PEMETAAN GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN
MENGGUNAKAN METODA GEOLISTRIK 4-D
Agus Kuswanto
Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Mineral
Kedeputian TPSA, BPPT
Jl. M.H. Thamrin no. 8 Jakarta Pusat
agus.kuswanto@ui.ac.id
Abstract
Geoelectric methods is well known as tool for exploration since the 1900's. As
result of fast growing in computer technology, application of this method is
become more popular. For example, at the first application, geoelectric
methode is only used in groundwater exploration but presently it widely used in
another subsurface interest such as mineral exploration and also engineering
geology. Inversion technique developed by Day Morrison (1979), Li and
Oldenburg (1992), Loke and Barker (1996), Yi M-K et.al (2001), Pidlisecky et
al. (2006), etc, has enabled geoelectric method used for configuration of 3-D.
In order to identify dynamics object such as leachate seepage, groundwater
monitoring, etc, this method could be developed as geoelectric 4-D. It is a 3-D
geoelectric which performed several times at the same place but different
times. In field application, 4-D geoelectric showed good results for the
monitoring of surface water leakage into the ground.
Keyword : geolistrik 3-D, geolistrik 4-D, kepadatan tanah, perembesan
1. PENDAHULUAN
Meskipun eksplorasi mineral sudah dilakukan
semenjak ratusan tahun yang lalu tetapi catatan
ilmiah mengenai hal ini baru dimulai pada tahun
1556
manakala
Georgius
Agricola
mempublikasikan De re Metallica . Berpangkal
dari buku ini maka beberapa tahun kemudian
eksplorasi mineral dan dunia pertambangan mulai
menggunakan suatu landasan ilmu pengetahuan.
Sejarah mencatat ternyata di dunia pertambangan
ini pula kemudian berkembang ilmu-ilmu lain yang
sangat mendukung antara lain ilmu geologi dan
geofisika.
Perkembangan ilmu-ilmu tersebut sebenarnya
sudah cukup lama namun aplikasi metoda
geofisika pada dunia pertambangan ternyata baru
dimulai pada tahun 1843, ketika Von Wrede
menemukan bahwa variasi medan magnet bumi
yang diukur oleh Lamont menggunakan magnetic
theodolite
ternyata
dapat
dipakai
untuk
mengidentifikasi bodi dari suatu magnetic ore.
Sekira 25 tahun kemudian, seorang Professor
bernama Robert Thalens mempublikasikan
agus.kuswanto@ui.ac.id
bukunya yang berjudul “ On The Examination of
Iron Ore deposits by Magnetic Methods”. Tahuntahun sesudahnya adalah maraknya aplikasi
geomagnet di dunia pertambangan. Beberapa
publikasi selanjutnya melaporkan penemuan demi
penemuan yang menyebutkan bahwa metoda
geofisika
ini
dapat
dipergunakan
untuk
mengidentifikasi strike, dip, dan depth di bawah
permukaan.
Kebutuhan akan logam dan mineral yang
meningkat menyebabkan berkembang pula ilmu
dan teknologi untuk eksplorasi. Mengingat bahwa
sumberdaya mineral yang dicari umumnya
terdapat di bawah permukaan bumi, maka
teknologi dikembangkan supaya metoda yang
dipakai dapat mendeteksi benda-benda bawah
permukaan dengan lebih sensitive. Metodametoda geofisika yang diterapkan berdasarkan
variasi
sifat-sifat/properties
dari
batuan
dikembangkan untuk mengidentifikasi struktur
yang berasosiasi dengan gas dan minyak bumi
seperti patahan, antiklin, sinklin, yang terletak
beberapa kilometer di bawah permukaan bumi.
Variasi konduktivitas listrik di bumi, perubahan
Page 1
lokal gravity, magnetic dan radioaktivitas,
semuanya dipergunakan sebagai informasi
mengenai kondisi bawah permukaan.
Berdasarkan dari cara pengambilan datanya,
maka pada prinsipnya di dalam metoda geofisika
ada 2 (dua) macam cara yakni metoda geofisika
dinamis dan metoda geofisika statis. Pada
metoda geofisika dinamis dilakukan “gangguan”
terhadap bumi kemudian respon yang diberikan
akibat gangguan tersebut di catat di permukaan.
Dari respon yang diberikan ini kemudian dibuat
interpretasi kondisi bawah permukaan bumi.
