Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
MAKALAH FOKLOR TEATER RAKYAT OLEH : KELOMPOK 6 DEA MUTIARA 1210752031 MONALISA 1210752032 RATI TRIDAYUNI 1210752036 SELLY OKTAVIANI DUHA 1210752039 VANNI SURYANI 1210752040 MIA YULIANIS 1210752041 SUCI ZULYA RAHMI 1210753003 JURUSAN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2015 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis telah dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Teater Rakyat” yang bertujuan untuk memenuhi mata kuliah Foklor. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan motivasi dan bantuan demi kelancaran pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahannya, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna dan memberikan manfaat dalam pembelajaran khususnya bagi penulis sendiri dan bagi pembaca pada umumnya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih. Padang, 29 Maret 2015 Kelompok 6 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pada dasarnya karya sastra terbagi menjadi tiga genre, yaitu prosa, puisi, dan drama. Ketiga genre sastra ini berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Namun perkembangan antara ketiga genre sastra ini tidak sama, ada yang berkembang dengan pesat dan ada juga yang berkembang tahap demi tahap. Seperti perkembangan teater misalnya. Teater rakyat merupakan seni pertunjukan yang biasanya mengekspresikan dan menggambarkan kehidupan suatu masyarakat.Wujud dari pertunjukan rakyat adalah seni tari, nyanyi, teater, dan lain-lain. Pertunjukan rakyat diselenggarakan pada tempat dan waktu tertentu untuk menyalurkan hasrat rasa keindahan, hiburan, emosi, dan keresahan yang tidak dapat dikatakan secara terus terang. Rumusan Masalah Apakah yang dimaksud dengan teater rakyat ? Apa jenis-jenis teater rakyat Jepang? Tujuan Makalah Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui teater rakyat yang ada di Jepang. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Teater Rakyat Teater rakyat merupakan seni pertunjukan yang biasanya mengekspresikan dan menggambarkan kehidupan suatu masyarakat.Wujud dari pertunjukan rakyat adalah seni tari, nyanyi, teater, dan lain-lain. Pertunjukan rakyat diselenggarakan pada tempat dan waktu tertentu untuk menyalurkan hasrat rasa keindahan, hiburan, emosi, dan keresahan yang tidak dapat dikatakan secara terus terang. Teater rakyat atau teater tradisional Jepang (koten geinou) yang sampai hari ini masih bertahan, menurut ensiklopedia Kodansha (1994 : 1561), terdiri dari 5 genre besar, yakni Bugaku (gagaku), Bunraku, Nou, Kabuki, dan Kagura. Kelimanya merupakan teater total, karena menyatukan unsur tari, musik, dan seni bercerita secara lirikal. Sifat ini telah lama menguasai teater rakyat di seluruh Asia. Tiga unsur tersebut dianggap sebagai kepanjangan dari ketentuan-ketentuan seni puisi Sansekerta klasik yang diterapkan dalam tari dan drama.  Jenis- Jenis Teter Rakyat Jepang 2.1.1 Teater Bunraku Seperti halnya seni pertunjukan profesional kabuki, seni pertunjukan boneka bunraku berasal dari seni pertunjukan rakyat ciptaan rakyat biasa yang berdiam di daerah perkotaan dari periode Edo (1600-1868). Dari sedemikian banyak pertunjukan boneka pada zaman Edo, bunraku-za saja yang dapat bertahan hidup sebagai seni pertunjukan komersial pada masa Jepang modern. Teater tersebut didirikan oleh Uemura Bunrakuken pada awal abad ke-19 di Osaka. Istilah yang lebih tepat dari teater ini adalah ayatsuri joururi. Tradisi Teater Bunraku Pertunjukan ini terdiri dari 4 unsur : Boneka- boneka yang berukuran setengah hingga dua pertiga ukuran manusia biasa. Seni gerak yang dilakukan oleh para