Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Kelompok

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pada dasarnya perkembangan tektonik dari Pulau Jawa itu tidak jauh berbeda dari Pulau Sumatra yang berada di sebelah barat lautnya. Hal ini dikarenakan pada awal Paleogen, Pulau Jawa dan Sumatra masih berada dalam bagian batas tepi lempeng mikro Sunda dan juga masih berada dalam satu sistem palung busur yang sama, yaitu hasil interaksi konvergen antara lempeng Australia (Indo-Australia) dengan lempeng Eurasia (lempeng mikroSunda). Ketika Eosen, pulau Jawa bagian utara yang semula berupa daratan,menjadi tergenang oleh air laut dan membentuk cekungan geosinklin. Ketika pertengahan Eosen, terbentang sesar purba dari Jawa hingga ke Meratus yang dikenal dengan Luk-Ulo Meratus. Sesar tersebut membentang ke utara timur membelah laut Jawa sampai bagian tenggara Kalimantan. Pada kala Oligosen, hampir seluruh pulau jawa mengalami pengangkatan, sehingga menjadi geantklin yang disebut geantklin Jawa.Pada saat itu muncul beberapa gunung api di Jawa bagian selatan. Pulau Jawa yang semula merupakan geantiklin berangsur-angsur mengalami penurunan lagi sehingga pada Miosen bawah terjadi genang laut. Gunung api yang bermunculan di bagian selatan membentuk pulau-pulau gunung api. Pada pulau-pulau tersebut terdapat endapan breaksi vulkanik dan endapan-endapan laut. Semakin jauh dari pantai terbentuk endapan gamping koral dan gamping foraminifera. Pada Miosen tengah di sepanjang pulau Jawa bagian selatan, pembentukan gamping koral terus berkembang dengan diselingi batuan vulkanik. Kemudian pada Miosen atas terjadi pengangkatan pada seluruh lengkung Sunda-Bali dan bagian selatan Jawa. Keberadaan pegunungan Jawa bagian selatan ini tetap bertahan sampai sekarang dengan batuan penyusun yang didominasi oleh batuan kapur yang dibeberapa tempat diselingi oleh munculnya vulkanik atau bentuk intrusi yang lain Rumusan Masalah Bagaimana profil umum Pulau Jawa? Bagaimana proses pembentukan Pulau Jawa? Bagaimana terjadinya patahan di Pulau Jawa? Bagaimana tektonik yang terjadi di Pulau Jawa? Bagaimana stratigrafi regional pada Pulau Jawa? Bagaimana tektonik regional pada Pulau Jawa? Bagaimana kondisi geologi Daerah Bayat? Tujuan Untuk mengetahui profil umum Pulau Jawa Untuk mengathui proses pembentukan Pulau Jawa Untuk mengetahui patahn yang ada di Pulau Jawa Untuk mengetahui kejadian tektonik di Pulau Jawa Untuk mengetahui stratigrafi regional Pulau Jawa Untuk mengetahui tektonik regional Pulau Jawa Untuk mengetahui kondisi geologi Daerah Bayat BAB II PEMBAHASAN Profil Geologi Pulau Jawa Pulau jawa terletak dikoordinat 7o30’10’’ LS 111o15’47’’ BT dan termasuk dalam Kepulauan Sunda Besar dengan luas 126.700 km2 (48.919,1 mil2 ) dengan titik tertinggi 3.676 meter (12.060 kaki) yaitu di Puncak Sumeru. Pulau jawa melintang dari Barat ke Timur dan berada di belahan bumi selatan. Di Pulau Jawa terdapat barisan pegunungan berapi aktif dengan tinggi diatas 3.000 meter diatas permukaan laut berada di pulau ini, salah satunya Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Bromo di Jawa Timur yang terkenal sangat aktif. Bagian selatan pulau berbatasan dengan Samudera India, pantai terjal dan dalam, bagian utara pulau berpantai landai dan dangkal berbatasan dengan Laut Jawa dan dipisahkan dengan pulau Madura oleh Selat Madura. Di bagian barat pulau Jawa dipisahkan dengan pulau Sumatera oleh Selat Sunda dan di bagian timur pulau Jawa dipisahkan dengan pulau Bali oleh Selat Bali. Secara geologi, pulau Jawa merupakan kawasan episentrum gempa bumi karena dilintasi oleh patahan kerak bumi lanjutan patahan kerak bumi dari pulau Sumatera, yang berada dilepas pantai selatan pulau Jawa. Fisiografi Pulau Jawa dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Setiap bagian terdiri dari zona-zona berdasarkan bentukan yang dominan pada masing-masing daerah. Proses Pembentukan Pulau Jawa Batuan dasar ( Basement ) di Pulau Jawa terbentuk antara tahun 70-35 juta tahun sebelum masehi. Batuan dasar tersebut tersusun oleh batuan malihan (matamorfik), serta batuan beku. Batuan dasar di Jawa barat lebih tua jika dibandingkan dengan batuan di Jawa Tengah dan Jawa timur dikarena basement (batuan dasar) di Jawa Timur tebentuk pada tahap-tahap akhir setelah ditubruk lempeng Australia dan numpuk-numpuk membentuk basement di Jawa Timur. Pada 20 juta tahun sebelum masehi, zona tubrukan lempeng Australia dengan lempeng Asia terkunci dan menyebabkan menunjamnya lempeng Australia dibawah lempeng Asia. Penunjaman ini berlangsung hingga sekarang dan menyebabkan munculnya gunung-gunung api disebelah barat Pulau Sumatra dan juga sebelah selatan Pulau Jawa. Pada saat itu Jawa Tengah dan Jawa Timur berupa lautan, jika dilihat di selatan Pulau Jawa banyak dijumpai gunung gamping. Gamping itu dulunya adalah terumbu karang yang hidup dan berada di laut. Dengan begitu dapat diketahui bahwa pegunungan selatan Jawa, termasuk batu gamping di Wonosari itu, dahulunya adalah berupa lautan. Patahan yang Tersebar di Pulau Jawa Patahan terjadi ketika suatu batuan mengalami retakan terlebih dahulu, kejadian ini berkaitan erat dengan tekanan dan kekuatan batuan yang mendapatkan gaya sehingga timbul adanya retakan (fracture). Tekanan yang diberikan mampu memberikan perubahan pada batuan dengan waktu yang sangat lama hingga memberikan gerakan sebesar seperseratus sentimeter dan bahkan sampai beberapa meter. Ketika ini terjadi, maka akan timbul sebuah gaya yang sangat besar yang berdampak getaran bagi sekitarnya saat suatu batuan mengalami patahan atau yang sering kita sebut dengan gempa. Di Pulau Jawa terdapat beberapa patahan, berikut beberapa daerah yang memiliki patahan : Gambar 1. Patahan Pulau Jawa Gambar 2. Proses Patahan Pulau Jawa Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa garis tersebut adalah patahan-patahan atau sesar-sesar yang terbentuk pada kala itu. Dari gambar tersebut dapat terlihat pula bagaimana Pulau Sumatra di cacah-cacah patahan yang berarah utara selatan. Pada tahun 20 juta tahun sebelum masehi, zona tubrukan lempeng Australia dengan lempeng Asia terkunci dan menyebabkan menunjamnya lempeng Australia dibawah lempeng Asia. Penunjaman ini yg berlangsung hingga sekarang dan menyebabkan munculnya gunung-gunung api disebelah barat Pulau Sumatra dan juga sebelah selatan Pulau Jawa. Juga patahan Opak, Patahan Grindulu, Patahan Cimandiri, dan juga patahan-patahan kecil lainnya. Yang digariskan warna merah itu patahan hingga ke batuan dasar, sedangkan yg warna hijau patahan yg terlihat dipermukaan saat ini. Analisis Tektonik Pulau Jawa Meskipun pulau Jawa dan Sumatra dalam tektonik regionalnya mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagian bagian tepi daripada lempeng Mikro Sunda yang berinteraksi secara konvergen dengan keraksamudra dari lempeng Hindia-Australia, namun tatanan geologi danstrukturnya menunjukkan sifat-sifat yang lebih komplek dibangind denganSumatera. Tatanan yang komplek ini mungkin disebabkan karena dijumpaijejak jalur subduksi Kapur Paleosen yang memotong “serong” pulau Jawadengan arah timurlaut baratdaya. Sedangkan pulau Jawa sendiri mempunyaiarah yang pararel ddengan jalur subduksi Tersier dan sekarang, yang dengansendirinya akan menanamkan jejak-jejak deformasinya yang lebih menonjol, yaitu barat timur Di Jawa, jalur-jalur subduksi yang dapat dikenali adalah Jalur subduksi Akhir Kapur yang sekarang mempunyai arah hampir baratdaya-timurlaut Jalur tumbukan Tersier yang terletak di selatan Pulau Jawa, berimpit dengan punggungan bawah laut dengan arah barat-timur. Dengan menerapkan konsep perkembangan tektonik yang sama seperti di Sumatera, maka berdasarkan data pola struktur, tektonik dan sedimentasi,perkembangan tektonik dari Pulau Jawa dapat digambarkan sebagai berikut: Pada jaman Kapur Atas – Paleosen, interaksi konvergen antara lempeng Hindia-Australia dengan lempeng Mikro Sunda, membentuk jalur subduksi yang arahnya barat timur. Jalur tersebut adalah singkapan mélange yang terdapat di Ciletuh, Luh-Ulo, Bayat, dan Meratus di Kalimantan Tenggara. Busur magmanya terletak di utara atau skitar laut Jawa dan pantai Utara Jawa sekarang. Di daerah-daerah yang terletak antara jalur subduksi dan busur magma terdapat cekungan pengendapan “muka busur” dengan endapan-endapan didominasi oleh volkaniklastik dan turbidit, sedangkan pada jalur subduksi terdapat cekungan-cekungan terbatas “upper slope basin” dengan endapan olistostrom (Formasi Ciletuh di Jawa Barat, Formasi Karangsambung dan Totogan di Jawa Tengah). Jalur subduksi mungkin bergeser ke selatan secara berangsur (akrasi) sampai menjelang Oligosen Akhir. Pada jaman Eosen itu juga disertai oleh pengangkatan terhadap jalur subduksi, sehingga di beberapa tempat tidak terjadi pengendapan. Pada saat itu terjadi pemisahan yang penting antara bagian utara Jawa dengan cekungannya yang dalam dari bagian selatan yang dicirikan oleh lingkungan pengendapan darat, paparan dan dangkal. Proses pengangkatan tersebut berlangsung hingga menjelang Oligosen Akhir. Proses yang dampaknya cukup luas (ditandai oleh terbatasnya sebaran endapan marin Eosen – Oligosen di Jawa dan wilayah paparan Sunda), dihubungkan pula dengan berkurangnya kecepatan gerak lempeng Hindia-Australia (hanya 3cm/tahun). Gerak tektonik pada saat itu didominasi oleh sesar-sesar bongkah, dengan cekungan-cekungan terbatas yang diisi oleh endapan aliran gayaberat (olistotrom dan turbidit) Oligosen Akhir – Miosen Awal, terjadi gerak rotasi yang pertama sebesar 200 ke arah yang berlawanan dengan jarum jam dari lempeng Sunda (Davies, 1984). Menurut Davies, wilayah-wilayah yang terletak di bagian tenggara lempeng atau sekitar Pulau Jawa dan Laut Jawa bagian timur, akan mengalami pergeseran-pergeseran lateral yang cukup besar sebagai akibat gerak rotasi tersebut. Hal ini dikerenakan letaknya yang jauh dari poros rotasi yang oleh Davies diperkirakan terletak di kepulauan Anambas. Akibat gerak rotasi tersebut, gejala tektonik yang terjadi wilayah pulau Jawa adalah: Jalur subduksi Kapur-Paleosen yang mengarah barat-timur berubah menjadi timur timurlaut-barat baratdaya (ENE – WSW) Sesar-sesar geser vertical (dip slip faults) yang membatasi cekungan- cekungan muka busur dan bagian atas lereng (Upper slope basin), sifatnya berubah menjadi sesar-sesar geser mendatar. Perubahan gerak daripada sesar tersebut akan memungkinkan terjadinya cekungan- cekungan “pull apart” khususnya di Jawa Tengah utara dan Laut Jawa bagian timur, termasuk Jawa Timur dan Madura. Menjelang akhir Miosen Awal, gerak rotasi yang pertama daripada lempeng Mikro Sunda mulai berhenti. Miosen Tengah terjadi percepatan pada gerak lempeng Hindia-Australia dengan 5-6 cm/th dan perubahan arah menjadi N200E pada saat menghampiri lempeng Mikro Sunda. Pada Akhir Miosen Tengah, terjadi rotasi yang edua sebesar 20-250, yang diacu oleh membukanya laut Andaman (Davies, 1984) Berdasarkan data kemagnitan purba, gerak lempeng Hindia-Australia dalam menghampiri lempeng Sunda, mempunyai arah yang tetap sejak Miosen Tengah yaitu dengan arah N200E. Dengan arah yang demikian, maka sudut interasi antara lempeng Hindia dengan Pulau Jawa akan berkisar antara 700 (atau hampir tegak lurus) Perubahan pola tektonik terjadi dijawa barat sebagai berikut : Cekungan muka busur eosin yang menampati cekunagn pengendapan bogor, berubah statusnya menjadi cekunagn belakang busur, dengan pengendapan turbidit (a.l. Fm. Saguling) Sebagai penyerta daripada interksi lempeng konvergen, tegasan kompresip yang mengembang menyebapkan terjadinya sesar-sesar naik yang arahnya sejajar dengan jalur subduksi dicekunagn belakang busur. Menurut SUJONO (1987), sesar- sesar tersebut mengontrol sebaran endapan kipas-kipas laut dalam. Dijawa tengah pengendapan kipas-kipas turbidit juga berlangsung didalam cekungan “belakang busur” yang mengalami gerak-gerak penurunan melalui sesar-sesar bongkah dan menyebapkan terjadinya sub cekungan. Bentuk dari pada subcekungan dikontrol oleh sesar-sesar tua yang memotong batuan dasar yang mengalami peremajaan, yaitu yang berarah barat laut-tenggara (NW-SE) dan timur laut barat daya (NE-SW). Data mengenal umur batuan volkanik tersier menunjukan adanya kecenderungan bahwa kegiatan volkanisme berangsur bergeser keutara, sehingga busur magma tersier atas berada disebelah utara dari jalur magma oligosen. Dijawa tengah terdapat pusat kegiatan volkanisme atas dibagian tengah pulau, yang seolah-olah memisahkan cekungan belakang busur menjadi 2 bagian, yakni Cekungan jawa tengah utara dan selatan. Dengan bergesernya secara berangsur pusat kegiatan magma pada jaman terser atas hingga sekarang kearah utara, maka sebagian besar dari cekungan-cekungan yang menempati “Bogor-kendeng basinal area” dan “Southern Mountain”. Akan mengalami perubahan status dari cekungan belakang busur menjadi cekungan Intra-Arc atau Intra Masif. Cekungan- cekungan belakang busur berkembang dijwa barat utara (NW.Java Basin), jawa tengah utara (N.Central Java Basin), dan NE.Java Basin termasuk Madura. Jawa Timur Tatanan Tektonik Jawa Timur Indentasi Jawa Timur, seperti halnya indentasi Jawa Tengah, dicirikan oleh hilangnya Pegunungan Selatan Jawa dan hadirnya depresi. Depresi ini kini diduduki kota Lumajang (kita sebut saja Depresi Lumajang) dan merupakan wilayah pengaliran sungai-sungai yang berasal dari kedua dataran tinggi di sebelah barat dan timur depresi. Kehadiran Pulau Nusa Barung tepat di tengah indentasi selatan ini sangat menarik, posisinya sama dengan Tinggian Karangbolong pada sistem indentasi Jawa Tengah, lebih-lebih lagi pulau ini pun disusun oleh batugamping Miosen yang ekivalen dengan batugamping di Karangbolong. Batuan pra-tersier tidak tersingkap di daerah Jawa Timur. Bagian tengahnya ditempati oleh jalur volkanik kwarter. Satuan-satuan fisografi yang dapat dibedakan terdiri dari (selatan ke utara) a. Pegunungan Selatan b. Jalur Depresi Tengah c. Jalur Kendang d. Depresi Randublatung e. Zona Rembang yang dapat diteruskan ke pulau Madura Pegunugnan Selatan di Jawa Timur berkembang sebagai fasies volkanik dan karbonatan yang berumur Miosen. Di sebelah utara dari jalur volkanik kwarter adalah jalur Kendeng yang terdiri dari endapan Tersier yang agak tebal. Menurut Genevraye dan Samuel (1972), tebalnya lapisan Tersier di sini mencapai beberapa ribu meter. Dekat kota Cepu daerah ini terlipat dan tersesarkan dengan kuat. Di beberapa tempat lapisan-lapisan itu bahkan terpotong-potong oleh sesar naik dengan sudut kemiringan yang kecil. Apakah indentasi Jawa Timur merupakan miniatur indentasi Jawa Tengah? Sebagian ya, tetapi sebagian lagi tidak. Beberapa pola indentasi Jawa Tengah dapat diterapkan di sini. Pegunungan Selatan di wilayah ini tenggelam. Depresi Lumajang diapit dua sesar besar di sebelah barat dan timurnya. Dua sesar besar ini telah memutuskan dan mengubah kelurusan jalur gunungapi Kuarter di Jawa Timur. Ini masih butuh penelitian lebih lanjut, tetapi beberapa pemikiran dapat dikemukakan. Dua sistem sesar besar pembatas Depresi Lumajang merupakan penyebab terjadinya indentasi dan depresi tersebut. Apakah sistem sesar besar itu merupakan pasangan sesar besar sinistral (BD-TL) dan dextral (BL-Tenggara) seperti halnya indentasi Jawa Tengah ? Ini akan memuaskan untuk menjawab munculnya Pulau Nusa Barung di tengah Pegunungan Selatan yang tenggelam, dan tenggelamnya Selat Madura di sebelah utara indentasi Pasuruan-Situbondo. Tetapi, ini sulit untuk menerangkan terjadinya kelurusan gunungapi Semeru-Bromo-Penanjakan yang utara-selatan di Kompleks Semeru-Tengger di sebelah barat Depresi Lumajang dan kelurusan utara-selatan gunungapi Argopuro-Kukusan di Kompleks Iyang (Yang, Ijang) di sebelah timur Depresi Jawa Timur. Keberadaan sesar besar utara-selatan sedikit melengkung menghadap depresi Lumajang adalah penyebab indentasi dan depresi Lumajang. Sesar besar ini dapat menjelaskan kelurusan gunungapi Semeru-Bromo-Penanjakan. Puncak-puncak gunung ini tersebar utara-selatan. Bila kita berdiri di puncak Penanjakan (2775 m) sebelah utara Bromo (2329 m), maka melihat ke utara akan nampak laut Selat Madura, melihat ke selatan akan nampak gunung Bromo dan Semeru. Kelurusan ini membuat masyarakat Tengger menyucikan ketiga gunung yang dianggapnya sebagai atap dunia itu. Sebenarnya, di bawah ketiga gunung ini terdapat sesar besar yang juga konon bertanggung jawab telah menenggelamkan Pegunungan Selatan Jawa di wilayah ini. Sesar besar ini telah diterobos magma sejak Plistosen atas sampai Holosen menghasilkan gunung-gunung di kawasan Kompleks Tengger. Semacam erupsi linier dalam skala besar telah terjadi dari selatan ke utara di sepanjang sesar ini berganti-ganti selama Plistosen sampai Kuarter. Dari selatan ke utara ditemukan pusat2 erupsi sbb. : Semeru, Jembangan, Kepolo, Ayek-Ayek, Kursi, Bromo, Batok, dan Penanjakan. Yang masih suka meletus sampai kini adalah Semeru dan Bromo. Danau kawah Ranu Kembolo, Ranu Pani dan Ranu Regulo merupakan maar sisa erupsi gunung Ayek2 yang terletak di antara Kaldera Tengger dan Semeru. Di sebelah barat Depresi Lumajang, yaitu di Kompleks Iyang, terdapat juga sesar besar utara-selatan walaupun tak sepanjang sesar besar di bawah Tengger dan sedikit melengkung menghadap depresi Lumajang. Gunung tua Iyang (Plistosen atas) terbelah mengikuti rekahan utara-selatan. Rekahan ini juga menjadi pusat-pusat erupsi gunung di Kompleks Iyang, yaitu: Gunung Malang (2008 m), Kukusan (2200 m) dan Cemorokandang (2223 m). Di tengah sesar rekahan ini kini gunungapi Kuarter Argopuro (3088 m) berlokasi. Tentang kejadian kaldera pasir Tengger, van Bemmelen (1937 : The volcano-tectonic structure of the Residency of Malang, De Ingenieur in Ned. Indie, 4,9,IV,p. 159-172) punya teori menarik. Kompleks Tengger telah terobek mengikuti rekahan berbentuk sabit yang melengkung cekung ke utara. Oleh retakan ini sayap utara kompleks Tengger tenggelam dan runtuh ke utara. Runtuhnya atap dapur magma menyebabkan aliran lava basaltik dalam jumlah besar yang menyebar seperti delta di kedua ujung robekan. Peristiwa ini telah menelan bagian atas puncak Tengger, sehingga membentuk kaldera Tengger yang diisi pasir volkanik. Runtuhnya Tengger ini akibat berat materi volkaniknya sendiri yang membebani batuandasarnya yang berupa sediment marin Tersier yang plastis. Bagian utara kompleks Tengger runtuh dan lengser ke utara menuju depresi Selat Madura yang sedang tenggelam. Kompresi ke utara akibat runtuhan ini telah menekan bagian utara pantai Jawa Timur yang kini berupa perbukitan di Grati dan Semongkrong di sekitar Pasuruan. Bukit ini anomali sebab terjadi di sekitar pantai utara yang ditutupi sediment alluvial pantai. Model volkano-tektonik runtuhan seperti ini juga dipakai van Bemmelen untuk menerangkan kejadian bukit-bukit Gendol di dekat Menoreh yang berasal dari runtuhan sayap Merapi ke sebelah baratdaya. Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona fisiografi (Gambar 2.1), dari selatan ke utara berturut-turut adalah sebagai berikut:Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur, Zona Solo, Zona Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang, Dataran Aluvial Jawa Utara, dan Gunung Api Kuarter (Gambar 1). Gambar 3. Peta Fisiografi Jawa Timur (modifikasi dari van Bemmelen, 1949). Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur merupakan busur volkanik Eosen-Miosen yang terdiri dari endapan silisiklastik, volkaniklastik, batuan karbonat dan volkanik dengan kemiringan lapisan yang seragam ke arah selatan (Smyth dkk., 2005). Zona Pegunungan Selatan Jawa Bagian Timur memanjang sepanjang pantai selatan Jawa Timur dan Wonosari dekat Yogyakarta sampai ujung paling timur Pulau Jawa. Daerah ini pada umumnya mempunyai topografi yang dibentuk oleh batugamping dan volkanik, serta sering dijumpai gejala karst. Zona Solo Zona Solo dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu: Subzona Blitar pada bagian selatan. Subzona ini merupakan jalur depresi yang sempit, berhubungan dengan Pegunungan Selatan di bagian selatan dan ditutupi oleh endapan aluvial. Subzona Solo Bagian Tengah. Subzona ini dibentuk oleh deretan gunungapi Kuarter dan dataran antar gunung api. Gunung api tersebut adalah Gunung Lawu, Gunung Wilis, Gunung Kelud, Pegunungan Tengger dan Gunung Ijen di ujung timur Pulau Jawa. Sedangkan dataran-dataran antar gunungapinya adalah Dataran Madiun, Dataran Ponorogo, dan Dataran Kediri. Dataran antar gunungapi ini pada umumnya dibentuk oleh endapan lahar. Subzona Ngawi pada bagian utara. Subzona ini merupakan depresi yang berbatasan dengan Subzona Solo di bagian selatan dan Pegunungan Kendeng di bagian utara. Subzona ini pada umumnya dibentuk oleh endapan aluvial dan endapan gunung api. Zona Kendeng Zona Kendeng merupakan antiklinorium yang memanjang mulai dari Semarang yang kemudian menyempit ke arah timur sampai ujung Jawa Timur di bagian utara. Smyth dkk. (2005) menyatakan bahwa Zona Kendeng merupakan jalur anjakan berarah barat-timur. Zona ini pada umumnya dibentuk oleh endapan volkanik, batupasir, batulempung, dan napal. Zona Randublatung Zona Randublatung merupakan sinklinorium yang memanjang mulai dari Semarang di sebelah barat sampai Wonokromo di sebelah timur. Zona ini berbatasan dengan Zona Kendeng di bagian selatan dan Zona Rembang di bagian utara. Zona Rembang Zona Rembang merupakan antiklinorium yang memanjang dengan arah barat-timur, mulai dari sebelah timur Semarang sampai Pulau Madura dan Kangean. Lebar rata-rata zona ini adalah 50 km. Zona ini merupakan hasil akhir dari gejala tektonik Tersier akhir (Pringgoprawiro, 1983). Zona ini terdiri dari sikuen Eosen-Pliosen berupa sedimen klastik laut dangkal dan karbonat yang luas. Pada zona ini terdapat suatu tinggian (Tinggian Rembang) yang dibatasi oleh sesar mayor berarah ENE-WSW (Smyth dkk., 2005). Dataran Aluvial Jawa Utara Dataran Aluvial Jawa Utara menempati dua bagian, yaitu bagian barat dan bagian timur. Di bagian barat mulai dari Semarang ke timur sampai ke Laut Jawa dan berbatasan dengan Zona Rembang di bagian timur. Di bagian timur mulai dari Surabaya ke arah barat laut, di sebelah barat berbatasan dengan Zona Randublatung, di sebelah utara dan selatan berbatasan dengan Zona Rembang. Gunung Api Kuarter Gunung Api Kuarter menempati bagian tengah di sepanjang Zona Solo. Gunungapi yang tidak menempati Zona Solo adalah Gunung Muria. Smyth dkk. (2005) menamakan zona ini sebagai Busur Volkanik Kenozoikum Akhir yang aktif sejak Miosen Akhir. Jawa Tengah Tatanan Tektonik Jawa Tengah Secara fisiografi, jawa tengah dibagi menjadi 4 bagian: Dataran pantai selatan Pegunungan serayu selatan pegunungan serayu utara, dan Dataran pantai utara Salah satu batuan tertua di pulau jawa tersingkap di jawa tengah tepatnya didaerah sungai LOH-ULO. Pola Struktur Pola struktur di jawa tengah memperlihatkan adanya 3 arah utama yaitu baratlaut-tenggara, timur laut-barat daya, timur-barat. Di daerah loh ulo dimana batuan pra-terser dan tersier tersingkap dapat dibedakan menjadi 2 pola struktur utama yaitu arah timurlaut baratdaya, dan barat-timur.hubungan antar satubatuan dengan yang lainnya mempunyai lingkungan dan ganesa pembentukan yang berbeda yang terdapat didalam mélange. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa pola yang arah timur laut-baratdaya yang sangat dominan didaerah ini. Data gaya berat dari untung dan sato 1979, sepanjang penampang utara-selatan melalui bagian tengah jawa tengah dan dilengkapi dengan data geologi permukaan memperlihatkan perbedaan yang sangat mencolok pada urut-urutan lapisan miosen antara bagian utara dan bagian selatan jawa tengah. Bagian utara jawa tengah urut-urytan lapisan miosen sebagian besar terdiri dari endapan laut dalam yang berupa kipas-kipas turbidit. Jenis endapan tersebut menyebarsampai hamper dekat cilacap. Tetapi keselatannya stratigrafinya berubah dan didominasi oleh endapan laut dangkal dengan lingkungan yang tenang seperti batupasit dan batugamping. Satuan-satuan tektonik Batuan tertua dijawa tengah tersingkap di dua tempat yaitu di loh-ulo dan di Bayat (pegunungan jiwo, selatan kota klaten).batuan yang berumur kapur itu bercampur aduk, terdiri dari ofiolit,sedimen laut dalam, batuan malihan berderajat fasies sekis hijau yang tercampur secara tektonik dalam masadasar serpih sampai batu sabak dengan bongkah-bongkah batupasir greywackey yang termalihkan, masa dasarnya memperlihatkan bidang-bidang belah gerus dengan arah sama. Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi enam zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Utara Jawa, Gunungapi Kwarter, Antiklinorium Bogor – Serayu Utara – Kendeng, Depresi Jawa Tengah, Pegunungan Serayu Selatan dan Pegunungan Selatan Jawa (Gambar 2). Gambar 4. Fisiografis Daerah Jawa Tengah Dataran Aluvial Utara Jawa mempunyai lebar maksimum 40 km ke arah selatan. Semakin ke arah timur, lebarnya menyempit hingga 20 km. Gunungapi Kwarter di Jawa Tengah antara lain G. Slamet, G. Dieng, G. Sundoro, G. Sumbing, G. Ungaran, G. Merapi, G. Merbabu, dan G. Muria. Zona Serayu Utara memiliki lebar 30-50 km. Di selatan Tegal, zona ini tertutupi oleh produk gunungapi kwarter dari G. Slamet. Di bagian tengah ditutupi oleh produk volkanik kwarter G. Rogojembangan, G. Ungaran dan G. Dieng. Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona Bogor dengan batas antara keduanya terletak di sekitar Prupuk, Bumiayu hingga Ajibarang, persis di sebelah barat G. Slamet. Sedangkan ke Arah timur membentuk Zona Kendeng. Zona Depresi Jawa Tengah menempati bagian tengah hingga selatan. Sebagian merupakan dataran pantai dengan lebar 10-25 km. Morfologi pantai ini cukup kontras dengan pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Timur yang relatif lebih terjal. Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah yang membentuk kubah dan punggungan. Pegunungan Selatan Jawa memanjang di sepanjang pantai selatan Jawa membentuk morfologi pantai yang terjal. Namun, di Jawa Tengah, zona ini terputus oleh Depresi Jawa Tengah. Daerah penelitian berada di bagian barat Zona Serayu Utara. Menurut Van Bemmelen (1949), daerah ini (Bumiayu dan sekitarnya) merupakan batas Zona Bogor di Jawa Barat dan Zona Serayu Utara di Jawa Tengah. Ke arah utara, daerah ini berbatasan dengan Dataran Aluvial Utara Jawa. Di bagian selatan dibatasi oleh Depresi Jawa Tengah. Sedangkan di bagian timur daerah ini terdapat G. Slamet. Daerah ini terdiri dari perbukitan terjal bergelombang, bukit-bukit terisolir, perbukitan rendah bergelombang dan dataran. Perbukitan tersebut umumnya memanjang ke arah baratlaut–tenggara. Jawa Barat Tatanan Tektonik Jawa Barat Van Bammelen beranggapan bahwa secara fisiografis daerah Banten sangat mendekati sifat-sifat pulau Sumatera, apabila dibandungkan dengan bagian sebelah timurnya. Kecuali beberapa kemiripan bentuk-bentuk morfologinya, juga adanya produk vulkanisme yang banyak tufa asam, seperti halnya tufa lempung yang asam. Pola Struktur Berdasarkan data gayaberat,seismic, citra Landsat/foto udara pengamatan di lapangan, di Jawa Barat ini dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: Arah baratlaut-tenggara Tmur-barat Utara-selatan (dominan) Namun berdasarkan citra Landsat dan sebaran episentrum gempa, ada satu lagi yaitu arah timurlaut-baratdaya yang menonjol di sudut baratdaya Pulau Jawa (Cimandiri/Sukabumi). Pola baratlaut-tenggara hanya dapat direkam dengan gayaberat, yang berarti letaknya dalam dan mungkin hingga batuan dasar. Pola sesar ditafsirkan sebagai kelanjuttan tektonik tua Sumatra. Pola berarah barat-timur umumnya berupa sesar naik ke arah utara dan melibatkan sedimen Tersier. Sedangkan yang berarah utara-selatan di bagian Utara Jawa , dari data seismic Nampak memotong batuan Tersier, ternyata juga mengontrol bedrock. Memisahkan segmen Banten dari bogor dan pegunungan selatan. Satuan-satuan Tektonik Batuan tertua tersingkap di Jawa Barat adalah batuan berumur eosen awal di Ciletuh yang berupa olisostrom. Satuan ini berhubungan secara tektonis dengan batuan ofiolit yang mengalami breksiasi dan serpentinisasi pada jalur-jalur kontaknya. Batuan ofiolit tersebut ditafsirkan merupakan bagian dari melange yang mendasari olisostrom yang berumur eosen awal. Dengan demikian maka satuan tektonik tertua di Jawa Barat adalah jalur subduksi Pra eosen. Satuan tektonik lainnya adalah jalur magma tersier. Sepanjang jalur pantai selatan pulau Jawa, terdapat kumpulan batuan vulkanik yang dinamakan formasi Andesit tua “old andesite formation” yang berumur oligosen-miosen awal. Di Jabar, bagian dari formasi ini disebut formasi Jampang. Ciri-ciri batuannya merupakan endapan aliran gravitasi seperti lava dan kadang-kadang memperlihatkan struktur bantal. Penelitian terhadap sebaran dan umur batuan vulkanik Tersier lainnya di Jawa Barat, ternyata Jalur Magma Tersier jauh lebih luas lagi, yaitu hampir meliputi seluruh bagian tenggara Jawa Barat. Dengan demikian terdapat kemungkinan bahwa kegiatan vulkanik selama Tersier ini bermula di Selatan Jawa (miosen awal) dan kemudian secara berangsur bergeser ke utara. Satuan tektonik lainnya adalah jalur magma atau vulkanik kwarter , menempati bagian tengah Jawa Barat atau dapat juga dikatakan berlawanan dengan Jalur Magmatik Tersier muda. Mandala Sedimentasi Didasarkan pada mayoritas cirri sedimen, Soedjono (1984) membagi daerah Jabar menjadi 3 mandala sedimentasi, yaitu mandala paparan kontinen yang terletak di utara, diikuti oleh Mandala Cekungan Bogor di bagian tengah, dan ke arah barat terdapat mandala Banten. Mandala paparan kontinen bertepatan dengan zona stratigrafi dataran pantai utaranya Van Bemmelem. Dicirikan oleh pola pengendapan paparan, umumnya terdiri dari endapan gamping, lempung dan pasir kwarsa serta lingkungan pengendapannya dangkal. Kedalamannya mencapai lebih dari 5000m. Mandala Cekungan Bogor meliputi beberapa zona fisiografi Van Bemmelem (1949), yakni Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan. Mandala sedimentasi ini dicirikan oleh endapan “aliran gravitasi” yang sebagian besar terdiri dari fragmen batuan beku dan sedimen, seperti andesit,tufa dan gamping. Ketebalannya mencapai 7000m. Mandala sedimentasi Banten mempunyai cirri-ciri yang serupa dengan Mandala Bogor dan Paparan Kontinen. Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung dan Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat (Gambar 2.1). Martodjojo (1984) memberikan penamaan Blok Jakarta-Cirebon untuk Zona Dataran Pantai Jakarta sedangkan Zona Bogor dan Zona Bandung disebut Blok Bogor karena keduanya menurut sejarah geologi tidak dapat dipisahkan. Cekungan Bogor berupa graben dengan daerah depresi tidak menerus sepanjang sumbu tengah Jawa, dan barisan punggungan di bagian utara yang menghubungkan cekungan dengan paparan Sunda (Gambar 3). Gambar 5. Keadaan Fisiografis Daerah Jawa Barat Zona Dataran Pantai Jakarta Zona Dataran Pantai Jakarta umumnya memiliki morfologi yang datar, pada umumnya ditutupi oleh endapan sungai, dan sebagian lagi oleh lahar endapan gunung api muda. Zona Bandung dicirikan oleh beberapa tinggian yang terdiri dari endapan sedimen tua yang menyembul diantara endapan volkanik. Sebagai contoh adalah Gn. Tampomas di Sumedang, Gn. Walat di Sukabumi dan Rajamandala di daerah Padalarang. Menurut van Bemmelen (1949), Zona Bandung merupakan puncak geantiklin Jawa Barat berumur Plistosen yang kemudian runtuh setelah mengalami pengangkatan. Zona pegunungan selatan dipelajari secara mendalam oleh Pannekoek (1946) op cit Darman, H., & Sidi, H., (2000), dimana ia membaginya menjadi 19 morfologi dan menekankan pentingnya dua generasi morfologi yaitu morfologi Pra-Miosen Akhir, dan morfologi Resen. Kedua satuan morfologi ini dibatasi oleh ketidakselarasan. Zona Bogor Zona Bogor, dimana lokasi penelitian berada, umumnya memiliki morfologi berbukit-bukit, memanjang dengan arah barat-timur dari kota Bogor. Pada daerah sebelah timur Purwakarta, perbukitan ini membelok keselatan, membentuk perlengkungan disekitar Kadipaten. Van Bemmelen (1949) menamakan perbukitan ini sebagai antiklinorium. Dapat diperkirakan bahwa antiklinorium ini berhubungan dengan barisan anjakan-lipatan dari sistem Sesar Naik Baribis. Sedangkan pada beberapa daerah, intrusi telah membentuk relief yang lebih terjal. Zona ini membentang mulai dari Rangkasbitung melalui Bogor, Purwakarta, Subang, Sumedang, Kuningan dan Manjalengka. Daerah ini merupakan perbukitan lipatan yang terbentuk dari batuan sedimen tersier laut dalam membentuk suatu Antiklonorium, di beberapa tempat mengalami patahan yang diperkirakan pada zaman Pliosen-Plistosen sezaman dengan terbentuknya patahan Lembang dan pengankatan Pegunungan Selatan. Zona Bogor sekarang terlihat sebagai daerah yang berbukit-bukit rendah di sebagian tempat secara sporadis terdapat-bukit-bukit dengan batuan keras yang dinamakan vulkanik neck atau sebagai batuan intrusi seperti Gunung Parang dan Gunung Sanggabuwana di Plered Purwakarta, Gunung Kromong dan Gunung Buligir sekitar Majalengka. Batas antara zona Bogor dengan zona Bandung adalah Gunung Ciremai (3.078 meter) di Kuningan dan Gunung Tampomas (1.684 meter) di Sumedang . Zona Bandung Zona Bandung merupakan daerah gunung api, zone ini merupakan suatu depresi jika dibanding dengan zona Bogor dan Zona Pegenungan Selatan yang mengapitnya yang terlipat pada zaman tersier . Zona Bandung sebagain besar terisi oleh endapan vulkanik muda produk dari gunung api disekitarnya . Gunung - gunung berapi terletak pada dataran rendah antara kedua zone itu dan merupakan dua barisan di pinggir Zone Bandung pada perbatasan Zone Bogcr dan Zone Pegunungan Selatan. Stratigrafi Regional Zona ini merupakan busur volkanik Eosen-Miosen yang endapannya terdiri dari batuan-batuan siliklastik, volkaniklastik, volkanik dan karbonat dengan kedudukan umum perlapisannya miring ke selatan. Zona Pegunungan Selatan dialasi secara tidak selaras oleh batuandasar berumur Kapur seperti yang tersingkap di daerah Karangsambung dan Bayat. Di Karangsambung singkapannya terdiri dari himpunan batuan komplek akresi yang dikenal sebagai Komplek Melange Luk Ulo yang terdiri dari blok-blok filit, sekis biru, eklogit, ultramafik, ofiolit, basalt, kalsilutit dan rijang tertanam dalam matrik serpih tergerus (Asikin, 1974). Di daerah Bayat, singkapan batuandasar terdiri dari filit, sekis, dan marmer (Sumarso dan Ismoyowati, 1975). Gambar 6. Rangkuman stratigrafi regional Jawa bagian timur dari peneliti terdahulu (kiri), modifikasi dari Smyth dkk., 2005 (kanan) ( Carolus, 2002). Batuan sedimen tertua yang diendapkan di atas ketidak-selarasan menyudut terdiri dari konglomerat berfragmen batuan dasar dan batupasir seperti yang terdapat dalam Formasi Nanggulan dan Formasi Wungkal-Gamping yang berumur Eosen Tengah. Di atas konglomerat dan batupasir kuarsa terdapat endapan bersekuen transgresif yang terdiri dari batubara, batupasir dan batulanau. Pada Formasi Nanggulan, batupasir pada bagian atas mengandung material volkanik dan sisipan batulempung tufaan (Smyth dkk., 2005). Kehadiran lapisan batugamping numulit menandai dimulainya pengendapan di lingkungan lautan. Di lingkungan pengendapan yang lebih dalam di daerah Karangsambung, secara tidakselaras di atas batuandasar Komplek Melange Luk Ulo, diendapkan satuan olistostrom Formasi Karangsambung dan Formasi Totogan. Kandungan material volkanik Zona Pegunungan Selatan ini ke arah bagian atas meningkat sedangkan proporsi material batuan dasar makin berkurang. Ketebalan endapan bagian bawah zona ini diperkirakan mencapai 1000 m dengan singkapan terbatas dijumpai di bagian barat, yakni di Karangsambung (diwakili oleh Formasi Karangsambung), Nanggulan (Formasi Nanggulan), dan Bayat (Formasi Wungkal-Gamping). Sekuen batuan bagian bawah ini oleh Smyth dkk. (2005) disebut sebagai Synthem One Zona Pegunungan Selatan. Synthem adalah satuan kronostratigrafi suatu satuan batuan sedimen yang dibatasi oleh ketidakselarasan dan menunjukkan suatu siklus sedimentasi yang dipengaruhi oleh perubahan muka air laut relatif atau tektonik. Batas atas sekuen bagian bawah Zona Pegunungan Selatan ini di daerah Nanggulan dan Bayat merupakan ketidakselarasan Intra-Oligosen sementara di daerah Karangsambung pengendapan berlangsung menerus (Asikin dkk., 1992). Di atas bidang ketidakselarasan diendapkan suatu seri endapan yang terutama terdiri dari endapan volkaniklastik dari Formasi Kaligesing di Kulonprogo (Pringgoprawiro dan Riyanto, 1986); Kebobutak di Bayat ( Surono dkk., 1992), dan Formasi Besole (Sartono, 1964) dan Formasi Mandalika (Samodra dkk., 1992) di Pacitan, berumur Oligo-Miosen dan meliputi seluruh daerah Zona Pegunungan Selatan. Sekuen endapan volkaniklastik ini, yang oleh Smyth dkk. (2005) disebut sebagai Synthem Two Zona Pegunungan Selatan, merekam perkembangan dan berakhirnya Busur Volkanik Oligo-Miosen Pegunungan Selatan. Aktifitas volkaniknya meliputi daerah yang luas, explosif dan diperkirakan berjenis Plinian-type (Smyth dkk., 2005). Komposisi endapannya berkisar mulai dari andesitik sampai rhyolitik dan litologinya terdiri dari abu volkanik yang tebal, tuf, breksi batuapung, breksi andesitik, kubah lava dan aliran lava dengan ketebalan berkisar mulai dari 250 m sampai lebih dari 2000 m. Akhir atau batas atas dari sekuen volkaniklastik