Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN INDONESIA DENGAN PENDEKATAN MULTIDIMENSI Fitri Amalia (120130150011) Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran PENDAHULUAN Dunia telah mengakhiri lima belas tahun agenda pembangunan global, Millennium Development Goals (MDGs) pada September 2015. Pada rangkaian agenda United Nations General Assembly (UN-GA) ke 70, tepat pada tanggal 25 September 2015 para pemimpin dunia menyepakati tujuan pembangunan global yang baru dengan nama “Sustainable Development Goals” (SDGs). Agenda ini memuat 17 tujuan yang hendak dicapai sampai tahun 2030. Tujuan SDGs jumlahnya hampir dua kali lipat dibandingkan dengan MDGs. Dari delapan tujuan MDGs, cukup banyak indikator pembangunan global yang membaik. Di berbagai negara, indikator pembangunan mulai kemiskinan, pendidikan, lingkungan, kesehatan dan keadilan gender menunjukkan perbaikan. Namun, beberapa tujuan MDGs juga masih belum menunjukkan pencapaian yang memuaskan. Dengan demikian, SDGs diharapkan akan mampu menjawab kompleksitas permasalahan manusia dalam pembangunan, sehingga kita benar-benar tidak meninggalkan seorang pun dalam kegiatan pembangunan (leave no one behind). Mengacu pada The Millennium Development Goals Report 2015, angka kemiskinan telah menurun secara signifikan selama dua dekade terakhir. Pada tahun 1990, hampir setengah dari populasi di negara berkembang hidup dengan kurang dari US$ 1,25 perhari, sementara pada 2015 proporsi yang turun menjadi 14 %. Secara global, jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrim telah menurun lebih dari setengah, dari 1,9 miliar pada 1990 menjadi 836 juta jiwa pada 2015 dan kemajuan akseleratifnya dimulai sejak tahun 2000. Jumlah kelas menengah (hidup dengan US$ 4 /lebih) hampir tiga kali lipat. Proporsi orang yang kekurangan gizi di negara berkembang turun hampir setengah, dari 23,3 % pada 1990-1992 menjadi 12,9% pada 2014-2016.(UN, 2015: 4). Dengan pertimbangan bahwa kemiskinan masih menjadi problem di berbagai negara di dunia ini, maka “penghilangan kemiskinan dan kelaparan” pada 2030 menjadi “tulang punggung” dari tujuan agenda pembangunan berkelanjutan. Kemiskinan yang menjadi tujuan utama MDGs kembali menjadi tujuan utama dalam SDGs. Selain karena kemiskinan dan kelaparan masih sebagai problem dunia, menjadikan penghapusan kemiskinan sebagai tujuan utama diarahkan untuk menjamin keberlanjutan capaian MDGs. Hal ini penting agar si miskin tidak menjadi miskin kembali dan yang rentan miskin agar tidak jatuh menjadi miskin. Masalah kemiskinan merupakan hal yang sangat serius dan menjadi ketakutan sendiri bagi suatu negara yang kondisi perekomiannya masih tertiinggal. Strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tidak selalu diikut oleh penurunan kemiskinan, bahkan sebaliknya dapat menyebabkan semakin membengkaknya kemiskinan. Kemiskinan mengindikasikan bahwa sebagian anggota masyarakat belum ikut serta dalam proses perubahan karena tidak mempunyai kemampuan, baik kemampuan dalam kepemilikan faktor produksi maupun kualitas faktor produksi yang memadai. Akibatnya, kelompok ini tidak mendapat manfaat dari proses pembangunan. Disamping masalah kemiskinan, masalah lain yang erat kaitannya dengan masalah pembangunan adalah munculnya ketimpangan atau kesenjangan. Ketimpangan sendiri pada dasarnya merupakan masalah yang telah dikenal cukup lama di Indonesia. Ketimpangan yang paling sering dibicrakan adalah ketimpangan ekonomi. Ketimpangan pembangunan ekonomi sering digunakan sebagai indikator perbedaan pendapatan perkapita, antar kelompok tingkat pendapatan, antar kelompok lapangan kerja dan atau antar wilayah. Munculnya masalah ketimpangan dikarenakan tidak adanya pemerataan dalam pembangunan ekonommi. Ketidakmerataan pembangunan ini disebabkan karena adanya perbedaan antara wilayah satu dengan lainnya. Hal ini nampak dari adanya perbedaan antara wilayah maju dengan wilayah terbelakang. Adanya ketimpangan dapat mendorong wilayah yang kurang maju untuk dapat bersaing dan meningkatkan pertumbuhannya guna meningkatkan kesejahteraannya. Sedangkan disisi lain, ketimpangan yang ekstrim atau mencolok memunculkan inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas srta ketimpangan yang tinggi umumnya dipandang tidak adil ( Todaro, 2003). Sebagai kerangka kerja, kategori kesenjangan dibagi menjadi ketimpangan hasildan ketidaksetaran kesempatan. Indikator yang dinilai untuk ketimpangan hasil adalah adanya berbagai ketimpangan pengeluaran, sementara ketidaksetaraan kesempatan diukur dengan kesenjangan antara hasil pendidikan dan indikator kesehatan untuk berbagai kelompok masyarakat seperti kelompok area perkotaan-pedesaan, kelompk jender serta kelompok tingkat pendapatan. Keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara tidak hanya diukur dari kemampuan negara untuk meningkatkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) perkapita, tetapi juga diukur dari keberhasilan suatu negara untuk mendistribusikan manfaat dari pertumbuhan tersebut secara lebih merata dan dapat mengurangi kemiskinan. Meskipun menjadi tujuan utama pembangunan ekonomi, namun persoalan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia masih menjadi permasalahan. Adanya kemiskinan ketimpangan tersebut di tengah kemajuan ekonomi akan membawa dampak sosial politik yang justru sangat berbahaya bagi kelangsungan pembangunan. Selain itu, masih tingginya angka kemiskinan dapat menjadi hambatan dalam pembangunan ekonomi. Karena hambatan yang paling erat dalam perkembangan suatu perekonomian adalah adanya kelangkaan modal. Sedangkan pembentukan modal yang diperlukan dalam pembangunan dapat dipengaruhi oleh adanya kemiskinan. Hal ini disebabkan karena adanya suatu hubungan sebab akibat yang menurut Nurkse dalam Jhiangan (2004) disebut sebagai “lingkaran setan kemiskinan”. Jadi kemiskinan merupakan penyebab sekaligus akibat dari rendahnya pembentukkan modal suatu negara, sehingga dapat menyebabkan rendahnya tingkat pembangunan ekonomi. Belum teratasinya masalah kemiskinan mendorong pemikiran akan perlunya suatu strategi baru penanggulangan kemiskinan yang lebih menyentuh akar permasalahan kemiskinan. Pandangan konvensional menyebutkan kemiskinan sebagai masalah kekurangan modal dan menganggap masyarakat miskin sebagai obyek yang tidak memiliki informasi dan pilihan sehingga tidak perlu terlibat dalam pengambilan keputusan kebijakan publik. Implikasi dari pandangan ini adalah pemerintah mempunyai peran dominan untuk menyediakan modal dan kebutuhan dasar masyarakat miskin. Pendekatan ini terbukti kurang optimal dalam memecahkan masalah kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh kesulitan anggaran dan lemahnya rancangan kebijakan karena tidak menyentuh akar masalah kemiskinan, tetapi juga tidak adanya pengakuan dan penghormatan atas suara dan hak-hak dasar masyarakat miskin. Dengan demikian, strategi penanggulangan kemiskinan memerlukan pendekatan yang terpadu, pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, terencana, dan berkesinambungan, serta menuntut keterlibatan semua pihak baik pemerintah, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, maupun masyarakat miskin sendiri agar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perbaikan kondisi sosial, ekonomi dan budaya, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. TINJAUAN PERKEMBANGAN Mengacu pada The Millennium Development Goals Report 2015, angka kemiskinan telah menurun secara signifikan selama dua dekade terakhir. Pada tahun 1990, hampir setengah dari populasi di negara berkembang hidup dengan kurang dari US$ 1,25 perhari, sementara pada 2015 proporsi yang turun menjadi 14 %. Secara global, jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrim telah menurun lebih dari setengah, dari 1,9 miliar pada 1990 menjadi 836 juta jiwa pada 2015 dan kemajuan akseleratifnya dimulai sejak tahun 2000. Jumlah kelas menengah (hidup dengan US$ 4 /lebih) hampir tiga kali lipat. Proporsi orang yang kekurangan gizi di negara berkembang turun hampir setengah, dari 23,3 % pada 1990-1992 menjadi 12,9% pada 2014-2016.(UN, 2015: 4). Tingkat kemiskinan di Indonesia dalam periode 1976 sampai 1996 mengalami penurunan yang cukup pesat dan menjadi salah satu bentuk pencapaian yang sukses bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pada periode ini tingkat kemiskinan di Indonesia turun dari kisaran 40 persen menjadi 11,7 persen. Namun ketika terjadi krisis keuangan Asia pada tahun 1997-1998, trend penurunan kemiskinan sempat terputus. Sesudah terguncang akibat terpaan badai krisis ekonomi, sosial dan politik pada akhir 1990-an, Indonesia kini mulai bangkit. Negara ini sebagian besar telah pulih dari krisis ekonomi dan keuangan yang terjadi pada tahun 1998, yang telah melemparkan jutaan penduduknya ke jurang kemiskinan dan menjadikannya sebagai negara berpenghasilan rendah. Namun, belum lama ini Indonesia sekali lagi berhasil melewati ambang batas kemiskinan dan menjadi salah satu negara berpenghasilan menengah di dunia. Angka kemiskinan yang meningkat lebih dari sepertiga kali selama krisis, kembali turun mencapai tingkat sebelum masa krisis. Indonesia telah memiliki sukses luar biasa dalam penanggulangan kemiskinan sejak tahun 1970an. Periode dari akhir tahun 1970an hingga pertengahan tahun 1990an dianggap sebagai episode ‘pertumbuhan yang berpihak pada penduduk miskin (pro poor growth)’ terbesar dalam sejarah perekonomian negara manapun, dengan keberhasilan Indonesia dalam mengurangi angka kemiskinan lebih dari separuhnya. Setelah sempat meningkat selama krisis ekonomi (23 persen lebih pada tahun 1999), angka kemiskinan pada umumnya tidak jauh dari angka-angka sebelum krisis (16 persen pada tahun 2005). Kunci dari pemulihan tersebut terletak pada stabilitas ekonomi makro sejak pertengahan tahun 2001 dan penurunan harga barang, terutama beras yang penting untuk konsumsi masyarakat miskin. Akan tetapi, walaupun ada penurunan angka kemiskinan secara terus menerus, belum lama ini terjadi kenaikan angka kemiskinan yang tak terduga. Penyebab utama terjadinya perubahan tersebut diperkirakan adalah melonjaknya harga beras—diperkirakan kenaikan sekitar 33 persen harga beras yang dikonsumsi oleh kaum miskin—antara bulan Februari 2005 dan Maret 2006, yang sebagian besar menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin menjadi 17,75 persen. Gambar 1. Kemiskinan di Indonesia menurun pesat samapai dasawarsa 1990an dan kembali berkurang sesudah krisis. Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Mulai dari tahun 2000 penurunan tingkat kemiskinan mulai kembali lagi namun dengan penurunan yang melambat dibandingkan periode pra krisis 1997-1998. Perlambatan penurunan tingkat kemiskinan ini terus berlanjut hingga awala tahun 2009 seperti pada gambar berikut: Gambar 2. Tingkat Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin Nasional 1976-2015 Sumber: BPS (2015) Berdasarkan tren di atas, paling tidak ada dua hal yang menjadi faktor terjadinya perlambatan penuruan tingkat kemiskinan. Pertama, pada tingkat kemiskinan yang relatif lebih rendah, kemiskinan secara alami akan turun lebih lambat dibandingkan dengan pada saat tingkat kemiskinan tinggi, yakni pada kisaran 30-40 persen. Kedua, kemiskinan pada tingkat yang relatif rendah diperkirakan telah mulai menyentuh kemiskinan kronis yang penanganannya lebih kompleks dan membutuhkan waktu yang relatif lebih lama. Angka kemiskinan nasional ‘menyembunyikan’ sejumlah besar penduduk yang hidup sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional. Hampir 41 persen dari seluruh rakyat Indonesia hidup di antara garis kemiskinan 1 dan 2 dolar AS per hari—suatu aspek kemiskinan yang luar biasa dan menentukan di Indonesia (Gambar 2). Analisis menunjukkan bahwa perbedaan antara penduduk miskin dan yang hampir-miskin sangat kecil, menunjukkan bahwa strategi penanggulangan kemiskinan hendaknya dipusatkan pada perbaikan kesejahteraan mereka yang berpenghasilan paling rendah. Hal ini juga berarti bahwa kerentanan untuk jatuh miskin sangat tinggi di Indonesia: walaupun hasil survei tahun 2004 menunjukkan hanya 16,7 persen penduduk Indonesia yang tergolong miskin, lebih dari 59 persen dari mereka pernah jatuh miskin dalam periode satu tahun sebelum survei dilaksanakan. Data terakhir juga mengindikasikan tingkat pergerakan tinggi (masuk dan keluar) kemiskinan selama periode tersebut, lebih dari 38 persen rumah tangga miskin pada tahun 2004 tidak miskin pada tahun 2003. Gambar 3. Empat Puluh Satu Persen Penduduk Indonesia hidup dengan penghasilan antara 1 dan 2 dolar AS perhari Pada tahun 2009 dengan tingkat kemiskinan sebesar 14,15 persen, jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan adalah sebesar 32,53 juta individu. Jika dibandingkan dengan jumlah orang miskin di negara-negara lain, angka ini cukup besar. Selain perlambatan penurunan tingkat kemiskinan dan jumlah orang miskin, kerentanan kemiskinan juga menjadi masalah tersendiri. Berdasarkan data Susenas, pada tahun 2009, jumlah orang miskin dan rentan miskin mencakup paling tidak 40 pesen dari total populasi Indonesia. Hal ini berarti 4 dari 10 orang Indonesia tergolong miskin atau rentan miskin. Tingkat kemiskinan pada bulan Maret 2014 adalah sebesar 11,25 persen atau turun 0,11% dibandingkan Maret 2013. Namun, penurunan ini diikuti dengan kenaikan kesenjangan (Gini Ratio). Sejak tahun 2011, penurunan kemiskinan melambat, secara absolut menurun kurang dari 1 juta penduduk miskin per tahun. Hal ini disebabkan oleh kondisi kemiskinan sekarang sudah mencapai tahap yang kronis dan kondisi makroekonomi yang belum optimal. Disparitas antar propinsi masih terjadi dengan tingkat kemiskinan propinsi di Indonesia Bagian Timur relatif lebih tinggi dibandingkan Indonesia Bagian Barat. Di lain pihak, Gini Coeficient terus mengalami kenaikan sehingga mencapai 0.42 pada tahun 2013. Gambar 4. Penurunan Kemiskinan dan Target Tingkat Kemiskinan 2009-2014 Ketimpangan yang meningkat diukur dengan ketimpangan distribusi pendapatan yang makin lebar sebagaimana tercermin dari rasio Gini yang meningkat dari 0,33 (2002) ke 0,41 (2011). Pada tahun 2009, rasio Gini Indonesia mencapai 0,37. Angka ini lebih tinggi dibandingkan angka indeks gini pada tahun-tahun sebelumnya yang berada pada kisaran 0,35-0,36. Jika hal ini terus berlanjut dalam jangka panjang, maka akan memunculkan masalah ekonomi dan sosial. Memburuknya kesenjangan pendapatan menunjukkan bahwa kelompok pendapatan atas tumbuh lebih tinggi dibandingkan kelompok pendapatan bawah. Disamping ketimpangan pendapatan, masalah ketimpangan antar daerah penting untuk diteliti karena gravitasi aktivitas ekonomi Indonesia masih cenderung terkonsentrasi secara geografis ke kawasan barat Indonesia (KBI) selama lebih dari lima dasawarsa terakhir. Betapa tidak, data BPS hingga triwulan IV 2012 menunjukkan, struktur perekonomian Indonesia secara spasial masih didominasi kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 57,5 persen, diikuti Pulau Sumatera sekitar 23,9 persen. Kawasan timur Indonesia (KTI) hanya kebagian sisanya, sekitar 18,6 persen. Dengan kata lain, ketimpangan antarwilayah dan pulau terus terjadi. Berdasarkan data Bappenas, kecenderungan gap koefisien gini antar propinsi semakin lebar dengan Gini nasional mendekati angka Gini tertinggi seperti ditunjukkan dalam gambar berikut: Gambar 5. Gap Koefisien Gini Antar Propinsi Ketimpangan antardaerah di Indonesia dapat pula diukur dengan menggunakan indeks entropi Theil. Selama 2001-2007 trendnya memperlihatkan bentuk kurva ”U”. Periode sebelum tahun 2003 memiliki pola menurun. Hal ini mencerminkan adanya peningkatan penyebaran pangsa PDRB provinsi di Indonesia. Dengan kata lain, sampai 2003 terdapat bukti bahwa konsentrasi spasial cenderung menurun. Namun, pola sebaliknya terjadi pada 2004-2007, konsentrasi spasial cenderung naik. Namun, pada 2008-2010 tren indeks entropi total kembali menurun. PERMASALAHAN DAN TANTANGAN Masalah Kemiskinan di Indonesia Dalam pandangan konvensional, kemiskinan merupakan masalah dalam hal kekurangan modal, dimana masyarakat miskin sebagai objek yang tidak memiliki informasi dan pilihan serta tidak terlibat dalam pengambilan keputusan kebijakan publik. Banyak referensi dan definisi yang menjelaskan mengenai indikator kemiskinan, baik itu definisi menurut BPS, BKKBN, World Bank, Bappenas, PBB, maupun dari Lembaga Penelitian Smeru. Masing-masing memberikan definisi yang berbeda-beda mengenai konsep kemiskinan. Masalah kemiskinan dihadapi oleh hampir semua negara di dunia dengan indikator kemiskinan yang berbeda-beda sehingga definisi kemiskinan menjadi sangat luas. Mendefinisikan kemiskinan dengan menggunakan definisi tunggal akan menimbulkan bias pada indikator lain yang terkait dengan kemiskinan. Padahal, apabila ditelusuri secara mendalam, bisa saja faktor lain memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kemiskinan seseorang. Hal inilah yang dikritik oleh Atkinson (1975) yang menyatakan, ”adalah sesuatu yang tidak mungkin atau menyesatkan jika melihat kemiskinan itu dengan standar yang mutlak, yang dapat diterapkan untuk semua negara dan sepanjang masa. Sebuah garis kemiskinan harus didefinisikan dalam suatu hubungan sosial dan standar hidup kontemporer masyarakat tertentu.” Sejak tahun 2010 telah dikembangkan Multidimensional Poverty Index (MPI) atau Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) untuk melihat bagaimana kemiskinan seseorang dapat dipetakan dalam indikator yang lebih jelas. Pembuatan pengukuran ini terbentuk karena selama ini indikator secara global yang banyak digunakan dalam menghitung angka kemiskinan adalah melalui pendekatan moneter, seperti garis kemiskinan yang digunakan oleh Bank Dunia dengan batas 1,25 dollar AS purchasing power parity (PPP), 1,5 dollar AS PPP, atau melalui pendekatan konsumsi dasar (basic need) yang digunakan pula di Indonesia. Pendekatan konsep ini lebih kepada pendekatan dengan melihat pendapatan atau konsumsi yang dilakukan oleh manusia. Pendekaran moneter ini masih dirasakan cukup kurang dalam menangkap akar masalah kemiskinan manusia. Konsep MPI ini sebenarnya sudah diutarakan oleh Amartya Sen, yang menyebutkan bahwa kemiskinan itu harus dilihat dari berbagagai dimensi seperti pendidikan, kesehatan, kualitas hidup dan kebebasan masyarakat terhadap akses ekonomi. (Sen, 1981; Sen 2000) Kemiskinan multidimensi bersifat holistik dan dapat menangkap berbagai macam bentuk dimensi kemiskinan yang dialami manusia. Perhitungan kemiskinan multidimensi secara sederhana dapat dikatakan sebagai berikut, bahwa seseorang dikatakan miskin multidimensi apabila ia mengalami deprivasi (kekurangan) indikator kemiskinan yang memang dialami secara nyata oleh dirinya, yang karena terkena kekurangan dalam berbagai hal, dirinya tidak mampu untuk mencapai hal yang bisa ia capai karena keterbatasan tersebut. MPI meliputi tiga dimensi yaitu pendidikan, kesehatan dan kualitas kehidupan. Ada sepuluh indikator yang lebih komprehensif atau lebih adil dalam mengukur kemiskinan. Dan indicator yang ditetapkan dalam MPI merupakan cakupan dari tujuan pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs) serta menjadi dasar dalam strategi penanggulangan kemiskinan secara global. 3.2 Perhitungan Kemiskinan Multidimensi Perhitungan kemiskinan multidimensi dilakukan menggunakan konsep deprivasi. Dalam konsep deprivasi, kemiskinan didefinisikan sebagai kegagalan untuk mencapai batas minimum kemampuan atau kebutuhan dasar. Konsep deprivasi merupakan pendekatan penentuan kebutuhan dasar sehingga terbentuk dimensi dan indikator yang menunjukkan batas ambang individu atau rumah tangga yang dianggap miskin. Hal ini akan memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang sumber daya dan standar hidup individu atau rumah tangga tersebut, sehingga kebijakan yang diambil dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Sedangkan pada pengukuran kemiskinan moneter penting dilakukan untuk mengetahui gambaran kemiskinandi Indonesia secara makro. Namun untuk intervensi pengentasan kemiskinan yang lebih komprehensif, dibutuhkan pengukuran kemiskinan multidimensi yang dapat menggambarkan kondisi riil kemiskinan dari sudut pandang berbagai kebutuhan dasar. Berikut ini akan dijelaskan beberapa perbedaan perhitungan kemiskinan menggunakan pendekatan moneter dan pendekatan multidimensi. 3.2.1 Kemiskinan Berdasarkan Perhitungan Moneter Secara sederhana, penghitungan kemiskinan dari sisi moneter yang dilakukan oleh BPS secara berkala adalah untuk melihat ketidakmampuan penduduk dari sisi ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non‐makanan. Dalam hal ini, seseorang dianggap miskin jika pengeluaran konsumsi rumah tangga (per kapita per bulan) mereka lebih rendah atau berada di bawah garis kemiskinan (GK). Hal ini dihitung dengan: GK = GKM + GKNM Dimana GK=Garis Kemiskinan GKM=Garis Kemiskinan Makanan, GKNM=Garis Kemiskinan Non Makanan. Berdasarkan pendekatan ekonomi, individu secara rasional bertindak untuk mencapai tujuan ekonomis, kemudian mengambil keputusan yang konsisten dengan tujuan tersebut. Kebutuhan manusia secara individu secara ekonomis dikelompokkan menjadi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Secara sederhan, jika kebutuhan primer tidak dapat terpenuhi maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut hidup dibawah garis kemiskinan. Dalam teori Engel, Bray (2008) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga, maka akan semakin rendah presentase pengeluaran untuk konsumsi makanan. Berdasarkan teori klasik ini, maka rumah tangga dapat dikatakan lebih sejahtera jika proporsi pengeluaran untuk makanan sudah mencapai proporsi lebih kecil dari pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan non‐makanan. Hal inilah yang melandasi bahwa kemiskinan di Indonesia tidak hanya diukur melalui pengeluaran untuk makanan tetapi juga non‐makanan. 3.2.2 Kemiskinan Berdasarkan Perhitungan Multidimensi Perhitungan kemiskinan multidimensi melihat kemiskinan dalam struktur yang lebih luas, yaitu yang didefinisikan secara lintas aspek, seperti keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup. Dalam perhitungannya, BPS menggabungkan berbagai indikator untuk menjelaskan kompleksitas kemiskinan, dengan rumus perhitungan sebagai berikut: MPI = H * A MPI = Indeks Kemiskinan Multidimensi H = Jumlah Orang Miskin A = Intensitas (Keparahan) Kemiskinan Dalam metode penghitungan kemiskinan multidimensi, dilakukan penghitungan deprivasi dengan beberapa indikator yang terpilih untuk menunjukkan adanya perbedaan persentase antara penduduk miskin, hampir miskin, dan tidak miskin. Berikut adalah perbandingan dimensi dan indikator dari kemiskinan multidimensi menurut beberapa literatur. Tabel 1. Indikator dan Ukuran Kemiskinan Multidimensi Oxford Poverty and Human Development Initiative UNDP World Summit on Social Development Kesehatan Gizi Angka Kematian Bayi Sanitasi Air Bersih Panjang Usia Ekonomi Pendapatan Pengeluaran Pekerjaan Pendidikan Lama Sekolah Partisipasi Sekolah Pengetahuan Pelayanan Dasar Pendidikan Kesehatan Gizi Kualitas Hidup Bahan Bakar untuk Memasak Sumber Penerangan Lantai Aset Kualitas Hidup Infrastruktur Perumahan Sanitasi Lingkungan Sosial Sumber: Oxford Poverty and Human Development Initiative, UNDP dan World Summit on Social Development, 2014 Tabel berikut secara lebih jelas menggambarkan perbandingan antara perhitungan kemiskinan multidimensi dan kemiskinan moneter yang dapat dilihat dari berbagai indikator Tabel 2. Perbedaan Pendekatan Moneter dan Multidimensi   Pendekatan Moneter Multidimensi Sumber Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Hasil Olahan data yang meliputi indikator kemiskinan multidimensi Cara Pengukuran GK = GKM + GKNM MPI = H*A Penentuan Parameter Olahan pemerintah. Pengeluaran yang diwakili oleh garis kemiskinan non makanan dan garis kemiskinan makanan Pemerintah atau pemegang kebijakan, serta indikator yang dibangun. Memanfaatkan 3 dimensi kemiskian: kesehatan, pendidikan, kualitas hidup Kemudahan Perhitungan Sulit karena melalui berbagai tahap yang panjang Mudah karena memanfaatkan pemikiran kemiskinan yang sederhana dan logis Hasil Perhitungan Sulit untuk dijadikan evaluasi program pemerintah Dapat menangkap kinerja program pemerintah Hasil Pemetaan Memberikan informasi jumlah penduduk miskin di suatu daerah hingga di level kabupaten Memberikan informasi dimensi kemiskinan di suatu daerah hingga di level kabupaten Implementasi Hasil Hanya menggunakan satu paket kebijakan untuk semua daerah Dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda, tergantung dari karakteristik kemiskinan masing-masing daerah Kelebihan Memiliki standar yang dapat dibandingkan antar negara Menjelaskan penyebab kemiskinan dengan lebih holistik Menjelaskan intensitas (keparahan) kemiskinan Menjelaskan asosiasi antar faktor moneter dan non moneter dalam kemiskinan serta asosiasi antara variabel deprivasi Kekurangan Terlalu fisik Adanya perubahan Harga Relatif Tidak Memperhatikan Aspek Kerentanan Unit Analisis Individu Sulit untuk dibandingkan karena setiap negara, bahkan antar wiayah dalam satu negara memiliki indikator yang berbeda Sumber Prakarsa (2013) Gambar 6. Angka Kemiskinan Moneter dan Multidimensi Berdasarkan gambar di atas dapat disimpulkan bahwa jika menggunakan pendekatan moneter seperti yang selama ini digunakan, maka angka kemiskinan yang ada jauh lebih kecil atau lebih sedikit jika dibandingkan menggunakan pendekatan multidimensi karena indikator moneter hanya mengukur kemiskinan dari sisi pendapatan perkapita saja. Berbeda dengan pendekatan multidimensi yang mengukur kemiskinan dari tiga dimensi dengan 11 indikator yang ada. Indikator Kemiskinan Multidimensi 3.3.1 Dimensi Kesehatan Untuk dimensi kesehatan, MPI mengukur dengan menggunakan empat indicator yaitu sanitasi, air bersih, gizi dan persalinan (kematian anak). Pada konsepnya, empat indiaktor ini dalam kesehatan merupakan bagian dari kesehatan dasar yang mutlak diakses oleh rumah tangga. Sanitasi Seseorang dianggap memiliki akses ke sanitasi, jika rumah tangga memiliki beberapa jenis toilet atau jamban, atau berventilasi baik atau toilet kompos, asalkan tidak dibagi. Jika rumah tangga tidak memenuhi kondisi tersebut, maka dianggap kekurangan dalam sanitasiRumah tangga yang tidak memiliki tempat pembuangan air besar, baik umum, bersama maupun pribadi. Jika memiliki tempat pembuanngan kloset peribadi, yang digunakan jenis kloset cemplung atau tidak menggunakan kloset. Air Bersih Seseorang memiliki akses terhadap air minum bersih jika sumber air salah satu jenis berikut: pipa air, keran umum, sumur bor atau pompa, sumur terlindung, dilindungi semi atau air hujan, dan itu dalam jarak 30 menit berjalan kaki (pulang pergi). Jika gagal untuk memenuhi kondisi tersebut, maka rumah tangga dianggap kekurangan dalam akses terhadap air. Rumah tangga dengan sumber air minum berasal dari sumur tak terlindung, mata air tak terlindung, air sungai, air hujan, dan lainnya dengan jarak tempat penampungan akhir terhadap sumber air utama kurang dari 10 meter. Akses pada Layanan Kesehatan Maternal (Persalinan) Secara filosofi kesehatan, adanya anak yang meninggal merupakan cerminan dari ketidakmampuan terhadap kesehatan. Bisa saja kematian tersebut akibat penyakit atau kekurangan gizi. Penilaian mencangkup semua umur anak. Ketika ada rumah tangga yang memiliki kematian anak baik satu, dua atau seterusnya maka rumah tangga tersebut masuk dalam satu poin penilaian dalam MPI. Rumah tangga yang mempunyai anak balita yang proses kelahirannya ditolong oleh dukun anak bersalin, famili/keluarga, dan tenaga penolong kelahiran nonmedis. Asupan Gizi Seimbang pada Anak Balita. Indikator gizi, MPI mengukur pada setiap anggota rumah tangga baik itu anak atau orang dewasa. Untuk anak, pengukuran gizi mengacu pada standard MDGs yaitu melalui pendekatan berat badan berbanding usia anak. Anak dikatakan memiliki gizi kurang ketika berat badan berada pada dua atau lebih di bawah standard deviasi rata-rata populasi yang menjadi acuan. Sedangkan untuk orang dewasa, menggunakan pendekatan Body Mass Index (BMI). Dimana seorang dewasa dianggap kurang gizi ketika BMI lebih rendah dari 18.5. . Dimensi Pendidikan Ada tiga indikator dalam mengukur dimensi pendidikan yaitu keberlajutan pendidikan (years of schooling), melek huruf, dan akses pada layanan pendidikan prasekolah (attadence of school). Tiga indicator ini lebih mencerminkan kepada kemampuan masyarakat terhadap akses dasar kesehatan dan bukan mencerminkan kualitas dari pendidikan yang mereka dapati. Keberlanjutan Pendidikan Lama pendidikan dalam MPI dihitung minimal ada satu orang dalam rumah tangga yang telah menyelsaikan pendidikan minimal lima tahun. Sedangkan kehadiran anak di sekolah dihitung keberadaan anak usia sekolah yaitu kelas satu sampai delapan yang akses (hadir) dalam pendidikan. Rumah tangga yang memiliki anak usia sekolah dasar dan menengah yang tidak mampu menjaga keberlangsungan pendidikan pada tingkat yang sesuai dengan standar usia sekolahnya. Hal ini dinilai sebagai indikator akses terhadap pendidikan. Melek Huruf (Kemampuan Membaca) Indikator ini merupakan bagian dari MDGs sehingga perlu untuk dimasukan sebagai salah satu indicator MPI. Selain itu, ketidakmampuan membaca masih menjadi problema terbesar bagi penduduk miskin di Indonesia. Padahal ini merupakan pelayanan pendidikan dasar yang seharusnya sudah universal menjangkau semua pendidik.Rumah tangga yang memiliki anggota keluarga di usia produktif (15-64 tahun) tidak mampu membaca dan menulis. Akses pada Layanan Pendidikan Prasekolah Rumah tangga dengan anak usia 3-6 tahun yang tidak memiliki akses terhadap layanan pendidikan prasekolah, seperti PAUD, pos setara PAUD lainnya, taman kanak-kanak (TK) atau setara, kelompok bermain, dan jenis pendidikan prasekolah lainnya Dimensi Standar Hidup Standar hidup mencerminkan pola kehidupan keseharian dari masyarakat. Kemiskinan akan menjadikan masyarakat tidak dapat memenuhi kualitas standard dari kehidupan sesuai dengan MDGs. Indikatornya terdiri dari empat indikator, yaitu sumber penerangan, bahan bakar untuk memasak, atap lantai dinding dan kepemilikan rumah. Sumber Penerangan Seseorang dianggap miskin jika tidak memiliki akses listrik. Rumah tangga dengan jenis sumber penerangan berupa listrik non-PLN, petromaks/aladin, pelita/senter/obor, serta sumber penerangan lainnya, listrik PLN tanpa meteran, serta listrik PLN dengan daya 450 watt dan 900 watt. Bahan Bakar untuk Memasak Rumah tangga dengan jenis bahan bakar atau energi untuk memasak yang terdiri dari minyak tanah, arang, breket, dan kayu bakar. Seseorang dianggap miskin bila dalam bahan bakar memasak, rumah tangga tersebut menggunakan arang atau kayu Atap Lantai Dinding Rumah tangga dengan jenis atap rumah ijuk/rumbia dan lainnya dan atau jenis lantai rumah tanah dan lainnya dan atau jenis dinding rumah bambu dan lainnya. Rumah tangga masuk kategori miskin jika dua dari tiga indikator tersebut ditemukan. Bahan Lantai terbuat dari tanah, pasir atau kotoran dianggap miskin. Kepemilikan Rumah Rumah tangga yang tidak memiliki aset perumahan: kontrak, sewa, bebas sewa milik orang lain, bebas sewa milik orang tua/sanak/saudara, dan lainnya. Jika sebuah rumah tangga tidak memiliki lebih dari satu radio, TV, telepon, sepeda, sepeda motor atau kulkas, dan tidak memiliki mobil maka dianggap miskin. Secara umum indicator MPI dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 7. Dimensi dan Indikator dalam MPI Sumber: Prakarsa (2013) Penelitian Narayan (1997) mengenai kemiskinan multidimensi sangat menarik karena memberikan pandangan mengenai kemiskinan yang bersifat multidimensi dan merupakan dimensi yang berhubungan satu sama lain. Penyebab kemiskinan multidimensi menurut Narayan et.al. adalah: (1) orang miskin kurang untuk akses infrastruktur dasar, jalan perdesaan, transportasi, dan air bersih; (2) kemiskinan mempunyai hubungan yang erat dalam dimensi psikologis, seperti ketidakberdayaan, ketidakbersuaraan, ketergantungan, malu, dan penghinaan; (3) orang miskin melihat bahwa pendidikan adalah cara terbaik untuk keluar dari kemiskinan, tetapi sayangnya selama ini kesehatan dianggap sebagai faktor paling penting dalam mendefinisikan kemiskinan sehingga berakibat bahwa pengobatan lebih banyak dalam bentuk pengobatan, seperti peningkatan gizi, yang bersifat pengobatan dan bukan sebagai upaya pencegahan terhadap potensi kemiskinan. Terakhir, dari kesimpulan kemiskinan yang bersifat multidimensi, ia menganggap bahwa orang miskin sangat jarang berbicara mengenai kemiskinan, tetapi fokus pada persoalan bagaimana mengelola aset yang ada, yaitu fisik, manusia, sosial, dan lingkungan. Dalam hal ini, masalah gender berperan cukup penting dalam memberikan perspektif dimensi. Berdasarkan indikator-indikator di atas dari setiap dimensi MPI yang ada, berikut akan digambarkan kondisi kemiskinan multidimensi di Indonesia yang nantinya menjadi tantangan bagi pembuat kebijakan untuk dapat mengatasi masalah kemiskinan yang ada. Berdasarkan profil kemiskinan multidimensi Indonesia tahun 2014, dari sebanyak 252.164.802 penduduk, 79.583.588 penduduk mengalami kemiskinan multidimensi. Dari 65.157.976 rumah tangga yang ada, sebanyak 19.351.919 rumah tangga mengalami kemiskinan multidimensi. Dan 3 dari 10 rumah tangga setidaknya mengalami 4 indikator kemiskinan. Tabel 3. Profil Kemiskinan Multidimensi 2014 Dimensi Kesehatan 73% Tidak Memiliki Pembuangan Air Besar Pribadi yang Memadai 78% Jarak Sumber Air Minum dan Penampungan akhir < 10m 17% Tidak Memiliki Akses Persalinan paramedis 45% Asupan gizi seimbang pada balita Dimensi Pendidikan 14% Anak yang tidak selesai masa pendidikannya 22% Tidak mampu membaca dan menulis (berusia 15-64 tahun) 36% Tidak memiliki akses pendidikan prasekolah Dimensi Standar