pemainnya. Seni suara yang dibawakan oleh para tayuu (“penyanyi” mantra). Pengantar musik ritmik yang dibawakan oleh para pemain alat musik petik berdawai tiga (shamisen). Bagi setiap boneka pemeran utama, diperlukan 3 orang penggerak boneka (penggerak utama dan dua orang asisten). Boneka bunraku tidak digerakkan dengan tali, melainkan langsung dengan lengan dan tangan. Dengan lengan dan tangan kirinya, seorang penggerak boneka utama ( omozukai ) menyangga boneka tersebut sambil memanipulasi mekanisme yang dapat mengendalikan gerakan mata, bola mata, dan mulut boneka, sedangkan dengan tangan kanannya, ia dapat memanipulasi gerakan tangan kanan boneka. Asisten pertamanya (hidarizukai) bertugas khusus menggerakkan tangan kiri boneka, dan asisten kedua (ashizukai) menggerakkan kedua kaki boneka. Hampir seluruh boneka wanita tidak mempunyai kaki, karena kebanyakan wanita Jepang selalu memakai jubah panjang sampai ke pergelangan kaki, atau menutupi kedua kakinya. Para penggerak boneka biasanya mengenakan seragam dari kain kasar berwarna hitam, para asisten bahkan memakai selubung kepala berwarna hitam, sehingga seolah-olah hilang dari pemandangan. Namun biasanya penggerak utama ini terlihat wajahnya oleh para penonton, karena ia seniman yang tersohor dalam seni teater bunraku. Seorang tayuu (pengisi suara boneka) harus dapat menyuarakan suara dari semua tokoh boneka yang tampil di pentas, baik pria, wanita, maupun anak kecil. Juga dari suara yang serak-serak basah sampai yang sumbang. Suasana musik pengiring yang memberi ciri khas pada pertunjukan bunraku yaitu bunyi gemerincing yang melodius dari alat musik shamisen. Dalam teater bunraku, gerak gerik boneka harus disinkronisasikan dengan gaya nyanyian pembacaan, mantra dari si penyanyi (tayuu) serta iringan suara shamisen. 2.1.2 Teater Kabuki Kabuki merupakan salah satu dari 5 teater rakyat Jepang yang masih dapat bertahan hidup sampai hari ini. Kabuki adalah sejenis wayang orang. Teater rakyat ini bermula pada permulaan abad ke-17, tetapi sifatnya pada waktu itu masih sebagai pertunjukan hiburan ringan yang dilakukan oleh rombongan berkeliling. Kabuki mencapai puncak artistiknya dengan dipentaskannya drama-drama brilian ciptaan Tsuruya Namobuku IV (1755-1868) dan Kawatake Mokuami (1816-1893). Melalui gabungan seni peran, tari, musik, kabuki kini menyajikan suatu pertunjukan spektakuler, yang menggabungkan bentuk, warna, suara, dan dapat dianggap sebagai salah satu tradisi teater besar di dunia. Asal Usul Kabuki Pertunjukan kabuki dimulai oleh seorang rahib wanita penjaga kuil Izumu yang meminpin sebuah kelompok pertunjukan teater yang anggotanya kebanyakan wanita. Pertunjukan yang disajikan yaitu tari-tarian dan kisah pendek. Pertunjukan berlokasi diatas sungai Kamogawa yang kering di Kyoto pada 1603. Drama rombongan ini, kemudian juga membentuk teater rakyatnya sendiri diidentifikasikan sebagai genre tersendiri, yang kemudian terkenal dengan nama kabuki yang berkonotasi sebagai “sesuatu yang bersifat luar biasa” dan “mengejutkan”. Daya tarik dari para onna (pemain wanita) pada teater kabuki dipopulerkan oleh Okuni, seorang pemain kabuki terkenal. Kemudian, karena seringnya terjadi perkelahian diantara para penonton, berkaitan dengan praktek prostitusi yang dilakukan pemain, maka pada 1629 pemerintah di bawah shogun (1603-1867) melarang para wanita bermain di dalam pertunjukan kabuki. Sejak itu, para wakasho (pemain anak lelaki yang baru mencapai puber) dalam kabuki menjadi sangat populer. Namun, seperti halnya onna kabuki, para penguasa sangat tidak setuju dengan keberadaan mereka, karena para pemuda berparas manis yang baru mencapai