Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

MAKALA AGAMA

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM DOSEN : BAB I. PENDAHULUAN Latar belakang Secara fitriah manusia membutuhkan agama sebagai pegangan hidup, karena itu sejarah agama sama panjangnya dengan sejarah manusia. Karena itu sejarah mencatat aneka macam agama yang dianut oleh manusia sejak dahulu sampai hari ini, baik agama yang berasal dari olah pikir manusia (agama ardi atau agama budaya), maupun agama yang diturunkan melalui wahyu (agama samawi) yang diterima rasul-rasul Tuhan. Agama Islam adalah agama wahyu berdasarkan tauhid, berbeda dengan monoteisme. Tauhid atau keesaan Tuhan diketahui manusia berdasarkan kabar dari Tuhan sendiri melalui firman yang disampaikan kepada Rasul-Nya. Sedangkan monoteisme lahir dari perkembangan kepercayaan manusia terhadap Tuhan setelah melalui proses panjang pengalaman manusia dari dinamisme, animisme, politeisme dan akhirnya monoteisme. Ilmu Kalam/Teologi Islam, adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya secara rasional. Berkenaan dengan itu, maka obyek forma teologi yaitu permasalahan ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya. Sementara metodologinya, yaitu upaya memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan al-Sunnah secara mendalam diikuti elaborasi pemaman dengan fakta-fakta empirik. Biasa dikenal dengan istilah dialog ilmiah keagamaan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, teologi islam, berada satu rumpun dalam disiplin ilmu Pemikiran dalam Islam. Pembicaraan tentang Tuhan merupakan pembicaraan yang menyedot pemikiran manusia sejak jaman dahulu kala. Manusia senantiasa bertanya tentang siapa di balik adanya alam semesta ini. Apakah alam semesta terjadi dengan sendirinya ataukah ada kekuatan lain yang mengatur alam semesta ini. Bertitik-tolak dari keinginan manusia untuk mengetahui keberadaan alam semesta ini, maka manusia mencoba mengkajinya sesuai dengan kemampuan akal yang dimilikinya. Hasil dari kajian-kajian yang dilakukan, manusia sejak jaman primitif sudah mempercayai adanya kekuatan lain/gaib di luar diri manusia yang disebut dengan Tuhan. Mengingat kepercayaan terhadap Tuhan berbeda-beda, lantas apakah semua Tuhan yang dipercayai oleh manusia merupakan Tuhan yang Haq (benar) dan bagaimana cara mengetahui Tuhan yang Haq (benar) tersebut. Tulisan ini akan menjelaskan tentang Tuhan yang Haq (benar) dalam perspektif Islam, dan menguji Tuhan-Tuhan yang ada dalam kepercayaan manusia di luar Islam. Rumusan masalah Bagaimana filsafat ketuhanan dalam persepsi islam? Apa itu iman dan takwa? Bagaimana implementasi iman dan takwa dalam kehidupan modern? BAB II. PEMBAHASAN 2.1. Filsafat Ketuhanan Dalam Islam Filsafat ketuhanan dalam islam merupakan filsafat yang tertinggi karena menggali persoalan yang pertama, utama, dan menjadi sebab dari segala yang ada. Tuhan dalam bahasa Arab disebut dengan ILAAHUN – ILAAHAINI – AALIHATUN. Dalam Al-Qur’an kata tersebut dipakai untuk menyatakan berbagai obyek yang diagungkan, dibesarkan atau dipentingkan oleh manusia. Dengan demikian Tuhan (ilah) adalah segala sesuatu yang dipentingkan, dianggap mutlak oleh manusia sedemikian rupa sehingga mereka merelakan dirinya untuk dikuasai oleh sesuatu tersebut Dia(Allah) tidak terjangkau dengan penglihatan mata, namun Dia (Allah) menjangkau semua penglihatan, daan Dia Dia-lah Yang Maha Lembut lagi Maha Mengetahui segala kejadian.(Al-An’am, 103 ). Dialah Yang Maha Awwal dan Maha Akhir, Yang Dzahir dan Yang Bathin dan Dialah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu. ( Al-Hadid,3). Katakanlah ( hai Muhammad ) : ‘Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang kepada-Nya bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan , dan tak ada apa pun yang setara dengan-Nya. ( Al-Ikhlas,1-4). Dialah Allah Yang menciptakan segala sesuatu,(Ar-Ra’ad, 18). Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (hai Muhammad ) tentang aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman ( percaya sepenuhnya ) kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Al-Baqarah, 186). Ingatlah,bahwa Allah Maha Meliputi segala sesuatu. ( Fusshilat,54). Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. ( Al-Ahzab, 27). Segala sesuatu pasti binasa kecuali Allah. Bagi-Nya-lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya sajalah kalian akan dikembalikan. ( Al- Qashas, 88). Pada Ayat – ayat tersebut secara garis besar menggambarkan aqidah ilahiyyah ( keyakinan tentang ketuhanan ) di dalam Islam. Itulah Aqidah paling sempurna dalam agama. Pencipta satu-satunya,tiada berawal dan tiada berakhir.Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu, Maha Meliputi segala sesuatu, dan tiada suatu apa pun yang serupa dengan-Nya. Keberadaan Allah adalah mutlak, hal ini dapat dibuktikan antara lain bahwa ada ciptaan-Nya dan dibenarkan oleh pengalaman batin manusia maupun fitrahnya, disamping itu telah dijelaskan oleh firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 190-191: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya siang dan malam merupakan tanda-tanda bagi orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk ataupun dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi dan seraya berkata “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau, menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau maka jagalah kami dari siksa neraka”. Manusia melalui pengalaman pancaindera serta kecerdasannya tidak mungkin akan dapat menyangkal Allah yang menjadi Maha Pencipta, termasuk juga menciptakan manusia itu sendiri. Dimensi Pencipta tidak mungkin akan sama dengan dimensi yang diciptakan-Nya, dan untuk memahaminya diperlukan pemikiran yang mendalam serta kejujuran yang sebenar-benarnya. Ada tiga argumentasi paling terkenal yang melandasi filsafat ketuhanan. Yaitu yang ada dikalangan eropa dikenal dengan nama : cosmological argument, teological argument, ontological argument. Cosmological argument ialah bahwa segala sesuatu yang bergerak pasti ada penggeraknya, yang tidak digerakkan oleh hal lain. Segala sesuatu yang ada ( mumkinat) tentu ada yang mengadakan ( mujid) dan yang mengadakannya pasti ada ( wajibul-wujud). sebab jika tidak demikian, tentu akan terjadi rangkaian silsilah yang tidak berkesudahan. Yang mengadakan ( mujid ) atau yang pasti ada ( wajibul – wujud ) ialah Tuhan. Teological argument ialah bahwa keteraturan alam ini menunjukkan adanya kehendak yang meliputi dan mengetahui segala sesuatu termasuk semua sebab-musabab dan tujuannya. Ontological argument ialah bahwa jika akal menggambarkan sesuatu yang besar berarti ia menggambarkan sesuatu yang lebih besar. Jika tidak demikian hal nya, akal akan berhenti pada batas kebesaran yang tak dapat dilampauinya. Setiap ada sesuatu yang besar , pasti ada yang lebih besar lagi dan pada akhirnya akal akan menggambarkan suatu kebesaran yang tak mungkin ada bandingannya. Kebesaran yang tidak dilebihi oleh hal lain itu bukan semata-mata gambaran yang terdapat di dalam imajinasi, dan tidak pula terdapat di alam nyata. Karena, kebesaran yang benar-benar ada melebihi kebesaran yang dapat di bayangkan atau di gambarkan. Dengan demikian, Tuhan pasti ada, karena Dia jauh lebih besar dari pada semua yang ada. Di dalam al-qur’an, terdapat berbagai dalil dan argumentasi yang tersebut di berbagai ayat. Qur’an juga menegaskan, bahwa adanya alam wujud ini menunjukkan adanya Sang Pencipta Sang Pengatur yang berkehendak ( Al-Mudabbir Al-Murid ). Menetapkan idealisme tinggi mengenai sifat – sifat Tuhan yang lebih Tinggi dari segala idea adalah masuk akal, dan dapat dimengerti. Dia-lah (Allah) pencipta langit dan bumi, dan Dia telah menciptakan bagi kalian pasangan-pasangan dari jenis kalian sendiri , dan demikian pula pasangan-pasangan dari jenis kalian sendiri , dan demikian pula pasangan – pasangan bagi binatang ternak. Dengan demikian Allah membuat kalian dapat berkembang biak. Tak ada apa pun serupa dengan Dia. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. ( asy- Syura, 11). Dan di antara tanda – tanda kekuasaan Nya ialah penciptaan langit dan bumi, kelainan bahasa dan warna kulit kalian. Sesungguhnya dalam hal yang demikian terdapat tanda – tanda bagi orang – orang yang mau mengetahui. ( ar- Rum, 22 ). Di dalam Al-qur’an juga disebutkan masalah ke-Esa-an Tuhan. tentang Mengimani Tuhan Yang Maha Esa lebih kokoh dan lebih benar daripada sekedar mempercayai adanya Tuhan. Kepercayaan tentang adanya Tuhan yang lebih dari satu sangat merusak dan mengingkari pemahaman manusia mengenai alam dan mencerai beraikan pemahaman manusia tentang sebuah perasaan. Didalam Qur’an terdapat penjelasan mengenai ke-Esa-an Tuhan yang tidak dapat di bantah. Adapun firman Allah adalah : Seumpama di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah , pasti rusaklah kedua-duanya. ( Al-anbiya’, 22). Katakanlah ( hai Muhammad ) : ‘seumpama ada tuhan-tuhan lain di samping Allah , sebagaimana yang mereka katakan, tuhan – tuhan itu pasti mencari- cari jalan untuk dapat menjadi Tuhan Penguasa ‘Arsy. ( al-Isra’, 42). Bila seorang muslim telah kembali kepada hikmah filsafat Qur’an mengenai masalah ketuhanan, berati ia telah memperoleh akidah dari kitab suci nya. Dengan akidah itu, dapat memperbaiki kekeliruan kepercayaan agama-agama lain. jika ditegakkan atas dasar iman, tidak ada apa pun yang berhak di imani selain Tuhan Yang Maha Esa, Kepada-Nya – lah bergantung segala sesuatu. Yang Maha Mendengar, Maha Mengabulkan permohonan, yang tiada apa pun serupa dengan Nya dan yang pengetahuan Nya meliputi segala sesuatu. Allah lah yang menggerakkan segala nya, yang mengatur segala yang terjadi di muka bumi ini. Manusia sebagai makhluk yang dikaruniani akal sebenarnya mampu menghayati wujud Allah, yaitu melalui ciptaan-ciptaan-Nya, pengalaman-pengalaman batin atau fitrahnya, namun masih belum merasa puas dan menginginkan pembuktian yang secara langsung. Walaupun untuk kepentingan umatnya maupun Nabi Musa sendiri sebagai utusan Allah (Rasul) pernah juga memohon agar Tuhan menampakkan diri. Hal ini diungkapkan dalam surat Al-Araf ayat 143 Keinginan semacam itu tentu saja tidak dimungkinkan kecuali dalam pembuktian yang tetap masih bersifat relatif(nisbi) dan terbatas sekali. Oleh karenanya cara pembuktian lain yang paling akurat ialah melalui Al Qur’an dan Sunnah nabi, tentu saja hal ini terutama ditujukan kepada orang-orang beriman, sebab tanpa adanya keimanan hal ini juga kurang bermanfaat. Adanya iman pada seseorang dalam rangka menghayati wujud Allah adalah merupakan modal paling menentukan 2.2 Keimanan dan ketaqwaan Keimanan Kata iman dalam bahasa arab adalah bentuk mashdar dari kata amana yang berarti percaya, yakin. Tetapi iman itu sendiri dapat diartikan dengan percaya dan kepercayaan. Yang pertama menggambaran tentang sikap mental atau jiwa dari seseorang yang mempercayai atau meyakini sesuatu. Sedangkan yang kedua menunjuk kepada sesuatu yang dipercayai itu. Iman dalam arti percaya yaitu sikap mental atau jiwa yang mempercayai bahwa sesuatu itu benar jika dikaitkan dengan islam berarti; Sikap mental dari seorang muslim yang mempercayai pokok-pokok kepercayaan dan menerima hal-hal yang