BAB II
METODOLOGI PENELITIAN TAFSIR
A. Metodologi Penafsiran al-Quran
Metodologi penafsiran al-Qur’an yang selama ini dikenal terdapat
empat klasifikasi, yaitu tafsir Tahlili “Analitis”, tafsir Ijmaly “Global”, tafsir
Muqarin “Komparatif”, dan tafsir Maudhu'i “Tematik”.1 Keempat metode ini
mudah disebutkan, tetapi tidak begitu mudah menuntun orang ke pemahaman
seluk-beluk metode untuk diturunkan ke teknik yang dimaksud, oleh
karenanya akan dijelaskan metode penafsiran tersebut yang hanya berkaitan
dengan penyusunan karya ilmiah ini, yakni Metode Tahlili (Analitis), dan
Metode Muqarin (Komparatif).
1.
Metode Tahlili (Analitis)
Metode, didalam bahasa arab dinamakan Manhaj berasal dari kata
“nahaja”. Artinya, telah terang dan nyata. Misalnya “Nahaja al-Amru”,
artinya perkara itu telah terang2. Al-Thahir Ahmad al-Sawi menerangkan
bahwa arti kata “al-Manhaj” adalah “al-Thariq al-Wadhih”, yaitu jalan
yang terang3.
Metode juga berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti
cara atau jalan4. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti,
cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam
1
(Al-'Aridl 1994:4). Lihat Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000), 3.
2
Rahcmat Syafe’i. Pengantar Ilmu tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 277.
3
Al-Thahir Ahmad al-Zawi, al-Mubith, Juz 4, 448.
4
Ibid, 1.
18
19
ilmu pengetahuan dan sebagainya). Cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang
ditentukan5. Sedangkan Tahlily dari kata hala-yahilu-halan6, yang
artinya menguraikan atau penguraian.
Metode Tahlili menurut etimologi, yakni jalan atau cara untuk
menerangkan arti
ayat-ayat dan surat dalam
mushaf, dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang
ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang tercakup
didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut7. Metode penafsiran ini, muncul sejak
akhir abad II atau awal abad III H, yakni periode pembukuan tafsir
sebagai suatu istilah yang berdiri sendiri8.
Dalam metode ini, para penafsir menggunakan makna yang
terkadang oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai
dengan urutannya didalam mushaf9. Uraian tersebut menyangkut
berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian
kosa kata, konotasi kalimat, latar belakang turunnya ayat, munasabah
dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabah)
dan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsir
ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para
5
Poerwadaminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. ke 9, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), 649.
Ahmad Warson Munawir. Kamus Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), 291.
7
Abd. al-Hay al-Farmawi. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, cet. ke2, (Mesir: Maktabat
Jumhurriyat, 1977), 24.
8
Muhammad Husain al-Dzahabi. at-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, (Kairo: Dar al-Kutub alHaditsah, 1961), 140-141.
9
Ibid, 32.
6
20
tabi’in maupun ahli tafsir lainnya10. Diantara metode tafsir ini adalah
tafsir al-Maraghi (karya Musthafa al-Maraghi), tafsir al-Manar (karya
Muhammad Abduh), tafsir fi Dzilal al-Qur’an (karya Sayyid Quthub)11.
Dengan demikian, ciri-ciri metode tahlili sebagai berikut12:
a.
Penafsir al-Qur’an berdasarkan ayat perayat sesuai dengan urutan
mushaf.
b.
Penjelasan ayat-ayat al-Qur’an sangat rinci meliputi segala aspek
yang berkaitan dengan penjelasan makna ayat, baik dari segi
bahasa, munasabah ayat dan lain sebagainya.
c.
Luasnya penafsiran tergantung dari luasnya ilmu yang dimiliki
para mufassir.
d.
Sumber pengambilan boleh jadi dari Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi
al-Ra’yi13, sumber-sumber fiqih dan lain sebagainya.
Kelebihan dan Kelemahan Metode Tahlili (Analitis)14
a)
Kelebihan Metode Tahlili antara lain:
a.
Dapat dengan mudah untuk mengetahui tafsir suatu ayat atau
suatu surat dengan lengkap, karena penafsiran al-Qur’an
dijelaskan sesuai dengan susunan ayat atau seperti berdasarkan
urutan yang terdapat dalam mushaf
10
Ibid, 31-32.
Ibid, 104. Lihat juga di Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Nashruddin Baidan, 32.
12
Abd. Kholid, Kuliyah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir, (Surabaya: Fak. Ushuluddin, 2007),
104
13
Ibid, 32.
14
Ibid, 53-62.
11
21
b.
Dapat dijadikan acuan dalam rangka menghimpun ayat yang
dikaji dengan metode maudhu’i
c.
Mudah untuk mengetahui relevansi dan korelasi antara satu
ayat atau surat dengan ayat atau surat yang lain
d.
Memungkinkan untuk memberikan penafsiran pada semua
ayat walaupun inti penafsiran ayat yang satu merupakan
pengulangan dari ayat yang lain. Bilamana ayat-ayat yang
ditafsirkan tersebut sama atau hampir sama.
e.
Mengandung banyak aspek pengetahuan, filsafat, hukum dan
lain-lain15.
b)
Kelemahan Metode Tahlili antara lain16:
a.
Terkesan adanya penafsiran secara berulang-ulang. Terutama
terhadap ayat-ayat yang menghimpun topik sama17
b.
Tidak mencerminkan penafsiran secara utuh atau bulat
terhadap suatu masalah. Sebab ayat yang mempunyai topik
yang sama letaknya terpencar dalam beberapa surat.
c.
Urain terkesan panjang lebar, bahkan terlalu jauh dari maksud
tafsir itu sendiri sehingga timbul rasa bosan dalam
mempelajarinya dan mengkajinya
15
Ibid,54.
Ibid, 55-62.
17
Ibid, 72.
16
22
2.
Metode Muqarin (Komparatif)
Muqarin dari kata qorona-yuqorinu-qornan,18 yang artinya
membandingkan, kalau dalam bentuk masdar artinya perbandingan.
Sedangkan
menurut
etimologi,
Metode
Muqarin
adalah
mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis oleh
sejumlah para penafsir19. Metode ini mencoba untuk membandingkan
ayat al-Qur’an antara yang satu dengan yang lain atau membandingkan
ayat al-Qur’an dengan hadis Nabi yang tampak bertentangan serta
membandingkan pendapat ulama menyangkut penafsiran ayat-ayat alQur’an20.
Metode Muqarin (Metode Komparatif) Para ahli tidak berbeda
pendapat mengenai definisi metode ini. Sebagaimana yang dijelaskan
Nashruddin Baidan21, yang dimaksud dengan metode komperatif adalah:
1. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan
atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama.
Seperti contoh dalam surat Surat al-An’am ayat 32 dan Surat al-Hadid
ayat 20:
ﺐ َﻭﹶﻟ ْﻬ ٌﻮ
ٌ ﺤﻴَﺎ ﹸﺓ ﺍﻟ ﱡﺪْﻧﻴَﺎ ِﺇﻟﱠﺎ ﹶﻟ ِﻌ
َ َﻭﻣَﺎ ﺍﹾﻟ
Kehidupan dunia ini, hanyalah permainan dan senda gurau22.
18
Ibid, 1115.
Ibid, 31.
20
Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Pustaka Pelajar), 381.
21
Ibid, 65.
22
Departemen Agama RI. Mushaf al-Qur’an Terjemah. (Jakarta: Pena Ilmu dan Amal, 2002), 132.
19
23
ﺐ َﻭﹶﻟ ْﻬ ٌﻮ
ٌ ﺤﻴَﺎ ﹸﺓ ﺍﻟ ﱡﺪْﻧﻴَﺎ ﹶﻟ ِﻌ
َ ﺍ ْﻋﹶﻠﻤُﻮﺍ ﹶﺃﱠﻧﻤَﺎ ﺍﹾﻟ
Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah
permainan dan senda gurauan23
Pada dua ayat diatas kata-kata
ﺐ
ٌ ﹶﻟ ِﻌdidahulukan daripada ﹶﻟﻬْﻮ, tetapi
pada Surat Al-A’raf ayat 51 dan al-Ankabut ayat 64, kata-kata
ﹶﻟﻬْﻮ
didahulukan daripada ﺐ
ٌ ﹶﻟ ِﻌ24. Surat-surat itu berbunyi:
ﺤﻴَﺎ ﹸﺓ ﺍﻟ ﱡﺪْﻧﻴَﺎ
َ ﺨﺬﹸﻭﺍ ﺩِﻳَﻨ ُﻬ ْﻢ ﹶﻟ ْﻬﻮًﺍ َﻭﹶﻟ ِﻌﺒًﺎ َﻭ ﹶﻏﺮﱠْﺗﻬُﻢُ ﺍﹾﻟ
َ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﺍﱠﺗ
(yaitu) orang-orang yang menjadikan agamanya sebagai senda
gurau dan permainan, dan mereka telah tertipu oleh kehidupan
dunia25.
ﺐ
ٌ ﺤﻴَﺎ ﹸﺓ ﺍﻟ ﱡﺪْﻧﻴَﺎ ِﺇﻟﱠﺎ ﹶﻟ ْﻬ ٌﻮ َﻭﹶﻟ ِﻌ
َ َﻭﻣَﺎ َﻫ ِﺬ ِﻩ ﺍﹾﻟ
Kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan26.
Menurut keterangan kitab pengarang kitab Al-Burhan fi Ulum AlQuran, yang menjadi dasar didahulukan
karena
ﺐ
ٌ ﹶﻟ ِﻌdisamakan
ﺐ
ٌ ﹶﻟ ِﻌ
dan diakhirkan
dengan masa pagi atau masa kanak-kanak.
Sedangkan ﹶﻟﻬْﻮdisamakan dengan masa pemuda27.
23
Ibid, 541.
Ibid, 282.
25
Ibid, 157.
26
Ibid, 405.
27
Ibid, 283. Lihat juga didalam kitab al-Burhan fi Ulum al- Qur’an.
24
ﹶﻟﻬْﻮ
24
2. Membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya
tampak bertentangan28. Perlu ditegaskan bahwa masalah ini bukan
dimaksudkan sebagai tafsir bi al-Ma’tsur, dan bukan pula antara
Qath’i dan Dzanni, tetapi hanya pengertian yang kelihatan berbeda,
sebab pengertiannya sama-sama Dzanni29. Misalnya, dalam al-Qur’an
diterangkan bahwa wahyu penciptaan langit dan bumi adalah enam
hari, sebagaimana didalam surat Hud ayat 7:
ﺽ ﻓِﻲ ِﺳﱠﺘ ِﺔ ﹶﺃﻳﱠﺎﻡ
َ ﺕ ﻭَﺍﹾﻟﹶﺄ ْﺭ
ِ ﺴﻤَﺎﻭَﺍ
َﻭﻫُ َﻮ ﺍﱠﻟﺬِﻱ َﺧﹶﻠ َﻖ ﺍﻟ ﱠ
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa30.
Sedangkan didalam hadis disebutkan bahwa bumi diciptakan
dalam tujuh hari31, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah saw memegang tanganku dan bersabda,
“Allah swt telah menciptakan tanah pada hari sabtu, menciptakan di
bumi gunung-gunung pada hari ahad, menciptakan pepohonan pada
hari senin, menciptakan yang tidak disukai pada hari selasa,
menciptakan cahaya pada hari rabu, menyebarkan binatang melata di
bumi pada hari kamis, menciptakan Adam pada hari jum’at setelah
ashar yang merupakan akhir penciptaan di akhir waktu dari waktuwaktu hari jum’at yaitu antara ashar hingga malam”32.
28
Ibid, 282.
Ibid, 287.
30
Ibid, 223.
31
Ibid, 287.
32
Ibid, 287.
29
25
Al-Syaikh al-Albani memaparkan bahwa hadis itu tidaklah
bertentangan dengan al-Qur’an dari sisi manapun, berbeda dengan
anggapan sebagian orang. Sesungguhnya hadits itu menjelaskan
tentang keadaan penciptaan bumi saja dan itu berlangsung dalam
tujuh hari sedangkan nash al-Qur’an menyebutkan bahwa penciptaan
langit dan bumi dalam enam hari dan bumi dalam dua hari yang tidak
bertentangan dengan hadits diatas karena adanya kemungkinan bahwa
enam hari ini berbeda dengan tujuh hari yang disebutkan didalam
hadis33.
3. Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dengan menafsirkan
al-Qur’an. Pendapat-pendapat para ulama dihimpun dalam satu
pendapat, tetapi dimaksudkan untuk menelitinya, mana pendapat yang
lemah dan mana yang kuat, mana pendapat yang luas dan mana
pendapat yang sempit, mana pendapat yang lebih diterima oleh
kalangan mufassir serta siapa sebenarnya yang mengeluarkan
pendapat tersebut34.
Kelebihan dan kelemahan Metode Muqarin (Komperatif)35
a)
Kelebihan Metode Muqarin (Komperatif) adalah:
a. Memberikan wawasan penafsiran al-Qur’an yang bersifat
relatif dibanding dengan menggunakan metode-metode yang
lain
33
Al-Syaikh al-Albani. Misykat al-Mashabih , (1598), 3.
Ibid, 287.
35
Ibid, 142-144.
34
26
b. Dapat mengetahui suatu kedisipilinan ilmu pengetahuan
didalam al-Qur’an, sehingga kita tidak akan menganggap alQur’an itu sempit
c. Dapat menjadikan sikap toleran dan memahami seseorang
yang bersikap fanatik terhadap Madzhab tertentu tentang
penfsiran al-Qur’an
d. Mufasir akan lebih berhati-hati dalam menafsirkan al-Qur’an
dengan mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta
pendapat-pendapat
mufasir
sehingga
penafsiran
yang
diberikan akan relatif terjamin kebenarannya36
b)
Kekurangan Metode Muqarin (Komparatif) adalah37:
a. Akan mengakibatkan kesalahpahaman bahkan akan bersikap
fanatik terhadap madzhab tertentu bagi pemula yang
menggunakan metode komperatif
b. Metode komperatif lebih mengutamakan perbandingan
daripada pemecahan masalah, maka kurang dapat diandalkan
untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di
masyarakat
c. Terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran
yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan
penafsiran-penafsiran baru.
36
37
Ibid,144.
Ibid, 143-144.
27
Dari definisi, kelebihan dan kekurangan di atas, terlihat Metode
Muqarin (Komparatif) memiliki cakupan yang sangat luas apabila
dibandingkan dengan metode tafsir yang lain. Dan dapat untuk
mengembangkan pemikiran tafsir yang rasional dan objektif sehingga
mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif yang berhubungan
dengan latar belakang dan dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran
dalam penafsiran.
B. Corak Penafsiran al-Qur’an
Dalam bahasa Indonesia kosakata “Corak” menunjuk kepada berbagai
konotasi antara lain “Bunga” atau “Gambar-gambar” pada kain, anyaman,
dan sebagainya. Misalnya dikatakan “Corak kain sarung itu kurang bagus;
besar-besar corak kain batik itu”38.
( ﻟﻮﻥwarna)39, hal ini dapat
dijumpai dalam kitab al-Dzahabi seperti ditulisnya ﺍﻟﻮﺍﻥ ﺍﻟﺘﻔﺴﲑ ﰱ ﻛﻞ ﺧﻄﻮﺓ
(corak-corak penafsiran al-Qur’an pada setiap fase) dan ﺍﻟﻮﺍﻥ ﺍﻟﺘﻔﺴﲑ ﰱ ﺍﻟﻌﺼﺮ
( ﺍﳊﺪﻳﺚcorak-corak penafsiran di abad modern)40.
Disamping istilah corak menggunakan ﻟﻮﻥdalam ilmu tafsir juga
Istilah Corak didalam bahasa arab adalah
ditemukan term yang bersinonim dengannya. Yaitu ittijah, nahiyat, madrasat.
Misalnya dikatakan
38
ﺍﻻﲡﺎﻫﺎﻙ ﺍﳌﺬﻫﺒﻴﺔ ﰱ ﺍﻟﺘﻔﺴﲑ
(kecenderungan-
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. Ke-1 (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 173.
Rusyadi. Kamus Indonesia-Arab, (Jakarta: Renika cipta, 1995), 181.
40
Ibid. 140 dan 162.
39
28
kecendrungan aliran dalam tafsir al-Quran)41. Adapun pemakaian istilah
nahiyat, misalnya ad-Dzahabi menulis
ﻟﻠﻘﺮﺍﻥ
ﺍﻫﺘﻤﺎﻡ ﺍﻟﺰﳐﺸﺮﻯ ﺑﺎ ﻟﻨﺎ ﺣﻴﺔ ﺍﻟﺒﻼﻏﻴﺔ
(perhatian al-Zamakhsyari terhadap aspek sastra al-Quran)42,
sedangkan pemakaian istilah madrasat, dapat dijumpai dalam kitab Manahij
al-Quran seperti ditulisnya
ﺍﳌﺪﺭﺳﺔ ﺍﻟﻠﻐﻮﻳﺔ ﰱ ﺍﻟﺘﻔﺴﲑ ﺍﳌﺪﺭﺳﺔ ﺍﻟﻌﻘﻠﻴﺔ ﺍﻟﺘﻔﺴﲑ
(aliran kebahasaan dalam tafsir, aliran rasional dalam tafsir)43.
Dari istilah yang digunakan para ulama tafsir untuk menjelaskan sosok
penafsiran, tampak istilah corak lebih netral dan lebih familiar dengan budaya
Indonesia. Jadi yang dimaksud dengan corak penafsiran ialah suatu warna,
arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi
sebuah karya tafsir44.
Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung
dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih,
kecenderungan sufisme dari mufassir itu sendiri, sehingga tafsir yang
dihasilkan akan mempunyai berbagai corak45.
Abdullah Darraz mengatakan didalam kitabnya46, bahwa ayat-ayat alQur'an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda
dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika
41
Jibril. Madkhal ila Manahij al-Mufassirin, (Kairo:al-Risalat, 1978), 135.
Ibid, 443.
43
Ibid, 443.
44
Lihat juga Nashruddin Baidan, “Tinjauan Kritis Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia”,
didalam profetika, vol. 2, No. 2, (Surakarta: PMSI-UMS, 2000), 265.
45
Ibid, 386.
46
Abd Darraz, al-Naba' al-Adzhim, (Mesir: Dar al-'Urubah, 1960), 111.
42
29
kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat
banyak dibandingkan apa yang kita lihat47.
Di antara berbagai corak itu antara lain adalah48:
1. Tafsir Sufi, sebut juga dengan Tafsir Isy’ari yaitu penafsiran orang-orang
sufi terhadap al-Qur’an yang bermula dari anggapan bahwa Riyadhah
(latihan) rohani yang dilakukan
seorang sufi bagi dirinya akan
menyampaikan kesuatu tingkatan dimana ia dapat menyingkapkan isyaratisyarat kudus yang terdapat dibalik ungkapan-ungkapan al-Qur’an dan
akan tercurah pula kedalam hatinya dari limpahan ghaib49.
2. Tafsir Fiqhi adalah corak tafsir yang lebih menitik beratkan kepada
pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta
membahas perdebatan-perdebatan pendapat seputar pendapat-pendapat
imam madzhab. Tafsir Fiqhi ini juga dikenal dengan Tafsir al-Ahkam,
yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam alQur’an (ayat-ayat ahkam).50 Tafsir Fiqhi lebih populer dengan sebutan
Tafsir Ayat al-Ahkam atau Tafsir al-Ahkam, karena lebih berorientasi pada
ayat-ayat al-Qur’an51.
3. Tafsir Falsafi, yaitu penafsiran al-Qur'an dengan menggunakan teori-teori
filsafat52. Contoh kitab Tafsir Falsafi adalah kitab Mafatih al-Ghaib karya
Fakhr al-Din al-Razi. Dalam kitab tersebut al-Razi menempuh cara ahli
47
Ibid, 111.
Ibid, 465.
49
Manna Khalil al-Qattan. Mabahis fi ulum al-Qur’an, terj, Madzakir AS, (Jakarta: Litera Antar
Nusa, 2004), 465.
50
Rosihon Anwar. Ilmu Tafsir, (Bandung: CV. Pustaka setia, 2000), 167-169.
51
Ibid, 66.
52
Ibid,139.
48
30
filsafat dalam mengemukakan dalil-dalil secara utuh yang didasarkan pada
Ilmu Kalam dan Semantik (logika)53. Al-Razi juga membeberkan ide-ide
filsafat yang dipandang bertentangan dengan agama, khususnya dengan alQur'an, dan akhirnya al-Razi dengan tegas menolak filsafat berdasar alasan
dan dalil yang dianggap memadai54.
4. Tafsir Ilmi menurut Amin al-Khuli, adalah tafsir yang memaksakan istilahistilah keilmuan kontemporer atas redaksi al-Qur’an dan berusaha
menyimpulkan berbagai ilmu dan pandangan-pandangan filosofis dari
redaksi al-Qur’an55.
5. Tafsir Adabi al-Ijtima’i, yaitu penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dengan
mengungkapkan
sisi
balaghah
al-Qur'an
dan
kemukjizatannya,
menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju al-Qur'an,
mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan kemasyarakatan yang
dikandungnya56. Tafsir adabi al-Ijtima'i merupakan corak tafsir baru yang
menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur'an serta
memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur'an57.
Di antara kitab Tafsir Adabi al-Ijtima’i adalah Tafsir al-Manar karya
Muhammad Abduh dan Rashid Ridha58.
Dari penjelasan metodologi penafsiran al-Qur’an dan corak penafsiran
diatas, untuk menindak lanjuti dalam penelusuran karya ilmiah ini, tak pelak
53
Ibid, 139.
Ibid, 139.
55
Ibid, 5.
56
Ibid, 253.
57
Said Agil Husain al-Munawar, Al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, 71-72
58
M. Quraish Shihab. Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha,
(Bandung: Pustaka Budaya, 1994), 25.
54
31
bahwa akan diuraikan lebih lanjut tentang keilmuan Ulumul Qur’an, yakni
kisah-kisah dalam al-Qur’an untuk membantu dalam penelitian tersebut.
C. Kisah-Kisah dalam al-Qur’an
Al-Qur’an adalah buku risalah keagamaan yang diturunkan oleh Allah
SWT. kepada Nabi Muhammad sebagai Risalah Kenabian, yaitu berbentuk
perintah, larangan dan bahkan dalam bentuk kisah atau cerita59.
Meskipun begitu al-Qur’an bukanlah buku sejarah, atau buku sastra.
Namun, harus diakui bahwa didalamnya banyak memuat kisah atau cerita
sejarah yang diungkapkan dalam bahasa sastra yang sangat indah60.
Dari sisi sastra, cerita tentang sejarah dalam al-Qur’an, menyodorkan
ungkapan yang padat dengan bahasa yang indah tanpa tanding dalam segala
seginya. Gaya bahasanya yang diwarnai pemilihan kata yang tepat
merupakan karya yang mengagumkan. Disisi lain, cerita yang terkandung
didalamnya adalah sejarah yang diyakini kebenarannya oleh kaum
muslimin61.
Oleh karena itu, disini akan dikaji definisi kisah-kisah al-Qur’an,
macam-macam kisah dalam al-Qur’an dan tujuan-tujuan tersebut dalam alQur’an:
1.
Definisi Kisah-Kisah dalam al-Qur’an
Secara leksikal, Kisah-kisah dari kata Qashash jamak dari alQishash yang berarti Tatabbu al-Atsar (napak tilas atau mengulang
59
Ibid, 65.
Ibid, 435.
61
Ibid, 435.
60
32
kembali masa lalu)62. Arti ini diperoleh dari al-Qur’an surat al-Kahfi(18)
ayat 64:
ﺼﺼًﺎ
َ ﻓﹶﺎ ْﺭَﺗﺪﱠﺍ َﻋﻠﹶﻰ َﺁﺛﹶﺎ ِﺭ ِﻫﻤَﺎ ﹶﻗ
Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula63.
Al-Qishash sama artinya dengan al-Hadits64, yang artinya cerita.
Sedangkan al-Qishash sebagai salah satu bentuk sastra yang dalam bahasa
Indonesia disebut cerpen atau novel, didefinisikan sebagai media untuk
mengungkapkan kehidupan atau fragmen-fragmennya yang menyangkut
suatu peristiwa atau sejumlah peristiwa yang terkait satu sama lainnya65.
Adapun al-Qishash (kisah) secara terminologi66:
ﺍﺧﺒﺎﺭ ﻋﻦ ﺍﺣﻮﺍﻝ ﺍﻻﻣﻢ ﺍﳌﺎﺿﻴﺔ ﻭﺍﻟﻨﺒﻮﺍﺕ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﻭﺍﳊﻮﺍﺩﺙ ﺍﻟﻮﺍﻗﻌﺔ
Pemberitaan mengenai keadaan umat terdahulu,
terdahulu, dan peristiwa yang pernah terjadi67
Nabi-Nabi
Al-Qishash atau kisah didalam al-Qur’an tampaknya lebih dekat
artinya al-Tarikh (sejarah) daripada kepada al-Qishash sebagai bentuk
sastra modern. Hal ini bila ditinjau dari segi isi yang dikandungnya yang
sama-sama menceritakan peristiwa, kurikulum yang benar-benar terjadi.
62
Ibid, 305.
Ibid, 302.
64
Ma’luf Luis. al-Munjid, (Beirut: al-Mathba’ah Katulikiyah, 1973), 31.
65
Muhammad Kamil Hasan. al-Qur’an wa al-Qishshat al-Haditsat, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyat, 1970), 9.
66
Ibid, 67.
67
Ibid, 306. Lihat ilmu tafsir Rosihon Anwar.
63
33
2.
Macam-macam kisah dalam al-Qur’an.
a.
Dilihat dari sisi pelaku, Manna’ al-Qathan, membagi kisahkisah al-Qur’an dalam tiga bagian68, yaitu:
1.
Kisah para nabi terdahulu, bagian ini berisikan ajakan para
nabi kepada kaumnya; mu’jizat-mu’jizat dari Allah yang
memperkuat dakwah mereka, sikap orang yang memusuhinya,
serta tahapan-tahapan dakwah, perkembangannya, dan akibat yang
menimpa orang beriman, dan orang yang mendustakan para nabi.
Seperti kisah nabi Nuh, Ibrahim, dan lain sebagainya.
2.
Kisah yang berhubungan dengan kejadian pada masa lalu dan
orang-orang yang tidak disebutkan kenabiannya, seperti kisah
anak-anak Adam, Thalut dan Jalut, Dzulqarnain, dan lain
sebagainya.
b.
Dilihat dari panjang pendeknya, kisah-kisah al-Quran dapat
dibagi dalam tiga bagian69:
68
69
Ibid, 306.
Ibid, 306. Pembagian ini diilhami oleh pandangan Toha Husain yang membagi kisah pada tiga
bagian:
a. Kisah pendek sekali yang terdiri atas beberapa halaman saja
b. Kisah pendek yang lebih panjang dari kisah bagian pertama, disebut dengan Qishash
Qosiroh
c. Cerita roman (riwayat, novel). Lihat Hanafi, op.cit.,15-16
34
1.
Kisah panjang, Contohnya kisah nabi Yusuf dalam Surat
Yusuf, yang hampir seluruh ayatnya mengungkapkan kehidupan
nabi Yusuf sejak masa kanak-kanaknya sampai dewasa.
2.
Kisah yang lebih pendek dari bagian yang pertama, seperti
kisah Maryam dalam surat Maryam.
3.
Kisah pendek, yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari 10
ayat, seperti kisah nabi Hud dan Nabi Luth dalam surat al-A’raf70.
c.
Dilihat dari jenisnya, menurut Khalafullah kisah-kisah alQuran dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu71:
1.
Kisah sejarah (al-Qishash al-Tarikhiyah), yakni kisah yang
berkisar tentang tokoh sejarah, seperti para nabi dan rasul.
2.
Kisah sejarah (al-Qishash al-Tamtsiliyyah), yakni kisah yang
menyebutkan suatu peristiwa untuk menerangkan dan menjelaskan
suatu pengertian. Peristiwa itu tidak benar-benar terjadi, tetapi
hanya perkiraan dan khayalan semata.
3.
Kisah asatir, kisah yang didasarkan atas suatu asatir. Pada
umumnya, kisah semacam ini bertujuan mewujudkan tujuan-tujuan
ilmiyah atau menafsirkan gejala-gejala yang ada, atau menguraikan
sesuatu persoalan yang sukar diterima akal72.
Dalam versi lain, menurut Muhammad Quthub, al-Qur’an ada tiga
macam kisah73:
70
Ibid, 306.
Ibid, 23.
72
Ibid, 23.
73
Muhammad Quthub. Manhaj al-Tarbiyyat al-Islamiyyat, 236.
71
35
1.
Kisah yang ditunjukkan tempat, tokoh, dan gambaran kisahnya.
Seperti menggambarkan nabi-nabi serta akibat mereka yang
mendustakannya. Cerita ini menyebutkan nama-nama tempat dan
tokoh pelakunya secara pasti, seperti kisah Nabi Musa dengan
Fir’aun.
2.
Kisah yang menunjukkan peristiwa atau keadaan tertentu dari pelaku
sejarah tanpa menyebutkan nama dan tempat kejadiannya. Seperti
kisah dua putra Nabi Adam yang mengadakan Qurban, yang satu
ditolak Tuhan dan yang lainnya diterima, sebagaimana terdapat
didalam surat al-Ma’idah ayat 27-3074.
3.
Kisah dalam bentuk dialog75. Peristiwa inipun tidak disebutkan siapa
pelaku dan dimana terjadinya. Sepeti kisah orang yang mempunyai
dua teman sebagaimana dilukiskan didalam surat al-Kahfi ayat 3243.
Kisah jenis pertama adalah paling dominan didalam al-Qur’an.
Dalam kisah jenis inilah kita mendapatkan gambaran perjuangan antara
buruk dan baik yang dapat dijadikan cermin oleh kaum Muslimin dalam
perjuangannya untuk menegakkan agama Allah76.
3.
Tujuan Kisah-Kisah dalam al-Qur’an
Kisah-kisah sebagai subsistem dari al-Qur’an berkaitan dengan sub
lainnya. Ini berarti bahwa kisah-kisah tidak terlepas dari tema-tema pokok
74
Ibid, 236.
Ibid, 236.
76
Ibid, 236.
75
36
yang dikandung al-Qur’an yang berupa ajaran Tuhan, manusia, dan alam
semesta, serta hubungan manusia sebagai individu dengan semuanya itu77.
Hal ini juga, berarti bahwa fungsi yang dipikul oleh kisah-kisah sama
dengan fungsi yang dipikul oleh al-Qur’an secara keseluruhan78, yaitu
sebagai petunjuk dan cahaya, serta sebagai berita bahagia dan peringatan.
Walaupun demikian, sebagaimana suatu subsistem kisah-kisah dalam alQur’an mempunyai tujuan atau fungsi tersendiri79.
Banyak tujuan atau fungsi yang terdapat dalam Qashash (kisahkisah) al-Qur’an sebagaimana yang diutarakan Manna al-Qatthan80,
diantaranya:
1.
Menjelaskan
Prinsip-prinsip
dakwah
dan
pokok-pokok
syari’at yang dibawa oleh setiap Nabi. Dalam hal ini, Allah berfirman
dalam surat al-Anbiya’ (21) ayat 25:
ﻚ ِﻣ ْﻦ َﺭﺳُﻮ ٍﻝ ِﺇﻟﱠﺎ ﻧُﻮﺣِﻲ ِﺇﹶﻟْﻴ ِﻪ ﹶﺃﱠﻧ ُﻪ ﻟﹶﺎ ِﺇﹶﻟ َﻪ ِﺇﻟﱠﺎ ﹶﺃﻧَﺎ ﻓﹶﺎ ْﻋُﺒﺪُﻭ ِﻥ
َ َﻭﻣَﺎ ﹶﺃ ْﺭ َﺳ ﹾﻠﻨَﺎ ِﻣ ْﻦ ﹶﻗْﺒِﻠ
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu,
melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada
Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku81.
2.
Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umatnya dalam
menegakkan agama Allah, serta menguatkan kepercayaan orang-orang
yang beriman melalui datangnya pertolongan Allah dan hancurnya
77
Ibid, 136.
Ibid, 136.
79
Ibid,136.
80
Ibid, 307. Bandingkan dengan Muhammad Saleh al-Husaimin, Dasar-Dasar Penafsiran alQur’an, terj. Agil Husain al-Munawwar, (Semarang: Dimas, 1989), 71.
81
Ibid, 325.
78
37
kebatilan beserta para pendukungnya. Tujuan ini tercantum dalam alQur’an surat Hud ayat 120:
ﺖ ِﺑ ِﻪ ﹸﻓﺆَﺍ َﺩ َﻙ َﻭﺟَﺎ َﺀ َﻙ ﻓِﻲ َﻫ ِﺬ ِﻩ
ُ ﻚ ِﻣ ْﻦ ﹶﺃْﻧﺒَﺎ ِﺀ ﺍﻟ ﱡﺮﺳُ ِﻞ ﻣَﺎ ُﻧﹶﺜﺒﱢ
َ ﻭﻛﹸﻠًّﺎ َﻧ ﹸﻘﺺﱡ َﻋﹶﻠْﻴ
ﲔ
َ ﺤ ﱡﻖ َﻭ َﻣ ْﻮ ِﻋ ﹶﻈ ﹲﺔ َﻭ ِﺫ ﹾﻛﺮَﻯ ِﻟ ﹾﻠﻤُ ْﺆ ِﻣِﻨ
َ ﺍﹾﻟ
Dan semua kisah yang rasul-rasul, kami ceritakan kepadamu
(Muhammad) agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan
didalamnya telah diberikan kepadamu segala kebenaran, nasihat
dan peringatan bagi orang-orang yang beriman82.
3.
Membenarkan
Nabi-Nabi
terdahulu
dan
mengingatkan
kembali jejak-jejak mereka83.
4.
Memperlihatkan
kebenaran
Nabi
Muhammad
dalam
penuturannya mengenai orang-orang terdahulu84.
5.
Membuktikan
kekeliruan
Ahli
Kitab
yang
telah
menyembunyikan keterangan dan petunjuk85. Disamping itu, kisahkisah itu memperlihatkan isi kitab suci mereka sesungguhnya, sebelum
diubah dan direduksi, sebagaimana dalam firman Allah pada surat AlImran ayat 93:
ﺴ ِﻪ ِﻣ ْﻦ
ِ ﹸﻛﻞﱡ ﺍﻟ ﱠﻄﻌَﺎ ِﻡ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺣِﻠًّﺎ ِﻟَﺒﻨِﻲ ِﺇ ْﺳﺮَﺍﺋِﻴ ﹶﻞ ِﺇﻟﱠﺎ ﻣَﺎ َﺣ ﱠﺮ َﻡ ِﺇ ْﺳﺮَﺍﺋِﻴﻞﹸ َﻋﻠﹶﻰ َﻧ ﹾﻔ
ﲔ
َ ﹶﻗْﺒ ِﻞ ﹶﺃ ﹾﻥ ﺗَُﻨ ﱠﺰ ﹶﻝ ﺍﻟﱠﺘ ْﻮﺭَﺍ ﹸﺓ ﹸﻗ ﹾﻞ ﹶﻓ ﹾﺄﺗُﻮﺍ ﺑِﺎﻟﱠﺘ ْﻮﺭَﺍ ِﺓ ﻓﹶﺎْﺗﻠﹸﻮﻫَﺎ ِﺇ ﹾﻥ ﹸﻛْﻨُﺘ ْﻢ ﺻَﺎ ِﺩِﻗ
82
Ibid, 236.
Ibid, 71.
84
Ibid, 71.
85
Ibid, 71.
83
38
Semua makanan itu halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang
diharamkan oleh Israil (Ya’qub) atas dirinya sebelum Taurat
diturunkan. Katakanlah (Muhammad), “Maka bawalah Taurat lalu
bacalah, jika kamu orang-orang yang benar86.
6.
Kisah merupakan salah satu bentuk sastra yang menarik bagi
setiap pendengarnya dan memberikan pengajaran yang tertanam dalam
jiwa87. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah dalam surat Yusuf
ayat 111:
ﺏ ﻣَﺎ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ َﺣﺪِﻳﺜﹰﺎ ُﻳ ﹾﻔَﺘﺮَﻯ َﻭﹶﻟ ِﻜ ْﻦ
ِ ﺼ ِﻬ ْﻢ ِﻋْﺒ َﺮ ﹲﺓ ِﻟﺄﹸﻭﻟِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄﹾﻟﺒَﺎ
ِﺼ
َ ﹶﻟ ﹶﻘ ْﺪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻓِﻲ ﹶﻗ
ﺼﺪِﻳ َﻖ ﺍﱠﻟﺬِﻱ َﺑْﻴ َﻦ َﻳ َﺪْﻳ ِﻪ َﻭَﺗ ﹾﻔﺼِﻴ ﹶﻞ ﹸﻛﻞﱢ َﺷ ْﻲ ٍﺀ َﻭ ُﻫﺪًﻯ َﻭ َﺭ ْﺣ َﻤ ﹰﺔ ِﻟ ﹶﻘ ْﻮ ٍﻡ
ْ َﺗ
.ُﻳ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ ﹶﻥ
Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. (al-Qur’an) itu bukanlah cerita
yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman88.
Ringkasnya, kisah dalam al-Qur’an diungkapkan Tuhan sebagai
pelajaran, peringatan, janji, dan ancaman.89 Oleh karena itulah, dalam
berkisah tentang masa yang lalu, al-Qur’an selalu mewarnainya dengan
nasihat, bimbingan, peringatan, dan ancaman. Abd. al-Karim al-Khatib
menyimpulkan bahwa yang menjadi pusat tujuan dari kisah al-Qur’an
adalah ajakan kepada ajaran Allah.90 Sedangkan Muhammad Quthub
86
Ibid, 63.
Ibid, 71.
88
Ibid, 249.
89
Ibid, 166.
90
Ibid, 326.
87
39
memandang kisah al-Qur’an yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
saw sebagai alat pendidikan dan pembimbingan.91
91
Ibid, 237.