1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan
teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan
berkembangnya daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi
informasi dan komunikasi dewasa ini, juga tidak terlepas dari peran
perkembangan matematika. Sehingga, untuk dapat menguasai dan mencipta
teknologi serta bertahan di masa depan diperlukan penguasaan matematika
yang kuat sejak dini (Depdiknas, 2004: 387).
Menurut Sujono (1988: 4) matematika sebagai ilmu pengetahuan
tentang benda-benda abstrak dan masalah-masalah yang berhubungan dengan
bilangan, mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Herman Hudojo (2003: 40) juga menyatakan bahwa matematika merupakan
suatu alat untuk mengembangkan cara berfikir manusia yang sangat
diperlukan dalam kehidupan. Di dalam kehidupan, manusia tidak terlepas dari
masalah-masalah dan matematika sering digunakan untuk menyelesaikannya.
Menyelesaikan suatu masalah merupakan suatu aktivitas bagi manusia.
Sebagian besar kehidupan manusia adalah berhadapan dengan masalahmasalah dan manusia harus berusaha menemukan penyelesaian dari masalah
tersebut. Apabila gagal dengan suatu cara untuk menyelesaikan suatu masalah,
maka manusia harus mencoba menyelesaikannya dengan cara lain. Untuk
2
menjadikan seseorang menjadi dewasa, maka diperlukan keberanian untuk
menghadapi masalah dan menyelesaikannya dalam menjalani kehidupan
(Herman Hudojo, 2003: 148).
Hakikat siswa memperoleh pendidikan adalah suatu proses manusia
yang terus-menerus dalam mencari bekal guna menanggulangi masalahmasalah yang akan dihadapi sepanjang hayat, sehingga setiap siswa harus
dilatih dan dibiasakan untuk berfikir secara mandiri dan terarah dalam
menyelesaikan suatu masalah (Herman Hudojo, 2003: 148).
Dalam pembelajaran matematika, siswa akan dihadapkan kepada suatu
masalah. Di dalam menyelesaikan masalah, siswa diharapkan memahami
proses dalam menyelesaikan masalah tersebut dan menjadi terampil di dalam
mengidentifikasikan kondisi masalah dan konsep yang relevan, mencari
generalisasi, merumuskan rencana penyelesaian dan mengorganisasikan
keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya. Berdasarkan uraian tersebut,
tampak bahwa penyelesaian masalah mempunyai fungsi yang penting dalam
pembelajaran matematika (Herman Hudojo, 2003: 151).
Menurut Yaya S. Kusumah (2004: 3) penyelesaian masalah merupakan
kegiatan yang sangat penting dalam pembelajaran matematika karena prosedur
penyelesaian dapat melatih kemampuan analisis siswa yang diperlukan untuk
menghadapi masalah-masalah yang ditemuinya. Akan tetapi, penyelesaian
masalah memerlukan kemampuan siswa dalam memahami fakta-fakta,
konsep, atau prinsip matematika. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
penyelesaian masalah matematika mengharuskan siswa untuk memahami
3
konsep-konsep matematika. Berdasarkan petunjuk teknis peraturan Dirjen
Dikdasmen Depdiknas (Sri Wardhani, 2006: 2), menyatakan bahwa
pemahaman konsep merupakan salah satu aspek penilaian hasil belajar
matematika siswa SMP yang harus dilaporkan kepada orang tua siswa.
Ada yang berpendapat bahwa proses pembelajaran matematika pada
umumnya masih dilakukan dengan metode konvensional. Sriyanto (2006: th)
menyatakan bahwa dalam pembelajaran dengan metode konvensional guru
memposisikan diri sebagai yang mempunyai pengetahuan dan siswa sebagai
obyek yang dianggap tidak tahu atau belum tahu apa-apa. Ciri-ciri
pembelajaran konvensional menurut Tatang Herman (2006: 2), yaitu
pembelajaran berpusat pada guru, guru menjelaskan melalui metode ceramah,
siswa cenderung pasif, pertanyaan dari siswa jarang muncul, berorientasi pada
satu jawaban yang benar, aktivitas kelas yang sering dilakukan hanyalah
mencatat dan menyalin, dan guru umumnya terlalu berkonsentrasi pada latihan
menyelesaikan soal yang lebih bersifat prosedural. Kegiatan pembelajaran
seperti ini tidak mengakomodasi pengembangan kemampuan siswa dalam
pemahaman, penalaran, koneksi, komunikasi matematis dan penyelesaian
masalah. Dalam pembelajaran matematika, aktivitas belajar matematika akan
lebih efektif apabila siswa berperan aktif sebagai subjek pembelajaran dan
guru sebagai pengelola proses pembelajaran (Erman Suherman, 2001: 190).
Berdasarkan hasil observasi pembelajaran di kelas VIII-C SMPN 1
Pacitan pada bulan Mei 2008, diketahui bahwa kegiatan pembelajaran
dilaksanakan
seperti
kegiatan
pembelajaran
pada
umumnya.
Guru
4
menjelaskan materi pembelajaran tentang suatu pokok bahasan, sedangkan
siswa mencatat dan menyalin di buku catatan mereka masing-masing.
Pembelajaran seperti ini menunjukkan bahwa guru hanya sekedar penyampai
informasi tanpa mempertimbangkan seberapa jauh pemahaman siswa terhadap
konsep dari pokok bahasan yang disampaikan tersebut. Terbukti ketika siswa
diberi tugas untuk mengerjakan soal-soal pemahaman konsep yang ada di
lembar kegiatan siswa, sebagian besar siswa masih mengalami kesulitan dan
beberapa siswa mengakui sulit untuk benar-benar memahami pokok bahasan
yang sudah dijelaskan tersebut. Sebagai contoh lain, ketika guru meminta
siswa untuk mengerjakan soal di papan tulis, siswa tersebut merasa kesulitan
dan bahkan sudah lupa dengan konsep dari pokok bahasan yang baru saja
dijelaskan oleh guru. Guru harus mengulangi penjelasan yang telah
disampaikan, kemudian barulah siswa dapat menyelesaikan soal tersebut. Hal
ini menunjukkan bahwa siswa cenderung menghapalkan konsep matematika
yang diberikan oleh guru tanpa mengetahui makna yang diajarkan, sehingga
pemahaman mereka menjadi lemah. Dalam hal inilah diperlukan sebuah upaya
perbaikan pembelajaran guna meningkatkan pemahaman konsep matematika
siswa.
Berdasarkan deskripsi pembelajaran tersebut sebelumnya, dapat
diketahui bahwa komunikasi pembelajaran yang terjadi cenderung satu arah
yaitu guru aktif menerangkan, memberi contoh, menyajikan soal atau
bertanya, sedangkan siswa duduk mendengarkan, menjawab pertanyaan, atau
mencatat materi yang disajikan guru. Oemar Hamalik (2004: 171) menyatakan
5
bahwa pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menyediakan
kesempatan kepada siswa untuk belajar mandiri, sehingga dengan melakukan
aktivitas belajarnya siswa mampu memperoleh pengetahuan dari pemahaman
sendiri. Pembelajaran matematika harus dimulai dengan menghadapkan siswa
kepada masalah-masalah nyata yang dapat diterapkan dalam kehidupannya,
sehingga siswa diharapkan dapat memperoleh pemahaman dan pengetahuan
tentang konsep matematika dengan lebih mendalam.
Menyikapi permasalahan-permasalahan yang timbul berdasarkan
informasi
tersebut
sebelumnya,
menunjukkan
pentingnya
dilakukan
pengembangan metode pembelajaran matematika guna meningkatkan hasil
pembelajaran. Saat ini telah banyak dikembangkan metode pembelajaran
matematika yang dapat melibatkan siswa secara aktif dalam membangun
pemahaman konsep matematika serta penerapannya dalam kehidupan nyata.
Salah satu alternatif solusi yang telah dikembangkan untuk mengatasi
permasalahan di atas adalah dengan adanya pembelajaran kooperatif. Ada
berbagai tipe pembelajaran kooperatif, salah satu diantaranya adalah tipe
Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah).
Menurut Johnson & Johnson yang dikutip oleh Sugiman (2006: 2)
model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang
menekankan adanya kerjasama antar siswa dalam kelompoknya untuk tujuan
belajar. Erman Suherman (2001: 218) juga menyatakan bahwa siswa dalam
kelompok belajar tidak menyelesaikan masalah secara sendiri-sendiri dan
tidak hanya menyelesaikan hanya salah satu orang di antara mereka.
6
Pembelajaran kooperatif menekankan pada kehadiran teman sebaya yang
berinteraksi antar sesamanya sebagai sebuah tim dalam menyelesaikan suatu
masalah.
Problem Based Learning menurut Tatang Herman (2006: 4) memiliki
fokus utama yaitu memposisikan guru sebagai perancang dan organisator
pembelajaran, sehingga siswa mendapat kesempatan untuk memahami dan
memakai matematika melalui aktivitas belajar. Dalam Problem Based
Learning pembelajaran diawali dengan menghadapkan siswa dengan masalah
matematika. Dengan segenap pengetahuan dan kemampuan yang telah
dimilikinya, siswa dituntut untuk menyelesaikan masalah yang kaya akan
konsep-konsep matematika. Menurut Sugiman (2006: 2) dalam Problem
Based Learning guru tidak menyampaikan banyak informasi kepada siswa.
Akan tetapi, siswa diharapkan dapat mengembangkan pemikiran mereka,
membangun pemahaman, menyelesaikan masalah, belajar berperan menjadi
orang dewasa, dan menjadi pembelajar yang independen dan mandiri. Peran
guru dalam Problem Based Learning adalah sebagai pemberi masalah,
memfasilitasi investigasi dan dialog, serta memberikan dukungan (motivasi)
dalam pembelajaran. Selain itu, guru juga berperan dalam mengembangkan
aspek kognitif siswa bukan sekedar penyebar informasi, sedangkan siswa
berperan aktif sebagai problem solver, decision makers, dan meaning makers
bukan sebagai pendengar pasif. Di dalam Problem Based Learning digunakan
masalah dunia nyata sebagai suatu konteks belajar tentang cara berpikir kritis
dan terampil dalam memecahkan masalah (Sudarman, 2007: 69).
7
Berdasarkan uraian tersebut
sebelumnya,
model
pembelajaran
kooperatif tipe Problem Based Learning mempunyai banyak kelebihan
dibandingkan dengan metode pembelajaran yang konvensional. Problem
Based Learning merupakan salah satu alternatif pembelajaran untuk
meningkatkan keaktifan, kreativitas dan pola pikir kritis siswa dalam belajar
matematika. Peneliti juga melihat suatu karakteristik dari model pembelajaran
kooperatif tipe Problem Based Learning yang menitikberatkan pada proses
membangun pemahaman konsep matematika, sehingga model pembelajaran
kooperatif tipe Problem Based Learning dapat digunakan sebagai salah satu
alternatif solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Atas dasar inilah peneliti mengangkat judul Skripsi “Upaya
Meningkatkan Pemahaman Konsep Matematika Siswa dengan Pembelajaran
Kooperatif Tipe Problem Based Learning dalam Pembelajaran Matematika
Siswa Kelas IX SMPN 1 Pacitan “.
8
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi
berbagai masalah yang berkaitan dengan pembelajaran matematika sebagai
berikut:
1. Pembelajaran
matematika
yang
dilaksanakan
oleh
guru
masih
menggunakan metode konvensional yang cenderung menghambat peran
aktif siswa dalam membangun pemahaman materi pelajaran.
2. Masih kurangnya pemahaman siswa akan konsep matematika dalam
mengikuti pembelajaran matematika.
C. Definisi Masalah
Mengingat begitu kompleksnya permasalahan, maka tidak semua
permasalahan dapat dibahas secara keseluruhan. Berkaitan dengan hal
tersebut, penelitian ini dibatasi pada upaya peningkatan pemahaman konsep
matematika siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
Problem Based Learing dalam pembelajaran matematika siswa kelas IX
SMPN 1 Pacitan.
9
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan
definisi masalah, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pembelajaran matematika siswa kelas IX SMPN 1
Pacitan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Problem Based
Learning untuk meningkatkan pemahaman konsep matematika siswa?
2. Adakah peningkatan pemahaman konsep matematika siswa kelas IX
SMPN
1
Pacitan
setelah
mengikuti
pembelajaran
matematika
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Problem Based
Learning?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan proses pembelajaran matematika siswa kelas IX SMPN 1
Pacitan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Problem Based
Learning untuk meningkatkan pemahaman konsep matematika siswa.
2. Menunjukkan ada atau tidak ada peningkatan pemahaman konsep
matematika siswa kelas IX SMPN 1 Pacitan setelah mengikuti
pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe Problem Based Learning.
10
F. Manfaat Penelitian
Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
manfaat,
diantaranya sebagai berikut:
1. Didapatkannya ilmu pengetahuan dan ketrampilan bagi guru dan calon
guru, sehingga dapat mendukung tercapainya tujuan pendidikan menuju
kependidikan yang berkualitas.
2. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengalaman dalam
pembelajaran dan meningkatkan wawasan sebagai calon guru di masa
yang akan datang.
3. Membantu guru dalam menentukan metode pembelajaran yang sesuai
sehingga dapat meningkatkan prestasi siswa dalam pembelajaran
matematika.
4. Membantu sekolah dalam menambah kajian tentang metode pembelajaran
sehingga sekolah bersedia memberikan bantuan dan dorongan kepada para
guru untuk melakukan pembaharuan dalam pembelajaran.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pembelajaran Matematika
Pengertian matematika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995
:637) adalah ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan antara bilangan dan
prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai
bilangan. Herman Hudojo (1988: 3) mengartikan matematika sebagai ilmu
yang berkenaan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan, struktur-struktur dan
hubungannya yang diatur secara logis.
Menurut Johnson dan Rising (Erman Suherman, 2001: 19) matematika
adalah pola berfikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis.
Matematika adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan
dengan cermat, jelas, akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih
berupa bahasa simbol mengenai ide dari pada mengenai bunyi.
Menurut William Burton (Uzer Usman, 2004: 5) belajar adalah suatu
proses perubahan tingkah laku, baik aspek pengetahuan, keterampilan,
maupun sikap pada diri individu berkat adanya interaksi antar individu dan
individu dengan lingkungannya. Nana Sudjana (1987: 28) juga menyatakan
bahwa belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan
pada diri seseorang yang ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti
perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan,
kecakapan, kemampuan dan aspek lain yang ada pada diri individu.
12
Menurut Uzer Usman (2004: 4) pembelajaran adalah serangkaian
perbuatan guru dan siswa atas dasar interaksi atau hubungan timbal balik yang
berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Erman
Suherman (2001: 9) juga menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses
pendidikan dalam lingkup persekolahan, sehingga arti proses pembelajaran
adalah proses sosialisasi individu siswa dengan lingkungan sekolah, seperti
guru dan teman sesama siswa.
Fontana (Erman Suherman, 2001: 8) menjelaskan perbedaan proses
belajar dengan proses pembelajaran bahwa proses belajar bersifat internal dan
unik dalam diri individu siswa, sedangkan proses pembelajaran bersifat
eksternal yang sengaja direncanakan dan bersifat rekayasa perilaku.
Menurut Idris Harta (2006: 4) pembelajaran matematika ditujukan
untuk membina kemampuan siswa diantaranya dalam memahami konsep
matematika,
menggunakan
penalaran,
menyelesaikan
masalah,
mengkomunikasikan gagasan, dan memiliki sikap menghargai terhadap
matematika. Lebih lanjut, menurut Romberg (1989: 123) tujuan umum siswa
belajar matematika, yaitu:
1. Learning to value mathematics (belajar untuk menghargai matematika).
2. Becoming confident in their own mathematical ability (yakin dengan
kemampuan matematika yang dimiliki).
3. Learning to solve mathematical problem (belajar untuk menyelesaikan
masalah matematika).
13
4. Learning to communicate mathematically (belajar untuk berkomunikasi
matematika).
5. Learning to reason mathematically (belajar untuk bernalar matematika).
6. Learning to connect mathematically (belajar untuk mengaitkan ide
matematika).
Dari uraian dan beberapa definisi yang tersebut sebelumnya,
pembelajaran matematika merupakan proses pendidikan dalam lingkup
persekolahan yang berisi serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar
interaksi atau hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif
yang sengaja direncanakan dalam rangka melakukan perubahan pada diri
seseorang yang ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan
pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan,
kemampuan dan aspek lain yang ada pada diri individu dengan pola pikir dan
pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis yang berkenaan dengan ideide atau gagasan-gagasan, struktur-struktur dan hubungannya.
Ada beberapa kemampuan yang harus dimiliki siswa dalam
pembelajaran matematika yaitu kemampuan memahami konsep, mengaitkan
ide, menggunakan penalaran, kemampuan menyelesaikan masalah dan
kemampuan berkomunikasi matematika. Jadi, seorang siswa akan dapat
menyelesaikan masalah matematika apabila siswa tersebut dapat memahami
konsep dan mengaitkan ide matematika, menggunakan penalarannya, serta
berkomunikasi matematika dengan baik.