dipercaya itu sebagai kebenaran yang tidak bisa diragukan dengan cara pengucapan dengan lidah, pembenaran dengan hati, dan perwujudan dengan amal perbuatan. Dalam ajaran islam, iman dalam arti kepercayaan tersimpul dalam 6 rukun iman, yaitu percaya kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kemudian dan Qadha’ dan Qadar-Nya. Rukun iman merupakan bagian pokok dari agama islam yang diatasnya dibina ajaran-ajaran islam. Sedangkan rukun iman yang pertama yaitu percaya kepada Allah adalah rukun iman yang terpokok karena menjadi sumber rukun-rukun iman yang lainnya, atau dengan meminjam istilah Aristoteles sebagai prima causa dari segala universum ini. Karena inti dari iman adalah keyakinan, maka sasaran-sasaran dari iman itu sendiri adalah hal-hal ghaib, yang rahasia, yang tidak dapat dijangkau hakekatnya oleh akal manusia. Yang dimaksud dengan ghaib disini adalah ghaib hakiki yang keghaibannya bersifat hakiki dan tidak mungkin terbuka bagi manusia untuk mengetahuinya dengan perangkat indera dan akal yang dimilikinya. Meskipun iman hanya urusan hati, tetapi tidaklah berarti akal dan pikiran tidak ada hubungannya dengan iman. Akal itu sendiri dapat dijadikan sebagai sarana untuk mencapai iman bagi yang belum beriman dan untuk memperkokoh iman bagi yang telah beriman. Di dalam islam argumen-argumen akal dapat dijadikan sebagi justifikasi bagi iman. Pemikiran-pemikiran filosofis terhadap alam semesta, terhadap manusia khususnya, dapat membawa kepada iman akan adanya Dzat Pencipta dan Pemelihara alam ini, meskipun setelah itu akal tidak lagi mampu menjawab pertanyaan tentang siapa dan bagaimana Sang Pencipta itu. Yang mampu menjawab pertanyaan terakhir ini bukan lagi akal tetapi sendiri yang memberitakan tentang diri-Nya lewat wahyu-Nya kepada Rasul-rasul-Nya menerima wahyu sebagai kebenaran juga bukan wewenang dan perkara akal, tetapi kebanyakan yang berperan adalah hati yang telah hati beriman. Orang-orang yang sudah beriman tidak perlu mencari-cari alasan dan tidak perlu mempermasalahkan sesuatu yang datang dari Tuhan. Orang yang beriman akan menerima semua itu sebagai kebenaran yang tidak dapat diragukan atau dibantah. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 26 “ Sesungguhnya Allah tiada sengaja membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih dari itu. Adapun orang-orang yang beriman maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi yang kafir mengatakan: Apa maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?” Dengan kata lain sikap beriman adalah sikap menerima tanpa reserve, tanpa tanya, dan tanpa keragu-raguan. Kalau seseorang masih mempertanyakan apakah tuhan itu Maha Kuasa, Maha Pengasuh, Maha Penyayang, dan seterusnya, berarti orang tersebut sesungguhnya belum beriman secara utuh dan mendalam. Di dalam surat Al-Hujurat (49):15 dijelaskan ciri-ciri dan sifat orang yang betul-betul beriman.“ Sesungguhnya orang-orang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar” Iman sebagai sikap mental yang meyakini eksistensi dan kesempurnaan wujud dan sifat-sifat Tuhan berikut rukun-rukun iman yang lainnya memiliki sifat bertambah dan berkurang (menaik atau menurun). Sifat ini ditautkan dengan pengertian iman yang mencakup: pengucapan dengan lidah, pembenaran dengan hati, dan perwujudan dengan amal perbuatan. Bila amal shaleh menaik, maka meningkat pula keimanannya dan bila amal shaleh menurun, maka menurun pula kesempurnaan keimanan itu. Oleh karena sifatnya yang bertambah dan berkurang itulah maka iman harus senantiasa dipelihara dan dibina agar supaya senantiasa mantap di dalam dada. Pembinaaan iman dapat dilakukan dengan dua cara yaitu Tafakkur dan Dzikir Tafakkur adalah aktivitas berpikir dan bernalar. Kita dapat membina iman kita dengan cara memikirkan dan merenungkan penciptaan Allah dan pengaturan-Nya terhadap alam semesta dengan segala isinya ini. Ketia kita memikirkan kejadian bumi dengan berbagai ragam isi dan kandungannya; tanah, air, udara, hujan, hewan-hewan yang berjenis-jenis, tembuhan yang beraneka ragam, ikan di laut yang tidak pernah habis, gunung-gunung yang menghiasi bumi tegak laksana pasak tertanam dengan kokoh di bumi; ketika kita berpikir tentang aneka macam bintang yang bertebaran di angkasa raya yang begitu luas simana bui kita hanya setitik daripadanya; ketika memikirkan tentang bulan dan matahari yang beredar tepat pada waktunya tidak pernah mencong atau menympang dari peredarannya selama beribu-ribu tahun; ketika kita memikirkan dan merenungkan tentang diri kita sendiri manusia yang begitu indah dan lengkap kejadian dan bentuknya dibandingkan dengan makhluk-makhluk hidup lainnya, manusia yang penuh dengan kehebatan-kehebatan tetapi syarat dengan kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan; ketika kita merenungkan semua itu maka tergambarlah di hadapan kita dan terpatrilah di dalam hati kita betapa hebatnya, betapa kuasanya, dan betapa sempurnanya Khaliq yang menjadikan semua realitas-realitas tadi. Di saat-saat dimana keimanan kita akan bertambah dalam dan kesadaran kita sebagai seorang hamba yang sangat dhaif disisi-Nya bertambah terhujam ke dalam kalbu kita yang paling dalam. Lihatlah dan renungkanlah ayat-ayat yang merangsang kita untuk bertafakkur buat kekokohan iman kita antara lain terdapat dalam surat Al-Jatsiyah (45):3-6 “ Sesungguhnya pada langit dan bumi benar benar terdapat tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Dan penciptaan pada kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini. Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan oleh Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya, dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda ( Kekuasaan Allah ) bagi kaum yang berakal. Itulah ayat-ayat Allah yang kami membacakannya kepadamu dengan sebenarnya, maka kepada perkataan mana lagikah mereka akan beriman sesudah (kalam) Allah dan keterangan-keterangan-Nya” Berdzikir adalah mengingat-ingat Allah dan menyebut-nyebut nama-Nya setiap saat dalam segala posisi dan keadaan kita. Mengingat nama Allah, menghadirkan asma Allah dalam hati kita setiap waktu akan membawa efek yang sangat besar atau baik tehadap kedalaman dan kemantapan iman kita, karena orang yang senantiasa berbuata demikian akan selalu dekat dengan Allah. Firman Allah dalam surat Ali Imran (3):190-191 terkandung anjuran untuk bertafakkur sekaligus berdzikir dalam segala keadaan kita demi mempertebal keimanan kita dan agar supaya kita selalu dekat dengan Allah SWT. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih brgantinya malam dengan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” Dengan uraian diatas terlihatlah betapa bertanya kaitan antara fikir dan zikir, yang kedua-duanya diperintahkan oleh Allah SWT. Melalui berpikir (tafakur) orang yang belum beriman dapat menjadi beriman dan orang yang sudah beriman dapat bertambah keimanannya. Sedangkan melalui dzikir manusia-manusia mukmin akan semakin dekat kepada Allah dan Allahpun akan semakin dekat juga dengan mereka dan memperkenankan setiap doa dan permohonanan mereka. Ketaqwaan Pengertian logawiyah taqwa adalah hati-hati, ingat, awas, menjaga diri. Akar katanya adalah wiqayah. Banyak orang mengartikan taqwa dengan takut. Agaknya etimologi takut berasal dari taqwa. Apabila taqwa kepada Allah diartikan dengan takut kepada Allah, pengertian itu terlalu sempit. Sebab sikap taqwa kepada Allah bukanlah berunsur takut saja, tapi juga cinta, mesra, mendekatkan diri, mentaati, dan lain-lain. Memang ada yang patuh yang disebabkan tapi ada pula karena cinta karena meyakini atau karena menghargai. Seorang suami patuh menjalankan tugas sebagai suami karena cintanya kepada istrinya. Dalam masyarakat kampung orang patuh kepada petunjuk-petunjuk orang tua karena menghargai mereka. 4Pengertian taqwa tercantum pula dalam surat Al-Baqarah (2):2-5.“ Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan kepadanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang yakin pada yang Ghaib, mendirikan sholat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang yakin kepada kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab yang diturunkan sebelummu. Serta mereka yang yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang mengikuti pimpinan Tuhan dan mereka itulah orang yang beruntung” Unsur-unsur pengertian taqwa adalah: Yang jadi pemimpin dan petunjuk orang taqwa adalah Al-Quran Orang taqwa yakin kepada yang ghaib, mengerjakan rukun islam, yakin kepada rukun iman Orang taqwa itu orang beruntung Orang taqwa telah menemukan fitrah kemanusiaan, bahwa Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada Allah Orang taqwa takut kepada neraka dan yakin bahwa neraka itu tempat orang kafir Taqwa adalah amal tertinggi pola agama. Ia merupakan ujung dari proses amal agama. Pangkal proses untuk menjadi Muttaqin ialah Mu’min. Dengan mengamalkan ibadah, Mu’min menjadi Muslim. Dengan mengihsankan ibadahnya, Muslim menjadi Muhsin. Dengan mengikhlaskan ibadahnya yang ihsan, Muhsin menjadi Mukhlis. Dengan menyempurnakan keikhlasan ibadah baru Mukhlis meningkat menjadi Muttaqin. Taqwa sebagai kepribadian islam mengendalikan akal. Akal membentuk kemauan. Kemauan itu menggerakkan perbuatan yang diistilahkan dengan amal saleh. Amal saleh ialah cara laku-perbuatan yang mematuhi suruhan dan larangan Tuhan. Dengan selalu ingat kepada Allah sehingga selalu berperilaku yang ma’ruf dan tidak berbuat yang munkar, terjagalah hubungan dengan Allah. 2.3 Implementasi iman dan taqwa dalam kehidupan modern Menurut bahasa iman berarti membenarkan, sedangkan menurut syara’ berarti membenarkan dengan hati, dalam arti menerima dan tunduk kepada hal-hal yang diketahui berasal dari Nabi Muhamad. Dengan demikian Iman kepada Allah berati iman atau percaya bahwa Allah satu-satunya dzat yang mencipta, memelihara, menguasai, dan mengatur alam semesta Iman tidaklah cukup disimpan didalam hati. Iman terlebih utama harus dilahirkan dalam bentuk perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal dan perilaku yang baik. iman tidak sekedar beriman kepada apa yang disebutkan di dalam “rukun iman” saja, yaitu iman kepada Allah, iman kepada malaikat-malaikat-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadha’ dan qadar, akan tetapi lebih dari itu seperti, cakupan iman meliputi pengimanan terhadap segala hal yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Taqwa di dalam Al qur’an disebut dalam tiga pengertian. Pertama : Takut dan malu, Kedua :Taat dan beribadah, Ketiga : Membersihkan hati dari dosa, dan yang terakhir adalah taqwa yang benar – benar sesungguhnya di mata allah swt. Secara hafiah, taqwa adalah suatu perkataan yang mengungkapkan perilaku penghindaran diri dari kemurkaan Allah SWT dan Siksa-Nya. Yakni dengan melaksanakan apa yang diperintah-Nya dan menghindari dam menjauhkan diri dari melakukan segala larangan-Nya. Pengamalan amalan iman dan tawa dalam secara nyata bukan hanya sebatas apa yang terkandung di dalam rukun islam, seperti syahadat, sholat, zakat, dan haji saja.akan tetapi Amalan taqwa adalah apa-apa saja amalan dan perbuatan yang didalam kehidupan yang dilandaskan syariat, baik itu fardhu, wajib, sunah, mubah, atau apa saja. Perilaku iman dan taqwa juga masuk dalam segala perkara yang berlaku dalam kehidupan baik dalam kehidupan keseharian, dalam bidang ekonomi, pembangunan, pendidikan, kenegaraan, kebudayaan, manajemen, kesehatan dan sebagainya. Asalkan yang dilakukan berdasarkan serta terkait dan karena Allah, maka itu amalan iman dan taqwa. Sedangkan amalan yang tidak terkait dan tidak dilakukan karena Allah, itu adalah amalan yang tidak ada nyawa, jiwa, atau rohnya dan ia tidak ada nilai di sisi Allah. Ciri-ciri orang yang melakukan amalan iman dan taqwa kepada Allah itu adalah : Gemar menginfaqkan harta bendanya dijalan Allah, baik dalam waktu sempit maupun lapang. Mampu menahan diri dari sifat marah. Selalu memaafkan orang lainyang telah membuat salah kepadanya ( tidak pendendam). bila terjerumus pada perbuatan keji dan dosa atau mendzalimi diri sendiri, ia segera ingat Allah, lalu bertaubat, memohon ampun kepada-Nya atas dosa yang telah dilakukan. Terdapat banyak sekali faedah yang akan dipetik dari perilaku taqwa dan hasil yang akan diperoleh dan nikmat yang akan didapat oleh orang yang bertaqwa di antaranya : Ia akan memperoleh Al-Furqon yaitu kemampuan untuk membedakan antara yang haq dan yang batil, halal dan haram, antara yang sunnah dengan bid’ah. Serta kesalahan-kesalahannya dihapus dan dosa-dosanya di ampuni.   Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan kepadamu Furqon dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Al-Anfal: 29) Ia akan memperoleh jalan keluar dari segala macam problematika yang dihadapinya, dan amalan-amalan baiknya pasti diterima oleh Allah hingga menjadi berat timbangannya karena amal-amalnya dan pada di hari akhir kelak, dimudahkan proses penghisabannya dan ia menerima kitab catatan amalnya dengan tangan kanan. dan ia akan dimasukkan ke dalam Surga allah yang kekal di dalamnya serta hidup dalam Keridhoan-Nya. BAB III. PENUTUP Kesimpulan Dari materi yang telah kami bahas dapat disimpulkan : Keberadaan Allah adalah mutlak, hal ini dapat dibuktikan antara lain bahwa ada ciptaan-Nya dan dibenarkan oleh pengalaman batin manusia maupun fitrahnya Manusia melalui pengalaman pancaindera serta kecerdasannya tidak mungkin akan dapat menyangkal Allah yang menjadi Maha Pencipta, termasuk juga menciptakan manusia itu sendiri Iman dalam arti percaya jika dikaitkan dengan islam berarti sikap mental dari seorang muslim yang mempercayai pokok-pokok kepercayaan dan menerima hal-hal yang dipercaya itu sebagai kebenaran yang tidak bisa diragukan dengan cara pengucapan dengan lidah, pembenaran dengan hati, dan perwujudan dengan amal perbuatan. Takwa merupakan keseluruhan aspek manusia baik keyakinan, ucapan, maupun perbuatan yang mencerminkan konsistensi seseorang terhadap nilai-nilai ajaran Islam Pengamalan amalan iman dan tawa dalam secara nyata bukan hanya sebatas apa yang terkandung di dalam rukun islam, seperti syahadat, sholat, zakat, dan haji saja.akan tetapi amalan iman dan taqwa adalah apa-apa saja amalan dan perbuatan yang didalam kehidupan yang dilandaskan syariat, baik itu fardhu, wajib, sunah, mubah, atau apa saja Saran Mohon dimaklumi jika terdapat kesalahan-kesalahan dalam penulisan makalah dikarenakan kelompok kami merupakan kelompok pertama DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu dkk. 2008. Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Bumi Aksara. Daradjat, Zakiyah. 1997. Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat. Jakarta : Departemen Agama RI. Furqon, Arif. 2002. Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta : Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam. Gazalba, Sidi. 1975. Asas Agama Islam. Jakarta : Bulan Bintang Mahmud, Abbas. 1986. Filsafat Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus