Hak Asasi Manusia
Oleh Uston Nawawi
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau kewarganegaraan yang melekat pada individu
sejak ia lahir secara kodrat yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa yang tidak
dapat dirampas dan dicabut keberadaannya dan wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan
perlindungan harkat dan martabat manusia. [1] Sebagai seorang insan harus diperlakukan
menggunakan martabat dan nilai selaku Makhluk Tuhan yang sederajat dan memiliki hak serta
kewajiban dasar yang sama. Dengan poin tersebut, terdapat pengakuan mengenai hak asasi
manusia secara absolut. [2] Hak asasi manusia pada dasarnya adalah kebebasan dasar yang
dimiliki setiap orang sejak lahir; hak-hak ini adalah bawaan semua orang dan tidak dapat
dirampas karena merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan kata lain, HAM adalah pengakuan terhadap nilai dan martabat manusia yang
mengakui bahwa setiap individu memiliki hak-hak ini sebagai bagian integral dari hakikat
kemanusiaan mereka, [3] Menurut Frans Magnis Suseno, ia menyatakan bahwa keadilan yaitu
suatu keadaan antar manusia yang diperlakukan dengan sama, yang sesuai dengan hak dan
kewajibannya masing-masing. Seluruh rakyat Indonesia layak mendapatkan semua hak
keadilan dalam berbagai bidang, baik dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya tanpa
ada keberpihakan pada kelompok atau pribadi tertentu. [4]
Hak Asasi manusia sendiri perkembangannya mengalami pasang surut dimana pada saat awal
kemerdekaan konstitusi indonesia sendiri tidak banyak memasukkan poin – poin tentang HAM
dikarenakan mereka menganggap bahwa segala yang berhubungan dengan Hak Asasi bersifat
liberal. Perdebatan pada saat itu pun muncul. Antara para tokoh yang merumuskan Undang –
Undang Dasar 1945. Namun, pada saat itu M. Yamin dan Hatta, memperjuangkan untuk
memasukkan Hak Asasi ke dalam konstitusi. [5]
Kebebasan dan keterbukaan adalah dua hal yang berkaitan dengan pemenuhan hak
setiap warga negara untuk mengakses informasi publik. Sebagai negara yang berasas
demokrasi, setiap kebijakan publik harus dapat dipertanggungjawabkan kembali kepada
rakyat. [6] Mudahnya persebaran informasi juga berpotensi terjadinya persebaran informasi
palsu atau hoax. Tantangan dan ancaman yang dating dari bangsa luar pun tidak kalah dalam
mempengaruhi bangsa terutama di era globalisasi. [7]Salah satu bentuk HAM adalah personal
right yaitu kebebasan seseorang untuk berpendapat, bebas untuk memeluk agama apapun,
dibebaskan untuk beribadah menurut keyakinannya masing-masing dan diberikan kebebasan
untuk berorganisasi atau berserikat. [8] Masyarakat yang mengamalkan nilai keadilan akan
cenderung memperjuangkan hak-hak orang lain dan tidak melakukan tindakan yang merugikan
orang lain. [9] Di banyak negara, ada kebutuhan kritis untuk mengatasi ketidaksetaraan hak
asasi manusia dalam kaitannya dengan layanan kesehatan masyarakat. Banyak kelompok
individu, terutama yang miskin dan tidak memiliki hak, mengalami hambatan ketika mencoba
mendapatkan akses ke perawatan medis berkualitas tinggi karena fasilitas yang tidak memadai,
waktu tempuh yang lama, atau biaya yang berlebihan. Ketidaksetaraan dalam layanan
kesehatan juga merupakan hasil dari pendanaan yang tidak merata serta perbedaan sosial
ekonomi, gender, ras, dan etnis. [10]
Asas Ultimum Remedium (AUR) dalam konteks hukum hak asasi manusia mengacu
pada prinsip bahwa penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia harus dilaksanakan melalui
proses hukum yang paling sedikit mungkin merugikan dan merusak. Dengan kata lain,
penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia perlu diawali dari proses hukum yang paling
rendah terlebih dahulu, dan hanya jika proses tersebut gagal, maka langkah berikutnya yang
lebih tegas bisa diambil. [11]
Dalam sila kelima pancasila bermakna kalau segala rakyat Indonesia wajib bisa hidup
adil serta sejahtera dan menghormati hak- hak orang lain. Namun sejauh ini banyak terjalin
penyimpangan dari sila kelima, semacam kemiskinan, diskriminasi ataupun perlakuan tidak
adil. Misalnya di rumah sakit, diskriminasi kerap terjalin di rumah sakit, serta orang miskin