14
B. Pemahaman Konsep Matematika
Menurut Robert Gagne (Bell, 1978: 110-111) belajar terjadi dalam
empat fase yang berurutan yaitu:
1. Apprehending phase (fase pemahaman) yaitu fase belajar yang pertama di
mana siswa menyadari adanya stimulus atau sekumpulan yang disajikan di
dalam situasi belajar. Kesadaran itu akan mengantarkan siswa untuk
mengerti karakteristik kumpulan stimulus itu. Segala sesuatu yang
dipahami siswa tersebut akan di”kode”kan tersendiri oleh setiap individu
dan dicatat atau disimpan dalam ingatan.
2. Acquisition phase (fase penguasaan) merupakan fase belajar kedua di
mana siswa sedang memperoleh atau memproses fakta, ketrampilan,
konsep atau prinsip yang dipelajari.
3. Storage phase (fase ingatan) merupakan fase di mana setelah seseorang
memperoleh suatu pengetahuan baru, pengetahuan itu harus disimpan atau
diingat.
4. Retrieval phase (fase pengungkapan kembali) adalah fase belajar di mana
kemampuan siswa untuk menyebutkan kembali informasi yang telah
diperoleh dan disimpan dalam ingatan.
Fase belajar menurut Robert Gagne tersebut sejalan dengan pemikiran
Benyamin Bloom (Erman Suherman, 2001: 188) yang menyatakan bahwa
pemahaman adalah tingkatan yang paling rendah dalam aspek kognisi yang
berhubungan dengan penguasaan atau mengerti tentang sesuatu. Dalam
tingkatan ini siswa diharapkan mampu memahami konsep atau ide-ide
15
matematika bila mereka dapat menggunakan beberapa kaidah yang relevan
tanpa perlu menghubungkannya dengan ide-ide lain dengan segala
implikasinya.
Konsep matematika menurut Bell (1978: 108) dapat diartikan sebagai
suatu ide abstrak tentang suatu objek atau kejadian yang dibentuk dengan
memandang sifat-sifat yang sama dari sekumpulan objek, sehingga seseorang
dapat mengelompokkan atau mengklasifikasikan objek atau kejadian sekaligus
menerangkan apakah objek tersebut merupakan contoh atau bukan contoh dari
pengertian tersebut. Sebuah konsep matematika dapat dipelajari melalui:
mendengarkan, melihat, menangani, dan berdiskusi.
Menurut Bell (1978: 116) belajar konsep meliputi pengklasifikasian
objek menjadi bagian-bagian menurut karakteristiknya. Nana Sudjana (1989:
49) juga menyatakan bahwa belajar konsep adalah menempatkan objek
menjadi satu klasifikasi tertentu. Dalam belajar konsep dapat digunakan media
pembelajaran untuk memperjelas siswa dalam memahami suatu konsep.
Herman Hudojo (2003: 86) menyatakan bahwa penyajian konsep atau ide
matematika yang baru harus didasarkan pada pengalaman terdahulu, karena
konsep-konsep yang baru akan diingat siswa dengan lebih baik apabila konsep
baru itu tidak bertentangan dengan konsep yang telah dikenal sebelumnya.
Petunjuk teknis peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas tentang
penilaian perkembangan anak didik SMP (Sri Wardani, 2006: 4)
mengemukakan beberapa indikator dari pemahaman konsep sebagai hasil
belajar matematika, diantaranya:
16
1. Menyatakan ulang sebuah konsep.
2. Mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan
konsepnya.
3. Memilih contoh dan bukan contoh dari konsep.
4. Menunjukkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep.
5. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis.
6. Memanfaatkan dan memilih operasi tertentu, serta mengaplikasikan
konsep ke penyelesaian masalah.
Berdasarkan uraian dan beberapa definisi yang tersebut sebelumnya,
pemahaman konsep matematika adalah mengerti ide abstrak tentang suatu
objek atau kejadian yang dibentuk dengan memandang sifat-sifat yang sama
dari sekumpulan objek dalam hal menyatakan ulang sebuah konsep,
mengklasifikasikan
objek
menurut
sifat-sifat
tertentu
sesuai
dengan
konsepnya, memilih contoh dan bukan contoh dari konsep, serta menunjukkan
syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep.
Dalam pembelajaran matematika, belajar konsep secara sederhana
dapat dilakukan dengan mendengarkan, melihat, menangani dan berdiskusi.
Dalam belajar konsep dapat juga digunakan media pembelajaran untuk
memperjelas siswa dalam memahami suatu konsep. Dalam menyampaikan
konsep yang satu dengan konsep yang lain harus tidak bertentangan atau
dengan kata lain harus disampaikan secara sistematis.
17
C. Pembelajaran Kooperatif
Menurut Erman Suherman (2001: 218) pembelajaran koopertif
merupakan suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk
menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan
sesuatu untuk mencapai tujuan bersama. Siswa yang tergabung dalam
kelompok itu harus merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah tim dan
mempunyai tujuan bersama yang harus dicapai, menyadari bahwa masalah
yang mereka hadapi adalah masalah kelompok dan berhasil atau tidaknya
kelompok akan menjadi tanggung jawab bersama, dan menyadari bahwa
setiap pekerjaan siswa anggota kelompok mempunyai akibat langsung pada
keberhasilan kelompoknya.
Anita Lie (2004: 29) menjelaskan bahwa model pembelajaran
kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsurunsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian
kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan model pembelajaran
kooperatif yang benar akan menunjukkan pendidik mengelola kelas dengan
lebih efektif.
Karakteristik pembelajaran kooperatif menurut Arends (2004: 356)
adalah:
1. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menguasai materi
belajar.
2. Kelompok dibentuk dari siswa yang mempunyai kemampuan akademis
tinggi, sedang, dan rendah.
18
3. Bila memungkinkan anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, dan
jenis kelamin yang berbeda.
4. Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok daripada individu.
Menurut Mohammad Nur (Sugiman, 2006: 2) pembelajaran kooperatif
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka tenggelam/berenang
bersama-sama.
2. Para siswa mempunyai tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam
kelompoknya, disamping tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam
mempelajari materi yang dihadapi.
3. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semuanya memiliki tujuan
yang sama.
4. Para siswa harus membagi tugas dan berbagi tanggung jawab sama
besarnya di antara anggota kelompoknya.
5. Para siswa akan diberikan evaluasi/penghargaan yang akan ikut
berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompoknya.
6. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh
ketrampilan kerjasama selama belajar.
7. Para siswa diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi
yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Lebih lanjut, menurut Muslimin Ibrahim (2000: 10) langkah-langkah
pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:
19
Tabel 1. Langkah-langkah model Pembelajaran Kooperatif
Fase
Indikator
Aktivitas Guru
1.
Menyampaikan tujuan Guru menyampaikan semua tujuan
dan memotivasi siswa
pembelajaran yang ingin dicapai pada
pembelajaran tersebut dan memotivasi
siswa.
2.
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa
dengan jalan demonstrasi atau lewat
bahan bacaan.
3.
Mengorganikan siswa Guru
menjelaskan
kepada
siswa
ke dalam kelompok- bagaimana caranya membentuk kelompok
kelompok belajar.
belajar dan membantu setiap kelompok
agar melakukan transisi efisien.
4.
Membimbing
Guru membimbing kelompok-kelompok
kelompok bekerja dan belajar pada saat mengerjakan tugas.
belajar.
5.
Evaluasi.
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang telah dipelajari atau masingmasing kelompok mmempresentasikan
hasil kerjanya.
6.
Memberikan
Guru mencari cara untuk menghargai
penghargaan.
upaya atau hasil belajar siswa baik
individu ataupun kelompok.
Sumber : Muslimin Ibrahim. (2000). Pembelajaran Koopertif.
Berdasarkan uraian dan beberapa definisi yang tersebut sebelumnya
pembelajaran kooperatif pada dasarnya merupakan model pembelajaran yang
sistematis
dengan
mengelompokkan
siswa
untuk
tujuan
melakukan
pembelajaran yang efektif sehingga siswa dapat memaksimalkan kegiatan
belajarnya.
Keberhasilan
individu
diorientasikan
dalam
keberhasilan
kelompok. Dalam hal ini siswa bekerjasama dan belajar dalam sebuah
kelompok serta bertanggung jawab pula terhadap kegiatan belajar teman lain
dalam kelompoknya untuk melakukan usaha yang sama baiknya seperti yang
dilakukannya.
20
D. Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah)
Menurut Arends (2004: 391) problem based learning (pembelajaran
berbasis masalah) merupakan pembelajaran yang menghadapkan siswa
dengan masalah nyata dan bermakna yang dapat menuntun siswa dalam
penyelidikan dan inkuiri. Ngeow (Nurjanah, 2004: 2) juga menyatakan bahwa
pembelajaran berbasis masalah merupakan pendekatan pembelajaran yang
menantang siswa untuk belajar di mana siswa bekerja sama di dalam
kelompok untuk mencari solusi pada masalah nyata dan yang terpenting
adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa menjadi pembelajar yang
mandiri atau self directed learner (individu yang mampu mengarahkan diri
sendiri dalam pembelajaran). Selanjutnya Stepien dan Gallagher (Nurjanah,
2004: 2) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah dan untuk membantu
siswa agar memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan dan ketrampilan.
Pembelajaran berbasis masalah bukan untuk membantu guru
memberikan banyak informasi kepada siswa. Akan tetapi, pembelajaran
berbasis masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan cara
berpikir, penyelesaian masalah, belajar menjadi orang dewasa dan menjadi
pembelajar yang independen serta mandiri. Peran guru dalam pembelajaran ini
adalah sebagai pemberi masalah, memfasilitasi investigasi dan dialog, serta
memberi motivasi dalam pembelajaran siswa (Sugiman, 2006: 7).
Karakteristik pembelajaran berbasis masalah menurut Tatang Herman
(2006: 4) adalah sebagai berikut:
21
1. Memposisikan siswa sebagai self-directed problem solver melalui kegiatan
kolaboratif.
2. Mendorong
siswa
untuk
mampu
menemukan
masalah
dan
mengelaborasinya dengan mengajukan dugaan-dugaan dan merencanakan
penyelesaian.
3. Memfasilitasi siswa untuk mengeksplorasi berbagai alternatif penyelesaian
dan implikasinya, serta mengumpulkan dan mendistribusikan informasi.
4. Melatih siswa untuk menyajikan temuan.
5. Membiasakan siswa untuk merefleksi tentang efektivitas cara berfikir
mereka dalam menyelesaikan masalah.
Karakteristik pembelajaran berbasis masalah menurut beberapa ahli
seperti yang ditulis Arends (2004: 392) adalah sebagai berikut:
1. Driving question or problem (menggerakkan pertanyaan atau masalah).
2. Interdisciplinary focus (fokus pelajaran interdisipliner).
3. Authentic investigation (penemuan yang asli).
4. Production of artifact and exhibits (menghasilkan karya dan menyajikan).
5. Collaboration (kolaborasi).
Menurut Tatang Herman (2006: 4) tipe masalah yang dapat digunakan
dalam pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:
1. Masalah terbuka (open-ended problem)
Untuk menjawab masalah yang diberikan, siswa dihadapkan dengan
masalah yang memiliki banyak alternatif cara untuk menyelesaikannya
dan memiliki satu jawaban atau multi jawaban yang benar.
22
2. Masalah terstruktur (well-structured problem)
Untuk menjawab masalah yang diberikan, siswa dihadapkan dengan subsubmasalah dan menyimpulkan.
Menurut Sugiman (2006: 8) dalam pembelajaran berbasis masalah
guru, siswa, dan masalah memiliki peran yang berbeda. Peran tersebut dapat
digambarkan seperti tabel berikut:
Tabel 2. Pembagian peran dalam Pembelajaran Berbasis Masalah
Guru sebagai pelatih
Siswa
sebagai Masalah sebagai awal
problem solver
tantangan dan motivasi
1. Peserta yang 1. Menarik
untuk
aktif
diselesaikan
2. Terlibat
2. Menyediakan
langsung
kebutuhan yang ada
dalam
hubungannya
pembelajaran
dengan
pelajaran
3. Membangun
yang dipelajari
pemahaman
1. Asking about Thinking
(bertanya
tentang
pemikiran)
2. Memonitor
pembelajaran
3. Probbing (menantang
siswa untuk berpikir)
4. Menjaga agar siswa
dapat terlibat
5. Mengatur
dinamika
kelompok
6. Menjaga
berlangsungnya proses
Sumber : Sugiman. (2006). Model-Model Pembelajaran Matematika Sekolah.
Arends (2004: 406) menjelaskan hal-hal yang dilakukan guru selama
pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Tingkah laku guru selama Pembelajaran Berbasis Masalah
Fase ke1.
Indikator
Mengorientasikan
siswa pada masalah
2.
Mengorganisasikan
siswa untuk belajar
Tingkah laku guru
Guru
menjelaskan
tujuan
pembelajaran, menjelaskan logistik
yang dibutuhkan, memotivasi siswa
agar terlibat pada aktivitas pemecahan
masalah
Guru
membantu
siswa
untuk
mendefinisikan
dan
mengorganisasikan tugas belajar yang
23
berhubungan dengan masalah tersebut
Membimbing
Guru mendorong siswa untuk
penyelidikan individual mengumpulkan informasi yang sesuai,
maupun kelompok
melaksanakan
eksperimen
untuk
mendapatkan
penjelasan
dan
pemecahan masalah
4.
Mengembangkan dan Guru
membantu
siswa
dalam
menyajikan hasil karya merencanakan dan menyiapkan karya
yang sesuai seperti laporan, dan
membantu mereka untuk berbagi tugas
dengan temannya
5.
Menganalisis
dan Guru
membantu
siswa
untuk
mengevaluasi
proses melakukan refleksi atau evaluasi
pemecahan masalah
terhadap penyelidikan mereka dan
proses yang mereka gunakan
Sumber : Arends Richard. (2004). Learning to Teach.
3.
Lebih lanjut, Arends (2004: 407) menyatakan bahwa tidak terdapat
aturan baku mengenai cara pengelompokan siswa dalam pembelajaran
berbasis masalah.
Berdasarkan uraian dan beberapa definisi tersebut sebelumnya,
pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang
menantang siswa untuk belajar dan bekerja sama di dalam kelompok untuk
mengembangkan cara berpikir dalam menemukan masalah, membangun
pemahaman,
mencari
alternatif
penyelesaian
dan
menyelesaikannya,
memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, serta belajar menjadi orang
dewasa, pembelajar yang independen dan mandiri.
Masalah yang dapat digunakan dalam pembelajaran berbasis masalah
diantaranya: masalah nyata, bermakna, menarik, terbuka, terstruktur, dapat
menuntun siswa dalam penyelidikan dan inkuiri, serta dapat merangsang
minat siswa untuk menyelesaikannya. Pemberian masalah bertujuan untuk
membangun motivasi siswa dalam membangun pemahaman dan pengetahuan.
24
Pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah meliputi lima langkah, yaitu :
orientasi siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar,
membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan
dan menyajikan hasil karya, serta menganalisis dan mengevaluasi proses
pemecahan masalah.
E. Penelitian Relevan
Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain:
1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aan Hasanah dalam skripsinya yang
berjudul “Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan
Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui
Pembelajaran Berbasis Masalah di SMP Negeri 6 Cimahi” pada tahun
2007 menunjukkan bahwa berdasarkan uji-t pada 0,05 kemampuan
pemahaman dan kemampuan penalaran matematik pada kelompok siswa
yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih baik dari pada
kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.
2. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Otto Sk Dulfebrianto dalam
skripsinya yang berjudul “Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan
Masalah melalui Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Pembelajaran
Matematika Kelas VIII B SMPN 1 Piyungan” pada tahun 2007
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan pemecahan masalah
pada siswa setelah mengikuti pembelajaran berbasis masalah dalam
pembelajaran matematika.
25
3. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ranggi Saraswati Mubidi Putri dalam
skripsinya yang berjudul “Upaya Peningkatan Pemahaman Konsep
Matematika Siswa Kelas VII RSBI di SMPN 1 Bantul melalui Metode
Penemuan Terbimbing dengan Menggunakan Student Worksheet” pada
tahun 2008 menunjukkan bahwa penerapan metode penemuan terbimbing
dengan
menggunakan
Student
Worksheet
mampu
meningkatkan
pemahaman konsep matematika siswa kelas VII RSBI di SMPN 1 Bantul.
F. Kerangka Berfikir
SMP Negeri 1 Pacitan merupakan salah satu sekolah unggulan di
kabupaten Pacitan. Siswa di sekolah ini sebenarnya tergolong ke dalam
kategori siswa yang pandai. Hal ini ditunjukkan dari tingginya nilai UAN
mereka ketika di Sekolah Dasar. Apabila dilihat dari segi input siswanya,
seharusnya mereka tidak akan banyak menemui kesulitan dalam memahami
suatu pokok bahasan. Akan tetapi, tidak demikian kenyataannya. Hampir
sebagian besar siswa masih mengalami kesulitan untuk memahami pokok
bahasan matematika yang dijelaskan oleh guru. Selain itu, ketika guru
menjelaskan pokok bahasan yang baru yang masih berkaitan, kadang mereka
sudah lupa akan inti dari pokok bahasan sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh
siswa yang cenderung menghapalkan dari pada memahami konsep. Beberapa
kejadian tersebut menunjukkan bahwa pemahaman konsep matematika siswa
masih perlu adanya perbaikan. Maka dari itu diperlukan suatu upaya guna
26
meningkatkan pemahaman konsep siswa tersebut. Salah satu upaya yang
dilakukan yaitu dengan pembelajaran kooperatif tipe problem based learning.
Problem based learning (pembelajaran berbasis masalah) merupakan
pembelajaran yang menantang siswa untuk belajar dan bekerja sama di dalam
kelompok dengan menyediakan masalah nyata sebagai perangsang siswa
dalam membangun pemahaman. Masalah tersebut akan menuntun siswa
dalam penyelidikan hingga ditemukannya sebuah konsep dari suatu pokok
bahasan matematika. Melalui hasil penemuannya sendiri, seorang siswa
diharapkan akan jauh lebih paham akan suatu pokok bahasan yang sedang
dipelajari. Di samping itu, hasil temuan yang diperoleh para siswa sendiri
diharapkan akan bertahan lebih lama di dalam ingatan dibandingkan hasil
yang mereka peroleh dari penjelasan guru secara langsung, sehingga siswa
akan tetap mampu mengingat materi yang telah dipelajari sebelumnya ketika
mereka diberikan materi yang baru oleh guru.
Problem based learning (pembelajaran berbasis masalah) diawali oleh
kegiatan guru dalam mengorientasikan siswa terhadap masalah nyata yang
tidak
asing
dalam
kehidupan
sehari-hari
siswa.
Selanjutnya,
guru
mengorganisasikan siswa dengan membentuk kelompok-kelompok yang akan
bekerja sama dalam sebuah penyelidikan. Dalam penyelidikan tersebut, siswa
diberi kebebasan untuk mengeksplorasi segala kemampuan yang dimilikinya
hingga dapat menyelesaikan permasalahan, menyimpulkan dan memperoleh
pemahaman terhadap pokok bahasan yang sedang dipelajari. Saat siswa
melakukan penyelidikan, guru memberikan bimbingan yang diperlukan
27
sehingga penyelidikan dapat berjalan lancar. Selanjutnya guru membimbing
siswa untuk mampu mengembangkan dan menyajikan hasil penyelidikan
mereka, sekaligus mengarahkan siswa lain untuk menganalisis dan
mengevaluasi proses penyelesaian yang digunakan. Dengan pembelajaran
kooperatif tipe problem based learning ini diharapkan pamahaman konsep
matematika siswa akan meningkat.
G. Hipotesis Tindakan
Dari teori-teori yang telah dikemukakan, maka sebelum dilakukan
penelitian, dirumuskan terlebih dahulu hipotesis tindakan sebagai dugaan awal
penelitian, yaitu: ”Jika pembelajaran kooperatif tipe problem based learning
diterapkan dalam pembelajaran, maka akan meningkatkan pemahaman konsep
matematika siswa kelas IX SMPN 1 Pacitan”.
28
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian
Tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan secara kolaboratif antara peneliti
dan guru matematika kelas IX SMPN 1 Pacitan.
B. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IX-C SMP N
1 Pacitan
berjumlah 40 siswa dan seorang guru matematika yang mengampu mata
pelajaran matematika di kelas tersebut. Objek dalam penelitian ini adalah
keseluruhan kegiatan guru dan siswa dalam proses pembelajaran matematika
dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe problem based learning
di kelas IX-C SMP N 1 Pacitan.
C. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kelas IX-C SMP N 1 Pacitan yang
bertempat di Jalan Ahmad Yani 41 Pacitan. Pengambilan data
dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus tahun pelajaran 2008/2009, dengan
menyesuaikan jam pelajaran matematika di kelas tersebut.
29
D. Setting Penelitian
Setting penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah setting
kelas dalam kegiatan pembelajaran matematika yang dilaksanakan di kelas IXC SMP N 1 Pacitan pada materi kesebangunan.
E. Rancangan Penelitian
Dalam penelitian tindakan kelas ini, penelitian dilaksanakan dalam dua
siklus dengan setiap siklusnya meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan
pembelajaran, observasi, dan refleksi. Penelitian dilaksanakan selama proses
pembelajaran matematika dengan materi kesebangunan. Di bawah ini akan
dijelaskan lebih rinci langkah-langkah dalam setiap siklus, meliputi:
1. Perencanaan
Perencanaan penelitian ini meliputi:
a. Menyusun dan mempersiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP).
RPP disusun agar pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan
karakteristik model pembelajaran yang akan digunakan, yaitu
pembelajaran kooperatif tipe problem based learning. RPP ini disusun
oleh peneliti dengan pertimbangan dari dosen pembimbing dan guru
yang bersangkutan. Selanjutnya RPP ini akan digunakan oleh guru
sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas.
RPP yang digunakan dalam pembelajaran ini dapat dilihat pada
lampiran A.1 – A.4 (halaman 95 – 106).
30
b. Membuat dan mempersiapkan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) serta
alat dan bahan pembelajaran.
LKS disusun untuk membimbing kegiatan siswa selama
pelaksanaan proses pembelajaran berbasis masalah. Sedangkan alat
dan bahan pembelajaran dipersiapkan sebagai media pendukung LKS.
Alat dan bahan pembelajaran yang dibutuhkan meliputi: kertas manila,
mika transparan, model persegi panjang, senter, penggaris, busur
derajat, gunting, boardmarker, lem dan kamera digital. LKS yang
digunakan dalam pembelajaran ini dapat dilihat pada lampiran A.5 –
A.8 (halaman 107 – 113).
c. Menyusun dan mempersiapkan soal tes siklus.
Soal tes disusun oleh peneliti dengan pertimbangan dari dosen
pembimbing dan guru yang bersangkutan. Tes tersebut diberikan pada
setiap akhir pembelajaran dan hasilnya digunakan untuk mengukur
kemampuan pamahaman konsep matematika siswa. Soal tes yang
digunakan dalam pembelajaran ini dapat dilihat pada lampiran B.6 –
B.7 (halaman 138 – 141).
d. Menyusun dan mempersiapkan pedoman observasi.
Pedoman
observasi
digunakan
untuk
mencatat
hasil
pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran serta aktivitas siswa
selama proses pembelajaran berlangsung. Pedoman observasi yang
digunakan dalam pembelajaran ini dapat dilihat pada lampiran B.1 –
B.3 (halaman 131 - 135).
31
e. Mempersiapkan peralatan dokumentasi.
Peralatan dokumentasi terdiri dari catatan lapangan dan
kamera. Catatan lapangan digunakan untuk mencatat hal-hal yang
terjadi selama proses pembelajaran di kelas ketika dilaksanakan
observasi. Sedangkan kamera digunakan untuk mengabadikan
kegiatan-kegiatan tertentu dalam pembelajaran di kelas dalam bentuk
gambar.
2. Pelaksanaan pembelajaran
Guru melaksanakan pembelajaran sesuai Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) yang telah
dibuat, sementara itu peneliti bersama pengamat mengamati dan mencatat
proses pembelajaran.
3. Observasi
Observasi dilaksanakan oleh peneliti dan pengamat selama proses
pembelajaran berlangsung dengan menggunakan pedoman observasi yang
sudah dibuat. Hal-hal yang terjadi selama proses pembelajaran dicatat
dalam catatan lapangan dan digunakan pula dokumentasi berupa foto
untuk melengkapi data saat proses pembelajaran berlangsung.
4. Refleksi
Data yang diperoleh dari hasil observasi kemudian dianalisis. Masalah
yang muncul, kekurangan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan
tindakan yang dilakukan kemudian dilakukan refleksi. Pelaksanaan
refleksi yang dimaksud adalah diskusi antara peneliti dengan guru yang
32
bersangkutan. Diskusi tersebut bertujuan untuk mengevaluasi hasil
tindakan yang telah dilaksanakan dan merencanakan tindakan berikutnya.
Apabila dalam refleksi ini perlu dilaksanakan pengulangan, siklus dapat
diulangi lagi hingga pembelajaran telah sesuai dengan indikator
keberhasilan penelitian.
F. Instrumen Penelitian
1. Peneliti
Peneliti merupakan alat pengumpul data utama. Peneliti sekaligus
berperan sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data, penganalisis,
penafsir data, dan pada akhirnya menjadi pelapor hasil penelitian.
2. Pedoman Observasi
Pedoman observasi digunakan peneliti sebagai pedoman ketika
melakukan pengamatan untuk mendapatkan data yang akurat terhadap
pelaksanaan
pembelajaran
serta
aktivitas
siswa
selama
proses
pembelajaran berlangsung. Aspek aktivitas siswa yang diamati dalam
pedoman observasi adalah motivasi, kerjasama, membangun pemahaman,
kemandirian, tanggung jawab, dan percaya diri.
Pedoman observasi ini terdiri dari 14 butir pernyataan dan masingmasing butir mempunyai 4 alternatif jawaban, yang masing-masing diberi
skor 1, 2, 3, dan 4 dengan ketentuan penskoran sebagai berikut:
skor 1 jika yang melakukan aktivitas kurang atau sama dengan 10 siswa.
skor 2 jika yang melakukan aktivitas sebanyak 11 s.d 20 siswa.
33
skor 3 jika yang melakukan aktivitas sebanyak 21 s.d 30 siswa.
skor 4 jika yang melakukan aktivitas lebih atau sama dengan 31 siswa.
3. Catatan Lapangan
Catatan lapangan merupakan sumber terpenting dalam penelitian
tindakan kelas. Catatan lapangan adalah catatan tertulis tentang apa yang
didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam pengumpulan data dan
refleksi terhadap data dalam penelitian ini. Catatan lapangan digunakan
untuk mencatat hal-hal yang terjadi selama proses pembelajaran di kelas
ketika dilaksanakan observasi. Pada catatan lapangan dicatat kegiatan yang
dilakukan guru dan siswa dalam proses pembelajaran.
4. Tes Siklus
Tes siklus berupa soal uraian dalam materi kesebangunan sebanyak 5
butir dengan alokasi waktu 40 menit. Soal-soal tersebut merupakan soal
pemahaman konsep yang terdiri dari : soal menyatakan ulang sebuah
konsep, soal mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai
dengan konsepnya, soal memilih contoh dan bukan contoh dari konsep,
dan soal menunjukkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep.
Tes digunakan untuk mengetahui tingkat pemahaman konsep matematika
siswa dari pokok bahasan yang telah dipelajari.
34
G. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi
Observasi merupakan teknik yang dilakukan dengan cara melakukan
pengamatan dan pencatatan mengenai pelaksanaan pembelajaran di kelas
serta aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung tanpa
mengganggu kegiatan pembelajaran. Observasi dilaksanakan dengan
berpedoman pada pedoman observasi serta dengan menggunakan catatan
lapangan.
2. Tes Siklus
Tes berupa soal uraian dalam materi kesebangunan sebanyak 5 butir
dengan alokasi waktu 40 menit. Tes diberikan pada akhir pembelajaran
dari setiap siklus. Tes digunakan untuk mengetahui sejauh mana
pemahaman konsep matematika siswa terhadap materi yang telah
dipelajari.
3. Dokumentasi
Dokumentasi berupa foto yang digunakan untuk memberikan
gambaran secara konkret mengenai kegiatan dan aktivitas siswa selama
proses pembelajaran dilakukan.
H. Teknik Analisis Data
1. Analisis Data Observasi
Data hasil observasi akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis
diskriptif yang disajikan dalam bentuk persentase. Berdasarkan pedoman
35
penskoran yang telah dibuat, maka dalam menghitung persentase skor
hasil observasi digunakan cara sebagai berikut:
p=
skor yang diperoleh dari hasil observasi × 100%
skor maksimal
Selanjutnya persentase skor hasil observasi dikategorikan sesuai dengan
persentase kualifikasi hasil observasi sebagai berikut :
Tabel 4. Kualifikasi Hasil Observasi
Persentase skor yang diperoleh Kategori
66,66% ≤ p ≤ 100%
Tinggi
33,33% ≤ p ≤ 66.65%
Sedang
0% ≤ p ≤ 33,32%
Rendah
p = persentase skor hasil observasi.
Selain pedoman observasi, digunakan juga catatan lapangan untuk
melengkapi catatan hasil observasi dalam mendeskripsikan hasil
pengamatan tentang aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran.
2. Analisis Data Hasil Tes
Analisis hasil tes dilakukan untuk mengukur peningkatan kemampuan
pemahaman konsep siswa dalam menyelesaikan masalah setelah
mengikuti pembelajaran. Data hasil dari tes akan dianalisis berdasarkan
pedoman penilaian yang telah dibuat oleh peneliti. Pedoman penilaian
hasil tes siswa didasarkan pada indikator sebagai berikut:
a. Kemampuan menyatakan ulang sebuah konsep.
b. Kemampuan mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu
sesuai dengan konsepnya.
c. Kemampuan memilih contoh dan bukan contoh dari konsep.
36
d. Kemampuan menunjukkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu
konsep.
Berdasarkan hasil tes siswa, setiap indikator diberi nilai kemudian
diperoleh nilai untuk setiap siswa. Setelah itu, ditentukan nilai rata-rata
dengan menjumlahkan semua nilai siswa dan membaginya dengan
banyaknya siswa yang mengikuti tes.
Setelah diperoleh nilai rata-rata kemudian peneliti menentukan
kategori nilai rata-rata tes yang diperoleh siswa. Pemberian kategori
bertujuan untuk mengetahui kemampuan pemahaman konsep siswa.
Berikut kualifikasi nilai rata-rata tes:
Tabel 5. Kualifikasi Nilai Rata-Rata Tes
Nilai rata-rata tes
75 ≤ x ≤ 100
50 ≤ x ≤ 74,99
0 ≤ x ≤ 49,99
x = nilai rata-rata tes.
Kategori
Baik
Cukup
Kurang
I. Indikator Keberhasilan
Penelitian ini dikatakan berhasil apabila telah mencapai indikator keberhasilan
sebagai berikut :
1. Pemahaman konsep matematika siswa mengalami peningkatan dari satu
siklus ke siklus selanjutnya. Selain itu pemahaman konsep matematika
siswa akan tercapai jika:
a. Siswa mampu menyatakan ulang sebuah konsep kesebangunan,
minimal sebanyak 90% dari keseluruhan siswa.
37
b. Siswa mampu mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu
sesuai dengan konsep kesebangunan, minimal sebanyak 90% dari
keseluruhan siswa.
c. Siswa mampu memilih contoh dan bukan contoh dari konsep
kesebangunan, minimal sebanyak 80% dari keseluruhan siswa.
d. Siswa mampu menunjukkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu
konsep kesebangunan, minimal sebanyak 80% dari keseluruhan siswa.
Indikator pemahaman konsep siswa tersebut mengacu kepada petunjuk
teknis peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas tentang penilaian
perkembangan anak didik SMP (Sri Wardhani, 2006).
2. Nilai rata-rata kelas mengalami peningkatan dan mencapai kategori baik.
3. Pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan minimal 75% dari langkahlangkah pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) yang
ditetapkan.
38
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Masing-masing siklus
terdiri dari dua kali pertemuan dengan alokasi waktu untuk satu kali
pertemuan selama 2 × 40 menit. Berikut jadwal pelaksanaan pembelajaran
matematika selama kegiatan penelitian di kelas IX-C SMPN 1 Pacitan.
Tabel 6. Jadwal Pelaksanaan Pembelajaran Matematika di Kelas IX-C
Siklus
Perte
muan
Hari/Tanggal
Pukul
Selasa/29 Juli
2008
07.00 WIB s.d.
08.20 WIB
Kamis/31 Juli
2008
Jumat/1 Agustus
2008
Selasa/5 Agustus
2008
09.55 WIB s.d.
11.15 WIB
08.20 WIB s.d.
09.00 WIB
07.00 WIB s.d.
08.20 WIB
2
Kamis/7 Agustus
2008
09.55 WIB s.d.
11.15 WIB
3
Jumat/8 Agustus
2008
08.20 WIB s.d.
09.00 WIB
1
I
2
3
1
II
Materi
Syarat dua bangun
yang sama dan
sebangun
Foto atau model
berskala
Tes siklus I
Syarat dua bangun
yang sebangun
Syarat
dua
segitiga sama dan
sebangun
Tes siklus II
Deskripsi pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Pelaksanaan Tindakan Siklus I
Siklus I dimulai setelah peneliti melakukan persiapan penelitian yang
meliputi: mempersiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar
Kegiatan Siswa (LKS), alat dan bahan pembelajaran, soal tes siklus I,
39
pedoman observasi, serta peralatan dokumentasi. Siklus I dilaksanakan dalam
2 pertemuan dan berikut penjabaran kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan.
1) Pertemuan 1
Pertemuan 1 siklus I dilaksanakan pada hari Selasa, 29 Juli 2008
pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 08.20 WIB . Pukul 07.00 guru dan
peneliti memasuki ruang kelas dan mengucapkan salam. Kemudian guru
menginstruksikan siswa untuk duduk tenang di tempat masing-masing dan
meminta ketua kelas untuk memimpin berdoa. Selanjutnya guru mengecek
kesiapan siswa dan kehadiran siswa. Ternyata ada satu orang siswa yang
tidak hadir karena sakit setelah mengikuti tamasya, sehingga jumlah siswa
yang hadir adalah 39 orang. Guru menjelaskan kepada siswa bahwa
pembelajaran akan dibimbing oleh peneliti. Selanjutnya peneliti mulai
membimbing pembelajaran, sementara guru dan pengamat lain duduk di
barisan belakang bersama siswa. Adapun langkah-langkah selanjutnya
dalam pembelajaran ini adalah sebagai berikut:
a) Mengorientasikan siswa pada masalah
Peneliti menyampaian topik materi pembelajaran pada pertemuan
itu yaitu syarat dua bangun yang sama dan sebangun (kongruen) dengan
tujuan pembelajaran yang akan dicapai yaitu siswa dapat memahami dua
bangun datar yang sama dan sebangun (kongruen) dan dapat menyebutkan
syaratnya serta dapat menggunakannya untuk menyelesaikan masalah.
Peneliti mengorientasikan keseluruhan siswa secara bersama-sama
terhadap suatu masalah yang berhubungan dengan kekongruenan dengan
40
mengajukan
beberapa
pertanyaan
yang
berhubungan
dengan
kekongruenan.
b) Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Peneliti memberikan informasi bahwa siswa akan dibagi menjadi
beberapa kelompok yang terdiri dari 4 sampai 5 siswa dan diharapkan
setiap siswa aktif dalam diskusi bersama kelompoknya masing-masing.
Untuk
mempermudah
dalam
berdiskusi,
peneliti
meminta
siswa
berkelompok dengan teman terdekat, di depan dan dibelakangnya.
Beberapa siswa memutar posisi tempat duduk agar lebih nyaman saat
berdiskusi. Siswa bergabung dengan kelompoknya masing-masing,
kemudian peneliti dibantu guru dan pengamat membagikan LKS serta alat
dan bahan yang sudah dipersiapkan oleh peneliti sebagai media diskusi,
seperti: kertas manila, mika yang bergambar sketsa lubang-lubang sarang
lebah berbentuk segienam, boardmarker, gunting, lem, penggaris dan
busur derajat. Siswa diminta untuk mencermati masalah pada LKS dan
memulai diskusi bersama kelompoknya masing-masing.
c) Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Sebagian besar siswa masih tetap enggan untuk memulai diskusi.
Peneliti membimbing keseluruhan kelompok secara bersama-sama untuk
melakukan langkah pertama dari kegiatan yang ada di LKS. Beberapa
kelompok mulai menggunting segienam-segienam dari mika dan
menempelkannya di kertas manila. Peneliti dan guru berkeliling untuk
mengamati hasil pekerjaan setiap kelompok. Peneliti menghampiri
41
kelompok yang masih tampak kebingungan dalam menempel segienamsegienam dan menanyakan kesulitan mereka.
Gambar 1. Peneliti membimbing salah satu kelompok
Peneliti melanjutkan mengamati pekerjaan kelompok lain. Peneliti
melihat beberapa kelompok telah menyelesaikan langkah-langkah pada
masalah pertama, tetapi mereka belum memulai menyelesaikan masalah
kedua dan terlihat asik bercanda. Peneliti menginstruksikan kelompok
yang
telah
menyelesaikan
masalah
pertama
untuk
melanjutkan
menyelesaikan masalah kedua dan ketiga. Sebuah kelompok menanyakan
tentang kesulitannya dalam menyimpulkan syarat agar dua bangun datar
kongruen.
Peneliti
mengarahkan
kelompok
tersebut
dan
berikut
pengarahan peneliti :
Peneliti: “ Kalian sudah mengamati dua bangun segienam yang kongruen.
Dari kedua bangun segi enam tersebut, unsur apa sajakah yang
bersesuaian?”
Siswa : “ Sisi dan sudut.”
Peneliti: “ Nah, jadi kalian menyimpulkan bagaimanakah sisi yang
bersesuaian? dan bagaimanakah sudut yang bersesuaian?”
Selesai memberikan pengarahan, beberapa kelompok mengalami
kesulitan dan mengajukan pertanyaan yang sama. Peneliti memberikan
pengarahan kepada keseluruhan siswa secara bersama-sama di depan
42
kelas. Setelah peneliti selesai menjelaskan, beberapa kelompok mulai
menyimpulkan hasil diskusi. Namun masih ada kelompok yang tampak
masih bingung dan berusaha bertanya kepada kelompok lain.
d) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Waktu diskusi kelompok telah selesai, peneliti meminta setiap
kelompok
untuk
mempersilahkan
mengumpulkan
kelompok
yang
hasil
bersedia
pekerjaannya.
secara
Peneliti
sukarela
untuk
mempresentasikan hasil diskusinya. Siswa tampak ragu, terdiam dan
saling berpandangan. Karena belum ada kelompok yang berani
mempresentasikan hasil diskusinya, peneliti menunjuk kelompok 1 untuk
mewakilkan salah satu anggotanya. Ketika salah satu siswa anggota
kelompok
itu
menyampaikan
hasil
diskusinya,
kelompok
lain
memperhatikan dengan seksama. Setelah siswa tersebut selesai presentasi,
peneliti mempersilahkan siswa dari kelompok lain untuk menanggapi.
Siswa masih enggan untuk berpendapat. Peneliti bertanya apakah ada yang
tidak setuju dengan kesimpulan kelompok 1 atau merasa mempunyai
kesimpulan yang berbeda. Mereka tetap hanya diam dan saling
berpandangan. Karena presentasi belum dapat berjalan, peneliti melihat
satu-persatu hasil pekerjaan yang sudah dikumpulkan dari setiap
kelompok. Peneliti melihat kesimpulan yang berbeda dari kelompok 5.
43
Gambar 2. Contoh hasil diskusi kelompok 1 dan kelompok 5
e) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Kelompok 5 menyimpulkan bahwa syarat agar dua bangun
kongruen adalah banyak sisinya sama dan banyak sudutnya sama. Peneliti
meminta semua siswa untuk mencermati kesimpulan tersebut dan
mengevaluasi kesalahan, tetapi keseluruhan siswa enggan untuk
berpendapat. Kemudian peneliti mengajukan beberapa pertanyaan kepada
kelompok 5 untuk mengevaluasi hasil diskusi mereka. Adapun tanya
jawab tersebut adalah sebagai berikut:
Peneliti: “ Mengapa kalian menyimpulkan, bahwa syarat dua bangun yang
kongruen adalah banyak sisinya sama dan banyak sudutnya
sama?”
Siswa : (Terdiam sejenak). “ Karena dua bangun segienam itu
mempunyai banyak sisi dan banyak sudut yang sama.
Peneliti menggambar dua bangun segiempat di papan tulis. Kedua bangun
tersebut berbeda. Ukuran panjang dan lebar sisi kedua bangun tidak sama.
Bangun yang satu berbentuk persegi panjang sedangkan yang lain
cenderung berbentuk jajar genjang.
Peneliti: “ Kedua bangun ini mempunyai banyak sisi dan banyak sudut
yang sama. Apakah kedua bangun ini kongruen?”
Siswa : “ Tidak kongruen.” (Saling berbisik)
Peneliti: “ Mengapa tidak kongruen?”
44
Siswa : “ Satunya persegi panjang, satunya jajargenjang.”
Peneliti: “ Tunjukkan perbedaannya berdasarkan unsur sisi dan sudut!”
Siswa : “ Panjang sisinya berbeda. Besar sudutnya berbeda karena sudut
A pada persegi panjang adalah sudut siku-siku sedangkan sudut
E pada jajargenjang adalah sudut lancip.”
Peneliti: “ Nah, karena syarat yang kamu simpulkan tadi juga berlaku
untuk dua bangun ini. Berarti kesimpulanmu masih kurang tepat
kan? Yang benar gimana ?”
Siswa : “ Syaratnya sisi-sisinya sama panjang dan sudut-sudutnya sama
besar.”
Peneliti: “ Kurang lengkap. Sisi yang mana dan sudut yang mana?”
Siswa : (Terdiam sejenak). “ Sisi dan sudut yang bersesuaian.”
Peneliti: “ Jadi kesimpulannya, syarat dua bangun yang kongruen adalah
sisi-sisi yang bersesuaian sama panjang dan sudut-sudut yang
bersesuaian sama besar.”
Waktu diskusi dan presentasi melebihi waktu yang direncanakan.
Peneliti bersama siswa menyimpulkan syarat dua bangun yang kongruen
dan memberikan kesempatan pada siswa untuk mencatat serta bertanya
apabila masih ada yang kurang jelas. Peneliti meminta siswa untuk
kembali ke tempat duduknya semula. Setelah semua siswa telah kembali
ke tempat duduknya, peneliti memberi informasi bahwa akan diberikan
latihan soal kepada siswa untuk dikerjakan secara individu dan kemudian
dikumpulkan. Waktu pengerjaan selama 20 menit dan dilanjutkan
pembahasan. Latihan soal terdiri dari 4 soal pemahaman konsep. Peneliti
mulai membagikan lembar soal latihan. Tiap meja mendapatkan 1 lembar
soal dan jawaban ditulis di lembaran masing-masing siswa. Ketika lembar
soal mulai terbagi kepada sebagian siswa, muncul pertanyaan dari salah
satu siswa ” Nomer 4 pake diketahui dan ditanya pak?”. Peneliti kemudian
memberi informasi kepada keseluruhan siswa ”Iya, jadi sebelum
menjawab harus diidentifikasi terlebih dahulu, apa yang diketahui dan apa
45
yang ditanyakan dari soal, dan rencana penyelesaian harus didasarkan
pada syarat kekongruenan”. Saat pengerjaan soal, suasana kelas tenang.
Peneliti berkeliling mengamati proses mengerjakan setiap siswa. Setelah
batas waktu berakhir, peneliti meminta siswa segera mengumpulkan hasil
pekerjaannya. Beberapa siswa mengeluh karena waktu mengerjakan
terlalu singkat. Akan tetapi hampir keseluruhan siswa telah mengerjakan
secara tuntas. Setelah mengumpulkan, peneliti mulai membimbing
pembahasan soal. Pembahasan soal hanya sampai pada nomer 3 karena
jam pelajaran telah habis. Peneliti menutup pembelajaran dengan salam.
Pada pertemuan 1 siklus I, sebagian besar siswa masih memerlukan
banyak bimbingan peneliti dalam memahami masalah pada LKS. Peneliti
sering memberikan bimbingan kepada keseluruhan siswa secara bersamasama kepada siswa. Hal ini disebabkan masih banyak siswa yang terlihat
bingung dan bertanya kepada guru dan peneliti. Mereka belum terbiasa
untuk menemukan sendiri sebuah konsep dari suatu pokok bahasan dengan
bantuan LKS sehingga mereka terlihat kesulitan dalam menyimpulkan
sebuah konsep hasil diskusi. Mereka juga masih enggan untuk
bekerjasama dalam menyelesaikan masalah, terlihat beberapa siswa masih
tampak serius mengerjakan sendiri tanpa memberikan kesempatan kepada
teman kelompoknya. Dalam menyajikan hasil karya siswa masih merasa
takut, jika tidak diminta oleh peneliti maka tidak ada yang dengan sukarela
mempresentasikan hasil diskusi yang diperolehnya. Siswa juga belum
berani menanggapi jawaban teman. Peran siswa saat menganalisis dan
46
mengevaluasi hasil penyelesaian belum tampak. Pendapat siswa hanya
muncul ketika peneliti memancing dengan pertanyaan. Hasil analisis dari
latihan soal yang dikerjakan oleh siswa, dapat diketahui bahwa sebanyak
87,17% siswa mampu menyatakan ulang syarat dua bangun yang
kongruen, sebanyak 89,74% siswa mampu mengklasifikasikan pasangan
sisi dan sudut dari dua bangun ke dalam syarat kekongruenan, sebanyak
94,87% siswa mampu memilih contoh dan bukan contoh dari dua bangun
yang kongruen, dan sebanyak 64,1% siswa mampu menunjukkan syarat
perlu atau syarat cukup dari dua bangun yang kongruen.
2) Pertemuan 2
Pertemuan 2 siklus I dilaksanakan pada hari Kamis, 31 Juli 2008
pukul 09.55 WIB sampai dengan pukul 11.15 WIB . Pukul 09.55 guru dan
peneliti memasuki ruang kelas dan mengucapkan salam. Kemudian guru
menginstruksikan siswa untuk duduk tenang di tempat masing-masing dan
mengecek kehadiran siswa. Ada satu orang siswa yang tidak hadir karena
masih sakit. Selanjutnya peneliti mulai membimbing pembelajaran,
sementara guru dan pengamat lain duduk di barisan belakang bersama
siswa. Langkah pembelajaran selanjutnya adalah sebagai berikut:
a) Mengorientasikan siswa pada masalah
Peneliti menyampaikan topik materi pembelajaran yang akan
dipelajari yaitu foto atau model berskala dan diharapkan siswa dapat
membandingkan ukuran sebuah foto atau model berskala dengan bentuk
aslinya
dan
memahami
rumus
perbandingannya
serta
dapat
47
menggunakannya untuk menyelesaikan masalah. Selanjutnya peneliti
melakukan tanya jawab dengan keseluruhan siswa secara bersama-sama
untuk mengorientasikan siswa pada suatu masalah yang berhubungan
dengan foto atau model. Peneliti mengambil kamera digital kemudian
memfoto sebuah kotak spidol. Setelah gambar diperoleh, peneliti
menunjukkan kepada 3 siswa yang ada di barisan depan sebagai
perwakilan untuk mengamati foto kotak spidol dan kotak spidol tersebut.
b) Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Peneliti memberikan informasi bahwa sebelum pembelajaran
dilanjutkan maka siswa akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Agar
menghemat waktu, siswa diminta untuk berkelompok sesuai dengan
kelompok pada pertemuan sebelumnya dan diharapkan setiap siswa aktif
dalam diskusi bersama kelompoknya masing-masing. Setelah siswa
bergabung dengan kelompoknya masing-masing, peneliti dibantu guru dan
pengamat membagikan LKS serta alat dan bahan yang sudah dipersiapkan
oleh peneliti, seperti: kertas manila, penggaris dan boardmaker.
Selanjutnya siswa diminta untuk mencermati masalah dalam LKS dan
memulai diskusi bersama kelompoknya masing-masing.
c) Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Siswa mulai mendiskusikan masalah pada LKS yang diberikan
secara berkelompok. Sebagian besar kelompok tampak aktif berdiskusi,
tetapi
ada
kelompok
yang
terlihat
malas-malasan
untuk
mulai
mengerjakan. Peneliti menghampiri kelompok tersebut dan menunggu
48
sejenak, sehingga mereka memulai untuk berdiskusi. Kemudian peneliti
kembali berkeliling untuk mengamati hasil pekerjaan kelompok. Peneliti
menghampiri kelompok 6 yang tampak aktif berdiskusi tetapi sama sekali
belum mengisi jawaban di kertas manila. Berikut cuplikan tanya jawab
antara peneliti dengan siswa kelompok 6 :
Siswa : “ Bagian yang bersesuaian itu yang mana?”
Peneliti: “ Tadi dijelaskan, antara gambar di foto dengan bentuk
sebenarnya memiliki bentuk yang sama. Tetapi tetap mempunyai
perbedaan. Apa?
Siswa : “ Ukurannya.”
Peneliti: “ Mobil dan gambar fotonya termasuk benda berapa dimensi?
Siswa : “ Tiga dimensi.”
Peneliti: “ Nah, Ukuran apa saja yang dapat kalian ketahui dari benda tiga
dimensi?”
Siswa : “ Panjang, lebar, tinggi.”
Peneliti: “Berarti bagian yang bersesuaian itu adalah panjang, lebar, dan
tinggi antara gambar di foto dengan benda sebenarnya.”
Peneliti kembali mengamati pekerjaan kelompok lain. Peneliti melihat
pekerjaan kelompok 3 dan bertanya “ Apa maksud Ppf dan Psb?”. Salah
satu siswa dari kelompok 3 menjawab “ Ppf singkatan panjang pada foto
dan Psb singkatan panjang sebenarnya”. Peneliti kemudian mengarahkan
kelompok tersebut untuk tidak menggunakan singkatan agar semua bisa
paham. Tidak lama kemudian ada siswa yang mengacungkan tangan dan
bertanya “ Tanya pak, untuk yang nomer 4 memakai diketahui dan
ditanyakan
tidak
pak?”.
Peneliti
kemudian
menjelaskan
tentang
pentingnya mengidentifikasi sebuah masalah sebelum menyelesaikannya.
49
Gambar 3. Siswa bertanya kepada peneliti
d) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Waktu diskusi telah selesai, peneliti meminta setiap kelompok
untuk mengumpulkan hasil diskusinya dan mempersilahkan kelompok
yang bersedia secara sukarela mempresentasikan hasil diskusinya. Seperti
pada pertemuan pertama, siswa masih enggan untuk mempresentasikan
hasil diskusinya. Satu siswa perwakilan dari kelompok 3 ditunjuk oleh
peneliti untuk maju ke depan mempresentasikan hasil diskusinya.
Sebagian besar siswa memperhatikan siswa yang sedang presentasi, tetapi
ada kelompok yang kelihatan asik bercanda. Peneliti menunjuk kelompok
tersebut untuk menanggapi presentasi kelompok tiga. Salah satu siswa
berpendapat hasilnya sama dengan pekerjaan kelompoknya, hanya
bedanya kelompok 3 memakai singkatan. Peneliti meminta kelompok 7
untuk menganalisis langkah penyelesaian nomer 4. Mereka hanya
menjawab jika jawaban dari kelompok 3 sudah benar. Presentasi
dilanjutkan dan peneliti mempersilahkan kelompok lain yang mau
mempresentasikan. Hampir semua siswa hanya diam dan saling
berpandangan. Peneliti mengecek hasil pekerjaan tiap kelompok dan
50
memperoleh kesalahan pada kelompok 1 dalam memahami masalah.
Peneliti meminta kelompok 1 untuk mempresentasikan hasil diskusinya.
Setelah selesai mempresentasikan, peneliti meminta setiap siswa
mencermati hasil pekerjaan dari kelompok 1 dan mengevaluasi apabila ada
kesalahan. Akan tetapi tidak ada siswa yang berani berpendapat.
Gambar 4. Contoh hasil diskusi kelompok 3 dan kelompok 1
e) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Peneliti meminta kelompok 1 untuk menunjukkan bagian-bagian
yang mereka maksud, yaitu panjang ukuran pada gambar dengan panjang
gambar sebenarnya, lebar ukuran pada gambar dengan lebar gambar
sebenarnya, tinggi ukuran pada gambar dengan tinggi gambar sebenarnya.
Setelah mendengar penjelasan, peneliti mengevaluasi kesalahan kelompok
1. Peneliti menyimpulkan, bahwa mereka hanya salah mengungkapkan ke
dalam kalimat tentang apa yang mereka maksud, sedangkan apa yang
mereka pahami sudah benar. Evaluasi dilanjutkan ke nomer 4 dan
diketahui bahwa kelompok 1 kurang teliti dalam mengamati satuan
panjang dari setiap nilai yang diketahui dan salah dalam mesubstitusikan
nilai ke dalam rumus yang mereka susun, sehingga jawaban yang
51
diperoleh salah. Kesalahan disebabkan mereka dalam menyelesaikan
masalah langsung menuliskan jawaban tanpa mengidentifikasi masalah
dahulu, yaitu dengan menulis apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan
dari masalah tersebut. Peneliti menjelaskan langkah penyelesaian masalah
yang benar kepada keseluruhan siswa secara bersama-sama. Kemudian
peneliti menegaskan kembali rumus perbandingan antara foto atau model
berskala dengan bangun sebenarnya dan memberikan kesempatan pada
siswa untuk mencatat serta bertanya bagi yang belum paham.
Peneliti meminta siswa untuk kembali ke tempat duduknya semula.
Setelah semua siswa kembali ke tempat duduknya masing-masing, peneliti
menginformasikan bahwa akan diberikan latihan soal kepada siswa untuk
dikerjakan secara individu dan kemudian dikumpulkan. Waktu pengerjaan
selama 20 menit dan dilanjutkan pembahasan. Latihan soal terdiri dari 4
soal pemahaman konsep. Peneliti mulai membagikan lembar soal latihan.
Tiap meja mendapatkan 1 lembar soal dan jawaban ditulis di lembaran
masing-masing siswa. Sebelum siswa mulai mengerjakan soal, peneliti
menegaskan kembali bahwa sebelum menjawab harus diidentifikasi
terlebih dahulu apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari masalah
tersebut. Kemudian dalam menjawab harus ditulis dahulu konsep atau
rumus yang akan digunakan. Pengerjaan soal dimulai. Peneliti berkeliling
mengamati proses mengerjakan setiap siswa Setelah batas waktu berakhir,
peneliti meminta siswa segera mengumpulkan hasil pekerjaannya.
Keseluruhan siswa
tampak telah mengerjakan secara tuntas. Setelah
52
mengumpulkan, peneliti bersama siswa membahas setiap soal. Dua soal
selesai dibahas kemudian bel istirahat berbunyi dan siswa langsung
berhamburan keluar untuk beristirahat.
Pada pertemuan 2 siklus I, siswa sudah mulai mampu memahami
masalah pada LKS hanya dengan sesekali bimbingan dari peneliti. Peneliti
beberapa kali memberikan bimbingan kepada keseluruhan siswa secara
bersama-sama dan individual kelompok karena masih banyak siswa yang
bertanya dan belum mengerti. Mereka sudah terbiasa untuk menemukan
sendiri sebuah konsep dari suatu pokok bahasan dengan bantuan LKS
terlihat dari keberanian mereka dalam menjawab, menyimpulkan, dan
menyusun sebuah konsep dengan ungakapan dan bahasa mereka sendiri.
Mereka juga sudah mulai terbuka untuk bertukar pendapat dan
bekerjasama dengan teman satu kelompok dalam menyelesaikan masalah.
Dalam menyajikan hasil karya siswa masih belum berani. Jika tidak
diminta
oleh
peneliti
maka
tidak
ada
yang
dengan
sukarela
mempresentasikan hasil diskusi yang diperolehnya. Padahal pekerjaan
mereka sudah benar. Siswa juga belum berani menanggapi jawaban teman.
Peran siswa saat menganalisis dan mengevaluasi hasil penyelesaian belum
tampak dan pendapat siswa hanya muncul ketika peneliti memancing
dengan pertanyaan. Hasil analisis dari latihan soal yang dikerjakan oleh
siswa, dapat diketahui bahwa sebanyak 74,35% siswa mampu menyatakan
ulang konsep perbandingan dari sebuah model dengan bangun sebenarnya
53
dan sebanyak 71,79% siswa mampu mengklasifikasikan objek apakah
termasuk bagian dari model atau bangun sebenarnya.
3) Refleksi
Peneliti berdiskusi dengan guru untuk mengetahui keterlaksanaan
tindakan pada siklus I. Berdasarkan hasil diskusi, beberapa langkah
pembelajaran yang belum terlaksana dengan baik pada siklus I, yaitu pada
langkah mengembangkan dan menyajikan hasil karya serta menganalisis
dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Dalam mengembangkan
dan menyajikan hasil karya, hanya seorang siswa yang berani
mempresentasikan hasil diskusinya, itupun karena diminta oleh guru. Pada
langkah menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah,
kesadaran siswa untuk berpendapat belum tampak, sehingga guru masih
berperan aktif pada langkah ini, yaitu dengan memancing siswa melalui
pertanyaan-pertanyaan agar pendapat siswa muncul dalam menganalisis
dan mengevaluasi jawaban. Keterlaksanaan pembelajaran berbasis
masalah (problem based learning) pada siklus I sebesar 60% dari langkah
pembelajaran berbasis masalah (problem based learning)
yang
ditentukan.
Pemahaman konsep matematika siswa belum maksimal. Hal ini
dapat diketahui dari rata-rata persentase siswa untuk tiap indikator
pemahaman konsep matematika pada siklus I, yaitu sebanyak 80,76%
siswa yang mampu menyatakan ulang sebuah konsep, sebanyak 80,76%
siswa yang mampu mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu
54
sesuai dengan konsepnya, sebanyak 94,87% siswa yang mampu memilih
contoh dan bukan contoh dari konsep, sebanyak 64,1% siswa yang mampu
menunjukkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep.
Berdasarkan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan yaitu bahwa
pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning)
harus dilaksanakan minimal 75% dari langkah yang telah ditetapkan
belum terpenuhi. Presentase minimal dari pemahaman konsep matematika
siswa untuk tiap indikator belum tercapai, sehingga pelaksanaan tindakan
dilanjutkan pada siklus II.
Selain itu, waktu yang digunakan untuk berdiskusi selalu melebihi
perencanaan sehingga waktu presentasi dan evaluasi sangat terbatas. Hal
ini disebabkan oleh beberapa kelompok yang setiap menyelesaikan satu
tahap penyelidikan tidak langsung melanjutkan ke tahap selanjutnya. Hal
ini juga berdampak kepada peneliti yang cenderung membimbing
penyelidikan kepada keseluruhan siswa secara bersama-sama karena
waktu untuk membimbing penyelidikan individual atau kelompok sangat
terbatas.
4) Tes siklus I
Tes siklus I dilaksanakan pada hari Jumat, 1 Agustus 2008 pukul
08.20 WIB sampai dengan pukul 09.00 WIB. Waktu penyelesaian soalsoal tes direncanakan selama 40 menit. Jumlah soal sebanyak 5 soal
pemahaman konsep yang terdiri dari : soal menyatakan ulang sebuah
konsep kesebangunan, soal mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat
55
tertentu sesuai dengan konsep kesebangunan, soal memilih contoh dan
bukan contoh dari konsep kesebangunan, dan soal menunjukkan syarat
perlu atau syarat cukup dari suatu konsep kesebangunan. Sebagian besar
siswa tampak antusias dan bersemangat saat mengerjakan soal sehingga
suasana kelas menjadi tenang dan hening. Sebelum siswa mengerjakan
soal-soal, peneliti menegaskan kembali bahwa siswa diminta untuk
menggunakan langkah penyelesaian masalah yang benar seperti yang telah
dipelajari pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Peneliti sesekali
berkeliling untuk mengawasi kegiatan siswa. Berikut salah satu hasil
jawaban siswa pada siklus I :
Gambar 5. Contoh hasil jawaban siswa pada tes siklus I
56
2. Pelaksanaan Tindakan Siklus II
Siklus II dimulai setelah peneliti melakukan persiapan penelitian yang
meliputi: mempersiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar
Kegiatan Siswa (LKS), alat dan bahan pembelajaran, soal tes siklus II,
pedoman observasi, serta peralatan dokumentasi. Selain itu, peneliti
merencanakan tindakan perbaikan untuk siklus II sesuai dengan hasil refleksi.
Rencana perbaikan tindakan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1) Peneliti membagi kelas menjadi dua kelompok besar, masing-masing
kelompok besar terdiri dari 4 kelompok kecil. Masing-masing kelompok
besar saling berbagi tugas untuk mempresentasikan hasil diskusi dan
menanggapi jawaban kelompok yang sedang presentasi. Tugas akan
berlaku sebaliknya pada pertemuan selanjutnya. Hal ini dilaksanakan guna
meningkatkan tanggung jawab siswa dalam tahap mengembangkan dan
menyajikan hasil karya serta analisis.
2) Peneliti mengajak siswa untuk mengevaluasi dan menganalisis proses
pemecahan masalah serta memotivasi siswa dengan memberikan
penghargaan atau hadiah kepada siswa yang aktif.
3) Meningkatkan pengawasan dan bimbingan kepada setiap kelompok agar
dalam setiap tahap penyelidikan dapat selesai sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan.
4) Peneliti berusaha untuk lebih mengoptimalkan dalam membantu
penyelidikan individual atau kelompok.
57
Siklus II dilaksanakan dalam 2 pertemuan dan berikut penjabaran
kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan.
1) Pertemuan 1
Pertemuan 1 siklus II dilaksanakan pada hari Selasa, 5 Agustus
2008 pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 08.20 WIB . Pukul 07.00
guru dan peneliti memasuki ruang kelas dan mengucapkan salam.
Kemudian guru menginstruksikan siswa untuk duduk tenang di tempat
masing-masing dan meminta ketua kelas untuk memimpin berdoa.
Selanjutnya guru mengecek kesiapan siswa dan kehadiran siswa. Ada satu
orang siswa yang tidak hadir karena sakit, sehingga jumlah siswa yang
hadir adalah 39 orang. Guru menjelaskan kepada siswa bahwa
pembelajaran masih dibimbing oleh peneliti. Selanjutnya peneliti mulai
membimbing pembelajaran, sementara guru dan pengamat lain duduk di
barisan belakang bersama siswa. Adapun langkah-langkah selanjutnya
dalam pembelajaran ini adalah sebagai berikut:
a) Mengorientasikan siswa pada masalah
Peneliti menyampaikan topik materi pembelajaran pada pertemuan
itu yaitu syarat dua bangun yang sebangun dengan tujuan pembelajaran
yang akan dicapai yaitu siswa dapat memahami dua bangun datar yang
sebangun dan dapat menyebutkan syaratnya serta dapat menggunakannya
untuk menyelesaikan masalah. Peneliti mengorientasikan siswa terhadap
suatu
masalah
dengan
mengajukan
beberapa
pertanyaan
yang
berhubungan dengan kesebangunan. Peneliti mengambil kertas berbentuk
58
persegi dan senter. Kemudian menghidupkan senter dan mengarahkan
cahaya senter tepat pada kertas tersebut sehingga pada papan tulis (white
board) terbentuk bayang-bayang dari kertas.
b) Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Peneliti memberikan informasi bahwa sebelum pembelajaran
dilanjutkan maka siswa akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Untuk
menghemat waktu maka siswa diminta untuk berkelompok sesuai dengan
kelompok pada pertemuan sebelumnya dan diharapkan setiap siswa aktif
dalam diskusi bersama kelompoknya masing-masing. Setelah siswa
bergabung dengan kelompoknya masing-masing, peneliti dibantu guru dan
pengamat membagikan LKS serta alat dan bahan yang sudah dipersiapkan
oleh peneliti sebagai media diskusi seperti: kertas manila, senter, model
persegi panjang, penggaris, busur derajat, boardmarker dan lem. Selain
itu, peneliti juga memberikan informasi bahwa untuk meningkatkan
keaktifan siswa maka peneliti akan membagi tugas masing-masing
kelompok. Pembagian tersebut yaitu, kelompok 1, 2, 3, 4 bertugas
mempresentasikan hasil diskusinya, sedangkan kelompok 5, 6, 7, 8
bertugas menanggapi hasil presentasi kelompok. Diharapkan setiap
kelompok untuk mempersiapkan diri dan setiap siswa yang aktif akan
mendapatkan penghargaan atau hadiah dari peneliti. Selanjutnya siswa
diminta untuk mencermati masalah pada LKS dan memulai diskusi
bersama kelompoknya masing-masing.
59
c) Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Sebagian besar siswa mempersiapkan alat dan bahan yang telah
dibagi dan memulai penyelidikan. Suasana kelas pada pertemuan kali ini
lebih ramai dibandingkan pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Peneliti
dan guru berkeliling untuk mengamati dan membimbing penyelidikan
setiap kelompok. Peneliti membimbing penyelidikan secara terus-menerus
dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Setiap anggota kelompok
terlihat saling berbagi tugas antara satu sama lain. Peneliti menghampiri
sebuah kelompok yang terlihat sibuk tetapi belum menampakkan hasil.
Kemudian peneliti membimbing kelompok tersebut untuk berbagi tugas
antar anggota. Satu siswa memegang kertas manila, satu siswa memegang
model persegi panjang, satu siswa menyalakan senter, satu siswa
menepatkan jarak dengan penggaris, dan satu siswa menggambar
bayangannya. Selanjutnya, cara menjiplak bayangannya yaitu dengan
memberikan tanda pada titik-titik sudut dari bayangannya terlebih dahulu,
kemudian baru dibuat garis sisinya. Penjelasan seperti itu terjadi sampai
beberapa kali, bahkan pada salah satu kelompok peneliti ikut serta dalam
penyelidikan untuk menyalakan senter. Hal ini disebabkan kelompok
hanya terdiri dari 4 siswa. Setelah penyelidikan selesai, peneliti
menginstruksikan agar segera dilanjutkan menganalisis untuk nomer 3 dan
menyimpulkan untuk nomer 4. Peneliti mengamati hasil penyelidikan
kelompok lain.
60
Gambar 6. Kerjasama kelompok dalam penyelidikan
d) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Waktu diskusi telah selesai, peneliti meminta setiap kelompok
mengumpulkan hasil pekerjaannya. Peneliti menegaskan kembali bahwa
kelompok 1, 2, 3, 4 yang bertugas presentasi sedangkan kelompok 5, 6, 7,
8 yang bertugas menanggapi hasil presentasi. Peneliti mempersilahkan
kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Seorang siswa
perwakilan dari kelompok 1 ke depan kelas untuk presentasi. Setelah
presentasi kelompok 1 selesai, peneliti mempersilahkan kelompok yang
mau menanggapi. Salah satu siswa dari kelompok 8 mengangkat tangan.
