ISLAMISASI DAN PERTUMBUHAN INSTITUSI PENDIDIKAN ISLAM
DI NUSANTARA
Dipresentasikan dalam Mata Kuliah Sejarah Sosial Penddikan Islam
Oleh:
Julhadi
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr.H.Azyumardi Azra, MA
Prof. Dr.H. Zulmukim, MA
KONSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM DOKTORAL DIKTIS KEMENAG PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
2015 M
ISLAMISASI DAN PERTUMBUHAN INSTITUSI PENDIDIKAN ISLAM
DI NUSANTARA
Oleh: Julhadi
Pendahuluan
Agama Islam merupakan agama wahyu (samawi) yang diturunkan Allah SWT sebagai Rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh isi alam semesta), sekaligus merupakan agama dakwah (missionary) yang tanggung jawab penyebarannya dibebankan kepada masing-masing individu umatnya), maka cepat atau lambat akan menyebar secara alamiah ke seluruh dunia, termasuk ke kawasan kepulauan Nusantara Indonesia. Hal ini berbeda dengan sifat/fitrah agama samawi lainnya (Nasrani dan Yahudi) yang hanya cocok untuk satu suku bangsa (bani Israil)
Masuknya Islam dan menyebarnya pengaruh Islam di nusantara tidak terlepas dari masyarakat Arab yang terbiasa melakukan perjalanan ke berbagai daerah dalam rangka melakukan bisnis yang bergerak dalam bidang perdagangan. Mereka melakukan perjalanan dari timur tengah menuju berbagai pelosok dunia termasuk Indonesia. Hal ini juga telah di isyarakan juga oleh Allah dalam surat Al-Quraisy. Dalam ayat tersebut sangat jelas bahwa kebiasaan orang-orang Quraisy (Arab) melakukan perjalanan dalam rangka melakukan perniagaan. Sejarah Islam di Indonesia dimulai sejak agama Islam masuk oleh sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa awal mula masuknya di pulau Suamtera bagian utara di daerah Aceh. Artinya, sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Hal ini disebabkan karena pemeluk agama baru tersebut sudah tentu ingin mempelajari dan mengetahui lebih dalam tentang ajaran-ajaran Islam. Ingin pandai shalat, berdoa dan membaca al-Quran yang menyebabkan timbulnya proses belajar, meskipun dalam pengertian yang amat sederhana.
Penyebaran agama Islam di Nusantara pada umumnya berlangsung melalui dua proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia seperti Arab, India, dan Cina yang telah beragama Islam bertempat tinggal di suatu wilayah Indonesia secara permanen, melakukan perkawinan campuran dan mengikuti gaya hidup lokal. Kedua proses ini mungkin sering terjadi secara bersamaan.
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1991), hlm. 3
Dari sinilah mulai timbul pendidikan Islam, dimana pada mulanya mereka belajar di rumah-rumah, langgar/surau, masjid kemudian berkembang menjadi pondok pesantren. Setelah itu baru timbul sistem madrasah yang teratur sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Kendatipun pendidikan Islam dimulai sejak pertama Islam itu sendiri menancapkan dirinya di kepulauan nusantara, namun secara pasti tidak dapat diketahui bagaimana cara pendidikan pada masa permulaan Islam di Indonesia, seperti tentang buku yang dipakai, pengelolanya dan sistemnya. Yang dapat dipastikan hanyalah pendidikan Islam pada waktu itu telah ada, tetapi dalam bentuk yang sangat sederhana. Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia menjadi negara yang mudah dikenal oleh bangsa-bangsa lain, khususunya oleh bangsa-bangsa yang sejak dulu senang melakukan pengembaraan, pelayaran, dan perdagangan. Misalnya bangsa-bangsa di Timur Tengah dan Timur Jauh
Prosesi Islam di Nusantara
Secara geografis, kepulauan nusantara terletak di belahan timur dunia muslim, yang merepresentasikan salah satu wilayah paling jauh dari pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah. Kondisi geografis ini tentu berpengaruh terhadap proses Islamisasinya yang tentu saja sangat berbeda dengan Islamisasi di kawasan Timur tengah, Asia Selatan dan Afrika Utara yang dalam banyak hal mengalami Islamisasi setelah ekspansi militer dan kekuatan politik. Sementara di kepulauan nusantara, proses Islamisasi pada umumnya berlangsung melalui cara-cara damai, yaitu melalui jalur perdagangan, perkawinan, pendidikan pesantren, tasawuf (mistik Islam), seni budaya, dan ada yang menggunakan jalur kekuatan politik, namun hal itu hanya pada kasus-kasus tertentu.
Ketika pertama kali datang ke nusantara, Islam bukan merupakan agama yang unggul baik secara politik, ekonomi, militer, maupun budaya, dan bukan merupakan arus yang cukup kuat. Oleh karena itu, penyebaran Islam lebih bersifat asimilatif dan akulturasi daripada bersifat revolusioner. Penyebaran Islam lebih banyak menggunakan jalan kompromi dan bersikap toleran terhadap berbagai elemen tradisi lokal yang asing bagi karakter dasarnya, Islam tidak mengusik budaya lama orang pribumi sehingga gesekan atau kontak pisik secara langsung tidak terjadi. Adanya Islam menyebabkan adanya akulturasi antara budaya Islam dan budaya lokal, serta terjadinya sinkretisasi ajaran Islam dengan inti ajaran animisme Hindu-Budha.
Mengenai proses masuk dan berkembangnya agama Islam ke Indonesia, para sarjana dan peneliti sepakat bahwa Islamisasi itu berjalan secara damai, meskipun ada juga penggunaan kekuatan oleh penguasa muslim Indonesia untuk mengislamkan rakyat atau masyarakatnya.
Azyumardi Azra, Islam Nusantara:Jaringan Global dan Lokal (Bandung : Mizan,2002), h.24 Namun, terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli, mengenai tiga masalah pokok, tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.
Ibid
Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok ini jelas belum tuntas, tidak hanya kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada. Terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok, sementara mengabaikan aspek-aspek lainnya. Dan juga disebabkan oleh subjektivitas penulis .
Muhammad Hasan al-Aydrus, Penyebaran Islam di Asia Tenggra, terj. (Jakarta: Lentera: Lentera Bastarima, 1996) h. 42.
Dalam berbagai literatur yang ada, banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli mengenai tiga persoalan di atas, namun di sini hanya akan dikemukakan beberapa masalah saja.
Seorang penulis berkebangsaan Barat, Thomas W. Arnold menjelaskan bahwa telah dibawa ke nusantara oleh pedagang-pedagang Arab sejak abad pertama Hijriah, lama sebelum adanya catatan sejarah. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya perdagangan yang luas oleh orang-orang Arab dengan dunia Timur sejak masa awal Islam.
Thomas W. Arnold, The Preaching Of Islam, terj (Jakarta: Penernit Widiya, 1981) h. 317-318.