masa pubertas itu juga menjadi objek persaingan seksual diantara para penonton, sehingga sering menimbulkan perkelahian diantara mereka. Panggung Kabuki Panggung kabuki mempergunakan layar yang dapat ditarik. Ia mempunyai layar yang lebar yang bermotifkan garis-garis vertikal berwarna hitam, hijau, dan jingga. Kamite (panggung kiri) dianggap sebagai tempat kehormatan bagi para pemain pemeran utama, tamu, dan wakil-wakil pemerintahan. Shinote (panggung kanan) merupakan tempat bagi pemeran-pemeran kalangan bawah seperti pegawai golongan rendah, pembantu rumah tangga, dan sebagainya. Dari sebelah kanan inilah biasanya para pemeran keluar masuk. Bagian yang unik dari panggung kabuki yaitu mawaributai yakni bagian tengah panggung yang berbentuk bulat dan dapat berputar. Selain itu dalam pementasan kabuki dikenal adanya kouken yaitu asisten panggung yang bertugas membantu para pemain. Peran-peran dalam drama Kabuki Yakugara yaitu tipe peran yang dramatis ditentukan oleh kepribadian seseorang, usia, atau kedudukan sosial dari tokoh-tokoh yang hendak digambarkan Onnagara yaitu ditugaskan untuk memainkan peran sebagai nyonya rumah, wanita samurai, wanita heroik, dan wanita jahat. Peran lelaki yang standar yaitu tokoh suci, kekasih yang tampan, pejabat istana yang jahat , samurai yang kejam dan bangsawan yang licik. Dialog Kabuki Kabuki yang bertipe jidai-mono biasanya menggunakan bahasa resmi, sedangkan tipe sewa-mono menggunakan bahasa sehari-hari. Dan pada umumnya baris kalimat terdiri dari pola silabis 7-5 yang diucapkan dengan ritme tajam dan tempo yang khas kabuki. Pakaian dan tata rias pemain kabuki Umumnya, kostum para pemain kabuki dari tipe jidai-mono lebih mewah, karena menggambarkan pakaian keluarga bangsawan dan kelas samurai. Sebaliknya mode pakaian dari masyarakat pada umumnya, dari peiode edo digambarkan dengan sangat realistik dalam drama kabuki tipe sewa-mono. Demikian juga rias wajah pemain tergantung dari perannya. Yang paling menarik yaitu lumadori, satu set gaya riasa wajah yang mirip dengan topeng. Ragam rias wajah gaya topeng itu seluruhnya berjumlah 100 buah, yang digunakan dalam pementasan kabuki tipe jidai-mono. 2.1.3 Teater Nou Menurut ensiklopedia kodansha (1994:1103 – 1108) nou adalah teater professional tertua di jepang. Teater ini berbentuk sendra tari topeng yang berasal dari abad ke-14. Teater ini berhasil mempertahankan semua ciri yang sudah tidak ada lagi dalam teater profesional yang lain, yaitu ciri ritualistic agama budha. Asal usul Nou Pada pertengahan abad ke-14 semua teater professional berasal dari Kyoto dan nara. Para pemainnya berorganisasi dibawah lindungan kuil-kuil Shinto dan klenteng-klenteng budha. Mereka menghimpun dana melalui sumbangan-sumbangan keagamaan. Tujuan pertunjukan adalah menyebarkan dokrin agama dan hiburan. Beberapa rombongan teater mewakili dengaku nou, sedangkan rombongan lain mewakili surugaku nou. Topeng-topeng yang digunakan berasal dari teater sendratari gigaku, dan musik mereka berasal dari dari tari ritual agama Shinto yang di sebut kagura, liturgi agama Budha yang di sebut Shoumyou, lagu-lagu populer dari abad ke-10 atau imayou dan lagu-lagu pesta dari abad ke-13 atau enkyoku. Tariannya terpengaruh oleh tari musikal abad ke-13, bugaku selain itu juga terpengaruh oleh sendratari furyuu dari abad ke-11 yang di iringi seruling dan tambur, dan shirabyo, suatu bentuk pertunjukan nyanyi dan tari dari abad ke-12. Plot cerita diambil dari legenda, sejarah, kesusastraan dan kejadian-kejadian kontemporer yang di perhalus oleh pengaruh dari Ennen Nou, bentuk pertunjukan campuran dari drama, nyanyi dan tari dari periode kamakura (1185-1333) dan periode muromachi (1333-1568). Para pemain membedakan cerita dengan dua kategori, cerita dengan tema komikal dan cerita dengan tema serius. Bentuk komik (kyougen ) di tampilkan sebagai adegan sisipan dari adegan serius. Pada perkembangannya teater ini didominasi oleh sarukagu yang menggeser popularitas dengaku. Keduanya memiliki beberapa persamaan. kita kenal sekarang berkat usaha dari Kan’ami dan putranya yang bernama Zeami, keduanya adalah seniman sendratari dan penulis kenamaan pada periode Muromachi. Pada tahun 1374, Kan’ami dan Zeami mengadakan pertunjukan untuk Shogun Ashikawa Yoshimitsu. Karena pertunjukannya bagus, Ia mensponsori rombongan kesenian ini. Zeami memakai prinsip dari ajaran Zen dalam hal pengendalian diri, ekspresi yang bersifat ekonomis, dan penekanan pada sugesti. Gagasannya inilah yang kemudian menjadi dokumen esensial dari teater Nou. Perubahan pada teater Nou Pada akhir abad ke-15 seluruh negara Jepang mengalami perang saudara (Perang Ounin dimulai pada 1467 hingga 1568). Pada masa ini dikenal dengan nama periode Sengoku atau “Negara-negara berperang”. Pada masa ini pemerintahan keshogunan tidak mempunyai waktu untuk memperhatikan kesenian Nou. Mendekati tahun 1500, pertunjukan-pertunjukan amatir tumbuh menjamur. Pelajaran musik dan tari dari Nou tersebar bukan saja di kalangan para aristokrat, tetapi juga dikalangan pendeta ksatria dan rakyat jelata. Mereka menginginkan petunjuk dari profesional rombongan drama Nou yang kemudian akan diberi imbalan uang. Karangan mengenai nyanyian dan mantra drama Nou rombongan Kanze dan Komparu sudah diterbitkan pada tahun 1512. Jadi perang saudara ini justru menyebarluaskan pertunjukan Nou. Nou kembali ke pusat kekuasaan politik pada tahun 1571, ketika diadakannya pementasan di pusat militer Tokugawa Ieyasu, dan semakin populer pada tahun 1582. Pada waktu tokugawa ieyasu diangkat menjadi shogun pada 1603, ia merayakan kejadian itu dengan pertunjukan nou. Pada tahun 1603 ia mempekerjakan semua pemain hideyoshi dan menempatkan mereka di Edo (Tokyo sekarang). Pada tahun 1647 tokugawa iemitsu telah mengeluarkan peraturan tentang pengelolaan drama nou. Peraturan itu sama ketatnya dengan caranya memerintah jepang : tradisi harus dipegang teguh dan kepala rombongan tidak boleh menyelewengkan tradisi drama tersebut. Selama periode Edo (1600-1868) kalangan rakyat jelata yang dihormati diundang untuk menyaksikan pertunjukan ini diistana shogun pada hari hari penting. Dengan semakin mundurnya kehidupan ekonomi dari kelas ksatria (samurai) pada abad ke-15 dan semakin majunya perekonomian warga kalangan rakyat jelata, maka golongan terakhir ini mampu membiayai pelajaran seni permainan drama nou. Panggung pentas Nou Formalisasi seni drama nou oleh pemerintah tokugawa juga telah menstandarkan bentuk panggung pentas drama nou. Sekarang bentuk panggung pentas itu sudah merupakan bentuk wajib untuk pementasan drama. Pada masa kini panggung pentas itu sudah berada dalam sebuah bangunan dari beton, namun ia masih mempertahankan bentuk asli dari struktur bentuk luarnya.bentuk arsitekturnya mewah dari atap berukir terbuat dari kulit kayu cypress menutupi bangunan kuil shinto. Bangunan pentas ini mempunyai pentas utama yang disebut butai. Pentas utama ini berukuran 6x6 m, ditutupi oleh atap tambahan yang menjorok kedepan dalam ukuran 6x6 meter juga. Selain pentas utama tersebut disamping kirinya juga ada pentas samping yang disebut wakiza. Dibelakang pentas tengah ada pentas belakang yang disebut atoza. Dan disamping kanan dibagian belakang bersambungan dengan pentas belakang, ada jembatan beratap yang disebut