Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

jurnal karya ilmiah

MUHAMMAD MAHENDRA ABDI. 2016. THE GOVERNMENT POLICY ON THE SOCIAL SECURITY AGENCY HEALTH IN INDONESIA. Program Master Of Law, Graduate School, University Of Lambung Mangkurat, Main Advisor: Prof. Dr. H. M. Hadin Muhjad, S.H., M.Hum, And Supervisor: Akhmadi Yusran, S.H., M.H, 114 Pages ABSTRACT Keyword: Policy, Implication, Social Security. The purpose of this thesis is to determine and assess haw to make social security health program, and how about implication law of the social agency health against private health insurance in Indonesia. Research in the writing of this law is by using research methodology normative law with the nature of research namely providing a description of exposure or an overview of the formation the program social security agency health and find out how to program legal implications social security agency helath and find out how to program legal implication social security health against private health insurance in Indonesia. As for law used is the primary law that is the law number 24 years 2011 about social security agency, and there were also legal secondary material in the form of the books and literature. After that, all the materials of version literature as well material collected and research materials are then being processed and analyzed. According and research the showed that the first: the formation of program social security agency especially of the health was a mandate given of the constitution. Second: implication laws against private health insurance in Indonesia is a country do monopoly on health insurance in Indonesia MUHAMMAD MAHENDRA ABDI. 2016. KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PROGRAM BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN DI INDONESIA. Program Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Lambung Mangkurat, Pembimbing Utama: Prof. Dr. H. M. Hadin Muhjad, S.H., M.Hum, Dan Pembimbing Pendamping: Akhmadi Yusran, S.H., M.H, 114 halaman. ABSTRAK Kata Kunci : kebijakan, implikasi, BPJS. Tujuan dari penulisan tesis ini yaitu untuk mengetahui dan mengkaji mengenai Bagaimana Pembentukan Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dan Bagaimana implikasi hukum program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan terhadap asuransi kesehatan swasta di indonesia. Penelitian dalam penulisan hukum ini adalah dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian deskripsi yaitu memberikan paparan atau gambaran mengenai pembentukan program badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan dan menemukan bagaimana implikasi hukum program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan terhadap asuransi kesehatan swasta di Indonesia. adapun hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan ada juga bahan hukum sekunder berupa buku-buku dan literatur. Setelah semua bahan dari berbagai literatur serta bahan penelitian terkumpul maka bahan-bahan tersebut kemudian diolah dan dianalisis Menurut hasil dan penelitian tesis ini menunjukan bahwa pertama: pembentukan program badan penyelenggara jaminan sosial khususnya kesehatan merupakan amanat dari undang-undang dasar. Kedua: implikasi hukum terhadap asuransi kesehatan swasta di Indonesia adalah Negara melakukan monopoli terhadap asuransi kesehatan di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. untuk mencapai tujuan tersebut diselenggarakan program pembangunan nasional secara menyeluruh dan berkesinambungan. NS. Ta’adi. 2010. Hukum Kesehatan:pengantar menuju perawat profesional. Jakarta: Buku Kedokteran EGC, Hlm 6 Pembangunan kesehatan di Indonesia pada hakikatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai invetasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. R. Hapsari Habib Ractmat. 2013. Percepatan Pembangunan Kesehatan Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm 1 Hak asasi manusia pada umumnya berfokus pada suatu ideal manusia sebagai individu dalam mencapai tujuan utama hidup manusia yang bertolak pada pemikiran John Lock 3 yang ditulis dalam bukunya “The Second Treatise of Governmant” pada tahun 1960 yang intinya menyebutkan bahwa di dalam diri manusia sebagai individu ditemukan hak-hak asalnya yang tidak dapat diganggu gugat yaitu keinginan menciptakan suatu Negara yang sejahtera dimana kekuasaan tidak dipegang oleh satu tangan. Kekuasaan perlu dibatasi sehingga tidak terjadi tindakan sewenang-wenang, dengan begitu hak-hak dasar warga Negara dilindungi dari tindakan sewenang-wenang. Moh Hatta. 2013. Hukum Kesehatan dan Sengketa Medik. Yogyakarta: Liberty. hlm 2 Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang hakikat serta dipengaruhi oleh banyak faktor terutama dari lingkungan dan perilakunya. Sehat memang bukanlah hal yang menjadi segala-galanya dalam hidup manusia tetapi kesehatan seseorang juga menentukan kualitas hidup sumber daya manusia bersamaan dengan pendidikan dan dan tingkat ekonominya. Hal tersebut menjadikan paradigma bahwa tanpa keadaan yang sehat maka segalanya tidak akan berarti. Sehat menurut World Health Organization (WHO) adalah keadaan yang sempurna baik fisik, mental, dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit. Definisi sehat menurut WHO ini menyiratkan bahwa sehat bukan sebagai konteks penyakit tetapi juga memandang sehat dalam konteks lingkungan. Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Secara umum sehat diartikan sebagai hidup yang kratif dan produktif. Kesehatan it sendiri merupakan hak asasi manusia dan termasuk dalam salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang telah disebutkan pada Pancasila dan Pasal 28 (H) ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Wiku Adisasmito. 2013. Perancangan naskah Akademik dan Kebijakan Kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press), Hlm 1. Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu tanggung jawab dan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara. Indonesia seperti halnya negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal. Adanya pengeluaran yang tidak terduga apabila seseorang terkena penyakit, apalagi tergolong penyakit berat yang menuntut stabilisasi yang rutin seperti hemodialisa atau biaya operasi yang sangat tinggi. Hal ini tentu menyebabkan kesukaran ekonomi bagi diri sendiri maupun keluarga. Sehingga munculah istilah “SADIKIN”, sakit sedikit jadi miskin. Dapat disimpulkan, bahwa kesehatan tidak bisa digantikan dengan uang, dan tidak ada orang kaya dalam menghadapi penyakit karena dalam sekejap kekayaan yang dimiliki seseorang dapat hilang untuk mengobati penyakit yang dideritanya. Karena Kesehatan adalah hak dan investasi, dan semua warga Negara khususnya Indonesia berhak atas kesehatan termasuk masyarakat yang berada digaris kemiskinan, oleh karena itu diperlukanlah suatu sistem yang mengatur tentang pelayanan pemenuhan hak warga Negara khususnya masyarakat miskin untuk tetap hidup sehat. Konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO, 1948), Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pada pasal 28 H ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan menetapkan bahwa kesehatan adalah hak fundamental setiap warga. Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Hal ini dipertegas dalam pasal 34 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memperdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Dalam rangka pemenuhan kesehatan ini pemerintah dalam hal ini Departeman Kesehatan Republik Indonesia yang berada dibawah naungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menetapkan kebijakan untuk lebih memfokuskan perlindungan kesehatan seluruh rakyat Indonesia yang dimulai sejak awal tahun 2014 pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan dengan mengeluarkan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan dimana pesertanya berasal dari seluruh data program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) dan juga seluruh warga Negara Indonesia dan warga negara asing yang bekerja di sektor formal dan informal. Program ini merupakan amanat dari konstitusi dan undang-undang yang berlaku di Indonesia, agar terjamin kesehatan masyarakat Indonesia. Rumusan Masalah Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan pada penelitian ini, adalah sebagai berikut: Bagaimana Pembentukan Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan ? Bagaimana implikasi hukum program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan terhadap asuransi kesehatan swasta? BAB II PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN PADA PROGRAM BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN Negara Hukum Berkaitan Dengan Pembentukan Undang-Undang Perkembangan ilmu hukum tidak dapat dilepaskan dari hukum Negara maupun kondisi masyarakat yang bersangkutan. Selama ini kita sudah mengetahui bahwa dunia ini ada 2 (dua) sistem hukum, yaitu sistem hukum kondifikasi dan sistem hukum kebiasaan (common law). Dalam praktek kedua hukum itu tidak selalu berdiri sendiri-sendiri dan dalam perkembangannya melahirkan sistem hukum yang ketiga (campuran). Terutama di Indonesia yang susunan masyarakatnya sangat beraneka ragam suku bangsa, ras, maupun budaya dan agama serta aliran kepercayaan. Di dalam Negara yang menganut sistem kodifikasi maupun dalam sistem hukum kebiasaan, hukum tetap mempunyai objek yang sama yaitu “orang”. Menurut Muhammad Yamin (1952:74) mendefinisikan Negara hukum sebagai suatu Negara yang menjalankan pemerintahan yang tidak menurut kemauan orang-orang yang memegang kekuasaan melainkan menurut aturan yang tertulis yang dibuat oleh badan-badan perwakilan rakyat yang terbentuk secara sah, sesuai dengan asas “The laws and not menshall goverrl”. Dan menurut Sudargo Gautama (1973:73-74) menyatakan bahwa paham Negara hukum berasal dari ajaran kedaulatan hukum, ia memberi pengertian tentang Negara hukum sebagai Negara dimana alat-alat negaranya tunduk pada aturan hukum. Bahder Johan Nasution. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bandung: CV. Mandar Maju, Hlm 1. Dari sudut pandang ilmu hukum dapat dipahami bahwa bahwa asas-asas demokratis yang melandasi Negara hukum (rechtsstaat) meliputi lima asas yaitu: Asas hak-hak politik; Asas mayoritas; Asas perwakilan; Asas pertanggungjawaban; Asas publik (openbaarheidsbeginsel). ibid. hlm 5 Dengan demilikian, atas dasar sifat liberal dan sifat demokratis yang ditemukan dalam konsep rechtsstaat maka ciri-ciri rechtsstaat sebagai berikut: Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan anatara penguasa dengan rakyat; Adanya pemisahan kekuasaan Negara, yang meliputi: Kekuasaan pembuat undang-undang yang berada pada parlemen Kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, kekuasaan ini tidak hanya menangani sengketa antar individu rakyat, tetapi juga antara rakyat dan penguasa; Pemerintah mendasarkan tindakannya atas undang-undang (wetmatig bestuur). Diakui dan dilindunginya hak-hak rakyat yang sering disebut “vrijheidsrechten van burger”. Ibid. hlm 6 Dalam kaitannya dengan ciri-ciri diatas, menunjukan dengan jelas bahwa ide sentral konsep “rechtsstaat” adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan. Secara teoritik pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam konsep rechtsstaat dapat dilihat dari kriteria: Adanya undang-undang dasar yang akan memberikan jaminan secara konstitusional bagi warga terhadap asas kebebasan dan persamaan; Adanya pemisahan kekuasaan bertujuan untuk menghindar dari penumpukan kekuasaan dalam satu tangan, karena penumpukan kekuasaan ini sangat cenderung mengarah kepada penyalahgunaan kekuasaan yang berarti pemerkosaan terhadap kebebasan dan persamaan; Adanya pembuatan undang-undang yang dikaitkan dengan parlemen, dimaksudkan untuk menjamin bahwa hukum yang dibuat adalah atas kehendak rakyat, dengan demikian hukum tersebut tidak akan memperkosa hak-hak rakyat, dan apabila dikaitkan dengan asas mayoritas, kehendak rakyat diartikan sebagai kehendak golongan mayoritas; Adanya prinsip “wetmatig bestuur” agar tindak pemerintah didasarkan pada ketentuan undang-undangdan tidak memperkosa kebebasan dan persamaan (heerschappij van de wet) Kesehatan merupakan Hak asasi manusia Kesehatan merupakan hak asasi yang hakiki serta dipengaruhi oleh banyak faktor terutama dari lingkungan dan perilakunya. Sehat memang bukanlah sebuah hal yang menjadi ‘segala-galanya” dalam hidup manusia tetapi kesehatan seseorang juga menentukan kualitas hidup sumber daya manusia bersamaan dengan pendidikan dan tingkat ekonominya. Hal tersebut menjadi paradigma bahwa tanpa keadaan yang sehat maka segalanya tidak akan berarti. Sehat menurut World Health Organization (WHO) (1947) adalah keadaan yang sempurna baik fisik, mental, dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit. Difinisi sehat menurut WHO ini menyiratkan bahwa sehat bukan sebagai konteks penyakit tetapi juga memandang sehat dalam konteks lingkungan. Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara secara sosial dan ekonomis. Secara umum sehat diartikan sebagai hidup yang kreatif dan produktif. Kesehatan itu sendiri merupakan hak asasi manusia dan termasuk salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dangan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang telah disebutkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jaminan Kesehatan Sebagai Bentuk Tanggung Jawab Pemerintah BPJS merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia. Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah berdiam di Indonesia selama minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS. Demikian tertuang dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS. Sedangkan orang atau keluarga yang tidak bekerja pada perusahaan wajib mendaftarkan diri dan anggota keluarganya pada BPJS. Setiap peserta BPJS akan ditarik iuran, sedangkan bagi warga miskin, iuran BPJS ditanggung pemerintah melalui program Bantuan Iuran (PBI). Menjadi peserta BPJS tidak hanya wajib bagi pekerja di sektor formal, namun juga pekerja informal. Pekerja informal juga wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan. Para pekerja wajib mendaftarkan dirinya dan membayar iuran sesuai dengan tingkatan manfaat yang diinginkan.Jaminan kesehatan secara universal diharapkan bisa dimulai secara bertahap pada 2014 dan pada 2019, diharapkan seluruh warga Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan tersebut.  Ketentuan iuran PNS dan TNI/Polri sebesar 5 persen dari gaji per keluarga per bulan. Untuk pekerja formal swasta, 4,5 persen dari dua kali penghasilan tidak kena pajak. Iuran sektor nonformal Rp 59.500 per orang per bulan untuk rawat inap kelas 1, Rp 42.500 di kelas 2, dan Rp 25.500 di kelas 3. Iuran penduduk miskin ditanggung pemerintah Rp 19.225 per orang per bulan untuk 86,4 juta warga miskin. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga melakukan penandatanganan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MOU) dengan Yayasan Damandiri dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terkait dengan sosialisasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kerja sama ini diharapkan dapat meningkatkan jangkauan program. Kerja sama dengan Yayasan Damandiri terkait sosialisasi melalui Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya), sedangkan kerja sama dengan BKKBN terkait sosialisasi melalui program Keluarga Berencana. kerja sama itu diharapkan efektif, sehingga mempercepat pencapaian cakupan kepesertaan, perluasan kepesertaan BPJS Kesehatan tersebut membutuhkan dukungan berbagai berbagai elemen yang ada masyarakat Dep. Hubungan Masyarakat. 01 april 2014. BPJS Kesehatan Kerja Sama Damandiri dan BKKBN Sosialisasi Program JKN. (http://faskes.bpjs-kesehatan.go.id), diakses 10 november 2015. Prosedur Perancangan Kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Dalam membuat sebuah kebijakan. Prosesnya tidaklah instan diperlukan sebuah perjalanan yang panjang dengan sintesis fakta-fakta data, literatur, serta melibatkan banyak pihak terutama pemangku kebijakan dalam perancangannya. Masih banyaknya masyarakat terutama akademisi, sebagai pengisi kehidupan bernegara di masa depan, yang “buta” mengenai cara perancangan sebuah kebijakan menjadikan arahan-arahan dalam perancangan undang-undang, peraturan, dan lain sebagainya sangat diperlukan sehingga kedepannya, perancangan kebijakan terutama yang merujuk kepada kesehatan, akan menjadi terarah dengan baik dengan adanya pedoman perancangan aturan Adidasmito. 2008. Analisis Perjalanan Rancangan Undang-Undang Kesehatan. Jakarta: UI Press, hlm 26.. Pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR berasal dari anggota fraksi (Minimal 1 anggota DPR RI), Komisi, Gabungan Komisi, atau Badan Legislasi. Selain itu, DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR. RUU yang diajukan DPD biasanya berkaitan dengan daerah yang diwakilinya seperti tentang otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam di daerah, dan sumber daya ekonomi lainnya, ataupun yang berkaitan dengan keuangan pusat dan daerah. RUU yang diajukan dari DPD kepada DPR akan menjadi RUU dari DPR. Perancangan RUU dari presiden akan dilakukan oleh instansi pemrakarsa seperti kementrian atau badan-badan di bawah Presiden. Sedangkan RUU yang melibatkan DPR, Presiden, dan DPD disusun berdasarkan Prolegnas (Program Legislasi Nasional) atau dalam keadaan tertentu, DPR dan Presiden dapat mengajukan RUU di luar Proglagnas. Setelah RUU disetujui oleh DPR dan Presiden, RUU tersebut akan disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden RI paling lambat 7 (Tujuh) hari untuk disahkan menjadi undang-undang. Apabila setelah 15 (lima belas) hari kerja. RUU yang sudah disampaikan kepada presiden belum juga disahkan menjadi undang-undang, pimpinan DPR mengirim surat kepada presiden untuk meminta penjelasan. Apabila RUU yang sudah disetujui bersama tidak disahkan oleh presiden dalam waktu paling lama/ lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Pembicaraan tingkat I dilakukan oleh Komisi, Gabungan Komisi, Badan Legislasi, atau Pansus bersama Presiden. Namun biasanya, Presiden diwakili menteri yang terkait dengan topik utama RUU yang sedang dibahas. Pembahasan RUU juga dapat dilakukan oleh komisi, gabungan komisi, badan legislasi, atau pansus yang ditugaskan oleh badan Musyawarah. Penugasan yang diberikan dilakukan dengan mempertimbangkan usul RUU, penyempurnaan RUU, materi muatan RUU, dan ruang lingkup tugas komisi yang terlibat. Bedjo Santoso. http://sanbed.blogspot.co.id/2010/08/kajian-proses-kebijakan.html. diakses tanggal. 18 Desember 2015 Sebelum pembahasan mengenai materi RUU, akan dibuka terlebih dahulu dengan penyampaian pengantar musyawarah sebagai berikut: Jika RUU diajukan oleh DPR, DPR akan memberikan penjelasan kemudian pandangan atau tanggapan akan diberikan oleh Presiden Jika RUU berkaitan dengan daerah diajukan oleh DPR, DPR memberikan penjelasan kemudian Presiden dan DPD memberikan pandangan apabila RUU dari DPR berkaitan dengan kewenangan DPD; Jika RUU diajukan oleh Presiden, Presiden memberikan penjelasan kemudian fraksi-fraksi memberikan tanggapan terhadap RUU dari presiden; Jika RUU berkaitan dengan daerah dan diajukan dari Presiden, Presiden memberikan penjelasan kemudian fraksi-fraksi dan DPD memberikan tanggapan terhadap RUU dari Presiden yang berkaitan dengan kewenangan DPD. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit, hlm 15 Pembahasan RUU dilakukan dengan berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Jika RUU yang diajukan berasal dari DPR maka DIM dibuat oleh Pemerintah, dan jika RUU yang diajukan berasal dari Pemerintah maka DIM dibuat oleh fraksi-fraksi di DPR. Pembahasan dilakukan dalam rapat kerja. Rapat Panitia Kerja (PANJA), Rapat Tim Perumus, dan Rapat Tim Sinkronisasi. Keputusan yang dihasilkan pada pembicaraan tingkat I dilanjutkan ke dalam pembicaraan tingkat II untuk pengambilan keputusan berupa persetujuan DPR atas RUU dalam rapat paripurna. Adapun rapat paripurna yang diadakan akan diikuti oleh hal-hal sebagai berikut: Penyampaian laporan pimpinan alat kelengkapan yang membahas RUU yang berisi proses, pendapat mini fraksi dan pendapat mini DPD, serta hasil pembicaraan tingkat I. Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap fraksi dan anggota secara lisan. Pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakili. Ibid, hlm 35 Pengambilan keputusan mengenai persetujuan RUU dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mufakat, dan apabila musyawarah tidak tercapai dilakukan dengan pemungutan suara. RUU yang telah mendapatkan persetujuan bersama akan diajukan kepada presiden untuk disahkan/ditandatangani. RUU yang tidak mendapat persetujuan bersama tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. Jika RUU yang telah disetujui bersama tidak kunjung disahkan oleh presiden dalam waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari, RUU tersebut akan sah menjadi undang-undang. RUU yang telah disahkan atau sah menjadi undang-undang akan diumumkan dalam Lembaran Negara dan Pemerintah wajib menyebarluaskan undang-undang yang telah disahkan. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi. BAB III IMPLIKASI HUKUM PROGRAM BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN TERHADAP ASURANSI KESEHATAN SWASTA Pembangunan Kesehatan Sebagai Bagian Dari Integral Dari Pembangunan Nasional Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 telah ditetapkan bahwa visi pembangunan nasional tahun 2005-2025 adalah Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Dalam mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut ditempuh melalui 8 (delapan) misi pembangunan nasional. Salah satu misi tersebut adalah mewujudkan bangsa yang berdaya saing yaitu mengedepankan antara pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. Secara umum peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia ditandai dengan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG), serta tercapainya penduduk tumbuh seimbang. Dalam undang-undang ini telah ditetapkan arah pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025 yang juga meliputi arah pembangunan kesehatan jangka panjang. Pembangunan jangka panjang tersebut membutuhkan tahapan dan skala prioritas. Makna pembangunan kesehatan sebagai bagian dari integral dari pembangunan nasional. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berdasarkan 1. Prikemanusiaan, 2. Pemberdayaan dan kemandirian, 3. Adil dan merata, 4. Pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusus pada penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut, dan keluarga miskin. Pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui peningkatan 1) upaya kesehatan, 2) pembiayaan kesehatan, 3) adil dan merata, 4) obat dan perbekalan kesehatan disertai oleh peningkatan pengawasan, 5) pemberdayaan masyarakat, dan 6) manajemen kesehatan. R. Hapsara Habib Racmat. 2013. Percepatan Pembangunan Kesehatan di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal 1 Dalam pembangunan kesehatan (health development), upaya kesehatan terdiri dari upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat, upaya kesehatan ini diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan sebagai salah satu upaya kesehatan terdiri dari: Pelayanan kesehatan perorangan, yang bertujuan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perorangan dan keluarga, serta; Pelayanan kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok orang dan masyarakat. Dalam dalam pasal 167 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan bahwa: Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan atau masyarakat melalui pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya; Pengelolaan kesehatan tersebut dilakukan secara berjenjang dipusat dan daerah; Pengelolaan kesehatan termaksud dibuat dalam suatu Sistem Kesehatan Nasional (SKN); dan Ketentuan mengenai pengelolaan kesehatan tersebut perlu diatur dengan Peraturan Presiden. Pengembangan perencanaa pembangunan kesehatan bermaksud untuk meningkatkan mutu perencanaan pembangunan kesehatan, dalam pengembangan ini meliputi berbagai kajian seperti kajian kebijakan pembangunan kesehatan, masa depan kesehatan, reformasi kesehatan masyarakat , masa depan manajemen kesehatan dan masa depan pembangunan kesehatan, penelitian dan pengembangan, untuk meningkatkan mutu perencanaan pembangunan kesehatan serta reformasi perencanaan dan penganggaran. Ns Ta’adi, Op.Cit, hlm 50. Analisis Terhadap Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan Terhadapa Asuransi Kesehatan Swasta Peserta BPJS Kesehatan adalah setiap penduduk termasuk orang asing yang bekerja lebih dari 6 (enam) bulan di Indonesia wajib membayar iuran jaminan kesehatan (Pasal 14 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2014 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Kepesertaan BPJS Kesehatan terbagi menjadi 2 kelompok besar yaitu Peserta bukan Penerima Bantuan Iuran (non PBI) dan Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Ibid. hlm 8 Dikarenakan sifatnya yang wajib, dan dipertegas pada pasal Pasal 4 huruf (g) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial “BPJS menyelenggarakan sistem kepesertaan bersifat wajib” yang dimaksud dengan “prinsip kepesertaan bersifat wajib” adalah prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi Peserta Jaminan Sosial, yang dilaksanakan secara bertahap. Namun hal ini dapat kita lihat jika melihat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Pemyelenggara Jaminan Sosial secara sistematis dan utuh. Pertama, ada prinsip kepesertaan yang bersifat wajib, sampai di sini tidak ada persoalankarena kepesertaan bersifat wajib itu adalah terhadap program jaminan sosial, tidak laluspesifik kepada lembaga tertentu. Menjadi persoalan ketika untuk mengikuti atau menjadipeserta itu hanya bisa dilakukan dengan cara mendaftarkan diri ke BPJS (Pasal 16 UU BPJS).Hal ini berarti seorang warga Negara hanya bisa ikut dalam program jaminan sosial kalau menjadi peserta BPJS. Jika menjadi program asuransi umum atau swasta, berarti belum ikut serta dalam program jaminan sosial yang wajib. Pada saat seorang warga negara tidak menjadi peserta BPJS, yang bersangkutan dapat dikenai sanksi (Pasal 17 UU BPJS). Oleh karena itu pada saat ada kehendak bahwa jaminan sosial tidak hanya diselenggarakan oleh BPJS, maka harus dibuka kemungkinan penyelenggaraan jaminan sosial tidak hanya oleh BPJS. Hal ini tentu saja memerlukan perumusan lebih lanjut mengenai hubungan antara asuransi atau Badan Penyelenggara Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (BaPel JPKM) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Peran BPJS Kesehatan misalnya lebih pada menentukan standar minimal dan pengawasan. Hal ini sesungguhnya lebih menguntungkan BPJS sendiri karena akan mengurangi beban kerja yang sedemikian besar Persoalannya adalah ada hak-hak lain yang juga harus dilihat pada saat mengukur konstitusionalitas satu ketentuan dan pelaksanaan daripada ketentuan itu. Dengan sendirinya pada saat menilai konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, tentu tidak bisa hanya melihat kepada Pasal 34ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”, ketentuan ini menempatkan Negara sebagai pihak yang memiliki kewajiban, yang harus dibaca secara sistematis dengan ketentuan pasal 28 H ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. tetapi juga pada ketentuan lain di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu yang dipersoalkan adalah peran atau partisipasi aktif dari anggota masyarakat, dalam hal ini terutama peran perusahaan-perusahaan swasta yang selama ini menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Bapel JPKM) yang sudah ada (Sebagai gambaran, Bapel JPKM pada umumnya berbadan hukum PT dan membantu perusahaan lain dalam mengalokasikan biaya kesehatan guna efisiensi serta penghematan anggaran). Di dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Dengan demikian Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression), tidak hanya bagi setiap warga negara Indonesia, tetapi juga bagi setiap orang yang artinya termasuk juga orang asing yang berada di Indonesia. Pada saat Badan Penyelenggara Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Bapel JPKM) dilibatkan dalam pelaksanaan jaminan sosial ternyata lebih menjamin kebutuhan masyarakat yang menginginkan pelayanan kesehatan yang tidak menggunakan birokrasi yang panjang seperti menggunakan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, maka itu harus diwadahi karena sesuai dengan pasal 28 H Ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak mendaptkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dan ketika bunyi pasal tersebut dibandingkan dengan pasal 4 huruf g yang berbunyi “ BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip kepersertaan yang bersifat wajib” maka dapat diartikan itu tidak sesuai dengan amanat konstitusi yang mencita-citakan adanya jaminan kebebasan seseorang untuk memilih apa yang menurut diri yang terbaik dalam hal ini yaitu memilih asuransi swasta. Jaminan sosial yang mencakup seluruh rakyat dan untuk memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan sudah selayaknya Negara yang menanggung beban tersebut karena diamanatkan pasal 34 ayat (1) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Oleh karena itu lah kepesertaan jaminan sosial itu tidak harus hanya ada di BPJS, karena BPJS tidak menjadi satu-satunya lembaga penyelenggara mulai dari menentukan aturan sampai melaksanakan di setiap urusan teknis berhubungan dengan jaminan sosial ini. Persoalan selanjutnya yang cukup penting adalah pengenaan sanksi administratif yang tidak hanya kepada pemberi kerja, tetapi juga kepada warga Negara yang tertuang pada pasal 11 huruf f Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penylenggara Jaminan Sosial yang berbunyi “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwenang untuk mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kewajibannya. Hal ini telah melanggar hakikat jaminan sosial sebagai hak warga Negara. Jaminan sosial bagi seorang warga negara itu adalah hak, sebaliknya yang menanggung kewajiban adalah negara. Karena penanggung kewajiban adalah Negara, jika ada warga Negara tidak menjadi peserta, seharusnya yang mendapatkan sanksi adalah Negara. Bagaimana cara negara agar seluruh warga Negara mengikuti program jaminan sosial nasional? Tentu tidak boleh dengan sanksi karena sanksi itu adalah instrumen terukur yang digunakan oleh negara untuk memaksakan sesuatu sebagai kewajiban yang dibebankan kepada warga negara. Jika ada sanksi berarti ada pergeseran dari semula jaminan sosial sebagai hak yang harus dipenuhi oleh negara menjadi kewajiban warga Negara pengujian uu bpjs terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (keterangan ahli dalam sidang pengujian uu bpjs di mkri tanggal 10 februari 2015) dr. muchamad ali safa’at, s.h., m.h. http://safaat.lecture.ub.ac.id, diakses 20 november 2015. Ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa negara bertugas mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ketentuan itu menempatkan negara sebagai pihak yang memiliki kewajiban, yang harus dibaca secara sistematis dengan ketentuan Pasal 28 H ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Dari ketentuan di atas dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan jaminan sosial tidak hanya terkait dengan persoalan layanan kesehatan, itu hanya salah satu saja dari bentuk jaminan sosial. Dengan demikian materi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional hanya sebagian dari pelaksanaan ketentuan Pasal 34 ayat (2)Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Ketentuan jaminan sosial dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 merupakan wujud dari tujuan bernegara untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kesejahteraan. Wujud nyata dari welfare state adalah adanya transfer dari Negara kepada warga Negara. Pada model konvesional semua biaya jaminan sosial ditanggung Negara. Dalam model sosio demokrat terdapat gabungan antara asuransi sosial dan bantuan Negara. Sedangkan pada model liberal, jaminan sosial seluruhnya didasarkan pada asuransi murni oleh warga negara. Dari ketiga model tersebut, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mendekati model negara kesejahteraan yang sosial demokrat, dimana menggabungkan antara asuransi yang dibayar oleh warga negara yang mampu, tapi ada juga bantuan dari negara. Pilihan sistem tersebut telah dinyatakan konstitusional melalui Putusan MK Nomor 007/PUU-III/2005. Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa kendatipun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 telah secara tegas mewajibkan negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial tetapi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mewajibkan kepada negara untuk menganut atau memilih sistem tertentu dalam pengembangan sistem jaminan sosial dimaksud. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dalam hal ini Pasal 34 ayat (2), hanya menentukan kriteria konstitusional yang sekaligus merupakan tujuan dari sistem jaminan sosial yang harus dikembangkan oleh negara, yaitu bahwa sistem dimaksud harus mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Dengan demikian, sistem apa pun yang dipilih dalam pengembangan jaminan sosial tersebut harus dianggap konstitusional, dalam arti sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang sistem tersebut mencakup seluruh rakyat dan dimaksudkan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Jaminan sosial dapat dilakukan baik melalui sistem asuransi sosial yang didanai oleh premi asuransi maupun melalui bantuan sosial yang dananya diperoleh dari pendapatan pajak,dengan segala kelebihan dan kelemahan yang dimiliki masing-masing, dan oleh karena, Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 hanya menentukan bahwa sistem jaminan sosial yang wajib dikembangkan oleh negara harus mencakup seluruh rakyat dan meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan akan tetapi, negara juga tidak bisa boleh memaksakan setiap warga Negara untuk menjadi peserta jaminan kesehatan yang dikelola oleh badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan karena masyarakat yang tidak menginginkan menjadi peserta kemungkinan mereka sudah mempunyai asuransi swasta atau juga mempunyai pendapat lain mengenai program pemerintah yang saat ini dijalankan, dan juga menurut pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya) berbunyi “ Negara pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial. Menurut teori dari John