Di dalam Tarikh China, pada tahun 674 M, terdapat catatan tentang seorang pemimpin Arab yang mengepalai rombongan orang-orang Arab dan menetap di pantai barat Sumatera. Kemudian berdasarkan kesamaan mazhab yang dianut oleh mereka (pedagang dan muballigh) anut, yaitu mazhab Syafi’i. Pada masa itu mazhab Syafi’i merupakan mazhab yang dominan di pantai Corromandel dan Malabor ketika Ibnu Batutah mengunjungi wilayah tersebut pada abad ke-14.
Ibid.Dalam pernyataan di atas, Arnold mengatakan bahwa Arabia bukan satu-satunya tempat asal Islam dibawa, tapi juga dari Corromander dan Malabar.
Versi lain yang dipaparkan oleh Azra yang mengutip beberapa pendapat dan teori sarjana, kebanyakan sarjana Belanda yang berpegang pada teori yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara berasal dari anak Benua India bukan Persia atau Arab. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel, seorang pakar dari Leiden. Dia mengaitkan asal muasal Islam di nusantara dengan dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang yang bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke nusantara.
Azra, Jaringan Ulama, h. 24. Teori ini dikembangkan oleh Snoujk Hurgronje.
Moquetta, seorang sarjana Belanda lainnya, berdasarkan hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa tempat asal Islam di nusantara adalah Cambay, Gujarat. Dia berargument bahwa tipe nisan yang terdapat di Pasai maupun Gresik memperlihatkan tipe yang sama dengan yang terdapat di Cambay, India.
Hasan Mu’arif Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) h. x.
Selain dari itu, seminar yang dilaksanakan di Medan pada tahun 1963, tahun 1978 di Banda Aceh, dan tanggal 30 September 1980 di Rantau Kuala Simpang tentang sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia menyimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad I H langsung dari tanah Arab melalui Aceh.
A. Hasjmy, Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Indonesia (Bandung: al-Ma’arif, 1993) h. 48-57.
Kemudian daerah yang pertama kali didatangi Islam ialah pesisir Sumatera. Para muballigh itu selain sebagai penyiar agama juga merupakan pedagang. Dan penyiaran Islam di Indonesia dilakukan secara damai.
A. Hasjmy, Dustur Dakwah (Jakarta: Bulan Bintang, 1974) h. 430.
Beberapa teori lain, sebgaimana yang dihimpun oleh Muhammad Hasan al-Idrus menjelaskan dua teori yang berbeda yang bertolak belakang. Teori pertama diwakili oleh sarjanawan Eropa yang menjelaskan bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada sekitar abad ke-13 M, ketika Marcopolo singgah di Utara pulau Sumatera pada tahun 1292 M.
Al-Idrus, Penyebaran Islam. H. 42-4
Teori kedua, adalah teori yang dikemukakan oleh beberapa sarjana Arab dan Muslim, antara lain Muhammad Dhiya’ Syahab dan Abdullah bin Nuh yang menulis kitab al-Islam fi Indonesia, serta Syarif Alwi bin Thahir al-Haddad seorang mufti kesultanan Johor Malaysia dalam kitabnya yang berjudul al-Madkhal ila Tarikh al-Islam fis Syarqi al-Aqsha, keduanya menolak teori yang dikemukakan oleh para sarjanawan Barat yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Asia Tenggara khusunya ke Malaysia dan Indonesia pada abad ke-13 M. mereka meyakini bahwa Islam masuk pada abad ke-7 H, karena kerajaan Islam baru ada di Sumatera pada sekitar akhir abad ke-5 dan ke-6 H. Hal ini mereka pertegas dengan mengemukakan beberapa bukti, antara lain tentang sejarah kehidupan seorang penyebar agama Islam di Jawa yakni Seikh Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Maulana Uluwwul Islam Makhdum lahir pada tahun 1355 tahun Jawa. Sedangkan ayahnya masuk ke Jawa setelah masuknya Sayrif al-Husein raja Carmen pada tahun 1316 tahun Jawa. Setelah itu masuk Raden Rahmat, seorang penyebar agama Islam di Jawa Timur pada tahun 1316 tahun Jawa.
Ibid. h. 42-43. kemudian bandingkan dengan pendapat MC. Riflefs dalam bukunya A History of Modern Indonesia (London: McMillan Education) h. 3, yang mempertegas bahwa masuknya Islam ke Indonesia ialah ketika Marcopolo singgah di Sumatera tahun 1292 M. Marcopolo, ketika itu meliaht bahwa telah ada batu bertulis tentang kerajaan Islam pertama di Samudra yang disebut dengan kerajaan Islam di Pasai.
Teori versi Indonesia menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedangan dari Persia, Arab dan India melalui pelabuhan penting seperti pelabuhan Lamuri di Aceh, Barus dan Palembang di Sumatera sekitar abad I H/7 M.
Taufik Abdullah, Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: MUI, 1991).
Perbedaan pendapat di atas seolah-olah mengesankan bahwa masuknya Islam di Indonesia adalah masih “debatable” (dalam perdebatan). Oleh karena itu perlu adanya penjelasan dan rumusan lebih dahulu tentang pengertian “masuk”, antara lain sebagai berikut :
“Masuk” dalam arti sentuhan atau adanya interaksi pedagang muslim dan penduduk setempat. Dalam pengertian ini dapat dikatakan Islam dalam fase pembibitan/perintisan
“Masuk” dalam arti sudah berkembang, disebabkan sudah terbentuknya komunitas masyarakat Islam di beberapa daerah di Indonesia. Dalam hal ini, Islam dalam fase pertumbuhan.
“Masuk” dalam arti pada waktu berdiri Islamic State (Negara/kerajaan Islam). Dalam pengertian ini, Islam di Indonesia dalam fase perkembangan.
Dengan ketiga pengertian tersebut, maka masuknya Islam di Indonesia dapat diklasifikasi sebagai berikut :
Pertama. Pada fase pembibitan/perintisan, agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M s.d akhir abad ke-9 M. Hanya saja Islam tidak menyebar ke seluruh wilayah dalam intensitas yang sama. Pada awalnya Islam tampak berkembang pesat di wilayah-wilayah yang tidak banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha, seperti Aceh, Banten, Sumatra Barat, Makassar dan Maluku, serta wilayah-waliyah lain yang para penguasa lokalnya memiliki akses langsung kepada peradaban kosmopolitan berkat maraknya perdagangan antar bangsa ketika itu.
lihat J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society, dalam DR. Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan. Di wilayah-wilayah ini, Islam dapat memainkan peranan dalam kehidupan sosial dan mempengaruhi secara mendalam kesadaran keagamaan serta hubungan sosial-politik pada penganutnya yang baru (muallaf).
Kedua. Pada fase pertumbuhan, di beberapa wilayah di Indonesia, terutama yang langsung bersentuhan dengan para pedagang muslim (di daerah-daerah pusat perdagangan / pelabuhan) telah terbentuk komunitas muslim,
Ketiga, pada fase perkembangan, Agama Islam berkembang dengan pesatnya sejak berdirinya kerajaan Islam Samudera Pasai di Aceh pada abad ke-13 M (abad ke-7 H), kemudian disusul sengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di wilayah-wilayah lain.
Dalam buku, A History of Modern Indonesia; 1300 to the Present., M.C. Ricklefs, mengatakan bahwa abad ke-14 merupakan babak pertama sejarah Indonesia modern. Ia menyebutkan bahwa elemen fundamental yang menyebabkan periode sejarah sejak sekitar tahun 1300-an, yakni segi kultural dan religius, bahwa Islamisasi Indonesia sejak tahun 1300-an. Setidaknya hingga pertengahan abad ke-15, umat Islam bukan saja telah menyebar luas ke seluruh kepulauan Indonesia, akan tetapi secara sosial, bahkan telah muncul menjadi agen perubahan sejarah yang penting. Meskipun belum sepenuhnya mencapai ke wilayah pedalaman. Mereka, misalnya, telah banyak membangun apa yang disebut sebagai “diaspora-diaspora perdagangan”, terutama di wilayah pesisir pantai. Dengan dukungan kelas saudagar terhadap para ulama, maka proses Islamisasi berlangsung secara besar-besaran dan hampir menjadi landscape histories yang dominan di Indonesia ketika itu.
Bentuk agama Islam itu sendiri mempercepat penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua daerah ini banyak memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan muballigh sangat besar, karena muballigh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga Persia, India, juga dari negeri sendiri.
Ada dua faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh, yaitu:
Letaknya sangat strategis dalam hubungannya dengan jalur Timur Tengah dan Tiongkok.
Pengaruh Hindu – Budha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena jarak antara Palembang dan Aceh cukup jauh.
A Mustofa Aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal. 53.
Menurut Ramayulis ada beberapa faktor yang mempengaruhi cepatnya penyebaran Islam, diantaranya:
Faktor ajarannya:
Mudah dimengerti oleh semua lapisan masyarakat, baik dalam bidang akidah, syari’ah, dan akhlaknya.
Bersifat “Rahmatan li al-‘alamin”, kedatangannya tidak menggusur adat dan budaya dan sejalan dengan pola yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw.
Tidak adanya perbedaan status dalam masyarakat.
Faktor penyiarannya:
Dilakukan oleh para Da’i dengan perkataan yang mudah dipahami.
Dilakukan oleh para Da’i dengan cara berangsur-angsur (sedikit demi sedikit)
Dilakukan dengan lemah lembut, bijaksana dan tidak memaksa seseorang untuk menganutnya.
Ramayulis, op. cit, hal. 215-217.
Sedangkan Mahmud Yunus, memperinci faktor-faktor yang menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di seluruh Indonesia. antara lain:
Agama Islam tidak sempit dan berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah syahadat saja.
Sedikit tugas dan kewajiban Islam.
Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
Penyiaran Islam dilakukan dengan cara bijaksana.
Penyiaran Islam dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah dan golongan atas.
Mahmud yunus, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1957), h.14-17, lihat juga. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 19-20
Dapat dikatakan bahwa Islam Masuk ke wilayah nusantara beraawal dari hubungan dan interkasi langsung antara pendatang baik dari Arab langsung maupun yang datang dari Gujarat, India dan Persia. Kontrak sosial yang terjadi dari tahun ke tahun memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahan dan perkembangan pola hidup masyarakat pribumi. Ada sebahagian dari masyarakat pribumi melakukan perkawinan dengan pendatang tersebut. Akibat dari perkawinan tentu melahirkan keturunan campuran atau yang dikenal dengan Indo-Arab. Dalam hubungan kekeluargaan terjadilah akulturasi Islam.
Dengan terjalinnya hubungan kekeluargaan maka selanjutnya keluarga yang lain melakukan hal yang sama dengan maka banyaklah masyarakat yang melakukan pernikahan dengan orang dari Arab tersebut, maka lambat laun tentu peran Islam lebih masuk ke dalam wilayah pribumi dan berakhir dengan terbentuknya komunitas muslim. Di samping itu hubungan sosial lain dalam bentuk kerjasama atau yang dikenal dengan istilah gotong royong.
Dalam konteks hubungan sosial budaya orang nusantara yang dikenal dengan adat dan budaya timurnya sangat luwes dan loyal terhadap sikap agama yang diperagakan oleh pedagang yang datang dari Timur Tengah. Islam dengan misinya rahmatan lilalamin memmbawa angin segar bagi pribumi nusantara. Islam tidak membedakan-bedakan ras, suku dan bangsa serta keturunan, Islam merupakan agama yang damai yang mengantarkan kebahagian dunia dan akhirat. Disamping itu Islam merupakan agama yang sangat menghargai manusia sebagai makhluk tuhan. Disinilah letak dan perannya Islam mudah berkembang dan diterima oleh masayarakat nusantara. Kecocokan antara ajaran Islam dengan watak orang nusantara serta prinsip Islam yang mengakui persamaan hak dan kewajiban, sosial yang tinggi, nilai yang luhur dan lain sebagainya membuat penyebaran Islam cepat berkembang. Ajaran Islam yang tidak memaksa berpihak kepada rakyat, sentuhan tasauf membuat penduduk nusantara berkeinginan untuk mendalami Islam.
Keadaan di atas didukung pula oleh realita kehidupan pada saat itu yang mana di kalangan masyarakat Indonesia pada saat itu, adanya pengkotak-kotakan masyarakat yang dikenal dengan kasta. Keturunan bangsawan tidak bisa berhubungan dengan rakyat jelata, rakyat melayani orang-orang kerajaan. Rakyat diharuskan membayar pajak yang tinggi, mereka hidup dalam keadaan miskin sementara kalangan raja dan bangsawan hidup dalam kemewahan.
Disamping itu aturan dalam Islam dibuat bukan berdasarkan keinginan penguasa, bukan aturan yang dibikin seenaknya saja dan sesuka hati, tetapi aturan hidup baik dari segi ekonomi, pendidikan, social budaya dan lain sebagainya di atur secara jelas dan masuk akal
Penyebaran Islam di nusantara yang dilakukan secara persuasif sangat berbeda dengan yang terjadi di Eropa seperti Spanyol yang dilakukan dengan gerakan revolusioner atau penaklukan. Di nusantara yang memeluk Islam itu adalah penduduknya sampai kepada anak dan keturunannya hal ini yang membedakan dengan yang terjadi di Eropa. Sehingga penduduk Islam di nusantara sampai saat ini tidak mengalami kasus yang sama dengan Eropa.
Pertumbuhan dan perkembangan Institusi Pendidikan
Pertumbuhan dan perkembangan Institusi pendidikan di wilayah nusantara tentu tidak terjadi begitu saja. Pertumbuhan institusi tersebut melalui masa yang cukup panjang dan terjadi secara alami dengan terbentuknya komunitas muslim seperti yang telah diurai secara singkat di atas tadi. Pada tahap awal pendidikan Islam itu berlangsung secara informal yaitu di rumah tangga. Dengan telah banyaknya rumah tangga muslim dalam suatu daerah tertentu maka muncul keinginan untuk mendirikan masjid. Namun masjid yang pertama didirikan belum tercatat dalam literatur sejarah nusantara. Dibentuknya masjid maka pendidikan mulai bergeser dari rumah ke Masjid. Di dalam sejarah Islam sejak zaman Nabi Muhammad Saw, masjid telah difungsikan rumah ibadah tersebut juga difungsikan sebagai tempat pendidikan. Rasul Saw menjadikan Masjid Nabawi untuk berlangsungnya proses pendidikan di dalamnya, perbuatan beliau ini ditiru oleh khalifah-khalifah sesudah beliau, baik hanya Khulafaur Rasyidin maupun khalifah-khalifah Bani Umayah. Abasyiyah, Fatimiyah, Usmaniyah dan lain sebagainya. Dengan demikian masjid berfungsi sebagai tempat pendidikan adalah merupakan suatu keharusan dikalangan masyarakat muslim.
Tentu saja setelah terbentuknya masyarakat muslim pada daerah tertentu di Indonesia, dapat dipastikan bahwa mereka membangun masjid dan dengan adanya masjid tersebut dapat pula dipastikan bahwa mereka menggunakannya untuk melaksanakan proses pendidikan Islam didalamnya dan sejak saat itu pula lah mulai berlangsungnya pendidikan non formal.
Pada tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak-kontak mubaligh (pendidik) dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim terbentuk di suatu daerah tersebut tentu mereka membangun tempat peribadatan dalam hal ini disebut masjid. Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama muncul disamping tempat kediaman ulama dan mubaligh. Setelah itu muncullah lembaga-lembaga pendidikan lainnya seperti pesantren, dayah, ataupun surau namun lembaga ini tentu melalui proses yang panjang bisa dikatak berpuluh-puluh tahun bahkan berabad-abad.
Nama-nama lembaga tersebut walaupun berbeda tetapi hakikatnya sama yakni sebagai tempat menuntut ilmu pengetahuan keagamaan. Perbedaan nama itu adalah dipengaruhi oleh perbedaan tempat. Inti dari pendidikan pada masa awal tersebut adalah ilmu-ilmu keagamaan yang dikonsentrasikan dengan membaca kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu keagamaan seseorang.
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana. 2004) hal. 145-146.
Mahmud Yunus memaparkan bahwa dalam setiap desa/kelompok masyarakat didirikan masjid atau surau sebagai sarana transformasi pendidikan Islam yang di dalamnya diajarkan cara membaca al-Qur’an dan tata cara ibadah dalam Islam sebagai pendidikan Islam tingkat permulaaan (dasar). Sistem pendidikan Islam dan sarana yang digunakan di era klasik ini sampai sekarang masih banyak digunakan dengar menjamurya pendirian Taman Pendidikan al-Qur’an (TPA) di daerah kita ini. Oleh karenanya sistem pendidikan yang digunakan pada masa itu masih sangat tradisional, karena ciri ketradisionalannya adalah belum adanya sistematika yang digunakan baik dari objek, subjek, maupun materi yang diajarkan.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, cet. VII, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992, hal. 34-35.
Sejak awal berkembangnya ajaran Islam, pendidikan mendapat prioritas utama masyarakat muslim Indonesia. Di samping karena besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam dalam sistem yang sederhana, di mana pengajaran diberikan dengan sistem halaqah yang dilakukan di tempat-tempat semacam masjid, mushalla bahkan juga di rumah-rumah ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada ke dalam lembaga pendidikan Islam. Di Jawa umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu dan Budha menjadi Pesantren, umat Islam di Minangkabau mengambil alih Surau sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan Islam, dan demikian pula masyarakat Aceh dengan mentransfer lembaga masyarakat Meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam.
Di atas telah di kemukan sepintas berkaitan dengan institusi pendidikan Islam, untuk mengenal lebih jauh tentang penyebaran institusi tersebut berikut akan di uraikan beberapa wilayah di nusantara yang memiliki peranan penting dalam penyebaran pendidikan dan pembentukan watak sosial penduduk melalui jalur pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada beberapa daerah di Nusantara yang telah mengembangkan pendidikan Islam era berkembangnya Kerajaan Islam di Indonesia. Dalam beberapa literatur terdapat daerah penyebaran Islam. Secara garis besar dapat dikelompakan sebagai berikut:
Wilayah Sumatera. Terdapat beberapa kerajaan seperti Pasai dan Aceh Darussalam, Perlak, Siak, Minang Kabau dan Sriwijaya. Sejak Islam masuk di Aceh pendidikan dan pengajaran Islam mulai lahir dan tumbuh dengan amat subur, banyak ulama yang mendirikan pesantren seperti tengku di Geureundong.
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (kencana Prenada Media Group.2001), h.265 Dalam pembahasan ini tidak semua kondisi pendidikan disampaikan. Cukup beberapa saja untuk mewakilinya.
Samudra Pasai. Keadaan pendidikan dan penyiaran Islam semakin berkembang dan semakin maju terutama pada masa zaman Iskandar Muda. Pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu shalat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.
Zuhairini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000), h. 135
Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:
Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i.
Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqah.
Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama.
Biaya pendidikan bersumber dari negara.
] Ibid.
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”.
M.Ibrahim, et.al, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Jakarta : CV. Tumaritis, 1991), h. 61.
Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.
Zaman Kerajaan Aceh Darussalam. Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.
M. Ibrahim, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, h. 75.
Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
Sebagai tempat belajar Al-Qur’an.
Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
Fungsi lainnya adalah sebagai berikut:
Sebagai tempat ibadah shalat 5 waktu untuk kampung itu.
Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa.
Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa.
Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung.
Tempat bermusyawarah dalam segala urusan.
Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat shalat.
. M Ibrahim, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh , h.76
Selanjutnya sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah itu sendiri, terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena itu orang yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu mereka harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal di dayah tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan pondok-pondok kecil mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah seringkat Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan disetiap mukim.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, h. 32
Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu:
Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjanaya yang terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar datang ke Aceh untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pragmatis dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika.
M.Ibrahim,et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, h 88
Tokoh pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si burung pungguk, syair perahu. Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya.
Ulama dan pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin.
Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (fakultas).
Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya.
Wilayah Jawa, ada beberapa kerajaan seperti Demak, Pajang dan Mataram. Pendidikan yang berlangsung di beberapa kerajaan di jawa sangat beriringan dengan kegiatan dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati.
Abudddin Nata, h. 266
Kearifan dan kebijakan dari para wali tersebut dalam mensyiarkan Islam dengan memasukan unsur pendidikan dan pengajaran Islam dalam kebudayaan. Pada abad ke XV, pesantren telah didirikan oleh para penyebar agama Islam, diantaranya Wali Songo. Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam mendirikan masjid dan asrama untuk santri-santri. Di Ampel, Sunan Ampel telah mendirikan lembaga pendidikan Islam sebagai tempat ngelmu atau ngaos pemuda Islam. Sunan Giri telah ngelmu kepada Sunan Ampel mendirikan lembaga pendidikan Islam di Giri. Dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan Islam pesantren didirikan, agama Islam semakin tersebar sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga ini merupakan ujung tombak penyebaran Islam di Jawa.
Peran Wali Songo tidak terlepas dari sejarah pendidikan Islam di Nusantara. Wali Songo melalui dakwahnya berhasil mengkombinasi metoda aspek spiritual dan mengakomodasi tradisi masyarakat setempat dengan cara mendirikan pesantren, tempat dakwah dan proses belajar mengajar.
Wali Songo melakukan proses Islamisasi dengan menghormati dan mengakomodasi tradisi masyarakat serta institusi pendidikan dan keagamaan sebelumnya, padepokan. Padepokan diubah secara perlahan, dilakukan perubahan sosial secara bertahap, mengambil alih pola pendidikan dan mengubah bahan dan materi yang diajarkan dan melakukan perubahan secara perlahan mengenai tata nilai dan kepercayaan masyarakat, perubahan sosial, tata nilai, dan kepercayaan. Hal ini menciptakan alkulturisasi budaya termasuk pedoman hidup masyarakat, pemenuhan kebutuhan hidup, dan operasionalisasi kebudayaan melalui pranata-pranata sosial yang ada di masyarakat, yaitu pedoman moral atau hidup, etika, estetika, dan nilai budaya (adanya simbol-simbol dan tanda-tanda)
Wilayah Sulawesi. Terdapat bebrapa kerajaan seperti Gowa, Ternate, Sopeng, Luwu, Wajo, Bone, Makassar. Dalam pembahasan ini hanya Gowa saja yang akan di uraikan secara singkat untuk mewakili wilayah Sulawesi. Dengan perkembangan Islam yang cukup pesat di Sulawesi maka perkembangan pesantren demikian pula halnya. Perkembangan ini semakin pesat sejak adanya alim ulama Bugis yang dari tanah Makkah. Setelah menetap beberapa tahun dengan mendirikan beberapa pesantren dan melahirkan ulama. Sistem dan pengajaran sama dengan yang terdapat di pulau Jawa dan Sumatera.
Dengan berkembangnya Islam dan dengan berjalannya waktu maka lahirlah madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah serta muallimin. Adapun daerah penyebarannya adalah Majene, Pare-Pare, Singkang, Paloppo, Rappang, Makassar, Bontain, Sinjai.
Abudidin Nata, h. 270
Perkembangan Islam dan pendidikan Islam serta budaya keislaman di Sulawesi sebenarnya tidak terlepas dari kerajaan yang ada di sana. Penduduk Sulawesi merupakan pribumi yang tunduk dan patuh pada raja kerajaan, dengan islamnya pengguasa memudahkan pelaksanakan ajaran dan pendidikan Islam disana. Raja dan orang-orang kerajaan sangan memberikan pengaruh dan andil yang cukup besar dalam penyiaran agama Islam.
Disamping itu ada kesepakatan atau semacam MoU yang dibuat oleh raja-raja di Sulawesi disebutkan bahwa siapa yang menemukan jalan baik maka ia wajib memberitahu kepada raja-raja sekutunya
Ramayulis, 243
Wilayah Kalimantan. Penyebaran Islam di Kalimantan di bawa oleh muballigh dari Jawa. Kemudaian perkembangan Islam lebih maju setelah berdirinya kerajaan Bandar pada tahun 1540 M.
Ibid, Dengan berkembangnya pengaruh Islam di Kalimantan menyebabkan pula perkembangan pendidikan dan lembaganya. Diantara lembaga tersebut adalah Madarsah Najah Wa al-Falah. Dengan berdirinya lembaga ini menyebabkan pengaruh yang signifikan dengan berdirinya madrasah dan ibtidaiyah di berbagai dusun dan pelosaok di Kalimantan, namun yang terkenal adalah Asultaniyah di Sambas. Yang diterima di sekolah ini adalah murid-murid yang tamatan sekolah rakyat.
Opcit., 271
Perjalanan dan perkembangan Islam di Kalimantan merupakan ekspansi dari wilayah jawa, sehingga corak dan model pendidikan yang dikembangkan tidak jauh berbeda dengan yang ada di kepulauan jawa.
Dari ke empat kepalauan tadi corak Islam sangat dipengaruhi oleh budaya lokal masing-masing daerah. Penyebaran Islam sering di kombinasikan dengan budaya local sehingga budaya dan kehidupan kemasyarakatan tidak terusik oleh ajran Islam. Penyebar Islam sangat telaten dan bijak dalam menanamkan nilai-nilai islami, mereka tidak memaksakan Islam masuk secara utuh dan langsung tetapi secra bertahap serta pengaruh ajaran Islam itu dirasakan langsung oleh pribumi sehingga menyebabkan ketertarikan penduduk untuk memeluk Islam..
D. Institusi/Lembaga Pendidikan Islam
Sebagaimana telah diulas di atas tadi bahwa lembaga pendidikan Islam itu tidak terbentuk secra begitu saja tapi melaui proses dan tahapan-tahapan yang panjang. Namun lembaga pendidikan Islam di nusantara muncul setelah dengan masuknya Islam ke nusantara, kemudian berkembang dan berkembang, media yang digunakan dalam proses belajar mengajar hanya menggunakan media komunikasi dan berceramah yang dilakukan baik di mesjid sama halnya seperti yang dilakukan masa Rasul yaitu halaqah. Secara garis besar lembaga pendidikan Islam tumbuh dan berkembang sebagai berikut:
Mesjid
Masjid merupakan tempat Ibadah umat muslim terutama shalat, namun disamping itu masjid juga difungsikan sebagai sarana lain seperti sosial budaya, ekonomi termasuk pendidikan. Masjid tidak bisa dilepaskan dari pendidikan karena pendidikan pada awalnya dilakukan di Masjid oleh Nabi Muhammad sebagai institusinya. Seiring dengan perkembangan masa maka masjid terus mengalami perubahan. Ketika ajaran Islam masuk ke Indonesia yang dibawa oleh da’i dan muballigh, adalah hal yang sangat wajar bila salah satu yang menjadi perhatian utama masyarakat muslim adalah mesjid atau yang lebih sederhana sebagai pusat kegiatan penyebaran ajaran Islam.