hashigakari. Jembatan ini menuju ketempat masuk pentas yang hanya tertutup oleh tirai berpola garis-garis berwarna-warni (hijau, putih, merah dan ungu). Pintu masuk bertirai ini disebut agemaku. Letak pentas ini dari pentas belakang agak serong kebelakang. Pintu masuk bertirai ini sebenarnya menghubungi “ruang becermin” (kagaminoma) yang berfungsi sebagai ruang ganti bagi para pemain drama. Para pemain musik dan pemain drama keluar masuk melalui jembatan beratap tersebut. Tempat masuk pentas yang lain berupa pintu dorong ( kirido ) setinggi satu meter yang terletak sebelah kanan dari pentas belakang. Pintu ini dipergunakan oleh para asisten ( kouken ) Dan para anggota penyanyi koor ( jiutai ) pintu lainya terletak di pentas utama sisi kiri ( kijinguchi ) dulu merupakan pintu masuk bagi pemain-pemain yang memerankan peran bangsawan. Di sekitar bangunan yang dapat dilihat oleh para penonton ditebarkan batu-batu kerikil. Dipentas utama bagian depan ada tangga yang dapat digunakan untuk menuju ketempat penonton, dan disamping muka jembatan beratap ditanami tiga batang pohon pinus, disepanjang jembatan bagian belakang dtanami dua batang pohon pinus. Gambar stilir pohon pinus dalam ukuran besar merupakan satu-satunya bagian dekor yang digambarkan pada permukaan dinding belakang, dibagian dalam pentas utama ( kagamiita ). Seluruh bagunan terbuat dari kayu cypress ( hinoki ). Lima pilar yang menyangga atap bangunan itu menjadi pedoman gerak-gerik para pemain. Pilar yang terletak dipaling belakang dari pentas sebelah kanan, yang menghubungkan dengan jembatan beratap, merupakan pilar yang terletak paling belakang dari pentas sebelah kanan, yang menghubungkannya dengan jembatan jembatan beratap, merupakan pilar khusus bagi para pelawak untuk duduk didekatnya apabila sedang berada dipentas. Para pemeran Para pemeran dalam drama nou adalah pria dan organisasi mereka telah didirikan sejak periode Edo. Setiap sekolah drama nou telah mendidik para pemain utama ( shite ), para pengiring dari pemeran utama ( tsure ), para pemain kanak-kanak (kokata), para anggota koor, para asisten pentas masing-masing. Setiap pemeran pembantu ( waki ) dan para pengiringnya mempunyai aliran sendiri , seperti fuko dan takayasu. Properti, topeng dan kostum Pengungkapan ekspresi utama dan pemeran utama pembantu dapat diperkuat dengan alat-alat yang mereka bawa. Benda-benda tersebut antara lain dapat berupa secarik surat, sebuah payung, tasbih. Sebatang cabang bambu, misalnya dapat menggambarkan kekacauan mental. Contoh lainya yaitu sebuah kipas yang jika ditutup setengah terbuka atau terbuka penuh dapat melambangkan hal-hal yang berbeda. Sesuai bentuknya maka kipas itu dapat melambangkan pisau belati, lampion, maupun bulan dilangit yang sedang naik. Yang memakai topeng hanya pemeran utama dan para pengiringnya, inipun apabila yang diperankan ialah tokoh-tokoh bukan manusia biasa yang masih hidup. Topeng-topeng tersebut terbuat dari kayu yabng dicat. Setiap topeng selalu mempunyai pola yang sudah ditetapkan berdasarkan penggolongan, yaitu topeng orang tua, para dewa, para hantu jahat atau roh jenis lainnya, pria, wanita. Banyak dari kostum yang dipergunakan pada masa kini telah dirancang sejak abad ke-18 dan abad ke-19, pada masa dimana pola, warna dan bahan yang dipergunakan sudah dipakemkan.kostum yang dibuat member kesan mahal dan mewah, namun juga berkesan berat. Skenario drama Skenario tertua dari repertoar drama ( okina ) nou hanya berupa tiga tarian yang paling menonjol dari abad ke-10, yang dipergunakan untuk sembahyang bagi perdamaian, kesuburan ( dasar dari shintoisme ), dan panjang umur. Jadi masih belum merupakan drama yang sesungguhnya dan dipertunjukan dalam rangka upacara keagamaan,yang diletakkan paling dahulu dalam upacaranya. Sebagian dari naskah nou berupa prosa ( kotoba ), tetapi sebagian besar berupa puisi ( utai ). Bahasa yang dipergunakan dalam prosa adalah bahasa jepang kalangan atas dari abad ke-14, dan puisinya diambil dari koleksi Cina klasik dan Jepang klasik, ditambah lagi dengan kutipan kutipan dari teks agama budha. Pertunjukan nou Dasar teori estetika musik Jepang terdiri dari tiga bagian : introduksi (jo) eksposisi (ha) dan penutup yangcepat (kyu). Jo terdiri dari satu bagian yang disebut dan, ha terdiri dari tiga bagian, dan kyu terdiri dari satu bagian. Teori tersebut pada masa sutradara Zeami telah dipergunakan untuk seluruh pertunjukan, baik bagi kelima seri drama nou, maupun drama individual. Secara strukutural drama-dramanya memang tidak sama, namun bagi drama mengenai perubahan bentuk tokoh utama. Perubahan bentuk selalu terjadi pada penampilan yang kedua. Dengan tiga atau empat orang duduk dibagian belakang dari pentas utama, dan enam (adakalanya delapan) rombongan penyanyi koor di dua baris utama belakang sebelah kiri, terlihat seorang pemain pembantu yang biasanya seorang pendeta masuk ke pentas utama melalui jembatan beratap dengan jalan perlahan-lahan. Disana ia berhenti sejenak untuk memperkenalkan diri (nanori). Selain itu sambil berjaln menuju pentas bagian kiri ia bercerita tentang kisah perjalanannya sambil bernyanyi. Setibanya disebelah kiri pentas, ia mengutarakan bahwa ia telah tiba di tujuan perjalananya dan mengambil tempat duduk di pilar waki, yang menandakan berakhirnya babak jo. 2.1.4 Teater Kagura Dari tulisan huruf Cinanya (kanji), kagura berarti nyanyian dewa. Sedangkan menurut ensiklopedia Kondansha (1993:711) seni pertunjukan ini termasuk dalam ritual agama Shinto dan sudah ada sejak zaman dahulu kala, dan sampai dizaman modern sekarang ini masih dipertunjukkan oleh orang Jepang sampai daerah-daerah pedalaman. Dalam arti populer, kagura berarti seni pertunjukkan, dan menjadi bagian dari festival tahunan kuil agama Shinto setempat. Dalam dunia seni pertunjukkan rakyat Jepang kagura termasuk salah satu dari tiga kategori seni pertunjukkan rakyat (minzoku geino). Dalam konteks ini kagura adalah suatu seni pertunjukan untuk mengundang para dewa, yang kemudian disusul dengan pertunjukan nyanyi dan tari. Tujuan utama dari pertunjukan ini untuk memperpanjang atau memulihkan tenaga hidup manusia. Bentuk kagura pada umumnya dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok besar. Kagura kelompok pertama disebut mikagura, dipertunjukkan di istana kekaisaran, atau di kuil Shinto, yang penting berhubungan erat dengan keraton kekaisaran. Kelompok kedua disebut juga sati kagura, dipertunjukkan di luar istana. Kelompok kedua ini dapat dibedakan lagi menjadi beberapa sub kelompok, seperti miko kagura yang diantara para penarinya terdapat para pendeta wanita Shinto; ise kagura, di mana air mendidih disajikan kepada para dewa; izumo kagura, di mana para penarinya memegang benda-benda tertentu sewaktu menari; dan shishi kagura yang mempertunjukkan tari singa. Perbedaan ini dapat menjadi lebih besar lagi sebagai akibat adanya perbedaan faktor-faktor sejarah, geografis, dan lain-lain. Catatan mengenai keberadaan kagura sudah tertulis sejak abad ke-9. Jadi keberadaannya tentu sudah lebih awal dari itu. Ritual pemanggilan para dewa dapat dilakukan baik dengan pertunjukkan maupun tidak. Kebiasaan untuk memanggil roh didasarkan pada kepercayaan sejak zaman dahulu kala bahwa roh orang meninggal dapat diusahakan agar tidak meninggalkan kerabatnya, serta