penderita kaya umumnya. [12] Faktor-faktor ini berkontribusi terhadap ketidakadilan dan
perbedaan yang terus memperlebar kesenjangan di antara masyarakat. Globalisasi, dengan
segala dampaknya, juga memberikan tantangan tersendiri dalam pemenuhan hak asasi
manusia. Arus informasi yang bebas dan cepat dapat membuka peluang bagi pengembangan
ekonomi dan keterhubungan antarnegara. Namun, di sisi lain, globalisasi juga dapat
memperkuat eksploitasi dan pelanggaran hak asasi manusia, seperti eksploitasi lingkungan,
perdagangan manusia, dan penyalahgunaan tenaga kerja. [13]
Selain dari dampak globalisasi, dampak dari tidak adanya implementasi ideologi
Pancasila dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara didasarkan pada kepribadian bangsa
Indonesia. Pelaksanaan Pancasila saat ini hanya sebagai simbol negara dan hanya formalitas
bangsa. Pancasila kini jauh dari hati dan jiwa rakyat Indonesia. Akibat tidak dilaksanakannya
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah banyak kasus
SARA (suku, ras dan golongan), pelecehan dan penyangkalan HAM, pelecehan dan
penyangkalan HAM, berkurangnya toleransi Indonesia terhadap kemanusiaan dan
ketidakadilan yang dialami oleh orang yang tidak mampu. [14]
Lebih lanjut, daftar kasus pelanggaran HAM menjadi dasar referensi yang kuat dalam menilai
respon hukum Indonesia. Menilik sumber yang disajikan oleh Bola.com, pembahasan dapat
mengeksplorasi sejauh mana hukum Indonesia dapat menanggapi dan menyelesaikan kasuskasus tersebut. Pemahaman mendalam tentang perkembangan kasus menjadi penting dalam
mengevaluasi efektivitas dan ketanggapan sistem hukum terhadap permasalahan pelanggaran
HAM di tanah air. [15]
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, juga ditegaskan dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Lingkungan yang telah rusak dan tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya akan
menjadi tidak sehat yang dapat membahayakan kesehatan bagi manusia. Lingkungan yang baik
dan sehat merupakan hak dari manusia. Maka, apabila hak tersebut terganggu akan terjadi
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena lingkungan yang baik dan sehat merupakan
bagian dari HAM. [16]
Selain dari permasalahan lingkungan yang tidak sehat, permasalahan juga terjadi dari
cyberbulling. Cyberbullying dapat didefinisikan sebagai bentuk bullying yang dilakukan
dengan menggunakan perantara teknologi digital yang salah satunya adalah media sosial.
Sementara itu, bullying dapat diartikan sebagai segala bentuk penindasan atau kekerasan yang
dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang lebih kuat dengan tujuan untuk menyakiti.
Cyberbullying menyimpang dari sila kedua Pancasila yaitu sila kemanusiaan yang adil dan
beradab karena merupakan bentuk perilaku tidak menghargai hak dan martabat seseorang.
Dampak yang diakibatkan oleh cyberbullying akan berbeda setiap individunya, bergantung
pada bagaimana respon korban dalam menyikapinya. [17]
Selain dari 2 isu tadi ada salah satu isu lain yang menonjol adalah kekerasan seksual.
Kekerasan seksual merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap HAM yang dapat
memberikan dampak fisik, emosional, dan psikologis yang parah bagi korban. Korban
kekerasan seksual sering kali menghadapi berbagai kendala dalam mendapatkan perlindungan
yang memadai dan akses terhadap keadilan. Faktor-faktor seperti stigma sosial, rendahnya
kesadaran hukum, kurangnya akses ke layanan pendukung, dan lambatnya proses hukum dapat
menghambat korban dalam mendapatkan keadilan yang mereka butuhkan. [18]
Pelanggaran HAM tidak hinya terjadi di Indonesia namun banyak juga terjadi di negara
negara luar. Negara-negara di dunia sebagian besarnya telah mengakui dan menghormati
keberadaan HAM. Tetapi masih banyak negara yang masih menutup mata mengenai
pentingnya penegakkan dan perlindungan HAM, sehingga masih banyak terjadi pelanggaranpelanggaran hak asasi manusia. Seperti halnya pada negara Amerika Serikat yang dikritik keras
oleh HRW (Human Rights Watch) yang merupakan organisasi HAM yang terkemuka, mereka
mengeluarkan laporan atas pelanggaran HAM yang dilakukan Amerika Serikat di berbagai
bidang, seperti halnya dalam masalah perbedaan rasial, pembunuhan yang dilakukan oknum