Mesjid sebagai pusat aktifitas penyebaran Islam dan pusat kegiatan sosial lambat laun meluas perannya sebagai lembaga pendidikan bagi orang tua maupun anak-anak. Pada umumnya, pendidikan yang berlangsung di masjid berkisar pada membaca Alquran dan akhlak.
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Pranada Media, 2007), h. 21.
Pengajaran di Masjid merupakan pengajaran agama permulaan. Mula-mula murid-murid mempelajari abjad arab, kemudian mengeja ayat-ayat al-Qur’an pertama dengan suara tertentu. Pelajaran diberikan dengan sistem sekepala, guru menyebutkan sesuatu dan murid menirunya, yang dicita-citakan ialah dapat membaca al-Qur’an sampai tamat. Lama belajar tidak tentu, biasanya berlngsung kurang lebih satu tahun. Tetapi kadang-kadang hanya diikuti selama beberapa bulan saja. Biasanya pelajaran diberikan pada pagi hari dan malam hari, berlangsung kira-kira dua jam lamanya. Biasanya yang menjadi gurunya adalah seseorang yang sudah memiliki pengetahuan agama yang agak mendalam. Guru itu tetap dipandang sebagai orang yang sakti, murid-murid tidak boleh mengancam kepada guru, karena dianggap berdosa. Uang sekolah tidak dipungut bagi pelajaran agama permulaan itu. Bila seseorang murid sudah menamatkan pelajarannya dalam arti sudah dapat membaca al-Qur’an sampai tamat, maka diadakan selamatan atau biasa disebut khataman.
Masjid fungsi utamanya adalah untuk tempat shalat yang lima waktu ditambah dengan sekali seminggu dilaksanakan shalat jum’at dan dua kali setahun dilaksanakan shalat Hari Raya Idul fitri dan Idul Adha. Selain dari masjid ada juga tempat ibadah yang disebut langgar, bentuknya lebih kecil dari masjid dan digunakan hanya untuk tempat shalat lima waktu, bukan untuk tempat shalat jum’at. Selain dari fungsi utama masjid dan langgar difungsikan juga untuk tempat pendidikan. Ditempat ini dilakukan pendidikan buat orang dewasa maupun anak-anak. Pengajian yang dilakukan untuk orang dewasa adalah pengajian penyampaian-penyampaian ajaran islam oleh Muballigh ( Ustadz, Guru, Kyai ) Kepada para jamaah dalam bidang yang berkenaan dengan aqidah, ibadah dan akhlak. Sedangkan pengajian untuk anak-anak berpusat kepada pengajian Al-Qur’an menitik beratkan kepada kemampuan membacanya dengan baik sesuai dengan kaedah-kaedah bacaan dan juga diberi pendidikan keimanan ibadah dan akhlak.
Masjid merupakan tempat terbaik untuk melakukan kegiatan pendidikan. Dengan menjadikan lembaga pendidikan dalam masjid akan terlihat hidupnya sunah-sunah Islam, menghilangkan bid’ah-bid’ah, mengembangkan hukum-hukum Tuhan, serta menghilangnya stratifikasi rasa dan status ekonomi dalam pendidikan. Maka dengan demikian masjid sudah merupakan lembaga kedua setelah keluarga, yang jenjang pendidikannya terdiri dari sekolah menengah dan sekolah tinggi dalam waktu yang sama.
Memang masjid merupakan institusi pendidikan yang pertama dibentuk dalam lingkungan masyarakat muslim. Pada dasarnya masjid atau langgar mempunyai fungsi yang tidak terlepas dari kehidupan keluarga. Sebagai lembaga pendidikan, berfungsi sebagai penyempurna pendidikan dalam keluarga, agar selanjutnya anak mampu melaksanakan tugas-tugas hidup dalam masyarakat dan lingkungannya. Pada mulanya pendidikan di langgar atau masjid, dalam arti sederhana dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan formal, dan sekaligus lembaga pendidikan sosial bermasyarakat karena di masjid disamping terjadi hubungan dan kotak langsung dengan berbagai lapisan dan status sosial yang berbeda menyebakan masjid ajang siulaturrahmi setidak-tidaknya pada hari jumat atau hari raya Id dan bisa juga terjadi pada saat perayaan khataman.
Pesantren
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren telah mengakar secara berabad-abad yang memiliki ciri dan keunikan tersendiri. Menurut asal katanya pesantren berasal dan kata santri yang mendapat imbuhan awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para santri. Sedangkan menurut Sudjoko Prasodjo, ‘pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, dimana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.”
Sujdjoko Prasodjo, et al “profil Pesantren” dalam Abuddin Nata (Editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkemmbangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001),h. 104. Dengan demikian, dalam lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren tersebut, sekurang-kurangnya memiliki unsur-unsur kiai, santri, masjid sebagai tempat penyelengaraan pendidikan dan pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para santri serta kitab-kitab klasik sebagai sumber atau bahan pelajanan.
Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat disekitarnya sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktivitasnya pun mendapat dukungan dan apresiasi penuh dari masyarakat sekitarnya. Semuanya memberi penilaian tersendiri bahwa sistem pesantren adalah merupakan sesuatu yang bersifat “asli” atau “indigenos” Indonesia, sehingga dengan sendirinya bernilai positif dan harus dikembangkan.’
Nurkholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: paramadina, 1997), h. 103
Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang tahan terhadap berbagai gelombang modernisasi
Suwendi, Sejarah dan pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.157.’ Dengan kondisi demikian itu, kata Azyumardi Azra, menyebabkan pesantren tetap survive sampai hari ini. Sejak dilancarkanya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam diberbagai dunia Islam, tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Kebanyakannya lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum atau sekuler.
Azyumardi Azra, Op cit., h. 95 Nilai-nilai progesif dan inovatif diadopsi sebagai suatu strategi untuk mengejar ketertinggalan dan model pendidikan lain. Dengan demikian, pesantren mampu bersaing dan sekaligus bersanding dengan sistem pendidikan modern.
Di sisi lain, ciri-ciri pesantren berikut unsur-unsur kelembagaannya tidak bisa dipisahkan dan sistem kultural dan tidak dapat pula dilekatkan pada semua pesantren secara uniformitas karena setiap pesantren memiliki keunikannya masing-masing, tetapi pesantren secara umum memiliki kateristik yang hampir sama
Tidak ada data yang cukup jelas mengenai kapan berdirinya pesantren, namun penelusuran sejarah menemukan bahwa lembaga pendidikan yang disebut dengan pawiyatan di pulau Jawa. Bila dianalisa, sistem pendidikan pawiyatan mirip dengan pesantren.
Ibid. Karena itu banyak yang mengatakan bahwa pesantren telah muncul sejak permulaan Islam di Nusantara yang mengambil bentuk dalam pawiyatan.