Kualitas Hidup 85% Tidak memiliki sumber penerangan PLN yang memadai 68% Memasak menggunakan arang, minyak tanah, kayu bakar 11% Kondisi atap, lantai dan dinding yang tidak memadai 28% Tidak memiliki aset perumahan Sumber: Prakarsa (2013) Ketimpangann dengan Pendekatan Multidimensi Ketimpangan telah menjadi tema besar dan penting dalam dua dasawarsa terakhir. Sudah cukup banyak ahli dan teori yang membahas dan mendekati problem ketimpangan ini. Ketimpangan adalah persoalan sosial karena ia sudah diidap masyarakat dan peradaban sejak lahir: perbedaan kekuasaan dan kesejahteraan. Menurut Milanovic, ketimpangan dapat dipilah menjadi tiga (i) ketimpangan antarindividu dalam suatu negara, (ii) ketimpangan antarnegara, dan (iii) ketimpangan antarindividu dalam tata global (global inequality). Ketimpangan jelas menjadi penanda adanya bermasalah dan kesetaraan merupakan kondisi terbaik yang dibutuhkan untuk menopang keberlanjutan sebuah negara. Martin Ravallion, ekonom yang pernah bekerja di Bank Dunia, menunjukkan bahwa ketimpangan berpengaruh terhadap program penghapusan kemiskinan dan program pro-poor.(Ravallion, 2004). Dalam wacana mengenai ketimpangan, pertama-tama harus dapat dibedakan antara ketimpangan hasil dan ketidaksetaraan kesempatan. Meminjam teori dari seorang filsuf terkenal, John Roemer dari Universitas Yale (Romer, 1993) mengatakan bahwa ketimpangan hasil seperti pendapatan di kalangan anggota masyarakat bukan hanya produk dari ketimpangan usaha atau bakat antar individu tetapi juga ketimpangan dalam hal situasi dan kondisi yang berada di luar kendali para individu tertentu. Tidak seperti kebijakan yang bertujuan untuk mendistribusikan hasil yang merata, kebijakan untuk menyetarakan peluang dengan cara memberikan dukungan kepada individu yang kurang beruntung agar memperoleh kesempatan yang setara lebih dapat diterima oleh berbagai kalangan politik, baik sayap kiri maupun kanan. Sementara ketidaksetaraan kesempatan diukur dengan kesenjangan hasil pendidikan dan kesehatan dengan indikator masing-masing untuk berbagai kelompok masyarakat. Berikut akan dijelaskan mengenai ketimpangan dalam kesempatan. 3.4.1 Pendidikan Pendidikan merupakan hal yang penting dalam masalah ketimpangan, karena merupakan investasi sumberdaya manusia yang pada gilirannya akan berpengaruh untuk menghasilkan pendapatan. Sementara ketimpangan pendapatan mengakibatkan kesenjangan dalam hasil pendidikan. Gambar berkut menunjukkan indikator hasil pendidikan telah mengalami peningkatan yang cukup cepat, terutama yang terkait dengan tingkat partisipasi murni sekolah di SMP dan SMA, serta jumlah tahun dalam menempuh pendidikan. Tingkat partisipasi murni sekolah untuk pendidikan tinggi relatif stabil hingga terjadi kenaikan yang cukup besar pada akhir tahun 2000-an. Gambar 8. Indikator Hasil Pendidikan (Rata-rata Nasional tahun 1992-2012) Sumber: www.keberpihakan.org dan Fahmi dan Satriatna (2013) Angka rata-rata nasional tentu saja dapat menyesatkan karena rata-rata nasional pada umumnya didorong oleh golongan yang sangat kaya sehingga tidak mencerminkan keadaan nyata dari kaum mayoritas. Ketimpangan Hasil Pendidikan antara Perkotaan dan Pedesaan Selama tahun 1992-2012, ada tiga hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, kesenjangan keaksaraan antara di perkotaan dan pedesaan telah membaik meskipun berjalan secara lambat. Kedua, kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan dalam hal jumlah tahun dalam menempuh pendidikan tidak banyak berubah. Ketiga, kesenjangan antara partisipasi murni sekolah di perkotaan dan pedesaan untuk tingkat SMP berlangsung sangat cepat. Tidak demikian untuk tingkat SMA, yang terjadi lebih lambat. Kesenjangan antara angka partisipasi murni untuk pendidikan tinggi di perkotaan dan pedesaan semakin berkurang, tetapi masih tergolong tetap tinggi. Ketimpangan Hasil Pendidikan menurut Jender Selama tahun 1992-2012 masih ada kesenjangan jender dalam hal keaksaraan (literasi) serta jumlah tahun dalam menempuh pendidikan. Kesenjangan yang terjadi sepertinya tidak mengalami penurunan selama bertahun-tahun. Namun demikian, tidak ada kesenjangan jender dalam hal partisipasi sekolah. Tingkat partisipasi sekolah untuk laki-laki dan perempuan meningkat dengan tingkat pertumbuhan yang sama. Ketimpangan Hasil Pendidikan menurut Tingkat Pendapatan Dalam hal angka partisipasi murni untuk pendidikan SMP, di mana terjadi peningkatan signifikan. 20% rumah tangga termiskin telah mengejar ketertinggalannya. Semakin banyak penduduk dari 20% termiskin juga duduk di bangku SMA, namun kesenjangan yang ada tetap besar. Jumlah tahun bersekolah, yaitu salah satu indikator yang paling penting dari hasil pendidikan telah mengalami perbaikan, tetapi tidak ada kecenderungan adanya pengurangan ketimpangan antara 20% rumah tangga termiskin dan 20% terkaya. Bahkan kesenjangan lebih lebar dalam tahun-tahun terakhir. 3.4.2 Kesehatan Gambar 9. Ketimpangan Indikator Kesehatan (Rata-rata Nasional tahun 1992-2012) Sumber: www.keberpihakan.org dan Siregar dan Pitriyan (2013) Di tingkat nasional, tiga indikator kesehatan yakni akses terhadap air bersih, akses terhadap sanitasi, dan kelahiran yang dibantu oleh tenaga kesehatan telah meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini menunjukkan kemajuan yang baik. Namun demikian, sebagaimana terlihat pada Gambar 10, kesenjangan yang besar masih terjadi antara daerah perkotaan dan pedesaan. Gambar 10. Ketimpangan Indikator Kesehatan antara Perkotaan dan Pedesaan Sumber: www.keberpihakan.org dan Siregar dan Pitriyan (2013) Gambar 11. Ketimpangan Indikator Kesehatan menurut Tingkat Pendapatan Sumber: www.keberpihakan.org dan Siregar dan Pitriyan (2013) Pada gambar di atas jelas bahwa peningkatan akses terhadap air bersih lebih cepat untuk 20% rumah tangga terkaya daripada 20% rumah tangga termiskin. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang semakin melebar di antara keduanya. Dalam hal sanitasi, kesenjangan tampaknya juga bertahan. Untuk akses terhadap kelahiran yang lebih aman, ada peningkatan sedikit lebih cepat bagi 20% rumah tangga miskin. Tantangan Kemiskinan dan Ketimpangan Dalam Outcome Document Transforming Our World: The 2030 Agenda For Sustainable Development tujuan mengakhiri kemiskinan menjadi tujuan “utama” dari 17 tujuan yang disepakti dalam SDGs. Tujuan pertama dari 17 tujuan SDGs adalah “Mengakhiri Kemiskinan dalam Segala Bentuk Di Mana Pun” (End poverty in all its forms everywhere). Ada beberapa tujuan pencapaian SDGs yang sesuai dengan MPI (Multidimensi Poverty Index) sebagai berikut: Tabel 4. Tujuan SDGs yang Sesuai dengan MPI No Tujuan SDGs Target/ Indikator 1 Menghentikan segala bentuk kemiskinan Mengurangi sekurang-kurangnya setengah dari jumlah pria, wanita, dan anak yang hidup di dalam kemiskinan di dalam segala dimensi menurut pengertian nasional 2 Menghentikan kelaparan, mencapai ketahanan pangan, meningkatkan nutrisi dan mengembangkan pertanian yang berkelanjutan Mengakhiri segala bentuk malnutrisi, anak berumur di bawah 5 tahun, dan menyampaikan kebutuhan nutrisi dari gadis remaja, wanita hamil, menyusui dan orangtua 3 Menjamin pendidikan yang berkualitas untuk semua orang Menjamin bahwa setiap remaja laki-laki dan perempuan menyelesaikan pendidikan primer dan sekunder yang bebas, adil dan berkualitas dimana mengarah kepada hasil pembelajaran yang relevan dan efektif. 