Peneliti mempersilahkan siswa tersebut untuk mulai mengajukan
pertanyaan atau pendapat. Ia berpendapat “ Kesimpulan dari kelompok 1
menyatakan sisi-sisi yang bersesuaian antara model persegi panjang
dengan bayangannya sebanding. Tetapi mengapa pada hasil penyelidikan
diperoleh panjang dan lebar masing-masing adalah 25 cm x 14 cm dan 20
cm x 10 cm yang tidak sebanding?”. Setelah pertanyaan dari kelompok 8
selesai disampaikan, peneliti mempersilahkan kelompok 1 untuk
menjawab pertanyaan. Perwakilan kelompok 1 yang berada di depan kelas
61
hanya diam dan tersenyum. Kemudian peneliti mempersilahkan anggota
kelompok 1 yang lain untuk menjawab. Salah satu anggota kelompok
menjawab dan menyatakan bahwa mereka keliru dalam penyelidikan.
Kemudian peneliti berusaha memperjelas jawaban dari kelompok 1 bahwa
kemungkinan mereka kurang akurat dalam menjiplak bayangan,
mengarahkan senter, atau meletakkan model persegi. Setelah selesai
kemudian peneliti mempersilahkan kelompok lain untuk presentasi. Salah
satu siswa perwakilan kelompok 2 ke depan kelas dan mempresentasikan
hasil diskusinya. Setelah presentasi selesai, peneliti mempersilahkan
kelompok yang mau menanggapi. Kelompok 5 mengajukan pertanyaan
yang pada intinya sama dengan pertanyaan dari kelompok 8, yaitu
kelompok 2 menyimpulkan sisi-sisi yang bersesuaian antara model persegi
panjang dengan bayangannya sebanding. Tetapi pada hasil penyelidikan
diperoleh panjang dan lebar masing-masing adalah 31 cm x 14 cm dan 20
cm x 10 cm yang tidak sebanding. Kemudian perwakilan dari kelompok 2
yang berada di depan kelas menjawab “ Mungkin penyelidikan kami
kurang akurat, misalkan panjang bayangannya dibulatkan menjadi 30 cm
dan lebarnya 15 cm maka sisi yang bersesuaian akan memiliki
perbandingan yang sama”. Setelah kelompok 2 selesai menjawab, peneliti
memberikan pujian karena bisa mempertahankan jawaban mereka. Peneliti
mempersilahkan perwakilan kelompok 2 untuk kembali ke tempat
duduknya dan mempersilahkan perwakilan dari kelompok lain untuk
presentasi. Salah satu siswa perwakilan dari kelompok 3 kedepan kelas
62
untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Setelah presentasi kelompok 3
selesai. Peneliti memperkirakan waktu presentasi sudah habis dan
memutuskan untuk mengevaluasi hasil pekerjaan kelompok 3 secara
bersama-sama.
Gambar 7. Contoh hasil diskusi kelompok 1 dan kelompok 3
e) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Evaluasi hasil pekerjaan dari kelompok 3 sekaligus untuk menarik
kesimpulan akhir. Peneliti mengukur panjang dan lebar bayangan hasil
penyelidikan dari kelompok 3. Ukurannya sudah termasuk akurat, walau
hanya kurang beberapa milimeter. Peneliti kemudian melanjutkan
menganalisis untuk nomer 3 dan menyimpulkan untuk nomer 4. Hasil
analisis kelompok 3 sudah benar sehingga dapat menarik kesimpulan yang
benar juga. Peneliti bersama-sama dengan siswa menyimpulkan syarat dua
bangun yang sebangun dan memberikan kesempatan pada siswa untuk
mencatat serta bertanya apabila masih ada yang kurang jelas.
Peneliti meminta siswa untuk kembali ke tempat duduknya semula.
Setelah semua siswa telah kembali ke tempat duduknya, peneliti memberi
informasi bahwa akan diberikan latihan soal kepada siswa untuk
63
dikerjakan secara individu dan kemudian dikumpulkan. Waktu pengerjaan
selama 20 menit dan dilanjutkan pembahasan. Latihan soal terdiri dari 4
soal pemahaman konsep. Peneliti mulai membagikan lembar soal latihan.
Tiap meja mendapatkan 1 lembar soal dan jawaban ditulis di lembaran
masing-masing siswa. Sebelum siswa mulai mengerjakan soal, peneliti
menegaskan kembali bahwa sebelum menjawab harus diidentifikasi
terlebih dahulu apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari masalah
tersebut, apakah perlu dituliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanya
atau tidak. Saat pengerjaan soal, suasana kelas tenang. Peneliti berkeliling
mengamati proses mengerjakan setiap siswa. Setelah batas waktu berakhir,
peneliti meminta siswa mengumpulkan hasil pekerjaannya. Keseluruhan
siswa terlihat telah mengerjakan secara tuntas. Setelah mengumpulkan,
peneliti mulai membimbing pembahasan soal. Pembahasan soal hanya
untuk nomer 3 dan 4 saja karena waktu akan segera habis. Tidak lama
kemudian bel berbunyi. Peneliti menutup pembelajaran dengan salam.
Pada pertemuan 1 siklus II, lebih banyak siswa yang mulai mampu
memahami masalah pada LKS. Peneliti tidak memberikan bimbingan
kepada keseluruhan siswa secara bersama-sama di depan kelas, tetapi
hanya memberikan bimbingan individual kepada kelompok tertentu yang
di anggap belum paham. Selain itu, setiap kelompok sudah mulai mampu
menyimpulkan sendiri sebuah konsep dari suatu pokok bahasan
berdasarkan penyelidikan yang mereka lakukan dengan bantuan LKS dan
dengan bahasa mereka sendiri. Mereka juga sudah mulai terbuka untuk
64
bertukar pendapat dan bekerjasama dengan teman satu kelompok dalam
menyelesaikan masalah. Siswa sudah berani menyajikan hasil diskusinya.
Mereka mau mempresentasikan hasil diskusinya dengan sukarela tanpa
menunggu ditunjuk oleh peneliti. Siswa juga sudah mulai berani
menanggapi jawaban teman serta menganalisis dan mengevaluasi hasil
penyelesaian. Bahkan sempat terjadi tanya jawab antar siswa saat
presentasi. Hasil analisis dari latihan soal yang dikerjakan oleh siswa,
dapat diketahui bahwa sebanyak 89,74% siswa mampu menyatakan ulang
syarat dua bangun yang sebangun, sebanyak 92,30% siswa mampu
mengklasifikasikan pasangan sisi dan sudut dari dua bangun ke dalam
syarat kesebangunan, sebanyak 89,74% siswa mampu memilih contoh dan
bukan contoh dari dua bangun yang sebangun, dan sebanyak 82,05% siswa
mampu menunjukkan syarat perlu atau syarat cukup dari dua bangun yang
sebangun.
2) Pertemuan 2
Pertemuan 2 siklus II dilaksanakan pada hari Kamis, 7 Agustus
2008 pukul 09.55 WIB sampai dengan pukul 11.15 WIB . Pukul 09.55
guru dan peneliti memasuki ruang kelas dan mengucapkan salam.
Kemudian guru menginstruksikan siswa untuk duduk tenang di tempat
masing-masing dan mengecek kehadiran siswa. Jumlah siswa yang hadir
sebanyak 39 orang, seorang siswa tidak hadir karena masih sakit.
Selanjutnya peneliti mulai membimbing pembelajaran, sementara guru dan
65
pengamat lain duduk di barisan belakang bersama siswa. Langkah
pembelajaran selanjutnya adalah sebagai berikut:
a) Mengorientasikan siswa pada masalah
Peneliti menyampaikan topik materi pembelajaran yang akan
dipelajari yaitu syarat dua segitiga sama dan sebangun dan diharapkan
siswa dapat memahami dua segitiga sama dan sebangun dan dapat
menyebutkan syaratnya serta dapat menggunakannya untuk menyelesaikan
masalah. Selanjutnya peneliti melakukan tanya jawab dengan keseluruhan
siswa secara bersama-sama untuk mengorientasikan siswa pada suatu
masalah yang berhubungan dengan kekongruenan segitiga.
b) Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Peneliti memberikan informasi bahwa sebelum pembelajaran
dilanjutkan maka siswa akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Untuk
menghemat waktu maka siswa diminta untuk berkelompok sesuai dengan
kelompok pada pertemuan sebelumnya dan diharapkan setiap siswa aktif
dalam diskusi bersama kelompoknya masing-masing. Setelah siswa
bergabung dengan kelompoknya masing-masing, kemudian peneliti
dibantu guru dan pengamat membagikan LKS serta alat dan bahan yang
sudah dipersiapkan oleh peneliti seperti: kertas manila, mika yang
bergambar sketsa tiang rangka jembatan berbentuk segitiga, boardmarker,
gunting, lem, penggaris dan busur derajat. Selain itu, peneliti juga
memberikan informasi bahwa untuk meningkatkan keaktifan siswa maka
peneliti akan membagi tugas masing-masing kelompok seperti pertemuan
66
sebelumnya.
Pembagian
tugas
adalah
kebalikan
dari
pertemuan
sebelumnya yaitu, kelompok 5, 6, 7, 8 bertugas mempresentasikan hasil
diskusinya, sedangkan kelompok 1, 2, 3, 4 bertugas menanggapi hasil
presentasi kelompok. Diharapkan setiap kelompok untuk mempersiapkan
diri dan setiap siswa yang aktif akan mendapatkan penghargaan atau
hadiah dari peneliti. Selanjutnya siswa diminta untuk mencermati masalah
dalam LKS dan memulai diskusi bersama kelompoknya masing-masing.
c) Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Siswa mulai mendiskusikan masalah pada LKS. Mereka terlihat
sudah terbiasa dengan masalah-masalah yang diberikan pada awal
pembelajaran. Tanpa instruksi dari peneliti untuk memulai, mereka
langsung membaca perintah yang ada di LKS dan melakukannya. Masingmasing siswa dari setiap kelompok terlihat aktif dengan tugasnya. Peneliti
berkeliling untuk melihat hasil pekerjaan tiap kelompok. Peneliti berhenti
menghampiri salah satu kelompok dan bertanya “ Apa masih ada
kesulitan?”. Salah satu siswa menjawab “ Tidak pak, ini kan seperti
kemarin”. Kemudian peneliti kembali berkeliling untuk mengamati hasil
pekerjaan kelompok lain. Setiap kelompok kelihatan sudah paham dengan
langkah penyelidikan yang tertulis di LKS, sehingga ketika peneliti
menanyakan kepada tiap kelompok mengenai kesulitan yang dihadapi,
siswa menjawab tidak ada kesulitan. Setelah beberapa menit, peneliti
melihat 3 kelompok sudah sampai pada kesimpulan. Kemudian peneliti
mengajukan pertanyaan kepada keseluruhan siswa secara bersama-sama
67
“Apa sudah bisa dilanjutkan presentasi?”. Beberapa siswa menjawab
“Belum pak, tinggal sedikit lagi”. Peneliti memperkirakan waktu diskusi
sudah cukup, kemudian meminta setiap kelompok untuk mengumpulkan
hasil pekerjaannya.
Gambar 8. Siswa berdiskusi dalam kelompok
d) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Peneliti meminta secara sukarela diantara kelompok 5, 6, 7, dan 8
yang bersedia mempresentasikan hasil diskusinya sedangkan kelompok 1,
2, 3, dan 4 bersiap untuk menanggapi hasil presentasi. Seorang siswa
perwakilan dari kelompok 8 ke depan kelas untuk presentasi. Setelah
presentasi kelompok 8 selesai, peneliti mempersilahkan kelompok yang
mau menanggapi. Seorang siswa dari kelompok 2 mengangkat tangan.
Peneliti mempersilahkan siswa tersebut untuk mulai mengajukan
pertanyaan atau pendapat. Ia berpendapat “ Hasil pekerjaan dari kelompok
8 sudah benar sehingga mendapatkan kesimpulan yang benar, seperti
punya kelompok kami”. Peneliti memberikan pujian atas tanggapan positif
dari kelompok 2. Peneliti mempersilahkan kelompok lain yang mungkin
akan memberi tanggapan negatif. Karena tidak ada yang mau menanggapi
68
lagi, peneliti mempersilahkan kelompok lain yang akan presentasi. Salah
satu siswa perwakilan dari kelompok 5 ke depan kelas untuk presentasi.
Saat presentasi akan dimulai, peneliti melihat kelompok 2 saling bercanda
dan mengganggu presentasi. Peneliti berusaha untuk menegur dan
menasehati.
Setelah
mempersilahkan
untuk
suasana
kelas
melanjutkan
kembali
presentasi.
tenang,
Setelah
peneliti
presentasi
kelompok 5 selesai, peneliti mempersilahkan kelompok yang mau
menanggapi. Seorang siswa dari kelompok 3 mengangkat tangan. Peneliti
mempersilahkan siswa tersebut untuk mulai mengajukan pertanyaan atau
pendapat. Ia bertanya “ Kesimpulan dari kelompok 5 yaitu, sisi yang
bersesuaian sebanding dan sudut yang bersesuaian sama besar. Apa sudah
benar?”. Peneliti mempersilahkan kepada kelompok 5 untuk menjawab
pertanyaan. Perwakilan dari kelompok 5 menjelaskan ” Karena sisi-sisinya
berhimpit, jadi sisi yang bersesuaian sebanding”. Peneliti bertanya “
Apakah kelompok 3 puas dengan penjelasan tadi atau tambah bingung?”.
Anggota kelompok 3 kelihatan tambah bingung lalu berpendapat “ Tapi
kok sebanding, bukannya sama panjang?”. Kemudian peneliti mengambil
alih dan berusaha memperjelas masalah agar kelompok 5 mengetahui
kesalahan mereka. Peneliti bertanya kepada kelompok 5 “ Sebutkan syarat
dua bangun yang kongruen?”. Seorang siswa menjawab “ Sisi-sisi yang
bersesuaian sebanding dan sudut yang bersesuain sama besar”. Kemudian
peneliti melanjutkan pertanyaan “ Sebutkan syarat dua bangun yang
sebangun?”. Setelah ada pertanyaan tersebut kelompok 5 menjadi bingung.
69
Mereka baru sadar jika yang mereka sebutkan adalah syarat dua bangun
yang sebangun. Kemudian peneliti meminta kelompok 5 untuk menuliskan
di papan tulis apa perbedaan syarat antara dua bangun yang kongruen
dengan dua bangun yang sebangun serta memberi penjelasan dengan
contoh gambarnya.
Gambar 9. Siswa mempresentasikan hasil diskusi
e) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Seorang siswa dari kelompok 5 menulis serta menjelaskan.
Selanjutnya peneliti membahas serta menegaskan kembali perbedaan
syarat antara dua bangun yang kongruen dengan dua bangun yang
sebangun. Setelah siswa sudah paham, peneliti bersama-sama dengan
siswa menyimpulkan syarat dua segitiga sama dan sebangun (kongruen)
dan memberikan kesempatan pada siswa untuk mencatat serta bertanya
apabila masih ada yang kurang jelas. Seorang siswa bertanya ” Berarti
syarat dua bangun yang kongruen dan syarat dua segitiga yang kongruen
sama pak?”. Peneliti menjawab ” Iya, pada intinya sama. Tapi pada
pertemuan selanjutnya nanti, lebih mendalam akan dibahas sifat-sifat dua
segitiga yang kongruen”.
70
Peneliti meminta siswa untuk kembali ke tempat duduknya semula.
Setelah semua siswa telah kembali ke tempat duduknya, peneliti memberi
informasi bahwa akan diberikan latihan soal kepada siswa untuk
dikerjakan secara individu dan kemudian dikumpulkan. Waktu pengerjaan
selama 20 menit dan dilanjutkan pembahasan. Latihan soal terdiri dari 3
soal pemahaman konsep. Peneliti mulai membagikan lembar soal latihan.
Tiap meja mendapatkan 1 lembar soal dan jawaban ditulis di lembaran
masing-masing siswa. Sebelum siswa mulai mengerjakan soal, peneliti
menegaskan kembali bahwa sebelum menjawab harus diidentifikasi
terlebih dahulu apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari masalah
tersebut, apakah perlu dituliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanya
atau tidak.. Saat siswa mengerjakan soal, peneliti berkeliling mengamati
proses mengerjakan setiap siswa. Setelah batas waktu berakhir, peneliti
meminta siswa mengumpulkan hasil pekerjaannya. Keseluruhan siswa
terlihat telah mengerjakan secara tuntas. Setelah mengumpulkan, peneliti
mulai membimbing pembahasan soal. Tiga soal selesai di bahas. Tidak
lama kemudian bel berbunyi. Peneliti menutup pembelajaran dengan
salam.
Pada pertemuan 2 siklus II, sebagian besar siswa sudah mulai
mampu memahami masalah pada LKS. Walaupun belum semua siswa
mampu, namun sudah lebih banyak dari pertemuan sebelumnya. Peneliti
tidak memberikan bimbingan kepada keseluruhan siswa secara bersamasama di depan kelas, tetapi hanya ke beberapa kelompok yang belum jelas.
71
Selain itu, setiap kelompok sudah mampu menyimpulkan sendiri sebuah
konsep dari suatu pokok bahasan berdasarkan penyelidikan yang mereka
lakukan dengan bantuan LKS. Dalam diskusi, mereka sudah terbuka untuk
bertukar pendapat dan bekerjasama dalam menyelesaikan masalah.
Sebagian besar siswa sudah berani menyajikan hasil diskusinya. Bahkan
beberapa siswa mau mempresentasikan hasil diskusi tanpa menunggu
kesepakatan kelompoknya. Siswa sudah berani menanggapi jawaban
teman. Bahkan sempat terjadi tanya jawab antar siswa saat presentasi.
Siswa juga sudah aktif menganalisis dan mengevaluasi hasil penyelesaian.
Hasil analisis dari latihan soal yang dikerjakan oleh siswa, dapat diketahui
bahwa sebanyak 94,87% siswa mampu menyatakan ulang syarat dua
segitiga
yang
kongruen
dan
sebanyak
89,74%
siswa
mampu
mengklasifikasikan pasangan sisi dan sudut dari dua segitiga ke dalam
syarat kekongruenan segitiga.
3) Refleksi
Peneliti berdiskusi dengan guru untuk mengetahui keterlaksanaan
tindakan pada siklus II. Berdasarkan hasil diskusi, pembelajaran sudah
dilaksanakan sebesar 90% dari langkah-langkah pembelajaran berbasis
masalah (problem based learning) yang ditentukan. Dari hasil analisis
latihan soal pada siklus II, dapat diketahui rata-rata persentase siswa untuk
tiap indikator pemahaman konsep matematika, yaitu sebanyak 92,30%
siswa yang mampu menyatakan ulang sebuah konsep, sebanyak 91,02%
siswa yang mampu mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu
72
sesuai dengan konsepnya, sebanyak 89,74% siswa yang mampu memilih
contoh dan bukan contoh dari konsep, dan sebanyak 82,05% siswa yang
mampu menunjukkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep.
Hal di atas sudah memenuhi indikator keberhasilan yang ditentukan
sehingga tindakan dihentikan pada siklus II dan dilanjutkan dengan tes
siklus II untuk mengukur dan menunjukkan ada atau tidak ada peningkatan
pamahaman konsep siswa dalam menyelesaikan masalah.
4) Tes siklus II
Tes siklus II dilaksanakan pada hari Jumat, 8 Agustus 2008 pukul
08.20 WIB sampai dengan pukul 09.00 WIB. Waktu penyelesaian soalsoal tes direncanakan selama 40 menit. Jumlah soal sebanyak 5 soal
pemahaman konsep yang terdiri dari : soal menyatakan ulang sebuah
konsep kesebangunan, soal mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat
tertentu sesuai dengan konsep kesebangunan, soal memilih contoh dan
bukan contoh dari konsep kesebangunan, dan soal menunjukkan syarat
perlu atau syarat cukup dari suatu konsep kesebangunan. Sebagian besar
siswa tampak antusias dan bersemangat saat mengerjakan soal sehingga
suasana kelas menjadi tenang. Sebelum siswa mengerjakan soal-soal,
peneliti menegaskan kembali bahwa siswa diminta untuk menggunakan
langkah penyelesaian masalah yang benar seperti yang telah dipelajari
pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Peneliti sesekali berkeliling untuk
mengawasi kegiatan siswa.
73
Berikut salah satu hasil jawaban siswa pada siklus II :
Gambar 10. Contoh hasil jawaban siswa pada tes siklus II
B. Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian ini berupa deskripsi pelaksanaan pembelajaran
yang telah diuraikan sebelumnya serta data nilai tes tertulis siklus I dan tes
tertulis siklus II siswa serta hasil analisisnya yang digunakan untuk
mengetahui tingkat pemahaman konsep matematika siswa.
Berikut hasil nilai tes tertulis siklus I dan tes tertulis siklus II siswa.
(Untuk hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran C.16, halaman 181 –
182).
74
Tabel 7. Daftar nilai tes tertulis siklus I dan tes tertulis siklus II siswa
Keterangan
Nilai tes siklus I
Nilai tes siklus II
Rata-rata
80,1
85,84
Standar deviasi
9,69
8,39
Maksimum
100
100
Minimum
56
52
Jangkauan
44
48
Di bawah rata-rata/persentase
25 / 64,1%
18 / 46,15%
Di atas rata-rata/persentase
14 / 35,89%
21 / 53,84%
Total meningkat/persentase
26 / 66,67%
Keterangan : skor minimal 0, skor maksimal 100
Berdasarkan tabel 7, nilai tes tertulis siklus II mengalami
peningkatan dibandingkan nilai tes tertulis siklus I. Akan tetapi, masih ada
beberapa siswa yang memperoleh nilai tes tertulis siklus II lebih rendah
dari pada nilai tes tertulis siklus I. Nilai tertinggi yang diperoleh siswa saat
pelaksanaan tes tertulis siklus I adalah 100 dan untuk nilai terendahnya
adalah 56. Pada pelaksanaan tes tertulis siklus II nilai tertinggi yang
diperoleh siswa adalah 100 dan nilai terendahnya adalah 52. Nilai rata-rata
untuk tes tertulis siklus I adalah 80,1, sedangkan untuk tes tertulis siklus II
adalah 85,84. Pada pelaksanaan tes tertulis siklus I, siswa yang
memperoleh nilai di atas nilai rata-rata sebanyak 14 siswa (35,89%),
sedangkan 25 siswa (64,1%) memperoleh nilai di bawah nilai rata-rata.
Pada pelaksanaan tes tertulis siklus II, siswa yang memperoleh nilai di atas
nilai rata-rata sebanyak 21 siswa (53,84%), sedangkan 18 siswa (46,15%)
memperoleh nilai di bawah nilai rata-rata. Siswa yang mengalami
75
peningkatan nilai dari tes tertulis siklus I ke siklus II sebanyak 26 siswa
(66,67%). Standar deviasi hasil tes tertulis siklus I ke tes tertulis siklus II
mengalami penurunan, yaitu dari 9,69 menjadi 8,39.
Untuk mengetahui tingkat pemahaman konsep matematika siswa
dengan lebih akurat, maka perlu dilakukan analisis terhadap hasil tes
tertulis siklus I dan tes tertulis siklus II siswa. Analisis hasil tes tertulis
dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tiap indikator keberhasilan
pemahaman konsep matematika siswa. Berikut hasil analisis tes tertulis
siklus I siswa:
Tabel 8. Hasil analisis pemahaman konsep matematika
berdasarkan hasil tes tertulis siklus I siswa
Indikator kemampuan pemahaman konsep
Menyatakan ulang sebuah konsep kesebangunan
Mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu
sesuai dengan konsep kesebangunan
Memberi contoh dan bukan contoh dari konsep
kesebangunan
Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup dari
suatu konsep kesebangunan
Jumlah
siswa
36
35
Persen
tase
92,30%
89,74%
35
89,74%
31
79,48%
Berdasarkan analisis hasil tes tertulis siklus I yang dikerjakan oleh
siswa, sebanyak 36 siswa (92,30%) mampu menyatakan ulang sebuah
konsep
kesebangunan,
sebanyak
35
siswa
(89,74%)
mampu
mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan
konsep kesebangunan, sebanyak 35 siswa (89,74%) mampu memilih
contoh dan bukan contoh dari konsep kesebangunan, dan sebanyak 31
siswa (79,48%) mampu menunjukkan syarat perlu atau syarat cukup dari
76
suatu konsep kesebangunan. Selanjutnya, analisis hasil tes siklus II adalah
sebagai berikut:
Tabel 9. Hasil analisis pemahaman konsep matematika
berdasarkan hasil tes tertulis siklus II siswa
Indikator kemampuan pemahaman konsep
Menyatakan ulang sebuah konsep kesebangunan
Mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu
sesuai dengan konsep kesebangunan
Memberi contoh dan bukan contoh dari konsep
kesebangunan
Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup dari
suatu konsep kesebangunan
Jumlah
siswa
36
37
Persen
tase
92,30%
94,87%
36
92,30%
33
84,61%
Berdasarkan analisis hasil tes tertulis siklus II yang dikerjakan oleh
siswa, sebanyak 36 siswa (92,30%) mampu menyatakan ulang sebuah
konsep
kesebangunan,
sebanyak
37
siswa
(94,87%)
mampu
mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan
konsep kesebangunan, sebanyak 36 siswa (92,30%) mampu memilih
contoh dan bukan contoh dari konsep kesebangunan, dan sebanyak 33
siswa (84,61%) mampu menunjukkan syarat perlu atau syarat cukup dari
suatu konsep kesebangunan.
C. Pembahasan
1. Pelaksanaan Pembelajaran Kooperatif tipe Problem Based Learning.
Pembelajaran kooperatif tipe problem based learning telah
dilaksanakan sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran menurut
Arends (2004: 406), yaitu mengorientasikan siswa pada masalah,
mengorganisasikan siswa untuk belajar, membimbing penyelidikan
77
individual maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil
karya, serta menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan masalah.
Dalam siklus pertama pelaksanaan langkah-langkah problem based
learning masih belum optimal, namun peneliti dan guru selalu berusaha
untuk memperbaiki dan menerapkan pembelajaran sesuai dengan langkah
problem based learning. (Untuk mengetahui hasil observasi pelaksanaan
pembelajaran selengkapnya dapat dilihat pada lampiran C.6 – C.9,
halaman 154 – 165).
Pada tahap mengorientasikan siswa pada masalah, peneliti selalu
menyampaikan topik materi pembelajaran yang akan dipelajari serta
menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai oleh siswa. Peneliti
menghadirkan sebuah masalah nyata yang berhubungan dengan materi
yang akan dipelajari kemudian mengorientasikan siswa terhadap masalah
tersebut melalui tanya jawab. Masalah ini kemudian akan menjadi media
diskusi siswa untuk menemukan konsep dari sebuah pokok bahasan
matematika.
Hal ini sesuai pendapat dari Arends (2004: 391) yang
menyatakan bahwa problem based learning menghadapkan siswa dengan
masalah nyata yang dapat menuntun siswa dalam penyelidikan dan inkuiri.
Berdasarkan
hasil
observasi
pelaksanaan
pembelajaran,
kegiatan
mengorientasikan siswa pada masalah sudah dilakukan peneliti pada setiap
siklus.
Tahap selanjutnya adalah mengorganisasikan siswa untuk belajar.
Pada tahap ini peneliti mengembangkan kemampuan kerjasama dan
78
kolaborasi antar siswa, sesuai dengan salah satu karakteristik problem
based learning menurut Arends (2004: 392) yaitu kolaborasi. Hal ini
diperjelas oleh Ngeow (Nurjanah, 2004: 2) yang menyatakan bahwa dalam
problem based learning siswa bekerjasama di dalam kelompok untuk
mencari solusi pada masalah nyata. Tatang Herman (2006: 4) juga
mengungkapkan salah satu karakteristik problem based learning adalah
memposisikan siswa sebagai self-directed problem solver melalui kegiatan
kolaboratif, sehingga dengan pembelajaran kolaboratif diharapkan siswa
mampu menjadi pembelajar yang mandiri. Berdasarkan hasil observasi
aktivitas siswa, rata-rata aspek motivasi siswa dalam pembelajaran
termasuk dalam kategori tinggi (81,25%).
Pada penelitian ini pengelompokan siswa dilakukan dengan teman
duduk terdekat. Mengacu pada pendapat Arends (2004: 407) yang
menyatakan
bahwa
pengelompokan
tidak
siswa
terdapat
dalam
aturan
problem
baku
based
mengenai
learning,
cara
maka
pengelompokan terdiri dari 4 atau 5 siswa. Hal ini disebabkan beberapa
tugas dalam penyelidikan masalah yang membutuhkan peran dan
kerjasama dari 4 atau 5 siswa. Ternyata pengelompokan tersebut tampak
sekali keefektifannya pada siklus II, karena peran tiap siswa sangat
dibutuhkan dalam penyelidikan sehingga tidak ada siswa yang terlihat
menganggur. Berdasarkan hasil observasi aktivitas siswa, rata-rata aspek
kerjasama siswa termasuk dalam kategori tinggi (75%). Setelah siswa
duduk berkelompok, peneliti dan guru memberikan LKS yang berisi
79
masalah sebagai tindak lanjut dari masalah yang telah diorientasikan oleh
peneliti di awal pembelajaran dan meminta siswa untuk mencermati
masalah serta aktif dalam diskusi bersama kelompoknya.
Tahap selanjutnya adalah membimbing penyelidikan individual
maupun
kelompok.
Pada
tahap
ini
siswa
diharapkan
dapat
mengembangkan pemikiran mereka, menyelesaikan masalah, belajar
berperan sebagai orang dewasa, dan menjadi pembelajar yang independen
serta mandiri (Sugiman, 2006: 7). Berdasarkan hasil observasi aktivitas
siswa, rata-rata aspek tanggung jawab siswa dalam pembelajaran juga
dalam kategori tinggi (75%). Dalam penelitian ini, penyelidikan dilakukan
dalam kelompok. Akan tetapi, setiap siswa juga dituntut untuk dapat
mengeksplorasi berbagai alternatif penyelesaian untuk mendapatkan
sebuah kesimpulan. Selain itu siswa juga dituntut untuk mampu
bekerjasama dalam kelompok untuk mendapatkan penyelesaian. Peneliti
dan guru membimbing dan memberikan arahan kepada kelompok yang
dianggap mengalami kesulitan dan belum mendapatkan penyelesaian.
Guru memotivasi siswa agar tetap aktif dan berani menyampaikan ide
dalam kelompoknya, sesuai peran guru sebagai pemberi masalah,
memfasilitasi investigasi dan dialog, serta memberi motivasi dalam
pembelajaran (Sugiman, 2006: 7).
Berdasarkan hasil observasi pelaksanaan pembelajaran, pada siklus
I peneliti membimbing penyelidikan kepada setiap kelompok. Akan tetapi,
peneliti juga sering memberikan bimbingan kepada keseluruhan siswa
80
secara bersama-sama. Hal ini disebabkan siswa masih kesulitan
memahami masalah yang ada dalam LKS. Penyebab lain adalah waktu
yang digunakan siswa dalam penyelidikan selalu melebihi waktu yang
telah ditentukan. Pada siklus II, bimbingan dan arahan peneliti hanya
diberikan kepada kelompok-kelompok yang dalam pandangan peneliti
benar-benar membutuhkan bantuan. Bimbingan yang diberikan berupa
pertanyaan dan sedikit arahan yang dapat membantu siswa dalam
menyelesaikan dan menyimpulkan, sehingga peneliti hanya memberikan
bimbingan kepada kelompok jika dibutuhkan. Berdasarkan hasil observasi
aktivitas siswa, rata-rata aspek kemandirian siswa dalam kategori tinggi
(81,25%).
Tahap selanjutnya dalam problem based learning adalah
mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Tatang Herman (2006: 4)
mengungkapkan salah satu karakteristik problem based learning adalah
melatih siswa untuk menyajikan temuan, sehingga siswa dituntut untuk
berani mengungkapkan hasil penyelidikan yang mereka peroleh kepada
siswa lain. Berdasarkan hasil observasi pembelajaran, dalam setiap
pertemuan peneliti selalu memberikan kesempatan kepada setiap siswa
untuk mengungkapkan hasil diskusi mereka. Pada siklus I, hanya beberapa
siswa yang berani mempresentasikan hasil diskusi mereka, itupun karena
permintaan dan sedikit paksaan dari guru. Kemudian peneliti dan guru
melakukan diskusi. Hasil diskusi menyimpulkan bahwa untuk menghemat
waktu presentasi serta meningkatkan tanggung jawab setiap siswa dalam
81
presentasi dan analisis, maka kelas dibagi menjadi dua kelompok besar
yang masing-masing bertugas dalam presentasi dan analisis. Setiap
kelompok besar terdiri dari empat kelompok kecil. Pada siklus II,
presentasi hasil diskusi dapat berjalan sesuai dengan perencanaan. Setiap
kelompok yang mempunyai tugas untuk mempresentasikan hasil diskusi
telah berani mengungkapkan hasil diskusi mereka dengan sukarela.
Berdasarkan hasil observasi aktivitas siswa, rata-rata aspek percaya diri
siswa dalam pembelajaran termasuk dalam kategori tinggi (75%).
Setelah pengembangan dan penyajian hasil karya, siswa dengan
bimbingan peneliti menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan
masalah. Berdasarkan hasil observasi pelaksanaan pembelajaran, pada
siklus I belum ada siswa yang berani menanggapi hasil presentasi secara
sukarela. Bahkan hanya beberapa kali siswa mau menanggapi, itupun
karena pertanyaan yang diajukan oleh peneliti menyangkut hasil
presentasi. Tidak jarang pula jawaban ditanggapi secara serentak lebih dari
dua siswa. Keberanian siswa untuk menganalisis atau menanggapi mulai
tampak pada siklus II. Dalam tahap ini, beberapa kali terjadi tanya jawab
antar siswa untuk membahas hasil presentasi. Diskusi berlangsung dengan
bimbingan peneliti. Setelah diskusi selesai, peneliti mengevaluasi hasil
penyelidikan setiap kelompok dan menarik kesimpulan akhir dari
penyelidikan. Hal ini bertujuan untuk merefleksi tentang efektivitas cara
berfikir mereka dalam menyelesaikan masalah (Tatang Herman, 2006: 4).
Berdasarkan hasil observasi pelaksanaan pembelajaran, sebelum menarik
82
kesimpulan akhir dari penyelidikan, peneliti selalu memberi kesempatan
kepada siswa untuk menanyakan materi yang belum dipahami.
Peran peneliti dalam pelaksanaan pembelajaran sudah dilaksanakan
dengan baik, walaupun masih ada peran yang terlihat dominan pada siklus
I yaitu ketika peneliti membantu mengarahkan kepada keseluruhan siswa
secara bersama-sama untuk memulai setiap tahap penyelidikan, sehingga
mengabaikan kemandirian siswa dalam berfikir dan menyelesaikan
masalah. Akan tetapi, pada siklus II peneliti sudah tidak terlihat dominan
dalam pembelajaran. Peneliti memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengelaborasi kemampuannya dalam pembelajaran, sehingga siswa
sebagai pusat pembelajaran, sedangkan guru hanya membimbing dan
memfasilitasi penyelidikan siswa.
Berdasarkan uraian tersebut sebelumnya, tindakan yang dilakukan
pada pembelajaran kooperatif tipe problem based learning telah dilakukan
berdasarkan
langkah-langkah
pembelajaran
yang
telah
ditetapkan
sebelumnya, sehingga tindakan yang dilakukan dalam pembelajaran telah
memenuhi indikator keberhasilan pelaksanaan pembelajaran kooperatif
tipe problem based learning.
2. Pemahaman Konsep Matematika Siswa
Dalam
pelaksanaan
pembelajaran,
siswa
dituntut
untuk
menyelesaikan sebuah masalah nyata dan menyimpulkannya menjadi
sebuah konsep dari suatu pokok bahasan matematika. Pembelajaran ini
dipandu dengan LKS dan dengan bantuan berbagai alat dan bahan
83
penyelidikan. Pada siklus I, siswa masih mengalami kesulitan dalam
memahami masalah dalam LKS. Mereka juga tampak kebingungan ketika
dalam LKS terdapat perintah untuk menyimpulkan masalah menjadi
sebuah konsep dari pokok bahasan yang dipelajari, sehingga keraguraguan siswa sangat tampak ketika peneliti meminta siswa untuk
mempresentasikan hasil penyelidikan mereka di depan kelas. Pada siklus
II, siswa sudah mulai terbiasa untuk memahami masalah dalam LKS.
Berdasarkan hasil observasi aktivitas siswa, persentase semangat siswa
dalam membangun pemahaman dalam kategori tinggi (68,75%). Mereka
telah berani menggunakan kalimat mereka sendiri ketika menyimpulkan
masalah menjadi sebuah konsep suatu pokok bahasan matematika.
Kepercayaan diri mereka juga semakin terlihat ketika mempresentasikan
hasil penyelidikannya di depan kelas.
Setelah siswa menyimpulkan sebuah konsep dari suatu pokok
bahasan yang telah dipelajari, selanjutnya mereka diharapkan untuk
mampu memahami konsep tersebut. Dalam penelitian ini, siswa diarahkan
untuk menguasai indikator pemahaman konsep sebagai hasil belajar
matematika sesuai petunjuk teknis peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas
tentang penilaian perkembangan anak didik SMP, yaitu menyatakan ulang
sebuah konsep, mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu
sesuai dengan konsepnya, memilih contoh dan bukan contoh dari konsep,
dan menunjukkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep (Sri
Wardani, 2006: 4).
84
Indikator kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Siswa mampu menyatakan ulang sebuah konsep kesebangunan.
b. Siswa mampu mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu
sesuai dengan konsep kesebangunan.
c. Siswa mampu memilih contoh dan bukan contoh dari konsep
kesebangunan.
d. Siswa mampu menunjukkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu
konsep kesebangunan.
Berdasarkan analisis hasil latihan soal siswa pada pertemuan 1 dan
pertemuan 2 siklus I, kemampuan pemahaman konsep matematika siswa
sudah dalam kategori baik untuk beberapa indikator, tetapi masih perlu
ditingkatkan. (Untuk mengetahui hasil analisis latihan soal selengkapnya
dapat dilihat pada lampiran C.14 – C.15, halaman 179 – 180). Pada
pertemuan 1 dan pertemuan 2 siklus I, persentase rata-rata jumlah siswa
yang mampu menyatakan ulang sebuah konsep adalah 80,76%, siswa yang
mampu mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai
dengan konsepnya adalah 80,76%, siswa yang mampu memilih contoh dan
bukan contoh dari konsep adalah 94,87%, dan siswa yang mampu
menunjukkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep adalah
64,1%.
Analisis hasil latihan soal siswa menunjukkan pemahaman konsep
matematika siswa pada pertemuan 1 dan pertemuan 2 siklus II sudah
85
mengalami peningkatan dibandingkan pada siklus I. Pada pertemuan 1 dan
pertemuan 2 siklus II, persentase rata-rata jumlah siswa yang mampu
menyatakan ulang sebuah konsep adalah 92,30%, siswa yang mampu
mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan
konsepnya adalah 91,02%, siswa yang mampu memilih contoh dan bukan
contoh dari konsep adalah 89,74%, dan siswa yang mampu menunjukkan
syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep adalah 82,05%.
Berdasarkan hasil tes tertulis siklus yang telah dilaksanakan,
sebagian besar siswa mengalami peningkatan nilai pada tes tertulis siklus
II meskipun ada beberapa siswa yang mengalami penurunan dari nilai tes
tertulis siklus I. Berikut persentase nilai tes tertulis siklus I siswa :
0 - 59
3%
0 - 59
80 - 100
51%
60 - 79
46%
60 - 79
80 - 100
Gambar 11. Persentase hasil tes tertulis siklus I siswa
Seorang siswa (3%) memperoleh nilai kurang dari 59, sebanyak 18
siswa (46%) memperoleh nilai antara 60 – 79, dan sebanyak 20 siswa
(51%) yang memperoleh nilai minimal 80. Hasil tersebut berbeda dengan
nilai yang diperoleh siswa dalam tes tertulis siklus II. Berikut persentase
nilai tes tertulis siklus II siswa:
86
0 - 59 60 - 79
3%
8%
0 - 59
60 - 79
80 - 100
80 - 100
89%
Gambar 12. Persentase hasil tes tertulis siklus II siswa
Persentase siswa yang memperoleh nilai antara 80 – 100 yaitu 89%
atau sebanyak 35 siswa, lebih banyak dibandingkan persentase siswa yang
memperoleh skor di bawah 80 yaitu 11% atau sebanyak 4 siswa.
Persentase siswa yang memperoleh nilai antara 60 – 79 pada saat tes
tertulis siklus I sebanyak 46%, menurun menjadi 8% saat tes tertulis siklus
II. Sedangkan persentase siswa yang memperoleh nilai antara 80 – 100
pada saat tes tertulis siklus I sebanyak 51%, meningkat menjadi 89% saat
tes tertulis siklus II.
87
Berikut grafik nilai hasil tes tertulis siklus I dan tes tertulis siklus II
siswa :
120
Nilai Tes
100
80
60
40
20
0
1
4
7
10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Siswa
Nilai Tes Siklus I
Nilai Tes Siklus II
Gambar 13. Grafik nilai tes tertulis siklus I dan tes tertulis siklus II siswa
Nilai rata-rata tes tertulis siklus I adalah 80,1, sedangkan nilai ratarata untuk tes tertulis siklus II adalah 85,84 dan berada dalam kategori
baik. Ini menunjukkan peningkatan nilai rata-rata tes siswa sebesar 5,74.
Sebanyak 26 siswa (66,67%) mengalami peningkatan nilai dari tes tertulis
siklus I ke tes tertulis siklus II. Standar deviasi hasil tes tertulis siklus I ke
tes tertulis siklus II mengalami penurunan, yaitu dari 9,69 menjadi 8,39.
Hal ini menunjukkan, setelah mengikuti proses pembelajaran variasi
pemahaman konsep matematika siswa relatif sama atau homogen. Dengan
demikian, setelah mengikuti pembelajaran kooperatif tipe problem based
learning pemahaman konsep sebagian besar siswa relatif sama atau
homogen.
88
Analisis hasil tes tertulis siklus menunjukkan pemahaman konsep
matematika siswa pada tes tertulis siklus II telah mengalami peningkatan
dibandingkan tes tertulis siklus I. (Untuk hasil analisis selengkapnya dapat
dilihat pada lampiran C.17, halaman 183). Berikut grafik persentase
indikator-indikator pemahaman konsep matematika siswa berdasarkan
hasil tes tertulis siklus I dan tes tertulis siklus II siswa:
100
Persentase
95
90
Siklus I
85
Siklus II
80
75
70
A
B
C
D
Indikator pemahaman konsep matematika
Gambar 14. Grafik persentase indikator-indikator pemahaman konsep
matematika
Keterangan:
A = menyatakan ulang sebuah konsep kesebangunan
B = mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan
konsep kesebangunan
C = memilih contoh dan bukan contoh dari konsep kesebangunan
D = menunjukkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep
kesebangunan
Grafik di atas menunjukkan, bahwa persentase jumlah siswa yang
mampu menyatakan ulang sebuah konsep kesebangunan pada tes tertulis
siklus I adalah 92,30%, sedangkan pada tes tertulis siklus II adalah
92,30%, sehingga tetap. Siswa yang mampu mengklasifikasikan objek
menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan konsep kesebangunan pada tes
89
tertulis siklus I adalah 89,74%, sedangkan pada tes tertulis siklus II adalah
94,87%, sehingga meningkat 5,13%. Siswa yang mampu memilih contoh
dan bukan contoh dari konsep kesebangunan pada tes tertulis siklus I
adalah 89,74%, sedangkan pada tes tertulis siklus II adalah 92,30%,
sehingga meningkat 2,56%. Siswa yang mampu menunjukkan syarat perlu
atau syarat cukup dari suatu konsep kesebangunan pada tes tertulis siklus I
adalah 79,48%, sedangkan pada tes tertulis siklus II adalah 84,61%,
sehingga meningkat 5,13%. Rata-rata persentase indikator pemahaman
konsep matematika siswa mengalami peningkatan, yaitu sebesar 87,82%
pada tes tertulis siklus I menjadi 91,02% pada tes tertulis siklus II.
Berdasarkan data nilai tes tertulis siklus I dan tes tertulis siklus II
siswa serta hasil analisis tersebut, pemahaman konsep matematika siswa
mengalami peningkatan dari satu siklus ke siklus selanjutnya dan dengan
kualifikasi nilai rata-rata kelas mencapai kategori baik. Dengan demikian,
pelaksanaan tindakan telah memenuhi indikator keberhasilan pemahaman
konsep matematika siswa yang telah ditetapkan.
90
D. Keterbatasan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini masih mengandung
keterbatasan. Keterbatasan tersebut adalah :
1. Pelaksanaan tindakan hanya dilakukan pada satu standar kompetensi dan
dalam jangka waktu kurang dari satu bulan.
2. Penelitian ini tidak mengetahui tes kemampuan awal siswa pada setiap
siklus, sehingga perbedaan keefektifitasan antara siklus I dan siklus II
tidak diketahui.
3. Waktu yang terbatas dalam melakukan refleksi antara peneliti dan guru
karena kesibukan guru dalam mengajar, sehingga refleksi antara peneliti
dan guru tidak dapat dilakukan dengan maksimal.
91
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan
sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe problem based learning di kelas
IX-C SMP N 1 Pacitan dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
a. Guru
mengorientasikan
siswa
terhadap
masalah
nyata
yang
berhubungan dengan materi yang akan dipelajari.
b. Siswa diorganisasikan ke dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 4
atau 5 siswa untuk berdiskusi dan melakukan penyelidikan serta
menyelesaikan masalah yang ada di Lembar Kegiatan Siswa (LKS).
c. Siswa yang
membutuhkan bantuan dalam penyelidikan diberi
bimbingan oleh guru baik secara individual maupun kelompok.
d. Siswa menyajikan hasil penyelidikan mereka untuk mengungkapkan
gagasannya kepada siswa lain.
e. Siswa menganalisis dan mengevaluasi hasil penyelidikan mereka serta
menarik kesimpulan akhir dengan bimbingan guru.
2. Pemahaman konsep matematika siswa kelas IX-C SMPN
1 Pacitan
mengalami peningkatan setelah mengikuti pembelajaran kooperatif tipe
92
problem based learning, khususnya pada materi kesebangunan. Hal ini
ditunjukkan dengan:
a. Nilai rata-rata kelas mengalami peningkatan, yaitu sebesar 80,01 pada
siklus I menjadi 85,84 pada siklus II.
b. Rata-rata persentase indikator pemahaman konsep matematika siswa
mengalami peningkatan, yaitu sebesar 87,82% pada siklus I menjadi
91,02% pada siklus II.
B. Saran
Beberapa saran yang dapat peneliti sampaikan berdasarkan hasil
penelitian ini sebagai berikut :
1. Dalam pembelajaran kooperatif tipe problem based learning, guru
hendaknya lebih mengoptimalkan perannya sebagai mediator dan
fasilitator saat pembelajaran.
2. Pembentukan kelompok dalam pembelajaran kooperatif tipe problem
based learning hendaknya mempertimbangkan kemampuan kognitif yang
dimiliki siswa.
3. Penggunaan alokasi waktu harus efektif dan efisien sehingga setiap
langkah pembelajaran kooperatif tipe problem based learning dapat
dilaksanakan dengan maksimal.
93
DAFTAR PUSTAKA
Anita Lie (2004). Mempraktekkan Cooperatif Learning di Ruang-ruang Kelas.
Jakarta: Grasindo
Arends Richard. (2004). Learning to Teach. New York: Mc Graw Hill Companies
Bell Frederick. (1978). Teaching and Learning Mathematics (In Secondary
School). Iowa: Wm. C. Brown Company Publishers
Depdiknas. (2004). Kurikulum. http://www.puskur.net/inc/si/sma/Matematika.pdf.
Diakses tanggal 15 Januari 2008
Erman Suherman. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika. JICA. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia
Herman
Hudojo. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran
Matematika. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang
_____________ . (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Proyek Pengembangan Pendidikan Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan
HJ Sriyanto. (2006). Menebar Virus Pembelajaran Matematika Yang Bermutu.
Institut Pengembangan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.
http://www.pmri.or.id/artikel/index.php?main=3. Diakses tanggal 15
Januari 2008
Idris Harta. (2006). Pendekatan/Model Pembelajaran Aritmetika dan Matematika
Sekolah Menurut KTSP. Disampaikan pada Seminar Pengembangan
Model-Model Pembelajaran Matematika Sekolah di Universitas Negeri
Yogyakarta, tanggal 14 Oktober 2006
Moh. Uzer Usman. (2004). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Muslimin Ibrahim. (2000). Pembelajaran Koopertif. Surabaya: Universitas Negeri
Surabaya
Nana Sudjana. (1987). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar
Baru Algensindo
___________. (1989). Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung: Sinar Baru Algesindo
94
Nurjanah. (2004). Pembelajaran Berbasis Masalah. Disampaikan pada Pelatihan
Pembelajaran Matematika Jurusan Pendidikan Matematika di
Universitas Negeri Yogyakarta.
Oemar Hamalik. (2004). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Rochiati Wiriaatmadja. (2006). Metodologi Penelitian Tindakan Kelas. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Romberg Thomas. (1989). Curriculum and Evaluation Standard for School
Mathematics. United States of America: The National Council of
Teachers of Mathematics
Sri Wardhani. (2006). Pembelajaran dan Penilaian Kecakapan Matematika di
SMP. Disampaikan pada Diklat Instruktur/Pengembang Matematika
SMP Tingkat Nasional di PPPG Matematika Yogyakarta, tanggal 22
Maret sampai dengan 4 April 2006
Sudarman. (2007). Problem Based Learning: Suatu Model Pembelajaran untuk
Mengembangkan dan Meningkatkan Kemampuan Memecahkan
Masalah. http://www.jurnaljpi.wordpress.com/category/pembelajaranberbasis-masalah - 22k –/. Diakses tanggal 3 November 2007
Sugiman. (2006). Model-Model Pembelajaran Matematika Sekolah. Disampaikan
pada Seminar Pengembangan Model-Model Pembelajaran Matematika
Sekolah di Universitas Negeri Yogyakarta, tanggal 14 Oktober 2006
Sujono. (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta:
Depdiknas
Tatang Herman. (2006). Membangun Pengetahuan Siswa Melalui Pembelajaran
Berbasis Masalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan
Matematika di Universitas Negeri Yogyakarta, tanggal 26 Maret 2006