Gangguan ini dapat berupa getaran seismik
maupun injeksi arus listrik. Contoh metoda ini
adalah seismik, geolistrik, georadar dan
sejenisnya. Sedangkan pada metoda yang kedua
yakni metoda statis, fenomena fisika di bawah
permukaan bumi dicatat tanpa melakukan
gangguan ke bumi. Contoh metoda ini adalah
metoda gravity, magnetic, VLF dan sejenisnya.
Metoda yang dibahas pada makalah ini
adalah bagian dari metoda geolistrik. Yaitu suatu
metoda dinamis dengan sumber gangguan
berupa injeksi arus listrik ke dalam bumi.
Metoda geolistrik berkembang pada awal
tahun 1900 an. Tetapi kemudian mulai banyak
dipakai untuk keperluan eksplorasi pada tahun
1970-an . Metoda yang pertama kali banyak
dipakai diIndonesia adalah metoda geolistrik
aturan Schlumberger dan Wenner. Pada metoda
ini pengambilan data V (beda potensial) dan I
(kuat arus) dilakukan mengikuti konfigurasi
elektroda yang dibuat oleh Schlumberger (untuk
aturan schlumberger) dan Wenner untuk aturan
Wenner. Aplikasi yang umum dilakukan adalah
untuk eksplorasi air bawah tanah.
Disamping dua metoda tersebut, sebenarnya
sudah dikenal juga metoda lain yaitu pole-pole,
dipole-dipole, pole-dipole, wenner-Schlumberger,
dll. Tetapi metoda ini tidak terlalu banyak dipakai
karena dalam pengambilan datanya memerlukan
waktu yang lama. Disamping itu untuk
pengolahan datanya juga masih belum ada
software pemodelan yang memadai sehingga
hasil yang diperoleh masih berupa pseudosection
(penampang semu) yaitu suatu penampang
vertical yang menggambarkan gambaran bawah
permukaan berdasarkan distribusi tahanan jenis
semu.
Pada tahun 1997 mulai dikenal luas software
inverse data untuk geolitrik dua dimensi (2-D)
yang dibuat oleh ilmuwan Malaysia yaitu M.H.
Loke, kemudian dikenal sebagai Res2D/Res3D.
Software ini mirip dengan software yang sudah
muncul sebelumnya yang dikeluarkan oleh
Advanced Geophysical Incorporated (AGI) yaitu
earth imager. Menggunakan software tersebut di
atas, maka para pengguna metoda geolistrik
agus.kuswanto@ui.ac.id
dengan mudah mendapatkan true section (bukan
pseudosection).
True
Section
merupakan
gambaran penampang bawah permukaan (subsurface section) berdasarkan nilai tahanan jenis
sebenarnya. Melalui true section ini, kalangan
geologist sangat dibantu dalam membuat
interpretasi keberadaan sumberdaya mineral ,
batubara dan bahkan patahan-patahan bawah
permukaan untuk kepentingan geologi teknik.
Persoalannya kemudian adalah dalam
pengambilan data di lapangan. geolistrik 2-D
memerlukan jumlah data yang lebih banyak
dibandingkan geolistrik satu dimensi (1-D) yang
biasanya menggunakan aturan schlumberger atau
wenner. Apabila menggunakan cara pengambilan
data yang tradisional (menggunakan 4 besi
elektroda), maka dalam satu section sepanjang
300 m misalnya, bisa memerlukan waktu 4 hari
untuk pengambilan datanya. Disamping itu,
karena dalam pengambilan data elektroda besi di
geser bolak-balik mengikuti aturan yang dibuat,
maka kalau hanya menggunakan 4 elektroda
akurasi data yang dihasilkan juga tidak terlalu
baik. Oleh karena itulah maka muncul ide
pembuatan Geoscanner.
Geoscanner adalah suatu peripheral untuk
peralatan resistivitymeter yang dikembangkan
oleh BPPT supaya hasil survey menggunakan
metoda Resistivity 2D dapat lebih cepat dan
akurat
dibandingkan
metoda
tradisional.
Peripheral ini dapat dipakai untuk resistivitymeter
merk dan type apapun.
Menggunakan geoscanner telah dilakukan
survey kebumian untuk keperluan eksplorasi
batubara dan mineral di Kalimantan, Sumatra,
Sulawesi , dll serta eksplorasi air bawah tanah
untuk mecari air di kamp pengungsian Aceh
(pasca tsunami), daerah Kars, dll serta untuk studi
geologi teknik dan lingkungan.