dapat dipanggil kembali melalui upacara-upacara tertentu, termasuk juga melalui upacara tari dan nyanyi. Upacara memanggil kembali roh ini disebut dengan istilah chinkon, yang berarti “menentramkan” atau “mengambil hati” suatu roh. Buku kojiki mengisahkan bagaimana Dewi Amaterasu Omikami dijebak dengan tipu daya untuk keluar dari tempat persembunyiannya di gua, dengan mempertunjukkan tarian dan nyanyian. Dasar seni pertunjukkan kagura yaitu keyakinan dalam ritual pemanggilan para dewa itu. Garis besar upacara mengundang para dewa (chinkon) ini sebagai berikut. Mula-mula dipersiapkan suatu tempat untuk mengundang para dewa, lalu diselenggarakan pesta makan dan minum dengan mementaskan sebuah pertunjukkan, lalu para dewa diantar pulang ke alam adikodrati, setelah itu mungkin diadakan makan dan minum lagi dan pertunjukkan yang lebih bersifat santai. Mengundang roh para dewa dan kemudian mengantar mereka kembali kealam adikodrati dapat memulihkan tenaga hidup manusia, yang dimungkinkan dengan cara berpartisipasi dalam upacara semacam itu. Hal ini merupakan esensi terpenting dari pertunjukkan kagura. Pada awalnya istilah kagura dipergunakan untuk menyebut beberapa jenis seni pertunjukkan di kalangan istana kekaisaran atau kuil-kuil yang berhubungan erat dengan istana. Namun, seni pertunjukkan jenis ini sekarang telah mempunyai istilah keehormatan tersendiri, yakni mikagura yang telah disebut sebelumnya, dan istilah ini dipergunakan untuk membedakannya dengan jenis kagura yang lain. Pada zaman dahulu pemain mikagura ialah para anggota keluarga istana sendiri, tetapi kini dimainkan oleh pemusik rumah tangga istana kekaisaran. Sejak zaman dahulu kagura dipertunjukkan dalam bermacam-macam kesempatan disepanjang tahun; tetapi kini yang dianggap terpenting adalah pertunjukkan kagura pada upacara daijoe (atau daijosai), yakni suatu upacara yang dilakukan pada waktu seorang kaisar baru dinobatkan. Kagura juga dipertunjukkan pada upacara tahunan Naishidokoro Mikagura. Nama upacara tersebut berasal dari nama sebuah tempat di keraton, tempat seni pertunjukan ini dipentaskan. Dulu upacara Daijo diadakan pada bulan 11 tahun imlek, dan Naishidokoro Mikagura pada bulan 12 tahun imlek. Akan tetapi kini masing-masing pementasan itu dilakukan di bulan-bulan November dan Desember. Naishidokoro Mikagura untuk pertama kali dipentaskan pada abad ke-11, dan sejak akhir abad itu telah menjadi pertunjukan tahunan. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Teater rakyat merupakan seni pertunjukan yang biasanya mengekspresikan dan menggambarkan kehidupan suatu masyarakat. Wujud dari pertunjukan rakyat adalah seni tari, nyanyi, teater, dan lain-lain. Pertunjukan rakyat diselenggarakan pada tempat dan waktu tertentu untuk menyalurkan hasrat rasa keindahan, hiburan, emosi, dan keresahan yang tidak dapat dikatakan secara terus terang. Teater rakyat atau teater tradisional Jepang (koten geinou) yang sampai hari ini masih bertahan, menurut ensiklopedia Kodansha (1994 : 1561), terdiri dari 5 genre besar, yakni Bugaku (gagaku), Bunraku, Nou, Kabuki, dan Kagura. 3.2 Saran Makalah ini diharapkan dapat berguna bagi penulis maupun pembaca secara teoritis yaitu dapat menambah wawasan mengenai teater rakyat dan jenis-jenis teater rakyat Jepang. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan, maka penulis membutuhkan kritik dan saran dari pembaca, agar penulis bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan dan tidak mengulangi kesalahan tersebut . DAFTAR PUSTAKA Danandjaja, James. 1997. Folklor Jepang Dilihat dari Kacamata Indonesia. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti.