BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menjadi tua adalah suatu proses alamiah yang berkesinambungan, terjadi terus menerus sejak seseorang lahir ke dunia. Proses menua adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lanjut usia (lansia). Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda, misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dan masih banyak lagi. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Jumlah orang lansia di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 28,8 juta atau 11% dari total populasi penduduk. Namun, ada sekitar 74% dari lansia usia 60 tahun ke atas menderita penyakit kronis yang harus makan obat terus-menerus selama hidup mereka. 1
Proses menua terjadi degenerasi, penipisan mukosa, hiposalivasi, penurunan aktivitas dan massa otot, serta terjadi kemunduran pada banyak fungsi tubuh dan salah satu di antaranya adalah fungsi sendi temporomandibular (TMJ) untuk mengunyah. TMJ mengalami artritis dan osteoporosis akibat beban berlebihan, sehingga terjadi kelainan temporomandibular atau temporomandibular disorders (TMD). TMD adalah kejadian yang kompleks dan disebabkan oleh banyak faktor. Perawatan TMD dapat mencapai keberhasilan bila faktor-faktor penyebab tersebut dapat dikenali dan dikendalikan. Untuk itu seorang dokter gigi harus melakukan anamnesa yang seksama untuk mencari penyebab utama terjadinya TMD, sebelum melakukan perawatan.2
Umumnya individu lansia akan mengalami pengurangan jumlah gigi. Berkurangnya gigi, terutama gigi posterior telah diindikasikan sebagai penyebab TMD. Kelainan oklusal akibat hilangnya gigi menghasilkan stress melalui sendi dan menyebabkan gangguan fungsi sendi.
Terjadinya TMD pada lansia menyebabkan berkurangnya asupan makanan yang menjadi sumber gizi, padahal pemberian nutrisi yang baik dan cukup sangat diperlukan lansia. Hal tersebut juga dilakukan dengan pertimbangan bahwa lansia memerlukan nutrisi yang adekuat untuk mendukung dan mempertahankan kesehatan.2,3
Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Untuk mengetahui pervalensi TMD yang terjadi pada lansia.
Tujuan Khusus
Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan TMD yang terjadi pada lansia.
Mengetahui prevalensi TMD yang terjadi pada lansia.
Mengetahui seberapa besar pengaruh lansia terhadap TMD.
Manfaat Penelitian
Adanya hasil dari penelitian tersebut, diharapkan dapat diketahui seberapa besar prevalensi TMD yang terjadi pada lansia.
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan yang berguna dan dapat menambah pengetahuan bagi pembacanya.
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menjadi acuan/data bagi penelitian selanjutnya.
Hipotesa
Terdapat prevalensi TMD pada lansia dimana kelompok umur yang tertinggi memiliki prevalensi TMD yang paling berat, serta kelompok umur terendah memiliki prevalensi TMD yang paling ringan.
Terdapat perbedaan prevalensi TMD antara sampel laki-laki dan sampel perempuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Lansia
Populasi lansia kini lebih banyak dibandingkan dengan populasinya di masa lalu. Meningkatnya populasi lansia ini pun terjadi di seluruh dunia.4 Populasi penduduk lansia di Indonesia mengalami peningkatan signifikan. Berdasarkan data di Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia) dan Departemen Sosial, pada tahun 2000 tercatat sekitar 7,18% penduduk Indonesia berLansia atau setara dengan 14,4 juta orang, hingga Mei 2009 jumlah lansia mencapai lebih kurang 20 juta orang atau terbesar keempat di dunia setelah Amerika Serikat, China, dan India, dan diperkirakan pada tahun 2020 jumlahnya akan mencapai 11,34% dari seluruh penduduk Indonesia atau setara dengan 28,8 juta orang.5
Definisi
Umumnya seseorang digolongkan ke kelompok lansia berpedoman pada usia kalendernya, dan lazimnya bila dia menginjak usia 50-60 tahun. Usia kalender tidak selalu dihayati secara sama oleh semua orang. Seseorang merasa dirinya tua tergantung berbagai keadaan, kesehatan tubuh dan jiwanya maupun cara orang lain memperlakukan serta norma sosial budaya terhadap proses menjadi tua, jadi dapat disimpulkan bahwa usia mental dan penghayatan subyektif mengenai diri sendiri lebih menentukan ketuaan seseorang. 6
Lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu. 3
Penggolongan Lansia
Di Indonesia, batasan lansia menurut undang-undang No.12 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun (Depsos, 1999). Batasan ini sama dengan yang dikemukakan oleh Burnside dkk.7
Menurut WHO, lansia dibagi menjadi tiga kriteria, yaitu:7
Elderly (64-74 tahun)
Older (75-90 tahun)
Very Old ( > 90 tahun)
Berdasarkan kesehatan individu lansia, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:6
Golongan lansia yang masih dapat mengurus dan memelihara diri serta rumah tangganya dalam kehidupan sehari-hari.
Golongan lansia yang keadaan fisik, mental, rohaninya tidak sepenuhnya lagi sehat.
Golongan lansia yang sakit dan tidak dapat meninggalkan rumah atau tempat tidurnya.
Keadaan Umum Lansia
Keadaan Fisiologis
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda, misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.1
Adanya penurunan daya tahan tubuh dan mulai dihinggapi berbagai macam penyakit, lansia akan memerlukan obat yang jumlah atau macamnya tergantung dari penyakit yang diderita. Semakin banyak penyakit pada lansia, semakin banyak jenis obat yang diperlukan. Banyaknya jenis obat akan menimbulkan masalah antara lain kemungkinan memerlukan ketaatan atau menimbulkan kebingungan dalam menggunakan atau cara minum obat, serta dapat meningkatkan resiko efek samping obat atau interaksi obat.
Pemberian nutrisi yang baik dan cukup sangat diperlukan lansia dan hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa lansia memerlukan nutrisi yang adekuat untuk mendukung dan mempertahankan kesehatan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan gizi seperti berkurangnya kemampuan mencerna makanan, berkurangnya cita rasa, dan faktor penyerapan makanan.
Keadaan lansia dengan adanya penurunan kesehatan dan keterbatasan fisik maka diperlukan perawatan sehari-hari yang cukup. Perawatan tersebut dimaksudkan agar lansia mampu mandiri atau mendapat bantuan yang minimal. Perawatan yang diberikan berupa kebersihan perorangan seperti kebersihan gigi dan mulut, kebersihan kulit dan badan serta rambut. Selain itu pemberian informasi pelayanan kesehatan yang memadai juga sangat diperlukan bagi lansia agar dapat mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.3
Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi ketika memasuki masa lansia adalah :8
Perubahan pada panca indera terutama rasa
Sekresi saliva berkurang mengakibatkan pengeringan rongga mulut. Papil-papil pada permukaan lidah mengalami atrofi sehingga terjadi penurunan sensitivitas terhadap rasa terutama rasa manis dan asin. Keadaan ini akan mempengaruhi nafsu makan, dan dengan demikian asupan gizi juga akan terpengaruh. Keadaan ini mulai pada usia 70 tahun. Perubahan indera penciuman, penglihatan dan pendengaran juga mengalami penurunan fungsi seiring dengan bertambahnya usia.
Esofagus
Lapisan otot polos esofagus dan sfingter gastro esofageal mulai melemah yang akan menyebabkan gangguan kontraksi dan refluk gastrointestinal spontan sehingga terjadi kesulitan menelan dan makan menjadi tidak nyaman.
Lambung
Pengosongan lambung lebih lambat, sehingga orang akan makan lebih sedikit karena lambung terasa penuh, terjadilah anoreksia. Penyerapan zat gizi berkurang dan produksi asam lambung menjadi lebih sedikit untuk mencerna makanan. Diatas umur 60 tahun, sekresi HCl dan pepsin berkurang, akibatnya absorpsi protein, vitamin dan zat besi menjadi berkurang dan adanya kolonisasi bakteri sehingga terjadi penurunan faktor intrinsik yang juga membatasi absorbsi vitamin B12. Penurunan sekresi asam lambung dan enzym pankreas, fungsi asam empedu menurun menghambat pencernaan lemak dan protein, sehingga terjadi malabsorbsi lemak dan diare.
Tulang
Kepadatan tulang akan menurun, dengan bertambahnya usia. Kehilangan massa tulang terjadi secara perlahan pada pria dan wanita dimulai pada usia 35 tahun yaitu usia dimana massa tulang puncak tercapai. Dampaknya tulang akan mudah rapuh dan patah, mengalami cedera, dan trauma yang kecil saja dapat menyebabkan fraktur.
Otot
Penurunan berat badan sebagai akibat hilangnya jaringan otot dan jaringan lemak tubuh. Presentasi lemak tubuh meningkat pada usia 40 tahun dan berkurang setelah usia 70 tahun. Penurunan massa otot, organ tubuh, tulang, serta metabolisme dalam sel-sel otot berkurang sesuai dengan usia. Penurunan kekuatan otot mengakibatkan orang sering merasa letih dan merasa lemah, daya tahan tubuh menurun karena terjadi atrofi. Berkurangnya protein tubuh akan menambah lemak tubuh. Perubahan metabolisme lemak ditandai dengan naiknya kadar kolesterol total dan trigliserida.
Ginjal
Fungsi ginjal menurun sekitar 55% antara usia 35 – 80 tahun. Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi, dan reabsorbsi oleh ginjal. Reaksi asam basa terhadap perubahan metabolisme melambat. Pembuangan sisa-sisa metabolisme protein dan elektrolit yang harus dilakukan ginjal menjadi beban tersendiri.
Jantung dan Pembuluh darah
Perubahan yang terkait dengan ketuaan sulit dibedakan dengan perubahan yang diakibatkan oleh penyakit. Adanya jumlah jaringan ikat pada jantung (baik katup maupun ventrikel) meningkat sehingga efisien fungsi pompa jantung berkurang pada lansia. Pembuluh darah besar terutama aorta menebal dan menjadi fibrosis. Pengerasan ini, selain mengurangi aliran darah dan meningkatkan kerja ventrikel kiri, juga mengakibatkan ketidakefisienan baroreseptor tertanam pada dinding aorta, arteri pulmonalis, sinus karotikus. Kemampuan tubuh untuk mengatur tekanan darah berkurang.
Paru-paru
Elastisitas jaringan paru dan dinding dada berkurang, kekuatan kontraksi otot pernapasan menurun sehingga konsumsi oksigen akan menurun pada lansia. Perubahan ini berujung pada penurunan fungsi paru.
Kelenjar endokrin
Terjadi perubahan dalam kecepatan dan jumlah sekresi, respon terhadap stimulasi serta struktur kelenjar endokrin, dan pada usia diatas 60 tahun terjadi penurunan sekresi testosteron,estrogen,dan progesteron.
Kulit dan rambut
Kulit berubah menjadi tipis, kering, keriput dan tidak elastis lagi. Rambut rontok dan berwarna putih, kering dan tidak mengkilat.
Fungsi imunologik
Penurunan fungsi imunologik sesuai dengan umur yang berakibat tingginya kemungkinan terjadinya infeksi dan keganasan. Kemungkinan jika terjadi peningkatan pemasukan vitamin dan mineral termasuk zinc, dapat meniadakan reaksi ini.
Adapun beberapa penyakit syaraf yang sering dijumpai pada kelompok lansia adalah:9
Sindrom Parkinson
Tremor
Sinkop
Vertigo
Demensia
Stroke
Depresi
Nyeri pada Lansia9
Lansia disertai oleh berbagai proses degeneratif. Disamping itu frekuensi penyakit kronis dan akut juga meningkat. Kelainan ini dapat mengakibatkan rasa nyeri. Penanganan rasa nyeri pada lansia umumnya kurang adekuat. Dokter sering memberikan dosis yang kurang adekuat karena takut terjadi efek samping yang lebih merugikan, dan dengan demikian banyak lansia yang menderita rasa nyeri yang refrakter, seperti pada osteoporosis, nyeri pinggang, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca herpes zoster.
Adapun beberapa jenis nyeri yang ada pada kelompok lansia adalah:9
Nyeri kepala, nyeri kepala biasanya timbul akibat adanya:
Hipertensi
Pengkosumsian obat-obatan
Stroke
Penyakit vertebra servikal
Cervical spondylosis (50% dijumpai pada kelompok usia diatas 50 tahun dan 75% pada kelompok usia diatas 65 tahun).
Nyeri pinggang
Bertambahnya usia, secara statistik, hernia discus menjadi lebih jarang, sedang osteoporosis, osteoarthritis dan penyakit metastasi menjadi lebih sering.
Osteoporosis
Sepanjang hidup, tulang secara tetap dibentuk dan diserap. Umumnya, usia sekitar 35 tahun pada wanita dan 45 tahun pada pria, massa tulang mencapai maksimum. Setelah titik itu, tulang lebih banyak yang hilang daripada yang dibentuk. Wanita pada umumnya memilki tulang yang lebih kecil dan kurang padat dibandingkan dengan pria, maka wanita cenderung mengalami osteoporosis.10
Wanita saat menjelang senja merupakan ancaman yang serius dalam bidang seksualitas. Menopause atau terhentinya haid, bagi banyak wanita dapat menimbulkan gejala-gejala kejiwaan tertentu, didahului oleh prasangka yang salah tentang seksualitasnya, sehingga mereka akhirnya depresi.6
Gambar 2.1 : Penurunan Kondisi fisik
Sumber:http://pusdiknakes.or.id/persinew/images/news/content/gadistua.jpg
Keadaan Psikologis
Setelah seseorang memasuki lansia maka akan mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain, sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Fungsi psikomotorik meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.1
Adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:1
Tipe kepribadian konstruktif (construction personality), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
Tipe kepribadian mandiri (independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power syndrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya
Tipe kepribadian tergantung (dependent personality), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
Tipe kepribadian bermusuhan (hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi terganggu.
Tipe kepribadian kritik diri (self hate personality), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.
Secara umum dapat diamati keinginan para lansia untuk lebih diperhatikan, diberi waktu dan lebih dimengerti, ingin agar kehadirannya tidak membebani anak-anaknya. Sama seperti individu lain, para lansia baru merasa bahagia bila ia merasa benar-benar dihargai, dicintai dan diinginkan kehadirannya. Mereka amat sensitif pada reaksi orang lain yang bersifat penolakan, penghinaan atau rasa kasihan yang tidak pada tempatnya. Para lansia ingin agar tidak terlalu tergantung pada orang lain, jadi sedapat mungkin mereka ingin mempunyai sumber dana sendiri dan pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Sekalipun demikian, jaminan keuangan dan biaya hidup belum dapat sepenuhnya mengisi kebutuhan para lansia. Lansia ingin bisa hidup bermakna dan tetap bermanfaat bagi orang lain di masa tuanya. Lansia seringkali pelupa, cerewet, tidak puas dan sering berkeluh kesah, mereka akan merasa tertampung bila anak, cucu, keluarganya dapat menerima kekurangan tersebut.6
Faktanya bahwa ini adalah permintaan yang sulit, tetapi dengan pemahaman bahwa setiap orang, bila sudah menjadi tua akan menunjukkan perangai seperti itu, kekurangan para lansia ini mungkin lebih mudah diterima, begitu pula halnya dengan sikap mereka yang kaku dan berkurangnya kelenturan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang ada. 6
Perkembangan lansia makin jelas terlihat tumbuhnya kebutuhan untuk mendekatkan diri pada agama dan pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Nampaknya kebutuhan biologik dan self survival digantikan oleh kebutuhan lain yang tadinya menduduki peringkat bawah, yakni kebutuhan religius. Para lansia sangat mendambakan kasih sayang dan penerimaan sosial. Sementara itu, bagi kebanyakan para lansia dirasakan pula adanya kebutuhan ketenangan untuk dapat beribadah, beramal dan berbuat baik.6
Teori tentang proses menua dari Erickson (1963) mengatakan bahwa keberhasilan seseorang pada masa tuanya amat tergantung dari cara lansia menyelesaikan konflik yang dihadapi pada periode perkembangan sebelumnya. Menjadi lansia macam bagaimana, sebagian ditentukan oleh pengalaman seeorang sewaktu menjalani masa anak, remaja dan dewasa. Teori bidirectional dari Erickson mengatakan bahwa dari kecil manusia sudah mulai menghadapi berbagai macam pilihan dan alternatif yang tersedia dalam hidupnya, baik lingkungan, fisik maupun non-fisik. Kemungkinan itu terpecah menjadi dua arah, membentuk dikotomi baik dan buruk. Apabila saat menghadapi konflik, lansia mengambil pilihan yang buruk atau salah, maka akan terhalang menyelesaikan tugas perkembangannya. Sebaliknya bila lansia mengambil pilihan yang benar, maka akan berkembang ke taraf ego integrity yang lebih mantap, jadi sebenarnya lansia, jika mengalami proses perkembangan yang menuju pada ego integrity, maka lansia akan menjadi individu yang pada hari tuanya tetap memiliki harga diri dan konsepsi diri yang akurat dan realistic, dan dalam tingkah lakunya sehari-hari, nampaknya lansia dapat menerima keadaan, tetap aktif dan menikmati hidup. Gaya hidup yang ada pada lansia tersebut akan dapat mengatasi ancaman dan keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan.6
Perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan, pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya.
Gambar 2.2 : Potret Lansia Bahagia
Sumber: http://matanews.com/wp-content/uploads/Lansia.jpg
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia? Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah pasrah terhadap pensiun. Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh. Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing orang yang akan pensiun dan jika perlu dilakukan pembicaraan untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing, misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya. Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya.1
Menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki keluarga masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Akan tetapi, mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai tempat menetap yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada hidup sendirian dalam masyarakat sebagai seorang lansia.1
Keadaan Rongga Mulut Lansia
Kehilangan gigi atau edentulisme memiliki prevalensi yang tinggi pada lansia di seluruh dunia dan berkaitan erat dengan status sosial ekonomi. Studi epidemologis menunjukkan bahwa individu dengan status sosial ekonomi bawah dan individu dengan sedikit menerima pendidikan lebih sering mengalami edentulisme daripada individu status ekonomi lebih tinggi. Di Indonesia, prevalensi edentulisme pada lansia usia 65 tahun ke atas mencapai 24%, lebih rendah presentase Malaysia dan Srilangka, tetapi lebih tinggi dari persentase Singapura, Kamboja dan Thailand.11
Keadaan Gigi
Umumnya para lansia akan mengalami pengurangan jumlah gigi. Berkurangnya gigi, terutama gigi posterior telah diindikasikan sebagai penyebab TMD karena kondil mandibula akan mencari posisi yang nyaman pada saat menutup mulut. Hal inil memicu perubahan letak condilus pada fossa glenoid dan menyebabkan TMD, serta kelainan oklusal akibat hilangnya gigi menghasilkan stres melalui sendi dan menyebabkan ganguan fungsi sendi. Griffin (1979)2 sebagaimana yang dikutip oleh Soikkonen menulis bahwa degenerasi TMJ berhubungan dengan hilangnya gigi, terutama gigi-gigi molar.
Perubahan gigi geligi pada proses penuaan menjadi faktor yang memicu terjadinya TMD dan berkaitan dengan proses fisiologis normal, dan proses patologis akibat tekanan fungsional dan lingkungan. Gigi geligi mengalami diskolorisasi menjadi lebih gelap dan kehilangan email akibat atrisi, abrasi dan erosi. Secara umum ruang pulpa menyempit dan sensitivitas berkurang karena adanya deposisi dentin sekunder. Resesi gingiva, hilangnya perlekatan periodontal dan tulang alveolar merupakan perubahan jaringan periodontal yang umum ditemukan pada lansia. Degenerasi tulang alveolar menyebabkan gigi geligi tampak lebih panjang daripada sebelumnya. Resesi gingiva yang terjadi secara signifikan tidak diikuti oleh peningkatan kedalaman poket periodontal. Massa tulang, baik pada tulang alveolar dan sendi rahang menurun pada lansia akibat menurunnya asupan kalsium dan hilangnya mineral tulang..11
Gambar II.3: Gigi Geligi pada Pasien Lansia
Sumber: Burket’s 2003
Keadaan Saliva dan Mukosa Mulut
Diketahui bahwa fungsi kelenjar saliva yang mengalami penurunan merupakan suatu keadaan normal pada proses penuaan manusia. Lansia mengeluarkan jumlah saliva yang lebih sedikit pada keadaan istirahat, saat berbicara, maupun saat makan. Keluhan berupa xerostomia atau mulut kering sering ditemukan pada orang tua daripada orang muda yang disebabkan perubahan karena usia pada kelenjar itu sendiri. Fungsi utama dari saliva adalah pelumasan, buffer, dan perlindungan untuk jaringan lunak dan keras pada rongga mulut. Jadi, perubahan aliran saliva akan mempersulit fungsi bicara dan penelanan serta menaikkan jumlah karies gigi, dan meningkatkan kerentanan mukosa terhadap trauma mekanis dan infeksi microbial.