Materi yang diajarkan di dalam pawiyatan berkisar pada ilmu-ilmu agama dan sikap beragama. Pada tingkat dasar diajarkan membaca Alqur’an. Pada tingkat selanjutnya diajarkan kitab-kitab klasik yang juga diklasifikasikan kepada tingkat dasar, menengah dan tinggi. Metode yang digunakan adalah metode penghafalan.
Meunasah, Rangkang dan Dayah
Secara etimologi meunasah berasal dari perkataan madrasah, tempat belajar atau sekolah. Bagi masyarakat Aceh meunasah tidak hanya semata-mata tempat belajar, bagi mereka meunasah memiliki multifungsi. Meunasah di samping tempat belajar, juga berfungsi tempa ibadah, tempat pertemuan, musyawarah, pusat informasi, tempat tidur, dan tempat menginap bagi musyafir, tempat perayaan kenduri masal dalam kampung, seperti maulid Nabi SAW, nuzulul Qur’an, dan Isra’ mi’raj dan juga sebagai tempat pejabat-pejabat gampong memutuskan dan memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Meunasah, rangkang dan dayah adalah lembaga pendidikan yang dikenal pada masyarakat Aceh. Meunasah dapat diartikan sebagai madrasah. Namun bagi masyarakat meunasah juga berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pertemuan, pusat informasi, tempat tidur dan tempat singgah dan istirahat para musafir.
Sementara rangkang adalah tempat tinggal murid yang dibangun di sekitar mesjid. Tampaknya meunasah yang menjadi tempat pendidikan dan pengajaran, sementara rangkang disediakan untuk tempat tinggal murid. Karena itu, meunasah dan rangkang saling berdekatan.
Sementara dayah pada mulanya merupakan istilah bagi tempat di pojok-pojok mesjid yang digunakan sebagai tempat pengajaran. Istilah ini sendiri berasal dari bahasa Arab yakni zawiyah yang berarti sudut.
Di tinjau dari segi pendidikan, meunasah adalah lembaga pendidikan awal bagi anak-anak yang dapat disamakan dengan tingkatan sekolah dasar. Di meunasah para murid di ajar menulis, membaca huruf Arab, ilmu agama, dan akhlaq.
Meunasah dipimpin oleh seorang tengku, yang di Aceh besar disebut tengku meunasah. Tengku meunasah bertugas untuk membina agama di suatu tempet-tempat tertentu. Adapun rangkang adalah tempat tinggal murid, yang dibangun di sekitar masjid. Menurut Qanun Meukuta Alam, dalam tiap-tiap kampung harus ada satu meunasah. Masjid berfungsi sebagai tempat berbagai kegiatan umat, termasuk didalamnya kegiatan pendidikan. Karena murid perlu mondok dan tinggal, maka perlu di bangun tempat tinggal mereka disekitar masjid, tempat tinggal murid disekitar inilah yang disebut dengan rangkang. Pendidikan di rangkang ini terpusat kepada pendidikan agama, disini telah diajarkan kitab-kitab yang berbahasa Arab, tingkat pendidikan ini jika dibandingkan dengan sekolah saat sekarang adalah SLTP. Sistem pendidikan di Rangkang ini sama dengan pendidikan di pesantren. Di Rangkang juga ada yang namanya tengku Rangkang, yang bertugas untuk menjadi guru bantu yang membimbing sisiwa yang tinggal di Rangkang.
Lembaga pendidikan berikutnya yang popular di Aceh adalah Dayah. Dayah berasal dari bahasa arab Zawiyah. Kata Zawiyah pada mulanya merujuk kepada sudut dari satu bangunan dan sering dikaitkan dengan masjid. Disudut masjid itu terdapat proses pendidikan antara si pendidik dengan si terdidik. Selanjutnya Zawiyah dikaitkan tarekat-tarekat sufi dimana seorang syeikh atau mursyid melakukan kegitan pendidikan kaum sufi.
Dengan demikian, kata dayah yang berasal dari kata Zawiyah disamping memiliki hubungan kebahasaan yakni berubahnya kata Zawiyah menjadi dayah menurut dialek Aceh, juga mempunyai hubungan fungsional, yakni sama-sama merujuk kepada tempat pendidikan. Hasjmy menjelaskan tentang dayah adalah sebuah lembaga pendidikan yang mengajarkan mata pelajaran agama yang bersumber dari bahasa arab, misalnya fiqih, bahasa arab, tauhid tasawuf dan lan sebagainya. tingkat pendidikan ini setara dengan SLTA.
Hasjmy. A., Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Indonesia (Bandung: al-Ma’arif, 1993
Dengan jelas bahwa lembaga pendidikan ini tumbuh dari sebuah masjid dan mengalami inovasi menjadi lembaga pendidikan yang terpisah dari masjid, akan tetapi tidak lepas dari pengaru masjid.
Pada Abad ke-18, dayah sudah mapan eksistensinya. Melalui lembaga-lembaga tersebut Islam telah mengakar kuat di Nusantara. Akan tetapi, keberadaan lembaga-lembaga ini mulai terancam bahaya kolonialisme yang menawarkan Westerenisasi, modernisasi, sekaligus kolonialisme sehingga ditantang kemampuannya untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Besarnya tantangan itu telah mampu menghapuskan beberapa lembaga pendidikan tradisional dari pentas sejarah.
Surau
Istilah surau telah ada di Minangkabau sebelum Islam datang, karena surau merupakan sarana budaya Minangkabau yang fungsinya tempat tinggal para laki-laki yang telah akil dan balig. Seiring dengan datangnya Islam, surau menjadi tempat penyebaran agama dan pusat-pusat pendidikan. Surau sebagai lembaga pendidikan mengajarkan pembacaan Alquran bagi masyarakt.
Ibid. Pada masa awalnya, surau juga digunakan sebagai tempat penyembahan ruh nenek moyang. Keberadaan surau cenderung mengambil tempat di puncak atau daratan yang tinggi untuk melakukan kontemplasi (asketis) para warga yang sedang bermunajat kepada Yang Maha Agung. Sehingga bangunan surau dikesankan sebagai bangunan yang ‘mistis’, karena memiliki ‘keramat’ atau sakral yang dipercayai oleh segenap warga disekelilingnya.
Surau dalam sejarah Minangkabau diperkirakan berdiri pada 1356 M. yang dibangun pada masa Raja Adityawarman di Kawasan bukit Gombak. Seperti kita tahu dalam lintasan sejarah Nusantara, bahwa pada masa ini adalah masa keemasan bagi agama Hindu-Budha, maka secara tidak langsung dapat dipastikan bahwa eksistensi dan esensi surau kala itu adalah sebagai tempat ritual bagi pemeluk agama Hindu-Budha.
Setelah keberadaan agama Hindu-Budha mulai surut dan pengaruh selanjutnya digantikan Islam, surau akhirnya mengalami akulturasi budaya ke dalam agama Islam. Setelah mengalami islamisasi, surau akhirnya menjadi pusat kegiatan bagi pemeluk agama Islam dan sejak itu pula surau tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang mistis atau sakral. Surau menjadi media aktivitas pendidikan umat Islam dan tempat segala aktivitas sosial.
Istilah surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap Rumah Gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur.
Azyumardii Azra, Ibid . h. 130.
Fungsi surau ini semakin kuat posisinya karena struktur masyarakat Minang Kabau yang menganut sistem Matrilineal.
Samsulsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat: QuantumTeaching, 2005).h. 70. Menurut ketentuan adat bahwa laki-laki tak punya kamar di rumah orang tua mereka, sehingga mereka diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan generasi Minang kabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun keterampilan praktis lainnya.
Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada. masa ini, eksistensi surau di samping sebagai tempat shalat juga digunakan Syekh Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat (suluk).
Ibid, h. 71
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih di seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Al-Qur’an, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlak dan ibadah. Pada umumnya pendidikan ini dilaksanakan pada malam hari
Metode pendidikan yang digunakan di surau bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya metode pendidikan surau memiliki kelebihan dan kelemahannya. Kelebihannya terletak pada kemampuan menghafal muatan teoretis keilmuan. Sedangkan kelemahannya terdapat pada lemahnya kemampuan memahami dan menganalisis teks. Di sisi lain, metode pendidikan ini diterapkan secara keliru. Siswa banyak yang bisa membaca dan menghafal isi suatu kitab, akan tctapi tidak bisa menulis apa yang dibaca dan dihafalnya itu.
Ibid, h. 73-74
Surau tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam tetapi juga sebagai 1embaga pendidikan tarekat. Fungsi surau yang kedua ini lebih dominan dalam perkembangannya di Minangkabau. Setiap surau di Minangkabau memiliki otoritasnya sendiri, baik dalam praktik tarekat maupun penekanan cabang ilmu-ilmu keislaman. Praktik tarekat yang dikembangkan oleh masing-masing surau tersebut lebih banyak muatan mistisnya ketimbang syariat. Gejala ini dapat diketahui, meskipun Islam sudah dianut masyarakat tetapi praktik-praktik yang bertentangan dengan syariat masih dilakukan terutama para penguasa (kaum adat).
Melihat kondisi masyarakat yang demikian, maka Syekh Abdurrahrnan, salah seorang ulama dan Bani Hampar, berupaya menyadarkan umat dengan pendekatan persuasif dan ia pun berhasil. Keberhasilannya ini tidak serta merta menghilangkan praktik bid’ah dan khurafat di sebagian daerah lain.
Untuk memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai ajaran agama Islam, maka Syekh Abdurrahman mendirikan surau yang terkenal dengan “Surau Dagang”.
Azyumardi Azra. Op. cit. h. 133.
Di surau inilah Syekh Abdurrahman mengajarkan Al-Qur’an dengan berbagai macam irama dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Keadaan yang demikian itu membuat suasana semakin memanas dan membagi masyarakat dalam dua kubu. Kubu pertama yang menolak pembaruan yang dimotori oleh kaum adat yang dibantu kolonial Belanda, dan kubu yang kedua diwakili oleh pemuka agama (kaum Padri) yang sudah gerah melihat praktik kehidupan yang sudah jauh dan nilai-nilai agama.
Kesimpulan
Islam masuk ke wilayah nusantara pada abad ke VII namun belum efektif dan belum menampakan gejala, berkembangnya Islam mulai dirasakan pada abad ke XIII. Dibuktikan dengan berdirinya kerajaan samudra Pasai di Aceh. Islam berkembang dan tersiar dengan melibatkan beberapa unsur seperti Raja, ulama, da’i, budayawan, seniman dan rakyat pada umumnya. Kemudaian Islam masuk dengan jalur perdagangan kemudian berakulturasi melalui perkawainan dan menyebarkan sayapnya melalui pendidikan serta hubungan sosial lainnya. Pertumbuhan dan perkembangan Islam pada setiap kerajaan di Indonesia bermula dari kesderhanaan dengan menggunakan sumber-sumber lokal seadanya. Kedatangan Islam ke nusantara merupakan akulturasi budaya dan agama. Kecocokan ajaran Islam dengan watak dan keadaan sosial masyarakat nusantara menyebabkan Islam mudah diterima. Walau berbagai versi dan teori tentang kapan, siapa dan wilayah awal datangya Islam pada awalnya namun yang pasti Islam memberikan nuansa yang sangat berarti bagi kemajuan bangsa Indonesia sampai saat ini. Seharusnya bangsa ini bersyukur dengan datangnya Islam sehingga memberikan pengaruh terhadap kemajuan dan perkembangan bangsa dan seharusnya juga Islam dan lembaga pendidikannya mendapatkan tempat yang strategis di bangsa ini, bukan sebaliknya.
Lembaga pendidikan tradisional telah dikenal dalam pendidikan Islam di Nusantara pada masa awal Islam, berupa masjid, surau, dayah, meunasah, pesantren memberikan andil yang cukup besar terhadap perkembangan dan kemajuan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: MUI, 1991
Azra, Azyumardi, Islam Nusantara:Jaringan Global dan Lokal . Bandung : Mizan,2002
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001
Hasan, Muhammad al-Aydrus, Penyebaran Islam di Asia Tenggra, terj. Jakarta: Lentera: Lentera Bastarima, 1996
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Pranada Media, 2007
Hasjmy. A., Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Indonesia (Bandung: al-Ma’arif, 1993
Ibrahim. M. et.al, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta : CV. Tumaritis, 1991
Kadir, A. Ahmadi, Sejarah Perkembangan Pendidikan Jama’iyah Mahmudiyah
Malik, Adam, Mengabdi Repoblik, (Adam dari Andalas). Jakarta: Gunung Agung, 1982
Mustofa, A Aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999Mu’arif , Hasan Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia . Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001
………………, Dustur Dakwah . Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Madjid, Nurkholis, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: paramadina, 1997
Nata, Abuddin Sejarah Pendidikan Islam, Kencana Prenada Media Group.2001
Nizar, Samsulsul, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Ciputat: QuantumTeaching, 2005
Lah Husni, T.M.., Biografi-Sejarah Pujangga Nasional Tengku Amir Hamza. Medan: Husni, 1971
Prasodjo, Sujdjoko, et al “profil Pesantren” dalam Abuddin Nata (Editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkemmbangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1991
Putra, Haidar Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2004.
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam: Perubahan Konsep, Filsafat dan Metologi Pendidikan Islam dari Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara, Jakarta: Kalam Mulia, 2011
Suwendi, Sejarah dan pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
W. Arnold, Thomas, The Preaching Of Islam, terj. Jakarta: Penernit Widiya, 1981
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, cet. VII. Jakarta: Hidakarya Agung, 1992
Zuhairini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam . Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000
33