dalam pemanfaatan fasilitas rawat jalan (3,5%) dengan pengeluaran rerata sebesar Rp.35.000. Rerata pengeluaran terbesar rawat jalan Rp.100.000 di Papua. Sumber biaya rawat jalan secara keseluruhan untuk Indonesia masih didominasi (67,9%) pembiayaan yang dibayar oleh pasien sendiri atau keluarga (out of pocket), kemudian berturut-turut disusul pembiayaan oleh Jamkesmas (14,2%) dan Jamkesda (5,8%), sedangkan yang terendah adalah pembiayaan oleh asuransi swasta (0,7%). Sumber biaya rawat jalan dari Askes/ASABRI sebesar 3,2 persen, Jamsostek 2,0 persen, tunjangan kesehatan perusahaan 1,8 persen, sumber lainnya 3,3 persen dan sebanyak 1,1 persen dibiayai lebih dari satu sumber. Rawat inap Dalam satu tahun terakhir 2,3 persen penduduk Indonesia melakukan rawat inap dengan biaya rerata sebesar Rp.1.700.000. Penduduk DI Yogyakarta ternyata selain tertinggi dalam pemanfaatan rawat jalan juga tertinggi untuk pemanfaatan rawat inap yaitu sebesar 4,4 persen dengan biaya rerata dalam satu tahun terakhir sebesar Rp.2.000.000 disusul oleh Sulawesi Selatan (3,4%) dengan biaya rerata sebesar Rp.800.000. Penduduk Bengkulu, Lampung, dan Kalimantan Barat merupakan tiga provinsi terendah untuk pemanfaatan rawat inap yaitu dengan besaran yang sama sebesar 0,9 persen. Besaran biaya diantara tiga provinsi tersebut berbeda-beda, Bengkulu sebesar Rp.1.000.000, Lampung Rp.2.000.000 dan Kalimantan Barat sebesar Rp.1.450.000. Pengeluaran untuk rawat inap terbesar adalah di DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp.5.000.000. Sumber biaya yang dipakai untuk rawat inap pada semua fasilitas kesehatan di Indonesia masih didominasi oleh biaya sendiri (out of pocket), yaitu sekitar 53,5 persen. Selanjutnya berturut-turut adalah Jamkesmas 15,6 persen, Jamkesda 6,4 persen, Askes/ASABRI 5,4 persen, sebanyak 4,9 persen penduduk indonesia yang rawat inap menggunakan lebih dari satu sumber biaya dan 4,8 persen dari sumber lainnya. Sementara itu sumber biaya untuk rawat inap dari Jamsostek digunakan oleh 3,5 persen RT, 1,8 persen dari asuransi kesehatan swasta dan 4,0 persen dari tunjangan kesehatan perusahaan. Kesehatan reproduksi Blok Kesehatan Reproduksi yang dikumpulkan bertujuan untuk menyediakan informasi cakupan pelayanan kesehatan ibu terkait dengan indikator MDG yaitu pelayanan KB, pelayanan kesehatan selama masa hamil sampai masa nifas. Permasalahan kesehatan reproduksi di mulai dengan adanya perkawinan/hidup bersama. Di antara perempuan 10-54 tahun, 2,6 persen menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9 persen menikah pada umur 15-19 tahun. Menikah pada usia dini merupakan masalah kesehatan reproduksi karena semakin muda umur menikah semakin panjang rentang waktu untuk bereproduksi. Angka kehamilan penduduk perempuan 10-54 tahun adalah 2,68 persen, terdapat kehamilan pada umur kurang 15 tahun, meskipun sangat kecil (0,02%) dan kehamilan pada umur remaja (15-19 tahun) sebesar 1,97 persen. Apabila tidak dilakukan pengaturan kehamilan melalui program keluarga berencana (KB) akan mempengaruhi tingkat fertilitas di Indonesia. Pelaksanaan program keluarga berencana dinyatakan dengan pemakaian alat/cara KB saat ini. Pemakaian alat KB modern yang dinyatakan dengan CPR modern di antara WUS (wanita usia kawin 15-49 tahun) merupakan salah satu dari indikator universal akses kesehatan reproduksi. Hasil Riskesdas 2013, pemakaian cara/alat KB di Indonesia sebesar 59,7 persen dan CPR modern sebesar 59,3 persen. Diantara penggunaan KB modern tersebut, sebagian besar menggunakan cara KB suntikan (34,3%), dan merupakan penyumbang terbesar pada kelompok non MKJP dan xiii jenis hormonal. Pelayanan KB di Indonesia sebagian besar diberikan oleh bidan (76,6%) di fasilitas pelayanan swasta yaitu tempat praktek bidan (54,6%). Setiap ibu hamil menghadapi risiko terjadinya kematian, sehingga salah satu upaya menurunkan tingkat kematian ibu adalah meningkatkan status kesehatan ibu hamil sampai bersalin melalui pelayanan ibu hamil sampai masa nifas. Pada Riskesdas 2013, indikator cakupan pelayanan ibu hamil sampai masa nifas diperoleh dari informasi riwayat kehamilan berdasarkan kelahiran yang terjadi pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara. Pemeriksaan kehamilan sangat penting dilakukan oleh semua ibu hamil untuk mengetahui pertumbuhan janin dan kesehatan ibu. Hampir seluruh ibu hamil di Indonesia (95,4%) sudah melakukan pemeriksaan kehamilan (K1) dan frekuensi kehamilan minimal 4 kali selama masa kehamilannya adalah 83,5 persen. Adapun untuk cakupan pemeriksaan kehamilan pertama pada trimester pertama adalah 81,6 persen dan frekuensi ANC 1-1-2 atau K4 (minimal 1 kali pada trimester pertama, minimal 1 kali pada trimester kedua dan minimal 2 kali pada trimester3) sebesar 70,4 persen. Tenaga yang paling banyak memberikan pelayanan ANC adalah bidan (88%) dan tempat pelayanan ANC paling banyak diberikan di praktek bidan (52,5%). Proses persalinan dihadapkan pada kondisi kritis terhadap masalah kegawatdaruratan persalinan, sehingga sangat diharapkan persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Hasil Riskesdas 2013, persalinan di fasilitas kesehatan adalah 70,4 persen dan masih terdapat 29,6 persen di rumah/lainnya. Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten (dokter spesialis, dokter umum dan bidan) mencapai 87,1 persen, namun masih bervariasi antar provinsi. Pelayanan kesehatan masa nifas dimulai dari 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Terdapat 81,9 persen ibu bersalin yang mendapat pelayanan nifas pertama pada periode 6 jam sampai 3 hari setelah melahirkan (KF1), periode 7 sampai 28 hari setelah melahirkan (KF2) sebesar 51,8 persen dan periode 29 sampai 42 hari setelah melahirkan (KF3) sebesar 43,4 persen. Akan tetapi angka nasional untuk KF lengkap yang dicapai baru sebesar 32,1 persen. Ibu bersalin yang mendapat pelayanan KB pasca bersalin mencapai 59,6 persen. Kesehatan anak Untuk kesehatan anak, cakupan imunisasi dasar lengkap semakin meningkat jika dibandingkan tahun 2007, 2010 dan 2013 yaitu menjadi 58,9 persen di tahun 2013. Persentase tertinggi di DI Yogyakarta (83,1%) dan terendah di Papua (29,2%). Cakupan pemberian vitamin A meningkat dari 71,5 persen (2007) menjadi 75,5 persen (2013). Persentase tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Barat (89,2%) dan yang terendah di Sumatera Utara (52,3%). Kunjungan neonatus pada 6-48 jam pertama (KN1) telah dilakukan pada 71,3 persen bayi yang dilahirkan hampir tidak ada perbedaan dengan hasil Riskesdas 2010 (71,4%). Walaupun KN1 meningkat dibanding 2010 (31,8%), tetapi kunjungan neonatus lengkap sampai dengan 28 hari hanya dilakukan oleh 39,3 persen bayi lahir. Informasi tentang berat badan lahir dan panjang badan lahir anak balita didasarkan kepada dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota RT (buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak lainnya). Sebanyak 52,6 persen balita dengan catatan berat badan lahir dan 45 persen balita dengan catatan panjang badan lahir. Masih terdapat 10,2 persen bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), yaitu kurang dari 2.500 gram. Persentase ini menurun dari Riskesdas 2010 (11,1%). Persentase bayi dengan panjang badan lahir pendek (<48 cm) cukup tinggi, yaitu sebesar 20,2 persen. Jika dikombinasikan antara BBLR dan panjang badan lahir pendek, maka terdapat 4,3 persen balita yang BBLR dan juga memiliki panjang badan lahir pendek dan prevalensi tertinggi di Papua (7,6%), sedangkan yang terendah di Maluku (0,8%). Pemantauan pertumbuhan balita yang dilakukan setiap bulan menunjukkan bahwa persentase balita umur 6-59 bulan yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir cenderung meningkat dari 25,5 persen (2007), 23,8 persen (2010) menjadi 34,3 persen (2013). xiv Persentase pemberian ASI saja dalam 24 jam terakhir dan tanpa riwayat diberikan makanan prelakteal pada umur 6 bulan sebesar 30,2 persen. Inisiasi menyusu dini kurang dari satu jam setelah bayi lahir adalah 34,5 persen, tertinggi di Nusa Tenggara Barat, yaitu sebesar 52,9 persen dan terendah di Papua Barat (21,7%). Riskesdas 2013 menyajikan informasi prevalensi anak usia 24-59 bulan yang mengalami kecacatan. Kecacatan yang dimaksud adalah semua kecacatan yang dapat diobservasi, termasuk karena penyakit atau trauma/kecelakaan. Data ini menunjukkan bahwa persentase anak tuna wicara dan tuna netra meningkat hampir 2 kali lipat dibandingkan hasil Riskesdas 2010. Persentase cara perawatan tali pusar pada anak usia 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa meningkat dari 2010 (11,6%) menjadi 24,1 persen di 2013, tetapi yang diberi betadine/alkohol masih lebih besar (68,9%). Persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun sebesar 51,2 persen, tertinggi di Gorontalo (83,7%), dan terendah di Nusa Tenggara Timur (2,7%). Kesehatan indera Prevalensi kebutaan nasional sebesar 0,4 persen, jauh lebih kecil dibanding prevalensi kebutaan tahun 2007 (0,9%). Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas tertinggi ditemukan di Gorontalo (1,1%) diikuti Nusa Tenggara Timur (1,0%), Sulawesi Selatan, dan Bangka Belitung (masing-masing 0,8%). Prevalensi kebutaan terendah ditemukan di Papua (0,1%) diikuti Nusa Tenggara Barat dan DI Yogyakarta (masing-masing 0,2%). Prevalensi severe low vision penduduk umur 6 tahun keatas secara nasional sebesar 0,9 persen. Prevalensi severe low vision tertinggi terdapat di Lampung (1,7%), diikuti Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat (masing-masing 1,6%). Provinsi dengan prevalensi severe low vision terendah adalah DI Yogyakarta (0,3%) diikuti oleh Papua Barat dan Papua (masing-masing 0,4%). Prevalensi pterygium, kekeruhan kornea, dan katarak secara nasional berturut-turut adalah 8,3 persen; 5,5 persen; dan 1,8 persen. Prevalensi pterygium tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara Barat (17,0%). Provinsi DKI Jakarta mempunyai prevalensi pterygium terendah, yaitu 3,7 persen, diikuti oleh Banten 3,9 persen. Prevalensi kekeruhan kornea tertinggi juga ditemukan di Bali (11,0%), diikuti oleh DI Yogyakarta (10,2%) dan Sulawesi Selatan (9,4%). Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Papua Barat (2,0%) diikuti DKI Jakarta (3,1%). Prevalensi katarak tertinggi di Sulawesi Utara (3,7%) diikuti oleh Jambi (2,8%) dan Bali (2,7%). Prevalensi katarak terendah ditemukan di DKI Jakarta (0,9%) diikuti Sulawesi Barat (1,1%). Tiga alasan utama penderita katarak belum dioperasi adalah karena ketidaktahuan (51,6%), ketidakmampuan (11,6%), dan ketidakberanian (8,1%). Prevalensi ketulian Indonesia sebesar 0,09 persen dan prevalensi tertinggi ditemukan di Maluku (0,45%), sedangkan yang terendah di Kalimantan Timur (0,03%). Prevalensi gangguan pendengaran secara nasional sebesar 2,6 persen dan prevalensi tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (3,7%), sedangkan yang terendah di Banten (1,6%). Biomedis Pemeriksaan spesimen biomedis dimaksud untuk mengetahui status iodium dan konfirmasi penyakit menular dan tidak menular. Status iodium dinilai dari kadar iodium dalam air minum dan garam RT, serta urin anak umur 6-12 tahun dan WUS 15-49 tahun. Proporsi sumber air minum RT yang tidak mengandung iodium 40,1 persen, air mengandung rendah iodium 52,0 persen, sedangkan air mengandung iodium tinggi 0,4 persen. Proporsi kadar iodium dalam garam RT hasil metoda titrasi yang tidak beriodium 1,0 persen, mengandung kurang iodium 50,8 persen, sedangkan garam kelebihan iodium adalah 5,0 persen. Proporsi RT mengonsumsi xv garam mengandung cukup iodium adalah 77,1 persen, garam mengandung kurang iodium 14,8 persen dan garam tidak mengandung iodium 8,1 persen. Pada anak umur 6–12 tahun didapatkan nilai ekskresi iodium dalam urin (EIU) risiko kekurangan iodium 14,9 persen, cukup iodium 29,9 persen, mengandung iodium lebih dari cukup 24,8 persen dan risiko kelebihan iodium 30,4 persen. Pada wanita usia subur (15–49 tahun) didapatkan nilai ekskresi iodium dalam urin: (1) WUS risiko kekurangan iodium 22,1 persen, cukup iodium 30,6 persen, mengandung iodium lebih dari cukup 22,4 persen dan risiko kelebihan iodium 24,9 persen; (2) pada ibu hamil risiko kekurangan iodium 24,3 persen, cukup iodium 36,9 persen, mengandung iodium lebih dari cukup 17,6 persen, dan risiko kelebihan iodium 21,3 persen; (3) pada ibu menyusui risiko kekurangan iodium 23,9 persen, cukup iodium 36,9 persen, mengandung iodium lebih dari cukup 21,1 persen dan risiko kelebihan iodium 18,1 persen. Proporsi penduduk ≥15 tahun dengan diabetes mellitus (DM) adalah 6,9 persen. Secara nasional, proporsi anemia penduduk ≥1 tahun adalah 21,7 persen, pada balita 12-59 bulan adalah 28,1 persen, dan ibu hamil sebesar 37,1 persen. Angka kesakitan malaria penduduk >1 tahun dengan pemeriksaan RDT adalah 1,3 persen dengan infeksi P. falciparum yang dominan dibandingkan spesies lainnya. Pada penduduk >15 tahun didapatkan kolesterol total abnormal 35,9 persen, HDL rendah 22,9 persen, LDL tidak optimal dengan kategori gabungan near optimal-borderline tinggi 60,3 persen dan kategori tinggi-sangat tinggi 15,9 persen, trigliserida abnormal dengan kategori borderline tinggi 13,0 persen dan kategori tinggi-sangat tinggi 11,9 persen, serta kreatinin serum abnormal 6,0 persen xvi DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...................................................................Error! Bookmark not defined. RINGKASAN EKSEKUTIF........................................................................................................ iii DAFTAR ISI............................................................................................................................... xvii DAFTAR TABEL ........................................................................................................................ xxi DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. xxvi DAFTAR SINGKATAN ......................................................................................................... xxxiii BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................................................... 1 1.2. Ruang Lingkup Riskesdas 2013 ................................................................................. 2 1.3. Pertanyaan Penelitian ................................................................................................... 2 1.4. Tujuan Riskesdas 2013 ................................................................................................ 2 1.5. Kerangka Pikir ................................................................................................................ 3 1.6. Alur Pikir Riskesdas 2013 ............................................................................................ 4 1.7. Pengorganisasian Riskesdas 2013 ............................................................................ 6 1.8. Manfaat Riskesdas 2013 .............................................................................................. 6 1.9. Persetujuan Etik Riskesdas 2013 ............................................................................... 7 BAB 2. METODOLOGI RISKESDAS .................................................................................. 8 2.1. Metode Sampling ........................................................................................................... 8 2.2. Populasi dan Sampel .................................................................................................. 10 2.3. Penjaminan mutu data Riskesdas 2013 .................................................................. 15 2.4. Variabel ......................................................................................................................... 22 2.5. Alat pengumpul data dan cara pengumpulan data ................................................ 23 2.6. Manajemen data .......................................................................................................... 24 2.7. Keterbatasan data ....................................................................................................... 26 2.8. Pengolahan dan analisis data ................................................................................... 26 2.9. Estimasi kesalahan sampling (sampling error) ....................................................... 26 2.10. Pengembangan kuintil indeks kepemilikan ............................................................. 27 BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 32 3.1. Akses dan Pelayanan Kesehatan ............................................................................. 33 3.1.1.Keberadaan pelayanan kesehatan ........................................................................ 33 3.1.2. Keterjangkauan fasilitas kesehatan ..................................................................... 35 xvii 3.2. Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional ..................................................... 40 3.2.1. Obat dan Obat Tradisional (OT) di Rumah tangga ............................................ 40 3.2.2. Pengetahuan Rumah tangga tentang Obat Generik (OG) ............................... 44 3.2.3. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) ....................... 47 3.3. Kesehatan Lingkungan ............................................................................................... 50 3.3.1. Air minum ................................................................................................................. 50 3.3.2. Sanitasi ..................................................................................................................... 55 3.3.3. Perumahan ............................................................................................................... 59 3.4. Penyakit Menular ......................................................................................................... 65 3.4.1. Penyakit yang ditularkan melalui Udara .............................................................. 65 3.4.2. Penyakit yang ditularkan melalui Makanan, Air dan lainnya ............................ 71 3.4.3. Penyakit yang ditularkan oleh Vektor (Malaria) .................................................. 76 3.5. Penyakit Tidak Menular .............................................................................................. 83 3.5.1. Asma ......................................................................................................................... 85 3.5.2. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) ............................................................. 85 3.5.3. Kanker ....................................................................................................................... 85 3.5.4. Diabetes melitus ...................................................................................................... 87 3.5.5. Penyakit hipertiroid ................................................................................................. 88 3.5.6. Hipertensi/Tekanan darah tinggi ........................................................................... 88 3.5.7. Penyakit Jantung ..................................................................................................... 90 3.5.8. Stroke ........................................................................................................................ 91 3.5.9. Penyakit ginjal .......................................................................................................... 94 3.5.10. Penyakit Sendi/Rematik/Encok........................................................................... 94 3.5.11. Kecenderungan PTM 2007-2013 ....................................................................... 97 3.6. Cedera ......................................................................................................................... 100 3.6.1. Prevalensi Cedera dan penyebabnya ................................................................ 101 3.6.2. Jenis cedera ........................................................................................................... 104 3.6.3. Tempat Terjadinya Cedera .................................................................................. 107 3.7. Kesehatan Gigi dan Mulut ........................................................................................ 110 3.7.1. Effective Medical Demand ................................................................................... 110 3.7.2. Perilaku menyikat gigi penduduk umur ≥ 10 tahun .......................................... 114 3.7.3. Indeks DMF-T dan Komponen D-T, M-T, F-T .................................................. 118 3.8. Status Disabilitas ....................................................................................................... 120 3.9. Kesehatan Jiwa .......................................................................................................... 125 xviii 3.9.1. Gangguan Jiwa Berat ........................................................................................... 125 3.9.2. Gangguan Mental Emosional .............................................................................. 127 3.10. Pengetahuan, sikap dan perilaku ........................................................................ 130 3.10.1. Perilaku Higienis ................................................................................................. 130 3.10.2. Penggunaan Tembakau..................................................................................... 132 3.10.3. Perilaku aktivitas fisik ......................................................................................... 139 3.10.4. Perilaku konsumsi sayur dan buah .................................................................. 142 3.10.5. Pola konsumsi makanan berisiko ..................................................................... 143 3.10.6. Konsumsi makanan olahan dari tepung .......................................................... 146 3.10.7. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)......................................................... 147 3.11. Pembiayaan kesehatan ........................................................................................ 151 3.11.1. Kepemilikan jaminan kesehatan .................................................................. 151 3.11.2. Mengobati sendiri ........................................................................................... 154 3.11.3. Rawat Jalan ..................................................................................................... 155 3.11.4. Rawat inap ....................................................................................................... 157 3.11.5. Sumber pembiayaan ...................................................................................... 159 3.12. Kesehatan reproduksi ........................................................................................... 163 3.12.1. Kehamilan ............................................................................................................ 164 3.12.2. Pelayanan program Keluarga Berencana (KB) .............................................. 164 3.12.3. Pelayanan kesehatan masa kehamilan, persalinan, dan nifas ................... 169 3.13. Kesehatan Anak ..................................................................................................... 182 3.13.1. Berat dan panjang badan lahir .......................................................................... 182 3.13.2. Kecacatan ............................................................................................................ 188 3.13.3. Status Imunisasi .................................................................................................. 189 3.13.4. Kunjungan neonatus........................................................................................... 196 3.13.5. Perawatan tali pusar ........................................................................................... 200 3.13.6. Pola pemberian ASI ............................................................................................ 202 3.13.7. Cakupan vitamin A .............................................................................................. 204 3.13.8. Pemantauan pertumbuhan ................................................................................ 205 3.13.9. Sunat Perempuan ............................................................................................... 206 3.14. Status Gizi ............................................................................................................... 209 3.14.1. Status gizi anak balita ........................................................................................ 209 3.14.2. Status gizi anak umur 5-18 tahun..................................................................... 216 3.14.3. Status gizi dewasa .............................................................................................. 223 xix 3.15. Kesehatan Indera................................................................................................... 231 3.15.1 Kesehatan mata ................................................................................................... 231 3.15.2 Kesehatan telinga ................................................................................................ 243 3.16. Pemeriksaan biomedis .......................................................................................... 247 3.16.1 Rekrutmen sampel biomedis .............................................................................. 247 3.16.2. Status Iodium ....................................................................................................... 249 3.16.3. Hasil pemeriksaan spesimen darah ................................................................. 253 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 262 LAMPIRAN ................................................................................................................................ 268 xx DAFTAR TABEL Tabel 2.2.1 Tabel 2.2.2 Tabel 2.2.3 Tabel 2.3.1 Tabel 2.3.2 Tabel 2.3.3 Tabel 2.10.1 Tabel 2.10.2 Tabel 2.10.3 Tabel 2.10.4 Tabel 2.10.5 Tabel 3.2.1 Tabel 3.2.2 Tabel 3.2.3 Tabel 3.2.4 Tabel 3.2.5 Tabel 3.2.6 Tabel 3.2.7 Tabel 3.2.8 Tabel 3.2.9 Tabel 3.2.10 Tabel 3.2.11 Tabel 3.2.12 Tabel 3.4.1 Tabel 3.4.2 Tabel 3.4.3 Tabel 3.4.4 Tabel 3.4.5 Tabel 3.4.6 Distribusi BS, RT, dan ART yang dapat dikunjungi (response rate) menurut Provinsi, ............................................................................................................ 11 Distribusi jumlah sampel menurut umur dan jenis kelamin, Indonesia 2013 ......... 12 Jumlah sampel untuk penilaian status iodium penduduk, Indonesia 2013 ............ 14 Validasi variabel rumah tangga............................................................................. 21 Validasi Variabel Individu ..................................................................................... 21 Validasi proses pengukuran dan pemeriksaan ..................................................... 22 Variabel kepemilikan data Riskesdas 2013 .......................................................... 28 Gambaran kuintil indeks kepemilikan menurut provinsi, Indonesia 2013 .............. 29 Gambaran status ekonomi berdasarkan tempat tinggal, Indonesia 2013 .............. 30 Persentase RT penerima pelayanan gratis berdasarkan kuintil ............................ 30 Persentase Rumah Tangga Mendapat Beras Miskin (Raskin) Berdasarkan Kuintil ............................................................................................................... 31 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata ................................... 41 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat berdasarkan jenis obat ................. 42 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika .................... 43 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat.......................... 44 Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat yang disimpan........................... 44 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar ................ 45 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar ................ 46 Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsinya tentang obat generik (OG)....... 46 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (OG) ................................................................................................................. 47 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................................. 48 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Indonesia 2013 ................................................................................................. 49 Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan...... 49 Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumonia menurut provinsi, Indonesia 2013 ....................................... 66 Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumonia menurut karaktristik, Indonesia 2013 .................................. 68 Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................... 69 Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru menurut karakteristik, ..................................................................................................... 70 Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................................................ 73 Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut karakteristik, Indonesia 2013 ..................................................... 74 xxi Tabel 3.4.7 Proporsi Penderita hepatitis A, B, C, dan hepatitis lain menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................................. 75 Tabel 3.4.8 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................................................. 76 Tabel 3.4.9 Insiden dan prevalensi malaria menurut provinsi, Indonesia 2013 ........................ 78 Tabel 3.4.10 Insiden dan prevalen malaria menurut karakteristik, Indonesia 2013 .................... 79 Tabel 3.4.11 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................................................. 81 Tabel 3.4.12 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut karakteristik, Indonesia 2013 ................................................................................................. 82 Tabel 3.5.1 Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................................................. 86 Tabel 3.5.2 Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik, Indonesia 2013 ................................................................................................................. 87 Tabel 3.5.3 Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥15 tahun dan hipertensi pada umur ≥18 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 ........................................... 89 Tabel 3.5.4 Prevalensi diabetes, hipertiroid, hipertensi menurut karakteristik, Indonesia 2013 ................................................................................................................. 90 Tabel 3.5.5 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15 tahun menurut Provinsi, Indonesia 2013 ...................................................... 92 Tabel 3.5.6 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013 .................................................... 93 Tabel 3.5.7 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥15 tahun ................................................................................................................ 95 Tabel 3.5.8 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun ................................................................................................................ 96 Tabel 3.6.1 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut provinsi, Indonesia 2013............. 102 Tabel 3.6.2 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Indonesia 2013 ...... 103 Tabel 3.6.3 Proporsi jenis cedera menurut provinsi, Indonesia 2013 ..................................... 105 Tabel 3.6.4 Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Indonesia 2013 .............................. 106 Tabel 3.6.5 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut provinsi, Indonesia 2013 ................. 108 Tabel 3.6.6 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Indonesia 2013 .......... 109 Tabel 3.7.1 Prevalensi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai effective medical demand menurut provinsi, Indonesia 2013 .............. 111 Tabel 3.7.2 Proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir menurut karakteristik, Indonesia 2013 ........................................................... 112 Tabel 3.7.3 Proporsi penduduk berobat gigi sesuai jenis nakes menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................................................................................... 114 Tabel 3.7.4 Persentase penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut provinsi, Indonesia 2013 ................ 116 Tabel 3.7.5 Persentase Penduduk ≥10 tahun yang menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut karakteristik, Indonesia 2013 .......... 117 Tabel 3.7.6 Komponen D, M, F dan Index DMF -T menurut provinsi, Indonesia 2013 ........... 118 xxii Tabel 3.7.7 Tabel 3.8.1 Komponen D, M, F dan Index DMF-T Menurut Karakteristik, Indonesia ,2013.... 119 Proporsi tingkat kesulitan penduduk menurut komponen disabilitas, Indonesia 2013 ............................................................................................................... 120 Tabel 3.8.2 Persentil skor WHODAS 2 .................................................................................. 121 Tabel 3.8.3 Kecenderungan prevalensi penduduk menurut komponen disabilitas 2007 2013 ............................................................................................................... 122 Tabel 3.8.4 Indikator disabilitas menurut provinsi, Indonesia 2013 ........................................ 123 Tabel 3.8.5 Indikator disabilitas menurut karakteristik, Indonesia 2013 ................................. 124 Tabel 3.9.1 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut provinsi, Indonesia 2013..................... 126 Tabel 3.9.2 Proporsi rumah tangga yang memiliki ARTgangguan jiwa berat yang pernah dipasung menurut tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Indonesia 2013 ............................................................................................................... 127 Tabel 3.9.3 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur ≥15 tahun .......... 128 Tabel 3.10.1 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang berperilaku benardalam buang air besar dan cuci tangan menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................... 130 Tabel 3.10.2 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan provinsi, . 133 Tabel 3.10.3 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan karakteristik, ................................................................................................... 134 Tabel 3.10.4 Rerata Jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur ≥10 tahun ............... 135 Tabel 3.10.5 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah ... 136 Tabel 3.10.6 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun sesuai jenis aktivitas fisik ........................... 140 Tabel 3.10.7 Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari ............................ 141 Tabel 3.10.8 Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktivitas sedentari ........................... 142 Tabel 3.10.9 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi berisiko............. 144 Tabel 3.10.10 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung menurut provinsi, Indonesia, 2013 .................................... 147 Tabel 3.11.1 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan provinsi, Indonesia 2013 ............................................................................................... 152 Tabel 3.11.2 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik, Indonesia 2013 .............................................................................................. 153 Tabel 3.11.3 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan ....................... 154 Tabel 3.11.4 Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp)............. 157 Tabel 3.11.5 Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta biaya ........................ 159 Tabel 3.11.6 Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan karakteristik, Indonesia 2013 ......................................................................... 161 Tabel 3.11.7 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut karakteristik, Indonesia 2013 .......................................................................... 162 Tabel 3.13.1 Jumlah sampel dan indikator kesehatan anak, Indonesia 2013 .......................... 182 Tabel 3.13.2 Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................................................... 184 Tabel 3.13.3 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................................................................................... 185 Tabel 3.13.4 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................................................... 186 xxiii Tabel 3.13.5 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-23 bulan menurut provinsi, ..... 191 Tabel 3.13.6 Persentase jenis imunisasi dasar pada anak umur 12-23 bulan ......................... 192 Tabel 3.13.7 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................ 193 Tabel 3.13.8 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan menurut karakteristik, Indonesia 2013 .......................................................................... 194 Tabel 3.13.9 Persentase alasan tidak pernah imunisasi pada anak umur 12-23 bulan menurut karakteristik, Indonesia 2013 *) ......................................................... 195 Tabel 3.13.10 Persentase kunjungan neonatal pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Indonesia 2013 .......................................................................... 198 Tabel 3.13.11 Persentase kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak umur 059 bulan menurut karakteristik, Indonesia 2013 .............................................. 200 Tabel 3.13.12 Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................ 201 Tabel 3.13.13 Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................. 203 Tabel 3.15.1 Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada penduduk umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................... 237 Tabel 3.15.2 Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada penduduk umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................... 238 Tabel 3.15.3 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada penduduk semua umur menurut karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................ 240 Tabel 3.15.4 Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada penduduk semua umur menurut provinsi, Indonesia 2013 ..................... 242 Tabel 3.15.5 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut karakteristik, Indonesia 2013.......................... 244 Tabel 3.16.1 Proporsi RT yang mengonsumsi garam berdasarkan kandungan iodium ............ 250 Tabel 3.16.2 Proporsi RT yang mengonsumsi garam yang mengandung cukup iodium........... 251 Tabel 3.16.3 Kecenderungan proporsi kadar iodium (ppm KIO3) dalam garam RT .................. 252 Tabel 3.16.4 Proporsi kadar iodium dalam sumber air minum RT menurut karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................................................... 253 Tabel 3.16.5 Proporsi DM pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, ................................... 254 Tabel 3.16.6 Proporsi GDP terganggu pada umur ≥15 tahun berdasarkan kriteria ADA .......... 255 Tabel 3.16.7 Proporsi TGT pada umur ≥15 tahun TGT menurut karakteristik, Indonesia 2013 255 Tabel 3.16.8 Proporsi DM umur ≥15 tahun yang didiagnosis oleh Nakes menurut karakteristik, ................................................................................................... 255 Tabel 3.16.9 Proporsi anemia penduduk umur ≥1 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................................................................... 256 Tabel 3.16.10 Proporsi malaria dengan pemeriksaan RDT menurut karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................................................................... 257 Tabel 3.16.11 Proporsi malaria dengan pemeriksaan RDT sesuai spesies parasit menurut karakteristik, Indonesia 2013 .......................................................................... 258 xxiv Tabel 3.16.12 Proporsi kolesterol abnormal penduduk umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................................................... 259 Tabel 3.16.13 Proporsi HDL rendah pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................................................................... 259 Tabel 3.16.14 Proporsi LDL abnormal pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................................................................... 260 Tabel 3.16.15 Proporsi trigliserida abnormal pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................................................... 260 Tabel 3.16.16 Proporsi penduduk ≥15 tahun dengan kreatinin abnormal menurut karakteristik, ................................................................................................... 261 xxv DAFTAR GAMBAR Gambar 1.5.1 Gambar 1.6.1 Gambar 2.2.1 Gambar 2.2.2 Gambar 2.2.3 Gambar 2.2.4 Gambar 3.1.1 Gambar 3.1.2 Gambar 3.1.3 Gambar 3.1.4 Gambar 3.1.5 Gambar 3.1.6 Gambar 3.1.7 Gambar 3.1.8 Gambar 3.1.9 Gambar 3.2.1 Gambar 3.2.2 Gambar 3.3.1 Gambar 3.3.2 Gambar 3.3.3 Gambar 3.3.4 Gambar 3.3.5 Gambar 3.3.6 Gambar 3.3.7 Kerangka pikir Riskesdas 2013 dikembangkan dari Gabungan Sistem Kesehatan WHO dengan konsep model BLUM .................................................. 3 Alur Pikir Riskesdas 2013 ................................................................................... 5 Rentang sampel RT untuk masing-masing Kabupaten/Kota menurut Provinsi, Indonesia 2013 .................................................................................. 13 Rentang sampel ART untuk masing-masing Kabupaten/Kota menurut Provinsi, Indonesia 2013 .................................................................................. 13 Jumlah sampel hasil pengambilan spesimen darah, Indonesia 2013 ................. 14 Sampling Air, garam, dan urin untuk penilaian status iodium, Indonesia 2013 ... 15 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta menurut provinsi, Indonesia 2013 ............ 33 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan bidan praktek atau rumah bersalin menurut provinsi, Indonesia 2013............................................. 34 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan posyandu menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................... 35 Proporsi moda transportasi ke rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................................ 36 Proporsi moda transportasi ke Puskesmas berdasarkan karakteristik, Indonesia 2013 ................................................................................................. 36 Waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan terdekat menurut pengetahuan pengetahuan rumah tangga, Indonesia 2013 .................................................... 37 Waktu tempuh menuju rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Indonesia 2013 ................................................................................................. 38 Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan terdekat, Indonesia 2013 ........... 38 Biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Indonesia 2013 .............................. 39 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan, Indonesia 2013 ................................................................................................. 40 Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan, Indonesia 2013................... 47 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum Improved menurut karakteristik, Indonesia 2013............................................... 51 Kecenderungan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum Improved menurut provinsi, 2007, 2010, dan 2013 ............ 52 Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa mengambil air, Indonesia 2013 ......................................................................... 52 Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa mengambil air menurut karakteristik, Indonesia 2013 ....................................... 53 Proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas fisik air minum menurut karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................................ 54 Proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum menurut provinsi, Indonesia 2013 ..................................................................... 54 Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum ...................... 55 xxvi Gambar 3.3.8 Gambar 3.3.9 Gambar 3.3.10 Gambar 3.3.11 Gambar 3.3.12 Gambar 3.3.13 Gambar 3.3.14 Gambar 3.3.15 Gambar 3.3.16 Gambar 3.3.17 Gambar 3.3.18 Gambar 3.3.19 Gambar 3.3.20 Gambar 3.3.21 Gambar 3.3.22 Gambar 3.4.1 Gambar 3.4.2 Gambar 3.4.3 Gambar 3.4.4 Gambar 3.4.5 Gambar 3.4.6 Gambar 3.4.7 Gambar 3.5.1 Gambar 3.5.2 Gambar 3.5.3 Gambar 3.5.4 Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................... 56 Kecenderungan rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi Improved menurut provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013 .............. 57 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi Improved menurut karakteristik, Indonesia 2013 ............................................... 57 Proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah, Indonesia 2013 ................................................................................................................. 58 Proporsi rumah tangga menurut pengelolaan sampah, Indonesia 2013 ............ 58 Proporsi rumah tangga berdasarkan pengelolaan sampah dengan dibakar menurut provinsi, Indonesia, 2013 .................................................................... 59 Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan tempat tinggal, Indonesia 2013.................................................................................... 60 Proporsi rumah tangga berdasarkan kepadatan hunian menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................................. 60 Proporsi rumah tangga berdasarkan keberadaan plafon/langit-langit, dinding terbuat dari tembok dan lantai bukan tanah, Indonesia 2013 ............................ 61 Proporsi rumah tangga berdasarkan ketersediaan ruang tidur, ruang keluarga dan ruang dapur dengan kebersihan, keberadaan jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami, Indonesia 2013 ......................................... 61 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan, Indonesia 2013 ................................................................................................................. 62 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan non listrik menurut provinsi, Indonesia 2013 ..................................................................... 62 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis bahan bakar/energi, Indonesia 2013 ................................................................................................................. 63 Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku mencegah gigitan nyamuk, Indonesia 2013 ................................................................................................. 63 Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia, Indonesia 2013 ............................................ 64 Period prevalence ISPA, menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 ............... 65 Period prevalence pneumonia menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 ..... 67 Insidens pneumonia per 1000 balita menurut kelompok umur, Indonesia 2013 ................................................................................................................. 67 Prevalensi TB paru menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 ...................... 71 Prevalensi Hepatitis menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 ..................... 71 Period Prevalence Diare menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 .............. 72 Insiden Malaria menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 ............................ 77 Besar sampel yang digunakan untuk analisis penyakit tidak menular (PTM) ..... 83 Kecenderungan prevalensi DM berdasarkan wawancara pada umur ≥ 15 tahun menurut provinsi, 2007 dan 2013 ............................................................ 97 Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara pada umur ≥18 tahun menurut provinsi, 2007 dan 2013 ..................................................... 98 Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran pada umur ≥ 18 tahun menurut provinsi, 2007 dan 2013 ....................................................... 98 xxvii Gambar 3.5.5 Kecenderungan prevalensi stroke permil pada umur ≥15 tahun menurut provinsi, 2007 dan 2013 ................................................................................... 99 Gambar 3.5.6 Kecenderungan prevalensi sendi/rematik/encok berdasarkan wawancara pada umur ≥15 tahun menurut provinsi, 2007 dan 2013 ................................... 99 Gambar 3.6.1 Kecenderungan prevalensi cedera dan penyebabnya, Indonesia 2007 dan 2013 ............................................................................................................... 104 Gambar 3.7.1 Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat perawatan, dan EMD, Indonesia 2013 ........................................... 110 Gambar 3.7.2 Kecenderungan penduduk bermasalah gigi dan mulut, menerima perawatan dari tenaga medis dan EMD menurut Riskesdas 2007 dan 2013 .................... 113 Gambar 3.8.1 Persentil skor disabilitas .................................................................................. 121 Gambar 3.8.2 Kecenderungan prevalensi komponen disabilitas 2007 - 2013 ........................ 122 Gambar 3.9.1 Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik, Riskesdas 2007 dan 2013 .............................................................................. 129 Gambar 3.10.1 Kecenderungan proporsi penduduk umur ≥10 tahun berperilaku cuci tangan dengan benar menurut provinsi, Indonesia 2007- 2013 .................................. 131 Gambar 3.10.2 Kecenderungan proporsi penduduk Umur ≥10 tahun berperilaku BAB dengan benar menurut provinsi, Indonesia 2007- 2013 .................................. 132 Gambar 3.10.3 Kecenderungan proporsi penduduk umur ≥15 tahun yang mempunyai kebiasaan menghisap dan mengunyah tembakau menurut provinsi, Indonesia 2007, 2010 dan 2013...................................................................... 137 Gambar 3.10.4 Kecenderungan proporsi perokok umur≥15 tahun berdasarkan hasil survei GATS tahun 2011 dan Riskesdas 2013 .......................................................... 138 Gambar 3.10.5 Kecenderungan proporsi penduduk umur ≥15 tahun mengunyah tembakau berdasarkan GATS 2011 dan Riskesdas 2013 ............................................... 138 Gambar 3.10.6 Kecenderungan proporsi penduduk ≥10 tahun kurang makan sayur dan buah menurut provinsi, ................................................................................... 143 Gambar 3.10.7 Proporsi penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan berisiko >1 kali sehari, 2013 .................................................................................................... 145 Gambar 3.10.8 Kecenderungan Penduduk umur ≥10 tahun perilaku konsumsi makanan berisiko >1 kali sehari, Indonesia tahun 2007 dan 2013.................................. 145 Gambar 3.10.9 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut frekuensi makanan .................... 146 Gambar 3.10.10 Proporsi RT melakukan PHBS menurut 10 indikator, 2013 ............................. 149 Gambar 3.10.11 Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut provinsi, Indonesia 2013 ..................................... 150 Gambar 3.10.12 Proporsi rumah tangga memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut karakteristik, Indonesia 2013 ....................................... 150 Gambar 3.11.1 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biayanya menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................... 155 Gambar 3.11.2 Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan provinsi, Indonesia 2013 ........................................................... 156 Gambar 3.11.3 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan provinsi, Indonesia 2013 ........................................................... 158 Gambar 3.11.4 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat jalan, Indonesia 2013 .... 160 Gambar 3.11.5 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap, Indonesia 2013 ..... 161 xxviii Gambar 3.12.1 Proporsi penduduk yang sedang hamil berdasarkan laporan rumah tangga .... 164 Gambar 3.12.2 Pengggunaan KB saat ini menurut provinsi, Indonesia 2010-2013 .................. 165 Gambar 3.12.3 Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini WUS kawin dan kelompok umur, Indonesia 2013 ............................................................................................... 165 Gambar 3.12.4 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok kandungan hormonal menurut provinsi, Indonesia 2013 ................. 166 Gambar 3.12.5 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok jangka waktu efektivitas KB menurut provinsi, Indonesia, 2013 ...... 167 Gambar 3.12.6 Proporsi pemanfaatan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dalam mendapatkan pelayanan KB, Indonesia 2013 ................................................. 168 Gambar 3.12.7 Proporsi alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB bagi WUS kawin pernah dan tidak pernah ber-KB, Indonesia 2013 ........................................... 169 Gambar 3.12.8 Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................................................................................... 171 Gambar 3.12.9 Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................................................................................... 171 Gambar 3.12.10 Proporsi kelahiran yang melakukan pemeriksaan kehamilan menurut tenaga dan tempat mendapat pelayanan ANC, Indonesia 2013 ..................... 172 Gambar 3.12.11 Proporsi kelahiran menurut konsumsi zat besi (Fe) dan jumlah hari mengonsumsi, Indonesia 2013 ....................................................................... 173 Gambar 3.12.12 Proporsi kelahiran menurut kepemilikan buku KIA dan isian 5 Komponen P4K berdasarkan hasil observasi lembar Amanat Persalinan dari yang dapat menunjukkan Buku KIA, Indonesia 2013............................................... 174 Gambar 3.12.13 Proporsi persalinan sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut provinsi, Indonesia 2013 ........................................ 175 Gambar 3.12.14 Proporsi persalinan sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut karakteristik, Indonesia 2013 .................................. 175 Gambar 3.12.15 Proporsi kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan terendah, Indonesia 2013 .......... 176 Gambar 3.12.16 Proporsi kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut tempat bersalin dan provinsi, Indonesia 2013 ............................................................. 177 Gambar 3.12.17 Proporsi kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut tempat bersalin di faskes dan polindes/poskesdes vs di rumah/lainnya dan karakteristik, Indonesia 2013 .......................................................................... 178 Gambar 3.12.18 Proporsi kelahiran hidup periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut pelayanan pemeriksaan masa nifas, Indonesia 2013........................ 179 Gambar 3.12.19 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................................................................................... 179 Gambar 3.12.20 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut karakteristik, Indonesia 2013. .............................................................................................. 180 Gambar 3.12.21 Proporsi kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut pelayanan KB pasca salin dan provinsi, Indonesia 2013 ................................ 181 Gambar 3.13.1 Kecenderungan berat badan lahir rendah (BBLR) pada balita, Indonesia 2010 dan 2013 *) ............................................................................................ 183 xxix Gambar 3.13.2 Persentase umur 0-59 bulan dengan berat badan lahir <2500 gram dan panjang badan lahir <48 cm menurut Provinsi, Indonesia 2013 ...................... 187 Gambar 3.13.3 Persentase anak dengan berat badan <2500 gram dan panjang badan lahir <48 cm menurut karakteristik, Indonesia 2013................................................ 187 Gambar 3.13.4 Kecenderungan persentase kecacatan pada anak 24-59 bulan, Indonesia 2010 dan 2013................................................................................................ 189 Gambar 3.13.5 Kecenderungan imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan, Indonesia tahun 2007, 2010, dan 2013 ........................................................... 190 Gambar 3.13.6 Persentase keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur 12-23 bulan, Indonesia 2013 .......................................................................... 196 Gambar 3.13.7 Kecenderungan kunjungan neonatus lengkap, Indonesia 2010 dan 2013 ....... 196 Gambar 3.13.8 Kecenderungan KN1 menurut provinsi, Indonesa 2010 dan 2013 ................... 197 Gambar 3.13.9 Kecenderungan kunjungan neonatus lengkap menurut provinsi, Indonesia 2010 dan 2013................................................................................................ 199 Gambar 3.13.10 Kecenderungan proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan, Indonesia 2010 dan 2013 ............................................................................... 202 Gambar 3.13.11 Pemberian ASI saja 24 jam terakhir menurut umur ......................................... 204 Gambar 3.13.12 Kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan, Indonesia 2007 dan 2013 .................................................................... 204 Gambar 3.13.13 Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan terakhir, Indonesia 2007 dan 2013 .......................................... 205 Gambar 3.13.14 Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan balita ≥4 kali dalam 6 bulan terakhir menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 ............................. 206 Gambar 3.13.15 Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat dan umur ketika disunat, Indonesia 2013 .............................................................. 207 Gambar 3.13.16 Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................... 207 Gambar 3.13.17 Persentase anak perempuan umur 0 - 11 tahun yang pernah disunat menurut karakteristik, Indonesia 2013 ............................................................ 208 Gambar 3.14.1 Kecenderungan prevalensi status gizi BB/U <-2SD menurut provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013..................................................................... 212 Gambar 3.14.2 Kecenderungan prevalensi status gizi TB/U <-2 SD menurut provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013..................................................................... 213 Gambar 3.14.3 Kecenderungan prevalensi status gizi BB/TB <-2 SD menurut provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013..................................................................... 214 Gambar 3.14.4 Kecenderungan prevalensi gizi kurang, pendek, kurus, dan gemuk pada balita, Indonesia 2007,2010, dan 2013 ........................................................... 215 Gambar 3.14.5 Kecenderungan prevalensi status gizi balita menurut gabungan indikator TB/U dan BB/TB, Indonesia 2007, 2010, dan 2013 ........................................ 216 Gambar 3.14.6 Prevalensi pendek anak umur 5-18 tahun, menurut jenis kelamin, Indonesia 2013 ............................................................................................................... 217 Gambar 3.14.7 Prevalensi pendek anak umur 5–12 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013.. 217 Gambar 3.14.8 Prevalensi kurus (IMT/U) anak umur 5 – 12 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................................................................................... 218 xxx Gambar 3.14.9 Prevalensi gemuk & sangat gemuk anak umur 5–12 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................................................................................... 218 Gambar 3.14.10 Prevalensi pendek remaja umur 13–15 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................................................................................................... 219 Gambar 3.14.11 Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................................................................................... 220 Gambar 3.14.12 Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 .................................................... 220 Gambar 3.14.13 Prevalensi pendek (TB/U) remaja umur 16–18 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................................................................................... 221 Gambar 3.14.14 Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 16 – 18 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................................................................................... 221 Gambar 3.14.15 Prevalensi status gizi gemuk (IMT/U) remaja umur 16–18 tahun .................... 222 Gambar 3.14.16 Kecenderungan status gizi (IMT/U) umur 16–18 tahun, Indonesia 2010 dan 2013 ............................................................................................................... 223 Gambar 3.14.17 Prevalensi status gizi kurus, BB lebih, obesitas penduduk dewasa (>18 tahun) menurut provinsi, Indonesia 2013 ........................................................ 224 Gambar 3.14.18 Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT>25) pada laki-laki umur >18 tahun, Indonesia 2007, 2010, dan 2013 ......................................................... 224 Gambar 3.14.19 Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT>25) pada perempuan umur >18 tahun berdasarkan data Riskesdas 2007, 2010, dan 2013 ............................. 225 Gambar 3.14.20 Kecenderungan status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) berdasarkan komposit TB dan IMT, Indonesia 2010 - 2013............................................... 226 Gambar 3.14.21 Kecenderungan prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 ................................................... 227 Gambar 3.14.22 Prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15-49 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................................................................................... 228 Gambar 3.14.23 Prevalensi risiko KEK wanita usia subur (WUS) 15–49 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................. 228 Gambar 3.14.24 Prevalensi wanita usia subur risiko kurang energi kronis (KEK), menurut umur, Indonesia 2007 dan 2013 .................................................................. 229 Gambar 3.14.25 Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi (tinggi badan <150 cm) menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................. 229 Gambar 3.15.1 Prevalensi kebutaan pada responden umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut provinsi, Indonesia 2007-2013.............................................. 233 Gambar 3.15.2 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kelompok umur, Indonesia 2013........................................ 233 Gambar 3.15.3 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut pendidikan, Indonesia 2013............................................... 234 Gambar 3.15.4 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kuintil indeks kepemilikan, Indonesia 2013 ........................ 235 Gambar 3.15.5 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut tempat tinggal, Indonesia 2013 ......................................... 235 Gambar 3.15.6 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea menurut provinsi, Indonesia 2013 ............................................................................................................... 239 xxxi Gambar 3.15.7 Proporsi tiga alasan utama penderita katarak belum menjalani operasi menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................... 241 Gambar 3.15.8 Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................. 245 Gambar 3.15.9 Prevalensi ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut provinsi, Indonesia 2013 ................................................................................ 245 Gambar 3.16.1 Rekrutmen sampel air, garam dan urin, Indonesia 2013 .................................. 248 Gambar 3.16.2 Rekrutmen spesimen darah, Indonesia 2013................................................... 249 Gambar 3.16.3 Kecenderungan rumah tangga yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium berdasarkan hasil tes cepat menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 ............................................................................... 251 Gambar 3.16.4 Kecenderungan nilai median ekskresi iodium dalam urin (µg/L) pada anak, WUS, Ibu hamil, ibu menyusui, Indonesia 2007 dan 2013 .............................. 252 Gambar 3.16.5 Proporsi ekskresi iodium dalam urin anak umur 6-12 tahun, wanita usia subur, ibu hamil dan ibu menyusui menurut kategori EIU, Indonesia 2013 .... 253 xxxii DAFTAR SINGKATAN µg/L ACT ADA Amanat Persalinan ANC ANC 4x + : : : : : : APN ART Asabri ASI Askes BAB Babel Badan Litbangkes Balita BB BB/TB BB/U BBLR BP BPS BS Buku KIA CPR D D1 D3 DG Dinkes DIY DKI DM DO EIU EKG EMD FKM G GAKI GATS GDP GDPP GDS GGK Hb HDL HIV/ AIDS : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : microgram per Liter Artemisinin-based combination therapy American Diabetes Assocation Menyambut Persalinan Agar Aman dan Selamat Antenatal care proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan. Asuhan Persalinan Normal Anggota Rumah Tangga Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Air Susu Ibu Asuransi kesehatan Buang air besar Bangka Belitung Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Bawah lima tahun Berat Badan Berat badan/Tinggi Badan Berat badan/umur Berat Badan Lahir Rendah Balai Pengobatan Badan Pusat Statistik Blok Sensus Buku Kesehatan Ibu dan Anak Contraceptive Prevalence Rate Diagnosis dokter/tenaga kesehatan Diploma 1 Diploma 3 Diagnosis atau gejala Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Khusus Ibukota Diabetes Mellitus Diagnosis tenaga kesehatan atau minum obat sendiri Eksresi Iodium Urin Elektro Kardio Gram Effective Medical Demand Fakultas Kesehatan Masyarakat Gejala klinis spesifik penyakit Gangguan Akibat Kekurangan Iodium Global Adults Tobacco Survey Glukosa Darah Puasa Glukosa Darah Pasca Pembebanan Glukosa Darah Sewaktu Gagal ginjal kronik Hemoglobin High-Density Lipoprotein Human Immunodeficiency Virus Infection / Acquired Immunodeficiency xxxiii ICCIDD ICF IFCC IMD IMT Indeks DMF-T IPKM ISPA IU IUD Jabar Jamkesda Jamkesmas Jamsostek Jateng Jatim JMP JNC JPK K1 : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : K1 ideal : K4 : Kadinkes Kalbar Kalsel Kalteng Kaltim Kasie litbang Kasie Litbangda Kasie puldata Kasubdin Katim KB KDRT KEK Kep. Riau KEPK Kepmenkes Kespro KF : : : : : : : : : : : : : : : : : : KIA KIO3 KIPI KK KLB KMS : : : : : : Syndrome International Council for Control of Iodine Deficiency Disorders International Classification of Functioning International Federation of Clinical Chemistry Inisiasi Menyusu Dini Indeks Massa Tubuh Penjumlahan dari D(Decay), M(Missing), F(Filling)-T (teeth) Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat Infeksi Saluran Pernapasan Akut International Unit Intra Uterine Device Jawa Barat Jaminan Kesehatan Daerah Jaminan Kesehatan Masyarakat Jaminan Sosial Tenaga Kerja Jawa Tengah Jawa Timur Joint Monitoring Programme Joint National Committee Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil pertama kali pada trimester 1 Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil selama 4 kali dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3. Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Daerah Kepala Seksi Pengumpulan Data Kepala Sub Dinas Ketua Tim Keluarga Berencana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kurang Energi Kronis Kepulauan Riau Komisi Etik Penelitian Kesehatan Keputusan Menteri Kesehatan Kesehatan Reproduksi Pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama periode 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Kesehatan Ibu dan Anak Kalium Iodat Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Kepala Keluarga Kejadian Luar Biasa Kartu Menuju Sehat xxxiv KN Korwil Lansia LDL LH LiLA Linakes : : : : : : : LM LP Malut MDGs Menkes MKJP MPASI Nakes NCEP-ATP III NLIS Non MKJP NTB NTT OAT OG OT P4K Pabar PB PBTDK PCA PD3I PDBK PERDAMI PERHATI Permenkes Perpres PHBS PJK PM PMT PNS Polindes Poltekkes Poskesdes Poskestren Posyandu PPI Ppm PPS PPOK PSU PT PTM PUS : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : Kunjungan Neonatus Koordinator Wilayah Lanjut usia Low-Density Lipoprotein Lahir Hidup Lingkar Lengan Atas Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan) Lahir Mati Lingkar Perut Maluku Utara Millennium Development Goals Menteri Kesehatan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang Makanan Pendamping Air Susu Ibu Tenaga Kesehatan National Cholesterol Education Program- Adult Treatment Panel III Nutrition Landscape Information System Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Obat Anti Tuberkulosis Obat Generik Obat Tradisional Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi Papua Barat Panjang Badan Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Principal Component Analysis Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia Peraturan Menteri Kesehatan Peraturan Presiden Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Penyakit Jantung Koroner Penyakit Menular Pemberian Makanan Tambahan Pegawai Negeri Sipil Pondok Bersalin Desa Politeknik Kesehatan Pos Kesehatan Desa Pos Kesehatan Pesantren Pos Pelayanan Terpadu Program Pengembangan Imunisasi Part per million Probability Proportional To Size Penyakit Paru Obstruksi Kronis Primary Sampling Unit Perguruan Tinggi Penyakit Tidak Menular Pasangan Usia Subur xxxv Puskesmas Pustu PWS KIA RB RDT RI Riskesdas RKD RPJMN RS RT SD/MI SDM SKN SKRT SLTA SLTP SMA/MA SMP/MTS SP 2010 SPK SRQ STIKES Sulbar Sulsel Sulteng Sultra Sulut Sumbar Sumsel Sumut Susenas TB TB TB/U TGT TKP TNI/Polri U UI UKBM UNAIR UNHAS UNICEF USI UU WG WHO WHODAS 2 WUS Yankestrad : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : Pusat Kesehatan Masyarakat Puskesmas Pembantu Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak Rumah Bersalin Rapid Diagnostic Test Republik Indonesia Riset Kesehatan Dasar Riskesdas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Rumah Sakit Rumah Tangga Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah Sumber Daya Manusia Sistem Kesehatan Nasional Survei Kesehatan Rumah Tangga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Sekolah Menengah Pertama/MadrasahTsanawiyah Sensus Penduduk 2010 Standar Pelayanan Kebidanan Self Reporting Questionnaire Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Sumatera Utara Survei Sosial Ekonomi Nasional Tinggi Badan Tuberkulosis Tinggi badan/Umur Toleransi Glukosa Terganggu Tempat Kejadian Perkara Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian RI Ukur Universitas Indonesia Upaya kesehatan Bersumberdaya Masyarakat Universitas Airlangga Universitas Hasanuddin United Nations Children’s Fund Universal Salt Iodization Undang – Undang Washington Group World Health Organization WHO Disability Assessment Schedule 2 Wanita Usia Subur Pelayanan Kesehatan Tradisional xxxvi xxxvii BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Visi rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025 adalah Indonesia yang maju, adil, dan makmur. Visi tesebut direalisasikan pada empat misi pembangunan. Misi pembangunan kesehatan 2010-2014 adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Sistem kesehatan nasional pada tahun 2012 memasukkan penelitian dan pengembangan dalam salah satu sub sistem dari tujuh sub sistem yang ada (UU No 17 Tahun 2000). Untuk mencapai visi dan misi di atas, maka salah satu strategi Kementerian Kesehatan RI adalah “Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif”. Untuk itu diperlukan data kesehatan berskala nasional berbasis fasilitas maupun komunitas yang dikumpulkan secara berkesinambungan dan dapat dipercaya (SKN, PP Nomor 72 Tahun 2012). Dalam upaya menyediakan data kesehatan yang berkesinambungan maka Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI melaksanakan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Riskesdas merupakan Riset Kesehatan berbasis komunitas yang dirancang dapat berskala nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Riskesdas dilaksanakan secara berkala dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program kesehatan sekaligus sebagai bahan untuk perencanaan kesehatan. Pada tahun 2007, Riskesdas pertama telah dilakukan, meliputi indikator kesehatan utama, yaitu status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan status gizi), kesehatan lingkungan, konsumsi gizi rumah tangga, pengetahuan-sikap-perilaku kesehatan (Flu Burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol, aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan (akses, cakupan, mutu layanan, pembiayaan kesehatan), termasuk sampel darah anggota rumah tangga (kecuali bayi) pada sub sampel daerah perkotaan (Balitbangkes, 2007). Hasil Riskesdas 2007 telah banyak dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan dan penyelenggara program kesehatan baik di pusat maupun daerah. Selain telah digunakan sebagai bahan penyusunan RPJMN 2010-2014, data Riskesdas juga telah digunakan sebagai dasar penyusunan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat/IPKM (Balitbangkes, 2010) yang berguna untuk membuat peringkat kabupaten/kota berdasarkan hasil pembangunan kesehatan serta sebagai dasar Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan/PDBK (Permenkes No 27 Tahun 2012). Pada tahun 2013 dilakukan kembali Riskesdas yang serupa dengan tahun 2007 yaitu dengan keterwakilan sampel hingga tingkat Kabupaten/Kota. Untuk pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut mewakili tingkat provinsi dan sampel biomedis mewakili tingkat nasional. Tahapan persiapan Riskesdas 2013 telah dilakukan selama satu tahun pada 2012, diawali dengan meninjau kembali indikator kesehatan yang dikumpulkan pada Riskesdas 2007 untuk meningkatkan kualitas data. Selanjutnya beberapa indikator ditambahkan seperti Pemukiman dan Ekonomi, Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional, Kesehatan Mental ditambah informasi mengenai gangguan jiwa berat dan pasung, Kesehatan Reproduksi, Frekuensi Konsumsi Makanan Olahan yang Bersumber dari Tepung Terigu, Kesehatan Indera Pendengaran, Pemeriksaan Iodium dalam Air dan Pemeriksaan Iodium Urin pada Wanita Usia Subur (WUS). Indikator status ekonomi dikembangkan dari komposit variabel aset yang termasuk dalam blok Pemukiman dan Ekonomi. 1 Untuk merespon polemik mengenai sunat perempuan, pada Riskesdas 2013 ditambahkan informasi sunat perempuan. Sebaliknya ada satu indikator Riskesdas 2007 yang tidak dikumpulkan seperti konsumsi gizi rumah tangga dengan alasan akan dilakukan survei tersendiri. Demikian pula ada beberapa variabel yang tidak dikumpulkan antara lain ketanggapan pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang HIV/AIDS, kebiasaan minum minuman beralkohol, pengetahuan tentang flu burung, kebisingan di sekitar rumah tangga, dan penyebab kematian. 1.2. Ruang Lingkup Riskesdas 2013 Seperti telah diuraikan sebelumnya, fokus Riskesdas 2013 ini adalah untuk mengumpulkan data berbasis masyarakat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi perubahan status kesehatan di tingkat Kabupaten/kota, Provinsi dan Nasional termasuk IPKM dan indikator MDGs kesehatan. 1.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian untuk Riskesdas 2013 yaitu: 1) Bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota tahun 2013? 2) Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik di setiap provinsi, dan kabupaten/kota? 3) Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota? 4) Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan? 5) Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan? Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian 1 dan 2 sedangkan pertanyaan penelitian 3,4 dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk analisis lanjut. 1.4. Tujuan Riskesdas 2013 Tujuan Umum: Menyediakan informasi berbasis bukti untuk perumusan kebijakan pembangunan kesehatan di berbagai tingkat administrasi. Tujuan Khusus: 1) Menyediakan informasi untuk perencanaan kesehatan termasuk alokasi sumber daya di berbagai tingkat administrasi. 2) Menyediakan peta status dan masalah kesehatan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota pada tahun 2013. 3) Menyediakan informasi perubahan status kesehatan masyarakat yang terjadi dari 2007 ke 2013. 4) Menilai kembali disparitas wilayah kabupaten kota menggunakan IPKM. 5) Mengkaji korelasi antar faktor yang menyebabkan perubahan status kesehatan.. 2 1.5. Kerangka Pikir FUNGSI SISTEM KESEHATAN TUJUAN SISTEM KESEHATAN Visi, Misi, strategi dan kebijakan - Manajemen Sumber daya Akses Pelayanan Kesehatan Pembiayaan Kesehatan Pendidikan, Pekerjaan, Status Ekonomi Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Kesehatan Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Derajat Kesehatan Pemerataan & Keadilan Pembiayaan Kesehatan -------: tidak dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 - Status Gizi Kesehatan Reproduksi Kesehatan Bayi dan Balita Morbiditas Penyakit Menular Penyakit Tidak Menular Penyakit Bawaan Gangguan Indera Kesehatan Jiwa & gangguan emosional Gigi dan Mulut Cedera, Disabilitas Kecacatan Pemeriksaan Spesimen Darah Status Iodium Kesehatan Lingkungan Gambar 1.5.1 Kerangka pikir Riskesdas 2013 dikembangkan dari Gabungan Sistem Kesehatan WHO dengan konsep model BLUM 3 1.6. Alur Pikir Riskesdas 2013 Alur pikir (Gambar 1.6.1) ini secara skematis menggambarkan enam tahapan penting dalam Riskesdas 2007 dan 2013. Keenam tahapan ini terkait erat dengan ide dasar Riskesdas untuk menyediakan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat dibandingkan serta dapat menghasilkan estimasi yang dapat mewakili rumah tangga dan individu sampai ke tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Siklus yang dimulai dari tahapan 1 hingga tahapan 6 menggambarkan sebuah pemikiran yang sistematis dan berlangsung secara berkesinambungan. Dengan demikian, hasil Riskesdas 2013 bukan saja harus mampu menjawab pertanyaan kebijakan, namun dapat memberikan arah bagi pengembangan kebijakan berikutnya. Untuk menjamin kelayakan dan ketepatgunaan dalam penyediaan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat dibandingkan, maka pada setiap tahapan Riskesdas 2013 dilakukan upaya penjaminan mutu yang ketat. Substansi pertanyaan, pengukuran dan pemeriksaan Riskesdas 2013 mencakup data kesehatan yang mengadaptasi sebagian pertanyaan World Health Survey (WHO, 2002) tahun 2002 yang dikembangkan oleh World Health Organization dan diacu oleh 70 negara di dunia. . 4 1. Indikator  Status gizi  Kesehatan Ibu & Anak  Morbiditas PM, & PTM  Cedera & Kes. Jiwa  Disabilitas  Kecacatan  Sanitasi lingkungan  Perumahan & Pemukiman  Pengetahuan, Sikap & Perilaku  Farmasi dan Pelayanan Kes. Tradisional  Akses Pel. Kesehatan  Pembiayaan Kes 2. Disain Alat Pengumpul Data  Kuesioner wawancara, pengukuran, pemeriksaan  Validitas  Reliabilitas  Dapat diterima Policy Questions Research Questions Riskesdas 2013 6. Laporan  Tabel Dasar  Hasil Pendahuluan Nasional  Hasil Pendahuluan Provinsi  Hasil Akhir Nasional  Hasil Akhir Provinsi 5. Statistik  Deskriptif  Bivariat  Multivariat  Uji Hipotesis 4. Manajemen Data Riskesdas 2013  Editing  Entry  Cleaning  follow up  Perlakuan terhadap missing data  Perlakuan terhadap outliers  Consistency check  Analisis  syntax appropriateness  Pengarsipan 3. Pelaksanaan Riskesdas 2013  Pengembangan manual Riskesdas  Pengembangan modul pelatihan  Pelatihan pelaksana  Penelusuran sampel  Pengorganisasian  Logistik  Pengumpulan data  Supervisi / bimbingan teknis  Validasi Gambar 1.6.1 Alur Pikir Riskesdas 2013 5 1.7. Pengorganisasian Riskesdas 2013 Dasar hukum persiapan Riskesdas 2013 adalah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 113/MENKES/SK/III/2012 tentang Tim Riset Kesehatan Nasional Berbasis Komunitas Tahun 2012-2014. Organisasi persiapan pelaksanaan Riskesdas 2013 dikukuhkan dengan Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan No. HK.02.04/I.4/15/2013, tanggal 2 Januari 2013 tentang Tim Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Organisasi pengumpulan data Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut: 1. Di tingkat pusat dibentuk Tim Penasehat, Tim Pengarah, Tim Pakar, Tim Teknis, Tim Manajemen dan Tim Pelaksana Pusat :  Tim Penasehat terdiri dari Menkes dan Kepala BPS dan Pejabat eselon I Kementerian Kesehatan.  Tim Pengarah terdiri dari Kabadan, Pejabat eselon I dan sektor terkait.  Tim Pakar terdiri dari para ahli di bidangnya masing-masing.  Tim Teknis terdiri dari Pejabat eselon II, Peneliti di lingkungan Badan Litbangkes  Tim Manajemen terdiri dari Pejabat eselon II, eselon III dan staf Badan Litbangkes  Tim Pelaksana Pusat membentuk Koordinator Wilayah (korwil), setiap korwil yang akan mengkoordinir beberapa provinsi. 2. Di tingkat provinsi dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi:  Tim Pelaksana di tingkat provinsi diketuai oleh Kadinkes Provinsi, Kasubdin Bina Program, Peneliti Badan Litbangkes, dan Kasie Litbang/Kasie Puldata Dinkes Provinsi. 3. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Kabupaten/Kota :  Tim Pelaksana di tingkat kabupaten/ kota diketuai oleh Kadinkes Kabupaten/kota, Kasubdin Bina Program tingkat kabupaten/kota, Peneliti Badan Litbangkes, Politeknik Kesehatan (Poltekkes), dan Kasie Litbangda Dinkes Kab/Kota. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk tim pengumpul dan manajemen data. Setiap tim pengumpul data mencakup 6 BS (150 Rumah Tangga). Tiap tim pengumpul data terdiri dari 5 orang yang diketuai oleh seorang ketua tim (Katim). Kualifikasi tim pengumpul dan manajemen data termasuk Katim, minimal mempunyai pendidikan D3 Kesehatan. Tenaga pengumpul dan manajemen data direkrut dari Poltekkes, STIKES, Universitas (Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kedokteran Gigi), dll. Di beberapa daerah yang kekurangan tenaga pengumpul dan manajemen data digunakan staf dinas kesehatan kabupaten/ kota dengan persetujuan kepala bidang masing-masing untuk dibebaskan dari tugas rutin. 1.8. Manfaat Riskesdas 2013 Manfaat Penelitian 1. Untuk kabupaten/kota: a. Mampu menyusun perencanaan program lebih akurat sesuai perkembangan masalah kesehatan dalam enam tahun terakhir. b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti. c. Mampu merencanakan dan melaksanakan survei kesehatan lanjutan di wilayahnya. 6 2. Untuk provinsi dan pusat: a. Mampu memetakan perubahan masalah kesehatan dan menajamkan prioritas pembangunan kesehatan antar wilayah. b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti. c. Mampu merencanakan penelitian lanjutan sesuai dengan permasalahan kesehatan. 3. Untuk Peneliti a. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut. b. Sebagai sumber data untuk pengembangan indeks kesehatan. 4. Untuk Institusi Pendidikan a. Sebagai sumber data untuk bahan penulisan tugas akhir. b. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut dikaitkan dengan sumber data lainnya. 1.9. Persetujuan Etik Riskesdas 2013 Pelaksanaan Riskesdas tahun 2013, telah memperoleh persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK), Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI dengan nomor LB.02.01/5.2/KE.006/2013. Persetujuan etik, naskah penjelasan serta formulir Informed Consent (Persetujuan Setelah Penjelasan) dapat dilihat pada Lampiran. 7 BAB 2. METODOLOGI RISKESDAS Atmarita, Julianty Pradono, Dewi Permaesih, Purnawan Junadi, Poerwanto, Dwi Hapsari Tjandrarini, Wahyu Pudji Nugraheni, Rofingatul Mubasyiroh, dan Sri Poedji Hastuti 2.1. Metode Sampling Riskesdas adalah sebuah survei dengan desain cross sectional. Riskesdas 2013 dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok Indonesia, yang terwakili oleh penduduk di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Mempertimbangkan parameter yang dikumpulkan pada Riskesdas 2013, untuk memudahkan perbedaan, maka Riskesdas dibagi menjadi 3 Modul, yaitu Modul Kabupaten, Modul Provinsi, dan Modul Nasional. 1) Modul Kabupaten dirancang untuk penyajian data kabupaten/kota yang tujuannya untuk mengembangkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakt (IPKM) 2) Modul Provinsi dirancang untuk penyajian data provinsi, merupakan subsample dari modul Kabupaten 3) Modul Nasional dirancang untuk penyajian data tingkat nasional khususnya untuk kepentingan sampel biomedis, yang merupakan subsample dari modul Provinsi. a. Kerangka Sampel Kerangka sampel yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu kerangka sampel untuk penarikan sampel tahap pertama dan kerangka sampel untuk penarikan sampel tahap kedua.   Kerangka sampel pemilihan tahap pertama adalah daftar primary sampling unit (PSU) dalam master sampel. Jumlah PSU dalam master sampel adalah 30.000 yang dipilih secara probability proportional to size (PPS) dengan jumlah rumah tangga hasil sensus penduduk (SP) 2010. PSU adalah gabungan dari beberapa blok sensus (BS) yang merupakan wilayah kerja tim pencacahan SP2010. PSU juga dilengkapi informasi jumlah dan daftar nama kepala rumah tangga, alamat, tingkat pendidikan kepala rumah tangga berdasarkan klasifikasi wilayah urban/rural. Kerangka sampel pemilihan tahap kedua adalah seluruh bangunan sensus yang didalamnya terdapat rumah tangga biasa tidak termasuk institutional household (panti asuhan, barak polisi/militer, penjara, dsb) hasil pencacahan lengkap SP2010 (SP2010C1). Bangunan sensus terpilih dan rumah tangga di dalam bangunan sensus terpilih terlebih dahulu dilakukan pemutakhiran. Pemutakhiran dilakukan oleh enumerator Riskesdas 2013 sebelum mulai melakukan wawancara. b. Desain Sampel 1) Estimasi Kabupaten/Kota Metode sampling yang digunakan yaitu penarikan sampel tiga tahap berstrata. Tahapan dari metode ini diuraikan sebagai berikut: Tahap pertama, memilih sejumlah PSU dari PSU terpilih secara sistematik pada setiap kabupaten/kota sesuai alokasi domain. Tahap kedua, dari PSU terpilih, dipilih 2 BS secara PPS dengan jumlah rumah tangga Sensus Penduduk 2010 – Rekap Jumlah Rumah tangga hasil listing (SP2010-RBL1) pada setiap kabupaten/kota sesuai alokasi domain. Selanjutnya dipilih secara acak satu blok untuk Riskesdas dan satu blok sensus untuk Susenas. 8 - Tahap ketiga, dari setiap BS Riskesdas dipilih sejumlah bangunan sensus (m=25) secara sistematik berdasarkan data bangunan sensus hasil SP2010-C1. Tahap keempat, dari setiap bangunan sensus terpilih terlebih dahulu dilakukan pengecekan keberadaan di lapangan. Selanjutnya memilih 1 (satu) rumah tangga sebagai sampel secara acak. Rumah tangga di dalam bangunan sensus terlebih dahulu dimutakhirkan. 2) Estimasi Provinsi Metode sampling yang digunakan yaitu penarikan sampel dua tahap berstrata dan merupakan sub sampel dari estimasi kabupaten/kota. Tahapan dari metode ini diuraikan sebagai berikut: Tahap pertama, memilih sejumlah BS secara sistematik dari BS terpilih estimasi kabupaten/kota sesuai alokasi domain kabupaten/kota. Tahap kedua, dari setiap BS terpilih dipilih sejumlah bangunan sensus (m=25) secara sistematik berdasarkan data bangunan sensus hasil SP2010-C1. Tahap ketiga, dari setiap bangunan sensus terpilih terlebih dahulu dilakukan pengecekan keberadaan di lapangan. Selanjutnya memilih 1 (satu) rumah tangga sebagai sampel secara acak. Rumah tangga di dalam bangunan sensus terlebih dahulu dimutakhirkan. 3) Estimasi Nasional Metode sampling yang digunakan yaitu penarikan sampel dua tahap berstrata dan sub sampel dari estimasi propinsi. Tahapan dari metode ini diuraikan sebagai berikut: Tahap pertama,memilih 250 kabupaten/kota secara probability proportional to size with replacement (PPS WR). Metode ini memanfaatkan informasi jumlah rumah tangga perkabupaten/kota hasil SP2010 sebagai ukuran (size) yang dijadikan sebagai dasar peluang dalam pemilihan sampel. Dari hasil penarikan sampel, jumlah realisasi sampel yang efektif (effective sample size) sebanyak 177 kabupaten/kota. Tahap kedua, dari setiap kabupaten/kota terpilih, dilakukan pemilihan BS secara systematic sampling dari daftar BS sampel Riskesdas Modul MDG’s. Dengan demikian, BS terpilih Modul Biomedis merupakan subsampel dari BS yang digunakan dalam Modul Provinsi sejumlah 1000 BS. Rumah tangga yang menjadi sampel dalam Riskesdas Modul Biomedis adalah sebanyak 25 rumah tangga yang terpilih pada Modul Provinsi di BS sampel Modul Biomedis. 4) Kepentingan sampel untuk Validasi Riskesdas 2013 Untuk kepentingan menjaga mutu sampel yang dikumpulkan Riskesdas, dilakukan validasi oleh tiga perguruan tinggi: Universitas Indonesia, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Airlangga. Penarikan sampel dilakukan dari sub sampel nasional sejumlah 150 BS yang tersebar di 33 provinsi. c. Jumlah Sampel Blok Sensus dan Rumah Tangga Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, jumlah sampel BS dan rumah tangga ditujukan untuk beberapa domain estimasi sebagai berikut: Estimasi kabupaten/kota: merupakan minimum sampel untuk estimasi kabupaten dengan total sampel rumah tangga 300.000 ruta (dari 12.000 BS). Sampel BS dialokasikan menurut daerah perkotaan dan perdesaan. Estimasi provinsi : merupakan minimum sampel untuk estimasi propinsi dengan total sampel rumah tangga 75.000 ruta (3.000 BS). Sampel blok sensus dialokasikan menurut daerah perkotaan dan perdesaan. Estimasi nasional : merupakan minimum sampel untuk estimasi nasional dengan total sampel rumah tangga 25.000 ruta (1.000 BS). Sampel blok sensus dialokasikan menurut daerah perkotaan dan perdesaan. 9 - Sampel Validasi: merupakan minimum sampel dari subsampel nasional (150 BS), yang dialokasikan menurut perkotaan dan perdesaan. 2.2. Populasi dan Sampel Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga biasa yang mewakili 33 provinsi. Sampel rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk (SP) 2010. Proses pemilihan rumah tangga ditentukan oleh BPS yang memberikan daftar bangunan sensus terpilih yang berasal dari Blok Sensus terpilih yang tahapannya seperti yang sudah diuraikan sebelumnya. Berikut ini adalah uraian singkat proses penarikan sampel rumah tangga dimaksud. Proses Pemilihan rumah tangga sampel Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, BPS memilih BS untuk Riskesdas 2013 berdasarkan sampling frame SP 2010. Daftar 12.000 BS berikut dengan 300.000 daftar Bangunan Sensus (bangsen) yang telah dilengkapi dengan nama-nama kepala rumah tangga saat SP 2010 dilakukan. Nama-nama kepala rumah tangga tersebut dilakukan pemutakhiran oleh enumerator sebelum melakukan pencacahan. Beberapa catatan pada proses pemilihan dan pemutakhiran rumah tangga dari BS dan bangsen terpilih adalah sebagai berikut: 1) Kasus blok sensus yang sudah tidak ditemukan/hilang karena bencana (banjir, longsor, gempa bumi), seperti di Mentawai, beberapa kabupaten di Kalimantan 2) Kasus blok sensus yang merupakan daerah konflik dan sangat sulit untuk dijangkau seperti Papua 3) Kasus bangunan sensus yang tidak ditemukan, karena berubah fungsi, bukan rumah tangga biasa Untuk kasus-kasus seperti diatas dilaporkan ke BPS sehingga dilakukan pemilihan ulang BS berikut dengan bangsennya. Jumlah sampel yang terkumpul (Response rates) Dari 12.000 BS terpilih untuk sampel Riskesdas 2013, berhasil ditemukan dan dikunjungi 11.986 BS (99,9%) yang tersebar di 33 Provinsi, 497 kabupaten/kota. 14 BS dengan rincian 12 BS di Papua, 1 BS di Papua Barat, dan 1 BS di DKI Jakarta tidak berhasil dikunjungi dengan alasan sulit dijangkau, dan penolakan warga setempat. Adapun jumlah rumah tangganya adalah 294.959 dari 300.000 RT yang ditargetkan (98,3%) dengan jumlah anggota rumah tangga (ART) 1.027.763 orang. Berdasarkan SP2010, dengan ratarata jumlah ART per RT adalah 3.8 orang, maka response rate untuk ART adalah 93 persen. Dari 294.959 RT, ada sejumlah 77.830 ART yang tidak bisa dikumpulkan informasinya, karena tidak ada di tempat pada kurun waktu pengumpulan data Riskesdas 2013. Jumlah sampel tersebut, termasuk untuk estimasi kabupaten/kota, provinsi, dan nasional (biomedis) tergantung BS masingmasing. Tabel 2.2.1 adalah distribusi jumlah BS, RT dan ART menurut provinsi, dan tabel 2.2.2 adalah distribusi jumlah sampel menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Pengelompokan umur dilakukan berdasarkan kepentingan analisis parameter Riskesdas 2013. 10 Tabel 2.2.1 Distribusi BS, RT, dan ART yang dapat dikunjungi (response rate) menurut Provinsi, Indonesia 2013 BS Kode 11 12 13 14 15 16 17 18 19 21 31 32 33 34 35 36 51 52 53 61 62 63 64 71 72 73 74 75 76 81 82 91 94 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia RT 467 756 407 305 250 383 204 373 144 145 208 958 1.098 150 1.197 271 231 254 436 324 277 300 293 298 240 553 237 122 106 199 161 160 479 Response Rate (%) 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 99,5 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 99,4 97,6 11.986 99,9 Dikunjungi ART Sampel Dikunjungi 11.675 18.900 10.175 7.625 6.250 9.575 5.100 9.325 3.600 3.625 5.225 23.950 27.450 3.750 29.925 6.775 5.775 6.350 10.900 8.100 6.925 7.500 7.325 7.450 6.000 13.825 5.925 3.050 2.650 4.975 4.025 4.025 12.275 11.617 18.693 10.023 7.520 6.189 9.549 5.072 9.268 3.569 3.546 4.684 23.694 27.255 3.704 29.717 6.679 5.761 6.339 10.747 8.000 6.773 7.298 6.950 7.395 5.800 13.598 5.908 3.029 2.628 4.945 3.913 3.836 11.260 Response Rate (%) 99.5 98.9 98.5 98.6 99.0 99.7 99.5 99.4 99.1 97.8 89.6 98.9 99.3 98.8 99.3 98.6 99.8 99.8 98.6 98.8 97.8 97.3 94.9 99.3 96.7 98.4 99.7 99.3 99.2 99.4 97.2 95.3 91.7 300.000 294.959 98,3 11 44.368 75.547 38.913 29.621 23.056 38.089 18.897 33.440 12.759 12.837 16.343 83.522 93.650 12.100 104.483 26.277 21.508 23.486 46.206 30.670 24.021 26.248 25.747 25.293 23.185 52.425 24.387 12.029 10.817 22.301 17.301 15.288 40.779 40,951 72,935 36,955 28,017 22,605 37,393 18,154 32,745 11,765 11,844 13,766 77,701 85,310 11,104 97,339 24,247 20,403 22,256 43,732 29,050 22,284 24,532 23,931 24,047 21,128 48,129 22,766 11,242 9,952 19,665 15,755 13,046 33,014 Response Rate (%) 92,3 96,5 95,0 94,6 98,0 98,2 96,1 97,9 92,2 92,3 84,2 93,0 91,1 91,8 93,2 92,3 94,9 94,8 94,6 94,7 92,8 93,5 92,9 95,1 91,1 91,8 93,4 93,5 92,0 88,2 91,1 85,3 81,0 1.105.593 1.027.763 93,0 Sampel Didata Tabel 2.2.2 Distribusi jumlah sampel menurut umur dan jenis kelamin, Indonesia 2013 Laki-laki Perempuan Sampel Riskesdas 2013 Laki+Perempuan N % N % Anak Balita (bulan) 0-5 3.801 51.3 3.613 48.7 7.414 6 -11 3.818 50.6 3.724 49.4 7.542 12 -23 8.086 50.6 7.891 49.4 15.977 24 - 35 8.043 50.7 7.831 49.3 15.874 36 - 47 9.009 51.5 8.484 48.5 17.493 48 - 60 9.470 51.6 8.896 48.4 18.366 Jumlah 42.227 51.1 40.439 48.9 82.666 Anak Usia Sekolah (tahun) 5 10.618 52.3 9.699 47.7 20.317 6 11.679 52.5 10.556 47.5 22.235 7 11.315 52.7 10.171 47.3 21.486 8 11.457 51.4 10.842 48.6 22.299 9 12.088 51.4 11.416 48.6 23.504 10 12.164 51.8 11.328 48.2 23.492 11 11.451 52.1 10.542 47.9 21.993 12 12.144 51.5 11.454 48.5 23.598 13 12.211 51.6 11.465 48.4 23.676 14 10.232 50.7 9.936 49.3 20.168 15 9.898 50.7 9.611 49.3 19.509 16 9.487 50.8 9.197 49.2 18.684 17 9.317 51.1 8.899 48.9 18.216 18 8.450 51.9 7.845 48.1 16.295 Jumlah 152.511 51.6 142.961 48.4 295.472 Umur Dewasa (tahun) 19 7.122 52.7 6.396 47.3 13.518 20-24 31.796 50.6 31.082 49.4 62.878 25-29 29.497 45.5 35.402 54.5 64.899 30-34 35.303 45.2 42.723 54.8 78.026 35-39 36.807 46.2 42.924 53.8 79.731 40-44 38.811 48.0 42.107 52.0 80.918 45-49 33.626 48.0 36.370 52.0 69.996 50-54 30.452 49.9 30.549 50.1 61.001 55-59 23.504 49.5 23.965 50.5 47.469 ;60-64 17.406 50.6 17.000 49.4 34.406 65-69 10.400 47.8 11.358 52.2 21.758 70-74 8.418 47.9 9.173 52.1 17.591 75+ 7.529 43.2 9.905 56.8 17.434 Jumlah 310.671 47.8 338.954 52.2 649.625 Total 505.409 49.2 522.354 50.8 1.027.763 Gambar 2.2.1 dan gambar 2.2.2 memperlihatkan rata-rata jumlah sampel RT dan ART untuk masing-masing kabupaten/kota di 33 Provinsi. Tergantung jumlah penduduk, sampel RT dan ART bervariasi antar kabupaten/kota. Contoh sampel RT di DKI Jakarta bervariasi dari 249 RT di Kepulauan Seribu, sampai dengan 1.125 RT di Jakarta Timur. Demikian halnya dengan jumlah ART yang juga bervariasi antara 822 orang di Kepulauan seribu sampai dengan 3.338 orang di Jakarta Barat. 12 Gambar 2.2.1 Rentang sampel RT untuk masing-masing Kabupaten/Kota menurut Provinsi, Indonesia 2013 Gambar 2.2.2 Rentang sampel ART untuk masing-masing Kabupaten/Kota menurut Provinsi, Indonesia 2013 13 Sampel Biomedis Sampel untuk pengukuran biomedis merupakan sub-sampel dari 3.000 BS yang mewakili provinsi atau sejumlah 1.000 BS. Pada BS yang terpilih untuk biomedis, rumah tangganya dan anggota rumah tangganya selain dikumpulkan variabel kesehatan masyarakat juga dilakukan pengambilan spesimen darah dan urin. Spesimen darah dikumpulkan pada sampel umur ≥1 tahun untuk pemeriksaan malaria, anemia, diabetes mellitus, kolesterol, dan kreatinin. Urin dikhususkan untuk menilai status iodium pada sampel anak usia 6-12 tahun, dan wanita usia subur (WUS) 15-49 tahun termasuk hamil dan menyusui. Selain pengambilan urin, dilakukan juga pengambilan garam dan air untuk pemeriksaan iodium rumah tangga. Untuk pemeriksaan spesimen darah, jumlah sampel umur ≥1 tahun dari 1.000 BS diperkirakan 92.000 orang. Dengan berbagai alasan, antara lain takut dan sakit, maka sampel yang diperoleh menjadi 49.931 orang. Jumlah sampel specimen darah yang dapat digunakan untuk kepentingan analisis menjadi seperti gambar 2.2.3 berikut ini. Gambar 2.2.3 Jumlah sampel hasil pengambilan spesimen darah, Indonesia 2013 Jumlah sampel untuk kepentingan penilaian status iodium dapat dilihat pada tabel 2.2.3 berikut ini. Tabel 2.2.3 Jumlah sampel untuk penilaian status iodium penduduk, Indonesia 2013 Sampel Responden Garam Tes cepat Semua RT sampel (294.959 RT) Kabupaten/Kota Titrasi iodium di laboratorium 11.430 RT Nasional Urin Pemeriksaan Eksresi iodium dalam urin (EIU) di laboratorium WUS 15-49 tahun (13.811 sampel); Anak 6-12 tahun (6.154 sampel) Nasional Air Pemeriksaan iodium air di laboratorium 3.028 RT Nasional 14 Rincian rekrutmen sampel untuk status iodium pada proses pengambilan urin, garam, dan air dapat dilihat pada gambar 2.2.4 Gambar 2.2.4 Sampling air, garam, dan urin untuk penilaian status iodium, Indonesia 2013 2.3. Penjaminan mutu data Riskesdas 2013 Data berbasis bukti yang diperoleh dari Riskesdas 2013 harus terjaga kualitasnya. Beberapa upaya penjaminan mutu data Riskesdas 2013 adalah melakukan uji coba instrumen dan validasi. Uji coba dilakukan oleh peneliti Badan Litbangkes, akademisi, dan organisasi profesi. Validasi dilakukan oleh tim universitas (Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, dan Universitas Hasanuddin). 2.3.1. Uji coba Uji coba bertujuan untuk menilai keabsahan instrumen antara lain mendapatkan kuesioner yang sesuai dengan tujuan dalam Riskesdas, menentukan kelayakan dari peralatan yang akan digunakan serta manajemen pengumpulan data. Uji coba yang dilakukan antara lain :  Uji coba kuesioner yang digunakan dalam pengumpulan data kesehatan masyarakat agar mendapatkan pemahaman substansi dalam kuesioner serta alur dari pertanyaan dalam masing-masing blok, untuk menghindari kesalahpahaman pengisian dan menyeleksi isi dari kuesioner  Uji coba pengumpulan spesimen darah, urin dan garam,  Uji coba peralatan yang digunakan untuk pengumpulan data kesehatan masyarakat maupun biomedis dengan melihat fisibilitas dan validitas alat.  Uji coba proses data entry  Manajemen dan pengorganisasian lapangan, termasuk administrasi dan logistik. Uji coba lengkap Riskesdas dilakukan sebanyak dua kali. Uji coba pertama dilakukan di Sumatera Utara. Untuk menggambarkan situasi perkotaan dan perdesaan/daerah sulit diambil lokasi di Kota Pematang Siantar dan Kabupaten Nias Selatan. Di setiap lokasi uji coba pengumpulan data dilakukan di dua blok sensus (BS). Untuk Kabupaten Nias Selatan, BS yang terpilih adalah Desa Pasar Pulau Tello dan Desa Bawinofoso, sedangkan di Kota Pematang Siantar dipilih BS di Kelurahan Bantan dan Simarito. Pengumpulan data dilakukan oleh enumerator yang direkrut oleh Dinas Kesehatan setempat. Enumerator yang terpilih merupakan pegawai Dinas Kesehatan/honorer di Puskesmas setempat. Pengumpulan data di empat BS tersebut dikerjakan 15 oleh empat tim. Setiap tim terdiri dari lima orang. Khusus untuk di Kota Pematang Siantar dilakukan pula pengumpulan data biomedis. Sebelum dilakukannya pengumpulan data di lapangan, enumerator dilatih terlebih dahulu oleh tim teknis Riskesdas. Pelatihan dilaksanakan selama tujuh hari di Medan. Selama pelatihan enumerator diberikan pemahaman mengenai kuesioner yang akan mereka tanyakan kepada responden dan juga cara pengukuran serta pengambilan sampel biomedis. Setelah pelatihan, enumerator langsung turun lapangan untuk melaksanakan pengumpulan data di BS yang telah ditentukan. Rumah tangga yang dikunjungi di setiap BS berjumlah 25. Pada rumah tangga tersebut dilakukan wawancara, observasi, pengukuran, dan pemeriksaan. Kuesioner uji coba Riksesdas 2013 terdiri dari 12 blok pertanyaan sebagai berikut: Blok I. Pengenalan tempat Blok II. Keterangan rumah tangga Blok III. Keterangan pengumpul data Blok IV. Keterangan anggota rumah tangga Blok V. Akses dan pelayanan kesehatan Blok VI. Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional Blok VII. Gangguan jiwa berat dalam keluarga Blok VIII. Kebijakan program dan pemberdayaan masyarakat Blok IX. Kesehatan lingkungan dan sanitasi pangan Blok X. Pengeluaran rumah tangga Blok XI. Keterangan wawancara individu Blok XII. Keterangan individu a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r. s. t. Penyakit menular Penyakit tidak menular Genetik dan riwayat keluarga Cedera Kesehatan indera Gigi dan mulut Ketidakmampuan/disabilitas Kesehatan jiwa Pengetahuan, sikap dan perilaku Pembiayaan kesehatan Kesehatan ibu Kesehatan anak dan imunisasi Pengukuran dan pemeriksaan Pemeriksaan mata Pemeriksaan THT Pemeriksaan status gigi permanen Pengambilan spesimen darah dan sampel urin. EKG Spirometer Konsumsi makanan. 16 Dari uji coba yang dilakukan didapat gambaran waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pengumpulan data di satu BS adalah delapan hari. Selama pengumpulan data ditemui banyak kendala, antara lain waktu wawancara terlalu lama yang disebabkan banyaknya pertanyaan yang tercantum dalam kuesioner. Beberapa pertanyaan, antara lain konsumsi makanan individu, ketanggapan pelayanan kesehatan serta kebijakan program dan pemberdayaan masyarakat sulit dipahami, baik oleh enumerator maupun oleh responden. Beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan EKG, spirometri dan pH air sulit dilakukan di lapangan karena keterbatasan jumlah alat dan SDM. Uji coba laboratorium yang juga dilakukan adalah pengumpulan sampel urin. Secara teori urin yang akan digunakan untuk pemeriksaan iodium adalah urin sewaktu, namun untuk pemeriksaan natrium sampel urin yang dikumpulkan sehari penuh. Kondisi ini tentu tidak mungkin dilakukan di lapangan, sehingga dilakukan uji coba analisis sampel urin sewaktu dan sampel urin 24 jam. Hasil analisis kadar natrium dalam urin pada sampel terbatas menunjukkan tidak ada perbedaan (p>0,05), sehingga diputuskan sampel urin untuk pemeriksaan iodium maupun natrium adalah urin sewaktu. Setelah dilakukan evaluasi hasil uji coba disepakati untuk dilakukan pengurangan pertanyaan dari instrumen Riskesdas. Berdasarkan uji coba pertama ditentukan variabel yang akan digunakan pada Riskesdas 2013 menjadi sebagai berikut: Blok I. Pengenalan tempat Blok II. Keterangan rumah tangga Blok III. Keterangan pengumpul data Blok IV. Keterangan anggota rumah tangga Blok V. Akses dan pelayanan kesehatan Blok VI. Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional Blok VII. Gangguan jiwa berat dalam keluarga Blok VIII. Kesehatan lingkungan Blok IX. Pemukiman dan ekonomi. Blok X. Keterangan wawancara individu Blok XI. Keterangan individu a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. Penyakit menular Penyakit tidak menular Cedera Gigi dan mulut Ketidakmampuan/disabilitas Kesehatan jiwa Pengetahuan, sikap dan perilaku Pembiayaan kesehatan Kesehatan reproduksi Kesehatan anak dan imunisasi Pengukuran dan pemeriksaan Pemeriksaan mata Pemeriksaan telinga Pemeriksaan status gigi permanen Pengambilan spesimen darah dan sampel urin. 17 Selain itu dari hasil uji coba kuesioner disepakati kuesioner dengan muatan pertanyaan yang sudah diseleksi. Proses pembuatan kuesioner didiskusikan dengan para pakar terkait semua topik Riskesdas 2013. Instrumen yang digunakan dalam pengukuran dan pemeriksaan dalam uji coba Riskesdas 2013 tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Timbangan badan Alat ukur tinggi badan Alat ukur lingkar perut dan lingkar lengan atas Tensimeter IA2 Lup, senter, pinhole, tali ukur 6 meter, snellen chart Spekulum Kaca mulut, antiseptik, tisu, sarung tangan, masker Spirometer Timbangan makanan Alat pH-meter Peralatan pemeriksaan dan pengiriman spesimen biomedis (darah, urin, air dan garam) Laptop untuk mengentri (uji coba paperless data entry). Peralatan yang diuji coba terutama adalah alat untuk pengukuran antropometri yaitu pengukur tinggi badan dan penimbang berat badan, serta tensimeter untuk mengukur tekanan darah. Berdasarkan pengalaman Riskesdas terdahulu, membawa peralatan pengukur tinggi badan berbahan dasar fiber glass menjadi beban yang cukup berat bagi enumerator, sehingga diputuskan peralatan pengukur tinggi badan berbahan dasar aluminium. Penimbangan berat badan menggunakan timbangan digital dengan ketepatan 0,1 kg. Pada tahapan uji coba ini dilakukan seleksi beberapa merek timbangan (Fesco, Camry dan AND). Pemilihan merek timbangan didasarkan pada akurasi dan presisi, kekuatan timbangan, bobot timbangan, dan pertimbangan harga. Setelah melalui berbagai tahapan uji coba, maka diputuskan menggunakan timbangan digital merek Fesco. Untuk menentukan alat yang digunakan dalam mengukur tekanan darah dilakukan uji coba pada alat tensimeter, yaitu tensimeter digital merek Omron tipe IA2 dan tensimeter air raksa merek Nova. Uji alat ini bertujuan untuk mendapatkan faktor koreksi dari alat yang digunakan terhadap alat standar baku. Uji coba alat lainnya adalah spirometer untuk melengkapi diagnosis Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) pada responden umur 30 tahun keatas. Berdasarkan uji coba tersebut diputuskan bahwa instrumen yang digunakan pada Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Timbangan badan merek Fesco Alat ukur tinggi badan yang dibuat dari alumumium Alat ukur lingkar perut dan lingkar lengan atas Tensimeter merek Omron tipe IA1 Lup, lampu senter, pinhole, tali ukur 6 meter, tumbling E Spekulum telinga Kaca mulut, antiseptik, tisu, sarung tangan, masker Peralatan pemeriksaan dan pengiriman spesimen biomedis (darah, urin, air dan garam) Pada uji coba ini, entri data dilakukan di lapangan. Rekam data dilakukan dengan dua cara yaitu secara paperless (tanpa menggunakan kuesioner, data langsung di entri dengan software yang sudah disiapkan oleh tim mandat) dan secara manual menggunakan kuesioner, data diedit dan dientri setelah wawancara. 18 Hasil pengamatan menunjukkan bahwa cara paperless sulit diaplikasikan di lapangan karena beberapa kendala, seperti keterampilan enumerator yang bervariasi, membutuhkan waktu pengumpulan data lebih lama, dan masalah teknis komputerisasi. Disimpulkan pengumpulan data Riskesdas 2013 dilakukan secara manual menggunakan kuesioner, selanjutnya data diedit dan dientri di lapangan. Pengumpulan data dan pemeriksaan biomedis dilakukan di laboratorium Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan laboratorium swasta di Pematang Siantar. Disimpulkan beberapa pemeriksaan biomedis dilakukan di laboratorium lapangan yang dapat berupa laboratorium Puskesmas, rumah sakit atau di fasilitas lain yang memungkinkan. Instrumen yang telah diperbaiki harus diujicobakan kembali untuk finalisasi instrumen yang digunakan. Uji coba kedua diselenggarakan di Cisarua, Jawa Barat, dengan tahapan pelatihan enumerator sesuai hasil uji coba pertama. Terdapat dua tim enumerator yang mengumpulkan data di dua BS. Enumerator adalah alumni Poltekkes Jawa Barat yang direkrut oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Uji coba kedua lebih menekankan pada manajemen Riskesdas, mulai dari proses persiapan di lapangan sampai dengan data entri dan pengiriman data online, pengambilan, serta pengiriman spesimen darah dan urin. Diperhitungkan pula lama waktu pengiriman spesimen dari laboratorium lapangan ke laboratorium Badan Litbangkes dan kemungkinan kerusakan spesimen yang diterima akibat kondisi lapangan terkait. Dari hasil uji coba kedua, diputuskan instrumen, alat ukur yang akan digunakan, mekanisme pengumpulan data dan spesimen, pengisian formulir biomedis, serta finalisasi pedoman pengisian kuesioner dan pedoman manajemen pengumpulan data Riskesdas secara lengkap. 2.3.2 Validasi Validasi Riskesdas 2013 adalah kunjungan ulang sub sampel Riskesdas 2013 yang dilakukan sebagai salah satu bagian dari quality assurance untuk menjamin kualitas data Riskesdas 2013. Pelaksanaan validasi Riskesdas 2013 dilakukan oleh tim independen, gabungan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, dan Universitas Hasanuddin. i. ii. Metodologi Validasi dilakukan mulai dari pra-survai yaitu validasi yang dilakukan dengan disain kualitatif dan observasi partisipatif pada pelaksanaan penyiapan petugas di tingkat Pusat dan Provinsi. Kemudian validasi pasca survai yang mengikuti disain Riskesdas 2013, yaitu cross sectional survey. Populasi dalam validasi adalah seluruh RT di Indonesia, yang terpilih untuk validasi Riskesdas 2013 di 150 BS (sub sampel dari 1000 BS sampel nasional Riskesdas 2013). Pemilihan sampel dilakukan secara PPS memperhatikan besarnya BS di setiap provinsi serta perkotaan dan perdesaan. Dari setiap BS terpilih diambil secara acak 10 dari 25 RT yang sudah dikunjungi enumerator Riskesdas 2013. Komponen validasi dan variabelnya Komponen Riskesdas 2013 yang divalidasi adalah keseluruhan proses yang dilakukan Riskesdas mulai dari pra survei, selama survei sampai dengan pasca survei (validasi proses dan validasi isi/substansi). Variabel yang dipilih untuk validasi Riskesdas 2013 adalah variabel dalam kuesioner RT dan kuesioner individu yang menjawab tujuan Riskesdas dan yang relatif stabil dalam kurun waktu 1-2 minggu setelah kunjungan enumerator Riskesdas 2013. Sebanyak 50 persen variabel RT dan 30 persen variabel individu digunakan dalam survei validasi untuk menilai reliabilitas variabel tersebut. Variabel biomedik dan variabel pengukuran, seperti antropometri, pemeriksaan tajam penglihatan dan tajam pendengaran, hanya dilakukan validasi proses. Jadi validasi proses menilai apakah benar responden diambil datanya, apakah benar responden diukur, dan apakah benar proses pengambilan data sesuai pedoman. 19 iii. Manajemen data Pengambilan data dilakukan oleh tim validator dari FKM UI, UNAIR, dan UNHAS dengan memperhatikan jarak dan besarnya BS terhadap lokasi instansi validator. Data yang sudah dikumpulkan diinput Pusat Data Base setiap universitas dengan menggunakan web based program dibawah koordinasi FKM UNAIR. iv. Pengolahan dan analisis data  Analisis validasi proses Untuk validasi proses pelaksanaan analisis dilakukan secara sederhana yaitu analisis persen, dengan penilaian adalah sbb: 90 persen keatas disebut sangat valid; 80-90 persen disebut valid; 60-80 persen disebut kurang valid; <60 persen dinyatakan mempunyai masalah validitas.  Analisis validasi isi Ada dua analisis yang digunakan, yaitu: - v. Koefisien kesepakatan (agreement coefficient) dengan statistik Kappa. Alpha < 0,05 menunjukkan variabel itu reliabilitasnya baik. Dihitung juga seberapa jauh persen kesesuaian antara hasil pengukuran studi validasi dengan hasil pengukuran Riskesdas 2013. Penilaian reliabilitasnya adalah sbb: 90 persen keatas adalah sangat baik, 80-90 persen dinilai baik, 60-80 persen dinilai kurang , dan <60 persen dinilai mempunyai masalah reliabilitas. Kesimpulan validasi Hasil validasi pra-survei untuk pelaksanaan penyiapan petugas pusat, dan provinsi secara umum dikatakan bahwa Riskesdas 2013 dapat memenuhi tujuan yang diharapkan untuk menyiapkan peserta mampu melaksanakan tugasnya sebagai fasilitator/ supervisor penanggung jawab pada kegiatan training enumerator. Sebagian besar peserta mampu menguasai materi yang terdapat pada kurikulum penyiapan petugas pusat dan provinsi. Ada catatan kecil untuk laboratorium, dimana kemampuan praktik di kelas dan lapangan belum memuaskan dikarenakan tidak semua peserta diminta untuk dapat mendemonstrasikan ulang seluruh keterampilan praktik. Manajemen/pengorganisasian penyiapan petugas pusat dan provinsi secara umum juga berlangsung dengan baik dilihat dari sisi pelayanan maupun fasilitas yang menunjang pelaksanaan pelatihan yang berjalan lancar, dengan catatan perlu perbaikan penyiapan materi maupun evaluasi. Hasil validasi proses dan isi Riskesdas 2013 yang dilaksanakan setelah pengumpulan data selesai oleh tim enumerator Riskesdas. Pertama, tim validator mengecek bagaimana kualitas wawancara Riskesdas 2013 dilakukan yang meliputi 1) kesesuaian waktu wawancara, 2) masalah dengan responden, 3) proses pengumpulan data, 4) sikap dan perilaku petugas pengumpul data dan 5) persepsi responden terhadap kemampuan petugas untuk melakukan wawancara. Kelima aspek ini mendapat nilai baik (80,9%). Kedua, adalah hasil validasi terhadap variabel rumah tangga seperti tercantum pada tabel 2.3.1. Kelompok variabel pengenalan tempat dipakai untuk mengenali sampel untuk di validasi. Kelompok II, yaitu keterangan rumah tangga mempunyai validasi proses yang kurang baik, dan mempunyai masalah reliabilitas. Artinya perlu ada perbaikan dalam hal menyusun kuesioner. Di pihak lain, kelompok variabel keterangan anggota rumah tangga cukup baik, sehingga bisa dipakai untuk memperbaiki kelompok variabel keterangan rumah tangga. Kelompok variabel lainnya yaitu kelompok V sampai IX dari hasil validasi, kurang valid dan reliabel. Beberapa variabel yang masuk dalam kelompok pengetahuan tentang obat generik dan kesehatan lingkungan mempunyai masalah reliabilitas, sehingga menyebabkan angka rata-rata tidak mencapai 80 persen. 20 Tabel 2.3.1 Validasi variabel rumah tangga Kelompok Variabel Validasi Proses Isi NA 74,4 * NA 77,5 83,1 79,0 73,2 I.Pengenalan Tempat II.Keterangan Rumah Tangga III.Keterangan Pengumpul Data IV.Keterangan Anggota Rumah Tangga V.Akses dan Pelayanan Kesehatan VI.Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional VI.B Pengetahuan ttg Obat Generik 70,3 66,2 VIII.Kesehatan Lingkungan 60,0 78,2 IX.Pemukiman dan Ekonomi 75,0 Kesimpulan Keterangan Untuk pengumpulan data Kurang reliabel Untuk pengumpulan data valid dan reliabel valid tetapi kurang reliabel Kurang valid dan kurang reliabel Kurang valid Beberapa variabel bermasalah reliabilitasnya Beberapa variabel bermasalah validitas dan reliabilitasnya Kurang valid Ketiga, validasi kelompok variabel individu dapat dilihat pada tabel 2.3.2. Variabel kepemilikan jaminan kesehatan, alat dan cara KB, riwayat kehamilan, persalinan dan masa nifas dengan reliabilitas sangat baik, yaitu diatas 90 persen. Kelompok variabel penyakit menular, penyakit tidak menular, cedera, kesehatan jiwa dan kesehatan bayi dan anak mempunyai tingkat reliabilitas yang baik. Kelompok variabel sisanya reliabilitas kurang baik. Kelompok Variabel X.Keterangan Wawancara XI. Keterangan Wawancara Individu A.Penyakit Menular B.Penyakit Tidak Menular Tabel 2.3.2 Validasi Variabel Individu Validasi isi Kesimpulan NA NA 87,6 Baik reliabilitasnya 88,8 Baik reliabilitasnya C.Cedera D.Gigi dan Mulut E.Disabilitas F.Kesehatan Jiwa G.Pengetahuan,Sikap dan Perilaku 87,9 68,4 72,7 83,3 68,5 Baik reliabilitasnya Kurang reliabel Kurang reliabel Baik reliabilitasnya Kurang reliabel 94,1 Sangat reliabel 94,3 94,8 Sangat reliabel Sangat reliabel 85,4 70,0 Baik reliabilitasnya Kurang reliabel H.Pembiayaan Kesehatan Ha.Kepemilikan Jaminan Kesehatan I. Kesehatan Reproduksi Ia.Alat/Cara KB Ic.Riwayat Kehamilan Persalinan dan Masa Nifas J.Kesehatan Anak Ja.Kesehatan Bayi dan Anak Balita Jb.ASI dan MP-ASI 21 Keterangan Digunakan untuk pengumpulan data Digunakan untuk pengumpulan data Ada masalah reliabilitas pengukuran asma, kanker Ada masalah reliabilitas pengukuran perilaku higienis dan penggunaan tembakau Beberapa variabel bermasalah reliabilitasnya Beberapa variabel bermasalah reliabilitasnya Catatan yang perlu dikemukakan, ada beberapa variabel yang secara rinci mempunyai masalah reliabilitas yaitu asma, kanker, cedera, perilaku higienis, penggunaan tembakau, dan pemeriksaan kehamilan. Keempat, validasi variabel pengukuran dan pemeriksaan dijelaskan pada tabel 2.3.3. Secara umum validasi proses pengukuran dan pemeriksaan berkisar dari kurang valid sampai sangat valid, dengan beberapa catatan. Catatan pertama pengukuran berat badan anak yang bisa berdiri validasi prosesnya sangat baik, namun menurun (79,8%) ketika mengukur berat badan anak yang harus ditimbang dengan ibunya, ditemui pelaksanaan yang tidak sesuai SOP. Catatan kedua, mirip dengan yang pertama, ketika mengukur tinggi badan anak balita, validasi prosesnya sangat baik, nilai menurun menjadi kurang valid ketika mengukur panjang badan anak, karena ditemui beberapa penyimpangan SOP. Catatan ketiga, ditemui beberapa penyimpangan SOP dalam mengukur LILA, tekanan darah dan pemeriksaan THT. Terakhir, validasi proses kesiapan lab hasilnya sangat baik. Tabel 2.3.3 Validasi proses pengukuran dan pemeriksaan Kelompok variabel Validasi Proses Kesimpulan Keterangan K.Pengukuran dan Pemeriksaan Berat Badan Anak 98,9 Sangat valid Berat badan Baduta 79,8 Valid Ada penyimpangan SOP Tinggi Badan Anak 98,1 Sangat valid Panjang Badan Anak 72,7 Kurang valid Ada penyimpangan SOP Lila 78,8 Valid Ada penyimpangan SOP Lingkar Perut 79,5 Valid Tekanan Darah 89,8 Valid Ada penyimpangan SOP L.Pemeriksaan Mata 81,7 Valid M.Pemeriksaan THT 74,2 Kurang valid Ada penyimpangan SOP N.Pemeriksaan Status Gigi Permanen O.Pengambilan Spesimen darah dan Urin Darah Vena 96,9 Sangat valid Darah Kapiler 91,6 Sangat valid Urin 83,9 Sangat valid LL: Kesiapan Pemeriksaan Laboratorium 94,7 Sangat baik 2.4. Variabel Pada pelaksanaan Riskesdas 2013 terdapat kurang lebih 1.060 variabel yang terkelompokkan menjadi 2 (dua) jenis kuesioner (lihat file terlampir), dengan rincian variabel pokok sebagai berikut: 1) Kuesioner rumah tangga (RKD13.RT) yang terdiri dari kurang lebih 160 variabel: a. Blok I tentang pengenalan tempat; b. Blok II tentang keterangan rumah tangga; c. Blok III tentang keterangan pengumpul data; d. Blok IV tentang anggota rumah tangga; e. Blok V tentang akses dan pelayanan kesehatan: f. Blok VI tentang farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional; g. Blok VII tentang gangguan jiwa berat dalam keluarga; h. Blok VIII tentang kesehatan lingkungan; i. Blok IX tentang pemukiman dan ekonomi. 2) Kuesioner individu (RKD13.IND), yang terdiri dari 900 variabel meliputi: 22 a. Blok X tentang keterangan wawancara indvidu/identifikasi individu b. Blok XI tentang identifikasi responden yang dikelompokkan menjadi i. Blok XI-A tentang penyakit menular: ISPA, diare/mencret, pneumonia/radang paru, malaria, tuberkulosis/TB paru, dan hepatitis/sakit liver/sakit kuning; ii. Blok XI-B tentang penyakit tidak menular: asma dan PPOK, kanker, diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendi/rematik/encok, dan stroke; iii. Blok XI-C tentang cedera; iv. Blok XI-D tentang gigi dan mulut; v. Blok XI-E tentang disabilitas; vi. Blok XI-F tentang kesehatan jiwa; vii. Blok XI-G tentang pengetahuan, sikap dan perilaku: perilaku higienis, penggunaan tembakau, aktivitas fisik, perilaku konsumsi buah dan sayur, perilaku makanan berisiko, perilaku makanan olahan dari tepung terigu; viii. Blok XI-H tentang pembiayaan kesehatan: kepemilikan jaminan kesehatan, rawat jalan, dan rawat inap ix. Blok XI-I tentang kesehatan reproduksi: alat/cara KB, riwayat kehamilan seumur hidup, serta riwayat kehamilan persalinan, dan masa nifas; x. Blok XI-J tentang kesehatan anak: kesehatan bayi dan anak balita, ASI dan MP-ASI, serta sunat perempuan; xi. Blok XI-K tentang pengukuran berat dan tinggi/panjang badan, lingkar lengan atas (LILA), lingkar perut, tekanan darah, dan xii. Blok XI-L tentang pemeriksaan mata; xiii. Blok XI-M tentang pemeriksaan telinga; xiv. Blok XI-N tentang pemeriksaaan status gigi permanen; xv. Blok XI-O tentang pengambilan spesimen darah dan urin, garam, air (status iodium) 2.5. Alat pengumpul data dan cara pengumpulan data Pengumpulan data Riskesdas 2013 menggunakan instrumen sebagai berikut: 1) Pengumpulan data rumah tangga dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.RT dan Pedoman Pengisian Kuesioner a. Responden untuk Kuesioner RKD13.RT adalah Kepala Keluarga atau Ibu rumah tangga atau ART yang dapat memberikan informasi. b. Dalam Kuesioner RKD13.RT terdapat keterangan tentang apakah seluruh anggota rumah tangga diwawancarai langsung, didampingi, diwakili, atau sama sekali tidak diwawancarai. 2) Pengumpulan data individu pada berbagai kelompok umur dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.IND dan Pedoman Pengisian Kuesioner. a. Responden untuk Kuesioner RKD13.IND adalah setiap anggota rumah tangga. b. Khusus untuk anggota rumah tangga yang berusia kurang dari 15 tahun, dalam kondisi sakit maka wawancara dilakukan terhadap anggota rumah tangga yang menjadi pendampingnya. 23 3) Untuk data tinggi badan diukur dengan alat ukur tinggi badan “Multifungsi” dengan kapasitas ukur dua meter dan ketelitian 0,1 cm. Untuk data berat badan diukur dengan timbangan berat badan digital merek “Fesco”, yang dikalibrasi setiap hari. Pengukuran lingkar perut dan LILA menggunakan satu alat medline, alat ukur yang didisain untuk mengukur lingkar lengan dan lingkar perut. Seluruh pengukuran antropometri dilakukan dengan menggunakan pedoman pengukuran. 4) Untuk pengukuran tensi digunakan tensimeter digital merek Omron tipe IA1, yang diharuskan untuk mengganti batu baterai setiap satu BS selesai dilakukan pengukuran. Pengukuran tensimeter dilakukan dengan menggunakan pedoman pengukuran tensi. 5) Untuk pemeriksaan mata peralatan yang digunakan mencakup kartu tumbling E, pinhole, kaca pembesar, lampu senter, dan kartu peraga serta pedoman pemeriksaan. 6) Untuk pemeriksaan telinga peralatan yang digunakan spekulum telinga dan pedoman pemeriksaan. 7) Untuk pemeriksaan gigi digunakan satu set peralatan yang terdiri dari kaca mulut, sarung tangan, lampu senter, masker, dan dentogram berikut dengan pedoman pemeriksaan. 8) Untuk pengambilan data biomedis, peralatan satu set laboratorium lapangan mencakup formulir (BM01 sampai BM05), perlengkapan penanganan limbah, serta alat untuk pengambilan urin, spesimen darah, tes cepat iodium, pengambilan sampel air, dan sampel garam, serta pedoman pengumpulan spesimen biomedis. 2.6. Manajemen data Proses manajemen data Riskesdas 2013 terdiri dari dua tahap, tahap pertama dilakukan di kabupaten/kota yang terdiri dari kegiatan: pengumpulan data, receiving-batching (penerimaan-pembukuan), editing (kontrol kualitas data), data entry, dan pengiriman data elektronik. Tahap kedua dilakukan di satuan kerja Badan Litbangkes pusat yang terdiri: dari kegiatan: penerimaan dan penggabungan data seluruh kabupaten/kota, cleaning data, penggabungan data provinsi, penggabungan data nasional, cleaning data nasional, imputasi, pembobotan, dan penyimpanan data elektronik. Seluruh kegiatan tersebut membutuhkan waktu kurang lebih lima bulan. Tim Manajemen Data yang dipusatkan di Jakarta mengkoordinir manajemen data Riskesdas 2013 secara keseluruhan. Laporan kemajuan pengumpulan data dan manajemen data dapat dikomunikasikan dan dilihat di website Badan Litbangkes. Urutan kegiatan manajemen data secara rinci sebagai berikut. 2.6.1 Receiving batching Proses receiving-batching adalah pencatatan penerimaan kuesioner. Pencatatan dilakukan pada electronic file yang berisi tentang identitas wilayah yang telah diwawancarai, jumlah RT dan ART yang diwawancarai dan jumlah yang telah dientri. Manfaat dari proses ini untuk menilai konsistensi jumlah data responden yang diwawancarai, dientri, dikirim, dan diterima oleh tim manajemen data, dan juga untuk memantau sampel yang belum diwawancarai. Hal ini untuk menghindari adanya data yang hilang karena proses-proses input atau pengiriman elektronik. 2.6.2 Editing data Dalam pelaksanaan pengumpulan data Riskesdas 2013, editing merupakan salah satu mata rantai yang secara potensial dapat menjadi kontrol kualitas data. Editing mulai dilakukan oleh ketua tim dilanjutkan oleh supervisor atau PJT Kabupaten/Kota semenjak enumerator selesai melakukan wawancara dengan responden. PJT Kabupaten/Kota harus memahami makna dan alur pertanyaan. 24 PJT Kabupaten/Kota melakukan editing kuesioner meliputi pemeriksaan kembali kelengkapan jawaban, termasuk konsistensi alur jawaban, untuk setiap responden pada setiap Blok Sensus. Kelengkapan jawaban dan konsistensi alur jawaban, antara lain seperti : • Semua pertanyaan terisi sesuai dengan kelompok kriteria yang ditentukan, contoh pertanyaan kesehatan reproduksi hanya diperuntukkan bagi perempuan berumur 10-54 tahun. • Blok pemeriksaan dan pengukuran sudah terisi. • Kelengkapan formulir biomedis (BM01 sd BM05), termasuk stiker nomor laboratorium, sebelum dilakukan entri data. 2.6.3 Entri data Program entri data Riskesdas 2013 dikembangkan oleh tim manajemen data Riskesdas Badan Litbangkes menggunakan software CSPro 4.1 dengan operating system windows 7 yang memiliki fasilitas autorun. Program entri tersebut mencakup kuesioner RT, individu, dan hasil pemeriksaan biomedis (formulir spesimen darah, urin, garam, dan air, termasuk sticker nomor laboratorium). Entri data kuesioner kesmas dilakukan oleh tim pengumpul data di lokasi pengumpulan data, sedangkan data hasil pemeriksaan spesimen darah dan urin dilakukan oleh tim biomedis di Jakarta dan Balai GAKI – Magelang. Pertanyaan pada kuesioner Riskesdas 2013 ditujukan untuk responden dengan berbagai kelompok umur yang berbeda, sehingga kuesioner disusun dengan beberapa lompatan pertanyaan (skip questions) yang secara teknis memerlukan ketelitian untuk menjaga konsistensi data dari satu blok pertanyaan ke blok pertanyaan berikutnya. Oleh karena itu maka dibuat program entri yang diperkuat dengan batasan-batasan entri secara komputerisasi. Hasil entri data ini menjadi salah satu bagian penting dalam proses manajemen data, khususnya yang berkaitan dengan cleaning data. 2.6.4 Penggabungan data File data yang telah dikirim oleh PJT Kabupaten/Kota, digabung oleh tim manajemen data pusat. Langkah selanjutnya dilakukan penggabungan data dan cleaning sementara agar dapat segera memberi umpan balik pada tim pewawancara untuk memperbaiki data, dilanjutkan dengan penggabungan data elektronik secara nasional. Hasil penggabungan data dari hampir 12000 BS terdiri dari file RT, file daftar ART, file Individu, dan file biomedis. Satu tim manajemen data pusat menangani data satu atau dua provinsi. 2.6.5 Cleaning data Tahapan cleaning dalam manajemen data merupakan proses yang penting untuk menunjang kualitas data. Tim manajemen data di pusat sudah melakukan cleaning awal pada data elektronik setiap provinsi pada saat menerima data elektronik dari PJT Kabupaten/Kota. Apabila ada data yang perlu dikonfirmasi ke tim pengumpul data di kabupaten, maka tim manajemen data pusat akan berkoordinasi dengan PJT Kabupaten untuk entri ulang dan mengirimkan kembali yang sudah diperbaiki melalui email. Cleaning sementara hanya dilakukan pada variabel-variabel tertentu yang dianggap sangat berisiko untuk salah. Setelah penggabungan keseluruhan provinsi, dilakukan cleaning variabel secara keseluruhan. Hanya data yang sudah dinyatakan clean yang dianalisis lebih lanjut. Tim Manajemen Data menyediakan pedoman khusus untuk melakukan cleaning data Riskesdas. Perlakuan terhadap missing values, no responses, outliers amat menentukan akurasi dan presisi dari analisis yang dihasilkan Riskesdas 2013. 2.6.6 Imputasi data Imputasi adalah proses untuk penanganan data missing dan outlier. Tim Manajemen Data melakukan imputasi data elektronik secara nasional. Pada data Riskesdas 2013 imputasi 25 dilakukan untuk data kontinyu yang outlier, sedangkan jika responden tidak bersedia menjawab maka diberikan kode sebagai data missing. 2.7. Keterbatasan data Keterbatasan data Riskesdas 2013 berkaitan dengan keterbatasan metoda dan keterbatasan manajemen operasional. Keterbatasan metoda Beberapa indikator tidak dapat disajikan sampai tingkat kabupaten/kota karena masalah besar sampel yang mewakili untuk pertanyaan tertentu. Batasan jumlah sampel untuk masing-masing indikator yang masih dapat diterima adalah jika n sampel >30. Misalnya untuk penentuan status gizi pada balita, jika jumlah sampel balita di suatu kabupaten/kota kurang dari 30, maka walapun hasil analisis disajikan, akan diberi tanda (*) agar pembaca berhati-hati dalam menginterpretasikan hasil tersebut. Keterbatasan manajemen operasional Beberapa keterbatasan yang disebabkan faktor manajemen antara lain: 1) Blok sensus tidak terjangkau, karena ketidaktersediaan alat transportasi menuju lokasi tersebut, karena kondisi alam yang tidak memungkinkan, seperti gelombang besar yang membahayakan, atau alasan keamanan. Riskesdas tidak berhasil mengumpulkan 14 BS yang terpilih. 2) Sejumlah RT yang menjadi sampel ternyata tidak seluruhnya dapat ditemukan oleh tim enumerator. Rumah tangga yang berhasil dikunjungi Riskesdas 2013 adalah sebanyak 98,3 persen yang tersebar di seluruh kabupaten/kota.(Tabel 2.2.1) 3) Sejumlah ART dari RT terpilih tidak seluruhnya bisa diwawancarai oleh tim enumerator. Pada saat pengumpulan data dilakukan sebagian ART tidak berada di tempat. Jumlah ART yang berhasil dikumpulkan adalah 93,0 persen.(Tabel 2.2.1) 2.8. Pengolahan dan analisis data Hasil pengolahan dan analisis data dipresentasikan pada Bab III. Pada laporan ini seluruh analisis dilakukan berdasarkan jumlah sampel RT maupun ART setelah missing values dan outlier dikeluarkan serta dilakukan pembobotan sesuai dengan jumlah masing-masing sampel. Analisis data dengan menggunakan perangkat lunak statistik SPSS17.0®. 2.9. Estimasi kesalahan sampling (sampling error) Data yang dikumpulkan dari survei tidak bisa terlepas dari kesalahan (error), demikian halnya dengan Riskesdas 2013. Ada dua jenis tipe kesalahan yang bisa terjadi yaitu sampling error dan nonsampling error. Kesalahan tersebut mungkin terjadi karena kesalahan cakupan, kesalahan kerena ketidaklengkapan jawaban, kesalahan penentuan responden, maupun kesalahan pengukuran. Survei yang baik adalah survei dengan kesalahan seminimal mungkin. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat kesalahan data survei, sangat diperlukan evaluasi statistik terhadap data survei. Nilai kesalahan sampling biasanya diukur dari besar kecilnya nilai relatif standard error suatu karakteristik yang dirumuskan sebagai berikut rse(Yˆ )  se(Yˆ )  100% Yˆ 26 se(Yˆ )  v(Yˆ ) adalah estimasi standard error dari estimasi. Estimasi varians dilakukan dengan mengikuti disain sampling Riskesdas 2013 yang bersifat multistage dimana dasar perhitungan nilai varians ditentukan berdasarkan pertimbangan strata, primary sampling unit dan weight atau n n v(Yˆ )  ( z yi  z y ) 2  n  1 i 1 dimana z yi   wij yij 25 z yi   wij yij 25 j 1 j 1 menggunakan rumus dan sedangkan wij adalah nilai penimbang untuk rumah tangga terpilih ke-j di blok sensus terpilih ke-i. Perhitungan nilai estimasi untuk seluruh variabel, standard error, dan relative standard error menggunakan software program stata versi 8. Penilaian kesalahan sampling (sampling error) Riskesdas 2013 dihitung hanya untuk beberapa variable penting, yang mewakili seluruh komponen pokok yang dikumpulkan Riskesdas 2013. Hasil penilaiannya dapat dilihat pada lampiran “Estimasi kesalahan sampel Riskesdas 2013” menurut karakterisktik kelompok umur, dan estimasi 33 provinsi. 2.10. Pengembangan kuintil indeks kepemilikan Riskesdas 2013 tidak mengumpulkan pengeluaran rumah tangga untuk prediksi status ekonomi yang digunakan sebagai salah satu karakteristik untuk kepentingan analisis, tetapi digunakan pendekatan perhitungan indeks kepemilikan. 1. Penentuan kuintil indeks kepemilikan Status sosial ekonomi merupakan salah satu variabel proxy yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Terdapat tiga cara untuk mengukur status sosio-ekonomi, yaitu melalui data penghasilan per bulan, atau pengeluaran per bulan atau berdasarkan kepemilikan barang tahan lama. Ketiga proxy pengukuran status ekonomi tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahan. Pengukuran status ekonomi berdasarkan data penghasilan per bulan mudah ditanyakan, namun mempunyai akurasi yang sulit dipercaya, mengingat tidak semua responden bersedia menjawab dengan jujur jumlah penghasilan per bulan mereka. Di beberapa negara berkembang, sebagian besar penduduk berkerja pada sektor informal, sehingga sulit untuk mendapatkan informasi jumlah penghasilan pasti per bulannya. Mengukur status ekonomi berdasarkan data pengeluaran per bulan mempunyai akurasi yang cukup baik diantara ketiga cara pengukuran, namun untuk dapat memperoleh informasi pengeluaran tersebut diperlukan data rinci tentang berbagai jenis pengeluaran RT secara detail yang seringkali membingungkan responden dan time consumed. Pada beberapa tahun terakhir, pengukuran status ekonomi banyak menggunakan data kepemilikan barang tahan lama, seperti rumah, mobil, motor, sepeda, kulkas dan lain sebagainya. Kelebihan pengukuran berdasarkan kepemilikan barang tahan lama ini lebih mudah ditanyakan dan diobservasi, namun memerlukan perhitungan yang lebih kompleks untuk menyusun satu indeks kepemilikan yang merupakan komposit dari beberapa variabel terkait kepemilikan RT yang bersangkutan. Principal Component Analysis (PCA) merupakan salah satu teknik statistik yang menyatukan beberapa variabel menjadi indikator tunggal, seperti yang dilaporkan Ariawan (2006). Indikator tersebut berisi skor, bobot atau indeks untuk mengukur status ekonomi RT yang selanjutnya disebut indeks kepemilikan. Simulasi model penyusunan indeks dilakukan dengan cara mengidentifikasi variabel yang menunjukkan kepemilikan. Adapun hasil identifikasi variabel kepemilikan data Riskesdas 2013 dapat dilihat pada Tabel 2.10.1. Simulasi model penyusunan indeks kepemilikan untuk Riskesdas 27 2013 menggunakan variabel kepemilikan Susenas 2010 yang dibandingkan dengan pengukuran status ekonomi berdasarkan pengeluaran per bulan pada survei yang sama. Dari 21 variabel pada Tabel 2.10.1 terdapat 17 variabel yang dimiliki kedua survei (Susenas dan Riskesdas 2013) untuk analisis PCA dengan menggunakan korelasi polychoric. Dari matriks yang terbentuk hanya variabel yang memiliki nilai korelasi diatas 0,3 yang digunakan sebagai prediksi status ekonomi. Penapisan variabel dilakukan dengan mengeliminasi satu persatu variable secara bertahap yang memiliki korelasi dengan variabel lain dibawah 0,3 sampai didapat seluruh variabel dengan nilai korelasi diatas 0,3 dan besarnya proportion explained diatas 0,5. Dari 17 variabel tersebut diperoleh sembilan variabel yang memiliki korelasi diatas 0,3 dengan proportion explained 0,57, yang berarti komposit sembilan variabel tersebut dapat menjelaskan 57 persen status ekonomi RT. Tahap selanjutnya adalah membagi semua sampel RT menjadi lima kelompok sesuai indeks kepemilikan. Hasil pengelompokan RT tersebut diuji tabulasi silang dengan pengelompokan RT berdasarkan pengeluaran per bulan untuk melihat apakah rumah tangga kuintil terbawah pada status ekonomi berdasarkan indeks kepemilikan juga termasuk kuintil terbawah berdasarkan pengeluaran. Metoda yang sama juga dilakukan terhadap kuintil lainnya. Dari ke lima kuintil tersebut hanya kuintil terbawah dan teratas yang mempunyai ketepatan cukup baik. Artinya indeks kepemilikan mempunyai sensitivitas yang baik pada RT dengan status ekonomi terendah dan tertinggi. Model yang dibentuk dari 9 variabel tersebut diterapkan kedalam variabel yang ada pada data Riskesdas 2013, ditambah dengan 4 variabel kepemilikan pada Riskesdas 2013 yang tidak terdapat pada data Susenas 2010, kemudian dilakukan penapisan variabel dengan cara yang sama, pada akhirnya diperoleh 12 variabel yang mempunyai korelasi di atas 0,3 dan Proportion explained 53,6 persen. Variabel pembentuk indeks adalah: 1) sumber air utama untuk minum, 2) bahan bakar memasak, 3) kepemilikan fasilitas buang air besar, 4) jenis kloset, 5) tempat pembuangan akhir tinja, 6) sumber penerangan, 7) sepeda motor, 8) TV, 9) pemanas air, 10) tabung gas 12 kg, 11) lemari es, dan 12) mobil. Tahapan selanjutnya indeks yang sudah terbentuk dikelompokkan kedalam 5 kuintil: terbawah, menengah bawah, menengah, menengah atas, dan teratas Tabel 2.10.1 Variabel kepemilikan data Riskesdas 2013 Variabel Kepemilikan Data Riskesdas 2013 Variabel 1 Status kepemilikan rumah B9R1 2 Jenis atap terluas B9R6 3 Jenis dinding terluas B9R5 4 Jenis lantai terluas B9R4 5 Luas lantai B9R2 6 Jenis sumber air utama untuk minum B8R2 7 Kepemilikan fasilitas tempat BAB B9R8a 8 Jenis kloset B9R8b 9 Tempat pembuangan akhir tinja B9R8c 10 Sumber penerangan B9R7 11 Jenis bahan bakar/energi untuk memasak B8R12 12 Kepemilikan sepeda B9R9a 13 Kepemilikan sepeda motor B9R9b 14 Kepemilikan perahu B9R9c 15 TV/TV kabel B9R9d 16 AC B9R9e 17 Pemanas air B9R9f 18 Kepemilikan tabung gas 12 kg atau lebih B9R9g 19 Kepemilikan lemari es/kulkas B9R9h 20 Kepemilikan perahu motor B9R9i 21 Mobil B9R9j 28 2. Gambaran status ekonomi penduduk Indonesia Status ekonomi berdasarkan indeks kepemilikan memberi gambaran bahwa semakin tinggi kuintil RT, semakin banyak barang tahan lama yang dimiliki. Dalam tabel 2.10.2 terlihat bahwa secara nasional status ekonomi RT berdasarkan indeks kepemilikan: kuintil terbawah 15,6 persen, kuintil menengah bawah 19,3 persen, kuintil menengah 21,7 persen, kuintil menengah atas 23,7 persen dan kuintil teratas 19,7 persen. Pada tabel 2.10.2 nampak hampir seluruh provinsi mempunyai sebaran kuintil terbawah hingga teratas yang tidak jauh berbeda, kecuali di Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Bali, dan Kalimantan Timur, yaitu kuintil terbawah jauh lebih kecil dari kuintil teratas. Tujuh provinsi lain, yaitu Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Papua memiliki persentase sebaran kuintil terbawah jauh lebih besar daripada kuintil teratas. Papua merupakan provinsi dengan kuintil terbawah terbesar (63,3%), sedangkan DKI Jakarta merupakan provinsi dengan kuintil terbawah terkecil (0,5%). Untuk kuintil teratas, Bangka Belitung merupakan provinsi dengan kuintil teratas terbesar (50,6%), persentase terkecil provinsi NTT (2,3%). Tabel 2.10.2 Gambaran kuintil indeks kepemilikan menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Terbawah Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Jogjakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenngara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua 17,9 13,9 20,4 13,4 12,8 16,3 16,3 13,9 9,3 4,8 0,5 10,4 12,9 5,7 17,1 10,7 9,0 30,7 55,6 24,7 26,2 17,3 6,3 14,3 29,3 17,3 24,6 30,2 41,7 32,8 31,4 27,3 63,3 Indonesia 15,6 Kuintil indeks kepemilikan (%) Menengah Menengah Menengah bawah atas 18,8 14,9 17,0 13,8 18,5 28,7 20,2 20,1 17,1 17,5 15,9 20,3 17,7 19,5 20,5 19,9 19,2 24,0 17,6 20,3 19,4 22,8 25,1 18,8 11,4 11,4 17,4 11,9 17,7 34,8 5,2 16,5 43,9 20,0 24,4 28,0 23,4 28,3 21,3 19,3 29,7 20,6 22,1 23,9 22,9 11,5 17,6 31,5 14,2 19,4 24,9 28,9 20,2 12,9 24,2 10,3 7,1 19,2 23,3 16,5 22,8 15,8 16,0 20,7 19,8 19,2 11,7 15,3 27,6 23,1 21,5 22,0 24,7 17,3 15,3 16,8 17,2 21,8 22,8 21,6 17,8 22,3 17,5 17,2 23,3 14,1 11,3 25,0 18,9 17,8 28,0 18,6 15,3 22,6 18,4 19,6 11,3 7,8 7,8 19,3 29 21,7 23,7 Teratas 31,4 25,2 22,1 33,0 29,4 20,5 26,4 19,4 50,6 30,8 33,9 17,3 14,3 24,7 14,0 28,6 32,6 7,2 2,3 16,3 19,1 23,0 39,1 19,2 13,3 26,9 13,1 12,7 9,6 5,6 6,7 12,1 9,9 19,7 Gambaran status ekonomi berdasarkan tempat tinggal dapat dilihat pada Tabel 2.10.3. Pada tabel tersebut terlihat bahwa proporsi terbesar RT yang tinggal di perkotaan berada pada kelompok kuintil menengah atas. Tabel 2.10.3 Gambaran status ekonomi berdasarkan tempat tinggal, Indonesia 2013 Kuintil indeks kepemilikan (%) Tempat Terbawah Menengah Menengah Menengah Teratas tinggal bawah atas Perkotaan 4,4 11,6 22,1 32,1 29,7 Perdesaan 26,9 27,1 21,3 15,2 9,5 Indonesia 15,6 19,3 21,7 23,7 19,7 Sebagai langkah untuk menilai ketepatan indeks yang terbentuk, maka dilakukan tabulasi silang dengan variabel yang menunjukkan tingkatan sosial ekonomi. Variabel yang digunakan merupakan program pemerintah dikhususkan bagi tingkatan ekonomi tertentu, yaitu pelayanan kesehatan gratis dan program beras miskin. Pemerintah memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin di seluruh Indonesia melalui berbagai program diantaranya Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Sehat. Selain itu, masyarakat miskin yang tidak tercantum dalam database Jamkesmas, Jamkesda, PKH dan Kartu Sehat juga mendapatkan pelayanan kesehatan gratis dengan menggunakan surat keterangan tidak mampu (SKTM). Tabel 2.10.4 menunjukkan secara nasional, semakin rendah tingkat kekayaan rumah tangga semakin banyak yang mendapatkan pelayanan kesehatan gratis. Secara keseluruhan, hasil Riskesdas tidak membedakan wilayah-wilayah yang menerapkan kebijakan pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh tingkatan sosial ekonomi masyarakat di wilayahnya. Tabel 2.10.4 Persentase RT penerima pelayanan gratis berdasarkan kuintil Pelayanan Gratis (%) Kuintil Indeks Kepemilikan Ya Tidak Terbawah 37,1 62,9 Menengah Bawah 32,3 67,7 Menengah 26,7 73,3 Menengah Atas 20,1 80,0 Teratas 14,3 85,7 Program Beras Untuk Keluarga Miskin (Raskin) merupakan subsidi pangan yang diperuntukkan bagi keluarga miskin sebagai upaya dari pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan dan memberikan perlindungan pada keluarga miskin. Tujuan program beras miskin adalah untuk mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sasaran (RTS) melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras dan mencegah penurunan konsumsi energi dan protein. Selain itu raskin bertujuan untuk meningkatkan / membuka akses pangan keluarga melalui penjualan beras kepada keluarga penerima manfaat dengan jumlah yang telah ditentukan. Persentase rumah tangga mendapatkan beras miskin (Raskin) berdasarkan kuintil dapat dilihat pada tabel 2.10.5 Secara nasional, tampak semakin rendah tingkat kekayaan rumah tangga semakin banyak rumah tangga penerima beras miskin. 30 Tabel 2.10.5 Persentase Rumah Tangga Mendapat Beras Miskin (Raskin) Berdasarkan Kuintil Kuintil indeks kepemilikan Rumah tangga yang mendapat Raskin (%) Ya Tidak Terbawah 80,3 19,7 Menengah Bawah 75,5 24,5 Menengah 62,9 37,1 Menengah Atas 41,9 58,1 Teratas 19,5 80,5 31 BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Sesuai dengan tujuan dari Riskesdas 2013 yaitu memberikan informasi terkini keadaan kesehatan masyarakat dan juga memperhatikan perubahan yang terjadi dari 2007 untuk beberapa indikator, seperti status gizi, beberapa penyakit menular dan penyakit tidak menular, cakupan pelayanan kesehatan, serta kondisi lingkungan. Seluruh pembahasan disajikan menurut provinsi dan karakteristik penduduk. Untuk masing-masing bahasan mencantumkan jumlah sampel yang teranalisis baik untuk rumah tangga dan anggota rumah tangga. Penyajian berupa hasil analisis deskriptif yang dipresentasikan dalam bentuk prevalensi, proporsi, insiden, atau period prevalence berdasarkan definisi penyakit terkait, misalnya: 1) prevalensi gizi kurang pada balita adalah persentase jumlah balita yang berat badan menurut umurnya lebih kecil dari -2 SD standar WHO 2005 dari jumlah balita yang diukur; 2) insiden diare adalah kejadian diare dalam kurun waktu 2 minggu terakhir berdasarkan gejala atau diagnosis tenaga kesehatan; 3) period prevalence pneumonia adalah kejadian pneumonia dalam kurun waktu 1 bulan terakhir berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan. Beberapa prevalensi ditentukan berdasarkan hasil wawancara pernah didiagnosis tenaga kesehatan, atau minum obat, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium. Hasil pemeriksaan spesimen darah dan urin terbatas pada sampel yang dapat menggambarkan status kesehatan nasional dari penduduk perkotaan dan perdesaan. Analisis dilakukan untuk mengetahui proporsi anemia, diabetes mellitus, malaria, parameter kimia klinis untuk umur satu tahun keatas, sedangkan status iodium pada anak umur 6-12 tahun dan wanita usia subur 15-49 tahun. Data biomedis merupakan korfirmasi objektif untuk beberapa indikator status kesehatan, seperti malaria, anemia, diabetes mellitus, dan kecukupan konsumsi iodium. Tidak seluruh tabel hasil analisis disajikan dalam laporan ini. Fokus laporan pada buku ini lebih banyak pada hasil analisis kecenderungan untuk beberapa indikator yang dikumpulkan tahun 2007, 2010, dan 2013. Secara rinci laporan Riskesdas yang memuat tabel dipisahkan dan dirangkum dalam buku kedua “Riskesdas 2013 dalam Angka”. 32 3.1. Akses dan Pelayanan Kesehatan Gurendro Putro, Dwi Hapsari Tjandrarini, AntoniusYudi Kristanto, Agung Dwi Laksono Akses Pelayanan Kesehatan dalam Riskesdas 2013 mengetahui keberadaan fasilitas kesehatan yang terdiri dari rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, posyandu, poskesdes atau poskestren dan polindes. Moda transportasi yang dapat digunakan oleh rumah tangga menuju fasilitas kesehatan yang terdiri dari mobil pribadi, kendaraan umum, jalan kaki, sepeda motor, sepeda, perahu, transportasi udara dan lainnya serta penggunaan lebih dari dari satu moda transportasi atau kombinasi. Waktu tempuh dengan moda transportasi tersebut yang paling sering digunakan oleh rumah tangga dalam bentuk menit. Kemudian yang terakhir memperoleh gambaran tentang biaya atau ongkos transportasi oleh rumah tangga menuju fasilitas kesehatan dalam satu kali pergi. 3.1.1.Keberadaan pelayanan kesehatan Pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan (faskes) yang terdiri dari rumah sakit pemerintah dan swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu (pustu), praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, posyandu, poskesdes atau poskestren, dan polindes, terkait erat dengan akses rumah tangga terhadap faskes. Sampel rumah tangga yang diwawancara dan dianalisis sebanyak 294.959 rumah tangga. Data yang ditampilkan berupa persentase rumah tangga dengan pengetahuan tentang keberadaan faskes tertentu. Keberadaan fasilitas kesehatan secara nasional menurut provinsi pada hasil ini diuraikan tentang pengetahuan rumah tangga pada rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, bidan praktek dan posyandu. Data secara lengkap tentang fasilitas kesehatan ini secara nasional dan berdasarkan karakteristik yang diuraikan tentang tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka. 69,6 80,0 53,9 100,0 60,0 40,0 20,0 NTT Sultra Bengkulu Sulteng Papua Barat Papua Riau Maluku KalBar Sumut Sulut Lampung KalTeng NTB Jambi Sulsel Kep. Riau Banten Sumsel Malut Indonesia Jawa Barat Gorontalo Sumbar Jawa Timur KalSel Kaltim Babel DKI Jakarta DIY Jateng Sulbar Aceh Bali 0,0 RS Pemerintah RS Swasta Gambar 3.1.1 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta menurut provinsi, Indonesia 2013 33 Gambar 3.1.1 menunjukkan secara nasional 69,6 persen rumah tangga mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah, sedangkan rumah sakit swasta diketahui oleh 53,9 persen rumah tangga. Rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah tertinggi di Bali (88,6%) sedangkan terendah di Nusa Tenggara Timur (39,6%). Sedangkan pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan rumah sakit swasta tertinggi di DI Yogyakarta (82,4%) dan terendah di Sulawesi Barat (15,1%). 100,0 85,2 80,0 66,3 60,0 40,0 0,0 9,9 Papua NTT Papua Barat Maluku Sultra Sulut Malut Sulbar Sulteng Gorontalo NTB Sulsel KalBar KalTeng Aceh Bengkulu KalTim Kepri Babel KalSel Jambi Riau DIY Indonesia DKI Jakarta Sumbar Sumut Sumsel Banten Lampung Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah Bali 20,0 Gambar 3.1.2 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan bidan praktek atau rumah bersalin menurut provinsi, Indonesia 2013 Pada gambar 3.1.2 menunjukkan pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan praktek bidan atau rumah bersalin secara nasional angkanya 66,3 persen, namun jika dilihat antar provinsi, maka tertinggi di Bali (85,2%) dan terendah di Papua (9,9%). 34 100,0 78,2 80,0 65,2 60,0 40,0 26 0,0 Bengkulu Papua Barat Papua KalTeng Sulut NTT Sulteng KalBar Jambi Riau Sulsel Kepri Sumut Lampung Sultra Maluku Babel Gorontalo Sumbar Sumsel KalSel Aceh KalTim Malut Indonesia Banten Jawa Timur DIY Jawa Tengah Sulbar NTB DKI Jakarta Bali Jawa Barat 20,0 Gambar 3.1.3 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan posyandu menurut provinsi, Indonesia 2013 Pengetahuan rumah tentang keberadaan posyandu secara nasional angkanya 65,2 persen. Jika dilihat menurut provinsi, maka tertinggi di Jawa Barat (78,2%) dan terendah di Bengkulu (26%). 3.1.2. Keterjangkauan fasilitas kesehatan Keterjangkauan faskes dalam Riskesdas 2013 ini dilihat dari aspek moda transportasi yang digunakan, waktu tempuh (dalam satuan menit), dan biaya transportasi menuju faskes. Moda transportasi yang digunakan menuju faskes dapat berupa mobil pribadi, kendaraan umum, jalan kaki, sepeda motor, sepeda, perahu, transportasi udara (kecuali ke posyandu, poskesdes, dan polindes) dan yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi. Waktu tempuh rumah tangga menuju faskes dihitung dalam satuan menit dan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu ≤15 menit; 16 – 30 menit; 31-60 menit; dan >60 menit. Biaya transportasi menuju faskes dikelompokkan dalam 3 kategori untuk pengobatan modern (rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas, praktek dokter atau klinik dan praktek bidan atau rumah bersalin, yaitu ≤ Rp.10.000; >Rp.10.000 – 50.000 dan >Rp.50.000,- dan 2 kategori untuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yaitu di posyandu, poskesdes atau poskestren dan polindes yaitu ≤ Rp.10.000 dan >Rp.10.000. 35 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 Perkotaan Perdesaan Kendaraan Umum Terbawah Menengah Menengah Menengah bawah Atas Lebih dari 1 Alat Transportasi Sepeda Motor Mobil Pribadi Teratas Lainnya Gambar 3.1.4 Proporsi moda transportasi ke rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Indonesia 2013 Proporsi rumah tangga yang menggunakan berbagai moda transportasi sepeda motor menuju rumah sakit pemerintah berdasarkan tempat tinggal di perkotaan 53,6 persen dan perdesaan 46,5 persen. Untuk penggunaan kendaraan umum di perkotaan 28 persen dan perdesaan 35,5 persen. Sedangkan yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi di perkotaan 8,5 persen sedangkan di perdesaan 11,4 persen. Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka. 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0 Perkotaan Perdesaan Kendaraan Umum Terbawah Lebih dari 1 Alat Transportasi Menengah bawah Menengah Sepeda Motor Menengah Atas Mobil Pribadi Teratas Lainnya Gambar 3.1.5 Proporsi moda transportasi ke Puskesmas berdasarkan karakteristik, Indonesia 2013 36 Proporsi rumah tangga menuju puskesmas yang dapat menggunakan kendaraan umum di perkotaan 2,7 persen dan perdesaan 0,9 persen. Sedangkan yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi di perkotaan 1,9 persen dan perdesaan 1,8 persen. Rumah tangga yang menggunakan sepeda motor di perkotaan 14,1 persen dan perdesaan 11,4 persen, sedangkan yang jalan kaki di perkotaan 57,3 persen dan perdesaan 63,7 persen. Menurut kuintil indeks kepemilikan bahwa yang tertinggi adalah dengan sepeda motor, tertinggi pada rumah tangga teratas (68,7%) dan terendah rumah tangga terbawah (44,9%). Sedangkan pada pemakaian kendaraan umum tertinggi pada rumah tangga terbawah (21,8%) dan terendah di rumah tangga teratas (8,4%). Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka. 100,0 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0 ≤ 15 menit 16-30 menit 31-60 menit > 60 menit Gambar 3.1.6 Waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan terdekat menurut pengetahuan rumah tangga, Indonesia 2013 Waktu tempuh rumah tangga menuju fasilitas kesehatan di rumah sakit pemerintah tertinggi pada 16-30 menit (34,4%) dan terendah > 60 menit (18,5%). Pola ini hampir sama dengan waktu tempuh menuju rumah sakit swasta dimana tertinggi pada 16 – 30 menit (37,3%) dan terendah > 60 menit (12,4%). Sedangkan pada fasilitas kesehatan di puskesmas atau pustu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, poskesdes atau poskestren, polindes dan posyandu terbanyak pada waktu tempuh ≤ 15 menit. Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka. 37 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 Perkotaan Perdesaan ≤ 15 menit Terbawah Menengah Menengah Menengah bawah atas 16-30 menit 31-60 menit Teratas > 60 menit Gambar 3.1.7 Waktu tempuh menuju rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Indonesia 2013 Waktu tempuh rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menurut tempat tinggal dengan waktu 16-30 menit, tertinggi di perkotaan (41%) dan perdesaan 25,6 persen. Dengan waktu 31-60 menit di perkotaan 24,7 persen dan perdesaan 34,5 persen. Sedangkan dengan waktu tempuh ≤ 15 menit di perkotaan 27,3 persen dan perdesaan 6,3 persen. Sedangkan menurut kuintil indeks kepemilikan, dengan waktu tempuh 16-30 menit, tertinggi pada rumah tangga teratas (38,5%) dan terendah pada rumah tangga terbawah (22,2%). Dengan waktu tempuh 31-60 menit, tertinggi pada rumah tangga terbawah (31,3%) dan terendah pada rumah tangga teratas (25,5%). Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka. 100,0 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0 RS Pemerintah ≤ Rp.10.000 RS Swasta Puskesmas/Pustu > Rp. 10.000 -Rp.50.000 Praktek dokter/klinik Praktek bidan/RB > Rp.50.000 Gambar 3.1.8 Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan terdekat, Indonesia 2013 Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin dengan 3 kategori yaitu ≤ Rp.10.000,-; >Rp.10.000 – Rp.50.000 dan > Rp,50.000,-. Biaya transportasi masih didominasi pada ≤ Rp.10.000,- di rumah sakit pemerintah (63,6%), rumah sakit swasta (71,6%), puskesmas atau puskesmas pembantu (91,3%), dokter praktek atau klinik (90,5%) dan praktek bidan atau rumah bersalin (95,2%). Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka. 38 100,0 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0 Poskesdes/Poskestren ≤ Rp. Polindes . Posyandu > Rp. 10.000 Gambar 3.1.9 Biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Indonesia 2013 Biaya transportasi menuju Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat seperti Poskesdes atau poskestren, polindes dan posyandu dibuat dalam 2 kategori yaitu yaitu ≤Rp.10.000,- dan >Rp.10.000,-. Pada biaya transportasi ini masih banyak yang ≤Rp.10.000,- yaitu di poskesdes atau poskestren (97,4%), polindes (97,8%) dan posyandu (97,8%). Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka. 39 3.2. Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Retno Gitawati, Andi Leni Susyanti, Rini Sasanti H, Selma Siahaan, Ani Isnawati, Lucie Widowati, Anggita BA, Olwin Nainggolan dan Dwi Hapsari Tjandrarini Bahasan Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) bertujuan mengetahui proporsi rumah tangga (RT) yang menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), proporsi rumah tangga yang memiliki pengetahuan benar tentang Obat Generik (OG) dan sumber informasi tentang OG. Pertanyaan Yankestrad mencakup jenis dan alasan memanfaatkan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir. Sampel yang dianalisis sejumlah 294.969 rumah tangga, dikelompokkan menjadi tiga: 1) Obat dan Obat Tradisional (OT); 2) Pengetahuan rumah tangga tentang obat generik (OG), dan 3) Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad). Farmasi dan Yankestrad merupakan bahasan baru yang dikumpulkan informasinya pada Riskesdas 2013. 3.2.1. Obat dan Obat Tradisional (OT) di rumah tangga Gambar 3.2.1 menunjukkan bahwa dari 35,2 persen rumah tangga yang menyimpan obat untuk swamedikasi, terdapat obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang tidak teridentifikasi. Gambar 3.2.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan, Indonesia 2013 Secara nasional proporsi RT yang menyimpan obat keras 35,7 persen dan antibiotika 27,8 persen. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional. Tabel 3.2.1 menunjukkan variasi RT yang menyimpan obat untuk keperluan swamedikasi, dengan proporsi tertinggi rumah tangga di DKI Jakarta (56,4%) dan terendah di Nusa Tenggara Timur (17,2%). Rerata sediaan obat yang disimpan hampir 3 macam, tertinggi di Gorontalo (4) dan terendah di Lampung (2). 40 Tabel 3.2.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata jumlah obat yang disimpan menurut provinsi, Indonesia 2013 Menyimpan obat Ya (%) Rerata jumlah obat Provinsi 31,6 2,8 Aceh 33,5 2,7 Sumatera Utara 25,5 2,9 Sumatera Barat 28,0 2,3 Riau 33,6 2,4 Jambi 32,6 2,7 Sumatera Selatan 24,8 2,3 Bengkulu 19,8 2,0 Lampung 46,0 2,9 Bangka Belitung 47,4 2,8 Kepulauan Riau 56,4 2,9 DKI Jakarta 36,3 3,0 Jawa Barat 31,9 2,6 Jawa Tengah 50,7 3,2 DI Yogyakarta 36,6 3,3 Jawa Timur 36,6 2,8 Banten 35,1 2,8 Bali 25,5 2,9 Nusa Tenggara Barat 17,2 2,9 Nusa Tenggara Timur 34,4 2,6 Kalimantan Barat 39,7 2,9 Kalimantan Tengah 55,5 3,3 Kalimantan Selatan 43,1 2,7 Kalimantan Timur 37,3 3,6 Sulawesi Utara 38,4 3,4 Sulawesi Tengah 41,0 3,2 Sulawesi Selatan 30,3 2,8 Sulawesi Tenggara 28,6 4,4 Gorontalo 23,6 2,7 Sulawesi Barat 28,9 3,8 Maluku 25,1 3,6 Maluku Utara 26,0 3,4 Papua Barat 17,3 2,8 Papua 35,2 2,9 Indonesia Berdasarkan karakteristik, hampir tidak ada perbedaan dalam hal jenis obat yang disimpan di rumah tangga (Tabel 3.2.2). 41 Tabel 3.2.2 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat berdasarkan jenis obat menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Indonesia Obat keras Obat bebas Antibiotika Obat tradisional Obat tidak teridentifikasi 35,5 35,9 83,6 79,2 26,4 30,1 17,2 13,2 6,8 6,8 33,7 33,4 35,1 36,2 37,1 35,7 75,9 77,6 80,2 83,2 85,9 82,0 31,5 28,6 27,6 27,7 26,5 27,8 6,8 8,1 7,5 6,8 4,3 15,7 12,6 13,0 13,9 16,3 18,7 6,4 Dari 35,7 persen rumah tangga yang menyimpan obat, 81,9 persen rumah tangga menyimpan obat keras yang diperoleh tanpa resep dokter (Tabel 3.2.3). Variasi antar provinsi, proporsi tertinggi di Lampung (90,5%) dan terendah di Gorontalo (70,8%). Demikian halnya dengan antibiotika, delapan puluh enam persen rumah tangga menyimpan antibiotika tanpa resep, dengan proporsi tertinggi di Kalimantan Tengah (93,4%) dan terendah di Gorontalo (74,7%). Proporsi rumah tangga yang menyimpan antibiotik dan obat keras tanpa resep ini cukup tinggi.. Secara nasional Tabel 3.2.4 menunjukkan apotek dan toko obat/warung merupakan sumber utama mendapatkan obat rumah tangga dengan proporsi masing-masing 41,1 persen dan 37,2 persen. Berdasarkan tempat tinggal, proporsi rumah tangga yang memperoleh obat di apotek lebih tinggi di perkotaan, sebaliknya proporsi rumah tangga yang memperoleh obat di toko obat/warung lebih tinggi di perdesaan. Namun, 23,4 persen rumah tangga memperoleh obat langsung dari tenaga kesehatan (nakes), proporsi tertinggi di perdesaan (31,5%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, cenderung semakin rendah memperoleh obat dari sumber nakes. Proporsi rumah tangga yang mendapatkan obat dari pelayanan kesehatan formal (puskesmas, rumah sakit, klinik) tidak berbeda antara perkotaan (16,9%) dan perdesaan (16,6%). Tabel 3.2.5 menunjukkan status obat yang ada di rumah tangga untuk tujuan swamedikasi. Status obat dikelompokkan menurut obat yang ‘sedang digunakan’, obat ‘untuk persediaan’ jika sakit, dan ‘obat sisa’. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa dari penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Secara nasional 47,0 persen rumah tangga menyimpan obat sisa, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi rumah tangga yang menyimpan obat untuk persediaan (42,2%). Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat sisa juga lebih tinggi di perdesaan dan kuintil indeks kepemilikan terendah. 42 Tabel 3.2.3 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Jenis obat tanpa resep Obat keras Antibiotika 81,4 85,9 85,4 87,0 81,7 85,2 87,3 89,1 86,6 87,9 84,3 85,6 86,0 89,2 90,5 92,0 84,0 86,7 80,6 87,7 85,1 89,0 81,3 84,9 82,0 87,1 78,1 90,2 79,7 85,5 82,3 84,9 80,8 87,1 77,9 79,7 77,9 77,7 87,9 90,2 89,7 93,4 86,3 90,6 80,0 87,1 73,8 81,4 80,2 83,3 76,3 79,7 83,9 84,6 70,8 74,7 82,2 83,2 78,4 80,1 82,2 86,1 85,6 85,7 82,1 85,4 81,9 86,1 43 Tabel 3.2.4 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Apotek Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Indonesia Toko obat/ warung Pemberian orang lain Yankes formal Nakes Yankes - trad Penjual OT keliling 50,2 25,5 35,3 40,5 1,7 1,9 16,9 16,6 18,7 31,5 1,4 1,3 1,1 1,7 15,4 25,0 35,7 45,5 55,5 41,1 43,1 41,3 39,1 37,0 32,3 37,2 2,9 1,7 2,1 1,6 1,3 1,7 19,7 17,3 18,3 16,8 14,7 16,8 30,5 28,7 24,4 22,3 19,2 23,4 0,9 1,1 1,3 1,3 1,7 1,3 2,0 1,7 1,4 0,9 1,3 1,3 Tabel 3.2.5 Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat yang disimpan menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Indonesia Status obat di rumah tangga Sedang digunakan Untuk persediaan Obat sisa 31,1 33,8 46,7 34,4 46,3 48,1 35,2 34,9 33,3 31,4 29,7 32,1 29,8 32,4 37,0 45,1 51,3 42,2 48,1 48,0 48,1 47,1 45,1 47,0 3.2.2. Pengetahuan rumah tangga tentang Obat Generik (OG) Bahasan ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar dan ’berpengetahuan benar’, serta persepsi mengenai OG. Definisi rumah tangga ’berpengetahuan benar’ tentang OG adalah rumah tangga mengetahui bahwa obat generik merupakan obat yang khasiatnya sama dengan obat bermerek dan tanpa menggunakan merek dagang. Selain itu pada sub-blok ini juga disajikan proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi OG. Tabel 3.2.6 menunjukkan bahwa secara nasional terdapat 31,9 persen rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG. Dari jumlah tersebut, sebagian besar (85,9%) tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang OG. Tabel 3.2.7 menunjukkan pengetahuan benar tentang OG rendah baik di rumah tangga perkotaan maupun di perdesaan. Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi proporsi RT dengan pengetahuan benar tentang OG. Tabel 3.2.8 menunjukkan 82,3 persen rumah tangga mempunyai persepsi OG sebagai obat murah dan 71,9 persen obat program pemerintah. Sejumlah 42,9 persen rumah tangga mempersepsikan OG berkhasiat sama dengan obat bermerek. Persepsi tersebut perlu dipromosikan lebih gencar 44 untuk mendorong penggunaan OG lebih luas dan lebih baik di masyarakat. Proporsi rumah tangga dengan persepsi bahwa OG adalah obat tanpa merek dagang, paling rendah (21,0%), padahal persepsi tersebut adalah salah satu persepsi benar yang diharapkan diketahui masyarakat luas. Tabel 3.2.6 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG ) menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Mengetahui tentang OG 30,8 31,0 25,2 29,0 36,7 24,7 17,9 18,1 33,6 38,9 63,6 38,0 29,1 51,4 25,8 37,8 49,5 20,0 12,0 23,1 25,5 29,2 42,3 36,5 21,4 25,2 28,1 39,2 19,8 24,0 19,2 33,3 17,3 31,9 45 Pengetahuan tentang OG Benar Salah 20,7 79,3 11,3 88,7 13,0 87,0 10,8 89,2 11,4 88,6 12,0 88,0 8,2 91,8 9,2 90,8 12,4 87,6 11,7 88,3 14,9 85,1 17,4 82,6 12,7 87,3 17,1 82,9 12,0 88,0 13,3 86,7 19,4 80,6 8,2 91,8 23,5 76,5 12,8 87,2 14,8 85,2 11,5 88,5 12,2 87,8 13,2 86,8 7,5 92,5 10,0 90,0 11,8 88,2 30,9 69,1 7,2 92,8 15,9 84,1 14,6 85,4 13,9 86,1 16,4 83,6 14,1 85,9 Tabel 3.2.7 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar Tentang obat generik (OG ) menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Mengetahui tentang OG Pengetahuan tentang OG Benar Salah 46,1 17,4 14,9 12,1 85,1 87,9 6,2 15,2 27,1 43,1 60,2 9,2 10,8 11,9 13,4 17,1 90,8 89,2 88,1 86,6 82,9 Tabel 3.2.8 Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsinya tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Indonesia 2013 Persepsi rumah tangga tentang OG Obat Obat Obat Dapat Obat Khasiat Obat Karakteristik gratis murah bagi dibeli di tanpa sama dg program pasien warung merek obat ber pemerinmiskin dagang merek tah Tempat tinggal Perkotaan 41,1 84,7 43,8 22,7 21,6 46,0 73,4 Perdesaan 47,6 75,8 44,0 21,7 19,1 34,5 67,8 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 52,8 69,4 48,7 24,4 16,6 27,8 61,8 Menengah bawah 45,6 74,4 46,5 22,3 17,9 33,6 65,0 Menengah 43,2 80,0 46,7 21,8 19,0 38,9 70,1 Menengah atas 41,8 83,6 45,3 21,8 20,3 42,9 72,0 Teratas 42,2 85,4 40,2 23,1 23,6 48,4 75,1 Indonesia 42,9 82,3 43,9 22,4 21,0 42,9 71,9 Sumber informasi tentang OG di perkotaan maupun perdesaan paling banyak diperoleh dari tenaga kesehatan (63,1%). Informasi oleh tenaga kesehatan ini, juga merata pada semua kuintil indeks kepemilikan (Tabel 3.2.9). Sumber informasi OG dari media cetak dan elektronik lebih banyak diakses oleh rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi. 46 Tabel 3.2.9 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Indonesia 2013 Sumber informasi tentang OG Karakteristik Media Media Tenaga Kader, Teman, Pendidikan cetak elektronik kesehatan toma kerabat Tempat tinggal Perkotaan 26,5 57,4 62,9 15,4 20,0 8,3 Perdesaan 22,9 52,3 63,4 20,0 22,6 8,3 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 16,3 38,9 65,1 22,0 24,4 6,0 Menengah bawah 16,8 46,9 60,0 17,1 20,0 4,3 Menengah 19,7 51,8 60,2 16,2 18,0 5,7 Menengah atas 22,9 54,9 62,3 15,5 19,5 6,2 Teratas 33,7 62,7 65,7 17,2 22,9 12,6 Indonesia 25,6 56,0 63,1 16,6 20,7 8,3 3.2.3. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) Yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu yankestrad ramuan (pelayanan kesehatan yang menggunakan jamu, aromaterapi, gurah, homeopati dan spa), keterampilan dengan alat (akupunktur, chiropraksi, kop/bekam, apiterapi, ceragem, dan akupresur), keterampilan tanpa alat (pijat-urut, pijat-urut khusus ibu/bayi, pengobatan patah tulang, dan refleksi), dan keterampilan dengan pikiran (hipnoterapi, pengobatan dengan meditasi, prana, dan tenaga dalam). Gambar dan tabel pada bahasan berikut ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan yankestrad dalam satu tahun terakhir, jenis-jenis yankestrad yang dimanfaatkan serta alasan utama memanfaatkannya. Gambar 3.2.2 Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan, Indonesia 2013 47 Sejumlah 89.753 dari 294.962 (30,4%) rumah tangga di Indonesia memanfaatkan yankestrad dalam 1 tahun terakhir. Jenis yankestrad yang dimanfaatkan oleh rumah tangga terbanyak adalah keterampilan tanpa alat (77,8%) dan ramuan (49,0%) (Gambar 3.2.2). Tabel 3.2.10 menunjukkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan yankestrad tertinggi di Kalimantan Selatan (63,1%) dan terendah di Papua Barat (5,9%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan yankestrad ramuan tertinggi di Jawa Timur (65,2%) dan yang terendah di Bengkulu (23,5%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan yankestrad keterampilan dengan alat tertinggi di DKI Jakarta (20,7%) dan terendah di Gorontalo (1,3%). Tabel 3.2.10 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis yankestrad yang dimanfaatkan menurut provinsi, Indonesia 2013 Jenis yankestrad Pernah Ramuan Keterampilan memanfaatProvinsi kan Dengan alat Tanpa alat Dengan yankestrad pikiran Aceh 18,5 44,3 4,9 61,1 17,1 Sumatera Utara 26,3 38,8 6,0 79,5 2,0 Sumatera Barat 31,6 32,3 3,9 81,9 6,0 Riau 20,1 29,4 7,0 84,4 2,4 Jambi 29,4 42,6 2,5 84,2 2,8 Sumatera Selatan 26,4 29,3 5,1 87,3 1,2 Bengkulu 22,9 23,5 4,7 86,3 1,7 Lampung 19,3 36,9 3,7 85,1 1,6 Bangka Belitung 29,1 32,7 6,0 79,6 4,7 Kepulauan Riau 23,2 25,8 11,1 73,4 6,1 DKI Jakarta 31,0 44,7 20,7 62,3 2,1 Jawa Barat 23,7 48,0 13,1 68,1 2,2 Jawa Tengah 27,7 46,4 6,2 73,5 2,1 DI Yogyakarta 44,0 58,1 5,9 72,6 1,1 Jawa Timur 58,0 65,2 3,9 84,7 1,7 Banten 33,0 40,7 10,3 78,4 2,2 Bali 25,0 39,4 9,7 72,6 5,1 Nusa Tenggara Barat 19,6 25,1 2,1 76,5 8,8 Nusa Tenggara Timur 19,6 30,3 1,6 80,2 7,1 Kalimantan Barat 13,5 42,0 6,6 76,9 5,2 Kalimantan Tengah 30,0 36,4 4,7 89,0 0,7 Kalimantan Selatan 61,3 43,3 3,5 90,8 1,3 Kalimantan Timur 29,0 40,1 8,5 81,7 0,6 Sulawesi Utara 13,4 28,4 8,2 77,1 1,8 Sulawesi Tengah 26,1 29,4 4,8 83,8 3,7 Sulawesi Selatan 11,8 39,1 9,7 47,8 18,0 Sulawesi Tenggara 15,0 32,8 3,2 72,5 5,1 Gorontalo 49,8 23,7 1,3 93,6 1,0 Sulawesi Barat 6,8 26,1 5,4 72,5 1,1 Maluku 18,0 44,3 3,0 73,8 3,9 Maluku Utara 9,4 41,7 1,9 65,7 11,1 Papua Barat 5,9 30,6 3,2 73,8 1,6 Papua 6,5 55,7 3,1 54,0 3,1 Indonesia 30,4 49,0 7,1 77,8 2,6 Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan yankestrad keterampilan tanpa alat tertinggi di Gorontalo (93,6%) dan terendah di Sulawesi Selatan (47,8%). Proporsi rumah tangga yang 48 memanfaatkan yankestrad keterampilan dengan pikiran tertinggi di Sulawesi Selatan (18,0%) dan terendah di Kalimantan Timur (0,6%). Tabel 3.2.11 menunjukkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan yankestrad keterampilan tanpa alat di perdesaan (81,8%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (74,3%). Sebaliknya, pemanfaatan yankestrad keterampilan dengan alat di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan perdesaan (10,4% vs 3,3%). Yankestrad ramuan dimanfaatkan rumah tangga di perkotaan dan perdesaan dengan proporsi yang seimbang. Tabel 3.2.11 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Indonesia 2013 Jenis yankestrad Pernah Ramuan Keterampilan memanfaatkan Karakteristik Dengan alat Tanpa alat Dengan yankestrad pikiran Tempat tinggal Perkotaan 32,2 49,3 10,4 74,3 2,2 Perdesaan 28,7 48,6 3,3 81,8 3,1 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 26,0 48,6 1,7 81,7 3,4 Menengah bawah 29,1 52,1 3,4 79,5 2,7 Menengah 30,4 53,9 5,3 75,9 2,6 Menengah atas 32,5 49,0 8,6 76,2 2,1 Teratas 32,7 41,5 13,7 77,4 2,5 Tabel 3.2.12 memperlihatkan alasan utama terbanyak pemanfaatan berbagai yankestrad oleh rumah tangga. Yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, dan keterampilan tanpa alat sebagian besar dimanfaatkan rumah tangga dengan alasan utama ‘menjaga kesehatan, kebugaran’. Proporsi rumah tangga dengan alasan utama ‘coba-coba’ cukup tinggi untuk yankestrad keterampilan dengan alat (20,7%), perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya dampak negatif dari penggunaan alat yang belum terstandardisasi. Alasan utama karena ‘tradisi kepercayaan’ terlihat dominan pada pemanfaatan yankestrad keterampilan dengan pikiran (37,2%). Tabel 3.2.12 Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan yankestrad, Indonesia 2013 Alasan memanfaatkan yankestrad Menjaga Tradisi, Lebih CobaPutus Biaya Jenis yankestrad kesehatan, kepermanjur coba asa murah Kebugaran cayaan Yankestrad ramuan 52,7 12,3 18,4 2,8 1,8 6,8 Keterampilan dengan alat 32,1 10,4 19,5 20,7 5,8 5,7 Keterampilan tanpa alat 55,4 12,9 17,2 1,8 2,1 5,7 Keterampilan dengan pikiran 12,9 37,2 17,8 11,4 12,5 4,1 49 3.3. Kesehatan Lingkungan Athena Anwar, Agustina Lubis, D. Anwar Musadad, Sri Irianti, Ika Dharmayanti, Inswiasri, Sonny Warouw, Miko Hananto, Puguh PP dan Yusniar Topik kesehatan lingkungan pada Riskesdas 2013 bertujuan untuk mengevaluasi program yang sudah ada, menindaklanjuti upaya perbaikan yang akan dijalankan, dan mengidentifikasi faktor risiko lingkungan berbagai jenis penyakit dan gangguan kesehatan. Dengan diperolehnya data kesehatan lingkungan termutakhir, diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan dalam upaya pengendalian penyakit berbasis lingkungan. Pada Riskesdas 2013 disajikan data kesehatan lingkungan yang meliputi, air minum, sanitasi (jamban dan sampah), dan kesehatan perumahan. Data kesehatan perumahan meliputi jenis bahan bangunan, lokasi rumah dan kondisi ruang rumah, kepadatan hunian, jenis bahan bakar untuk memasak, dan penggunaan atau penyimpanan pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Di samping itu disajikan data perilaku rumah tangga dalam menguras bak mandi berkaitan dengan risiko penyebaran penyakit tular vektor (DBD, malaria). Sebagai unit analisis adalah rumah tangga. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menyajikan keadaan kesehatan lingkungan menurut provinsi, tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan. 3.3.1. Air minum Ruang lingkup air dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi, jenis sumber air untuk keperluan rumah tangga dan minum. Rerata pemakaian air per orang per hari, jarak sumber air minum terhadap penampungan tinja, jarak dan waktu tempuh ke sumber air minum, anggota rumah tangga yang mengambil air minum, kualitas fisik air minum, pengelolaan (pengolahan dan penyimpanan) air minum. Tabel secara lengkap disajikan pada Buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Untuk akses terhadap sumber air minum digunakan kriteria JMP WHO - Unicef tahun 2006. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga memiliki akses ke sumber air minum improved adalah rumah tangga dengan sumber air minum dari air ledeng/ PDAM, sumur bor/ pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung, penampungan air hujan, dan air kemasan (HANYA JIKA sumber air untuk keperluan rumah tangga lainnya improved). Hasil menunjukkan bahwa jenis sumber air untuk seluruh kebutuhan rumah tangga di Indonesia pada umumnya adalah sumur gali terlindung (29,2%), sumur pompa (24,1%), dan air ledeng/PDAM (19,7%) (Riskesdas 2013 dalam Angka). Di perkotaan, lebih banyak rumah tangga yang menggunakan air dari sumur bor/pompa (32,9%) dan air ledeng/PDAM (28,6%), sedangkan di perdesaan lebih banyak yang menggunakan sumur gali terlindung (32,7%). (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka). Pada rumah tangga yang menggunakan sumber air untuk seluruh keperluan rumah tangga selain air sungai/danau/irigasi, pemakaian air per orang per hari oleh rumah tangga di Indonesia, pada umumnya berjumlah antara 50 sampai 99,9 liter (28,3%), dan antara 100 sampai 300 liter (40%). Proporsi rumah tangga tertinggi untuk pemakaian air antara 100 liter sampai 300 liter per orang per hari paling tinggi adalah Banten (54,5%), sedangkan proporsi terendah adalah Nusa Tenggara Timur (10,1%). Masih terdapat rumah tangga dengan pemakaian air kurang dari 20 liter per orang per hari, bahkan kurang dari 7,5 liter per orang per hari (masing-masing 4,9 persen dan 0,1 persen). Berdasarkan provinsi, proporsi rumah tangga dengan jumlah pemakaian air per orang per hari kurang dari 20 liter tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (30,4%) diikuti Papua (22,5%) (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka). Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan pemakaian air kurang dari 20 liter per orang per hari di perdesaan lebih tinggi (5,8%) dibandingkan di perkotaan (4,0%), sebaliknya proporsi rumah tangga jumlah pemakaian air per orang per hari 20 liter atau lebih di perkotaan lebih tinggi 50 95,9%) dibandingkan dengan di perdesaan (94,2%). Rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan menengah sampai teratas cenderung menggunakan air lebih dari 100 liter per orang per hari, sedangkan rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah dan terbawah kecenderungan pemakaian air kurang dari 20 liter per orang per hari (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka). Untuk sumber air minum, rumah tangga di Indonesia menggunakan air kemasan, air isi ulang/depot air minum, air ledeng baik dari PDAM maupun membeli eceran, sumur bor/pompa, sumur terlindung, mata air (baik terlindung maupun tidak terlindung), penampungan air hujan dan air sungai/irigasi (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka). Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di Indonesia adalah sebesar 66,8 persen. Lima provinsi dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga yang memiliki akses terhadap air minum improved adalah Bali (82,0%), DI Yogyakarta (81,7%), Jawa Timur (77,9%), Jawa Tengah (77,8%), dan Maluku Utara (75,3%); sedangkan lima provinsi terendah adalah Kepulauan Riau (24,0%), Kalimantan Timur (35,2%), Bangka Belitung (44,3%), Riau (45,5%), dan Papua (45,7%) (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka). Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di perkotaan (64,3%) lebih rendah dibandingkan di perdesaan (69,4%). Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved paling tinggi adalah rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan menengah (75,7%) dan menengah bawah (74,0%) (Gambar 3.3.1). 100,0 80,0 74,0 69,4 64,3 63,7 75,7 61,2 59,2 60,0 40,0 20,0 0,0 Perkotaan Perdesaan Terbawah Menengah Menengah Menengah bawah atas Teratas Gambar 3.3.1 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum Improved menurut karakteristik, Indonesia 2013 Apabila dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007 dan 2010, maka proporsi rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved cenderung meningkat (tahun 2007: 62,0%; tahun 2010: 62,9%; tahun 2013: 66,8%) (Gambar 3.3.2). 51 100,0 80,0 66,8 60,0 60,8 62,0 40,0 20,0 Kepri Kaltim Babel Riau Papua Aceh Kalteng Sumbar Kalsel Papbar Sumut Jambi Sulsel Sulut DKI Banten Jabar Sumsel Sulbar Bengkulu Sulteng Indonesia Kalbar Maluku NTT Gorontalo Lampung NTB Sultra Malut Jateng Jatim DIY Bali 0,0 2007 2010 2013 Gambar 3.3.2 Kecenderungan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum Improved menurut provinsi, 2007, 2010, dan 2013 Gambar 3.3.3 menunjukkan situasi anggota rumah tangga menurut gender yang biasa mengambil air di Indonesia. Pada umumnya yang biasa mengambil air minum adalah laki-laki dewasa dan perempuan dewasa (masing-masing 59,5% dan 38,4%). Apabila dibandingkan, proporsi anggota rumah tangga laki-laki dewasa mengambil air di perkotaan (72,2%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (49,8%); sedangkan untuk perempuan dewasa di perdesaan (47,3%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (26,7%). 1,1 80,0 1,0 38,4 72,2 60,0 49,8 47,3 40,0 59,5 26,7 20,0 Dewasa P Anak P 0,0 Dewasa L Anak L 1,5 1,3 0,4 0,7 Perkotaan Dewasa P Dewasa L Perdesaan Anak P Gambar 3.3.3 Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa mengambil air, Indonesia 2013 52 Anak L Masih terdapat anak laki-laki (1,0%) dan anak perempuan (1,1%) berumur di bawah 12 tahun yang biasa mengambil air untuk kebutuhan minum rumah tangga. Proporsi rumah tangga dengan anak perempuan berumur di bawah 12 tahun sebagai pengambil air minum di perdesaan (1,5%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (0,4%) Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi juga proporsi rumah tangga dengan anggota rumah tangga laki-laki dewasa mengambil air; sebaliknya semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah proporsi rumah tangga dengan anggota rumah tangga perempuan dewasa mengambil air (Gambar 3.3.4). 79,6 Teratas 0,3 Anak P 0,6 0,4 19,4 23,9 Menengah Dewasa L Menengah atas 0,8 0,5 0,9 Menengah bawah Dewasa P 74,9 60,7 38,0 52,2 46,2 Terbawah 0,9 0,0 0,7 20,0 1,7 40,0 39,5 60,0 2,7 80,0 56,1 100,0 Anak L Gambar 3.3.4 Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa mengambil air menurut karakteristik, Indonesia 2013 Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI (Permenkes RI) No.492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Kualitas Air Minum disebutkan bahwa air minum harus memenuhi persyaratan kesehatan secara fisik, kimia, dan mikrobiologi. Dalam laporan ini air minum yang dikonsumsi dikategorikan baik apabila memenuhi persyaratan kualitas fisik; yaitu tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau. Pada umumnya air minum rumah tangga di Indonesia (94,1%) termasuk dalam kategori baik (tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau). Masih terdapat rumah tangga dengan kualitas air minum keruh (3,3%), berwarna (1,6%), berasa (2,6%), berbusa (0,5%), dan berbau (1,4%). Berdasarkan provinsi, proporsi rumah tangga tertinggi dengan air minum keruh adalah di Papua (15,7%), berwarna juga di Papua (6,6%), berasa adalah di Kalimantan Selatan (9,1%), berbusa dan berbau adalah di Aceh (1,2%, dan 3,8%). (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka). Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan kualitas air minum kategori baik (tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau) di perkotaan (96,0%) lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (92,0%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga dengan kualitas air minum kategori baik cenderung meningkat (Gambar 3.3.5). 53 100,0 96,0 92,0 92,7 87,0 94,8 96,4 97,4 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0 Perkotaan Perdesaan Terbawah Menengah Menengah Menengah bawah atas Teratas Gambar 3.3.5 Proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas fisik air minum menurut karakteristik, Indonesia 2013 Gambar 3.3.6 memperlihatkan proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum menurut provinsi. Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum di minum di Indonesia sebesar 70,1 persen. Lima provinsi tertinggi dengan rumah tangga mengolah air sebelum diminum adalah Maluku Utara (92,7%), Nusa Tenggara Timur (90,6%), Maluku (87,8%), Jawa Tengah (85,9%), dan Bengkulu (85,8%) sedangkan lima provinsi terendah adalah Nusa Tenggara Barat, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Bali, dan Bangka Belitung. 100,0 80,0 70,1 60,0 40,0 20,0 NTB Kepri DKI Bali Babel Kaltim Banten Papua Riau Aceh Kalteng Sulut Jabar Papbar Sumut Jatim Indonesia Sumbar Sulsel Kalsel Jambi Sulteng DIY Kalbar Sumsel Gorontalo Sulbar Lampung Sultra Bengkulu Jateng Maluku NTT Malut 0,0 Gambar 3.3.6 Proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum menurut provinsi, Indonesia 2013 Dari 70,1 persen rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum, 96,5 persennya melakukan pengolahan dengan cara dimasak. Cara pengolahan lainnya adalah dengan dijemur di bawah sinar matahari/solar disinfection (2,3%), menambahkan larutan tawas (0,2%), disaring dan ditambah larutan tawas (0,2%) dan disaring saja (0,8%) (Gambar 3.3.7). 54 0,2 0,2 0,8 2,3 96,5 Masak Sinar Tawas Saring + Tawas Saring Gambar 3.3.7 Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum sebelum diminum, Indonesia 2013 Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum dengan cara pemanasan/dimasak, di perkotaan (96,5%) hampir sama dengan di perdesaan (96,6%). Tidak ada perbedaan proporsi diantara tingkat kuintil indeks kepemilikan dalam melakukan pengolahan air minum dengan cara dipanaskan atau dimasak (Buku Riskesdas 2013 dalam angka). 3.3.2. Sanitasi Ruang lingkup sanitasi dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi penggunaan fasilitas buang air besar (BAB), jenis tempat BAB, tempat pembuangan akhir tinja, jenis tempat penampungan air limbah, jenis tempat penampungan sampah, dan cara pengelolaan sampah. Tabel secara lengkap disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Untuk akses terhadap fasilitas tempat buang air besar (sanitasi) digunakan kriteria JMP WHO - Unicef tahun 2006. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved adalah rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri, jenis tempat BAB jenis leher angsa atau plengsengan, dan tempat pembuangan akhir tinja jenis tangki septik. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga di Indonesia menggunakan fasilitas BAB milik sendiri (76,2%), milik bersama (6,7%), dan fasilitas umum (4,2%). Lima provinsi tertinggi untuk proporsi rumah tangga menggunakan fasilitas BAB milik sendiri adalah Riau (88,4%), Kepulauan Riau (88,1%), Lampung (88,1%), Kalimantan Timur (87,8%), dan DKI Jakarta (86,2%). Meskipun sebagian besar rumah tangga di Indonesia memiliki fasilitas BAB, masih terdapat rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB sehingga melakukan BAB sembarangan, yaitu sebesar 12,9 persen. Lima provinsi rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan tertinggi adalah Sulawesi Barat (34,4%), NTB (29,3%), Sulawesi Tengah (28,2%), Papua (27,9%), dan Gorontalo (24,1%) (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka). Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri di perkotaan lebih tinggi (84,9%) dibandingkan di perdesaan (67,3%); sedangkan proporsi rumah tangga BAB di fasilitas milik bersama dan umum maupun BAB sembarangan di perdesaan (masing-masing 6,9%, 5,0%, dan 20,8%) lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan (6,6%, 3,5%, dan 5,1%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi juga proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri. Semakin rendah kuintil indeks kepemilikan, 55 proporsi rumah tangga yang melakukan BAB sembarangan semakin tinggi (Buku Riskesdas 2013 dalam angka) . Gambar 3.3.8 menunjukkan bahwa pembuangan akhir tinja rumah tangga di Indonesia sebagian besar menggunakan tangki septik (66,0%). Lima provinsi dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja berupa tangki septik adalah DKI Jakarta (88,8%), Bali (84,6%), DI Yogyakarta (82,7%), Bangka Belitung (81,6%), dan Kepulauan Riau (81,4%). Masih terdapat rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja tidak ke tangki septik (SPAL, kolam/sawah, langsung ke sungai/danau/laut, langsung ke lubang tanah, atau ke pantai/kebun). Lima provinsi dengan proporsi pembuangan akhir tinja tidak ke tangki septik tertinggi adalah Papua (65,4%), Nusa Tenggara Timur (65,3%), Nusa Tenggara Barat (49,7%), Sumatera Barat (46,1%), Kalimantan Tengah (44,9%), dan Sulawesi Barat (44,1%). 100,0 34,0 80,0 60,0 40,0 66,0 0,0 Papua NTT NTB Sumbar Kalteng Sulbar Kalbar Kalsel Jambi Jabar Sumsel Jatim Aceh Lampung Sulsel Sulteng Indonesia Riau Maluku Bengkulu Sultra Jateng Gorontalo Sumut Papbar Malut Banten Sulut Kaltim Kepri Babel DIY Bali DKI 20,0 Tangki septik Bukan T Septk Gambar 3.3.8 Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja menurut provinsi, Indonesia 2013 Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja menggunakan tangki septik di perkotaan lebih tinggi (79,4%) dibanding di perdesaan (52,4%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga dengan pembuangan tinja ke tangki septik juga semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kuintil indeks kepemilikan; proporsi rumah tangga yang tidak menggunakan tangki septik semakin tinggi (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka). Gambar 3.3.9 menyajikan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi improved dan kecenderungannya (tahun 2007, 2010, dan 2013) sesuai dengan kriteria JMP WHO - Unicef tahun 2006. Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved di Indonesia tahun 2013 adalah sebesar 59,8 persen. Lima provinsi dengan proporsi dengan rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved tertinggi adalah DKI Jakarta (78,2%), Kepulauan Riau (74,8%), Kalimantan Timur (74,1%), Bangka Belitung (73,9%), Bali (72,5%); sedangkan lima provinsi dengan proporsi akses terendah adalah NTT (30,5%), Papua (30,5%), NTB (41,1%), Sulawesi Barat (42,9%), dan Gorontalo (45,9%). Apabila dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007 dan 2010, proporsi rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved cenderung mengalami peningkatan (tahun 2007: 40,3%; tahun 2010:51,5%; tahun 2013:59,8%). 56 100,0 80,0 59,8 60,0 40,0 20,0 NTT Papua NTB Sulbar Gorontalo Sumbar Kalteng Sulteng Aceh Maluku Kalsel Sulsel Malut Pabar Kalbar Jatim Sultra Jabar Sumsel Jambi Indonesia Lampung Bengkulu Jateng Sulut Riau Sumut Banten DIY Bali Babel Kaltim Kep.Riau DKI 0,0 40,3 2007 2010 2013 Gambar 3.3.9 Kecenderungan rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi Improved menurut provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013 Gambar 3.3.10 menyajikan Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved menurut karakteristik, Riskesdas 2013. Dari Gambar tersebut terlihat bahwa proporsi rumah tangga yang memilki akses terhadap fasilitas sanitasi improved di perkotaan (72,5%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (46,9%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi juga proporsi rumah tangga yang memilki akses terhadapa fasilitas sanitasi improved. 100,0 93,6 85,5 80,0 60,0 72,5 69,3 46,9 40,0 30,1 20,0 0,0 1,5 Perkotaan Perdesaan Terbawah Menengah Menengah Menengah bawah atas Teratas Gambar 3.3.10 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi Improved menurut karakteristik, Indonesia 2013 Gambar 3.3.11 menunjukkan proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah dari kamar mandi, tempat cuci, maupun dapur. Pada umumnya limbah rumah tangga di Indonesia membuang limbahnya langsung ke got (46,7%) dan tanpa penampungan (17,2%). Hanya 15,5 57 persen yang menggunakan penampungan tertutup di pekarangan dengan dilengkapi SPAL, 13,2 persen menggunakan penampungan terbuka di pekarangan, dan 7,4 persen penampungannya di luar pekarangan. 7,4 13,2 46,7 15,5 17,2 Penampungan di luar pekarangan Penampungan terbuka di pekarangan SPAL Tanpa penampungan Langsung ke got Gambar 3.3.11 Proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah, Indonesia 2013 Dalam hal cara pengelolaan sampah, hanya 24,9 persen rumah tangga di Indonesia yang pengelolaan sampahnya diangkut oleh petugas. Sebagian besar rumah tangga mengelola sampah dengan cara dibakar (50,1%), ditimbun dalam tanah (3,9%), dibuat kompos (0,9%), dibuang ke kali/parit/laut (10,4%), dan dibuang sembarangan (9,7%) (Gambar 3.3.12). 100,0 80,0 60,0 50,1 40,0 24,9 20,0 3,9 0,0 Diangkut Ditimbun 10,4 9,7 Kali/parit/laut Sembarangan 0,9 Kompos Dibakar Gambar 3.3.12 Proporsi rumah tangga menurut pengelolaan sampah, Indonesia 2013 Lima provinsi dengan proporsi rumah tangga mengelola sampah dengan cara diangkut petugas tertinggi adalah DKI Jakarta (87,0,%), Kepulauan Riau (55,8%), Kalimantan Timur (49,9%), Bali (38,2%), dan Banten (34,4%) (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka). 58 Menurut karakteristik, porporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara diangkut petugas lebih tinggi di perkotaan (46,0%) dibandingkan di perdesaan (3,4%), sedangkan proporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara dibakar di perdesaan (62,8%) lebih tinggi dibanding perkotaan (37,7%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara diangkut petugas semakin tinggi. Sebaliknya, proporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara dibakar cenderung lebih tinggi pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih rendah (Buku Riskesdas 2013 dalam angka). Lima provinsi dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga yang mengelola sampahnya dengan dibakar adalah Gorontalo (79,5%), Aceh (70,6%), Lampung (69,9%), Riau (66,4%), Kalimantan Barat (64,3%). Lima provinsi terendah adalah DKI Jakarta (5,3%), Maluku Utara (25,9%), Maluku (28,9%), Kepulauan Riau (31%), Kalimantan Timur (32,1%) (Gambar 3.3 13). 100,0 79,5 80,0 60,0 50,1 40,0 0,0 DKI Malut Maluku Kepri Kaltim NTB Bali Sulsel Papua Papbar Kalsel Sultra Kalteng Sulbar Banten Sulut Jabar Babel Sumsel Indonesia Sulteng DIY Bengkulu NTT Jatim Jateng Jambi Sumut Sumbar Kalbar Riau Lampung Aceh Gorontalo 20,0 Gambar 3.3.13 Proporsi rumah tangga berdasarkan pengelolaan sampah dengan dibakar menurut provinsi, Indonesia, 2013 3.3.3. Perumahan Data perumahan yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 adalah data status penguasaan bangunan, kepadatan hunian, jenis bahan bangunan (plafon/langit-langit, dinding, lantai), lokasi rumah, kondisi ruang rumah (terpisah, kebersihan, ketersedian dan kebiasaan membuka jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami), penggunaan bahan bakar untuk memasak, perilaku rumah tangga dalam menguras bak mandi, dan penggunaan/penyimpanan bahan berbahaya dan beracun seperti pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Tabel secara lengkap disajikan pada Buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan dapat dilihat pada Gambar 3.3.14. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada umumnya rumah tangga di Indonesia menempati rumah milik sendiri (81,4%). Masih terdapat rumah tangga yang menempati rumah dengan cara kontrak dan sewa, menempati rumah milik orang lain, milik orang tua/sanak/ saudara maupun rumah dinas. 59 6,3 2,3 1,1 7,3 1,4 81,4 Milik sendiri Kontrak Sewa Bebas sewa*) Bebas sewa**) Rumah dinas Lain nya *) milik orang lain **) milik orang tua/sanak/ saudara Gambar 3.3.14 Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan tempat tinggal, Indonesia 2013 Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan status penguasaan bangunan milik sendiri di perkotaan lebih rendah (72,6%) dari pada di perdesaan (90,4%). Sebaliknya proporsi rumah tangga dengan status penguasaan bangunan kontrak maupun sewa, di perkotaan lebih tinggi (kontrak: 11,4%, sewa 4,1%) dari pada di perdesaan (kontrak: 1,1%, sewa 0,5%) (Buku Riskesdas 2013 dalam angka). Kepadatan hunian merupakan salah satu persyaratan rumah sehat. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan no 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, disebutkan bahwa kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang dikategorikan sebagai tidak padat. Proporsi rumah tangga di Indonesia yang termasuk ke dalam kriteria tidak padat adalah sebesar 86,6%. Lima provinsi dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga dengan kategori tidak padat (≥ 8m2/orang) adalah Jawa Tengah (96,6%), DI Yogyakarta (94,2%), Lampung (93,1%), Bangka Belitung (92,8%) Jambi (92,6%). Lima provinsi terendah adalah Papua (55,0%), NTT (64,0%), DKI Jakarta (68,3%), Gorontalo (69,0%), dan Maluku (72,7%) (Gambar 3.3.15). 100,0 80,0 86,6 60,0 40,0 0,0 Papua NTT DKI Gorontalo Maluku NTB Papbar Sulut Sulbar Sumsel Bali Sulteng Sumbar Sultra Sumut Kalbar Jabar Aceh Kepri Kalteng Kalsel Indonesia Riau Bengkulu Banten Malut Kaltim Sulsel Jatim Jambi Babel Lampung DIY Jateng 20,0 Gambar 3.3.15 Proporsi rumah tangga berdasarkan kepadatan hunian menurut provinsi, Indonesia 2013 60 Gambar 3.3.16 memperlihatkan kondisi fisik bangunan rumah (jenis bahan) yang meliputi plafon/langit-langit, dinding dan lantai terluas. Proporsi rumah tangga dengan atap rumah terluas berplafon adalah sebesar 59,4 persen, dinding terbuat dari tembok sebesar 69,6 persen, dan lantai bukan tanah sebesar 93,1 persen. Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa proporsi rumah dengan atap terluas berplafon di perkotaan lebih tinggi (75,7%) dibandingkan di perdesaan (42,8%). Demikian juga untuk dinding dan lantai, jenis bahan dinding terluas terbuat dari tembok dan jenis lantai bukan tanah untuk wilayah perkotaan lebih tinggi (dinding tembok: 83,5%; lantai bukan tanah: 97,4%) dibandingkan perdesaan (dinding tembok: 55,3%; lantai bukan tanah: 88,7%). 93,1 100,0 80,0 69,6 59,4 60,0 80,0 30,4 6,9 Atap berpafon Dinding tembok Ya 88,7 55,3 42,8 40,0 20,0 0,0 97,4 83,5 75,7 60,0 40,6 40,0 100,0 20,0 0,0 Lantai bukan tanah Atap berpalfon Tidak Dinding tembok Perkotaan Lantai bukan tanah Perdesaan Gambar 3.3.16 Proporsi rumah tangga berdasarkan keberadaan plafon/langit-langit, dinding terbuat dari tembok dan lantai bukan tanah, Indonesia 2013 Pada gambar 3.3.17 ini disajikan kondisi ruangan dalam rumah seperti ketersediaan ruang tidur, ruang dapur dan ruang keluarga dilihat dari keadaan, kebersihan, tersediaan jendela, ventilasi dan pencahayaannya. Sebagian besar ruangan-ruangan tersebut terpisah dari ruang lainnya. Dalam hal kebersihan, sekitar tiga perempat rumah tangga kondisi ruang tidur, ruang keluarga maupun dapurnya bersih dan berpencahayaan cukup. Tetapi kurang dari 50 persen rumah tangga yang ventilasinya cukup dan dilengkapi dengan jendela yang dibuka setiap hari. 100,0 92,4 80,0 60,0 85,6 77,8 69,8 92,4 49,8 47,9 42,1 40,0 78,5 78,5 47,8 69,7 68,9 42,3 40,2 20,0 0,0 Terpisah Ruang tidur Bersih Ruang keluarga Jendela dibuka tiap hari Ventilasi cukup Ruang dapur Pencahayaan Cukup Gambar 3.3.17 Proporsi rumah tangga berdasarkan ketersediaan ruang tidur, ruang keluarga dan ruang dapur dengan kebersihan, keberadaan jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami, Indonesia 2013 61 Gambar 3.3.18 memperlihatkan jenis sumber penerangan di Indonesia, sebagian besar (97,4%) rumah tangga di Indonesia menggunakan listrik sebagai sumber penerangan dalam rumah, siasanya (2,6%) menggunakan petromaks/aladin, pelita/sentir/obor (non listrik). 2,6 97,4 Listrik Non listrik Gambar 3.3.18 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan, Indonesia 2013 Gambar 3.3.19 memperlihatkan proporsi rumah tangga sesuai jenis penerangan non listrik menurut provinsi. Lima provinsi dengan proporsi rumah tangga yang tidak menggunakan listrik adalah Papua (43,6%), Nusa Tenggara Timur (26,9%), Maluku (14,1%), Gorontalo (10,9%) dan Maluku Utara (9,9%). 60,0 50,0 43,6 40,0 30,0 20,0 0,0 2,6 DIY DKI Banten Jabar Jateng Jatim Bali Sulut Lampung Babel Kalsel Kepri Kaltim Aceh Sumsel NTB Indonesia Sumut Riau Jambi Bengkulu Sulsel Sumbar Kalteng Sultra Kalbar Sulbar Papbar Sulteng Malut Gorontalo Maluku NTT Papua 10,0 Gambar 3.3.19 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan non listrik menurut provinsi, Indonesia 2013 Jenis penggunaan bahan bakar di rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 3.3.20. Menurut Keputusan Menterian Kesehatan Republik Indonesia (Kepmenkes RI)No 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, jenis bahan bakar/energi utama dalam rumah tangga per provinsi dikelompokan menjadi dua, yaitu yang aman artinya tidak berpotensi menimbulkan pencemaran (listrik dan gas/elpiji) dan tidak aman yaitu yang berpotensi menimbulkan pencemaran (minyak tanah, arang dan kayu bakar). Proporsi rumah tangga yang menggunakan bahan bakar aman di Indonesia adalah sebesar 64,1 persen. Menurut karakteristik, penggunaan bahan bakar yang aman di perkotaan (81,9%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (46,0%). Sebaliknya, proporsi rumah tangga yang menggunakan 62 bahan bakar tidak aman lebih tinggi di perdesaan (54,0%) dibanding di perkotaan (18,1%) (Gambar 3.3.20). 100,0 81,9 80,0 54,0 46,0 60,0 35,9 64,1 40,0 18,1 20,0 0,0 Aman Perkotaan Tdk aman Aman Perdesaan Tdk aman Gambar 3.3.20 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis bahan bakar/energi, Indonesia 2013 Gambar 3.3.21 memperlihatkan proporsi rumah tangga dalam upaya mencegah gigitan nyamuk di Indonesia. Baik secara mekanis (kelambu, kasa nyamuk) maupun kimiawi (insektisida, obat anti nyamuk bakar, repelen). Proporsi tertinggi rumah tangga dalam upaya pencegahan gigitan nyamuk adalah dengan menggunakan obat anti nyamuk bakar (48,4%), diikuti oleh penggunaan kelambu (25,9%), repelen (16,9%), insektisida (12,2%), dan kasa nyamuk (8,0%). Menurut karakteristik, proporsi penggunaan obat anti nyamuk bakar di perdesaan (50,0%) lebih tinggi dibanding di perkotaan (46,9%). Demikian juga penggunaan kelambu, proporsi di perdesaan (39,5%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (12,5%). Sebaliknya, proporsi rumah tangga yang menggunakan repelen, insektisida dan kasa nyamuk di perkotaan (masing-masing 23,2%; 17,9%, dan 12,3%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (masing-masing 10,4%; 6,4%; dan 3,6%). 60,0 39,5 40,0 12,2 48,4 20,0 12,5 23,2 17,9 12,3 3,6 16,9 0,0 8,0 Kelambu Kasa nyamuk Insektisida 50,0 46,9 25,9 Perkotaan Kelambu Kasa nyamuk Insektisida Obat nyamuk bakar Repelen 10,4 6,4 Perdesaan O nyamuk bakar Repelen Gambar 3.3.21 Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku mencegah gigitan nyamuk, Indonesia 2013 Gambar 3.3.22 menunjukkan penyimpanan/penggunaan pestisida/insektisida/pupuk kimia di dalam rumah di Indonesia. Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia sebesar 20,2 persen. Penyimpanan/penggunaan pestisida/ 63 insektisida/pupuk kimia di perkotaan (20,5%) sedikit lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (19,9%). 60,0 79,8 40,0 20,2 20,0 0,0 menyimpan Tdk menyimpan 20,5 19,9 Perkotaan Perdesaan Gambar 3.3.22 Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia, Indonesia 2013 64 3.4. Penyakit Menular Ainur Rofiq, Muhammad Karyana, Khadijah Azhar, Armaji Kamaludin Syarif dan Retna Mustika Indah Informasi mengenai penyakit menular pada Riskesdas 2013 diperoleh dari seluruh kelompok umur dengan total sampel 1.027.766 responden di 33 provinsi seluruh Indonesia. Informasi yang diperoleh berupa insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit yang dikumpulkan melalui teknik wawancara menggunakan kuesioner baku (RKD13.IND), dengan pertanyaan terstruktur secara klinis dan informasi laboratorium bila diperlukan. Responden ditanya apakah pernah didiagnosis menderita penyakit tertentu oleh tenaga kesehatan (D: diagnosis). Responden yang menyatakan tidak pernah didiagnosis, ditanyakan lagi apakah pernah/sedang menderita gejala klinis spesifik penyakit tersebut (G: gejala). Jadi insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit merupakan data yang didapat dari D maupun G (D/G) yang ditanyakan dalam kurun waktu tertentu. Data penyakit menular yang dikumpulkan terbatas pada beberapa penyakit, yaitu penyakit yang ditularkan melalui udara (infeksi saluran pernapasan akut/ISPA, pneumonia, dan tuberkulosis paru), penyakit yang ditularkan oleh vektor (malaria), penyakit yang ditularkan melalui makanan, air, dan lewat penularan lainnya (diare dan hepatitis). Penyakit-penyakit tersebut berhubungan dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), MDG’s dan program pengendalian hepatitis di Indonesia yang pertama kali dilakukan di dunia. 3.4.1.Penyakit yang ditularkan melalui udara Tabel 3.4.1 menunjukkan insiden, period prevalence, prevalensi penyakit yang ditularkan melalui udara, meliputi ISPA, pneumonia, dan tuberkulosis paru menurut provinsi. Tabel 3.4.2. menunjukkan hal yang sama menurut karakteristik. Semua penyakit ini juga dikumpulkan pada Riskesdas 2007. 3.4.1.1. ISPA Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Period prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA. Period prevalence ISPA Indonesia menurut Riskesdas 2013 (25,0%) tidak jauh berbeda dengan 2007 (25,5%) (gambar 3.4.1) 50,0 40,0 25,5 30,0 20,0 25,0 10,0 Jambi Riau Malut Lampung Kalbar Kep.Riau Sumut Sumsel Bengkulu Sulbar Sultra Bali Kaltim Gorontalo DIY Babel Sulteng Sulut Jabar Sulsel Maluku Kalteng Indonesia DKI Sumbar Banten Pabar Jateng Kalsel Jatim NTB Aceh Papua NTT 0,0 2007 2013 Gambar 3.4.1 Period prevalence ISPA, menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 65 Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Menurut jenis kelamin, tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah.(Tabel 3.4.2). Tabel 3.4.1 Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumonia menurut provinsi, Indonesia 2013 Periode Period Periode Prevalensi prevalence prevalence Prevalence pneumonia ISPA Pneumonia Pneumonia Balita (persen) Provinsi (persen) (persen) (permil) D D/G D D/G D D/G D D/G Aceh 20,1 30,0 0,4 2,6 6,1 35,6 1,8 5,4 Sumatera Utara 10,9 19,9 0,1 1,3 1,0 12,4 1,1 3,2 Sumatera Barat 16,1 25,7 0,2 1,2 3,4 10,2 1,4 3,1 Riau 10,9 17,1 0,1 0,9 1,7 8,3 1,0 2,1 Jambi 9,8 17,0 0,1 0,9 0,0 9,8 1,7 3,1 Sumatera Selatan 11,3 20,2 0,1 0,9 0,8 10,8 0,9 2,4 Bengkulu 13,0 20,8 0,1 0,8 0,0 8,8 1,3 2,7 Lampung 12,0 17,8 0,1 0,6 0,0 7,7 1,2 2,3 Bangka Belitung 9,2 23,4 0,1 2,4 4,1 34,8 0,9 4,3 Kepulauan Riau 8,9 19,6 0,1 1,4 0,0 22,0 1,3 3,2 DKI Jakarta 12,5 25,2 0,2 2,4 2,9 19,6 1,8 5,9 Jawa Barat 13,2 24,8 0,2 1,9 3,5 18,5 2,0 4,9 Jawa Tengah 15,7 26,6 0,2 1,9 2,8 19,0 2,0 5,0 DI Yogyakarta 11,3 23,3 0,2 1,7 3,2 27,8 1,2 4,6 Jawa Timur 15,6 28,3 0,2 1,7 2,0 15,8 1,3 4,2 Banten 16,4 25,8 0,2 1,5 2,2 19,3 1,6 3,8 Bali 12,2 22,6 0,2 1,5 1,6 8,6 0,8 3,1 Nusa Tenggara Barat 13,2 28,9 0,2 2,2 4,1 20,3 1,5 5,1 Nusa Tenggara Timur 19,2 41,7 0,3 4,6 2,0 38,5 1,4 10,3 Kalimantan Barat 11,1 18,2 0,1 1,1 2,1 15,5 1,1 2,7 Kalimantan Tengah 14,3 25,0 0,2 2,0 5,8 32,7 1,4 4,4 Kalimantan Selatan 10,6 26,7 0,1 2,4 0,7 25,0 1,1 4,8 Kalimantan Timur 14,8 22,7 0,2 1,0 2,0 6,6 1,2 3,0 Sulawesi Utara 13,3 24,7 0,3 2,3 4,3 23,2 1,9 5,7 Sulawesi Tengah 8,9 23,6 0,2 3,5 0,9 29,9 1,5 7,2 Sulawesi Selatan 11,9 24,9 0,2 2,8 1,0 30,3 1,7 6,8 Sulawesi Tenggara 13,4 22,2 0,3 2,2 3,2 29,0 1,5 5,2 Gorontalo 9,5 23,2 0,2 1,7 2,7 10,7 1,2 4,1 Sulawesi Barat 9,3 20,9 0,2 3,1 0,0 34,8 1,0 6,1 Maluku 13,3 24,9 0,2 2,3 1,5 27,9 1,4 4,9 Maluku Utara 6,9 17,7 0,2 2,0 0,0 18,7 0,8 4,5 Papua Barat 18,9 25,9 0,2 1,3 2,8 14,1 2,0 4,2 Papua 17,2 33,1 0,5 2,6 4,2 21,2 2,9 8,2 Indonesia 13,8 25,0 0,2 1,8 2,4 18,5 1,6 4,5 66 3.4.1.2. Pneumonia Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang). Pneumonia ditanyakan pada semua penduduk untuk kurun waktu 1 bulan atau kurang dan dalam kurun waktu 12 bulan atau kurang. Period prevalence dan prevalensi tahun 2013 sebesar 1,8 persen dan 4,5 persen. Lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur (4,6% dan 10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%), Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi Barat (3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan (2,4% dan 4,8%) (Tabel 3.4.1). Period Prevalence pneumonia di Indonesia tahun 2013 menurun dibandingkan dengan tahun 2007.(Gambar 3.4.2). 8,0 6,0 4,0 2,13 2,0 1,80 Lampung Bengkulu Riau Sumsel Jambi Kaltim Kalbar Sumbar Pabar Sumut Kep.Riau Banten Bali Jatim DIY Gorontalo Indonesia Jabar Jateng Malut Kalteng Sultra NTB Sulut Maluku Babel Kalsel DKI Papua Aceh Sulsel Sulbar Sulteng NTT 0,0 2007 2013 Gambar 3.4.2 Period prevalence pneumonia menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 Berdasarkan kelompok umur penduduk, Period prevalence pneumonia yang tinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus meninggi pada kelompok umur berikutnya. Period prevalence pneumonia balita di Indonesia adalah 18,5 per mil. Balita pneumonia yang berobat hanya 1,6 per mil. Lima provinsi yang mempunyai insiden pneumonia balita tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (38,5‰), Aceh (35,6‰), Bangka Belitung (34,8‰), Sulawesi Barat (34,8‰), dan Kalimantan Tengah (32,7‰) (tabel 3.4.1). Insidens tertinggi pneumonia balita terdapat pada kelompok umur 12-23 bulan (21,7‰) (Gambar 3.4.3). Pneumonia balita lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (27,4‰). 30,0 20,0 17,9 18,2 48-59 bulan 36-47 bulan 21,0 21,7 24-35 bulan 12-23 bulan 13,6 10,0 0,0 0-11 bulan Gambar 3.4.3 Insidens pneumonia per 1000 balita menurut kelompok umur, Indonesia 2013 67 Tabel 3.4.2 Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumonia menurut karaktristik, Indonesia 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) <1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 Balita (bulan) 0-11 12-23 24-35 36-47 48-59 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas D D/G Period prevalence Pneumonia (persen) D D/G 22,0 25,8 15,4 10,4 11,1 11,8 12,8 13,5 15,2 15,3 35,2 41,9 27,8 20,7 20,8 21,8 23,4 24,6 27,3 27,3 0,2 0,2 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2 0,3 0,4 0,5 ISPA (persen) Period prevalence Pneumonia Balita (per mil) D D/G 1,4 2,0 1,5 1,6 1,6 1,8 2,1 2,5 3,1 3,2 2,2 2,6 2,6 2,0 2,4 13,6 21,7 21,0 18,2 17,9 2,5 2,3 19,0 18,0 Prevalensi Pneumonia (persen) D D/G 1,2 1,6 1,3 1,3 1,4 1,5 1,9 2,3 2,9 2,6 2,9 4,3 3,7 4,1 4,2 4,5 5,4 6,2 7,7 7,8 1,7 1,4 4,8 4,3 13,7 13,8 25,1 24,9 0,2 0,2 1,9 1,7 16,3 14,4 12,7 11,3 10,3 9,5 29,7 27,1 23,5 21,5 19,4 16,4 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 2,6 2,1 2,0 1,7 1,3 0,9 1,9 1,6 1,6 1,4 1,5 1,6 6,2 5,0 4,9 4,3 3,8 3,1 12,1 10,8 11,0 12,6 11,8 22,5 19,4 20,7 24,4 22,7 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 1,8 1,2 1,6 2,4 1,9 1,6 1,6 1,5 1,7 1,7 4,5 3,7 4,1 5,8 4,9 13,2 14,4 24,1 26,0 0,2 0,2 1,6 2,0 2,3 2,5 15,0 22,0 1,6 1,6 4,2 4,9 14,6 14,7 14,4 13,5 12,1 29,1 26,8 25,8 24,0 20,8 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 2,8 2,2 1,7 1,5 1,2 2,4 3,1 2,7 1,9 2,0 27,4 22,5 17,5 16,0 12,4 1,6 1,7 1,6 1,6 1,5 6,3 5,1 4,4 4,0 3,4 68 3.4.1.3. Tuberkulosis paru (TB paru) Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Gejala utama adalah batuk selama 2 minggu atau lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak, dahak bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan. Penyakit TB paru ditanyakan pada responden untuk kurun waktu ≤1 tahun berdasarkan diagnosis yang ditegakkan oleh tenaga kesehatan melalui pemeriksaan dahak, foto toraks atau keduanya. Tabel 3.4.3 Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru menurut provinsi, Indonesia 2013 Gejala TB paru Provinsi Diagnosis TB Batuk ≥ 2 mgg Batuk darah Aceh 4,2 3,5 0,3 Sumatera Utara 3,8 2,7 0,2 Sumatera Barat 0,2 3,2 3,0 Riau 1,8 2,5 0,1 Jambi 2,7 2,7 0,2 Sumatera Selatan 0,2 3,2 2,8 Bengkulu 3,2 1,8 0,2 Lampung 2,5 2,2 0,1 Bangka Belitung 0,3 3,8 2,2 Kepulauan Riau 2,3 2,5 0,2 DKI Jakarta 4,2 1,9 0,6 Jawa Barat 0,7 3,3 2,8 Jawa Tengah 3,8 3,0 0,4 DI Yogyakarta 4,9 0,9 0,3 Jawa Timur 0,2 5,0 2,4 Banten 2,7 3,2 0,4 Bali 4,0 2,5 0,1 Nusa Tenggara Barat 0,3 4,4 3,8 Nusa Tenggara Timur 8,8 4,0 0,3 Kalimantan Barat 2,8 3,0 0,2 Kalimantan Tengah 0,3 3,2 2,8 Kalimantan Selatan 4,4 3,1 0,3 Kalimantan Timur 2,5 1,6 0,2 Sulawesi Utara 0,3 4,1 3,7 Sulawesi Tengah 4,9 3,7 0,2 Sulawesi Selatan 0,3 6,6 3,3 Sulawesi Tenggara 0,2 4,3 4,4 Gorontalo 4,6 4,8 0,5 Sulawesi Barat 0,3 4,6 3,1 Maluku 0,3 3,4 3,8 Maluku Utara 4,7 4,3 0,2 Papua Barat 0,4 3,5 2,7 Papua 0,6 5,1 4,5 Indonesia 0,4 3,9 2,8 Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013 adalah 0.4 persen, tidak berbeda dengan 2007 (Gambar 3.4.4). Lima provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%) dan Papua Barat (0.4%). 69 Tabel 3.4.4 Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru menurut karakteristik, Indonesia 2013 Gejala TB paru Karakteristk Diagnosis TB paru Batuk ≥ 2 Batuk minggu darah Kelompok umur (tahun) <1 0,2 1-4 0,4 5-14 0,3 3,6 1,3 15-24 0,3 3,3 1,5 25-34 0,3 3,4 2,2 35-44 0,3 3,7 3,0 45-54 0,5 4,5 2,9 55-64 0,6 5,6 3,4 65-74 0,8 6,6 3,4 ≥75 0,7 7,0 3,7 Jenis Kelamin Laki-laki 0,4 4,2 3,1 Perempuan 0,3 3,7 2,6 Pendidikan Tidak sekolah 0,5 5,6 3,6 Tidak tamat SD/MI 0,4 4,5 3,0 Tamat SD/MI 0,4 4,1 3,7 Tamat SMP/MTS 0,3 3,5 2,7 Tamat SMA/MA 0,3 3,2 2,3 Tamat D1-D3/PT 0,2 2,9 2,6 Pekerjaan Tidak bekerja 11,7 1,6 2,7 Pegawai 10,5 1,5 2,3 Wiraswasta 9,5 1,5 3,2 Petani/nelayan/buruh 8,6 1,7 4,4 Lainnya 8,1 1,6 3,9 Tempat Tinggal Perkotaan 0,4 3,6 2,3 Perdesaan 0,3 4,3 3,3 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 0,4 5,3 4,3 Menengah Bawah 0,4 4,4 3,1 Menengah 0,4 3,8 2,7 Menengah Atas 0,4 3,6 2,2 Teratas 0,2 3,0 1,9 Proporsi penduduk dengan gejala TB paru batuk ≥2 minggu sebesar 3,9 persen dan batuk darah 2.8 persen (Tabel 3.4.3). Berdasarkan karakteristik penduduk, prevalensi TB paru cenderung meningkat dengan bertambahnya umur, pada pendidikan rendah, tidak bekerja. Prevalensi TB paru terendah pada kuintil teratas.(Tabel 3.4.4). Dari seluruh penduduk yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan, hanya 44.4% diobati dengan obat program. Lima provinsi terbanyak yang mengobati TB dengan obat program adalah DKI Jakarta (68.9%). DI Yogyakarta (67,3%), Jawa Barat (56,2%), Sulawesi Barat (54,2%) dan Jawa Tengah (50.4%) (Buku Riskesdas 2013 dalam angka). 70 1,5 1,2 0,9 0,6 0,3 0,0 Bali Riau Lampung Jambi Bengkulu Sultra Kep.Riau Sumsel Malut Kalbar Sumut Kaltim Sulteng Jatim Sumbar Kalteng Maluku Sulbar DIY Sulsel NTB Babel Kalsel NTT Aceh Sulut Jateng Indonesia Pabar Banten Gorontalo DKI Papua Jabar 0,4 2007 2013 Gambar 3.4.4 Prevalensi TB paru menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 3.4.2.Penyakit yang ditularkan melalui Makanan, Air dan lainnya Penyakit yang ditularkan melalui makanan, air dan lainnya pada Riskesdas 2013 adalah diare dan hepatitis. Penyakit ini juga diteliti pada Riskesdas 2007. Pada Riskesdas 2013, pertanyaan diare ditambahkan dalam kurun waktu < 2 minggu, sesuai dengan kebutuhan program. 3.4.2.1. Hepatitis Hepatitis adalah penyakit infeksi hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis A, B, C, D atau E. Hepatitis dapat menimbulkan gejala demam, lesu, hilang nafsu makan, mual, nyeri pada perut kanan atas, disertai urin warna coklat yang kemudian diikuti dengan ikterus (warna kuning pada kulit dan/sklera mata karena tingginya bilirubin dalam darah). Hepatitis dapat pula terjadi tanpa menunjukkan gejala (asimptomatis). Prevalensi hepatitis 2013 adalah 1,2 persen, dua kali lebih tinggi dibandingkan 2007 (Gambar 3.4.5). Lima provinsi dengan prevalensi hepatitis tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (4,3%), Papua (2,9%), Sulawesi Selatan (2,5%), Sulawesi Tengah (2,3%) dan Maluku (2,3%) (Tabel 3.4.5). Bila dibandingkan dengan Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur masih merupakan provinsi dengan prevalensi hepatitis tertinggi. 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 1,2 Kaltim Banten Bali Jambi Riau Sumsel Lampung DKI Kalbar Babel Jateng Kep.Riau DIY Bengkulu Jatim Pabar Jabar Gorontalo Indonesia Sulbar Sumbar Kalsel Sumut Kalteng Malut NTB Aceh Sulut Sultra Maluku Sulteng Sulsel Papua NTT 0,6 2007 2013 Gambar 3.4.5 Prevalensi Hepatitis menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 71 Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, kelompok terbawah menempati prevalensi hepatitis tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Prevalensi semakin meningkat pada penduduk berusia diatas 15 tahun (Tabel 3.4.6). Jenis hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk Indonesia adalah hepatitis B (21,8 %) dan hepatitis A (19,3 %) (Tabel 3.4.7). 3.4.2.2. Diare Diare adalah gangguan buang air besar/BAB ditandai dengan BAB lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai dengan darah dan atau lendir. Riskesdas 2013 mengumpulkan informasi insiden diare agar bisa dimanfaatkan program, dan period prevalens diare agar bisa dibandingkan dengan Riskesdas 2007. Period prevalen diare pada Riskesdas 2013 (3,5%) lebih kecil dari Riskesdas 2007 (9,0%). Penurunan period prevalen yang tinggi ini dimungkinkan karena waktu pengambilan sampel yang tidak sama antara 2007 dan 2013. Pada Riskesdas 2013 sampel diambil dalam rentang waktu yang lebih singkat. Insiden diare untuk seluruh kelompok umur di Indonesia adalah 3.5 persen. 20,0 15,0 9,0 10,0 5,0 3,5 Babel Kep.Riau Lampung Kalbar Sumsel Bali Kalteng Banten Jambi Malut Kaltim Pabar Kalsel Maluku Bengkulu Riau Jateng Sumut DIY Sumbar Gorontalo Indonesia Jabar Jatim Sulut Sultra Aceh DKI NTB Sulteng Sulsel Sulbar NTT Papua 0,0 2007 2013 Gambar 3.4.6 Period prevalence diare menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 72 Tabel 3.4.5 Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut provinsi, Indonesia 2013 Prevalensi Insiden Diare Period Insiden Diare Hepatitis balita prevalence Diare Provinsi D D/G D D/G D D/G D D/G Aceh 0,3 1,8 4,1 5,0 9,0 10,2 7,4 9,3 Sumatera Utara 0,2 1,4 2,1 3,3 4,9 6,7 4,3 6,7 Sumatera Barat 0,2 1,2 2,3 3,1 5,6 7,1 4,8 6,6 Riau 0,1 0,7 1,6 2,3 4,1 5,2 3,5 5,4 Jambi 0,2 0,7 1,4 1,9 3,5 4,1 3,5 4,8 Sumatera Selatan 0,2 0,7 1,3 2,0 3,9 4,8 2,9 4,5 Bengkulu 0,1 0,9 1,6 2,0 5,3 6,3 3,8 5,2 Lampung 0,4 0,8 1,3 1,6 3,5 3,9 2,9 3,7 Bangka Belitung 0,1 0,8 1,2 1,9 3,5 3,9 2,1 3,4 Kepulauan Riau 0,2 0,9 1,1 1,7 3,0 3,7 2,3 3,5 DKI Jakarta 0,3 0,8 2,5 4,3 6,7 8,9 5,0 8,6 Jawa Barat 0,4 1,0 2,5 3,9 6,1 7,9 4,9 7,5 Jawa Tengah 0,2 0,8 2,3 3,3 5,4 6,5 4,7 6,7 DI Yogyakarta 0,3 0,9 1,7 3,1 3,9 5,0 3,8 6,6 Jawa Timur 0,3 1,0 2,3 3,8 5,1 6,6 4,7 7,4 Banten 0,2 0,7 2,4 3,5 6,3 8,0 4,3 6,4 Bali 0,2 0,7 1,9 2,8 4,0 5,0 3,6 5,5 Nusa Tenggara Barat 0,3 1,8 2,6 4,1 5,3 6,6 5,3 8,5 Nusa Tenggara Timur 0,3 4,3 2,6 4,3 4,6 6,7 6,3 10,9 Kalimantan Barat 0,2 0,8 1,3 1,9 3,5 4,4 2,8 3,9 Kalimantan Tengah 0,4 1,5 1,8 2,6 4,4 5,5 3,7 5,4 Kalimantan Selatan 0,4 1,4 1,7 3,3 3,9 5,6 3,2 6,3 Kalimantan Timur 0,2 0,6 1,5 2,4 2,6 3,3 3,4 5,3 Sulawesi Utara 0,6 1,9 1,8 3,0 2,9 4,2 4,1 6,6 Sulawesi Tengah 0,5 2,3 2,2 4,4 3,8 6,8 4,5 8,8 Sulawesi Selatan 0,3 2,5 2,8 5,2 5,3 8,1 5,6 10,2 Sulawesi Tenggara 0,2 2,1 2,0 3,4 3,9 5,9 4,1 7,3 Gorontalo 0,4 1,1 2,1 3,6 4,5 5,9 4,3 7,1 Sulawesi Barat 0,1 1,2 2,5 4,7 4,5 7,2 5,3 10,1 Maluku 0,2 2,3 1,8 2,9 4,6 6,6 3,7 6,0 Maluku Utara 0,2 1,7 0,9 1,8 2,5 4,6 2,6 4,7 Papua Barat 0,1 1,0 1,7 2,2 5,1 5,6 3,9 5,2 Papua 0,4 2,9 4,1 6,3 6,8 9,6 8,7 14,7 Indonesia 0,3 1,2 2,2 3,5 5,2 6,7 4,5 7,0 73 Tabel 3.4.6 Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut karakteristik, Indonesia 2013 Period Prevalensi Insiden diare Insiden Diare prevalence Hepatitis balita Karakteristik Diare D D/G D D/G D D/G Kelompok umur (tahun) <1 0,1 0,5 5,5 7,0 8,6 11,2 1-4 0,1 0,8 5,1 6,7 9,2 12,2 5-14 0,2 1,0 2,0 3,0 4,1 6,2 15-24 0,3 1,1 1,7 3,2 3,5 6,3 25-34 0,3 1,3 1,9 3,1 3,8 6,4 35-44 0,3 1,3 1,9 3,2 4,2 6,7 45-54 0,4 1,4 2,2 3,6 4,5 7,3 55-64 0,3 1,3 1,9 3,2 4,3 6,8 65-74 0,3 1,4 2,3 3,4 4,7 7,0 ≥75 0,2 1,3 2,7 3,7 5,1 7,4 Kelompok umur balita (bulan) 0-11 5,5 7,0 12-23 7,6 9,7 24-35 5,8 7,4 36-47 4,3 5,6 48-59 3,0 4,2 Jenis Kelamin Laki-laki 0,3 1,3 2,2 3,4 5,5 7,1 4,5 7,0 Perempuan 0,2 1,1 2,3 3,6 4,9 6,3 4,5 7,1 Pendidikan Tidak sekolah 0,3 1,5 2,5 3,8 5,2 8,0 Tidak tamat SD/MI 0,3 1,3 2,1 3,3 4,4 6,9 Tamat SD/MI 0,3 1,3 2,1 3,3 4,3 6,8 Tamat SMP/MTS 0,3 1,1 1,7 3,0 3,7 6,3 Tamat SMA/MA 0,4 1,1 1,6 2,8 3,5 5,8 Tamat D1-D3/PT 0,3 0,9 1,4 2,5 3,2 5,3 Pekerjaan Tidak bekerja 0,3 1,1 2,0 3,2 4,0 6,5 Pegawai 0,4 1,0 1,6 2,7 3,6 5,7 Wiraswasta 0,3 1,2 1,9 3,1 3,8 6,3 Petani/Nelayan/Buruh 0,3 1,6 2,0 3,3 4,4 7,1 Lainnya 0,3 1,4 1,9 3,3 4,3 7,1 Tempat Tinggal Perkotaan 0,3 0,9 2,1 3,5 5,0 6,6 4,3 6,8 Perdesaan 0,3 1,4 2,3 3,5 5,3 6,9 4,8 7,3 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 0,3 2,0 2,9 4,5 6,2 8,6 5,7 9,3 Menengah Bawah 0,3 1,4 2,4 3,6 5,4 6,9 4,8 7,3 Menengah 0,3 1,0 2,2 3,5 5,4 7,2 4,5 6,9 Menengah Atas 0,3 0,9 2,1 3,3 4,9 6,2 4,3 6,7 Teratas 0,3 0,9 1,8 2,8 4,3 5,3 3,7 5,7 74 Tabel 3.4.7 Proporsi penderita hepatitis A, B, C, dan hepatitis lain menurut provinsi, Indonesia 2013 Jenis Hepatitis yang Diderita Provinsi Hepatitis Hepatitis Hepatitis C Hepatitis Lain A B Aceh 13.4 15.8 0.1 1.3 Sumatera Utara 12.3 12.7 1.5 1.3 Sumatera Barat 22.4 15.2 7.4 0.0 Riau 28.0 26.2 2.4 2.1 Jambi 10.9 9.3 4.6 2.0 Sumatera Selatan 22.4 22.4 0.0 1.6 Bengkulu 8.6 19.2 4.5 0.0 Lampung 37.4 14.8 1.2 0.0 Bangka Belitung 6.5 48.2 0.0 0.0 Kepulauan Riau 53.6 7.1 21.3 0.0 DKI Jakarta 17.1 37.7 5.0 3.3 Jawa Barat 21.1 27.3 1.6 0.9 Jawa Tengah 16.4 21.9 3.1 2.7 DI Yogyakarta 15.1 15.5 0.0 3.7 Jawa Timur 17.5 17.4 2.5 1.1 Banten 28.6 25.5 6.0 5.1 Bali 25.7 20.1 6.4 6.7 Nusa Tenggara Barat 8.4 18.9 1.3 0.0 Nusa Tenggara Timur 27.9 29.7 3.2 1.0 Kalimantan Barat 7.8 30.7 3.1 6.2 Kalimantan Tengah 12.9 25.2 0.0 0.0 Kalimantan Selatan 23.5 15.7 0.9 0.6 Kalimantan Timur 27.1 8.7 5.2 0.0 Sulawesi Utara 14.0 6.8 0.0 2.4 Sulawesi Tengah 15.9 16.3 0.7 3.4 Sulawesi Selatan 17.8 15.1 3.2 5.8 Sulawesi Tenggara 24.5 14.5 0.0 1.6 Gorontalo 4.9 10.1 0.0 0.0 Sulawesi Barat 6.3 39.0 0.0 0.0 Maluku 2.0 47.6 0.0 3.5 Maluku Utara 10.9 19.3 0.0 0.0 Papua Barat 5.2 30.3 0.0 6.2 Papua 8.9 36.5 4.6 2.1 Indonesia 19,3 21,8 2,5 1,8 Lima provinsi dengan insiden dan period prevalen diare tertinggi adalah Papua (6,3% dan 14,7%), Sulawesi Selatan (5,2% dan 10,2%), Aceh (5,0% dan 9,3%), Sulawesi Barat (4,7% dan 10,1%), dan Sulawesi Tengah (4,4% dan 8,8%) (tabel 3.4.5). Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok umur balita adalah kelompok yang paling tinggi menderita diare. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah kuintil indeks kepemilikan, maka semakin tinggi proporsi diare pada penduduk. Petani/nelayan/buruh mempunyai proporsi tertinggi untuk kelompok pekerjaan (7,1%), sedangkan jenis kelamin dan tempat tinggal menunjukkan proporsi yang tidak jauh berbeda (tabel 3.4.6). 75 Insiden diare balita di Indonesia adalah 6,7 persen. Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan (8,1%), dan Banten (8,0%) (tabel 3.4.5). Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan (7,6%), laki-laki (5,5%), tinggal di daerah pedesaan (5,3%), dan kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah (6,2%) (tabel 3.4.6). Tabel 3.4.8 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Oralit Zn Aceh 33,3 22,8 Sumatera Utara 23,6 11,6 Sumatera Barat 38,4 21,5 Riau 36,5 32,3 Jambi 51,4 10,6 Sumatera Selatan 42,2 18,5 Bengkulu 33,0 21,0 Lampung 48,9 31,4 Bangka Belitung 40,5 3,5 Kepulauan Riau 44,5 16,7 DKI Jakarta 23,8 19,0 Jawa Barat 33,6 16,0 Jawa Tengah 23,1 14,6 DI Yogyakarta 26,4 12,6 Jawa Timur 29,6 13,9 Banten 29,1 19,5 Bali 37,4 23,7 Nusa Tenggara Barat 52,3 25,8 Nusa Tenggara Timur 51,5 15,8 Kalimantan Barat 41,7 23,3 Kalimantan Tengah 26,7 11,6 Kalimantan Selatan 24,6 8,9 Kalimantan Timur 43,3 14,7 Sulawesi Utara 37,0 10,6 Sulawesi Tengah 33,3 15,6 Sulawesi Selatan 31,4 12,4 Sulawesi Tenggara 43,0 16,6 Gorontalo 33,4 23,1 Sulawesi Barat 36,1 20,0 Maluku 30,7 18,7 Maluku Utara 37,8 16,2 Papua Barat 52,4 22,7 Papua 59,3 20,8 Indonesia 33,3 16,9 Oralit dan zinc sangat dibutuhkan pada pengelolaan diare balita. Oralit dibutuhkan sebagai rehidrasi yang penting saat anak banyak kehilangan cairan akibat diare dan kecukupan zinc di dalam tubuh balita akan membantu proses penyembuhan diare. Pengobatan dengan pemberian oralit dan zinc terbukti efektif dalam menurunkan tingginya angka kematian akibat diare sampai 40 persen. Pemakaian oralit dalam mengelola diare pada penduduk Indonesia adalah 33,3 persen. Lima provinsi tertinggi penggunaan oralit adalah Papua (59,3%), Papua Barat (52,4%), Nusa Tenggara Barat (52,3%), Nusa Tenggara Timur (51,5%), dan Jambi (51,4%). Pengobatan diare dengan menggunakan zinc pada penduduk Indonesia adalah 16,9 persen. Lima provinsi tertinggi 76 pemakaian zinc pada pengobatan diare adalah Riau (32,3%), Lampung (31,4%), Nusa Tenggara Barat (25,8%), Bali (23,7%), dan Kalimantan Barat (23,3%). 3.4.3. Penyakit yang ditularkan oleh Vektor (Malaria) Malaria merupakan penyakit menular yang menjadi perhatian global. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena sering menimbulkan KLB, berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta dapat mengakibatkan kematian. Penyakit ini dapat bersifat akut, laten atau kronis. Kepada responden yang menyatakan “tidak pernah didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan” ditanyakan apakah pernah menderita panas disertai menggigil atau panas naik turun secara berkala, dapat disertai sakit kepala, berkeringat, mual, muntah dalam waktu satu bulan terakhir atau satu tahun terakhir. Ditanyakan pula apakah pernah minum obat malaria dengan atau tanpa gejala panas. Untuk responden yang menyatakan “pernah didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan” ditanyakan apakah mendapat pengobatan dengan obat program kombinasi artemisinin dalam 24 jam pertama menderita panas atau lebih dari 24 jam pertama menderita panas dan apakah habis diminum dalam waktu 3 hari. Insiden Malaria pada penduduk Indonesia tahun 2013 adalah 1,9 persen menurun dibanding tahun 2007 (2,9%), tetapi di Papua Barat mengalami peningkatan tajam jumlah penderita malaria (gambar 3.4.7). Prevalensi malaria tahun 2013 adalah 6,0 persen. Lima provinsi dengan insiden dan prevalensi tertinggi adalah Papua (9,8% dan 28,6%), Nusa Tenggara Timur (6,8% dan 23,3%), Papua Barat (6,7% dan 19,4%), Sulawesi Tengah (5,1% dan 12,5%), dan Maluku (3,8% dan 10,7%) (tabel 3.4.9). Dari 33 provinsi di Indonesia, 15 provinsi mempunyai prevalensi malaria di atas angka nasional, sebagian besar berada di Indonesia Timur. Provinsi di Jawa-Bali merupakan daerah dengan prevalensi malaria lebih rendah dibanding provinsi lain, tetapi sebagian kasus malaria di Jawa-Bali terdeteksi bukan berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan. 30,0 25,0 20,0 15,0 2,9 1,9 10,0 0,0 Riau Lampung Kep.Riau Bali Kaltim Sumsel Jambi Sumut Sumbar Kalbar DIY Banten Kalteng Jateng Jabar Jatim Gorontalo Sultra Indonesia DKI Bengkulu Aceh Babel Sulut Kalsel Sulbar NTB Sulsel Malut Maluku Sulteng Pabar NTT Papua 5,0 2007 2013 Gambar 3.4.7 Insiden Malaria menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 77 Tabel 3.4.9 Insiden dan prevalensi malaria menurut provinsi, Indonesia 2013 Insiden Malaria Prevalensi Malaria Provinsi D/G D D D/G Aceh 0,3 2,4 1,6 6,1 Sumatera Utara 0,3 1,4 1,2 5,2 Sumatera Barat 0,3 1,4 1,1 4,3 Riau 0,1 0,6 0,8 2,5 Jambi 0,5 1,3 1,9 4,7 Sumatera Selatan 0,2 1,0 1,3 4,0 Bengkulu 1,5 2,3 5,7 9,3 Lampung 0,2 0,7 1,3 3,4 Bangka Belitung 0,9 2,6 4,4 8,7 Kepulauan Riau 0,1 0,8 1,5 4,2 DKI Jakarta 0,0 2,0 0,3 5,8 Jawa Barat 0,1 1,6 0,5 4,7 Jawa Tengah 0,0 1,5 0,6 5,1 DI Yogyakarta 0,1 1,4 0,5 5,3 Jawa Timur 0,0 1,8 0,5 5,2 Banten 0,0 1,4 0,4 4,3 Bali 0,0 0,8 0,4 2,7 Nusa Tenggara Barat 0,5 3,0 2,5 9,0 Nusa Tenggara Timur 2,6 6,8 10,3 23,3 Kalimantan Barat 0,4 1,4 1,6 4,6 Kalimantan Tengah 0,4 1,5 2,2 6,4 Kalimantan Selatan 0,1 2,8 1,1 7,3 Kalimantan Timur 0,2 0,9 1,4 4,3 Sulawesi Utara 0,7 2,7 3,7 10,0 Sulawesi Tengah 1,3 5,1 4,0 12,5 Sulawesi Selatan 0,2 3,1 1,0 8,1 Sulawesi Tenggara 0,2 1,9 1,2 5,6 Gorontalo 0,2 1,9 1,1 5,6 Sulawesi Barat 0,4 2,8 1,3 7,5 Maluku 1,2 3,8 3,9 10,7 Maluku Utara 1,1 3,2 4,7 11,3 Papua Barat 4,5 6,7 12,2 19,4 Papua 6,1 9,8 17,5 28,6 Indonesia 0,3 1,9 1,4 6,0 Tabel 3.4.10 menunjukkan prevalensi malaria pada anak kurang dari 15 tahun relatif lebih rendah dibanding pada orang dewasa, tetapi proporsi pengobatan dengan obat malaria program pada kelompok umur tersebut lebih baik pada anak dibandingkan orang dewasa (Tabel 3.4.12). Keadaan ini menunjukkan kewaspadaan dan kepedulian penanganan penyakit malaria pada anak sudah baik. 78 Tabel 3.4.10 Insiden dan prevalen malaria menurut karakteristik, Indonesia 2013 Insiden malaria Prevalen malaria Karakteristik D/G D D D/G Kelompok umur (tahun) 1,0 <1 0,1 0,6 3,1 1,9 1-4 0,3 1,2 5,6 1,9 5-14 0,3 1,3 5,9 1,9 15-24 0,3 1,3 6,0 2,0 25-34 0,4 1,6 6,3 2,1 35-44 0,3 1,6 6,6 2,0 45-54 0,3 1,5 6,3 1,8 55-64 0,3 1,3 5,8 1,7 65-74 0,2 1,3 5,6 1,6 ≥75 0,2 1,0 4,8 Jenis Kelamin 1,9 Laki-laki 0,4 1,6 6,2 1,9 Perempuan 0,3 1,2 5,8 Pendidikan Tidak sekolah 0,4 2,5 1,7 7,3 Tidak tamat SD/MI 0,4 2,3 1,5 6,7 Tamat SD/MI 0,3 2,2 1,5 6,5 Tamat SMP/MTS 0,3 1,8 1,5 6,0 Tamat SMA/MA 0,3 1,5 1,3 5,2 Tamat D1-D3/PT 0,3 1,0 1,2 4,1 Pekerjaan 0,3 1,9 Tidak bekerja 1,3 5,9 Pegawai 0,2 1,2 1,1 4,7 Wiraswasta 0,2 1,4 1,2 5,2 Petani/nelayan/buruh 0,5 2,5 2,1 7,8 Lainnya 2,1 0,4 1,7 6,5 Tempat Tinggal 1,5 Perkotaan 0,2 1,0 5,0 2,3 Pedesaan 0,5 1,9 7,1 Kuintil Indeks Kepemilikan 3,6 Terbawah 0,8 2,9 10,1 2,3 Menengah bawah 0,4 1,6 6,8 1,7 Menengah 0,2 1,2 5,4 1,5 Menengah atas 0,2 1,0 5,0 Teratas 1,1 0,2 1,0 4,3 Pengobatan malaria harus dilakukan secara efektif. Pemberian jenis obat harus benar, dan cara meminumnya harus tepat waktu yang sesuai dengan acuan program pengendalian malaria. Pengobatan efektif adalah pemberian ACT pada 24 jam pertama pasien panas dan obat harus diminum habis dalam 3 hari. Proporsi pengobatan efektif Indonesia adalah 45,5 persen. Lima provinsi yang tertinggi dalam mengobati malaria secara efektif adalah Bangka Belitung (59,2%), Sumatera Utara (55,7%), Bengkulu (53,6%), Kalimantan Tengah (50,5%) dan Papua (50,0%). Penduduk Indonesia yang yang mengobati sendiri penyakit malaria yang dideritanya adalah 0,6 persen (tabel 3.4.11). Lima provinsi tertinggi yang penduduknya mengobati sendiri penyakit 79 malaria adalah Papua Barat (5,1%), Papua (4,1%), Sulawesi Tengah (2,8%), Nusa Tenggara Timur (2,7%) dan Maluku Utara (2,3%) (Tabel 3.4.11) . 80 Tabel 3.4.11 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut provinsi, Indonesia 2013 Minum obat Pengobatan malaria sesuai program anti malaria Mendapatkan Minum Pengobatan dengan/ Mendapatkan efektif dgn Provinsi obat dalam obat tanpa obat ACT ACT* 24 jam selama gejala khas program pertama 3 hari malaria Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia 33,1 20,9 18,9 13,4 21,7 22,4 28,6 13,9 47,9 43,7 14,3 7,9 18,7 11,6 21,1 10,8 23,2 36,4 55,0 17,8 25,5 29,9 39,4 34,9 29,9 29,8 27,8 44,8 26,8 39,6 52,3 42,8 49,6 33,7 44,1 62,9 42,2 60,0 59,4 48,0 62,7 45,1 67,1 37,9 20,1 25,3 50,1 51,6 50,4 44,3 53,7 52,3 52,9 59,7 56,2 48,4 54,2 55,5 48,9 35,8 34,8 46,2 44,0 54,6 49,6 63,4 55,2 52,9 70,4 84,8 69,4 76,4 72,2 76,6 81,9 71,4 86,4 83,6 81,6 78,6 84,8 71,0 65,1 69,0 89,2 70,6 86,8 70,6 81,6 69,7 88,1 85,2 72,4 74,1 67,1 75,3 72,2 78,1 80,5 78,0 83,6 81,1 33,3 55,7 30,2 48,8 46,1 41,5 53,6 36,5 59,2 33,6 20,1 24,0 45,2 40,3 34,1 32,4 49,1 36,1 48,3 44,9 50,5 31,2 48,4 47,2 40,4 27,9 20,4 32,2 34,5 44,6 42,0 49,6 50,0 45,5 0,7 0,8 0,7 0,2 0,4 0,6 1,1 0,4 0,9 0,7 0,5 0,4 0,3 0,4 0,4 0,2 0,3 0,8 2,7 0,7 0,6 0,9 0,4 1,7 2,8 0,8 0,6 1,0 0,8 1,9 2,3 5,1 4,1 0,6 *Pengobatan efektif ( pengobatan malaria sesuai program) adalah pemberian ACT pada 24 jam pertama pasien panas dan obat diminum habis dalam 3 hari. 81 Tabel 3.4.12 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut karakteristik, Indonesia 2013 Kewaspadaan dan kepedulian penanganan penyakit malaria Mendapatkan obat Karakteristik Minum obat Mendapatkan obat ACT program dalam 24 jam selama 3 hari pertama Kelompok umur (tahun) <1 21,3 56,7 92,1 1-4 32,6 56,0 84,3 5-14 35,3 55,3 82,7 15-24 34,1 51,4 78,2 25-34 36,2 52,1 80,1 35-44 34,6 49,9 80,4 45-54 31,1 53,0 83,0 55-64 31,6 54,4 80,6 65-74 22,0 54,4 83,8 ≥75 24,1 65,3 81,3 Jenis Kelamin Laki-laki 33,9 51,8 81,0 Perempuan 33,4 54,3 81,3 Pendidikan Tidak sekolah 32,1 61,3 83,8 Tidak tamat SD/MI 36,0 53,2 82,3 Tamat SD/MI 31,7 49,5 80,7 Tamat SMP/MTS 33,1 50,0 77,7 Tamat SMA/MA 35,7 53,5 81,2 Tamat D1-D3/PT 35,2 55,2 78,2 Pekerjaan Tidak bekerja 32,2 53,2 79,1 Pegawai 34,0 51,4 78,8 Wiraswasta 31,0 53,5 79,4 Petani/Nelayan/Buruh 35,5 50,3 82,2 Lainnya 34,8 58,1 81,5 Tempat Tinggal Perkotaan 29,4 53,2 80,8 Pedesaan 35,9 52,8 81,2 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 39,8 53,7 82,1 Menengah Bawah 34,3 51,4 81,1 Menengah 29,7 49,7 80,5 Menengah Atas 30,7 52,7 77,5 Teratas 28,3 57,6 83,7 82 3.5. Penyakit Tidak Menular Laurentia K. Mihardja, Delima, Farida Soetiarto, Suhardi dan Antonius Yudi Kristanto Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang. PTM mempunyai durasi yang panjang dan umumnya berkembang lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes. Data penyakit tidak menular didapat melalui pertanyaan/wawancara responden tentang penyakit tidak menular yang terdiri dari: (1) asma, (2) penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), (3) kanker, (4) diabetes melitus (DM), (5) hipertiroid. (6) hipertensi, (7) jantung koroner, (8) gagal jantung, (9) stroke, (10) gagal ginjal kronis (GGK), (11) batu ginjal, (12) penyakit sendi/rematik. Jenis pertanyaan meliputi: PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan atau berdasarkan keluhan/gejala tertentu dan onset PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan atau keluhan/gejala yang dialami responden. Besar sampel yang digunakan dalam analisis Penyakit Tidak Menular (PTM) dapat dilihat pada gambar 3.5.1 Total sampel Riskesdas : 1.027.763 (L: 505.409 & P: 522.354) Asma, Kanker (SU= 1.027.763) (L: 505.409 & P: 522.354) PPOK (≥30 tahun= 508.330) (L: 242.256 & P: 266.074) Kanker cervix (P= 522.354) DM, Hipertiroid, Hipertensi (W), PJK, Gagal Jantung, Stroke, GGK, Batu Ginjal, Sendi (≥15 tahun= 722.329) (L: 347.823 & P: 374.506) Hipertensi ≥18 tahun (W = 665.920 U = 661.367) L: 319.121 (W), 316.617 (U) P: 346.799 (W), 344.750(U) Kanker prostat (L= 505.409) Kanker selain cervix & prostat (semua umur= 1.027.763) (L: 505.409 & P: 522.354) Catatan: SU = semua umur W = wawancara U = ukur L = laki-laki P = perempuan Gambar 3.5.1 Besar sampel yang digunakan untuk analisis penyakit tidak menular (PTM) Prevalensi penyakit adalah gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis tenaga medis/kesehatan dan kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM. Pada kanker hipertiroid, gagal ginjal kronis dan batu ginjal hanya berdasarkan yang terdiagnosis dokter. Data penyakit 83 asma/mengi/bengek dan kanker diambil dari responden semua umur, untuk penyakit paru obstruksi kronis umur >30 tahun, untuk penyakit kencing manis/diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendi/rematik/encok dan stroke ditanya pada umur ≥15 tahun. Riwayat penyakit ditanyakan mengenai umur mulai serangan atau tahun pertama didiagnosis, sedangkan pertanyaan gejala ditanyakan mengenai pernah atau dalam kurun waktu 1 bulan mengalami gejala. Hipertensi dinilai melalui 2 cara yaitu wawancara dan pengukuran. Untuk hipertensi wawancara, ditanyakan mengenai riwayat didiagnosis oleh nakes, dan kondisi sedang minum obat anti-hipertensi saat diwawancara. Untuk hipertensi berdasarkan hasil pengukuran, dilakukan pengukuran tekanan darah/tensi menggunakan alat pengukur/tensimeter digital. Setiap responden diukur tensinya minimal 2 kali. Jika hasil pengukuran kedua berbeda ≥10 mmHg dibanding pengukuran pertama, maka dilakukan pengukuran ketiga. Dua data pengukuran dengan selisih terkecil dengan pengukuran terakhir dihitung reratanya sebagai hasil ukur tensi. Walaupun ditanya dan diukur pada umur > 15 tahun prevalensi yang ditampilkan dalam tabel adalah pada umur > 18 tahun sesuai kriteria JNC VII, 2003. Terdapat beberapa perbedaan pertanyaan dalam kuesioner Riskesdas (RKD) 2013 dibandingkan RKD 2007. Untuk kasus asma pada RKD 2007 ditanyakan apakah pernah didiagnosis asma oleh tenaga kesehatan, kemudian untuk yang menjawab tidak, dilanjutkan dengan pertanyaan apakah ada mengalami gejala asma seperti sesak dengan disertai mengi, dada rasa tertekan di pagi hari atau waktu lainnya. Pada RKD 2013 pertanyaan asma berdasarkan pertanyaan yang lebih komplit, seperti sesak yang timbul bila terpapar udara dingin/rokok/debu/ infeksi/kelelahan/alergi obat/makanan, ada gejala mengi/sesak lebih berat malam hari atau menjelang pagi/ gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan. PPOK hanya ada pada RKD 2013. Pertanyaan PPOK berdasarkan gejala meliputi sesak, batuk berdahak, dan merokok dengan Indek Brinkman ≥ 200, sesak bertambah ketika beraktifitas dan bertambah dengan meningkatnya usia. Pertanyaan kanker pada RKD 2007, apakah pernah didiagnosis tumor/kanker oleh tenaga kesehatan? Hasilnya dinilai agak bias karena pertanyaan tumor/kanker meliputi tumor jinak dan ganas. RKD 2013 menanyakan apakah pernah didiagnosis kanker oleh dokter. Jadi lebih memfokuskan pada tumor ganas/kanker. Pertanyaan tentang hipertiroid tidak ada dalam RKD 2007 namun pada RKD 2013 ditanyakan apakah pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter. Prevalensi yang didapat berdasar pertanyaan tentu akan lebih rendah dari kenyataan sebenarnya karena biasanya penduduk berobat ke tenaga medis setelah ada gejala dimana penyakit sebenarnya sudah berlanjut. Tekanan darah pada waktu RKD 2007 diukur dengan tensimeter digital merek Omron tipe IA2 dan pengukuran dilakukan pada lengan kanan sesuai pedoman. RKD 2013 mengggunakan tensimeter digital merek Omron tipe IA1 karena tipe IA2 diskontinu dan sesuai pedoman, diukur pada lengan kiri. Pada RKD 2007 pertanyaan penyakit jantung digabung (kongenital/ jantung koroner/ gagal jantung/ jantung reumatik, dll) yaitu apakah pernah didiagnosis penyakit jantung oleh tenaga kesehatan. Pada RKD 2013 pertanyaan berupa apakah pernah didiagnosis menderita penyakit jantung koroner oleh dokter? Bagi yang belum terdiagnosis dilanjutkan dengan pertanyaan gejala sesuai kriteria “Rose Quesionnaire”. Untuk penyakit gagal jantung pertanyaan yang diajukan adalah apakah pernah didiagnosis penyakit gagal jantung oleh dokter. Bagi yang belum terdiagnosis dilanjutkan dengan pertanyaan gejala terkait gagal jantung. Pada RKD 2013 juga terdapat pertanyaan apakah pernah didiagnosis penyakit gagal ginjal kronis dan batu ginjal oleh dokter. Pertanyaan untuk stroke dan rematik sama dengan tahun 2007 yaitu apakah pernah didiagnosis oleh tenaga kesehatan dan dilanjutkan dengan pertanyaan gejala terkait penyakit. Informasi hasil analisis penyakit tidak menular (PTM) meliputi (1) asma (2) PPOK (3) kanker (4) DM (5) hipertiroid (6) hipertensi (7) jantung koroner (8) gagal jantung (9) stroke (10) gagal ginjal kronis (11) batu ginjal (12) penyakit sendi/rematik disajikan dalam bentuk tabel. Untuk beberapa penyakit, ditambahkan bentuk grafik kecenderungan 2007 dan 2013. Tabel menunjukkan prevalensi nasional dan provinsi, serta karakteristik sosiodemografi. Istilah D dalam tabel berarti prevalensi penyakit berdasarkan diagnosis dokter atau tenaga kesehatan, D/G berarti prevalensi 84 penyakit berdasarkan diagnosis dokter/ tenaga kesehatan atau berdasarkan gejala yang dialami. Untuk kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes diberi inisial D, dan gabungan kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes dengan kasus hipertensi berdasarkan riwayat sedang minum obat hipertensi sendiri diberi istilah DO (diagnosis atau minum obat sendiri), hasil berdasarkan pengukuran diberi inisial U. Kecenderungan prevalensi penyakit dalam RKD 2007 dan 2013 (DM, hipertensi, stroke, dan sendi/rematik) disajikan dalam bentuk grafik. 3.5.1. Asma Asma merupakan gangguan inflamasi kronis di jalan napas. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas. Gejala asma adalah gangguan pernapasan (sesak), batuk produktif terutama pada malam hari atau menjelang pagi, dan dada terasa tertekan. Gejala tersebut memburuk pada malam hari, adanya alergen (seperti debu, asap rokok) atau saat sedang menderita sakit seperti demam. Gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan. Didefinisikan sebagai asma jika pernah mengalami gejala sesak napas yang terjadi pada salah satu atau lebih kondisi: terpapar udara dingin dan/atau debu dan/atau asap rokok dan/atau stres dan/atau flu atau infeksi dan/atau kelelahan dan/atau alergi obat dan/atau alergi makanan dengan disertai salah satu atau lebih gejala: mengi dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang dengan pengobatan dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang tanpa pengobatan dan/atau sesak napas lebih berat dirasakan pada malam hari atau menjelang pagi dan jika pertama kali merasakan sesak napas saat berumur <40 tahun (usia serangan terbanyak). 3.5.2. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) PPOK adalah penyakit kronis saluran napas yang ditandai dengan hambatan aliran udara khususnya udara ekspirasi dan bersifat progresif lambat (semakin lama semakin memburuk), disebabkan oleh pajanan faktor risiko seperti merokok, polusi udara di dalam maupun di luar ruangan. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang dengan pengobatan. Didefinisikan sebagai PPOK jika pernah mengalami sesak napas yang bertambah ketika beraktifitas dan/atau bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk berdahak atau pernah mengalami sesak napas disertai batuk berdahak dan nilai Indeks Brinkman ≥200. Indeks Brinkman adalah jumlah batang rokok yang diisap, dihitung sebagai lama merokok (dalam tahun) dikalikan dengan jumlah rokok yang diisap per hari. Hasil yang didapat melalui kuesioner akan lebih rendah dibanding pemeriksaan spirometri karena PPOK baru ada keluhan bila fungsi paru sudah menurun banyak. 3.5.3. Kanker Kanker atau tumor ganas adalah pertumbuhan sel/jaringan yang tidak terkendali, terus bertumbuh/bertambah, immortal (tidak dapat mati). Sel kanker dapat menyusup ke jaringan sekitar dan dapat membentuk anak sebar. Diagnosis kanker maupun jenis kanker ditegakkan berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan pernah didiagnosis menderita kanker oleh dokter. Tabel 3.5.1 mencakup informasi prevalensi asma, PPOK, dan kanker di Indonesia masing-masing 4,5 persen, 3,7 persen, dan 1,4 per mil. Prevalensi asma tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (7,8%), diikuti Nusa Tenggara Timur (7,3%), DI Yogyakarta (6,9%), dan Sulawesi Selatan (6,7%). Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan masing-masing 6,7 persen. Prevalensi kanker tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (4,1‰), diikuti Jawa Tengah (2,1‰), Bali (2‰), Bengkulu, dan DKI Jakarta masing-masing 1,9 per mil. 85 Tabel 3.5.1 Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Asma* PPOK** Kanker (‰)*** Aceh 4,0 4,3 1,4 Sumatera Utara 2,4 3,6 1,0 Sumatera Barat 2,7 3,0 1,7 Riau 2,0 2,1 0,7 Jambi 2,4 2,1 1,5 Sumatera Selatan 2,5 2,8 0,7 Bengkulu 2,0 2,3 1,9 Lampung 1,6 1,4 0,7 Bangka Belitung 4,3 3,6 1,3 Kepulauan Riau 3,7 2,1 1,6 DKI Jakarta 5,2 2,7 1,9 Jawa Barat 5,0 4.0 1,0 Jawa Tengah 4,3 3,4 2,1 DI Yogyakarta 6,9 3,1 4,1 Jawa Timur 5,1 3,6 1,6 Banten 3,8 2,7 1,0 Bali 6,2 3,5 2,0 Nusa Tenggara Barat 5,1 5,4 0,6 Nusa Tenggara Timur 7,3 10,0 1,0 Kalimantan Barat 3,2 3,5 0,8 Kalimantan Tengah 5,7 4,3 0,7 Kalimantan Selatan 6,4 5.0 1,6 Kalimantan Timur 4,1 2,8 1,7 Sulawesi Utara 4,7 4,0 1,7 Sulawesi Tengah 7,8 8.0 0,9 Sulawesi Selatan 6,7 6,7 1,7 Sulawesi Tenggara 5,3 4,9 1,1 Gorontalo 5,4 5,2 0,2 Sulawesi Barat 5,8 6,7 1,1 Maluku 5,3 4,3 1,0 Maluku Utara 5,0 5,2 1,2 Papua Barat 3,6 2,5 0,6 Papua 5,8 5,4 1,1 Indonesia 4,5 3,7 1,4 *Wawancara semua umur berdasarkan gejala **Wawancara umur >30 tahun berdasarkan gejala ***Wawancara semua umur menurut diagnosis dokter Dari tabel 3.5.2 menurut karakteristik terlihat prevalensi asma, PPOK, dan kanker meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi asma pada kelompok umur ≥45 tahun mulai menurun. Prevalensi kanker agak tinggi pada bayi (0,3‰) dan meningkat pada umur ≥15 tahun, dan tertinggi pada umur ≥75 tahun (5‰). Prevalensi asma dan kanker pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki, PPOK lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan. Prevalensi asma terlihat sama antara perkotaan dan perdesaan, PPOK lebih tinggi di perdesaan dibanding perkotaan. Prevalensi kanker di kota cenderung lebih tinggi dari pada di desa. Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Asma cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Pada penyakit kanker, prevalensi cenderung lebih tinggi pada pendidikan tinggi dan pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan teratas. 86 Tabel 3.5.2 Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik, Indonesia 2013 Kanker (‰)*** Karakteristik Asma* PPOK** Kelompok umur (tahun) <1 1,5 0,3 1- 4 3,8 0,1 5-14 3,9 0,1 15-24 5,6 0,6 25-34 5,7 1,6 0,9 35-44 5,6 2,4 2,1 45-54 3,4 3,9 3,5 55-64 2,8 5,6 3,2 65-74 2,9 8,6 3,9 75+ 2,6 9,4 5,0 Jenis Kelamin Laki-Laki 4,4 4,2 0,6 Perempuan 4,6 3,3 2,2 Pendidikan Tidak Sekolah 4,2 7,9 1,3 Tidak Tamat SD 4,4 6,0 1,1 Tamat SD 4,9 4,2 1,8 Tamat SMP 5,0 2,3 1,1 Tamat SMA 4,5 1,6 1,8 Tamat D1-D3/PT 3,8 1,1 3,1 Status Pekerjaan Tidak Bekerja 4,8 4,3 2,0 Pegawai 4,3 1,4 1,6 Wiraswasta 4,4 2,6 1,7 Petani/Nelayan/Buruh 4,9 4,7 1,2 Lainnya 5,3 3,5 1,1 Tempat Tinggal Perkotaan 4,5 3,0 1,7 Perdesaan 4,5 4,5 1,1 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 5,8 7,0 0,8 Menengah bawah 4,7 4,8 1,4 Menengah 4,4 3,6 1,2 Menengah atas 4,3 2,7 1,5 Teratas 3,6 1,8 1,8 *Wawancara semua umur berdasarkan gejala **Wawancara umur >30 tahun berdasarkan gejala ***Wawancara semua umur menurut diagnosis dokter 3.5.4. Diabetes melitus Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe I/diabetes juvenile yaitu diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II yaitu diabetes yang didapat setelah dewasa. Gejala diabetes antara lain: rasa haus yang berlebihan (polidipsi), sering kencing (poliuri) terutama malam hari, sering merasa lapar (poliphagi), berat badan yang turun dengan cepat, keluhan 87 lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, impotensi, luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan kulit, dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar dengan berat badan >4 kg. Didefinisikan sebagai DM jika pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala: sering lapar dan sering haus dan sering buang air kecil & jumlah banyak dan berat badan turun. 3.5.5. Penyakit hipertiroid Penyakit hipertiroid adalah suatu keadaan ketika fungsi kelenjar gondok (tiroid) menjadi berlebihan. Kelebihan fungsi kelenjar tersebut meningkatkan produksi hormon tiroid yang mempengaruhi metabolisme tubuh. Gejala penyakit hipertiroid antara lain: jantung berdebardebar, berkeringat banyak, penurunan berat badan, cemas, tidak tahan terhadap udara dingin, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai hipertiroid jika pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter. 3.5.6. Hipertensi/Tekanan darah tinggi Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. Didefinisikan sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita hipertensi tetapi saat diwawancara sedang minum obat medis untuk tekanan darah tinggi (minum obat sendiri). Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus merujuk pada kriteria diagnosis JNC VII 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg. Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk umur ≥18 tahun, maka prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah dihitung hanya pada penduduk umur ≥18 tahun. Mengingat pengukuran tekanan darah dilakukan pada penduduk umur ≥15 tahun maka temuan kasus hipertensi pada umur 15-17 tahun sesuai kriteria JNC VII 2003 akan dilaporkan secara garis besar sebagai tambahan informasi. Dari tabel 3.5.3 terlihat prevalensi diabetes dan hipertiroid di Indonesia berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,5 persen dan 0,4 persen. DM terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 2,1 persen. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur 3,3 persen. Prevalensi hipertiroid tertinggi di DI Yogyakarta dan DKI Jakarta (masing-masing 0,7%), Jawa Timur (0,6%), dan Jawa Barat (0,5%). Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 25,8 persen, tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%). Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,4 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan atau sedang minum obat sebesar 9,5 persen. Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat sendiri. Responden yang mempunyai tekanan darah normal tetapi sedang minum obat hipertensi sebesar 0.7 persen. Jadi prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5 persen (25,8% + 0,7 %). 88 Tabel 3.5.3 Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥15 tahun dan hipertensi pada umur ≥18 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 Hipertensi Provinsi Diabetes Hipertiroid Wawancara Pengukuran D D/G D D D/O U Aceh 1,8 2,6 0,3 9,7 9,8 21,5 Sumatera Utara 1,8 2,3 0,3 6,6 6,7 24,7 Sumatera Barat 1,3 1,8 0,3 7,8 7,9 22,6 Riau 1,0 1,2 0,1 6,0 6,1 20,9 Jambi 1,1 1,2 0,2 7,4 7,4 24,6 Sumatera Selatan 0,9 1,3 0,1 7,0 7,0 26,1 Bengkulu 0,9 1,0 0,2 7,8 7,9 21,6 Lampung 0,7 0,8 0,2 7,4 7,4 24,7 Bangka Belitung 2,1 2,5 0,4 9,9 10,0 30,9 Kepulauan Riau 1,3 1,5 0,2 8,8 8,8 22,4 DKI Jakarta 2,5 3,0 0,7 10,0 10,1 20,0 Jawa Barat 1,3 2,0 0,5 10,5 10,6 29,4 Jawa Tengah 1,6 1,9 0,5 9,5 9,5 26,4 DI Yogyakarta 2,6 3,0 0,7 12,8 12,9 25,7 Jawa Timur 2,1 2,5 0,6 10,7 10,8 26,2 Banten 1,3 1,6 0,4 8,6 8,6 23,0 Bali 1,3 1,5 0,4 8,7 8,8 19,9 Nusa Tenggara Barat 0,9 1,3 0,2 6,7 6,8 24,3 Nusa Tenggara Timur 1,2 3,3 0,4 7,2 7,4 23,3 Kalimantan Barat 0,8 1,0 0,1 8,0 8,1 28,3 Kalimantan Tengah 1,2 1,6 0,2 10,6 10,7 26,7 Kalimantan Selatan 1,4 2,0 0,2 13,1 13,3 30,8 Kalimantan Timur 2,3 2,7 0,3 10,3 10,4 29,6 Sulawesi Utara 2,4 3,6 0,5 15,0 15,2 27,1 Sulawesi Tengah 1,6 3,7 0,4 11,6 11,9 28,7 Sulawesi Selatan 1,6 3,4 0,5 10,3 10,5 28,1 Sulawesi Tenggara 1,1 1,9 0,3 7,6 7,8 22,5 Gorontalo 1,5 2,8 0,3 11,1 11,3 29,0 Sulawesi Barat 0,8 2,2 0,3 9,5 9,6 22,5 Maluku 1,0 2,1 0,2 6,6 6,8 24,1 Maluku Utara 1,2 2,2 0,2 6,9 7,0 21,2 Papua Barat 1,0 1,2 0,2 5,0 5,2 20,5 Papua 0,8 2,3 0,2 3,2 3,3 16,8 Indonesia 1,5 2,1 0,4 9,4 9,5 25,8 Dari tabel 3.5.4 terlihat prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dokter dan gejala meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur ≥65 tahun cenderung menurun. Prevalensi hipertiroid cenderung meningkat seiring bertambahnya umur dan menetap mulai umur ≥45 tahun. Prevalensi hipertensi berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan pengukuran terlihat meningkat dengan bertambahnya umur. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi di perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada perdesaan. Prevalensi DM cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi dan dengan kuintil indeks kepemilikan tinggi. Prevalensi hipertensi cenderung lebih tinggi pada 89 kelompok pendidikan lebih rendah dan kelompok tidak bekerja, kemungkinan akibat ketidaktahuan tentang pola makan yang baik. Pada analisis hipertensi terbatas pada usia 15-17 tahun menurut JNC VII 2003 didapatkan prevalensi nasional sebesar 5,3 persen (laki-laki 6,0% dan perempuan 4,7%), perdesaan (5,6%) lebih tinggi dari perkotaan (5,1%). Tabel 3.5.4 Prevalensi diabetes, hipertiroid, hipertensi menurut karakteristik, Indonesia 2013 Hipertensi** Diabetes * Hipertiroid* Karakteristik Wawancara Pengukuran D D/G D D D/O U Kelompok umur (tahun) 15-24 0,1 0,6 0,4 1,2 1,2 8,7 25-34 0,3 0,8 0,3 3,4 3,4 14,7 35-44 1,1 1,7 0,4 8,1 8,2 24,8 45-54 3,3 3,9 0,5 14,8 15,0 35,6 55-64 4,8 5,5 0,5 20,5 20,7 45,9 65-74 4,2 4,8 0,5 26,4 26,7 57,6 75+ 2,8 3,5 0,5 27,7 27,9 63,8 Jenis Kelamin Laki-Laki 1,4 2,0 0,2 6,5 6,6 22,8 Perempuan 1,7 2,3 0,6 12,2 12,3 28,8 Pendidikan Tidak Sekolah 1,8 2,7 0,4 17,4 17,6 42,0 Tidak Tamat SD 1,9 2,8 0,4 13,9 14,1 34,7 Tamat SD 1,6 2,3 0,4 11,3 11,5 29,7 Tamat SMP 1,0 1,5 0,4 6,8 6,9 20,6 Tamat SMA 1,4 1,8 0,4 5,7 5,8 18,6 Tamat D1-D3/PT 2,5 2,8 0,6 7,3 7,5 22,1 Status Pekerjaan Tidak Bekerja 1,8 2,4 0,5 12,4 12,5 29,2 Pegawai 1,7 2,1 0,5 6,3 6,4 20,6 Wiraswasta 2,0 2,4 0,4 8,5 8,6 24,7 Petani/Nelayan/Buruh 0,8 1,6 0,3 7,8 7,8 25,0 Lainnya 1,8 2,4 0,4 8,8 8,9 24,1 Tempat Tinggal Perkotaan 2,0 2,5 0,5 9,9 10,0 26,1 Perdesaan 1,0 1,7 0,4 8,8 8,9 25,5 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 0,5 1,6 0,3 8,4 8,5 25,5 Menengah bawah 0,9 1,6 0,4 9,6 9,7 27,2 Menengah 1,2 1,8 0,4 9,6 9,7 25,9 Menengah atas 1,9 2,4 0,5 9,6 9,7 25,1 Teratas 2,6 3,0 0,5 9,4 9,5 25,4 *Umur > 15 tahun **Umur ≥ 18 tahun 3.5.7. Penyakit Jantung Penyakit jantung pada orang dewasa yang sering ditemui adalah penyakit jantung koroner dan gagal jantung. Responden biasanya mengetahui penyakit jantung yang diderita sebagai penyakit jantung saja. Cara membedakannya dengan menanyakan gejala yang dialami responden. 90 3.5.7.1 Penyakit jantung koroner Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis, ditandai dengan nyeri dada atau terasa tidak nyaman di dada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang mendaki/kerja berat ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan jauh. Didefinisikan sebagai PJK jika pernah didiagnosis menderita PJK (angina pektoris dan/atau infark miokard) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita PJK tetapi pernah mengalami gejala/riwayat: nyeri di dalam dada/rasa tertekan berat/tidak nyaman di dada dan nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan di dada bagian tengah/dada kiri depan/menjalar ke lengan kiri dan nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan ketika mendaki/naik tangga/berjalan tergesa-gesa dan nyeri/tidak nyaman di dada hilang ketika menghentikan aktifitas/istirahat. 3.5.7.2 Penyakit gagal jantung Gagal Jantung/Payah Jantung (fungsi jantung lemah) adalah ketidakmampuan jantung memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh yang ditandai dengan sesak nafas pada saat beraktifitas dan/atau saat tidur terlentang tanpa bantal, dan/atau tungkai bawah membengkak. Didefinisikan sebagai penyakit gagal jantung jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung (decompensatio cordis) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung tetapi mengalami gejala/riwayat: sesak napas pada saat aktifitas dan sesak napas saat tidur terlentang tanpa bantal dan kapasitas aktivitas fisik menurun/mudah lelah dan tungkai bawah bengkak. 3.5.8. Stroke Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal dan/atau global, munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi syaraf pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh nakes tetapi pernah mengalami secara mendadak keluhan kelumpuhan pada satu sisi tubuh atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh atau mulut menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata atau bicara pelo atau sulit bicara/komunikasi dan atau tidak mengerti pembicaraan. Tabel 3.5.5 menunjukkan prevalensi jantung koroner berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,5 persen, dan berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5 persen. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Sulawesi Tengah (0,8%) diikuti Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Aceh masing-masing 0,7 persen. Sementara prevalensi jantung koroner menurut diagnosis atau gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (4,4%), diikuti Sulawesi Tengah (3,8%), Sulawesi Selatan (2,9%), dan Sulawesi Barat (2,6%). Prevalensi gagal jantung berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,13 persen, dan yang terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi gagal jantung berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi DI Yogyakarta (0,25%), disusul Jawa Timur (0,19%), dan Jawa Tengah (0,18%). Prevalensi gagal jantung berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (0,8%), diikuti Sulawesi Tengah (0,7%), sementara Sulawesi Selatan dan Papua sebesar 0,5 persen. Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi Utara (10,8‰), diikuti DI Yogyakarta (10,3‰), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan 91 terdiagnosis nakes dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9‰), DI Yogyakarta (16,9‰), Sulawesi Tengah (16,6‰), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil. Tabel 3.5.5 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥15 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 Jantung Koroner Gagal jantung Stroke (‰) Provinsi D D/G D D/G D D/G Aceh 0,7 2,3 0,10 0,3 6,6 10,5 Sumatera Utara 0,5 1,1 0,13 0,3 6,0 10,3 Sumatera Barat 0,6 1,2 0,13 0,3 7,4 12,2 Riau 0,2 0,3 0,12 0,2 4,2 5,2 Jambi 0,2 0,5 0,04 0,1 3,6 5,3 Sumatera Selatan 0,4 0,7 0,07 0,2 5,2 7,8 Bengkulu 0,3 0,6 0,10 0,1 7,0 9,4 Lampung 0,2 0,4 0,08 0,1 3,7 5,4 Bangka Belitung 0,6 1,2 0,05 0,1 9,7 14,6 Kepulauan Riau 0,4 1,1 0,17 0,3 7,6 8,5 DKI Jakarta 0,7 1,6 0,15 0,3 9,7 14,6 Jawa Barat 0,5 1,6 0,14 0,3 6,6 12,0 Jawa Tengah 0,5 1,4 0,18 0,3 7,7 12,3 DI Yogyakarta 0,6 1,3 0,25 0,4 10,3 16,9 Jawa Timur 0,5 1,3 0,19 0,3 9,1 16,0 Banten 0,5 1,0 0,09 0,2 5,1 9,6 Bali 0,4 1,3 0,13 0,3 5,3 8,9 Nusa Tenggara Barat 0,2 2,1 0,04 0,2 4,5 9,6 Nusa Tenggara Timur 0,3 4,4 0,10 0,8 4,2 12,1 Kalimantan Barat 0,3 0,9 0,08 0,2 5,8 8,2 Kalimantan Tengah 0,3 1,7 0,07 0,2 6,2 12,1 Kalimantan Selatan 0,5 2,2 0,06 0,3 9,2 14,5 Kalimantan Timur 0,5 1,0 0,08 0,1 7,7 10,0 Sulawesi Utara 0,7 1,7 0,14 0,4 10,8 14,9 Sulawesi Tengah 0,8 3,8 0,12 0,7 7,4 16,6 Sulawesi Selatan 0,6 2,9 0,07 0,5 7,1 17,9 Sulawesi Tenggara 0,4 1,7 0,04 0,2 4,8 8,8 Gorontalo 0,4 1,8 0,06 0,2 8,3 12,3 Sulawesi Barat 0,3 2,6 0,07 0,3 5,9 15,5 Maluku 0,5 1,7 0,09 0,4 4,2 8,7 Maluku Utara 0,2 1,7 0,02 0,2 4,6 10,7 Papua Barat 0,3 1,2 0,08 0,2 4,2 5,8 Papua 0,2 1,3 0,07 0,5 2,3 9,4 Indonesia 0,5 1,5 0,13 0,3 7,0 12,1 Tabel 3.5.6 menunjukkan prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter atau gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 65 -74 tahun yaitu 2,0 persen dan 3,6 persen, menurun sedikit pada kelompok umur ≥ 75 tahun. Prevalensi PJK yang didiagnosis dokter maupun berdasarkan diagnosis dokter atau gejala lebih tinggi pada perempuan (0,5% dan 1,5%). Prevalensi PJK lebih tinggi pada masyarakat tidak bersekolah dan tidak bekerja. Berdasar PJK terdiagnosis dokter prevalensi lebih tinggi di perkotaan, namun berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala lebih tinggi di perdesaan dan pada kuintil indeks kepemilikan terbawah. 92 Tabel 3.5.6 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013 Jantung Koroner Gagal Jantung Stroke (‰) Karakteristik Responden D D/G D D/G D D/G Kelompok umur (tahun) 15-24 0,1 0,7 0,02 0,1 0,2 2,6 25-34 0,2 0,9 0,05 0,1 0,6 3,9 35-44 0,3 1,3 0,09 0,2 2,5 6,4 45-54 0,7 2,1 0,19 0,4 10,4 16,7 55-64 1,3 2,8 0,38 0,7 24,0 33,0 65-74 2,0 3,6 0,49 0,9 33,2 46,1 75+ 1,7 3,2 0,41 1,1 43,1 67,0 Jenis Kelamin Laki-Laki 0,4 1,3 0,1 0,3 7,1 12,0 Perempuan 0,5 1,6 0,2 0,3 6,8 12,1 Pendidikan Tidak Sekolah 0,6 2,8 0,2 0,8 16,5 32,8 Tidak Tamat SD 0,6 2,3 0,2 0,5 12,0 21,0 Tamat SD 0,5 1,7 0,2 0,4 7,8 13,2 Tamat SMP 0,3 1,1 0,1 0,2 4,0 7,2 Tamat SMA 0,4 1,0 0,1 0,1 4,0 6,9 Tamat D1 - D3 / PT 0,8 1,1 0,1 0,2 7,6 9,8 Status Pekerjaan Tidak Bekerja 0,7 1,6 0,2 0,4 11,4 18,0 Pegawai 0,4 0,9 0,1 0,1 3,9 6,2 Wiraswasta 0,5 1,2 0,1 0,3 4,6 8,6 Petani/Nelayan/Buruh 0,3 1,6 0,1 0,3 3,7 8,8 Lainnya 0,4 1,3 0,1 0,3 5,8 10,0 Tempat Tinggal Perkotaan 0,6 1,4 0,2 0,3 8,2 12,7 Perdesaan 0,4 1,6 0,1 0,3 5,7 11,4 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 0,2 2,1 0,1 0,4 5,1 13,1 Menengah bawah 0,4 1,6 0,1 0,3 6,9 12,6 Menengah 0,5 1,4 0,1 0,3 6,9 12,0 Menengah atas 0,6 1,3 0,1 0,2 7,6 11,8 Teratas 0,7 1,2 0,2 0,2 7,7 11,2 Prevalensi penyakit gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur 65 – 74 tahun (0,5%) untuk yang terdiagnosis dokter, menurun sedikit pada umur ≥75 tahun (0,4%), tetapi untuk yang terdiagnosis dokter atau gejala tertinggi pada umur ≥75 tahun (1,1%). Untuk yang didiagnosis dokter prevalensi lebih tinggi pada perempuan (0,2%) dibanding laki-laki (0,1%), berdasar didiagnosis dokter atau gejala prevalensi sama banyaknya antara laki-laki dan perempuan (0,3%). Prevalensi yang didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter atau gejala lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah. Prevalensi yang didiagnosis dokter lebih tinggi di perkotaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan tinggi. Untuk yang terdiagnosis dokter atau gejala sama banyak antara perkotaan dan perdesaan. Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis nakes serta yang didiagnosis nakes atau gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur ≥75 tahun (43,1‰ 93 dan 67,0‰). Prevalensi stroke yang terdiagnosis nakes maupun berdasarkan diagnosis atau gejala sama tinggi pada laki-laki dan perempuan. Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik yang didiagnosis nakes (16,5‰) maupun diagnosis nakes atau gejala (32,8‰). Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan diagnosis nakes (8,2‰) maupun berdasarkan diagnosis nakes atau gejala (12,7‰). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja baik yang didiagnosis nakes (11,4‰) maupun yang didiagnosis nakes atau gejala (18‰). Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis atau gejala lebih tinggi pada kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing masing 13,1 dan 12,6 per mil. 3.5.9. Penyakit ginjal Penyakit ginjal adalah kelainan yang mengenai organ ginjal yang timbul akibat berbagai faktor, misalnya infeksi, tumor, kelainan bawaan, penyakit metabolik atau degeneratif, dan lain-lain. Kelainan tersebut dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Pasien mungkin merasa nyeri, mengalami gangguan berkemih, dan lain-lain. Terkadang pasien penyakit ginjal tidak merasakan gejala sama sekali. Pada keadaan terburuk, pasien dapat terancam nyawanya jika tidak menjalani hemodialisis (cuci darah) berkala atau transplantasi ginjal untuk menggantikan organ ginjalnya yang telah rusak parah. Di Indonesia, penyakit ginjal yang cukup sering dijumpai antara lain adalah penyakit gagal ginjal dan batu ginjal. Didefinisikan sebagai gagal ginjal kronis jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal ginjal kronis (minimal sakit selama 3 bulan berturut-turut) oleh dokter. Didefinisikan sebagai penyakit batu ginjal jika pernah didiagnosis mengalami penyakit batu ginjal oleh dokter. 3.5.10. Penyakit Sendi/Rematik/Encok Penyakit sendi/rematik/encok adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik pada sendi-sendi tubuh. Gejala klinik penyakit sendi/ rematik berupa gangguan nyeri pada persendian yang disertai kekakuan, merah, dan pembengkakan yang bukan disebabkan karena benturan/kecelakaan dan berlangsung kronis. Gangguan terutama muncul pada waktu pagi hari. Didefinisikan sebagai penyakit sendi/rematik/encok jika pernah didiagnosis menderita penyakit sendi/rematik/encok oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau ketika bangun tidur pagi hari pernah menderita salah satu gejala: sakit/nyeri atau merah atau kaku atau bengkak di persendian yang timbul bukan karena kecelakaan. Tabel 3.5.7 menunjukkan prevalensi gagal ginjal kronis berdasar diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2 persen. Prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah sebesar 0,5 persen, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4 persen. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur masing– masing 0,3 persen. Prevalensi penderita batu ginjal berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,6 persen. Prevalensi tertinggi di DI Yogyakarta (1,2%), diikuti Aceh (0,9%), Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tengah masing–masing sebesar 0,8 persen. Prevalensi penyakit sendi berdasar diagnosis nakes di Indonesia 11,9 persen dan berdasar diagnosis atau gejala 24,7 persen. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Bali (19,3%), diikuti Aceh (18,3%), Jawa Barat (17,5%) dan Papua (15,4%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis nakes atau gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (33,1%), diikuti Jawa Barat (32,1%), dan Bali (30%). 94 Tabel 3.5.7 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥15 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 Gagal Ginjal Kronis Batu Ginjal Penyakit Sendi Provinsi D D D D/G Aceh 0,4 0,9 18,3 25,3 Sumatera Utara 0,2 0,3 8,4 19,2 Sumatera Barat 0,2 0,4 12,7 21,8 Riau 0,1 0,2 6,8 10,8 Jambi 0,2 0,4 8,6 14,2 Sumatera Selatan 0,1 0,3 8,4 15,6 Bengkulu 0,2 0,4 10,2 16,5 Lampung 0,3 0,5 11,5 18,9 Bangka Belitung 0,1 0,1 5,8 17,8 Kepulauan Riau 0,1 0,3 5,9 11,6 DKI Jakarta 0,1 0,5 8,9 21,8 Jawa Barat 0,3 0,8 17,5 32,1 Jawa Tengah 0,3 0,8 11,2 25,5 DI Yogyakarta 0,3 1,2 5,6 22,7 Jawa Timur 0,3 0,7 11,1 26,9 Banten 0,2 0,4 9,5 20,6 Bali 0,2 0,7 19,3 30,0 Nusa Tenggara Barat 0,1 0,3 9,8 23,7 Nusa Tenggara Timur 0,3 0,7 12,6 33,1 Kalimantan Barat 0,2 0,4 13,3 22,3 Kalimantan Tengah 0,2 0,4 12,6 21,8 Kalimantan Selatan 0,2 0,4 9,5 25,8 Kalimantan Timur 0,1 0,4 8,2 16,0 Sulawesi Utara 0,4 0,5 10,3 19,1 Sulawesi Tengah 0,5 0,8 11,4 26,7 Sulawesi Selatan 0,3 0,5 10,6 27,7 Sulawesi Tenggara 0,2 0,5 12,0 20,8 Gorontalo 0,4 0,6 10,4 17,7 Sulawesi Barat 0,2 0,2 8,0 22,5 Maluku 0,2 0,5 8,9 18,8 Maluku Utara 0,2 0,4 5,9 17,4 Papua Barat 0,2 0,3 8,3 15,4 Papua 0,2 0,4 15,4 26,5 Indonesia 0,2 0,6 11,9 24,7 Tabel 3.5.8 menunjukkan prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur, meningkat tajam pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%), tertinggi pada kelompok umur ≥75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3 persen. Prevalensi penyakit batu ginjal berdasarkan wawancara meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 55-64 tahun (1,3%), menurun sedikit pada kelompok umur 65-74 tahun (1,2%) dan umur ≥75 tahun (1,1%). Prevalensi lebih tinggi pada laki-laki (0,8%) dibanding perempuan (0,4%). Prevalensi tertinggi pada masyarakat tidak bersekolah dan tidak tamat SD (0,8%) serta masyarakat wiraswasta (0,8%) dan status ekonomi hampir sama mulai 95 kuintil indeks kepemilikan menengah bawah sampai menengah atas (0,6%). Prevalensi di perdesaan sama tinggi dengan perkotaan (0,6%). Tabel 3.5.8 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013 Gagal Ginjal Kronis Batu Ginjal Penyakit Sendi Karakteristik D/G D D D Kelompok umur (tahun) 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+ Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Status Pekerjaan Tidak Bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas 0,1 0,1 0,3 0,4 0,5 0,5 0,6 0,1 0,3 0,7 1,0 1,3 1,2 1,1 1,5 6,0 12,4 19,3 25,2 30,6 33,0 7,0 16,1 26,9 37,2 45,0 51,9 54,8 0,3 0,2 0,8 0,4 10,3 13,4 21,8 27,5 0,4 0,3 0,3 0,2 0,1 0,2 0,8 0,8 0,7 0,4 0,5 0,6 24,1 19,8 16,3 7,5 5,8 5,8 45,7 38,0 31,8 17,5 14,9 13,2 0,2 0,2 0,3 0,3 0,3 0,5 0,7 0,8 0,7 0,6 11,5 6,3 11,1 15,3 11,0 23,4 15,4 23,7 31,2 24,0 0,2 0,3 0,6 0,6 10,0 13,8 22,1 27,4 0,3 0,3 0,2 0,2 0,2 0,5 0,6 0,6 0,6 0,6 15,4 14,5 12,3 10,1 8,6 32,1 29,0 25,4 22,0 18,1 Prevalensi penyakit sendi berdasarkan wawancara yang didiagnosis nakes meningkat seiring dengan bertambahnya umur, demikian juga yang didiagnosis nakes atau gejala. Prevalensi tertinggi pada umur ≥75 tahun (33% dan 54,8%). Prevalensi yang didiagnosis nakes lebih tinggi pada perempuan (13,4%) dibanding laki-laki (10,3%) demikian juga yang didiagnosis nakes atau gejala pada perempuan (27,5%) lebih tinggi dari laki-laki (21,8%). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat tidak bersekolah baik yang didiagnosis nakes (24,1%) maupun diagnosis nakes atau gejala (45,7%). Prevalensi tertinggi pada pekerjaan petani/nelayan/buruh baik yang didiagnosis nakes (15,3%) maupun diagnosis nakes atau gejala (31,2%). Prevalensi yang didiagnosis nakes di perdesaan (13,8%) lebih tinggi dari perkotaan (10,0%), demikian juga yang diagnosis nakes atau gejala di perdesaan (27,4%), di perkotaan (22,1%). Kelompok yang didiagnosis nakes, prevalensi 96 tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan terbawah (15,4%) dan menengah bawah (14,5%). Demikian juga pada kelompok yang terdiagnosis nakes atau gejala, prevalensi tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan terbawah (32,1%) dan menengah bawah (29,0%). 3.5.11. Kecenderungan PTM 2007-2013 Beberapa penyakit tidak menular yang dapat dilihat kecenderungan dari tahun 2007 ke tahun 2013 adalah prevalensi DM berdasarkan wawancara, prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara dan pengukuran, prevalensi stroke dan sendi/rematik/encok berdasarkan wawancara. Kecenderungan dibandingkan menurut provinsi di Indonesia dan dilihat kenaikan atau penurunan prevalensi. Gambar 3.5.2 menunjukkan kecenderungan prevalensi DM berdasarkan wawancara tahun 2013 adalah 2,1 persen (Indonesia), lebih tinggi dibanding tahun 2007 (1,1%). Dua provinsi, yaitu Papua Barat dan Nusa Tenggara Barat terlihat ada kecenderungan menurun, 31 provinsi lainnya menunjukkan kenaikan prevalensi DM yang cukup berarti seperti Maluku (0,5% menjadi 2,1%), Sulawesi Selatan (0,8% menjadi 3,4%), dan Nusa Tenggara Timur (1,2% menjadi 3,3%). 5,0 4,0 3,0 2,1 2,0 1,1 0,0 Lampung Bengkulu Kalbar Riau Jambi Pabar Sumsel NTB Kep,Riau Bali Banten Kalteng Sumbar Jateng Sultra Jabar Kalsel Sulbar Maluku Indonesia Malut Sumut Papua Babel Jatim Aceh Kaltim Gorontalo DKI DIY NTT Sulsel Sulut Sulteng 1,0 2007 2013 Gambar 3.5.2 Kecenderungan prevalensi DM berdasarkan wawancara pada umur ≥ 15 tahun menurut provinsi, 2007 dan 2013 Gambar 3.5.3 menunjukkan kecenderungan prevalensi hipertensi diagnosis oleh nakes berdasarkan wawancara tahun 2013 (9,5%) lebih tinggi dibanding tahun 2007(7,6%). Tiga provinsi, yaitu Papua, Papua Barat dan Riau terlihat ada penurunan. Enam provinsi tidak terjadi perubahan seperti Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan Barat, Aceh, dan DKI Jakarta. Di provinsi lainnya prevalensi hipertensi cenderung meningkat. 97 20,0 16,0 12,0 9,5 8,0 7,6 0,0 Papua Pabar Riau Sumut NTB Maluku Sumsel Malut Jambi Lampung NTT Sultra Sumbar Bengkulu Kalbar Banten Kep. Riau Bali Jateng Indonesia Sulbar Aceh Babel DKI Kaltim Sulsel Jabar Kalteng Jatim Gorontalo Sulteng DIY Kalsel Sulut 4,0 Gambar 3.5.3 Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara pada umur ≥18 tahun menurut provinsi, 2007 dan 2013 50,0 40,0 31,7 30,0 20,0 25,8 0,0 Papua Bali DKI Pabar Riau Malut Aceh Bengkulu Kep. Riau Sultra Sulbar Sumbar Banten NTT Maluku NTB Jambi Sumut Lampung DIY Indonesia Sumsel Jatim Jateng Kalteng Sulut Sulsel Kalbar Sulteng Gorontalo Jabar Kaltim Kalsel Babel 10,0 2007 2013 Gambar 3.5.4 Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran pada umur ≥ 18 tahun menurut provinsi, 2007 dan 2013 Gambar 3.5.4 menunjukkan kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran yang menunjukkan penurunan yang sangat berarti dari 31,7 persen tahun 2007 menjadi 25,8 persen tahun 2013. Asumsi penurunan, diperkirakan karena (i) perbedaan alat ukur yang digunakan tahun 2007 tidak diproduksi lagi (discontinue) pada tahun 2013, (ii) kesadaran masyarakat yang semakin membaik pada tahun 2013. Asumsi (ii) terlihat pada gambar 3.5.3 dimana prevalensi hipertensi berdasarkan diagnosis atau gejala meningkat. Hal ini menunjukkan kesadaran masyarakat yang sudah memeriksakan diri ke tenaga kesehatan agak meningkat sedikit. 98 Gambar 3.5.5 menunjukkan kecenderungan prevalensi stroke berdasarkan wawancara menunjukkan kenaikan dari 8,3 per mil tahun 2007 menjadi 12,1 per mil. Terlihat kecenderungan menurun yang cukup berarti di dua provinsi yaitu Kepulauan Riau dan Aceh, provinsi lainnya cenderung meningkat. 20,0 16,0 12,1 12,0 8,0 4,0 Riau Jambi Lampung Pabar Sumsel Kalbar Kep.Riau Maluku Sultra Bali Papua Bengkulu Banten NTB Kaltim Sumut Aceh Malut Jabar Indonesia NTT Kalteng Sumbar Jateng Gorontalo Kalsel Babel DKI Sulut Sulbar Jatim Sulteng DIY Sulsel 0,0 8,3 2007 2013 Gambar 3.5.5 Kecenderungan prevalensi stroke permil pada umur ≥15 tahun menurut provinsi, 2007 dan 2013 45,0 30,3 36,0 27,0 18,0 24,7 0,0 Riau Kepri Jambi Pabar Sumsel Kaltim Bengkulu Malut Gorontalo Babel Maluku Lampung Sulut Sumut Banten Sultra Sumbar DKI Kalteng Kalbar Sulbar DI Y NTB Indonesia Aceh Jateng Kalsel Papua Sulteng Jatim Sulsel Bali Jabar NTT 9,0 Gambar 3.5.6 Kecenderungan prevalensi sendi/rematik/encok berdasarkan wawancara pada umur ≥15 tahun menurut provinsi, 2007 dan 2013 Gambar 3.5.6 menunjukkan kecenderungan prevalensi penyakit sendi/rematik/encok berdasarkan wawancara tahun 2013 (24,7%) lebih rendah dibanding tahun 2007 (30,3%). Kecenderungan penurunan prevalensi diasumsikan kemungkinan perilaku penduduk yang sudah lebih baik, seperti berolah raga dan pola makan. Dalam hal ini diperlukan analisis lanjut. 99 3.6. Cedera Woro Riyadina, Anna Maria Sirait, Sulistyowati Tuminah, FX Suharyanto, dan Zainul Nantabah Cedera merupakan kerusakan fisik pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh kekuatan yang tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga sebelumnya (WHO, 2004). Kasus cedera diperoleh berdasarkan wawancara. Cedera yang ditanyakan adalah peristiwa yang dialami responden selama 12 bulan terakhir untuk semua umur. Definisi cedera dalam Riskesdas adalah kejadian atau peristiwa yang mengalami cedera yang menyebabkan aktivitas sehari-hari terganggu. Untuk kasus cedera yang kejadiannya lebih dari 1 kali dalam 12 bulan, kasus cedera yang ditanyakan adalah cedera yang paling parah menurut pengakuan responden. Jumlah data yang dianalisis seluruhnya 1.027.758 orang untuk semua umur. Adapun responden yang pernah mengalami cedera 84.774 orang dan tidak cedera 942.984 orang. Responden yang mengalami cedera akibat kecelakaan transportasi sepeda motor sebanyak 34.409 orang. Khusus untuk analisis pemakaian helm diseleksi hanya pada kelompok umur 1 tahun keatas yang jumlahnya sekitar 34.398 orang. Skema jumlah data yang dianalisis sebagai berikut : Jumlah total responden (semua umur) 1.027.758 Cedera 84.774 Tidak cedera 942.984 Penyebab cedera Transportasi sepeda motor 34.409 Umur ≥ 1 tahun 34.398 Umur < 1 tahun 11 Penyebab lain 50.373 Jenis cedera Tempat kejadian Pemakaian helm 34.398 Keterangan: : ada pada Buku Riskesdas 2013 dalam angka 100  Bagian tubuh cedera  Lama rawat  Kecacatan 3.6.1. Prevalensi Cedera dan penyebabnya Penyebab terjadinya cedera meliputi penyebab yang disengaja (intentional injury), penyebab yang tidak disengaja (unintentional injury) dan penyebab yang tidak bisa ditentukan (undeterminated intent) (WHO, 2004). Penyebab cedera yang disengaja meliputi bunuh diri, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seperti dipukul orang tua/suami/istri/anak), penyerangan, tindakan kekerasan/pelecehan dan lain-lain. Penyebab cedera yang tidak disengaja antara lain: terbakar/tersiram air panas/bahan kimia, jatuh dari ketinggian, digigit/diserang binatang, kecelakaan transportasi darat/laut/udara, kecelakaan akibat kerja, terluka karena benda tajam/tumpul/mesin, kejatuhan benda, keracunan, bencana alam, radiasi, terbakar dan lainnya. Penyebab cedera yang tidak dapat ditentukan (undeterminated intent) yaitu penyebab cedera yang sulit untuk dimasukkan kedalam kelompok penyebab yang disengaja atau tidak disengaja. Penyebab cedera yang dituliskan dalam laporan ini adalah penyebab yang tidak disengaja. Prevalensi dan proporsi penyebab cedera menurut provinsi disajikan pada Tabel 3.6.1. Prevalensi cedera secara nasional adalah 8,2 persen, prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi (4,5%). Provinsi yang mempunyai prevalensi cedera lebih tinggi dari angka nasional sebanyak 15 provinsi. Penyebab cedera terbanyak yaitu jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera karena terkena benda tajam/tumpul (7,3%), transportasi darat lain (7,1%) dan kejatuhan (2,5%). Sedangkan untuk penyebab yang belum disebutkan proporsinya sangat kecil. Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu (56,4 persen) dan terendah di Papua (19,4%). Adapun untuk transportasi darat lain proporsi tertinggi terjadi di Kalimantan Selatan (10,1%) dan terendah ditemukan di Papua (2,5%). Proporsi jatuh tertinggi di NTT (55,5%) dan terendah di Bengkulu (26,6%). Proporsi tertinggi terkena benda tajam/tumpul terjadi di Papua (29%) dan terendah di DI Yogyakarta (4,7%). Penyebab cedera karena terbakar ditemukan proporsi tertinggi di Papua (2%) dan terendah (tanpa kasus) di Kalimantan Timur. Untuk penyebab cedera karena gigitan hewan tertinggi terjadi di DI Yogyakarta (2,6%) terendah terjadi di 3 provinsi yaitu Lampung, Banten dan Kalimantan Selatan (0,1%). Proporsi kejatuhan tertinggi ditemukan di Papua (10,1%) dan terendah di Sumatera Selatan (1,3%). Keracunan sebagian besar tidak ditemukan kasusnya, proporsi tertinggi terjadi di Jambi (0,10%). Adapun untuk gambaran prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik disajikan pada Tabel 3.6.2. Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun (11,7%), laki-laki (10,1%), pendidikan tamat SMP/MTS (9,1%), yang tidak bekerja atau bekerja sebagai pegawai (8,4% persen), bertempat tinggal di perkotaan (8,7%) pada kuintil Indeks kepemilikan menengah atas (8,7%). Ditinjau dari penyebab cederanya, proporsi tertinggi adalah cedera karena jatuh (91,3%) pada kelompok umur <1 tahun, perempuan (49,3%), tidak sekolah (61,6%), tidak bekerja (39,9%), tinggal di perdesaan (42,3%) dan kuintil indeks kepemilikan terbawah (50,8%). Selain itu penyebab cedera karena kecelakaan sepeda motor menempati peringkat kedua menunjukkan proporsi tertinggi yaitu 67,4 persen pada kelompok umur 15-24 tahun, laki-laki (44,6%), tingkat pendidikan tamat SMA/MA (63,9%), bekerja sebagai pegawai (65,3%), tinggal di perkotaan (42,8%), dan kuintil indeks kepemilikan teratas (46,9%). Sedangkan penyebab cedera transportasi darat lain proporsi tertinggi terjadi pada umur 5-14 tahun (14,7%), laki-laki (7,3%), tidak tamat SD (12,7%), tidak bekerja (7,5%) dan bertempat tinggal di perkotaan dan kuintil indeks kepemilikan teratas masing-masing 7,8 persen. 101 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Tabel 3.6.1 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut provinsi, Indonesia 2013 Penyebab cedera Cedera Sepeda Trans Benda Ter Gigitan Ke motor darat Jatuh tajam/ bakar hewan jatuhan lain tumpul 7,3 48,6 8,1 30,2 7,7 0,7 0,2 3,7 7,2 36,3 8,8 38,9 10,1 0,9 0,4 4,1 5,8 49,5 5,4 33,2 7,4 0,2 0,5 3,0 5,7 41,8 5,6 41,2 5,9 1,1 0,3 3,8 4,5 46,8 6,0 36,2 6,0 0,4 0,5 3,7 4,6 54,5 5,4 32,4 5,3 0,8 0,2 1,3 5,8 56,4 4,7 26,6 7,4 0,6 0,9 3,0 4,6 41,8 4,6 43,0 7,9 0,4 0,1 2,0 8,1 49,0 7,1 28,8 10,2 1,4 0,4 2,7 5,9 48,1 6,2 33,5 6,3 0,7 0,5 4,3 9,7 44,7 5,9 40,9 4,5 0,8 0,2 2,2 8,5 39,1 6,8 43,7 6,2 0,9 0,2 2,7 7,7 40,1 8,1 42,1 6,7 0,6 0,2 1,6 12,4 39,2 9,9 41,0 4,7 0,7 2,6 1,7 9,3 37,9 8,5 43,2 7,2 0,7 0,3 1,7 9,0 45,1 7,5 38,4 6,2 0,6 0,1 1,9 8,6 43,3 5,8 37,7 8,7 0,7 1,2 1,9 8,9 45,6 6,6 37,7 5,9 1,0 0,4 2,2 12,1 30,4 3,8 55,5 6,1 0,4 0,7 2,7 5,2 41,7 7,7 38,0 7,2 0,7 0,2 3,7 8,2 39,0 6,2 42,6 8,2 0,7 0,7 2,2 9,6 42,3 10,1 36,5 8,2 0,7 0,1 1,4 8,7 39,8 5,4 40,4 10,3 0,0 0,4 3,0 8,3 47,2 4,7 38,2 6,1 0,2 0,3 2,6 8,8 47,7 6,2 32,7 8,9 0,4 0,2 3,3 12,8 43,6 6,8 37,6 8,1 0,5 0,5 2,5 10,0 38,6 7,6 40,5 8,4 0,6 0,5 3,5 9,0 44,8 7,3 36,2 8,4 0,4 0,3 2,3 7,1 41,8 6,1 32,8 13,8 0,5 0,5 4,1 7,0 34,5 4,2 44,7 9,9 0,9 0,6 4,5 6,5 38,6 4,5 41,3 8,9 0,9 0,7 4,5 7,9 34,0 2,7 46,7 11,2 0,3 1,1 3,6 7,5 19,4 2,5 35,2 29,0 2,0 0,8 10,1 8,2 40,6 7,1 40,9 7,3 102 0,7 0,4 2,5 Ke racunan Lainnya 0 0,06 0,07 0 0,10 0 0,03 0 0 0 0 0 0,02 0 0,03 0 0 0,02 0,06 0 0,05 0,04 0,01 0,02 0,02 0 0 0 0,07 0,02 0 0 0 0,8 0,6 0,6 0,3 0,4 0,2 0,3 0,2 0,4 0,4 0,9 0,6 0,7 0,2 0,5 0,2 0,8 0,6 0,3 0,8 0,2 0,7 0,6 0,7 0,5 0,4 0,3 0,2 0,4 0,6 0,6 0,3 0,9 0,02 0,5 Karakteristik Tabel 3.6.2 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Indonesia 2013 Penyebab Cedera Cedera Sepe Trans Benda Ter Gigitan Ke da darat Jatuh tajam/ Bakar Hewan jatuh motor lain tumpul an Kelompok umur (th) <1 1–4 5 – 14 15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 – 74 75+ Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat Diploma/PT Status pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/ buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Ke racun an Lain nya 1,9 8,2 9,7 11,7 7,3 6,6 6,4 6,6 6,9 8,5 2,8 6,5 19,0 67,4 56,6 49,8 40,8 30,3 15,3 6,1 1,0 5,4 14,7 4,1 4,4 4,5 5,7 5,6 5,8 4,4 91,3 79,4 57,3 20,4 25,0 29,9 37,7 49,4 67,1 78,2 2,5 4,2 5,4 5,7 9,6 10,6 10,3 9,3 6,5 6,3 0,7 1,5 0,6 0,5 0,9 0,9 0,6 0,6 0,3 0,5 0,0 0,3 0,3 0,2 0,3 0,5 0,6 0,8 0,8 0,8 0,9 2,3 2,4 1,5 2,4 3,3 3,6 3,4 3,4 2,0 0 0 0,003 0,013 0,026 0,046 0 0,039 0 0,027 0,9 0,5 0,4 0,3 0,8 0,6 0,6 0,6 0,9 1,7 10,1 6,4 44,6 34,2 7,3 6,8 35,7 49,3 8,1 6,0 0,6 0,8 0,4 0,3 2,7 2,1 0,014 0,019 0,6 0,5 8,6 8,8 7,9 9,1 8,3 6,2 16,1 21,2 43,0 59,9 63,9 62,6 8,5 12,7 6,7 4,5 4,2 4,3 61,6 54,6 37,3 24,2 21,8 24,6 8,5 7,0 8,7 7,8 6,6 6,0 0,7 0,6 0,5 0,7 0,7 0,7 0,8 0,4 0,4 0,3 0,3 0,2 3,2 2,8 2,9 2,1 2,0 1,1 0,008 0,029 0,012 0,012 0,023 0 0,7 0,6 0,5 0,5 0,5 0,5 8,4 8,4 7,8 8,0 8,2 43,4 65,3 59,3 43,9 53,2 7,5 4,3 5,3 4,5 6,3 39,9 20,0 23,5 33,5 27,4 5,8 6,8 7,7 12,6 8,6 0,6 0,7 0,9 0,6 0,7 0,3 0,3 0,3 0,7 0,3 2,0 2,1 2,4 3,6 2,9 0,010 0 0,002 0,053 0 0,5 0,6 0,5 0,5 0,8 8,7 7,8 42,8 38,2 7,8 6,4 39,7 42,3 5,8 8,9 0,8 0,6 0,3 0,4 2,3 2,7 0,010 0,022 0,5 0,5 8,3 8,4 8,4 8,7 7,5 28,1 37,0 41,5 45,1 46,9 5,5 7,2 7,2 7,4 7,8 50,8 43,6 40,0 37,9 35,7 10,4 8,0 7,2 6,0 5,8 0,7 0,5 0,8 0,7 0,9 0,6 0,4 0,3 0,3 0,2 3,6 2,6 2,5 2,1 2,0 0,038 0,024 0,009 0,002 0,014 0,5 0,6 0,4 0,5 0,6 Prevalensi cedera dikumpulkan pada Riskesdas tahun 2007 dan tahun 2013 dengan pertanyaan yang sama. Gambaran kecenderungan prevalensi cedera dan penyebabnya disajikan pada Gambar 3.6.1. Kecenderungan prevalensi cedera menunjukkan sedikit kenaikan dari 7,5 persen (RKD 2007) menjadi 8,2 persen (RKD 2013). Penyebab cedera yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk transportasi darat (transportasi sepeda motor dan darat lainnya), jatuh dan terkena benda tajam/tumpul. Adapun untuk penyebab cedera akibat transportasi darat tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7 persen. 103 Sedangkan untuk penyebab cedera yang menunjukkan penurunan proporsi terlihat pada jatuh yaitu dari 58 persen menjadi 40,9 persen dan terkena benda tajam/tumpul dari 20,6 persen menjadi hanya 7,3 persen. Gambar 3.6.1 Kecenderungan prevalensi cedera dan penyebabnya, Indonesia 2007 dan 2013 3.6.2. Jenis cedera Jenis cedera merupakan jenis atau macam luka akibat trauma yang telah dialami yang dapat menyebabkan terganggunya aktifitas sehari-hari. Seseorang yang cedera bisa mengalami minimal 1 jenis (multiple injuries). Gambaran proporsi jenisi cedera yang dialami penduduk menurut provinsi disajikan pada Tabel 3.6.3. Proporsi jenis cedera di Indonesia didominasi oleh luka lecet/memar sebesar 70,9 persen, terbanyak terdapat di Banten (76,2%) dan yang terendah di Papua yaitu 59,4 persen. Jenis cedera terbanyak ke dua adalah terkilir, rata-rata di Indonesia 27,5 persen. Ditemukan terkilir terbanyak di Kalimantan Selatan sebesar 39,3 persen. Luka robek menduduki urutan ketiga jenis cedera terbanyak, jenis luka ini tertinggi ditemukan di Papua sekitar 48,5 persen jauh di atas Indonesia yaitu 23,2 persen dan terendah di DI Yogyakarta (14,6%). Jenis cedera lainnya proporsinya kecil, patah tulang 5,8 persen, anggota tubuh terputus, cedera mata dan gegar otak masing-masing proporsinya di Indonesia 0,3 persen, 0,6 persen dan 0,4 persen. Adapun untuk gambaran proporsi jenis cedera menurut karakteristik disajikan pada Tabel 3.6.4 yang menunjukkan proporsi jenis cedera menurut karakteristik responden. Proporsi jenis luka yang menunjukkan 3 urutan tertinggi adalah luka lecet/memar, terkilir dan luka robek. Berdasarkan kelompok umur, proporsi lecet/memar, luka robek, anggota tubuh terputus dan cedera mata menunjukkan pola atau kecenderungan yang sama yaitu pada usia <1 tahun proporsinya rendah, meningkat di usia muda dan menurun di usia lanjut. Adapun kecenderungan proporsi yang menggambarkan pola positif yaitu semakin bertambah umur proporsinya semakin tinggi ditunjukkan pada jenis cedera patah tulang, sedangkan terkilir tinggi di usia <1 tahun selanjutnya semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Kelompok umur yang mempunyai proporsi tertinggi untuk jenis cedera lecet/memar pada umur 15-24 tahun (77,1%), luka robek 104 pada umur 25-34 tahun (26,9%), patah tulang pada umur 75 tahun keatas (10%), terkilir pada umur 65-74 tahun (43,2%), anggota tubuh terputus pada usia produktif (25-54 tahun) sekitar 0,4 persen, cedera mata pada umur 35 – 64 tahun sekitar 0,8 persen, gegar otak pada umur 65-74 tahun (0,9%) dan jenis cedera lainnya pada umur 75 tahun keatas (3,8%). Tabel 3.6.3 Proporsi jenis cedera menurut provinsi, Indonesia 2013 Jenis Cedera Lecet/ Luka Patah Terkilir Anggota Cedera Provinsi Memar robek Tulang Tubuh Mata terputus Aceh 66,7 27,8 7,4 38,9 0,1 0,9 Sumatera Utara 68,9 31,4 5,1 26,3 0,5 0,7 Sumatera Barat 65,2 25,3 7,3 37,2 0,6 1,1 Riau 72,1 22,2 5,9 28,7 0,9 0,8 Jambi 71,5 20,9 6,9 28,3 0,5 0,3 Sumatera Selatan 72,6 18,7 6,4 32,4 0,3 0,9 Bengkulu 73,1 24,6 6,8 31,3 0 1,4 Lampung 76,3 19,7 4,9 36,2 0,1 0,6 Baangka Belitung 65,8 24,5 7,4 25,9 0,1 0,3 Kepulauan Riau 63,3 22,5 6,8 23,5 1,2 0,8 DKI Jakarta 75,5 18,1 5,7 28,4 0 0,3 Jawa Barat 70,8 24,9 6,0 33,2 0,2 0,7 Jawa Tengah 72,6 16,7 6,2 26,6 0,2 0,5 DI Yogyakarta 73,7 14,6 4,8 24,1 0,2 0,3 Jawa Timur 68,0 22,7 6,0 27,3 0,3 0,5 Banten 76,2 20,1 6,1 29,0 0,2 0,4 Bali 68,2 24,9 5,4 21,6 0,1 0,2 Nusa Tenggara Barat 72,2 25,5 7,2 21,0 0,5 0,1 Nusa Tenggara Timur 72,4 36,4 4,9 19,8 0,2 0,3 Kalimantan Barat 71,1 23,2 6,0 25,4 0 0,6 Kalimantan Tengah 70,2 23,4 4,2 24,0 0,2 0,2 Kalimantan Selatan 60,5 22,1 4,2 39,3 0,2 0,6 Kalimantan Timur 71,3 22,1 4,8 23,2 0,5 0,8 Sulawesi Utara 74,8 18,6 5,6 24,2 0 0,9 Sulawesi Tengah 69,9 25,7 5,4 22,1 0,1 0,2 Sulawesi Selatan 74,6 24,3 4,3 14,1 0,2 0,6 Sulawesi Tenggara 71,6 25,5 6,2 24,2 0,2 0,6 Gorontalo 69,2 13,9 4,6 20,9 0 0 Sulawesi Barat 68,4 27,2 6,3 12,3 0,4 0,4 Maluku 65,7 28,4 6,8 16,9 0,1 0,8 Maluku Utara 68,9 26,0 7,5 24,9 0,6 0,2 Papua Barat 74,5 24,3 4,5 15,6 0,6 0,3 Papua 59,4 48,5 8,3 24,5 2,3 1,1 Indonesia 70,9 23,2 5,8 27,5 0,3 0,6 Gegar otak 0,6 0,2 0,8 0,4 0,7 0,1 0,9 0,3 0,9 0,5 0,4 0,2 0,4 0,5 0,7 0,2 0,6 0,4 0,4 0,7 0 0,3 0,3 0,1 0,5 0,4 0,2 0,3 0,3 0,6 0,2 0,4 1,0 0,4 Lainn ya 1,5 1,3 1,3 1,8 2,4 1,5 1,5 0,7 2,0 1,8 3,3 1,8 2,1 2,9 1,7 1,6 2,1 1,6 1,0 1,7 1,9 1,5 1,2 0,5 1,4 1,6 0,8 2,2 1,5 1,4 2,0 1,3 1,4 1,8 Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan angka proporsi yang lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, kecuali pada jenis cedera lecet/memar, terkilir dan lainnya. Berdasarkan pendidikan sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan pola meningkat seiring dengan kenaikan tingkat pendidikan yaitu ada kecenderungan proporsi jenis cedera meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan semakin tinggi, kecuali pada luka robek. Sedangkan menurut status pekerjaan, proporsi jenis cedera tidak menunjukkan pola tertentu. 105 Berdasarkan pada tempat tinggal, proporsi jenis cedera sebagian besar menunjukkan tidak ada perbedaan antar perkotaan dan perdesaan, kecuali pada proporsi lecet/memar yang lebih tinggi di perkotaan dan luka robek lebih tinggi proporsinya di perdesaan. Karakteristik Kelompok umur (th) <1 1–4 5 – 14 15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 – 74 75+ Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat Diploma/PT Status pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/ buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Tabel 3.6.4 Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Indonesia 2013 Jenis Cedera Lecet/ Luka Patah Terkilir Anggota Cedera Memar robek Tulang Tubuh Mata terputus Gegar otak Lainnya 69,6 77,0 75,3 77,1 69,5 65,6 62,1 57,5 54,3 54,9 2,1 16,3 21,0 25,7 26,9 26,0 24,8 21,8 16,5 11,2 0,3 1,6 4,5 5,5 6,1 7,7 8,0 8,4 9,8 10,0 30,2 17,3 19,9 27,0 31,0 32,0 34,5 36,6 43,2 40,6 0 0,2 0,1 0,3 0,4 0,4 0,4 0,3 0,3 0,3 0 0,4 0,3 0,5 0,7 0,8 0,8 0,8 0,6 0,6 0 0,1 0,3 0,5 0,4 0,5 0,4 0,7 0,9 0,4 1,2 2,4 1,4 1,4 1,6 2,0 2,0 2,7 3,0 3,7 70,6 71,2 26,6 17,8 6,6 4,6 26,9 28,6 0,4 0,1 0,6 0,4 0,5 0,3 1,5 2,1 67,3 70,2 68,1 72,3 71,9 72,4 21,6 22,5 25,3 24,8 24,5 20,6 6,4 5,4 6,7 6,2 6,5 7,5 27,6 25,0 30,1 28,7 31,0 29,8 0,4 0,2 0,3 0,2 0,4 0,3 0,6 0,4 0,7 0,6 0,6 0,7 0,4 0,3 0,5 0,5 0,5 0,6 2,0 1,5 1,7 1,5 1,9 2,7 71,3 72,1 70,2 64,5 70,2 21,3 23,9 25,8 29,2 24,7 6,2 7,2 7,3 6,6 7,4 28,9 29,5 31,6 31,4 30,2 0,2 0,5 0,3 0,4 0,4 0,5 0,7 0,7 0,7 0,8 0,4 0,6 0,5 0,5 0,6 1,8 1,8 1,7 1,6 1,8 72,5 69,0 22,1 24,5 5,7 6,0 27,3 27,8 0,3 0,3 0,6 0,6 0,4 0,4 1,9 1,6 66,5 69,6 70,3 73,2 73,2 26,9 23,9 22,9 22,2 21,4 5,7 5,8 6,0 5,7 6,0 29,4 28,0 27,6 26,9 26,5 0,3 0,3 0,2 0,4 0,2 0,6 0,5 0,6 0,6 0,5 0,5 0,4 0,4 0,3 0,5 1,5 1,5 2,0 1,7 2,0 *Responden biasanya mempunyai lebih dari 1 jenis cedera (multiple injuries) Menurut kuintil indeks kepemilikan tampak bahwa pola yang jelas hanya ditunjukkan pada 3 jenis cedera yang proporsinya menunjukkan angka besar dibandingkan dengan jenis cedera lainnya yaitu luka lecet, luka robek dan terkilir. Luka lecet menunjukkan pola positif dengan semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan semakin besar proporsi luka lecetnya, sedangkan untuk luka robek dan 106 terkilir sebaliknya dengan semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan tampak jenis lukanya semakin menurun proporsinya. 3.6.3. Tempat Terjadinya Cedera Tempat terjadinya cedera adalah lokasi atau area dimana peristiwa atau kejadian yang mengakibatkan cedera terjadi atau disebut juga dengan istilah TKP (Tempat Kejadian Perkara). Tempat kejadian cedera hanya menginformasikan data tentang lokasi/tempat tanpa disertai keterangan aktivitas yang sedang dilakukan responden pada saat kejadian cedera di lokasi tersebut. Keterangan tempat rumah dan sekolah termasuk lingkungan sekitarnya (indoor dan outdoor). Ruang lingkup pertanian termasuk perkebunan dan sejenisnya. Gambaran tentang tempat terjadinya cedera menurut provinsi disajikan pada Tabel 3.6.5. Secara nasional, cedera terjadi paling banyak di jalan raya yaitu 42,8 persen selanjutnya di rumah (36,5%), area pertanian (6,9%) dan sekolah (5,4%). Provinsi yang memilki angka proporsi tempat cedera di rumah dan sekitanya tertinggi adalah Lampung (44%) dan terendah di Bengkulu (23%). Adapun untuk proporsi tempat cedera di sekolah tertinggi di Kalimantan Tengah (8,2%) dan terendah di Sulawesi Barat (2,7%). Tempat kejadian cedera di jalan raya mempunyai proporsi paling tinggi dibandingkan dengan tempat yang lain. Provinsi yang mempunyai proporsi tempat kejadian cedera di jalan raya yang melebihi angka nasional sebanyak 21 provinsi. Adapun proporsi kejadian cedera di jalan raya terbanyak di Bengkulu (56%) dan terendah di Papua (21,5%). Kejadian cedera di tempat umum dan industri proporsinya tampak lebih kecil dibandingkan tempat lain. Sedangkan proporsi di area pertanian menunjukkan angka proporsi yang sangat melebihi angka nasional yaitu 30,4 persen terjadi di Papua dan terendah di DKI Jakarta (0,3%). Gambaran proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik disajikan pada Tabel 3.6.6. Menurut kelompok umur tampak bahwa rumah menunjukkan proporsi yang tinggi terjadinya cedera pada kelompok umur balita dan lansia (Lanjut usia). Adapun tempat kejadian cedera di sekolah kebanyakan terjadi pada kelompok umur 5–14 tahun, demikian juga dengan tempat kejadian cedera di area olahraga. Adapun jalan raya merupakan tempat kejadian cedera yang banyak terjadi pada umur produktif dan tampak tertinggi khusus pada umur 15-24 yaitu 66,7 persen. Tempat umum, industri dan area pertanian menunjukkan pola yang sama yaitu kebanyakan terjadi pada kelompok umur produktif, kecuali di area pertanian proporsi tertinggi pada umur 65-74 tahun (21,0%). Menurut jenis kelamin, proporsi tempat kejadian cedera mayoritas lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan kecuali di rumah dan sekolah. Adapun berdasarkan pendidikan yang menunjukkan pola negatif yaitu semakin tinggi pendidikan proporsi cedera semakin rendah terjadi di rumah, sekolah dan pertanian. Sedangkan proporsi menunjukkan pola positif dengan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi proporsi cedera ditunjukkan pada tempat kejadian cedera di area olahraga, jalan raya dan tempat umum. Menurut status pekerjaan tampak proporsi tertinggi pada yang tidak bekerja, demikian juga pada sekolah dan area olahraga. Sedangkan di jalan raya, tepat umum dan industri memperlihatkan proporsi tertinggi pada status pegawai. Adapun untuk area pertanian tampak proporsi tertinggi pada status pekerjaan sebagai buruh/petani (21,4%). . 107 Tabel 3.6.5 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut provinsi, Indonesia 2013 Tempat terjadinya cedera Provinsi Rumah Sekolah Olah Jalan Tempat Industri Pertanian raga raya umum Aceh 30,7 4,9 3,6 47,3 2,0 0,8 9,9 Sumatera Utara 39,2 6,2 3,6 38,0 2,2 2,3 7,7 Sumatera Barat 31,1 4,9 1,6 48,7 2,5 1,3 9,3 Riau 36,7 5,6 4,9 41,8 1,7 2,0 6,8 Jambi 35,1 5,8 3,6 43,4 2,5 1,5 7,1 Sumatera Selatan 29,0 5,7 2,1 50,6 3,1 1,2 7,8 Bengkulu 23,0 5,1 1,5 56,0 0,8 1,3 11,9 Lampung 44,0 6,0 2,6 33,4 1,3 1,5 10,8 Baangka Belitung 28,2 4,9 4,2 47,7 3,0 3,2 6,8 Kepulauan Riau 32,3 3,0 4,5 49,9 4,4 3,5 1,2 DKI Jakarta 37,1 7,0 4,2 46,7 3,6 0,5 0,3 Jawa Barat 37,4 4,9 4,2 42,1 2,7 2,6 5,3 Jawa Tengah 36,5 4,3 3,4 43,7 2,0 2,1 7,0 DI Yogyakarta 37,2 6,0 4,8 43,8 1,9 0,9 5,1 Jawa Timur 36,3 6,0 3,5 42,1 2,3 2,1 6,9 Banten 40,9 5,5 3,8 42,4 1,8 1,8 3,3 Bali 34,3 4,0 3,9 44,9 3,1 1,2 8,1 Nusa Tenggara Barat 31,5 4,7 3,5 49,8 1,5 0,6 7,4 Nusa Tenggara Timur 40,5 7,4 2,1 35,5 0,9 0,4 12,7 Kalimantan Barat 34,0 5,7 3,5 43,9 1,9 2,3 7,7 Kalimantan Tengah 35,6 8,2 2,4 37,1 2,1 3,5 9,8 Kalimantan Selatan 35,6 6,0 3,0 43,1 2,1 1,2 7,4 Kalimantan Timur 39,3 5,8 4,0 40,2 1,9 2,0 5,1 Sulawesi Utara 32,6 3,9 2,6 50,5 1,8 0,8 6,9 Sulawesi Tengah 28,8 4,0 3,3 49,8 2,0 1,0 10,3 Sulawesi Selatan 36,7 5,2 2,6 45,0 1,9 1,0 6,8 Sulawesi Tenggara 33,0 6,4 2,7 45,0 2,4 1,1 8,3 Gorontalo 35,0 3,8 2,2 49,1 3,4 0,8 5,1 Sulawesi Barat 37,2 2,7 2,8 43,3 2,7 0,3 9,7 Maluku 37,5 4,2 3,6 40,7 1,9 0,9 9,7 Maluku Utara 30,3 3,7 2,9 43,3 3,0 1,1 15,0 Papua Barat 41,9 7,5 2,4 36,9 1,7 1,0 6,5 Papua 35,8 7,1 2,5 21,5 1,6 0,6 30,4 Indonesia 36,5 5,4 3,5 42,8 2,3 1,8 6,9 Lainnya 0,8 0,7 0,5 0,5 0,9 0,5 0,5 0,5 2,1 1,1 0,6 0,6 1,0 0,3 0,9 0,6 0,6 1,0 0,6 1,0 1,3 1,6 1,7 0,8 0,9 1,0 1,0 0,8 1,2 1,5 0,7 2,0 0,5 0,8 Berdasarkan tempat tinggal, mayoritas proporsi tempat kejadian cedera yang menunjukkan lebih tinggi pada perkotaan dibanding perdesaan kecuali pada area pertanian. Menurut kuintil indeks kepemilikan tampak bahwa mayoritas kecenderungan proporsi semakin tinggi seiring dengan status ekonomi, kecuali pada tempat kejadian di rumah dan area pertanian menunjukkan sebaliknya yaitu dengan semakin tinggi tingkat ekonominya kejadian cedera di kedua tempat tersebut semakin rendah. 108 Tabel 3.6.6 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Indonesia 2013 Tempat terjadinya cedera Karakteristik Rumah Sekolah Olah Jalan Tempat Industri Pertanian raga raya umum Kelompok umur (th) <1 97,7 0 0,4 1,6 0,1 0 0,2 1–4 87,0 2,4 1,0 8,0 0,5 0 0,5 5 – 14 52,9 14,4 4,9 24,2 1,0 0,1 2,1 15 – 24 15,9 4,6 5,9 66,7 2,2 1,5 2,7 25 – 34 21,0 1,5 3,3 58,0 3,7 3,8 7,9 35 – 44 24,9 1,7 1,9 50,5 3,4 3,8 12,3 45 – 54 29,2 1,6 0,8 44,3 3,4 3,0 16,1 55 – 64 39,1 1,3 1,0 34,0 2,6 2,0 18,7 65 – 74 52,2 1,1 1,2 20,5 2,3 0,9 21,0 75+ 74,5 0,9 2,0 10,5 1,7 0,1 9,4 Jenis Kelamin Laki-laki 29,9 5,0 5,0 46,6 2,5 2,6 7,5 Perempuan 47,1 6,2 1,2 36,7 1,9 0,4 6,0 Pendidikan Tidak sekolah 55,5 5,8 2,4 19,8 1,4 0,7 13,5 Tidak tamat SD/MI 47,5 11,0 3,4 26,9 1,5 0,9 7,9 Tamat SD/MI 29,1 5,6 3,0 45,0 2,3 2,2 11,7 Tamat SMP/MTS 20,3 4,2 4,4 60,3 2,5 2,7 5,0 Tamat SMA/MA 18,6 2,2 4,9 64,2 3,6 2,8 2,9 Tamat Diploma/PT 19,5 2,3 5,7 64,7 4,4 0,9 1,8 Status pekerjaan Tidak bekerja 34,4 8,2 5,2 45,6 1,6 0,4 4,0 Pegawai 14,9 1,6 4,8 66,3 4,9 4,6 2,1 Wiraswasta 21,5 1,7 2,3 61,9 3,8 3,0 5,1 Petani/nelayan/ buruh 22,1 1,4 1,4 44,9 2,9 4,1 21,4 Lainnya 24,0 2,5 4,1 57,7 4,1 2,2 4,4 Tempat tinggal Perkotaan 36,8 5,5 4,2 45,5 2,9 2,1 2,3 Perdesaan 36,2 5,4 2,7 39,7 1,5 1,4 12,0 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 39,4 5,3 2,2 31,2 1,5 1,3 17,5 Menengah bawah 37,5 5,0 2,6 40,1 1,9 1,5 10,5 Menengah 36,8 5,0 3,4 43,7 2,3 2,2 5,8 Menengah atas 35,1 5,7 3,9 47,1 2,7 2,2 2,6 Teratas 34,7 6,2 5,1 47,8 2,6 1,2 1,8 109 Lainnya 0 0,5 0,4 0,6 0,9 1,6 1,5 1,3 0,9 1,0 1,0 0,5 0,9 0,9 1,2 0,6 0,6 0,7 0,5 0,8 0,9 1,7 1,0 0,7 0,9 1,5 0,9 0,8 0,7 0,4 3.7. Kesehatan Gigi dan Mulut Indirawati Tjahja N, Tince Jovina, Sintawati, Magdarina. D. Agtini, CH. Kristanti, Sekartuti,dan Putisari Survei kesehatan gigi pertama kali dilaksanakan oleh Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan melalui Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, selanjutnya secara periodik dilaksanakan melalui survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, SKRT 2001, SKRT 2004, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, dan Riskesdas 2013. Riskesdas 2013 mengumpulkan data kesehatan gigi secara komprehensif yang meliputi indikator status kesehatan gigi, indikator jangkauan pelayanan dan perilaku kesehatan gigi. Pengumpulan data melalui wawancara maupun pemeriksaan gigi dan mulut dengan jumlah sampel keseluruhan 1.027.763 responden. Wawancara dilakukan terhadap responden semua umur. Pertanyaan perilaku ditanyakan kepada kelompok umur ≥10 tahun. Pemeriksaan gigi dan mulut dilakukan pada kelompok umur ≥12 tahun. Hasil ini dapat dibandingkan dengan Riskesdas 2007 sebagai evaluasi keberhasilan intervensi berbagai program perbaikan derajat kesehatan gigi dan mulut penduduk Indonesia. Pada tabel menurut karakteristik responden, ditambahkan juga kelompok umur menurut WHO. Pembagian kelompok menurut WHO ini diperlukan karena pada umur ≥12 tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar satu sudah tumbuh semua (permanen), umur 15 tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar 2 sudah tumbuh semua, dan usia 18 tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar tiga diharapkan sudah tumbuh semua. Penilaian dalam dentogram ini untuk gigi permanen saja. Demikian juga pada umur 35-54 tahun, dan umur >65 tahun diharapkan 20 gigi berfungsi dengan baik (hasil lengkap di buku Riskesdas 2013 dalam Angka). 3.7.1. Effective Medical Demand Effective Medical Demand (EMD) didefinisikan sebagai persentase penduduk yang bermasalah dengan gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir x persentase penduduk yang menerima perawatan atau pengobatan gigi dari tenaga medis gigi (dokter gigi spesialis, dokter gigi, perawat gigi). Gambar 3.7.1 Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat perawatan, dan EMD, Indonesia 2013 Berdasarkan hasil wawancara sebesar 25,9 persen penduduk Indonesia mempunyai masalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir (potential demand). Diantara mereka, terdapat 31,1 110 persen yang menerima perawatan dan pengobatan dari tenaga medis gigi (perawat gigi, dokter gigi atau dokter gigi spesialis), sementara 68,9 persen lainnya tidak dilakukan perawatan. Secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi/EMD hanya 8,1 persen (lihat gambar 3.7.1). Tabel 3.7.1 Prevalensi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai effective medical demand menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Bermasalah Menerima perawatan dari Effective medical Gigi dan mulut (%) tenaga medis gigi (%) Demand (%) Aceh 30,5 45,9 14,0 Sumatera Utara 19,4 25,3 4,9 Sumatera Barat 22,2 35,3 7,8 Riau 16,2 33,2 5,4 Jambi 16,8 36,2 6,1 Sumatera Selatan 19,5 29,3 5,7 Bengkulu 18,4 31,1 5,7 Lampung 15,3 33,2 5,1 Bangka Belitung 23,0 30,3 7,0 Kepulauan Riau 23,1 32,5 7,5 DKI Jakarta 29,1 31,2 9,1 Jawa Barat 28,0 33,4 9,4 Jawa Tengah 25,4 31,0 7,9 DI Yogyakarta 32,1 31,9 10,3 Jawa Timur 28,6 30,0 8,6 Banten 23,7 33,1 7,9 Bali 24,0 38,8 9,3 Nusa Tenggara Barat 26,9 34,0 9,2 NusaTenggara Timur 27,2 27,0 7,3 Kalimantan Barat 20,6 28,4 5,9 Kalimantan Tengah 24,3 21,5 5,2 Kalimantan Selatan 36,1 22,2 8,0 Kalimantan Timur 24,1 36,4 8,8 Sulawesi Utara 31,6 25,1 7,9 Sulawesi Tengah 35,6 18,0 6,4 Sulawesi Selatan 36,2 28,5 10,3 Sulawesi Tenggara 28,6 31,2 8,9 Gorontalo 30,1 28,1 8,4 Sulawesi Barat 32,2 24,5 7,9 Maluku 27,2 24,6 6,7 Maluku Utara 26,9 19,3 5,2 Papua Barat 20,6 33,4 6,9 Papua 18,6 35,9 6,7 Indonesia 25,9 31,1 8,1 Tabel 3.7.1 menggambarkan proporsi penduduk dengan masalah gigi dan mulut yang menerima perawatan dari tenaga medis gigi dalam 12 bulan terakhir menurut provinsi. Tiga provinsi yaitu Sulawesi Selatan, Kalimatan Selatan, dan Sulawesi Tengah mempunyai masalah gigi dan mulut yang cukup tinggi (>35%), dengan masing – masing EMD 10,3 persen, 8 persen, dan 6,4 persen. 111 Tabel 3.7.2 Proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Bermasalah Menerima perawatan dari tenaga Effective medical gigi dan mulut medis gigi demand Kelompok Umur <1 1,1 36,9 0,4 1–4 10,4 25,8 2,7 5–9 28,9 35,1 10,1 10 – 14 25,2 28,3 7,1 15 – 24 24,3 26,2 6,4 25 – 34 28,5 32,5 9,3 35 – 44 30,5 33,8 10,3 45 – 54 31,9 33,4 10,6 55 – 64 28,3 29,5 8,3 65 + 19,2 24,7 4,8 Kelompok Umur (WHO) 12 24,8 28,4 7,0 15 23,1 25,7 5,9 18 24,0 24,8 5,9 35-44 30,5 33,8 10,3 45-54 31,9 33,4 10,6 55-64 28,3 29,5 8,3 ≥ 65 19,2 24,7 4,8 Jenis Kelamin Laki – laki 24,8 28,6 7,1 Perempuan 27,1 33,4 9,1 Pendidikan Tidak Skolah 27,0 28,9 7,8 Tidak Tamat SD 29,2 30,2 8,8 Tamat SD 28,6 28,6 8,2 Tamat SLTP 26,9 30,5 8,2 Tamat SLTA 26,4 34,4 9,1 Tamat PT 24,8 45,7 11,3 Pekerjaan Tidak Bekerja 26,5 31,3 8,3 Pegawai 26,1 37,5 9,8 Wiraswasta 28,4 32,2 9,1 Petani/Nelayan/Buruh 29,2 26,6 7,8 Lainnya 30,3 29,2 8,8 Tempat Tinggal Perkotaan 26,0 33,1 8,6 Pedesaan 25,9 29,1 7,5 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 27,1 22,7 6,2 Menengah Bawah 27,2 27,8 7,6 Menengah 26,4 30,9 8,1 Menengah Atas 26,3 33,3 8,8 Teratas 23,0 39,0 9,0 Tabel 3.7.2 menunjukkan proporsi penduduk dengan masalah gigi dan mulut (potential demand) menurut karakteristik. Proporsi tertinggi pada usia produktif 35 – 44 tahun sebesar 30,5 persen dan 45-54 tahun sebesar 31,9 persen. Demikian pula proporsi EMD masing – masing 10,3 persen 112 dan 10,6 persen. Proporsi EMD pada laki – laki (9,1%) lebih tinggi dibanding perempuan (7,1%). Terdapat kecenderungan peningkatan proporsi EMD pada kelompok pendidikan lebih tinggi (11,3%). Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok pegawai memiliki EMD terbesar (9,8%). Berdasarkan tempat tinggal, di daerah perkotaan (8,6%) lebih tinggi dibandingkan perdesaan (7,5%), dan cenderung meningkat pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi. 60,0 50,0 40,0 29,7 30,0 23,2 31,1 25,9 20,0 8,1 6,9 10,0 0,0 bermasalah gigi dan mulut menerima perawatan 2007 EMD 2013 Gambar 3.7.2 Kecenderungan penduduk bermasalah gigi dan mulut, menerima perawatan dari tenaga medis dan EMD menurut Riskesdas 2007 dan 2013 Tabel 3.7.3 memperlihatkan proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis tenaga pelayanan menurut provinsi. Proporsi penduduk yang berobat ke dokter gigi spesialis terbanyak di DI Yogyakarta (16,4%). Responden yang berobat ke dokter gigi lebih banyak di kota besar, seperti di DKI Jakarta (76,3%), dan Banten sebesar (61,5%). Pemanfaatan pelayanan dokter gigi terendah di Kalimantan Barat (19,5%). Pemanfaatan pelayanan perawat gigi terbanyak di Kalimantan Barat (51,2%) dan terendah di DKI Jakarta (5,8%). Proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis tenaga pelayanan menurut karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka. 113 Tabel 3.7.3 Proporsi penduduk berobat gigi sesuai jenis nakes menurut provinsi, Indonesia 2013 Dokter gigi Dokter Perawat Paramedik Tukang Lainnya Provinsi Spesialis Gigi Gigi lainnya gigi Aceh 3,1 25,0 34,4 38,2 1,7 8,9 Sumatera Utara 4,4 42,6 9,6 41,9 2,4 5,4 Sumatera Barat 3,6 42,1 12,8 35,1 1,7 10,2 Riau 3,2 49,3 9,1 34,0 2,7 6,6 Jambi 2,0 38,6 33,2 24,3 3,7 6,0 Sumatera Selatan 4,7 32,3 24,7 34,8 0,9 10,4 Bengkulu 4,5 27,5 9,7 50,9 0,9 11,5 Lampung 2,3 25,0 28,6 40,4 0,6 7,9 Bangka Belitung 3,6 49,0 24,9 25,6 2,6 3,9 Kepulauan Riau 4,0 58,9 8,4 22,7 4,8 4,3 DKI Jakarta 11,4 76,3 5,8 5,0 1,6 4,9 Jawa Barat 5,3 49,0 21,9 21,2 1,0 7,5 Jawa Tengah 5,8 42,7 17,6 28,5 1,3 10,0 DI Yogyakarta 16,4 60,3 7,4 15,3 1,3 5,4 Jawa Timur 6,0 50,7 12,4 25,2 1,5 8,1 Banten 5,5 61,5 11,0 18,3 0,4 10,1 Bali 6,1 59,1 12,8 17,6 0,5 9,8 Nusa Tenggara Barat 2,2 33,9 36,1 29,3 2,4 4,8 Nusa Tenggara Timur 1,5 27,4 39,7 34,4 1,1 2,9 Kalimantan Barat 1,6 19,5 51,2 29,2 1,9 1,1 Kalimantan Tengah 3,6 28,0 28,6 35,9 2,2 7,9 Kalimantan Selatan 4,8 33,7 30,8 24,8 2,0 12,1 Kalimantan Timur 7,0 60,6 17,5 17,6 2,2 3,3 Sulawesi Utara 7,3 33,3 35,1 26,5 1,3 3,6 Sulawesi Tengah 5,5 33,1 18,6 35,0 7,9 4,9 Sulawesi Selatan 4,6 52,4 25,2 19,5 5,4 2,8 Sulawesi Tenggara 1,4 38,0 25,3 32,2 7,2 3,3 Gorontalo 5,7 34,8 28,8 33,1 0,8 1,8 Sulawesi Barat 1,7 39,6 15,6 35,2 7,6 7,4 Maluku 4,8 28,0 15,0 44,3 3,7 6,1 Maluku Utara 5,0 44,2 10,4 30,4 10,4 3,8 Papua Barat 1,6 40,7 33,0 30,5 1,6 0,4 Papua 3,3 36,0 19,4 49,5 1,4 4,0 Indonesia 5,4 46,6 19,2 25,8 1,8 7,3 3.7.2. Perilaku menyikat gigi penduduk umur ≥ 10 tahun Setiap orang perlu menjaga kesehatan gigi dan mulut dengan cara menyikat gigi dengan benar untuk mencegah terjadinya karies gigi. Pertanyaan tentang perilaku menyikat gigi dalam Riskesdas 2013 bertujuan untuk mengetahui kebiasaan dan waktu menyikat gigi. Jumlah sampel untuk kelompok umur ≥10 tahun berjumlah 835.256 responden. Definisi berperilaku benar dalam menyikat gigi adalah kebiasaan menyikat gigi setiap hari sesudah makan pagi dan sebelum tidur malam. Tabel 3.7.4 menunjukkan proporsi penduduk umur ≥10 tahun sebagian besar (93,8%) menyikat gigi setiap hari. Provinsi dengan proporsi tertinggi adalah DKI Jakarta (98,1%) dan terendah Papua (49,6%). Sebagian besar penduduk juga menyikat gigi pada saat mandi sore, yaitu sebesar 79,7 persen dengan urutan tertinggi di Bengkulu sebesar 94,2 persen, dan yang terendah di Sulawesi Selatan sebesar 43,2 persen. Sebagian besar penduduk menyikat gigi setiap hari saat mandi pagi atau mandi sore. Kebiasaan yang keliru hampir merata tinggi di seluruh kelompok umur. Kebiasaan benar menyikat gigi penduduk Indonesia hanya 2,3 114 persen, Provinsi tertinggi untuk perilaku menyikat gigi dengan benar adalah Sulawesi Barat yaitu 8,0 persen. Tabel 3.7.5 menggambarkan proporsi penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menurut karakteristik. Menurut tempat tinggal, responden di perkotaan lebih banyak berperilaku menyikat gigi benar dibandingkan perdesaan. Laki-laki (2,0) lebih rendah dibandingkan perempuan (2,5). Demikian pula semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, maka semakin baik perilaku menyikat gigi dengan benar. Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok pegawai lebih banyak berperilaku menyikat gigi dengan benar. 115 Tabel 3.7.4 Persentase penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut provinsi, Indonesia 2013 Waktu Menyikat Gigi Provinsi Sikat Gigi Setiap Hari Mandi Pagi Mandi Sore Sesudah Makan Pagi Sesudah Bangun Pagi Sebelum Tidur Malam Sesudah makan siang Mandi Pagi dan sore Menyikat gigi dengan benar Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua 89,9 94,4 93,7 95,6 95,7 96,0 96,0 96,1 91,7 94,6 98,1 97,0 94,6 93,6 93,5 97,1 91,8 93,8 74,7 94,1 95,5 94,7 96,4 95,3 90,1 89,4 91,4 96,1 90,1 92,4 88,0 90,7 49,6 91,9 94,5 94,3 97,0 95,8 97,9 99,1 99,1 94,4 95,4 94,7 95,9 93,0 88,6 95,2 96,9 86,8 95,7 80,7 93,2 92,7 89,6 95,5 83,6 89,4 89,3 90,6 93,4 89,3 91,5 89,7 93,5 93,6 75,1 83,5 73,5 84,1 88,6 88,6 94,2 95,3 78,6 68,6 73,5 81,4 86,0 77,4 84,0 84,2 69,5 74,7 57,1 65,9 81,3 64,0 83,1 70,0 74,4 43,2 61,2 80,9 58,9 78,1 72,0 72,7 60,0 4,1 2,6 2,5 3,5 4,5 3,5 3,8 1,2 4,9 3,4 4,9 3,2 2,9 5,2 2,8 2,4 5,7 5,2 9,2 4,8 4,8 6,7 4,7 5,0 7,5 7,9 10,0 8,7 11,3 7,5 5,7 4,6 5,8 10,1 4,2 7,9 9,0 3,9 4,2 3,9 1,3 6,4 6,4 5,2 6,1 7,2 10,6 5,1 4,1 6,9 4,6 17,0 8,0 8,0 9,1 8,3 19,7 12,0 7,6 8,0 15,8 9,0 16,7 13,5 7,0 7,2 29,7 17,2 21,6 24,1 17,8 18,8 12,7 8,5 39,9 38,6 43,4 29,5 21,2 34,8 22,6 29,1 33,7 28,4 17,3 38,9 25,0 43,0 33,8 32,4 33,6 58,0 47,6 39,5 43,9 27,9 25,3 28,8 26,4 5,8 3,0 2,7 3,9 3,1 5,3 2,8 1,9 9,0 6,0 5,5 7,5 4,5 6,6 9,2 5,0 4,0 6,6 3,0 5,7 6,7 11,8 4,7 6,3 8,2 9,8 8,1 9,8 8,6 7,4 7,8 3,6 4,8 71,7 79,1 70,8 82,5 86,8 87,7 93,7 94,7 76,7 67,1 71,4 79,6 82,3 72,7 81,4 82,8 64,0 73,1 51,8 64,4 78,5 61,1 81,4 62,0 68,7 40,5 58,5 78,6 55,4 73,4 66,1 69,9 57,6 2,2 1,2 1,4 2,3 3,2 2,2 1,9 0,4 3,6 1,9 3,5 1,8 1,7 3,4 1,5 1,5 4,1 2,5 4,8 3,5 2,9 5,0 3,2 3,3 4,0 5,6 6,6 6,0 8,0 4,2 2,8 2,7 3,4 Indonesia 93,8 94,2 79,7 3,8 6,5 27,3 6,2 77,1 2,3 116 Tabel 3.7.5 Persentase Penduduk ≥10 tahun yang menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Sikat Gigi Setiap Hari Waktu Menyikat Gigi Sesudah Bangun Pagi Mandi Pagi Mandi Sore Sesudah Makan Pagi Sebelum Tidur Malam Sesudah makan siang Mandi Pagi dan sore Menyikat gigi benar 95,7 97,8 97,2 96,6 94,4 87,2 62,8 96,3 95,0 94,1 93,6 93,2 92,6 92,0 79,6 80,4 79,7 80,0 80,2 78,5 76,0 3,2 4,1 4,0 3,7 3,7 3,7 3,8 4,3 6,6 6,9 7,0 7,1 6,9 6,8 22,4 32,3 30,6 27,9 24,6 20,8 16,9 4,3 6,1 6,1 6,7 7,1 7,3 7,1 78,1 78,2 77,2 77,1 77,0 74,9 72,0 1,7 2,6 2,5 2,3 2,3 2,0 1,9 95,7 97,4 97,8 96,6 94,4 87,2 62,8 96,4 95,9 95,5 93,6 93,2 92,6 92,0 78,7 81,5 80,9 80,0 80,2 78,5 76,0 3,4 3,7 4,3 3,7 3,7 3,7 3,8 4,3 5,4 6,4 7,0 7,1 6,9 6,8 23,1 29,5 32,7 27,9 24,6 20,8 16,9 4,3 5,4 6,5 6,7 7,1 7,3 7,1 77,4 79,6 78,9 77,1 77,0 74,9 72,0 1,8 2,2 2,6 2,3 2,3 2,0 1,9 93,4 94,2 94,1 94.3 78.8 80.7 3.6 3,9 5,7 7.3 23,6 30,9 5,4 7.1 76,-0 78,2 2,0 2,5 73,8 89,4 93,8 97,3 98,2 99,7 92,9 94,0 94,1 94,5 94,4 94,0 77,6 79,5 82,0 81,2 77,6 73,2 3,3 3,1 3,1 3,6 4,5 7,8 6,2 5,8 6,2 6,5 7,0 8,7 15,9 19,1 20,5 27,3 36,9 53,8 7,4 6,4 6,6 5,9 5,6 6,8 73,9 76,4 79,1 78,7 75,6 71,9 1,4 1,5 1,6 2,1 3,0 6,2 93,8 98,4 97,1 90,3 95,1 95,0 95,0 94,1 92,3 93,1 79,7 76,5 79,9 81,5 77,8 3,8 5,3 3,6 2,9 4,5 6,5 6,6 7,0 6,2 7,8 29,0 41,5 28,4 16,1 30,3 6,2 6,2 6,1 6,3 7,2 77,7 75,0 77,5 77,2 76,1 2,3 3,9 2,2 1,3 2,8 96,2 91,4 94.9 93,4 78,5 81.1 4.1 3.5 6,5 6,6 34,3 19,7 6.2 6.3 76,5 77,8 2,7 1,9 83.4 92,6 95,1 96,8 97.4 92,4 93,4 94,2 95,0 94,9 78,6 81,2 81,4 79,6 77,6 3,4 3,2 3,4 3,6 5,1 6,3 6,5 6,3 6,2 7,3 15,0 19,0 23,7 31,2 41,0 7,0 6,7 6,1 6,0 5,8 74,5 77,7 78,6 77,6 76,0 1.5 1.6 1,9 2.2 3.8 Kelompok Umur ( thn ) 10 – 14 15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 + Kelompok umur (tahun) 12 15 18 35-44 45-64 55-64 ≥65 Jenis Kelamin Laki – laki Perempuan Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat PT Pekerjaan Tidak Kerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Pedesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas 117 3.7.3. Indeks DMF-T dan Komponen D-T, M-T, F-T Jumlah sampel untuk usia ≥12 tahun, berjumlah 789.771 responden. X adalah rata-rata dari D, rata-rata M, rata-rata F dan rata-rata DF. Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari komponen D-T, M-T, dan F-T yang menunjukkan banyaknya kerusakan gigi yang pernah dialami seseorang, baik berupa Decay/D (merupakan jumlah gigi permanen yang mengalami karies dan belum diobati atau ditambal), Missing/M (jumlah gigi permanen yang dicabut atau masih berupa sisa akar), dan Filling/F adalah jumlah gigi permanen yang telah dilakukan penumpatan atau ditambal. Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi permanen. Tabel 3.7.6 Komponen D, M, F dan Index DMF -T menurut provinsi, Indonesia 2013 D–T M–T F–T DF-T Provinsi (X) (X) (X) (X) Aceh 1,4 2,6 0,08 0,02 Sumatra Utara 1,3 2,3 0,05 0,02 Sumatra Barat 1,7 3,1 0,06 0,03 Riau 1,6 2,3 0,12 0,03 Jambi 2,3 3,1 0,04 0,01 Sumatra Selatan 1,9 3,3 0,09 0,03 Bengkulu 1,3 2,0 0,09 0,03 Lampung 2,1 2,3 0,07 0,02 Bangka Belitung 3,0 5,5 0,05 0,01 Kepulauan Riau 1,6 3,2 0,11 0,03 DKI Jakarta 1,1 2,5 0,32 0,08 Jawa Barat 1,6 2,5 0,08 0,02 Jawa Tengah 1,4 2,9 0,05 0,01 DI Yogyakarta 1,3 4,5 0,13 0,02 Jawa Timur 1,6 3,8 0,08 0,03 Banten 1,6 2,0 0,09 0,02 Bali 1,1 3,0 0,12 0,02 Nusa TenggaraBarat 0,8 2,1 0,03 0,01 Nusa Tenggara Timur 1,5 1,7 0,04 0,01 Kalimantan Barat 3,2 2,9 0,10 0,03 Kalimantan Tengah 2,2 2,8 0,13 0,04 Kalimantan Selatan 2,2 5,0 0,11 0,02 Kalimantan Timur 1,9 2,8 0,09 0,02 Sulawesi Utara 1,9 3,4 0,06 0,03 Sulawesi Tengah 2,0 3,5 0,05 0,01 Sulawesi Selatan 2,0 4,0 0,05 0,01 Sulawesi Tenggara 1,4 2,8 0,08 0,04 Gorontalo 1,3 3,0 0,01 0,00 Sulawesi Barat 1,5 4,0 0,03 0,01 Maluku 1,5 2,9 0,07 0,03 Maluku Utara 0,9 2,1 0,02 0,01 Papua Barat 1,1 1,5 0,02 0,00 Papua 1,6 1,5 0,11 0,03 Indonesia 1,6 2,9 0,08 0,02 DMF – T (X) 4,0 3,6 4,7 4,0 5,5 5,3 3,3 4,5 8,5 4,9 3,8 4,1 4,3 5,9 5,5 3,7 4,1 3,0 3,2 6,2 5,0 7,2 4,7 5,4 5,5 6,0 4,3 4,3 5,5 4,5 3,0 2,6 3,1 4,6 Indeks DMF-T Indonesia sebesar 4,6 dengan nilai masing-masing:D-T=1,6; M-T=2,9; F-T=0,08; yang berarti kerusakan gigi penduduk Indonesia 460 buah gigi per 100 orang. 118 Provinsi yang mempunyai indeks DMF-T tertinggi adalah Bangka Belitung (8,5) dan terendah adalah Papua Barat (2,6). (Tabel 3.7.6) Tabel 3.7.7 Komponen D, M, F dan Index DMF-T Menurut Karakteristik, Indonesia ,2013 D–T M–T F–T DF-T DMF – T Karakteristik (X) (X) (X) (X) (X) Kelompok Umur (WHO) 12 15 18 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 + Kelompok Umur (Tahun) 12-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 ≥ 65 Jenis Kelamin Laki – laki Perempuan Pendidikan Tidak Sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani Nelayan/ Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Pedesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Terbawah Menengah Menengah Atas Teratas 1,02 1,07 1,14 2,00 2,13 2,15 1,84 0,34 0,34 0,45 3,35 5,65 10,13 17,05 0,04 0,05 0,07 0,11 0,14 0,09 0,06 0,02 0,01 0,03 0,03 0,04 0,03 0,02 1,4 1,5 1,6 5,4 7,9 12,3 18,9 1,02 1,22 1,78 2,00 2,13 2,15 1,84 0,33 0,51 1,91 3,35 5,65 10,13 17,05 0,04 0,06 0,11 0,11 0,14 0,09 0,06 0,01 0,02 0,03 0,03 0,04 0,03 0,02 1,4 1,8 3,8 5,4 7,9 12,3 18,9 1,58 1,59 2,49 3,30 0,07 0,10 0,02 0,03 4,1 4,9 2,10 1,70 1,64 1,45 1,49 1,39 8,51 4,19 3,00 1,70 2,18 2,36 0,04 0,04 0,05 0,07 0,15 0,38 0,02 0,01 0,02 0,02 0,03 0,05 10,6 5,9 4,7 3,2 3,8 4,1 1,35 1,60 1,80 2,07 1,78 2,31 2,23 3,61 4,30 3,64 0,07 0,22 0,13 0,05 0,07 0,02 0,04 0,03 0,02 0,02 3,7 4,0 5,5 6,4 5,5 1,46 1,71 2,76 3,06 0,12 0,05 0,03 0,02 4,3 4,8 1,84 1,65 1,63 1,50 1,36 3,23 3,21 3,10 2,70 2,41 0,03 0,04 0,05 0,10 0,19 0,02 0,01 0,02 0,02 0,04 5,1 4,9 4,8 4,3 3,9 Tabel 3.7.7, menunjukkan indeks DMF-T menurut karakteristik. Index DMF-T meningkat seiring dengan bertambahnya umur yaitu sebesar 1,4 pada kelompok umur 12 tahun, kemudian 1,5 pada umur 15 tahun, 1,6 pada umur 18 tahun. Demikian pula pada umur 34-44 tahun, umur 4554 tahun 55-63 tahun dan umur ≥ 65 tahun. Namun untuk kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi kuintil indeks, semakin rendah nilai DMF-T, hal ini terlihat pada kuintil indeks kepemilikan terbawah nilai DMF-T nya 5,1 sedang untuk yang teratas nilai DMF-T nya lebih rendah yaitu 3,9. 119 3.8. Status Disabilitas Betty Roosihermiatie, Siti isfandari, Julianty Pradono, Sri Prihatini Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya tentang pengalaman hidup penduduk karena kondisi kesehatan termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Setiap orang memiliki peran tertentu, seperti bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang diperlukan. Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk mendapatkan informasi sejauh mana seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial lain, hal yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin (WHO 2010). Informasi besaran masalah disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas dan mengevaluasi efektivitas dan kinerja program kesehatan. Instrumen untuk data disabilitas pada Riskesdas 2013 diadaptasi dari WHODAS 2 sebagai operasionalisasi dari konsep International classification of functioning (ICF), yang terdiri dari 12 pernyataan/komponen untuk mendapatkan informasi tentang status disabilitas seseorang. Instrumen ini dapat digunakan oleh enumerator non medis. Responden untuk topik disabilitas adalah kelompok umur >15 tahun. Data yang dikumpulkan meliputi ada tidaknya kondisi disabilitas dalam kurun waktu satu bulan sebelum survei. Terdapat lima opsi jawaban untuk responden, yaitu 1) tidak ada kesulitan, 2) sedikit kesulitan/ringan, 3) cukup mengalami kesulitan/sedang, 4) kesulitan berat, dan 5) sangat berat/tidak mampu melakukan kegiatan. Selanjutnya bagi responden dengan jawaban 2, 3, 4 atau 5 ditanyakan lama hari mengalami kesulitan, terdiri dari jumlah hari sama sekali tidak mampu melakukan aktivitas rutin dan jumlah hari masih dapat melakukan aktivitas rutin walaupun tidak optimal. Tabel 3.8.1 Proporsi tingkat kesulitan penduduk menurut komponen disabilitas, Indonesia 2013 1. Sulit berdiri dalam waktu lama misalnya 30 menit? 2. Sulit mengerjakan kegiatan rumah tangga yang menjadi tanggung jawabnya 3. Sulit mempelajari/ mengerjakan hal-hal baru, seperti untuk menemukan tempat/alamat baru, mempelajarai permainan, resep baru 4. Sulit dapat berperan serta dalam kegiatan kemasyarakatan (misalnya dalam kegiatan keagamaan, sosial) 5. Seberapa besar masalah kesehatan yang dialami mempengaruhi keadaan emosi? 6. Seberapa sulit memusatkan pikiran dalam melakukan sesuatu selama 10 menit? 7. Seberapa sulit dapat berjalan jarak jauh misalnya 1 kilometer? 8. Seberapa sulit membersihkan seluruh tubuh? 9. Seberapa sulit mengenakan pakaian? 10. Seberapa sulit berinteraksi/ bergaul dengan orang yang belum dikenal sebelumnya? 11. Seberapa sulit memelihara persahabatan? 12. Seberapa sulit mengerjakan pekerjaan seharihari? Tidak ada Ringan Sedang Berat Sangat berat 88,9 5,3 3,1 2,2 0,5 90,1 5,3 2,8 1,5 0,4 90,4 4,9 2,6 1,6 0,4 91,3 4,8 2,2 1,2 0,4 90,1 5,5 3,0 1,1 0,3 90,9 5,1 2,5 1,1 0,3 88,5 4,6 2,9 2,9 1,0 94,1 94,5 4,1 3,9 1,1 1,0 0,5 0,4 0,2 0,2 92,9 4,6 1,7 0,6 0,2 93,3 4,5 1,5 0,5 0,2 91,9 4,7 1,9 1,0 0,4 120 Tabel 3.8.1 menunjukkan kesulitan berjalan jauh dialami oleh 12 dari 100 penduduk Indonesia termasuk 6,8 persen dengan level sedang hingga sangat berat, diikuti oleh kesulitan berdiri selama 30 menit. Kesulitan membersihkan diri dialami oleh hampir 6 persen penduduk, termasuk 1,8 persen dengan tingkat sedang hingga sangat berat/tidak mampu membersihkan diri tanpa dibantu. Tabel 3.8.2 Persentil skor WHODAS 2 Skor 0,0 2,8 5,6 8,3 11,1 13,9 16,7 19,4 22,2 25,0 27,8 30,6 41,7 58,3 100,0 Persentil penduduk Indonesia 83,3 85,0 86,8 88,2 89,3 90,2 91,0 91,7 92,3 92,9 93,5 94,0 97,2 98,9 100,0 Persentil laporan WHODAS2 50,0 63,2 73,3 78,1 82,0 86,5 89,6 92,4 93,0 93,8 94,7 94,9 97,2 99,7 100,0 100,0 90,0 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 0,0 20,0 40,0 Persentil penduduk Indonesia Gambar 3.8.1 60,0 80,0 Persentil laporan WHODAS Persentil skor disabilitas Tabel 3.8.2 dan Gambar 3.8.1 menunjukkan 83 persen penduduk Indonesia tidak mengalami kesulitan melakukan aktivitas rutin dalam kurun waktu 1 bulan sebelum survei. Laporan WHODAS 2, dari responden pada survei beberapa negara mendapatkan 50 persen tidak mengalami kesulitan melakukan aktivitas rutin. Persentil penduduk Indonesia dan persentil yang dilaporkan WHO menunjukkan kesesuaian pada tingkat disabilitas lebih tinggi, yaitu mulai skor 19,4, yang menunjukkan 8,3 persen penduduk Indonesia dan 7,6 persen penduduk yang dilaporkan WHO mengalami disabilitas dengan skor 19,4 atau lebih. Dapat diinterpretasikan bahwa kesesuaian proporsi penduduk Indonesia dan populasi sesuai laporan WHO mulai stabil di level disabilitas dengan skor 19,4. Proporsi penduduk Indonesia dengan disabilitas ringan (skor <19,4) sebesar 8,4 persen, sedangkan WHO melaporkan 42,4 persen penduduk mengalami disabilitas ringan. Interpretasi lain dari tabel dan gambar di atas adalah penduduk Indonesia cenderung tidak menganggap kesulitan sangat ringan yang dialami dalam melakukan aktivitas rutin sebagai hal yang menyulitkan. 121 Tabel 3.8.3 Kecenderungan prevalensi penduduk menurut komponen disabilitas 2007 - 2013 No Komponen Sulit mengenakan pakaian Sulit membersihkan tubuh Sulit memelihara persahabatan Sulit bergaul dgn orang yg blm dikenal Sulit mengerjakan pekerjaan sehari hari Sulit berperan serta dlm kegiatan kemasyarakatan Sulit memusatkan pikiran selama 10 menit Besar masalah kesehatan yg mempengaruhi emosi Sulit mengerjakan kegiatan rumahtangga Sulit untuk berdiri dalam waktu lama Sulit berjalan jarak jauh 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 2013 1.6 1.8 2.2 2.5 3.3 3.9 3.9 4.4 4.6 5.8 6.8 Komponen Jenis Disabilitas 14,0 12,0 11,6 10,0 8,0 9,2 8,2 5,4 4,0 2,5 2,0 1 5,2 2,8 1,8 1,6 2 3 2,5 2,2 4 8,8 6,9 6,6 6,0 0,0 2007 2.5 2.8 5.4 6.6 5.2 8.2 9.2 6.9 6.8 8.8 11.6 6 5,8 6,8 4,6 3,9 3,3 3,9 5 6,8 7 8 4,4 9 10 11 Jenis Disabilitas 2007 !. Sulit mengenakan pakaian 2.Sulit membersihkan tubuh 3.Sulit memelihara persahabatan 4. Sulit bergaul dgn orang yg belum dikenal 5. Sulit mengerjakan pekerjaan sehari hari 6. Sulit berperan serta dlm kegiatan kemasyarakatan 7.Sulit memusatkan pikiran selama 10 menit 8.Besar masalah kesehatan yg mempengaruhi emosi 9. Sulit mengerjakan kegiatan rumah tangga 10. Sulit untuk berdiri dalam waktu lama 11.Sulit berjalan jarak jauh 2013 Gambar 3.8.2 Kecenderungan prevalensi komponen disabilitas 2007 - 2013 Pengukuran disabilitas 2013 menggunakan instrumen adaptasi WHODAS 2, sedangkan disabilitas 2007 menggunakan instrumen adaptasi Washington Group (WG). Terdapat 11 komponen yang sama pada kedua instrumen tersebut, sehingga dapat dibandingkan prevalensi komponen pada tahun 2007 dan 2013. Perbedaan prevalensi 11 komponen disabilitas 2007 2013 ditunjukkan dalam Tabel 3.8.3 dan Gambar 3.8.2. Perbedaan terkecil pada komponen mengenakan pakaian dan membersihkan tubuh. Perbedaan tertinggi pada komponen sulit berperan serta dalam kegiatan masyarakat, berkonsentrasi, berdiri lama dan berjalan jauh. Tabel 3.8.4 dan tabel 3.8.5 menunjukkan prevalensi disabilitas, rerata skor, rerata hari produktif hilang, dan jumlah hari hilang menurut provinsi dan karakteristik. Prevalensi penduduk Indonesia dengan disabilitas sedang sampai sangat berat sebesar 11 persen, bervariasi dari yang tertinggi di Sulawesi Selatan (23,8%) dan yang terendah di Papua Barat (4,6%). Rerata skor diperoleh dari sistem skoring WHODAS 2, dengan rerata skor maksimal 100, semakin tinggi rerata skor mencerminkan semakin berat derajat disabilitas. Rerata skor penduduk Indonesia adalah 25,24. Rerata skor disabilitas tertinggi dimiliki penduduk di Gorontalo (31,85), sedangkan yang terendah di DI Yogyakarta (17,05) dan DKI Jakarta (17,92). Rerata hari produktif hilang adalah rerata lama hari seseorang tidak dapat berfungsi optimal dalam satu bulan, karena disabilitas. Rata–rata 122 penduduk Indonesia tidak dapat berfungsi optimal selama 6,7 hari. Rerata hari produktif hilang tertinggi di Bali (10.1 hari) dan terendah di Papua dan Maluku Utara (masing-masing 4,8 hari). Tabel 3.8.4 Indikator disabilitas menurut provinsi, Indonesia 2013 Prevalensi Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesiia 12,7 9,3 13,1 8,5 5,8 8,1 6,0 5,0 10,1 6,7 8,0 12,7 10,3 11,5 11,6 5,1 10,6 15,9 19,2 6,4 7,7 14,4 7,5 10,0 19,6 23,8 12,9 17,6 13,4 8,4 11,3 4,6 7,0 11,0 Rerata skor 28,16 25,71 30,18 27,32 25,96 27,76 30,24 27,71 23,15 23,55 17,92 22,88 26,94 17,05 24,27 22,95 25,08 30,29 28,01 23,17 27,08 24,58 27,30 29,01 27,56 29,01 29,16 31,85 25,74 26,12 24,98 22,48 22,41 25,24 Rerata hari produktif Jumlah hari produktif hilang hilang Total Tidak Masih Tidak Masih mampu mampu mampu mampu 6,0 2,3 3,8 1.474.725 2.440.441 6,8 1,8 5,0 2.322.726 6.487.602 7,4 1,8 5,6 1.159.778 3.566.209 5,3 1,2 4,0 623.543 2.056.580 5,5 1,8 3,7 426.754 893.777 5,0 1,8 3,1 1.334.071 2.291.886 6,9 1,9 5,1 218.843 600.676 7,5 2,5 5,0 1.231.413 2.511.217 6,5 1,8 4,7 267.197 677.957 7,1 1,3 5,8 189.144 876.262 6,1 1,4 4,7 1.423.128 4.733.856 5,5 1,5 4,0 9.439.751 24.505.736 8,2 1,9 6,4 6.882.136 23.180.195 8,4 1,0 7,5 494.809 3.878.277 8,2 1,9 6,3 9.208.380 30.832.372 5,1 1,6 3,5 1.108.726 2.480.543 10,1 1,5 8,6 696.113 4.087.107 5,8 1,9 4,0 1.273.984 2.692.585 6,6 2,2 4,4 1.807.616 3.630.968 6,5 1,6 4,8 544.199 1.603.855 6,0 1,8 4,2 346.949 797.877 6,3 1,5 4,9 825.084 2.699.254 5,4 2,2 3,3 708.028 1.077.520 7,4 2,6 4,7 669.663 1.205.355 6,1 1,8 4,4 873.565 2.180.170 5,8 1,5 4,3 2.840.192 8.015.326 5,0 2,2 2,8 693.483 901.513 5,5 1,9 3,6 324.249 599.107 7,4 1,5 6,0 230.244 927.735 6,4 2,7 3,7 412.945 554.109 4,8 2,1 2,7 273.004 357.469 5,8 2,1 3,6 99.136 167.177 4,8 2,1 2,7 530.294 701.631 6,7 1,7 4,9 50.953.873 144.212.342 Jumlah hari produktif hilang merupakan jumlah hari seseorang tidak mampu melakukan kegiatan rutin secara optimal, diperoleh dari perkalian antara rerata hari produktif hilang dan jumlah penduduk dengan disabilitas. Indonesia mengalami jumlah kehilangan hari produktif 195.166.215. Papua Barat merupakan provinsi dengan jumlah hari produktif hilang paling rendah karena penduduk dengan disabilitasnya terkecil. Disebabkan oleh sedikitnya populasi dan kecilnya prevalensi penduduk dengan disabilitas di wilayah tersebut. Kelompok umur >75 tahun merupakan kelompok dengan indikator disabilitas tertinggi. Lebih tingginya hari produktif hilang kelompok umur 65–74 tahun dapat disebabkan tingginya populasi 123 kelompok ini dibanding kelompok umur 75 tahun atau lebih. Perempuan cenderung lebih rentan mengalami disabilitas daripada laki-laki pada semua indikator disabilitas. Fenomena serupa terjadi untuk kelompok tidak sekolah dan kelompok kuintil terbawah. Dibandingkan wilayah perkotaan, penduduk di wilayah perdesaan memiliki prevalensi, rerata skor, dan hari produktif hilang serta jumlah hari produktif hilang lebih tinggi. Walaupun merupakan kelompok dengan prevalensi terendah, tingginya jumlah hari produktif hilang pada kelompok tidak bekerja disebabkan tingginya rerata hari produktif hilang. Tabel 3.8.5 Indikator disabilitas menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Kelompok umur 15-24 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun 45-54 tahun 55-64 tahun 65-74 tahun 75+ tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak berkerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Rerata hari tidak mampu Tidak Masih Total mampu mampu Jumlah hari tidak mampu Masih Tidak mampu mampu Prevalensi Rerata skor 6,2 7,1 7,9 10,9 18,6 34,6 55,9 21,1 20,9 20,9 22,2 25,8 33,0 43,4 4,3 4,5 4,8 5,9 7,5 10,3 13,8 1,2 1,2 1,2 1,4 1,9 2,6 3,9 3,2 3,3 3,6 4,4 5,6 7,7 9,9 4.923.956 6.071.755 5.924.629 6.766.573 8.321.712 9.491.333 9.453.915 13.269.966 16.860.087 17.375.825 20.979.668 24.042.238 27.697.900 23.986.657 9,2 12,8 25,1 25,4 6,5 6,8 1,8 1,7 4,7 5,1 22.638.758 28.315.114 58.786.726 85.425.616 29,8 18,0 11,7 7,6 7,0 6,4 29,2 18,3 19,9 23,0 21,6 35,7 10,8 8,0 6,6 5,0 4,6 4,8 2,8 2,1 1,8 1,3 1,2 1,2 7,9 5,9 4,9 3,7 3,5 3,6 10.490.660 10.491.177 16.378.977 6.000.503 6.091.688 1.500.868 29.533.071 29.167.015 45.396.942 17.093.641 18.302.770 4.718.903 14.4 6.0 8.0 10.2 9.2 29,2 18,34 19,9 23,0 21,64 8,2 4,0 5,1 5,6 5,1 2,3 0,9 1,1 1,4 1,2 5,9 3,1 4,1 4,3 4,0 32.950.366 2.285.515 3.269.820 11.299.147 1.149.024 84.481.485 7.700.261 12.655.833 35.454.731 3.920.032 10,8 11,2 23,5 27,1 6,3 7,1 1,6 1,9 4,7 5,2 23.613.627 27.340.245 69.605.943 74.606.399 15,2 12,8 10,8 9,6 8,3 28,9 27,4 24,5 22,6 22,9 7,3 7,6 6,8 6,1 5,6 2,1 2,0 1,7 1,5 1,5 5,2 5,6 5,0 4,6 4,1 11.303.534 11.969.384 10.808.408 9.563.120 7.309.427 28.291.352 34.057.066 31.790.518 30.000.602 20.072.804 124 3.9. Kesehatan Jiwa Sri Idaiani, Indri Yunita, Sri Prihatini, dan Lely Indrawati Indikator kesehatan jiwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 antara lain gangguan jiwa berat, gangguan mental emosional serta cakupan pengobatannya. Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis dan salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia. Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta masyarakat oleh karena produktivitas pasien menurun dan akhirnya menimbulkan beban biaya yang besar bagi pasien dan keluarga. Dari sudut pandang pemerintah, gangguan ini menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang besar. Sampai saat ini masih terdapat pemasungan serta perlakuan salah pada pasien gangguan jiwa berat di Indonesia. Hal ini akibat pengobatan dan akses ke pelayanan kesehatan jiwa belum memadai. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan adalah menjadikan Indonesia bebas pasung oleh karena tindakan pemasungan dan perlakukan salah merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Disamping gangguan jiwa berat, Riskesdas 2013 juga melakukan penilaian gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia seperti pada Riskesdas 2007. Gangguan mental emosional adalah istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi ini adalah keadaan yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. Berbeda dengan gangguan jiwa berat psikosis dan skizofrenia, gangguan mental emosional adalah gangguan yang dapat dialami semua orang pada keadaan tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil ditanggulangi. Prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007 adalah 11,6 persen dan bervariasi di antara provinsi dan kabupaten/kota. Pada Riskesdas tahun 2013, prevalensi gangguan mental emosional dinilai kembali dengan menggunakan alat ukur serta metode yang sama. Gangguan mental emosional diharapkan tidak berkembang menjadi lebih serius apabila orang yang mengalaminya dapat mengatasi atau melakukan pengobatan sedini mungkin ke pusat pelayanan kesehatan atau berobat ke tenaga kesehatan yang kompeten. Cakupan pengobatan ditanyakan berdasarkan kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan, termasuk dikunjungi oleh tenaga kesehatan. 3.9.1. Gangguan Jiwa Berat Gangguan jiwa berat dinilai melalui serangkaian pertanyaan yang ditanyakan oleh pewawancara (enumerator) kepada kepala rumah tangga atau ART yang mewakili kepala rumah tangga. Inti pertanyaan adalah mengenai ada tidaknya anggota rumah tangga (tanpa melihat umur) yang mengalami gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) pada rumah tangga tersebut. Angka prevalensi yang diperoleh merupakan prevalensi gangguan jiwa berat seumur hidup (life time prevalence). Rumah tangga yang memiliki ART dengan gangguan jiwa, ditanya mengenai riwayat pemasungan yang mungkin pernah dialami ART selama hidupnya. Pewawancara telah dilatih mengenai cara melakukan wawancara serta pengetahuan singkat mengenai ciri-ciri gangguan jiwa. Pelatihan singkat tersebut memberikan keterampilan kepada pewawancara tentang cara melakukan klarifikasi atau verifikasi terhadap jawaban yang diberikan oleh kepala rumah tangga atau orang yang mewakilinya. 125 Keterbatasan pengumpulan data dengan cara wawancara adalah adanya kemungkinan kasus tidak dilaporkan serta diagnosis yang kurang tepat mengenai gangguan jiwa berat. Upaya untuk mengatasi kelemahan ini dilakukan dengan cara menetapkan batasan operasional bahwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 adalah gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) yang dapat dikenali oleh masyarakat umum, sehingga gangguan jiwa berat dengan diagnosis tertentu dan memerlukan kemampuan diagnostik oleh dokter spesialis jiwa, kemungkinan tidak terdata. Tabel 3.9.1 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta JawaTimur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia) permil 2,7 0,9 1,9 0,9 0,9 1,1 1,9 0,8 2,2 1,3 1,1 1,6 2,3 2,7 2,2 1,1 2,3 2,1 1,6 0,7 0,9 1,4 1,4 0,8 1,9 2,6 1,1 1,5 1,5 1,7 1,8 1,6 1,2 1,7 Jumlah seluruh RT yang dianalisis adalah 294.959 terdiri dari 1.027.763 ART yang berasal dari semua umur. Rumah tangga yang menjawab memiliki ART dengan gangguan jiwa berat sebanyak 1.655, terdiri dari 1.588 RT dengan 1 orang ART, 62 RT memiliki 2 orang ART, 4 RT memiliki 3 ART, dan 1 RT dengan 4 orang ART yang mengalami gangguan jiwa berat. Jumlah seluruh responden dengan gangguan jiwa berat berdasarkan data Riskesdas 2013 adalah sebanyak 1.728 orang. 126 Berdasarkan Tabel 3.9.1, terlihat bahwa prevalensi psikosis tertinggi di DI Yogyakarta dan Aceh (masing-masing 2,7‰), sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat (0,7‰). Prevalensi gangguan jiwa berat nasional sebesar 1,7 per mil. Prevalensi gangguan jiwa berat berdasarkan tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan dipaparkan pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Angka prevalensi seumur hidup skizofrenia di dunia bervariasi berkisar 4 permil sampai dengan 1,4 persen (Lewis et al.,2001). Beberapa kepustakaan menyebutkan secara umum prevalensi skizofrenia sebesar 1 persen penduduk. Selanjutnya dipaparkan proporsi RT yang pernah melakukan pemasungan terhadap ART dengan gangguan jiwa berat. Tabel 3.9.2 Proporsi rumah tangga yang memiliki ARTgangguan jiwa berat yang pernah dipasung menurut tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Indonesia 2013 Karakteristik RT dengan riwayat pemasungan ART (%) Tempat tinggal Perkotaan 10,7 Perdesaan 18,2 Kuintil indeks kepemilikan 19,5 Terbawah 17,3 Menengah bawah 12,7 Menengah 7,3 Menengah atas 7,4 Teratas Indonesia 14,3 Proporsi rumah tangga dengan ART gangguan jiwa berat yang pernah dipasung dihitung terhadap 1.655 rumah tangga dengan penderita gangguan jiwa berat. Metode pemasungan tidak terbatas pada pemasungan secara tradisional (menggunakan kayu atau rantai pada kaki), tetapi termasuk tindakan pengekangan lain yang membatasi gerak, pengisolasian, termasuk mengurung, dan penelantaran yang menyertai salah satu metode pemasungan. Proporsi RT yang pernah memasung ART gangguan jiwa berat sebesar 14,3 persen dan terbanyak pada RT di perdesaan. RT yang melakukan tindakan pemasungan terbanyak pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah. Proporsi cakupan RT yang membawa ART gangguan jiwa berobat ke fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan dipaparkan pada laporan Riskesdas 2013 dalam angka. 3.9.2. Gangguan Mental Emosional Di dalam kuesioner Riskesdas 2013, pertanyaan mengenai gangguan mental emosional tercantum dalam kuesioner individu butir F01–F20. Gangguan mental emosional dinilai dengan Self Reporting Questionnaire (SRQ) yang terdiri dari 20 butir pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan SRQ ditanyakan pewawancara kepada ART umur ≥15 tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Ke20 butir pertanyaan ini mempunyai pilihan jawaban “ya” dan “tidak”. Nilai batas pisah yang ditetapkan pada survei ini adalah 6, yang berarti apabila responden menjawab minimal 6 atau lebih jawaban “ya”, maka responden tersebut diindikasikan mengalami gangguan mental emosional. Nilai batas pisah tersebut sesuai penelitian uji validitas yang dilakukan Hartono, 1995. Data yang dikumpulkan menggunakan instrumen SRQ memiliki keterbatasan hanya mengungkap status emosional individu sesaat (±30 hari) dan tidak dirancang untuk mendiagnosis gangguan jiwa secara spesifik. Jumlah ART umur ≥15 tahun yang dianalisis untuk gangguan mental emosional sebanyak 703.946 orang, yang menjawab langsung semua pertanyaan yang dibacakan pewawancara. 127 Responden yang terpaksa diwakili atau didampingi ART lain saat diwawancara dengan alasan karena yang bersangkutan menderita gangguan jiwa berat dengan kemampuan komunikasi sangat buruk, menderita penyakit fisik berat atau disabilitas lainnya yang menyebabkan responden tidak mampu menjawab pertanyaan yang diberikan, tidak dianalisis dalam laporan ini. Tabel 3.9.3 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur ≥15 tahun berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20*) menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Gangguan mental emosional (%) Aceh 6,6 Sumatera Utara 4,5 Sumatera Barat 4,5 Riau 2,7 Jambi 1,6 Sumatera Selatan 4,6 Bengkulu 2,2 Lampung 1,2 Bangka Belitung 6,0 Kepulauan Riau 2,6 DKI Jakarta 5,7 Jawa Barat 9,3 Jawa Tengah 4,7 DI Yogyakarta 8,1 JawaTimur 6,5 Banten 5,1 Bali 4,4 Nusa Tenggara Barat 6,4 Nusa Tenggara Timur 7,8 Kalimantan Barat 2,5 Kalimantan Tengah 3,2 Kalimantan Selatan 5,1 Kalimantan Timur 3,2 Sulawesi Utara 5,9 Sulawesi Tengah 11,6 Sulawesi Selatan 9,3 Sulawesi Tenggara 4,1 Gorontalo 4,9 Sulawesi Barat 6,1 Maluku 4,9 Maluku Utara 5,4 Papua Barat 2,5 Papua 4,2 Indonesia 6,0 *Nilai Batas Pisah (cut off point) > 6 Prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional secara nasional adalah 6,0% (37.728 orang dari subyek yang dianalisis). Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah (11,6%), sedangkan yang terendah di Lampung (1,2%). Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik individu dan cakupan pengobatan seumur hidup serta 2 minggu terakhir terdapat pada laporan Riskesdas 2013 dalam Angka. 128 Penilaian gangguan mental emosional pada tahun 2007 dan 2013 menggunakan kuesioner serta metode pengumpulan data yang sama. Prevalensi nasional serta beberapa prevalensi berdasarkan karakteristik diperlihatkan dalam Gambar 3.9.1. 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 2007 Perdesaan Perkotaan Tamat D1-D3/PT Tamat SLTA Tamat SLTP Tamat SD Tidak Tamat SD Tidak Sekolah Perempuan Laki-laki 75+ thn 65 - 74 thn 55 – 64 thn 45 – 54 thn 35 – 44 thn 25 – 34 thn 15 – 24 thn Indonesia 0,0 2013 Gambar 3.9.1 Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik, Riskesdas 2007 dan 2013 Gambar 3.9.1 memperlihatkan bahwa pola prevalensi gangguan mental emosional sesuai kelompok umur, jenis kelamin, dan pendidikan ART menurut Riskesdas 2013 senada dengan hasil Riskesdas 2007, kecuali pola menurut tempat tinggal. Pada Riskesdas 2007 prevalensi gangguan mental emosional di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan, tetapi dalam Riskesdas 2013 prevalensi tersebut berbalik dan prevalensi di perkotaan menjadi lebih tinggi dibanding di perdesaan. 129 3.10. Pengetahuan, sikap dan perilaku Niniek L. Pratiwi, Julianty Pradono, Nunik Kusumawardhani, dan Ingan Ukur Tarigan Pengetahuan, sikap dan perilaku dikumpulkan pada penduduk umur >10 tahun. Jumlah sampel sebesar 835.258 orang. Topik yang dikumpulkan meliputi perilaku higienis, penggunaan tembakau, aktivitas fisik, perilaku konsumsi buah dan sayur, makanan berisiko (makan/minum manis, makanan asin, makanan berlemak, makanan dibakar, makanan olahan dengan pengawet, bumbu penyedap, kopi dan minuman berkafein buatan bukan kopi) dan konsumsi makanan olahan dari tepung terigu. 3.10.1. Perilaku Higienis Perilaku higienis yang dikumpulkan meliputi kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) dan perilaku mencuci tangan. Tabel 3.10.1 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang berperilaku benar dalam buang air besar dan cuci tangan menurut provinsi, Indonesia 2013 Berperilaku benar dalam Berperilaku benar dalam hal Provinsi BAB cuci tangan Aceh 73,1 33,6 Sumatera Utara 85,0 32,9 Sumatera Barat 74,1 29,0 Riau 86,6 37,7 Jambi 82,0 44,1 Sumatera Selatan 77,0 45,3 Bengkulu 81,1 34,5 Lampung 83,6 46,7 Bangka Belitung 87,0 55,6 Kepulauan Riau 93,7 55,4 DKI Jakarta 98,9 59,2 Jawa Barat 87,8 45,7 Jawa Tengah 82,7 49,5 DI Yogyakarta 94,2 49,8 Jawa Timur 77,0 48,1 Banten 83,3 48,3 Bali 91,1 66,7 Nusa Tenggara Barat 73,3 39,3 Nusa Tenggara Timur 77,5 38,1 Kalimantan Barat 76,0 60,3 Kalimantan Tengah 75,1 58,8 Kalimantan Selatan 75,5 32,3 Kalimantan Timur 92,0 53,2 Sulawesi Utara 88,9 65,9 Sulawesi Tengah 73,2 44,3 Sulawesi Selatan 82,7 54,8 Sulawesi Tenggara 78,9 55,1 Gorontalo 77,5 64,9 Sulawesi Barat 69,8 63,2 Maluku 77,4 51,4 Maluku Utara 83,5 59,5 Papua Barat 83,2 54,6 Papua 57,0 29,5 Indonesia 82,6 47,0 130 Perilaku BAB yang dianggap benar adalah bila penduduk melakukannya di jamban. Perilaku mencuci tangan yang benar adalah bila penduduk mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan, setiapkali tangan kotor (antara lain setelah memegang uang, binatang, berkebun), setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak, setelah menggunakan pestisida/insektisida, dan sebelum menyusui bayi (Promkes, 2011). Dari Tabel 3.10.1 menunjukkan rerata nasional proporsi perilaku cuci tangan secara benar sebesar 47,0 persen dan lima provinsi terendah adalah Sumatera Barat (29,0%), Papua (29,5%), Kalimantan Selatan (32,3%), Sumatera Utara (32,9%) dan Aceh (33,6%). Rerata nasional perilaku BAB di jamban adalah 82,6 persen. Lima provinsi terendah adalah Papua (57,0%), Sulawesi Barat (69,8%), Aceh (73,1%), Sulawesi Tengah (73,2%) dan Nusa Tenggara Barat (73,3%). Berdasarkan analisis kecenderungan Gambar 3.10.1 terlihat bahwa rerata nasional proporsi penduduk umur ≥10 tahun berperilaku cuci tangan dengan benar meningkat tahun 2007 (23,2%) menjadi 47,0 persen pada tahun 2013. 100,0 80,0 47,0 60,0 40,0 20,0 23,2 Sumbar Papua Kalsel Sumut Aceh Bengkulu Riau NTT NTB Jambi Sulteng Sumsel Jabar Lampung Indonesia Jatim Banten Jateng DIY Maluku Kaltim Papua Barat Sulsel Gorontalo Kep. Riau Babel Kalteng DKI Maluku Utara Kalbar Sulbar Sulbar Sulut Bali 0,0 2007 2013 Gambar 3.10.1 Kecenderungan proporsi penduduk umur ≥10 tahun berperilaku cuci tangan dengan benar menurut provinsi, Indonesia 2007- 2013 Kecenderungan penduduk yang berperilaku BAB dengan benar terlihat pada Gambar 3.10.2, yaitu adanya peningkatan proporsi perilaku penduduk Indonesia umur ≥10 tahun yang semula 71,1 persen (2007) menjadi 82,6 persen (2013). 131 100,0 82,6 80,0 60,0 71,1 40,0 20,0 Papua Sulbar Aceh Sulteng NTB Sumbar Kalteng Kalsel Kalbar Sumsel Jatim Maluku NTT Sulbar Gorontalo Bengkulu Jambi Indonesia Jateng Sulsel Papua Barat Banten Maluku Utara Lampung Sumut Riau Babel Jabar Sulut Bali Kaltim Kep. Riau DIY DKI 0,0 2007 2013 Gambar 3.10.2 Kecenderungan proporsi penduduk Umur ≥10 tahun berperilaku BAB dengan benar menurut provinsi, Indonesia 2007- 2013 3.10.2. Penggunaan Tembakau Informasi perilaku penggunaan tembakau dalam Riskesdas tahun 2013 dibagi menjadi dua kelompok, yaitu perilaku merokok dan perilaku penggunaan tembakau dengan mengunyah. Hal tersebut dikarenakan efek samping yang ditimbulkan akibat merokok dan dengan metode mengunyah tembakau berbeda. Perokok hisap menimbulkan polusi pada perokok pasif dan lingkungan sekitarnya, sedangkan mengunyah tembakau hanya berdampak pada dirinya sendiri. Berdasarkan tabel 3.10.2 rerata proporsi perokok saat ini di Indonesia adalah 29,3 persen. Proporsi perokok saat ini terbanyak di Kepulauan Riau dengan perokok setiap hari 27,2 persen dan kadang-kadang merokok 3,5 persen. 132 Tabel 3.10.2 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Perokok saat ini Perokok Perokok kadangsetiap hari kadang 25,0 4,3 24,2 4,2 26,4 3,9 24,2 4,1 22,9 4,7 24,7 5,4 27,1 3,3 26,5 4,8 26,7 3,1 27,2 3,5 23,2 6,0 27,1 5,6 22,9 5,3 21,2 5,7 23,9 5,0 26,0 5,3 18,0 4,4 26,8 3,5 19,7 6,2 23,6 3,1 22,5 4,0 22,1 3,6 23,3 4,4 24,6 5,9 26,2 4,5 22,8 4,2 21,8 4,2 26,8 5,5 22,0 4,2 22,1 6,5 25,8 6,1 22,1 6,0 16,3 5,6 24,3 5,0 Tidak merokok Mantan perokok 2,5 3,3 3,1 3,2 2,9 3,4 2,4 2,6 3,6 4,8 6,0 4,5 4,3 9,1 4,1 3,3 4,6 2,2 2,4 2,7 3,1 4,6 4,2 6,2 4,4 4,6 2,8 3,4 3,6 2,0 4,1 2,6 2,8 4,0 Bukan perokok 68,2 68,2 66,0 68,5 69,5 66,6 67,2 66,0 66,6 64,4 64,8 62,8 67,6 64,1 67,0 65,3 73,0 67,5 71,6 70,0 69,8 69,8 68,1 63,3 64,9 68,5 71,1 64,3 70,2 69,4 64,0 69,3 75,4 66,6 Tabel 3.10.3 menunjukkan proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut karakteristik. Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari pada umur 30-34 tahun sebesar 33,4 persen, umur 35-39 tahun 32,2 persen, sedangkan proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih banyak di bandingkan perokok perempuan (47,5% banding 1,1%). Berdasarkan jenis pekerjaan, petani/nelayan/buruh adalah proporsi perokok aktif setiap hari yang terbesar (44,5%) dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya. Proporsi perokok setiap hari tampak cenderung menurun pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi. 133 Tabel 3.10.3 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+ Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lain-lain Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Perokok setiap hari Perokok saat ini Perokok kadang-kadang 0,5 11,2 27,2 29,8 33,4 32,2 31,0 31,4 31,4 30,3 27,6 21,7 0,9 7,1 6,9 5,0 5,1 5,2 5,4 5,5 5,3 5,0 4,8 5,1 47,5 1,1 9,2 0,8 19,7 18,3 25,2 25,7 28,7 18,9 3,1 3,2 4,5 5,7 6,6 5,6 6,9 33,6 39,8 44,5 32,4 3,0 7,4 6,5 6,9 5,8 23,2 25,5 5,1 4,9 27,3 26,9 25,5 23,5 19,5 5,0 5,1 5,1 5,0 4,7 Dari tabel 3.10.4 tampak bahwa rerata batang rokok yang dihisap per hari per orang di Indonesia adalah 12,3 batang (setara satu bungkus). Jumlah rerata batang rokok terbanyak yang dihisap ditemukan di Bangka Belitung (18 batang) dan di Riau (16-17 batang). 134 Tabel 3.10.4 Rerata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur ≥10 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Perokok 15,3 14,9 15,8 16,5 14,4 13,4 14,0 12,1 18,3 15,1 11,6 10,7 10,1 9,9 11,5 12,3 12,0 11,6 10,8 14,9 15,0 16,7 15,6 13,2 13,8 14,6 14,4 12,4 14,9 12,0 12,4 12,8 13,0 12,3 135 Tabel 3.10.5 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau menurut provinsi, Indonesia, 2013 Pengunyah tembakau saat ini Setiap hari Terkadang 4,0 7,3 3,1 3,0 2,7 2,4 2,0 1,5 1,4 1,0 3,0 1,2 2,9 1,0 1,3 0,8 2,1 1,4 1,1 0,9 1,1 0,6 1,6 0,9 2,0 0,7 2,2 1,1 1,9 0,8 1,7 0,8 3,8 1,2 3,1 1,7 17,7 12,1 2,9 2,5 2,9 2,8 1,5 0,7 1,8 1,1 2,5 1,1 3,0 1,3 1,8 1,1 2,7 1,0 2,6 1,0 2,1 1,1 5,7 4,1 7,1 8,0 11,4 8,8 6,7 7,3 2,5 1,6 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Tabel 3.10.5 menjelaskan proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau menurut provinsi. Terlihat kebiasaan mengunyah tembakau atau smokeless setiap hari di Indonesia sebesar 2,5 persen, sedangkan proporsi pengunyah tembakau terkadang sebesar 1,6 persen. Proporsi tertinggi pengunyah tembakau setiap hari yang berada diatas proporsi nasional adalah Nusa Tenggara Timur (17,7%), Papua Barat (11,4%), Maluku utara (7,1%), Papua (6,7%) dan Maluku (5,7%). Untuk melihat kecenderungan perokok 2007, 2010, dan 2013 ditampilkan pada gambar 3.10.3 data gabungan perokok hisap dan kunyah tembakau pada kelompok umur ≥15 tahun. Proporsi penduduk umur ≥15 tahun yang merokok dan mengunyah tembakau cenderung meningkat, berdasarkan Riskesdas 2007 sebesar 34,2 persen, Riskesdas 2010 sebesar 34,7 persen 136 dan Riskesdas 2013 menjadi 36,3 pesen. Proporsi tertinggi pada tahun 2013 adalah di Nusa Tenggara Timur (55,6%). 80,0 60,0 36,3 40,0 20,0 Bali Kalsel DIY Jambi Sulsel Gorontalo Sulbar Kaltim Jateng DKI Jatim Papua Kalteng Riau Kep. Riau Kalbar Babel Indonesia Sulut Bengkulu Sumsel Lampung Banten Sumbar Sulteng Sumut Jabar NTB Sulbar Aceh Maluku Papua Barat Maluku Utara NTT 0,0 2007 2010 2013 Gambar 3.10.3 Kecenderungan proporsi penduduk umur ≥15 tahun yang mempunyai kebiasaan menghisap dan mengunyah tembakau menurut provinsi, Indonesia 2007, 2010 dan 2013 Di Indonesia, analisis survei penggunaan tembakau nasional yang memisahkan tembakau hisap dan tembakau kunyah, selain Riskesdas juga dilakukan oleh Global Adults Tobacco Survey (GATS). Gambar 3.10.4 menunjukkan proporsi penduduk umur ≥15 tahun dari 2 survei tersebut, hasil GATS 2011 dan Riskesdas 2013. Tampak proporsi perokok laki-laki 67,0 persen tahun 2011, menjadi 64,9 persen tahun 2013. Demikian halnya dengan perokok perempuan yang menurut GATS adalah 2,7 persen tahun 2011 dan 2,1 persen menurut Riskesdas 2013. 137 100,0 80,0 67,0 64,9 60,0 40,0 20,0 2,7 0,0 Laki-laki GATS 2011 2,1 Perempuan Riskesdas 2013 Gambar 3.10.4 Kecenderungan proporsi perokok umur≥15 tahun berdasarkan hasil survei GATS tahun 2011 dan Riskesdas 2013 Gambar 3.10.5 menunjukkan proporsi penduduk mengunyah tembakau menurut jenis kelamin dari data GATS 2011 dan Riskesdas 2013. Proporsi mengunyah tembakau cenderung sedikit meningkat pada Riskesdas 2013 dibandingkan hasil GATS 2011. Tahun 2011 proporsi mengunyah tembakau pada laki-laki adalah 1,5 persen dan pada perempuan sebesar 2,7 persen, sementara menurut Riskesdas 2013 proporsi laki-laki sebesar 3,9 persen dan 4,8 persen pada perempuan. 8,0 6,0 4,8 3,9 4,0 2,7 2,0 0,0 1,5 Laki-Laki GATS 2011 Perempuan Riskesdas 2013 Gambar 3.10.5 Kecenderungan proporsi penduduk umur ≥15 tahun mengunyah tembakau berdasarkan GATS 2011 dan Riskesdas 2013 138 3.10.3. Perilaku aktivitas fisik Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan serta menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Dikumpulkan data frekuensi beraktivitas fisik dalam seminggu terakhir untuk penduduk umur >10 tahun. Aktivitas fisik berat adalah kegiatan yag secara terus menerus melakukan kegiatan fisik minimal 10 menit sampai meningkatnya denyut nadi dan napas lebih cepat dari biasanya (misalnya menimba air, mendaki gunung, lari cepat, menebang pohon, mencangkul, dll) selama minimal tiga hari dalam satu minggu dan total waktu beraktivitas ≥1500 MET minute. MET minute aktivitas fisik berat adalah lamanya waktu (menit) melakukan aktivitas dalam satu minggu dikalikan bobot sebesar 8 kalori. Aktivitas fisik sedang apabila melakukan aktivitas fisik sedang (menyapu, mengepel, dll) minimal lima hari atau lebih dengan total lamanya beraktivitas 150 menit dalam satu minggu. Selain dari dua kondisi tersebut termasuk dalam aktivitas fisik ringan (WHO GPAQ, 2012; WHO STEPS, 2012). Dalam Riskesdas 2013 ini kriteria aktivitas fisik "aktif" adalah individu yang melakukan aktivitas fisik berat atau sedang atau keduanya, sedangkan kriteria 'kurang aktif' adalah individu yang tidak melakukan aktivitas fisik sedang ataupun berat. Perilaku sedentari adalah perilaku duduk atau berbaring dalam sehari-hari baik di tempat kerja (kerja di depan komputer, membaca, dll), di rumah (nonton TV, main game, dll), di perjalanan /transportasi (bis, kereta, motor), tetapi tidak termasuk waktu tidur. Penelitian di Amerika tentang perilaku sedentari yang menggunakan cut off points <3 jam, 3-5,9 jam, ≥6jam, menunjukkan bahwa pengurangan aktivitas sedentari sampai dengan <3 jam per hari dapat meningkatkan umur harapan hidup sebesar 2 tahun (Katzmarzyk, P & Lee, 2012). Perilaku sedentari merupakan perilaku berisiko terhadap salah satu terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan bahkan mempengaruhi umur harapan hidup. Berikut proporsi penduduk yang melakukan aktivitas fisik “aktif” dan “kurang aktif” (Tabel 3.10.6). Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 26,1 persen. Terdapat 22 provinsi dengan penduduk aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada diatas rata-rata Indonesia. Lima tertinggi adalah provinsi penduduk DKI Jakarta (44,2%), Papua (38,9%), Papua Barat (37,8%), Sulawesi Tenggara dan Aceh (masing-masing 37,2%) 139 Tabel 3.10.6 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun sesuai jenis aktivitas fisik menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Aktivitas fisik Aktif 62,8 76,5 71,2 69,4 68,8 73,3 70,4 76,2 80,0 66,5 55,8 74,6 79,5 79,2 78,7 77,1 85,8 66,0 71,3 67,8 74,7 80,2 64,3 68,3 73,0 69,0 62,8 68,0 72,5 63,2 68,1 62,2 61,1 73,9 Kurang aktif 37,2 23,5 28,8 30,6 31,2 26,7 29,6 23,8 20,0 33,5 44,2 25,4 20,5 20,8 21,3 22,9 14,2 34,0 28,7 32,2 25,3 19,8 35,7 31,7 27,0 31,0 37,2 32,0 27,5 36,8 31,9 37,8 38,9 26,1 Tabel 3.10.7 menunjukkan hampir separuh proporsi penduduk kelompok umur ≥10 tahun dengan perilaku sedentari 3-5,9 jam (42,0%), sedangkan sedentari ≥6 jam per hari meliputi hampir satu dari empat penduduk. Lima provinsi dengan proporsi penduduk sedentari ≥6 jam adalah Riau (39,1%), Maluku Utara (34,5%), Jawa Timur (33,9%), Jawa Barat (33,0%), dan Gorontalo (31,5%). 140 Tabel 3.10.7 Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktivitas sedentari menurut karakteristik, Indonesia 2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia <3 jam 52,3 42,9 24,1 25,2 42,2 39,5 43,5 39,0 36,7 32,8 48,1 24,8 33,1 42,1 22,7 25,9 35,0 37,1 66,6 50,7 43,1 35,0 41,9 42,3 33,6 46,6 60,3 36,4 43,3 36,2 33,9 50,4 47,0 33,9 Aktivitas sedentari 3- 5,9 jam 36,6 41,3 45,5 35,7 41,2 42,8 42,0 49,4 38,9 48,9 39,0 42,2 43,2 40,7 43,5 50,2 36,3 47,8 29,9 41,3 42,3 44,7 37,8 38,9 35,5 36,2 36,0 32,1 34,4 38,2 31,6 40,8 42,9 42,0 ≥6 jam 11,2 15,7 30,3 39,1 16,5 17,8 14,5 11,7 24,4 18,3 12,9 33,0 23,1 17,1 33,9 23,9 28,7 15,1 3,5 8,0 13,9 20,4 20,2 18,8 30,9 17,2 3,1 31,5 22,3 25,5 34,5 8,8 10,1 24,1 Tabel 3.10.8 menunjukkan proporsi perilaku sedentari berdasarkan karakteristik penduduk umur ≥10 tahun. Berdasarkan kelompok umur terdapat kecenderungan semakin bertambah umur semakin menurun proporsi perilaku sedentari ≥6 jam, namun proporsi tersebut mulai meningkat pada umur ≥50 tahun. Proporsi perilaku sedentari ≥6 jam lebih banyak pada perempuan, penduduk dengan pendidikan rendah, tidak bekerja, tinggal di daerah perkotaan, dan penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan lebih tinggi dibandingkan dengan yang lebih rendah. 141 Tabel 3.10.8 Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktivitas sedentari menurut karakteristik, Indonesia 2013 Aktivitas sedentary Karakteristik <3 jam 3- 5,9 jam ≥6 jam Kelompok umur (tahun) 10-14 28,2 42,7 29,1 15-19 30,9 43,1 25,5 20-24 33,8 43,0 23,2 25-29 35,4 42,5 22,1 30-34 36,7 42,3 21,0 35-39 37,1 42,1 20,8 40-44 37,5 41,8 20,6 45-49 37,7 41,7 20,6 50-54 36,1 41,9 22,0 55-59 34,4 41,1 24,5 60-64 32,8 40,3 26,9 65+ 25,9 36,7 37,4 Jenis kelamin Laki-laki 34,7 43,1 22,2 Perempuan 33,0 40,9 26,1 Pendidikan Tidak sekolah 32,8 40,3 26,9 Tidak tamat SD 32,0 41,4 26,6 Tamat SD 33,4 42,3 24,3 Tamat SLTP 34,4 42,6 23,1 Tamat SLTA 35,4 42,1 22,4 Tamat D1-D3/PT 34,9 41,2 23,9 Pekerjaan Tidak bekerja 30,0 41,1 28,9 Pegawai 36,8 42,2 21,0 Wiraswasta 35,2 42,7 22,1 Petani/buruh/nelayan 38,8 43,4 17,8 Lainnya 36,6 40,9 22,6 Tempat tinggal Perkotaan 32,3 41,6 26,1 Perdesaan 35,4 42,5 22,1 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 37,6 41,2 21,2 Menengah bawah 33,6 42,1 24,3 Menengah 32,4 42,8 24,8 Menengah atas 33,1 41,9 25,0 Teratas 33,9 41,7 24,3 3.10.4. Perilaku konsumsi sayur dan buah Informasi frekuensi dan porsi asupan sayur dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan ‘cukup’ mengonsumsi sayur dan/atau buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ’kurang’ apabila konsumsi sayur dan/atau buah kurang dari ketentuan di atas. Riskesdas 2007 dan 2013 mengumpulkan hal yang sama 142 sehingga dapat dilakukan analisis kecenderungan proporsi penduduk umur >10 tahun yang mengonsumsi kurang sayur dan buah. Pada gambar 3.10.6 terlihat bahwa secara nasional tidak terjadi perubahan yang berarti antara data 2007 dan 2013. Perubahan yang paling menonjol terjadi di Gorontalo, dengan proporsi kurang konsumsi sayur dan buah semakin meningkat, dari 83,5 persen menjadi 92,5 persen. 100,0 93,5 95,0 90,0 93,6 85,0 80,0 DIY Lampung Papua NTT Jatim Jateng Papua Barat Maluku Maluku Utara Gorontalo Sumut Aceh Kalteng Kaltim Indonesia Kep. Riau Bali Sulut Sultra Sulteng NTB DKI Bengkulu Kalbar Jambi Banten Jabar Babel Sumsel Sulsel Sumbar Sulbar Riau Kalsel 75,0 2007 2013 Gambar 3.10.6 Kecenderungan proporsi penduduk ≥10 tahun kurang makan sayur dan buah menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 3.10.5. Pola konsumsi makanan berisiko Perilaku konsumsi makanan berisiko, antara lain kebiasaan mengonsumsi makanan/minuman manis, asin, berlemak, dibakar/panggang, diawetkan, berkafein, dan berpenyedap adalah perilaku berisiko penyakit degeneratif. Perilaku konsumsi makanan berisiko dikelompokkan ‘sering’ apabila penduduk mengonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari. Tabel 3.10.9 mempresentasikan proporsi penduduk ≥10 tahun dengan makanan berisiko menurut provinsi. Konsumsi makanan/minuman manis ≥1 kali dalam sehari secara nasional adalah 53,1 persen (Gambar 3.10.7). Lima provinsi dengan proporsi tertinggi dilaporkan di Kalimantan Selatan (70,4%), DI Yogyakarta (69,2%), Kalimantan Tengah (67,6%), Sumatera Selatan (63,3%) dan Sumatera Utara (62,5%) (Tabel 3.10.9). Proporsi nasional penduduk dengan perilaku konsumsi makanan berlemak, berkolesterol dan makanan gorengan ≥1 kali per hari 40,7 persen (Gambar 3.10.7). Lima provinsi tertinggi di atas rerata nasional adalah Jawa Tengah (60,3%), DI Yogyakarta (50,7%), Jawa Barat (50,1%), Jawa Timur (49,5%), dan Banten (48,8%). (Tabel 3.10.9). Hampir empat dari lima (Gambar 3.10.7) penduduk Indonesia mengonsumsi penyedap ≥1 kali dalam sehari (77,3%), tertinggi di Bangka Belitung (87,4%) terendah di Aceh (37,9%). (Tabel 3.10.9). Untuk mengetahui karakteristik penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan berisiko dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka. 143 Tabel 3.10.9 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi berisiko >1 kali sehari menurut provinsi, Indonesia 2013 Perilaku konsumsi berisiko ≥1 kali per hari Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Manis 52,3 62,5 48,1 54,9 52,3 63,3 42,6 59,3 42,5 60,5 61,4 50,1 62,0 69,2 47,8 47,1 22,4 32,2 30,0 58,8 67,6 70,4 60,6 53,8 49,8 50,8 44,4 51,8 52,1 62,2 50,6 61,0 42,6 53,1 Asin 12,3 15,9 6,8 15,6 22,8 37,8 21,5 32,4 7,9 8,7 20,3 45,3 30,4 12,4 24,3 33,6 6,4 10,9 8,2 30,0 23,4 16,6 15,6 5,8 9,3 19,4 11,5 8,4 30,1 9,2 13,1 9,0 11,0 26,2 Berlemak Dibakar Hewani berpengawet 21,2 21,4 34,3 25,2 17,7 26,9 21,2 21,4 22,4 34,2 47,8 50,1 60,3 50,7 49,5 48,8 18,4 26,1 7,9 25,9 41,8 35,8 23,9 42,7 30,6 25,0 17,9 44,4 17,6 33,0 38,0 27,0 20,2 40,7 3,6 2,7 2,6 4,0 3,6 2,9 2,8 1,7 6,1 4,4 4,2 3,2 2,4 2,2 2,6 3,3 2,0 5,6 4,1 3,8 5,5 4,1 4,0 11,5 17,1 10,4 12,1 15,0 11,2 12,7 11,6 11,8 48,1 4,4 4,0 2,8 4,0 6,3 3,6 3,1 4,3 2,2 2,7 3,9 6,9 5,4 3,1 4,0 3,4 3,9 4,7 4,4 2,4 6,5 5,4 5,8 5,5 2,3 1,8 4,0 3,0 1,6 1,3 6,8 3,1 4,8 8,4 4,3 144 Penyedap 37,9 44,6 48,5 78,1 74,5 79,6 84,1 82,7 87,4 75,9 77,8 87,1 83,1 77,8 80,5 82,9 72,5 84,8 69,6 74,7 81,7 82,6 69,1 75,0 76,5 77,1 68,6 74,7 64,0 82,6 66,2 70,7 48,4 77,3 Kopi 34,3 13,6 21,5 17,1 21,5 39,2 36,5 35,1 35,5 23,0 28,2 31,4 20,2 14,9 36,0 31,9 49,0 37,5 47,6 45,8 31,7 20,9 22,9 33,5 30,1 27,4 18,5 26,3 37,5 21,9 23,9 23,0 25,0 29,3 Kafein selain kopi 9,3 3,1 4,7 4,9 6,0 5,6 5,6 3,6 4,3 8,5 7,5 6,9 4,4 5,3 4,6 3,9 8,3 4,3 4,1 9,6 4,0 14,5 5,9 7,4 4,5 5,7 6,8 6,4 3,9 6,1 6,8 5,1 7,6 5,6 Daging yang diawetkan 4,3 Dibakar 4,4 Kopi non kafein 5,6 Makanan Asin 26,2 Kopi 29,3 Berlemak 40,7 Makanan Manis 53,1 Bumbu penyedap 77,3 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Gambar 3.10.7 Proporsi penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan berisiko >1 kali sehari, 2013 Analisis kecenderungan makanan berisiko tahun 2007 dan tahun 2013 hanya bisa dibandingkan berdasarkan empat kelompok konsumsi makanan berisiko, yaitu jenis makanan yang dibakar, makanan asin, makanan dan minuman manis serta makanan berbahan bumbu penyedap, Gambar 3.10.8 menunjukan kebiasaan penduduk dalam mengkonsumsi makanan dibakar, makanan,minuman manis dan pemakaian bumbu penyedap terjadi penurunan pada tahun 2013 dibandingan tahun 2007, sedangkan kebiasaan konsumsi makanan asin terjadi peningkatan. 100,0 77,8 77,3 80,0 65,2 60,0 53,1 40,0 20,0 0,0 24,5 26,2 4,9 4,4 DIBAKAR ASIN 2007 MANIS 2013 BUMBU PENYEDAP Gambar 3.10.8 Kecenderungan Penduduk umur ≥10 tahun perilaku konsumsi makanan berisiko >1 kali sehari, Indonesia tahun 2007 dan 2013 145 3.10.6. Konsumsi makanan olahan dari tepung Perilaku mengonsumsi makanan jadi dari olahan tepung juga dikumpulkan pada Riskesdas 2013. Makanan olahan dari tepung dicurigai mengandung bahan atau lapisan lilin, dan bahan pengawet. Contoh makanan jadi olahan dari tepung adalah mi instan, mi basah, roti dan biskuit. Analisis jenis makanan ini dapat dilihat pada Gambar 3.10.9. 20,0 20,0 16,0 16,0 12,0 13,4 12,0 10,1 8,0 8,0 3,8 4,0 0,0 15,6 Mie Instan 4,0 0,0 Mie Basah Roti Biskuit Gambar 3.10.9 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut frekuensi makanan bersumber tepung terigu ≥1 kali/hari Tabel 3.10.10 menunjukkan rerata penduduk Indonesia berperilaku mengonsumsi mi instan. Satu dari sepuluh penduduk mengonsumsi mi instan ≥1 kali per hari. Tujuh provinsi tertinggi yang mengonsumsi mi instan ≥1 kali per hari di atas rerata nasional adalah Sulawesi Tenggara (18,4%), Sumatera Selatan (18,2%), Sulawesi Selatan (16,9%), Papua (15,9%), Kalimantan Tengah (15,6%), Maluku dan Kalimantan Barat (14,8%). Hanya 3,8 persen penduduk mengonsumsi mi basah ≥1 kali per hari. Sebanyak 13,4 persen penduduk Indonesia mengonsumsi biskuit ≥1 kali per hari. Proporsi penduduk mengonsumsi biskuit berada diatas rerata nasional yaitu Kepulauan Riau (29,8%), Sumatera Utara (21,1%), DKI Jakarta (19,6%), Sumatera Barat (18,7%), Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (masing-masing 17,2%) Informasi yang sama menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka. 146 Tabel 3.10.10 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung >1 kali sehari menurut provinsi, Indonesia, 2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Makanan olahan tepung ≥1 kali per hari Biskuit Mi Instant Mi Basah Roti 9,6 6,7 17,1 15,9 5,6 3,6 25,0 21,1 4,1 3,0 23,2 18,7 9,9 4,7 19,2 16,0 10,3 5,2 19,2 15,0 18,2 3,1 12,1 9,5 7,5 2,5 9,3 8,3 6,4 2,4 7,9 8,2 14,2 3,4 18,1 13,1 10,0 3,0 34,2 29,8 12,4 4,8 24,1 19,6 13,8 5,7 16,4 14,6 6,5 2,6 12,3 11,1 5,1 1,6 16,2 13,4 6,7 2,3 9,4 8,3 11,8 3,3 19,0 14,6 5,3 1,7 20,5 16,2 13,9 4,4 14,3 13,1 7,7 2,4 8,0 7,3 14,8 5,1 18,9 16,9 15,6 4,3 14,7 14,6 13,5 3,0 20,3 17,2 12,6 4,6 17,7 17,2 5,8 4,0 20,9 15,2 10,9 2,3 12,6 11,8 16,9 6,4 14,6 14,7 18,4 4,8 20,0 13,2 5,5 2,6 10,7 10,3 9,6 2,5 10,0 8,5 14,8 4,4 43,1 15,7 11,2 3,0 24,2 16,2 11,6 5,2 15,2 10,8 15,9 6,6 11,1 12,1 10,1 3,8 15,6 13,4 3.10.7. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) Indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terdiri dari sepuluh indikator yang mencakup perilaku individu dan gambaran rumah tangga (Promkes 2009). Data PHBS pada tahun 2007 mengacu pada indikator PHBS yang sudah ditetapkan tahun 2004. Pada Indikator individu meliputi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, bayi 0-6 bulan mendapat ASI eksklusif, kepemilikan/ketersediaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, penduduk tidak merokok, penduduk cukup beraktivitas fisik, dan penduduk cukup mengonsumsi sayur dan buah. Indikator Rumah Tangga meliputi rumah tangga memiliki akses terhadap air bersih, akses jamban sehat, kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni (≥8m 2/ orang), dan rumah tangga dengan lantai rumah bukan tanah. Pada PHBS tahun 2007 untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 147 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 8 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah delapan (8) PHBS diklasifikasikan “kurang” apabila mendapatkan nilai kurang dari enam (6) untuk rumah tangga mempunyai balita dan nilai kurang dari lima (5) untuk rumah tangga tanpa balita. Pada tahun 2011 telah dibuat indikator PHBS yang baru dan sedikit berbeda dengan indikator PHBS ditetapkan sebelumnya. Indikator PHBS yang ditetapkan pada tahun 2011 oleh Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan mencakup 10 indikator yang meliputi :1) Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan; 2) melakukan penimbangan bayi dan balita; 3) memberikan ASI eksklusif; 4) penggunaan air bersih; 5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; 6) memberantas jentik nyamuk; 7) memakai jamban sehat; 8) makan buah dan sayur setiap hari; 9) melakukan aktivitas fisik setiap hari; 10) tidak merokok dalam rumah. Pada PHBS tahun 2013 untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 7 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah tujuh. Penilaian PHBS rumah tangga baik diukur dengan batasan yang sama dengan penilaian rumah tangga PHBS tahun 2007. Kriteria rumah tangga dengan PHBS baik adalah rumah tangga yang memenuhi indikator baik, sebesar 6 indikator atau lebih untuk rumah tangga yang punya balita dan 5 indikator atau lebih untuk rumah tangga yang tidak mempunyai balita, Jumlah sampel rumah tangga dalam analisis PHBS ini adalah sebesar 294.959 (220.895 rumah tangga tanpa balita dan 74.064 rumah tangga yang memiliki balita). Dalam Riskesdas 2013 indikator yang dapat digunakan untuk PHBS sesuai dengan kriteria PHBS yang ditetapkan oleh Pusat Promkes pada tahun 2011, yaitu mencakup delapan indikator individu (cuci tangan, BAB dengan jamban, konsumsi sayur dan buah, aktivitas fisik, merokok dalam rumah, persalinan oleh tenaga kesehatan, memberi ASI eksklusif, menimbang balita), dan dua indikator rumah tangga (sumber air bersih dan memberantas jentik nyamuk). Pengertian indikator yang digunakan dalam PHBS Riskesdas 2013 ini adalah sebagai berikut: 1. Persalinan oleh tenaga kesehatan, Data ini didapatkan dari data persalinan yang terakhir yang ditolong oleh tenaga kesehatan dari riwayat persalinan dalam tiga tahun terakhir sebelum survei (kurun waktu tahun 2010 sampai tahun 2013) 2. Melakukan penimbangan bayi dan balita, Indikator ini menggunakan variabel individu usia 0 sampai 59 bulan yang mempunyai riwayat pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir 3. Memberikan ASI eksklusif, Indikator ini menggunakan data dari riwayat pernah diberikan ASI eksklusif diantara individu baduta usia 0 – 23 bulan. Pengertian pemberian ASI eksklusif dalam analisis ini adalah bayi usia ≤6 bulan yang hanya mendapatkan ASI saja dalam 24 jam terakhir saat wawancara atau individu baduta yang pertama kali diberi minuman atau makanan berumur enam bulan atau lebih 4. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, Indikator mencuci tangan dengan benar mencakup mencuci tangan dengan air bersih dan sabun saat sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor, setelah buang air besar, setelah menggunakan pestisida (bila menggunakan), setelah menceboki bayi dan sebelum menyusui bayi (bila sedang menyusui) 5. Memakai jamban sehat, Perilaku menggunakan jamban sehat diukur dari perilaku buang air besar menggunakan jamban saja 6. Melakukan aktivitas fisik setiap hari, Indikator ini diukur berdasarkan individu yang biasa melakukan aktivitas fisik berat atau sedang dalam tujuh hari seminggu 7. Konsumsi buah dan sayur setiap hari, Perilaku konsumsi buah dan sayur diukur berdasarkan individu yang biasa konsumsi buah dan sayur selama tujuh hari dalam seminggu 148 8. Tidak merokok dalam rumah, Pengertian tidak merokok di dalam rumah adalah individu yang tidak mempunyai kebiasaan merokok di dalam rumah pada saat ada anggota rumah tangga lainnya serta memperhitungkan juga rumah tangga yang tidak ada anggota rumah tangga yang merokok 9. Penggunaan air bersih, Perilaku menggunakan air bersih didapatkan dari data rumah tangga yang menggunakan sumber air bersih dengan kategori baik untuk seluruh keperluan rumah tangga 10. Memberantas jentik nyamuk, Rumah tangga dengan perilaku memberantas jentik nyamuk dalam indikator ini adalah rumah tangga yang menguras bak mandi satu kali atau lebih dalam seminggu atau yang tidak menggunakan bak mandi dan tidak mandi di sungai Beberapa indikator yang digunakan dalam Riskesdas 2013 ini berbeda dengan indikator yang digunakan dalam Riskesdas 2007, sehingga tidak bisa menggambarkan kecenderungan kenaikan atau penurunan proporsi rumah tangga ber-PHBS. Berikut adalah proporsi rumah tangga dengan 10 indikator PHBS yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013. Persalinan nakes 87,6 Sumber air bersih baik 82,2 BAB di jamban 81,9 Tidak merokok di dalam rumah 78,8 Perilaku cegah jentik 77,4 Menimbang balita 68,0 Aktifitas fisik tiap hari 52,8 Cuci tangan dengan benar 47,2 Memberi ASI eksklusif Konsumsi sayur dan buah tiap hari 38,0 10,7 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 90,0 100,0 Gambar 3.10.10 Proporsi RT melakukan PHBS menurut 10 indikator, 2013 Ada perbedaan angka pada indikator PHBS dengan cakupan pada pelayanan kesehatan, antara lain: 1) penolong persalinan oleh nakes, reproduksi ditampilkan data 3 tahun terakhir dan data yang digunakan adalah data penolong persalinan terakhir; 2) ASI 24 jam untuk kelompok umur 6 bulan merupakan data bayi yang mendapatkan ASI saja dalam 24 jam terakhir dan tidak diberikan makanan prelakteal, sedangkan pada anak usia 6–59 bulan ditanyakan pada usia berapa pertama kali diberikan makanan tambahan; 3) penimbangan balita adalah frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan terakhir; 4) sumber air bersih “baik” adalah air bersih yang digunakan RT selain air minum; 5) aktivitas fisik mencakup aktivitas fisik “berat” atau 149 “sedang” setiap hari tanpa memperhitungkan lama beraktivitas; 6) konsumsi buah dan sayur adalah konsumsi buah dan sayur setiap hari tanpa memperhitungkan jumlah porsi. 100,0 80,0 60,0 40,0 32,3 0,0 Papua Aceh NTT Sumbar Lampung Jambi Kalbar Bengkulu Riau Sultra Sumsel Kalteng NTB Sumut Sulteng Maluku Kalsel Sulbar Malut Pabar INDONESIA Babel Jatim Jabar Kep.Riau Banten Kaltim Gorontalo Sulsel Jateng Sulut DIY Bali DKI 20,0 Catatan: PHBS baik adalah ruta yang memenuhi kriteria >= enam indikator untuk rumah tangga dengan balita dan >=5 indikator untuk rumah tangga tidak punya balita, Gambar 3.10.11 Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut provinsi, Indonesia 2013 Gambar 3.10.11 menunjukkan bahwa proporsi nasional rumah tangga dengan PHBS baik adalah 32,3 persen, dengan proporsi tertinggi pada DKI Jakarta (56,8%) dan terendah pada Papua (16,4%). Terdapat 20 dari 33 provinsi yang masih memiliki rumah tangga PHBS baik di bawah proporsi nasional. Proporsi nasional rumah tangga PHBS pada tahun 2007 adalah sebesar 38,7%. Gambar 3.10.12 menyajikan proporsi rumah tangga dengan PHBS baik lebih tinggi di perkotaan (41,5%) dibandingkan di perdesaan (22,8%). Proporsi rumah tangga dengan PHBS baik meningkat dengan semakin tingginya kuintil indeks kepemilikan (terbawah 9,0%, teratas 48,3%). 60,0 50,0 48,3 42,3 41,3 40,0 35,2 30,0 24,5 22,9 20,0 9,2 10,0 0,0 Perkotaan Perdesaan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Gambar 3.10.12 Proporsi rumah tangga memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut karakteristik, Indonesia 2013 150 3.11. Pembiayaan kesehatan Endang Indriasih dan Anni Yulianty Salah satu tujuan sistem kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan (health status), ketanggapan (responsiveness), dan keadilan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan (fairness of financing, WHO, 2000). Pada topik ini dikumpulkan informasi tentang jenis kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan, pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan, dan sumber pembiayaan yang paling sering dimanfaatkan penduduk beserta besaran biaya yang dikeluarkannya. Pembiayaan kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan upaya kesehatan/memperbaiki keadaan kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Tujuan dari pembiayaan kesehatan adalah untuk menjamin dana yang cukup, tidak hanya bagi penyedia pelayanan kesehatan, namun juga seluruh penduduk dapat memiliki akses kepada upaya pelayanan kesehatan masyarakat dan perorangan yang efektif dan berkualitas.(WHO,2000) Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan, yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah (Perpres no 12 tahun 2013). Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 130 bahwa pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Unsur-unsur pembiayaan terdiri atas sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan. Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, dan sumber lain. Syarat pokok pembiayaan kesehatan meliputi: (1) jumlah harus memadai untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan tidak menyulitkan masyarakat yang memanfaatkan; (2) distribusinya harus sesuai dengan kebutuhan untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan; serta (3) pemanfaatannya harus diatur setepat mungkin agar tercapai efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang optimal (UU No. 36, 2009). Pada Riskesdas 2013, analisis pembiayaan kesehatan meliputi kepemilikan jaminan kesehatan serta pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap berikut sumber dan besaran biayanya. Sumber biaya dibedakan menjadi biaya sendiri, asuransi kesehatan sosial (meliputi Askes PNS, Pensiun, Veteran, TNI/Polri), Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), dan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda). 3.11.1. Kepemilikan jaminan kesehatan Hasil analisis memberikan informasi tentang proporsi penduduk yang telah tercakup maupun yang tidak tercakup jaminan kesehatan. Jenis jaminan kesehatan terdiri dari; asuransi kesehatan (PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementerian Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda. Untuk kepentingan analisis Askes dan ASABRI dimasukkan dalam satu kelompok dikarenakan pemerintah juga membayar sebagian dari iuran jaminan tersebut. 151 Tabel 3.11.1 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Jenis Jaminan Kesehatan Askes/ ASABRI 8,8 5,6 8,7 5,2 8,1 5,6 9,3 5,0 8,7 4,8 4,8 4,7 5,1 11,9 5,1 4,8 7,3 5,2 7,1 5,5 9,7 7,4 6,7 11,3 9,5 7,7 10,8 9,3 6,6 10,9 9,6 8,8 8,2 6,0 Jamsostek 1,5 5,4 1,6 5,6 2,9 3,4 3,3 1,4 3,3 20,3 10,1 5,7 3,0 4,7 3,6 8,7 5,5 0,6 0,1 1,7 2,9 5,5 12,5 4,3 1,7 2,3 1,0 1,5 1,4 1,6 1,1 2,9 1,5 4,4 Askes Swasta 0,4 1,4 1,0 3,0 0,9 1,6 0,7 0,7 2,1 4,0 6,2 2,1 1,1 3,7 1,2 3,7 3,9 0,3 0,3 0,6 0,6 1,1 2,1 1,4 0,2 0,6 0,2 0,7 0,1 0,6 0,4 0,3 1,8 1,7 Perusahaan 0,5 1,9 0,4 2,9 0,6 1,4 0,5 1,2 1,2 5,7 4,7 2,3 0,9 2,5 1,0 4,3 3,5 0,2 0,1 0,9 4,4 1,0 2,7 0,7 0,3 0,5 0,3 0,2 1,2 0,1 0,2 0,7 2,3 1,7 Jamkesmas Jamkesda 56,7 23,3 26,1 15,4 23,9 21,6 28,5 33,9 13,0 13,5 3,4 29,4 35,8 41,0 28,3 23,9 12,4 40,4 58,6 22,2 16,8 15,9 15,4 32,3 31,2 31,4 34,0 47,6 39,0 37,5 26,3 62,1 50,9 28,9 30,8 4,1 9,3 13,9 2,2 25,8 0,7 15,1 45,5 7,9 6,3 3,4 2,9 7,7 1,3 2,9 67,7 4,1 2,8 12,5 26,4 9,6 35,4 3,5 7,7 49,2 11,0 15,3 15,8 5,6 10,6 6,4 26,0 9,6 Tidak punya 3,4 59,3 53,6 57,8 61,9 45,7 57,7 46,7 34,0 48,3 69,1 54,7 52,9 32,5 60,5 54,5 11,0 49,4 31,7 58,6 46,4 60,9 30,2 48,0 50,5 14,0 43,8 26,6 41,4 44,5 52,5 26,3 34,8 50,5 Tabel 3.11.1 menunjukkan 50,5 persen penduduk Indonesia belum memiliki jaminan kesehatan. Askes/ASABRI dimiliki oleh sekitar 6 persen penduduk, Jamsostek 4,4 persen, asuransi kesehatan swasta dan tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 1,7 persen. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (28,9%) dan Jamkesda (9,6%). Dari data tersebut juga menyiratkan adanya kepemilikan jaminan lebih dari satu jenis jaminan untuk individu yang sama. Kepemilikan jaminan kesehatan penduduk menurut provinsi sangat bervariasi. Provinsi Aceh menjadi provinsi yang paling tinggi cakupan kepemilikan jaminan diantara provinsi lain, yaitu sekitar 96,6 persen penduduk atau hanya 3,4 persen yang tidak punya jaminan apapun. Sebaliknya DKI Jakarta menjadi provinsi dengan cakupan kepemilikan jaminan kesehatan yang paling rendah dengan 69,1 persen penduduk tidak punya jaminan. 152 Walaupun DKI Jakarta diketahui tidak masuk dalam kuota program Jamkesmas, namun terdapat 3,4 persen penduduk yang menyatakan memiliki Jamkesmas. Empat provinsi dengan cakupan kepemilikan jaminan kesehatan kurang dari 40 persen adalah DKI Jakarta, Jambi, Kalimantan Selatan, dan Jawa Timur. Tabel 3.11.2 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik, Indonesia 2013 Jenis Jaminan Kesehatan Karakteristik Kelompok umur (tahun) 0-4 5 -14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+ Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Askes/ ASABRI Jamsostek Askes Swasta Jamkesmas Jamkesda Tidak punya 3,1 4,4 5,9 4,1 5,9 10,4 10,1 10,0 8,4 4,0 3,3 4,9 7,7 5,6 2,9 1,0 0,3 0,2 1,8 1,5 1,4 2,4 2,3 1,6 1,0 0,5 0,3 1,8 1,5 1,7 2,5 2,1 1,6 0,7 0,4 0,2 19,1 31,6 28,1 26,9 30,3 29,9 31,6 35,0 35,3 9,5 9,9 9,3 9,9 1,,0 9,2 9,3 9,0 8,3 62,6 50,2 51,5 50,3 47,3 47,2 48,2 46,6 48,7 6,9 21,2 3,6 0,7 5,4 3,1 18,9 3,0 1,7 2,8 1,4 6,1 2,1 0,2 1,2 1,4 6,8 0,9 0,5 0,9 30,0 11,6 22,1 41,1 29,6 9,7 7,1 10,0 10,0 11,0 49,9 36,0 60,1 48,1 51,6 8,4 3,5 7,1 1,7 3,1 0,3 2,8 0,6 22,1 35,7 8,4 10,8 51,3 49,8 0,5 1,2 2,7 6,5 17,0 0,3 1,3 2,9 7,1 8,6 0,1 0,2 0,5 1,4 5,8 0,2 0,4 0,9 2,1 4,5 50,3 43,0 32,1 18,8 8,9 10,1 8,4 8,4 9,6 11,5 41,7 47,6 54,3 56,8 48,3 Perusahaan Tabel 3.11.2 menggambarkan kepemilikan jaminan menurut karakteristik penduduk meliputi kelompok umur, pekerjaan, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut tempat tinggal, penduduk di perkotaan lebih banyak yang memiliki jaminan kesehatan dibanding di perdesaan, terutama untuk jenis selain jamkesmas dan jamkesda. Sebaliknya, kepemilikan Jamkesmas dan Jamkesda lebih tinggi di perdesaan dibanding perkotaan. Kondisi kepemilikan jaminan menurut kelompok umur memberikan gambaran yang bervariasi antar kelompok bayi, balita, anak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Kelompok umur di bawah 5 tahun adalah kelompok tertinggi yang tidak memiliki jaminan (62,6%), sedangkan kelompok umur diatas 55 tahun kepemilikan jaminan pada kisaran 46,6 persen sampai 48,7 persen sementara pada kelompok umur selain balita dan lanjut usia, juga masih tinggi atau diatas 46 persen yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Kepemilikan jaminan kesehatan menurut status pekerjaan menunjukkan kelompok tertinggi yang tidak memiliki jaminan adalah kelompok wiraswasta (60,1%), sedangkan yang terendah adalah pegawai (36%). Kelompok wiraswasta ini terdiri dari pedagang besar ataupun eceran, sedangkan untuk kelompok pegawai terdiri dari pegawai formal ataupun non formal. Sebanyak 48,1 persen 153 kelompok petani/nelayan dan buruh masih belum memiliki jaminan kesehatan apapun, sementara bagi yang telah memiliki jaminan sebagian besar adalah Jamkesmas atau Jamkesda. Sedangkan bagi penduduk yang tidak bekerja 49,9 persen diantaranya belum memiliki jaminan. Menurut kuintil indeks kepemilikan, Jamkesmas dimiliki oleh kelompok penduduk terbawah, menengah bawah dan menengah, masing-masing sebesar 50,3 persen, 43,0 persen dan 32,1 persen. Akan tetapi Jamkesmas dimiliki juga pada penduduk menengah atas (18,8%) dan teratas (8,9%). Berbeda dengan Jamkesmas, kepemilikan Jamkesda tidak terlalu bervariasi untuk masing-masing kelompok penduduk berdasarkan kuintil indeks kepemilikan. Pada jenis jaminan kesehatan selain Jamkesmas dan Jamkesda, kecenderungan kepemilikan jaminan kesehatan lebih banyak pada indeks kuintil kepemilikan teratas. 3.11.2. Mengobati sendiri Pola pencarian pengobatan seseorang dikategorikan dalam mengobati sendiri, memanfaatkan rawat jalan, dan memanfaatkan rawat inap. Informasi mengobati sendiri didapatkan dengan mengetahui perilaku seseorang yang pernah mengobati sendiri dengan cara membeli obat di apotik atau toko obat tanpa resep dalam satu bulan terakhir. Besaran biaya juga ditanyakan dan hasil analisis merupakan rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir dengan menggunakan median. Gambar 3.11.1 menggambarkan proporsi penduduk Indonesia yang mengobati diri sendiri dalam satu bulan terakhir dengan membeli obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep dokter adalah 26,4 persen dengan rerata pengeluaran sebesar Rp.5.000. Gorontalo merupakan provinsi tertinggi (38.1%) dengan rerata pengeluaran sebesar Rp.2.000. Sebaliknya, Papua merupakan provinsi dengan proporsi terendah (8.7%) namun dengan rerata pengeluaran terbesar yaitu sebesar Rp.20.000. Tabel 3.11.3 menggambarkan bahwa penduduk daerah perkotaan lebih banyak yang mengobati sendiri dengan cara membeli obat di toko obat atau diwarung (28.5%) dari pada perdesaan (24,2%). Dari segi biaya, rerata biaya yang dikeluarkan perkotaan juga lebih besar, yaitu sebesar Rp.5.000, nilai yang sama dengan angka nasional. Di perdesaan, rerata biaya yang dikeluarkan untuk mengobati sendiri dengan membeli obat sebesar Rp.3.000. Tabel 3.11.3 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biayanya menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Mengobati diri sendiri % Rp Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas 28,5 24,2 5.000 3.000 24,9 27,0 27,8 27,8 23,8 2.000 3.000 4.000 5.000 10.000 Menurut kuintil indeks kepemilikan, kelompok teratas merupakan kelompok yang terbawah untuk mengobati sendiri (23.8%) namun dari sisi biaya yang dikeluarkan adalah terbesar diantara lainnya yaitu Rp.10.000. 154 Utilisasi Gorontalo Kalsel Jatim Sulteng DKI DIY Jabar Sulsel Jateng Banten Babel Indonesia Malut Kalteng Aceh Maluku Sulut NTB Kep.Riau Sultra Kaltim Sulbar NTT Pabar Sumut Sumsel Bali Jambi Kalbar Sumbar Riau Lampung Bengkulu Papua Besar biaya Gorontalo Kalsel Jatim Sulteng DKI DIY Jabar Sulsel Jateng Banten Babel Indonesia Malut Kalteng Aceh Maluku Sulut NTB Kep.Riau Sultra Kaltim Sulbar NTT Pabar Sumut Sumsel Bali Jambi Kalbar Sumbar Riau Lampung Bengkulu Papua 38,1 26,4 8,7 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 2.000 5.000 20.000 0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 Gambar 3.11.1 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biayanya menurut provinsi, Indonesia 2013 3.11.3. Rawat Jalan Pelayanan rawat jalan adalah semua pelayanan kepada pasien untuk observasi, diagnosis, pengobatan dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa tinggal dirawat inap. Pemanfaatan atau utilisasi fasilitas kesehatan ditanyakan dalam satu bulan terakhir termasuk besaran biayanya. Hasil analisis disajikan secara umum tanpa melihat jenis fasilitas kesehatan dan besar biaya merupakan rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir (rawat jalan) dengan menggunakan median. Pemanfaatan rawat jalan menurut fasilitas kesehatan dapat dibaca dalam Buku Laporan Riskedas 2013 dalam angka. 155 Utilisasi DIY Papua Aceh Jatim Bali Jateng Gorontalo NTT Jabar Sulsel Indonesia Babel Pabar Banten NTB DKI Kep.Riau Kaltim Sultra Sulut Maluku Sulteng Sumbar Malut Kalsel Sumut Kalteng Lampung Sumsel Riau Kalbar Jambi Sulbar Bengkulu Besar biaya 16,3 10,4 3,5 0,0 5,0 10,0 15,0 DIY Papua Aceh Jatim Bali Jateng Goront… NTT Jabar Sulsel Indonesia Babel Pabar Banten NTB DKI Kep.Riau Kaltim Sultra Sulut Maluku Sulteng Sumbar Malut Kalsel Sumut Kalteng Lampung Sumsel Riau Kalbar Jambi Sulbar Bengkulu 35.000 0 50.000 20,0 35.000 35.000 100.000 150.000 Gambar 3.11.2 Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan provinsi, Indonesia 2013 Gambar 3.11.2 menggambarkan 10,4 persen penduduk Indonesia dalam satu bulan terakhir melakukan rawat jalan dan rerata biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.35.000. Penduduk DI Yogyakarta merupakan provinsi tertinggi yang melakukan rawat jalan (16,3%) dengan rerata biaya sebesar Rp.35.000. Penduduk Bengkulu merupakan yang terendah dalam memanfaatkan fasilitas rawat jalan (3,5%) dengan pengeluaran rerata sebesar Rp.35.000. Sedangkan di Papua, 14.4 persen penduduk memanfaatkan rawat jalan dengan rerata biaya sebesar Rp.100.000 yang juga merupakan pengeluaran tertinggi, jika dibandingkan dengan provinsi lainnya. 156 Tabel 3.11.4 Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Rawat Jalan % Rp Kelompok umur (tahun) 0-4 16,9 30.000 5-14 8,6 30.000 15-24 6,8 35.000 25-34 8,8 35.000 35-44 9,7 37.000 45-54 12,3 40.000 55-64 14,3 45.000 65-74 16,5 40.000 75+ 16,8 40.000 Tempat tinggal Perkotaan 10,6 45.000 Perdesaan 10,2 30.000 Indeks Kuintil Kepemilikan Terbawah 9,6 25.000 Menengah bawah 10,8 30.000 Menengah 11,1 30.000 Menengah atas 10,8 40.000 Teratas 9,5 60.000 Tabel 3.11.4. menggambarkan pemanfaatan rawat jalan di berbagai fasilitas kesehatan dalam satu bulan terakhir. Sebanyak 16,9 persen balita melakukan rawat jalan dan kelompok ini merupakan kelompok proporsi tertinggi yang melakukan rawat jalan dengan rerata biaya sebesar Rp.30.000, sebaliknya penduduk umur 15-24 tahun adalah kelompok terendah. Makin bertambah umur, penduduk makin banyak yang memanfaatkan rawat jalan dan rerata biayanya pun cenderung semakin besar. Penduduk umur 55–64 tahun adalah kelompok dengan rerata pengeluaran rawat jalan terbesar (Rp.45.000) dan proporsi sebanyak 14,3 persen. Pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap di perkotaan dan perdesaan tidak terlalu berbeda, namun untuk rerata biaya yang dikeluarkan dalam satu bulan terakhir untuk rawat jalan di perkotaan sebesar Rp.45.000, sedangkan di perdesaan sebesar Rp.30.000. Menurut kuintil indeks kepemilikan, rerata pengeluaran untuk rawat jalan paling tinggi pada kelompok penduduk kuintil teratas (Rp.60.000) dengan proporsi pemanfaatan terendah (9,5%). Pemanfaatan tertinggi rawat jalan terdapat pada kuintil menengah dengan rerata pengeluaran sebesar Rp. 30.000. 3.11.4. Rawat inap Rawat Inap menurut Azwar Azrul (1996:73) adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan kedokteran intensif (hospitalization) yang diselenggarakan oleh rumah sakit, rumah sakit bersalin, maupun rumah bersalin. Pemanfaatan rawat inap ditanyakan dalam kurun waktu dua belas bulan terakhir. Hasil analisis dsajikan secara umum tanpa melihat jenis fasilias kesehatan dan besar biaya merupakan rerata total besar biaya dalam dua belas bulan terakhir dengan menggunakan median. Pemanfaatan rawat inap menurut fasilitas kesehatan dapat dibaca dalam Buku Riskedas 2013 dalam angka. 157 Besar biaya Utilisasi DIY Sulsel Jatim Jateng NTB Gorontalo Sulteng Kep.Riau Bali Sulut Aceh Indonesia NTT DKI Babel Pabar Kaltim Kalsel Jabar Papua Banten Malut Sumbar Maluku Sultra Kalteng Sumsel Sumut Sulbar Jambi Riau Kalbar Lampung Bengkulu 4,4 2,3 0,9 0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 DIY Sulsel Jatim Jateng NTB Gorontalo Sulteng Kep.Riau Bali Sulut Aceh Indonesia NTT DKI Babel Pabar Kaltim Kalsel Jabar Papua Banten Malut Sumbar Maluku Sultra Kalteng Sumsel Sumut Sulbar Jambi Riau Kalbar Lampung Bengkulu 2.000.000 1.700.000 1.000.000 0 2.000.000 4.000.000 6.000.000 Gambar 3.11.3 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan provinsi, Indonesia 2013 Gambar 3.11.3 menggambarkan 2,3 persen penduduk Indonesia dalam dua belas bulan terakhir melakukan rawat inap dan rerata biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.1.700.000. Penduduk DI Yogyakarta ternyata selain tertinggi dalam pemanfaatan rawat jalan juga tertinggi untuk pemanfaatan rawat inap yaitu sebesar 4,4 persen dengan rerata biaya dalam satu tahun terakhir sebesar Rp.2.000.000 disusul oleh Sulawesi Selatan (3,4%) dengan rerata biaya sebesar Rp.800.000. Penduduk Bengkulu, Lampung, dan Kalimantan Barat merupakan tiga terendah untuk pemanfaatan rawat inap, yaitu masing-masing 0,9 persen. Rerata biaya di tiga provinsi tersebut berbeda-beda, Bengkulu sebesar Rp.1.000.000, Lampung Rp.2.000.000, dan Kalimantan Barat sebesar Rp.1.450.000. Pengeluaran untuk rawat inap terbesar adalah di DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp.5.000.000. 158 Tabel 3.11.5 Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Rawat Inap % Rp Kelompok umur (tahun) 0-4 2,8 1.300.000 5-14 1,3 1.200.000 15-24 2,1 1.500.000 25-34 2,5 1.800.000 35-44 2,2 2.000.000 45-54 2,5 2.000.000 55-64 3,4 2.100.000 65-74 4,3 2.500.000 75+ 4,4 2.200.000 Tempat tinggal Perkotaan 2,7 2.100.000 Perdesaan 2,0 1.000.000 Indeks Kuintil Kepemilikan Terbawah 1,5 575.000 Menengah bawah 2,0 830.000 Menengah 2,2 1.495.000 Menengah atas 2,6 2.000.000 Teratas 2,9 3.000.000 Tabel 3.11.5. menggambarkan sebesar 2,8 persen balita memanfaatkan rawat inap dan jumlah tersebut lebih tinggi daripada angka nasional (2,3%). Kelompok usia lanjut merupakan kelompok tertinggi yang memanfaatkan fasilitas rawat inap dan juga besaran biayanya. Pemanfaatan rawat jalan di perkotaan dan perdesaan tidak terlalu berbeda, namun untuk rerata biaya rawat inap dua belas bulan terakhir di perkotaan sebesar Rp.2.100.000. Jumlah tersebut sekitar dua kali lipat rerata biaya rawat inap di perdesaan, yaitu sebesar Rp.1.000.000. Menurut kuintil indeks kepemilikan, kelompok penduduk kuintil teratas merupakan kelompok paling tinggi dalam pemanfaatan rawat inap (2,9%) dan pengeluaran sebesar Rp.3.000.000. 3.11.5. Sumber pembiayaan Sumber biaya kesehatan menurut SKN terdiri dari biaya pemerintah dan masyarakat. Riskesdas 2013 memberikan informasi tentang proporsi sumber biaya kesehatan penduduk yang memanfaatkan rawat jalan dalam satu bulan terakhir dan atau rawat inap dalam dua belas bulan terakhir. Sumber biaya dikelompokkan menjadi: biaya sendiri, asuransi kesehatan (PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementerian Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda. 159 Lebih dari 1 sumber 1,1 Sumber lainnya 3,3 Perusahaan 1,8 Jamkesda 5,8 Jamkesmas 14,2 Asuransi Swasta 0,7 Jamsostek 2,0 Askes/ASABRI 3,2 Biaya sendiri 67,9 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Gambar 3.11.4 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat jalan, Indonesia 2013 Gambar 3.11.4 memperlihatkan bahwa sumber biaya rawat jalan secara keseluruhan untuk Indonesia masih didominasi (67,9%) pembiayaan yang dibayar oleh pasien sendiri atau keluarga (out of pocket), kemudian berturut-turut disusul pembiayaan oleh Jamkesmas (14,2%) dan Jamkesda (5,8%), dan terendah adalah pembiayaan oleh asuransi swasta (0.7%). Sumber biaya rawat jalan dari Askes/ASABRI sebesar 3,2 persen, Jamsostek 2 persen, tunjangan kesehatan Perusahaan 1,8 persen, sumber lainnya 3,3 persen dan sebanyak 1,1 persen dibiayai lebih dari satu sumber. Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan provinsi dapat dibaca dalam Buku Laporan Riskesdas 2013 dalam angka. Tabel 3.11.6 memperlihatkan bahwa menurut tempat tinggal, sumber biaya rawat jalan pada semua jenis fasilitas kesehatan dari berbagai jaminan kesehatan baik Askes, ASABRI, JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, dan tunjangan kesehatan perusahaan lebih banyak dimanfaatkan di daerah perkotaan. Di daerah perdesaan lebih banyak memanfaatkan Jamkesmas dan Jamkesda. Menurut kuintil indeks kepemilikan, sumber biaya rawat jalan untuk semua jenis fasilitas kesehatan yang berasal dari biaya sendiri pada semua kelompok penduduk mempunyai proporsi lebih dari 57 persen. Pada penduduk kuintil terbawah didapati 57,3 persen melakukan rawat jalan dengan biaya sendiri atau tanpa jaminan kesehatan apapun dan pada penduduk teratas terdapat 68,5 persen. Sumber biaya rawat jalan dari Jamkesmas yang tertinggi adalah pada penduduk kuintil terbawah (30,7%), sebaliknya pada penduduk kuintil teratas ada 3,4 persen yang menggunakannya. Proporsi dan pemanfaatan sumber biaya rawat jalan dari Askes, ASABRI, JPK-Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, dan tunjangan kesehatan perusahaan cenderung meningkat pada kuintil indeks kepemilikan yang semakin tinggi. Sedangkan 160 pemanfaatan sumber biaya dari Jamkesda menunjukan variasi yang tidak terlalu berbeda antar karakteristik penduduk baik menurut tempat tinggal maupun kuintil indeks kepemilikan. Tabel 3.11.6 Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan karakteristik, Indonesia 2013 Sumber Biaya Rawat inap Semua Fasilitas Karakteristik Biaya Askes/ Asuransi Sumber Sendiri ASABRI Jamsostek Swasta Jamkesmas Jamkesda Perusahaan Lainnya Tempat tinggal 11,5 5,7 Kota 66,3 4,5 3,1 1,2 2,9 3,8 17,1 5,9 Desa 69,6 1,8 0,8 0,2 0,7 2,8 Kuintil indeks kepemilikan 30,7 6,2 Terbawah 57,3 0,4 0,2 0,0 0,3 2,8 20,6 5,0 Menengah bawah 68,0 0,8 0,6 0,1 0,8 3,2 14,5 5,5 Menengah 71,1 1,5 1,2 0,2 1,0 4,1 8,1 6,6 Menengah atas 70,2 3,9 3,4 0,8 2,3 3,7 3,4 5,7 Teratas 68,5 8,9 3,5 2,1 4,3 2,3 Lebih dari 1 Sumber Gambar 3.11.5 memperlihatkan bahwa sumber biaya yang dipakai untuk rawat inap pada semua fasilitas kesehatan di Indonesia masih didominasi oleh biaya sendiri (out of pocket), yaitu sekitar 53,5 persen. Kondisi ini dimungkinkan karena masih sekitar 50,5 persen penduduk Indonesia belum memiliki jaminan kesehatan. Sebanyak 11 provinsi memiliki persentase out of pocket diatas angka nasional (Tabel 3.11.13). Pola pemanfaatan jaminan kesehatan sebagai sumber biaya untuk rawat jalan dan rawat inap tidak berbeda. 4,8 4 4,9 6,4 53,5 15,6 1,8 3,5 5,4 Biaya sendiri Askes/ASABRI Jamsostek Asuransi Swasta Jamkesmas Jamkesda Perusahaan Sumber lainnya Lebih dari 1 sumber Gambar 3.11.5 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap, Indonesia 2013 161 1,1 1,1 2,0 0,8 0,9 0,9 1,2 Selanjutnya, sumber biaya yang paling banyak digunakan untuk rawat inap berturut-turut adalah Jamkesmas 15,6 persen, Jamkesda 6,4 persen, Askes/ASABRI 5,4 persen, sebanyak 4,9 persen penduduk indonesia yang rawat inap menggunakan lebih dari satu sumber biaya dan 4,8 persen dari sumber lainnya. Sementara itu sumber biaya untuk rawat inap dari Jamsostek digunakan oleh 3,5 persen, 1,8 persen dari Asuransi kesehatan swasta dan 4 persen dari tunjangan kesehatan perusahaan. Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat inap berdasarkan provinsi dapat dibaca dalam Buku Laporan Riskesdas 2013 dalam angka. Tabel 3.11.7 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut karakteristik, Indonesia 2013 Sumber Biaya Rawat inap Semua Fasilitas Karakteristik Biaya Askes/ Asuransi Sumber Lebih dari Sendiri ASABRI Jamsostek Swasta Jamkesmas Jamkesda Perusahaan Lainnya 1 Sumber Tempat tinggal 12,7 6,0 Kota 50,1 7,1 4,9 2,9 5,8 4,9 5,6 19,5 7,0 Desa 58,2 3,1 1,7 0,4 1,5 4,6 4,0 Kuintil indeks kepemilikan 32,4 9,0 Terbawah 47,8 0,3 0,3 0,3 0,5 5,3 4,0 28,6 5,9 Menengah bawah 50,8 1,0 1,1 0,5 2,1 5,9 4,2 18,1 6,6 Menengah 56,5 2,7 2,6 0,7 2,3 6,3 4,2 10,0 7,2 Menengah atas 56,1 5,4 5,5 1,4 4,5 4,5 5,4 4,8 4,8 Teratas 52,4 12,4 5,1 4,5 7,2 2,9 5,8 Tabel 3.11.7 memperlihatkan bahwa menurut tempat tinggal sumber biaya rawat inap pada semua jenis fasilitas kesehatan dari berbagai jaminan kesehatan baik Askes, ASABRI, JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, dan tunjangan kesehatan perusahaan lebih banyak dimanfaatkan di daerah perkotaan. Sumber biaya rawat inap dari Jamkesmas dan Jamkesda lebih banyak dimanfaatkan di daerah perdesaan. Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi sumber biaya rawat inap dari jaminan kesehatan selain Jamkesmas dan Jamkesda cenderung meningkat seiring dengan makin tingginya kuintil. Sumber biaya rawat inap untuk semua jenis fasilitas kesehatan yang berasal dari biaya sendiri pada semua kelompok penduduk mempunyai proporsi lebih dari 47 persen. Pada penduduk kuintil terbawah didapati 47,8 persen melakukan rawat inap dengan biaya sendiri atau tanpa jaminan kesehatan apapun dan pada penduduk teratas didapatkan 52,4 persen. Sumber biaya rawat inap dari Jamkesmas yang tertinggi adalah pada penduduk kuintil terbawah (32,4%), sebaliknya pada penduduk teratas hanya 4,8 persen yang menggunakannya. 162 3.12. Kesehatan reproduksi Tin Afifah, Ika Saptarini, Nurillah Amaliah, Anissa Rizkianti dan Ning Sulistiyowati Kesehatan reproduksi (Kespro) mulai dimasukkan dalam Riskesdas 2010 yang hanya memberikan gambaran nasional dan provinsi. Riskesdas 2013 menyediakan informasi kesehatan reproduksi baik tingkat nasional, provinsi, bahkan kabupaten/kota (terbatas untuk indikator tertentu), sehingga provinsi dapat menilai cakupan pelayanan kesehatan ibu berbasis komunitas sebagai komplemen dari data rutin. Blok kespro menyediakan informasi status kesehatan ibu dan beberapa isu kesehatan reproduksi pada semua perempuan umur 10-54 tahun. Informasi yang dikumpulkan meliputi: 1) kejadian kehamilan saat wawancara yang ditanyakan dalam kuesioner rumah tangga; 2) penggunaan alat/cara Keluarga Berencana (KB); 3) cakupan pelayanan kesehatan ibu dari masa kehamilan sampai masa nifas dan 4) masalah kespro lainnya. Jumlah sampel yang digunakan untuk analisis disajikan dalam Tabel 3.12.1. Table 3.12.1 Indikator utama, unit analisis dan jumlah sampel yang digunakan Blok Kesehatan Reproduksi, Riskesdas 2013 Indikator Kejadian kehamilan Proporsi kehamilan Pelayanan program KB Penggunaan KB saat ini, CPR, jenis KB yang digunakan Tenaga & tempat pelayanan KB modern Alasan utama tidak KB Pelayanan kesehatan ibu Masa kehamilan: Pemeriksaan kehamilan: K1, K1 ideal, K4 dan ANC minimal 4 kali Tempat dan tenaga ANC Konsumsi zat besi, buku KIA Saat bersalin: Cakupan pelayanan ibu bersalin: - Proporsi linakes, - Proporsi tempat bersalin Masa nifas: Cakupan masa nifas (KF) Cakupan KB pasca salin Unit analisis Jumlah sampel Semua anggota rumah tangga perempuan 10-54 tahun 357.830 WUS (15-49 tahun) berstatus kawin 191.818 WUS kawin yg menggunakan KB modern 104.851 WUS kawin yang tidak menggunakan KB 86.024 Jumlah kelahiran (LH dan LM) dari riwayat kehamilan 1 Jan 2010 sd wawancara Jumlah kelahiran (LH dan LM) periode 1 Januari 2010 sd saat wawancara, yang melakukan ANC 49.605 kelahiran 46.189 kelahiran Jumlah kelahiran (LH dan LM) periode 1 Jan 2010 sd wawancara 49.605 kelahiran Jumlah kelahiran (LH dan LM) periode 1 Jan 2010 sd wawancara 49.605 kelahiran 163 3.12.1. Kehamilan Informasi tentang kehamilan ini memberi gambaran proporsi penduduk Indonesia yang sedang hamil (Gambar 3.12.1). Proporsi kehamilan umur 10-54 tahun di Indonesia adalah 2,68 persen, di perkotaan (2,8%) lebih tinggi dibanding perdesaan (2,55%) (lihat buku Riskesdas 2013 dalam Angka tabel 3.12.1). Pola kehamilan berbeda menurut kelompok umur dan tempat tinggal. Di antara penduduk perempuan umur 10-54 tahun tersebut, terdapat kehamilan pada umur sangat muda (<15 tahun), meskipun dengan proporsi yang sangat kecil (0,02%), terutama terjadi di perdesaan (0,03%). Proporsi kehamilan pada umur remaja (15-19 tahun) adalah 1,97 persen, perdesaan (2,71%) lebih tinggi dibanding perkotaan (1,28%). 8,00 7,08 7,00 5,96 6,00 6,46 5,81 5,00 4,00 3,00 2,71 2,00 1,00 0,00 1,97 1,28 0,03 0,02 0,00 10-14 th 15-19 th 20-24 th 25-29 th 30-34 th 35-39 th 40-44 th 45-49 th 50-54 th Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan Gambar 3.12.1 Proporsi penduduk yang sedang hamil berdasarkan laporan rumah tangga menurut kelompok umur dan tempat tinggal, Indonesia 2013 3.12.2. Pelayanan program Keluarga Berencana (KB) Pelayanan KB merupakan upaya untuk mendukung kebijakan program KB nasional. Salah satu indikator program KB yaitu penggunaan KB saat ini dan CPR (Contraceptive Prevalence Rate). CPR adalah persentase penggunaan alat/cara KB oleh pasangan usia subur (PUS) yaitu WUS (umur 15-49 tahun) berstatus menikah atau hidup bersama (Rajaguguk, Omas Bulan, 2010). Pada laporan ini, informasi tentang KB dianalisis pada kelompok WUS berstatus menikah atau hidup bersama. Analisis jenis alat/cara KB yang digunakan merujuk pada alat/cara KB yang paling efektif. a. Pola penggunaan KB saat ini Gambar 3.12.2 menunjukkan proporsi penggunaan KB di Indonesia pada tahun Riskesdas 2010 (55,8%) dan Riskesdas 2013 (59,7%). Secara umum terjadi peningkatan dalam periode tiga tahun. Penggunaan KB tahun 2013 bervariasi menurut provinsi, proporsi penggunaan KB saat ini terendah di Papua (19,8%) dan tertinggi di Lampung (70,5%), proporsi WUS kawin yang tidak pernah menggunakan KB tertinggi di Papua (68,7) dan terendah di Kalimantan Tengah (8,6%). 164 Proporsi penggunaan KB saat ini hasil Riskesdas 2013 menurut provinsi secara rinci dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka Tabel 3.12.2. 100,0 80,0 59,7 60,0 40,0 55,8 0,0 Papua Maluku NTT Pabar Kep.Riau Sumut Malut Aceh Sulbar Sulsel Sultra Sumbar DKI DIY Riau Kaltim NTB Sulteng INDONESIA Banten Jatim Jateng Bali Jabar Babel Gorontalo Sulut Kalsel Sumsel Bengkulu Kalteng Jambi Kalbar Lampung 20,0 2010 2013 Gambar 3.12.2 Pengggunaan KB saat ini menurut provinsi, Indonesia 2010-2013 Penggunaan alat/cara KB terdiri dari alat KB modern dan KB cara tradisional. Penggunaan menurut alat atau cara tersebut juga mencerminkan CPR KB modern dan CPR KB tradisional. Indikator CPR modern merupakan salah satu indikator MDGs kelima dengan target peningkatan CPR modern sebesar 65 persen (Kemenkes RI, 2011). 100,0 24,4 80,0 16,2 40,0 15,8 20,8 12,3 13,5 22,4 22,3 13,5 17,3 27,6 42,3 60,0 14,0 40,0 59,8 20,0 0,0 63,0 65,3 66,1 58,9 46,0 15-19 40,4 20-24 25-29 Sekarang pakai 30-34 Pernah KB 35-39 40-44 45-49 Tidak Pernah Gambar 3.12.3 Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini WUS kawin dan kelompok umur, Indonesia 2013 Gambar 3.12.3 menunjukkan dominasi penggunaan alat/cara KB modern (59,3%). Provinsi dengan penggunaan KB modern adalah tertinggi di Lampung (70,2%) dan terendah di Papua (19,6%). Penggunaan KB menurut provinsi secara lengkap dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka Tabel 3.12.2. 165 Gambar 3.12.3 juga menunjukkan bahwa proporsi penggunaan KB saat ini terbanyak pada kelompok umur 35-39 tahun (66,1%), sedangkan pada kelompok umur berisiko masih rendah yaitu pada 45-49 tahun (40,4%) dan kelompok umur 15-19 tahun (46%). Proporsi penggunaan alat/cara KB menurut karakteristik lainnya disajikan pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka Tabel 3.12.3. Proporsi penggunaan alat/cara KB di perdesaan (61,6%) lebih banyak dibandingkan di perkotaan (57,9%), sedangkan berdasarkan kuintil indeks kepemilikan terbanyak adalah kelompok menengah bawah (63,3%). WUS kawin yang tidak pernah menggunakan KB lebih banyak pada kelompok yang tidak sekolah (30,4%) dan pada kelompok umur 15-19 tahun (40,0%). b. Penggunaan KB menurut jenis kandungan hormonal dan jangka waktu efektivitas Penggunaan KB menurut jenis alat/cara KB di Indonesia didominasi oleh penggunaan KB jenis suntikan KB (34,3%). Penggunaan KB menurut jenisnya dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka Tabel 3.12.4 dan Tabel 3.12.5, dan berdasarkan jenis alat/cara KB modern dari kedua tabel tersebut dapat dikelompokkan menurut jenis kandungan hormonal dan jangka waktu efektivitas. Kelompok KB hormonal terdiri dari KB modern jenis susuk, suntikan dan pil sedangkan kelompok non hormonal adalah sterilisasi pria, sterilisasi wanita, spiral/IUD, diafragma dan kondom. Kelompok alat/cara KB modern menurut jangka waktu efektivitas untuk MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) terdiri dari susuk, sterilisasi pria, sterilisasi wanita serta, spiral/IUD, sedangkan kelompok non MKJP adalah jenis suntikan, pil, diafragma dan kondom. Pada Tabel 3.12.4 buku Riskesdas 2013 dalam Angka, memperlihatkan dominasi kelompok hormonal dan non MKJP yang sangat dipengaruhi oleh penggunaan KB suntikan yang tinggi. Gambar 3.12.3 menunjukkan pola penggunaan alat/cara KB modern berdasarkan jenis kandungan hormonal menurut provinsi. Proporsi penggunaan KB hormonal paling tinggi di Kalimantan Tengah (66,5%) dan paling rendah di Papua (17,8%). Sementara untuk proporsi alat KB non hormonal paling tinggi di Bali (24,0%) dan paling rendah di Maluku (1,4%). 100,0 80,0 7,5 60,0 40,0 Kalbar Kalteng Jambi Lampung Kalsel Sumsel Sulut Bengkulu Gorontalo Jabar Babel Banten NTB Sulteng Jatim Jateng Riau Hormonal Kaltim Sultra Malut Sulbar Aceh Sulsel Sumbar DKI Bali Pabar Sumut Maluku DIY Kep.Riau NTT Papua 0,0 INDONESIA* 51,8 20,0 Non Hormonal Gambar 3.12.4 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok kandungan hormonal menurut provinsi, Indonesia 2013 166 Gambar 3.12.5 adalah variasi proporsi penggunaan KB menurut jenis jangka waktu efektivitas (MKJP dan Non MKJP). Proporsi penggunaan KB non MKJP tertinggi di Kalimantan Barat (64,9%) dan paling rendah di Papua (16,2%). Penggunaan alat/cara KB dengan MKJP paling tinggi di Bali (24,6%) sedangkan paling kecil adalah Papua (3,3%). 100,0 80,0 10,2 60,0 40,0 49,1 0,0 Papua NTT Maluku Sumut DIY Pabar Kep.Riau Bali Malut Sumbar Sulbar DKI Sulsel Aceh Sultra Gorontalo NTB Jateng Riau INDONESIA Kaltim Sulut Jatim Sulteng Bengkulu Banten Jabar Babel Sumsel Lampung Kalsel Jambi Kalteng Kalbar 20,0 NON MKJP MKJP Gambar 3.12.5 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok jangka waktu efektivitas KB menurut provinsi, Indonesia, 2013 Proporsi penggunaan KB modern kelompok hormonal menurut karakteristik paling tinggi pada kelompok umur 25-29 tahun (58,4%), tamat SD dan tamat SLTP (57,7%), petani/nelayan/buruh (55,2%), tinggal di perdesaan (56,4%) dan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah (58,2%) (Tabel 3.12.7 pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka). Proporsi penggunan KB modern berdasarkan jangka waktu efektivifas menurut karakteristik, non MKJP banyak digunakan oleh kelompok umur 25-29 tahun, tamat SLTP, tidak bekerja, tinggal di perdesaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah. Pengguna jenis MKJP paling tinggi pada kelompok umur 40-44 tahun, pendidikan tinggi (tamat PT), pegawai, bertempat tinggal di perkotaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan teratas (Tabel 3.12.7 pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka). c. Tempat dan tenaga untuk pelayanan KB modern Informasi tempat dan tenaga pelayanan KB modern bermanfaat untuk mengevaluasi pelaksanaan program pelayanan KB. 167 Posyandu;Fasilitas 1,9 Polindes/ Apotek/ Poskesdes lainnya; ; 4,7 11,7 Praktek perawat; 2 Praktek bidan; 54,6 Tenaga Kesehatan Kesehatan 90,0 76,5 80,0 RS; 6,5 70,0 Puskesma s/ Pustu; 14,3 Klinik/ BP; 1,6 Tim KB/ Medis keliling; 0,8 Praktek dokter; 1,9 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 6,0 3,0 2,8 11,7 0,0 dr kebid & dr umum kandungan Bidan Perawat Lainnya Gambar 3.12.6 Proporsi pemanfaatan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dalam mendapatkan pelayanan KB, Indonesia 2013 Gambar 3.12.6 memperlihatkan penggunaan tempat dan tenaga yang memberi pelayanan KB. Terlihat bahwa praktek bidan dan bidan banyak perperan dalam pelayanan KB. Proporsi tersebut bervariasi menurut karakteristik. Tempat yang banyak dikunjungi adalah praktek bidan (54,6%) dan paling kecil adalah tim KB keliling (0,8%). Proporsi WUS kawin berdasarkan tempat mendapatkan pelayanan KB modern menurut provinsi dan karakteristik yang dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 3.12.8 dan 3.12.9 buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Hasil ini tidak terlalu berbeda dengan Riskesdas 2010 yang juga menunjukkan dominasi praktek bidan (51,9%) dan yang terendah adalah tim KB keliling (0,9%) (Badan Litbangkes, 2010). Gambar 3.12.6 juga menunjukkan proporsi WUS kawin berdasarkan tenaga kesehatan yang memberi pelayanan KB. Tenaga yang paling banyak memberi pelayanan KB adalah bidan (76,5%), dibandingkan tenaga kesehatan lainnya. Proporsi WUS kawin berdasarkan tenaga pemberi pelayanan KB modern menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 3.12.10 dan 3.12.11 buku Riskesdas 2013 dalam Angka. d. Alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB Pada Riskesdas 2013, responden ditanyakan alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB. Secara umum, alasan utama terkait dengan hak setiap perempuan untuk mempunyai anak sehingga tidak menggunakan KB. Alasan tidak menggunakan KB karena masalah fertilitas dan ingin punya anak mengindikasi kelompok yang tidak memerlukan KB. Alasan lainnya seperti masalah kepercayaan, dilarang suami/keluarga, kurang pengetahuan, masalah akses alat KB, takut efek samping dan alasan tidak nyaman dapat menjadi informasi penting bagi pemerintah dalam merancang program intervensi untuk meningkatkan cakupan KB. Alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB dapat dilihat pada Gambar 3.12.7, sedangkan alasan menurut provinsi disajikan pada Tabel 3.12.12 buku Riskesdas 2013 dalam Angka untuk kelompok WUS kawin yang pernah menggunakan KB dan Tabel 3.12.13 untuk kelompok WUS kawin yang tidak pernah menggunakan KB. Berdasarkan Tabel 3.12.12 buku Riskesdas 2013 dalam Angka, provinsi dengan persentase paling tinggi tidak menggunakan KB karena alasan dilarang agama/kepercayaan adalah di Kalimantan Barat (2,4%), alasan dilarang suami atau keluarga di Nusa Tenggara Barat (5,9%) dan alasan kurang pengetahuan di Papua (1,9%). DI Yogyakarta adalah provinsi yang paling tinggi dengan alasan takut efek samping (26,0%). Alasan permasalahan akses alat KB paling tinggi di Papua Barat dan Maluku, masing-masing 4,3 persen sedangkan alasan ketidaknyamanan paling tinggi dikeluhkan di Sumatera Utara (21,8%). 168 Kelompok WUS kawin yang tidak pernah menggunakan KB (Tabel 3.12.13 buku Riskesdas 2013 dalam Angka) menunjukkan bahwa Papua adalah provinsi paling tinggi yang beralasan utama masalah agama (9,8%), dilarang suami/keluarga (12,0%) dan kurang pengetahuan (18,5%). DI Yogyakarta adalah provinsi yang paling banyak memberi alasan takut efek samping (24,9%) sedangkan Papua Barat adalah provinsi paling tinggi dengan alasan masalah akses terhadap alat/cara KB (3,5%) serta Maluku paling tinggi menyatakan alasan tidak nyaman (11,4%). Alasan tersebut merupakan informasi yang dapat menjadi masukan bagi perencana program dalam merancang intervensi untuk meningkatkan pelayanan KB di daerah tersebut. 5,2 Tidak nyaman 12,2 1,4 1,5 Masalah akses alat KB 11,0 Takut efek samping 17,2 3,4 Kurang pengetahuan 0,3 6,1 Dilarang suami/ keluarga 2,0 3,3 0,7 Masalah kepercayaan/agama 15,7 Responden tidak ingin 9,3 46,6 Ingin punya anak 36,6 7,2 Fertilitas 20,1 0,0 10,0 Tidak pernah KB 20,0 30,0 40,0 50,0 Pernah KB Gambar 3.12.7 Proporsi alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB bagi WUS kawin pernah dan tidak pernah ber-KB, Indonesia 2013 3.12.3. Pelayanan kesehatan masa kehamilan, persalinan, dan nifas Setiap kehamilan dapat menimbulkan risiko kematian ibu. Pemantauan dan perawatan kesehatan yang memadai selama kehamilan sampai masa nifas sangat penting untuk kelangsungan hidup ibu dan bayinya. Dalam upaya mempercepat penurunan kematian ibu, Kementerian Kesehatan menekankan pada ketersediaan pelayanan kesehatan ibu di masyarakat. 169 Riskesdas 2013 menanyakan kepada semua perempuan 10-54 tahun yang pernah melahirkan. Selanjutnya pada responden yang pernah melahirkan (lahir hidup dan lahir mati) pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara Definisi operasional indikator ANC ditanyakan lebih lanjut tentang pengalaman mendapat pelayanan kesehatan selama K1 atau ANC minimal 1 kali adalah proporsi periode hamil sampai masa nifas. Analisis kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan dilakukan terhadap 49.603 kelahiran untuk ibu hamil minimal 1 kali tanpa mendapat gambaran indikator pelayanan memperhitungkan periode waktu pemeriksaan. kehamilan, persalinan sampai masa nifas. K1 ideal adalah proporsi kelahiran yang Terdapat 2 indikator MDGs yang diperoleh mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil dari bagian ini yaitu cakupan ANC minimal 1 pertama kali pada trimester 1. kali dan ANC minimal 4 kali serta proporsi K4 adalah proporsi kelahiran yang mendapat penolong persalinan oleh tenaga kesehatan pelayanan kesehatan ibu hamil selama 4 kali yang kompeten. dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1 a. Pelayanan kesehatan ibu hamil kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada dan indikator cakupan ANC trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3. Antenatal Care (ANC) adalah pelayanan ANC minimal 4 kali adalah proporsi kelahiran kesehatan yang diberikan oleh tenaga yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil kesehatan untuk ibu selama kehamilannya minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode dan dilaksanakan sesuai dengan standar waktu pemeriksaan. pelayanan yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan/SPK (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010). Tenaga kesehatan yang dimaksud di atas adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat. Pada laporan ini disajikan indikator ANC yang sesuai dengan MDGs (K1 dan ANC minimal 4 kali) maupun indikator ANC untuk evaluasi program pelayanan kesehatan ibu di Indonesia seperti cakupan K1 ideal dan K4. Gambar 3.12.8 menunjukkan bahwa 95,4 persen dari kelahiran mendapat ANC (K1). Persentase K1 dan ANC minimal 4 kali merupakan indikator ANC tanpa memperhatikan periode trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Cakupan K1 bervariasi dengan rentang antara 71,7 persen (Papua) dan 99,6 persen (Bali). Namun untuk cakupan ANC minimal 4 kali, DI Yogyakarta (96,5%) lebih tinggi dibandingkan dengan Bali (95,8%). Selisih antara K1 dan ANC 4 kali menunjukkan adanya kehamilan yang tidak optimal mendapat pelayanan ANC. Gambar 3.12.9 menyajikan cakupan K1 ideal dan K4. Indikator K1 ideal dan K4 adalah indikator untuk melihat frekuensi yang merujuk pada periode trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Kementerian Kesehatan menetapkan K4 sebagai salah satu indikator ANC (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010). Indikator K1 ideal dan K4 yang merujuk pada frekuensi dan periode trimester saat dilakukan ANC menunjukkan adanya keberlangsungan pemeriksaan kesehatan semasa hamil. Setiap ibu hamil yang menerima ANC pada trimester 1 (K1 ideal) seharusnya mendapat pelayanan ibu hamil secara berkelanjutan dari trimester 1 hingga trimester 3. Hal ini dapat dilihat dari indikator ANC K4. Cakupan K1 ideal secara nasional adalah 81,6 persen dengan cakupan terendah di Papua (56,3%) dan tertinggi di Bali (90,3%). Cakupan K4 secara nasional adalah 70,4 persen dengan cakupan terendah adalah Maluku (41,4%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (85,5%). Berdasarkan penjelasan di atas, selisih dari cakupan K1 ideal dan K4 secara nasional memperlihatkan bahwa terdapat 12 persen dari ibu yang menerima K1 ideal tidak melanjutkan ANC sesuai standar minimal (K4). Cakupan ANC menurut karakteristik menunjukkan bahwa semakin muda umur, semakin tinggi pendidikan ibu, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan dan tinggal di perkotaan, maka ibu 170 cenderung untuk melakukan ANC. Cakupan K1 ideal menurut karakteristik memiliki pola yang hampir sama dengan cakupan K1 (Tabel 3.12.15 pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka). 95,4 99,6 100,0 71,7 80,0 95,8 83,5 60,0 40,0 50,9 0,0 Papua Maluku Pabar NTT Malut Sulbar Kalbar Kalteng Sumut Riau Sumsel Sulteng Kalsel Jambi Sultra Aceh Lampung INDONESIA Banten Sulsel Jabar Sumbar Sulut Bengkulu Kaltim Gorontalo Kep.Riau Jatim Babel DKI NTB Jateng DIY Bali 20,0 K1 ANC <4x Gambar 3.12.8 Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut provinsi, Indonesia 2013 100,0 70,4 81,6 80,0 60,0 40,0 20,0 Maluku Papua Malut Pabar Sulteng Sulbar Kalteng Gorontalo Sultra NTT Sulsel Kalbar Sumsel Sumut Jambi Sulut Kalsel Aceh Bengkulu Sumbar Riau Kaltim Banten INDONESIA Babel NTB Jabar Jatim Lampung DKI Kep.Riau Jateng Bali DIY 0,0 ANC K4 K1 Ideal Gambar 3.12.9 Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut provinsi, Indonesia 2013 171 b. Tenaga dan tempat pemeriksaan kehamilan Tenaga kesehatan yang kompeten memberi pelayanan pemeriksaan kesehatan ibu hamil adalah dokter kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2009). Fasilitas kesehatan disediakan untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil dari rumah sakit hingga posyandu. Gambar 3.12.10 adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan ANC menurut tenaga dan tempat menerima ANC. Bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling berperan (87,8%) dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu hamil dan fasilitas kesehatan yang banyak dimanfaatkan ibu hamil adalah praktek bidan (52,5%), Puskesmas/Pustu (16,6%) dan Posyandu (10,0%). Hal ini juga terlihat di semua provinsi. Poskesdes/Pol indes 6,0 Bidan 87,8 Posyandu 10,0 Lainnya 0,6 RS 6,5 RB 3,5 Puskesmas/ Pustu 16,6 Praktek dr/ klinik 4,3 Perawat 0,4 Praktek bidan 52,5 Dr umum 0,7 Dr kebid. & kandungan 11,1 Gambar 3.12.10 Proporsi kelahiran yang melakukan pemeriksaan kehamilan menurut tenaga dan tempat mendapat pelayanan ANC, Indonesia 2013 Proporsi tenaga kesehatan yang memberi pelayanan pemeriksaan kehamilan menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka (Tabel 3.12.16 dan 3.12.17). Masyarakat dengan karakteristik tinggal di perdesaan, pendidikan rendah dan berada pada kuintil indeks kepemilikan terbawah hingga menengah cenderung memilih bidan saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Sebaliknya dokter spesialis kebidanan dan kandungan dipilih oleh masyarakat di perkotaan, pendidikan tinggi dan kuintil indeks kepemilikan teratas. Proporsi tempat mendapat layanan ANC menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka (Tabel 3.12.18 dan 3.12.19). c. Konsumsi zat besi Zat besi sangat dibutuhkan oleh ibu hamil untuk mencegah terjadinya anemia dan menjaga pertumbuhan janin secara optimal. Kementerian Kesehatan menganjurkan agar ibu hamil mengonsumsi paling sedikit 90 pil zat besi selama kehamilannya (Depkes RI, 2001). Pada Riskesdas 2013 menanyakan apakah mengonsumsi zat besi selama hamil dan berapa hari mengonsumsi zat besi selama hamil. Zat besi yang dimaksud adalah semua konsumsi zat besi selama masa kehamilannya termasuk yang dijual bebas maupun multivitamin yang mengandung zat besi. Gambar 3.12.11 menunjukkan konsumsi zat besi dan variasi jumlah asupan zat besi selama hamil di Indonesia sebesar 89,1 persen. Di antara yang mengonsumsi zat besi tersebut, terdapat 33,3 persen mengonsumsi minimal 90 hari selama kehamilannya. 172 Tidak konsum si zat besi 10,9 Mengon sumsi Fe 89,1 90+ 33,3 < 90 34,4 Lupa 21,4 Gambar 3.12.11 Proporsi kelahiran menurut konsumsi zat besi (Fe) dan jumlah hari mengonsumsi, Indonesia 2013 Provinsi dengan asupan zat besi minimal 90 hari tertinggi di DI Yogyakarta (58,1%) dan terendah di Lampung (15,4%) (lihat Tabel 3.12.20 Buku Riskesdas 2013 dalam Angka). Konsumsi zat besi menurut karakteristik pada Tabel 3.12.21 buku Riskesdas 2013 dalam Angka menunjukkan semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, maka semakin besar persentase cakupan konsumsi zat besi. d. Kepemilikan buku KIA dan pelaksanaan P4K Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA) telah dirintis sejak 1997 dengan dukungan dari JICA (Japan International Cooperation Agency). Buku KIA berisi catatan kesehatan ibu (hamil, bersalin dan nifas) dan anak (bayi baru lahir, bayi dan anak balita). Buku KIA juga memuat informasi tentang cara memelihara dan merawat kesehatan ibu dan anak. Setiap kehamilan mendapat 1 buku KIA. Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) merupakan program terobosan Kementerian Kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat tentang kesehatan ibu sebagai upaya untuk menurunkan kematian ibu (Factsheet Ditjen Bina Kesehatan Ibu). P4K adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat yang difasilitasi oleh tenaga kesehatan, kader, tokoh agama/tokoh masyarakat untuk meningkatkan peran aktif suami, keluarga dan masyarakat dalam perencanaan persalinan, persiapan menghadapi komplikasi kehamilan/persalinan, perencanaan penggunaan kontrasepsi pasca persalinan bagi setiap ibu hamil dengan menggunakan media stiker sebagai penanda. Wujud penerapan P4K tersebut juga dituliskan pada Buku KIA dalam lembar ‘Amanat Persalinan’. Setiap kehamilan yang mendapat buku KIA dan membuat perencanaan persalinan dituliskan pada lembar tersebut (Kementerian Kesehatan, 1997). Pada Riskesdas 2013, enumerator menanyakan kepemilikan Buku KIA. Apabila responden bisa menunjukkan buku KIA, maka dilanjutkan dengan observasi 5 komponen P4K terhadap lembar Amanat Persalinan yang terkait dengan perencanaan persalinan, persiapan kegawatdaruratan dan perencanaan KB yaitu : 1. Penolong persalinan (nama-nama tenaga kesehatan yang akan menangani saat bersalin). 2. Dana persalinan (rencana sumber pembiayaan yang akan digunakan untuk biaya persalinan). 3. Kendaraan/ambulans desa (kendaraan yang disiapkan untuk membawa ibu hamil menuju tempat bersalin jika sewaktu-waktu akan melahirkan/perlu rujukan). 4. Metode KB (rencana jenis KB yang akan dipilih setelah melahirkan), dan 5. Sumbangan darah (nama-nama calon donor darah apabila sewaktu-waktu terjadi kasus perdarahan/komplikasi lain yang memerlukan sumbangan darah). 173 40 35,5 35 30 40,4 40,4 25 17,5 20 19,2 14,6 12,2 15 19,2 10,7 10 5 0 Tidak memiliki Buku KIA Penolong Dana Kendaraan/ persalinan persalinan ambulans desa Metode KB 5 Komponen Donor Darah Isian Lengkap Kelengkapan Memiliki Buku KIA-tidak bisa menunjuk kan Memiliki Buku KIA-menunjukkan buku KIA Gambar 3.12.12 Proporsi kelahiran menurut kepemilikan buku KIA dan isian 5 Komponen P4K berdasarkan hasil observasi lembar Amanat Persalinan dari yang dapat menunjukkan Buku KIA, Indonesia 2013 Hasil analisis menunjukkan bahwa 80,8 persen mempunyai buku KIA, namun yang bisa menunjukkan hanya 40,4 persen. Variasi kepemilikan buku KIA dan bisa menunjukkan buku KIA menurut provinsi antara cakupan terendah di Papua Barat (14,8%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (63,5%). Gambar 3.12.12 menunjukkan hasil observasi buku KIA terhadap 5 komponen P4K menunjukkan bahwa isian penolong persalinan sebesar 35,4 persen, dana persalinan sebesar 17,3 persen, kendaraan/ambulans desa sebesar 14,4 persen, metode KB pasca salin sebesar 19,2 persen dan 12,1 persen untuk isian sumbangan darah. Kelengkapan isian pada semua komponen sebesar 10,7 persen dan 64,0 persen tidak ada isian. Kepemilikan buku KIA dan isian 5 komponen hasil observasi menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 3.12.22 dan 3.12.23 buku Riskesdas 2013 dalam Angka. e. Metode persalinan Masa bersalin merupakan periode kritis bagi seorang ibu hamil. Masalah komplikasi atau adanya faktor penyulit menjadi faktor risiko terjadinya kematian ibu sehingga perlu dilakukan tindakan medis sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu dan anak. Di Indonesia, bedah sesar hanya dilakukan atas dasar indikasi medis tertentu dan kehamilan dengan komplikasi (Depkes, 2001c). Pada Riskesdas 2013 menanyakan proses persalinan yang dialami. Gambar 3.12.13 menyajikan proporsi persalinan dengan bedah sesar menurut provinsi dan Gambar 3.12.14 menurut karakteristik. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan kelahiran bedah sesar sebesar 9,8 persen dengan proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan terendah di Sulawesi Tenggara (3,3%) dan secara umum pola persalinan melalui bedah sesar menurut karakteristik menunjukkan proporsi tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan teratas (18,9%), tinggal di perkotaan (13,8%), pekerjaan sebagai pegawai (20,9%) dan pendidikan tinggi/lulus PT (25,1%). Proporsi metoda persalinan menurut provinsi dan karakteristik secara lengkap dapat dilihat dalam buku Riskesdas 2013 dalam Angka. 174 25,0 19,9 20,0 15,0 9,8 10,0 0,0 3,3 Sultra Pabar Kalbar NTT Maluku Lampung Sulbar NTB Bengkulu Sumsel Papua Kalteng Maluku Utara Jambi Kaltim Sulsel Jabar Sulteng Kalsel Riau Sulut Aceh Babel INDONESIA Jateng Banten Jatim Sumut Sumbar Gorontalo DIY Bali Kep. Riau DKI 5,0 Pendidikan Pekerjaan Tempat Tinggal Kuintil Indeks Kepemilikan Gambar 3.12.13 Proporsi persalinan sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut provinsi, Indonesia 2013 Teratas Menengah atas Menengah Menengah bawah Terbawah 18,9 Perdesaan Perkotaan 13,8 Lainnya Petani/Nelayan/Buruh Wiraswasta Pegawai Tidak berkerja 20,9 Tamat D1-D3/PT Tamat SLTA Tamat SLTP Tamat SD Tidak Tamat SD Tidak sekolah 25,1 0,0 10,0 20,0 30,0 Gambar 3.12.14 Proporsi persalinan sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut karakteristik, Indonesia 2013 175 f. Penolong persalinan Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten merupakan salah satu indikator MDGs target kelima. Tenaga kesehatan yang kompeten sebagai penolong persalinan (linakes) menurut PWS-KIA adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan. Kementerian Kesehatan menetapkan target 90 persen persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan pada tahun 2012 (Depkes, 2000c). Untuk mengukur kemajuan dalam mencapai target ini, responden ditanya mengenai siapa saja yang menolong selama proses persalinan. Dalam analisis Riskesdas, penolong persalinan dinyatakan dalam penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah. Penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi apabila lebih dari satu penolong maka dipilih yang paling tinggi. Penolong persalinan dengan kualifikasi terendah apabila lebih dari satu penolong maka dipilih tenaga dengan kualifikasi yang paling rendah. Gambar 3.12.15 menunjukkan bahwa pada persalinan kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah, sebagian besar persalinan ditolong oleh bidan (68,6% dan 66,6%). Sehingga penolong linakes (dokter atau bidan) untuk kualifikasi tertinggi sebesar 87,1 persen dan kualifikasi terendah adalah 80,9 persen. 100,0 87,1 80,0 80,9 68,6 66,6 60,0 40,0 20,0 0,0 18,0 13,9 10,9 13,4 0,5 0,3 0,9 2,9 0,3 2,1 Kualifikasi tertinggi 0,8 0,8 Kualifikasi terendah Gambar 3.12.15 Proporsi kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan terendah, Indonesia 2013 DI Yogyakarta dan Bali merupakan provinsi dengan proporsi penolong persalinan kualifikasi tertinggi oleh dokter spesialis yang tinggi dibandingkan provinsi lainnya yaitu masing-masing 41,7 persen dan 39,7 persen. Pola penolong persalinan menurut provinsi untuk kualifikasi tertinggi dengan proporsi penolong linakes terendah di Papua (57,7%), dan tertinggi di DI Yogyakarta (99,9%). Pola penolong persalinan menurut karakteristik memperlihatkan bahwa semakin tinggi pendidikan ibu, persentase dokter spesialis kebidanan dan kandungan semakin besar baik kualifikasi tertinggi maupun terendah. Demikian juga untuk ibu yang bekerja sebagai pegawai, tinggal di perkotaan dan kuintil indeks kepemilikan teratas. Sebaliknya penggunaan dukun sebagai tenaga penolong persalinan lebih besar pada kelahiran dari ibu yang mempunyai pendidikan rendah (tidak 176 sekolah), petani/ nelayan/buruh tinggal di perdesaan dan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Informasi pola penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka Tabel 3.12.26 dan 3.12.27 sedangkan kualifikasi terendah menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka Tabel 3.12.28 dan 3.12.29. g. Tempat persalinan Tempat persalinan yang ideal adalah di rumah sakit karena apabila sewaktu-waktu memerlukan penanganan kegawatdaruratan tersedia fasilitas yang dibutuhkan atau minimal bersalin di fasilitas kesehatan lainnya sehingga apabila perlu rujukan dapat segera dilakukan. Sebaliknya jika melahirkan di rumah dan sewaktu-waktu membutuhkan penanganan medis darurat maka tidak dapat segera ditangani. Gambar 3.12.16 menunjukkan 70,4 persen kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara terjadi di fasilitas kesehatan dan polindes/poskesdes dengan persentase tertinggi di rumah bersalin, klinik, praktek dokter/praktek bidan (38,0%) dan terendah di Poskesdes/Polindes (3,7%). Namun masih terdapat 29,6 persen yang melahirkan di rumah/lainnya. Provinsi dengan persentase melahirkan di rumah yang paling tinggi adalah Maluku (74,9%). 100,0 90,0 29,6 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 70,4 30,0 20,0 10,0 Maluku Sumbar kalteng Sultra Maluku Utara Sulteng Kalsel Bengkulu Papua Jambi Papua barat Kalbar Sumut Sulsel Aceh NTT Riau Sumsel Sulut Jabar Banten Gorontalo Lampung INDONESIA Babel Kaltim Sumbar NTB Jateng Kep.Riau Jatim DKI Bali DIY 0,0 Faskes dan polindes/poskesdes Rumah/ lainnya Gambar 3.12.16 Proporsi kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut tempat bersalin dan provinsi, Indonesia 2013 Gambar 3.12.17 menyajikan proporsi tempat bersalin di fasilitas kesehatan (RS, RB/klinik/praktek nakes, puskesmas/pustu) dan polindes/poskesdes serta di rumah menurut karakteristik. Pada kelompok ibu berumur risiko tinggi (umur ibu kurang dari 20 tahun dan umur 35 tahun ke atas) lebih banyak melahirkan di rumah yang mencapai 64,5 persen. Sedangkan ibu dengan tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan teratas, bekerja sebagai pegawai dan tinggal di perkotaan paling banyak melahirkan di fasilitas kesehatan. Sebaliknya ibu dengan pendidikan 177 rendah, tinggal di perdesaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah memilih melahirkan di rumah. 100,0 89,4 87,2 85,4 44,8 47,5 53,3 55,2 29,3 35,2 60,0 40,0 60,9 80,0 Umur saat bersalin Pendidikan Pekerjaan Faskes dan Polindes/Poskesdes Tempat tinggal Teratas Menengah atas Menengah Menengah bawah Terbawah Perdesaan Perkotaan Lainnya Petani/nelayan/buruh Wiraswasta Pegawai Tidak berkerja Tamat D1-D3/PT Tamat SLTA Tamat SLTP Tamat SD Tidak tamat SD ≥ 35 20-34 < 20 0,0 Tidak sekolah 20,0 Kuintil indeks kepemilikan Rumah/ lainnya Gambar 3.12.17 Proporsi kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut tempat bersalin di faskes dan polindes/poskesdes vs di rumah/lainnya dan karakteristik, Indonesia 2013 h. Pelayanan kesehatan masa nifas Masa nifas masih merupakan masa yang rentan bagi kelangsungan hidup ibu baru bersalin. Menurut Studi Tindak Lanjut Kematian Ibu SP 2010 (Afifah dkk, 2011), sebagian besar kematian ibu terjadi pada masa nifas sehingga pelayanan kesehatan masa nifas berperan penting dalam upaya menurunkan angka kematian ibu. Pelayanan masa nifas adalah pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama periode 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Kementerian Kesehatan menetapkan program pelayanan atau kontak ibu nifas yang dinyatakan dalam indikator: 1) KF1, kontak ibu nifas pada periode 6 jam sampai 3 hari setelah melahirkan 2) KF2, kontak ibu nifas pada periode 7-28 hari setelah melahirkan dan 3) KF3, kontak ibu nifas pada periode 29-42 hari setelah melahirkan. 178 100,0 81,9 80,0 60,0 51,8 43,4 40,0 32,1 20,0 0,0 6 jam-3 hr 7-28 hr 29-42 KF lengkap Gambar 3.12.18 Proporsi kelahiran hidup periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut pelayanan pemeriksaan masa nifas, Indonesia 2013 Gambar 3.12.18 memperlihatkan bahwa cakupan pelayanan kesehatan masa nifas seiring dengan periode waktu setelah bersalin proporsi semakin menurun. Kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan masa nifas secara lengkap yang meliputi KF1, KF2 dan KF3 hanya 32,1 persen. Periode masa nifas yang berisiko terhadap komplikasi pasca persalinan terutama terjadi pada periode 3 hari pertama setelah melahirkan. Cakupan pelayanan kesehatan masa nifas periode 3 hari pertama setelah melahirkan bervariasi menurut provinsi (Gambar 3.12.19) yaitu tertinggi di DI Yogyakarta (93,5%) dan terendah di Papua (54,9%) 100,0 93,5 90,0 81,9 80,0 70,0 60,0 54,9 50,0 40,0 30,0 20,0 0,0 Papua Maluku Pabar NTT Malut Sulbar Kalbar Kalteng Jabar Kep.Riau Sulteng Sumsel Banten Sultra Lampung Sulut Sulsel Indonesia Babel Sumbar Kaltim Riau Kalsel Aceh Jambi Sumut Jatim NTB Gorontalo Jateng DKI Bali Bengkulu DIY 10,0 Gambar 3.12.19 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut provinsi, Indonesia 2013 179 Cakupan KF1 menurut karakteristik pada Gambar 3.12.20 memperlihatkan bahwa semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan cakupan makin besar, proporsi di perkotaan lebih tinggi dibanding perdesaan. Tidak ada perbedaan mencolok menurut karakteristik umur saat bersalin dan pekerjaan. Teratas Menengah atas Menengah Menengah bawah Terbawah Pekerjaan Lainnya Petani/Nelayan/Buruh Wiraswasta Pegawai Tidak berkerja Umur saat bersalin Pendidikan Kuintil Indeks Tempat tinggal Kepemilikan Rincian data cakupan pelayanan KF menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 3.12.32 dan Tabel 3.12.33 pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka. 91,5 Perdesaan Perkotaan 86,5 91,6 Tamat D1-D3/PT Tamat SLTA Tamat SLTP Tamat SD Tidak Tamat SD Tidak sekolah 93,4 >= 35 th 20 - 34 th < 20 th 82,6 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 Gambar 3.12.20 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut karakteristik, Indonesia 2013. h. Pelayanan KB pasca salin Salah satu program terobosan Kementerian Kesehatan dalam upaya melakukan percepatan penurunan angka kematian ibu adalah peningkatan KB pasca persalinan. KB pasca salin adalah penggunaan metode kontrasepsi pada masa nifas sampai dengan 42 hari setelah melahirkan sebagai langkah untuk mencegah kehilangan kesempatan ber-KB. Dalam Riskesdas 2013 menanyakan tentang pelayanan KB yang diterima pada periode masa nifas sampai 42 hari setelah melahirkan. Gambar 3.12.21 menunjukkan bahwa cakupan pelayanan KB pasca salin di Indonesia sebesar 59,6 persen dan bervariasi menurut provinsi, dengan rentang 26,0 persen (Papua) dan 73,2 persen (Bangka Belitung). 180 80,0 73,2 70,0 59,6 60,0 50,0 40,0 30,0 26,0 20,0 0,0 Papua NTT Maluku Sulbar Sumut Papua Barat DIY Maluku Utara Sultra Kep.Riau Sulsel Sumbar Aceh Riau Jatim Sulteng NTB Indonesia Sulut Kaltim Kalbar Jateng Bali DKI Kalteng Lampung Sumsel Bengkulu Jambi Banten Kalsel Jabar Gorontalo Babel 10,0 Gambar 3.12.21 Proporsi kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut pelayanan KB pasca salin dan provinsi, Indonesia 2013 Penerimaan pelayanan KB pasca salin di perkotaan (60,9%) lebih besar daripada di perdesaan (58,3%). Tidak ada kecenderungan bermakna menurut karakteristik lainnya. Tabel KB pasca salin menurut provinsi dan karakteristik secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3.12.34 dan 3.12.35 buku Riskesdas 2013 dalam Angka. 181 3.13. Kesehatan Anak Yuana Wiryawan, Suparmi, Kencana Sari,Yekti Widodo, Sudikno, dan Sandjaja Topik kesehatan anak bertujuan untuk memberikan informasi berbagai indikator kesehatan anak yang meliputi status kesehatan anak dan cakupan pelayanan. Indikator status kesehatan anak meliputi prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), panjang badan lahir pendek, gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatus, cacat lahir atau kecacatan pada anak balita. Sedangkan indikator yang terkait dengan cakupan pelayanan kesehatan anak meliputi perilaku perawatan tali pusar bayi baru lahir, pemeriksaan bayi baru lahir, imunisasi, kepemilikan akte kelahiran, kepemilikan buku KMS dan KIA, pemantauan pertumbuhan, pemberian kapsul vitamin A, pemberian ASI dan MPASI, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal, ASI eksklusif, dan sunat perempuan. Indikator yang terkait dengan prevalensi gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatus, kepemilikan akte kelahiran anak balita, cakupan kepemilikan KMS dan buku KIA, pemberian kolostrum dan pemberian makanan prelakteal akan ditampilkan dalam buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Tabel 3.13.1 menunjukkan jumlah responden yang dianalisis sesuai indikator yang diukur. Tabel 3.13.1 Jumlah sampel dan indikator kesehatan anak, Indonesia 2013 Responden Perempuan umur 0-11 tahun Anak umur 0-59 bulan Jumlah sampel 114.993 82.666 Anak umur 6-59 bulan 75.186 Anak umur 24-59 bulan Anak umur 0-23 bulan Anak umur 12-23 bulan 51.865 30.801 15.727 Indikator Sunat perempuan Kunjungan neonatus Berat dan panjang lahir Perawatan tali pusar Kepemilikan KMS dan buku KIA Kepemilikan akte kelahiran Cakupan vitamin A Pemantauan pertumbuhan Kecacatan ASI dan MPASI Imunisasi 3.13.1. Berat dan panjang badan lahir Berat dan panjang badan lahir dicatat atau disalin berdasarkan dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, seperti buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak lainnya. Persentase anak balita yang memiliki catatan berat badan lahir adalah 52,6 persen. Kategori berat badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu <2500 gram (BBLR), 2500-3999 gram, dan ≥4000 gram. Kecenderungan BBLR pada anak umur 0-59 bulan menurut provinsi tahun 2010 dan 2013 disajikan pada Gambar 3.13.1. Persentase BBLR tahun 2013 (10,2%) lebih rendah dari tahun 2010 (11,1%). Persentase BBLR tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Tengah (16,9%) dan terendah di Sumatera Utara (7,2%). 182 25,0 20,0 11,1 15,0 10,0 0,0 10,2 Sulteng Papua NTT Kalbar Kalteng Gorontalo Sulsel NTB Sulbar Malut Maluku Jatim Kaltim Jabar Pabar Indonesia Kalsel Bengkulu Jateng Banten Sultra Babel DIY Sumsel Kep.Riau DKI Bali Aceh Riau Jambi Lampung Sulut Sumbar Sumut 5,0 2010 2013 *) Berdasarkan 52,6% sampel balita yang punya catatan Gambar 3.13.1 Kecenderungan berat badan lahir rendah (BBLR) pada balita, Indonesia 2010 dan 2013 *) Tabel 3.13.2 menyajikan persentase berat badan bayi baru lahir anak balita menurut karakteristik. Karakteristik pendidikan dan pekerjaan adalah gambaran dari kepala rumah tangga. Menurut kelompok umur, persentase BBLR tidak menunjukkan pola kecenderungan yang jelas. Persentase BBLR pada perempuan (11,2%) lebih tinggi daripada laki-laki (9,2%), namun persentase berat lahir ≥4000 gram pada laki-laki (5,6%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (3,9%). Menurut pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan terlihat adanya kecenderungan semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah prevalensi BBLR. Menurut jenis pekerjaan, persentase BBLR tertinggi pada anak balita dengan kepala rumah tangga yang tidak bekerja (11,6%), sedangkan persentase terendah pada kelompok pekerjaan pegawai (8,3%). Persentase BBLR di perdesaan (11,2%) lebih tinggi daripada di perkotaan (9,4%). 183 Tabel 3.13.2 Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Kelompok umur (bulan) 0–5 6 – 11 12 – 23 24 – 35 36 – 47 48 – 59 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Indonesia <2500 gr Ada catatan 2500 - 3999 gr ≥4000 gr 10,4 10,4 10,4 10,0 10,2 10,0 85,1 84,6 84,8 84,8 85,2 85,5 4,5 5,0 4,8 5,1 4,7 4,5 9,2 11,2 85,2 84,8 5,6 3,9 11,8 13,1 11,6 9,7 9,2 8,2 83,5 82,4 83,9 85,2 85,9 87,4 4,7 4,5 4,5 5,1 5,0 4,3 11,6 8,3 9,5 11,6 11,0 84,6 87,1 85,2 83,7 84,2 3,9 4,6 5,3 4,7 4,8 9,4 11,2 86,2 83,4 4,3 5,4 13,4 12,2 11,0 9,1 8,2 10,2 81,5 83,3 84,1 86,1 87,0 85,0 5,1 4,5 4,9 4,8 4,8 4,8 Tabel 3.13.3 menyajikan persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut provinsi. Kategori panjang badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu <48 cm, 48-52 cm, dan >52 cm. Persentase panjang badan lahir <48 cm sebesar 20,2 persen dan 48-52 cm sebesar 76,4 persen. Persentase bayi lahir pendek (panjang badan lahir <48 cm) tertinggi di Nusa Tenggara Timur (28,7%) dan terendah di Bali (9,6%). 184 Tabel 3.13.3 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia <48 cm 13,7 19,6 15,5 15,7 21,7 24,1 11,8 22,4 25,8 17,1 19,7 20,6 24,5 28,6 17,1 21,2 9,6 18,8 28,7 23,2 22,1 14,5 17,2 25,7 27,1 22,6 18,6 15,4 19,9 13,6 22,6 19,2 25,6 20,2 Ada catatan 48 - 52 cm 82,1 74,3 82,4 80,8 74,4 72,6 81,0 75,5 70,3 80,8 77,0 76,0 73,2 70,0 80,1 76,5 85,3 77,6 65,7 72,7 74,9 79,6 75,9 70,9 69,1 74,2 72,5 80,5 77,2 79,7 72,6 74,0 71,1 76,4 >52 cm 4,2 6,1 2,1 3,5 3,9 3,3 7,2 2,1 3,8 2,1 3,3 3,4 2,2 1,4 2,7 2,3 5,1 3,6 5,6 4,0 3,0 5,9 6,9 3,5 3,8 3,2 8,9 4,0 2,9 6,8 4,8 6,8 3,3 3,3 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik disajikan pada Tabel 3.13.4. Menurut kelompok umur, bayi lahir pendek tidak menunjukkan adanya pola yang jelas. Persentase bayi lahir pendek pada anak perempuan (21,4%) lebih tinggi daripada anak laki-laki (19,1%). Menurut pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan terlihat adanya kecenderungan semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah persentase anak lahir pendek. Menurut jenis pekerjaan, persentase anak lahir pendek tertinggi pada anak balita dengan kepala rumah tangga yang tidak bekerja (22,3%), sedangkan persentase terendah pada kelompok pekerjaan pegawai (18,1%). Persentase anak lahir pendek di perdesaan (21,9%) lebih tinggi daripada di perkotaan (19,1%). 185 Tabel 3.13.4 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik <48 cm Ada catatan 48 - 52 cm >52 cm 22,7 21,4 20,7 20,9 18,3 17,7 74,1 75,6 75,9 76,0 78,3 78,5 3,2 3,1 3,4 3,2 3,4 3,8 19,1 21,4 77,3 75,6 3,6 3,1 24,9 22,5 22,1 21,1 18,5 16,7 73,1 75,1 74,9 76,0 77,6 79,0 2,0 2,4 3,0 2,8 3,9 4,3 22,3 18,1 18,8 22,3 21,1 74,7 77,9 77,7 74,9 75,5 3,0 4,0 3,5 2,8 3,4 19,1 21,9 77,5 74,9 3,4 3,2 24,1 22,5 21,6 19,0 17,8 73,5 74,6 75,9 77,3 78,0 2,4 2,9 2,5 3,7 4,2 Kelompok umur (bulan) 0–5 6 – 11 12 – 23 24 – 35 36 – 47 48 – 59 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Gambar 3.13.2 menyajikan persentase umur 0-59 bulan dengan berat badan lahir <2500 gram (BBLR) dan panjang badan lahir <48 cm (lahir pendek) menurut provinsi. Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR sebesar 4,3 persen, tertinggi di Papua (7,6%) dan terendah di Maluku (0,8%). 186 10,0 7,6 8,0 6,0 4,3 4,0 0,0 0,8 Maluku Bengkulu Aceh Sultra Kalsel Sumbar Gorontalo Malut Pabar Kalteng Riau Jambi Sulut Kep.Riau Bali Lampung Jabar Sumut Banten Indonesia Babel Sulsel Sulbar DKI NTB Kaltim Sumsel NTT Jatim Kalbar Jateng DIY Sulteng Papua 2,0 Gambar 3.13.2 Persentase umur 0-59 bulan dengan berat badan lahir <2500 gram dan panjang badan lahir <48 cm menurut Provinsi, Indonesia 2013 Gambar 3.13.3 menyajikan persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR menurut karakteristik. Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR pada kelompok umur 0-5 bulan paling tinggi dibanding kelompok umur lainnya. Informasi ini menunjukkan persentase balita dengan riwayat lahir pendek dan BBLR semakin meningkat. Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR pada perempuan (4,9%) lebih tinggi daripada laki-laki (3,8%). Gambar 3.13.3 Persentase anak dengan berat badan <2500 gram dan panjang badan lahir <48 cm menurut karakteristik, Indonesia 2013 187 Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR cenderung menurun seiring dengan semakin meningkatnya pendidikan. Menurut pekerjaan, terlihat kecenderungan persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR lebih tinggi pada kelompok kepala rumah tangga yang tidak bekerja dan petani/nelayan/buruh dibandingkan kepala rumah tangga yang bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/Pegawai. Menurut tempat tinggal, balita yang tinggal di perkotaan (4,4%) sedikit lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (4,2%). Menurut kelompok kuintil indeks kepemilikan, tidak terlihat adanya pola kecenderungan yang jelas. 3.13.2. Kecacatan Riskesdas 2013 menyajikan informasi prevalensi anak umur 24-59 bulan yang mengalami kecacatan. Kecacatan yang dimaksud adalah semua kecacatan yang dapat diobservasi termasuk karena penyakit atau trauma/kecelakaan. Anak yang mempunyai kecacatan termasuk anak berkebutuhan khusus, seperti di bawah ini: a. Tuna netra (penglihatan/buta) adalah anak yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan (Kaufman & Hallahan). b. Tuna wicara (berbicara/bisu) adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara, sehingga mereka biasa disebut tuna wicara. Gangguan berbicara pada anak balita (<5 tahun) bisanya terjadi karena anak mengalami hambatan pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen yang berakibat anak mengalami hambatan berbicara. Jadi anak mengalami gangguan pendengaran dan berbicara (tuli bisu). c. Down syndrom adalah kelainan genetik yang terjadi pada masa pertumbuhan janin (pada kromosom 21/trisomi 21) dengan gejala yang sangat bervariasi dari gejala minimal sampai muncul tanda khas berupa keterbelakangan mental dengan tingkat IQ kurang dari 70 serta bentuk muka (Mongoloid) dan garis telapak tangan yang khas (Simian crease). Ciri-ciri anak down syndrome adalah muka rata, hidung tipis (pesek), jarak antara kedua mata tampak lebih dekat, jarak ibu jari dan telunjuk pada jari kaki lebih lebar, garis tangan melengkung tidak terputus. d. Tuna daksa (tubuh/cacat anggota badan) adalah anak yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuromuskular (syaraf otot) dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit, atau akibat kecelakaan termasuk polio dan lumpuh. e. Bibir sumbing adalah kelainan pada bibir, langit-langit atas mulut atau kedua-duanya. f. Tuna rungu (pendengaran/tuli) adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Gambar 3.13.4 menunjukkan kecenderungan persentase kecacatan pada anak 24-59 bulan. Persentase jenis kecacatan yang tertinggi adalah tuna netra (cacat penglihatan/buta) sebesar 0,17 persen dan terendah adalah tuna rungu 0,07 persen. Data ini menunjukkan persentase anak tuna wicara 2 kali lebih tinggi daripada persentase anak tuna rungu. Persentase anak tuna netra meningkat hampir dua kali lipat bila dibandingkan hasil Riskesdas 2010. 188 0,53 0,6 0,5 0,4 0 Minimal satu Tuna netra Tuna wicara Down Tuna daksa jenis cacat syndrome 2010 Bibir sumbing 0,07 0,08 0,08 0,17 0,13 0,12 0,14 0,15 0,08 0,1 0,09 0,2 0,17 0,3 Tuna rungu 2013 Gambar 3.13.4 Kecenderungan persentase kecacatan pada anak 24-59 bulan, Indonesia 2010 dan 2013 3.13.3. Status Imunisasi Program imunisasi dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1956. Kementerian Kesehatan melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya menurunkan kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus serta hepatitis B. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1611/MENKES/SK/XI/2005, program pengembangan imunisasi mencakup satu kali HB-0, satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu; imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua bulan, tiga bulan empat bulan dengan interval minimal empat minggu; dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan. Informasi cakupan imunisasi pada Riskesdas 2013 ditanyakan kepada ibu yang mempunyai balita umur 0-59 bulan. Informasi imunisasi dikumpulkan berdasarkan empat sumber informasi, yaitu wawancara kepada ibu balita atau anggota rumah tangga yang mengetahui, catatan dalam KMS, catatan dalam buku KIA, dan catatan dalam buku kesehatan anak lainnya. Apabila salah satu dari keempat sumber tersebut menyatakan bahwa anak sudah diimunisasi, disimpulkan bahwa anak tersebut sudah diimunisasi untuk jenis yang ditanyakan. Selain setiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila sudah mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Jadwal imunisasi untuk HB-0, BCG, polio, DPT-HB, dan campak berbeda, sehingga bayi umur 0-11 bulan tidak dianalisis. Analisis dilakukan pada anak umur 12-23 bulan, yang telah melewati masa imunisasi dasar. Analisis imunisasi hanya dilakukan pada anak umur 12-23 bulan karena beberapa alasan, yaitu: (1) hasil analisis dapat mendekati perkiraan “valid immunization”; (2) survei-survei lain juga menggunakan kelompok umur 12-23 bulan untuk menilai cakupan imunisasi, sehingga dapat dibandingkan dan; (3) bias karena ingatan ibu yang diwawancara pada saat pengumpulan data lebih rendah dibanding kelompok umur di atasnya. 189 Tidak semua balita dapat diketahui status imunisasinya (missing). Hal ini disebabkan beberapa alasan, yaitu ibu lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum, ibu lupa berapa kali sudah diimunisasi, ibu tidak mengetahui secara pasti jenis imunisasi, catatan dalam KMS/ buku KIA tidak lengkap/tidak terisi, tidak dapat menunjukkan karena hilang atau tidak disimpan oleh ibu. Alasan lainnya karena subyek yang ditanya tentang imunisasi bukan ibu balita, memory recall bias dari ibu, ataupun ketidakakuratan pewawancara saat proses wawancara dan pencatatan. Oleh karena itu, perlu menjadi catatan bahwa dalam interpretasi hasil cakupan imunisasi terdapat kekurangan metode survei (desain potong lintang) dalam Riskesdas 2013. Gambar 3.13.5 menunjukkan cakupan imunisasi lengkap pada anak umur 12-23 bulan, yang merupakan gabungan dari satu kali imunisasi HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Cakupan imunisasi lengkap cenderung meningkat dari tahun 2007 (41,6%), 2010 (53,8%), dan 2013 (59,2%). 100,0 80,0 60,0 40,0 53,8 59,2 49,2 41,6 33,5 32,1 20,0 0,0 9,1 Lengkap Tidak lengkap 2007 2010 12,7 8,7 Tidak diimunisasi 2013 Gambar 3.13.5 Kecenderungan imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan, Indonesia tahun 2007, 2010, dan 2013 Tabel 3.13.5 menunjukkan cakupan tiap jenis imunisasi yaitu HB-0, BCG, polio empat kali (polio 4), DPT-HB kombo tiga kali (DPT-HB 3), dan campak menurut provinsi. Berdasarkan jenis imunisasi persentase tertinggi adalah BCG (87,6%) dan terendah adalah DPT-HB3 (75,6%). Papua mempunyai cakupan imunisasi terendah untuk semua jenis imunisasi, meliputi HB-0 (45,7%), BCG (59,4%), DPT-HB 3 (75,6%), Polio 4 (48,8%), dan campak (56,8%). Provinsi DI Yogyakarta mempunyai cakupan imunisasi tertinggi untuk jenis imunisasi dasar HB-0 (98,4%), BCG (98,9%), DPT-HB 3 (95,1%), dan campak (98,1%) sedangkan cakupan imunisasi polio 4 tertinggi di Gorontalo (95,8%). 190 Tabel 3.13.5 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-23 bulan menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia HB-0 64,8 63,0 70,5 68,8 79,1 70,8 81,0 79,9 87,5 87,4 87,8 78,8 90,5 98,4 91,2 76,9 93,4 92,7 70,7 62,3 57,7 69,1 83,4 82,4 64,7 72,9 59,8 87,5 67,6 47,8 57,3 50,6 45,7 79,1 BCG 72,9 78,1 81,0 81,4 85,5 84,9 93,0 90,0 92,8 92,0 90,9 87,8 94,8 98,9 93,3 83,6 97,6 92,2 84,2 81,2 77,0 83,2 87,3 97,3 84,3 84,8 84,8 97,2 79,3 73,6 83,6 80,4 59,5 87,6 Jenis imunisasi dasar DPT-HB-3 Polio-4 52,9 58,3 63,1 67,5 60,2 64,4 70,0 70,9 76,7 77,4 73,6 76,3 86,7 87,6 82,5 84,6 83,7 88,3 87,4 88,0 79,1 76,7 71,5 73,9 89,2 87,6 95,1 88,3 85,7 86,2 63,3 64,0 90,4 92,4 85,2 87,7 66,0 68,5 71,9 74,1 67,9 69,9 72,0 73,2 81,4 81,6 83,3 81,4 72,6 74,0 69,5 70,9 75,3 76,9 93,0 95,8 67,1 70,2 53,8 61,8 68,9 71,9 60,0 62,8 40,8 48,8 75,6 77,0 Campak 62,4 70,1 71,4 77,3 79,7 82,6 90,2 87,9 86,4 91,9 85,3 80,8 92,6 98,1 89,0 66,7 93,5 90,6 84,1 77,3 77,4 74,1 84,1 94,4 76,7 76,9 83,8 94,9 72,5 70,5 80,3 76,9 56,8 82,1 Tabel 3.13.6 menunjukkan cakupan jenis imunisasi dasar menurut karakteristik. Cakupan imunisasi tidak berbeda menurut jenis kelamin. Persentase semua jenis imunisasi lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di perdesaan. Terlihat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi cakupan jenis imunisasi. Pada kepala rumah tangga yang bekerja sebagai pegawai, cakupan jenis imunisasi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pekerjaan lainnya. 191 Tabel 3.13.6 Persentase jenis imunisasi dasar pada anak umur 12-23 bulan menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas HB-0 Persentase imunisasi dasar BCG DPT-HB-3 Polio-4 79,8 78,3 87,9 87,2 75,6 75,7 76,0 77,9 81,5 82,8 68,6 69,4 74,2 80,1 85,5 89,3 75,5 79,3 84,7 89,6 91,9 93,2 64,8 66,6 70,8 77,0 81,4 86,0 66,8 67,7 73,1 78,2 82,2 86,1 73,2 74,6 78,9 83,1 86,6 89,2 80,3 88,4 82,7 72,2 80,2 85,6 94,1 89,0 83,8 86,8 75,5 83,9 77,3 70,5 75,3 78,0 83,8 79,1 72,4 75,4 83,2 87,9 83,2 78,3 83,0 85,9 71,9 91,0 83,9 79,9 71,1 80,3 73,4 84,1 80,0 56,5 74,2 82,2 86,6 87,2 73,2 85,6 88,8 91,7 93,3 56,6 73,4 76,9 80,5 83,9 60,1 76,0 78,4 81,0 83,6 68,9 81,7 82,6 86,0 86,7 Campak Cakupan imunisasi dasar lengkap menurut provinsi dapat dilihat pada Tabel 3.13.7. Cakupan imunisasi dasar lengkap bervariasi antar provinsi, yaitu tertinggi di DI Yogyakarta (83,1%) dan terendah di Papua (29,2%). Secara nasional, terdapat 8,7 persen anak 12-23 bulan yang tidak pernah mendapatkan imunisasi dengan persentase tertinggi di Papua (36,6%) dan terendah di DI Yogyakarta (1,1%). 192 Tabel 3.13.7 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Kelengkapan imunisasi dasar Lengkap Tidak lengkap Tidak imunisasi 38,3 41,9 19,8 39,1 44,5 16,4 39,7 46,9 13,4 52,2 31,9 15,8 60,3 27,5 12,3 48,3 40,2 11,6 62,1 33,0 4,9 62,4 31,1 6,5 67,7 27,3 5,1 71,6 23,2 5,3 64,5 30,7 4,8 56,6 35,1 8,3 76,9 19,5 3,5 83,1 15,7 1,1 74,5 21,7 3,7 45,8 43,9 10,4 80,8 18,0 1,2 75,4 21,1 3,6 50,3 40,2 9,6 47,4 38,3 14,2 42,0 43,2 14,8 52,0 33,9 14,0 65,9 26,3 7,8 60,9 36,7 2,3 47,1 42,7 10,1 49,5 41,7 8,7 47,3 41,8 10,9 80,6 16,7 2,8 52,4 31,0 16,7 29,7 48,6 21,7 42,6 46,8 10,6 35,6 45,8 18,6 29,2 34,3 36,6 59,2 32,1 8,7 Tabel 3.13.8. menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap menurut karakteristik. Persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (64,5%) daripada di perdesaan (53,7%) dan terdapat 11,7 persen anak umur 12-23 bulan di perdesaan yang tidak diberikan imunisasi sama sekali. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula cakupan imunisasi dasar lengkapnya. Menurut pendidikan kepala rumah tangga, cakupan imunisasi dasar lengkap anak umur 12-23 bulan tertinggi pada kelompok perguruan tinggi (72,5%) dan terendah pada kelompok tidak tamat SD (49,0%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan semakin tinggi cakupan imunisasi dasar lengkap. Menurut pekerjaan, terlihat kecenderungan peningkatan cakupan imunisasi lengkap anak umur 12-23 bulan pada kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai maupun wiraswasta. 193 Tabel 3.13.8 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Kelengkapan imunisasi dasar Lengkap Tidak lengkap Tidak imunisasi 59,0 59,4 32,3 31,8 8,6 8,8 50,6 49,0 53,3 59,2 66,6 72,5 31,6 37,2 35,9 33,1 27,9 22,9 17,8 13,8 10,8 7,7 5,4 4,6 59,2 69,5 61,7 52,9 58,7 32,5 26,3 30,8 35,6 32,2 8,4 4,3 7,5 11,6 9,1 64,5 53,7 29,6 34,7 5,8 11,7 39,5 55,1 61,1 65,4 67,8 39,7 35,4 30,9 29,5 27,9 20,8 9,5 8,0 5,1 4,3 Gambar 3.13.5 menunjukkan bahwa 8,7 persen anak 12-23 bulan belum pernah diberikan imunisasi. Pada Tabel 3.13.9, alasan utama tidak diimunisasi adalah takut anak menjadi panas (28,8%), namun Gambar 3.13.6 memperlihatkan bahwa persentase anak umur 12-23 bulan yang mengalami demam tinggi setelah imunisasi hanya 6,8 persen. Tabel 3.13.9 juga menunjukkan terdapat 26,3 persen yang menyatakan bahwa keluarga tidak mengizinkan anak diimunisasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi pula persentase keluarga yang tidak mengizinkan anaknya diimunisasi. Persentase anak di perkotaan yang tidak diizinkan keluarga untuk diimunisasi (35,5%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (21,3%). Persentase balita yang menyatakan bahwa keluarga tidak mengizinkan diimunisasi tertinggi pada kelompok kepala rumah tangga yang bekerja sebagai pegawai. Pada balita yang tidak diimunisasi karena tempat imunisasi jauh, terlihat bahwa semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga, persentase balita yang tidak diimunisasi semakin rendah. Persentase anak di perkotaan yang tidak diimunisasi karena tempat jauh (7,4%) lebih rendah dibandingkan di perdesaan (29,2%). 194 Tabel 3.13.9 Persentase alasan tidak pernah imunisasi pada anak umur 12-23 bulan menurut karakteristik, Indonesia 2013 *) Alasan tidak pernah imunisasi Keluarga Takut anak Anak Tidak tahu Tempat Karakteristik tidak menjadi sering tempat imunisasi Sibuk/repot mengijinkan panas sakit imunisasi jauh Jenis kelamin Laki-laki 27,2 28,2 7,5 5,0 21,5 18,7 Perempuan 25,1 29,7 5,7 8,7 22,0 14,2 Pendidikan Tidak pernah sekolah 11,4 9,7 2,1 8,3 47,1 25,7 Tidak tamat SD 20,7 28,7 5,8 6,7 25,1 20,0 19,3 32,5 7,8 7,1 22,3 15,6 Tamat SD Tamat SMP 33,0 26,4 5,1 8,8 21,4 14,4 Tamat SMA 41,4 33,1 10,0 3,9 7,8 13,5 56,4 22,9 0,4 3,8 13,7 13,7 Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja 30,7 14,7 10,3 0,9 27,2 23,2 42,7 31,6 4,4 4,5 12,0 15,5 Pegawai Wiraswasta 34,8 42,3 5,7 7,6 6,7 12,5 Petani/Nelayan/Buruh 21,6 25,2 6,6 6,1 28,3 17,4 12,8 38,5 10,4 24,3 9,7 13,1 Lainnya Tempat tinggal Perkotaan 35,5 37,9 7,7 6,6 7,4 15,7 21,3 24,3 6,1 6,8 29,2 16,9 Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 14,0 19,7 4,9 6,8 40,4 18,3 23,8 33,0 8,1 4,2 21,1 16,5 Menengah bawah Menengah 31,3 34,4 11,0 6,2 6,0 18,3 Menengah atas 42,8 40,5 5,2 10,6 4,1 9,9 44,8 29,0 4,1 6,8 6,7 15,6 Teratas Indonesia 26,3 28,8 6,8 6,7 21,9 16,3 *) dari 8,7% anak yang tidak diimunisasi Gambar 3.13.6 menunjukkan bahwa dari 91,3 persen yang pernah diimunisasi, terdapat 33,4 persen yang pernah mengalami KIPI. Keluhan yang sering terjadi adalah kemerahan dan bengkak, sedangkan keluhan demam tinggi dialami oleh 6,8 persen anak. 195 Gambar 3.13.6 Persentase keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur 12-23 bulan, Indonesia 2013 3.13.4. Kunjungan neonatus Pada Riskesdas 2013 dilakukan pengumpulan data kunjungan neonatus yang meliputi kunjungan pada saat bayi saat berumur 6-48 jam (KN1), 3-7 hari (KN2), dan 8-28 hari (KN3). Gambar 3.13.7 menunjukkan hampir tidak ada perbedaan persentase KN1 dan KN2 antara hasil Riskesdas 2010 dan 2013, sedangkan persentase KN3 (8-28 hari) meningkat dari tahun 2010 (38,0%) ke tahun 2013 (47,5%). Cakupan kunjungan neonatus lengkap juga meningkat dari 31,8 persen (2010) menjadi 39,3 persen (2013). Kunjungan neonatus tertinggi pada bayi umur 6-48 jam (71,3%) dan terendah pada bayi umur 8-28 hari (47,5%). 100,0 80,0 60,0 40,0 71,4 71,3 61,3 61,3 47,5 38,0 31,8 39,3 20,8 21,5 20,0 0,0 KN1 (6-48 jam) KN2 (3-7 hari) KN3 (8-28 hari) 2010 KN lengkap Tidak KN 2013 Gambar 3.13.7 Kecenderungan kunjungan neonatus lengkap, Indonesia 2010 dan 2013 196 Persentase KN1 pada anak balita menurut provinsi disajikan pada Gambar 3.13.8 Persentase kunjungan neonatus pada 6-48 jam adalah 71,3 persen pada Riskesdas 2013 dan hampir tidak ada perbedaan dengan hasil Riskesdas 2010 (71,4%). Pada tahun 2013, provinsi dengan persentase KN1 tertinggi adalah DKI Jakarta (82,8%) dan terendah di Papua Barat (42,1%). 100,0 71,3 80,0 60,0 71,4 40,0 0,0 Pabar Papua Maluku Malut NTT Kep.Riau Kalbar Sumsel Kalteng Sulteng Sulbar Banten Jabar Sumbar Sultra Sumut Babel Indonesia Lampung Kaltim Riau Sulsel Kalsel Aceh Sulut Gorontalo Jateng Jambi NTB Jatim Bengkulu DIY Bali DKI 20,0 2010 2013 Gambar 3.13.8 Kecenderungan KN1 menurut provinsi, Indonesa 2010 dan 2013 Persentase kunjungan neonatus menurut karakteristik disajikan pada Tabel 3.13.10. Dari Tabel 3.13.10, persentase kunjungan neonatus 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari setelah lahir semakin rendah seiring dengan bertambahnya umur anak. Persentase kunjungan neonatus menurut jenis kelamin anak hampir tidak ada perbedaan, sedangkan menurut tempat tinggal, persentase kunjungan neonatus di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula persentase kunjungan neonatus pada bayi berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga, persentase kunjungan neonatus pada umur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari tertinggi pada kelompok pekerjaan pegawai, yaitu 79,8 persen untuk KN1, 70,5 persen untuk KN2, dan 57,7 persen untuk KN3. 197 Tabel 3.13.10 Persentase kunjungan neonatal pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Kelompok umur (bulan) 0–5 6 – 11 12 – 23 24 – 35 36 – 47 48 – 59 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Indonesia KN1 (6 – 48 jam) Kunjungan Neonatal KN3 (8 – 28 hari) KN2 (3 – 7 hari) 75,7 75,9 72,5 71,2 69,8 67,1 63,8 64,3 63,1 61,6 60,4 57,4 49,3 49,6 49,2 47,3 47,2 44,3 71,6 70,9 61,6 61,0 47,6 47,4 59,2 61,8 65,7 71,6 78,0 83,3 48,9 52,4 56,1 62,5 67,0 73,0 40,0 41,3 42,5 45,9 53,0 60,7 70,8 79,8 75,1 65,0 71,3 58,8 70,5 65,4 54,7 61,7 47,5 57,7 49,8 41,1 47,2 76,1 66,2 66,8 55,5 54,3 40,3 49,9 65,9 73,5 77,7 80,9 71,3 39,8 55,6 64,1 68,4 70,0 61,3 30,6 40,7 48,9 54,4 55,5 47,5 Setiap bayi baru lahir sebaiknya mendapatkan semua kunjungan neonatus, yaitu pada saat bayi berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Bayi yang mendapat kunjungan neonatus tiga kali yaitu pada saat berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari, dapat dinyatakan melakukan kunjungan neonatus lengkap (KN1, KN2, KN3). Persentase kunjungan neonatus lengkap menurut provinsi disajikan pada Gambar 3.13.9. Gambar 3.13.9 menunjukkan bahwa persentase anak balita dengan kunjungan neonatus lengkap adalah 39,3 persen pada Riskesdas tahun 2013, lebih tinggi daripada tahun 2010 (31,8%). Persentase kunjungan neonatus lengkap tahun 2013 tertinggi di DI Yogyakarta (58,3%) dan terendah di Papua Barat (6,8%). 198 100,0 80,0 60,0 39,3 40,0 20,0 Pabar Papua Kalbar Sulsel Sulbar Maluku Babel Riau Malut Kalteng Sumut Sumsel NTT Sumbar Sulteng Kalsel Kep.Riau Sultra Bengkulu Aceh Kaltim Jambi Lampung Indonesia Banten Gorontalo Sulut Jabar NTB Jateng Bali Jatim DKI DIY 0,0 31,8 2010 2013 Gambar 3.13.9 Kecenderungan kunjungan neonatus lengkap menurut provinsi, Indonesia 2010 dan 2013 Tabel 3.13.11 menunjukkan bahwa hampir tidak ada perbedaan persentase kunjungan neonatus lengkap menurut jenis kelamin anak. Menurut tempat tinggal, persentase kunjungan neonatus lengkap di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Di perdesaan, 26,7 persen anak balita tidak pernah melakukan kunjungan neonatus. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi pula persentase kunjungan neonatus lengkap. Menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga, kunjungan neonatus lengkap tertinggi pada jenis pekerjaan pegawai (49,3%) dan terendah pada kelompok pekerjaan petani/buruh/nelayan (33,2%). Persentase balita yang tidak pernah melakukan kunjungan neonatus semakin rendah seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut jenis pekerjaan, balita yang tidak pernah melakukan kunjungan neonatus tertinggi pada jenis pekerjaan petani/nelayan/buruh (27,6%) dan terendah pada kelompok pekerjaan pegawai (13,4%). 199 Tabel 3.13.11 Persentase kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Kelompok umur (bulan) 0–5 6 – 11 12 – 23 24 – 35 36 – 47 48 – 59 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Indonesia Tidak pernah KN Kategori kunjungan neonatal KN tidak lengkap KN lengkap 18,4 18,0 20,0 21,2 22,4 25,5 40,6 39,7 39,6 39,7 38,7 38,0 41,0 42,3 40,5 39,1 38,9 36,6 21,2 21,7 39,1 39,3 39,7 39,0 34,0 30,1 26,2 20,4 15,6 11,6 33,6 37,2 39,4 42,2 39,5 34,8 32,4 32,7 34,4 37,4 44,8 53,7 22,8 13,4 17,5 27,6 20,7 37,5 37,3 41,2 39,2 40,6 39,8 49,3 41,3 33,2 38,7 16,4 26,7 38,1 40,4 45,4 32,9 42,2 25,8 18,4 15,4 13,6 21,5 34,9 41,7 41,1 38,6 39,0 39,2 22,9 32,5 40,5 46,0 47,5 39,3 3.13.5. Perawatan tali pusar Riskesdas 2013 menyediakan informasi tentang cara perawatan tali pusar bayi baru lahir. Menurut standar Asuhan Persalinan Normal (APN) tali pusar yang telah dipotong dan diikat, tidak diberi apa-apa. Sebelum metode APN diterapkan, tali pusar dirawat dengan alkohol atau antiseptik lainnya. Tabel 3.13.12 menyajikan persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut provinsi. Dari tabel tersebut diketahui bahwa persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa sebesar 24,1 persen, diberi betadine/alkohol sebesar 68,9 persen, dan diberi obat tabur sebesar 1,6 persen. Persentase perawatan tali pusar 200 dengan tidak diberi apa-apa meningkat dari 11,6 persen (2010) menjadi 24,1 persen (2013). Sebaliknya, perawatan tali pusar dengan pemberian betadine/alkohol menurun dari 78,9 persen (2010) menjadi 68,9 persen (2013). Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa tertinggi di Bali (49,6%) dan terendah di Sulawesi Utara (4,6%). Tabel 3.13.12 Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut provinsi, Indonesia 2013 Cara perawatan tali pusar Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Tidak diberi apa-apa Diberi betadine/ alkohol Diberi obat tabur 25,7 9,3 22,2 11,6 34,8 8,4 24,8 35,4 14,9 17,1 27,0 30,1 18,1 45,8 33,6 14,9 49,6 45,0 26,7 16,8 16,8 16,0 17,7 4,6 9,7 17,4 22,7 13,2 20,2 6,1 18,2 16,5 37,3 24,1 66,9 81,7 75,3 78,5 58,0 80,9 68,2 59,0 76,3 79,3 71,6 64,8 81,1 53,6 63,3 76,2 45,2 41,8 49,7 60,7 59,1 75,5 77,8 93,9 76,0 72,9 59,0 78,7 59,9 71,6 47,4 66,7 48,2 68,9 1,3 4,3 0,6 1,5 1,2 0,9 2,5 1,1 0,8 1,0 0,3 1,8 0,2 0,2 0,7 0,9 0,3 2,7 4,8 2,8 4,1 2,3 1,3 0,6 4,1 2,9 3,4 2,5 2,9 2,0 2,9 0,9 2,1 1,6 201 Diberi ramuan/obat tradisional 6,1 4,7 1,9 8,5 5,9 9,8 4,5 4,5 7,9 2,6 1,1 3,4 0,6 0,3 2,3 8,0 5,0 10,5 18,8 19,7 19,9 6,3 3,3 0,9 10,3 6,8 14,9 5,6 17,0 20,3 31,6 15,9 12,4 5,5 3.13.6. Pola pemberian ASI Dalam Riskesdas 2013 dikumpulkan data tentang pola pemberian ASI dan pola pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak umur 0-23 bulan yang meliputi: proses mulai menyusu, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal, menyusu eksklusif, dan pemberian MP-ASI. Dalam buku ini ditampilkan proses menyusui dan menyusu ekslusif. Kriteria menyusu ekslusif ditegakkan bila anak umur 0-6 bulan hanya diberi ASI saja pada 24 jam terakhir dan tidak diberi makanan prelakteal. Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. Bagi bayi, menyusui mempunyai peran penting untuk menunjang pertumbuhan, kesehatan, dan kelangsungan hidup bayi karena ASI kaya dengan zat gizi dan antibodi. Sedangkan bagi ibu, menyusui dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas karena proses menyusui akan merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (postpartum). Menyusui dalam jangka panjang dapat memperpanjang jarak kelahiran karena masa amenorhoe lebih panjang. UNICEF dan WHO membuat rekomendasi pada ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Sesudah umur 6 bulan, bayi baru dapat diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan ibu tetap memberikan ASI sampai anak berumur minimal 2 tahun. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan juga merekomendasikan para ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Gambar 3.13.10 menunjukkan kecenderungan proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan pada tahun 2010 dan 2013. Dari gambar tersebut dapat dinilai bahwa proses menyusu kurang dari satu jam (inisiasi menyusu dini) meningkat menjadi 34,5 persen (2013) dari 29,3 persen (2010). 50,0 40,7 40,0 30,0 34,5 35,2 29,3 20,0 11,3 13,0 11,1 13,7 7,6 10,0 3,7 0,0 < 1 Jam (IMD) 1-6 Jam 7-23 Jam 2010 24-47 jam ≥ 48 jam 2013 Gambar 3.13.10 Kecenderungan proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan, Indonesia 2010 dan 2013 Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut provinsi disajikan pada Tabel 3.13.13. Persentase nasional proses mulai menyusu kurang dari satu jam (IMD) setelah bayi lahir adalah 34,5 persen, dengan persentase tertinggi di Nusa Tenggara Barat (52,9%) dan terendah di Papua Barat (21,7%). 202 Tabel 3.13.13 Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia <1 jam (IMD) 39,7 22,9 44,2 22,1 41,1 29,6 35,7 24,1 37,4 22,7 41,9 35,7 37,5 39,3 33,3 33,8 42,2 52,9 40,5 29,6 23,9 28,6 35,1 29,0 29,0 44,9 33,2 42,7 34,0 24,8 27,0 21,7 31,5 34,5 Kategori proses mulai menyusu 1-6 jam 7-23 jam 24-47 jam 27,7 2,9 15,7 32,9 4,2 17,1 36,6 3,9 9,3 43,9 5,1 10,9 34,5 2,8 11,0 36,4 5,3 11,7 34,0 1,0 18,9 46,3 4,1 13,6 26,4 2,0 14,6 39,5 7,0 14,5 27,3 3,5 16,1 37,4 3,7 11,3 34,6 5,0 9,9 39,4 2,0 10,8 33,5 3,3 15,3 37,7 3,7 13,5 33,2 1,6 13,5 30,8 1,4 10,2 40,3 3,2 9,1 36,9 1,9 16,3 34,8 2,7 21,0 32,8 2,6 15,9 41,0 2,0 10,5 34,7 4,1 15,7 24,7 4,2 15,7 26,0 3,7 10,2 35,3 3,0 12,0 35,0 1,8 11,6 35,5 3,2 9,9 42,4 3,8 9,7 39,6 3,8 12,6 43,5 3,2 18,0 40,5 3,0 19,2 35,2 3,7 13,0 ≥48 jam 14,0 22,9 6,1 18,0 10,6 17,0 10,3 12,0 19,6 16,4 11,3 11,9 13,0 8,4 14,7 11,4 9,5 4,6 6,8 15,3 17,5 20,0 11,4 16,4 26,4 15,1 16,5 8,9 17,4 19,2 17,0 13,7 5,8 13,7 Gambar 3.13.11 menunjukkan bahwa persentase pemberian ASI saja dalam 24 jam terakhir semakin menurun seiring meningkatnya umur bayi dengan persentase terendah pada anak umur 6 bulan (30,2%). 203 100,0 Persen 80,0 60,0 52,7 48,7 46,0 42,2 40,0 41,9 36,6 30,2 20,0 0,0 0 1 2 3 Umur ( bulan) 4 5 6 Gambar 3.13.11 Pemberian ASI saja 24 jam terakhir menurut umur 3.13.7. Cakupan vitamin A Kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak berumur enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur 6-11 bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan. Gambar 3.13.12 menunjukkan kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan menurut propinsi pada tahun 2007 dan 2013. Cakupan pemberian vitamin A meningkat dari 71,5 persen (2007) menjadi 75,5 persen (2013). Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir tertinggi di Nusa Tenggara Barat (89,2%) dan terendah di Sumatera Utara (52,3%). 100,0 75,5 80,0 60,0 71,5 40,0 0,0 Sumut Papua Sulbar Riau Pabar Malut Maluku Kalteng Sumsel Kalbar Sulsel Kep.Riau Babel Sulteng Sumbar NTT Kalsel Sultra Lampung Aceh Bengkulu Banten Jambi DKI Indonesia Bali Kaltim Sulut Jabar Gorontalo Jatim Jateng DIY NTB 20,0 2007 2013 Gambar 3.13.12 Kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan, Indonesia 2007 dan 2013 204 3.13.8. Pemantauan pertumbuhan Pemantauan pertumbuhan balita sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan pertumbuhan (growth faltering) secara dini. Untuk mengetahui pertumbuhan tersebut, penimbangan balita setiap bulan sangat diperlukan. Penimbangan balita dapat dilakukan di berbagai tempat seperti Posyandu, Polindes, Puskesmas atau sarana pelayanan kesehatan yang lain. Pada Riskesdas 2013, informasi tentang pemantauan pertumbuhan anak diperoleh dari frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir. Idealnya dalam enam bulan anak balita ditimbang minimal enam kali. Gambar 3.13.13 menunjukkan kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 659 bulan dalam enam bulan terakhir pada tahun 2007 dan 2013. Dari gambar tersebut terlihat bahwa frekuensi penimbangan >4 kali sedikit menurun pada tahun 2013 (44,6%) dibanding tahun 2007 (45,4%). Anak umur 6-59 bulan yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir meningkat dari 25,5 persen (2007) menjadi 34,3 persen (2013). 60,0 50,0 45,4 44,6 40,0 34,3 29,1 30,0 21,1 20,0 25,5 10,0 0,0 ≥ 4 kali 1 – 3 kali 2007 Tidak Pernah 2013 Gambar 3.13.13 Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan terakhir, Indonesia 2007 dan 2013 Gambar 3.13.14 menyajikan kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan balita >4 kali dalam enam bulan terakhir menurut provinsi pada tahun 2007 dan 2013. Dari gambar tersebut terlihat bahwa frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak ≥4 kali tertinggi di DI Yogyakarta (79,0%) dan terendah di Sumatera Utara (12,5%). 205 100,0 80,0 44,6 60,0 40,0 45,4 0,0 Sumut Bengkulu Papua Sumsel Lampung Riau Kalteng Jambi Sulteng Sultra Kalsel Sulsel Kalbar Pabar Kep.Riau Aceh Sulut Sulbar Maluku Banten Malut Kaltim Babel Sumbar Indonesia Bali Gorontalo DKI Jabar NTT Jateng Jatim NTB DIY 20,0 2007 2013 Gambar 3.13.14 Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan balita ≥4 kali dalam 6 bulan terakhir menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 3.13.9. Sunat Perempuan Riskesdas 2013 menyajikan data atau informasi tentang kebiasaan/perilaku sunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun, berupa presentase pernah disunat dan presentase kategori umur ketika disunat. Selain itu juga disajikan data tentang presentase orang yang menyarankan untuk melakukan sunat dan presentase yang melakukan sunat anak perempuan, keduanya disajikan lengkap dalam buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun menurut provinsi disajikan pada Gambar 3.13.15. Secara nasional, persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun sebesar 51,2 persen, dengan umur waktu disunat tertinggi ketika umur 1-5 bulan (72,4%), namun ada juga yang disunat ketika usia 1-4 tahun (13,9%), dan 5-11 tahun (3,3%). Menurut provinsi persentase tertinggi di Gorontalo (83,7%) dan terendah di Nusa Tenggara Timur (2,7%) (Gambar 3.13.16). 206 Gambar 3.13.15 Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat dan umur ketika disunat, Indonesia 2013 Gambar 3.13.16 Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat menurut provinsi, Indonesia 2013 Gambar 3.13.17 menyajikan persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun menurut karakteristik. Menurut pendidikan dan pekerjaan kepala rumah tangga, persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun bervariasi antar tingkat pendidikan, maupun jenis pekerjaan kepala rumah tangga. Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun di perkotaan sebesar 55,8 persen, lebih tinggi daripada di perdesaan (46,9%). Menurut kuintil indeks kepemilikan, persentase terendah pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun terdapat di kelompok kuintil terbawah (44,5%). 207 Gambar 3.13.17 Persentase anak perempuan umur 0 - 11 tahun yang pernah disunat menurut karakteristik, Indonesia 2013 208 3.14. Status Gizi Anies Irawati, Atmarita, Dyah Santi Puspitasari, Yurista P., Fithya Puspitasari, dan Agus Triwinarto Uraian status gizi terdiri dari: (1) status gizi balita; (2) status gizi anak umur 5 – 18 tahun; (3) status gizi penduduk dewasa; (4) risiko kurang energi kronis (KEK); dan (5) wanita hamil risiko tinggi (risti). Selain itu disajikan juga gambaran kecenderungan status gizi hasil dari Riskesdas 2007, 2010, dan 2013. Informasi lengkap status gizi secara lengkap menurut provinsi maupun karakteristik disajikan di buku Riskesdas 2013 dalam angka. Jumlah responden yang dianalisis seperti skema berikut: Rumah Tangga 294.959 anak balita 82.661 anak balita dianalisis BB/U 82.661 remaja 13-15 th 63.354 anak 5-12 th 178.931 anak balita dianalisis TB/U 76.160 remaja 16-18 th 53.194 anak balita dianalisis BB/TB 71.117 wanita usia subur 272.556 dewasa ≥ 18 th 649.625 Ibu hamil 7.664 3.14.1. Status gizi anak balita 1. Cara penilaian status gizi anak balita Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan anak balita ditimbang menggunakan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg, panjang atau tinggi badan diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm. Variabel BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB. Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore dari masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi anak balita dengan batasan sebagai berikut : a. Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/U : Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik : : : Zscore < -3,0 Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore < -2,0 Zscore ≥ -2,0 209 b. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U: Sangat pendek Pendek : Normal : : : Zscore <-3,0 Zscore ≥- 3,0 s/d Zscore < -2,0 Zscore ≤-2,0 c. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/TB: Sangat kurus Kurus Normal Gemuk : : : : Zscore < -3,0 Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore < -2,0 Zscore ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0 Zscore > 2,0 d. Klasifikasi status gizi berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB: Pendek-kurus Pendek-normal Pendek-gemuk TB Normal-kurus TB Normal-normal TB Normal-gemuk : : : : : : Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0 Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0 Zscore ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0 Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0 Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0 Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB > 2,0 Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut: Berdasarkan indikator BB/U: Prevalensi gizi buruk Prevalensi gizi kurang Prevalensi gizi baik Berdasarkan indikator TB/U Prevalensi sangat pendek Prevalensi pendek Prevalensi normal : : : (∑ Balita gizi buruk/ ∑Balita) x 100% (∑ Balita gizi kurang/ ∑Balita) x 100% (∑ Balita gizi baik/∑Balita) x 100% : : : (∑ Balita sangat pendek/ ∑Balita) x 100% (∑ Balita pendek/∑ Balita) x 100% (∑ Balita normal/∑Balita) x 100% : : : : (∑ Balita sangat kurus/∑ Balita) x 100% (∑ Balita kurus/∑ Balita) x 100% (∑ Balita normal/∑ Balita) x 100% (∑ Balita gemuk/∑ Balita) x 100% Berdasarkan indikator BB/TB: Prevalensi sangat kurus Prevalensi kurus Prevalensi normal Prevalensi gemuk Berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB Prevalensi pendek-kurus Prevalensi pendek-normal Prevalensi pendek-gemuk Prevalensi TB normal-kurus Prevalensi TB normal-normal Prevalensi TB normal-gemuk : : : : : : (∑ Balita pendek-kurus/ ∑ Balita) x 100% (∑ Balita pendek-normal/∑ Balita) x 100% (∑ Balita pendek-gemuk/∑ Balita) x 100% (∑ Balita normal-kurus/∑ Balita) x 100% (∑ Balita normal-normal/∑ Balita) x 100% (∑ Balita normal-gemuk/∑ Balita) x 100% 210 Dalam laporan ini ada beberapa istilah status gizi yang digunakan, yaitu: Berat kurang Pendek Kurus : : : istilah untuk gabungan gizi buruk dan gizi kurang (underweight) istilah untuk gabungan sangat pendek dan pendek (stunting) istilah untuk gabungan sangat kurus dan kurus (wasting) 2. Sifat-sifat indikator status gizi Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain (masalah gizi akut). Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek. Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif pada saat dewasa (Teori Barker). Masalah gizi akut-kronis adalah masalah gizi yang memiliki sifat masalah gizi akut dan kronis. Sebagai contoh adalah anak yang kurus dan pendek. 3. Status gizi balita menurut indikator BB/U Gambar 3.14.1 menyajikan prevalensi berat-kurang (underweight) menurut provinsi dan nasional. Secara nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari 5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007, 4,9 persen pada tahun 2010, dan 5,7 persen tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9 persen dari 2007 dan 2013 (Gambar 3.14.4). Untuk mencapai sasaran MDG tahun 2015 yaitu 15,5 persen maka prevalensi gizi buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4.1 persen dalam periode 2013 sampai 2015. (Bappenas, 2012) Diantara 33 provinsi di Indonesia,18 provinsi memiliki prevalensi gizi buruk-kurang di atas angka prevalensi nasional yaitu berkisar antara 21,2 persen sampai dengan 33,1 persen. Urutan ke 19 provinsi tersebut dari yang tertinggi sampai terendah adalah (1) Nusa Tenggara Timur; (2) Papua Barat; (3) Sulawesi Barat; (4) Maluku; (5) Kalimantan Selatan; (6) Kalimantan Barat; (7) Aceh; (8) Gorontalo; (9) Nusa Tenggara Barat; (10) Sulawesi Selatan; (11) Maluku Utara; (12) Sulawesi Tengah; (13) Sulawesi Tenggara; (14) Kalimantan Tengah; (15) Riau; (16) Sumatera Utara; (17) Papua, (18) Sumatera Barat dan (19) Jambi Atas dasar sasaran MDG 2015, terdapat tiga provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk-kurang sudah mencapai sasaran yaitu: (1) Bali, (2) DKI Jakarta, (3) Bangka Belitung. Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi buruk-kurang antara 20,0-29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥30 persen (WHO, 2010). Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 19,6 persen, yang berarti 211 masalah gizi berat-kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi tinggi. Diantara 33 provinsi, terdapat tiga provinsi termasuk kategori prevalensi sangat tinggi, yaitu Sulawesi Barat, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur. 40,0 35,0 30,0 25,0 19,6 20,0 15,0 10,0 18,4 0,0 Bali DKI Babel Kep.Riau Jabar DIY Sulut Kaltim Banten Jateng Sumsel Bengkulu Lampung Jatim Indonesia Jambi Sumbar Papua Sumut Riau Kalteng Sultra Sulteng Malut Sulsel NTB Gorontalo Aceh Kalbar Kalsel Maluku Sulbar Pabar NTT 5,0 2007 2010 2013 Gambar 3.14.1 Kecenderungan prevalensi status gizi BB/U <-2SD menurut provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013 4. Status gizi anak balita berdasarkan indikator TB/U Gambar 3.14.2 menyajikan prevalensi pendek (stunting) menurut provinsi dan nasional. Prevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2 persen, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi pendek sebesar 37,2 persen terdiri dari 18,0 persen sangat pendek dan 19,2 persen pendek. Pada tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 18,8 persen tahun 2007 dan 18,5 persen tahun 2010. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0 persen pada tahun 2007 menjadi 19,2 persen pada tahun 2013. Terdapat 20 provinsi diatas prevalensi nasional dengan urutan dari prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu:(1) Nusa Tenggara Timur, (2) Sulawesi Barat, (3) Nusa Tenggara Barat, (4) Papua Barat, (5) Kalimantan Selatan, (6) Lampung, (7) Sulawesi Tenggara, (8) Sumatera Utara, (9) Aceh, (10) Kalimantan Tengah, (11) Maluku Utara, (12) Sulawesi Tengah, (13) Sulawesi Selatan, (14) Maluku, (15) Papua, (16) Bengkulu, (17) Sumatera Barat, (18) Gorontalo, (19) Kalimantan Barat dan (20) Jambi. Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 – 39 persen dan serius bila prevalensi pendek ≥40 persen (WHO 2010). Sebanyak 14 provinsi termasuk kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori serius. Ke 15 provinsi tersebut adalah: (1) Papua, (2) Maluku, (3) Sulawesi Selatan, (4) Maluku Utara, (5) Sulawesi Tengah, (6) Kalimantan Tengah, (7) Aceh, (8) Sumatera Utara, (9) Sulawesi Tenggara, (10) Lampung, (11). Kalimantan Selatan, (12). Papua Barat, (13). Nusa Tenggara Barat, (14). Sulawesi Barat dan (15) Nusa Tenggara Timur. 212 70,0 60,0 50,0 37,2 40,0 30,0 36,8 20,0 10,0 Kep.Riau DIY DKI Kaltim Babel Bali Banten Sulut Jabar Jatim Sumsel Jateng Riau Indonesia Jambi Kalbar Gorontalo Sumbar Bengkulu Papua Maluku Sulsel Malut Sulteng Kalteng Aceh Sumut Sultra Lampung Kalsel Pabar NTB Sulbar NTT 0,0 2007 2010 2013 Gambar 3.14.2 Kecenderungan prevalensi status gizi TB/U <-2 SD menurut provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013 3.14.1.5. Status gizi anak balita berdasarkan indikator BB/TB Gambar 3.14.3 menyajikan prevalensi kurus menurut provinsi dan nasional. Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah keadaan sangat kurus yaitu anak dengan nilai Zscore <-3,0 SD. Prevalensi sangat kurus secara nasional tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3 persen, terdapat penurunan dibandingkan tahun 2010 (6,0 %) dan tahun 2007 (6,2 %). Demikian pula halnya dengan prevalensi kurus sebesar 6,8 persen juga menunjukkan adanya penurunan dari 7,3 persen (tahun 2010) dan 7,4 persen (tahun 2007). Secara keseluruhan prevalensi anak balita kurus dan sangat kurus menurun dari 13,6 persen pada tahun 2007 menjadi 12,1 persen pada tahun 2013 (Gambar 3.14.4). Terdapat 17 provinsi dimana prevalensi kurus diatas angka nasional, dengan urutan dari prevalensi tertinggi sampai terendah, adalah: Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Riau, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Papua, Banten, Jambi, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau dan Maluku Utara. Pada tahun 2013 prevalensi gemuk secara nasional di Indonesia adalah 11,9 persen, yang menunjukkan terjadi penurunan dari 14,0 persen pada tahun 2010. Terdapat 12 provinsi yang memiliki masalah anak gemuk di atas angka nasional dengan urutan prevalensi tertinggi sampai terendah,yaitu: (1) Lampung, (2) Sumatera Selatan, (3) Bengkulu, (4) Papua, (5) Riau, (6) Bangka Belitung, (7) Jambi, (8) Sumatera Utara, (9) Kalimantan Timur, (10) Bali, (11) Kalimantan Barat, dan (12) Jawa Tengah.(Gambar 3.14.3) Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10,0 14,0 persen, dan dianggap kritis bila ≥15,0 persen (WHO 2010). Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi kurus pada anak balita masih 12,1 persen, yang artinya. masalah kurus di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Diantara 33 provinsi, terdapat 16 provinsi yang masuk kategori serius, dan 4 provinsi termasuk kategori kritis, yaitu Kalimantan Barat, Maluku, Aceh dan Riau. 213 25,0 20,0 13,6 15,0 10,0 12,1 5,0 Bali Sulteng DIY Sulut DKI Babel Sulbar Jabar Sulsel Jateng Jatim Sultra Kaltim Gorontalo Lampung NTB Indonesia Malut Kep.Riau Kalteng Sumsel Sumbar Kalsel Jambi Banten Papua Bengkulu Sumut Pabar NTT Riau Aceh Maluku Kalbar 0,0 2007 2010 2013 Gambar 3.14.3 Kecenderungan prevalensi status gizi BB/TB <-2 SD menurut provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013 6. Kecenderungan prevalensi status gizi anak balita tahun 2007- 2013 Gambar 3.14.4 menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi anak balita menurut ketiga indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Terlihat prevalensi gizi buruk dan gizi kurang meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013. Prevalensi sangat pendek turun 0,8 persen dari tahun 2007, tetapi prevalensi pendek naik 1,2 persen dari tahun 2007. Prevalensi sangat kurus turun 0,9 persen tahun 2007. Prevalensi kurus turun 0,6 persen dari tahun 2007. Prevalensi gemuk turun 2,1 persen dari tahun 2010 dan turun 0,3 persen dari tahun 2007. 214 25,0 19,2 18,8 18,5 18,0 18,0 17,1 20,0 14,0 13,0 13,0 13,9 15,0 12,2 10,0 5,0 6,2 6,0 5,3 5,4 4,9 5,7 11,9 7,4 7,3 6,8 0,0 Gizi Buruk Gizi Kurang BB/U Sangat Pendek Pendek Sangat Kurus TB/U 2007 Kurus BB/TB 2010 Gemuk BB/TB 2013 Gambar 3.14.4 Kecenderungan prevalensi gizi kurang, pendek, kurus, dan gemuk pada balita, Indonesia 2007,2010, dan 2013 7. Status gizi anak balita berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB Gambar 3.14.5. menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi gabungan indikator TB/U dan BB/TB secara nasional. Berdasarkan Riskesdas 2007, 2010 dan 2013 terlihat adanya kecenderungan bertambahnya prevalensi anak balita pendek-kurus, bertambahnya anak balita pendek-normal (2,1%) dan normal-gemuk (0,3%) dari tahun 2010. Sebaliknya, ada kecenderungan penurunan prevalensi pendek-gemuk (0,8 %), normal-kurus (1,5 %) dan normalnormal (0,5 %) dari tahun 2010. Secara lebih rinci, data status gizi anak balita menurut provinsi dan karakteristik disajikan pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka tabel 3.14.1, 3.14.3, dan 3.14.5. Data status gizi anak balita menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku yang sama tabel 3.14.2, 3.14.4 dan 3.14.6. 215 100,0 80,0 4,8 3,9 45,9 5,1 49,1 48,6 60,0 11,4 40,0 7,4 11,1 7,6 9,6 6,8 20,0 29,1 25,3 27,4 2,3 2,1 2,5 0,0 2007 2010 2013 Pendek-kurus Pendek-Normal Pendek-Gemuk Normal-kurus Normal-normal Normal-gemuk Gambar 3.14.5 Kecenderungan prevalensi status gizi balita menurut gabungan indikator TB/U dan BB/TB, Indonesia 2007, 2010, dan 2013 3.14.2. Status gizi anak umur 5-18 tahun Status gizi anak umur 5-18 tahun dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur yaitu 5-12 tahun, 13-15 tahun dan 16-18 tahun. Indikator status gizi yang digunakan untuk kelompok umur ini didasarkan pada hasil pengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U). Berdasarkan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun, status gizi ditentukan berdasarkan nilai Zscore TB/U dan IMT/U. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore ini status gizi anak dikategorikan sebagai berikut: Klasifikasi indikator TB/U: Sangat pendek Pendek Normal :Zscore< -3, : Zscore≥ -3,0 s/d < -2,0 : Zscore≥ -2,0 Klasifikasi indikator IMT/U: Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obesitas : Zscore< -3,0 : Zscore≥ -3,0 s/d < -2,0 : Zscore≥-2,0 s/d ≤1,0 : Zscore> 1,0 s/d ≤ 2,0 : Zscore> 2,0 216 50,0 45,0 40,0 35,0 30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 29,0 27,5 27,7 25,5 27,6 25,1 28,1 27,8 30,8 30,7 32,3 33,7 35,1 35,8 37,7 34,9 40,2 34,1 36,7 32,8 35,9 29,7 36,5 26,0 38,9 23,3 37,4 26,2 Secara keseluruhan, prevalensi pendek (TB/U) pada anak umur 5-18 tahun menurut jenis kelamin disajikan pada gambar 3.14.6. Pada anak laki-laki, prevalensi pendek tertinggi di umur 13 tahun (40,2 %), sedangkan pada anak perempuan di umur 11 tahun (35,8%). 5 6 7 8 9 10 Laki-laki 11 12 13 14 15 16 17 18 Perempuan Gambar 3.14.6 Prevalensi pendek anak umur 5-18 tahun, menurut jenis kelamin, Indonesia 2013 1. Status gizi anak umur 5–12 tahun Gambar 3.14.7. menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi pendek pada anak umur 5-12 tahun adalah 30,7 persen (12,3% sangat pendek dan 18,4% pendek). Prevalensi sangat pendek terendah di DI Yogyakarta (14,9%) dan tertinggi di Papua (34,5 %). 50,0 40,0 30,0 18,4 20,0 10,0 12,3 DIY Kep. Riau Bali DKI Babel Kalsel Sulut Kaltim Maluku Utara Jatim Sulteng Sulsel Sulbar Jateng Jabar Banten Papua Barat Riau Indonesia Kalteng Aceh Sumsel Jambi NTB Gorontalo Bengkulu Maluku Sulbar Sumbar Sumut Kalbar NTT Lampung Papua 0,0 Sangat pendek Pendek Gambar 3.14.7 Prevalensi pendek anak umur 5–12 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 Sebanyak 15 provinsi dengan prevalensi sangat pendek di atas prevalensi nasional yaitu Kalimantan Tengah, Aceh, Sumatera Selatan, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, 217 Bengkulu, Maluku, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Lampung, dan Papua Gambar 3.14.8. menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi kurus (menurut IMT/U) pada anak umur 5-12 tahun adalah 11.2 persen, terdiri dari 4,0 persen sangat kurus dan 7,2 persen kurus. Prevalensi sangat kurus paling rendah di Bali (2,3%) dan paling tinggi di Nusa Tenggara Timur (7,8%). Sebanyak 16 provinsi dengan prevalensi sangat kurus diatas nasional, yaitu Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua, Papua Barat, Sulawesi Tengah, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Maluku, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Riau, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur. 25,0 20,0 7,2 4,0 15,0 10,0 5,0 DIY Kep. Riau Bali Sulut Sulbar Sulbar Jabar Lampung Jatim Sumut Sulsel Bengkulu Aceh Jambi Maluku Utara Babel DKI Indonesia Sumbar NTB Kalteng Kaltim Papua Papua Barat Sulteng Banten Jateng Kalsel Maluku Sumsel Kalbar Riau Gorontalo NTT 0,0 Sangat kurus Kurus Gambar 3.14.8 Prevalensi kurus (IMT/U) anak umur 5 – 12 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 Secara nasional masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8 persen, terdiri dari gemuk 10,8 persen dan sangat gemuk (obesitas) 8,8 persen. Prevalensi gemuk terendah di Nusa Tenggara Timur (8,7%) dan tertinggi di DKI Jakarta (30,1%). Sebanyak 15 provinsi dengan prevalensi sangat gemuk diatas nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jambi, Papua, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung dan DKI Jakarta. 40,0 30,0 20,0 8,0 10,0 10,8 NTT Sulbar Maluku Utara Sulsel Sulteng Gorontalo Maluku NTB Sulbar Papua Barat Aceh Kalsel DIY Riau Sulut Sumbar Jabar Jateng Indonesia Kalteng Jatim Banten Kaltim Bali Kalbar Sumut Kep. Riau Jambi Sumsel Papua Bengkulu Babel Lampung DKI 0,0 Gemuk Sangat gemuk Gambar 3.14.9 Prevalensi gemuk & sangat gemuk anak umur 5–12 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 218 Lebih rinci, data status gizi anak umur 5-12 tahun menurut provinsi disajikan pada buku Riskesdas 2013 dalam angka tabel 3.14.9 serta data status gizi menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku yang sama pada tabel 3.14.8. sampai tabel 3.14.10. 2. Status gizi remaja umur 13 -15 tahun Sama halnya dengan anak umur 5-12 tahun, untuk kelompok umur 13-15 tahun penilaian status gizi berdasarkan TB/U dan IMT/U. Gambar 3.14.11. menyajikan prevalensi pendek pada remaja umur 13-15 tahun. Secara nasional, prevalensi pendek pada remaja adalah 35,1 persen (13,8% sangat pendek dan 21,3% pendek. Prevalensi sangat pendek terendah di DI Yogyakarta (4,0 %) dan tertinggi di Papua (27,4%). Sebanyak 16 provinsi dengan prevalensi sangat pendek diatas prevalensi nasional yaitu Nusa Tenggara Barat, Riau, Banten, Maluku, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Gorontalo, Aceh, Bengkulu, Sumatera Utara, Jambi, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, Lampung, Nusa Tenggara Timur dan Papua. 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 21,3 13,8 DIY Kep. Riau Bali DKI Kaltim Kalsel Sulut Jateng Jatim Sulsel Babel Sulbar Maluku Utara Jabar Sulteng Kalteng Papua Barat Indonesia NTB Riau Banten Maluku Sumbar Sumsel Gorontalo Aceh Bengkulu Sumut Jambi Sulbar Kalbar Lampung NTT Papua 0,0 Sangat pendek Pendek Gambar 3.14.10 Prevalensi pendek remaja umur 13–15 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 Gambar 3.14.11 menunjukkan prevalensi kurus pada remaja umur 13-15 tahun adalah 11,1 persen terdiri dari 3,3 persen sangat kurus dan 7,8 persen kurus. Prevalensi sangat kurus terlihat paling rendah di Bangka Belitung (1,4 %) dan paling tinggi di Nusa Tenggara Timur (9,2%). Sebanyak 17 provinsi dengan prevalensi anak sangat kurus (IMT/U) diatas prevalensi nasional yaitu Riau, Aceh, Jawa Tengah, Lampung, Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Banten, Papua, Sumatera Selatan, Gorontalo, Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di Indonesia sebesar 10.8 persen, terdiri dari 8,3 persen gemuk dan 2,5 persen sangat gemuk (obesitas). Sebanyak 13 provinsi dengan prevalensi gemuk diatas nasional, yaitu Jawa Timur, Kepulauan Riau, DKI, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Bali, Kalimantan Timur, Lampung, Sulawesi Utara dan Papua 219 30,0 25,0 20,0 15,0 7,8 10,0 5,0 3,3 Babel Kep. Riau DKI Bali Sulut Sulbar DIY Maluku Utara Sumut Jabar Jatim Sulteng Sulbar Bengkulu Kalsel Kaltim Indonesia Riau Aceh Jateng Lampung Jambi Kalteng Sulsel Sumbar Kalbar Banten Papua Sumsel Gorontalo Maluku Papua Barat NTB NTT 0,0 Sangat kurus Kurus Gambar 3.14.11 Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 18,0 16,0 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0 2,5 NTT Maluku Sulbar NTB Kalsel Malut Kalteng DIY Sulsel Pabar Jateng Sulteng Jabar Sultra Jambi Banten Gorontalo Aceh Sumbar Riau Indonesia Jatim Kep.Riau DKI Sumsel Kalbar Babel Bali Sumut Kaltim Lampung Bengkulu Sulut Papua 8,3 Gemuk Sangat gemuk Gambar 3.14.12 Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 Secara lebih rinci, data status gizi remaja umur 13-15 tahun menurut provinsi disajikan pada buku Riskesdas dalam Angka tabel 3.14.13 dan 3.14.15, dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka tabel 3.14.14. sampai tabel 3.14.16. 3. Status gizi remaja umur 16–18 tahun Gambar 3.14.13 menyajikan status gizi remaja umur 16–18 tahun. Secara nasional prevalensi pendek adalah 31,4 persen (7,5% sangat pendek dan 23,9% pendek). Sebanyak 17 provinsi dengan prevalensi pendek diatas prevalensi nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Aceh, Banten, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, 220 Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Lampung, Sumatera Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. 60,0 50,0 40,0 23,9 30,0 20,0 10,0 7,5 Bali DIY Kep.Riau DKI Jateng Sulut Kalsel Jatim Kaltim Malut Jabar Jambi NTB Pabar Sulsel Maluku Indonesia Kalteng Sumsel Riau Sumbar Bangkulu Aceh Banten Babel Sultra Kalbar Sulteng Lampung Sumut Sulbar Gorontalo NTT Papua 0,0 Sangat pendek Pendek Gambar 3.14.13 Prevalensi pendek (TB/U) remaja umur 16–18 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 Gambar 3.14.14 menyajikan prevalensi kurus pada remaja umur 16-18 tahun secara nasional sebesar 9,4 persen (1,9% sangat kurus dan 7,5% kurus). Sebanyak 11 provinsi dengan prevalensi kurus diatas nasional, yaitu Aceh, Riau, Kalimantan Selatan, Maluku Utara, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Banten, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur. 20,0 16,0 12,0 7,5 8,0 4,0 1,9 Bali Kalbar Bengkulu Sulbar Sulbar DIY Sulut Lampung Babel Sumut Kep. Riau Jabar Gorontalo Sulteng Sulsel Papua Barat Jambi Sumbar Jateng Jatim Kaltim Indonesia Aceh Riau Kalsel Maluku Utara DKI Kalteng Banten Sumsel NTB Maluku Papua NTT 0,0 Sangat kurus Kurus Gambar 3.14.14 Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 16 – 18 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 221 Prevalensi gemuk pada remaja umur 16 – 18 tahun sebanyak 7,3 persen yang terdiri dari 5,7 persen gemuk dan 1,6 persen obesitas. Provinsi dengan prevalensi gemuk tertinggi adalah DKI Jakarta (4,2%) dan terendah adalah Sulawesi Barat (0,6%). Lima belas provinsi dengan prevalensi sangat gemuk diatas prevalensi nasional, yaitu Bangka Belitung, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Banten, Kalimantan Tengah, Papua, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Gorontalo, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan DKI Jakarta. 16,0 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0 5,7 Sulbar Riau Lampung NTB NTT Sultra Maluku Jambi Kalbar Sulteng Aceh Sumsel Pabar Malut Sumut Jabar Sumbar Bengkulu Indonesia Babel Jateng Sulsel Banten Kalteng Papua Jatim Kep.Riau Kalsel Gorontalo DIY Bali Kaltim Sulut DKI 1,6 Sangat gemuk Gemuk Gambar 3.14.15 Prevalensi status gizi gemuk (IMT/U) remaja umur 16–18 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 Secara lebih rinci, data status gizi remaja umur 16-18 tahun menurut provinsi disajikan pada buku Riskesdas dalam Angka tabel 3.14.15 dan 3.14.17, dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka tabel 3.14.16. sampai tabel 3.14.18. 4. Kecenderungan status gizi (IMT/U) remaja umur 16–18 tahun tahun 2010 dan 2013 Pada gambar 3.14.16 menyajikan kecenderungan prevalensi remaja kurus relatif sama tahun 2007 dan 2013, dan prevalensi sangat kurus naik 0,4 persen. Sebaliknya prevalensi gemuk naik dari 1,4 persen (2007) menjadi 7,3 persen (2013). 222 20,0 16,0 12,0 7,1 8,0 4,0 1,8 7,5 1,9 7,3 1,4 0,0 Sangat Kurus Kurus 2010 Gemuk 2013 Gambar 3.14.16 Kecenderungan status gizi (IMT/U) umur 16–18 tahun, Indonesia 2010 dan 2013 3.14.3. Status gizi dewasa Status gizi dewasa penduduk berumur >18 tahun terdiri dari 1). status gizi menurut Indeks Masa Tubuh (IMT) dan kecenderungan komposit TB dan IMT/U; 2). status gizi menurut lingkar perut (LP); 3). risiko kurang energi kronis (KEK) wanita usia subur wanita hamil dan tidak hamil; 4). wanita hamil risiko tinggi (TB<150 cm). 1. Status gizi dewasa ( >18 tahun) menurut indeks masa tubuh (IMT) Status gizi menurut IMT dinilai dengan rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut: Batasan IMT yang digunakan untuk menilai status gizi penduduk dewasa adalah sebagai berikut: Kategori kurus Kategori normal Kategori BB lebih Kategori obesitas IMT < 18,5 IMT ≥18,5 - <24,9 IMT ≥25,0 - <27,0 IMT ≥27,0 Gambar 3.14.17 menyajikan prevalensi penduduk umur dewasa kurus, gizi lebih dan obesitas menurut IMT/U di masing masing provinsi. Prevalensi penduduk dewasa kurus 8,7 persen, berat badan lebih 13,5 persen dan obesitas 15,4 persen. Prevalensi penduduk kurus terendah di provinsi Sulawesi Utara (5,6%) dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur (19,5%). Dua belas provinsi dengan prevalensi penduduk dewasa kurus diatas prevalensi nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Jawa Timur, Maluku, Jawa Tengah, Banten, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur. Prevalensi penduduk obesitas terendah di provinsi Nusa tenggara Timur (6,2%) dan tertinggi di Sulawesi Utara (24,0%). Enam belas provinsi dengan prevalensi diatas nasional, yaitu Jawa Barat, Bali, Papua, DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Papua Barat, Kepulauan Riau, Maluku Utara, Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Gorontalo dan Sulawesi Utara. 223 15,4 50,0 13,3 8,7 40,0 30,0 20,0 10,0 NTT Lampung Sulbar NTB Kalbar Sumsel Jambi Kalteng Sultra Jateng Bengkulu Sumbar Sulsel Banten Riau Kalsel Maluku Indonesia Jabar Bali DIY Papua Aceh Jatim Sulteng Babel Sumut Pabar Kep.Riau Malut Kaltim DKI Gorontalo Sulut 0,0 Kurus BB lebih Obesitas Gambar 3.14.17 Prevalensi status gizi kurus, BB lebih, obesitas penduduk dewasa (>18 tahun) menurut provinsi, Indonesia 2013 Gambar 3.14.18 menyajikan kecenderungan prevalensi obesitas penduduk laki-laki dewasa (>18 tahun) di masing-masing provinsi tahun 2007, 2010 dan 2013. Prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7 persen, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). Pada tahun 2013, prevalensi terendah di Nusa Tenggara Timur (9,8%) dan tertinggi di provinsi Sulawesi Utara (34,7%). Enam belas provinsi dengan prevalensi diatas prevalensi nasional, yaitu Aceh, Riau, Sulawesi Tengah, Bangka Belitung, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Maluku Utara, Gorontalo, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Papua Barat, Bali, Kalimantan Timur, Papua, DKI Jakarta dan Sulawesi Utara. Laki-laki >18 tahun 50,0 40,0 19,7 30,0 20,0 10,0 13,9 NTT NTB Lampung Sulbar Sumsel Kalbar Sumbar Sulsel Jateng Bengkulu Jambi Kalteng Kalsel Sultra Jabar Banten Maluku Indonesia Aceh Riau Sulteng Babel Jatim DIY Malut Gorontalo Kep.Riau Sumut Pabar Bali Kaltim Papua DKI Sulut 0,0 2007 2010 2013 Gambar 3.14.18 Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT>25) pada laki-laki umur >18 tahun, Indonesia 2007, 2010, dan 2013 224 Pada tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9 persen, naik 18,1 persen dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari tahun 2010 (15,5%). Prevalensi obesitas terendah di Nusa Tenggara Timur (5,6%), dan prevalensi obesitas tertinggi di provinsi Sulawesi Sulawesi Utara (19,5%). Tiga belas provinsi dengan prevalensi obesitas di atas prevalensi nasional, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Aceh, Papua Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Riau, Maluku Utara, DKI Jakarta, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Gorontalo dan Sulawesi Utara. Perempuan >18 tahun 50,0 32,9 40,0 30,0 20,0 10,0 14,8 NTT Lampung Kalbar NTB Sumsel Sulbar Sultra Jambi Kalteng Bali Papua Jateng Sumbar Maluku Banten Kalsel Bengkulu DIY Sulsel Riau Indonesia Jatim Jabar Aceh Pabar Sumut Sulteng Kep.Riau Malut DKI Babel Kaltim Gorontalo Sulut 0,0 2007 2010 2013 Gambar 3.14.19 Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT>25) pada perempuan umur >18 tahun berdasarkan data Riskesdas 2007, 2010, dan 2013 Gambar 3.14.20 menyajikan kecenderungan status gizi dewasa menurut komposit TB dan IMT. Terlihat tidak terlalu banyak perubahan status gizi normal dari tahun 2007 ke tahun 2013 (<40%), selebihnya adalah variasi masalah pendek-gemuk, serta normal-gemuk. Terlihat kecenderungan meningkat untuk pendek gemuk, dan normal gemuk. 225 100,0 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0 10,3 12,2 15,4 38,4 37,7 36,8 6,9 8,8 6,9 9,6 6,3 10,9 30,0 28,2 25,9 5,6 5,3 4,8 2007 Pendek-kurus Normal-kurus 2010 Pendek-Normal Normal-normal 2013 Pendek-Gemuk Normal-gemuk Gambar 3.14.20 Kecenderungan status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) berdasarkan komposit TB dan IMT, Indonesia 2010 - 2013 2. Status gizi dewasa berdasarkan indikator lingkar perut (LP) Gambar 3.14.21 menyajikan informasi prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun menurut provinsi. Obesitas sentral dianggap sebagai faktor risiko yang berkaitan erat dengan beberapa penyakit kronis. Untuk laki-laki dengan LP >90 cm atau perempuan dengan LP >80 cm dinyatakan sebagai obesitas sentral (WHO Asia-Pasifik, 2005). Secara nasional, prevalensi obesitas sentral adalah 26.6 persen, lebih tinggi dari prevalensi pada tahun 2007 (18,8%). Prevalensi obesitas sentral terendah di Nusa Tenggara Timur (15,2 %) dan tertinggi di DKI Jakarta (39,7 %). Sebanyak 18 provinsi memiliki prevalensi obesitas sentral di atas angka nasional, yaitu Jawa Timur, Bali, Riau, DI Yogyakarta, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Papua Barat, Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Papua, Gorontalo, Sulawesi Utara, dan DKI Jakarta. 226 50,0 40,0 30,0 26,6 20,0 0,0 18,8 NTT Lampung Kalbar Jambi Kalteng NTB Sumsel Sulbar Bengkulu Jateng Kalsel Banten Aceh Sultra Jabar Indonesia Jatim Bali Riau DIY Sulteng Maluku Malut Kep.Riau Sumbar Sumut Sulsel Pabar Kaltim Babel Papua Gorontalo Sulut DKI 10,0 2007 2013 Gambar 3.14.21 Kecenderungan prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 Secara lebih rinci, data status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) menurut provinsi disajikan pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka Tabel 3.14.19 dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Tabel 3.14.20. sampai Tabel 3.14.21. Prevalensi obesitas sentral (>15 tahun) menurut provinsi disajikan pada Tabel 3.14.22 dan menurut karakteristik pada Tabel 3.14.23. 3. Status risiko kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) 15–49 tahun Gambar 3.14.22 dan Gambar 3.14.23 menyajikan informasi masalah kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) dan wanita hamil yang berumur 15-49 tahun, berdasarkan indikator Lingkar Lengan Atas (LiLA). Untuk menggambarkan adanya risiko (KEK) dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi pada wanita hamil dan WUS digunakan ambang batas nilai rerata LILA <23,5 cm. Tabel 3.14.22 menyajikan prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15–49 tahun, secara nasional sebanyak 24,2 persen. Prevalensi risiko KEK terendah di Bali (10,1%) dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur (45,5%). Sebanyak 13 provinsi dengan prevalensi risiko KEK diatas nasional, yaitu Maluku Utara, Papua Barat, Kepulauan Riau, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur. 227 50,0 40,0 30,0 24,2 20,0 0,0 Bali Sumut DKI Sumbar Gorontalo NTB Sulbar Aceh Sumsel Babel Lampung Jabar Kalteng DIY Sulut Jambi Jateng Riau Sultra Bengkulu Indonesia Malut Pabar Kep.Riau Banten Kalsel Kaltim Kalbar Jatim Sulsel Sulteng Maluku Papua NTT 10,0 Gambar 3.14.22 Prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15-49 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 Gambar 3.14.23 menunjukkan prevalensi risiko KEK wanita usia subur (tidak hamil). Secara nasional prevalensi risiko KEK WUS sebanyak 20,8 persen. Prevalensi terendah di Bali (14%) dan prevalensi tertinggi di Nusa Tenggara Timur (46,5%). Enam belas provinsi dengan prevalensi risiko KEK diatas nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Selatan, Aceh, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Papua Barat, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur. 50,0 40,0 30,0 20,0 20,8 0,0 Bali DKI Bengkulu Riau Sumsel Lampung Sumut Jambi Babel Kaltim Sulut Gorontalo Kalbar Jabar Sumbar Kep.Riau Jateng Indonesia Kalteng Jatim Banten Kalsel Aceh DIY NTB Sulsel Sulteng Malut Sultra Sulbar Pabar Malut Papua NTT 10,0 Gambar 3.14.23 Prevalensi risiko KEK wanita usia subur (WUS) 15–49 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 Gambar 3.14.24 menyajikan prevalensi wanita usia subur risiko kurang energi kronis (KEK) menurut umur tahun 2007 dan 2013. Secara keseluruhan, prevalensi risiko kurang energi kronis naik pada semua kelompok umur dan kondisi wanita (hamil dan tidak hamil). Pada wanita tidak hamil kelompok umur 15-19 tahun prevalensinya naik 15,7 persen. Demikian juga pada wanita hamil kelompok umur 45-49 tahun naik 15,1 persen. 228 2013 40,0 40,0 0,0 30,1 30,6 20,7 11,8 17,6 10,7 17,3 21,4 13,6 20,9 19,3 10,0 0,0 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 Hamil 11,3 5,6 8,1 20,0 10,3 7,9 12,6 8,9 10,0 12,7 10,2 23,8 16,1 13,1 20,0 30,0 18,2 30,0 38,5 50,0 31,3 30,9 50,0 46,6 2007 Tidak Hamil 15-19 20-24 25=29 30-34 35-39 40-44 45-49 Hamil Tidak Hamil Gambar 3.14.24 Prevalensi wanita usia subur risiko kurang energi kronis (KEK), menurut umur, Indonesia 2007 dan 2013 4. Wanita hamil berisiko tinggi Pada Riskesdas 2013 disajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi yaitu wanita hamil dengan tinggi badan<150 cm (WHO 2007). Gambar 3.14.25 menyajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi sebesar 31,3 persen. Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi terendah di Bali (12,1%) dan tertinggi di Sumatera Barat (39,8%). Sembilan belas provinsi dengan prevalensi diatas nasional, yaitu Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Aceh, Sulawesi Tengah. Gorontalo, Sulawesi Selatan, Papua Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Bangka Belitung dan Sumatera Barat. 50,0 40,0 30,0 31,3 20,0 0,0 Bali Papua Kaltim DKI Lampung Maluku Kep.Riau Banten Sumsel Sulut Riau NTB Malut Jateng Indonesia Sultra Sumut Jambi Bengkulu Aceh Sulteng Gorontalo Sulsel Pabar Kalteng NTT Jabar Jatim DIY Kalbar Kalsel Sulbar Babel Sumbar 10,0 Gambar 3.14.25 Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi (tinggi badan <150 cm) menurut provinsi, Indonesia 2013 229 Lebih rinci, data status gizi wanita usia subur dan ibu hamil menurut provinsi disajikan pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka Tabel 3.14.12 sampai 3.14.14, dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka Tabel 3.14.27. dan 3.14.28. 230 3.15. Kesehatan Indera Lutfah Rif’ati, Tita Rosita, Nur Hasanah, dan Lely Indrawati Sistem indera merupakan salah satu sistem yang sangat berperan dalam mengoptimalkan proses perkembangan setiap individu. Sejak bayi sistem indera merupakan alat utama manusia untuk mengumpulkan berbagai informasi visual, audio, olfaktoris, rasa, dan fisik. Informasi visual ditangkap oleh mata (indera penglihatan), informasi audio ditangkap oleh telinga (indera pendengaran), informasi olfaktoris diterima oleh hidung (indera penciuman), informasi rasa ditangkap oleh lidah (indera perasa) dan informasi fisik diterima melalui permukaan kulit (indera peraba). Sekitar 90 persen informasi berupa informasi visual dan audio, yang dikumpulkan melalui indera penglihatan dan pendengaran. Pengukuran fungsi indera yang lazim dilakukan secara objektif adalah pengukuran fungsi penglihatan (tajam penglihatan/visus) dan fungsi pendengaran (tajam pendengaran). Data nasional yang menggambarkan besaran masalah gangguan indera penglihatan dan pendengaran terakhir dikumpulkan antara tahun 1993-1997 dan belum diperbarui hingga saat ini. Riskesdas 2007 bermaksud menyediakan data tentang prevalensi kebutaan yang lebih mutakhir, tetapi karena metoda pengumpulan data masih dianggap tidak adekuat oleh organisasi profesi, maka data angka kebutaan yang dihasilkan dari Riskesdas 2007 juga dinilai kontroversial. Pada Riskesdas 2007, data termutakhir untuk prevalensi gangguan pendengaran masyarakat tidak dikumpulkan. Riskesdas 2013 kembali mengumpulkan data prevalensi kebutaan dengan metoda yang serupa dengan Riskesdas 2007, tetapi sudah disempurnakan dan merupakan hasil diskusi dengan organisasi profesi. Organisasi profesi Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia (PERHATI) juga melengkapi Riskesdas dengan studi validasi yang akan dilaksanakan segera setelah semua data Riskesdas 2013 terkumpul. Studi validasi tersebut dimaksudkan untuk memperkuat reliabilitas pengukuran prevalensi kebutaan dan ketulian dalam survei nasional berbasis komunitas. 3.15.1 Kesehatan mata Data yang dikumpulkan untuk mengetahui indikator kesehatan mata pada Riskesdas 2013 meliputi pengukuran tajam penglihatan menggunakan kartu tumbling-E (dengan dan tanpa pinhole) pada responden umur 6 tahun keatas serta pemeriksaan segmen anterior mata terhadap responden semua umur. Pemeriksaan visus dan observasi morbiditas permukaan mata dilakukan di luar ruangan dengan sumber cahaya matahari, tetapi pemeriksaan lensa dilakukan dalam ruangan redup dengan bantuan pen-light. Pemeriksaan visus dilakukan dengan jarak pengukuran 6 atau 3 meter, dengan kartu E yang dapat diputar ke segala arah (tumbling E) disesuaikan dengan tinggi mata responden yang diperiksa. Responden yang sakit berat dan tidak memungkinkan untuk duduk dan diperiksa visus dieksklusi dalam penghitungan prevalensi kebutaan, begitu pula responden yang menolak atau tidak dapat bekerja sama dengan tim enumerator. Prevalensi low vision dan kebutaan dihitung berdasarkan hasil pengukuran visus dengan atau tanpa kaca mata/lensa kontak koreksi. Kebutaan didefinisikan sebagai visus pada mata terbaik <3/60 atau dengan kata lain buta bilateral. Severe low vision didefinisikan sebagai visus pada mata terbaik <6/60-3/60 atau mencakup severe low vision bilateral dan buta unilateral yang disertai severe low vision unilateral. Prevalensi pterygium, kekeruhan kornea, dan katarak dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan dan observasi nakes pada semua responden tanpa batasan umur. Keterbatasan pengumpulan data visus adalah tidak dilakukannya koreksi visus, tetapi dilakukan pemeriksaan visus tanpa pin-hole dan jika visus tidak normal (kurang dari 6/6 atau 20/20) dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan pin-hole, seperti yang dilakukan saat Riskesdas 2007. 