Perkembangan pemodelan pada metoda
geolistrik
sejalan
dengan
perkembangan
komputer. Dengan adanya perkembangan
teknologi komputasi maka persoalan numerik
yang semula harus diselesaikan dengan komputer
besar (mainframe) dapat diatasi menggunakan
personal computer (PC). Meskipun Dey and
Morrsion sudah memaparkan konsep pemodelan
geolistrik tiga dimensi (3-D) pada tahun 1979,
namun pada tahun 1990-an pada saat komputer
sudah semakin canggih, para peneliti baru dapat
mengembangkannya menjadi keperluan praktis.
Teknik inversi satu tahap (one step inversion)
menggunakan aproksimasi Born telah digunakan
oleh Li dan Oldenburg, 1992 (Loke M.H., 2000)
untuk
memperoleh
model
awal
bawah
permukaan. Tetapi menurut mereka, model yang
dihasilkan masih belum bagus dan memerlukan
perbaikan menggunakan metoda iterasi. Teknik
Page 2
inversi menggunakan iterasi cepat (fast iteration)
menggunakan alpha center juga telah digunakan
untuk inversi 3-D tahanan jenis. Tetapi karena
pada metoda ini model yang dipakai untuk
menghitung tahanan jenis semu adalah metoda
aproksimasi maka hasilnya masih kurang akurat
dibandingkan teknik pemodelan kedepan yang
menggunakan metoda elemen hingga atau
metoda beda hingga (finite difference) .
Loke
dan
Barker
(1996)
telah
mengembangkan teknik inversi data geolistrik 3-D
menggunakan metoda optimasi quasi-Newton.
Menggunakan metoda ini maka inversi dapat
dilakukan pada komputer PC dan dengan waktu
yang relatif lebih cepat dibandingkan teknik inversi
yang telah dipakai oleh peneliti sebelumnya.
Selain Loke dan Barker,
model inversi
geolistrik 3-D juga dikembangkan oleh Yi M-K
et.al (2001) dan Pidlisecky et al. (2006).
Mengingat pengambilan data geolistrik 3-D
dipandang masih kurang praktis, maka Jackson
et.al (2001) membuat model inversi geolistrik 3-D
berdasarkan data pengukuran geolistrik 2-D.
Ternyata setelah diverifikasi dengan dua data
pemboran, model yang dihasilkan menunjukan
kecocokan.
Metoda geolistrik 3-D pernah dilakukan oleh
Michael Minas (2010) untuk penelitian Master nya
di Departemen Land and Water Resources
Engineering Royal Institute of Technology Swedia
dengan
tujuan
penelitian
untuk
menyelidiki air runoff (larian) di jalan tol di
Stoklom Utara.
Berbagai aplikasi di lapangan menunjukan
bahwa metoda geolistrik saat ini semakin
dipercaya untuk berbagai keperluan survey
bawah permukaan, karena metoda ini merupakan
metode yang relatif tidak merusak daerah yang
disurvey, serta cepat dalam pengambilan
datanya.
Metoda geolistrik yang semula dipergunakan
untuk survey yang bersifat regional saat ini mulai
digunakan untuk penanganan masalah yang lebih
bersifat detil seperti persoalan pada geologi teknik
dan lingkungan. Pada kesempatan ini maka
timbulah pemikiran penerapan geolistrik untuk
mengidentifikasi anomali bawah permukaan yang
bersifat bergerak, misalnya pencemaran lindi
(leachate) di bawah permukaan, perembesan air
permukaan, dan lain-lain. Metoda geolistrik yang
dapat melakukan identifikasi ini adalah metoda
geolistrik empat dimensi (4-D).
Metoda geolistrik 4-D adalah metoda
geolistrik yang dilakukan dengan cara pengukuran
geolistrik 3-D dengan pengukuran berkali-kali,
dengan waktu yang berbeda namun pada posisi
yang tetap. Dengan pengukuran cara ini maka
dapat diketahui selisih nilai tahanan jenis dari
agus.kuswanto@ui.ac.id
pengukuran pada waktu kedua, ketiga, keempat
dan seterusnya (t2, t3, t4, dst) terhadap
pengukuran pertama (t1).
Pada makalah ini dipaparkan hasil penelitian
geolistrik 3-D dan 4-D untuk beberapa kasus.
2. METODOLOGI
2.1 Dasar pengukuran
Metoda geolistrik adalah salah satu metoda
dalam geofisika yang menggunakan sifat
kelistrikan sebagai sarana untuk mengenali
kondisi di bawah permukaan bumi.