Berdasarkan penelitian terjadinya degenerasi epitel saliva, atrofi, hilangnya asini dan fibrosis terjadi dengan frekuensi dan keparahan yang meningkat dengan meningkatnya usia. Secara umum dapat dikatakan bahwa saliva nonstimulasi secara keseluruhan berkurang volumenya pada lansia.12
Gambaran klinis jaringan mukosa mulut lansia sehat tidak berbeda jauh dibandingkan dengan individu muda, meski demikian riwayat adanya trauma, penyakit mukosa, kebiasaan merokok dan adanya gangguan pada kelenjar ludah dapat merubah gambaran klinis dan karakter histologis jaringan mulut lansia. Kesehatan umum dan kesehatan rongga mulut saling berkaitan. Sebagai contoh, penyakit periodontal parah diasosiasikan dengan diabetes mellitus, penyakit jantung sistemik dan penyakit paru-paru kronis. Kehilangan gigi juga dikaitkan dengan peningkatan resiko stroke dan kesehatan mental yang buruk.11
Perubahan pada mukosa mulut dengan bertambahnya usia dapat menimbulkan kesalahan penetapan diagnosis. Varikositas pada ventral lidah akan tampak jelas pada lansia. Berkurangnya jumlah gigi geligi seiring dengan proses penuaan menyebabkan lidah terlihat lebih besar atau macroglosia, tampak bercelah dan beralur dikenal dengan fissured tongue atau dapat pula tampak berambut dikenal dengan hairy tongue. Beberapa kondisi mukosa mulut yang sering ditemukan pada lansia adalah keratoris friksional akibat trauma gigitan kronis, makula melanotik, amalgam tattoo, torus, fissured tongue dan geographic tongue.11
Keadaan TMJ pada Lansia
Proses menua, terjadi kemunduran banyak fungsi tubuh. Salah satu di antaranya adalah fungsi TMJ untuk mengunyah. Adanya gangguan pada fungsi TMJ untuk mengunyah mengakibatkan berkurangnya asupan makanan sebagai sumber gizi.2
TMJ merupakan sendi yang paling kompleks, sendi ini membuka dan menutup seperti sebuah engsel dan bergeser ke depan, ke belakang dan dari sisi yang satu ke sisi yang lainnya. Selama proses mengunyah, sendi ini menopang sejumlah besar tekanan. Sendi ini memiliki sebuah kartilago atau tulang rawan khusus yang disebut cakram, yang mencegah gesekan antara tulang rahang bawah dan tulang tengkorak.13
Gambar 2.4: Letak TMJ
Sumber:http://www.humanillnesses.com/original/images/hdc_0001_0003_0_img0263.jpg
Definisi TMJ
TMJ adalah sendi antara rahang bawah dan cranium. Sendi ini dibentuk oleh condyl mandibula dan fossa glenoid, kiri dan kanan. Kedua komponen tersebut dipisahkan oleh meniskus sendi, yang merupakan jaringan fibrosa padat, menjadi ruang sendi atas dan bawah. Ruang sendi atas terjadi gerakan meluncur dan bagian bawah berfungsi sebagai sendi engsel. Selain itu juga terdapat kapsul dan ligamen sendi yang membatasi pergerakan sendi ke depan dan ke bawah. Permukaan sendi ini dilapisi oleh jaringan ikat fibrosa padat dan avaskuler. Hal ini menyebabkan sendi tidak dapat memikul beban karena tidak dilapisi oleh kartilago hialin.2
Gambar 2.5: TMJ
a.mulut tertutup b. mulut terbuka
Sumber: http://www.suncitydentalcare.com/l9.html
Perubahan TMJ
Proses perubahan TMJ
Struktur dan fungsi jaringan konektif mengalami sintesis dan degradasi makromolekul sel dan ekstraseluler secara terus-menerus. Proses remodeling ini adalah adaptasi biologis terhadap lingkungan, yaitu respon stres biomekanis. Adaptasi morfologi akan meminimalkan stres biomekanis. Sejak usia dewasa muda, tulang rahang terus mengalami remodeling. Remodeling dianggap menyebabkan penebalan jaringan pada permukaan sendi, misalnya produksi osteosit, sebagai respon terhadap perubahan lingkungan, misalnya sebagai kompensasi gigi yang telah dicabut. Sedangkan kegagalan menahan stres biomekanis menyebabkan degenerasi prematur jaringan fibrosa sendi seperti resorpsi tulang subartikular. Akibat proses menua, jaringan sendi mengalami reduksi sel yang progresif sehingga hanya tersisa sedikit kondrosit dan fibroblas yang kemudian menjadi fibrokartilago. Akibatnya terjadi penipisan meniskus sendi dan dapat mengalami arthritis remodeling terjadi pada bagian anterior dan posterior condyl, medial dan lateral eminensia sendi, dan atap fossa glenoid. Derajat remodeling tidak berhubungan dengan usia tetapi sangat berhubungan dengan kehilangan gigi. Terdapat lebih dari 95% individu memberikan gambaran osteoartritis. Gambaran radiografik condyl yang utama adalah sklerosis subkondral sehingga permukaan sendi menjadi rata karena erosi dan celah sendi menjadi sempit. Secara histologis, terlihat bahwa stres mekanis menyebabkan pemanjangan ligamen posterior meniskus, diikuti pergeseran ventromedial yang menyebabkan tidak adekuatnya aliran darah sehingga terjadi iskemia di daerah tersebut dan terjadi resorpsi tulang.2
TMD bisa mengenai sendi dan otot-otot yang berada di sekitarnya. Sebagian besar penyebab dari TMD adalah gabungan dari ketegangan otot dan kelainan anatomis pada sendi, kadang disertai faktor psikis.13
Tabel 2.1 Perubahan- perubahan Pada Mandibula Sesuai Umur 14
Bagian
Pada Kelahiran
Dewasa
Usia Tua
Simpisis menti
Ada. Kedua belahan di satukan oleh jaringan ikat, Sinostosis terjadi pada tahun ke 2 dewasa
Tidak ada.
Sebuah gigi median pada setengah bagian atas melukiskan simpisis.
tidak ada.
Rigi median diabsorpsi.
Angulus
Tumpul
Sudut kanan mendekati angulus dekstra.
Tumpul 140°
Foramen mentale
Di dekat pinggir bawah.
Di tengah di antara pinggir atas dan bawah
Di dekat pinggir atas.
Kanalis mandibulais
Berjalan dekat pinggir bawah.
Berjalan sejajar linea milohyoidea.
Berjalan dekat pinggir atas,
Prosesus
Prosesus koronoideus besar dan posisi lebih
tinggi dari pada
prosesus kondiloideus.
Prosesus kondiloideus tinggi di atas prosesus koronoideus.
Prosesus kondiloideus sangat di belakang pada Lansia.
Pinggir alveolaris
Berkembang, menyelubungi lubang-lubang gigi yang belum tumbuh
Baik bagian alveolaris maupun sub alveolaris tidak berkembang.
Bagian alveolaris diabsorpsi akibat rontoknya gigi-gigi dan berubah menjadi rugi.
Gejala TMD
TMD umumnya terjadi karena aktivitas yang tidak berimbang dari otot-otot rahang atau spasme otot rahang dan pemakaian berlebihan. Gejala-gejala bertendensi menjadi kronis dan perawatan ditujukan pada eliminasi faktor-faktor yang mempercepatnya. Banyak gejala-gejala mungkin terlihat tidak berhubungan dengan TMJ sendiri.
Tanda-tanda dan gejala TMD adalah :15
Sakit atau perih di sekitar TMJ
Rasa sakit di sekitar telinga
Kesulitan menelan atau perasaan tidak nyaman ketika menelan
Rasa sakit di wajah
Suara clicking atau perasaan tidak mulus ketika mengunyah atau membuka mulut anda.
Rahang terkunci, kaku, sehingga mulut sulit dibuka atau ditutup.
Sakit kepala
Gigitan yang rasanya tidak pas
Gigi-gigi yang tidak mengalami perlekatan yang sama karena ada sebagian gigi yang mengalami kontak prematur.
Perawatan TMD
Tanpa bedah
Beberapa kasus TMD akan berhasil dengan perawatan biasa yang bahkan memungkinkan untuk tidak melibatkan kehadiran dokter gigi. Di antaranya:16
Mengubah kebiasaan buruk
Penderita sebaiknya lebih memperhatikan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari. Misalnya kebiasaan menggemertakkan gigi, bruxism, atau menggigit-gigit sesuatu. Kebiasaan ini harus digantikan dengan kebiasaan baik seperti membiarkan otot mulut dalam kondisi tenang dengan gigi atas dan bawah tidak terlalu rapat, lidah menyentuh palatum dan berada tepat di belakang gigi maksila.
Mengurangi kelelahan TMJ
Sebaiknya tidak membuka mulut terlalu lebar dalam berbagai kesempatan. Contohnya jangan tertawa berlebihan.
Kompres panas atau dingin
Mengompres kedua sisi wajah baik dengan kompres panas atau dingin akan membantu relaksasi TMJ.
Obat anti inflamasi
Seorang dokter gigi akan menyarankan obat anti inflamasi nonsteroid lainnya, misalkan ibuprofen. Hal ini bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan rasa sakit.
Biteplate
TMJ mengalami kelainan pada posisi mengunyah, sebuah biteplate akan diberikan. Biteplate dipasang di gigi untuk menyesuaikan maksila dengan mandibula. Posisi mengunyah yang benar tentunya akan membantu mengurangi tekanan di struktur TMJ.
Penggunaan night guard
Alat ini berguna untuk mengatasi kebiasaan bruxism di malam hari.
Terapi kognitif
TMJ mengalami gangguan karena stres atau kecemasan, dokter gigi akan menyarankan menemui psikiatri untuk mengatasinya.
Adapun perawatan lanjutan jika perawatan non bedah tidak berhasil mengurangi gejala TMD, sebagai berikut :
Perawatan gigi
Dokter gigi akan memperbaiki gigitan dengan menyeimbangkan permukaan gigi. Caranya bisa dengan mengganti gigi yang hilang atau tanggal, memperbaiki restorasi atau membuat mahkota tiruan baru.
Obat kortikosteroid
Untuk sakit dan peradangan pada sendi, obat kortikosteroid akan diinjeksikan ke dalam TMJ.
Arthrocentesis
Prosedur ini dilakukan dengan jalan menyuntikan cairan ke dalam TMJ untuk membuang kotoran atau sisa peradangan yang mengganggu TMJ.
Pembedahan
Apabila semua perawatan tidak berhasil juga, dokter gigi akan merujuk ke dokter gigi spesialis bedah mulut.
Adapun beberapa teknik untuk mengurangi gangguan TMJ, sebagai berikut:
Bernafas dalam
Orang dewasa kebanyakan bernafas dengan dada. Sementara itu anak-anak kebanyakan bernafas dengan diafragma. Diafragma adalah lapisan tipis yang memisahkan dada dengan perut anda. Teknik pernafasan ini akan membantu anda lebih tenang.
Meditas
Musik atau terapi seni
Faktor – faktor sistemik seperti status kesehatan umum, gangguan fungsional, ingatan yang mulai memburuk, pengobatan dan fungsi biologis sebaiknya dievaluasi. Sikap dan harapan pasien juga harus dipertimbangkan. Kesuksesan perawatan membutuhkan kerjasama dari pasien. Evaluasi terhadap sikap dan kemampuan fungsional juga penting untuk diperhatikan.15
Faktor yang Mempengaruhi Kelainan TMJ
Usia
Edentulous
Tekanan fungsional
Faktor psikologis
Faktor fisikolofis
Lingkungan
BAB III
KERANGKA KONSEP
KETERANGAN :
= Variabel bebas
= Variabel akibat
= Variabel antara
= Variabel sebab
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Alur Penelitian
Jenis Penelitian
Peneliti menggunakan jenis penelitian survey deskriptif yang dimana penelitian ini berguna untuk mengetahui seberapa besar TMD yang terjadi pada lansia yang tidak menggunakan gigitiruan.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada lansia yang bertempat di Panti Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Penelitian tersebut diselenggarakan pada tanggal 04 Desember 2009, pukul 10.00 wita.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian tersebut adalah para lansia yang menghuni dan menetap di Panti Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian tersebut adalah lansia yang menghuni dan menetap di Panti Tresna werdha Gau Mabaji yang berumur diatas 60 tahun yang tidak mengguanakan gigitiruan serta menunjukkan sikap kooperatif untuk mengikuti penelitian.
Kriteria Seleksi:
Kriteria inklusi:
Seluruh penghuni Panti Tresna Werdha Gau Mabaji yang berusia diatas 60 tahun, dan tidak menggunakan gigitiruan serta kooperatif untuk mengikuti penelitian.
Kriteria eksklusi:
Seluruh penghuni Panti Tresna Werdha Gau Mabaji yang berusia kurang dari 60 tahun, menggunakan gigitiruan serta tidak kooperatif untuk mengikuti penelitian.
Metode sampling
Sampel dalam penelitian ini menggunakan metode secara purposive sampling. Pengambilan sampel dilakukan atas dasar kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti, yaitu seseorang yang berusia diatas 60 tahun dan yang tidak menggunakan gigitiruan. Dari pertimbangan tersebut, peneliti mengambil sampel pada lansia yang menghuni Panti Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten Gowa yang berusia diatas 60 tahun dan yang tidak menggunakan gigitiruan, dan menunjukkan sikap kooperatif pada penelitian ini.
Metode pengumpulan data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer diperoleh dari lembar kuisioner, kuisioner tersebut berdasar pada referensi yang digunakan oleh peneliti.17 Kuisioner tersebut diisi oleh responden yaitu lansia yang menghuni Panti Tresna Werdha Gau Mabaji, yang berumur diatas 60 tahun dan kooperatif mengikuti penelitian, dan pengisiannya dibantu oleh peneliti dan rekan.