Rawls, dia menyatakan bahwa setiap orang atau warga negara harus mendapatkan hak yang sama dari keseluruhan sistem sosial dalam mendapatkan kebebasan paling hakiki yang ditawarkan pada manusia. Kebebasan tersebut tertuang pada seperangkat hak yang melekat pada tiap individu, seperti hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk berasosiasi, hak untuk ikut serta aktif dalam sistem politik dan sosial, dan hal tersebut harus berlaku secara sama pada setiap indivdu. Prinsip pertama ini disebut sebagai prinsip mengenai kebebasan dan hak dasar manusia yang perlu diperoleh dengan setara pada setiap individu. BAB IV PENUTUP Kesimpulan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang ada di Indonesia. Semua kebijakan yang dibuat haruslah mengacu dan tidak boleh bertentangan terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan tertinggi kedua adalah TAP MPR yang kemudian diikuti peraturan-peraturan lainnya. Pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, seharusnya mengahasilkan kondisi kesehatan yang meningkatan serta mengakibatkan usia harapan hidup makin meningkat. Oleh karena itu, Negara wajib menjamin kesehatan bagi setiap warga Negara Indonesia dari Sabang sampai Marauke, di perkotaan maupun dipedesaan dan bahkan dipelosok negeri ini demi terwujudnya keadilan sosial yang merata. Dalam proses pembentukan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2014 sangatlah panjang dimulai dari tahun 2004 terbentukanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional terbentuknya undang-undang dikarenakan amanat dari pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) mengamanatkan untuk mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Selang beberapa tahun setelah dibentuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasiona, akhirnya pada tanggal 29 Oktober 2011 DPR RI sepakat dan mensahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang sistem tersebut mencakup seluruh rakyat dan dimaksudkan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Jaminan sosial dapat dilakukan baik melalui sistem asuransi sosial yang didanai oleh premi asuransi maupun melalui bantuan sosial yang dananya diperoleh dari pendapatan pajak, dengan segala kelebihan dan kelemahan yang dimiliki masing-masing Negara juga tidak bisa boleh memaksakan setiap warga Negara untuk menjadi peserta jaminan kesehatan yang dikelola oleh badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan yang tertuang pada pasal 4 huruf (g) bahwa kepesertaan bersifat wajib. Dan apabila tidak menjadi peserta Badan Penyelenggara jaminan sosial maka diberikan sanksi administratif sebagaimana dimaksuda dapat berupa teguran, denda, dan/atau tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu. Ini sangat merugikan bagi masyarakat yang tidak menginginkan menjadi peserta kemungkinan mereka sudah mempunyai asuransi swasta atau juga mempunyai pendapat lain mengenai program pemerintah yang saat ini dijalankan Saran Berdasarkan hasil analisa dan kesimpulan, maka penulis memberikan saran dalam upaya memajukan Badan Penyelenggara Jaminan sosial khusunya Kesehatan bahwa: Pihak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dalam hal ini Pemerintah (DPR RI) harus mengkaji lagi materi dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial karena ada pasal yang bertentang dengan Hak asasi manusia (pasal 4 huruf g) Pemerintah sebaiknya tidak bersikap argoansi terhadap warga negara yang tidak memiliki kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Karena warga negara berhak untuk menentukan pilihan dalam asuransi kesehatan yang diinginkan. Dalam hal pelayanan publik seperti Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan maka ditingkatkan lagi sosialisasi mengenai manfaat program ini. DAFTAR PUSTAKA NS. Ta’adi. 2010. Hukum Kesehatan:pengantar menuju perawat profesional. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. R. Hapsari Habib Ractmat. 2013. Percepatan Pembangunan Kesehatan Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Moh Hatta. 2013. Hukum Kesehatan dan Sengketa Medik. Yogyakarta: Liberty. Wiku Adisasmito. 2013. Perancangan naskah Akademik dan Kebijakan Kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press). Bahder Johan Nasution. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bandung: CV. Mandar Maju. Adidasmito. 2008. Analisis Perjalanan Rancangan Undang-Undang Kesehatan. Jakarta: UI Press Dep. Hubungan Masyarakat. 01 april 2014. BPJS Kesehatan Kerja Sama Damandiri dan BKKBN Sosialisasi Program JKN. (http://faskes.bpjs-kesehatan.go.id), diakses 10 november 2015. Bedjo Santoso. http://sanbed.blogspot.co.id/2010/08/kajian-proses-kebijakan.html. diakses tanggal. 18 Desember 2015 pengujian uu bpjs terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (keterangan ahli dalam sidang pengujian uu bpjs di mkri tanggal 10 februari 2015) dr. muchamad ali safa’at, s.h., m.h. http://safaat.lecture.ub.ac.id, diakses 20 november 2015