Apabila ada arus listrik dengan sumber
tunggal dialirkan ke bawah permukaan bumi maka
arah aliran arus listrik adalah menyebar ke segala
arah dalam suatu ruang berbentuk setengah bola
(gambar 1).
Gambar 1 Arah aliran arus listrik dan medan
ekuipotensial pada bentuk setengah bola
(Reynolds, 1997)
Pada gambar 4-1, beda potensial (δV) pada
kulit bola tersebut untuk lapisan setebal δr adalah:
δV
1 .......................
= − ρ .J = − ρ
δr
2πr 2
(1)
Dengan demikian apabila dialirkan arus dari
pusat setengah bola tadi, maka voltase (V) pada
titik r dari sumber arus adalah :
Vr = ∫ δV = − ∫ ρ
1
ρI 1 .
δr =
.
2π r
2πr 2
......(2)
Jika terdapat dua sumber arus listrik, dengan
arah arus listrik dari A menuju B dan maka medan
ekuipotensialnya terlihat pada gambar 2.
Page 3
ρ
I
K
= tahanan jenis (ohm.m)
= kuat arus (mA)
= faktor geometri
Persamaan (6) dan (7) adalah persamaan
umum yang dipakai untuk menghitung tahanan
jenis pada pengukuran geolistrik 1D, 2D maupun
3D.
Gambar 2 Garis arus listrik dan medan potensial
yang timbul karena adanya dua sumber arus
(Reynolds, 1997)
Untuk mempermudah perhitungan beda potensial,
maka gambar 2 digambarkan seperti yang terlihat
pada gambar 3.
Gambar 3 Konfigurasi elektroda pada metoda
tahanan jenis
Berdasarkan persamaan (2), maka potensial di
titik M dan N adalah :
VM =
2.2 Teknik Pengambilan Data
Pada pengukuran geolistrik, dipergunakan
elektroda yang terbuat dari besi kurang lebih
panjang 40 cm dengan diameter 1 cm. Elektroda
ini ditancapkan ke dalam tanah kemudian
disambungkan dengan alat ukur geolistrik.
Elektroda yang disambungkan dengan pengirim
arus listrik disebut elektroda arus (A dan B)
sedangkan elektroda yang disambungkan dengan
pembaca potensial disebut elektroda potensial (M
dan N). Tata letak posisi elektroda arus dan
potensial disebut konfigurasi elektroda.
Pada geolistrik 1-D dan 2-D elektroda di
susun memanjang membentuk garis lurus. Hasil
yang diperoleh adalah suatu penampang tegak
yang menggambarkan kondisi geologi di bawah
permukaan. Gambar 4-3 adalah contoh untuk
konfigurasi geolistrik 1-D dan 2-D.
Pada pengukuran menggunakan metoda
geolistrik 3-D, konfigurasi elektroda tidak
berbentuk garis memanjang namun membentuk
suatu kotak dengan arah x dan y tertentu (gambar
4) .
ρI 1
1
ρI 1
1 ....(3)
−
, VN =
−
2π AM MB
2π AN NB
Beda potensial antara titik M dan N adalah :
δ VMN = VM − VN =
ρ I 1
1 1
1 ..(4)
−
−
−
2π AM MB AN NB
Gambar 4 Posisi elektroda pada konfigurasi 3D.
Besarnya tahanan jenis adalah :
ρ=
δ VMN 2π 1
ρ=
I
1 1
1
−
−
−
AM MB AN NB
VM − N
K
I
..........................
1
1 1
1
K = 2π
−
−
−
AM MB AN NB
....(5)
(6)
−1
Pada persamaan tersebut ;
VM
= Potensial di titik M
= Potensial di titik N
VN
V M-N = beda potensial dari M ke N
agus.kuswanto@ui.ac.id
−1
...... (7)
2.3 Teknik Pengolahan Data
Hasil yang diperoleh dari pengukuran di
lapangan adalah nilai tahanan jenis semu. Untuk
mendapatkan nilai tahanan jenis sebenarnya,
maka dilakukan pemodelan, yang umumnya
dipakai pada saat ini adalah pemodelan
kebelakang (pemodelan inversi).
Pada pemodelan geolistrik dikenal istilah
pemodelan satu dimensi (1-D), dua dimensi (2-D)
dan tiga dimensi (3-D). Blok-blok pemodelan pada
pemdoelan dapat dilihat pada gambar 5.