Definisi Operasional
Prevalensi
Bagian dari keseluruhan.
TMD
TMD dalam penelitian ini adalah kelainan yang terjadi pada TMJ yang berasal dari ketegangan otot dan kelainan anatomis pada sendi, keadaan ini didukung oleh faktor usia, yang pada proses menua, terjadi kemunduran pada banyak fungsi tubuh. 2,3
Lansia
Lansia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun (Depsos, 1999) seperti yang tercantum dalam undang-undang No.12 tahun 1998 tentang kesejahteraan Lansia.7
Pelaksanaan Penelitian
Tanggal 04 Desember 2009 pukul 10.00 wita, peneliti dan rekan-rekan berkunjung ke Panti Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten Gowa untuk melakukan penelitian dengan cara pengisian lembar kuisioner. Pertanyaan yang ada pada lembar tersebut diajukan kepada sampel yaitu lansia. Oleh karena keterbatasan fisik dari sampel, maka lembar kuisioner tersebut diisi oleh peneliti dan rekan berdasar atas jawaban dari sampel. Peneliti dan rekan menjelaskan maksud dari setiap pertanyaan yang ada dalam kuisioner secara terperinci agar sampel dapat mengerti dan memahami serta dapat menghasilkan jawaban yang akurat. Kuisioner yang terkumpul sebanyak 50 lembar yang terdiri dari 50 sampel, kuisioner tersebut terdiri dari sepuluh pertanyaan mengenai sulit atau tidaknya membuka mulut, frekuensi sakit kepala, nyeri leher, sakit pada sendi craniomandibular, adanya bunyi pada sendi, artikulasi, serta perasaaan gugup atau tegang yang dialami oleh lansia dan untuk selanjutnya dilakukan tabulasi data.
Kriteria Penilaian
Setiap pertanyaan pada kuisioner ini terdiri atas 3 pilihan jawaban yaitu; tidak mengalami kelaianan, kadang-kadang, dan sering mengalami kelainan. Adapun nilai untuk penilaian dari ketiga pilihan jawaban tersebut menurut Fonseca’s Questionnaire17 sebagai berikut:
Tidak : 0
Kadang-kadang : 5
Sering : 10
Setiap nilai yang terkumpul dari pilihan jawaban dalam pertanyaan tersebut dilakukan penjumlahan, sehingga setiap lembar kuisioner yang dijawab oleh sampel yaitu lansia, akan menghasilkan kriteria kelainan, yang dibagi dalam 4 kriteria kelainan. Adapun nilai untuk kritria kelainan menurut Fonseca’s Questionnaire17, sebagai berikut:
Tidak ada TMD : 0 − 15
TMD ringan : 20 − 40
TMD sedang : 45 − 65
TMD berat : 70 − 100
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian mengenai prevalensi TMD pada lansia telah dilakukan. Pengambilan data dari penelitian ini ditujukan pada lansia yang menghuni Panti Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten Gowa yang berusia 60 tahun keatas yang tidak menggunakan gigitiruan serta bersikap kooperatif. Penelitian ini diselenggarakan pada tanggal 04 Desember 2009.
Jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 50 orang. Sampel yang diambil menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara pembagian kuisioner yang pengisiannya sendiri dikakukan oleh peneliti dan rekan berdasar atas jawaban dari sampel. Setelah data terkumpul, dilakukan perhitungan dan selanjutnya disusun dalam tabel induk. Data hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.
Tabel 5.1. Penggolongan Lansia Menurut Umur
Identitas
Jumlah (Orang)
Persen%
Umur (tahun)
60 – 70
21
42
71 – 80
19
38
81 – 90
9
18
91 – 100
1
2
TOTAL
50
100
Sumber : Data Primer
Terlihat pada tabel V.1 terlihat data mengenai penggolongan sampel menurut umur, terbagi dalam 4 interval umur antara lain, umur 60-70 tahun, 71-80 tahun, 81-90 tahun, dan 91-100 tahun. Sampel lansia yang tidak menggunakan gigitiruan serta menunjukkan sikap kooperatif dengan umur 60-70 tahun terdapat 21 orang (42%), umur 71-80 tahun terdapat 19 orang (38%), umur 81-90 tahun terdapat 9 orang (18%), dan umur 91-100 tahun terdapat 1 orang (2%).
Tabel 5.2. Penggolongan Lansia Menurut Jenis Kelamin
Identitas
Jumlah (Orang)
Persen%
Jenis Kelamin
Laki - laki ♂
21
42
Perempuan ♀
29
58
TOTAL
50
100
Sumber : Data Primer
Terlihat pada tabel V.2 terlihat data menengenai penggolongan sampel menurut jenis kelamin. Terdapat sampel dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 21 orang (42%), sedangkan sampel dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 29 orang (58%) yang tidak memakai gigitiruan serta menunjukkan sikap kooperatif.
Tabel 5.3. Penggolongan Umur Terhadap TMD
Umur (tahun)
Tidak ada TMD
TMD Ringan
TMD Sedang
TMD Berat
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
60 – 70
4
8
9
18
5
10
3
6
21
42
71 – 80
-
-
4
8
10
20
5
10
19
38
81 – 90
-
-
2
4
4
8
3
6
9
18
91 – 100
-
-
-
-
-
-
1
2
1
2
TOTAL
4
8
15
30
19
38
12
24
50
100
Sumber : Data Primer
Terlihat pada tabel V.3 terlihat data yang menggambarkan adanya TMD yang digolongkan berdasarkan kategori umur. TMD tersebut juga dibagi dalam 4 taraf kelainan, yaitu tidak ada TMD, TMD ringan, TMD sedang, serta TMD berat. Penggolongan ini mengacu pada referensi yang digunakan oleh peneliti.17 Pada interval umur 60-70 tahun sebanyak 4 orang (8%) yang tidak mengalami TMD. 9 orang (18%) mengalami TMD ringan, 5 orang (10%) mengalami TMD sedang, serta 3 orang (6%) mengalami TMD berat. Pada interval umur 71-80 tahun, tidak terdapat sampel yang tidak mengalami TMD. 4 orang (8%) yang mengalami TMD ringan, 10 orang (20%) mengalami TMD sedang, serta 5 orang (10%) mengalami TMD berat. Pada interval umur 81-90 tahun, tidak terdapat sampel yang tidak mengalami TMD. 2 orang (4%) yang mengalami TMD ringan, 4 orang (8%) yang mengalami TMD sedang, serta 3 orang (6%) mengalami TMD berat. Pada interval umur 91-100 tahun tidak terdapat sampel yang tidak mengalami TMD. Demikian juga dengan yang mengalami TMD ringan dan sedang, sedangkan yang mengalami TMD berat dengan interval usia ini sebanyak 1 orang (2%).