231 Keterbatasan pengumpulan data prevalensi morbiditas permukaan mata dan lensa adalah kemampuan klinis pengumpul data (enumerator) yang bervariasi dalam menilai permukaan mata dan lensa menggunakan alat bantu pen-light, sehingga prevalensi pterygium, kekeruhan kornea, serta katarak cenderung kurang valid. 3.15.1.1 Prevalensi kebutaan dan severe low vision Terdapat perbedaan metoda pengukuran tajam penglihatan/visus antara Riskesdas 2007 yang menggunakan Snellen chart dan Riskesdas 2013 yang menggunakan tumbling E, peraga yang lebih sederhana daripada Snellen chart dan mempunyai keterbatasan mengidentifikasi visus dengan rentang tertentu, bukan visus satu nilai seperti Snellen chart. Tumbling E jauh lebih mudah digunakan dan dilaporkan cukup spesifik mengidentifikasi adanya gangguan penglihatan (Limburg, 2001), sedangkan Snellen chart lebih detail, perlu waktu pemeriksaan lebih lama, dan format pelaporan angka ukuran visus yang lebih rumit. Alat yang dipergunakan untuk pemeriksaan visus adalah tali pengukur jarak sepanjang 6 meter, satu set kartu tumbling E (ukuran besar untuk visus 6/60, sedang untuk visus 6/18, dan kecil untuk visus 6/6), serta penutup mata dengan pin-hole. Disediakan 6 pilihan jawaban untuk kategori visus, yaitu: 1. Dapat melihat E kecil (jarak 6m) 2. Tidak dapat melihat E kecil, tetapi dapat melihat E sedang (jarak 6m) 3. Tidak dapat melihat E sedang, tetapi dapat melihat E besar (jarak 6m) 4. Tidak dapat melihat E besar (jarak 6m), tetapi dapat melihat E besar (jarak 3m) 5. Tidak dapat melihat E besar pada jarak 3m 6. TIDAK DIPERIKSA Interpretasi kode visus tiap mata adalah sebagai berikut: kode 1 berarti visus normal (6/6), kode 2 berarti gangguan visus ringan (visus kurang dari 6/6 sampai 6/18), kode 3 berarti low vision (visus kurang dari 6/18 sampai 6/60), kode 4 berarti severe low vision (kurang dari 6/60 sampai 3/60) dan kode 5 berarti buta (kurang dari 3/60). Visus tidak diperiksa jika responden berumur 6 tahun keatas, tetapi tidak kooperatif, atau tidak memungkinkan untuk diperiksa visusnya, seperti responden dengan kelainan jiwa berat atau mereka yang mengalami kelumpuhan total. Responden umur 6 tahun keatas yang memenuhi kriteria untuk dianalisis berjumlah 924.780 orang. 232 3,0 2,6 2,5 2,0 1,5 1,0 0,4 0,9 0,0 Papua NTB DIY Pabar Sulteng Kaltim Kalbar Bali Banten Jabar Kep. Riau Bengkulu Jambi Sumut INDONESIA Malut Sulbar Sultra Kalsel Jatim DKI Sumsel Riau Sumbar Aceh Maluku Kalteng Jateng Lampung Babel Sulsel Sulut NTT Gorontalo 0,5 Tahun 2007 Tahun 2013 Gambar 3.15.1 Prevalensi kebutaan pada responden umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut provinsi, Indonesia 2007-2013. Gambar 3.15.1 menunjukkan bahwa prevalensi kebutaan pada Riskesdas 2013 cenderung lebih rendah dibandingkan prevalensi kebutaan tahun 2007. Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas tertinggi ditemukan di Gorontalo (1,1%) diikuti Nusa Tenggara Timur (1,0%), Sulawesi Selatan, dan Bangka Belitung (masing-masing 0,8%). Pada Riskesdas 2007 prevalensi kebutaan tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (2,6%) diikuti Nusa Tenggara Timur (1,4%) dan Bengkulu (1,3%). Prevalensi kebutaan terendah ditemukan di Papua (0,1%) diikuti Nusa Tenggara Barat dan DI Yogyakarta (masing-masing 0,2%). Response rate Papua rendah, sehingga angka kebutaan untuk Papua diragukan validitasnya, seperti juga saat Riskesdas 2007 (prevalensi kebutaan 0,4%) dan diperkirakan tidak mewakili keadaan sebenarnya untuk wilayah Papua. 14,0 11,6 12,7 13,90 16,0 7,60 10,0 0,0 6-14 15-24 25-34 3,00 35-44 Pakai Kacamata/Lensa Kontak 1,10 0,30 1,00 0,10 0,30 0,07 0,13 0,03 0,06 0,01 1,0 0,03 4,0 2,8 2,9 4,1 6,0 3,50 8,0 2,0 8,40 9,5 9,7 12,0 45-54 55-64 Severe Low vision 65-74 75+ Kebutaan Gambar 3.15.2 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kelompok umur, Indonesia 2013 233 Gambar 3.15.2 memperlihatkan kecenderungan kepemilikan dan pemakaian alat bantu/koreksi penglihatan jauh (kaca mata atau lensa kontak) meningkat sesuai pertambahan umur, prevalensi tertinggi pada kelompok umur 55-64 tahun, tetapi menurun kembali pada kelompok penduduk lanjut usia (65 tahun keatas). Hal ini mungkin berkaitan dengan produktivitas penduduk lanjut usia yang cenderung menurun, sehingga kebutuhan memiliki penglihatan jarak jauh yang optimal juga berkurang. Dengan kata lain, penduduk lanjut usia merasa cukup dengan kualitas penglihatan jarak jauh yang kurang baik karena mereka masih dapat melakukan aktivitas sosial harian tanpa gangguan yang bermakna. Prevalensi severe low vision pada usia produktif (15-54 tahun) sebesar 1,49 persen dan prevalensi kebutaan sebesar 0,5 persen. Prevalensi severe low vision dan kebutaan meningkat pesat pada penduduk kelompok umur 45 tahun keatas dengan rata-rata peningkatan sekitar dua sampai tiga kali lipat setiap 10 tahunnya. Prevalensi severe low vision dan kebutaan tertinggi ditemukan pada penduduk kelompok umur 75 tahun keatas sesuai peningkatan proses degeneratif pada pertambahan usia. Gambar 3.15.3 dan 3.15.4 memperlihatkan bahwa terdapat kecenderungan, makin tinggi tingkat pendidikan formal dan kuintil indeks kepemilikan penduduk, maka makin tinggi pula proporsi penduduk yang memiliki kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh. Keadaan tersebut dapat berkaitan dengan kebutuhan penduduk akan tajam penglihatan optimal yang makin besar sesuai dengan prioritas subjektif penduduk dalam memenuhi kebutuhan sosial sehari-hari mereka. Diasumsikan bahwa penduduk dengan tingkat pendidikan formal atau kuintil indeks kepemilikan lebih tinggi, cenderung memilih jenis pekerjaan formal, seperti menjadi pegawai/karyawan, sehingga butuh visus maksimal untuk melihat jauh sesuai jenis dan aktivitas utama pekerjaan formalnya. 20,0 15,9 16,0 12,0 7,0 8,0 4,0 0,0 2,3 2,9 2,2 1,7 Tidak sekolah 4,0 3,6 1,1 0,5 Tidak tamat SD 1,2 0,4 Tamat SD Pakai Kacamata/Lensa Kontak 0,4 0,1 0,3 0,1 Tamat SMP Tamat SMA Severe Low vision 0,3 0,1 Tamat PT Kebutaan Gambar 3.15.3 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut pendidikan, Indonesia 2013 Sebaliknya, prevalensi severe low vision dan kebutaan cenderung menurun seiring dengan makin tingginya tingkat pendidikan formal dan kuintil indeks kepemilikan. Keadaan ini diperkirakan berkaitan erat dengan kesadaran penduduk akan pentingnya tajam penglihatan maksimal serta makin tingginya upaya penduduk untuk mendapatkan kualitas hidup optimal, termasuk memiliki penglihatan yang baik, didukung oleh pengetahuan individu yang lebih baik tentang derajat kesehatan serta kemampuan ekonomi yang lebih tinggi. 234 10,0 9,2 8,0 5,5 6,0 3,5 4,0 2,0 0,0 1,4 2,2 1,4 0,7 Terbawah 1,4 1,0 0,6 Menengah bawah 0,4 Menengah Pakai Kacamata/Lensa Kontak 0,6 Menengah atas Severe Low vision 0,5 0,3 0,2 Teratas Kebutaan Gambar 3.15.4 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kuintil indeks kepemilikan, Indonesia 2013 Gambar 3.15.5 menunjukkan proporsi penduduk yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak di perkotaan sekitar dua kali lebih banyak dibandingkan responden di perdesaan. Prevalensi severe low vision dan kebutaan cenderung lebih tinggi di perdesaan. Prevalensi severe low vision dan kebutaan cenderung lebih tinggi pada penduduk di perdesaan. 10,0 8,0 6,6 6,0 4,0 2,6 2,0 0,0 0,8 Pakai Kacamata/Lensa Kontak 1,1 Severe Low vision Perkotaan 0,4 0,5 Kebutaan Perdesaan Gambar 3.15.5 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut tempat tinggal, Indonesia 2013 Tabel 3.15.1 menunjukkan proporsi pegawai yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak tiga kali lebih banyak dibanding kelompok petani/nelayan/buruh. Penduduk perempuan cenderung lebih banyak yang menggunakan kaca mata atau lensa kontak untuk penglihatan jarak jauh. Penduduk yang tidak bekerja atau bekerja sebagai petani/nelayan/ buruh cenderung lebih banyak yang menderita severe low vision dan kebutaan. Prevalensi severe low vision dan kebutaan 235 cenderung menurun pada kelompok penduduk dengan tingkat pendidikan formal dan kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi. Tabel 3.15.2 memperlihatkan distribusi ketersediaan kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh menurut provinsi. Proporsi ketersediaan kaca mata atau lensa kontak paling tinggi ditemukan di DKI Jakarta (11,9%) diikuti DI Yogyakarta (9,2%), dan Sulawesi Utara (7,5%). Tabel 3.15.2 juga menunjukkan bahwa prevalensi severe low vision penduduk umur 6 tahun keatas secara nasional sebesar 0,9 persen. Prevalensi severe low vision tertinggi terdapat di Lampung (1,7%), diikuti Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat (masing-masing 1,6%). Di Nusa Tenggara Timur, prevalensi severe low vision dan kebutaan pada Riskesdas 2013 cukup tinggi. Provinsi dengan prevalensi severe low vision terendah adalah DI Yogyakarta (0,3%) diikuti oleh Papua Barat dan Papua (masing-masing 0,4%). Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas secara nasional adalah 0,4 persen dan prevalensi tertinggi, seperti telah disebutkan sebelumnya, ditemukan di Gorontalo (1,1%) diikuti Nusa Tenggara Timur (1,0%), Sulawesi Selatan, dan Bangka Belitung (masing-masing 0,8%). Prevalensi kebutaan terendah, seperti telah disebutkan sebelumnya, ditemukan di Papua (0,1%) diikuti Nusa Tenggara Barat dan DI Yogyakarta (masing-masing 0,2%). Di Papua dan DI Yogyakarta prevalensi severe low vision dan kebutaan sangat rendah dibandingkan provinsi lain. 236 Tabel 3.15.1 Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada penduduk umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut provinsi, Indonesia 2013 Pakai kaca mata/ Karakteristik Severe low vision Kebutaan lensa kontak Kelompok umur (tahun) 6-14 1,0 0,03 0,01 15-24 2,9 0,06 0,03 25-34 2,8 0,13 0,07 35-44 4,1 0,3 0,1 45-54 9,5 1,0 0,3 55-64 12,7 3,0 1,1 65-74 11,6 7,6 3,5 75+ 9,7 13,9 8,4 Jenis kelamin Laki-laki 4,3 0,7 0,3 Perempuan 5,0 1,2 0,5 Pendidikan Tidak sekolah 2,3 2,9 1,7 Tidak tamat SD 2,2 1,1 0,5 Tamat SD 3,6 1,2 0,4 Tamat SMP 4,0 0,4 0,1 Tamat SMA 7,0 0,3 0,1 Tamat D1-D3/PT 15,9 0,3 0,1 Pekerjaan Tidak bekerja 4,6 1,2 0,6 Pegawai 9,7 0,2 0,1 Wiraswasta 6,6 0,6 0,2 Petani/nelayan/buruh 3,0 1,3 0,4 Lainnya 5,2 0,8 0,3 Tempat tinggal Perkotaan 6,6 0,8 0,4 Perdesaan 2,6 1,1 0,5 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 1,4 1,4 0,7 Menengah bawah 2,2 1,4 0,6 Menengah 3,5 1,0 0,4 Menengah atas 5,5 0,6 0,3 Teratas 9,2 0,5 0,2 237 Tabel 3.15.2 Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada penduduk umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Pakai kaca mata/ lensa kontak Severe low vision 2,6 4,0 6,6 3,6 4,5 4,5 3,7 3,1 4,2 7,3 11,9 4,8 4,0 9,2 4,8 5,3 5,2 1,8 2,0 3,4 4,0 4,4 4,2 7,5 3,2 2,6 3,0 3,1 1,7 3,5 2,2 3,5 2,4 1,2 0,9 0,8 0,7 0,9 1,0 0,7 1,7 1,0 0,5 0,6 0,8 1,1 0,3 1,0 0,7 0,6 0,6 1,6 1,6 1,1 0,9 0,7 0,9 0,6 1,2 0,9 1,3 0,5 1,3 0,8 0,4 0,4 0,4 0,3 0,4 0,4 0,3 0,4 0,3 0,6 0,7 0,3 0,4 0,3 0,5 0,2 0,4 0,3 0,3 0,2 1,0 0,3 0,5 0,4 0,3 0,8 0,3 0,8 0,4 1,1 0,4 0,5 0,4 0,3 0,1 4,6 0,9 0,4 Kebutaan 3.15.1.2 Kelainan permukaan mata dan lensa Kelainan atau morbiditas permukaan mata yang diperiksa oleh surveyor adalah pterygium dan kekeruhan kornea, sedangkan kelainan lensa yang diharapkan dapat diidentifikasi oleh enumerator adalah kekeruhan lensa (katarak) yang tebal dan biasanya sudah disertai gangguan penglihatan. Pemeriksaan morbiditas permukaan mata dan lensa ini dilakukan pada semua responden. Jumlah responden semua umur yang dianalisis sebesar 1.027.763 orang. 238 Pterygium merupakan penebalan konjungtiva (bagian putih mata) pada sisi medial dan atau lateral, biasanya pada orang tua, tetapi bisa juga ditemukan pada dewasa muda, semakin lama semakin meluas kearah kornea. Kekeruhan kornea adalah kelainan pada kornea berupa bercak berwarna putih keruh dan biasanya tidak berkaitan dengan faktor pertambahan usia. 30,0 25,2 25,0 Pterygium Kekeruhan Kornea 20,0 15,0 11,0 8,3 10,0 0,0 3,7 2,0 DKI Banten Lampung Sumsel Kalteng Pabar Kep.Riau Sumut Jambi Kalbar Jabar Riau Kaltim Jateng Sultra Sumbar NTT Indonesia Bengkulu Kalsel Papua Aceh Gorontalo Babel Sulbar Jatim Sulut Sulsel Sulteng DIY Malut NTB Maluku Bali 5,0 5,5 Gambar 3.15.6 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea menurut provinsi, Indonesia 2013 Gambar 3.15.6 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium nasional adalah sebesar 8,3 persen dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara Barat (17,0%). Provinsi DKI Jakarta mempunyai prevalensi pterygium terendah yaitu 3,7 persen, diikuti oleh Banten 3,9 persen. Prevalensi kekeruhan kornea nasional adalah 5,5 persen dengan prevalensi tertinggi juga ditemukan di Bali (11,0%), diikuti oleh DI Yogyakarta (10,2%) dan Sulawesi Selatan (9,4%). Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Papua Barat (2,0%) diikuti DKI Jakarta (3,1%). Tabel 3.15.3 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Tidak lazim pterygium terjadi pada anak umur 0-4 tahun, sehingga data prevalensi pterygium pada anak balita dalam analisis ini dinilai kurang valid. Prevalensi kekeruhan kornea yang meningkat seiring bertambahnya usia mungkin disebabkan karena kurangnya keahlian enumerator dalam melakukan penilaian untuk kekeruhan kornea, sehingga data yang dikumpulkan cenderung kurang valid. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada laki-laki cenderung sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada perempuan. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea yang paling tinggi (16,8% untuk pterygium dan 13,6% untuk kekeruhan kornea) ditemukan pada kelompok responden yang tidak sekolah. Petani/nelayan/buruh mempunyai prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea tertinggi (15,8% untuk pterygium dan 9,7% untuk kekeruhan kornea) dibanding kelompok pekerja lainnya. Tingginya prevalensi pterygium pada kelompok pekerjaan tersebut mungkin berkaitan dengan tingginya paparan matahari yang mengandung sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kejadian pterygium. Prevalensi kekeruhan kornea yang tinggi pada kelompok pekerjaan petani/nelayan/buruh mungkin berkaitan dengan riwayat trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat pemakaian alat pelindung diri saat bekerja belum optimal dilaksanakan di Indonesia. 239 Tabel 3.15.3 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada penduduk semua umur menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) 0-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+ Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Morbiditas permukaan mata Pterygium Kekeruhan kornea 0,8 0,8 2,0 5,4 11,0 17,6 25,2 32,2 36,4 0,8 0,9 1,2 2,1 4,7 10,6 19,5 30,7 39,6 8,5 8,0 5,5 5,4 16,8 8,7 11,4 6,5 6,6 6,9 13,6 6,4 7,7 3,6 3,4 3,6 7,3 7,4 10,7 15,8 12 5,8 3,6 6,3 9,7 7,3 7,1 9,4 5,0 6,0 11,3 10,1 8,3 7,0 6,0 7,5 6,8 5,8 4,4 3,8 Penduduk yang tinggal di perdesaan mempunyai prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea yang lebih besar dibandingkan penduduk di perkotaan. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea cenderung menurun seiring dengan meningkatnya kuintil indeks kepemilikan. Pada tabel 3.15.4 terlihat bahwa prevalensi katarak tertinggi di Sulawesi Utara (3,7%) diikuti oleh Jambi (2,8%) dan Bali (2,7%). Prevalensi katarak terendah ditemukan di DKI Jakarta (0,9%) diikuti Sulawesi Barat (1,1%). Sebagian besar penduduk dengan katarak di Indonesia belum menjalani operasi katarak karena faktor ketidaktahuan penderita mengenai penyakit katarak yang dideritanya dan mereka tidak 240 tahu bahwa buta katarak bisa dioperasi/ direhabilitasi. Alasan kedua terbanyak penderita katarak belum dioperasi adalah karena tidak dapat membiayai operasinya.(Gambar 3.15.7) Laporan lengkap tentang prevalensi katarak dan alasan utama belum menjalani operasi katarak menurut karakteristik disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam Angka. 100,0 80,0 51,9 60,0 40,0 Tidak mampu membiayai NTB Takut Operasi Gambar 3.15.7 Proporsi tiga alasan utama penderita katarak belum menjalani operasi menurut provinsi, Indonesia 2013 241 Jambi Sulut Aceh Sumut Jabar Kalsel Kep. Riau NTT Pabar 4,5 Riau INDONESIA Babel Sultra Sumbar DKI Jatim Bali Sulsel Kalbar Tidak tahu kalau katarak Jateng DIY Sumsel Kaltim Banten Lampung Gorontalo Maluku Sulteng Malut Kalteng Sulbar Bengkulu 0,0 Papua 11,9 20,0 Tabel 3.15.4 Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada penduduk semua umur menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Katarak 2,8 1,4 2,3 1,9 2,8 1,7 1,9 1,5 1,8 1,4 0,9 1,5 2,4 2,0 1,6 1,8 2,7 1,6 2,3 1,8 1,4 1,4 2,0 3,7 2,4 2,5 1,8 1,9 1,1 2,2 2,3 1,5 2,4 1,8 Alasan Belum Operasi Tidak tahu Tidak mampu Takut kalau katarak membiayai operasi 27,7 11,0 14,6 36,6 10,6 13,9 41,2 16,6 11,8 32,0 20,2 11,6 53,3 8,4 8,5 42,1 9,0 7,7 56,3 14,7 4,5 47,5 11,0 8,3 60,7 13,0 5,8 42,5 16,8 2,9 29,9 24,0 10,3 55,4 12,8 7,1 60,8 8,1 6,1 63,1 4,8 9,1 51,3 12,1 11,3 69,3 10,5 3,6 64,6 4,4 9,2 55,7 11,6 9,1 41,4 14,1 5,7 49,7 12,8 4,7 51,9 11,9 4,5 51,6 14,1 6,9 42,7 10,1 5,0 48,5 15,3 10,0 44,2 20,4 3,4 55,0 7,7 5,9 36,8 22,8 7,6 31,9 29,3 15,9 41,6 28,8 7,0 33,6 13,0 16,0 46,1 10,8 11,7 32,2 13,7 9,3 63,4 8,2 3,3 51,6 11,6 8,1 242 3.15.2 Kesehatan telinga Data yang dikumpulkan terkait status kesehatan telinga meliputi anatomi liang telinga, kelainan pada telinga tengah dan daerah retroaurikular, keutuhan gendang telinga, serta adanya gangguan fungsi pendengaran. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik oleh nakes terlatih pada responden berumur 2 tahun keatas dan untuk fungsi pendengaran dilakukan tes konversasi bagi responden yang kooperatif dan tidak tuna wicara. Keterbatasan pengumpulan data terkait kesehatan telinga adalah kemampuan klinis nakes yang sangat bervariasi dalam mengenali kelainan telinga dan retroaurikular. Keterbatasan untuk pengukuran tajam pendengaran adalah tidak tersedianya alat audiometer di lapangan, sehingga hanya dilakukan uji/tes konversasi. 3.15.2.1 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian Pada survei ini interpretasi dari skor yang digunakan adalah sebagai berikut: Pemeriksa membisikkan kalimat sederhana dan responden diminta mengulanginya. Jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “0”. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu kalimat dengan volume suara normal dan responden kembali diminta mengulanginya. Jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “1”  pendengaran NORMAL. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu kalimat dengan volume suara yang lebih keras dan responden kembali diminta mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “2”  gangguan pendengaran ringan. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan meneriakkan satu kalimat pada telinga dengan fungsi pendengaran lebih baik dan responden kembali diminta mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “3  gangguan pendengaran sedang. Jika responden tidak dapat mengikuti teriakan kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “4”  ketulian. Dalam Riskesdas 2013 diperoleh prevalensi gangguan pendengaran tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (36,6%), disusul oleh kelompok umur 65-74 tahun (17,1%). Angka prevalensi terkecil berada pada kelompok umur 5-14 tahun dan 15-24 tahun (masing-masing 0,8%) sesuai Tabel 3.16.1. Prevalensi tertinggi ketulian terdapat pada kelompok umur yang sama dengan gangguan pendengaran, yaitu umur ≥75 tahun (1,45%), begitu pula dengan prevalensi terkecil terdapat pada kelompok umur 5-14 tahun dan 15-24 tahun (masing-masing 0,04%). Prevalensi responden dengan gangguan pendengaran pada perempuan cenderung sedikit lebih tinggi daripada laki-laki (2,8%:2,4%), begitu juga prevalensi ketulian prevalensi perempuan 0,10 persen dan laki-laki 0,09 persen. Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian tertinggi ditemukan pada kelompok tingkat pendidikan tidak sekolah (8,0% gangguan pendengaran dan 0,38% ketulian). Gangguan pendengaran pada kelompok responden tidak bekerja memiliki angka prevalensi tertinggi, yaitu 3,4 persen, disusul oleh petani/nelayan/buruh sebesar 3,3 persen. Prevalensi gangguan pendengaran terendah ditemukan pada kelompok pegawai (1,0%). Prevalensi ketulian tertinggi ditemukan pada kelompok responden tidak bekerja (0,15%) dan terendah pada pegawai (0,02%). Terdapat perbedaan angka prevalensi ketulian dan gangguan pendengaran menurut tempat tinggal. Di perkotaan diperoleh prevalensi gangguan pendengaran sebesar 2,2 persen dan prevalensi ketulian 0,09 persen. Prevalensi gangguan pendengaran di perdesaan cenderung sedikit lebih tinggi, yaitu sebesar 3 persen dan prevalensi ketulian 0,1 persen. 243 Tabel 3.15.5 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Gangguan pendengaran Ketulian Kelompok Umur (tahun) 5-14 0,8 0,04 15-24 0,8 0,04 25-34 1,0 0,05 35-44 1,2 0,05 45-54 2,3 0,06 55-64 5,7 0,14 65-74 17,1 0,52 75+ 36,6 1,45 Jenis kelamin Laki-laki 2,4 0,09 Perempuan 2,8 0,10 Pendidikan Tidak sekolah 8,0 0,38 Tidak tamat SD 3,2 0,12 Tamat SD 2,9 0,08 Tamat SMP 1,3 0,04 Tamat SMA 1,1 0,03 Tamat PT 1,2 0,04 Pekerjaan Tidak bekerja 3,4 0,15 Pegawai 1,0 0,02 Wiraswasta 1,6 0,03 Petani/nelayan/buruh 3,3 0,07 Lainnya 2,2 0,10 Tempat tinggal Perkotaan 2,2 0,09 Perdesaan 3,0 0,10 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 4,1 0,14 Menengah bawah 3,4 0,13 Menengah 2,6 0,08 Menengah atas 1,9 0,06 Teratas 1,6 0,07 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian memiliki pola yang sama menurut kuintil indeks kepemilikan, yaitu semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin kecil prevalensi gangguan pendengaran dan ketuliannya. Pada kuintil indeks kepemilikan terbawah ditemukan prevalensi gangguan pendengaran tertinggi (4,1%) dan prevalensi ketulian tertinggi (0,14%). Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian terendah ditemukan pada kuintil indeks kepemilikan teratas (berturut-turut 1,6% dan 0,07%). 244 4,0 3,7 *) Berdasarkan tes konversasi 3,5 3,0 2,6 2,5 2,0 1,6 1,5 1,0 0,0 Banten DKI Babel Kep. Riau Pabar NTB Bali Bengkulu Kalteng Kalsel Riau Kalbar Aceh Gorontalo Jambi Kaltim Sulteng Sultra Sulut Sumbar Jabar Maluku INDONESIA Papua Sunut DIY Sulbar Jatim Malut Sulsel Sumsel Jateng Lampung NTT 0,5 Gambar 3.15.8 Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut provinsi, Indonesia 2013 Berdasarkan provinsi, prevalensi gangguan pendengaran tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (3,7%), dan terendah di Banten (1,6%). Terdapat sembilan provinsi dengan prevalensi gangguan pendengaran yang lebih besar dari rata-rata nasional (2,6%), seperti terlihat pada Gambar 3.15.8. 0,50 0,40 0,30 0,45 *) Berdasarkan tes konversasi 0,20 0,00 0,09 0,03 Kaltim Babel Banten Sunut Kalbar Sulbar Aceh DKI Bali Sumsel Kep. Riau Jabar Kalteng Sulteng Lampung Papua Bengkulu Malut INDONESIA Sumbar Jambi NTB Pabar Jateng NTT Kalsel Sulut Sulsel Sultra Riau DIY Jatim Gorontalo Maluku 0,10 Gambar 3.15.9 Prevalensi ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut provinsi, Indonesia 2013 Gambar 3.15.9 menunjukkan prevalensi ketulian Indonesia sebesar 0,09 persen dan terdapat dua provinsi yang mempunyai prevalensi ketulian sama dengan angka nasional, yaitu Bengkulu dan Maluku Utara. Provinsi dengan prevalensi ketulian diatas rata-rata nasional sejumlah 15 provinsi dan prevalensi ketulian tertinggi ditemukan di Maluku (0,45%), sedangkan yang terendah di Kalimantan Timur (0,03%). 245 3.15.2.2 Morbiditas Telinga Lainnya Untuk mengetahui prevalensi morbiditas (kejadian sakit) telinga, selain gangguan pendengaran dan ketulian, dilakukan pemeriksaan fisik/anatomis terhadap responden umur 2 tahun keatas. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan luar telinga untuk mengetahui keberadaan abses/fistel retroautrikular,serta pemeriksaan liang telinga untuk mengetahui adanya serumen maupun sekret dalam liang telinga. Sekret dalam liang telinga menandakan adanya infeksi akut/kronis, tumor, maupun kelainan telinga lainnya. Keberadaan abses/fistel retroaurikular dapat menunjukkan adanya infeksi telinga yang sedang berlangsung. Kelompok umur ≥75 tahun mempunyaii prevalensi tertinggi dalam hal keberadaan serumen, sekret dalam liang telinga, dan abses/fistel retroaurikular, yaitu berturut-turut 37,3 persen ; 3,8 persen ; dan 0,77 persen . Prevalensi terendah morbiditas telinga ditemukan pada kelompok umur 15-24 tahun, yaitu untuk prevalensi serumen (14,3%), 15-24 tahun dan 25-34 tahun untuk sekret (masing-masing 2,0%), dan 2-4 tahun untuk abses/fistel retroaurikular. Berdasarkan provinsi, prevalensi penduduk dengan serumen tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (40,1%) dan terendah di Sumatera Selatan (5,7%). Laporan lengkap tentang morbiditas telinga lainnya menurut karakteristik dan provinsi disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam Angka. 246 3.16. Pemeriksaan biomedis Rita Marleta Dewi, Frans Dany, Khariri, Widoretno, Kambang Sariadji, Sarwo Handayani, Vivi Lisdawati, Indri Rooslamiati, Holly Arif Wibowo, M. Samsudin, Djoko Kartono, Dwi Hapsari Tjandrarini, dan Ina Kusrini Data biomedis merupakan bagian dari Riskesdas 2013 yang sampelnya mewakili skala nasional untuk perkotaan dan perdesaan. Data biomedis yang diperoleh melalui pemeriksaan sampel dan spesimen merupakan indikator untuk beberapa penyakit meliputi penyakit menular (PM), penyakit tidak menular (PTM) atau penyakit kronik degeneratif, penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), dan gangguan status gizi. Informasi tentang berbagai penyakit tersebut berhubungan erat dengan beban ganda masalah kesehatan masyarakat Indonesia yang mulai bergeser dari penyakit infeksi menuju penyakit degeneratif dan keganasan. Data biomedis tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan kesehatan yang lebih tepat dan proporsional. Jenis sampel dan spesimen biomedis pada Riskesdas 2013 terdiri dari air, garam, urin, dan darah. Pemeriksaan biomedis dilaksanakan di beberapa tempat, yaitu: (1) Laboratorium Lapangan seperti puskesmas, pustu, posyandu, poskesdes atau fasilitas lain yang sesuai kriteria untuk melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah, hemoglobin (Hb) dan Rapid Diagnostic Test (RDT) malaria; (2) Laboratorium Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan (PBTDK), Badan Litbangkes untuk pemeriksaan kimia klinis dan mikroskopis malaria; (3) Laboratorium Balai Litbang GAKI Magelang untuk pemeriksaan spesimen urin, sampel air minum dan garam; (4) Rumah responden untuk pemeriksaan kadar iodium dalam garam yang dikonsumsi rumah tangga dengan rapid test kit (RTK) pada 12,000 BS. Pemeriksaan biomedis meliputi pemeriksaan kadar iodium pada sumber air minum RT, garam RT, urin wanita usia subur (WUS) umur 15-49 tahun, urin anak umur 6-12 tahun; pemeriksaan kadar Hb dan RDT malaria pada penduduk umur ≥1 tahun, khusus responden dengan riwayat demam dalam 2 hari terakhir dilakukan pemeriksaan sediaan darah tebal malaria; pemeriksaan kadar glukosa darah dan pemeriksaan kimia klinis pada penduduk umur ≥15 tahun. 3.16.1 Rekrutmen sampel biomedis Sampel air berasal dari sumber air minum utama RT yang diambil minimal dari tiga RT di setiap BS (BS) biomedis. Sampel garam diambil dari semua RT pada BS biomedis. Spesimen urin untuk pemeriksaan iodium dikumpulkan dari satu ART (ART) umur 6-12 tahun dan satu ART wanita usia subur (WUS) 15-49 tahun yang terpilih sebagai sampel di setiap RT dalam BS biomedis. Khusus pada ART WUS umur 15–49 tahun lebih diprioritaskan ibu hamil dan menyusui. Jumlah target sampel air adalah 3.000 sampel, sedangkan yang diterima dan diperiksa di laboratorium Balai Litbang GAKI Magelang adalah 3.268 sampel. Sebanyak 3.028 sampel air yang diperiksa di laboratorium dapat dimasukkan dalam analisis, sedangkan 240 sampel dikeluarkan dari analisis karena identitas tidak lengkap atau duplikasi. Untuk mengetahui kadar iodium dalam sampel garam (part per million kalium iodat /ppm KIO3) ditargetkan 25.000 sampel sesuai jumlah RT dalam BS biomedis. Sebanyak 21.741 sampel garam diterima dan 12.653 sampel sudah diperiksa di laboratorium. Namun hanya 11.430 hasil pemeriksaan yang dapat dianalisis, sedangkan 1.223 sampel dengan identitas yang tidak lengkap tidak dapat dimasukkan dalam analisis. Jumlah target sampel urin adalah 26.000 (18.000 WUS umur 15–49 tahun dan 8.000 umur 6-12 tahun). Sebanyak 23.067 sampel urin diterima dan 22.794 dapat diperiksa di laboratorium, sedangkan 273 sampel urin tidak dapat diperiksa karena menggunakan wadah yang tidak standar dan volume urin tidak mencukupi. Dari 22.794 hasil pemeriksaan di laboratorium, hanya 19.965 yang dapat dimasukkan dalam analisis, sedangkan 2.829 identitasnya tidak lengkap. Dari 247 19.965 yang dapat dianalisis terdiri dari 13.811 spesimen urin WUS (termasuk ibu hamil dan ibu menyusui) dan 6.154 spesimen urin umur 6-12 tahun. Gambar 3.16.1 Rekrutmen sampel air, garam dan urin, Indonesia 2013 Proses pengambilan spesimen darah dilakukan di laboratorium lapangan. Pengambilan darah pada ART umur ≥15 tahun sebanyak 10 ml dan ART umur 1-14 tahun serta wanita hamil sebanyak 5 ml. Pada pelaksanaan pengumpulan data biomedis spesimen darah, dari 92.000 responden yang ditargetkan hanya 56.719 yang bersedia diambil darah untuk pemeriksaan biomedis. Dari responden yang telah bersedia dan menandatangani informed consent, hanya 50.912 yang datang ke laboratorium lapangan. Selanjutnya pada saat diterapkan kriteria inklusi/eksklusi dalam pengambilan darah oleh dokter pendamping, jumlah responden yang berhasil diperiksa adalah 49.931. Dari responden yang berhasil diperiksa, pada responden umur ≥1 tahun didapatkan 48.404 responden dengan pemeriksaan Hb dan 46.394 responden dengan pemeriksaan RDT malaria. Dari responden umur ≥15 tahun didapatkan 39.202 responden dengan pemeriksaan glukosa, 39.377 responden yang diperiksa kimia klinis dan 47.746 responden yang berhasil dikumpulkan spesimen serum. Pada analisa selanjutnya setelah data biomedis digabung dengan data kesmas, didapatkan 46.428 responden dengan pemeriksaan Hb, 44.731 responden dengan pemeriksaan RDT malaria, 38.136 responden dengan pemeriksaan glukosa darah, dan 35.609 responden dengan pemeriksaan kimia klinis. 248 Gambar 3.16.2 Rekrutmen spesimen darah, Indonesia 2013 Berkurangnya jumlah responden yang diperiksa dibandingkan dengan target disebabkan karena terdapat dua BS yang menolak berpartisipasi. Sebab lainnya adalah pada beberapa BS terpilih terdapat jumlah RT kurang dari 25, atau responden tidak mendapatkan izin untuk meninggalkan pekerjaan atau ujian sekolah, medan yang sulit dan cuaca buruk saat pengambilan/pemeriksaan biomedis, adanya gangguan keamanan, dieksklusi oleh dokter pendamping, atau responden mengundurkan diri. 3.16.2. Status Iodium Status iodium dilakukan berdasarkan pemeriksaan seluruh sampel garam RT di 12.000 BS dengan metoda tes cepat meneteskan Iodina ke garam, dan mengambil garam dari sub-sampel nasional yang dikonfirmasi di laboratorium dengan metoda titrasi. Untuk status iodium penduduk dinilai berdasarkan ekskresi iodium dalam urin, dan juga dilakukan pemeriksaan air sebagai salah satu sumber asupan iodium penduduk selain garam. Dari hasil tes cepat sampel garam RT di 12.000 BS yang mencakup seluruh kabupaten/kota. Sebanyak 289.660 sampel garam RT dapat dikumpulkan. Metoda tes cepat dilakukan dengan cara meneteskan larutan RTK pada sampel garam yang digunakan RT. Rumah tangga dinyatakan mengonsumsi garam yang mengandung cukup iodium (30 ppm KIO3), bila hasil tes menunjukkan warna biru/ungu tua; mengonsumsi garam yang mengandung kurang iodium bila hasil tes menunjukkan warna biru/ungu muda; dan dinyatakan mengonsumsi garam tidak mengandung iodium bila hasil tes tidak menunjukkan perubahan warna. Tabel 3.16.1 menunjukkan secara nasional 77,1 persen RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium, 14,8 persen RT mengonsumsi garam dengan kandungan kurang iodium dan 8,1 persen RT mengonsumsi garam yang tidak mengandung iodium. Provinsi dengan proporsi RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium tertinggi adalah Bangka Belitung (98,1%) dan terendah adalah Aceh (45,7%). Secara nasional angka ini masih belum mencapai target Universal Salt Iodization (USI) atau “garam beriodium untuk semua”, yaitu minimal 90 persen RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium (WHO/UNICEF ICCIDD, 2010). Gambar 3.16.3 menyajikan kecenderungan RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan iodium cukup berdasarkan hasil tes cepat pada tahun 2013 (77,1%) mengalami peningkatan dibanding tahun 2007 (62,3%). Target WHO untuk universal salt iodization (USI) atau garam beriodium untuk semua, yaitu minimal 90 persen RT mengonsumsi garam dengan kandungan iodium cukup, masih belum tercapai. Pada tahun 2013, sebanyak 13 provinsi telah mencapai USI, sedangkan pada tahun 2007 hanya 6 provinsi. 249 Tabel 3.16.2 menunjukkan proporsi RT yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium berdasarkan hasil tes cepat menurut karakteristik. Berdasarkan tingkat pendidikan kepala RT, semakin tinggi pendidikan kepala RT, maka semakin tinggi pula proporsi garam yang mengandung cukup iodium. Berdasarkan status pekerjaan kepala RT, proporsi tertinggi pada status pekerjaan pegawai dan terendah pada petani/nelayan/buruh. Proporsi di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. Tabel 3.16.1 Proporsi rumah tangga yang mengonsumsi garam berdasarkan kandungan iodium sesuai hasil tes cepat menurut provinsi, Indonesia 2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Cukup 45,7 87,6 63,2 88,0 90,5 92,2 93,7 85,0 98,1 83,0 83,9 68,6 80,1 90,0 75,4 80,1 50,8 54,6 52,4 91,2 90,5 91,6 94,1 94,4 91,6 65,6 77,9 95,2 72,5 62,5 91,4 96,4 85,6 77,1 250 Iodium dalam garam Kurang Tidak ada 28,8 25,5 11,1 1,2 28,2 8,5 9,1 2,9 7,2 2,3 6,4 1,4 5,6 0,7 13,5 1,5 1,5 0,3 14,1 2,9 12,6 3,5 20,5 10,9 13,2 6,7 7,3 2,7 13,7 10,9 15,1 4,8 19,1 30,1 25,6 19,8 26,5 21,1 7,3 1,5 7,0 2,5 6,8 1,6 4,1 1,8 5,4 0,2 7,4 1,0 18,7 15,8 16,1 6,0 3,9 0,8 22,6 4,9 18,8 18,8 7,9 0,7 2,6 0,9 13,6 0,7 14,8 8,1 100,0 77,1 80,0 60,0 62,3 40,0 0,0 Aceh Bali NTT NTB Maluku Sumbar Sulsel Jabar Sulbar Jatim Indonesia Sultra Banten Jateng Kep.Riau DKI Lampung Papua Sumut Riau DIY Jambi Kalteng Kalbar Malut Kalsel Sulteng Sumsel Bengkulu Kaltim Sulut Gorontalo Pabar Babel 20,0 2007 2013 Gambar 3.16.3 Kecenderungan rumah tangga yang mengonsumsi garam dengan kandungan cukup iodium berdasarkan hasil tes cepat menurut provinsi, Indonesia 2007 dan 2013 Tabel 3.16.2 Proporsi rumah tangga yang mengonsumsi garam yang mengandung cukup iodium berdasarkan hasil tes cepat menurut karakteristik, Indonesia 2007 dan 2013 Karakteristik Karakteristik Pendidikan Tidak sekolah Tamat SD/MI Tamat SMP/MTs Tamat SMA/MA Tamat Diploma/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Indonesia 2007 2013 50,9 59,5 68,8 75,1 80,8 74,0 76,8 82,0 85,1 88,1 60,7 79,2 75,7 56,9 56,5 77,9 86,9 83,3 75,4 78,6 70,4 56,3 62,3 82,0 72,3 77,1 Nilai rata-rata dan simpang baku kadar iodium dalam garam RT berdasarkan hasil metoda titrasi tahun 2013 adalah 34,1+ 25,1 ppm kalium iodat (KIO3), sedangkan tahun 2007 adalah 38,9 + 28,3 ppm kalium iodat. Dari nilai rata-rata ini menunjukkan hampir tidak ada perbaikan kualitas garam beriodium dari tahun 2007 sampai tahun 2013. Akan tetapi jika diperhatikan berdasarkan empat klasifikasi proporsi RT berdasarkan kadar iodium: tidak beriodium, kurang, cukup, dan lebih, maka terlihat terjadi pergeseran kearah yang lebih baik. Tabel 3.16.3 menunjukkan kecenderungan proporsi kadar iodium dalam garam RT berdasarkan hasil metoda titrasi tahun 2013. Setengah sampel RT mempunyai garam kurang iodium (50,8%), 251 jauh lebih rendah dibanding tahun 2007 (67,7%), sedangkan proporsi cukup iodium (43,2%) meningkat dibanding tahun 2007 (23,4%), dan RT dengan proporsi lebih iodium meningkat dari satu persen (2007) menjadi lima persen (2013). Tabel 3.16.3 Kecenderungan proporsi kadar iodium (ppm KIO3) dalam garam rumah tangga hasil metoda titrasi, Indonesia 2007 dan 2013 Kadar iodium Tidak beriodium Kurang Cukup Lebih 2007 7,8 67,7 23,4 1,1 2013 1,0 50,8 43,2 5,0 Ekskresi iodium urin (EIU) Gambar 3.16.4 menyajikan kecenderungan nilai median EIU (µg/L) dari sampel urin sesaat menurut karakteristik penduduk. Nilai median EIU pada anak umur 6-12 tahun adalah 215 µg/L, dengan EIU perkotaan (237 µg/L) lebih tinggi dari perdesaan (201 µg/L). Nilai median EIU pada WUS adalah 187 µg/L, pada ibu hamil 163 µg/L dan ibu menyusui 164 µg/L, dengan masingmasing lebih tinggi di perkotaan. Nilai median EIU terendah ditemukan pada ibu menyusui dan yang tertinggi adalah pada anak umur 6-12 tahun. 300 Median EIU (µg/L) 250 200 237 201 215 203 176 190 179 151 150 163 169 159 164 100 50 0 Anak 6-12 tahun WUS 15 -49 tahun Perkotaan Perdesaan Ibu Hamil Ibu Menyusui Kota+Desa Gambar 3.16.4 Kecenderungan nilai median ekskresi iodium dalam urin (µg/L) pada anak, WUS, Ibu hamil, ibu menyusui, Indonesia 2007 dan 2013 Gambar 3.16.5 menunjukkan proporsi nilai EIU anak umur 6–12 tahun, WUS, ibu hamil dan ibu menyusui menurut kategori EIU tahun 2013: risiko kekurangan (<100 µg/L), cukup (100-199 µg/L), lebih dari cukup (200-299 µg/L) dan risiko kelebihan (≥300 µg/L). Pada anak umur 6–12 tahun, persentase risiko kekurangan dan risiko kelebihan iodium tahun 2013 cenderung lebih tinggi dibandingkan tahun 2007. 252 50,0 36,9 36,9 30,6 29,9 40,0 30,0 22,1 20,0 30,4 24,8 24,3 23,9 14,9 24,9 21,3 22,4 21,1 17,6 18,1 10,0 0,0 <100 µg/L Anak 6-12 tahun 100-199 µg/L 200-299 µg/L WUS 15-49 tahun Ibu hamil >=300 µg/L Ibu menyusui Gambar 3.16.5 Proporsi ekskresi iodium dalam urin anak umur 6-12 tahun, wanita usia subur, ibu hamil dan ibu menyusui menurut kategori EIU, Indonesia 2013 Kadar iodium sumber air minum RT Secara nasional, nilai median kadar iodium sumber air minum adalah 15,0 µg/L dan nilai medium perkotaan (17,0 µg/L), lebih tinggi dari perdesaan (13,0 µg/L). Kadar iodium sumber air minum RT di perkotaan dan perdesaan pada tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 3.16.4. Kadar iodium sumber air minum RT sebagian besar rendah atau tidak mengandung iodium (92,1%) dan proporsi di perdesaan lebih tinggi. Secara nasional, proporsi air minum RT yang mempunyai kandungan cukup iodium masih sangat rendah (6,0%) dengan proporsi di perkotaan (7,4%), lebih tinggi daripada di perdesaan (4,6%). Tabel 3.16.4 Proporsi kadar iodium dalam sumber air minum RT menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Perkotaan Perdesaan Indonesia Tidak beriodium 38,0 42,3 40,1 Rendah iodium 52,5 51,5 52,0 Cukup iodium 7,4 4,6 6,0 Lebih dari cukup 1,6 1,3 1,5 Tinggi iodium 0,5 0,3 0,4 3.16.3. Hasil pemeriksaan spesimen darah Penyajian hasil pemeriksaan spesimen darah dikelompokkan menjadi empat: 1) pemeriksaan kadar glukoa darah: 2) pemeriksaan kadar hemoglobin; 3) pemeriksaan malaria berdasarkan rapid diagnostic test/RDT; dan 4) pemeriksaan kimia klinis. 1. Pemeriksaan kadar glukosa darah Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah akibat gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Secara umum, penyakit ini dibagi atas dua tipe, yaitu tipe 1 dengan kerusakan sel beta pankreas akibat faktor autoimun, genetik atau idiopatik dan tipe 2 yang umumnya timbul akibat resistensi insulin terkait perubahan gaya hidup. 253 Penyakit tersebut telah menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat global dan menurut International Diabetes Federation (IDF) pemutakhiran ke-5 tahun 2012, jumlah penderitanya semakin bertambah. Menurut estimasi IDF tahun 2012, lebih dari 371 juta orang di seluruh dunia mengalami DM, 4,8 juta orang meninggal akibat penyakit metabolik ini dan 471 miliar dolar Amerika dikeluarkan untuk pengobatannya. Menurut pedoman American Diabetes Association (ADA) 2011 dan konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2011 untuk pencegahan dan pengelolaan DM tipe 2, kriteria diagnostik DM dapat ditegakkan bila: 1) glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl bila terdapat keluhan klasik DM penyerta, seperti banyak kencing (poliuria), banyak minum (polidipsia), banyak makan (polifagia), dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya; 2) glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl dengan gejala klasik penyerta; 3) glukosa 2 jam pasca pembebanan ≥200 mg/dl. Di pihak lain, seseorang dengan kadar glukosa darah diatas normal, tetapi belum memenuhi kriteria diabetes dianggap mengalami keadaan pra-diabetes yang berisiko berkembang menjadi DM tipe 2. Beberapa faktor yang diduga berperan penting menyebabkan keadaan pradiabetes antara lain: faktor genetik, rokok, jenis kelamin laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, diet yang tidak sehat, dan keadaan abnormal terkait perawakan pendek pada orang dewasa. Keadaan pradiabetes tersebut meliputi glukosa darah puasa (GDP) terganggu dan toleransi glukosa terganggu (TGT). Menurut ADA 2011, kriteria GDP terganggu adalah bila kadar glukosa darah puasa seseorang berada dalam rentang 100-125 mg/dl, sedangkan kriteria TGT ditegakkan bila hasil glukosa darah 2 jam pasca pembebanan berada dalam kisaran 140-199 mg/dl. Berdasarkan hasil pemeriksaan glukosa darah, parameter yang dianalisis adalah proporsi DM, GDP terganggu, dan TGT. Tabel 3.16.5 menunjukkan proporsi DM pada penduduk umur ≥15 tahun berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dengan cut off points merujuk pada ADA 2011 dan gejala khas DM. Proporsi DM di Indonesia sebesar 6,9 persen dengan proporsi DM pada perempuan cenderung lebih tinggi, tetapi hampir sama antara proporsi di perkotaan (6,8%) dan perdesaan (7,0%). Tabel 3.16.5 Proporsi DM pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Indonesia DM (%) 5,6 7,7 6,8 7,0 6,9 Catatan: Ditemukan sejumlah responden dengan kadar glukosa darah normal, tetapi sedang menjalani pengobatan DM, sehingga kemungkinan dapat menambah proporsi penduduk DM. Tabel 3.16.6 menggambarkan proporsi penduduk umur ≥15 tahun dengan glukosa darah puasa (GDP) terganggu, yakni suatu keadaan yang berisiko tinggi akan berkembang menjadi DM. Kriteria keadaan tersebut ditentukan berdasarkan pemeriksaan glukosa darah puasa dengan nilai cut off yang merujuk pada ADA 2011. Kriteria GDP terganggu ditentukan bila kadar glukosa darah puasa dalam kisaran 100-125 mg/dl. Secara keseluruhan, lebih dari sepertiga penduduk (36,6%) mengalami keadaan GDP terganggu, dan laki-laki lebih banyak mengalami keadaan tersebut dibandingkan perempuan dengan perbedaan sekitar 6 persen. Jika dilihat berdasarkan karakteristik tempat tinggal, proporsi GDP terganggu di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. 254 Tabel 3.16.6 Proporsi GDP terganggu pada umur ≥15 tahun berdasarkan kriteria ADA menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Indonesia DM (%) 40,4 34,4 34,9 38,2 36,6 Tabel 3.16.7 menunjukan proporsi penduduk umur >15 tahun dengan toleransi glukosa terganggu (TGT), yakni suatu keadaan yang berisiko tinggi akan berkembang menjadi DM. Kriteria keadaan tersebut ditentukan berdasarkan pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dengan nilai cut off yang merujuk pada ADA 2011. Kriteria TGT ditentukan bila kadar glukosa darah 2 jam pasca-pembebanan dalam kisaran 140-199 mg/dl. Proporsi penduduk dengan TGT mencapai 29,9 persen, dan proporsi di perkotaan hampir sama dengan proporsi di perdesaan. Namun menurut jenis kelamin, proporsi perempuan dengan TGT lebih tinggi (32,7%) dibandingkan dengan laki-laki (25,0%). Tabel 3.16.7 Proporsi TGT pada umur ≥15 tahun TGT menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Indonesia DM (%) 25,0 32,7 29,9 29,8 29,9 Tabel 3.16.8 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk yang diperiksa gula darah tidak terdiagnosis mengidap DM oleh tenaga kesehatan (nakes). Tabel 3.16.8 Proporsi DM umur ≥15 tahun yang didiagnosis oleh Nakes menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Indonesia DM (%) 2,2 2,5 3,3 1,5 2,4 Meskipun angka cakupan diagnosis nakes tersebut lebih tinggi di perkotaan (3,3%) dibandingkan dengan di perdesaan (1,5%), secara keseluruhan banyak penduduk umur ≥15 tahun yang tidak terdiagnosis mengidap DM (hanya 2,4% yang terdiagnosis). 255 3. Pemeriksaan kadar hemoglobin Anemia merupakan suatu keadaan ketika jumlah sel darah merah atau konsentrasi pengangkut oksigen dalam darah (Hb) tidak mencukupi untuk kebutuhan fisiologis tubuh. Menurut WHO dan pedoman Kemenkes 1999, cut-off points anemia berbeda-beda antar kelompok umur, maupun golongan individu. Kelompok umur atau golongan individu tertentu dianggap lebih rentan mengalami anemia dibandingkan kelompok lainnya. Rujukan cut-off point anemia balita 12-59 bulan adalah kadar Hb dibawah 11,0 g/dL. Anak sekolah usia 6-12 tahun dianggap mengalami anemia bila kadar Hbnya <12,0 g/dL. Di pihak lain, ibu hamil dianggap sebagai salah satu kelompok yang rentan mengalami anemia, meskipun jenis anemia pada kehamilan umumnya bersifat ‘fisiologis’. Anemia tersebut terjadi karena peningkatan volume plasma yang berakibat pengenceran kadar Hb tanpa perubahan bentuk sel darah merah. Ibu hamil dianggap mengalami anemia bila kadar Hb-nya di bawah 11,0 g/dL. Sementara itu, laki-laki berusia ≥15 tahun dianggap mengalami anemia bila kadar Hb <13,0 g/dL dan wanita usia subur 15-49 tahun mengalami anemia bila kadar Hb <12,0 g/dL. Tabel 3.16.9 menunjukkan proporsi penduduk umur ≥1 tahun dengan keadaan anemia mencapai 21,7 persen secara nasional. Berdasarkan pengelompokan umur, didapatkan bahwa anemia pada balita cukup tinggi, yaitu 28,1 persen dan cenderung menurun pada kelompok umur anak sekolah, remaja sampai dewasa muda (34 tahun), tetapi cenderung meningkat kembali pada kelompok umur yang lebih tinggi. Berdasarkan jenis kelamin didapatkan bahwa proporsi anemia pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki. Jika dibandingkan berdasarkan tempat tinggal didapatkan bahwa anemia di perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan. Tabel 3.16.9 Proporsi anemia penduduk umur ≥1 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Kelompok umur 12-59 bulan 5-14 tahun 15-24 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun 45-54 tahun 55-64 tahun 65-74 tahun >75 tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Indonesia Anemia (%) 28,1 26,4 18,4 16,9 18,3 20,1 25,0 34,2 46,0 18,4 23,9 20,6 22,8 21,7 Kelompok ibu hamil (bumil) merupakan salah satu kelompok yang berisiko tinggi mengalami anemia, meskipun anemia yang dialami umumnya merupakan anemia relatif akibat perubahan fisiologis tubuh selama kehamilan. Anemia pada populasi ibu hamil menurut kriteria anemia yang ditentukan WHO dan pedoman Kemenkes 1999, adalah sebesar 37,1 persen dan proporsinya hampir sama antara bumil di perkotaan (36,4%) dan perdesaan (37,8%). 256 4. Malaria berdasarkan hasil rapid diagnostic test (RDT) Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium sp. dan dapat bersifat kronis karena parasit dapat bersembunyi dalam tubuh pejamu dan menimbulkan manifestasi klinis sewaktu-waktu, ketika daya tahan tubuh pejamu menurun. Spesies parasit yang dominan menyebabkan malaria di Indonesia sampai saat ini masih Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax, yang juga diketahui dapat menimbulkan malaria berat. Malaria berat tersebut terutama disebabkan infeksi Plasmodium falciparum karena menyerang otak dan komplikasi lainnya, seperti kegagalan organ multipel pada kasus yang sangat parah. Angka kesakitan malaria yang didapat pada Riskesdas 2013 ini adalah berdasarkan hasil pemeriksaan darah penduduk dengan menggunakan alat RDT. Tabel 3.16.10 memperlihatkan proporsi penduduk positif malaria menurut karakteristik umur, jenis kelamin, dan tempat tinggal. Pada Riskesdas 2013 ini, proporsi penduduk dengan malaria positif mencapai 1,3 persen, atau sekitar dua kali lipat dari angka yang diperoleh Riskesdas 2010 (0,6%). Sementara itu, pada kelompok rentan, seperti anak-anak umur 1-9 tahun dan bumil, didapatkan angka positif malaria yang cukup tinggi (1,9%) dibandingkan kelompok umur lainnya. Proporsi penduduk perdesaan yang positif juga sekitar dua kali lipat lebih banyak (1,7%) dibandingkan dengan penduduk perkotaan (0,8%). Tabel 3.16.10 Proporsi malaria dengan pemeriksaan RDT menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Umur 1-9 tahun 10-14 tahun ≥ 15 tahun Wanita hamil Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Indonesia Positif malaria (%) 1,9 1,1 1,2 1,9 1,6 1,1 0,8 1,7 1,3 Tabel 3.16.11 menunjukkan proporsi malaria berdasarkan spesies parasit malaria yang menginfeksi, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax atau infeksi campuran (P. falciparum dan P. vivax). Walaupun secara keseluruhan besarnya infeksi P. falciparum sama dengan P. vivax, berdasarkan pengelompokan umur, jenis kelamin dan ibu hamil didapatkan bahwa infeksi P. falciparum terlihat lebih dominan dengan angka kesakitan pada anak berumur 19 tahun sebesar 1,2 persen dan 1,3 persen pada ibu hamil. Berdasarkan lokasi tempat tinggal didapatkan bahwa di daerah perkotaan infeksi dengan P. vivax (0,5%) lebih tinggi dibandingkan infeksi P. falciparum (0,3%), sebaliknya di daerah perdesaan didapatkan infeksi P. falciparum lebih tinggi. 257 Tabel 3.16.11 Proporsi malaria dengan pemeriksaan RDT sesuai spesies parasit menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Umur 1-9 tahun 10-14 tahun ≥ 15 tahun Ibu hamil Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Indonesia 5. P. falciparum (%) P. vivax (%) Mix (%) 1,2 0,5 0,5 1,3 0,6 0,4 0,5 0,4 0,1 0,2 0,3 0,2 0,6 0,5 0,5 0,4 0,4 0,1 0,3 0,8 0,5 0,5 0,5 0,5 0,1 0,4 0,3 Pemeriksaan kimia klinis Pada pemeriksaan kimia klinis, parameter yang didapat adalah kadar kolesterol, HDL, LDL, trigliserida, dan kreatinin. Penentuan cut off kolesterol abnormal, HDL abnormal atau dibawah normal, LDL direct diatas nilai optimal, dan trigliserida abnormal merujuk pada National Cholesterol Education Program—Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III), sedangkan untuk kreatinin serum abnormal merujuk pada International Federation of Clinical Chemistry (IFCC). Abnormalitas kadar lipid dalam darah merupakan salah satu faktor risiko timbulnya penyakit kardiovaskular dan metabolik, misalnya aterosklerosis, penyakit jantung koroner, stroke, sindrom metabolik dan sebagainya. Menurut pedoman NCEP-ATP III, pemeriksaan profil lipoprotein (kolesterol total, HDL, LDL dan trigliserida) perlu dilakukan berkala setiap 5 tahun sekali pada setiap individu umur ≥20 tahun. Serangkaian penelitian mengindikasikan bahwa kadar LDL yang tinggi diduga menjadi penyebab utama penyakit jantung coroner, sehingga penurunan kadar LDL masih menjadi target utama penatalaksanaan abnormalitas kadar kolesterol. Sementara itu, peningkatan kadar trigliserida diketahui sebagai salah satu faktor risiko independen penyakit jantung koroner dan paling sering dijumpai pada penderita sindrom metabolik, yang menjadi target sekunder penatalaksanaan gangguan profil lipid. Menurut pedoman yang dikeluarkan The Royal Australian College of General Practitioners (RACGP) edisi ke-8 terkait tindakan pencegahan penyakit metabolik dan kardiovaskular, 90% penduduk Australia berusia 45 tahun ke atas lebih berisiko mengalami penyakit kardiovaskular sehingga skrining profil lipid perlu dilakukan minimal 5 tahun sekali, sedangkan batasan usia skrining tersebut untuk ras Aborigin dan penduduk asli di pulau Torres Strait adalah 35 tahun ke atas. Berdasarkan pedoman US Preventive Services Task Force (USPSTF), pria berusia 35 tahun keatas dan wanita berusia 45 tahun keatas sangat dianjurkan menjalani skrining rutin pemeriksaan profil lipid. USPSTF membuktikan bahwa pemeriksaan profil lipid dapat mengidentifikasi penduduk berusia pertengahan yang berisiko mengalami penyakit jantung koroner, tetapi belum mengalami gejala klinis. USPSTF juga membuktikan bahwa pemberian obat penurun kadar lipid pada individu-individu berisiko tersebut bermanfaat dalam menurunkan insidens penyakit jantung koroner tanpa menimbulkan risiko yang bermakna. Penggolongan abnormalitas setiap parameter lipid menurut NCEP-ATP III berhubungan dengan penilaian risiko penyakit jantung koroner dan penatalaksanaannya sesuai grup risiko tersebut. 258 4.1. Pemeriksaan kadar kolesterol total Tabel 3.16.12 menggambarkan proporsi penduduk >15 tahun dengan kadar kolesterol total di atas nilai normal merujuk nilai yang ditentukan pada NCEP-ATP III adalah sebesar 35,9 persen, yang merupakan gabungan penduduk kategori borderline (nilai kolesterol total 200-239 mg/dl) dan tinggi (nilai kolesterol total >240 mg/dl). Penilaian berdasarkan jenis kelamin dan tempat tinggal didapatkan bahwa proporsi penduduk dengan kadar kolesterol di atas normal pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki, dan di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan. Tabel 3.16.12 Proporsi kolesterol abnormal penduduk umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Kolesterol abnormal (%) 30,0 39,6 Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Indonesia 39,5 32,1 35,9 4.2. Kadar high-density lipoprotein (HDL) Tabel 3.16.13 memperlihatkan proporsi penduduk ≥15 tahun dengan kadar HDL di bawah nilai normal menurut NCEP-ATP III. Secara keseluruhan didapatkan 22,9 persen penduduk Indonesia memiliki kadar HDL dibawah nilai normal, dan pada laki-laki didapatkan proporsi dua kali lipat lebih (34,8%) dibandingkan dengan perempuan (15,3%). Berdasarkan tempat tinggal didapatkan bahwa proporsi HDL rendah di daerah perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Tabel 3.16.13 Proporsi HDL rendah pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Indonesia HDL rendah (%) 34,8 15,3 21,5 24,4 22,9 4.3. Pemeriksaan kadar low-density lipoprotein (LDL) Tabel 3.16.14 menunjukkan proporsi penduduk >15 tahun dengan kadar LDL direct diatas nilai optimal, dan penentuan nilai cut off merujuk pada NCEP-ATP III. Berdasarkan rujukan tersebut didapatkan kelompok penduduk dengan kategori near optimal/above optimal (nilai LDL 100-129 mg/dl), borderline tinggi (nilai LDL 130-159 mg/dl), tinggi (nilai LDL 160-189 mg/dl) dan sangat tinggi (≥190 mg/dl). Pada tabel 3.16.14 disajikan proporsi penduduk dengan kategori near optimal yang digabungkan dengan kategori borderline tinggi, sedangkan kategori tinggi digabung dengan kategori sangat 259 tinggi. Secara keseluruhan didapatkan sebagian besar penduduk Indonesia masuk dalam kategori near optimal dan borderline (60,3%), dan lebih dari 15,9 persen penduduk dengan kadar LDL tinggi dan sangat tinggi. Secara umum, angka proporsi kategori gabungan near optimal dan borderline hampir sama menurut karakteristik. Tabel 3.16.14 Proporsi LDL abnormal pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik LDL tidak optimal Near optimal dan Tinggi dan sangat tinggi borderline tinggi Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Indonesia 59,2 60,9 13,4 17,6 59,8 60,7 60,3 17,9 14,0 15,9 4.4. Pemeriksaan kadar trigliserida Tabel 3.16.15 menggambarkan proporsi penduduk ≥15 tahun dengan kadar trigliserida di atas nilai normal menurut NCEP-ATP III, yang mencakup kategori borderline tinggi (nilai trigliserida 150-199 mg/dl), tinggi (nilai LDL 200-499 mg/dl) dan sangat tinggi (≥500 mg/dl). Pada tabel tersebut disajikan data kadar trigliserida kategori tinggi yang digabung dengan kategori sangat tinggi. Secara nasional, proporsi penduduk ≥15 tahun dengan kategori borderline tinggi tidak berbeda jauh dengan kategori gabungan tinggi-sangat tinggi, yaitu 13,0 persen versus 11,9 persen. Menurut jenis kelamin, laki-laki yang memiliki kadar trigliserida borderline tinggi lebih banyak (15,1%) daripada perempuan (11,7%), begitu juga untuk kategori gabungan trigliserida tinggi dan sangat tinggi. Tabel 3.16.15 Proporsi trigliserida abnormal pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Trigliserida tidak optimal Borderline tinggi Tinggi dan sangat tinggi Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Indonesia 15,1 11,7 14,7 10,2 13,1 12,9 13,0 13,2 10,6 11,9 4.5. Pemeriksaan kadar kreatinin serum Pemeriksaan fungsi ginjal penting dilakukan untuk mengidentifikasi adanya penyakit ginjal sedini mungkin agar penatalaksanaan yang efektif dapat diberikan. Pengukuran fungsi ginjal terbaik adalah dengan mengukur laju filtrasi glomerulus (LFG). Pengukuran LFG tidak dapat dilakukan secara langsung, tetapi hasil estimasinya dapat dinilai melalui bersihan ginjal dari suatu penanda filtrasi. Salah satu penanda tersebut yang sering digunakan dalam praktik klinis adalah kreatinin serum. 260 Kreatinin serum tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya faktor dalam memprediksi fungsi ginjal seseorang karena dipengaruhi banyak hal, antara lain: ras, diet, umur, jenis kelamin, konsumsi obat dan lain-lain. Meskipun begitu, pemeriksaan kreatinin serum masih dilakukan karena relatif mudah dilakukan dan murah. Pertambahan usia seseorang dapat menurunkan bersihan kadar kreatinin serum, yang menggambarkan penurunan fungsi ginjal. Penurunan tersebut dijumpai baik pada individu normal maupun pada individu dengan penyakit ginjal dan terkait dengan stres oksidan dan peradangan yang semakin meningkat seiring proses penuaan. Tabel 3.16.16 memperlihatkan proporsi penduduk berumur ≥15 tahun dengan kadar kreatinin serum di atas nilai normal dengan nilai cut off yang merujuk pada IFCC. Nilai cut off kriteria abnormal berbeda antara kedua jenis kelamin, yaitu diatas 1,18 mg/dl untuk laki-laki dan diatas 1,02 mg/dl untuk perempuan. Menurut jenis kelamin, proporsi laki-laki dengan kadar kreatinin serum abnormal tiga kali lipat lebih banyak (10,4%) daripada perempuan (3,1%). Angka proporsi laki-laki tersebut juga lebih tinggi daripada angka nasional untuk kadar kreatinin serum abnormal sebesar 6,0 persen. Proporsi penduduk dengan kadar kreatinin serum abnormal di perkotaan dan perdesaan hampir sama. Tabel 3.16.16 Proporsi penduduk ≥15 tahun dengan kreatinin abnormal menurut karakteristik, Indonesia 2013 Karakteristik Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Indonesia Kreatinin abnormal (%) 10,4 3,1 6,1 5,8 6,0 261 DAFTAR PUSTAKA American Diabetes Association. Diagnosis and classification of diabetes. Diabetes Care, vol.34, Suppl 1, 2011. Azwar Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Jakarta : Binarupa Aksara. 1996 Backer H and J.Hollowell. 2000. Use of iodine for water disinfection: iodine toxicity and maximum recommended dose. Environ Healtb Perspect 108:679-684. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Laporan Singkat Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2009. Badan POM RI. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI). 2008 Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan. Survei Demografi dan Kesehatan 2002-2003. ORC Macro 2002-2003. Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan. Survei Demografi dan Kesehatan 2007. ORC Macro 2007. Brown, Judith E. Et al., "Nutrition Through the Life Cycle, 2002. New York. Buku Pedoman Pemberian Tablet Besi dan Syrup Besi bagi Petugas Kesehatan, Kemenkes 1999. Dandona R, Dandona L. Sosioeconomic status and blindness. Br J Ophthalmol 2001;95:1494-9. Database Registrasi, Badan POM RI. Accessed September 2013 from http://www.pom.go.id/webreg/index.php/home/produk/ Departemen Kesehatan dan Badan Pusat Statistik. 2005. Integrasi Indikator Gizi Dalam SUSENAS Tahun 2005. Program Perbaikan Gizi Masyarakat Tahun 2005. Laporan Kegiatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas). 2007 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas). 2010 Departemen Kesehatan RI. SKRT 1995. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 1997 Departemen Kesehatan, Direktorat Epim-Kesma. Program Imunisasi di Indonesia, Bagian I, Jakarta, Depkes, 2003. Departemen Kesehatan. 1995. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Departemen Kesehatan. 2010. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2010 Departemen Kesehatan. 2007. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 Bidang Biomedis. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2007. Departemen Kesehatan. 2010. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 Bidang Biomedis. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2010. Departemen Kesehatan. Survey Kesehatan Nasional. Laporan.Depkes RI Jakarta. 2001. Departemen Kesehatan. Survey Kesehatan Nasional. Laporan.Depkes RI Jakarta 2004. 262 Depkes RI, 2003, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWSKIA), Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Kesehatan Keluarga, Jakarta. Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Factsheet Pelayanan KB Pasca Salin, www.kesehatanibu.depkes.go.id/wp-content/.../download.php?id=56 ----------- Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan ----------- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 1077/Menkes/Per/V/2011 ----------- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Kualitas air Minum ----------- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.027/Menkes/Per/IV/2012 tentang Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Factsheet Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi, Jakarta, diunduh dari www.kesehatanibu.depkes.go.id/wpcontent/.../download.php?id=59 Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. 2009. Djaja, S. et al. Statistik Penyakit Penyebab Kematian, SKRT 1995 Djoko Kartono et al. 2012. Effect of excess iodine intakes on thyroid function among school children: multicentre study. Final Report. Joint work: Centre for Applied Health Technology and Clinical Epidemiology and UNICEF. Jakarta. ------. 2005. World Health Assembly resolution calls for global strengthening of effort to eliminate IDD. IDD Newsletter. Vol.21, 21:1-3. Dunn JT, HE.Crutchfield, R.Gutekunst and AD Dunn. 1993. Methods for measuring iodine in urine. ICCIDD/UNICEF/WHO. The Netherland. Eguchi K, Yacoub M, Jhalani J et al. Consistency of blood pressure differences between the left and right arms. Arch Intern Med 2007;167 (4): 388 – 93. Færch K, Borch-Johnsen K, Holst JJ, Vaag A. Pathophysiology and aetiology of impaired fasting glycaemia and impaired glucose tolerance: does it matter for prevention and treatment of type 2 diabetes? Diabetologia (2009) 52:1714-23. Foster A. Cataract and “Vision 2020-the right to sight” initiative. Br J Ophthalmol 2001;95:635-7. Gottret, Pablo and Schieber, George. Health Financing Revisited: A Practioner’s Guide. The World Bank. Washington DC, 2006 Hallahan, D. P., Kauffman, J. M., & Lloyd, J. W. (1996; 1999 [2nd ed.]). Introduction to learning disabilities. Boston: Allyn & Bacon. Hardinsyah & D. Martianto. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Institut Pertanian Bogor. Penerbit Wirasari. Jakarta. Hardinsyah dan V. Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan. Dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta 17-19 Mei 2004. 263 Hardon A, Hodgkin C and Fresle D. How to investigate the use of medicines by consumers. WHO and University of Amsterdam, 2004. Hartono, I. G. 1995. Psychiatric morbidity among patients attending the Bangetayu community health centre in Indonesia. Thesis, University of Western Australia. ICCIDD/UNICEF/WHO. 2007. Assessment of Iodine deficiency Disorders and Monitoring Their Elimination: A guide for programme managers. Third edition. ICCIDD/UNICEF/WHO. 2010. Assessment of Iodine deficiency Disorders and Monitoring Their Elimination: A guide for programme managers. France. Institute of Medicine. 2005. Dietary Reference Intakes for Energy, Carbohydrate,Fiber, Fatty Acids. National Academy Press. International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems. Vol 1. Tenth Revision (ICD-10). World Health Organization. Geneva, 1992. vol 1, p: 891 – 1010. Kemenkes RI, 2011. “Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan”, Jakarta. Kemenkes RI. Pemetaan Status Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia. Jakarta , 2012 hal 173. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Gigi dan Mulut. Jakarta 1999. Kementerian Kesehatan, 1997, Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta, cetakan tahun 2012. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Kidney inter., Suppl. 2013; 3: 1—150. Kramer, M.S. and Kakuma, R. The Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding. A Systematic Review. WHO. 2001. Kumar N. and Zheng H. Stage-specific gametocytocidal effect in vitro of the antimalaria drug qinghaosu on Plasmodium falciparum. Parasitol. Res 1990;76:214-218. LA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I. Laporan SKRT 2001: Studi Kesehatan Ibu dan Anak. Lembaga Demografi UI, 2013, Dasar-Dasar Demografi, Salemba Empat, Jakarta. Lewis, G. H., Thomas, H. V., Cannon, M. & Jones, P. B. 2001. Epidemiological methods. In: Thornicroft, G. & Szmukler, G. (eds.) Textbook of community psychiatry. New York: Oxford University Press. Limburg H. Manual for rapid assessment of cataract surgical services. Switzerland: WHO Prevention of blindness and deafness; 2001.p.1-39. Media Informasi Obat dan Penyakit – online. http://medicastore.com/ MI/ICCIDD/UNICEF/WHO. Netherland. 1995. Salt Iodization for the Elimination of iodine deficiency. MIMS Indonesia.108th. Edition. 2007. National Heart, Lung, and Blood Institute, National Institute of Health, US. 2004. The seventh report of the Joint Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. NIH Publication No. 04-5230, August 2004. (cited 2007 Nov 2). Diakses dari : http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/jnc7full.pdf. National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification. Am J Kidney Dis 39:S1-S266, 2002 (suppl 1). 264 Diakses dari http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/pdf/ckd_evaluation_classification_ stratification.pdf. National Vascular Disease Prevention Alliance. Guidelines for the assessment of absolute cardiovascular disease risk. 2009. NCEP-ATP III. Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation , and Treatment of High Blood Colesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). Executive Summary. NIH Publication No. 01-3670, 2001. Panteghini M (on behalf of IFCC Scientific Division). Enzymatic assays for creatinine: time for action. International Federation of Clinical Chemistry. Clin Chem Lab Med 46(4): 2008, p.567-72. Papua Province Health Office. Case finding and treatment malaria patients 2006. Jayapura, Ministry of Health 2007. Pearce EN et al. 2002. Effect of chronic iodine excess in a cohort of long-term American workers in West Africa. J Clin Endocrinol Metab 87: 5499–5502. Pedersen KM, P.Laurberg, S.Nohr, A.Jorgensen and S.Andersen. 1999. Iodine in drinking water varies by more than 100-fold in Denmark, importance for iodine content of infant formulas. European Journal of Endocrinology 140 400–403. Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional Petunjuk Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal, Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan RI., 2004 Policy Paper for Directorate General of Public Health, June 2002 Price RN, Nosten F, Luxemburger C ter Kuile FO, Paiphun L, Chongsuphajaisiddhi T. and White NJ. Effects of artemisinin derivatives on malaria transmissibility. Lancet 1996;347:1654-1658. Proyek Intensifikasi Penanggulangan GAKY. 2003. Konsumsi Garam Beryodium di Rumah Tangga. Kerjasama Badan Pusat Statistik daan Direktorat Bina Gizi Masyarakat, DepKes. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan dan UNICEF. 2008. Survei Indikator Gangguan Akibat Kekurangan Iodium: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Desember. Rajagukguk, Omas Bulan, 2010, Keluarga Berencana dalam Dasar-Dasar Demografi, Salemba Empat, Jakarta. Rencana Strategis Departemen Kesehatan 2005-2009, Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2005 Report of WHO. Definition and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate hyperglycaemia. Geneva: WHO; 2006. P.9—43 Republik Indonesia, 2002, Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang RI No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang RI No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Republik Indonesia, 2007, Undang-Undang RI No 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 20052025 Republik Indonesia, 2009, Undang-Undang RI No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Peraturan pemerintah no. 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional 265 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpul Data. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2013 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpul Data. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2007 Riyadina, W,. Pola dan Determinan Cedera di Indonesia. Laporan hasil analisis lanjut data Riskesdas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 2008. Royal Australian College of General Practitioners (RACGP). Prevention of vascular and metabolic disease from Guidelines for preventive activities in general practices, 8th edition. 2012. Sandjaja, Titiek Setyowati, Sudikno. Cakupan penimbangan balita di Indonesia. Makalah disajikan pada Simposium Nasional Litbang Kesehatan.Jakarta, 7-8 Desember 2005. Sandjaja, Titiek Setyowati, Sudikno. Cakupan viramin A untuk bayi dan balita di Indonesia. Prosiding temu Ilmiah dan Kongres XIII Persagi, Denpasar, 20-22 November 2005. Seri Survei Kesehatan RT DepKes RI, ISSN: 0854-7971, No. 15 Th. 1999 Sethi D et. al., Guidelines for conducting community surveys on injuries and violence. World Health Organization. Geneva. 2004. Sikka District Health Office. Malaria cases in Sikka District, 2000-2006. Maumere, Ministry of Health 2007. T.Weiping et al. 2006. Effect of iodine intake on thyroid diseases in China. The new england journal o f medicine, 354;26: 2783-279. The World Health Report 2000: Health systems: Improving Performance. World Health Organization, Geneva, 2000 The World Health report 2010: Health Systems Financing The Path To Universal Coverage. World Health Organization, Geneva, 2010 Tim Penanggulangan GAKY Pusat. 2011. Rencana Aksi Nasional: Akselerasi Konsumsi Garam Beriodium untuk Semua 2011-2015. Jakarta. UNICEF. Breast Crawl. Initiation of Breastfeeding by Breast Crawl. 2007. US Preventive Service Task Force Review. Screening for lipid disorders in adults. Selective update of 2001. Diakses dari: http://www.uspreventiveservicestaskforce.org/uspstf08/lipid/ lipides.pdf. WHO and UNICEF. 2007. Reaching optimal iodine nutrition in pregnant and lactating women and young children. Joint Statement by the World Health Organization and the United Nations Children’s Fund. Geneva. WHO, Media Centre. Nocommunicable diseases. Updated March 2013. Access 18 November 2013. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs355/en/ WHO,UNICEF. 2006. Meeting The MDG Drinking Water and Sanitation Target: The Urban and Rural Challenge of The Decade. WHO Press. Geneva.Hal 1- 41 WHO,UNICEF. 2013. Progress on Sanitation and Drinking Water – 2013 Update . WHO Press. Geneva. Hal 1-38 WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity. Vitamin and Mineral Nutrition Information System. Geneva, World Health Organization, 2011 (WHO/MNH/NHD/MNN/11.1) 266 World Health Organization. Antimalarial drug combination therapy. Report of WHO Technical Consultation. WHO/CDS/RBM/2001.35. Geneva., WHO 2001. World Health Organization. Guidelines for the regulatory assessment of Medicinal Products for use in self-medication. WHO/EDM/QSM/00.1, 2000. World Health Organization. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity. Vitamin and Mineral Nutrition Information System. Geneva, WHO, 2011 (WHO/MNH/NHD/MNN/11.1). World Health Organization.www.WHO.int/healthinfo/survey/en .2002 World Health Organization. Report of the Expert Consultation on the Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding. Geneva, Switzerland. 28-30 March 2013. World Health Organization. World Malaria Report 2008. WHO/HTM/GMP/2008.1. Geneva, WHO 2008. 267 LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. SK.Menkes untuk Riskesdas 2013 Kuesioner Rumah Tangga (RKD13.RT) Kuesioner Individu (RKD13.IND) Formulir Biomedis Inform consent Estimasi Kesalahan Sampel Riskesdas 2013 7. Indikator Kesehatan Reproduksi, Riskesdas 2013 (Lampiran 3.3.1) 268