Page 4
ρ
h
J
ε
Y
f (P)
Gambar 5 Model benda 1-D, 2-D dan 3-D
2.3.1 Pemodelan geolistrik 1-D
Pada model geolistrik 1-D, struktur bawah
permukaan diasumsikan terdiri dari lapisanlapisan horisontal, setiap lapisan mempunyai
ketebalan dan tahanan jenis tertentu (gambar 45). Dengan pendekatan ini maka data tahanan
jenis semu dapat dinyatakan sebagai fungsi dari
parameter – parameter lapisan :
model awal
= tahanan jenis batuan
= kedalaman
= Matriks Jacobi
= kesalahan pemodelan
= fungsi hasil pengukuran
= fungsi pemodelan
2.3.2 Pemodelan geolistrik 2-D
Pada model geolsitrik 2-D, lapisan batuan di
bawah permukaan bumi diasumsikan berbentuk
blok-blok yang masing-masing mempunyai nilai
tahanan jenis tertentu seperti yang dapat dilihat
pada gambar 7 (Barker dan Loke ,1996).
ρ aj = f j (h1 , h2 ,....., hm−1 , ρ1 , ρ2 ,...., ρ m ) .......(8)
Pada persamaan ini, j = 1,2,...,n dengan n adalah
jumlah data pengamatan.
Persamaan 8 dapat digambarkan seperti yang
terlihat pada gambar 6.
Gambar 7 Blok-blok lapisan di bawah permukaan
untuk pemodelan (Barker dan Loke ,1996).
Gambar 6 Asumsi yang dipergunakan pada model
geolistrik 1-D
Pemodelan
inversi
untuk
menggunakan persamaan :
geolistrik
P1 = P 0 + ∆P .......................................... (9)
P 0 = ( ρ10 h10 , ρ 20 h20 ,........, ρ n0 hn0 ) ......... (10)
∆P = ( J T J ) −1 J T ε .................................(11)
ε = Y − f (P) ........................................ (12)
∂f ( P)
.......................................... (13)
J= i
∂Pj
Pada persamaan ini ;
P1
= Model yang dibuat
P0
= Model awal
∆P
= selisih model yang dibuat dengan
agus.kuswanto@ui.ac.id
1-D
Gambar 8 Blok model pada pemodelan geolistrik
2-D
Apabila arus mengalir dari titik C yang berada
pada koordinat (0,0) kemudian potensial dibaca di
suatu titik misanya P dengan koordinat (a,0) maka
perubahan tahanan jenis ρ pada setiap blok
tersebut menurut Loke dan Barker (1995) dihitung
berdasarkan gambar 8 dengan persamaan (14).
I
∂φ
= s
∂ρ 4πr 2
......
z2x2 ∞
∫∫∫
z 1 x1 − ∞
x( x − a ) + y 2 + z 2
(x + y 2 + z 2 )
3
2
[(x − a)
2
+ y2 + z2
)]
3
dxdydz
2
(14)
Selanjutnya
pemodelan
inversi
dilakukan
menggunakan persamaan umum inversi yaitu :
Page 5
(J
T
i
)
J i + λi C T C pi = J iT g i
....................(15)
Pada persamaan ini :
i adalah iterasi, J adalah matriks turunan partial
Jacobi, g adalah vektor dikrepansi yang berisi
perbedaan antara logaritma harga tahanan jenis
yang terukur dan terhitung, g adalah faktor
damping dan pi adalah vektor perturbasi untuk
parameter model pada iterasi ke i dan C adalah
flatness filter.
2.3.3 Pemodelan Geolistrik 3-D
Pada model geolistrik 3-D, model yang dibangun
lebih realistis karena lapisan batuan di bawah
permukaan bumi tidak diasumsikan berlapis-lapis
namum terdiri dari blok-blok berbentuk tiga
dimensi (gambar 9).
gambar 10 dengan persamaan (16) (Loke dan
Barker, 1996).
∂φ
VI
≈
∂ρ 4π 2
nx
ny
u (u − α ) + v(v − β ) + w 2
nz
∑∑∑ f
k =1 j =1 i =1
i
f j fk
(u 2 + v 2 + w 2 )
3
2
[((u − α )
2
+ (v − β ) 2 + w 2 −
)]
3
....(16)
dimana
u = (2 x − x1 − x2 ) /( x1 − x 2 )
v = (2 y − y1 − y 2 ) /( y1 − y 2 )
α = (2a − x1 − x 2 ) /( x1 − x 2 )
β = (2b − y1 − y 2 ) /( y1 − y 2 )
w = (2 z − z1 − z 2 ) /( z1 − z 2 )
V = 0,125( x1 − x 2 )( y1 − y 2 )( z1 − z 2 )
Pemodelan inversi juga dilakukan menggunakan
persamaan umum inversi (persamaan 15).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pengukuran di bak kaca
Pengukuran dilakukan pada bak kaca
berukuran panjang 2 m, lebar 1 m dan tinggi 1,5
m. Bak kaca diisi pasir kemudian di tengahnya,
yaitu pada kedalaman 30 cm di pendam benda
berukuran berukuran 12 cm x 12 cm x 10 cm
(gambar 11). Ukuran grid yang dipakai pada
pengukuran ini adalah 7 x 7, dengan jarak antar
elektroda 5 cm.
Gambar 9 Model blok yang dipergunakan untuk
perhitungan tahanan jenis semu (Loke, 1996)
Gambar 10 Blok model pada pemodelan geolistrik
3-D
Apabila arus mengalir pada titik C dengan
koordinat (0,0,0) kemudian potensial dibaca di
suatu titik misalnya titik P dengan koordinat
(a,b,0)
maka
perubahan
potensial
yang
disebabkan perubahan tahanan jenis ρ pada
setiap blok tersebut dihitung menggunakan
agus.kuswanto@ui.ac.id
Gambar 11 Pengukuran pada bak kaca
Page 6
2
Setelah benda dipendam di dalam pasir,
selanjutnya di atas benda tersebut dilakukan
pengukuran geolistrik 3-D menggunakan metoda
wenner, dipole dipole dan pole pole. Posisi
elektroda dan benda anomali dapat dilihat pada
gambar 11.
Data
hasil
pengukuran
di
inversi
menggunakan
softare
res3D,
dan
hasill
pemodelannya dapat dilihat pada gambar 12,
gambar 13 dan gambar 14.
pole (gambar 14), benda anomali dapat dideteksi
dengan baik. Metoda pole pole menghasilkan
gambar dengan penetrasi yang paling dalam.
3.2 Metoda Geolistrik 3-D untuk Kepadatan
Tanah
Penelitian berikutnya adalah geolistrik 3-D
untuk memetakan zona kepadatan tanah. Metoda
yang dipakai adalah metoda dipole-dipole dengan
spasi antar elektroda 2,5 meter. Pada penelitian
ini pengukuran di lapangan menggunakan
konfigurasi 2-D dengan jarak antar`lintasan 5
meter kemudian datanya diinversi menggunakan
inversi 3-D. Hasil inversi dapat dilihat pada
gambar 15.
Gambar 12 Hasil pemodelan inversi 3-D pada
pengukuran di bak kaca
Gambar 15 Hasil pemodelan inversi 3-D pada
pengukuran untuk kepadatan tanah
Gambar 13 Hasil pemodelan inversi 3-D pada
pengukuran di bak kaca
Pada gambar 15, tahanan jenis yang rendah
berwarna terang sedangkan tahanan jenis tinggi
berwarna merah sampai merah tua. Verifikasi di
permukaan memperlihatkan hasil bahwa zona
dengan nilai tahanan jenis tinggi adalah zona
tanah padat.
3.3 Metoda Geolistrik 3-D untuk Identifikasi
Gua
Gambar 14 Hasil pemodelan inversi 3-D pada
pengukuran di bak kaca
Penelitian selanjutnya adalah aplikasi metoda
geolistrik 3-D untuk mengidentifikasi gua di bawah
permukaan. Pada penelitian ini konfigurasi yang
dipergunakan adalah konfigurasi geolistrik 3-D
seperti yang terlihat pada gambar 16. Elektroda di
susun pada arah sumbu x jumlahnya 8
sedangkan ke arah sumbu y jumlahnya 6. Jarak
antar elektroda 1 m, dan metoda yang dipakai
adalah pole-pole.
Pada pengukuran menggunakan metoda
wenner (gambar 12), benda anomali tidak
terdeteksi dengan baik, sedangkan pada metoda
lainnya yaitu dipole dpole (gambar 13) dan pole
agus.kuswanto@ui.ac.id
Page 7
ternyata tidak lurus horisontal melainkan ada
penurunan dari mulut gua menuju ke dalam.