Tabel 5.4. Penggolongan Jenis Kelamin Terhadap TMD
Jenis Kelamin
Tidak ada TMD
TMD Ringan
TMD Sedang
TMD Berat
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
Laki-Laki ♂
3
6
4
8
7
14
7
14
21
42
Perempuan ♀
1
2
11
22
12
24
5
10
29
58
TOTAL
4
8
15
30
19
38
12
24
50
100
Sumber : Data Primer
Terlihat pada tabel V.4 terlihat data yang menggambarkan adanya TMD berdasarkan kategori jenis kelamin. TMD juga dibagi dalam 4 taraf kelainan, yaitu tidak ada TMD, TMD ringan, TMD sedang, dan TMD berat. Pada sampel laki-laki terdapat 3 orang (6%) yang tidak mengalami TMD, 4 orang (8%) mengalami TMD ringan, 7 orang (14%) mengalami TMD sedang , serta 7 orang (14%) mengalami TMD berat. Dilihat dari sampel perempuan terdapat 1 orang (2%) yang tidak mengalami TMD, 11 orang (22%) mengalami TMD ringan, 12 orang (24%) mengalami TMD sedang, serta 5 orang (10%) mengalami TMD berat.
BAB VI
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian ini, banyak hal yang dapat memicu terjadinya kelainan pada TMJ seperti usia, edentulous, adanya gangguan fisiologis, gangguan psikologis, tekanan fungsional, serta lingkungan yang kurang mendukung.
Responden dari hasil pengambilan data dalam penelitian ini sebanyak 50 orang, dan diperoleh data bahwa prevalensi jenis kelamin perempuan lebih banyak dari pada laki-laki. Yaitu pada perempuan sebanyak 29 orang (58%) dan laki-laki sebanyak 21 orang (42%).
Hal tersebut terjadi dikarenakan umumnya perempuan lebih rentan terhadap penurunan kondisi fisik. Seperti yang kita ketahui, disaat menjelang senja merupakan ancaman yang serius bagi para lansia khususnya perempuan dalam bidang seksualitas. Menopause atau terhentinya haid, bagi banyak perempuan dapat menimbulkan gejala-gejala kejiwaan tertentu, didahului oleh prasangka yang salah tentang seksualitasnya, hingga mereka depresi.6 Dari kebanyakan kasus yang terjadi, pada akhirnya mereka di tempatkan di panti werdha hal ini disebabkan para anggota keluarga seperti anak, cucu, dan saudara tidak mampu lagi untuk merawat dan memelihara dengan penuh kesabaran.1
Penggolongan sampel dalam penelitian ini, menurut interval umur 60-70 tahun sebanyak 21 orang (42%), umur 71-80 tahun sebanyak 19 orang (38%), umur 81-90 tahun sebanyak 9 orang (18%), dan umur 90-100 tahun sebanyak 1 orang (2%).
Dilihat dari hasil diatas, bahwa sampel yang terbanyak adalah pada umur 60-70 tahun dan sampel yang terkecil pada umur 91-100 tahun. Hakikatnya, setelah manusia memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda, misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial.1 Secara tidak langsung peluang harapan hidup akan menjadi semakin menurun. Faktor-faktor penyebab diatas membuat peneliti cenderung mengalami kesulitan untuk melakukan pendekatan serta berinteraksi dengan baik.
Hasil penelitian mengenai TMD yang terdapat pada lansia dengan penggolongan jenis kelamin, diperoleh hasil sebanyak 3 orang (6%) pada responden laki-laki dan 4 orang (8%) pada perempuan yang tidak mengalami TMD. 4 orang (8%) pada laki-laki dan 11 orang (22%) pada perempuan yang mengalami kelainan ringan. 7 orang (14%) pada laki-laki dan 12 orang (22%) pada perempuan yang mengalami kelainan sedang, dan sebanyak 7 orang (14%) pada laki-laki, dan 5 orang (10%) pada perempuan yang mengalami TMD berat.
Responden perempuan lebih banyak yang mengalami TMD, seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa perempuan lebih rentan terhadap penurunan kondisi fisik diawali dengan adanya perubahan hormon yang terjadi pada perempuan dan pada akhirnya mengalami menopause yang selanjutnya akan berdampak pada keadaan psikologis. Akan tetapi, dari hasil diatas juga terlihat bahwa responden laki-laki lebih banyak mengalami TMD yang berat. Seperti pada penjelasan sebelumnya, salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya kelainan adalah adanya gangguan psikologis. Berdasarkan hal tesebut kasus yang terjadi pada laki-laki diawali pada perubahan ketika memasuki masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri.6
Hasil penelitian kelainan TMD berdasarkan penggolongan umur, diperoleh hasil yang tidak mengalami TMD terdapat pada interval umur 60-70 tahun, sedangkan yang mengalami kelainan ringan yang terbanyak juga terdapat pada interval umur 60-70 tahun. Kelainan sedang yang terbanyak pada umur 71-80 tahun, dan kelaian berat yang terbanyak juga pada interval umur 71-80 tahun. Hal ini sesuai dengan jumlah responden yang ada pada penelitian ini, yaitu responden terbanyak pada interval umur 60-70 tahun, dan 71-80 tahun. Peneliti banyak mengambil sampel dengan interval umur demikian dikarenakan sampel dalam hal ini para lansia masih dapat berkomunikasi dengan baik, serta menunjukkan sikap yang kooperatif untuk mengikuti penelitian ini. Namun demikian, kelompok umur 91 – 100 tahun memiliki prevalensi TMD yang paling berat, dilihat dari banyak sampel yang terdapat pada kelompok umur tersebut keseluruhannya menempati tingkat TMD berat.
Proses menua, terjadi kemunduran banyak fungsi tubuh. Salah satu di antaranya adalah fungsi TMJ untuk mengunyah, sehingga akan mengakibatkan berkurangnya asupan makanan sebagai sumber gizi. Sehingga pemberian nutrisi yang baik dan cukup sangat diperlukan lansia. Hal tersebut juga dilakukan dengan pertimbangan bahwa lansia memerlukan nutrisi yang adekuat untuk mendukung dan mempertahankan kesehatan.2,3
Individu Lansia umumnya akan mengalami pengurangan jumlah gigi. Degenerasi sendi TMJ berhubungan dengan hilangnya gigi.2 Perubahan pada gigi geligi pada proses penuaan berkaitan dengan proses fisiologis normal, dan proses patologis akibat tekanan fungsional dan lingkungan.11
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan :
Prevalensi TMD yang cukup besar terjadi pada lansia, dimana kelompok umur 91-100 tahun memiliki prevalensi kelainan TMD yang paling berat sebesar 2%, sedangkan kelompok umur 60-70 tahun memiliki prevalensi kelainan TMD yang paling ringan sebesar 18%.
Prevalensi TMD pada lansia menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan lebih banyak yang mengalami TMD sebesar 58% dibanding jenis kelamin laki-laki sebesar 42%.
7.2. Saran
Para lansia selayaknya diberi perhatian, diberi waktu dan lebih dimengerti, sehingga mereka tidak merasa terbebani oleh lingkungan yang dapat berdampak negatif pada faktor psikologisnya.
Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
Perawatan TMD dapat mencapai keberhasilan bila faktor-faktor penyebabnya dapat dikenali dan dikendalikan, dan untuk itulah seorang dokter gigi harus melakukan anamnesa yang seksama untuk mencari penyebab utama terjadinya TMD, sebelum melakukan perawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Kuntjoro ZS. Masalah Kesehatan Jiwa Lansia. [Internet]. Available from: URL: http://www.e-psikologi.com/epsi/lanjutusia_detail.asp?id=182. Accesed October 28, 2009
Jubhari EH. Proses Menua Sendi Temporomandibula pada Pemakai Gigitiruan Lengkap. Cermin Dunia Kedokteran. No. 137. 2002. Hal: 142,143,144. Available from: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_ProsesMenuaSendiTemporomandibula.pdf/15_ProsesMenuaSendiTemporomandibula.html Accesed October 28, 2009
Akhmadi. Permasalahan Lanjut Usia. [Internet]. Available from: URL: http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/326-permasalahan-lanjut-usia-lansia.html Accesed October 28, 2009
Spackman SS, Janet GB. Periodontal Treatment for Older Adults, in Carranza’s Clinical Periodontology. 10th ed. St.louis: WB Saunders Company; 2006. p.93
Parjiyono Y. 2,7 Juta Lansia Rawan Bermasalah Sosial. [Internet]. Available from: URL: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=228285 Accesed October 28, 2009
Achir YA. Memahami Makna Lansia. [Internet]. Available from: URL: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/03_MemahamiMaknaUsiaLanjut.pdf/03_MemahamiMaknaUsiaLanjut.html. Accesed October 28, 2009
Yenni. Depresi Lansia, Ayo Kita Atasi. [Internet]. Available from: URL: http://www.tanyadokteranda.com/artikel/umum/2008/06/depresi-lansia-ayo-kita-atasi. Accesed October 28, 2009
Perubahan Fisiologis Pada Lansia. [Internet]. Available from: URL: http://www.smallcrab.com/lanjut-usia/470-perubahan-fisiologis-pada-usia-lanjut-. Accesed October 28, 2009
Lumbantobing. Neurogeriatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001. Hal : 1,135-138
Moore MC. Terapi Diet dan Nutrisi. Edisi II. Alih bahasa: Oswari LD. Jakarta: Hipokrates;1997. Hal : 76-84
Oral Manifestation of Geriatric Dental Patient. [Internet]. Available from: URL: http://yukiicettea.blogspot.com/2009/08/oral-manifestation-of-geriatric-dental.html Accesed November 11, 2009
Damayanti S. Respon Jaringan Terhadap Gigitiruan Lengkap Pada Pasien Lansia. Universitas Padjadjaran [serial online] 2009. [Internet]. Available from: URL: http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:RSIpZ4S6asJ:pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/11/respon_jaringan_terhadap_gigi_tiruan_lengkap.pdf
Accesed October 19, 2009
Kelainan Sendi TMJ. [Internet]. Available from: URL: http://medicastore.com/penyakit/123/Kelainan_Sendi_Temporomandibuler.html Accesed November 11, 2009
Bajpai. Osteologi Tubuh Manusia. Alih bahasa: Harrianto R. Jakarta: Binarupa Aksara; 1991. Hal: 142
Kesehatan Tim. Gangguan Sendi Rahang (TMJ). [Internet]. Available from: URL: http://assep.wordpress.com/2008/07/05/gangguan-sendi-rahang-tmj/
Accesed November 11, 2009
TMJ Disorders Prevention and Treatment. Available from: http://www.wellness.com/reference/conditions/TMJ-joint-tmj-disorders/prevention-and-treatment accesed November 11, 2009
Nomura K, Vitti M, Hallak JEC. Use of Fonseca’s Questionnaire to Assess the Prevalence and Severity of TMJ Disorders in Brazilian Dental Undergraduates. Brazil Dental Journal. Vol.18/No.2/2007.p.163-167
Lampiran 1.
Lembar Kuesioner (Fonseca’s Questionnaire)
Name :
Age :
Address :
Sex : ♀ / ♂
No
Questions
No
Sometimes
Yes
1
Apakah sulit bagi anda untuk membuka mulut ?
2
Apakah sulit bagi anda untuk menggerakkan mandibula anda ke dari satu sisi ke sisi yang lain
3
Apakah terasa lelah jika anda sedang mengunyah ?
4
Apakah anda sering sakit kepala ?
5
Apakah anda memiliki rasa sakit atau nyeri pada leher ?
6
Apakah ada rasa nyeri yang anda rasakan dari sendi craniomandibular ?
7
Apakah anda merasakan bunyi pada saat membuka mulut pada sendir temporomandibular ?
8
Apakah anda sering menggerutu ?
9
Apakah anda merasa tidak memiliki aktikulasi yang baik ?
10
Apakah anda sering gugup/tegang ?
Lampiran 2
Identitas responden pada penelitian “Prevalensi Kelainan Sendi Temporomandibular Pada Lanjut Usia Di Panti Jompo Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten Gowa.” Sampel : Penghuni Panti Tresna Werdha, Kabupaten Gowa Sulsel
No
Nama
Jenis Kelamin
Umur (Tahun)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
Maipa
Awing
Baso
Bakri
Hayong
Warabang
Abdul Hamid
Lukman
Dg. Bunda
Ateng
Deka
Abdul Majid
Minggus Manuhutu
Maludin
Ismail
Azis
Sutejo
Bacco Dg. Sarro
Nassa
William
Abdul Rasyid
Ani
Muna
Dg. Ballo
Taku
Khadijah
Qamaria
Baisah
Siti Amaliah
Cora
Paja
Mariama
Cici
Lasmini
Jido
Lintang
Dg. Bolong
Mate
Salifah
Wenang
Sannang
Sabaria
Cara’
Pujiati
Melda
Ria
Barcelina Bamba
Satturang Dg. Pajang
Muadji
Berlian
♂
♂
♂
♂
♂
♂
♂
♂
♂
♂
♂
♂
♂
♂
♂
♂
♂
♂
♂
♂
♂
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
65
80
64
98
77
62
73
72
84
80
79
60
62
71
64
68
79
75
68
62
89
68
70
76
85
70
80
82
68
80
81
65
68
60
80
65
76
78
83
82
65
80
86
69
76
70
75
82
70
74
53
1
4
LANSIA YANG BERUSIA DIATAS 60TAHUN
Joint clicking
Sering sakit kepala
Nyeri di sekitar Telinga
Tooth grinding
Sering Gugup
Sulit membuka mulut
Nyeri pada leher belakang
Sulit menelan
Nyeri pada rahang
Artikulasi buruk
Usia
Edentulous
Tekanan fungsional
Faktor fisikologis
Faktor Psikologis
Lingkungan
KELAINAN PADA TEMPOROMANDIBULAR JOINT
34
35
40
LANSIA BERUSIA DIATAS
60 TAHUN
LEMBAR KUISIONER
(FONSECA’S QUESTIONNAIRE)
ANALISA DATA
HASIL
44
48