polisi kepada salah satu rakyat berkulit hitam, masalah penahanan dan pengadilan kejahatan
yang mana Amerika menjadi penduduk terbesar di dunia yang dilaporkan melakukan
penahanan, mencapai 2,37 juta orang. [19]
Dari permasalahan yang sudah ada tentu butuh Solusi untuk mengatasi hal tersebut. Jika
berkaca pada masa lalu, model penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yang
diformulasikan oleh Presiden adalah membentuk Komite Rekonsiliasi untuk menyelesaikan
pelanggaran HAM masa lalu. Terdapat tiga model penyelesaian pelanggaran HAM berat masa
lalu, yaitu; pertama,“to forget and to forgive” (melupakan dan memaafkan; artinya, tidak ada
pengadilan dan lupakan masa lalu). Kedua, “never to forget, never to forgive”, (tidak
melupakan dan tidak memaafkan). Artinya, peristiwa masa lalu diproses secara hukum. Ketiga,
“never to forget but to forgive” (tidak melupakan, tetapi kemudian memaafkan.)[20]
Konstitusi tahun 1945, yang menjadi landasan bagi semua pasal di dalamnya, terutama
mengenai kesetaraan hukum dan administratif warga negara, hak atas pekerjaan dan standar
hidup yang layak, kebebasan untuk berkumpul dan berserikat, hak untuk menyuarakan
pendapat secara lisan maupun tertulis, kebebasan beragama dan beribadah sesuai keyakinan,
serta hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.. [21]
Terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM) menimbulkan kesengsaraan
penderitaan bagi banyak orang. Di dalam Undang-undang HAM menyebutkan bahwa
pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas HAM dikenakan sanksi pidana, perdata
dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ada
pelanggaran HAM yang dapat diproses secara hukum melalui Pengadilan HAM, seperti
pelanggaran HAM berat. [22]
Dalam menghadapi kejahatan terhadap kemanusiaan, penerapan hukum hak asasi
manusia internasional melibatkan peran dan tantangan yang rumit dan penting. Penelitian ini
telah menggambarkan hubungan yang kompleks antara kerangka hukum dan tantangan praktis
yang dihadapi di lapangan. Meskipun peran hukum hak asasi manusia internasional sangat vital
dalam menegakkan pertanggungjawaban pelaku dan mencari keadilan bagi para korban,
namun hal ini tidak berarti tidak ada rintangan yang signifikan.
Menghadapi beragam tantangan ini memerlukan kolaborasi dan kerja sama yang erat.
Diperlukan peningkatan kerja sama di tingkat internasional, alokasi sumber daya yang lebih
besar, peningkatan kesadaran akan standar hak asasi manusia, dan integrasi dinamika budaya
lokal yang kuat. Pentingnya untuk mengurangi kesenjangan antara kerangka hukum
internasional dan situasi riil di tingkat lokal tidak boleh diabaikan jika ingin mencapai
keberhasilan. [23]
[1]
Iqbal and F. U. Najicha, “Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Akibat Dampak Pandemi
Covid-19 Terhadap Tenaga Kerja di Luar Negeri,” Wacana Paramarta, vol. 21, no. 4, pp. 63–
73, 2022.
[2]
S. M. Fadilla and F. U. Najicha, “Evaluasi Pemahaman Pendidikan Kewarganegaraan
Terhadap Peserta Didik Dalam Upaya Pembentukan Karakter dan Penanaman Nasionalisme,”
Jurnal Kewarganegaraan Universitas PGRI Yogyakarta, vol. 6, no. 1, p. 3, 2022, [Online].
Available:
http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=3034494&val=20674&title=Eval
uasi Pemahaman Pendidikan Kewarganegaraan Terhadap Peserta Didik Dalam Upaya
Pembentukan Karakter dan Penanaman
Nasionalisme%0Ahttps://journal.upy.ac.id/index.php/pkn/a
[3]
F. U. N. Safira Kanaya Iffat Husnaa, “Pancasila dan Hubungannya dengan Hak Asasi Manusia
di Indonesia,” Penguatan Nilai Masyarakat Bugis Macca na Lempu dalam Perspektif
Pendidikan Karakter, vol. 6, no. 2, pp. 104–112, 2023.
[4]
S. D. P. Balqis and F. U. Najicha, “Penanaman Nilai-Nilai Pancasila di Era Pandemi Covid19,” De Cive : Jurnal Penelitian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, vol. 2, no. 6,
pp. 210–216, 2022, doi: 10.56393/decive.v2i6.634.
[5]
R. Kewarganegaraan, H. A. K. Asasi, M. Dan, and I. S. U. Lgbt, “Review kewarganegaraan :
hak asasi manusia dan isu lgbt di indonesia,” no. May, 2023.
[6]
H. N. Azka and F. U. Najicha, “Penerapan Keterbukaan Informasi Publik Sebagai Upaya
Mewujudkan Pemerintahan Yang Transparan Dan Akuntabel,” Jurnal Kewarganegaraan, vol.
6, no. 1, pp. 597–602, 2022, [Online]. Available:
http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=3034523&val=20674&title=Pener
apan Keterbukaan Informasi Publik Sebagai Upaya Mewujudkan Pemerintahan Yang
Transparan dan Akuntabel
[7]
L. D. Ratih and F. U. Najicha, “Wawasan Nusantara Sebagai Upaya Membangun Rasa Dan
Sikap Nasionalisme Warga Negara : Sebuah Tinjauan Literatur,” Jurnal Global Citizen : Jurnal
Ilmiah Kajian Pendidikan Kewarganegaraan, vol. 10, no. 2, pp. 59–64, 2021, doi:
10.33061/jgz.v10i2.5755.
[8]
M. Annys and F. Ulfatun Najicha, “Mendorong Kesadaran Terhadap Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Pada Era Digital,” ResearchGate, no. December, pp. 1–12, 2023.
[9]
M. V. A. Nurrahman and F. U. Najicha, “Pancasila Sebagai Pencegah Tindakan Immoral
Dalam Kehidupan Bermasyarakat,” no. May, 2023.
[10]
D. Ariska, “Ketidaksetaraan Hak : Kurangnya Akses Layanan Kesehatan Bagi Rakyat
Indonesia,” 2023.
[11]
D. A. Rabbani and F. U. Najicha, “Implementasi Nilai-nilai Kewarganegaraan dalam Generasi
Milenial Melalui Teknologi,” pp. 1–8.
[12]
H. I. Nur Fadhila and F. U. Najicha, “Pentingnya Memahami Dan Mengimplementasikan
Nilai-Nilai Pancasila Di Lingkungan Masyarakat,” Pro Patria: Jurnal Pendidikan,
Kewarganegaraan, Hukum, Sosial, dan Politik, vol. 4, no. 2, pp. 204–212, 2021, doi:
10.47080/propatria.v4i2.1303.
[13]
I. Indah and F. U. Najicha, “Peran Jiwa Kewarganegaraan dan Partisipasi Masyarakat dalam
Memperjuangkan Keadilan dan Hak Asasi Manusia di Era Globalisasi,” Research Gate, vol.
01, no. 1, pp. 1–7, 2023.
[14]
Q. Afifah and F. U. Najicha, “Peran Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Pedoman Dalam
Pembentukan Karakter Generasi Muda,” no. June, pp. 1–8, 2022.
[15]
D. A. Rabbani and F. U. Najicha, “Pancasila dan Hukum Terkait Kasus Hak Asasi Manusia di
Indonesia”.
[16]
K. B. Syariah and G. Ilmu, “No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康関
連指標に関する共分散構造分析Title,” no. september 2016, pp. 1–6.
[17]
S. Rahmawati, “Fenomena Cyberbullying sebagai Bentuk Perilaku Tidak Pancasilais di Era
Digital,” no. May, 2023.
[18]
T. Kusumo Nugroho and G. Santoso, “Perlindungan HAM di Indonesia dengan Merujuk pada
UUD Negara RI: Studi Kasus Korban Kekerasan Seksual,” Jurnal Pendidikan Transformatif,
vol. 01, no. 03, pp. 73–81, 2022.
[19]
“11 1-11,” vol. 1, no. 2, pp. 80–91, 2022.
[20]
B. S. Daud, N. Serikat, and P. Jaya, “Penyelesaian Masalah Hak Asasi Manusia Masa Lalu dan
Rekonsiliasi Nasional di Indonesia,” Pandecta : Jurnal Penelitian Ilmu Hukum (Research Law
Journal), vol. 14, no. 2, pp. 83–90, 2019.
[21]
U. Maylani, D. Vistiani Gulo, and F. Lutfhi Azidan, “Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi
Manusia (HAM) di Indonesia,” PLEDOI (Jurnal Hukum dan Keadilan), vol. 1, no. 1, pp. 12–
18, 2022, doi: 10.56721/pledoi.v1i1.27.
[22]
Y. Sabila, K. Bustamam, and B. Badri, “Landasan Teori Hak Asasi Manusia Dan Pelanggaran
Hak Asasi Manusia,” Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata
Sosial, vol. 3, no. 2, p. 205, 2019, doi: 10.22373/justisia.v3i2.5929.
[23]
A. F. Lubis, K. Hasibuan, and P. Andiani, “Peran dan Tantangan Implementasi Hukum
Internasional tentang Hak Asasi Manusia dalam Penanganan Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan,” Jurnal Hukum dan HAM Wara Sains, vol. 2, no. 10, pp. 964–972, 2023, doi:
10.58812/jhhws.v2i10.708.