3.4 Metoda Geolistrik 4-D untuk Air Tanah
Gambar
16
Konfigurasi
elektroda
pada
pengukuran geolistrik 3-D untuk mendeteksi gua
di Dago Bandung
Penelitian berikutnya adalah aplikasi geolistrik
4-D untuk meneliti perembesan air permukaan.
Pengukuran 4-D resistivity dilakukan di tanah
lapang (gambar 18). Pada penelitian ini dilakukan
pengukuran geolistrik 3-D dengan ukuran grid 6 x
8, masing-masing elektroda berjarak 2 m.
Pengukuran dilakukan berulang (time lapsed)
sebanyak 3 kali pengukuran, dan diantara satu
pengukuran dengan pengukuran lainnya terjadi
hujan. Dengan demikian diharapkan arah
pergerakan meresapnya air hujan ke dalam tanah
dapat diamati.
Pengukuran dilakukan di permukaan tanah yang
terletak di atas gua pada jarak kurang lebih 1.5 m.
Posisi pengukuran dan hasil pemodelan geolisrik
3-D dapat dilihat pada gambar 17.
Gambar 18 Pengukuran geolistrik 4-D di tanah
lapang
Suasana pengukuran adalah sebagai berikut :
Hari 1 :
Pengukuran dilakukan jam 13.00, kondisi
mendung. Selanjutnya pada jam 15.00 hujan
deras. Hujan deras ini belum berhenti sampai
pengukuran selesai dilakukan yaitu sekitar jam
17.00. Bahkan sampai malam hari , hujan masih
belum berhenti
Gambar 17 Hasil pemodelan inversi 3-D pada
pengukuran di gua di Dago bandung
Gua mempunyai anomali yang sangat tinggi
sehingga
mudah dibedakan dari batuan
sampingnya. Untuk mendapatkan bentuk gua
maka batuan yang mempunyai tahanan jenis
rendah dibuat warna transparan sehingga yang
muncul dengan warna dan bentuk yang tegas
adalah bentuk guanya. Dari hasil pemodelan ini
dapat diketahui bahwa bentuk gua yang diteliti
agus.kuswanto@ui.ac.id
Hari 2 :
Pengukuran ke-dua dimulai jam 08.00, cuaca
cerah setelah terjadi hujan pada malam harinya.
Selesai pengukuran sekitar jam 12.00
Pada pengukuran ke-tiga yaitu sekitar jam
13.00 terjadi hujan deras lagi. Pengukuran ke-tiga
selesai dilakukan pada sekitar jam 17.00
Hasil Pengukuran 1
Hasil pengukuran dapat dilihat pada gambar
19. Warna biru menunjukkan
zone yang
mempunyai conductivity tinggi. Diperkirakan zona
ini adalah air permukaan (karena hujan) yang
meresap ke dalam tanah
Page 8
Hasil Pengukuran ke-2
Warna biru tua adalah sebaran zona
conductivity pada hari 1, sedangkan warna merah
menunjukkan zona conductivity pada pengukuran
ke-2. Kisaran conductivity sama yaitu 0.1 ms-0.4
ms
Terlihat bahwa pada pengukuran ke-2
conductivity yang diperkirakan tempat air ini
mempunyai zona yang lebih luas. Ini terjadi
karena antara pengukuran ke-1 dan ke-2 telah
terjadi hujan lebat. Dengan melihat warna biru
tua dan merah dapat diperkirakan arah peresapan
air permukaan tersebut.
Gambar 19 Hasil pemodelan inversi 3-D pada
pengukuran di time lapse t1 sampai t3.
Hasil Pengukuran ke-3
Gambar 19 nomor 3,
adalah hasil
pengukuran pada pengukuran waktu ke1, ke-2
dan ke-3. Disini terlihat ada 3 warna yang
berbeda yaitu biru tua, merah dan merah muda.
Ketiga warna ini menunjukan zuatu zona
conductivity yang berada pada kisaran 0.1 ms-0.4
ms, tetapi pada waktu pengukuran yang berbedabeda. Warna biru tua adalah zona conductivity
pada pengukuran ke 1, warna merah adalah zona
conductivity pada pengukuran ke-2 dan warna
biru muda menunjukkan zona conductivity pada
pengukuran ke-3.
Selanjutnya zona conductivity ini diidentifikasi
sebagai zona yang terisi air.
agus.kuswanto@ui.ac.id
Dapat dilihat pada gambar tersebut bahwa
warna yang paling sedikit adalah biru tua,
kemudian warna merah dan terakhir yang paling
banyak warnanya adalah biru muda. Mengingat
bahwa warna ini menunjukan suatu zona yang
terisi air maka dapat disimpulkan dari gambar ini
bahwa dari pengukuran ke-1 ke pengukuran ke-3
terjadi penambahan luas zona yang terisi air.
Dari gambar ini dapat diihat pergerakan air dari
atas kemudian turun ke arah pojok sisi kiri.
4
KESIMPULAN
Metoda geolistrik 3-D dengan konfigurasi
wenner memperlihatkan hasil yang kurang akurat
baik ke arah lateral maupun horisontal.
Konfigurasi dipole dipole merupakan konfigurasi
yang paling baik akurasinya namun ditinjau dari
penetrasinya, konfigurasi yang menghasilkan data
paling dalam adalah konfigurasi pole pole.
Pada pengukuran di lapangan pada area
yang luas, konfigurasi 3-D seringkali tidak dapat
dilakukan karena kurang praktis. Oleh karena itu
jika mengharapkan hasil 3-D, maka dapat
dilakukan dengan cara inversi 3-D menggunakan
data 2-D seperti yang dikemukakan Jackson et al
(2001). Hasil inversi semacam ini dapat dilihat
pada gambar 15.
Gua mempunyai nilai tahanan jenis
mendekati
tak
hingga
sehingga
dalam
pengukuran menggunakan metoda geolistrik, gua
dapat diindentifikasi dengan baik karena mudah
dikenali dibandingkan batuan sampingnya.
Karena bentuk gua yang tidak beraturan maka
metoda yang paling baik untuk mengidentifikasi
geometri gua adalah menggunakan geolistrik 3-D.
Pengamatan untuk benda di bawah
permukaan yang dinamis seperti perembesan
lindi, perembesan air tanah,
dan lailnnya
memerlukan pengamatan antar waktu (time
lapse). Metoda geolistrik 3-D yang dilakukan
dengan cara time lapse disebut juga metoda
geolistrik 4-D. Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa geolistrik 4-D ternyata cukup akurat untuk
pengamatan ini.
Metoda geolistrik 4-D dapat diaplikasikan di
pada daerah yang dangkal misalnya mengamati
perembesan lindi ke dalam zona vadose.
Seandainya kondisi lapangan memungkinkan
geolistrik 4-D dapat juga dilakukan untuk daerah
yang lebih dalam seperti misalnya mengamati
proses dewatering pada ekploitasi Coal Bed
Methane (CBM), serta monitoring pada steam
injection di dunia perminyakan.
Page 9
DAFTAR PUSTAKA
1. Dey, A., Morrison H.F., 1979. Resistivity
Modelling for Arbitrarily Shaped TwoDimensional
Structures,
Geophysical
Prospecting 27, I06 – I36.
2. Jackson P.D., Earl S.J., Reece G.J., 2001. 3D
Resistivity Inversion Using 2D Measurement
of the Electric Field, Geophysical Prospecting,
2001, 49, p. 26-39.
3. Loke M.H., 2000. Electrical Imaging Surveys
for Environmental and Engineering Studies, A
practical guide to 2-D and 3-D surveys,
4. Loke, M.H., Barker R.D., 1996. Practical
Techniques for 3D Resistivity Surveys and
Dta Inversion, Geophysical Prospecting,
1996, 44, p. 449 - 523
5. Minas, M., 2010. Monitoring Runoff from
Highways Using 2-D and 3-D Resistivity
Methods : case Study from Bjornnasvagen,
Northern Stocckholm, Degree Project for the
Master
Program
in
Environmental
Engineering and Sustainable Infrastructure,
Department of Land and Water Resources
Engineering, Royal Institute of Technology,
Sweden.
6. Pidlisecky A, Haber, E. and Knight, R.J.,2007.
RESINVM3D : A 3D resistivity inversion
package, Geophysics, vol. 72 (march-April
2007),p.H1-H10
7. Reynolds J.M., 1997. An Introduction to
Applied and Environmental Geiphysics, John
Willey and Sons Ltd., England
8. Yi , M.-J., Kim J.-H., Song Y., Cho S.-J.,
2001.
Three-dimensional
Imaging
of
Subsurface Structures Using resistivity Data,
2001, 49, 483-497
agus.kuswanto@ui.ac.id
Page 10