4 Menjamin ketersediaan dan manajemen yang berkelanjutan untuk air dan sanitasi bagi semua orang Mencapai akses universal dan adil untuk air minum yang sehat dan terjangkau. Mencapai akses kepada sanitasi dan higenitas yang cukup adil untuk semua dan mengakhiri pembuangan air besar terbuka, memberikan perhatian kepada kebutuhan wanita dan gadis dan mereka yang ada di kondisi rentan. Sumber: Prakarsa (2013) EVALUASI PROGRAM DAN KEBIJAKAN Jika upaya penanggulangan kemiskinan pada era RPJMN 2004-2009 dan RPJMN 2010-2014 menitikberatkan pada percepatan pertumbuhan ekonomi dan penanganan kantong-kantong kemiskinan (MP3EI dan MP3KI), periode RPJMN baru 2015-2019 menggarisbawahi 2 (dua) isu utama, percepatan pengurangan kemiskinan dan penurunan ketimpangan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah tidak mampu mengejar tingginya tingkat pertumuhan ekonomi yang dinikmati oleh masyarakat golongan menengah ke atas. Di samping itu, berbagai tantangan yang dihadapi selama periode tersebut mulai dari guncangan ekonomi global yang berdampak pada lesunya ekonomi nasional, berbagai bencana alam besar (tsunami, gempa bumi, gunung meletus), dan berkali-kali kenaikan harga BBM menyebabkan pencapaian target RPJMN di akhir tahun 2009 dan 2014 sedikit meleset. Di dalam RPJPN 2005-2025, masalah kemiskinan dilihat dalam kerangka multidimensi, karenanya kemiskinan bukan hanya menyangkut ukuran pendapatan, melainkan karena menyangkut beberapa hal antara lain: (i) kerentanan dan kerawanan orang atau masyarakat untuk menjadi miskin; (ii) menyangkut ada/tidak adanya pemenuhan hak dasar warga dan ada/tidak adanya perbedaan perlakuan seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Secara umum, RPJMN 2015-2019 telah memiliki tujuan dan target tematik yang menunjukkan beberapa titik temu dengan tujuan 1 SDGs. Tujuan akhir pembangunan nasional sebagaimana dinyatakan dalam RPJMN 2015-2019: “untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat secara berkelanjutan”. Beberapa titik temu yang penting untuk diuraikan antara lain: konsep dan rencana untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan sangat kuat dan diarahkan ke agenda pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat adil-makmur dan ditetapkan sebagai “agenda pembangunan nasional”; kemiskinan disadari sebagai “masalah pokok” pembangunan nasional dan percepatan pemerataan berkeadilan merupakan “tantangan utama” pembangunan nasional; keberlanjutan pembangunan di RPJMN diarahkan untuk memberikan perhatian atas upaya mengurangi kerentanan masyarakat miskin akibat perubahan iklim dan bencana; ada kerangka dan target sumber pembiayaan/ investasi dan konsolidasi sumber pendanaan pembangunan ekonomi dan mengurangi kemiskinan; strategi Pembangunan Nasional dalam RPJMN telah mengadopsi upaya untuk menekan ketimpangan yang melebar, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan tidak eksploitatif terhadap lingkungan hidup; RPJMN telah menempatkan kemiskinan dan ketimpangan dalam segala dimensi dan bentuknya sehingga tidak hanya dilihat dalam kerangka ekonomistik namun juga dilihat dalam kerangka inklusi dan pemenuhan hak dasar – pelayanan dasar; telah memberikan penegasan penguatan peran Indonesia dalam kerangka kerjasama global-regional sehingga daya saing Indonesia di pasar dunia meningkat; telah ada pengarusutamaan kesetaraan gender dan memprioritaskan perempuan dalam pembangunan kemiskinan dan ketimpangan; ada target yang jelas dalam penurunan angka kemiskinan menjadi 7,0 – 8,0 % (2019) dan penurunan Koefisien Gini menjadi 0,36 (2019); program yang akan dijalanlan mengunakan mix-approach, yakni ada program yang sifatnya targeting – afirmatif dan ada program yang sifatnya universal. Namun demikian, titik temu dalam tema pengentasan kemiskinan antara agenda dalam RPJMN 2015-2019 dengan tujuan nomor 1 SDGs bukan tanpa celah dan kritik. Kritik diarahkan terutama pada: belum ada bentuk lebih detail dalam capain yang lebih rigit dan mendetail upaya pengentasan kemiskinan dan bagaimana agenda RPJMN dan SDGs akan dicapai di Indonesia. Hal itu ditandai dengan beberapa hal: belum adanya bentuk koordinasi kelembagaan bidang penanggulangan kemiskinan dan penurunana ketimpangan ekonomi-sosial yang komprehensif antar aktor pembangunan baik negara, swasta dan organisasi masyarakat sipil belum ada rencana pelembagaan atas model dan rencana kerja partisipasi masyarakat dalam agenda pengentasan kemiskinan sehingga terkesan pemerintah membuat rencana dan sasaran yang bersifat top-down belum ada upaya jangka pendek dalam usaha prefentif menanggulangi kemiskinan dan kerentanan kemiskinan dalam situasi ancaman krisis dan saat krisis, baik karena krisis ekonomi, moneter, sosial, alam dan lainya sasaran pengentasan kemiskinan masih bersifat general sehingga tampak tidak ada peta jalan menuju upaya pengentasan kemiskinan yang spesifik atau afirmatif bagi kelompok khusus yang berkelanjutan koordinasi dan sinergi antarlembaga negara baik di pusat maupun di daerah belum terjelaskan dengan baik khususnya dari sisi tugas dan fungsinya dalam agenda pengantasan kemiskinan. Hal ini bisa berpotensi munculnya program penanggulangan kemiskinan yang fragmented dan tidak efektif (6) belum ada strategi nasional penanggulangan kemiskinan multidimensi (7) belum ada peta jalan yang konkrit atas upaya penggalian sumber-sumber pembiayaan alternatif untuk penangulangan kemiskinan dan masih tergantung pembiayaan dari sumber APBN/APBD/APBDesa sehingga upaya penanggulangan kemiskinan pada saat bersamaan akan rentan terhadap krisis global dan ketergantuan pada kondisi makro ekonomi. ALTERNATIF STRATEGI/ REKOMENDASI KEBIJAKAN Ada tiga ciri yang menonjol dari kemiskinan di Indonesia. Pertama, banyak rumah tangga yang berada di sekitar garis kemiskinan nasional, yang setara dengan PPP 1.55 dolar AS per hari, sehingga banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak miskin tetapi rentan terhadap kemiskinan. Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan, sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong ‘miskin dari segi pendapatan’ dapat dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia. Ketiga, mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan analisis kemiskinan dan faktor penentunya di Indonesia serta belajar dari strategi kemiskinan sebelumnya, ada tiga cara yang direkomendasikan sebagai alternatif strategi untuk mengatasi kemiskinan, yaitu melalui pertumbuhan ekonomi, layanan masyarakat dan belanja negara. Masing-masing cara tersebut menangani minimal satu dari tiga ciri utama kemiskinan di Indonesia, yaitu: kerentanan, sifat multi-dimensi dan ketimpangan antar daerah. Dengan kata lain, strategi pengentasan kemiskinan yang efektif bagi Indonesia terdiri dari tiga komponen: Menjadikan Pertumbuhan Ekonomi Bermanfaat bagi Penduduk Miskin Pertumbuhan ekonomi telah dan akan tetap menjadi landasan bagi penanggulangan kemiskinan. Pertama, langkah ‘menjadikan pertumbuhan bermanfaat bagi penduduk miskin’ merupakan kunci bagi upaya untuk menghubungkan penduduk miskin dengan proses pertumbuhan—baik dalam konteks pedesaan-perkotaan ataupun dalam berbagai pengelompokan berdasarkan wilayah dan kepulauan. Hal ini sangat mendasar dalam menangani aspek ketimpangan antarwilayah. Kedua, dalam menangani ciri kerentanan kemiskinan yang berkaitan dengan padatnya konsentrasi distribusi pendapatan di Indonesia, apapun yang dapat meningkatkan pendapatan penduduk akan dapat dengan cepat mengurangi angka kemiskinan serta kerentanan kemiskinan. Ada tiga prioritas tindakan: Laksanakan revitalisasi pertanian dan peningkatan produktivitas pertanian Hapuskan pembatasan impor beras Luncurkan program pembangunan jalan pedesaan Menjadikan Pelayanan atau Perlindungan Sosial Bermanfaat bagi Penduduk Miskin Penyediaan layanan sosial bagi penduduk miskin, baik oleh sektor pemerintah ataupun sektor swasta, adalah hal mutlak dalam penanganan kemiskinan di Indonesia. Pertama, hal itu merupakan kunci dalam menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan di Indonesia. Indikator pembangunan manusia yang kurang baik, misalnya angka kematian ibu yang tinggi, harus diatasi dengan memperbaiki kualitas layanan yang tersedia untuk masyarakat miskin. Hal ini lebih dari sekedar persoalan yang berkaitan dengan pengeluaran pemerintah, karena berkaitan dengan perbaikan sistem pertanggungjawaban, mekanisme penyediaan layanan, dan bahkan proses kepemerintahan. Kedua, ciri ketimpangan antar wilayah kebanyakan dicerminkan oleh perbedaan dalam akses terhadap layanan, yang pada akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan dalam pencapaian indikator pembangunan manusia di berbagai daerah. Dengan demikian, membuat layanan masyarakat bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan kunci dalam menangani masalah kemiskinan dalam konteks ketimpangan antarwilayah. Ada tiga prioritas tindakan: Perjelas tanggungjawab fungsional dalam penyediaan layanan Perbaiki penempatan dan manajemen PNS Berikan insentif lebih besar untuk para penyedia layanan Menjadikan Belanja Pemerintah Bermanfaat Bagi Penduduk Miskin Di samping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan sasaran pengeluaran untuk penduduk miskin, pemerintah dapat membantu mereka dalam menghadapi kemiskinan (baik dari segi pendapatan maupun non-pendapatan). Pertama, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan dari segi pendapatan melalui suatu sistem perlindungan sosial modern yang meningkatkan kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi. Kedua, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk memperbaiki indikator-indikator pembangunan manusia, sehingga dapat mengatasi kemiskinan dari aspek non-pendapatan. Menciptakan pengeluaran pemerintah yang bermanfaat bagi penduduk miskin sangat menentukan saat ini, terutama mengingat adanya peluang dari sisi fiskal yang ada di Indonesia pada saat kini. Ada tiga prioritas tindakan: Perluas program pembangunan berbasis masyarakat yang sukses di Indonesia, seperti contohnya Program Pembangunan Kecamatan (PPK) Mencoba program di sisi permintaan untuk meningkatkan mutu layanan dan mendorong perubahan perilaku Membuat DAU dan DAK lebih berpihak pada penduduk miskin. DAFTAR PUSTAKA Bappenas. 2014. Kajian Definisi Kemiskinan: Laporan Akhir. Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Budiantoro, Setyo dkk. 2013. Multidimensional Poverty Index (MPI): Konsep dan Pengukurannya di Indoensia. Prakarsa Fahmi, Mohamad & Ben Satriatna, (2013). "Development in Education Sector: Are the Poor Catching Up?," Working Papers in Economics and Development Studies (WoPEDS) 201315, Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran, direvisi Juli 2013. Iryanti, Rahma. Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia: Permasalahan dan Tantangan. Bappenas. 2014 Jhingan ML. 2013. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Pipit Pitriyan & Adiatma Y.M Siregar, 2013."Health inequity in Indonesia: is it declining?,"Working Papers in Economics and Development Studies (WoPEDS) 201316, Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran, direvisi Juli 2013. Maftuchan, Ah. Bergegas Keluar dari Kemiskinan: Berjalan dengan Peta SDGs dan Peta RPJMN. Dipresentasikan dalam Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil untuk SDGs. Jakarta 6-7 Oktober 2015 Wartati, Sri, dkk. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. World Bank. 2007 Yusuf, Arief Anshory. “Sudahkan Kesejahteraan Merata bagi Semua? Menelaah Ulang Ketimpangan Multidimensi di Indonesia” dalam Ketimpangan Pembangunan Indonesia dari Berbagai Aspek. Infid, 2014 BIODATA PENULIS Nama : Fitri Amalia Tempat tanggal lahir : Jakarta, 10 Juli 1982 Alamat : Komplek Arya Graha E/9 Rt 02/ Rw16, Kedaung, Pamulang Tangerang Selatan, 15415 Email : v3amalia@gmail.com NPM : 120130150011 Jurusan : Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran Konsentrasi : Ekonomi Pembangunan Instansi asal : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Mata Kuliah Diampu : Ekonomi Makro, Ekonomi Mikro, Ekonomi Pembangunan Pendidikan terakhir : S2 Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Padjadjara (2007) Publikasi : Penentuan Sektor Unggulan Perekonomian Wilayah Kabupaten Bone Bolango dengan Pendekatan Sektor Pembentuk PDRB. Jurnal Etikonomi FEB UIN Jakarta vol 12, No.2, Agustus 2013 Etika Bisnis Islam: Konsep dan Implementasi pada pelaku usaha kecil. Jurnal Al iqtishad FSH UIN Jakarta vol. VI No 1 Januari 2014 Analisis Fungsi Produksi Cobb Douglass pada Kegiatan Sektor Usaha Mikro di Lingkungan UIN Jakarta. Jurnal Signifikan FEB UIN Jakarta, Vol.3 No 1, april 2014 Pengaruh Tingkat Pembiayaan Perbankan Syariah, JUB dan PDB terhadap SBI Syariah periode 2003-2013 dengan pendekatan ECM Analisis Flypaper Effect pada Belanja Daerah Kabupaten dan Kota di Propinsi Banten. Jurnal Organisasi dan Manajemen Universitas Terbuka. Vol 11, No.1, Maret 2015 26