ini ditandai oleh peristiwa volkanik yang singkat yang kemungkinan besar berupa suatu erupsi super (Erupsi Semilir) yang menghasilkan Formasi Semilir (Smyth dkk., 2005). Setelah periode ketika volkanisme Oligo-Miosen jauh berkurang aktifitasnya, bahkan mati, kemudian tererosi dan materialnya diendapkan kembali sebagai sekuen endapan berikutnya. Disamping itu sekuen endapan berikutnya juga dicirikan oleh perkembangan paparan karbonat yang luas seperti yang dijumpai di daerah Wonosari (Formasi Wonosari) dan Pacitan (Formasi Punung dan Formasi Campurdarat). Endapannya mencapai ketebalan sekitar 500 m dan terumbu berkembang pada daerah-daerah tinggian yang dibatasi sesar atau di daerah-daerah bekas gunungapi. Di bagian puncaknya terdapat lapisan-lapisan debu volkanik mengandung zircon yang berdasarkan penanggalan U-Pb SHRIMP menunjukkan umur antara 10 dan 12 jtl (Smyth dkk., 2005). Umur ini diperkirakan berkaitan dengan munculnya kembali aktivitas volkanik pada Miosen Akhir, di posisi dimana Busur Sunda masa kini berada. Tektonik Regional Tatanan tektonik dan struktur geologi di daerah Jawa tidak terlepas dari teori tektonik lempeng. Kepulauan Indonesia merupakan titik pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Samudera Pasifik yang bergerak relatif kearah baratlaut, dan Lempeng Indo-Australia yang relatif bergerak kearah utara (Hamilton, 1979). Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Jawa menjadi dua elemen struktur, yaitu Geosinklin Jawa Utara dan Geantiklin Jawa Selatan. Kedua elemen tersebut memanjang berarah barat-timur. Geosinklin Jawa Utara dikenal dengan nama Cekungan Jawa Timur Utara. Berdasarkan fisiotektoniknya, Cekungan Jawa Timur Utara dapat dibagi menjadi tiga jalur. Ketiga jalur tersebut adalah Jalur Kendeng, Jalur Randublatung, dan Jalur Rembang. Jalur Kendeng dikenal sebagai Antiklinorium Kendeng. Jalur ini terisi oleh endapan Tersier yang terlipat kuat dan disertai sesar-sesar naik dengan kemiringan ke selatan. Panjang zona ini adalah 250 km, sedangkan lebar maksimumnya adalah 40 km (Pringgoprawiro, 1983). Jalur Randublatung merupakan suatu depresi tektonik dan topografi. Jalur ini sebagian ditempati oleh Lembah Bengawan Solo. Pringgoprawiro (1983) berpendapat bahwa zona ini merupakan suatu depresi yang terbentuk pada kala Pleistosen dan ditempati oleh sedimen klastik halus dari Formasi Lidah yang berumur Kuarter serta kadang-kadang ditemukan napal dari Formasi Mundu. Vischer (1952 dalam Pringgoprawiro, 1983) menamakan zona ini sebagai Blok Lembah Solo. Jalur Rembang terdiri dari Antiklinorium Rembang dan Antiklinorium Cepu yang memanjang dengan arah barat-timur. Batas Zona Rembang dengan Zona Randublatung kurang jelas dan tidak teratur kecuali di timur yang dibatasi oleh patahan Kujung dan depresi Kening-Blora (Pringgoprawiro, 1983). Struktur-struktur tersebut di atas diakibatkan oleh pengangkatan yang terjadi pada kala Intra Miosen dan pada kala Plio-Pleistosen (van Bemmelen, 1949). Pulunggono dan Martodjojo (1994) menyatakan bahwa pola struktur dominan yang berkembang di Pulau Jawa adalah (Gambar 5): Gambar 7. Pola struktur Pulau Jawa (Pulunggono & Martodjojo, 1994). Pola Meratus, berarah timurlaut-baratdaya (NE-SW) terbentuk pada 80 sampai 53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen Awal).Pola ini ditunjukkan oleh Tinggian Karimunjawa di kawasan Laut Jawa yang diperkirakan menerus ke arah baratdaya ke daerah antara Luk Ulo (Jawa Tengah) sampai Sesar Cimandiri (Jawa Barat). Pola Sunda, berarah utara-selatan (N-S) terbentuk 53 sampai 32 juta tahun yang lalu (Eosen Awal-Oligosen Awal). Pola kelurusan struktur ini adalah yang paling dominan di daerah Jawa Barat. Pola Sunda ini merupakan sesar-sesar yang dalam dan menerus sampai Sumatra. Pola ini merupakan pola yang berumur lebih muda sehingga keberadaannya mengaktifkan kembali Pola Meratus. Pola Jawa, berarah timur-barat (E-W) terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu sampai sekarang (Oligosen Akhir-Resen).Pola ini adalah pola termuda yang mengaktifkan kembali seluruh pola yang telah ada sebelumnya. Secara regional, pola struktur yang berkembang di daerah penelitian adalah Pola Meratus dan Pola Jawa (Gambar 2.3)yang terlihat dari kelurusan yang relatif berarah timur laut-barat daya dan berarah barat-timur. Hal ini juga didukung oleh penelitian Sribudiyani dkk. (2003). Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sribudiyani dkk. (2003), pola struktur permukaan yang berkembang pada daerah penelitian adalah pola struktur yang mempunyai kelurusan berarah timur laut-barat daya dan barat-timur (Gambar 6). Gambar 8. Pola struktur Pulau Jawa (Sribudiyani dkk., 2003). GEOLOGI DAERAH BAYAT Struktur Daerah Bayat Struktur regional di daerah Pegunungan Selatan bagian barat berupa perlapisan homoklin, sesar, kekar dan lipatan. Perlapisan homoklin terdapat pada bentang alam Subzona Baturagung mulai dari Formasi Kebo-Butak di sebelah utara hingga Formasi Sambipitu dan Formasi Oyo di sebelah selatan. Perlapisan tersebut mempunyai jurus lebih kurang berarah barat-timur dan miring ke selatan. Kemiringan perlapisan menurun secara berangsur dari sebelah utara (200 – 350) ke sebelah selatan (50 – 150). Bahkan pada Subzona Wonosari, perlapisan batuan yang termasuk Formasi Oyo dan Formasi Wonosari mempunyai kemiringan sangat kecil (kurang dari 50) atau bahkan datar sama sekali. Pada Formasi Semilir di sebelah barat, antara Prambanan-Patuk, perlapisan batuan secara umum miring ke arah baratdaya. Gambar 9. Peta geologi Pegunungan Baturagung dan Perbukitan Jiwo (Surono, 2008) Sementara itu, di sebelah timur, pada tanjakan Sambeng dan Dusun Jentir, perlapisan batuan miring ke arah timur. Perbedaan jurus dan kemiringan batuan ini mungkin disebabkan oleh sesar blok (anthithetic fault blocks; Bemmelen, 1949) atau sebab lain, misalnya pengkubahan (updoming) yang berpusat di Perbukitan Jiwo atau merupakan kemiringan asli (original dip) dari bentang alam kerucut gunungapi dan lingkungan sedimentasi Zaman Tersier (Bronto dan Hartono, 2001). Struktur sesar pada umumnya berupa sesar turun dengan pola anthithetic fault blocks (van Bemmelen,1949). Sesar utama berarah baratlaut-tenggara dan setempat berarah timurlaut-baratdaya. Di kaki selatan dan kaki timur Pegunungan Baturagung dijumpai sesar geser mengkiri. Sesar ini berarah hampir utara-selatan dan memotong lipatan yang berarah timurlaut-baratdaya. Bronto dkk. (1998, dalam Bronto dan Hartono, 2001) menginterpretasikan tanda-tanda sesar di sebelah selatan (K. Ngalang dan K. Putat) serta di sebelah timur (Dusun Jentir, tanjakan Sambeng) sebagai bagian dari longsoran besar (megaslumping) batuan gunungapi tipe Mt. St. Helens.Di sebelah barat K. Opak diduga dikontrol oleh sesar bawah permukaan yang berarah timurlaut-baratdaya dengan blok barat relatif turun terhadap blok barat. Struktur lipatan banyak terdapat di sebelah utara G. Panggung berupa sinklin dan antiklin. Tinggian batuan gunung berapi ini dengan tinggian G. Gajahmungkur di sebelah timurlautnya diantarai oleh sinklin yang berarah tenggara-baratlaut. Struktur sinklin juga dijumpai di sebelah selatan, yaitu pada Formasi Kepek, dengan arah timurlaut-baratdaya Stratigrafi Daerah Bayat Batuan tertua yang tersingkap di daerah Bayat terdiri dari batuan metamorf berupa filtit, sekis, batu sabak dan marmer. Penentuan umur yang tepat untuk batuan malihan hingga saat ini masih belum ada. Satu-satunya data tidak langsung untuk perkiraan umurnya adalah didasarkan fosil tunggal Orbitolina yang diketemukan oleh Bothe (1927) di dalam fragmen konglomerat yang menunjukkan umur Kapur. Dikarenakan umur batuan sedimen tertua yang menutup batuan malihan tersebut berumur awal Tersier (batu pasir batu gamping Eosen), maka umur batuan malihan tersebut disebut batuan Pre-Tertiary Rocks. Secara tidak selaras menumpang di atas batuan malihan adalah batu pasir yang tidak garnpingan sarnpai sedikit garnpingan dan batu lempung, kemudian di atasnya tertutup oleh batu gamping yang mengandung fosil nummulites yang melimpah dan bagian atasnya diakhiri oleh batu gamping Discocyc1ina, menunjukkan lingkungan laut dalarn. Keberadaan forminifera besar ini bersarna dengan foraminifera planktonik yang sangat jarang ditemukan di dalam batu lempung gampingan, menunjukkna umur Eosen Tengah hingga Eisen Atas. Secara resmi, batuan berumur Eosen ini disebut Formasi Wungkal-Garnping. Keduanya, batuan malihan dan Formasi Wungkal-Gamping diterobos oleh batuan beku menengah bertipe dioritik. Diorit di daerah Jiwo merupakan penyusun utam Gunung Pendul, yang terletak di bagiann timur Perbukitan Jiwo. Diorit ini kemungkinan bertipe dike. Singkapan batuan beku di Watuprahu (sisi utara Gunung Pendul) secara stratigrafi di atas batuan Eosen yang miring ke arah selatan. Batuan beku ini secara stratigrafi terletak di bawah batu pasir dan batu garnping yang masih mempunyai kemiringan lapisan ke arah selatan. Penentuan umur pada dike intrusi pendul oleh Soeria Atmadja dan kawan-kawan (1991) menghasilkan sekitar 34 juta tahun, dimana hasil ini kurang lebih sesuai dengan teori Bemmelen (1949), yang menfsirkan bahwa batuan beku tersebut adalah merupakan leher/neck dari gunung api Oligosen. Sebelum kala Eosen tangah, daerah Jiwo mulai tererosi. Erosi tersebut disebabkan oleh pengangkatan atau penurunan muka air laut selama peri ode akhir oligosen. Proses erosi terse but telah menurunkan permukaan daratan yang ada, kemudian disusul oleh periode transgresi dan menghasilkan pengendapan batu garnping dimulai pada kala Miosen Tengah. Di daerah Perbukitan Jiwo tersebut mempunyai ciri litologi yang sarna dengan Formasi Oyo yang tersingkap lenih banyak di Pegunungan Selatan (daerah Sambipitu Nglipar dan sekitarnya). Gambar 10. Stratigrafi Daerah Bayat (dimodifikasi dari Sudarno, 1997; dalam Surono, 2008). Di daerah Bayat tidak ada sedimen laut yang tersingkap di antara Formasi Wungkal Gampingan dan Formasi Oyo. Keadaan ini sang at berbeda dengan Pegunungan Baturagung di selatannya. Di sini ketebalan batuan volkaniklastik-marin yang dicirikan turbidit dan sedimen hasil pengendapan aliran gravitasi lainnya tersingkap dengan baik. Perbedaan-perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh kompleks sistem sesar yang memisahkan daerah Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Baturagung yang telah aktif sejak Tersier Tengah. Selama zaman Kuarter, pengendapan batu gamping telah berakhir. Pengangkatan yang diikuti dengan proses erosi menyebabkan daerah Perbukitan Jiwo berubah menjadi daerah lingkungan darat. Pasir vulkanik yang berasal dari gunung api Merapi yang masih aktif mempengaruhi proses sedimentasi endapan aluvial terutama di sebelah utara dan barat laut dari Perbukitan Jiwo. Keadaan stratigrafi Daerah Bayat, dari tua ke muda yaitu : Batuan Malihan, terdiri dari sekis, filit, batuan vulkanik malih, pualam, sedimen malihan dan batu sabak. Formasi Wungkal-gamping, berupa batugamping numulites, batupasir, napal pasiran, dan batulempung. Formasi Kebo, berupa batu pasir vulkanik, tufa, serpih dengan sisipan lava, umur Oligosen (N2-N3), ketebalan formasi sekitar 800 meter. Formasi Butak, dengan ketebalan 750 meter berumur Miosen awal bagian bawah (N4), terdiri dari breksi polomik, batu pasir dan serpih. Formasi Semilir, berupa tufa, lapili, breksi piroklastik, kadang ada sisipan lempung dan batu pasir vulkanik. Umur N5-N9. Bagian tengah meJ1iari dengan Formasi Nglanggran. Formasi Nglanggran, berupa breksi vulkanik, batu pasir vulkanik, lava dan breksi aliran. Formasi Sambipitu berupa perselingan batupasir gampingan dan serpih gampingan. Formasi Oyo berupa batugamping tufan, tufa, dan napal tufan. Formasi Wonosari terdiri dari Batugamping, napal, batupasir tufan, dan batulanau. Formasi Kepek berupa Perselingan batugamping, napal dan serpih gampingan. BAB III PENUTUP KESIMPULAN Pulau jawa terletak dikoordinat 7o30’10’’ LS 111o15’47’’ BT dan termasuk dalam Kepulauan Sunda Besar dengan luas 126.700 km2 (48.919,1 mil2 ) dengan titik tertinggi 3.676 meter (12.060 kaki) yaitu di Puncak Sumeru. Pulau jawa melintang dari Barat ke Timur dan berada di belahan bumi selatan. Di Pulau Jawa terdapat barisan pegunungan berapi aktif dengan tinggi diatas 3.000 meter diatas permukaan laut berada di pulau ini, salah satunya Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Bromo di Jawa Timur yang terkenal sangat aktif. PAGE \* MERGEFORMAT 1