KUMPULAN KISAH-KISAH TOKOH G30S/PKI
Sumber: Majalah TEMPO dll.
Collect by : Nyamuklagi.multiply.com
1
DAFTAR ISI
1. Seberapa jauh keterlibatan Aidit dalam peristiwa 65 (Hal.5)
2. Sedikit Sejarah Aidit (Hal.11)
3. Aidit, Soeharto, Latief Dan Syam. Siapa lawan,siapa kawan?(Hal.15)
4. Pelarian dan tertangkapnya Aidit (Hal.26)
5. Aidit Tertangkap (Hal.29)
6. Wangsa Aidit (Oleh :Pejalanjauh.com) (Hal.31)
7. Sepenggal Kisah Bersama Ibaruri Aidit (Oleh: Budi Kurniawan)(Hal.56)
8. Drama berdarah 1 Oktober G30S, Konspirasi: Van der Plas Connection (CIA-MI 6),
Dr.Soebandrio - Sam Kamaruszaman - Aidit – Soeharto(Hal.61)
9. Untung, Seorang Penculik atau Boneka Komunis? (Hal.83)
10. Soeharto Pecas Ndahe (Hal.88)
11. Sebuah Kunci Dari Swedia (Hal.94)
12. Gerakan Dengan Tiga Pita (Hal.97)
13. Kisah Perwira Kesayangannya Soeharto (Hal.100)
14. Tjakrabirawa, Dul Arief dan „Madura Connection‟ (Hal.105)
15. Dia Jenderal, Bukan Letnan Kolonel (Hal.108)
16. Kenangan Pernikahan Lelaki Kedung Bajul (Hal.110)
17. Yang Terbaik Lalu Terbalik (Hal.112)
18. Sersan Mayor Boengkoes, Eksekutor Mayjen.M.T.Haryono (Hal.115)
19. Misteri Rekaman Tape (Hal.117)
20. Untung dan Jejaring Diponegoro (Hal.119)
21. Resimen Khusus Tjakrabirawa dan G-30-S (Hal.121)
22. Njoto,Peniup Saksofon di Tengah Prahara (Hal.123)
23. Saat Lek Njot Bersepatu Roda (Hal.124)
24. Pedagang Batik Pembela Republik (Hal.127)
25. Revolusi Tiga Serangkai (Hal.129)
26. Yang Tersisih Dari Riak Samudra (Hal.132)
27. Jalan Curam Skandal Asmara (Hal.135)
28. Soekarnoisme Dan Perempuan Rusia (Hal.138)
29. Merahnya HR, Merahnya Lekra (Hal.141)
30. Serba Kabur di Akhir Hayat (Hal.144)
31. Rahasia Tiga Dasawarsa (Hal.147)
32. Kenangan di Jalan Malang (Hal.150)
33. Secuil Asmara Khong Guan Biscuit (Hal.152)
34. Karena Janji Setia (Hal.155)
2
35. Puisi Pamflet Sang Ideolog (Hal.158)
36. Kalau Sayang, Aturan Dilangkahi (Hal.161)
37. Sjam Kamaruzaman, Anak Tuban dalam Halimun G30S (Hal.164)
38. Lelaki Dengan Lima Alias (Hal.165)
39. Nyanyian God Father Blok III (Hal.167)
40. Intel Penggarap Tentara (Hal.171)
41. Agen Merah Penyusup Tentara (Hal.173)
42. Hamim:Sjam Suka Omong Besar (Hal.175)
43. Perjalanan Preman Tuban (Hal.179)
44. Pathuk, Soeharto, Perkenalan Biasa (Hal.181)
45. Rumah Teralis Bunga Teratai (Hal.184)
46. Akhir Pelarian Sang Buron (Hal.187)
47. Kesaksian Sjam (Oleh :John Roosa) (Hal.190)
48. Jungkir-Balik Setelah Prahara (Hal.193)
49. Peluk Terakhir Buat Sang Putri (Hal.196)
50. Versi Mutakhir G30S (Oleh : Asvi Warman Adam) (Hal.199)
51. Kisah Dokumen Forensik 7 Pahlawan Revolusi (Oleh:Ben Anderson) (Hal.202)
52. Lagi Misteri Mayat Pahlawan Revolusi (Oleh:Teguh Santosa) (Hal.208)
53. Menyingkap Kabut Halim (Oleh: Eduard Lukman) (Hal.221)
54. Omar Dhani Pernah Menerangkan Siapa Designer G30S/PKI (Hal.229)
55. Sekitar G30S, Soeharto, PKI dan TNI-AD (Oleh: Harsutejo) (Hal.232)
56. Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer (Hal.284)
57. Catatan Kronologis G30S/PKI (Oleh:Mayjen. Pranoto Reksosamodra) (Hal.303)
58. G30S PKI Tetap Misteri (Hal.309)
59. Sahabat-Sahabat PKI Saya (Oleh:Wilson) (Hal.319)
60. CIA Terlibat dan Soeharto Tangan yang Dipakai (Oleh:Omar Dhani) (Hal.330)
61. Soebandrio; Kesaksianku Tentang G30S (Hal.335)
62. Kisah 1966 : Dari 10 Januari Menuju 11 Maret (Oleh:Sociopolitica) (Hal.379)
63. Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (Oleh:Sociopolitica) (Hal.397)
64.
65.
66.
67.
Malapetaka Sosiologis Indonesia:PembalasanBerdarah (Oleh:sociopolitical) (Hal.425)
Indonesia:Satu Masa Pada Suatu Wilayah Merah (Oleh:sociapolitica) (Hal.445)
Pidato Presiden Soekarno”Nawaksara” Di SU ke-IV MPRS 22 Juni 1966 (Hal.455)
Menguraikan Simpul-Simpul Rumit (Oleh : Ignas Legowo) (Hal.465)
68. In Memoriam Oei Tjoe Tat (Hal.490)
69. Kesaksian Keluarga Pahlawan Revolusi (Hal.505)
70. Gilchrist Document (Hal.509)
71. Mengapa Bung Karno Tak Mau Memukul Soeharto?(Oleh:Teguh Santosa) (Hal.510)
3
72.
73.
74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
Untuk Kedua Kalinya Istana Merdeka Dikepung Pasukan Soeharto (Hal.512)
Pidato Pertama Gerakan Letkol Untung (English Version) (Hal.514)
Bukti-bukti Dokumen Keterlibatan CIA Dengan Tragedi G30SPKI (Hal.516)
The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967(By:Peter Dale Scott) (Hal.529)
Ex-agents say CIA compiled death lists for Indonesians (By:Kathy Kadane) (Hal.551)
More from Kathy Kadane (Hal.555)
The Indonesian Massacres and the CIA (by:Ralph McGehee) (Hal.557)
A.M.Hanafi Menggugat (Hal.564)
Pledoi Kolonel A.Latief (Hal.740)
Kehormatan bagi yang berhak, Bung Karno tidak terlibat G30S/PKI (Oleh:Manai Sophiaan)
(Hal.753)
82. Soeharto Dalang Pembunuhan Jenderal Achmad Yani? (Hal.877)
4
Seberapa jauh keterlibatan Aidit dalam peristiwa 65
PERISTIWA 42 tahun lalu itu tetap saja masih menjadi tanda tanya keluarga besar Aidit: apa
sebenarnya peran Aidit dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 itu? Peran Aidit dalam
"kup" 30 September 1965 memang masih misteri. Sejumlah sejarawan, juga sejumlah kalangan
militer, yakin PKI dalang penculikan dan pembunuhan tujuh jendral Angkatan Darat. Karena PKI
terlibat, maka Aidit pun, sebagai Ketua Committee Central, dituding sebagai otaknya.
Murad Aidit, adik kandung Aidit, berkisah. Pada "malam berdarah" itu tak ada tanda-tanda atau
kesibukan khusus di rumah Aidit. "Malah saya dipesan mematikan lampu," kata Murad.
Menjelang "peristiwa Gerakan 30 September" itu, Murad memang menginap di rumah Aidit di
Pegangsaan Barat, Jakarta Pusat. Rumah Aidit sepi, "Sampai sekarang saya lebih bisa
menerima tragedi itu karena ada pengkhianat dalam tubuh PKI," katanya. Dia tidak yakin
abangnya yang memerintahkan pembunuhan para jendral.
Aidit mengawali "karier politiknya" dari Asrama Menteng 31, asrama yang dikenal sebagai
"sarang pemuda garis keras" pada awal kemerdekaan. Di tempat ini berdiam, antara lain, Anak
Marhaen Hanafi (pernah menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Kuba), Adam Malik,
Sayuti Melik (pengetik naskah Proklamasi). Para penghuni Menteng 31 sempat menculik
Soekarno dan memaksa si Bung memproklamasikan kemerdekaan Indonesia--sesuatu yang
kemudian ditolak Bung Karno. Di kelompok Menteng 31, Aidit sangat dekat dengan Wikana,
seorang pemuda sosialis.
Aidit disebut-sebut juga berperan dalam pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Pasca
pemberontakan yang gagal itu, ia sempat dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogya. Ketika
terjadi agresi Belanda, ia kabur dari penjara dan tinggal di Vietnam Utara. Tentang
5
kepergiannya ke Vietnam ada pendapat lain. Ada yang menyebut bahwa sebenarnya ia hanya
mondar-mandir Jakarta-Medan.
Yang pasti, pada pertengahan 1950, Aidit, yang saat itu berusia 27 tahun "muncul" lagi.
Bersama M.H. Lukman, 30 tahun, Sudisman, 30 tahun, dan Njoto, 23 tahun, ia memindahkan
kantor PKI dari Yogyakarta ke Jakarta. Bisa dibilang, dalam kurun waktu inilah karier politik Aidit
sesungguhnya dimulai.
Momentum konsolidasi partai terjadi ketika meletus kerusuhan petani di Tanjung Morawa,
Sumatera Utara, 6 Juni 1953. Kerusuhan yang digerakkan kader PKI itu menjatuhkan kabinet
Wilopo. Kesuksesan ini memompa semangat baru ke tubuh partai tersebut.
Bersama "kelompok muda" partai, Aidit menyingkirkan tokoh-tokoh lama partai. Pada Kongres
PKI 1954, pengurus PKI beralih ke generasi muda. Tokoh partai semacam Tan Ling Djie dan
Alimin disingkirkan. Pada kongres itu, Aidit dikukuhkan menjadi Sekretaris Jenderal PKI. Aidit
lantas meluncurkan dokumen perjuangan partai berjudul "Jalan Baru Yang Harus Ditempuh
Untuk Memenangkan Revolusi."
Aidit juga membangun aliansi kekuatan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk
memperkuat PKI. PNI dipilih karena, selain sama-sama anti-Barat, juga ada figur Soekarno
yang bisa dipakai mengatasi tekanan lawan-lawan politik mereka. Puncak kerjasama terjadi
pada masa Sidik Djojosukarto memimpin PNI. Saat itu disepakati bahwa PNI tidak akan
mengganggu PKI dalam rangka membangun partai.
Menurut Ganis Harsono, seorang diplomat senior Indonesia dalam otobiografinya, Cakrawala
Politik Era Soekarno, strategi ini berhasil "menyandera" Bung Karno. Ada kesan bahwa Bung
Karno berdiri di depan PKI, sekaligus memberi citra PKI pendukung revolusi Bung Karno dan
Pancasila.
Kerja keras Aidit membuahkan hasil. Pada Pemilu 1955, PKI masuk "empat besar" setelah PNI,
Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Di masa ini PKI menjadi partai komunis terbesar di negara nonkomunis dan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Cina.
6
PKI terus maju. Pada tahun itu juga partai ini menerbitkan dokumen perjuangan "Metode
Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan." Bentuk pertama, perjuangan gerilya di desa-desa oleh
kaum buruh dan petani. Kedua, perjuangan revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota,
terutama kaum buruh di bidang transportasi. Ketiga, pembinaan intensif di kalangan kekuatan
bersenjata, yakni TNI.
Pada 1964, PKI membentuk Biro Khusus yang langsung dibawahi Aidit sebagai Ketua
Committee Central PKI. Tugas biro ini mematangkan situasi untuk merebut kekuasaan dan
infiltrasi ke tubuh TNI. Biro Chusus Central (demikian namanya) dipimpin Sjam Kamaruzzaman.
Tak sampai setahun, Biro Chusus berhasil menyelusup ke dalam TNI, khususnya Angkatan
7
Darat.
Pada Juli 1965, seiring dengan merebaknya kabar kesehatan Bung Karno memburuk, suhu
politik Tanah Air makin panas pula. Sebuah berita dari dokter RRC yang merawat Presiden
datang: Bung Karno akan lumpuh atau meninggal dunia. Di Jakarta bertiup rumor menyengat,
muncul Dewan Jenderal yang hendak menggulingkan Bung Karno.
Dalam Buku Putih G-30-S/PKI yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, disebutkan
bahwa Aidit kemudian menyatakan, gerakan merebut kekuasaan harus dimulai jika tak ingin
didahului Dewan Jenderal. Gerakan itu dipimpinnya sendiri. Ada pun Sjam ditunjuk sebagai
pimpinan pelaksana gerakan.
Saat diadili Mahkamah militer, Sjam mengaku dipanggil Aidit pada 12 Agustus 1965. Dalam
pertemuan itu, ia diberi tahu bahwa Presiden sakit dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal
mengambil tindakan bila Bung Karno mangkat. Menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia
meninjau "kekuatan kita."
Sejak 6 September 1965, Sjam lantas menggelar rapat-rapat di rumahnya dan di rumah Kolonel
A. Latief (Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya). Di rapat ini hadir Letnan Kolonel Untung
(Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa) dan Mayor Udara Sudjono
(Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan Halim Perdanakusumah). Rapat terakhir, 29
September 1965, menyepakati gerakan dimulai 30 September 1965 dengan Untung sebagai
pemimpinnya.
Dalam wawancara dengan majalah D&R, 5 April 1999, A. Latief menyatakan, Gerakan 30
September dirancang untuk menggagalkan upaya kup Dewan Jenderal. "Kami dengar ada
pasukan di luar Jakarta yang didatangkan dalam rangka defile Hari Angkatan Bersenjata
dengan senjata lengkap. Ini apa? Mau defile saja, kok, membawa peralatan berat," kata Latief.
Karena merasa bakal terjadi sesuatu, para perwira tersebut, yang mengaku terlibat karena loyal
pada Soekarno, memilih menjemput "anggota" Dewan Jenderal untuk dihadapkan ke Soekarno.
Menurut Latief gerakan itu diselewengkan oleh Sjam. "Rencananya akan dihadapkan hiduphidup untuk men-clear-kan masalah, apakah memang benar ada Dewan Jenderal," katanya.
Tapi, malam hari, saat pasukan Cakrabirawa pimpinan Letnan Dul Arief, anak buah Untung,
akan berangkat menuju rumah para jenderal, tiba-tiba, ujar Latief, Sjam datang. "Bagaimana
8
kalau para jenderal ini membangkang, menolak diajak menghadap Presiden," kata Dul Arief.
Sjam menjawab, para jenderal ditangkap. Hidup atau mati.
Keesokan harinya, Dul Arief melaporkan kepada Latief dan Jenderal Soepardjo bahwa semua
telah selesai. "Mula-mula mereka saya salami semua, tapi kemudian Dul Arief bilang semua
jenderal mati. Saya betul-betul kaget, tidak begitu rencananya," kata Latief yang mengaku tidak
kenal dengan Aidit.
Aidit sendiri belum pernah memberi pernyataan tentang hal ini. Ia ditangkap di Desa Sambeng,
dekat Solo, Jawa Tengah, pada 22 November 1965 malam, dan esok paginya ditembak mati.
Sebelum ditangkap pasukan pimpinan Kolonel Yasir Hadibroto, Aidit dikabarkan sempat
membuat pengakuan sebanyak 50 lembar. Pengakuan itu jatuh ke Risuke Hayashi,
koresponden koran berbahasa Inggris yang terbit di Tokyo, Asahi Evening News.
Menurut Asahi, Aidit mengaku sebagai penanggung jawab tertinggi peristiwa "30 September."
Rencana pemberontakan itu sudah mendapat sokongan pejabat PKI lainnya serta pengurus
organisasi rakyat di bawah PKI. Alasan pemberontakan, mereka tak puas dengan sistem yang
ada. Rencana kup semula disepakati 1 Mei 1965, tetapi Lukman, Njoto, Sakirman dan Nyono-semuanya anggota Committee Central--menentang. Alasannya, persiapan belum selesai.
Akhirnya, setelah berdiskusi dengan Letkol Untung dan sejumlah pengurus lain pada Juni 1965,
disepakati mulai Juli 1965 pasukan Pemuda Rakyat dan Gerwani dikumpulkan di Pangkalan
Halim Perdanakusumah.
Pertengahan Agustus, sekembalinya dari perjalanan ke Aljazair dan Peking, Aidit kembali
melakukan pertemuan rahasia dengan Lukman, Njoto, Brigjen Soepardjo, dan Letkol Untung.
PKI mendapat info bahwa tentara, atas perintah Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal
Achmad Yani, akan memeriksa PKI karena dicurigai mempunyai senjata secara tidak sah.
"Kami terpaksa mempercepat pelaksanaan coup d'etat," kata Aidit. Akhirnya, dipilih tanggal 30
September.
Dalam buku Bayang-Bayang PKI yang disusun tim Institut Studi Arus Informasi (1999), diduga
Aidit tahu adanya peristiwa G-30-S karena ia membentuk dua organisasi: PKI legal dan PKI
ilegal. Biro Chusus adalah badan PKI tidak resmi. Sjam bertugas mendekati tentara dan
melaporkan hasilnya, khusus hanya kepada Aidit. Hanya, ternyata, tak semua "hasil" itu
9
dilaporkan Sjam.
Tentang besarnya peran Aidit dalam peristiwa 30 September ditampik Soebandrio. Menurut
bekas Wakil Perdana Menteri era Soekarno ini, G-30-S didalangi tentara dan PKI terseret lewat
tangan Sjam. Alasan Soebandrio, sejak isu sakitnya Bung Karno merebak, Aidit termasuk yang
tahu kabar tentang kesehatan Bung Karno itu bohong. Waktu itu, kata Soebandrio, Aidit
membawa seorang dokter Cina yang tinggal di Kebayoran Baru. Soebandrio dan Leimena,
yang juga dokter, ikut memeriksa Soekarno. Kesimpulan mereka sama: Bung Karno cuma
masuk angin.
Soebandrio dalam memoarnya, Kesaksianku Tentang G-30-S, menyesalkan pengadilan yang
tidak mengecek ulang kesaksian Sjam. Menurut Soebandrio, ada lima orang yang bisa ditanya:
Bung Karno, Aidit, dokter Cina yang ia lupa namanya tersebut, Leimena, dan dirinya sendiri.
Menurut Soebandrio, pada Agustus 1965 kelompok "bayangan Soeharto" (Ali Moertopo cs)
sudah ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi
untuk mendorong PKI mendahului memukul Angkatan Darat.
Njoto membantah pernyataan Aidit. Menurut Njoto, "Hubungan PKI dengan Gerakan 30
September dan pembunuhan Jenderal Angkatan Darat tidak ada. Saya tidak tahu apa pun,
sampai-sampai sesudah terjadinya," katanya dalam wawancara dengan Asahi Evening News.
Keterangan Njoto sama dengan komentar Oei Hai Djoen, mantan anggota Comite Central.
"Kami semua tidak tahu apa yang terjadi," kata dia.
Presiden Soekarno sendiri menyatakan Gestok (Gerakan Satu Oktober)--demikian istilah Bung
Karno--terjadi karena keblingernya pimpinan PKI, lihainya kekuatan Barat atau kekuatan
Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme), serta adanya "oknum yang tidak benar."
Misteri memang masih melingkupi peristiwa ini. "Menurut kami, PKI memang terlibat, tapi
terlibat seperti apa?" kata Murad. Setelah puluhan tahun tragedi itu berlalu, pertanyaan itu
belum menemukan jawabannya. Setidaknya bagi Murad dan anggota keluarga Aidit yang lain.
Dari Tempo 1-7 Oktober 2007, yang ditulis kembali di Sini
10
Sedikit Sejarah Aidit
―AKU mau ke Batavia,‖ kata Achmad Aidit kepada ayahnya, Abdullah. Waktu itu awal 1936.
Achmad berusia 13 tahun, baru lulus Hollandsch Inlandsche School, setingkat sekolah dasar
masa itu. Di Belitung, tempat tinggal keluarga Aidit, sekolah "paling tinggi" memang hanya itu.
Untuk masuk sekolah menengah--dikenal dengan nama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO)--pemuda-pemuda pulau itu harus merantau ke Medan atau Jakarta.
Meninggalkan Belitung bukan pilihan yang lazim pada masa itu. Pemuda yang merantau
sampai tanah Jawa bisa dihitung dengan jari. Tapi Aidit bisa meyakinkan ayahnya. ―Abang saya
paling jarang meminta sesuatu kepada Bapak,‖ kata Murad Aidit, adik kandung Achmad,
kepada Tempo, dua pekan lalu. Kalau sudah sampai meminta sesuatu, kata Murad, itu artinya
tekad Aidit sudah benar-benar bulat.
Adik Aidit yang lain, Sobron, dalam bukunya Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa
Pergolakan, menjelaskan bahwa untuk diizinkan merantau, seorang remaja harus memenuhi
empat syarat: bisa memasak sendiri, bisa mencuci pakaian sendiri, sudah disunat, dan sudah
khatam mengaji. Keempat syarat itu sudah dipenuhi Aidit.
Setibanya di Batavia, Achmad Aidit ditampung di rumah kawan ayahnya, Marto, seorang mantri
11
polisi, di kawasan Cempaka Putih. Sayangnya, pendaftaran MULO sudah ditutup ketika Aidit
tiba di Jakarta. Dia harus puas bersekolah di Middestand Handel School (MHS), sebuah
sekolah dagang di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Bakat kepemimpinan Aidit dan idealismenya yang berkobar-kobar langsung menonjol di antara
kawan sebayanya. Di sekolahnya yang baru, Aidit mengorganisasi kawannya melakukan bolos
massal untuk mengantar jenazah pejuang kemerdekaan Muhammad Husni Thamrin, yang
ketika itu akan dimakamkan. Karena terlalu aktif di luar sekolah, Aidit tidak pernah
menyelesaikan pendidikan formalnya di MHS.
Tiga tahun di Cempaka Putih, Aidit pindah ke sebuah rumah di Tanah Tinggi 48, kawasan
Senen, Jakarta Pusat. Ketika indekos di sini, Murad datang menyusul dari Belitung, juga untuk
bersekolah di Jakarta.
Menyekolahkan dua anak jauh dari rumah tentu tak mudah untuk keuangan Abdullah Aidit.
Gajinya sebagai mantri kehutanan hanya sekitar 60 gulden sebulan. Dari jumlah itu, 15-25
gulden dikirimnya ke Batavia. Tentu saja jumlah itu juga pas-pasan untuk dua bersaudara Aidit.
Apalagi ketika masa pendudukan Jepang tiba, pada 1942. Hubungan komunikasi antara
Jakarta dan kota sekitarnya terputus total. Saat itu, dari rumah tumpangannya di Tanah Tinggi,
Aidit menyaksikan ribuan orang berduyun-duyun menjarah gudang-gudang perkapalan di
Pelabuhan Tanjung Priok. Dari pagi sampai sore, aneka jenis barang diangkut massa ke Pasar
Senen, mulai dari ban mobil, mesin ketik, sampai gulungan kain bahan baju.
Kiriman uang dari Belitung macet. Untuk bertahan hidup, Achmad dan Murad mau tak mau
harus mulai bekerja. Aidit lalu membuat biro pemasaran iklan dan langganan surat kabar
bernama Antara. Lama-kelamaan, selain biro iklan, Antara juga berjualan buku dan majalah.
Tatkala abangnya sibuk melayani pelanggan, Murad biasanya berjualan pin dan lencana
bergambar wajah pahlawan seperti Kartini, Dr Soetomo, dan Diponegoro, di dekatnya.
Berdagang memang bukan pekerjaan baru untuk Aidit. Ketika masih tinggal di Belitung, setiap
kali ada pertandingan sepak bola di Kampung Parit, Aidit selalu berjualan kerupuk dan nanas.
―Untuk ditabung,‖ Sobron berkisah dalam bukunya.
12
Tak puas dengan perkembangan usahanya, Aidit kemudian mengajak seorang kawan yang
tinggal satu indekos dengannya, Mochtar, untuk berkongsi. Mochtar ini seorang penjahit yang
punya toko lumayan besar di Pasar Baru. Karena lokasi usahanya yang strategis, toko Mochtar
segera menjadi tempat mangkal para aktivis masa itu, seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh.
Otomatis, jaringan relasi Aidit meluas.
Ketika Mochtar menikah dan menyewa rumah sendiri di kawasan Kramat Pulo, Aidit dan Murad
ikut pindah ke sana. Kondisi ini menguntungkan Aidit, karena Mochtar sering membiarkan
kakak-beradik itu tidak membayar sewa. ―Pakai saja untuk keperluan lain,‖ katanya seperti
ditirukan Murad. Tapi, kalau Mochtar sedang butuh duit, setoran uang sewa Murad akan
dimasukkan ke kantong. Biasanya, kalau begitu, Aidit akan menggerutu. ―Kamu sih, terlalu
menyodor-nyodorkan uangnya, makanya dia terima,‖ katanya memarahi Murad.
Namun situasi ekonomi yang terus memburuk membuat Aidit akhirnya angkat tangan. Murad
diminta tinggal di sebuah asrama korban perang, sebelum dikirim pulang ke Belitung.
SITUASI politik Ibu Kota yang gegap-gempita sudah menarik minat Aidit sejak awal. Dia
pertama-tama bergabung dengan Persatuan Timur Muda atau Pertimu. Pekumpulan ini dimotori
Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan Amir Syariffudin dan Dr Ahmad Kapau
Gani. Dalam organisasi inilah persinggungan Aidit dengan politik makin menjadi-jadi. Hanya
dalam waktu singkat, Aidit diangkat menjadi Ketua Umum Pertimu.
Di balik karier politiknya yang mulai menjulang, Aidit seperti mencoba mengibaskan bayangbayang keluarga dan masa lalunya di Belitung. Ketika Murad berkali-kali meminta bantuan
finansial, misalnya, Aidit selalu menolak. Suatu kali Aidit bahkan berujar bahwa persamaan di
antara mereka hanyalah faktor kebetulan, karena dilahirkan dari ibu dan bapak yang sama.
―Selebihnya, tak ada hubungan apa pun di antara kita,‖ katanya.
Sekitar masa-masa itulah Achmad Aidit memutuskan berganti nama. Dia memilih memakai
nama Dipa Nusantara--biasa disingkat DN. Menurut adik-adiknya, pergantian nama itu lebih
dipicu perhitungan politik Aidit. ―Dia mulai membaca risiko,‖ kata Murad. Sejak namanya
berubah itu memang tak banyak orang yang tahu asal-usul Aidit. Dia sering disebut-sebut
berdarah Minangkabau, dan DN di depan namanya adalah singkatan ―Djafar Nawawi‖.
13
Proses perubahan nama itu juga tak mudah. Abdullah, ayah Aidit, tak bisa dengan segera
menerima gagasan anaknya. Di depan anak-anaknya, Abdullah mengaku tidak bisa menerima
rencana pergantian nama itu karena nama Achmad Aidit sudah kadung tercetak di slip gajinya
sebagai putra sulung keluarga itu. Akan muncul banyak persoalan jika nama itu mendadak
lenyap dari daftar keluarga.
Abdullah dan Aidit bersurat-suratan beberapa kali, sebelum akhirnya Abdullah menyerah. Ayah
dan anak itu sepakat, nama D.N. Aidit baru akan dipakai jika sudah ada pengesahan dari
notaris dan kantor Burgelijske Stand--atau catatan sipil.
* Majalah Tempo, Edisi. 32/XXXVI/01 - 7 Oktober 2007
14
Aidit, Soeharto, Latief Dan Syam. Siapa lawan,siapa kawan?
Dari kesaksian Hersri Setiawan, seoarang ex-tapol P. Buru, saat berdiskusi peluncuran buku
berjudul "Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA,
Pembantaian Massal '65, hingga G30S", karya DR. Baskara T. Wardaya SJ, direktur
PUSdEP.
Peluncuran dilangsungkan di Realino Yogyakarta dengan dua pembahas, DR Asvi
Warman Adam, peneliti senior LIPI Jakarta dan Hersri sendiri.
Pagi 1 Oktober '65 jam 07:00 saya mendengar siaran RRI Jakarta tentang
pembentukan Dewan Revolusi (DR) di Jakarta. Sementara kawan barangkali ada yang
menganggapnya sebagai "gerakan kiri." Sore itu saya ke RRI di Jalan Merdeka
Barat. Saya melihat tentara-tentara yang berjaga-jaga di gedung RRI di Istana,
dan di kantor telegrap di Merdeka Selatan. Mereka itu tentara DR, dengan tanda
pengenal pita hijau-kuning di pangkal lengan. Semuanya kelihatan loyo. Markas
Kostrad tidak di jaga! Tapi dalam sidang kabinet pertama sesudah "peristiwa",
mungkin tanggal 6 Oktober, Presiden Sukarno dengan suara marah menyebutnya
sebagai "putsch"! Revolusi, masih kata BK, bukan dengan menculik dan membunuh!
Saya lalu teringat kejadian-kejadian di Asia Timur dan Asia Selatan sepanjang
paroh pertama 1965. Yaitu kejadian-kejadian penindasan terhadap gerakan pemuda
dan mahasiswa kiri di Jepang dan Korea Selatan, dan ditumbangkannya "secara
konstitusional" kekuasaan PM Ny. Sirimavo Bandaranaike. Kekalahan Sirimavo ini
diramaikan dengan pemberitaan bernada insinuasi media massa Ceylon tentang
dukungan sembilan negara Asia-Afrika dan "Blok Timur" dalam kampanye pemilu
Sirimavo - di mana Indonesia disebut. Saya lalu bertanya-tanya dalam hati:
Apakah G30S 1965 di Jakarta bukan bagian dari "grand strategy" A.S. ketika itu?
Jadi, apakah ini bukan provokasi kaum kanan terhadap PKI, melalui
perwira-perwira menengah binaan "BC"? Provokasi untuk kesekian kalinya, dan
kali ini berhasil? Pada 2 Oktober editorial "HR" menyatakan dukungannya kepada
"DR", yang diikuti oleh Omar Dhani atasnama MBAU. Pada 5 Oktober Njono,
orang-pertama (CDR; Comite Djakarta Raja) Komite PKI Jakarta Raya, ditangkap.
Pada tanggal 12 Oktober Jendral Soeharto merebut kekuasaan militer.
15
Di bulan Januari tahun 1966 beberapa pakar Indonesia di Cornell Univesity,
A.S., mempublikasikan untuk pembaca terbatas 'Laporan Sementara' tentang
peristiwa September-Oktober 1965 di Indonesia. Mereka sangat menyangsikan
pemberitaan bahwa peristiwa itu kup komunis, seperti dikatakan penguasa di
Indonesia dan dunia Barat. Dengan menggunakan "Laporan Cornell" sebagai bahan,
WF Wertheim menulis karangan di mingguan Belanda "De Groene Amsterdammer" 19
Februari 1966, dengan judul "Indonesia beralih ke kanan" Dalam karangannya ini
ia mempertanyakan: Mengapa perhatian dunia Barat terhadap pembunuhan massal di
Indonesia sangat kecil, jika dibanding dengan tragedi-tragedi lain di dunia,
yang terkadang jauh lebih ringan? Barangkali alasannya karena, masih menurut WF
Wertheim, pandangan umum melihat bahwa peristiwa itu terjadi oleh kesalahanan
golongan kiri sendiri.yang bersalah. Tapi dari kenyataan itu timbul pertanyaan
lain: Apakah "diamnya" dunia Barat bukan karena mereka sendiri yang
mengorganisir gerakan 30 September, dan yang "meng-otak-i" pembunuhan terhadap
enam jendral itu?.
Selain itu jika melihat gerakannya yang dengan penculikan dan pembunuhan, ini
bukan ciri gerakan revolusioner. Ini gerakan sekelompok militer yang melakukan
"putsch", seperti dikatakan BK. Selain itu juga ganjil jika dihubungkan dengan
PKI, oleh karena partai ini tidak menunjukkan kesiapan dan persiapan untuk
berjuang melalui laras senjata. Beriringan dengan meningkatnya suasana (pinjam
istilah BK) "gontok-gontokan", berulangkali DN. Aidit menegaskan pendirian
partainya: "Kalau tergantung kami, kami lebih suka menempuh jalan damai".
Begitu juga kita bisa mengacu pada teori "dua aspek", yaitu aspek pro-Rakyat
dan aspek anti-Rakyat di dalam tahap revolusi nasional demokratis, yang sejak
sekitar 1963 didengung-dengungkan oleh PKI. Lebih-lebih jika kita perhatikan
kata-kata Njoto tahun 1964 dalam menjawab pertanyaan W.F. Wertheim, yang
cenderung "over estimate" pada kekuatan sendiri, tapi sekaligus "under
estimate" terhadap kekuatan militer (AD) dan kaum reaksioner di dalam negeri.
Lalu, siapakah tokoh Syam Kamaruzzaman, Ketua BC CCPKI, yang di dalam proses
Letkol Untung Samsuri disebut-sebut sebagai tokoh terkemuka komunis itu?
Mengapa ia tidak segera ditangkap, dan sesudah ditangkap tidak segera diadili
dan/atau langsung didor seperti yang berlaku terhadap "tokoh terkemuka" komunis
16
lainnya? Belakangan Ben Anderson pernah menyebut, dalam salah satu tulisannya,
bahwa Syam sudah sejak awal 1950-an bekerja untuk KMKB Jakarta Raya di masa
komandan Kol. Dachyar. Radio Belanda ketika memberitakan tertangkapnya Syam,
menurut WF Wertheim, juga dengan embel-embel keterangan bahwa ia seorang
"double agent". Harian "Sinar Harapan" 13 Maret 1967, melalui judul
pemberitaannya, juga mempertanyakan: "Apakah Sjam double agent?" Tetapi sesudah
itu media massa Indonesia tidak pernah lagi menyebut-nyebutnya sebagai "double
agent". Dalam setiap proses ketika Sjam muncul sebagai saksi atau terdakwa, ia
selalu dilukiskan sebagai komunis sejati, yang sangat dekat dengan ketua CC-PKI
DN Aidit.
Banyak cerita mengatakan Suharto anggota "Pemuda Pathuk" -- walaupun cerita ini
dibantah keras Ibu Dayino (isteri Pak Dayino salah seorang pendirinya), dalam
majalah "Tempo" (maaf, lupa edisi kapan), dalam mana Syam salah seorang
anggotanya. Itu berarti kedua mereka sudah saling kenal sejak tahun 1946.
Bahwasanya Syam ternyata agen tentara yang disusupkan kedalam PKI, saya lalu
bertanya-tanya: Mungkinkah Suharto sendiri terlibat dalam permainan munafik
ini? Apapun jawabannya, tetapi jelas Soeharto itulah orang yang paling pandai
dan berhasil memanfaatkan segala kejadian yang timbul sesudah kejadian 1
Oktober dini hari itu. WF Wertheim mengatakan, "kalau semua itu terjadi dalam
cerita detektif, segala petunjuk menuju kepada dia. Paling sedikit Soeharto
sebagai orang yang telah mendapat informasi sebelumnya. Setahun sebelum
peristiwa 1965, Soeharto hadir pada pernikahan Letkol Untung di Kebumen." Dalam
bulan Agustus 1965 Soeharto bertemu Jenderal Supardjo di Kalimantan. Soeharto
tidak ditangkap oleh gerakan Untung. Markas Kostrad tidak diduduki dan tidak
dijaga pasukan "DR". Sekitar jam 4 sore ransum nasi bungkus dibagi-bagi Kostrad
untuk tentara-tentara "DR" yang kelaparan di sekeliling Monas. Jam enam sore
mereka mulai mengalir menyerahkan diri ke Kostrad. Pendeknya, Soeharto
bertindak "sangat efisien" dalam "menumpas pemberontakan" - seakan-akan
"Kartu-As" sudah di genggaman tangannya! Sementara itu kelompok Untung dkk
sangat tidak beruntung. Mereka semua menjadi bingung. Termasuk DN Aidit yang
lalu lari (lebih tepat "dilarikan Sjam") ke Halim. Ia masuk perangkap, dari
provokasi ke provokasi!
17
Tahun 1970 terbit buku Arnold Brackman, jurnalis A.S. reaksioner, yang berjudul
"The Communist Collapse in Indonesia". Di halaman 100 Brackman menceritakan
wawancaranya dengan Soeharto, sekitar pertemuannya dengan Kolonel Latief, tokoh
ketiga dalam pimpinan G30S. Isi pokoknya Latief menjenguk anak Soeharto di
RSPAD yang sakit ketumpahan sup panas. Berkata Soeharto: "Lucu juga kalau
diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu
untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu atas keprihatinannya." Lalu:
"Saya tetap di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke
rumah".
Kol. Latief, tokoh terpenting G30S di samping Letkol Untung dan Brigjen
Supardjo, bertemu dengan seseorang hanya empat jam sebelum gerakan dimulai,
tentu bukan untuk urusan sup panas! Saya setuju dengan Prof. Wertheim,
andaikata dalam kisah detektif, peristiwa pertemuan dua orang itu benar-benar
sebuah the missing link, sebuah mata-rantai yang hilang, yang alhamdulillah
kita temukan melalui pengakuannya sendiri! Tapi, juga menarik dipertanyakan,
mengapa Soeharto menceritakan hal itu pada Brackman? Agaknya ada orang lain
yang mengetahui kunjungan Latief di rumah sakit, sehingga Soeharto merasa perlu
memberi alasan dan menyatakannya kepada publik.
Sementara itu dalam wawancaranya yang lain, yang disiarkan mingguan Jerman
Barat "Der Spiegel" 27 Juni 1970, Soeharto juga menyebut pertemuannya dengan
Kolonel Latief di RSPAD. Tentu saja pertemuan yang sama seperti yang
diceritakan pada Brackman. Tapi kali ini ia bercerita dengan kebohongan yang
jauh berbeda. "Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk daftar jenderal-jenderal
yang harus dibunuh?" Tanya wartawan "der Spiegel". Jawab Soeharto: "Pada jam 11
malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit
untuk membunuh saya. Tetapi akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya, karena
tidak berani melakukannya di tempat umum." Bukan Kolonel Latief, tapi Jenderal
Soeharto, yang pamer kebodohan di sini. Empat jam sebelum gerakan dimulai ia
membunuh Soeharto? Ini pasti akan berakibat seluruh rencana gerakan gagal
sebelum dimulai! Dua masalah timbul pada saya: pertama, kebohongan itu sendiri;
18
dan kedua, apa alasan pembohongan itu? Apa yang hendak disembunyikannya oleh
"the smiling general" ini?
Namun senyum jenderal yang satu ini agaknya selain ekspresi bakat juga
merupakan kiat pembohongnya. Karena dalam otobiografinya ternyata Soeharto
lagi-lagi membohong. Di sana diceritakannya, ia tidak bertemu Latief di RS. Ia
hanya melihat dari ruangan tempat anaknya dirawat, dan di situ ia berjaga
bersama isterinya. Latief jalan di koridor melalui kamar itu! Kolonel yang
empat jam lagi punya gawe besar jalan-jalan di RS!? Siapa percaya? Penuturannya
yang berikut ini juga aneh sekali, seandainya ia tidak bohong. Menurut
pengakuannya sendiri, ketika pada jam 12 tengah malam ia keluar dari rumah
sakit, bukan bergegas memperingatkan jenderal-jenderal rekannya yang akan
ditimpa nasib malang, melainkan terus pulang ke rumah untuk tidur!
Dari data-data di atas, kiranya agak pasti bahwa Soeharto kalau bukan dalang,
dialah "the missing link" antara sang dalang dan si pelaku utama. Artinya
Soeharto paling tidak terlibat berat dalam "Peristiwa '65". Menurut pasal 4
Kpts Kepala Kopkamtib 18 Oktober 1968, tentang klasifikasi tapol, orang ini
bisa termasuk Golongan A, yaitu semua orang yang terlibat secara langsung.
Siapakah orang yang bisa disebut terlibat secara langsung? Menurut Pasal 4
tersebut di antaranya, adalah semua orang yang mempunyai pengetahuan lebih dulu
tentang rencana kup, yang kemudian melaporkannya kepada yang berwajib. Jadi,
pada malam hari itu Soeharto seharusnya melapor paling sedikit kepada Jenderal
Yani dan Jenderal Nasution. Soeharto sejatinya jelas lebih terlibat ketimbang
kami yang Golongan B, atau saya yang Golongan B1/PKI Malam, yang karena
terlibat 'tidak langsung' harus diisolasi 13-14 di penjara atau di pulau
pengasingan Buru. Lebih lama dari hukum buang 13 tahun, yang harus dijalani
keluarga Pandawa dalam lakon "Pandhawa Dhadhu".
Karena kalah bermain dadu, akibat dicurangi Dursasana yang dengan
sembunyi-sembunyi memutar papan dadu 360 derajat, Puntadewa yang jago main dadu
di seluruh penjuru jagad pewayangan itu, harus kalah dari Suyudana si sulung
keluarga Kurawa. Akibatnya keluarga Pandawa, termasuk Ibu Kunthi, harus
19
menjalani hukuman pembuangan oleh keluarga Kurawa. Selama 13 tahun dengan harus
menghilangkan identitas mereka. Di tengah hutan pembuangan tiba-tiba datang
seekor Garangan Putih yang memandu mereka, melalui lorong di bawah tanah, dan
muncul di kawasan kerajaan Wiratha. Mereka masing-masing lalu berganti nama dan
profesi. Puntadewa bernama Dharmaputra, menjadi guru judi Sri Baginda Wiratha.
Bima bernama Jagal Abilawa, menjadi tukang potong hewan. Arjuna bernama
Kandihawa, menjadi guru tari. Si kembar Nakula-Sahadewa sebagai Pinten-Tangsen
menjadi pustakawan kerajaan Wiratha. Lakon "Pandhawa Dhadhu" sebuah lakon
politik dunia pewayangan yang memang pas untuk pasemon lakon untung-untungan
Obrus Untung pada awal Oktober 1965.
Dengan demikian Soeharto dan Syam Kamaruzzaman merupakan orang-orang yang
mempunyai pengetahuan lebih dulu tentang peristiwa itu. Kedua mereka itu dua
provokator bersama terhadap Untung dkk dalam peristiwa tersebut, atau yang satu
(Soeharto) memprovokasi yang lain (Syam), dan pada gilirannya memprovokasi
"anak-anak" yang di bawah binaannya. Barangkali masih ada orang lain yang,
walaupun sedikit, juga mempunyai pengetahuan lebih dulu. Orang itu ialah
Soekarno. Tetapi bisa dipastikan bahwa ia tidak mengingini pembunuhan terhadap
para jenderal yang dituduh membentuk Dewan Jenderal (selanjutnya "DD", sesuai
dengan ejaan saat itu) Soekarno orang yang paling takut pertikaian (jangan
gontok-gontokan, pesannya berulang-ulang) apalagi pertumpahan darah (silakan
jor-joran, tapi jangan dor-doran; ia selalu memperingatkan). Maksud Soekarno
barangkali hanya sejauh untuk meminta pertanggung-jawaban mereka. Maka sesudah
mendengar ada beberapa jenderal yang mati di/terbunuh, ia segera memberi
perintah supaya seluruh gerakan berhenti. Mungkin Untung, Latief dan Supardjo
pun tidak menghendaki pembunuhan, melainkan hanya hendak menghadapkan mereka
kepada Presiden untuk diminta pertanggungjawaban mereka - seperti demikianlah
yang banyak terungkap di persidangan.
Pada malam 30 September Soekarno dan Aidit agaknya memang yakin tentang adanya
"DD", dan bahwa "DD" berencana merebut kekuasaan pada tanggal 5 Oktober 1965
(Perhatikan Laporan Dubes AS Marshall Green 1 Oktober 1965 pts 2 dan 4). Begitu
juga Untung dkk yakin "DD" memang ada. Dalam prosesnya tahun 1967 juga Sudisman
yakin tentang adanya DD dan rencana mereka. Begitu juga pendapat PKI, seperti
20
nampak dalam dokumen "KOK"mereka. Tetapi kalau "Peristiwa '65" memang suatu
provokasi, apakah mungkin "DD" menjadi dalangnya? Agaknya tidak! Keterangan
bekas Mayor Rudhito dalam proses Untung barangkali bisa membantu mengurai
teka-teki ini. Ia memberi keterangan tentang pita perekam mengenai "DD" yang
didengarnya dan catatan tentang isinya, yang ia terima pada 26 September 1965
di depan gedung Front Nasional. Ia menerima barang bukti itu dari Muchlis
Bratanata dan Nawawi Nasution, keduanya dari NU, dan Sumantri Singamenggala dan
Agus Herman Simatoepang, keduanya dari IPKI. Mereka mengajak Rudhito membantu
pelaksanaan rencana DD. Dari pita itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu
pertemuan yang diadakan pada 21 September di gedung Akademi Hukum Militer di
Jakarta. Rudhito ingat, ia mendengar suara Mayjen S. Parman yang mengatakan,
juga dari catatan yang Rudhito baca, sebuah daftar tokoh-tokoh yang akan
diangkat sebagai menteri: AH Nasution calon perdana menteri; Suprapto menteri
dalam negeri, Yani menteri hankam, Harjono menteri luar negeri, Sutojo menteri
kehakiman dan S. Parman sendiri jaksa agung. Nama lain yang disebut, di
antaranya Jenderal Sukendro. Perlu diperhatikan, bahwa nama Soeharto tidak
disebut-sebut!
Ternyata tape itu tidak pernah muncul sebagai bahan bukti, baik pada sidang
Obrus Untung, maupun pada sidang-sidang yang lain. Menurut Rudhito dan terdakwa
Untung, tape itu diserahkan kepada Jenderal Supardjo, yang pada 29 September
baru tiba di Jakarta dari Kalimantan, dan Supardjo rupanya memberikan dokumen
penting itu pada Presiden Soekarno. Menurut Rudhito dokumen itu juga ada pada
Kejaksaan Agung dan Kotrar (Komando Operasi Tertinggi Retuling Aparatur
Negara). Kesimpulan yang bisa ditarik yaitu, kemungkinan besar tape (yang tidak
pernah muncul) dan catatan yang diterima Rudhito itu sebuah dokumen palsu
sebagai bagian dari operasi intelijen dalam melakukan provokasi mereka. Maksud
dan akibatnya yaitu kelompok Untung, pimpinan PKI, dan bahkan Presiden Soekarno
menjadi yakin dan percaya bahwa komplotan DD memang ada, dan rencana untuk
merebut kekuasaan dari Soekarno dan kabinetnya memang benar. Tipu muslihat ini
sebenarnya provokasi, untuk memancing baik Soekarno maupun pimpinan PKI
(khususnya DN Aidit) agar meneruskan usaha mereka menggagalkan rencana aksi DD
pada tanggal 5 Oktober 1965. Maka muncul dalam proses Subandrio, misalnya,
21
kata-kata "daripada didahului lebih baik mendahului".
Pembunuhan sengaja itu tentu merupakan bagian dari seluruh provokasi terhadap
PKI, Bung Karno dan gerakan kiri di Indonesia umumnya. Menurut Coen Holtzappel
dalang peristiwa berdarah September '65 itu ialah Jenderal Sukendro, pernah
kepala intelijen militer, dan Kolonel Supardjo, Sekretaris Kotrar, yang pernah
menjadi pembantu Sukendro. Tentang Sukendro Gabriel Kolko memberi tahu pada
kita, bahwa Jenderal ini pada 5 November 1965 minta bantuan rahasia A.S. agar
mengirim persenjataan kecil dan alat komunikasi, yang akan dipakai oleh pemuda
Islam dan nasionalis untuk membasmi PKI. Kedutaan A.S. setuju, dan
barang-barang itu dijanjikan akan dikirim sebagai "obat-obatan" ("Confronting
The Third: U.S. Foreign Policy 1945-1980". hal. 181) dan teks telegram dari
Kedubes A.S. ke Washington tanggal 5/11, 7/11, dan 11/11-65.
Karena itu saya selalu sangat percaya pada analisis pendek Bung Karno, ketika
ia dituntut MPRS pertanggungjawabannya tentang "Peristiwa G30S". Dalam
pidatonya untuk "Pelengkapan Pidato Nawaksara" pada 10 Januari 1967, Bung Karno
mengatakan, bahwa peristiwa G30S timbul oleh "pertemuannya" tiga sebab: 1)
keblingernya pimpinan PKI, 2) kelihaian subversi Nekolim, dan 3) memang adanya
oknum-oknum yang tidak benar". Kepanjangan istilah "nekolim" pada saat itu
ialah "neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme", dan dengan ini Bung
Karno tentu bermaksud mengatakan, bahwa dalang yang sebenarnya memang ada di
luar negeri.
Tentang peranan Amerika Serikat dan CIA sudah diuraikan dengan rinci dan sangat
bagus oleh Dr. Baskara dalam bukunya. Juga Peter Dale Scott, eks-diplomat yang
sekarang guru besar di Universitas California, pernah menulis beberapa karangan
penting tentang campurtangan A.S. tahun 60-an di Indonesia, antara lain "The
U.S. and the Overthrow of Soekarno" (Pacific Affairs 1985), dan "Coming To
Jakarta" (1988; terjemahan saya, "Melanda Jakarta", 1995). Sekarang kita juga
sudah tahu, bahwa dari sejak awal Oktober 1965 baik kedutaan A.S. maupun CIA
sangat berlumuran darah rakyat Indonesia, yaitu dengan memberi daftar nama 5000
"tokoh" PKI dan organisasi kiri lainnya pada KOSTRAD supaya mereka itu
ditangkap, dan kalaupun akan dibunuh para diplomat A.S. dan staf CIA tidak
22
peduli! Tetapi bagaimana campur tangan AS dan CIA sebelum 1 Oktober 1965? Dr
Baskara juga sudah mengurainya dalam seluruh Bagian II dan separoh pertama
Bagian III bukunya. Kecuali itu kita juga bisa membaca buku Gabriel Kolko
"Confronting the Third: U.S. Foreign Policy 1945-1980" tersebut di atas.
Mengapa masih penting untuk menyelidiki sejarah peristiwa tahun 1965? Pertama:
Karena berdamai, dan lebih lanjut membina kerukunan, dengan sejarah masa lalu,
tidak mungkin terjadi tanpa kejujuran dan tanpa keberanian menatap kenyataan
sejarah masa lalu itu. Maka setengah orang kita dengar masih berkilah, dan
"setengah orang " itu (jangan kaget!) juga ada di tengah kalangan mereka yang
"aktif" di lembaga-lembaga HAM, dengan mengatakan: Lembaga KKR kita dukung,
tapi tidak sampai ke "masalah 65", karena "masalah 65" menurut mereka bersifat
"terlalu politis". Juga dengarlah kata-kata Jusuf Kalla sehubungan dengan soal
KKR ini: "Saya tidak merasa di Indonesia ada sesuatu yang betul-betul
berlawanan mati-matian seperti di Afrika Selatan. Kalau masalah-masalah Gestapu
kan sudah empat puluh tahun lalu. Apakah ada yang direkonsiliasikan setelah
kita tidak tahu lagi siapa yang mesti bertemu?" ("Kompas", 11 Febr. 2006,
hal.2). Ini semua gejala dari kambuh dan berjangkitnya kembali "komunisto
fobia" yang sudah sejak akhir tahun belasan terus-menerus diperangi oleh Bung
Karno.
Kedua, karena pembunuhan massal pasca-G30S di Indonesia terjadi atas tanggung
jawab Jenderal Soeharto sejatinya sudah bukan lagi suatu rahasia. Tapi anehnya,
si penanggungjawab ini justru selalu memamerkan dengan bangga perbuatannya itu.
Soeharto tidak pernah memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak azasi
manusia yang luar biasa hebat itu. Sebaliknya ia selalu memamerkan tindakannya
yang keji sebagai kebanggaan, seperti ditunjukkan di dalam contoh berikut ini:
Dengan adanya pengakuan pers A.S. bahwa staf kedubes A.S. di Jakarta
menyerahkan daftar 5000 nama kader PKI dan ormas yang dekat dengannya kepada
Angkatan Darat Indonesia, seperti tersebut di atas, tidak seorang pun jubir
pemerintah Orde Baru yang memungkiri atau mengucapkan penyesalan mereka.
Sebaliknya dengan congkak mereka bahkan menegaskan, bahwa militer Indonesia
sama sekali tidak perlu menerima daftar semacam itu dari pihak asing, karena
23
mereka sendiri cukup mengetahui siapa saja kader-kader PKI itu! Juga di dalam
otobiografinya, Soeharto sama sekali tidak menunjukkan tanda, bahwa ia
menyesali terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak setengah atau satu juta
(Jenderal Sarwo Edhie mengklaim sebanyak 3 atau 3,5 juta!). Terhadap
prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka. Misalnya
dalam kisah pengakuan Kolonel Jasir Hadibroto ("Kompas Minggu", 5 Oktober 1980)
yang telah membunuh tanpa proses Ketua CC-PKI DN Aidit. Kolonel ini justru
dihadiahi Soeharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Bagaimanapun di
depan Jenderal Soeharto Kolonel Jasir hanya seorang prajurit. Maka tentu saja
Soeharto itulah yang bertanggungjawab. Karena pembunuhan hanya terjadi sesudah
Jasir menerima perintah, dalam kata-kata: "Bereskan itu semua!" Dan "beres",
kata Jasir tenang kepada "Kompas Minggu", saya artikan sebagai "bunuh".Nyatanya
sesudah itu saya tidak ditegor oleh Pak Harto ."
Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata masyarakat kita.
Sejarah peristiwa 1965 dan lanjutannya, seperti yang tertera didalam tulisan
resmi para pendukung Orde Baru, seluruhnya harus ditinjau kembali dan
dikoreksi. Misalnya tentang pembunuhan terhadap para anggota PKI atau BTI
(Barisan Tani Indonesia) yang selalu diberi pembenaran dengan dalih, mereka
"terlibat dalam Gestapu/PKI 1965". Tentu saja benar bahwa ada beberapa kader
PKI yang ikut memainkan peranan dalam peristiwa dini hari 1 Oktober 1965 itu.
Tetapi bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh terlibat dalam peristiwa
penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965 di
Jakarta saat itu? Dari berita "The Washington Post" 21 Mei 1990 menjadi jelas,
bahwa sejak semula Soeharto telah berketetapan hati untuk membasmi PKI.
Ringkasan Memorandum CIA tentang G30S, 6 Oktober 1965, dan juga laporan situasi
"Indonesian Working Group" 6 Oktober 1965 menjadi bukti berita bulan Mei 1990
itu.
Dalih umum yang dimamah-biak Mahmilub atau "pengadilan kanguru" semacamnya
ialah, semua anggota atau simpatisan PKI 'terlibat dalam peristiwa G30S-PKI'.
Dalih seperti itu juga yang dipakai pemerintah untuk membenarkan pembuangan
tanpa pemeriksaan pengadilan sekitar 12.000 orang ke Pulau Buru. Mereka itu
dikatakan sebagai 'terlibat secara tidak langsung dalam Gestapu/PKI'. Lalu,
24
siapakah yang terlibat langsung? Yang betul-betul terlibat langsung ialah orang
yang paling memperoleh untung dari kejadian itu. Orang itu tak lain tak bukan
ialah Jenderal Soeharto sendiri.
Meninjau kembali, mengoreksi, dan menulis ulang sejarah masa lalu sejatinya
berarti menyelamatkan jalannya kebenaran sejarah. Untuk itu penelitian kembali
sejarah tahun-tahun 1965 dan seterusnya merupakan sarana dan wahana pertolongan
satu-satunya. Penting sekali kesadaran dibangun kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI
merupakan kekuatan yang patut dibanggakan. Oleh karena banyak hal yang telah
berhasil dicapai oleh partai dan gerakannya itu.Di dunia Barat sekarang timbul
kecenderungan anggapan, bahwa komunisme, dan bahkan sosialisme, telah gagal
sebagai ideologi. Kesimpulan seperti ini salah sama sekali! Yang gagal adalah
sejumlah pemerintah yang dikuasai oleh berbagai partai komunis. Tapi yang
sejatinya terbukti gagal ialah sistem diktatorial, yang tanpa memberi cukup
peranan kepada rakyat bawah. Untuk Indonesia kegagalan seperti itu berlaku bagi
rezim Soeharto, yang pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem diktatorial
dengan berbedak demokrasi yang semu belaka.
25
Pelarian dan tertangkapnya Aidit
Pada tanggal 1 Oktober 1965 tengah malam,Aidit disuruh oleh Sam untuk segera naik pesawat
yang sudah tersedia untuk terbang ke Yogya hanya bersama pendampingnya Kusno, dan diberi
tahu, bahwa nantinya di Yogya akan dijemput oleh Ketua CDB PKI Yogya. Kenyataanya setiba
di Yogya tidak ada seorangpun yang datang menjemputnya Hanya diantarkan oleh pendamping
dan seorang sopir dari AURI, bertiga kemudian menuju ke rumah Ketua CDB PKI.Yogya.
Setibanya ditempat yang dikira rumah Ketua CDB, pada waktu diketuk pintunya, ternyata
adalah rumah tokoh NU. Keberadaan Aidit di Yogya dengan demikian telah diketahui fihak lain,
maka untuk menghilangkan jejak, kemudian perjalanan diteruskan ke Salatiga. Beberapa hari
kemudian baru melanjutkan perjalanan ke Solo dengan mendapatkan jemputan kendaraan
yang dikendarai oleh seorang Cina jago kunthau dari Solo. Tetapi akhirnya tertangkap hiduphidup setelah beberapa waktu berada di Solo.
Sri Harto Penghubung Aidit - Bandrio.
Sesampainya Aidit di Solo, dia ditempatkan secara terus berpindah-pindah. Semula disinyalir di
Lojigandrung kediaman resmi Walikota Utomo Ramelan, kemudian dipindahkan ke kampung
Keparen (sebelah Selatan Pasar Singosaren) dirumah Jupri Prio Wiguno, anggauta PKI malam
(jaringan Van der Plas). Beberapa hari Aidit berada di Keparen, kemudian dijemput oleh Sri
Harto, penghubung Aidit - Bandrio. Dengan menyerahkan tanda bukti berupa sesobek kertas
krep yang bertanda tangan, sedangkan sobekan yang lainya berada ditangan tuan rumah ialah
Jupri tersebut. Setelah sobekan tersebut dicocokan dan memang cocok, maka Aidit diserah
terimakan oleh Jupri kepada Sri Harto.
Setelah serah terima tersebut, Aidit dengan diboncengkan scooter, dibawa ke rumah KRT.
Sutarwo Hardjomiguno di desa Palur sebuah desa disebelah timur kota Solo. Beberapa hari
berada di Palur dia sempat berkeliling kota Solo, bahkan sempat menengok markas CC PKI
Solo. Kemudian dipindahkan kerumah Sri Harto penghubung tersebut di kampung Kleco yang
terletak dibelakang Markas Resimen, dirumah tersebut Aidit tinggal beberapa hari lamanya.
Setelah mengambil Aidit dari Keparen Sri Harto melaporkan tentang keberadaan Aidit, kepada
para senior Pemuda-Pelajar (Suhari alm. Dan seorang lagi). Menurut keteranganya karena dia
merasa ngeri, melihat perkembangan keadaan, batalion TNI-AD, K, L dan M di Solo telah
banyak disusupi PKI. Demikian pula dengan CPM, sehingga banyak tahanan-tahanan penting
26
dapat lolos, antara lain seperti tokoh PKI anggauta Politbiro Ir.Sakirman, sopir Cina penjemput
Aidit dari Salatiga dll. Sri Harto percaya kepada para Pemuda-Pelajar dan merasa aman,
karena melihat sepak terjang dan perjoangannya sewaktu bergerilya melawan Belanda, perang
menumpas pemberontakan PKI 1948 dan waktu itu dalam menghadapi G 30 S di Solo.
Setelah Sri Harto memberi laporan tentang keberadaan Aidit tersebut, siasat segera disusun.
Untuk menambah kepercayaan Aidit, Sri Harto diberi pengawalan oleh dua orang dari para
Pemuda-Pelajar, sekaligus untuk mengawasinya, apakah Sri Harto jujur atau tidak dan
kepadanja diberi sepucuk pistol untuk peganganya . Oleh para senior hal tersebut segera
dilaporkan kepada Kol.Yasir yang rupa-rupanya kurang percaya bahkan minta apa jaminanya
jika bohong. Jawaban Suhari dia bersedia ditembak mati apabila laporanya tidak benar, karena
mereka itu berjoang didorong oleh keyakinanya tiada pamrih pribadi demi untuk menegakkan
Republik Indonesia yang mereka ikut mendirikanya.. Keberadaan Aidit di Solo, sudah beberapa
hari dibuntuti, sesuai kesepakatan dengan Sri Harto. Laporan kepada Kol.Yasir tersebut ruparupanya bocor. Rumah dimana Aidit ditempatkan, ternyata digerebeg oleh sepasukan polisi
yang selama itu tidak berperan aktif, dan penyerbuan tersebut sama sekali tidak ada koordinasi,
dimaksud hanya untuk menciptakan kekalutan belaka.
Kemudian ketahuan, bahwa Sekretaris Pekuper dari Kol. Yasir, yaitu Letkol Muklis Ari Sudewo,
adalah seorang komunis yang mempengaruhi polisi untuk melakukan penyergapan, padahal
selama kampanye melawan G30S tidak berperan. Sergapan tersebut karena tanpa koordinasi,
hampir menimbulkan bentrokan dengan Pemuda Pelajar yang bertugas untuk mengamat-amati
Aidit. Beruntung bahwa sebelumnya Aidit sudah dipindahkan ke kampung Sambeng. Letnan
Sembiring (terakhir jendral) yang mengejarnya di Pati tetapi tidak berhasil menangkap, teryata
memergoki Muklis Ari Sudewo di Solo, ia menjadi orang kedua Pekuper. Dalam tubuh AD di
Solo masih banyak unsur-unsur komunis (bagian operasi, Kapt. Hardijo, CPM a.l Lettu Abu) dll.
Kericuhan dalam operasi sering terjadi karena Pemuda Pelajar sering dijerumuskan kalau
melakukan patroli terutama di malam hari, rupa-rupanya unsur-unsur PKI sudah terlebih dahulu
diberitahu. Tetapi berkat pengalaman, dapat mencium gelagat yang tidak baik dan tipuan-tipuan
tersebut dapat dihindari. Maka setelah itu mereka membuat gerak tipu sendiri sehingga dapat
menangkap dan merampas banyak unsur-unsur PKI dan persenjataanya. Kekalutan di Solo
ditambah dengan sering bentroknya golongan Islam dengan golongan Nasionalis yang juga
banyak dari mereka itu yang diadu domba dan menjadi korban dibantai oleh komunis,
27
menjadikan keadaan bertambah rawan. Sri Harto adalah Ketua SBIM (Sarekat Buruh Industri
Metal) di pabrik panci Blima. Bapaknya Sri Harto adalah seorang dari kalangan atas
Mangkunegaran, KRT. Sutarwo Hardjomiguno, lincah luwes hingga mampu kekanan-kekiri
(kemungkinan besar berada dalam jaringan Van der Plas, karena dapat ketempatan Aidit tanpa
bocor). Kakak Sri Harto menjadi Asisten Wedana (PKI) di Klego daerah Boyolali, yang dinilai
banyak merugikan dan menteror rakyat, maka dihabisi oleh rakyat sendiri..
Sri Harto mendapatkan kepercayaan untuk menjadi penghubung Bandrio - Aidit, tetapi karena
dia kurang teguh dan ngeri akhirnya membuka kedoknya sendiri, mencari selamat dengan
melaporkan tentang keberadaan Aidit di Solo tersebut kepada para senior Pemuda Pelajar.
28
Aidit Tertangkap
Saat rumah dimana Aidit tersebut ditempatkan digerebeg oleh sepasukan polisi, Aidit sudah
dipindahkan ke kampung Sambeng. Sore harinya Kol.Yasir melakukan operasi penggerebegan
baik ke rumah dimana Aidit ditempatkan pada waktu siangnya maupun ke seluruh
kampung.Tetapi hingga sekitar pukul 22.00 malam, Aidit belum juga dapat diketemukan.
Kemudian operasi dihentikan dan pasukan tentara ditarik dari kampung Sambeng, beberapa
ditinggalkan untuk mengamat-amati. Para senior Pemuda-Pelajar yang memberikan laporan
kepada Kol.Yasir merasa sangat terpukul dan kecewa, karena selain kena tuduhan pembohong
juga telah memberikan jaminan, jika bohong, bersedia untuk ditembak mati. Mereka
berkeyakinan bahwa Aidit pasti masih berada dirumah dimana siangnya ditempatkan atau
paling tidak masih dikampung Sambeng tersebut. Para senior Pemuda-Pelajar, kemudian
mengambil inisiatif untuk menggeledah dan memagar betis kampung dan rumah tersebut
dengan mengerahkan teman-temannya, meskipun mereka menanggung risiko karena
berlakunya jam malam. Terutama rumah yang sudah digeledah tersebut digeledah lebih intensif
lagi, tetapi tetap tidak diketemukan Aidit.
Hanya didalam sebuah almari yang kosong dan menempel rapat dengan dinding penyekat
rumah ditemukan sebuah celana dalam, berinitial DA, yang diduga adalah milik Aidit. Rumah
tersebut dihuni oleh seorang yang sudah tua, seorang pensiunan pegawai Bea & Cukai
bersama cucunya yang gadis remaja. Sudah susah payah dari pagi sampai tengah malam
belum juga mendapat hasil, salah seorang senior Pemuda-Pelajar menemukan akal, dengan
menggertak orang tua penghuni tersebut, jika tetap tidak mau mengaku dimana Aidit berada,
cucunya akan dipermalukan didepannya. Dengan gertakan demikian orang tua tersebut
akhirnya mengaku bahwa Aidit berada dibelakang almari kosong tersebut. Sewaktu dibantah
mana mungkin, karena almari tersebut rapat dengan dinding. Mendapat jawaban, bahwa
dinding belakang almari tersebut merupakan pintu dan dinding sekat rumah tersebut yang
rangkap dengan rongga sekitar 50-60 cm. Ternyata waktu dinding belakang almari tersebut
dibuka, Aidit masih berada didalam rongga dinding sekat rumah tersebut Aidit disilahkan keluar
dan kemudian diserahkan kepada Kol.Yasir langsung diLojigandrung. Operasi penggeledahan
tahap kedua yang dilakukan oleh para Pemuda Pelajar ini, didampingi oleh Letnan Ning, hingga
merupakan tindakan yang berada dibawah petugas resmi .
Aidit Dihabisi
29
Tertangkapnya Aidit tersebut segera dilaporkan ke Jakarta oleh Kolonel Yasir, kemudian
diperintahkan langsung oleh Jendral Soeharto agar pada kesempatan pertama Aidit dibawa ke
Jakarta. Konon kemudian didapat kabar bahwa dalam perjalanan ke Jakarta tersebut ditengah
jalan Aidit dihabisi dan tak tentu rimbanya. Hal ini menimbulkan tanda tanya, mengapa seorang
tokoh yang demikian penting, selain Sekjen PKI, juga menyandang jabatan resmi sebagai
Menko dihabisi begitu saja? Mengapa tidak dikorek keteranganya hingga tuntas dan diajukan
ke Pengadilan hingga masyarakat umum mengetahui secara terbuka. Dalam hal ini sangat
terasa adanya sesuatu yang disembunyikan dan merupakan misteri besar.
Apakah ada hubunganya dengan kemisteriusan tokoh Aidit? Tertangkapnya Aidit di Solo ini
membuka tabir adanya hubungan Aidit dengan Bandrio dan dengan jaringan Van der Plas ( a.l.
Jendral Soeharto, yang memerintahkan menghabisi). Suatu konspirasi yang sangat kejam dan
telah memakan korban besar dikalangan rakyat.banyak, baik yang komunis maupun yang non
komunis.
30
Wangsa Aidit (Oleh:Pejalanjauh.com)
Soekarno sedang bercakap dengan DN Aidit di Istana Negara
Pada masa Orde Baru, nama Dipa Nusantara Aidit pernah menjadi nama (yang
di)jahanam(kan. Stigma yang disandang oleh ―Aidit‖ demikian parah. Ia tidak hanya
dianggap sebagai otak nomer satu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dalang dari
peristiwa G-30-S semata, tetapi lebih dari itu ia dikonstruksi sedemikian rupa sehingga
namanya seakan-akan sinonim dengan segala macam laku lancung: penjahat, kejam,
brutal dan tak berprikemanusiaan.
Itulah sebabnya tak ada orang yang mau menamai anaknya ―Aidit‖. Bahkan keluarga
Aidit sendiri, baik kerabat jauh hingga beberapa anaknya, memilih untuk menanggalkan
nama Aidit. Sebab nama Aidit pada masa Orde Baru adalah paspor yang bisa
mengantarkan siapapun ke labirin kesengsaraan yang tiada putus.
Blog ini segera akan menghadirkan kisah siapa sebetulnya Aidit, bagaimana kiprahnya
di PKI, dan apa saja yang telah ia lakukan. Tetapi tak cuma itu, blog ini juga mencoba
memaparkan bagaimana kisah perjuangan keluarga Aidit untuk bertahan hidup di masa
Orde Baru yang begitu doyan membikin mereka nestapa.
31
Itulah sebabnya, maka seri tulisan tentang Aidit dan keluarganya saya beri judul:
WANGSA AIDIT!
Wangsa Aidit (1)… Tertangkap!
Kampung Sambeng dikepung dari delapan penjuru mata angin. ABRI dan pasukanpasukan eks Tentara Pelajar dikerahkan. Tampuk komando operasi dipegang langsung
Kolonel Jazir Hadibroto. Mereka yakin, buronan yang mereka cari-cari bersembunyi di
kampung itu.
Sejak sore tadi Kampung Sambeng, Kelurahan Mangkubumen, Solo, diguyur deras
hujan. Ketika malam datang, Sambeng tak cuma terasa dingin dan temaram melainkan
juga mencekam. Lewat sebuah operasi yang cepat, semua lelaki Kampung Sambeng
diperintahkan keluar dari rumahnya masing-masing. Semua dikumpulkan di lapangan.
Malam itu, Kampung Sambeng steril dari lelaki. Satu per satu mereka diperiksa.
Hasilnya nihil: buronan kelas wahid yang dicari tak ditemukan!
Akhirnya pencarian difokuskan di sebuah rumah di Gang Sidareja. Rumah itu berukuran
kecil. Rumahnya memang sangat pas dijadikan tempat sembunyi. Letaknya di ujung
gang. Persisnya ada di tepi sebuah sungai dekat sebuah kuburan. Jika buronan yang
dicari berhasil selamat hingga ke sungai, alamat ia akan lolos. Bentang alam yang
gelap serta penuh dengan alang-alang memudahkan siapa pun bakal lolos dari
pengintaian dan kejaran. Itulah sebabnya rumah itu dikepung rapat-rapat. Saking
rapatnya, hampir dipastikan mustahil keluar dari rumah incaran tanpa diketahui.
Rumah itu milik seorang perempuan tua bernama Mbok Harjo. Selain Mbok Harjo,
tinggal pula sepasang suami istri yang sengaja mengontrak. Si suami bernama Kasim.
Tak jelas benar sepasang suami istri ini berasal dari mana dan dalam keperluan apa
mengontrak rumah kecil di pjokkan gang yang terpencil itu.
32
Penggeledahan pun dilakukan. Rumah itu diperiksa dengan detail sedetail-detailnya.
Tak ada sedepa pun yang terlewat. Semua ruangan, kolong tempat tidur, lemari
pakaian, hingga lemari makan dibongkar. Tapi buronan tak juga ditemukan.
Mustahil! Tentara yakin betul tak mungkin buronan tak ditemukan sebab pengintaian
terhadpa rumah Mbok Harjo sudah dilakukan cukup lama. Sejumlah intel ditempatkan di
Gang Sidaredja. Ada yang menyamar sebagai penjual es putar. Ada yang menyaru
sebagai tukang gorengan. Hasilnya: buronan dipastikan ada di rumah Mbok Harjo.
Informasi yang diberikan Brigif 4 yang melakukan pengintaian diyakini tak mungkin
meleset. Kecurigaan makin membesar ketika dalam penggeledahan itu ditemukan tiga
benda mencurigakan: tas ransel, kacamata, dan radio.
Akhirnya pencarian dimulai kembali. Langkah pertama adalah menginterogasi habishabisan Pak Kasim yang telah berkumpul bersama semua lelaki Kampung Sambeng.
Lewat mulut Pak Kasim itulah diketahui ada sebuah kamar rahasia di rumah Mbok
Hardjo. Kamar itu tak mungkin terdeteksi oleh siapa pun yang memasuki salah satu dari
dua kamar utama sebab kamar rahasia terletak di antara dua kamar utama. Pintu
masuknya pun bukan di salah satu kamar utama itu melainkan melalui ruang makan.
Persisnya dari sebuah lemari makan. Tetapi hanya dengan membuka pintu lemari
makan pintu masuk kamar rahasia itu tetap tak akan kelihatan. Pintu masuk baru
terlihat jika lemari makan itu digeser.
Berdasar informasi itulah penggeledehan dilakukan kembali. Ternyata betul: di balik
lemari makan ada pintu rahasia yang menghubungkan ruang makan dengan sebuah
kamar persegi panjang yang ukup sempit namun masih mencukupi untuk sekadar
duduk dan merebahkan badan.
Setelah didobrak dari luar dan kamar itu terbuka, seorang lelaki berusia 40-an dengan
paras lusuh dan pucat kedapatan sedang duduk meringkuk memeluk lutu. Percarian
pun berakhir.
Di malam 21 November 1965, Kolonel Jazir Hadibroto lega bukan kepalang. Malam itu
akan menjadi pengepungan terakhir. Tunai sudah ia punya tugas. Segera ia kirim kawat
kepada atasannya. Isinya: Dipa Nusantara Aidit tertangkap…..
33
Wangsa Aidit (2)….. Mengintai Anak dari Jauh
Dr. Sutanti, dokter spesialis akupunktur pertama yang dimiliki Indonesia, mematung di
balik jendela sebuah rumah. Matanya nanar memandangi pekarangan tak seberapa
luas yang ada di seberang jalanan yang sepi. Hari itu tak banyak yang berlalu-lalang.
―Syukurlah,‖ batin Tanti, ―ini memudahkanku memandang lekat anak-anakku.‖
Tanti sudah demikian lama tak bersua dengan tiga anak lelakinya. Ia juga sudah lama
sekali tak pernah pulang ke rumahnya. Dari tempat-tempat persembunyian yang
berpindah-pindah, ia mendengar sehembusan kabar tak menyenangkan: rumahnya di
Jalan Pegangsaan (Cikini) sudah digerebek tentara. Isi rumah dikeluarkan. Sebagian
disita. Sebagiannya lagi dimusnahkan.
Nestapa memang sedang mengakrabi Tanti. Sejak 5 Oktober 1965, ia putus kontak
dengan semua keluarga terdekatnya. Suami tercinta, Dipa Nusantara Aidit, entah
bagaimana kabarnya. Dari sejumlah informasi yang ia dapat di pengujung November
1965, sang suami telah dieksekusi di daerah Jawa Tengah. Mungkin di Boyolali atau
Solo. Ada juga yang bilang di Tegal. Entahlah.
Tak begitu jelas kapan Aidit menikahi Sutanti. Tapi, berdasar informasi yang didapat
dari tulisan Kohar Ibrahim, seorang eksil yang menetap di Brusell, Belgia, yang berjudul
Aidit Pelita Nusantara? Sebuah Catatan dari Brusell yang dimuat di harian Batam Pos,
Riau, diketahui bahwa keduanya menikah pada 1947. Leclerc menyebut perjumpaan
perdana keduanya itu berlangsung ketika Aidit sedang memberikan ceramah tentang
Marxisme. Ketika itu Aidit memang sedang menunaikan tugasnya sebagai anggota CC
PKI yang membawahi bidang Agitprop.
Sutanti adalah anak dari pasangan aktivis pergerakan yang cukup radikal. Ayahnya
bernama Mudigdio, seorang ningrat keturunan bangsawan Tuban. Mudigdio adalah
seorang pembangkang keluarga. Ia memberontak sikap kolot-konservatif keluarganya
dan terutama sikap keluarga besarnya yang sangat pro-Belanda. Setelah
menyelesaikan HBS-nya, Mudigdio segera bekerja sebagai pegawai negeri di Kantor
Pajak. Ketika bertugas di Medan, ia bertemu dengan Siti Aminah yang di kemudian hari
34
menjadi istrinya. Ketika bertugas di Semarang pada 1927, Mudigdio msauk ke dalam
PNI dan kemudian bergabung ke Partindo. Akibat aktivisme politik yang ditekuninya, ia
dipecat sebagai pegawai negeri sebagaimana dialami isemua pegawai pemerintahan
Hindia-Belanda yang terlibat dalam aktivitas pergerakan nasional.
Menjelang penyerbuan Jepang, ia menjadi guru MULO Muhammadiyah di Yogyakarta.
Ketika ia kembali ke Semarang, Mudigdio bekerja untuk PUTERA, dan selanjutnya
bekerja di Jawa Hokokai. Sesudah proklamasi, dia masuk dinas kepolisian yang baru.
Pada 1948, Mudigdio menjadi anggota Partai Sosialis pimpinan Amir Syarifuddin yang
lantas tergabung ke dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang terlibat dalam peristiwa
Madiun Affair. Mudigdio tetap berpihak ke kubu Amir. Atas inisiatif sendiri, Mudigdio
bahkan berusaha mendirikan Korps Polisi Merah di ddaaerah Pati. Pada 21 November
1948, dia dan pembantu-pembantunya ditangkap dan ditembak mati.
Siti Aminah, janda Mudigdio, ketika itu menjadi anggota KNIP mewakili Partai Sosialis.
Kematian suaminya justru membikin gairahnya untuk berpolitik makin menjompakjompak. Ia berkonsentrasi di bidang pergerakan perempuan, sehingga ia terpilih
menjadi wakil ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sambil tetap menjadi
anggota parlemen sampai kemudian ditahan dan diberhentikan sesuai pageblug 1965.
Tanti jelas akrab dengan aktivitas politik. Pernikahannya dengan Aidit kian meneguhkan
darah aktivis yang ia warisi dari kedua orangtuanya. Ia tahu benar resiko menjadi aktivis
politik sekaligus menjadi istri pemimpin tertinggi PKI,. Partai komunis terbesar ketiga di
dunia.
Tapi peristiwa September 1965 betul-betul tak ia duga akan terjadi dengan begitu
cepatnya. Dalam nyaris satu tarikan nafas saja, Tanti harus berpisah dengan orangorang yang dicintanya. Ia juga terpaksa berpisah dengan tiga anak lelakinya. Menjelang
pelariannya, Tanti dan suaminya masih sempat mengirim Iwan, Ilham dan Irfan ke
Bandung. Kabar terakhir, tiga anak lelakinya itu dipelihara oleh Moeliono, salah seorang
kerabat jauh Tanti yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Katolik Parahyangan
Bandung. Kabar itu sedikit melegakan Tanti.
Tapi kesedihan tentu saja tak berkurang. Luar biasa sedihnya Tanti membayangkan
ketiga anaknya yang masih kecil-kecil itu harus menanggung bala akibat pertarungan
35
politik yang melibatkan ayahnya. Apalagi Ilham dan Irfan. Keduanya lahir di sebuah
negeri yang jauh, Rusia, tepatnya di Moskow, pada 18 Mei 1959. Enam bulan kemudian
barulah si kembar Ilham-Irfan merasakan teriknya matahari Indonesia. Jadi, ketika
pecah pageblug 1965, si kembar itu baru berusia enam tahun. Masih sangat kecil untuk
mengerti pergulatan politik. Mereka tidak tahu apa-apa.
Di puncak rasa kangen yang tak mungkin lagi dibendungnya, Tanti berhasil mengontak
keluarga Moeliono, karabat yang selama ini memelihara tiga anak lelakinya. Dia
sampaikan betapa kangen dan berharap sangat bisa bersua dengan anak-anaknya.
Tanti tentu saja sedang tak berniat pergi ke Bandung, dan menyambangi kediaman
keluarga Moeliono untuk dapat memeluk tiga anak lelakinya. Itu rencana bunuh diri
namanya. Itu sama saja menyerahkan diri untuk ditangkap dan dieksekusi tentara. Tanti
sepenuhnya insyaf akan situasi. Dan Tanti memang tak pernah bermimpi bisa memeluk
tiga anaknya.
―Sekadar memandang lekat-lekat anak-anak dari kejauhan pun rasanya sudah nikmat,‖
pikir Tanti.
Maka disusunlah rencana. Moeliono akan membawa tiga anak lelaki Tanti ke suatu
tempat. Di sekitar situ, Tanti sudah menunggu dalam jarak yang cukup jauh yang masih
memungkinkannya menatap lekat sepuasnya anak-anaknya tanpa harus diketahui
orang lain, bahkan juga oleh tiga anak lelakinya itu.
Tanti masih duduk mematung. Matanya memandang pekarangan tak seberapa luas
yang dijanjikan menjadi tempat bermain tiga anaknya hari itu. Waktu serasa tak
berhenti. Menit seperti enggan beranjak. Tanti masih menanti.
Dan ketiga anak kecil yang dirindukannya itu pun akhirnya datang. Mata Tanti nyalang
memandang ke depan. Air mata akhirnya tumpah.
Detik itu juga Tanti mendadak ingat dua anak perempuannya yang sedang belajar di
Moskow. Ibaruri dan Ilya. Apa kabar mereka?
Rasa kangen lagi-lagi membuncah. Air mata lagi-lagi tumpah.
36
Wangsa Aidit (3)….. Raksasa Berkaki Lempung
Aidit lahir di kampung Pagaralang, Tanjungpandan, pulau Belitung, dengan nama
lengkap Ahmad Aidit. Informasi yang didapat dari biografi Aidit di majalah bulanan PKI
berbahasa Inggris, Review of Indonesia vol 7, dan dari memoir Sobron, adik kandung
Aidit, diketahui Aidit lahir pada 30 Juli 1923. Tetapi informasi ini sukar dikonfirmasi
akurasinya. Itulah sebabnya Jacques Leclerc, dalam esai panjangnya di majalah
Prisma edisi Juli 1982, lebih memilih jalan aman dengan menulis: Aidit lahir di awal
tahun duapuluhan.
Nama Aidit diambil dari nama belakang ayahnya, Abdullah Aidit. Abdullah adalah
seorang bekas kuli pelabuhan yang kemudian diangkat menjadi mantri kehutanan,
pegawai menengah pada Jawatan Kehutanan pemerintah Hindia Belanda. Ia dikenal
sebagai seorang muslim yang taat. Ketaatannya itu tercermin pada dua hal: (1) ia
menamai semua anaknya dengan nama yang ke-Arab-arab-an dan (2) keterlibatannya
secara aktif sebagai pendiri Perguruan Nurul Islam, sebuah organisasi kemasyarakatan
Islam yang kecenderungannya dekat dengan Muhammadiyah.
Jabatan Abdullah plus ketaatannya sebagai seorang muslim berikut aktivitas sosialnya
yang kencang membikin Abdullah punya posisi sosial yang terpandang di
Tanjungpandan, ibu kota Belitung. Itu pulalah yang membawa Abdullah ―mampir‖ di
parlemen (baik pada masa DPR-RIS atau DPRS-RI) sebagai utusan daerah Belitung
sekaligus mewakili angkatan ‘45. karirnya di parlemen berhenti ketika Abdullah
memutuskan untuk mengundurkan diri pada 16 Juni 1954.
37
Aidit adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Adiknya yang pertama bernama
Rosiah. Dialah perempuan satu-satunya dari tujuh bersaudara. Rosiah sudah lama
meninggal. Ia meninggal di Mekkah ketika sedang menunaikan ibadah haji. Dua anak
lelaki lainnya sudah meninggal sewaktu mereka masih kecil. Jadi, hanya lima lelaki
anak Abdullah yang sempat merasakan umur panjang. Berturut-berturut setelah Aidit
mereka adalah Ahmad, Basri, Murad, Sobron dan, terakhir, Asahan Sulaiman.
Aidit dididik langsung kedua orangtuanya. Seperti teman-teman sebayanya yang lain,
Aidit juga belajar mengaji. Seturut pengakuan Sobron, Aidit khatam mengaji sebanyak
tiga kali. Ini bukan angka sepele. Dibutuhkan ketekunan yang tak main-main. Pertama
kali Aidit khatam, sebuah pesta syukuran pun diadakan. Semua tetangga tak lupa
dikirimi makanan dan penganan. Ia diarak keliling kampung. Meriah.
Aidit punya banyak kelebihan. Secara fisik ia tak terlampau kekar. Di banding adikadiknya, Aidit yang terkecil dan tependek badannya. Tapi itu semua ditutupi dengan
kebiasaannya berlatih tinju. Seorang anak yang terbiasa mengejeknya pernah
merasakan bogem mentah Aidit. Hingga kini, Murad, salah seorang adiknya, masih
menyimpan sejumlah potret Aidit yang sedang berlatih tinju. Lengkap dengan
atributnya.
Sebagai anak, Aidit tahu betul apa artinya menjadi anak sulung. Ayahnya memang
bukan orang miskin. Tapi untuk disebut kaya jelas jauh panggang dari api. Itulah pasal
yang membikin Aidit kerap memutar otak bagaimana caranya agar bisa membantu
keuangan orang tuanya, minimal tidak merepotkan mereka. Pilihannya adalah
berjualan, berjualan apa saja. Dari mulai kerupuk hingga buah nanas yang telah
dikerat-kerat. Setiap ada pertandingan sepakbola di kampungnya Aidit dipastikan ada di
lapangan. Bukan untuk menonton. Tapi untuk berjualan.
Aidit dikenal juga sebagai anak yang pintar. Semua tahu ia adalah kutu buku. Jika
menemani ayahnya berjaga di tepi hutan, Aidit memilih berdiam di sebuah rumah jaga.
Di sanalah ia bersemayam. Tenggelam dengan bacaan-bacaan kelas berat. Literaturliteratur Marxis seringkali dibacanya di sana.
Asahan, adik Aidit yang terkecil, punya kesaksian ihwal minat belajar abangnya yang
luar biasa. Ketika pada 1952 pakansi ke rumahnya di Belitung, Asahan menemukan
38
segumpal tumpukan kertas tebal yang diikat. Ikatan karton seberat dua kilogram itu
dibukanya. Isinya beragam diploma, macam-macam piagam yang diperoleh Aidit dari
kursus-kursus yang ditempuhnya hingga tamat dari berbagai ragam ilmu pengetahuan.
Dalam ingatan Asahan, dalam ikatan kertas itu terdapat piagam kursus bahasa Inggris,
Prancis, Spanyol, Jerman, Ilmu Hitung Dagang, Mengetik Cepat hingga Stenografi.
Di Tanjungpandan Aidit menyelesaikan sekolah di HIS dan Sekolah Dagang Menengah
Pertama. Karena di Belitung sama sekali belum ada sekolah lanjutan, Aidit memohon
kepada ayahnya untuk diijinkan bersekolah ke Batavia. Permohonan dikabulkan. Pada
1936, Aidit berangkat ke Batavia dengan ditemani salah seorang pamannya, A.
Rachman.
Di Batavia, Aidit langsung tertarik dengan dunia pergerakan. 1939 Aidit bergabung
dengan Gerindo, sebuah organisasai kepemudaan berhaluan kiri pimpinan Amir
Syarifuddin. Selama pendudukan Jepang, Aidit terlibat dalam sejumlah aktivitas
berbahaya dengan bekerja pada organisasi perlawanan bawah tanah. Pada periode
itulah ia berkenalan dengan pemuda-pemuda radikal lainnya macam Chairul Saleh,
Wikana, A.M. Hanafi. Markas mereka ada di sebuah gedung yang beralamat di
Menteng 31. Dengan segera, tempat itu menjadi salah satu pusat perlawanan para
pemuda radikal yang paling massif di Batavia. Sejumlah kursus-kursus politik diadakan.
Mentornya adalah pentolan-pentolan pergerakan. Dari mulai Soekarno, Hatta hingga
Syahrir.
Di awal-awal kemerdekaan, Aidit tertangkap oleh tentara Jepang. Bersama sejumlah
tahanan politik lainnya, Aidit dibuang ke pulau Onrust yang merupakan salah satu pulau
dalam gugusan Kepulauan Seribu. Lewat negosiasi yang alot, Aidit bersama tananan
lainnnya akhirnya dibebaskan.
Aidit menghabiskan sebagian besar waktunya pada periode 1946-1948 dengan
berkutat dalam berbagai aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada kongres PKI
ke-IV, Aidit terpilih menjadi anggota Central Comitee (CC) PKI. Dalam sidang-sidang
KNIP, Aidit dipilih sebagai ketua Fraksi Komunis. Menjelang Madiun Affair 1948, Aidit
diserahi tugas untuk membidangi bidang Agitasi dan Propaganda (Agitprop). Di bawah
39
bimbingan Alimin, Aidit bahu membahu bersama Lukman menerbitkan Bintang Merah,
berkala terbitan PKI yang punya arti strategis.
Aidit sempat pula singgah beberapa lama di Yogyakarta. Di sana ia bisa leluasa
menjumpai kedua orangtuanya yang beberapa tahun sebelumnya memang telah
menetap di Yogyakarta. Selama di Yogya, Abdullah, ayah Aidit, terlibat dalam sejumlah
front pertempuran dengan tentara pendudukan Belanda. Aidit sendiri sibuk dengan
kegiatannya di masrkas kelompok sayap kiri di bilangan Gondolayu, Yogyakarta. Di
sanalah para pemuda radikal memusatkann aktivitasnya.
Salah satu sumber informasi ihwal kegiatan Aidit di Gondolayu bisa dilihat dalam salah
satu paragraf dalam memoir penyair Sitor Situmorang berjudul Sitor Situmorang,
Seorang Sastrawan 45, Penyair Danau Toba. Di sana, Sitor mengisahkan betapa nama
Aidit demikian menonjol dalam kegiatan-kegiatan pemuda radikal di Gondolayu.
Pada waktu terjadi pembersihan yang dilakukan Kabinet Hatta pada semua tokoh-tokoh
penting PKI akibat persitiwa Madiun Affair 1948, 9 orang dari total 21 orang anggota CC
PKI 9 terbunuh. Aidit bersama Lukman, Nyoto dan Sudisman berhasil lolos dari
pembunuhan. Aidit melarikan diri ke Vietnam Utara. Kabar yang dihembuskan PKI
menyebutkan, Aidit sempat terlibat dalam peperangan gerilya di Vietnam dan
membantu perjuangan Ho Chi Minh di sana.
Pada pertengahan 1950 Aidit kembali ke Indonesia. Pada saat itu PKI sedang menata
kembali roda organisasi yang nyaris mati akibat pembersihan pasca Madiun Affair. Tak
berselang lama ia terpilih menjadi Sekretariat Jenderal CC PKI. Bersama kawan-kawan
seangkataannya, Aidit berhasil menyingkirkan generasi tua PKI yang dianggap terlalu
lembek, elitis dan pragmatis. Angkatan tua macam
Tan Ling Djie dan Alimin disingkirkan. Ketika PKI mengadakan kongresnya pada 1954,
PKI betul-betul jatuh ke tangan kader dari generasi muda. Pada kongres itulah, Aidit
terpilih menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKI. Ia terus menduduki jabatan tertinggi
partai itu hingga saat kehancuran PKI pada 1965 terjadi. Aidit adalah Sekjen PKI yang
termuda. Sekaligus juga yang terakhir.
40
Pengaruh dan jasa Aidit terpampang selebar-lebarnya. Di tangan Aidit, PKI menjelma
menjadi sebuah partai yang disegani. PKI menjadi partai komunis terbesar ketiga di
dunia setelah Russia dan Cina. Itu artinya, di tangan Aidit, PKI menjadi partai komunis
terbesar di negara non-komunis.
Melebihi tokoh-tokoh partai lainnya, Aidit muncul sebagai seseorang yang paling
bertanggungjawab dalam mengarahkan penerapan ideologi Marxisme-Leninisme dalam
konteks kehidupan di Indonesia. Ia juga bertanggungjawab sepenuhnya atas pelbagai
tindakan yang ditempuh PKI dalam rangka mengarahkan partai untuk mengambil caracara yang dipandang relevan untuk diambil, tentu saja dengan memerhitungkan ragam
rintangan yang melintang.
Ia memiliki kelebihan-kelebihan tertentu yang tak dimiliki oleh tokoh-tokoh penting lain,
misalnya Tan Malaka yang terpaksa harus menghabiskan banyak waktu dalam pelarian
di luar negeri atau juga Musso yang lama tinggal di Sovyet. Kenyataan betapa Aidit di
masa-masa akhir penjajahan Belanda, penjajahan Jepang dan awal-awal revolusi tetap
berada di Indonesia, persisnya di Jawa, membikin ia punya pembacaan dan
pengetahuan yang cukup memadai terhadap situasi dan kondisi tanah air. Aidit juga
berhasil membangun sebuah jaringan kerja yang solid dan sistematis dengan sejumlah
kolega, sesuatu yang tentu saja kurang dimiliki oleh Musso dan Tan Malaka.
Tetapi tak sedikit orang yang menilai Aidit punya sejumlah ―cacat‖ dalam menakhodai
PKI. Sebuah kritik bersifat antropologis datang dari Peter Edman, penulis buku
Communism A La Aidit: The Indonesian Communist Party Under D.N. Aidit 1950-1965.
Kritik Edman berporos pada kegagalan Aidit untuk memahami kebudayaan Jawa.
Statusnya sebagai orang yang dilahirkan di Sumatera bukan hanya menghalanghalangi Aidit untuk menerima cara-cara Soekarno yang merupakan seorang Jawa,
melainkan juga menyebabkan dirinya gagal memahami persoalan-persoalan politik,
sosial dan budaya yang dihadapi PKI di tanah Jawa, tempat di mana partai yang
dipimpinnya memiliki massa terbesar sekaligus juga tempat di mana gagasan-gagasan
dirinya diujicobakan.
Kegagalannya untuk mempraksiskan secara sempurna ide landreform dimulai ketika
Aidit gagal memahami kenapa muncul respon yang beragam atas kampanye
41
landreform yang diusungnya. Reaksi berlebihan dan tidak cerdas dari kader-kader PKI
terhadap aksi perlawanan orang-orang Jawa (yang dikomandoi oleh para tuan tanah
dan para kyai pemilik kpesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur), sebut Peter
Edman, ―…memberikan gambaran betapa atau naifnya para pemimpin partai dalam
memeluk keyakinan bahwa kesadaran kelas sudah cukup memadai untuk menyatukan
para petani agar bersama-sama melakukan perlawanan terhadap para tuan tanah.‖
Aidit juga dituding bertanggungjawab atas terjerumusnya PKI ke dalam avonturisme
politik yang berbahaya. Dukungan Aidit terhadap kudeta yang dilakukan Kolonel Untung
pada pengujung September 1965 jelas-jelas menjadi blunder yang membikin PKI
mengalami kehancuran untuk selama-lamanya. Padahal jelas, partai belum siap
melakukan sebuah pertarungan bersenjata. Lain hal jika, misalnya, ide Angkatan ke-V
yang berisi tuntutan agar para buruh-tani dipersenjatai telah terealisir.
Di kalangan internal PKI sendiri ada suara yang menyalahkan Aidit sebagai orang yang
―lemah hati‖. Inti dakwaan ini terletak pada ketidakberanian Aidit untuk menyerukan
kepada segenap kader dan simpatisan partai untuk melakukan perlawanan total
terhadap siapapun yang hendak menghancurkan partai. Aidit dituding sebagai
pemimpin salon. Kenyataan bahwa Aidit adalah seorang kutu buku dan pecinta musikmusik klasik yang lembut dijadikan salah satu dasar untuk membenarkan dakwaan ini.
Semua kekurangan-kekurangan itulah yang menjadi sebab kenapa Jacques Leclerc
pernah menyindir betapa PKI di bawah kepemimpinan Aidit memang berhasil menjadi
raksasa, tetapi ―raksasa yang berkaki lempung‖!
Wangsa Aidit (4)….. Kabar Kematian!
Sobron masih ingat kapan, bagaimana, dari mana dan di mana ia pertama kali
mendengar kabar kematian abangnya, D.N. Aidit. Ketika itu Sobron sedang menetap di
Peking. Ia bekerja sebagai tenaga pengajar di IBA, sebuah akademi yang dibiayai
Partai Komunis Cina. Sebelum menjadi pengajar, Sobron sempat pula menjadi
penerjemah majalah Peking Review yang diterbitkan oleh Penerbitan Pustaka Bahasa
Asing Peking. Selama menjadi tanaga pengajar, Aidit dan sejumlah koleganya
diinapkan di Hotel Persahabatan, Friendship Hotel.
42
Ketika itu warsa 1965 sudah sampai pengujung. Desember 1965. Sobron dan semua
ekspatriat asal Indonesia sudah tahu banyak ihwal kondisi yang terjadi di tanah air.
Mereka tahu bagaimana aktivis PKI serta segenap anggota keluarganya dicari-cari,
ditangkapi, diasingkan dan sebagian lagi dibunuh. Kabar tak mengenakkan tentang
tanah air terus berseliweran makin kencang. Sobron tak bisa membayangkan
bagaimana nasib keluarganya di Jakarta. Bagaimana kabar Aidit? Murad? Basri? Apa
yang menimpa Tanti dan tiga anak lelaki kecilnya: Iwan, Irfan dan Ilham?
Di salah satu malam di bulan Desember yang mencekik itu, Sobron dan kolegakoleganya keluar dari hotel. Ada pertemuan penting yang harus dihadiri. Ternyata
Sobron dipertemukan dengan delegasi Cina yang baru saja menghadiri sebuah
Konferensi Internasional di Havana, Kuba. Ketika delegasi Cina berkesempatan bersua
dengan pemimpin Kuba, Fidel Castro, mereka beroleh kabar tak mengenakkan tentang
Indonesia, persisnya kabar tertembak matinya Dipa Nusantara Aidit, pemimpin tertinggi
PKI. Castro sendiri yang mengatakannya.
Awalnya Sobron tak percaya. Bagaimana bisa abangnya itu bisa dengan mudahnya
mati? Mungkinkah seorang pemimpin partai besar yang dihuni tiga juta anggota
setianya bisa dengan mudah tumpas? Bukankah abangnya adalah orang yang sangat
lihai bersembunyi? Reputasi Aidit sebagai seorang yang memiliki intuisi kuat sering
membawanya berhasil lolos dari lubang jarum yang sempit sekalipun. Sobron tahu betul
bagaimana abangnya itu berhasil keluar dari kejaran musuh ketika peristiwa Madiun
Affair 1948 meledak.
Ia juga tak akan melupakan kepandaian abanganya itu dalam hal menyamar atau
menyaru. Dia sendiri pernah menjadi korban dari kelicikan abangnya itu. Ketika itu di
Jakarta sedang terjadi razia besar-besaran terhadap aktivis-aktivis PKI yang dilakukan
oleh Kabinet Sukiman. Sobron sering menyebutnya sebagai Razia Agustus karena
rentetan razia itu memang berlangsung gigih-gigihnya pada bulan Agustus 1951. Di
suatu malam ketika Sobron sedang berjalan di sekitar Pasar Matraman, ia melihat
sesosok tubuh yang lamat-lamat ia kenal. Lelaki itu tampak tua. Berkacamata.
Rambutnya putih penuh dengan uban. Berkopiah. Jalannya agak terbungkuk dan
terpincang-pincang. Lelaki tua itu berjalan dengan menggunakan tongkat. Dicobanya
memanggil ingatan. Tapi gagal. Sobron tetap lupa di mana dan kapan pernah betemu.
43
Sobron nekat mendekati lelaki tua itu. Begitu jarak makin rapat, lelaki tua itu malah
memercepat jalannya. Makin Sobron mengejar, makin cepat lelaki tua itu menghindar.
Ketika akhirnya lelaki tua itu berhasil didekati oleh Sobron, dia malah berbisik pelan.
―Sana, mengapa kau mengikutiku. Sana jauh, nanti ketemu!‖ hardik lelaki tua itu
dengan setengah berbisik sambil tak lupa mengernyitkan kening dan memelototkan
matanya. Tahulah Sobron kalau lelaki tua itu adalah abangnya sendiri, D.N. Aidit, yang
sedang menyaru.
Sejak itulah Sobron sadar kalau situasi memang sedang gawat. Beberapa kali, lewat
kode ketukan pintu yang khas, abangnya itu datang ke kamarnya. Di malam-malam
seperti itulah kedekatan Sobron dengan Aidit terjalin baik. Mereka sering bercerita.
Saling memberi kabar. Di malam-malam seperti itu Aidit seringkali menitipkan pesan
agar Sobron berhati-hati. Aidit biasanya langsung terlelap. Waktu istirahat betul-betul ia
maksimalkan untuk mengumpulkan tenaga demi kerja-kerjanya esok hari.
Seringkali Sobron terbangun di pagi hari dan abangnya itu sudah lennyap tak berbekas.
Hampir benar-benar tanpa bekas. Abanganya itu tahu betul menjaga rahasia. Sekalipun
ia tak pernah meninggalkan sesuatu yang bisa membuktikan kalau dirinya pernah dan
sering mampir ke kamar Sobron. Itulah sebabnya penggeledehan yang dilakukan
tentara di kamarnya tak membuahkan hasil. Tak ada sedikit pun jejak yang terendus.
Nihil.
Wajar jika Sobron meragukan informasi tentang kematian Aidit. Tetapi akhirnya Sobron
pun menerima kebar kematian abangnya itu dengan ikhlas. Entah bagaimana caranya,
Sobron mendadak yakin dan percaya kalau abang sulungnya itu memang telah tumpas
kelor. Sobron tak mampu menjelaskannya secara logis. Ia percaya kalau abangnya itu
telah menemui ajal karena sesuatu yang irrasional: intuisi.
―Perasaan saya, kedekatan saya selama ini dengan Bang Amat,‖ lirih Sobron,
―…mengatakan, merasakan, ada feeling kejiwaan, memang Bang Amat sudah
meninggal.‖
Hal lain yang menambah keyakinan Sobron adalah sejumlah media internasional
memang telah melansir berita kematian Aidit di sebuah daerah di Jawa Tengah. Salah
44
satu media yang memberitakan itu adalah Asahi Shimbun, media dengan reputasi baik
dari Jepang.
Belum lagi kenyataan di mana Mao Tse-Tung telah mengucapkan langsung pernyataan
belasungkawa atas kematian Aidit. Dalam perhitungan Sobron, Mao tak mungkin
mengeluarkan pernyataan bohong yang bisa melemahkan semangat perjuangan kaum
komunis sedunia.
Sebagai pelengkap pernyataan belasungkawanya, Ketua Mao bahkan menuliskan
sajak yang dimuat di sebuah majalah di Peking. Inilah sajaknya:
Belasungkawa Untuk Aidit
(Dalam Irama Pu Suan Zi).
Di jendela diringin berdiri reranting jarang
beraneka bunga di depan semarak riang
apa hendak dikata kegembiraan tiada bertahan lama
di musim semi malah jatuh berguguran
Kesedihan tiada bandingan
mengapa gerangan diri mencari kerisauan
Bunga telah berguguran, di musim semi nanti
pasti mekar kembali
simpan harum-wanginya hingga di tahun mendatang
Ketika Sobron telah dengan lapang dada menerima kematian Aidit, anehnya, sebagian
besar ekspatriat asal Indonesia yang tinggal di Beijing justru sangat susah diyakinkan.
Mereka yakin D.N. Aidit masih hidup. Salah seorang yang paling sukar menerima kabar
kematian itu adalah Wati, istri Sobron sendiri. Sobron bahkan sempat sedikit
bersitegang leher dengan istrinya itu. Wati memarahi Sobron karena penerimaan
Sobron akan kabar kematian Aidit justru akan melemahkan semangat rekan-rekannya.
Yang lebih gila, ketika Sobron pulang kampung ke Belitung untuk yang keduakalinya
pada November 2004 dan berkumpul dengan keluarga besarnya, sebagian besar
keluarga besar Aidit, terutama para perempuan, masih yakin kalau Aidit masih hidup
45
hingga sekarang. Mereka percaya Aidit hidup dengan cara bersembunyi entah di mana.
Ada yang menyebut di Malaysia. Sebagian lagi meyakini di Filipina.
Wangsa Aidit (5)…..Melamar Anak Tentara
Empat orang tentara berseragam loreng hijau dari Divisi Siliwangi mendatangi sebuah
rumah dengan langkah bergegas. Seorang lelaki paruh baya menyambutnya. Baik-baik
dipersilakan empat tentara itu masuk. Tapi yang ditangguknya adalah ancaman kasar.
―Saudara jangan coba-coba menyimpan dan memelihara anak setan. Segera tunjukkan
di mana mereka. Akan kami bunuh!‖
Lelaki paruh baya itu tampak tak gusar. Tenang. Ia membalas gertakan itu dengan
kata-kata pelan: ―Silakan kalau kalian ingin menembak anak-anak setan yang kalian
sebutkan itu. Saya antar kepada mereka.‖
Lelaki paruh baya itu bersicepat berlalu. Dengan langkah tak kalah cepat, empat tentara
mengikuti, lengkap dengan dengusan tak sabar yang terdengar jelas. Mereka menuju
sebuah pekarangan yang tanahnya berpasir.
―Itu anak setan yang hendak kalian bunuh!‖ lelaki paruh baya itu menunjuk kseorang
anak lelaki yang masih sangat kecil. Ia terlihat sedang bermain kelereng. Anteng
seakan tak peduli sekeliling.
46
Pucatlah wajah empat tentara berseragam itu. Mereka tak menyangka anak setan yang
mereka cari ternyata masih sangat kecil. Anak-anak. ―Leutik keneh euy (masih kecilkecil ternyata),‖ seru salah seorang tentara itu dalam bahasa Sunda.
Tak ada yang bisa mereka lakukan. Keempatnya kontan berlalu begitu saja. Moncong
senjata yang sudah disiapkan urung menyalak.
Anak kecil itu menyaksikan apa yang terjadi. Ia rekam semuanya baik-baik. Ia trauma
akan moncong senjata api.
Anak kecil itu kini telah dewasa. Sekarang usianya telah menginjak 46 tahun.
Perkawinanya dengan Yuyun, teman semasa kuliah di Institut Teknologi Bandung,
menghasilkan dua anak perempuan yang lucu dan cerdas. Putri pertamanya telah
duduk di bangku SMA, sedang adiknya masih kelas VI SD.
Anak kecil yang hampir didor dan kini telah berputri dua itu bernama Ilham. Lengkapnya
Ilham Aidit. Dia adalah anak keempat pasangan D.N. Aidit-Sutanti. Ilham lahir kembar
bersama Irfan, adiknya, pada 18 Mei 1959 di Moskow. Ketika pecah pegeblug 1965,
Ilham, Irfan plus abangnya, Iwan, sempat dititipkan ibunya ke seorang saudaranya di
Bandung. Saudara ibunya itulah yang dikisahkan di awal menghadapi empat tentara
Siliwangi yang hendak menghabisi Ilham. Tak lama kemudian Iwan, Ilham dan Irfan
dipelihara oleh DR. Moeliono hingga dewasa.
Ketika kuliah di ITB, Ilham memilih aktif di kegiatan pecinta alam. Ia tergabung dengan
kelompok pecinta alam bergengsi, Wanadri. Pilihan Ilham untuk aktif di kegiatan pecinta
alam merupakan konsekuensi logis dari pilihannya untuk menjauhi kegiatan yang
berbau politik. Beban sebagai anak D.N. Aidit tidak memungkinkannya mengambil
banyak pilihan. Semuanya serba terbatas. Segalanya serba dibatasi. Itu pun Ilham
masih sering menerima teror dan makian.
Ketika hendak menyunting Yuyun, Ilham dihadapkan pada sebuah pilihan berat:
membuka rahasia kepada keluarga Yuyun ihwal siapa dirinya dengan resiko ia tidak
direstui menikahi Yuyun ataukah memilih untuk menyembunyikan rahasia siapa dirinya.
Pilihan makin sulit mengingat ayah Yuyun adalah seorang tentara aktif yang jelas garis
47
politiknya. Tapi pilihan pertama yang diambilnya. Ilham nekat. Ia temui ayah Yuyun.
Sendirian. Tanpa perantara.
―Om saya ingin cerita siapa saya,‖ tutur Ilham memulai perbincangan.
―Oh ya…yaa.‖
―Om tahu PKI, kan?‖
―Oh, ya,‖ kata sang calon mertua
―Saya anak D.N. Aidit!‖
Ayah Yuyun kaget bukan kepalang. Selama beberapa kerjap waktu ia diam seribu
bahasa. Bungkam. Ilham membiarkannya. Ia memberi kesempatan ayah Yuyun untuk
berpikir. Ilham, tentu saja, tegang setegang-tegangnya. Ia sudah bersiap mengubur
impiannya menikahi Yuyun. Akhirnya….
―Ya sudahlah. Itu kesalahan orang tua kamu. Kamu kan tidak bersalah.‖
Mereka akhirnya menikah.
Wangsa Aidit (6) ….. Kisah Sepotong Nama
Persoalan nama bisa menjadi persoalan tak penting bagi Shakespeare. What Is an a
name? Apakah arti sebuah nama? Tapi cobalah tanyakan apa arti sebuah nama
kepada semua anggota keluarga D.N. Aidit. Bersiaplah menerima jawaban yang
berbanding terbalik dengan cemooh Shakespeare yang termasyhur itu.
Bagi adik, anak, cucu, keponakan dan semua kerabat D.N. Aidit, nama bisa menjadi
persoalan hidup mati. Kata Aidit yang melekat di belakang namanya menjadi password
yang telah membawa mereka pada sebuah jalan hidup yang sungguh berliku, pedih,
dan sangat… sangat… tidak menyenangkan.
Aidit. Selembar nama itu menjadi bala bagi siapapun yang mengenakannya. Tak
pandang bulu. Apakah anak kecil atau orang tua yang sudah renta. Bahkan orang48
orang yang tak ada nama Aidit di identitasnya tetap akan menanggung bala jika
diketahui bersangkut, langsung atau tidak, dengan siapa pun yang memiliki nama Aidit.
Bala itu macam-macam bentuknya: dari mulai ditangkap, dipenjara, diasingkan ke pulau
yang jauh, diawasi, dan diekskomunikasi dari kerabatnya yang lain.
Itu bala yang dihumbalangkan secara langsung oleh penguasa. Sejumlah bala yang tak
kalah memedihkan juga datang bertubi-tubi dari masyarakat biasa, para tetangga,
teman, bahkan kerabat. Para pemilik nama Aidit dijauhi. Tak berkawan. Dicaci maki
sebagai ―anggota keluarga setan‖ menjadi pengalaman sehari-hari.
Tak banyak yang bisa diperbuat. Diam adalah pilihan yang paling masuk akal. Sesekali
salah satu pemilik nama Aidit itu melawan. Berkelahi dengan para pengejeknya. Wajah
yang melebam dan babak belur adalah hadiah yang ditangguk dari aksi perlawanan
dan perkelahian itu
Boleh percaya boleh tidak, sudah lama sekali, jauh sebelum pageblug 1965, persoalan
nama memang sudah menjadi bahan pembicaraan di keluarga Aidit. Kita bisa
memulainya dari nama Dipa Nusantara Aidit: nama yang paling masyhur dari
serentetan nama Aidit yang lain.
Kita tahu, nama asli Aidit adalah Ahmad Aidit. Itulah sebabnya semua adik dan kerabat
Aidit memanggilnya Bang Amat. Ada dua versi tentang muasal nama Dipa Nusantara
Aidit. Versi pertama menyebutkan bahwa ketika Aidit berada di Batavia dan terlibat
dalam aktivitas politik di Menteng 31, Aidit mengirim surat kepada ayahnya, Abdullah.
Surat itu berisi permohonan agar Abdullah mengijinkan Aidit berganti nama. Abdullah
mengabulkan. Maka bergantilah nama Ahmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit.
Perubahan nama itu kemudian oleh Aidit sendiri disahkan di hadapan notaris.
Pada masa itu, perubahan nama bukanlah barang aneh. Beberapa pemuda aktivis
melakukannya. Mungkin untuk menandai perbatasan antara nilai-nilai lama dengan
nilai-nilai baru. Mengganti nama lama dengan nama baru diharapkan bisa
menjompakkan semangat memerjuangkan nilai-nilai baru tersebut. Salah satu nama
yang juga mengubah nama adalah Hanafi. Salah satu pentolan Menteng 31 ini juga
mengganti nama depannya dengan inisial A.M. yang merupakan kependekan dari kata
Anak Marhaen. Jadilah Anak Marhaen Hanafi.
49
Nama Dipa Nusantara sendiri dipakai Aidit untuk menghormati jasa pahlawan nasional
Pangeran Diponegoro. Aidit berharap, penggunaan nama Dipa itu bisa memantik
inspirasi dan semangatnya untuk membebaskan Nusantara dari cengkeraman
kolonialisme. Persis seperti yang pernah pula diupayakan Diponegoro.
Tetapi tak sedikit yang sinis menanggapi perubahan nama Aidit. Salah satu argumen
kelompok ini adalah: Aidit menghapus nama Ahmad menjadi Dipa Nusantara
sepenuhnya alasan politis. Mosok pemimpin PKI namanya Ahmad?
Versi pertama inilah yang hingga kini paling santer terdengar. Salah seorang yang
―mengedarkan‖ versi ini adalah adik kandung Aidit sendiri, Sobron Aidit. Sejumlah
literatur tentang Aidit yang paling kredibel sekalipun, seperti esai Leclerc atau bukunya
Peter Edman, meyakini versi inilah yang paling bisa dipercaya.
Versi lain yang nyaris tak muncul ke permukaan dikemukakan oleh Asahan Sulaiman
Adit, bungsu dari tujuh bersaudara Aidit. Versi ini bisa dijumpai dalam buku Menolak
Menyerah, Menyingkap Tabir Keluarga Aidit (Yogyakarta: Era Publisher, 2005) yang
merupakan sebuah reportoar karya dua penulis muda Budi Kurniawan dan Yani
Andriansyah. (Buku itulah yang paling banyak menyumbangkan informasi bagi
penulisan esai ini, khususnya untuk bagian-bagian tentang kehidupan keluarga Aidit di
luar Sobron dan D.N. Aidit sendiri).
Kata Asahan, Ahmad Aidit telah berubah menjadi Dipa Nusantara Aidit sejak ia
dilahirkan. Sumber yang digunakan Asahan adalah sebuah akte kelahiran Aidit sendiri.
Akte itu bertarikh 1923, tahun kelahiran Aidit, dan ditandatangani langsung oleh
Abdullah Aidit langsung. Asahan ingat betul, akte yang berhiaskan lukisan indah itu
masih menggunakan bahasa Melayu agak kuno. Di akte itulah tertulis: Anak dari
Abdullah Aidit yang lahir pada 1923 yang saya beri nama Ahmad Aidit, bila dia telah
menginjak usia dewasa akan menggunakan nama Dipa Nusantara Aidit.
Jadi jelas, tegas Asahan, nama Dipa Nusantara bukanlah ciptaan abangnya ketika ia
sudah di Batavia, melainkan nama yang memang diciptakan oleh ayahnya langsung.
Asahan, si bungsu yang mahir menggesek biola ini, juga punya sebuah refleksi yang
lucu tentang persoalan nama di keluarganya. Begitu menyadari bahwa nama Dipa
50
Nusantara adalah ciptaan ayahnya, Asahan langsung berpikir: Kenapa ayahnya tak
menamai anaknya yang lain dengan nama segagah Dipa Nusantara?
Asahan bertanya-tanya, kenapa namanya tidak ditambah menjadi Sulaiman Dian
Khatulistiwa saat masih kecil? mengapa ketika dewasa namanya tidak berganti menjadi
Sulaiman Dian Khatulistiwa Aidit yang disingkat SDK Aidit. Sedangkan Sobron
umpamanya menjadi Sobron Penata Persada Aidit dan disingkat SPP Aidit. Lalu Murad,
misalnya, berubah menjadi Murad Zamrud Jawa Dwipa Aidit atau MZJD Aidit.
Sedangkan Basri menjadi Basri menjadi Basri Sengsara Sepanjang Masa Aidit dan
disingkat BSSM Aidit—Basri adalah abang Asahan yang sepanjang hidupnya selalu
dirundung sengsara hidup sehingga menurut Asahan dia itu tak berhak menggunakan
nama yang jaya berbinar-binar.
Asahan sendiri akhirnya memang melakukan perubahan nama. Asahan adalah nama
hasil perubahan itu. Aslinya ia bernama Sulaiman. Setelah hidup menggelandang di
Eropa, Asahan berpikir untuk mengganti nama. Maka diperolehlah nama Asahan.
Lengkapnya Asahan Alham. Alham sendiri merupakan akronim dari kalimat
alhamdulillah. Nama Aidit dibuang jauh-jauh untuk selama-lamanya.
Murad, adik Aidit yang lain, pernah pula menghapuskan nama Aidit. Ketika ia baru saja
dibebaskan dari Pulau Buru pada 1978, Murad langsung menyaksikan sejumlah
kenyataan pahit yang jelas-jelas diskriminatif. Mereka selalu siap di-litsus (akronim dari
―penelitian khusus‖, sebuah metode screening yang dipraktikkan orde Baru). Mereka
yang tak lulus litsus hampir dipastikan tidak akan pernah bisa memiliki KTP. Mereka
juga tak mungkin bisa menjadi pegawai negeri sipil maupun tentara. Mereka dijegal.
Ketika Murad masih tinggal di Cikole, Bandung, Murad nekat tetap memasang nama
Aidit. Tetapi ketika sedang berwirausaha di bilangan Depok dengan memelihara ternak,
atas desakan sejumlah kawan-kawan dekatnya, Murad akhirnya menyembunyikan
identitas Aidit-nya. Alasannya cukup bisa diterima Murad: dengan tetap menggunakan
nama Aidit ada kesan kalau Murad sedang menantang. Melenyapkan identitas Aidit itu
dilakukan Murad hingga waktu yang cukup panjang. Ketika Murad menikah untuk yang
keduakalinya hingga dianugerahi seorang anak, Murad juga menyembunyikan identitas
Aidit-nya kepada istri kedua dan anaknya itu. Enam menantu Murad yang menikahi
51
enam anak Murad dari istri pertama bahkan baru-baru ini saja mengetahui rahasia
nama Aidit di belakang nama Murad. Beberapa tahun kemudian, setelah Murad
berketetapan mennyandang kembali nama Aidit, Murad baru menceritakan semuanya.
Menyembunyikan nama Aidit memang menjadi pilihan yang paling banyak diambil
keluarga Aidit. Selain Asahan dan Murad, Ilham Aidit juga melakukan hal yang serupa.
Dlam rentang waktu yang cukup lama, ia hanya menggunakan nama Ilham. Ilham
pernah pula menambahkan nama Alam Putera di belakang namanya. Alam Putera
adalah nama samaran yang sering digunakan ayahnya ketika sering menulis di media
massa pada masa mudanya.
Ilham juga memilih tak menerakan nama Aidit di belakang dua puterinya. Ilham tak mau
ejekan dan cacian yang biasa dia terima dulu juga dialami anak-anaknya. Ilham juga
cukup lama menyembunyikan nama Aidit kepada dua puterinya itu. Baru dua tahun
yang lalu Ilham menceritakan kepada dua anaknya itu ihwal siapa nama kakeknya.
Kendati beberapa guru anak-anaknya di sekolah telah mengetahui rahasia ini, namun
untungnya dua putri Ilham tak mengalami pengalaman pahit dirinya dulu.
Kakak kandung Ilham, Iwan Aidit, yang kini masih bermukim di Kanada, juga melakukan
hal yang diambil Ilham kepada anak-anaknya. Iwan menghapuskan nama Aidit dari
belakang namanya. Iwan kini menyandang nama Iwan Hignasto Legowo.
Tak cuma adik, anak dan cucu Aidit yang punya kisah tentang arti sebuah nama bagi
hidup mereka. Moyang dari wangsa Aidit sendiri, Abdullah Aidit, punya kisah yang
menarik tentang nama Aidit yang tersampir didirinya itu. Bedanya, kisah yang menimpa
Abdullah bukan kisah sedih, melainkan cerita ringan yang, menurut hemat saya, masih
relevan dikisahkan di sini semata untuk menegaskan bahwa keluarga Aidit memang
punya persoalan yang khas dengan sebuah nama, sekaligus juga untuk meluruskan
silap paham yang banyak beredar ihwal identitas dan kiprah Abdullah Aidit.
Ketika pada tahun 1950 Abdullah menjadi anggota parlemen mewakili daerah Belitung,
Abdullah ketika itu sama sekali belum memiliki rumah sendiri. Akhirnya oleh sekretariat
parlemen Abdullah diinapkan di hotel. Uniknya, setelah diatur sedemikian rupa,
Abdullah harus menginap di hotel Centraal di jalan Citadel. Bukan hotelnya yang jadi
52
masalah. Yang jadi pokok perkara adalah dengan siapa Abdullah menginap? Ternyata,
Abdullah Aidit harus menginap dengan anggota parlemen bernama… Abdullah Aidid!
Ini kebetulan yang langka. Keduanya punya nama persis. Yang membedakan hanya
satu huruf, yaitu huruf paling belakang nama masing-maing: Aidit dan Aidid. Jika
Abdullah Aidit merupakan anggota parlemen non-fraksi, sedangkan Abdullah Aidid
adalah anggota fraksi Masyumi. Barangkali, kebetulan inilah yang menyebabkan
beredarnya salah kaprah ihwal jati diri Abdullah Aidit yang pernah santer dikabarkan
sebagai anggota Masyumi.
Wangsa Aidit (7)….. Mengenang yang Telah Beranjak Jauh
Mengenang yang Telah Beranjak Jauh Malam itu Sobron betul-betul merasa sepi.
Sekaligus malu. Juga terhina. Jauh-jauh datang dari Paris, ia sama sekali tak beroleh
sambutan. Genangan rasa kangen akan kampung halaman dan kerabat lindap dengan
cara yang aneh sekaligus menyesakkan.
Itulah kali pertama Sobron menginjakkan kembali tanah Belitung. Ia datang dengan
Laura, cucunya yang baru berusia 10 tahun. Malam itu Laura dibawa beberapa kerabat
Sobron. Akan dibawa keliling. Begitu katanya.
Sobron betul-betul merana. Malam itu ia sendirian di Hotel Melati. Tak tahu hendak ke
mana ia. Tak ada tujuan. Tak ada satu pun kerabatnya yang menawarinya menginap.
Kerabat-kerabat Sobron hanya datang ke hotel. Itu pun tak lama. Setelah dirasa cukup,
mereka pergi satu per satu.
53
1996 memang tahun yang masih belum ramah bagi orang-orang seperti Sobron.
Sebenarnya ia sedikit bisa memaklumi polah kerabat-kerabatnya itu. Mereka punya
alasan yang masuk akal. Sobron sendiri memang tak berniat menyusahkan kerabatnya.
Ia datang hanya ingin menuntaskan rasa kangen yang sudah menjompak di ubun-ubun.
Barangkali, rasa sentimentil telah menyeret Sobron pada situasi emosi yang bergelora,
sekaligus juga rapuh.
Sobron akhirnya memilih menelusuri garis pantai. Suasana sungguh sepi. Jarang sekali
Sobron berpapasan dengan orang lain. Tak pelak suasana hati Sobron kian terbawa
sendu. Lama-lama, Sobron mensyukuri keadaan itu. Dengan sepinya Tanjungpandan,
Sobron merasa ia bisa bebas menghabiskan malam, menuntaskan rasa kangen,
merayapi bertumpuk kenangan lama, tanpa harus diimbuhi tetek bengek hiruk-pikuk
orang lain.
Sobron melangkah terus. Ia ingat ketika dulu sering berkumpul dengan kawan-kawan
lamanya tiap kali ia pakansi atau liburan. Liburan biasanya diisi Sobron dengan
pelbagai kegiatan. Sekali waktu ia pernah mengadakan beberapa pementasan drama.
Dua tahun berturut-turut dipentaskan naskahnya Utuy Tatang Sontani, Awal dan Mira
serta Bunga Rumah Makan. Sobron cum suis pernah pula mementaskan naskah Dosa
Tak Berampun, saduran dari naskah Ayahku Pulang, sebuah drama Jepang yang
disadur oleh Usmar Ismail. Semua pertunjukan itu sangat disukai penduduk
Tanjungpandan.
Setiap kali pementasan usai, Sobron dan kawan-kawannya masih disibukkan oleh
aktivitas mengemasi segala macam perangkat pementasan. Tak jarang semua baru
kelar ketika jarum jam telah menunjukkan angka 24.00. Sekujur badan tentu saja terasa
lelah. Dalam kondisi begitu, biasanya mereka pergi menuju pantai Tanjung Pendam. Di
sana mereka melolosi semua pakaian yang melekat di badan. Bugil. Telanjang.
Berenang dan bermain ombak di bawah temaram sinar bulan purnama.
Sobron memercepat langkahnya. Ia ingin seegera mungkin mereguk kenangan ketika
bersama kawan-kawannya telanjang bulat menantang ombak. Tapi di manakah tempat
itu?
54
Setengah mati Sobron mencarinya. Tapi tak juga ia temukan. Tak ada lagi pantai yang
landai. Pasir yang dulu menghampar putih bak permadani dari sutera terlah berganti
oleh pasit berwarna hitam yang diseraki bertimbun-timbun sampah plastik. Pepohonan
nyiur yang dulu pernah dinaikinya sembari bermain-main kini sudah tak ada lagi,
berganti menjadi semak dan alang-alang yang sangat tak teratur.
Sobron mengedarkan pandang. Sobron berharap-harap cemas. Ah… rumah-rumah itu
ternyata masih berdiri. Legalah Sobron. Ia pandangi lekat-lekat deretan rumah-rumah
itu. Tapi Sobron lagi-lagi menangguk kecewa. Rumah-rumah yang dulu rapi, indah dan
terawat itu kini telah menjadi berderet bangunan tua yang usang, tak terawat dan reot.
Sobron menghela nafas. Ada yang hilang bersama butir-butir air matanya yang jatuh
bergulir pelan-pelan. Sobron tak tahu apa yang sebenarnya telah hilang….(Tamat!)
55
Sepenggal Kisah Bersama Ibaruri Aidit
Oleh: Budi Kurniawan
"Bung datang ya. Ada pertemuan keluarga. Ibaruri datang dari Prancis." Begitulah sebuah
undangan Ilham Aidit kepada saya, beberapa pekan silam. Agak kaget juga menerima
undangan semacam itu. Betapa tidak, di antara sekian banyak anggota keluarga besar Dipa
Nusantara (DN) Aidit yang selamat dan berhasil mempertahankan hidup pascatragedi 30
September 1965, saya menduga hanya saya orang luar yang diundang dalam pertemuan itu.
Minggu siang yang benderang di sebuah pinggiran situ di kawasan Ciputat, Tangerang,
Propinsi Banten, dugaan itu terbukti. Begitu tiba, Ilham Aidit, putra DN Aidit langsung
menyambangi dan menjabat erat tangan yang saya ulurkan. Duduk lesehan saya melihat ada
Murad Aidit (adik DN Aidit) bersama beberapa anak dan cucunya, beberapa sepupu dan
ponakan Ilham pun hadir. Ada sekitar 50 orang yang hadir ketika itu. Beberapa saudara jauh
DN Aidit yang datang dari Pulau Belitung pun terlihat hadir.
Setelah dikenalkan pada beberapa orang yang belum pernah saya temui, Ilham membimbing
saya menemui seorang perempuan berkulit bersih, berambut pendek, mengenakan kemeja
putih, berwajah bundar dan bertubuh tak terlalu tinggi. "Ibaruri," begitu ia mengenalkan dirinya.
Baru beberapa hari Iba, begitu ia biasa disapa, tiba di Jakarta. Sudah berpuluh-puluh tahun Iba
tinggal di Prancis bersama suami dan keluarganya. Di Prancis pula Sobron Aidit, pamannya
dan puluhan kaum eksil lainnya tinggal setelah mereka pergi dari Cina yang sebelumnya
sempat menampung mereka.
Kedatangan Iba ke Jakarta ini rupanya dimanfaatkan keluarga besar Aidit untuk berkumpul,
bercengkrama dan saling bercerita. Saya menyaksikan pertemuan itu berlangsung hangat dan
56
bersahaja. Mereka tak banyak bicara politik. Kalau pun ada, hanya sekelebat. Murad misalnya,
bercerita ia sedang menulis buku berjudul DN Aidit Pemimpin PKI Legendaris dan sedang sibuk
bersama teman-temannya eks Tahanan Politik (Tapol) dan kaum kiri lainnya yang diganyang
Orde Baru (Orba) melakukan gugatan kepada lima presiden di sebuah pengadilan di Jakarta
Pusat. Seorang kerabat DN Aidit dari Belitung menceritakan pengalaman saudaranya yang
kesulitan pulang kampung, karena tak ada angkutan dan karena bantuan DN Aidit ia bisa
mendapatkan angkutan kapal gratis.
Keluarga besar Aidit itu juga menyantap beberapa makanan yang dihidangkan dalam
pertemuan. Mereka juga berfoto bersama. Kala sore menjelang, pertemuan keluarga besar Aidit
itu pun usai.
***
Bagi banyak orang, pertemuan keluarga seperti yang dilakukan keluarga besar Aidit itu bukan
hal yang istimewa. Semua orang bisa berkumpul, di mana dan kapan saja, tanpa tembok
penghalang apa pun. Namun tak demikian halnya dengan keluarga Aidit. Stigma dan tudingan
Orba yang berlangsung berpuluh-puluh tahun membuat mereka menjadi keluarga yang
dianggap paling ‗berbahaya‘.
Posisi DN Aidit sebagai ketua Centra Committee Partai Komunis Indonesia (PKI) lah yang
menjadi penyebab utamanya. Maka ketika Tragedi 30 September 1965 pecah, DN Aidit dan
semua yang berhubungan dengannya menjadi sasaran paling utama yang diincar penguasa
baru. Seperti yang ditulis dalam teks sejarah versi Orba, DN Aidit dikabarkan tewas ditembak
tentara di Boyolali, Jawa Tengah. Hingga kini jenazah dan kuburan ayah lima anak yang ketika
di tanah kelahirannya, Belitung, dikenal sebagai anak yang taat beribadah dan khatam Alquran
berkali-kali itu tak pernah diketahui rimbanya.
Anggota keluarga DN Aidit sebagian ditangkap rezim Orba dan dijebloskan bersama tahanan
lainnya ke Pulau Buru. Namun sebagian lainnya yang kebetulan berada di luar negeri, selamat.
Melalui proses panjang dan berliku, mereka berhasil bertahan hidup di negeri orang hingga kini.
Dua putri DN Aidit, Iba dan Ilya, kini bermukim di Prancis. Satu putranya, Iwan Hignasto
Legowo, kini bermukim di Kanada. Dua adik DN Aidit, Sobron dan Asahan Aidit (kini mengganti
namanya menjadi Asahan Alham -kependekan dari lafal Alhamdulillah) kini tinggal di Belanda
dan Prancis.
57
Bersama mereka juga ada ratusan orang Indonesia dengan latar belakang profesi yang
beragam --ada dokter, sastrawan, insinyur dan mahasiswa yang dikirim rezim Soekarno belajar
ke luar negeri-- tertahan di luar negeri dan tak bisa lagi pulang ke Indonesia. Mereka kehilangan
seluruh haknya, termasuk status kewarganegaraan. Dengan terpaksa mereka kemudian
menjadi warga negara di tempat pelarian.
Keadaan yang muram itu berlangsung berpuluh-puluh tahun, hingga pada masa pemerintahan
KH Abdurrahman Wahid, tiba sebuah titik terang. Gus Dur mengembangkan wacana
pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang melarang keberadaan MarxismeLeninisme. Gus Dur yang sejak lama dikenal sebagai sosok yang humanis dan bisa diterima di
berbagai kalangan itu, mengutus Menteri Hukum dan Perundang-undagan (Menkumdang)
Yusril Ihza Mahendra ke luar negeri menemui orang-orang Indonesia yang telah kehilangan hak
dan kewarganegaraannya itu.
Dalam sebuah pertemuan di Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, Belanda, ratusan orang
Indonesia yang tidak bisa lagi pulang ke Indonesia berdatangan dari seluruh Eropa bertemu
Yusril. Beberapa orang terharu dan menangis dalam pertemuan itu.
Tapi pertemuan itu akhirnya tak menghasilkan apa-apa. Yusril yang kemudian berselisih
dengan Gus Dur, mengundurkan diri dari jabatan menteri. Pemerintahan Gus Dur dijatuhkan
parlemen melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 21 Juli 2001.
Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya menjadi wakil presiden, menggantikan Gus Dur
sebagai presiden. Dalam rentang kekuasaannya, Mega tak banyak berbuat untuk kaum eksil
ini. Lalu nasib kaum eksil ini pun tak berubah hingga kini. Mereka tetap tak bisa pulang dan
menjadi WNI seperti yang diidamkan. "Kami memang bisa datang, tapi tak bisa pulang," kata
Sobron Aidit kepada saya beberapa waktu silam.
***
Presiden datang dan pergi silih berganti. Tapi tak ada yang merespon dan mengambil kebijakan
konstruktif untuk menyelesaikan nasib korban politik di masa silam. Langkah DPR dan
pemerintah yang melahirkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelesaikan
masalah politik di masa silam pun, tak banyak bergaung. Korban politik pun tak berani berharap
banyak dengan kehadiran KKR ini. Mereka juga relatif kecewa dengan hakikat rekonsiliasi yang
58
diinginkan pemerintah.
Dalam sebuah pertemuan dengan Ilham Aidit, saya menangkap kekecewaan itu. Dalam benak
korban politik itu, yang dimaksud rekonsiliasi adalah hadirnya sebuah permintaan maaf dari
mereka yang bersalah dan kemudian ada ganjaran hukuman. Karena sesungguhnya pelaku
dalam tindakan politik itu jelas sosoknya. Yang tak jelas adalah hukumannya. Nah, persepsi
soal itulah yang hingga kini sepertinya masih belum selaras.
Namun demikian pada lapisan atas, antara anak-anak korban dan anak-anak pelaku dan orangorang yang berseberangan lainnya, rekonsiliasi terlihat tak jadi masalah. Paling tidak secara
fisik. "Yang jadi soal adalah pada lapisan bawah," kata Ilham kepada saya.
Ilham sempat berharap besar pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Dalam sebuah pertemuan dengan SBY sebelum menjadi presiden, Ilham sempat berbicara
banyak soal rekonsiliasi itu. Sayangnya setelah menjabat presiden, SBY masih juga belum
mengambil langkah konstruktif untuk menyembuhkan luka sejarah dan politik yang berlangsung
lebih dari 34 tahun itu.
Sudah lama sebenarnya nama Ibaruri ada dalam ingatan saya. Melalui pamannya, Sobron
Aidit, saya mengenal sedikit sosoknya. Iba adalah anak pertama pasangan DN Aidit-dr Tanti.
Jauh sebelum Tragedi 30 September 1965 terjadi, Iba dan Ilya disekolahkan DN Aidit ke luar
negeri (Moskow, Rusia). Ketika itu ada semacam naluri politik dalam diri DN Aidit untuk
menyekolahkan anak-anak perempuannya ke luar negeri sehingga jika ada gejolak politik yang
membahayakan, mereka bisa menyelamatkan diri. Sementara yang laki-laki seluruhnya
bersekolah dan berada di Indonesia.
Iba dan Ilya sebenarnya sukses meraih gelar sarjana di Eropa Timur. Tapi gelar itu menjadi tak
bermakna apa-apa ketika mereka kemudian ‗pindah‘ dan terpaksa berpindah-pindah dari satu
kota ke kota lain, dari satu negeri ke negeri yang lain. Di Prancis dan beberapa negara Eropa
lainnya, gelar itu tak diakui.
Namun seperti kebanyakan korban politik lainnya, Iba tetap tegar. Berbekal berbagai bahasa
yang ia kuasai, hingga kini Iba --juga keluarga Aidit lainnya-- mampu bertahan hidup. Iba
59
memang agak menyesal juga karena tak bisa menjadi WNI. Tapi semua itu rupanya tak
menghilangkan kecintaannya pada negeri ini. Ia juga tak menghiba-hiba untuk mendapatkan
status kewarganegaraan itu.
Tak seperti pamannya Sobron Aidit, Iba termasuk jarang datang ke Indonesia. Namun kala
datang, ia benar-benar memanfaatkan waktunya. Pada April dan Mei ini ia, misalnya, menemui
keluarganya yang lain di Bandung, Jakarta dan Pulau Belitung, tanah kelahiran sang ayah, DN
Aidit.
Dalam pertemuan dengan saya, Iba tak banyak bicara. Menurut Ilham, kakaknya itu masih
menyangsikan situasi politik di Indonesia, sehingga ia lebih banyak memilih diam. Kediaman,
yang saya kira, hanya bisa disembuhkan dengan langkah pemerintah yang lebih konstruktif
untuk menyelesaikan dan menyembuhkan luka sejarah dan luka politik masa silam dan
memberikan kepastian hukum di masa kini dan masa datang.
60
Van Der Plas Connection
Drama berdarah 1 Oktober G30S, Konspirasi: Van der Plas Connection (CIA-MI 6),
Dr.Soebandrio - Sam Kamaruszaman - Aidit - Soeharto
Pengantar: Van der Plas Connection adalah jaringan riil yang canggih, hanya anggota-anggota
inti tertentu yang sadar akan keberadaannya sebagai anggota jaringan, lainnya adalah oknumoknum oportunis tanpa sadar, sekedar sebagai alat saja.
(1). Penculikan Dan Pembunuhan
Pada tanggal 1 Oktober 1965, terjadi gerakan militer yg menamakan diri G30S, menculik dan
membunuh 7 orang Jendral dan seorang lolos Jend. Nasution karena keliru dengan Let.
Tendean. Para jendral tersebut adalah anggauta Tim Pengusut MBAD yang ditugasi mengusut
- kriminalitas terorganisasi -yang terjadi di Jawa Tengah dalam penggal kedua tahun 50-an
.Mereka adalah Mayjen.Soeprapto ketua Tim dan anggauta Mayjen S.Parman, Majen.Harjono
MT., Brigjen.Soetojo Siswomihardjo dan Brigjen Pandjaitan dan yang diluar Tim, Letjen A.Yani
Menpangad.
Drama berdarah subuh tgl. 1 Oktober 1965 yang traumatik, membuka jaringan mega konspirasi
yang menelan korban rakyat besar sekali, komunis maupun non komunis dalam abad ini di
Indonesia karena adanya interaksi konflik internal dengan kekuatan-kekuatan besar eksternal.
(2). Dewan Revolusi
Disusul kemudian dengan pembentukan Dewan Revolusi yang diketuai oleh Letkol Untung,
dengan anggauta baik sipil maupun militer, a.l. tokoh yang menonjol ialah Dr.Soebandrio,
Waperdam I (Wakil Perdana Menteri), orang kedua sesudah Bung Karno, Mayjen Amir
Mahmud, Pang Kodam Jaya, Brigjen Soepardjo, Panglima Komando Tempur II Kalimantan
Barat.
Apabila diikuti dengan cermat peristiwanya , ternyata yang mengeluarkan pernyataan
mendukung Dewan Revolusi secara spontan dan vokal waktu itu, hanyalah Utomo Ramelan,
Walikota Solo, sedangkan dari CDB (Comite Daerah Besar) PKI tidak ada yang mengeluarkan
pernyataan seperti itu. Ini bukan peristiwa yang kebetulan, tetapi jelas ada merekayasa dibalik
61
semua itu.
(3). Para Pelaku Utama
Para pelaku utama G 30 S adalah :
1. Letkol Untung, Komandan Batalion Pasukan Kawal Presiden Cakra Birawa.
2. Kol.Latief, Komandan Brigade Infantri Kodam Jaya
3. Brigjen Soepardjo, Panglima Komando Tempur II Kalbar dalam rangka Ganyang Malaysia
4. Sam Kamaruszaman, Kepala Biro Khusus CC PKI.
Keempat pelaku utama tersebut berorientasi dan ada hubungan jaringan dengan PKI, sebagai
suatu hasil binaan dan infiltrasi komunis kedalam AD.
(4). Hubungan Dekat Dengan Jend. Soeharto
Dengan Jendral Suharto keempat pelaku utama tsb. juga mempunyai hubungan erat sejak dulu
:.
1. Letkol Untung - adalah mantan anak buah, sebagai komandan kompinya di Solo. Dia
dikawinkan oleh Suharto, dan merasa berhutang budi serta memandangnya sebagai orang tua
sendiri yang dihormati dan dipatuhi, hubunganya baik dan erat.
2. Kol.Latief adalah mantan anak buah di Yogya yang sefaham dan sehaluan, berpangkat
mayor. pada tanggal 30 September 1965, tengah malam sekitar jam 23.00, dia datang
menemui Suharto di R.S. Gatot Subroto, setelah gagal menemuinya di rumah.
Pertemuan ini oleh Soeharto dinyatakan seolah-olah Latief akan membunuh diri Soeharto,
padahal Latief datang ke Rumah Sakit itu, untuk menyampaikan berita penting tentang rencana
pelaksanaan, G30S yang akan dimulai jam 04.00 tanggal 1 Oktober 1965, besok paginya.
Sebenarnya rencana gerakan militer tersebut, telah dibicarakan pada tanggal 28 September
1965 dirumah Soeharto, di Menteng, Jakarta hanya hari dan jam gerakan belum dibicarakan,
masih perlu dikoordinasikan pada waktu itu dengan kesatuan lainya.
62
Latief bersama istri dan seorang perwira lain dari Solo bersama istri berkunjung kerumah
kediaman Soeharto untuk menyamarkan maksud pertemuan yang sebenarnya, yaitu untuk
membicarakan penyingkiran para jendral anggauta Tim Pengusut MBAD. Dengan hadirnya
para istri justru kelihatan jelas betapa eratnya hubunngan mereka itu, sekaligus membantah
pernyataan Soeharto, bahwa Latief datang ke Rumah Sakit itu akan membunuh diri Soeharto.
3. Brigjen Soepardjo - Panglima Komando Tempur II Kalimantan Barat, mantan ajudan jendral
Roekman (komunis) Soepardjo adalah akrab dan sehaluan dengan Soeharto.
4. Sam Kamaruszaman,adalah kader PARTAI SOSIALIS di Pathuk Yogya, sewaktu PKI Murba
dan PSI masih berada dalam satu wadah.partai tersebut. Sedangkan Soeharto juga menjadi
salah seorang kader juga, keduanya adalah dari satu kandang, jadi bukan orang lain satu
dengan yang lain.
Ditilik dari kapasitas dan otoritasnya,urut-urutan nama anggauta Dewan Revolusi tersebut.
seharusnya dibalik, salah satu tanda jelas adanya konspirasi dan rekayasa gerakan tersebut.
(5). Kriminalitas terorganisasi
Dalam penggal kedua tahun 50-an, di Jawa Tengah berpusat di Semarang, terjadi - kejahatan
terorganisasi - (organize crime) berupa penyelundupan besar-besaran,penggelapan barangbarang milik perusahaan negara, manipulasi dump kendaraan bermotor milik Divisi Diponegoro
dan pungutan liar atas barang-barang kebutuhan rakyat. (Pungli terkenal tahun 70-an di Jawa
Tengah sudah berjalan 20 tahun lebih dulu).
Para pelakunya terdiri dari oknum-oknum militer dan sipil,terorganisasi baik seperti galibnya
organisasi GANGSTER. Pelaksana utamanya a.l. adalah Liem Siu Liong, Thee Kian Seng (Bob
Hasan), Tik Liong (Sutikno - pedagang besi tua). Baru-baru ini bahkan Bob Hasan dengan
bangga berceritera di depan wartawan.tentang hal tersebut .Sedangkan b i a n g dari kejahatan
terorganisasi tersebut tidak lain adalah Kol.Soeharto, Panglima Divisi Diponegoro waktu itu..
(6). Tim Pengusut MBAD
63
Adanya kriminalitas terorganisasi tersebut akhirnya sampai ditangan Jendral Nasution Menteri
Pertahanan / Ketua PARAN (Badan Pemberantasan Korupsi dan Kejahatan Aparat Negara).
Atas laporan dari Kepala Staf Divisi Diponegoro Kol.Pranoto Reksosamodra dan Letkol.
Soenarjo, komandan CPM Jawa Tengah yang mendeteksi dan mengamati kejahatan tersebut.
(Letkol Sunaryo kemudian diangkat menjadi Jaksa Agung Muda).
Jendral Nasution memerintahkan agar kejahataan tersebut diusut, yang dilakukan oleh Tim
Pengusut MBAD, terdiri dari Majen Soeprapto deputi Pangad sebagai ketua, dengan anggauta
Majen.S.Parman, Majen Harjono MT, Brigjen Soetojo dan Brigjen Panjaitan. Dengan teliti dan
kerja keras, dengan didukung bukti-bukti yang sah akhirnya Tim berkesimpulan, bahwa
terhadap para pelaku, harus diambil tindakan. Pertama Kol.Soeharto yang menjadi b i a n g nya
harus dipecat dari kedudukanya selaku Panglima Divisi Diponegoro, dan kedua mereka yang
terlibat diajukan ke depan Pengadilan.
Keputusan yang diambil atasan adalah, memecat Kol.Soeharto sebagai Panglima Divisi
Diponegoro, tetapi tidak diajukan kedepan pengadilan.Kol.Soeharto kemudian dipindah ke
Jakarta tanpa jabatan. Sedang Tik Liong diusut oleh Kejaksaan Negri Semarang atas printah
Jaksa Tinggi Jawa Tengah Mr.Imam Bardjo yang kemudian ternyata meninggal secara
misterius.
(7). Sumpah Kolonel. Soeharto
Dengan pemecatan dirinya sebagai Panglima Divisi Diponegoro tersebut, Kolonel. Soeharto
sangat marah dan dendam, bersumpah untuk membuat perhitungan dan akan menghabisi,
mereka-mereka yang membuat dirinya celaka. Mereka itu tidak lain adalah para perwira
anggauta Tim Pengusut MBAD, dan penanda tangan Surat Keputusan Pemecatan Panglima
Divisi Diponegoro yang tidak lain adalah Panglima Tertinggi / Presiden Soekarno .
(8). Pembantaian Anggauta Tim Pengusut MBAD
Dengan terjadinya drama berdarah subuh 1 Oktober 1965, ternyata seluruh anggauta Tim
Pengusut MBAD yaitu, Jendral-jendral Soeprapto, S.Parman, Harjono MT, Soetojo dan
Panjaitan, dibantai habis, dengan tambahan Men Pangad Letnan Jendral A.Yani. Peristiwa
64
tersebut menggocangkan Indonesia.dengan hebat, suatu kondisi awal yang diperlukan untuk
mengantar penggulingan Presiden Soekarno melalui G30S oleh Van der Plas connection.
(9). Supersemar
Drama berdarah 1 Oktober tersebut beberapa bulan kemudian disusul dengan pengepungan
istana oleh pasukan gelap (tg. 11 Maret 1966-berdasar pengakuan sendiri yang disiarkan
dipimpin oleh seorang perwira tinggi Kostrad), Presiden Soekarno waktu itu sedang memimpin
Sidang Kabinet, mendapat laporan bahwa istana dikepung pasukan gelap, segera pimpinan
sidang dialihkan kepada Waperdam III Dr.Leimena dan Presiden Soekarno kemudian segera
meninggalkan istana dan terbang ke Bogor, diikuti oleh Soebandrio Sikap Bung Karno ini
berbeda dengan tatkala menghadapi peristiwa 17 Oktober 1952 (waktu istana ditodong meriam
yang beliau langsung menghadapinya sendiri).
Jendral Soeharto, mengetahui bahwa Presiden Soekarno ke Bogor, segera mengirim tiga orang
perwira, yaitu Jendral Basuki Rachmat, Yusuf dan Amir Machmud untuk menusul ke Bogor
dengan dibekali pesan untuk Presiden Soekarno. Pesannya adalah - apabila ingin terjamin
keselamatan pribadi dan keluarganya serta jalannya pemerintahan, agar Presiden Soekarno
memberikan mandat kepada jendral Soeharto untuk dapat mengambil tindakan yang perlu guna
menyelenggarakan jaminan ketertiban dan keamanan tersebut .Jika tidak diberi mandat
tersebut, Jendral Soeharto tidak sanggup dan tidak bertanggung jawab jika terjadi kekalutan.
dan kekacauan yang lebih besar-, meskipun sudah diangkat menjadi MenPangad.
Presiden Soekarno dihadapkan pada tuntutan demikian itu tidak dapat melihat celah lagi untuk
menghindar dan sudah terperangkap, sehingga tidak ada jalan lain selain memberikan
Supersemar yang terkenal itu. Secara de facto Presiden Soekarno telah dilucuti kekuasaanya
Memang jendral Soeharto berinterpretasi seperti itu, maka dengan Supersemar tersebut pada
tanggal 12 Maret 1966 PKI dibubarkan. Adapun pertanggungan jawab Presiden Soekarno
dengan Nawaksara di MPRS hanyalah peristiwa seremonial belaka.
Dengan dibantainya para jendral anggauta Tim Pengusut MBAD yang terdiri dari Majen
Soeprapto, Majen Sparman, Majen Harjono MT, Brigjen Soetojo Siswomihardjo dan Brigjen
Panjaitan dan masih ditambah dengan Letjen AYani serta dilucutinya kekuasaan Presiden
Soekarno, telah lengkap dan tuntas terlaksana, sumpah Kol.Soeharto yang diucapkan tahun
65
1957 .
Demikian pula dengan pembubaran PKI tanggal 12 Maret 1966, tugas pokok terakhir kolonel
Soeharto yang dibebankan padanya oleh induk jaringanya (Van der Plas connection) yang
merekrut dia telah dilaksanakanya dengan tuntas.
(10). Pemberontakan PRRI-Permesta
Amerika bersama sekutunya pada tahun 1958 meluncurkan sebuah projek pemberontakan,
dengan tujuan menggulingkan Presiden Soekarno dan memecah Indonesia untuk dijadikan
beberapa negara dan menghapuskan PKI. Mereka menarik pengalaman dari Cina, yang secara
utuh sesudah jatuhnya Chiang Kai Sek, seluruh daratan Cina jatuh ditangan komunis kecuali
Taiwan karena terhalang lautan dan kemudian disekat oleh Armada keVII Amerika dengan dalih
pakta dengan Cina (Chiang Kai Sek).
Di Indonesia Sekutu mempunyai kepentingan langsung yaitu sumber minyak di Sumatra dan
Kalimantan yang merupakan miliknya. Mereka meluncurkan projek pemberontakan tersebut
secara gegabah dan arogan, karena merasa telah menjadi pemenang dalam Perang Dunia ke II
Dengan dibantu koordinasi yang dilakukan oleh agen utamanya (master agent) Prof. Soemitro
Djojohadikusumo, Sekutu menyalurkan dana dan senjata lewat Singapura untuk PRRI dan
Permesta. Amerika dengan garang menodong Jakarta dengan Armada ke VII, minta jaminan
keselamatan warganya dan perusahaan-perusahaan miliknya. Jika Republik Indonesia tidak
sanggup maka mereka akan menggerakkan Armada ke VII yang sudah siap di laut Jawa.
(11). Kolonel A.Yani Juru Selamat
Dengan terjadinya pemberontakan PRRI-Permasta, proyek Amerika Inggris tersebut, Bung
Karno sebagai pemimpin kenamaan dunia, sempat jatuh citra dan martabatnya sampai dititik
terendah dimata dunia. Kemudian tampil Kolonel A.Yani dengan Operasi 17 Agustus untuk
menumpas pemberontakan tersebut, dibawah ancaman Armada ke VII Amerika yang menang
perang melawan Jepang di Pasifik. Bintang terang berada di fihak Yani. Dalam tiga hari berhasil
direbut ibukota PRRI - Padang dan dalam waktu sekitar satu minggu seluruh PRRI berhasil
66
digulung.
Permesta juga mengalami nasib sama, dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat diselesaikan
pula. Di Sulawesi malahan terjadi seorang penerbang berkebangsaan Amerika, Allen Pope,
ditembak jatuh oleh My.Ud. Dewanto, ditawan dan diadili serta mendapatkan vonnis hukuman
mati, karena dia telah mengebomi wilayah Republik Indonesia dan juga beberapa kapal
Indonesia, sehingga menimbulkan kerusakan dan tewasnya rakyat yang tidak berdosa. Dia
mengaku bahwa operasinya dilakukan dengan terbang dari Pangkalan Angkatan Udara
Amerika di Clark Field, Fillipina
Dengan ditumpasnya pemberontakan projek Amerika - Inggris tersebut dalam waktu yang
mengejutkan singkatnya, muka mereka tercoreng dimata dunia internasional dan terbuka
kedoknya menyerang kedaulatan negara lain semaunya sendiri. Disamping itu Amerika
terpaksa harus menjadi pengemis untuk memohon ampunan keselamatan jiwa Allen Pope,
yang oleh Bung Karno dengan jiwa besar diluluskan.
Jika penumpasan berjalan agak lama dan pemerintahan-pemerintahan tandingan tersebut
sempat membuat perjanjian dengan Amerika, maka Amerika dapat menggerakkan Armada
keVII untuk mendarat di wilayah Indonesia. Sikap yang garang dan arogan Sekutu tersebut
dilandasi ego yang kuat karena telah menjadi pemenang dalam Perang Dunia ke II dan Amerika
dibawah pemerintahan Partai Republik ini berbau rasialis. . Wajah dan citra Bung Karno
terangkat kembali dimata dunia dan Indonesia tidak dapat dipandang remeh saja oleh negaranegara lain, terutama negara bekas kolonialis. Bung Karno merasa lega dan sangat berterima
kasih kepada kolonel A.Yani yang mampu mengangkat kembali citra dan martabatnya dimata
dunia internasional.
(12). Amanah Bung Karno
Presiden Soekarno terpana atas performance Kol.AYani, sesudah selesai bertugas dalam
Operasi 17 Agustus di Sumatra Barat, kemudian diangkat menjadi Deputi Kasad dengan
pangkat Mayor Jendral Pada pertengahan tahun 1963 dengan wafatnya Menteri Pertama
Ir.Djuanda, diadakan reshuffle Kabinet, AYani menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat.
Dalam kabinet baru ini Dr.Soebandrio diangkat menjadi Waperdam I, Chaerul Waperdam II dan
67
Pak Leimena Waperdam III. Disamping para menteri eksekutif ini diangkat pula menteri-menteri
yang mengkoordinir bidang tertentau a.l. D.N.Aidit dari PKI ,juga diangkat menjadi Menko,
Jen.Nasution menjadi Menko bidang Pertahanan Keamanan dll.
Meskipun kabinet baru ini sudah mengakomodasi banyak unsur kekuatan termasuk PKI,namun
suhu politik bukanya mendingin,tetapi terasa semakin panas, tuntutan pembagian keuangan
untuk daerah masih tetap meningkat dan desakan dari daerah termasuk dari unsur Angkatan
Bersenjata, agar dikembalikan kepemimpinan Dwi Tunggal menambah kondisi politik tidak
mantap. Lebih-lebih dengan intrik dan infiltrasi dari kekuatan luar negri yang semakin intensif .
Dalam kondisi yang tidak menentu tersebut rupa-rupanya Bung Karno sudah merasa, dan
menyampaikan amanah kepada Jendral AYani -"kalau sampai terjadi apa-apa pada diri saya,
engkau Yani supaya menggantikan saya". Yani yang merasa belum siap menyarankan,"apakah tidak sebaiknya diambil dari salah seorang Waperdam saja, mas Ban, mas Chaerul
atau pak Leimena
Jawaban Bung Karno ,-"Bandrio is onbetrouwbaar (tidak dapat dipercaya), Chaerul masih suka
ngoboy, Pak Leimena cocok kalau jadi dominee di greja, yang tepat adalah engkau".
(13). Dr.Soebandrio Siapa dan Bagaimana Pribadinya
Dilahirkan sebagai anak seorang B.B ambtenaar (Pangreh Praja zaman Belanda yang suka
menjilat) di Jawa Timur. Memperistri Dr. Hurustiati anggauta PSI. Suami istri zaman Jepang
bekerja di bidang kesehatan sebagai dokter dan mempunyai status sosial yang terpandang.
Ontvangst Commitee
Dalam tahun 1945-an Dr.Bandrio membentuk Ontvangst Commitee (Panitia Penyambutan)
untuk menyambut kedatangan kembali Belanda (NICA-Sekutu) dengan mengajak organisasiorganisasi pemuda a.l. Indonesia Muda, yang menolak mentah-mentah, karena Belanda datang
itu mau menjajah Indonesia kembali. Dengan demikian Bandrio disini membuka kedoknya
sendiri dengan bertindak sebagai anggauta jaringan intel Sekutu, yang di Indonesia
dikendalikan oleh Chr.Van der Plas mantan Gubernur Jawa Timur.-(Van der Plas connection).
68
Catatan khusus
Mahkamah Militer Luar Biasa, menjatuhkan vonnis hukuman mati untuk DR Subandrio. Ratu
Elizabeth dari inggris mengajukan permohonan keringanan bagi DR Subandrio. Ada hubungan
apa?
Bandrio, mempunyai sifat-sifat yang licik, plin-plan dan sangat ambisius, dengan sifat semacam
itu, dibesarkan dalam lingkungan dan suasana keluarga BB Ambtenaar, dengan suka cita
masuk jaringan Van der Plas tersebut.
Pembentukan Panitia Penyambutan kedatangan Sekutu-NICA, yang menang perang, Dr.
Bandrio berkeyakinan pasti Belanda akan berkuasa kembali (Perjanjian Yalta, Postdam). Dia
memperhitungkan bahwa kalau dia tampil, nantinya pasti akan diangkat menjadi pembesar oleh
Belanda.
(14). Van der Plas Connection
Van der Plas, Gubernur Jawa Timur yang menguasai beberapa bahasa daerah, bahasa Arab,
Cina selain bahasa-bahasa Barat, dengan licik, berhasil membina keluarga-keluarga BB
Ambtenar dan guru-guru agama, pesantren-pesantren dan organisasi keagamaan hingga
secara lihai mereka dapat dikendalikan untuk kepentingan kolonialis.
Dalam masa pendudukan Jepang, Van der Plas, mengendalikan jaringan intel Sekutu di
Indonesia dari Australia, termasuk dalam jaringanya adalah orang-orang dari jalur Dr.Van Mook
seperti, Mr.Amir Syarifudin (pernah menjadi P.M.- memberontak sebagai PKI di Madiun)
DR.Soemitro (beberapa kali jadi menteri, master agent Sekutu, koordinator penyalur senjata
dan dana dari Singapura untuk PRRI-Permesta) dari jalur Van der Plas seperti Dr.Soebandrio,
beberapa Kyai baik di Jawa, Sumatra maupun di Kalimantan, a.l. H. Hasan Basri, Kyai I.R. dari
Jatim beberapa Perwira Udara a.l. Soedj, Roes, juga anak seorang ambtenaar Belanda,
Soemarsono (ketua Pesindo, proklamator negara Sovyet di Madiun th.1948 - salah satu
pemberontakan terhadap Republik Indonesia bikinan Van der Plas) dsb, sekarang tinggal di
Australia dan menjadi warga negaranya.
69
Termasuk dalam - Van der Plas Connection - juga tokoh seperti Walikota Solo, Utomo Ramelan
yang secara nyata dan vokal mendukung Dewan Revolusi G 30 S, hal ini bukan peristiwa yang
tanpa rencana. Sedangkan dari CDB PKI saja waktu itu tidak ada yang mengeluarkan
statement dukungannya. Dari sini terlihat benang merah, yang menghubungkan Dr.Bandrio
dengan Utomo Ramelan, dengan jelas.
Ramelan, bapaknya Utomo adalah Ambtenaar PID (polisi rahasia Belanda) yang kerjanya
mengkhianati bangsanya saja, Utomo mempunyai saudara perempuan Utami Ramelan
Suryadarma, sekualitas dengan kakak dan bapaknya.
Subandrio yang licik dan licin dengan melalui istrinya, yang anggauta PSI berhasil menempel
pada Sutan Syahrir, hingga berhasil diangkat jadi Duta Besar, kemudian Kepala BPI yang terus
dirangkap selama jadi Menteri Luar Negri maupun jadi Waperdam I, sesudah Menteri Pertama
Djuanda meninggal dunia dalam tahun 1963. Perangkapan sebagai kepala BPI ini adalah saran
dari -Van der Plas Connection ( CIA - MI 6 - Sekutu ).
Tatkala Roeslan Abdulgani menjadi Menteri Luar Negeri, Bandrio yang duta besar di Moskow,
ditarik, dijadikan Sekretaris Jendral (dari jabatan politik ke administrasi, karena antara keduanya
ada rivalitas). Justru dari jabatan ini Bandrio ada kesempatan mengkonsolidasi bagian intel dari
beberapa instansi yaitu Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan dan Departemen
Dalam Negeri (Kepolisian menjadi BPI, Badan Pusat Intelijen, dan dia mengepalainya, tentunya
atas nasihat dan arahan Van der Plas) .
Dengan kedudukanya sebagai Kepala Badan Pusat Intelejen, Waperdam I dengan otoritas
yang ada ditangannya bersamaan dengan dukungan jaringan intel luar negeri (Sekutu) jalan
terbuka baginya guna meraih kedudukan nomer satu di Indonesia. Dengan adanya amanah
Bung Karno kepada Yani, Bandrio harus bekerja lebih keras. Dia mulai membuat manuver
manuver politik yang menyenangkan PKI dan bekerja sama dengan harapan mendapatkan
dukungan politik. PKI.
(15). Tim Dokter RRC
Dalam bulan Agustus 1965, datang sebuah Tim Dokter RRC, setelah mengadakan
pemeriksaan kesehatan Bung Karno, berkesimpulan penyakit Bung Karno adalah serius tak
70
boleh diabaikan. Bagi Bandrio dan PKI berita ini adalah sangat menyentakkan. Sejak saat itu,
mulai terjadi kegiatan dan manuver-manuver politik yang luar biasa. Bandrio melancarkan
move-move politik dan PKI yang merasa belum siap sangat khawatir akan diterkam oleh AD
(dokumen Gilchrist dsb). Lebih baik melakukan ofensif revolusioner daripada diam dan defensif.
Mereka bergegas untuk membuat persiapan-persiapan, guna menyingkirkan Jend. A.Yani dan
para perwira pimpinan Angkatan Darat. Karena mereka sesudah penumpasan pemberontakan
lebih terkonsolidasi, perhitungan Bandrio jika hanya Yani yang disingkirkan, kemungkinan
Nasution akan dapat dimunculkan, maka Nasution segera dimasukkan juga dalam daftar untuk
dihabisi. Dengan persiapan yang tergesa-gesa dan kurang cermat dan tidak rapi tersebut
menjadikan para pelaksana penculikan tidak mampu membedakan antara Nasution dan Letnan
Tendean, yang membuat lolosnya Nasution dari penculikan dan pembunuhan.
PKI segera meluncurkan kampanye politiknya, dengan melontarkan tudingan bahwa para
perwira Pimpinan AD adalah fasis yang merencanakan kup ternadap Bung Karno dengan
membentuk Dewan Jendral. Pengertian Fasis adalah militer (yang ganas dan rakus) yang
bekerja sama dengan kaum kapitalis (disini dikenal sebagai cukong, konglomerat). Sepanjang
pengetahuan orang banyak, para jenderal Pimpinan AD tsb., tidak ada yang dikenal sebagai
tukang dagang apalagi mempunyai cukong, maka tudingan fasis dari PKI tersebut jauh meleset
dan kurang mendapat sambutan dari masyarakat bahkan oleh masyarakat mereka dinilai tertib,
jujur dan disiplin.
(16). PKI (Partai Komunis Indonesia)
Partai yang memberikan dukungan utama kepada Bung Karno dalam meluncurkan politik
penggalangan negara Nefos (New Emerging Forces). Strategi politik ini, mengancam strategi
politik Amerika Serikat, yang dalam rangka perang dingin menginginkan hanya ada dua kubu
saja, kubu Kapitalis dan kubu Komunis. Bung Karno ingin menggalang kekuatan negara-negara
berkembang, menjadi kubu ketiga karena PKI dalam hal ini merupakan pendukung utama,
maka PKI selalu mendapat perlindungan dan dukungan Bung Karno, jika ada yang
mengganggu atau menentangnya.
Sejak akhir tahun 1962, setelah Irian Jaya kembali ke pangkuan RI, PKI mengadakan evaluasi
71
diri, mengapa sejak aktif kembali sudah hampir 15 tahun mulai 1949, belum juga dapat meraih
kekuasaan, sedang dalam Pemilu 1955 sudah menjadi salah satu dari empat besar. Diluar
negeri partai komunis dengan massa 10% saja sudah dapat meraih kekuasaan dengan mudah.
Mereka menemukan kesalahan tsb.yaitu PKI telah menerapkan strategi politik yang keliru, yaitu
strategi 'konformisme' menyesuaikan diri dengan garis politik Pemerintahan Nasional -Bung
Karno. Maka PKI segera mengambil keputusan untuk beralih ke strategi 'konfrontasi' sesuai
dengan garis perjoangan kominis yaitu 'Klassen Strijd', pertentangan kelas.
Aidit dan Nyoto ke Moskow untuk menyampaikan keputusan tsb., tetapi justru mendapat marah
dari bos Partai Komunis Sovyet, yang tidak dapat menyetujuinya, karena kerjasama dengan
pimpinan borjuis nasional seperti Bung Karno masih diperlukan dalam menghadapi kapitalis
Amerika Serikat. Dengan adanya tokoh seperti Bung Karno, dapat digunakan menarik negaranegara berkembang disisi komunis.
(17). Agenda Van der Plas Connection
Aidit merupakan tokoh yang misterius, dia dengan alasan untuk melaksanakan alih strategi
politik yaitu "-konfrontasi-" dalam rangka mengemban misi dari induk jaringanya lewat Sam y.i.
Van der Plas connection, guna menyesuaikan agenda waktu yang sudah ditentukan oleh
jaringan tersebut dalam upaya hendak menggoncang Indonesia. Maka baginya tidak ada jalan
lain selain beralih kiblat ke Beijing, yang masih berwawasan nasional / lokal yang menerapkan
doktrin, -kekuasaan ada di ujung bedil- desa mengepung kota - berkonfrontasi dengan
penguasa nasional, hal yang tidak dapat dielakkan. Dengan menerapkan strategi politik
konfrontasi tersebut, akan sesuai dengan agenda waktu yang sudah ditentukan Van der Plas
connection - (Sekutu) untuk menggoncang Indonesia dalam rangka menyingkirkan Presiden
Soekarno.
(18). Gerakan Aksi Sefihak
Sebagai realisasi strategi -konfrontasi- tsb, dilancarkan Gerakan Aksi Sefihak, yang
menimbulkan antagonisme dan konflik konflik dengan partai dan golongan lain, seperti a.l.
Masyumi, PSI, PNI, NU dan AD serta lain-lain kelompok. Menciptakan setan-setan kota dan
setan desa, kabir (kapitalis birokrat), dsb. yang membikin suasana politik semakin panas,
72
seperti, Peristiwa Bandar Betsi, Jonggol, Boyolali, Klaten dll.
(19). Angkatan Ke V
Kekuatan yang menentang aksi-aksi PKI tsb. dituding oleh Bung Karno sebagai kaum kontrev
(kontra revolusioner), komunisto fobi dan reaksioner, karena tidak berani melakukan kompetisi
revolusioner. Terhadap AD, oleh PKI diluncurkan tuduhan bahwa pimpinannya membentuk
Dewan Jendral yang mau mengekup Bung Karno.
Bung Karno secara sistematis dihasut bahwa para jendral tersebut. tidak dapat dipercaya maka
adalah mendesak untuk dibentuk Angkatan ke V, dengan mempersenjatai buruh dan tani. Hasil
Hasutan tersebut membuat sikap Bung Karno mendua. RRC politis mendukung usul PKI
tersebut dan bersedia untuk membantu persenjataanya. Sikap mendua Bung Karno,
dimanfaatkan dengan pengiriman senjata secara diam-diam dari Beijing ke Jakarta, baik
dengan pesawat-pesawat Hercules maupun dengan kapal laut, yang dibaurkan dengan
pengiriman barang-barang untuk Asian Games.
Semua usaha ekstra PKI tersebut dilakukan karena partainya belum siap dan merasa dirinya
berada dalam keadaan kritikal, sejak diketahui sakitnya Bung Karno yang serius. Menyangkut
rencana PKI terhadap Yani, Bandrio terus mendukungnya sepanjang paralel dengan rencana
dan keuntungannya sendiri, bahkan mengipas dan mendorongnya, agar PKI segera bertindak.
(20). Pidato Jendral A. Yani
Didepan sidang para menteri bersama para panglima daerah dan para gubernur, (waktu itu
unsur PKI sudah ada yang duduk dalam kabinet menjadi menteri) Jendral A Yani secara terus
terang atas nama para panglima daerah menyatakan, menolak dibentuknya angkatan ke lima
usulan PKI dengan mempersenjatai buruh dan tani. Dengan menarik pelajaran dari pengalaman
tahun 45-an, adanya Biro Perjuangan - TNI-Masyarakat, hanya menimbulkan konflik dan
perpecahan yang memperlemah bahkan merusak kekuatan nasional. A Yani juga menyatakan
ketidak senangannya PKI diberi posisi di dalam kabinet.
(21). Aidit Tokoh Misterius
73
Aidit tokoh muda PKI yang misterius. Sejak 1948 (affair Madiun) tertawan di Solo, dapat lolos
dari tahanan di Solo, terus meloloskan diri ke luar negri, lewat Surabaya meskipun Surabaya
dan sekitarnya diduduki oleh Inggris - Belanda. Aidit adalah sekelompok dengan Soemarsono
(Ketua Pesindo yang melakukan proklamasi negara Sovyet dari Madiun atas suruhan Van der
Plas, maka dapat lolos sewaktu tahun 1948 terus ke Australia dan selanjutnya menjadi warga
negaranya). Demikian pula Sam Kamaruszaman adalah sekelompok dengan mereka itu. Dari
peristiwa ini sudah jelas, siapa-siapa mereka itu ialah agen-agen Sekutu-Belanda maupun
komunis.
Tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan Aksi Militer ke II dengan penyerbuan ke
wilayah Republik Indonesia tiga bulan sebelumnya yaitu pada tanggal 18 September 1948,Van
der Plas menyuruh PKI berontak di Madiun (dengan proklamasi negara sovyet tersebut), guna
memperlemah Republik Indonesia. Namun TNI berhasil menumpas pemberontakan PKI,
bahkan Mr.Amir Syarifudin anggauta jalur Van Mook (pernah jadi Perdana Mentri RI) tertawan
didesa Klambu, Purwodadi Jawa Tengah, bersama-sama tokoh-tokoh PKI lainya. Kecurangan
Belanda dengan siasat adu domba dapat kita patahkan sebelum Belanda menyerbu wilayah
Republik Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948 tersebut.
Setelah beberapa tahun di luar negri, Aidit kemudian dapat diselundupkan kembali ke dalam
negri, berkat reka-daya Sam Kamaruszaman. Sejak datang kembali, karier politiknya dengan
lancar dan cepat terus menanjak seperti diroketkan, hingga menjadi bos partai Sekjen PKI,
Ketua Politbiro CC PKI (sebagaimana biasanya seseorang yang diorbitkan, selalu diatur
kariernya).
Hubungan khusus antara Aidit dengan Sam ini kemudian dibakukan dengan dibentuknya Biro
Khusus yang diketuai oleh Sam yang hanya bertanggung jawab kepada ketua Politbiro/Sekjen
PKI seorang yaitu Aidit (dengan alasan mengingat kerahasiaan yang harus dijaga, membina
anggauta Angkatan Bersenjata tidak boleh diketahui oleh orang banyak, cukup dua orang saja).
Keputusan dari PKI mengenai G30S hanya diketahui oleh dua orang tersebut, yang oleh
Sudisman dikritik sebagai keputusan avonturisme. .
Pada tanggal 1 Oktober 1965 tengah malam,Aidit disuruh oleh Sam untuk segera naik pesawat
yang sudah tersedia untuk terbang ke Yogya hanya bersama pendampingnya Kusno, dan diberi
tahu, bahwa nantinya di Yogya akan dijemput oleh Ketua CDB PKI Yogya. Kenyataanya setiba
74
di Yogya tidak ada seorangpun yang datang menjemputnya Hanya diantarkan oleh pendamping
dan seorang sopir dari AURI, bertiga kemudian menuju ke rumah Ketua CDB PKI.Yogya.
Setibanya ditempat yang dikira rumah Ketua CDB, pada waktu diketuk pintunya, ternyata
adalah rumah tokoh NU. Keberadaan Aidit di Yogya dengan demikian telah diketahui fihak lain,
maka untuk menghilangkan jejak, kemudian perjalanan diteruskan ke Salatiga. Beberapa hari
kemudian baru melanjutkan perjalanan ke Solo dengan mendapatkan jemputan kendaraan
yang dikendarai oleh seorang Cina jago kunthau dari Solo. Tetapi akhirnya tertangkap hiduphidup setelah beberapa waktu berada di Solo.
Setibanya ditempat yang dikira rumah Ketua CDB, pada waktu diketuk pintunya, ternyata
adalah rumah tokoh NU. Keberadaan Aidit di Yogya dengan demikian telah diketahui fihak lain,
maka untuk menghilangkan jejak, kemudian perjalanan diteruskan ke Salatiga. Beberapa hari
kemudian baru melanjutkan perjalanan ke Solo dengan mendapatkan jemputan kendaraan
yang dikendarai oleh seorang Cina jago kunthau dari Solo. Tetapi akhirnya tertangkap hiduphidup setelah beberapa waktu berada di Solo.
(22). Sri Harto Penghubung Aidit - Bandrio
Sesampainya Aidit di Solo, dia ditempatkan secara terus berpindah-pindah. Semula disinyalir di
Lojigandrung kediaman resmi Walikota Utomo Ramelan, kemudian dipindahkan ke kampung
Keparen (sebelah Selatan Pasar Singosaren) dirumah Jupri Prio Wiguno, anggauta PKI malam
(jaringan Van der Plas). Beberapa hari Aidit berada di Keparen, kemudian dijemput oleh Sri
Harto, penghubung Aidit - Bandrio. Dengan menyerahkan tanda bukti berupa sesobek kertas
krep yang bertanda tangan, sedangkan sobekan yang lainya berada ditangan tuan rumah ialah
Jupri tersebut. Setelah sobekan tersebut dicocokan dan memang cocok, maka Aidit diserah
terimakan oleh Jupri kepada Sri Harto.
Setelah serah terima tersebut, Aidit dengan diboncengkan scooter, dibawa ke rumah KRT.
Sutarwo Hardjomiguno di desa Palur sebuah desa disebelah timur kota Solo. Beberapa hari
berada di Palur dia sempat berkeliling kota Solo, bahkan sempat menengok markas CC PKI
Solo. Kemudian dipindahkan kerumah Sri Harto penghubung tersebut di kampung Kleco yang
terletak dibelakang Markas Resimen, dirumah tersebut Aidit tinggal beberapa hari lamanya.
75
Setelah mengambil Aidit dari Keparen Sri Harto melaporkan tentang keberadaan Aidit, kepada
para senior Pemuda-Pelajar (Suhari alm. dan seorang lagi). Menurut keteranganya karena dia
merasa ngeri, melihat perkembangan keadaan, batalion TNI-AD, K, L dan M di Solo telah
banyak disusupi PKI. Demikian pula dengan CPM, sehingga banyak tahanan-tahanan penting
dapat lolos, antara lain seperti tokoh PKI anggauta Politbiro Ir.Sakirman, sopir Cina penjemput
Aidit dari Salatiga dll. Sri Harto percaya kepada para Pemuda-Pelajar dan merasa aman,
karena melihat sepak terjang dan perjoangannya sewaktu bergerilya melawan Belanda, perang
menumpas pemberontakan PKI 1948 dan waktu itu dalam menghadapi G 30 S di Solo.
Setelah Sri Harto memberi laporan tentang keberadaan Aidit tersebut, siasat segera disusun.
Untuk menambah kepercayaan Aidit, Sri Harto diberi pengawalan oleh dua orang dari para
Pemuda-Pelajar, sekaligus untuk mengawasinya, apakah Sri Harto jujur atau tidak dan
kepadanja diberi sepucuk pistol untuk peganganya .
Oleh para senior hal tersebut segera dilaporkan kepada Kol.Yasir yang rupa-rupanya kurang
percaya bahkan minta apa jaminanya jika bohong. Jawaban Suhari dia bersedia ditembak mati
apabila laporanya tidak benar, karena mereka itu berjoang didorong oleh keyakinanya tiada
pamrih pribadi demi untuk menegakkan Republik Indonesia yang mereka ikut mendirikanya..
Keberadaan Aidit di Solo, sudah beberapa hari dibuntuti, sesuai kesepakatan dengan Sri Harto.
Laporan kepada Kol.Yasir tersebut rupa-rupanya bocor. Rumah dimana Aidit ditempatkan,
ternyata digerebeg oleh sepasukan polisi yang selama itu tidak berperan aktif, dan penyerbuan
tersebut sama sekali tidak ada koordinasi, dimaksud hanya untuk menciptakan kekalutan
belaka.
Kemudian ketahuan, bahwa Sekretaris Pekuper dari Kol. Yasir, yaitu Letkol Muklis Ari Sudewo,
adalah seorang komunis yang mempengaruhi polisi untuk melakukan penyergapan, padahal
selama kampanye melawan G30S tidak berperan. Sergapan tersebut karena tanpa koordinasi,
hampir menimbulkan bentrokan dengan Pemuda Pelajar yang bertugas untuk mengamat-amati
Aidit. Beruntung bahwa sebelumnya Aidit sudah dipindahkan ke kampung Sambeng. Letnan
Sembiring (terakhir jendral) yang mengejarnya di Pati tetapi tidak berhasil menangkap, teryata
memergoki Muklis Ari Sudewo di Solo, ia menjadi orang kedua Pekuper. Dalam tubuh AD di
Solo masih banyak unsur-unsur komunis (bagian operasi, Kapt. Hardijo, CPM a.l Lettu Abu) dll.
76
Kericuhan dalam operasi sering terjadi karena Pemuda Pelajar sering dijerumuskan kalau
melakukan patroli terutama di malam hari, rupa-rupanya unsur-unsur PKI sudah terlebih dahulu
diberitahu. Tetapi berkat pengalaman, dapat mencium gelagat yang tidak baik dan tipuan-tipuan
tersebut dapat dihindari. Maka setelah itu mereka membuat gerak tipu sendiri sehingga dapat
menangkap banyak unsur PKI dan merampas persenjataanya. Kekalutan di Solo ditambah
dengan sering bentroknya golongan Islam dengan golongan Nasionalis yang juga banyak dari
mereka itu yang diadu domba dan menjadi korban dibantai oleh komunis, menjadikan keadaan
bertambah rawan.
Sri Harto adalah Ketua SBIM (Sarekat Buruh Industri Metal) di pabrik panci Blima. Bapaknya Sri
Harto adalah seorang dari kalangan atas Mangkunegaran, KRT. Sutarwo Hardjomiguno, lincah
luwes hingga mampu kekanan-kekiri (kemungkinan besar berada dalam jaringan Van der Plas,
karena dapat ketempatan Aidit tanpa bocor). Kakak Sri Harto menjadi Asisten Wedana (PKI) di
Klego daerah Boyolali, yang dinilai banyak merugikan dan menteror rakyat, maka dihabisi oleh
rakyat sendiri..
Sri Harto mendapatkan kepercayaan untuk menjadi penghubung Bandrio - Aidit, tetapi karena
dia kurang teguh dan ngeri akhirnya membuka kedoknya sendiri, mencari selamat dengan
melaporkan tentang keberadaan Aidit di Solo tersebut kepada para senior Pemuda Pelajar.
(23). Aidit Tertangkap
Saat rumah dimana Aidit tersebut ditempatkan digerebeg oleh sepasukan polisi, Aidit sudah
dipindahkan ke kampung Sambeng. Sore harinya Kol.Yasir melakukan operasi penggerebegan
baik ke rumah dimana Aidit ditempatkan pada waktu siangnya maupun ke seluruh
kampung.Tetapi hingga sekitar pukul 22.00 malam, Aidit belum juga dapat diketemukan.
Kemudian operasi dihentikan dan pasukan tentara ditarik dari kampung Sambeng, beberapa
ditinggalkan untuk mengamat-amati.
Para senior Pemuda-Pelajar yang memberikan laporan kepada Kol.Yasir merasa sangat
terpukul dan kecewa, karena selain kena tuduhan pembohong juga telah memberikan jaminan,
jika bohong, bersedia untuk ditembak mati. Mereka berkeyakinan bahwa Aidit pasti masih
berada dirumah dimana siangnya ditempatkan atau paling tidak masih dikampung Sambeng
77
tersebut.
Para senior Pemuda-Pelajar, kemudian mengambil inisiatif untuk menggeledah dan memagar
betis kampung dan rumah tersebut dengan mengerahkan teman-temannya, meskipun mereka
menanggung risiko karena berlakunya jam malam. Terutama rumah yang sudah digeledah
tersebut digeledah lebih intensif lagi, tetapi tetap tidak diketemukan Aidit. Hanya didalam
sebuah almari yang kosong dan menempel rapat dengan dinding penyekat rumah ditemukan
sebuah celana dalam, berinitial DA, yang diduga adalah milik Aidit. Rumah tersebut dihuni oleh
seorang yang sudah tua, seorang pensiunan pegawai Bea & Cukai bersama cucunya yang
gadis remaja.
Sudah susah payah dari pagi sampai tengah malam belum juga mendapat hasil, salah seorang
senior Pemuda-Pelajar menemukan akal, dengan menggertak orang tua penghuni tersebut, jika
tetap tidak mau mengaku dimana Aidit berada, cucunya akan dipermalukan didepannya.
Dengan gertakan demikian orang tua tersebut akhirnya mengaku bahwa Aidit berada
dibelakang almari kosong tersebut. Sewaktu dibantah mana mungkin, karena almari tersebut
rapat dengan dinding. Mendapat jawaban, bahwa dinding belakang almari tersebut merupakan
pintu dan dinding sekat rumah tersebut yang rangkap dengan rongga sekitar 50-60 cm.
Ternyata waktu dinding belakang almari tersebut dibuka, Aidit masih berada didalam rongga
dinding sekat rumah tersebut Aidit disilahkan keluar dan kemudian diserahkan kepada Kol.Yasir
langsung di Lojigandrung. Operasi penggeledahan tahap kedua yang dilakukan oleh para
Pemuda Pelajar ini, didampingi oleh Letnan Ning, hingga merupakan tindakan yang berada
dibawah petugas resmi.
(24). Aidit Dihabisi
Tertangkapnya Aidit tersebut segera dilaporkan ke Jakarta oleh Kolonel Yasir, kemudian
diperintahkan langsung oleh Jendral Soeharto agar pada kesempatan pertama Aidit dibawa ke
Jakarta. Konon kemudian didapat kabar bahwa dalam perjalanan ke Jakarta tersebut ditengah
jalan Aidit dihabisi dan tak tentu rimbanya.
78
Hal ini menimbulkan tanda tanya, mengapa seorang tokoh yang demikian penting, selain
Sekjen PKI, juga menyandang jabatan resmi sebagai Menko dihabisi begitu saja? Mengapa
tidak dikorek keteranganya hingga tuntas dan diajukan ke Pengadilan hingga masyarakat
umum mengetahui secara terbuka. Dalam hal ini sangat terasa adanya sesuatu yang
disembunyikan dan merupakan misteri besar.
Apakah ada hubunganya dengan kemisteriusan tokoh Aidit? Tertangkapnya Aidit di Solo ini
membuka tabir adanya hubungan Aidit dengan Bandrio dan dengan jaringan Van der Plas ( a.l.
Jendral Soeharto, yang memerintahkan menghabisi). Suatu konspirasi yang sangat kejam dan
telah memakan korban besar dikalangan rakyat.banyak, baik yang komunis maupun yang non
komunis.
(25). Sekutu - CIA - MI6 (Van der Plas Connection)
Apabila ditelusuri lebih mendalam, dalam rangka untuk lebih menjamin kepentingan Sekutu
(politik, ekonomi dan keamanan di Indonesia) Amerika dan sekutunya merasa perlu untuk
menggulingkan Presiden Soekarno dan memecah-belah Indonesia menjadi beberapa negara,
menyingkirkan para perwira yang berdedikasi dan menghapus PKI. Kegagalan yang dialami
Amerika dan sekutunya dalam meluncurkan projek pemberontakan PRRI-Permesta
membuatnya sadar setelah mendapat advis dari Blanda, bahwa pendekatan dari daerah untuk
menyingkirkan Presiden Soekarno adalah kesalahan yang fatal dan sulit untuk dapat berhasil.
(26). Peranan Van der Plas Connection
Sekutu mulai melakukan pendekatan ke Pusat. Kepada Jakarta mulai ditawarkan untuk
membeli pesawat angkut raksasa Hercules, Indonesia diberi bantuan stasiun komunikasi
beserta perlengkapanya yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia (dengan demikian
Sekutu dapat menyadap semua perintah-perintah dari pusat maupun daerah), kepada para
perwira Indonesia diberi kesempatan untuk belajar ke Amerika, diadakan program Civic Mission
dan perwira pelaksananya dilatih di Amerika beberapa bulan, juga dikirim ke Indonesia Peace
Corps.
Para sarjana sipil dan mahasiswa diberi bea siswa untuk belajar ke Amerika. Para kader
Dr.Soemitro Djojohadikusumo berbondong-bondong berangkat belajar ke Amerika dan kembali
79
menggondol gelar-gelar akademis yang diperlukan untuk mengajar di Universitas. Hubungan
yang semula tegang menjadi cair, tidak ada pesta atau resepsi di Kedutaan Amerikayang tidak
mengundang para sarjana yang kira-kira berpotensi.
(27). Van der Plas Connection Menemukan Jagonya
Bersamaan dengan dilaksanakanya program-program tersebut diatas,dengan diam-diam
dilakukan talent scouting (mencari calon jago berbakat) oleh perwira tinggi dari bagian sandi
yang ternyata berada dalam jaringan Van der Plas. Calon jago adalah perwira-perwira dengan
kriteria, avonturir, berani malu, berani mati, doyan duit, berpengalaman dan berhasil dalam
berpetualang serta telah menikmatinya.
Ditemukan seorang perwira yang memenuhi kriteria tersebut,ialah seorang kolonel asal Jawa
Tengah dan pernah menduduki posisi tertinggi ditempatnya sebagai Panglima Divisi,yaitu
Kolonel Soeharto. Malahan padanya ditemukan faktor lain yang sangat penting,yaitu menaruh
dendam kesumat kepada para perwira atasannya, terutama anggauta Tim Pengusut MBAD dan
rival berat A yani juga kepada Presiden Soekarno yang menandatangani Surat Keputusan
pemecatanya sebagai Panglima Divisi Diponegoro. Maka terpilihlah Kolonel Soeharto untuk
dijadikan jago utamanya.
Kepada Kol. Soeharto setelah selasai pendidikan di SSKAD, diciptakan jabatan yang
sebelumnya tidak ada, yaitu suatu Kesatuan baru ialah TJADUAD (Cadangan Umum Angkatan
Darat) Kol.Soeharto dijadikan Panglimanya. Beberapa waktu kemudian diadakan KOGA
(Komando Siaga) dan dia menjadi salah satu anggauta pimpinannya.
Beberapa waktu kemudian diadakan kampanye untuk menyerbu Irian Barat, Soeharto menjadi
Panglimanya. Setelah selesai kampanye Irian Barat, Soeharto dengan pangkat Mayor Jendral
dijadikan Panglima, KOSTRAD.
(28). Sang Jago Melaksanakan Tugas
Setelah Majen Soeharto menduduki pimpinan Kostrad, terjadilah G30S sesuai agenda waktu
daridari Van der Plas connection (atas pesanan Amerika dan sekutunya). Dari peristiwa G30S
tersebut, terlihat dengan jelas adanya jalur-jalur konspirasi kaum ex kolonialis, yang sampai
80
kini, masih merajut dengan jalur-jalurnya pada sistem kekuasaan negara kita.
Dengan melalui Van der Plas connection, pertama terlihat jalur lewat DR. Bandrio. Dia yang
sangat berambisi untuk menggantikan kedudukan Presiden Soekarno (didukung oleh induk
jaringanya), tetapi terhalang oleh Yani dan Nasution.(Dewan Revolusi yang dia sponsori
mendapat dukungan hanya dari Utomo Ramelan-yang sejaringan dengan Bandrio dalam Van
der Plas Connection).
Kedua adalah jalur PKI, atas rintisan Sam Kamaruszaman bersama DN Aidit dengan
menciptakan kondisi-kondisi politik dengan strategi baru sehingga PKI yang belum siap terjebak
didalamnya.
Ketiga adalah lewat Jendral Soeharto yang melancarkan operasi intel (menghapus jejak dengan
cara menyingkirkan atau menghabisi orang/organisasi yang telah berhasil mencapai tujuan atau
sasarannya, seperti.G30S yang seminggu setelah terjadi, dibelakangnya diberi label PKI,
meskipun Letkol Untung termasuk jalur PKI, tetapi juga juga termasuk jalur Jendral Soeharto).
Letkol Untung yang telah berhasil menghabisi para jendral anggauta Tim Pengusut MBAD
kemudian juga dihabisi. Dan Perwira Tinggi yang telah melakukan mencuci het vuile was
(melaksanakan pekerjaan kotor) masih beruntung hanya disingkirkan keluar negeri, mengingat
dia adalah orang penting di Kostrad.
(29). Lobang Buaya
Dalam bulan Maret 1965 Deputi operasi Angkatan Udara, Laksda Ud Sri Mulyono sesuai
instruksi, memerintahkan untuk dilaksanakan latihan militer bagi para sukarelawan Ganyang
Malaysia. Perwira pelaksana latihan tersebut adalah May.Ud.Soejono, latihan dimulai tanggal 5
Mei 1965. Masih dalam bulan Mei 1965 terjadi serah terima tugas tersebut dari Laksda Ud.Sri
Mulyono kepada Komodor Ud. Dewanto. Dewanto mengadakan inspeksi ternyata ditemukan,
bahwa yang dilatih tersebut hanya dari unsur komunis yaitu Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Oleh Dewanto diperintahkan agar latihan pada awal bulan Juni dihentikan dan digantikan dari
unsur-unsur Nasionalis dan Agama kepada May.Ud.Soejono.Ternyata perintah atasan tersebut
oleh May.Ud Soejono diabaikan dan kedua organisasi yaitu Pemuda Rakyat dan Gerwani
81
masih berlanjut sampai terjadinya G30S pada awal Oktober.Lokasi latihan adalah dikebon karet
berdekatan dengan bahkan mungkin termasuk wilayah Pangkalan Udara Halim yang ada sumur
tuanya.
Tiga hari kemudian setelah diketemukanya mayat para jendral yang dimasukkan ke dalam
sumur tua tersebut, masyarakat menjadi geger. Dengan tayangan dengan narasi yang lancar
dibarengi dengan statement tentang G30S oleh Jendral Soeharto di lokasi mayat-mayat korban
diangkat satu persatu. Ini merupakan skenario yang sempurna dan dramatis,berhasil
menggoncangkan psikologi rakyat.
Dari tayangan ini ditimbulkan kesan yang menggores hati rakyat banyak,karena tertayangkan
siapa-siapa yang menjadi bandit dan siapa pahlawannya. Suatu rekayasa yang sempurna,
maka timbul pertanyaan, bagaimana seorang bawahan (May.Ud.Soejono) berani mengabaikan
perintah atasannya, dalam hal ini Komodor Dewanto, jika tidak ada backing yang lebih tinggi
dan kuat. Dengan demikian maka berlanjutlah keberadaan Pemuda Rakyat dan Gerwani di
Lobang buaya.Siapa yang berada dibelakang peristiwa-peristiwa itu semua?
(30). Kesimpulan
Dari gambaran terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut diatas, sangat jelas kelihatan bagaimana
kekuatan asing mengaduk-aduk kita dan sampai kini kita belum menyadarinya.Sistem
kekuasaan politik, ekonomi, sosial yang simpang siur dan dilandasi mental lemah dan keropos,
sangat rawan dan mudah menjadi mangsa dari para GANGSTER, yang diketahui Soeharto.
Van der Plas Connection adalah jaringan riil yang canggih, hanya anggota-anggota inti tertentu
yang sadar akan keberadaannya sebagai anggota jaringan, lainnya adalah oknum-oknum
oportunis tanpa sadar, sekedar sebagai alat saja. Jelaslah yang "punya gawe" G30S adalah:
PKI, Soeharto, Soebandrio dan CIA.
82
LETKOL.UNTUNG SYAMSURI
Letkol Untung, pemimpin Gerakan 30 September/PKI, dibawa masuk ke dalam sidang Pengadilan Mahmillub.
83
Untung, Seorang Penculik atau Boneka Komunis?
Sosok utama Gerakan 30 September adalah Untung. Namanya singkat, satu kata, seperti
kebiasaan tokoh Partai Komunis Indonesia menyebut diri; Nyoto, Nyono, Pono. Sebagai sosok
utama sekaligus pusat peristiwa, Komandan Dewan Revolusi tersebut akhirnya diringkus di
kebun tebu sekitar daerah Tegal, Jawa Tengah.
Sesudah sepuluh hari berkelana seusai gagalnya aksi perebutan kekuasaan yang dia pimpin,
Untung mencoba menyelamatkan diri ke Jawa Tengah. Dengan memakai pakaian sipil dia
meninggalkan Jakarta, naik bus malam. Menjelang masuk Tegal, bus berhenti karena lewat pos
pemeriksaan. Mungkin merasa akan dikenali, Untung malahan turun dan berlari.
Sebuah langkah fatal sekaligus memancing perhatian. Untung segera dikejar, diringkus, dan
kemudian diajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Sesudah melewati
persidangan secara maraton, pada Maret 1966 Untung dinyatakan bersalah, dijatuhi hukuman
mati dan dieksekusi oleh regu tembak di daerah Cimahi, Jawa Barat.
Pertanyaannya, apakah dia seorang ksatria yang ingin menyelamatkan Bung Karno dari kudeta
Dewan Jenderal, sebagaimana alasan yang dia kemukakan ketika membentuk Dewan
Revolusi? Apakah Untung seorang pengkhianat yang menculik sekaligus membunuh
atasannya? Atau, sekadar boneka yang dimainkan Biro Khusus PKI pimpinan DN Aidit?
Senang main bola
‖Nama aslinya Kusman. Semasa remaja senang main bola, anggota KVC (Keparen Voetball
Club) di Kampung Keparen, Kelurahan Jayengan, Solo. Nama ayah angkatnya Sjamsuri,
seorang buruh batik. Dia memanggil saya Gus Hardi sebab saya anak juragan tempat Sjamsuri
bekerja.‖
Sesudah sekian lama membisu, akhirnya Soehardi bersedia membuka misteri Untung bin
Sjamsuri, Letnan Kolonel Infantri NRP 11284 dengan jabatan resmi terakhir Komandan
Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa, kesatuan khusus pengawal Presiden
Soekarno.
Untung baru setahun bertugas di Tjakrabirawa. Sebelumnya, dia menjabat Dan Yon 454/Para
Kodam Diponegoro, pasukan yang populer dengan sebutan Banteng Raider. Kepindahannya ke
Jakarta tanpa sengaja karena Bung Karno semula mengharapkan Mayor (Inf) Benny Moerdani,
Dan Yon II RPKAD, untuk menjadi Tjakrabirawa. Dalam pandangan pribadi Bung Karno, Benny
sosok perwira ideal. Penerima Bintang Sakti, tanda kehormatan tertinggi untuk anggota TNI,
dan baru saja berhasil melerai perkelahian massal ketika RPKAD menyerbu asrama Kwini di
Senen, asrama Yon II Tjakrabirawa eks KKO (kini Marinir) Angkatan Laut.
84
Benny menolak tawaran Bung Karno sehingga Untung yang kemudian diperintahkan ke
Tjakrabirawa untuk menggantikan Benny. Meski Markas Banteng Raider di Semarang, pasukan
tersebut slagorde Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Buku sejarah Kostrad
melukiskan, ‖Kostrad ditugaskan Angkatan Darat menyiapkan pasukan dalam rangka upacara
Hari ABRI 5 Oktober 1965 dengan mendatangkan Yon 530/Para dari Jawa Timur, Yon
454/Para dari Jawa Tengah, Yon 328/Para dari Jawa Barat, Kesatuan Panser dan Tank dari
Bandung serta Artileri dari Cimahi.‖
Menjelang tanggal 30 September, Untung bertemu kembali dengan bekas anak buahnya. Maka
pada Jumat pagi dia menempatkan Banteng Raider bersama Yon 530/Para di Lapangan
Merdeka depan Istana, dengan dalih menjaga Presiden dari ancaman kudeta Dewan Jenderal.
Pasukan Kostrad lainnya, Yon 328/Para berikut Kesatuan Panser, tank serta artileri tidak diajak
karena Untung tidak punya akses ke sana.
Pada dini hari 1 Oktober 1965, Untung memimpin Gerakan 30 September menculik delapan
jenderal Angkatan Darat, namun pada saat terakhir nama Brigjen Sukendro dicoret.
Tuduhannya, tujuh jenderal tadi anggota Dewan Jenderal yang akan menggulingkan Bung
Karno. Dari tujuh sasaran, enam bisa diculik. Namun sasaran utama, Jenderal AH Nasution,
Kepala Staf Angkatan Bersenjata, justru lolos. Dalam kegelapan malam serta tergesa-gesa,
para penculik ternyata keliru sasaran. Mereka malah meringkus Letnan I Pierre Tendean,
ajudan Nasution.
Tradisi menculik
Melakukan penculikan tentu saja bukan tindakan seorang ksatria, sosok ideal dalam pandangan
prajurit TNI. Namun, menculik lawan politik lewat perintah resmi atau tidak, sejak perang
kemerdekaan sampai masa pemerintahan Soeharto ternyata bukan hal baru. Kasus menonjol
antara lain penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir di Solo (1947) serta penculikan para
aktivis demokrasi di Jakarta (1988). Maka ancaman yang dikemukakan Presiden Soeharto
untuk menculik anggota MPR demi menyelamatkan UUD 1945 bukan sekadar wacana kosong.
Aksi penculikan terbukti bukan sesuatu hal yang tabu, sudah sering terjadi.
Penculikan yang dilakukan Untung berlangsung dini hari tanggal 1 Oktober. Maka Bung Karno
memberi nama Gestok, Gerakan Satu Oktober. Tetapi jangan lupa, Untung sendiri
menyebutnya Gerakan 30 September. Sedangkan Pusat Penerangan ABRI sengaja pakai
istilah Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Meski singkatan semacam ini bertentangan
dengan kaidah bahasa Indonesia, tetap dilakukan dengan tujuan agar masyarakat terbawa
ingatannya kepada kekejaman Gestapo.
Menurut Untung, sesudah anggota Dewan Jenderal ditangkap, akan langsung dihadapkan
kepada Bung Karno. ‖Terserah Bapak Presiden, apa hukuman yang akan dijatuhkan.‖ Skenario
ini berantakan karena tiga sasaran telanjur tertembak dan kendali operasi ternyata tidak
sepenuhnya di tangan Untung. Semua sasaran akhirnya ditembak. Siapa memberi perintah?
85
‖Bukan saya,‖ jawab Untung tegas dalam sidang Mahmilub.
Perintah tembak memang bukan datang dari Untung. Perintahnya datang dari warga sipil.
Namanya Kamaruzaman, biasa dipanggil Sam, anggota Biro Khusus PKI. Eksekusi tersebut
menyebabkan skenario awal lepas kendali. Menyambar ke segala arah dengan ekses berikut
derita, yang sampai sekarang belum terpulihkan. Memicu aksi balas dendam berupa
pembunuhan massal yang dalam taksiran moderat menghabiskan 500.000 nyawa pengikut
komunis atau mereka yang begitu saja dituduh komunis.
Sesama Tjakrabirawa
Semasa peristiwa G30S meletus, Soehardi menjabat perwira provost Tjakrabirawa. Ketika
tahun 1966 pasukan tersebut dibubarkan dan tugas mengawal Presiden digantikan Yon
POMAD/Para, Soehardi tidak ikut dibersihkan karena memang tidak terlibat. ‖Untung menjabat
Dan Yon I Tjakrabirawa. Tetapi, hanya satu kompi anak buahnya ikut ke Lubang Buaya.‖
Anggota Tjakrabirawa lain sama sekali tidak tahu ketika sebagian kecil rekannya meninggalkan
asrama di Jalan Tanah Abang II (kini Markas Paspampres), mengikuti petualangan Untung.
Pertemuan kembali antara Soehardi dan Untung berlangsung awal tahun 1965 di tangga Istana
Merdeka. ‖Lho, Gus Hardi inggih tugas wonten mriki? (Lho, Gus Hardi juga tugas di sini?).‖
Menurut Soehardi, ‖Saya jawab sambil menghormat, siap Mayor. Saya lebih dulu menghormat
karena saya hanya kapten sedangkan dia mayor. Meski saya bekas juragannya dan sudah
bertugas di Istana sejak tahun 1954, sementara Untung orang baru, pindahan dari Semarang.‖
Pengalaman semasa kecil, jarak sosial, dan hal-hal lain menyebabkan ketika di Jakarta antara
Soehardi dan Untung tidak akrab. ‖Sebagai pejabat baru di Tjakrabirawa, dia tidak menonjol,
tinggal di Jalan Cidurian No 9. Kami tak pernah kontak sebab sejak kecil Untung pendiam.‖
Kusman dilahirkan di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, pada 3 Juli 1926. Ayah kandungnya
bernama Abdullah, bekerja di toko bahan batik milik warga keturunan Arab di Pasar Kliwon,
Solo. Sejak kecil dia diambil anak oleh Sjamsuri, pamannya, buruh batik di rumah orangtua
Soehardi. Masuk sekolah dasar di Ketelan, Kusman melanjutkan ke sekolah dagang. Pelajaran
belum selesai, Jepang masuk dan Kusman mendaftar jadi Heiho. Sesudah proklamasi, dia
menjadi anggota TKR, embrio TNI.
Meloloskan diri ke Madiun
Semasa perang kemerdekaan Kusman betugas di daerah Wonogiri, sebagai anggota Batalyon
Sudigdo. Ketika September 1948 meletus Peristiwa Madiun, Gubernur Militer Kolonel Gatot
Soebroto memperoleh informasi, batalyon tersebut disusupi komunis, ‖Pak Gatot
memerintahkan Letnan Kolonel Slamet Rijadi, Komandan Brigade V, membersihkan.‖
86
Soehardi melukiskan, ‖Slamet Rijadi menggeser Mayor Soedigdo ke Cepogo, lereng Gunung
Merbabu. Tetapi Kusman, pada waktu itu sudah sersan mayor, meloloskan diri ke Madiun, ikut
memberontak.‖
Mengapa keterlibatan dalam peristiwa Madiun tidak diselesaikan?
‖Tanggal 19 Desember 1948 Belanda tiba-tiba melancarkan Agresi Militer Kedua. Peristiwa
Madiun tidak tuntas. Hanya sebelas tokoh pemberontak, Amir Syariffudin dan kawan-kawannya,
pada tengah malam masih sempat dijatuhi hukuman tembak di Ngalihan, Karanganyar, Solo.
Sisanya terpaksa diputihkan karena semua potensi segera bergerak untuk melawan serbuan
Belanda.‖
Sesudah peristiwa Madiun, Kusman berganti nama jadi Untung, bergabung kembali di TNI,
bertugas di Divisi Diponegoro. Tahun 1958, dalam operasi penumpasan PRRI, Letnan I Untung
menjabat komandan kompi, bertugas di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat.
Tanggal 14 Agustus 1962, Mayor Untung selaku Dan Yon 454/Para Banteng Raider diterjunkan
di daerah Sorong, Irian Barat.
Tanggal 25 Agustus 1962, Panglima Mandala Mayor Jenderal Soeharto mengeluarkan perintah
gencatan senjata karena di New York, AS, sudah ditandatangani persetujuan damai antara
Indonesia dan Belanda. Selama sebelas hari bertugas di Irian, Untung belum sempat bertemu,
apalagi bertempur, melawan Belanda.
Kapan kenal Soeharto?
Menurut Soehardi, ‖Sesudah kembali dari Makassar, selesai menumpas pemberontakan Andi
Azis, Pak Harto menjabat Dan Rem Salatiga, Dan Rem Solo, kemudian Panglima Diponegoro.
Sesudah itu masuk Seskoad di Bandung, sebelum nantinya ditunjuk sebagai Panglima
Mandala. Untung dan Soeharto kenalan lama. Akrab atau tidak, hanya mereka berdua bisa
menjawab. Tetapi yang jelas, ketika akhir tahun 1964 Untung melangsungkan pernikahan di
Kebumen, Pak Harto rela naik jip dari Jakarta untuk njagong.‖
Dari luar rumah azan magrib terdengar jernih. Soehardi minta diri untuk shalat, sesudah selesai
saya langsung menemaninya berbuka puasa. Kisah sekitar Letnan Kolonel (Inf) Untung bin
Sjamsuri untuk sementara terpaksa harus berhenti dulu.
Julius Pour Wartawan dan Penulis Sejarah
87
Soeharto Pecas Ndahe
Siapakah sesungguhnya Letkol Untung? Dalang G30S atau sekadar operator? Benarkah
dia mendapat restu dari Soeharto?
Dia penerima Bintang Sakti, komandan resimen elite Tjakrabirawa. Pada 1 Oktober 1965, dia
menculik para jenderal TNI Angkatan Darat. Tapi bagaimana sesungguhnya peran tokoh ini
masih remang-remang. Dia Letnan Kolonel Untung.
Koran Tempo edisi Senin, 5 Oktober 2009, menurunkan laporan lengkap tentang salah satu
tokoh penting dalam lembaran hitam sejarah Indonesia ini. Begitu beredar, edisi ini memicu
geger. Ia menjadi pembicaraan di jejaring sosial. Sebuah milis terkemuka juga menjadikan
sampul depan koran cergas itu sebagai salah satu topik pembicaraan hari ini.
Apa pemicunya? Koran Tempo menulis bahwa sejumlah saksi menuturkan, Gerakan 30
September 1965 yang dikendalikan Untung disebut-sebut mendapat ―restu‖ dari Soeharto
(almarhum). Menurut saksi, pada dinihari 1 Oktober 1965, saat pasukan Untung bergerak
menculik para petinggi Angkatan Darat, Soeharto sempat melintasi di depan kerumunan. Berarti
Soeharto sudah tahu lebih dahulu tentang aksi penculikan para jenderal?
Dalam bukunya, Soeharto sudah membantah kabar itu.
88
Nah, untuk mengetahui lebih jauh mengenai misteri kisah itu, saya turunkan lagi di sini isi
laporan utama Koran Tempo itu. Semoga membantu mereka yang belum kebagian edisi
cetaknya. Artikel ditulis oleh Erwin Dariyanto dan disunting oleh Seno Joko Suyono.
***
Hari Selasa, pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria
saling berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia 39 tahun. Satunya
bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung Syamsuri dan
Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno.
Suara Untung bergetar. ―Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih,‖ kata Untung kepada
Soebandrio.
Itulah perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis Soebandrio dalam
buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya, Soebandrio menceritakan, selama di
penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi. Untung mengaku G-30-S atas setahu
Panglima Komando Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.
Keyakinan Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu ―misteri‖ tragedi
September. Kisah pembunuhan para jenderal pada 1965 adalah peristiwa yang tak habishabisnya dikupas. Salah satu yang jarang diulas adalah spekulasi kedekatan Untung dan
Soeharto.
Memperingati tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan edisi khusus
yang menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi tentang tokoh ini, bahkan dari
sejarawan ―Data tentang Untung sangat minim, bahkan riwayat hidupnya,‖ kata sejarawan Asvi
Warman Adam.
***
Tempo berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu saksi adalah
Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun. Ia adalah sahabat masa kecil
Untung di Solo dan bekas anggota Tjakrabirawa. Untung tinggal di Solo sejak umur 10 tahun.
Sebelumnya, ia tinggal di Kebumen. Di Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri. Samsuri
dan istrinya bekerja di pabrik batik Sawo, namun tiap hari membantu kerja di rumah Ibu Wergoe
Prajoko, seorang priayi keturunan trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo. Wergoe
adalah orang tua Suhardi.
―Dia memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi,‖ ujar Suhardi. Suhardi, yang
setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: Si Kus. Nama asli Untung adalah
Kusman. Suhardi ingat, Untung kecil sering menginap di rumahnya. Tinggi Untung kurang dari
165 sentimeter, tapi badannya gempal. ―Potongannya seperti preman. Orang-orang Cina,yang
membuka praktek-praktek perawatan gigi di daerah saya takut semua kepadanya,‖ kata
Suhardi tertawa. Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum.
Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho. ―Saya yang
mengantarkan Untung ke kantor Heiho di perempatan Nonongan yang ke arah Sriwedari.‖
Setelah Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang markasnya
berada di Wonogiri. ―Batalion ini sangat terkenal di daerah Boyolali. Ini satu-satunya batalion
89
yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia),‖ kata Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu
terlibat gerakan Madiun sehingga dicari-cari oleh Gatot Subroto.
Clash yang terjadi pada Desember 1949 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran
terhadap batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri bisa bebas. Suhardi tahu
Untung kemudian balik ke Solo. ―Untung kemudian masuk Korem Surakarta,‖ katanya. Saat itu,
menurut Suhardi, Komandan Korem Surakarta adalah Soeharto. Soeharto sebelumnya adalah
Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang. ―Mungkin perkenalan awal Untung dan Soeharto
di situ,‖ kata Suhardi.
Keterangan Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita ketahui, Soeharto
kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Untung lalu
pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Banyak pengamat melihat, kedekatan Soeharto dan
Untung bermula di Divisi Diponegoro ini. Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan
perkenalan mereka sejak di Solo.
Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad mengepalai
operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat dalam operasi yang diberi
nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro,
yang lebih dikenal dengan Banteng Raiders.
Di Irian, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara
Kaimana. Sebelum Operasi Mandala, Untung telah berpengalaman di bawah pimpinan Jenderal
Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit
Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat, pada 1958. Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya.
Bersama Benny Moerdani, ia mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden
Soekarno. Dalam sejarah Indonesia, hanya beberapa perwira yang mendapatkan penghargaan
ini. Bahkan Soeharto, selaku panglima saat itu, hanya memperoleh Bintang Dharma, setingkat
di bawah Bintang Sakti.
―Kedua prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani dan
Soeharto,‖ kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa,
atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.
Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng
Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu.
Anggota Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto,
yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa. ―Adalah
menarik mengapa Soeharto merekomendasikan dua kompi batalion Banteng Raiders masuk
Tjakrabirawa,‖ kata Suhardi. Sebab, menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah
mengetahui banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948. ―Pasti Soeharto
tahu itu eks PKI Madiun.‖
Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen
Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak langsung
berhubungan dengan presiden.
Maulwi, atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung. Untung, menurut dia,
sosok yang tidak mudah bergaul dan pendiam.
90
Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih
rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia harus
menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, ―Gus,
kamu ada di sini….‖
Menurut Maulwi, kedekatan Soeharto dengan Untung sudah santer tersiar di kalangan perwira
Angkatan Darat pada awal 1965. Para perwira heran mengapa, misalnya, pada Februari 1965,
Soeharto yang Panglima Kostrad bersama istri menghadiri pesta pernikahan Untung di desa
terpencil di Kebumen, Jawa Tengah. ―Mengapa perhatian Soeharto terhadap Untung begitu
besar?‖ Menurut Maulwi, tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. ―Kami,
dari Tjakra, tidak ada yang hadir,‖ kata Maulwi.
Dalam bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan
mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang
saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar. ―Jika tak benar-benar sangat penting,
tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung,‖ tulis Soebandrio. Hal
itu diiyakan oleh Suhardi. ―Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung,‖ katanya.
***
Dari mana Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di
penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi
Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung
menyampaikan rencananya menangkap mereka.
―Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu,‖ demikian kata
Soeharto seperti diucapkan Untung kepada Soebandrio.
Bila kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar Biasa pada awal
1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan Jenderal karena mendengar kabar
beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang
membicarakan susunan kabinet versi Dewan Jenderal.
Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta terhadap
presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring
I atau ring II pengamanan presiden. Artinya ia isu. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali
Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal
Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri 1964. ―Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling
serius menanggapi isu Dewan Jenderal,‖ kata Maulwi.
Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap
Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram
Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor
T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454
Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah. Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk
defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.
Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu
membawa peralatan siap tempur. ―Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa
91
peluru tajam,‖ kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan
bila defile tidak menggunakan peluru tajam. ―Itu ada petunjuk teknisnya,‖ ujarnya.
Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal
Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen Nasional.
Dinihari, 1 Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal
Angkatan Darat. Malam itu Soeharto syahdan dalam perjalanan pulang dari menunggui
anaknya, Tommy, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Soeharto sempat
melintasi kerumunan pasukan dengan mengendarai jip. Ia dengan tenangnya melewati pasukan
yang beberapa saat lagi berangkat membunuh para jenderal itu.
Adapun Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965 masih
memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di Senayan. Maulwi masih bisa mengingat
pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul 20.00. Waktu itu Maulwi menegur Untung karena
ada satu pintu yang luput dari penjagaan pasukan Tjakra. Seusai acara, Maulwi mengaku tidak
mengetahui aktivitas Untung selanjutnya.
Ketegangan hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29 September,
Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana. Tiba-tiba ada anggota Tjakra anak buah
Dul Arief, peleton di bawah Untung, yang bernama Jahuruk hendak masuk Istana. Menurut
Suhardi, itu tidak diperbolehkan karena tugas mereka adalah di ring luar sehingga tidak boleh
masuk. ―Saya tegur dia.‖
Pada 1 Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. ―Saya heran, dari sekitar
daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara.‖ Ia langsung mengendarai jip menuju markas
Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah Abang. Yang membuatnya heran lagi, pengawal di pos yang
biasanya menghormat kepadanya tidak menghormat lagi. ―Saya ingat yang jaga saat itu adalah
Kopral Teguh dari Banteng Raiders,‖ kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di
Tanah Abang semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada.
Begitu tahu hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi, Suhardi
langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang sudah dianggap anak oleh
ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat sudah menjabat komandan Tjakrabirawa bila
ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya. ―Saya tak heran kalau Untung terlibat karena saya
tahu sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI,‖ katanya.
Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para
jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. ―Semuanya terserah kepada Bapak
Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka,‖ jawab Untung.
Heru Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang namanya
dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam Kamaruzaman-lah yang
paling berperan dalam gerakan tersebut. Keyakinan itu muncul ketika pada Jumat, 1 Oktober
1965, Heru secara tidak sengaja bertemu dengan para pimpinan Gerakan 30 September: Letkol
Untung, Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzaman, dan Pono. Heru melihat justru
Pono dan Sjam-lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu, sementara Untung lebih
banyak diam.
92
―Saya tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau operasi ini (G-30S),‖ kata Heru saat ditemui Tempo.
Untung adalah sebuah tragedi sekaligus kisah kepandiran. Perwira penerima Bintang Sakti itu
sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan.
93
SEBUAH KUNCI DARI SWEDIA
Letnan Kolonel Untung Samsuri diyakini ditanam Sjam Kamaruzzaman di Tjakrabirawa melalui
Kapten Rochadi. Kapten itu eksil dan meninggal di Swedia.
30 September 1965. Jam menunjuk pukul 7 malam di Istora Senayan, Jakarta. Tamu besar,
Presiden Soekarno, sudah datang untuk menutup Musyawarah Kaum Teknisi Indonesia.
Terasa benar Istora kian bungah.
Wakil Komandan Tjakrabirawa Kolonel Maulwi Saelan tak ikut larut pada pesta yang
berlangsung hingga tengah malam itu. Ia makin waspada. Malam itu, dialah yang bertanggung
jawab menjaga keselamatan Presiden. Atasannya, Brigadir Jenderal Moch. Saboer, sedang ke
Bandung. Sekali lagi ia memeriksa setiap jengkal gedung itu.
Lhakadalah..., satu pintu yang mestinya tertutup dibiarkan ngeblong. Ia berteriak kepada
seorang anak buahnya. Tentara itu kekarnya setanding dengan dia, namun lebih pendek.
"Kenapa pintu itu terbuka?" Maulwi menghardik.
Yang ditegur menjawab singkat, lalu menjalankan perintah Maulwi. Dialah Letnan Kolonel
Untung Samsuri, Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa.
Kepada Tempo dua pekan lalu, Maulwi menceritakan kembali kisah ini. Inilah pertemuan
terakhirnya dengan Untung, sebelum peristiwa penculikan para jenderal beberapa jam
kemudian.
Maulwi mengaku sempat heran atas kelalaian Untung kala itu. "Dia itu tahu tugasnya apa. Saya
heran, kenapa malam itu dia bisa sangat ceroboh dan lalai begitu," ujarnya.
Tapi ia tak memperpanjang urusan tersebut. Ia tahu Untung sebenarnya dapat diandalkan.
Untung memang tentara bermutu kelas satu. Dalam Operasi Mandala di Irian Jaya, ia
menerima anugerah Bintang Sakti. Di medan tempur itu, cuma ada satu orang lagi yang
menerima penghargaan tertinggi untuk tentara tersebut. Dia adalah L.B. Moerdani, yang juga
pernah digadang-gadang untuk menjadi Komandan Tjakra di awal berdirinya resimen ini.
Tapi Heru Atmodjo, mantan Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, menduga bergabungnya
Untung dengan Tjakra tak semata karena prestasinya. "Ia bagian dari strategi Sjam
Kamaruzzaman dari Biro Chusus PKI," ujarnya.
Heru—namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi—menyatakan penaut
Untung dan Sjam adalah Kapten Sujud Surachman Rochadi. "Sjam yang memasukkan Untung
ke Tjakrabirawa melalui Rochadi," ujar Heru. "Dia itu agen yang disusupkan Sjam ke Tjakra."
Nama Rochadi juga disebut anggota Provoost Tjakrabirawa, Letkol CPM (Purnawirawan)
Suhardi. "Ke-PKI-an Rochadi dibina langsung oleh Sjam," ujarnya.
Suhardi mengatakan informasi soal Rochadi-Sjam didapatnya dari Kapten Soewarno,
komandan kompi lainnya di Batalion I Kawal Kehormatan. Soewarno mengaku kepadanya
bahwa ia bersama Rochadi sering bertandang ke mes tentara Jalan Kemiri di bilangan Senen.
"Di tempat itulah Sjam melakukan pembinaan terhadap keduanya," kata Suhardi.
94
Jelas Rochadi orang penting PKI. Namun, menurut Heru, namanya tak pernah disebut dalam
berbagai cerita tentang Gerakan 30 September 1965, "Karena pada 26 September ia berangkat
ke Peking (sekarang Beijing) untuk menghadiri peringatan Hari Nasional RRC."
"Ia berangkat bersama Adam Malik dan tak kembali lagi ke Indonesia," katanya. "Posisinya di
Tjakra waktu itu digantikan oleh Dul Arief, yang memimpin operasi penculikan para jenderal."
Cerita ini membikin Maulwi heran. Mengaku tak ingat ada anak buahnya yang bernama
Rochadi, dia mengatakan keikutsertaan seorang Tjakrabirawa dalam sebuah delegasi tak lazim
terjadi. "Tjakra hanya bertolak ke mancanegara jika Presiden berangkat ke luar negeri," ujarnya.
Heru juga menggarisbawahi soal ini. Rochadi, yang cuma seorang kapten, tak mungkin ikut
delegasi itu jika bukan orang penting—resmi maupun tak resmi.
Tempo tak menemukan dokumen yang berkaitan dengan keberangkatan Rochadi kala itu.
Namun, soal ini sudah diverifikasi Heru. Dia bahkan telah menemukan jejaknya di Swedia. Di
sana ia sebagai eksil. Namanya sudah berganti menjadi Rafiudin Umar. Heru bercerita, saat ia
mengontak Rochadi lewat telepon dan memanggil dengan nama aslinya, Rochadi langsung
menutup telepon itu.
Ahli sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, juga pernah mencari
Rochadi di Swedia setelah ia mendengar kisah Heru. Gagal. Dari para eksil Indonesia di negeri
itu diperoleh keterangan bahwa Rochadi tak pernah bergaul dengan orang-orang yang
diasingkan pemerintah Orde Baru. "Orangnya disebut-sebut agak misterius. Dia juga tak pernah
bercerita alasan sampai ia melarikan diri ke Eropa," ujar Asvi.
Jejak Rochadi dibaca Asvi dalam sebuah otobiografi di perpustakaan Institut Sejarah Sosial
Indonesia yang diperoleh sejarawan asal Universitas Columbia, John Roosa, saat menulis buku
tentang G-30-S/PKI. Dalam riwayat hidup setebal 31 halaman bertahun 1995 itu, tertulis
Rochadi lahir pada 1927 dari pasangan Umar dan Kartini. Pada usia 17 tahun, ia masuk Heiho.
Di masa-masa awal kemerdekaan, ia bergabung dengan pasukan Divisi IV/Panembahan
Senopati. Menjelang peristiwa Madiun 1948, divisinya sempat bentrok dengan Divisi Siliwangi,
yang dikirim pemerintah untuk meredam gerakan Musso dan Amir Sjarifuddin. Mengacu pada
catatan itu, Rochadi tampaknya sejak awal sudah "kekiri-kirian" dan bersimpati pada gerakan
Amir Sjarifuddin. Bagi Rochadi, peristiwa itu bukan pemberontakan PKI, melainkan provokasi
dari pemerintah pusat yang disokong oleh Blok Amerika Serikat untuk memberangus PKI.
Dalam catatan itu, Rochadi tak menulis nama kesatuannya di Panembahan. Namun, menurut
Heru, dia berada di Batalion Mayor Sudigdo. "Di sanalah awal pertautan Rochadi dan Untung,"
kata dia.
Rochadi berhasil lolos dari pembersihan PKI di tubuh Batalion Sudigdo, yang dilakukan Gatot
Subroto, karena Belanda keburu melakukan agresi yang kedua. Seusai agresi itu, dia ikut
operasi penumpasan gerakan separatis Republik Maluku Selatan pada akhir 1950. Sepuluh
tahun kemudian, ia menjadi komandan kompi Cadangan Umum (sejak 1963 namanya menjadi
Kostrad) Resimen 15, yang kemudian digabungkan dalam Batalion Raiders 430 di bawah
Komando Daerah Militer VII Diponegoro.
95
Pada Februari 1963, setahun setelah Tjakrabirawa berdiri, kompinya diboyong ke Jakarta untuk
bergabung dalam Resimen Tjakrabirawa. Menurut buku Himpunan Peraturan-peraturan
Resimen Tjakrabirawa, Rochadi diangkat sebagai salah satu komandan kompi Batalion I Kawal
Kehormatan pada 3 April tahun itu. Pangkatnya letnan satu. Salah satu bawahan langsungnya
adalah Boengkoes, yang pada penculikan para jenderal menembak mati Mayjen M.T. Harjono.
Otobiografi Rochadi berhenti pada 1964. Setelah tahun itu, jejaknya di Tjakra tak jelas. "Ia
meninggal empat tahun lalu di Swedia. Sayang, pada periode itu, ia disebut-sebut tengah
memainkan peran penting karena ikut menentukan seleksi anggota Tjakra, termasuk
memasukkan Untung," ujar Asvi.
Tempo mencoba mendapatkan cerita dari putranya, yang kini tinggal di Swedia. Soalnya,
menilik bagian pembukaan otobiografi itu, Rochadi menujukkannya bagi anaknya. Sayangnya,
hingga tulisan ini diterbitkan, putranya tak bisa dihubungi. Namun, dari cerita yang didapatkan
Asvi dari komunitas eksil di Swedia, putra Rochadi juga tak tahu banyak tentang kehidupan
ayahnya. "Jadi peran Kapten Rochadi ini masih samar-samar," ujar Asvi. "Sungguhpun begitu,
kemunculan namanya itu bagus karena berarti ada banyak hal yang masih bisa diungkap dari
peristiwa 30 September."
Dari Maulwi—yang tak menampik kemungkinan Tjakra disusupi tentara kiri atau tentara yang
sudah dipengaruhi Sjam—ada versi lain soal kedatangan Untung ke Tjakra. Dia mengatakan
Tjakra tak ikut menentukan seleksi anggotanya. "Semua keputusan seleksi anggota Tjakra ada
di angkatan masing-masing. Jadi kami terima bersih," katanya.
Maka Maulwi melihat, yang paling berperan atas masuknya Untung ke Tjakrabirawa adalah
para perwira tinggi di Angkatan Darat. Keputusan mengangkat Untung sebagai komandan
batalion, ujarnya, diambil pada sebuah rapat di Markas Besar Angkatan Darat. "Untung lolos
dari sana karena ia kesayangan (Ahmad) Yani dan Soeharto. Yani, Soeharto, dan Untung juga
berasal dari Kodam Diponegoro."
Tapi Maulwi menduga kuat Soehartolah yang paling berperan merekomendasikan Untung
masuk Tjakrabirawa. Pasalnya, Batalion Raiders berada di bawah kendali Kostrad. Apalagi
Untung dan Soeharto—yang sudah saling kenal jauh sebelum Operasi Mandala—memang
dekat. "Terbukti, saat Untung menikah di Kebumen, Jawa Tengah, Soeharto dan istrinya naik
jip dari Jakarta ke Kebumen untuk menghadiri resepsinya," ujar dia.
Ada kisah dari Boengkoes, yang mendukung cerita Maulwi tentang peran Soeharto. Boengkoes
mengatakan, ketika mengikuti seleksi Tjakra, dia sudah mengaku menderita wasir dan disentri
sehingga langsung meninggalkan rumah sakit militer di Semarang. Eh, besoknya dia diberi tahu
bahwa dia sehat dan lulus.
Kala itu, kata Boengkoes, ada seratusan personel Banteng Raiders yang juga lolos seleksi.
"Dari Jawa Tengah, jumlah kami yang lolos seleksi cukup untuk membentuk satu kompi," ujar
Boengkoes.
Mana yang benar? Wallahualam. Tapi, menurut Asvi, menyusupkan orang ke Tjakrabirawa
adalah bagian penting dari strategi. "Karena gerakan dijalankan dengan alasan menyelamatkan
presiden, yang paling cocok menjalankannya adalah pasukan pengawal presiden."
96
Gerakan dengan Tiga Pita
LETNAN Kolonel Untung membagi tiga pasukannya. Mereka mengenakan tiga pita
tanda: merah untuk malam, kuning untuk siang, dan hijau untuk sore. Untung memimpin
pasukannya dari Gedung Penas, kawasan Cawang, Jakarta Timur.
Jalan Medan Merdeka Utara
Istana
Satu kompi Cakrabirawa dan sekitar 700 anggota Kodam Brawijaya, Jawa Timur,
mengepung Istana. Istana kosong, karena Presiden Soekarno meninggalkan tempat ini
sejak pagi. Lepas tengah hari, pasukan ini malah bergabung ke Markas Kostrad.
Jalan Medan Merdeka Selatan
Gambir
Juga diduduki oleh pasukan Kodam Brawijaya.
Markas Kostrad
Markas Mayor Jenderal Soeharto, perwira tinggi yang tidak menjadi target operasi
G30S.
Gedung RRI
Diduduki sepuluh jam sejak pagi, antara lain dimanfaatkan untuk pengumuman
pembentukan Dewan Revolusi.
Pasukan TNI di Jakarta
Jika terjadi bentrok, inilah kekuatan TNI yang akan dihadapi oleh G30S.
o
o
o
o
o
o
o
4 kompi (400 orang) Brimob
1 batalion Kavaleri Angkatan Darat
1 batalion Artileri Angkatan Darat
2 batalion Infanteri Kodam, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD),
Pasukan Gerak Cepat Angkatan Udara
1 Batalion Pasukan Pertahanan Pangkalan Angkatan Udara
3 Batalion Cakrabirawa, KKO (Marinir)
(1 batalion =700 orang)
8.
Pasopati
Dipimpin Dul Arif, pasukan ini bertugas menangkap tujuh perwira tinggi TNI Angkatan Darat,
yang disebut sebagai anggota "Dewan Jenderal". Terdiri atas anggota Resimen Cakrabirawa,
Pasukan Pengawal Presiden.
9. Bimasakti
Dipimpin Suradi, anggotanya pasukan sukarelawan plus dua batalion dari
Kodam Diponegoro dan Kodam Brawijaya. Tugasnya mengawal kawasan
Lapangan Monas dan menjaga sejumlah sektor. Juga merebut gedung RRI,
stasiun kereta api Gambir, serta pusat telekomunikasi di Jalan M.H. Thamrin.
10. Gatotkatja
Bertugas sebagai pasukan cadangan, dipimpin Gatot Sukrisno. Personelnya
97
diambil dari Pasukan Pengawal Pangkalan Angkatan Udara dan Sukarelawan
Bersenjata. Ditempatkan di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Dua Malam Sjam
Inilah kronologi pelaksanaan Gerakan 30 September versi Sjam Kamaruzaman. Hanya
dalam hitungan jam, gerakan ini gagal dan langsung ditaklukkan.
30 September 1965
24.00
Pengarahan terakhir diberikan di Pondok Gede, Jakarta Timur. Hadir Sjam, Pono, Latif,
Supardjo, Sujono, Dul Arif, Suradi, dan Gatot Sukrisna.
1 Oktober 1965
02.00
Central Komando di Gedung Penas mulai bekerja: Sjam, Pono, Latif, Supardjo, Sujono.
Mereka menunggu laporan hasil operasi pasukan Pasopati pimpinan Dul Arif.
06.00
Masuk laporan dari Pasopati bahwa Jenderal Abdul Haris Nasution, target utama
operasi, lolos. Enam jenderal lainnya ditangkap atau ditembak mati. Mereka yang hidup
akhirnya juga ditembak.
10.00
Central Komando pindah ke Halim.
12.00
Presiden Soekarno memerintahkan gerakan dihentikan. Pasukan dari Batalion 530
Brawijaya sudah menyeberang ke Markas Kostrad.
18.00
Menerima laporan bahwa pasukan Kostrad dan Resimen Pasukan Komando Angkatan
Darat mulai mengepung Halim.
20.00
Sjam Kamaruzaman melapor ke Aidit soal gagalnya gerakan.
21.00
Sjam memerintahkan Sujono mencari pesawat untuk melarikan Aidit ke Yogyakarta.
22.00
Sjam memimpin rapat membahas pengunduran diri dari Halim ke Pondok Gede.
2 Oktober 1965
01.00
Aidit terbang ke Yogyakarta.
98
02.00
Sjam dan Supardjo lari ke Pondok Gede dengan jip.
Posisi pasukan G30S di Jakarta
Kawasan Monas
Pasukan Bimasakti
Menteng
Pasukan Pasopati
Pangkalan Halim Perdanakusuma
Pasukan Gatotkatja yang terdiri atas sekitar 700 anggota Kodam Diponegoro, Jawa
Tengah. Sekitar 700 anggota Pasukan Pengawal Pangkalan Angkatan Udara dan 800-1.000
sukarelawan bersenjata.
99
Kisah Perwira Kesayangannya Soeharto
Hari Selasa, pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria
berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia 39 tahun. Satunya bertubuh
kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung Samsuri dan Soebandrio, Menteri
Luar Negeri kabinet Soekarno. Suara Untung bergetar. "Pak Ban, selamat tinggal. Jangan
sedih," kata Untung kepada Soebandrio.
Itulah perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis Soebandrio dalam
buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya, Soebandrio menceritakan, selama di
penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi. Untung mengaku G-30-S atas setahu
Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.
Keyakinan Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu "misteri" tragedi
September-Oktober. Kisah pembunuhan para jenderal pada 1965 adalah peristiwa yang tak
habis-habisnya dikupas. Salah satu yang jarang diulas adalah spekulasi kedekatan Untung
dengan Soeharto. Memperingati tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud
menurunkan edisi khusus yang menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi
tentang tokoh ini, bahkan dari sejarawan "Data tentang Untung sangat minim, bahkan riwayat
hidupnya," kata sejarawan Asvi Warman Adam.
***
Tempo berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu saksi adalah
Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun. Ia adalah sahabat masa kecil
Untung di Solo dan bekas anggota Tjakrabirawa. Untung tinggal di Solo sejak umur 10 tahun.
Sebelumnya, ia tinggal di Kebumen. Di Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri. Samsuri
dan istrinya bekerja di pabrik batik Sawo, namun tiap hari membantu kerja di rumah Ibu Wergoe
Prajoko, seorang priayi keturunan trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo. Wergoe
adalah orang tua Suhardi.
100
"Dia memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi," ujar Suhardi. Suhardi, yang
setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: si Kus. Nama asli Untung adalah Kusman.
Suhardi ingat, Untung kecil sering menginap di rumahnya. Tinggi Untung kurang dari 165
sentimeter, tapi badannya gempal. "Potongannya seperti preman. Orang-orang Cina yang
membuka praktek-praktek perawatan gigi di daerah saya takut semua kepadanya," kata
Suhardi tertawa. Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum.
Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho. "Saya yang
mengantarkan Untung ke kantor Heiho di perempatan Nonongan yang ke arah Sriwedari."
Setelah Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang markasnya
berada di Wonogiri. "Batalion ini sangat terkenal di daerah Boyolali. Ini satu-satunya batalion
yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia)," kata Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu
terlibat gerakan Madiun sehingga dicari-cari oleh Gatot Subroto.
Clash yang terjadi pada 1948 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran terhadap
batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri bisa bebas. Suhardi tahu Untung
kemudian balik ke Solo. "Untung kemudian masuk Korem Surakarta," katanya. Saat itu,
menurut Suhardi, Komandan Korem Surakarta adalah Soeharto. Soeharto sebelumnya adalah
Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang. "Mungkin perkenalan awal Untung dan Soeharto
di situ," kata Suhardi.
Keterangan Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita ketahui, Soeharto
kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Untung lalu
pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Banyak pengamat melihat, kedekatan Soeharto
dengan Untung bermula di Divisi Diponegoro ini. Keterangan Suhardi menambahkan
kemungkinan perkenalan mereka sejak di Solo.
Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad mengepalai
operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat dalam operasi yang diberi
nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro,
yang lebih dikenal dengan Banteng Raiders.
Di Irian, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara
Kaimana. Sebelum Operasi Mandala, Untung telah berpengalaman di bawah pimpinan Jenderal
Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit
Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat, pada 1958. Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya.
Bersama Benny Moerdani, ia mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden
Soekarno. Dalam sejarah Indonesia, hanya beberapa perwira yang mendapatkan penghargaan
ini. Bahkan Soeharto, selaku panglima saat itu, hanya memperoleh Bintang Dharma, setingkat
di bawah Bintang Sakti.
"Kedua prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani dan
Soeharto," kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa,
atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.
Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng
Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu.
Anggota Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto,
yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa. "Adalah
101
menarik mengapa Soeharto merekomendasikan dua kompi Batalion Banteng Raiders masuk
Tjakrabirawa," kata Suhardi. Sebab, menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah
mengetahui banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948. "Pasti Soeharto
tahu itu eks PKI Madiun."
Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen
Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak langsung
berhubungan dengan presiden.
Maulwi, atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung. Untung, menurut dia,
sosok yang tidak mudah bergaul dan pendiam.
Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih
rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia harus
menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, "Gus,
kamu ada di sini...."
Menurut Maulwi, kedekatan Soeharto dengan Untung sudah santer tersiar di kalangan perwira
Angkatan Darat pada awal 1965. Para perwira heran mengapa, misalnya, pada Februari 1965,
Soeharto yang Panglima Kostrad bersama istri menghadiri pesta pernikahan Untung di desa
terpencil di Kebumen, Jawa Tengah. "Mengapa perhatian Soeharto terhadap Untung begitu
besar?" Menurut Maulwi, tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. "Kami,
dari Tjakra, tidak ada yang hadir," kata Maulwi.
Dalam bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan
mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang
saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar. "Jika tak benar-benar sangat penting,
tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung," tulis Soebandrio. Hal
itu diiyakan oleh Suhardi. "Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung," katanya.
***
Dari mana Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di
penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi
Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung
menyampaikan rencananya menangkap mereka.
"Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu," demikian kata
Soeharto seperti diucapkan Untung kepada Soebandrio.
Bila kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar Biasa pada awal
1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan Jenderal karena mendengar kabar
beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang
membicarakan susunan kabinet versi Dewan Jenderal.
Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta terhadap
presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring
I atau ring II pengamanan presiden. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu
dengan Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan
102
kedua saat Idul Fitri 1964. "Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius
menanggapi isu Dewan Jenderal," kata Maulwi.
Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap
Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram
Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor
T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454
Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah. Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk
defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.
Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu
membawa peralatan siap tempur. "Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa
peluru tajam," kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan
bila defile tidak menggunakan peluru tajam. "Itu ada petunjuk teknisnya," ujarnya.
Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal
Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen Nasional.
Dinihari, 1 Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal
Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang dirawat di Rumah
Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu Kolonel Latief, seperti pernah
dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara berusaha menemui Soeharto.
Dalam perjalanan pulang, Soeharto seperti diyakini Subandrio dalam bukunya, sempat
melintasi kerumunan pasukan dengan mengendarai jip. Ia dengan tenangnya melewati pasukan
yang beberapa saat lagi berangkat membunuh para jenderal itu.
Adapun Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965 masih
memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di Senayan. Maulwi masih bisa mengingat
pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul 20.00. Waktu itu Maulwi menegur Untung karena
ada satu pintu yang luput dari penjagaan pasukan Tjakra. Seusai acara, Maulwi mengaku tidak
mengetahui aktivitas Untung selanjutnya.
Ketegangan hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29 September,
Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana. Tiba-tiba ada anggota Tjakra anak buah
Dul Arief, peleton di bawah Untung, yang bernama Djahurup hendak masuk Istana. Menurut
Suhardi, tindakan Djahurup itu tidak diperbolehkan karena tugasnya adalah di ring luar
sehingga tidak boleh masuk. "Saya tegur dia."
Pada 1 Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. "Saya heran, dari sekitar
daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara." Ia langsung mengendarai jip menuju markas
Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah Abang. Yang membuatnya heran lagi, pengawal di pos yang
biasanya menghormat kepadanya tidak menghormat lagi. "Saya ingat yang jaga saat itu adalah
Kopral Teguh dari Banteng Raiders," kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di
Tanah Abang semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada.
Begitu tahu hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi, Suhardi
langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang sudah dianggap anak oleh
ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat sudah menjabat komandan Tjakrabirawa bila
103
ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya. "Saya tak heran kalau Untung terlibat karena saya
tahu sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI," katanya.
Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para
jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. "Semuanya terserah kepada Bapak
Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka," jawab Untung.
Heru Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang namanya
dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam Kamaruzzaman- lah yang
paling berperan dalam gerakan tersebut. Keyakinan itu muncul ketika pada Jumat, 1 Oktober
1965, Heru secara tidak sengaja bertemu dengan para pimpinan Gerakan 30 September: Letkol
Untung, Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzzaman, dan Pono. Heru melihat justru
Pono dan Sjam-lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu, sementara Untung lebih
banyak diam.
"Saya tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau operasi ini (G-30S)," kata Heru saat ditemui Tempo.
Soeharto, kepada Retnowati Abdulgani Knapp, penulis biografi Soeharto: The Life and Legacy
of Indonesia‘s Second President, pernah mengatakan memang kenal dekat dengan Kolonel
Latif maupun Untung. Tapi ia membantah isu bahwa persahabatannya dengan mereka ada
kaitannya dengan rencana kudeta. ―Itu tak masuk akal,‖ kata Soeharto. ‖Saya mengenal Untung
sejak 1945 dan dia merupakan murid pimpinan PKI, Alimin. Saya yakin PKI berada di belakang
gerakan Letkol Untung,‖ katanya kepada Retnowati.
Demikianlah Untung. Kudeta itu bisa dilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bintang Sakti itu
sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan.
104
Tjakrabirawa, Dul Arief dan „Madura Connection‟
Benedict Anderson menemukan indikasi bahwa eksekutor lapangan Tjakrabirawa yang
menculik para jenderal adalah "komunitas Madura", yang di antaranya sudah dikenal oleh Ali
Moertopo, intelijen Soeharto sejak 1950-an.
Lelaki tua itu duduk bersandar di atas sebuah dipan besi. Dengan susah payah ia menyuapkan
nasi dan lauk itu ke mulutnya. Beberapa butir nasi jatuh di atas seprai.
Sudah enam bulan ini Boengkoes, nama lelaki 82 tahun itu, terbaring lemah di tempat tidur.
Stroke melumpuhkannya. Mantan bintara Tjakrabirawa itu, seperti dilihat Tempo di rumah
anaknya di Besuki, Situbondo, Jawa Timur, kini menghabiskan sisa hidupnya di atas dipan besi.
Boengkoes adalah salah seorang pelaku dalam tragedi 30 September 1965. Pria berdarah
Madura, yang saat itu berpangkat sersan mayor, ini bertugas menjemput Mayor Jenderal M.T.
Harjono, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat. Dalam sebuah wawancara dengan
Tempo setelah bebas dari LP Cipinang pada 1999, Boengkoes menceritakan tugasnya itu
dengan terperinci. Pada 30 September 1965 sekitar pukul 15.00. "Dalam briefing itu dikatakan
ada sekelompok jenderal yang akan 'mengkup' Bung Karno, yang disebut Dewan Jenderal.
Wah, ini gawat, menurut saya."
Ia menyangka perintah itu baru akan dilaksanakan setelah 5 Oktober 1965. Namun, pada pukul
08.00, dipimpin oleh Dul Arief, pasukannya kembali ke Halim. Sekitar pukul 03.00 keesokan
harinya, kata Boengkoes, komandan-komandan pasukan berkumpul lagi. "Lalu, pasukan Tjakra
dibagi tujuh oleh Dul Arief dan dikasih tahu sasarannya. Saya kebagian (Mayor) Jenderal M.T.
Harjono," ujar Boengkoes. Boengkoes kemudian berhasil menembak M.T. Harjono. "Setelah
sampai sana (Lubang Buaya), mayatnya saya serahkan ke Pak Dul Arief."
Seluruh pengakuan Boengkoes ini menarik minat Ben Anderson, Indonesianis dari Universitas
Cornell. Ben pada 2002 sampai datang lagi ke Indonesia menemui Boengkoes di Besuki.
Pertemuannya itu menghasilkan paper setebal 61 halaman, The World of Sergeant-Mayor
Bungkus, yang dimuat di Jurnal Indonesia Nomor 78, Oktober 2004.
Paper ini, menurut Ben, melengkapi Cornell Paper yang terkenal itu. Pada 1966— setahun
setelah peristiwa berdarah—bersama Ruth McVey dan Fred Bunnel, Ben menulis Cornell
Paper. Pada saat itu Ben mengira bahwa inti serdadu yang bergerak di lapangan adalah orangorang Jawa. Anggapan ini berubah setelah Ben bertemu dengan Boengkoes. Ia melihat fakta
menarik bahwa hampir semua serdadu yang ditugasi menculik berdarah Madura. Pimpinan
lapangannya juga berdarah Madura.
Pimpinan lapangan penculikan, seperti dikatakan Boengkoes di atas, adalah Dul Arief. Dul Arief
adalah serdadu berdarah Madura. Nah, menurut Ben, Dul Arief adalah orang yang sangat dekat
dengan Ali Moertopo, intelijen Soeharto. Dul dikenal Ali sejak Benteng Raiders memerangi
Darul Islam di Jawa Tengah dan Jawa Barat pada 1950-an.
Perihal apakah benar Dul Arief dekat dengan Ali Moertopo, Tempo mencoba mengecek kepada
Letnan Kolonel Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo, yang oleh Untung diikutkan dalam Dewan
Revolusi. Heru sendiri berdarah Madura. Dan ternyata jawabannya mengagetkan: "Dul Arief itu
anak angkat Ali Moertopo," kata Heru kepada Erwin Dariyanto, dari Tempo.
105
Dalam paper Ben, anggota Tjakra lain yang berdarah Madura adalah Djahurup. Ini pun
informasi menarik. Sebab, Djahurup, oleh Letnan Kolonel CPM (Purnawirawan) Suhardi
diceritakan (baca: Perwira Kesayangan Soeharto), adalah orang yang ingin menerobos Istana
pada 29 September, tapi kemudian dihadang
Ben menemukan fakta bahwa ternyata Boengkoes telah mengenal akrab Dul Arief sejak 1947.
Saat itu mereka bergabung dalam Batalion Andjing Laut di Bondowoso. Boengkoes mengawali
karier semasa revolusi di Batalion Semut Merah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 1945 di
Situbondo. Setelah Semut Merah dihancurkan Belanda pada Juli 1947, ia bergabung dengan
Batalion Andjing Laut di Bondowoso dengan pangkat prajurit satu. Sebagian besar personel
Andjing Laut adalah orangorang setempat keturunan Madura.
Selama clash kedua dengan Belanda, Boengkoes bertempur di sejumlah daerah, seperti di
Kediri, Madiun, dan Yogyakarta. Ia juga pernah bertugas di Seram. Pada 1953, pasukan
Andjing Laut ditarik dari Seram. Seluruh personel Andjing Laut tak kembali ke Brawijaya,
melainkan bergabung dengan Divisi Diponegoro di Salatiga, Jawa Tengah.
Di Divisi Diponegoro, nomor batalion berubah dari 701 menjadi 448. Namun, nama Andjing Laut
tetap mereka pertahankan. Kemudian Andjing Laut menjadi bagian dari Brigade Infanteri.
Hampir seluruh personelnya berdarah Madura.
"Dul Arief, Djahurup, dan Boengkoes berada dalam satu batalion 448 Kodam Diponegoro," kata
Heru Atmodjo. Dan yang mengejutkan lagi: "Komandannya waktu itu Kolonel Latief," kata Heru.
Itu artinya, dapat kita simpulkan bahwa Kolonel Latief pun sudah mengenal para eksekutor
Tjakrabirawa sejak dulu. Setelah menyelesaikan Sekolah Kader Infanteri, Boengkoes dipindah
ke Cadangan Umum di Salatiga. Cadangan Umum adalah gabungan pasukan Garuda I dan II
yang baru pulang bertugas di Kongo. Ada dua unit pasukan Cadangan Umum di Semarang,
yakni baret hijau di Srondol dan baret merah di Mudjen. Dan informasi yang mengagetkan lagi:
komandan baret hijau di Srondol saat itu, menurut Boengkoes, adalah Untung!
Ketika bertugas di Cadangan Umum inilah Boengkoes direkrut masuk Banteng Raiders I di
Magelang. Tak lama kemudian ia direkrut pasukan Tjakrabirawa. Meski sudah bersama dengan
Untung sejak di Banteng Raiders, Boengkoes mengaku kepada Ben Anderson baru bertemu
dengan Untung ketika sudah di Jakarta. "Saya belum kenal dia waktu di Srondol," tuturnya.
Boengkoes tidak menghadapi kesulitan saat masuk Tjakrabirawa. Padahal Boengkoes
menderita wasir dan disentri. "Penyakit itu saya sudah katakan. Tapi besoknya, saya diberi tahu
bahwa saya sehat. Jadi saya senang."
Boengkoes tak sendirian. Ada seratusan personel Banteng Raiders yang juga lolos seleksi.
"Dari Jawa Tengah, jumlah kami yang lolos seleksi cukup untuk membentuk satu kompi," ujar
Boengkoes. Tugas mereka menggantikan Polisi Militer berjaga di Istana Presiden.
Kepada Ben, Boengkoes menyebut Dul Arief sebagai kawan sehidup-semati. Keduanya kerap
berbincang dalam bahasa Madura. Bongkoes bercerita, suatu waktu dia dan Dul Arief pergi
jalan-jalan ke Pasar Senen, Jakarta. Di sebuah pertigaan, ada warung cendol. Di papan
namanya tertulis "Dawet Pasuruan". Ada dua gadis berparas manis yang membantu pedagang
cendol itu.
106
"Kami duduk ngobrol dan ngrasani gadis itu dengan bahasa Madura. Tapi kok mereka
kemudian tersenyum-senyum. Saya mulai curiga," ujar Boengkoes. Ternyata kemudian, pemilik
warung tersebut mengaku berasal dari Pasuruan, Jawa Timur. Dan kedua gadis tersebut
mengerti bahasa Madura. "Wah, mati aku," ujar Boengkoes.
Yang aneh, menurut Ben Anderson, setelah tragedi September itu Dul Arief, si anak angkat Ali
Moertopo, dan Djahurup seolah hilang tak berbekas. Menurut Heru, beberapa hari setelah G30-S dinyatakan gagal, 60 anggota Batalion I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa berusaha lari
dari Jakarta menuju Jawa Tengah. Di Cirebon, pasukan CPM menghadang mereka.
Kepada Tempo, Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, menceritakan
ke-60 orang tersebut mampir di sebuah asrama TNI di Cirebon karena tidak membawa bekal
makanan. Salah satu prajurit di asrama tersebut berinisiatif melapor kepadanya. "Saya
perintahkan mereka untuk ditahan dulu. Pasukan dari Jakarta yang akan menjemput," kata
Maulwi.
Tapi kemudian Dul Arief dan Djahurup hilang, lenyap. Hanya Kopral Hardiono, bawahan Dul
Arief, yang kemudian disidang di Mahkamah Militer Luar Biasa pada 1966 dan dituduh
bertanggung jawab atas penculikan para jenderal tersebut.
"Dul Arief dan Djahurup tidak bisa dihadirkan dalam persidangan (Mahmilub)," kata Heru.
Apakah keduanya "diamankan" Ali Moertopo? Entahlah.SAPTO YUNUS | IKA NINGTYAS
107
Dia Jenderal, Bukan Letnan Kolonel
Di mata Sadali, teman masa kecilnya, Untung adalah seorang prajurit cerdas. Sadali, yang
sekarang berdagang peci, masih ingat perjalanan karier karibnya itu. Untung, kata Sadali,
memulai dinas militernya di Heiho pada 1943.
Setelah Jepang hengkang, Untung bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia. Kariernya
mulai bersinar terang di kesatuan Banteng Raiders, Diponegoro, yang bermarkas di Gombel,
dekat Semarang, Jawa Tengah. Pada 1961, pangkatnya sudah mayor. "Ada satu melati putih di
pangkatnya."
Warga Dukuh Kedung Bajul, tempat kelahiran Untung, di Kebumen, Jawa Tengah, amat
mengingat Untung ikut berjasa membebaskan Irian Barat pada 1962. Bahkan, Sadali percaya,
Untunglah arsitek di balik perebutan Irian Barat dari tangan Belanda.
Dari mulut Sadali terurai strategi Untung yang cerdik dan tak lazim. Setelah diterjunkan di Irian
Barat, konon Untung memadamkan semua lampu di kota-kota. Sebaliknya hutan-hutan
dibuatnya benderang. "Belanda tertipu," kata Sadali. "Untung bersama pasukannya berhasil
masuk ke kota-kota." Entah dengan cara apa Untung menerangi rimba Papua yang ganas itu.
Prestasi di Irian Barat membuat Untung menjadi salah satu penerima penghargaan Bintang
Sakti, yang langsung disematkan Presiden Soekarno. Penerima penghargaan lainnya adalah
Mayor L.B. Moerdani. Pangkat Untung dinaikkan menjadi letnan kolonel. Dia pun secara khusus
diminta Presiden Soekarno menjadi anggota pasukan pengawal Tjakrabirawa.
Hingga dieksekusi pada pertengahan 1966, pangkat Untung masih letnan kolonel. Namun, bagi
warga Kedung Bajul, pangkat Untung terus terdongkrak beberapa tingkat sekaligus. Dengan
takzim mereka menyebutnya Jenderal Untung.
"Jenderal Untung dikenal karismatis," Mashud Efendi, 69 tahun, yang tinggal berdekatan
dengan rumah Untung, memuji. Kepala Desa Bojongsari Mohamad Asibun ikut menyebutnya
Jenderal Untung. "Paling tidak ada orang Kebumen yang berhasil membebaskan Irian Barat,"
ujar Asibun, 40 tahun.
Mereka bukannya tak tahu soal keterlibatan Untung dalam penculikan para jenderal Angkatan
Darat. Tapi mereka tidak terlalu peduli.
Syukur Hadi Pranoto, yang tinggal di belakang rumah Sukendar, mertua Untung, mengetahui
keterlibatan Untung dalam peristiwa G- 30-S melalui radio. Massa yang marah sempat
menjadikan rumah Sukendar sebagai sasaran.
"Sekitar seratus orang siap membakar rumah Sukendar dengan bom molotov," kata Syukur,
yang kini 71 tahun. Beruntung rumah itu bisa diselamatkan seorang anggota dewan perwakilan
rakyat daerah.
Kendati Syukur mendengar Untung terlibat G-30-S, ia tak percaya pria itu bersalah. "Dia hanya
alat atau korban politik. Dalangnya, ya, Soeharto." Sebaliknya, ia yakin Untung orang yang jujur
dan bertanggung jawab. Dan, seperti warga dukuh lainnya, ia bangga ada putra Kebumen yang
menjadi pahlawan pembebasan Irian Barat.
108
Bahkan Siti Fatonah, 78 tahun, yang masih terhitung kerabat Hartati, istri Untung, tak percaya
warga kebanggaan Kedung Bajul itu terlibat penculikan para jenderal. Pada malam kejadian,
kata dia, Untung nongkrong makan bakso di Hotel Des Indes Harmoni, Jakarta, atau Duta
Merlin sekarang.
Yang lebih unik, seorang kerabat dekat Hartati lainnya percaya Untung masih hidup dan tinggal
di Kopeng, Salatiga, Jawa Tengah. "Ia menjadi kasepuhan atau paranormal," kata orang yang
tak pernah bertemu dengan Untung itu. ENDRI KURNIAWATI | ARIS ANDRIANTO
109
Kenangan Pernikahan Lelaki Kedung Bajul
Di Kebumen, Soeharto datang menghadiri pernikahan Untung. Kedatangan Soeharto dan Tien
yang mendadak membuat tuan rumah kebingungan menyambutnya.
Dusun yang tak jauh dari Pantai Krakal, di bagian timur Kebumen, siang itu begitu panas
menyengat ketika Tempo mengunjunginya Hawanya gersang, khas kawasan pesisir. Sebagian
besar penduduknya bekerja sebagai perajin dan pedagang peci. Dulu, daerah itu basis
Angkatan Oemat Islam, organisasi yang didirikan untuk melawan pendudukan Belanda sekitar
1945-1950.
Orang-orang Kedung Bajul, Desa Bojongsari, nama daerah itu, tergolong pemeluk Islam yang
taat. Tua-muda rajin beribadah dan mendaras Al-Quran. Dusun itu merupakan tempat kelahiran
Letnan Kolonel Untung. Tetangga dan teman masa kecil mengingatnya sebagai Kusmindar
atau Kusman. Kus, begitu ia biasa dipanggil.
Dari percakapan dengan penduduk setempat, Tempo mendapat informasi Untung tak punya
darah militer maupun politik dari kedua orang tuanya. Slamet, kakek Kusman, cuma tukang
sapu di Pasar Seruni di desa itu. Ayahnya, Abdullah Mukri, buruh peralatan batik di Solo, Jawa
Tengah.
Meski cuma buruh, Mukri dikenal sebagai penakluk wanita. Ia kawin-cerai sampai tujuh kali.
Untung lahir dari istri kedua Mukri. "Ibunya pemain wayang orang desa kami," kata Sadali, 71
tahun, tetangga dekat Untung di Kedung Bajul. Sadali, yang sekarang berdagang peci, tak ingat
nama perempuan yang minggat, menikah dengan lelaki lain ketika Untung masih 10 tahun, itu.
Sepeninggal ibunya, Untung hijrah ke Solo. Ia diasuh adik ayahnya, Samsuri, yang tak punya
anak. Karena itu, "Dia lebih dikenal sebagai Untung bin Samsuri," kata Sadali, yang kakaknya
sekelas dengan Untung di Sekolah Rakyat Seruni, Kebumen, hingga kelas III.
Seperti kakaknya, Samsuri buruh perajin batik di Solo. Meski begitu, Samsuri memperhatikan
pendidikan sang keponakan. Suhardi, teman kecil sekaligus junior Untung di Tjakrabirawa,
bercerita, dari sekolah rakyat di Kebumen, Untung dipindahkan ke Sekolah Rakyat di Jayengan,
Kartopuran, Solo.
Barangkali karena Samsuri berada di lingkungan pedagang yang kuat, selepas sekolah rakyat
Untung dimasukkan ke Klienhandel, sekolah dagang Belanda setingkat SMP. Toh, setamat
sekolah dagang, Untung tidak jadi saudagar. Ia malah masuk Heiho pada 1943, yakni ketika
Jepang masuk ke Indonesia. Sejak itu ia terus berkarier di militer.
Sejak pindah ke Solo, Untung tak pernah lagi pulang ke Kedung Bajul. Sekitar 1957-1958,
menurut Sadali, yang kala itu berdagang batik, dia beberapa kali bertemu dengan Untung.
Temannya itu, kata Sadali, pulang ke rumah Samsuri saban bulan ketika masih berdinas di
kesatuan Banteng Raiders di Gombel, Semarang.
Bagi Sadali, Untung orang yang ramah, halus tutur katanya dan rajin mengaji hingga dewasa.
Jika bertemu, ia senang mengajak ngobrol Sadali, bahkan menasihati. "Sesama orang
Kebumen di perantauan harus saling membantu."
110
Selebihnya, orang-orang Kedung Bajul tak tahu lagi kabarnya hingga pernikahannya dengan
Hartati digelar megah pada 1963, setahun setelah kepulangannya dari Irian Barat. "Pesta paling
meriah waktu itu," kata Syukur Hadi Pranoto, 71 tahun, tetangga Hartati di Kelurahan Kebumen.
Untung menikahi Hartati setelah bertemu di rumah Yudo Prayitno di Kecamatan Klirong, pesisir
selatan Kebumen, pada sebuah acara keluarga. "Usia Hartati jauh lebih muda dari Untung,"
kata Siti Fatonah, kerabat Hartati di Kebumen.
Hartati adalah anak kelima dari tujuh anak Sukendar, pemborong besar yang kaya dan
terpandang. "Dia punya banyak kuli," ujar Syukur. Beberapa gedung besar di Kebumen adalah
hasil karyanya.
Tak aneh jika pesta pernikahan Hartati- Untung yang digelar siang hari dibikin megah. Tenda
besar dibentang. Hiburannya wayang orang Grup Ngesti Pandawa dari Semarang yang sedang
ngetop. Jalanan sekitar rumah Sukendar ditutup. Mobil tetamu berjajar di sepanjang jalan di
sekitar rumah Sukandar.
Menikah dengan adat Jawa, Untung mengenakan beskap dan blangkon. Setelah itu ia
mengenakan pakaian kebesaran militer.
Tamunya kebanyakan petinggi pemerintahan, pejabat militer, dan anggota Dewan. Soeharto
dan Tien Soeharto pun datang. "Soeharto datang mendadak, membuat tuan rumah sedikit
kebingungan menyambut kedatangannya," kata Syukur, yang sempat dipenjara enam tahun
karena dituduh terlibat G-30-S.
Di antara para tamu, tak ada tetangga dan kerabat dari Kedung Bajul yang diundang. Dikabari
pun tidak. "Mungkin karena ia sudah menjadi orang besar," kata Mashud, tetangga dekat
Untung di dusun. Padahal keluarga besar Slamet masih berada di dusun itu hingga sekarang.
Setelah menikah, Untung memboyong Hartati ke Jakarta. Siti Fatonah, kerabat Hartati yang
masih tinggal di Kebumen, mengatakan, dari pernikahannya dengan Hartati, Untung mendapat
seorang anak lelaki, Anto. Fatonah menyebutnya, Insinyur Anto.
Sepeninggal Untung, Hartati menikah lagi dengan seorang petinggi sebuah perusahaan tekstil
di Bandung.ENDRI KURNIAWATI | ARIS ANDRIANTO | ERWIN DARIYANTO
111
Yang Terbaik Lalu Terbalik
Idul Adha, Mei 1962. Presiden Soekarno pagi itu salat di lapangan rumput Istana Presiden. Ia di
saf terdepan. Tiba-tiba seorang pria di saf keempat berdiri menghunus pistol. Ia membidik
Presiden. Tar! Tembakannya luput. Peluru mengoyak dada KH Zainul Arifin. Ketua DPR Gotong
Royong itu meninggal setahun kemudian.
Sudah berkali-kali Soekarno dicoba dibunuh. Ia pernah digranat, dibidik pesawat MIG, tapi
insiden Hari Raya Kurban inilah yang tergawat. Detasemen Kawal Pribadi Presiden kecolongan
di halaman Istana, yang dijaganya 24 jam.
Karena itu, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution memanggil Letnan
Kolonel Moch. Saboer, ajudan Presiden, untuk membicarakan pembentukan pasukan pengawal
presiden. Sebenarnya itu bukan gagasan baru, tapi selalu ditolak Soekarno. Namun, kali ini
Nasution berhasil meyakinkan Soekarno bahwa keberadaan pasukan itu lazim di semua
negara.
Karena tak ada waktu untuk menyeleksi personel kesatuan baru itu, Nasution memerintahkan
setiap angkatan menyetorkan pasukan khususnya. Masing-masing satu batalion. Kepolisian
menyumbangkan Mobrig (Brimob), Angkatan Laut memberikan Korps Komando (KKO), dan
Angkatan Udara menyetor Pasukan Gerak Tjepat.
Angkatan Darat seharusnya mengirimkan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
L.B. Moerdani—waktu itu masih berpangkat mayor RPKAD—sudah digadang-gadang sebagai
komandan di kesatuan itu. Namun, pasukan elite ini menolak tugas tersebut dengan alasan
ingin berkonsentrasi sebagai pasukan tempur. Sebagai gantinya, mereka memberikan pasukan
Kostrad (waktu itu Tjadangan Umum Angkatan Darat, Tjaduad). Dua kompi di antaranya dari
Batalion 454/Kodam VII Diponegoro, yang dikenal dengan sebutan Batalion Raiders atau
Banteng Raiders.
Batalion ini sebenarnya punya catatan buruk di masa lalu. Sebagian anggotanya berasal dari
Batalion Sudigdo, yang terlibat pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Ketika
pemberontakan itu dipadamkan, batalion ini sempat dibersihkan dari unsur PKI. Namun,
sebelum rampung, Belanda melancarkan agresi militer kedua.
Tapi soal itu sepertinya tertutupi oleh pamor tim tempur ini yang moncer dalam operasi
PRRI/Permesta dan Operasi Trikora di Irian Barat. Apalagi Jenderal Ahmad Yani, yang dekat
dengan Soekarno, dulu dari batalion ini.
Pada hari ulang tahunnya, 6 Juni 1962, Soekarno meresmikan resimen itu. Ia memberi nama
Tjakrabirawa, senjata pamungkas Batara Kresna dalam lakon wayang kegemarannya. Ia
pulalah yang memilihkan seragamnya: baju warna cokelat tua dengan baret merah gelap.
Setahun kemudian, pasukan ini sudah dalam kekuatan penuh. Senjata mereka serba canggih.
Maklum, pasukan ini mendapat anggaran langsung dari pemerintah pusat, bukan dari kantong
ABRI.
Lalu, 30 September 1965, Letnan Kolonel Untung Sjamsuri, Komandan Batalion I Kawal
Kehormatan, melakukan makar. Kisah Tjakrabirawa setelah itu cuma berisi tragedi.
112
Sebenarnya cuma dua kompi Tjakra yang jahat. Ini kesaksian mantan Provoost Tjakra, Letkol
CPM (Purnawirawan) Suhardi. Pagi 1 Oktober 1965, ujar Suhardi kepada Tempo, ia—saat itu
kapten—menemukan, di markasnya di Wisma Kala Hitam hanya ada kompi Jawa Barat dan
Jawa Timur. "Harusnya ada empat. Kompi Raiders dari Jawa Tengah dua-duanya tidak ada."
Belakangan, sebagian anggota kompi itu tertangkap di Cirebon. Rupanya, setelah aksi
makarnya gagal, mereka melakukan long march ke pangkalannya di Srondol, Semarang, di
bawah pimpinan Dul Arief. Sial, di Kota Udang, pasukan ini kehabisan ransum. Berdasarkan
pemeriksaan di Cirebon oleh Mayor Soetardjo, diketahui bahwa yang terlibat gerakan Untung
hanya 86 orang.
Tapi ada versi lain. Menurut Antonie Dake dalam bukunya, Soekarno File, ada banyak Tjakra
terlibat. Mereka bahkan sudah menyiapkan kedatangan Soekarno ke Halim sehari sebelum 30
September.
Ini dibantah Kolonel Maulwi Saelan. Menurut Maulwi, langkah mengungsikan Soekarno ke
Halim diambil semata-mata agar dia dekat dengan pesawat kepresidenan Jet Star, yang
mangkal di sana.
Tudingan terhadap Tjakra juga dilontarkan pengamat politik militer Australia, Ulf Sundhaussen.
Dia mengatakan, pada 3 Oktober Saelan memimpin Tjakrabirawa pergi ke Lubang Buaya untuk
menghilangkan jejak penculikan atas perintah Soekarno.
"Itu kebohongan yang menjijikkan," ujar Maulwi. "Seperti laporan Soetardjo, yang terlibat hanya
86 orang."
Ia memang ke Lubang Buaya bersama pasukannya. Tapi ini berkat informasi dari agen polisi
Sukitman, yang terculik bersama para jenderal dan kemudian ditemukan oleh pasukannya.
Ketika memeriksa lokasi yang disebut Sukitman—yang sudah mereka serahkan ke Kostrad—
pasukannya menemukan sumur tempat para jenderal itu dibuang.
Gara-gara aksi Untung, resimen ini bahkan coreng-moreng oleh perbuatan yang tidak mereka
lakukan. Pada 1996, misalnya, Tjakra dituduh menembak mahasiswa Universitas Indonesia,
Arief Rahman Hakim. Maulwi, dalam bukunya, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa,
menulis, penembaknya sebetulnya anggota Pom Dam V yang jadi patroli garnisun.
Riwayat resimen ini tamat pada 22 Maret 1966. "Tugas kalian sudah selesai," kata Kepala Staf
Angkatan Darat Jenderal Maraden Panggabean kepada para petinggi resimen ini di Markas
Angkatan Darat. Ia meminta anggota Tjakra, yang disebutnya de beste zoneri (putra terbaik
angkatan), kembali ke kesatuannya.
Enam hari setelahnya, Saboer menyerahkan pengawalan presiden kepada Polisi Militer
Angkatan Darat. Namun, kisah Tjakra masih berlanjut. Untung divonis mati. Dul Arief hilang tak
berbekas. Anggota kompinya dijebloskan ke rumah tahanan militer.
Memang banyak anggota Tjakra yang tak dipenjara dan dipulangkan ke kesatuan lamanya.
Namun, menurut Maulwi, di kesatuannya, mereka rata-rata disisihkan. "Kami yang
diperintahkan setia kepada Presiden dianggap kekuatan Soekarno yang harus disingkirkan,"
ujar Maulwi. "Saya kasihan pada anggota Tjakra. Mereka prajurit cemerlang tapi berada di
posisi salah."
113
"Tjakra seperti bertukar nasib dengan Tjaduad," Maulwi menambahkan. "Tjaduad hanya tempat
untuk tentara yang sudah masuk kotak... seperti Soeharto, yang akan dipensiunkan."
114
Sersan Mayor Boengkoes, Eksekutor Mayjen.M.T.Haryono
Stroke Mengalahkan Penyuka Keroncong Itu
"Gelap. Saya coba cari stop kontak, saya raba-raba dinding. Tiba-tiba ada bayangan putih lari.
Anak buah saya berteriak, 'Pak, ada bayangan putih.' Saya mengangkat senjata dan dor...."
Hernawati baru saja menyiapkan makan siang untuk ayahnya. Menunya: nasi putih dan telur
mata sapi. Meski rapuh, lelaki tua itu menolak disuapi. Ia berkeras makan dengan tangannya
sendiri. "Sambil melatih tangan," kata Hernawati, 50 tahun.
Lelaki yang kini berusia 82 tahun itu adalah Boengkoes, mantan bintara Tjakrabirawa. Pangkat
terakhirnya sebelum mendekam selama 33 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang,
Jakarta, adalah sersan mayor.
Menurut Hernawati, anak kedua Boengkoes, sudah enam bulan ini ayahnya tergolek lemah
karena stroke. Ia susah berbicara. Tangan dan kedua kakinya setengah lumpuh. Ia kini
terbaring di rumah anak keempatnya, Juwatinah, yang berdempetan dengan rumah Hernawati
di Jalan PG Demaas, Dusun Kalak, Desa Demaas, Kecamatan Besuki, Situbondo, Jawa Timur.
Hernawati tak mengizinkan Tempo menemui ayahnya. Ia hanya mengizinkan Slamet
Wagiyanto, 30 tahun, anak keduanya, untuk memotret sang kakek. "Percuma, Bapak tidak bisa
bicara dan ingat apa pun," ujar Hernawati.
Boengkoes tinggal di Situbondo setelah mendapatkan grasi dari Presiden B.J. Habibie pada 25
Maret 1999. Di kota inilah istri dan anak-anaknya tinggal setelah Boengkoes masuk bui.
Sebelumnya, keluarga Boengkoes tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Ia menikah dengan
Jumaiyah (kini 70 tahun) dan dianugerahi enam anak.
Hernawati berkisah, sebelum menderita stroke, ayahnya lebih banyak menghabiskan waktunya
di pekarangan belakang rumah. Di atas lahan berukuran 10 x 15 meter itu, Boengkoes merawat
10 ayam kampung dan suka menanam pisang. "Ayamnya sekarang tinggal tiga ekor karena
nggak ada yang ngerawat lagi," kata Hernawati.
Hobi lain lelaki kelahiran Desa Buduan, Besuki, itu adalah menyanyikan lagu keroncong. Lagu
favoritnya: Sepasang Mata Bola dan Bengawan Solo. Menurut Hernawati, hanya itulah kegiatan
Boengkoes setelah bebas dari bui. Ia tak aktif di kegiatan kampung. Boengkoes juga tak pernah
bertemu dengan temantemannya sesama mantan tahanan politik. Kepada anak-anaknya pun ia
tak pernah bercerita tentang pengalamannya di dalam penjara atau saat berdinas di
Tjakrabirawa.
Hernawati mengatakan ayahnya tak mau menambah beban keluarganya. Dulu, setiap tahun
beban itu terasa makin berat ketika televisi memutar film Pengkhianatan G-30- S/PKI. Saat film
itu diputar, keluarganya tak pernah berani keluar dari rumah. Hampir seisi kampung tahu
Boengkoes terlibat dalam pembunuhan para jenderal.
Namun, sepahit apa pun pengalaman masa lalu ayahnya, Hernawati tetap yakin ayahnya tak
bersalah. "Ayah cuma bawahan yang menjalankan perintah atasan," tuturnya. Boengkoes pada
115
1999, selepas keluar dari penjara, dalam sebuah kesempatan wawancara, mengatakan hal
yang sama, "Nggak ada, tentara kok merasa bersalah, mana ada...."
Boengkoes kini terkena stroke. Entah apakah ia masih ingat detik-detik ketika masuk
mendobrak rumah M.T. Harjono. Thompsonnya melepaskan tembakan pada bayangan putih
itu. Dan, saat lampu dinyalakan, tubuh M.T. Harjono tak berdaya. Peluru menembus tubuhnya
dari punggung sampai perut.
116
Misteri Rekaman Tape
Di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, Untung menghadirkan saksi Perwira Rudhito Kusnadi
Herukusumo, yang mendengar rekaman rahasia rapat Dewan Jenderal.
Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri layaknya seorang pelaku kriminal. Turun dari panser,
lelaki cepak bertubuh tegap itu tampak menggigil ketakutan. Kepalanya menunduk, takut
menatap ratusan orang yang tak henti menghujatnya. Bekas Komandan Batalion I Tjakrabirawa
itu juga gamang ketika akan menembus barikade massa Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia,
yang menyemut di pelataran parkir gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
Jakarta.
Kala itu, Rabu, 23 Februari 1966, pukul 9 pagi. Di lantai dua gedung di Jalan Taman Suropati
Nomor 2 itu, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) mengadili Untung, 40 tahun, bekas
Ketua Dewan Revolusi Indonesia, dengan tuduhan makar. Saat akan memasuki gedung itulah
Untung terus mendapat hujatan dan cemoohan massa.
Letnan I Dra Sri Hartani, yang saat itu menjadi protokoler atau semacam pembawa acara
sidang, ingat intimidasi massa tersebut membuat nyali Untung ciut. "Untung terlihat takut dan
tidak terlihat seperti ABRI. Padahal kalau ABRI tidak begitu," kata Sri, kini 69 tahun, kepada
Tempo di rumahnya di Jakarta Pusat pada pertengahan September lalu.
Sri menyatakan Untung menjadi orang kedua setelah Njono, tokoh Partai Komunis Indonesia,
yang diperiksa dan diadili di Mahmilub 2 Jakarta. Di depan Mahmilub, Untung sangat yakin
bahwa Dewan Jenderal itu ada. Menurut Untung, ia mendengar adanya Dewan Jenderal dari
Rudhito Kusnadi Herukusumo, seorang perwira menengah Staf Umum Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat-6. Untung mengatakan, kepada dirinya, Rudhito mengaku
mendengar rekaman tape hasil rapat Dewan Jenderal pada 21 September 1965 di gedung
Akademi Hukum Militer (AHM), Jalan Dr Abdurrachman Saleh I, Jakarta. Rekaman itu berisi
pembicaraan tentang kudeta dan susunan kabinet setelah kudeta. Itu sebabnya, Untung ngotot
menghadirkan Rudhito sebagai saksi dalam persidangan.
Rudhito kemudian dihadirkan di Mahmilub 2. Dalam kesaksiannya, seperti dapat kita baca
dalam buku proses mahmilub Untung (1966), Rudhito memang mengaku pernah melihat tape
rekaman tersebut dan sudah melaporkannya kepada Presiden Soekarno.
Rudhito menjelaskan, dirinya menerima tape rekaman yang dia dengar dan catatan tentang
isinya pada 26 September 1965 di ruangan depan gedung Front Nasional. Dia menerima bukti
itu dari empat orang, yakni Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution, keduanya dari Nahdlatul
Ulama, plus Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang dari IP-KI.
Menurut Rudhito, keempat orang itu mengajaknya membantu melaksanakan rencana-rencana
Dewan Jenderal. Mereka mengajak karena kapasitasnya selaku Ketua Umum Ormas Central
Comando Pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rencana Dewan Jenderal itu
adalah mengudeta Soekarno seperti cara-cara di luar negeri. Misalnya Soekarno akan
disingkirkan seperti matinya Presiden Republik Korea Selatan Sihgman Ree.
Selanjutnya, tutur Rudhito, jika belum berhasil, akan dibuat seperti hilangnya Presiden Bhao
dari Vietnam Selatan. "Kalau masih tidak bisa juga, Soekarno akan 'di-Ben Bella-kan‘," pria
117
berusia 40 tahun ini menjelaskan isi rekaman di depan Mahkamah. "Di-Ben Bella-kan"
maksudnya adalah dikudeta dengan cara seperti Jenderal Boumedienne terhadap Presiden
Aljazair bernama Ahmad Ben Bella.
Lebih jauh rekaman tersebut, menurut Rudhito, juga berisi pembicaraan mengenai siapa nanti
yang duduk dalam kabinet apabila kudeta sukses dijalankan. Ada nama Jenderal Abdul Haris
Nasution sebagai calon perdana menteri, Letnan Jenderal Ahmad Yani sebagai wakil perdana
menteri I merangkap menteri pertahanan dan keamanan, Letnan Jenderal Ruslan Abdul Gani
sebagai wakil perdana menteri II merangkap menteri penerangan, dan Mayor Jenderal S.
Parman sebagai menteri jaksa agung serta masih ada beberapa nama lagi. "Dalam rekaman,
saya ingat almarhum Jenderal S. Parman yang membacakan susunan kabinet itu," ujar
Rudhito.
Bukti dokumen-dokumen Dewan Jenderal, menurut Rudhito, sebagian besar ada pada Brigadir
Jenderal Supardjo. Dokumen itu juga sudah sampai di tangan Presiden Soekarno, Komando
Operasi Tertinggi Retuling Aparatur Revolusi dan Departemen Kejaksaan Agung.
Nah, dari dokumen yang dipegang Supardjo itu sebenarnya terendus ada uang cek penerimaan
dari luar negeri untuk anggota Dewan Jenderal yang aktif. "Kalau tidak salah hal itu telah
dipidatokan Presiden Soekarno bahwa uang Rp 150 juta itu merupakan suatu fondsen atau
dana pensiun bagi masing-masing anggota Dewan Jenderal yang aktif," tutur Rudhito.
Hanya, Rudhito—mengaku di Mahmilub— tak menyimpan tape rekaman itu. Dan hal itu dinilai
oleh Mahkamah sebagai unus testis nullus testis, yang berarti keterangan saksi sama sekali tak
diperkuat alat-alat bukti lainnya, sehingga tak mempunyai kekuatan bukti sama sekali.
Selain itu, apa yang dikemukakan Rudhito, menurut Mahkamah, sama sekali tak benar. Rapat
Dewan Jenderal yang diadakan di gedung AHM pada 21 September 1965 nyatanya cuma suatu
commander's call Komando Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat—berdasarkan surat bukti
hasil rapat tersebut yang didapat Mahkamah.
Mahkamah berpendapat, Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta ternyata baru
merupakan info yang bersumber dari Sjam Kamaruzzaman dan Pono— utusan Ketua CC PKI
D.N. Aidit—yang tak terbukti kebenarannya.
Berdasarkan itu, Mahkamah memvonis Untung bersalah karena melakukan kejahatan makar,
pemberontakan bersenjata, samen-spanning atau konspirasi jahat, dan dengan sengaja
menggerakkan orang lain melakukan pembunuhan yang direncanakan.
Ahad, 6 Maret 1966, Mahkamah memutuskan menghukum Untung dengan hukuman mati. Saat
itu yang bertindak sebagai hakim ketua adalah Letnan Kolonel Soedjono Wirjohatmojo, SH,
dengan oditur Letnan Kolonel Iskandar, SH, dan panitera Kapten Hamsil Rusli. Dan tak lama
berselang Untung dikabarkan meregang nyawa di depan regu tembak.HERU TRIYONO
118
Untung dan Jejaring Diponegoro
―Cornell Paper", yang disusun Ben Anderson dan Ruth McVey setelah meletus Gerakan 30
September, mengesankan bahwa gerakan itu merupakan peristiwa internal Angkatan Darat dan
terutama menyangkut Komando Daerah Militer Diponegoro. Tentu saja pandangan tersebut
merupakan versi awal yang belum lengkap walau tetap menarik untuk diulas dan diteliti lebih
lanjut.
Setelah tiga dekade di penjara, Soebandrio, Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri/Kepala
Badan Pusat Intelijen, mengelaborasi versi di atas. Walaupun sama-sama berasal dari
Diponegoro, terdapat trio untuk dikorbankan (Soeharto, Untung, Latief) dan ada trio untuk
dilanjutkan (Soeharto, Yoga Soegama, dan Ali Moertopo).
Dari dua trio itu terlihat bahwa baik pelaku gerakan maupun pihak yang menumpasnya berasal
dari komando daerah militer yang sama, yakni Kodam Diponegoro. Itu pula yang menjelaskan
bahwa gerakan tersebut tampil hanya di Jakarta dan di wilayah Kodam Diponegoro (Semarang
dan Yogyakarta) dan dapat dipadamkan dalam hitungan hari. Alasan itulah yang digunakan
kenapa Soeharto tidak masuk daftar orang yang diculik: ia dianggap "kawan", minimal "bukan
musuh". Soeharto dan Latief sama-sama ikut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, yang
kemudian dijadikan hari sangat bersejarah oleh pemerintah Orde Baru.
Pada malam 30 September 1965, Latief menemui Soeharto di Rumah Sakit Pusat Angkatan
Darat Gatot Subroto, Jakarta. Bahkan beberapa hari sebelumnya, Latief bersama istrinya
sempat berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim. Walau tidak sedekat dengan Latief,
Soeharto berhubungan baik dengan Untung. Kabarnya, sewaktu Untung menikah di Kebumen,
Soeharto menghadirinya. Di jalur yang lain, hubungan Yoga Soegama dan Ali Moertopo terbina
ketika mereka melakukan serangkaian manuver untuk mendukung Soeharto menjadi
Komandan Teritorium IV, yang kemudian menjadi Kodam Diponegoro.
Ketika pasukan Tjakrabirawa dibentuk pada 6 Juni 1962, terdapat satu batalion Angkatan Darat.
Sejak Mei 1965, batalion ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, yang karena keberaniannya
dalam operasi Tritura mendapatkan Bintang Sakti. Ada informasi yang perlu diteliti lagi bahwa
Kapten Rochadilah yang "mengajak" Untung bergabung ke pasukan pengamanan presiden.
Rochadi adalah anggota Tjakrabirawa yang ikut dalam salah satu rombongan delegasi
Indonesia ke Beijing pada 25 September 1965 dan sejak itu terhalang pulang. Terakhir ia
memperoleh suaka di Swedia dan berganti nama menjadi Rafiuddin Umar (meninggal pada
2005). Di kalangan eksil 65 di Swedia, ia agak tertutup. Kapten Rochadi berasal dari batalion
yang pernah dipimpin Letnan Kolonel Untung di Kodam Diponegoro.
Ben Anderson memulai analisisnya dengan mengutarakan karakter "Jawa" dari Divisi
Diponegoro yang Panglima Kodamnya sejak awal sampai 1965 berasal dari "Yogya-BanyumasKedu". Sulit dibayangkan seorang Batak atau Minahasa menjadi Panglima Kodam Diponegoro,
seperti yang terjadi pada Kodam Siliwangi. Kodam Diponegoro berada pada wilayah yang
sangat padat penduduk, pangan tidak seimbang, serta berpaham komunisme dan sentimen
anti-aristokrat cukup kuat. Ketidakpuasan muncul di kalangan perwira Diponegoro, seperti
Kolonel Suherman, Kolonel Marjono, dan Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto (dan di Jakarta
terdapat Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung) terhadap para perwira tinggi yang dinilai
hidup mewah di tengah kemiskinan rakyat, termasuk tentara.
119
Stroke ringan yang dialami Presiden Soekarno (4 Agustus 1965), beredarnya dokumen Gilchrist
dan isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta (5 Oktober 1965) menambah panas suasana
politik. Sebagai komandan batalion militer dalam pasukan yang tugasnya mengamankan
presiden, Untung "terpanggil" untuk menyelamatkan presiden dari ancaman para jenderal
tersebut dengan "mendului" mereka melalui Gerakan 30 September.
Walaupun namanya tertulis sebagai komandan gerakan tersebut, kenyataan di lapangan
memperlihatkan bahwa Untung bukanlah pemimpin utama aksi ini, karena berbagai hal
ditentukan oleh Sjam Kamaruzzaman dari Biro Chusus PKI. Ketika banyak persiapan (tank,
senjata, logistik, dan personel) masih kacau, Untung tidak mengambil keputusan menunda aksi
ini. Mereka lebih mendengar Sjam, yang berujar, "Kalau mau revolusi ketika masih muda,
jangan tunggu sampai tua," dan "Ketika awal revolusi banyak yang takut, tetapi ketika revolusi
berhasil semua ikut."
Gerakan 30 September yang dilakukan secara ceroboh itu rontok dalam hitungan hari.
Dokumen Supardjo—dianggap cukup sahih—memperlihatkan bahwa kelemahan utama
Gerakan 30 September adalah tidak adanya satu komando. Terdapat dua kelompok pimpinan,
yakni kalangan militer (Untung, Latief, dan Sudjono) dan pihak Biro Chusus PKI (Sjam, Pono,
dan Bono). Sjam memegang peran sentral karena ia berada dalam posisi penghubung di antara
kedua pihak ini. Namun, ketika upaya ini tidak mendapat dukungan dari Presiden Soekarno,
bahkan diminta agar dihentikan, kebingungan terjadi. Kedua kelompok itu terpecah. Kalangan
militer ingin mematuhi, sedangkan Biro Chusus melanjutkan.
Ini dapat menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dan kedua serta ketiga terdapat
selang waktu sampai lima jam. Sesuatu yang dalam upaya kudeta merupakan kesalahan besar.
Pada pagi hari, mereka mengumumkan bahwa presiden dalam keadaan selamat. Sedangkan
pengumuman berikutnya pada siang hari sudah berubah drastis (pembentukan Dewan Revolusi
dan pembubaran kabinet). Jadi, dalam tempo lima jam, operasi "penyelamatan Presiden
Soekarno" berubah 180 derajat menjadi "percobaan makar melalui radio".
Uraian di atas sekali lagi memperlihatkan bahwa Untung bukanlah komandan Gerakan 30
September yang sesungguhnya. Ia bisa diatur oleh Sjam Kamaruzzaman. Untung dieksekusi
pada 1969. Sebelumnya, di penjara Cimahi, ia menuturkan kepada Heru Atmodjo (Letnan
Kolonel Udara Heru Atmodjo pada 1965 menjabat Asisten Direktur Intelijen AURI) bahwa ia
tidak percaya akan ditembak mati karena hubungan baiknya dengan Jenderal Soeharto.
Namun, Untung memang tidak beruntung.
120
Resimen Khusus Tjakrabirawa dan G-30-S
ANDI WIDJAJANTO, PENGAMAT MILITER DARI UNIVERSITAS INDONESIA
Resimen Khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Panglima Tertinggi
Angkatan Perang Republik Indonesia No. 211/PLT/1962 tanggal 5 Juni 1962. Tjakrabirawa
dibentuk sebagai suatu resimen khusus di bawah Presiden yang diberi tanggung jawab penuh
untuk menjaga keselamatan pribadi Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik
Indonesia beserta keluarganya. Resimen ini terdiri atas Detasemen Kawal Pribadi, Batalion
Kawal Pribadi, dan Batalion Kawal Kehormatan.
Pembentukan Tjakrabirawa merupakan tanggapan strategis atas upaya pembunuhan terhadap
Presiden Soekarno, yang terjadi pada 14 Mei 1962 saat Presiden bersembahyang Idul Adha di
Masjid Baitturahman di kompleks Istana Merdeka, Jakarta.
Sebagai suatu resimen khusus, Tjakrabirawa dipersiapkan sebagai suatu kesatuan militer yang
memiliki kualifikasi setingkat kesatuan komando. Dalam suatu wawancara dengan Benedict
Anderson dan Arief Djati (Indonesia No. 78, Oktober 2004), mantan komandan peleton
Tjakrabirawa, Sersan Mayor Boengkoes, menceritakan sulitnya rangkaian tes yang harus
dijalani oleh seorang prajurit ABRI untuk dapat bergabung di Tjakrabirawa.
Tidak seperti pembentukan kesatuan-kesatuan baru lainnya yang sekadar mengandalkan
penggabungan dari beberapa peleton dan kompi untuk membentuk satu batalion, resimen
khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkan kumpulan individu yang berhasil lulus dari rangkaian
tes seleksi. Keketatan tes seleksi Tjakrabirawa tampak dari data bahwa hanya 3-4 prajurit dari
satu kompi suatu batalion yang berkualifikasi raider atau paratrooper atau airborne yang
mendapat panggilan untuk mengikuti tes seleksi.
Letnan Kolonel Untung, yang berperan sebagai pimpinan militer Gerakan 30 September,
misalnya, dari 1954 sampai 1965 bertugas di Batalion 454 Banteng Raiders yang memiliki
kualifikasi paratroop-airborne. Pada 1961, Untung memimpin salah satu kompi relawan dalam
Operasi Naga yang mengawali tahap infiltrasi penyerbuan Irian Barat di bawah pimpinan
Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal Soeharto.
Atas keberaniannya dalam Operasi Naga, Untung, bersama L.B. Moerdani sebagai pimpinan
kompi relawan lainnya, mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Pada
Februari 1965, Letkol Untung, yang saat itu menjabat Komandan Batalion 454 Banteng Raiders,
dipromosikan menjadi Komandan Batalion I Tjakrabirawa.
Kualifikasi khusus yang dimiliki Tjakrabirawa tidak langsung menjadikan Tjakrabirawa suatu
kesatuan militer yang mampu melakukan kudeta pada 1 Oktober 1965. Kompi Tjakrabirawa di
bawah pimpinan Letnan Satu Dul Arief dipilih menjadi penjuru Pasukan Pasopati untuk
melaksanakan operasi penculikan para jenderal karena kesatuan ini berada langsung di bawah
Presiden (bukan di bawah Markas Besar AD) sehingga saat melaksanakan operasi tidak akan
menimbulkan kecurigaan dari para jenderal TNI-AD.
Keterlibatan Tjakrabirawa lebih ditentukan oleh sosok Letkol Untung, yang memiliki rekam jejak
militer yang memungkinkannya membangun jejaring militer dengan kesatuan-kesatuan AD
lainnya yang bergabung dalam Gerakan 30 September, yaitu Batalion 454, Batalion 530, dan
121
Brigade I. Beberapa peleton dari ketiga kesatuan ini memperkuat Pasukan Pasopati. Batalion
454 dan 530 juga digelar untuk melakukan pengamanan Istana dan kantor RRI.
Jejaring Letkol Untung dengan Batalion 454 telah dibangun sejak 1954. Saat Gerakan 30
September digelar, Batalion 454 dipimpin oleh Mayor Kuntjoro Judowidjojo, yang menjadi wakil
komandan batalion saat Letkol Untung menjabat Komandan Batalion 454. Kedekatan Letkol
Untung dengan Komandan Brigade I Kodam Djaya Kolonel A. Latief, yang juga berperan dalam
Gerakan 30 September, diawali di Batalion 454. Sebelum dipindahkan ke Jakarta pada 1963,
Brigade I merupakan bagian dari Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) yang bermarkas
di Ungaran, dekat dengan markas Batalion 454.
Jika jejaring Letkol Untung yang dijadikan rujukan untuk mengurai keterlibatan kesatuankesatuan AD dalam Gerakan 30 September, pusat jejaring Gerakan ini bisa dilacak dari
Batalion 454 Banteng Raiders. Secara taktis militer, bisa dikatakan bahwa titik awal dan titik
akhir Gerakan 30 September adalah Batalion 454.
Karier militer cemerlang Letkol Untung yang membawanya ke jabatan Komandan Batalion I
Tjakrabirawa berawal dari Batalion 454. Komandan Kompi Tjakrabirawa yang juga Komandan
Pasukan Pasopati, Letnan Satu Dul Arif, juga pernah bertugas di Banteng Raiders langsung di
bawah pimpinan Mayor Ali Moertopo. Penugasan ini terjadi pada akhir 1952, saat Banteng
Raiders digelar melawan Batalion 426 yang memberontak dan bergabung dalam gerakan Darul
Islam di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat.
Kesatuan Banteng Raiders sendiri dibentuk oleh Kolonel Ahmad Yani pada Juni 1952. Sebagai
komandan brigade di wilayah Jawa Tengah bagian barat, Kolonel Ahmad Yani memiliki ide
membentuk kesatuan khusus yang dapat diandalkan untuk melawan pemberontakan Darul
Islam. Kesatuan Banteng Raiders bentukan Ahmad Yani ini akhirnya menjadi Batalion 454.
Pada 1961, Batalion 454 (dan Batalion 530) dijadikan bagian dari Tjaduad yang dipimpin oleh
Mayor Jenderal Soeharto. Tjaduad yang dibentuk oleh KSAD Jenderal A.H. Nasution ini
ditingkatkan menjadi Kostrad pada Februari 1963.
Sebagai pimpinan Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto mengundang Batalion 454 (dan Batalion
530) untuk berpartisipasi dalam perayaan 5 Oktober 1965. Sebagai Panglima Kostrad, Mayor
Jenderal Soeharto mengambil alih kepemimpinan operasional AD dan memimpin operasi
penumpasan Gerakan 30 September. Dalam operasi penumpasan ini, Panglima Kostrad
memerintahkan pasukan baret merah RPKAD menghentikan petualangan militer pasukan baret
hijau Batalion 454.
Sejarah akhirnya mencatat bahwa penumpasan Gerakan 30 September berakhir dengan gelar
operasi khusus yang dipimpin oleh Letkol Ali Moertopo yang juga alumnus Banteng Raiders.
Operasi khusus ini menjadi awal kelahiran Kopkamtib yang turut memperkuat rezim politikmiliter Orde Baru.
122
Njoto, Peniup Saksofon di Tengah Prahara
IA berbeda dari orang komunis pada umumnya. Ia necis dan piawai bermain biola dan
saksofon. Ia menikmati musik simfoni, menonton teater, dan menulis puisi yang tak
melulu "pro-rakyat" dan menggelorakan "semangat perjuangan". Ia menghapus The Old
Man and the Sea-film yang diangkat dari novel Ernest Hemingway-dari daftar film Barat
yang diharamkan Partai Komunis Indonesia. Ia menghayati Marxisme dan Leninisme,
tapi tak menganggap yang "kapitalis" harus selalu dimusuhi.
Ia adalah Njoto-yang namanya nyaris tak menyimpan pesona. Ia sisi lain dari sejarah
Gerakan 30 September 1965. Kecuali buku-buku Orde Baru yang menyebut semua
anggota PKI terlibat G30S, kebanyakan sejarawan tak menemukan keterlibatan Njoto
dalam aksi revolusioner itu. Njoto memang tak lagi berada di lingkaran dalam Ketua PKI
Dipa Nusantara Aidit menjelang kemelut 1965. Ia disingkirkan akibat terlalu dekat
dengan Soekarno.
Tapi sejarah "resmi" 1965 menunjukkan tak ada orang komunis yang "setengah
berdosa" dan "berdosa penuh". Di mata tentara, sang pemenang pertarungan, hanya
ada komunis atau bukan komunis. Karena itu, sang pendosa harus ditumpas kelor.
Njoto salah satunya. Ia diculik, hilang, dan tak kembali hingga kini. Jejak kematiannya
tak terlacak.
Menulis Njoto, setelah 44 tahun tragedi 1965, adalah ikhtiar untuk tak terseret logika
tumpas kelor itu. PKI bukanlah sebuah entitas yang utuh. Sejarah selalu menyimpan
orang yang berbeda.
Njoto salah satunya.
123
Saat Lek Njot Bersepatu Roda
TUJUH puluh tahun silam. Njoto kecil terpesona pada sepatu roda, mainan yang
tergolong mewah waktu itu, apalagi di Jember, kota kecil di ujung Jawa Timur. "Kulo
nyuwun dipundhutke sepatu roda," kira kira begitu permintaan Njoto kepada ibunya,
Masalmah. Sengaja si bocah tak mengajukan permintaan kepada ayahanda, Raden
Sosro Hartono, seorang keturunan ningrat Solo yang disegani karena perbawanya.
Njoto memang lebih dekat kepada sang ibu.
Saat itu sebenarnya Njoto punya sepeda baru, hadiah dari bapaknya. Dengan sepeda
itu bocah lanang semata wayang dari tiga bersaudara ini saban pagi berangkat ke
sekolah, HIS (Hollands Inlandsche School, setaraf sekolah dasar) di Jember. Tapi
mengayuh sepeda saja belum cukup. Ingin benar Njoto kecil menjelajahi jalanan Jember
dengan sepatu ajaib beroda yang mungkin dilihatnya di surat kabar itu.
Singkat kata, permintaan sepatu roda Njoto ini sampai juga ke telinga Raden Sosro.
Beruntung, pemilik usaha pembuatan blangkon dan jamu ini mengabulkan permintaan
Njoto. Sepatu roda pun dibeli. Pak Raden secara khusus memerintahkan dua penjaga
Yosobusono, toko batik milik keluarga Sosro, untuk menjaga Njoto agar tidak jatuh saat
belajar meluncur dengan sepatu roda.
Walhasil, saban sore setelah toko batik tutup, Njoto siap beraksi. Dua karyawan toko
yang masih terhitung kerabat Pak Raden itu turut sibuk bergerak. Mereka berjaga di sisi
kanan dan kiri Njoto yang limbung ke sana kemari. Lek Njot, si anak majikan, tak boleh
jatuh.
Tak lama, Njoto mulai lancar bersepatu roda. "Dalam sehari saja ia sudah bisa," kata Sri
Windarti, adik Njoto yang selisih dua tahun umurnya dengan sang kakak. Sri tinggal di
Medan, bersama keluarga Iramani, adik bungsu Njoto yang terpaut usia 18 tahun.
lll
Lelaki blasteran Solo Jember ini lahir pada 12 Januari 1927 di rumah kakeknya,
Marjono, seorang pemborong yang memiliki rumah bertingkat tiga di Jember. Sejak kecil
Njoto berpembawaan serius seperti bapaknya. Hobinya pun membaca, seperti yang
ditekankan oleh Raden Sosro, yang mewanti wanti anak anaknya agar rajin membaca
dan bukannya keluyuran.
Saat bersekolah di HIS, Njoto tinggal bersama kakek dan nenek dari pihak ibu di
Kampung Tempean, Jember. Adiknya, Sri Windarti, turut serta. Ini karena Raden Sosro
ingin anak anaknya bisa belajar di sekolah Belanda, yang jauh lebih teratur
kurikulumnya, ketimbang sekolah rakyat untuk orang kebanyakan di Bondowoso, sekitar
30 kilometer utara Jember.
Sepulang sekolah, Njoto terkadang bermain sepak bola di lapangan tak jauh dari rumah
kakeknya. Tentu juga menjelajahi jalanan dengan sepatu roda. Masa kecil yang riang.
124
Urusan belajar bukan berarti terabaikan. Menjelang sore, bersama Sri Windarti, dia naik
dokar ke rumah seorang pengajar tambahan bernama Meneer Darmo. Waktu belajar
plus ini mulai pukul lima sore hingga delapan malam.
Njoto kecil tumbuh dengan cita cita menjadi jurnalis. Kepada ayahnya, Njoto juga
menyampaikan tekadnya untuk menguasai berbagai bahasa asing, seperti Inggris,
Jerman, Belanda, Rusia, dan Prancis.
Sejak kecil Njoto tidak menyukai struktur sosial yang bertingkat dan cenderung kaku.
Pada hari raya Idul Fitri, misalnya, dia merasa tak nyaman menyaksikan suasana feodal
Jawa itu di rumah orang tuanya di Bondowoso. Ketika sanak kerabat dan para pekerja
batik sowan menghadap Pak Raden, Njoto memilih cabut dari rumah, bersepeda, dan
nongkrong di tempat pemandian umum Tasnan. Pemandian ini terletak sekitar tujuh
kilometer dari rumah dan masih ada hingga kini.
Setamat HIS, Njoto melanjutkan sekolahnya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO), semacam sekolah menengah pertama, di Jember, yang bisa dimasukinya
tanpa tes. Namun, ketika tentara pendudukan Jepang datang, sekolah Belanda ini tutup.
Sang bapak, yang membaca situasi darurat masih akan lama, memindahkan sekolah
kedua anaknya itu ke MULO yang dibuka Jepang di Solo, Jawa Tengah. Di kota batik
inilah kakek dan nenek dari pihak bapak tinggal.
Di kota ini, Raden Sosro membeli rumah di Desa Kemlayan Wetan 142, di kawasan
Kauman. Selain sebagai tempat tinggal kedua anaknya, rumah ini 0menjadi tempat
membuka usaha batik tulis, yang memproduksi sarung batik, kain panjang, kemben, dan
blangkon.
Sabar Anantaguna, salah satu penggiat di Lembaga Kebudayaan Rakyat, pernah satu
sekolah dan sekelas dengan Njoto di MULO Solo. Penampilan Njoto, seingatnya, cukup
rapi dan terawat. "Dia pakai celana panjang," kata Sabar, "sedangkan saya pakai celana
pendek karena miskin." Di sini ia tetap bersepeda ketika pergi pulang sekolah.
Njoto pintar bergaul. Tak aneh jika guru menunjuknya sebagai ketua kelas. Bakatnya di
bidang tulis menulis lebih menonjol dibanding olahraga.
Suatu ketika Njoto membuat karangan tentang para penjudi sepak bola yang kecewa.
Para penjudi itu, begitu ia menulis, sudah berkumpul di pinggir lapangan siap
menyaksikan pertandingan. Apa daya, hujan tiba tiba turun dan pertandingan langsung
bubar. Para penjudi kecewa karena batal bertaruh. Karangan ini, seperti beberapa
karangan Njoto lainnya, dibacakan guru di depan kelas.
Selain pintar menulis, Sri Windarti mengenang, kakaknya hobi menikmati musik klasik,
bermain gitar, dan mengarang beberapa lagu. "Dia sendiri tidak menyanyi. Saya yang
disuruh menyanyi," kata Windarti.
Njoto membentuk grup Suara Putri, yang berisi empat penyanyi remaja putri yang salah
satunya adalah Windarti. Mereka berlatih bernyanyi sambil diiringi petikan gitar Njoto.
Salah satunya lagu Wanita Asia, yang sempat mereka nyanyikan di stasiun radio di Solo
dan belakangan direkam dalam piringan hitam. Lagu ini memuji ketegaran perempuan
125
Asia plus menyanjung kedatangan Jepang yang melibas Belanda. Setelah Jepang
hengkang pada 1945, lagu ini dilarang.
lll
Tempo mencoba menelusuri rumah di Desa Kemlayan Wetan itu, tempat Njoto
menghabiskan hari hari yang penuh energi. Rumah bertembok tinggi di Jalan Empu
Gandring 141 itu kini menjadi rumah kos. Pintu gerbangnya yang cokelat tertutup rapat.
Tembok pagar setinggi sekitar tiga meteran itu berwarna putih dan kusam. Seorang
perempuan yang membuka pintu mengatakan, "Pemilik rumah tidak ada. Semuanya kos
di sini." Pintu gerbang kembali ditutup. Jalanan lengang.
Sri Honing, 74 tahun, warga asli Kemlayan, berkisah kepada Tempo. Honing masih
ingat salah seorang warga pendatang yang bernama Njoto. "Dia bersekolah di sini," kata
Sri Honing, yang tinggal tak jauh dari rumah indekos tadi. Njoto, menurut Honing, tidak
lama tinggal di Kemlayan, hanya sekitar tiga tahun.
Kemlayan dikenal sebagai kampung seni. Ini tecermin dari nama kampung itu,
Kemlayan, yang berasal dari kata mloyo, yang merujuk pada para penabuh gamelan
Keraton Kasunanan Surakarta, yang banyak tinggal di sini.
Tempo kemudian menelusuri jejak MULO. Sekolah peninggalan Belanda itu telah
berubah menjadi Sekolah Menengah Kristen Mertoyudan, dengan enam kelas dan 203
siswa. Sebuah prasasti bertahun 1924 tampil di halaman. "Saya tidak tahu dulu sekolah
apa pada zaman Belanda," kata Nanik Setiawati, salah satu guru.
Di Jawa Timur, jejak rumah orang tua Njoto di Jalan P.B. Sudirman, Bondowoso, juga
tertinggal samar. Rumah itu telah berubah menjadi rumah toko yang sudah tak lagi
beroperasi. Menurut Umi, salah satu kerabat keluarga Njoto, toko itu sekarang dimiliki
seorang pedagang Tionghoa dan sudah lama tutup. "Itu dulu rumah ayah Lek Njot," kata
dia menunjuk ke seberang dari tokonya yang berjualan tape. Sebuah warung pecel ada
di depan rumah. "Bapak saya yang menyewa sejak setahun lalu," kata Titut, penjual
pecel.
Nasib rumah Marjono, kakek Njoto, di Kampung Tempean, Jember, tak kalah sunyi.
"Pemiliknya, orang Situbondo, pulang kampung karena sakit," kata Saenal, Ketua RW.
Rumah itu terletak di Gang Tiga persis berseberangan dengan makam seorang tokoh
lokal, Mas Cholilah, di Jalan Samanhudi.
Jupri Ahmari, 74 tahun, sesepuh di Kampung Tempean, bertutur tentang asal mula
nama kampung. "Dulu, banyak orang membuat tempe, maka disebut Tempean,"
katanya. Kampung ini termasuk basis komunis pada era 1960. Kini, jejak itu memudar
seiring dengan berkembangnya sebuah taman pendidikan Al Quran.
126
Pedagang Batik Pembela Republik
DALAM bayangan anak-anaknya, pria itu bertubuh tinggi, tegap, berkulit gelap, dan
kerap memakai blangkon. Sosok yang disiplin, mencintai buku, dan gemar bermain bola.
Dia Sosro Hartono, pedagang batik tulis asal Solo keturunan bangsawan.
Menikah dengan Masalmah, anak Raden Marjono, anemer dari Jember, Jawa Timur,
Sosro memiliki tiga anak: Njoto, Sri Windarti, dan Iramani. Njoto lahir pada 1927, dua
tahun lebih tua daripada Windarti dan 18 tahun lebih tua daripada Iramani.
Sosro mendidik anaknya dengan keras, tegas, dan disiplin. Adapun Masalmah santun,
dengan tutur kata halus. "Tapi Bapak tak pernah main pukul," kata Windarti.
Setelah menikah, Sosro menyewa bangunan dari pedagang Cina di Bondowoso. Ia
mendirikan toko batik Solo dan jamu Jawa. Sosro memberi nama toko itu Yosobusono,
artinya membuat pakaian dalam bahasa Jawa. Di toko ini tersedia sarung dan kain batik,
kemben, dan blangkon.
Yosobusono bukan toko biasa. Ia juga tempat mangkal aktivis kemerdekaan. Sosro
menyokong mereka secara materi. Setiap hari ada saja pertemuan dan rapat pejuang,
termasuk yang pernah dibuang ke Digul. "Para om Digul itu suka ngobrol dan nengok
saya serta Njoto," ujar Windarti.
Sosro sering meluangkan waktu bersama anaknya meski sibuk dengan urusan toko dan
para pejuang. Ia selalu menanyakan pelajaran dan cita-cita kepada Njoto dan Windarti.
Sosro juga sering menemani dan melatih Njoto bermain bola. Sosro dan Njoto samasama hobi bermain bola. "Ayah itu senangnya bisnis," kata Iramani. "Bisnis adalah
bisnis, keluarga adalah keluarga."
Sosro juga tak pernah melarang anaknya bermain. Ia hanya meminta anaknya
menomorsatukan sekolah, belajar, dan membaca. Sosro tak pernah mengarahkan
anaknya membaca buku komunis. "Ayah saya pembela Republik," kata Iramani.
Keluarga Sosro dan Masalmah termasuk ningrat Jawa yang menganggap pendidikan
sangat penting bagi anaknya. Mereka mengirim anak-anak sekolah sampai ke Solo. Di
kota inilah, Sosro membeli rumah yang menjadi pusat produksi batik, sekaligus tempat
tinggal Njoto dan Windarti.
Suatu hari, ketika sedang berjalan pulang di pinggir rel, Windarti tiba-tiba diberi tahu
bahwa ayahnya ditangkap Belanda. Tapi tak ada penjelasan mengenai sebabmusababnya. Windarti kemudian mencari pamannya, Maskan, yang kemudian
mengajaknya menemui Njoto di Yogyakarta. Waktu itu, Njoto sudah menjadi anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat, wakil Partai Komunis Indonesia Banyuwangi.
Di Yogyakarta itu, Windarti dan Njoto baru mendapat penjelasan lebih lengkap
mengenai penangkapan sang ayah. Belanda ternyata mengendus kegiatan di
Yosobusono yang sering menjadi tempat berkumpul pejuang.
127
Sosro semula ditahan di penjara Bondowoso, tapi kemudian dipindah ke penjara
Kalisosok, Surabaya. Sekitar seratus orang, termasuk Sosro, diangkut dengan kereta,
dengan gerbong tanpa ventilasi. Perjalanan hampir 15 jam dari Bondowoso ke Stasiun
Wonokromo, Surabaya, tanpa mendapat udara segar.
Insiden yang terkenal dengan Gerbong Maut itu memakan korban puluhan orang. Sosro
selamat tiba di Stasiun Wonokromo karena seorang penumpang memecahkan kaca
kecil di gerbong. Tapi kondisinya lemah. Ia dipulangkan ke Bondowoso dan dirawat oleh
Dokter Koesnadi di rumah. Dan akhirnya Sosro mengembuskan napas terakhir tanpa
disaksikan anak-anaknya. "Kami tahu satu bulan setelah Bapak meninggal," kata
Windarti.
Njoto awalnya tak menunjukkan paras sedih begitu mendengar ayahnya meninggal.
Tapi begitu pulang ke Solo, Njoto langsung ke kamar dan menumpahkan air mata.
"Njoto nangis macam anak kecil," ujar Windarti.
Sosro dimakamkan di kompleks pemakaman Desa Tegal Ampel, Bondowoso. Istrinya,
Masalmah, yang meninggal pada 1968, juga dimakamkan di tempat yang sama.
128
Revolusi Tiga Serangkai
KARL Marx, Stalin, Lenin. Nama nama itu akrab sejak Njoto belia. Buku buku karya
tokoh revolusioner itu menjadi santapan sehari hari. Padahal ia masih duduk di bangku
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), semacam sekolah menengah pertama di
Solo, Jawa Tengah. Buku koleksinya ada yang setebal telapak tangan.
"Buku buku berat berbahasa asing itu dipilih atas kemauannya sendiri, tidak ada yang
mengarahkan," kata Sri Windarti, adik kandung Njoto, awal September lalu. Buku buku
tokoh kiri itu dibaca Njoto sehabis belajar.
Budaya membaca kuat tertanam di keluarga itu. Ayahnya, Raden Sosro Hartono,
membiasakan anak anaknya gemar membaca dari kecil. Mereka bebas membaca apa
saja, asalkan urusan belajar dan sekolah tidak terbengkalai. Njoto bahkan punya
kebiasaan membaca di mana mana, meski tengah kumpul bersama keluarga. Selalu
saja ada buku atau koran yang ia pegang.
Ketertarikan Njoto akan buku ideologi pergerakan bisa jadi mekar jauh sebelum itu.
Sebelum Njoto meneruskan sekolah ke Solo, toko milik Raden Sosro Hartono di
Bondowoso, Jawa Timur, kerap kedatangan tamu eks Digulis aktivis gerakan politik
yang dibuang Belanda ke Boven Digul, Papua. Raden Sosro sering mengadakan rapat
dengan mereka di situ. "Om om bekas tahanan Digul itu suka menengok saya dan
Njoto, lalu mengajak ngobrol," kata Windarti, kini 80 tahun.
Namun, baik kepada Windarti maupun teman temannya, Njoto tertutup dalam urusan
politik. Menurut dia, Njoto belajar politik secara sembunyi sembunyi. Pada masa itu
Jepang melarang masyarakat bicara tentang politik. Alhasil, Njoto tidak pernah terlihat
seperti aktivis. "Dia tidak pernah mendiskusikan gerakan politik," kata Sabar
Anantaguna, teman sekelasnya di Solo, yang di sekolah duduk persis di belakang Njoto.
Sabar masih ingat, Njoto tiba tiba menghilang pada saat naik kelas dua. Kepada
Windarti, ia pamit pulang ke rumah orang tua di Jember, Jawa Timur. Tapi tidak pernah
kembali ke Solo. Usut punya usut, dia malah pergi ke Surabaya, tatkala api revolusi
perjuangan tengah membara. "Mungkin ketika itu ia merasa kemampuan berpolitiknya
sudah cukup," ujar Windarti. Njoto terlibat dalam perebutan senjata Jepang di Surabaya,
Bangil, dan Jember.
Hingga kemudian menyembul sepucuk berita: Njoto menjadi anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta, wakil PKI Banyuwangi. Usianya 16 tahun, tapi ia
mencatut umur lebih tua dua tahun. "Saya dengar sendiri, saat itu ia masih di bawah
umur," kata almarhum Joesoef Isak, sahabat Njoto, ketika diskusi di kantor Tempo,
Agustus lalu.
Ia tinggal di Hotel Merdeka, kawasan Malioboro, bersama sejumlah menteri. Kantor
Komite Nasional letaknya tak jauh dari situ. Kabinet Sjahrir baru saja dipindahkan dari
Jakarta ke Yogya. Dari Solo, Windarti sempat menemuinya di Yogya. Njoto kerap
mengajaknya makan siang.
Di kota ini satu tahun kemudian Njoto bertemu Aidit dan M.H. Lukman.
129
Saat itu, pemimpin PKI Sardjono, eks Digulis, baru memindahkan kantor pusat PKI di
Jalan Boemi 29, Solo, ke Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit, berkat bimbingan Alimin,
yang baru pulang dari Uni Soviet, menjadi anggota Comite Central dalam Kongres PKI
Januari 1947. Aidit dan Lukman-keduanya sudah bertemu sejak 1943 di Menteng 31,
sarang pemuda aktivis kemerdekaan-kemudian tinggal di Yogya. Mereka menghidupkan
majalah dwibulanan Bintang Merah.
Sejak itu Aidit, Njoto, Lukman menjadi akrab. Saat KNIP bersidang di Malang pada
Maret 1947, Aidit terpilih menjadi Ketua Fraksi PKI, Njoto memimpin Badan Pekerja
KNIP.
Foto Njoto berpidato di Malang terpampang di sebuah koran. Sabar terperanjat. "Saya
baru sadar bahwa ia seorang pemimpin," kata Sabar, yang belakangan bergiat di
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pria 82 tahun itu lantas teringat cerita
Sudarnanto, kawan sekolah di Solo, yang pernah menyaksikan bahwa di kamar Njoto
terpampang foto tokoh komunis. Darah aktivis pemuda berkacamata tebal itu, kata
Sabar, menetes dari ayahnya. "Karakter Njoto kebetulan sama seperti Ayah," Windarti
menambahkan.
Njoto bersama Aidit dan Lukman kemudian masuk Komisi Penterjemah PKI pada awal
1948, yang tugasnya menerjemahkan Manifes Partai Komunis, karya Karl Marx dan
Frederich Engels.
Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini sama sama jadi anggota Comite Central PKI.
Aidit mengurus bidang agraria, Lukman di Sekretariat Agitasi dan Propaganda,
sedangkan Njoto menjalin relasi dengan badan badan perwakilan.
Hingga pecahlah geger Madiun, 19 September 1948.
Partai limbung, tercerai berai. Aidit, Njoto, Lukman bagaikan The Three Musketeers.
Mereka muncul menjadi tulang punggung partai. Ketiganya menghidupkan partai dan
bisa membuat partai lebih besar. Mereka kemudian dikenal sebagai trisula PKI.
Aidit sempat tertangkap, tapi dibebaskan karena tak ada yang mengenalnya. Ibarruri
Putri Alam, putri sulung Aidit, melukiskan bahwa ayahnya bisa lolos ke Jakarta dengan
menyamar menjadi pedagang Cina. Njoto dan Lukman kemudian menyusul ke Jakarta.
Papan nama PKI dari kayu jati mereka boyong dari Yogya ke Jakarta.
Di Jakarta trio Aidit, Lukman, Njoto menyantap asam garam pergerakan. Mereka
menggodok orientasi partai. Terbunuhnya banyak kader dalam peristiwa Madiun
membuat mereka mandiri. "Mereka jadi independen karena tak punya lagi tempat
bertanya," kata almarhum Murad Aidit, dalam bukunya, Aidit Sang Legenda.
Tiga serangkai diam diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk
Onder Seksi Comite di tingkat kecamatan. Adapun organisasi dijalankan lewat sistem
komisariat di komite sentral. Situasinya sulit karena hampir setiap kabinet alergi
komunisme.
Sampai sampai trio Aidit Lukman Njoto harus bersembunyi dengan menyamar. Aidit dan
Lukman bahkan pernah disiarkan pergi ke Cina pada 1949. Padahal itu bualan belaka
130
untuk mengecoh pengejaran. Ada yang bilang sesungguhnya mereka ke Medan. Ada
yang bilang ke Jakarta. "Mereka sering menginap di rumah seorang kawan di
Kemayoran," tulis sejarawan Prancis, Jacques Leclerc, dalam Aidit dan Partai pada
Tahun 1950.
Dalam situasi serba repot itu, Aidit dan Lukman justru nekat menerbitkan Bintang Merah
pada 15 Agustus 1950. Dua pekan sekali mereka meluncurkan stensilan Suara Rakyat,
embrio Harian Rakjat yang menjadi koran terbesar dengan oplah 55 ribu per hari. Njoto
bergabung pada Januari 1951.
Dua tahun kemudian tiga sahabat kelompok Bintang Merah ini memimpin partai. Aidit
menjadi Sekretaris Jenderal, Lukman Wakil Sekjen I, dan Njoto Wakil Sekjen II (jabatan
ini diganti menjadi ketua dan wakil ketua pada 1959).
Usia mereka saat itu jauh lebih muda dari pimpinan partai lain di Indonesia, bahkan
setengah usia daripada pemimpin partai komunis negara lain. Bambang Sindhu dalam
Harian Minggu terbitan Mei 1954 menulis, keadaanlah yang menghendaki tenaga
tenaga muda yang militan tampil ke permukaan. "Orang orang tua, pemimpin tua,
biarlah di samping saja," tulis Bambang. "Bila perlu, malah ditinggal di belakang...."
Sebagai ketua, Aidit bertanggung jawab terhadap politik secara umum. Lukman
memimpin Front Persatuan. Urusan agitasi dan propaganda diemban Njoto. Tak cuma
organisasi, untuk meluaskan jaringan mereka juga mendirikan sekolah, dari tingkat
dasar sampai universitas.
Usaha itu berbuah. Dalam Pemilihan Umum 1955, Partai Komu nis menduduki urutan
keempat.
Persahabatan ketiganya berlanjut hingga Njoto menempati rumah di Jalan Malang,
Menteng, Jakarta. Aidit dan Lukman sering datang dan mengadakan rapat di rumah itu.
"Kadang ngobrol di ruang tamu, kadang masuk ke kamar kerja liat liat koleksi buku,"
kata Windarti. Tempe goreng dan nasi rawon adalah hidangan yang biasa disajikan
Soetarni, istri Njoto.
Tiga serangkai itu juga pergi bersama sama bila ada pameran lukisan. Lukman selalu
lebih dulu menjemput Njoto. "Saya hanya ikut, tidak mengerti mereka ngomong apa,"
ujar Windarti.
Aidit dan Njoto, kata Windarti, tipikal sosok yang serius, terutama dalam urusan
pekerjaan. Sedangkan Lukman lebih supel dan suka guyon. Lukman, kata Iramani-adik
bungsu Njoto-bahkan suka menawarinya pisang goreng.
131
Yang Tersisih dari Riak Samudra
BOGOR, 6 Oktober 1965. Hampir sepekan setelah peristiwa penculikan enam jenderal
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menggegerkan Jakarta. Presiden Soekarno
memanggil semua menteri Kabinet Dwikora dan menggelar rapat mendadak di Istana
Bogor.
Sekitar empat puluh menteri hadir ketika itu. Hampir semuanya berpakaian putih putih
seragam para pembantu Presiden kala itu. Pengamanan mereka amat ketat, sebagian
datang dengan dikawal panser tentara.
Menteri Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara Omar Dhani yang
belakangan dipenjara karena dituduh terlibat Gerakan 30 September tampak hadir.
Adapun Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution tak
ada. Dia salah satu target operasi Cakrabirawa yang lolos sepekan sebelumnya. Ketua
Comite Central Partai Komunis Indonesia Dipa Nusantara Aidit juga tidak kelihatan di
antara peserta rapat. Sedangkan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto justru
muncul. Suasana tegang. Setiap orang tampak waswas dan curiga satu sama lain.
Soekarno lalu membuka sidang. Pada kesempatan pertama, dia meminta Menteri
Negara dan Wakil Ketua II Comite Central PKI Njoto bicara. "Saudara Njoto, kamu
punya statement untuk disampaikan? Silakan," kata Soekarno, seperti dikutip Menteri
Transmigrasi Mochamad Achadi kepada Tempo pada 2003. Ia adalah salah satu
peserta rapat.
Njoto mengeluarkan secarik kertas berisi tulisan tangan dan mulai bicara. "PKI tidak
bertanggung jawab atas peristiwa G30S," katanya tegas. "Kejadian itu adalah masalah
internal Angkatan Darat." Pernyataannya singkat saja.
Soekarno lalu bicara. Sang Bung Besar menegaskan bahwa peristiwa 30 September itu
adalah hal biasa dalam perjalanan sejarah bangsa. "Selalu ada peruncingan
peruncingan kekuatan. Kalau Darul Islam merupakan peruncingan kanan,
PRRI/Permesta peruncingan nasionalis, maka ini peruncingan kiri," kata Soekarno.
Presiden juga menyebut bahwa peristiwa G30S hanyalah tonggak kecil dalam
perjalanan revolusi Indonesia. " een rimpeltje in de oceaan...," katanya. Hanya sebuah
riak di tengah samudra.
lll
PAGI sebelum rapat, M.H. Lukman, Menteri Negara dan Wakil Ketua I Comite Central
PKI, menjemput Njoto di rumahnya, Jalan Malang 22, Menteng, Jakarta Pusat. Njoto
bergegas menyongsong kameradnya, yang baru keluar dari mobil dinas menteri
bermerek Dodge Dart, dan langsung bertanya, "Apa sebetulnya yang terjadi?" Lukman
menggeleng, "Saya juga tak tahu."
Pada saat insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal terjadi enam hari
sebelumnya, Njoto sedang berada di Medan, Sumatera Utara, ikut kunjungan kerja
132
Wakil Perdana Menteri I Soebandrio. Hal pertama yang dia lakukan setibanya kembali
ke Ibu Kota adalah mengungsikan keluarganya keluar dari rumah dinas di Menteng.
Gerakan 30 September memang direncanakan tanpa sepengetahuan Njoto. John
Roosa, sejarawan University of British Columbia, Kanada, dalam bukunya, Dalih
Pembunuhan Massal, menulis bagaimana Pemimpin Redaksi Harian Rakjat itu sudah
lama dijauhkan dari pengambilan keputusan penting di dalam Politbiro PKI.
Dia mengutip catatan yang dibuat panitera Politbiro PKI, Iskandar Subekti. "Dalam
semua diskusi, kawan Njoto dengan sadar tidak diikutsertakan oleh kawan Aidit, dengan
pertimbangan ideologis," ia mencatat. Aidit, menurut Subekti, menganggap Njoto lebih
Soekarnois ketimbang komunis. Catatan lain menyebutkan bahwa Njoto saat itu lebih
condong pada poros komunis Uni Soviet, bertentangan dengan Aidit yang merapat pada
poros Peking.
Dalam sebuah wawancara dengan koran Jepang, Asahi Shimbun, pada 2 Desember
1965, Njoto mempertanyakan dasar logika Gerakan 30 September. "Apakah premis
Letkol Untung tentang adanya Dewan Jenderal membenarkan adanya suatu coup
d'etat?" katanya.
Tidak hanya Njoto, umumnya anggota Comite Central PKI juga tidak tahu Gerakan 30
September. Dalam pleidoinya di Mahkamah Militer Luar Biasa yang dibacakan pada
1972, Iskandar Subekti menjelaskan bahwa rapat Politbiro PKI pada Agustus 1965
hanya memutuskan akan memberikan "dukungan politis" kepada sebuah aksi militer
yang dirancang "sejumlah perwira progresif". Pada akhir Agustus, keputusan Politbiro itu
disampaikan kepada Comite Central PKI. Aidit memimpin sendiri rapat itu. "Tidak ada
diskusi," kata Subekti.
Dalam pleidoinya, Subekti menjelaskan partai tidak pernah memberikan dukungan fisik
atas Gerakan 30 September. Partai hanya akan membela perjuangan itu melalui
pemberitaan pers dan sidang sidang pemerintah. "Itu sikap politik yang wajar dan biasa,
berhubungan dengan perkembangan situasi dan garis politik PKI saat itu," tulisnya.
Garis politik itulah yang diikuti Harian Rakjat, edisi Sabtu, 2 Oktober 1965. Koran yang
dipimpin Njoto itu terbit sehari setelah Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Mayor
Jenderal Umar Wirahadikusumah melarang semua media terbit, kecuali harian
Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha-dua koran yang berafiliasi dengan TNI AD. Judul
kepala berita Harian Rakjat dicetak besar besar, "Letkol Untung, Komandan Bataljon
Tjakrabirawa, Menjelamatkan Presiden dan RI dari Kup Dewan Djendral". Di bawahnya,
ada subjudul: "Gerakan 30 September Semata mata Gerakan dalam AD".
Meski mendukung, Tajuk Rencana Harian Rakjat hari itu justru mengambil jarak dengan
Gerakan 30 September. "Kita rakyat memahami betul apa yang dikemukakan oleh
Letkol Untung dalam melakukan gerakannya yang patriotik itu," tulis editorial harian itu.
"Tapi bagaimanapun juga persoalan tersebut adalah persoalan intern AD."
Meski terkesan hati hati, pernyataan itu terasa menantang karena dirilis pada saat
tentara sudah melarang penerbitan semua media. Apalagi, saat itu pasukan TNI AD
sudah mengepung Halim Perdanakusuma dan melumpuhkan pasukan pendukung
Gerakan 30 September yang tersisa. Njoto dan redaksi Harian Rakjat tampaknya tidak
133
paham dan tidak menduga akan ada perkembangan politik yang amat drastis pada hari
hari pertama setelah Gerakan 30 September.
Ada satu hal lagi yang menguatkan dugaan Njoto tidak terlibat Gerakan 30 September.
Dalam sebuah diskusi di Tempo, akhir Agustus lalu, kawan dekat Njoto, bekas
Pemimpin Redaksi Harian Merdeka Joesoef Isak, membeberkan fakta bahwa Njoto
sejak 1964 sudah diberhentikan dari semua jabatan fungsional di partainya. "Dia diam
saja, semua dia pikul, seakan akan dia ikut (Gerakan 30 September)," kata Joesoef.
lll
Rapat Kabinet Dwikora di Istana Bogor, 6 Oktober 1965. Seusai sidang, semua menteri
bergegas pulang. Jurnalis Harian Rakjat, Amarzan Ismail Hamid, yang hadir saat itu,
mengaku melihat Presiden Soekarno berbincang sebentar dengan Njoto, sebelum
masuk ke Istana. "Itulah terakhir kali saya melihat Bung Njoto," katanya pekan lalu.
Di halaman Istana, seorang Menteri Negara, Kolonel Polisi Boegi Sumpeno, sempat
mengajak Njoto pulang bersama ke Jakarta, dikawal panser. "Ikut rombongan saya
saja," kata Boegi menawarkan. Njoto tersenyum dan menolak.
134
Jalan Curam Skandal Asmara
JOESOEF Isak mengetahui rahasia sahabatnya, Njoto, dari sumber tak terduga. Ketika
itu, pada 1968, mantan Pemimpin Redaksi Harian Merdeka itu ditahan di Blok R Rumah
Tahanan Salemba, Jakarta. Suatu hari, tahanan politik di blok sebelah melemparkan
buku kecil ke selnya.
Tetangga sebelah itu, Sugi, adalah mantan anggota Comite Central Partai Komunis
Indonesia. Rupanya Sugi dengan tekun menjahit kertas rokok menjadi buku kecil. Di
buku itu dia menuliskan kisah "pengadilan" Njoto oleh pimpinan kolektif PKI, pada 1964.
Sebagai anggota CC, Sugi turut mengadili Njoto. Di sidang itu, Njoto, yang menjabat
Wakil Ketua II CC PKI, diputuskan bersalah dan dijatuhi sanksi skorsing. Semua
jabatannya di partai dilucuti.
Sugi, saat itu 70 tahun, memaksakan diri memanjat pohon ceri supaya bisa memberikan
buku itu kepada Joesoef. "Saya tanya, 'Kenapa Pak Sugi menyampaikan ini pada
saya?'," Joesoef bercerita. "Dia bilang, ini harus ditulis, dan dia memilih saya karena
saya wartawan."
Karena itulah Joesoef yakin, Njoto tak mengetahui pembunuhan enam jenderal
Angkatan Darat oleh Gerakan 30 September. Sebetulnya, Njoto bisa lepas tangan dari
Gerakan lantaran tak lagi menjabat posisi strategis di partai. "Tapi dia memikul semua,
seolah olah ikut serta," ujar Joesoef.
Ketika diwawancarai Risuke Hayashi dan Takehiko Tadokoro, koresponden harian
Jepang, Asahi Shimbun, di Jakarta, dua pekan sebelum hilang, Njoto masih gigih
membela partainya. Menurut Njoto, pimpinan Partai Komunis sama sekali tak
mengetahui soal Gerakan 30 September. Dia mengatakan, di mata partainya, Gerakan
itu merupakan masalah internal tentara.
Bahkan, kata Njoto, ketika peristiwa pembunuhan para petinggi TNI Angkatan Darat itu
terjadi, dia sedang bersama Wakil Perdana Menteri I Soebandrio dan sejumlah petinggi
Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Kepolisian berkeliling Sumatera. Mereka baru tahu
soal Gerakan itu ketika berada di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. "Kami sama
sama terenyak," katanya kepada Asahi Shimbun.
lll
DI antara empat tokoh kunci PKI D.N. Aidit, M.H. Lukman, Njoto, dan Sudisman Njoto
paling muda. Pada usia 19 tahun, dia sudah mewakili PKI Banyuwangi di Komite
Nasional Indonesia Pusat. Tak terang benar, sejak kapan sebenarnya Njoto bergabung
dengan Partai Komunis, dan siapa yang mempengaruhinya. "Dia belajar diam diam,"
kata Sri Windarti, adik Njoto.
Tokoh tokoh muda di Partai Komunis ketika itu berhasil menggusur pemimpin sepuh,
seperti Tan Ling Djie, Alimin, Wikana, dan Ngadiman Hardjosubroto, serta mengambil
alih kepemimpinan partai. Aidit menjabat Ketua, Lukman menduduki posisi Wakil Ketua
I, Njoto sebagai Wakil Ketua II, dan Sudisman mengisi kursi Sekretaris Jenderal.
135
Sebagai Wakil Ketua II, Njoto bertanggung jawab atas Departemen Agitasi dan
Propaganda. Lewat Harian Rakjat dan majalah teori Bintang Merah, Njoto "menghajar"
lawan lawan politiknya. Sebaliknya, lewat kolom "Catatan Seorang Publisis" di Harian
Rakjat, Iramani nama pena Njoto tampil lebih lembut dan "sastrawi".
Salah satu polemik paling keras terjadi antara Harian Rakjat melawan Merdeka pada
Juni hingga Juli 1964. Harian Rakjat, misalnya, memuat tulisan panjang bertajuk
"Merdeka Sudah Jelas Sekali Membela Tuan Tanah". Lewat tulisannya itu, Harian
Rakjat menangkis tudingan Merdeka yang menganggapnya "kaum rebelli". Silat pena itu
baru berakhir setelah Jaksa Agung Soeprapto turun tangan.
lll
PEREMPUAN itu bernama Rita. Anak Rusia ini penerjemah untuk tokoh tokoh PKI yang
sedang melawat ke Negeri Beruang Merah tersebut. Sedemikian serius kisah asmara
Njoto dengan Rita, hingga hampir berujung ke ranjang pengantin. Padahal, ketika itu
Njoto sudah beristrikan Soetarni.
Niat Njoto meninggalkan Soetarni tentulah membuat Partai gerah. Comite Central PKI,
menurut Semaun, sebenarnya sudah berkali kali memperingatkan Njoto, supaya
memutuskan hubungan dengan Rita. "Hubungan mereka bisa mencemarkan citra
Partai," ujar Semaun.
Selain soal citra, mantan anggota Comite Central PKI, Rewang, mengatakan pimpinan
PKI curiga Rita merupakan agen Partai Komunis Uni Soviet, sehingga hubungan itu bisa
membahayakan partai. Sidang partai akhirnya digelar untuk membahas masalah
tersebut.
Njoto dicecar dari berbagai penjuru. "Suasana sidang itu panas sekali," kata Joesoef
Isak. Dia mendapatkan cerita dari Sugi, anggota Comite Central yang hadir dalam rapat
itu. "Tapi Njoto sangat terbuka. Semua pertanyaan dia jawab." D.N. Aidit akhirnya turun
tangan, meminta waktu berbicara empat mata dengan Njoto.
Hampir dua jam mereka berbicara dan membiarkan peserta sidang menunggu. Njoto,
yang semula ngotot, akhirnya bersedia mengubur niatnya. Aidit dan Njoto berpelukan.
Namun keputusan sidang soal disiplin partai tetap tak bisa ditawar. Njoto dijatuhi
skorsing dan sementara melepaskan berbagai jabatannya di partai. Sanksi ini
rencananya akan disahkan dalam Kongres Partai pada 1965.
"Tapi hubungan Njoto dengan Aidit sama sekali tidak berubah," kata Rewang. Njoto
tetap aktif mengikuti pertemuan partai, termasuk rapat rapat menjelang September
1965. Bahkan Njoto pulalah yang membawa surat Aidit dan membacakannya di sidang
kabinet beberapa hari setelah peristiwa pembunuhan enam jenderal.
Menjelang tumbangnya PKI, memang santer beredar kabar perbedaan jalan di antara
pucuk pimpinan PKI, yakni D.N. Aidit, Njoto, dan Sudisman. Haluan politik Aidit semakin
dekat dengan Partai Komunis Cina ketimbang ke Uni Soviet.
Dalam pleidoi di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, dan juga otokritiknya terhadap
partai (keduanya ditulis setelah Gerakan 30 September), Sudisman menilai Aidit sudah
136
menyeret partai pada petualangan atau avonturisme. Dukungan pemimpin partai
terhadap Gerakan 30 September, menurut Sudisman, tidak didasari kesadaran dan
keyakinan massa.
Njoto dianggap sudah kelewat dekat dengan Soekarno. Ketika berpidato di Palembang,
pada 1964, isi pidatonya dianggap lebih Soekarnois ketimbang Marxis. "Itu titik awal
Njoto dianggap punya jalan sendiri," ujar seorang mantan wartawan Harian Rakjat.�
Rewang, mantan anggota Comite Central PKI, mengakui perbedaan sikap antara Aidit,
Njoto, dan Sudisman. Namun Semaun Utomo, mantan Ketua Lembaga Sejarah Comite
Central PKI, meragukan kabar tersebut. Pimpinan partai, kata Semaun, hanya berbeda
pendapat, tapi tidak sampai pecah. "Kabar itu omong kosong," kata Joesoef Isak. "Njoto
mengagumi Aidit, dan Aidit mencintai Njoto hingga saat-saat terakhir."
137
Soekarnoisme dan Perempuan Rusia
DI Istana Tampaksiring, Bali, Presiden Soekarno tampak gelisah. Njoto, menteri negara
yang menjadi penulis pidato Presiden, tak ketahuan berada di mana. Padahal upacara
kenegaraan 17 Agustus 1965 tinggal sepekan.
Njoto, yang juga Wakil Ketua II Comite Central Partai Komunis Indonesia, adalah
penulis andalan si Bung untuk pidato-pidatonya yang membakar itu. Dua penulis lainSoebandrio dan Ruslan Abdoelgani sejak 1960 mulai jarang dipakai.
"Bung Karno merasa pemikirannya cocok dengan Njoto," kata Joesoef Isak, sahabat
Njoto sekaligus teman dekat Bung Karno, sehari sebelum wafat, pertengahan Agustus
lalu. Wakil Perdana Menteri Soebandrio kemudian memberi tahu Bung Karno, Njoto
sedang di Amsterdam, Belanda, bersama Joesoef, menegosiasi pembelian pesawat
terbang Fokker.
Setelah berkeliling Afrika, karena Konferensi Asia Afrika ke-2 batal di Aljazair akibat
kudeta di negeri itu, Njoto ngelencer ke Belanda, lalu ke Rusia, untuk menghadiri
Konferensi Tingkat Tinggi Partai Komunis. Njoto segera pulang begitu menerima kawat
bahwa Presiden mencarinya. Padahal di Moskow ia sedang melawat bersama Ketua
PKI Dipa Nusantara Aidit.
Menjelang akhir kekuasaannya itu, hubungan Soekarno dan Njoto memang terbilang
rapat dan unik. Bung Karno adalah pendiri Partai Nasional Indonesia yang pamornya
sedang meredup, sementara PKI sedang berjaya di seluruh negeri. Dan Njoto, 38 tahun,
adalah tokohnya yang paling mencorong.
Menurut Joesoef, keduanya saling mengagumi, saling menyukai. Bung Karno menyukai
Njoto karena ia satu-satunya pentolan PKI yang "liberal", pragmatis, dan tak dogmatis.
Selain selalu tampil rapi dan dandy, menteri negara ini menyukai musik klasik, jazz, bisa
memainkan hampir semua alat musik, menulis, serta menyukai puisi dan seni rupa.
Kedekatan itu tak hanya dalam urusan kerja, tapi menyangkut hal-hal pribadi. Menurut
kolega Njoto di Harian Rakjat, Bung Karno memanggil laki-laki yang terpaut usia 26
tahun itu dengan sebutan "Dik". "Ini panggilan tak lazim di kalangan pejabat dan aktivis
politik waktu itu," katanya. "Umumnya sesama pejabat memanggil 'Bung'."
Njoto sering terlihat dalam pesta lenso yang digelar di Istana Negara. Sehabis upacaraupacara resmi, Bung Karno biasanya menggelar pesta dengan mengundang penyanyi
top Ibu Kota macam Titiek Puspa, Rima Melati, atau Suzanna.
Setelah tamu negara pulang, pasukan Cakrabirawa dengan sigap menyiapkan
"panggung hiburan". Para pejabat negara, wartawan, atau siapa pun yang hadir
bergiliran menyanyi dan menari. Njoto tak pernah ketinggalan menyumbang suara.
Suatu ketika, menurut sumber Tempo, "Dik Njoto" naik panggung dan siap
menyumbangkan suara, Bung Karno menghampiri lalu merapikan kerah jas Njoto yang
terlipat. "Seperti itulah hubungan mereka, dekat sekali."
138
Selain sama-sama doyan pesta, Njoto orator ulung seperti Bung Karno. Sabar
Anantaguna, teman SMP Njoto di Solo, Jawa Tengah, bersaksi bahwa sejak remaja lakilaki berkacamata ini jagoan podium. "Kalau berpidato, dia seperti dalang, semua orang
terpukau," katanya.
Sama seperti Soekarno, Njoto juga menguasai beberapa bahasa asing dan puluhan
bahasa daerah. Ia juga penerjemah Marxisme yang mumpuni. Bung Karno pernah
menjuluki Njoto "Marhaenis sejati" merujuk pada ideologi kerakyatan yang dicetuskan
Soekarno.
Sebaliknya, Njoto adalah orang pertama yang menelurkan istilah "Soekarnoisme". Istilah
yang dilontarkannya dalam sebuah pidato di Palembang pada April 1964 itu kemudian
dipakai oleh kawan sekaligus musuh Bung Karno. Kelompok anti-PKI malah mendirikan
Badan Pendukung Soekarnoisme pada September 1964.
Mereka khawatir panglima tertinggi itu makin jatuh ke pelukan PKI, apalagi Bung Karno
sudah mencetuskan poros Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom), sebagai
asas front persatuan nasional. Sebaliknya, kubu PKI terutama D.N. Aidit-menyangka
Njoto telah dipakai Soekarno untuk menggembosi PKI.
Njoto dianggap berkhianat dengan membuat istilah baru dalam wacana ideologi. Sebab,
bagaimanapun, asas PKI adalah Marxisme-Leninisme. Soekarnoisme dianggap lema
baru yang bisa merongrong komunisme.
Dan Njoto memang serius dengan istilah barunya itu. Menurut sumber Tempo,
pemimpin umum koran PKI itu menganggap Marxisme terlalu asing bagi petani dan
borjuis kecil yang ingin digarap PKI menjadi basis massa ideologinya. "Sedangkan
Soekarnoisme itu lebih jelas, dan orangnya juga masih hidup."
Sikap Njoto inilah, antara lain, yang membuat para pemimpin PKI hilang kepercayaan
kepadanya. Aidit sampai menerbitkan harian Kebudajaan Baru sebagai "pesaing" Harian
Rakjat, sebab memecat Njoto sebagai pemimpin Harian Rakjat akan membuat konflik
menjadi terbuka dan sama sekali tak akan menguntungkan PKI.
Aidit akhirnya melepaskan Njoto dari jabatan Ketua Departemen Agitasi dan
Propaganda PKI. Tapi, menurut Joesoef Isak, alasan utama skorsing itu adalah urusan
perempuan. Waktu itu Njoto dituding terlibat hubungan gelap dengan seorang
perempuan Rusia. Aidit memaksa Njoto memutuskan cinta terlarang itu.
PKI memang tegas dalam soal ini. Aidit, yang antipoligami, mengeluarkan aturan
menerapkan skorsing bagi siapa saja yang ketahuan berselingkuh. Menurut almarhum
Oey Hay Djoen, anggota DPR dari PKI, waktu itu banyak anggota yang kena skorsing
akibat ketahuan menjalin affair dengan perempuan bersuami.
Menurut sumber Tempo, "skorsing" inilah yang mendorong Bung Karno meminta Njoto
mendirikan partai baru, dengan nama sementara "Partai Rakyat Indonesia" dengan asas
Soekarnoisme. Bung Karno menganggap Soekarnoisme adalah penyempurnaan
Marhaenisme. Tapi ide itu tak pernah kesampaian karena polemik kedua kubu keburu
pecah.
139
Badan Pendukung Soekarnoisme menyerang sikap Njoto dan PKI di Harian Merdeka
milik B.M. Diah. Njoto menangkisnya di Harian Rakjat. Berhari-hari polemik itu ramai,
meruncing hampir berujung bentrokan. Bung Karno akhirnya turun tangan dengan
melarang pemakaian istilah Soekarnoisme dalam polemik.
Tapi hubungan Soekarno Njoto tetap ketat hingga senja kala kekuasaan "Pemimpin
Besar Revolusi" itu. Puncaknya adalah malam 30 September 1965, ketika Tanah Air
menyaksikan perubahan nasib dan arah sejarah zaman yang bergolak.
140
Merahnya HR, Merahnya Lekra
SUNGGUHPUN Harian Rakjat (HR) lekat dengan nama Njoto, ia bukan pendiri corong
resmi Partai Komunis Indonesia tersebut. Pendirinya Siauw Giok Tjhan (1914-1981),
wartawan majalah Liberty dan Pemuda. Ia anggota Konstituante, pendiri Baperki,
organisasi massa warga keturunan Tionghoa yang kemudian dilarang pasca-G30S.
Pertama kali terbit pada 31 Januari 1951 dengan nama Suara Rakjat, Harian Rakjat
memiliki jargon nyaring: "Untuk rakjat hanja ada satu harian, Harian Rakjat." Giok Tjhan
memimpin Harian Rakjat dua tahun pertama, kemudian digantikan Njoto hingga akhir
hayat.
Di tangan Njoto, yang kemudian diangkat sebagai Ketua Departemen Agitasi dan
Propaganda, HR dengan oplah yang diklaim sebesar 60 ribu eksemplar adalah
pendukung kebijakan partai. Harian Rakjat tak ubahnya pamflet; tak ada edisi yang
muncul tanpa kata "rakjat" dan dukungan pada Manifesto Politik Soekarno. Bahasa yang
digunakan, seperti dibahas penulis Lekra, Busjari Latif, dalam artikelnya di Harian
Rakjat, adalah bahasa yang "hemat, lintjah, dan terus terang sesuai kerangka
Marxisme/Leninisme."
Dalam buku kecil Pers dan Massa, kumpulan pidato Njoto saat ulang tahun Harian
Rakjat 1956-1958, Njoto membandingkan surat kabar itu dengan Pravda, koran partai
komunis Uni Soviet. Harian Rakjat disebutnya memiliki keunggulan utama, yakni para
"korespondennja jang lahir dari tengah-tengah massa". Artinya, setiap buruh, setiap
pelajar, dan setiap orang bisa jadi koresponden.
Dalam periode 1950-an itu Harian Rakjat memberikan ruang luas bagi karya seniman
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang didirikan Njoto dan dua petinggi PKI D.N.
Aidit dan A.S. Dharta serta seorang tokoh Murba, M.S. Ashar. Lekra lahir pada tahun
yang sama dengan Harian Rakjat, ketika dirasakan gemuruh semangat revolusi mulai
mengendur. "Bahwa Rakjat adalah satu-satunja pentjipta kebudajaan dan bahwa
pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanja dapat dilakukan oleh Rakjat," begitu
tertulis dalam Mukadimah Lekra.
Njoto, yang biasa menulis esai dan puisi, berdansa waltz dan foxtrot, serta meniup
saksofon, sangat piawai memainkan peran utama di dua entitas kiri itu. Di Harian Rakjat,
salah satu tugasnya sebagai pemimpin redaksi adalah menulis editorial koran. Menurut
Martin Aleida, wartawan Harian Rakjat yang selamat dari pembantaian dan
pemenjaraan, kadang ia menulis di kantor, meski sering menitipkannya lewat kurir. Njoto
juga sering membantu merumuskan sudut pandang (angle) bagi artikel Harian Rakjat.
Sedangkan di Lekra, menurut Sabar Anantaguna, teman sekolah Njoto di Jember yang
kemudian menjadi pengurus Lekra pusat, Njoto tahu bagaimana melayani seniman yang
tak mau diatur dan dikomando. Dia sering hadir dalam rapat Lekra, meski tak banyak
bicara. Kalau setuju, kata Anantaguna, Njoto diam. Kalau kurang setuju, Njoto baru
angkat bicara dan selalu bilang, "Apa itu sudah yakin? Coba dipikir lagi," Anantaguna
menirukan Njoto.
141
Njoto pun hati-hati menjaga keseimbangan ideologis di kalangan seniman. Meski ia
pendukung Manifestasi Politik sejati Njoto melahirkan prinsip "politik sebagai panglima"
dan giat memobilisasi perlawanan terhadap para seniman non komunis pendukung
humanisme universal Njoto tak setuju dengan upaya memerahkan Lekra sepenuhnya,
seperti yang diinginkan rekan-rekannya di Politbiro. Anggota Lekra tidak semuanya
komunis, dan ia ingin mempertahankannya begitu.
"Manikebu (akronim ejekan untuk Manifesto Kebudayaan) adalah sebuah konsep
pemikiran. Konsep tidak bisa ditiadakan oleh tanda tangan di atas kertas," kata Joesoef
Isak, menirukan Njoto, sahabatnya. Ketika kemudian Soekarno melarang Manifesto
Kebudayaan, Njoto tidak bersorak seperti kebanyakan pendukung komunis yang
mengucap syukur.
Dalam ingatan Martin, Njoto pula yang menghapus nama Ernest Hemingway yang ia
kenal personal dan film The Old Man and The Sea dari daftar film Amerika yang haram
ditonton. Demikian kuat karisma Njoto hingga ada lelucon sendiri. Di kalangan penghuni
Jalan Cidurian 19, rumah Oey Hay Djoen, kantor pusat Lekra, bila Njoto datang, para
penghuni berdiri. "Kalau Aidit yang datang, mereka tak mau melakukannya," kata Martin.
Iwan Simatupang, sastrawan antikomunis asal Sibolga, pernah mencemaskan pengaruh
Njoto yang dianggapnya lebih berbahaya daripada Lukman atau Aidit-karena kuatnya
inteligensi orang yang disebutnya "sok intelek dan sok filosofis" itu. Menurut dia,
seniman besar seperti Rivai Apin, Basuki Resobowo, dan Henk Ngantung menjadi
simpatisan komunis karena pengaruh Njoto.
lll
Masa-masa keemasan Njoto sebagai pemimpin agitasi dan propaganda melemah ketika
konflik ideologis antara Njoto dan Aidit memuncak. Saat itu PKI sudah mengklaim punya
anggota lebih dari tiga juta. Setelah MPRS menabalkan Soekarno sebagai presiden
seumur hidup, Njoto didaulat sebagai menteri. Kedekatannya dengan Soekarno Njoto
adalah penulis pidatonya-mengancam posisinya di partai (baca "Njoto dan
Soekarnoisme" Red). Puncaknya pada 1964, seperti keterangan Joesoef Isak, ketika
Njoto diskors dari seluruh jabatannya di partai, termasuk posisi Ketua Departemen
Agitasi dan Propaganda. Penggantinya, Oloan Hutapea, loyalis Aidit.
Konflik Njoto dan Aidit merembet sampai ke Harian Rakjat. Martin ingat, bulan-bulan
terakhir menjelang G30S, Njoto sudah tak aktif lagi memimpin. Tapi konflik internal
Harian Rakjat memanas. Mereka yang dari Sumatera dimusuhi awak redaksi yang
berlatar belakang Pemuda Rakyat karena dianggap anak emas Njoto. "Padahal karena
kami lebih biasa berbahasa Melayu. Selain itu, Pemuda Rakyat tak begitu senang
kepada seniman Lekra yang tak bisa diatur. Pemuda Rakyat lebih militan," katanya.
Tapi demikian lekatnya Harian Rakjat dengan sosok Njoto, Aidit tak berupaya
mencopotnya. Partai membuat harian umum baru, Kebudajaan Baru. Menurut Martin,
koran baru ini muncul hanya 1-2 bulan menjelang G30S, sehingga tak banyak petinggi
partai yang mengetahui. Pemimpin redaksinya Muslimin Jasin, anggota Comite Central
asal Nusa Tenggara.
142
Seorang pemimpin PKI di daerah yang diwawancarai Saskia Eleonora Wieringa dalam
buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia-mengaku jadi bagian dewan
redaksi Kebudajaan Baru, yang dibuat untuk menandingi Harian Rakjat. "Malam
sebelum kup kami mengadakan rapat redaksi. Aidit datang dan mengatakan, "Sekarang
saya akan memulai sesuatu yang banyak kawan kita mungkin tidak suka. Tapi ini
merupakan jalan pintas cita-cita kita," katanya.
Sejarah mencatat, "jalan pintas" Aiditlah yang mengubur dalam-dalam bukan cuma
partai, tapi juga Lekra dan Harian Rakjat sekaligus. HR menerbitkan edisi penghabisan
pada Sabtu, 2 Oktober 1965, dan Harian Rakjat Minggu (HRM) melakukannya sehari
kemudian. Nomor buncit lembar seni-budaya itu memuat nama Banda Harahap sebagai
pimpinan dewan redaksi, dengan penanggung jawab M. Naibaho dan beranggotakan
sastrawan Zubir A.A, Amarzan Ismail Hamid, dan Bambang Sokawati Dewantara-putra
bungsu Ki Hajar Dewantara. Seperti dikutip Taufiq Ismail dalam buku Prahara Budaya,
ada sejumlah petunjuk di edisi itu akan situasi genting pasca-G30S, namun yang paling
menarik adalah puisi "Wong Tjilik" (yang menurut salah satu redaktur HRM, adalah
karya Njoto) di pojok Tjabe Rawit, halaman tiga:
Makan tak enak, tidur tak nyenyak
Nasi dimakan serasa sekam, air diminum serasa duri
Siang jadi angan-angan, malam jadi buah mimpi, teringat celaka badan diri
Bukan salah bunda mengandung, salah anak buruk pinta
Sudahlah nasib akan digantung, jadi si laknat setan kota....
143
Serba Kabur di Akhir Hayat
SUASANA Jakarta mencekam pada hari itu, 2 Oktober 1965. Dua hari sudah lewat
setelah pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965. Partai
Komunis Indonesia dituduh bertanggung jawab dan para aktivisnya segera menjadi
target penangkapan.
Njoto, Ketua II Comite Central Partai Komunis Indonesia dan salah satu menteri Kabinet
Dwikora I baru pulang dari kunjungan dinas. Dia mendampingi Perdana Menteri I
Soebandrio dalam turne ke Sumatera Utara. Malam telah tiba ketika ia tiba di rumahnya,
Jalan Malang, Menteng Nomor 22, Jakarta Pusat. Tak sempat istirahat, ia segera
mengajak istri yang sedang hamil dan enam anaknya meninggalkan rumah.
Keluarga ini mendatangi rumah para kerabat, mencari tempat mengungsi. Tak ada yang
berani menampung mereka. Seorang teman di daerah Kebayoran yang justru bersedia
memberi mereka tempat tinggal. Njoto hanya menitipkan istrinya, Soetarni, dan enam
anaknya. Ia bergegas pergi lagi. "Kami cari tempat sendiri sendiri," kata Soetarni.
Soetarni dan anak anaknya tak lama di satu rumah. Mereka berpindah pindah. Pada
suatu ketika, mereka menetap di Asrama Mahasiswa Concentratie Gerakan Mahasiswa
Indonesia di daerah Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Soetarni mengingat, pada akhir
1965, dua kali suaminya datang menjenguk. "Sekali tengah malam, sekali siang,"
ujarnya.
Soetarni mengatakan tidak pernah tahu tempat persembunyian suaminya. Ia menduga,
Njoto masih tinggal di rumah mereka di Menteng. Bisa jadi dugaannya benar, paling
tidak pada awal awal pelarian Njoto.
Amarzan Ismail Hamid, wartawan Harian Rakjat, koran yang berafiliasi dengan Partai
Komunis Indonesia, mengatakan bertemu Njoto pada 6 Oktober pagi di Jalan Menteng.
Ketika itu Njoto hendak berangkat ke Sidang Kabinet di Istana Bogor bersama M.H.
Lukman, menteri negara yang juga Wakil Ketua I Comite Central Partai Komunis
Indonesia.
Njoto dan Lukman sempat berdiskusi sebelum menuju Bogor. "Kalau hasil sidang jelek,
kita ke Bandung. Kalau bagus, kita tetap di Jakarta," kata Amarzan menirukan
pembicaraan keduanya. Ternyata, setelah sidang, mereka menganggap Soekarno
masih menguasai keadaan. Mereka pun kembali ke Jakarta.
Menurut buku Gerakan 30 September/PKI Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya
yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, Njoto hadir di sidang atas perintah
Ketua Umum D.N. Aidit dari pelariannya di Jawa Tengah. Melalui anggota Biro Khusus,
Bono, ia mengirim pesan kepada Sudisman, Sekretaris Comite Central. Isinya, agar
anggota Comite Central yang masih di Jakarta segera melakukan upaya penyelamatan
partai. Ia juga meminta Njoto mewakilinya dalam Sidang Kabinet di Bogor.
Seorang kerabat M.H. Lukman mengisahkan, pada 5 Oktober malam, Njoto, Lukman,
dan sejumlah petinggi PKI minus D.N. Aidit sempat berkumpul di kediaman Joesoef
Isak, seorang wartawan yang dekat dengan Njoto, di daerah Kebayoran, Jakarta
144
Selatan. Tapi ia mengaku tak mengetahui materi pembicaraan. "Mungkin koordinasi
sebelum ke Bogor," katanya.
Ketika berdiskusi dengan Tempo pada suatu siang sebelum meninggal pada malam
harinya akhir Agustus lalu, Joesoef membenarkan adanya pertemuan para petinggi PKI
di rumahnya. Tapi ia tak bisa mengingat apakah pertemuan itu berlangsung sebelum
atau sesudah 6 Oktober.
Kediaman Joesoef adalah salah satu tempat persembunyian favorit Njoto. Joesoef
menuturkan, suatu ketika tentara sempat menggerebek rumahnya. Mereka melihat Njoto
tapi membiarkannya dan justru memberi hormat karena tidak ada surat perintah
penangkapan. "Sebelum jam malam selesai, Njoto kabur," kata Joesoef.
Seusai sidang kabinet di Bogor, sekelompok tentara membuntuti Njoto dan Lukman.
Njoto memutuskan berpindah pindah tempat. Sebagai tokoh PKI, Njoto cukup berani
ketika itu. "Dia masih keluyuran. Mungkin karena merasa PKI tidak bersalah," kata
Bonnie Triana, peneliti sejarah Universitas Indonesia.
Sarbi Moehadi, 81 tahun, bekas Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat Pekalongan, Jawa
Tengah, menyatakan Njoto sempat memimpin rapat konsolidasi di Slawi, Jawa Tengah,
beberapa bulan setelah peristiwa 30 September. Menurut dia, Njoto meminta para
pemimpin partai dan pegiat Lekra di daerah ini mempertahankan organisasi. Sarbi
ditangkap beberapa bulan kemudian dan dipenjara 14 tahun.
Amarzan, kini 68 tahun, meragukan cerita Sarbi. Menurut dia, Jakarta paling aman untuk
bersembunyi. Ke luar kota sama dengan mencari mati, katanya. Ia yakin, meski
berpindah pindah, Njoto tak pernah lari ke luar Jakarta.
lll
Seperti pelariannya, penangkapan Njoto masih menyisakan misteri. Sri Windarti, adik
perempuannya, pernah mendapat cerita dari Edi, sopir pribadi Njoto. Menurut dia, sang
sopir merasa diikuti seseorang ketika mengantar Njoto ke kantor, yang sekarang
menjadi Sekretariat Negara. Edi sempat bertanya kepada Njoto: pulangnya dijemput di
kantor atau di Istana Negara. "Si Mas hanya menjawab: sudah, jangan ditengok," kata
Windarti.
Menurut cerita seorang pengawal Istana, kata Windarti, mobil Njoto dicegat dalam
perjalanan. Tapi ia tak memperoleh cerita detail, termasuk waktu dan tempat, tentang
peristiwa itu.
Irina Dayasi, anak kelima Njoto, mengatakan ada banyak versi cerita penangkapan.
Versi pertama, ayahnya ditangkap dalam perjalanan pulang dari Sidang Kabinet di
Bogor pada 6 Oktober. Ia menganggap versi ini paling tidak logis karena sejumlah orang
mengatakan masih bertemu Njoto hingga Desember 1965. Versi kedua, Njoto ditahan
setelah menemui Soebandrio. Versi ketiga, ditangkap dalam perjalanan dari kantor
Kementerian Negara. Irina memperkirakan, ayahnya ditangkap sekitar Desember.
145
Menurut Amarzan, Njoto ditangkap dalam perjalanan di Jalan Tosari, Menteng, Jakarta
Pusat. "Mobilnya disalip, lalu dicegat. Dia dikeluarkan, dipukul, kacamatanya jatuh. Itu
yang saya dengar," katanya.
Sampai sekarang nasib Njoto tak jelas. Kuburannya, jika ia telah meninggal, tak
diketahui. "Serba gelap," kata Irina.
Suatu ketika, beberapa tahun setelah peristiwa 30 September, beberapa temannya
mendatangi seorang paranormal untuk mengetahui keberadaan Njoto. Sang dukun
kerasukan dan "menjelma" menjadi Njoto. Ia menulis nama "Njoto" di papan.
"Tulisannya agak miring, persis tulisan tangan Njoto," kata teman Njoto, yang menolak
disebut namanya tapi ikut mendatangi dukun. Menjawab pertanyaan para "kliennya"
soal keberadaan Njoto, dukun menjawab: "Ada di Jawa Barat."
Besan Soetarni, bernama Sugeng, adalah pensiunan polisi militer. Kepada Soetarni,
Sugeng mengatakan pernah melihat Njoto di tahanan markas militer Guntur, Jakarta
Pusat, ketika piket jaga pada suatu malam. Esoknya Njoto tidak ada lagi di tahanan itu.
Menurut Iramani, adik perempuan terkecil Njoto, ada cerita Njoto ditembak di daerah
Tanjung Priok. Ia juga memperoleh versi lain, Njoto dibawa dari Rumah Tahanan Militer
Budi Utomo ke daerah Bekasi, Jawa Barat, dan dihabisi di sana pada 13 Desember
1965. "Mana yang betul, saya tidak tahu," katanya.
Joesoef Isak mendapat informasi bahwa Njoto sempat ditahan selama dua hari di
Rumah Tahanan Militer Budi Utomo. Cerita itu didapatnya dari seorang tentara yang
tinggal di mes rumah tahanan, yang bercerita bahwa Njoto ada di situ. "Saya tanya dia:
emang kamu tahu Njoto? Dia bilang pake kaca mata kan, gaya gaya Cina," kata
Joesoef.
Menurut Joesoef, ciri ciri yang disebutkan tentara itu memang punya Njoto. Tapi Njoto
hanya dua malam di sana. Setelah itu ia dibawa dua orang tentara entah ke mana. "Itu
informasi pertama yang saya terima langsung," kata Joesoef.
Menurut Bonnie Triana, setelah diambil dari rumah tahanan militer, Njoto dihabisi di
suatu tempat di Jakarta. Ia menambahkan, "Mayatnya dibuang ke Kali Ciliwung."
146
Rahasia Tiga Dasawarsa
ILHAM Dayawan masih mengingat belasan tentara yang membawa ibunya, Soetarni,
empat puluh tahun silam. "Pinjam ibumu sebentar, ya," kata seorang tentara kepadanya,
yang ketika itu bocah 11 tahun. Azan magrib masih terdengar pada hari itu, satu Ahad di
bulan Juni.
Ilham, anak kedua pasangan Njoto dan Soetarni, tinggal bersama ibu dan enam adiknya
di rumah di Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah. Kakaknya, Svetlana Dayani, tinggal di
rumah kerabat mereka di Solo. Ayah mereka dulu menjabat Ketua II Comite Central
Partai Komunis Indonesia.
Tentara datang ke rumah itu pada Ahad siang. Adik adik Ilham sedang bermain ketika
beberapa jip tentara menderu masuk halaman. Para prajurit yang ditemani pejabat
kabupaten menyerbu masuk. Mereka menggeledah seluruh rumah yang sebenarnya
punya kakak Soetarni. Semua perabotan dikeluarkan. Tempat tidur, kursi, meja, lemari,
kasur, dan barang pecah belah dilempar ke halaman. Menjelang azan magrib, mereka
baru berhenti.
Soetarni diangkut ke kantor Balai Kota Solo. Di sana ia diinterogasi dan kemudian
dijebloskan ke Rumah Tahanan Perempuan Bulu di Semarang. Ia dituduh mengikuti
rapat politik. Padahal ia mengatakan hanya menghadiri pesta pernikahan kerabat di
Solo, beberapa hari sebelum aparat mendatangi rumah kediamannya.
Ini penahanan Soetarni yang kedua. Kurang dari dua tahun sebelumnya, ia dibebaskan
setelah delapan bulan mendekam di Rumah Tahanan Budi Kemuliaan, Jakarta. Tujuh
anaknya, termasuk bayi yang baru lahir, ikut ditahan sejak pertengahan 1966. Seorang
anaknya lolos karena ketika tentara datang, sedang diajak pamannya ke luar rumah.
Adapun Njoto ditangkap aparat pada Desember, tiga bulan setelah Gerakan 30
September.
Keluar dari Budi Kemuliaan, Soetarni dan anak anaknya tinggal di Baturetno.
Kedatangan aparat yang membawa kembali Soetarni membuat kerabat kerabatnya
panik. Seorang kakak kandungnya yang tinggal di Solo lalu menemui Nyonya Tien
Soeharto, meminta pembebasannya. Keluarga ini memang memiliki hubungan
kekerabatan dengan Tien Soeharto. Ibu Soetarni keturunan trah Mangkunegaran,
sepupu orang tua Tien.
"Lobi" itu tak mempan. Soetarni tetap dihukum. "Tapi saya tak pernah sekali pun
dipukul, apalagi disiksa," kata Soetarni kepada Tempo pada pertengahan September
lalu. Kini, usianya 81 tahun.
lll
Begitu PKI dianggap bertanggung jawab atas penculikan dan pembunuhan enam
jenderal Angkatan Darat, 30 September 1965, Soetarni segera meninggalkan rumah di
Jalan Malang Nomor 22, Jakarta Pusat. Berbekal koper pakaian, ia mengungsi bersama
tujuh anaknya-semuanya berusia di bawah 10 tahun.
147
Soetarni terakhir bertemu dengan Njoto ketika mengungsi di Asrama Central Gerakan
Mahasiswa Indonesia, Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, pada akhir 1965. Setelah itu
tak ada lagi kabar dari sang suami. Perempuan kelahiran Solo, 10 Juni 1928, ini
berpindah pindah, ditemani sopir bernama Kunli. Kadang ia tinggal di rumah kawan, lain
kali di kediaman kerabat. "Kami menginap paling lama tiga hari karena risikonya sangat
besar," kata Ilham.
Kawan dan kerabat keluarga Njoto selalu memberi bantuan. Jane Luyke, istri Oey Hay
Djoen, meminjamkan sedan putihnya. Kawan lain turut meminjami mobil. Menurut Jane,
mobil yang digunakan Soetarni berganti ganti untuk menutupi jejak. Pada saat
penangkapan di masa pelarian 1966 di Gunung Sahari, Soetarni dan anak anak sedang
meminjam mobil milik Jane. Mobil ini pun disita tentara.
Setelah ditangkap kedua kalinya, Soetarni ditahan di Penjara Komando Distrik Militer,
lalu Penjara Bulu (Semarang), Bukit Duri (Jakarta). Terakhir, dia dipindahkan ke
Plantungan (Jawa Tengah). Total masa penahanannya 11 tahun.
Selama Soetarni dipenjara, jarang sekali anak anaknya bisa menjenguk. Mereka tinggal
di rumah saudara saudara kandung Soetarni. Hanya anak bungsunya, Esti Dayati,
diasuh dalam penjara hingga usia empat tahun. Tujuh anak itu tinggal bersama adik
perempuan Soetarni di Solo selama dua tahun. Suami adik perempuan Soetarni
seorang arsitek dan pemborong bangunan sehingga kondisi ekonominya bagus. Tapi
begitu ia meninggal, anak anak Soetarni harus hidup berpisah pisah, dibagi ke kerabat
lain.
Anak pertama dan keempat, yakni Svetlana Dayani dan Risalina Dayana, tinggal
bersama kakak lelaki Soetarni di Jakarta. Anak kedua dan kelima, Ilham Dayawan dan
Irina Dayasi, diboyong ke Palembang oleh kakak perempuan Soetarni. Anak ketiga dan
keenam tinggal di Medan.
Njoto memberi nama belakang tujuh anaknya "daya". Ini diambil dari nama lain Njoto,
Kusumo Dikdoyo. Dikdoyo dalam bahasa Jawa berarti daya. Untuk anak pertamanya,
Njoto memberi nama berbahasa Rusia, yakni Svetlana yang berarti cahaya. Sejak
prahara 1965, Svetlana tak lagi menggunakan namanya. Dia hanya menggunakan
nama belakangnya, Dayani. Nama yang berbau Rusia dengan mudah dicap sebagai
PKI ketika itu. "Saya baru kembali memasang nama itu pada 1987. Saya lelah
berbohong dan bersembunyi," katanya.
Sebelum reformasi 1998, anak anak Njoto tak berani membeberkan latar belakang
keluarga mereka. Tak sekali pun mereka menggunakan nama bapaknya dalam urusan
administrasi kependudukan. Mereka memakai nama paman atau bibi yang menanggung
mereka.
Irina mengaku masa masa berpisah dengan keluarga adalah masa sulit dalam
hidupnya. Ia mengingat di masa kecil mesti membantu keluarga pamannya mengurus
kebutuhan anak kos. "Hampir tak punya kawan karena hidup antara rumah dan
sekolah," katanya.
Lulus sekolah menengah atas, Irina kembali ke Jakarta. Awalnya ia bekerja sebagai
guru di sebuah sekolah dasar swasta. Bekerja hampir tiga tahun, ia dipecat. "Tanpa
148
alasan jelas. Ada kemungkinan karena mereka mengetahui rahasia keluarga kami,"
katanya.
Irina diajak bergabung dengan organisasi lembaga swadaya masyarakat di bidang
penegakan hak asasi manusia. Dia bekerja berpindah pindah organisasi demi memupuk
pengalaman. Namun teman temannya selalu melarang dia turun ke jalan saat
demonstrasi di masa Orde Baru. "Mereka takut jika pemerintah mengetahui latar
belakang saya, organisasi mereka terancam," ujarnya.
Soetarni keluar dari penjara pada 1979. Keluarga yang nyaris tak pernah berhubungan
kembali bersatu oleh kehadiran sang ibu. Svetlana yang sudah bekerja mengajak ibunya
tinggal di rumah kontrakan di Jati Pisang, Jakarta Timur. Anak anaknya yang lain dan
telah menyebar memutuskan tinggal di dekat ibunya di sekitar Jakarta bersama keluarga
masing masing.
Ia tak pernah menceritakan sejarah Njoto kepada anak anaknya. Ia baru bercerita
setelah masa reformasi. Namun Irina bisa memahami latar belakang keluarganya
berbekal ingatan masa kecil dan pelajaran sejarah.
Fidelia dan Esti, adik Irina, bahkan baru mengetahui orang tua mereka yang sebenarnya
ketika keduanya duduk di SMA. Esti awalnya mengira sang tante yang merawatnya di
Yogyakarta adalah ibunya. Begitu mengetahui latar belakang keluarganya, Fidelia tak
berani mendaftar menjadi pegawai negeri sipil. Lulus dari sekolah keperawatan, ia batal
masuk Departemen Kesehatan.
Soetarni masih terlihat tegar dalam usianya kini, 81 tahun. Rambutnya sebahu, sudah
seputih asap. Wajahnya yang ramah tak menunjukkan kepedihan. Dia bahkan tak
pernah menangis. Ilham mengingat, "Kami hanya sekali saja melihatnya menangis: saat
kehilangan bapaknya. Itu sebelum peristiwa 1965."
149
Kenangan di Jalan Malang
DERING telepon terdengar di tengah pesta ulang tahun Umila, 1 Oktober 1965. Tari,
sang ibu, bergegas menyambar telepon itu. "Soetarni ada?" suara di seberang telepon
bertanya. "Ada," Tari menjawab. "Lekas suruh pulang," suara di seberang. Itu adalah
suara Harto, ipar Tari, yang berpangkat kolonel, memberi perintah.
Soetarni, istri Njoto, kala itu tengah berada di rumah Tari di kawasan Cikini, Jakarta
Pusat. Tari, adik Soetarni, tengah menggelar pesta ulang tahun anak kelimanya, Umila.
Soetarni datang bersama keenam anaknya. Njoto saat itu tengah berada di Medan.
Begitu menerima pesan Tari, Soetarni bergegas membawa anak-anaknya pulang ke
rumah mereka di Jalan Malang Nomor 22, kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sepanjang
jalan yang mereka lalui suasana tampak lengang tak seperti biasa. Kunli, sopir Soetarni,
membisiki majikannya, ada peristiwa penculikan jenderal-jenderal yang disebut-sebut
didalangi Partai Komunis Indonesia.
Esok malamnya, begitu pulang dari Medan, Njoto langsung mengungsikan keluarganya
ke sebuah tempat persembunyian. Dua adiknya, Iramani dan Sri Windarti, yang tinggal
bersama mereka selama ini, dipulangkan ke kampung mereka, Surabaya. Sejak malam
2 Oktober itulah keluarga ini tak pernah lagi menginjakkan kaki mereka di rumah di
Jalan Malang itu.
Soetarni mengenang rumah mereka di Jalan Malang itu sebagai rumah yang penuh
kebahagiaan. Bersama Njoto ia tinggal di sana selama sembilan tahun. Empat anaknya
juga lahir di rumah itu. "Rumah itu punya arti penting bagi kami," kata Soetarni, kini 81
tahun, kepada Tempo.
Kini, rumah seluas 800 meter persegi itu menjadi wisma para pastor Gereja Santo
Ignatius. Sebelumnya, sepeninggal Njoto, rumah itu sempat ditempati penghuni liar,
sebelum kemudian diambil alih tentara. Pada 1968, seorang pendeta Belanda dari
Gereja Santo Ignatius, Pastor Groos, membeli bangunan tersebut. Sejak itulah rumah
tersebut mengalami berkali-kali renovasi hingga "wajah" aslinya hilang. "Saat dibeli,
kondisinya tidak layak ditempati," kata Subagyo, mantan pengurus wisma itu.
Soetarni sendiri tidak tahu pemilik rumah tersebut sebelumnya. "Saya tidak pernah
tanya, bagaimana suami dapat rumah itu," katanya. Keluarga Njoto pindah ke sana pada
1956. Saat itu Njoto baru punya dua anak, Indah Svetlana Dayani, 3 tahun, dan Ilham
Dayawan, 1 tahun.
Saat Njoto masuk ke rumah tersebut, rumah itu masih ditempati seorang guru balet
Belanda, Ludwieg Willner. Willner tinggal bersama istri dan dua anaknya. Selama
setahun, keluarga Njoto hidup serumah dengan orang Belanda itu. Masing-masing
keluarga menempati satu kamar besar. "Kami hidup akur," kata Soetarni.
Kendati serumah dengan guru balet, Svetlana, puri sulung Njoto, tak sempat belajar
menari balet. Guru Belanda itu keburu pindah ke Selandia Baru. Sepeninggal keluarga
Belanda itu, Njoto lalu merombak ruang dalamnya. Ia menyekat ruang tengah dengan
tripleks dan menjadikannya ruang kerja. Di sana ia menyimpan semua buku dan alat
150
musiknya, seperti akordeon, piano, saksofon, dan klarinet. Inilah ruang favorit Njoto. Di
sini ia kerap menghabiskan waktunya dengan membaca atau bermain musik. "Bapak
membuang bosannya di sana," kata Svet.
Njoto di mata Svet adalah ayah yang baik. Tak pernah marah, apalagi memukul anakanaknya. Menurut Svet, kadang ia dan adik-adiknya bermain kuda-kudaan dengan
ayahnya. Di waktu senggang, Njoto kerap mengajak keluarganya berlibur naik trem.
Akhir pekan, kadang keluarga ini berpakansi ke pantai.
Svet mengingat, jika tidak sibuk membaca, biasanya ayahnya memainkan alat-alat
musik yang ada di ruang kerjanya. Beragam alat musik itu bisa dimainkan Njoto. Temanteman sehobinya dalam soal musik kala itu, antara lain Jack Lesmana, salah satu musisi
terkenal di republik ini.
Di rumah, saat tak menerima tamu, Njoto biasanya hanya memakai celana pendek,
berkaus singlet, atau bersarung. Ia hobi makan camilan tempe goreng. Makanan ini
pula, dengan segelas teh hangat, yang kerap menemaninya jika berada di ruang
kerjanya. Iramani, adik Njoto, mengingat, ia kerap mendapati kakaknya membaca bukubuku "kiri". "Bukunya banyak," kata Iramani.
Rumah ini kerap disambangi dua pemimpin PKI lainnya, D.N. Aidit dan M.H. Lukman.
Menurut Soetarni, dua orang ini tiga kali sepekan biasanya datang ke rumahnya.
Bersama dua tamunya itu, Njoto berdiskusi masalah politik.
Suatu ketika, Njoto dan istrinya jatuh sakit. Keduanya tergolek di tempat tidur. Kemudian
datanglah Aidit dan Lukman menjenguk. "Tapi tetap saja mereka bicara politik di kamar
tidur," kata Soetarni.
151
Secuil Asmara Khong Guan Biscuit
MALAM sebentar lagi datang menjelang pada pertengahan 1963. Di rumahnya di Jalan
Malang, Jakarta, Soetarni, ibu lima anak yang ketika itu berusia 35 tahun, gundah.
Njoto, sang suami, baru saja tiba dari Moskow, Uni Soviet, sehari sebelumnya. Selintas,
Njoto bercerita tentang penerjemah perempuan bernama Rita yang menemaninya
selama di sana. "Saya tidak tahu politik, tapi naluri saya mengatakan sesuatu sedang
tumbuh di hati Bapak," kata perempuan yang kini berusia 81 tahun itu.
Njoto, kata Soetarni, memang menceritakan banyak hal tentang Rita kepadanya. "Kata
Bapak, Rita cantik, ramah, dan pintar." Gadis Rusia itu mahasiswi sastra Indonesia di
sebuah universitas di Moskow. Setiap kali Njoto ke sana, Ritalah yang menemaninya.
Sebagai Ketua II Comite Central PKI, Njoto memang sering ditugasi berkomunikasi
dengan partai komunis internasional di Uni Soviet. Soetarni hanya heran, mengapa
penerjemahnya harus perempuan.
Kegundahan Tarni membuncah ketika pada akhir 1964 terbetik kabar suaminya akan
menikahi Rita. Namun dia tak pernah menanyakannya langsung ke Njoto. Dia cuma
membatin, "Apakah Rita hamil? Atau jangan-jangan Bapak dijebak, dipasangi
perempuan itu untuk tujuan politik. Saat itu PKI sedang krisis," kata Tarni. Meski hanya
dipendam dalam hati, Tarni sudah bertekad, jika benar-benar menikahi Rita, ia akan
mengusir Njoto dari rumah.
Apalagi saat itu dia sedang hamil anak keenam, yang kelak diberi nama Fidelia
Dayatun. "Apa dia tega meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil?" kata Tarni.
Fidelia, yang diilhami nama pemimpin Kuba Fidel Castro, lahir sebelum pecah peristiwa
30 September 1965. Pada akhirnya kabar itu memang tak menjadi kenyataan. Njoto
tetap menjadi suami Soetarni.
Setelah peristiwa itu, Tarni masih melahirkan putri ketu-juhnya di dalam penjara. Si
bungsu dengan nama panggilan Butet itu langsung diadopsi adik Njoto, Sri Windarti. Hal
itu dilakukan karena Soetarni dan anak-anaknya dipenjara rezim Orde Baru di bawah
kekuasaan Soeharto. Fidelia dan Butet tak pernah melihat wajah ayahnya.
lll
Siapa sejatinya Rita? Joesoef Isak, wartawan yang dekat dengan Njoto, mengisahkan
peristiwa yang dia pendam puluhan tahun itu. "Bung Njoto manusia biasa, bisa
mencintai Bu Tarni sekaligus jatuh cinta pada Rita," kata Joesoef di kantor Tempo, di
hadapan istri Njoto, 14 Agustus 2009, sehari sebelum Joesoef wafat. Berkali-kali
Joesoef mohon maaf kepada Tarni, selama ini ia memendam kisah itu. "Saya mohon
Njoto dilihat sebagai manusia biasa. Jangan kaitkan dengan PKI, entah agamanya apa,"
tutur Joesoef, bercucuran air mata.
Menurut Joesoef, hubungan asmara Njoto-Rita bisa menjelaskan salah kaprah
keterlibatan Njoto dalam peristiwa 30 September 1965. Juga bisa meluruskan kabar
tentang kerasnya konflik Aidit dan Njoto. "Aidit dibilang komunis pro-Peking, Njoto proMoskow," kata Joesoef. "Itu omong kosong. Njoto mengagumi Aidit dan Aidit mencintai
Njoto sampai saat terakhir."
152
Namun kedekatan kedua elite PKI itu toh tak bisa menghalangi pencopotan semua
jabatan Njoto dalam sidang Politbiro 1964. Njoto dianggap bersalah menjalin asmara
dengan Rita dan hendak menceraikan istrinya. Aidit berniat menuntaskan skandal Rita
ke Moskow. Sayang, niat belum kesampaian, peristiwa 30 September 1965 pecah. "Atas
izin Bu Tarni, saya berikan kesaksian ini," kata Joesoef.
Joesoef, yang mengenal Rita, mengatakan, "Pandangan subyektif saya, Bu Tarni lebih
cantik. Tapi Rita wanita intelek bagi Njoto." Joesoef menggambarkan Rita sebagai gadis
jinak-jinak merpati. Enak diajak ngobrol, juga tak menampik diajak ke tempat tidur.
Belakangan ketahuan, Rita bukan hanya melayani Njoto. Perempuan berambut pirang
itu kerap tidur dengan banyak mahasiswa asal Indonesia lainnya. "Perilaku binal Rita itu
tak diketahui Njoto."
Rita sendiri tak pernah sekali pun ke Jakarta. Tapi ia fasih berbahasa Indonesia, bahkan
dengan menggunakan logat Betawi. Kadang mendadak berbahasa Jawa. "Pertemuan
Njoto-Rita selalu dilakukan di Moskow," kata Joesoef.
Kebinalan Rita itulah yang membuat hubungan Njoto dan gadis itu terendus petinggi
Politbiro PKI di Jakarta. Para mahasiswa Indonesia bebas keluar-masuk kamar Rita.
Mereka sesukanya membuka laci, hingga menemukan surat-surat cinta Njoto. "Suratsurat itu lalu dikirim ke Indonesia, diperbincangkan berbagai kalangan," kata Joesoef.
Sumber Tempo yang sempat dibuang ke Pulau Buru oleh rezim Soeharto yakin, Rita
agen "Khong Guan Biscuit", kata sandi untuk menyebut KGB, dinas rahasia Uni Soviet.
Di negerinya, Rita ke mana-mana suka pakai baju batik dengan rok. "Kerap tak pakai
celana dalam." Di mata para mahasiswa Indonesia, Rita sangat menarik meskipun tak
begitu cantik. "Saat itu jarang orang Indonesia pacaran dengan bule. Tentu saja Rita
menjadi idola."
Rita menjadi penerjemah pejabat Indonesia dan mahasiswa yang berkunjung ke Uni
Soviet sejak awal 1960-an. "Pertautan cinta Njoto-Rita terjadi pada awal 1963, berlanjut
melalui surat-menyurat," kata sang sumber. Keyakinan Rita agen KGB juga dari analisis
situasi saat itu. Siapa pun yang berkunjung ke negeri komunis, pasti didampingi intelijen.
"Kalau ke Uni Soviet, pasti didampingi KGB," katanya.
Dia menduga, surat cinta Njoto sengaja disebarkan Rita kepada para mahasiswa
Indonesia agar sampai ke tangan Aidit. "Saya termasuk yang ditawari membaca surat
cinta Njoto yang sudah digandakan dan disebarluaskan, tapi saya tolak karena itu
privasi orang."
Terpuruknya Njoto diyakini akibat hubungan asmaranya dengan Rita. Tapi situasi partai
komunis di berbagai negara saat itu sedang krisis. Sikap PKI dianggap tak jelas, ikut
poros Peking atau Moskow. Juga konflik antara PKI dan Angkatan Darat, konflik PKI dan
komunis internasional, serta konflik Presiden Soekarno-Angkatan Darat. "Kondisinya
sangat gawat. Skandal Njoto-Rita turut memperparah," kata dia.
Iramani, adik Njoto, membenarkan keributan skandal itu. Tapi dia baru tahu belakangan
dari koran terbitan tahun 1965-1966. "Disebutkan, Bung Njoto punya gendak
(perempuan simpanan)," kata Iramani. "Katanya mahasiswi sastra Indonesia,
penerjemah tamu Indonesia di Uni Soviet."
153
Namun, bagi Tarni, kesetiaan Njoto telah teruji. Apa pun kata orang tentang elegi cinta
Njoto-Rita, baginya itu hanyalah dongeng. Pada masa kelam, tatkala dia dipenjara
selama 11 tahun, tercerai-berai, berpisah dengan suami dan anak-anak yang tak tentu
rimbanya, dia yakin Njoto adalah kekasihnya yang dulu. Njoto tetaplah lelaki pemujanya,
yang mengiriminya berlaksa-laksa surat hingga mereka menikah dan dikaruniai tujuh
anak.
Tarni mengenang, dalam su-ratnya ketika mereka berpacaran, Njoto berjanji akan
menjadi suami dan bapak yang baik. "Janji itu telah ditepatinya hingga dia diambil paksa
kekuasaan, yang tak tahu kasih sayang bapak kepada anaknya dan cinta suami kepada
istrinya."
154
Karena Janji Setia
CINCIN emas itu masih melingkar di jari manisnya yang telah keriput. Di sisi dalam
lingkaran terukir nama sang pemilik, Soetarni, dalam huruf italik. Inilah satu-satunya
tanda cinta Njoto yang tetap menemaninya lebih dari setengah abad.
Njoto memberikan cincin tiga gram itu kepada Soetarni sebagai maskawin dalam
perhelatan di Solo pada Mei 1955. "Selain cincin, tak ada lagi yang tersisa," kata
Soetarni di Jakarta tiga pekan lalu. Di usianya yang senja, ningrat Mangkunegaran itu
masih cukup jernih menuturkan masa lalunya.
Soetarni mengenal salah satu pemimpin Partai Komunis Indonesia itu sepuluh tahun
sebelum perkawinannya. Ketika itu ia siswa Sekolah Susteran, semacam sekolah
kepandaian putri setingkat SMP di Mangkunegaran, Solo. Di antara teman
seangkatannya ada Sri Windarti, adik Njoto.
Satu hari, Windarti dan Njoto yang tinggal di Kemlayan, tak jauh dari Keraton
Mangkunegaran, bersepeda ke Desa Palur, sekitar 10 kilometer di timur Solo. Ayah
mereka menyuruh mengantar surat ke rekan bisnisnya, Nyai Nami Kesuma Darmojo.
Setelah menjalankan tugas, kakak-adik itu mampir ke rumah Widna Harjono, seorang
kerabat di Palur.
Pada waktu bersamaan, Soetarni dan adiknya, Soetarti, juga bertandang ke kediaman
Widna. Mereka akhirnya kumpul bareng di gubuk belakang rumah. Disuguhi rujak dan
hamparan sawah nan luas, obrolan mengalir renyah. Widna sempat meledek bahwa
Soetarnilah jodoh Njoto. "Eh, beneran," kata Soetarni.
Pertemuan Palur berlanjut. Bila ada waktu senggang, Windarti bertamu ke rumah
Soetarni di depan Stasiun Solo Balapan. Pun sebaliknya. Bila main ke Kemalayan,
perempuan kelahiran 10 Juni 1928 itu kerap mendapati Njoto tengah bermain musik. Ia
bisa memainkan gitar, juga drum.
Walau jarang bertemu, kata Soetarni, Njoto sering bersikap sok akrab. Kadang usilnya
keluar, sebuah cubitan kerap mendarat di kulit Soetarni. "Biar dikejar," katanya dengan
tawa berderai. Bila tak sempat tatap muka, pemuda itu sesekali berkirim surat, tanda
hati rindu berat.
Saat-saat berbunga itu tak lama. Ketika pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta pada
awal 1946, Njoto juga hijrah ke kota pendidikan itu setelah masuk Komite Nasional
Indonesia Pusat. Sejak itu, tak ada surat ataupun selentingan kabar tentang Njoto.
Kisah dua sejoli ini berjalan sendiri-sendiri. Selain sekolah, Soetarni aktif di tim olahraga
Solo. Ia mewakili kota batik itu dalam pekan olahraga nasional untuk cabang bola
keranjang, olahraga semacam basket. Raden ajeng itu sempat beralih menjadi atlet
anggar. Keterampilan ini ia peroleh dari ayahnya, Raden Mas Sumo Sutargio.
Dalam periode itu, Soetarni sempat dekat dengan seorang tentara. Namun hubungan itu
tak sempat beranjak ke pelaminan.
155
Menurut Soetarni, Njoto yang sudah aktif di PKI sempat menjalin asmara dengan
beberapa gadis. Setelah tragedi Madiun 1948, Njoto pindah ke Jakarta. Di sana ia
tinggal bersama keluarga Cina. Njoto jadi anak kesayangan dan mendapat nama fam
keluarga itu. Anak gadisnya juga jatuh hati. Sekali dua mereka nonton film bareng.
Di Jember, Jawa Timur, Njoto juga punya tambatan hati. Namun, karena lama tak ada
kejelasan, ibu si gadis meminta hubungan keduanya disudahi. Ia memberikan
ultimatum, bila dalam satu bulan Njoto tak juga mengajukan pinangan, anaknya akan
dikawinkan dengan pria lain. Kekasih Jembernya itu menemui Njoto di Yogyakarta, dan
ia dipersilakan mengikuti kehendak ibunya.
Berbarengan dengan itu, Njoto terus bergelut di partai, bergerak dari Jakarta ke
Yogyakarta atau kota yang lain. Pada awal 1955, ia meninggalkan Batavia menuju
Jember menggunakan kereta api untuk menengok kakeknya yang sakit. Dia
menyempatkan diri singgah di Solo barang seharmal.
Sepucuk surat ia berikan kepada Iramani. Adik bungsunya itu mendapat tugas
menyampaikannya ke Soetarni. Di pekarang rumah, ia mendapati Soetarni sedang
menyapu halaman. Wajahnya merona begitu membaca surat yang berlembar-lembar
itu.
Melalui surat yang panjang tadi, Njoto meminang Soetarni. Gadis itu tak kuasa menolak
permintaan mantan kekasihnya. Deretan kata-kata dalam lembaran kertas tersebut
membuatnya takluk. Di antaranya ada janji setia sehidup semati. "Juga, janji menjadi
suami yang baik," kata Soetarni.
Hasrat berumah tangga itu diutarakan Njoto ke Windarti seusai Kongres Partai Komunis
di Solo. Dalam santap malam yang ditemani Mula Naibaho, kawannya di Harian Rakjat,
Njoto mengatakan akan melamar seorang raden ajeng. "Tak mengira sama teman
saya," kata Windarti.
Tak berselang lama, datanglah keluarga Jember. Di antaranya ada Masalmah, ibu
Njoto, serta kakeknya. Rombongan itu menginap di rumah Soetarminah, kakak Soetarni,
yang juga tak jauh dari Stasiun Solo Balapan. "Acaranya malam," kata Iramani.
Sebulan kemudian, pesta digelar. Hampir semua kerabat Mangkunegaran hadir. Raden
Mas Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmanti, orang tua Siti Hartinah Soeharto,
menjadi pendamping kedua mempelai dalam resepsi adat Jawa itu. Menurut Iramani,
kendurian itu menjadi spesial lantaran tamu undangan dihibur band teman-teman Njoto.
Pesta syukuran kembali digelar di Jember. Setelah itu, keduanya berbulan madu ke
Surabaya, Bondowoso, lalu Bali. Sebulan lebih bertamasya, mereka kemudian tinggal di
Jakarta.
Rumah di Jalan Bluntas, Jakarta Pusat-belakang Rumah Sakit St. Carolus-menjadi
kediaman pertama. Dua anaknya lahir di sini. Setelah Njoto menjabat menteri negara
dan Wakil Ketua Comite Central PKI, mereka pindah ke Jalan Malang 22, Menteng. Di
sini mereka kembali dikarunai lima anak.
156
Soetarni merasa janji Njoto menjadi suami yang baik terpenuhi. Walau sibuk mengurus
partai dan pemerintahan, perhatian Njoto tak berkurang. Kadang, pekerjaan dibawa
pulang agar berkumpul dengan keluarga. Bila capai, ada saja idenya. Ia sering
mengajak jalan-jalan sekadar mencari rujak atau jajanan lain. Jika sopir kedapatan
sedang istirahat, mereka naik becak. "Bapak tak bisa nyopir," kata Svetlana Dayani,
anak pertama Njoto.
Gaya supel nan rame Njotolah yang membuat istrinya nyaman. Sebagai seniman, sikap
romantis suaminya pun kerap muncul, yang membuat Soetarni serasa terbang. "Wah,
manis sekali memakai baju ini," kata Iramani mengingat puji-puji kakaknya. Bila tidak
cocok, Njoto mengatakan dengan pilihan kata yang tetap indah.
Njoto juga tak segan mengajak istrinya menghadiri kegiatan kenegaraan atau acara
informal lain, seperti melihat pertunjukan wayang atau ludruk. Sesekali mereka ke
Senayan menyaksikan pertandingan sepak bola.
Soetarni juga bebas beraktivitas. Dia masih kerap bermain anggar. Sesekali ikut
menceburkan diri ke kolam sembari menemani anak-anaknya kursus renang. Namun,
status sebagai atlet ia tinggalkan. Ia memilih membesarkan buah hatinya.
Menurut Soetarni, suaminya juga pendongeng unggul. Kancil menjadi cerita favorit
pengantar tidur anak-anaknya. "Tapi sering ngawur, cerita mencong-mencong, bikin
sendiri," katanya. Bila turut ketiduran, Njoto suka mengigau. Kadang sampai tepuk
tangan. "Kalau saya ceritakan, dia tak percaya."
Namun semua kebahagiaan itu direnggut setelah 30 September 1965. Sebagai petinggi
PKI, Njoto diburu tentara. Sebelum menghilang, Njoto mengungsikan keluarganya ke
daerah Kebayoran Baru. Nyatanya, Soetarni dan anak-anaknya juga dijebloskan ke
penjara.
Selama sebelas tahun Soetarni berada di balik jeruji. Ia dipindah berkali-kali, dari
penjara Wonogiri dan Plantungan di Jawa Tengah, hingga Bukit Duri, Jakarta. Di sel-sel
itu, sipir selalu menanyakan Njoto. "Justru saya yang mau tanya di mana suami saya,"
jawab Soetarni. Ia baru bebas pada 1979.
Walau sebagian hidupnya habis di balik jeruji penjara, Soetarni tak pernah menyesal
menjadi istri Njoto. Ia tak menyalahkan suaminya karena masuk PKI. Penjara tak
melunturkan cintanya. Hanya, selain cincin emas itu, kini tak ada lagi barang kenangan
Njoto. Satu per satu hilang atau sengaja dilenyapkan untuk menghindari pengejaran
tentara.
157
Puisi Pamflet Sang Ideolog
JARAK Yogyakarta-Solo dilipat oleh Njoto dengan surat-surat panjang, lengkap dengan
berbaris-baris puisi cintanya. Surat itu sering dikirimnya ke Soetarni, perempuan
keturunan ningrat Keraton Surakarta, yang bermukim di Solo, pada 1950-an.
"Itu surat atau koran?" kata ayah Soetarni kala itu. Surat Njoto panjang-panjang, bahkan
menurut Soetarni, kini 81 tahun, sampai puluhan halaman. Dari lembar-lembar itu
lahirlah rasa tertarik yang pada akhirnya membuat dia menerima pinangan pemuda
yang kemudian menjadi satu dari tiga serangkai tokoh Partai Komunis Indonesia itu.
Sayang, surat-surat cinta itu turut musnah bersamaan dengan pecahnya peristiwa 30
September 1965 dan kocar-kacirnya keluarga Njoto.
Njoto dikenal sebagai politikus yang memiliki minat besar terhadap kesenian, sastra,
dan musik. "Dalam hal seni dan budaya, Njoto sangat kental. Setiap terbit buku baru, dia
pasti mencarinya. Dan, dia tidak pernah tidak membaca majalah kebudayaan yang baru
terbit," kata Trikoyo, alumnus sekolah perwira angkatan darat Jepang yang turut
membantu Njoto dan Dipa Nusantara Aidit menerbitkan Harian Rakjat dan Bintang
Merah.
Trikoyo adalah putra Kiai Anom Dardiri Suromidjoyo, pemimpin Pondok Pesantren
Naqsabandiyah di Kutoarjo, Jawa Tengah, yang dibuang pemerintah kolonial Belanda
ke Boven Digul, Papua, pada 1926. Trikoyo, kini berusia 84 tahun, pernah 10 tahun
mendekam di kamp tahanan Pulau Buru di masa Orde Baru.
Penulis cerita pendek ini sering mengobrol dengan Njoto, meski ia sudah tak ingat apa
saja yang dibicarakannya. Ia cuma tak bisa melupakan minat sastra Njoto yang
terbentang luas: dari buku karya pengarang Rusia seperti Nikolai Gogol dan
Dostoevsky, hingga penulis yang ideologinya berseberangan. "Dia juga suka karya H.B.
Jassin. Dia juga tidak meremehkan dan selalu memuji tulisan Hamka," katanya.
Svetlana Dayani, anak tertua Njoto, bercerita bahwa susunan koleksi buku ayahnya
sampai ke langit-langit ruang kerjanya. Di rumah mereka di Jalan Malang, Menteng,
Jakarta Pusat, ia sering melihat sang ayah menggunakan tangga untuk mencapai buku
di rak tertinggi. "Bahkan dia suka langsung membacanya di tangga itu," kata Svetlana,
yang baru berusia sembilan tahun ketika kerusuhan politik pecah pada 1965.
Njoto banyak membaca, rajin menulis. Kalau mendapat ide, kata Trikoyo, ia biasanya
langsung menuangkannya lewat mesin ketik, dengan "jurus 11 jari" alias hanya dengan
telunjuk kiri dan kanan. Bila dalam perjalanan menulis itu muncul ide lain, dia akan
mencabut kertas itu dan menggantinya dengan yang baru. "Tulisan sebelumnya tidak
dia buang, tapi nanti dia lanjutkan," katanya.
Njoto suka menggunakan nama pena Iramani dalam tulisannya. Iramani adalah adik
bungsu Njoto. Sejumlah puisi karya Njoto muncul dengan nama Iramani di Harian
Rakjat, media resmi Partai Komunis Indonesia yang berkantor di Pintu Besar 93,
Jakarta. Koran itu dipimpin Mula Naibaho, Njoto, dan Supeno. Itulah koran politik
terbesar dengan oplah mencapai 23 ribu eksemplar pada 1950-1965.
158
September tahun lalu, sembilan puisi Njoto yang pernah muncul di harian itu diterbitkan
kembali dalam sebuah buku. Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra, Harian Rakyat
1950-1965, buku puisi yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan
itu, berisi puisi Njoto berjudul "Tahun Baru", "Catatan Peking", "Jangtoe", "Shanghai",
"Merah Kesumba", "Variasi Haiku", "Variasi Cak", dan "Pertemuan di Paris". Lima dari
puisi itu mengangkat soal Cina dan ditulis dari negeri itu. Puisi "Jangtoe" di bawah ini,
misalnya, ditulis di Cungking-Wunan pada 14 Oktober 1959:
Jangse mengalir
Kepalku menghilir
Dari Cangking ke Wuhan
Kujelajahi haridepan
Kujelajahi haridepan
Itulah jenis puisi yang, menurut Amarzan Ismail Hamid, redaktur Harian Rakjat Minggu
saat itu, lahir dari kekaguman. Kala itu orang Indonesia sulit sekali pergi ke luar negeri,
tapi orang-orang PKI agak gampang karena sering diundang pemerintah Cina atau
Rusia. Harian Rakjat Minggu diasuh oleh Amarzan, Njoto, Banda Harahap, Basuki
Resobowo, Zubir A.A., dan Bambang Sukawati Dewantara. Nama yang terakhir adalah
putra bungsu Ki Hajar Dewantara.
Meski Njoto adalah pemimpin redaksi harian itu, dia tampaknya sangat sibuk mengurusi
politik, sehingga jarang muncul di kantor redaksi. Salah seorang redaktur pernah
berkata, selama dua tahun dia bekerja di sana, Njoto hanya muncul sepuluh kali. Meski
begitu, menurut Svetlana dan Iramani, Njoto sering mengajak mereka ke kantor Harian
Rakjat untuk melihat proses pencetakan medianya. "Kalau malam, pukul 9 sampai pukul
11 berada di kantor Harian Rakjat," kata Iramani.
Njoto suka berbicara tentang sastra tapi tak terlalu serius. "Misalnya ada cerita pendek
Rusia yang baru terbit, dia ngomong sebentar, tidak sampai mendalam," kata Amarzan,
yang baru berusia 22 tahun ketika bergabung di media itu pada Juni 1963.
Harian Rakjat edisi Minggu itu secara rutin memuat sebuah cerita pendek dan beberapa
puisi, hasil seleksi kiriman para pengarang kiri dan anggota Lembaga Kebudayaan
Rakyat atau Lekra. Dalam seminggu rata-rata ada lima pengirim cerita pendek dan 40
pengirim puisi. Setiap orang biasanya mengirim tiga puisi atau lebih, meski sesekali ada
yang bahkan mengirim 20 puisi.
Pada masa itu puisi tumbuh subur di Jakarta. Penyair papan atas kala itu termasuk
Banda Harahap, Sitor Situmorang, dan Agam Wispi dari kelompok kiri. Di luar itu ada
pula Ramadhan K.H., Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Arifin C. Noer,
Hartoyo Andangjaya, dan Budiman S. Hartoyo. Amarzan sendiri, dalam buku Keith
Foulcher, Social Commitment in Literature and the Arts, disebut sebagai penyair Lekra
yang paling penting.
�Para penyair kiri umumnya mengirim puisi ke Harian Rakjat Minggu, meski bila dimuat
mereka tak mendapat honor. Koran setebal empat halaman itu seakan menjadi standar
dalam sastra. Puisi yang dimuat biasanya memenuhi dua aspek-istilah mereka, dua
159
tinggi-yaitu tinggi ideologinya dan tinggi estetikanya. Di antara karya penyair Lekra, puisi
Njoto tidak bisa dibilang bagus, meski bukan puisi yang buruk. Kualitasnya rata-rata.
Sebagian besar puisi karya penyair Lekra itu berupa propaganda, slogan, atau yang
disebut sajak poster. Kebanyakan, aspek ideologi dalam sajak mereka, kata Amarzan,
masih mentah, asal menyerang tuan tanah, kapitalis birokrat, atau Amerika. "Sajak-sajak
Njoto itu tinggi ideologi, tapi tidak berkibar-kibar. Kalau dibuat pemeringkatan di Lekra,
dia pasti tidak masuk peringkat satu. Saya kira paling tinggi peringkat dua," katanya.
Namun puisi Njoto lebih baik daripada sajak Aidit. "Sajak Aidit itu jelek benar, sajaksajak maksa," kata sosok yang pernah membuat marah Aidit karena menolak memuat
puisi karya pimpinan tertinggi PKI itu.
Asahan Aidit, adik bungsu D.N. Aidit, menilai Njoto benar-benar menguasai bidang yang
digelutinya, termasuk sastra, terutama esai. "Hal itu bukan otomatis begitu saja, tapi
Njoto adalah juga seorang otodidak besar yang punya banyak perhatian dan banyak
studi, termasuk di bidang sastra. Dia menguasai karena dia juga banyak studi, banyak
membaca, dan dia mempunyai otak yang cerdas serta apresiasi sastra yang tinggi,"
katanya melalui surat elektronik.
Aroma pamflet memang terasa dalam puisi seperti "Catatan Peking" ini:
Alangkah hebat
di hati alangkah dekat!
kaum tani mengolah besi
kaum buruh di sawah berpeluh
bajak dan baja tukar-bertukar
mahasiswa pada pekerja
kaum pekerja menjadi siswa
berjuta milisia angkut senjata
siapa berani serang Sosialisme?
Njoto adalah orang yang menyusun piagam Lekra dan memperkenalkan slogan "politik
sebagai panglima". "Tanpa politik sebagai panglima, perkembangan kebudayaan pada
umumnya dan sastra pada khususnya tidak bakal tahu tugas dan garis yang harus
ditempuh, bisa terjadi demam kegiatan, tapi kenyataannya akan merupakan gerakan
tanpa kemajuan," kata dia di hadapan peserta Kongres Nasional Lekra pada 1951.
Namun, seperti kata Asahan, estetika Njoto tidak berhenti pada estetika pamflet atau
pernyataan. Dia telah melampaui batas-batas yang dikurung oleh Lekra sendiri. "Njoto
adalah Lekra modern yang lebih universil di bidang kebudayaan, termasuk sastra.
Sastra Njoto lebih demokratis dan lebih estetis serta lebih universil," katanya. Hal ini
tampak dalam sikap Njoto dalam tuduhan plagiarisme terhadap Tenggelamnya Kapal
Van der Wijk karya Hamka. Njoto adalah orang yang menyarankan agar Lekra tidak
"menghancurkan" Hamka.
160
Kalau Sayang, Aturan Dilangkahi
SIDANG otokritik di kantor Harian Rakjat itu masih lekat di ingatan Amarzan Ismail
Hamid. Kala itu dia harus menghadapi seluruh jajaran redaksi lantaran menyalahi aturan
kantor karena melampaui batas cuti untuk pulang ke Medan pada September 1964. Cuti
yang diajukan dua minggu diterabasnya hingga dua bulan. "Saya harus mengakui
kesalahan," kata mantan wartawan Harian Rakjat itu kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Toh, Pemimpin Redaksi Njoto tak peduli terhadap sidang yang baru dijalani Amarzan.
Dia malah mengirim Amarzan ke Tiongkok untuk memenuhi undangan liputan Perayaan
15 Tahun Republik Rakyat Cina. "Kalau dia (Njoto) sudah sayang, aturan bisa
dilangkahi," kata Amarzan.
Padahal delegasi yang dikirim ke Tiongkok bukanlah delegasi biasa karena inilah
delegasi pertama dan terakhir dari Harian Rakjat. Mereka yang berangkat menghadiri
perayaan itu merupakan orang-orang terpilih, seperti Wakil Ketua Harian Rakjat M.
Naibaho, Redaktur Luar Negeri Juliarso, Redaktur Dalam Negeri Samtiar, dan Redaktur
Olahraga Baroto. "Dia memang orang yang pilih kasih," kata Amarzan.
Ketika digelar Games of the New Emerging Forces (Ganefo)-ajang olahraga tandingan
Olimpiade ciptaan Presiden Soekarno-redaksi membentuk tim untuk meliputnya.
Ternyata yang meliput harus mengenakan dasi dan jas. Tak ada yang punya dasi.
Walhasil, redaksi meminta Njoto meminjamkan dasinya. Tak berapa lama datanglah
Hardono, pengawal Njoto, yang menyerahkan beberapa dasi kepada tim redaksi. Tibatiba Hardono memanggil Amarzan dan memberinya satu ikat dasi. "Untuk Bung," kata
Ardono, "khusus dipilih Bung Njoto." Dasi itu buatan Italia, sedangkan yang lain
bermerek Shanghai. "Yang seperti saputangan," kata Amarzan tertawa.
Perlakuan istimewa juga pernah dirasakan Umar Said. Ketika menjadi wartawan Harian
Rakjat, dia pernah ditawari Njoto untuk memimpin sebuah surat kabar di Padang,
Sumatera Barat, pada 1956. Ketika itu sedang terjadi ketegangan politik menentang
berbagai kebijakan pemerintah pusat hingga memunculkan suara-suara anti-Bung
Karno dan anti-Partai Komunis Indonesia. "Padahal pengalaman saya menjadi
wartawan baru lima tahun," kata Umar, yang saat itu berusia 26 tahun dan belum
menikah.
Menurut mantan Pemimpin Harian Ekonomi Nasional ini, tak mudah "memasuki" daerah
Minangkabau, karena sebelumnya dia bekerja di Harian Rakjat, organ sentral PKI.
Ditambah lagi dia berasal dari Jawa Timur, yang merupakan "orang luar" bagi
masyarakat Minang. Rupanya Njoto sudah mengantisipasi kekhawatiran Umar. Dia
menyarankan Umar bertemu dengan Bachtarudin, anggota Comite Central PKI yang
terkenal di Sumatera Barat karena perjuangannya di zaman revolusi 1945. Karena
nasihat itu, Umar dapat memimpin Harian Penerangan sampai 1960.
Sikap pilih kasih, menurut Amarzan, menjadi salah satu kelemahan Njoto. "Ini
menimbulkan iri hati," katanya. "Tapi saya tidak tahu adakah orang yang dia benci,"
katanya. Namun, menurut Jane Luyke, tidak ada masalah dengan sikap Njoto yang pilih
kasih ini. "Kalau soal pilih-pilih teman, bukan Njoto saja," ujar istri Oey Hay Djoen ini.
"Kita juga begitu (pilih-pilih teman)."
161
Bagi Jane, mengenal Njoto menimbulkan sebuah kekaguman tersendiri. "Dia itu
serbabisa dan serba-mengetahui," katanya. Senada dengan Jane, orang-orang yang
pernah dekat dengan Njoto, seperti Amarzan, Umar Said, Joesoef Isak, dan Oey Hay
Djoen, juga menangkap kesan yang sama. Buat mereka, Njoto ahli di berbagai bidang,
mulai urusan politik, seni, olahraga, hingga tempat-tempat yang menyajikan makanan
lezat.
Nama Njoto, menurut Amarzan, tidak mencerminkan penampilannya. Mulanya, Amarzan
tak percaya bahwa Njoto adalah orang yang pintar. "Soalnya, ini nama Jawa yang paling
jelek," katanya. Foto Njoto ketika itu, menurut dia, juga tak menggambarkan orang yang
camera face. Ternyata, setelah bertemu langsung dengan Njoto pada 1962 dalam
Konferensi Nasional Lekra di Bali, barulah Amarzan mengaguminya. "Ternyata
orangnya tahu banyak hal," katanya. "Dan lebih ganteng dari fotonya."
Tak hanya berpengetahuan luas, bagi Joesoef Isak, prestasi Njoto pun sangat
mengagumkan. Kepiawaiannya di bidang politik sudah tecermin sejak muda. Misalnya,
ketika masih berusia 16 tahun, Njoto sudah bergabung dengan Komite Nasional
Indonesia Pusat. Di usia itu pula dia didapuk menjadi Ketua Fraksi PKI di parlemen.
Padahal syarat menjadi ketua fraksi minimal berusia 18 tahun. "Dia itu jenius," ujar
pendiri penerbit Hasta Mitra itu.
Joesoef menyayangkan cerita tentang Njoto yang simpang-siur pasca-1965. "Jangan
gambarkan Njoto itu PKI yang keras kepala dan doktriner," ujar Joesoef. "Dia sangat
manusiawi sekali."
Joesoef mencontohkan, sebelum 1965, semua orang berebut kuota naik haji karena
ketika itu tak sembarang orang bisa berangkat ke Mekkah, walau punya uang. Teman
Joesoef, Tom Anwar, wartawan Bintang Timur, mengatakan ibunya yang berusia 60
tahun ingin naik haji tapi tak juga dapat. Tanpa sengaja Tom menyampaikan keluhkesahnya kepada Njoto. Njoto kemudian mengusahakan satu jatah untuk ibu Tom.
Berkat upaya Njoto, ibunda Tom bisa naik haji.
Hal senada juga dikatakan Amarzan. Menurut dia, Njoto seperti bukan orang PKI.
"Karena hidupnya borjuis," ujarnya. Sedangkan anggota PKI kebanyakan adalah
puritan, misalnya tidak minum Bir dan tidak pacaran. "Dia merepresentasikan PKI yang
sama sekali berbeda," katanya.
Pada saat tulisan Joesoef tentang Mozart mendapat pujian Njoto, Joesoef kemudian
berniat mengetes pengetahuan Njoto tentang musik. Ketika mereka bertemu dalam
sebuah resepsi di Kedutaan Ceko, Joesoef banyak bertanya kepada Njoto tentang
Mozart. "Dia menjelaskan kepada saya jauh dari pengetahuan saya," kata Joesoef
kagum. "Dia betul-betul mengerti soal musik."
Bukan saja mengetahui banyak hal tentang syair dan komponis, Njoto piawai pula
memainkan alat musik. Joesoef mengatakan, ketika mereka masuk ke sebuah toko
musik di Amsterdam, Belanda, ada penemuan baru berupa saksofon pada 1965. Njoto
kemudian meminjam ritme kepada seorang penjaga toko dan memainkan saksofon itu.
Di tempat yang sama, Njoto memainkan lagu keroncong dengan gitar listrik. "Penjaga
dan pengunjung toko terdiam melihat dia main," kata Joesoef.
162
Menurut Joesoef, Njoto orang yang suka humor. Misalnya, ketika mampir di sebuah toko
buku di Amsterdam, Njoto memilih membeli tiga buku lelucon miring yang setengah
porno. Kemudian dia membagikan buku itu, "Ini satu untuk Bung, satu untuk saya, dan
satu untuk Bung Karno."
Perbedaan sikap Njoto dengan anggota PKI lainnya diakui Jane. Sementara aktivis
partai yang lain sibuk rapat dan meninggalkan istri serta anaknya di rumah, Njoto malah
sering membawa istri dan anaknya ke mana-mana, misalnya ketika Njoto mengikuti
diskusi atau melihat latihan drama di pusat kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat di
Jalan Cidurian, Cikini, Jakarta Pusat. "Supaya setengah rekreasi," kata Jane menirukan
ucapan Njoto.
Setiap Ahad, Njoto sering mengajak keluarganya rekreasi ke Puncak, Jawa Barat.
"Sepulang dari jalan-jalan, dia bawa oleh-oleh sayur-sayuran," kata Jane mengenang.
Saking seringnya berekreasi, menurut dia, Njoto dijuluki Orang Kaya Baru. "Tapi apakah
orang PKI tidak boleh jalan-jalan ke Puncak?" Jane balik bertanya.
Jasa Njoto juga sangat terasa bagi suami Jane, Oey Hay Djoen. "Aku dipungut lagi oleh
Njoto," kata Oey dalam video essay Mengenang Oey Hay Djoen, Juli 2008. Pada saat
itu Oey kehilangan arah karena ditinggalkan teman-temannya lantaran baru dibebaskan
dari penjara Lowok Waru, Malang, 1947. Dia ditahan Belanda karena dianggap
ekstremis. "Njotolah yang membesarkan Oey," kata Jane. Njoto mengajak Oey menjadi
pengurus Lekra dan anggota parlemen. "Njoto memberikan tempat bagi Oey untuk
berkarya," ujar Jane.
Selain piawai di bidang politik, seni, dan olahraga, Njoto paham betul soal makanan. Tak
hanya rasa, dia tahu di mana dan kapan tepatnya menyantap makanan tertentu. Njoto
sering mengajak teman-temannya makan ayam goreng di Jalan Blora, bubur ayam di
Senen, nasi gulai kambing di Jalan Gondangdia Lama, dan bakmi di Jalan Krekot,
Jakarta Pusat. Adapun tempat makan yang dipilih Njoto untuk tamu resmi, yakni
Restoran Red Table di kawasan Glodok, Jakarta Barat.
Pernah satu kali Amarzan makan bersama Njoto di sebuah restoran di Jalan Pintu Besi,
Jakarta Pusat. Di situ, mereka memesan menu merpati goreng. Sambil menunggu
pesanan, Njoto menjawil Amarzan dan mengatakan bahwa makan merpati itu paling
enak di Shanghai. "Saya tidak tahu, saya tidak pernah ke Shanghai," jawab Amarzan.
Mendengar itu, dengan enteng Njoto berkata, "Kalau begitu, besok kau pergi ke
Shanghai." Adapun menu sup burung merpati, menurut Njoto, tidak cocok disantap pada
siang hari. "Sup itu cocok untuk makan malam, sebelum hidangan pokok," kata Njoto.
163
Sjam Kamaruzaman, Anak Tuban dalam Halimun G30S
Ia datang bagai hantu: tiba-tiba, tak tentu asal. Sjam Kamaruzaman: tak banyak orang
mengenal nama itu. Dua tahun setelah aksi berdarah Gerakan 30 September, ia baru
muncul di depan publik. Ketika itu, Juli 1967, ia menjadi saksi dalam pengadilan
Sudisman, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia.
Sebelumnya ia hanya bayang dalam halimun: keberadaannya setengah dipercaya,
setengah tidak. Biro Chusus, badan rahasia PKI yang dipimpinnya, semula diduga
hanya khayalan tentara untuk memudahkan Soeharto memusnahkan partai komunis itu.
Tapi Sjam malah membenarkan semua tudingan. Ia mengaku memimpin Biro Chusus
dan merencanakan aksi rahasia G30S. Ia menyatakan berniat menculik bekas wakil
presiden Mohammad Hatta dan Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh, selain tujuh
jenderal, pada subuh berdarah itu.
Sebagai orang yang bertugas mempengaruhi anggota tentara agar mendukung PKI, ia
punya akses ke lembaga-lembaga militer. Di dalam penjara, sementara tahanan politik
lain bergidik setiap kali sesi pemeriksaan datang, Sjam menghadapinya dengan
senyuman.
Hubungannya dengan aparat militer memang bagai "teman lama". Seorang putranya
mengenang bagaimana di penjara, Sjam menempati sel yang besar serta diizinkan
memiliki uang satu tas penuh untuk memenuhi segala kebutuhan.
Ia seperti intel dalam film Hollywood. Anak-anaknya hanya mengenal sang bapak
sebagai pengusaha, pemilik perusahaan genting, bengkel, dan batu kapur. Istrinya,
aktivis buruh di Pelabuhan Tanjung Priok dan pengurus Barisan Tani Indonesia,
organisasi sayap PKI, dimintanya berhenti agar menyempurnakan penyamaran.
Siapakah Sjam, lelaki dengan lima nama alias itu? Siapakah anak Tuban, Jawa Timur,
yang ateis tapi dikenal pandai membaca Al-Quran itu? Adakah ia agen ganda atau
sekadar penganut setia Ketua PKI D.N. Aidit?
Tragedi G30S adalah misteri yang tabirnya tak pernah sempurna terungkap. Sjam
Kamaruzaman adalah mozaik penting dalam prahara yang dipercaya telah membunuh
setidaknya dua juta orang itu.
164
Lelaki dengan Lima Alias
PANGKALAN Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis, 30 September 1965,
tengah malam. Tiga jam lagi, operasi penculikan tujuh jenderal TNI Angkatan Darat
akan dimulai. Ketegangan menggantung di udara. Beberapa lelaki tampak bergegas
masuk gedung Pemetaan Nasional, Divisi Pengamat Udara TNI Angkatan Udara, tak
jauh dari sudut barat laut Halim.
Lima pemimpin operasi penculikan menggelar rapat persiapan terakhir. Sjam
Kamaruzaman (Ketua Biro Chusus Partai Komunis Indonesia), Supono Marsudidjojo
(Asisten Sjam di Biro Chusus), Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya),
Letkol Untung (Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa), dan
Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim) duduk
mengitari meja rapat. Wajah mereka letih. Seharusnya operasi penculikan sudah
bergerak pukul 11 malam. Rencana terpaksa diubah karena tim inti terlambat
berkumpul.
Sjam membuka rapat. Duduknya sembarangan, satu kakinya diangkat. Di bibirnya,
sebatang rokok terselip, mengepulkan asap. Saat itu, laporan dari pasukan-pasukan di
daerah sudah masuk. Banyak yang belum siap bergerak ke Jakarta. Ketegangan makin
memuncak.
Tak jauh dari sana, di Lubang Buaya, pasukan G30S sudah bersiaga. Namun, rantai
komando tujuh regu penculik belum disepakati. Pembagian sasaran juga kacau. Dua tim
penculik yang sebagian besar beranggotakan Pemuda Rakyat-organisasi pemuda
sayap PKI-yang baru belajar menembak, malah diserahi tugas mengambil target kakap:
Menteri Pertahanan Jenderal Abdul Haris Nasution dan Panglima TNI Angkatan Darat
Letnan Jenderal Ahmad Yani. Target ditukar lagi dengan tergesa-gesa.
Brigadir Jenderal Supardjo, Panglima Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga
yang tiga hari sebelumnya baru tiba dari Kalimantan untuk bergabung dengan tim
pemimpin, malam itu masygul melihat buruknya persiapan. Apalagi, "Ternyata, setelah
diteliti, kekuatan positif di pihak kita hanya satu kompi Cakrabirawa."
Keraguan mulai menjalar. Melihat tanda tanya di mata para peserta rapat, Sjam
menghardik keras, "Ya, Bung. Kalau mau revolusi, banyak yang mundur. Tapi kalau
sudah menang, banyak yang mau ikut." Sjam berkeras, kekurangan apa pun tak bisa
membatalkan rencana. "Apa boleh buat. Kita tidak bisa mundur lagi," katanya pendek.
Rapat ditutup. Pukul 03.15, tim penculik bergerak.
lll
Inisiatif operasi penculikan dini hari itu datang dari Ketua Umum Comite Central PKI,
Dipa Nusantara Aidit. Pada awal Agustus 1965, sepulang dari kunjungannya ke Cina,
Aidit menghubungi tangan kanannya, Sjam Kamaruzaman.
Dari penuturan Sjam, terkesan Aidit galau. Dia mengaku pulang mendadak ke Indonesia
setelah mendengar Soekarno jatuh sakit. "Kalau sakitnya terulang, Presiden bisa
165
meninggal dunia," katanya. Aidit khawatir kematian Soekarno dimanfaatkan pimpinan
TNI Angkatan Darat untuk merebut Istana dan menyingkirkan PKI.
"PKI sekarang harus memilih: didahului atau mendahului," kata Aidit. Dan malam itu,
sang ketua tampaknya sudah memutuskan. Sjam diminta segera memeriksa barisan
Biro Chusus, dan membuat konsep "untuk mengadakan suatu gerakan yang bersifat
terbatas".
Sjam bergerak cepat. Dua hari setelah bertemu dengan Aidit, dia mengumpulkan dua
asistennya, Pono dan Bono, di rumahnya di Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Tiga
perwira menengah TNI menjadi kandidat utama pelaksana "operasi terbatas" Aidit.
Mereka adalah Kolonel Abdul Latief, Letkol Untung, dan Mayor Soejono.
"Ketiganya anggota PKI," kata Sjam memastikan. Pernyataan ini ada di berita acara
pemeriksaan Sjam oleh Polisi Militer. "Karena ini tugas partai, tenaga pelaksana
pokoknya harus berasal dari anggota partai," katanya lagi.
Sjam juga mengirim telegram ke semua jaringan Biro Chusus di daerah. Begitu rencana
aksi terbatas sukses, mereka harus menguasai jawatan penting di daerah, dan
mengajak pejabat setempat mendukung Dewan Revolusi. Dengan cara itu diharapkan
sebuah aksi "kecil" di Jakarta bisa memicu gerakan massa yang meluas di seluruh
Nusantara.
Rapat persiapan dilakukan sampai sepuluh kali. Lokasinya berganti-ganti: rumah Sjam,
Kolonel Latief, atau kediaman Kapten Wahyudi. Sasaran operasi terbatas PKI baru
ditentukan pada 26 September 1965. Tim pelaksana menentukan ada 10 tokoh
antikomunis yang harus "diamankan". Selain tujuh nama jenderal TNI Angkatan Darat
yang sudah umum diketahui, Sjam mengusulkan penculikan mantan Wakil Presiden
Mohammad Hatta, Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh, dan Jenderal Soekendro.
Aidit yang mencoret tiga nama terakhir.
lll
Sehari-hari, di mata keluarganya, Sjam jauh dari kesan misterius. Dia cepat akrab
dengan orang. Pembawaannya tenang. "Tapi, kalau sudah bicara, bisa terus saja tanpa
berhenti," kata putra sulung Sjam, Maksum-bukan nama sebenarnya. Pada saat G30S
terjadi, Sjam berusia 41 tahun.
Empat dari lima anak Sjam yang ditemui Tempo punya kenangan yang sama tentang
ayah mereka. "Kami amat dekat satu sama lain," kata Maksum, kini 54 tahun. Dia ingat,
sering diajak ayahnya menonton pertandingan sepak bola. "Kami sekeluarga juga sering
bertamasya melihat matahari tenggelam di Pantai Sampur, dekat Cilincing, Jakarta
Utara," kata Maksum.
Di rumah, Sjam ringan tangan. "Setiap pagi, Bapak sibuk memperbaiki ini dan itu di
rumah, entah pompa air, entah apa lagi," tutur Maksum, yang sempat bersekolah di
sebuah pesantren di Jawa Timur. Setelah semua beres, Sjam biasanya duduk santai
sambil merokok. Merek rokok favoritnya Commodore.
166
Kepada anak-anaknya, Sjam mengaku menjadi pengusaha. "Kami tidak tahu dia orang
partai," kata Kelana-bukan nama sebenarnya-anak kedua Sjam, kini 47 tahun. Dia
sempat bingung ketika diajak ayahnya bertandang ke rumah Pono, asisten Sjam di Biro
Chusus PKI. "Di sana, anak-anak Pono memanggil Bapak 'Oom Djimin'. Saya heran,
kok Bapak dipanggil Djimin," katanya. Namun rasa heran itu dia simpan dalam hati.
Polisi Militer mencatat setidaknya ada lima nama alias Sjam: Djimin, Sjamsudin, Ali
Mochtar, Ali Sastra, dan Karman. Ketika menulis surat perpisahan untuk adiknya,
Latifah, setahun sebelum dieksekusi pada 1986, Sjam menandatangani surat itu dengan
nama Rusman.
Pada saat PKI merayakan hari jadinya secara besar-besaran di Istora Senayan, Mei
1965, Sjam hanya menonton parade partai yang dicintainya dari kejauhan. "Bapak bawa
teropong sendiri untuk melihat Bung Karno berpidato," kata Maksum mengenang.
Keluarga Sjam berasal dari Tuban, Jawa Timur. Ayahnya seorang khatib di dinas
jawatan agama setempat. Dia anak kedua dari delapan bersaudara. Sejak muda, Sjam
sudah bersimpati pada gerakan kiri, bergaul rapat dengan kelompok pemuda Pathuk
yang rata-rata beraliran sosialis di Yogyakarta, serta aktif dalam perang melawan
Belanda dan Jepang.
Hubungan Aidit dan Sjam punya sejarah panjang. Keduanya sudah saling kenal sejak
1949, tatkala Sjam aktif di Serikat Buruh Kapal Pelabuhan di Tanjung Priok, Jakarta.
Keluarga keduanya juga dekat. Maksum ingat keluarga mereka pernah berlibur bareng
di rumah peristirahatan Aidit di Cisarua, Jawa Barat. "Waktu itu Pak Abdullah, ayah Aidit,
juga ikut," katanya ketika berkunjung ke kantor Tempo, akhir Oktober lalu.
Meninggalnya istri Sjam, Enok Jutianah, pada 1963 akibat tifus berkepanjangan,
membuat Aidit makin percaya pada loyalitas Sjam. Enok, perempuan Sunda aktivis
buruh di Pelabuhan Tanjung Priok dan pengurus Barisan Tani Indonesia, meninggalkan
semua kegiatannya untuk menunjang penyamaran Sjam sebagai intel PKI.
"Dia tidak puas, 'Masak saya jadi aktivis revolusioner kok begini? Di rumah saja. Tidak
boleh ini, tidak boleh itu. Menulis saja tidak boleh.' Makanya dia berontak, sampai
meninggal karena sakit," kata seorang petinggi PKI menjelaskan kepada Enok.
Keterangan ini dikutip John Roosa, sejarawan Universitas British Colombia, Kanada,
dalam buku Dalih Pembunuhan Massal. Menurut Maksum, ibunya sempat diam-diam
menulis laporan perjalanan wisata di majalah wanita, tapi dengan nama samaran.
Karena itulah, Aidit amat percaya pada Sjam. Namun dia tidak tahu, laporan Sjam kerap
tidak akurat. Para perwira siap melaksanakan rencana, karena mengira Aidit
menghendaki rencana itu berlanjut. Adapun Aidit berketetapan meneruskan rencana
karena mengira para perwira telah siap. Dengan tidak terbuka pada kedua pihak, Sjam
sang perantara memindahkan nasib G30S ke tangannya sendiri. Dia menahbiskan
dirinya menjadi tokoh pusat gerakan itu.
lll
167
LUBANG Buaya, 1 Oktober 1965, pukul 05.30. Tim penculik Pasopati kembali ke
markas dengan kabar buruk. Tiga jenderal tewas tertembak, termasuk sasaran utama,
Ahmad Yani. Target kakap lainnya, Nasution, lolos. "Kami semua terdiam," kata Sjam.
Semula Aidit bermaksud membawa para jenderal ke hadapan Presiden Soekarno hiduphidup dan meminta mereka membatalkan rencana kup Dewan Jenderal. Sekarang,
rencana itu gagal.
Sejak itu, seperti rumah kartu, operasi Biro Chusus PKI perlahan-lahan runtuh. Satu
batalion Pasukan Gerak Cepat TNI Angkatan Udara, yang direncanakan datang, tak
pernah muncul. Pasukan tank dan panser yang diharapkan datang dari Bandung pun
tak pernah ada.
Di tengah serangan balik kubu TNI, pukulan terakhir datang dari Presiden Soekarno.
Kepada Brigjen Supardjo yang menemuinya di Halim, Jumat siang 1 Oktober, Bung
Besar itu memberikan perintah tegas, "Jangan lanjutkan pertumpahan darah." Moral
mereka langsung jatuh.
Tepat pukul 7 malam, suara bariton Panglima Kostrad Mayjen Soeharto mengudara.
"Gerakan 30 September adalah kontrarevolusioner," katanya. Ketika itulah Sjam sadar,
mereka sudah kalah.
Pada 2 Oktober pukul 1 siang, sehari setelah operasi dipastikan gagal, Sjam
meninggalkan Halim dan pulang ke rumahnya di Jalan Pramuka Jati, Jakarta Pusat.
Sepekan kemudian, tanpa pamit kepada anak-anaknya, dia lari ke Bandung.
Dibutuhkan satu setengah tahun bagi tentara untuk menemukan Sjam kembali. Pada 9
Maret 1967, ketika bersembunyi di Cimahi, Jawa Barat, di rumah Letnan Dua
Suparman, tentara yang bersimpati pada PKI, ia ditangkap. Setelah itu, aparat
menguras informasi dari Sjam tentang G30S dan Partai Komunis Indonesia. Sjam, yang
semula mengesankan dirinya pejuang komunisme yang kukuh, di penjara menjadi
"lunglai". Ia dimusuhi bahkan oleh tahanan politik PKI sendiri karena dinilai terlalu
mudah "bernyanyi" kepada penyidik. Sembilan belas tahun dipelihara sebagai
"pembocor", riwayat Sjam tamat di ujung bedil. September 1986, ia dieksekusi mati.
168
Nyanyian God Father Blok III
PETUGAS Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat, itu tiba-tiba mencabut
televisi hitam-putih. Benda hiburan penting para tahanan tersebut diangkut. Mereka juga
memelontosi penghuni sel. Semua gara-gara para pendatang baru: rombongan
mahasiswa yang dijebloskan setelah peristiwa kerusuhan 15 Januari 1974 atau dikenal
dengan Peristiwa Malari.
Mahasiswa-mahasiswa itu dinyatakan bersalah karena mengalahkan para sipir penjara
dalam pertandingan badminton. Pada pertengahan 1970-an itu, tahanan politik Partai
Komunis Indonesia penghuni tahanan biasa mengalah kepada sipir. "Para penjaga
marah. Tahanan PKI menyalahkan kami," tutur Yopie Lasut, tahanan Malari yang bebas
akhir 1975.
Di tengah ketegangan, menurut Yopie, seorang pria datang melerai. "Ini bagus buat
menyadarkan kita bahwa kita ada di Rumah Tahanan Militer, bukan di surga. Masak
cuma soal TV, kita harus memusuhi mahasiswa." Yopie mengenal pria itu adalah Sjam
Kamaruzaman, tokoh PKI yang menghuni rumah tahanan sejak 1967.
Yopie menghuni blok III tahanan, bersama dua rekannya, Salim Hutajulu dan John
Pangemanan. Ada 30-an tahanan di blok itu, termasuk Sjam dan Soejono Pradigdo,
Ketua Komite Daerah Besar Jakarta Raya. Soejono adalah teman sekamar dan
"asisten" Sjam. Aktivis Malari, Marsillam Simandjuntak, Hariman Siregar, Syahrir, dan
Rahman Tolleng, menghuni blok lain.
Salim melihat Sjam mirip "god father" dan "penguasa yang disegani bahkan ditakuti para
tahanan". Tahanan sipil ataupun militer, ia mengatakan, sering kali minta nasihat dan
perlindungan kepada Sjam. Forum "konsultasi" itu biasanya digelar saat bermain gaple
di kamar Sjam.
Sjam juga diperlakukan istimewa. Meski ditahan, dia bisa keluyuran keluar-masuk sel.
Berbeda dengan tahanan lain yang ketakutan kalau dipanggil petugas, Sjam justru
santai dan bisa senyum-senyum. "Yang lain takut karena kalau dipanggil, pasti disiksa,"
kata Salim.
Menurut cerita Oei Tjoe Tat dalam memoarnya, Sjam terkadang "dilepas" berkeliaran di
halaman tahanan untuk mengenali para tahanan yang lain. Siapa tahu mereka salah
satu dari tentara "binaan"-nya. Tak mengherankan jika tahanan lain tidak tenteram
karena nasib mereka bisa ditentukan oleh "nyanyian" Sjam.
Salim menguatkan cerita itu. Mungkin karena takutnya, "Semua datang, kulo nuwun.
Kalau Sjam nyebut-nyebut (nama), orang kan jadi susah." Ia juga mengenang, Sjam
punya hobi bercocok tanam. Bersama beberapa temannya, ia menyulap halaman rumah
tahanan menjadi kebun sayur dan pepaya.
Menurut Salim, di antara tahanan Rumah Tahanan Militer Budi Utomo dikenal adanya
orang-orang yang "dipelihara" jaksa. Mereka diminta mencari informasi tahanan lainnya.
Bahkan ada orang PKI diberi fasili-tas untuk menjadi informan. Orang-orang itu ikut
169
menginterogasi teman-teman mereka. "Mungkin Sjam juga dipakai. Tapi saya yakin dia
pintar mengambil manfaat untuk kepentingan sendiri," kata Salim.
Pada 1982 Rumah Tahanan Militer Budi Utomo dibongkar. Sjam dipindahkan ke penjara
Cipinang, Jakarta Timur. Ia pun dijauhi tahanan lain, terutama tahanan politik "non-Biro
Chusus". Mereka menganggap Sjam terlalu banyak membocorkan adanya perwiraperwira di dalam militer, kata Hamim, anggota Biro Chusus, kepada Tempo. Sjam hanya
bisa akrab dengan sesama eks Biro Chusus, seperti Hamim, Pono, dan Bono. Ada pula
kawan lamanya di Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, Munir.
Kolonel Sugondo, perwira Team Pemeriksa Pusat interogator Sjam-dalam
wawancaranya dengan wartawan senior Atmadji Sumarkidjo, mengakui adanya
perlakuan khusus itu. Sjam adalah kunci yang membuka misteri Biro Chusus-sesuatu
yang menghubungkan organ resmi PKI dengan Untung, Komandan Pasukan
Cakrabirawa yang berperan penting pada Gerakan 30 September.
Sjam juga "menggigit" sejumlah tentara binaan Biro Chusus. Misalnya, ia menyebut
nama Sumbodo di Jawa Timur; Herman, Diro, Usman di Jawa Tengah; Saplin dan Gani
di Jawa Barat; serta Suganda dan Sidik di Jakarta. "Tentang pangkat orang-orang
tersebut, saya tidak ingat lagi," kata Sjam dalam berita acara pemeriksaan.
Nama Sidik belakangan diketahui sebagai Kolonel Muhammad Sidik Kardi, seorang
penuntut untuk Mahkamah Militer Luar Biasa. Ia ditangkap beberapa pekan kemudian,
pada Agustus 1967, setelah kesaksian Sjam. Sidik dipenjara 12 tahun.
Menurut Sugondo, pendekatan khusus kepada Sjam dilakukan secara intensif. Ia
diperlakukan dengan baik. Soalnya, selama pemeriksaan awal sejak tertangkap pada
Maret 1967, Sjam melakukan aksi tutup mulut. Kebiasaan interogator memeriksa
dengan kekerasan tidak mempan membuka mulutnya.
Menurut Maksum, anak pertama Sjam yang nama aslinya tak ingin disebutkan, ayahnya
punya ilmu kebal. "Saat ditangkap dan diinterogasi, Kopassus memaksa Bapak
mengaku dengan kekerasan fisik. Malah mereka mental. Sejak itu, tidak ada lagi yang
mencobanya," katanya.
Sugondo berhasil mendapat banyak informasi dari Sjam dengan pendekatan personal.
Ia datang tidak sebagai interogator. Obrolan santai juga sering dilakukan di kantor
Sugondo. Setiap hari Sjam hanya diajak ngobrol, berdiskusi tentang berbagai hal,
ditemani kopi dan roti atau pisang goreng.
Sjam pada awalnya jaga jarak, hanya bicara terbatas. Dalam obrolan santai itu,
Sugondo membiarkan Sjam bicara dan menyampaikan pikirannya tanpa diinterupsi.
Sugondo juga tidak pernah mencatat agar Sjam tidak mengerem omongan. Ia
mengandalkan ingatan. Setelah sampai di rumah, barulah Sugondo menuliskan semua
yang diperoleh dari Sjam.
Hasil laporan Sugondo digunakan Tim Pemeriksa Pusat sebagai data intelijen. Data ini
dilaporkan kepada Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto sekaligus
disusun menjadi berita acara pemeriksaan untuk penuntutan di Mahkamah Militer Luar
Biasa. Nyanyian Sjam menyapu habis PKI.
170
Intel 'Penggarap' Tentara
SEPUCUK surat kawat tiba di meja Brigadir Jenderal Supardjo. Akhir September 1965,
Panglima Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga ini berada di Kalimantan Barat,
dekat perbatasan Indonesia-Malaysia. Konfrontasi kedua negara memang sedang
panas-panasnya. Isi surat: meminta Supardjo segera pulang. Sang pengirim: istri
tercinta di Jakarta.
Adalah Ketua Biro Chusus Partai Komunis Indonesia, Sjam Kamaruzaman, yang
meminta Supardjo pulang. Pekan ketiga September 1965, istri Supardjo berkunjung ke
rumah Sjam. "Kesempatan ini saya pergunakan (untuk meminta) dia mengirim kawat ke
Supardjo," kata Sjam kepada Tim Pemeriksa Pusat, Agustus 1967.
Setiba di Jakarta, dua malam sebelum pecah G30S, Supardjo langsung ke rumah Sjam.
Saat itulah, kata Sjam, Supardjo ia beri tahu rencana gerakan. Sjam meminta Supardjo
pada 30 September malam datang ke rumahnya.
Belakangan, ada yang menyebut Supardjo adalah jenderal pemimpin gerakan itu.
Memang, masih ada debat soal peran Supardjo ini. Tapi kedekatan Sjam dan Supardjo
sudah menjadi rahasia umum. Supardjo adalah contoh sukses reputasi Sjam dalam
mempengaruhi militer.
Menurut Suryoputro, nama samaran, 81 tahun, kedekatan Sjam dengan militer telah
dimulai ketika Sjam menjadi anggota Kelompok Pathuk pada masa revolusi. Pathuk
adalah kumpulan diskusi anak muda yang dipimpin Djohan Sjahroezah dan Dayino,
aktivis Partai Sosialis Indonesia, di kampung Pathuk, Yogyakarta. Teman-teman Pathuk
yang masuk tentara inilah yang kemudian dijadikan Sjam sebagai bagian dari jaringan
rahasianya.
A.M. Hanafi-Duta Besar Indonesia di Kuba pada 1965-dalam bukunya AM Hanafi
Menggugat bercerita bahwa ia mengenal Sjam sejak 1946 di Yogyakarta. Hanafi
mengenal persis Kelompok Pathuk. Kelompok inilah yang mendorong Sultan Hamengku
Buwono IX mengajak tentara di bawah Soeharto berdiplomasi dengan Jepang agar
menyerahkan senjata, setelah kalah digempur Sekutu. Di antara pemuda itu terseliplah
Sjamsul Qomar Mubaidah atau Sjam. "Soeharto mengenal Sjam sejak awal
kemerdekaan," katanya.
Anggota tim Mahkamah Militer Luar Biasa, Subono Mantovani, dalam AM Hanafi
Menggugat, mengaku pernah melihat foto Sjam ketika masih di Yogyakarta. Sjam, kata
Subono, adalah intel di Resimen 22 Brigade 10 Divisi Diponegoro berpangkat letnan
satu. Subono saat itu juga berpangkat letnan satu dan bersama Sjam dan Soeharto ikut
dalam Kelompok Pathuk. Sekitar 1949, Sjam berkenalan dengan Aidit, yang kemudian
mengajaknya masuk Pemuda Tani-organisasi yang berafiliasi pada Barisan Tani
Indonesia, organisasi sayap PKI.
lll
171
DALAM berita acara pemeriksaan Agustus 1967, Sjam mengatakan Biro Chusus PKI
dibentuk akhir 1964. Partai, kata Sjam, melihat sejak 1950 banyak tentara masuk PKI.
Mereka umumnya diorganisasi oleh komite partai di daerah, tapi perannya tak maksimal.
Sjam lalu mendapat tugas dari Ketua Comite Central PKI, D.N. Aidit, untuk mempelajari
dan mengorganisasi secara tepat para tentara itu. Ia bersama Pono dan Bono, dua
orang inti Biro Chusus lain, kemudian "menggarap" tentara. Kehebatan ketiganya dalam
"menembus" militer ditandai dengan peran mereka sebagai intel tentara. Posisi ini
membuat mereka leluasa keluar-masuk markas militer. "Mereka punya kontak jenderal,
kolonel, kapten, hingga prajurit di lapis bawah," kata Hasan, nama samaran, seorang
sumber John Roosa, penulis buku Dalih Pembunuhan Massal.
Hubungan antara Sjam dan militer ini saling menguntungkan. Relasi Sjam dan Supardjo
bisa dijadikan contoh. Supardjo misalnya pernah menjadi komandan tentara untuk
daerah Garut, Jawa Barat, dalam memberantas Darul Islam. Supardjo dengan bantuan
kader-kader PKI militan menggunakan taktik pagar betis pada awal 1960-an untuk
memadamkan pemberontakan ini. Sjam bertugas memasok informasi seputar Darul
Islam dan jaringannya.
Supardjo, yang sukses menghancurkan Darul Islam, mendapat dukungan Sjam, melalui
koneksi militernya, untuk naik pangkat. Setelah penghancuran Darul Islam, Supardjo
diangkat menjadi Panglima Pasukan Gabungan di sepanjang perbatasan IndonesiaMalaysia di Kalimantan. Pangkatnya naik dari kolonel menjadi brigadir jenderal.
"Supardjo merasa berutang budi kepada Sjam," kata Hasan. Dalam persidangannya
pasca-G30S, Supardjo membenarkan kedekatannya dengan Sjam. Ia misalnya
menggunakan Sjam sebagai sumber intelijen. Di mata Supardjo, Sjam orang yang
punya banyak koneksi dan informasi tentang politik dan militer.
Menurut Sjam dalam kesaksiannya kepada penyidik, pemimpin Biro Chusus berusaha
membantu kenaikan pangkat anggota-anggotanya. Kolonel Latief, misalnya, yang
semula bertugas di Jawa Tengah, bisa dipindahkan ke Kodam Jaya karena bantuan
seorang perwira yang memiliki kontak dengan Biro Chusus. Sjam menyatakan tidak
kenal perwira ini. Tapi perwira tadi berkolaborasi dengan Kolonel Pranoto, yang bekerja
di bagian personalia Staf Umum Angkatan Darat.
Latief, seperti juga letnan Kolonel Untung dan Mayor Sujono, adalah "binaan" Pono.
Latief digarap sejak menjadi Komandan Brigade Infanteri Angkatan Darat Kodam V
Jakarta Raya, Untung sejak bertugas di Cakrabirawa, dan Sujono sejak 1963. Kapten
Wahyudi dan Mayor Agus Sigit dididik Pono sejak 1963. Latief, Untung, dan Sujono
adalah tentara yang sudah menjadi anggota PKI. "Yang lain belum saya pastikan, tapi
yang jelas mereka simpatisan partai," kata Sjam.
Kepada penyidik, Sjam mengaku memiliki banyak pengikut di tubuh militer. Sebelum
G30S, Sjam telah merekrut dua peleton Brigade 1 Kodam Jaya, satu kompi Batalion 1
Cakrabirawa, lima kompi Batalion 454 Diponegoro Jawa Tengah, lima kompi Batalion
530 Brawijaya Jawa Timur, dan satu batalion Angkatan Udara. Tapi, karena tak
dirancang dengan saksama, pengikut itu tak berdaya di hari puncak aksi G30S.
172
Agen Merah Penyusup Tentara
DESEMBER 1964, Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh bertikai hebat dengan
Menteri Negara Dipa Nusantara Aidit dalam sebuah rapat kabinet. Chairul, tokoh Partai
Murba yang antikomunis, menyodorkan segepok dokumen dan menuding Ketua Partai
Komunis Indonesia diam-diam merencanakan kudeta. Aidit membantah.
Bisa terjadi baku pukul andai Presiden Soekarno tak melerai. "Semua yang dibicarakan
di sini tak boleh sampai keluar," kata Soekarno, keras. Sebuah tim investigasi militer lalu
diberi mandat memeriksa kesahihan tudingan Chairul. Hasilnya: Partai Komunis
Indonesia dinyatakan bersih dan Chairul harus meminta maaf kepada Aidit.
Tak banyak yang tahu bahwa lolosnya Aidit dari tudingan Chairul menjelang peralihan
kekuasaan 1965 itu berkat campur tangan sebuah lembaga klandestin bentukan PKI:
Biro Chusus.
Cikal-bakal Biro Chusus adalah badan militer dari Departemen Organisasi PKI. John
Roosa, sejarawan dari Universitas British Colombia, Kanada, menjelaskan bahwa sayap
militer partai ini sudah berfungsi sejak 1950-an. "Bagian militer ini tumbuh secara
alamiah," katanya.
Menurut Roosa, pada tahun-tahun pertama Republik, banyak pemuda anggota laskar
pejuang yang diterima menjadi tentara reguler. Beberapa di antara mereka bersimpati
pada gerakan kiri.
"Ketika perang berakhir, PKI tidak mau kehilangan kontak dengan para simpatisan ini,"
kata Roosa, mengutip sumbernya, seorang tokoh sentral PKI 1960-an. Untuk menjaga
jaringan partai di militer itulah Aidit lalu membentuk badan khusus ini. Pemimpin
pertamanya adalah Karto alias Hadi Bengkring, anggota senior PKI.
"Biro Chusus bertugas mengurusi, memelihara, dan merekrut anggota partai di tubuh
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia secara ilegal," kata Iskandar Subekti, panitera
Politbiro PKI, dalam catatannya atas peristiwa 30 September 1965.
Pada masa itu, apa yang dilakukan PKI bukanlah sesuatu yang aneh. Sejumlah partai
lain juga punya organ khusus untuk memelihara kontak mereka dengan tentara. Partai
Sosialis Indonesia salah satunya. "Militer Indonesia pascakemerdekaan memang penuh
dengan klik berdasarkan kecenderungan politik masing-masing," kata Roosa.
Pada 1964, setelah kematian Karto, D.N. Aidit menunjuk sahabatnya, Sjam
Kamaruzaman, menjadi kepala unit ini. Sejak itulah sejumlah perubahan besar terjadi.
Penetrasi PKI ke dalam tubuh militer dilakukan secara lebih sistematis. Kerahasiaan unit
ini pun dijaga makin ketat.
Lembaga eksekutif PKI, Politbiro, dan Comite Central dibiarkan tak mendapat informasi
apa pun soal gerakan bawah tanah ini. Kendali hanya ada di tangan Ketua PKI. Karena
itulah Aidit bisa leluasa meminta bantuan perwira merah di TNI ketika dia dituding akan
mengkudeta Soekarno.
173
Biro Chusus terdiri atas lima orang agen inti di tingkat pusat dan tiga anggota di setiap
daerah. Di bawah Sjam sebagai ketua, ada Pono dan Bono-dua intel Biro Chusus
didikan Hadi Bengkring. Dua anggota staf lain adalah Suwandi (bendahara) dan Hamim
(pendidikan). Wandi dan Hamim tidak ikut menyusup ke dalam tentara. Untuk
memudahkan mereka masuk ke kompleks tentara, Sjam, Pono, dan Bono punya kartu
anggota militer dengan jabatan agen intelijen TNI.
"Jadi, kalau masuk kompleks militer, mereka tinggal bilang bahwa mereka itu adalah
intelnya si ini atau si anu," kata John Roosa, merujuk pada kesaksian mantan pemimpin
elite PKI. Karena punya kartu anggota TNI itulah para agen merah ini sering dikira agen
ganda.
Sebagai kedok untuk kerja intelijen, sehari-hari Sjam mengaku saudagar pabrik genting
PT Suseno di Jalan Pintu Air, kawasan Pasar Baru. Bono mengelola bengkel PT
Dinamo di Jalan Kebon Jeruk-dekat Harmoni, Jakarta Pusat. Pono punya restoran, dan
Hamim mengelola satu perusahaan bus.
Biro Chusus juga mengelola usaha kontraktor dan CV Serba Guna, makelar jual-beli
rumah di Gang Sentiong, Kramat, Jakarta Pusat. Dana dari perusahaan-perusahaan ini
dipakai untuk menunjang operasi Biro Chusus.
Karena itulah para tetangga lima agen ini tidak pernah menduga Sjam dan empat
anggota stafnya adalah mata-mata PKI. Saban hari, setiap pukul enam pagi, seperti
orang kantoran lain, mereka rutin berangkat ke kantor naik mobil pribadi. Anak-anak
Sjam sendiri mengira ayahnya hanya pengusaha biasa.
Penyamaran sempurna agen-agen Biro Chusus ini baru terbongkar ketika Soejono
Pradigdo, salah satu anggota Politbiro PKI yang tertangkap paling awal, membocorkan
keberadaan Biro pada Desember 1966. Sjam dicokok lima bulan kemudian, dan mulai
bercerita lebih detail soal unit rahasia ini.
174
Hamim: Sjam Suka Omong Besar
DIA punya satu nama asli dan tiga nama samaran. Tapi ia hanya ingin dipanggil Hamimsalah satu nama aliasnya. "Supaya enggak ketahuan," katanya. Soal pentingnya punya
nama palsu, ia beralasan agar hidupnya aman. "Ketika belajar di sekolah partai di
Tiongkok, saya diwajibkan memakai nama alias," katanya. Hamim sendiri ia ambil dari
nama seorang teman di Tasikmalaya, Jawa Barat. "Sudah meninggal, saya gunakan
saja nama itu, tanpa maksud apa-apa," katanya.
Hamim, kini 83 tahun, adalah tokoh penting dalam sejarah Gerakan 30 September. Ia
adalah satu-satunya anggota Biro Chusus Partai Komunis Indonesia yang tersisa. Biro
adalah badan rahasia yang dibentuk Ketua PKI D.N. Aidit untuk mempersiapkan aksi
berdarah itu. Empat pengurus Biro Chusus lainnya-Sjam Kamaruzaman, Pono, Bono,
dan Suwandi-sudah tak ada. Tiga yang pertama dieksekusi aparat pada 1986,
sedangkan Suwandi meninggal lebih dulu. Hamim pun divonis mati, tapi bersama
sejumlah tahanan politik bebas ketika Soeharto jatuh.
Nama Hamim berkali-kali disebut Sjam ketika diperiksa aparat pada 1967. Ia ikut dalam
rapat-rapat rahasia Biro Chusus menjelang 30 September. Ketika aksi itu disikat tentara
pada Oktober 1965, Hamim bertahan di Jakarta, sedangkan Sjam lari ke Jawa Barat.
Ditemui wartawan Tempo, Ahmad Taufik, Anwar Siswadi, dan fotografer Aditya
Herlambang Putra di rumahnya di Tasikmalaya, Ahad dua pekan lalu, Hamim bicara
panjang-lebar tentang Biro Chusus dan peran Sjam Kamaruzaman.
Kapan Anda menjadi anggota PKI?
Mei 1948 saya mendaftar menjadi anggota Partai Komunis Indonesia. Sjam juga masuk
PKI pada 1948, tapi waktu itu saya belum kenal dia.
Kapan Anda kenal Sjam?
Waktu mengajar di Sekolah Partai Central di Jalan Padang, Jakarta, saya dipanggil ke
rumahnya di Paseban, Jakarta Pusat. Sjam bilang, "Bung dapat tugas untuk bagian
pendidikan. Bung nanti mengurusi sekolah partai, mendidik perwira dan kader-kader
daerah." Waktu itu saya mengajar perihal masyarakat Indonesia dan revolusi Indonesia.
Bagaimana kesan Anda terhadap Sjam?
Sjam bos saya, Ketua Biro Chusus. Wajahnya menakutkan, orangnya hitam, matanya
besar. Dia itu seperti militer di Biro Chusus. Ia mengutamakan sentralisme daripada
demokrasi. Walaupun dia bukan militer, caranya di Biro Chusus kayak militer.
Disiplinnya kuat.
Dia suka marah?
175
Kepemimpinannya keras. Kalau saya bikin kesalahan, dia memaki-maki bahkan di
depan orang. "Ini salah! Itu salah!" katanya.
Dia orang yang bisa dipercaya?
Bung Sjam suka membesar-besarkan garapannya (pengaruh-Red.) terhadap militer.
Sifatnya sombong. Dia suka bombastis, omong besar.
Contohnya?
Menjelang G30S, dia pernah bilang kepada saya, "Bung enggak usah takut, kita sudah
punya tentara. Dengan tentara, kita bisa berbuat apa saja." Ia mengatakan enggak usah
ngikutin Tiongkok atau Vietnam. Kita sendiri punya beberapa jenderal yang prokomunis.
Keadaan sebenarnya saat itu?
Sebetulnya G30S itu belum matang. Persiapan hanya dua bulan: Agustus dan
September 1965. Pada sebuah diskusi tentang G30S, Sjam bertanya kepada saya,
"Apakah Bung siap mengadakan gerakan militer terhadap pemerintah sekarang?" Saya
bilang siap saja asalkan ada dukungan. Tapi saat itu, untuk melancarkan gerakan
militer, massa (di bawah) belum matang.
Maksud Anda?
PKI belum punya kekuatan massa yang betul-betul siap berperang. Waktu itu partai
hanya siap untuk demonstrasi, rapat umum, menuntut upah, melawan Amerika. Tapi,
untuk suruh berperang, nanti dulu. Taruhannya mati. Untuk melatih rakyat berperang,
tidak bisa sebulan-dua bulan, harus dipersiapkan tahunan. Mengajak rakyat berperang
kan mengubah pikiran dari cara damai ke cara kekerasan. Semua butuh waktu.
Mendengar jawaban Anda, apa reaksi Sjam?
Dia marah. "Bung belum bertempur, sudah takut!" Yang juga menentang usul Sjam
adalah Suwandi. Ketika ditegur Sjam, saya diam saja. Sjam, Pono, dan Bono setuju
gerakan militer yang sudah disiapkan tentara. Tapi saya bertanya: akan berperang, kok,
massa tidak ikut? Kita perlu belajar dari Tiongkok. Di sana rakyat yang berperang,
tentara cuma jadi promotor.
Kesan Anda terhadap Sjam?
Sjam itu sombong dan enggak mau belajar teori. Dia bercerita pernah kerja di Serikat
Buruh Pelabuhan dan Pelayaran Tanjung Priok. Dia pernah menyelamatkan Aidit lalu
disuruh mengawal Aidit. Dia sobat kental Aidit.
Apa sebenarnya Biro Chusus itu?
176
Orang yang masuk Biro Chusus adalah orang pilihan. Sebelum masuk, mereka dilatih
dan diamati. Biro Chusus dulunya badan militer PKI. Biro ini ilegal (rahasia) karena
mengurusi tentara dan mempengaruhi tentara. Bahwa PKI ada juga di tentara, itu kan
tertutup. Sjam yang memegang peran utama. Dia hubungannya langsung dengan Aidit.
Empat lainnya tak boleh tahu apa yang diomongkan Aidit dengan Sjam. Biro Chusus
adalah alat Aidit untuk bisa menguasai partai.
Siapa saja yang mengetahui keberadaan Biro Chusus?
Biro Chusus ada sejak 1964 dengan tugas membantu Ketua Partai D.N. Aidit. Sjam
adalah tangan kanan atau orang tepercaya ketua partai. Jadi yang tahu adanya Biro
Chusus itu cuma Aidit dan beberapa temannya yang dipercaya, misalnya Sudisman
(sekretaris jenderal) dan Oloan Hutapea (anggota Politbiro). Dari 18 anggota Politbiro
PKI, paling cuma tiga orang yang tahu.
Siapa saja anggota Biro Chusus?
Biro Chusus itu terdiri atas Sjam (ketua), Pono (wakil ketua), Bono (sekretaris), Suwandi
(keuangan), dan saya (pendidikan). Saya termasuk baru dalam Biro Chusus. Tadinya
saya guru di Sekolah Partai Central (semacam kursus ideologi milik PKI-Red.). Sjam,
Pono, dan Bono sudah dihukum mati. Wandi sudah meninggal. Yang sekarang ada
tinggal saya. Entah sampai kapan saya hidup, ha-ha-ha.... Tiga orang terpenting dalam
Biro Chusus adalah Sjam, Pono, dan Bono. Mereka menguasai segala hal, termasuk
yang memimpin operasi militer. Wandi mengurus usaha, seperti pabrik dan bengkel.
Saya bidang teori dan pendidikan.
Anda sempat ditahan bersama Sjam di penjara Cipinang?
Saat di Cipinang, saya ketemu dengan Sjam. Ngobrol-ngobrol. Dia bilang, "Sekarang ini
bagaimana caranya untuk memperlambat eksekusi mati. Karena itu, saya bikin
keterangan yang macam-macam supaya mereka (tentara) bingung." Dari situ saya tahu
dia itu penakut. Saya balas: "Bung, Anda dulu ngomong penjara atau mati. Sekarang
Bung ngomong supaya tidak segera dieksekusi."
Menurut Sjam, pengakuan apa yang dia berikan kepada tentara?
Dia bilang bahwa dia intel ABRI. Jadi double agent. Padahal enggak betul. Bahwa dia
menyamar sebagai intel ABRI itu kamuflase. Perwira intel memberi dia surat
(keterangan) sebagai intel agar dia bisa ke mana-mana, termasuk masuk pos tentara.
Anda menganggap Sjam pengkhianat?
Omongannya enggak pernah sesuai. Dulu dia bilang, "Masuk Biro Chusus itu
konsekuensinya penjara atau mati." Saya jawab, "Untuk partai, sih, apa saja saya
lakukan." Tapi, setelah itu, saat menghadapi hukuman mati, dia gentar. Dia dihukum
177
tembak pada 1986 bareng Pono, Bono, dan seorang kolonel AURI. Sjam yang
bombastis dan suka marah-marah ternyata waktu menghadapi kematian menjadi
oportunis.
Anda ditahan dalam sel yang terpisah dengan Sjam?
Pernah Munir (tahanan politik PKI-Red.), Bono, Sjam, dan saya dalam satu kamar. Di
situ saya banyak ngomong dengan Sjam. Tapi orang lain enggak ada yang mau
ngomong dengan dia. Sjam mereka anggap terlalu banyak membocorkan keberadaan
perwira militer dalam tubuh PKI.
178
Perjalanan Preman Tuban
RUMAH joglo berkapur putih, dengan kusen biru, itu tampak berdebu tak terawat.
Beberapa pot bunga berserakan di bagian depan, sarang laba-laba bergelayutan di
sudut tembok. Rumah itu memang tak lagi dihuni, cuma dijadikan gudang.
Di depannya, agak ke kanan, tegak rumah kayu model serupa yang lebih besar, bercat
putih dengan kusen kuning. Menurut Ruslan-bukan nama sebenarnya-rumah kayu yang
ditempatinya ini sudah berumur sekitar 125 tahun. "Sudah ditempati empat generasi,"
kata menantu Sjam Kamaruzaman itu.
Ruslan, 67 tahun, beristrikan Laksmi-sebut saja begitu-putri bungsu Sjam dari lima
bersaudara, yang 23 tahun lebih muda. Pasangan ini beranak satu, setelah menikah
cukup lama.
Di rumah inilah Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro Chusus Partai Komunis Indonesia,
dilahirkan pada 30 April 1924. Rumah berlingkung tembok 1,5 meter dengan lahan
1.450 meter persegi itu terletak di Kampung Kutorejo, Kecamatan Kota, Kabupaten
Tuban, Jawa Timur.
Untuk ukuran kampung padat penduduk itu, rumah ini terbilang besar. Ayah Sjam, R
Achmad Moebaedah, memang terbilang orang berada. Pada masa hidupnya, orang tua
itu penghulu-semacam kepala pengadilan agama. Adapun ibunya, Siti Chasanah, asal
Blitar, Jawa Timur, bergelar Raden Roro.
Sjam anak kelima dari sepuluh bersaudara-dua di antaranya meninggal pada masa
kanak. Menurut Laksmi, berdasarkan cerita Latifah, adik Sjam yang telah wafat, Sjam
dikenal sebagai anak yang sulit diatur orang tua. Ia gemar menyendiri, misalnya ke
kuburan. Sebagai anak penghulu, Sjam belajar mengaji sejak kecil.
Sejak kecil Sjam mengagumi embahnya, R Prawiroredjo, yang konon punya ilmu
kanuragan. Saking kagumnya, Sjam mencantumkan nama sang kakekdi belakang foto
dirinya seukuran kartu pos, yang diambil pada 1950-an. Karena keuangan orang tuanya
yang memadai, Sjam dan para saudaranya bisa menikmati sekolah formal waktu itu.
Di Tuban, Sjam masuk Sekolah Rakyat, lalu melanjutkan pendidikan ke Land &
Tuinbouw School dan Suikerschool di Surabaya, yang terputus karena Jepang datang,
pada 1942. Setahun kemudian, ia masuk Sekolah Menengah Dagang di Yogyakarta,
hingga kelas dua, dan putus lagi karena pecahnya perang kemerdekaan.
Menurut berita acara pemeriksaannya, Sjam aktif mengikuti kegiatan Hizbul Wathan,
organisasi kepanduan Muhammadiyah. Setelah di Surabaya, ia lebih banyak
menghabiskan waktu bermain bola dan atletik. Belakangan, di Yogyakarta, ia juga main
musik dan menyanyi.
Sjam mulai bersentuhan dengan dunia politik ketika bersekolah di Yogyakarta, dengan
ikut perkumpulan pemuda Pathuk. Di sini ia menumpang hidup bersama kerabatnya.
Menurut Suryoputro-bukan nama sebenarnya-yang saat itu bersekolah di Taman Siswa,
Sjam sering ikut pertemuan gelap yang digelar gerakan perlawanan.
179
Biasanya, lelaki berambut keriting dan bertubuh gempal itu lebih banyak diam
memperhatikan. "Dia itu tipenya ngoho (preman), jadi tidak banyak ngomong," kata
Suryoputro. Seperti pemuda lain pada masa itu, Sjam ikut bergerilya melawan Belanda.
Menurut Suryoputro, Sjam ikut pertempuran di Mranggen, Ambarawa, dan Magelang,
1946-1947, dan sempat memimpin Laskar Tani di Yogyakarta. Pada 31 Desember
1947, bersama Sjam dan seorang rekan lain, Suryoputro berangkat ke Jakarta untuk
melanjutkan studi. Kelompok Pathuk bubar, dan banyak anggotanya masuk partai
politik.
Di Karawang, mereka bertiga sempat ditahan Kemal Idris-ketika itu komandan batalion
di Cikampek. Setelah menunggu sehari, mereka melanjutkan perjalanan. "Sengaja
menunggu karena Belanda pesta tahun baru sehingga penjagaan di Jakarta lebih
kendur," kata Suryoputro.
Di Jakarta, mereka tinggal di Jalan Bonang, tak jauh dari Tugu Proklamasi sekarang.
Setelah itu, mereka pindah rumah berkali-kali. Sjam jadi pegawai Kantor Penerangan
Jawa Barat, meski kantornya di Jakarta. "Tapi tidak ada kerjanya, cuma duduk-duduk."
Sjam bersama beberapa kawan kemudian ikut aksi gerilya malam, melempari pasukan
Sekutu yang berjaga di kawasan Senen, Jakarta Pusat, dengan granat. "Wilayah kerja
malam" Sjam di seputar Jalan Kramat Raya. Entah bagaimana, Sjam juga bersentuhan
dengan organisasi buruh kereta api.
Bersama rekan-rekannya, Sjam mengatur perjalanan desersi orang-orang Indonesia
yang bergabung dengan tentara Belanda, Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL),
dan ingin "menyeberang" ke pedalaman. Ia kemudian ikut mendirikan Serikat Buruh
Mobil dan Serikat Buruh Kendaraan Bermotor.
Pada 1949, Sjam juga ikut mendirikan Serikat Buruh Kapal dan Pelabuhan, yang
kemudian berubah nama menjadi Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran. "Jumlah
anggotanya pernah mencapai 13 ribu orang di Tanjung Priok saja," kata Suryoputro,
yang pernah memimpin organisasi itu.
Ketika terbentuk Badan Pusat Sementara Sarekat-Sarekat Buruh, yakni gabungan
serikat buruh pada masa itu, Sjam dipercaya sebagai wakil ketua. Organisasi ini
kemudian bubar, digantikan oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI),
yang berafiliasi ke PKI.
Sjam menjadi pengurus SOBSI hingga 1957. Pada masa itulah ia menikah dengan Enok
Jutianah, perempuan Sunda aktivis buruh pelabuhan, yang meninggal setelah
melahirkan anak kelima.
Menurut berita acara pemeriksaan, Sjam bertemu dengan Aidit pertama kali pada 1949.
Aidit, ketika itu, dalam persembunyian di Jakarta setelah Peristiwa Madiun, 1948. Aidit
kemudian menawari Sjam masuk PKI. "Saya terima dengan baik," kata Sjam, seperti
tercantum dalam berita acara. Sejak 1957, Sjam menjadi pembantu pribadi Aidit, dan
mundur dari serikat buruh.
180
Aidit menugasinya mengurus dokumentasi yang berhubungan dengan ideologi
Marxisme-Leninisme. Tiga tahun kemudian, ia menjadi anggota Departemen Organisasi
PKI, yang khusus menangani anggota dari unsur militer. Selang empat tahun,
dibentuklah Biro Chusus, dengan Sjam sebagai ketua.
Menurut Suryoputro, sekitar 1949, Sjam sempat membuat skenario "penjemputan Aidit"
sepulang dari Vietnam di Pelabuhan Tanjung Priok. Ia diajak Sjam berboncengan
sepeda. Di pelabuhan, Suryoputro kebagian tugas menjaga sepeda, sedangkan Sjam
berpura-pura menjemput Aidit yang baru turun dari kapal.
Skenario penjemputan ini dibuat untuk memberikan kesan Aidit menyingkir ke Vietnam
dan mempelajari Marxisme di sana, setelah Peristiwa Madiun. Selama di Tanjung Priok
itu, menurut Suryoputro, dia tinggal bersama Sjam. "Kami makan dan minum dari piring
dan gelas yang sama."
Sjam gemar mengenakan baju kaus berkerah. Pembawaannya sederhana dan dia
mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Tapi, seingat Suryoputro, Sjam
paling takut sama cecak. "Kalau saya jengkel sama dia, saya kasih cecak saja. Dia akan
lari menjauh."
Pada mata kiri atas Sjam ada bekas luka, begitu juga di belakang pahanya. "Itu bekas
luka akibat pantulan peluru ketika berlatih menembak di Yogya dulu," kata Suryoputro.
Di mata anak-anaknya, Sjam tetap ayah yang baik. "Kami kerap diajak makan enak di
rumah makan," kata Shinta-bukan nama sebenarnya-anak kedua Sjam, kini 53 tahun.
Bagi Maksum-bukan nama asli-anak sulungnya, Sjam bahkan rada melankolis. "Bapak
pernah menangis ketika saya berkelahi dengan adik saya," katanya. "Waktu itu, Ibu baru
saja meninggal."
181
Pathuk, Soeharto, Perkenalan Biasa
MALAM semakin malam ketika dua-tiga pemuda kelompok Pathuk berjalan dalam diam,
mengintai dari balik pepohonan dan bilik rumah. Mereka mencari lelaki bersuara asing
yang biasanya berseragam tentara.
Situasi seperti ini, menurut Suryoputro-nama samaran aktivis Pathuk-merupakan saat
yang tepat untuk berburu tentara Jepang. Mereka, lazimnya, baru pulang dari pelesir
syahwat di Kota Yogyakarta.
Pencegatan biasanya dilakukan dua-tiga pemuda Pathuk-merujuk pada nama kawasan
di Kota Gudeg itu. "Jika ketemu anak-anak Pathuk, hampir bisa dipastikan Jepang itu
mati," kata Suryo, kini 81 tahun.
Sjam Kamaruzaman, bekas Kepala Biro Chusus Partai Komunis Indonesia, dan
beberapa pemuda Pathuk lainnya, menurut Suryoputro, gemar melakukan aksi ini.
Mereka menggunakan pipa besi berisi timah cor-coran, mengendap dari belakang, lalu
dhek-wasalam....
Suryoputro ketika itu masih siswa Sekolah Taman Siswa kelas satu. Sjam tercatat
sebagai siswa di sebuah sekolah dagang. Ayah Suryoputro adalah adik bungsu Ki Hajar
Dewantara, pendiri Taman Siswa dan Bapak Pendidikan Nasional.
Kelompok Pathuk, menurut Suryoputro, berjumlah sekitar 50 orang, dan banyak di
antaranya murid Taman Siswa. Salah satunya Isti Sudarsini, yang juga masih kerabat
Tyasno Sudarso, bekas Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Aktivitas rutin para pemuda Pathuk adalah bersekolah. "Kebanyakan anggotanya siswa
sekolah menengah." Mereka baru aktif menggalang kekuatan dan menyusun rencana
pada malam hari, diam-diam, agar tak terendus intel Jepang.
Menurut Oemiyah, istri almarhum Dajino-salah satu tokoh pemuda Pathuk-anggotanya
berdiskusi tiap malam mengenai situasi politik dan keamanan. Oemiyah, 81 tahun,
masih kerabat Faisal Abda'oe, bekas Direktur Utama Pertamina.
Kelompok ini melakukan apa saja untuk mengganggu ketenangan serdadu Jepang.
Misalnya mencopoti bola lampu di seputaran kawasan Kotabaru, Yogyakarta, hingga
mendorong serdadu Jepang dari kereta api yang sedang melaju cepat.
Baru berjalan setahun-dua, aksi kelompok ini tercium Ki Hajar, yang segera meminta
mereka menghentikannya. Ki Hajar meminta para pemuda berlatih senjata secara
benar, dengan menjadi anggota Pembela Tanah Air (Peta), bentukan Jepang.
Ketika itu Soekarno dan beberapa pemimpin lain memang sedang berupaya menjalin
kerja sama dengan Jepang untuk mencapai kemerdekaan. Sebulan setelah Proklamasi
Kemerdekaan, para pemuda dan masyarakat berunjuk rasa, berupaya menurunkan
bendera Jepang di Gedung Agung, yang saat itu menjadi pusat pemerintahan.
182
Bersama Munir, yang kemudian menjadi Ketua Umum Sentral Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia-yang berafiliasi dengan PKI-Sjam ikut meminta mundur tentara Peta yang
berjaga. Agar terlihat meyakinkan, mereka menunjukkan senapan yang mereka curi dari
tangsi militer Jepang.
Akhirnya tentara Peta mau menyingkir. Melihat orang yang jumlahnya ribuan dan terus
bertambah, pasukan Jepang dan pejabatnya menyingkir keluar dari gedung. Sang
Merah Putih berkibar di tiang bendera, menggantikan bendera Jepang.
Karena banyaknya senjata yang dapat dirampas atau dicuri dari Jepang, menurut
Suryoputro, para pemuda bekerja sama dengan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan
Resimen di Yogyakarta. "Dari sinilah perkenalan teman-teman dengan Soeharto."
Demikian pula Sjam Kamaruzaman berkenalan dengan Soeharto. Tapi, menurut
Suryoputro, perkenalan itu tidak intensif, cuma sebatas perkenalan biasa.
183
Rumah Teralis Bunga Teratai
IA selalu berdoa tiap kali melewati deretan tiga rumah, setengah kilometer dari Stasiun
Kramat, Jakarta Pusat, itu. Dari atas kereta api Bekasi-Senen, kendaraannya menuju
kantor setiap hari, ia mengenang rumah masa kecilnya. "Saya berdoa: Ya Allah, kalau
memang rumah itu milik kami, kembalikanlah," kata lelaki itu, Kelana, putra keempat
Sjam Kamaruzaman, yang nama aslinya kami samarkan.
Keluarga Sjam tinggal di Jalan Pramuka Jati itu pada 1960-1969. Sebelumnya, mereka
berpindah-pindah tinggal di Kemayoran (Jakarta Utara), Jatinegara (Jakarta Timur), dan
Paseban (Jakarta Pusat). Kelana lahir pada tahun pertama keluarga itu tinggal di
Pramuka Jati. Tanahnya 900 meter persegi, yang kini sudah dibagi tiga.
Beberapa waktu setelah Gerakan 30 September meletus, pasukan Corps Polisi Militer
menggerebek rumah itu. Empat anggota pasukan Detasemen Pelaksana Intelijen Polisi
Militer, yakni Arneld Najir, Suyadi, Gatot Wiyono (almarhum), dan Hadi Suwito,
kemudian mengambil alih rumah. Mereka membagi rumah dan tanah itu menjadi tiga
bagian.
Empat intel Polisi Militer itu awalnya terlibat pada Operasi Kalong. Tugasnya mengintai
keberadaan Sjam di Pramuka Jati. Untuk keperluan itu, mereka menyewa sebuah
rumah kecil di seberang rumah Sjam. Hanya rel kereta api memisahkan dua rumah ini.
Rumah yang dihuni istri kedua Sjam dan lima anaknya digerebek menjelang magrib.
Puluhan anggota Corps Polisi Militer Gajah Mada terlibat dalam operasi ini. Ratusan
penduduk menonton penggerebekan dari seberang rel. Maksum, putra pertama Sjam,
yang namanya juga kami samarkan, mengaku ketakutan melihat kerumunan massa.
Budi Santoso, 79 tahun, penduduk Pramuka Jati yang dulu ikut berkerumun,
mengatakan, "Massa marah dengan Partai Komunis Indonesia dan kami kaget dengan
keterlibatan tetangga kami."
Pasukan Polisi Militer Gajah Mada bertahan satu hari di rumah Sjam. Hari berikutnya,
pasukan Polisi Militer Siliwangi gantian berjaga. Sepekan setelah itu, kelompok Arneld,
Suyadi, Gatot, dan Hadi menghuni rumah itu bersama keluarga masing-masing.
Arneld mengatakan kepindahannya didasari surat perintah yang ditandatangani Direktur
Polisi Militer Asisten II Kolonel CPM Budiono. Surat itu diterbitkan pada 20 November
1965. "Tapi kami sudah bertugas beberapa waktu sebelum itu," kata Arneld.
Menurut Suyadi, tugas utama mereka mencari data dan dokumen milik Sjam. Semua
buku Sjam diangkut ke pos Polisi Militer. Buku berbahasa Belanda, Cina, dan Rusia
diangkut dalam satu mobil jip penuh.
Sjam dan istrinya memang gemar membaca. Mereka memiliki perpustakaan 2 x 3 meter
persegi. Biasanya Sjam membaca dari petang hingga pukul 21.00. "Saya pernah melihat
Bapak membaca buku mengenai strategi militer Sun Tzu," ujar Maksum. Selain
mengangkut buku-buku, kata Maksum, para anggota Polisi Militer mengambil sepatu
kulit Sjam. Sepatu hitam berbulu dari Jepang juga diangkut.
184
Sejak kepindahan empat keluarga Polisi Militer itu, anak-anak Sjam tersingkir. Para intel
sering berbicara kasar. Awalnya lima anak Sjam menempati dua kamar dari delapan
kamar di rumah itu. Belakangan mereka hanya boleh tinggal di garasi. Pada 1969,
mereka terpaksa keluar dari rumah itu.
Menurut Arneld, Polisi Militer menganggap rumah Sjam sebagai sitaan negara. Rumah
itu lalu dijadikan asrama kesatuan. Setelah tinggal hampir sepuluh tahun, empat
keluarga tersebut mengajukan surat permohonan untuk membeli rumah "milik negara"
itu. Surat ditujukan ke Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Surjadi Soedirdja.
Panglima Kodam setuju para anggota Polisi Militer membeli tanah ke negara. Saat
mengurus sertifikat rumah ke dinas agraria, mereka diminta menyertakan bukti jual-beli
dengan pihak hak waris. Suyadi pun giat mencari Kelana. Pada 1988, usaha ini berhasil.
Menurut Kelana, para anggota Polisi Militer itu menemuinya di kantor tempatnya
bekerja. Mereka menyatakan membayar Rp 3-5 juta untuk "membeli" rumah. "Itu pun
dicicil Rp 100 ribu setiap bulan," katanya.
lll
HANYA Arneld yang hingga kini masih menempati satu dari tiga rumah itu. Pensiunan
letnan dua ini mendapat "jatah" sekitar 290 meter persegi. Dulunya ini lahan kosong
yang pernah dipakai menjadi garasi mobil keluarga Sjam. "Awal saya menempati,
bangunannya hanya dikelilingi tembok setengah badan dan jeruji kawat di bagian atas,"
ujar Arneld, 67 tahun. Kini di lahan itu dibangun sebuah rumah berlantai marmer merah
tua, berpagar besi hijau-kuning.
Suyadi dan Gatot bersama-sama menempati rumah utama Sjam. Adapun Hadi
menempati satu sisi lainnya. Sejak 1994, rumah Suyadi dan Gatot itu dijual. Pembeli
pertama bernama Azis, pemilik sebuah usaha percetakan, dengan nilai jual Rp 260 juta.
Empat tahun kemudian, rumah dijual lagi ke Budi Yulianto, distributor alat-alat
kesehatan.
Rumah "jatah" Hadi Suwito awalnya menyatu dengan rumah utama yang ditempati
Suyadi dan Gatot. Ini rumah dengan tiga kamar tidur plus sebuah garasi. Luasnya
sekitar 200 meter persegi. Pria 68 tahun yang kini tinggal di Trenggalek, Jawa Timur, itu
menjualnya pada 1995. Pemilik barunya kini menyewakan rumah itu untuk kantor
redaksi majalah Tarbawi.
Teralis jendela berbentuk dua bunga teratai masih menempel di tembok ruang tamu
rumah keluarga Sjam. Membingkai jendela ukuran 1 x 3,5 meter, teralis ini kenangan
masa kecil yang paling diingat anak-anak Sjam. Istri Sjam, Enok Jutianah, memesan
khusus teralis itu ke tukang las. "Ibu yang mendesain. Dia pelukis," kata Maksum.
Kenangan teralis sangat dalam. Maksum mengatakan itulah peninggalan terakhir sang
ibu yang meninggal pada usia 37 tahun, setahun sebelum Gerakan 30 September.
Setiap lekukan rumah Sjam juga dibiarkan tak berubah setelah ditinggalkan hampir 40
tahun. Bangunan masih terlihat kukuh.
185
Seluruh kusen, pintu, dan jendela rumah terbuat dari kayu jati. Tak terlihat satu bagian
pun lapuk dimakan usia. Ubin yang dipasangi keramik putih pun masih terlihat
mengkilap.
Hampir 29 tahun menempati rumah Sjam, Suyadi hanya sekali mengubah warna cat.
"Rumah ini kan bersejarah, pernah beberapa kali dipakai rapat PKI," kata pria 73 tahun
yang kini tinggal di Kompleks Pasukan Pengamanan Presiden, Kramat Jati, Jakarta
Timur, itu.
Keluarga Suyadi dan Gatot pun tak mengubah bangunan. Mereka hanya membagi
rumah yang awalnya terdiri atas lima ruangan. Selain menjadikan rumah itu tempat
tinggal, Suyadi, yang pensiun dengan pangkat kapten, pernah menjadikan halaman
depan rumah sebagai gudang penyimpanan bajaj pada 1970-1980.
Toyib, pekerja Budi Yulianto, kini menempati rumah itu. Dia pun sama sekali tak
memugar rumah utama. "Kami hanya mengubah catnya menjadi hijau," katanya. Namun
ia membangun gudang penyimpanan mesin di halaman depan rumah. Di halaman
belakang juga dibangun tempat penginapan yang berkapasitas tujuh orang.
Menempati rumah itu sejak 1998, Toyib pernah menemukan kejadian ganjil. Suatu hari
seorang bapak mampir dan menyatakan tertarik membeli rumah. Ketika bercakapcakap, sang tamu memotong pembicaraan. Ia bertanya soal tiga orang pria yang
menurut dia baru saja keluar dari gerbang rumah.
"Saya heran," kata Toyib, "karena saya sama sekali tak melihat ada siapa pun." Calon
pembeli pun membuang ketertarikannya karena menganggap tiga orang yang dilihatnya
sebagai "penjaga" rumah.
Kelana masih menyimpan harapan memiliki rumah berteralis dua bunga teratai itu. Ini
bukan perkara mudah, karena semua sertifikat tak lagi dikuasai keluarganya. Ia pernah
diberi tahu bahwa ibunya pernah mengurus sertifikat rumah. Namun notaris yang dulu
mengurusnya kini bermukim di Singapura dan tak bisa dilacak.
Kini hanya doa yang ia punya-harapan yang selalu ia rapalkan dari atas kereta.
186
Akhir Pelarian Sang Buron
ENAM hari setelah 30 September 1965, kesibukan melanda sejumlah pemimpin Biro
Chusus-badan rahasia Partai Komunis Indonesia. Berkumpul di rumah Waluyo, seorang
aktivis PKI, di Gang Listrik, Jakarta Pusat, pemimpin gerakan, Sjam Kamaruzaman,
angkat bicara. "Sekarang tugas kita menyelamatkan diri. Saya akan ke Bandung. Pono
pergi ke Jawa Tengah. Hamim dan Wandi berada di Jakarta untuk menghimpun partai."
Hamim, 83 tahun, satu dari lima pengurus Biro, bercerita kepada Tempo. Ketika itu,
Sjam menyatakan Biro Chusus dibubarkan. "Sjam pamitan kepada saya. Sejak saat itu,
saya putus hubungan dengan Sjam, sampai kemudian bertemu lagi di penjara
Cipinang."
Menurut pengakuan Sjam dalam berita acara pemeriksaan Tim Pemeriksa Pusat,
keputusannya kabur ke Bandung diambil bukan atas perintah Ketua PKI D.N. Aidit.
"Pimpinan partai tidak sempat memberikan instruksi," katanya.
Tiga hari sebelumnya, sejumlah pengurus Biro Chusus memang berkumpul di rumah
Sudisman, Sekretaris Jenderal PKI. Di sana Sjam ditanya mengapa G30S gagal. Ia
menjelaskan soal Batalion 530 dan 454 yang semula diandalkan PKI tapi belakangan
malah mundur dan bergabung dengan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
(Kostrad). Sudisman mengeluarkan perintah: segera selamatkan diri dan selamatkan
partai.
Sejak itu, dimulailah masa pelarian Sjam. Sehari sebelum berangkat ke Bandung, 8
Oktober 1965, Sjam dibawa Mustajab, anggota staf Biro Chusus dari Sumatera Utara,
ke Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di rumah siapa? "Saya tidak tahu. Pengaturan
pemberangkatan dari Jakarta maupun penerimaannya di Bandung saya serahkan
sepenuhnya kepada Mustajab," ujar Sjam kepada penyidik.
Di rumah itu, pada pukul tiga sore, Sjam masuk kamar dan tidak keluar sama sekali.
Sjam meminta Mustajab mempersiapkan taksi untuk berangkat ke Bandung. "Lalu kami
berencana bertemu lagi di Cisarua," kata Sjam.
Keesokan harinya, pukul sembilan pagi, taksi telah siap di Kebayoran Baru. "Di dalam
taksi ada sopir dan seorang lagi. Dua-duanya saya tidak kenal dan juga tidak
memberikan nama, hanya bersalaman." Di sepanjang jalan, yang ada hanya sepi, tak
ada pembicaraan apa pun. "Saya sendiri juga tidak merasa safe, karena terpaksa, ya,
ditempuh juga," demikian tertulis dalam berita acara pemeriksaan Sjam.
Sesampai di Cisarua, dekat sanatorium, oleh pengantar itu Sjam dibawa ke sebuah
rumah, tak jauh dari jalan besar. "Saya disuruh menunggu sampai Mustajab datang,"
katanya. Sekitar pukul setengah empat sore, Mustajab tiba, lalu pengantar itu pun
kembali ke Jakarta.
Menginap semalam di Cisarua, paginya pukul sepuluh Sjam berangkat bersama
Mustajab dengan kendaraan yang lain menuju Bandung. "Di perjalanan tak ada
gangguan apa-apa," kata Sjam. Sekitar 10 kilometer menjelang Bandung-antara
Padalarang dan Cimahi-kendaraan berhenti. Sjam lalu dioper ke anggota staf Biro
187
Chusus Daerah Jawa Barat bernama Tati. "Bersama Tati saya menuju Bandung dan
Mustajab kembali ke Jakarta."
Sampai di Bandung pukul 14.00, Tati langsung mengantar Sjam ke rumah seseorang
bernama Jaja. Dua hari kemudian, Tati menjemput Sjam dan membawanya ke Cipedes,
Bandung, ke sebuah kamar sewaan. "Di sini saya tinggal selama dua setengah bulan,
sampai akhir Desember 1965," ujar Sjam.
Di Cipedes, Sjam bertemu dengan Haryana, Kepala Biro Chusus Daerah Jawa Barat.
Menurut Hamim, Haryana adalah keturunan Tionghoa yang pernah menjadi Ketua
Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) di Subang.
Awal Januari 1966, Sjam pindah ke daerah Cibabat, antara Bandung dan Cimahi, di
rumah anggota Polisi Militer bernama Idris. Sepekan di sana, ia mengungsi lagi ke
rumah Jaja. "Di rumah Jaja, saya tinggal enam bulan," katanya. Di rumah ini, pada Juni
1966, Sjam kembali bertemu dengan Haryana. Keduanya membicarakan situasi di
Bandung dan masalah keamanan Sjam yang "semakin sempit karena terus ada razia
tentara".
Bekal uang Sjam juga makin tipis. "Dari Jakarta, saya bawa uang sejuta rupiah, yang
saya ambil dari uang sisa usaha Biro Chusus." Dalam perhitungan Sjam, uang itu bisa
dipakai selama lima bulan dalam pelarian. Betul saja, setelah itu, kantongnya kempis
dan Sjam terpaksa melego arloji dan barang-barang lain yang ia miliki. Dalam pelarian,
keuangan Sjam juga dibantu Biro Chusus daerah.
Akhir Juli 1966, Sjam pindah ke rumah Suparman, seorang tentara berpangkat letnan
dua, di Cimahi. "Saya tinggal hingga September," kata Sjam.
Selama di Bandung, Sjam mengaku tak bisa berhubungan dengan pemimpin PKI di
Jakarta. Mula-mula ia memang memanfaatkan Mustajab sebagai penghubung. Namun,
sejak Juli 1966, hubungan itu terputus. Sjam lalu menunjuk seseorang bernama Edy
Suyono untuk mencari kontak dengan pemimpin partai di Jakarta. Tapi usaha itu gagal.
Oktober 1966, Sjam pindah ke rumah seseorang bernama Idi di Jalan Taman Sari, tak
jauh dari kampus Institut Teknologi Bandung. Sebulan kemudian, dia menginap di Hotel
Bali, hingga akhir Desember.
Ketika di Hotel Bali, November 1966 itu, Sjam bertemu lagi dengan Haryana. Sambil
berjalan mengelilingi lapangan Lodaya, keduanya membahas situasi organisasi. "Saya
sarankan supaya dibentuk grup-grup. Anggotanya 3, 5, atau 6 orang untuk tiap grup
dengan satu koordinator," ujar Sjam. Kepada penyidik, Sjam mengaku memberikan
"nasihat" tentang teori-teori dan cara membangun kembali PKI.
Awal 1967, setidaknya dua kali Sjam pindah rumah. Terakhir ia menginap di rumah
seorang pengurus PKI di daerah Padasuka. Di sini, Sjam kembali bertemu dengan
Haryana. "Saat itu Haryana sakit. Fisiknya lemah."
Pada 6 Maret 1966, Sjam mendapat kabar bahwa seseorang bernama Jojo, yang
mengetahui persembunyiannya di Padasuka, ditangkap aparat. Tak menunggu lama,
Sjam segera lari ke rumah Suparman di Jalan Simpang Nomor 15, Cimahi, diantar
188
simpatisan PKI bernama Santa Lusina. "Perpindahan dari Padasuka ke Cimahi atas
inisiatif saya sendiri. Tanpa persiapan apa-apa. Mendadak," kata Sjam.
Di rumah Suparman, perasaan Sjam sudah tak enak. Sjam berencana hanya dua hari di
sana. Tapi, pada hari yang disepakati, Santa Lusina yang berjanji akan mengantar
malah tidak datang.
Masa pelarian Sjam memang tak panjang. Pukul satu malam 9 Maret 1967, ketika
terlelap, ia ditangkap dalam Operasi Kodam Siliwangi dengan nama sandi Kalong. Saat
pulang dari Padasuka, Santa disergap. "Dia menunjukkan tempat saya menginap," kata
Sjam dalam kesaksiannya.
189
Kesaksian Sjam (By: John Roosa)
Dosen sejarah di Universitas British Colombia, Kanada, dan penulis buku Dalih
Pembunuhan Massal (2008). Tentang buku itu, lihat http://johnroosa-dpm.blogspot.com.
IA duduk di kursi saksi di pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang
mengadili Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia Sudisman, Juli 1967. Itulah
untuk pertama kali ia, Sjam Kamaruzaman, muncul di depan publik. Sebelum Gerakan
30 September terjadi, Sjam lebih dikenal sebagai pengusaha, komisaris PT Suseno,
perusahaan penjual genting di Pintu Air, Jakarta Pusat.
Setelah G30S gagal, selama satu setengah tahun ia bergerak di bawah tanah sebelum
akhirnya ditangkap pada sebuah malam, Maret 1967, di Cimahi, Jawa Barat. Tak
seorang pun di antara pengunjung yang hadir di pengadilan Sudisman pernah melihat
Sjam sebelumnya. Hari itu ia seperti pesulap-datang tiba-tiba, entah dari mana.
Di pengadilan Sudisman, sudah beredar kabar bahwa seorang bernama Sjam
memainkan peranan kunci dalam G30S. Pembela dan saksi-saksi dalam sidang
Mahmilub sebelumnya telah pula menyebut bahwa Sjam adalah seorang sipil, bagian
dari kelompok inti G30S yang bertemu di Halim, 1 Oktober 1965. Namun banyak yang
berasumsi bahwa "Sjam" adalah nama samaran dari petinggi PKI yang sudah dikenal
luas. Soalnya, tak seorang pun petinggi PKI bernama Sjam. Tapi hari itu di ruang
pengadilan ia muncul dan mengaku sebagai Sjam yang asli dan satu-satunya.
Para pengamat di pengadilan bertanya-tanya kesaksian apa yang akan diberikan Sjam.
Akankah ia tutup mulut dan tetap misterius? Atau akankah ia menjelaskan perannya
dalam G30S dan menerangkan hubungannya dengan PKI? Akankah ia menjelaskan
hubungannya sebagai warga sipil dengan militer dalam merencanakan G30S?
Kesaksiannya sungguh mengejutkan. Ia mengaku ketua badan rahasia di dalam PKI
yang bernama Biro Chusus dan bekerja di bawah komando Ketua PKI, D.N. Aidit. Sjam
menekankan bahwa Biro Chusus adalah "aparat ketua partai" dan sama sekali tak
punya hubungan dengan Politbiro atau Comite Central PKI. Sebelum kesaksian Sjam itu
tak seorang pun pernah mendengar soal Biro Chusus. Dalam propaganda militer
sebelum Juli 1967, juga dalam koran dan sejumlah pernyataan di pengadilan G30S,
saya tak pernah menemukan nama Biro Chusus disebut-sebut.
Sjam bicara panjang-lebar ketika hakim ketua memintanya menjelaskan tugas Biro
Chusus. Ia menjelaskan bagaimana Biro Chusus berhubungan dengan aparat militer.
Juga soal bagaimana ia mendapat informasi tentang perwira mana yang pro dan antiPKI, meminta bantuan tentara dan membujuk sejumlah perwira untuk mendukung PKI.
Perusahaan genting yang ia pimpin hanyalah alat untuk mencari uang buat Biro Chusus
dan sarana untuk menyamarkan hubungannya dengan perwira-perwira militer.
Sjam juga mengklaim bahwa dialah orang yang mengorganisasi G30S, bukan Letnan
Kolonel Untung. Dia menyatakan bahwa dia diperintah oleh Aidit-satu-satunya orang di
dalam PKI yang berhubungan dengan dia-untuk mengantisipasi kup oleh Dewan
Jenderal dengan memobilisasi perwira militer yang progresif dan pro-Soekarno.
Menjelaskan kepemimpinannya ia berkata, "Saya pegang pimpinan politiknya dan
190
Saudara Untung pegang pimpinan militernya, tetapi pimpinan militer ini di bawah
pimpinan politik." Katanya lagi, "Saya sebagai pimpinan bertanggung jawab atas segala
kejadian yang ada."
Beberapa pengamat di ruang sidang ragu atas kesaksian ini. Jika Sjam berada pada
posisi yang begitu tinggi dan sensitif di dalam partai, ditunjuk dan dipercaya Aidit untuk
memimpin operasi rahasia melawan militer, mengapa ia begitu saja membuka rahasia
PKI? Untuk menjadi anggota PKI seseorang harus disumpah untuk menyimpan rahasia
partai. Dengan posisinya itu, Sjam mestinya menghormati aturan itu lebih dari orang
lain.
Jika ia adalah sosok penting dan rahasia dalam partai, mengapa ia tak bicara seperti
Sudisman yang mengutuk diktator militer Soeharto seraya memuji-muji PKI? Kesaksian
Sjam tidak mengindikasikan bahwa dia adalah pendukung partai yang loyal namun
menyesali, seperti yang dilakukan Sudisman, bahwa G30S telah memberikan alasan
bagi tentara untuk menghancurkan PKI. Tak sekalipun ia pernah menggunakan forum
pengadilan untuk meminta maaf karena tindakannya telah memberikan dampak yang
mengerikan pada anggota partai yang lain.
Pengamat yang skeptis seperti Benedict Anderson, yang hadir dalam persidangan
Sudisman, curiga bahwa Sjam adalah agen tentara yang menyusup ke dalam PKI.
Soalnya, kesaksian Sjam telah membenarkan sebagian dari propaganda tentara perihal
kepemimpinan PKI dalam G30S. Sarjana Belanda W.F. Wertheim mencatat bahwa
dalam berbagai pengadilan selama bertahun-tahun kemudian Sjam terus memberikan
kesaksian yang memberatkan orang lain. Banyak tahanan politik yang percaya bahwa
Sjam adalah intel tentara dan bukan anggota PKI.
Pada masa-masa awal penelitian saya tentang G30S, saya menganggap kesaksian
Sjam tak bisa diandalkan karena hanya sedikit sumber yang membenarkan kesaksian
tersebut. Tapi, belakangan, ketika saya bertemu dengan kalangan internal PKI yang
bisa dipercaya, saya menyadari bahwa banyak klaim dalam kesaksian Sjam yang
ternyata benar. Misalnya bahwa Biro Chusus benar-benar ada, beroperasi di bawah
pengawasan Aidit secara pribadi (bukan di bawah Politbiro atau Comite Central), bahwa
Sjam adalah ketua biro itu dan ia adalah pengorganisasi utama G30S.
Kesaksian Sjam yang tak akurat menurut saya adalah tentang peran Aidit dalam
melaksanakan G30S. Sjam ingin menunjukkan bahwa ia hanya pelaksana Aidit. Ia tak
ingin orang lain di PKI berpikir bahwa ia adalah elemen independen dalam partai.
Walaupun mengaku bertanggung jawab penuh atas G30S, ia juga ingin menimpakan
sebagian kesalahan kepada Aidit.
Yang tidak digambarkan Sjam adalah perihal seberapa berpengaruh ia pada Aidit dan
keputusan-keputusannya. Kita tahu, pada Agustus-September 1965, Aidit dihinggapi
sejumlah pertanyaan. Di antaranya, benarkah Dewan Jenderal benar-benar ingin
melancarkan kup terhadap Presiden Soekarno. Jika ya, siapa saja anggota dewan itu.
Mungkinkah PKI mendahului aksi Dewan Jenderal? Apakah perwira pro-PKI dan proSoekarno cukup punya pasukan untuk melancarkan aksi melawan para jenderal
antikomunis itu?
191
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu Aidit mengandalkan informasi dari Sjam.
Aidit telah menunjuk Sjam sebagai ketua Biro Chusus dan ia mempercayai Sjam untuk
menyuplai informasi tentang apa saja yang terjadi dengan perwira-perwira militer. Dari
sejumlah sumber kita mengetahui bahwa Sjam kelewat yakin dan arogan dalam
menyiapkan G30S. Saya mengira Sjam telah meyakinkan Aidit bahwa Dewan Jenderal
itu ada, dia tahu siapa saja anggota dewan itu, dan dari sejumlah sumbernya dia yakin
bahwa ada perwira militer yang mampu mendahului aksi Dewan Jenderal. Aidit tak akan
membiarkan Sjam melaksanakan G30S jika ia tak percaya Sjam akan berhasil.
Sementara itu, Sjam telah membujuk sejumlah perwira (Latief, Untung, dan Sujono)
untuk bergabung dalam G30S. Sjam juga meyakinkan mereka bahwa PKI sepenuhnya
berada di belakang G30S. PKI tak akan membiarkan aksi mereka gagal. Sjam, sebagai
mediator antara Aidit dan perwira militer, telah "membodohi" kedua pihak untuk berpikir
bahwa ada pihak lain yang bakal ambil peranan dalam G30S.
Penjelasan Sjam tentang organisasi G30S tidaklah sama dengan versi yang
dikemukakan rezim Soeharto. Sjam hanya melibatkan Aidit dan Biro Chusus. Ia tidak
melibatkan Politbiro, Comite Central, dan partai secara keseluruhan. G30S bukanlah
revolusi sosial oleh PKI dalam arti luas. G30S hanyalah aksi kecil, terbatas, klandestin
yang sebelumnya tidak diketahui oleh anggota dan kebanyakan pimpinan PKI. Soeharto
dan kelompoknya membesar-besarkan G30S agar ia punya alasan untuk melaksanakan
rencananya sendiri, yakni menghancurkan PKI dan menyingkirkan Presiden Soekarno.
Tapi itu cerita lain lagi.
Dalam kesaksiannya di pengadilan, Sjam menyebutkan Polisi Militer telah merampas
buku catatan yang ia tulis pada saat menyiapkan G30S. Dalam berita acara
pemeriksaan (Agustus 1967) secara garis besar ia telah menyampaikan isi catatan
tersebut. Buku ini adalah dokumen utama dan terpenting tentang G30S yang tak pernah
dibuka kepada publik. Mengapa buku itu tetap dirahasiakan? Masihkah Polisi Militer
menyimpannya? Masyarakat Indonesia berhak melihat buku catatan yang bersejarah
itu.
192
Jungkir-Balik Setelah Prahara
SJAM Kamaruzaman tidur tengkurap di rumahnya, 43 tahun silam itu. Di Jatibuntu,
Jalan Pramuka, Jakarta Pusat, Ketua Biro Chusus Partai Komunis Indonesia itu
seharian menghabiskan waktu di kamar depan. Sorenya, tepat tiga hari setelah geger
politik 30 September 1965, Sjam menghilang. "Bapak pergi tanpa pamit," kata Maksum,
nama aliasputra sulung Sjam, mengenang.
Padahal, malam sebelumnya, dia baru pulang setelah sepekan meninggalkan rumah.
Itulah awal perpisahan panjang antara lima anak Sjam dan sang ayah. Tak ada lagi
ritual rutin Sjam bersama anaknya melancong ke Sampur, Cilincing, untuk melihat
matahari terbenam. Tak ada lagi kumpul-kumpul keluarga minum susu di Kramat Raya.
Rumah di Jatibuntu-sekarang Jalan Pramuka Jati-digerebek Corps Polisi Militer setahun
setelah peristiwa 30 September. Tiga mobil milik keluarga-Nissan, Holden, dan Mazdadisita. Ibu tiri mereka, yang belum lama dinikahi Sjam, lenyap setelah kejadian itu.
Kehidupan mereka jungkir-balik.
Lima anak Sjam, bersama Mun Muntarsih-kakak ipar Sjam yang akhirnya mengasuh
mereka-hidup dempet-dempetan karena enam dari delapan kamar di rumah itu
ditempati 20-an tentara dari Kodam Siliwangi. Berbagai cara dilakoni agar bisa
menyambung hidup. Mulai berdagang bumbu dapur di Pasar Genjing hingga menjual
gado-gado di Stasiun Kramat.
Bu Mun-demikian anak-anak Sjam menyebut Mun Muntarsih-menjual barang-barang
milik Sjam di Pasar Rumput. Misalnya, jas panjang musim dingin yang dibeli di Cina.
Keluarga juga terpaksa menjual lukisan koleksi Sjam.
Rumah dengan luas tanah 900 meter persegi itu belakangan ditempati tiga polisi militer
beserta keluarganya. Pelan-pelan Maksum dan adik-adiknya menyingkir ke kamar
belakang, hingga akhirnya jadi penghuni garasi. Tak tahan oleh tekanan psikologis itu,
mereka hengkang, menjelang 1970, tak lama setelah Maksum lulus sekolah menengah
pertama.
Sejak itulah lima bersaudara ini berpencar. Dua adik Maksum, Shinta (saat itu 14 tahun)
dan Laksmi, 5 tahun, diboyong oleh Latifah, adik Sjam, ke Tuban, Jawa Timur. Adapun
Ratna, 12 tahun, anak nomor tiga, diasuh keluarga di Bandung. Maksum dan Kelana, 9
tahun, hidup luntang-lantung mengembara ke beberapa kota di Jawa.
Oleh Benyamin, gurunya di SMP 8 Pegangsaan Barat, Maksum diajak ke Pacet, Jawa
Timur. Ia ikut sekolah persiapan dua tahun-setingkat sekolah menengah atas. Dari sana
Maksum masuk pesantren Lirboyo, di Kediri, Jawa Timur. Ia nyantri pada 1971 hingga
1979. Maksum memberi tahu Latifah soal keberadaannya setelah empat tahun di
Lirboyo.
Lain Maksum, lain Kelana. Anak keempat Sjam ini mengelana ke Yogyakarta dan
Bandung, sebelum akhirnya balik ke Jakarta. Sekolahnya putus-sambung. Berbekal
informasi dari surat kabar yang mewartakan tahanan politik ditaruh di rumah tahanan
193
militer di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat, Kelana memberanikan diri menanyakan
keberadaan ayahnya. Ditanya oleh penjaga, ia mengaku anak Sjam.
Pencariannya tak sia-sia: ia diizinkan bertemu dengan sang ayah. Momen itu
berlangsung pada 1976. Karena dari kecil sudah ditinggal pergi Sjam, Kelana tidak ingat
wajah ayahnya. Ia merasa pertemuan itu tidak begitu mengharukan. Keberadaan Sjam
disampaikan Kelana kepada Maksum.
Kelana sejak itu rajin menyambangi ayahnya. "Setelah tahu saya anak Sjam, saya
mudah keluar-masuk kamar tahanan," kata Kelana, kini 48 tahun. Sepulang dari sana, ia
selalu diberi uang saku oleh Sjam. Bahkan, atas perintah Sjam, Kelana mengambil
sendiri uang itu dari dalam tas bapaknya. Jumlahnya Rp 30-35 ribu per bulan.
Dari mana uang itu? Kelana mengatakan, di dalam tahanan ayahnya menjadi perajin
tas. "Sebulan Bapak bikin tiga-empat koper," katanya. Pekerjaan itu dilakoninya
bertahun-tahun. Uangnya utuh karena tak pernah dibelanjakan. Uang di dalam tas itu
sudah dikelompokkan dalam pecahan ratusan dan ribuan. "Semuanya uang baru."
Di dalam sel empat kali empat meter itu, Kelana suka memasak bersama ayahnya. Sel
itu ada dapurnya. Di belakang sel, Sjam menanam bayam. Kelana juga suka tidur siang
di sana. Ayahnya, kata Kelana, juga rajin main badminton. "Raketnya sampai lima."
Meski sering besuk, Kelana merasa Sjam tak begitu terbuka. "Bapak jarang bicara,"
katanya.
Setelah Kelana masuk pusat pendidikan dan latihan balai teknik di Bandung, ia bekerja
di perusahaan pengeboran minyak lepas pantai di Selat Bali dan di Kepulauan Seribu.
Maksum baru balik ke Jakarta pada 1981, setelah dua tahun sebelumnya bekerja di
harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.
Karena ada lowongan pegawai negeri sipil di Dinas Purbakala, Yogyakarta, ia balik ke
Jakarta mengurus ijazah sekolah dasar dan SMP. Ia berani melamar karena di
ijazahnya nama sang ayah bukan Sjam Kamaruzaman, melainkan Sjamsudin. Di
Jakarta, Maksum kembali bertemu dengan Benyamin, yang pindah profesi menjadi
redaktur di salah satu harian Ibu Kota.
Bekas gurunya itu mengajak bergabung. Karena kangen kepada ayahnya-saat itu sudah
dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang-Maksum menyambut tawaran itu.
Ia lalu menjadi korektor bahasa.
Setelah memperoleh kartu tanda penduduk Jakarta, Maksum datang ke Cipinang. Sjam
kaget. Inilah pertemuan pertama setelah 16 tahun berpisah. "Tapi saya tak menangis,
karena air mata sudah habis," kata Maksum. Sejak itu Maksum datang ke ruang besuk
Cipinang dua bulan sekali, biasanya Sabtu pagi.
Berbeda dengan kepada Kelana, kepada Maksum Sjam banyak bicara soal ideologi.
"Mungkin karena tahu saya jebolan pesantren," katanya. Sjam juga suka minta
dibawakan majalah-majalah berbahasa Inggris dan Belanda. Tapi pembicaraan tak
pernah menyinggung peristiwa 1965.
194
Sjam menitikkan air mata ketika Maksum membawa anaknya ke Cipinang. Ia
menggendong cucu pertamanya itu, kemudian berkelakar, "Kowe kok bisa kawin?"
Sebelum menikah, Maksum memang sudah membawa calon istrinya kepada Sjam.
Sang istri sempat syok setelah tahu siapa calon mertuanya. Tapi, setelah itu ia mau
menerima.
Beberapa bulan sebelum eksekusi, September 1986, Maksum membesuk ayahnya.
Sjam memberinya Al-Quran. Ia juga berpesan agar lima bersaudara itu rukun. "Kalau
adikmu butuh uang, bantu mereka. Tapi jangan dihitung utang," Sjam berpesan.
Wajahnya terlihat tenang, tak ada beban.
Malam terakhir menjelang eksekusi, Sjam ditemani Shinta. Anak kedua itu dijemput dari
Tuban oleh dua tentara. Mereka bertemu hanya 30 menit. Malam itu Shinta menangis
sejadi-jadinya. Melihat itu, Sjam berujar, "Kamu kok nangis? Semua orang nanti akan
meninggal juga."
Setelah itu, Sjam dijemput. Tidak jelas di mana eksekusi berlangsung. Tak pula
diketahui di mana Sjam dimakamkan. Shinta lalu menyampaikan kabar eksekusi itu
kepada keluarga. Tapi keluarga tak pernah berusaha mencari makam Sjam.
Keberadaan tas berisi uang juga tak jelas.
Dari lima anaknya, hanya Ratna dan Laksmi yang tidak membesuk Sjam. "Bapak tidak
pernah minta mereka datang," kata Maksum. "Paling titip pesan atau tanya kabar."
Ratna hingga kini menetap di Bandung. Suaminya, yang masih terhitung kerabat jauh,
bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Mereka dikaruniai dua anak. Laksmi menetap
bersama suami dan anaknya di Tuban. Laksmi dan Shinta sama-sama lulusan IKIP
Bojonegoro.
Tapi tidak semuanya memulai rumah tangga dengan mulus. Kelana, misalnya, tiga kali
diusir calon mertua setelah mengaku putra Sjam. Gara-gara itu, Kelana
menyembunyikan silsilah keluarga. Ia baru membuka rahasia kepada istrinya setelah
anak kedua lahir, menjelang 1990.
Maksum dan adiknya juga merahasiakan sosok Sjam kepada anak mereka. Cucu
pertama Sjam baru tahu siapa eyangnya setelah Tempo mendatangi Maksum. Begitu
pula di lingkungan kerja. Anak-anak Sjam kini masih membungkus rapat siapa ayah
mereka. Sesuai dengan permintaan, Maksum, Kelana, Ratna, Shinta, dan Laksmi pun
hanya nama samaran. "Tekanan psikologis prahara politik ini begitu hebat," katanya.
195
Peluk Terakhir buat Sang Putri
DI sebuah rumah di Jakarta Timur, lelaki itu bicara setengah memohon. "Coba Bapak
cari informasi tentang Sjam. Saya dengar dia masih hidup di Florida, Amerika Serikat,"
katanya. Yang diajak bicara menggeleng. "Menurut saya, dia sudah mati. Tidak ada
alasan bagi pemerintah menyelamatkannya."
Pria pertama adalah Suryoputra, bukan nama sebenarnya, eks tahanan politik Partai
Komunis Indonesia dan sahabat karib Sjam Kamaruzaman, Ketua Biro Chusus Partai
Komunis Indonesia. Yang kedua adalah John Roosa, sejarawan dari Universitas British
Columbia, Kanada, yang baru saja menerbitkan Dalih Pembunuhan Massal, buku
tentang tragedi G30S.
Anda kangen kepada dia? Tempo memotong diskusi yang dilakukan menjelang buka
puasa Ramadan lalu. "Tentu saja," kata Suryo. "Kami teman dekat sejak zaman
revolusi."
"Kalau Sjam masih hidup," Suryo melanjutkan, "saya pasti bisa mengenalinya."
Setidaknya ada tiga tanda Sjam yang masih bisa diingat Suryo. Pertama, codet di dekat
mata kiri. Kedua, bekas luka di paha bagian belakang karena peluru nyasar saat
keduanya berlatih menembak. Ketiga, ini yang menarik, Sjam takut pada cecak. "Kalau
bertemu dia, saya akan bawa cecak. Jika dia takut, pasti itu Sjam," kata Suryo tertawa.
Azan magrib terdengar, Suryo menyeruput air minumnya.
Suryo bukan satu-satunya orang yang percaya Sjam masih hidup. Boengkoes, kini 83
tahun, mantan Komandan Peleton Kompi C Batalion Kawal Kehormatan Cakrabirawa,
pasukan yang menculik enam jenderal Angkatan Darat pada peristiwa G30S, meyakini
hal yang sama. "Saya dengar dia dibuang ke Amerika. Ada juga yang bilang dikirim ke
Arab Saudi. Kabarnya, anaknya pernah bertemu dia di Sumatera," katanya.
Soal mengapa pemerintah menyelamatkan Sjam, sedangkan petinggi PKI lain
dieksekusi mati, Boengkoes berujar pendek, "Ia tokoh penting di partai, punya jaringan
kuat di kalangan militer."
Sjam adalah bayang-bayang. Kematiannya hingga kini menjadi misteri. Tak ada kuburan
penanda jasadnya. Bahkan keluarganya tak pernah diberi tahu perihal jenazah atau
kuburnya. Yang ada hanya perjamuan terakhir pria asal Tuban, Jawa Timur, itu dengan
putri pertamanya, Shinta (nama yang disamarkan), sehari sebelum ia kabarnya
dieksekusi mati.
lll
KAMIS pagi, 25 September 1986. Dua pria bertubuh tegap mengetuk pintu rumah di
Kampung Kutorejo, Tuban, Jawa Timur. Kepada tuan rumah, Latifah, mereka mengaku
sebagai utusan Komando Daerah Militer V Brawijaya. Tuan rumah adalah adik kandung
Sjam.
Shinta ikut mendampingi bibinya. Ia ingat, kedua tamu mengulurkan selembar surat
"titipan dari Jakarta". Setelah membacanya, Latifah meminta Shinta bergegas ganti baju.
196
Bersama dua orang yang belakangan diketahui sebagai Oditur Militer Kodam Brawijaya
itu, Shinta naik bus umum menuju Surabaya. Dari Bandar Udara Juanda, perjalanan
dilanjutkan ke Jakarta.
Dua orang itu, sesuai dengan kartu nama yang hingga kini disimpan keluarga Sjam,
adalah Letnan Kolonel CHK Frans Paul Lontoh dan Letnan Kolonel CHK Soewardi. Di
perjalanan, mereka mengatakan hendak mempertemukan Shinta dengan Sjam. Ia
terakhir menjenguk ayahnya di penjara Cipinang pada 1972, bersama kakak Sjam.
Shinta mengaku menghadapi pilihan sulit. Sebagai pegawai negeri, bertemu dengan
tahanan politik adalah persoalan baru. Tapi pertemuan dengan sang ayah merupakan
kebahagiaan tersendiri. Shinta didatangkan atas permintaan ayahnya, meski Sjam juga
ingin Latifah hadir. Hal itu tertera dalam surat yang ditulis Sjam di Cipinang dan diberi
judul "Lieve Latifah". Surat ditulis pada November 1984 dan dibawa dua perwira tersebut
ke Tuban.
Dua perwira Kodam Brawijaya itu mengajak Shinta ke sebuah tempat. Matanya selalu
ditutup. "Saya tak tahu tempatnya," ujarnya. "Turun dari kendaraan, saya dibawa masuk
ke sebuah ruang. Di depan saya sudah ada Bapak." Shinta memandangi ayahnya.
Mereka berpelukan erat.
Menurut Shinta, tidak ada perubahan fisik ayahnya yang menonjol. Bicaranya tetap
tegas, bersemangat. Tampak wajahnya mulai keriput dimakan umur. "Yang paling
mencolok, uban Bapak banyak sekali," tuturnya. Sjam ketika itu berusia 64.
Di ruangan itu ada dua meja, dua-duanya dipenuhi pelbagai hidangan. Semua makanan
enak. Ada ikan kakap, sate, dan ayam bekakak. Sjam, menurut Maksum (bukan nama
sebenarnya), kakak Shinta yang ditemui secara terpisah, lalu berkata, "Ayo kita makan
enak." Tapi Shinta tak menyentuh satu pun makanan. Ia menangis selama pertemuan.
Sjam kemudian berujar, "Kamu kok nangis. Semua orang nanti akan meninggal juga."
Pengawal memberi tahu, mereka hanya punya waktu setengah jam. Sjam minta maaf
kepada lima anaknya karena tak bisa membesarkan mereka. Ia berpesan kepada anakanaknya agar hidup rukun. Tak lama kemudian, seorang rohaniwan berpakaian putih
masuk. Lelaki itu meminta Shinta segera pergi. Sjam memeluk putrinya dan kembali
minta maaf.
Keluar dari ruangan, Shinta ditawari menginap di hotel. Ia menolak dan meminta diantar
ke rumah kakak Sjam di kawasan Tebet Barat, Jakarta Selatan. Di tempat itu, Shinta
menceritakan kepada kakak-kakak dan keluarganya: ayahnya akan segera dieksekusi
mati.
Shinta lalu menyampaikan kabar sedih itu kepada saudara-saudaranya yang lain. Salah
satunya adalah Kelana (bukan nama sebenarnya), yang kala itu sedang mengerjakan
sebuah proyek di Kepulauan Seribu. "Saya mendapat telepon dari Shinta bahwa Bapak
dibawa ke Pulau Seribu," tuturnya. Adapun Maksum menuturkan, "Sekitar hari ketika
Bapak ditembak, saya bersama istri di rumah. Tiba-tiba saya menangis. Ada kesedihan
tanpa sebab. Tiba-tiba Shinta menelepon."
197
Menurut satu versi, Sjam dikeluarkan dari Cipinang pada 27 September 1986 pukul
21.00. Ia dijemput perwira Penelitian Kriminal Polisi Militer Kodam Jaya, Edy B. Sutomo,
lalu dibawa ke Rumah Tahanan Militer Cimanggis, Jawa Barat. Baru tiga hari kemudian,
ia dan dua tahanan lain dibawa ke Tanjung Priok pada tengah malam. Dengan kapal
laut militer mereka diangkut ke sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Mereka dieksekusi
pada pukul 03.00.
Tapi keluarga Sjam tak pernah mendengar kejelasan informasi itu. "Kalau benar Bapak
dieksekusi, di mana makamnya sekarang?" kata putri bungsunya, yang kini tinggal di
Tuban.
lll
KARLINA Supeli, aktivis perempuan, melakukan penelitian tentang para tahanan politik
pada 2001. Untuk keperluan ini, ia menyigi informasi tentang Sjam. Ia menemukan
seorang rohaniwan yang kabarnya mendampingi pria 64 tahun itu ketika dieksekusi.
Ditemui di kampus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, tempatnya berkantor,
Karlina tak banyak bicara. Ia beralasan, sang rohaniwan yang kini bermukim di
Semarang itu belum memberinya izin bicara. Ditanya apakah rohaniwan itu memastikan
Sjam telah ditembak mati, ia menjawab, "Itu juga bagian yang tidak boleh saya
sampaikan."
Sumber lain yang pernah mendengar cerita rohaniwan ini mengisahkan peluru dari regu
penembak meleset dari tubuh Sjam. Komandan regu kemudian mengambil alih
eksekusi. Ia mengambil pistol dan menembak Sjam dalam jarak dekat. "Beberapa bulan
kemudian, sang komandan masuk rumah sakit jiwa, ia tak tahan dengan peristiwa itu,"
tuturnya.
198
Versi Mutakhir G30S (By : Asvi Warman Adam)
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
BEGITU meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965, para perwira di sekeliling
Soeharto-Yoga Sugama, misalnya-langsung punya firasat: Partai Komunis Indonesia
berada di balik itu. Dalam hitungan hari, 5 Oktober 1965, Kepala Dinas Penerangan
Angkatan Darat Brigadir Jenderal Ibnu Subroto pun mengeluarkan pernyataan:
"Peristiwa ini jelas didalangi oleh PKI yang merencanakan kup ini."
Versi ini menimbulkan tanda tanya. Jika PKI berontak, kenapa tiga juta anggotanya tidak
melawan? Kenapa partai komunis terbesar ketiga di dunia itu rontok dengan mudahnya?
Selama ini alasan yang digunakan pemerintah selalu mengacu pada proses Mahkamah
Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang memutuskan PKI terlibat pemberontakan. Padahal
putusan pengadilan hanya menyebutkan individu-individu yang dijatuhi hukuman mati
atau seumur hidup, dengan alasan terbukti melakukan makar.
Pendekatan di atas itu ditentang oleh Benedict Anderson dan Ruth McVey, yang pada
Januari 1966 mengatakan ini persoalan intern Angkatan Darat. Pandangan itu kemudian
diterbitkan dan dikenal sebagai "Cornell Paper" (1971). Mereka memandang G30S
sebagai pemberontakan perwira asal Kodam Diponegoro yang kesal melihat perilaku
para jenderal SUAD yang hidup berfoya-foya di Jakarta. Perwira asal Jawa Tengah itu
mengajak personel Angkatan Udara Republik Indonesia dan PKI dalam operasi mereka.
Analisis kedua ini lemah karena Untung dan Latief memang dari Kodam Diponegoro,
tapi tidak demikian halnya dengan Brigadir Jenderal Supardjo (Siliwangi) dan Mayor
Udara Sujono. Demikian pula, mengatakan ini semata-mata persoalan "intern Angkatan
Darat" tidak tepat karena unsur PKI, seperti Sjam dan Pono, juga terlibat.
Kedua versi tersebut ditengahi Harold Crouch (The Army and Politics, 1978) yang
menolak Cornell Paper yang membebaskan PKI sepenuhnya dari kesalahan. Namun ia
berpendirian bahwa "inisiatif awal timbul dari tubuh Angkatan Darat". PKI terlibat tapi
sebagai "pemain kedua". Versi Crouch itu cukup beralasan, walaupun ia tak berhasil
menjelaskan mengapa G30S dirancang dengan buruk, mengapa pengumuman mereka
yang kedua disiarkan berselang lima jam dari yang pertama. Padahal, dalam suatu
kudeta, kecepatan dan ketepatan waktu sangat krusial.
Sebelum Harold Crouch, seorang penulis Belanda, Antonie Dake, menerbitkan untuk
konsumsi internasional edisi dua bahasa yang berisi pengakuan ajudan Bung Karno,
Bambang Widjanarko, The Devious Dalang (1974). Buku itu merupakan hasil
pemeriksaan Bambang Widjanarko (3 Oktober-4 November 1970) yang membenarkan
bahwa Soekarno pada 4 Agustus 1965 memanggil Letnan Kolonel Untung dan
memerintahkannya mengambil tindakan terhadap jenderal-jenderal yang tidak loyal.
Soekarno wafat 22 Juni 1970 dan tidak mungkin lagi diadili. Tapi, untuk apa dilakukan
pemeriksaan tentang keterlibatannya dalam G30S? Ditengarai wacana itu merupakan
upaya preventif mencegah kebangkitan pendukung Soekarno dalam pemilihan umum
Juli 1971. Versi Soekarno ini diragukan, karena Widjanarko sendiri mengakui kemudian
199
ia dipaksa bersaksi. Apa yang terjadi pada 1 Oktober 1965 pagi hari membuktikan
bahwa Presiden Soekarno tidaklah tahu sepenuhnya rencana G30S. Mengapa ia
berputar-putar keliling Jakarta sebelum menuju Pangkalan Udara Halim
Perdanakusuma, 1 Oktober 1965? Mengapa tidak langsung dari Wisma Yaso menuju
Halim?
Keterlibatan Soeharto diungkapkan oleh W.F. Wertheim dalam artikelnya yang terbit
musim dingin 1970: "Suharto and the Untung Coup-The Missing Link". Hubungan
Soeharto dengan Untung dan lebih-lebih lagi dengan Latief yang bertemu dengan
Soeharto pada malam nahas itu juga dipertanyakan. Soalnya, Soeharto tidaklah
"sejenius" itu, bukan tipe orang yang merancang perebutan kekuasaan secara
sistematis. Tapi, karena sudah tahu sebelumnya, ia menjadi orang yang paling siap.
Amerika Serikat tidak ikut campur pada 30 September dan 1 Oktober 1965 walaupun
berbagai dokumen menyebutkan keterlibatan mereka sebelum dan sesudah peristiwa.
Bagi Amerika, jatuhnya Indonesia ke tangan komunis artinya kiamat. Keterlibatan
Amerika ini sudah disinyalir Bung Karno dalam pidato Nawaksara pada 1967, yang
menyebut adanya "subversi Nekolim".
Setelah Soeharto jatuh pada 1998, bermunculan buku-buku yang semasa Orde Baru
tidak boleh terbit di samping pencetakan ulang versi resmi. Meskipun berbentuk
penerbitan terjemahan atau tulisan baru, semua buku itu masih dapat dikategorikan atas
lima pendekatan dalam melihat dalang G30S (PKI, Angkatan Darat, Soekarno,
Soeharto, dan CIA). Masing-masing menentukan dalang tunggal dari peristiwa yang
sesungguhnya sangat kompleks. Padahal Soekarno pada 1967 sudah lebih maju dalam
melihat peristiwa itu, yakni sebagai pertemuan tiga sebab: 1) keblingernya pemimpin
PKI, 2) subversi Nekolim, 3) adanya oknum yang tidak bertanggung jawab.
Versi keenam, versi mutakhir G30S dikemukakan dalam buku John Roosa (Dalih
Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, 2008). Di sini peran
Sjam sangat menentukan. Kelemahan utama G30S adalah tidak adanya satu komando.
Terdapat dua kelompok pemimpin, yakni kalangan militer (Untung, Latief, dan Sujono)
serta pihak Biro Chusus PKI (Sjam, Pono, dengan Aidit di latar belakang). Sjam
memegang peran sentral karena ia menjadi penghubung di antara kedua pihak ini.
Namun, ketika upaya ini tidak mendapat dukungan dari Presiden Soekarno, bahkan
diminta untuk dihentikan, kebingungan terjadi, kedua kelompok ini terpecah. Kalangan
militer ingin mematuhi, sedangkan Biro Chusus tetap melanjutkan. Ini dapat
menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama, kedua, dan ketiga terdapat selang
waktu sampai lima jam. Pada pagi hari mereka mengumumkan bahwa Presiden dalam
keadaan selamat. Adapun pengumuman berikutnya, siang hari, sudah berubah drastis:
pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet.
Dokumen Supardjo mengungkap mengapa gerakan itu gagal dan tidak bisa
diselamatkan. Kerancuan antara "penyelamatan Presiden Soekarno" dan "percobaan
kudeta" dengan membubarkan kabinet dijelaskan dengan gamblang. Jauh sebelum
peristiwa berdarah itu, Amerika telah mendiskusikan segala tindakan yang perlu untuk
mendorong PKI melakukan gebrakan lebih dulu sehingga dapat dipukul secara telak
oleh Angkatan Darat. Dan Aidit pun terjebak. Karena sudah mengetahui sebelum
peristiwa itu terjadi, Soeharto adalah jenderal yang paling siap pada 1 Oktober 1965
200
ketika orang lain bingung. Nama Soeharto sendiri tidak termasuk daftar perwira tinggi
yang akan diculik.
Penulis Prancis, Paul Veyne, mengatakan bahwa sejarah itu tak lain dari intrik. Pada
versi ini, kerumitan misteri itu disederhanakan dengan metode ala detektif. Pembaca
diyakinkan bahwa tokoh kunci G30S, Sjam Kamaruzaman, bukanlah agen ganda,
apalagi triple agent, melainkan pembantu setia Aidit bertahun-tahun. Pelaksana Biro
Chusus PKI yang ditangkap pada 1968 ini baru dieksekusi pada 1986. Ia bagaikan putri
Syahrezad yang menunda pembunuhan dirinya dengan menceritakan kepada raja
sebuah kisah setiap malam, sehingga mampu bertahan 1.001 malam. Sjam bertahan
lebih dari 18 tahun dengan mengarang 1.001 pengakuan. Ia diberi kesempatan untuk
mengungkapkan siapa saja yang pernah direkrutnya.
Sjam divonis mati dalam Mahmilub pada 1968. Ia diambil dari Lembaga
Pemasyarakatan Cipinang 27 September 1986, dibawa ke RTM Cimanggis, Bogor.
Pada 30 September dinihari, bersama Pono dan Bono dibawa ke lokasi eksekusi di
salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Dari RTM Cimanggis dibawa dengan konvoi
kendaraan militer ke dermaga Tanjung Priok. Dengan kapal militer berlayar selama 15
menit sampai di pulau. Mereka ditembak tepat pukul 3 pagi oleh regu tembak yang
terdiri atas 12 orang. Rute kehidupan Sjam dari Tuban (30 April 1924)-JombangSurabaya-Yogyakarta-Jakarta-RRC (berobat)-Vietnam Utara-penjara Cipinang-RTM
Cimanggis-Tanjung Priok-Kepulauan Seribu (30 September 1986) berakhir tepat pada
peringatan 21 tahun tragedi berdarah itu.
Dalam versi keenam ini terungkap bahwa G30S lebih tepat dianggap sebagai aksi
(untuk menculik tujuh jenderal dan menghadapkan kepada Presiden), bukan sebagai
gerakan. Sebab, peristiwa ini merupakan aksi sekelompok orang di Jakarta dan Jawa
Tengah yang dapat diberantas dalam waktu satu-dua hari. Namun aksi ini (yang
kemudian ternyata menyebabkan tewasnya enam jenderal) oleh Soeharto dan kawankawan lalu dijadikan dalih untuk memberantas PKI sampai ke akar-akarnya. Sesuatu
yang di lapangan menyebabkan terjadinya pembunuhan massal dengan korban lebih
dari setengah juta jiwa.
Kalau para jenderal yang diculik itu tertangkap hidup-hidup, mungkin sejarah Indonesia
akan lain. Massa PKI akan turun ke jalan dan menuntut para jenderal itu dipecat.
Presiden akan didesak untuk memberikan kursi departemen kepada golongan kiri itu
karena sampai 1965 Soekarno tidak pernah mempercayakan pemimpin departemen
kepada tokoh komunis kecuali Menteri Negara.
Versi terakhir ini dilakukan dengan membongkar versi-versi lama (dekonstruksi) dan
menyusun narasi baru (rekonstruksi) dengan menggunakan sumber-sumber yang
kesahihannya telah diuji serta tokoh kunci yang dapat diandalkan mengenai apa yang
disebut Biro Chusus PKI. Versi ini menampilkan data baru (berbagai dokumen dari
dalam dan luar negeri), metodologi baru (dengan mengikutsertakan sejarah lisan), dan
perspektif baru (ini adalah aksi bukan gerakan, tapi kemudian dijadikan dalih untuk
peristiwa berikutnya yang lebih dahsyat). Karena Sjam menjadi tokoh sentral, silakan
versi terakhir ini disebut G30S/Sjam.
201
Kisah Dokumen Forensik 7 Pahlawan Revolusi
Orang-orang sering menjadi terkesima ketika membongkar-bongkar gudang yang bertimbun
dan berdebu. Sementara iseng membolak-balik ratusan halaman fotokopi rekaman stenografis
dari sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo di depan Mahmilub, saya temukan dokumendokumen yang saya terjemahkan di bawah ini, yang aslinya merupakan lampiran-lampiran pada
berkas sidang pengadilan itu.
Dokumen itu adalah laporan yang disusun oleh sebuah tim terdiri dari lima orang ahli
kedokteran forensik, yang telah memeriksa mayat-mayat enam orang jendral (Yani, Suprapto,
Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan), dan seorang letnan muda (Tendean) yang terbunuh
pada pagi-pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Laporan mereka yang lugas merupakan lukisan
paling obyektif dan tepat yang pernah kita miliki, tentang bagaimana tujuh orang itu mati.
Mengingat kontroversi yang telah lama tentang masalah ini, dan berita-berita yang disajikan
oleh suratkabar dan majalah umum berlain-lainan, maka saya memandang perlu
menerjemahkan dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya untuk kepentingan kalangan ilmiah.
Bagian atas setiap visum et repertum (otopsi) menunjukkan bahwa tim tersebut bekerja pada
hari Senin tanggal 4 Oktober, atas perintah Mayjen Suharto selaku Komandan KOSTRAD
ketika itu, kepada kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Tim terdiri dari dua
orang dokter tentara (termasuk Brigjen Roebono Kertopati yang terkenal itu), dan tiga orang
sipil ahli kedokteran forensik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di antara ketiga
orang ini yang paling senior ialah Dr. Sutomo Tjokronegoro, ketika itu ahli paling terkemuka
dalam kedokteran forensik di Indonesia. Tim bekerja sama selama 8 jam, yaitu dari pukul 4.30
sore tanggal 4 Oktober sampai 12.30 lewat tengah malam tanggal 5 Oktober, bertempat di
Kamar Bedah RSPAD. Jelas mereka harus bekerja cepat, oleh karena dari berita-berita pers
kita ketahui mayat-mayat itu baru bisa diangkat dari lubang sumur di Lubang Buaya (di mana
para pembunuh telah melemparkannya) menjelang siang tanggal 4 Oktober, lebih 75 jam
setelah pembunuhan terjadi. Dalam jangka waktu itu, dalam iklim tropis bisa diperkirakan mayat
sudah sangat membusuk. Dan sesudah hari siang, Selasa tanggal 5 Oktober, mayat-mayat itu
dimakamkan dengan upacara militer di Taman Pahlawan Kalibata. Satu hal yang pasti patut
diperhatikan. Mengingat bahwa otopsi itu dilakukan atas perintah langsung Mayjen Suharto,
maka kiranya tidak akan mungkin jika laporan para dokter tersebut tidak segera disampaikan
kepadanya, segera setelah tugas dilaksanakan.
202
Tujuh buah laporan itu masing-masing disusun menurut bentuk yang sama:
pernyataan adanya perintah Mayjen Suharto kepada lima orang ahli itu;
identifikasi atas mayat;
deskripsi tubuh, termasuk pakaian atau hiasan-hiasan badan;
uraian rinci tentang luka-luka;
kesimpulan tentang waktu dan penyebab kematian;
pernyataan di bawah sumpah dari kelima ahli itu,
bahwa pemeriksaan telah dilaksanakan sepenuh-penuhnya dan sebagaimana mestinya.
Karena gambaran umum tentang matinya tujuh tokok itu, kita, sebagaimana halnya masyarakat
pembaca di Indonesia tahun 1965, harus banyak bersandar pada apa yang diberitakan oleh
dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, serta dinas informasi
ABRI yang memasok suratkabar-suratkabar tersebut. Walaupun ada beberapa suratkabar nonmiliter yang tetap terbit, namun pers kiri telah ditindas pada petang hari tanggal 1 Oktober,
sedangkan radio dan televisi yang dikuasai negara, dan telah ada di tangan militer sepenuhnya
menjelang 1 Oktober, tidak mengudara. Karena itu perlu diperbandingkan berita-berita yang
disajikan oleh suratkabar-suratkabar tentara tersebut, dengan ini laporan dari para ahli
kedokteran yang ditunjuk militer yang selesai tersusun pada hari Selasa tanggal 5 Oktober,
yang bisa kita simpulkan dari dokumen-dokumen lampiran itu.
Mengingat bahwasanya dua suratkabar tersebut adalah harian-harian pagi, sehingga edisi 5
Oktober mereka mungkin sudah ―ditidurkan‖ sementara para dokter masih menyelesaikan
pekerjaannya, maka tidak aneh bila pemberitaan mereka tentang hari itu barangkali tergesagesa, tanpa memanfaatkan informasi yang panjang lebar itu. Angkatan Bersenjata memuat
beberapa buah foto kabur mayat-mayat yang telah membusuk, dan menggambarkan
pembunuhan tersebut sebagai ―perbuatan biadab berupa penganiayaan yang dilakukan di luar
batas perikemanusiaan‖. Berita Yudha yang selalu lebih garang, mengatakan bahwa mayatmayat itu penuh dengan bekas-bekas penyiksaan. ―Bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat
siksaan sebelum ditembak masih membalut tubuh-tubuh pahlawan kita.‖ Mayjen Suharto sendiri
dikutip menyatakan, ―jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala (jenazahjenazah itu), betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab
dari apa yang dinamakan ‗Gerakan 30 September‘‖. Suratkabar itu meneruskan dengan
menggambarkan saat-saat terakhir kehidupan Jendral Yani, mengatakan bahwa sesudah
ditembak rubuh di rumahnya, ia dilemparkan hidup-hidup ke dalam sebuah truk dan terus
menerus disiksa sampai ―penyiksaan terakhirnya di Lubang Buaya.‖ Bukti-bukti tentang
203
penyiksaan ini ditunjukkan dengan adanya luka-luka pada leher dan mukanya, dan kenyataan
bahwa ―anggota-anggota tubuhnya tidak sempurna lagi‖. Apa yang dimaksud oleh kata-kata
yang agak kabur itu menjadi lebih jelas pada hari- hari berikut. Pada hari Kamis tanggal 7
Oktober, Angkatan Bersenjata menyatakan bahwa ―matanya (Yani) dicungkil‖. Berita ini
dikuatkan dua hari kemudian oleh Berita Yudha dengan menambahkan bahwa muka mayat itu
ditemukan terbungkus dalam sehelai kain hitam.
Pada tanggal 7 Oktober itu juga Angkatan Bersenjata melukiskan lebih lanjut, tentang
bagaimana Jendral Harjono dan Jendral Pandjaitan tewas oleh berondongan tembakan senjata
api di rumah masing-masing, lalu mayat mereka dilempar ke dalam sebuah truk yang
menghilang dalam kegelapan malam dengan ―deru mesinnya yang seperti harimau haus
darah‖. Sementara itu Berita Yudha memberitakan tentang bekas-bekas siksaan pada kedua
tangan Harjono.
Pada tanggal 9 Oktober Berita Yudha memberitakan, bahwa meskipun muka dan kepala
Jendral Suprapto telah dihancurkan oleh ―penteror-penteror biadab‖, namun ciri-cirinya masih
bisa dikenali. Pada Letnan Tendean terdapat luka-luka pisau pada dada kiri dan perut, lehernya
digorok, dan kedua bola matanya ―dicungkil‖. Harian ini pada hari berikutnya mengutip saksi
mata pengangkat mayat bulan Oktober itu, yang mengatakan bahwa di antara kurban beberapa
ada yang matanya keluar, dan beberapa lainnya ―ada yang dipotong kelaminnya dan banyak
hal-hal lain yang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan.‖ Pada tanggal 11
Oktober Angkatan Bersenjata menulis panjang lebar tentang matinya Tendean, dengan
menyatakan bahwa ia mengalami siksaan luar biasa di Lubang Buaya, sesudah diserahkan
kepada para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Ia dijadikan benda ―permainan
jahat‖ perempuan- perempuan ini, digunakan sebagai ―bulan-bulanan sasaran latihan
menembak sukwati Gerwani.‖
Begitu suratkabar-suratkabar tentara memulai, maka yang lain pun segera serta merta
mengikuti. Misalnya Api Pantjasila, orang partai IPKI yang bernaung di bawah militer, pada
tanggal 20 Oktober memberitakan, bahwa ―alat pencungkil‖ yang digunakan untuk jendraljendral itu telah ditemukan oleh pemuda-pemuda anti komunis, ketika mereka menyerbu
gedung-gedung Partai Komunis, di desa Harupanggang di luar kota Garut. Walaupun tanpa
diterangkan, mengapa partai tersebut memandang desa itu cocok untuk menyimpannya. Pada
tanggal 25 Oktober suratkabar ini juga memuat pengakuan seseorang bernama Djamin,
anggota organisasi pemuda Partai Komunis, Pemuda Rakyat, yang mengatakan telah
204
menyaksikan bagaimana Jendral Suprapto telah disiksa ―di luar batas kesusilaan‖ oleh anggotaanggota Gerwani. Pengakuan-pengakuan serupa itu dimuat berturut-turut, dan memuncak pada
cerita menarik tentang Nyonya Djamilah, disiarkan pada tanggal 6 Oktober oleh Dinas
Penerangan ABRI kepada seluruh kalangan pers. Nyonya Djamilah diceritakan sebagai hamil
tiga bulan, pimpinan Gerwani dari Pacitan berumur lima belas tahun, mengaku bahwa ia dan
kawan-kawannya di Lubang Buaya telah menerima pembagian pisau kecil serta silet dari
anggota-anggota pasukan Gerakan 30 September. Lalu mereka, yang seluruhnya berjumlah
seratus orang itu, mengikuti perintah orang- orang itu pula, mulai memotong dan menyayatsayat kemaluan jendral-jendral yang telah mereka tangkap itu. (‖Dibagi-bagikan pisau kecil dan
pisau silet… menusuk-nusuk pisau pada kemaluan orang-orang itu. Api Pantjasila, 6 November
1965). Malahan tidak berhenti di situ saja. Antara yang telah dikuasai militer itu, pada tanggal
30 November melukiskan bagaimana orang-orang Gerwani itu dengan mudahnya telah
menyerahkan tubuh mereka kepada para personel AURI yang ikut serta dalam Gerakan 30
September. Sementara itu pada tanggal 13 Desember Angkatan Bersenjata melukiskan mereka
bertelanjang menarikan ―Tarian Bunga Harum‖ di bawah pimpinan Ketua Partai Komunis Dipa
Nusantara Aidit, sebelum terjun dalam pesta pora massal bersama para anggota Pemuda
Rakyat.
Di dalam cerita-cerita yang memenuhi suratkabar selama bulan- bulan Oktober, November dan
Desember ini — sementara itu pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang yang
berhubungan dengan Partai Komunis terus berjalan — terkandung dua hal yang sangat
menarik diperhatikan. Pertama, ditiup-tiupkan bahwa tujuh kurban itu mengalami siksaan yang
mengerikan — khususnya dicungkil mata dan dipotong kemaluan mereka; kedua, ditonjolkan
bahwa pelaku-pelaku kejahatan adalah orang-orang sipil dari organisasi yang berafiliasi dengan
komunis.
Apakah yang diberitakan kepada kita oleh laporan para ahli forensik pada tanggal 5 Oktober
itu? Pertama, dan terutama, bahwa tidak ada satu biji mata pun dari para kurban yang telah
dicungkil, dan bahwa semua kemaluan mereka pun masih utuh. Kepada kita bahkan diberitakan
bahwa empat berkhitan dan tiga tidak berkhitan.
Kecuali itu, barangkali perlu kurban-kurban itu dibagi ke dalam dua golongan: mereka yang
dengan sebagian besar bukti non-forensik menunjukkan telah dibunuh dengan ditembak selagi
masih di rumah oleh para penculik mereka, yaitu Jendral Yani, Jendral Pandjaitan, dan Jendral
205
Harjono; dan mereka yang dibunuh sesudah dibawa ke Lubang Buaya, yaitu Jendral Parman,
Jendral Suprapto, dan Jendral Sutojo, serta Letnan Tendean.
Golongan I. Berita paling lengkap tentang kematian mereka terbit jauh sesudah peristiwa
terjadi: tentang Yani dalam Berita Yudha tanggal 5 Desember; Pandjaitan dalam Kompas
tanggal 25 Oktober; Berita Yudha Minggu tanggal 21 November, dan Berita Yudha tanggal 13
Desember; dan Harjono dalam Berita Yudha Minggu tanggal 28 November. Semua
pemberitaan menunjukkan, bahwa jendral-jendral itu telah dibunuh dengan mendadak dan
seketika di rumah dengan berondongan tembakan yang dilakukan oleh anggota-anggota
Resimen Kawal Cakrabirawa, di bawah pimpinan operasi Lettu Doel Arief. Gambaran demikian
hanya sebagian saja dibenarkan oleh laporan forensik. Para ahli forensik itu menyatakan bahwa
luka-luka pada tubuh Yani sajalah yang merupakan sepuluh luka tembak masuk dan tiga
tembus. Pandjaitan mengalami tiga luka tembak pada kepala, serta luka robek kecil di tangan.
Pada luka-luka yang dialami Harjono timbul tanda tanya, karena tidak disebut-sebut sebagai
akibat tembakan. Penyebab kematiannya rupanya adalah torehan panjang dan dalam pada
bagian perut, luka yang lebih mungkin disebabkan oleh bayonet ketimbang pisau lipat atau silet.
Sebuah luka serupa yang tak mematikan terdapat pada punggung korban. Cedera lain satusatunya digambarkan ―pada tangan dan pergelangan tangan kiri, luka-luka disebabkan oleh
barang tumpul.‖ Tak ada cara lain yang lebih tepat untuk menafsirkan luka-luka ini kecuali harus
mengatakan, bahwa luka-luka tesebut tidak mungkin karena siksaan — jarang penyiksa
memilih pergelangan kiri dalam melakukan pekerjaan mereka — dan luka itu barangkali karena
mayat itu dilempar ke dalam sumur di Lubang Buaya yang 36 kaki dalamnya.
Golongan II. Cerita lengkap tentang matinya korban-korban ini terdapat dalam suratkabarsuratkabar berikut: Parman, Berita Yudha, 17 Oktober dan juga Berita Yudha serta Angkatan
Bersenjata tanggal 2 Desember; Soeprapto, Berita Yudha Minggu tanggal 5 Desember; Sutojo,
Berita Yudha Minggu tanggal 21 November. Terhadap empat orang inilah berita-berita tentang
siksaan biadab dan seksual paling banyak diberikan. Apa yang diungkapkan oleh laporan
forensik adalah sebagai berikut:
S. Parman mengalami lima luka tembak, termasuk dua yang mematikan pada kepala; dan, di
samping itu, ―robek dan patah tulang pada kepala, rahang, dan kaki kiri bawah, semuanya
sebagai akibat benda tumpul dan keras — popor bedil atau dinding dan lantai sumur — tetapi
jelas bukan luka-luka ―siksaan‖, juga tidak sebagai akibat silet atau pisau lipat.
Soeprapto mati oleh karena sebelas luka tembak pada berbagai bagian tubuhnya. Luka-luka
lain berupa enam luka robek dan patah tulang sebagai akibat dari benda tumpul pada kepala
206
dan muka; satu disebabkan oleh benda keras tumpul pada betis kanan; luka- luka dan patah
tulang itu ―akibat benda tumpul‖ yang sangat keras pada bagian pinggul dan pada paha kanan
atas‖; dan tiga sayatan yang, melihat pada ukuran dan kedalamannya, mungkin disebabkan
oleh bayonet. Sekali lagi ―benda tumpul‖ mempertunjukkan terjadinya benturan dengan bendabenda keras yang besar dan berbentuk tak menentu (popor bedil dan batu-batu sumur), dan
bukannya silet atau pisau,
Sutojo mengalami tiga luka tembak (termasuk satu yang fatal pada kepala), sedang ―tangan
kanan dan tempurung kepala retak sebagai akibat benda tumpul keras‖. Sekali lagi kombinasi
ganjil antara tangan kanan, tulang tengkorak, dan benda pejal berat yang memberikan kesan
popor bedil atau batu-batu sumur.
Tendean mati akibat empat luka tembak. Kecuali itu para ahli tersebut menemukan luka gores
pada dahi dan tangan kiri, demikian juga ―tiga luka akibat trauma pejal pada kepala.‖
Tak terdapat sepatah kata pun di laporan-laporan ini tentang adanya siksaan yang tak
tersangkal, dan tak ada juga bekas silet atau pisau kecil apapun. Bukan saja karena hampir
semua luka-luka bukan tembak itu dilukiskan sebagai akibat dari benda pejal dan keras, tetapi
karena pembagiannya secara jasmaniah pun ―pergelangan kaki, tulang kering, pergelangan
tangan, paha, pelipis dan lain-lain — pada umumnya tampak sembarangan. Adalah sangat
menarik, bahwa sasaran para penyiksa yang lazim yaitu pelir, dubur, mata, kuku, telinga, dan
lidah tidak disebut-sebut. Maka dengan cukup meyakinkan bisa dikatakan bahwa enam orang
dari korban-korban itu mati oleh tembakan senjata api (perihal Harjono yang mati di dalam
rumahnya tetap membingungkan); dan jika tubuh mereka mengalami tindak kekerasan lain
adalah akibat pemukulan dengan gagang bedil yang mematahkan peluru-peluru mematikan itu,
atau cedera yang mungkin diakibatkan karena jatuh dari ketinggian 36 kaki — yaitu kira-kira tiga
tingkat lantai — ke dalam sumur yang berdinding batu.
Perlu juga dikemukakan, bahwa dalam pidatonya tanggal 12 Desember 1965 kepada Kantor
Berita Indonesia Antara, Presiden Soekarno mengutuk para wartawan yang telah membesarbesarkan pernyataan mereka, dan menegaskan bahwa dokter-dokter yang telah memeriksa
mayat para kurban menyatakan, tentang tidak adanya perusakan mengerikan pada mata dan
alat kelamin sepeti telah diberitakan dalam pers (Lihat Suara Islam, 13 Desember 1965, dan
FBIS, 13 Desember 1965). Ditulis Oleh Ben Anderson
207
Lagi Misteri Mayat Pahlawan Revolusi
Oleh:Teguh Santosa
―JELASLAH bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala batapa kejamnya aniaya yang
telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan Gerakan 30
September.‖ Pangkostrad Mayjen Soeharto, 4 Oktober 1965.
―Matanya dicungkil.‖ Angkatan Bersendjata, 6 Oktober 1965.
―Deru mesinnya yang seperti harimau haus darah.‖ Angkatan Bersendjata, 7 Oktober 1965.
―Ada yang dipotong tanda kelaminnya.‖ Berita Yudha, 10 Oktober 1965.
―Belakangan ini saya dapat bukti bahwa jenderal-jenderal yang dimasukkan semua ke Lubang
Buaya tidak ada satu orang pun yang kemaluannya dipotong. Saya dapat buktinya darimana?
Visum repertum daripada team dokter-dokter yang menerima jenazah-jenazah daripada jenderaljenderal yang dimasukkan ke dalam sumur Lubang Buaya itu.‖ Presiden Ir. Sukarno, 13
Desember 1965
Tulisan berikut ini dimuat secara berseri di Jakartabeat.net [bag. 1 dan bag. 2], merupakan
―penyempurnaan‖ dari tulisan-tulisan sebelumnya di blog ini, dilengkapi dengan beberapa
kutipan dari mock proposal di kelas POLS 780, juga foto-foto dari Lubang Buaya, dan
pemberitaan dari beberapa media massa di tahun 1965. Kalau Anda tak selesai membacanya,
istirahat dulu, lalu kembali lagi. Selamat mambaca.
***
208
Di atas kursi roda, mengenakan kaos oblong putih dan sarung biru bergaris-garis, Lim Joe Thay
duduk terdiam. Bibirnya mengatup, sering kedua telapak tangannya ditangkupkan di depan dada
dan sekali-sekali diletakkan di atas paha. Rambutnya telah memutih sempurna. Dia tak banyak
bicara. Kalau pun bersuara, kata-katanya terdengar sayup dan samar.
Sekali waktu laki-laki yang kini berusia 83 tahun itu
bergumam. Mumbling. Saya mencoba menangkap isi ceritanya. Tidak jelas. Terpotong-potong,
patah-patah. Kalau disambungkan seperti cerita tentang sepasukan tentara yang bergerak di
sebuah tempat, entah di mana. Tapi cerita itu tak tuntas. Dia menutup sendiri ceritanya,
mengalihkan pandangan mata ke sembarang arah, sebelum kembali menenggelamkan diri dalam
diam.
Di saat yang lain, dia kembali menanyakan nama saya. Dan kalau sudah begini, saya memegang
tangannya, menyebutkan nama saya sambil menatap matanya. Setelah itu senyumnya sedikit
mengembang.
209
Dikenal dengan nama dr. Arief Budianto, tak banyak yang menyadari Lim Joey Thay adalah
tokoh penting. Sangat penting, bahkan. Dia adalah satu dari segelintir orang yang berada di titik
paling menentukan dalam sejarah negara ini setelah Proklamasi 1945.
Pagi hari 4 Oktober 1965 pasukan yang dipimpin Pangkostrad Mayjen Soeharto menemukan
tujuh mayat perwira Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh Gerakan 30 September dinihari 1
Oktober. Ketujuh perwira naas itu adalah Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani,
Deputi II Menpangad Mayjen R. Soeprapto, Deputi III Menpangad Mayjen MT. Harjono, Deputi
IV Menpangad Brigjen DI. Panjaitan, Oditur Jenderal/Inspektur Kehakiman AD Brigjen Soetojo
Siswomihardjo, Asisten I Menpangad Mayjen S. Parman, dan Lettu P. Tendean (Ajudan Menko
Hankam/KASAB Jenderal AH Nasution).
Mayat enam jenderal dan seorang perwira muda Angkatan Darat ini ditemukan di dalam sebuah
sumur tua sekitar 3,5 kilometer di luar Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah
Lim Joey Thay yang ketika itu adalah lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (FK-UI) merupakan satu dari lima ahli forensik yangberdasarkan perintah
Soeharto memeriksa kondisi ketujuh mayat tersebut sebelum dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, siang hari 5 Oktober.
Empat dokter lain di dalam tim ini adalah dr. Brigjen Roebiono Kertopati, perwira tinggi yang
diperbantukan di RSP Angkatan Darat; dr. Kolonel Frans Pattiasina, perwira kesehatan RSP
Angkatan Darat; dr. Sutomo Tjokronegoro, ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran
Kehakiman, juga profesor di FK-UI; serta dr. Liau Yan Siang, rekan Lim Joey Thay di Ilmu
Kedokteran Kehakiman FK-UI.
Kini dari lima anggota tim otopsi itu, tinggal Lim Joey Thay dan Liu Yang Siang yang masih
hidup. Lim Joey Thay kini sakit-sakitan, sementara sejak beberapa tahun lalu, Liu Yan Siang
menetap di Amerika Serikat dan tidak diketahu pasti kabar beritanya.
Berpacu dengan waktu dan proses pembusukan, mereka berlima bekerja keras selama delapan
jam, dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober, hingga pukul 12.30 tengah malam 5 Oktober, di
kamar mayat RSP Angkatan Darat.
210
***
Pagi di bulan Juni tahun lalu saya dihubungi Dandhy Dwi Laksono, kawan jurnalis yang ketika
itu masih bekerja sebagai kordinator liputan sebuah stasiun televisi.
―Dr. Arif jatuh. Sekarang dirawat di St. Carolus. Gua mau ke sana. Lu nyusul ya,‖ begitu pesan
pendeknya.
Satu jam kemudian kami bertemu di kantin RS St. Carolus, Salemba, Jakarta Pusat. Setelah
sarapan dan membeli buah-buahan di kantin untuk dr. Lim Joey Thay, kami berjalan menuju
kompleks rawat inap Ignatius-II tempat ia dirawat.
Di teras Ignatius-II, Lim Joey Thay duduk sendirian menghadap taman kecil di depannya. Istri
dan beberapa kerabatnya yang berada di bagian dalam paviliun itu menyambut kami.
Informasi yang kami terima menyebutkan bahwa dr. Lim Joey Thay terjatuh karena serangan
struk. Namun Ny. Arif menjelaskan bahwa dr. Lim Joey Thay terjatuh saat hendak naik ke kursi
roda di rumahnya. Mungkin karena terlalu lelah. Keadaannya tidak mengkhawatirkan, kata Ny.
Arif. Dibandingkan tahun sebelumnya, kondisi dr. Lim Joey Thay lebih baik, sambungnya.
Dandhy menemukan kembali visum et repertum ketujuh Pahlawan Revolusi dan kisah tentang
dr. Lim Joey Thay saat menyiapkan sebuah program liputan khusus untuk menyambut
peringatan peristiwa Gerakan 30 September yang oleh Bung Karno dianggap sebagai resultan
dari konflik internal Angkatan Darat, petualangan pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI)
dan operasi kaum nekolim di tanah air. Tim liputan yang dipimpin Dandhy melakukan riset
ekstensif mengenai penyiksaan yang dialami ketujuh Pahlawan Revolusi itu. Dalam liputan
khusus itu, wawancara Dandhy dengan dr. Lim Joey Thay juga disertakan.
Saya tak menyaksikan liputan khusus yang diputar Oktober 2007 itu. Tetapi dari e-mail yang
disampaikan Dandhy pada sebuah milis ketika dia mengumumkan penayangan program tersebut
saya menangkap penegasan sekali lagi dr. Lim Joey Thay bahwa cerita tentang alat kelamin
Pahlawan Revolusi yang disilet —apalagi dipotong dan ditelan—juga cerita tentang mata mereka
yang dicungkil adalah bohong belaka. Sayangnya, kebohongan ini sudah kadung dianggap
sebagai fakta sejarah dan diajarkan di sekolah-sekolah.
Tulis Dandhy dalam e-mailnya, ―Hasil wawancara sebenarnya hanya mengonfirmasi apa yang
tertera dalam dokumen visum et repertum, bahwa enam Pahlawan Revolusi tewas akibat luka
tembak, dan satu orang (Mayjen M.T. Haryono) akibat luka tusuk. Ada sejumlah luka lebam
yang diragukan apakah akibat pemukulan atau akibat jenazah dijatuhkan ke dalam sumur
sedalam 12 meter.‖
―Karena masalah komunikasi, dalam wawancara, Prof Arief [Lim Joey Thay] didampingi dr.
Djaja Admadja, bekas muridnya yang kini adalah dokter forensik di RSCM (ahli DNA). dr.
Djaja yang lebih banyak mengurai detil, sementara Prof Arief sesekali menimpali,‖ demikian
tulis Dandhy.
211
***
Visum et repertum jenazah Pahlawan Revolusi ini jelas bukan barang baru. Benedict Anderson
dari Cornell University telah menyalin ulang visum et repertum itu dalam artikelnya, How Did
the Generals Die? di jurnal Indonesia edisi April 1987. Artikel Ben Anderson ini membuat
pemerintahan Soeharto marah besar, dan sejak itu Ben Anderson diharamkan menginjakkan kaki
di Indonesia.
Ketujuh pahlawan revolusi itu jelas mati dibunuh. Dan pembunuhan dengan cara apapun jelas di
luar nilai-nilai kemanusiaan. Namun dari hasil otopsi yang dilakukan dr. Lim Joey Thay dan
teman-temannya sama sekali tidak menemukan tanda-tanda pencungkilan bola mata, atau
apalagi, pemotongan alat kelamin seperti yang dilaporkan media massa yang dikuasai Angkatan
Darat, Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, dan beberapa media cetak lain yang
diperbolehkan beredar selagi mengikuti aturan main dan kemauan pihak militer. Sumber berita
lain di masa itu adalah RRI, TVRI dan Kantor Berita Antara yang seperti dua koran sebelumnya
juga dikontrol militer.
Dalam artikelnya ini, sebelum menyalin ulang visum et repertum ketujuh mayat Pahlawan
Revolusi untuk komunitas akademik, Ben Anderson lebih dulu mengutip beberapa pemberitaan
media massa mengenai detil pembunuhan para perwira.
Bila dibandingkan dengan semua laporan-laporan yang dipublikasikan media-media massa yang
dikontrol tentara itu, kata Ben Anderson, hasil visum et repertum itu memberikan deskripsi yang
paling pas dan objektif mengenai nasib mereka setelah diculik oleh kelompok Letkol Untung,
Komandan Batalion I Resimen Kawal Presiden Cakrabiwara.
Mata Jenderal Ahmad Yani dicungkil, tulis Angkatan Bersendjata edisi 6 Oktober. Berita Yudha
menegaskan sekali lagi soal pencungkilan mata ini dua hari kemudian sambil menambahkan
bahwa saat ditemukan mayat para perwira Angkatan Darat terbungkus kain hitam.
212
Sehari kemudian, 7 Oktober, Angkatan Bersendjata mempublikasikan cerita tentang detail
pembunuhan Brigjen Panjaitan di depan rumahnya. Setelah dihujani tembakan, mayat Brigjen
Panjaitan dilemparkan ke dalam truk yang kemudian membawanya ke Lubang Buaya. Sebegitu
mengerikannya kekuatan pasukan penculik Panjaitan ini, sampai-sampai deru mesin kendaraan
yang mereka pakai saja seperti ―suara harimau yang haus darah.‖
Sementara, walaupun wajah Suprapto dan tengkoraknya dihantam oleh ―penteror2
biadab‖ namun dia masih dapat dikenali, begitu tulis Berita Yudha edisi 9 Oktober. Sehari
kemudian koran yang sama menurunkan berita yang disebut bersumber dari saksi mata yang
berada di lokasi pembantaian. Menurut pengakuan saksi ini, biji mata beberapa korban dicungkil
keluar, sementara kemaluan beberapa lainnya dipotong.
Edisi 11 Oktober Angkatan Bersendjata menuliskan laporan yang lebih detil tentang
pembunuhan Lettu Tendean. Ajudan Jenderal Nasution ini disebutkan menjadi sasaran latihan
tembak anggota Gerwani.
Cerita-cerita mengenai alat kelamin yang disayat, dipotong dan dimakan telah membangkitkan
amarah di akar rumput. Cerita-cerita imajinatif ini, menurut Ben Anderson dalam artikelnya yang
lain, Indonesian Nationalism Today and in the Future (1999), sengaja disebarkan oleh pihak
militer.
Ia bagian dari dalih untuk melakukan pembantaian massal, tulis John Roosa (2006). Dan ia bagai
minyak tanah yang disiramkan ke api. Menyambar-nyambar. Selanjutnya, yang terjadi adalah
pembantaian besar-besaran di mana-mana terhadap anggota PKI dan/atau siapa saja yang
dituduh menjadi anggota PKI dan/atau memiliki relasi dengan PKI.
Benedict Anderson, menggarisbawahi bagaimana dan dengan maksud apa berita pemotongan
alat kelamin itu disebarkan.
―Soeharto dan kelompoknya telah menerima hasil otopsi detil yang dilakukan ahli forensik sipil
dan militer terhadap tubuh korban, para jenderal yang dibunuh 1 Oktober. Laporan itu
memperjelas bahwa para jenderal ditembak mati dan mayat mereka dibuang ke sebuah sumur
dalam di Lubang Buaya. Tetapi tanggal 6 Oktober, media massa yang dikontrol Soeharto
melancarkan sebuah kampanye yang menyebutkan bahwa mata para jenderal dicongkel dan alat
kelamin mereka dipotong,‖ tulis Ben Anderson.
Propaganda pihak militer ini, yakin Ben Anderson, dilakukan untuk menciptakan atmosfer
histeria di seluruh Indonesia yang telah mendorong pembantaian lebih dari setengah juta orang
dengan cara paling mengerikan, tanpa melalui proses pengadilan.
Tidak keliru bila ada yang menyebut bahwa pemerintahan Orde Baru didirikan di atas tumpukan
tengkorak dan tulang belulang, demikian Ben Anderson.
Tidak ada catatan yang meyakinkan tentang berapa jumlah rakyat yang tewas dalam
pembantaian massal itu. Jumlah yang sejauh ini dianggap sebagai kebenaran berkisar antara 500
ribu hingga 1,5 juta. Dalam artikelnya tahun lalu, Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant
213
yang ditulis khusus untuk mengenang Soeharto yang meninggal tiga bulan sebelumnya, Ben
Anderson mengutip pengakuan Jenderal Sarwo Edhie tentang jumlah orang yang tewas dalam
pembunuhan massal 1965-1966.
―On his deathbed, the by-then marginalized General Sarwo Edhie, who led the Red Berets in
1965-66, even said he had been responsible for the death of three million people.‖
***
Begitulah. Sejarah, kata sementara orang, adalah catatan para pemenang. Dus arti sebaliknya
adalah: orang yang kalah tak punya hak untuk ikut menuliskan sejarah. Di bawah rezim otoriter,
pemerintah pusat adalah satu-satunya pihak yang punya hak untuk menentukan mana yang dapat
disebut sebagai fakta sejarah dan mana yang tidak. Dengan menggunakan stabilitas politik
sebagai dalih pembangunan nasional, pemerintahan Orde Baru mempabrikasi versi mereka
tentang konstruksi sejarah nasional, termasuk dalam hal ini, sejarah mengenai peristiwa G30S
yang menjadi pondasi rezim berusia tiga dasawarsa itu. Pokoknya, sejarah versi penguasa adalah
satu-satunya dogma yang harus diingat dan dipercaya.
Bagi pemerintahan otoriter, cerita dan interpretasi yang berbeda dari versi penguasa mengenai
apa yang terjadi di masa lalu adalah upaya untuk mensabotase kedaulatan negara dan proses
pembangunan nasional. Karena itu, cerita-cerita yang tak dikehendaki penguasa ini diharamkan,
dan pihak-pihak yang membawa dan menyebarkannya dinyatakan sebagai musuh negara. Sensor
pun adalah aksi yang biasa dilakukan pemerintahan Orde Baru untuk mengontrol informasi
publik dan dunia akademi yang berpotensi menggugat kebenaran versi penguasa.
Tidak boleh ada fakta yang bertentangan dengan ―fakta‖ yang diproduksi penguasa mengenai
peristiwa G30S dan tidak boleh ada penjelasan lain yang berbeda dari penjelasan versi
pemerintah yang boleh hidup di ruang publik. Kalau pun ada, selama Soeharto berkuasa, ia
hanya hidup dalam ruang bisik-bisik. Bagi pemerintahan Soeharto, cerita dan sejarah mengenai
peristiwa itu datar dan sederhana: ia diotaki oleh PKI dan klik kiri yang berada di dalam tubuh
Angkatan Darat, serta G30S dinyatakan sebagai gerakan yang berusaha untuk menggantikan
Pancasila yang pro-Tuhan dengan komunisme yang anti-Tuhan.
Sejak awal, Soeharto dan kelompoknya di Angkatan Darat mengaitkan kelompok G30S dengan
PKI. Untuk mempertajam imajinasi publik di tahun 1984 pemerintah Orde Baru merilis film
Pengkhianatan G30S/PKI. Selama beberapa tahun di setiap tanggal 30 September film itu
diputar ulang. Tidak cukup sampai situ, sebuah monumen yang diberi nama Pancasila Sakti
didirikan di Lubang Buaya. Semua hal ini melengkapi ritual suci hari Kesaktian Pancasila setiap
1 Oktober.
Di masa Orde Baru, tulis John Roosa dalan Pretext for Mass Murder (2006), anti-komunis
seakan menjadi agama resmi negara dengan dengan tempat suci, ritual dan hari perayaan.
Setahun setelah gelombang pembantaian besar-besaran itu dihentikan, di depan DPRS, 16
Agustus 1967, Soeharto yang sudah menjadi pejabat presiden memberikan justifikasi bagi
pembantaian yang disponsori militer dan didukung oleh kelompok-kelompok non-komunis
214
terhadap siapa saja yang disebut punya hubungan baik langsung atau tidak langsung dengan
partai komunis dan peristiwa 30 September di Jakarta.
―Komunis yang berdasarkan pada dialektika materialisme sesunggunya adalah anti-Tuhan,
sementara Pancasila mengakui Tuhan Yang Maha Kuasa,‖ ujarnya. Di sisi lain, dia juga
menyerang politik Nasakom Sukarno yang menurut Soeharto mustahil dan bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi.
***
Bung Karno donder, marah, mendengar kabar dan berita yang mengatakan bahwa para perwira
Angkatan Darat yang menjadi korban dalam peristiwa di subuh 1 Oktober 1965 mengalami
penyiksaan mahahebat sebelum nyawa mereka dihabisi. Kabar seperti ini, menurut si Bung,
sengaja disebarluaskan untuk membakar emosi rakyat dan mendorong ―gontok-gontokan‖ di
kalangan rakyat yang akhirnya menjelma menjadi ―sembelih-sembelihan‖.
Donder itu terjadi dua kali dalam 24 jam. Pertama saat si Bung berbicara di depan wartawan di
Istana Bogor, malam hari, tanggal 12 Desember 1965. Donder kedua, keesokan hari, saat Bung
Karno berbicara di depan gubernur se-Indonesia, di Istana Negara.
Kepada para wartawan, cerita Bung Karno di depan para gubernur, dia bertanya darimana media
massa mendapat cerita tentang kronologi pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira
pertama Angkatan Darat yang diculik kelompok Untung.
Tak ada seorang wartawan pun yang menjawab. Menteri Penerangan Achmadi, Kepala Dinas
Angkatan Darat Brigjen Ibnu Subroto dan Letkol Noor Nasution yang mengawasi Antara pun tak
bisa mengatakan darimana mereka mendapat kabar itu.
―Saya tidak tahu apakah gubernur-gubernur tadi malam menyetel radio atau televisi. Maka ada
baiknya saya ceritakan sedikit pendonderan-pendonderan saya tadi malam. Begini, tatkala sudah
terjadi Lubang Buaya, jenazah-jenazah daripada jenderal dibawa kesana dan dimasukkan ke
dalam sumur. Ooh, itu wartawan-wartawan suratkabar menulis, bahwa jenderal-jenderal itu
disiksa di luar perikemanuiaan. Semua, katanya, maaf, saudari-saudari, semuanya dipotong
mereka punya kemaluan.‖
―Malahan belakangan juga ada di dalam surat kabar ditulis bahwa ada seorang wanita bernama
Djamilah, mengatakan bahwa motongnya kemaluan itu dengan pisau silet. Bukan satu pisau
silet, tetapi lebih dahulu 100 anggota Gerwani dibagi silet. Dan silet ini dipergunakan untuk
mengiris-ngiris kemaluan. Demikian pula dikatakan, bahwa di antara jenderal-jenderal itu
matanya dicungkil.‖
Kisah Djamilah yang disebut Bung Karno ini dimuat oleh koran Api Pantjasila, edisi 6
November 1965. Koran ini berafiliasi dengan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesian
(IPKI), sebuah partai politik yang didukung tentara. Di tahun 1973, bersama empat partai lain,
PNI, Partai Murba, Partai Parkindo, dan Partai Katholik, partai ini difusikan menjadi Partai
Demokrasi Indonesia (PDI).
215
Dalam laporan Api Pantjasila, Djamilah digambarkan sebagai seorang wanita muda, 15 tahun,
yang tengah hamil tiga bulan. Anggota Gerwani ini dikatakan berasal dari Pacitan, Jawa Timur.
Ia mengaku, di Lubang Buaya dinihari itu, dia dan teman-temannya dipersenjatai silet oleh
anggota kelompok Gerakan 30 September, dan setelah itu mereka diperintahkan untuk menyayat
dan memotong kemaluan para perwira Angkatan Darat yang jadi korban.
Sebelumnya pada edisi 20 Oktober, Api Pantjasila menurunkan laporan yang menyebutkan
bahwa kelompok pemuda yang menyerang markas komunis di Harupanggang, di sekitar Garut,
Jawa Barat, menemukan alat yang digunakan untuk mencungkil bola mata Ahmad Yani. Sama
sekali tidak ada penjelasan bagaimana alat itu, kalau memang benar digunakan untuk
mencungkil mata Ahmad Yani, bisa berada di Harupanggang, ratusan kilometer dari Pondok
Gede.
Antara edisi 13 Desember 1965 menurunkan berita yang tak kalah sensasionalnya. Menurut
Antara, sebelum membantai korban penculikan anggota Gerwani yang telah dipersenjatai silet
terlebih dahulu menarikan tarian cabul yang dikenal dengan nama Harum Bunga, meliuk-liukkan
tubuh mereka sampai banyak di antaranya yang hilang kesadaran dan telanjang.
Menurut peneliti dari Universitas Amsterdam, Belanda, Saskia E. Wieringa dalam artikelnya di
tahun 2003, pemerintahan Orde Baru secara sistematis menghancurkan moral Gerwani dan lebih
dari itu, wanita Indonesia pada umumnya. Cerita kebinalan anggota Gerwani di Lubang Buaya
semakin dianggap sebagai kebenaran setelah tokoh agama dan media massa yang berafiliasi
dengan kelompok agama ikut angkat bicara.
Sinar Harapan edisi 9 Oktober mengutip pernyataan Dewan Gereja Indonesia yang mengatakan
tidak habis pikir bagaimana mungkin di sebuah negara Pancasila yang mempercayai Tuhan
tindakan amoral seperti itu bisa terjadi. Edisi 12 Oktober koran Duta Masyarakat yang berafiliasi
dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Muslim terbesar di Indonesia dan lawan lawas PKI
dalam politik segitiga Nasakom, menurunkan berita yang menggambarkan anggota Gerwani
menari sambil telanjang di depan korban yang sudah sekarat dan tewas. Tarian mereka, tulis
Duta Masyarakat, mengingatkan pada upacara kaum kanibal masyarakat primitif ratusan tahun
lalu.
Angkatan Bersenjata edisi 3 November menurunkan laporan tentang pengakuan seorang anggota
Pemuda Rakyat yang menyaksikan anggota Gerwani berteriak-teriak sambil bernyanyi-nyanyi
dan mempermainkan Jenderal Ahmad Yani yang sudah sekarat tak sadarkan diri.
Berita Yudha edisi 4 November kembali menurunkan berita tentang Gerwani. Kali ini disebutkan
tentang kelompok Kancing Hitam yang terdiri dari wanita-wanita cantik anggota Gerwani yang
merelakan tubuhnya digunakan sebagai pemuas nafsu petinggi-petinggi partai politik. Anggota
Kancing Hitam, demikian kata Berita Yudha, berusaha sebisa mungkin merayu petinggi partaipartai itu untuk mendukung PKI.
Tidak sampai di situ. Gambaran tentang anggota Gerwani yang binal dan bermoral rendah
diabadikan Orde Baru pada relif di bagian bawah monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya.
Bulan Januari lalu saya menyempatkan diri mengunjungi monumen itu dan mengamati relief
216
tersebut. Tiga orang anggota Gerwani sedang menari sambil tersingkap belahan dada mereka,
sementara tak jauh dari mereka seorang korban penculikan yang mungkin sudah dibunuh
dimasukkan ke dalam sumur tua Lubang Buaya.
Itulah agaknya sedikit dari banyak berita yang membuat Bung Karno donder. Dan ia masih
melanjutkan pendonderannya.
―Saya pada waktu itu memakai saya punya gezond verstand, Saudara-saudara. Dan dengan
memakai saya punya gezond verstand, itu saya betwiffelen, ragukan kebenaran kabar ini. Tetapi
saya melihat akibat daripada pembakaran yang sedemikian ini. Akibatnya ialah, masyarakat
seperti dibakar. Kebencian menyala-nyala, sehingga di kalangan rakyat menjadi gontokgontokkan, yang kemudian malahan menjadi sembelih-sembelihan.‖
―Saudara-saudara mengetahui, bahwa saya sejak mulanya berkata, jangan, jangan, jangan, jangan
sembelih-sembelihan, jangan gontok-gontokkan, jangan panas-panasan.‖
―Nah, Saudara-saudara, waktu belakangan ini saya dapat bukti, bahwa memang benar sangkaan
saya itu, bahwa jenderal-jenderal yang dimasukkan semua ke Lubang Buaya tidak ada satu orang
pun yang kemaluannya dipotong. Saya dapat buktinya darimana? Visum repertum daripada team
dokter-dokter yang menerima jenazah-jenazah daripada jenderal-jenderal yang dimasukkan ke
dalam sumur Lubang Buaya itu.‖
―Visum repertum oleh dokter dituliskannya pro justitia. Bahwa sumpah pro justitia tidak boleh
bohong, tidak boleh menambah, tidak boleh mengurangi. Apa kenyataan itu, harus dimasukkan
dalam visum repertum itu harus jadi pegangan, sebab ini satu kenyataan, bukan khayalan.‖
***
217
Lim Joey Thay dan empat anggota tim forensik lainnya yang memeriksa mayat Jenderal Ahmad
Yani sama sekali tak menemukan tanda-tanda kanibalisme seperti yang diberitakan media massa
yang telah dikuasai militer dan Soeharto. Begitu juga dengan mayat enam korban lainnya.
Pada tubuh Ahmad Yani, misalnya, tim dokter menemukan delapan luka tembak dari arah depan
dan dua luka tembak dari arah belakang. Juga ditemukan dua luka tembak yang tembus di bagian
perut dan sebuah luka tembak yang tembus di bagian punggung. Matanya masih utuh walau
sudah kempes, begitu juga dengan kemaluannya, masih ada pada tempatnya walau sudah
membusuk.
Mayat Ahmad Yani diidentifikasi oleh ajudannya, Mayor CPM Soedarto, dan dokter pribadinya,
Kolonel CDM Abdullah Hassan. Tanda di tubuh Jenderal Ahmad Yani, berupa parut pada
punggung tangan kiri dan pakaian yang dikenakannya serta kelebihan gigi berbentuk kerucut
pada garis pertengahan rahang atas diantara gigi-gigi seri pertama, juga masih dapat dikenali.
218
Dokumen visum et repertum ketujuh Pahlawan Revolusi ini ditulis dalam format yang sama. Di
pojok kanan atas halaman depan terdapat tulisan ―Departmen Angkatan Darat, Direktortat
Kesehatan, Rumah Sakit Pusat, Pro Justicia‖.
Sementara di pojok kiri atas halaman depan tertulis ―Salinan dari salinan.‖
Bagian kepala laporan bertuliskan ―Visum et Repertum‖ diikuti nomor laporan pada baris bawah
yang dimulai dari H.103 (Letjen Ahmad Yani) hingga H.109 (Lettu P. Tendean).
Bagian awal dokumen ini dimulai dengan penjelasan mengenai dasar hukum pembentukan tim
dokter untuk mengotopsi mayat ketujuh perwira Angkatan Darat. Disebutkan bahwa tim tersebut
dibentuk berdasarkan perintah Panglima Kostrad selau Panglima Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban kepada Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta, tanggal 4 Oktober.
Selanjutnya Kepala RSP-AD meneruskan perintah itu kepada kelima ahli forensik tadi, termasuk
Lim Joey Thay.
Berikutnya adalah bagian yang menjelaskan waktu dan tempat visum. Tertulis pada bagian ini:
―maka kami, pada tanggal empat Oktober tahun seribu sembilan ratus enam pulu limam mulai
jam setengah lima sore sampai tanggal lima Oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh
lima jam setengah satu pagi, di Kamar Seksi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta, telah
melakukan pemeriksaan luar atas jenazah yang menurut surat perintah tersebut di atas adalah
jenazah dari pada…‖ diikuti bagian yang menjelaskan jatidiri mayat dimulai dari nama,
umur/tanggal lahir, jenis kelamin, bangsa, agama, pangkat, dan terakhir jabatan.
Setiap dokumen visum et repertum itu juga menjelaskan bahwa mayat yang diperiksa adalah
―korban tembakan dan/atau penganiayaan pada tanggal satu Oktober tahun seribu sembilan ratus
enam pulu lima pada peristiwa apa yang dinamakan Gerakan 30 September.‖
Mayat-mayat ini diidentifikasi oleh orang-orang yang mengenal mereka, serta disebutkan apa
saja tanda-tanda tubuh atau tanda-tanda lain yang melakat di mayat yang menjadi ciri utama
mayat.
Selesai dengan bagian pengantar ini, barulah tim dokter membeberkan hasil pemeriksaan luar
yang mereka lakukan, dan menutupnya dengan kesimpulan dan pernyataan bahwa hasil
pemeriksaan itu dituliskan dengan mengingat sumpah jabatan.
Bagian paling akhir dari dokumen ini mengenai autentifikasi keaslian dokumen. Karena
dokumen yang kami peroleh ini merupakan ―salinan dari salinan‖ maka ada dua penanda
autentifikasi dalam bagian dokumen ini.
Pengesahan pertama bertuliskan ―disalin sesuai aslinya‖ dan ditandatangani oleh ―Yang
menyalin‖ yakni Kapten CKU Hamzil Rusli Bc. Hk. (Nrp. 303840) selaku panitera. Dan
pengesahan kedua bertuliskan ―disalin sesuai dengan salinan‖ dan ditandatangani oleh ―panitera
dalam perkara ex LKU‖ Letnan Udara Satu Soedarjo Bc. Hk. (Nrp. 473726). Tidak ditemukan
petunjuk waktu kapan dokumen ini disalin dan disalin ulang.
219
***
Saat mengunjungi dr. Lim Joey Thay di paviliun RS St. Carolus bulan Juni tahun lalu, saya tak
menangkap guratan emosi di wajahnya. Ia tampak begitu tenang. Ia mengikuti kami yang
mengabadikan gambarnya. Sesekali istrinya datang untuk membenarkan sarung dr. Lim Joey
Thay. Atau memberikan minum. Kami juga sempat bertemu dengan dokter yang menangani dr.
Lim Joey Thay. Kepada dokter muda ini dr. Lim Joey Thay mencoba menjelaskan keadaannya.
Sepintas tidak ada yang mengkhawatirkan. Ia hanya butuh istirahat setelah kelelahan dan
terjatuh.
Tetapi Dandhy bercerita kepada saya pengalamannya saat mewawancarai dr. Lim Joey Thay dua
tahun lalu. Beberapa kali dr. Lim Joey Thay menitikkan airmata saat berbicara dengan terpatahpatah tentang kebohongan yang disebarkan mengenai kondisi mayat ketujuh Pahlawan Revolusi.
Beberapa hari lalu, Dandhy kembali menulis pesan di inbox Facebook saya. Dia barusan
mengunjungi dr. Lim Joey Thay. Kali ini bersama Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI) Djoko Utomo. Pihak Arsip Nasional kelihatannya ingin memastikan keaslian dokumen
visum et repertum itu.
Kepala ANRI merasa perlu bertemu langsung dengan dr. Lim Joey Thay, satu dari dua anggota
tim otopsi Pahlawan Revolusi yang tersisa. Dr. Djadja, murid dr. Lim Joey Thay ikut menemani
gurunya dalam pertemuan itu.
Menurut Dandhy dalam pesan singkatnya, konsisi terakhir dr. Lim Joey Thay ―benar-benar
sudah sulit bicara.‖
220
Menyingkap Kabut Halim (Oleh: Eduard Lukman)
Selama lebih dari 30 tahun sejak peristiwa G30S/PKI, opini publik yang terbentuk oleh
pernyataan elit pimpinan militer dan pemerintahan Orde Baru, telah menyudutkan
Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Pernyataan-pernyataan tersebut bagai
memvonis seakan-akan Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim Perdanakusuma
menjadi markas pusat G30S/PKI dan seolah-olah AURI terlibat.
Tanggal 9 November 1999 diluncurkan
buku Menyingkap Kabut Halim 1965
(Sinar Harapan, 1999). Ini merupakan
upaya Perhimpunan Purnawirawan AURI
untuk menceritakan apa yang terjadi di
PAU Halim Perdanakusuma pada harihari sekitar 1 Oktober 1965. Tiupan angin
segar reformasi telah menggugah
sebagian purnawirawan AURI, pelaku
sejarah sekitar 1 Oktober 1965 untuk
menguak kabut di pangkalan angkatan
udara tersebut, sehingga memberi
informasi baru kepada publik yang selama
Suasana sekitar Halim Perdanakusuma pada hariini didominasi oleh versi tertentu peristiwa
hari setelah G30S
pahit tersebut yang cenderung
memojokkan angkatan udara kita.
Berikut adalah beberapa kisah yang diungkap Menyingkap Kabut Halim 1965, seperti dituturkan
para purnawirawan AURI pelaku sejarah.
Rivalitas angkatan
Membicarakan peristiwa G30S/PKI, menurut buku ini tidaklah terlepas dari situasi dan kondisi
politik sebelum pecahnya peristiwa tersebut, yang diwarnai konflik berbagai pihak termasuk
rivalitas dan friksi antar-angkatan.
Dalam konfrontasi menghadapi Malaysia, Presiden Soekarno memperoleh pelajaran penting
dari keberhasilan Operasi Trikora yang telah mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu
Pertiwi. Dalam operasi semacam ini terlihat pentingnya keunggulan angkatan laut dan angkatan
udara. Bung Karno kemudian menunjuk Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya
Udara Omar Dani menjadi Panglima Komando Mandala Siaga (Kolaga). Penunjukan ini
mendapat reaksi dari angkatan darat. Sebagai Wakil Panglima ditetapkan Brigadir Jenderal
Achmad Wiranatakoesoemah yang juga Kepala Staf Kostrad.
Operasi Kolaga kemudian tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena ada keengganan dari
pimpinan Angkatan Darat untuk memberikan dukungan sepenuhnya, terutama pengiriman
221
pasukan ke daerah perbatasan. Dalihnya, antara lain belum siapnya pasukan, belum
tersedianya sarana akomodasi, atau adanya kendala transportasi.
Tidak berjalannya organisasi Kolaga itu, menurut Laksdya Udara Omar Dani, disebabkan
tiadanya dukungan penuh dari angkatan darat terhadap Letnan Jenderal Ahmad Yani, Kepala
Staf Komando Operasi Tertinggi (Koti) yang memberi supervisi pada Kolaga.
Kemudian Brigjen Wiranatakoesoemah, yang menurut Omar Dani juga tidak memperoleh
dukungan memadai dari Departemen Angkatan Darat, diganti oleh Mayor Jenderal Soeharto
yang merangkap Panglima Kostrad. Ketika Soeharto menjadi wakil panglima, tidak ada yang
berani menolak permintaannya, sehingga dukungan angkatan darat menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Akan tetapi, Soeharto kemudian bertindak lebih jauh. Ia menyatakan penilaiannya
bahwa Omar Dani tidak cocok menjabat sebagai Panglima Kolaga.
Ketidak ikhlasan menerima Omar Dani sebagai Panglima Kolaga, menurut buku ini, tampaknya
dilatarbelakangi oleh pengalaman Men/Pangau tersebut yang dinilai masih terlalu yunior, tetapi
sudah harus membawahi senior angkatan darat yang merasa kaya pengalaman perang
kemerdekaan.
Keengganan Angkatan Darat untuk sepenuhnya mendukung operasi konfrontasi Malaysia,
sudah tentu menjadi pertanyaan bagi Omar Dani. Padahal Angkatan Laut dalam waktu satu
bulan sudah menempatkan satu brigade KKO di sekitar Singapura, juga di Pulau Sebatik,
Kalimantan Timur. Angkatan Kepolisian telah mengirimkan Brimob ke beberapa daerah di
Semenanjung Malaya. AURI dengan PGT-nya sudah pula diterjunkan di wilayah Malaysia.
Pendek kata, tulis buku ini, berbagai friksi yang muncul dalam Kolaga, sedikit banyak ikut
mewarnai iklim politik selama prolog G30S, sehingga hal tersebut dimanfaatkan PKI untuk
semakin mempertentangkan elit politik di sekitar Presiden Soekarno, termasuk pimpinan
angkatan bersenjata.
Namun demikian, buku ini juga mengingatkan bahwa sebagai perwira yang terbilang muda
ketika dilantik menjadi Men/Pangau, maka Omar Dani merasa patut memberi komitmen kepada
Bung Karno. Lagi pula Presiden Soekarno juga memberi kesempatan kepada AURI untuk ikut
mengambil peranan politik, yang selama ini hanya dijalankan angkatan darat. Laksamana
Madya Omar Dani kemudian, seperti halnya tokoh-tokoh lain pada masa itu, berada di jajaran
terdepan dalam melaksanakan ajaran-ajaran Bung Karno.
222
Bukan wilayah Halim
Kehadiran Presiden Soekarno di PAU
Halim Perdanakusuma pada 1 Oktober
1965, meskipun atas kehendak sendiri
dan sesuai dengan standard operating
procedure Resimen Tjakrabirawa,
memperkuat dugaan adanya keterlibatan
AURI, karena dikait-kaitkan dengan apa
yang disebut Lubang Buaya. Padahal
Desa Lubang Buaya yang dijadikan
tempat latihan sukarelawan dan menjadi
lokasi pembunuhan para perwira
angkatan darat, letaknya di luar wilayah
PAU Halim Perdanakusuma. Sedangkan
nama Lubang Buaya lainnya adalah
sebuah lapangan yang biasanya dijadikan
dropping zone untuk latihan penerjunan.
Kapt Udara Willy Kundimang dengan MiG-17
Lapangan ini ada dalam wilayah PAU
Halim Perdanakusuma. Di sekitar
dropping zone inilah terjadi tembak-menembak antara RPKAD dengan Batalyon 454/Para.
Kedua pasukan itu rupanya hadir di alamat yang salah, karena mereka seharusnya menuju
Desa Lubang Buaya.
Kehadiran Bung Karno di Halim Perdanakusuma, memang menjadikan posisi pangkalan itu
seperti menjadi bagian dari skenario gerakan militer G30S. Pendapat publik pun terbentuk,
karena ada kegiatan lain di Desa Lubang Buaya, yang dikacaukan dengan lapangan Lubang
Buaya tempat latihan terjun di Halim.
Omar Dani sendiri menjelang pagi 1 Oktober itu memang sudah berada di Markas Komando
Operasi, PAU Halim, karena sebelumnya sudah mendengar (dari Letnan Kolonel Udara Heroe
Atmodjo, Asisten Direktur Intelejen) akan adanya gerakan internal dalam tubuh angkatan darat.
Sebagai pimpinan Angkatan Udara, ia memutuskan untuk tidak turut campur dalam persoalan
itu, tetapi sebaliknya meminta AURI untuk mengambil tindakan berjaga-jaga, terutama
mengamankan semua instalasi angkatan udara. Pagi hari itu juga Omar Dani
kemudianbersama Panglima Komando Operasi Komodor Udara Leo Wattimenamenyambut
kedatangan Presiden Soekarno di Halim yang diputuskan atas pertimbangan keamanan di
sekitar Istana Merdeka.
Selain itu, kehadiran Ketua CC PKI D.N. Aidit yang disembunyikan Mayor Udara Soejono
(komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan dan yang memang kemudian terbukti
dipengaruhi PKI) di rumah Sersan Soewardi di kompleks perumahan PPP di kawasan PAU
Halim, kian memperkuat pembentukan opini publik adanya keterlibatan pangkalan ini dalam
G30S.
223
Omar Dani sendiri menyangkal bahwa ia mengetahui kehadiran Aidit di Halim. "Saya
mengetahuinya di kemudian hari dari persidangan Soejono", katanya. "Soejono tidak pernah
melaporkan keberadaan Aidit itu pada saya, pada Komodor Udara Susanto maupun pada
Komandan Halim Kolonel Udara Wisnu Djajengminardo."
Omar Dani kemudian pada 1 Oktober 1965 tengah malam memberi izin penggunaan pesawat
Dakota untuk membawa Aidit ke Yogyakarta, namun ia tidak tahu bahwa Aidit hari itu berada
dalam lingkungan Halim. Omar Dani mengizinkan penggunaan Dakota untuk Aidit karena Aidit
ketika itu menjabat Menteri Koordinator/Ketua MPRS.
Akhirnya, sekitar pukul 23.00 (1 Oktober), setelah ada berita bahwa Halim akan diserang
pasukan Kostrad, diputuskan Bung Karno harus keluar dari sana. Omar Dani menawarkan:
"Terserah Bapak ingin ke mana, Hercules, Jetstar dari Skadron 17 beserta crew-nya sudah siap
semua. Bapak bisa ke Yogya, Madiun, Malang, atau luar negeri, terserah Bapak." Bung Karno
akhirnya berangkat dengan mobil ke Istana Bogor.
Setelah Presiden Soekarno keluar dari Halim, Omar Dani dan Leo Wattimena kemudian naik ke
pesawat Hercules dan terbang holding selama enam jam di atas Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Tujuannya tidak lain adalah untuk menghindari konflik terbuka dengan pasukan yang akan
menyerang Halim. Di samping itu, Omar Dani juga paham akan temperamen Leo yang cepat
panas, sehingga akan lebih baik jika Pangkoops diajak menemaninya. Pesawat tersebut
akhirnya mendarat di PAU Iswahyudi, Madiun.
Selama holding dengan Hercules, buku ini mengungkap beberapa kejadian yang makin
mempersulit posisi Omar Dani pada khususnya dan AURI pada umumnya.
Rupanya tanpa sepengetahuan Omar Dani, Komodor Udara Leo Wattimena mengirim perintah
kepada Kolonel Sudarman, Komandan Wing Ops 002 PAU Abdurachman Saleh. Isi perintahnya
adalah untuk mengirimkan dua P-51 Mustang, dua pembom B-25 Mitchel dan sebuah Catalina.
Maksudnya untuk menghadapi RPKAD dan Kostrad yang akan masuk ke Halim. Omar Dani
mengaku tidak mengetahui hal itu. Yang jelas, perintah itu tidak datang dari dia.
"Hal semacam itu hanya Leo yang bisa mengaturnya. Perintah itu bukan datang dari saya",
tuturnya di kemudian hari.
Pesawat-pesawat tersebut kemudian diminta Kolonel Ashadi Tjahjadi Komandan PAU Husein
Sastranegara mendarat di Husein. Namun satu B-25 terlanjur masuk Halim dan akhirnya
bannya digembosi RPKAD agar tidak bisa mengudara.
Kejadian lainnya adalah radiogram Men/Pangau kepada Mayjen Soeharto agar tidak masuk ke
Halim dalam mengejar pasukan-pasukan G30S. Karena pasukan tersebut sudah dihalau keluar
Halim oleh PGT. Leo Wattimena lalu melaksanakan perintah Omar Dani. Belakangan radiogram
itu dinilai sangat keras dan bisa dianggap sebagai ultimatum kepada Mayjen Soeharto.
Ketika sudah ditahan, Omar Dani kemudian meminta arsip radiogram tersebut.
224
"Setelah saya baca terbukti kata-katanya memang kort en bondig atau "cekak aos". Bahkan
dapat dikatakan agak keras: Jangan masuk Halim, kalau masuk Halim akan dihadapi," katanya
mengenang kejadian tersebut. Akan tetapi Omar Dani menyatakan bahwa dia tetap
bertanggung jawab akan radiogram itu.
Omar Juga mengakui bahwa Perintah Harian Men/Pangau tertanggal 1 Oktober 1965 kemudian
menjadi suatu kekeliruan, karena bisa ditafsirkan bahwa AURI ada di "pihak sana". Padahal
maksudnya tidak lain adalah untuk mengamankan jalannya revolusi dari anasir-anasir subversi
asing. Lagi pula tampaknya Omar Dani tidak menyangka bahwa gerakan pembersihan dalam
angkatan darat itu berpuncak dengan dibunuhnya para jenderal pimpinan Angkatan Darat.
Menengahi RPKAD vs Yon 454/Para
Ketika Hercules yang membawa Omar Dani dan Leo
Wattimena baru mengudara, diperoleh hubungan
komunikasi dengan Laksamana Muda Udara Sri
Moeljono Herlambang, waktu itu menjabat Menteri
Negara diperbantukan pada Presiden, yang tengah
dalam perjalanan kembali dari Medan dengan Jetstar.
Men/Pangau meminta Herlambang membantu
mengamankan Halim. Mendekati Halim, Jetstar itu
bahkan ditembaki beberapa kali oleh artileri pertahanan
Deputy Operasi Men/Pangau Komodor udara Angkatan Darat. Namun pesawat akhirnya lolos
Udara Dewanto di depan pesawat P- dan selamat mendarat di Halim.
51 Mustang
Setelah mendapat laporan dari Deputi Operasi
Men/Pangau Komodor Udara Dewanto bahwa RPKAD akan menyerang Halim, Laksda
Herlambang memerintahkan agar pasukan yang mempertahankan pangkalan menyandang
senjatanya sebagai isyarat bahwa mereka tidak menghendaki konflik.
Tanggal 2 Oktober tengah malam, Pangkostrad memerintahkan RPKAD untuk menguasai
Halim. Tujuannya antara lain mencari para jenderal yang diculik. Maka diaturlah manuver untuk
mengepung pangkalan udara tersebut. Selain RPKAD juga dilibatkan Batalyon 328/Para dan
beberapa kompi kavaleri dari Kostrad.
Perkembangan ini membuat Komodor Udara Dewanto memutuskan untuk mengetahui situasi
yang ada di sekitar Halim dan di Jakarta. Dengan ditemani ajudan Kapten Udara Willy
Kundimang, Dewanto menerbangkan Cessna L-180. Di lapangan parkir timur Senayan mereka
melihat konsentrasi truk dan armoured personnel carrier.
Ketika Dewanto kembali ke Halim, ternyata RPKAD sudah masuk. Mereka menduduki hanggar
Skadron 31, Skadron 2, Skadron 17, menara lalu lintas udara dan fasilitas pangkalan lainnya. Di
225
luar dugaan pasukan penyerang, ternyata pasukan AURI sama sekali tidak memperlihatkan
tanda-tanda siap tempur. Suasananya biasa-biasa saja. Ketika itu Halim hanya dijaga satu
kompi PGT, satu kompi PPP dan satu peleton Polisi AU, yang sudah diperintahkan untuk tidak
memberikan perlawanan.
Begitu pesawat diparkir, Komodor Udara Dewanto disambut anggota RPKAD yang siap dengan
AK-47. Pistol Kapten Willy Kundimang dilucuti dengan sopan, namun Dewanto diizinkan tetap
menyandang pistolnya.
Selama berada di Halim, RPKAD diterima dengan baik oleh AURI. Hubungan antar prajurit
kedua angkatan tidak diwarnai dengan ketegangan. Bersama-sama mereka menyantap ransum
makan prajurit-prajurit AURI.
Perkembangan selanjutnya, dalam upaya mendekati Halim, RPKAD akhirnya terlibat tembakmenembak dengan Batalyon 454/Para yang sudah pindah dari Lapangan Monas ke daerah
sekitar Halim. Pertempuran kedua pasukan itu merisaukan Komodor Dewanto yang
mengkhawatirkan keselamatan aset negara yang tidak sedikit di pangkalan udara. Dewanto
kemudian mengambil inisiatif untuk menengahi konflik senjata tersebut.
Bersama Kapten Willy Kundimang, Dewanto mencoba mendekati daerah pertempuran dan
akhirnya berhasil kontak dengan Wadanyon 454 Kapten Koentjoro. Koentjoro lalu menemui
Dewanto.
"Lapor Jenderal. Kapten Koentjoro, Raiders. Kami melaksanakan perintah melindungi
pangkalan udara Halim agar tidak dimasuki pasukan lain, kecuali AURI." Dewanto
menjawab:"Bagus. Kapten adalah tentara yang baik, tetapi AURI tidak mau terjadi pertempuran
di Halim, bisa merusak pesawat terbang."
Kapten Koentjoro akhirnya berhasil menahan pasukannya. Setelah itu, Komodor Dewanto
menugaskan Kapten Udara Kundimang membawa sepucuk surat untuk Komandan RPKAD
Kolonel Sarwo Edhie. Surat tersebut akhirnya sampai di tangan Sarwo Edhie. Setelah Willy
Kundimang dua kali mondar-mandir daerah pertempuran antara RPKAD dan Yon 454, akhirnya
disepakati bahwa Komodor Dewanto akan menemui Kolonel Sarwo Edhie.
Tetapi sebelum itu Dewanto berhasil membujuk Kapten Koentjoro untuk menyingkirkan
pasukannya menjauh dari RPKAD. Mulanya Koentjoro berkeras. "Pasukan Raiders tidak
mengenal menyerah", katanya. "Saya tidak minta Kapten menyerah. Saya minta agar pasukan
Kolonel Sarwo Edhie diberi jalan masuk ke Halim", jawab Dewanto. Dewanto lalu mengundang
Sarwo Edhie datang ke Markas Komando Operasi PAU Halim.
"Siap Jenderal. Kami akan datang ke sana, setelah kami ketahui pasukan kami yang masuk
melalui Jatiwaringin sudah masuk Halim", kata Sarwo Ehie. Dewanto akhirnya berangkat lebih
dulu bersama Mayor Goenawan, perwira yang mendampingi Komandan RPKAD. Kolonel
Sarwo Edhie menyusul kemudian.
226
Di Halim Sarwo Edhie disambut Laksda Sri Moeljono Herlambang, Komodor Udara Dewanto,
Komodor Udara Soesanto, Direktur Operasi AURI, dan Kolonel Udara Wisnu Djajengminardo,
Komandan Wing Ops 001/Halim. Setelah melihat sendiri keadaan Halim, Sarwo Edhie
mengatakan, ia akan melaporkan hal ini kepada Mayjen Soeharto. Laksda Herlambang lalu
menawarkan Sarwo Edhie ikut dengan helikopter ke Bogor, karena hari itu Presiden Soekarno
akan memberikan briefing kepada para panglima. Kemungkinan Soeharto juga akan ada di
sana.
Laksda Herlambang juga berhasil meyakinkan Danyon RPKAD Mayor C.I. Santoso agar
menarik pasukannya dari Halim. Herlambang bertanya, "Apa misi mayor di sini?". Santoso
menjawab:"Misi kami menguasai pangkalan untuk memastikan agar pesawat tidak digunakan
untuk pemboman."
Lalu Herlambang melanjutkan, "Kalau demikian misi mayor sudah selesai, karena di sini tidak
ada perintah pemboman." Rupanya santer desas-desus bahwa AURI akan membom markas
Kostrad.
Setelah kembali dari Bogor, Sarwo Edhie lalu melapor Mayjen Soeharto yang juga dalam
perjalanan pulang dari Bogor. Soeharto lalu memerintahkan penarikan RPKAD dari Halim.
Tanggal 2 Oktober pukul 22.00 pasukan berkekuatan sekitar 600 orang itu keluar dari Halim
kembali ke Cijantung.
AURI tidak mendukung
Buku ini mengetengahkan beberapa informasi di sekitar 1 Oktober
1965, khususnya apa yang terjadi di PAU Halim Perdanakusuma
menurut kesaksian beberapa purnawirawan AURI saksi sejarah.
Dalam upaya menyajikan fakta sejarah yang selama ini belum
diungkapkan pada publik, buku ini, seperti tertera dalam Prakata,
tidak bermaksud menyalahkan pihak lain. Harus pula dicatat bahwa
buku ini tidaklah berpretensi mengungkap apa sebetulnya peristiwa
34 tahun yang lalu itu. G30S adalah peristiwa yang sangat kompleks
dan mungkin akan tetap mengandung sisi-sisi gelap yang tidak
terungkap.
Kol. Wisnu
Djajengminardo
Tetapi buku ini diharapkan mengimbangi tulisan-tulisan yang
dianggap cenderung menyudutkan AURI. Menyingkap Kabut Halim
1965 lebih merupakan wujud dorongan rasa kewajiban dan tanggung
jawab para saksi dan pelaku untuk mengembalikan nama baik AURI yang mereka cintai
sekaligus sebagai pertanggungjawaban kepada generasi penerus Angkatan Udara kita.
227
Sudah tentu buku ini tidak mengingkari bahwa ada anggota AURI yang terlibat dalam G30S,
karena dalam setiap angkatan ada oknum-oknum yang memang ambil bagian. Tetapi buku ini
mengingatkan bahwa tuduhan terhadap AURI tidaklah proporsional. Kisah-kisah yang terangkai
dalam Menyingkap Kabut Halim 1965 ingin menyampaikan pesan bahwa secara institusional
AURI tidak pernah memberi dukungan pada G30S. (Eduard Lukman)
228
Omar Dhani Pernah Menerangkan Siapa Designer G30S/PKI
Omar Dhani adalah kunci yang masih hidup sewaktu dia dibebaskan dari
penjara. Oleh wartawan dia pernah ditanya tentang G30S/ PKI. Kalo
saja ada pembaca yang masih ingat apa jawaban Omar Dhani, tentu bisa
mengikuti tulisan2 saya seputar G30S/ PKI ini. Bahkan designer dari
G30S/ PKI itu sendiri sampai sekarang masih hidup, dan tidak merasa
keberatan kalo Omar Dhani mau membukanya kepada masyarakat, bahkan
memang sesungguhnya Omar Dhani itu dilepaskan dengan tujuan agar mau cerita, silahkan
buka mulut. Namun entah mengapa, Omar Dhani tidak
mau membeberkannya, dia memilih bungkam, mungkin Omar Dhani berpikir kalo dia
membeberkannya hanyalah merendahkan dirinya saja atau juga merendahkan harga diri Bung
Karno.
Namun ada satu hal yang paling penting yang harus anda ketahui dan
juga anda ingat. Omar Dhani yang mati2an bungkem ini sempat dipancing
oleh seorang wartawan, dan dengan sangat mengejutkan Omar Dhani sudah menguak sedikit
rahasia dibelakang G30S/ PKI ini, namun kemudian Omar Dhani menyadari bahwa dia
keceplosan bicara, kemudian dia pergi tidak mau meladeni bicara dengan sang wartawan lagi.
Sang wartawan memancing Omar Dhani, pertama sang wartawan bertanya,
bagaimana perasaan dia dilepaskan dari penjara, pak Omar Dhani
menjawab, tentu saya senang bisa bebas. Lalu sang wartawan bertanya
lagi, "apakah bapak dendam kepada pak Harto yang telah memenjarakan
Bapak?". Omar Dhani tertawa ngakak, katanya "apanya yang harus saya
berdendam kepada pak Harto?". Sang wartawan kembali memberi umpan,
"Bukankah bapak itu dipenjarakan atas perintah pak Harto?". Kembali
bekas Laksamana Omar Dhani menjawab, "Siapa yang bilang begitu?".
Sang wartawan menjawab, "Wah... itu khan sudah menjadi berita luas
yang menganggapnya begitu...". Omar Dhani hanya tertawa,
"hehehehehe.. kamu tanya lah kepada pak Harto, begitu enggak?". Sang
wartawan menjadi keheranan, kemudian karena tidak sabar, maka dia
terjang langsung dengan pertanyaan inti...., "sekarang pak Harto sudah
229
tidak lagi berkuasa, dan banyak yang menuduh bahwa pak Harto terlibat
G30S/ PKI, bagaimana komentar bapak dengan tuduhan itu?" MENDADAK
WAJAH BEKAS LAKSAMANA OMAR DHANI MENGENCANG, SANGAT SERIUS, LALU DIA
BILANG ".... TIDAK ADA ORANG INDONESIA YANG MAMPU MENDESIGN G30S/PKI",
setelah berkata begitu, bekas Laksamana Omar Dhani berkata,
"...maaf, saya tak bisa lebih jauh lagi ngobrol disini", cepat2 dia pergi.
Jadi kalo saja anda men-cari2 lagi wawancara ini, tentu akan bisa
jelas siapa wartawan yang pandai mengumpan pertanyaan yang begitu
tajamnya sehingga Omar Dhani kebobolan juga akhirnya.
Satu hal yang perlu anda ingat tentang pernyataan Omar Dhani ini,
bahwa dia tak perlu, bahkan tidak merasa dendam kepada Suharto, dia
juga tidak menganggap Suharto genius karena sama sekali bukan designer
G30S PKI, Omar Dhani sangat memandang rendah kemampuan Suharto, dan
yang paling puncak pentingnya dari ucapan Omar Dhani adalah cuma satu,
"bahwa tidak ada satupun orang Indonesia yang mampu mendesign G30S
PKI". Dan berdasarkan anggapan Omar Dhani, Suharto hanyalah dipaksa
untuk mengambil alih kekuasaan Bung Karno sehingga jenderal Suharto
se-olah2 melakukan kudeta terhadap Sukarno. Yang lebih mengagetkan
lagi, ternyata SP 11 Maret ternyata tidak pernah ada. Andaikata
memang Suharto merupakan pelaku G30S PKI, apa sih susahnya membuat SP
11 Maret yang palsu yang se-olah2 ditanda tangani oleh Sukarno.
Memang bukanlah tidak mungkin bahwa Surat palsunya pernah dibuat,
namun kemudian dimusnahkannya sendiri, karena Suharto pada hakekatnya
juga punya nurani dan tidak mau menentang perasaannya sendiri.
Jadi karena kejadiannya sudah lama berlalu, dan memang designernya
juga tidak melarang untuk mengungkapkan masalah ini, maka cukup disini
saya katakan kepada pembaca, bahwa designernya itu adalah Marshal
Green yang baru saja kira12 6 bulan diangkat sebagai Dubes untuk
Indonesia menggantikan P.Jones. Karir Marshal Green sangat menyolok,
karena sebelum menjadi Dubes di Indonesia, dia adalah Dubes di Saigon
VietNam, dan disana dia juga mendesign hal yang sama yang bahkan lebih
230
rumit dari G30S pki, namun kalo anda pernah baca kejadian di VietNam,
maka polanya sangat mirip, bahkan seperti foto copy-nya saja, itulah
sebabnya, plot G30S PKI tak perlu banyak buang waktu, kurang dari 3
bulan semua plotnya sudah lengkap dan sukses dilaksanakan dengan
resiko 0% tapi keberhasilannya 100%.
Omar Dhani bungkem kemungkinan besar karena dia tidak mau membuat
Marshal Green se-olah2 menjadi hebat dan terkenal namanya. Sementara
itu Suharto bungkem karena tidak mau menyinggung perasaan orang2 yang
disakitinya yang kesemuanya bekas atasannya yang pangkatnya lebih
tinggi. Suharto tahu, bahwa mereka yang dia penjarakan justru orang2
yang lebih tahu tentang urusan ini, dan dia sadar juga bahwa bekas
atasannya tentu sulit untuk menyalahkan dirinya. Karena, sebelum
kejadian, sebenarnya Omar Dhani yang ditawarkan untuk berperan jadi
Suhartonya, bahkan ada beberapa jenderal lain yang ditawarkan, namun
mereka semua menolak, akhirnya Suharto-lah yang terpilih tanpa Suharto
sendiri tahu kalo dia diPlot seperti itu.
Ny. Muslim binti Muskitawati. [mediacare] Omar Dhani
231
Sekitar G30S, Suharto, PKI dan TNI-AD (Oleh: Harsutejo)
GESTAPU, GESTOK
Gerakan 30 September merupakan nama ―resmi‖ gerakan sesuai dengan apa yang telah
diumumkan oleh RRI Jakarta pada pagi hari 1 Oktober 1965. Nama ini untuk keperluan praktis
media massa kemudian ditulis dengan G-30-S atau G30S. Sedang Gestapu (Gerakan
September Tiga Puluh) suatu nama yang dipaksakan agar berkonotasi dengan Gestapo-nya
Hitler yang tersohor keganasannya itu. Rupanya sang konseptor, Brigjen Sugandhi, pimpinan
koran Angkatan Bersenjata, telah banyak belajar dari sejarah dan jargon nazi Jerman. Jelas
nama ini merupakan pemaksaan dengan memperkosa kaidah bahasa Indonesia (dengan
hukum DM), kepentingan politik menghalalkan segala cara. Nama Gestapu digalakkan secara
luas melalui media massa, sedang dalam buku tulisan Nugroho Notosusanto maupun Buku
Putih digunakan istilah G30S/PKI. Barangkali ini merupakan standar ganda yang dengan
sengaja dilakukan; yang pertama untuk menggalakkan konotasi jahat Gestapo dengan
Gestapu/PKI, sementara buku yang ditulis oleh pakar sejarah itu bernuansa ―lebih ilmiah‖
bahwa G30S ya PKI.
Sementara itu sejumlah pakar asing dalam karya-karyanya menggunakan istilah Gestapu
ciptaan Orde Baru ini. Mungkin ada di antara mereka sekedar mengutip istilah yang digunakan
begitu luas dan gencar oleh media massa Orba secara membebek tidak kritis. Dengan
demikian dari istilah yang digunakan saja tulisan itu sudah memulai sesuatu dengan berpihak
secara politik kepada rezim Orba yang berkuasa. Di antara pakar ini, Prof Dr Victor M Fic,
seorang sejarawan Kanada, telah menulis buku yang ―menghebohkan‖ itu karena secara
murahan menuduh Bung Karno sebagai dalang G30S. Di seluruh bukunya ia menggunakan
istilah Gestapu, ketika dia menggunakan istilah netral ‗Gerakan 30 September‘ selalu diikuti
dalam kurung (GESTAPU).
Sementara orang mengartikan penamaan Gestok (Gerakan 1 Oktober) hanya untuk gerakan
yang dilakukan oleh Mayjen Suharto pada tanggal tersebut daripada gerakan Letkol Untung.
Tetapi mungkin saja bahwa yang dimaksud Bung Karno adalah gerakan yang dilakukan Letkol
Untung menculik sejumlah jenderal dan kemudian membunuhnya (terlepas dari adanya
komplotan lain dalam gerakan yang melakukan pembunuhan itu). Penamaan itu juga terhadap
gerakan Mayjen Suharto yang dilakukan menghadapi gerakan Untung serta mencegah
232
kepergian Jendral Pranoto dan Umar Wirahadikusuma menghadap Presiden ke PAU Halim,
sekaligus mengambilalih wewenang Men/Pangad Jenderal Yani yang sudah dipegang oleh
Presiden Sukarno serta membangkang terhadap perintah-perintah Presiden untuk tidak
melakukan gerakan militer.
Tentu saja penamaan Gestok tidak disukai oleh rezim Orba. Dalam pidatonya pada 21 Oktober
1965 di depan KAMI di Istora Senayan, Presiden Sukarno menyebutkan, ―..Orang yang
tersangkut pada Gestok harus diadili, harus dihukum, kalau perlu ditembak mati… Tetapi
marilah kita adili pula terhadap pada golongan yang telah mengalami peruncingan seperti
Gestok itu tadi‖. Mungkin sekali ini maksudnya setelah pelaku peristiwa 1 Oktober (Untung cs)
yang hanya berumur sehari itu diadili, maka juga terhadap pelaku yang membuat runcing
persoalan sesudah itu, siapa lagi kalau bukan Jenderal Suharto cs. Dalam pidato Pelengkap
Nawaksara di Istana Merdeka pada 10 Januari 1967 Presiden Sukarno dengan jelas menyebut
pembunuhan para jenderal itu dengan Gestok lalu dilanjutkan dengan bertemunya tiga sebab
(a) keblingernya pimpinan PKI, (b) kelihaian subversi Nekolim, (c) adanya oknum ―yang tidak
benar‖.
Dalam dokumen yang disebut ―Dokumen Slipi‖ yang berisi hasil pemeriksaan Bung Karno
sebagai saksi ahli dalam perkara Subandrio dan merupakan kesaksian terakhir BK (1968), ―…1
Oktober 1965 bagi saya adalah malapetaka, karena gerakan yang melawan G30S pada 1
Oktober 1965 itu telah melakukan pembangkangan terhadap diri saya, sejak saat itu gerakan
yang melawan G30S tidak tunduk pada perintah saya, maka saya berpendapat G30S lawannya
Gestok…‖. Jika dokumen ini memang benar adanya, hal itu sesuai dengan seluruh
perkembangan kejadian serta analisis BK tentang G30S tersebut di atas. Brigjen Suparjo
segera menghentikan gerakan G30S sementara Mayjen Suharto meneruskan Gestok-nya.
Tetapi sejarah juga menunjukkan bahwa Presiden Sukarno tidak mengambil tindakan apa pun
terhadap jenderal yang satu ini, justru melegitimasi dengan mengukuhkan kedudukannya.
Sebenarnyalah peristiwa G30S di Jakarta hanya berlangsung selama satu hari, sementara di
Jawa Tengah yang tertinggal itu berlangsung beberapa hari (sesuatu yang aneh dan perlu dikaji
lebih lanjut). Gerakan selanjutnya, yang disebut BK Gestok, dilakukan oleh Mayjen Suharto
dengan menentang dan menantang perintah Presiden dengan menindas PKI dan gerakan kiri
lainnya, membantai rakyat dan pendukung BK, ujungnya menjatuhkan Presiden Sukarno. Inilah
tragedi sebenarnya dengan pembukaan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang
perwira pertama oleh pihak militer sendiri. (Dari berbagai sumber).
233
G30S
PADA dini hari menjelang subuh 1 Oktober 1965 sekelompok militer yang kemudian
menamakan diri sebagai Gerakan 30 September melakukan penculikan 7 orang jenderal AD.
Jenderal Nasution dapat meloloskan diri, sedang yang ditangkap ialah pengawalnya. Lolosnya
jenderal ini telah dibayar dengan nyawa putrinya yang kemudian tewas diterjang peluru.
Keenam orang jenderal teras AD yang diculik dan kemudian dibunuh itu terdiri dari: Letjen
Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen Suprapto (Deputi II Men/Pangad), Mayjen Haryono MT
(Deputi III Men/Pangad), Mayjen S Parman (Asisten I Men/Pangad), Brigjen DI Panjaitan
(Asisten IV Men/Pangad), Brigjen Sutoyo (Oditur Jenderal AD).
Pada pagi-pagi 1 Oktober 1965, sebelum orang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi,
Kolonel Yoga Sugomo sebagai Asisten I Kostrad/Intelijen serta merta menyatakan bahwa hal itu
pasti perbuatan PKI, ketika pengumuman RRI Jakarta pada jam 07.00 menyampaikan tentang
Gerakan 30 September di bawah Letkol Untung. Maka Yoga pun memerintahkan, ―Siapkan
semua penjagaan, senjata, bongkar gudang. Ini PKI berontak‖. Jangan-jangan Kolonel Yoga,
Kostrad, dan - siapa lagi kalau bukan Jenderal Suharto – telah mengantongi skenario jalannya
drama tragedi yang sedang dan hendak dipentaskan kelanjutannya. Tentu saja pertanyaan ini
amat mengggoda karena dokumen-dokumen rahasia CIA pun mengungkapkan berbagai
skenario semacam itu dengan diikuti dijatuhkannya Presiden Sukarno sebagai babak penutup.
Menurut tuduhan dan pengakuan Letkol (Inf) Untung, Komandan Batalion I Resimen
Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden RI yang secara formal memimpin Gerakan 30
September, para jenderal tersebut menjadi anggota apa yang disebut Dewan Jenderal yang
hendak melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Sukarno yang sah pada 5 Oktober
1965. Karena itu Letkol Untung sebagai insan revolusi sesuai dengan ajaran resmi yang
didengungkan ketika itu, mengambil tindakan dengan menangkap mereka guna dihadapkan
kepada Presiden. Dalam kenyataannya mereka dibunuh ketika diculik atau di Lubang Buaya,
Jakarta.
Tentang pembunuhan yang tidak patut ini terjadi sejumlah kontroversi. Menurut pengakuan
Letkol Untung hal itu menyimpang dari perintahnya. Dalam hubungan ini telah timbul berbagai
macam penafsiran yang berhubungan dengan kegiatan intelijen berbagai pihak, pihak intelijen
234
militer Indonesia, Syam Kamaruzaman sebagai Ketua Biro Chusus (BC) PKI, intelijen asing,
utamanya CIA, dalam arena perang dingin yang memuncak antara Blok Amerika versus Blok
Uni Soviet dengan Blok RRT yang anti AS maupun Uni Soviet. Menurut pengakuan Syam,
pembunuhan itu atas perintah Aidit, Ketua PKI. Pembunuhan demikian sangat tidak
menguntungkan pihak PKI yang dituduh sebagai dalang G30S, akan dengan mudahnya
menyulut emosi korps AD melawan PKI, sesuatu yang pasti tak dikehendaki Aidit dan sesuatu
yang tidak masuk akal. Dengan dibunuhnya Aidit atas perintah Jenderal Suharto, maka
pengakuan Syam yang berhubungan dengan Aidit sama sekali tak dapat diuji kebenarannya.
Dengan begitu Syam memiliki keleluasaan untuk menumpahkan segala macam sampah yang
dikehendakinya maupun yang dikehendaki penguasa ke keranjang sampah bernama DN Aidit.
Banyak pihak menafsirkan bahwa Syam ini merupakan agen intelijen kepala dua (double
agent), atau bahkan tiga atau lebih. Hal ini di antaranya ditengarai dari pengakuannya yang
terus-menerus merugikan PKI dan Aidit. Ini berarti dia yang posisinya sebagai Ketua BC CC
PKI, pada saat itu menjadi agen yang sedang mengabdi pada musuh PKI. Dari riwayat Syam
ada bayang-bayang buram misterius yang rupanya berujung pada pihak AD, khususnya
Jenderal Suharto. Aidit yang dituduh sebagai dalang G30S yang seharusnya dikorek
keterangannya di depan pengadilan segera dibungkam karena keterangan dirinya tidak akan
menguntungkan skenario Mahmillub yang dibentuk atas perintah Jenderal Suharto
sebagaimana yang telah dimainkan oleh Syam atas nama Ketua PKI Aidit.
Keterangan Syam mengenai perintah Aidit tentang pembunuhan para jenderal tidak dapat diuji
kebenarannya dan tidak dapat dipercaya. Beberapa pihak di Mahmillub menyebutnya perintah
itu dari Syam, tetapi siapa yang memerintahkan dirinya? Pertanyaan ini mau-tidak-mau perlu
dilanjutkan dengan pertanyaan, siapa yang diuntungkan oleh pembunuhan para jenderal itu?
Bung Karno tidak, Nasution tidak, Aidit pun tidak. Hanya ada satu orang yang diuntungkan:
Jenderal Suharto! Jika Jenderal Yani tidak ada maka menurut tradisi AD Suharto-lah yang
menggantikannya. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa ketika Presiden Sukarno menunjuk
Jenderal Pranoto sebagai pengganti sementara pada 1 Oktober 1965, maka Jenderal Suharto
menentang keras. Jelas dia berambisi menjadi satu-satunya pengganti yang akan memanjat
lebih jauh ke atas, padahal ketika itu nasib Jenderal Yani cs belum diketahui jelas.
Perlu ditambahkan bahwa rencana pengambilan [penculikan] para jenderal telah diketahui
beberapa hari sebelumnya serta beberapa jam sebelum kejadian berdasarkan laporan Kolonel
Abdul Latief, bekas anak buah Suharto yang menjadi salah seorang penting dalam G30S.
235
Jenderal Suharto sebagai Panglima Kostrad tidak mengambil langkah apa pun, justru hanya
menunggu. Kenyataan ini membuat kecewa dan dipertanyakan salah seorang bekas tangan
kanan Suharto yang telah berjasa mengepung Istana Merdeka pada 11 Maret 1966, Letjen
(Purn) Kemal Idris. Masih dapat ditambahkan lagi bahwa keenam jenderal yang dibunuh
tersebut memiliki riwayat permusuhan internal dengan Suharto karena Suharto melakukan
korupsi sebagai Pangdam Diponegoro.
Ada fakta sangat keras, dua batalion AD dari Jateng dan Jatim yang didatangkan ke Jakarta
dengan senjata lengkap dan peluru tajam yang kemudian mendukung pasukan G30S, semua
itu atas perintah Panglima Kostrad Mayjen Suharto yang diinspeksinya pada 30 September
1965 jam 08.00. Tentunya dia pun mengetahui dengan tepat kekuatan dan kelemahan pasukan
tersebut beserta jejaring intelijennya, di samping adanya tali-temali dengan intelijen Kostrad
lewat tangan Kolonel Ali Murtopo. Tentu saja masalah ini tak pernah diselidiki, jika dilakukan hal
itu dapat membuka kedok Suharto menjadi telanjang di depan korps TNI AD ketika itu. Mungkin
saja jejaring Suharto yang telah melumpuhkan logistik kedua batalion tersebut, hingga Yon 530
dan dua kompi Yon 434 melapor dan minta makan ke markas Kostrad pada sore hari 1 Oktober
1965. Kedua pasukan ini bersama pasukan Letkol Untung dihadapkan pada pasukan RPKAD.
Itulah sejumlah indikasi kuat keterlibatan Jenderal Suharto dalam G30S, ia bermain di dua kubu
yang dia hadapkan dengan mengorbankan 6 jenderal.
Lalu siapa yang diuntungkan dengan dibunuhnya Aidit? PKI dan Bung Karno pasti tidak, lawanlawan politik PKI jelas senang (meski ada juga yang kemudian menyesalkan, kenapa tidak
dikorek keterangannya di depan pengadilan), di puncaknya ialah Jenderal Suharto yang
memang memerintahkannya. Jika Aidit diberi kesempatan bicara di pengadilan, maka dia akan
mempunyai kesempatan membeberkan peran dirinya dalam G30S yang sebenarnya, bukan
sekedar menelan keterangan Syam di Mahmillub sesuai dengan kepentingan Suharto cs. Jika
ini berlaku maka skenario yang telah tersusun akan kacau.
Sejak 4 Oktober 1965, ketika dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang Buaya,
maka disiapkanlah skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan
propaganda hitam terhadap PKI dimulai dengan pidato fitnah Jenderal Suharto tentang
penyiksaan kejam dan biadab, Lubang Buaya sebagai wilayah AURI. Hari-hari selanjutnya
dipenuhi dengan dongeng horor fitnah keji tentang perempuan Gerwani yang menari telanjang
sambil menyilet kemaluan para jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan
dengan hasil visum dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang
236
diserahkan kepadanya pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus
dilakukan secara berkesinambungan oleh dua koran AD Angkatan Bersendjata dan Berita
Yudha, RRI dan TVRI yang juga telah dikuasai AD, sedang koran-koran lain diberangus. Ketika
sejumlah koran lain diperkenankan terbit, semuanya harus mengikuti irama dan pokok arahan
AD. Seperti disebutkan dalam studi Dr Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa
lebih berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat daripada pencitraan Gerwani
(gerakan perempuan kiri) yang dimanipulasi sebagai ―pelacur bejat moral‖. Kampanye ini benarbenar efektif dengan memasuki dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat
dan agama.
Setelah lebih dari dua minggu propaganda hitam terhadap PKI dan organisasi kiri lain berjalan
tanpa henti, ketika emosi rendah masyarakat bangkit dan mencapai puncaknya dengan
semangat anti komunis anti PKI yang disebut sebagai golongan manusia anti-agama dan antiTuhan, kafir dst yang darahnya halal, maka situasi telah matang dan tiba waktunya untuk
melakukan pembasmian dalam bentuk pembunuhan massal. Dan itulah yang terjadi di Jawa
Tengah setelah kedatangan pasukan RPKAD di bawah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo sesudah
minggu ketiga Oktober 1965, selanjutnya di Jawa Timur pada minggu berikutnya dan Bali pada
Desember 1965/Januari 1966. Sudah sangat dikenal pengakuan Jenderal Sarwo Edhie yang
membanggakan telah membasmi 3 juta jiwa manusia.
Dalam khasanah sejarah G30S ada gambaran yang disesatkan bahwa situasinya seolah waktu
itu ―dibunuh atau membunuh‖ seperti dalam perang saudara. Ini sama sekali tidak benar, tidak
ada buktinya. Hal ini dengan sengaja diciptakan sesuai dengan kepentingan rezim militer
Suharto guna melegitimasi kekejaman mereka. Situasi telah dimatangkan oleh propaganda
hitam pihak militer di bawah Jenderal Suharto beserta segala peralatannya yang menyinggung
nilai-nilai moral dan agama tentang perempuan sundal Gerwani sebagai yang digambarkan
dalam dongeng horor Lubang Buaya. Emosi ketersinggungan kaum agama beserta nilai-nilai
moralnya ditingkatkan sampai ke puncaknya untuk menyulut dan memuluskan pembantaian
anggota PKI dan kaum kiri lainnya yang disebut sebagai kaum kafir yang dilakukan pihak militer
dengan memperalat sebagian rakyat yang telah terbakar emosinya.
Setelah seluruh organisasi kiri, utamanya PKI dihancurlumatkan, sisa-sisa anggotanya
dipenjara, maka datang waktunya untuk menghadapi dan menjatuhkan Presiden Sukarno yang
kini dalam keadaan terpencil diisolasi. Dikepunglah Istana Merdeka oleh pasukan AD di bawah
pimpinan Kemal Idris, pada saat Presiden Sukarno sedang memimpin rapat kabinet yang tidak
237
dihadiri Jenderal Suharto pada 11 Maret 1966 yang ujungnya telah kita ketahui bersama berupa
Supersemar. Kudeta merangkak ini dilanjutkan dengan pengukuhan Jenderal Suharto sebagai
Pejabat Presiden (sesuatu yang menyimpang dari UUD 1945, tak satu pun pakar yang berani
buka mulut ketika itu), selanjutnya sebagai Presiden RI. Maka berlanjutlah pemerintahan
diktator militer selama lebih dari tiga dekade yang menjungkirbalikkan segalanya, sampai
akhirnya Indonesia menjadi salah satu negara terkorup di dunia dengan utang sampai ke ubunubun.
G30S di bawah pimpinan Letkol Untung dirancang untuk gagal, artinya ada rancangan lain yang
tidak pernah diumumkan alias rancangan gelap di balik layar dengan dalang-dalang yang
penuh perhitungan untuk melaksanakan adegan yang satu dengan yang lain. Maka tidak aneh
jika mantan pejabat CIA Ralph McGehee berdasar dokumen rahasia CIA menyatakan sukses
operasi CIA di Indonesia sebagai contoh soal, ―supaya metode yang dipakai CIA dalam kudeta
di Indonesia yang dianggap sebagai penuh kepiawaian sehingga ia digunakan sebagai suatu
tipe rancangan atau denah operasi-operasi terselubung di masa yang akan datang‖. Itulah
kudeta merangkak yang dilakukan oleh Jenderal Suharto sejak pembunuhan para jenderal,
pengusiran BK dari Halim, pembunuhan massal, pengepunngan Istana Merdeka pada 11 Maret
1966, akhirnya dijatuhkannya Presiden Sukarno. Keberhasilan operasi AS di Indonesia disebut
Presiden Nixon sebagai hadiah paling besar di wilayah Asia Tenggara
Untuk melegitimasi segala tindakann dan memperkokoh kedudukannya, rezim militer Orba
menamakan gerakan Letkol Untung tersebut dengan G30S/PKI, pendeknya nama keduanya
saling dilekatkan. G30S ya PKI, bukan yang lain. Di sepanjang kekuasannya rezim ini terusmenerus tiada henti mengindoktrinasi dan menjejali otak kita semua, kaum muda dan anakanak sekolah dengan kampanye ini. Ketika studi sejarah di Indonesia tak lagi bisa dikekang,
maka banyak pakar menolak kesahihan penyebutan tersebut. Studi netral hanya menyebut
Gerakan 30 September sebagaimana yang tercantum dalam pengumuman gerakan di RRI
Jakarta pada pagi hari 1 Oktober 1965, atau disingkat untuk keperluan praktis sebagai G30S.
Masih ada arus balik riak yang membakari buku dalam tahun ini karena berbeda dengan
kepentingan rezim atau pejabat rezim sebagai bagian dari vandalisme masa lampau. (Dari
berbagai sumber).
238
LUBANG BUAYA
Pada 1 Oktober 1965 telah terjadi penculikan dan pembunuhan enam orang jenderal dan
seorang perwira pertama AD yang kemudian dimasukkan ke sebuah sumur tua di desa
Lubang Buaya, Pondokgede oleh pasukan militer G30S. Pasukan ini berada di bawah
pimpinan Letkol Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal
Presiden.
Pada 4 Oktober 1965, ketika dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang Buaya,
Mayjen Suharto, Panglima Kostrad menyampaikan pidato yang disiarkan luas yang
menyatakan bahwa para jenderal telah dianiaya sangat kejam dan biadab sebelum
ditembak. Dikatakan olehnya bahwa hal itu terbukti dari bilur-bilur luka di seluruh tubuh
para korban. Di samping itu Suharto juga menuduh, Lubang Buaya berada di kawasan
PAU Halim Perdanakusuma, tempat latihan sukarelawan Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Perlu disebutkan bahwa Lubang Buaya terletak di wilayah milik Kodam Jaya. Di samping
itu disiarkan secara luas foto-foto dan film jenazah yang telah rusak yang begitu mudah
menimbulkan kepercayaan tentang penganiayaan biadab itu. Hal itu diliput oleh media
massa yang telah dikuasai AD, yakni RRI dan TVRI serta koran milik AD Angkatan
Bersendjata dan Berita Yudha. Sementara seluruh media massa lain dilarang terbit sejak 2
Oktober.
Jadi sudah pada 4 Oktober itu Suharto menuduh AURI, Pemuda Rakyat dan Gerwani
bersangkutan dengan kejadian di Lubang Buaya. Selanjutnya telah dipersiapkan skenario
yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan propaganda hitam
terhadap PKI secara besar-besaran dan serentak. Dilukiskan terdapat kerjasama erat dan
serasi antara Pemuda Rakyat dan Gerwani serta anggota ormas PKI lainnya dalam
melakukan penyiksaan para jenderal dengan menyeret, menendang, memukul,
mengepruk, meludahi, menghina, menusuk-nusuk dengan pisau, menoreh silet ke
mukanya. Dan puncaknya kaum perempuan Gerwani itu dilukiskan sebagai telah
kerasukan setan, menari-nari telanjang yang disebut tarian harum bunga, sambil
menyanyikan lagu Genjer-genjer, lalu mecungkil mata korban, menyilet kemaluan mereka,
dan memasukkan potongan kemaluan itu ke mulutnya....
239
Maaf pembaca, itu semua bukan lukisan saya tapi hal itu bisa kita baca dalam koran-koran
Orba milik AD yang kemudian dikutip oleh media massa lain yang boleh terbit lagi pada 6
Oktober dengan catatan harus membebek sang penguasa serta buku-buku Orba. Lukisan
itu pun bisa kita dapati dalam buku Soegiarso Soerojo, pendiri koran AB, yang diterbitkan
sudah pada 1988, .Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Anda juga dapat
menikmatinya dalam buku Arswendo Atmowiloto yang direstui oleh pihak AD,
Pengkhianatan G30S/PKI, yang dipuji sebagai transkrip novel yang bagus dari film
skenario Arifin C Noer dengan judul yang sama yang wajib ditonton oleh rakyat dan anak
sekolah khususnya selama bertahun-tahun. Dan jangan lupa, fitnah ini diabadikan dalam
diorama pada apa yang disebut Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Meski
monumen ini berisi fitnah, tapi kelak jangan sampai dihancurkan, tambahkanlah satu plakat
yang mudah dibaca khalayak: ―Di sini berdiri monumen kebohongan perzinahan politik‖,
agar kita semua belajar bahwa pernah terjadi suatu rezim menghalalkan segala cara untuk
menopang kekuasaannya dengan fitnah paling kotor dan keji pun. Penghormatan terhadap
para jenderal yang dibunuh itu ditunggangi Suharto dengan fitnah demikian.
Fitnah hitam dongeng horor itu semua bertentangan dengan hasil visum et repertum tim
dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang diserahkan kepadanya
pada 5 Oktober 1965, bahwa tidak ada tanda-tanda penyiksaan biadab, mata dan
kemaluan korban dalam keadaan utuh. Laporan resmi tim dokter itu sama sekali diabaikan
dan tak pernah diumumkan. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan
secara berkesinambungan selama bertahun-tahun tanpa jeda. Dalil intelijen menyatakan
bahwa kebohongan yang terus-menerus disampaikan akhirnya dianggap sebagai
kebenaran. Bahkan sampai dewasa ini pun, ketika informasi sudah dapat diperloleh secara
bebas terbuka, fitnah itu masih dimamahbiak oleh sementara kalangan seperti buta
informasi.
Apa tujuan kampanye hitam fitnah itu? Hal ini dimaksudkan untuk mematangkan situasi,
membangkitkan emosi rakyat umumnya dan kaum agama khususnya menuju ke
pembantaian massal para anggota PKI dan yang dituduh PKI sesuai dengan doktrin
membasmi sampai ke akar-akarnya. Dengan gencarnya kampanye hitam itu, maka telah
berkembang biak dengan berbagai peristiwa di daerah dengan kreatifitas dan imajinasi
para penguasa setempat. Selama kurun waktu 1965-1966 jika di pekarangan rumah
seseorang ada lubang, misalnya untuk dipersiapkan menanam sesuatu atau sumur tua tak
terpakai, apalagi jika si pemilik dicurigai sebagai orang PKI, maka serta-merta ia dapat
240
ditangkap, ditahan dan bahkan dibunuh dengan tuduhan telah mempersiapkan ―lubang
buaya‖ untuk mengubur jenderal, ulama atau dan tokoh-tokoh lawan politik PKI setempat.
Dongeng tersebut masih dihidup-hidupkan sampai saat ini.
Segala macam dongeng fitnah busuk berupa temuan ―lubang buaya‖ yang dipersiapkan
PKI dan konco-konconya untuk mengubur lawan-lawan politiknya ini bertaburan di banyak
berita koran 1965-1966 dan terekam juga dalam sejumlah buku termasuk buku yang ditulis
Jenderal Nasution, yang dianggap sebagai peristiwa dan fakta sejarah, bahkan selalu
dilengkapi dengan apa yang disebut ―daftar maut‖ meskipun keduanya tak pernah
dibuktikan sebagai kejadian sejarah maupun bukti di pengadilan.
Seorang petani bernama Slamet, anggota BTI yang tinggal di pelosok dusun di Jawa
Tengah yang jauh dari jangkauan warta berita suatu kali mempersiapkan enam lubang
untuk menanam pisang di pekarangannya. Suatu siang datang sejumlah polisi dan tentara
dengan serombongan pemuda yang menggelandang dirinya ketika ia sedang menggali
lubang keenam. Tuduhannya ia tertangkap basah sedang mempersiapkan lubang untuk
mengubur Pak Lurah dan para pejabat setempat. Dalam interogasi terjadi percakapan
seperti di bawah.
―Kamu sedang mempersiapkan lubang buaya untuk mengubur musuh-musuhmu!‖
―Lho kulo niki bade nandur pisang, lubang boyo niku nopo to Pak?‖ [saya sedang hendak
menanam pisang, lubang buaya itu apa Pak?]
―Lubang boyo iku yo lubange boyo sing ana boyone PKI!‖ [lubang buaya itu lubang yang
ada buaya milik PKI]. Baik pesakitan yang bernama Slamet maupun polisi yang
memeriksanya tidak tahu apa sebenarnya lubang buaya itu, mereka tidak tahu bahwa
Lubang Buaya itu nama sebuah desa di Pondokgede, Jakarta. Dikiranya di situ lubang
yang benar-benar ada buayanya milik PKI. Ini bukan anekdot tetapi kenyataan pahit, si
Slamet akhirnya tidak selamat alias dibunuh karena adanya ―bukti telak‖ terhadap tuduhan
tak terbantahkan. Demikian rekaman yang saya sunting dari wawancara HD Haryo
Sasongko dalam salah satu bukunya. (Dari berbagai sumber, petikan naskah belum terbit).
241
HALIM PERDANAKUSUMA
Nama lengkapnya ialah Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, atau biasa
disingkat PAU Halim atau Halim saja. Sejak meletusnya peristiwa G30S, nama Halim
selalu disebut. Pada 4 Oktober 1965 Mayjen Suharto, Panglima Kostrad telah menuduh
bahwa Lubang Buaya, tempat ditemukannya jenazah para jenderal yang dibunuh pasukan
G30S dan dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua, merupakan wilayah PAU Halim.
Dalam kenyataannya kawasan itu masuk wilayah milik Kodam Jaya, kira-kira 3,5 km di luar
kawasan PAU Halim. Penyesatan yang dilakukan oleh Suharto sejak dini tersebut
berdampak amat luas.
Perlu kita ketahui bahwa terdapat dua nama Lubang Buaya yang berbeda tempatnya.
Pertama dalam lingkungan PAU Halim, tempat latihan terjun atau dropping zone, kini
menjadi lapangan golf. Sedang yang kedua berada di luar pangkalan sejauh 3,5 km,
dipisahkan jalan setapak yang dewasa ini menjadi Jl Pondokgede. Hal ini tercantum dalam
peta tahun 1936 sebagai yang digambar kembali dalam buku Letkol (Pnb) Heru Atmodjo.
Kaum awam, bahkan para pakar Barat yang menulis tentang G30S (seperti Ulf
Sundhaussen, John D Legge, Coen Holtzappel dsb) mencampuradukkan nama tempat
Lubang Buaya, tempat pembuangan jenazah para jenderal, dengan PAU Halim. Demikian
halnya dengan gedung Penas yang terletak di Jl Baipas (sekarang Jl DI Panjahitan)
sebagai Cenko I G30S, juga disebut Halim, padahal gedung itu berada di luar wilayah PAU
Halim. Dengan kekeliruan semacam itu, mencapuradukkan nama 3 tempat sebagai Halim,
akan berdampak pada gambaran yang salah dan menyesatkan yang dapat menuju pada
analisis dan kesimpulan yang meleset.
Jika dua tempat di luar Halim itu disebut sebagai Halim, maka terdapat gambaran seolaholah PAU Halim Perdanakusuma itu suatu tempat terbuka, hingga dengan mudah pasukan
G30S dapat masuk keluar begitu saja, bahkan membawa para jenderal AD untuk dibunuh
di sana. Sebagai yang disebutkan oleh Letkol (Pnb) Heru Atmodjo, ketika itu (1965) PAU
Halim merupakan pangkalan utama AU dengan Markas Komando Operasi AU yang
mengendalikan seluruh penerbangan pesawat AU. Kemampuan pesawat pembomnya
menjangkau jarak Bangkok dan Manila di utara (markas SEATO dan Armada ke-7 AS)
serta Perth di Australia yang dapat dicapai dari pangkalan Iswahyudi, Madiun. Terdapat
juga Markas Komando Pertahanan Udara Nasional yang bertugas melindungi wilayah
udara RI dari kemungkinan penyusupan pesawat musuh
242
Terdapat sebuah skuadron pesawat VIP untuk Kepresidenan dan pejabat tinggi serta
batalion PGT. Dengan demikian kedatangan Presiden Sukarno ke Halim pada pagi hari 1
Oktober 1965, merupakan bagian dari pengamanan presiden dalam keadaan tidak
menentu, sesuai dengan prosedur baku yang ada. Kenyataan keberadaan Presiden
Sukarno di Halim pada 1 Oktober 1965 ini oleh pakar sejarah Brigjen Prof Dr Nugroho
Notosusanto disebut sebagai salah satu dari tiga kelompok pmberontak, dua kelompok
yang lain ialah Letkol Untung cs dan DN Aidit cs.
Kelompok Presiden Sukarno ini disertai oleh sejumlah pejabat negara. Logika pakar Orba
ini akan kita bicarakan lebih lanjut dalam seri lain.
Halim juga merupakan Markas Wing 001 di bawah Kolonel (Pnb) Wisnu Djajengminardo.
Dengan demikian PAU Halim merupakan tempat tertutup dengan penjagaan cukup ketat.
Adapun Mayor Udara Suyono, salah seorang tokoh G30S, menjabat komandan Resimen
PPP (Pasukan Pertahanan Pangkalan) yang markasnya ada di Kramatjati, di luar wilayah
Halim. Dalam banyak buku tentang G30S yang ditulis oleh para ahli Indonesia maupun
asing (bahkan sampai saat ini), digambarkan seolah Mayor Udara Suyono ini penguasa
PAU Halim, lalu seolah seluruh wilayah Halim menjadi sarang G30S. Hal ini sama sekali
tidak benar dan meleset dari kenyataan.
Demikianlah penyesatan itu agaknya sudah menjadi bagian dari skenario yang telah
digodok matang, di antaranya untuk menjatuhkan para petinggi AURI ketika itu, di
antaranya Men/Pangau Omar Dani guna menghancurkan para pengikut setia Bung Karno
untuk digantikan para pembebek Suharto. Di sepanjang kekuasaan rezim militer Suharto,
hal-hal itu tak pernah mendapatkan koreksi, justru dipelihara terus. (Dari berbagai sumber,
petikan naskah belum terbit).
243
GERWANI
Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) didirikan pada 1954, sedang cikal bakalnya sudah
berdiri pada 1950. Organisasi ini sangat aktif sampai tragedi 1965, terutama di kalangan
rakyat kecil dari perkotaan sampai pedesaan. Para pemimpin Gerwani terdiri dari kaum
intelektual cerdik pandai maupun kaum aktivis buruh dan tani. Mereka telah menghimpun
kaum perempuan untuk berjuang bersama kaum laki-laki merebut hak-hak sosial
politiknya.
Di bidang pendidikan mereka telah mendirikan sekolah Taman Kanak-kanak, utamanya
untuk kalangan tak berpunya dengan bayaran kecil maupun gratis di seluruh pelosok
negeri. Gerakan ini juga giat mendirikan tempat penitipan anak-anak bagi ibu pekerja
dengan bayaran ringan maupun gratis. Gerwani merupakan organisasi kaum perempuan
paling luas menjangkau seluruh pelosok Jawa khususnya. Mereka memberikan pendidikin
kesadaran akan hak-hak perempuan termasuk hak-hak politik dan kesadaran politik.
Mereka aktif juga dalam kesenian, kursus masak-memasak, pemeliharaan bayi dan anak,
kesehatan perempuan dan anak-anak. Pendeknya organisasi ini telah melakukan
pemberdayaan perempuan di seluruh kalangan, utamanya kaum buruh dan tani serta
kaum pinggiran, sesuai dengan cita-cita Ibu Kartini. Gerwani ini pula yang menjadi
primadona sasaran fitnah keji rezim militer Orba dengan segala macam dongeng horornya.
(Lihat Lubang Buaya).
Pertama-tama propaganda hitam Orba pada 1965 dimulai dengan menyerang Gerwani
habis-habisan sebagai bagian dari serangan terhadap PKI. Rusaknya nama dan porak
porandanya organisasi perempuan ini berarti rusak dan lumpuhnya separo organisasi kiri
Indonesia. Setelah itu dilakukan serangan fisik terhadap PKI dan seluruh organnya
sebagai bagian penumpasan lebih lanjut pada 1965/1966. Tidak aneh jika kekejaman
terhadap tapol perempuan anggota Gerwani maupun yang didakwa Gerwani dilakukan
dengan amat kejamnya, sering lebih mengerikan karena harkat perempuannya. Seperti
disebutkan dalam studi Dr Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih
berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat daripada pencitraan Gerwani sebagai
gerakan perempuan kiri yang dimanipulasi sebagai ―pelacur bejat moral‖. Kampanye ini
benar-benar efektif dengan memasuki dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya
kaum adat dan agama.
244
Kaum perempuan tidak hanya mengalami penderitaan karena diciduk, ditahan,
dipenjarakan, dibuang, disiksa, tetapi juga ditelanjangi dan diperkosa bergiliran dan
dilecehkan martabat kemanusiaannya, dihancurkan rumahtangganya, pendeknya mereka
mengalami penderitaan luar biasa lahir dan batin. Perkosaan telah menjadi kecenderungan
umum para petugas keamanan ketika berhadapan dengan tapol perempuan. Sering
pelecehan seksual dan perkosaan terhadap tapol perempuan menyebabkan kehamilan
dan yang bersangkutan melahirkan di tempat tahanan.
Penderitaan itu menjadi lebih lengkap lagi karena mereka melihat kehancuran keluarga
dan nasib anak-anaknya, terpisah-pisah di tempat yang berbeda-beda dengan kondisi
terpuruk yang berbeda-beda pula dengan perlakuan buruk negara dan masyarakat yang
diprovokasi. Tak jarang para ibu ini telah kehilangan jejak anak-anaknya selama bertahuntahun setelah dibebaskan dari penjara, bahkan sebagian sampai saat ini. Tak jarang pula
setelah orangtua mereka dibebaskan, anak-anak yang berkumpul kembali dengan
orangtuanya, terutama dengan ibunya, anak-anak memusuhi dirinya karena merasa
menjadi korban perbuatan ibunya, suatu penilaian amat tidak adil. Itulah salah satu buah
indoktrinasi menyesatkan rezim Orba selama bertahun-tahun yang sangat merusak.
Suami seorang perempuan kembang desa di Purwodadi yang anggota BTI ditangkap pada
November 1965, kemudian dibuang ke Pulau Buru. Setiap malam sang isteri kembang
desa ini digilir diperkosa oleh pamong desa setempat, tentara, pentolan ormas agama dan
nasionalis. Bahkan suatu kali datang seorang tokoh penjagal kaum komunis yang ketika
malam datang menidurinya dengan pakaian berlumuran darah dan kelewang yang
besimbah darah pula. Ini bukan dongeng horor model Lubang Buaya, tetapi sejarah horor,
sejarah hitam legam kaum militer Orba sebagai panutannya yang telah menciptakan
kondisi dan konsep kebuasan tersebut. (Baca buku John Roosa cs [ed], Tahun yang Tak
Pernah Berakhir, Elsam, Jakarta, 2004).
Sungguh nama baik Gerwani yang telah mengabdikan dirinya untuk Ibu Pertiwi dan rakyat
kecil umumnya itu, sebagai kelanjutan cita-cita Ibu Kartini telah dinodai dan dirusak habishabisan dengan fitnah jahat tiada tara. Dengan upaya bersama semua pihak yang peduli,
terlebih lagi kaum sejarawan dan aktivis perempuan, hari depan negeri ini akan
memberikan tempat yang layak bagi Gerwani dalam sejarah bangsa.
245
TOKOH G30S, LETKOL UNTUNG
Tokoh ini tipikal seorang militer lapangan, sama sekali bukan tipe intelektual dengan otak
cemerlang yang mampu melakukan langkah manipulasi canggih penuh perhitungan. Ia
anak bodoh tetapi berani dan setia pada Sukarno. Hal ini amat berbeda dan berbalikan
dengan Jenderal Suharto beserta beberapa pembantunya seperti Ali Murtopo [dan Yoga
Sugomo] Begitu analisis Ben Anderson.. Sekalipun demikian ia salah satu lulusan terbaik
Akademi Militer.
Letkol Untung salah satu pelaku G30S yang sebelumnya pernah menjadi anak buah
Suharto di Jawa Tengah dalam Divisi Diponegoro. Ia pun pernah menjadi anggota
―Kelompok Pathuk‖ di Yogya meskipun bukan dalam kelas yang sama dengan Suharto
atau Syam. Mereka berpisah pada tahun 1950, kemudian bertemu kembali pada tahun
1962 ketika bersama bertugas merebut Irian Barat, ia berada di garis depan. Mendengar
kisah keberaniannya selama bertugas di medan Irian, ia dianugerahi Bintang Penghargaan
oleh Presiden, lalu ditarik menjadi Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, suatu
kedudukan cukup strategis. Sebelumnya ia pernah menjabat Komandan Yon 454
Diponegoro, pasukan yang memiliki kualitas yang kemudian terlibat G30S.
Letkol Untung menikah pada umur yang agak terlambat pada akhir 1964. Acara
perkawinannya dilaksanakan di tempat cukup jauh di daerah udik di desa terpencil
Kebumen. Sekalipun demikian Mayjen Suharto memerlukan hadir bersama isterinya ke
tempat yang ketika itu tidak begitu mudah dicapai. Ia merupakan satu-satunya perwira
tinggi yang datang, ini merupakan kehormatan besar bagi Untung dan menunjukkan
hubungan keduanya cukup akrab. Bahkan yang mempertemukan Untung dengan calon
isterinya ialah Ibu Tien Suharto. Soal kehadiran Suharto ini tidak pernah diungkapkan
olehnya sendiri yang memiliki ingatan tajam itu, tetapi toh terekam dalam sebuah berita
koran Pikiran Rakyat.
Letkol Untung pernah dikirim belajar ke AS, tentunya CIA memiliki cukup catatan tentang
dirinya sehingga ia dapat direkomendasikan. Seperti tercantum dalam catatan laporan CIA
tertanggal 1 Oktober 1965 dalam CIA 2001:300, memorandum untuk Presiden Johnson
bahwa Untung memiliki ―military police background and was trained in the United States‖.
Sementara orang menyebut catatan CIA ini tidak akurat karena Untung tidak pernah
246
belajar ke AS. Banyak pihak menyatakan ia seorang muslim yang taat, sangat muak
dengan korupsi dan tingkah laku kehidupan sejumlah perwira tinggi.
Menurut David Johnson, Letkol Untung bukanlah tergolong pada apa yang disebut ―perwira
progresif‖, ia pun bukan tergolong perwira yang tidak puas. Ia lebih tergolong sebagai
seorang militer profesional yang berhasil. Ia pun menunjukkan tanda-tanda memiliki
pandangan anti komunis. Selama beberapa bulan berkumpul di Penjara Cimahi, Bandung,
Subandrio mencatat bahwa Untung bukan orang yang menyukai masalah politik, ia tipe
tentara yang loyal kepada atasan. Ia risau dengan adanya isu Dewan Jenderal yang
hendak menggulingkan Presiden Sukarno. Kepribadiannya polos dan jujur, hal ini antara
lain dibuktikan dengan kenyataan, sampai detik terakhir sebelum eksekusinya, ia masih
percaya vonis mati terhadap dirinya tidak mungkin dilaksanakan. ―Percayalah Pak Ban,
vonis buat saya itu hanya sandiwara‖, ujarnya kepada Subandrio. Ia percaya Suharto
mendukung tindakannya terhadap para jenderal dan akan memberikan bantuan seperti
dijanjikannya.
Dalam persidangan Letkol Untung terungkap ia baru mengenal Syam dan Bono ketika
dipertemukan oleh Mayor Udara Suyono kepada sejumlah perwira dalam pertemuan
pertengahan Agustus 1965 sebelum gerakan. Untung yang tidak pernah sepenuhnya
percaya kepada Syam, mencoba melakukan penyelidikan tentang hubungan rahasianya
dengan ketua PKI. Hal ini tidak berlanjut, dan menganggap lebih bijak untuk tidak
menantang Syam berhubung ia terdesak waktu bagi penyelesaian agendanya sendiri. Bagi
Letkol Untung agenda mereka adalah mengambil langkah-langkah untuk menggagalkan
kudeta Dewan Jenderal serta melindungi Presiden Sukarno. Kudeta itu diyakininya akan
terjadi pada 5 Oktober 1965.
Berdasarkan kesaksian Mayor AU Suyono maka dapat disimpulkan adanya berbagai
pertentangan di antara tokoh gerakan dengan ketegangan yang kian meningkat serta
bermacam perbedaan pendapat selama berjalannya waktu yang mendekat. Letkol Untung
menjadi cemas dan mungkin mempertimbangan untuk menghentikan semuanya. Rencana
gerakan semula adalah tanggal 25 September, tetapi karena pasukan dari Jawa Timur
belum tiba maka gerakan ditunda sampai 30 September.
247
Dapat disimpulkan Untung bukanlah seorang komunis bawah tanah. Jika ia seorang
komunis semacam itu, ia mungkin sekali akan mendapatkan akses lebih mudah untuk
menghubungi langsung ketua PKI DN Aidit untuk memastikan kedudukan Syam yang
sebenarnya. Andaikata ia seorang komunis demikian maka dalam kedudukan dan pangkat
yang disandangnya ia bakal memiliki serangkaian pendidikan dan pengalaman politik yang
cukup memadai yang akan dengan mudah membuang ilusi pribadi terhadap Jenderal
Suharto, bahwa Suharto telah berkhianat terhadapnya bagi keuntungan diri dan
kelompoknya. Dengan begitu ia akan menyadari kesalahan analisisnya terhadap Suharto.
Ia seorang prajurit yang setia kepada Bung Karno. Dokumen yang terkenal dengan Cornell
Paper menyebutkan sebelum peristiwa telah bertahun-tahun, Sukarno, para jenderal [AD],
pimpinan komunis dan golongan lain telah terjerat dalam manuver politik yang rumit.
Semua itu secara keseluruhan menyebabkan Letkol Untung melakukan aksinya.
Letkol Untung dieksekusi mati pada tahun 1969 di Cimahi. Demikianlah nasib seorang
prajurit yang naif politik itu tetap memendam ilusi pribadi besar sampai saat terakhir, yang
pundaknya telah menjadi panjatan sang manipulator. Adatah itu memang realitas
kehidupan di sepanjang sejarah. Pemeo menyatakan itulah politik dalam kenyataan
telanjangnya, menghalalkan segala cara. (Petikan dari Harsutejo, ―Sejarah Gelap G30S‖ /
revisi).
248
TOKOH G30S, KOLONEL ABDUL LATIEF
Pemeran G30S ini juga pernah menjadi anak buah Suharto di Divisi Diponegoro. Ia ikut
ambil bagian sebagai salah satu komandan kompi yang berani dalam SU 1 Maret 1949 di
Yogya yang dipimpin Letkol Suharto. Akhirnya Latief menjadi Komandan Brigade Infanteri I
Kodam Jaya, suatu kedudukan strategis. Sebagai Komandan Kostrad pun Suharto
mendekati Kolonel Latief antara lain dengan mendatangi rumahnya ketika Latief
mengkhitankan anaknya. Menurut Subandrio hal ini merupakan suatu langkah ―sedia
payung sebelum hujan‖, suatu saat ia akan dapat memanfaatkannya. Di samping itu ―Latief
mengantongi rahasia skandal Suharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949‖ seperti yang
tercantum dalam pembelaannya di depan Mahmilub pada 27 Juni 1978.
Letkol Suharto tidak banyak mengambil bagian dalam SU itu, ia hanya enak-enak berada
di garis belakang yang aman sembari makan soto di warung sebagai yang diceritakan
Latief ketika pertempuran seru terjadi dan cukup banyak korban jatuh. Adegan ‗Suharto
makan soto babat‘ itulah yang disebut Subandrio sebagai ―skandal Suharto‖. Dalam
pasukan Kapten Latief yang masuk ke Yogya dari Godean itu bergabung juga laskar
Pesindo yang sudah bersiap di dalam kota di bawah pimpinan Supeno dan Pramuji,
menurut AM Hanafi merupakan kekuatan militan serangan umum tersebut.
Hubungan Latief Dengan Suharto
Latief sendiri menyatakan karier kemiliterannya nyaris selalu mengikuti jejak Suharto. Pada
gilirannya membuat hubungan Latief dan Suharto bukan lagi sekedar bawahan dan
atasan, melainkan sudah sebagai dua sahabat. Suharto tahu Latief tak akan melakukan
sesuatu yang dapat merugikan dirinya. Sudah sejak setelah agresi kedua, Latief merasa
selalu mendapatkan kepercayaan dari Suharto sebagai komandannya yakni memimpin
pasukan pada saat yang sulit. Ketika Trikora pun ia masih dicari bekas komandannya itu,
tetapi Latief sedang mengikuti Seskoad. Pada bulan Juni 1965 Mayjen Suharto meminta
agar Latief dapat memimpin suatu pasukan di Kalimantan Timur, akan tetapi Umar
Wirahadikusuma menolak melepasnya karena tenaganya diperlukan untuk tugas
keamanan di Kodam V Jaya.
249
Di luar dinas Latief mempunyai hubungan kekeluargsaan yang cukup akrab dengan
Suharto dan sering berkunjung ke rumahnya. Ketika Sigit, anak Suharto dikhitan, isteri
Latief datang. Sebaliknya ketika Latief mengkhitankan anaknya maka Suharto dan Ibu Tien
juga datang ke rumahnya. Bahkan pada 28 September 1965 ketika Latief berkunjung ke
rumah Suharto di Jl HA Salim, ia membicarakan soal tukar-menukar rumah dinas. Latief
menawarkan rumah dinas baginya di Jl Jambu bekas kedutaan Inggris yang lebih besar
untuk ditukar dengan kediaman Suharto yang lebih kecil yang sedang ditempatinya.
Menurut Subandrio, Suharto berhasil membentuk trio bersama kedua orang tersebut di
atas, keduanya memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding trio yang pernah
dibentuk sebelumnya bersama Ali Murtopo dan Yoga Sugomo yang telah menghasilkan
dirinya ditunjuk sebagai Panglima Diponegoro, lalu naik pangkat menjadi Kolonel dengan
menggeser calon kuat Kolonel Bambang Supeno yang pengangkatannya tinggal menanti
tandatangan saja.
Kolonel Latief: “Jenderal Suharto Terlibat G30S!”
Dalam pembelaannya Letkol Latief tetap menuduh Jenderal Suharto sebagai ikut terlibat
dalam G30S. Ia tidak memiliki ilusi apa pun terhadap Jenderal Suharto yang sedang
berkuasa, orang yang setiap saat dapat mengirimkan dirinya ke dunia lain atau
membebaskannya, menilik dalam kenyataannya selama rezim militer Orba, Jenderal
Suharto berada di atas hukum. Dapat disimpulkan ia memiliki suatu kesadaran politik
cukup tinggi. Selama penahanannya Latief mengalami siksaan luar biasa seperti
dipaparkan dalam pembelaannya. Menakjubkan ia masih bertahan hidup meskipun
badannya cukup rusak, semangat hidupnya luar biasa. Setelah tekanan berbagai pihak di
dalam dan luar negeri, ia baru dibebaskan dari penjara pada permulaan 1999. Dengan
keadaan badan yang rapuh, ia terkena stroke, akan tetapi semangat hidupnya tidak pernah
pudar. Sejak itu ia harus dibantu seorang ―penerjemah‖ untuk berkomunikasi dengan orang
lain. Sekalipun demikian ia tetap aktif mengikuti berbagai pertemuan, seminar, menulis
makalah. Dalam suatu kesempatan bertemu dengan penulis pada permulaan 2001, ia
sedang menyelesaikan bukunya tentang SU 1 Maret 1949.
Berbagai pertanyaan timbul terhadap kenyataan bahwa seorang Latief tidak dihukum mati
oleh pengadilan yang sekedar mementingkan proses formal dan mengabaikan pembuktian
250
material. Bahkan untuk tokoh yang masih menjabat sebagai menteri pada tahun 1965
seperti Aidit dan Nyoto, dengan entengnya ‗dibereskan‘ oleh penguasa militer Orba.
Rupanya pengadilan terhadap mereka tidak menguntungkan sang penguasa. Sebagian
orang mencurigai Latief sebagai melakukan deal tertentu dengan Suharto, sampai saat ini
tanpa bukti, atau barangkali menurut logika intelijen. ―Seseorang di suatu tempat dalam
rezim tampaknya menghendaki ia tetap hidup,‖ begitu tulis Carmel Budiardjo. Seseorang
itu tidak bisa lain kecuali Jenderal Suharto. Untuk kepentingan apa ia menghendaki Latief
hidup, bagian dari suatu deal? Macam apa kesepakatan itu, terlalu mahal untuk Latief dan
terlalu riskan untuk Suharto, ini bila ditinjau dari kacamata setelah G30S. Tentu saja
Suharto pun selama berkuasa dengan amat mudahnya setiap saat dapat melenyapkan
Latief bagai menepuk nyamuk.
Kenyataan bahwa Latief tidak dihukum mati, menimbulkan suatu spekulasi bahwa ia
memiliki keterangan yang lebih sempurna yang disimpan di luar Indonesia dengan pesan
supaya segera diumumkan jika ia dibunuh. Dalam majalah Far Eastern Economic Review
2 Agustus 1990 diberitakan memoar Latief disimpan di sebuah bank. Keterangan Latief
memang memenuhi syarat untuk menyeret Jenderal Suharto sebagai terlibat G30S
golongan A, sesuai Pasal 4 Keputusan Kopkamtib 18 Oktober 1965, semua orang yang
terlibat secara langsung, mereka yang mengetahui rencana kup dan lalai melaporkan
kepada yang berwajib.
Ada satu hal lagi yang amat mencolok, Kolonel Latief ditangkap sepuluh hari setelah
kegagalan gerakan, tetapi ia diadili 13 tahun kemudian pada 1978. Sedang vonisnya baru
mendapatkan kepastian hukum pada tahun 1982! Latief merupakan saksi kunci yang dapat
menggoyahkan kedudukan Jenderal Suharto. Pada masa permulaan bahkan pada tahuntahun permulaan pengikut BK masih cukup kuat, maka diperlukan waktu bagi Suharto
untuk mengkonsolidasikan diri dan kekuasaannya. Dengan kata lain Suharto memerlukan
waktu, pendeknya faktor waktu amat penting dalam hal ini. Itulah sebabnya setelah usaha
menyiksa dan mengisolasi Latief habis-habisan selama 10 tahun tidak juga membunuhnya,
dengan berjalannya waktu ia tidak terlalu berbahaya lagi. Suharto sudah cukup kuat dan
mampu mengangkangi hukum dengan mudah. Demikian ulasan Joesoef Isak yang sangat
menarik, faktor waktulah yang diperlukan oleh rezim Suharto untuk menaklukkan
kesaksian dan bahan apa pun yang dimiliki Latief. Sudah jauh-jauh hari kenyataan ini telah
dimanipulasikan dengan keterangan juru bicara militer yang menyatakan Latief dengan
sengaja tidak mematuhi perintah dokter [berhubung luka-luka yang dideritanya], sehingga
251
ia tidak cukup sehat untuk muncul di pengadilan, sebagai disiarkan Kompas 26 Maret
1966.
Peran apa sebenarnya yang telah dimainkan oleh Kolonel Latief, semata-mata sebagai
seorang militer yang setia kepada Presiden Sukarno, seseorang yang terseret masuk ke
dalam perangkap Syam, atau orang Suharto yang sepahnya dibuang setelah habis manis,
atau yang lain? Kalau dia sepah yang dibuang seharusnya ia dilenyapkan setelah dikorek
keterangan yang diperlukan kepentingan rezim, agar selanjutnya bungkam. Seseorang
yang menamakan dirinya sebagai mantan intel tiga negara sekaligus RI-CIA-KGB
mesinyalir Latief sebagai agen ganda, karena itu ia selamat terus (Detak 5 Oktober
1998:9). Masih dapatkah kita mengharapkan sesuatu yang lain di samping pledoinya di
pengadilan, demi kepentingan sejarah bangsa? Sayang sampai meninggalnya tokoh ini
pada 2005, tidak ada informasi baru yang disampaikannya.
Trio Sel Komunis?
Dalam berbagai diskusi informal tentang G30S sebagian orang mengutuk Latief sebagai
pengkhianat karena telah melaporkan gerakan yang diikutinya sendiri kepada Jenderal
Suharto. Hal ini perlu dipertanyakan apakah menemui Suharto sebagai bekas
komandannya dan orang yang cukup dekat dengan dirinya itu inisiatifnya sendiri? Kalau
bukan siapa yang memerintahkannya? Sebagian pihak menyatakan dia itu sebenarnya
anggota trio sel bawahtanah PKI bersama Letkol Untung dan.... Jenderal Suharto di bawah
binaan Syam [atau Aidit?] sebagai bagian dari BC PKI. Dalam hubungan ini tak aneh jika
ada pihak yang menyebut Jenderal Suharto sebagai gembong PKI yang berkhianat. Ada
cerita seorang tokoh yang tidak mau disebut namanya, pada permulaan Oktober 1965
menemui Aidit di Jawa Tengah ketika baru tiba dari Jakarta, DN Aidit menyatakan, ―Wah
celaka, kita ditipu oleh Suharto!‖
Di sepanjang kesaksiannya, Kolonel Latief tidak sekalipun menjatuhkan nama PKI, sangat
kontras dengan Syam, Ketua BC PKI. Sayang hal-hal di atas tidak dapat dirujuk silang
dengan narasumber lain maupun sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan
[atau belum?]. Apakah kita akan mimpi mendapatkan tambahan keterangan dari Jenderal
Besar (Purn) Suharto yang sedang didapuk sebagai koruptor hiu paling akbar di dunia dan
252
baru memenangkan Rp 1 triliun di Mahkamah Agung RI menghadapi majalah Time?
(Dipetik dari Harsutejo, Sejarah Gelap G30S, revisi).-
KOLONEL LATIEF, GEMBONG ATAU KORBAN?
Jika Latief semasa hidupnya sudi menjelaskan secara rinci, terbuka dan jujur dalam
menjawab pertanyaan yang pernah diajukan kepadanya, mungkin akan lebih mudah
mendudukkan dirinya, meskipun tetap saja akan terbuka kemungkinan kontroversi. Apalagi
keterangan sejujur dan serinci apa pun yang diberikan setelah sekian puluh tahun
terjadinya suatu peristiwa sejarah, tetap terbuka kemungkinan kerancuan. Sayang
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, yang diajukan ketika dia masih dapat berkomunikasi
dengan cukup, tidak pernah dijawabnya dengan jelas. Dapat saya tambahkan bahwa pada
tahun-tahun akhir hidupnya dia sulit berkomunikasi karena serangan stroke yang telah
menutup harapan adanya keterangan berharga yang lain dari pihaknya, kecuali jika ada
peninggalan tertulis yang belum pernah dipublikasikan. Pertanyaan tersebut di antaranya
meliputi:
(1) Dalam sejumlah pertemuan mereka yang menamakan diri Perwira Progresif (termasuk
Latief) sebelum 1 Oktober 1965, dihadiri (bahkan dipimpin) sejumlah orang sipil yakni
Syam, Pono dan Bono dari Biro Chusus (BC, ejaan lama) PKI. Apakah ini berarti konsep
G30S dari PKI (baca: Syam/Aidit)? Bagaimana sebenarnya hubungan orang-orang militer
ini dengan BC? Apa sekedar karena sama-sama alat revolusi sesuai dengan ajaran Bung
Karno (BK) dan pendukung BK? Atau suatu komplotan? Hubungan ini diungkapkan dalam
buku putih Orba sebagai komplotan PKI (atau sebenarnya komplotan Aidit?).
(2) Dalam salah satu pertemuan (ke 5 pada 17 September 1965) anak buah Latief, Mayor
Inf Agus Sigit, Dan Yon 203, mendebat arahan Syam tentang rencana G30S yang
dipandangnya semrawut, tidak profesional. Usulan dia tentang penutupan jalan masuk ke
Jakarta dari arah Bogor, Tangerang dan Bekasi pada saat gerakan, ditolak sebagai kekirikirian. Ia menyampaikan pertanyaan tajam, apa sebab Presiden tidak memerintahkan
segera menangkap Dewan Djenderal (DD, ejaan lama)? Apa tidak mampu? Apa sebab
orang-orang dalam pertemuan itu yang harus menangkapnya? Selanjutnya (karena tidak
setuju) ia tidak lagi mengikuti pertemuan berikutnya, bahkan kemudian pasukannya tidak
muncul.
253
(3) Sebelum 1 Oktober Latief setidaknya menemui Jenderal Suharto dua kali. Siapa yang
menugaskan dirinya? Apa benar dia datang di RS Gatot Subroto bersama Syam yang
berada di tempat agak jauh seperti kesaksian Syam?
(4) Latief sebagai Dan Brigif I Kodam Jaya membawahi tiga batalion tetapi yang ikut
bergerak bersamanya cuma dua peleton Detasemen Kompi Markas. Lalu peran apa
sebenarnya yang dilakukannya pada 1 Oktober 1965, namanya tidak tercantum dalam
daftar Komando Gerakan, tetapi ―hanya‖ sebagai anggota Dewan Revolusi, sedang dari
segi pangkat dia nomor dua setelah Brigjen Suparjo. Apa sebab gerakan dipimpin Letkol
Untung, kenapa bukan Brigjen Suparjo yang paling tinggi pangkatnya?
(5) Berbagai macam persiapan (misalnya gerakan dipimpin Letkol Untung yang baru lima
bulan berada di pasukan Cakrabirawa/Jakarta, pasukan yang mengambil bagian dalam
gerakan tidak jelas atau terlalu sedikit tidak seperti yang dilaporkan, logistik tidak
memadai), dokumen-dokumen G30S tidak menyebut kedudukan BK. Dekrit No.1
menyebutkan, ―Dengan jatuhnya segenap kekuasaan Negara ke tangan Dewan Revolusi
Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinya berstatus demisioner‖; dalam
Keputusan No.2 disebut, ―Berhubung segenap kekuasaan dalam Negara RI pada 30
September 1965 diambilalih oleh Gerakan 30 September...‖ lalu ada penurunan pangkat.
Selanjutnya pasukan G30S membunuh tiga orang jenderal di tempat, membunuh sisanya
di Pondokgede/Lubang Buaya. Semuanya ini mengarah pada suatu desain agar gerakan
itu gagal.
(6) G30S tidak mempunyai rencana alternatif, tetapi hanya ada satu rencana, itu
merupakan permulaan kegagalan dari kacamata militer maupun politik seperti ditulis
Jenderal Nasution. Atau ini sebenarnya bagian dari skenario karena G30S memang
dirancang untuk gagal?
Mantan Kolonel Inf Latief tidak pernah menjawabnya sampai maut menjemputnya pada 6
April 2005 di rumahnya di Tangerang. Kontroversi sejarah G30S masih akan panjang.
(Dari berbagai sumber dan narasumber).
254
GEMBONG G30S, SYAM KAMARUZAMAN
Telah lama beredar desas-desus, Syam Kamaruzaman, gembong G30S yang
misterius itu masih hidup. Setelah jatuhnya Suharto pada 21 Mei 1998,
desas-desus itu menjadi lebih gencar dalam alam keterbukaan. Bahkan ada yang
mengaku pernah bertemu dengan Syam di Meksiko. Eksekusi 1986 bersama Supono
Marsudijoyo alias Pono boleh jadi benar, tetapi Syam ―yang lain,‖ begitu
argumennya. Amat menarik, pihak AD telah mengidentifikasi paling tidak 3
(tiga) ―Syam‖ seperti tersebut di bawah. Selama itu penampilan Syam
berubah-ubah, ia misterius antara lain karena riwayat hidupnya yang tidak
jelas. Konon ia membujang sampai umur 40 tahunan, juga tidak diketahui
bagaimana keluarganya. Nama aslinya ialah Syamsul Qomar bin Mubaidah, dalam
dokumen 1960-an disebut Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah. Nama samarannya
Sjamsuddin, Djiman, Karman, Ali Muchtar, Ali Sastra. Nama terakhir ini
tertera di dalam KTP pada saat ditangkap di Cimahi 8 Maret 1967.
Menurut Letkol Ali Said SH, Syam bukan tokoh PKI sepele, ia dapat
disejajarkan dengan DN Aidit. Ia sebagai jendral intel PKI yang menjadi
anggota PKI sejak 1949. Teman-teman dekat Syam ketika muda tidak percaya ia
memiliki kaliber semacam itu. Sejak pindah ke Yogya riwayat yang sebenarnya
menjadi buram. Ada yang mengatakan ia adik kelas Munir (kelak ketua SOBSI)
di Sekolah Dagang. Ada yang mengatakan ia di Taman Siswa karena menjadi
anggota diskusi ‗Kelompok Pathuk‘ 43 yang mayoritasnya dari Taman Siswa.
Menurut Prof Dr Ir Haryosudirjo, mantan menteri masa Bung Karno, Syam
bersekolah di SMT(Teknik).
Syam bertindak sebagai intel di Resimen 22 Brigade 10, Divisi Diponegoro
dengan pangkat Letnan Satu, eks Laskar Gabungan Yogya. Begitu komentar
spontan anggota tim Mahmillub, Subono Mantovani SH ketika melihat foto Syam;
di masa Yogya itu Subono Mantovani juga berpangkat letnan satu, sebelumnya
berada dalam satu kelompok Pathuk bersama Letkol Suharto. Komandan
resimennya ketika itu Mayor Haryosudirjo tersebut di atas. Berdasar
pengakuan Syam yang diceritakan kepada Latief, ia berada dalam pasukan
255
Suharto ketika SU 1 Maret 1949.
Syam seorang pemuda yang mendapatkan arahan Johan Syahruzah, tokoh PSI
di kelompok Pathuk. Para pemuda Pathuk ini yang memprakarsai permintaan agar
Sri Sultan mengajak anggota BKR Suharto untuk berdiplomasi dengan Jepang
guna menyerahkan senjatanya. Di antara para pemuda itu terdapat Sumantoro
dan Syamsul Qamar Mubaidah. Bersama Suharto mereka mendatangi markas Jepang
pada masa kemerdekaan itu. Jadi Suharto telah mengenal Syam sejak permulaan
kemerdekaan Demikian tulis AM Hanafi.
Sekitar 1947 Syam mulai berkenalan dengan DN Aidit yang mengajaknya
untuk aktif di Pemuda Tani, afiliasi BTI. Sebagai intel pada Batalyon 10
Yogya, Lettu Syam di bawah Letkol Suharto. Sejak itu Syam berhubungan dekat
dengan Aidit maupun Suharto. Hubungan persahabatannya dengan Suharto
berjalan selama 20 tahun. Suharto tentu saja tak pernah menyinggung sedikit
pun kalau ia telah mengenal orang misterius yang bernama Syam ini sudah
sejak lama, seolah ia orang yang tak pernah tahu menahu dengan tokoh ini.
Pada tahun 1949 Syam pindah ke Jakarta membantu Munir di BTI. Sekitar 1950
Syam mendirikan SBP(Pelayaran) dan SBB(Becak) yang bermarkas di Jl Guntur,
Jakarta. Sebagai ketua SBP pada 1950 ia membantu pembebasan Aidit yang baru
datang dari Vietnam [menurut mitos] yang ditahan di Tanjung priok karena
tidak punya tiket.
Pada tahun 1950-57 ia di SOBSI Jakarta, lalu sebagai sekretaris. Pada 1957
ia diangkat sebagai pembantu pribadi Aidit, Ketua PKI. Dalam setahun ia
masuk kepengurusan sebagai anggota Departemen Organisasi. Ia disebut sebagai
pernah menjadi informan Komisaris Polisi Mudigdo di Pati yang kelak menjadi
mertua Aidit. Barangkali dari sini pulalah Aidit kemudian menjalin hubungan
dekat dengan Syam, serta memberikan kepercayaan besar kepadanya. Peter Dale
Scott menyebut Syam sebagai seorang kader PSI, pada tahun 1950-an ini juga
ia sering datang dan menginap di rumah Suharto di Yogya. Menurut Subandrio,
yang juga Ketua Badan Pusat Intelijen (BPI), pada 1958 Syam perwira
intelijen AD serta mitra lokal CIA. Dengan demikian Syam mempunyai hubungan
tertentu dengan CIA, baik secara langsung atau pun tidak. Ketika Kolonel
256
Suharto memasuki Seskoad di Bandung, Syam ikut serta dalam kursus militer
itu, demikian menurut penyelidikan Poulgrain. Hubungan mereka begitu rumit.
Kolonel Suwarto dididik di Amerika, ia sahabat Guy Pauker, orang penting CIA
dalam hubungan dengan Indonesia, pernah mengajar di Barkeley, konsultan RAND
Corporation yang menitikberatkan kontak-kontaknya dengan kalangan militer AD
Indonesia. Suwarto pernah diundang Pauker meninjau perusahaan tersebut pada
1962. Pauker mendapat tugas melakukan sapu bersih terhadap PKI. Antara lain
lewat Suwarto lah CIA melakukan operasinya misalnya dengan apa yang disebut
civic mission AD, yang sebenarnya merupakan civic action CIA dalam melakukan
kontak-kontak dengan kelompok anti komunis di kalangan AD. Rupanya lewat
jalur inilah Suharto pertama kali berhubungan dengan CIA.
Berdasar pemeriksaan dokumen-dokumen yang ada di AS, Belanda dan Indonesia,
dalam majalah resmi PSI nama Syam tercantum sebagai Ketua PSI Ranting
Rangkasbitung, Banten. Dalam arsip Belanda Syam tercatat sebagai intel
Recomba Jawa Barat. Recomba merupakan pemerintah federal boneka Belanda,
bisa saja Syam menyelundup menjadi spion untuk mengorek rahasia Belanda,
akan tetapi hal ini aneh. Dalam berbagai koran 1950-an ia disebut sebagai
informan dari Komando Militer Kota (KMK) Jakarta. Sejumlah narasumber
perwira yang menjadi tapol di Salemba menyebutkan Syam pada tahun 1951
tercatat sebagai kader PSI yang mendapatkan pelatihan partai itu di antara
29 kader yang lain.
Syam – Sang Agen Ganda?
Pada 1960-an dengan bentuk lebih jelas pada 1964 Syam diangkat menjadi ketua
Biro Chusus (BC), suatu jaringan intelijen PKI yang hanya mempunyai hubungan
langsung dengan Aidit selaku ketua Politbiro CC PKI. Tugas Syam, pertama
mengumpulkan info untuk diolah dan diserahkan kepada Aidit. Kedua, membangun
sel-sel PKI di tubuh ABRI dan membinanya. Tugas Syam yang lain mengadakan
evaluasi dan melaksanakan tugas-tugas yang tak mungkin dilakukan alat-alat
formal PKI. BC mempunyai aparatnya sendiri yang tidak diketahui oleh
pimpinan formal PKI. Ia memberikan laporan, mengolah informasi dan
menyampaikannya kepada Aidit secara langsung. Oleh Aidit bahan-bahan dan
keputusan disodorkan pada Politbiro untuk disetujui dan dilaksanakan.
257
Menurut orang-orang PKI yang pernah dekat dengan dirinya, ia dengan enteng
mengeluarkan pestol dan meletakkannya di meja jika kehendaknya ditentang.
Menurut seseorang yang mengaku sebagai mantan agen CIA, Suharto mendapat
perhatian cukup dari BC PKI dan dibina melalui Syam, Untung dan Latief.
Dalam hal ini Suharto mendapat kategori sebagai ‗orang yang dapat
dimanfaatkan‘. Hal ini cocok dengan keterangan Untung dan Latief bahwa
Suharto akan membantu gerakan mereka, dan dibuktikan dengan didatangkannya
Yon 530 dan Yon 454 dalam keadaan siap tempur. Sedang yang lain menamainya
sebagai trio sel PKI.
Pada tahun 1967 majalah Ragi Buana menamai Syam sebagai ‗double agent‘ ia
menjadi informan Kodam Jaya sejak 1955 sampai kudeta 1965. Untuk memperdalam
ilmunya pada 1962 ia dikirim ke RRT, Korea Utara dan Vietnam, termasuk
memperdalam bidang intelijen terutama menyangkut strategi mempersiapkan dan
menggerakkan pemberontakan bersenjata. Di Vietnam ia melakukan pekerjaan
praktek di lapangan. Majalah ini menyebut Syam dan Aidit telah terjebak ke
dalam jaring-jaring spionase Washington, Peking dan Moskow. Sebutan double
agent digunakan koran-koran dan radio termasuk radio Nederland ketika itu,
selanjutnya pers tidak lagi menggunakan istilah tersebut. Rupanya Kopkamtib
kemudian sangat berkeberatan akan penggunaan istilah itu yang dapat
merugikan Jenderal Suharto, lalu melarangnya.
Sebagai Ketua BC PKI, Syam lapor langsung kepada Aidit. Karena Aidit
satu-satunya pimpinan PKI yang membentuk BC serta mengetahui personelnya,
maka BC ini merupakan partai dalam partai dengan Syam sebagai orang
tertingginya. Seperti disebutkan oleh Sudisman, BC dibentuk tanpa
persetujuan CC PKI, dalam hal ini Aidit telah melanggar konstitusi partai.
Dengan demikian BC bukan aparat partai, tetapi aparat Aidit. Di pihak lain
yang mengontrol seluruh struktur aparat dan sepak terjang BC bukan Aidit,
tetapi Syam. Jika Syam seorang agen ganda, maka praktis seluruh struktur BC
merupakan alat dalam kendali musuh PKI.
258
Peran Syam
Banyak saksi sejarah teman-teman Syam meragukan peran besarnya dalam G30S.
Ia sama sekali tidak memberikan kesan sebagai pemikir, artinya ia sekedar
wayang yang dimainkan oleh dalang mahir di balik layar sejarah. Di Yogya ia
memang pernah berada di lingkungan olah pikir. Kadang-kadang ia datang ke
kelompok diskusi Mahameru I, sebuah rumah di belakang SMA 3 Yogya, kemudian
menjadi kantor PSI. Tempat itu untuk diskusi antara lain Sutan Syahrir dan
HA Salim. Menurut Sumadi Mukajin, Syam dikenal pendiam, tertutup dan… agak
goblok. Sedang Kelompok Pathuk kemudian berkembang menjadi salah satu simpul
terkuat jaringan politik bawah tanah Syahrir. Di situ buku-buku Marx, Adam
Smith, Machiaveli, Gandhi, Lenin dsb menjadi bahan kajian.
Terdapat persamaan modus operandi antara percobaan kudeta 3 Juli 1946 yang
telah menculik PM Syahrir dengan G30S. Mula-mula Letkol Suharto berada dalam
satu kubu dengan atasannya Komandan Divisi Mayjen Sudarsono. Mereka,
termasuk pasukan Suharto menduduki RRI dan Kantor Telepon Yogya pada 2 Juli
1946. Anehnya kemudian Letkol Suharto berbalik menangkap kelompok yang
mencoba melakukan kudeta. Ketika itu Syam sebagai intel Batalion 10 pimpinan
Letkol Suharto. Rupanya G30S merupakan ulangan permainan politik semacam
itu.
Bagaimana sebenarnya hubungan Syam dengan Letkol Untung cs? Menurut Kolonel
Latief, Syam telah memotong jalur atau melakukan intersepsi terhadap pasukan
Lettu Dularip. Ia mengenal Syam sebagai intel pembantu atasannya Letkol
Untung. Ketika Dularip bertanya bagaimana caranya mengajak para jenderal itu
untuk menghadap Presiden Sukarno, maka Syam tegas menjawab dengan mantap,
―Tangkap, hidup atau mati‖. Syam sendiri di Mahmilub menyebutnya sebagai
perintah Aidit, sesuatu yang bertentangan dengan perintah Letkol Untung.
Tidak ada bukti dan alasan apa pun juga yang dapat diketengahkan apa
sebabnya G30S membunuh para jenderal yang diculiknya dalam keadaan terpaksa
meskipun beberapa orang memang melawan. Dengan demikian ini merupakan
skenario aslinya.
259
Siapakah sebenarnya yang memerintahkan Syam melakukan tindakan semacam itu?
Yang pasti tindakan itu sama sekali tidak menguntungkan gerakan G30S.
Berbagai pengumuman Dewan Revolusi termasuk pembentukan Dewan Revolusi itu
sendiri yang sama sekali tidak menyebut nama Sukarno sangat tidak
menguntungkan baik G30S secara keseluruhan maupun Untung cs dan Aidit.
Dengan telah ditembak matinya Aidit tanpa diajukan ke pengadilan maka Syam
mempunyai kesempatan untuk memonopoli seluruh keterangan tentang G30S dalam
hubungannya dengan PKI. Hanya Syam sebagai Ketua BC PKI dan Aidit sebagai
Ketua Politbiro PKI yang mengetahui seluk beluk biro tersebut dalam hubungan
dengan peristiwa G30S serta hubungannya dengan sejumlah perwira militer.
Demikianlah keterangan-keterangan Syam dalam persidangan Mahmillub, baik
sebagai terdakwa maupun saksi telah memonopoli fakta-fakta yang seluruhnya
menjurus kepada digiringnya Aidit dan PKI sebagai terdakwa yang sebenarnya,
dengan pion-pionnya Letkol Untung dan kawan-kawannya. Maka Syam bertindak
baik sebagai dirinya maupun sebagai Aidit tanpa secuwil pun keterangan
Aidit.. Nama Syam berada dalam daftar gaji Kodam Jaya. Di Kodam Jaya Syam
berhubungan dengan Latief, di samping hubungannya dengan Kostrad. Agar lebih
meyakinkan maka dalam semua proses kemunculan Syam, ia dilukiskan sebagai
seorang komunis sejati yang amat dekat dengan Ketua Aidit. Syam selalu
mengakui dia yang memberikan perintah, dan perintah itu semuanya berasal
dari Aidit. Pendeknya Aidit merupakan dalang seluruh peristiwa. Ia toh tidak
akan membantahnya dari kubur.
Begitu Syam mempunyai kesempatan bicara, ia begitu bernafsu menceritakan apa
saja yang ia ketahui tentang G30S. Di pengadilan ia menyombongkan dirinya
sebagai otak di belakang gerakan. Buku Putih menyebutkan salah satu
pekerjaan Syam melakukan penyusupan ke tubuh Angkatan Bersenjata dan
melakukan apa yang disebut pembinaan. Dalam kenyataannya ia telah melakukan
pembinasaan, bukan pembinaan terhadap sejumlah besar personel ABRI yang
berhaluan kiri dan pendukung BK. Rupanya ia memang mempunyai misi melakukan
infiltrasi ke tubuh ABRI untuk mencari tahu dan mengidentifikasi siapa-siapa
yang termasuk 30% personel simpatisan PKI yang telah mencoblos palu-arit
dalam pemilu 1955, untuk didepak, dihukum dan dilenyapkan sebagai kelanjutan
260
rasionalisasi yang tak tuntas masa pemerintahan Hatta. Dengan demikian ia
membentuk BC sebagai partai dalam partai dengan pola yang sama seperti yang
dilakukan AD yakni negara dalam negara. Demikian analisis MR Siregar tentang
peran besar Syam bagi PKI.
Seluruh pengakuan dan ―pengakuan‖ serta tindakan Syam tidak secuwil pun
merupakan pembelaan terhadap PKI atau Aidit. Sebaliknya ia terus menerus
mendiskreditkannya. Dengan demikian ia tidak bekerja untuk PKI atau Aidit.
Maka tidak aneh jika banyak orang termasuk para pengamat dan pakar
mempertanyakan orang misterius ini, dan untuk siapa ia bekerja. Seluruh
proses Mahmillub diarahkan untuk menggiring pembenaran tuduhan terhadap PKI
serta menjeratnya dari segi hukum, sedang di lapangan dilakukan pembantaian
tanpa ampun. Dengan demikian seolah segalanya dilandasi hukum.
Kegiatan Setelah Gagal
Berbeda dengan tokoh PKI lain yang terus terbaca gerak geriknya selama buron
seperti ditulis Buku Putih, tampaknya buku ini ―kesulitan‖ menjelaskan sepak
terjang Syam di Jawa Barat sebelum ditangkap pada tahun 1967. Bersama itu
intelijen militer mampu mengikuti terus kegiatan bawah tanah pimpinan PKI
kecuali Syam. Begitu hebatkah jenderal intel PKI ini berkelit bagaikan
siluman hingga kegiatannya tidak terdeteksi?
Baru saja didemonstrasikan betapa konyol dan cerobohnya rancangan dan
jalannya peristiwa G30S, sejak dari penculikan, eksekusi para jenderal dan
pengumuman-pengumuman RRI Jakarta atas nama Letkol Untung dengan Dewan
Revolusinya, buruknya logistik dsb. Seperti disebut Jenderal Nasution,
mereka tidak membuat rencana alternatif, dan ini berarti secara strategis
sudah suatu kegagalan. Selanjutnya ketika komandan kontrol G30S menghubungi
tiga sektor yang telah mereka bentuk, sebagai disebut Brigjen Suparjo,
semuanya kosong. Bukankah ini salah satu indikasi kuat Syam sebenarnya
berada di kubu lain yakni kubu Jenderal Suharto, yang kegiatan sebenarnya
juga untuk sang jenderal? Dia sendiri yang melakukan sabotase terhadap
gerakan yang dikendalikannya. Gerakan ini dirancang untuk gagal. Maka Latief
berkeyakinan Syam tidaklah bertindak atas nama pribadi, dan yang dituding
261
olehnya tak lain daripada Jenderal Suharto.
Betapa rumitnya hubungan Syam yang konon pernah mengenyam pendidikan
intelijen di Vietnam, Korea Utara dan Cina ini, sekaligus juga pendidikan
Seskoad. Dunia intelijen memang selalu ruwet tidak sederhana, berliku-liku,
terbuka untuk segala hal dan kemungkinan yang paling kontradiktif pun serta
hampir-hampir mokal, tetapi tertutup rapat bagi dunia luar. Seorang ksatria
pahlawan penumpas kudeta militer berlumuran darah mungkin sekali adalah
salah satu pelaku utama di baliknya, suatu ironi yang menjungkirbalikkan
segala hal. Dan itu bernama dunia intelijen.
Menurut keyakinan sementara orang seperti tersirat dalam buku Hanafi dan
Subandrio, bertahun-tahun Syam sebenarnya telah memasang jebakan untuk Aidit
dengan menjalin hubungan pribadi maupun hubungan organisasi partai. Hubungan
itu terus meningkat dengan meningkatnya keterampilan Syam dalam bidang
intelijen yang telah digaulinya sejak jaman revolusi fisik. Begitu hebatkah
tokoh ini, atau dan begitu bodohnyakah DN Aidit sebagai Ketua Politbiro
beserta pendukungnya?
Ada „Tiga Orang Syam‟?
Syam ditangkap pada 8 Maret 1967 di Cimahi. Berdasarkan dokumen-dokumen CIA
yang telah dibuka untuk umum seperti dicatat oleh Peter Dale Scott,
pesakitan itu merupakan orang ketiga yang diidentifikasi oleh pihak AD
sebagai orang yang bernama ‗Syam‘. Jadi paling tidak ada tiga orang ‗Syam‘.
Ia ditahan di RTM Budi Utomo Jakarta pada 27 Mei 1967. Beberapa bekas
tahanan politik yang pernah berkumpul atau dekat dengan sel tempat Syam,
menyatakan selama ditahan ia bertindak seperti seorang bos. Ia dapat mondar
mandir dengan leluasa di tahanan, mengenal banyak petugas militer seperti
berada di lingkungannya sendiri. Banyak tahanan politik yang dianggap cukup
penting dibawa ke RTM untuk dapat diidentifikasi oleh Syam agar bisa
―mendapatkan tempat yang tepat‖. Sering ia tiba-tiba tidak berada di tempat
tanpa diketahui oleh orang lain akan keberadaannya.
Sangat umum diketahui para tapol, ada sejumlah orang yang dekat dengan para
262
pejabat, memberikan berbagai informasi yang benar maupun karangannya
sendiri, ketika diminta atau tidak untuk meringankan dirinya sendiri dan
memberatkan orang lain. Bahkan beberapa orang dijadikan interogator dan ikut
menyiksa teman-temannya sendiri, ikut serta dalam operasi penangkapan dsb.
Orang semacam itu biasanya disebut pengkhianat, biasanya dengan cepat dapat
diketahui oleh tapol yang lain. Syam jauh lebih rumit dan lebih ―besar‖
daripada sekedar kelompok ini.
John Lumengkewas, seorang mantan Wakil Sekjen PNI dan ditahan selama 7 tahun
menuturkan kesaksiannya ketika ditahan di RTM tentang tokoh Syam. Ia punya
pengetahuan ensiklopedis bagi orang-orang yang dituduh PKI. Ia mendapat
perlakuan istimewa di RTM, berbeda dengan tapol lainnya. Fasilitas di selnya
mewah untuk ukuran waktu itu, menu makanannya berbeda, ia bebas berada di
luar sel, akrab berbincang-bincang dengan petugas. Dia sebentar-sebentar
dipanggil oleh petugas dari pintu blok, lalu pergi ke kantor RTM. Nampak
sekali Syam sudah lama berhubungan dengan kalangan ABRI tertentu. Oei Tjoe
Tat SH, mantan Menteri Negara yang juga pernah ditahan di RTM, menggambarkan
Syam sebagai orang yang tidak tahu diri. Kalau ia keluar untuk diperiksa,
orang lain menjadi tidak tenteram karena ulahnya. Ia orang misterius yang
dijauhi oleh para tahanan yang lain.
Syam dijatuhi hukuman mati oleh Mahmillub pada 9 Maret 1968. Di tahun-tahun
berikutnya ia menyombongkan diri kepada rekan-rekannya di penjara bahwa ia
masih bertahan hidup meski sudah dijatuhi hukuman mati. Ia selalu memiliki
informasi untuk diberikan dalam kesaksian terhadap orang lain yang diadili
selama bertahun-tahun. Ia mulai masuk penjara Cipinang pada 27 Oktober 1972.
Menurut kesaksian para tapol, Syam dan komplotannya Subono masih bisa keluar
penjara serta menulis laporan untuk kepentingan AD. Bahkan pada awal tahun
1980, ia keluar masuk di berbagai instansi militer. Menurut keterangan
seorang mantan perwira Kopkamtib, Syam memang dipakai sebagai informan
militer.
Berdasarkan catatan, Syam diambil dari Cipinang pada 27 September 1986 jam
21.00 oleh petugas Litkrim Pomdam Jaya atas nama Edy B Sutomo (Nrp.27410),
263
lalu dibawa ke RTM Cimanggis. Tiga hari kemudian tengah malam bersama dua
kawannya ia dibawa dari Cimanggis dan pada jam 01.00 sampai ke Tanjungpriok.
Mereka diangkut dengan kapal laut militer ke sebuah pulau di Kepulauan
Seribu dan dieksekusi pada jam 03.00. Tak ada keterangan mengapa pelaksanaan
eksekusi terhadap Syam - dan sejumlah tokoh yang lain - terus diulur-ulur
hingga 14 tahun dihitung dari sejak masuk Cipinang, bahkan 18 tahun bila
dihitung sejak vonis Mahmillub.
Adakah itu Syam yang asli atau ‗Syam‘ yang lain? Agaknya akan tetap menjadi
misteri sebagaimana misteri berbagai hal seputar G30S. Menurut pengakuan
Latief ketika ditahan di Cipinang pada 1990 ia berada satu blok dengan Syam.
Sementara itu seorang pejabat di lingkungan Depkeh RI menyatakan Syam
dikeluarkan dari Cipinang pada September 1986 atas izin Presiden Suharto.
Antara dua keterangan ini sekedar perbedaan waktu, mungkin saja Latief tidak
akurat. Jalannya peristiwa menunjukkan peran agen Syam menjadi salah satu
kunci penting keberhasilan operasi yang sedang dilancarkan oleh sahabat
lamanya, Jenderal Suharto. Mungkinkah orang yang agaknya tahu betul akan
―isi perut‖ Suharto dalam hubungan dengan G30S dibiarkan hidup bebas?
(Petikan dari Harsutejo, ―Sejarah Gelap G30S‖ – revisi).
JENDERAL SUHARTO, SANG JAGAL
Diktator Militer Menjarah 35 Miliar Dollar
Sudah menjadi keterangan klasik apa yang dikisahkan oleh Kolonel Latief tentang dua kali
pertemuannya dengan Jenderal Suharto. Pertemuan kedua terjadi beberapa jam sebelum
penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal yang dilakukan oleh pasukan G30S.
Sudah sangat dikenal bahwa dua batalion pasukan Brawijaya dan Diponegoro yang
didatangkan ke Jakarta yang kemudian menjadi bagian pasukan G30S didatangkan atas
perintah Jenderal Suharto. Pasukan itu pun sesuai dengan perintah bersiap untuk
bertempur. Pasukan ini pula yang kemudian sebagian menyerah bongkokan kepada
Jenderal Suharto di Kostrad karena tiadanya logistik, bahkan para prajuritnya kelaparan
264
dan minta makan ke markas Kostrad. Inilah bagian dari skenario G30S yang dirancang
untuk gagal (lihat analisis tentang Brigjen Suparjo).
Bicara tentang G30S selalu memuat tentang sang dalang. Sudah sejak dini sejarawan Prof
Dr Nugroho Notosusanto menuduh Presiden Sukarno sebagai dalangnya (yang kemudian
juga dianut oleh Victor M Fic). Rezim Orba dan para kerabatnya menuduh Aidit/PKI, yang
lain CIA, Jenderal Suharto, atau dan berbagai kombinasi. Sejumlah ahli lebih menitikkan
pada dalang peristiwa kelanjutannya berupa pembantaian 500.000 sampai 3 juta rakyat
yang dituduh terlibat G30S atau PKI dalam waktu beberapa bulan tanpa ada perang.
Sebagian orang menguar-uarkan tentang adanya situasi ketika itu yang digambarkan
sebagai ―membunuh atau dibunuh‖ untuk mengelakkan tanggungjawab pembantaian
massal tersebut sebagai ditulis oleh Brigjen (Purn) Samsudin, Sulastomo, Fadly Zon,
Salahuddin Wahid dsb, sesuatu yang sama sekali tidak ada buktinya dan tidak benar.
Sejumlah peristiwa yang menelan korban sebelum 1 Oktober 1965 serta bentrokan yang
terjadi di beberapa tempat segera sesudah peristiwa G30S disebut sebagai situasi
―membunuh atau dibunuh‖, sesuatu yang sangat dibesar-besarkan. Justru propaganda
hitam seluruh mesin rezim Orba terus-menerus (bahkan sampai tahunan) yang membuat
panas situasi, mematangkan situasi untuk melakukan pembunuhan massal itu (lihat
misalnya Lubang Buaya dan Gerwani). Dalam hubungan ini tidak ada kontroversi, Jenderal
Suharto yang bertanggungjawab, sedang Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan sejumlah
petinggi militer lain sebagai penanggungjawab lapangan. Tidak berlebihan jika Suharto kita
sebut sebagai Sang Jagal.
Sang Jagal
Jenderal Besar (Purn) Suharto, Bapak Pembangunan, Sang Supersemar, Presiden
Republik Indonesia (1968-1998), juga Ketua Dewan Pembina Golkar di sepanjang tiga
dekade kekuasaannya. Selama itu Suharto dipilih sebagai Presiden RI sebanyak 7 kali
dengan dukungan penuh Golkar sebagai bagian dari tiga pilar ABG: ABRI, Birokrasi, dan
Golkar. Itulah yang disebut sebagai Demokrasi Pancasila. Seorang penulis menyebut
‗Suharto adalah Golkar dan Golkar adalah Suharto‘. Sebenarnyalah ‗Suharto adalah ABRI
dan ABRI adalah Suharto‘ di samping ‗Suharto adalah Birokrasi dan Birokrasi adalah
265
Suharto‘, jadi Suharto itu identik dengan kekuasaan negara, bahkan dengan negara itu
sendiri. Pendeknya Suharto ya Indonesia dan Indonesia ya Suharto.
Karena Indonesia itu juga Suharto, maka tak aneh jika hanya dia yang berhak menafsirkan
UUD 1945. Dalam pasal 7 disebutkan ―Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali‖. Kalimat ini
dianggap jelas bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya lima tahun
pertama dan lima tahun kedua jika dipilih. Sama sekali tidak disebutkan bahwa boleh lima
tahun ketiga dst. ―Siapa bilang UUD 45 membatasi jabatan presiden cumak dua kali, tidak
ada nyang membatasi...‖ begitu Suharto bersabda sebagai tafsirnya. Dalam bahasa gaul
kira-kira berbunyi ―sukak-sukak aku‖. Selanjutnya tentang Pasal 33 yang berbunyi ―Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat‖. Itu berarti untuk kemakmuran
Suharto, anak cucu cicit, begundal alias kroninya dalam dan luar negeri. Kan Suharto itu
Indonesia dan Indonesia itu Suharto, tidak ada yang salah bukan?
Rezim militer Orba dibangun oleh Suharto cs lewat lumuran darah para jenderal dan tiga
juta rakyat Indonesia setelah didahului fitnah kotor dongeng horor tentang tarian harum
bunga Gerwani di Lubang Buaya. Selanjutnya kedudukan Suharto mendapatkan legitimasi
dengan apa yang disebutnya Supersemar, surat perintah 11 Maret 1966 dari Presiden
Sukarno yang dipalsukan itu. Legitimasi selanjutnya didapat dengan menafsirkan UUD
1945 seenak udelnya sendiri. Legitimasi yang lain perlu dibangun dengan peran sejarah
Letkol Suharto dalam serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta terhadap pendudukan
Belanda yang diklaimnya sebagai pemilik gagasan dan pelaksana di lapangan. Senyum
Suharto menggambarkan kata-kata yang tak diucapkannya, ―Habis petinggi militer yang
lain pada ngumpet carik slamet, sedang Hamengkubowono IX cumak nongkrong di di
istananya, maka ya saya sendiri yang tampil menghadapi musuh.......‖ Tentu saja Suharto
mendapatkan dukungan barisan kaum intelektual dan cerdik pandai di segala lini yang
dapat dibelinya. Maka ditulislah sejarah dirinya dengan tinta emas, dibuatlah film
kepahlawanan dirinya yang tiada tara seperti ‗Janur Kuning‘ dan ‗Pengkhianatan
G30S/PKI‘ serta bangunan ‗Monumen Yogyakarta Kembali‘ di Yogya yang megah itu.
Dunia Barat merasa berutang budi ketika Jenderal Suharto menggulung PKI dan seluruh
gerakan kiri dan akhirnya berhasil menggulingkan Presiden Sukarno, simbol rakyat
Indonesia dan dunia ketiga dalam menghadapi imperialisme dunia. Maka langkah
266
selanjutnya adalah mendepolitisasi rakyat yang menjadi tujuan bersama antara dunia
Barat dengan penguasa represif. Dua kekuatan itu bekerja sama menyingkirkan mayoritas
penduduk Indonesia dari kehidupan ekonomi dan politik di negara mereka sendiri. Gaya
rezim ini adalah tiadanya pembangunan politik elementer alias politik tanpa pembangunan
politik, soalnya politik itu tabu bagi rakyat. Biarlah politik itu menjadi monopoli Suharto,
ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Sedang dua partai lain, PPP dan PDI diberi peranan politik
pinggiran pupuk bawang sebagai ornamen demokrasi.
Suharto masih merasa kurang pas jika belum dilengkapi legitimasi yang lain daripada yang
lain, yakni legitimasi alam gaib. Ia pun dibentengi oleh sejumlah dukun dan azimat yang
diatur dari atas, barangkali oleh Ki Semar. Bukan kebetulan jika Suharto
mengidentifikasikan dirinya dengan Ki Semar. Salah seorang dukun yang tersohor
sekaligus asisten khusus Suharto ialah Jenderal Sudjono Humardani. Ia pernah diutus
menjemput ―kembang wijayakusuma‖ bagi kesaktian dan kemenangan Suharto.. Untuk itu
Suharto melakukan apa yang dalam bahasa Jawa disebut nglakoni, menjalankan olah
mental dan spiritual dengan cara berpuasa, kungkum di sungai tertentu yang dianggap
istimewa atau wingit dengan air dingin menusuk, tidak sebarang orang tahan dan bisa
diterima oleh tempat itu. Suharto bersemadi di pinggir sungai yang seram, di gua atau di
pantai Samudera Hindia untuk menghadap Nyai Loro Kidul dalam mitos Jawa, bahkan
disebut melakukan perkawinan sakral [bukan perselingkuhan?] dengan sang Nyai. Apa
isterinya tidak cemburu ya?
Bapak Koruptor Teladan
Dalam hubungannya dengan harta korupsi yang pernah dijarah Suharto bersama
keluarganya, maka ada gagasan Presiden Gus Dur untuk melakukan tawaran damai
kepada keluarga Cendana. Hal ini merupakan langkah persuasif Presiden Gus Dur agar
keluarga Cendana ―sudi berkontribusi kepada negara dan rakyat‖. Maka pada akhir Mei
2000 dikirimlah utusan terdiri dari Menteri Pertambangan dan Energi Susilo Bambang
Yudoyono, Ketua Gerakan Pemuda Ansor Saifullah Yusuf dan Zarnuba Arifa Chafsoh alias
Yenny, putri Presiden Gus Dur. Jika keluarga Cendana setuju dengan jalan damai, maka
rencananya Gus Dur akan mengeluarkan surat pengampunan kepada Suharto dengan
imbalan keluarga Cendana mengembalikan harta jarahannya sebesar 70-90%. Konon
harta yang diincar di luar negeri saja sebesar 45 miliar dollar AS. Ketika itu jaksa Agung
267
Marzuki Darusman sedang melakukan pengusutan perkara korupsi Suharto. Niat baik Gus
Dur tak terimbangi. Ya mereka hanya mau menjarah dan tak sudi berkontribusi untuk
negara dan rakyat. Rakyat jelata mempunyai ungkapan sederhana ―mana ada maling mau
mengaku‖. Konon polisi Indonesia punya kiat jitu, bahkan mumi Mesir Kuno pun tak dapat
mengelak mengakui umurnya.
Ketetapan MPR No.X1/1998 mengamanatkan pemberantasan KKN yang dilakukan siapa
pun termasuk mantan Presiden Suharto. Pada tahun 2000 Suharto hendak dituntut dalam
perkara ―gurem‖ dalam tindak korupsi sebesar Rp1,7 triliun dan 419 juta dollar AS
terhadap uang yayasan yang didirikannya (Yayasan Darmais, Dakab, Supersemar, Amal
Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong dan Trikora). Yayasan yang
bertujuan sosial ini memiliki aset sebesar Rp4,014 triliun. Yayasan ini telah menghimpun
dana dengan berbagai macam aturan pemotongan gaji pegawai negeri, sebagian laba
bank pemerintah serta BUMN serta dari para pengusaha kakap. Dalam kenyataannya
dana itu dibuat bancaan untuk modal perusahaan milik Bob Hasan, Bank Yama milik Tutut,
Sempati Air milik Tommy. Ini semua merupakan penyalahgunaan. Akhirnya Jaksa Agung
Mei 2006 mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3).
Suharto memang digdaya. Hidup Suharto!
Diberitakan pada akhir Februari 2007 bahwa tim Kejagung, instansi sama yang
mengeluarkan SP3 akan melayangkan somasi dengan gugatan perdata terhadap mantan
Presiden Soeharto yang harus mengembalikan uang negara sekitar Rp 1,5 triliun yang
diduga hasil korupsi semasa mengetuai tujuh yayasan. Menurut pakar bidang perkorupsian
Junus Aditjondro, hal ini cuma akal-akalan mencari popularitas. Kata Jaksa Agung Abdul
Rahman Saleh, Suharto telah melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum, itu yang akan
digunakan dalam gugatan perdata.
Jatuhnya Suharto pada 1998 tidak serta merta mengakhiri rezim lama, pelembagaan halhal menyesatkan terus berlangsung. Jenderal Besar (Purn) Suharto ditumbangkan, kukukukunya sebagai bagian dari rezim militer Orba masih mencengkeram berbagai aspek
kehidupan bangsa dan negeri ini. Bersamanya terdapat suatu lapisan militer dan sipil yang
telah mencengkeram akumulasi kekayaan amat besar negeri ini yang kemudian menjadi
sah secara hukum yang akan tetap memberikan pengaruhnya dalam jangka panjang
dalam bidang politik maupun ekonomi terutama melalui apa yang disebut money politics,
268
dengan politik kekuatan uang alias politik menyogok, menekan, mengancam dan meneror
yang menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya kekerasan rezim Orba.
Kekayaan mereka itu setidaknya sebesar 60 miliar dollar AS ketika Suharto jatuh, hampir
setara dengan 600 triliun rupiah. Sedang realisasi APBN Perubahan 2006 untuk belanja
negara sebesar Rp 528 triliun, artinya Suharto beserta kroninya mampu membeli negeri
ini. Awas, kepala kita masing-masing bisa dibelinya. Situasi mutakhir Sang Jagal yang
Bapak Koruptor mendapat hadiah Rp 1 triliun dari Mahkamah Agung RI dalam perkaranya
dengan majalah Time, diikuti pentahbisan dirinya sebagai penjarah kekayaan negara kelas
hiu nomor wahid di dunia dari StAR (Stolen Assets Recovery) Initiative PBB. Kita ikuti
seruan penyair Wiji Thukul, ―Hanya ada satu kata: Lawan!‖ (Petikan dari naskah belum
terbit).
PEMBANTAIAN MASSAL
Sebagai Pembunuhan Terencana
Prof Teuku Jacob mendaftar ulah kekejaman manusia dengan kata-kata lugas yang cukup
mencengangkan. Penyiksaan dan penganiayaan tahanan dan tawanan menunjukkan
kebengisan yang tak terbayangkan, mulai dari mencambuk, mencabut kuku, menjepit ibu
jari, melilit tubuh, membakar bagian badan, menyiram cairan panas, menjepit daging
dengan jepitan membara, memotong urat, membuang, memperbudak, memenggal kepala,
menggantung, melempar dari tempat tinggi, mencekik, membenamkan, mengubur hiduphidup, mencincang, sampai membunuh atau memperkosa anggota keluarganya di depan
mata, menjemur, tidak memberi makan, menyeret dengan kuda, membakar dalam unggun
api, dan sebagainya... sebagian besar dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya
sendiri.
Begitu sulit dipercaya bahwa ulah kekejaman semacam itu dilakukan juga oleh rezim
militer Orde Baru terhadap musuh politik mereka atas nama suatu gagasan yang begitu
tinggi dan mulia, yakni Pancasila! Malahan rezim ini masih menggenapi khasanah
penyiksaan dan pembunuhan dengan penemuan baru mereka: memasukkan tahanan
politik hidup-hidup ke dalam luweng atau sumur alam yang amat dalam, memasukkan ke
269
dalam kapal bobrok dan menenggelamkannya, meneggelamkan hidup-hidup tahanan
dengan beban besi atau batu, menyiram gua dan ruba tempat persembunyian dengan
bensin dan membakarnya serta melemparkan alat peledak, menyetrom kemaluan laki
perempuan ketika mereka dipaksa bersetubuh, menancapkan bambu runcing ke dalam
vagina, dan tindakan keji lain yang sulit diterima akal sehat dan akal normal dan sulit
dipercaya oleh masyarakat beradab. Dan hebatnya rezim ini berusaha keras untuk
menghapusnya dari memori orang banyak dengan segala macam cara termasuk memalsu
sejarah dan menggantinya dengan memori rekayasa, Pancasila sakti.
Perburuan dan pembantaian orang-orang PKI dan yang disangka PKI serta seluruh
gerakan kiri sering dimulai dengan apa yang disebut sebagai "penemuan" dokumendokumen di kantor atau tokoh PKI atau organisasi yang lain tentang daftar hitam tokohtokoh lawan PKI yang hendak dibunuh. Di samping itu juga adanya dokumen yang berisi
rencana-rencana gelap dan jahat yang lain. Setelah 1 Oktober 1965 dan sepanjang tahun
1966, koran dan penerbitan di Indonesia penuh dengan berita segala macam kekejian dan
kekotoran PKI beserta ormasnya sampai dengan yang paling ganjil dan tidak masuk akal,
telah menimbulkan histeria nasional dan histeria bangsa sebagai landasan subur untuk
melakukan pembasmian terhadap mereka. Tidak selembar pun dokumen semacam itu
pernah diajukan di suatu pengadilan.
Dalam telegram No. 868 kepada Kemlu AS pada tanggal 5 Oktober 1965, sore hari setelah
menghadiri pemakaman para jenderal di Kalibata, Dubes AS Marshall Green memaparkan
tentang petunjuk dasar dalam membantu rezim militer di Indonesia agar benar-benar
dijaga kerahasiaannya. Pentingnya disebarkan dongeng kesalahan dan pengkhianatan
PKI serta kebiadabannya, sesuatu yang bersifat amat mendesak.
Kedubes Inggris di Jakarta menghubungi kantor besar dinas rahasia mereka di Singapura
tentang langkah-langkah yang perlu segera diambil menghadapi perkembangan situasi di
Indonesia. Perang urat syaraf alias perang penyesatan terhadap lawan untuk merongrong
dan melemahkan PKI. Tema propaganda berupa kisah kebiadaban PKI dalam
pembunuhan para jenderal dan puteri Jenderal Nasution, bahwa PKI agen asing. Hal-hal
itu harus dilaksanakan dengan halus, seolah sama sekali tidak melibatkan Inggris, bahan
semacam itu sebaiknya dikirim dari Pakistan atau Filipina sebagai tercantum dalam
telegram rahasia kedubes Inggris No.1835 6 Oktober 1965.
270
Sebagai spesialis propaganda Norman Reddaway dipilih oleh Dubes Inggris Gilchrist
sebagai orang terbaik untuk pekerjaan kotor itu. Selanjutnya sang spesialis antara lain
memanfaatkan jalur koresponden BBC Asia Tenggara, Roland Challis. Ia meminta sang
koresponden melakukan apa saja untuk merusak dan menghancurkan Sukarno, di
samping PKI serta mendukung Jenderal Suharto dengan menyiapkan dokumen-dokumen
untuk dimanfaatkan olehnya. Karena sang koresponden tak bisa masuk ke Indonesia
sampai pertengahan 1966, maka ia menggunakan sumber-sumber MI6 yang agenagennya mondar mandir keluar masuk Indonesia. Dalam berita-berita yang ditulisnya tak
satu pun menyinggung adanya pembantaian ribuan orang di Indonesia, yang ada perang
saudara dan gerombolan komunis bersenjata. Berita itulah yang muncul dalam korankoran Inggris The Times, Daily Telegraph, Observer, dan Daily Mail.
Robert J Martens, seorang agen CIA dengan jabatan Perwira Politik pada Kedubes
Amerika di Jakarta telah berhasil menyusun daftar terpilih terdiri atas 5.000 orang kader
PKI dari tingkat pusat sampai pedesaan beserta organisasi massanya dengan rincian
jabatannya. Daftar itu dibuat selama dua tahun (1963-1965) dengan bantuan para pegawai
CIA sebagaimana yang dibenarkan oleh Joseph Lazarsky, Deputi Kepala CIA di Jakarta.
Selanjutnya diadakan kesepakatan dengan perwira intelijen Kostrad Ali Murtopo, secara
berkala yang bersangkutan melaporkan siapa-siapa dari daftar itu telah ditangkap dan
siapa-siapa telah dibunuh. Kostrad menjadi pusat pemantauan terhadap laporan pihak
militer dari seluruh penjuru tentang penangkapan dan pembunuhan terhadap kaum
komunis dan golongan kiri lain. Demikian tulis Cathy Kadane dalam San Fransisco
Exeminer, 20 Mei 1990.
Penghancuran terhadap PKI dan seluruh gerakan kiri pertama-tama adalah membasmi
secara fisik para anggota dan pendukungnya. Basmi sampai akar-akarnya, itulah yang
terus-menerus diserukan baik oleh Jenderal Suharto maupun Jenderal Nasution serta para
pengikutnya. Kekuasaan, dan segalanya ada di bawah laras senapan.
Pertama-tama perlu diingatkan bahwa segala macam aksi terhadap gerakan kiri dan
pendukung BK yang lain yang antara lain dimotori oleh KAP (Komite Aksi Pengganyangan)
Gestapu, mendapatkan dana dari kekuatan asing yang selalu disebut oleh BK dengan
Nekolim. Resminya badan ini didirikan oleh tokoh NU Subchan ZE bersama Harry Tjan,
tapi di baliknya beberapa perwira Kostrad dengan Brigjen Sucipto sebagai pemrakarsa.
Pemerintah Amerika dengan CIA nya mendukung dana sebesar Rp50 juta [ketika itu
271
setara dengan US1,2 juta] yang diberikan lewat tangan Adam Malik sebagaimana yang
dimintanya. Meskipun jumlah bantuan itu menurut CIA relatif kecil, tetapi cukup berarti
untuk kegiatan badan ini. Di pihak lain bantuan ini akan dapat meningkatkan pamor Adam
Malik (CIA 2001:379-380), ini berarti pamor sang kancil telah dibeli dengan dollar.
Pada 17 Oktober 1965, pasukan elite RPKAD di bawah Kolonel Sarwo Edhi, lulusan
sekolah staf AD Australia, berada di basis PKI segi tiga Boyolali-Klaten-Sala dengan tugas
dengan cara apa pun juga untuk menghancurkan basis itu. Ketika disadari bahwa jumlah
pasukan tidak mencukupi untuk tugas, maka "Kami memutuskan untuk menggalang
barisan anti komunis untuk membantu tugas tersebut. Di Sala kami mengumpulkan para
pemuda kelompok nasionalis dan Islam. Kami memberikan latihan selama dua tiga hari,
kemudian mengirimkan mereka untuk membantai kaum komunis", demikian kata Sarwo
Edhi. Hal ini berlanjut pada akhir Oktober dan permulaan November 1965 di Jawa Timur
dan pada Desember 1965 dan permulaan 1966 di Bali.
Dalam penyelidikannya tentang pembantaian di Jawa Timur, terutama di daerah Kediri,
sejarawan Hermawan Sulistyo menemukan bahwa para perwira tertinggi [AD] setempat
(Korem, Kodim), perwira intelijen, dalam derajat tertentu memulai pembantaian. Kemudian
juga pimpinan partai politik dan tokoh setempat termasuk beberapa ulama berpengaruh.
Lapis selanjutnya adalah organisasi seperti Ansor dengan Banser-nya. Dalam beberapa
kasus, si pembunuh menjilati darah korban, meskipun hal itu dilarang oleh para kiai, tetapi
jalan terus. Dan dengan rasa kesetanan mereka membantai korban-korban berikutnya.
Algojo kadang memotong alat kelamin korban, kuping, jari, untuk menyebarkan teror.
Di Sumatra Utara, pembunuhan-pembunuhan telah dimulai sejak 1 Oktober 1965. Brigjen
Kemal Idris yang sedang bertugas di daerah itu mengambil inisiatif membersihkan
wilayahnya dari orang-orang komunis dalam radius 5 km dari pengkalan mereka di Tebing
Tinggi. Ketika perintah datang dari Jakarta, ia telah membunuh 20% buruh perkebunan
karet di Medan area.
Dalam banyak kasus para kader dan aktivis komunis dibunuh beserta seluruh keluarganya,
agar di belakang hari tidak akan timbul pembalasan dendam atau retaliasi (Cribb 2000:13).
Pendeknya pembunuhan menumpas sampai cindil abange, sampai bayi yang baru lahir.
Ini rupanya versi pelaksanaan perintah Jenderal Suharto dan seruan Jenderal Nasution
'menumpas sampai ke akar-akarnya'.
272
Di banyak tempat terutama di Jawa Timur, setelah dibantai beramai-ramai mayat mereka
ditinggalkan begitu saja berserak di berbagai tempat sampai berhari-hari tak seorang pun
berani mengurusnya. Atau mayat-mayat itu beramai-ramai diseret dilempar ke sungai.
Mendapatkan laporan keadaan itu Presiden Sukarno dalam pidatonya pada 18 Desember
1965 mengutuk pembunuhan-pembunuhan dan mengingatkan akan perintah agama
tentang soal merawat jenasah.
Di Bali ribuan orang komunis atau yang disebut komunis diburu dan dibantai. Ribuan anakanak dan perempuan diusir dari desa mereka, lalu desa itu diluluhlantakkan dengan api.
Dari malam yang satu ke malam yang lain, api menyala di banyak desa di Bali,
menghancurkan pemukiman beserta penghuninya dalam kuburan massal. Adakah desadesa yang hancur itu kemudian diresaikel. Seseorang bercerita bahwa di bawah hotel
Oberoi yang mewah itu sampai ke pantai terkubur 2000 mayat mereka yang dibantai.
Mungkin berbeda dengan di Jawa, di Bali tempat-tempat kuburan massal semacam itu
dijadikan sasaran pemerintah Orba untuk mendirikan proyek-proyek sebagai cara untuk
menghilangkan jejak secara permanen. Konon sejumlah tengkorak manusia sering
ditemukan dalam proyek semacam itu, sesuatu yang biasa bagi orang Bali, dan mereka
tahu tengkorak macam apa itu. Hal ini tidak pernah diberitakan media massa [selama
rezim Orba, hs]
Penjagalan TerhadapTapol
Ratusan ribu orang ditahan dalam ratusan rumah tahanan dan penjara serta tahanan
darurat di seluruh Jawa, Sumatra, dan pulau-pulau lain. Kata-kata Jenderal Suharto,
"Siapa yang akan memberi makan mereka?" dilaksanakan dengan sebaik-baiknya di
banyak tempat. Umumnya pada malam hari puluhan atau ratusan tahanan, tergantung
pada kapasitas tahanan atau pun pada besarnya logistik yang dapat mereka siapkan
berupa truk dan tenaga pembantai. Mereka dinaikkan truk-truk untuk dipindah, tetapi
tangan mereka dalam keadaan terikat. Sesampai di suatu tempat yang telah ditentukan,
maka lubang-lubang besar sudah siap untuk menelan mereka selama-lamanya, setelah
para pembantai beraksi serentak baik dengan senjata api mau pun senjata tajam. Sebuah
kuburan massal. Mereka berasal dari penjara-penjara Kalisosok Surabaya, Lowokwaru
Malang, Banyuwangi, Madiun, Kediri, Tulungagung, Blitar, Sala, Sragen, Yogya,
Wonosobo, Semarang, Ambarawa, Nusakambangan dan dari banyak tempat tahanan lain
termasuk Jakarta dan Bandung.
273
Pulau Kemarau terletak di tengah Sunga Musi. Di situ terdapat bangunan bekas tempat
usaha penimbunan besi tua yang diubah sebagai tempat tahanan. Pada permulaan Maret
1966 para tahanan mendapat jatah makan sekali sehari sebanyak tiga sendok. Kemudian
makanan ini diganti jagung sebanyak 25 butir tiap kepala. Pada 1 Juni 1966 semua sel
dikunci, selama tiga hari tiga malam para tahanan tidak diberi makan maupun minum.
Maka satu per satu mereka menjadi tengkorak dan mayat. Mayat ditumpuk jadi satu
disusun selang seling kepala dan kaki, lalu dibungkus karung dan diikat. Dengan diganduli
besi, karung-karung tersebut dibuang ke Sungai Musi. Kejadian ini berlangsung hampir
sebulan lamanya. Dari seluruh penjuru Jawa Tengah dan Timur, ribuan tapol diangkut ke
penjara-penjara Nusakambangan, mencapai 30.000 orang. Di samping yang mati
kelaparan dan penyakit, maka tiap malam berpuluh tapol dibawa ke Pasir Putih di bagian
barat pulau untuk dibantai dan dikubur secara massal. Selama 1966-1969 jatah makanan
begitu buruknya, tiap orang menunggu kematian.
Yang sangat umum terjadi selama 1965 sampai 1969 adalah sangat buruknya jatah
makanan dan kesehatan di seluruh tahanan dan penjara, di banyak tempat hampir tanpa
layanan medis apa pun. Satu-satunya pengecualian adalah rumah tahanan Nirbaya,
tempat sejumlah menteri ditahan. Tak aneh apabila segala macam penyakit dari
hongerudim, tifus, tbc dsb melanda para tapol. Ribuan orang dibunuh secara perlahanlahan dengan cara ini. Selama tahun 1967/68 di penjara Kalisosok Surabaya, puluhan
orang meninggal setiap harinya, sedang di Nusakambangan rata-rata 20 orang tiap
harinya. Kembali ribuan orang ditangkap setelah operasi Trisula di Blitar Selatan.
Pendeknya pembunuhan massal telah terjadi di banyak tahanan dan penjara. Inilah
praktek dari perikemanusiaan yang adil dan beradab model Orde Baru.
Para tapol yang selama bertahun-tahun dibuat lapar serta menderita busung lapar serta
berbagai penyakit lain itu secara ironis pada setiap tahunnya menjelang puasa diajari oleh
ulama yang didatangkan dari dunia bebas, tentang pentingnya berpuasa, menahan lapar,
menahan nafsu..." Demikian Pramoedya mencatat pengalamannya
Sasaran Pembunuhan
Sasaran pembunuhan yang telah direncanakan di samping tokoh-tokoh PKI dari puncak
sampai ke akar rumput, juga termasuk kader dan aktivis semua lapisan organisasi
274
massanya. Di samping itu terdapat target khusus yang lain berupa kaum intelektual dan
tokoh yang duduk di pemerintahan seperti walikota, bupati, juga guru, seniman, kepala
desa dsb. yang dianggap komunis atau simpatisan komunis. Nampaknya target tertentu ini
benar-benar telah direncanakan dengan matang setelah analisis mendalam tentang
kemungkinan hari depan komunisme di Indonesia. Mungkin sekali hal ini ada kaitannya
dengan daftar maut CIA seperti tersebut di atas yang dimasak oleh dapur intelijen Jenderal
Suharto.
Pemilihan target ini dilakukan baik dengan pembunuhan secara langsung maupun
ditujukan bagi mereka yang telah mendekam di ratusan kamp tahanan dan penjara.
Dengan demikian rezim militer Orba hendak memastikan bahwa tidak ada peluang lagi
bagi kemungkinan kebangkitan mereka. Sebagaimana tak henti-hentinya dicanangkan
oleh Jenderal Suharto dan Jenderal Nasution yang diikuti oleh media massa, 'pembasmian
kaum komunis dan komunisme sampai ke akar-akarnya'. Dan yang mereka maksud dan
mereka laksanakan pertama-tama adalah pembasmian fisik. Selanjutnya diikuti oleh
penghapusan dan rekayasa memori sosial dengan penghancuran segala macam
dokumentasi, buku, perpustakaan, dan karya budaya dan intelektual yang lain sebagai
bagian dari vandalisme. Karena itu betapa tidak masuk akalnya jika pembunuhan itu terjadi
secara spontan tanpa perencanaan matang.
Standar Ganda dan Terorisme Negara
Biarlah pembantaian itu berjalan terus, toh yang dibunuh orang komunis! Begitulah standar
ganda perikemanusiaan dan hak asasi manusia yang dianut rezim Barat yang mereka
terapkan sebagai yang telah dianut jurnalisme majalah Time dalam artikel 'Vengeance in
Smile' pada 15 Juli 1966 yang melukiskan pembantaian massal itu sebagai "Kabar paling
bagus bagi Barat selama bertahun-tahun di Asia", "The West's best news for years in
Asia."
Celakanya standar ganda semacam ini pun masih terus hidup di Indonesia sebagai hasil
gelombang fitnah tak berkesudahan termasuk lewat buku pelajaran sejarah dan upaya cuci
otak yang terus-menerus dilakukan rezim Orba selama 32 tahun, dalam beberapa hal
bahkan sampai saat ini, sering tanpa sadar dianut oleh jutaan rakyat Indonesia termasuk
sejumlah kecil intelektualnya. Untuk meletakkan nilai-nilai perikemanusiaan yang adil dan
275
beradab sesuai dengan Pancasila dan ajaran semua agama, diperlukan daya upaya yang
terus menerus tiada kenal lelah dari semua yang memiliki kesadaran dan kemauan baik
dengan memerangi standar ganda tersebut di atas. Untuk itu diperlukan waktu, barangkali
setidaknya setara dengan waktu bercokolnya rezim militer Orba Suharto atau lebih.
Menyebarkan nilai luhur sekaligus memerangi kejahatan memerlukan waktu dan daya
upaya jauh lebih besar daripada kebalikannya.
Apabila terorisme didefinisikan sebagai ancaman, penistaan dan pembantaian terhadap
penduduk sipil dalam jumlah amat besar dalam waktu pendek, terhadap mereka yang tidak
tahu-menahu urusannya, tidak memiliki kemampuan melawan atau membela diri sendiri
beserta keluarganya serta tanpa peluang menyelamatkan diri, maka ini merupakan
terorisme paling hebat dan mengerikan di jaman modern, terorisme yang dilakukan oleh
negara. (Dipetik dari Harsutejo, "Sejarah Gelap G30S" - revisi).
Upaya Mengelak Tanggungjawab
Sejumlah petinggi militer, sebagai yang pernah ditulis Jnderal Yasir Hadibroto yang
membanggakan diri sebagai eksekutor DN Aidit, ketika itu (1965-1966) merupakan
keadaan perang. Selanjutnya sejumlah pelaku dan penulis pendukung Orba seperti
Sulastomo, Fadly Zon, Mayjen Samsudin, menggambarkan seolah-olah ketika itu dalam
keadaan "membunuh atau dibunuh". Itu semua bohong dan tidak ada buktinya, sekedar
upaya mengelakkan tanggungjawab, agar pembantaian itu sah adanya. Apa ada situasi
"membunuh atau dibunuh" di kamp tahanan dan penjara sebagai yang dipropagandakan
untuk penyesatan oleh pendukung rezim Orba, agar pembunuhan massal itu dapat
diterima sebagai kewajaran.
Meski keadaan politik tegang tetapi situasi relatif aman sebagai yang direkam buku yang
populer disebut Cornell Paper yang disusun berdasarkan berita koran Orba sampai
dengan Desember 1965, karenanya laporan Benedict Anderson dan Ruth McVey ini
dinamainya A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia, 1971. Faktafakta yang terhimpun dalam buku ini didukung dan dilengkapi dengan fakta-fakta berupa
sejarah lisan dari berpuluh-puluh narasumber mereka yang mengalami langsung pada
1965/1966 yang antara lain terekam dalam buku John Roosa cs (ed), Tahun yang Tak
Pernah Berakhir, , 2004 dan HD Haryo Sasongko, Korupsi Sejarah dan Kisah Derita Akar
276
Rumput, 2005. Pembunuhan itu dilakukan dengan senjata bedil oleh pasukan militer, juga
dengan menggunakan golongan anti-komunis yang termakan propaganda hitam dan
rakyat yang dipaksa dan melakukannya baik dengan senjata api maupun senjata tajam,
termasuk dengan bambu runcing.
Apa pun celoteh mereka, termasuk mencoretnya dari buku-buku sejarah yang diajarkan di
sekolah, pembunuhan massal terhadap satu sampai tiga juta rakyat tak berdosa itu
merupakan kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang tidak akan dapat dilupakan
dengan Jenderal Besar (Purn) Suharto sebagai pelaku tertingginya.
DN AIDIT, PKI dan G30S
Pemimpin Muda yang Enerjetik
Sudah sejak muda, sejak jaman penjajahan Belanda, Aidit dalam umur belasan tahun telah
ikut serta dalam gerakan melawan penjajahan dalam berbagai bentuknya. Sudah sejak
muda pula ia gemar membaca dan tertarik pada marxisme. Di masa revolusi fisik ada
sebutan populer di kalangan kaum kiri, "mabuk marxisme" dalam artian positif, giat belajar
teori dengan membaca, berdiskusi dan berdebat serta kursus-kursus politik sejak masa
pendudukan Jepang, serta menerapkannya dalam praktek perjuangan. Selanjutnya juga
menuliskan berbagai gagasannya.
Di Menteng 31 bersama banyak pemuda yang lain ia digembleng para pemimpin nasional.
Sejumlah pemuda di antara mereka itu di kemudian hari menjadi tokoh komunis, di
samping DN Aidit, di antaranya Wikana (salah seorang tokoh pemuda yang berperan
penting dalam "penculikan" Bung Karno dan Bung Hatta pada 15 Agustus 1945), MH
Lukman, Sidik Kertapati dsb. Jadi tidak benar jika sejarawan Prof Dr Brigjen Nugroho
Notosusanto menyatakan kaum komunis tidak punya peran dalam Proklamasi 17 Agustus
1945, ini bagian dari pemalsuan sejarah.
Pada usia 28 tahun pada 1951 Aidit menjadi pemimpin tertinggi PKI bersama MH Lukman
dan Nyoto. Pada 1952, setahun setelah kepemimpinannya, anggota PKI terdiri dari 8.000
orang. Tetapi pada 1964 mereka telah menghimpun jutaan anggota. Dalam pemilu
demokratis pertama pada 1955 PKI keluar sebagai partai terbesar keempat, dalam pemilu
di Jawa pada 1957 PKI meningkat sebagai partai terbesar pertama. Ini sungguh suatu
277
prestasi luar biasa yang dicapai para pemimpin PKI muda usia. Oleh karenanya pihak
pimpinan AD tidak menyukai pemilu semacam itu. Sebelum tragedi 1965 PKI mengklaim
memiliki 3 juta anggota dengan 20 juta pengikut dan simpatisan, di antaranya terhimpun
dalam organisasi massa. PKI menjadi partai komunis terbesar di luar kubu sosialis.
Dengan demikian Aidit menjadi tokoh komunis internasional yang suaranya tidak dapat
diabaikan oleh kawan maupun lawan. Namanya berkibar dalam iklim perang dingin antara
blok kapitalis dengan blok komunis, perang ideologi antara komunis "murni" dan komunis
"revisionis", persaingan dan perkelahian antara blok Partai Komunis Uni Soviet (PKUS)
dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Dalam perselisihan ideologi ini PKI di bawah
pimpinan Aidit cs berusaha bersikap netral secara politik.
Sebagai partai massa PKI memiliki disiplin tinggi, keanggotaannya diatur secara
berjenjang yang dimulai dengan calon anggota sebelum seseorang diterima sebagai
anggota penuh yang didampingi seorang pembina. Hal itu di antaranya didasarkan pada
ideologi seseorang serta pengalaman perjuangan dan kontribusinya terhadap Partai.
Dengan kriteria semacam itulah seseorang dapat menduduki kepengurusan Partai maupun
jabatan dalam pemerintahan setelah kemenangan pemilu. Untuk hal-hal penting semacam
di atas, butir kredit buat pemimpin kolektif tertinggi PKI, utamanya pada tokoh Aidit.
Pemimpin muda ini sangat dinamis, berani, bergerak cepat, dengan daya tahan fisik dan
mental luar biasa, bisa jadi sejumlah kawannya terkadang tertinggal dengan geraknya. Di
samping itu ia pun tak lupa menekankan akan pentingnya kesabaran revolusioner dalam
perjuangan jangka panjang.
Teori Kudeta, Retorika Revolusi
Aidit berada dalam rombongan delegasi Indonesa keluar negeri dalam rangka KAA di
Aljazair yang gagal pada akhir Juni 1965, karena kudeta Kolonel Boumedienne terhadap
Presiden Ben Bella yang baru saja terjadi. Delegasi melanjutkan perjalanan ke Paris,. di
kota ini Aidit bertemu dengan enam orang kameradnya pelarian dari Aljazair. Ia
menganjurkan mereka kembali ke negerinya untuk mendukung Kolonel Boumedienne.
Kudeta itu disebutnya sebagai kudeta progresif. Jika kudeta itu didukung oleh paling tidak
30% rakyat maka hal itu dapat diubah menjadi revolusi rakyat. Demikian kata Aidit
sebelum bertolak ke Moskow. Barangkali ia pun mengambil model Revolusi Oktober 1917
yang digerakkan Lenin dan Trotsky berupa pengambilalihan kekuasaan dengan kekuatan
militer. Sekalipun demikian banyak pihak di kalangan kaum komunis yang tidak setuju
278
dengan teori baru ini, dikatakan sebagai bertentangan dengan teori marxis. Konon hal ini
juga menjadi perdebatan di Moskow. Perkembangan politik di tanahair yang relatif damai
ketika itu dengan arus pokok berpihak kepada PKI.
Dalam bulan Agustus 1965, koran PKI Harian Rakjat memuat pernyataan Aidit berupa
isyarat yang mengatakan biarlah mangkok, piring, gelas berpecahan untuk kepentingan
revolusi. Pada 9 September 1965, di depan sukwati Deppen Aidit menyatakan kaum
revolusioner bagaikan bidan dari masyarakat baru yang hendak dilahirkan, sang bayi pasti
lahir dan tugas mereka untuk menjaga keselamatannya dan agar sang bayi cepat menjadi
besar. Hal ini disambut dengan pernyataan petinggi PKI yang lain, Anwar Sanusi, tanahair
sedang hamil tua. Sementara itu serangkaian sidang Politbiro dan Politbiro yang diperluas
selama bulan Agustus dan September 1965 membicarakan tentang sakitnya Presiden
Sukarno dan rencana pukulan dari pihak Dewan Djenderal (DD) ketika BK tak lagi dapat
menjaga keseimbangan politik. Selanjutnya dilaporkan oleh Aidit adanya sejumlah perwira
maju yang hendak mendahului guna mencegah kudeta DD.
Sangat menarik pesan Aidit kepada kedua adiknya, Sobron Aidit dan Asahan Aidit yang
bertemu di Beijing dalam bulan Agustus 1965. "...Dan juga ingat, sementara ini, mungkin
bertahun-tahun ini, jangan dulu memikirkan pulang! ...tanahair dalam keadaan gawat dan
semakin akan gawat...". "...kita ini dalam keadaan ancaman... dari pihak tentara...
Angkatan Darat." Sedang kepada Asahan setelah mengetahui adiknya baru akan pulang
setahun lagi, ia menyatakan sayang karena ia takkan dapat ikut revolusi. "Revolusi tidak
akan menunggumu." Dalam dua catatan dari dua orang berdasarkan ingatan setelah
sekian puluh tahun berlalu itu secara implisit mengandung persamaan penting yakni
disebut akan terjadinya sesuatu yang gawat, malah yang ke dua disebut sebagai revolusi.
Sementara itu selama bulan September 1965 terjadi juga serangkaian pertemuan sejumlah
perwira militer (Letkol Inf Untung, Kolonel Inf Latief, Mayor Udara Suyono, Mayor Inf Agus
Sigit, Kapten Art Wahyudi) yang juga dihadiri oleh Ketua Biro Chusus (BC) PKI Syam
beserta pembantunya Pono. Gerakan ini berlanjut dengan penculikan dan pembunuhan 6
orang jenderal AD dan seorang perwira pertama pada dini hari 1 Oktober 1965 oleh
gerakan militer yang menamakan dirinya Gerakan 30 September sesuai dengan apa yang
diumumkan oleh RRI Jakarta pada pagi harinya.
279
Diculik atau Dijemput untuk Memimpin Gerakan?
Dalam salah satu kesaksiannya dr Tanti Aidit, pada 30 September 1965 malam hari DN
Aidit, suaminya, diculik tentara. Murad Aidit yang juga sedang berada di rumah yang sama
tidak memberikan gambaran kecuali "dibawa dengan mobil oleh orang yang tidak kukenal"
bersama ajudannya Kusno. Memori seorang anak berumur 6 tahun, Ilham Aidit, agaknya
lebih jernih, "Ibunya membentak dua orang berseragam militer warna biru di depan rumah"
(Tempo 7 Okt.2007:76). Salah seorang yang menjemputnya ialah Mayor Udara Suyono
(dengan seragam AU warna biru) dan membawa DN Aidit ke lingkungan PAU Halim. Di
Halim ia kemudian ditemui oleh Ketua BC PKI Syam.
Apakah Aidit diculik bersama pengawalnya? Itu mokal, tidak ada adegan kekerasan di
rumahnya di Jl. Pegangsaan, ia pun kemudian "bebas" pergi ke Yogya bersama
pegnawalnya dengan pesawat pada tengah malam 2 Oktober 1965. Apa itu sesuai dengan
kehendak dan rencana dirinya? Ini sulit dijawab karena terbukti segala rencana dilakukan
oleh Ketua BC Syam, ia toh pembantu Ketua PKI Aidit. Apakah dia tidak mengetahui
rencana G30S? Mokal jika dia tidak tahu, bisa saja pengetahuan dirinya kemudian
dimanipulasi oleh Syam. Apalagi jika kita hubungkan dengan teori Aidit tentang kudeta
tersebut di atas, lalu retorika oleh Letkol Untung (yang mungkin sekali sekedar wayang), di
baliknya lagi-lagi Ketua BC Syam. Apa Syam pun bukan sekedar sejumlah petinggi PKI
selama bulan Agustus dan September 1965 serta topik sejumlah sidang Politbiro serta
pesannya kepada kedua adiknya di Beijing. Apakah dia memimpin G30S? Ini tidak ada
buktinya, sebab yang terbukti gerakan ini di lapangan dipimpin wayang? Dari mana Syam
menerima segala instruksi? Lagi-lagi ini sulit dijawab. Lebih banyak pertanyaan daripada
jawaban.
Salah satu saksi kunci, DN Aidit telah dilenyapkan dengan buru-buru atas instruksi
Jenderal Suharto, tentu dengan suatu alasan kuat. Ada kepentingan apa Jenderal Suharto
menghendaki Aidit cepat-cepat dibungkam? Adakah informasi yang dapat mencelakakan
diri Suharto jika Aidit diberi kesempatan bicara di depan pengadilan, pengadilan sandiwara
sekalipun? Saksi kunci yang lain, Jenderal Suharto, telah melenyapkan banyak hal dan
memanipulasi segala sesuatu. Apa yang bisa diharap dari kesaksiannya? Apa dia masih
punya hati nurani untuk bicara yang sebenarnya terjadi ketika belum "pikun"? Sementara
sejumlah pelaku seperti Letkol Untung, Brigjen Suparjo, Mayor Udara Suyono dieksekusi
280
mati dengan segera maka Syam yang ditangkap pada 1967, dijatuhi hukuman mati pada
1968, menurut catatan resmi baru dieksekusi pada 1986.
Dalam pengakuannya di depan Mahmillub pada 1967-1968, Syam menyatakan seluruh
perbuatannya sebagai pelaksanaan instruksi Ketua PKI Aidit termasuk pengumuman dan
dekrit yang disampaikan lewat RRI Jakarta menurut pengakuannya disusun oleh Aidit.
Segala pengakuan Syam tentang G30S boleh dibilang tidak dapat diperiksa dan dirujuk
kebenarannya. Dokumen G30S yang diumumkan pada 1 Oktober 1965 yang terdiri dari
pengumuman Letkol Untung, Dekrit No.1, Keputusan No.1 dan Keputusan No.2, rendah
mutu politiknya. Dalam pengumuman pertama bernada emosional. Sulit dipercaya
dokumen semacam itu disusun oleh seorang Aidit, seorang pemimpin politik yang telah
malang melintang secara nasional dan internasional, pemimpin komunis kaliber dunia.
Dokumen itu bertentangan dengan politik front nasional yang mati-matian diperjuangkan
oleh pimpinan PKI. Terlebih lagi dokumen itu menafikan persekutuannya dengan Presiden
Sukarno, kekuasaan negara diambilalih oleh Dewan Revolusi, kabinet Presiden Sukarno
didemisionerkan. Apa mungkin Aidit mengubah dasar politik PKI dalam semalam pada
saat BK masih segar bugar? Pendeknya dokumen-dokumen tersebut menyerimpung politik
PKI ketika itu.
Pembelaan Sudisman dan KOK
Tidak ada pihak di lingkungan PKI [setidaknya yang pernah saya ketahui], di dalam
maupun di luar negeri yang meragukan kesahihan dokumen Kritik Otokritik (KOK) Politbiro
CC PKI, terlepas di mana dan siapa saja penyusunnya. Sesuai dengan namanya,
dokumen ini disusun oleh Politbiro CC PKI dengan sejumlah anggota yang pada akhir
1965 masih hidup sebagai buron rezim militer. Dewasa ini masih ada saksi hidup dalam
hal proses penyusunan dokumen ini. Selanjutnya ada dokumen lain berupa pembelaan
yang dibacakan Sudisman di depan Mahmillub pada 21 Juli 1967 yang diberi judul "Uraian
Tanggungjawab." Dari tangan Sudisman masih ada satu dokumen lagi berupa pernyataan
politik (yang belum selesai ditulis) sebelum ia dieksekusi mati beberapa bulan sesudah
Oktober 1968. Sejauh ini juga belum ada pihak yang meragukan kesahihan dokumen yang
disusun oleh orang nomor satu PKI ini setelah dibunuhnya DN Aidit, Nyoto dan MH
Lukman [sekali lagi setidaknya yang pernah saya dengar].
281
Dalam pembelaannya Sudisman dengan tegas mengakui "Saya pribadi terlibat dalam
G30S yang gagal." Adakah ini berarti Sudisman atau Aidit terlibat langsung pada
operasional gerakan militer G30S, setidaknya memberikan arahan politik? Tidak ada bukti
yang mendukungnya. Di bagian lain Sudisman juga dengan tegas menyatakan "tokohtokoh PKI, [maksudnya pemimpin teras PKI, hs].... terlibat dalam G30S, tetapi PKI sebagai
Partai tidak terlibat...." Mari kita cermati, Sudisman memisahkan antara pimpinan teras PKI
dengan partai bernama PKI, artinya memisahkan pimpinan itu dengan jutaan anggota dan
puluhan juta massa PKI. Bukankah di sini antara lain letak keblingernya pimpinan PKI,
sejak kapan pimpinan PKI harus dipisahkan dengan Partai-nya, anggota dan massanya,
melangkah sendiri tanpa keterlibatan anggota dan massa pendukung? Ataukah kata-kata
Sudisman ini sekedar upaya terakhir untuk menyelamatkan Partai yang dia ketahui telah
berantakan? Instruksi yang dibawa para utusan dari Jakarta atas petunjuk Aidit,
"dengarkan pengumumam RRI pusat dan sokong Dewan Revolusi [DR]." Dan itulah yang
dilakukan sejumlah massa kiri di Yogyakarta pada 2 Oktober 1965 melakukan demonstrasi
yang kepancal kereta, ketika gerakan di Jakarta telah berhenti sehari sebelumnya dan
situasi sudah berada dalam genggaman Jenderal Suharto. Instruksi untuk mendukung DR
tidak dijalankan di tempat lain.
Sudisman juga menyatakan, "Dalam mengatur gerakan sangat dibutuhkan di samping
keberanian adanya kepandaian revolusioner dalam menentukan waktu yang tepat dan
memimpin gerakan. Faktor-faktor ini tidak dipenuhi oleh G30S sehingga menyebabkan
kegagalannya. Ditambah lagi gerakan itu terpisah sama sekali dari kebangkitan massa."
Dapatkah dikatakan menurut Sudisman secara implisit, setidaknya secara politik, G30S
dipimpin oleh para petinggi PKI yang terpisah dari massa anggota dan pendukungnya?
Selanjutnya Sudisman menghubungkan hal tersebut dengan kelemahan dan kesalahan
PKI di bidang ideologi, politik dan organisasi sebagaimana dibahas dalam KOK. Ada
keterangan menarik, ketika Aidit baru saja sampai dari Jakarta, ia mengatakan, "Wah
celaka, kita ditipu oleh Suharto." Demikian yang diceritakan oleh seseorang yang pernah
bekerja di kantor CC PKI. Sayang keterangan ini tidak dapat dirujuk silang dengan
narasumber lain yang memadai.
Ketika PKI dan seluruh organisasi massa pendukungnya diobrak-abrik oleh pasukan militer
Jenderal Suharto dengan dukungan massa kanan, maka ada instruksi dari pimpinan PKI
yang tersohor di kalangan anggota bawah, yakni apa yang disebut "defensif aktif.' Suatu
istilah yang tidak dikenal dalam yargon mereka, instruksi kabur yang membingungkan
282
tanpa keterangan jelas. Umumnya mereka menafsirkan sebagai "selamatkan diri, jangan
melakukan perlawanan apa pun." Karena tidak ada lagi tempat untuk menyelamatkan diri
dan berlindung maka berbondong-bondonglah orang menyerahkan diri kepada musuh,
sebagian dengan ilusi akan mendapatkan perlindungan. Kenyataan tiadanya perlawanan
sebagai yang digembar-gemborkan pimpinan PKI semasa damai ini cukup mengejutkan
pihak pasukan Suharto dan para aktivis kanan. Maka tidak aneh jika sejarawan Jacques
Leclerc kemudian menyebut PKI sebagai raksasa berkaki lempung. Tetapi hampir dapat
dipastikan Leclerc akan menulis yang lain jika ia lakukan sebelum tragedi, terlebih apabila
ia menghadiri parade 45 tahun PKI pada 23 Mei 1965. Bagaimanapun PKI sebuah partai
politik, tidak memiliki barisan bersenjata. Di pihak lain pimpinan PKI mengklaim memiliki
pengaruh besar di kalangan angkatan bersenjata. Dalam kenyataannya pengaruh ini tidak
punya peran dalam memperkecil korban. Sejumlah batalion yang disebut "merah" yang
ditarik dari Kalimantan dalam rangka konfrontasi, kemudian dilucuti dan dijebloskan ke
penjara. Pembersihan di kalangan angkatan bersenjata dilakukan bertahap dan sangat
sistimatis.
Sebagian besar pendukung BK terutama di kalangan angkatan bersenjata sampai akhir
1965 dan permulaan 1966 berharap BK akan segera memberikan perintah untuk menindak
keras para pembangkang, Jenderal Suharto cs, sebelum mereka lebih merajalela dan
menjerumuskan negeri ini. Itulah yang juga ditunggu pimpinan PKI untuk waktu tertentu,
setidaknya suatu penyelesaian politik yang tidak kunjung tiba, sampai PKI hancurluluh.
Sebagaimana diuraikan dalam KOK, pimpinan PKI tidak bertindak independen, tetapi
menggantungkan diri pada Presiden Sukarno.
Diukur dari ajaran BK maka apa yang telah dilakukan Jenderal Suharto sepenuhnya
keblinger, kita tak dapat berharap yang lain dari dirinya. Para pemimpin lain yang memiliki
kapasitas untuk melakukan perlawanan terhadap kegiatan berdarah Jenderal Suharto
serta menghentikannya juga telah keblinger karena praktis membiarkan Suharto
bersimaharajalela.[
283
Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer
kepada Keith Foulcher
Jakarta, 5 Maret 1985
Salam,
Surat 26 Februari 1985 saya terima kemarin, juga surat terbuka Achdiat K. Mihardja untuk
teman-teman (sarjana) Australia yang dilampirkan. Terimakasih. Lampiran itu memang
mengagetkan, apalagi menyangkut-nyangkut diri saya, dan tetap dalam kesatuan semangat
kaum manikebuis pada taraf sekarang: membela diri dan membela diri tanpa ada serangan
sambil merintihkan kesakitannya masa lalu, yang sebenarnya lecet pun mereka tidak menderita
sedikit pun. Total jendral dari semua yang dialami oleh kaum manikebuis dalam periode
terganggu kesenangannya, belum lagi mengimbangi penganiayaan, penindasan, penghinaan,
perampasan dan perampokan yang dialami oleh satu orang Pram. Setelah mereka berhasil ikut
mendirikan rezim militer, dengan meminjam kata-kata dalam surat terbuka tsb.: "All forgotten
and forgiven" dan revisiannya: "We've forgiven but not forgotten." Saya hanya bisa mengelus
dada. Kemunafikan dan keangkuhan dalam paduan yang tepat, seimbang dengan kekecilan
284
nyalinya dalam masa ketakutan. Dan Bung sendiri tahu, perkembangan sosial- budaya-politik-di sini Indonesia--bukan semata-mata ulah perorangan, lebih banyak satu prosedur nasional
dalam mendapatkan identitas nasional dan mengisi kemerdekaan. Tak seorang pun di antara
para manikebuis pernah menyatakan simpati -- jangan bayangkan protes -- pada lawannya
yang dibunuhi, kias atau pun harfiah. Sampai sekarang. Misalnya terhadap seniman nasional
Trubus. Japo[?] Lampong. Apalagi seniman daerah yang tak masuk hitungan mereka. Di mana
mereka sekarang. Di mana itu pengarang lagu Genjer-genjer? Soekarno mengatakan: Yo
sanak, yo kadang, yen mati m[?a]lu kelangan. Yang terjadi adalah -- masih menggunakan
suasana Jawa: tego larane, tego patine.
Masalah pokok pada waktu itu sederhana saja: perbenturan antara dua pendapat; revolusi
sudah atau belum selesai. Yang lain-lain adalah masalah ikutan daripada-nya. Saya sendiri
berpendapat, memang belum selesai. Buktinya belum pernah muncul sejarah revolusi
Indonesia. Karena memang belum ada distansi dengannya. Belum merupakan kebulatan yang
selesai. Maka para sejarawan takut. Malah kata revolusi nasional cenderung dinamai dan
dibatasi sebagai perang kemerdekaan.
Pertentangan manikebu dan pihak kami dulu tidak lain cuma soal polemik. Memang keras, tapi
tak sampai membunuh, kan? Kan itu memang satu jalan untuk mendapat-kan kebenaran
umum, yang bisa diterima oleh umum? Bahwa pada waktu itu terjadi teror yang dilakukan oleh
orang-orang Lekra sebagaimana dituduhkan sekarang, betul- betul saya belum bisa diyakinkan.
Beb Vuyk dalam koran Belanda menuduh: teror telah dilakukan orang-orang Lekra terhadap
beberapa orang, antaranya Bernard IJzerdraad. Waktu ia datang ke Indonesia dan
menemuinya sendiri, IJzerd-raad menjawab tidak pernah diteror. Dan Beb Vuyk tidak pernah
mengkoreksi tulisannya. Beb Vuyk sendiri meninggalkan Indonesia setelah kegagalan pemberontakan PRRI-Permesta, kemudian minta kewarganegaraan Belanda. Mungkin ia merasa
begitu pentingnya bagi Indonesia sehingga dalam usianya yang sudah lanjut merasa
berkepentingan untuk mendirikan kebohongan terutama untuk menyudutkan saya. pada hal
dalam polemik-polemik tsb. saya hanya menggunakan hak saya sebagai warganegara merdeka
untuk menyatakan pen-dapat. Dan saya sadari hak saya. Seperti sering kali saya katakan:
kewarga-negaraan saya peroleh dengan pergulatan bukan hadiah gratis.
Dan apa sesungguhnya kudeta gagal G-30S/PKI itu? Saya sendiri tidak tahu. Sekitar tanggal 24
bulan lalu saya menerima fotokopi dari seorang wartawan politik Eropa dari Journal of
Contemporary Asia, tanpa nomor dan tanpa tahun, berjudul: "Who's Plot--New Light on the
1965 Events," karangan W.F. Wertheim. Itulah untuk pertama kali saya baca uraian dari orang
yang tak berpihak. Juga itu informasi pertama setelah 20 tahun belakangan ini. Rupa-rupanya
karena ketidaktahuan saya itu saya harus dirampas dari segala-galanya selama 14 tahun 2
bulan + hampir 6 tahun tahanan kota (tanpa pernyataan legal), tanpa pernah melihat dewan
hakim yang mendengarkan pembelaan saya. Memang sangat mahal harga kewarganegaraan
285
yang harus saya bayar. Maka juga kewarganegaraan saya saya pergunakan semak-simal
mungkin. Itu pun masih ada saja orang yang tidak rela. Juga surat pada Bung ini saya tulis
dengan menjunjung tinggi harga kewarganegaraan saya.
Sekarang akan saya tanggapi tulisan A.K.M. Ia tidak ada di Indonesia waktu meletus peristiwa
1965 itu. Tetapi saya sendiri mengalami. Saya akan ceritakan sejauh saya alami sendiri, untuk
tidak membuat terlalu banyak kesalahan.
Pada 1 Oktober 1965 pagihari saya dengar dari radio adanya gerakan Untung. Kemudian berita
tentang susunan nama Dewan Revolusi. Sebelum itu pengumuman naik pangkat para prajurit
yang ikut dalam gerakan Untung dan penurunan pangkat bagi mereka yang jadi perwira di atas
letkol. Sudah pada waktu itu saya terheran-heran, kok belum-belum sudah mengurusi pangkat?
Ini gerakan apa, oleh siapa? Saya lebih banyak di rumah daripada tidak. Kerja rutine ke luar
rumah adalah dalam rangka menyiapkan Lentera dan mengajar pada Res Publika. Dan sangat
kadang-kadang ke pabrik pensil di mana saya "diangkat" jadi "penasihat." Jadi di rumah itu saja
saya "ketahui" beberapa hal yang terjadi dari suara-suara luar yang datang. Mula-mula datang
Abdullah S.P., itu penantang Hamka, waktu itu baru saja bekerja di sebuah surat kabar Islam
yang baru diterbitkan, dan yang sekarang saya lupa namanya. Ia mengatakan merasa tidak
aman dan hendak mengungsi ke tempatku. Saya keberatan, karena memang tidak tahu situasi
yang sesungguhnya. Seorang pegawai tatausaha Universitas Res Publika datang ke rumah
menyerahkan honor, dan mengatakan Universitas ditutup karena keadaan tidak aman. Ia
menyerahkan honor lipat dari biasanya. Beberapa hari kemudian datang pegawai dari pabrik
pensil, juga menyerahkan honor, juga lipat dari biasanya, karena pabrik terpaksa ditutup,
keadaan gawat. Kemudian datang seorang teman yang memberitakan, rumah Aidit dibakar,
demikian juga beberapa rumah lain. Ia juga memberitakan tentang cara massa bergerak.
Mereka menyerang rumahtangga orang, kemudian datang para petugas berseragam yang tidak
melindungi malah menangkap yang diserang. "Saya yakin Bung akan diperlakukan begitu juga,"
katanya. Soalnya apa dengan saya? tanyaku. "Kesalahan bung, karena bung tokoh." Itu saja?
Tempatku di sini, kataku akhirnya.
Seorang penjahit, yang pernah dibisiki larangan menjahitkan pakaian saya oleh tetangga
anggota PNI-- penjahit itu juga tetangga--menawarkan tempat aman pada saya nun di Brebes
(kalau saya tidak salah ingat). Saya ucapkan terimakasih. Mengherankan betapa orang lain
dapat melihat, keamananku dalam ancaman. Seorang teman lain datang dan menganjurkan
agar saya lari. Mengapa lari? tanya saya. Apa yang saya harus larikan? Diri saya? dan
mengapa?
Kemudian datang seorang pengarang termuda yang saya kenal. Biasanya ia langsung masuk
ke belakang dan membuka sendiri lemari makan. Ia tidak mengu-langi kebiasaannya.
286
Tingkahnya menimbulkan kecurigaan. Saya masih ingat kata- kata yang saya ucapkan
kepadanya: saya seorang diri dari dulu, kalau pengeroyok memang hendak datangi saya akan
saya hadapi seorang diri; tempat saya di sini.
Keadaan makin lama makin gawat. Isteri saya baru dua bulan melahirkan. adalah tepat bila ia
dan anak-anak untuk sementara menginap di rumah mertua. Papan nama saya, dari batu
marmer, bertahun-tahun hanya tergeletak, sengaja saya pasang di tembok depan dengan lebih
dahulu memahat tembok. Sebagai pernyataan: saya di sini, jangan nyasar ke alamat yang
salah.
Di tempat lain isteri kedua mertua saya mengadakan selamatan untuk keselamatan saya.
Sementara itu saya tetap tinggal di rumah menyiapkan ensiklopedi sastra Indonesia. Dalam
keadaan lelah saya saya beralih mempelajari Hadits Bukori. di malam hari semua lampu saya
padamkan dan saya duduk seorang diri di beranda. Teman saya hanya seorang, adik saya
yang pulang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya, Koesalah Soebagyo Toer.
Kemudian datang tanggal 13 Oktober 1965 jam 23.00. Tahu-tahu rumah saya sudah dikepung.
Lampu pagar dari 200 watt--waktu tegangan hanya 110, namun dapat dianggap terlalu mewah
untuk kehidupan kampung--saya nyalakan. Di depan pintu saya lihat orang lari menghindari
cahaya. Mukanya bertopeng. Tangannya mem-bawa pikar. Malam-malam, dengan topeng pula,
langsung terpikir oleh saya, barang itu tentu habis dirampoknya dari rumah yang habis diserbu.
Saya tahu itu pikiran jahat. apa boleh buat karena suara- suara gencar memberitakan ke
rumah, pihak militer mengangkuti anak-anak sekolah ke atas truk dan disuruh berteriakteriak menentang Soekarno. Saya tidak pernah melihat sendiri. Saya percaya, karena pelda
(atau peltu?) yang tinggal di depan rumah saya, sudah dua malam berturut- turut bicara keras di
gang depan rumah, bahwa militer punya politik sendiri, Soekarno sudah tidak ada artinya.
Konon ia bekas KNIL. Malah pada malam kedua ia buka mulut keras-keras sambil mondarmandir, dan saya merasa itu ditujukan pada saya, rokok kretek saya cabut dari bibir dan saya
lemparkan padanya. Terdengar ia melompat sambil memekik. Jadi kalau saya punya pikiran
jahat seperti itu bukan tidak pada tempatnya. Nah, setiap lampu pagar saya matikan, muncul
gerombolan di depan pintu. Bila saya nyalakan lagi mereka lari. Jelas mereka muka-muka yang
saya telah kenal. Tak lama kemudian batu-batu kali tetangga samping, yang dipersiapkan untuk
membangun rumah, berlayangan ke rumah saya. Itu tidak mungkin dilemparkan oleh tenaga
satu orang. Paling tidak dua orang dengan jalan membandulnya dengan sarung atau dengan
lainnya. Kalau anak-anak saya masih di rumah, terutama bayi 2 bulan itu, saya tak dapat
bayangkan apa yang bakal terjadi. Batu besar berjatuhan di dalam rumah menerobosi genteng
dan langit-langit. Jadi benar-benar orang menghendaki kematian saya. Saya ambil tongkat
pengepel dari kayu keras, juga mempersenjatai diri dengan samurai kecil (pemberian Joebaar
Ajoeb sekembalinya dari Jepang). Ini hari terakhir saya, di sini, di tempat saya. Saya tahu,
takkan mungkin dapat melawan satu gerombolan, tapi saya toh harus membela diri? Jalan
287
kedua untuk bertahan adalah memberi gerombolan itu sesuatu yang mereka ingat seumur
hidup: kata-kata yang lebih ampuh dari senjata.
Dengan suara cukup keras saya memekik: Ini yang kalian namai berjuang? Kalau hanya
berjuang aku pun berjuang sejak muda. Tapi bukan begini caranya. Datang ke sini pemimpin
kalian! Berjuang macam apa begini ini?
Ingar-bingar terhenti. Juga lemparan batu. Tiba-tiba sebongkah besar batu kali menyambar
paha saya dan melesat mengenai pintu depan yang sekaligus hancur. Lemparan batu menjadi
hebat kembali. Lampu pagar sengaja dihancurkan dengan lemparan juga.
Saya dengar suara: Mana minyaknya. Sini, bakar saja. Tetapi saya dengar juga suara orang tua
tetangga sebelah kiri saya, seorang dukun cinta: jangan, jangan dibakar, nanti rumah saya ikut
terbakar. Tak lama kemudian terdengar suara lagi: jangan lewat di tanah saya. Waktu saya lihat
ke dalam rumah adik saya sudah tidak ada. Rupanya ia meloloskan diri dari pintu pagar
belakang dan langsung memasuki tanah sang dukun cinta.
Dan betul saja kata teman itu: kemudian datang orang- orang berseragam. Metode kerja yang
kelak akan terus- menerus dapat dilihat. Mereka terdiri dari polisi dan militer. Saya belum lagi
sempat menggunakan tongkat dan samurai saya, mereka belum lagi memasuki pekarangan
rumah saya.
Komandan militer operasi dan gerombolannya saya bukakan pintu. Mereka masuk dan
langsung menyalahkan saya: sia-sia melawan rakyat. Kontan saya jawab: Gerombolan, bukan
rakyat.
Setelah mereka memeriksa seluruh rumah ia bilang lagi: Siapkan, pak mari kami amankan,
segera pergi dari sini. Saya berteriak memanggil adik saya. Dia muncul, entah dari mana.
Dijanjikan akan diamankan, saya siapkan naskah saya Gadis Pantai untuk diselesaikan
dan mesin tulis. Pada seorang polisi dalam team itu saya bertanya: kenal saya? Kenal,
pak. Tolong selamatkan semua kertas dan perpustaka-an saya. di situ adalah perkerjaan
Bung Karno (waktu itu saya belum sampai selesai menghimpun cerpen-cerpen Bung
Karno, dan korespondensi Soekarno-Sartono-Thamrin masih belum memadai untuk
diterbitkan). Dia berjanji untuk menyelamat-kan.
288
Mereka giring kami berdua melalui gang. Gerombolan itu berjalan mengepung di samping dan
belakang. Ada yang membawa tombak, keris, golok, belati. Benar, alat negara itu tidak
menangkap gerombolan penyerbu, malah menangkap yang diserbu. Dan sebanyak itu
dikerahkan untuk menumpas satu-dua orang. Hebat benar membikin momentum qua
perjuangan. Sampai di sebuah lapangan gang jurusan belakang rumah, sebelum dinaikkan ke
atas Nissan mereka ikat tanganku ke belakang dan menyangkutkan ke leher, sehingga rontaan
pada tangan akan menje-rat leher. Tali mati. Bukan simpul mati yang diajarkan di kepanduan.
Tali mati. Macam ikatan yang dipergunakan untuk tangkapan yang akan dibunuh semasa
revolusi dulu. Tentu saja saya menyesal akan mati dalam keadaan seperti ini. Lebih indah bila
dengan bertarung di atas tanah tempat saya tinggal. Melewati jembatan depan rumah sakit
umum pusat Koptu Sulaiman menghantamkan gagang besi stennya pada mataku. Cepat saya
palingkan kepala dan besi segitiga itu tak berhasil mencopot bola mata tetapi meretakkan
tulang pipi. Saya memahami kemarahannya, bukan padaku sebenarnya, tapi pada atasannya,
karena tak boleh ikut memasuki rumah saya. Mereka bawa kami ke Kostrad, kalau saya tidak
keliru. Yang sedang piket adalah seorang Letkol. Kami diturunkan di situ, dan pada perwira itu
saya minta agar kertas dokumentasi dan perpustakaan diselamatkan. Kalau Pemerintah
memang menghendaki agar diambil, tapi jangan dirusak. Ia menyanggupi. Dari situ kami
dibawa memasuki sebuah kompleks perumahan yang saya tak tahu kompleks apa. Dari jendela
nampak puncak emas Monas. Kemudian saya dapat mengenali rumah itu; hanya masuknya
tidak berkelok-kelok melalui kompleks, tetapi langsung dari jalan raya, karena pada 1955 di
ruang yang sama saya pernah menemui Erwin Baharuddin, bekas sesama tahanan Belanda di
penjara Bukitduri.
Piket mengambil semua yang saya bawa di tangan, naskah dan mesin tulis, juga samurai yang
tersisipkan dalam kaos kaki. Waktu ia tinggal seorang diri rolex saya dikembalikan, berpesan
supaya jangan kelihatan, sembunyikan baik-baik. kami dipersilakan ke sebuah ruangan tempat
di mana sudah menggeloyor di lantai beberapa orang. Seorang adalah Daryono dari suatu SB
(entah SB apa) dan seorang perjaka jangkung tetangga sendiri. Piket yang mengembalikan
jamtangan itu memasuki ruangan tempat kami tergolek di lantai. Di sebuah papantulis besar
tertulis dengan kapur: Ganyang PKI. Ia pergi ke situ dan menghapus tulisan itu sambil
berguman: apa saja ini!
Seorang bocah berpangkat kopral, bermuka manis, menghampiri dan menanyai ini-itu. Saya
tanyakan apa pangkatnya. Ia menjawab dengan pukulan dan tempeleng, kemudian pergi.
Kurang lebih dua jam kemudian saya lihat Nissan patrol datang dan menurun-nurunkan barang.
Beberapa contoh ditaruh di atas meja di ruangan tempat kami menggeletak di lantai. Saya
kenal benda-benda itu: kartotik file saya sendiri, dokumentasi potret sejarah, malah juga klise
timah yang saya siapkan untuk saya pergunakan dalam jangka panjang. Saya jadi mengerti
perpustakaan dan dokumen-tasi saya, jerih-payah selama lima belas tahun telah dibongkar,
5.000 jilid buku dan beberapa ton koleksi suratkabar. Angka-angka itu saya dapatkan dari
sarjana perpustakaan yang sekitar dua tahun membantu saya.
289
Tangkapan-tangkapan baru terus berdatangan. Ada yang sudah tak bisa jalan dan dilemparkan
ke lantai. Kemudian datang tangkapan yang langsung mengenali saya. Ia bertanya mengapa
saya berlumuran darah. Baru waktu itu saya sadar kemejaku belang-bonteng kena darah
sendiri, demikian juga celana, yang rupanya teriris batu kali yang dilemparkan. Dialah yang
bercerita, semua kertas saya diangkuti militer. Massa menyerbu dan merampok apa saja yang
ada, sampai-sampai mangga yang sedang sarat berbuah digoncang buahnya. Tak ada satu
cangkir atau piring tersisa. Rumah bung tinggal jadi bolongan kosong blong.
Jangan dikira ada perasaan dendam pada saya; tidak. Justru yang teringat adalah satu kalimat
dari Njoto, yang A.K.M. juga kenal: Tingkat budaya dan peradaban angkatan perang kita cukup
rendah, memprihatinkan, kita perlu meningkatkannya. Saya juga teringat pada kata-kata lain
lagi: Kalau kau mendapatkan kebiadaban, jangan beri kebiadaban balik, kalau mampu, beri dia
keadilan sebagai belasan. Dalam tahanan di RTM tahun 1960 saya mendapatkan kata baru dari
dunia kriminal: brengsek. Sekarang saya dapat kata baru pula: di-aman-kan, yang berarti:
dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan aman dan keamanan. Sebelum itu saya
punya patokan cadangan bila orang bicara denganku: ambil paling banyak 50% dari
omongannya sebagai benar. Sekarang saya mendapatkan tambahan patokan: Kalau yang
berkuasa bilang A, itu berarti minus A. Apa boleh buat, pengalaman yang mengajarkan.
Di antara orang kesakitan di kiri dan kanan saya, di mana orang tidak bisa dan tidak boleh
ditolong, terbayang kembali wartawan Afrika--saya sudah tidak ingat dari Mali, Ghana atau
Pantai Gading--yang waktu naik mobil pertanyakan: Apa Nasakom itu mungkin? Apa itu bukan
utopi? Saya jawab: di Indonesia diperlukan suatu jalan. Setiap waktu bom waktu kolonial bisa
meletus. Itu kami tidak kehendaki. Nampaknya Nasakom sebagai kenyataan masih dalam
pembinaan. Dia bilang: Kalau Nasakom gagal? Bukankah itu berarti punahnya pemerintah sipil,
karena Nasakom tersapu? Jawabku: Kami hanya bisa berusaha. Dia bilang lagi: Kalau
Nasakom disapu, tidak akan lagi ada kekuatan nasionalis, agama maupun komunis! Dialog
selanjutnya saya sudah tak ingat.
Pagi itu-itu diawali kedatangan serombongan wartawan Antara, tanpa sepatu, semua lututnya
berdarah. Di antaranya paman saya sendiri, R. Moedigdo, yang saya tumpangi hampir 3,5
tahun semasa pendudukan Jepang. Dia pun tak terkecuali. Kemudian saya dengar, mereka
baru datang dari tangsi CPM Guntur dan habis dipaksa merangkak di atas kerikil jalanan.
Menyusul datang power. Orang- orang militer melempar-lemparkan tangkapan baru itu dari atas
geladak dan terbanting ke tanah. Ruangan telah penuh- sesak dengan tangkapan baru, sampai
di gang-gang. Itu berarti semakin banyak erangan dan rintihan. Di antaranya terdapat sejumlah
wanita. Sedang gaung dari pers yang menyokong militer sudah sejak belum ditang-kap, tak
henti- hentinya menalu gendang untuk membangkitkan emosi rakyat terhadap PKI dan
290
organisasi massanya: Gerwani di Lubangbuaya memotongi kemaluan para jendral dan
melakukan tarian cabul dan semacamnya, tipikal buah pikiran orang yang tak pernah
mempunyai cita-cita. Bulu kuduk berdiri bukan karena tak pernah menduga orang Indonesia
bisa membuat kreasi begitu kejinya.
Kemudian datang waktu pemeriksaan. Saya dibawa ke ruang pemeriksaan, yang sepanjang
jam, siang dan malam diisi oleh raungan dan pekikan. Juga dari mulut wanita. Memang ruang
yang saya masuki waktu itu tidak seriuh biasanya. Alat-alat penyetrum tidak dikerahkan. Di
pojokan seorang KKO bertampang Arab, hitam, tinggi dan langsing, dingan kaki bersepatu bot
menginjak kaki telanjang yang diperiksanya. Dan di antara jari-jemari pemuda malang itu
disisipi batang pensil dan tangan itu kemudian diremas si pemeriksa sambil tersenyum dan
bertanya: Ada apa? Ada apa kok memekik? Di samping pemuda itu adalah saya, diperiksa oleh
seorang letnan (atau kapten?) bernama Nusirwan Adil.
Di luar dugaan pemeriksaan terhadap saya tidak disertai penganiayaan seperti dideritakan
pemuda malang di samping kiri saya. Pemeriksa itu tenang dan sopan, dan mungkin cukup
terpelajar dan beradab. Ia memulai dengan pertanyaan mengapa saya berdarah-darah.
Jawab: terjatuh.
Tapi itu bukan termasuk dalam acara pemeriksaan. Pertanyaan: Bagaimana pendapat tentang
gerakan Untung?
Jawab: tidak tahu sesuatu tentangnya.
Pertanyaan: Apa membenarkan gerakan itu?
Jawab: Kalau mendapat kesempatan mempelajari kenyataan- kenyataannya yang authentik
mungkin dalam lima tahun sesudahnya saya akan bisa menjawab pertanyaan itu.
Sebelum meneruskan tentang pemeriksaan ini saya sisipkan dulu beberapa hal sebelum
penangkapan saya. Pertama: sejak semula saya sependapat bahwa gerakan Untung, yang
kemudian dinamai G-30S/PKI, adalah gerakan dalam tubuh angkatan darat sendiri. Pendapat
291
itu tetap bertahan sampai sekarang, juga sebelum membaca tulisan Wertheim dalam Journal of
Contemporary Asia. Berita-berita pengejaran dan pembunuhan semakin hari semakin banyak
dan menekan. Kedua: seorang perwira intel pernah datang berkunjung khusus untuk
menyampaikan, bahwa militer akan memainkan peranan kucing terhadap PKI sebagai tikus.
Tiga: dua mahasiswa UI telah dilynch di jalanan raya yang baru dibangun, masih lengang, di
sekitar kampus. Keempat: pemeriksaan terhadap para tangkapan berkisar pada dua hal,
pertama keterlibatan dalam peristiwa Lubangbuaya, kedua keanggotaan Pemuda Rakyat dan
PKI. Kelima: beberapa hari sebelum penangkapan seorang pegawai Balai Pustaka
mengumumkan dalam harian Api Pancasila di Jakarta, bahwa saya adalah tokoh Pemuda
Rakyat. Karena sebagai pelapor ia menyebutkan diri pegawai Balai Pustaka, jadi saya datang
menemui direktur BP -- waktu itu Hutasuhut, kalau saya tidak salah ingat -- dan mengajukan
protes karena BP dipergunakan sebagai benteng untuk menyebarkan informasi yang salah
tentang saya. Direktur BP menolak protes saya. Pegawai yang menulis itu tinggal beberapa
puluh langkah dari rumah saya. Dalam peristiwa plagiat Hamka ia pernah mengirimkan surat
pembelaan untuk Hamka dan hanya sebagian daripadanya saya umumkan.
Dan memang ruangan rumah saya pernah dipinjam untuk pendirian ranting Pemuda Rakyat.
Tetapi itu bukan satu- satunya. Kalau sore ruangan belakang juga menjadi tempat taman
kanak-kanak (reportase tentangnya pernah ditulis oleh Valentin Ostrovsky, kalau saya tidak
meleset mengingat). Setiap Kamis malam ruangan depan dipergunakan untuk tempat diskusi
Grup diskusi Simpat Sembilan. Setiap pertemuan didahului dengan pemberitahuan pada
kelurahan. Jadi tidak ada sesuatu yang dapat dituduhkan illegal.
Keenam: seseorang menyampaikan pada saya, mungkin juga pada sejumlah orang lagi, kalau
diperiksa adakan anggota PKI atau ormasnya, akui saja ya--tidak peduli benar atau tidak;
soalnya mereka tidak segan-segan membikin orang jadi invalid seumur hidup untuk menjadi
tidak berguna bagi dirinya sendiri pun untuk sisa umurnya selanjutnya. Dan, tidak semua orang
tsb., dapat saya sebut namanya, karena memang tidak mampu mengingat--hampir 20 tahun
telah liwat.
Jadi waktu pemeriksa menanyakan apakah saya anggota PKI, saya jawab ya.
Pertanyaan: Apakah percaya negara ini akan jadi negara komunis?
Jawab: Tidak dalam 40 tahun ini.
292
Sebabnya?
Faktor geografi dan konservativitas Indonesia.
Cuma itu sesungguhnya isi pemeriksaan pokok. Tetapi karena selama dalam penahanan itu
harian Duta Masyarakat memberitakan reportase tentang penyerbuan gerombolan itu ke rumah
saya dan rumah S. Rukiah Kertapati, di mana disebutkan di rumah saya ditemukan buku-buku
curian dari musium pusat dan di rumah Rukiah setumpuk permata, jadi pemeriksaan berpusat
pada soal pencurian tsb. Memang saya pernah meminjam satu beca majalah, harian dan buku
dari musium pusat. Yang belum saya kembalikan adalah Door Duisternis to Licht Kartini dan
harian Medan Prijaji tahun 1911 dan 1912. Kalau arsip itu tersusun baik, akan bisa ditemu-kan,
bahwa sumbangan saya ada 10 kali lebih banyak dari pada yang masih saya pinjam.
Dengan demikian pemeriksaan selesai. Benar-tidaknya omongan saya ini dapat dicek pada
proces verbal, sekiranya masih tersimpan baik pada instansi yang berwenang.
Bila ada selisih, soalnya karena waktunya sudah terlalu lama.
Mungkin Bung bertanya dari mana saya tahu ada berita dalam Duta Masyarakat yang menuduh
saya mencuri. Ya, pada suatu pagi muncul seorang kapten di ruang tempat serombongan
tahanan. Ia langsung mengenali saya, sebaliknya saya mengenal dia sebagai sersan di RTM
tahun 1960. Ia bertubuh tinggi, berkulit langsat dan bibir atasnya suwing. Saya tak dapat
mengingat namanya. Suatu malam ia kunjungi aku di kamar kapalselam (sel isolasi) di RTM itu.
Banyak mengobrol, antara lain ia bercerita pernah ikut pasukan merah dalam Peristiwa Madiun.
Pagi itu ternyata ia berpangkat kapten. Langsung ia bertanya di mana Sjam. Itu untuk pertama
kali saya dengar nama itu. Tapi ia segera membatalkan pertanyaanya dengan kata-kata: Ah,
Pak Pram sastrawan, tentu tidak tahu siapa dia. Ramahnya luarbiasa, bawahannya
diperintahkannya untuk mengambilkan kopi dan menyedia-kan veldbed untuk saya. Dan hanya
perintah pertama yang dilaksanakan. Setelah ia pergi seorang sersan gemuk yang terkenal
galak, dari Sulawesi, kalau tak salah ingat, juga seorang haji, memanggil saya dengan
ramahnya dan menyuruh saya membaca Duta Masyarakat itu.
Nah Bung, setelah pemeriksaan satu rombongan dikirim ke CPM Guntur. Sebelum pergi saya
minta pada Nusyirwan Adil untuk membebaskan adik saya, karena baru saja datang ke
Indonesia untuk menyiapkan disertasinya. Ia luluskan permintaan saya, diketikkan surat
293
pembebasan. Sebelum pergi ia saya titipi jam tangan saya, untuk dipergunakan belanja istri
saya.
Di Guntur hanya untuk didaftar dan dirampas apa yang ada dalam kantong para tangkapan.
Sepatu sampai sikatgigi dan ikatpinggang. Waktu itu baru saya sadari di dalam kantong saya
masih tersimpan honorarium dari Res Publika dan pabrik pensil. Semua dirampas dengan
alasan: nanti dalam tahanan agar tidak dicuri temannya. Dari guntur kami dibawa ke Salemba.
Tangan tetap di atas tengkuk dan tubuh harus tertekuk, tidak boleh berdiri tegak, setinggi para
penangkap. Dalam pelataran-pelataran penjara itu nama dibaca satu-persatu oleh seorang
militer. Waktu sampai pada giliran saya ia berhenti dan berseru: Lho, Pak Pram, di sini ketemu
lagi? Peltu (atau pelda) itu adalah pengawal bersepedamotor yang mengawal sebuah sedan
biru-tua dalam bulan November 1960 dari Peperti Peganggsaan ke RTM Jl. Budi Utomo. Dalam
sedan itu saya, setelah diminta "diwawancarai" oleh Sudharmono, mayor BC Hk. Dan peltu atau
pelda di depanku Oktober 1965 itu adalah Rompis.
Sejak itu berkelanjutan perampasan hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak sipil saya selama
hampir 20 tahun ini. Dan Bung Keith, tidak satu orang pun dari kaum manikebuis itu terkena
lecet, tidak kehilangan satu lembar kertas pun. Sampai sekarang pun mereka masih tetap hidup
dalam andaian, sekiranya kaum kiri menang. Dari menara andaian itu mereka menghalalkan
segala: perampasan, penganiayaan, penghinaan, pembunuhan. Tetap hidup dalam kulit telur
keamanan dan kebersihan, suci, anak baik-baik para orangtua, dan anak emas dewa
kemenangan. Paling tidak sepuluh tahun lamanya saya melakukan kerjapaksa, mereka satu
jam pun tidak pernah. Nampaknya mereka masih tidak rela melihat saya hidup keluar dari
kesuraman. Waktu saya baru pulang dari Buru, banyak di antaranya yang memperlihatkan
sikap manis. Bukan main. Tetapi setelah saya menerbitkan BM, wah, kembali muncul
keberingasan.
Tentang A.K.M. sendiri pertama kali saya mengenalnya pada tahun 1946, di sebuah hotel di
Garut. Ia tidak mengenal saya. Waktu itu saya sedang dalam sebuah missi militer. Ia datang ke
hotel itu dan ngomong-ngomong dengan pemiliknya. Namanya tetap teringat, karena waktu itu
ia redaktur majalah Gelombang Zaman yang terbit di Garut.
Pertemuan kedua ialah di Balai Pustaka, waktu ia masih jadi pegawai Balai Pustaka yang
dikuasai oleh kekuasaan pendudukan Belanda. Setelah penyerahan kedaula-tan ia jadi sep
saya dalam kantor yang sama--ya saya sebagai pegawai negeri dengan pengalaman semasa
revolusi sama sekali tidak diakui, karena semua pegawainya bekas pegawai kekuasaan
Belanda. Sewaktu ia hidup aman di Australia, ternyata ia masih dalam hidup dalam andaian,
dan sebagaimana yang lain- lain tetap membiakkan pengalaman kecil-mengecil semasa
Soekarno untuk jadi gabus apung dalam menyudutkan orang- orang semacam saya. Titik
294
tolaknya tetap andaian. Semua tidak ada yang mencoba menghadapi saya secara berdepan,
dari dulu sampai detik saya menulis ini.
Dalam pada itu yang dirampas dari saya sampai detik ini belum dikembalikan. Rumah saya
diduduki oleh militer, dari sejak berpangkat kapten sampai mayor atau letkol, bahkan bagian
belakang disewakan pada orang lain. Itu pun hanya rumah kampung, namun punya nilai
spiritual bagi keluarga dan saya sendiri. Barangkali ada gunanya saya ceritakan.
Saya mendirikannya pada tahun 1958 bulan-bulan tua. pajak Honoraria seorang pengarang
adalah 15 persen, langsung dipotong oleh penerbit. Waktu saya menyiarkan protes tentang
tingginya pajak yang 15 persen, tidak lebih dari seminggu kemudian perdana menteri Djuanda
menaikkannya jadi 20 persen, sama dengan pajak lotre. Maka juga pendirian rumah itu melalui
ancang-ancang panjang. Kumpul-kumpul dulu kayu dari meter kubik pertama hingga sampai
sepuluh dst. Saya merencanakan rumah berdinding bambu sesuai dengan kekuatan. Sepeda
motor saya, BSA 500cc.--sepeda motor militer sebenarnya--juga dikurbankan. Tiba-tiba mertua
lelaki datang dan mengecam: mengapa mesti bambu? Itu terlalu mahal biayanya. Menyusul
perintah: tembok! Ternyata bukan asal perintah. Ia tinggalkan pada saya dua puluh ribu rupiah.
Kalau sudah ada, kembalikan, katanya lagi. Maka jadilah rumah tembok yang terbagus di
seluruh gang. Ternyata tidak sampai di situ ceritanya. Rekan-rekan yang tidak bisa mengerti,
seorang pengarang bisa mendirikan rumah, mulai dengan desas-desusnya. Satu pihak
mengatakan, saya telah kena sogok Rusia. ada yang mengatakan RRT. Teman-teman yang
dekat mengatakan saya telah kena sogok Amerika. Orang tetap tidak percaya seorang
pengarang bisa membangun rumah sendiri. Mereka lupa, dalam Bukan Pasar Malam telah saya
janjikan pada ayah saya untuk memperbaiki rumah, dalam tahun pertama saya keluar dari
penjara Belanda. yang saya lakukan lebih daripada apa yang saya janjikan, saya bangun baru,
dan pada masanya adalah rumah terbagus di seluruh kompleks, sekali pun hanya berdinding
kayu jati. (Sekarang memang jati lebih mahal dari tembok).
Kami sempat meninggali rumah kampung itu hanya sampai tahun 1965 atau 7 tahun. Orang
yang tidak berhak justru selama hampir 20 tahun. Iseng-iseng pernah saya tanyakan; jawabnya
seenaknya: apa bisa membuktikan rumah itu bukan pemberian partai? Habis sampai di situ.
Pada yang lain mendapat jawaban: jual saja rumah itu, separohnya berikan pada penghuninya.
Dan saya bilang: saya tidak ada prasangka orang yang menghuni rumah saya itu dari golongan
pelacur. Walhasil sampai sekarang tetap begitu saja.
Baik, kaum manikebuis masih belum puas dengan segala yang saya alami. Saya sama sekali
tidak punya sedikitpun perasaan dendam. Setiap dan semua pengala-man indrawi mau pun
jiwai, bukan hanya sekedar modal, malah menjadi fondasi bagi seorang pengarang.
295
Apa yang dialamai A.K.M. semasa Soekarno masih belum apa-apa dibandingkan yang saya
alami. Peristiwa Kemayoran? Pada 1958 sepulang dari Konferensi Pengarang A - A di Tasykent
lewat Tiongkok saya tidak diperkenankan lewat Hongkong dan terpaksa lewat Mandalay,
Burma. Artinya, dengan kesulitan tak terduga. Sampai di Rangoon pihak Kedutaan RI tidak mau
membantu memecahkan kesulitan saya. Apa boleh buat, tidak ada jalan bagi saya daripada
mengancam akan memanggil para wartawan Rangoon dan Jawatan Imigrasi Burma,
memberikan pernyataan, bahwa ada kedutaan yang tak mau mengurus warganegaranya yang
terdampar. Mereka terpaksa mengurus saya sampai tiba di Jakarta. Dari Rangoon kemudian
datang surat yang menuntut macam-macam. Saya hanya menjawab dengan caci-maki dengan
tembusan pada menteri luarnegeri, waktu itu Dr. Subandrio. Saya harap surat itu masih
tersimpan dalam arsip. Peristiwa itu terjadi berdekatan dengan hari saya menghadap Bung
Karno untuk menyerahkan dokumen keputusan Konferensi di samping juga bingkisan dari
Ketua Dewan Menteri Uzbekistan, Syaraf Rasyidov, kepadanya, disaksikan oleh beberapa
orang, diantara-nya Menteri Hanafi. Tak terduga dalam pertemuan itu terjadi sedikit pertikaian
dengan Bung Karno. Ia memberi saya suatu instruksi dan saya menolak, karena sebagai
pengarang saya punya porsi kerja sendiri. Pertikaian ini kemudian melarut, yang saya anggap
wajar, sampai akhirnya atas perintah Nasution saya ditahan di RTM, kemudian ke tempat lebih
keras di Cipinang, karena menentang PP 10. Hampir satu tahun dalam penjara, kemudian
dilepaskan dalam satu rombongan dan dengan satu nafas dengan para pemberontak PRRIPermesta sebagai hadiah terbebasnya Irian Barat. Pada hal tidak lebih dari 3 tahun sebelumnya
Nasution itu-itu juga memberi saya surat penghargaan no. 0002 untuk bantuan pada angkatan
perang dalam melawan PRRI di SumBar.
Penahanan 1960-61 itu merupakan pukulan pahit bagi saya. Bukan saya yang melakukan
adalah kekuasaan Pemerintah saya sendiri. Juga sama sekali tidak ada setitik pun keadilan di
dalamnya. Saya merasa hanya menuliskan apa yang saya anggap saya ketahui, dan
berdasarkan padanya pendapat saya sendiri. Dengan nama jelas, lengkap. Alamat saya pun
jelas, bukan seekor keong yang setiap waktu dapat memindahkan rumahnya. Saya
membutuhkan pengadilan. Dan itu tidak diberikan kepada saya. Dalam isolasi ketat di Cipinang
saya kirimkan surat pada Bung Karno melalui Ngadino, kemudian mengganti nama jadi
Armunanto, kepala redaksi Bintang Timur dan anggota DPA. Surat itu bertujuan untuk
mendapat hukuman yang justified, entah sebagai pengacau, entahlah sebagai penipu. Setidaktidaknya bukan yang seperti sekarang. Ia tidak meneruskannya, dengan alasan ada orang lain
menyimpan tembusannya. Orang itu adalah H.B. Jassin. Saya yakin surat itu masih tersimpan.
Dapat Bung bandingkan, bahwa andaian kesulitan semasa Soekarno masih tidak berarti
dengan kenyataan kesulitan yang saya sendiri alami.
296
Saya heran, bahwa di dalam halaman 2 A.K.M. menyatakan keheranannya mengapa namanya
dicoret dari daftar pencalonan Front Nasional. Terasa lucu dan naif, selama ia sendiri tidak
punya kekuasaan untuk menentukannya. Katanya Lekra membakari bukunya? Saya baru tahu
dari halaman itu. Mungkin Boen S. Oemarjati yang berhak memberi penjelasan.
Di halaman 3 alinea pertama terdapat kisah yang mengagumkan tentang Taslim Ali. Saya
sering datang ke tempatnya di gedung perusahaan Intrabu. Jadi dalam gambaran saya orang
yang "selalu menterornya dengan meletakkan pestol di atas meja" -nya itu adalah saya.
Pramoedya Ananta Toer. Soalnya surat Goenawan Muhammad tertanggal 28 November 1980
pada Sumartana mengatakan (hlm.3): "Achdiat pernah bercerita, bahwa Pram pernah datang
ke Balai Pustaka dengan meletakkan pistol di meja." Kapan itu terjadi? Pestol siapa? Siapa
yang saya temui dan saya teror? Kiranya, kalau Goenawan tak berandai- andai, A.K.M. sendiri
yang berhak menjawab. Dalam alam kemerdekaan nasional memang pernah saya bersenjata
api. Suatu hari dalam 1958. Bukan pestol, tapi parabellum. Tempat: dalam sebuah jeep dalam
perjalanan antara Bayah dengan Cikotok. Saksi: seorang letnan angkatan darat. Ia
membutuhkan bantuan saya untuk menyelidiki benar- tidaknya ada boulyon-boulyon emas
disembunyikan oleh Belanda sebelum meninggalkan Jawa pada 1942 di dasar tambang mas
Cikotok, dengan kesimpulan, bahwa semua itu omong kosong belaka. Mengapa bersenjata?
Karena sebelumnya sebuah kendaraan umum telah dicegat DI, dibakar. Dan bangkainya masih
nongkrong di pinggir jalan. Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata
daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit,
bahkan detik. Dan saya pun tidak pernah bisa diyakinkan ada orang datang untuk menteror
Taslim Ali. Apa yang bisa didapatkan dari dia? Sebaiknya A.K.M. menyebut jelas siapa nama
penteror itu.
Di halaman 5 tulisan A.K.M. alinea terbawah ditulis bahwa: "di depan rumahnya saya sempat
menyusukan selembar 10 ribu rupiah ke dalam kepalannya. Dia agaknya begitu terharu,
sehingga nampak matanya basah tergenang," dan "saya tahu Pram tentu butuh duit ketika itu."
Memang agak janggal menampilkan saya saya semacam itu. Pada waktu itu saya tidak dapat
dikatakan dalam kesulitan keuangan. Segera setelah pulang dari Buru sejumlah bekas tahanan
Buru datang pada saya minta dibantu memecahkan kesulitan mereka mencari penghidupan.
Memang pihak gereja telah banyak membantu, dan saya menghormati dan menghargai jasanya
pada mereka dengan tulus. Tetapi selama status dan namanya bantuan barang tentu tidak
mencukupi kebutuhan apalagi untuk keluarganya. Jadi saya dirikan sebuah PT pemborong
bangunan, sebuah usaha yang bisa menampung banyak tenaga. Pada waktu A.K.M. datang ke
rumah telah 36 orang ditampung, sebagian berkeluarga. Tidak kurang dari 5 rumah dikerjakan,
di antara 2 rumah mewah. Ada di antara mereka menumpang ada saya. Usaha ini telah dapat
memberi hidup (terakhir) 60 orang dengan keluarganya. Tapi kesulitan itu?
297
Beberapa kali datang intel, yang dengan lisan mengatakan, rumah saya jadi tempat berkumpul
tapol. Beberapa orang dari kantor kotapraja memberi ultimatum untuk menyediakan uang
sekian ratus ribu dalam sekian hari. Seseorang datang dan mengibar-ngibarkan kartu
identitasnya sebagai intel Hankam. Seorang datang mengaku sebagai pegawai sospol Depdag
dengan tambahan keterangan, teman-temannya orang Batak banyak, dan orang tidak
selamanya waspada. Tak akan saya katakan apa maksud kedatangan mereka. Itu yang datang
dari luar. Kesulitan dari dalam pun tak kalah banyaknya. Teman-teman bekas tapol rata-rata
sudah surut tenaganya karena tua. Mereka belum terbiasa dengan teknik baru pembangunan
rumah sekarang. Mereka tidak terbiasa dengan material baru dan pengerjaannya. Di samping
itu kerjapaksa berbelas tahun tanpa imbalan tanpa penghargaan, setiap hari terancam
hukuman, telah berhasil merusakkan mental sebagian dari mereka. Dalam pekerjaan yang
mereka hadapi mereka tidak berbekal ketrampilan vak. Sedang impian berbelas tahun dalam
posisinya sebagai budak-budak Firaun adalah terlalu indah. Seorang yang di Buru mempunyai
setiakawan begitu tinggi dan diangkat jadi kepala kerja, kemudian lari membawa uang, dan
bukan sedikit. Seorang yang relatif masih muda, suatu malam datang dengan membawa truk
dan mengangkuti material bangunan yang telah tersedia dan menjualnya di tempat lain dengan
harga rendah untuk dirinya sendiri. Seorang lagi yang juga tergolong muda, sama sekali tanpa
ketrampilan tukang, mendadak mengorganisasi pemogokan dengan tuntutan berlipat dari hasil
kerjanya. Pick-up Luv Chevrolet, sumbangan teman- teman Savitri, dalam 3 bulan sudah
berban gundul dan penyok-penyok.
Pukulan lain yang tak kurang menyulitkan datang. Memang sudah diselesaikan sekitar 8 rumah
dengan keadaan seperti itu. Kemudian dua di antara yang dibangunkan rumahnya tidak mau
melunasi kewajibannya, mengetahui kedudukan hukum kami lemah. Berkali-kali Savitri minta
pertanggungjawaban atas bantuan teman-temannya yang diberikan. Saya tak mampu lakukan
itu. Tidak lain dari saya sendiri yang akan merasa malu, dan semua harus saya telan sendiri.
Akhirnya saya perintahkan pembubaran PT itu tanpa pernah memberikan pertanggungjawaban
pada teman- teman Savitri.
Nah Bung, seperti itu situasi waktu terima selembar sepuluh ribu itu, yang sama sekali tidak
pernah saya kira akan dipergunakan oleh A.K.M. untuk memperindah gambaran tentang
dirinya. Semua kebaikan tidak akan sia-sia memang bila tidak berpamrih. Dengan pamrih pun
tentu saja tidak mengapa, sejauh setiap tindak manusia yang sadar pasti mempunyai motif.
Tetapi bila pemberian dipergunakan sebagai investasi, yang setiap waktu dikutip ribanya,
sekalipun hanya riba moril, itu memang betul-betul investasi, bukan pemberian. Dan siapa di
dunia ini tidak pernah menerima? Waktu saya baru datang dari Buru dan sejumlah orang yang
datang hanya untuk bersumbang. Jumlahnya dari 60 sampai 100 ribu, di antaranya 3 mesin
tulis, yang tiga-tiganya langsung diteruskan untuk tapol yang lebih memerlukan. Demikian juga
halnya dengan uang pemberian. Saya pribadi praktis tidak ada uang dalam kantong. Itu akan
kelihatan bila berada di luar rumah. Di Buru pun ada sejumlah pemberi, dari lingkungan dalam
dan luar tapol, dari satu sampai sepuluh ribu. Dalam keadaan sulit di Buru pun orang normal
298
tidak bisa tinggal jadi penerima saja. Terutama pihak gereja Katholik pernah memberi keperluan
tulis-menulis saya setiap bulan. Bahkan pernah saya terima 2 kali berturut satu kardus besar
berisi kacamata, dan pakaian untuk saya pribadi. (Sampai sekarang saya simpan.) Maksud
saya hanya untuk menerangkan, pada bangsa-bangsa terkebelakang, atau menurut redaksi
baru bangsa-bangsa yang berkembang, memberi adalah keluarbiasaan dan menerima adalah
kebiasaan yang perlu dinyatakan.
Jangan dikira saya menulis demikian dengan emosi. Tidak. Suatu dialog bagi saya tetap lebih
menyenangkan daripada monolog. Setidak-tidaknya dialog adalah pencerminan jiwa
demokratis. Tetapi ucapan all forgiven and forgotten atau we've forgiven but not forgotten,
benar - benar produk megalomaniak yang disebabkan mendadak bisa melesat dari kompleks
inferiornya, bukan karena kekuatan dalam, tapi luar dirinya.
Tentang Pancasila di hlm. 6, saya takkan banyak bicara kecuali menyarankan untuk membukabuka kembali pers Indonesia semasa Soekarno, khususnya sekitar sebab mengapa presiden RI
membubarkan konstituante itu. Golongan mana yang menolak dan mana yang menerima
Pancasila sebelum dapat interpretasi atau pun revisi, formal ataupun non- formal.
Dalam hubungan ini saya teringat pada ucapan Nyoto, kalau tidak salah di alun-alun Klaten
pada tahun 1964, bahwa nampak ada kecenderungan pada suatu golongan masyarakat (saya
takkan mungkin mampu mereproduksi redaksinya) yang membaca kalimat-kalimat Pancasila
menjadi: Satu, Ketuhanan yang Maha Esa; Dua, Ketuhanan yang Maha Esa; Tiga, Ketuhanan
yang Maha Esa; Empat, Ketuhanan yang Maha Esa; dan Lima, Ketuhanan yang Maha Esa. Dia
tidak dalam keadaan bergurau.
Selama 14 tahun dalam tahanan ucapan Nyoto bukan saja menjadi kebenaran, lebih dari itu.
Dakwah-dakwah yang diberikan, atau lebih tepatnya dengan istilah orde baru santiaji, orang
tidak menyinggung sila-sila lain sesudah sila pertama, kalau menyinggung pun hanya sekedar
penyumbat botol kosong: beragama dan tidak beragama berarti sembahyang. Tidak
bersembahyang berarti tidak pancasilais, bisa juga anti-pancasila. Ya, buntut panjang itu
rupanya diperlukan untuk menter-jemahkan alam pikiran formalis Pribumi Indonesia, tidak
mampu membebaskan diri dari lambang-lambang, upacara, hari peringatan, pangkat dan
tanda-tandanya--dan bagi suku Jawa cukup lengkap di dideretkan dalam sastra wayang.
Berdasarkan pengalaman sendiri saya dapat katakan: Revolusi Indonesia tidak digerakkan oleh
Pancasila; ia digerakkan oleh patriotisme dan nasionalisme. Baru pada 1946 saya pernah
299
mendapat tugas untuk memberi penerangan tentang Pancasila dan PBB kepada pasukan.
Selanjutnya tetap tidak ada pertautan antara Pancasila dengan Revolusi.
Saya menghormati pandangan A.K.M. tentang Pancasila yang ia yakini, sekali pun dengan
Pancasila itu juga orang- orang sejenis kami di-buru-kan sampai 10 tahun, dan A.K.M. tidak
pernah melakukan sesuatu protes. Dan pertanyaan kemudian, apakah ia tetap berpandangan
demikian--artinya tak perlu melaksanakannya dalam praktek--pada waktu kepentingan dan
keselamatan jiwanya terancam? Bicara di lingkungan aman memang lebih mudah untuk
siapapun, dan: tanpa pembuktian. Dalam hubungan Pancasila dengan demokrasi barat di hlm.
7 sebagai pesan A.K.M. pada rekan-rekannya sarjana Australia saya mempunyai kisah.
Pada 1984, Mr. Moh. Roem terkena serangan jantung dan dirawat di RSCM. Seorang dokter
menjemput saya, mengatakan, Pak Roem menginginkan kedatangan saya. Saya tak pernah
mengkaji apakah itu keinginan Pak Roem atau ambisi si dokter itu saja. Langsung saya
berangkat bersama dengannya. Di ruang itu Pak Roem tidur dalam keadaan masih
dihubungkan pada alat pengontrol jantung. Penjemput saya langsung menemani perawat
sehingga hanya kami berdua di situ tanpa saksi. Menghadapi orang dalam keadaan gawat tentu
saja saya tidak bicara apa-apa. hanya beliau yang bicara sampai lelah, sebagai pertanda saya
harus mengundurkan diri untuk menghemat tenaga yang beliau perlukan sendiri. Terlalu banyak
yang disampaikannya pada saya untuk orang dalam keadaan gawat seperti itu. Satu hal yang
berhubungan dengan Pancasila dan demokrasi Barat, dan beliau sebagai ahli hukum, adalah:
50 + 1? Ya, biar begitu perlu dipertimbangkan dengan adil, tidak seperti selama ini dinilai.
Dalam sejarah kita telah dibuktikan, bahwa kesatuan Indonesia terwujud hanya karena
demokrasi parlementer Barat.
Nah, Bung Keith, inti persoalan dengan kaum manikebu cukup jelas: saya menggunakan hak
saya sebagai warganegara Indonesia, hak yang juga ada pada kaum manikebu. Omong kosong
bila dikatakan pada waktu itu mereka tak punya media untuk menerbitkan sanggahan. Waktu
sekarang, waktu secara formal hak sanggah melalui mass media tidak ada, saya tetap
menyanggah dengan berbagai cara yang mungkin, kalau memang ada yang perlu disanggah.
Sedang ucapan Pak Roem tsb., ternyata adalah pesan politik terakhir. Beberapa minggu
kemudian beliau meninggal dunia.
Saya belum selesai. Masih ada satu hal yang perlu disampaikan, hanya di luar hubungan
dengan surat terbuka Achdiat K. Mihardja.
300
Tak lama setelah pertemuan kita terakhir saya menerima surat dari M.L., yang intinya tepat
suatu jawaban terhadap saya. Tentu saja saya mendapat kesan kuat, pembicaraan kita Bung
teruskan padanya. Terima kasih, bahwa hal-hal yang tidak jelas sudah dibikin terang olehnya.
Untuk tidak keliru membikin estimate tentang saya dalam persoalan khusus ataupun umum ada
manfaatnya saya sampaikan bahwa saya menyetujui kehidupan bipoler. Saya membenarkan
adanya dua superpower, bukan saja sebagai kenyataan, juga sebagai pernyataan makro nurani
politik ummat manusia. Kalau hanya ada satu superpower akibatnya seluruh dunia akan jadi
bebeknya. Dua superpower mewakili kekuatan ya dan kekuatan tidak, kekuasaan dan opposisi.
Dalam tingkat nasional saya menyetujui kehidupan bipoler. Ada kekuasaan ada opposisi. Kalau
tidak, rakyat akan jadi bebek pengambang, dengan kepribadian tidak berkembang. Demokrasi
dengan opposisi adalah juga pernyataan makro nurani politik nasional. Dia adalah juga
pencerminan mikro nurani pribadi manusia, yang tindakannya ditentukan oleh ya atau tidak.
Hewan dengan serba naluri tak memerlukan nurani. Ia tak mengenal ya ataupun tidak.
Semoga surat kelewat panjang ini--lebih tepat usaha pendokumentasian diri sendiri--ada
manfaatnya. Saya tidak ada keberatan bila diperbanyak.
Salam pada semua yang saya kenal, juga pada M.L. dan Savitri yang pernah saya kecewakan.
Belakangan ini kesehatan saya agak membaik. Soalnya saya menggunakan ramuan tradisional
yang ternyata mengagumkan. Dengan pengamatan melalui tes urine dengan benedict kadar
gula yang positif dalam 24 jam dapat menjadi negatif, yang tidak dapat saya peroleh melalui
sport dan kerja badan selama 2 minggu.
Salam hangat untuk Bung sendiri dan keluarga.
Tetap
(tanda tangan).
Pramoedya Ananta Toer
Sumber: Demi Demokrasi 2 (1985)
301
Penahanan Pramoedya dan masa setelahnya
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa
Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai
tahanan politik tanpa proses pengadilan.
13 Oktober 1965 – Juli 1969
Juli 1969 – 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan
Agustus 1969 – 12 November 1979 di Pulau Buru
November – 21 Desember 1979 di Magelang
Pramoedya bersama rekan-rekan saat sedang melakukan kerja paksa di pulau Buru
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur
untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik
novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa,
dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada
zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya
sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada
para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi
pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat
pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih
dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan
negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur
selama kurang lebih 2 tahun.
302
Catatan Kronologis G30S/PKI (Oleh:Mayjen. Pranoto Reksosamodra)
Di bawah ini, adalah beberapa catatan ringkas dari saya, sekitar kejadian dan peristiwa,
baik yang saya alami maupun saya ketahui, sekitar gerakan G.30-S/PKI yang terjadi pada
tanggal 1 Oktober 1965. Singkatnya secara kronologis dan secara numerik dapat saya
tuliskan di sini sbb:
Pertama,
pada tanggal 1 Oktober 1965 k.l jam 06.00, pada saat saya sedang mandi, maka
datanglah Brigjen. Dr. Amino (Ka.Dep. Psychiatri RSGS Jakarta), yang dengan serta-merta
memberitahukan tentang diculiknya Letjen. A. Yani beserta beberapa Jenderal lainnya oleh
sepasukan bersenjata yang belum dikenal, sedangkan nasib para jendral yang diculik itu
pun belum diketahuinya. Sesudah mandi, maka saya segera berangkat ke MBAD dengan
mengenakan pakaian dinas lapangan.
Kedua,
setibanya di MBAD dan setelah menampung beberapa berita dari beberapa sumber, maka
oleh karena pada saat itu saya kebetulan sebagai Pati yang berpangkat tersenior, saya
segera memprakarsai untuk mengadakan rapat darurat di antara para Asisten MenPangad
atau wakilnya yang hadir pada saat itu di MBAD, yaitu para pejabat teras SUAD dari
Asisten MenPangad sampai Asisten VII MenPangad termasuk Irjen. PU dan pejabat
Sekretariat.
Setelah menampung beberapa laporan dan keterangan dari sumber yang dapat dipercaya,
maka rapat menyimpulkan: secara positif bahwa Letjen. A. Yani beserta lima orang
Jenderal lainnya telah diculik oleh sepasukan penculik, yang pada saat itu belum dapat
dikenal secara nyata.
Berikutnya, rapat memutuskan untuk menunjuk Mayjen. Soeharto Pangkostrad agar
bersedia mengisi pinpinan A.D yang terdapat vacum.
Melalui kurir khusus, maka keputusan rapat kita sampaikan kepada MayJen Soeharto di
MAKOSTRAD.
Ketiga,
pada hari itu juga tanggal 1 Oktober 1965 k.l jam 09.00 WIB saya menerima laporan dari
303
salah seorang Pamen (lupa namanya) dari MBAD yang mengatakan bahwa menurut
siaran RRI saya ditunjuk oleh Presiden/Panglima Tertinggi untuk menjabat sebagai
Caretaker Men/Pangad. Oleh karena baru merupakan berita, maka saya tetap tinggal di
Pos Komando MBAD untuk menunggu perintah lebih lanjut
Keempat,
bahwa pada hari itu juga tanggal 1 Oktober 1965 sesudah saya menerima berita tentang
penunjukan saya untuk menjabat sebagai Caretaker Men/Pangad, maka berturut-turut
datanglah utusan dari Presiden/Panglima Tertinggi yaitu:
1. Letkollnf. Ali Ebram, Kasi 1 Staf Resimen Cakrabirawa, yang datang k.l jam 09 .30
2. Brigjen TNI Soetardio, Jaksa Agung bersama Brigjen Soenarjo, Ka.Reserse Pusat
Kejaksaan Agung yang datang bersama
pada jam: 10.00 (k.l).
3. Kolonel KKO Bambang Widjanarka, Ajudan Presiden/ Pangti yang datang sekitar jam
12.00 WIB.
Oleh karena, saya sudah terlanjur masuk dalam hubungan komando taktis di bawah
Mayjen. Soeharto (vide titik 2 di atas), maka saya tidak dapat secara langsung menghadap
Presiden/ Pangti dengan tanpa seizin Mayjen Soeharto sebagai pengganti Pimpinan AD
saat itu. Atas dasar panggilan dari utusan-utusan Presiden/ Pangti tersebut di atas, saya
pun berusaha mendapatkan izin dari Mayjen Soeharto. Akan tetapi, Mayjen Soeharto
selalu melarang saya untuk menghadap Presiden/ Pangti dengan alasan bahwa dia
(Mayjen. Soeharto) tidak berani mereskir (menjamin, ed.) kemungkinan tambahnya korban
Jenderal lagi apabila dalam keadaan yang sekalut itu saya pergi menghadap Presiden.
Saya tetap menanti perintahnya untuk tinggal di MBAD.
Kelima,
pada malam hari berikutnya, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar 19.00 WIB saya
dipanggil oleh Jenderal Nasution, KASAB, di markas KOSTRAD untuk menghadiri rapat.
Kecuali Jenderal Nasution yang hadir, juga dihadiri oleh Mayjen Soeharto, Mayjen
Moersyid, Mayjen Satari, dan Brigjen. Oemar Wirahadikoesoemah.
Jenderal Nasution secara resmi menjelaskan, bahwa saya mulai ini hari ditunjuk oleh
Presiden/ Pangti untuk menjabat sebagai Caretaker Men/ Pangad yang selanjutnya
menanya kepada saya bagaimana pendapat saya secara pribadi.
Saya menjawab, bahwa sampai saat itu saya sendiri belumlah menerima
pengangkatannya secara resmi secara hitam di atas putih. Maka saya berpendapat agar
304
sementara waktu belum dikeluarkannya pengangkatan resmi (tertulis) dari Presiden/Pangti
entah nantinya kepada siapa di antara kita, lebih baik kita menaruh perhatian kita dalam
usaha menertibkan kembali keadaan yang darurat pada saat itu yang ditangani langsung
oleh Pangkostrad (Mayjen Soeharto) yang juga kita percayakan untuk sementara
menggantikan Pimpinan AD.
Akan tetapi, mengingat pada saat itu suara dan kesan dari media massa, yang memuat
berita-berita adanya usaha untuk menentang keputusan Presiden/Pangti, tentang
penunjukan saya sebagai Caretaker Men/Pangad, maka oleh Jenderal Nasution saya
diminta agar pada tanggal, 2 Oktober 1965 pagi mengadakan wawancara pers yang di
rencanakan di Senayan. Saya bersedia
Keenam,
tanggal 2 Oktober 1965, menjelang waktu saya akan mengadakan wawancara pers, maka
tiba-tiba Mayjen Soeharto dan saya mendapatkan panggilan dari Presiden/Pangti, yang
pada saat itu sudah meninggalkan pangkalan udara Halim Perdana Kusumah dan
menempati kembali di Istana Bogor. Oleh karena itu, maka wawancara pers terpaksa saya
tunda waktunya.
Mayjen Soeharto bersama saya dan Brigjen. Soedirgo (Dan Pomad) segera berangkat
menghadap Presiden/Pangti di Istana Bogor. Di istana Bogor diadakan rapat, di mana
hadir pula Bpk. Dr.Leimena, Bpk. Chaerul Saleh, Martadinata, Omardani, Cipto
Yudodihardjo, Moersyid, M. Yusuf dan beberapa menteri lagi.
Keputusan rapat: Presiden/Pangti memutuskan, bahwa Pimpinan A.D langsung dipegang
oleh Pangti, sedangkan Mayjen Soeharto diperintahkan untuk menjalani tugas operasi
militer, kemudian kepada saya ditugaskan sebagai Caretaker Men/ Pangad dalam urusan
sehari-hari (Dayly Duty).
Ketujuh,
tanggal 4 Oktober 1965, setelah melalui macam-macam proses kejadian, maka Mayjen.
Soeharto diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dengan membentuk susunan stafnya yang baru. Kedudukan saya menjadi Pati diperbantukan kepada KASAD
Kedelapan,
tanggal 16 Februari 1966, atas perintah dari KASAD Mayjen Soeharto, saya ditahan di
305
Blok P Kebayoran Baru Jakarta dan dituduh terlibat dalan G.30 S/PKI, dengan Surat
Perintah Penangkapan/Penahanan No. 37/2/1966, tanggal 16 Februari 1966.
Kesembilan,
dengan perubahan status penahanan dari Ketua Tim Pemeriksa Pusat, tersebut dalam
Surat Perintahnya No.Print. 018/TP /3/1966 saya mendapatkan perubahan penahanan
rumah mulai pada tanggal 7 Maret1966.
Kesepuluh,
Dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.Print. 212/TP /1/1969, tanggal 4
Maret 1969 saya kembali ditahan di Inrehab NIRBAYA Jakarta yang tetap dalam tuduhan
yang sama.
Kesebelas,
dengan Surat Keputusan Menteri HANKAM/Panglima ABRI yang tersebut dalam Surat
Keputusan No. Kep./E/645/1I/1970, tanggal 20 November 1970, yang ditanda tangani oleh
Jenderal M. Panggabean, saya mulai dikenakan skorsing dalam status saya sebagai
anggota AD, yang berikutnya pada bulan Januari 1970 saya sudah tidak menerima gaji
skorsing dan hak penerimaan lainnya lagi. Sedangkan Surat Pemberhentian ataupun
Pemecatan secara resmi dan keanggotaan AD ini pun sampai sekarang belum/ tidak
pernah saya terima.
Keduabelas,
atas dasar Surat Keputusan dari Panglima KOPKAMTIB yang tersebut dalam surat
No.SKEP /04/KOPKAM/I/1981, maka dalan pelaksanaannya oleh KA. TEPERPU tersebut
dalam Surat Perintahnya No. SPRIN,-481/1I/1981 TEPERPU, saya baru dibebaskan dari
tahanan pada tanggal16 Februari 1981.
Jadi kalau saya perhatikan tanggal, bulan dan tahun mulai dan berakhirnya saya
mengalami penahanan adalah selama waktu 15 (limabelas) tahun, tanpa kurang atau pun
lebih, yaitu dari tanggal16 Februari 1966 sampai pada tanggal16 Februari 1981.
Ketigabelas,
selama waktu saya ditahan, sepanjang waktu limabelas tahun itu, saya merasa belum
pernah mengalami pemeriksaan melalui proses dan pembuatan berita acara yang resmi.
Saya hanya menjalani interogasi secara lisan, yang di- lakukan oleh Tim Pemeriksa dari
306
TEPERPU pada tahun 1970. Sesudah itu saya tidak pernah diinterogasi lagi, sampai
saatnya saya dibebaskan pada 16 Februari 1981.
Keempatbelas,
untuk waktu berikutnya, maka apa, di mana, dan bagaimana yang dapat saya
perbuat/lakukan sebagai seorang yang tanpa berstatus, polos selagi telanjang tanpa hak
milik materi barang sedikit pun yang bernilai, yang memungkinkan untuk melanjutkan
amal- kebaktian saya pada Tanah Air dan Bangsa, yang pernah saya rintiskan dalam turut
serta mulai Perang Kemerdekaan 1945 yang tanpa absen itu? Segala penjuru lapangan
kerja tertutup untuk kehadiranku, justru aku dipandang sebagai orang yang beratribut
bekas tahanan G .30- S /PKI, bahkan mungkin menurut persepsi mereka, saya ini sebagai
"dedengkot" nya G.30-S/PKI dari segala aspek.
Saya harus berani menelan pil, yang sepahit ini, dan harus pula berani membaca
kenyataan dalam hidup dan penghidupan saya yang telah menjadi suratan dan takdir llahi
kepada saya sebagai umatnya. Manusia tak kuasa mengelak dari segala apa, yang telah
dikehendakkan-Nya dan digariskan-Nya, justru DIA -lah sebagai SANG MAHA DALANG,
yang memperagakan umatnya sebagai anak wayang di pentas pakeliran kehidupan dunia
ini.
Saya harus mengetahui diri, di tempat, di saat dan dalam keadaan apa dan bagaimana
saya ini. Saya harus dapat menguasai dan membunuh waktu, betapapun kegiatan saya
sehari hari itu saya utamakan lebih dahulu demi kepentingan rumah tangga dan keluarga
yang masih tersisa di rumah.
Terus terang saja kalau saya merasa malas dan enggan untuk berkunjung dan
berkomunikasi dengan bekas rekan perjuangan, teman atau pun kenalan yang dahulunya
saya anggap dekat/ akrab. Justru bagi mereka, yang tidak mengetahui ujung-pangkal
dalam duduk perkara, saya tiada setapak pun mau maju mendekat dan bertatap muka
secara hati ke hati. Kebanyakan lalu pergi menyelinap dan menghindar, yang mungkin ada
merasa takut disorot, yang akibatnya dapat merugikan diri.
Namun tidak sedikit pula, bekas rekan-rekan seperjuangan dan teman/kenalan, yang
masih mau berkunjung ke rumah saya, sungguh pun tempat tinggal saya sekarang ini di
pinggiran kota, yang sebagian perjalanannya harus ditempuh dengan jalan kaki. Di
antaranya saya merasa terkesan dengan kunjungan Letjen(P) Soedirman anggota Dewan
Pertimbangan Agung, yang pada suatu malam buta berkenan meluangkan kakinya, untuk
307
mengunjungi saya di rumah Kramatjati yang sesempit itu.
Saat pertama bersua kembali dengan saya, sedikitpun saya tidak melihat adanya
perubahan wajah, sebagaimana wajah cerah amikal selagi sikapnya yang
brotherly/fatherly, sebagaimana yang mula-mula saya mengenal beliau sebagai rekan
Komandan Resimen yang tersenior. Beliau mengutamakan rasa kemanusiaannya dari
pada rasa sebagai perwira tingginya. Beliau terkenal rajin berkunjung kepada keluarga
anak buah, yang suaminya sedang mengalami penahanan, atau pun yang ditinggal
bertugas operasi oleh suaminya. Beliau pun tidak ada rasa ragu mengunjungi bekas
bawahannya yang berada dalam tahanan. Toleransi terhadap penderitaan teman atau pun
anak buah bagi beliau tidak pernah menutup mata dan telinga, lepas dari persoalan atau
pun perkara, yang sedang mereka pertanggung-jawabkan masing-masing.
Sikap yang layak terpuji dan dihargai oleh khalayak orang timur, kalau orang itu dapat
berteladan pada panutan sikap dan sifat, sebagaimana yang dimiliki Letjen(P) Soedirman
itu. Maka kunjungan yang semacam itulah yang selalu dapat membasahi, ibarat embun
yang menyiram hati saya.
Jakarta, 1 April 1989
Pembuat catatan kronologis,
Ttd.
Pranoto Reksosamodra
Sumber dari Buku :
Memoar Mayor Jenderal Raden Pranoto Reksosamodra
BAGIAN KE ENAMBELAS
Halaman 245 sampai dengan 255
308
Hardoyo
G 30 S PKI Tetap Misteri
Kalau kita bayangkan bahwa tahun-tahun ini sedang terjadi perubahan politik yang bersejarah
di Indonesia. Sebetulnya sejak kemerdekaan, ini merupakan kedua kalinya kita menemui titik
balik yang begini drastis. Perubahan sekarang mudah-mudahan tidak akan mengundang
pertumpahan darah seperti yang kita alami sebelumnya. Pada perubahan drastis yang terjadi
satu generasi yang lalu yaitu pada peristiwa gerakan Gerakan 30 September, terjadi
pertumbahan darah yang luar biasa besarnya, bukan saja untuk ukuran Indonesia tapi juga
untuk dunia. Perkiraan jumlah korban yang jatuh antara 100 ribu sampai sejuta, tapi ada orang
bilang sekitar 500 ribu, tidak pernah akan ada yang tahu. Karena bagaimana pembunuhan itu
terjadi adalah diluar lampu sorot politik apalagi lampu sorot pers. Kalau peristiwa G30S dan
munculnya pemerintah Suharto sesudahnya, dibayangkan sebagai suatu pertentangan antara
rezim Sukarno yang menaungi partai komunis, dengan pemerintah baru yang dimotori oleh
Angkatan Darat. Pada waktu itu masyarakat Indonesia dan internasional menganggap bahwa
korban-korban yang jatuh sebagian besar oleh emosi masyarakat yang melawan kegiatan
orang-orang komunis, orang-orang PKI yang opresif, yang keras. Akan tetapi pandangan
sejarah yang lahir sesudahnya dan sekarang, mempertanyakan juga apakah memang demikian
hitam-putihnya. Mungkin juga suatu unsur yang ada dibelakang pembunuhan itu untuk motifmotif politik. Itu kita akan tinggalkan pada ahli sejarah, tapi korban manusianya yang ratusan
ribu mati dibunuh, ribuan orang tahanan politik, mulai dari yang ringan seperti diambil hak-hak
politiknya, sampai pada yang masuk pembuangan di Pulau Buru, masuk penjara, dan yang
kabur atau diasingkan keluar negeri. Dengan pergantian rezim menjadi pemerintah yang lebih
309
manusiawi, berangsur-angsur para pihak yang bersimpati kepada golongan kiri diijinkan untuk
muncul kembali. Mereka muncul dari tahanan, mulai dari sastrawan terkemuka seperti
Pramoedya Ananta Toer sampai pada tokoh-tokoh politik. Dengan wawasan yang tertempa
oleh pengasingan dan penderitaan sekian puluh tahun, tamu Perpektif Baru kita sekarang
adalah Bapak Hardoyo yang pada waktu kejadian G30S sebagai Ketua Umum Consentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), yang waktu itu sangat disegani dan ditakuti oleh pihakpihak yang tidak senang pada komunis. Karena CGMI dianggap sebagai onderbow atau
organisasi dalam lingkungan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sekarang setelah ditahan sekian
lama, pak Hardoyo akan menceritakan langsung pengalamannya kepada pemandu Perspektif
Baru, Wimar Witoelar.
Supaya generasi sekarang mengerti, Bapak itu ketua umum CGMI (Consentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia), waktu itu sebesar apa dan bagaimana liputan organisasi Bapak
dan apa hubungannya dengan Partai Komunis Indonesia?
CGMI lahir tahun 56 dari fusi CMB Bandung, CMY Yogya, dan GMI Bogor. Ketua pertamanya
Kapten Ir. Agus Wiyono yang nanti menjadi Mayor Jendral dan Sekjen Departemen
Perindustrian. Saya ketua umum pusat ketiga tahun 60-63 tapi justru itu tahun yang amat berat.
Karena waktu itu dalam demokrasi terpimpin ada nasakomisasi. Pada tahun 64, CGMI
ditantang, kalau CGMI tidak menyatakan kom dalam dewan-dewan mahasiswa tidak boleh
duduk sebagai Dewan, karena dewan mahasiswa harus nasakom, katanya HMI dan
sebagainya. Akhirnya CGMI tanya sama PKI, bolehkah CGMI menyatakan dirinya kom? Ya,
nggak bisa, kamu komnya siapa ? wong CGMI macam-macam. Akhirnya ada kompromi, tahun
64 saya sudah tidak ketua umum lagi CGMI menjadi Organisasi Mahasiswa Komunis dan
Progresif Non Komunis.
Jadi tidak didirikan oleh PKI dan waktu berdiri tidak ada hubungannya dengan PKI. Tapi
ideologinya apakah memang komunisme?
Tidak ada hubungannya dengan PKI. CGMI waktu berdiri ideologinya tidak seneng ada partaipartai, malah mendukung Bung Karno untuk menyederhanakan partai-partai. Barangkali bung
Wimar masih ingat di Bandung CGMI seperti Soekarno Yugen. Tahun 64 lain lagi. Untuk CGMI
bisa berkembang harus menerima mewakili kom padahal sebenarnya dalam CGMI yang
disebut kom itu mungkin anak-anaknya PKI yang mungkin tidak lebih dari 2 persen. Anggota
CGMI tahun 64 sebanyak 18 ribu.
310
Pada waktu ditahan, Bapak menjadi anggota DPRGR mewakili didalam fraksi?
Saya tahun 60 diangkat oleh bung Karno ketika pembaharuan DPR ke DPRD, saya mewakili
fraksi Golongan Karya Pemuda.
Fraksi Golkar ya, lucu juga. Tapi tentu keadaannya sangat berbeda. Kemudian Bapak
ditahan kapan, berapa lama dan tuduhannya apa?
Saya ditahan mulai 10 November 66 dan bebas tanggal 9 Desember 79, dalam tuduhan yang
disebut berindikasi G 30 S PKI. Jadi ditahan sesudah Super Semar.
Bapak tidak terlibat dalam G30S?
Tidak, dan saya tidak pernah diadili.
Jadi pada waktu kegiatan mahasiswa yang melawan Sukarno, kegiatan Bapak di CGMI
apa saja?
Kalau waktu melawan Sukarno tahun 65-66, saya sembunyi karena sudah mulai dikejar-kejar.
Menyelamatkan diri.
Apa Bapak mempunyai pengalaman dengan orang-orang yang setelah dikejar-kejar
kemudian ditangkap atau dibunuh, untuk mengungkap misteri sekitar pembunuhan
tahun 66. Apa Bapak punya pengalaman pribadi?
Nggak ada cuma saya kan dikumpulkan dalam camp dengan bermacam-macam orang. Jadi
saya bisa cerita macam-macam, saya mendengar.
Campnya di mana pak Hardoyo?
Saya pertama ditangkap dimasukan Kodim Kalong di Jakarta Pusat dekat Air Mancur,
kemudian dipindahkan ke RTM, rumah tahanan militer, di Salemba sebentar, kembali lagi RTM.
Jadi kalau diurut di RTM 8,5 tahun, di Nirbaya 1,5 tahun, selebihnya masa terakhir di Salemba.
Di RTM itu kan ada bermacam-macam orang yang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan PKI atau komunisme, bahkan bukan orang kiri. Bahkan ada yang sekarang
masuk pemerintahan. Bisa anda sebut beberapa rekan anda di RTM waktu itu?
311
Saya bersyukur bahwa saya bisa bertemu dengan segala macam teman dari semua kalangan,
termasuk ketika Malari masuk saya ketemu Marsillam, Rahman Toleng, Sjahril, Hariman
Siregar. Bahkan juga suami Megawati, Taufik Kemas.
Terus anda berdiskusi politik nggak waktu itu?
Tentu, itu kan kesempatan sangat bagus.
Apa yang anda bisa ceritakan secara singkat mengenai pandangan politik anda yang
latar belakang CGMI dengan dengan orang-orang seperti itu dari mulai Hariman Siregar
sampai Sjahril, Marsillam segala macam. Persamaan-perbedaannya dimana?
Saya kira pada waktu jaman bung Karno, kami semua percaya bahwa sosialisme Indonesia
akan terjadi di Indonesia. Tapi tiba-tiba terjadi seperti itu kan seperti petir datang dan berubah
segalanya. Kemudian kami lihat dan mendengar apa dan kenapa ada G30S, apa itu G30S,
sampai hari ini bagi saya sesungguhnya masih misteri. Itu apa ?
Jadi G30S itu sebagai suatu peristiwa tidak diketahui oleh seorang aktivis CGMI seperti
Bapak, seorang anggota DPR, G30S itu terpisah dari kegiatan CGMI?
Terpisah. Kami juga pernah mendengar semacam situasi politik katanya Dewan Jendral mau
kudeta. Itu saja. Tapi tidak pernah ada satu persiapan bagaimana melawan kudeta, saya juga
heran. Kalau PKI mau melawan kudeta, mestinya kan buruhnya dikerahkan, taninya
dikerahkan, tapi itu tidak ada. Sepertinya orang antri mati saja.
Bapak kenal orang-orang yang tokoh PKI nggak?
Kenal banyak.
Apakah mereka terlibat G30S sebelum terjadinya?
Didalam penjara saya bertanya pada mereka dan hampir semuanya tidak tahu. Barangkali yang
tahu cuma yang disebut biro khusus.
Biro khusus semacam biro politik dan orang dalam sekali ya?
312
Biro khusus itu seperti anak buahnya Samlah (maksudnya Sam Kamaruzaman). Itulah yang
sampai sekarang juga menjadi misteri untuk kami, karena nggak pernah melihat wajah itu.
Malah ada yang bilang, dari teman-teman PKI itulah partai in the party.
Sam Kamaruzaman yang misterius itu. Bapak 13 tahun dipenjara kemudian keluar,
bagaimana kondisi dikeluarkannya Bapak, apakah setelah keluar bisa kembali aktif
dalam masyarakat?
Keluarga saya kan ketakutan semua. Jadi ketika saya didalam penjara ada untung masih ada
ibu saya dan beberapa adik saya yang tidak takut, masih mengirim makanan. Kalau nggak ada
makanan, saya mesti hidup dari makanan penjara yang sangat tipis. Karena itu waktu temanteman Malari datang ya kami merasa untung. Banyak makanan dari teman-teman Malari. Kami
jadi lebih sehat dan banyak membantu kami memang.
Orang-orang seperti Sjahril, Marsillam, itu adalah aktivis bahkan pemimpin dalam
gerakan mahasiswa angkatan 66, dan lawannya adalah rejim Sukarno, waktu di penjara
anda merasa diri sebagai lawan politik mereka atau tidak?
Saya kira tidak. Pak Badio ketika saya masih SD, pernah bicara di Tulung Agung, waktu itu
saya tanya Pak Badio kenapa begini ? Kita ini hanya menjadi korban perang dingin saja, diadu
domba seperti itu. Itu kata-kata beliau yang sampai sekarang saya pikirkan.
Perang dingin dalam arti konteks internasional antara negara Barat dan negara Komunis.
Kemudian pak Hardoyo keluar dari tahanan, masuk dalam masyarakat yang sudah dalam
tahun kesekian pemerintah Suharto. Apa kesan-kesan waktu itu?
Kami tetap gagap, sebabnya takut, hidup ini bagaimana? Yang aneh, saat dibebaskan kami
teken pernyataan 7 pasal, nggak boleh masuk partai, nggak boleh ini, nggak boleh itu. Juga ada
9 pekerjaan yang tertutup bagi kami termasuk menjadi wartawan, jadi pendeta, jadi pengacara,
guru, lalu kami juga meneken tidak akan menuntut ganti rugi pada pemerintah. Pikiran saya
waktu itu yang penting saya bebas sebagai manusia biasa dan cari hidup. Saya segera ditolong
oleh teman-teman seperti Aristides Katopo, Satyagraha Hoerip, yang memberikan saya
pekerjaan untuk terjemahan. Kadang-kadang saya juga menjadi editor, selebihnya saya juga
dibantu oleh adik-adik saya sambil masih marah-marah, kamu sudah ikut politik ya? Diam saja
jangan ikut-ikut politik nanti keluarga susah. Saya peduli semua itu.
313
Sekarang bagaimana pendapat pak Hardoyo mengenai politik ini atau kalau ditarik cepat
sekali dari sejak keluar jaman Suharto sampai kepada jatuhnya Suharto, bagaimana
pandangan pak Hardoyo berubah?
Saya kaget, bagaimana kok Suharto bisa jatuh. Saya kaget sekali. Terlalu cepat perkembangan
itu menurut logika saya.
Berapa banyak dari hak-hak warga negara pak Hardoyo masih dicabut sampai selesai
rejim Suharto, apa yang masih tersisa atau sebagai cap pada pak Hardoyo?
Waktu rezim Suharto akan berakhir tahun 95 stigma ET dari KTP dicabut. Itu kami sedikit lega.
Tapi instruksi Mendagri nomor 32 tahun 81, Amir Machmud pada waktu itu sampai sekarang
belum dicabut sekalipun Gus Dur katanya sudah memerintahkan Mendagri yang sekarang
untuk dicabut, tapi belum dicabut. Padahal itu banyak ketentuan yang membuat kami kena
sejumlah diskriminasi. Misalnya kalau mau pindah rumah harus ada pihak ketiga yang
bertanggung jawab. Itu sampai sekarang ketentuannya masih ada dan belum dicabut. Jadi kami
sebenarnya masih terkena banyak pembatasan. Termasuk bekerja di 9 pekerjaan sekalipun
dalam praktek sudah mulai longgar. Tapi saya dengar di Priok, teman saya yang tua-tua itu
masih kena wajib lapor entah sebulan atau dua bulan sekali. Yogya juga katanya masih begitu.
Sekarang setahu pak Hardoyo, tahanan-tahanan politik yang berhubungan dengan G30S
itu apa sudah keluar semua?
Semua sudah bebas, terakhir Latief Cs itu.
Jadi dalam pandangan bapak apa yang sekarang bisa diharapkan dalam suasana politik
yang baru setelah bapak mengalami berbagai suasana politik. Sekarang bagaimana
pandangan Bapak mengenai perkembangan politik di tanah air?
Saya kira bangsa Indonesia sekarang ini menghadapi globalisasi, saya pernah mendengar ini
neo liberalisme yang akibatnya banyak membuat rakyat kecil menderita. Saya pikir warisan
masa lalu termasuk berbagai konflik perlu diselesaikan, perlu ada rekonsiliasi. Jika tidak, mau
kemana bangsa Indonesia ini? Barangkali semua kalangan termasuk kalangan saya sendiri
harus berpikir, semua ambil bagian dari satu kesalahan masa lalu.
314
Ini berarti sekali ucapan Bapak, sebabnya kalau mau rekonsiliasi yang paling harus
didengar suaranya itu para korban ketidakadilan dulu. Lalu kalau sekarang ada
rekonsiliasi, bagaimana anda menutup buku terhadap ketidak adilan yang menurut
persepsi Bapak telah melanda kehidupan Bapak dulu. Dibiarkan saja begitu?
Saya kira mungkin tidak seluruhnya. Saya setuju dengan gagasan Gus Dur untuk membentuk
komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Mungkin kita bisa belajar dari Nelson Mandela, tapi kalau di
Nelson Mandela kan hanya satu kasus, apartheid. Di Indonesia banyak sekali kasus tidak
hanya tahun 65 yang menjadi korban dan luas jumlahnya kasus saya membayangkan betapa
sulitnya. Tapi saya senang sekali mendengar katanya medio Maret nanti Menteri Yusril akan
mengajukan rancangan Undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi ke DPR. Mudahmudahan DPR sudah siap menghadapi itu. Kadang-kadang saya juga pesimis, kalau saya ingat
omongannya Dr. Riswanda Himawan, bangsa Indonesia itu mengidap budaya tumpas kelor,
akar politik harus dihabiskan. Ini susah untuk rekonsiliasi. Sekarang terbit bukunya Pramoedia
Ken Dedes Ken Arok. Yang intinya sejarah mata rantai dendam yang terus menerus diantara
raja-raja di Jawa. Malah kemarin ada satu seminar yang diadakan dalam rangka sebelas Maret,
itu ada yang menceritakan, sebenarnya G30S itu kan seperti orang dibikin perangkap apa, bikin
sombong, dan macam-macam, itu seperti dijadikan kebo ijo dalam kasus empu gandring. Tadi
malam saya dengar itu.
PKI berhenti dalam satu peristiwa yang mendadak dan berdarah. Pemikiran-pemikiran
didalamnya selain pemikiran komunis partai, tentunya banyak juga pemikiran kiri,
pemikiran sosialis, yang mempunyai suatu validitas tertentu. Sekarang bagaimana
pemikiran kiri di Indonesia, terwakili oleh siapa dan apa masih perlu jaman sekarang
dibandingkan dengan dulu?
Saya kira sebagai satu pandangan kiri dalam arti membela untuk social justice dan sebagainya
itu masih perlu. Bahkan mungkin sebagai semacam counter culture juga penting. Cuma yang
perlu ditegaskan hantu yang dikatakan PKI masih hidup itu salah. Sudah finish, selesai. Coba
gambarkan represif demikian hebat itu membuat trauma, anak-anak trauma, keluarga rata-rata
60 % ke atas cerai. Anak-anak menjadi anti orang tua, dan kalau pak Wimar lihat misalnya dari
gerakan reformasi, apa ada anak komunisme. Tapi bahwa ada ide-ide tentang kiri dalam arti
untuk social justice, kita lihat saja Dawam Raharjo, Adi Sasono. Apalagi sekarang banyak bukubuku yang tidak ditutup masuk Indonesia, pasti semua orang tahu, terbuka. Saya kira kalau
menurut saya nanti kekuatan demokratis untuk di reformasi damai itu saya kira kaum kiri.
315
Bapak Hardoyo sebagai orang kalangan kiri, dan dekat dengan berbagai organisasi kiri,
yakin sekarang misalnya PKI sudah mati dan komunis dokriner sudah mati. Tapi menurut
perasaan bapak apakah keyakinan itu akan ada pada pihak tentara, pada pihak
masyarakat lain, masih ada kecurigaan tidak terhadap PKI atau terhadap Bapak pribadi?
Saya kira iya, bahwa kecurigaan kan kita lihat beberapa teman dari komisi dua, atau Arief
Budiman sendiri setelah kesini, ini gimana ?, semua boleh asal nggak dengan PKI. Artinya
bahaya laten PKI sebagai satu musuh yang harus terus menerus ada itu diperlukan. Itu ilmiah
atau tidak, ya silahkan dipikirkan para pakar, yang terang saya menyesalkan kenapa kaum
demokrat, kaum humanis tidak membahas soal itu.
Apakah PKI perlu dievaluasi kembali dalam perspektif sejarah?
Klarifikasi mengenai PKI dan semuanya termasuk peristiwa 1 Oktober sangat perlu. Tempo hari
LIPI kan sudah mulai dalam menjernihkan kasus 65 dimana Gerwani ternyata tidak memotongmotong para Jendral. Itu sudah ada visum, padahal berita itu sendiri cukup mengobarkan
pembunuhan massal di daerah-daerah. Saya kira itu penting
Kalau Bapak melihat politik sekarang mulai yang konkritlah, seperti kawan-kawan di PRD
atau gerakan mahasiswa, masuk kategori mana kalau dibandingkan dengan pemikiran
rekan-rekan Bapak dulu?
PRD ini gerakan anak-anak muda yang radikal, tapi sama sekali bukan komunis. Saya senang
ketika Budiman menjelaskan dia senang untuk memperjelas posisi dia, PRD ini hendaknya
disamakan dengan Partai Buruh Brazil yang kalah sedikit suara diluar Cardozo, sebuah partai
sosialis tapi didalamnya banyak faksi, dan itu demokratis sekali. Kalau sudah demikian mau
dicap komunis yang macam mana PRD ini.
Menurut Bapak apakah kiri itu kiri seperti PRD atau yang ada dalam organisasi
kelompok-kelompok yang tidak terorganisir akan mempunyai kontribusi terhadap warna
politik atau struktur politik dimasa depan yang 5,10 tahun ini?
Saya kira ya, saya sudah mulai melihat bahwa kelompok-kelompok sosial demokrasi akan
tumbuh di mana-mana dengan latar belakang bisa Islam, Kristen, bisa juga tidak apa-apa,
nasionalis, itu nanti akan mewarnai pertumbuhan pemikiran kiri baru di Indonesia.
316
Salah satu issu yang sekarang muncul di dalam dan diluar organisasi politik adalah yang
tadi Bapak singgung juga globalisasi, internasionalisme. Komunisme itu kan sangat
internasional sebetulnya tapi sangat anti kapitalistik. Sekarang kalau kita bicara
internasional, itu dengan sendirinya adalah kapitalisme karena komunisme internasional
tidak ada. Tadi Bapak mengatakan agar waspada terhadap globalisme tapi lawannya apa,
nasionalisme atau bagaimana itu penyeimbangnya?
Saya kira bagi negara-negara yang sedang berkembang mau tidak mau menuju ke kapitalis.
Cuma kalau istilah teman-teman kapitalisme yang berkeadilan, dan memang sosial demokrasi
yang bisa menghadapi ini. Seperti kita ditekan IMF, teman-teman PRD menyuarakan soal
kenaikan harga listrik dan minyak. Itu kan sebenarnya mendukung Gus Dur untuk berani
melawan IMF, supaya jangan sampai korbannya orang kecil terlalu banyak. Saya kira seperti itu
saja, tapi tidak anti kapitalisme.
Berarti soal pasar bebas sebagai satu prinsip ekonomi, Bapak tidak berkeberatan pada
saat ini?
Kenyataan didunia sekarang seperti ketika saya berbicara di Melbourne, ketika saya mau bebas
saya ditanya apakah Pak Hardoyo masih Marxis komunis? jawaban saya dari Marxisme yang
saya ambil, bahwa yang abadi adalah perubahan. So Iam what Iam, lihat saja nanti kalau saya
bebas, apakah saya Marxis atau neo fasis.
Mengenai hubungan dengan TNI bagaimana, pasti Bapak pengalamannya banyak dengan
TNI, ABRI jaman dulu. Arah perkembangan masyarakat dalam memandang TNI itu
bagaimana?
Hubungan dengan TNI yang paling sering ketika saya di DPR, saya kan satu fraksi sama TNI,
praktikal dengan Golongan Karya. Jadi saya mempelajari jalan pikiran mereka. Saya pikir kalau
dalam sejarah, TNI juga korban sejarah kok sebetulnya, kenapa sampai menjadi seperti begini.
Nah, sekarang dalam jaman demokrasi memang perjuangan TNI dalam demokrasi penting
sekali.
Sepertinya ideologi memang sudah mati barangkali di dunia atau di Indonesia, karena
Bapak saja sangat realistis bahkan pragmatis dalam melihat jalannya sejarah. Bagaimana
kemudian jaminan kemanusiaan kedepan, hak azasi manusiakah, atau di agama,
bagaimana nantinya kan nggak bisa juga kita terlalu melihat realitas?
317
Saya belum pernah membaca bukunya Fukuyama tentang ideologi. Barangkali kalau kita bicara
konsep ideologi dulu, ideologi itu apa ? Manifestasi kepentingan kelas, golongan, kelas dalam
arti sosiologi dulu. Saya tidak tahu apakah itu slogan mati apa tidak, tapi saya pikir dunia kita
sekarang lebih melihat masalah manusia lebih tajam. Seperti juga generasi hak azasi manusia
pertama tahun 48 itu sangat individualistis, tapi kemudian pada generasi kedua, ketiga sudah
mulai kelompok, sosial, golongan. Jadi tidak saja liberalistis masih ada pengertian kolektif dan
sebagainya. Itu kan menarik. Jika demikian halnya, pikiran-pikiran yang dulu hidup membela
kapitalisme juga diimbangi pengertian sosialisme dalam sejumlah konvensi human right ini.
Karena itu saya berpendapat perjuangan untuk demokrasi dan HAM itu nomor satu.
Kalau memang terjadi komisi kebenaran dan rekonsiliasi, atau gerakan kebenaran dan
rekonsiliasi, apa pak Hardoyo bersedia untuk aktif menyuarakan pendapatnya dalam
pihak yang mempromosikan rekonsiliasi?
Saya tempo hari diundang di antara 31 orang oleh Elsam untuk menyusun Rancangan Undangundang untuk RUU kebenaran itu, dan yang jelas sudah selesai. Katanya nanti disumbangkan
pada pemerintah, medio Maret akan dibawa ke DPR. Saya tentu akan mendukung itu karena itu
pendidikan politik dan kebudayaan yang baik untuk bangsa.
318
Sahabat-Sahabat PKI Saya
Di ruang kerjanya yang penuh dengan aneka barang yang bertumpuk disegala sudut,
Kolonel Latief membongkar sebuah kardus berisi koleksi foto-foto lusuh para napol PKI
yang pernah berada di LP Cipinang. Beberapa foto dipenuhi dengan tanda silang.
Aku bertanya pada Kolonel Latief apa arti tanda silang tersebut. ― Setiap kali ada napol
PKI yang dihukum mati atau meninggal dunia di Cipinang sini, saya memberikan
coretan silang di foto mereka.‖ Jadilah koleksi foto sang Kolonel penuh dengan tanda
silang. Anehnya pada foto pak Asep Suryaman, Bungkus dan Marsudi juga diberikan
tanda silang, padahal ketiganya masih hidup dan ditahan di Cipinang.
Kolonel Latief berkata dengan tawa.‘Harusnya dia sudah mati, tapi tidak jadi dieksekusi
karena dapat tekanan dari dunia internasional‘. Pada atahun l990, Soeharto hendak
mengeksekusi Pak Bungkus, Marsudi, dan Asep Suryaman, tiga napol PKI yang sudah
hampir 25 tahun dipenjara. Keputusan eksekusi ini betul-betul mengejutkan, karena
mereka semua sudah tua dan sakit-sakitan setelah 25 tahun mendekam di penjara.
Setelah mendapatkan tekanan internasional eksekusi tersebut dibatalkan. Namun
Kolonel Latief sudah terlanjur memberi tanda silang pada ketiganya. Dengan berkelakar
ia berkata ‗saya berkawan dengan hantu.‘ Bila ketiganya betul-betul dieksekusi, pastilah
pak Latief tidak kan tertawa lebar menceritakan sejarah coretan silang tersebut, seperti
raut mukanya yang sedih menceritakan mereka yang betul-betul telah dieksekusi.
Ketika kami masuk ke LP Cipinang masih terdapat lima orang napol yang dituduh
sebagai PKI. Tiga orang dari militer yang tersangkut dengan peristiwa penculikan para
Jendral yang diangkut ke Lubang Buaya yaitu, Kolonel Latief, Bungkus dan Marsudi.
Dari banyak pembicaraan dengan ketiganya, saya mengambil kesan tampaknya
mereka lebih merupakan ‗Sukarnois‘ ketimbang seorang kader PKI. Ketiganya terlibat
dalam kasus Gestok dengan anggapan ingin menyelamatkan kekuasaan konstitusional
Bung Karno, bukan dalam kerangka kepentingan PKI.
Untuk itu ketiganya hanya di peralat, itu suatu kemungkinan yang juga harus bisa
diterima. Pak Bungkus, yang pernah bertugas sebagai Pengawal Presiden mengatakan
319
bahwa ia paling berkesan dengan kebandelan Megawati yang saat itu masih kecil. ―
Coba banyangkan ia ingin bermain badminton di halaman depan istana. Terpaksalah
saya sebagai pengawal presiden harus memegangi net atau ikut bermain badminton.
Megawati tidak mau dilarang.‖ Namun dangan pandangan menerawang ia berguman,‘
mungkin Megawati sudah tidak ingat lagi, karena waktu itu masih kecil.‘
Selain ketiga napol yang berlatar belakang militer juga terdapat dua anggota CC PKI
yaitu Pak Asep Suryaman dan Pak Sukatno. Pak Asep seorang yang tenang dan
tampak sebagai seorang pemikir. Ia ditangkap ketika sedang membangun basis gerilya
di sekitar gunung Merapi dan Merbabu di Jawa Tengah, pada tahun l967. Menurut
kisahnya, ia ditangkap karena kurir mereka, yang seorang anak kecil ditangkap dan
dipaksa untuk memberitahu persembunyian mereka. Ia divonis hukuman mati, tapi
entah mengapa luput dari eksekusi hingga 20 tahun lebih ditahan. Ia merasa
memperoleh ‗kesempatan kedua‘ untuk hidup ketika eksekusi yang hendak dilakukan
pada tahun l990 dibatalkan karena tekanan internasional. ‗Setiap malam setelah
pengumuman pemerintah akan mengeksekusi kami, saya menunggu kedatangan tim
eksekutor didalam sel. Situasinya begitu mencekam, tapi saya termasuk beruntung
karena terlambat dieksekusi lebih dari 20 tahun.‘
Kata-katanya bahwa ‗saya termasuk beruntung‘ betul-betul mengagetkan saya, karena
ia menganggap penantian eksekusi yang panjang bukanlah sebagai hal yang
menegangkan dan harus dipikirkan. Selama penantian eksekusi yang tak kunjung
datang , ia tetap melakukan hal-hal wajar yagn biasa sehari-hari ia lakukan dipenjara
Dan nyatanya, meskipun ia gagal dieksekusi ditahun l990, vonis hukuman matinya tidak
dirubah sama sekali.
Tentang pak Sukatno sendiri tidak banyak kami ketahui. Ketika kami masuk ke penjara
Cipinang kondisinya sudah sangat parah akibat stroke dan komplikasi penyakit lainnya.
Ia hanya berbaring ditempat tidur dirawat oleh kawan-kawan napol PKI dan seorang
korvenya. Ia sudah tidak dapat berbicara dan mengenali lingkungan sekitarnya.
Rambutnya sudah putih ditumbuhi uban dan badannya kurus kering seperti kulit
membalut tulang. Menurut pak Asep kondisinya semakin hari semakin parah. Sehari
sebelum hari raya Idul Adha 1997 ia sudah menunjukan tanda-tanda menjelang ajal.
Para Napol di Cipinang berdatangan ke sel pak Katno, dan itu adalah terakhir kali kami
320
menemuinya didalam penjara.
Di depan selnya saya menjumpai seorang perwira militer berpakaian lengkap
berpangkat Kapten. Menurut Nuku Sulaeman orang tersebut dari Bakorstanas, ia
dipanggil oleh pihak LP karena mereka butuh ijin dari militer untuk membawanya
kerumah sakit Polri. Akhirnya Pak Katno dibawa ke RS Polri dan meningal dunia
disana, tanpa kawan-kawan setianya dari penjara Cipinang.
Kemudian kami mendengar jenazahnya diurus oleh Yayasan Hidup Baru dan
dimakamkan di Jakarta. Para napol PKI tampaknya sangat sedih sekali, teutama,
mereka tidak dapat berada disamping pak Katno menjelang ajal menjemputnya. Aku
sendiri berpendapat kematian telah membebaskan pak Katno dari sakit dan
penderitannya yang panjang. Dan kematiannya didalam penjara sekaligus
membuktikan telah matinya kemanusiaan ditangan para penguasa Orde Baru.
Di seluruh Indonesia sendiri mnurut laporan Amnesti Internasional masih terdapat 14
orang napol PKI yang sudah tua dan sakit-sakitan dan tersebar dalam berbagai LP di
Jakarta, Padang, Semarang, Medan, Ujung Pandang, Kali Sosok dan Pamekasan.
Kondisi para napol PKI ini sudah tua-tua dan menderita berbagai penyakit berat. Di
Penjara Cipinang sebagai contoh, kolonel Latief sejak tahun l994 terkena Stroke hingga
bagian kanan badannya menjadi lumpuh dan tidak bisa berbicara dengan jelas. Hanya
dengan tekad dan kesabarannya, ia tetap bertahan mengatasi penyakit yang berat
tersebut dengan semangat dan stamina yan masih tersisa di hari tuanya. Pak Asep
Suryaman menderita sakit maag dan lever. Pak Bungkus terkena maag dan rematik
sementara pak Katno sudah tekena stroke dan hanya berbaring ditempat tidur. Pak
Katno lalu meninggal pada hari raya Haji dibulan Maret l997 didalam penjara
Sejak masuk Cipinang para napol PKI dipenjara di blok II D, atau yang disebut dengan
blok Eki (Ekstrim Kiri), karena blok ini memang diperuntukan untuk para napol PKI. Pak
Asep, pak Bungkus, Pak Marsudi dan Kolonel Latief tinggal sendiri didalam sel masingmasing, dan tiap orang mempuyai korve sendiri. Puluhan tahun dipenjara membuat sel
mereka tampak penuh sesak dengan berbagai jenis barang, persis seperti gudang.
Untuk mengisi kesibukan harian para napol PKI juga aktif dalam berbagai kegiatan.
321
Pak Asep Suryaman menjabat sebagai ketua PBNC (Persatuan Badminton Narapidana
Cipinang). Setiap Hari Selasa dan Jum‘at pagi ia mengkoordinir latihan PBNC di aula
Blok IIIE, dibelakang sel para Tapol PRD.
Pak Bungkus sibuk membuka usaha jahit didalam selnya. Para narapidana dan petugas
seringkali menjahit, mempermak atau menambal baju dan celananya pada pak
Bungkus dengan imbalan tertentu.
Pak Marsudi disibukan dengan kegiatan rohani di Gereja. Ia telah menyerahkan seluruh
hidupnya pada Jalan Tuhan Sementara Kolonel Latief sibuk dengan kegiatan di Bidang
Kerja (Bidker), menjadi menejer tim sepakbola bloknya, menulis dan memberi kursus
bahasa Inggris (berhenti setelah ia terkena stroke).
Sang Kolonel
Ketika para Tapol PRD masuk kepenjara Cipinang kami menemui sang Kolonel sebagai
orang yang familiar dan penuh humor. Bayangan sang Kolonel seperti yang
digambarkan film G 30 S PKI versi Orde Baru tidak tampak sama sekali. Hampir setiap
pagi sang Kolonel datang ke sel kami untuk membangunkan kami atau sekedar
menceritakan berita dari BBC dan radio Nederland yang baru ia dengar malam tadi.
Aku, yang kebetulan sering bangun paling pagi, mendengarkan semua berita radio
yang disampaikan oleh sang kolonel.
Dari semua napol PKI, berbicara dengan sang kolonel yang senang berceita adalah
yang paling menyenangkan. Kolonel Latief ditangkap pada bulan Oktober l965 dan di
Mahmilubkan tigabelas tahun kemudian yaitu pada tahun l978. Vonis yang diberikan
semula adalah hukuman mati, tapi kemudian mendapat Grasi dari Soeharto
hukumannya diubah menjadi penjara seumur hidup.
Saat ditangkap, kaki kanan Kolonel latief luka parah terkena bayonet. Kakinya yang
luka tersebut tidak diobati tapi didiamkan hingga bernanah dan berbelatung. Ketika
diobati, ia menjadi pincang dan harus menggunakan tongkat untuk berjalan, atau
sepatu khusus dengan sol yang tebal sebelah. Ia ditahan dalam sel isolasi di Blok N
Rutan Salemba. Selama di tahan di sel Isolasi ia memakan apa saja yang bisa
322
dimakan, termasuk cicak, tikus, kecoa dll ―Ketika ditahan di Salemba jangan ditanya
apa yang kami makan, tapi tanyalah apa saja yang belum kami makan‖, katanya.
Menjelang vonis Mahmilub ia menulis catatan dengan tulisan tangannya;
― Aku buat sebuah nyanyian pada waktu akan di adili di Mahkamah Militer Tinggi.
Hukuman yang akan dijatuhkan perkiran saya paling tinggi ―mati‖, paling rendah pun
mati.
Aku buat sewaktu dalam keadaan parah kakiku lutut kiri, paha kanan yang dibayonet di
balut dengan gibs membengkak dan membusuk sehingga berbau busuk sampaisampai tahun l966. Bersamaan dengan meninggalnya anak ku tertua ―Gatot Waspodo
Harjono‖. Meninggal tertubruk mobil tentara di ―Patung Tani‖ kaki dan badanku
dikerumuni ulat-ulat atau belatung. Aku disel isolasi berat di Blok ―N‖ Penjara Salemba.
Di kunci terus menerus/ditutup dobel pintu (doeble door) ―Salemba‖ l0 tahun dari
tanggal l Oktober l965 s/d l975.
Bersama Pak Latief aku sibuk mengedit tulisan dia mengenai ‗Serangan Umum Satu
Maret l949‘ atau yang lebih dikenal dengan peristwa ‗Enam Jam di Yogyakarta.‘ Naskah
tulisan pak Latief ini mempunyai sejarah yang menakjubkan. Draft tulisan ini sudah ia
buat sejak tahun l984 sebagai upayanya untuk meluruskan literatur disekitar peristiwa
tersebut. Pada tahun l994 ia menyerahkan draft tersebut pada kawannya seorang
mantan napol PKI untuk diketik ulang dan diedit. Namun sampai tahun l996, kawannya
tersebut tidak jelas kabar beritanya.
Pak Latief sudah pasrah bahwa naskahnya pastilah hilang. Tiba-tiba saja seseorang
yang mengaku dari kerabat kawannya yang mengetik naskah tersebut datang
kepanjara membawa naskahnya dan mengatakan bahwa ‗ bapak yang mengetik
naskah ini sudah meninggal dunia setahun yang lalu dan meminta agar naskah ini di
berikan kepada pak Latief di penjara Cipinang.‖
Setelah naskah kembali ketangan pak Latief bencana baru muncul. Suatu hari Kolonel
Latief menunjukan naskah tersebut ke pihak LP dan meminta ijin untuk membuat copy
dari naskahnya. Pihak LP bukannya memberi ijin tapi malahan menyita naskah dari pak
Latief tersebut. Kolonel Latief berang dengan penyitaan tersebut karena ia sudah
mendapat surat ijin dari pihak LP untuk menulis naskah tersebut.
323
Naskah yang disita dikembAlikan setelah pak Latief dapat menunjukan surat ijin untuk
menulis naskah tersebut dari Kalapas sebelumnya. Aku diberikan naskah tersebut oleh
Pak Latief dan diminta untuk mengetik ulang dan mengeditnya. Setelah aku edit dengan
mesin ketik, aku kirim naskah tersebut kepada kawan-kawan JKB di luar penjara untuk
diketik ulang dengan komputer.
Dalam literatur sejarah Orde Baru digambarkan bahwa Soeharto lah yang mempunyai
ide dan memimpin penyerbuan Serangan Umum Satu Maret di Yogyakarta. Serangan
tersebut dilakukan bersamaan dengan pertemuan Dewan Keamanan PBB di New York
dengan tujuan untuk membuktikan bawa pemerintah Republik Indonesia yang berdaulat
masih ada dan tidak tunduk di bawah agresor Belanda.
Bantahan atas peran Soeharto in pertama kali dilakukan oleh Wertheim, yang
mengatakan justru ketika operasi sedang berlangsung Soeharto sedang asyik diwarung
Soto. Sementara pak latief sendiri mengatakan bahwa rencana penyerangan tersebut
adalah inisiatif dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan Soeharto hanyalah
pelaksana lapangan.
Hal lain yang di coba dihilangkan adalah peranan dari Kolonel Latief dalam
penyerangan tersebut. Padahal pak Latief sendiri, menurut kisahnya, ikut memimpin
pasukan menyerbu kedalam kota Yogya. ‗ Bahkan seorang anak buah saya mati
tertembak kepalanya. Soeharto di jaman Revolusi, ternyata sudah merupakan Soeharto
yang culas.
Menurut pak Latief, kesatuan pak Harto memiliki beberapa bus rampasan perang yang
kemudian di ‗obyek‘ kan dengan rute Solo-Yogyakarta. Hasil obyekan tersebut tidak
jelas keman larinya. Soeharto juga mengambil beberapa Jeep warisan tentara sekutu
yang seharusnya menjadi milik Sri Sulatan Hamengkubuwono IX. Namun dengan akal
bulusnya jeep-jeep tersebut diambil alih untuk kesatuan dan keperluan pribadinya.
Tentang terjerumusnya Soeharto dalam hal mengobyekan jabatan dan kesatuannya
untuk kepentingan ekonomis menurut dugaan pak Latief mungkin didorong oleh istrinya
324
ibu Tien Soeharto. Ibu Tien ini, sebagai putri keraton sudah sejak lama telibat dalam
jual-beli perhiasan. Dan kebanyakan barang-baarng tersebut didapat dari para
pedagang Cina. Hoby berdagang ini yang kemudian ditularkan pada Soeharto, anak
desa yang introvet berhadapan dengan istrinya yang dari ‗keraton‘. Bahkan kontak
Soeharto dengan para pedagang Cina, kemungkinan juga didapat dari ibu Tien, karena
ibu Tien yang berpengalaman dalam hal urusan dagang dengan orang-orang
peranakan Cina dalam jual-beli perhiasan. Ini mungkin dapat menjelaskan bagimana
mungkin seorang ‗anak ndeso‘ seperti Soeharto dapat mempunyai motif sebagai
pedagang.
Di dalam penjara aku juga mendapatkan Copy dari pledoi pak Latief, dalam kondisi
sudah mengenaskan, banyak bagian yang sudah tak bisa terbaca lagi. Aku tanya
kepada pak Latief dimana pledoi aslinya. ― Yang asli dipinjam oleh si C dan sampai
sekarang belum dikembalikan, ‗katanya dengan nada suara meninggi.
Tentang peristiwa Gestok l965 sendiri, Kolonel Latief yakin bahwa Soeharto temasuk
orang yang harus bertanggungjawab. Kesaksian Latief ini penting karena, membuktikan
bahwa Soeharto adalah orang yang paling diuntungkan dengan pembunuhan para
jendral yang menjadi ‗rival‘nya dan situasi kaos yang ia ciptakan. Di dalam penjara
sendiri Kolonel Latief yakin, Soeharto memunyai ‗plot‘ tersendiri setelah mengetahui
akan terjadinya penculikan para jendral. Plot itu pada awalnya kurang begitu nampak,
namun paska Gestok l965 nyata sekali bahwa plot tersebut bertujuan menggulingkan
kekuasaan konstitusional presiden Soekarno dan menjadikan dirinya sebagai penguasa
tertinggi di RI.
Soeharto dan Ibu Tien sendiri yang ia ajukan sebagai saksi ternyata ditolak dalam
persidangan mahmilub. Membantah keterangan Soeharto bahwa ia ke RS malam
menjelang meletusnya Gestok l965 untuk mengecek dan membunuhnya dikatakan
dalam kesaksian Kolonel Latief ;
―Dua hari sebelum peristiwa tanggal l Oktober l965, saya beserta keluarga mendatangi
ke rumah keluarga Bapak Jendral Soeharto di Jalan Haji Agus Salim, yang waktu itu
beliau masih menjabat sebagai panglima Pangkostrad. Di samping acara kekeluargaan
325
saya juga bermaksud: ―Menanyakan dengan adanya info Dewan Jendral, sekaligus
melaporkan kepada beliau‖. Beliau sendiri justru memberitahukan kepada saya:‖Bahwa
sehari sebelum datang ke rumah beliau, ada seorang bekas anak buahnya berasal dri
Yogyakarta bernama Subagiyo, memberitahukan tentang adanya info Dewan Jenderal,
yan akan mengadakan Coup d‘etat terhadap kekuasaan pemerintahan presiden
Soekarno...‖Yang sebenarnya, bahwa saya pada malam itu di samping memang
menengok putranya yang sedang terkena musibah, sekaligus untuk saya laporkan akan
adanya gerakan pada besok agi harinya, untuk menggagalkan rencana Coup D‘etat dri
Dewan Jendral, di mana beliau sudah tahu sebelumnya.‖
Setelah menyelesaikan naskah Serangan Umum Satu Maret l949, pak Latief mencoba
untuk menulis autobiografinya. Ide ini tidak sempat ia laksanakan karena penyakit
stroke menyerang badan sebelah kanannya pada tahun l995. Sejak itu pak Latief lebih
banyak berkosentrasi pada pemulihan kesehatannya.
Ketika saya masuk kedalam penjara Cipinang pak Latief membicarakan kembali niatnya
untuk membuat autobiorafi, tapi ia tidak bisa menyelesaikannya sendiri, karena
keterbatasannya secara fisik. Aku lalu menyangupi untuk membantu pak Latief untuk
menulis autobiografinya.
Dalam metode penulisan aku usulkan pada pak Latief agar ia memulai dari kejadiankejadian penting yang menyangkut sejarah politik Soeharto misalnya pada masa
revolusi dan menjelang meletusnya G 30 S PKI. Selain itu masa-masa tersebut relatif
masih banyak yang diingat oleh pak Latief. Metode ini aku usulkan karena sang kolonel
tetap memaksa membuat autobiografi secara kronologis, sejak ia lahir, masa kecil,
masa remaja, jaman Jepang, Revolusi dan seterusnya.
Rentang waktu yang panjang tersebut, ingatannya yang sudah mulai lemah dan konsisi
kesehatannya yang memburuk menjadi pertimbangannku untuk memulai
autobiografinya dari tahun-tahun terakhir menjelang G 30 S PKI, karena momentum
tersebut sangat penting untuk memahami keterlibatan Soeharto dan juga PKI didalam
skenario penculikan tersebut. Namun sang kolonel menunjukan padaku sebuah buku
autobiografi yang memuat riwayah hidup seorang tokoh yang aku lupa namanya sejak
ia masih kecil. ‗ Seperti ini kalau menulis autobiopgrafi‘ katanya.
326
Sejak saat itu sang kolonel mulai menulis diatas kertas folio dengan tulisan tangannya.
Setelah menulis beberapa lembar tiba-tiba saja pak Latief merasa tak enak badan dan
tanganya gemetar bila menulis. Menurut korvenya, pak Latief sering telat tidur karena
menulis riwayat hidupnya tersebut.Karena memaksakan diri tersebut akhirnya ia sakit,
‗mungkin masuk angin‘, kata sang korve. Terpaksa penulisan dihentikan dan dilanjutkan
kembali ketika ia sudah kembali sehat. Aku katakan pada pak Latief, ‗bapak jangan
memaksakan diri sampai begadang segala, santai saja, tulis apa yang bapak ingat
saja‘. Setelah memakan waktu sekitar 4 bulan, kami sudah menyelesaikan draft riwayat
hidup sang kolonel hingga kedatangan jaman Jepang. Tebalnya sekitar 70 halaman.
Sampai jaman ini sang kolonel mandeg. Aku meminta pak Latief untuk memeriksa draft
yang aku ketik dan meminta ia untuk mengedit dan menambahkan data-data baru yang
sudah ia ingat kembali.
Para Pembesuk
Keluarga para Napol PKI juga tidak sering berkunjung. Keluarga Pak Asep Suryaman
tinggal di Tasikmalaya, Jawa Barat, mereka hanya datang tiap hari-hari besar seperti
Lebaran. Tapi cucu pak Asep, seorang mahasiswi cantik yang kuliah di Jakarta sering
datang membawakan obat-obatan dan keperluan sehari-hari pak Asep.
Keluarga Pak Bungkus tinggal di Madiun, dan hanya membesuk ke penjara pada hariharis besar seperti Lebaran. Namun berapa aktif LSM secara reguler mengunjungi pak
Bungkus, seperti Maria Pakpahan dari Komite Pembebasan Tapol/Napol. Pak Marsudi
keluarganya tinggal di Yogyakarata, dan datang membesuk pada hari-hari besar agama
seperti Natal atau Paskah. Sementara Kolonel Latief keluarganya tinggal di Surabaya.
Cucu sang Kolonel yang tinggal di Jakarta kerap datang kepenjara untuk membawa
obat-obatan dan keperluan sang Kolonel.
Namun secara umum para keluarga napol PKI tidak begitu sering membesuk mereka
ke penjara.
Setiap tahun sekali pihak ICRC mengorganisir kunjungan resmi keluarga napol PKI
kepenjara Cipinang. Pihak ICRC menanggung seluruh biaya transportasi dan
akomodasinya. Jarangnya anggota keluarga yang berkunjung, mungkin disengaja,
327
untuk melindungi anak, cucu dan famili mereka dari stigma PKI sehingga tidak
mendapatkan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti di ketahui Orde Baru memberikan lebel ET (Eks Tapol) kepada seluruh mantan
napol PKI dan keluarganya hingga ke anak-cucu. Dengan label yang dicantumkan di
KTP ini, persis seperti bintang David yang dikenakan pada kaum Jahudi oleh Hitler,
para mantan napol dan keluarganya kehilangan hak-haknya secara sosial, ekonomi dan
politik. Mereka menjadi warga negara kelas dua, yang harus diawasi dan berbahaya,
meskipun anak cucu yang ketika Gestapu meletus masih bayi atau cucu mereka yang
lahir dijaman Orde Baru dan tak tahu menahu tentang masa lalu kakeknya.
Para pembesuk setia para napol PKI di Cipinang adalah rombongan ibu-ibu mantan
Napol PKI. Usia mereka sudah tua-tua, sama tuanya dengan para napol PKI di
Cipinang. Setiap bulan mereka datang berombongan sekitar 5-l0 orang dengan
membawa kebutuhan sehari-hari dan obat-obatan bagi para napol PKI. Tidak lupa
mereka membawa pisang goreng, lontong, bakwan, tahu goreng atau kadang-kadang
nasi uduk dalam bungkusan daun. Dari para pembesuk ini biasanya mereka mendapat
kabar tentang sakitnya ‗ si anu‘ atau‘ meninggalnya ‗ si anu‘.
Paska Soeharto
Nampaknya pembebasan tapol/napol PKI masih belum menemui jalan terang .
Pembebasan Sri Bintang Pamungkas, Mochtar Pakpahan, Andi Sjahputra dan Nuku
Sulaiman yang dilakukan oleh rejim Habibie hanyalah untuk kebutuhan diplomasi
mencairkan pinjaman utang luar negeri dari IMF. Secara politik pemerintahan yang baru
tetaplah tak berubah.
Dalam penjelasanya tentang pembebasan tapol/napol pihak pemerintah menyatakan
bahwa para tapol/napol yang dibebaskan haruslah tidak termasuk kriteria; terlibat G 30
S PKI; Perjuangan bersenjata; Anti ideologi Pancasila. Dengan kriteria-kriteria yang
kental dengan ideologi politik Orba, maka nasib para sahabat-sahabat tua saya di
penjara Cipinang semakin tidak pasti. Berbagai kampanye dari Komite Pembebasan
tapol/Napol, kelompok Ham, tekanan internasional untuk membebaskan mereka
dengan alasan kemanusiaan tidak mengubah mental ‗perang dingin‘ dari para
penguasa rejim Habibie.
328
Apapun argumentasinya, sudah tidak masuk diakal untuk menganggap para napol PKI
sebagai musuh ideologis dari rejim dan membiarkan mereka menderita sakit-sakitan di
dalam penjara. Dalam salah satu dialog dengan kawan-kawan PRD kami sepakat, bila
pembebasan kami datang berupa amnesti, kami akan meminta pemerintah menukarnya
dengan pembebasan napol PKI, karena mereka lebih membutuhkannya daripada kami
yang masih muda dan segar. ‗ Demi kemanusiaan, kami siap menukar pembebasan
kami dengan para Napol PKI bila itu diperkenankan,‘ demikian kata Budiman
Sudjatmiko. Sementara Xanana Gusmao dalam pertemuan dengan Muladi dan pihak
Dirjen Pemasyarakatan selalu mengatakan. ‗ bapak-bapak napol PKI yang tua-tua ini
harus segera dibebaskan, semata atas dasar kemanusiaan.‘
Meskipun para pejabat rejim Habibie tersebut tidak memberikan jawaban, kami tahu
bahwa mereka masih akan memberlakukan kriteria ‗harus tidak terlibat dalam G 30 S
PKI ‗ sebagai syarat pemberian amnesti. Dan dengan begitu, makin nyatalah bahwa
situasi kemanusiaan di luar penjara belum banyak berubah.
Artikel ini dapat dibaca dalam buku Wilson, " Dunia Di Balik Jeruji: Catatan Perlawanan"
329
Omar Dhani:
“CIA Terlibat dan Soeharto Tangan yang Dipakai ... ”
Buku "Pergunakanlah Hati, Tangan dan Pikiranku: Pledoi Omar
Dani" adalah satu dari sekitar seratus buku tentang G30S. Jelas
buku ini penting karena ditulis oleh salah satu pelaku utama.
Setelah dibungkam selama 29 tahun, baru kali ini bekas pucuk
pimpinan Angkatan Udara itu bicara. Ia baru dibebaskan dari
penjara Cipinang pada tahun 1995 -- fotonya baru belakangan ini
dipajang di Markas besar AU sebagai KSAU kedua.
Daned, begitu ia disapa, lahir di Solo pada 1924. Putra KRT
Reksonegoro, Asisten Wedana Gondangwinangun, Klaten,
menapaki karir penerbang pada akhir 1950 di Taloa, Amerika Serikat. Tahun 1956 ia
bertugas belajar di Royal Air Force Staff College di Andover, Inggris. Pulang dari
Inggris, ia terlibat dalam berbagai tugas, misalnya menumpas pemberontakan PRRI di
Sumatera. Dan belum genap 38 tahun, pada 19 Januari 1962, Omar Dani menjadi
Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara menggantikan Laksamana Udara Surjadi
Suryadarma. Peristiwa G-30-S seperti menjungkirbalikkan karirnya yang cemerlang, ia
dituduh terlibat.
Dua hari setelah merayakan ulang tahun yang ke-77, bapak lima anak ini menerima tim
redaksi TEMPO. Wawancara berlangsung di rumahnya, di kawasan Kebayoran Baru
yang asri, ia didampingi oleh A. Andoko, bekas deputi Men/Pangau bidang logistik.
Berikut petikannya:
Bisa Anda ceritakan situasi pada tanggal 30 September 1965?
Tanggal 30 September 1965, sore jam 16.00, laporan pertama masuk dari Letkol Udara
Heru Atmodjo, Asisten Direktur Intel AURI, bahwa ada gerakan di lingkungan AD yang
akan menjemput jendral AD untuk dihadapkan kepada Bung Karno. Itu reaksi dari para
perwira muda
AD yang tidak puas terhadap keadaan AD. Lalu saya minta dia untuk mengecek
kebenarannya. Kemudian jam 20.00 malam dia datang lagi.
Apa yang disampaikan Heru Atmodjo?
Saya tanya jam berapa operasi akan dilakukan. Heru menjawab (operasi bisa terjadi)
jam 23.00 (30 September), bisa 01.00 atau jam 04.00 (1 Oktober 1965). Kami heran,
sudah kurang 24 jam kok (operasi) itu belum dipastikan jamnya. Kemudian ada yang
menanyakan daftar yang akan diculik. Disebutkan, A. Yani, Nasution, DI Panjaitan dan
seterusnya. Saya pribadi berpendapat, kalau orang hendak melakukan pemberontakan,
pantasnya targetnya adalah jenderal yang memegang komando, misalnya, Yani
(Menpangad), Soeharto (Pangkostrad), Sarwo Edie (Komandan RPKAD), Umar
Wirahadikusumah (Pangdam Jaya). Lha Nasution kan nggak pegang komando. Saya
330
pribadi tambah merasa aneh karena Nasution dan A. Yani dalam satu paket sasaran,
padahal keduanya bertentangan terus.
Lalu keesokan paginya, Mayor Soejono datang melaporkan pembunuhan
terhadap para jenderal, tapi Anda masih beristirahat. Bagaimana detilnya?
Soejono itu komandan resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan. Bahwa dia itu punya
hubungan dengan PKI dan Latief, saya tidak tahu sama sekali. Baru dalam sidang
Mahmilub soal tersebut ditanyakan. Saya jawab, saya nggak kenal Latief. Sebagai
Menpangau, yang saya kenal ya paling-paling Umar Wirahadikusumah. Wakilnya Umar
saja saya tidak tahu.
Apa pertimbangan di balik keluarnya perintah harian Menpang/KSAU pada
tanggal 1 Oktober 1965?
(Andoko menjawab pertanyaan ini: Ada tiga macam pengumuman waktu itu. Pertama
surat perintah harian tadi, lalu kedua pada tanggal 2 Oktober 1965 jam 14.00, saya
yang buat. Pada saat itu Menpangau berada di Lanud Iswahyudi, Madiun. Beliau juga
membuat konsep kelanjutan dari pengumuman pertama. Kalau dibaca keduanya sama
isinya: menolak adanya Dewan Revolusi. Omar Dani dari Madiun langsung kembali ke
Bogor, ketemu Bung Karno, dan menunjukkan pengumuman itu. Tanggal 3 pagi dinihari
baru diumumkan).
Saya membuat statement, isinya mendukung gerakan yang antirevolusioner, atas saran
Heru Atmodjo. Katanya agar rakyat tahu. Kebodohan saya mungkin, karena saya
kurang ngerti politik. Tahu-tahu paginya, sekitar jam 07.00 pada 1 Oktober 1965, ada
siaran dari RRI tentang gerakan yang menamakan diri G-30 S. Dan tiba-tiba Presiden
Soekarno mau pulang ke istana pun tak bisa. Yang menjaganya pasukan yang ditakuti,
pasukan yang tak diketahui.
Kenapa Bapak membuat pernyataan seperti itu?
Karena semalam sebelumnya, intel AURI melaporkan bahwa malam itu ada gerakan
dari perwira-perwira muda AD terhadap atasannya yang didukung seluruh bawahan
dan sipil dari empat angkatan. Lho untuk apa? Ternyata akan menculik jenderaljenderal.
Bagaimana awalnya Bung Karno berada di Halim hari itu?
Pagi itu saya sedang ada di Halim Perdanakusuma, tahu-tahu Letkol Soeparto, sopir
dan ajudan BK menelpon saya. Dia menelepon dari rumah saya, Wisma Angkasa. Saya
bertanya, Mas lha ini ada apa. Sudahlah nanti saya ceritakan, Bapak (Bung Karno)
saya bawa ke Halim, jawabnya. Saya menawarkan diri untuk menjemput, dia bilang
nggak usah. Saya nggak tahu kalau dia berada di Wisma Angkasa. Terus dia kembali
ke BK, lalu BK pergi ke Halim. Jadi saya nggak minta BK datang ke Halim tetapi itu
merupakan keputusan BK sendiri. Kemudian, karena BK hendak datang ke Halim, saya
lantas mencoba menyetop pernyataan saya yang sudah terkirim ke Markas Besar AU.
331
Begitu BK datang, di Halim kami mengobrol. Tak lama, datang Brigjen Soepardjo,
datang sendiri menghadap BK. Lha, saya tahu Brigjen Soepardjo itu salah satu orang
yang mengetahui dari gerakan dalam AD tersebut. Walaupun dia lain angkatan, dia itu
anak buah saya di Komando Mandala Siaga.
Soeharto dikabarkan menolak menghadap BK pada 1-4 Oktober 1965, itu
merupakan suatu keanehan ataukah tidak?
(Terdiam sesaat) Kalau Harto dipanggil nggak datang itu bukan keanehan lagi. Itu
artinya menentang atasan, apalagi atas perintah Panglima Tertinggi. Ini artinya
subordinasi. Kalau dipanggil Pangti harus datang, apapun situasinya. Jawaban Harto
waktu itu karena AD sudah kehilangan banyak jenderal, jadi dia nggak mau mengambil
risiko lagi. Tetapi saya pikir tetap nggak boleh. Kalau A. Yani meninggal, katanya dia
terus hendak mengambil alih Panglima AD juga, padahal tidak bisa dilakukan begitu
saja.
Banyak analisa yang menyebutkan bahwa Soeharto terlibat dalam G-30
September? Bagaimana menurut Anda?
Kilas baliknya lebih kentara lagi. Misalnya Komando Siaga Mandala, wadahnya Koti
(Komando Tertinggi). Dalam hirarki kemiliteran, waktu A Yani dijadikan Menpangad,
Nasution itu sebenarnya pingin menjadi Menhankam/Pangad. Tetapi saya tahu
maksudnya dia ingin berkuasa di
AD. Itu sudah saya lihat gelagatnya sedari 1945. Jadi kita tahu misalnya di AURI ada
peristiwa-peristiwa pengganjalan. Peristiwa Soejono 1955 di Halim Perdanakusuma,
Pak Suryadarma (Panglima AU pertama) diganjal terus ketika hendak dibentuk Wakil
KSAU.
Para jenderal dikorbankan oleh siapa?
Dua orang. Soeharto dan Nasution. Itu sudah ada rekayasa. Kok tahu-tahu muncul
istilah G-30S/PKI. Sejak kapan kok terus PKI disangkutkan? Buktinya apa? Heru
Atmodjo, Soejono, nggak pernah menandatangani pernyataan Dewan Revolusi. Ketika
Letkol Untung jadi saksi dalam persidangan Soepardjo, hakim menanyakan siapa yang
memimpin aksi G-30S, Untung langsung menyahut: saya. Keanehan yang lain soal
pengumuman Dewan Revolusi 1 Oktober, bahwa pangkat di atas Letnan Kolonel harus
dicopot menjadi Letkol. Brigjen Soepardjo, waktu 1 Oktober 1965 pergi ke Halim
menghadap BK, memakai pangkat Brigjen.
PKI dikorbankan juga?
Oh, iya. Gambaran seperti pesta-pesta di Lubang Buaya itu isapan jempol. Kalau
memang ada rekamannya, mengapa nggak dibuat film khusus dokumenter dan diputar.
Itu semua rekayasa. Saya mempertanyakan, mulai kapan kok ada istilah G-30-S
diembeli dengan PKI ? Tanggal 1 Oktober 1965 petang, saya sudah mendapat
informasi bahwa AD menguber PKI. Itu pun yang diuber bukannya massa, tapi pasukan
332
454 dari Jawa Tengah. Mereka pada jam 16.00 hendak masuk ke Halim tetapi ditutup
oleh Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI yang dipimpim Pak Wisnu Djajengminardo.
Bung Karno ada di Halim waktu itu.
Menurut Anda, apakah PKI sama sekali tidak terlibat dalam G30S?
PKI itu tidak punya kekuatan bersenjata. Kira-kira, sebagai analisa dari Syam
Kamaruzaman, tentunya Syam bilang kepada Aidit, "Daripada kita (PKI) melatih orang
mahal, kan sudah ada ABRI. Kita pengaruhi saja mereka. Kan gampang." Sementara,
saya duga, Aidit-nya yang tidak punya pengalaman segera menyambar, "Benar juga,
ya." Kalau menurut saya, itu bisa terjadi, cara berpikir gampangan begitu. Lalu TNI
dipengaruhi, kenyataannya memang begitu.
Di mana letak keterlibatan CIA dalam pembunuhan para jenderal tersebut ? Apakah
terdapat dalam peran Syam Kamaruzaman, yang membelokkan perintah penangkapan
menjadi pembunuhan? Latief mengaku demikian ketika diwawancarai TEMPO
beberapa waktu lalu. Akibatnya Kol. Latief dan Brigjen Soepardjo kaget.
Saya menjadi saksinya Soejono dan Soepardjo dalam Mahmilti, saya nggak tahu ada
Heru atau tidak di situ. Soejono sendiri waktu di persidangan Mahmilub menuturkan
ketika para penculik membawa mereka ke desa Lobang Buaya, mereka mengaku kaget
kok pasukan dibawa ke tempat latihan seperti itu. Ada apa ini? Ngapain ini? Kok ributribut di desa Lubang Buaya.
Kata Kol. Latief, sebelumnya sudah beberapa kali ia melakukan pertemuan
dengan Heru Atmodjo, lalu kemudian Mayor Soejono?
Terus terang saya nggak pernah tahu kalau Heru Atmodjo itu punya hubungan dengan
Latief atau berkumpul dengan orang PKI di rumah Latief. Saya nggak pernah tahu,
apalagi Syam Kamaruzaman. Heru tidak pernah melaporkannya. Dan kalau dia
misalnya bergaul dengan orang PKI, yang namanya orang intel ya begitu. Bukankah dia
sebagai intel harus masuk ke mana-mana.
Soal dokumen Gilchrist, sejauhmana otentitasnya?
Desas-desus Dewan Jenderal sudah lama kami mendengarnya. Tidak hanya itu, (juga
soal) penilaian pers luar negeri (mengenai siapa) yang akan menjadi pengganti Bung
Karno. Yang steady itu empat orang. Soebandrio, Chaerul Saleh, Nasution dan DN
Aidit. Dewan Jenderal (terdengar) pertama kali ketika Yani menghadap Bung Karno dan
ditanyai soal itu. Yani menjelaskan (Dewan Jendral itu) untuk kepangkatan. Waktu itu
saya tidak mendengar langsung melainkan dari Pak Mulyono Herlambang yang
mewakili saya. Jadi, saat pembahasan Gilchrist tersebut saya tidak ada di tempat.
Dalam buku Soebandrio yang tidak jadi beredar, ada soal trio Soeharto-Ali MoertopoYoga Soegama yang disebut Dokumen Gilchrist sebagai our local army friends.
Bagaimana pendapat Anda?
Bahwa G-30-S itu suatu rekayasa, memang begitulah. Menurut saya CIA itu sangat
terlibat, dan Harto adalah tangan yang dipakai. G-30 S itu bikinan Harto.
333
Indikasinya apa saja?
Pada waktu itu, nggak ada jenderal di Indonesia yang bisa membuat suatu operasi
intelejen yang begitu canggih seperti G-30-S yang sampai sekarang belum ada titik
terangnya. Yani itu termasuk yang dikorbankan, seperti para jenderal itu.
Kalau melihat ambisi Soeharto, apakah (saat itu) tidak ada upaya-upaya untuk
menghentikannya? Dari mana pun.
Dari AU tidak bisa, karena berlainan angkatan.
Kalau dari AD sendiri?
Kelihatannya pengaruh Harto itu besar sekali. Entah karena uang atau kekuasaan.
Anda loyalis Sukarno ya?
Oh, ya. Saya Soekarnois. Saya bukan komunis. Tetapi saya juga tidak antikomunis.
Kenapa? Karena kalau saya anti komunis itu berarti saya bukan demokrat. Kalau ada
PKI memberontak terhadap pemerintah, lha saya akan menghantamnya.
Tapi apa betul di AURI banyak yang masuk PK?
Amerika menganggap juga begitu. The Indonesian Air Force communist invested up to
senior commander. Berarti dari bawah sampai ke atas. Bagi saya sikap tersebut biasa
saja karena orang yang tidak mengekor kepada Amerika sejak 1950-an mulai dicap
komunis. Jadi BK ingin netral, non aligned, itu dicap amoral. Soal keikutsertaan prajurit
AURI ke PKI, mungkin secara rahasia. Kami (para petinggi) tidak tahu.
Apakah itu karena Anda sangat toleran kepada PKI, karena tidak anti komunis?
Berkali-kali saya mengatakan tentang Nasakom. Di pers tidak diambil intinya persatuan
kesatuan, tetapi komunisnya. Di RRC ada politik Komisar dari partai yang kuasa sekali
dan tentara. Kalau antri beli karcis di bioskop ada yang menyelonong, ya ditempeleng di
depan orang banyak. Para anggota militer nggak berani terhadap anggota politik
Komisar. Nah, andaikan Nasakomisasi yang dimaksud oleh Bung Karno itu berarti
memerintahkan agar anggota ABRI ikut partai politik. Di mata angkatan berarti perintah.
Saya nggak takut anak buah menjadi komunis atau sebaliknya menjadi ultra Islam, atau
ultra nasionalis.
Sekarang ini bisakah Anda gambarkan dengan kalimat singkat tentang Soeharto?
Dia tidak mau ada orang di atasnya. Dan dia orang yang punya sifat kejam dan
pendendam. Ambisius. Saya perhatikan, karena saya juga orang Jawa Solo, Harto itu
kalau bersalaman posisi tangannya seperti membuat orang menunduk. Arah jari-jarinya
ke bawah. Lain dengan cara bersalaman kebanyakan yang berposisi sejajar. Mau tak
mau orang yang bersalaman dengannya pasti berada dalam posisi bawah.
334
Apa saja yang dilakukan di penjara, mungkin hobi berkebun, beternak?
Oh nggak. Karena kalau di penjara Nirbaya dulu ada yang beternak, (maka) harus setor
ke POM atau CPM ketika lebaran tiba. Memang tidak berupa upeti, melainkan mereka
meminta 10-20 ekor ayam dibeli dengan harga di bawah harga pasaran. Melihat itu
saya jadi malas. Apalagi Bandrio yang nggak suka beternak. Waktu di sana, dia lebih
suka baca-baca Qur'an. Saya sendiri nggak belajar ngaji. Apalagi saya sama sekali
nggak bisa baca huruf arab.
Waktu (Baharuddin) Lopa suatu hari di tahun 1992, mengunjungi kami, dia menawarkan
agar para napi bisa sholat Jumat bersama. Spontan Bandrio bersuka, "Mau-mau Pak."
Ketika ditanyakan kepada saya, saya jawab, "Lho, bukannya suka atau tidak. Melainkan
soalnya boleh atau tidak boleh." Karena faktanya dari dulu kami nggak boleh (mengikuti
sholat Jumat bersama).
Apa kegiatan yang rutin tiap hari saat ini?
Ngobrol-obrol, baca-baca buku. Yang dulu-dulu saya baca tetapi belum sempat dibaca
karena ditahan, sekarang saatnya. Misalnya Di Bawah Bendera Revolusi saya sudah
punya satu set. Juga Indonesia Menggugat. Yang saya cari sekarang pidato Bung
Karno di forum PBB. Saya tidak pernah membaca buku-bukunya Harto, pun buku
Nasution. Karena saya sudah tahu dan bergaul dengan mereka. Saya tidak menilai
orang dari apa yang dikatakan tetapi dari tindakan. Dari karakternya.
335
Soebandrio; Kesaksianku Tentang G30S
BAB 1 : PROLOG G-30-S
KONFLIK KUBU
Indonesia 1960-an termasuk negara yang tidak disukai oleh blok Barat pimpinan
Amerika Serikat (AS). Di era Perang Dingin itu konflik utama dunia terjadi antara Kapitalis
(dipimpin AS) melawan Komunis (RRT dan Uni Soviet). AS sedang bersiap-siap mengirim
ratusan ribu pasukan untuk menghabisi komunis di Korea Utara. Sementara di Indonesia Partai
Komunis (PKI) merupakan partai legal. Saat kebencian AS terhadapIndonesia memuncak
dengan menghentikan bantuan, Presiden Soekarno menyambutnya dengan pernyataan keras: Go
to hell with your aid. Sebagai pemimpin negara yang relatif baru lahir, Presiden Soekarno
menerapkan kebijakan berani: Berdiri pada kaki sendiri.
Dasar sikap Soekarno itu jelas: AlamIndonesia kaya raya. Minyak di Sumatera dan Sulawesi,
hutan maha lebat diKalimantan , emas di Irian, serta ribuan pulau yang belum terdeteksi
kandungannya. Semua itu belum mampu dieksplorasi oleh bangsa kita. Kekayaan alam ini
dilengkapi dengan lebih dari 100 juta penduduk yang merupakan pasar potensial, sehingga ada
harapan sangat besar bahwa pada suatu saatIndonesia akan makmur tanpa bantuan Barat. Ini pula
yang mengilhami sikap konfrontatif Bung Karno: Ganyang Nekolim (neo-kolonialisme &
imperialisme). Bung Karno menyatakan,Indonesia hanya butuh pemuda bersemangat untuk
menjadi bangsa yang besar.
Akibatnya, sikap AS juga menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno.SikapAS ini didukung
oleh komplotannya, Inggris danAustralia .SejakAS menghentikan bantuannya, mereka malah
membangun hubungan dengan faksi-faksi militerIndonesia. Mereka melengkapi dan melatih para
perwira dan pasukanIndonesia . Melalui operasi intelijen yang dimotori oleh CIA, mereka
menggelitik militer untuk merongrong Bung Karno. Usaha kudeta muncul pada bulan November
1956. Deputi Kepala Staf TNI AD Kolonel Zulkifli Lubis berusaha menguasai Jakarta dan
menggulingkan pemerintah. Namun usaha ini dipatahkan. Lantas, di Sumatera Utara dan
Sumatera Tengah militer berupaya mengambil-alih kekuasaan, tetapi juga gagal. Militer –
dengan pasokan bantuan AS – seperti mendapat angin untuk menganggu Bung Karno.
Namun, Bung Karno masih mampu menguasai keadaan, karena banyak perwira militer yang
sangat loyal pada Bung Karno, kendati usaha AS menjatuhkan Bung Karno terus dirancang.
Sayangnya, konstelasi politik dalam negeriIndonesia pada saat itu juga tidak stabil. Bung Karno
berupaya keras menciptakan kestabilan, namun kondisi memang sangat rumit.Ada tiga unsur
336
kekuatan yang mendominasi politikIndonesia , yaitu:
1. Unsur Kekuatan Presiden RI
2. Unsur Kekuatan TNI AD
3. Unsur Kekuatan PKI (Partai KomunisIndonesia ).
Unsur kekuatan Presiden RI, yakni Presiden RI sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan,
Perdana Menteri, Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden seumur hidup, yakni Ir. Soekarno yang
akrab dipanggil Bung Karno. Anggota Kabinet Dwikora masuk dalam unsur kekuatan ini.
Unsur kekuatan TNI AD ada dua kubu: Kubu Yani (Letjen TNI Ahmad Yani) dan Kubu
Nasution (Letjen TNI Abdul Haris Nasution). Soeharto awalnya termasuk dalam Kubu Nasution,
walaupun kelak mendirikan kubu sendiri.
Sedangkan unsur PKI berkekuatan sekitar tiga juta anggota. Itu didukung oleh sekitar 7 juta
anggota organisasi-organisasi onderbouw PKI seperti BTI, SOBSI dan Gerwani. Dengan jumlah
itu PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRT dan Uni Soviet. Dalam
Pemilu 1957 PKI menempati urutan ke-4. Dan, sebagaimana umumnya partai besar, PKI juga
memiliki anggotanya di kabinet.
Mereka adalah DN Aidit, Menko/Ketua MPRS, Lukman sebagai Menko Wakil Ketua DPRGR
dan Nyoto Menteri Urusan Land-reform. Sebenarnya, sejak 17 Oktober 1952 pemerintahan
Soekarno sudah mulai digoyang. Kubu Nasution membentuk Dewan Banteng dan Dewan Gajah
di Sumatera Selatan. Yang disebut dewan ini hanya penggalangan massa oleh kubu Nasution,
namun mereka terang-terangan menyebut diri sebagai pemerintahan tandingan. Penyebab
utamanya adalah karena mereka tidak suka melihat kemesraan hubungan Soekarno- PKI.
Gerakan Kubu Nasution tidak cukup hanya menggalangmassa sipil, namun juga mempengaruhi
militer agar ikut mendukung gerakannya. Sebagai petinggi militer, bagi Nasution, itu adalah hal
mudah.
Caranya, antara lain, Perjuangan Pembebasan Irian Barat digunakan untuk membentuk Gerakan
Front Nasional yang aktif di kegiatan politik. Inilah awal usaha melibatkan militer ke dalam
kegiatan politik yang kelak dilestarikan oleh Orde Baru. Di sisi lain, Kubu Nasution menggalang
simpati rakyat dengan membentuk BKS yang melibatkan para pemuda, partai politik, para
petani, yang menyatu dengan militer di bawah payung TNI AD. Saat itu saya langsung membuat
kesimpulan: Inilah doktrin perang tingkat regional (karena memanfaatkan Perjuangan
Pembebasan Irian Barat) hingga tingkat desa (melibatkan petani). Maka, lengkaplah suatu
gerakan menentang pemerintah yang terencana dengan rapi, cerdik dan memiliki kekuatan cukup
potensial. Berdasarkan laporan intelijen saya, CIA berada di belakang Nasution Presiden
Soekarno akhirnya mengetahui gerakan menentang pemerintah itu. Soekarno tahu bahwa
pemerintah sedang terancam. Ia juga tahu bahwa biang keroknya adalah Nasution. Maka,
Soekarno pun langsung menghantam ulu hati persoalan dengan cara membatasi peranan
Nasution. Jabatan Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata tetap dipertahankan, tetapi
peranannya dibatasi. Nasution diberi tugas oleh Soekarno dalam urusan administratif pasukan.
Nasution dilarang ikut campur urusan operasional prajurit. Itu sama artinya Nasution
dimasukkan ke dalam kotak.
Gerakan Presiden itu diimbangi dengan pengangkatan Letjen A. Yani sebagai Menpangad.
Tugasnya, secara formal, jelas memimpin pasukan TNI AD, namun di balik itu Yani mendapat
misi khusus dari Presiden agar membatasi desakan Kubu Nasution terhadap pemerintah. Ini
semacam operasi intelijen. Akibatnya, hubungan Nasution dengan Yani memburuk.
Mulanya, konflik Nasution-Yani tidak tampak di permukaan. Hanya kalangan elite saja yang
memahami situasi yang sebenarnya, sejak Yani diangkat. Tetapi, beberapa waktu kemudian Yani
337
mengganti beberapa Panglima Daerah Militer (Pangdam) . Para Pangdam yang diganti kemudian
diketahui bahwa mereka adalah orang-orangnya Nasution. Karena itu, tampaklah peta situasi
yang sesungguhnya.
Itu gerakan militernya. Sedangkan gerakan sipilnya, Presiden Soekarno bersama Wakil Perdana
Menteri I, Dr. Soebandrio (saya) memindahkan kedudukan Nasution dari Kepala Staf Angkatan
Bersenjata ke Penasihat Presiden. Itu terjadi menjelang akhir tahun 1963. Tentu saja Nasution
harus tunduk pada perintah Presiden. Tidak ada alasan dia untuk mbalelo. Sebab, di kalangan
tentara sendiri sudah khawatir terjadi perpecahan ketika hubungan nasution dengan A. Yani
memanas, sehingga jika seandainya Nasution melakukan tindakan membangkang, pasti tidak
akan didukung oleh pasukan di tingkat bawah. Dan, kemungkinan ini pasti sudah dihitung secara
cermat oleh Nasution. Itu sebabnya ia tunduk.
Langkah selanjutnya bagi Soekarno yaitu tinggal menggunduli sisa-sisa kekuatan Kubu nasution.
Antara lain, PARAN (Panitia Retooling Aparatur negara, sebuah komisi penyelidik anti korupsi
yang dibentuk Nasution) dibubarkan pada awal tahun 1964. Sebagai gantinya, Soekarno
membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KOTRAR) yang dipimpin oleh
orang kepercayaan Soekarno, Dr. Soebandrio (saya). Untuk memperkuat, Yani ditunjuk oleh
Presiden menjadi Kepala Staf KOTRAR. Dari perpektif Soekarno, retaknya hubungan antara
Yani dan Nasution sudah merupakan kemenangan. Apalagi, kemudian Nasution dicopot dari
posisi strategis dan dimasukkan ke dalam kotak. Dengan begitu, politik Negara dalam Negara
yang sempat diciptakan oleh Nasution berubah menjadi sangat lemah. Melihat kondisi demikian,
para pimpinan Angkatan Bersenjata justru cemas. Mereka khawatir, konflik antara Nasution dan
Yani itu akan merembet ke prajurit di lapisan bawah. Kalau itu terjadi, tentu akibatnya bisa fatal.
Kekhawatiran ini lantas disampaikan kepada Presiden. Karena itu, Presiden Soekarno
menugaskan beberapa perwira senior, termasuk Mayjen Soeharto dan Pangdam Jawa Timur
Basuki Rahmat, untuk menemui Nasution. Tugasnya, menyarankan kepada Nasution agar
menyesuaikan diri dengan jalur yang sudah digariskan oleh Presiden Soekarno. Jangan sampai
ada pembangkangan.
Dua kubu yag berkonflik itu pada dasarnya sama-sama anti-PKI. Meskipun Yani berada di pihak
Bung Karno, namun Yani tidak menyukai PKI akrab dengan Bung Karno. Sementara, Soeharto
yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Nasution dan Yani, cenderung berpihak kepada
Nasution.
Konflik antara Nasution dan Yani itu ternyata tidak gampang didamaikan. Suatu hari di awal
tahun 1965 ada pertemuan penting yang dihadiri 12 jenderal AD di Mabes AD. Sebenarnya
Nasution dan Yani juga diundang dalam pertemuan itu, namun keduanya sama-sama tidak
datang. Mereka diwakili oleh penasihat masing-masing. Padahal, pertemuan itu diselenggarakan
dalam upaya mendamaikan Nasution dengan Yani. Alhasil, pertemuan penting itu tidak
mencapai tujuan utamanya, karena mereka yang berkonflik tidak datang sendiri dan hanya
diwakili.
Pada pertengahan April 1965 ada pertemuan yang lebih besar lagi. Kali ini pertemuan dihadiri
oleh sekitar 200 perwira militer di Mabes AD. Dalam pertemuan itu Nasution dan Yani juga
tidak datang. Namun pertemuan itu melahirkan doktrin baru yang diberi nama: Tri Ubaya Sakti.
Pencetusnya adalah Soeharto. Intinya berisi tiga janji jujur dari jajaran AD. Saya sudah lupa isi
lengkapnya, namun substansinya demikian: TNI berhak memberikan saran dan tugas politik tak
terbatas kepadaPresidenRI .
Doktrin itu menimbulkan kecemasan baru di kalangn elite politik dan masyarakat intelektual,
karena dengan begitu semakin jelas bahwa AD mempertahankan politik Negara dalam Negara
338
yang sudah dirintis oleh Nasution. Ini juga berarti bahwa Kubu Nasution menang terhadap Kubu
Yani yang didukung oleh Presiden Soekarno.
POLITIK MUKA DUA
Soeharto, salah satu perwira yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dan Nasution,
berada di posisi yang tidak enak, karena Soeharto memiliki memori buruk dengan Nasution
maupun Yani. Penyebabnya adalah perilaku Soeharto sendiri yang buruk. Itu terjadi saat
Soeharto masih di Divisi Diponegoro.
Ceritanya, saat di Divisi Diponegoro Soeharto menjalin hubungan dengan pengusaha Cina, Liem
Sioe Liong (kelak mendapat perlakuan istimewa dari Soeharto, sehingga Liem menjadi
pengusaha terbesarIndonesia ). Perkawanan antara Soeharto dan Liem ini, antara lain,
menyelundupkan berbagai barang. Soeharto pernah berdalih bahwa penyelundupan itu untuk
kepentingan Kodam Diponegoro. Berita penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira saat
itu mengetahuinya. Bahkan terungkap bahwa penyelundupan itu bukan untuk kepentingan
Kodam, tetapi duitnya masuk kantong Soeharto dan Liem.
Saat mengetahui ulah Soeharto, kontan Yani marah. Pada suatu kesempatan Yani bahkan sampai
menempeleng Soeharto, karena penyelundupan itu dinilai memalukan korps. AH Nasution lantas
mengusulkan agar Soeharto diadili di mahkamah militer dan segera dipecat dari AD. Namun,
Mayjen Gatot Subroto mencegah, dengan alasan bahwa perwira ini masih bisa dibina. Gatot
lantas mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar Soeharto diampuni dan disekolahkan di
Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung.
Presiden Soekarno setuju saja. Karena itu, Soeharto masuk Seskoad dan diterima oleh Dan
Seskoad Brigjen Suwarto. Saat itu Seskoad tidak hanya mengajarkan pendidikan kemiliteran,
tapi juga bidang ekonomi dan pemerintahan.Para perwira di Seskoad berfungsi sebagai guru teori
Negara dalam Negara. Karena itulah, saat Soeharto ditugasi menjadi perantara mendamaikan
Yani dengan Nasution, ia berada di posisi serba tidak enak. Yani pernah menempelengnya,
sedangkan Nasution pernah mengusulkan agar dia dipecat dari AD dan diadili di Mahkamah
Militer. Tetapi, toh Soeharto memilih berpihak ke Nasution, sehingga yang kelihatan adalah
bahwa Soeharto berada di dalam Kubu Nasution.
Namun akhirnya Soeharto membangun kubu sendiri. Kubu Soeharto terbentuk ketika
kepercayaan AS terhadap Nasution mulai luntur. Ini disebabkan oleh fungsi Nasution terhadap
pemberontakan Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan slogan GanyangMalaysia tidak
efektif. Tiga hal itu membuat kepentingan AS terhadapIndonesia khususnya dan Asia Tenggara
umumnya, terganggu, sehingga AS tidak lagi akrab dengan Nasution.KeakrabanAS dengan
Nasution – dari perspektif AS – awalnya perlu untuk mengimbangi kebijakan Bung Karno yang
cenderung lunak pada PKI. Di saat kepercayaan AS terhadap Nasution luntur dan Soeharto sudah
menjadi Pangkostrad, Soeharto membangun kubu sendiri.
Awal Januari 1965 di kantor KedutaanBesarRI untuk Yugoslavia di Beograd, datang
sepucuksurat yang ditujukan kepadaDubesRI untukYugoslavia , Yoga Soegama (kelak dijadikan
Kepala Bakin oleh Soeharto). Pengirimnya adalah Pangkostrad Soeharto. Isinya: Yoga ditawari
pulang keJakarta dengan jabatan baru: Kepala Intelijen Kostrad. Tawaran itu menarik bagi Yoga.
Karena itu, pada 5 Februari 1965
339
Yoga sudah tiba di Jakarta, langsung menghadap Panglima Kostrad di rumahnya, Jalan H Agus
Salim. Mereka bermusyawarah disana . Itulah awal terbentuknya Kubu Soeharto. Pemanggilan
Yoga Soegama dari Beograd oleh Soeharto itu mengandung tiga indikasi: Pertama, Yoga
kembali keIndonesia tidak melalui jalur normal. Seharusnya penarikan Yoga dari jabatan
DutaBesarRI untuk Yugoslavia di Beograd dilakukan oleh Menpangad Yani, sebab Yoga adalah
perwira AD. Tetapi, kenyataannya Yoga ditarik olehsurat panggilan Pangkostrad Mayjen
Soeharto. Kedua, tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah bersama-sama Soeharto menyabot
(sabotase) politik-politik Bung Karno. Ketiga, mereka bertujuan menghancurkan PKI. Tiga
indikasi ini bukan kesimpulan saya. Tetapi, ini diungkapkan oleh Ali Moertopo (salah satu
anggota trio
Soeharto-Yoga) dengan rasa bangga dan tanpa tedeng aling-aling (secara blak- blakan). Ali
mengungkap hal itu dengangaya seperti orang tidak berdosa.
Bagi Soeharto, menarik seorang pejabat dengan cara begitu adalah hal biasa. Padahal dia sudah
melangkahi garis hubungan hierarki dan komando. Dengan cara yang melanggar aturan itu dia
membentuk kubunya. Pokok-pokok masalah yang menjadi perhatian kubunya sama sekali tidak
menyangkut hal yang berkaitan dengan Panglima AD, tetapi menyangkut politik nasional dan
internasional. Perhatian kubu itu tertuju pada Bung Karno dan PKI.
Kubu Soeharto disebut juga Trio Soeharto-Yoga-Ali. Untuk selanjutnya kita sebut kelompok
Bayangan Soeharto. Mereka bersatu dengan cara-cara tersamar. Mereka bergerak di bawah
permukaan. Awalnya teman lama dan sudah merupakan satu tim kompak ketika sama-sama
berada di Kodam Diponegoro. Kekompakan trio ini sudah teruji saat mematahkan rencana
pimpinan AD memilih Pangdam Diponegoro.
Kekompakan mereka dilanjutkan diJakarta . Tentang kekompakan trio Soeharto mematahkan
rencana pimpinan AD, ceritanya demikian: Saat itu pimpinan AD mencalonkan Kolonel
Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro. Rencana pencalonan Bambang itu kemudian
diketahui oleh para perwira disana . Soeharto yang saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel,
juga
mendengar. Hebatnya, meskipun pangkat Soeharto lebih rendah dibanding Bambang Supeno,
namun ia berani merebut posisi Pangdam. Caranya, dengan menggunakan strategi yang kotor
namun terselubung.
Di saat rencana pengangkatan Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro bocor, ada
sebuah rapat gelap di Kopeng, Jateng, yang dihadiri beberapa perwira Kodam Diponegoro. Rapat
itu dikoordinir oleh Soeharto melalui salah satu anggota trionya, Yoga Soegama. Tetapi,
Soeharto sendiri tidak hadir. Intinya, rapat memutuskan bahwa Soeharto harus tampil sebagai
Pangdam Diponegoro. Jika tidak, Yoga dan Soeharto akan manggalang kekuatan untuk bersamasama menolak pencalonan Bambang Supeno. Saat itu pencalonan Bambang menjadi Pangdam
belum
ditandatangani oleh Presiden, sehingga Soeharto yang berupaya merebut jabatan itu harus
berpacu dengan waktu.
Namun, ternyata skenario Soeharto (melalui Yoga) ini tidak didukung oleh para perwira peserta
rapat. Dari puluhan perwira yang hadir, hanya seorang perwira kesehatan Kolonel dr.Suhardi
yang menandatangani, tanda setuju atau mendukung pernyataan sikap itu. Yang lain tidak.
Yoga semula mengaku bahwa pertemuan itu tidak diberitahukan lebih dulu kepada Soeharto. Ini
bisa diartikan bahwa bukan Soeharto pembuat skenario. Ketika dua orang utusan Kodam
Diponegoro hendak keJakarta untuk meminta tanda tangan Presiden tentang pengangkatan
340
Bambang Supeno, barulah rapat gelap itu disebarkan. Berdasarkan memori Yoga yang terungkap
kemudian, rapat itu adalah gagasan Soeharto. Pengakuan awal Yoga bahwa Soeharto tidak
mengetahui rapat tersebut – dikatakan Yoga – agar ridak menimbulkan kecurigaan dariJakarta
bahwa Soeharto menggalang kekuatan, menolak pencalonan Bambang Supeno. Tetapi, tentang
hal ini tidak ada konfirmasi, apakah benar rapat gelap itu dikoordinir Soeharto melalui Yoga atau
atas inisiatif Yoga sendiri.
Sebagai pembanding: salah seorang anggota trio Soeharto, Ali Moertopo, menyatakan bahwa
pada saat itu ia adalah komandan pasukan Raiders yang diminta membantu Yoga melancarkan
operasi intelijen. Tidak dirinci bentuk operasi intelijen yang dimaksud, namun tujuannya adalah
mengusahakan agar Soeharto menjadi Panglima Diponegoro. Tetapi, Ali sama sekali tidak
menjelaskan siapa yang meminta dia, Yoga atau Soeharto. Atau mungkin kedua-duanya.
terlepas dari apakah Yoga berbohong atau tidak soal koordinator rapat gelap itu, tetapi rangkaian
pernyataan Yoga dan Ali Moertopo itu menunjukkan adanya suatu komplotan Soeharto.
Komplotan yang bergerak dalam operasi intelijen. Soeharto adalah dalang yang sedang
memainkan wayang-wayangnya. Tentu, dalangnya tidak perlu terjun langsung. Akhirnya, nasib
mujur bagi para wayang tersebut, karena komplotan ini berhasil. Bambang Supeno tidak jadi
Pangdam, melainkan Soeharto yang tampil menjadi Pangdam Diponegoro.
Dari proses komplotan itu bekerja, bisa digambarkan jika seandainya Soeharto tidak jadi
Pangdam dan skenario rapat gelap itu terbongkar sehingga diketahui pimpinan AD, maka pasti
Soeharto akan terhindar dari jerat hukum. Ia bisa dengan mudah berkhianat sebab ia tidak ikut
rapat gelap itu. Yang paling berat risikonya tentu adalah Kolonel dr. Suhardi. Saya
menyimpulkan demikian, sebab hal itu pernah dilakukan oleh Soeharto dan komplotannya ketika
ia melakukan percobaan kudeta pada 3 Juli 1946. Namun kudeta itu gagal dan Soeharto berbalik
arah mengkhianati komplotannya sendiri. Soeharto menangkap komplotannya dan berdalih
mengamankan negara.
Soal itu, sekilas saya ceritakan sebagai berikut: Percobaan kudeta 3 Juli 1946 dilancarkan di
bawah pimpinan Tan Malaka dari Partai Murba. Tan Malaka mengajak kalangan militer Jawa
Tengah, termasuk Soeharto. Yang akan digulingkan adalah Perdana Menteri Sjahrir. Awalnya,
20 Juni 1946 PM Sjahrir dan kawan-kawan diculik diSurakarta . Penculiknya adalah kelompok
militer di bawah komando Divisi III dipimpin oleh Sudarsono. Soeharto selaku salah seorang
komandan militerSurakarta terlibat dalam penculikan itu.
2 Juli 1946 kelompok penculik berkumpul di markas Soeharto sebanyak dua batalyon. Pasukan
lantas dikerahkan untuk menguasai beberapa sektor strategis seperti RRI dan Telkom. Malam itu
juga mereka menyiapkansurat keputusan pembubaran Kabinet Sjahrir dan menyusun kabinet
baru yang sedianya akan ditandatangani oleh Presiden Soekarno di Istana NegaraYogyakarta ,
esok harinya.
SK dibuat dalam empat tingkat. Keputusan Presiden dimuat dalam maklumat nomor 1, 2 dan 3.
Semua maklumat mengarah ke kudeta. Misalnya, maklumat nomor dua berbunyi demikian: Atas
desakan rakyat dan tentara dalam tingkatan kedua terhadap Ketua RevolusiIndonesia yag
berjuang untuk rakyat, maka kami atas nama Kepala Negara hari ini memberhentikan seluruh
kementrian negara Sutan Sjahrir.Yogyakarta , 3 Juli 1946, tertanda: Presiden RI Soekarno.
Tetapi percobaan kudeta ini ternyata gagal.Para pelakunya ditangkap dan ditahan. Persis pada
saat itu Soeharto berbalik arah. Ia yang semula berkomplot dengan penculik, berbalik
menangkapi komplotan penculik. Ia berdalih, keberadaannya sebagai anggota komplotan
penculik merupakan upaya Soeharto mengamankan penculik.
341
Itulah karakter Soeharto dan ia bangga dengan hal itu. Soeharto tidak merasa malu berbalik arah
dari penjahat menjadi menyelamat. Malah, dalam buku otobiografinya, Soeharto menyebut
sekilas peristiwa itu, tetapi menurut versi dia yang tentu saja faktanya dia balik sendiri. Pada
awal Indonesia merdeka itu Soeharto sudah menerapkan politik Bermuka Dua.
EMBRIO DEWAN JENDERAL
Pada akhir tahun 1963 saya selaku Waperdam dan Menlu berkunjung ke RRT. Ini kunjungan
kenegaraan, saya mewakili Presiden Soekarno. Disana saya disambut hangat. Bisa jadi sambutan
itu karena Indonesia punya PKI. Saya diterima sekaligus oleh tiga pimpinan puncak, Perdana
Menteri Chou En-Lai, Presiden Mao Tse-Tung (Liu Shao-Chi?) dan Menlu Chen Yi. Kami tahu,
mereka menaruh simpati pada Presiden Soekarno. Kepemimpinan Bung Karno dikagumi oleh
banyak pemimpin negara-negara lain. Konferensi Asia-Afrika di Indonesia yag sukses, gerakan
negara- negara Non-Blok ide Bung Karno, membuat beliau dikagumi oleh para pemimpin
dunia, termasuk pemimpin RRT.
Inti pembicaraan kami, pimpinan RRT menawarkan kepada Indonesia bantuan peralatan militer
untuk 40 batalyon tentara. Ini peralatan lengkap, mulai dari senjata manual, otomatis, tank dan
kendaraan lapis baja. Hebatnya, semua itu gratis. Juga tanpa syarat. Mendapat tawaran itu, saya
atas nama Presiden mengucapkan terima kasih. Tetapi saya belum bisa menjawab, sebab bukan
kapasitas saya untuk menerima atau menolak. Saya harus melaporkan hal ini kepada Presiden.
Dan begitu tiba di tanah air, tawaran itu langsung saya laporkan kepada Bung Karno. Saya lihat,
tanpa banyak pikir lagi Bung Karno menyatakan: Ya, diterima saja. Menurut pandangan saya
pribadi memang seharusnya begitu. Terlepas apa kepentingan RRT memberikan persenjataan
gratis kepada kita, asal bantuan itu tidak mengikat, mengapa tidak
diterima?
Pernyataan Presiden Soekarno menerima bantuan RRT itu lantas saya sampaikan kepada
pimpinan RRT. Mereka gembira mendengarnya. Mereka menyatakan bahwa akan segera
menyiapkan barang tersebut. Mereka juga meminta konfirmasi kepada kami, kapan barang bisa
dikirim. Hal ini saya sampaikan kepada Bung Karno.
Namun, masalah ini macet sampai di sini. Bung Karno tidak segera menjawab, kapan barang itu
bisa dikirim. Pihak RRT juga tidak mengirimkan barang tersebut. Baru sekitar awal tahun 1965
Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tujuannya adalah untuk menampung
bantuan senjata dari RRT. Saat itu persenjataan untuk empat angkatan (Angkatan Darat,
Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian) dianggap sudah cukup. Karena itu,
agar bantuan senjata tersebut bisa dimanfaatkan secara maksimal, Bung Karno punya ide
membentuk Angkatan Kelima. Jika persenjataan yang dikirim cukup untuk 40 batalyon, maka
Angkatan Kelima berkekuatan sekitar itu. Sebab tujuannya memang untuk memanfaatkan
maksimal pemberian senjata gratis RRT.
Tetapi – ini yang sangat penting – Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima. Beliau
hanya mengatakan demikian: Angkatan Kelima tidak sama dengan angkatan yang sudah ada. Ini
adalah pasukan istimewa yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan angkatan lain. Hal ini perlu
saya tegaskan, karena kemudian beredar isu bahwa Angkatan Kelima adalah para buruh dan
petani yang dipersenjatai. PKI memang pernah mengatakan hal ini, tetapi Bung Karno belum
pernah merinci, bagaimana bentuk Angkatan Kelima itu.
Setelah Bung Karno jatuh dari kekuasaannya, isu ini dijadikan bahan sejarah. Bahkan masuk di
dalam buku sejarah yang dipelajari di sekolah. Tentu Bung Karno tidak dapat membantah isu
342
tersebut sebab sejak beberapa waktu kemudian praktis Bung Karno menjadi tawanan Soeharto
sampai beliau meninggal dunia. Bung Karno sudah menjadi pihak yang terkalahkan, sehingga
masyarakat tidak lagi berpikir jernih melihat Bung Karno. Kalau masyarakat berpikir jernih,
pasti muncul analisis, hanya pimpinan bodoh yang mempersenjatai buruh dan petani di negara
yang relatif baru lahir, karena jelas hal itu akan membuat negara dalam kondisi sangat
berbahaya. Semua tahu bahwa Bung Karno tidak bodoh. Atau, bisa jadi masyarakat saat itu ada
yang berpikiran jernih, tetapi mereka tidak berani mengungkapkan. Bukankah pada zaman Orde
Baru bicara politik – apalagi membahas sejarah versi Orba – bisa membuat yang bersangkutan
tidak lagi bisa pulang ke rumahnya?
Meskipun saat ide tersebut dilontarkan oleh Bung Karno belum ada embel-embel buruh dan
petani dipersenjatai, tetapi kalangan militer tidak setuju. Menpangad Letjen A Yani sudah
menyampaikan langsung kepada Presiden bahwa ia tidak setuju dibentuk Angkatan Kelima. Para
jenderal lainnya mendukung sikap Yani. Mereka tidak setuju ada angkatan lain. Empat angkatan
dianggap sudah cukup. Setelah Yani menyampaikan sikapnya kepada Presiden, masalah ini
kemudian menjadi pembicaraan di kalangan elite politik. Dan pembicaraan tentang itu menjadi
berlarut-larut. Juga muncul banyak spekulasi tentang bentuk Angkatan Kelima.
Muncul pula berbagai praduga tentang penolakan Yani terhadap ide Bung Karno itu. Sementara,
Bung Karno sendiri tetap tidak menjelaskan secara rinci bentuk Angkatan Kelima tersebut. Saya
sebagai orang yang paling dekat dengan Bung Karno saat itu pun tidak diberitahu.
Sampai akhirnya Bung Karno memanggil Yani. Dijadwalkan, Yani akan diterima oleh Presiden
di Istana Negara pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Agendanya, Yani akan ditanya
lagi tentang Angkatan Kelima. Seorang sumber saya mengatakan, ketika Yani menerima surat
panggilan dari Presiden, beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, Yani sempat mengatakan: Saya
mungkin akan dicopot dari Menpangad, sebab saya tidak setuju Angkatan Kelima. Ucapan Yani
ini juga cepat menyebar. Bahkan beredar isu di kalangan petinggi AD bahwa pengganti Yani
adalah orang kedua di AD, yakni Gatot Subroto. Namun Yani dibunuh beberapa jam sebelum ia
menghadap Presiden Soekarno. Jika diperkirakan Yani dibantai sekitar pukul 04.00 WIB, berarti
empat jam kemudian mestinya ia menghadap Presiden.
343
BAB 2 : GERAKAN YANG DIPELINTIR BUNG KARNO MASUK ANGIN
Ada peristiwa kecil, namun dibesar-besarkan oleh Kelompok Bayangan Soeharto, sehingga
kemudian menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu adalah sakitnya Bung
Karno pada awal Agustus 1965. Dalam buku-buku sejarah banyak ditulis bahwa sakitnya Bung
Karno pada saat itu adalah sangat berat. Dikabarkan, pimpinan PKI DN Aidit sampai
mendatangkan dokter dari RRT. Dokter RRT yang memeriksa Bung Karno menyatakan bahwa
Bung Karno sedang kritis. Intinya, jika tidak meninggal dunia, Bung Karno dipastikan bakal
lumpuh. Ini menggambarkan bahwa Bung Karno saat itu benar-benar sakit parah.
Dari peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku) lantas dianalisis bahwa PKI – yang saat itu
berhubungan mesra dengan Bung Karno – merasa khawatir pimpinan nasional bakal beralih ke
tangan orang AD. PKI tentu tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah bermusuhan
dengan AD sejak pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Menurut analisis tersebut, begitu PKI
mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka menyusun kekuatan untuk merebut
kekuasaan. Akhirnya meletus G30S. Ini alibi rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan bahwa
PKI adalah dalang G30S. Ini juga ditulis di banyak buku, sebab memang hanya itu informasi
yang ada dan tidak dapat dikonfirmasi, karena pelakunya – Bung Karno, DN Aidit dan dokter
RRT – ketiga-tiganya tidak dapat memberikan keterangan sebagai bahan perbandingan. Bung
Karno ditahan sampai meninggal. Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan
dokter RRT itu tidak jelas keberadaannya. Itulah sejarah versi plintiran.
Tetapi ada saksi lain selain tiga orang itu, yakni saya sendiri dan Wakil Perdana Menteri-II, dr.
Leimena. Jangan lupa, saya adalah dokter yang sekaligus dekat dengan Bung Karno. Saya juga
mengetahui secara persis peristiwa kecil itu. Yang benar demikian: memang Bung Karno
diperiksa oleh seorang dokter Cina yang dibawa oleh Aidit, tetapi dokternya bukan didatangkan
dari RRT, melainkan dokter Cina dari Kebayoran Baru, Jakarta, yang dibawa oleh Aidit. Fakta
lain: Bung Karno sebelum dan sesudah diperiksa dokter itu juga saya periksa. Pemeriksaan yang
saya lakukan didampingi oleh dr. Leimena. Jadi ada tiga dokter yang memeriksa Bung Karno.
Penyakit Bung Karno saat itu adalah: masuk angin. Ini jelas dan dokter Cina itu juga mengatakan
kepada Bung Karno di hadapan saya dan Leimena bahwa Bung Karno hanya masuk angin. DN
Aidit juga mengetahui penyakit Bung Karno ini. Mengenai penyebabnya, sayalah yang tahu.
Beberapa malam sebelumnya, Bung Karno jalan- jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta.
Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di
malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan Bung Karno. Nah, itulah
penyebab masuk angin. Tetapi kabar yang beredar adalah bahwa Bung Karno sakit parah. Lantas
344
disimpulkan bahwa karena itu PKI kemudian menyusun kekuatan untuk mengambil-alih
kepemimpinan nasional. Akhirnya meletus G30S yang didalangi oleh PKI.
Kabar itu sama sekali tidak benar. DN Aidit tahu kondisi sebenarnya. Ini berarti bahwa
kelompok Soeharto sengaja menciptakan isu yang secara logika membenarkan PKI berontak atau
menyebarkan kesan (image) bahwa dengan cerita itu PKI memiliki alasan untuk melakukan
kudeta. Ketika Kamaruzaman alias Sjam diadili, ia memperkuat dongeng kelompok Soeharto.
Sjam adalah kepala Biro Khusus PKI sekaligus perwira intelijen AD. Sjam mengaku bahwa
ketika Bung Karno jatuh sakit, ia dipanggil oleh Aidit ke rumahnya pada tanggal 12 Agustus
1965. Ia mengaku bahwa dirinya diberitahu oleh Aidit mengenai seriusnya sakit Presiden dan
adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila Bung Karno
meninggal. Masih menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia untuk meninjau kekuatan kita dan
mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam ini menjadi rujukan di banyak buku. Tidak ada
balance, tidak ada pembanding. Yang bisa memberikan balance sebenarnya ada lima orang yaitu
Bung Karno, Aidit, dokter Cina (saya lupa namanya), Leimena dan saya sendiri. Tetapi setelah
meletus G30S semuanya dalam posisi lemah. Ketika diadili, saya tidak diadili dengan tuduhan
terlibat G30S, sehingga tidak relevan saya ungkapkan.
Kini saya katakan, semua buku yang menyajikan cerita sakitnya Bung Karno itu tidak benar.
Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya masuk angin, sehingga tidak masuk akal jika ia
memerintahkan anak buahnya, Sjam, untuk menyiapkan suatu gerakan. Ini jika ditinjau dari
logika: PKI ingin mendahului merebut kekuasaan sebelum sakitnya Bung Karno semakin parah
dan kekuasaan akan direbut oleh AD. Logikanya, Aidit akan tenang-tenang saja, sebab bukankah
Bung Karno sudah akrab dengan PKI?
Mengapa PKI perlu menyiapkan gerakan di saat mereka disayangi oleh Presiden Soekarno yang
segar bugar?Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan Soeharto jelas kelihatan ingin
secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi seperti itu.
Provokasi adalah cara perjuangan yang digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk
mendorong PKI mendahului memukul AD. Ini taktik untuk merebut legitimasi rakyat. Jika PKI
memukul AD, maka PKI ibarat dijebak masuk ladang pembantaian (killing field). Sebab, AD
akan – dengan seolah-olah terpaksa – membalas serangan PKI. Dan, serangan AD terhadap PKI
ini malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya membalas. Ini taktik AD Kubu Soeharto
untuk menggulung PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki massa yang sangat besar, sehingga
tidak dapat ditumpas begitu saja tanpa taktik yang canggih.
Tetapi PKI tidak juga terpancing. Pelatuk tidak juga ditarik meskipun PKI sudah diprovokasi
sedemikian rupa. Mungkin PKI sadar bahwa mereka sedang dijebak. Peran Aidit sangat besar,
dengan tidak memberikan instruksi kepada anggotanya. Tetapi toh akhirnya PKI dituduh
mendalangi G30S, walaupun keterlibatan langsung PKI dalam peristiwa itu belum pernah
diungkap secara jelas. Pelaku G30S adalah tentara dan gerakan itu didukung oleh Soeharto yang
juga tentara. Sedangkan Aidit langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.
345
DEWAN JENDERAL
Isu Dewan Jenderal sebenarnya bersumber dari Angkatan Kelima. Dan seperti diungkap di
bagian terdahulu, Angkatan Kelima bersumber dari rencana sumbangan persenjataan gratis dari
RRT. Tiga hal ini berkaitan erat. Pada bagian terdahulu diungkapkan bahwa tawaran bantuan
persenjataan gratis untuk sekitar 40 batalyon dari RRT diterima Bung Karno. Hanya tawaran
yang diterima, barangnya belum dikirim. Bung Karno lantas punya ide membentuk Angkatan
Kelima. Tapi Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima itu.
Ternyata Menpangad Letjen A Yani tidak menyetujui ide mengenai Angkatan Kelima itu. Para
perwira ABRI lainnya mengikuti Yani, tidak setuju pada ide Bung Karno itu. Empat angkatan
dinilai sudah cukup. Karena itulah berkembang isu mengenai adanya sekelompok perwira AD
yang tidak puas terhadap Presiden. Isu terus bergulir, sehingga kelompok perwira yang tidak
puas terhadap Presiden itu disebut Dewan Jenderal. Perkembangan isu selanjutnya adalah bahwa
Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap Presiden.
Menjelang G30S meletus, Presiden memanggil Yani agar menghadap ke Istana. Yani rupanya
merasa bahwa ia akan dimarahi oleh Bung Karno karena tidak menyetujui Angkatan Kelima.
Yani malah sudah siap kursinya (Menpangad) akan diberikan kepada orang lain. Saat itu juga
beredar isu kuat bahwa kedudukan Yani sebagai Menpangad akan digantikan oleh wakilnya,
Mayjen Gatot Subroto. Presiden Soekarno memerintahkan agar Yani menghadap ke Istana pada
1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Tetapi hanya beberapa jam sebelumnya Yani diculik dan
dibunuh. Yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu adalah Letkol Untung Samsuri.
Sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana – Cakra Birawa – ia memang harus tanggap
terhadap segala kemungkinan yang membahayakan keselamatan Presiden. Untung gelisah.
Lantas Untung punya rencana mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap
mereka. Rencana ini disampaikan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu Soeharto
mendukung. Malah Untung dijanjikan akan diberi bantuan pasukan. Ini diceritakan oleh Untung
kepada saya saat kami sama-sama ditahan di LP Cimahi, Bandung (lengkapnya simak sub-bab
Menjalin Sahabat Lama).
Saya menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu pertama kali dari wakil saya di BPI
(Badan Pusat Intelijen), tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada
sekelompok jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap
Presiden. Segera setelah menerima laporan, langsung saya laporkan kepada Presiden. Saya lantas
berusaha mencari tahu lebih dalam. Saya bertanya langsung kepada Letjen Ahmad Yani tentang
hal itu. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada, tetapi itu Dewan yang bertugas
merancang kepangkatan di Angkatan Bersenjata dan bukan Dewan yang akan melakukan kudeta.
Masih tidak puas, saya bertanya kepada Brigjen Soepardjo (Pangkopur II). Dari Soepardjo saya
mendapat jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang benar. Sekarang Dewan Jenderal
sudah siap membentuk menteri baru. Pada 26 September 1965 muncul informasi yang lebih jelas
lagi. Informasi itu datang dari empat orang sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata, Nawawi
Nasution, Sumantri dan Agus Herman Simatupang. Dua nama yang disebut terdahulu adalah
orang NU sedangkan dua nama belakangnya dri IPKI. Mereka cerita bahwa pada tanggal 21
September 1965 diadakan rapat Dewan Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta.
Rapat itu membicarakan antara lain: Mengesahkan kabinet versi Dewan Jenderal. Muchlis tidak
346
hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan pita rekaman pembicaran dalam rapat. Dalam rekaman
tersebut ada suara Letjen S. Parman (salah satu korban G30S) yang membacakan susunan
kabinet.
Susunan kabinet versi Dewan Jenderal – menurut rekaman itu – adalah sebagai berikut: Letjen
AH Nasution sebagai Perdana Menteri Letjen A Yani sebagai Waperdam-I (berarti
menggantikan saya) merangkap Menteri Hankam, Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar
Negeri, Mayjen Suprapto menjadi Menteri Dalam Negeri, Letjen S Parman sendiri menjadi
Menteri Kehakiman, Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh Soeharto) menjadi
menteri Pertambangan.
Rekaman ini lantas saya serahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana Dewan Jenderal ini sangat
peka dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno. Seharusnya rencana ini
masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat orang sipil? Saya
menarik kesimpulan: tiada lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi, maka rekaman
itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan suatu rencana besar yang semakin jelas gambarannya.
Bisa untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin bahwa Dewan Jenderal – yang semula
kabar angin – benar-benar ada.
Hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen Gilchrist. Dokumen
ini sebenarnya adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta Besar Inggris untuk
Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada Kementrian Luar Negeri Inggris. Dokumen itu
bocor ketika hubungan Indonesia- Inggris sangat tegang akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia
soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan). Saat itu Malaysia adalah bekas koloni Inggris yang
baru merdeka. Inggris membantu Malayia mengirimkan pasukan ke Borneo. Saya adalah orang
yang pertama kali menerima Dokumen Gilchrist. Saya mendapati dokumen itu sudah tergeletak
di meja kerja saya. Dokumen sudah dalam keadaan terbuka, mungkin karena sudah dibuka oleh
staf saya. Menurut laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang kurir yang mengaku bernama
Kahar Muzakar, tanpa identitas lain, tanpa alamat. Namun berdasarkan informasi yang saya
terima, surat tersebut mulanya tersimpan di rumah Bill Palmer, seorang Amerika yang tinggal di
Jakarta dan menjadi distributor film-film Amerika. Rumah Bill Palmer sering dijadikan bulanbulanan demonstrasi pemuda dari berbagai golongan. Para pemuda itu menentang peredaran film
porno yang diduga diedarkan dari rumah Palmer.
Isi dokumen itu saya nilai sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist melaporkan kepada atasannya
di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden
Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya tentang
persiapan suatu operasi militer di Indonesia. Saya kutip salah satu paragraf yang berbunyi
demikian: rencana ini cukup dilakukan bersama ‗our local army friends.‘ Sungguh gawat.
Sebelumnya sudah beredar buku yang berisi rencana Inggris dan AS untuk menyerang Indonesia.
Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah melontarkan bantahan, padahal sudah mengetahui
bahwa dokumen rahasia itu beredar di Indonesia.
Saya selaku kepala BPI mengerahkan intelijen untuk mencek otentisitas dokumen itu. Hasilnya
membuat saya yakin bahwa Dokumen Gilchrist itu otentik. Akhirnya dokumen tersebut saya
laporkan secara lengkap kepada Presiden Soekarno. Reaksinya, beliau terkejut. Berkali-kali
347
beliau bertanya keyakinan saya terhadap keaslian dokumen itu. Dan berkali-kali pula saya jawab
yakin asli. Lantas beliau memanggil para panglima untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno
saya menyimpulkan bahwa Dokumen Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga membakar.
Bung Karno sebagai target operasi seperti merasa terbakar. Namun sebagai negarawan ulung,
beliau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan. Menurut penglihatan saya, tentu
Bung Karno cemas. Saya menyimpulkan, Bung Karno sedang terbakar oleh provokasi itu.
Terlepas dari asli-tidaknya dokumen itu, saya menilai bahwa ini adalah alat provokasi untuk
memainkan TNI AD dalam situasi politik Indonesia yang memang tidak stabil. Saya mengatakan
provokasi jika ditinjau dari dua hal. Pertama: isinya cukup membuat orang yang menjadi sasaran
merasa ngeri.
Kedua, dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung Bung Karno
dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia seperti itu berada di rumah Palmer yang menjadi
bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan suatu cara provokasi?
Saya katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya provokasi, maka itu adalah provokasi
pertama. Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal. Jika diukur dari kebiasaan
aktivitas terbuka, maka sumber utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit untuk
dipastikan. Di sisi lain, Soeharto juga bermain dalam isu Dewan Jenderal. Beberapa waktu
sebelum G30S meletus, Yoga diutus oleh Soeharto untuk menemui Mayjen S Parman guna
menyampaikan saran agar Parman berhati-hati karena isu bakal adanya penculikan terhadap
jenderal-jenderal sudah santer beredar. Namun tidak ada yang tahu siapa yang menyebarkan isu
seperti itu. Parman tidak terlalu serius menanggapi saran itu, sebab itu hanya isu. Parman
bertanya kepada Yoga: Apakah pak Yoga sudah punya bukti-bukti? Yang ditanya menjawab:
Belum, pak. Lantas Parman menyarankan agar Yoga mencari bukti. Jangan hanya percaya isu
sebelum ada bukti, kata Parman. Yoga menyanggupi akan mencarikan bukti.
Setelah G30S meletus, saya teringat saran Yoga kepada Parman itu. Yoga adalah anggota Trio
Soeharto. Saya kemudian berkesimpulan bahwa informasi yang disampaikan oleh Yoga kepada
Parman itu bertujuan untuk mengetahui reaksi Parman yang dikenal dekat dengan Yani. Info
tersebut tentu untuk memancing, apakah Parman sudah tahu. Sekaligus – jika memungkinkan –
mengungkap seberapa jauh atisipasi Parman terhadap isu tersebut. Dan karena Parman adalah
teman dekat Yani, reaksi Parman ini bisa disimpulkan sebagai mewakili persiapan Yani. Dengan
reaksi Parman seperti itu, maka bisa disimpulkan bahwa Parman sama sekali tidak
mengantisipasi arah selanjutnya jika seandainya Dewan Jenderal benar-benar ada. Parman tidak
siap meghadapi kemungkinan yang bakal terjadi selanjutnya. Ini juga bisa disimpulkan bahwa
Yani juga tidak siap. Jika ini saya kaitkan dengan pertanyaan saya pada Yani soal isu Dewan
Jenderal, maka jelas-jelas bahwa Yani tidak punya persiapan sama sekali. Intinya, info dari Yoga
kepada Parman berbalas info, sehingga kelompok Soeharto mendapatkan info bahwa kelompok
Yani sama sekali belum siap mengantisipasi kemungkinan terjadinya penculikan. Lebih jauh,
rencana Soeharto melakukan gerakan dengan memanfaatkan Kolonel Latief dan memanipulasi
kelompok Letkol Untung, belum tercium oleh kelompok lawan: Kelompok Yani. Jika
seandainya gerakan gagal mencapai tujuan (khususnya bila Parman tidak berhasil dibunuh),
maka peringatan Yoga akan lain maknanya. Peringatan itu bisa berubah menjadi jasa Soeharto
menyelamatkan Parman. Maka Soeharto tetap tampil sebagai pahlawan. Jadi tindakan Soeharto
ini benar-benar strategis.
348
PERAN AMERIKA SERIKAT
Apakah AS berperan memlintir isu sakitnya Presiden dan Dewan Jenderal? Sudah jelas AS takut
Indonesia dikuasai oleh komunis. Dan karena Bung Karno cenderung kiri, maka proyek mereka
ada dua: hancurkan PKI dan gulingkan Bung Karno. Selain tidak suka pada Bung Karno, AS
juga punya kepentingan ekonomis di Indonesia dan secara umum di Asia. Sebagai gambaran:
Malaysia hanya kaya akan karet dan timah; Brunei Darussalam hanya kaya minyak; sedangkan
Indonesia memiliki segalanya di bidang tambang dan hasil bumi. Terlebih wilayahnya jauh lebih
luas dibandingkan dengan Malaysia dan Brunei. Secara kongkrit bisnis minyak AS di Indonesia
(Caltex) serta beberapa perusahaan lainnya – bagi AS – harus aman. Karena itu politik Bung
Karno dianggap membahayakan kepentingan AS di Indonesia. Namun mereka kesulitan
mengubah sikap Bung Karno yang tegas. Ada upaya AS untuk membujuk Bung Karno agar
mengubah sikap politiknya tetapi gagal. Secara politis Bung Karno juga sangat kuat. Di dalam
negeri Bung Karno didukung oleh Angkatan Bersenjata dan PKI. Tak kalah pentingnya, rakyat
sungguh kagum dan simpati terhadapnya. Di luar negeri ia mendapat dukungan dari negaranegara Asia Tenggara dengan politik Non-Bloknya.
Itulah sebabnya, secara intuitif saya yakin bahwa AS ikut main di dua isu itu. Soal sakitnya
Presiden, target mereka bukan menjebak PKI melakukan gerakan – sehingga PKI masuk ladang
pembantaian – sebab Aidit tahu persis Presiden hanya masuk angin. Plintiran isu tersebut lebih
untuk konsumsi publik. Jika suatu saat ada gerakan perebutan kekuasaan, maka akan terlihat
wajar bila gerakan itu dilakukan oleh PKI. Jika Presiden sakit keras, wajar PKI merebut
kekuasaan, karena takut negara akan dikuasai oleh militer. Dan karena itu, wajar pula jika PKI
dihabisi oleh militer. Dewan Jenderal lebih banyak dimainkan oleh pemain lokal, meskipun AS
bisa membantu dengan isu senjata dari RRT, Angkatan Kelima dan penolakan Yani terhadap
Angkatan Kelima. Tetapi Dokumen Gilchrist jelas ada pemain Amerikanya. Dokumen itu
awalnya disimpan di rumah warga Amerika Bill Palmer. Dokumen tersebut menurut saya
otentik, namun mengapa dibocorkan? Itu semua secara intiusi. Faktanya: pada pertengahan
November 1965 AS mengirim bantuan obat-obatan dalam jumlah besar ke Indonesia. Bantuan
tersebut mengherankan saya. Indonesia tidak sedang dilanda gempa bumi. Juga tidak ada
bencana atau perang. Yang ada adalah bahwa pada 1 Oktober 1965 terjadi pembantaian enam
jenderal dan seorang letnan. Seminggu sesudahnya, AD di bawah pimpinan Soeharto dan dibantu
oleh para pemuda membantai PKI. Pada saat obat- obatan itu dikirim kira-kira sudah 40 ribu
anggota PKI dan simpatisannya dibantai. Nah, di sinilah pengiriman obat-obatan itu menjadi
janggal. Suatu logika yang sangat aneh jika AS membantu obat-obatan untuk PKI. Baru
beberapa waktu kemudian saya mendapat laporan bahwa kiriman obat-obatan itu hanya kamu
flase; hanya sebuah selubung untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih penting. Sebenarnya itu
adalah kiriman senjata untuk membantu tentara dan pemuda membantai PKI. Sayangnya,
pengetahuan saya tentang hal ini sudah sangat terlambat.
Bung Karno sudah menjelang ajal politik. Paling tidak ini menambah keyakinan saya bahwa AS
ikut bermain dalam rangkaian G30S. Bagi AS, menghancurkan komunis di Indonesia sangat
tinggi nilainya untuk menjamin dominasi AS diAsia Tenggara. Di sisi lain, reputasi mereka di
bidang subversif sudah dibuktikan dengan tampilnya agen-agen CIA yang berpengalaman
349
menghancurkan musuh di berbagai negara, walaupun reputasi itu di dalam negeri malah dikecam
habis-habisan oleh rakyat AS sendiri.
Salah satu agen CIA yang andal adalah Marshall Green (Dubes AS untuk Indonesia).
Reputasinya di bidang subversif tak diragukan lagi. Sebelum bertugas di Indonesia ia adalah
Kuasa Usaha AS di Korea Selatan. Di sana ia sukses menjalankan misi AS membantu
pemberontakan militer oleh Jenderal Park Chung Hee yang kemudian memimpin pemerintahan
militer selama tiga dekade. Di Indonesia ia menggantikan Howard Jones menjelang meletusnya
G30S. Jadi pemain penting asing dalam drama 1 Oktober 1965 itu adalah Green dan Jones.
Tentu CIA tidak dapat bekerja sendiri menghancurkan komunis di Indonesia. Apalagi pada
Februari 1965 AS memulai pemboman pertama di Vietnam Utara. Praktis konsentrasinya –
khusus untuk penghancuran komunis – terbagi. Baik di Indonesia maupun Vietnam Utara,
mereka butuh mitra lokal. Di Indonesia mereka merekrut Kamaruzaman yang lebih terkenal
dengan panggilan Sjam sebagai spion. Sjam adalah tentara sekaligus orang PKI. Kedudukan
Sjam di PKI sangat strategis yaitu sebagai Ketua Biro Khusus PKI yang bisa berhubungan
langsung dengan Ketua PKI DN Aidit. Sebaliknya, para perwira kelompok kontra Dewan
Jenderal memberi informasi kepada saya bahwa Sjam sering memimpin rapat intern AD. Tidak
jelas benar, apakah Sjam itu tentara yang disusupkan ke dalam tubuh PKI atau orang PKI yang
disusupkan ke dalam AD. Tetapi jelas ia adalah mitra lokal CIA. Dan CIA beruntung memiliki
mitra lokal yang berdiri di dua kubu yang berseberangan.
Tetapi permainan Sjam sangat kasar. Ingat pernyataannya bahwa pada tanggal 12 Agustus 1965
ia mengaku dipanggil oleh Aidit untuk membahas betapa seriusnya sakit Presiden. Juga
Kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera jika Presiden meninggal. Itu
dikatakan setelah Aidit dibunuh. Di pengadilan Sjam mengatakan bahwa perintah menembak
para jenderal datang dari dia sendiri, namun itu atas perintah Aidit yang disampaikan kepadanya.
Inilah satu- satunya pernyataan yang memberatkan Aidit selain keberadaan Aidit di Halim pada
taggal 30 September 1965 malam. Namun Aidit tidak sempat bicara sebab dia ditembak mati
oleh Kolonel Yasir Hadibroto (kelak dijadikan Gubernur Lampung oleh Soeharto) beberapa hari
setelah G30S di Boyolali, Jateng. Jika Sjam itu seorang tentara, ia ibarat martil. Keterangannya
sangat menguntungkan pihak yang menghancurkan PKI. Namun setelah bertahun-tahun berstatus
tahanan, Sjam diadili dan dihukum mati. Keberpihakannya kepada PKI, AD dan AS akhirnya
tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri.
MENJALIN SAHABAT LAMA
Ini adalah bagian yang mengungkap keterlibatan Soeharto dalam G30S. Dia menjalin hubungan
dengan dua sahabat lama – Letkol TNI AD Untung Samsuri dan Kolonel TNI AD Abdul Latief –
beberapa waktu sebelum meletus G30S. Untung kelak menjadi komandan pasukan yang
menculik dan membunuh 7 perwira, sedangkan Latief hanya dituduh terlibat dalam peristiwa itu.
Untung adalah anak buah Soeharto ketika Soeharto masih menjabat sebagai Panglima Divisi
Diponegoro, Jateng. Untung bertubuh agak pendek namun berjiwa pemberani. Selama beberapa
bulan berkumpul dengan saya di Penjara Cimahi, Bandung, saya tahu persis bahwa Untung tidak
menyukai politik. Ia adalah tipe tentara yang loyal kepada atasannya, sebagaimana umumnya
sikap prajurit sejati. Kepribadiannya polos dan jujur. Ini terbukti dari fakta bahwa sampai
350
beberapa saat sebelum dieksekusi, dia masih tetap percaya bahwa vonis hukuman mati terhadap
dirinya tidak mungkin dilaksanakan. Percayalah, pak Ban, vonis buat saya itu hanya sandiwara,
katanya suatu hari pada saya. Kenapa begitu? Karena ia percaya pada Soeharto yang mendukung
tindakannya: membunuh para jenderal. Soal ini akan dibeberkan di bagian lebih lanjut. Sekitar
akhir 1950-an Soeharto dan Untung pisah kesatuan. Namun pada tahun 1962 mereka berkumpul
lagi. Mereka dipersatukan oleh tugas merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Saat itu Soeharto
adalah Panglima Komando Mandala, sedangkan Untung adalah anak buah Soeharto yang
bertugas di garis depan. Dalam tugas itulah keberanian Untung tampak menonjol: ia memimpin
kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana. Operasi pembebasan Irian
akirnya sukses. Pada tanggal 15 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Irian kepada PBB. Lantas
pada tanggal 1 Mei 1963 Irian diserahkan oleh PBB ke pangkuan RI. Keberanian Untung di
medan perang sampai ke telinga Presiden. Karena itu Untung dianugerahi Bintang Penghargaan
oleh Presiden Soekarno karena keberaniannya.
Setelah itu Untung dan Soeharto berpisah lagi dalam hubungan garis komando. Presiden
Soekarno menarik Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana, Cakra Bhirawa.
Sedangkan Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad. Namun tugas baru Untung itu membuat
Soeharto marah. Soeharto ingin merekrut Untung masuk ke Kostrad menjadi anak-buahnya,
karena ia tahu bahwa Untung itu pemberani. Tetapi apa mau dikata, Presiden sudah terlanjur
menarik Untung ke dalam pasukan elite kawal Istana. Soeharto hanya bisa kecewa. Saat itu
konflik Bung Karno dan PKI di satu sisi dengan para pimpinn AD di sisi lain belum terlalu
tajam. Dalam perkembangannya, konflik Bung Karno dan PKI dengan AD itu semakin
memuncak. Konflik itu diikuti oleh polarisasi kekuatan politik dan militer yang semakin
meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa sewaktu-waktu konflik bisa mengarah ke suatu
kondisi yang mengkhawatirkan.
Sebab Bung Karno adalah pemimpin yang kharismatik yang didukung oleh rakyat dan sebagian
besar perwira Angkatan Bersenjata, kecuali sebagian kecil perwira AD. Di sisi lain, PKI – seperti
sudah saya sebutkan di muka – saat itu memiliki massa dalam jumlah sangat besar. Bisa
dibayangkan apa yang bakal terjadi jika konflik ini semakin tajam. Nah, saat konflik meningkat
itulah justru Soeharto bersyukur bahwa Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal
Istana Cakra Bhirawa. Kedudukan Untung di sana menjadi titik strategis dipandang dari sisi
Soeharto yang menunggu momentum untuk merebut kekuasaan negara. Maka hubungan
Soeharto-Untung kembali membaik, meskipun beberapa waktu sebelumnya Soeharto sempat
marah dan membenci Untung. Bukti membaiknya hubungan itu adalah bahwa beberapa waktu
kemudian, di akhir 1964, Untung menikah di Kebumen dan Soeharto bersama istrinya, Ny.
Soehartinah (Tien) menghadiri resepsinya di Kebumen.
Seorang komandan menghadiri pernikahan bekas anak-buah adalah hal yang sangat wajar,
memang. Tetapi jarak antara Jakarta-Kebumen tidak dekat. Apalagi saat itu sarana transportasi
dan terutama kondisi jalan sangat tak memadai. Jika tak benar- benar sangat penting, tidak
mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung. Langkah Soeharto
mendekati Untung ini terbaca di kalangan elite politik dan militer saat itu, tetapi mereka hanya
sekadar heran pada perhatian Soeharto terhadap Untung yang begitu besar. Di sisi lain, Soeharto
juga membina persahabatan lama dengan Kolonel Abdul Latief yang juga bekas anak-buahnya di
Divisi Diponegoro. Latief adalah juga seorang tentara pemberani. Ia adalah juga seorang yang
351
saya nilai jujur. Namun, berbeda dengan Untung, Latief mengantongi rahasia skandal Soeharto
dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya. Dalam serangan itu Belanda diusir dari Yogya
(ketika itu ibu-kota RI) hanya dalam waktu enam jam. Itu sebabnya serangan ini disebut juga
Enam jam di Yogya, yang dalam sejarah disebut sebagai Operasi Janur Kuning karena saat
operasi dilaksanakan semua pasukan yang berjumlah sekitar 2000 personil (termasuk pemuda
gerilyawan) diharuskan mengenakan janur kuning (sobekan daun kelapa) di dada kiri sebagai
tanda.
Yang tidak mengenakan tanda khusus ini bisa dianggap sebagai mata-mata Belanda dan tidak
salah jika ditembak mati. Soeharto (di kemudian hari) mengklaim keberhasilan mengusir
Belanda itu atas keberaniannya. Serangan Oemoem 1 Maret 1949 itu katanya, adalah ide dia.
Soal ini sudah diungkap di berbagai buku, bahwa serangan tersebut adalah ide Sri Sultan
Hamengku Buwono IX. Soeharto adalah komandan pelaksana serangan. Namun bagi Latief
persoalan ini terlalu tinggi. Latief hanya merupakan salah satu komandan kompi. Hanya saja
karena dia kenal Soeharto sewaktu masih sama-sama di Kodam Diponegoro, ia dekat dengan
Soeharto. Letief tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal teknis pertempuran.
Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai pukul 06.00 WIB, persis saat sirene
berbunyi tanda jam malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang begitu besar,
Belanda terkejut. Perlawanan mereka sama sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka sudah
kalah strategi, diserang mendadak dari berbagai penjuru kota oleh pasukan yang jumlahnya
demikian banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil direbut tentara kita. Namun
Belanda sempat minta bantuan pasukan dari kota lain. Walaupun bala bantuan pasukan Belanda
datang agak terlambat, namun mereka memiliki persenjataan yang lebih baik dibanding tentara
kita. Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis baja. Pada saat itulah terjadi pertempuran hebat
di seantero Yogyakarta.
Pada scope lebih kecil, kelompok pasukan pimpinan Latief kocar-kacir digempur serangan balik
pasukan Belanda. Dalam kondisi seperti itu Latief memerintahkan pasukannya mundur ke
Pangkalan Kuncen sambil tetap berupaya memberikan tembakan balasan. Setelah di garis
belakang, Latief memeriksa sisa pasukan. Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di saat mundur tadi
sekilas diketahui 12 orang terluka dan 2 orang gugur di tempat. Mereka yang luka terpaksa
ditinggal di medan pertempuran, sehingga kemungkinan besar juga tewas, sedangkan pemuda
gerilyawan (juga di bawah kompi Latief) yang tewas 50 orang. Nah, saat Latief bersama sisa
pasukannya berada di garis belakang itulah mereka berjumpa Soeharto. Apa yang sedang
dilakukan Soeharto? Dia sedang santai makan soto babat, ujar Latief. Ketika itu perang sedang
berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda gerilyawan tengah beradu nasib menyabung nyawa,
merebut tanah yang diduduki oleh penjajah. Toh, Latief dengan sikap tegap prajurit melapor
kepada Soeharto tentang kondisi pasukannya. Soeharto ternyata juga tidak berbasa-basi misalnya
menawari Latief dan anak-buahnya makan. Sebaliknya Soeharto langsung memerintahkan Latief
bersama sisa pasukannya untuk menggempur belanda yang ada di sekitar Kuburan Kuncen, tidak
jauh dari lokasi mereka.
Belanda akhirnya berhasil diusir dari Yogyakarta dalam tempo enam jam. Secara keseluruhan
dalam pertempuran itu pasukan kita menang, meskipun dalam scope kecil pasukan pimpinan
Latief kocar-kacir. Komandan dari seluruh pasukan itu adalah Soeharto yang – boleh saja –
menepuk dada membanggakan keberaniannya. Bahkan Soeharto kemudian bertindak jauh lebih
352
berani lagi dengan mengakui bahwa ide serangan itu dalah idenya (yang kini terbukti tidak
benar). Namun soal Soto babat menjadi skandal tersendiri bagi figur seorang komandan pasukan
tempur di mata Latief. Dan skandal ini diungkap oleh Latief pada saat dia diadili di Mahkamah
Militer dengan tuduhan terlibat G30S. Kendati begitu, skandal ini tidak menyebar karena saat itu
Soeharto sudah berkuasa. Soeharto sudah menjadi pihak yang menang dan Latief menjadi pihak
yang kalah. Apa pun informasi dari pihak yang kalah sudah pasti disalahkan oleh pihak yang
menang.
Setelah Serangan Oemoem 1 Maret, Soeharto-Latief pisah kesatuan. Soeharto akhirnya menjadi
Pangkostrad, sementara Latief akhirnya menjadi Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti,
Kodam Jaya. Posisi Latief cukup strategis. Maka Soeharto kembali membina hubungan lama
dengan Latief . Jika Untung didatangi oleh Soeharto saat menikah di Kebumen, Latief juga
didatangi di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat Latief mengkhitankan anaknya. Saya
menilai, Soeharto mendekati Latief dalam upaya sedia payung sebelum hujan, sebab suatu saat
nanti Latief akan dimanfaatkan oleh Soeharto.
Kini cerita lama terulang kembali. Jika dulu Soeharto membentuk trio bersama Yoga Soegama
dan Ali Moertopo, kini bersama Untung dan Latief. Semuanya teman-teman lama Soeharto
ketika masih di Jawa Tengah. Tetapi trio kali ini (bersama Untung dan Latief) memiliki posisi
strategis yang lebih tinggi dibanding yang dulu: Untung adalah orang dekat Presiden. Latief
adalah orang penting di Kodam Jaya yang menjaga keamanan Jakarta. Targetnya jelas: menuju
ke Istana. Tidak ada orang yang bisa membaca konspirasi trio tersebut saat itu karena selain trio
ini tidak meledak-ledak, mereka juga tidak berada di posisi tertinggi di jajaran militer. Namun
saya sebagai orang terdekat Bung Karno sudah punya feeling bahwa persahabatan mereka bisa
menggoyang Istana. Paling tidak mereka bisa memperkuat apa yang sudah dirintis oleh Nasution,
yakni: menciptakan Negara dalam Negara. Sebab konflik antara Bung Karno dan AD sudah
semakin tajam. Selain membentuk trio, Soeharto juga dekat dengan Brigjen Soepardjo (berasal
dari Divisi Siliwangi yang kemudian ditarik Soeharto ke Kostrad menjabat PangKopur II).
Pertengahan September 1965 suhu politik di Jakarta mulai panas. Karena hubungan persahabatan
– di luar jalur komando – Latief menemui Soeharto. Inilah pertemuan pemting pertama antara
Soeharto dan Latief menjelang G30S. Saat itu isu dewan Jenderal sudah menyebar. Begitu
mereka bertemu, Latief melaporkan isu tersebut kepada Soeharto. Ternyata Soeharto menyatakan
bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya diberitahu hal itu oleh seorang teman AD dari
Yogya bernama Soebagyo, katanya. Tidak jelas siapa Soebagyo. Namun menurut Latief,
Soebagyo adalah tentara teman mereka ketika masih sama-sama di Divisi Diponegoro. Pada saat
yang hampir bersamaan, pada 15 September 1965 Untung mendatangi Soeharto. Untung juga
melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan kup. Berbeda dengan Latief, Untung
menyatakan bahwa ia punya rencana akan mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan
menangkap mereka lebih dulu, sebelum mereka melakukan kudeta. Untung memang merupakan
pembantu setia Bung Karno.
Dalam posisinya sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa, sikapnya
sudah benar. Apa jawab Soeharto? Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan
ragu-ragu, kata Soeharto. Malah Soeharto menawarkan bantuan pasukan kepada Untung: Kalau
perlu bantuan pasukan, akan saya bantu, katanya. Untung gembira mendapat dukungan. Ia
menerima tawaran bantuan tersebut. Dan Soeherto juga tidak main-main: Baik. Dalam waktu
353
secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, katanya.
Harap dicatat: pertemuan Soeharto dengan Latief tidak berkaitan dengan pertemuan Soeharto
dengan Untung. Saya lupa lebih dulu mana, antara Latief bertemu Soeharto dengan Untung
bertemu Soeharto. Yang pasti itu terjadi di pertengahan bulan September 1965. Pada awalnya
hubungan Soeharto-Untung terpisah dari hubungan Soeharto-Latief dalam hal Dewan Jenderal.
Namun mereka sama-sama dari Kodam Diponegoro. Hubungan Untung-Latief juga terjalin baik
meskipun sudah berpisah kesatuan. Akhirnya mereka tahu bahwa Soeharto mendukung gerakan
menangkap Dewan Jenderal. Bantuan Soeharto ternyata dibuktikan. Beberapa hari sebelum 1
Oktober 1965, atas perintah Soeharto didatangkan beberapa batalyon pasukan dari Semarang,
Surabaya dan Bandung. Perintahnya berbunyi: Pasukan harus tiba di Jakarta dengan
perlengkapan tempur Siaga-I. Lantas secara bertahap pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September
1965. Jelas, pasukan ini didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Jenderal. Dalam
komposisi pasukan penggempur Dewan Jenderal itu, dua-pertiganya adalah pasukan Soeharto
dari daerah dan Kostrad. Setelah G30S meletus dan Soeharto balik menggempur pelakunya,
lantas ia menuduh gerakan itu didalangi PKI. Soeharto membuat aneka cerita bohong. Soal
kedatangan pasukan dari Bandung, Semarang dan Surabaya itu dikatakan untuk persiapan
upacara Hari ABRI 5 Oktober. Dari segi logika sudah tidak rasional. Rombongan pasukan tiba di
Jakarta sejak 26 September 1965 dengan persiapan tempur Siaga-I. Ini jelas tidak masuk akal
jika dikaitkan dengan Hari ABRI. Yang terpenting: dari laporan intelijen yang saya terima dan
dikuatkan dengan cerita Untung pada saya ketika kami sudah sama-sama dipenjara, pasukan
bantuan Soeharto itu dimaksudkan untuk mendukung Untung yang akan menggempur Dewan
Jenderal. Ini sudah dibahas oleh Untung dan Soeharto.
Pertemuan penting kedua Soeharto-Latief terjadi dua hari menjelang 1 Oktober 1965. Pertemuan
dilakukan di rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim. Berdasarkan cerita Latief kepada saya pada
saat kami sama-sama dipenjara, ketika itu ia melaporkan kepada Soeharto bahwa Dewan
Jenderal akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Dan Dewan Jenderal akan diculik oleh
Pasukan Cakra Bhirawa. Apa reaksi Soeharto? Dia tidak bereaksi. Tapi karena saat itu ada tamu
lain di rumah pak Harto, maka kami beralih pembicaraan ke soal lain, soal rumah, kata Latief.
Pertemuan terakhir Soeharto-Latief terjadi persis pada tanggal 30 September 1965 malam hari
pukul 23.00 WIB di RSPAD Gatot Subroto. Saat itu Soeharto menunggu anaknya Hutomo
Mandala Putera (Tommy Soeharto) yang ketumpahan sup panas dan dirawat di sana. Kali ini
Latief melaporkan penculikan para jenderal akan dilaksanakan pukul 04.00 WIB (sekitar lima
jam kemudian). Kali ini juga tidak ditanggapi oleh Soeharto. Sebenarnya yang akan melapor
kepada Soeharto saat itu tiga orang, yakni Latief, Brigjen Soepardjo dan Letkol Untung. Sebelum
Latief menghadap Soeharto, Latief lebih dulu bertemu dengan Soepardjo dan Untung. Soepardjo
dan Untung datang ke rumah saya malam itu (30 September 1965) pada pukul 21.00 WIB.
Soepardjo sedang ada urusan, sedangkan Untung kurang berani bicara pada Soeharto. Soepardjo
lantas mengatakan pada saya: Sudahlah Tif (panggilan Latief), kamu saja yang menghadap.
Katakan ke pak Harto, kami sedang ada urusan, kata Latief menirukan ucapan Soepardjo.
Setelah Latief bertemu Soeharto, ia lantas kembali menemui Soepardjo dan Untung yang
menunggu di suatu tempat. Latief dengan wajah berseri-seri melaporkan kepada teman-temannya
bahwa Soeharto berada di belakang mereka. Saya ulangi: Pada sekitar pukul 01.00 WIB 1
Oktober 1965, kata Latief kepada Soepardjo dan Untung: Soeharto berada di belakang mereka.
Beberapa jam kemudian pasukan bergerak mengambil para jenderal. Ada yang menarik dari
pengakuan Soeharto soal pertemuan terakhir dirinya dengan Latief pada tanggal 30 September
354
1965 malam di RSPAD Gatot Subroto itu. Ia bercerita kepada dua pihak: Pertama kepada
wartawan Amerika Serikat bernama Brackman, pada tahun 1968. Saat itu ia ditanya oleh
Brackman mengapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar jenderal yang akan diculik.
Kepada Brackman dikatakan demikian: Memang benar dua hari sebelum 1 Oktober 1965 anak
lelaki saya yang berusia 3 tahun (Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto) ketumpahan
sup panas. Dia lantas dibawa ke RSPAD Gatot Subroto. Pada 30 September 1965 banyak kawankawan saya menjenguk anak saya dan saya juga berada di RSPAD. Di antara yang datang adalah
Latief yang menanyakan kondisi anak saya. Saat itu saya sangat terharu atas keprihatinannya
pada anak saya. Tetapi ternyata Latief adalah orang penting dalam kup yang terjadi. Jadi jelas
Latief datang ke RSPAD bukan untuk menengok anak saya, tetapi untuk mengecek keberadaan
saya. Untuk membuktikan keberadaan saya, benarkah saya di RSPAD Gatot Subroto? Ternyata
Memang begitu adanya: saya di RSPAD Gatot Subroto hingga tengah malam, lantas pulang ke
rumah. Pada Juni 1970 Soeharto diwawancarai oleh wartawan Der Spiegel, Jerman. Der Spiegel
juga mengajukan pertanyaan yang sama dengan Brackman: Mengapa Soeharto tidak termasuk
dalam daftar perwira AD yang diculik pada tanggal 1 Oktober 1965?
Soeharto mengatakan kepada Der Spiegel demikian: Latief datang ke RSPAD pukul 23.00 WIB
bersama komplotannya. Tujuannya untuk membunuh saya. Tetapi itu tidak dilakukan, sebab ia
khawatir membunuh saya di tempat umum.
MELETUSLAH PERISTIWA ITU
Saat G30S meletus saya tidak berada di Jakarta. Saya melaksanakan tugas keliling daerah yang
disebut Turba (Turun ke bawah). Pada 28 September 1965 saya berangkat ke Medan, Sumatera
Utara. Beberapa waktu sebelumnya saya keliling Jawa Timur dan Indonesia Timur. Saat ke
Medan rombongan saya berangkat bersama rombongan Laksamana Muda Udara Sri Muljono
Herlambang. Misinya adalah mematangkan Kabinet Dwikora. Namun kemudian kami berpisah.
Rombongan Sri Muljono berangkat ke Bengkulu dan Padang, rombongan saya ke Medan. Pada
tanggal 2 Oktober saya ditilpun langsung oleh Presiden Soekarno dan diberitahu kejadian sehari
sebelumnya. Dan hari itu juga saya diperintahkan untuk segera ke Jakarta. Ada pesan Presiden
agar saya berhati-hati: Awas, Ban, hati-hati. Pesawatmu bisa ditembak jatuh, pesan Presiden.
Tetapi saya tetap kembali ke Jakarta dengan pesawat. Saya tentu saja sempat was was, sebab
yang mengingatkan saya bukan orang sembarangan. Begitu tiba di Jakarta, saya langsung
menuju Istana Bogor menemui Presiden Soekarno. Beberapa waktu kemudian saya mengetahui
alasan kenapa Bung Karno memperingatkan saya agar saya hati-hati. Sebabnya adalah saat Sri
Muljono menuju ke Jakarta, pesawatnya ditembaki di kawasan Tebet sehingga pesawat berputarputar mencari tempat landasan. Akhirnya pesawat mendarat secara darurat di dekat Bogor.
Saat saya tiba di Bogor, suasana sudah jauh berubah dibanding sebelum saya berangkat ke
Medan. Wajah Bung Karno tampak tegang. Leimena dan Chaerul Saleh sedang mendiskusikan
berbagai hal. Saya mendapat laporan bahwa pada saat itu Bung Karno sudah berada dalam
tawanan Soeharto. Bung Karno tidak diperbolehkan meninggalkan Istana Bogor. Sehari
sebelumnya, peristiwa hebat terjadi di Jakarta. Tujuh perwira AD diculik yang kemudian
355
dibunuh pada dini hari. Saya mendapat laporan dari para kolega dan para intel anak buah saya di
BPI. Sampai berhari-hari kemudian saya terus mengumpulkan informasi dari para kolega dan
anak-buah saya. Rangkaian informasi yang saya terima tentang kejadian seputar 30 September
1965 hingga pembunuhan para jenderal itu sebagian saya catat, sebagian tidak.
Saya masih ingat hampir seluruhnya. Semua informasi yang saya terima, termasuk berbagai
gejala yang sudah saya ketahui sebelumnuya, dapat saya ungkapkan di sini. Namun paparan saya
akan terasa kurang menimbulkan kenangan yang kuat jika tidak dibandingkan dengan sejarah
versi Orde Baru. Itu sebabnya, di beberapa bagian saya kutip sebagian cerita versi Soeharto
sebagai pembanding.
Pada tanggal 29 September 1965 pagi hari, Panglima AU Oemar Dhani melaporkan kepada
Presiden Soekarno tentang banyaknya pasukan yang datang dari daerah ke Jakarta. Beberapa
waktu sebelumnya, saya melaporkan kepada Bung Karno adaya sekelompok perwira AD yang
tidak puas terhadap Presiden – yang menamakan diri Dewan Jenderal – termasuk bocoran
rencana Dewan Jenderal membentuk kabinet. Saya juga melapor tentang Dokumen Gilchrist.
Semua laporan bertumpuk menjadi satu di benak Bung Karno. Dengan akumulasi aneka laporan
yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa
gerangan yang bakal terjadi.
Menurut pengakuan Soeharto, menjelang dini hari 1 Oktober 1965 ia meninggalkan anaknya di
RSPAD Gatot Subroto dan pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim. Menurutnya, saat
meninggalkan RSPAD itu ia sendirian (tanpa pengawal) dengan mengendarai jeep Toyota. Dari
RSPAD mobilnya melewati depan Makostrad, lantas masuk ke Jalan Merdeka Timur. Ia
mengaku di sana sempat merasakan suasana yang tidak biasa. Di sekitar Jalan Merdeka Timur
berkumpul banyak pasukan, tetapi Soeharto terus berlalu dan tidak menghiraukan puluhan
pasukan yang berkumpul di Monas. Setelah itu Soeharto mengaku pulang ke rumah dan tidur (ini
dikatakan Soeharto di beberapa kesempatan terbuka). Lantas pagi harinya pukul 05.30 WIB dia
mengaku dibangunkan oleh seorang tetangganya dan diberitahu bahwa baru saja terjadi
penculikan terhadap para jenderal. Setelah itu saya langsung menuju ke markas Kostrad, kata
Soeharto. Pengakuan Soeharto itu luar biasa aneh:
1. di saat Jakarta dalam kondisi sangat tegang ia menyetir mobil sendirian, tanpa pengawal.
Jangankan dalam situasi seperti itu, dalam kondisi biasa saja ia selalu dikawal.
2. ia melewati Jalan Merdeka Timur dan mengaku melihat puluhan prajurit berkumpul dan
merasakan sesuatu yang tidak biasa, tetapi tidak dia hiraukan. Sebagai seorang komandan
pasukan, tidakkah dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh puluhan prajurit yang berkumpul
pada tengah malam seperti itu?
3. pada pagi hari 1 Oktober 1965 pukul 05.30 WIB siapa yang bisa mengetahui bahwa baru saja
terjadi penculikan terhadap para jenderal? Saat itu belum ada berita televisi seperti sekarang
(semisal Liputan 6 Pagi SCTV) yang dengan cepat bisa memberitakan suatu kejadian beberapa
jam sebelumnya. Radio RRI saja baru memberitakan peristiwa itu pada pukul 07.00 WIB.
Yang sebenarnya terjadi: Soeharto sudah tahu bahwa pasukan yang berkumpul di dekat Monas
itu akan bergerak mengambil para anggota Dewan Jenderal. Toh dia sendiri yang mendatangkan
sebagian besar (kira-kira dua-pertiga) pasukan tersebut dari Surabaya, Semarang dan Bandung.
Ingat: Soeharto menawarkan bantuan pasukan yang diterima dengan senang hati oleh Untung.
356
Pasukan dari daerah dengan perlengkapan tempur Siaga-I itu bergabung dengan Pasukan Kawal
Istana Cakra Bhirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monas. Selain itu, beberapa
jam sebelumnya Soeharto menerima laporan dari Latief bahwa pasukan sudah dalam keadaan
siap mengambil para jenderal. Maka wajar saja tengah malam itu Soeharto mengendarai jeep
sendirian, meskipun Jakarta dalam kondisi sangat tegang. Malah ia dengan tenangnya melewati
tempat berkumpulnya pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh para jenderal. Bagi
Soeharto tidak ada yang perlu ditakutkan. Ia justru melakukan kesalahan fatal dengan
mengatakan kepada publik bahwa ia sempat melihat sekelompok pasukan berkumpul di dekat
Monas dan ia membiarkan saja. Jika ia memposisikan diri sebagai orang yang tidak tahu rencana
pembunuhan para jenderal, mestinya ia tidak menyatakan seperti itu dalam buku biografinya dan
di berbagai kesempatan terbuka. Dengan pernyataannya membiarkan pasukan bergerombol di
dekat Monas, bisa menyeret dirinya dalam kesulitan besar. Masak seorang Panglima Kostrad
membiarkan sekelompok pasukan bergerombol di dekat Monas pada tengah malam, padahal dia
melihatnya sendiri.
Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa tengah malam itu ia tidak pulang ke rumah seperti ditulis
dalam buku biografinya. Yang benar: setelah melewati Jalan Merdeka Timur dan melihat
persiapan sekumpulan pasukan, ia lantas menuju ke Markas Kostrad. Di Makostrad ia memberi
pengarahan kepada sejumlah pasukan bayangan dan operasi Kostrad yang mendukung gerakan
pengambilan para jenderal. Dengan kronologi yang sebenarnya ini, maka seharusnya tidak perlu
ada cerita Soeharto pulang ke rumah lantas tidur.
Dengan pengakuannya itu Soeharto rupanya ingin menunjukkan seolah-olah ia jujur dengan
mengatakan bahwa pada dini hari 1 Oktober 1965 ia memang berada di Makostrad. Tapi
prosesnya dari RSPAD, pulang dulu, lantas tidur, dibangunkan tetangga dan diberitahu ada
penculikan pukul 05.30 WIB, baru kemudian berangkat ke Makostrad. Kalau Soeharto
memposisikan diri sebagai orang yang tidak bersalah dalam G30S, maka pengakuannya itu
merupakan kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak mungkin ada orang yang tinggal di Jalan H
Agus Salim (tetangga Soeharto) mengetahui ada penculikan para jenderal dan membangunkan
tidur Soeharto pada pukul 05.30 WIB.
Padahal penculikan dan pembunuhan para jenderal baru terjadi beberapa menit sebelumnya,
sekitar pukul 04.00 WIB. Satu pertanyaan sangat penting dari tragedi pagi buta 1 Oktober 1965
adalah mengapa para jenderal itu tidak dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Logikanya jika
anggota Dewan Jenderal diisukan akan melakukan kudeta, mestinya dihadapkan ke Presiden
Soekarno untuk diminta penjelasannya tentang isu rencana kudeta. Masalahnya tentu bakal
menjadi lain jika para jenderal tidak dibunuh, tetapi diajukan kepada Presiden untuk konfirmasi.
Namun G30S sebagai suatu kekuatan sebenarnya sudah ditentukan jauh sebelum peristiwanya
meletus. Dari perspektif Soeharto, masa hidup gerakan ini tidak ditentukan oleh kekuatannya
melainkan oleh masa kegunaannya. Setelah para jenderal dibantai, maka habislah masa kegunaan
G30S. Dan sejak itu pula masa hidupnya harus diakhiri. Meskipun Untung, Latief dan Soepardjo
berupaya ingin mempertahankan kelanggengan G30S, tetapi umurnya hanya beberapa jam saja.
Setelah itu pelakunya diburu dan dihabisi. Soeharto dengan melikuidasi G30S menimbulkan
kesan bahwa ia setia kepada atasannya, Yani dan teman-teman jenderal yang dibunuh. Ia tampil
sebagai pahlawan. Soal Mengapa Dewan Jenderal diculik, bukan dihadapkan ke Presiden, ada
pengakuan dari salah satu pelaku penculikan. Menur ut Serma Boengkoes (Komandan Peleton
357
Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan) yang memimpin prajurit penjemput Mayjen MT
Haryono, di militer tidak ada perintah culik. Yang ada adalah tangkap atau hancurkan. Perintah
yang saya terima dari Komandan Resimen Cakra Bhirawa Tawur dan Komandan Batalyon
Untung adalah tangkap para jenderal itu, kata Boengkoes setelah ia bebas dari hukuman.
Namun MT Haryono terpaksa dibunuh sebab rombongan pasukan tidak diperbolehkan masuk
rumah oleh istri MT Haryono. Sang istri curiga, suaminya dipanggil Presiden kok dini hari.
Karena itu pintu rumah tersebut didobrak dan MT Haryono tertembak. Tidak jelas apakah
Haryono langsung tewas di tempat atau dibunuh kemudian setelah semua jenderal dikumpulkan
di Pondok Gede (Lubang Buaya).
Sedangkan saat dijemput oleh sejumlah pasukan di rumahnya, Letjen A Yani terkejut. Bukan
karena penjemputnya pasukan berseragam loreng, tetapi karena pada hari itu ia memang
dijadwalkan untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada pukul 08.00 WIB.
Presiden sedianya akan bertanya kepada Yani soal Angkatan Kelima. Yani menolak ide Presiden
tentang Angkatan Kelima sejak beberapa waktu sebelumnya. Malah sudah beredar isu bahwa
Yani akan digantikan oleh wakilnya yaitu Gatot Subroto.
Dengan dijemput tentara dini hari mungkin Yani merasa pertemuan dengan Presiden Soekarno
diajukan beberapa jam. Ia dibangunkan dari tidurnya oleh istrinya dan masih mengenakan
piyama. Meskipun kedatangan tentara penjemputnya menimbulkan kegaduhan di keluarga Yani
yang terkejut, namun Yani menurut. Ia menyatakan kepada penjemputnya akan ganti pakaian.
Tetapi ketika tentara penjemputnya menyatakan Tidak perlu ganti baju, jenderal, maka seketika
Yani menempeleng tentara tersebut. Perkataan prajurit seperti itu terhadap jenderal memang
sudah luar biasa tidak sopan. Lantas Yani masuk ke kamar untuk ganti pakaian. Yani
diberondong tembakan.
Untuk penculikan para jenderal yang lain mungkin cerita saya mirip dengan yang sudah banyak
ditulis di berbagai buku, baik versi Orde Baru maupun buku yang terbit setelah Soeharto
tumbang. Kurang lebih mirip seperti itu sehingga tidak perlu saya ceritakan lagi.
Yang penting, peristiwa berdarah di pagi buta pada tanggal 1 Oktober 1965 (G30S) itu sampai
kini masih ditafsirkan secara berbeda-beda, baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi jelas
substansi peristiwa itu tidak seperti mitos yang dibuat AD yakni percobaan kudeta yang
didalangi oleh PKI. Versi AD ini sama sekali tidak benar. Peristiwa itu merupakan provokasi
yang didalangi oleh jenderal-jenderal fasis AD didukung dengan baik oleh imperialisme
internasional. Peristiwa itu adalah provokasi yang dimanipulasi secara licik dan efektif serta
dikelola secara maksimal oleh seorang fasis berbaju kehalusan feodal Jawa yang haus kekuasaan
dan harta. Dialah Panglima Kostrad Mayjen Soeharto.
Pada sisi intern, peristiwa itu bukan hanya merupakan puncak manifestasi konflik antara
pimpinan AD dan PKI, tetapi juga pertentangan antara pemimpin politik konservatif dengan
aspirasi kapitalisme yang pembangunannya bergantung pada imperialisme internasional di satu
fihak, melawan PKI dengan prinsip politik anti- imperialisme dengan aspirasi negara yang
merdeka penuh dan demokrasi berkeadilan sosial di pihak lain.
358
Peristiwa itu adalah puncak kemunafikan para pemimpin politik konsevatif yang mengklaim
sebagai paling demokrat dari sistim demokrasi parlementer. Mereka berhadapan dengan
kemajuan-kemajuan pesat PKI yang dicapai secara damai dalam sistim demokrasi liberal. Dari
konflik tersebut para pimpinan AD dan sekutunya lantas mencabut hak hidup PKI dengan cara
mambantai anggota dan keluarganya, lantas membubarkan PKI.
Dari kacamata internasional – terutama disebarkan oleh mantan Dubes AS untuk Indonesia
Howard Jones – peristiwa itu adalah spontan kekejian rakyat yakni penyembelihan rakyat yang
dilakukan PKI. Sebaliknya ini adalah bagian dari intrik berdarah yang direncanakan secara
seksama di Mabes Kostrad pimpinan Soeharto. DARI DETIK KE DETIK Pagi 1 Oktober 1965
Bung Karno berada di Halim. Malam harinya ia menginap di rumah istri Dewi Soekarno di Slipi
(Wisma Yaso). Pagi-pagi setelah mendapat kabar mengenai penculikan para jenderal, ia
berangkat bersama ajudan Parto menuju Istana negara, namun menjelang sampai Istana, jalanan
diblokade oleh tentara. Menurut ajudan, pasukan tersebut tidak dikenal, karena memang tidak
ada jadwal blokade jalan menuju Istana.
Dalam waktu cepat Parto mengambil inisiatif dengan tidak meneruskan perjalanan ke Istana.
Mungkin ia menangkap firasat bahaya jika Presiden ke Istana. Lantas Parto mengusulkan
Sebaiknya ke Halim saja, pak. Kalau ada apa-apa dari Halim akan dengan cepat terbang ke
tempat lain, katanya. Bung Karno menurut saja. Dalam protokoler pengamanan presiden, jika
pasukan pengaman merasa presiden dalam bahaya, maka tujuan utama adalah lapangan terbang.
Dengan begitu presiden bisa diterbangkan ke mana saja secara cepat. Itu asal-muasal presiden
berada di Halim. Mungkin Parto (juga Bung Karno) tidak tahu bahwa para jenderal diculik dan
dibawa ke Halim. Sesampainya ke Halim pun Bung Karno belum tahu apa yang sesungguhnya
terjadi. Baru setelah beberapa saat di Halim, beliau diberitahu oleh para pengawal. Beberapa saat
kemudian ia menerima laporan dari Brigjen Soepardjo.
Aidit pagi itu juga berada di Halim. Inilah keanehannya: para tokoh sangat penting berkumpul di
Halim. Kalau Oemar Dhani berada di sana, itu masih wajar karena ia adalah pimpinan AURI.
Tetapi keberadaan Aidit di sana sungguh mengherankan. Bung Karno dan Oemar Dhani berada
di satu tempat, sedangkan Aidit berada di tempat lain sekitar Halim. Setelah Bung karno terbang
ke Istana Bogor (prosesnya dirinci di bagian lebih lanjut), Aidit terbang ke Jawa Tengah.
Beberapa hari kemudian Aidit ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto di Brebes, Jawa
Tengah. Menurut kabar resmi Aidit ditembak karena saat ditangkap ia melawan. Tetapi menurut
laporan intelijen kami Aidit sama sekali tidak melawan. Soeharto memang memerintahkan
tentara untuk menghabisi Aidit, katanya. Dengan begitu Aidit tidak dapat bicara yang
sebenarnya.
Saya lebih percaya pada laporan intelijen kami, sebab istri Aidit kemudian cerita bahwa pada
tanggal 30 September 1965 malam hari ia kedatangan tamu beberapa orang tentara. Para tamu itu
memaksa Aidit meninggalkan rumah. Suami saya diculik tentara, ujarnya. Setelah itu Aidit tidak
pernah pulang lagi sampai ia ditembak mati di Brebes.
Hanya beberapa jam setelah para jenderal dibunuh sekitar pukul 11.00 WIB, 1 Oktober 1965,
Presiden Soekarno dari pangkalan udara Halim mengeluarkan instruksi yang disampaikan
melalui radiogram ke markas Besar ABRI. Saat itu Bung Karno hanya menerima informasi
bahwa beberapa jenderal baru saja diculik. Belum ada informasi mengenai nasib para jenderal,
meskipun sebenarnya para jenderal sudah dibunuh. Inti instruksi Bung Karno adalah bahwa
359
semua pihak diminta tenang. Semua pasukan harap stand-by di posisinya masing-masing. Semua
pasukan hanya boleh bergerak atas perintah saya selaku Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI.
Semua persoalan akan diselesaikan pemerintah/Presiden. Hindari pertumpahan darah.
Demikian antara lain isi instruksi Presiden. Instruksi itu ditafsirkan Soeharto bahwa Untung dan
kawan-kawan sudah kalah, karena gerakan menculik dan membunuh para jenderal tidak
didukung oleh Presiden. Instruksi lantas disambut Soeharto dengan memerintahkan anakbuahnya menangkap Untung dan kawan-kawan. Jelas ini membingungkan Untung. Ia sudah
melapor ke Soeharto soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden
Soekarno. Untung juga mengutarakan niatnya untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal
dengan cara menangkap mereka lebih dulu. Semua ini didukung oleh Soeharto. Bahkan Soeharto
malah memberi bantuan pasukan. Setelah anggota dewan Jenderal dibunuh, Soeharto malah
menyuruh Untung ditangkap.
Mengenai soal ini saya ingat cerita Untung kepada saya saat kami sama-sama dipenjara di
Cimahi. Untung dengan yakin mengatakan bahwa ia tidak akan dieksekusi meskipun pengadilan
sudah menjatuhkan hukuman mati. Sebab Soeharto yang mendukung saya menghantam Dewan
Jenderal. Malah kami didukung pasukan Soeharto yang didatangkan dari daerah, katanya.
Teman-teman sesama narapidana politik juga tahu bahwa Untung adalah anak emas Soeharto.
Tapi akhirnya Untung dihukum mati dan benar-benar dieksekusi.
Hampir bersamaan dengan keluarnya instruksi Presiden –mungkin hanya selisih beberapa menit
kemudian – Soeharto memanggil ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko yang berada di
Halim agar menghadap Soeharto di Makostrad. Ini mungkin hampir bersamaan waktunya dengan
perintah Soeharto agar Untung dan kawan-kawan ditangkap. Di Makostrad Bambang
Widjanarko diberitahu Soeharto agar Presiden Soekarno dibawa pergi dari Pangkalan Halim
sebab pasukan dari Kostrad di bawah pimpinan Sarwo Edhi Wibowo sudah disiapkan untuk
menyerbu Halim.
Saat Bambang menyampaikan pesan Soeharto itu, Bung Karno geram sekaligus bingung.
Instruksi agar semua pasukan stand-by di tempat masing-masing tidak ditaati Soeharto.
Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar Bung karno menyingkir dari Halim. Jika Bung
Karno bertahan di Halim, tentu akan sangat berisiko. Sebaliknya kalau Bung Karno
meninggalkan Halim, berarti ia patuh pada perintah Soeharto. Bung Karno lantas minta nasihat
para pembantu militernya. Brigjen Soepardjo mengusulkan agar Bung Karno terbang ke Bali.
Sedangkan Menteri Panglima Angkatan Udara Oemar Dhani mengusulkan agar Bung Karno
pergi ke Madiun, Jawa Timur. Wakil Perdana Menteri-II Leimena mengatakan Bung Karno
harus berhati- hati. Dan langkah paling hati-hati adalah jika Bung Karno berangkat ke Istana
Bogor. Dari berbagai nasihat itu Bung Karno menyimpulkan bahwa kondisi memang gawat dan
ia harus meninggalkan Halim. Akhirnya Bung Karno memutuskan untuk menuju ke istana Bogor
– menuruti nasihat Leimena – dengan jalan darat. Menjelang petang rombongan Bung Karno tiba
di Istana Bogor.
Ternyata benar. Gempuran pasukan Kostrad ke Halim dilaksanakan menjelang fajar.
Penggempuran itu saya nilai sudah tidak tertuju kepada pelaku G30S, sebab – seperti saya
sebutkan terdahulu – sekitar dua-pertiga pasukan pelaksanaan G30S adalah orang-orangnya
360
Soeharto. Jadi penggempuran itu hanya merupakan tekanan psikologis terhadap Bung Karno
yang saat itu benar-benar bingung. Seumur hidupnya belum pernah Bung karno ditekan tentara
seperti saat itu.
Sekitar pukul 14.00 WIB – masih pada 1 Oktober 1965 – kepada Kapten Kuntjoro (ajudan
Komandan Cakra bhirawa Letkol Marokeh) Soeharto menyatakan bahwa ia adalah anggota
Dewan Jenderal. Saat itu pembunuhan terhadap para jenderal sudah selesai. Nasution yang lolos
dari target penculikan sedang diamankan di Markas Kostrad. Saya berkesimpulan Soeharto
berani mengatakan bahwa dirinya adalah anggota Dewan Jenderal setelah ia yakin bahwa
posisinya aman, sehingga tidak perlu lagi menutupi wajahnya. Kepada Kapten Kuntjoro
Soeharto mengatakan: Dewan Jenderal memang ada. Saya termasuk anggotanya. Tapi itu dewan
untuk mengurus kepangkatan, bukan untuk kudeta.
Pernyataan Soeharto ini menunjukkan betapa Soeharto berdiri di dua sisi. Ketika Untung
menyatakan akan menghabisi Dewan Jenderal, Soeharto mendukung, bahkan membantu
pasukan. Setelah Dewan Jenderal dihabisi ia menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan
Jenderal. Pernyataan tersebut mengingatkan saya pada tindakan Soeharto ikut dalam kudeta 3
Juli 1946. Soeharto berdiri di dua sisi. Hanya saja kudeta 3 Juli 1946 adalah kudeta yang gagal,
sedangkan G30S adalah awal suatu kudeta merangkak yang berhasil. Dalam kudeta yang disebut
terakhir ini, Soeharto memperoleh dua manfaat: ia tampil sebagai pahlawan dan akhirnya
merebut kepemimpinan nasional. Dalam kudeta 3 Juli 1946 Soeharto hanya mendapat predikat
pahlawan karena menggempur komplotan penculik Perdana Menteri Sjahrir.
Namun pada hari itu (Jumat 1 Oktober 1965) kondisi negara benar-benar tidak menentu.
Berbagai pihak saling memanfaatkan situasi. Pengumuman pertama tentang penculikan para
jenderal melalui RRI disiarkan oleh Untung. Intinya diumumkan bahwa kelompok Dewan
Jenderal yang akan melakukan kudeta sudah digagalkan. Anggota Dewan Jenderal sudah diculik
dan Presiden Soekarno dalam keadaan aman. Untuk sementara pemerintahan dikendalikan oleh
Dewan Revolusi. Maka diumumkan anggota Dewan Revolusi. Di sana tidak ada nama Soekarno.
Pengumuman demi pengumuman terus berkumandang di radio. Setelah Untung beberapa kali
menyampaikan pengumuman, lalu disusul oleh Oemar Dhani. Masyarakat bingung. Sekitar
pukul 21.00 WIB Soeharto berpidato di radio dan mengumumkan bahwa pagi hari itu telah
terjadi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi oleh kelompok pimpinan Untung. Tindakan
tersebut adalah kudeta kontra-revolusioner melawan Presiden Soekarno. Juga diumumkan bahwa
Soeharto mengambil kendali AD (Menpangad) karena Menpangad A Yani diculik.
Perubahan demi perubahan dalam sehari itu benar-benar membingungkan Bung Karno. Ia tidak
tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tidak tahu siapa sedang berperang melawan siapa, karena
ia tidak tahu rencana penculikan Dewan Jenderal. Bung Karno juga heran dengan pengumuman
Soeharto mengambil-alih kendali AD. Padahal beberapa jam sebelumnya (siang hari) Bung
Karno sudah memutuskan untuk mengambil-alih fungsi dan tugas-tugas Menpangad serta
menunjuk Mayjen Pranoto Rekso sebagai pelaksana sehari-hari (care-taker) Menpangad.
Esoknya, 2 Oktober 1965 Soeharto didampingi oleh Yoga Soegama dan anggota kelompok
bayangannya mendatangi Bung Karno di Istana Bogor. Soeharto bersama rombongan
mengenakan pakaian loreng dan bersenjata masuk Istana. Dalam kondisi biasa, hanya pasukan
pengawal presiden yang boleh membawa senjata masuk ke dalam Istana. Namun barangkali
karena kondisi saat itu berbeda dengan kondisi biasa, mereka diperbolehkan masuk dengan
361
bersenjata. Kedatangan Soeharto ini tidak pernah disebut dalam buku-buku sejarah atau buku
kesaksian pelaku sejarah.
Bung Karno menerima mereka. Intinya, Soeharto menyatakan tidak setuju terhadap
pengangkatan Mayjen Pranoto untuk memegang pelaksana komando AD. Selain protes, Soeharto
juga meminta agar Bung Karno memberikan kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan
keamanan. Juga meminta Presiden mengambil tindakan terhadap pimpinan AU yang diduga
terlibat dalam G30S. Karena persoalan cukup rumit Bung Karno menunda pembicaraan dan
memanggil para panglima AU, AL, Kepolisian, Mayjen Pranoto dan Mayjen Mursid. Setelah
mereka berkumpul baru diadakan rapat bersama Soeharto untuk membahas semua tuntutan
Soeharto itu. Rapat berlangsung alot sekitar lima jam. Akhirnya Bung Karno memberi surat
kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan (sebagai Panglima Pemulihan Keamanan).
Inilah awal Soeharto memetik kemenangan dari rangkaian proses kudeta merangkak itu. Surat
kuasa yang diterima oleh Soeharto saat itu juga merupakan surat kuasa pertama. Namun ini tidak
pernah disebut dalam sejarah. Mungin kalau disebut dalam sejarah akan terasa aneh. Presiden
adalah Panglima Tertinggi ABRI yang pegang kendali militer. Pembunuhan para jenderal baru
terjadi sehari sebelumnya. Itu pun beberapa jam kemudian Presiden sudah mengeluarkan
instruksi untuk ABRI. Ini menunjukkan bahwa Presiden masih memegang kendali militer.
Bahkan Presiden sudah mengambil-alih tugas Menpangad karena Menpangad Yani diculik.
Maka kedatangan Soeharto minta surat kuasa untuk memulihkan keamanan, apa namanya kalau
bukan memotong kewenangan Presiden? Namun toh akhirnya surat kuasa dikeluarkan oleh
Presiden. Menurut memori Yoga, proses keluarnya surat kuasa itu sangat alot. Dalam rapat
Soeharto menekan Soekarno. Tetapi kalau kita kembali mengingat bahwa sehari sbelumnya
Soeharto melalui RRI sudah menyatakan mengambil-alih pimpinan AD, maka wajar bahwa surat
kuasa itu dikeluarkan. Sebelum surat kuasa dikeluarkan saja Soeharto sudah berani mengambilalih pimpinan AD. Sebelum Soeharto dan kelompok bayangannya meninggalkan Istana Bogor,
Soeharto menyatakan agar Presiden tidak meninggalkan Istana Bogor demi keamanan. Sejak itu
Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto. Setelah para pembantu dekat Bung Karno
sadar bahwa Bung Karno menjadi tawanan Soeharto, para pembantu jadi teringat bahwa saran
menuju Istana Bogor itu datang dari Leimena. Bukankah brigjen Soepardjo menyarankan Bung
Karno untuk pergi ke Bali? Menpangau Oemar Dhani menyarankan ke Madiun, Jawa Timur?
Leimena menyarankan – yang paling hati-hati – ke Istana Bogor. Di kalangan orang dekat Bung
Karno muncul pembicaraan, seandainya Bung Karno menuruti saran Soepardjo atau Oemar
Dhani, tentu akan lain ceritanya.
Saya sangat yakin Leimena benar-benar tidak punya maksud tertentu, apalagi menjerumuskan
Bung Karno. Beliau adalah orang yang loyal terhadap Bung Karno. Sarannya ke Istana Bogor
memang langkah hati-hati. Selain karena jaraknya lebih dekat (dibanding Bali atau Madiun)
istana bogor memang tempatnya presiden atau termasuk simbol negara. Siapa sangka Soeharto
berani mendatangi Bung Karno, bahkan menawan Bung Karno di sana? Namun karena
pembicaraan beredar menyesalkan saran Leimena, esok harinya Leimena mendatangi Soeharto
di Makostrad. Tujuannya mengingatkan Soeharto agar jangan bersikap begitu keras terhadap
Presiden. Leimena berkata kepada Soeharto: jangan begitu, dong. Tetapi apa jawaban Soeharto?
Pak Leimena jangan ikut campur. Pak Leimena urusi tugasnya sendiri. Saya yang kuasa
sekarang. Mendengar itu Leimena mundur. Tidak berapa lama kemudian (masih hari itu juga)
ganti Waperdam-III Chaerul Saleh mendatangi Soeharto. Maksudnya juga sama dengan
362
Leimena. Jawaban Soeharto juga sama seperti yang tadi: Saya yang kuasa sekarang. Pak Chaerul
Saleh jangan ikut campur, kata Soeharto.
Hebatnya, beberapa waktu kemudian Soeharto membantah menerima surat kuasa dari Presiden.
Dia menyatakan kurang lebih demikian: Dalam kehidupan militer tidak mungkin ada dua
panglima (dia dan Mayjen Pranoto yang sudah ditunjuk oleh Presiden menjadi caretaker
Menpangad) yang ditunjuk dalam waktu bersamaan. Maka praktis pengangkatan terhadap
mayjen Pranoto sebagai caretaker Menpangad tidak berjalan sama sekali. Sebaliknya Soeharto
sebagai Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban terus bertindak, sehingga pergolakan di
kalangan elite politik pun tidak dapat dicegah.
Inilah awal kudeta terselubung itu. Sejak itu sebenarnya Bung Karno sudah tidak lagi memiliki
power untuk memimpin negara. Esoknya pembantaian terhadap anggota PKI dan keluarganya
dimulai. PKI dituduh menjadi dalang G30S. Sejak itu Indonesia banjir darah. Yang digempur
bukan hanya tokoh-tokoh PKI, tetapi semua yang berbau PKI dibantai tanpa proses hukum. Di
kota, desa, dusun, di berbagai sudut negeri dilakukan pembantaian besar-besaran, suatu tindakan
yang sangat mengerikan. Pembantaian PKI dimulai beberapa saat setelah Presiden Soekarno
mengumumkan (3 Oktober 1965) Pangkostrad Mayjen Soeharto dipercaya sebagai pelaksana
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
Tidak disangka jika lembaga yudisial ini kelak menjadi sangat ditakuti rakyat. Hanya dengan
menyebut Kopkamtib saja orang sudah ngeri. Beberapa tahun berikutnya namanya diganti
menjadi Bakorstanas, namun tetap saja nama yang menakutkan bagi masyarakat. Semua
tindakan masyarakat yang tidak sesuai dengan keinginan Soeharto pasti ditumpas oleh
Kopkamtib yang kemudian berubah nama menjadi Bakorstanas atau Bakorstanasda di daerah.
Lembaga ini menjadi senjata Soeharto untuk menumpas orang-orang yang tidak setuju pada
keinginannya. Perkembangan ini tentu di luar dugaan Bung Karno selaku pemberi kuasa.
Pada tanggal 16 Oktober 1965 Presiden Soekarno mengangkat Soeharto menjadi Menpangad,
menggantikan A Yani. Lantas pada akhir Oktober 1965 di rumah Menteri Perguruan Tinggi dan
Ilmu Pengetahuan Brigjen Syarif Thayeb, atas perintah Soeharto dibentuklah Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI). Inilah embrio gerakan mahasiswa yang didukung oleh tentara.
KAMI lantas sering berdemo dengan didukung oleh pasukan RPKAD dan Kostrad. Di beberapa
buku sejarah G30S banyak pertanyaan, mengapa Presiden Soekarno tidak mendukung G30S.
Logikanya, jika Dewan Jenderal berniat melakukan kup, lantas dewan Jenderal dibunuh oleh
pasukan Cakra Bhirawa dibantu pasukan Soeharto, mestinya Bung Karno langsung mendukung
G30S begitu mendengar para jenderal diculik. Tapi mengapa Bung Karno malah menghentikan
gerakan itu?
Jawabnya adalah karena Bung Karno tidak tahu rencana penculikan para jenderal itu. Ini
sekaligus menjawab pertanyaan mengapa nama Bung Karno tidak tercantum dalam Dewan
Revolusi yang diumumkan oleh Untung beberapa jam setelah pembunuhan para jenderal. Dewan
Revolusi ini adalah buatan Untung sendiri tanpa konsultasi dengan Presiden. Drama 1 Oktober
1965 dalam sekali pukul menghasilkan keuntungan bagi Soeharto:
1. Mengubah kenyataan adanya komplotan Dewan Jenderal, di mana Soeharto merupakan salah
satu anggotanya, menjadi semacam fiksi belaka.
363
2. Sebaliknya mengubah fiksi menjadi nyata bahwa yang sungguh-sungguh melakukan kudeta
bukanlah Dewan Jenderal, melainkan G30S pimpinan Untung (yang sebenarnya disokong oleh
Soeharto).
3. Melikuidasi kelompok Yani sebagai rival potensial Soeharto.
4. Membuka peluang Soeharto tampil sebagai pahlawan yang akhirnya benar-benar terwujud.
NASIB A.H. NASUTION
Nasution meninggal dunia menjelang buku ini naik cetak, 6 September 2000. Dia dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara militer. Semoga arwahnya
diterima di sisi Allah SWT, Amin. Dialah perwira yang paling tinggi pangkatnya setelah Yani
tiada. Saat itu dia sudah menyandang bintang empat, sedangkan Soeharto masih bintang tiga. Di
saat TNI AD terpecah (secara tidak transparan) dalam kubu-kubu di tahun 1960-an, Kubu
Nasution ditakuti oleh kubu Yani dan Kubu Soeharto. Banyak politikus saat itu yang mengatakan
bahwa Letjen TNI AH Nasution paling pantas menggantikan Presiden Soekarno. Dia terkenal
anti-PKI, memiliki dedikasi yang tinggi dan termasuk jenderal yang diculik pelaku G30S (dia
lolos, tapi anaknya tewas) sehingga wajar menyandang gelar pahlawan.
Selain sangat berpengalaman di bidang militer, Nasution juga matang berpolitik. Dialah pencetus
ide Dwi Fungsi ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan manuvermanuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar tentara bisa
masuk ke dalam lembaga-lembaga negara secara efektif di pusat dan daerah.
Yang tidak banyak diketahui orang adalah bahwa dari sekian perwira senior yang paling ditakuti
Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution. Presiden Soekarno menjuluki Nasution sebagai
pencetus gagasan Negara dalam Negara. Itu berarti ia berani menentang kebijakan Bung Karno
(lihat Bab II). Di saat Yani masih ada pun, spekulasi yang berkembang adalah bahwa jika Bung
Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu memimpin Indonesia, maka pengganti yang
paling cocok adalah: Yani atau Nasution. Kans mereka menjadi presiden sama besarnya. Tetapi
Nasution dilipat oleh Soeharto. Ia – seperti halnya Yani – tidak mewaspadai isu Dewan Jenderal.
Dia benar-benar tidak awas soal berbagai kemungkinan yang bakal terjadi akibat isu tersebut.
Dia benar-benar tidak tahu – bahkan tidak menduga – bahwa Soeharto yang pangkatnya lebih
rendah berhasil menggosok Letkol Untung untuk menghantam Dewan Jenderal. Akibatnya
nyaris merenggut nyawa Nasution, tapi meleset sehingga Ade Irma Suryani Nasution gugur
sebagai Bunga Bangsa.
Pertanyaannya adalah: mengapa Soeharto dalam mengambil tindakan-tindakan penting AD tidak
melibatkan Nasution? Jawabnya: Soeharto memang menggunakan Nasution sebagai umpan
untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis, baik militer maupun sipil yang berada di bawah
pengaruh Nasution. Pada sisi lain Nasution digunakan oleh Soeharto menjadi momok bagi Bung
Karno sebab ia tahu Nasution adalah orang yang paling berani menentang gagasan Bung Karno.
364
Saya mengatakan Soeharto mengambil tindakan-tindakan penting tanpa melibatkan Nasution,
tentu ada contohnya. Salah satunya – berdasarkan informasi akurat yang saya terima – adalah
sebagai berikut: Setelah lolos dari penculikan, sekitar pukul 09.00 WIB Nasution bertemu
dengan Soeharto. Pada waktu hampir bersamaan pagi itu – 1 Oktober 1965 – Soeharto
memerintahkan para petinggi AD berkumpul dan rapat di Makostrad. Tetapi Soeharto minta
bantuan Kodam Jaya untuk menyembunyikan Nasution. Tujuannya seolah-olah untuk
mengamankan Nasution yang mungkin saja masih dikejar oleh pelaku G30S, sehingga rapat di
Makostrad itu tidak dihadiri oleh Nasution.
Menurut memori Yoga, dalam rapat langsung ditegaskan oleh Soeharto bahwa penculikan para
jenderal yang baru saja terjadi itu didalangi oleh PKI. Soeharto juga berhasil mengajak
Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo agar menyatukan pasukannya di bawah pasukan
Kostrad untuk menggempur pelaku G30S dan PKI. Dibahas pula instruksi Presiden ke Mabes
ABRI agar semua pasukan tidak bergerak selain diperintah oleh Presiden (baca Dari Detik ke
Detik). Rapat akhirnya sepakat menolak perintah Presiden. Alasannya: Nasib para jenderal yang
diculik belum diketahui dengan pasti. Operasi pengejaran terhadap para penculik sudah
disiapkan di Makostrad. Bila Menpangad tiada (Menpangad A Yani diculik) maka yang
menggantikan adalah Pangkostrad. Artinya Soeharto menunjuk dirinya sendiri. (Pada bagian
terdahulu disebutkan: Malamnya Soeharto mengumumkan di RRI bahwa ia mengambil-alih
kendali AD). Maka rapat memutuskan bahwa instruksi Presiden tidak perlu dipatuhi. Selain itu
secara otomatis disepakati bahwa keputusan Presiden mengambil-alih kendali militer dan
menunjuk Mayjen Pranoto sebagai pelaksana sehari-hari (caretaker) Menpangad tidak perlu
dipatuhi.
Setelah rapat memutuskan banyak hal penting, Soeharto lantas memerintahkan anak- buahnya
untuk mengambil Nasution keluar dari persembunyiannya dan membawanya ke Makostrad.
Nasution tiba di Makostrad dalam kondisi masih stres berat (karena baru saja lolos dari
pembunuhan) dan langsung dimasukkan ke dalam ruang rapat. Peserta rapat masih berkumpul
lengkap, tetapi sore itu rapat sudah hampir selesai. Keputusan-keputusan sudah diambil beberapa
jam sebelumnya. Nasution hanya diberitahu bahwa rapat sudah berlangsung sejak pagi dan sudah
hampir selesai. Dengan cara seperti itu Soeharto sudah menang setengah hari dari Nasution.
Dalam kondisi biasa setengah hari mungkin tidak ada artinya, tetapi pada kasus itu menjadi
sangat penting. Rapat itu menentukan kondisi negara Indonesia pasca G30S.
Nasution ternyata tidak marah bahwa dirinya tidak dilibatkan dalam rapat. Karena, pertama,
dengan dimasukkan ke Makostrad berarti dia harus menghormati Pangkostrad Soeharto. Dari
cara Nasution disembunyikan Soeharto, lantas Nasution dibawa ke Makostrad, bisa jadi
membuat ia merasa seolah-olah menjadi tawanan Soeharto. Apalagi ia masih stres berat setelah
lolos dari rentetan tembakan. Kedua, rapat toh sudah hampir selesai dan ia tidak tahu apa isinya.
Dari peristiwa itu tampak kecerdikan Soeharto memasukkan Nasution dalam ruang rapat.
Dengan begitu seolah-olah Nasution ikut menyetujui keputusan-keputusan yang diambil dalam
rapat. Selain itu, tindakan itu juga menimbulkan kesan umum bahwa Nasution pun dibawa ke
Makostrad dan diamankan oleh Soeharto. Itu bisa menimbulkan kesan: Soeharto berada di atas
Nasution. Juga menguatkan asumsi bahwa G30S didalangi PKI karena Nasution dikenal antikomunis. Ini sekaligus untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis – baik dari militer
maupun sipil – ke pihak Soeharto. Yang paling vital, kehadiran Nasution di Makostrad saat itu
365
dijadikan momok oleh Soeharto untuk menakut-nakuti Presiden Soekarno.
Ada satu kalimat Nasution yang ditujukan kepada Soeharto sesaat sebelum rapat selesai.
Bunyinya demikian: Sebaiknya Mayjen Soeharto secepatnya memulihkan keamanan agar
masyarakat tenang. Pernyataan ini terlontar secara spontan saja. Ia menginginkan agar
secepatnya diambil tindakan untuk menenangkan masyarakat (atau mungkin untuk menenangkan
diri Nasution sendiri). Tetapi bagi Soeharto kalimat itu ibarat Pucuk dicinta, ulam tiba. Soeharto
memang sedang menunggu orang yang bisa memberi dia kuasa. Saran Nasution itu merupakan
kuasa yang bisa dia kembangkan kepada Presiden Soekarno. Tidak perlu menunggu lama,
esoknya dia bersama Yoga dan kelompok bayangannya beragkat ke Istana Bogor untuk menemui
Presiden Soekarno. Di sana Soeharto memaksa Bung Karno minta kuasa. Akhirnya Soeharto
benar-benar mendapatkannya: Pangkopkamtib
366
BAB 3 : KUASA BERPINDAH PERAN MAHASISWA
Ada masa di mana Indonesia lowong kepemimpinan: sejak awal Oktober 1965 sampai Maret
1966 atau selama sekitar enam bulan. Bung Karno masih sebagai presiden, tetapi sudah tidak
punya kuasa lagi. Beliau dilarang meninggalkan Istana Bogor atau lebih tepat menjadi tawanan
Soeharto. Sepanjang masa itu juga tidak ada keputusan penting yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Soeharto lebih banyak menentukan kebijakan negara, namun secara formal dia
adalah Menpangad. Bung Karno pada tenggang waktu itu belum benar-benar sampai pada ajal
politik. Beliau masih punya pengaruh, baik di Angkatan Bersenjata maupun di kalangan ParpolParpol besar dan kecil. Para pimpinan Parpol umumnya mendukung Angkatan Darat untuk
membasmi PKI, namun mereka juga mendukung Bung Karno yang berupaya memulihkan
wibawa, walaupun Bung Karno akrab dengan PKI.
Sepintas tampak ada dualisme sikap para pimpinan Parpol. Di satu sisi anti-PKI, di sisi lain
mendukung Bung Karno. Sedangkan di kalangan Angkatan Bersenjata umumnya juga
menentang PKI, namun sebagian mendukung Bung Karno. Sebagaimana umumnya menghadapi
masa transisi, sebagian perwira merasa khawatir tentang posisi mereka. Mereka tidak tahu apa
yang akan terjadi jika Soeharto menjadi pemimpin kelak. Di sisi lain, proses kudeta merangkak
belum berakhir. Manuver Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada empat tahap:
1. menyingkirkan saingan beratnya sesama perwira tertinggi. 2. Menghabisi PKI, partai besar
yang akrab dengan Bung Karno 3. Melumpuhkan para menteri pembantu presiden 4.
Melumpuhkan Bung Karno.
Mengapa harus empat tahap? Jawabnya adalah bahwa sebelum G30S Soeharto bukan perwira
yang diperhitungkan. Karena selain pangkatnya masih Mayjen, ia juga pernah memiliki cacat
saat menyelundupkan barang di Jateng sehingga untuk mencapai pimpinan puncak ia harus
melewati proses panjang. Sampai di sini sudah dua tahap tercapai: para jenderal saingannya
sudah dihabisi dan PKI sudah digempur. Kendati demikian, Bung Karno masih juga punya
pengaruh. Selain itu para menteri juga masih ada walaupun sudah tidak berfungsi.
Untuk mengimbangi – lebih tepat melumpuhkan – sisa-sisa kekuatan Bung Karno, Soeharto
mengerahkan mahasiswa. Seperti disebut di bagian terdahulu, pada akhir Oktober 1965 di rumah
Brigjen Sjarif Thajeb, atas perintah Soeharto dibentuk KAMI. Nah, sejak itu demo mahasiswa
didukung oleh tentara terus bergerak mengkritik Presiden Soekarno. Saat itulah muncul slogan
Tritura (tri atau tiga tuntutan rakyat):
1. bubarkan PKI
2. bersihkan anggota kabinet dari unsur-unsur PKI
3. turunkan harga kebutuhan pokok.
Bung Karno – yang masih menjabat sebagai presiden – lantas membubarkan KAMI. Tetapi
setelah KAMI bubar muncul kelompok sejenis berganti nama menjadi KAPPI (Kesatuan Aksi
Pemuda dan Pelajar Indonesia). Tujuannya tetap sama: berdemo mengkritik Presiden Soekarno.
Dan karena demo itu didukung oleh tentara tentu saja para pemuda dan mahasiswa berani. Ini
yang kemudian disebut kelompok pemuda Angkatan ‘66, kelompok yang diprakarsai oleh
Soeharto. Sementara itu harga kebutuhan pokok rakyat memang melambung tinggi. Saya tahu
persis melonjaknya harga itu terjadi karena rekayasa Soeharto. Tepatnya Soeharto dibantu oleh
dua pengusaha Cina: Liem Sioe Liong (dulu bekerjasama menyelundupkan barang) dan Bob
Hasan (juga teman Soeharto sewaktu di Jawa Tengah).
Itu dilakukan di tenggang waktu antara Oktober 1965 sampai Maret 1966. Akibat selanjutnya:
inflasi melambung sampai 600%, defisit anggaran belanja negara semakin parah sampai 300%.
367
Rakyat tercekik. Untuk membeli beras, gula dan minyak orang harus antri. Inilah operasi
intelijen yang sukses melumpuhkan ekonomi negara. Tentang hubungan bisnis Soeharto dengan
Liem Sioe Liong dan Bob Hasan di Jateng yang paling tahu adalah Mayjen Pranoto. Saat
Soeharto sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Pranoto adalah kepala stafnya. Pranoto sudah
sangat jengkel pada Soeharto perihal bisnis memanfaatkan jabatan yang dilakukan Soeharto,
dibantu Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
Sangat mungkin ulah Soeharto dan Liem menyelundupkan barang dulu dibongkar oleh Pranoto
sehingga akhirnya diketahui Menpangad Yani, sampai-sampai Yani menempeleng Soeharto. Jadi
tindakan Soeharto menjegal Pranoto yang diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi caretaker
Menpangad (1 Oktober 1965) bukan semata- mata perebutan jabatan (dengan cara kotor) tetapi
juga ada faktor dendam pribadinya.
Sementara, gerakan mahasiswa menuntut pemerintah semakin gencar. Tritura terus diteriakkan
hampir setiap hari. Soeharto merekayasa agar harga kebutuhan pokok melambung. Dia pula yang
mengerahkan mahasiswa berdemo menuntut penurunan harga. Sedangkan rakyat jelas
mendukung gerakan mahasiswa karena tuntutan mereka sejalan dengan keinginan rakyat. Siapa
pun yang menjadi presiden saat itu pasti tidak dapat berbuat banyak. Apalagi Presiden Soekarno
dilarang meninggalkan Istana Bogor. Di sini semakin jelas kelicikan Soeharto. Cara Soeharto
menjatuhkan Soekarno benar-benar efektif walaupun di mata rakyat saat itu tidak kelihatan.
Saya menilai hanya sebagian mahasiswa yang berdemo dengan motivasi tercekik oleh harga
bahan kebutuhan pokok sebab mereka bukan orang awam, mereka bukan anak kecil. Sebagian
dari mereka pasti tahu bahwa harga kebutuhan pokok melejit akibat rekayasa Soeharto. Mereka
adalah kaum intelektuil yang mengikuti perkembangan negara mereka. Tetapi gerakan mereka
didukung oleh tentara dan rakyat – dua kekuatan utama bangsa ini – sehingga sebagian yang
sadar akan kondisi yang sebenarnya tidak berani menentang arus. Semua pasti mencari selamat
bagi diri sendiri. Mereka terpaksa terbawa arus, ikut menentang pemerintah.
Pada tanggal 10 Januari 1966 ribuan mahasiswa berkumpul di Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia di Salemba. Mereka meneriakkan Tritura. Komandan RPKAD (kelak diganti menjadi
Kopassus) Sarwo Edhi berpidato di tengah ribuan mahasiswa untuk mengobarkan semangat
mahasiswa berdemo. Usai Sarwo Edhi berpidato ribuan mahasiswa bergerak turun ke jalan
menuju kantor P&K untuk menyampaikan tuntutan tersebut. Di P&K mereka bertemu dengan
Wakil Perdana Menteri-III Chaerul Saleh. Mahasiswa menyampaikan tuntutan mereka kepada
Chaerul Saleh. Tuntutan ditanggapi Chaerul sambil lalu.
Lantas mahasiswa melanjutkan demo turun ke jalan. Pendapat umum yang dibentuk melalui
surat kabar menyebutkan bahwa tuntutan mahasiswa itu murni. Ini jelas menyesatkan
masyarakat. Bahan kebutuhan pokok sengaja dimusnahkan oleh Soeharto. Di sisi lain,
mahasiswa bergerak didukung oleh tentara yang dipimpin Soeharto. Jadi mana bisa tuntutan
mereka dikatakan murni? Satu-satunya tuntutan mahasiswa yang murni – menurut saya – adalah:
bubarkan PKI.
Sebagai gambaran: kelak setelah Soeharto berkuasa dan kepentingan politiknya sudah tercapai,
ia memberangus mahasiswa. Caranya dengan memerintahkan menteri P&K mengeluarkan
peraturan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi
Kemahasiswaan). Itu terjadi di pertengahan 1970-an. Intinya: mahasiswa dilarang berdemo. Saya
di dalam penjara mengikuti berita itu dan mengamati bahwa ternyata Soeharto ngeri dengan
bekas salah satu senjatanya, mahasiswa. Akhirnya ia juga jatuh tersungkur antara lain akibat
tekanan ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR pertengahan Mei 1998.
368
Saya tidak pernah menyesal pada sikap pemuda dan mahasiswa Angkatan-66. Kondisi dan
situasi negara saat itu memungkinkan mereka bersikap begitu. Generasi muda di mana pun di
dunia ini cenderung berpihak pada pembaharuan. Karakteristik ini dimanfaatkan dengan baik
oleh orang yang haus kuasa. Apalagi secara de facto pemimpin Indonesia sejak 1 Oktober 1965
adalah Soeharto, walau secara de jure ia adalah Menpangad. Bung Karno memang masih sebagai
Presiden RI dan pemerintah masih berdiri, tetapi kondisi negara tak terkendali, baik oleh
penggempuran besar-besaran tentara terhadap rakyat untuk membersihkan PKI maupun oleh
kondisi perekonomian yang rusak berat. Orang tidak perlu susah-susah mencari tahu apakah ini
hasil rekayasa atau murni ketidak-mampuan pemerintah, sehingga rakyat secara jelas
menyaksikan drama kejatuhan Bung Karno dari tampuk kekuasaannya.
Namun gerakan mahasiswa ternyata ditanggapi Bung Karno. Pada 15 Januari 1966 dalam Sidang
Kabinet Presiden Soekarno berpidato menjawab Tritura yang dikobarkan oleh mahasiswa.
Menurut Presiden Soekarno Tritura adalah hasil rekayasa TNI AD. Dengarkan cuplikan pidato
Soekarno yang sebagian sempat saya catat. Bunyinya demikian:
―Saya tidak akan mundur sejengkal pun. Saya tetap Pemimpin Besar Revolusi. Maka saya tidak
dapat bicara lain. Ayo¡¦.Siapa yang membutuhkan Soekarno, setuju dengan Soekarno sebagai
Pemimpin Besar Revolusi, maka satukan seluruh kekuatanmu. Pertahankan Soekarno. Berdirilah
di belakang Soekarno. Tunggu komando¡¦ ―
Inilah pernyataan Bung Karno di depan publik yang paling keras. Dengan pidato Bung Karno
yang berapi-api, semua pihak menjadi cemas. Bung Karno masih punya pendukung, termasuk
dari Angkatan Bersenjata. Para menterinya masih lengkap. Jabatannya masih Presiden RI. Maka
semua pihak khawatir Indonesia bakal memasuki pergolakan sangat hebat dalam waktu dekat
dan bakal terjadi pertumpahan darah yang jauh lebih besar dari G30S. Maka setelah itu – pada
malam hari berikutnya – saya selaku Wakil Perdana Menteri-I membentuk Barisan Soekarno.
Anggotanya semua menteri. Tujuannya tentu untuk membela Presiden. Front Nasional yang
sudah ada sebelumnya harus masuk ke Barisan Soekarno.
Pada tanggal 20 Januari 1966 para menteri berkumpul di Istana. Mereka menyatakan sepakat
menjadi bagian paling depan dari pendukung Soekarno. Itu merupakan bagian dari upaya
pendukung Soekarno untuk come back, walaupun secara formal Soekarno masih Presiden-RI,
pun secara formal pendukung terdepan masih Menteri Negara. Namun Bung Karno tidak
melakukan follow-up, tidak ada tindak-lanjut dari pidatonya yang keras itu. Tidak ada perintah
apa pun meski ia tahu pendukungnya
sudah siap membela. Para pendukungnya pun tidak bergerak sebab dalam pidatonya Bung Karno
antara lain menyerukan: tunggu komando¡¦Seruan ini ditaati para pendukungnya. Dan komando
ternyata tidak juga kunjung datang. Seandainya komando benar-benar diserukan, saya tidak bisa
membayangkan bagaimana jadinya Indonesia.
369
SUPERSEMAR
Sebuah sumber saya mengatakan bahwa pada tanggal 10 Maret 1966 Soeharto mengadakan
pertemuan di rumahnya di Jalan H Agus Salim. Pertemuan dihadiri oleh Pangdam Jaya Mayjen
Amir Machmud, Pangdam Jatim Mayjen Basuki Rahmat dan Mayjen M Yusuf. Inti
pembicaraan: Soeharto selaku Menpangad minta dukungan untuk mendapatkan suatu mandat
penuh dari Presiden RI Soekarno. Tujuannya adalah agar dapat mengatasi kesulitan-kesulitan
yang dihadapi negara, di samping untuk menciptakan suasana aman dan politik yang stabil. Tiga
jenderal yang menghadap akhirnya sepakat dengan ide Menpangad.
Lantas Soeharto menyampaikan pidato penting. Pidatonya berapi-api mengkritik kondisi negara
yang tidak menentu, sedangkan para menteri tidak dapat menyelesaikan persoalan bangsa. Merka
hanya bicara di sidang-sidang, tidak melakukan tindakan kongkrit. Ia menyerukan: para
mahasiswa dari Jakarta, Bandung dan Bogor untuk boleh saja berdemo di saat Sidang Kabinet
yang akan diselenggarakan esok harinya (11 Maret 1966) di Istana Merdeka. Akibatnya luar
biasa: Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa datang berbondong-bondong
menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman Istana. Pasukan Kawal Presiden Cakra
Bhirawa berupaya menahan mereka di pagar Istana. Petugas sampai terpaksa meletuskan
tembakan peringatan ke udara. Keadaan ternyata tidak mudah dikendalikan oleh Pasukan Kawal
Presiden. Soeharto tidak hanya menggerakkan mahasiswa, namun juga memberi dukungan
kepada mereka dengan mengerahkan tentara (belakangan saya ketahui tiga kompi RPKAD
didukung oleh pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris). Tujuan mereka antara lain menangkap
saya. Soeharto juga sudah setuju.
Tentara mengenakan seragam loreng, bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal. Mereka
bersama mahasiswa menyebar di jalanan yang akan dilewati oleh mobil menteri peserta sidang.
Begitu melihat mobil menteri mereka langsung mencegat. Ban mobil digembosi. Istana pun
dikepung sedemikian rupa. Pasukan tanpa tanda pengenal itu herhadap-hadapan dengan Pasukan
Cakra Bhirawa dalam jarak dekat. Saya berkesimpulan bahwa Soeharto mengharapkan dengan
begitu Soekarno akan menyerah tanpa syarat. Keadaan benar-benar gawat, sebab bisa timbul
korban yang sangat besar. Saya menilai Soeharto adalah pembunuh berdarah dingin, dia tega
370
membunuh siapa saja demi terwujud ambisi politiknya. Coba bayangkan kalau Pasukan Cakra
Bhirawa saat itu bertindak keras menghalau mahasiswa, tentu bakal terjadi pertumpahan darah
yang luar biasa. Sebab mahasiswa akan bertahan mati- matian karena merasa mendapat angin
dan didukung oleh tentara. Juga bisa terjadi perang kota antara pasukan Cakra Bhirawa melawan
pasukan tanpa identitas.
Hebatnya, dalam Sidang Kabinet itu Soeharto tidak datang dengan alasan sakit batuk.Informasi
sakitnya Soeharto ini disampaikan oleh Amir Machmud beberapa waktu kemudian. Menurut
pengakuan Amir Machmud – seusai mengikuti Sidang Kabinet -ia bersama Basuki Rachmat dan
M Yusuf mendatangi rumah Soeharto. Soeharto sakit tenggorokan sehingga tidak dapat bicara
keras. Saat kami datang ke rumahnya dia masih mengenakan piyama dengan leher dibalut, kata
Amir Machmud. Tetapi seorang intelijen saya melaporkan bahwa pada sore harinya Soeharto
memimpin rapat di Makostrad. Di sini semakin jelas bahwa Soeharto adalah pembohong besar.
Jika seandainya dalam Sidang Kabinet Soeharto ikut (sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat
seharusnya dia ikut) maka ada 3 risiko yang bakal dihadapi oleh Soeharto:
1. dalam keadaan Istana dikepung oleh mahasiswa dan tentara tentu dalam sidang Bung Karno
akan bertanya kepada Soeharto: Harto, engkau yang telah kuangkat menjadi Panglima Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban, ayo bergerak. Bereskan pengacau-pengacau itu. Maka perintah
Presiden itu bakal ibarat buah simalakama bagi Soeharto: dimakan ibu mati, tak dimakan bapak
tewas.
2. Jika Soeharto melaksanakan perintah, maka namanya bakal merosot di mata para demonstran
yang ia gerakkan sendiri. Ini berarti peluang bagus bagi Nasution untuk tampil sebagai presiden.
3. Jika Soeharto menolak perintah di depan Sidang Kabinet, maka bisa berakibat fatal bagi
Soeharto. Tentu Bung Karno bisa segera memerintahkan Pasukan Cakra Bhirawa untuk
menangkap Soeharto seketika itu juga.
Akhirnya cara terbaik bagi Soeharto untuk menghindari semua kemungkinan buruk itu adalah
nyakit (pura-pura sakit). Bukankah ini membuktikan bahwa Soeharto licin dan pembunuh
berdarah dingin? Ia tidak peduli bahwa tindakannya mengerahkan ribuan mahasiswa dan tentar a
bisa menimbulkan konflik besar yang menghasilkan banjir darah bangsanya sendiri. Sidang
Kabinet 11 maret 1966 dibuka oleh Presiden Soekarno. Di beberapa buku juga disebutkan bahwa
setelah Presiden Soekarno membuka sidang, beberapa saat kemudian pengawal presiden, Brigjen
Sabur, menyodorkan secarik kertas ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar banyak pasukan tak
dikenal. Beberapa saat kemudian Presiden keluar meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang
diserahkan kepada Leimena. Saya lantas menyusul keluar. Banyak ditulis saat keluar sepatu saya
copot karena terburu-buru. Memang benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para menteri
mencopot sepatu – mungkin karena kegerahan duduk lama bersepatu – tetapi sepatu yang
dicopot itu tidak kelihatan oleh peserta sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa melakukan
hal itu. Nah, saat kondisi genting sehingga Presiden meninggalkan ruang sidang secara
mendadak, saya keluar terburu-buru sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu.
Begitu keluar dari ruang sidang – ini yang tidak ada di dalam buku-buku sejarah – saya
sempat bingung, akan ke mana? Saya mendapat informasi, pasukan tak dikenal itu sebenarnya
mengincar keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno yang
keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan bingung saya lihat sebuah sepeda, entah milik siapa.
Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya – dan mobil semua menteri –
sudah digembosi oleh para demonstran. Dalam kondisi hiruk-pikuk di sekitar Istana saya keluar
naik sepeda. Ternyata tidak ada yang tahu bahwa saya adalah Soebandrio yang sedang diincar
tentara. Padahal saya naik sepeda melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang meneriakkan yel371
yel Tritura dan segala macam kecaman terhadap Bung Karno. Memang, saat menggenjot sepeda
saya selalu menunduk, tetapi kalau ada yang teliti pasti saya ketahuan.
Sepeda saya terus meluncur ke selatan.
Tujuan saya pulang. Sampai di Bundaran Air Mancur (perempatan Bank Indonesia) saya melihat
begitu banyak mahasiswa dan tentara. Mereka tidak hanya berada di sekitar Istana tetapi juga
menyemut di Jalan Thamrin. Sampai di sini perasaan saya jadi tidak enak. Memang sejauh ini
saya sudah lolos. Tetapi bisakah melewati ribuan mahasiswa yang menyemut itu? Maka seketika
itu juga saya memutuskan untuk kembali, berbalik arah. Saya kembali ke Istana. Hebatnya, saya
sampai di Istana lagi tanpa diketahui oleh para demonstran. Di dalam buku-buku sejarah
disebutkan bahwa begitu keluar dari ruang sidang, saya langsung memburu Bung Karno naik
helikopter. Yang sebenarnya terjadi seperti saya sebutkan ini: Begitu tiba kembali di Istana, saya
lihat ada helikopter. Saya tidak ahu apakah sejak tadi heli itu sudah ada atau baru datang. Atau
mungkin karena saya panik, saya tadi tidak melihat heli yang ada di sana sejak tadi. Namun yang
melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian saya melihat Bung Karno didampingi oleh
para ajudan berjalan menuju heli.
Karena itu sepeda saya geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah – ketika
berlari menuju heli tanpa sepatu – saya dilihat banyak orang sehingga ditulis di koran-koran: Dr.
Soebandrio berlari menyusul Bung Karno menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk
ke dalam heli dan terbang bersama Bung Karno menuju Istana Bogor. Jadi sebenarnya begitu
meninggalkan ruang sidang Bung Karno tidak langsung menuju heli, tetapi ada tenggang waktu
cukup lama. Saya sudah menggenjot sepeda dari Istana ke Bundaran Air Mancur dan kembali
lagi. Mungkin setelah meninggalkan ruang sidang Bung Karno masih mengadakan pertemuan
dengan para ajudan dan penasihat militer untuk membahas situasi, sehingga hal itu
menguntungkan saya.
Seandainya tidak bertemu Bung Karno, entah bagaimana nasib saya. Setelah peristiwa itu saya
merenung. Untungnya saat itu saya dan Leimena lolos dari target penangkapan mereka.
Seandainya saya tertangkap atau dihabisi, maka bakal terjadi bentrokan hebat. Bung Karno dan
pasukannya yang masih setia tidak akan tinggal diam. Akibatnya bisa banjir darah. Kalau itu
terjadi pasti Soeharto akan berbalik mengkhianati teman-temannya yang semula dia tugaskan
untuk mengerahkan pasukan mengepung Istana. Percobaan kudeta 3 Juli 1946 yang gagal
menjadi dasarnya. Juga bantuan pasukan Soeharto kepada Letkol Untung untuk membantai para
jenderal menjadi buktinya.
Menjelang petang Istana Bogor didatangi oleh tiga jenderal (Basuki Rachmat, Amir Machmud
dan M Yusuf). Ketika itu tiga Waperdam (saya, Leimena dan Chaerul Saleh) sudah di sana.
Leimena dan Chaerul menyusul kami ke Istana Bogor melalui jalan darat. Kami bertiga sempat
istirahat di paviliun. Ketika tiga jenderal datang Bung Karno menerima mereka di gedung utama.
Mereka berbicara cukup lama. Para Waperdam hanya siaga di paviliun. Beberapa jam kemudian
saya, Chaerul dan Leimena dipanggil oleh Bung Karno masuk ke ruang pertemuan. Di sana ada
tiga jenderal itu. Namun saat kami masuk sudah ada kesepakatan antara mereka dan Bung Karno.
Saya masuk ruang pertemuan. Bung Karno sedang membaca surat. Basuki Rachmat, Amir
Machmud dan M Yusuf duduk di depannya. Lantas saya disodori surat yang dibaca oleh Bung
Karno, sedangkan Chaerul Saleh duduk di sebelah saya. Isi persisnya saya sudah lupa tetapi
intinya ada empat hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk:
1. mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Untuk itu harus dijalin kerjasama dengan
unsur-unsur kekuatan lainnya.
372
2. Penerima mandat wajib melaporkan kepada Presiden atas semua tindakan yang akan
dilaksanakan
3. Penerima mandat wajib mengamankan Presiden serta seluruh keluarganya
4. Penerima mandat wajib melestarikan ajaran Bung Karno.
Soal urutannya mungkin terbalik-balik namun intinya berisi seperti itu. Bagaimana Ban, kau
setuju? Tanya Bung Karno. Beberapa saat saya diam. Saya pikir, Bung Karno sebenarnya hanya
mengharapkan saya menyatakan setuju, padahal dalam hati saya tidak setuju. Bukankah Presiden
adalah Panglima Tertinggi ABRI dan seharusnya kendali keamanan negara berada di tangan
Presiden? Saya merasa Bung Karno sudah ditekan. Terbukti ada kalimat Mengamankan pribadi
Presiden dan keluarganya, artinya keselamatan Presiden terancam oleh pihak yang menekan agar
surat tersebut dikeluarkan. Tetapi kalimat unik ini tidak ada dalam sejarah versi Orde Baru.
Bahkan lebih hebat lagi, naskah Supersemar yang membuat Soeharto ditunjuk sebagai
pengemban Supersemar (menjadi presiden tanpa melalui proses pemilu dan dipilih MPR) kini
sudah tiada. Tidak jelas keberadaan surat yang begitu penting.
Bagaimana, Ban, setuju? Tanya Bung Karno lagi. Ya, bagaimana, bisa berbuat apa saya? Bung
Karno sudah berunding tanpa kami jawab saya. Lantas dipotong oleh Bung Karno: Tapi kau
setuju? Kalau bisa, perintah lisan saja kata saya memberanikan diri. Saya lirik, tiga jenderal itu
melotot ke arah saya tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram mendengar kalimat saya yang
terakhir itu. Tetapi saya tahu mereka tidak bisa berbuat banyak. Suasana saat itu terasa tegang.
Lantas Amir Machmud menyela: Bapak Presiden tanda tangan saja. Bismillah saja, pak..
Bung Karno rupanya sudah ditekan tiga jenderal itu saat berunding tadi. Raut wajahnya terlihat
ragu-ragu, tetapi seperti mengharapkan dukungan kami agar setuju. Akhirnya saya setuju.
Chaerul dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken (tanda tangan). Tiga
jenderal langsung berangkat kembali ke Jakarta menemui Soeharto yang mengutus mereka.
Bahkan mereka menolak ketika ditawari Bung Karno untuk makan malam bersama. Maaf, pak.
Karena hari sudah malam, ujar salah seorang dari mereka. Dengan wajah berseri mereka
membawa surat bersejarah yang kemudian dinamakan Supersemar. Esoknya, 12 Maret 1966,
Soeharto langsung mengumumkan pembubaran PKI. Uniknya, pembubaran PKI itu
menggunakan surat keputusan Presiden nomor 113
tahun 1966. Saat diumumkan juga dibacakan ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Enam hari
kemudian 15 menteri yang masih aktif ditangkapi. Tentu saja Soeharto tidak melapor lebih
dahulu kepada Presiden. Untuk pembubaran PKI, surat malah baru sampai ke tangan Soeharto
tengah malam dan esok siangnya ia langsung mengambil kebijakan itu. Untuk penangkapan 15
menteri, alasannya adalah agar para menteri itu jangan sampai menjadi korban sasaran
kemarahan rakyat yang tidak terkendali. Tetapi ia juga menyampaikan alasan yang kontradiktif
yakni: para menteri hanyalah pembantu presiden, bukan bentuk kolektif pemerintahan. Jadi bisa
saja ditangkap. Yang jelas, begitu ditangkap para menteri langsung ditahan. Tuduhannya
gampang: terlibat G30S/PKI – tuduhan yang sangat ditakuti seluruh rakyat Indonesia sepanjang
Soeharto berkuasa. Mengkritik kebijaksanaan pemerintahan Soeharto bisa dituduh PKI.
Surat Perintah 11 Maret 1966 sudah diselewengkan. Soeharto menafsirkannya sebagai: Bung
Karno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto, bukan perintah memulihkan keamanan
Ibukota. Sebagai orang yang tahu persis kondisi saat itu, saya sangat yakin tujuan Soeharto
membubarkan PKI dan menangkapi 15 menteri adalah rangkaian strategi untuk meraih puncak
kekuasaan. Seperti disebut di muka, strategi Soeharto ada empat tahap: – habisi para jenderal
saingan – hancurkan PKI – copoti para menteri – jatuhkan Bung Karno.
373
Kini yang dicapai Soeharto sudah tiga tahap. Tinggal tahap terakhir. Bung Karno pun bereaksi.
Tidak benar jika Bung Karno diam saja. Beliau memerintahkan Leimena menemui Soeharto
menanyakan hal itu: Bagaimana ini? Surat perintah hanya untuk mengamankan Jakarta, bukan
untuk pembubaran PKI. Kok malah main tangkap, kata Leimena kepada Soeharto.Tetapi
Soeharto tidak menggubris. Seperti terjadi pada tanggal 3 Oktober 1965 – saat Leimena protes
pada Soeharto karena Bung Karno ditawan di Istana Bogor – Soeharto menyatakan: Pak
Leimena jangan ikut campur. Sekarang saya yang kuasa. Leimena kembali ke Istana Bogor
melaporkan reaksi Soeharto. Dan Bung Karno terdiam, tetapi dari wajahnya kelihatan jelas
bahwa beliau sedang marah. Dari laporan Leimena kami tahu bahwa saat itu situasi Jakarta
sangat tegang: tank dan kendaraan lapis baja bersiaga di setiap ujung jalan, tentara ada di manamana. Mereka dikenali sebagai pasukan Kostrad dan Brigade Para 3 Yon Siliwangi. Kali ini
untuk menakut- nakuti anggota PKI yang jumlahnya masih sangat besar saat itu. Mungkin pula
ditujukan untuk memberikan tekanan psikologis terhadap Bung Karno yang sudah kehilangan
kuasa agar tidak menghalang-halangi pembubaran PKI atau mungkin juga ditujukan untuk
kedua-duanya. 15 menteri yang ditangkapi adalah:
1. Saya (Waperdam-I merangkap Menlu, merangkap Kepala BPI)
2. Waperdam-II Chaerul Saleh
3. Menteri Tenaga Listrik S. Reksoprojo
4. Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Sumardjo
5. Menteri Keuangan Oei Tjoe Tat
6. Menteri Bank Sentral dan Gubernur BI Yusuf Muda Dalam
7. Menteri Pertambangan Armunanto
8. Menteri Irigasi dan Pembangunan Desa Ir. Surahman
9. Menteri Perburuhan Sutomo Martoprojo
10. Menteri Kehakiman Andjarwinata
11. Menteri Penerangan Asmuadi
12. Menteri Urusan Keamanan Letkol Imam Syafi‘i
13. Menteri Sekretaris Front Nasional Ir. Tualaka
14. Menteri Transmigrasi dan Koperasi Ahmadi
15. Menteri Dalam Negeri merangkap Gubernur Jakarta Raya Sumarno Sastrowidjojo
Meskipun sudah menangkap 15 menteri yang masih aktif menjalankan tugas, namun Soeharto
tanpa rasa malu sedikit pun menyatakan bahwa kekuasaannya diperoleh secara konstitusional.
Padahal ketika menangkap kami (para menteri) perintah Soeharto kepada tentara yang
melaksanakan berbunyi demikian: Tangkap dulu mereka, alasannya cari kemudian. Itulah filsafat
Soeharto dalam logika kekerasannya. Persis seperti dilakukan Soeharto pada tragedi 1 Oktober
1965. Beberapa jam setelah para jenderal dibunuh, kelompok bayangan Soeharto langsung
mengumumkan: G30S didalangi PKI. Lantas Soeharto memerintahkan: Basmi dulu partai itu
(PKI), bukti-bukti cari kemudian. Apakah ini konstitusional seperti yang sangat sering dikatakan
Soeharto ketika dia memerintah?
MELENGGANG KE ISTANA
Kini sudah tinggal setengah tahap lagi dari bagian tahap terakhir: jatuhkan Bung Karno. Setelah
Supersemar – ketika Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi para menteri setia – Bung
Karno sebenarnya sudah setengah jatuh. Beliau sudah tidak berdaya dan para menterinya yang
masih aktif ditangkapi. Maka ajal politik tinggal tunggu waktu. Setelah PKI resmi dibubarkan,
374
tiga tokoh pimpinan PKI – yaitu DN Aidit, Njoto dan Lukman – ditangkap hidup-hidup. Presiden
Soekarno yang sudah kehilangan powernya menolak memerintahkan mengadili mereka (entah
mengapa). Persoalan ini lantas diambil-alih oleh Soeharto. Para pimpinan PKI itu diadili dengan
cara tersendiri. Soeharto memerintahkan tentara menembak mati ketiganya. Dan ketiganya
memang didor tanpa melalui proses hukum yang berlaku.
Dengan perlakuan Soeharto seperti itu sangat wajar jika saya katakan bahwa Soeharto tidak ingin
kedoknya (memanipulir G30S) terbongkar di pengadilan jika tiga pimpinan PKI itu diadili.
Sedangkan saya yang mengalami semua kejadian ini jelas yakin bahwa Soeharto terlibat G30S.
Setelah Supersemar, Soeharto membongkar-pasang keanggotaan DPRGR yang merupakan
bagian dari MPRS. Caranya dengan merampas kursi yang semula diduduki oleh anggota PKI dan
menggantinya dengan orang-orang Soeharto sendiri. Kemudian Soeharto menyuruh MPRS (yang
sebagian besar sudah diisi orang- orangnya) bersidang. Inti sidang adalah mengukuhkan
Supersemar secara konstitusional.
Bersamaan dengan itu pembantaian besar-besaran terhadap anggota PKI sudah dilegalkan.
Keluarga anggota PKI, teman-teman mereka, bahkan ada juga rakyat yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan PKI ikut terbunuh. Darah orang PKI, keluarga dan teman
mereka halal bila ditumpahkan. Inilah pembantaian terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Tidak
ada yang tahu persis berapa jumlah rakyat yang terbunuh. Ada yang mengatakan 800.000, ada
yang mengatakan 1.000.000. Yang paling tinggi adalah pernyataan Sarwo Edhi Wibowo yang
katanya mencapai 3.000.000 manusia.
Dalam sidang MPRS Juni 1966 Soeharto menetapkan RI kembali ke UUD 1945 secara murni
dan konsekuen. Juga memerintahkan mencabut Ketetapan MPRS tahun 1963 yang mengangkat
Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Juga menyatakan pemberian gelar Pemimpin Besar
Revolusi terhadap Bung Karno tidak memiliki kekuatan hukum. Asal diketahui, pengangkatan
Bung Karno sebagai presiden seumur hidup bukan datang dari Bung Karno. Juga bukan dari
pendukung setia Bung Karno (PKI). Pengangkatan itu atas usulan perwira AD sendiri, yakni
Brigjen Suhardiman. Pada awal Juli 1966 Soeharto menyetujui Nasution menjadi ketua MPRS.
Beberapa hari kemudian – 5 Juli 1966 – MPRS mengeluarkan ketetapan: Soeharto selaku
Pengemban Supersemar diberi wewenang membentuk kabinet. Maka dibentuklah Kabinet
Ampera menggantikan Kabinet Dwikora. Kabinet baru ini tidak lagi berada di bawah kekuasaan
Presiden Soekarno, namun sudah di bawah Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet. Sejak itu
secara formal berakhirlah pemerintahan Presiden Soekarno.
Nasution yang baru terpilih menjadi ketua MPRS segera menyanyikan lagu gubahan Kelompok
Bayangan Soeharto. Tap MPRS yang lahir sebelum Nasution tampil, yang meminta Presiden
Soekarno melengkapi pertanggung-jawaban kepada MPRS tentang sebab-sebab G30S kemudian
dinyatakan ditutup begitu saja. Pada Desember 1966 Panglima AU Oemar Dhani ditangkap,
menyusul kemudian para perwira pendukung Bung Karno lainnya. Mereka semua dihukum
bertahun-tahun tanpa kesalahan yang jelas.
Proses selanjutnya: praktis Soeharto memimpin Indonesia. Perlahan namun pasti Soeharto
melenggang menuju kantor di Istana Negara. Soekarno (yang katanya akan dikudeta oleh PKI)
secara politis sama sekali sudah tidak berdaya. Melalui UU nr. 10 tahun 1966, DPRGR dan
MPRS meminta pertanggung-jawaban Presiden atas peristiwa berdarah G30S. Menanggapi itu
Bung Karno menolak, sebab menurut Bung Karno, berdasarkan UUD 1945 yang harus
dipertanggung-jawabkan mandataris MPRS hanya persoalan yang ada dalam GBHN. Sedangkan
peristiwa G30S ada di luar GBHN yang berarti Presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Sejak itu Bung Karno (secara formal) dilarang mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau
375
peraturan. Secara non-formal Bung Karno sudah ditahan di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965.
AD yang diprakarsai oleh Soeharto dan didukung oleh Nasution menyokong keputusan Soeharto
untuk kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Saat itu pula Soeharto memerintahkan
Ketua MPRS untuk meninjau kembali semua ketetapan MPRS yang dibuat antara tahun 1960
hingga 1963.
Dalam Sidang Kabinet pada bulan Juni 1966 Bung Karno masih boleh hadir dalam kapasitas
tetap sebagai Presiden RI. Namun dalam sidang itu Bung Karno diharuskan oleh Soeharto agar
bicara yang intinya mengutuk G30S dan harus mengakui bahwa Bung Karno terlibat di
dalamnya. Juga harus membenarkan pembantaian massal PKI dan antek-anteknya. Di luar
dugaan, ternyata Bung Karno sudah menyiapkan pidato yang diberi judul Nawaksara. Inti pidato
tersebut sama sekali menyimpang dari yang diperintahkan oleh Soeharto. Pidato Bung Karno itu
intinya juga tidak mengandung penyesalan akibat proses pengambil-alihan kekuasaan. Tetapi
pidato ini ditentang oleh para opsir dan para ulama.
Pada tanggal 17 maret 1967 MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa. Intinya: dikeluarkan
Tap MPRS yang menurunkan Presiden Soekarno dan secara resmi menyerahkan kepemimpinan
nasional kepada Soeharto sebagai Pejabat Presiden sampai terpilih presiden oleh MPRS hasil
pemilu yang akan datang. Dengan begitu Soeharto sudah benar-benar menggantikan Soekarno.
Saat itulah Soeharto menegaskan bahwa tentara memiliki peran sosial politik yang tidak terbatas
(kelak hal ini diterjemahkan menjadi Dwifungsi ABRI) DALAM NEGARA. Saat itu pula
ditetapkan bahwa Pancasila sebagai azas tunggal negara. Soeharto saat itu mulai menyusun
kekuatan agar kekuasaan berada di satu tangan: tangan dia sendiri. Sebaliknya, terhadap Presiden
Soekarno, MPRS mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
- Presiden Soekarno dinilai tidak dapat memenuhi tanggung-jawab konstitusionalnya – Presiden
Soekarno dinilai tidak dapat menjalankan Haluan Negara. Karena itu MPRS memutuskan
melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sejak saat itu sampai dengan Pemilu
yang akan datang
- Juga menarik mandat MPRS terhadap presiden yang diatur dalam UUD 1945 dan mengangkat
pengemban MPRS nr. 9 sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Presiden Soeharto hingga terpilihnya
presiden hasil Pemilu.
- Pjs Presiden tunduk dan bertanggung-jawab terhadap MPRS. – Persoalan hukum yang
menyangkut Presiden Soekarno ditentukan sesuai hukum yang berlaku dan pelaksanaannya
diserahkan kepada Pjs Presiden.
Secara garis besar tindakan Soeharto sejak sebelum G30S sampai pembubaran kabinet bentukan
Bung Karno disebut pegamat asing sebagai creeping coup (kudeta merangkak). Proses kudetanya
tidak langsung menghantam dan musuhnya jatuh, melainkan kudeta yang dilakukan secara
mengendap-endap. Kata mereka itu kudeta khas Indonesia. Coba saja, setelah kekuasaan beralih
Bung Karno masih berstatus sebagai Presiden RI. Saat itu – bahkan sampai sekarang – saya
melihat proses peralihan kekuasaan tersebut sangat unik. Selain unik, juga sangat
membahayakan Soeharto sendiri seandainya perkembangan situasi mengalami pembalikan.
Tetapi rupanya Soeharto sudah memperhitungkan semua dengan sangat matang. Terbukti, sama
sekali tidak ada bahaya. Malah, setelah itu Soeharto memperkukuh kekuasaannya dengan
memreteli semua keputusan MPRS yang dirasa memberi kewibawaan kepada Bung Karno.
Sebenarnya kudeta merangkak bukan pilihan Soeharto. Jika prosesnya bergerak secara
merangkak, itu karena terpaksa. Soeharto tidak bisa begitu saja tampil ke puncak pimpinan
nasional. Ia harus melewati para jenderal senior dan berhadapan dengan Bung Karno yang saat
itu begitu kuat.
376
AKHIR HAYAT UNTUNG
Setelah ditangkap saya langsung ditahan. Saya diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa dengan
tuduhan subversi dan dijatuhi hukuman mati. Jalur hukum di atas vonis pengadilan – seperti naik
banding dan kasasi – sengaja ditutup sehingga mau tidak mau saya harus menerima vonis
hukuman mati itu. Jelas saya sangat terpukul pada saat itu. Dari posisi orang nomor dua di
Republik ini, saya mendadak sontak diadili sebagai penjahat dan dihukum mati. Saya menjalani
hukuman awal di Penjara Cimahi Bandung. Di sana berkumpul orang- orang yang senasib
dengan saya (dituduh sebagai penjahat yang terlibat G30S). Di antaranya adalah Letkol Untung
yang memang komandan G30S. Selama beberapa bulan kami berkumpul di penjara walaupun
berbeda ruangan. Saya dan Untung sudah sama-sama divonis hukuman mati. Baik saya maupun
Untung tidak diberi hak untuk menempuh jalur hukum yang lebih tinggi yakni naik banding,
apalagi kasasi.
Sampai suatu hari di akhir 1966 Untung dijemput dari selnya oleh beberapa sipir. Diberitahukan
bahwa Untung akan dieksekusi. Itulah saat-saat terakhir Untung menjalani hidupnya. Saya dan
Untung yang sudah akrab selama berada dalam satu penjara benar-benar terhanyut dalam
suasana haru. Saya bukan hanya terharu tetapi juga bingung, sedih, bahkan panik. Sebab Ahmad
Durmawel (oditur militer yang mengadili saya) saat itu memberitahukan bahwa saya akan
mendapat giliran (dieksekusi) empat hari kemudian. Saya ingat saat itu hari Selasa. Berarti saya
akan dieksekusi pada hari Sabtu.
Sebelum Untung dijemput untuk dibawa keluar penjara, saya sempat menemui Untung. Saat itu
ia sudah ditanya tentang permintaan terakhir, seperti lazimnya orang yang akan dieksekusi.
Mungkin karena Untung sedang panik, ia tidak minta apa-apa. Untung juga sudah tahu bahwa
saya akan dieksekusi hari Sabtu. Maka pertemuan saya dan Untung benar-benar luar biasa. Kami
memang hanya berhadap-hadapan dengan pakaian seragam narapidana, namun hati kami tidak
karuan. Untung segera akan ditembak, sedangkan saya empat hari lagi.
Saat itu ada kalimat perpisahan Untung yang saya ingat hingga sekarang. Bahkan saya ingat
suasana hening saat Untung menyampaikan kata perpisahannya pada saya. Para sipir dan tentara
berwajah angker yang selalu siaga menjaga Untung, mengawasi kami dari jarak agak jauh.
Mereka seperti maklum dan memberi kesempatan terakhir bagi Untung untuk berpesan kepada
saya. Untung mengatakan demikian: Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih. Empat hari lagi kita
ketemu lagi di sana katanya sambil menunjuk ke atas. Untung mengucapkan kata perpisahan
dengan suara bergetar. Matanya kelihatan berkaca-kaca. Tentara yang gagah berani itu tidak
menangis, tetapi saya tahu ia dalam kondisi sangat panik. Ia benar-benar tidak menyangka bakal
dikhianati oleh Soeharto.
Jika menengok hari-hari sebelumnya, Untung begitu sering mengatakan kepada saya bahwa tidak
mungkin Soeharto akan mengkhianati dia. Sebab dia adalah sahabat Soeharto dan ia mengatakan
bahwa Soeharto mengetahui rencana G30S, bahkan memberi bantuan pasukan. Karena itu dia
sangat yakin bahwa dia tidak akan dikhianati oleh Soeharto. Tetapi toh kenyataannya berakhir
demikian. Menanggapi perkataan Untung, saya tidak bisa bicara apa-apa. Saya hanya
mengangguk-angguk. Para sipir dan tentara yang menjaga kami menyaksikan semua adegan
singkat tapi mengharukan ini.
Menjelang senja, Untung dengan pengawalan ekstra ketat berjalan menuju pintu gerbang untuk
meninggalkan Penjara Cimahi. Saya mengamati keberangkatan Untung dari penjara. Ia berjalan
tegap. Mungkin ia segera bisa menguasai perasaannya yang begitu gundah. Tetapi mungkin pula
377
ia sudah pasrah kepada takdir Allah bahwa memang sampai di situlah perjalanan hidupnya. Saya
kemudian mendengar bahwa Untung dieksekusi di sebuah desa di luar kota Bandung. Saya sudah
tidak sempat sedih lagi memikirkan nasib Untung, hidup saya sendiri akan berakhir sebentar lagi.
Bila mengingat hari-hari itu, saya membayangkan Untung kecele (salah duga) dengan kata
perpisahannya kepada saya sesaat sebelum meninggalkan penjara karena ternyata dia tidak
menjumpai saya di alam sana.
Terus terang, setelah Untung dieksekusi, saya benar-benar gelisah. Manusia mana yang tidak
takut jika hari kematiannya sudah ditentukan. Tetapi – inilah keajaiban – Presiden Amerika
Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth, di luar sepengetahuan saya, mengirimkan
surat kawat kepada Soeharto. Saya mengetahui ini dari seorang sumber beberapa hari kemudian.
Isi surat dua petinggi negara adidaya itu – ini juga ajaib – hampir sama.
Intinya berbunyi demikian: Soebandrio jangan ditembak. Saya tahu, dalam G30S dia tidak
terlibat. Soal, apakah ini merupakan intervensi asing atau bukan, bagi saya tidak perlu dipikirkan
lagi. Sejak dulu pun Indonesia selalu diintervensi oleh negara lain. Yang penting bagi saya,
mereka sudah membantu saya dalam kondisi sangat panik. Dan ternyata kawat singkat itu ampuh
luar biasa. Akhirnya saya tidak jadi ditembak mati. Tentang mengapa dua orang pimpinan negara
Barat membantu saya, sungguh tidak saya ketahui. Yang tahu persis hanya mereka berdua. Saya
tidak pernah meminta bantuan mereka. Logikanya, tidak ada waktu bagi saya untuk minta
bantuan kepada orang lain, apalagi pimpinan negara lain. Hitung saja, saya diberitahu tentang
hari eksekusi saya sekitar lima hari sebelumnya. Selama menunggu, saya hanya panik dan panik.
Lagipula, bagaimana caranya saya minta bantuan kepada mereka? Saya berada di dalam penjara
dan dalam pengawasan ekstra ketat, terutama pada hari-hari menjelang eksekusi. Namun jangan
lupa, saya dulu adalah Menteri Luar Negeri. Saya akrab dengan mereka berdua. Ketika
perundingan tentang pembebasan Irian Barat, saya banyak melobi pejabat di dua negara itu. Juga
dalam tugas-tugas yang lain. Tetapi bagaimana pun saya juga tetap tidak tahu bagaimana mereka
begitu yakin bahwa saya tidak terlibat G30S sampai-sampai mereka dengan keputusan yang luar
biasa berani mengirimkan kawat ke Jakarta. Akibat kawat itu pula hukuman saya diubah dari
hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.
378
Kisah 1966 : Dari 10 Januari Menuju 11 Maret (Oleh :Sociopolitica)
Bagian Pertama
”10 Januari 1966, demonstrasi mahasiswa meletus di Jakarta, sebagai reaksi terhadap
kenaikan harga-harga. Demonstrasi ini melahirkan Tri Tuntutan Rakyat yang kemudian
dikenal sebagai Tritura. Tiga tuntutan itu meliputi: Bubarkan PKI, ritul Kabinet Dwikora
dan Turunkan harga-harga. Keadaan ekonomi rakyat sebelum 10 Januari demikian
terhimpitnya oleh harga-harga yang makin membubung tinggi. Pemerintah menunjukkan
sikap yang ambivalen”.
Antara konsolidasi dan akrobat politik
DALAM bulan Oktober 1965, hanya selang beberapa hari setelah Peristiwa Gerakan 30
September, beberapa organisasi mahasiswa antara lain HMI (Himpunan Mahasiswa Islam),
PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), Somal (Sekretariat Organisasi
Mahasiswa Lokal), dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) mendesak agar PPMI
(Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang merupakan wadah yang menghimpun
organisasi mahasiswa ekstra universiter di masa Orde Lama Soekarno –yang didominasi oleh
organisasi-organisasi seperti CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), GMNI Asu
(Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, yang pro PNI Ali Surachman), Perhimi (Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia) dan Germindo (Gerakan Mahasiswa Indonesia)– untuk segera
mengadakan kongres. Desakan para mahasiswa ‗garis seberang‘ itu ditolak oleh GMNI yang
dipimpin oleh Bambang Kusnohadi dan organisasi mahasiswa ideologi kiri lainnya, dengan
alasan masih menunggu solusi politik dari Presiden Soekarno pasca Peristiwa 30 September
1965.
Beberapa organisasi pengusul kongres akhirnya mengultimatum akan menyelenggarakan sendiri
kongres bilamana pimpinan PPMI tidak mau melaksanakan kongres tersebut. Mendapat
ultimatum, pimpinan PPMI melaporkan hal tersebut kepada Menteri PTIP (Perguruan Tinggi dan
Ilmu Pengetahuan) Dr Sjarif Thajeb, dengan menambahkan bumbu insinuasi bahwa Somal
merencanakan membuat huru-hara dalam kongres pada saat kongres itu berlangsung. Pada
awalnya Sjarif Thajeb percaya kepada insinuasi ini, lalu memanggil pimpinan Somal dan
meminta mereka jangan dulu memaksakan kongres. Setelah menerima penjelasan dari Somal,
Sjarif Thajeb lalu menyarankan pertemuan antara seluruh organisasi mahasiswa, pada 25
Oktober 1965 di kediamannya. Namun, pertemuan itu ternyata berlangsung tanpa kehadiran
CGMI, Germindo dan Perhimi yang adalah organisasi mahasiswa onderbouw PKI dan partai
serta organisasi ideologi kiri lainnya. Hanya GMNI yang hadir berhadapan dengan organisasiorganisasi pengusul Kongres.
Pertemuan di rumah kediaman Sjarif Thajeb ini berlangsung alot. Para pemimpin organisasi
mahasiswa menyepakati membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia disingkat KAMI,
dengan program utama ‗mengganyang‘ Gerakan 30 September dan PKI. Dalam pertemuan itu,
Sjarif Thajeb memperlihatkan kebimbangan-kebimbangan, antara lain terkait dengan
379
kedekatannya saat itu dengan Soekarno karena bagaimanapun ia adalah menteri Soekarno.
Namun di sisi lain terjadi arus perkembangan baru yang sebenarnya memiliki perspektif
perubahan yang menggoda sebagai ‗investasi‘ masa depan namun pada tahap itu mengarah
kepada penentangan terhadap Soekarno sebagaimana yang ditunjukkan oleh para mahasiswa.
Maka, agaknya seakan satu jalan tengah, Sjarif Thajeb lalu ‗bersikeras‘ agar GMNI duduk
sebagai pimpinan dalam wadah baru kemahasiswaan, KAMI, yang akan dibentuk itu dan
memadukannya dengan organisasi-organisasi lainnya.
Saat itu, seperti diungkapkan Marsillam Simanjuntak, Sjarif Thajeb mempunyai jalan pikiran
atau patron yang menilai satu organisasi berdasarkan ranking urutan partai yang menjadi induk
organisasi tersebut. Karena PNI formal adalah partai yang terbesar, maka GMNI pun
ditempatkannya di urutan teratas. Sebaliknya, HMI yang sebenarnya justru adalah organisasi
mahasiswa yang terbesar massanya, diabaikan Sjarif Thajeb, karena HMI memang tidak punya
induk politik. PMII yang anggotanya amat sedikit, apalagi dibandingkan HMI, mendapat posisi
karena ‗anak‘ Partai NU. Somal yang merupakan ‗federasi‘ nasional dengan anggota-anggota
berbagai organisasi mahasiswa lokal, dianggap memenuhi syarat, seperti PMKRI yang adalah
anak Partai Katolik dan Mapantjas karena adalah organisasi sayap IPKI. Kelima organisasi
mahasiswa itu ditunjuk untuk duduk dalam Presidium KAMI, yakni GMNI, PMKRI, Somal,
PMII dan Mapantjas. Tetapi GMNI sendiri akhirnya menyatakan tidak bersedia ikut duduk
dalam Presidium KAMI dan bahkan tidak ikut bergabung sama sekali dengan KAMI, karena
berpendapat PPMI masih harus dipertahankan. Pilihan Bambang Kusnohadi ini, akan tercatat
kemudian sebagai awal tersisih dan rontoknya GMNI sebagai suatu organisasi mahasiswa
dengan massa terbesar saat itu.
Belakangan, ketidaksertaan GMNI Asu di bawah Bambang Kusnohadi digantikan oleh GMNI
pimpinan Surjadi yang berseberangan dengan PNI pimpinan Ali Sastroamidjojo SH dan Ir
Surachman. Dr Sjarif Thajeb yang awalnya bimbang, karena tak punya pendirian yang jelas,
akhirnya ikut arus dan menyetujui lahirnya KAMI dan namanya pun lalu tercatat sebagai tokoh
yang ikut membidani lahirnya KAMI. Posisinya terhadap Soekarno pada mulanya tentu saja
menjadi dilematis dan sulit, ketika ternyata KAMI kemudian menjadi penentang kuat yang
akhirnya ikut menjatuhkan Soekarno dari kekuasaannya. Sampai-sampai ia pernah membekukan
‗organisasi‘ yang kelahirannya dibidani olehnya itu. Namun tatkala pada akhirnya kejatuhan
Soekarno terjadi, hal itu mengakhiri pula dilema Sjarif Thajeb dan dilema pun berubah menjadi
semacam berkah bagi tokoh ini serta menjadi tiket baginya turut dalam kekuasaan baru pada
masa berikutnya. Masalahnya, walau Sjarif Thajeb memang dianggap berjasa dalam berdirinya
KAMI, tetapi sekaligus juga kerap tidak disukai mahasiswa karena sejumlah tindakannya
merugikan mahasiswa. Pada masa awal pemerintahan Soeharto, sebagai Menteri PTIP, beberapa
kali ia melakukan tindakan represif di kampus-kampus.
KAMI terbentuk di Bandung tanggal 1 Nopember 1965, hanya selang beberapa hari dengan
terbentuknya KAMI di Jakarta. Rapat pembentukannya mengambil tempat di Margasiswa
PMKRI Jalan Merdeka 9 Bandung. Mengikuti pola KAMI Pusat, organisasi ini juga dipimpin
oleh satu Presidium. Pertama kali, Presidium terdiri dari Majedi Sjah (PMII), RAF Mully
(PMKRI), Rohali Sani (Somal), Daim A. Rachim (Mapantjas), yang didampingi para sekertaris
Ta‘lam Tachja (HMI) dan Mansur Tuakia (IMM). Pembentukan KAMI Bandung diikuti oleh
pembentukan KAMI di ITB. Tetapi dalam perjalanan kegiatannya, seperti yang digambarkan
380
Hasjrul Moechtar, aksi-aksi KAMI Bandung sampai Desember 1965 tidak mampu
menggambarkan potensi yang sebenarnya dari mahasiswa Bandung.
Para pimpinan KAMI Bandung, sejalan dengan pikiran Menteri PTIP Sjarif Thajeb, berpikir
terlalu formal organisatoris, bahwa hanya mahasiswa-mahasiswa organisasi ekstra, terutama
yang punya induk politik, yang mampu menggerakkan mahasiswa –sesuai kepentingan politik
faktual saat itu– untuk menghadapi PKI. Padahal pada beberapa perguruan tinggi terkemuka di
Bandung, khususnya di ITB, merupakan fakta bahwa organisasi intra lebih populer dan lebih
mewakili keseluruhan mahasiswa dibandingkan dengan organisasi ekstra universiter. Faktanya,
―walaupun sama-sama anti PKI, Dewan-dewan Mahasiswa tidak merasa perlu untuk
menggerakkan mahasiswa di kampusnya mengikuti aksi-aksi KAMI‖. Di mata Dewan-dewan
Mahasiswa, kehadiran KAMI tak lebih dari sekedar perubahan wajah saja dari PPMI minus
CGMI, GMNI-Asu, Perhimi dan Germindo.
Dengan penilaian atas KAMI seperti itu, maka 24 Nopember 1965, Dewan-dewan Mahasiswa
maupun Senat-senat Mahasiswa dari 20 perguruan tinggi se Bandung sepakat membentuk
Kesatuan Organisasi Mahasiswa Intra Universiter Indonesia (KOMII), yang sekaligus juga
menjadi pengganti MMI yang mereka tak percayai lagi. Ketua Umum pertama KOMII adalah
Rachmat Witoelar dari ITB. Rachmat yang saat itu adalah Ketua Umum DM-ITB dianggap
mewakili wajah kampus ITB yang betul-betul a politis. Ketua-ketua KOMII yang lain adalah
Soegeng Sarjadi dari Universitas Padjadjaran yang waktu itu belum bergabung sebagai anggota
HMI, Asmawi Zainul dari IKIP dan AP Sugiarto dari Universitas Parahyangan. Sekertaris
Umum Hermanto Hs dari ITB dengan Sekertaris-sekertaris Anis Afif (Akademi Tekstil) dan
Sadan Sapari dari Universitas Pasundan. Tiga bendahara adalah R. Hasoni dari AKMI, I Gede
Artika (APN) dan Tatang Haris dari Universitas Pantjasila.
Untuk beberapa bulan, hingga Pebruari 1996, aksi-aksi kedua organisasi ini berjalan terpisah.
Tapi tatkala aksi-aksi mahasiswa makin meningkat, 24 Pebruari, terjadi kesepakatan untuk
berintegrasi dalam artian unsur-unsur KOMII masuk ke dalam Presidium. Dalam Presidium
duduk 4 unsur ekstra universiter dan 4 unsur intra universiter. Terjadi perubahan signifikan.
Masuknya unsur intra membuat gerakan-gerakan KAMI Bandung lebih impresif dan selalu
diikuti dengan massa yang jauh lebih besar. Sebenarnya, sebelum terjadi penggabungan,
sejumlah aktifis mahasiswa yang menjadi penggerak Pernyataan 1 Oktober –menolak Dewan
Revolusi– berinisiatif mengkoordinasi suatu gerakan bersama antara KAMI dan KOMII pada 13
Januari 1966 di Bandung, tiga hari setelah aksi Tritura di Jakarta. Hasilnya menakjubkan,
sehingga membuka mata semua aktivis mahasiswa untuk memikirkan suatu kebersamaan yang
lebih baik. Pola memasukkan unsur intra ke dalam Presidium ini akhirnya diikuti pula oleh
KAMI konsulat Jakarta, dan juga menghasilkan peningkatan efektifitas gerakan. Tetapi KAMI
Pusat dan KAMI daerah-daerah lainnya, tidak mengikuti pola itu. Masalahnya memang, di
kampus-kampus perguruan tinggi kota lainnya, adalah merupakan fakta bahwa organisasi ekstra
universiter memang lebih dominan dalam kehidupan kampus. Pasca Peristiwa 30 September
1965 organisasi ekstra yang paling dominan di kampus-kampus berbagai kota selain Bandung,
adalah HMI, terutama di luar Jawa.
Tanggal 10 Januari 1966, demonstrasi mahasiswa meletus di Jakarta, sebagai reaksi terhadap
kenaikan harga-harga. Demonstrasi ini melahirkan Tri Tuntutan Rakyat yang kemudian dikenal
381
sebagai Tritura. Tiga tuntutan itu meliputi: Bubarkan PKI, ritul Kabinet Dwikora dan Turunkan
harga-harga. Keadaan ekonomi rakyat sebelum 10 Januari demikian terhimpitnya oleh hargaharga yang makin membubung tinggi. Pemerintah menunjukkan sikap yang ambivalen. Di satu
pihak mereka menganjurkan dan bahkan melarang kenaikan harga-harga, tetapi pada pihak lain
pemerintah sendiri menaikkan tarif dan menaikkan harga sejumlah kebutuhan pokok. Pada
tanggal 3 Januari 1966, pemerintah menaikkan harga bensin menjadi Rp. 1000 per liter. Padahal
harga bensin itu baru saja dinaikan harganya pada 26 Nopember menjadi Rp. 250 per liter. Harga
beras sementara itu tak terkendali. Di Jakarta, harga beras yang semula Rp. 1000 per kilogram
mendadak melonjak menjadi Rp. 3500 per kilogram.
Waperdam III Chairul Saleh yang sebenarnya cukup dihormati masyarakat, dengan nada arogan
mengatakan bahwa pemerintah takkan meninjau kembali kenaikan tarif dan harga-harga. Ini
katanya untuk mencegah jangan sampai terjadi defisit anggaran belanja negara, sehingga
pemerintah terpaksa untuk mencetak uang. Alasan yang tampaknya rasional ini dibantah oleh
mahasiswa sebagai alasan yang dicari-cari, karena mahasiswa melihat bahwa penyebab utama
defisit adalah ketidakbecusan para menteri dan tidak memahami tanggungjawabnya. Mereka
mengatasi keadaan dengan bertindak asal-asalan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap
kehidupan rakyat banyak. Dalam pada itu, menteri-menteri lainnya, terutama Waperdam I
Soebandrio lebih menyibukkan diri melontarkan provokasi-provokasi politik.
382
Bagian Kedua
”Untuk beberapa lama, soal Soekarno ini menjadi salah satu perbedaan strategi gerakan
antara mahasiswa Bandung dengan Jakarta. Perbedaan ini berlangsung cukup lama.
Dalam demonstrasi-demonstrasinya, mahasiswa Jakarta masih kerap meneriakkan yellyell ‟Hidup Bung Karno‟, ‟Kami tetap mendukung Bung Karno‟ seraya meneriakkan
hujatan-hujatan terhadap tokoh lainnya, seperti Soebandrio yang menjadi sasaran favorit.
Sementara itu, dalam gerakan-gerakan mahasiswa Bandung, sikap anti Soekarno sudah
tampil sejak dini dalam kadar yang amat tinggi”.
KEADAAN ekonomi akibat kenaikan harga-harga yang menghimpit kehidupan rakyat ini lah
sebenarnya yang menjadi concern utama mahasiswa Jakarta saat itu. Dan itulah sebabnya
mereka merancang suatu demonstrasi besar-besaran untuk menuntut penurunan harga. Untuk
‗memenuhi‘ ketentuan keamanan, sejumlah anggota KAMI dari Jakarta, Marsillam Simanjuntak
dan kawan-kawan datang ke Kodam untuk menyampaikan pemberitahuan akan
diselenggarakannya demonstrasi pada 10 Januari. Di Kodam, mereka bertemu Kepala Staf
Kodam Jaya Kolonel A.J. Witono. Perwira itu menanyakan, apa yang menjadi tujuan
demonstrasi, dijawab untuk menuntut penurunan harga. ―Masa hanya itu saja ? Itu tidak cukup‖,
kurang lebih demikian dikatakan Witono. Apa lagi ? Ia mengusulkan, ajukan tuntutan lain juga.
Saat itulah, muncul usulan tuntutan pembubaran PKI dan rituling Kabinet Dwikora. Bagi
mahasiswa saat itu, kepentingan utama hanyalah bagaimana harga bisa turun. Setelah
dipertimbangkan, saran Witono itu dianggap tidak akan merugikan. Maka Tritura pun
terumuskan dan menjadi tema tuntutan dalam demonstrasi 10 Januari 1966. Marsillam
mengakui, Tritura itu tidak lahir dari suatu proses perumusan yang muluk-muluk, tetapi adalah
sesederhana seperti apa yang dituturkannya.
Tentang lahirnya rumusan Tritura ini, Cosmas Barubara, memberikan gambaran yang tidak
sesederhana penuturan Marsillam. Menurut Cosmas, ‖Sehari sebelum tanggal 10 Januari 1966 di
kantor Sekretariat Presidium KAMI Pusat, di Jalan Sam Ratulangi No.1, diadakan rapat
lengkap‖. Dalam rapat itu berkembang berbagai pandangan yang bermuara kepada masalah
harga-harga, masalah unsur PKI di kabinet, dan masalah komunis. Setelah rapat berlangsung
cukup lama mendengar pandangan peserta rapat, maka rapat memutuskan menugaskan tiga
orang menjadi perumus hasil rapat. Ketiga orang itu adalah Nazar Nasution, Savrinus Suardi dan
Ismid Hadad. ―Ketiga anggota Presidium tersebut merumuskan suatu pernyataan berdasarkan
masukan-masukan yang ada dan menghasilkan apa yang kemudian terkenal dengan sebutan
Tritura yaitu: 1 – Turunkan Harga, 2 – Rombak kabinet dan 3 – Bubarkan PKI‖. Apa yang
sebenarnya terjadi? Salah satu kemungkinan adalah bahwa masukan dalam pertemuan Marsillam
cs di Kodam Jaya itu juga sampai ke tim perumus di Jalan Sam Ratulangi 1, atau sebaliknya.
Atau, pada waktu bersamaan, gagasan itu memang sudah terpikirkan dan dimiliki banyak aktivis
dan perwira militer sehaluan karena pembacaan yang sama terhadap situasi.
Keresahan terhadap keadaan ekonomi yang makin memburuk dan menghimpit kehidupan rakyat
sehari-hari, sebenarnya dirasakan pula oleh sejumlah aktivis mahasiswa di Bandung.Sebagian
dari mereka termasuk di antara yang memprakarsai pernyataan penolakan terhadap Dewan
Revolusi 1 Oktober dan appel serta gerakan anti PKI 5 Oktober. Keresahan mereka bukan hanya
kepada perkembangan ekonomi, tetapi juga perkembangan politik pada umumnya, terutama yang
383
terkait dengan sederetan tindak-tanduk politik Soekarno, yang tetap membela PKI dan menolak
membubarkannya.
Sehari sebelum Natal di tahun 1965 itu, Alex Rumondor yang bertemu seorang aktivis Gemsos,
Bonar Siagian, menyampaikan ajakan untuk mengorganisir suatu pertemuan di antara para
aktivis mahasiswa Bandung, karena menurut Alex sudah saatnya untuk mengambil tindakantindakan menghadapi perkembangan situasi. Ajakan serupa disampaikan Alex kepada Adi
Sasono. Untuk itu, Alex menyiapkan suatu draft Petisi Amanat Rakyat, yang isinya menggugat
langsung Soekarno, sikap politik maupun kebijakan ekonominya. Pertemuan tak dapat segera
dilakukan karena berimpitnya libur-libur natal dan akhir tahun, yang bersamaan pula dengan
bulan puasa.
Pertemuan yang direncanakan segera setelah perayaan akhir tahun, ternyata baru bisa
berlangsung 8 Januari 1966. Di antara yang hadir tercatat nama-nama seperti Rahman Tolleng
dan Muslimin Nasution, dua orang yang dulu terkait Peristiwa 10 Mei 1963. Lalu ada Rachmat
Witoelar yang adalah Ketua KOMII. Hadir pula sejumlah aktifis yang berlatar belakang HMI
seperti Bagir Manan dan Iwan Sjarif. Nama-nama lain adalah Soegeng Sarjadi yang belakangan
diajak bergabung sebagai anggota HMI, Erna Walinono, Fred Hehuwat, Rohali Sani, Jakob
Tobing, Robby Sutrisno, Rudianto Ramelan, Aswar Aly, Hasjroel Moechtar dan Mangaradja
Odjak Edward Siagian yang juga adalah seorang perwira cadangan jalur wajib militer. Mereka
ini semua berlatar belakang campuran, mulai dari organisasi-organisasi mahasiswa lokal yang
menjadi cikal bakal Somal, Pelmasi, Mahasiswa Pantjasila sampai yang berhaluan independen.
Dan tentu saja hadir tiga pencetus awal, yakni Alex Rumondor, Bonar Siagian dan Adi Sasono,
yang ketiganya kebetulan punya latar belakang berbeda. Alex adalah tokoh IPMI yang berlatar
belakang Kristen, Bonar berlatar belakang sosialis anggota Gemsos, serta Adi Sasono seorang
tokoh HMI namun dikenal punya kecenderungan pemikiran sosialistis. Adi adalah cucu seorang
tokoh Masjumi yang termasyhur, Mohammad Roem. Tetapi yang terbanyak sebenarnya adalah
mahasiswa-mahasiswa tanpa latar belakang pemikiran politis samasekali seperti misalnya Erna
Walinono –belakangan dikenal sebagai Erna Witoelar– mahasiswi yang terselip di antara aktivis
yang umumnya mahasiswa putera.
Pada masa berikutnya, gerakan-gerakan mahasiswa di Bandung diikuti oleh mayoritas
mahasiswa seperti Erna sehingga gerakan-gerakan itu lebih menonjol sebagai gerakan moral dan
gerakan masyarakat. Motivasi yang menggerakkan mereka adalah pertama sikap yang dari
semula tidak menyenangi PKI sebagai partai yang berpenampilan otoriter dan provokatif, serta
realitas ekonomi rakyat yang makin memburuk di bawah rezim Soekarno. Pada akhirnya pula,
karena Soekarno memperlihatkan ciri-ciri otoriter dan terlalu dekat dengan PKI, rasa tidak
senang mahasiswa juga mengarah kepada dirinya, ditambah lagi sikapnya yang mengabaikan
perbaikan bidang ekonomi.
Pertemuan pertama berlangsung di salah satu ruangan Berita-berita ITB, sebuah buletin harian
yang diterbitkan para mahasiswa di kampus Ganeca, yang entah bagaimana bisa bocor ke pihak
intelijen, sehingga pada waktu pertemuan berlangsung sejumlah intel berseliweran di kampus
ITB mencari tepatnya di mana pertemuan berlangsung. Pertemuan yang tadinya diperkirakan
bisa cepat mengambil keputusan-keputusan, baik mengenai petisi yang akan dicetuskan maupun
aksi-aksi yang akan segera dilakukan, ternyata berlangsung berlarut-larut.
384
Persoalan yang paling menyita waktu adalah mengenai Soekarno. Beberapa rumusan mengenai
Soekarno tak dapat diterima oleh sejumlah di antara yang hadir dengan berbagai argumentasi.
Ada yang menghendaki agar predikat-predikat yang ditujukan kepada Soekarno jangan terlalu
keras, seperti misalnya terminologi ‗the top of the ruling class’. Begitu pula, ada yang
menghendaki agar kritikan yang akan dilontarkan kepada Soekarno lebih diperlunak. Hasjroel
mengutip pemaparan Alex bahwa meskipun dalam soal anti komunis semua yang hadir bersatu,
tetapi rasa ketimuran yang negatif seperti bapakisme, rasa takut kepada yang berkuasa, takut
ditangkap dan rasa tidak aman telah berpadu menjadi penyebab berlarut-larutnya diskusi. Selain
itu, wadah-wadah organisasi yang ada ternyata kurang siap, sehingga harus didesak-desak untuk
bertindak. ―Banyak dari yang hadir merupakan fungsionaris dan pimpinan organisasi mahasiswa,
seperti Dewan Mahasiswa, KAMI Komisariat Universitas dan sebagainya. Mereka merasa harus
mengadakan rapat dan konsultasi dulu dengan pengurus lainnya. Bahkan, beberapa diantaranya
mengatakan, bahwa mereka ‗punya massa‘, jadi harus mempertanggungjawabkan keselamatan
dan keamanan massanya terhadap risiko yang mungkin terjadi. Berbeda dengan pribadi-pribadi
yang mengambil prakarsa, mereka hanya bertanggungjawab atas dirinya sendiri karena tidak
punya massa‖. Alhasil, berkepanjangan.
Tapi akhirnya dengan sejumlah perubahan, petisi ditandatangani juga oleh duapuluh delapan
mahasiswa. Tetapi karena sudah terlalu sore dan waktu berbuka puasa sudah tiba, diputuskan
pertemuan akan dilanjutkan esok malam, 9 Januari 1966, di kediaman Alex Rumondor di Jalan
Merak 4 Bandung. Pertemuan berikut itu untuk persiapan rencana aksi dan finalisasi Petisi
Amanat Rakyat. Untuk persiapan awal sudah dilakukan pembagian tugas. Tanggal 8 Januari
malam itu, beberapa mahasiswa melanjutkan pertemuan untuk persiapan rencana demonstrasi.
Mereka adalah sejumlah mahasiswa ITB, yakni Rudianto Ramelan, Thojib Iskandar, Fred
Hehuwat, Pande Lubis dan Zainal Arifin (Iping), bersama sejumlah mahasiswa dari suatu
kelompok yang dikenal sebagai group Bangbayang.
Pertemuan-pertemuan lanjutan ternyata tetap saja tidak mudah. Malah masih berkepanjangan
sampai dengan 12 Januari. Sementara itu, mahasiswa Jakarta sudah berhasil bergerak pada
tanggal 10 Januari 1966 dan mencetuskan Tri Tuntutan Rakyat. Mahasiswa Jakarta berhasil lebih
‗menyederhanakan‘ persoalan dengan tidak menyentuh lebih dulu mengenai Soekarno dan
membatasi diri terutama pada masalah kenaikan harga, dan mencukupkan diri dengan sedikit
muatan tambahan bersifat politis, mengenai pembubaran PKI dan rituling kabinet, seperti yang
dituturkan Marsillam Simanjuntak.
Untuk beberapa lama, soal Soekarno ini menjadi salah satu perbedaan strategi gerakan antara
mahasiswa Bandung dengan Jakarta. Perbedaan ini berlangsung cukup lama. Dalam
demonstrasi-demonstrasinya, mahasiswa Jakarta masih kerap meneriakkan yell-yell ―Hidup
Bung Karno‖, ―Kami tetap mendukung Bung Karno‖ seraya meneriakkan hujatan-hujatan
terhadap tokoh lainnya, seperti Soebandrio yang menjadi sasaran favorit. Sementara itu, dalam
gerakan-gerakan mahasiswa Bandung, sikap anti Soekarno sudah tampil sejak dini dalam kadar
yang amat tinggi. ―Pada tanggal 12 Januari 1966 itu, kami berkesimpulan, jika debat-debat
terlalu lama, tindakan aksi harus dijalankan saja‖, demikian Alex Rumondor mencatat. Maka
Alex mengusahakan agar pressure group berkumpul lagi di Jalan Merak 4 untuk membahas
rencana gerakan secara lebih rinci. ―Biarpun malam itu masih terjadi debat yang seru, tetapi
akhirnya konsep dapat diterima. Yang hadir saat itu adalah Rahman Tolleng, Bonar Siagian,
385
Rudianto Ramelan, Fred Hehuwat, Zainal Arifin, Thojib Iskandar, Robert Sutrisno, Awan
Karmawan Burhan dan beberapa orang lainnya lagi‖. Termasuk Alex sendiri.
―Setelah konsep disetujui, timbul pertanyaan bagaimana pelaksanaan demonstrasi besoknya?
Apakah aksi akan berjalan tanpa dipertangggungjawabkan secara organisatoris? Jika ada apaapa, siapa yang akan bertanggungjawab?‖. Alex lalu mengusulkan agar KAMI dan KOMII
dikerahkan. Untuk itu harus dicari orang-orangnya. Rachmat Witoelar Ketua KOMII datang
menjelang pukul 23.00. Daim A. Rahim Ketua KAMI Bandung, tak berhasil ditemukan, tetapi
sebagai gantinya, Robby Sutrisno berhasil membawa datang Sekertaris KAMI Mohammad
Ta‘lam Tachja. Bersamaan dengan itu, Adi Sasono juga datang. KOMII dan KAMI setuju
bergerak bersama-sama. Pengerahan mahasiswa dari kampus Universitas Parahyangan dijamin
oleh Awan Karmawan Burhan. Sedang pengerahan mahasiswa Universitas Padjadjaran
diserahkan kepada Iwan Sjarif, yang untuk itu merasa perlu untuk meminta izin rektor lebih dulu.
‘Beruntung‘ bahwa Rektor Sanusi Hardjadinata, tidak berkeberatan. Pengerahan di ITB sudah
terlebih dahulu disiapkan oleh Group Bangbayang.
386
Bagian Ketiga
”Tetapi sikap mendua seperti itu, bukan hanya milik Sjarif Thajeb seorang, karena
faktanya hampir kebanyakan tokoh, baik yang berada dalam pemerintahan maupun
dalam kehidupan politik kepartaian, pada masa „tak menentu‟ itu memang memilih sikap
opportunistik sebagai „prinsip‟. Sikap dan perilaku yang menimbulkan tanda tanya di
kalangan mahasiswa, kerap kali ditunjukkan pula oleh Brigjen Amirmahmud yang saat
itu menjadi Panglima Kodam Jaya menggantikan posisi Mayjen Umar
Wirahadikusumah”.
SEJAK pagi-pagi tanggal 10 Januari 1966 mahasiswa Jakarta berkumpul di kampus Universitas
Indonesia Salemba mengadakan appel. Massa mahasiswa selain dari Universitas Indonesia
sendiri, juga berasal dari berbagai perguruan tinggi lainnya di Jakarta, dengan beberapa
pengecualian. Setelah itu mereka bergerak menuju Sekretariat Negara Jalan Veteran untuk
menyampaikan resolusi mereka. Tetapi di Sekretariat Negara para mahasiswa hanya ditemui oleh
Wakil Sekertaris Negara, sehingga mahasiswa tak mau menyerahkan resolusi mereka dan tak
bersedia membubarkan diri. Bersamaan dengan itu, kelompok-kelompok mahasiswa lainnya
berkeliling ke beberapa penjuru kota untuk menyampaikan penjelasan-penjelasan kepada
masyarakat mengenai tiga tuntutan mereka. Simpang-simpang jalan yang strategis diduduki
mahasiswa dan di tempat itu mahasiswa memancangkan spanduk-spanduk yang berisi tiga
tuntutan mahasiswa.
Baru pada sore hari, sekitar 16.00 Waperdam III Chairul Saleh muncul dan menemui mahasiswa.
Ketua Presidium KAMI Pusat Cosmas Batubara lalu menyampaikan pernyataan mahasiswa yang
berisi Tri Tuntutan Rakyat. Chairul Saleh menerima pernyataan itu dan menanggapi bahwa
―segalanya tergantung pada kemauan Presiden Soekarno‖. Kabinet bisa dirubah, harga-harga
bisa diturunkan, kata Chairul Saleh, asal Presiden Soekarno memerintahkannya, maka semuanya
akan dilaksanakan. Demonstrasi di Sekretariat Negara berakhir sekitar 17.00. Dalam perjalanan
pulang mahasiswa meneriakkan yell-yell mengumandangkan tiga tuntutan mereka. Mahasiswa
menyerukan agar para penumpang bus hanya membayar tarif Rp.200 dan tidak Rp.1000 seperti
keputusan pemerintah.
Demonstrasi hari pertama ini, keesokan harinya diikuti dengan aksi mogok kuliah oleh
mahasiswa Jakarta. Aksi mahasiswa Jakarta ini disusul oleh demonstrasi besar ribuan massa
mahasiswa Bandung, 13 Januari 1966, melibatkan KOMII dan KAMI dalam satu gerakan
bersama, hasil rancangan Alex Rumondor dan kawan-kawan. Para mahasiswa Bandung ini
mencetuskan ―Resolusi Amanat Penderitaan Rakyat‖, yang antara lain menyatakan solidaritas
mahasiswa Bandung terhadap aksi-aksi yang dilancarkan mahasiswa Jakarta dan memperkuat
tuntutan-tuntutan 10 Januari 1966 itu. Bersamaan dengan resolusi tersebut, dicetuskan pula
―Petisi Amanat Penderitaan Rakyat‖ yang disampaikan kepada Gubernur Jawa Barat Mashudi
untuk diteruskan kepada Presiden Soekarno. Sejak 10 Januari dan 13 Januari itu, aksi-aksi
mahasiswa lalu marak dan berlangsung terus menerus di kedua kota itu yang kemudian disusul
oleh mahasiswa di kota-kota besar lainnya.
Akhir Januari, Menteri PTIP Brigjen Dr Sjarif Thajeb, mengeluarkan instruksi agar mahasiswa
menghentikan mogok kuliah. Presidium KAMI Pusat ikut mengeluarkan anjuran agar mahasiswa
387
mematuhi instruksi Menteri PTIP itu. Akan tetapi KAMI Bandung menolak instruksi itu,
sehingga KAMI Pusat pun menyatakan bahwa penghentian mogok kuliah hanya berlaku di
lingkungan KAMI Jakarta Raya. Namun hanya 4 hari setelahnya, 4 Februari, mahasiswa Jakarta
melakukan mogok kuliah tahap kedua. Sebelumnya, 2 Februari, di depan kampusnya, mahasiswa
ITB berikrar akan terus melakukan aksi-aksi dan mogok kuliah sampai tuntutan dalam Tritura
dipenuhi. Mereka tak mau mematuhi instruksi Menteri PTIP. Ikrar serupa dilakukan pula
mahasiswa Jakarta pada tanggal 10 Februari. Langsung pada tanggal yang sama, Menteri PTIP
mengulangi instruksinya agar mogok kuliah dihentikan. Meskipun tercatat peranannya dalam
membidani kehadiran KAMI, Sjarif Thajeb kerapkali menunjukkan sikap mendua bila itu
menyangkut Soekarno. Tetapi sikap mendua seperti itu, bukan hanya milik Sjarif Thajeb
seorang, karena faktanya hampir kebanyakan tokoh, baik yang berada dalam pemerintahan
maupun dalam kehidupan politik kepartaian, pada masa ‗tak menentu‘ itu memang memilih
sikap opportunistik sebagai ‗prinsip‘.
Sikap dan perilaku yang menimbulkan tanda tanya di kalangan mahasiswa, kerap kali
ditunjukkan pula oleh Brigjen Amirmahmud yang saat itu menjadi Panglima Kodam Jaya
menggantikan posisi Mayjen Umar Wirahadikusumah. Pada pertengahan Januari, segera setelah
Soekarno memberi komando untuk pembentukan Barisan Soekarno, maka terjadi konsolidasi
yang berlangsung cepat di kalangan pendukung Soekarno. Menteri Penerangan Achmadi
misalnya, 17 Januari 1966, untuk sebagian berhasil mewujudkan perintah Soekarno itu. Cikal
bakal Barisan Soekarno segera terbentuk dan mulai bergerak antara lain dengan menyebarkan
pamflet-pamflet yang menyerang KAMI dan bahkan memprovokasi sejumlah benturan fisik.
Justru pada saat itu Panglima Kodam Jaya Amirmahmud mengeluarkan pengumuman yang
melarang penyelenggaraan demonstrasi dalam bentuk apapun di Jakarta. ―Demi menjaga dan
terpeliharanya suasana tenang dan tertib dalam rangka pengamanan guna tercapai tujuan
revolusi‖. Karena yang melakukan demonstrasi hanyalah mahasiswa yang tergabung dalam
KAMI, maka dengan sendirinya KAMI lah yang terpojok. Larangan ini memecah konsentrasi
mahasiswa Jakarta yang tergabung dalam KAMI, sekaligus cenderung melemahkan kekuatan
mereka. Sjarif Thajeb kemudian melengkapkan tekanan dengan larangan terhadap mogok kuliah
yang dijalankan mahasiswa.
Meskipun ada larangan demonstrasi, mahasiswa Jakarta tetap saja melakukan gerakan-gerakan.
Mereka mengganti istilah demonstrasi dengan ―berkunjung ramai-ramai‖. Salah satu sasaran
kunjungan ramai-ramai itu adalah Departemen Luar Negeri yang dipimpin Soebandrio, Selasa 18
Januari. Gagal bertemu Soebandrio di sana para mahasiswa menuju kediaman resmi Menlu di
Jalan Merdeka Selatan, dan bisa bertemu Soebandrio. Mulanya Soebandrio hanya mau menemui
delegasi mahasiswa, dan menjelaskan tentang ucapan-ucapannya sebelumnya yang menuduh
mahasiswa ditunggangi Nekolim dan menyatakan aksi-aksi mahasiswa tidak sopan. Ketika
diminta untuk berbicara langsung di depan massa mahasiswa, ia malah mengatakan ―Saya juga
punya massa‖. Spontan delegasi mahasiswa balik bertanya ―Apakah bapak bermaksud mengadu
domba antara massa bapak dengan massa kami?‖. ‖Bukan… bukan itu maksud saya‖, ujarnya
pada akhirnya, ‖Baiklah, saya akan bicara…..‖. Begitu muncul di depan massa mahasiswa, ia
disambut teriakan ―Ganyang Haji Peking!‖, ―Kami tidak memusuhi Bung Karno‖, ―Kami
memusuhi Durno‖. Jadi, seperti tentara yang taktis terhadap Soekarno, hingga sebegitu jauh,
mahasiswa pun masih bersikap taktis pula terhadap Soekarno. Dan adalah pada hari itu pula,
delegasi KAMI bertemu dengan Soekarno. Ini adalah yang kedua kalinya. Delegasi KAMI terdiri
388
antara lain dari Cosmas Batubara, David Napitupulu, Zamroni, Mar‘ie Muhammad, Elyas, Lim
Bian Koen, Firdaus Wajdi, Abdul Gafur dan Djoni Sunarja. Tentang pertemuan ini, David
Napitupulu pernah mengisahkan betapa Soekarno masih berhasil menunjukkan wibawa dan
membuat beberapa tokoh mahasiswa ‗melipatkan‘ dan merapatkan tangan di depan perut dengan
santun. Salah satu anggota delegasi menjelaskan kepada Soekarno bahwa kalau ada ekses-ekses
yang terjadi dalam aksi-aksi KAMI, semisal corat-coret dengan kata-kata kotor, itu ―adalah
pekerjaan tangan-tangan kotor‖ yang menyusup ke dalam ―barisan mahasiswa progressif
revolusioner‖. Delegasi KAMI lalu menyampaikan tiga tuntutan rakyat. Dan Soekarno
menjawab ―Saya mengerti sepenuhnya segala isi hati dan tuntutan para mahasiswa‖, dan tidak
menyangsikan maksud-maksud baik mahasiswa. Tetapi dengan keras Soekarno menyatakan
tidak setuju cara-cara mahasiswa yang menjurus ke arah vandalisme materil dan vandalisme
mental, yang menurut sang Presiden bisa ditunggangi golongan tertentu dan Nekolim, yang tidak
menghendaki persatuan Bung Karno dan mahasiswa. Tentang pembubaran PKI, kembali
Soekarno tidak memberikan jawaban memenuhi tuntutan pembubaran, dan hanya menyuruh
mahasiswa menunggu keputusan politik yang akan diambilnya.
Awal Pebruari, sekali lagi Amirmahmud melakukan semacam akrobatik politik, yang
menyenangkan Soekarno. Selasa 1 Pebruari di lapangan Banteng berlangsung suatu rapat umum
yang difasilitasi oleh Amirmahmud dan ‗berhasil‘ menelurkan suatu ikrar dari 120 organisasi
politik dan organisasi massa se Jakarta Raya yang menyatakan ―sanggup untuk melaksanakan
komando Presiden‖, sesuai amanat Presiden 15 Januari mengenai pembentukan Barisan
Soekarno. Keesokan harinya, Amirmahmud menghadap Soekarno di istana menyampaikan ikrar
itu. Usai menghadap, kepada pers, Amirmahmud dengan bersemangat menyampaikan
pernyataan ―120 orpol dan ormas itu otomatis menjadi Barisan Soekarno‖. Mungkin saja, peran
yang dijalankan oleh Amirmahmud ini masih termasuk dalam kawasan taktis, seperti pendapat
beberapa tokoh mahasiswa yang direkam Hasjroel Moechtar. Dengan melihat kedua tindakan
Amirmahmud itu sebagai sesuatu yang tak terlepas dari sikap Angkatan Darat, menurut pendapat
yang disimpulkan Hasjroel, maka tindakan itu tak boleh tidak dimaksudkan sebagai upaya taktis
Angkatan Darat mencoba mengambilalih situasi dari Soebandrio dan pendukung-pendukung
fanatik Bung Karno. Dan masih cukup banyak aktivis yang mempercayai itu sebagai tindakan
taktis, yang menyelamatkan mahasiswa dari benturan-benturan fisik yang berbahaya dengan para
pendukung Soekarno. Namun tak bisa dihindari bahwa kedua tindakan itu memberi hasil akhir
yang membingungkan masyarakat dan terutama para mahasiswa yang merasa dipojokkan
389
Bagian Keempat
“Presiden tetap bersikeras untuk tidak mau membubarkan PKI, sebagaimana yang
dituntut mahasiswa dalam Tura ketiga. Soekarno memilih sikap keras kepala….”. “Maka
pada saat pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, 24 Pebruari, mahasiswa di
Jakarta turun ke jalan….. Pada hari itu, barisan demonstran mahasiswa berhasil
menembus pagar betis penjagaan tentara hingga ke depan pintu Istana Negara dan
berhadapan langsung dengan Pasukan Cakrabirawa. Di situlah terjadi penembakan oleh
Tjakrabirawa terhadap barisan mahasiswa dan menyebabkan gugurnya Arief Rahman
Hakim serta menyebabkan luka berat seorang anggota puteri KAPPI, Siti Zubaedah.
Anggota KAPPI ini akhirnya meninggal beberapa waktu kemudian…”.
CATATAN Jenderal AH Nasution tentang Barisan Soekarno ini menarik untuk dipinjam di sini,
terutama karena memiliki nuansa penilaian yang berbeda. Apakah tindakan Amirmahmud saat
itu masih termasuk tindakan taktis, ataukah murni akrobatik politik? Kalau ternyata
Amirmahmud melakukannya dengan kesepakatan para pimpinan Angkatan Darat, apakah itu
sekaligus menunjukkan bahwa para jenderal memang telah melakukan akrobatik politik,
mengutamakan ‗permainan‘ dan tak segan menempatkan mahasiswa sekalipun dalam posisi pion
yang sewaktu-waktu bisa saja dikorbankan untuk meraih kemenangan? Apalagi, dalam persepsi
tokoh kesatuan aksi, RAF Mully, Angkatan Darat memang hanya menempatkan mahasiswa
dalam posisi untuk dimanfaatkan. ―Tidak sepenuhnya Angkatan Darat bisa diharapkan sebagai
pelindung bagi mahasiswa‖. Adalah suatu fakta di lapangan, bahwa pasukan-pasukan Kodam
Jaya kala itu tak selalu menunjukkan sikap bersahabat dengan para mahasiswa. Adakalanya
mereka begitu garang dalam menghadapi demonstrasi mahasiswa. Ini berbeda dengan pasukanpasukan yang ada di bawah garis komando Mayjen Kemal Idris yang menggantikan Soeharto
sebagai Panglima Kostrad, atau pasukan-pasukan RPKAD, yang oleh para mahasiswa bisa
dirasakan memiliki sikap melindungi, setidaknya tak bermusuhan.
Adanya dua jenis perilaku tentara ini sangat terasa oleh kelompok mahasiswa. Bila sikap tidak
bersahabat itu ditunjukkan oleh kalangan militer yang dekat dengan Soekarno, tentu tidak
mengherankan. Tetapi bagaimana kalau kasat mata ia memiliki kedekatan dengan Soeharto,
tetapi ketika berhadapan dengan mahasiswa menunjukkan permusuhan ? Tak lain hal itu berarti,
sejak mula Soeharto pun sudah mulai memelihara sejumlah perwira berperilaku otoriter di
dekatnya. Dengan demikian, sikap berbeda-beda di kalangan tentara bukanlah semata-mata soal
pro atau kontra Soekarno.
Jenderal Abdul Harris Nasution menggambarkan ―Barisan Soekarno mulai menjadi kenyataan
fisik. Tokoh-tokoh politik, mahasiswa dan militer tertentu terus dipanggil ke istana dan bekerja
untuk itu‖. Waperdam III Chairul Saleh yang telah ditugaskan memimpin Barisan Soekarno
menunjuk Kolonel Sjafei –yang dikenal sebagai ‗raja‘ para copet Jakarta– sebagai Komandan.
―Di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan kota-kota lain sampai
hangat demonstrasi kontra demonstrasi dan terjadi bentrokan-bentrokan fisik‖. Bahkan Soeharto,
tutur Nasution, menampung persoalan gerakan baru ini berupa perlombaan atau jor-joran
menyatakan setia kepada Presiden, dengan menginstruksikan ―appel-appel kesetiaan‖, melalui
Pengumuman O1/Koti/1966.
390
―Panglima Kodam Jaya Jenderal Amirmahmud melakukannya secara besar-besaran, 120 utusan
parpol dan ormas Jakarta bersama panglima menyampaikan kesetiaan kepada Presiden. Panglima
Siliwangi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie menyatakan bahwa Sam Karya yang diterima Siliwangi
adalah identik dengan Soekarno dan dibela oleh Siliwangi. Bung Karno telah dimasukkan dalam
catur laksana Korps Siliwangi‖.
Tapi, fakta yang paling tak dapat diabaikan, seperti juga dikatakan Nasution, adalah bahwa para
Panglima di Jawa dewasa itu, di Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, meskipun dikenal
sebagai orang-orang yang anti PKI, tetapi juga secara pribadi kuat mendukung Soekarno.
Bagaimanapun, ―isu pembentukan Barisan Soekarno telah menimbulkan pelbagai tanggapan,
yang satu sama lain berbeda dan dapat membingungkan‖. Panglima Siliwangi Mayjen Ibrahim
Adjie, meskipun seorang pendukung kuat Soekarno, melarang Barisan Soekarno di wilayah
hukumnya. Panglima Kodam Jaya Brigjen Amirmahmud, selaku Pepelrada, mengeluarkan
instruksi yang mengatur penyaluran pembentukan Barisan Soekarno di wilayahnya. Sementara
itu, Panglima Komando Wilayah Sumatera Jenderal Mokoginta dengan tegas menyatakan
Barisan Soekarno sebagai kontra revolusi.
Waperdam I Soebandrio melihat Barisan Soekarno sebagai alat pertarungan untuk
mempertahankan kekuasaan Soekarno, sehingga ia menekankan aspek fisik. Dalam suasana yang
menghangat, 15 Pebruari 1966, Presiden Soekarno didampingi Waperdam I Soebandrio
mengadakan pertemuan terbatas dengan pimpinan GMNI-Asu, Germindo, Presidium MMI dan
Dewan Mahasiswa Universitas Bung Karno, di Istana Merdeka. Pada forum tersebut Dr
Soebandrio kembali menyerukan pembentukan Barisan Soekarno, sebagai suatu barisan
berbentuk fisik, memenuhi seruan Soekarno sendiri pada 15 Januari yang menginginkan
penyusunan barisan pendukung yang berdiri di belakangnya. ―Bentuklah Barisan Soekarno
sekarang juga‖, ujar Soebandrio. Setiap organisasi mahasiswa yang hadir dimintanya untuk turut
membentuk Barisan Soekarno itu, ―biar cuma seratus orang, tak apa, asal ulet‖.
Barisan dalam bentuk fisik ini terbukti kemudian di beberapa daerah memang dimaknai dalam
artian fisik yang sesungguhnya dan kesiapan bertarung untuk membela Soekarno. Hingga
beberapa bulan, pemaknaan yang demikian terus berlangsung. Pada 19 Agustus 1966, ketika
mahasiswa Bandung makin gencar melakukan gerakan-gerakan anti Soekarno, Barisan Soekarno
menyerbu Konsulat KAMI Bandung di Jalan Lembong. Dalam Peristiwa 19 Agustus 1966
tersebut jatuh korban jiwa, Julius Usman, mahasiswa Universitas Parahyangan. Ia tewas di depan
kampusnya Jalan Merdeka, tak jauh dari Jalan Lembong.
Setelah terjadinya serangkaian bentrokan fisik antara mahasiswa anggota KAMI dengan massa
Front Marhaenis sayap Ali-Surachman pada akhir Pebruari hingga awal Maret, Panglima Kodam
Jaya Brigjen Amirmahmud melontarkan gagasan ‗jalan tengah‘ Persatuan Nasional Mahasiswa
Indonesia, 7 Maret. Gagasan ini sebenarnya berasal dari ide pembentukan National Union of
Student (NUS) yang dilontarkan sebelumnya oleh Soekarno 14 Januari setelah mendengarkan
saran dan laporan Wakil Panglima Besar Komando Ganyang Malaysia (Wapangsar Kogam)
bidang Sosial Politik, Ruslan Abdulgani. Ketika gagasan NUS itu untuk pertama kali dilontarkan
oleh Soekarno dan Ruslan, muncul penolakan yang keras dari mahasiswa Bandung dalam sebuah
pernyataan 2 Pebruari 1966. Mahasiswa Bandung mencurigai pembentukan NUS tersebut, yang
dilontarkan justru bertepatan dengan saat PKI dan simpatisannya mulai dibersihkan dari kabinet
391
dan berbagai lembaga negara. Mahasiswa Bandung curiga bahwa pembentukan NUS
dimaksudkan untuk mendegradasi setahap demi setahap KAMI, sambil memasukkan unsurunsur Front Marhaenis Ali Surachman ke dalam tubuh kemahasiswaan, yang tentu saja
berbahaya terhadap upaya pembubaran PKI. Front Marhaenis per saat itu dalam anggapan
mahasiswa-mahasiswa Bandung tersebut adalah partner terdekat PKI di zaman pra G30S.
Dalam suatu demonstrasi dan aksi corat-coret yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa di Bogor,
kediaman Nyonya Hartini Soekarno, kebagian coretan ―Gerwani Agung‖. Julukan ‗Gerwani
Agung‘ yang ditujukan kepada Hartini ini membuat Soekarno amat marah. Di Bandung pada
waktu yang hampir bersamaan, mulai bermunculan coretan yang ditujukan langsung kepada
Soekarno, seperti tulisan ―Soekarno, No‖ serta berbagai serangan lain yang menunjukkan bahwa
mahasiswa tak lagi menginginkan Soekarno sebagai pemimpin negara. Gedung MPRS, Gedung
Merdeka di Jalan Asia Afrika Bandung diserbu dan dicoreti mahasiswa dengan tulisan ―Gedung
Komidi Stambul‖. Dalam nyanyian-nyanyiannya mahasiswa menyindir ―MPRS…. Yes, yes,
yes‖ yang menggambarkan betapa lembaga tertinggi ‗perwakilan rakyat‘ itu berisi dengan orangorang yang hanya bisa mengatakan ―yes‖ kepada Soekarno. Soekarno yang marah, bersama
Soebandrio, melontarkan tuduhan bahwa aksi-aksi mahasiswa itu ditunggangi oleh Nekolim.
Tetapi berbeda dengan masa pra G30S, pada saat itu tudingan semacam itu telah hilang
keampuhannya dan tidak lagi membuat gentar mereka yang dituding.
Presiden tetap bersikeras untuk tidak mau membubarkan PKI, sebagaimana yang dituntut
mahasiswa dalam Tura ketiga. Soekarno memilih sikap keras kepala dan bukannya
membersihkan kabinetnya dari unsur-unsur Kom, malah dalam reshuffle kabinet 24 Pebruari ia
memasukkan sejumlah tokoh yang dianggap sebagai simpatisan PKI seperti Oei Tjoe Tat SH
dari Baperki. Maka pada saat pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, 24 Pebruari,
mahasiswa di Jakarta turun ke jalan melakukan aksi memacetkan lalu lintas. Mobil-mobil
dikempeskan bannya sehingga menteri-menteri yang akan dilantik terhambat ke istana. Pada
hari itu, barisan demonstran mahasiswa berhasil menembus pagar betis penjagaan tentara hingga
ke depan pintu Istana Negara dan berhadapan langsung dengan Pasukan Cakrabirawa. Di situlah
terjadi penembakan oleh Tjakrabirawa terhadap barisan mahasiswa dan menyebabkan gugurnya
Arief Rahman Hakim serta menyebabkan luka berat seorang anggota puteri KAPPI, Siti
Zubaedah. Anggota KAPPI ini akhirnya meninggal beberapa waktu kemudian dan jenazahnya
dikirim kepada orangtuanya di Bandung. Dalam insiden sehari sebelumnya, telah pula jatuh
korban 9 mahasiswa yang menderita luka berat karena peluru pasukan Cakrabirawa
392
Bagian Kelima
“Tanggal 10 Maret, wakil-wakil partai politik dipanggil Presiden Soekarno ke Istana, dan
di sana partai-partai tersebut untuk kesekian kalinya menampilkan perilaku
opportunistik mereka di depan Soekarno, lalu mengikuti perintah Soekarno mengeluarkan
pernyataan yang tidak membenarkan tindakan-tindakan yang dilakukan para mahasiswa
dan para pelajar serta pemuda”. ”Sejak saat itu, Soeharto bisa melakukan „apa‟pun yang
diinginkannya. Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Soeharto melangkah masuk
ke dalam fase kekuasaan sepenuhnya bagi dirinya”.
Setelah insiden berdarah yang merenggut nyawa Arief Rahman Hakim, keesokan harinya, 25
Februari, Laksamana Muda Udara Sri Mujono Herlambang justru mengumumkan Keputusan
Kogam tentang pembubaran KAMI. Selain itu, di Jakarta juga diberlakukan jam malam, yang
berlaku sejak 21.00 hingga 06.00 pagi dan larangan berkumpul lebih dari lima orang.
Pembubaran KAMI dengan segera ditolak oleh mahasiswa Bandung. Hanya beberapa jam
setelah pembubaran diumumkan, pada mahasiswa Bandung ini, yakni jam 24.00 tanggal 25
Februari, mahasiswa Bandung telah mengeluarkan penegasan penolakan tersebut. Penolakan ini
memberikan dampak moril bagi para mahasiswa di berbagai kota untuk juga ikut menolak
keputusan pembubaran KAMI tersebut. Adalah pula tengah malam menjelang tanggal 25
Pebruari itu, mahasiswa-mahasiswa Bandung yang menilai bahwa rekan-rekannya di Jakarta
sedang mengalami tekanan berat dari penguasa memutuskan mengirimkan tenaga bantuan ke
Jakarta, jumlahnya ratusan namun dikirim bergelombang dan dilakukan secara diam-diam.
Mahasiswa Bandung, telah berpengalaman ketika long march mereka ke Jakarta 17 Januari 1966
sebagai suatu gerakan terbuka dihambat oleh aparat keamanan, maupun karena terjadinya
pendudukan kampus ITB oleh Barisan Soekarno –Siswono Judohusodo dan kawan-kawan dari
GMNI.
Rombongan pertama mahasiswa Bandung yang berangkat ke Jakarta –belakangan akan dikenal
sebagai Kontingen Bandung– terdiri dari empat puluh orang dengan menggunakan dua bus
umum. Selama perjalanan, empat puluh mahasiswa yang seluruhnya dari mahasiswa yang
dikenal sebagai kelompok Bangbayang, dipimpin oleh Riswanto Ramelan mahasiswa Seni Rupa
ITB, berpura-pura untuk tidak saling kenal. Rombongan kedua yang dipimpin oleh mahasiswa
Elektro ITB Bernard Mangunsong, menggunakan kereta api pukul enam pagi dan turun di
Stasiun Jakarta Kota. Sedang rombongan ketiga yang juga menggunakan kereta api pukul
sepuluh pagi, turun di Kramat Sentiong. Rombongan berkereta api ini pada umumnya anggota
Batalion I Resimen Mahawarman. Sedangkan rombongan terbesar dan terakhir, yang terdiri dari
kurang lebih 150 mahasiswa menggunakan kereta api pukul tiga sore, dipimpin oleh Arifin
Panigoro mahasiswa Elektro ITB. Mereka menempuh jarak Bandung-Jakarta Kota dalam tempo
empat setengah jam.
Selain mahasiswa yang datang berombongan ini, terdapat pula sejumlah mahasiswa yang datang
dengan berbagai cara secara berangsur-angsur selama beberapa hari, belum lagi yang sudah
berada di Jakarta sejak beberapa hari sebelumnya, termasuk mahasiswa-mahasiswa penggerak
seperti Zaenal Arifin dan kawan-kawan dari kelompok Bangbayang. Sehingga secara
keseluruhan kontingen ini berkekuatan 400-an mahasiswa, berasal dari berbagai kampus
393
perguruan tinggi di Bandung, namun terbanyak dari ITB. Jumlah ini sebenarnya tidak terlalu
besar di tengah ribuan massa mahasiswa Jakarta, namun militansi dan keunikan Kontingen
Bandung ini membuatnya berperan. Pada malam kedua kehadiran mereka di kampus Fakultas
Kedokteran, datang perintah dari Kodam Jaya untuk mengosongkan kampus –artinya tak ada
mahasiswa yang boleh menginap– dengan alasan ada kemungkinan serangan dari pasukanpasukan yang pro Soekarno. Terutama setelah terjadinya serangan bersenjata terhadap satu mobil
Pasukan Tjakrabirawa.
Hanya satu malam Kontingen Bandung meninggalkan Fakultas Kedokteran di Salemba, karena
keesokan harinya berangsur-angsur mereka kembali ke sana. Mereka bertahan seterusnya di
sana, sementara sejumlah tokoh mahasiswa Jakarta yang tertekan karena teror dan ancaman,
menginap di Kopur (Komando Tempur) Kostrad untuk keselamatan mereka. ―Kontingen
Mahasiswa Bandung akan terus bertahan di Fakultas Kedokteran UI ini sampai PKI dibubarkan
atau Soekarno dilumpuhkan‖, ujar Muslimin Nasution, salah seorang pimpinan kontingen –
bersama dengan antara lain Rudianto Ramelan dan Fred Hehuwat. Kedatangan Kontingen
Bandung itu sendiri, justru pada saat mahasiswa Jakarta sedang ditekan, mempunyai arti
tersendiri untuk menaikkan spirit rekan-rekannya mahasiswa Jakarta. Anggota-anggota
Kontingen ini juga berinisiatif melakukan gerakan-gerakan mengejutkan ke sasaran-sasaran
strategis. Meskipun bisa saja dianggap keterlaluan, mahasiswa-mahasiswa seni rupa ITB –
Riswanto Ramelan, T. Soetanto dan kawan-kawan– yang ada di Kontingen itu menciptakan
kreasi-kreasi seperti patung besar Soebandrio dengan kepala yang besar bertuliskan Dorna
Peking. Patung ini ikut dibawa ketika Kontingen Bandung bersama mahasiswa KAMI Jakarta
dan pelajar KAPPI menyerbu, merusak dan mengobrak-abrik ruang kerja Soebandrio di
Departemen Luar Negeri. Patung ini lalu dicari-cari untuk disita oleh aparat Kodam Jaya, dan
akhirnya ‗terpaksa‘ dibakar sendiri oleh para mahasiswa dan pelajar setelah diarak, dalam suatu
acara simbolik di kampus Salemba.
Pada hari-hari berikutnya, tak henti-hentinya terjadi konflik fisik antara mahasiswa KAMI
dengan anggota-anggota Front Marhaenis Ali Surachman. Ini adalah buah dari pengerahan yang
diciptakan oleh para pemimpin partai dan para pendukung Soekarno, terutama dengan
pembentukan Barisan Soekarno yang diperhadapkan dengan mahasiswa KAMI dan para pelajar
dari KAPPI. Selain menyerbu Departemen Luar Negeri pada tanggal 8 Maret, para mahasiswa
juga melakukan penyerbuan ke Kantor Berita RRT Hsin Hua, namun gagal. Tanggal 10 Maret,
wakil-wakil partai politik dipanggil Presiden Soekarno ke Istana, dan di sana partai-partai
tersebut untuk kesekian kalinya menampilkan perilaku opportunistik mereka di depan Soekarno,
lalu mengikuti perintah Soekarno mengeluarkan pernyataan yang tidak membenarkan tindakantindakan yang dilakukan para mahasiswa dan para pelajar serta pemuda.
Pada 11 Maret berlangsung sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sejak pagi-pagi,
mahasiswa dan pelajar turun ke jalan dan sekali lagi melakukan aksi pengempesan ban mobil
untuk memacetkan jalan. Sengaja atau tidak, peningkatan tekanan yang terjadi akibat
demonstrasi besar-besaran mahasiswa ini memperkuat bargaining position Mayjen Soeharto
terhadap Soekarno. Ditambah dengan efek kejut yang ditimbulkan oleh kemunculan pasukan
tanpa pengenal lengkap –yang sebenarnya digerakkan oleh Brigjen Kemal Idris– yang diisukan
sebagai pasukan tak dikenal yang akan mengepung istana, maka Soekarno tiba pada suatu posisi
394
psikologis dan mencapai titik nadir dalam semangat dan keberaniannya. Soekarno dengan
tergesa-gesa meninggalkan istana menggunakan helikopter menuju Istana Bogor.
Tentang peristiwa seputar sidang kabinet 11 Maret 1966, Dr Soebandrio mempunyai versi
sendiri. Ia menulis ―di beberapa buku disebutkan bahwa setelah Presiden Soekarno membuka
sidang, beberapa saat kemudian pengawal presiden, Brigjen Saboer, menyodorkan secarik kertas
ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar banyak pasukan tak dikenal. Beberapa saat kemudian
presiden keluar meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya
lantas menyusul keluar. Banyak ditulis, saat saya keluar sepatu saya copot karena terburu-buru.
Memang benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu, mungkin
karena kegerahan duduk lama menunggu, tetapi sepatu yang dicopot itu tidak kelihatan oleh
peserta sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa melakukan hal itu. Nah, saat kondisi genting
sehingga presiden meninggalkan ruang sidang secara mendadak, saya keluar terburu-buru
sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu‖.
Lebih jauh, Soebandrio menulis, bahwa begitu keluar ruang sidang, yang tidak pernah dituliskan
siapa pun, ia merasa bingung, akan ke mana? ―Saya mendapat informasi, pasukan tak dikenal itu
sebenarnya mengincar keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung
Karno yang keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan bingung saya lihat sebuah sepeda, entah
milik siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya, dan mobil
semua menteri, sudah digembosi oleh para demonstran. Dalam kondisi hiruk pikuk di sekitar
istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang tahu bahwa saya adalah Soebandrio yang
sedang diincar tentara. Padahal saya naik sepeda melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang
meneriakkan yel-yel Tritura dan segala macam kecaman terhadap Bung Karno. Memang, saat
menggenjot sepeda saya selalu menunduk, tetapi kalau ada yang teliti pasti saya ketahuan‖.
Soebandrio mengaku sepedanya meluncur terus ke selatan sampai bundaran Bank Indonesia.
Tetapi ia melihat begitu banyak tentara dan mahasiswa sampai jalan Thamrin. Ia ragu apakah
bisa lolos. Maka ia kembali mengayuh sepeda kembali ke istana dan ―hebatnya‖ dia sampai di
istana tanpa diketahui para demonstran.
―Begitu tiba kembali di istana, saya lihat ada helikopter. Saya tidak tahu apakah sejak tadi heli
itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin karena saya panik, saya tidak melihat heli yang
ada di sana sejak tadi. Namun yang melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian saya
melihat Bung Karno didampingi para ajudan berjalan menuju heli. Karena itu sepeda saya
geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah, ketika berlari menuju heli tanpa
sepatu, saya dilihat banyak orang sehingga ditulis di koran-koran: Dr Soebandrio berlari
menyusul Bung Karno menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam heli dan
terbang bersama Bung Karno menuju Istana Bogor‖.
Apapun yang terjadi dengan Soebandrio dan Soekarno pada siang hari 11 Maret itu, malamnya
lahir Surat Perintah 11 Maret, yang dibuat ‗bersama‘ tiga jenderal yang sebenarnya dekat dengan
Soeharto, yakni Mayjen Basoeki Rachmat, Brigjen Muhamad Jusuf dan Brigjen Amirmahmud.
Dan atas dasar Surat Perintah itu, Soeharto kemudian membubarkan PKI pada 12 Maret 1966.
Beberapa hari kemudian, 18 Maret, Soeharto melakukan tindakan untuk ‗mengamankan‘ 15
Menteri Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sejak saat itu, Soeharto bisa melakukan
‗apa‘pun yang diinginkannya.
395
Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Soeharto melangkah masuk ke dalam fase
kekuasaan sepenuhnya bagi dirinya.
(Dari:Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 – Mitos dan Dilema, Mahasiswa
Dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006).
396
Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966
Oleh: Sociopolitica
Bagian Pertama
“Kenapa menghadap Soeharto lebih dulu dan bukan Soekarno ? “Saya pertama-tama
adalah seorang anggota TNI. Karena Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai
perwira paling senior tentu adalah Panglima Kostrad. Saya ikut standard operation
procedure itu”, demikian alasan Jenderal M. Jusuf. Tapi terlepas dari itu, Jusuf memang
dikenal sebagai seorang dengan „intuisi‟ tajam. Dan tentunya, juga punya kemampuan
yang tajam dalam analisa dan pembacaan situasi, dan karenanya memiliki kemampuan
melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana yang telah dibuktikannya dalam berbagai
pengalamannya. Kali ini, kembali ia bertindak akurat”.
TIGA JENDERAL yang berperan dalam pusaran peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret
1966 –Super Semar– muncul dalam proses perubahan kekuasaan dari latar belakang situasi yang
khas dan dengan cara yang khas pula. Melalui celah peluang yang juga khas, dalam suatu
wilayah yang abu-abu. Mereka berasal dari latar belakang berbeda, jalan pikiran dan karakter
yang berbeda pula. Jenderal yang pertama adalah Mayor Jenderal Basuki Rachmat, dari Divisi
Brawijaya Jawa Timur dan menjadi panglimanya saat itu. Berikutnya, yang kedua, Brigadir
Jenderal Muhammad Jusuf, dari Divisi Hasanuddin Sulawesi Selatan dan pernah menjadi
Panglima Kodam daerah kelahirannya itu sebelum menjabat sebagai menteri Perindustrian
Ringan. Terakhir, yang ketiga, Brigadir Jenderal Amirmahmud, kelahiran Jawa Barat dan ketika
itu menjadi Panglima Kodam Jaya.
Mereka semua mempunyai posisi khusus, terkait dengan Soekarno, dan kerapkali digolongkan
sebagai de beste zonen van Soekarno, karena kedekatan mereka dengan tokoh puncak kekuasaan
itu. Dan adalah karena kedekatan itu, tak terlalu sulit bagi mereka untuk bisa bertemu Soekarno
di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966. Namun pada sisi lain, sebagai sesama jenderal
angkatan darat, mereka pun bisa berkomunikasi dengan Jenderal Soeharto dan menjalin
hubungan yang lebih baik segera setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi, melebihi
hubungan di masa lampau.
Ketiga jenderal ini mempunyai persamaan, yakni bergerak di suatu wilayah abu-abu dalam
proses silang politik dan kekuasaan aktual yang sedang terjadi saat itu. Persamaan lain, adalah
bahwa ketiganya tidak punya jalinan kedekatan –dan memang tampaknya tidak menganggapnya
sebagai suatu keperluan– dengan mahasiswa pergerakan 1966. Bila bagi Muhammad Jusuf dan
Basuki Rachmat ketidakdekatan itu adalah karena memang tidak dekat saja, maka bagi
Amirmahmud ketidakdekatan itu kadang-kadang bernuansa ketidaksenangan sebagaimana yang
terlihat dari beberapa sikap dan tindakannya di masa lampau dan kelak di kemudian hari.
Namun, dalam suatu kebetulan sejarah, baik kelompok mahasiswa 1966 maupun kelompok tiga
jenderal, sama-sama menjalankan peran signifikan dalam proses perubahan kekuasaan di tahun
1966 itu, melalui dua momentum penting. Mahasiswa berperan dalam pendobrakan awal dalam
nuansa, motivasi dan tujuan-tujuan yang idealistik, sedang tiga jenderal berperan dalam titik
397
awal suatu pengalihan kekuasaan yang amat praktis. Hanya bedanya, kelompok mahasiswa
pergerakan 1966 bekerja dalam suatu pola sikap yang lebih hitam putih terhadap Soekarno dan
Soeharto, sedangkan tiga jenderal Super Semar berada di wilayah sikap yang abu-abu terhadap
kedua tokoh kekuasaan faktual di tahun 1966 yang ‗bergolak‘ itu. Tetapi pada masa-masa
menjelang Sidang Istimewa MPRS 1967, Muhammad Jusuf melakukan juga persentuhan dengan
sejumlah eksponen mahasiswa pergerakan 1966, terutama kelompok-kelompok asal Sulawesi
Selatan yang sedang kuliah di Jakarta dan Bandung. Jusuf meminta mereka untuk meninggalkan
jalur ekstra parlementer dan memilih jalur konstitusional melalui dukungan kepada proses politik
di MPRS. Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf memberi arah untuk mendukung Soeharto, namun
hendaknya terhadap Soekarno diberikan jalan mundur yang terhormat. Sebenarnya, semasa
menjadi Panglima Kodam Hasanuddin, Jusuf beberapa kali melakukan juga komunikasi dengan
para mahasiswa Universitas Hasanuddin, khususnya bila ada insiden yang melibatkan
mahasiswa. Biasanya ia memarahi mahasiswa dengan bahasa campuran Indonesia-Belanda,
―Jullie semua sudah dewasa…..‖.
Kisah Tiga Jenderal
Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf Amir, pada bulan-bulan terakhir menjelang Peristiwa 30
September 1965, sebenarnya berada dalam hubungan terbaiknya dengan Presiden Soekarno.
Pada bulan Juni tahun 1965 ia dipanggil oleh Soekarno ke Jakarta dan diminta menjadi Menteri
Perindustrian Ringan dalam rangka peningkatan Departemen Perindustrian menjadi
Kompartemen Perindustrian Rakyat. Sebagai Menteri Koordinator adalah Dr Azis Saleh.
Sebenarnya tak ada alasan objektif bagi Soekarno untuk mengangkat seorang jenderal perang
seperti Jusuf untuk menjadi Menteri Perindustrian apabila didasarkan kepada kompetensi
keahlian teknis. Tetapi memang semasa menjadi Panglima Kodam Hasanuddin, Jusuf
menunjukkan perhatian memadai terhadap pembangunan perindustrian di wilayahnya. Meskipun
demikian, tak boleh tidak, alasan pengangkatan Jusuf adalah lebih karena ‗kebutuhan‘ Soekarno
untuk menarik para jenderal potensial ke dalam barisan pendukungnya.
Dalam Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964 – 28 Maret 1966), terdapat setidaknya sembilan
orang menteri berlatar belakang militer, termasuk Jenderal AH Nasution dan Brigjen Muhammad
Jusuf. Dalam deretan itu terdapat nama-nama Mayjen KKO Ali Sadikin, Mayjen Dr Soemarno,
Mayjen Prof Dr Satrio, Mayjen Achmad Jusuf, Letjen Hidajat dan Laksamana Udara Iskandar.
Selain itu ada empat Panglima Angkatan yang diletakkan dalam posisi menteri. Beberapa
menteri yang lain, diangkat pula sebagai perwira tinggi tituler, setingkat jenderal.
Merasa terkesan atas diri Brigjen Jusuf, suatu ketika Soekarno bahkan pernah menyatakan di
depan Yani dan Jusuf, berniat mengangkat Menteri Perindustrian Ringan itu menjadi Wakil
Perdana Menteri IV, suatu jabatan baru sebagai tambahan atas tiga Waperdam yang telah ada.
Dengan beberapa pertimbangan yang cukup masuk akal, Menteri Panglima AD Letnan Jenderal
Ahmad Yani menyatakan penolakan, langsung dalam pertemuan itu juga. Dan Soekarno
mengurungkan niatnya, tetapi menjelang akhir September 1965, ketika ia bermaksud
‗menggeser‘ Yani dari jabatan Menteri Panglima AD, muncul lagi gagasan menciptakan posisi
Waperdam IV, yang kali ini sebagai tempat ‗pembuangan ke atas‘ bagi Ahmad Yani.
Belakangan sekali, dalam Kabinet Dwikora II, yang dibentuk di tengah gelombang demonstrasi
398
mahasiswa, Februari 1966, jabatan Waperdam IV itu akhirnya terwujud juga, yang diduduki oleh
tokoh NU KH Idham Chalid.
Ketika Soeharto diangkat menjadi Panglima Mandala 23 Januari 1962, sudah dengan pangkat
Mayor Jenderal per 1 Januari tahun itu juga, Brigadir Jenderal Jusuf adalah Panglima Kodam
Hasanuddin. Pada bulan yang sama, Soeharto juga diangkat sebagai Deputi Wilayah Indonesia
Timur menggantikan Mayjen Ahmad Yani. Meskipun sama-sama berkedudukan di Makassar,
Soeharto dan Jusuf tidak banyak memiliki keterkaitan hubungan kerja langsung. Sebagai
Panglima Mandala, konsentrasi Soeharto adalah pelaksanaan Trikora untuk pembebasan Irian
Barat, sementara sebagai Panglima Hasanuddin, Jusuf ditugaskan untuk menumpas DI-TII
pimpinan Kahar Muzakkar dengan catatan jangan sampai masalah DI-TII itu mengganggu tugastugas Komando Mandala. Karena sekota, Soeharto dan Jusuf bagaimanapun kenal baik satu sama
lain. Namun, secara pribadi, yang lebih terjalin adalah kedekatan Brigjen Jusuf dengan Mayjen
Ahmad Yani yang tak lama kemudian diangkat menjadi Menteri Panglima AD dengan pangkat
Letnan Jenderal.
Ketika masih berpangkat Kolonel dan menjabat Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi
Selatan dan Tenggara (KDMSST), Jusuf juga sempat amat bersimpati kepada atasannya, KSAD
Mayor Jenderal AH Nasution, dan memiliki sikap anti komunis yang sama. Tetapi dalam
Peristiwa Tiga Selatan, yakni pembekuan PKI di tiga propinsi selatan, yakni Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan, Kolonel Jusuf merasa kecewa terhadap Nasution.
Ketika Jusuf dipanggil Soekarno, bersama dua panglima selatan lainnya, dan didamprat habishabisan, Nasution tidak melakukan pembelaan di depan Soekarno. Kekecewaan itu ternyata
berlangsung berkepanjangan. ―Jusuf tak bisa melupakan insiden itu serta kekecewaannya
terhadap Nasution….. Ini juga menjelaskan kemudian, mengapa Jusuf lebih senang berhubungan
dengan Ahmad Yani, lebih-lebih setelah Yani menggantikan kedudukan Nasution pada tahun
1962‖ sebagai KSAD.
Persentuhan yang bermakna antara Soeharto dan Jusuf terjadi empat hari setelah Peristiwa 30
September, sepulangnya Jusuf dari Peking (Beijing). Jusuf pada akhir September 1965 termasuk
dalam delegasi besar Indonesia yang menghadiri perayaan 1 Oktober di Peking. Dan ketika
terjadi peristiwa di Jakarta pada 1 Oktober, berbeda dengan umumnya anggota rombongan –
termasuk Waperdam III Chairul Saleh– yang memperoleh informasi versi pemerintah Peking,
Brigjen Jusuf mendapat pula versi kedua. Ini membuat dirinya memutuskan untuk segera
kembali ke Jakarta dan bersama seorang anggota delegasi ia menempuh jalan panjang pulang ke
tanah air. Mula-mula naik kereta api dari Peking, sambung menyambung 2000 kilometer jauhnya
hingga Guangzhou yang ditempuh selama dua hari satu malam. Lalu melintasi perbatasan
menuju Hongkong yang waktu itu masih dikuasai Inggeris. Atas bantuan Konsul Jenderal RI di
Hongkong, Jusuf berhasil memperoleh tiket penerbangan dengan Garuda ke Jakarta –route
Tokyo-Hongkong-Jakarta– yang menggunakan turbo propeller jet Lockheed Electra yang
berbaling-baling empat. Setibanya di Kemayoran, Jusuf langsung menuju Markas Kostrad untuk
bertemu Mayjen Soeharto, seperti dituturkan Atmadji Sumarkidjo dalam ‘Jenderal M. Jusuf,
Panglima Para Prajurit’ (Kata Hasta, Jakarta 2006).
Kenapa menghadap Soeharto lebih dulu dan bukan Soekarno ? ―Saya pertama-tama adalah
seorang anggota TNI. Karena Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai perwira paling
399
senior tentu adalah Panglima Kostrad. Saya ikut standard operation procedure itu‖, demikian
alasan Jenderal M. Jusuf. Tapi terlepas dari itu, Jusuf memang dikenal sebagai seorang dengan
‗intuisi‘ tajam. Dan tentunya, juga punya kemampuan yang tajam dalam analisa dan pembacaan
situasi, dan karenanya memiliki kemampuan melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana
yang telah dibuktikannya dalam berbagai pengalamannya. Kali ini, kembali ia bertindak akurat.
Dalam pertemuan dengan Soeharto ini Jusuf menyatakan dukungan terhadap tindakan-tindakan
yang telah diambil Panglima Kostrad itu. Dan sejak saat itu, hingga beberapa waktu lamanya, ia
bolak balik ke Kostrad, karena ia telah menjadi tim ‗politik‘ Soeharto. Barulah pada 6 Oktober
saat berlangsungnya suatu sidang kabinet di Istana Bogor, de beste zonen van Soekarno ini
melapor kepada Soekarno tentang kepulangannya dari ibukota RRT, Peking.
Mayor Jenderal Basuki Rachmat, adalah yang paling senior dari trio jenderal 11 Maret ini. Saat
peristiwa terjadi ia adalah Panglima Divisi Brawidjaja. Hanya beberapa jam sebelum para
jenderal diculik dinihari 1 Oktober, Basuki Rachmat bertemu dengan Letnan Jenderal Ahmad
Yani di kediaman Jalan Lembang. Ia adalah perwira tertinggi pangkatnya yang terakhir bertemu
Yani dalam keadaan hidup. Basuki Rachmat memiliki kedekatan dengan Yani, namun ia pun
memiliki kedekatan khusus dengan Soekarno untuk beberapa lama, sehingga ia pun sempat
termasuk de beste zonen van Soekarno. Ia memiliki akses untuk melapor langsung dan memang
kerapkali dipanggil oleh Soekarno untuk itu. Namun pada beberapa bulan terakhir sebelum
Peristiwa 30 September, Soekarno menurut beberapa jenderal berkali-kali menyatakan sedikit
ketidaksenangannya terhadap beberapa tindakan Basuki Rachmat sebagai Panglima di Jawa
Timur. ―Saya tidak pernah ditegur langsung oleh Presiden Soekarno, tetapi saya pernah dengar
dari pak Yani dan beberapa jenderal‖, demikian Rachmat menjelaskan hubungannya dengan
Soekarno di tahun 1965 (Wawancara Rum Aly dengan Basuki Rachmat untuk Mingguan
Mahasiswa Indonesia, Purwakarta Juli 1968).
Selain itu, kenyataan bahwa ia berkali-kali bertemu Nasution pada bulan-bulan terakhir itu,
menambah ketidaksenangan Soekarno atas dirinya. Secara pribadi, ia tak tercatat sebagai perwira
yang condong kepada golongan kiri, namun sebaliknya ia tak ada di barisan depan deretan
perwira yang terkenal sebagai perwira anti komunis, seperti misalnya Mayjen Ibrahim Adjie dan
Brigjen Jusuf. Tetapi, sebagai panglima di Jawa Timur, ia tak punya kemampuan prima
membendung pengaruh PKI di kalangan perwira bawahannya, sehingga banyak batalion Divisi
Brawidjaja dipimpin oleh komandan yang telah masuk kawasan pengaruh PKI. Salah satu
batalion, yakni Batalion 530 bahkan turut serta dalam Gerakan 30 September. Tegasnya, ia
berada di lingkungan yang abu-abu. Tentang Batalion 530, suatu kali di tahun 1968, Basuki
hanya mengatakan, ―yang sudah lewat, sudahlah‖.
400
Bagian Kedua
“Saat berlangsungnya sidang kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itulah
„pasukan tak dikenal‟ itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari pasukan
itu membuat demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan kehadiran mereka.
Tetapi sebaliknya, seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang disempurnakan,
mengatakan kehadiran pasukan tanpa tanda pengenal itu memang dimaksudkan untuk
menekan Soekarno dan mungkin saja berniat membantu demonstran masuk menerobos
istana”.
TERDAPAT sejumlah Panglima Kodam yang memiliki akses langsung dengan Soekarno
sebagai Pangti ABRI –suatu situasi yang memang diciptakan oleh Soekarno sendiri. Sementara
yang lainnya, hanya bisa bertemu dengan sang Presiden, bila dibawa menghadap oleh Menteri
Pangad Ahmad Yani. Ada beberapa diantaranya, yang meskipun punya akses langsung dengan
Soekarno, tetap menjalankan tatakrama untuk melapor kepada Yani, sebelum atau sesudahnya.
Tetapi ada juga yang sama sekali melangkahi Yani, seperti juga yang dilakukan oleh sejumlah
jenderal senior. Salah satu Panglima Kodam yang pada bulan-bulan terakhir sampai September
1965 selalu ‗tembak langsung‘ menghadap Soekarno adalah Brigjen Sjafiuddin dari Kodam
Udayana. Sementara itu, waktu menjadi Panglima di Kalimantan Selatan, Amirmahmud, ada di
antara dua kategori itu. Ia juga termasuk jenderal yang punya akses terhadap Soekarno, dan
bahkan dimasukkan dalam kategori de beste zonen van Soekarno. Sesekali ia melapor kepada
Yani, dan banyak kali juga tidak.
Dalam momen yang penting, pada masa tak menentu dalam kekuasaan Soekarno setelah
Peristiwa 30 September 1965, Brigjen Amirmahmud masuk Jakarta menggantikan Mayjen Umar
Wirahadikusumah sebagai Panglima Kodam Jaya. Salah satu reputasi yang diciptakan
Amirmahmud adalah bahwa ia termasuk salah satu Panglima Kodam luar Jawa yang melarang
semua kegiatan PKI dan ormas-ormasnya pada bulan Oktober tahun 1965, tanggal 19, tetapi
masih lebih lambat dibandingkan sejumlah Kodam lainnya. Satu dan lain hal, kedekatannya
dengan Presiden Soekarno ikut memperlambat dirinya mengambil keputusan itu. Pada 1
Oktober, ketika Kepala Staf Komando Antar Daerah Kalimantan Brigjen Munadi, mengadakan
pertemuan membahas situasi yang terjadi di Jakarta, Panglima Kalimantan Selatan ini menjadi
satu-satunya Panglima se Kalimantan yang tidak hadir. Menurut informasi Munadi kepada
Jenderal Nasution kemudian, ketidakhadiran itu disebabkan sang panglima didatangi oleh Ketua
PKI Kalimantan Selatan, A. Hanafiah, yang memberitahukan bahwa Panglima Kodam itu
ditunjuk sebagai anggota Dewan Revolusi Kalimantan Selatan.
Ketika Amirmahmud menjadi Panglima Kodam Jaya, beberapa kali tindakannya menimbulkan
tanda tanya para mahasiswa KAMI. Prajurit-prajurit Kodam Jaya kerap bertindak keras dan
kasar kepada mahasiswa. Perwira-perwira bawahan Amirmahmud pun umumnya tidak
menunjukkan simpati terhadap gerakan-gerakan mahasiswa, untuk tidak menyebutnya bersikap
memusuhi. Hanya sedikit perwira Kodam Jaya yang bersimpati kepada mahasiswa, bisa dihitung
cukup dengan jari di satu tangan, dan di antara yang sedikit itu tercatat nama Kepala Staf Kodam
Kolonel AJ Witono serta Letnan Kolonel Urip Widodo.
401
Sebagai seorang Soekarnois, berkali-kali pula Amirmahmud menampilkan lakon kesetiaan
kepada Soekarno, diantaranya terkait dengan Barisan Soekarno. Tetapi, agaknya ini justru
menjadi hikmah pula baginya, karena sedikitnya ia makin mendapat tempat di hati Soekarno,
yang kemudian memudahkannya berperan dalam kelahiran Surat Perintah 11 Maret. Dan adalah
karena peranannya pada tanggal 11 Maret, ia kemudian mendapat tempat yang lebih layak di sisi
Soeharto dalam kekuasaan, sepanjang hayatnya. Terus menerus menjadi Menteri Dalam Negeri
sejak menggantikan Basoeki Rachmat yang meninggal dunia dan kemudian menjadi Ketua
MPR/DPR sebagai penutup karirnya yang secara menyeluruh tergolong ‗terang benderang‘.
Hal lain yang membuat Amirmahmud bisa dekat dengan Soeharto adalah bahwa ia tidak
termasuk di antara para jenderal yang ‗fasih‘ berbahasa Belanda dan menggunakan bahasa
campuran Belanda-Indonesia dalam percakapan sehari-hari satu sama lain. Soeharto adalah
orang yang tak terlalu suka kepada kebiasaan berbahasa Belanda, suatu ketidaksukaan yang
umum di kalangan perwira hasil pendidikan kemiliteran Jepang. Namun dari Soekarno,
setidaknya dua kali dalam dua waktu yang berbeda, 1946 dan 1965, Soeharto mendapat ‗gelar‘
dalam bahasa Belanda dari Soekarno, yakni sebagai jenderal koppig. Amirmahmud tak merasa
nyaman dan tak betah bila ada dalam pertemuan yang dihadiri para jenderal berbahasa Belanda
ini, seperti misalnya HR Dharsono, Kemal Idris dan kawan-kawan. Ketidaknyamanan yang sama
dirasakannya ketika ia masih bertugas di Divisi Siliwangi sebelum bertugas di luar Jawa. Divisi
Siliwangi terkenal sebagai satu divisi dengan banyak perwira intelektual dan berlatar belakang
pendidikan baik, melebihi divisi yang lain pada umumnya. Percakapan sehari-hari di antara
kalangan perwira menengah sampai perwira tingginya sangat lazim menggunakan bahasa
Belanda. Amirmahmud yang berasal dari Cimahi, berbeda dengan umumnya koleganya sesama
perwira Siliwangi, tidak menggunakan bahasa itu. Jenderal AH Nasution yang juga berasal dari
Divisi Siliwangi, Letjen Ahmad Yani dan para perwira terasnya di Mabes AD adalah para
jenderal yang juga berbahasa Belanda.
Kebiasaan berbicara dengan bahasa Belanda, merupakan salah satu ciri kelompok perwira
intelektual dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Meski demikian, sebagai pengecualian,
Amirmahmud bisa juga membuat dirinya ‗betah‘ bila hadir dalam pertemuan dengan Bung
Karno, kendati sang Presiden banyak menggunakan kata-kata Belanda yang tak semua
dipahaminya. Tetapi adalah menarik bahwa Soekarno sendiri nyaris tak pernah menggunakan
istilah-istilah bahasa Belanda bila berbicara dengan Amirmahmud dan beberapa jenderal lain
yang diketahuinya tidak terbiasa dengan bahasa itu. Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief dan
Letnan Kolonel Untung termasuk dalam kelompok perwira yang tak berkebiasaan, bahkan jauh
dari kebiasaan menggunakan bahasa Belanda.
Sejak pagi hari 11 Maret sebenarnya Presiden Soekarno ada dalam suatu keadaan cemas dan
tertekan. Menurut rencana, hari itu akan ada Sidang Kabinet, namun ia was-was akan faktor
keamanan bila sidang itu diselenggarakan di Jakarta. Ia menelpon Panglima Kodam Jaya
Amirmahmud pukul 07.00 dari Istana Bogor, menanyakan apakah aman bila sidang itu dilakukan
di Jakarta. Sang panglima memberikan jaminan dan menjanjikan takkan terjadi apa-apa.
Beberapa jam kemudian, ketika sidang itu akan dimulai, sekali lagi Soekarno bertanya kepada
Amirmahmud dan mendapat jawaban ―Jamin pak, aman‖. Soekarno meminta Amirmahmud
untuk tetap berada dalam ruang sidang. Namun sewaktu sidang baru berlangsung sekitar sepuluh
menit, Komandan Tjakrabirawa terlihat berulang-ulang menyampaikan memo kepada
402
Amirmahmud. Isinya memberitahukan adanya pasukan yang tak jelas identitasnya berada di
sekitar istana tempat sidang kabinet berlangsung. Ia meminta Amirmahmud keluar sejenak,
tetapi Panglima Kodam ini berulang-ulang menjawab dengan gerak telapak tangan dengan
ayunan kiri-kanan seakan isyarat takkan ada apa-apa. Tapi bisa juga sekedar tanda bahwa ia
tidak bisa dan tidak mau keluar dari ruang rapat kabinet. Meskipun adegan ini berlangsung tanpa
suara, semua itu tak luput dari penglihatan Soekarno dan para Waperdam yang duduk dekatnya.
Tak mendapat tanggapan dan Amirmahmud tak kunjung beranjak dari tempat duduknya, Brigjen
Saboer akhirnya menyampaikan langsung satu memo kepada Soekarno. Setelah membaca,
tangan Soekarno tampak gemetar dan memberi memo itu untuk dibaca oleh tiga Waperdam yang
ada di dekatnya. Soekarno lalu menyerahkan pimpinan sidang kepada Leimena dan
meninggalkan ruang sidang dengan tergesa-gesa. Kepada Amirmahmud yang mengikutinya ia
bertanya, ―Mir, bapak ini mau dibawa ke mana?‖. Digambarkan bahwa Amirmahmud, yang
tadinya menjamin sidang ini akan berlangsung aman tanpa gangguan, tak menjawab dan hanya
menuntun Soekarno menuju helikopter. Dengan helikopter itu, Soekarno dan Soebandrio menuju
Istana Bogor.
Sebenarnya, Amirmahmud sendiri, yang ingin menunjukkan kepada Soekarno bahwa ia mampu
menjamin keamanan sidang kabinet tersebut, saat itu tak mengetahui mengenai kehadiran
pasukan tak dikenal itu. Sepenuhnya, pasukan ini bergerak atas inisiatif Pangkostrad Kemal
Idris. Pasukan itu diperintahkan untuk mencopot tanda-tanda satuannya dan bergerak ke sekitar
istana. Seorang perwira tinggi AD mengungkapkan di kemudian hari bahwa pasukan tersebut
sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi demonstran mahasiswa, karena dalam peristiwa
sebelumnya para mahasiswa itu berkali-kali menjadi korban kekerasan Pasukan Tjakrabirawa,
dan sudah jatuh satu korban jiwa, Arief Rachman Hakim.
Pada 11 Maret pagi hingga petang, sebenarnya terjadi beberapa benturan di berbagai penjuru
Jakarta. Catatan harian Yosar Anwar – dibukukan dengan judul ‘Angkatan 66’, Penerbit Sinar
Harapan, Jakarta 1981– adalah salah satu sumber yang tepat untuk dikutip guna menggambarkan
situasi hari itu. Pagi-pagi, mahasiswa yang berada di kampus UI Salemba, dikejutkan oleh suatu
serangan mendadak dari segerombolan orang yang berbaju hitam-hitam. ―Gerombolan
berseragam hitam pagi itu datang dari arah Jalan Tegalan dan Matraman Raya. Mereka
menyerbu pos KAPPI di Jalan Salemba. Seorang luka, karena kena tusuk. Laskar S. Parman dan
Laskar A. Yani segera memberikan bantuan. Perang batu terjadi. Perkelahian seru. Akhirnya
gerombolan liar ini mengundurkan diri. Pemuda Ansor yang tergabung dalam Banser dari Jalan
Pramuka ikut menghadang mereka. Keadaan kacau balau, karena perkelahian pada front luas
terbuka‖. Tetapi tiba-tiba, sepasukan Tjakrabirawa yang bersenjata lengkap datang menyerbu.
Mereka melepaskan tembakan hampir horizontal, peluru mendesing rendah di atas kepala pelajar
dan mahasiswa. Para mahasiswa yang bingung, tiarap. Terdengar seorang anggota Tjakrabirawa
dengan nyaring mengucapkan ―Seratus mahasiswa tidak sanggup melawan seorang anggota
Tjakrabirawa‖. Tapi Tjakrabirawa yang telah berhasil membuat takut para mahasiswa, akhirnya
berlalu dengan membawa empat orang mahasiswa sebagai tawanan. Namun beberapa jam
kemudian, para mahasiswa itu dilepaskan.
Biasanya pasukan pengawal presiden itu hanya berada di sekitar istana, tapi hari itu mereka
merambah ke mana-mana. Seterusnya, Yosar mencatat bahwa ―Di Jalan Salemba terjadi perang
403
pamflet. Helikopter bertanda ALRI menyebarkan fotokopi ‗Pernyataan Kebulatan Tekad Partaipartai Politik‘. Sedangkan pelajar membagikan stensilan ‗reaksi pemuda-pelajar-mahasiswa atas
sikap partai politik‘…‖. Peristiwa lain, sepasukan Tjakrabirawa yang lewat dengan kendaraan
truk di Pasar Minggu melepaskan tembakan ketika diteriaki dan diejek oleh para pelajar.
Mendengar adanya tembakan, satu pasukan Kujang Siliwangi yang ‗bermarkas‘ dekat tempat
kejadian, keluar ke jalan dan melepaskan tembakan ‗balasan‘. Anggota Para Armed (Artileri
Medan) dari arah lain, juga melepaskan tembakan.
Pada sore tanggal yang sama, terjadi keributan di Jalan Blitar. Massa menyerbu rumah Oei Tjoe
Tat SH dan melakukan perusakan. ―Hari ini, situasi sampai pada puncaknya. Demonstrasi kontra
demonstrasi. Tembakan kontra tembakan. Teror kontra teror. Culik kontra culik‖. Saat
berlangsungnya sidang kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itulah ‗pasukan tak
dikenal‘ itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari pasukan itu membuat
demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan kehadiran mereka. Tetapi sebaliknya,
seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang disempurnakan, mengatakan kehadiran
pasukan tanpa tanda pengenal itu memang dimaksudkan untuk menekan Soekarno dan mungkin
saja berniat membantu demonstran masuk menerobos istana. Dan ini semua dikaitkan dengan
Soeharto yang selaku Menteri Panglima AD ‗sengaja‘ tak hadir dalam sidang kabinet hari itu
dengan alasan sakit
404
Bagian Ketiga
“Suatu hal lain yang mungkin saja tak bisa lagi diklarifikasi, karena ketiga Jenderal Super
Semar telah tiada dan Soeharto sendiri sejauh ini hingga akhir hayatnya berada dalam
kondisi „tak mau‟ dan „tak bisa‟ diklarifikasi, adalah apakah peristiwa lahirnya Surat
Perintah 11 Maret itu adalah by accident terjadi karena situasi mendadak di tanggal 11
Maret itu, ataukah ada semacam setting sebelumnya?”. “Terlepas dari kontroversi yang
ada, bagi Drs Achadi, mantan menteri era Soekarno, sebenarnya yang merupakan
persoalan lebih penting adalah bagaimana penafsiran Soeharto dalam pelaksanaan dan
penggunaan Surat Perintah 11 Maret itu secara faktual, bukan hal-hal lainnya
sebagaimana yang banyak menjadi bahan kontroversi berkepanjangan beberapa tahun
terakhir”.
Istana Bogor, 11 Maret 1966, pukul 13.00. Tiga jenderal AD tiba di sana dengan berkendaraan
sebuah jeep yang dikemudikan sendiri oleh Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, Menteri
Perindustrian Ringan. Dua lainnya adalah Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Menteri Veteran dan
Demobilisasi, serta Brigadir Jenderal Amirmahmud, Panglima Kodam Jaya. Keputusan
berangkat ke Bogor menemui Soekarno diambil setelah Basuki Rachmat dan Jusuf mendengar
detail persoalan tentang kenapa Soekarno tergesa-gesa berangkat ke Bogor dengan helikopter.
Meskipun hadir dalam rapat kabinet, kedua menteri itu tak tahu persis mengenai adanya pasukan
tak kenal mendekati istana dan tak terlalu mengetahui ketegangan yang tercipta oleh Brigjen
Saboer dan Brigjen Amirmahmud.
Sebelum berangkat ke Bogor, tiga jenderal ini menemui Jenderal Soeharto di kediaman Jalan
Haji Agus Salim dan diterima di kamar tidur Soeharto yang waktu itu digambarkan sedang
demam. Soeharto menyetujui keberangkatan mereka bertiga ke Bogor, dan menurut Jusuf,
Soeharto menitipkan satu pesan yang jelas dan tegas –berbeda dengan beberapa versi lain yang
diperhalus– yaitu bahwa Soeharto ―bersedia memikul tanggungjawab apabila kewenangan untuk
itu diberikan kepadanya untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan
Tritura‖.
Soekarno yang pada pagi harinya sempat panik di Jakarta dan tergesa-gesa berangkat ke Bogor,
sempat meneruskan istirahat siangnya dan membiarkan tiga jenderal itu menunggu sampai pukul
14.30 sebelum menerima mereka. Soekarno bisa tampil cukup ‗tenang‘ tatkala pesan Jenderal
Soeharto disampaikan padanya, namun menurut gambaran Muhammad Jusuf terjadi ―dialog
yang begitu berat dan kadang-kadang tegang‖. Tidak seperti pada masa-masa sebelumnya,
dimana dalam setiap pembicaraan Soekarno selalu dituruti, kali ini para jenderal itu lebih berani
berargumentasi. Ini ada dampaknya terhadap Soekarno yang terbiasa diiyakan, yakni Soekarno
merasa sedikit tertekan oleh para jenderal itu. Soekarno akhirnya menyetujui suatu pemberian
kewenangan kepada Soeharto. Penyusunan konsepnya memakan waktu cukup lama dan berkalikali mengalami perubahan. Menurut para jenderal itu kemudian, perubahan atas konsep juga
termasuk oleh tiga Waperdam yang datang kemudian, lalu mendampingi Soekarno dalam
pembicaraan.
Dalam ingatan Jusuf, coretan-coretan perubahan dari Soebandrio dan Chairul Saleh, mengecilkan
kewenangan yang akan diberikan kepada Soeharto. Dalam catatan Jenderal Nasution, butir yang
405
berasal dari Soebandrio adalah tentang keharusan Menteri Panglima AD untuk berkoordinasi
dengan para panglima angkatan lainnya dalam pelaksanaan perintah. Sementara itu, menurut
Soebandrio sendiri, sewaktu dirinya bersama dua waperdam lainnya bergabung, pertemuan
sudah menghasilkan suatu konsep. Soebandrio menuturkan, ‖Saya masuk ruang pertemuan,
Bung Karno sedang membaca surat‖. Basuki Rachmat, Amirmahmud dan Muhammad Jusuf
duduk di depan Soekarno. ‖Lantas saya disodori surat yang dibaca Bung Karno, sedangkan
Chairul Saleh duduk di samping saya. Isi persisnya saya sudah lupa. Tetapi intinya ada empat
hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk: Pertama, mengamankan
wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kedua, penerima mandat wajib melaporkan kepada presiden atas
semua tindakan yang dilaksanakan. Ketiga, penerima mandat wajib mengamankan presiden serta
seluruh keluarganya. Keempat, penerima mandat wajib melestarikan ajaran Bung Karno. Soal
urutannya, mungkin terbalik-balik, namun intinya berisi seperti itu‖.
Lebih jauh, Soebandrio menuturkan –dalam naskah ‘Kesaksianku tentang G30S’– bahwa
Soekarno bertanya kepadanya, ―Bagaimana, Ban? Kau setuju?‖. Beberapa saat Soebandrio diam.
‖Saya pikir, Bung Karno hanya mengharapkan saya menyatakan setuju. Padahal, dalam hati saya
tidak setuju‖. Soebandrio yang agaknya terkejut oleh peristiwa di Jakarta pagi dan siangnya,
masih belum pulih semangatnya, meskipun ia tak mengakui dirinya takut, termasuk ketika ia
berkali-kali merasa dipelototi oleh para jenderal itu. ―Saya merasa Bung Karno sudah ditekan.
Terbukti ada kalimat ‗Mengamankan pribadi presiden dan keluarganya‘. Artinya keselamatan
presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat tersebut dikeluarkan‖. Lama terdiam,
akhirnya Soebandrio ditanyai lagi oleh Soekarno, ―Bagaimana, Ban? Setuju?‖. Soebandrio
menjawab, ―Ya, bagaimana. Bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami‖,
yang dipotong Soekarno, ―Tapi, kau setuju?‖. Soebandrio menjawab lagi, ―Kalau bisa perintah
lisan saja‖. Soebandrio melirik, ―tiga jenderal itu melotot ke arah saya. Tetapi saya tidak takut.
Mereka pasti geram mendengar kalimat saya terakhir‖. Lantas Amirmahmud menyela, ―Bapak
Presiden tanda tangan saja. Bismillah saja, pak‖. Soebandrio menduga Soekarno sudah ditekan
oleh tiga jenderal itu saat berunding tadi. ―Raut wajahnya terlihat ragu-ragu, tetapi seperti
mengharapkan dukungan kami agar setuju. Akhirnya saya setuju. Chairul dan Leimena juga
menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken‖.
Seingat Hartini Soekarno, sebelum menandatangani Surat Perintah 11 Maret itu, Soekarno
sempat bertanya kepada Leimena, yang dijawab dalam bahasa Belanda, ―Tak ada komentar, saya
serahkan sepenuhnya kepada anda‖. Sedang dari Chairul Saleh ada anjuran untuk berdoa dulu
memohon petunjukNya. Terakhir dari Soebandrio ada komentar, juga dalam bahasa Belanda,
―Kalau anda menandatanganinya, sama saja masuk perangkap‖. Pukul 20.30 para jenderal itu
kembali ke Jakarta dengan membawa Surat Perintah 11 Maret yang sudah ditandatangani
Soekarno. Satu tembusan karbonnya diambil Brigjen Jusuf dari Saboer, sementara Saboer sendiri
menyimpan tembusan lainnya, yang kesemuanya tanpa tanda tangan Soekarno.
Belakangan, terutama setelah lengsernya Soeharto dari kekuasaannya, terjadi kesimpangsiuran
mengenai Surat Perintah 11 Maret ini. Terutama karena dokumen asli yang ditandatangani
Soekarno dinyatakan hilang. Dikabarkan bahwa naskah dokumen asli ada di tangan Jenderal
Jusuf. Menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin dokumen asli itu bisa ada di tangan Jusuf,
karena dokumen itu sudah diserahkan langsung oleh ketiga jenderal itu ke tangan Jenderal
Soeharto di kamar tidur sang jenderal di Jalan Haji Agus Salim. Jusuf sendiri, hanya memegang
406
tembusan karbon surat perintah itu yang tanpa tanda tangan Soekarno. ‗Hilangnya‘ dokumen asli
itu menimbulkan tuduhan bahwa ada manipulasi atas Surat Perintah 11 Maret, yaitu dengan
‗memotong‘ bagian batas waktu berlaku Surat Perintah tersebut, kemudian dicopy lalu aslinya
disembunyikan, yang kesemuanya dilakukan atas ‗perintah‘ Soeharto.
Menurut Sudharmono SH yang pernah menjadi Wakil Presiden dan dekat dengan Soeharto,
dalam suatu percakapan dengan Rum Aly (penulis buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun
1965’) mengatakan hilangnya dokumen itu adalah karena terselip dan sepenuhnya kealpaan
manusiawi dari Soeharto sendiri. Tetapi sepanjang pokok-pokok Surat Perintah 11 Maret
sebagaimana yang diingat Soebandrio tampaknya tak ada perbedaan esensial dari yang ada
dalam versi Sekretariat Negara dan versi Jenderal Jusuf. Versi yang ada dalam buku ‗memoar‘
Jenderal Jusuf yang disusun oleh Atmadji Sumarkidjo, ‗Jenderal M. Jusuf, Panglima Para
Prajurit’ (2006, Penerbit Kata Hasta) adalah sebagai berikut ini. Untuk dan atas nama
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi, Soeharto dapat (1) Mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan
jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan
kewibawaan Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS demi
untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala
ajaran Pemimpin Besar Revolusi; (2) Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan
Panglima-panglima angkatan lain dengan sebaik-baiknya; (3) Supaya melaporkan segala sesuatu
yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggungjawabnya seperti tersebut di atas. Sampai
meninggal dunia 7 September 2004, Jenderal Jusuf tak pernah memberikan penegasan mengenai
isu tentang keberadaan dokumen asli Surat Perintah 11 Maret maupun mengenai tembusan
karbon yang ada di tangannya.
Dalam memoar Jenderal Jusuf yang diterbitkan di tahun 2006 itu, soal dokumen asli itu maupun
soal manipulasi isi surat perintah tersebut –bahwa surat perintah itu punya jangka waktu masa
berlaku– tak dapat ditemukan pemaparannya. Kalau ada soal, kenapa Jenderal Jusuf tetap
menyimpannya rapat-rapat ? Seakan-akan masalah itu tersimpan dalam satu kotak Pandora, yang
akan menyebarkan ‗malapetaka‘ dan ‗kejahatan‘ bila dibuka. Sementara itu, tokoh Partai Katolik
Harry Tjan Silalahi yang dekat dengan Ali Moertopo, menyatakan bahwa ia sempat melihat
sendiri asli Surat Perintah 11 Maret itu, terdiri dari dua halaman, dan bersaksi bahwa sepanjang
yang ia ketahui tak pernah ada manipulasi. Bahwa dokumen asli surat itu hilang, ia menunjuk
pada kenyataan buruknya kebiasaan dalam administrasi pengarsipan di Indonesia, karena naskah
asli Pembukaan UUD 1945 pun hilang tak diketahui sampai sekarang (Wawancara, Rum Aly).
Suatu hal lain yang mungkin saja tak bisa lagi diklarifikasi, karena ketiga Jenderal Super Semar
telah tiada dan Soeharto sendiri sejauh ini hingga akhir hayatnya berada dalam kondisi ‗tak mau‘
dan ‗tak bisa‘ diklarifikasi, adalah apakah peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret itu adalah
by accident terjadi karena situasi mendadak di tanggal 11 Maret itu, ataukah ada semacam
setting sebelumnya? Pertanyaan ini muncul, karena menurut Soeripto SH, yang kala itu
berkecimpung di lingkungan intelijen –dan berkomunikasi intensif dengan Yoga Sugama,
Asisten I di Kostrad– pada tanggal 10 Maret pukul 21.00 malam mendengar dari seorang Letnan
Kolonel Angkatan Darat bahwa esok hari Soekarno akan menyerahkan kekuasaan kepada Mayor
Jenderal Soeharto. Artinya fakta kehadiran dari apa yang disebut sebagai pasukan tak dikenal di
depan istana, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Terlepas dari kontroversi yang ada, bagi Drs
407
Achadi, mantan menteri era Soekarno, sebenarnya yang merupakan persoalan lebih penting
adalah bagaimana penafsiran Soeharto dalam pelaksanaan dan penggunaan Surat Perintah 11
Maret itu secara faktual, bukan hal-hal lainnya sebagaimana yang banyak menjadi bahan
kontroversi berkepanjangan beberapa tahun terakhir.
408
Bagian Keempat
“Tetapi di balik itu ada kesan bahwa Soekarno tak terlalu bersikeras menunjukkan upaya
menganulir keputusan pembubaran PKI itu, meskipun sesekali tetap mengeluarkan
pernyataan-pernyataan keras. Timbul spekulasi bahwa ia sebenarnya telah mengalah pada
Soeharto mengenai soal PKI ini, hanya saja ia tak mau memakai tangan dan mulutnya
sendiri melakukan pembubaran itu. Dan adalah Soeharto yang melakukan hal itu 12
Maret setelah melalui suatu lekuk-liku proses kekuasaan yang khas Jawa –bagaikan dalam
dunia pewayangan– antara dirinya dengan Soekarno”.
Pintu menuju kekuasaan baru
BUTIR-BUTIR yang terkandung dalam Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Soekarno kepada
Jenderal Soeharto, untuk sebagian adalah butir-butir ‗karet‘ yang bisa serba tafsir, baik bagi
Soekarno maupun bagi Soeharto. Akhirnya, siapa yang lebih memiliki kekuatan akan menang
dalam penafsiran. Bilamana Soekarno masih memiliki kekuatan lebih, maka Jenderal Soeharto
sebagai pemegang Surat Perintah tersebut, akan menjadi alat keamanan belaka bagi Soekarno.
Dan pada waktunya, pasti akan dicabut. Tetapi faktanya, saat itu kekuatan Soekarno sedang
mengalami erosi, meski belum longsor sama sekali. PKI yang menjadi pendukung dan sekutu
taktisnya untuk seberapa lama, sedang mengalami proses pembasmian serentak di seluruh
penjuru Indonesia, setelah teropinikan sebagai pelaku makar dan pelaku kekejaman –membunuh
enam jenderal dan seorang perwira pertama di Jakarta ditambah dua perwira menengah di
Yogyakarta– melalui Gerakan 30 September. Sedang Soekarno sendiri tampaknya bersikeras
untuk tidak membubarkan PKI, dan memilih menentang arus utama opini kala itu.
Sementara itu, PNI yang semestinya menjadi sumber dukungan strategis bagi Soekarno, setelah
peristiwa ikut mengalami imbas karena dalam opini masa lampau tergambarkan sebagai partner
PKI dalam struktur Nasakom. Apalagi, Sekertaris Jenderal PNI Ir Surachman diindikasikan
sebagai berideologi kiri. Selain itu, secara faktual, sejak lama internal PNI juga tidak utuh, dan
segera setelah Peristiwa 30 September, sayap ini ‗melepaskan‘ diri sebagai PNI Osa-Usep.
Pemisahan diri ini menyebabkan pembelahan kekuatan PNI secara nasional, termasuk di tingkat
organisasi sayap.
Meskipun sebagian pengikut PNI Osa-Usep masih mendukung Soekarno, tetapi tak kurang pula
yang berangsur-angsur berubah menjadi penentang Soekarno. Tokoh GMNI Jawa Barat, Sjukri
Suaidi misalnya, yang tergabung dalam kesatuan aksi bahkan sampai kepada pernyataan
meragukan kepantasan Soekarno untuk tetap dianggap sebagai Bapak Marhaen. Sementara itu
tokoh GMNI yang lain, mahasiswa ITB Siswono Judohusodo yang pertengahan Januari ikut
dalam Barisan Soekarno, tersudut ke dalam suatu posisi dilematis. Kendati ia adalah pemuja
Soekarno, pada dasarnya sebagai mahasiswa yang rasional ia juga bisa membenarkan pendapat
rekan-rekannya sesama mahasiswa ITB bahwa Soekarno yang telah terlalu lama berkuasa dan
pada masa-masa terakhir kekuasaannya kala itu telah tergelincir melakukan sejumlah kekeliruan
politik, sudah saatnya untuk diakhiri kekuasaannya.
Menurut Siswono, mengenai Soekarno ada tiga kelompok sikap. Yang pertama, apapun,
pokoknya Bung Karno tak boleh diapa-apakan. Yang kedua, adalah sebaliknya, Soekarno
409
memang harus mendapat pelajaran dan harus diganti dan tidak perlu dengan cara terhormat.
Yang ketiga, memang sudah saatnya Soekarno diganti, tetapi hendaknya dengan cara yang
terhormat, tanpa merendahkannya. Siswono masuk ke dalam kelompok ketiga ini. Ia tidak setuju
dengan yang pertama, sebagaimana ia menolak sikap kelompok kedua yang telah merendahkan
Soekarno. ―Apakah orang yang berjasa seperti itu dianggap sebagai maling yang bisa ditendang
begitu saja?‖. Karena mayoritas mahasiswa Bandung secara dini merupakan barisan anti
Soekarno, maka Siswono dianggap berada di ‗seberang‘, meskipun ia pernah dalam kebersamaan
pada Peristiwa 10 Mei 1963. Apalagi kemudian ia bergabung dengan barisan Soekarno, dan
melakukan pendudukan kampus ITB di bulan Pebruari sewaktu mahasiswa ITB baru saja
memulai suatu long march ke Jakarta. Ia mengaku menduduki kampus agar long march batal.
Karena, ‖long march itu akan berdampak terjadinya benturan luar biasa‖. Ia kuatir mahasiswamahasiswa itu akan berhadapan dengan pendukung-pendukung Soekarno yang tidak ingin
Soekarno diturunkan, apalagi dengan cara tidak terhormat. Keterlibatannya dalam pendudukan
kampus ITB, membuat Siswono ditangkap oleh Siliwangi pada bulan Maret dan ditahan sampai
April. Tentang Barisan Soekarno yang terlibat dalam tindak kekerasan dalam Peristiwa 19
Agustus 1966, ia memberi penjelasan, ―itu tidak dilakukan oleh Barisan Soekarno yang saya
pimpin‖. Ia mengaku, ―saya sendiri tidak tahu dari mana orang-orang yang banyak itu‖.
Sementara itu adalah ironis pula bahwa tatkala di berbagai daerah PNI menjadi tumbal yang
berpasangan dengan PKI dan di daerah lainnya lagi bahkan menjadi tumbal pengganti bagi PKI,
justru di daerah basisnya di Jawa Tengah dan juga Jawa Timur serta Bali, PNI mengalami
benturan dengan massa PKI dalam pola pilihan ‗lebih dulu membantai atau dibantai‘. Dengan
aneka ragam sikap dalam tubuh PNI, serta aneka masalah yang dihadapi lapisan massa PNI,
sebagai resultante tercipta PNI yang tidak siap menjadi pendukung handal bagi Soekarno untuk
saat itu, dalam artian hanya cukup untuk keperluan defensif.
Situasi terberat yang dihadapi Soekarno kala itu adalah bahwa ia sebenarnya mulai ‗tersisih‘ –
setidaknya berkemungkinan untuk itu– dari arus utama opini dan pengharapan rakyat yang telah
melangkah ke tahap memikirkan suatu perubahan, dan tinggal memiliki sisa-sisa penghormatan
berdasar paternalisme dari sebagian rakyat. Kaum elite Jakarta –yang pada hakekatnya banyak
menyerap referensi pemikiran dan gaya kehidupan barat yang modern– misalnya, di bawah
permukaan sejak lama telah merasa terganggu kebebasannya oleh Soekarno yang melakukan
serba pembatasan. Mulai dari pelarangan film-film barat, dansa barat jenis baru sampai kepada
permusuhan terhadap musik yang disebutnya sebagai ngak-ngik-ngok –terutama The Beatles dari
Inggeris dan Koes Bersaudara– padahal musik-musik dinamis itu memikat hati kaum muda
terutama dari kalangan elite yang sebenarnya lebih nyaman dan terbiasa dengan hal-hal yang
berbau barat. Soekarno juga merampas kebebasan pilihan cara berpakaian dan bersikap, dengan
intervensi untuk mengatur soal pakaian dan cara bersikap lainnya yang harus ―sesuai dengan
kepribadian nasional‖.
Sementara itu, perlahan namun pasti, kalangan rakyat di lapisan akar rumput, mulai jenuh akan
kemelaratan ekonomi yang berkepanjangan dan mengalami pengikisan rasa percaya kepada
pemerintahan Soekarno kendati masih mendua karena masih terdapatnya sisa rasa ‗pemujaan‘
mereka terhadap Soekarno. Selain Soekarno, tentu saja PKI dengan segala provokasi anti barat
dan anti kebebasan perorangan, menjadi sasaran kebencian terpendam dan atau sasaran pantul
dari mereka yang masih mendua terhadap Soekarno, seperti misalnya yang banyak terjadi di
410
kalangan elite pengikut PNI. Tapi dalam banyak kasus, PNI sendiri justru juga mengalami bias
kebencian itu. Ini menjelaskan, kenapa seruan Soekarno untuk membentuk Barisan Soekarno
dalam realitanya hanya mampu menimbulkan riak-riak kecil perlawanan untuk pembelaan
Soekarno, namun tak pernah mencapai tingkat yang signifikan untuk membalikkan posisi
Soekarno yang melemah.
Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Letnan Jenderal Soeharto langsung membubarkan
PKI dan seluruh organisasi mantelnya, keesokan harinya. Sejak gerak cepatnya berhasil
membersihkan Jakarta dari Gerakan 30 September, Soeharto telah tampil di mata mahasiswa,
pelajar, pemuda dan rakyat pada umumnya sebagai pahlawan penyelamat. Dan dalam tempo
yang cukup cepat dan sistimatis mematahkan mitos kekuasaan Soekarno. Kini dengan
pelimpahan surat perintah tanggal 11 Maret itu dari Soekarno, ia melangkah setapak lagi lebih ke
depan ke dalam kekuasaan negara, dan mengawali kelahiran mitos baru sebagai pahlawan yang
dengan kesaktian Pancasila telah menyelamatkan bangsa dan negara dari malapetaka bahaya
komunis. Dengan posisi dan situasi baru di atas angin, penafsirannya terhadap butir-butir Surat
Perintah 11 Maret itu, lebih unggul. Meskipun dalam setiap kesempatan formal Soekarno masih
selalu menolak pembubaran PKI, Soeharto toh melakukannya melalui suatu surat keputusan
selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Konsep surat keputusan pembubaran itu,
disusun oleh Kolonel Sudharmono SH dan Letnan Drs Moerdiono berdasarkan perintah Soeharto
melalui Ketua G-5 KOTI Brigjen Soetjipto.
Cukup menarik bahwa Soekarno tidak secara spontan bereaksi terhadap tindakan Soeharto yang
mempergunakan Surat Perintah 11 Maret itu untuk membubarkan PKI. Nanti setelah beberapa
menteri dalam kabinetnya, terutama Soebandrio, mempersoalkannya, barulah ia menunjukkan
complain. Suatu kemarahan yang mungkin saja artifisial, lalu ditunjukkan oleh Soekarno.
Menurut penuturan Sajidiman Surjohadiprodjo yang waktu itu adalah perwira staf di Markas
Besar Angkatan Darat dengan pangkat Kolonel, Soekarno menganggap Soeharto telah
melampaui wewenang. Itu dinyatakannya kepada Amirmahmud, salah seorang perwira tinggi
yang menjemput Surat Perintah 11 Maret di Istana Bogor dua hari sebelumnya. Panglima Kodam
Jaya ini menjawab bahwa sesuai surat perintah itu, Soeharto memang berhak bertindak untuk dan
atas nama Presiden Soekarno, sepanjang hal itu perlu menjamin keamanan dan menjaga
kewibawaan presiden. Namun, tulis Sajidiman, ―Presiden Soekarno tidak dapat menerima
argumentasi itu dan memanggil panglima angkatan lainnya‖.
Digambarkan adanya peranan Soebandrio untuk menimbulkan kegusaran Soekarno, dengan
menyampaikan informasi bahwa Jenderal Soeharto dan TNI-AD bermaksud akan menyerang
Istana Presiden. ―Karena informasi itu, angkatan-angkatan lainnya mengadakan konsinyering
pasukan. Jakarta menghadapi kegawatan besar, karena setiap saat dapat terjadi pertempuran
antara TNI-AD dengan tiga angkatan lainnya. Untunglah, kemudian Jenderal AH Nasution
berhasil memanggil ketiga panglima angkatan lainnya. Meskipun waktu itu Pak Nas tidak
mempunyai legalitas untuk melakukan hal itu, tetapi wibawanya masih cukup besar untuk
membuat ketiga panglima bersedia hadir. Juga diundang Panglima Kostrad yang diwakili oleh
Mayor Jenderal Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad. Dalam pertemuan itu dapat dijernihkan bahwa
samasekali tidak ada rencana TNI-AD untuk menyerang Istana Presiden dan Pangkalan Halim.
Pasukan Kostrad melakukan kesiagaan karena melihat angkatan lain mengkonsinyir pasukannya.
411
Setelah semua pihak menyadari kesalahpahaman, maka kondisi kembali tenang. Semua pasukan
ditarik dari posisi yang sudah siap tempur dan Jakarta luput dari pertempuran besar‖. Soeharto
sendiri mengakui bahwa sekitar waktu itu, ―sudah ada yang berbisik-bisik pada saya, untuk
merebut kekuasaan dengan kekerasan. Tetapi tidak pernah terlintas satu kalipun di benak saya
untuk melakukannya‖. Tetapi di balik itu ada kesan bahwa Soekarno tak terlalu bersikeras
menunjukkan upaya menganulir keputusan pembubaran PKI itu, meskipun sesekali tetap
mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras. Timbul spekulasi bahwa ia sebenarnya telah
mengalah pada Soeharto mengenai soal PKI ini, hanya saja ia tak mau memakai tangan dan
mulutnya sendiri melakukan pembubaran itu. Dan adalah Soeharto yang melakukan hal itu 12
Maret setelah melalui suatu lekuk-liku proses kekuasaan yang khas Jawa –bagaikan dalam dunia
pewayangan– antara dirinya dengan Soekarno
412
Bagian Kelima
“Semar memiliki tiga putera yakni Bagong, Petruk dan Gareng. Di antara ketiga putera
ini, adalah Petruk yang paling terkemuka sebagai simbol kelemahan insan di dunia.
Tatkala sempat sejenak menjadi raja, sebagai ujian, ia menjalankan kekuasaannya dalam
keadaan „benar-benar mabok‟. Ungkapan „Petruk Dadi Raja‟, secara empiris berkali-kali
terbukti sebagai cerminan perilaku manusia Indonesia saat berkesempatan menjadi
penguasa”.
SETELAH RRI melalui warta berita 06.00 pagi Sabtu 12 Maret 1966 mengumumkan bahwa
Letnan Jenderal Soeharto selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret membubarkan PKI dan
ormas-ormasnya, sejenak Jakarta mendadak diliputi suatu suasana ‗pesta kemenangan‘. Ini
misalnya tergambarkan dalam catatan Yosar Anwar, bahwa dengan pembubaran PKI itu maka
―kemenangan tercapai, hal yang diinginkan dan diperjuangkan generasi muda selama beberapa
bulan ini‖.
Suasana pesta kemenangan itu, dalam pemaparan Yosar yang hiperbolis, tak kalah dengan ketika
rakyat London merayakan kemenangan atas kekejaman Nazi Hitler, sama dengan kegembiraan
rakyat Paris menyambut pahlawannya Jenderal de Gaulle kembali ke tanah air. ―Begitulah
suasana di Jakarta hari ini. Betapa generasi muda berjingkrak-jingkrak menyambut kemenangan
dari suatu perjuangan lama dan melelahkan. Semua wajah cerah. Rakyat mengelu-elukan
pahlawan dan pejuang Ampera seperti RPKAD, Kostrad, Kujang-Siliwangi, KAMI dan KAPPI.
Gembira, tertawa dalam menyambut lahirnya Orde Baru. Suatu kehidupan baru. Hilang
kelelahan rapat terus menerus selama ini, atau aksi yang berkepanjangan‖. Hari itu memang ada
parade yang diikuti oleh pasukan-pasukan RPKAD, Kostrad dan Kujang Siliwangi, massa
mahasiswa, pelajar dan berbagai kalangan masyarakat.
Beberapa nama aktivis dicatat dalam ‗memori‘ Yosar yang ‗romantis‘. ―Terbayang kawankawan seiring, kawan berdiskusi, kawan dalam rapat, kawan dalam aksi. Beberapa nama muncul
selama saya berhubungan dalam aksi ini. KAMI Pusat –Zamroni, Cosmas, Elyas, Mar‘ie,
Sukirnanto, Djoni Sunarja, Farid, Hakim Simamora, Abdul Gafur, Savrinus, Han Sing Hwie,
Ismid Hadad, Nono Makarim. KAMI Jaya –Firdaus Wajdi, Liem Bian Koen, Marsilam
Simanjuntak, Sjahrir. Laskar Ampera –Fahmi Idris, Louis Wangge, Albert Hasibuan. KAMI
Bandung –Muslimin Nasution, Dedi Krishna, Awan Karmawan Burhan, Soegeng Sarjadi, Adi
Sasono, Freddy Hehuwat, Aldi Anwar, Odjak Siagian, Bonar, Robby Sutrisno, Sjarif Tando,
Pande Lubis, Anhar, Aburizal Bakrie, Rahman Tolleng. Kolega IMADA –Rukmini Chehab,
Zulkarnaen, Boy Bawits, Alex Pangkerego, Asril Aminullah, Sofjan, Piping dan banyak lagi.
Juga tempat kami sering berdiskusi, baik sipil maupun militer, seperti Subchan, Harry Tjan,
Liem Bian Kie, Lukman Harun, Buyung Nasution, Maruli Silitonga, Soeripto, Anto,
Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Harsono. Juga dengan dosen saya –Prof Sarbini, Prof Widjojo, Dr
Emil Salim, atau orang militer seperti Kemal Idris, Sarwo Edhie, Ali Murtopo, sedangkan di
Bandung dengan Ibrahim Adjie, HR Dharsono, Hasan Slamet, Suwarto‖.
Tentu saja, masih ada begitu banyak nama aktivis di Jakarta, Bandung dan kota-kota lain yang
luput dari catatan Yosar, karena gerakan di tahun 1966 itu melibatkan massa generasi muda
dalam jumlah kolosal dan melahirkan begitu banyak nama tokoh gerakan. Setelah menuliskan
413
daftar nama nostalgia perjuangan itu, Yosar juga mengajukan pertanyaan, ―Tapi, apakah dengan
kemenangan yang tercapai berarti perjuangan telah selesai ? Apakah perjuangan Tritura tamat
riwayatnya ?‖.
Sebenarnya, cukup banyak mahasiswa Jakarta yang sejenak sempat menganggap ‗perjuangan‘
mereka selesai, dan kemenangan telah tercapai, tatkala Soeharto dan tentara tampak makin
berperanan dalam kekuasaan negara ‗mendampingi‘ Soekarno. Kala itu tak jarang terdapat
kenaifan dalam memandang kekuasaan. Bagi beberapa orang, cita-cita tertinggi dalam kekuasaan
adalah bagaimana bisa turut serta bersama Soekarno selaku bagian dari kekuasaan.
Menggantikan Soekarno yang telah diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup, hanyalah
semacam hasrat dan ‗cinta terpendam‘, tak berani diutarakan dan ditunjukkan, dan hanya
dikhayalkan seraya menunggu kematian datang menjemput sang pemimpin. Ketika pada 18
Maret tak kurang dari 16 menteri Kabinet Dwikora yang disempurnakan ditangkap –dengan
menggunakan istilah diamankan– atas perintah Letnan Jenderal Soeharto berdasarkan
kewenangan selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret, itu dianggap hanya sebagai bagian dari
pembersihan kekuasaan dari sisa-sisa bahaya pengaruh kiri. Tak kurang dari Soeharto sendiri
selalu menyebutkan bahwa tindakan-tindakan yang diambilnya berdasarkan SP-11-Maret adalah
untuk menyelamatkan integritas Presiden yang berada dalam bahaya.
Pembubaran PKI dan penangkapan para menteri itu, seakan telah memenuhi dua tuntutan dalam
Tritura, yakni pembubaran PKI dan rituling Kabinet Dwikora. Sedangkan perbaikan ekonomi,
diharapkan membaik dengan perubahan susunan kekuasaan, dan untuk jangka pendek Soeharto
mengeluarkan himbauan agar para pengusaha membantu ketenangan ekonomi nasional. Namun
apakah segala sesuatunya bisa semudah itu? Sebelum tanggal 18 Maret, sewaktu mulai terdengar
adanya keinginan Soeharto merubah kabinet, Soekarno bereaksi dengan keras. Suatu pernyataan
tertulisnya, 16 Maret malam dibacakan oleh Chairul Saleh –disiarkan RRI dan TVRI– yang
isinya menegaskan bahwa dirinya hanya bertanggungjawab kepada MPRS yang telah
mengangkatnya sebagai Presiden Seumur Hidup, seraya mengingatkan hak prerogatifnya dalam
mengangkat dan memberhentikan menteri.
Jenderal Soeharto menjawabnya dengan penangkapan 16 menteri dengan tuduhan terlibat
Peristiwa 30 September dan atau PKI. Sebagian besar penangkapan dilakukan oleh Pasukan
RPKAD. Bersamaan dengan itu, diumumkan pembentukan suatu Presidium Kabinet, yang terdiri
dari enam orang, yakni Letnan Jenderal Soeharto, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam
Malik, KH Idham Chalid, Johannes Leimena dan Roeslan Abdulgani. Dalam praktek sehari-hari
kemudian, tiga nama yang disebutkan lebih dulu, menjadi penentu kebijakan sebenarnya dari
Presidium Kabinet ini. Dari 18 menteri yang ditangkap, hanya 5 yang diadili, yakni Dr
Soebandrio, Drs Jusuf Muda Dalam, Mayjen Achmadi, Drs Mohammad Achadi dan Oei Tjoe
Tat SH. Sisanya, ditahan tanpa pernah diadili, mereka adalah Dr Chairul Saleh, Ir Setiadi
Reksoprodjo, Astrawinata SH, Armunanto, Sudibjo, Drs Soemardjo, Letkol M. Imam Sjafei,
Soetomo Martopradoto, JK Tumakaka, Koerwet Kartaadiredja dan Mayjen Soemarno
Sosroatmodjo.
Penangkapan 16 orang menteri menyebabkan kekosongan yang harus segera diisi. Untuk
sementara kekosongan itu diisi oleh Soeharto dengan mengeluarkan sebuah ‗Keputusan
Presiden‘ atas nama Soekarno, tentang penunjukan menteri ad interim. Ternyata kemudian,
414
dalam proses selanjutnya, Soeharto tidak ‗mendesak‘ Soekarno terlalu jauh untuk mengganti
menteri-menteri yang tersisa, kecuali pengisian posisi yang kosong. Meskipun posisi Soekarno
sudah jauh melemah dibandingkan dengan sebelum Peristiwa 30 September terjadi, pada
pertengahan Maret 1966 itu bagaimanapun Soekarno masih cukup kuat kalau hanya untuk
sekedar bertahan.
Chairul Saleh yang terjepit dalam perubahan pertengahan Maret 1966 itu oleh para mahasiswa
Bandung digolongkan ke dalam kelompok kaum vested interest, yakni yang mempunyai
kepentingan tertanam pada suatu keadaan. Ia dikenal sebagai orang yang anti komunis, namun
setelah Peristiwa 30 September, ia mengikuti sikap Soekarno yang cenderung membela PKI.
Dalam masa kekuasaan Soekarno yang sering disebut masa Orde Lama waktu itu, Chairul telah
merasa terjamin kepentingan-kepentingan politis maupun kepentingan ekonomisnya, sehingga ia
mendukung statusquo. Padahal, bila ia memiliki keberanian memisahkan keterikatan
kepentingan pribadinya terhadap Soekarno, momentum peristiwa September 1965 justru bisa
digunakannya untuk tampil di muka rakyat sebagai pemimpin pejuang yang berkarakter seperti
pernah ditunjukkan di masa lampau pada masa mudanya.
Tanggal 16 Pebruari, Chairul Saleh malah muncul membacakan pengumuman presiden yang
mengecilkan arti Surat Perintah 11 Maret. Karena sikap politiknya yang terkesan sejajar
Soekarno itu ia akhirnya ikut ‗diamankan‘ bersama 15 menteri lain pada 18 Maret 1966. Tetapi
alasan penangkapan dan penahanannya, seperti dikatakan Soeharto selaku Panglima Kopkamtib,
tidak terkait keterlibatan dalam Gerakan 30 September, melainkan karena sejumlah tuduhan
pidana menyangkut penggunaan uang negara. Ia meninggal 8 Pebruari 1967 dalam usia 50 tahun
dalam tahanan, suatu keadaan yang tragis sebenarnya. ―Patut disayangkan bahwa Chairul Saleh
meninggal dalam tahanan, setelah hampir setahun meringkuk, mengingat kejadian seperti ini bisa
mengesankan tidak adanya kepastian hukum dan hak-hak azasi di negeri ini, seperti pernah
dipraktekkan rezim Soekarno di zaman Orde Lama‖, tulis Mingguan Mahasiswa Indonesia, 12
Pebruari 1967, ketika memberitakan kematiannya.
Sejak Soebandrio dan Chairul Saleh ditangkap, praktis Soekarno kehilangan pendamping politik
senior yang tangguh dan hanya tersisa dr Leimena. Tetapi Leimena ini sejak 1 Oktober 1965
memperlihatkan kecenderungan memilih posisi tengah. Dia lah yang menyarankan Soekarno ke
Istana Bogor setelah Soeharto mengultimatum sang Presiden untuk meninggalkan Halim
Perdanakusumah, yang pesannya disampaikan Soeharto melalui Kolonel KKO Bambang
Widjanarko. Sikap ‗tengah‘ kembali ditunjukkan Leimena ketika mendampingi Soekarno
menghadapi tiga jenderal ‗Super Semar‘, pada tanggal 11 Maret 1966 di Istana Bogor. Soeharto
cukup mengapresiasi peranan-peranan tengah Leimena, tetapi di kemudian hari, ia tak terbawa
serta ke dalam pemerintahan baru di bawah Soeharto.
Meski Soekarno kehilangan sejumlah menteri setianya karena penangkapan yang dilakukan
Soeharto, 18 Maret, waktu itu tetap dipercaya bahwa bila terhadap Soekarno pribadi dilakukan
tindakan yang ‗berlebih-lebihan‘, pendukungnya di Jawa Tengah dan juga di Jawa Timur akan
bangkit melakukan perlawanan. Fakta dan anggapan seperti ini membuat Soeharto memilih
untuk bersikap hati-hati dalam menjalankan keinginan-keinginannya terhadap Soekarno.
Penyusunan kembali kabinet yang dilakukan 27 Maret, dan diumumkan oleh Soekarno, adalah
415
kabinet statusquo yang tidak memuaskan mereka yang menghendaki perombakan total, namun
telah memasukkan pula orang-orang yang diinginkan Soeharto.
Pada waktu itu, kendati PNI telah jauh melemah dan terbelah menjadi dua kubu, toh dalam setiap
kubu masih terdapat tokoh-tokoh kuat yang tak mungkin meninggalkan Soekarno begitu saja.
Belakangan, menjelang SU IV MPRS sampai Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, tokoh-tokoh
PNI yang bukan kelompok Ali-Surachman (sering diringkas Asu) menjadi lebih dekat dengan
Soekarno dan malah ―lebih Asu dari PNI-Asu‖ seperti dikatakan seorang aktivis 1966. Di tubuh
Angkatan Darat sendiri pun bahkan masih terdapat jenderal-jenderal pemegang komando
teritoral yang meskipun anti komunis, namun adalah pendukung setia Soekarno. Contoh paling
menonjol adalah dua Panglima Kodam di wilayah yang amat dekat dengan pusat pemerintahan,
yakni Brigjen Amirmahmud yang merangkap sebagai Pepelrada untuk Jakarta dan sekitarnya,
serta Mayjen Ibrahim Adjie yang memegang komando di wilayah hinterland Jakarta, yakni
Kodam Siliwangi di Jawa Barat.
Di luar Angkatan Darat, Soekarno tetap memiliki dukungan kuat. Seperti misalnya, Panglima
KKO-AL Mayor Jenderal Hartono. Menteri Panglima Angkatan Laut Laksamana Muljadi, 7
Oktober 1966, memberikan penghargaan Hiu Kencana kepada Soekarno, yang bisa menunjukkan
betapa masih cukup kuatnya pengaruh Soekarno di tubuh Angkatan Laut setidaknya sepanjang
tahun 1966. Di tubuh kepolisian, ada Anton Soedjarwo Komandan Resimen Pelopor yang gigih
mendukung Soekarno dan siap membasmi semua kekuatan yang mencoba menjatuhkan
Soekarno.
Proses penyusunan Kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi itu, diakui Soeharto sendiri,
suasananya ―masih dalam jalur gagasan‖ Presiden Soekarno. Dengan beberapa perhitungan,
Soeharto memilih untuk kompromistis terhadap Soekarno. Atas keinginan Soekarno, Jenderal
Abdul Harris Nasution, tak lagi diikutsertakan dalam kabinet. Dan Soeharto tidak merasa perlu
terlalu mati-matian mempertahankan seniornya itu dalam pemerintahan, walau menurut Nasution
untuk ‗kegagalan‘ itu Soeharto sengaja datang ke rumah menyatakan penyesalan. Namun, dalam
suatu proses yang berlangsung dengan dukungan kuat dari bawah, dari kelompok-kelompok
yang makin terkristal sebagai kekuatan anti Soekarno, Nasution mendapat posisi baru sebagai
Ketua MPRS dalam Sidang Umum IV MPRS Juni 1966.
Kemudian hari, Soeharto ternyata ‗menikmati‘ juga kehadiran Nasution di MPRS, yang dimulai
dengan pengukuhan mandat bagi Soeharto selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret, yang
lazim diringkas sebagai Super Semar, yang mengacu kepada nama tokoh pewayangan Semar,
punakawan kaum Pandawa, yang titisan dewa. Semar memiliki tiga putera yakni Bagong, Petruk
dan Gareng. Di antara ketiga putera ini, adalah Petruk yang paling terkemuka sebagai simbol
kelemahan insan di dunia. Tatkala sempat sejenak menjadi raja, sebagai ujian, ia menjalankan
kekuasaannya dalam keadaan ‗benar-benar mabok‘. Ungkapan ‗Petruk Dadi Raja‘, secara
empiris berkali-kali terbukti sebagai cerminan perilaku manusia Indonesia saat berkesempatan
menjadi penguasa.
416
Bagian Keenam
“Apa yang terjadi pada kelompok independen dari Bandung ini bisa dibandingkan dengan
apa yang terjadi di lingkungan kelompok HMI. Kelompok yang disebut terakhir ini
dengan sadar „melakukan‟ pembagian tugas untuk pencapaian-pencapaian posisi politik
sekaligus pencapaian posisi keberhasilan „fund forces’. Perlu juga pembandingan dengan
apa yang dilakukan beberapa kelompok independen atau non HMI di Jakarta, seperti
Sjahrir dan kawan-kawan, serta Marsillam Simanjuntak yang untuk jangka panjang
(setidaknya sampai 1974) ada dalam posisi „melawan‟ terus menerus, sebelum akhirnya
sempat turut masuk ke dalam kekuasaan pasca Soeharto atau dunia kepartaian…”.
SIKAP Soeharto kemudian berubah menjadi sangat taktis dan kompromistis terhadap Soekarno,
justru setelah ia menjadi pengemban Surat Perintah 11 Maret dan meningkat dengan pengukuhan
suatu Tap MPRS. Ini mengecewakan sejumlah aktifis generasi muda yang sejak Januari 1966 –
bahkan sejak Oktober 1965– sampai Maret 1966 sebenarnya menjadi ujung tombak pergerakan
yang sengaja atau tidak telah menciptakan begitu banyak kesempatan kekuasaan bagi Soeharto.
Namun ada situasi mendua, tepatnya pembelahan, di dalam tubuh aktivis pergerakan generasi
muda setelah 11 Maret 1966. Sebagian mulai terlibat ancang-ancang masuk dalam barisan
Soeharto –terutama melalui sejumlah jenderal atau jenderal politisi maupun politisi sipil di
lingkungan Soeharto– untuk turut serta dalam kekuasaan praktis, baik itu masih berupa sharing
dengan Soekarno maupun kemudian pada waktunya sepenuhnya tanpa Soekarno lagi. Mungkin
dalam kelompok ini dapat dimasukkan aktivis-aktivis seperti dua bersaudara Liem Bian Koen
dan Liem Bian Kie yang punya kedekatan khusus dengan Ali Moertopo dan kawan-kawan yang
sejak awal berada di lingkaran Soeharto. Belakangan akan bergabung nama-nama seperti
Cosmas Batubara –tokoh KAMI yang paling legendaris di tahun 1966– dan Abdul Gafur. Ini
semua bisa dihubungkan dengan fakta bahwa ketika Soeharto memilih untuk bersikap lebih
taktis, secara diam-diam seperti yang digambarkan John Maxwell (2001), Soeharto mengambil
langkah-langkah di balik layar untuk melakukan tugas yang sulit, yaitu merehabilitasi
perekonomian Indonesia yang sekarat dan mengganti kebijaksanaan luar negeri Soekarno yang
penuh petualangan dengan mengakhiri kampanye konfrontasi.
Untuk tujuan yang lebih pragmatis, ―pada saat yang sama, Soeharto segera bergerak menggalang
dukungan politik di dalam dan di luar tubuh militer‖. Pembersihan dilakukan di dalam tubuh
angkatan bersenjata, khususnya di tubuh Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Angkatan
Kepolisian yang paling kuat mendukung Soekarno. Proses yang sama dilakukan di semua tingkat
birokrasi pemerintahan di bawah pengawasan aparat sosial politik tentara. Dalam rangka
konsolidasi di tubuh angkatan bersenjata, ada yang dirangkul ada yang diringkus, atau dirangkul
dulu lalu diringkus. Brigjen Soedirgo, Komandan Korps Polisi Militer, adalah salah satu contoh
dari pola ‗dirangkul lalu diringkus‘. Soedirgo yang sebelum peristiwa tanggal 30 September
1965, pernah mendapat perintah Soekarno untuk menindaki jenderal-jenderal yang tidak loyal,
sempat diberi posisi puncak di pos intelijen selama beberapa lama, sebelum akhirnya dijebloskan
ke dalam tahanan di tahun 1968.
Kelompok yang paling cepat meluncur kepada fase mengakhiri kekuasaan Soekarno dengan
segera adalah terutama kelompok mahasiswa di Bandung pada umumnya, yang sejak awal
417
terjadinya Peristiwa 30 September, menunjukkan sikap anti Soekarno, bukan sekedar anti
komunis, yang makin menguat hanya dalam tempo enam bulan hingga Maret 1966. Secara
historis, sikap anti Soekarno ini bahkan sudah ada bibitnya masih pada zaman Nasakom.
Kekuatan mahasiswa Bandung terutama ada pada organisasi-organisasi intra kampus, dengan
tiga kampus utama sebagai basis, yakni ITB dan Universitas Padjadjaran lalu Universitas
Parahyangan. Dan satu lagi, yang berbeda dengan kampus utama lainnya, yakni IKIP, yang
secara tradisional student government-nya tanpa jedah didominasi oleh HMI.
Sementara itu di luar kampus, terdapat kelompok-kelompok mahasiswa yang mempunyai
peranan dalam pergerakan mahasiswa. Tetapi yang khas adalah bahwa mereka, meskipun kerap
bergerak di luar pagar kampus, tetap mempunyai aspirasi yang sama dan bahkan memperkuat
aspirasi intra kampus. Banyak dari mereka, selain bergerak di luar malahan juga adalah aktivis
intra kampus, namun tidak membawa-bawa nama kelompoknya di luar dalam kegiatannya di
kampus sehingga tidak menghadapi resistensi di kampus. Salah satu kelompok yang terkenal
adalah kelompok Bangbayang. Lainnya adalah kelompok Kasbah dan kelompok Masjid Salman
ITB. Di luar itu, ada Rahman Tolleng dan kawan-kawan yang kemudian setelah terbitnya
Mingguan Mahasiswa Indonesia (mulanya sebagai edisi Jawa Barat) 19 Juni 1966 menjelma
menjadi satu kelompok politik tangguh dan dikenal sebagai Kelompok Tamblong Dalam sesuai
nama jalan tempat kantor mingguan itu berada. Pada kelompok Tamblong ini bergabung
sejumlah tokoh mahasiswa intra kampus maupun ekstra kampus, mulai dari organisasi-organisasi
yang tergabung dalam Somal, Damas (Daya Mahasiswa Sunda), Mapantjas, PMKRI sampai
GMNI Osa Usep, serta aktivis mahasiswa independen lainnya. Aktivis dari HMI dan IMM
(Ikatan Mahasiswa Muhammadiah) hanya satu-dua yang terselip di sini.
Dalam kelompok Bangbayang terdapat ‗campuran‘ aktivis dengan catatan sepak terjang yang
beraneka ragam dengan keterlibatan dalam beberapa peristiwa politik penting. Ada tokoh-tokoh
seperti Dedi Krishna, Tari Pradeksa, Muslimin Nasution, Qoyum Tjandranegara, yang terlibat
Peristiwa 10 Mei 1963 dan berbagai peristiwa di ITB dan sebagainya. Nama lain dalam
kelompok ini yang umumnya adalah mahasiswa ITB adalah Roedianto Ramelan, Anhar Tusin,
Fred Hehuwat, Riswanto Ramelan, Santoso Ramelan, Zainal Arifin, Indra Abidin, Bernard
Mangunsong, Irwan Rizal, Utaryo Suwanto, Andi Sjahrandi dan lain-lain. Yang dari Universitas
Padjadjaran adalah Parwito Pradotokusumo serta beberapa nama lain. Sampai bertahun-tahun
kemudian kelompok Bangbayang ini masih ada dengan nama Persaudaraan Bangbayang dengan
ratusan ‗anggota‘ yang masih kerap berkomunikasi satu sama lain.
Kelompok ini, melalui beberapa ‗anggota‘nya, memiliki persinggungan dengan berbagai
kelompok politik, seperti kelompok PSI (Jalan Tanjung), kelompok perwira militer idealis yang
berperan pada masa peralihan Orde Lama-Orde Baru, juga dengan intelijens AD, serta kelompok
politik Islam dari Masjumi. Namun dengan segala persentuhan itu, Bangbayang tetap termasuk
dalam kelompok mahasiswa independen. Melalui Muslimin Nasution, Bangbayang memiliki
titik singgung dengan kelompok (Islam) Masjid Salman (dan HMI). Dan karena kebersamaan
dalam Peristiwa 10 Mei 1963, mempunyai titik singgung dengan mahasiswa GMNI AliSurachman, Siswono Judohusodo (Barisan Soekarno Bandung, 1966). Secara ‗geografis‘
Bangbayang bertetangga dengan kelompok mahasiswa Islam ‗Kasbah‘. Anggota kelompok
Kasbah ini, umumnya adalah mahasiswa berketurunan Arab –seperti Ridho, mahasiswa
Universitas Padjadjaran– dan karena itu mendapat nama Kasbah, suatu wilayah tersohor di
418
ibukota Marokko. Kebanyakan dari mereka adalah anggota HMI dari ‗garis keras‘, berbeda
dengan aktivis Salman ITB yang adalah Islam ‗independen‘ atau anggota HMI beraliran
moderat.
Sebagai barisan mahasiswa pergerakan 1966, Bangbayang memiliki berbagai akses kemudahan.
Di situ ada Aburizal Bakrie putera Achmad Bakrie (pengusaha yang banyak berkontribusi
kepada gerakan mahasiswa 1966), ada keponakan tokoh militer konseptor AD (Seminar AD I/II)
Mayjen Soewarto, ada putera Mayjen Kemal Idris, ada kedekatan dengan Soedarpo dan
sebagainya. Hal yang menarik dari kelompok Bangbayang ini adalah terdapatnya semacam
pembagian tugas tidak resmi secara internal, yakni kelompok pemikir yang terdiri dari tokohtokoh pergerakan mahasiswa senior dan kelompok pelaksana lapangan yang bisa bergerak
bagaikan pasukan tempur yang umumnya terdiri dari kalangan mahasiswa yang lebih junior.
Selain itu ada pula istilah ‗baduy dalam‘ dan ‗baduy luar‘, seperti yang dituturkan Utaryo
Suwanto. Baduy dalam adalah untuk mereka yang tinggal bersama dalam satu rumah di Jalan
Bangbayang yang kepemilikannya ada hubungannya dengan orangtua Roedianto Ramelan.
Sedang istilah baduy luar dikenakan terhadap mereka yang sehari-hari dalam kegiatan bergabung
dengan kelompok tersebut, namun bermukim di luar ‗rumah bersama‘ di Bangbayang.
Pasca Soekarno, pada masa awal Orde Baru, Bangbayang berbeda sikap dengan kelompok
mahasiswa (independen) Bandung lainnya (Tamblong Dalam) mengenai masuknya wakil
mahasiswa ke parlemen (yang ingin melakukan ‗struggle from within’). Kelompok Bangbayang
ini –setidaknya yang terlihat pada permukaan– memilih untuk lebih cepat meninggalkan kancah
politik praktis pasca 1966 dan masuk ke dunia profesional. Mereka antara lain mengintrodusir
proyek padi unggul Sukasono di Garut. Cepat mendorong ‗anggota‘nya back to campus untuk
menyelesaikan kuliah, dan segera terjun ke bidang profesional seperti dunia bisnis dan
pemerintahan. Muslimin Nasution masuk Bulog dan Departemen Koperasi, beberapa lainnya
masuk ke berbagai departemen bidang profesional seperti Pertambangan, Perindustrian,
Perbankan dan beberapa BUMN atau perusahaan-perusahaan swasta dan kelak menduduki
posisi-posisi cukup penting dan mencapai sukses di tempat-tempat tersebut. Kelompok
Tamblong sementara itu, memilih untuk lebih dalam menerjunkan diri ke medan politik praktis,
baik di DPR maupun organisasi politik seperti Golkar. Sedikit perkecualian dari Bangbayang
adalah Rudianto Ramelan yang banyak bersinergi dengan kelompok Tamblong dan untuk
beberapa waktu melakukan ‗struggle from within’.
Barangkali apa yang terjadi pada kelompok independen dari Bandung ini bisa dibandingkan
dengan apa yang terjadi di lingkungan kelompok HMI. Kelompok yang disebut terakhir ini
dengan sadar ‗melakukan‘ pembagian tugas untuk pencapaian-pencapaian posisi politik
sekaligus pencapaian posisi keberhasilan ‗fund forces’. Perlu juga pembandingan dengan apa
yang dilakukan beberapa kelompok independen atau non HMI di Jakarta, seperti Sjahrir dan
kawan-kawan, serta Marsillam Simanjuntak yang untuk jangka panjang (setidaknya sampai
1974) ada dalam posisi ‗melawan‘ terus menerus, sebelum akhirnya sempat turut masuk ke
dalam kekuasaan pasca Soeharto atau dunia kepartaian seperti yang dilakukan Sjahrir.
Sikap yang serupa –mengenai Soekarno pasca 11 Maret 1966– dengan kelompok-kelompok
mahasiswa Bandung itu, di kalangan mahasiswa dan aktivis Jakarta, selain oleh Marsilam
Simanjuntak dan kawan-kawan, juga ditunjukkan misalnya oleh orang-orang seperti Soe-Hokgie,
419
Arief Budiman dan Adnan Buyung Nasution. Dalam skala politis yang lebih terkait dengan
aspek kepartaian, sikap kritis terhadap Soekarno itu sejak dini juga telah terlihat pada tokohtokoh seperti Harry Tjan dari Partai Katolik dan Subchan Zaenuri Erfan dari Partai Nahdatul
Ulama.
Kontingen Mahasiswa Bandung yang telah berada di Jakarta sejak 25 Pebruari, mengakhiri
keberadaannya di Jakarta dan kembali ke Bandung 23 Maret 1966. Tetapi antara 12 Maret
hingga saat kepulangannya ke Bandung, mahasiswa-mahasiswa Bandung sempat ikut serta
dalam beberapa aksi bersama mahasiswa Jakarta yang waktu itu terfokus kepada pembersihan
lanjutan terhadap Kabinet Dwikora yang disempurnakan, setelah penangkapan 16 Menteri.
Meski tak selalu menyebutkan nama Soekarno secara langsung banyak ‗serangan‘ yang
dilakukan mereka tertuju kepada berbagai tindakan politik Soekarno. Salah satu kegiatan
Kontingen Bandung ini yang menonjol adalah membangun Radio Ampera, yang dilaksanakan
oleh Anhar Tusin, Santoso Ramelan dan kawan-kawan yang berasal dari group Bangbayang.
Lokasi pemancar ini semula di kampus UI Salemba tempat Kontingen Bandung berada selama di
Jakarta. Namun ketika ada isu kampus UI akan diserbu 25 Pebruari, pemancar itu di bawa ke
rumah Ir Omar Tusin –kakak Anhar– selama dua hari untuk kemudian dipindahkan ke rumah
Mashuri SH yang letaknya tak jauh dari kediaman Soeharto di Jalan H. Agus Salim.
Keikutsertaan Soe-Hokgie dan kakaknya Soe-Hokdjin –belakangan dikenal dengan nama
barunya, Arief Budiman– menyajikan naskah bagi Radio Ampera yang sasarannya tajam tertuju
kepada Soekarno, telah memberi warna tersendiri dalam pergerakan mahasiswa di Jakarta.
Kegiatan Radio Ampera ini, sejak pertengahan Maret berangsur-angsur dipindahkan ke Jawa
Tengah (Magelang dan sekitarnya), karena menganggap daerah itu perlu mendapat penjelasanpenjelasan mengenai kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan pemerintahan Soekarno sehingga
diperlukan koreksi-koreksi. Belakangan, suatu pemancar radio serupa yang lebih kecil disimpan
di Surabaya yang dititipkan pengelolaannya ke beberapa aktivis KAMI Surabaya, Buchori
Nasution dan kawan-kawan. Pemancar yang ditempatkan di Jawa Tengah disumbangkan oleh
RPKAD, berkekuatan 400 watt yang bisa menjangkau ke barat ke arah Sumatera dan ke timur
hingga pulau Bali. Sejumlah aktivis eks Kontingen Bandung bergantian menyelenggarakan
siaran di Magelang hingga 31 Desember 1966, seperti Thojib Iskandar, Arifin Panigoro, Bernard
Mangunsong dan kawan-kawan. ‗Penjaga‘ tetap pemancar di Magelang ini adalah Tari Pradeksa.
Sementara itu di Bandung terdapat sejumlah pemancar radio yang didirikan dan dikelola oleh
para mahasiswa. Ada Radio ITB yang dikelola para mahasiswa ITB. Ada pula Radio Mara yang
amat terkenal pada masa-masa pergerakan mahasiswa di tahun 1966 dan berfungsi sebagai
penghibur sekaligus pemberi spirit bagi pergerakan mahasiswa. Radio Mara didirikan dan diasuh
oleh kelompok mahasiswa seperti Mohammad S. Hidajat, Bawono, Atang Juarsa, Harkat
Somantri dan kawan-kawan. Beberapa perwira Siliwangi, termasuk Mayjen HR Dharsono,
kerapkali ikut melakukan siaran dengan menggunakan nama samaran Bang Kalong. Radio itu
sampai sekarang masih eksis.
420
Bagian Ketujuh
“Soeharto dengan gaya khas Jawa menyembunyikan rapat-rapat keinginannya mengganti
posisi Soekarno. Namun dari bahasa tubuh, semua pihak juga tahu bahwa Soeharto
memendam keinginan menjadi Presiden berikut menggantikan Soekarno, apalagi saat itu
momentum demi momentum telah membuka peluang-peluang untuk itu bagi dirinya.
Kerap kali Soeharto berbasa-basi menyatakan bahwa ia tak punya ambisi, tetapi melalui
kata-kata bersayap tak jarang pula ia menggambarkan kepatuhannya terhadap kehendak
rakyat dan tuntutan situasi. Ia adalah seorang dengan kesabaran yang luar biasa, dan
hanya bertindak setelah yakin mengenai apa yang akan dicapainya”.
Bergulat dalam dilema
MAHASISWA Bandung pasca Surat Perintah 11 Maret, bukannya tanpa masalah. Hasjroel
Moechtar, dalam bukunya ‘Mereka dari Bandung’ (1998), menggambarkan adanya perubahan
iklim dan situasi. ―KAMI tanpa terasa telah tumbuh sebagai suatu kekuatan atau lembaga
kemahasiswaan yang formal‖. Keberadaannya sebagai suatu organisasi mulai tampil menyerupai
sebagai suatu instansi resmi. ―Sifat-sifat dan watak perjuangannya yang semula tampak spontan,
tidak resmi-resmian, agaknya mulai mengalami perubahan. Keluarnya Surat Perintah 11 Maret,
lalu dibubarkannya PKI, menempatkan KAMI –dan dengan sendirinya juga mahasiswa– sebagai
pemenang. Ada prosedur, ada protokol, ada upacara, ada hirarki, pokoknya ada ‗birokrasi‘
organisasi‖.
Dengan anggapan diri sebagai pemenang, setiap organisasi mahasiswa yang tergabung di
dalamnya, mulai mengambil ancang-ancang untuk memperjelas posisi dan peranannya dalam
KAMI Bandung. ‖Mulai muncul gejala tuntutan pembagian peranan. Mulai pula kelihatan
munculnya pengelompokan di antara ormas-ormas mahasiswa dalam versi baru‖. Dengan nada
tajam penuh kecaman, Hasjroel mengatakan ―tanpa disadari KAMI sudah muncul sebagai
kekuatan masyarakat yang ikut ‗berkuasa‘ atau setidak-tidaknya memiliki pengaruh sebagaimana
alat-alat kekuasaan yang lainnya. Keadaan atau gejala itu sangat jauh berbeda dari situasi yang
dihadapi pada tanggal 5 Oktober 1965 ketika mahasiswa Bandung yang anti komunis
melancarkan aksi pertama kalinya. Waktu itu, setiap pimpinan mahasiswa saling menunjuk
rekannya yang lain untuk tampil memimpin aksi mengganyang PKI. Bahkan banyak dari mereka
dengan berbagai alasan takut-takut dan menunda atau bahkan tidak mau menandatangani
pernyataan yang menolak Dewan Revolusi tanggal 1 Oktober 1965 ketika Letnan Kolonel
Untung mengumumkannya melalui siaran Radio Republik Indonesia‖.
Kembalinya Kontingen Bandung dari Jakarta, pasca Peristiwa 11 Maret 1966, seakan mengikuti
‗naluri‘ saja, karena memang tampaknya pergerakan berdasarkan idealisme semata pun telah
berakhir. Ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Erna Walinono bahwa pada dasarnya
kebanyakan mahasiswa Bandung bergerak berlandaskan keyakinan sebagai gerakan moral dan
bukan gerakan politik. Lalu, sebagian besar mahasiswa dengan cepat beralih kepada gerakangerakan kemasyarakatan seperti gerakan anti korupsi. Bahwa mahasiswa-mahasiswa Bandung
dengan ciri gerakan moral ini seterusnya terlibat pula dalam gerakan ‗menjatuhkan‘ Soekarno
hingga setahun ke depan, agaknya tak bisa dilepaskan dari sikap perlawanan terhadap
ketidakadilan, sikap a demokratis dan otoriter dari kekuasaan Soekarno. Tidak dalam konotasi
421
politik untuk memperjuangkan tegaknya kekuasaan Soeharto. Tapi menurut Erna, hingga sejauh
itu, mahasiswa memang masih menaruh kepercayaan kepada tentara terutama yang
direpresentasikan oleh tokoh-tokoh seperti HR Dharsono, Kemal Idris dan Sarwo Edhie
Wibowo. Agaknya kala itu mayoritas mahasiswa belum melihat adanya ‗detail‘ yang berbeda
dalam tubuh tentara, bahwa tidak seluruh perwira tentara seperti ketiga tokoh yang mereka
kagumi saat itu.
Merupakan pula kenyataan kemudian pada sisi yang lain, setelah lahirnya Surat Perintah 11
Maret, tahap idealisme memang telah bergeser memasuki tahap yang lebih pragmatis
menyangkut posisi kekuasaan. Secara umum setelah itu memang praktis gerakan-gerakan fisik
yang bermakna idealisme mulai menyurut untuk pada saatnya nanti akan berakhir, yang
sekaligus menandai surut dan berakhirnya KAMI. Pergerakan-pergerakan yang terjadi kemudian,
kalaupun melibatkan mahasiswa atau generasi muda, sudah dalam konotasi berbeda, yakni lebih
cenderung kepada kepentingan politik praktis, terutama ekstra universiter yang mengikuti
ideologi organisasi induknya. Atau setidaknya, telah terbalut dengan kepentingan politik praktis
dalam rangka penentuan akhir posisi dalam kekuasaan negara. Bahkan di lingkungan HMI yang
semestinya lebih independen, terlihat kecenderungan ‗mencari‘ induk politik, yang nampaknya
waktu itu akan terpenuhi dengan mulai munculnya kabar tentang adanya keinginan
menghidupkan kembali Masjumi yang dibubarkan Soekarno pada era Nasakom.
Kala itu, kekuasaan di Indonesia seolah-olah memiliki matahari kembar yang menciptakan
dualisme. Di satu pihak ada Soekarno yang oleh para pendukungnya ingin tetap dipertahankan
untuk kemudian dikembalikan ke posisi semula. Para pendukung ini tidak punya bayangan
apapun tentang kekuasaan tanpa Soekarno. Soekarno tanpa kekuasaan mutlak menjadi
pengalaman baru yang menakutkan mereka. PNI yang terbelah pun seakan kembali mulai
menyatu dalam kepentingan bersama mempertahankan Soekarno, dengan PNI Osa-Usep sebagai
pembawa bendera karena diterima oleh mahasiswa anti Soekarno dan partai-partai bukan kiri.
Pada pihak lain sejumlah kaum intelektual di Jakarta, terlepas dari suka atau tidak suka secara
pribadi kepada Soeharto, melihat kehadiran Soeharto sebagai suatu peluang untuk suatu
perubahan, tepatnya pembaharuan tata kekuasaan negara. Soeharto yang dianggap muncul
sebagai fenomena dari historical by accident adalah realitas objektif dan alternatif satu-satunya
untuk saat itu bila berbicara tentang perubahan kekuasaan. Memang masih ada figur Jenderal AH
Nasution, tetapi momentum demi momentum yang lepas sejak 1 Oktober 1965 hingga Maret
1966, menjauhkannya dari peluang. Apalagi, pada waktu bersamaan, di sekeliling Soeharto telah
muncul dengan cepat suatu lingkaran kuat yang semakin mengental dengan tujuan akhir
menjadikan Soeharto sebagai pemimpin nasional berikutnya setelah Soekarno, cepat atau lambat.
Posisi Soeharto dalam kaitan keinginan kaum intelektual yang ingin menginginkan pembaharuan
kekuasaan, maupun dalam kaitan keinginan lingkaran politik di sekitar Soeharto, adalah sebagai
objek atau alat. Tetapi sebaliknya Soeharto juga memperalat mereka yang menginginkan
perubahan itu, untuk mewujudkan keinginannya sendiri yang telah tumbuh, baik dari hasrat
pribadinya secara manusiawi, maupun karena penciptaan situasi dan kondisi yang cukup cerdik
dari lingkaran politik sekelilingnya.
Terlihat bahwa sejumlah kelompok mahasiswa yang tadinya merupakan satu kesatuan besar –
lintas asal ideologis maupun sebagai campuran gerakan intra kampus dan ekstra kampus–
422
berangsur-angsur kembali ke sarangnya masing-masing. Organisasi ekstra kembali ke partai
induk ideologisnya, sementara mahasiswa intra kembali ke dalam kehidupan yang lebih
memperhatikan dan terkait dengan kampusnya. Sementara itu, di antara kutub-kutub arus balik
itu terdapat sejumlah kelompok mahasiswa non ideologis, serta sejumlah cendekiawan yang
lebih senior, yang untuk sebagian disebut kelompok independen yang berasal dari berbagai
sumber, terjun ke suatu pergulatan baru untuk merombak dan memperbaharui struktur politik
lama. Dalam satu garis logika dan konsistensi, pertama-tama dengan sendirinya berarti
mengakhiri kekuasaan Soekarno sebagai representan utama struktur politik lama. Tahap
berikutnya, tentu saja menyangkut pembaharuan kehidupan kepartaian. Justru dilemanya, adalah
bahwa dalam rangka kepentingan mengakhiri kekuasaan Soekarno, sebagian kekuatan partai itu
dibutuhkan sebagai faktor, terutama dari sudut kepentingan Soeharto. Tetapi suatu toleransi
untuk memberi peranan kepada partai-partai ideologis dari struktur lama itu, pada akhirnya
hanya akan menghasilkan sekedar penggantian pemegang peranan di panggung politik dan tidak
menciptakan suatu sistim dan praktek politik baru yang rasional. Sekedar mengganti pelaku di
atas panggung untuk permainan buruk yang sama.
Sadar atau tidak sadar, tak bisa dihindari bahwa gagasan pembaharuan politik dengan konotasi
pertama-tama mengganti Soekarno, dalam banyak hal berimpit dalam suatu wilayah abu-abu
antara idealisme gagasan kaum intelektual dengan strategi penyusunan kekuasaan dari kelompok
politik Soeharto yang terdiri dari campuran tentara dan cendekiawan sipil. Tetapi kelompok non
ideologis yang independen pada akhirnya lebih banyak berjalan sejajar dengan sejumlah perwira
militer anti komunis yang digolongkan sebagai kelompok perwira idealis atau kelompok perwira
intelektual. Termasuk paling menonjol dari barisan perwira idealis ini adalah Mayor Jenderal
Hartono Rekso Dharsono, yang pada bulan Juli 1966 naik setingkat dari Kepala Staf
menggantikan Mayjen Ibrahim Adjie sebagai Panglima Siliwangi. Perwira idealis lainnya adalah
Mayjen Kemal Idris dan Mayjen Sarwo Edhie Wibowo. Tak ada jenderal lain yang begitu dekat
dan dipercaya para mahasiswa 1966, melebihi ketiga jenderal ini. Begitu populernya mereka,
sehingga kadangkala kepopuleran Sarwo Edhie dan HR Dharsono misalnya melebihi popularitas
Soeharto saat itu, apalagi ketika Soeharto kemudian terlalu berhati-hati dan taktis menghadapi
Soekarno sehingga di mata mahasiswa terkesan sangat kompromistis. Kepopuleran tiga jenderal
ini kemudian juga menjadi semacam bumerang bagi karir mereka selanjutnya. Melalui suatu
proses yang berlangsung sistematis mereka disisihkan dari posisi-posisi strategis dalam
kekuasaan baru untuk akhirnya tersisih sama sekali.
Bagi para mahasiswa yang sangat dinamis dan menghendaki perubahan cepat, sikap alon-alon
waton klakon dan mikul dhuwur mendhem jero Soeharto seringkali tak bisa dipahami. Dalam
banyak hal perwira-perwira intelektual ini berbeda gaya dengan Soeharto dalam menghadapi
Soekarno. Kelompok idealis ini lebih to the point dalam menyatakan ketidakpuasan mereka
terhadap Soekarno dan tidak menyembunyikan keinginan mereka untuk mengganti Soekarno
secepatnya. Terminologi yang mereka gunakan lebih lugas, jarang mengangkat istilah-istilah dari
perbendaharaan tradisional, khususnya dari khasanah kultur Jawa. Mereka menggunakan katakata yang tegas dan dinamis seperti pendobrakan, pengikisan, diikuti terminologi yang
mencerminkan keinginan akan perubahan seperti perombakan atau restrukturisasi dan
pembaharuan total, terhadap sistem dan struktur politik misalnya. Pernyataan-pernyataan yang
memperlihatkan keinginan mengganti Soekarno bukan hal yang tabu untuk diucapkan.
423
Sebaliknya, Soeharto dengan gaya khas Jawa menyembunyikan rapat-rapat keinginannya
mengganti posisi Soekarno. Namun dari bahasa tubuh, semua pihak juga tahu bahwa Soeharto
memendam keinginan menjadi Presiden berikut menggantikan Soekarno, apalagi saat itu
momentum demi momentum telah membuka peluang-peluang untuk itu bagi dirinya. Kerap kali
Soeharto berbasa-basi menyatakan bahwa ia tak punya ambisi, tetapi melalui kata-kata bersayap
tak jarang pula ia menggambarkan kepatuhannya terhadap kehendak rakyat dan tuntutan situasi.
Ia adalah seorang dengan kesabaran yang luar biasa, dan hanya bertindak setelah yakin mengenai
apa yang akan dicapainya. Tak mudah ia tergoda menerkam setiap peluang yang muncul.
(Sumber: Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, Jakarta
2006)
424
Malapetaka Sosiologis Indonesia:Pembalasan Berdarah
Oleh:sociopolitical
Bagian Pertama
“Peristiwa 30 September 1965 memang adalah sebuah peristiwa yang meletus sebagai
akibat tidak sehatnya tubuh bangsa Indonesia”. Sebuah peristiwa yang merupakan
“ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan friction, penuh dengan
ketegangan dan pergesekan kronis”.
LUMURAN darah tak mengenal pengecualian dalam pilihan waktu kehadiran sepanjang
perjalanan sejarah manusia di kepulauan Nusantara ini, tak terkecuali pada masa Indonesia
merdeka dalam sejarah Indonesia modern. Tepat pada tahun keduapuluh Indonesia merdeka itu,
terjadi lagi satu peristiwa berdarah, Peristiwa 30 September 1965, dilancarkan oleh Gerakan 30
September, yang terutama terkait dengan sejumlah tokoh Partai Komunis Indonesia dan perwira
tentara. Peristiwa ini memicu satu malapetaka sosiologis baru, dengan sisa-sisa kebencian yang
belum sepenuhnya pupus hingga kini.
Pada hakekatnya, peristiwa yang merupakan puncak dari suatu rangkaian pertarungan politik
yang panjang itu, yang bahkan memiliki akar dari masa sebelum Indonesia merdeka, melibatkan
begitu banyak kelompok kekuatan politik sipil ideologis dan ‗kekuatan politik‘ angkatan
bersenjata. Melibatkan demikian banyak tokoh dengan kepentingannya masing-masing yang tak
lain bermuara pada pemenuhan hasrat kekuasaan, sebagai petarung-petarung dalam perebutan
kekuasaan politik dan kekuasaan negara. Siapa yang benar, siapa yang salah, menjadi masalah
sejarah yang berkepanjangan. Berlaku adagium, sang pemenang akan berkesempatan mengukir
versi kebenaran sejarah lebih dulu, namun pada saat sang pemenang surut karena waktu, maupun
kalah dalam pertarungan kekuasaan berikutnya, mereka yang kalah di masa lampau memperoleh
momentum untuk bisa menciptakan pembenaran baru berdasarkan subjektivitasnya sendiri.
Judgement dari generasi baru, pada waktunya mungkin akan lebih bermakna, sepanjang mereka
berkesempatan mendapat dan menggali informasi jujur dan objektif tanpa prasangka apa pun.
Tanpa dendam karena pertalian darah dengan para korban. Atau, pada posisi sebaliknya, tidak
terjebak mempertahankan versi kebenaran para pemenang awal karena pertalian darah dan
pertalian kepentingan yang diwariskan.
Terlepas dari apapun penyebabnya dan siapa pelakunya, peristiwa berdarah yang terjadi lebih
dari 40 tahun silam itu, bagaimanapun juga merupakan lembaran hitam dalam sejarah Indonesia
merdeka. Melihat kualitas peristiwanya, dikaitkan dengan tujuan peristiwa yang menjadi bagian
dari pertarungan kekuasaan –yang untuknya diperlukan pembunuhan dengan cara keji terhadap
enam jenderal, seorang perwira pertama dan seorang bintara polisi di Jakarta dan dua perwira
menengah di Jawa Tengah– bahkan mungkin dapat dinyatakan sebagai lembaran paling hitam
sejarah Indonesia hingga sejauh ini. Apalagi, setelah pembunuhan keji itu terjadi, menyusul pula
rentetan pembunuhan massal –siapapun korbannya dan siapa pun pelaksananya atas nama
apapun– terhadap sejumlah orang yang mencapai ratusan bahkan mungkin sejuta lebih.
425
Menjadi pertanyaan yang mengganggu dari waktu ke waktu, ada apa dengan bangsa ini
sebenarnya? Untuk menjawabnya, mungkin bisa meminjam suatu pikiran jernih yang dilontarkan
melalui suatu media massa generasi muda di Bandung hanya tiga tahun setelah Peristiwa 30
September 1965 terjadi. Mewakili jalan pikiran sejumlah intelektual muda kala itu, media itu
mempertanyakan adakah kita menginsyafi bahwa peristiwa itu hanyalah salah satu sympton yang
menunjukkan tidak sehatnya tubuh bangsa ini?
Peristiwa 30 September 1965 memang adalah sebuah peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak
sehatnya tubuh bangsa Indonesia. Sebuah peristiwa yang meminjam uraian sebuah media
generasi muda 1966 merupakan ―ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan
friction, penuh dengan ketegangan dan pergesekan kronis‖. Sebuah peristiwa yang merupakan
resultante dari kontradiksi-kontradiksi yang terdapat secara objektif dalam masyarakat kala itu,
yang bahkan masih berkelanjutan menembus waktu ke masa-masa berikutnya, hingga kini. Fakta
empiris menunjukkan bahwa dalam rentang waktu yang panjang hingga masa kini, meminjam
lontaran pemikiran tersebut, kontradiksi-kontradiksi masih melekat di tulang sumsum
masyarakat Indonesia, yang berakar dari sejumlah faktor disintegrasi yang belum juga
tersembuhkan.
Setelah pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah dalam Peristiwa 30 September
1965, terjadi gelombang pembalasan. Di mulai dengan penyerbuan kantor CC PKI dan
pembakaran Universitas Res Publica (belakangan dibuka kembali sebagai Universitas Trisakti),
sepanjang Oktober hingga beberapa waktu sesudahnya terjadi gelombang penyerbuan terhadap
kantor-kantor organisasi lainnya yang ada hubungannya dengan PKI dan organisasi kiri lainnya.
Bukan hanya di Bandung dan Jakarta, tetapi juga menjalar ke kota-kota lainnya seperti Medan
sampai Makassar. Aksi di kota-kota besar itu umumnya, hanya menyangkut asset, terutama
kantor-kantor milik organisasi kiri, dan tidak ditujukan kepada tindakan fisik terhadap manusia.
Kalau pun ada tindakan terhadap anggota-anggota organisasi kiri, adalah sebatas ‗meringkus‘
untuk selanjutnya diserahkan kepada aparat militer, dari Angkatan Darat.
Ketika para pemuda dan mahasiswa melakukan aksi-aksi penyerbuan itu, Angkatan Darat,
berdasarkan wewenang Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban, menjalankan sendiri kesibukannya, melakukan pembersihan berupa
penangkapan terhadap tokoh-tokoh organisasi kiri, hampir di seluruh wilayah tanah air. Menurut
Soeripto SH, aktivis mahasiswa tahun 1960-an, ―Setahu saya, Soeharto waktu itu memberi
perintah, semua anggota politbiro PKI harus dieliminasi, agar PKI lumpuh‖. Kebetulan politbiro
PKI ketika itu didominasi oleh sayap Peking, dan itulah pula sebabnya banyak tokoh PKI yang
merupakan sayap Moskow selamat. Pemberantasan tokoh-tokoh PKI terutama dijalankan oleh
RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di bawah komando dan berdasarkan inisiatif
Kolonel Sarwo Edhie. Secara umum Soeharto membiarkan inisiatif Sarwo Edhie itu berlangsung
dan tidak pernah menegur.
Fase berdarah babak kedua
RPKAD yang telah merampungkan tugas di Jakarta, mendapat tugas lanjutan untuk melakukan
penyisiran untuk menangkap tokoh-tokoh PKI dan organisasi onderbouwnya terutama di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, lalu kemudian di Bali. Tetapi bersamaan dengan itu terjadi pula satu
426
gelombang pembalasan, yang berbeda dengan apa yang dilakukan para mahasiswa dan
organisasi pemuda di perkotaan, justru ditujukan kepada sasaran manusia dalam rangkaian
kekerasan kemanusiaan melalui cara yang berdarah-darah. Berlangsung secara horizontal,
terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, dilakukan oleh sejumlah organisasi massa dalam
kadar yang tinggi. Juga di beberapa propinsi lain, meskipun dalam kadar sedikit lebih rendah
seperti di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan serta secara sporadis di wilayah tertentu di Jawa
Barat. Bila yang terjadi di kota-kota besar adalah tindakan fisik terhadap kantor-kantor
organisasi politik kiri, untuk melumpuhkan kegiatan, yang dilakukan oleh pemuda,pelajar dan
mahasiswa, masih bisa dimasukkan dalam kategori insiden politik, maka yang terjadi di daerahdaerah adalah malapetaka sosiologis.
Kisah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam malapetaka sosiologis yang terjadi, gelombang
pembalasan yang paling parah di Pulau Jawa dialami oleh massa PKI di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Di Jawa Tengah, dan juga di Yogya, para pelakunya justru terutama dari organisasiorganisasi massa yang terkait dengan PNI, meskipun di tingkat nasional, PKI dan PNI
merupakan partner dalam struktur politik Nasakom. Dalam aksi pembalasan terhadap kelompok
komunis di Jawa Tengah ini, yang menjadi tulang punggung utama adalah Pemuda Marhaenis,
dan mendapat bantuan dari pemuda-pemuda Islam seperti dari Barisan Ansor Serbaguna.
Sementara itu di Jawa Timur, dalam konflik massa komunis versus kelompok non komunis,
kekuatan utama non komunis adalah massa NU, terutama dari Banser, yang di beberapa tempat
seperti Banyuwangi didukung oleh Pemuda Marhaenis.
Di Jawa Tengah, persaingan politik dan pengaruh memang terjadi terutama antara PKI dan PNI,
mulai dari posisi-posisi di badan-badan perwakilan maupun dalam pengaruh pada pemerintahan.
Menurut tokoh GMNI Siswono Judohusodo, pada masa Nasakom hanya PNI yang berani
menghadapi aksi-aksi keras PKI, terutama di Jawa Tengah. Para pemilik tanah yang luas dan
kalangan dunia usaha di Jawa Tengah pada umumnya adalah pendukung-pendukung PNI,
sementara para buruh tani dan kalangan buruh kecil, atau setidaknya para petani yang lebih
miskin, pada umumnya adalah pengikut-pengikut PKI. Ketika BTI melakukan aksi-aksi sepihak
dalam rangka UUPA terhadap tanah-tanah yang dianggap milik para tuan tanah dan para petani
kaya, yang terkena pada umumnya adalah pengikut-pengikut PNI. Dan sewaktu SOBSI tak
henti-hentinya menjalankan aksi-aksi kaum buruh, mereka selalu berhadapan dengan kelompok
‗majikan‘ yang umumnya adalah warga PNI.
Tokoh-tokoh PNI, seperti misalnya Hardi SH pernah mengadu langsung tentang sikap provokatif
dan agresif massa PKI terhadap PNI dan kepentingan-kepentingannya di Jawa Tengah, tetapi
Soekarno selalu balik mengingatkan agar menjaga kekompakan sebagai satu barisan dalam
Nasakom. PKI Jawa Tengah sendiri, dalam berbagai kesempatan telah melakukan seranganserangan politik kepada PNI. PKI juga berkali-kali melakukan serangan-serangan politik yang
menggoyang para bupati yang kebetulan adalah dari kalangan simpatisan PNI. Sikap tanpa
tenggang rasa yang dilakukan PKI Jawa Tengah, selama beberapa tahun telah mengakumulasi
kebencian di berbagai tingkat lapisan PNI, dari akar rumput hingga ke elit PNI di daerah
tersebut. Hal lain yang menjadi fenomena menarik di Jawa Tengah ini adalah bahwa di beberapa
daerah, banyak kalangan tentara dari Divisi Diponegoro, ada di bawah pengaruh PKI sejak lama
dan dalam banyak peristiwa, baik sebelum Peristiwa 30 September 1965, maupun sesudahnya
menunjukkan perpihakannya yang nyata kepada PKI dan organisasi-organisasi mantelnya seperti
427
BTI atau Pemuda Rakyat. Bahkan pada 1 Oktober 1965, sejumlah perwira berhaluan komunis
pada Divisi Diponegoro ini sempat mengambilalih kendali komando Kodam untuk seberapa
lama.
Dalam suatu peristiwa aksi sepihak di Klaten, tahun 1964, sebagaimana dilaporkan oleh sebuah
tim peneliti dari Universitas Gajah Mada, seorang Puterpra (Perwira Urusan Teritorial dan
Pertahanan Rakyat) terlibat melakukan tugas pengawalan tatkala BTI membantu seorang petani
menggarap kembali sawahnya yang pernah dijualnya –dan bahkan sudah dikalahkan di
pengadilan. Sementara anggota BTI menggarap sawah, sang Puterpra mengeluarkan kata-kata
―Teruslah kalian mengerjakan sawah. Kalau ada orang PNI datang biar saya tembak mereka‖.
Banyak Puterpra, terutama di kabupaten-kabupaten yang Komandan Kodim-nya adalah perwira
berhaluan atau simpatisan PKI, dengan alasan untuk aksi Dwikora melakukan pelatihanpelatihan kemiliteran secara intensif di desa-desa yang didominasi oleh PKI, BTI dan Pemuda
Rakyat. Bahkan ada sejumlah desa yang sampai memiliki sistim pertahanan yang kuat berlapis
sehingga tak mungkin ada yang bisa datang dan menyerbu desa itu tanpa ketahuan. Beberapa
desa memiliki persenjataan militer yang umumnya dipegang oleh Pemuda Rakyat yang sudah
menjalani latihan militer
428
Bagian Kedua
“Keikutsertaan sebagai pembantai bahkan kerapkali dianggap semacam tugas suci oleh
beberapa anak muda belasan tahun. „Seorang teman sekolah saya di SMA, kerap
bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada malam sebelumnya‟, kata Sjahrul.
Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsurangsur menjadi tidak wajar”.
Setelah Peristiwa 30 September terjadi, 2 Oktober dinihari, setengah jam sebelum Halim
Perdanakusumah diduduki Pasukan RPKAD, Aidit yang ditinggalkan dalam negosiasi kekuasaan
oleh Soekarno, berangkar ke Yogya dengan C47 milik AURI. Pimpinan PKI yang tersudut
dalam percaturan 1 Oktober itu, agaknya memutuskan untuk melanjutkan kegiatannya di wilayah
Jawa Tengah yang dianggap salah satu wilayah basis PKI. Bertepatan dengan kehadiran Aidit di
Jawa Tengah, 2 Oktober, Komandan Korem 72/Yogyakarta Kolonel Katamso dan Letnan
Kolonel Sugijono diculik lalu dibunuh. Adanya penculikan dan pembunuhan ini menunjukkan
bahwa selain Jakarta, situasi Jawa Tengah dan Yogyakarta juga cukup krusial. Faktanya
memang, bahwa di Jawa Tengah ini PKI lebih bersikap agresif, karena memang cukup kuat. PKI
di wilayah itu yang ‗dominan‘ dalam opini dan kegiatan politik yang aktif selama periode
Nasakom –dan hanya diimbangi oleh PNI– setelah Peristiwa 30 September merasa dihadapkan
kepada suatu situasi dengan pilihan lebih dulu membantai atau dibantai. Dan karena itu, pada sisi
sebaliknya pada kelompok non-komunis juga berlaku pilihan serupa.
Dalam laporan Tim Peneliti Gajah Mada dan Arthur Dommen, terlihat bahwa sejak awal
Oktober PKI di Boyolali dan Klaten memilih untuk mendahului bertindak. Mereka melakukan
pembantaian besar-besaran dalam skala ratusan korban, yang mengakibatkan pula ratusan tokoh
PNI dan NU serta massa mereka yang mencapai belasan ribu orang melarikan diri. Dapat
dikatakan suasana dibantai atau membantai ini berlangsung sepanjang Oktober bahkan sampai
Nopember, dengan korban cukup banyak pada kedua belah pihak. Menurut laporan penelitian
itu, massa PKI juga sempat melakukan ‗kup‘ atas camat Manisrenggo dan merebut senjata yang
ada di kantor kecamatan.
Di bagian lain wilayah Jawa Tengah, ketika orang-orang PKI menculik dan menawan banyak
tokoh-tokoh PNI dan anggota organisasi non-komunis lainnya, maka terjadi pula upaya
membebaskan dengan menyerbu desa-desa basis PKI, dengan meminta bantuan tentara. Karena
adanya suasana balas membalas itu, maka angka korban yang jatuh juga tinggi. Belum lagi
bahwa di tengah suasana saling mencurigai antar desa dan antar penduduk dalam satu desa,
kerapkali terjadi salah bantai, dan tak kurang pula ekses berupa pemanfaatan situasi balas
dendam lama di antara penduduk untuk soal lain sebelumnya yang sama sekali tak ada kaitannya
dengan masalah ideologi dan politik.
Tercatat pula keterlibatan anggota-anggota KKO-AL (Korps Komando Angkatan Laut) sebagai
perorangan dalam berbagai peristiwa di Jawa Tengah ini. Keterlibatan ini, seperti yang pernah
dituturkan seorang perwira KKO, Letnan Kolonel J. Soejoe yang pernah menjadi Pjs Panglima
Pasukan Komando Armada I di Surabaya, adalah karena faktor emosional semata akibat
jatuhnya anggota keluarga mereka sebagai korban dalam gelombang mass murder yang terjadi.
Kebetulan bahwa keluarga mereka yang dibantai secara membabi-buta itu adalah dengan
429
tuduhan terlibat PKI –meskipun sebenarnya terselip pula kejadian sebaliknya, menjadi korban
pembunuhan oleh orang-orang PKI– maka keterlibatan anggota-anggota KKO ini sempat
menjelma menjadi suatu isu nasional. Sementara itu, anggota-anggota KKO yang keluarganya
belum menjadi korban, namun terancam oleh tuduhan terkait PKI, terlibat dalam upaya-upaya
membela dan melindungi keluarga mereka itu dan kerapkali dengan bantuan teman-teman satu
korps sebagai tanda solidaritas, tanpa pertimbangan politis apapun sebenarnya. Saat melakukan
upaya perlindungan itulah para anggota KKO ini banyak terlibat bentrokan dengan satuan-satuan
Angkatan Darat, terutama dengan pasukan RPKAD yang bertugas melakukan penyisiran
terhadap PKI di Jawa Tengah. Hal serupa sebenarnya terjadi pula di Jawa Timur.
Dan dalam suatu koinsidensi pada masa berikutnya, Panglima KKO Mayor Jenderal (kemudian
Letnan Jenderal) Hartono ‗kebetulan‘ juga banyak tampil dengan pernyataan-pernyataan yang
dianggap sebagai pembelaan terhadap Soekarno, sehingga isu berkembang menjadi lebih jauh
lagi dengan konotasi bertentangan dengan Angkatan Darat pasca 30 September. Letnan Jenderal
Hartono dikenal pula sebagai pengecam terhadap penampilan Angkatan Darat yang dianggapnya
terlalu berpolitik. Salah satu yang dicela Hartono mengenai Angkatan Darat, adalah sikap
‗pembangkangan‘ dan politik-politikan sejumlah jenderal terhadap Presiden Soekarno. ―Dulu
saya memang tidak setuju Soekarno diturunkan kalau tidak melalui cara hukum dan konstitusi.
Kita adalah tentara, dengan disiplin. Siapa pun pimpinan yang sah, kita bela‖.
Sikap yang mencela terlalu berpolitiknya para perwira Angkatan Darat ini, termasuk dalam
menghadapi Soekarno, menurut Laksamana Laut Mursalin Daeng Mamangung, cukup merata di
kalangan perwira tinggi Angkatan Laut, bukan hanya Letjen Hartono. Nasib Letnan Jenderal
Hartono sendiri, menjadi tragis di kemudian hari. Setelah Soeharto menjadi Presiden, untuk
beberapa bulan Hartono tetap ‗dibiarkan‘menjadi Panglima KKO. Setelah itu, ia diangkat
menjadi Duta Besar RI di Pyongyang, Korea Utara. Suatu waktu ketika sedang berada di Jakarta,
ia kedatangan seorang tamu bersamaan dengan turunnya hujan deras. Tamu itu diterimanya di
salah satu ruangan. Tak ada sesuatu yang bisa didengar oleh beberapa anggota keluarganya yang
ada di rumah dalam suasana hujan yang deras. Beberapa saat kemudian ia ditemukan tewas
karena luka tembakan dengan sebuah pistol di dekatnya. Hartono kemudian disimpulkan secara
resmi tewas karena bunuh diri.
Laksamana Madya Laut Mursalin Daeng Mamangung, sebagai perwira tinggi AL waktu itu
sempat datang menengok ke kediaman Hartono dan bertemu dengan beberapa anggota keluarga.
Menurut Mursalin, tak mungkin Hartono bunuh diri, mengingat karakternya yang keras dan
tegas. Apalagi, peluru yang menewaskannya datang dari arah belakang atas kepala tembus ke
leher. Suatu cara bunuh diri yang terlalu aneh dan musykil. Jelas Hartono dibunuh dengan
sengaja. Dan ini mau tidak mau harus dikaitkan dengan sikap kerasnya pada tahun-tahun
sebelumnya kepada Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto. Secara resmi, kasus kematian
Letnan Jenderal Soeharto, masuk dalam daftar X kasus-kasus yang tak ‗terungkapkan‘.
Ketika gelombang pembalasan dari kelompok non-komunis makin meningkat dan makin banyak
pula campur tangan tentara, maka pada akhirnya jumlah korban yang jatuh di kalangan
kelompok komunis juga semakin lebih banyak, dan memasuki skala mass murder. Angka
moderat korban yang jatuh di Jawa Tengah adalah dalam skala puluhan ribu, tetapi mengingat
430
panjangnya masa pertikaian, ada perkiraan bahwa korban mencapai angka dua ratus ribuan
khusus untuk Jawa Tengah dan Yogyakarta saja.
Keadaan yang agak kurang imbang terjadi di Jawa Timur. Kecuali di beberapa daerah di mana
massa PKI mendahului bersikap agresif dan melakukan pembantaian, pada umumnya mereka lah
yang lebih banyak mengalami pembantaian. Di Banyuwangi, massa PKI mendahului melakukan
penculikan dan pembunuhan, tetapi sebaliknya di sekitar Malang mereka lah yang menjadi
sasaran. Terjadi pula suatu keadaan khusus di suatu daerah yang pendukung PKI nya lebih
dominan. Sejumlah anggota Pemuda Marhaenis dan anggota Banser dipaksa menjadi tameng
luar untuk pertahanan desa mereka dengan pengawasan Pemuda Rakyat. Suatu ketika, ada
serangan pembalasan atas desa tersebut, dan dua orang anggota Banser tertawan, lalu ‗diadili‘.
Seorang anggota Banser dari pihak yang menawan, dengan sikap ‗darah dingin‘ menebas leher
salah satu dari tawanan itu. Temannya yang lain dengan menangis-nangis memberitahukan
bahwa mereka sebenarnya adalah anggota Banser yang dijadikan tameng. Setelah dilakukan
pengecekan, memang ternyata kedua tawanan itu adalah anggota Banser, tetapi bagaimana pun
juga kepala yang telah terpancung itu tak dapat direkatkan lagi.
Seorang siswa SMA, putera seorang penegak hukum yang bertugas di Malang, Sjahrul –yang
kemudian menjadi aktivis mahasiswa dari ITB di Bandung sejak tahun 1967– mengisahkan
betapa di pagi hari merupakan pemandangan biasa bila ada kepala manusia hasil pembantaian
tergantung di pagar kantor ayahandanya. Keikutsertaan sebagai pembantai bahkan kerapkali
dianggap semacam tugas suci oleh beberapa anak muda belasan tahun. ―Seorang teman sekolah
saya di SMA, kerap bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada malam sebelumnya‖.
Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsur-angsur
menjadi tidak wajar. Seringkali ada pengakuan dan dugaan bahwa pembunuhan sesama manusia
itu dilakukan karena diperintah, oleh tentara misalnya, tetapi menurut Sjahrul cukup banyak yang
melakukannya semata-mata karena terbawa arus saja dan akhirnya terbiasa melakukan tanpa
disuruh. Membunuh itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase. Apalagi bila para korban tak
berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para eksekutor untuk lebih menikmati
keperkasaan kekuasaannya. Pada beberapa kalangan massa organisasi Islam di sana,
pembasmian anggota PKI yang dianggap anti Tuhan, bahkan diyakini sebagai bagian tugas
membela agama. Di Jawa Timur, seringkali dikisahkan bahwa pada masa itu, setiap hari Kali
Brantas penuh dengan tubuh hanyut manusia yang telah diberantas. Kasat mata dan menurut
perkiraan, jumlah korban yang jatuh di Jawa Timur jumlahnya melebihi jumlah korban
peristiwa-peristiwa di Jawa Tengah.
Kisah „pembantaian‟ di Bali dan mayat di Sungai Ular. Seperti halnya di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, di Bali orang-orang PKI juga ‗mengakumulasi‘kan sejumlah tindakan yang
menimbulkan keirihatian dan dendam sejak sebelum Peristiwa 30 September 1965. Pusat Studi
Pedesaan Universitas Gadjah Mada, mencatat terjadi sejumlah aksi kekerasan yang dilakukan
anggota-anggota PKI di pedesaan-pedesaan Bali sejak Januari 1965. Di Buleleng tercatat
beberapa aksi sepihak, seperti misalnya yang dilakukan Wayan Wanci dan kawan-kawannya dari
BTI. Ia menyewa tanah dari Pan Tablen, dan suatu ketika sewa menyewa itu dihentikan. 250
massa BTI lalu menduduki kembali tanah itu, pada 8 Januari 1965, disertai aksi penghancuran
rumah Pan Tablen. Aksi sepihak lainnya terjadi 14 Januari, antara seorang menantu yang
anggota BTI dengan mertuanya. Ketika mertua meminta kembali tanah yang dipinjamkan, sang
431
menantu dan kawan-kawannya dari BTI melakukan pengrusakan atas tanaman jagung di atas
tanah tersebut, lalu menduduki dan menggarap sawah itu.
Aksi-aksi sepihak yang serupa terjadi berkali-kali, dan biasanya BTI berhadapan dengan para
pemilik yang kebetulan anggota PNI. Dalam salah satu insiden soal tanah, 4 Maret 1965,
beberapa anggota PKI menyerang beberapa anggota PNI dengan parang dan senjata tajam
lainnya. Tetapi suatu serangan pembalasan tidak segera terjadi setelah Peristiwa 30 September,
kendati arus pembalasan yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah masuk beritanya ke
Bali. Setidaknya sepanjang bulan Oktober 1965 tak terjadi apa-apa di Bali. Tapi pada bulan
berikutnya mulai muncul ‗hasutan‘, terutama dari tokoh-tokoh PNI yang memiliki dendam,
seperti dituturkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, ‘Pembantaian di Bali’.
Tekanan utama masalahnya saat itu memang bukanlah kepada soal-soal ideologis, meskipun
perbedaan ideologis adalah satu faktor, melainkan kepada rivalitas pengaruh dan kepentingan
manusiawi yang sudah laten antara pengikut-pengikut PKI dan PNI seperti digambarkan AA Oka
Mahendra. PNI secara turun temurun dominan di Bali. Golongan bangsawan dan pemuka
masyarakat umumnya adalah pendukung PNI, sehingga dengan pengaruh mereka PNI memiliki
massa pengikut yang besar jumlahnya di Bali. Tetapi PKI di Bali sementara itu berhasil
memasuki celah-celah kesenjangan dalam kehidupan sosial, terutama dalam mendekati rakyat
pedesaan Bali yang menjadi petani dengan kepemilikan tanah yang kecil atau samasekali tidak
memiliki tanah. Sebenarnya selama puluhan tahun ada harmoni antara kaum bangsawan pemilik
tanah dengan para petani, melalui semacam sistim bagi hasil yang adil. Selain itu, setiap kali ada
perselisihan, mekanisme adat dan peranan kaum agamawan senantiasa berhasil menjadi media
penyelesaian. Akan tetapi kehadiran yang lebih menonjol dan perubahan perilaku politik PKI
pada tahun-tahun terakhir menjelang Peristiwa 30 September, telah menghadirkan sejumlah
perubahan. Beberapa petani menunjukkan sikap yang lebih agresif
432
Bagian Ketiga
“Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti yang digambarkan Soe Hokgie dalam tulisannya, adalah Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini adalah
adik laki-laki Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPRGR di Jakarta. Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait-kaitkan
dengan PKI, meskipun terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu
benar”.
Faktor lain yang membuat PKI menonjol di Bali adalah bahwa dalam Nasakomisasi yang
dijalankan oleh Gubernur Suteja –seorang yang dianggap pendukung utama Presiden Soekarno
di daerah itu dan mempunyai kedekatan dengan PKI– sesuai ‗perintah‘ Soekarno, PKI mendapat
keleluasaan berlebihan. Suteja merupakan perpanjangan tangan yang baik bagi kebijaksanaan
Nasakomisasi Soekarno yang menguntungkan PKI. Dalam suasana Nasakomisasi itu, banyak
tindakan-tindakan PKI, yang dipimpin oleh Tio Kandel sebagai Ketua CDB, seperti aksi-aksi
sepihak dalam masalah pertanahan, bisa berlangsung bebas tanpa penindakan. Ini terutama pula
terjadi setelah Brigjen Supardi yang dikenal amat anti PKI mengikuti garis Markas Besar AD,
digantikan sebagai Panglima Kodam Udayana pada tahun 1963 oleh Brigjen Sjafiuddin yang
sangat patuh terhadap Soekarno saat itu. Dan adalah menarik, meskipun secara horizontal di
lapisan bawah massa PNI banyak berbenturan dengan massa PKI, dalam banyak hal para elite
PNI di Bali bisa berdampingan nyaman dengan tokoh-tokoh PKI. Bahkan terjadi beberapa
jalinan kepentingan bersama yang menguntungkan, termasuk secara ekonomis. Ada beberapa
pengusaha yang kebetulan keturunan Cina, selain dekat dengan tokoh-tokoh PKI juga punya
jalinan dengan tokoh-tokoh PNI, sehingga terjadi pertalian di antara ketiganya. Meskipun,
sebaliknya dalam beberapa kasus lainnya terjadi pula persaingan kepentingan ekonomi dan
politik yang tajam di antara tokoh-tokoh PNI tertentu dengan tokoh-tokoh PKI di Bali.
PKI juga nyaman bersama Brigjen Sjafiuddin, apalagi isteri Sjafiuddin punya kedekatan khusus
dengan Gerwani dan menunjukkan sikap mendukung PKI. Namun, setelah Peristiwa 30
September terjadi, pada pertengahan Oktober sewaktu arah angin dan situasi menjadi lebih jelas,
dengan gesit Brigjen Sjafiuddin melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka yang
dianggap terlibat PKI, terutama internal Kodam Udayana. Akan tetapi, sejauh yang dapat dicatat,
tidaklah terlalu jelas ‗kategori‘ sebenarnya dari mereka yang ditangkap, karena sebaliknya
banyak yang menurut perkiraan umum akan ditangkap ternyata ‗lolos‘ atau diloloskan. Belum
lagi, sejumlah kasus salah tangkap.
Menurut Soe Hok-gie, pemicu kekerasan yang kemudian terjadi di Bali adalah hasutan-hasutan
sejumlah tokoh. Seorang tokoh PNI menghasut orang-orang untuk melakukan aksi kekerasan
dengan mengatakan bahwa Tuhan menyetujui pembantaian terhadap orang-orang PKI, dan
bahwa hukum tidak akan mengena orang yang melakukannya. Seorang tokoh lain mengatakan
bahwa mengambil harta benda milik orang PKI tidak melanggar hukum. ―Kelompok-kelompok
yang berjaga-jaga mulai keluar dengan berpakaian serba hitam dan bersenjatakan pedang, pisau,
pentungan dan bahkan senjata api. Rumah-rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI
dibakar sebagai bagian dari pemanasan bagi dilancarkannya tindakan-tindakan yang lebih
kejam‖. Kemudian pembantaian pun mulai terjadi di mana-mana. ―Selama tiga bulan berikutnya,
Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian‖. Dengan perkiraan yang paling konservatif,
433
menurut Soe Hok-gie, ―paling tidak 80.000 orang terbunuh‖, dari berbagai tingkat usia, pria dan
wanita. Soe Hok-gie menyimpulkan, pembantaian massa PKI di Bali tidak berlangsung
berdasarkan suatu spontaniteit –istilah bahasa Belanda untuk spontanitas– melainkan terutama
karena hasutan tokoh-tokoh PNI.
Ada beberapa sebab kenapa massa PNI menjadi pemeran utama pembasmian PKI di Bali.
Pertama, karena memang adanya faktor dendam akibat akumulasi perlakuan massa PKI
sebelumnya kepada orang-orang PNI di pedesaan-pedesaan Bali. Namun pembalasan ini baru
muncul setelah beberapa tokoh PNI melakukan provokasi, dan mulai terjadi terutama di bulan
November 1965. Hal kedua, ada beberapa tokoh PNI yang karena ingin menutupi
‗kerjasama‘nya dengan PKI di masa lampau, kemudian memprovokasi suatu eliminasi terhadap
PKI. Seorang pengusaha Cina bernama Tjan Wie menjadi salah satu korban utama, dengan
tuduhan keterlibatan dengan PKI, aset dan hartanya disapu habis, sehingga ia menjadi gila
karena tekanan mental yang tak dapat lagi dipikulnya. Ironisnya, saingan bisnisnya yang
bernama Lie Lie Tjien yang justru adalah pengusaha yang menjadi donatur utama PKI di Bali
Utara tidak tersentuh karena ia bersekutu dengan Wijana salah satu tokoh utama PNI di Bali.
Selain pembunuhan-pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah, terjadi pula tindakan-tindakan
pemerkosaan terhadap sejumlah besar perempuan yang dikaitkan dengan Gerwani. Salah satu
pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti yang digambarkan Soe Hok-gie dalam
tulisannya, adalah Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini adalah adik laki-laki
Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di Jakarta.
Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait-kaitkan dengan PKI, meskipun
terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar. Tiga di antara wanita
korbannya mengajukan kasusnya ke pengadilan, dan Widagda akhirnya dijatuhi hukuman untuk
itu, dengan amat tidak setimpal, yakni 3 tahun penjara. Pelaku-pelaku lain selain Widagda, tak
sempat tersentuh hukum. Faktanya, pembasmian di Bali hanya mengena terhadap akar-akar
rumput PKI, dan justru banyak lapisan atasnya lolos dan bisa tinggal dengan aman di Jakarta.
Gelombang pembantaian terhadap massa PKI di Sumatera Utara juga termasuk menonjol
meskipun tidak terlalu massive seperti di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Tetapi
penggambaran bahwa pada masa-masa di bulan Oktober 1965 itu Sungai Ular penuh dengan
mayat, bukanlah deskripsi yang terlalu berlebih-lebihan. PKI Sumatera Utara, termasuk agresif,
tak kalah dengan PKI di wilayah lainnya. Peristiwa Bandar Betsi yang mengambil korban jiwa
seorang anggota Angkatan Darat terjadi di propinsi ini. Aksi sepihak BTI dan buruh perkebunan
yang berafiliasi dengan PKI, termasuk intensif di daerah ini. Dalam periode Nasakom, PKI
unggul di kalangan buruh perkebunan dan kereta api. PKI juga memiliki suratkabar yakni Harian
Harapan. Gubernur Ulung Sitepu dikenal sebagai tokoh PKI dan beberapa tokoh PKI di tingkat
nasional berasal dari daerah ini.
Organisasi anti PKI yang paling kuat dan keras di daerah ini adalah Pemuda Pantjasila, dan
mereka lah paling gencar menggempur PKI pasca Peristiwa 30 September. Satu dan lain hal,
karena organisasi kepemudaan ini memperoleh informasi cepat dari Jakarta mengenai gambaran
situasi sebenarnya melalui jalur IPKI yang merupakan induk organisasinya. Dan peristiwa yang
menimpa Jenderal Nasution di Jakarta 1 Oktober dinihari, menjadi pemicu ‗kemarahan‘ mereka,
karena Jenderal Nasution adalah tokoh yang mendirikan IPKI. Selain Pemuda Pantjasila,
434
organisasi anti PKI yang kuat di wilayah ini, khususnya di perkebunan-perkebunan adalah Soksi.
Organisasi sayap Soksi di dunia kemahasiswaan, Pelmasi, meskipun tak cukup banyak
anggotanya akhirnya juga cukup berperan dalam gerakan pembasmian PKI di Sumatera Utara.
Salah satu tokohnya di Sumatera Utara adalah Bomer Pasaribu yang cukup berperan dalam
kesatuan aksi dan belakangan tembus ke tingkat nasional.
PKI, PNI dan peran para bangsawan di Sulawesi Selatan. Suatu keadaan yang agak terbalik
dari Jawa Tengah terjadi di Sulawesi Selatan. Seperti halnya di Jawa Tengah, PNI di Sulawesi
Selatan amat menonjol. Dan inilah yang kemudian menjadi awal bencana bagi PNI di Sulawesi
Selatan. PNI jauh lebih menonjol dari PKI, meski pun tokoh-tokoh PKI di wilayah ini cukup
vokal. Namun dibandingkan dengan perilaku politik PKI di pulau Jawa yang amat agresif, PKI
Sulawesi Selatan bisa dikatakan ‗moderat‘. Aksi-aksi sepihak dalam rangka landreform lebih
banyak disuarakan melalui pernyataan-pernyataan. Kalau pun pernah terjadi aksi sepihak, itu
hanya terjadi di Tanah Toraja. Anggota-anggota PKI di Sulawesi Selatan sejauh yang tercatat tak
pernah melakukan tindakan kekerasan berdarah-darah seperti yang dilakukan misalnya di Bandar
Betsi Sumatera Utara, serta tidak melakukan gerakan perlawanan seperti di Jawa Tengah. Masih
beradanya Sulawesi Selatan dalam situasi keamanan yang kurang baik terkait dengan masih
bergeraknya DI-TII di wilayah ini menjadi salah satu penyebab terbatasnya ruang gerak PKI.
Praktis PKI tak bisa menjangkau ke wilayah pedalaman, terutama karena kehadiran DI-TII di
wilayah-wilayah luar perkotaan itu. Dengan demikian, PKI Sulawesi Selatan sebenarnya
terhindar dari melakukan tindakan-tindakan mengakumulasi dendam seperti yang dilakukan PKI
di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Maka adalah menarik bahwa bila kemudian terjadi
tindakan ‗balas dendam‘ yang cukup kejam di daerah ini, seperti misalnya yang terjadi di
Watampone, Kabupaten Bone, daerah kelahiran Jenderal Muhammad Jusuf.
Selain Paiso, tak banyak tokoh PKI Sulawesi Selatan yang menarik perhatian. Begitu pula
misalnya tokoh-tokoh organisasi mantelnya, seperti HSI, CGMI atau Pemuda Rakyat. HSI
misalnya, tak banyak tokohnya yang menarik perhatian masyarakat di Sulawesi Selatan, bahkan
cenderung tak dikenal. Ada beberapa nama, namun tidak terlalu dikenal, seperti misalnya
Mochtar dan Nurul Muhlisa. Tapi salah seorang di antaranya, amat diperhatikan mahasiswa,
yakni Prof Ie Keng Heng, yang mengajar ilmu kimia di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin,
karena selain menyampaikan kuliah kimia, ia sering berbicara dalam berbagai kesempatan
mengenai komunisme. Ia selalu memuji-muji PKI sebagai kekuatan progressif revolusioner,
termasuk dalam memberikan kuliah. Maka, ketika keadaan berbalik setelah patahnya Gerakan 30
September 1965, dan nama PKI dilibatkan, ia menjadi salah satu sasaran utama mahasiswa non
komunis.
Masih pada 2 Oktober 1965, hari Sabtu, sekelompok mahasiswa dari organisasi Islam, HMI dan
kawan-kawan, menyeret paksa sang professor saat ia sedang memberi kuliah hari itu, lalu
digiring ke tempat lain. Menurut seorang mahasiswa, Ie Keng Heng dibawa ke aparat keamanan
(militer). Setelah itu, orang tak pernah melihatnya lagi. Ada yang mengatakan ia di bawah ke
Malino, suatu daerah peristirahatan beberapa puluh kilometer ke arah Tenggara kota Makassar,
lalu dihabisi di sana. Tetapi seorang aktivis PMKRI dari Fakultas Teknik Unhas, Bobby Tjetjep,
memperkirakan bahwa nasib Ie Keng Heng tak sedramatis itu, dan matinya adalah biasa saja,
tidak karena suatu eksekusi. Memang ada juga yang memperkirakan bahwa Ie Keng Heng yang
sehari-harinya sebenarnya tidak bersikap ‗ganas‘ sebagai anggota HSI yang partainya sedang
435
naik daun secara nasional, tidaklah dibawa ke tempat eksekusi, sebagaimana yang banyak
beredar ceritanya waktu itu, melainkan diberi ‗kesempatan‘ untuk meninggalkan Makassar.
Putera-puterinya –hasil perkawinannya dengan seorang wanita Eropah– yang masih berstatus
pelajar dan mahasiswa ikut mendapat getahnya, padahal sehari-harinya mereka tak pernah
tertarik untuk ikut terbawa arus politik seperti ayahanda mereka, dan harus pula ‗meninggalkan‘
kota Makassar entah ke mana
436
Bagian Keempat
”Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam kerusuhan itu.
Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru tanah
air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh atas orangorang PKI. Pencincangan adalah mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan
bagian-bagian tubuh sehingga „terpisah‟ dalam potongan-potongan”.
Bernasib lebih buruk adalah beberapa tokoh pengurus daerah PKI, yang diambil dari rumah
mereka masing-masing, dibawa ke suatu tempat dan tak diketahui lagi keberadaannya. Dapat
dipastikan, mereka dieksekusi oleh kelompok pemuda dan massa yang pada hari-hari itu menjadi
sangat agresif –sama agresifnya dengan massa PKI dalam berbagai gerakan mereka sebelum
Peristiwa 30 September 1965 sebagaimana tergambarkan di media massa serta cerita dari mulut
ke mulut. Beberapa aktivis CGMI Sulawesi Selatan, mahasiswa Universitas Hasanuddin, juga
mengalami nasib sama, diambil dan dieksekusi entah di mana.
Keberanian massa melakukan ‗pengganyangan‘ PKI masih sejak hari-hari pertama setelah
gagalnya G30S, tak terlepas dari cepatnya Pejabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin waktu itu,
Kolonel Solichin GP, menyatakan membubarkan PKI pada 2 Oktober 1965. Kala itu, jabatan
Panglima Hasanuddin secara resmi masih dijabat oleh Mayor Jenderal Muhammad Jusuf yang
merangkap sebagai Menteri bidang Perindustrian dalam Kabinet Dwikora.
Pada tanggal 10 bulan Nopember 1965, setelah apel dalam rangka Hari Pahlawan di lapangan
Karebosi, Makassar, terjadi gerakan-gerakan massa yang menandai arus balik politik yang makin
deras. Tokoh-tokoh PNI yang menjadi salah satu partai paling terkemuka di Sulawesi Selatan
waktu itu, karena dianggap partainya Bung Karno, menjadi sasaran ‗pengganyangan‘. Rumah
tokoh-tokoh PNI seperti Haji Ahmad Massiara, Achmad Daeng Siala dan Salman AS –mereka
bertiga adalah pengelola Harian Marhaen di Makassar– diserbu dan diporakporandakan oleh
massa yang terutama dari ormas-ormas onderbouw partai-partai Islam serta HMI dan PII.
Sebenarnya PNI sendiri waktu itu telah terbelah menjadi dua kubu, yakni kubu Ali
Sastroamidjojo-Surachman dengan kubu yang kemudian hari akan dikenal sebagai kelompok
Osa-Usep. Tetapi dalam kasus penyerbuan massa, hampir-hampir saja kedua kubu itu tak lagi
dibedakan. Barisan Wanita Marhaenis yang merupakan sayap bukan Ali-Surachman, yang ikut
apel di Karebosi di bulan Nopember itu dengan seragam kebaya merah jambu ikut dikejar-kejar
massa. Untung saja karena mereka adalah kaum ibu, maka banyak anggota masyarakat yang
turun tangan mencegah terjadinya perlakuan fatal.
Pada hari yang sama, Konsulat RRT (Republik Rakjat Tjina) juga diserbu, namun massa hanya
bisa menjebol pintu pekarangan dan tak bisa memasuki gedung konsulat karena dihalau oleh
tentara yang menggunakan tongkat rotan yang besar. Seorang pelajar yang menuntun sepedanya
dan menonton dari kejauhan, menjadi korban, terlilit dan tersengat kabel listrik jalanan yang
putus karena tembakan petugas. Yang sama malangnya, adalah etnis Cina. Dalam rangkaian
gerakan massa yang terjadi kemudian, mereka justru menjadi korban. Rumah mereka diserbu,
harta benda mereka banyak yang ditumpas habis, tanpa ada sebab musabab politik yang jelas.
437
Dibanding penampilan PKI di Sulawesi Selatan, PNI masih jauh lebih semarak tampilannya, dan
menunjukkan keunggulan, termasuk dalam posisi kemasyarakatan. Di kota Makassar ada dua
suratkabar terkemuka, dan salah satunya adalah Harian Marhaen, ‗milik‘ PNI. Kehadiran media
cetak ini membuat PNI menonjol sepak terjang politiknya di Sulawesi Selatan dan menjadi salah
satu penyebab PNI menjadi ibarat satu pohon tinggi yang banyak ‗dilihat‘orang. Sementara itu,
PKI tidak punya media pers, sehingga tidak menonjol. Berita mengenai PKI lebih banyak
mengenai sepak terjang PKI di pulau Jawa, sehingga citra PKI di Sulawesi Selatan terutama
tercipta dari citra PKI di pulau Jawa. Organisasi mahasiswa onderbouw PNI, GMNI, juga jauh
lebih menonjol dari CGMI. Hanya HMI yang menandingi kesemarakan GMNI, namun tak
melebihi popularitas GMNI kendati anggota HMI sebenarnya sangat jauh lebih banyak dari
GMNI. Begitu besarnya sebenarnya jumlah anggota HMI di Makassar, sehingga salah seorang
tokoh HMI, Adi Sasono, menggambarkan bahwa ‗‘di perguruan-perguruan tinggi Makassar
hampir tidak ada yang bukan HMI‖.
Namun, di masa sebelum Peristiwa 30 September, GMNI tetaplah lebih semarak. Setiap kali ada
pawai-pawai di kota Makassar, barisan GMNI tampil lebih menonjol, rapih dalam baju-baju dan
jaket mereka yang mentereng mengalahkan baju kebanyakan anggota masyarakat yang kala itu
sedang krisis sandang. Kain-kain murah dan murahan hanya bisa diperoleh anggota masyarakat
dengan bersusah payah antri di kantor Kepala Kampung atau melalui RW-RW, sedang yang
dijual di toko-toko Jalan Somba Opu harganya begitu mahal dan tak terjangkau kebanyakan
orang. Bahwa anak-anak GMNI tetap bisa tampil wah, bisa dimaklumi karena mereka umumnya
berasal dari kalangan keluarga elite Sulawesi Selatan. Apalagi merupakan ciri khas barisan
GMNI waktu itu adalah bahwa pada deretan-deretan depan ditampilkan mahasiswi dan
mahasiswa yang rupawan. Salah satu primadonanya adalah seorang mahasiswi bernama Rini
Soetarjo, anak seorang dokter terkemuka di Makassar.
Bisa dibandingkan dengan anggota-anggota HMI dan lain-lain yang mayoritas berasal dari
pedalaman Sulawesi Selatan yang praktis hingga tahun 1965 itu situasinya masih dalam suasana
pergolakan karena adanya DI-TII, yang tampilannya jauh di bawah garis. Tapi, pemimpin HMI
Sulawesi Selatan yang kemudian menjadi Ketua KAMI Sulawesi Selatan, Muhammad Jusuf
Kalla, adalah anak seorang pengusaha yang saat itu tergolong sudah terkaya di Sulawesi Selatan,
Haji Kalla yang merintis usahanya dari bawah sebagai pemilik toko kecil di Watampone,
Kabupaten Bone. Merupakan ‗kelebihan‘ Jusuf Kalla, wajah dan penampilannya secara alamiah,
meskipun anak orang kaya bagaimanapun juga selalu menimbulkan kesan sederhana dan tidak
wah.
Di antara anggota masyarakat yang banyak mengalami proses ‗pemiskinan‘ pada masa itu,
sebagai akibat pergolakan dan ketidakamanan daerah saat itu, pengurus-pengurus dan anggotaanggota Partai Komunis Indonesia, termasuk di dalamnya dan umumnya juga tak kalah
miskinnya. Bahkan mungkin termiskin, karena kaum urban yang datang dari pedesaan oleh
faktor kekacauan daerah, bagaimanapun masih punya tanah di kampung asalnya. Seorang
mahasiswa yang ikut gerakan penyerbuan ke rumah-rumah para tokoh PKI, sempat tertegun
melihat gubuk yang menjadi kediaman Sekretaris CDB PKI Sulawesi Selatan yang sangat
mengibakan hati. ―Saya tak tega, jadi saya tak berbuat apa-apa di sana. Saya hanya bisa melihat
dari kejauhan‖, ia menuturkan kemudian.
438
Apapun, massa partai PKI harus membayar mahal apa yang terjadi di Jakarta yang melibatkan
nama beberapa tokoh pusatnya. Peristiwa lain, terjadi di Watampone, beberapa waktu kemudian,
berupa penyerbuan rumah tahanan (penjara) tempat sejumlah anggota PKI atau yang dianggap
simpatisan PKI ditahan. Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam
kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru
tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh atas orang-orang
PKI. Pencincangan adalah mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian
tubuh sehingga ‗terpisah‘ dalam potongan-potongan. Dalam sejarah yang terkait dengan Bone,
peristiwa pencincangan merupakan catatan tersendiri yang kisahnya terselip dalam pemaparanpemaparan berikut ini.
PNI di Sulawesi Selatan merupakan partai yang amat banyak memperoleh dukungan kaum
bangsawan di daerah itu. Inilah yang membuat untuk sekian tahun lamanya hingga menjelang
kuartal akhir tahun 1965, PNI menjadi partai yang kuat di Sulawesi Selatan. Meskipun berbeda
dengan di Pulau Jawa –di mana kaum bangsawan memiliki ‗kekuasaan‘ yang jelas dengan
memiliki Mangkunegaran ataupun Kesultanan Yogya– bangsawan Sulawesi Selatan memiliki
posisi dan peranan yang cukup besar di masyarakat. Secara umum kebangsawanan mengundang
kehormatan dan prestise di mata rakyat. Kehidupan kaum bangsawan berada dalam zona
ekonomi yang relatif mapan, baik karena kepemilikan warisan turun temurun –terutama yang
berupa tanah dan posisi adat ataukah seremoni– maupun karena penempatan diri mereka dalam
posisi-posisi pemerintahan.
Di tengah masyarakat, kaum bangsawan Sulawesi Selatan menerjuni berbagai kegiatan mulai
dari yang mulia hingga ke kutub sebaliknya –karena bangsawan juga manusia biasa seperti yang
lainnya– berupa perilaku-perilaku yang sangat tercela yang kerap kali menyakitkan hati kalangan
bawah masyarakat. Dalam tubuh ketentaraan, para bangsawan tampil sebagai perwira-perwira
berpangkat tinggi dan beberapa di antaranya mencapai pangkat-pangkat puncak. Para
bangsawan, terutama yang memegang posisi wilayah dalam struktur kepemerintahan feodal di
masa pengawasan kolonial Belanda, mendapat prioritas untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Meskipun tidak semua memanfaatkan dengan baik, karena pandangan tradisional tertentu,
terutama untuk anak-anak perempuan yang dianggap tak perlu bersekolah tinggi-tinggi. Mereka
yang pada dasarnya anti Belanda, juga cenderung enggan memanfaatkan fasilitas pendidikan itu
bagi anak-anak mereka. Dalam proses perjuangan mempertahankan kemerdekaan beberapa di
antara kaum bangsawan menjalankan peran besar, dan kelak tercatat dalam sejarah sebagai
pahlawan nasional, namun sementara itu beberapa yang lainnya menjalankan peran sebaliknya
dan dianggap pengkhianat. Maka, dalam beberapa peristiwa, ada kalangan bangsawan diculik
dan dibunuh oleh rakyat, bahkan ada di antaranya, seorang bangsawan tinggi, sampai mengalami
pencincangan tubuhnya dengan cara yang amat mengerikan.
Dalam pergolakan setelah penyerahan kedaulatan, kaum bangsawan tercatat sebagai pemegang
peran dalam berbagai peristiwa besar, di antaranya dalam Peristiwa Andi Azis. Pada tahun-tahun
pergolakan daerah, tercatat pula Peristiwa Andi Selle, yang pada puncak peristiwanya hampir
merenggut nyawa Jenderal Muhammad Jusuf. Jenderal Jusuf ini sebenarnya seorang bangsawan
Bugis yang menyandang gelar Andi –suatu gelar Pangeran– namun kemudian menanggalkan
gelarnya tersebut. Nama lengkapnya semula adalah Andi Muhammad Jusuf Amir. Setelah
Muhammad Jusuf menanggalkan gelarnya, beberapa kalangan bangsawan menjadi ‗gamang‘ dan
439
‘risih‘ dengan gelar kebangsawanannya, terutama di kalangan militer. Kegamangan itu tercermin
dari tidak dicantumkannya lagi gelar-gelar di depan namanya, namun tidak pernah menyatakan
menanggalkan gelar itu, dan sehari-hari tetap menerima perlakuan-perlakuan hormat dari
lingkungannya.
Kaum bangsawan Sulawesi Selatan juga memiliki kisah perseteruan besar dalam catatan sejarah,
yakni antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Untuk suatu jangka waktu yang panjang dalam
Indonesia merdeka, Aru Palakka dari Bone menyandang penamaan sebagai pengkhianat karena
membantu Belanda memerangi Kerajaan Gowa di bawah Sultan Hasanuddin, padahal waktu itu
belum ada konsep Nusantara sebagai satu negara. Di masa lampau, Kerajaan Bone merupakan
representasi etnis Bugis sedang Kerajaan Gowa adalah representasi etnis Makassar, yang dulu
kala terlibat dalam semacam perseteruan antar etnis yang cukup tajam.
Posisi sejarah Aru Palakka, pada masa-masa terakhir ini mengalami semacam koreksi dalam
sudut pandang para sejarahwan yang telah meninggalkan perspektif hitam-putih dalam
memahami satu peristiwa sejarah. Aru Palakka membantu Belanda kala itu dalam kedudukan
suatu kerajaan berdaulat yang merasa terancam dan pernah tertindas oleh kerajaan lain. Aru
Palakka pun memiliki motif pribadi yang kuat menurut sistim nilai masyarakat Bugis, dalam
membalaskan dendam yang dialami ayahandanya. Dalam perang antara Bone dengan Gowa,
sebelum generasi Aru Palakka dan Sultan Hasanuddin, ayahanda Aru Palakka mengalami
perlakuan kejam –dicincang dalam lesung penumbuk padi– sehingga tewas. Sesudah peristiwa
itu, kerajaan Gowa menjalankan sejumlah kebijakan rekonsiliasi dengan para bangsawan Bone
melalui distribusi wilayah, perkawinan-perkawinan antara bangsawan Bone dan Gowa, yang
diharapkan akan mampu menghapuskan dendam-dendam lama. Aru Palakka sendiri diangkat
sebagai anak asuh dan diserahkan pendidikannya kepada seorang bangsawan Makassar,
sebagaimana layaknya yang harus diterima seorang anak bangsawan. Tetapi segala perlakuan itu
tidak kuasa menghapuskan luka dendam yang mendalam Aru Palakka terhadap Kerajaan Gowa.
Namun sejarah juga mencatat bahwa pada akhirnya, setelah membantu Belanda mengalahkan
Gowa, Kerajaan Bone juga terlibat peperangan melawan Belanda.
Adalah karena kepopuleran PNI dan organisasi-organisasi onderbouwnya di Sulawesi Selatan,
maka setelah terjadi Peristiwa 30 September 1965, ia lebih mendapat ‗perhatian‘. Dan karena
kebetulan di tingkat nasional PNI Ali Surachman dianggap sebarisan dengan PKI dalam sepak
terjang politiknya, maka PNI menjadi sasaran utama serangan pasca Peristiwa 30 September
1965. Aspek persaingan menjadi faktor penting di sini, karena selama beberapa tahun sebelum
Peristiwa 30 September, peranan PNI begitu dominan di daerah ini dan peristiwa politik yang
terjadi saat itu menjadi momentum bagi partai-partai dan kekuatan politik serta kekuatan
kepentingan lainnya untuk mengeliminasi PNI
440
Bagian Kelima
“Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan halhal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau
catatan itu justru „hilang‟ karena bersih dari pemalsuan sejarah? Selain korban jiwa
dalam malapetaka sosial tersebut, yang sebenarnya tak hanya menimpa massa
pendukung PKI, sejumlah orang juga menjadi tahanan politik bertahun-tahun lamanya di
berbagai tempat penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau Buru”.
SEPERTI halnya di Sulawesi Selatan, PNI Sulawesi Utara cukup menonjol, di antaranya di
kabupaten (waktu itu) Gorontalo, Bolaang Mongondow dan sebagainya. Mirip yang terjadi di
Bali, maka peranan ‗pembasmian‘ terhadap PKI yang terjadi di daerah ini banyak dipelopori oleh
massa PNI dan organisasi-organisasi mantelnya, serta massa NU yang memiliki dendam antara
lain berdasarkan solidaritas atas nasib akar rumput NU di Jawa Timur yang menjadi sasaran aksiaksi sepihak PKI. Meskipun secara historis ada sedikit peninggalan kebencian dan sikap anti
komunis yang kuat di daerah ini sejak masa Permesta, kebencian itu tidak sampai menyebabkan
adanya kekerasan berlebih-lebihan terhadap anggota PKI pasca Peristiwa 30 September 1965.
Sebelum peristiwa di Sulawesi Utara tak tercatat adanya aksi sepihak soal tanah, karena PKI
hanya sebatas melakukan provokasi dengan ucapan-ucapan bernada ancaman kepada para
pemilik tanah yang luas-luas, bahwa sewaktu-waktu massa akan menduduki tanah mereka. Jadi
memang tak ada kondisi objektif yang pantas untuk menjadi alasan bagi suatu gelombang
pembalasan. Bahkan terjadi suatu situasi unik, karena sejumlah tokoh pemerintahan atau eks
pejabat yang diketahui punya sejarah melakukan korupsi, seperti yang terjadi di Bolaang
Mongondow, justru diduduki dan dikuasai rumahnya oleh massa, dan ini tak ada urusannya
dengan keterlibatan pada PKI.
Memang, tak dapat dihindari, bahwa ada juga anggota PKI yang dibunuh, namun jumlahnya
terbatas. Faktor dendam pribadi, biasanya bekerja dalam kasus-kasus seperti ini. Pada umumnya,
massa yang bergerak hanyalah melakukan pengrebegan terhadap anggota-anggota yang dikenal
sebagai tokoh PKI, lalu digiring untuk diserahkan kepada tentara atau polisi. Isteri dan anak-anak
mereka tidak diganggu. Rumah Robby Sumolang, tokoh nasional IPPI yang secara nasional
sangat populer di Jakarta, dan dikenal sangat pro golongan kiri, hanya kena cat dengan kotak
hitam, disertai tulisan di bawah pengawasan Kodim. Yang menjadi salah satu catatan menarik
dalam rangkaian pembasmian terhadap PKI di Sulawesi Utara ini adalah kasus 40 anggota PKI
yang ditangkap oleh pihak militer di bawah koordinasi seorang Mayor bernama Sudjarwo –yang
di Sulawesi Utara disebut sebagai anak buah Sudharmono– lalu dibawa ke pulau Jawa dengan
menggunakan sebuah kapal kayu. Nasib 40 orang ini tidak pernah jelas, apakah tiba di Pulau
Jawa atau tidak, mereka pun tak pernah kembali ke Sulawesi Utara. ―Mungkin ditenggelamkan
di tengah laut‖, ujar Lukman Mokoginta mengutip anggapan masyarakat kala itu. Peristiwanya
sendiri terjadi tahun 1967, sudah cukup jauh dari akhir 1965.
Pembasmian dini di Jawa Barat. Di tengah gelombang pembasmian PKI, khususnya di pulau
Jawa, fenomena yang paling menarik mungkin adalah yang terjadi di Jawa Barat. Ketika praktis
seluruh pulau Jawa ada dalam arus pembasmian massal yang berdarah, Jawa Barat menunjukkan
kelainan. Gerakan pembasmian PKI umumnya hanya terjadi di kota-kota, terutama di kota
Bandung, dan relatif tidak berdarah karena lebih ditujukan pada pengambilalihan kantor-kantor
441
milik PKI dan organisasi-organisasi sayapnya. Lagipula penyerbuan-penyerbuan ke kantorkantor PKI itu dilakukan oleh massa mahasiswa dan pelajar yang tidak punya niat dan
kemampuan melakukan kekerasan berdarah. Pola pengambilan dan pembunuhan atas pengikutpengikut PKI terjadi secara sporadis saja di daerah tertentu, khususnya di wilayah pantai utara,
dilakukan oleh organisasi-organisasi massa.
Latar belakang bagi situasi ini berasal dari masa sepuluh hingga limabelas tahun sebelumnya.
Orang-orang komunis di Jawa Barat, telah lebih dulu mengalami pembasmian sampai ke akarakarnya, sejak tahun 1950 hingga menjelang Pemilihan Umum 1955, terutama di Priangan
Timur. Sejak sebelum tahun 1950, khususnya 1945-1948, pembelahan yang nyata terlihat di
antara kaum santri yang umumnya dari NU dengan kaum abangan, persis seperti dalam teori
sosiologi menurut Clifford Geertz. Kehadiran DI-TII merubah perimbangan. Sejak 1950-1951
terjadi gelombang pembantaian terhadap pengikut-pengikut komunis seperti anggota Pesindo
dan sebagainya yang berada di pedesaan-pedesaan Priangan Timur. Di daerah pedesaan Garut
sebagai contoh, pengikut-pengikut komunis yang menghuni desa-desa perbukitan mengalami
pembantaian terutama oleh pasukan-pasukan DI-TII. Garut saat itu berada dalam wilayah
‗kekuasaan‘ salah satu panglima perang DI-TII yang terkenal di Priangan Timur, bernama Zainal
Abidin. Tetapi selain oleh DI-TII, pembantaian juga dilakukan oleh massa santri yang membenci
orang-orang komunis itu, terutama atas dasar anggapan bahwa mereka manusia tidak bertuhan
dan merupakan musuh Islam.
Pembantaian yang berlangsung terus secara bergelombang dalam jangka waktu yang cukup
panjang, terutama berupa penyembelihan, mencapai skala yang cukup massal secara akumulatif,
juga terutama karena berlangsung dalam jangka waktu yang cukup panjang dalam sebaran
wilayah yang luas. Dalam satu gelombang peristiwa bisa jatuh korban lebih dari seratus, dan
secara sporadis angka korban puluhan dalam setiap peristiwa adalah lazim. Pembasmian serupa,
tak hanya terjadi di wilayah Garut, tetapi merata di Priangan Timur. Hal serupa, meskipun dalam
skala lebih kecil terjadi pula di daerah-daerah di mana pengaruh DI-TII cukup kuat, sementara
sebaliknya tak tercapai dalam jangkauan dan akses keamanan TNI. Penghitungan yang lebih
akurat, misalkan berdasarkan data yang dimiliki Kodam Siliwangi, menjadi agak sulit karena
tercampur dengan korban-korban DI-TII dari kelompok masyarakat lainya dan tercampur pula
dengan data korban di kalangan rakyat akibat pertempuran antara DI-TII dan pasukan Siliwangi.
Pembantaian di pedalaman Jawa Barat ini, menyebabkan terjadinya arus ‗pengungsian‘ pengikut
komunis ini ke kota-kota, terutama ke Bandung. Ini menjelaskan kenapa di Jawa Barat, PKI
hanya bisa berkembang cukup baik di perkotaan terutama pada era Nasakom 1961-1965.
Sementara itu, karena akar-akarnya telah ditumpas di wilayah pedalaman, seperti dituturkan Dr
Aminullah Adiwilaga seorang pengajar di Universitas Padjadjaran dan Drs Adjan Sudjana, maka
PKI tak mampu membangun jaringan baru partai secara signifikan di wilayah luar perkotaan
Jawa Barat. Dan ketika pecah Peristiwa 30 September 1965, relatif tak ada sasaran bagi massa
anti PKI di wilayah pedalaman Jawa Barat.
Karena penangguhan „political solution‟ yang dijanjikan Soekarno?
Berapa korban yang jatuh dalam malapetaka sosiologis pasca Peristiwa 30 September 1965?
Perkiraan yang moderat menyebutkan angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain, berkisar antara
442
1.000.000 sampai 2.000.000. Tetapi, Sarwo Edhie yang banyak berada di lapangan, pasca
peristiwa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di Bali, suatu ketika menyebut angka
3.000.000. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo bahkan tak pernah
meralat angka yang disebutkannya itu. Sebenarnya, Sarwo Edhie memiliki catatan-catatan
tentang pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 dan masa-masa sesudahnya,
termasuk mengenai malapetaka sosiologis tersebut. Mungkin ada angka-angka signifikan dalam
catatan tersebut. Namun sayang, catatan Sarwo Edhie itu ‗hilang‘ di tangan orang yang dititipi –
dalam rangka usaha menerbitkannya– oleh ibu Sarwo Edhie, beberapa waktu setelah sang
jenderal meninggal.
Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal-hal yang
amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru
‗hilang‘ karena bersih dari pemalsuan sejarah? Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial
tersebut, yang sebenarnya tak hanya menimpa massa pendukung PKI, sejumlah orang juga
menjadi tahanan politik bertahun-tahun lamanya di berbagai tempat penahanan di seluruh
Indonesia dan kemudian di Pulau Buru. Professor Herbert Feith menyebutkan adanya 80.000
tahanan politik. Suatu angka yang sebenarnya lebih rendah daripada kenyataan yang ada, apalagi
penangkapan terus berlangsung sampai bertahun-tahun sesudah peristiwa, tak terkecuali korban
salah tangkap.
Pada tahun-tahun 1966-1967 bahkan hingga beberapa tahun berikutnya, berbagai pihak,
termasuk pers Indonesia cenderung menghindari menyentuh dan membicarakan mengenai
pembasmian berdarah-darah atas PKI ini. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya
Soe Hok-gie melalui tulisan-tulisannya, termasuk di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat
maupun edisi Jawa Barat. Adalah karena tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie berkali-kali menjadi
sasaran teror. Di tahun 1966, melalui tulisannya di Mingguan Mahasiswa Indonesia,
cendekiawan muda dari ITB Mudaham Taufick Zen yang lebih dikenal sebagai MT Zen pernah
menyentuh substansi masalah tersebut. MT Zen menggambarkan adanya suasana ketakutan
rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama beberapa tahun terakhir, sebagaimana yang
kemudian ‗terbukti‘ di Lubang Buaya. Dalam suasana itu, ―sebagai akibat selalu
ditangguhkannya political solution yang dijanjikan Bung Karno, maka terjadilah pembunuhan
besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta tempat-tempat lain di Indonesia‖.
Perlu dicatat bahwa setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965, harian-harian milik tentara
dan atau dipengaruhi tentara, seperti Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata, sangat berperanan
dalam mengkampanyekan kekejaman PKI, terutama mengenai kekejaman di Lubang Buaya.
Brigadir Jenderal Sunardi DM mengakui adanya kampanye seperti itu, untuk membangkitkan
‗perlawanan‘ rakyat terhadap PKI dalam suatu percakapan dengan Rum Aly (penulis catatan ini).
Penggambaran mereka terhadap kekejaman yang dilakukan terhadap enam jenderal dan seorang
perwira pertama Angkatan Darat betul-betul berhasil menyulut kemarahan massal di seluruh
Indonesia, dengan dampak yang luar biasa dahsyat.
Baru belakangan diketahui bahwa banyak berita yang dilansir amat dilebih-lebihkan. Mingguan
Mahasiswa Indonesia sendiri, kendatipun merupakan media yang menonjol sikap anti
komunisnya, tetap mampu memisahkan masalah kejahatan kemanusian dan pelanggaran hak
azasi dari dimensi subjektivitas politik, termasuk yang menimpa anggota-anggota PKI.
443
Mingguan itu memberi tempat kepada berbagai berita ekses, termasuk mengenai masalah
tahanan politik seperti pengungkapan angka oleh Herbert Feith dan kemudian bahasan-bahasan
‗ilmiah‘ Pater MAW Brouwer mengenai Marxisme dan tentang nasib orang-orang PKI. Teguranteguran per telepon yang disampaikan oleh pihak aparat militer, diabaikan. Pada tahun 19681969, Harian Sinar Harapan dan Harian Indonesia Raya, juga pernah mendapat sedikit
‗kesulitan‘ dari pihak tentara karena pemberitaannya mengenai pembunuhan atas diri orangorang PKI di Purwodadi yang dilakukan oleh kesatuan teritorial TNI-AD di daerah itu.
-Diolah kembali dari buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta
Pustaka, 2006
444
Indonesia:Satu Masa Pada Suatu Wilayah Merah
Oleh:sociapolitica
Bagian Pertama
“Berbeda dengan Angkatan Darat, sumber dana politik PKI sedikit lebih terselubung dan
nyaris tak terbuktikan, karena tak ada pihak yang betul-betul memiliki bukti-bukti hitam
putih aliran dana PKI”.
ADALAH menarik bahwa dalam kurun waktu Nasakom, PKI yang menempatkan perjuangan
kelas sebagai kegiatan politik ideologisnya, boleh dikatakan tak pernah menyentuh wilayah
persoalan kesenjangan sosial yang terkait dengan kelompok etnis Cina. Hubungan PKI di bawah
Aidit dengan Cina Komunis –Aidit dianggap sebagai kelompok sayap Peking– dan keberadaan
Baperki sebagai organisasi kaum peranakan Cina di Indonesia yang berkiblat kiri, dapat
menjelaskan mengapa PKI relatif menjauhi masalah kesenjangan sosial dan ekonomi yang
terkait dengan etnis Cina di Indonesia. Terdapat pula unsur pragmatis dalam hal ini.
Secara umum, sumber dana untuk segala kegiatan politik PKI tak banyak disinggung. Ini
berbeda dengan kelompok jenderal yang memegang kendali Angkatan Darat yang berhadapan
dalam pertarungan politik dan kekuasaan dengan PKI. Sumber dana ‗non budgetair’ para
jenderal saat itu senantiasa dikaitkan dengan perilaku korupsi, terutama karena posisi sejumlah
jenderal atau perwira tentara dalam berbagai badan usaha milik negara, yang sebagian adalah
bekas perusahaan Belanda yang dinasionalisir pada tahun 1957. Termasuk di sini adalah
Pertamin dan Permina yang kemudian hari dilebur menjadi Pertamina, dan diserahkan
penanganannya kepada seorang dokter yang juga adalah perwira Angkatan Darat, Ibnu Sutowo,
yang berpangkat kolonel kemudian naik ke jenjang jenderal. Beberapa posisi penting di
bawahnya umumnya juga dipegang kalangan tentara. Konsesi di perusahaan perminyakan ini
diberikan sebagai bagian dari semacam deal politik maupun saling pengertian –yang mungkin
saja tak pernah diucapkan dengan cara yang betul-betul terus terang– antara Presiden Soekarno
dengan pihak militer di bawah Mayor Jenderal Nasution sebelum Dekrit 1959.
Berbeda dengan Angkatan Darat, sumber dana politik PKI sedikit lebih terselubung dan nyaris
tak terbuktikan, karena tak ada pihak yang betul-betul memiliki bukti-bukti hitam putih aliran
dana PKI. Sumber dana utama PKI di masa-masa awal sebelum Pemilihan Umum 1955 adalah
dari gerakan dan jaringan komunis internasional. Selanjutnya, sumber dana itu bergeser yang
mulanya terutama datang dari Moskow menjadi lebih banyak berasal dari Peking, tatkala Aidit
secara kasat mata membawa PKI lebih berkiblat ke Peking. Namun Moskow tak pernah
sepenuhnya menghentikan bantuan keuangan, karena pemimpin blok Timur itu masih tetap
mengalirkan dana ke kelompok PKI sayap Moskow yang masih eksis sebagai faksi ‗urutan
kedua‘ di tubuh partai tersebut. Apalagi, di balik yang terlihat, ada gambaran bahwa Aidit tidak
pernah betul-betul meninggalkan Moskow. Menurut Muhammad Achadi –Menteri Transmigrasi
dan Koperasi pada Kabinet Soekarno– hingga dekat-dekat saat terjadinya Peristiwa 30
September 1965, Aidit tetap menjalin hubungan dengan Moskow. Aidit pun –tanpa banyak
diketahui pihak lain– berkali-kali datang ke Moskow sekitar waktu tersebut.
445
Sumber dana dalam negeri PKI, termobilisasi melalui Jusuf Muda Dalam yang memegang
kendali Bank Sentral. Tapi sumber keuangan PKI lainnya yang tak kecil juga berasal dari
kelompok-kelompok pengusaha bidang perdagangan dan industri beretnis Cina yang berhaluan
kiri dan atau punya alasan ataupun kepentingan lain. Bandingkan dengan Masjumi, yang
sebelum menjadi partai terlarang memperoleh aliran dananya antara lain dari satu dua
‗pengusaha‘ anggota Masjumi yang mendapat fasilitas lisensi –di zaman bermunculannya
pengusaha aktentas yang sekedar memperjualbelikan lisensi tersebut– melalui suatu program
yang sebenarnya dimaksudkan untuk membantu ‗pengusaha nasional‘ pada masa tokoh PSI
Soemitro Djojohadikoesoemo menjadi Menteri Perdagangan dalam kabinet Natsir di tahun 19501951. Suatu ‗ladang‘ yang sempit dan ringkas. Pengusaha aktentas memang bukan jenis yang
bisa sepenuhnya diandalkan.
Sebaliknya, pada tahun lima puluhan, menteri-menteri yang berasal dari Masjumi juga banyak
membantu pengusaha nasional. Jusuf Wibisono, Menteri Keuangan dalam Kabinet SukimanSuwirjo (1951-1952) dan Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957) selama setahun-setahun,
pernah antara lain membantu TD Pardede, pengusaha asal Sumatera Utara beragama Kristen dan
anggota PNI. Hal serupa dilakukan pula sebelumnya oleh Sjafruddin Prawiranegara yang
menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Natsir (1950-1951) dan pada dua kabinet lain pada
masa-masa sebelumnya. Menurut penuturan Pardede (kepada Professor Deliar Noer), suatu kali
ketika usahanya menjadi besar dan sukses ia mendatangi keduanya, serta M. Sanusi tokoh
Masjumi yang juga seorang pejabat di Departemen Perindustrian, untuk memberikan ‗amplop‘
sebagai tanda terima kasih. Dengan cara yang baik-baik dan menyenangkan, ketiga tokoh
Masjumi itu menolak menerimanya.
Selain karena faktor militansi tinggi yang dimiliki massa PKI, kelancaran aliran dana yang
dikelola lebih efektif dan efisien –dan harus diakui relatif tak ‗tergigit‘ oleh pengelola partai,
seperti yang terjadi pada beberapa partai politik lain waktu itu– menjadikan manuver-manuver
politik PKI lebih mobile dan efektif pula. Maka PKI muncul menonjol di berbagai lini medan
pertarungan politik dan kekuasaan.
Hanya satu obsesi PKI yang belum juga tercapai, yaitu keberhasilan menciptakan sayap
bersenjata yang tangguh, yang dengan gemilang dicapai oleh Partai Komunis Tjina di bawah
Mao Zedong (Mao Tsetung) masih sejak tahun-tahun awal sejak kelahirannya. Sebagai ganti dari
belum terpenuhinya obsesi tersebut adalah keberhasilan dalam kadar tertentu dari PKI
menginfiltrasi dan menyusupkan pengaruhnya ke tubuh militer, khususnya Angkatan Darat, yang
menjadi lebih intensif setelah terbentuknya Biro Khusus PKI di tahun 1964. Kelak akan ternyata
bahwa pada saat dibutuhkan sayap PKI dalam militer, meskipun mencapai tingkat yang cukup
signifikan, tidaklah bisa mencapai hasil optimum.
Partai Komunis Tjina yang lahir tahun 1921, meskipun lebih muda setahun dari PKI, dalam
banyak hal dijadikan PKI sebagai percontohan dari waktu ke waktu, termasuk dalam obsesi
memiliki sayap bersenjata yang andal. Pintu masuk untuk memenuhi obsesi tersebut, di luar
dugaan dibuka oleh Dr Sun Yat-sen pemimpin Republik (Nasionalis) Cina yang pada sekitar
tahun 1920 mengalami akumulasi kekecewaan terhadap pihak barat. Melihat keberhasilan
Revolusi Bolsjewik dan berbagai keberhasilan Lenin setelahnya, Sun Yat-sen yang memiliki
sikap dan pandangan yang sosialistis, terangsang untuk berhubungan dengan Uni Sovjet dan
446
berharap bahwa dari hubungan itu nantinya ia bisa mendapat apa yang tidak didapatnya dari
barat sekaligus bisa mengakhiri beberapa perlakuan buruk pihak barat pada Cina. Lenin,
pemimpin Sovjet, ternyata tanggap dan segera mengalirkan banyak bantuan kepada Cina yang
dipandangnya dapat bergeser ke kiri di bawah Sun Yat-sen yang juga memahami Marxisme dan
Sosialisme dengan baik. Salah satunya adalah pengiriman sejumlah penasehat politik dan militer.
Satu di antara program prioritas Sun Yat-sen kala itu adalah memperbesar militer Kuomintang
dengan bantuan para penasehat militer Sovjet itu. Memperbesar militer menjadi kebutuhan
objektif bagi Sun Yat-sen, karena pada masa itu sebagian besar panglima militer di berbagai
wilayah cenderung menciptakan diri sebagai warlord di daerah kekuasaannya masing-masing
dan banyak menunjukkan ketidakpatuhan kepada pemerintah pusat. Sun Yat-sen mendengar
banyak laporan mengenai perilaku seenaknya dari para panglima wilayah itu, yang bekerjasama
dengan tuan-tuan tanah dan orang-orang kaya setempat, memeras dan menindas rakyat dengan
berbagai tindak kekerasan. Mereka pun mengorganisir kegiatan kriminal dan premanisme untuk
tujuan ‗komersial‘ serta pengumpulan keuntungan materil, mulai dari pelacuran, permadatan
hingga berbagai macam pemerasan. Kelompok ‗kriminal‘ ini juga bersenjata dan berlaku
sewenang-wenang. Para panglima dan perwira-perwiranya, bahkan sampai prajurit lapisan
bawah, sangat koruptif.
Situasi ini dianggap Sun Yat-sen sangat melemahkan Cina dan bisa membawa Cina ke ambang
kehancuran. Untuk mengatasinya, Sun Yat-sen membutuhkan militer Kuomintang yang
diperbarui dan diperbesar, sehingga akan lebih disegani dan mampu menundukkan para warlords
itu. Sun Yat-sen bertindak ‗radikal‘ dengan membuka pintu bagi Partai Komunis Tjina turut serta
sebagai sumber daya manusia ‗baru‘ dalam pengembangan militer itu serta mengakomodir para
kader partai komunis ke dalam institusi-institusi pemerintahan. Sejumlah besar kader Partai
Komunis mengalir ke sekolah militer baru yang didirikan dan ditopang instruktur-instruktur
militer dari Rusia (negara ‗induk‘ Uni Sovjet). Ia mengangkat seorang perwira kepercayaannya,
Chiang Kai-shek, sebagai pimpinan sekolah militer itu.
Suatu program lain, yang menyenangkan bagi Partai Komunis Tjina dipimpin Mao Zedong
adalah program penataan ulang tanah –land reform– bagi para petani kecil di daratan Cina yang
pada masa itu menjadi salah satu kelompok masyarakat sasaran pemerasan dan penindasan fisik
dari para tuan tanah yang bekerja di bawah topangan dan lindungan para tentara korup. Para
petani dijadikan sebagai ‗kuda‘ yang diperas tenaganya, sementara anak-anak gadis mereka
dijadikan sebagai objek seks bagi lapisan berkuasa beserta para kaki-tangan mereka dan setelah
puas menikmatinya dijadikan pelacur di rumah-rumah hiburan. Program land reform diharapkan
Sun Yat-sen menjadi jalan menyelamatkan petani dan karenanya akan memperoleh dukungan
petani sebagai lapisan akar rumput guna menundukkan para warlord
447
Bagian Kedua
“Inisiatif politik Aidit, melontarkan gagasan Angkatan Kelima, sebenarnya adalah
semacam take over atas suatu gagasan yang muncul sebelumnya pada kwartal terakhir
tahun 1964”. “Terkesan pada mulanya Soekarno tertarik sedikit saja meskipun
memperlihatkan sikap cukup menyambut baik gagasan itu dan untuk seberapa lama
belum menunjukkan sikap persetujuan yang jelas”.
KARENA meninggal dunia di tahun 1925, Dr Sun Yat-sen tak berhasil menyaksikan rencanarencananya rampung terwujud. Ia meninggalkan dua kelompok kekuatan di belakangnya, yakni
Chiang Kai-shek bersama sayap kanan Kuomintang-nya dengan tentara yang sudah lebih kuat di
satu sisi dan pada sisi lain Partai Komunis Tjina yang juga sudah memiliki sejumlah besar
manusia yang terlatih sebagai militer. Pada dasarnya sejak awal kedua kelompok ini tak pernah
cocok, dan terpaksa ‗bersatu‘ dalam satu belanga hanya karena mengikuti kemauan Dr Sun Yatsen. Setelah Sun Yat-sen meninggal dunia, Jenderal Chiang Kai-shek agaknya sudah
merencanakan untuk pada waktunya mengusir para instruktur Rusia kembali ke negerinya dan
membersihkan militer dan pemerintahan dari unsur-unsur komunis. Namun sebelum itu, ia
memanfaatkan pasukan tentara –termasuk orang-orang komunis di dalam tentara– untuk suatu
operasi militer penaklukan, tidak sekedar mengertak seperti rencana semula almarhum Sun Yatsen, terhadap para panglima militer terutama di bagian utara daratan Cina, satu persatu.
Chiang Kai-shek berhasil karena masing-masing warlord itu berdiri sendiri, tidak punya
hubungan satu sama lain. Chiang pun menundukkan yang terkuat, rezim Shih-kai yang
menguasai Peking dan sekitarnya. Chiang lalu menjadi yang paling kuat untuk saat itu, karena
selain menguasai militer dan telah mempersatukan seluruh kekuatan militer se-Cina melalui
penaklukan, ia pun seperti halnya Sun Yat-sen mengawini seorang puteri keluarga Soong dari
Shanghai, keluarga pedagang amat kaya dan memiliki akar pengaruh yang kuat di Cina pada
masa itu. Setelah berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya, yang mulai terpetakan sejak 1928
dan menuntaskannya di sekitar tahun 1930, Chiang lalu mulai menjalankan rencananya sejak
lama, mengusir orang-orang Rusia dan melakukan pembersihan terhadap orang-orang Partai
Komunis Tjina.
Kaum komunis ini terpaksa mengundurkan diri ke bagian tengah dan selatan. Dari daerah-daerah
terpencil di sana mereka melancarkan perlawanan dengan pasukan gerilya, dan itulah cikal bakal
Tentara Merah. Tahun 1931, Mao Zedong, salah satu pendiri Partai Komunis Tjina dan
kemudian menjadi pemimpinnya, dari provinsi Kiangshi memproklamirkan berdirinya Republik
Sovjet Cina. Di wilayah-wilayah yang dikuasainya Partai menata ulang tanah-tanah pertanian.
Mereka merampas tanah milik para tuan tanah, membagikannya kepada para petani untuk
digarap sebagai sumber penghasilan partai. Tapi Chiang Kai-shek yang tak mau mengambil
risiko lebih besar kelak di kemudian hari, pada tahun 1935 segera menyerang wilayah yang
dikuasai kaum komunis. Mao dan pengikutnya terpukul dan lari ke arah barat untuk kemudian
berputar ke utara menuju pangkalan yang mereka telah bangun beberapa tahun sebelumnya di
Cina Utara sebelum ‗perang‘.
Mao dan lebih dari 300.000 ribu Tentara Merah serta sejumlah kader partai dan pengikut,
menempuh hampir dua puluh ribu kilometer pada daerah-daerah yang sulit dan berbahaya
448
keadaan alamnya. Berkali-kali berhadapan pula dengan suku-suku terpencil yang curiga
sehingga tak jarang melakukan serangan bersenjata yang menewaskan banyak dari mereka.
Bahkan menghadapi serangan gabungan di wilayah Tibet dan Mantzu. Dihujani batu dari lerenglereng gunung, dan tersiksa oleh serangan-serangan malam yang mendadak dan mematikan,
tatkala kebanyakan dari mereka lelap karena keletihan.
Selain karena pertempuran sepanjang jalan, korban-korban di kalangan Tentara Merah
berjatuhan pula karena keganasan alam, pemangsaan khewan liar hingga pada kematian tertelan
rawa dan kubangan lumpur hisap. Tapi mereka akhirnya berhasil tiba di tujuan. Peristiwa
perjalanan panjang menempuh belasan ribu kilometer dan memakan waktu berbulan-bulan yang
penuh penderitaan dan kematian inilah yang dikenal sebagai Peristiwa Long March yang
bersejarah. Di tempat tujuan, mereka langsung menghadapi pula babak baru Perang Saudara
Cina, yang sempat jeda di tahun 1937, karena harus ikut menghadapi serbuan tentara Jepang ke
daratan Cina. Setelah jeda, perang saudara diteruskan dan dimenangkan kaum komunis. Chiang
Kai-shek bersama pengikutnya lalu melarikan diri menyeberang laut ke arah Timur ke pulaupulau Taiwan.
Pengalaman Cina Komunis dan Tentara Merah, menjadi salah satu sumber inspirasi kaum
komunis di Asia, termasuk bagi Partai Komunis Indonesia. Peristiwa Madiun tahun 1948,
memakai model perjuangan Cina Komunis dengan Tentara Merah-nya. Di Madiun, PKI
menggunakan kekuatan militer bersenjata dan memproklamirkan suatu Republik Sovjet Madiun.
Tapi tak berusia panjang.
Model Tentara Merah sebagai sayap militer partai, menjadi semacam obsesi bagi para tokoh PKI
yang menguasai kendali partai. Ketika sudah berada di atas angin pada tahun 1964-1965 gagasan
sayap militer kembali dikembangkan, melalui infiltrasi ke tubuh tentara. Cukup memadai tetapi
belum mencukupi untuk suatu orientasi kekuasaan. Dan pada awal 1965, Aidit melontarkan
gagasan pembentukan Angkatan Kelima. Gagasan itu pertama kali dilontarkan oleh Dipa
Nusantara Aidit, Kamis pagi 14 Januari, ketika akan dan sewaktu menghadap Presiden Soekarno
di Istana Merdeka.
Inisiatif politik Aidit, melontarkan gagasan Angkatan Kelima, sebenarnya adalah semacam take
over atas suatu gagasan yang muncul sebelumnya pada kwartal terakhir tahun 1964. Sewaktu
Soekarno berkunjung ke Cina, dalam suatu percakapan, Mao Zedong dan kemudian Chou En-lai,
mengusulkan agar Soekarno mempersenjatai buruh dan tani bila ingin memperkokoh diri dan
memenangkan perjuangan melawan kaum imperialis, khususnya dalam konfrontasi terhadap
Malaysia. Mao yang merasa punya pengalaman historis dengan Tentara Merah yang revolusioner
yang menopang berdirinya Republik Rakyat Tjina (RRT), berkata tak cukup bila Soekarno hanya
mengandalkan tentaranya yang sekarang. Percakapan yang lebih terperinci terjadi antara
Soekarno dengan Perdana menteri Chou En-lai. Sang perdana menteri menyampaikan
pendapatnya dengan ungkapan-ungkapan terus terang kepada Soekarno, bahwa Soekarno tak
bisa seratus persen mempercayai tentaranya, terutama Angkatan Darat, karena banyak
perwiranya yang pernah dididik di Amerika Serikat sampai sekarang masih punya hubunganhubungan khusus dengan Amerika Serikat. Banyak pimpinan tentara Indonesia adalah termasuk
kaum reaksioner, bukan kaum progresif revolusioner yang bisa diandalkan melawan kaum
449
imperialis. Maka kaum buruh dan tani yang dipersenjatai itu, harus dibentuk di luar koordinasi
tentara, sebagai Angkatan Kelima yang berdiri sendiri.
Sejak awal pula, Chou En-lai sudah membayangkan kesediaan RRT membantu bila gagasan itu
mau diwujudkan. Belakangan muncul angka bantuan awal yang akan diberikan dan katanya
disetujui Mao, berupa 100.000 pucuk senjata Tjung, sejenis senapan ringan buatan RRT. Dengan
jumlah senjata itu saja, setidaknya bisa terbentuk sedikitnya 10 divisi bersenjata. Terkesan pada
mulanya Soekarno tertarik sedikit saja meskipun memperlihatkan sikap cukup menyambut baik
gagasan itu dan untuk seberapa lama belum menunjukkan sikap persetujuan yang jelas. Agaknya,
Presiden Soekarno masih memperhitungkan juga faktor reaksi dan sikap Angkatan Darat
nantinya.
ADALAH Aidit yang dengan gesit mengambil alih gagasan itu dan merubahnya menjadi suatu
inisiatif politik. Dan sebenarnya, ketika pembicaraan Soekarno dengan para pimpinan Cina itu
terjadi, Aidit pun dengan cepat pada waktu yang hampir bersamaan telah diinformasikan oleh
Duta Besar RRT di Jakarta mengenai adanya pembicaraan tentang gagasan Angkatan Kelima
tersebut. Aidit pun tampil dengan gagasan itu. Tatkala tampil terbuka pertama kali dengan
gagasan itu, bersama Aidit pada 14 Januari 1965 di Istana Merdeka itu hadir Ketua Umum
Barisan Tani Indonesia (BTI) Asmu serta dua tokoh unsur Nasakom lainnya, yakni Idham Chalid
Ketua Umum NU dan Hardi SH Ketua I PNI/Front Marhaenis.
Masih sebelum menghadap kepada Presiden, Aidit dicegat oleh Bernhard Kalb wartawan
Columbia Broadcasting System, Amerika Serikat. ―Saya akan mengusulkan kepada Presiden
Soekarno agar kaum buruh dan tani segera dipersenjatai‖, ujar Aidit kepada Bernhard.
‖Seluruhnya lima belas juta orang, siap dipersenjatai !‖. Sepuluh juta buruh, lima juta petani.
Tetapi kemudian sempat terjadi pertukaran kata yang keras antara sang wartawan dengan sang
pemimpin partai, setelah Kalb melontarkan beberapa pertanyaan yang tampaknya dianggap
menyebalkan oleh Aidit. Setelah pertemuan dengan Soekarno, Aidit menegaskan kembali kepada
para wartawan, bahwa ia memang mengajukan tuntutan kepada Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata RI, kaum buruh dan kaum tani yang merupakan sokoguru revolusi, segera
dipersenjatai. Menurut Aidit, Soekarno menyambut baik tuntutan PKI itu. Maka pada petang
harinya, Harian Warta Bhakti, organ pers Baperki, menurunkan berita dengan judul besar ―PKI
usulkan 15 djuta massa tani dan buruh dipersendjatai‖.
Selang tiga hari, agaknya PKI berhasil menciptakan kesan bahwa tuntutan itu telah menjadi
tuntutan seluruh kekuatan politik yang ada. Lembaga Kantor Berita Nasional ‗Antara’
menurunkan berita tentang adanya kebulatan tekad bersama yang menuntut agar sokogurusokoguru revolusi segera dilatih dan dipersenjatai. Menurut berita bertanggal 18 Januari 1965 itu,
―Sidang bersama Pengurus Besar Front Nasional dan Pucuk Pimpinan Partai-partai Politik,
Organisasi Massa, Golongan Karya serta lembaga-lembaga persahabatan, hari Minggu malam
(17 Januari) dalam kebulatan tekad dan instruksi bersamanya, mendesak kepada pemerintah dan
alat-alatnya yang berwenang untuk segera melatih dan mempersenjatai sokoguru-sokoguru
revolusi, sebagai jaminan utama guna mencegah dan mengalahkan tiap bentuk agresi Inggeris
dan agresi Nekolim pada umumnya‖.
450
Sidang bersama menurut berita itu lebih jauh, berlangsung di Gedung BPI (Badan Pusat
Intelejen) dipimpin Wakil Sekertaris Jenderal PB Front Nasional AM Rachman. Berita itu
menyebutkan secara jelas beberapa nama yang berperan dan turut serta dalam sidang yang
mengambil keputusan mengenai Kebulatan Tekad. Nama-nama itu, yang adalah tokoh-tokoh
kelompok komunis, antara lain Anwar Sanusi, Mohammad Munir, dan Ir Surachman yang
dikenal sebagai Sekertaris Jenderal PNI. Satu nama lain yang disebutkan adalah Menteri
Koordinator/Ketua DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) Arudji Kartawinata
seorang tokoh unsur A dalam Nasakom.
Kehadiran beberapa nama tokoh partai politik, organisasi-organisasi massa dan Golongan Karya
disebutkan dalam berita, namun tanpa pencantuman nama orang dengan jelas. Dan memang,
belakangan beberapa pihak menyangkal keikutsertaannya dalam kebulatan tekad. Tapi ada pula
yang tak terberitakan lagi pembenaran atau sangkalan keterlibatannya di media mana pun. Selain
tuntutan mempersenjatai para sokoguru revolusi, kebulatan tekad itu menyatakan pula
mendukung sepenuhnya kebijaksanaan dan keputusan Presiden/Pemimpin Besar Revolusi untuk
keluar dari PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). Sepuluh hari sebelumnya, Soekarno memang
mengambil tindakan drastis menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Keluarnya Indonesia ini
adalah sebagai reaksi atas terpilihnya Malaysia –yang justru menjadi sasaran konfrontasi
Indonesia kala itu– sebagai anggota Dewan Keamanan PBB. Bagi Soekarno, tentu saja
keberhasilan Malaysia menduduki kursi dalam Dewan Keamanan PBB dan kegagalan Indonesia
mencegahnya, merupakan kejadian yang menjengkelkan
451
Bagian Ketiga
“Pergeseran dari perseteruan politik di antara para „penopang‟ struktur Nasakom di
bawah selimut „bendera revolusi‟ menuju pertarungan kekuasaan sesungguhnya pada
wilayah konspirasi yang akan segera berakhir sebagai satu tragedi baru dalam sejarah
Indonesia modern”.
SEBELUM lontaran gagasan mengenai Angkatan Kelima, lebih awal di bulan Januari 1965 itu
Soebandrio melontarkan semacam teka-teki politik yang mengundang bermacam tafsir, karena
menyodorkan insinuasi akan terjadinya suatu persilangan jalan politik. Senin 4 Januari,
Soebandrio menyampaikan semacam ‗perkiraan‘ politik, dan dikutip pers menyatakan bahwa
―dalam tahun 1965 ini mungkin akan terjadi di mana kawan seperjuangan akan menjadi lawan‖.
Apa yang sekarang revolusioner, ujar sang Wakil Perdana Menteri I, akan menjadi kontra
revolusi dan reaksioner. ‖Kita mungkin akan terpaksa berpisah dengan sahabat-sahabat pribadi
dan comrades in arms‖.
Karena Soebandrio adalah juga membawahi Badan Pusat Intelejen yang sehari-hari dipimpin
oleh Brigadir Jenderal Polisi Sutarto, tentu saja pernyataannya menjadi perhatian dan bahan
spekulasi tentang apa sebenarnya yang telah dan akan terjadi, apalagi ia menyampaikannya
dengan suatu gaya yang dramatis tentang akan adanya pisah jalan sekaligus situasi konfrontatif.
―Jangan terkejut, apabila saya katakan bahwa mungkin dalam tahun 1965 ini kawan-kawan
seperjuangan kita terpaksa ada yang rontok dan kita tinggalkan karena tak bisa lagi mengikuti
jalannya revolusi‖, lanjutnya. ―Menghadapi kemungkinan ini, kita sebagai manusia sudah barang
tentu merasa sedih. Akan tetapi sebagai abdi revolusi kita tak bisa berbuat lain, hal itu terpaksa
kita lakukan demi keselamatan revolusi kita‖, seraya mengingatkan pula bahwa revolusi kita
belum selesai.
Bila penggunaan istilah ‗comrades in arms’ adalah dalam konteks kelaziman hubungan di antara
golongan kiri, semestinya yang dimaksud adalah kawan seperjuangan satu ideologi. Tapi
bilamana ‗comrades in arms’ digunakan di sini secara artifisial dan sekedar basa-basi, dengan
segera dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksudkan adalah kalangan tentara yang tak berhaluan
kiri, baik kelompok Jenderal Abdul Harris Nasution maupun kelompok Letnan Jenderal Ahmad
Yani yang pada awalnya dinyatakan sebagai ‗tangan kanan‘ –rechter hand– Soekarno. Dan
karena Soebandrio selama beberapa lama dikenal sebagai ‗tangan kiri‘ Soekarno dalam politik
dan kekuasaan, maka pernyataan itu dianggap datang dari Soekarno sendiri yang kala itu makin
condong ke kiri.
Belakangan, setelah terjadinya peristiwa di akhir September 1965, semua itu dikaitkan sebagai
isyarat dini dari Soekarno tentang suatu rencana pembersihan antas Angkatan Darat. Perlu
dicatat, di akhir 1964 dan awal 1965 itu, BPI sudah mulai mencium adanya kegiatan sejumlah
perwira Angkatan Darat menjalankan misi khusus untuk menghentikan konfrontasi terhadap
Malaysia. Lebih dari itu, pada sekitar waktu yang sama BPI menyampaikan pula semacam praanalisa untuk kalangan terbatas secara internal, yang dibahas di tingkat pimpinan, tentang
kemungkinan telah berkembangnya satu rencana di kalangan perwira Angkatan Darat yang
berkonotasi pengambilalihan kekuasaan.
452
Tatkala Aidit melontarkan tuntutan mengenai Angkatan Kelima dan Letnan Jenderal Ahmad
Yani dan sejumlah kalangan tentara lainnya memberi reaksi penolakan, yang mulanya bernada
diplomatis sebelum menjadi keras sehingga disebut Soekarno sebagai sikap ‗koppig’, perkiraan
awal tahun Soebandrio seakan mendapatkan pembenarannya. Silang kata mengenai Angkatan
Kelima berlangsung eskalatif, selama berbulan-bulan. Pada bulan kelima 1965, isu dan polemik
keras mengenai Angkatan Kelima, tambah menajam karena muncul lagi satu isu baru
menyangkut ‗penemuan‘ Dokumen Gilchrist tentang suatu konspirasi Barat dengan sejumlah
jenderal Angkatan Darat. Bahwa di tubuh Angkatan Darat ada sebuah Dewan Djenderal yang
merencanakan suatu pengambilalihan dari tangan Soekarno. Dua pokok soal, Angkatan Kelima
dan Dewan Jenderal, menyebabkan terjadi pemanasan politik dan penajaman perseteruan politik
menjadi pertarungan politik dan kekuasaan yang sebenarnya di dalam tubuh segitiga kekuasaan.
Dalam kasus ‗penemuan‘ Dokumen Gilchrist dan isu Dewan Jenderal, Angkatan Darat
ditempatkan dalam posisi tertuduh dalam serangan gencar oleh Soebandrio dan PKI, sebagai
perencana suatu usaha pengambilalihan kekuasaan. Tetapi di tahun sebelumnya, 1964, PKI lah
yang menjadi tertuduh selaku perencana suatu perebutan kekuasaan negara. Sebuah ‗dokumen‘
rahasia berisi Rencana 4 Tahun PKI yang berisi pokok perjuangan PKI yang menuju perebutan
kekuasaan, ‗ditemukan‘ pada awal tahun tersebut. Dalam suatu pertemuan di Istana Bogor, di
depan Soekarno, adalah tokoh Partai Murba (Musyawarah Rakyat Berjuang) yang juga adalah
Waperdam III Chairul Saleh yang mengungkapkannya. Soekarno yang mendengar laporan itu,
langsung menanyakannya secara terbuka kepada Aidit. Dengan sengit, seraya menoleh ke arah
Chairul, Aidit membantahnya sebagai dokumen palsu, yang dimaksudkan untuk memfitnah PKI.
Dalam salah satu versi peristiwa, dalam rapat di Istana Bogor itu, yang dipercaya kebenarannya,
terjadi debat sengit antara Chairul dengan Aidit. ―Itu dokumen palsu !‖, kata Aidit keras. Tak
kalah kerasnya, Chairul membentak ―Kalau dokumen ini dikatakan palsu, tunjukkan mana
aslinya !‖, supaya bisa diperbandingkan. Ketika Aidit hendak mendebat lagi, Chairul maju
dengan cepat dan melayangkan satu pukulan ke bagian wajah Aidit. Soekarno yang berada tak
jauh dari mereka, segera melerainya lalu mendamaikan keduanya. Para peserta rapat, di bawah
arahan Soekarno lalu melahirkan ‗Deklarasi Bogor‘ untuk mengakhiri dan mencegah persoalan
berlanjut.
Tetapi agaknya, PKI tetap menyimpan dendam dan melancarkan serangan politik dengan
menyebutkan pimpinan Murba sebagai ―penyebar dokumen palsu‖ dan ―tukang fitnah‖.
Berikutnya, serangan itu meningkat dengan aksi-aksi demonstrasi yang menuntut pembubaran
Murba. Pada akhirnya Murba memang betul-betul dibubarkan oleh Soekarno, 21 September
1965. Namun, dalam salah satu rapat menjelang Peristiwa 30 September 1965, setahun lebih
setelah insiden di Istana Bogor, ketika Sjam Kamaruzzaman mengusulkan kepada Aidit, agar
menculik Chairul Saleh dan eks Wakil Presiden Mohammad Hatta, Aidit dengan wajah tampak
heran balik bertanya, ―Untuk apa ?‖. Sjam memberi alasan, bahwa kedua orang itu, khususnya
Hatta, sering berhubungan dengan Jenderal Nasution, dan banyak tahu mengenai Dewan
Jenderal dari sang Jenderal, sehingga dari keduanya bisa dikorek keterangan mengenai hal itu.
Aidit menolak menculik Hatta maupun Chairul Saleh, tokoh yang pernah bermasalah dengannya
di tahun sebelumnya (Pengakuan Sjam Kamaruzzaman dalam persidangan Mahmilub 1968 di
Gedung Merdeka Bandung). Pembubaran Murba hanya sembilan hari menjelang 30 September
sejauh perkembangan yang terjadi tidaklah menyebabkan Chairul Saleh tergeser dari posisinya di
453
kabinet maupun dari sisi Soekarno dan ikut bersama sang pemimpin memasuki tahun 1966 yang
bergolak.
Kasus ‗dokumen rahasia‘ Rencana 4 Tahun PKI 1964 untuk pengambilalihan kekuasaan politik
dan negara, ‗penemuan‘ dokumen Gilchrist beserta isu Dewan Jenderal yang akan merebut
kekuasaan dari Soekarno, gagasan pembentukan Angkatan Kelima yang didahului ramalan
Soebandrio tentang perpisahan dengan comrade in arms yang akan berubah dari kawan
seperjuangan menjadi lawan, berpadu dalam akumulasi tanda pergeseran tingkat situasi.
Pergeseran dari perseteruan politik di antara para ‗penopang‘ struktur Nasakom di bawah selimut
‗bendera revolusi‘ menuju pertarungan kekuasaan sesungguhnya pada wilayah konspirasi yang
akan segera berakhir sebagai satu tragedi baru dalam sejarah Indonesia modern. Dalam dua
puluh tahun Indonesia merdeka, telah terjadi setidaknya delapan pemberontakan berskala cukup
besar, terdiri dari satu pemberontakan komunis di Madiun, empat pemberontakan DI-TII di
empat daerah, pemberontakan RMS, pemberontakan PRRI di Sumatera dan pemberontakan
Permesta di Sulawesi Utara. Artinya, satu pemberontakan setiap dua setengah tahun. Selain itu,
tak kurang dari sepuluh pemberontakan atau insiden skala lebih kecil juga terjadi dalam kurun
waktu tersebut, ditambah sepuluh pemberontakan atau benturan dan peristiwa berdarah lainnya
di antara sesama bangsa sendiri maupun upaya pemisahan diri yang semuanya terkait dengan
provokasi Belanda. Secara keseluruhan, ini berarti ada dua atau tiga peristiwa per tahun, hingga
saat itu. Sungguh meletihkan.
Dan akan terjadi satu lagi, di saat tingkat pertarungan politik dan kekuasaan sekali lagi
melangkah memasuki wilayah konspirasi: Peristiwa 30 September 1965. Selesai.
Bagian dari buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan tahun 1966, Kata Hasta Pustaka,
Jakarta 2006
454
PIDATO PRESIDEN SUKARNO "NAWAKSARA"
Di depan Sidang Umum ke-IV MPRS pada tanggal 22 Juni 1966
Saudara-saudara sekalian,
I. RETROSPEKSI
Dengan mengucap Syukur Alhamdulillah, maka pagi ini saya berada di muka Sidang
Umum MPRS yang ke-lV. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No.I/1960 yang memberikan
kepada diri saya, Bung Karno, gelar Pemimpin Besar Revolusi dan kekuasaan penuh
untuk melaksanakan Ketetapan-ketetapan tersebut, maka dalam Amanat saya hari ini
saya ingin mengulangi lebih dulu apa yang pernah saya kemukakan dalam Amanat saya
di muka Sidang Umum ke-ll MPRS pada tanggal 15 Mei 1963, berjudul "Ambeg ParamaArta" tentang hal ini:
1. Pengertian Pemimpin Besar Revolusi.
Dalam pidato saya "Ambeg Parama-Arta" itu, saya berkata: "MPRS telah memberikan
KEKUASAAN PENUH kepada saya untuk melaksanakannya, dan dalam memberi
kekuasaan penuh kepada saya itu, MPRS menamakan saya bukan saja Presiden, bukan
saja Panglima Tertinggi Angkatan Perang, tetapi mengangkat saya juga menjadi:
"PEMIMPIN BESAR REVOLUSI INDONESIA".
Saya menerima pengangkatan itu dengan sungguh rasa terharu, karena MPRS sebagai
Perwakilan Rakyat yang tertinggi di dalam Republik Indonesia, menyatakan dengan
tegas dan jelas bahwa saya adalah "Pemimpin Besar Revolusi Indonesia", yaitu:
"PEMIMPIN BESAR REPUBLIK RAKYAT INDONESIA"!
455
Dalam pada itu, saya sadar, bahwa hal ini bagi saya membawa konsekuensi yang amat
besar! Oleh karena seperti Saudara-saudara juga mengetahui, PEMIMPIN membawa
pertanggungan-jawab yang amat berat sekali!!
"Memimpin" adalah lebih berat daripada sekedar "Melaksanakan". "Memimpin" adalah
lebih berat daripada sekedar menyuruh melaksanakan"!
Saya sadar, lebih daripada yang sudah-sudah, setelah MPRS mengangkat saya menjadi
"Pemimpin Besar Revolusi", bahwa kewajiban saya adalah amat berat sekali, tetapi
Insya Allah S.W.T. saya terima
pengangkatan sebagai "Pemimpin Besar Revolusi" itu dengan rasa tanggung jawab yang
setinggi-tingginya!
Saya Insya Allah, akan beri pimpinan kepada Indonesia, kepada Rakyat Indonesia,
kepada Saudara-saudara sekalian, secara maksimal di bidang pertanggungan-jawab dan
kemampuan saya. Moga-moga Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Murah, dan Maha
Asih, selalu memberikan bantuan kepada saya secukup-cukupnya!
Sebaliknya, kepada MPRS dan kepada Rakyat Indonesia sendiri, hal ini pun membawa
konsekuensi! Tempohari saya berkata: "Jikalau benar dan jikalau demikianlah
Keputusan MPRS, yang saya diangkat menjadi Pemimpin Revolusi Besar Indonesia,
Revolusi Rakyat Indonesia, maka saya mengharap seluruh Rakyat, termasuk juga
segenap Anggota MPRS, untuk selalu mengikuti, melaksanakan, menfi'ilkan segala apa
yang saya berikan dalam pimpinan itu! Pertanggungan-jawab yang MPRS, sebagai
Lembaga Tertinggi Republik Indonesia letakkan di atas pundak saya, adalah suatu
pertanggungan-jawab yang berat sekali, tetapi denganridha Allah S.W.T. dan dengan
bantuan seluruh Rak yat Indonesia, termasuk di dalanlnya juga Saudara-saudara para
Anggota MPRS sendiri, saya percaya, bahwa Insya Allah, apa yang digariskan oleh Pola
Pembangunan itu dalam 8 tahun akan terlaksana!
Demikianlah Saudara-saudara sekalian beberapa kutipan daripada Amanat "Ambeg
Parama-Arta".
Saudara-saudara sekalian,
Dari Amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut, dapatlah Saudara ketahui, bagaimana visi
serta interpretasi saya tentang predikat Pemimpin Besar Revolusi yang Saudarasaudara berikan kepada saya.
Saya menginsyafi, bahwa predikat itu adalah sekedar gelar, tetapi saya pun - dan
456
dengan saya semua ketentuan-ketentuan progresif revolusioner di dalam masyarakat
kita yang tak pernah absen dalam kancahnya Revolusi kita - saya pun yakin seyakinyakinnya, bahwa tiap Revolusi mensyarat-mutlakkan adanya Pimpinan Nasional. Lebihlebih lagi Revolusi Nasional kita yang multi-kompleks sekarang ini, dan yang berhari
depan Sosialisme Panca-Sila. Revolusi demikian ta' mungkin tanpa adanya pimpinan.
Dan pimpinan itu jelas tercermin dalam tri-kesatuannya Re-So-Pim, yaitu Revolusi,
Sosialisme, dan Pimpinan Nasional.
2. Pengertian Mandataris MPRS.
Karena itulah, maka pimpinan yang saya berikan itu adalah pimpinan di segala bidang.
Dan sesuai dengan pertanggungan-jawab saya terhadap MPRS, pimpinan itu terutarna
menyangkut garis-garis besarnya. Ini pun adalah sesuai dan sejalan dengan kemurnian
bunyi aksara dan jiwa Undang-Undang Dasar '45, yang menugaskan kepada MPRS
untuk menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Saya tekankan garis-garis besarnya
saja dari haluan Negara. Adalah tidak sesuai dengan jiwa dan aksara kemurnian
Undang-Undang Dasar '45, apabila MPRS jatuh terpelanting kembali ke dalam alam
Liberale democratie, dengan beradu debat dengan bertele-tele tentang garis-garis kecil,
di mana masing-masing golongan beradu untuk memenangkan kepentingankepentingan golongan dan mengalahkan kepentingan nasional, kepentingan Rakyat
banyak, kepentingan Revolusi kita!
Pimpinan itu pun saya dasarkan kepada jiwa Panca-Sila, yang telah kita pancarkan
bersama dalam Manipol-Usdek sebagai garis-garis besar haluan Negara. Dan lebihlebih mendalam lagi, maka saya telah mendasarkan pimpinan itu kepada Sabda
Rasulullah S.A.W.: "Kamu sekalian adalah Pemimpin, dan setiap pemimpin akan
diminta pertanggungan-jawabnya tentang kepemimpinan itu di hari kemudian."
Saudara-saudara sekalian,
Itulah jiwa daripada pimpinan saya, seperti yang telah saya nyatakan dalam Amanat
"Ambeg Parama-Arta" tersebut tadi. Dan Saudarasaudara telah membenarkan amanat
itu, terbukti dengan Ketetapan MPRS No.IV/1963, yang menjadikan Resopim dan
Ambeg Parama-Arta masing-masing sebagai pedoman pelaksanaan garis-garis besar
haluan Negara, dan sebagai landasan kerja dalam melaksanakan Konsepsi
Pembangunan seperti terkandung dalam Ketetapan MPRS No.l dan 11 tahun 1960.
3. Pengertian Presiden seumur hidup
Malahan dalam Sidang Umum MPRS ke-ll pada bulan Mei tahun 1963 itu Saudarasaudara sekalian telah menetapkan saya menjadi Presiden se-umur-hidup. Dan pada
457
waktu itu pun saya telah menjawab keputusan Saudara-saudara itu dengan kata-kata:
"Alangkah baiknya jikalau nanti MPR, yaitu MPR hasil pemilihan-umum, masih
meninjau soal ini kembali." Dan sekarang ini pun saya masih tetap berpendapat
demikian!
II. LANDASAN-KERJA MELANJUTKAN PEMBANGUNAN.
Kembali sekarang sebentar kepada Amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut tadi itu.
Amanat itu kemudian disusul dengan amanat saya "Berdikari" pada pembukaan Sidang
Umum MPRS ke-lll pada tanggal 11 April 1965, di mana dengan tegas saya tekankan tiga
hal:
1. Trisakti.
Pertama :
bahwa Revolusi kita mengejar suatu Idee Besar, yakni melaksanakan Amanat
Penderitaan Rakyat; Amanat Penderitaan Rakyat seluruhnya, seluruh rakyat sebulatbulatnya.
Kedua :
bahwa Revolusi kita berjoang mengemban Amanat Penderitaan Rakyat itu dalam
persatuan dan kesatuan yang bulat-menyeluruh dan hendaknya jangan sampai watak
Agung Revolusi kita, diselewengkan sehingga mengalami dekadensi yang hanya
mementingkan golongann-ya sendiri saja, atau hanya sebagian dari Ampera saja!
Ketiga :
bahwa kita dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat itu tetap dan tegap
berpijak dengan kokoh-kuat atas landasan Trisakti, yaitu berdaulat dan bebas dalam
politik, berkepribadian dalam kebudayaan dan berdikari dalam ekonomi; sekali lagi
berdikari dalam ekonomi!
Saya sangat gembira sekali, bahwa Amanat-amanat saya itu dulu, baik "Ambeg ParamaArta", maupun "Berdikari" telaK Saudara-saudara tetapkan sebagai landasan-kerja dan
pedoman pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana untukmasa 3 tahun
yang akan datang, yaitu sisa jangka-waktu tahapan pertama mulai tahun 1966 s/d 1968
dengan landasan "Berdikari di atas Kaki Sendiri" dalam ekonomi. Ini berarti, bahwa
Lembaga Tertinggi dalam Negara kita, Lembaga Tertinggi dari Revolusi kita, Lembaga
Negara Tertinggi yang menurut kemurnian jiwa dan aksaranya UUD-Proklamasi kita
adalah penjelmaan kedaulatan Rakyat, membenarkan Amanat-amanat saya itu. Dan
tidak hanya membenarkan saja, melainkan juga menjadikannya sebagai landasan-kerja
serta pedoman bagi kita-semua, ya bagi Presiden/Mandataris MPRS/Perdana Menteri
458
ya, bagi MPRS sendiri, ya bagi DPA, ya bagi DPR, ya bagi Kabinet, ya bagi parpol-parpol
dan ormas-ormas, ya bagi ABRI, dan bagi seluruh Rakyat kita dari Sabang sampai
Merauke, dalam mengemban bersama Amanat Penderitaan Rakyat.
Memang, di dalam situasi nasional dan internasional dewasa ini, maka Trisakti kita,
yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari di
bidang ekonomi, adalah senjata yang paling ampuh di tangan seluruh rakyat kita, di
tangan prajuritprajurit Revolusi kita, untuk menyelesaikan Revolusi Nasional kita yang
maha dahsyat sekarang ini.
2. Rencana Ekonomi Perjoeangan.
Terutama prinsip Berdikari di bidang ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian
bagaimanapun sulitnya, saya minta jangan dilepaskan jiwa "self-reliance" ini, jiwa
percaya kepada kekuatan-diri-sendiri, jiwa self-help atau jiwa berdikari. Karenanya,
maka dalam melaksanakan Ketetapan-ketetapan MPRS No.V dan Vl tahun 1965 yang
lalu, saya telah meminta Bappenas dengan bantuan dan kerja sama dengan Muppenas,
untuk menyusun garis-garis lebih lanjut daripada Pola Ekonomi Perjoar gan seperti
yang telah saya canangkan dalam Amanat Berdikari tahun yang lalu.
Garis-garis Ekonomi Perjoeangan tersebut telah selesai, dan saya lampirkan bersama ini
Ikhtisar Tahunan tentang pelaksanaan Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960. Di
dalamnya Saudara-saudara akan memperoleh gambaran tentang Strategi Umum
Pembangunan 2 tahun 1966-1968, yaitu Pra-syarat Pembangunan, dan pola
Pembiayaan tahun 1966 s/d 1968 melalui Rencana Anggaran 3 tahun.
3. Pengertian Berdikari.
Khusus mengenai Prinsip Berdikari ingin saya tekankan apa yang" telah saya nyatakan
dalam pidato Proklamasi 17 Agustus 1965, yaitu pidato Takari, bahwa berdikari tidak
berarti mengurangi, melainkan memperluas kerjasama internasional, terutama antara
semua negara yang baru merdeka.
Yang ditolak oleh Berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kerja sama
yang sama-derajat dan saling menguntungkan.
Dan di dalam Rencana Ekonomi Perjoangan yang saya sampaikan bersama ini, maka
Saudara-saudara dapat membaca bahwa: "Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak
kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai tujuan itu, prinsip
459
untuk melaksanakan Pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan
negara atau bangsa lain. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti
bahwa kita tidak mau kerja sama berdasarkan sama-derajat dan saling
menguntungkan."
Dalam rangka pengertian politik Berdikari demikian inilah, kita harus menanggulangi
kesulitan-kesulitan di bidang Ekubang kita dewasa ini, baik yang hubungan dengan
inflasi maupun yang hubungan dengan pembayaran hutang-hutang luar negeri kita.
III. HUBUNGAN POLITIK DAN EKONOMI
Masalah Ekubang tidak dapat dilepaskan dari masalah politik, malahan harus
didasarkan atas Manifesto Politik kita.
Dekon kita pun adalah Manipohdi bidang ekonomi, atau dengan lain perkataan
"political-economy"-nya pembangunan kita. Dekon merupakan strategi-umum, dan
strategi-umum di bidang pembangunan 3 tahun di depan kita, yaitu tahun 1966--1968,
didasarkan atas pemeliharaan hubungan yang tepat antara keperluan untuk
melaksanakan tugas politik dan tugas ekonomi. Demikianlah tugas politik-keamanan
kita, politik-pertahanan kita, politik dalam-negeri kita, politik luar-negeri kita dan
sebagainya.
IV. DETAIL KE-DPR
Detail dari tugas-tugas ini kiranya tidak perlu diperbincangkana dalam Sidang Umum
MPRS, karena tugas MPRS ialah menyangkut garisgaris besarnya saja. Detailnya
seyogyanya ditentukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR, dalam rangka
pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945.
V. TETAP DEMOKRASI TERPIMPIN
Sekalipun demikian perlu saya peringatkan di sini, bahwa UndangUndang Dasar 1945
memungkinkan Mandataris MPRS bertindak lekas dan tepat dalam keadaan darurat
demi keselamatan Negara, Rakyat dan Revolusi kita.
Dan sejak Dekrit 5 Juli 1959 dulu itu, Revolusi kita terus meningkat dan bergerak cepat,
yang mau-tidak-mau mengharuskan semua Lembaga-lembaga Demokrasi kita untuk
bergerak cepat pula tanpa menyelewengkan Demokrasi Terpimpin kita ke arah
Demokrasi Liberal.
VI. MERINTIS JALAN KE ARAH PEMURNIAN PELAKSANAAN UUD 1945
460
Dalam rangka merintis jalan ke arah kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar
1945 itulah, saya dengan surat saya tertanggal 4 Mei 1966 kepada Pimpinan DPRGR
memajukan:
a. RUU Penyusunan MPR, DPR dan DPRD.
b. RUU Pemilihan Umum.
c. Penetapan Presiden No.3 tahun 1959 jo. Penetapan Presiden No.3 tahun 1966 untuk
diubah menjadi Undang-Undang supaya DPA dapat ditetapkan menurut pasal 16 ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945.
VII. WEWENANG MPR DAN MPRS
Tidak lain harapan saya ialah hendaknya MPRS dalam rangka pemurnian pelaksanaan
Undang-Undang Dasar 1945 itu menyadari apa tugas dan fungsinya, juga dalam
hubungan-persamaan dan perbedaannya dengan MPR hasil pemilihan-umum nanti.
Wewenang MPR selaku pelaksanaan kedaulatan Rakyat adalah menetapkan UndangUndang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan Negara (pasal 3 UUD), serta
memilih Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6 UUD ayat 2).
Undang-Undang Dasar serta garis-garis besar haluan Negara telah kita tentukan
bersama, yaitu Undang-Undang Dasar Proklamasi 1945 dan Manipol/Usdek.
VIII. KEDUDUKAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
Undang-Undang Dasar 1945 itu menyebut pemilihan jabatan Presiden dan Wakil
Presiden, masa jabatannya serta isi-sumpahnya dalam satu nafas, yang tegas bertujuan
agar terjamin kesatuan-pandangan, kesatuan-pendapat, kesatuan-pikiran dan
kesatuan-tindak antara Presiden dan Wakil Presiden, yang membantu Presiden (pasal 4
ayat 2 UUD).
Dalam pada itu, Presiden memegang dan menjalankan tugas, wewenang dan kekuasaan
Negara serta Pemerintahan. (pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, ayat 2). Jiwa
kesatuan antara kedua pejabat Negara ini, serta pembagian tugas dan wewenang seperti
yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 hendaknya kita sadari sepenuhnya.
IX. PENUTUP
Demikian pula hendaknya kita semua, di luar dan di dalam MPRS menyadari
sepenuhnya perbedaan dan persamaannya antara MPRS sekarang, dengan MPR-hasilpemilihan-umum yang akan datang, agar supaya benar-benar kemurnian pelaksanaan
461
Undang-Undang Dasar 1945 dapat kita rintis bersama, sambil membuka lembaran baru
dalam sejarah kelanjutan Revolusi Panca-Sila kita.
Demikianlah Saudara-saudara, teks laporan progress saya kepadaMPRS. lzinkanlah
saya sekarang mengucapkan beberapa patah kata pribadi kepada Saudara-saudara,
terutama sekali mengenai pribadi saya.
Lebih dahulu tentang hal laporan progress ini.
Laporan progress itu saya simpulkan dalam sembilan pasal, sembilan golongan,
sembilan punt. Maka oleh karena itu saya ingin memberi judul kepada amanat saya tadi
itu. Sebagaimana biasa saya memberi judul kepada pidato-pidato saya, ada yang
bernama Resopim, ada yang bernama Gesuri dan lain-lain sebagainya. Amanat saya ini,
saya beri judul apa? Sembilan perkara, pokok, pokok, pokok, pokok, saya tuliskan di
dalam Amanat ini. Karena itu saya ingin memberi nama kepada Amanat ini, kepada
pidato ini "Pidato Sembilan Pokok". Sembilan, ya sembilan apa? Kita itu biasa memakai
bahasa Sanskrit kalau memberi nama kepada amanat-amanat, bahkan kita sering
memakai perkataan Dwi, Tri, Tri Sakti, dua-duanya perkataan Sanskrit. Catur Pra Setia,
catur-empat setia, kesetiaan, Panca Azimat, Panca adalah lima. Ini sembilan pokok; ini
saya namakan apa?
Sembilan di dalam bahasa Sanskrit adalah "Nawa". Eka, Dwi, Tri, Catur, Panca, enamyam, tujuh-sapta, delapan-hasta, sembilan-nawa, sepuluh-dasa. Jadi saya mau beri
nama dengan perkataan "Nawa". "Nawa" apa? Ya, karena saya tulis, saya mau beri nama
"NAWA AKSARA", dus "NAWA iAKSARA" atau kalau mau disingkatkan
"NAWAKSARA". Tadinya ada orang yang mengusulkan diberi nama "Sembilan Ucapan
Presiden". "NAWA SABDA". Nanti kalau saya kasih nama Nawa Sabda, ada saja yang
salah-salah berkata: "Uh, uh, Presiden bersabda". Sabda itu seperti raja bersabda.
Tidak, saya tidak mau memakai perkataan "sabda" itu, saya mau memakai perkataan
"Aksara"; bukan dalam arti tulisan, jadi ada aksara latin, ada aksara Belanda dan
sebagainya. NAWA AKSARA atau NAWAKSARA, itu judul yang saya berikan kepada
pidato ini. Saya minta wartawan-wartawan mengumumkan hal ini, bahwa pidato
Presiden dinamakan oleh Presiden NAWAKSARA . ,
Kemudian saya mau menyampaikan beberapa patah kata mengenai diri saya sendiri.
Saudara-saudara semua mengetahui, bahwa tatkala saya masih muda, masih amat
muda sekali, bahwa saya miskin dan oleh karena saya miskin, maka demikianlah saya
sering ucapkan: "Saya tinggalkan this material world. Dunia jasmani sekarang ini
laksana saya tinggalkan, karena dunia jasmani ini tidak memberi hiburan dan kepuasan
kepada saya, oleh karena saya miskin."
462
Maka saya meninggalkan dunia jasmani ini dan saya masuk katagori dalam pidato dan
keterangan-keterangan yang sering masuk ke dalam world of the mind. Saya
meninggalkan dunia yang material ini, saya masuk di dalam world of the mind.
Dunianya alam cipta, dunia khayal, dunia pikiran. Dan telah sering saya katakan, bahwa
di dalam wolrd of the mind itu, di situ saya berjumpa dengan orang-orang besar dari
segala bangsa dan segala negara. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan
nabi-nabi besar; di dalam world of the mind itusaya berjumpa dengan ahli falsafah, ahli
falsafah besar. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan pemimpinpemimpin bangsa yang besar, dan di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan
pejuang-pejuang kemerdekaan yang berkaliber besar.
Saya berjumpa denganorang-orang besar ini, tegasnya, jelasnya dari membaca bukubuku. Salah satu pemimpin besar daripada sesuatu bangsa yang berjuang untuk
kemerdekaan, ia mengucapkan kalimat sebagai berikut: "The cause of freedom is a
deathless cause. The cause of freedom is a deathless cause. Perjuangan untuk
kemerdekaan adalah satu perjuangan yang tidak mengenal mati. The cause of freedom
is a deathless cause.
Sesudah saya baca kalimat itu dan renungkan kalimat itu, bukan saja saya tertarik
kepada cause of freedom daripada bangsa saya sendiri dan bukan saja saya tertarik pada
cause of freedom daripada seluruh umat manusia di dunia ini, tetapi saya, karena
tertarik kepada cause of freedom ini saya menyumbangkan diriku kepada deathless
cause ini, deathless cause of my own people, deathless cause of all people on this. Dan
lantas saya mendapat keyakinan, bukan saja the cause of freedom is a deathless cause,
tetapi juga the service of freedom is a deathless service. Pengabdian kepada perjuangan
kemerdekaan, pengabdian kepada kemerdekaan itupun tidak mengenal maut, tidak
mengenal habis. Pengabdian yang sungguh-sungguh pengabdian, bukan service yang
hanya lip-service, tetapi service yang betul-betul masuk di dalam jiwa, service yang
betul-betul pengabdian, service yang demikian itu adalah satu deathless service.
Dan saya tertarik oeh saya punya pendapat sendiri, pendapat pemimpin besar daripada
bangsa yang saya sitir itu tadi, yang berkata "the cause of freedom is deathless cause".
Saya berkata "not only the cause of freedom is deathless cause, but also the service of
freedom is a deatheless service".
Dan saya, Saudara-saudara, telah memberikan, menyumbangkan atau menawarkan diri
saya sendiri, dengan segala apa yang ada pada saya ini, kepada service of freedom, dan
saya sadar sampai sekarang: the service of freedom is deathless service, yang tidak
mengenal akhir, yang tidak mengenal mati. Itu adalah tulisan isi hati. Badan manusia
bisa hancur, badan manusia bisa dimasukkan di dalam kerangkeng, badan manusia bisa
dimasukkan di dalam penjara, badan manusia bisa ditembak mati, badan manusia bisa
463
dibuang ke tanah pengasingan yang jauh dari tempat kelahirannya, tetapi ia punya
service of freedom tidak bisa ditembak mati, tidak bisa dikerangkeng, tidak bisa dibuang
di tempat pengasingan, tidak bisa ditembak mati.
Dan saya beritahu kepada Saudara-saudara, menurut perasaanku sendiri, saya,
Saudara-saudara, telah lebih daripada tiga puluh lima tahun, hampir empat tahun
dedicate myself to this service of freedom. Yang saya menghendaki supaya
seluruh, seluruh, seluruh rakyat Indonesia masing-masing juga dedicate jiwa raganya
kepada service of freedom ini, oleh karena memang service of freedom ini is a deathless
service. Tetapi akhirnya segala sesuatu adalah di tangannya
Tuhan. Apakah Tuhan memberi saya dedicate myself, my all to this service of freedom,
itu adalah Tuhan punya urusan.
Karena itu maka saya terus, terus, terus selalu memohon kepada Allah S.W.T., agar saya
diberi kesempatan untuk ikut menjalankan aku punya service of freedom ini. Tuhan
yang menentukan. De mens wikt, God beslist; manusia bisa berkehendak ,macammacam Tuhan yang menentukan. Demikianpun saya selalu bersandarkan kepada
keputusan Tuhan itu. Cuma saya juga di hadapan Tuhan berkata: Ya Allah, ya Rabbi,
berilah saya kesempatan, kekuatan, taufik, hidayat untuk dedicate my self to this great
cause of freedom and to this great service.
Inilah Saudara-saudara yang saya hendak katakan kepadamu;dalam saya pada hari
sekarang ini memberi laporan kepadamu. Moga-moga Tuhan selalu memimpin saya,
moga-moga Tuhan selalu memimpin Saudara-saudara sekalian. Sekianlah
464
Menguraikan Simpul-Simpul Rumit (Oleh : Ignas Legowo)
Bandit besar dalam gambar besar
"Bukankah seharusnya tragedi-65 juga dilihat dalam konteks 'gambar besar'nya?" itu
komentar dari Wisconsin. Dia memberi contoh, "Dalam konteks Perang Dingin, pada
awal tahun 60-an di kawasan Asia Tenggara terjadi dua peristiwa besar. Yaitu
terbentuknya Malaysia, September 1963, dan Peristiwa Teluk Tonkin, Agustus 1964."
Pertanyaannya, "Apa arti gambar besar itu dalam mengolah jiwa bangsa?"
Saya setuju bahwa untuk memahami tragedi-65 kita harus memahami juga konteks
global atau 'gambar besar' itu. Karena dalam Perang Dingin baik Blok Barat maupun
Blok Timur berkepentingan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Hasil studi atau
pustaka tentang "Apa maunya Uni Soviet", itu memang belum muncul.
Mungkin setelah Perang Dingin selesai, akan banyak arsip di Kremlin yang bisa
dipelajari. Sedangkan tentang "Apa maunya AS?" itu sudah ada beberapa studi yang
bagi saya cukup meyakinkan. Dua buku yang terbit tahun 1995 ini akan saya pakai
sebagai pustaka utama:
(1) "Subversion As Foreign Policy", oleh Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin
(selanjutnya disingkat K&K), dan
(2) "To Have And Not To Have", oleh Jonathan Marshall (disingkat JM).
Ada enam pokok pikiran yang saya dapat setelah membaca kedua buku itu:
(1) Industri AS dan juga Inggris, sekutunya di Eropa, butuh suplai bahan baku dari Asia
Tenggara;
(2) Setelah Perang Dunia-2 nasionalisme di Asia Tenggara dan komunisme yang
berkembang di RRC menjadi ancaman besar bagi kekuasaan AS di Asia;
(3) Hubungan AS dengan Jepang berkembang di tahun 50-an. Secara militer Jepang
dikebiri, tetapi secara ekonomi harus diperkuat. Untuk itu bahan baku Asia Tenggara
dibutuhkan;
465
(4) Untuk menjaga suplai bahan baku kalau perlu dilakukan intervensi militer;
(5) Intervensi militer itu ditutupi dengan ideologi anti-komunis yang bisa menandingi
nasionalisme;
(6) Untuk menerapkan ideologi tandingan itu dibutuhkan partner lokal. Kira-kira seperti
itulah gambar besar yang bisa saya lihat ketika tragedi-65 terjadi.
Tulisan bagian-4 ini akan mencoba menceritakan gambar besar sejauh saya bisa
memahaminya.
Bahan baku
Sejak permulaan abad 20 kebutuhan AS akan bahan baku dari Asia Tenggara terus
meningkat akibat proses industrialisasi di AS.
Kalau tahun 1910 hanya 10% bahan baku didapat dari Asia Tenggara, maka tahun
1939 sudah mencapai 30% (JM, h x). Pada tahun 1940, suatu studi dari "Army and
Navy Munitions Board" al menyimpulkan bahwa bahan baku ini punya nilai strategis
karena, "So closely knit into our modern industrial structure that the whole trend of
modern life would be disorganized without them" (JM, 18).
Ada 14 bahan baku yang dianggap strategis: antimonium, chromium, coconut shell
char, mangan, serat manila, merkuri, mika, nikel, kristal kwarsa, kina, karet, sutra,
timah dan tungsten.
Daerah Timur Jauh, khususnya Asia Tenggara dan India adalah pemasok utama dari
bahan-bahan baku yang strategis itu (JM, 10). Berikut ini beberapa kutipan dari hasil
studi lembaga risetnya AD dan AL Amerika Serikat itu.
Chromium dibutuhkan untuk memproduksi baja kualitas tinggi yang menjadi tulang
punggung dari industri tinggi. Sebagian besar bahan bakunya didapat d ari Pilipina dan
Kaledonia Baru.
Mangan juga bahan baku penting untuk membuat baja kualitas tinggi. AS mengimport
seperempat kebutuhan mangan dari India dan Asia Tenggara.
466
Mika dianggap strategis karena menjadi bahan insulator yang dibutuhkan oleh semua
industri elektronika.
Serat manila penting sebagai bahan pembuat tali untuk kebutuhan pelayaran, industri
minyak, dsb. Seluruh dunia mendapat suplai serat manila dari Pilipina.
Kina mutlak perlu sebagai obat anti malaria, dan seluruh kebutuhan AS disuplai dari
Hindia Belanda.
Tungsten juga diperlukan AL(Angkatan Laut) dalam industri baja dan sebagian besar
didapat dari Timur Jauh, terutama Cina, Birma dan Malaya.
Dan tak ada yang lebih memusingkan dari pada kebutuhan industri akan timah. Karena
bahan ini dibutuhkan dalam bermacam industri seperti pipa, elektronika, dan berbagai
mesin.
Pemasok terbesar dari timah adalah Malaya (jajahan Inggris) dan Hindia Belanda.
Selain timah, bahan baku yang paling penting adalah karet yang dianggap sama
pentingnya dengan mesiu. Apalagi karena karet mutlak perlu untuk industri non-militer
seperti mobil. Pada tahun 1940-an itu, 90% kebutuhan karet AS disuplai dari Malaya
dan Hindia Belanda. Studi itu dibuat pada saat Perang Dunia-2 baru mulai di Eropa.
Sebagai contoh bagaimana strategisnya kebutuhan bahan baku ini, untuk membuat 100
buah tank dibutuhkan 1 juta pound karet, 66 ribu pound chromium, 53 ribu pound
mangan, 3,5 ribu pound timah. Kesimpulan studi itu jelas, suplai bahan baku tidak boleh
terputus baik untuk kebutuhan militer maupun untuk industri non-militer.
Kesimpulan lain dari studi itu adalah daerah penghasil bahan baku yang strategis itu
harus diamankan. Begitu juga jalur pengangkutan bahan-bahan ini dari sumbernya ke
Inggris dan AS. Armada ke-7 AS di Pilipina yang menjamin keamanan jalur
pengangkutan itu yaitu Laut Cina Selatan dan Selat Malaka.
Dalam buku Jonathan Marshal, Perang Dunia-2 di Pasifik bisa dilihat sebagai akibat
rebutan bahan baku antara blok Barat melawan Jepang yang juga membutuhkan
467
bahan-bahan baku yang sama untuk kebutuhan industrinya. Walaupun belum ada studi
tentang kebutuhan bahan baku Jepang, tetapi sudah umum kita ketahui bahwa Jepang
sangat miskin dengan bahan baku. Dan Jepang juga tahu bahwa sumber bahan baku
adalah Asia Tenggara.
Tapi Armada-7 jadi hambatannya. Itu sebabnya dalam Perang Dunia-2, yang pertama
di gempur oleh Jepang adalah Pearl Harbour, pangkalan Armada-7, kemudian
pangkalan AS di Filipina.
Setelah itu baru armada dan pasukannya menyerbu ke selatan, mengusir Amerika,
Perancis, Inggris dan Belanda sekaligus. Lalu mengajak bangsa-bangsa Asia untuk
menciptakan, "Asia Timur Raya". Maksud sebenarnya mudah ditebak karena daerah
Hindia Belanda yang pertama direbut Jepang adalah lapangan minyak Tarakan dan
Bunyu. Kebutuhan bahan baku itu selalu merupakan faktor penting, tetapi kadar
pentingnya berbeda-beda dari masa ke masa.
Setelah Perang Dunia-2 selesai, praktis AS menjadi adi kuasa yang tak ada
tandingannya di dunia. Dia bisa dapat bahan baku dari mana saja, kecuali dari Blok
komunis. Pentingnya bahan baku Asia Tenggara jadi agak berbeda. Sejak Jepang,
Korea Selatan dan Taiwan masuk dalam orbit blok Barat, maka bahan baku Asia
Tenggara, terutama minyak dan gas Indonesia, dibutuhkan untuk mengembangkan
industri di ketiga negara itu.
Ringkasnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan kebutuhan akan bahan baku ini.
Daerah sumbernya, nilai strategisnya, dan jalur suplainya. Setelah Perang Dunia-2
selesai menteri luar negeri AS George Marshall memberi peringatan tentang, "Bahaya
nasionalisme yang bisa menggangu daerah yang sangat vital untuk kepentingan
ekonomi AS." Nasionalisme itu memang arus jaman yang pada tahun 40-an dan 50-an
sedang melanda Asia Tenggara. Sehingga AS harus memberi "Perhatian khusus untu k
masa depan Asia Tenggara" (JM, 186). Perhatian khusus mulai diberikan sejak
Perjanjian Postdam. Membendung nasionalisme dan komunisme
468
Dalam Perjanjian Postdam pada bulan Juni 1945, ketika PD-2 hampir selesai,
diputuskan bahwa AS akan memimpin penyerbuan ke Jepang dipimpin oleh jendral Mc
Arthur, sedangkan Asia Tenggara diserahkan kepada laksamana Mountbattten dari
Inggris. Filipina bukan masalah bagi AS karena kemudian diduduki. Walaupun miskin
sumber alam, Pilipina sangat strategis sebagai pangkalan militer.
Tgl 15 Agustus 1945 Jepang takluk, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945 dan Vietnam pada tanggal 7 September 1945. Di dua negara
itu nasionalisme sedang menghebat. Bulan September tentara Inggris mendarat di
Jawa untuk memulihkan kekuasaan Belanda. Dan bulan Oktober-November terjadi
pertempuran Surab aya, bagian awal dari revolusi kemerdekaan kita. Sedangkan di
Vietnam tentara Inggris membawa pasukan Perancis, dan
pertempuran meletus di awal 1946. Tubrukan antara nasionalisme dan kepentingan
Barat ini tak terhindarkan.
Selama di Indonesia dan Vietnam terjadi revolusi kemerdekaan melawan Belanda dan
Perancis, di Eropa Perang Dingin sudah mulai. AS memberi bantuan ekonomi besarbesaran kepada kedua negara itu, yang dikenal dengan nama Marshall Plan. Usaha
Belanda untuk mendapatkan kembali Hindia Belanda dan juga usaha Perancis untuk
mendapatkan kembali Vietnam tidak mungkin dilaksanakan tanpa Marshall Plan. "It was
evident to the Indonesians that the United States was providing crucial support to the
Netherlands. Any peasant could see that the Dutch were using weapons supplied by the
United States, for many of the tanks, trucks and planes still bore U.S insignia, and, at
least as late as January 1949, some members of the Netherlands' crack Marine Brigade
wore combat fatigues clearly marked (above the breast pocket) 'U.S. Marines.' ..... It
was widely believed too that the United States was also financially underwriting the
Netherlands effort to reconquest" (K&K, 30).
Di Indonesia, Agresi-1 (20 Juli 1947) dan Agresi-2 (18 Desember 1948) itu bisa
dilakukan karena di belakangnya ada duit dan bedilnya AS. Pada akhir 1949
kemenangan Mao melawan Chiang Kai Shek, yang didukung dan dipersenjatai oleh
AS, merubah seluruh kekuatan di Asia. AS dan sekutunya bukan hanya harus
469
menghadapi nasionalisme di Indonesia dan Vietnam, tetapi juga bahaya komunisme di
Cina. Pemerintahan presiden Truman waktu itu, "More readily accepted the colonial
powers' contention that their conflicts were fundamentally aimed at containment of the
spread of communism rather than reestablishment of colonial rule" (K&K, 31). Belanda
kurang mujur dengan propaganda tentang bahaya komunis itu. Karena setelah komuni
s ditumpas dan para pemimpinnya dibunuh dalam Peristiwa Madiun bulan September
1948, terbukti pemerintahan Sukarno-Hatta bukan komunis. Kebutuhan Blok Barat
termasuk sekutunya di Asia seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan, terhadap bahan
baku dari Asia Tenggara sekarang mendapat tantangan baru, yaitu
nasionalisme.
Dengan ideologi nasionalisme itu negara baru seperti Indonesia dan Vietnam ingin
mengolah kekayaan alam mereka untuk melayani kepentingan rakyatnya. Tapi Blok
Barat sudah menemukan suatu tabir baru untuk menutupi maksud mereka sebenarnya,
yaitu politik 'containment', politik membendung komunisme.
Politik ini kemudian berkembang menjadi semacam ideologi dengan banyak teori
pendukungnya seperti teori 'domino' yang termashur itu, dan sederetan lagi teori
tentang modernisasi, pembangunan ekonomi, kestabilan, dsb. Ideologi anti komunis
inilah yang kemudian dipakai untuk melawan nasionalisme.
Ampuhnya ideologi anti-komunis ini sangat terlihat dalam intervensi AS dalam
pemberontakan PRRI/Permesta di akhir tahun 50-an. Kemudian dilanjutkan dengan
pembinaan intensif pada Angkatan Darat. Terlihat jelas dalam tragedi-65, terlihat juga
dalam paham pembangunan Orde Baru, dalam konsep kestabilan, bahaya laten, dsb.
470
Ideologi anti-komunis, partner lokal dan intervensi militer
Pangkalan militer AS di kawasan Pasifik sudah lama ada di Pearl Harbour, Pilipina
(Subic dan Clark), Guam dan setelah PD-2 bertambah dengan pangkalan baru di
Okinawa, Taiwan, Korea Selatan dan Vietnam Selatan. Sedangkan kekuatan militer
Inggris berkuasa di Singapura. Dengan sederetan pangkalan itu jalur ekonomi Selat
Malaka dan Laut Cina Selatan dikuasai. Kekuatan militer itu sudah berada dalam suatu
komando yaitu Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO).
Kekuasaan ekonomi juga kokoh karena hampir seluruh perdagangan Asia Timur dan
Tenggara adalah dengan Blok Barat. Lautan memang dikuasai tapi di daratan banyak
masalah. Rakyat Vietnam bangkit melawan Perancis dan mereka menang setelah
benteng Dien Bien Phu berhasil digempur (1954). Dari pemain di belakang layar AS
mulai turun sendiri ke gelanggang.
Di Indonesia, Pemilu-55 menghasilkan empat besar (PNI, Masyumi, NU dan PKI). Yang
l ebih mengkhawatirkan AS adalah hasil Pemilu Daerah 1957. Di P. Jawa yang memilih
PKI meningkat pesat, dari 19,8% dalam Pemilu-55 menjadi 30,5% dalam Pemilu
Daerah-1957. Sementara itu ketegangan antara pusat dan daerah mulai meningkat,
baik di kalangan sipil maupun militer. Hubungan antara pimpinan militer pusat, Nasution
dan stafnya, dengan para kolonel di Sumatra dan Sulawesi sudah tegang.
Penyelundupan kopra dan karet menjadi sumber pendapatan para kolonel daerah.
Dengan sumber dana sendiri, mereka mau lebih otonom, mau lebih bebas dari kontrol
pusat. Nasution didukung sepenuhnya oleh Sukarno-Hatta untuk menegakkan kontrol
pusat.
Lalu dia memindahkan para panglima daerah itu. Warouw, panglima Indonesia Timur,
diberi tugas baru sebagai atase militer di Peking. Tetapi beberapa kolonel Sumatra
yang tidak setuju dengan rencana Nasution kemudian mendirikan Dewan Banteng
dipimpin oleh kolonel Ahmad Huse in, panglima Sumatra Barat. Tgl 20 Desember 56,
Husein mengambil kekuasaan sipil di Bukit Tinggi atas nama Dewan Banteng.
Simbolon, panglima Sumatra Utara coba merebut kekuasaan sipil di Medan, tetapi
471
gagal. Kolonel Barlian, Panglima Sumatra Selatan meresmikan berdirinya Dewan
Garuda yang tidak mengambil alih kekuasaan sipil di Palembang tetapi bertindak
sebagai 'penasehat'. Kolonel Sumual, panglima Indonesia Timur yang baru saja
menggantikan Warouw, memproklamirkan keadaan darurat di wilayahnya dan
mengambil alih kekuasaan sipil di Makasar.
Tanggal 2 Maret 1957 dibacakan "Piagam Perjuangan Semesta Alam" (Permesta) yang
menuntut: otonomi daerah yang lebih besar, kontrol terhadap pendapatan daerah,
desentralisasi dan kembalinya dwitunggal Sukarno-Hatta. Menyusul proklamasi
Permesta, kolonel Barlian di Sumatra Selatan juga mendirikan pemerintahan militer dan
menyingkirkan gubernur sipil. Para panglima daerah mendapat dukungan juga dari
tokoh-tokoh sipil. Bantuan terbesar diperoleh dari profesor Sumitro. Bekas menteri
keuangan itu oleh militer dituduh korupsi, lalu dia diperiksa. "In March, the army had
summoned Sumitro for questioning because of his association with a Chinese
businessman who had been arrested on charges of fraud, bribery and subversion. After
two interrogations regarding his financial ties with the businessman, Sumitro refused to
comply with a third summons on May 8, 1957, and instead fled Jakarta" (K&K, 70-71).
Sumitro kabur ke Sumatra dan bergabung dengan para kolonel. Bersama Simbolon,
Sumitro menjadi jurubicara para kolonel di luar negeri. Di Singapura Sumitro
menghubungi agen CIA yang sudah dikenalnya di Jakarta (K&K, 71). Tanggal 7-8
September, Sumitro bertemu dengan para kolonel pembakang di Palembang.
Pertemuan itu mencetuskan "Piagam Palembang" yang mengajukan enam tuntutan ke
pusat: kembalinya dwitunggal, menyingkirnya Nasution, desentralisasi dan otonomi d
aerah, pembentukan senat, penyegaran pemerintahan pusat dan pelarangan komunis.
Ketegangan pusat-daerah memuncak dengan rangkaian peristiwa tadi. Mulai dengan
didirikannya Dewan Banteng, proklamasi Permesta, berdirinya Dewan Garuda dan
dicetuskannya Piagam Palembang. Pemerintah pusat lalu mengundang seluruh
pimpinan sipil dan militer daerah dalam Musyawarah Nasional (Munas) pada tanggal
10-12 September 57. Setelah Munas, Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatra
untuk meredakan suasana. Tapi baik Munas maupun usaha keras dari Hatta itu tidak
472
berhasil meredakan ketegangan. Bulan Januari 1958 kolonel Barlian, panglima
Sumatra Selatan, mengusulkan pertemuan para kolonel di Sungai Dareh (9-10 Januari).
Dalam pertemuan itu kemudian ikut serta tiga orang tokoh Partai Masyumi:
Burhanuddin Harahap, Natsir (keduanya bekas Perdana Menteri) dan Sjafruddin
Prawiranegara (beliau yang pernah memimpin pemerintahan RI dala m pengasingan
setelah Sukarno-Hatta ditawan dalam Agresi-2). Dalam pertemuan Sungai Dareh itu,
ketiga pemimpin Masyumi terperangkap dalam persekongkolan dengan AS yang sudah
digarap oleh Sumitro, Simbolon dan Sumual. "They discovered that the colonels already
had well-developed contacts and sources of funding and supply abroad, especially with
the CIA, and had been promised more, including air cover." (K&K, 128).
Menurut Sjafruddin, mereka tidak tahu sebelumnya tentang kontak-kontak kolonel
Husein dengan CIA, dan "We were left completely in the dark with respect to his daily
telegraphic contact with Singapore, the CIA's major headquarters for covert U.S.,
operations in the area."
Para tokoh Masjumi berusaha agar para kolonel tidak membentuk pemerintahan yang
terpisah dari RI. Menurut James Bell, wartawan majalah Time yang meliput pertemuan
Sungai Dareh itu, tokoh-tokoh Masyumi berpikir, "Civil war must be prevented and
nothing rush should be done untill all possible steps have been taken to replace Juanda
with Hatta." (K&K, 129). Tapi mereka terdesak oleh para kolonel yang hadir, yaitu
Simbolon, Husein, Sumual, Barlian, Dahlan Jambek dan Zulkifli Lubis.
Pertemuan Sungai Dareh membentuk "Dewan Perjuangan" dengan Hussein sebagai
komandannya dan Padang sebagai markas besarnya. Dewan itu yang mengkoordinir
Dewan Banteng, Dewan Garuda dan Permesta di Sulawesi. Meskipun peran mereka di
Sungai Dareh itu terbatas, "The three Masyumi leaders realized that by participating in
the conference they had crossed a Rubicon and that it would not be possible to return to
Jakarta" (K&K, 129). Pimpinan Masyumi terjebak dalam persekongkolan para kolonel
dan AS. Setelah PRRI/Permesta kalah maka Masyumi kemudian dibubarkan oleh Bung
Karno.
Padahal Masyumi adalah partai nomor dua terkuat di seluruh Indonesia, 50% di Jawa
473
dan 50% di luar Jawa, sehingga Masyumi yang sebenarnya bisa mewakili aspirasi
pusat maupun daerah. Para kolonel terus menjalin hubungan dengan AS dan Inggris.
Piagam Palembang membuktikan para kolonel itu anti komunis. Sumitro memberi
banyak nasehat pada para kolonel daerah untuk sering-sering menyanyikan lagu antikomunis ini. "By the time of the February ultimatum to Jakarta anticommunism
dominated the interviews given by most rebel leaders to visiting Western journalists."
Menurut salah satu pimpinan PRRI, kolonel Dahlan Jambek, "We must win American
support by emphasizing the communist danger," dan "it was important to stress the anticommunist danger in the argument 'so as to interest the Americans'. Naturally our
appeal must be made to fit our audience. For the Western powers we stress the very
real danger of communism" (K&K, 147). Ketegangan hubungan antara Pusat dengan
Daerah (Medan, Padang, Palembang dan Makasar) pada akhir tahun 50-an memang
dimonitor betul oleh pemerintahan Eise nhower.
Ketika John Allison diangkat sebagai dubes baru AS untuk Indonesia (21 Februari
1957), pesan pemerintah Eisenhower tegas sekali, "Don't let Sukarno get tied up with
the communists. Don't let him use force against the Dutch. Don't encourage his
extremism...Above all, do what you can to make sure that Sumatra (the oil production
island) doesn't fall to the communists," (K&K, 84).
Bulan Mei 1957, Dewan Keamanan Nasional AS (NSC) menugaskan seorang staf
ahlinya, Gordon Mein, untuk menjajaki "the possible break-up of Indonesia" (K&K, 85).
Dari studinya Mein menulis memorandum panjang yang al menyatakan bahwa, "It
would be advantageous to have the sources of such commodities (rubber, oil,
petroleum, tin) under more reliable political control... Sumatra, with the Malay peninsula,
dominates the Staits of Malacca, and is of great strategic importance." Sebagai
kesimpulan, Mein menyatakan pecahnya Indonesia, "Could succeed only with
substansial mater ial assistance from the United States," (K&K, 88-89).
Dalam pergolakan daerah di Indonesia ini tiga unsur menyatu, yaitu partner lokal,
ideologi anti-komunis dan intervensi militer. Sejak bulan Oktober 1957 CIA sudah mulai
menyalurkan dana kepada kolonel Simbolon, eks panglima Sumatra Utara, yang
dianggap pimpinan para kolonel. Tabir anti komunis itu dipakai efektif sekali oleh para
474
kolonel. Menurut petugas CIA, Simbolon dkk itu, "Played up the anti-communist act
because they knew we were interested in that." Dengan ideologi anti- komunis ini para
pemberontak segera mendapat senjata untuk 8000 orang yang diselundupkan sebagai
perlengkapan perusahaan minyak Caltex, dan sebagian lagi dikirim melalui pesawat
udara dan juga melalui kapal selam yang muncul di pelabuhan Painan, 20 mil
selatannya Padang.
Kapal selam juga mengangkut pasukan Simbolon untuk berlatih di fasilitas militer AS di
Okinawa, Saipan dan Guam. Persiapan militer untuk pe mberontakan itu terus
berlangsung selama akhir tahun 1957 (K&K, 120-121). Pada tanggal 15 Februari 1958
PRRI memproklamirkan diri. Untuk membuktikan anti-komunisnya PRRI menangkap
dan memenjarakan sekitar 650 orang PKI. "The anti-communist theme had by this time
assumed major importance in the rebel propaganda, particularly to their overseas
backers." (K&K, 147).
Dukungan kepada para pemberontak PRRI diwujudkan dengan intervensi militer AS. "It
was now evident that not merely were U.S. arms being channeled to the rebels via
Taiwan and the Philippines but that military personnel form both the United States and
the government of Chiang Kai-shek were directly supporting the rebels and that
Philippine government personnel were also giving them significant assistance" (K&K,
168).
Di lautan PRRI dibantu penuh. Komandan Armada-7 AS membentuk "Task Force-75"
yang terdiri atas satu cruiser, dua destroyer dan satu kapal induk (aircraft carrier) berisi
2 batalion marinir untuk bergerak ke Singapura. Tujuan akhirnya adalah menduduki
lapangan minyak Minas dan Duri di Riau. Kalau lapangan minyak itu dibom oleh RI
maka Allen Dulles berpikir itulah alasan terbaik untuk mengadakan intervensi militer
langsung dengan alasan "Melindungi warga AS di Caltex" (K&K,149). Kolonel George
Benson, atase militer AS di Jakarta bilang, "The U.S was anxious to have pretext to
send marines."
Dan dua batalion marinir itu sudah, "fully equipped and ready for battle were prepared
475
to be helicoptered within twelve hours notice to the Sumatran oil fields" (K&K, 150).
Akhir dari pemberontakan PRRI kita semua sudah tahu. ABRI bertindak cepat dan
sangat berani. Dengan 5 batalion marinir dan dua kompi RPKAD lapangan minyak
Caltex direbut sehingga tidak ada lagi alasan AS untuk mendaratkan pasukannya di
Sumatra. Task Force-75 terpaksa kembali ke pangkala n Subic di Pilipina. Tanggal 17
April Padang direbut kembali.
Di Sulawesi ceritanya agak lain. Bantuan AS membuat Permesta berjaya di udara.
Selama bulan April-Mei 1958, Angkatan Udara Permesta (AUREV) mengadakan
pengeboman di Banjarmasin, Balikpapan, Palu, Selat Makasar, Kendari, Makasar,
Ambon, Ternate dan Jailolo (di Halmahera) dan Morotai. Lapangan terbang yang
mensuplai pemberontakan PRRI/Permesta al: Bangkok, Singapura, Saigon, Subic dan
Clark dan Taiwan (K&K, peta halaman 171). Pilotnya berasal dari Amerika, Pilipina dan
Taiwan. Morotai adalah lapangan terbang yang landasannya cukup panjang untuk
mendaratnya pembom B-29. Dengan B-29 berpangkal di Morotai maka Permesta
punya kemampuan untuk membom Surabaya, Bandung dan Jakarta.
Dengan menguasai udara, sekaligus berarti juga menguasai lautan, pimpinan militer
Permesta, kolonel Vence Sumual, sudah merencanakan untuk menyerbu Jakarta
setelah menguasai Balikpapan dan Banjarmasin (K&K, 172). Tapi bulan Mei itu juga
AURI mengadakan serbuan besar-besaran ke lapangan terbang Menado, Morotai dan
Jailolo, yang dibarengi dengan serbuan darat.
Tanggal 26 Juni Menado direbut. Pada bulan Juni, tulang punggung pemberontakan
Permesta sudah dipatahkan.
Intervensi militer AS selama pemerintahan Eisenhower ini gagal total. Memang
petualangan politik-militer ini hampir tidak tercatat dalam sejarah dunia. Baru studi
Audrey Kahin dan George Kahin pada tahun 1995 ini yang membentangkan intervensi
politik-militer AS dengan detail. Petualangan AS di Indonesia jauh lebih besar dari pada
Peristiwa Teluk Babi dalam pemerintahan Kennedy (untuk menjatuhkan Fidel Castro di
Kuba pada tahun 1961). Di Indonesia operasi rahasia AS ini tidak hanya dilakukan oleh
476
CIA, tetapi juga melibatkan Angkatan Laut (Armada-7), Angkatan Udara AS, dan
berlangsung dalam waktu yang jauh lebih lama dari pada Peristiwa Teluk Babi.
Dibandingkan dengan Peristiwa Teluk Babi, "The intervention in Indonesia was by far
the most destructive in human terms, had a heavier and more lasting political impact,
and with respect to the U.S. objectives, was the most counterproductive" (K&K,3). Lalu
apa artinya intervensi AS di Indonesia pada tahun 50- an ini untuk menjelaskan tragedi65?
Membina Angkatan Darat
Setelah berhasil memadamkan pemberontakan PRRI/Permesta, dua tokoh menjulang
tinggi. Yaitu presiden Sukarno dan jendral Nasutio n. Setelah para kolonel pemberontak
di Sumatra dan Sulawesi dikalahkan, maka ABRI menjadi utuh dibawah pimpinan
Nasution. Untuk menegakkan kekuasaan pemerintah pusat diberlakukan UndangUndang Keadaan Perang (14 Maret 1957).
Dengan Undang-undang itu militer mendapat dasar hukum untuk mengatur
pemerintahan dari daerah sampai ke pusat. Ketika konflik RI-Belanda tentang Irian
Barat memuncak pada tahun 1957, Indonesia mengadakan kampanye sita modal asing
yang mulai pada bulan Desember 1957. Perusahaan asing yang disita kemudian
dikelola oleh pimpinan militer. Dengan menguasai perusahaan asing itu pimpinan militer
memiliki sumber dana sendiri.
Dengan dekrit 5 Juli 1959, "Kembali Ke UUD-45", Presiden Sukarno memperoleh
kekuasaan yang sangat besar. Konstituante dibubarkan dan kemudian Parlemen juga
dibubarkan. Karena pemilih PKI dari Pemilu-55 ke Pemilu Daerah-57 meningkat pesat,
maka partai-partai lain tidak ingin pemilu dia dakan lagi. Pada tgl 22 September 1959
perdana menteri Juanda mengumumkan pemilu 1959 ditunda, "A move about which the
four major non-communist political parties (PNI, Masyumi, NU and PSI) on Java were in
either tacit agreement or unwilling to contest, for they were convinced that if elections
were held then the communist PKI would easily emerge the strongest party, with an
477
increase plurality and stronger credentials for insisting on participating in a coalition
government" (K&K, 194).
Tanpa pemilu dan tanpa sistim parlementer maka kekuasaan militer meningkat.
Meningkatnya kekuasaan militer membuat Sukarno harus mengimbangi dengan
dukungan dari PKI, partai yang paling berdisiplin pada waktu itu. Sementara itu AS
sudah merubah politiknya. "Nasution had become the linchpin of the new policy, and
American officials put their faith in his assurance that his major aim was to restrict the
power of the communist party." Pada tgl 29 Septem ber 1958, Dubes AS di Jakarta
mengirimkan telgram, "With the postponement of elections formerly scheduled for 1959,
Indonesian government has arrived at a kind of plateau in which there is a change of
political stability for a minimum of two years.... General Nasution has stated he intends
to maintain status quo for five years. This situation provides US and free world with
excellent opportunity for removing Indonesia for good from danger communist take-over
if promptly exploit available possibilities" (K&K, 194-195).
'Excellent opportunity' itu dijajaki dengan menjalin hubungan baik dengan Angkatan
Darat. Langkah pertamanya dengan membuka kesempatan sekolah di AS bagi para
perwira Angkatan Darat.
Studi tentang pengaruh AS pada Angkatan Darat sudah dilakukan oleh Bryan Evans,
seorang perwira AD dari AS. Studinya diterbitkan dalam majalah Indonesia no. 47 (April
1989), berjudul "The influence of the United States Army on the development of the
Indonesi an Army (1954-1964)." Program pertama adalah Military Assistant Program
(MAP). Pada tahun 1959, ABRI mengirim 41 orang perwira untuk sekolah di AS.
Jumlah itu terus meningkat. Tahun 1960 dikirim 201 orang, 1961 (498), 1962 (1017),
1963 (568), 1964 (313), 1965 (3). Total hampir 2800 perwira AD dididik di Barat sampai
tahun 1965. Menurut Evans, "The impact of US/Western training was extensive. US
military manuals and texts were being used widely, and POIs (Programs of Instruction)
478
in Indonesian Army branch schools were nearly identical with their US counterparts,"
(Evans, 40).
Disamping pendidikan di AS dengan program MAP itu pemerintah AS juga memberi
dana, perlengkapan dan training untuk Civic Action Program (CAP) atau Operasi Karya.
Operasi Karya adalah pengembangan lanjut dari Operasi Bakti yang terbukti sukses
ketika Siliwangi menghadapi DI di Jawa Barat. Siliwangi berusaha mendekati ma
syarakat desa dengan memimpin kerja-bakti sosial seperti berternak, usaha perikanan,
penggergajian kayu, membetulkan jalan, mesjid, sekolah, dsb. Dengan berbekal
pengalaman itu Angkatan Darat kemudian mengembangkan Operasi Karya atau CAP
yang dibiayai dan diberi perlengkapan oleh AS.
Training untuk CAP, menggunakan alat-alat besar atau alat-alat konstruksi, diadakan di
Medan, Malang, Bogor dan Jakarta. Di Sumatra, Operasi Karya ini bantu merintis jalan
Lintas Sumatra. Para perwira yang mengelola Operasi Karya ini diberi kesempatan
kursus management di Harvard, Syracuse atau Pittsburg (Evans, 37). Melalui program
pendidikan (MAP) pengaruh AS juga terlihat dalam perkembangan RPKAD. Resimen
khusus ini dirintis oleh Alex Kawilarang, waktu menjadi panglima Siliwangi, pada tahun
1952, dan komandannya yang pertama adalah seorang perwira bekas KNIL, Ijon Jambi
(nama aslinya Visser).
Tetapi yang kemudian sangat mempengaruhi perkem bangan RPKAD adalah Sarwo
Edhie, lulusan Sekolah Infantri Fort Benning di Georgia.
Selain pendidikan tempur, pasukan elite ini juga dilatih dalam bidang intelijen (Evans,
42). Dengan program Civic Action (CAP) AS juga sudah membantu Angkatan Darat
mengembangkan doktrin Jalan Tengah yang dirumuskan Nasution tahun 1958.
Dengan doktrin itu ABRI menyatakan dirinya sebagai kekuatan hankam sekaligus
kekuatan sospol. Bantuan AS untuk Operasi Karya, dalam bentuk dana, perlengkapan
dan latihan tadi, sudah memberi wujud nyata dari Doktrin Jalan Tengah itu. Disamping
mendekati ABRI, kelompok sipil juga didekati. Beberapa ekonom UI diberi beasiswa
oleh Yayasan Ford untuk melanjutkan studi paska sarjana di AS, sebagian besar di
Universitas Berkeley.
479
Kelompok ini getol mempelajari 'Ilmu Pembangunan' yang dalam dekade 50-60an itu
sedang populer, al ilmu ekonominya Profesor Rostow, "5-Stages of Economic Growth".
Menurut ilmu ekonomi ini, ada 5 tahap pertumbuhan ekonomi: tahap tradisional,
persiapan untuk tinggal landas, tinggal landas, tahap matang, dan tahap konsumsi
massal.
Ilmu ekonomi pembangunan ini kemudian disebarkan oleh ekonom UI lulusan AS yang
kemudian dikenal dengan nama Mafia Berkeley. Dari ilmu inilah kemudian kita sering
mendengar kata 'tinggal landas'. Paham ekonomi pembangunan ini memang
diperlukan untuk menandingi paham sosialisme dalam berbagai versinya yang sudah
merasuki gerakan nasionalis di Asia-Afrika. Tokoh seperti Sukarno, Hatta, Syahrir,
Sartono, Amir Syarifuddin, Natsir, Moh. Roem, dll di Indonesia itu diilhami oleh
sosialisme walaupun dengan kadar atau penekanan yang berbeda.
Begitu juga tokoh seangkatan mereka seperti Nasser dari Mesir, Nehru dari India, Tito
dari Yugo, Ho Chi Minh dari Vietnam dan Nkrumah dari Ghana. Mereka semua diilhami
oleh sosialisme yang berakar dalam ajaran Karl Marx. Paham ekonomi pembangunan
profesor Ros tow, dan teori-teori lain tentang modernisasi, pertumbuhan ekonomi, dsb,
itu tidak mengenal konsep kolonialisme, imperialisme, neokolonialisme, dsb. Itu konsepkonsep yang sangat populer di kalangan pemimpin gerakan kebangsaan. Jadi
kemajuan ekonomi AS ataupun Eropa harus dilihat sebagai konsekuensi dari tahap
perkembangan ekonomi mereka. Dan itu tidak berhubungan dengan penghisapan
kemakmuran, dalam bentuk bahan baku dan tenaga kerja, dari tanah jajahan selama
ratusan tahun jaman penjajahan Barat.
Menjelang 1965
Pergolakan daerah di Sumatra dan Sulawesi, dan juga DI-TII di Jawa Barat baru
berakhir sekitar tahun 1961. Sukarno langsung mengeluarkan amnesti umum pada tgl
17 Agustus 1961. Dalam selang waktu antara 1961 sampai 1965 terjadi dua peristiwa
besar di Indonesia, operasi pembebasan Irian Barat (Trikora) dan konfrontasi melawan
Malaysia (Dwikora). Di Vietnam AS mulai b abak belur. Mula-mula AS melancarkan
480
operasi rahasia, tetapi pada awal tahun 60-an tidak bisa lagi ditutupi. Karena itu
direkayasa penyerbuan Angkatan Laut Vietnam Utara ke kapal patroli AS yang
kemudian dikenal dengan nama Peristiwa Teluk Tonkin (Agustus 1964).
Dalam Trikora maupun Dwikora baik ABRI maupun PKI mendapat kemajuan politik
yang besar. Tetapi PKI belum berhasil masuk dalam pemerintahan. Menurut catatan
Kahin, sampai bulan April 1965, dalam kabinet dengan 79 menteri, PKI mendapat 3
posisi menteri (tanpa portofolio), sedangkan ABRI mendapat 23 kementerian termasuk
hankam, dalam negeri, penerangan dan kehakiman. Dari 24 gubernur, ada 12 gubernur
dari ABRI, tidak ada gubernur PKI (K&K, 224). Untuk mencari pendukungnya di dalam
militer, PKI membentuk Biro Khusus yang bertugas membina perwira yang bersimpati
pada perjuangan PKI. Disamping itu, persaingan antara AD-AL-AU juga mulai muncul.
Selama Trik ora maupun Dwikora, Uni Soviet berusaha menandingi pengaruh AS dalam
Angkatan Darat dengan merangkul AL dan AU dengan memberi perlengkapan dan
latihan.
PKI punya jutaan pendukung di kalangan buruh dan tani. Sejak tahun 1963 mereka
mengganyang yang disebut 'Tujuh Setan Desa'. Ketika Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) dikeluarkan, PKI paling giat memperjuangkan pelaksanaan undang-undang itu,
dengan program yang disebut 'Aksi Sepihak'. Konflik antara para petani dan tuan tanah
sering terjadi. Begitu juga konflik kekerasan antara petani dan tentara yang dikenal
dengan nama Peristiwa Bandar Betsi, Peristiwa Indramayu dan Peristiwa Boyolali. Dan
banyak lagi bentrokan kekerasan lainnya.
Ketegangan dirasakan sampai ke desa-desa. Pada tahun 1964-65 itu kondisi ekonomi
sudah sangat bobrok. Tidak ada yang becus mengurus ekonomi dan korupsi menyebar
luas. Di mana-mana orang hidupnya susah. Dan orang yang hidup susah paling
gampang dibuat mata gela p.
Baik PKI maupun ABRI sudah mulai mempersiapkan diri untuk menjaga kemungkinan
Bung Karno meninggal. Ketika Bung Karno diberitakan sakit pada pertengahan tahun
481
65, semua pihak mengambil ancang-ancang. Angkatan Darat sudah siap dengan 2800
perwira didikan AS yang orientasi politiknya cendrung berpihak ke AS. Sudah ada juga
para perwira yang mulai paham konsep pembangunan, stabilitas, dsb. Konsep-konsep
itu diajarkan oleh para doktor lulusan AS kepada para perwira dalam Seskoad.
Selama tahun 1964-65 ketegangan politik di dalam dan di luar negeri semakin
memuncak dan ekonomi semakin bobrok. Lalu terjadilah Gerakan-30-September. Studi
yang tuntas tentang G-30-S sampai saat ini belum diterbitkan oleh pusat-pusat studi
Indonesia seperti Cornell, Ohio, Leiden, Monash, Kyoto, dll. Bagaimana persisnya
peranan AS menjelang pembunuhan besar-besaran di tahun 65 itu belum jelas. Studi
dari Fred Bunnel ( 1990) menyimpulkan, "Conclusive judgment must therefore await the
US government release of relevant classified documents, such as the complete file of
the CIA's Jakarta station.." (K&K, 228). Dan sampai tahun ini file itu belum dikeluarkan
untuk umum. Bahwa file itu masih ditahan, lebih dari 30 tahun setelah peristiwa terjadi,
mengisyaratkan adanya hal-hal yang betul-betul busuk dan harus disembunyikan. Tapi
dengan memakai beberapa hasil studi yang sudah ada mungkin gambar besar dalam
tragedi-65 bisa mulai terbayang.
Selama 10 tahun, sejak Pemilu-1955 sampai tragedi-65, AS sudah mencoba banyak
cara. Mereka mulai dengan intervensi politik-militer yang gagal total pada tahun 195758. Kemudian AS membina hubungan dengan Angkatan Darat dengan cara mendidik
perwira-perwiranya (MAP) dan membiayai program sosial-politik mereka (CAP).
Menurut Evans, "It is US Army training that has been primarily responsible for the
orientation of the Indonesian o fficers corps developing in a pro-American/Western
direction," (Evans, 44). Dalam saat kritis para perwira itu mengambil tindakan yang
sesuai dengan keinginan AS
482
Bandit besar sukses besar
Strategi AS untuk membina Angkatan Darat terbukti sukses besar. Setelah Orde Baru
berdiri para perwira Angkatan Darat memainkan peranan kunci. Konfrontasi melawan
Barat dihentikan.
Musuh besar AS di Indonesia, Bung Karno dan PKI, disingkirkan. Politik Indonesia
menjadi sangat pro-AS. Sumber-sumber alam Indonesia terbuka lebar untuk
dimanfaatkan oleh Barat dan sekutu-sekutunya (Jepang, Korea dan Taiwan). Jalur laut
Selat Malaka dan Laut Cina Selatan sepenuhnya dibawah pengawasan Armada-7.
Minyak dan gas Indonesia ditambang oleh perusahaan-perusahaan AS. Selama 30
tahun ini Caltex sudah menambang dua lapangan minyak terbesar di Asia Tenggara,
lapangan Minas dan Duri di Riau yang pernah diselamatkan oleh marinir dan RPKAD
pada tahun 1958. Mobil Oil sudah hampir menghabiskan lapangan gas Arun di Aceh.
Perusahaan migas Total dari Perancis menambang di Delta Mahakam. Lebih dari 90%
produksi minyak dan gas Indonesia dilakukan oleh perusahaan asing. Migas itu
kemudian dieksport, sebagian besar ke Jepang, Korea dan Taiwan. Pada tahun 90-an
ini keuntungan bersih perusahan migas mencapai sekitar 5 juta dolar per hari. Minyak
dan gas Indonesia, sebagian besar dari P. Sumatra, sudah berhasil dipakai
mengembangkan industri Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.
Tahun 2000 nanti, minyak Indonesia tidak bisa lagi di eksport karena hanya cukup
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tapi gas Indonesia di dekat P. Natuna,
sudah mulai dikerjakan oleh Exxon. Kontrak pengembangan lapangan gas Natuna
ditandatangani ketika presiden Clinton berkunjung dalam rangka APEC tahun lalu.
Keuntungan dari penggalian barang tambang seperti di Freeport misalnya, dan dari
penebangan hutan Kalimantan juga sudah mengalir ke perusahaan-perusahaan AS,
Jepang, Korea atau Taiwan. Tenaga buruh Indonesia dipakai untuk mendatangkan
keuntungan bagi konglomerat Barat dan partner lokal mereka. Memang selalu ada
bandit-bandit kecil yang jadi partner lokal bandit besar yang sukses besar itu. Dan
seperti juga di tahun 50-an, peran mereka sangat menentukan.
483
Gambar besar ini memang rumit karena banyak hal yang saling berkaitan, jalin berjalin.
Tapi sudah mulai dipahami banyak orang, misalnya oleh Ali Sadikin. Dalam wawancara
dengan mingguan Swadesi (14/8/95) Ali Sadikin mengenang, "Dulu Bung Karno dan
Bung Hatta bilang neo-kapitalisme, neo-imperialisme dan neo-kolonialisme.
Kadang-kadang saya bosan mendengarnya dan tidak mengerti sama sekali. Ternyata
mereka berpikir 40-50 tahun ke depan. Kita baru mengerti sekarang Bung Karno dan
Bung Hatta itu benar."
Mengolah gambar besar
"Apa arti gambar besar itu dalam mengolah jiwa bangsa?" Itu pertanyaan yang sangat
sukar. Mungkin teman-teman lain dalam jaringan komputer ini bisa menjawab dengan
lebih baik. Tapi saya akan coba menjawab semampunya. Dan saya tahu jawaban ini
tidak akan bisa memuaskan.
Ada empat hal yang saya renungkan..
Tentang kelakuan Bandit Besar, pentingnya sejarah, kualitas elite dan tent ang
pengalaman rakyat biasa.
Pertama, tentang kelakuan Bandit Besar yang sangat berkuasa. Kalau mengingat apa
yang kemudian terjadi di Vietnam, 30 tahun (1945-75) tidak berhenti perang, maka apa
yang terjadi di Indonesia akibat kelakuan Bandit Besar ini relatif ringan. Hampir 4 juta
rakyat yang mati di Vietnam, Laos dan Kamboja.
Sejumlah itu juga yang jadi cacat. Seluruh prasarana ekonomi negeri itu hancur. Lalu
jutaan orang yang masih menderita akibat Agent Orange dan bahan-bahan kimia lain
yang pernah dipakai AS dalam Perang Vietnam. Dan ribuan bayi yang cacat waktu
dilahirkan akibat racun kimia itu.
Semua korban itu jadi beban bagi bangsanya, yang kemudian masih di'hukum' lagi
dengan blokade ekonomi selama 20 tahun. Seperti itulah keganasan Bandit Besar ini.
484
Tidak heran kalau Khomeini memberi julukan "The Great Satan"! Tetapi dia harus
beraksi dengan bantuan bandit-bandit lokal. Dan ini sering kita abaikan. Padahal ini
semacam versi baru dari politik Indirect Rule selama jaman penjajahan. Belanda
berkuasa di Indonesia dengan memakai para bangsawan dan cukong Tionghoa.
Bangsawan dipakai untuk mengatur masyarakat, menjadi hambatan politik bagi mereka
yang melawan penjajahan. Pedagang-pedagang Tionghoa diperalat untuk memeras
rakyat jajahan, menjadi hambatan munculnya kelas menengah pribumi yang lebih
mandiri. Rakyat jajahan jarang sekali melihat Orang Belanda dalam hidup sehari-hari
mereka.
Selama ratusan tahun dijajah yang mereka hadapi setiap hari adalah pembesarpembesar pribumi. Yang ditugaskan Belanda untuk memungut pajak, diberi monopoli
candu atau jadi pemborong adalah cukong-cukong Tionghoa.
Dalam perggolakan tahun 50-an, dan juga dalam pembunuhan besar tahun 60-an, kita
tahu bahwa prajurit yang bertempur lalu mati atau cacat, dan rakyat yang berkorban,
yang rumahnya dibakar, orang-orang y ang mati, dipenjara, disiksa, itu adalah bangsa
kita sendiri.
Dan yang melakukan kekejaman itu, atau paling tidak yang saling curiga, saling memaki
dan membenci juga bangsa kita sendiri. Padahal di balik itu semua selalu ada Bandit
Besar yang punya rencana besar kemudian sukses besar dan untung besar!
Kedua, setelah tamat membaca bukunya Audrey dan George Kahin tentang Perang
Saudara di akhir tahun 50-an, saya semakin sadar betapa pentingnya sejarah.
Betapa pentingnya bangsa kita tahu duduk perkara yang sebenarnya. Lepas dari
pandangan politik, cita-cita ataupun ambisi kita masing-masing, kita sama-sama perlu
belajar dari sejarah. Dan sejarah terbaik adalah sejarah yang ditulis tanpa pesan politik
oleh mereka yang tidak punya pamrih pribadi, kecuali pamrihnya sebagai ilmuwan.
Kalau anda sempat membaca buku Kahin & Kahin itu, saya kira beberapa pandangan
anda, tentang pergolakan daerah tahun 50- an, akan berubah. Lepas dari
kalah/menangnya mereka yang waktu itu bertarung, ada tuntutan yang diperjuangkan
485
oleh tokoh- tokoh daerah yang sampai sekarang tetap relevan. Misalnya tentang
keadilan dalam mengatur politik dan ekonomi antara pusat dan daerah. Sekarang kita
semua tahu bahwa daerah-daerah yang paling kaya tetap tidak berkembang karena
peranan pusat yang begitu dominan.
Seandainya ada buku sejarah tragedi-65, yang ditulis oleh sejarawan ulung sekualitas
Kahin & Kahin itu, mungkin beberapa pandangan kita juga akan berubah. Mungkin kita
bisa lebih memahami apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh Bung Karno dan PKI.
Ketiga, sedikit renungan tentang kualitas elite. Dua pemimpin muncul sebagai bintang
setelah berhasil memadamkan pergolakan daerah tahun 50-an. Yaitu BK dan Nasution.
Dengan segera BK memberi amnesti pada para pemberontak (17 Agustus 1961).
Padahal yang sudah terjadi adalah pemberontakan yang betul- betul serius, dengan d
ukungan kekuatan militer AS.
Pemberontakan yang bukan hanya bisa membuat Indonesia pecah berantakan, seperti
yang diharapkan Bandit Besar, tetapi juga bisa membuat seluruh bangsa Indonesia
menderita belasan tahun akibat perang yang berkepanjangan seperti Vietnam. Tidak
kita lihat usaha BK maupun Nasution untuk terus mengejar-ngejar dan membuat susah
kehidupan mereka yang pernah berontak. Mereka diterima kembali tanpa banyak
cingcong.
Setelah G-30-S ditumpas, Suharto menjadi pucuk pimpinan militer sekaligus pimpinan
politik. Nasution dia geser. Suharto yang kemudian memegang peranan BK sekaligus
juga Nasution. Berbeda dengan dengan BK dan Nasution, Suharto bukan seorang
pemikir walaupun dia seorang politikus jagoan. BK mewariskan kumpulan karya tulis
dalam tiga jilid Di Bawah Bendera Revolusi yang setebal bantal itu.
Setelah disingkirkan, Nasution tidak berhenti menulis. Puluhan karya tulis dia hasilkan
dalam Memenuhi Panggilan Tugas. DBR maupun MPT itu, bagi saya menunjukkan baik
BK maupun Nasution adalah pemimpin yang betul-betul serius memikirkan bangsanya.
Di kalangan elite bangsa selama 50 tahun ini, mungkin Pramoedya yang lebih serius
dari mereka berdua, tetapi dalam bidang sastra.
486
Sebagai pimpinan militer Nasution bukan seorang jendral yang haus darah. Bukan juga
seorang Rambo yang mengandalkan otot. Dia Jenderal ulung yang penuh perhitungan.
Ketika menghadapi PRRI/Permesta lawannya adalah jago-jago perang seperti
Kawilarang, Warouw, Hussein, Simbolon dan Sumual yang memimpin beribu-ribu
pasukan dan didukung Armada-7 dan Angkatan Udara AS. Nasution membuat strategi
yang cemerlang. Korbannya begitu sedikit untuk suatu operasi militer yang sangat
besar. Bahkan jumlah korban itupun dia catat. Di pihak RI tewas 10.150 orang (2.499
prajurit, 956 anggota OPR (hansip), 274 polisi dan 5.592 penduduk sipil). Memang tidak
dia catat korban di kal angan Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sedangkan di pihak
PRRI/Permesta, 22.174 yang tewas (K&K, catatan kaki 83, h 305, dikutip dari
Memenuhi Panggilan Tugas-4, h 383).
Berbeda sekali dengan Suharto yang tidak pernah peduli berapa korban yang jatuh
ketika dia memimpin operasi menumpas G-30-S/PKI.
Padahal yang dihadapi adalah rakyat yang tidak bersenjata. Dibandingkan Suharto,
sebagai jendral sukar kita bayangkan Nasution bisa merancang operasi militer yang
kacau balau seperti penyerbuan Dilli atau operasi intelijen yang gagal selama 20 tahun
di Timtim.
Ketika Nasution bentrok dengan PKI di tahun 1960, semua pimpinan PKI dia tangkap.
Ratusan jumlahnya. Kita juga tidak mendengar mereka diperlakukan dengan sadis.
Setelah itu semuanya dibebaskan kembali. Belum pernah kita dengar Nasution sibuk
dengan menyiksa lawan-lawannya. Berbeda sekali dengan Suharto yang khusus
memakai Ali Murtopo dan kemudian Benny Murdani untuk membunuh dan menteror
lawannya.
Selain bukan orang ganas, Nasution juga bukan orang yang gila harta. Sukar kita
bayangkan Nasution akan bekerjasama dengan para cukong atau membiarkan anakanaknya jadi konglomerat.
Dengan mengatakan ini tidak berarti saya setuju dengan pikiran politik Nasution yang
pernah mendesak BK untuk membubarkan Parlemen (1952) dan kemudian
Konstituante (1959). Yang saya renungkan adalah kualitas pribadi dia sebagai elit
487
bangsanya. Dan bagaimana kualitas itu sudah menghindari banyak sekali korban di
kalangan rakyat biasa atau prajurit yang dia pimpin. Elit politik dengan kualitas seperti
BK dan elit militer seperti Nasution itu sekarang tidak ada lagi. Tokoh sipil sekarang
seperti Gus Dur, Harmoko, Habibie, Sarwono, dll itu belum ada karyanya yang bisa
menunjukkan sejauh mana mereka sungnguh-sungguh memikirkan persoalanpersoalan yang dihadapi bangsanya.
Tokoh militer yang lebih muda seperti Ali Sadikin, Ali Murtopo, Sudomo, Sumitro atau
Benny Murdani tidak ada satupun karyanya yang mendekati kualitas pemikiran
Nasution. Apalagi sebagai jendral.
Keempat, tentang pengalaman orang kecil, pengalaman jutaan orang-orang biasa. Baik
dalam pergolakan darah tahun 50-an maupun dalam tragedi-65, pengalaman mereka
jarang sekali kita dengar. Gadis yang pendiam, tetapi diam-diam selalu berpikir dan
merenung itu, sealu ada sepanjang sejarah bangsa kita. bukan hanya dalam tragedi-65.
Pada awal abad ini dia adalah Kartini. Bangsa kita beruntung sekali karena Kartini rajin
menulis surat. Sehingga renungannya, kesedihannya, harapan dan cita-citanya akan
selalu bisa dibaca kembali oleh anak- anak muda generasi berikutnya. Kita belum
pernah membaca apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup orang-orang biasa ketika
pergolakan daerah, atau lebih tepat lagi Perang Saudara, melanda desa-desa di
Sumatra Barat, Sulawesi Utara atau jawa Barat.
Ya, apa yang terjadi dengan mereka yang sama sekali tidak paham dengan ambisi
kelompok elit politik ataupun elit militer. Tetapi tiba-tiba saja langit seperti runtuh.
Rumahnya hancur, kampungnya dibom dan seluruh keluarganya porak-poranda.
Bagaimana mereka bisa terus menyambung hidup, berkumpul kembali dengan orangorang yang mereka cintai dan membangun lagi harapannya untuk masa depan yang
lebih baik. Kita tidak peranh tahu pengalaman mereka.
Bukan hanya orang-orang biasa yang tidak pernah mengolah kekayaan batin itu.
Bahkan para pemimpin dan juga para guru bangsa itupun tidak mengolahnya. Multatuli
sedikit bercerita tentang Saija dan Adinda. Pramoedya juga bercerita tentan Keluarga
Gerilya, Gadis Pantai atau tentang anak-anak muda Di Tepi Kali Bekasi. Yang lain
488
mana? Padahal pengalaman hidup seperti itulah yang bisa diwariskan pada generasi
berikutnya. Itu adalah kekayaan yang tidak ternilai harganya. (Ignas Legowo untuk
'Apakabar', Oktober 1995).
489
In Memoriam Oei Tjoe Tat
Demi mengenang Oei Tjoe Tat (alm.), maka melalui media ini kami merilis ulang wawancara
yang pernah dilakukan Wandy Nicodemus (Ketua Divisi Informasi PIJAR Indonesia) serta
dibantu Nadya dan Shanty (dari FISIP Univ. Nasional). Wawancara ini dilakukan sekitar bulan
Juli 1995 di rumah Almarhum, Jl. Blitar 10, Jakarta. Sebetulnya, saat itu Pak Oei sudah berada
dalam kondisi yang kurang sehat. Tapi begitu semangatnya ia 'meladeni', hingga tanpa terasa
bincang-bincang telah berlangsung lebih dari 3 jam. Konteks situasi pembicaraan waktu itu,
lebih pada pembahasan buku beliau yang berjudul "Memoar OEI TJOE TAT Pembantu Presiden
Soekarno" --- yang kini sudah dilarang beredar pemerintah.
Karena bentuknya dialog, maka posting ini akan sangat panjang. Tapi tak apalah demi
mengenang almarhum.
Terima kasih atas perhatiannya, selamat menyimak!
Redaksi.
Dialog dengan Saksi dan Pelaku Sejarah Oei Tjoe Tat
"Tinggalkan Warisan Pengalaman bagi Generasi Muda"
Ia seorang Menteri Negara di jaman Demokrasi Terpimpin. Sebuah jabatan strategis dalam
pemerintahan Soekarno. Dalam kariernya sebagai menteri sering diserahkan tugas-tugas yang
teramat penting. Seperti dalam Konfrontasi dengan Malaysia, ia memegang posisi kunci yang
menjalankan silent mission untuk menghubungi orang-orang di Negeri Jiran itu yang bisa
bersekutu dengan Indonesia. Sebagai seorang intelektual keturunan Tionghoa yang berpikir
lurus, Soekarno tak khawatir akan dikhianati. Sebab tak mungkin orang ini memiliki potensi
massa untuk melakukan kudeta. Kata Soekarno suatu kali,
490
"...kamulah yang saya pilih, terutama karena kamu keturunan Tionghoa. Tidak ada satu jenderal
pun akan menuduh kamu ngimpi jadi presiden menggantikan saya. AD juga tidak akan
mencurigai kamu..." Wajar pula, jika Soekarno menampilkan sisi politis paling banyak di mata
dia, ketimbang di hadapan pembantu-pembantu yang lain. Ia memahami betul tindakan-tindakan
politik Soekarno. Soekarno memang dekat dengannya. Mungkin karena itulah, ia harus
mendekam selama sebelas tahun dalam penjara Orde Baru. Ia, tahu cukup banyak...
Beruntung sekali, orang ini amat mudah dihubungi. Di rumahnya yang sederhana di
kawasan Menteng, kami mewawancarainya selama lebih dari 3 jam - sampai ludes semua
suguhan cemilan dan sirup yang disediakan buat kami. Hanya dengan modal membaca
otobiografinya - "Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden Soekarno" yang baru-baru ini digugat oleh
Fosko '66 - kami melakukan dialog yang cukup seru. Kami seolah-olah masuk kembali dalam
situasi 'ramainya' Orde Lama melalui tuturannya. Ia jelaskan betapa sulitnya pemerintah
Soekarno harus mengambil keputusan dari berbagai situasi 'luar' dan dalam' negeri' yang selalu
mendesak. Ia cerita tentang apa yang didengar dan dilihatnya. Tentang G30S, tentang CIA, juga
tentang memoarnya itu. Sebagai orang yang hidup dalam dua periode besar pemerintahan - Orla
dan Orba - ia memang seorang saksi sekaligus bagian dari sejarah. Mengikuti ceritanya, tidak
membuat kita merasa harus mengutuk sejarah. Tapi mendorong kami untuk mencari lebih
banyak lagi potret-potret sejarah yang hilang, mendorong kami untuk belajar arif setelah melihat
situasi-situasi khas, sejenak ke belakang dan, mendorong kami untuk juga menjadi pelaku
sejarah. Demi melengkapi proses panjang sejarah pembentukan bangsa ini yang belum selesai.
Yang takkan pernah selesai. Namun, yang justru memberi kesempatan yang sama bagi semua
generasi untuk terlibat dalam proses panjang ini. Hal yang berat memang, terlebih bila melihat
potret diri bangsa kita saat ini. Prihatin. Tapi, kita harus segera mulai. Baiklah, sebelum
melangkah kita berdialog dulu dengan Oei Tjoe Tat. Berdialog dengan sejarah.
Belakangan ini gejala de-Soekarnoisasi tampaknya mulai mencuat lagi. Bagaimana Pak
Oei melihat ini?
Oei Tjoe Tat (OTT): Yah, saya kira kalo itu sengaja dilakukan, itu kan politis. Wajar dalam
sejarah orang/kelompok yang duduk dalam kekuasaan itu tidak rela melepaskan kekuasaan. Kalo
bisa terus menerus kuasa. Saya sendiri juga, saya kira bila punya kelompok lalu (ingin) berkuasa
selama mungkin. Tentunya segala yang katakanlah tidak sesuai diantara kita, kita cegah. Desukarnoisasi juga begitu dong. Tapi kenapa harus dengan mendiskreditkan Sukarno 'kan bisa saja
Orba menunjukkan bukti kelebihannya dalam pengadaan beras, dsb...
OTT: Ini yang saya tidak setuju. Cara-caranya yang saya ndak mengerti.
Ada pendapat yang bilang, usaha-usaha untuk mengangkat kembali nama Soekarno
hanyalah upaya politicking dari kelompok tertentu. Seperti bertemunya Gus Dur-Mega
dalam haul ke makam Bung Karno misalnya.
OTT: (Katanya pengerahan massa, ya?) Ya itu, masing-masing punya pendapat. Sayapun punya
pendapat lain sama sekali. Saya pikir kalau seorang punya keluarga, harus dihormati. Tapi kalau
seorang pemimpin bangsa lebih harus dihormati. Dan orang-orang tak pantas mencari hal-hal di
luar itu. Itu memang betul seperti yang diucapkan Gubernur Jatim (Basofi Sudirman-red.),
491
"Sukarno untuk bangsa." Tapi kita jangan pake kata-kata itu untuk mengecilkan Sukarno, untuk
de-Sukarnoisasi, untuk menghilangkan Sukarno. Kok, takut sama orang sudah mati. Pake poster
segala ndak boleh. Saya ndak ngerti itu. Cara-cara itu saya ndak ngerti.
Ada yang bilang karena kepemimpinan Orba sekarang orientasinya sangat elitis, sehingga
masyarakat yang tidak lagi dijadikan 'subyek' dalam pembangunan, kemudian mencari
figur yang lain. Ternyata figur yang terdekat adalah Sukarno, karena dia cukup populis.
OTT: Bahwa orang membandingkan Orba-Orla saya kira wajar. Apakah perbandingannya itu
tepat atau tidak penilaiannya, itu soal lain. Orang yang duduk dalam kursi yang enak tentunya
akan bilang ini lebih bagus dari dulu. Sangat subyektif. Tentunya saya sendiri akan bilang saya
juga sangat subyektif. Makanya, saya bilang buku ini sangat subyektif (sambil mengacungkan
buku otobiografinya).
Tapi begini Pak Oei, sampai sekarang orang melihat Orla itu dengan berbagai pendapat,
versi dan interpretasi. Ada yang bilang pada saat Orla, realitas sosial-ekonomi katanya
kacau. Sementara ada yang bilang ini adalah konsekuensi logis dari program-program
politik ekonomi yang dipilih oleh Sukarno ketika kita sedang menghadapi Nekolim dsb.
Nah, Pak Oei sebagai seorang yang pada saat itu menjabat sebagai menteri tentunya tahu
bagaimana sebenarnya saat itu.
OTT: Begini ya. Saya ini pernah menjadi pelaku politik. Di luar kemampuan saya. Tapi
ditakdirkan pernah menjadi pelaku politik. Disamping pelaku politik kita mengenal pengamat
politik. Pengamat politik melihat segala sesuatu itu dari... Mungkin lebih obyektif, dari agak
jauhan... Jarak jauh dalam arti fisik atau dalam arti waktu. Sehingga pengamat politik itu secara
emosial tidak terikat. Maka waktu orang-orang ini, antara lain, membuat buku "Siapa Menabur
Angin Akan Menuai Badai" dan macam-macam lagi, saya pernah menulis surat pembaca ke
Tempo. Tapi karena saya menulis itu, Tempo segera mendapat teguran keras. Saya menulis
begini: sebaiknya semua orang Indonesia, kalau menulis tentang Soekarno itu, harus menahan
diri, tidak boleh memaki-maki, tidak terlalu memuji. Kalau mau menulis Soekarno, lebih baik
kita membaca karya pakar-pakar luar negeri, dari pada orang-orang kita. Seperti saya sendiri,
emosional. Karena saya terlibat langsung dan saya merasakan langsung segalanya. Mungkin saya
memuja-muja Bung Karno atau apa. Tapi, kalau seorang Prof. Daniel S. Lev, atau Ben
Anderson, Wertheim atau siapa saja di luar negeri, Indonesia 'kan sebagai negara asing bagi
mereka. Mereka tidak involve, mereka lebih baik. Saya bilang begitu... Lha, kalau orang
Indonesia mau menulis tentang Sukarno secara obyektif, 50 tahun lagi. Karena surat itu, segera
Tempo ditegur keras. Padahal saya pernah empat kali mengirim surat pembaca pada Tempo, tapi
tidak ditegur. Saya memuji Hatta tidak ditegor. Saya cerita tentang Marshall Green tidak ditegor.
Ketika saya tidak membela BK, tapi cuma membela obyektifitas, itu ditegor... Jadi beda antara
pengamat politik dan pelaku politik. Contoh, Arief Budiman yang sekarang sangat dekat dengan
saya (Prof. Lev pernah meminta Arief untuk menyunting buku Pak Oei. Hal yang mengejutkan
bagi Pak Oei. Setahunya, Arief adalah orang yang membantu 'terdongkelnya' Soekarno.
Sedangkan ia sendiri adalah pendukung Soekarno. "Jadi memang ndak bisa ketemu." ). Ternyata,
Arief sebelum berangkat ke Amerika dan setelah datang dari Amerika, itu berubah. Setelah dia
membuat desertasi tentang Allende, berubah (Desertasi ini yang memaparkan keterlibatan CIA
492
dalam penggulingan Presiden Chilli Salvador Allende, kini sudah diterbitkan dalam bentuk
buku-red.). Saya mau katakan, orang bisa berubah.
Pak Oei pun menceritakan bagaimana ia kemudian bertemu dengan Arief Budiman.
Sekembalinya dari AS, Arief menelpon Pak Oei dan memperkenalkan dirinya. Menurut Arief ia
disuruh oleh Prof. Lev untuk menghubungi Oei Tjoe Tat. Tapi, ketika baru bertemu dengan Pak
Oei, Arief langsung 'menyerang', "Pak Oei ini sebagai seorang intelektual, kok mem-bebek pada
Soekarno yang otoriter?" "Dikasih salvo begitu, saya malah senang," ujar Pak Oei. Baginya
memang lebih baik orang jangan terlalu memuji-muji, tapi berdialog. Dan, belum lama ini,
kebetulan Pak Oei diundang dalam kegiatan diskusi di Jawa Tengah yang juga dihadiri oleh
Arief Budiman. Pada waktu itu, Arief kembali menanyakan mengapa sewaktu di Yogya dulu,
Bung Karno lebih memilih ditawan oleh Belanda ketimbang ikut ke hutan seperti yang dilakukan
oleh Sudirman. Juga ketika istana dikepung suatu ketika, menurut sumber yang dipercaya Arief,
Soekarno ketika itu malah melarikan diri. Untuk peristiwa di istana, hal ini dijawab oleh Pak Oei,
yang melihat sendiri peristiwa di istana itu, "saya tidak mendapat kesan - mataku lho - Soekarno
sama sekali ndak gugup." Pak Oei lalu menanyakan pada Arief, kalau ia mengenal Zulkifli
Lubis. Orang ini - Zulkfili - adalah soerang tentara yang dikenal sebagai salah satu 'bapak' intel
di Indonesia, pernah ditahan Soekarno dan yang dikatakan menjadi otak pelemparan granat
terhadap Soekarno di Cikini dulu. Beberapa bulan sebelum dia meninggal, sempat bercerita
tentang Soerkarno. Dia berkata pada Pak Oei, "kalau orang berkata bahwa Soekarno dan Hatta
sebenarnya takut ikut gerilya, tapi lebih senang ditahan Belanda, itu tidak fair." Karena dalam
cerita Zulkifli, ketika itu Soekarno dan Hatta bertanya pada pimpinan gerilya, "ini keadaan
darurat, jadi keselamatan RI ini dalam tangan anda semua. Kalian memutuskan saya dan Hatta
ikut kalian ke hutan, apa kita harus tetap di istana?" Hal yang dijawab oleh TB Simatupang
(alm.), "Bapak Presiden dan Wakil Presiden harus tinggal di istana." Namun, oleh Zulkifli Lubis,
pendapat Simatupang ini ditentang. Karena Lubis telah menyiapkan pasukan untuk
mengamankan Presiden dan Wakil Presiden. Akhirnya, karena Simatupang berpangkat lebih
tinggi, pendapatnyalah yang dijalankan. Dengan cerita ini, Pak Oei menyatakan kepada Arief
Budiman, "bila tidak mengenal data ini, jangan mengatakan Soekarno dan Hatta itu pengecut."
Ada hal menarik yang juga diceritakan tentang Arief oleh Pak Oei. Dalam diskusi di
atas, Pak Oei menyatakan salutnya kepada orang-orang semacam Arief yang penuh idealisme
dalam demonstrasi di awal tahun naiknya Orde Baru. Mereka yang berpikir bahwa Orla
adalah jelek dan harus diganti dengan pemerintahan baru. Mereka ini, berani berkorban.
Karena itu Pak Oei berkata pada Arief, "kamu semua pahlawan, berani bergerak sendiri."
"Ndak. Kami ini dihasut tentara," jawab Arief.
Ada lagi. "Ini mungkin takdir Allah," katanya. Sebab semua orang
tahu,Soe Hok Gie, adiknya Arief Budiman yang memimpin demonstrasi dan pembakaran di
rumah Oei.Hal yang juga dikomentari oleh Arief, "Iya,itu adik saya belum berpengalaman,
belum tahu siapa Pak Oei." (Grrr...)
"Arief Budiman itu memang orangnya fair, jujur," tambah Oei menetralisir.
493
Mengenai keadaan ekonomi seputar Orla...
OTT: Jelas, saya bukan ekonom. Saya menulis buku ini (memoarnya-red.), sebetulnya tidak
dengan rela. Tapi karena Romo Mangunwijaya dan Kyai Abdurrahman Wahid. Dua orang ini
bilang pada saya: Karena Pak Oei sudah tua jadi jelas sudah tidak bisa mengabdi lagi kepada
negara. Satu-satunya yang harus diperbuat adalah menulis tentang pengalaman. Pengalaman tak
boleh dibawa ke liang kubur, biar tinggalkan sebagai warisan bagi generasi muda. Bagaimana
generasi muda menilainya, itu bukan urusan Pak Oei. Itu kata Romo Mangun. Gus Dur, lain kata.
Dia bilang pada saya: Takdir itu menempatkan Pak Oei sebagai bagian dari sejarah bangsa ini.
Jadi, semua pengalaman itu tidak milik pribadi. Tapi, milik seluruh bangsa. Akhirnya segala
sesuatu itu saya tulis. Artinya yang saya tulis itu betul. Apa itu enak atau tidak enak, kalau saya
pandang itu betul, saya tulis. Dengan catatan, tidak semua pengalaman saya, saya tulis... Kembali
pada pertanyaan tadi. Keadaan ekonomi dulu sama sekarang itu bagaimana? Saya anggap
pertanyaan itu tidak bisa dijawab. Karena situasi dan kondisinya lain. Bahwa, hari-hari terakhir
Orla, inflasi gila-gilaan. Dan kita selalu defisit. Semua betul. Dan, Soekarno pribadi sangat
kurang pengertiannya dan pekanya akan soal-soal ekonomi keuangan, itu betul. Secara pribadi.
Bukan berarti Soekarno pribadi tidak mau memperhatikan soal-soal itu. Memang. Dia tidak
punya satu 'PT' pun. Lain dari pada presiden kita sekarang... Kembali ke soal tadi. Ini, Chaerul
Saleh. Dia menteri koordinator bidang keuangan ekonomi dsb. Ia mengatakan berkali-kali, 80%
dari budget negara itu diperuntukkan untuk ABRI. Untuk perjuangan politik. Perebutan Irian
Barat. Memadamkan pemberontakan-pemberontakan. Bagaimana kalau hanya 20% dari budget
kita digunakan untuk pembangunan dan lain-lain. Tidak bisa disamakan dengan keadaan
sekarang. Dan, dulu karena Soekarno dalam perang dingin antara Sovyet dan Amerika, dianggap
sebagai anak yang bengal, - beda dengan sekarang yang dianggap good boy -, kalau bisa kedua
negara itu mau 'menyentik' Soekarno. Soekarno ini paling menjengkelkan, bandel. Dia tidak mau
ke sana, tidak mau ke sini. Padahal, Amerika minta kalau bisa Indonesia ini memihak. Kaya raya
alamnya. Lokasinya luar biasa strategis. Siapa yang menguasai Indonesia menguasai Asia. Siapa
yang menguasai Asia, menguasai dunia. Mereka cari akal bagaimana caranya bisa 'menyentik'
Soekarno. Jadi, soal ekonomi, betul apa yang dikatakan... (Pak Oei, ingin menjelaskan situasi
dimana dua raksasa dunia, yang karena posisi Indonesia benar-benar "non blok", tidak mau
memberikan bantuan ekonomi bagi Indonesia.) Bedanya dengan sekarang. Kita lihat lapanganlapangan golf. Tapi saya tanya, apakah lapangan golf itu berarti pembangunan? Padahal petanipetani diusir dari lahan-lahannya. Lalu pembangunan itu artinya apa? Kalau kita membangun
jalan tol, membangun apa, tidak? Ya, membangun dong. Tapi bagi saya yang punya mobil. Buat
pedagang asongan, apa itu membangun? Bagi mereka pakai tol atau tidak, sama saja toh? Jadi
tergantung 'pembangunan' itu bagi siapa. ...Kalau kita berbicara dengan bahasa Indonesia ini,
hati-hati. Seperti 'pengamanan'. Saya 'diamankan'. Tapi, kok telpon saya diputusin. Revolver
saya kok dicabut. Sehingga saya tepaksa 'nulis pada 'Harto. Ada loh itu. Jadi, bahasa Indonesia
ini saya ndak 'ngerti. 'Pengamanan' itu apa. 'Pembangunan' itu apa. 'Pancasila' itu apa, saya juga
nggak ngerti.
Mengenai anggapan bahwa Soekarno itu totaliter, bagaimana? Bukankah ia pernah
membubarkan konstituante, yang menimbulkan kesan seolah-olah kekuasaan ini
tersentralisir di tangannya?
494
OTT: Kita sementara, kembali kepada pembubaran konstituante. Saya sementara ini sependapat,
kurang lebih, dengan Adnan Buyung Nasution bahwa pembubaran konstituante itu merupakan
set back bagi perkembangan sejarah demokrasi di Indonesia. Saya setuju dengan pendapat itu.
Tapi, saya tidak setuju bila dikatakan bahwa pembubaran konstituante itu dilakukan Soekarno
karena kehendaknya untuk berkuasa. Seperti dikemukakan antara lain oleh Arief Budiman pada
waktu itu. Arief Budiman mengatakan Soekarno itu juga sama otoriter, sebab dia membubarkan
konstituante hasil pemilihan rakyat. Dan menurut keterangan yang dia dapat, "Soekarno dan
Nasution 'AD'lah yang mendesak supaya konstituante dibubarkan." Dia tanya pada saya, "Pak
Oei, betul apa ndak itu?" Saya bilang saya ndak tahu. Tapi, bahwa konstituante dibubarkan, ini
sampai menimbulkan clash di kalangan BAPERKI - suatu ormas yang saya sendiri mempunyai
kedudukan penting. Tapi, karena itulah Yap Thiam Hien berang. Dia mengundurkan diri dari
pengurus pusat karena tidak bisa menyetujui pembubaran konstituante. Yap Thiam Hien ini
advocaat dalam kantor saya. Satu dompet dengan saya. Dia juga kawan seperjuangan di Sin
Ming Hui dan di BAPERKI. Tapi waktu di BAPERKI, kita 'pecah' dalam soal konstituante. Saya
berpendapat seorang demokrat, seorang juriist, sehingga dia cenderung pada formalisme. Saya
juga seorang juriist, seorang demokrat. Tapi, kalau kita duduk dalam konstituante, kita juga
orang politik. Nah, kenyataannya pada saat sampai kepada penentuan negara ini dasarnya apa,
Islam atau Pancasila, tidak ada satu pihakpun yang bisa meraih 2/3 suara yang dibutuhkan
menurut UU supaya bisa 'gol'. Jadi, mau negara Islam tidak bisa, mau negara Pancasila tidak
bisa. Meskipun, lebih dari separuhnya mendukung Pancasila. Yang mendukung Pancasila adalah
partai-partai besar. PNI paling gede, PKI, kemudian IPKI, Partai Katholik, Partai Kristen
Indonesia, MURBA, BAPERKI sendiri dan banyak lagi. Yang Islam, didukung yaitu NU,
MASYUMI, PSII, dsb. Kemudian, Perdana Menteri Juanda (alm.) mengusulkan kembali ke
UUD '45. Juanda dan tentara lho. Dan, Bung Karno setuju. Itu kemudian ditolak juga oleh
seluruh konstituante. Jadi, bagaimana ini. Padahal, di sekitar kita, pemberontakanpemberontakan, PRRI-PERMESTA di mana-mana. Dan, kita ketahui armada Inggris dan
Amerika itu berkeliaran. Jadi ini keadaan darurat. Kemudian, partai-partai yang pro Pancasila itu
mengatakan, "karena ini macet dan kita tidak mau terima uang buta, pendeknya mulai besok kita
tidak datang lagi ke sidang kita, tidak mau terima gaji. (Seandainya DPR kita juga begitu, ck, ck,
ck... Tentu nggak banyak pemborosan)" Artinya, karena lebih dari separuh tidak ada di
konstituante, tidak bisa sidang. Jadi, pemerintah dipojokkan dalam situasi itu. Kalau Soekarno
ndak bubarkan itu bagaimana? Wong itu, orang-orang nggak mau datang. Seperti BAPERKI,
semua tidak datang. Saya juga nggak mau. Hanya Yap Thiam Hien mau datang. Nah, keadaan
ini kan harus ada suatu akhir toh. Kemudian Soekarno membubarkan. Ini 'pelakunya' Soekarno.
Kita yang hidup sekarang, bisa bilang, wah ini keliru. Tapi, kalau ndak dibubarkan bagaimana?
Apa uang negara itu mesti dihabiskan? Sampai kapan itu saya tidak tahu. Pemberontakan bisa
menggunakan situasi itu. Dan yang penting itu (ancaman) Amerika. Di jaman itu we have to
fight, kita mesti berjuang untuk to be or not to be. Bukan soal kemakmuran saja. Tapi, untuk 'ada
republik' atau 'tidak'. Ada Indonesia atau tidak.
Jadi persoalan di jaman itu jelas, ya?
OTT: Ya. Akhirnya golongan Islam juga setuju untuk kembali ke UUD '45. Bagi saya, Oei Tjoe
Tat dan orang-orang BAPERKI, mengakui UUD '45 lebih primitif dari UUDS tahun '50. Jadi
kalau kita kembali ke UUD '45, kita mundur. Tapi dalam hati kecil, biarlah kita muncur yang
penting (Indonesia) eksis. Soal hak asasi dan sebagainya, lain kali deh. Kalau Pancasila sudah
495
dikukuhkan, (yang lainnya) gampang. Pilihan yang memang sulit. ... Pecah BAPERKI karena
itu. Yap Thiam Hien memang jujur. Tapi, saya bilang, "you duduk di kursi sini (konstituantered.) tidak sebagai juriist, sebagai orang politik." Itu bedanya dengan saya. Makanya saya setuju
dengan Adnan Buyung Nasution. Ia memahami bahwa keadaan itu memaksa Soekarno dan
teman-teman lain membubarkan konstituante. Tapi menurut dia, tetap hal itu disesalkan, karena
ini set back bagi demokrasi.
Mengenai MANIPOL-USDEK, bukankah ini merupakan doktrin yang sepertinya terlalu
dipaksakan ke benak rakyat. Mengapa hal ini mesti dilakukan Soekarno?
OTT: Saya tidak akan langsung menjawabnya. Kalau sekarang diadakan penataran Pancasila
berkali-kali dan orang komentarnya akan muncul, itu pasti. Jaman dulu, Roeslan Abdulgani itu
juru bicara MANIPOL-USDEK. Dulu, ada sementara orang yang mengejek itu, "ketimbang
indoktrinasi, mbok disediakan saja ndok sama terasi." Soekarno ndak marah, dia ketawa.
Roeslan juga ketawa. Mereka semua masih 'ngerti humor. Nah, di mana ada humor di situ ada
soal kemanusiaannya. Ada setitik demokrasi. Sekarang kamu coba bilang, "wah penataran itu
hanya buang-buang uang saja." Bisa dibilang mau jadi komunis nanti. Dulu, suasananya agak
rileks. Kalau kita menteri-menteri tiap Kamis datang di gedung BI Pancuran, apa ada orang pake
dasi? Tidak. Pake sandal jepit malah. (Beda dengan sekarang yang menurut Pak Oei "serba
serem, serba angkuh." Dulu kalau Soekarno datang sebelum sidang dimulai, menteri-menteri
ditaboki, "hey ke mana saja koe?" Suasananya lain. Dalam konstituante pun, bila sedang
memasuki sidang, maka akan muncul perdebatan yang hebat. "Sampai melotot-melotot
matanya." Tapi, pada saat sidang bubar, masing-masing "orang PKI rangkul-rangkulan dengan
orang MASYUMI. Orang NU dengan PNI, orang PARTINDO dengan orang NU". "Jadi di luar
sidang, semua saudara," Pak Oei menyimpulkan.)
Mengenai konfrontasi dengan Malaysia. Dalam memoar Pak Oei, peran Bapak cukup
besar dalam menjalankan silent mission ke kelompok-kelompok di Malaysia yang
menentang Tengku Abdul Rahman. Bisa diceritakan lebih banyak lagi seputar konfrontasi
ini?
OTT: Kalau obyektif, kita diganggu oleh Inggris lebih dahulu dari pada kita konfrontasi dengan
Malaysia. Itu betul. Bahwa Inggris sebagai pion Amerika menggunakan taktik untuk
mengganggu Indonesia. Ada seorang jenderal yang - entah masih hidup atau sudah nggak bisa
bicara -, Jenderal Darto dan Pak Hario. Di jaman militer mereka tahu, bahwa penduduk di
Kalimantan Utara tidak mengenal Merah Putih. Mereka mengenal lagunya God Save The King.
Tapi kita tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk sampai ke sana. Bagian-bagian itu secara de
facto dikuasai oleh Inggris. Jadi, tanpa konfrontasi kita ini sudah diganggu oleh Inggris. Tentang
pembentukan Malaysia dan diberikannya tempat pada Malaysia dalam Dewan Keamanan PBB,
bagi Soekarno ini tidak bisa. Tengku Abdul Rahman itu juga memang suka menyinggung
martabat Soekarno. Sedangkan Soekarno orangnya tidak bisa diremehkan. (Di bukunya menurut
Pak Oei hal ini belum dia tuliskan, "memang ada hal yang tidak bisa dikemukakan dulu, ada
banyak pertimbangan.") ...(Kembali ke soal kebijakan konfrontasi) waktu saya mau diangkat jadi
menteri, saya mendekati beberapa menteri. Leimena yang paling banyak. Beliau dikenal sebagai
seorang Kristen yang jujur dan setia. Saya anggap beliau sebagai kakak yang lebih tua. Sebagai
manusia yang baik dalam hal moral - bukan politis. Saya tanya sama dia, "Om Yo, kalau saya
496
jadi menteri itu, tugasnya apa dan bagaimana saya mesti berlaku?" Saya ini kan menteri negara
tidak punya departemen. Bos saya langsung Soekarno. Om Yo bilang, "Rasio saya sangsi apakah
rasional kita konfrontasi dengan Malaysia. Sebab Malaysia itu berarti England. Dan england,
always rules the better, always rules the world. Padahal RI ini keadaannya kacau balau. Karena
saya mempercayakan diri pada political sense Soekarno yang sangat tajam, insting saya
mengatakan, tapi otak saya tidak bisa menerima. Tapi kalau kamu ada sesuatu yang secara
prinsip tidak setuju, lebih baik tidak ikut dan mengundurkan diri. Dari pada seperti banyak
menteri yang diam-diam tapi 'nyabot dari dalam." Om Yo sendiri sangsi. Saya sendiri tadinya
kurang jelas. Tapi, I did my best. Saya lihat bila kita melakukan sesuatu di atas Malaysia, mereka
telah mengetahui lebih dahulu. Sehingga penerjun-penerjun yang kita drop, itu ditangkapi. Jadi,
jelas di dalam kompi ada pengkhianatan. (Mengenai konfrontasi ini, Pak Oei mengakui bahwa,
terlepas dari berbagai argumen yang dikemukakan Soekarno tentang pentingnya konfrontasi
dengan Malaysia, "kita memang tidak cukup siap.") Waktu saya sering ke luar negeri dalam
rangka konfrontasi, saya persiapkan itu. Dan, saya punya bukti-bukti yang saya laporkan kepada
ketika bahwa intel-intel yang ada sekarang (di jaman Orba-red.) sebetulnya harus
menghormatinya. "Anggaplah sebagai saudara tua." Ia tahu tugas intelejen itu apa, termasuk
untuk mencari-cari kesalahan orang. Dalam pengalamannya, peran pemuda Indonesia yang
belajar di luar negeri, seringkali lebih efektif sebagai 'intelejen' baginya, ketika ia berkunjung ke
luar negeri. Ia rasakan itu, terutama ketika era konfrontasi sedang berlangsung.)
Silent Mission selain itu, apa?
OTT: Saya ditugasi untuk, antara lain, mencegah buruh-buruh Jepang mengangkut senjatasenjata ke Malaysia. Saya harus meyakinkan mereka. Akhirnya, mereka menolak mengangkut
senjata dari Jepang ke Malaysia. Tapi, saya diam-diam waktu itu. Supaya pemerintah Jepang
tidak mengetahui. Makanya sewaktu terjadi G30S dan nama saya dicoret-coret di tembok, "Oei
Tjoe Tat menjual Indonesia kepada Malaysia." Marah saya. Kemudian saya telpon Jenderal
Soegiharto, intel dari Jaksa Agung dan AD. Saya bilang padanya, "bagaimana nih,
menjelaskannya?" Dia Jawab, "ndak bisa dong. Pak Oei tidak boleh menjelaskan karena itu
resiko dari tugas dan jabatan." Saya bilang, "clear-kan dong. Supaya rakyat tahu. Kasih
keterangan pada pers." Tetapi tetap ndak bisa.
497
[Meskipun bakal menghadapi resiko seperti di atas, Pak Oei tetap tidak 'buka
mulut' terhadap tugas yang dibebankan oleh Soekarno padanya. Soekarno
memang tidak salah memilih Pak Oei dalam menjalankan silent diplomatic
mission ini, sebab seperti dikemukakan oleh Ong Hok Ham, Soekarno tahu
bahwa loyalitas Oei Tjoe Tat pada partai akan berakhir bila negara telah
memintanya. "Soekarno memang pandai," ungkap Pak Oei. Di jaman itu,
memang sulit mencari orang partai yang loyal kepada negara.
Biasanya orang lebih ingin memajukan kepentingan partainya masingmasing.
Jadi, tindakan Pak Oei yang juga tidak memberitahu PARTINDO dan
BAPERKI akan tugas rahasianya, memang sesuatu yang langka. Pak Oei
sendiri menyebut dirinya 'apolitis' karena sikapnya itu."Tapi bukan berarti
lugu politik 'kan?" begitu pancing kami.
Ada sebuah pengalaman lagi yang menunjukkan betapa Pak Oei amat
memahami tindakan serta situasi yang menyertai setiap keputusan politik
Soekarno. Dalam resepsi di kedutaan besar Mesir, Aidit pernah mendekati
Pak Oei. Ia bertanya, "Nasakom (kabinetnya) itu kapan? 'Kan presidennya
Pak Oei itu sudah berkali-kali berkaok-kaok. Tapi kok cuma bernyanyinyanyi meninabobokan rakyat Indonesia." Ini membuat marah Pak Oei. "Apa
itu bukan juga presidennya Aidit?" Ia katakan, Aidit cuma bisa mengkritik
dari luar, meminta PKI duduk dalam kabinet. "Tapi Soekarno yang duduk
dikursi adalah pelaku. Dia harus memperhitungkan betul-betul. Kalau PKI
dimasukkan, tentara berontak. Kalau tentara berontak, menang mana? 'Kan
lain..". Pelaku itu memang lain posisinya. Karena situasinya beda dengan
pengamat yang mengambil jarak dari situasi. Seorang pelaku, "harus
memperhitungkan betul-betul segala sesuatunya secara teliti. Lebih
kompleks." Baginya Aidit sebagai seorang anggota parlemen, saat itu adalah
semata-mata pengamat. Ditambahkannya, "Pengamat mungkin obyektif, tapi
kami yang menghayati situasi, mohon diberi pengertian..."]
Sekarang soal G30S/PKI. Adakah RRC mempunyai hubungan dengan
peristiwa ini?
OTT: Banyak orang selalu menyatakan bahwa G30S didalangi atau direstui
oleh RRC. Konfrontasi pun dikatakan demikian. Saya tidak mengerti seluk
beluk yang persis. Tapi dalam konfrontasi, pernah. Pak Karno bilang pada
saya (agar RRC diminta bantuannya dalam konfrontasi). Pada suatu resepsi
di kedutaan besar RRC, saya mendekati salah satu menteri yang pada waktu
itu datang. Saya bilang, "RRC sama kita seperti kawan seperjuangan. Tapi
dalam konfrontasi ini, nampaknya RRC kok seperti hanya melihat saja.
Apakah tidak bisa memberi tanda simpati. Paling tidak memberi senjata." Dia
jawab begini - yang menurut saya merupakan petunjuk RRC tidak
mendukung kebijakan konfrontasi -, "jelas kita tetap kawan seperjuangan.
Kalau Indonesia perlu senjata, kita kasih. Tapi Indonesia harus mengambil
sendiri senjata itu. Dan kita cuma bisa memberi senjata ringan. Kenapa? Kita
498
tidak setuju cara konfrontasi Indonesia yang dititikberatkan di Malaya, di
mana infrastrukturnya sudah sempurna. Dan tidak mungkin Indonesia bisa
menguasainya. Kalau Indonesia sungguh-sungguh mau konfrontasi, harus
gerilya di hutan-hutan Kalimantan. Dan untuk perang di hutan ini, kami
bersedia memberikan senjata ringan dan silakan ambil sendiri." Jadi nadanya,
nada sinis. Bagi saya ini bukti bahwa RRC tidak setuju.
...Sekarang mengenai G30S. Logikanya, RRC melihat Soekarno sebagai
kawan seperjuangan. Meskipun RRC kuat dan sebagainya, tapi adanya
Soekarno itu melindungi sebelah Selatan RRC. Kalau tidak ada Soekarno, itu
Amerika yang menguasai. Jadi melihat Indonesia sebagai partner, paling
sedikit. Buat apa RRC ikut mendongkel Soekarno. Dia butuh Soekarno. Ini
kita hitung dengan logika saja. Motifnya bukan karena dia cinta sama
Soekarno atau Indonesia.
Tapi untuk kepentingan negaranya sendiri, mereka tidak mau menghilangkan
kekuasaan Soekarno. Kedua. Saya dengar dari Ali Ihram (?), intel. Dia
diberitahu waktu Chen Yi - Menteri Luar Negeri RRC - datang di sini, dia
menegur Aidit, "kalian mesti sadar, PKI ada karena toleransi Soekarno.
Karena Soekarno membutuhkan kalian untuk mengimbangi golongangolongan kanan. Maka saya minta, PKI tidak boleh berbuat sesuatu tanpa
memberitahu Soekarno. Kamu sendiri saja, tidak bisa enyelesaikan." Jadi,
garis besarnya, ia tidak setuju kalau PKI mengganjal Soekarno. Ada beberapa
petunjuk bahwa RRC tidak terlibat dalam G30S. Bahwa mereka seolah-olah
sudah tahu lebih dahulu beberapa jam sebelum aksi meletus, itu saya bisa
mengerti. Sebab mereka juga punya intel.
[Bahwa Soekarno merasa dibutuhkan oleh RRC, disadari betul olehnya. Jika
seorang menteri koordinator seperti Pak Marno harus dengan ulet dan ngotot
mencari pinjaman pada menteri keuangan RRC, maka Soekarno hanya
dengan menepuk bahu Chou En Lai, dan berkata, "hey, masa' ndak 'ngerti
kesulitan Indonesia. Kami ndak usah meminjam lah, tapi tolong hutang kita
dihapus semua." Dan, Chou En lai memang tidak bisa berkutik lagi. Sampaisampai Pak Marno, merasa bahwa mestinya Soekarno tidak perlu lagi
menteri keuangan.]
Apa yang anda ketahui mengenai skenario G30S ini? Siapa sebetulnya yang
harus bertanggung jawab?
OTT: Perlu kalian mengetahui lebih dahulu, bahwa saya mengetahui sedikit
tentang banyak sekali masalah. Tapi, saya tidak mengetahui cukup tentang
satu masalah pun. Karena tugas saya itu begitu. Saya tidak ada waktu cukup,
tidak ada staf cukup untuk mengetahui satu masalah dengan cukup. Tugas
saya hanya membantu empat orang (Soekarno, Soebandrio, Leimena dan
Chaerul Saleh sebagai Perdana Menteri dan wakil-wakil Perdana Menterired.). Saya ini diharuskan mengikuti segala sidang. 'Kan nggak mungkin.
Bahkan kalau Chaerul Saleh harus meninjau daerah, saya harus ikut. Nah,
499
kalau pertanyaannya bagaimana mengenai G30S, ...istri saya yang (mungkin)
lebih tahu. Tanggal 27 sampai 28 September, saya tugas di Hongkong.
Duapuluhdelapan September malam saya baru tiba. Dan menurut aturan,
kalau saya dari luar negeri, esok harinya harus lapor pada presiden. Jam tujuh
malam itu saya menelpon istana dan minta audiensi pada tanggal 29. Dijawab
bahwa tanggal 29 itu sudah full, Pak Oei supaya datang pada tanggal 30 saja.
Istri saya pada 28 September, rapat di gedung Sin Ming Hui - Sin Ming Hui
anggotanya pribumi juga ada. Nah, di situ, ada seorang Gerwani, seorang
dokter. Dia tanya pada istri saya, "malam ini Pak Oei 'nginap di mana?" Istri
saya 'kan ndak 'ngerti. "Ya, 'nginap di jalan Blitar." Pertanyaan itu terus
diulang-ulang. Baru setelah berbulan-bulan setelah peristiwa (G30S) itu istri
saya berpikir, kalau begitu mungkin Gerwani sudah mengetahui sebelumnya.
...Saya pernah ditanyai oleh Pak Harto tentang kapan Bung Karno
mengomandokan rakyat - oleh karena Pak Karno selalu bilang supaya rakyat
tetap tenang sambil dia nanti akan memberi keputusan. Saya bilang pada Pak
Harto, tanpa Pak Harto tanyai, saya sudah berkali-kali tanya sama Bung
Karno. Kapan itu diberikan kepada rakyat. Sebab rakyat itu gelisah. Mereka
tidak tahu apa dan siapa yang salah, apa yang mereka harus perbuat dan
sebagainya. Pak Harto mengatakan, "selama belum ada komando dari
presiden, anak buah saya masih terus dibantai oleh PKI." Kemudian Pak
Harto bertanya lagi, "kenapa Pak Karno tidak membubarkan PKI ini? PKI ini
sudah menusuk kita dua kali. Satu kali ketika kita melawan Belanda,
peristiwa Madiun. Yang kedua kalinya ini. Apa belum cukup korban?" Saya
katakan begini, "saya tidak tahu kenapa kok Pak Karno masih menundanunda." Lalu dia bilang, "kalau pak Oei sendiri setuju nggak, PKI
dibubarkan?" Saya bilang, "karena saya ini pembantu presiden tidak bisa
menyuarakan sendiri. Pak Karno dan Jenderal Soeharto masing-masing
punya staf. Juga intel. Staf saya hanya 8, bagaimana saya mau mengetahui
PKI salah atau tidak. Kalau Pak Harto dan Pak Karno bilang PKI salah, saya
bilang salah. Kalau Pak Harto dan Pak Karno bilang tidak salah, saya bilang
tidak salah." ...Kembali ke pertanyaan tadi. Sementara, sampai detik ini,
kalau tidak ada lain bukti lagi, saya masih berpegang pada pendirian
Soekarno. Soekarno yang saya kenal sebagai orang yang emosional, itu
dalam sidang-sidang kabinet setelah G30S, selalu marah dan mengatakan
"gara-gara semua ini. kita mundur." Tapi, selalu dia menyalahkan tiga unsur.
Unsur-unsur luar negeri, terutama CIA Amerika, kemudian unsur-unsur
dalam negeri terutama oknum-oknum angkatan darat yang tidak betul,
kemudian - dia bilang - ada orang-orang PKI yang keblinger.
Sampai detik ini pun saya masih berpegang pada itu kecuali ada bukti-bukti
baru. Dan Soekarno tidak hanya begitu saja, dia bisa menunjukkan dalam
sidang kabinet, kuitansi dari beberapa ratus ribu... yang diberi oleh Amerika
kepada 'seseorang' dari kita. Dan dia menggunakan kata-kata latin yang
artinya. "uang itu tidak berbau busuk." Artinya, uang itu enak. Orang
Indonesia yang dikasih sekian untuk menjual negaranya, mau saja. (Lagi)
...dan ada seorang yang bilang sama Ny. Soebandrio, "jangan mengira
Soekarno itu akan selalu menguasai Indonesia. Mungkin dalam beberapa
500
minggu akan..." Nah, Soekarno dalam kabinet bilang, "ini orang kok bisa
predict, bisa meramalkan begitu kenapa?" ...Sudah baca The Troyan Horse?
...Bahwa Amerika ini, bukan hanya satu dua tahun, sudah belasan tahun
menyiapkan segala sesuatunya. Di bidang budaya, perguruan tinggi, segalagalanya.
Tadi dikatakan Soekarno memberi peluang kepada PKI untuk tetap eksis.
Apakah ini karena PKI dan Soekarno mempunyai paham yang sama?
OTT: Dalam hal anti kapitalis, ya sama. Tapi tidak semua sama. Bung Karno
orang yang religius, PKI tidak. Bung Karno anti kekerasan. PKI jelas tidak.
Saya bukan memusuhi PKI, Marxisme atau Leninisme. Saya kagum. Tapi
PKI dalam beberapa praktek, saya ndak bisa setuju. Di mana dia kuasa
sedikit, dia akan memaksa. Contoh... Saya dekat lho dengan Nyoto - dengan
Aidit kurang. Waktu di Bali diadakan Pemilihan Umum DPRD - pada waktu
itu yang berkuasa di Bali: PKI, PNI, NU -, mereka mengatakan NASAKOM
haruslah Nas-nya PNI, A-nya hanya NU, kemudian Kom-nya harus PKI.
Kemudian ada PARTINDO partai saya. Tapi, tidak boleh masuk. Wah ini
bertentangan dengan penafsiran Bung Karno. Waktu itu saya kasih tahu
Nyoto. "Sekarang saya minta kepada Pak Nyoto untuk kasih pengertian pada
PKI di sana." Dia tanya apa betul terjadi begitu. Saya bilang betul. Saya kasih
tempo. Bila tidak ada juga jawaban memuaskan, saya akan kasih tahu Pak
Karno. Karena ia yang paling pandai menafsirkan apa yang dimaksud
NASAKOM. Setelah satu minggu, saya ke Bung Karno. Saya ceritakan pada
Bung Karno. Ia bilang, "Nyoto itu orang intelektuil, apa dia ndak pura-pura?"
Saya bilang belum tentu. Dua hari kemudian Nyoto menelpon, "Pak Oei,
ndak usah dong ngomong-ngomong sama Pak Karno. Saya sudah tegor
temen-temen di Bali." Ini contoh bahwa PKI kadang-kadang... wajar. Tapi,
jangan begitu. Juga di Bali, PNI paling
berkuasa. Pamong praja yang dikuasai oleh mereka. Dan seperti saya
katakan, kalau saya apolitis, PNI itu sangat politis. Semua kebutuhan pokok
pamong praja dikuasai, juga fasilitasnya. Kalau perlu pedagangnya. Tidak
beda dengan Golkar sekarang. PNI juga seperti itu. Nah, PKI yang nomor
dua di sana. Dia (PKI) mengejek, meremehkan, menyinggung perasaan
orang-orang Bali yang bukan Islam. Seperti mengejek sesajennya orang Bali.
Apakah mereka mau menyembah patung, (seharusnya) itu bukan urusan kita
dong. Itu pengalaman saya dengan PKI. Dengan (tidak mengurangi) catatan
bahwa PKI sangat berjasa bagai kemerdekaan Indonesia. Dan orangorangnya brilyan. Serius. Dalam keseriusan pada urusan partai, kita kalah.
Cuma saya nggak senangnya, mereka suka memaksa. Bagi mereka hanya ada
'lawan' atau 'kawan'.
Ada yang menarik disini (memoar-red.), yaitu adanya peran seorang CIA
bernama Pater Beek di sekitar peristiwa G30S. Sebetulnya apa peran dia saat
itu?
501
OTT : Pater Beek itu , saya lihat pertama kali setelah saya dibebaskan.
Saya di dalam tahanan mendengar dari orang-orang PNI, BAPERKI, PKI,
dan sebagainya bahwa Pater Beek ini adalah seorang agen CIA. Dia
membina pemuda-pemuda Katolik, terutama pemuda-pemuda keturunan
Tionghoa-Katolik, untuk antara lain membakar gedung Kedubesan RRT,
membakar gedung Universitas Res Publika dan menghancurkan semua
gedung-gedung PKI atau rumah-rumah orang PKI. Ini dianggap ultrakanan. Selama saya mendengarkan itu, saya di RTM. Bagaimanapun saya
Katolik. Jadi, ada seorang pastor Katolik begitu, saya diam. Tapi pada waktu
saya diperkenalkan dengan Pater Beek dan dia datang kesini (RTM-Red)
kemudian, dia mengaku. Dia bilang begini pada saya, "kalau pak Oei perlu
sesuatu dari (...?), saya bisa." Ali Moertopo, semua jenderal."...Saya dengar
dia ini membantu Liem Bian Koen dan Liem Bian Khie. Sumarlin. Semua ini
dibawah dia. Dia juga kuat di PMKRI. Tapi anehnya, waktu saya minta
seorang pastur Belanda lain untuk mengumpulkan ikatan pastur 'bule', untuk
makan malam, dia (pastur Belanda itu-red.) bilang, "wah nggak bisa Pak Oei.
Bisa terjadi perang saudara nanti." Jadi di dalam dunia Katolik, dia (Pater
Beek-red.) merupakan satu tokoh kontroversial. Waktu saya pertama kali
ketemu dia, saya menyindir dia. "Saya ini Oei Tjoe Tat yang paling jahat
(selama Orde Lama-red.)." Rumahnya, gede dari kayu. Yang melayani semua
laki-laki, yang ternyata student. ...(Singkat cerita, dalam sebuah acara di
Solo, Pak Oei bertemu dengan seorang mahasiswa Katolik yang mengaku
pernah dibina oleh Pater Beek. "Semua dengan maksud untuk membina
kader-kader yang dijadikan kelompok pelopor untuk barisannya Beek," kata
Pak Oei. Orang-orang yang bersedia dibina itu, "karena mereka masih
muda-muda, mereka idealis dan ingin menjadi hero." Dalam pembinaan itu,
konon, para pemuda didoktrin untuk mempersiapkan dirinya bak seorang
martir, masuk ke dunia politik dan 'berjuang' untuk kepentingan Katolik terutama terhadap kalangan komunis. Mereka ini, "disiapkan secara mental
dan fisik untuk menderita paling hebat."). Dia kemudian,mati di Singapore.
Orang bilang, dia gila. Saya bisa
mengerti kalau dia gila. Pasti dari dulu dia memang agak tidak normal.
Mungkin karena dia punya rasa bersalah (karena ikut membantu dalam
kejatuhan pemerintah Soekarno-red.). (Sampai sebelum bertemu dengan
seorang mahasiswa di Solo tadi, "saya itu masih membela lho. Tapi setelah
saya dengar di Solo, kalau saya bikin kedua, saya akan rubah sedikit.")
Kembali ke soal Soekarno. Masih ada suara-suara yang kami dengar dari
beberapa orang, tokoh yang merasa, pada jaman Orde Lama, mereka itu
ditindas. Tapi, sebaliknya dari cerita orang-orang yang dekat dengan
Soekarno - seperti Pak Oei sendiri - Soekarno bukan tipe yang demikian.
Nah, sebetulnya, penindasan yang disebut-sebut pada jaman Orla itu produk
dari mana?
OTT: Saya tidak akan jawab langsung. Begini. Saya selalu mengatakan,
502
menulis buku ini, bukan uraian politik. Bukan buku sejarah. Tapi hanya
rekaman belaka dari apa yang saya lihat dan saya dengar, dengan telinga saya
dan mata saya. Dus, sangat subyektif. Apalagi dengan memori saya.
Kalau saya menulis tentang Soekarno, saya menulis seperti dia
'memperlihatkan' kepada saya. Apa yang saya dengar dari dia, apa yang saya
lihat. Saya tidak bisa menulis tentang Soekarno, apa yang tidak saya lihat.
Seandainya dia jual negara ini, mungkin saja. Di luar pengetahuan saya.
Kalau dia misalnya mencuri, mungkin. Ini aku nggak tahu. Juga kalau saya
menulis tentang Beek. Seperti saya juga menulis tentang Harto, saya juga
melihat Harto dari (cara) ini. Saya menulis apa adanya menurut penglihatan
dan pendengaran saya. Tapi kalau menurut orang-orang dan kejadiankejadian itu ternyata lain, mungkin benar. ...Tentang Soekarno. Saya melihat
Soekarno dalam berbagai dimensi. Sebagai pemimpin, sebagai manusia.
Totaliter? Apa dia totaliter? Waktu dia mendesak saya sebagai menteri, the
first moment saya berbicara empat mata dengan dia, saat itu mungkin dia
bisa otoriter. Tapi, selama saya dekat dengan beliau, mungkin saya satusatunya orang Indonesia yang bisa omong tentang segala hal, yang enak,
yang tidak enak, yang mungkin menyinggung. Dia tak pernah marah. Satu
hal. Dengan Soekarno, kita bisa berdebat tentang segala hal, asal tidak mau
diketahui bahwa dia kalah dari kita. Kalau empat mata dia mau. Tapi, kalau
ada lain orang, dia mintanya mau menang. Dia ndak mau dipermalukan di
depan orang lain. Kalau sendiri dia sangat demokratis. Kalau kita berani, dia
akan menghormat kita. Dia seperti psikolog. Maunya menguji jiwa orang.
Dan ternyata, sewaktu dia keras, otoriter terhadap saya, saya pikir, oh dia ini
mau menguji. Supaya dari sejak semula, sudah ditanamkan dalam benak
saya, "I'm your boss." Tapi, kalau dia totaliter dalam soal lain, saya tidak
tahu. Nyamuk, dia ndak mau dimatikan. Dia tidak mau melihat life itu
dimatikan. Seperti orang Budha. Dia ndak rela darah Indonesia mengalir.
Lebih baik turun sebagai presiden. Kalau kita untuk mendesak dia, dia hanya
menggigiti kukunya. Dan saya tidak tega mendesak dia lebih jauh. Totaliter?
...Prof. Lev menulis pada saya, "Pak Oei selalu berbicara tapol/napol,
seolah-olah di jamannya Soekarno tidak ada tapol." Saya jawab, "ada." Tapol
Soekarno dengan tapol Orde Baru, lain. Saya belum pernah ditahan Orla.
Tapi, Almarhum Mayor Soemardjo, komandan Kam di Nirbaya, komandan
Kam Sarangan, dia cerita pada saya, "tapol Soekarno itu - seperti Mohtar
Lubis - boleh keluar dasn dipilah-pilah, lux. Hawanya enak, lalu makanannya
semua dari restoran. Rokoknya Dunhill, Lucky Strike." Soemardjo, setiap
sepuluh hari harus lapor ke Jakarta. Tiap kali dia ke istana, dia digertak oleh
Soekarno, "kamu apakan orang-orang itu? Makanannya bagaimana? Awas,
ini orang-orang bukan penjahat. Orang-orang ini, kalau terjadi perubahanperubahan politik, ini pemimpin-pemimpinmu. Yang kuasa itu mereka.
Mereka kami tahan karena menyabot politik kita. Mereka cuma berbeda
paham politik. Jadi kamu mesti hormat pada mereka." Kalau kita di Nirbaya,
radio, koran semua nggak boleh masuk. Bahkan, permulaannya hanya
503
Al'quran dan Injil yang boleh masuk. Buku-buku teologi muslim tidak.
Teologi Kristen tidak. Di Sarangan, Anak Agung Gede Agung jadi sarjana,
karena buku-buku pengetahuan dimasukkan berpeti-peti. Mereka boleh naik
kuda dengan radius 10 km, asal tidak mempengaruhi penduduk di sana. Saya
tulis pada Lev, "lain, dong."
Cukup. Cukup sampai di sini. Masih banyak sebetulnya yang perlukami gali
dari orang ini. Memang seperti yang dikatakannya sendiri, pengalamannya
adalah sangat subyektif untuk kami jadikan bahan rekonstruksi sejarah. T api,
kami memang tidak berpretensi untuk merekonstruksi sejarah. Sejarah punya
ceritanya sendiri, punya jalannya sendiri yang jauh lebih kompleks dari
sekedar data-data statistik dan momen-momen tertentu yang setiap saat
diperingati. Tak peduli ada pihak-pihak yang ingin merekayasa dan
menafsirkannya secara sepihak. Kami justru ingin melihat, semangat jaman
dari masing-masing subyek yang 'hadir' dan ikut andil dalam pembentukan
sejarah itu. Kami butuh 'rasa' -tak ada sejarah yang bergerak tanpa rasa untuk mewarnai kusamnya sejarah kita kini yang serba materialistis, instant
dan teknokratis. Yang tidak mungkin kami peroleh dari 'obyektifitas' tapi
justru dari dialog tanpa henti dengan berbagai macam 'subyektifitas'.
Mungkin saja, dari berbagai dialog ini akan muncul tersamar wajah
obyektifitas. Mungkin.]***
504
Kesaksian Keluarga Pahlawan Revolusi
Jumat, dini hari, 30 September 1965. Rangkaian adegan itu masih bergerak perlahan di
kepala mereka. Itulah terakhir kali mereka melihat ayahanda masing-masing:
meninggalkan rumah, bersama pasukan berseragam Cakrabirawa.
Mereka, anak-anak Pahlawan Revolusi, masih remaja. Tapi, empat puluh dua tahun
berselang, trauma belum juga pergi. Mereka merasa D.N. Aidit bertanggung jawab atas
kejadian berdarah di malam mengerikan itu, tapi mereka sepakat tidak membalas
dendam. Sebaliknya, mereka membentuk Forum Silaturahmi Anak Bangsa, guna mencari
kebenaran di balik peristiwa itu. Berikut ini tanggapan anak-anak Pahlawan Revolusi
tentang kejadian itu, juga tentang D.N. Aidit.
Amelia Achmad Yani
Amelia, putri ketiga Letnan Jenderal Achmad Yani, masih berusia 16 tahun. Ia
menyaksikan sejumlah tentara Cakrabirawa bersenjata lengkap menghabisi nyawa
ayahnya pada pagi buta di rumah mereka di Jalan Lembang, Menteng, Jakarta Pusat.
Amelia, kini 58 tahun, semula tidak tahu persis siapa dalang pembunuhan ayahnya.
Belakangan, dia tahu pelakunya adalah G-30-S/PKI pimpinan Dipa Nusantara Aidit.
"Aidit ingin merebut kekuasaan dan menganggap Yani dan jenderal lainnya sebagai
penghalang," kata Amelia, yang sekarang jadi pengusaha di Yogyakarta.
Perseteruan dengan Aidit, kata Amelia, bermula dari ketidaksetujuan Yani dengan
keinginan PKI mengganti ideologi Pancasila menjadi komunis. Hal ini telah disampaikan
beberapa kali oleh Yani kepada Presiden Soekarno. Namun kedekatan Aidit dengan
Soekarno menyebabkan PKI tidak bisa disingkirkan begitu saja.
"Mereka melihat Angkatan Darat sebagai penghalang mereka," ujar Amelia. Sehingga
diam-diam mereka melancarkan serangan propaganda untuk menghabisi TNI Angkatan
Darat, terutama Yani dan jenderal-jenderal lain yang pernah bersekolah di Amerika.
Dalam pidato di depan taruna TNI Angkatan Laut pada 1964, Aidit menyebut jenderal
lulusan Amerika sebagai jenderal Pentagon berkulit sawo matang yang berbahaya.
Mereka diisukan akan berkhianat.
Tidak hanya itu, kata Amelia, yang sering mendengar percakapan politik antarjenderal di
rumahnya, PKI juga menyebarkan isu Angkatan Darat telah membentuk Dewan Jenderal
untuk melancarkan usaha kudetanya terhadap Presiden. Puncaknya, PKI membunuh
beberapa prajurit TNI di sejumlah daerah, di antaranya Pembantu Letnan Satu Sudjono di
Bandar Betsi, Sumatera Utara.
Amelia mengaku tidak banyak tahu soal Aidit. Ia hanya melihat Aidit sebagai ahli
propaganda ulung yang sangat berambisi untuk berkuasa. "Dia sudah hitung-hitungan
505
siapa yang berkuasa jika Presiden Soekarno meninggal. Yang jelas, bapak saya tidak
boleh hidup karena akan menghalanginya," ujar Amelia.
"Kekuatan PKI saat itu luar biasa. Tukang jahit kami saja ikut baris-berbaris di siang
bolong mengikuti rapat raksasa PKI," ujar Amelia. Sayang, kata Amelia, PKI tidak cerdik
dalam strategi. "Jadinya pontang-panting setelah pembunuhan itu," ujarnya. Dengan
kekalahan dalam waktu singkat itu, Amelia menilai PKI sebenarnya tidak memiliki
kekuatan apa-apa. "Mereka hanya berlindung (di belakang Soekarno-Red.) dan
menggunakan Soekarno," katanya.
Salomo Pandjaitan
"Suara tembakannya saja masih terngiang sampai sekarang," kata Salomo Pandjaitan,
kini 55 tahun, putra ketiga Brigadir Jenderal Donald Ishak Pandjaitan.
Pembunuhan D.I. Pandjaitan memang paling tragis. Waktu itu Salomo masih 13 tahun.
Pasukan Cakrabirawa, yang datang di pagi buta ke rumah mereka, melesakkan peluru ke
kepala Pandjaitan saat jenderal bintang satu itu berdoa. Pandjaitan baru saja melipat
tangan ketika senapan meletus. "Bagaimana saya tidak benci dia? Di depan kepala saya,
otak ayah saya berhamburan, dihantam peluru panas pasukan Cakrabirawa," kata Salomo.
"Ada 360 peluru ditemukan di rumah kami, yang luasnya 700 meter persegi."
Bagi pensiunan karyawan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi ini, "Aidit adalah
pengkhianat, yang ingin membelokkan ideologi negara. Salah satunya dengan mendekati
dan mempengaruhi Presiden Soekarno." Aidit, di mata Salomo, adalah dalang Gerakan
30 September.
Semua berawal dari perseteruan TNI Angkatan Darat dengan PKI. Tidak mudah
menyingkirkan kekuatan politik Angkatan Darat saat itu. Apalagi Achmad Yani,
pemimpin Angkatan Darat, kesayangan Soekarno. Karena itu, cara terbaik adalah
membunuh mereka. "Satu-satunya cara, ya, dengan kekerasan," ujar Salomo.
D.N. Aidit akhirnya berhasil menjalankan rencananya, "Karena waktu itu PKI merupakan
partai paling kuat dengan anggota yang sangat militan," kata Salomo. Dalam ingatan
Salomo, Aidit selalu mencari pengaruh, pandai mengobarkan semangat anggotaanggotanya. Ia juga berpidato seperti Soekarno, selalu berapi-api. PKI juga kuat karena
didukung Soekarno dan negara luar seperti Cina dan Rusia.
"Waktu itu, saya belum merasakan pengaruh PKI pada diri saya. Justru pembunuhan
terhadap para jenderal yang memacu saya jadi antikomunis." katanya. Meski begitu,
Salomo membatasi kebenciannya hanya kepada Aidit, "Bukan kepada anak atau
keluarganya."
Rianto Nurhadi Harjono
506
"Saya trauma bahkan masuk rumah sakit selama empat hari setelah peristiwa itu," kenang
Rianto Nurhadi, yang kini pengusaha.
Saat itu Rianto Nurhadi, dipanggil Riri, baru sembilan tahun. Ia terbangun ketika
mendengar tembakan menghantam kamar ayahnya. Ia sempat mendatangi ayahnya, tapi
sang ayah memberi kode agar ia berlindung bersama ibu dan saudaranya di kamar lain.
Selang beberapa menit, ayahnya telah terkapar bersimbah darah dan diseret ke atas truk.
Riri putra ketiga Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono. Walau orang tuanya menjadi
korban, Riri tidak bisa memastikan apakah PKI satu-satunya dalang pembunuhan itu.
Namun Riri mengakui peran politik PKI pada 1965 cukup besar, sehingga kelompok lain,
di antaranya TNI Angkatan Darat, menjadi khawatir. Apalagi saat itu PKI hendak
memaksakan sistem komunis di Indonesia. Inilah yang kemudian memicu perseteruan
antara PKI dan TNI Angkatan Darat.
Namun PKI di bawah pimpinan Aidit saat itu sangat kuat. Ia dekat dengan Presiden
Soekarno, sehingga tidak mudah dilumpuhkan. "Aidit sosok yang berambisi besar untuk
berkuasa," ujar Riri. Karena itu, Aidit berhasil menjalankan rencananya, membunuh para
jenderal, agar bisa berkuasa.
Sampai saat ini, "Kebencian kepada Aidit dan PKI tetap ada," kata Riri. Namun ia tidak
mau memendam kebencian itu, apalagi menyalahkan anak-anak dan keluarga Aidit.
"Kami tidak mau benci dan dendam itu berlarut-larut. Kami keluarga Pahlawan Revolusi
dan keluarga PKI sama-sama jadi korban," ujarnya.
Agus Widjojo
Agus Widjojo sedang lelap tidur saat peristiwa berdarah itu terjadi. Ia terbangun setelah
mendengar derap sepatu lars dan kegaduhan di rumahnya. Tidak ada suara tembakan, tapi
beberapa menit kemudian ia melihat ayahnya dibawa segerombolan orang berbaret
merah. Itulah terakhir kali ia melihat sang ayah.
Di kemudian hari, ia baru tahu bahwa ayahnya diculik dan dibunuh PKI. Agus putra
pertama Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo. "Saat itu saya tidak tahu jelas
perseteruan politik antara TNI Angkatan Darat dan PKI dan kenapa ayah saya dibunuh,"
ujar Agus. Lama ia baru menyadari bahwa ayahnya menjadi salah satu sasaran PKI
karena dianggap sebagai batu penghalang PKI untuk berkuasa.
"Saya tahu Aidit dalang pembunuhan itu setelah mencari tahu," kata pensiunan jenderal
ini. Selama ini, ia memandang Aidit sebagai orang yang yakin betul pada ideologi yang
diperjuangkannya.
Menurut Agus, kini 60 tahun, perseteruan antara Angkatan Darat dan PKI bermula dari
tersiarnya kabar bahwa Presiden Soekarno sakit keras. "PKI berambisi ingin berkuasa,
namun dihalangi Angkatan Darat," kata Agus.
507
Walau merasa kehilangan setelah peristiwa itu, Agus tidak dendam kepada PKI, apalagi
kepada anak-anak D.N. Aidit. "Kita kan harus tetap berjalan ke masa depan, tidak hanya
terpuruk dengan masa lalu," katanya. Untuk menghindari rasa dendam antara keluarga
Pahlawan Revolusi dan keluarga Aidit, ia bahkan memprakarsai pembentukan Forum
Silaturahmi Anak Bangsa. "Kami mencoba mengambil pelajaran dan berusaha
mengungkap kebenaran, apa yang sebenarnya terjadi," ujarnya-walaupun, kata Agus, hal
itu tidak mudah dilakukan.
Agus menilai pembunuhan terhadap ayahnya lebih karena alasan politik, sehingga dia
tidak merasa trauma.
Ratna Purwati Soeprapto
Ratna Purwati telah berumur 18 tahun ketika peristiwa yang merenggut nyawa ayahnya,
Mayor Jenderal R. Soeprapto, terjadi. Saat penculikan itu, rumahnya tidak dijaga oleh
seorang prajurit pun, sehingga pasukan Cakrabirawa bisa leluasa membawa ayahnya.
"Baru setelah Pak Umar Wirahadikusumah (Panglima Kodam V/Jaya waktu itu) datang
ke rumah, kami tahu Ayah diculik gerombolan PKI," kata Ratna, pensiunan Pertamina.
Meski tidak mengetahui pasti apakah PKI pelaku tunggal penculikan itu, Ratna, kini 60
tahun, melihat PKI dan Aidit tidak lebih dari sosok pengecut. "Dia tidak berani datang
sendiri, tapi menggunakan dan memperalat orang-orang bawah untuk mencapai
tujuannya," kata Ratna.
Dia tidak bisa menyimpulkan PKI sebagai pelaku utamanya, "Karena saat itu Aidit sangat
dekat dengan Presiden Soekarno." Ratna kerap melihat Aidit berpidato di samping
Soekarno. Tidak hanya itu, Soekarno bahkan merangkul PKI menjadi salah satu kekuatan
dengan mengembangkan sistem Nasakom: Nasionalis, Agama, dan Komunis.
Karena sejak awal mengetahui bahwa paham komunis tidak mengenal agama, Ratna
tidak terlalu peduli dengan pertumbuhan pesat partai pimpinan Aidit itu. Apalagi melihat
Aidit sebagai sosok yang heroik. "Yang menyakitkan para jenderal dibunuh oleh bangsa
sendiri, bukan oleh bangsa lain," ujarnya.
508
Gilchrist Document
I discussed with the American Ambassador the questions set out in your No.:67786/65.
The Ambassador agreed in principal [sic] with our position but asked for time to
investigate certain aspects of the matter.
To my question on the possible influence of Bunker's visit, to Jakarta, the Ambassador
state [sic] that he saw no reason for changing our joint plans. On the contrary, the visit of
the US. President's personal envoy would give us more time to prepare the operation the
utmost detail [sic]. The Ambassador felt that further measures were necessary to bring
our efforts into closer alignment. In this connection, he said that it would be useful to
impress again on our local army friends that extreme care discipline [sic] and
coordination of action were essential for the success of our enterprise.
I promised to take all necessary measures. I will report my own views personally in due
course.
GILCHRIST
Terjemahan dalam bahasa Indonesia
Saya mendiskusikan dengan Duta Besar Amerika Serikat tentang pertanyaan yang tertera
pada No: 67786/65. Pada dasarnya Duta Besar setuju dengan posisi kita, tetapi meminta
waktu untuk menyelidiki aspek-aspek tertentu dari masalah ini.
Menjawab pertanyaan saya tentang kemungkinan pengaruh kunjungan Bunker ke Jakarta,
Duta Besar tidak melihat alasan untuk mengubah rencana bersama kita. Sebaliknya,
kunjungan utusan pribadi Presiden Amerika Serikat akan memberi kita lebih banyak
waktu untuk mempersiapkan operasi yang sangat detail. Duta Besar merasa bahwa
diperlukan langkah-langkah lebih lanjut untuk membawa usaha kita menjadi lebih
selaras. Dalam hubungan ini, ia mengatakan bahwa akan berguna [bagi kita] untuk
memberitahukan lagi kepada sahabat tentara lokal kita bahwa disiplin dan koordinasi
tindakan sangat penting bagi keberhasilan rencana kita.
Saya berjanji untuk mengambil semua langkah yang diperlukan. Saya akan melaporkan
pandangan pribadi saya pada waktunya nanti.
GILCHRIST
509
Mengapa Bung Karno Tak Mau Memukul Soeharto?
Oleh:Teguh Santosa
TINDAKAN Soeharto menyelewengkan Surat Perintah 11 Maret 1966 sangat menyakiti
perasaan Bung Karno. Sejumlah petinggi militer yang masih setia pada Sukarno ketika itu pun
merasa geram. Mereka meminta agar Sukarno bertindak tegas dengan memukul Soeharto dan
pasukannya. Tetapi Sukarno menolak.
Sukarno tak mau terjadi huru-hara, apalagi sampai melibatkan tentara. Perang saudara, menurut
Sukarno, adalah hal yang ditunggu-tunggu pihak asing—kaum kolonial yang mengincar
Indonesia–sejak lama. Begitu perang saudara meletus, pihak asing, terutama Amerika Serikat
dan Inggris akan mengirimkan pasukan mereka ke Indonesia dengan alasan menyelamatkan
fasilitas negara mereka, mulai dari para diplomat kedutaanbesar sampai perusahaan-perusahaan
asing milik mereka.
Kesaksian mengenai keengganan Sukarno menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi
manuver Soeharto disampaikan salah seorang menteri Kabinet Dwikora, Muhammad Achadi.
Saya bertemu Achadi, mantan menteri transmigrasi dan rektor Universitas Bung Karno itu dua
pekan lalu di Jalan Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat. Achadi bercerita dengan lancar kepada
saya dan beberapa teman. Air putih dan pisang rebus menemani pembicaraan kami sore itu.
Komandan Korps Komando (KKO) Letjen Hartono termasuk salah seorang petinggi militer yang
menyatakan siap menunggu perintah pukul dari Sukarno. KKO sejak lama memang dikenal
sebagai barisan pendukung utama Soekarno. Kalimat Hartono: ―hitam kata Bung Karno, hitam
kata KKo‖ yang populer di masa-masa itu masih sering terdengar hingga kini.
Suatu hari di pertengahan Maret 1966, Hartono yang ketika itu menjabat sebagai Menteri/Wakil
Panglima Angkatan Laut itu datang ke Istana Merdeka menemui Bung Karno. Ketika itu Achadi
510
sedang memberikan laporan pada Sukarno tentang penahanan beberapa menteri yang dilakukan
oleh pasukan yang loyal pada Soeharto.
Mendengar laporan itu, menurut Achadi, Bung Karno berkata (kira-kira), ―Kemarin sore Harto
datang ke sini. Dia minta izin melakukan pengawalan kepada para menteri yang menurut
informasi akan didemo oleh mahasiswa.‖
―Tetapi itu bukan pengawalan,‖ kata Achadi. Untuk membuktikan laporannya, Achadi
memerintahkan ajudannya menghubungi menteri penerangan Achmadi. Seperti Achadi,
Achmadi juga duduk di Tim Epilog yang bertugas menghentikan ekses buruk pascapembunuhan
enam jenderal dan perwira muda Angkatan Darat dinihari 1 Oktober 1965. Soeharto juga berada
di dalam tim itu.
Tetapi setelah beberapa kali dicoba, Achmadi tidak dapat dihubungi. Tidak jelas dimana
keberadaannya.
Saat itulah Hartono minta izin untuk menghadapi Soeharto dan pasukannya. Tetapi Bung Karno
menggelengkan kepala, melarang.
Padahal masih kata Achadi, selain KKO, Panglima Kodam Jaya Amir Machmud, Panglima
Kodam Siliwangi Ibrahim Adji, dan beberapa panglima kodam lainnya juga bersedia
menghadapi Soeharto.
―Bung Karno tetap menggelengkan kepala. Dia sama sekali tidak mau terjadi pertumpahan
darah, dan perang saudara.‖
Kalau begitu apa yang harus kami lakukan, tanya Achadi dan Hartono.
Bung Karno memerintahkan Hartono untuk menghalang-halangi upaya Soeharto agar jangan
sampai berkembang lebih jauh. ―Hanya itu tugasnya, Hartono diminta menjabarkan sendiri.
Yang jelas jangan sampai ada perang saudara,‖ kata Achadi.
Adapun Achadi yang tak bisa kembali ke rumahnya di kawasan Pancoran yang sedang diduduki
pasukan Soeharto diperintahkan Bung Karno bermalam di guest house Istana. Bung Karno juga
mengatakan akan menggelar rapat kabinet keesokan harinya. Dalam rapat yang juga akan
dihadiri Soeharto itu, Achadi diminta untuk menyampaikan laporan tentang penahanan beberapa
menteri.
―Kamu berani bicara di depan Soeharto,‖ tanya Bung Karno pada Achadi.
―Siap,‖ jawab Achadi.
511
Untuk Kedua Kalinya Istana Merdeka Dikepung Pasukan Soeharto
Oleh:Teguh Santosa
RENCANA Sukarno menggelar sidang Komando Operasi Tertinggi (KOTI) tanggal 14 Maret
1966 gagal total. Seperti beberapa hari sebelumnya, tanggal 11 Maret 1965, Istana Merdeka
kembali dikepung oleh pasukan pendukung Soeharto dari Resimen Para Komando Angkatan
Darat (RPKAD) yang sekarang dikenal dengan nama Kopassus.
Tadinya dalam rapat yang urung digelar itu Sukarno bermaksud menjelaskan posisi dan arti
Surat Perintah 11 Maret 1966 yang diberikannya kepada Soeharto. Dia juga bermaksud
mengklarifikasi kabar yang menyebutkan pasukan Soeharto, dengan menggunakan SP 11 Maret,
telah melakukan penangkapan terhadap sejumlah menteri. Laporan tentang penangkapan menteri
ini disampaikan oleh menteri transmigrasi yang juga rektor Universitas Bung Karno (UBK) dan
anggota Tim Epilog, Muhammad Achadi.
Begitu mengetahui rumahnya juga diduduki oleh pasukan pendukung Soeharto, Achadi yang
sehari-hari dikawal oleh Resimen Pelopor (Menpor) Polri, mendatangi rumah menteri/panglima
angkatan kepolisian Irjen Sutjipto Judodihardjo untuk mendapatkan penjelasan mengenai apa
yang terjadi.
Mendengar laporan tentang penangkapan menteri, Sutjipto Judodihardjo lalu menyarankan agar
Achadi menemui Sukarno keesokan harinya di Istana Merdeka.
Begitulah, kata Achadi pada suatu sore dua pekan lalu di Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat.
Dia pun mengikuti saran Sutjipto dan melaporkan penangkapan-penangkapan itu kepada
Sukarno keesokan harinya.
Sukarno yang sehari sebelum itu mendapatkan laporan berbeda dari Soeharto, meminta agar
Achadi tidur di guest house Istana Merdeka. Dia juga meminta agar Achadi memberikan laporan
dalam rapat KOTI keesokan hari. Kata Bung Karno, Soeharto pun akan hadir dalam rapat itu.
512
Tetapi, seperti yang telah diceritakan di atas, rapat itu gagal digelar. Istana Merdeka kembali
dikepung oleh pasukan pro Suharto. Sementara Bung Karno, merasa dirinya berada dalam
ancaman, meminta Komandan KKO Mayjen Hartono mengawalnya ke Istana Bogor.
Menurut cerita Achadi, Soeharto sempat mendatangi Bung Karno dan meminta agar Bung Karno
tetap tinggal di Istana Merdeka. ―Keadaan di luar tidak aman,‖ begitu kata Soeharto seperti ditiru
Achadi.
Tetapi Bung Karno yang sudah curiga dengan keadaan tak menggubris kata-kata Soeharto. Dia
tetap melangkah ke luar menuju mobil yang akan membawanya ke Bogor.
Di halaman Istana Merdeka, menurut informasi yang diperoleh Achadi kemudian dari Pak Parto,
supir Bung Karno, hampir saja terjadi bentrokan antara pasukan KKO dengan RPKAD.
Begitu melihat mobil Sukarno hendak meninggalkan halaman, sekelompok tentara pro Soeharto
dengan senjata dalam posisi siaga mendekat hendak menghentikan laju mobil. Namun mereka
memilih mundur setelah tahu bahwa Komandan KKO Hartono juga ikut mengawal Bung Karno.
―Kalau Bung Karno disikat, Hartono pasti akan melakukan action. Dia punya satu kompi yang
bersiaga di silang Monas,‖ cerita Achadi.
Sementara itu, melihat Bung Karno meninggalkan Istana Merdeka, Achadi juga tak mau tinggal
berlama-lama di Istana yang sudah terkepung. Dia memilih segera menghindar.
Dengan pengawalan Menpor, Achadi mengikuti rombongan Bung Karno ke Bogor. Tetapi
karena Istana Bogor juga dikepung tentara, Achadi memilih melanjutkan perjalanan ke markas
Menpor di kawasan puncak.
―Di tempat itu saya menunggu langkah Hartono menghalang-halangi gerak pasukan Soeharto,
seperti yang diperintahkan Bung Karno. Tapi kan kita akhirnya tidak bisa ngapa-ngapain,‖ kata
Achadi lagi.
Keesokan harinya, 15 Maret 1966, Soeharto resmi mengumumkan penangkapan menteri-menteri
yang dituding terlibat dalam peristiwa pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira muda
Angkatan Darat, dinihari 1 Oktober 1965.
513
Pidato Pertama Gerakan Letkol Untung
Disiarkan RRI, tanggal 1 Oktober 1965, sekitar pukul 7.15 pagi.
ON Thursday, September 30, 1965, a military move took place within the Army in the capital
city of Djakarta, which was aided by troops from other branches of the Armed Forces. The
September 30th Movement which is led by Lieutenant Colonel Untung, Commandant of a
Battalion of the Tjakrabirawa, the personal bodyguard of President Sukarno, is directed against
Generals who were members of the self-styled Council of Generals.
A number of Generals have been arrested and important communications media and other vital
installations have been placed under the control of the September 30th Movement, while
President Sukarno is safe under its protection. Also a number of other prominent leaders in
society, who had become targets of the action by the Council of Generals, are under the
protection of the September 30th Movement.
The Council of Generals is a subversive movement sponsored by the CIA and has been very
active lately, especially since President Sukarno was seriously ill in the first week of August of
this year. Their hope that President Sukarno would die of his illness has not materialized.
Therefore, in order to attain its goal the Council of Generals had planned to conduct a show of
force (machtvertoon) on Armed Forces Day, October 5 this year, by bringing troops from East,
Central and West Java.
With this large concentration of military power the Council of Generals had even planned to
carry out a counter-revolutionary coup prior to October 5, 1965. It was to prevent such a counterrevolutionary coup that Lieutenant Colonel Untung launched the September 30th Movement,
which has proved a great success. According to a statement obtained from Lieutenant Colonel
Untung, the Commandant of the September 30th Movement, this movement is solely a
movement within the Array directed against the Council of Generals which has stained the name
of the Army and harbored evil designs against the Republic of Indonesia and President Sukarno.
Lieutenant Colonel Untung personally considers this movement as an obligation for him as a
member of the Tjakrabirawa, which has the duty to protect the President and the Republic of
Indonesia.
The Commandant of the September 30th Movement further explained that the action already
taken against the Council of Generals in Djakarta will be followed by actions throughout
Indonesia against agents and sympathizers of the Council of Generals in the regions. According
to the statement of the Commandant of the September 30th Movement, as a follow-up action, an
Indonesian Revolution Council will be established in the capital, while in the regions Provincial,
District, Sub-District, and Village Revolution Councils will be established. Members of the
Revolution Council will be composed of civilians and military personnel who fully support the
September 30th Movement. Political parties, mass organizations, newspapers, and periodicals
514
may continue functioning, provided that within a time period which will be specified later they
declare their loyalty to the Indonesian Revolution Council.
The Indonesian Revolution Council which will be established by the September 30th Movement
will consistently carry out the Panca Azimat Revolusi, the decisions of the MPRS, the decisions
of the DPR-GR, and the decisions of the DPA. The Indonesian Revolution Council will not
change the Indonesian foreign policy, which is free and active and antinekolim, for the sake of
peace in Southeast Asia and in the world. Also there will be no change of policy with regard to
the Second Afro-Asian Conference and Conefo, as well as the confrontation against Malaysia;
and KIAPMA, along with other international activities which have been scheduled to take place
in Indonesia,will be held as planned.
As Commandant of the September 30th Movement, Lt. Colonel Untung called on the entire
Indonesian people to continue to increase vigilance and fully assist the September 30th
Movement in order to safeguard the Indonesian Republic from the wicked deeds of the Council
of Generals and its agents so that the Message of the People‘s Suffering can be fulfilled in the
true sense of the word.
Lt. Colonel Untung appealed to all Army officers, non-commissioned officers and soldiers to be
resolute and to act to eradicate completely the influence of the Council of Generals and its agents
in the Army.
Power-mad Generals and officers who have neglected the lot of their men and who above the
accumulated sufferings of their men have lived in luxury, led a gay life, insulted our women and
wasted government funds, must be kicked out of the Army and punished accordingly. The Army
is not for generals, but is the possession of all the soldiers of the Army who are loyal to the ideals
of the revolution of August 1945. Lt. Colonel Untung thanked all troops of the Armed Forces
outside the Army for their assistance in the purging of the Army and hoped that purges also will
be carried out in the other branches of the Armed Forces against agents and sympathizers of the
Council of Generals. Within a short time Commandant Lt. Colonel Untung will announce the
First Decree concerning the Indonesian Revolution Council; other decrees will follow.
Djakarta, September 30, 1965
Information Section of the September 30th Movement as broadcast over the Indonesian Radio in
Djakarta
515
Bukti-bukti keterlibatan CIA Dengan Tragedi G30SPKI
Document DDRS
DDRS adalah singkatan dari Declassified Docum Reference System dari AS, dokumen rahasia resmi.
Dalam kaitan dengan tragedi G30S 1965, terdapat enam dokumen yang merekam keterlibatan aktif
tentara, khususnya beberapa Jendral Angkatan Darat RI. Dokumen-dokumen ini tersimpan dalam
Lyndon B Johnson Library.
DOCUMENT 1
INCOMING TELEGRAM Department of State DOCUMENT 1
Declassified Docum
Reference System
(Her after DDRS) 1975:1
Control: 4223
Roc'd: MARCH 6, 1964
FROM: DJAKARTA 8:36 A.M.
ACTION: SECSTATE 1854 IMMEDIATE
INFO: KUALA LUMPUR 676 IMMEDIATE
DATE: MARCH 6, 6 P.M.
LIMDIS
DEPTEL 946
DURING HOUR AND TEN MINUTE CONVERSATION WITH GEN NASUTION THIS
MORNING, I MADE MAJOR POINTS IN REFTEL. I SAID I CAME IN SPIRIT OF
FRIEND OF INDONESIA WHO SAW STORM CLOUDS ON HORIZON AND WHO BELIEVED
IN OLD ADAGE, AN OUNCE OF PRVENTION IS WORTH POUND OF CURE. NASUTION
LISTENED SOBERLY FOR HALF AN HOUR AS I PAINTED PICTURE OF CRITICAL
ECONOMIC SITUATION, COLLISION COURSE ON WHICH GO I, SERIOUSNESS OF
SITUATION THAT MIGHT DEVELOP IF BANGKOK TALKS PAILED AND OBVIOUS FACT
THAT SITUATION APPEARED TO BE PLAYING INTO HANDS OF PKI THREATENING
HIS OWN STATED OBJECTIVES FOR INDONESIA AND LEADING TO POSSIBLE
SERIOUS BREACH WITH FREE WORLD AND SPECIFICALLY US. INTENT DOWN THE
LINE REMINDING NASUTION AMENDMENTS OF AID LEGISLATION MIGHT SOON FORCE
US TO CANCEL ALL AID TO INDONESIA AS WELL AS ANZUS TREATY OBLIGATIONS
WHICH WOULD APPLY IF AUSTRALIAN AND NEW ZEALAND FORCES BECAME
INVOLVED.
NASUTION SAID HE DID NOT DISAGREE WITH MY ANALYSIS OF THE SITUATION
WHICH INTERNALLY AND EXTERNALLY HE REGARDED AS MOST SERIOUS. HE
REMINDED ME THAT MONTHS AGO HE HAD STATED HIS PESSIMISTIC OUTLOOK OVER
THE MALAYSIA PROBLEM AND HIS CONVICTION THAT THE MANILA-TOKYO TALKS
COULD NOT RPT NOT ACTUALLY SOLVE PROBLEM. HE ADMITTED FRANKLY
CONFRONTATION WAS HURTING
COMMENT: MY IMPRESSION WAS THAT NASUTION WAS IMPRESSED AND SOBERED
THOUGH NOT SURPRISED BY SERIOUS VIEW WE WERE TAKING OF CURRENT
SITUATION. ALTHOUGH HE CAREFULLY AVOIDED COMMENT ON EFFECT
DEVELOPMENTS MIGHT HAVE ON US-INDO RELATIONS, HE OBVIOUSLY FULLY
516
GRASPED IMPLICATIONS AND I AM CONFIDENT THIS PART OF CONVERSATION WILL
BE PASSED ON.
NASUTION DEMONSTRATED COMPLETE FAMILIARITY WITH SERIOUSNESS OF
ECONOMIC AND FOOD SITUATION (VOLUNTEERED TEN PER CENT OF JAPANESE
GOING HUNGRY) AND MADE NO ATTEMPT TO GLOSS OVER ITS IMPLICATION.
I EMERGED WITH FOLLOWING CONCLUSIONS: 1. SHORT OF POLITICAL
SETTLEMENT, INDO MILITARY ARE DETERMINED TO CONTINUE CONFRONTATION BUT
WILL HANDLE WITH GLOVES TO PREVENT ESCALATION INTO LARGE SCALE
CONFLICT AND WILL PLACE INCREASING EMPHASIS ON POLITICAL
INDOCTRINATION OF "FREEDOM FIGHTERS" AS AGAINST JUNGLE WARFARE.
2. NASUTION AT LEAST WAS ALERT TO PKI DANGERS INTERNALLY AND PLACING
GREAT EMPHASIS ON INDOCTRINATION OF OFFICERS AND MEN TO ENSURE
MILITARY WILL BE READY TO MEET CHALLENGE WHEN IT CAME. INDO ARMY
STILL ANTI-COMMUNIST IN OUTLOOK, HE INSISTED.
3. INDO MILITARY APPRENTLY HAD NO PLANS TO DEAL WITH ECONOMIC
PROBLEMS OF NATION BUT ONLY THREAT TO NATION'S INDEPENDENCE WHICH SUCH
PROBLEMS MIGHT BRING IN THEIR WAKE.
HE AVOIDED LIKE THE PLAGUE ANY DISCUSSION OF POSSIBLE MILITARY
TAKEOVER, EVEN THOUGH THIS HOVERED IN AIR THOROUGHOUT TALK, AND AT NO
TIME DID HE PICK UP OBVIOUS HINTS OF US SUPPORT IN TIME OF CRISIS.
I INTEND CONTINUE THIS TYPE OF CONVERSATION WITH OTHER MILITARY
LEADERS, FIRST WITH GEN YANI.
AT OPENING OF CONVERSATION I PRESENTED AUTOGRAPHED PHOTOGRAPH OF
NASUTION ON MEETING PRES JOHNSON FOR WHICH NASUTION EXPRESSED DEEP
APPRECIATION. GP-3.
JONES
MV
NOTE: PASSED WHITE HOUSE 3/6/64, 9:20 AM.
ADVANCE COPY TO S/S-0, 3/6/64, 8:41 AM.
REPRODUCTION FROM THIS COPY IS
PROBIBITED UNLESS "UNCLASSIFIED"
Lyndon Baines Johnson Library
Dokumen pertama, nomor kontrol 4223. Direkam 6 Maret 1964. Dari Jakarta
pukul 8:36 AM. Isi pokoknya, Jones berbincang sekitar satu jam sepuluh
menit dengan Nasution tentang situasi krusial di Indonesia. Nasution
bicara mengenai ancaman PKI, tentara siap menghadapi PKI, dan menandaskan tentara
Indonesia masih tetap anti komunis.
517
DOCUMENT 2
INCOMING TELEGRAM Department of State DOCUMENT 2
Lyndon B. Johnson
Library. National
Security File, In
donesia Count file,
file, vol.3, box 246
Control: 16687
Recd: JAN 21, 1965, 9:48 PM
FROM: DJAKARTA
ACTION: SECSTATE 1435 PRIORITY
INFO: D.CD UNNUMBERED
CINPAC 342
DATE: JAN 22, 8 AM.
------ TOLD ME TODAY IN STRICT CONFIDENCE ARMY IS DEVELOPING SPECIFIC
PLANS FOR TAKEOVER OF GOVERNEMENT MOMENT SUKARNO STEPS OFF STAGE. had
just COME FROM MEETING WITH GENERAL PARMAN WHO HAD DISCUSSED PLANS
WITH HIM.------- said that ALTHOUGH PLANNING WAS BEING DONE ON
CONTIGENCY BASES WITH AN EYE TO POST-SUKARNO ERA STRONG SENTIMENT
EXISTED AMONG IMPORTANT SEGMENT TOP MILITARY COMMAND FOR TAKEOVER
PRIOR DEMISE SUKARNO. WHETHER THIS HAPPENED WOULD DEPEND UPON EVENTS
OF NEXT FEW WEEKS CONFLICTING PRESSURES WERE BUILDING UP TO SUCH A
PITCH THAT IN HIS OWN OPINION ARMY MIGHT BE FORCED TO TAKE ACTION
WITHIN NEXT 30 TO 60 DAYS TO OFFSET PKI MOVES. COMMUNISTS WERE
BUILDING UP PARAMILITARY FORCES AND BEGINNING TO ARM THESE FORCES, HE
SAID. ARMY INTELLIGENCE WAS AWARE OF THESE LOCATIONS, HOWEVER, AND
PLANS CONTEMPLATED IMMEDIATE ISOLATION OF THESE CENTERS WHEN MOMENT
FOR ACTION ARRIVED.
THERE WAS NO REPEAT NO SENTIMENT AMONG ANY OF MILITARY LEADERSHIP TO
MOVE AGAINST SUKARNO, HOWEVER --------- emphasized -------- IF
MILITARY WERE FORCED TO MOVE IN NEAR FUTURE, WHILE THEY MIGHT PRESENT
SUKARNO WITH FAIT ACCOMPLI, COUP WOULD BE HANDLED IN SUCH A WAY AS TO
PRESERVE SUKARNO'S LEADERSHIP INTACT EVEN THOSE WHO WERE CRITICIZING
SUKARNO'S LEADERSHIP, SAID, WERE CONVINCED THAT THERE WAS NO
POSSIBILITY OF ANY COUP SUCCEEDING AGAINST SUKARNO. HE WAS STILL
BELOVED OF THE MASSES.
REPRODUCTION FROM THIS COPY IS
PROHIBITED UNLESS "UNCLASSIFIED"
Copy
Dokumen kedua, nomor kontrol 16687, Indonesia Count file, file vol: 3, box 246. Direkam dari
Jakarta pada 21 Januari 1965. Isi pokoknya yang terpenting: ?.. (titik-titik, pen.) mengatakan
padaku hari ini dengan strict confidence bahwa tentara sedang memperkembangkan
rancangan-rancangan khusus untuk mengambil alih kekuasaan begitu Soekarno tersingkir. ??
(titik-titik, pen.) baru saja berunding dengan Jendral Parman mengenai rencana tersebut.
518
DOCUMENT 3
DOCUMENT 3
DDRS 1981:274C
CENTRAL INTELLIGENCE AGENCY
26 January 1965
SUBJECT: Principal problems and Prospects in Indonesia
SUMMARY
We are now faced not only with known and growing danger from Sukarno,
but with the uncertainties of possible Indonesia without Sukarno. If
this ailing dictator abould indeed die in the near future, his bequart
to Indonesia would be international outlawry, economic near-chaos, and
to Communist domination. 'Yet if Sukarno lives on for acces time to
the chance of the Communist Party (PKI) to assume power will probably
continue to improve. We do not believe that a Communist Indonesia is
imminent, or that Sukarno will initiate war. In our view however,
there is sufficient chaos of such developments over the next year or
two warrant especial intelligence and planning attention.
The beginnings of a scramble for succession to Sukarno are already
evident. Should Sukarno leave the ------- in the near future, we
believe that the initial struggle to replace him would be won by Army
and non-Communist. --------- ; though Communists would continue to
play an important role. Such a governement would probably continue to
be anti-US ----------- , and a threat to peace. Furthermore, unless
the non-Communist leaders displayed more back -----------,
effectiveness, and -------- than they have to date the charces of
eventual PKI ----------- of Indonesia would quickly mount.
Copy
Lyndon B. Johnson Library
Dokumen ketiga, dokumen CIA. Kodenya: document 3, DDRS 1981:274C, 26 Januari 1965. Ia
juga penuh titik-titik. Di antaranya tertulis: Awal perjuangan memperebutkan menggantikan
Soekarno sudah kian jelas. Begitu Soekarno meninggalkan ?.. (titik-titik, pen. ) pada masa
dekat, kami yakin perjuangan awal untuk menggantikannya akan dimenangkan oleh tentara dan
para non-komunis.
519
DOCUMENT 4
DOCUMENT 4
DDRS Retrospective
Collection (herafter R)
597C
THE UNDER SECRETARY OF STATE
WASHINGTON
SECRET
March 18, 1965
MEMORANDUM FOR THE PRESIDENT
Subject: Proposed Mission for Ellsworth
Bunker to Indonesia
Our relations with Indonesia are on the verge of falling apart.
Sukarno is turning more and more toward the Communist PKI. The Army,
which has been the traditional countervailing force, has its own
problems of internal cohesion.
Within the past few days the situation has grown increasingly more
ominous. Not only has the management of the American rubber plants
been taken over, but there are dangers of an imminent seizure of the
American oil companies.
Under these circumstances, Secretary Rusk and I feel it essential to
get a clear, objective reading of the situation.
Ambassador Jones has been in Djakarta for seven years. He is tired
and worried. He has done everything possible to advance American
interests through his close personal relations with Sukarno, but that
line seems pretty well played out.
Before we recommend to you some of the hard decisions that may be
required over the next few weeks we think it would be valuable to have
Ellsworth Bunker make a fresh and objective reading of the situation.
After he had reported his conclusions we would be in a better position
to advise whether
a. You should send Bunker to Djakarta as Ambassador;
b. You should send someone less prestigious; or
c. The post should be left vacant as an expression of our
dissatisfaction pending an improvement in relations.
We recommend, therefore, that Ambassador Bunker be asked to pay a
brief visit to Djakarta. He is prepared to leave next Wednesday. His
520
mission would have the following objectives:
1. He could carry a letter from you to Sukarno. Because of
Sukarno's respect for you this might be the means of temporarily
stabilizing the situation.
2. He could make use of his own prestige with the Indonesians (you
will recall he was the man who nogotiated the West New Guinea
settlement) to try to get a commitment from Sukarno to take a
more moderate course.
3. He would be able to recommend the decisions we may be forced to
make regarding the further evacuation of personnel; the handling of
the problem of the oil companies, etc.
If you think well of this idea, we will prepare a draft letter from
you to Sukarno which Ambassador Bunker could deliver. Meanwhile, the
mere fact that Sukarno knew that Ambassador Bunker was proposing to
visit Djakarta on your behalf could have a stabilizing effect.
George W. Ball
Copy
Lyndon B. Johnson Library
Dokumen keempat, kode: DDRS Retrospective Collection, 597C. Ditulis oleh George W. Ball
dari The Under Secretary of State, Washington kepada
presiden AS. Sifat: rahasia. Tanggal: 18 Maret 1965. Isinya mengenai
kecemasan AS akan kemungkinan keretakan hubungan AS-RI sebab Soekarno makin dekat
dengan PKI dan Angkatan Darat yang secara tradisional jadi lawan PKI, terpuruk dalam
problem internal sendiri. Dalam sepuluh hari terakhir situasi makin gawat. Manajemen
perkebunan karet AS terancam diambil-alih dan juga ancaman bagi perusahaan-perusahaan
minyak AS. Dubes Jones sudah kewalahan. Maka pihak Sekretaris Negara AS mengajukan tiga
usulan: (1) mengirim Ellsworth Bunker ke Indonesia sebagai dubes, (2) atau mengirim
seseorang yang berpengaruh, (3) atau membiarkan pos dubes kosong sebagai tanda
kekecewaan AS pada RI.
521
DOCUMENT 5
DOCUMENT 5
DDRS R: 26 F
CENTRAL INTELLIGENCE AGENCY
Intelligence Information Cable
COUNTRY INDONESIA
DATE OF 14 MAY 1965
__________________________SUBJECT__________________________
/
\
/ BELIEF OF SENIOR INDONESIAN DIPLOMAT THAT INDONESIA WILL \
| SEVER DIPLOMATIC RELATIONS WITH UNITED STATES BY AUGUST |
|
1965
|
\
/
\___________________________________________________________/
1. THE INDONESIAN GOVERNMENT WILL PROBABLY SEVER DIPLOMATIC RELATIONS
WITH THE UNITED STATES WITHIN THREE MONTHS, DESPITE THE ---------ALLEVIATION OF STRAIN BETWEEN THE TWO COUNTRIES RESULTING FROM THE
MISSION OF AMBASSADOR ELLSWORTH BUNKER. THE RUPTURE WILL BE PRECEDED
BY FURTHER DETERIORATION IN OVERALL RELATIONS. THE INDONESIAN
COMMUNIST PARTY, WHICH IS RAPIDLY INCREASING IN STRENGTH, WILL BRING
CONTINUAL PRESSURE TO BEAR ON INDONESIAN PRESIDENT SUKARNO TO BREAK
RELATIONS, AND IN THE ABSENCE OF US SUPPORT FOR HIS MALAYSIAN POLICY
SUKARNO WILL PROBABLY YIELD TO THIS PRESSURE.
Dokumen kelima, dokumen CIA. Kode DDRS R: 26F, tanggal 14 Mei 1965. Isi pokok:
mempercayai seorang diplomat senior Indonesia bahwa Indonesia akan memutuskan
hubungan diplomatik dengan AS dalam tiga bulan mendatang. Pemutusan hubungan diplomatik
itu akan d iikuti dengan pemutusan di segala sektor. PKI akan makin menekan Soekarno demi
tercapainya pemutusan hubungan tersebut.
522
DOCUMENT 6
INCOMING TELEGRAM Department of State DOCUMENT 6
DDRS R: 608E
SECRET
PP RUEHCR
DE RUMJBT 373A 2611735
ZNY SSSSS
P 081415Z
PM AMEMBASSY DJAKARTA
TO RUEKER/SECSTATE WASHDC PRIORITY 923
INFO RUERDA/DOC UNN
RUMPAG/AMEMBASSY CANBERRA 88
RUMTBK/AMEMBASSY BANGKOK 55
RUMJDH/AMCONSUL HONG KONG 92
RUMJKL/AMEMBASSY KUALA LUMPUR 152
RUFHDN/AMEMBASSY LONDON 97
RUMJMA/AMEMBASSY MANILA 265
HUALOT/AMEMBASSY TOKYO 99
STATE GRNC
BT
SECRET OCT 8
CINCPAC FOR POLAD
1. ONE WEEK HAS PASSED SINCE MASSACRE TOP ARMY LEADERSHIP IN OCT 1
PRE-DAWN COUP. IT NOW INCREASINGLY CLEAR THAT PKI AND AIR FORCE LEADERSHIP
CLEARLY IMPLICATED AND THAT SUKARNO HIMSELF PROBABLY AT LEAST AWARE OF
ACTIONS PLANNED BY 30 SEPT MOVEMENT. SITUATION STILL FLUID, BUT FOLLOWING
SEEK TO US MOST ENCOURAGING DEVELOPMENTS TO DATE:
A. COMMUNISTS ARE NOW ON THE RUN FOR THE FIRST TIME IN MANY YEARS IN
INDONESIA. AIDIT S WHEREABOUT NOT RPT NOT KNOWN AND RALLYING CALL TODAY
AMONG NON-COMMUNIST
PAGE TWO RUMJBT 373A SECRET
ELEMENTS IS HANG AIDIT . AT LEAST ONE TOP PKI LEADER TAKEN INTO CUSTODY
(NJONO) AND THERE UNCONFIRMED REPORTS THAT ANOTHER (NJOTO) HAS BEEN
SEIZED. PKI ORGANIZATIONAL APPARATUS HAS BEEN DISRUPTED AND PARTY
DOCUMENTS DISPERSED. THIS CAPPED TODAY WITH BURNING OF PKI HEADQUARTERS IN
DJAKARTA.
B. AT SAME TIME, VIRTUALLY ALL MUSLIM AND CHRISTIAN ORGANIZATIONS HAVE
RALLIED BEHIND ARMY, AND EVEN PNI, WHICH LONG
FACTOR IS EXISTENCE OF GOOD PKI UNDERGROUND NETWORK WHICH COULD IN ANY
EVENT CONTINUE CAUSE TROUBLE FOR ARMY.
3. WHILE KIAPMA (ANTI-FOREIGN MILITARY BASES CONFERECE SCREDULED OPEN
OCT ) MIGHT PROVIDE MEANS FOR SUKARNO ATTEMPT RALLY NEKOLIM SPIRIT AND
DROWN INTERNAL DISAGREEMENT IN BIGGER INTERNATIONAL CAMPAIGN, CONDITIONS IN
CITY, INCLUDING STRICT 12-HOUR CURFEW, ARE NOT CONDUCIVE TO ENTERTAINING
FOREIGN VISITORS OR HOLDING INTERNATIONAL CONFERENCE.
INDICATIONS ARE THAT SUKARNO AND SUBANDRIO ARE TRYING TO PIN INTERNAL AFFAIR
523
ON NEKOLIM , AND MAY BE EXPECTED TO COME OUT WITH SPECIFIC CHARGES
AGAINST US AND PROBABLY CIA. ALTHOUGH KIAPMA WOULD PROVIDE EXCELLENT
SOUNDING BOARD FOR THIS THEME, WE THINK IT HIGHLY UNLIKELY THAT SUCCESSFUL
CONFERENCE CAN BE HELD ON SCREDULE.
4. ARMY NOW HAS DECIDED EDGE. QUESTION IS, WHAT WILL ARMY DO WITH ITS
ADVANTAGE? IT LIKELY ARMY WILL COLLECT EVIDENCE OF INVOLVEMENT PKI AND ITS
OTHER ENEMIES IN 30 SEPT AFFAIR. IT MAY WELL FIND EVIDENCE THAT SUKARNO
INVOLVED, AND IF SO THIS MIGHT FORCE LESS OBSTINATE LINE.
PAGE FIVE RUMJBT 373A SECRET
FROM PRESIDENT. IF ARMY LEADERS REALIZE THAT THIS IS MOMENT OF TRUTH AND
HAVE DETERMINATION TO STAND UP TO SUKARNO THEY CAN WIN. ARMY NOW SHOWS
NO INTENTION OF OPENLY DITCHING SUKARNO AND WILL PROBABLY FEEL NEED TO USE
HIS NAME FOR SOME TIME. IF ARMY CAMPAIGN LOSES MOMENTUM AND POWER IS
ALLOWED TO SLIP BACK TO SUKARNO, LATTER LIKELY EVENTUALLY TO RETALIATE BY
RESORTING TO EVEN MORE VIOLENT TACTICS AGAINST INTERNAL OPPOSITION.
HOWEVER, EVEN IF THIS HAPPENS, SUKARNO CAN NEVER AGAIN RULE AS HE ONCE DID.
THE IMAGE OF THE GREAT LEADER IS TARNISHED ALTHOUGH IN THE SHORT RUN HE
CAN CERTAINLY CAUSE THIS COUNTRY S NON-COMMUNIST ELEMENTS, AND THE UNITED
STATES, A GREAT DEAL OF DIFFICULTY.
GP-3. GREEN
BT
Note: Advance Copy to S/S-O at 1:20 a.m., October 9
Passed NSA, USIA, USUN at 1:30 a.m., October 9
copy
Lyndon B. Johnson Library
Dokumen keenam, Telegram rahasia Sekretariat Negara, kode DDRS R: 608 E, tanggal 8
Oktober 1965, dikirim dari kedubes AS di Jakarta, ditujukan ke
Washington dan berbagai kedubes AS di Canberra, Bangkok, Hongkong, Kuala Lumpur,
London, Manila dan Tokio. Berisi 7 pokok situasi Indonesia
setelah seminggu pembunuhan terhadap para pimpinan tentara: (1) PKI dan Soekarno diduga
terlibat dalam peristiwa tersebut, (2) komunis cerai berai dan Aidit melarikan diri, (3)
penangkapan Nyono, Nyoto dikejar-kejar, pembakaran kantor-kantor PKI, (4) semua organisasi
islam dan kristen bergabung dengan tentara, (5) dalam KIAPMA, konperensi anti basis-basis
militer luar negeri yang dijadwalkan Oktober, diperkirakan akan dipakai Soekarno dan
Subandrio untuk propaganda melawan AS dan CIA, (6) tentara terus mencari bukti-bukti
keterlibatan PKI, dan (7) para pimpinan tentara mulai sadar bahwa inilah saatnya bangkit
melawan Sukarno, tapi di lain pihak menyadari mereka tetap membutuhkan namanya, untuk
memenangkan pertarungan tersebut.
524
National Security Archive
Document1.pp.379-380
525
526
Document2.pp.386-387
527
528
The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967
Peter Dale Scott
This article is from Pacific Affairs, 58, Summer 1985, pages 239-264. Peter Dale Scott is a professor of English
at the University of California in Berkeley, and a member of the advisory board at Public Information
Research.
In this short paper on a huge and vexed subject, I discuss the U.S. involvement in the bloody
overthrow of Indonesia's President Sukarno, 1965-67. The whole story of that ill-understood
period would transcend even the fullest possible written analysis. Much of what happened can
never be documented; and of the documentation that survives, much is both controversial and
unverifiable. The slaughter of Sukarno's left-wing allies was a product of widespread paranoia as
well as of conspiratorial policy, and represents a tragedy beyond the intentions of any single
group or coalition. Nor is it suggested that in 1965 the only provocations and violence came from
the right-wing Indonesian military, their contacts in the United States, or (also important, but
barely touched on here) their mutual contacts in British, German and Japanese intelligence.
And yet, after all this has been said, the complex and ambiguous story of the Indonesian
bloodbath is also in essence simpler and easier to believe than the public version inspired by
President Suharto and U.S. government sources. Their problematic claim is that in the so-called
Gestapu (Gerakan September Tigahpuluh) coup attempt of September 30, 1965 (when six senior
army generals were murdered), the left attacked the right, leading to a restoration of power, and
punitive purge of the left, by the center.1 This article argues instead that, by inducing, or at a
minimum helping to induce, the Gestapu "coup," the right in the Indonesian Army eliminated its
rivals at the army's center, thus paving the way to a long-planned elimination of the civilian left,
and eventually to the establishment of a military dictatorship.2 Gestapu, in other words, was only
the first phase of a three-phase right-wing coup -- one which had been both publicly encouraged
and secretly assisted by U.S. spokesmen and officials.3
Before turning to U.S. involvement in what the CIA itself has called "one of the worst mass
murders of the twentieth century,"4 let us recall what actually led up to it. According to the
Australian scholar Harold Crouch, by 1965 the Indonesian Army General Staff was split into two
camps. At the center were the general staff officers appointed with, and loyal to, the army
commander General Yani, who in turn was reluctant to challenge President Sukarno's policy of
national unity in alliance with the Indonesian Communist party, or PKI. The second group,
including the right-wing generals Nasution and Suharto, comprised those opposed to Yani and
his Sukarnoist policies.5 All of these generals were anti-PKI, but by 1965 the divisive issue was
Sukarno.
The simple (yet untold) story of Sukarno's overthrow is that in the fall of 1965 Yani and his inner
circle of generals were murdered, paving the way for a seizure of power by right-wing anti-Yani
forces allied to Suharto. The key to this was the so-called Gestapu coup attempt which, in the
name of supporting Sukarno, in fact targeted very precisely the leading members of the army's
most loyal faction, the Yani group.6 An army unity meeting in January 1965, between "Yani's
inner circle" and those (including Suharto) who "had grievances of one sort or another against
529
Yani," lined up the victims of September 30 against those who came to power after their
murder.7
Not one anti-Sukarno general was targeted by Gestapu, with the obvious exception of General
Nasution.8 But by 1961 the CIA operatives had become disillusioned with Nasution as a reliable
asset, because of his "consistent record of yielding to Sukarno on several major counts."9
Relations between Suharto and Nasution were also cool, since Nasution, after investigating
Suharto on corruption charges in 1959, had transferred him from his command.10
The duplicitous distortions of reality, first by Lt. Colonel Untung's statements for Gestapu, and
then by Suharto in "putting down" Gestapu, are mutually supporting lies.11 Untung, on October
1, announced ambiguously that Sukarno was under Gestapu's "protection" (he was not); also, that
a CIA-backed Council of Generals had planned a coup for before October 5, and had for this
purpose brought "troops from East, Central, and West Java" to Jakarta.12 Troops from these areas
had indeed been brought to Jakarta for an Armed Forces Day parade on October 5th. Untung did
not mention, however, that "he himself had been involved in the planning for the Armed Forces
Day parade and in selecting the units to participate in it;"13 nor that these units (which included
his own former battalion, the 454th) supplied most of the allies for his new battalion's Gestapu
activities in Jakarta.
Suharto's first two broadcasts reaffirmed the army's constant loyalty to "Bung Karno the Great
Leader," and also blamed the deaths of six generals on PKI youth and women, plus "elements of
the Air Force" -- on no other evidence than the site of the well where the corpses were found.14
At this time he knew very well that the killings had in fact been carried out by the very army
elements Untung referred to, elements under Suharto's own command.15
Thus, whatever the motivation of individuals such as Untung in the Gestapu putsch, Gestapu as
such was duplicitous. Both its rhetoric and above all its actions were not simply inept; they were
carefully designed to prepare for Suharto's equally duplicitous response. For example, Gestapu's
decision to guard all sides of the downtown Merdeka Square in Jakarta, except that on which
Suharto's KOSTRAD [Army Strategic Reserve Command] headquarters were situated, is
consistent with Gestapu's decision to target the only army generals who might have challenged
Suharto's assumption of power. Again, Gestapu's announced transfer of power to a totally
fictitious "Revolutionary Council," from which Sukarno had been excluded, allowed Suharto in
turn to masquerade as Sukarno's defender while in fact preventing him from resuming control.
More importantly, Gestapu's gratuitous murder of the generals near the air force base where PKI
youth had been trained allowed Suharto, in a Goebbels-like manoeuvre, to transfer the blame for
the killings from the troops under his own command (whom he knew had carried out the
kidnappings) to air force and PKI personnel who where ignorant of them.16
From the pro-Suharto sources -- notably the CIA study of Gestapu published in 1968 -- we learn
how few troops were involved in the alleged Gestapu rebellion, and, more importantly, that in
Jakarta as in Central Java the same battalions that supplied the "rebellious" companies were also
used to "put the rebellion down." Two thirds of one paratroop brigade (which Suharto had
inspected the previous day) plus one company and one platoon constituted the whole of Gestapu
forces in Jakarta; all but one of these units were commanded by present or former Diponegoro
530
Division officers close to Suharto; and the last was under an officer who obeyed Suharto's close
political ally, Basuki Rachmat.17
Two of these companies, from the 454th and 530th battalions, were elite raiders, and from 1962
these units had been among the main Indonesian recipients of U.S. assistance.18 This fact, which
in itself proves nothing, increases our curiosity about the many Gestapu leaders who had been
U.S.-trained. The Gestapu leader in Central Java, Saherman, had returned from training at Fort
Leavenworth and Okinawa, shortly before meeting with Untung and Major Sukirno of the 454th
Battalion in mid-August 1965.19 As Ruth McVey has observed, Saherman's acceptance for
training at Fort Leavenworth "would mean that he had passed review by CIA observers."20
Thus there is continuity between the achievements of both Gestapu and the response to it by
Suharto, who in the name of defending Sukarno and attacking Gestapu continued its task of
eliminating the pro-Yani members of the Army General Staff, along with such other residual
elements of support for first Yani and then Sukarno as remained.21
The biggest part of this task was of course the elimination of the PKI and its supporters, in a
bloodbath which, as some Suharto allies now concede, may have taken more than a half-million
lives. These three events -- Gestapu, Suharto's response, and the bloodbath -- have nearly always
been presented in this country as separately motivated: Gestapu being described as a plot by
leftists, and the bloodbath as for the most part an irrational act of popular frenzy.
U.S. officials, journalists and scholars, some with rather prominent CIA connections, are perhaps
principally responsible for the myth that the bloodbath was a spontaneous, popular revulsion to
what U.S. Ambassador Jones later called PKI "carnage."22 Although the PKI certainly
contributed its share to the political hysteria of 1965, Crouch has shown that subsequent claims
of a PKI terror campaign were grossly exaggerated.23 In fact systematic killing occurred under
army instigation in staggered stages, the worst occurring as Colonel Sarwo Edhie's RPKAD
[Army Paracommando Regiment] moved from Jakarta to Central and East Java, and finally to
Bali.24 Civilians involved in the massacre were either recruited and trained by the army on the
spot, or were drawn from groups (such as the army- and CIA-sponsored SOKSI trade unions
[Central Organization of Indonesian Socialist Employees], and allied student organizations)
which had collaborated for years with the army on political matters. It is clear from
Sundhaussen's account that in most of the first areas of organized massacre (North Sumatra,
Aceh, Cirebon, the whole of Central and East Java), there were local army commanders with
especially strong and proven anti-PKI sentiments. Many of these had for years cooperated with
civilians, through so-called "civic action" programs sponsored by the United States, in operations
directed against the PKI and sometimes Sukarno. Thus one can legitimately suspect conspiracy
in the fact that anti-PKI "civilian responses" began on October 1, when the army began handing
out arms to Muslim students and unionists, before there was any publicly available evidence
linking Gestapu to the PKI.25
Even Sundhaussen, who downplays the army's role in arming and inciting the civilian murder
bands, concludes that, whatever the strength of popular anti-PKI hatred and fear, "without the
Army's anti-PKI propaganda the massacre might not have happened."26 The present article goes
further and argues that Gestapu, Suharto's response, and the bloodbath were part of a single
531
coherent scenario for a military takeover, a scenario which was again followed closely in Chile
in the years 1970-73 (and to some extent in Cambodia in 1970).
Suharto, of course, would be a principal conspirator in this scenario: his duplicitous role of
posing as a defender of the constitutional status quo, while in fact moving deliberately to
overthrow it, is analogous to that of General Pinochet in Chile. But a more direct role in
organizing the bloodbath was played by civilians and officers close to the cadres of the CIA's
failed rebellion of 1958, now working in so-called "civic action" programs funded and trained by
the United States. Necessary ingredients of the scenario had to be, and clearly were, supplied by
other nations in support of Suharto. Many such countries appear to have played such a
supporting role: Japan, Britain, Germany,27 possibly Australia. But I wish to focus on the
encouragement and support for military "putschism" and mass murder which came from the
U.S., from the CIA, the military, RAND, the Ford Foundation, and individuals.28
The United States and the Indonesian Army's "Mission"
It seems clear that from as early as 1953 the U.S. was interested in helping to foment the regional
crisis in Indonesia, usually recognized as the "immediate cause" that induced Sukarno, on March
14, 1957, to proclaim martial law, and bring "the officer corps legitimately into politics."29
By 1953 (if not earlier) the U.S. National Security Council had already adopted one of a series of
policy documents calling for "appropriate action, in collaboration with other friendly countries,
to prevent permanent communist control" of Indonesia.30 Already NSC 171/1 of that year
envisaged military training as a means of increasing U.S. influence, even though the CIA's
primary efforts were directed towards right-wing political parties ("moderates ... on the right," as
NSC 171 called them): notably the Masjumi Muslim and the PSI "Socialist" parties. The millions
of dollars which the CIA poured into the Masjumi and the PSI in the mid-1950s were a factor
influencing the events of 1965, when a former PSI member -- Sjam -- was the alleged
mastermind of Gestapu,31 and PSI-leaning officers -- notably Suwarto and Sarwo Edhie -- were
prominent in planning and carrying out the anti-PKI response to Gestapu.32
In 1957-58, the CIA infiltrated arms and personnel in support of the regional rebellions against
Sukarno. These operations were nominally covert, even though an American plane and pilot
were captured, and the CIA efforts were accompanied by an offshore task force of the U.S.
Seventh Fleet.33 In 1975 a Senate Select Committee studying the CIA discovered what it called
"some evidence of CIA involvement in plans to assassinate President Sukarno"; but, after an
initial investigation of the November 1957 assassination attempt in the Cikini district of Jakarta,
the committee did not pursue the matter.34
On August 1, 1958, after the failure of the CIA-sponsored PRRI-Permesta regional rebellions
against Sukarno, the U.S. began an upgraded military assistance program to Indonesia in the
order of twenty million dollars a year.35 A U.S. Joint Chiefs of Staff memo of 1958 makes it
clear this aid was given to the Indonesian Army ("the only non-Communist force ... with the
capability of obstructing the ... PKI") as "encouragement" to Nasution to "carry out his 'plan' for
the control of Communism."36
532
The JCS had no need to spell out Nasution's "plan," to which other documents at this time made
reference.37 It could only imply the tactics for which Nasution had distinguished himself (in
American eyes) during the crushing of the PKI in the Madiun Affair of 1948: mass murders and
mass arrests, at a minimum of the party's cadres, possibly after an army provocation.38 Nasution
confirmed this in November 1965, after the Gestapu slaughter, when he called for the total
extinction of the PKI, "down to its very roots so there will be no third Madiun."39
By 1958, however, the PKI had emerged as the largest mass movement in the country. It is in
this period that a small group of U.S. academic researchers in U.S. Air Force- and CIAsubsidized "think-tanks" began pressuring their contacts in the Indonesian military publicly,
often through U.S. scholarly journals and presses, to seize power and liquidate the PKI
opposition.40 The most prominent example is Guy Pauker, who in 1958 both taught at the
University of California at Berkeley and served as a consultant at the RAND Corporation. In the
latter capacity he maintained frequent contact with what he himself called "a very small group"
of PSI intellectuals and their friends in the army.41
In a RAND Corporation book published by the Princeton University Press, Pauker urged his
contacts in the Indonesian military to assume "full responsibility" for their nation's leadership,
"fulfill a mission," and hence "to strike, sweep their house clean."42 Although Pauker may not
have intended anything like the scale of bloodbath which eventually ensued, there is no escaping
the fact that "mission" and "sweep clean" were buzz-words for counterinsurgency and massacre,
and as such were used frequently before and during the coup. The first murder order, by military
officers to Muslim students in early october, was the word sikat, meaning "sweep," "clean out,"
"wipe out," or "massacre."43
Pauker's closest friend in the Indonesian army was a U.S.-trained General Suwarto, who played
an important part in the conversion of the army from a revolutionary to a counterinsurgency
function. In the years after 1958, Suwarto built the Indonesian Army Staff and Command School
in Bandung (SESKOAD) into a training-ground for the takeover of political power. SESKOAD
in this period became a focal-point of attention from the Pentagon, the CIA, RAND, and
(indirectly) the Ford Foundation.44
Under the guidance of Nasution and Suwarto, SESKOAD developed a new strategic doctrine,
that of Territorial Warfare (in a document translated into English by Pauker), which gave priority
to counterinsurgency as the army's role. Especially after 1962, when the Kennedy administration
aided the Indonesian Army in developing Civic Mission or "civic action" programs, this meant
the organization of its own political infrastructure, or "Territorial Organization," reaching in
some cases down to the village level.45 As the result of an official U.S. State Department
recommendation in 1962, which Pauker helped write, a special U.S. MILTAG (Military Training
Advisory Group) was set up in Jakarta, to assist in the implementation of SESKOAD's Civic
Mission programs.46
SESKOAD also trained the army officers in economics and administration, and thus to operate
virtually as a para-state, independent of Sukarno's government. So the army began to collaborate,
and even sign contracts, with U.S. and other foreign corporations in areas which were now under
its control. This training program was entrusted to officers and civilians close to the PSI.47 U.S.
533
officials have confirmed that the civilians, who themselves were in a training program funded by
the Ford Foundation, became involved in what the (then) U.S. military attache called
"contingency planning" to prevent a PKI takeover.48
But the most significant focus of U.S. training and aid was the Territorial Organization's
increasing liaison with "the civilian administration, religious and cultural organizations, youth
groups, veterans, trade unions, peasant organizations, political parties and groups at regional and
local levels."49 These political liaisons with civilian groups provided the structure for the ruthless
suppression of the PKI in 1965, including the bloodbath.50
Soon these army and civilian cadres were together plotting disruptive activities, such as the
Bandung anti-Chinese riots of May 1963, which embarrassed not just the PKI, but Sukarno
himself. Chomsky and Herman report that "Army-inspired anti-Chinese programs that took place
in West Java in 1959 were financed by U.S. contributions to the local army commander";
apparently CIA funds were used by the commander (Colonel Kosasih) to pay local thugs in what
Mozingo calls "the army's (and probably the Americans') campaign to rupture relations with
China."51 The 1963 riot, which took place in the very shadow of SESKOAD, is linked by
Sundhaussen to an army "civic action" organization; and shows conspiratorial contact between
elements (an underground PSI cell, PSI- and Masjumi-affiliated student groups, and General
Ishak Djuarsa of the Siliwangi Division's "civic action" organization) that would all be
prominent in the very first phase of Suharto's so-called "response" to the Gestapu.52 The May
1963 student riots were repeated in October 1965 and (especially in Bandung) January 1966, at
which time the liaison between students and the army was largely in the hands of PSI-leaning
officers like Sarwo Edhie and Kemal Idris.53 The CIA Plans Directorate was sympathetic to the
increasing deflection of a nominally anti-PKI operation into one embarrassing Sukarno. This turn
would have come as no surprise: Suwarto, Kemal Idris and the PSI had been prominent in a nearcoup (the so-called "Lubis affair") in 1956.54
But increasingly Suwarto cultivated a new student, Colonel Suharto, who arrived at SESKOAD
in October 1959. According to Sundhaussen, a relatively pro-Suharto scholar: "In the early 1960s
Soeharto was involved in the formation of the Doctrine of Territorial Warfare and the Army's
policy on Civic Mission (that is, penetration of army officers into all fields of government
activities and responsibilities).55 Central to the public image of Gestapu and Suharto's response is
the much-publicized fact that Suharto, unlike his sometime teacher Suwarto, and his long-time
chief of staff Achmad Wiranatakusuma, had never studied in the United States. But his
involvement in Civic Mission (or what Americans called "civic action") programs located him
along with PSI-leaning officers at the focal point of U.S. training activities in Indonesia, in a
program which was nakedly political.56
The refinement of Territorial Warfare and Civic Mission Doctrine into a new strategic doctrine
for army political intervention became by 1965 the ideological process consolidating the army
for political takeover. After Gestapu, when Suwarto was an important political advisor to his
former SESKOAD pupil Suharto, his strategic doctrine was the justification for Suharto's
announcement on August 15, 1966, in fulfillment of Pauker's public and private urgings, that the
army had to assume a leading role in all fields.57
534
Hence the army unity meeting of January 1965, arranged after Suharto had duplicitously urged
Nasution to take "a more accommodating line"58 towards Sukarno, was in fact a necessary step in
the process whereby Suharto effectively took over from his rivals Yani and Nasution. It led to
the April 1965 seminar at SESKOAD for a compromise army strategic doctrine, the Tri Ubaya
Cakti, which "reaffirmed the army's claim to an independent political role."59 On August 15,
1966, Suharto, speaking to the nation, justified his increasing prominence in terms of the
"Revolutionary Mission" of the Tri Ubaya Cakti doctrine. Two weeks later at SESKOAD the
doctrine was revised, at Suharto's instigation but in a setting "carefully orchestrated by Brigadier
Suwarto," to embody still more clearly Pauker's emphasis on the army's "Civic Mission" or
counterrevolutionary role.60 This "Civic Mission," so important to Suharto, was also the principal
goal and fruit of U.S. military aid to Indonesia.
By August 1964, moreover, Suharto had initiated political contacts with Malaysia, and hence
eventually with Japan, Britain, and the United States.61 Although the initial purpose of these
contacts may have been to head off war with Malaysia, Sundhaussen suggests that Suharto's
motive was his concern, buttressed in mid-1964 by a KOSTRAD intelligence report, about PKI
political advances.62 Mrazek links the peace feelers to the withdrawal of "some of the best army
units" back to Java in the summer of 1965.63 These movements, together with earlier deployment
of a politically insecure Diponegoro battalion in the other direction, can also be seen as
preparations for the seizure of power.64
In Nishihara's informed Japanese account, former PRRI / Permesta personnel with intelligence
connections in Japan were prominent in these negotiations, along with Japanese officials.65
Nishihara also heard that an intimate ally of these personnel, Jan Walandouw, who may have
acted as a CIA contact for the 1958 rebellion, later again "visited Washington and advocated
Suharto as a leader."66 I am reliably informed that Walandouw's visit to Washington on behalf of
Suharto was made some months before Gestapu.67
The U.S. Moves Against Sukarno
Many people in Washington, especially in the CIA Plans Directorate, had long desired the
"removal" of Sukarno as well as of the PKI.68 By 1961 key policy hard-liners, notably Guy
Pauker, had also turned against Nasution.69 Nevertheless, despite last-minute memoranda from
the outgoing Eisenhower administration which would have opposed "whatever regime" in
Indonesia was "increasingly friendly toward the Sino-Soviet bloc," the Kennedy administration
stepped up aid to both Sukarno and the army.70
However, Lyndon Johnson's accession to the presidency was followed almost immediately by a
shift to a more anti-Sukarno policy. This is clear from Johnson's decision in December 1963 to
withhold economic aid which (according to Ambassador Jones) Kennedy would have supplied
"almost as a matter of routine."71 This refusal suggests that the U.S. aggravation of Indonesia's
economic woes in 1963-65 was a matter of policy rather than inadvertence. Indeed, if the CIA's
overthrow of Allende is a relevant analogy, then one would expect someday to learn that the
CIA, through currency speculations and other hostile acts, contributed actively to the radical
destabilization of the Indonesian economy in the weeks just before the coup, when "the price of
535
rice quadrupled between June 30 and October 1, and the black market price of the dollar
skyrocketed, particularly in September."72
As was the case in Chile, the gradual cutoff of all economic aid to Indonesia in the years 1962-65
was accompanied by a shift in military aid to friendly elements in the Indonesian Army: U.S.
military aid amounted to $39.5 million in the four years 1962-65 (with a peak of $16.3 million in
1962) as opposed to $28.3 million for the thirteen years 1949-61.73 After March 1964, when
Sukarno told the U.S., "go to hell with your aid," it became increasingly difficult to extract any
aid from the U.S. congress: those persons not aware of what was developing found it hard to
understand why the U.S. should help arm a country which was nationalizing U.S. economic
interests, and using immense aid subsidies from the Soviet Union to confront the British in
Malaysia.
Thus a public image was created that under Johnson "all United States aid to Indonesia was
stopped," a claim so buttressed by misleading documentation that competent scholars have
repeated it.74 In fact, Congress had agreed to treat U.S. funding of the Indonesian military (unlike
aid to any other country) as a covert matter, restricting congressional review of the president's
determinations on Indonesian aid to two Senate committees, and the House Speaker, who were
concurrently involved in oversight of the CIA.75
Ambassador Jones' more candid account admits that "suspension" meant "the U.S. government
undertook no new commitments of assistance, although it continued with ongoing programs....
By maintaining our modest assistance to [the Indonesian Army and the police brigade], we
fortified them for a virtually inevitable showdown with the burgeoning PKI."76
Only from recently released documents do we learn that new military aid was en route as late as
July 1965, in the form of a secret contract to deliver two hundred Aero-Commanders to the
Indonesian Army: these were light aircraft suitable for use in "civic action" or counterinsurgency
operations, presumably by the Army Flying Corps whose senior officers were virtually all
trained in the U.S.77 By this time, the publicly admitted U.S. aid was virtually limited to the
completion of an army communications system and to "civic action" training. It was by using the
army's new communications system, rather than the civilian system in the hands of Sukarno
loyalists, that Suharto on October 1, 1965 was able to implement his swift purge of SukarnoYani loyalists and leftists, while "civic action" officers formed the hard core of lower-level
Gestapu officers in Central Java.78
Before turning to the more covert aspects of U.S. military aid to Indonesia in 1963-65, let us
review the overall changes in U.S.-Indonesian relations. Economic aid was now in abeyance, and
military aid tightly channeled so as to strengthen the army domestically. U.S. government
funding had obviously shifted from the Indonesian state to one of its least loyal components. As
a result of agreements beginning with martial law in 1957, but accelerated by the U.S.-negotiated
oil agreement of 1963, we see exactly the same shift in the flow of payments from U.S. oil
companies. Instead of token royalties to the Sukarno government, the two big U.S. oil companies
in Indonesia, Stanvac and Caltex, now made much larger payments to the army's oil company,
Permina, headed by an eventual political ally of Suharto, General Ibnu Sutowo; and to a second
company, Pertamin, headed by the anti-PKI and pro-U.S. politician, Chaerul Saleh.79 After
536
Suharto's overthrow of Sukarno, Fortune wrote that "Sutowo's still small company played a key
part in bankrolling those crucial operations, and the army has never forgotten it."80
U.S. Support for the Suharto Faction Before Gestapu
American officials commenting on the role of U.S. aid in this period have taken credit for
assisting the anti-Communist seizure of power, without ever hinting at any degree of
conspiratorial responsibility in the planning of the bloodbath. The impression created is that U.S.
officials remained aloof from the actual planning of events, and we can see from recently
declassified cable traffic how carefully the U.S. government fostered this image of detachment
from what was happening in Indonesia.81
In fact, however, the U.S. government was lying about its involvement. In Fiscal Year 1965, a
period when The New York Times claimed "all United States aid to Indonesia was stopped," the
number of MAP (Military Assistance Program) personnel in Jakarta actually increased, beyond
what had been projected, to an unprecedented high.82 According to figures released in 1966,83
from FY 1963 to FY 1965 the value of MAP deliveries fell from about fourteen million dollars
to just over two million dollars. Despite this decline, the number of MAP military personnel
remained almost unchanged, approximately thirty, while in FY 1965 civilian personnel (fifteen)
were present for the first time. Whether or not one doubts that aid deliveries fell off as sharply as
the figures would suggest, the MILTAG personnel figures indicate that their "civic action"
program was being escalated, not decreased.84 We have seen that some months before Gestapu, a
Suharto emissary with past CIA connections (Colonel Jan Walandouw) made contact with the
U.S. government. From as early as May 1965, U.S. military suppliers with CIA connections
(principally Lockheed) were negotiating equipment sales with payoffs to middlemen, in such a
way as to generate payoffs to backers of the hitherto little-known leader of a new third faction in
the army, Major-General Suharto -- rather than to those backing Nasution or Yani, the titular
leaders of the armed forces. Only in the last year has it been confirmed that secret funds
administered by the U.S. Air Force (possibly on behalf of the CIA) were laundered as
"commissions" on sales of Lockheed equipment and services, in order to make political payoffs
to the military personnel of foreign countries.85
A 1976 Senate investigation into these payoffs revealed, almost inadvertently, that in May 1965,
over the legal objections of Lockheed's counsel, Lockheed commissions in Indonesia had been
redirected to a new contract and company set up by the firm's long-time local agent or
middleman.86 Its internal memos at the time show no reasons for the change, but in a later memo
the economic counselor of the U.S. Embassy in Jakarta is reported as saying that there were
"some political considerations behind it."87 If this is true, it would suggest that in May 1965, five
months before the coup, Lockheed had redirected its payoffs to a new political eminence, at the
risk (as its assistant chief counsel pointed out) of being sued for default on its former contractual
obligations.
The Indonesian middleman, August Munir Dasaad, was "known to have assisted Sukarno
financially since the 1930's."88 In 1965, however, Dasaad was building connections with the
Suharto forces, via a family relative, General Alamsjah, who had served briefly under Suharto in
537
1960, after Suharto completed his term at SESKOAD. Via the new contract, Lockheed, Dasaad
and Alamsjah were apparently hitching their wagons to Suharto's rising star:
When the coup was made during which Suharto replaced Sukarno, Alamsjah, who controlled
certain considerable funds, at once made these available to Suharto, which obviously earned him
the gratitude of the new President. In due course he was appointed to a position of trust and
confidence and today Alamsjah is, one might say, the second important man after the President.89
Thus in 1966 the U.S. Embassy advised Lockheed it should "continue to use" the DasaadAlamsjah-Suharto connection.90
In July 1965, at the alleged nadir of U.S.-Indonesian aid relations, Rockwell-Standard had a
contractual agreement to deliver two hundred light aircraft (Aero-Commanders) to the
Indonesian Army (not the Air Force) in the next two months.91 Once again the commission agent
on the deal, Bob Hasan, was a political associate (and eventual business partner) of Suharto.92
More specifically, Suharto and Bob Hasan established two shipping companies to be operated by
the Central Java army division, Diponegoro. This division, as has long been noticed, supplied the
bulk of the personnel on both sides of the Gestapu coup drama -- both those staging the coup
attempt, and those putting it down. And one of the three leaders in the Central Java Gestapu
movement was Lt. Col. Usman Sastrodibroto, chief of the Diponegoro Division's "section
dealing with extramilitary functions."93
Thus of the two known U.S. military sales contracts from the eve of the Gestapu Putsch, both
involved political payoffs to persons who emerged after Gestapu as close Suharto allies. The use
of this traditional channel for CIA patronage suggests that the U.S. was not at arm's length from
the ugly political developments of 1965, despite the public indications, from both government
spokesmen and the U.S. business press, that Indonesia was now virtually lost to communism and
nothing could be done about it.
The actions of some U.S. corporations, moreover, made it clear that by early 1965 they expected
a significant boost to the U.S. standing in Indonesia. For example, a recently declassified cable
reveals that Freeport Sulphur had by April 1965 reached a preliminary "arrangement" with
Indonesian officials for what would become a $500 million investment in West Papua copper.
This gives the lie to the public claim that the company did not initiate negotiations with
Indonesians (the inevitable Ibnu Sutowo) until February 1966.94 And in September 1965, shortly
after World Oil reported that "indonesia's gas and oil industry appeared to be slipping deeper into
the political morass,"95 the president of a small oil company (Asamera) in a joint venture with
Ibnu Sutowo's Permina purchased $50,000 worth of shares in his own ostensibly-threatened
company. Ironically this double purchase (on September 9 and September 21) was reported in
the Wall Street Journal of September 30, 1965, the day of Gestapu.
538
The CIA's "[One Word Deleted] Operation" in 1965
Less than a year after Gestapu and the bloodbath, James Reston wrote appreciatively about them
as "A Gleam of Light in Asia":
Washington is being careful not to claim any credit for this change in the sixth most populous
and one of the richest nations in the world, but this does not mean that Washington had nothing
to do with it. There was a great deal more contact between the anti-Communist forces in that
country and at least one very high official in Washington before and during the Indonesian
massacre than is generally realized.96
As for the CIA in 1965, we have the testimony of former CIA officer Ralph McGehee, curiously
corroborated by the selective censorship of his former CIA employers:
Where the necessary circumstances or proofs are lacking to support U.S. intervention, the C.I.A.
creates the appropriate situations or else invents them and disseminates its distortions worldwide
via its media operations.
A prominent example would be Chile.... Disturbed at the Chilean military's unwillingness to take
action against Allende, the C.I.A. forged a document purporting to reveal a leftist plot to murder
Chilean military leaders. The discovery of this "plot" was headlined in the media and Allende
was deposed and murdered.
There is a similarity between events that precipitated the overthrow of Allende and what
happened in Indonesia in 1965. Estimates of the number of deaths that occurred as a result of the
latter C.I.A. [one word deleted] operation run from one-half million to more than one million
people.97
McGehee claims to have once seen, while reviewing CIA documents in Washington, a highly
classified report on the agency's role in provoking the destruction of the PKI after Gestapu. It
seems appropriate to ask for congressional review and publication of any such report. If, as is
alleged, it recommended such murderous techniques as a model for future operations, it would
appear to document a major turning-point in the agency's operation history: towards the
systematic exploitation of the death squad operations which, absent during the Brazilian coup of
1964, made the Vietnam Phoenix counterinsurgency program notorious after 1967, and after
1968 spread from Guatemala to the rest of Latin America.98
McGehee's claims of a CIA psychological warfare operation against Allende are corroborated by
Tad Szulc:
CIA agents in Santiago assisted Chilean military intelligence in drafting bogus Z-plan documents
alleging that Allende and his supporters were planning to behead Chilean military commanders.
These were issued by the junta to justify the coup.99
Indeed the CIA deception operations against Allende appear to have gone even farther, terrifying
both the left and the right with the fear of incipient slaughter by their enemies. Thus militant
trade-unionists as well as conservative generals in Chile received small cards printed with the
ominous words Djakarta se acerca (Jakarta is approaching).100
This is a model destabilization plan -- to persuade all concerned that they no longer can hope to
be protected by the status quo, and hence weaken the center, while inducing both right and left
towards more violent provocation of each other. Such a plan appears to have been followed in
Laos in 1959-61, where a CIA officer explained to a reporter that the aim "was to polarize
539
Laos."101 It appears to have been followed in Indonesia in 1965. Observers like Sundhaussen
confirm that to understand the coup story of October 1965 we must look first of all at the
"rumour market" which in 1965 ... turned out the wildest stories."102 On September 14, two
weeks before the coup, the army was warned that there was a plot to assassinate army leaders
four days later; a second such report was discussed at army headquarters on September 30.103 But
a year earlier an alleged PKI document, which the PKI denounced as a forgery, had purported to
describe a plan to overthrow "Nasutionists" through infiltration of the army. This "document,"
which was reported in a Malaysian newspaper after being publicized by the pro-U.S. politician
Chaerul Saleh104 in mid-December 1964, must have lent credence to Suharto's call for an army
unity meeting the next month.105
The army's anxiety was increased by rumors, throughout 1965, that mainland China was
smuggling arms to the PKI for an imminent revolt. Two weeks before Gestapu, a story to this
effect also appeared in a Malaysian newspaper, citing Bangkok sources which relied in turn on
Hong Kong sources.106 Such international untraceability is the stylistic hallmark of stories
emanating in this period from what CIA insiders called their "mighty Wurlitzer," the world-wide
network of press "assets" through which the CIA, or sister agencies such as Britain's MI-6, could
plant unattributable disinformation.107 PKI demands for a popular militia or "fifth force," and the
training of PKI youth at Lubang Buaja, seemed much more sinister to the Indonesian army in the
light of the Chinese arms stories.
But for months before the coup, the paranoia of the PKI had also been played on, by recurring
reports that a CIA-backed "Council of Generals" was plotting to suppress the PKI. It was this
mythical council, of course, that Untung announced as the target of his allegedly anti-CIA
Gestapu coup. But such rumors did not just originate from anti-American sources; on the
contrary, the first authoritative published reference to such a council was in a column of the
Washington journalists Evans and Novak:
As far back as March, General Ibrahim Adjie, commander of the Siliwangi Division, had been
quoted by two American journalists as saying of the Communists: "we knocked them out before
[at Madiun]. We check them and check them again." The same journalists claimed to have
information that "...the Army has quietly established an advisory commission of five general
officers to report to General Jani ... and General Nasution ... on PKI activities."108
Mortimer sees the coincidence that five generals besides Yani were killed by Gestapu as possibly
significant.
But we should also be struck by the revival in the United States of the image of Yani and
Nasution as anti-PKI planners, long after the CIA and U.S. press stories had in fact written them
off as unwilling to act against Sukarno.109 If the elimination by Gestapu of Suharto's political
competitors in the army was to be blamed on the left, then the scenario required just such a
revival of the generals' forgotten anti-Communist image in opposition to Sukarno. An anomalous
unsigned August 1965 profile of Nasution in The New York Times, based on an 1963 interview
but published only after a verbal attack by Nasution on British bases in Singapore, does just this:
it claims (quite incongruously, given the context) that Nasution is "considered the strongest
opponent of Communism in Indonesia"; and adds that Sukarno, backed by the PKI, "has been
pursuing a campaign to neutralize the ... army as an anti-Communist force."110
540
In the same month of August 1965, fear of an imminent showdown between "the PKI and the
Nasution group" was fomented in Indonesia by an underground pamphlet; this was distributed by
the CIA's long-time asset, the PSI, whose cadres were by now deeply involved:
The PKI is combat ready. The Nasution group hope the PKI will be the first to draw the trigger,
but this the PKI will not do. The PKI will not allow itself to be provoked as in the Madiun
Incident. In the end, however, there will be only two forces left: the PKI and the Nasution group.
The middle will have no alternative but to choose and get protection from the stronger force.111
One could hardly hope to find a better epitome of the propaganda necessary for the CIA's
program of engineering paranoia.
McGehee's article, after censorship by the CIA, focuses more narrowly on the CIA's role in antiPKI propaganda alone:
The Agency seized upon this opportunity [Suharto's response to Gestapu] and set out to destroy
the P.K.I.... [eight sentences deleted].... Media fabrications played a key role in stirring up
popular resentment against the P.K.I. Photographs of the bodies of the dead generals -- badly
decomposed -- were featured in all the newspapers and on television. Stories accompanying the
pictures falsely claimed that the generals had been castrated and their eyes gouged out by
Communist women. This cynically manufactured campaign was designed to foment public anger
against the Communists and set the stage for a massacre.112
McGehee might have added that the propaganda stories of torture by hysterical women with
razor blades, which serious scholars dismiss as groundless, were revived in a more sophisticated
version by a U.S. journalist, John Hughes, who is now the chief spokesman for the State
Department.113
Suharto's forces, particularly Col. Sarwo Edhie of the RPKAD commandos, were overtly
involved in the cynical exploitation of the victims' bodies.114 But some aspects of the massive
propaganda campaign appear to have been orchestrated by non-Indonesians. A case in point is
the disputed editorial in support of Gestapu which appeared in the October 2 issue of the PKI
newspaper Harian Rakjat. Professors Benedict Anderson and Ruth McVey, who have questioned
the authenticity of this issue, have also ruled out the possibility that the newspaper was "an Army
falsification," on the grounds that the army's "competence ... at falsifying party documents has
always been abysmally low."115
The questions raised by Anderson and McVey have not yet been adequately answered. Why did
the PKI show no support for the Gestapu coup while it was in progress, then rashly editorialize in
support of Gestapu after it had been crushed? Why did the PKI, whose editorial gave support to
Gestapu, fail to mobilize its followers to act on Gestapu's behalf? Why did Suharto, by then in
control of Jakarta, close down all newspapers except this one, and one other left-leaning
newspaper which also served his propaganda ends?116 Why, in other words, did Suharto on
October 2 allow the publication of only two Jakarta newspapers, two which were on the point of
being closed down forever?
As was stated at the outset, it would be foolish to suggest that in 1965 the only violence came
from the U.S. government, the Indonesian military, and their mutual contacts in British and
541
Japanese intelligence. A longer paper could also discuss the provocative actions of the PKI, and
of Sukarno himself, in this tragedy of social breakdown. Assuredly, from one point of view, no
one was securely in control of events in this troubled period.117
And yet for two reasons such a fashionably objective summation of events seems inappropriate.
In the first place, as the CIA's own study concedes, we are talking about "one of the ghastliest
and most concentrated bloodlettings of current times," one whose scale of violence seems out of
all proportion to such well-publicized left-wing acts as the murder of an army lieutenant at the
Bandar Betsy plantation in May 1965,118 And, in the second place, the scenario described by
McGehee for 1965 can be seen as not merely responding to the provocations, paranoia, and sheer
noise of events in that year, but as actively encouraging and channeling them.
It should be noted that former CIA Director William Colby has repeatedly denied that there was
CIA or other U.S. involvement in the massacre of 1965. (In the absence of a special CIA Task
Force, Colby, as head of the CIA's Far Eastern Division from 1962-66, would normally have
been responsible for the CIA's operations in Indonesia.) Colby's denial is however linked to the
discredited story of a PKI plot to seize political power, a story that he revived in 1978:
Indonesia exploded, with a bid for power by the largest Communist Party in the world outside
the curtain, which killed the leadership of the army with Sukarno's tacit approval and then was
decimated in reprisal. CIA provided a steady flow of reports on the process in Indonesia,
although it did not have any role in the course of events themselves.119
It is important to resolve the issue of U.S. involvement in this systematic murder operation, and
particularly to learn more about the CIA account of this which McGehee claims to have seen.
McGehee tells us: "The Agency was extremely proud of its successful [one word deleted] and
recommended it as a model for future operations [one-half sentence deleted]."120 Ambassador
Green reports of an interview with Nixon in 1967:
The Indonesian experience had been one of particular interest to [Nixon] because things had
gone well in Indonesia. I think he was very interested in that whole experience as pointing to the
way we [!] should handle our relationships on a wider basis in Southeast Asia generally, and
maybe in the world.121
Such unchallenged assessments help explain the role of Indonesians in the Nixon-sponsored
overthrow of Sihanouk in Cambodia in 1970, the use of the Jakarta scenario for the overthrow of
Allende in Chile in 1973, and the U.S. sponsorship today of the death squad regimes in Central
America.122
University of California, Berkeley, U.S.A., December 1984
1. The difficulties of this analysis, based chiefly on the so-called "evidence" presented at the Mahmilub trials, will be obvious to
anyone who has tried to reconcile the conflicting accounts of Gestapu in, e.g., the official Suharto account by Nugroho
Notosusanto and Ismail Saleh, and the somewhat less fanciful CIA study of 1968, both referred to later. I shall draw only on
those parts of the Mahmilub evidence which limit or discredit their anti-PKI thesis. For interpretation of the Mahmilub data, cf.
especially Coen Holtzappel, "The 30 September Movement," Journal of Contemporary Asia, IX, 2 (1979), pp. 216-40. The case
for general skepticism is argued by Rex Mortimer, Indonesian Communism Under Sukarno (Ithaca, New York: Cornell
University Press, 1974), pp. 421-3; and more forcefully, by Julie Southwood and Patrick Flanagan, Indonesia: Law, Propaganda,
and Terror (London: Zed Press, 1983), pp. 126-34.
2. At his long-delayed trial in 1978, Gestapu plotter Latief confirmed earlier revelations that he had visited his old commander
Suharto on the eve of the Gestapu kidnappings. He claimed that he raised with Suharto the existence of an alleged right-wing
542
"Council of Generals" plotting to seize power, and informed him "of a movement which was intended to thwart the plan of the
generals' council for a coup d'etat" (Anon., "The Latief Case: Suharto's Involvement Revealed," Journal of Contemporary Asia,
IX, 2 [1979], pp. 248-50). For a more comprehensive view of Suharto's involvement in Gestapu, cf. especially W.F. Wertheim,
"Whose Plot? New Light on the 1965 Events," Journal of Contemporary Asia, IX, 2 (1979), pp. 197-215; Holtzappel, "The 30
September," in contrast, points more particularly to intelligence officers close to the banned Murba party of Chaerul Saleh and
Adam Malik: cf. fn. 104.
3. The three phases are: (1) "Gestapu," the induced left-wing "coup"; (2) "KAP-Gestapu," or the anti-Gestapu "response,"
massacring the PKI; (3) the progressive erosion of Sukarno's remaining power. This paper will chiefly discuss Gestapu / KAPGestapu, the first two phases. To call the first phase by itself a "coup" is in my view an abuse of terminology: there is no real
evidence that in this phase political power changed hands or that this was the intention.
4. U.S. Central Intelligence Agency, Research Study: Indonesia -- The Coup that Backfired, 1968 (cited hereafter as CIA Study),
p. 71n.
5. Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1978), pp. 79-81.
6. In addition, one of the two Gestapu victims in Central Java (Colonel Katamso) was the only non-PKI official of rank to attend
the PKI's nineteenth anniversary celebration in Jogjakarta in May 1964: Mortimer, Indonesian Communism, p. 432. Ironically,
the belated "discovery" of his corpse was used to trigger off the purge of his PKI contacts.
7. Four of the six pro-Yani representatives in January were killed along with Yani on October 1. Of the five anti-Yani
representatives in January, we shall see that at least three were prominent in "putting down" Gestapu and completing the
elimination of the Yani-Sukarno loyalists (the three were Suharto, Basuki Rachmat, and Sudirman of SESKOAD, the Indonesian
Army Staff and Command School): Crouch, The Army, p. 81n.
8. While Nasution's daughter and aide were murdered, he was able to escape without serious injury, and support the ensuing
purge.
9. Indonesia, 22 (October 1976), p. 165 (CIA Memorandum of 22 March 1961 from Richard M. Bissell, Attachment B). By 1965
this disillusionment was heightened by Nasution's deep opposition to the U.S. involvement in Vietnam.
10. Crouch, The Army, p. 40; Brian May, The Indonesian Tragedy (London: Routledge and Kegan Paul, 1978), pp. 221-2.
11. I shall assume for this condensed argument that Untung was the author, or at least approved, of the statements issued in his
name. Scholars who see Untung as a dupe of Gestapu's controllers note that Untung was nowhere near the radio station
broadcasting in his name, and that he appears to have had little or no influence over the task force which occupied it (under
Captain Suradi of the intelligence service of Colonel Latief's Brigade): Holtzappel, pp. 218, 231-2, 236-7. I have no reason to
contradict those careful analysts of Gestapu -- such as Wertheim, "Whose Plot?" p. 212, and Holtzappel, "The 30 September," p.
231 -- who conclude that Untung personally was sincere, and manipulated by other dalangs such as Sjam.
12. Broadcast of 7:15 a.m. October 1; Indonesia 1 (April 1966), p. 134; Ulf Sundhaussen, The Road to Power: Indonesian
Military Politics, 1945-1967 (Kuala Lumpur and Oxford: Oxford University Press, 1982), p. 196.
13. Ibid., p. 201.
14. Broadcasts of October 1 and 4, 1965; Indonesia 1 (April 1966), pp. 158-9.
15. CIA Study, p. 2; O.G. Roeder, The Smiling General: President Soeharto of Indonesia (Jakarta: Gunung Agung, 1970), p. 12,
quoting Suharto himself: "On my way to KOSTRAD HQ [Suharto's HQ] I passed soldiers in green berets who were placed under
KOSTRAD command but who did not salute me."
16. Anderson and McVey concluded that Sukarno, Air Force Chief Omar Dhani, PKI Chairman Aidit (the three principal
political targets of Suharto's anti-Gestapu "response") were rounded up by the Gestapu plotters in the middle of the night, and
taken to Halim air force base, about one mile from the well at Lubang Buaja where the generals' corpses were discovered. In
1966 they surmised that this was "to seal the conspirators' control of the bases," and to persuade Sukarno "to go along with" the
conspirators' plans (Benedict Anderson and Ruth McVey, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia
543
[Ithaca, New York: Cornell University Press, 1971], pp. 19-21). An alternative hypothesis of course is that Gestapu, by bringing
these men together against their will, created the semblance of a PKI-air force-Sukarno conspiracy which would later be
exploited by Suharto. Sukarno's presence at Halim "was later to provide Sukarno's critics with some of their handiest
ammunition" (John Hughes, The End of Sukarno [London: Angus and Robertson, 1978], p. 54).
17. CIA Study, p. 2; cf. p. 65: "At the height of the coup ... the troops of the rebels [in Central Java] were estimated to have the
strength of only one battalion; during the next two days, these forces gradually melted away."
18. Rudolf Mrazek, The United States and the Indonesian Military, 1945-1966 (Prague: Czechoslovak Academy of Sciences,
1978), vol. II, p. 172. These battalions, comprising the bulk of the 3rd Paratroop Brigade, also supplied the bulk of the troops
used to put down Gestapu in Jakarta. The subordination of these two factions in this supposed civil war to a single close
command structure under Suharto is cited to explain how Suharto was able to restore order in the city without gunfire.
Meanwhile out at the Halim air force base an alleged gun battle between the 454th (Green Beret) and RPKAD (Red Beret)
paratroops went off "without the loss of a single man" (CIA Study, p. 60). In Central Java, also, power "changed hands silently
and peacefully," with "an astonishing lack of violence" (CIA Study, p. 66).
19. Ibid., p. 60n; Arthur J. Dommen, "The Attempted Coup in Indonesia," China Quarterly, January-March 1966, p. 147. The
first "get-acquainted" meeting of the Gestapu plotters is placed in the Indonesian chronology of events from "sometimes before
August 17, 1965"; cf. Nugroho Notosusanto and Ismail Saleh, The Coup Attempt of the "September 30 Movement" in Indonesia
(Jakarta: [Pembimbing Masa, 1968], p. 13); in the CIA Study, this meeting is dated September 6 (p. 112). Neither account allows
more than a few weeks to plot a coup in the world's fifth most populous country.
20. Mortimer, Indonesian Communism, p. 429.
21. Of the six General Staff officers appointed along with Yani, three (Suprapto, D.I. Pandjaitan, and S. Parman) were murdered.
Of the three survivors, two (Mursjid and Pranoto) were removed by Suharto in the next eight months. The last member of Yani's
staff, Djamin Gintings, was used by Suharto during the establishment of the New Order, and ignored thereafter.
22. Howard Palfrey Jones, Indonesia: The Possible Dream (New York: Harcourt, Brace, Jovanovich, 1971), p. 391; cf. Arnold
Brackman, The Communist Collapse in Indonesia (New York: Norton, 1969), pp. 118-9.
23. Crouch, The Army, p. 150n.
24. Ibid., pp. 140-53; for the disputed case of Bali, even Robert Shaplen, a journalist close to U.S. official sources, concedes that
"The Army began it" (Time Out of Hand [New York: Harper and Row, 1969], p. 125). The slaughter in East Java "also really got
started when the RPKAD arrived, not just Central Java and Bali" (letter from Benedict Anderson).
25. Sundhaussen, The Road, pp. 171, 178-9, 210, 228; Donald Hindley, "Alirans and the Fall of the Older Order," Indonesia, 25
(April 1970), pp. 40-41.
26. Sundhaussen, The Road, p. 219.
27. "In 1965 it [the BND, or intelligence service of the Federal Republic of Germany] assisted Indonesia's military secret service
to suppress a left-wing Putsch in Djakarta, delivering sub-machine guns, radio equipment and money to the value of 300,000
marks" (Heinz Hoehne and Hermann Zolling, The General Was a Spy [New York: Bantam, 1972], p. xxxiii).
28. We should not be misled by the CIA's support of the 1958 rebellion into assuming that all U.S. Government plotting against
Sukarno and the PKI must have been CIA-based (cf. fn. 122).
29. Daniel Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959 (Ithaca, New York: Cornell University
press, 1966), p. 12. For John Foster Dulles' hostility to Indonesian unity in 1953, cf. Leonard Mosley, Dulles (New York: The
Dial Press / James Wade, 1978), p. 437.
30. Declassified Documents Quarterly Catalogue (Woodbridge, Connecticut: Research Publications, 1982), 001191.
31. As the head of the PKI's secret Special Bureau, responsible only to Aidit, Sjam by his own testimony provided leadership to
the "progressive officers" of Gestapu. The issue of PKI involvement in Gestapu thus rests on the question of whether Sjam was
544
manipulating the Gestapu leadership on behalf of the PKI, or the PKI leadership on behalf of the army. There seems to be no
disagreement that Sjam was (according to the CIA Study, p. 107) a longtime "double agent" and professed "informer for the
Djakarta Military Command." Wertheim (p. 203) notes that in the 1950s Sjam "was a cadre of the PSI," and "had also been in
touch with Lt. Col. Suharto, today's President, who often came to stay in his house in Jogja." This might help explain why in the
1970s, after having been sentenced to death, Sjam and his co-conspirator Supeno were reportedly "allowed out [of prison] from
time to time and wrote reports for the army on the political situation" (May, The Indonesian, p. 114). Additionally, the "Sjam"
who actually testified and was convicted, after being "captured" on March 9, 1967, was the third individual to be identified by the
army as the "Sjam" of whom Untung had spoken: Declassified Documents Retrospective Collection (Washington, D.C.:
Carrollton Press, 1976), 613C; Hughes, p. 25.
32. Wertheim, "Whose Plot?" p. 203; Mortimer, Indonesian Communism, p. 431 (Sjam); Sundhaussen, The Road, p. 228
(Suwarto and Sarwo Edhie).
33. Joseph B. Smith, Portrait of a Cold Warrior (New York: Putnam, 1976), p. 205; cf. Thomas Powers, The Man Who Kept the
Secrets (New York: Knopf, 1979), p. 89.
34. U.S., Congress, Senate, Select Committee to Study Governmental Operations with Respect to Intelligence Activities.
"Alleged Assassination Plots Involving Foreign Leaders," 94th Cong., 1st Sess., 1975 (Senate Report No. 94-465), p. 4n;
personal communications.
35. Declassified Documents Quarterly Catalogue, 1982, 002386; 1981, 367A.
36. Ibid., 1982, 002386 (JCS Memo for SecDef, 22 September 1958).
37. Indonesia, 22 (October 1976), p. 164 (CIA Memorandum of 22 March 1961, Attachment A, p. 6).
38. Scholars are divided over interpretations of Madiun as they are over Gestapu. Few Americans have endorsed the conclusion
of Wertheim that "the so-called communist revolt of Madiun ... was probably more or less provoked by anti-communist
elements"; yet Kahin has suggested that the events leading to Madiun "may have been symptomatic of a general and widespread
government drive aimed at cutting down the military strength of the PKI" (W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition [The
Hague: W. van Hoeve, 1956], p. 82; George McT. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia [Ithaca, New York: Cornell
University Press, 1970], p. 288). Cf. Southwood and Flanagan, Indonesia: Law, pp. 26-30.
39. Southwood and Flanagan, Indonesia: Law, p. 68; cf. Nasution's statement to students on November 12, 1965, reprinted in
Indonesia, 1 (April 1966), p. 183: "We are obliged and dutybound to wipe them [the PKI] from the soil of Indonesia."
40. Examples in Peter Dale Scott, "Exporting Military-Economic Development," in Malcolm Caldwell, ed., Ten Years' Military
Terror in Indonesia (Nottingham, England: Spokesman Books, 1975), pp. 227-32.
41. David Ransom, "Ford Country: Building an Elite for Indonesia," in Steve Weissman, ed., The Trojan Horse (San Francisco,
California: Ramparts Press, 1974), p. 97; cf. p. 101. Pauker brought Suwarto to RAND in 1962.
42. John H. Johnson, ed., The Role of the Military in Underdeveloped Countries (Princeton, New Jersey: Princeton University
Press, 1962), pp. 222-4. The foreword to the book is by Klaus Knorr, who worked for the CIA while teaching at Princeton.
43. Shaplen, Time, p. 118; Hughes, The End, p. 119; Southwood and Flanagan, Indonesia: Law, pp. 75-6; Scott, "Exporting," p.
231. William Kintner, a CIA (OPC) senior staff officer from 1950-52, and later Nixon's ambassador to Thailand, also wrote in
favor of "liquidating" the PKI while working at a CIA-subsidized think-tank, the Foreign Policy Research Institute, on the
University of Pennsylvania campus (William Kintner and Joseph Kornfeder, The New Frontier of War [London: Frederick
Muller, 1963], pp. 233, 237-8): "If the PKI is able to maintain its legal existence and Soviet influence continues to grow, it is
possible that Indonesia may be the first Southeast Asia country to be taken over by a popularly based, legally elected communist
government.... In the meantime, with Western help, free Asian political leaders -- together with the military -- must not only hold
on and manage, but reform and advance while liquidating the enemy's political and guerrilla armies."
44. Ransom, "Ford Country," pp. 95-103; Southwood and Flanagan, Indonesia: Law, pp. 34-6; Scott, "Exporting," pp. 227-35.
45. Sundhaussen, The Road, pp. 141, 175.
545
46. Published U.S. accounts of the Civic Mission / "civic action" programs describe them as devoted to "civic projects -rehabilitating canals, draining swampland to create new rice paddies, building bridges and roads, and so on (Roger Hilsman, To
Move a Nation [Garden City, New York: Doubleday, 1967], p. 377). But a memo to President Johnson from Secretary of State
Rusk, on July 17, 1964, makes it clear that at that time the chief importance of MILTAG was for its contact with anti-Communist
elements in the Indonesian Army and its Territorial Organization: "Our aid to Indonesia ... we are satisfied ... is not helping
Indonesia militarily. It is however, permitting us to maintain some contact with key elements in Indonesia which are interested in
and capable of resisting Communist takeover. We think this is of vital importance to the entire Free World" (Declassified
Documents Quarterly Catalogue, 1982, 001786 [DOS Memo for President of July 17, 1964; italics in original]).
47. Southwood and Flanagan, Indonesia: Law, p. 35; Scott, "Exporting," p. 233.
48. Ransom, "Ford Country," pp. 101-2, quoting Willis G. Ethel; cited in Scott, "Exporting," p. 235.
49. Sundhaussen, The Road, p. 141. There was also the army's "own securely controlled paramilitary organization of students -modelled on the U.S.R.O.T.C. and commanded by an army colonel [Djuhartono] fresh from the U.S. army intelligence course in
Hawaii": Mrazek, The United States, vol. II, p. 139, citing interview of Nasution with George Kahin, July 8, 1963.
50. Pauker, though modest in assessing his own political influence, does claim that a RAND paper he wrote on counterinsurgency
and social justice, ignored by the U.S. military for whom it was intended, was influential in the development of his friend
Suwarto's Civic Mission doctrine.
51. Noam Chomsky and E.S. Herman, The Washington Connection and Third World Fascism (Boston, Massachusetts: South End
Press, 1979), p. 206; David Mozingo, Chinese Policy Toward Indonesia (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1976), p.
178.
52. Sundhaussen, The Road, pp. 178-9. The PSI of course was neither monolithic nor a simple instrument of U.S. policy. But the
real point is that, in this 1963 incident as in others, we see conspiratorial activity relevant to the military takeover, involving PSI
and other individuals who were at the focus of U.S. training programs, and who would play an important role in 1965.
53. Sundhaussen, The Road, pp. 228-33: in January 1966 the "PSI activists" in Bandung "knew exactly what they were aiming at,
which was nothing less than the overthrow of Sukarno. Moreover, they had the protection of much of the Siliwangi officer corps"
Once again, I use Sundhaussen's term "PSI-leaning" to denote a milieu, not to explain it. Sarwo Edhie was a long-time CIA
contact, while Kemal Idris' role in 1965 may owe much to his former PETA commander the Japanese intelligence officer
Yanagawa. Cf. Masashi Nishihara, The Japanese and Sukarno's Indonesia (Honolulu: University Press of Hawaii, 1976), pp.
138, 212.
54. Sundhaussen, The Road, pp. 99-101. Lubis was also a leader in the November 1957 assassination attempt against Sukarno,
and the 1958 rebellion.
55. Ibid., 188; cf. p. 159n.
56. Suharto's "student" status does not of course mean that he was a mere pawn in the hands of those with whom he established
contact at SESKOAD. For example, Suharto's independence from the PSI and those close to them became quite evident in
January 1974, when he and Ali Murtopo cracked down on those responsible for army-tolerated student riots reminiscent of the
one in May 1963. Cf. Crouch, The Army, pp. 309-17.
57. Sundhaussen, The Road, pp. 228, 241-43. In the same period SESKOAD was used for the political re-education of generals
like Surjosumpeno, who, although anti-Communist, were guilty of loyalty to Sukarno (p. 238).
58. Crouch, The Army, p. 80; at this time Suharto was already unhappy with Sukarno's "rising pro-communist policy" (Roeder,
The Smiling, p. 9).
59. Crouch, The Army, p. 81; cf. Mrazek, The United States, vol. II, pp. 149-51.
60. Sundhaussen, The Road, pp. 241-3.
546
61. Through his intelligence group OPSUS (headed by Ali Murtopo) Suharto made contact with Malaysian leaders; in two
accounts former PSI and PRRI / Permesta personnel in Malaysia played a role in setting up this sensitive political liaison:
Crouch, The Army, p. 74; Nishihara, The Japanese, p. 149.
62. Sundhaussen, The Road, pp. 188.
63. Mrazek, The United States, vol. II, p. 152.
64. Cf. Edward Luttwak, Coup D'Etat: A Practical Handbook (London: Allen Lane / Penguin Press, 1968), p. 61: "though
Communist-infiltrated army units were very powerful they were in the wrong place; while they sat in the Borneo jungles the antiCommunist paratroops and marines took over Jakarta, and the country." What is most interesting in this informed account by
Luttwak (who has worked for years with the CIA) is that "the anti-Communist paratroops" included not only the RPKAD but
those who staged the Gestapu uprising in Jakarta, before putting it down.
65. Nishihara, The Japanese, pp. 142, 149.
66.Ibid., p. 202, cf. p. 207. The PRRI / Permesta veterans engaged in the OPSUS peace feelers, Daan Mogot and Willy Pesik, had
with Jan Walandouw been part of a 1958 PRRI secret mission to Japan, a mission detailed in the inside account by former CIA
officer Joseph B. Smith (Portrait of a Cold Warrior [New York: G.P. Putnam's Sons, 1976], p. 245), following which
Walandouw flew on "to Taipeh, then Manila and New York."
67. Personal communication. If the account of Neville Maxwell (senior research officer at the Institute of Commonwealth
Studies, Oxford University) can be believed, then the planning of the Gestapu / anti-Gestapu scenario may well have begun in
1964 (Journal of Contemporary Asia, IX, 2 [1979], pp. 251-2; reprinted in Southwood and Flanagan, Indonesia: Law, p. 13): "A
few years ago I was researching in Pakistan into the diplomatic background of the 1965 Indo-Pakistan conflict, and in foreign
ministry papers to which I had been given access came across a letter to the then foreign minister, Mr. Bhutto, from one of his
ambassadors in Europe ... reporting a conversation with a Dutch intelligence officer with NATO. According to my note of that
letter, the officer had remarked to the Pakistani diplomat that 'Indonesia was going to fall into the Western lap like a rotten apple.'
Western intelligence agencies, he said, would organize a 'premature communist coup ... [which would be] foredoomed to fail,
providing a legitimate and welcome opportunity to the army to crush the communists and make Soekarno a prisoner of the army's
goodwill.' The ambassador's report was dated December 1964."
68. Indonesia, 22 (October 1976), p. 164 (CIA Memo of March 27, 1961, Appendix A, p. 8); cf. Powers, The Man, p. 89.
69. Indonesia, 22 (October 1976), p. 165 (CIA Memo of March 27, 1961).
70. The lame-duck Eisenhower NSC memo would have committed the U.S. to oppose not just the PKI in Indonesia, but "a policy
increasingly friendly toward the Sino-Soviet bloc on the part of whatever regime is in power." "The size and importance of
Indonesia," it concluded, "dictate [!] a vigorous U.S. effort to prevent these contingencies": Declassified Documents Quarterly
Catalogue, 1982, 000592 (NSC 6023 of 19 December, 1960). For other U.S. intrigues at this time to induce a more vigorous U.S.
involvement in Southeast Asia, cf. Declassified Documents Quarterly Catalogue, 1983, 001285-86; Peter Dale Scott, The War
Conspiracy (New York: Bobbs Merrill, 1972), pp. 12-14, 17-20.
71. Jones, Indonesia: The Possible Dream, p. 299.
72. Mortimer, Indonesian Communism, pp. 385-6.
73. U.S. Department of Defense, Military Assistance Facts, May 1, 1966. Before 1963 the existence as well as the amount of the
MAP in Indonesia was withheld from the public; retroactively, figures were published. After 1962 the total deliveries of military
aid declined dramatically, but were aimed more and more particularly at anti-PKI and anti-Sukarno plotters in the army; cf. fns.
46, 76 and 83.
74. The New York Times, August 5, 1965, p. 3; cf. Nishihara, The Japanese, p. 149; Mrazek, vol. II, p. 121.
75. A Senate amendment in 1964 to cut off all aid to Indonesia unconditionally was quietly killed in conference committee, on
the misleading ground that the Foreign Assistance Act "requires the President to report fully and concurrently to both Houses of
the Congress on any assistance furnished to Indonesia" (U.S. Cong., Senate, Report No. 88-1925, Foreign Assistance Act of
547
1964, p. 11). In fact the act's requirement that the president report "to Congress" applied to eighteen other countries, but in the
case of Indonesia he was to report to two Senate Committees and the speaker of the House: Foreign Assistance Act, Section
620(j).
76. Jones, Indonesia: The Possible Dream, p. 324.
77. U.S., Congress, Senate, Committee on Foreign Relations, Multinational Corporations and United States Foreign Policy,
Hearings (cited hereafter as Church Committee Hearings), 94th Cong., 2nd Sess., 1978, p. 941; Mrazek, The United States, vol.
II, p. 22. Mrazek quotes Lt. Col. Juono of the corps as saying that "we are completely dependent on the assistance of the United
States."
78. Notosusanto and Saleh, The Coup, pp. 43, 46.
79. Nishihara, The Japanese (pp. 171, 194, 202), shows the role in the 1965-66 anti-Sukarno conspiracy of the small faction
(including Ibnu Sutowo, Adam Malik, and the influential Japanese oilman Nishijima) who interposed themselves as negotiators
between the 1958 PRRI Rebellion and the central government. Alamsjah, mentioned below, was another member of this group;
he joined Suharto's staff in 1960. For Murba and CIA, cf. fn. 104.
80. Fortune, July 1973, p. 154, cf. Wall Street Journal, April 18, 1967; both in Scott, "Exporting," pp. 239, 258.
81. Declassified Documents Retrospective Collection, 609A (Embassy Cable 1002 of October 14, 1965); 613A (Embassy Cable
1353 of November 7, 1965).
82. The New York Times, August 5, 1965, p. 3.
83. U.S. Department of Defense, Military Assistance Facts, May 1, 1966. The thirty-two military personnel in FY 1965 represent
an increase over the projected figure in March 1964 of twenty-nine. Most of them were apparently Green Beret U.S. Special
Forces, whose forward base on Okinawa was visited in August 1965 by Gestapu plotter Saherman. Cf. fn. 122.
84. George Benson, an associate of Guy Pauker who headed the Military Training Advisory Group (MILTAG) in Jakarta, was
later hired by Ibnu Sutowo to act as a lobbyist for the army's oil company (renamed Pertamina) in Washington: The New York
Times, December 6, 1981, p. 1.
85. San Francisco Chronicle, October 24, 1983, p. 22, describes one such USAF-Lockheed operation in Southeast Asia, "codenamed 'Operation Buttercup' that operated out of Norton Air Force Base in California from 1965 to 1972." For the CIA's close
involvement in Lockheed payoffs, cf. Anthony Sampson, The Arms Bazaar (New York: Viking, 1977), pp. 137, 227-8, 238.
86. Church Committee Hearings, pp. 943-51.
87. Ibid., p. 960.
88. Nishihara, The Japanese, p. 153.
89. Lockheed Aircraft International, memo of Fred C. Meuser to Erle M. Constable, 19 July 1968, in Church Committee
Hearings, p. 962.
90. Ibid., p. 954; cf. p. 957. In 1968, when Alamsjah suffered a decline in power, Lockheed did away with the middleman and
paid its agents' fees directly to a group of military officers (pp. 342, 977).
91. Church Committee Hearings, p. 941; cf. p. 955.
92. Southwood and Flanagan, Indonesia: Law, p. 59.
93. Crouch, The Army, p. 114.
548
94. Declassified Documents Quarterly Catalogue, 1982, 002507 (Cable of April 15, 1965, from U.S. Delegation to U.N.); cf.
Forbes Wilson, The Conquest of Copper Mountain (New York: Atheneum, 1981), pp. 153-5.
95. World Oil, August 15, 1965, p. 209.
96. The New York Times, June 19, 1966, IV, 4.
97. Ralph McGehee, "The C.I.A. and the White Paper on El Salvador," The Nation, April 11, 1981, p. 423. The deleted word
would appear from its context to be "deception." Cf. Roger Morris and Richard Mauzy, "Following the Scenario," in Robert L.
Borosage and John Marks, eds., The CIA File (New York: Grossman / Viking, 1976), p. 39: "Thus the fear of Communist
subversion, which erupted to a frenzy of killing in 1965-1966, had been encouraged in the 'penetration' propaganda of the Agency
in Indonesia.... 'All I know,' said one former intelligence officer of the Indonesia events, 'is that the Agency rolled in some of its
top people and that things broke big and very favorable, as far as we were concerned.'"
All references to deletions appear in the original text as printed in The Nation. These bracketed portions, shown in this article in
bold-face type, reflect censorship by the CIA.
98. Victor Marchetti and John Marks, The CIA and the Cult of Intelligence (New York: Knopf, 1974), p. 245. For a list of
twenty-five U.S. operatives transferred from Vietnam to Guatemala in the 1964-73 period, cf. Susanne Jonas and David Tobis,
Guatemala (Berkeley, California, and New York: North American Congress on Latin America, 1974), p. 201.
99. Tad Szulc, The Illusion of Peace (New York: Viking, 1978), p. 724. The top CIA operative in charge of the 1970 anti-Allende
operation, Sam Halpern, had previously served as chief executive officer on the CIA's anti-Sukarno operation of 1957-58:
Seymour Hersh, The Price of Power (New York: Summit Books, 1983), p. 277; Powers, The Man, p. 91.
100. Donald Freed and Fred Simon Landis, Death in Washington (Westport, Connecticut: Lawrence Hill, 1980), pp. 104-5.
101. Time, March 17, 1961.
102. Sundhaussen, The Road, p. 195.
103. Jones, Indonesia: The Possible Dream, p. 374; Justus M. van der Kroef, "Origins of the 1965 Coup in Indonesia:
Probabilities and Alternatives," Journal of Southeast Asian Studies, III, 2 (September 1972), p. 282. Three generals were alleged
targeted in the first report (Suharto, Mursjid, and Sukendro); all survived Gestapu.
104. Chaerul Saleh's Murba Party, including the pro-U.S. Adam Malik, was also promoting the anti-Communist "Body to
Support Sukarnoism" (BPS), which was banned by Sukarno on December 17, 1964. (Subandrio "is reported to have supplied
Sukarno with information purporting to show U.S. Central Intelligence Agency influence behind the BPS" [Mortimer, p. 377]; it
clearly did have support from the CIA- and army-backed labor organization SOKSI.) Shortly afterwards, Murba itself was
banned, and promptly "became active as a disseminator of rumours and unrest" (Holtzappel, p. 238).
105. Sundhaussen, The Road, p. 183; Mortimer, Indonesian Communism, pp. 376-77; Singapore Straits Times, December 24,
1964; quoted in Van der Kroef, "Origins," p. 283.
106. Sabah Times, September 14, 1965; quoted in Van der Kroef, "Origins," p. 296. Mozingo, Chinese Policy (p. 242) dismisses
charges such as these with a contemptuous footnote.
107. Powers, The Man, p. 80; cf. Senate Report No. 94-755, Foreign and Military Intelligence, p. 192. CIA-sponsored channels
also disseminated the Chinese arms story at this time inside the United States -- e.g., Brian Crozier, "Indonesia's Civil War," New
Leader, November 1965, p. 4.
108. Mortimer, Indonesian Communism, p. 386. The Evans and Novak column coincided with the surfacing of the so-called
"Gilchrist letter," in which the British ambassador purportedly wrote about a U.S.-U.K. anti-Sukarno plot to be executed
"together with local army friends." All accounts agree that the letter was a forgery. However it distracted attention from a more
incriminating letter from Ambassador Gilchrist, which Sukarno had discussed with Lyndon Johnson's envoy Michael Forrestal in
mid-February 1965, and whose authenticity Forrestal (who knew of the letter) did not deny (Declassified Documents
Retrospective Collection, 594H [Embassy Cable 1583 of February 13, 1965]).
549
109. Cf. Denis Warner, Reporter, March 28, 1963, pp. 62-63: "Yet with General A.H. Nasution, the defense minister, and
General Jani, the army chief of staff, now out-Sukarnoing Sukarno in the dispute with Malaya over Malaysia ... Mr. Brackman
and all other serious students of Indonesia must be troubled by the growing irresponsibility of the army leadership."
110. The New York Times, August 12, 1965, p. 2.
111. Brackman, The Communist, p. 40.
112. McGehee, "The C.I.A.," p. 423.
113. Hughes, The End, pp. 43-50; cf. Crouch, The Army, p. 140n: "No evidence supports these stories."
114. Hughes, The End, p. 150, also tells how Sarwo Edhie exploited the corpse of Colonel Katamso as a pretext for provoking a
massacre of the PKI in Central Java; cf. Crouch, p. 154n; also fn. 6.
115. Anderson and McVey, A Preliminary, p. 133.
116. Benedict Anderson and Ruth McVey, "What Happened in Indonesia?" New York Review of Books, June 1, 1978, p. 41;
personal communication from Anderson. A second newspaper, Suluh Indonesia, told its PNI readers that the PNI did not support
Gestapu, and thus served to neutralize potential opposition to Suharto's seizure of power.
117. Thus defenders of the U.S. role in this period might point out that where "civic action" had been most deeply implanted, in
West Java, the number of civilians murdered was relatively (!) small; and that the most indiscriminate slaughter occurred where
civic action programs had been only recently introduced. This does not, in my view, diminish the U.S. share of responsibility for
the slaughter.
118. CIA Study, p. 70; Sundhaussen, The Road, p. 185.
119. William Colby, Honorable Men: My Life in the CIA (New York: Simon and Schuster, 1978), p. 227. Crouch, The Army (p.
108), finds no suggestion in the Mahmilub evidence "that the PKI aimed at taking over the government," only that it hoped to
protect itself from the Council of Generals.
120. McGehee, "The C.I.A.," p. 424.
121. Szulc, The Illusion, p. 16.
122. Southwood and Flanagan, Indonesia: Law, pp. 38-9 (Cambodia). According to a former U.S. Navy intelligence specialist,
the initial U.S. military plan to overthrow Sihanouk "included a request for authorization to insert a U.S.-trained assassination
team disguised as Vietcong insurgents into Phnom Penh to kill Prince Sihanouk as a pretext for revolution" (Hersh, The Price, p.
179). As Hersh points out, Green Beret assassination teams that operated inside South Vietnam routinely dressed as Vietcong
cadre while on missions. Thus the alleged U.S. plan of 1968, which was reportedly approved "shortly after Nixon's inauguration
... 'at the highest level of government,'" called for an assassination of a moderate at the center by apparent leftists, as a pretext for
a right-wing seizure of power. This raises an interesting question, albeit outlandish: did the earlier anti-Sukarno operation call for
foreign elements to be infiltrated into the Gestapu forces murdering the generals? Holtzappel ("The 30 September," p. 222) has
suspected "the use of outsiders who are given suitable disguises to do a dirty job." He points to trial witnesses from Untung's
battalion and the murder team who "declared under oath not to have known ... their battalion commander." Though these
witnesses themselves would not have been foreigners, foreigners could have infiltrated more easily into their ranks than into a
regular battalion.
550
Ex-agents say CIA compiled death lists for Indonesians
After 25 years, Americans speak of their
role in exterminating Communist Party
by Kathy Kadane, States News Service, 1990
The following article appeared in the Spartanburg, South Carolina Herald-Journal on May 19, 1990, then
in the San Francisco Examiner on May 20, 1990, the Washington Post on May 21, 1990, and the Boston
Globe on May 23, 1990. The version below is from the Examiner.
WASHINGTON -- The U.S. government played a significant role in one of the worst massacres of the
century by supplying the names of thousands of Communist Party leaders to the Indonesian army, which
hunted down the leftists and killed them, former U.S. diplomats say.
For the first time, U.S. officials acknowledge that in 1965 they systematically compiled
comprehensive lists of Communist operatives, from top echelons down to village cadres. As
many as 5,000 names were furnished to the Indonesian army, and the Americans later checked
off the names of those who had been killed or captured, according to the U.S. officials.
The killings were part of a massive bloodletting that took an estimated 250,000 lives.
The purge of the Partai Komunis Indonesia (PKI) was part of a U.S. drive to ensure that
Communists did not come to power in the largest country in Southeast Asia, where the United
States was already fighting an undeclared war in Vietnam. Indonesia is the fifth most-populous
country in the world.
Silent for a quarter-century, former senior U.S. diplomats and CIA officers described in lengthy
interviews how they aided Indonesian President Suharto, then army leader, in his attack on the
PKI.
"It really was a big help to the army," said Robert J. Martens, a former member of the U.S.
Embassy's political section who is now a consultant to the State Department. "They probably
killed a lot of people, and I probably have a lot of blood on my hands, but that's not all bad.
There's a time when you have to strike hard at a decisive moment."
White House and State Department spokesmen declined comment on the disclosures.
Although former deputy CIA station chief Joseph Lazarsky and former diplomat Edward
Masters, who was Martens' boss, said CIA agents contributed in drawing up the death lists, CIA
spokesman Mark Mansfield said, "There is no substance to the allegation that the CIA was
involved in the preparation and/or distribution of a list that was used to track down and kill PKI
members. It is simply not true."
551
Indonesian Embassy spokesman Makarim Wibisono said he had no personal knowledge of
events described by former U.S. officials. "In terms of fighting the Communists, as far as I'm
concerned, the Indonesian people fought by themselves to eradicate the Communists," he said.
Martens, an experienced analyst of communist affairs, headed an embassy group of State
Department and CIA officers that spent two years compiling the lists. He later delivered them to
an army intermediary.
People named on the lists were captured in overwhelming numbers, Martens said, adding, "It's a
big part of the reason the PKI has never come back."
The PKI was the third-largest Communist Party in the world, with an estimated 3 million
members. Through affiliated organizations such as labor and youth groups it claimed the
loyalties of another 17 million.
In 1966 the Washington Post published an estimate that 500,000 were killed in the purge and the
brief civil war it triggered. In a 1968 report, the CIA estimated there had been 250,000 deaths,
and called the carnage "one of the worst mass murders of the 20th century."
U.S. Embassy approval
Approval for the release of the names came from the top U.S. Embassy officials, including former
Ambassador Marshall Green, deputy chief of mission Jack Lydman and political section chief Edward
Masters, the three acknowledged in interviews.
Declassified embassy cables and State Department reports from early October 1965, before the
names were turned over, show that U.S. officials knew Suharto had begun roundups of PKI
cadres, and that the embassy had unconfirmed reports that firing squads were being formed to
kill PKI prisoners.
Former CIA Director William Colby, in an interview, compared the embassy's campaign to
identify the PKI leadership to the CIA's Phoenix Program in Vietnam. In 1965, Colby was the
director of the CIA's Far East division and was responsible for directing U.S. covert strategy in
Asia.
"That's what I set up in the Phoenix Program in Vietnam -- that I've been kicked around for a
lot," he said. "That's exactly what it was. It was an attempt to identify the structure" of the
Communist Party.
Phoenix was a joint U.S.-South Vietnamese program set up by the CIA in December 1967 that
aimed at neutralizing members of the National Liberation Front, the Vietcong political cadres. It
was widely criticized for alleged human rights abuses.
"You shoot them"
552
"The idea of identifying the local apparatus was designed to -- well, you go out and get them to
surrender, or you capture or you shoot them," Colby said of the Phoenix Program. "I mean, it was a war,
and they were fighting. So it was really aimed at providing intelligence for operations rather than a big
picture of the thing."
In 1962, when he took over as chief of the CIA's Far East division, Colby said he discovered the
United States did not have comprehensive lists of PKI activists. Not having the lists "could have
been criticized as a gap in the intelligence system," he said, adding they were useful for
"operation planning" and provided a picture of how the party was organized. Without such lists,
he said, "you're fighting blind."
Asked if the CIA had been responsible for sending Martens, a foreign service officer, to Jakarta
in 1963 to compile the lists, Colby said, "Maybe, I don't know. Maybe we did it. I've forgotten."
The lists were a detailed who's-who of the leadership of the party of 3 million members, Martens
said. They included names of provincial, city and other local PKI committee members, and
leaders of the "mass organizations," such as the PKI national labor federation, women's and
youth groups.
Better information
"I know we had a lot more information" about the PKI "than the Indonesians themselves," Green said.
Martens "told me on a number of occasions that ... the government did not have very good information
on the Communist setup, and he gave me the impression that this information was superior to anything
they had."
Masters, the embassy's political section chief, said he believed the army had lists of its own, but
they were not as comprehensive as the American lists. He said he could not remember whether
the decision to release the names had been cleared with Washington.
The lists were turned over piecemeal, Martens said, beginning at the top of the communist
organization. Martens supplied thousands of names to an Indonesian emissary over a number of
months, he said. The emissary was an aide to Adam Malik, an Indonesian minister who was an
ally of Suharto in the attack on the Communists.
Interviewed in Jakarta, the aide, Tirta Kentjana ("Kim") Adhyatman, confirmed he had met with
Martens and received lists of thousands of names, which he in turn gave to Malik. Malik passed
them on to Suharto's headquarters, he said.
"Shooting list"
Embassy officials carefully recorded the subsequent destruction of the PKI organization. Using Martens'
lists as a guide, they checked off names of captured and assassinated PKI leaders, tracking the steady
dismantling of the party apparatus, former U.S. officials said.
553
Information about who had been captured and killed came from Suharto's headquarters,
according to Joseph Lazarsky, deputy CIA station chief in Jakarta in 1965. Suharto's Jakarta
headquarters was the central collection point for military reports from around the country
detailing the capture and killing of PKI leaders, Lazarsky said.
"We were getting a good account in Jakarta of who was being picked up," Lazarsky said. "The
army had a 'shooting list' of about 4,000 or 5,000 people."
Detention centers were set up to hold those who were not killed immediately.
"They didn't have enough goon squads to zap them all, and some individuals were valuable for
interrogation," Lazarsky said. "The infrastructure was zapped almost immediately. We knew
what they were doing. We knew they would keep a few and save them for the kangaroo courts,
but Suharto and his advisers said, if you keep them alive, you have to feed them."
Masters, the chief of the political section, said, "We had these lists" constructed by Martens, "and
we were using them to check off what was happening to the party, what the effect" of the killings
"was on it."
Lazarsky said the checkoff work was also carried out at the CIA's intelligence directorate in
Washington.
Leadership destroyed
By the end of January 1966, Lazarsky said, the checked-off names were so numerous the CIA analysts in
Washington concluded the PKI leadership had been destroyed.
"No one cared, as long as they were Communists, that they were being butchered," said Howard
Federspiel, who in 1965 was the Indonesia expert at the State Department's Bureau of
Intelligence and Research. "No one was getting very worked up about it."
Asked about the checkoffs, Colby said, "We came to the conclusion that with the sort of
Draconian way it was carried out, it really set them" -- the communists -- "back for years."
Asked if he meant the checkoffs were proof that the PKI leadership had been caught or killed, he
said, "Yeah, yeah, that's right, ... the leading elements, yeah."
554
More from Kathy Kadane...
A Letter to the Editor, New York Review of Books, April 10, 1997
To the Editors:
I very much admired Ms. Laber's piece on Indonesian politics and the origins of the Soeharto
regime. In connection with her assertion that little is known about a CIA (or US) role in the 1965
coup and the army massacre that followed, I would like to make your readers aware of a
compelling body of evidence about this that is publicly available, but the public access to it is
little known.
It consists of a series of on-the-record, taped interviews with the men who headed the US
embassy in Jakarta or were at high levels in Washington agencies in 1965. I published a news
story based on the interviews in The Washington Post ("U.S. Officials' Lists Aided Indonesian
Bloodbath in '60s," May 21, 1990), and have since transferred the tapes, my notes, and a small
collection of documents, including a few declassified cables on which the story was based, to the
National Security Archive in Washington, D.C. The Archive is a nongovernmental research
institute and library, located at the George Washington University.
The former officials interviewed included Ambassador Marshall Green, Deputy Chief of Mission
Jack Lydman, Political Counsellor (later Ambassador) Edward E. Masters, Robert Martens (an
analyst of the Indonesian left working under Masters' supervision), and (then) director of the
Central Intelligence Agency's Far East division, William Colby.
The tapes, along with notes of conversations, show that the United States furnished critical
intelligence -- the names of thousands of leftist activists, both Communist and non-Communist -to the Indonesian Army that were then used in the bloody manhunt.
There were other details that illustrate the depth of US involvement and culpability in the killings
which I learned from former top-level embassy officials, but have not previously published. For
example, the US provided key logistical equipment, hastily shipped in at the last minute as
Soeharto weighed the risky decision to attack. Jeeps were supplied by the Pentagon to speed
troops over Indonesia's notoriously bad roads, along with "dozens and dozens" of field radios
that the Army lacked. As Ms. Laber noted, the US (namely, the Pentagon) also supplied "arms."
Cables show these were small arms, used for killing at close range.
The supply of radios is perhaps the most telling detail. They served not only as field
communications but also became an element of a broad, US intelligence-gathering operation
constructed as the manhunt went forward. According to a former embassy official, the Central
Intelligence Agency hastily provided the radios -- state-of-the-art Collins KWM-2s, highfrequency single-sideband transceivers, the highest-powered mobile unit available at that time to
the civilian and commercial market. The radios, stored at Clark Field in the Philippines, were
secretly flown by the US Air Force into Indonesia. They were then distributed directly to
Soeharto's headquarters -- called by its acronym KOSTRAD -- by Pentagon representatives. The
radios plugged a major hole in Army communications: at that critical moment, there were no
means for troops on Java and the out-islands to talk directly with Jakarta.
555
While the embassy told reporters the US had no information about the operation, the opposite
was true. There were at least two direct sources of information. During the weeks in which the
American lists were being turned over to the Army, embassy officials met secretly with men
from Soeharto's intelligence unit at regular intervals concerning who had been arrested or killed.
In addition, the US more generally had information from its systematic monitoring of Army
radios. According to a former US official, the US listened in to the broadcasts on the USsupplied radios for weeks as the manhunt went forward, overhearing, among other things,
commands from Soeharto's intelligence unit to kill particular persons at given locations.
The method by which the intercepts were accomplished was also described. The mobile radios
transmitted to a large, portable antenna in front of KOSTRAD (also hastily supplied by the US -I was told it was flown in in a C-130 aircraft). The CIA made sure the frequencies the Army
would use were known in advance to the National Security Agency. NSA intercepted the
broadcasts at a site in Southeast Asia, where its analysts subsequently translated them. The
intercepts were then sent on to Washington, where analysts merged them with reports from the
embassy. The combined reporting, intercepts plus "human" intelligence, was the primary basis
for Washington's assessment of the effectiveness of the manhunt as it destroyed the organizations
of the left, including, inter alia, the Indonesian Communist Party, the PKI.
A word about the relative importance of the American lists. It appears the CIA had some access
prior to 1965 to intelligence files on the PKI housed at the G-2 section of the Indonesian Army,
then headed by Major-General S. Parman. CIA officials had been dealing with Parman about
intelligence concerning the PKI, among other matters, in the years prior to the coup, according to
a former US official who was involved (Parman was killed in the coup). The former official,
whose account was corroborated by others whom I interviewed, said that the Indonesian lists, or
files, were considered inadequate by US analysts because they identified PKI officials at the
"national" level, but failed to identify thousands who ran the party at the regional and municipal
levels, or who were secret operatives, or had some other standing, such as financier.
When asked about the possible reason for this apparent inadequacy, former US Ambassador
Marshall Green, in a December 1989 interview, characterized his understanding this way:
I know that we had a lot more information than the Indonesians themselves.... For one thing, it would have been
rather dangerous [for the Indonesian military to construct such a list] because the Communist Party was so
pervasive and [the intelligence gatherers] would be fingered...because of the people up the line [the higher-ups,
some of whom sympathized with the PKI]. In the [Indonesian] Air Force, it would have been lethal to do that. And
probably that would be true for the police, the Marines, the Navy -- in the Army, it depended. My guess is that
once this thing broke, the Army was desperate for information as to who was who [in the PKI].
By the end of January 1966, US intelligence assessments comparing the American lists with the reports
of those arrested or killed showed the Army had destroyed the PKI. The general attitude was one of
great relief: "Nobody cared" about the butchery and mass arrests because the victims were
Communists, one Washington official told me.
-- Kathy Kadane
556
The Indonesian Massacres and the CIA
(by:Ralph McGehee)
Covert Action Quarterly, Fall 1990
In my original article ( The Nation, April 11, 1981) I tried to explain, through the constraints of
the secrecy agreement and the deletions by the CIA's review board, one aspect of the Agency's
successful effort to manipulate events in Indonesia in late 1965 and early 1966. The article was
based on a classified CIA study of which I was custodian while working in the International
Communism Branch of the CIA's Counterintelligence Staff. The Nation joined with me in an
unsuccessful lawsuit by the ACLU to gain release of the deleted portions of the article. The
Agency claims it cannot delete unclassified lies or speculations. By heavily censoring my article,
it effectively admitted to an Agency role in the peration.
In a recent story in the San Francisco Examiner, researcher Kathy Kadane quotes CIA and State
department officials who admit compiling lists of names of the Communist Party of Indonesia
(PKI), making those lists available to the Indonesian military, and checking names off as people
were "eliminated.'' The killings were part of a massive bloodletting after an abortive coup
attempt taking, according to various estimates, between 250,000 and 1,000,000 lives and
ultimately led to the overthrow of President Sukarno's government.
Since then a debate has simmered over what happened. A recent study based on information
from former Johnson ad ministration officials, asserted that for months the U.S. "did their
damnedest" through public pressure and more discreet methods, to prod the Indonesian army to
move against Sukarno without success.
Debate continues over the origins of the coup attempt called Gestapu. Was it the result of CIA
machinations, a takeover maneuver by General Suharto, a revolt by leftist officers under the
control of the PKI, a power play by the People's Republic of China, a pre-emptive strike by
Sukarno loyalists to prevent a move by officers friendly to the CIA, some combination of these
factors, or others as yet unknown? I confess to no inside knowledge of the Gestapu.
Historical Background
557
It is well known that the CIA had long sought to unseat Sukarno: by funding an opposition
political party in the mid-1950s, sponsoring a massive military overthrow attempt in the mid1958, planning his assassination in 1961, and by rigging intelligence to inflame official U.S.
concerns in order to win approval for planned covert actions.
Before attempting to describe one aspect of the CIA's role, it is essential to provide background
on the scope and nature of its worldwide operations. Between 1961 and 1975 the Agency
conducted 900 major or sensitive operations, and thousands of lesser covert actions. The
majority of its operations were propaganda, election or paramilitary. Countries of major concern,
such as Indonesia in the early 1960s, were usually subjected to the CIA's most concerted
attention.
Critics of the CIA have aptly described the mainstays of such attention: "discrediting political
groups... by forged documents that may be attributed to them. . . ," faking "communist weapon
shipments,'' capturing communist documents and then inserting forgeries prepared by the
Agency's Technical Services Division. The CIA's "Mighty Wurlitzer" then emblazoned and
disseminated the details of such "discoveries."
The Mighty Wurlitzer was a worldwide propaganda mechanism consisting of hundreds or even
thousands of media representatives and officials including, over a period of years, approximately
400 members of the American media. The CIA has used the Wurlitzer and its successors to plant
stories and to suppress expository or critical reporting in order to manipulate domestic and
international perceptions. From the early 1980s, many media operations formerly the
responsibility of the CIA have been funded somewhat overtly by the National Endowment for
Democracy (NED).
From the earliest days, the Agency's International Organizations Division (IOD) implemented
and coordinated its extensive covert operations. The division's activities created or assisted
international organizations for youth, students, teachers, workers, veterans, journalists, and
jurists. The CIA used, and continues to use, the various labor, student, and other suborned
organizations not only for intelligence and propaganda purposes, but also to participate in
elections and paramilitary operations and to assist in overthrowing governments. At the same
time, the CIA manipulates their organizational publications for covert propaganda goals.
558
The labor unions the CIA creates and subsidizes, in their more virulent stages, provide strongarm goon squads who burn buildings, threaten and beat up opponents, pose as groups of the
opposition to discredit them, terrorize and control labor meetings, and participate in coups.
Use of "Subversive Control Watch Lists"
As a matter of course, the Agency develops close relationships with security services in friendly
nations and exploits these in many ways-by recruiting unilateral sources to spy on the home
government, by implementing pro-U.S. policies, and by gathering and exchanging intelligence.
As one aspect of those liaisons, the CIA universally compiles local "Subversive Control Watch
Lists" of leftists for attention by the local government. Frequently that attention is the charter of
government death squads.
After the CIA's overthrow of Arbenz's government in Guatemala in 1954, the U.S. gave the new
government lists of opponents to be eliminated. In Chile from 1971 through 1973, the CIA
fomented a military coup through forgery and propaganda operations and compiled arrest lists of
thousands,
many of whom were later arrested and assassinated. In Bolivia in 1975, the CIA provided lists of
progressive priests and nuns to the government which planned to harass, arrest and expel them.
To curry the favor of Khomeini, in 1983 the CIA gave his government a list of KGB agents and
collaborators operating in Iran. Khomeini then executed 200 suspects and closed down the
communist Tudeh party. In Thailand, I provided the names of hundreds of leftists to Thai
security services. The Phoenix program in Vietnam was a massive U.S.-backed program to
compile arrest and assassination lists of the Viet Cong for action by CIA-created Provisional
Reconnaissance Unit death squads. In fact, former Director of the CIA William Colby compared
the Indonesian operation directly to the Vietnam Phoenix Program. Colby further admitted
directing the CIA to concentrate on compiling lists of members of the PKI and other left groups.
In 1963, responding to Colby's direction, U.S.-trained Indonesian trade unionists began gathering
the names of workers who were members or sympathizers of unions affiliated with the national
labor federation, SOBSI. These trade unionist spies laid the groundwork for many of the
massacres of 1965-1966. The CIA also used elements in the 105,000 strong Indonesian national
police force to penetrate and gather information on the PKI.
559
Providing "Watch Lists" based on technical and human penetration of targeted groups is a
continuing program of CIA covert operators. Today, U.S.-advised security services in El
Salvador, using the techniques of the Phoenix program, operate throughout El Salvador and have
taken a heavy toll on peasants, activists and labor leaders in that country. In the late 1980s, the
CIA began assisting the Philippine government in the conduct of "low-intensity" operations by,
among other things, computerizing security service records of leftists and assisting in the
development of a national identity card program. Wherever the CIA cooperates with other
national security services it is safe to assume that it also compiles and passes "Subversive
Control Watch Lists."
Putting the Pieces Together
All of this is essential to understanding what happened in Indonesia in 1965 and 1966. In
September and October of 1965, the murder of six top military officers during the Gestapu coup
attempt provided a pretext for destroying the PKI and removing Sukarno. Surviving officersprincipally General Suharto, who was not a target-rallied the army and defeated the coup,
ultimately unseating Sukarno.
Two weeks before the coup, the army had been warned that the PKI was plotting to assassinate
army leaders. The PKI, nominally backed by Sukarno, was a legal and formidable organization
and was the third largest Communist Party in the world. It claimed three million members, and
through affiliated organizations-such as labor and youth groups-it had the support of 17 million
others. The Army's anxiety had been fed by rumors throughout 1965 that mainland China was
smuggling arms to the PKI for an imminent revolt. Such a story appeared in a Malaysian
newspaper, citing Bangkok sources which relied in turn on Hong Kong sources. Such
untraceability is a telltale mark of the Mighty Wurlitzer.
Less subtle propaganda claimed that the PKI was a tool of the Red Chinese and planned to
infiltrate and divide the armed forces. To bolster these allegations, "communist weapons" were
discovered inside Chinese crates labeled as construction material. Far more inflammatory news
reporting prior to October 1965 claimed the PKI had a secret list of civilian and military leaders
marked for beheading.
560
After the coup attempt the Indonesian Army in the main left the PKI alone, as there was no
credible evidence to substantiate the horror stories in the press. [Eight sentences censored.] As
noted, a favorite tactic is to arrange for the capture of communist documents and then insert
forgeries prepared by the Agency's Technical Services Division.
Suddenly documents were serendipitously discovered providing "proof" of PKI guilt. On
October 23, 1965, the Suara Islam reported:
...millions of copies of the text of a proclamation of the counterrevolutionary Gestapu...have
been recovered.... The text...was obviously printed in the CPR [People's Republic of China].
Steel helmets and a large quantity of military equipment have also been found.... There is in
controvertible evidence of the CPR's involvement.... The arms sent by the CPR were shipped
under cover of "diplomatic immunity." ...other important documents offer irrefutable evidence of
the involvement of the CPR Embassy and the CPR ambassador....
On October 30,1965 Major General Suharto, in a speech before a military audience, angrily
denounced the PKI saying that captured documents proved the PKI was behind Gestapu. Suharto
demanded that the "Communists be completely uprooted."
On November 2, the Indonesian Armed Forces Bulletin asserted that the PKI had a plan for
revolution, and published supposed PKI directives for the period following the October coup
attempt. The document stated that the PKI "is only supporting the revolutionary council" that the
coup tried to establish. It added that if the council were crushed the PKI would "directly
confront" the generals whom the coup leaders accused of planning to overthrow President
Sukarno. The document also said, "when the revolution is directly led by the PKI, we can
achieve victory because the command will be under the PKI-our hidden strength is in the armed
forces."
Military leaders [seven words censored] began a bloody extermination campaign. Civilians
involved were either recruited and trained by the army on the spot, or were drawn from groups
such as the army- and CIA-sponsored SOKSI trade unions [Central Organization of Indonesian
Socialist Employees], and allied student organizations. Media fabrications had played a key role
in preparing public opinion and mobilizing these groups for the massacre.
561
The documents, manufactured stories of communist plans and atrocities, and claims of
communist arms shipments created an atmosphere of hysteria, resulting in the slaughter and the
establishment of a dictatorship that still exists today.
The Agency wrote a secret study of what it did in Indonesia. [One sentence censored.] The CIA
was extremely proud of its [one word censored] and recommended it as a model for future
operations [one half sentence censored].
Yesterday's Fake News, Today's Fake History
The CIA desperately wants to conceal evidence of its role in the massacre, which it admits was
one of the century's worst. The U.S. media seem equally determined to protect the American
image from consequences of covert operations.
Reaction to Kadane's new revelations was swift. An Op-Ed by columnist Stephen S. Rosenfeld
in the July 20, 1990 Washington Post, and an article by correspondent Michael Wines in the July
12, 1990 New York Times, each deny any CIA role in the massacre. Rosenfeld, reversing his
conclusions of a week before, ignores the new evidence, cites one of many academic studies, and
concludes with certainty: "For me, the question of the American role in Indonesia is closed."
Prior to his article, Wines interviewed me. His approach was to reject any information that might
implicate the Agency. I told him virtually everything in this article and more. He dismissed the
information and instead quoted John Hughes, an "observer removed from the controversy,"
citing him as formerly of the Christian Science Monitor but failing to mention that he was also
State Department spokesman from 1982 to 1985. In an interview with Kadane, Hughes claimed
that during the coup which brought Suharto to power, he functioned as the "eyes and ears of the
embassy." Wines was uninterested.
Subversive control watch lists are an effective and deadly political tool long used by U.S.
intelligence, so deadly that the Agency cannot allow them to become public knowledge. Keeping
them secret depends on at least two things: Agency censorship of government employees, and
self-censorship by the mainstream media.
562
Ralph McGehee worked for the CIA from 1952 until 1977 and now writes about intelligence
matters, notably the book Deadly Deceits -- My 25 years in the CIA (New York: Sheridan
Square Press, 1983). He has compiled a computer data base on CIA activities. Persons interested
may write to him at: 422 Arkansas Ave., Herndon, VA 22070.
563
A.M.Hanafi Menggugat
Pendahuluan
BAB I
Berangkat ke Havana, Kuba
"Menyelam' Mutiara di Laut Karibia"
19 Desember 1963. Hari itu, sesudah resmi dilantik oleh Presiden Sukarno menjadi Duta Besar
Berkuasa Penuh R.I. untok Republik Kuba di Havana, saya dipersilakan menandatangani Surat
Keputusan Pengangkatan di samping tandatangan Presiden Sukarno. Saya juga harus
menandatangani surat sumpah jabatan, bersetia kepada Republik Indonesia yang berazastujuan Pancasila dan UUD '45. Ternyata kemudian hal ini adalah ironi kehidupan saya yang
kedua. Ironi kehidupan saya yang pertama, ialah ketika saya di tahun 1937 berhenti menjadi
pegawai pemerintah Belanda di Bengkulu, karena memilih jalan hidup berjuang bersama
dengan Bung Karno yang ketika itu dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda ke Bengkulu.
Siapa kira, sopo nyono, hari itu saya telah melangkahkan kaki untuk menempuh jalan
perjuangan untuk bangsa dan tanah airku melalui masa pembuangan di luar negeri yang
hanya Tuhanlah mengetahui kapan berakhirnya. (Baris-baris ini saya tulis pada 25 Juni 1997 di
Paris). Hanya Tuhan Allah yang Maha TaLu, bahwa saya sekeluarga didampingi istri
Sukendah, yang sejak hidup bersama di tahun 1943, pada hari itu telah menandatangani
"kontrak perjuangan" yang baru, yang begitu panjang dan memilukan hati, hingga terbuang di
luar negeri. Semua peserta Konferensi P.B. PARTINDO dari seluruh daerah dan semna
peserta Musyawarah Besar Angkatan 45 yang sedang berlangsung diJakarta berbesar hati
dan bangga melepaskan keberangkatan saya sekeluarga pergi ke Kuba. Mereka mengira
hanya untuk beberapa tahun saja berpisah dengan saya sekeluarga, yang kemudian tentulah
akan kembali lagi ke tanah air untuk meneruskan perjuangan bersama-sama lagi, perjuangan
untak mencapai cita- cita Pancasila yang belum selesai. Banyak di antara mereka itu sekarang
ini sudah tak ada lagi, berpulang ke Rahmatullah.
Beberapa hari sebelum berangkat, Sukendah membuat Surat Kuasa kepada pamannya, Pak
Umar, untuk mengawasi tanah warisan pekarangan di KarangAnyar JawaTengah) yang
diperolehnya sebagai ahli waris dari kakeknya Raden Ibrahim Marsudi Suryokusumo, yakni
saudara dari R.T. Tirtokusumo, Bupati Karang Anyar yang terakhir. Beliau ini adalah Ketua
P.B. Budi Utomo yang pertama, di tahun 1908. Kakek atau Eyang I. Marsudi Suryokusumo
kemudian di tahun-tahun 1930an dikenal menjabat Kepala Stasian KeretaApi di Cikampek, dan
sampai masa pensinnnya tinggal di Cikampek. Puteri Eyang Marsudi Suryokusumo yang
bernama Sulbiah adalah ibu dari istriku, ayah istriku bernama Raden Dasar Sosrosoeseno,
yang menurut legenda-legenda keluarga berasal dari keturunan Panembahan Seda Ing
Krapyak, putra dari Senopati Ingalogo, Raja ke-II dari Kerajaan Mataram I.
Konfirmasi tentang legenda asal keturunan keluarga tersebut saya terima dari Bapak
Sudarisman Purwokusumo,WalikotaYogyakarta Hadiningrat (alm.) ketika kami bersama-sama
menghadiri Sidang MPRS di Bandung. Ketika itu MPRS menetapkan Bung Karno sebagai
Presiden R.I. seumur hidup.
Dari pihak saya sendiri, saya meninggalkan pesan kepada ponakanda Sjamsudin, alias
SamYaw Sin, untuk mengawasi rumah milik keluarga saya di Jalan Madura No. 5, dan kepada
saudara Baharudin, Sekretaris Pribadi (ketika saya menjabat Menteri PETERA) untuk
mengawasi dan memelihara tanah pekarangan serta bungalow kami di Cilember yang terletak
564
di pinggir Kali Ciliwung. Berangkatlah saya sekeluarga ke Pulau Kuba, untuk "Menyelami
Mutiara di Lautan Karibia". Di dalam EnsiLlopedia Indonesia, Pulau Kuba disebut sebagai
"Mutiara Antilla", artinya mutiara di lautan Karibia. Rakyat Kuba sendiri bangga sekali akan
pulaunya dan menyebutnya "la perla de la Caribia", mutiara Karibia.
Saya dan Sukendah, dikaruniai Tuhan lima orang anak: dua laki- laki dan tiga perempuan.
Masing-masing menyandang nama yang menandai satu tonggak hidup perjuangan saya
suami-istri.
Yang pertama: Dias Hanggayndha. Lahir di Jakarta pada tahun 1943.Tekad perang merebut
kemerdekaan.
Yang kedua: Endang Tedja Nurdjaya. Lahir di Jakarta pada tahun 1945. Pujaan pada Nur Illahi
atas kemenangan perjuangan kemerdekaan bangsa,
Yang ketiga: Aditio Bambang Mataram. Lahir di Yogyakarta pada tahun 1947. Persamadhianku
pada arwah-arwah pahlawan Kerajaan Mataram, memohon restunya untuk revolusi
kemerdekaan Nasional bangsa Indonesia.
Yang keempat: Chandra Leka Damayanti. Lahir diYogyakarta pada tahun 1949. Lahirnya di
bawah sinar bulan taram-temaram. Ketika itu saya tertangkap oleh tentara pendudukan
Belanda bersama banyak tokoh-tokoh revolusi lainnya, baik dari TNI mau pun dari partaipartai politik. Itulah simbol tantangan hatiku yang tak kenal damai terhadap kaum kolonial.
Damayanti meninggal di Paris, 19 No- vember 1988. Marmer putih dalam hatiku hancur
berderai, aku simpul-simpulkan dalam tanganku sampai kini.
Yang kelima: Nina Mutianusica. Karena terpikat oleh penamaan Kuba sebagai "la perla de la
Carabia" yang cantik menarik itu, maka ketika istriku Sukendah melahirkan anaknya yang
kelima seorang perempuan di Havana, ku berikan nama pada anakku itu Nina Mutianusica,
artinya Nina Mutiara dari Nusantara dan Caribia. Nina berarti anak perempuan di dalam
bahasa Spanyol, atau Upi' dalam bahasa Bengkulu.
Ketika Christopher Columbus, si penjelajah lautan, dalam pelayarannya pertama pada tahun
1492 mencari kepulauan rempah- rempah (Indonesia) yang mulai terkenal mahalnya di
kalangan pedagang di Eropa, ia rupanya telah salah arah. Ia menemukan pulau Kuba dan
Haiti. Dalam pelayarannya yang ketiga, barulah ia bisa sampai ke benua Amerika.
Columbus, kelahiran Genoa (Italia) itu, mendapat bantuan dari Kerajaan Spanyol berupa
beberapa kapal layar untuk melaksanakan cita-cita petualangannya itu, dengan perjanjian
bahwa semua hasil penemuan Columbus serta awak kapalnya, akan dibagi dua dengan pihak
Kerajaan Spanyol.
Di masa Columbus, penduduk asli Kuba adalah bangsa Indian, seperti penduduk asli di benua
Amerika. Amerika adalah benua yang ditemukan olehAmerigoVespucci di tahun 1501,yaitu
sebelum Columbus mendarat di sana pada pelayarannya yang ketiga. Itulah sebabnya, maka
benua baru tersebut dinamakan America sampai sekarang.
Oleh karena tanahnya subur dan iklimnya tropis, cocok buat pertanian, terutama kapas, tebu
dan lain-lain; maka bangsa Indian itu dihabisi dan tanah-tanahnya dirampas dengan kekerasan
oleh kaum"usurpator" (perampas), terutama bangsa Spanyol. Orang-orang Spanyol kemudian
membutuhkan tenaga-tenaga kerja budak yang mereka ambil atau curi secara paksa dari
Afrika. Masa itu adalah masa perbudakan yang membikin kaya-raya pedagang-pedagang
565
Eropa.
Penduduk asli, bangsa Indian, di Haiti, Kuba, di Amerika dihabisi secara kejam, lalu diganti
dengan bangsa kulit-hitam dari Afrika sebagai budak untuk dipekerjakan seperti binatang di
peladangan kapas dan tebu, serta melakokan segala pekerjaan yang hina buat bangsa kulit
putih, yang katanya beragama dan berbudaya. Itulah riwayat singkat mengapa penduduk Kuba
multi-rasial, terdiri dari bangsa asal kulit-putih dan yang terbanyak berkulit- hitam, bangsa yang
dalam perkembangan sejarah perjuangannya untuk membebaskan diri dari penjajahan
Spanyol telah bersatu- padu menjadi satu Bangsa Kuba yang mendirikan negaranya, Republik
Kuba (La Republica de Cuba).
Kemerdekaan politik bangsa Kuba pada permulaannya masih bersifat semi-kolonial,
kemerdekaan dari bangsa Spanyol dan dari bangsa Amerika. Barulah kemudian mereka
sampai pada Republik Kuba pada tahun 1952.Yang naik ke tahta kekoasaan adalah seorang
sersan tentara yang kemudian menjadi kolonel, menjadi Presiden sekaligus Diktator, Fulgencia
Batista y Zaldivar.
Kekejaman demi kekejaman, korupsi demi korupsi, kolusi demi kolusi untuk menghisap
kekayaan dan keringat kaum tani dan pekerja Kuba oleh kaum kolonial Spanyol, begitu pula
kaum pengusaha Amerika itu, dengan sendirinya melahirkan perlawanan rakyat terusmenerus sepanjang masa.Walaupun perlawanan rakyat, yang hanya bersenjatakan machete
(golok atau parang untuk menebang tebu) berkali-kali terus-menerus mengalami kekalahan,
namun keknatan- kekuatan perlawanan rakyat itu "patah tumbuh hilang berganti", "mati satu
tumbuh seribu". Bermunculanlah bintang-bintang pahlawan di lagit lazuardi perjuangan rakyat
Kuba, seperti di antara lainnya, Jendral Gomez yang menghidupkan dan menyalakan
kampanye untuk menyerang LasVillas untuk mendorong Revolusi sampai ke kota Havana.
Ketika itu Kuba masih dijajah Spanyol. Tanggal 10 Februari 1874,Tentara Pemberontak rakyat
Kuba dengan kekuatan 500 orang telah berhasil menghancurkan 2.000 orang pasukan artileri
veteran Spanyol.
Itu merupakan kemenangan gilang-gemilang. Manuver-manover dilakukan di bawah
pimpinanJendral Gomez, tetapi gerakan serbuan terhebat yang begitu bersemangat dilakukan
di bawah pimpinan Jendral Antonio Maceo, seorang jendral berkulit-hitam dari rakyat Kuba.
Serbuan itu telah membuat kemenangan tersebut menjadi betul-betul gilang-gemilang.
Kemenangan lainnya terjadi di dalam bulan Februari itu juga, yaitu di dalam pertempuran Las
Guasimas melawan serdadu Spanyol yangjumlahnyajauh lebih besar.Jendral Gomez
mengkombinasikan taktik dan strateginya dengan keahlian tempur Jendral Antonio Maceo.
Dengan kekuatan yang terdiri hanya dari 200 pasukan kuda dan 50 pasukan infanteri, Maceo
dan Gomez dapat menggempur pasukan serdadu Spanyol sebanyak 2.000 orang, terdiri dari
pasukan kuda, infanteri dan artileri yang dikirim dari daerah Camaguey. Kemudian dibanjirkan
lagi 6.000 serdadu dengan enam buah senjata artileri, akan tetapi menghadapi gempuran
terus-menerus dari Jendral Antonio Maceo, Spanyol kehilangan 1.037 serdadu mati dan lukaluka, sedangkan Tentara Pemberontak kehilangan 174 orang.Jendral Maceo yatlg secara
hngsung mempimpin pertempuran di barisan paling depan itu, pada akhir pertempuran
mengalami luka-luka.
Jendral Antonio Maceo yang sangat populer dan yang terkenal dijuluki The Bronze Titan atau
"Jendral Baja Hitam", sampai sekarang patunguya tampak di jalan Malecon yang terkenal,
dengan wajah menghadap ke teluk Havana mengarah ke Amerika. Sebuah lagi patungnya
yang saya lihat, berada di lapangan latihan Tentara Revolusioner Kuba, agak di luar kota
Havana. Di tanah lapangan itulah semula tadinya saya merencanakan untuk merayakan Hari
Ulang Tahun ABRI kita, tanggal 5 Oktober 1965, sebagaimana telah saya bicarakan dan
disetujui oleh Panglima Achmad Yani. Sebab itulah beliau mengusulkan kepada Panglima
566
Tertinggi Bung Karno agar saya diangkat menjadi MayorJendral Kehormatan T.N.I.. Amanat
Sang Pahlawan A.Yani itu dilaksanakan oleh Presiden/ Panglima Tertinggi Bung Karno yang
upacara seremonialnya dilaksanakan oleh Menpangad Letjen Soeharto di MBAD pada tanggal
22 Februari 1966.
Banyak buku ditulis oleh penulis asing mau pun ahli sejarah Kuba sendiri tentang Kuba, ada
baiknya dibaca untok lebih mengenal Kuba walaupun tidak langsung berkunjung ke negerinya.
Dan khu- susnya mengenai sejarah Revolusi Kuba, buku pledooi Fidel Castro "La Historia Me
Absolvera" ("Sejarah akan Membebaskan Saya") adalah amat penting yang dia tulis ketika
ditahan di penjara di pulau Pinal de Rio, bersama-sama dengan Juan Almeida dan pemudapemuda revolusioner lainnya, setelah mereka gagal menyerbu El Quartel Moncada (gudang
senjata serdadu diktator Batista). Sejarah perjuangan Revolusi Kuba di zaman kapitalisme modern bertolak dari zaman diktator Batista, setelah ia naik rmenjadi Presiden di tahun 1952.
Penindasan terhadap pemuda-pemudi dan mahasiswa yang bergerak menentangnya
disebabkan karena korupsi dan penghisapan terhadap kaum buruh dan kaum tani, dan persengkolannya dengan kaum pengusaha asing, terutama Amerika di bidang produksi dan
penanaman tebu, tembakau, boah-buahan dan sebagainya, termasuk urusan ekspor-impor
menghidupi terus api perlawanan.
Bulan September 1953 gelombang gerakan revolusioner naik memuncak. Beberapa pabrik
gula di Oriente dan di LasVillas didu- duki dan dikuasai oleh kaum buruh yang terus bekerja
memproduLsi, tetapi juga membagi-bagikan tanah kepada kaum tani di daerah yang
bersangkutan. Inisiatif untok memulai perjuangan bersenjata dimulai dengan tindakan yang
betul-betul bersojarah, yaitu penyerbuan gudang senjata yang terkenal, El Quartel Moncada,
pada tanggal 26 Juli 1953 oleh satu grup pemuda revolusioner di bawah pimpinan Komandan
Fidel Castro. Itu berarti hanya se-tahun sesudah Batista berkuasa. Hari itu setiap tahun
diperingati kembali, bukan saja karena penting arti sejarahnya, tapi juga untuk mengenang
korban-korban yang tewas dalam pernyerbuan bersenjata itu. Kalau Republik Indonesia
memperingati Hari Pahlawan 10 November 1945, Republik Kuba memperingati Penyerbnan
Benteng Moncada, 26 Juli 1953. Ada persamaannya, tapi juga ada perbedaannya. Kalau di
Kuba tradisi kepahlawanan itu dipelihara dan dibesarkan baik-baik, di Indonesia tokoh-tokoh
pemuda pemimpin pertempuran bersejarah 10 November di Surabaya itu diterlantarkan,
bahkan di dalam Peristiwa Provokasi Madiun mereka itu dihabisi; seperti'Sidik Arselan dan
Kolonel Dahlan, sedang Sumarsono, ketua BKPRI diuber-uber, serta banyak lagi lainnya yang
tak dapat disebutkan semua nama-namanya. Ada juga seorang yang kita kenal sebagai "singa
podium" BungTomo yang menerima penghargaan. Jangan tidak! Padahal kehebatan
pertempuran arek- arek Suroboyo itu jauh lebih hebat dan gegap-gempita daripada
penyerbuan pemuda revolusioner Kuba atas El Quartel Moncada. Sebuah tanda kegagahan
pemuda dalam Pertempuran 10 Novem- ber sekarang masih ada (saya kira), yaitu Tugu
Pemuda di Surabaya dan makamnya Brigadir Jendral Mallaby dari Tentara Inggris di Menteng
Pulo,Jakarta.
Ya, Revolusi 17 Agustus 1945 memang adalah revolusi terbesar di masa penutupan Perang
Dunia ke-II. Itu tidak ada yang akan membantah. 100 juta rakyat marhaen dibebaskan dari
penghisapan dan penjajahan Belanda selama tiga setengah abad, dibebaskan dengan revolusi
bersenjata yang dipelopori oleh sebelas pemuda radikal Komite van Aksi dari MENTENG 31 di
bawah pimpinan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Bagaimana pun juga kita tidak boleh
memandang Revolusi Kuba lebih hebat dan besar dari Revolusi Angkatan 45 untuk
menegakkan Republik Indonesia. Kita pun tidak boleh punya kompleks melihat Revolusi Rusia
dan RevolusiTiongkok yang dalam sejarah lebih hebat dan lebih gempita dari Revolusi
Kemerdekaan Indonesia. Bangsa Indonesia yang oleh bangsa Belanda selama tiga setengah
abad dijadikan bangsa kuli, tidak pernah kenal dan dengar dentaman palu-baja di pabrik dan
industri, hanya kerbau-kerbau yang plonga-plongo, dan orang di Bengkulu tidak tahu bahwa itu
orangJawa ada insinyurnya, seperti Ir. Sukarno. Inilah hasil pendidikan kolonial Belanda yang
567
provinsialistik.
Seperti telah diperingatkan oleh Bung Karno :"Meskipun tujuan Revolution of Mankind akan
mendatangkan dunia baru untuk memberi hidup bahagia pada semua umat manusia, satu
dunia baru tanpa l'exploitation de l'homme par l'homme, tanpa l'exploitation de la nation par la
nation, namun tiap-tiap revolusi mempunyai identitas sendiri-sendiri dan sebagai bangsa
sebenarnya masing-masing mempunyai kepribadian masing-masing", demikianlah ucap Bung
Karno ketika saya dilantik menjadi Duta Besar.
Basis Revolusi Kuba dengan Revolusi Indonesia berbeda sekali. Begitu juga berbeda sekali
dengan Revolusi Rusia di permulaan abad ke-XIX,juga berbeda pula dengan RevolusiTiongkok
di bawah Mao Ze Dong yang meningLatkan Revolusi Kuo MinTang di bawah pimpinan SunYat
Sen yang terbengkalai.
Revolusi Kuba ialah revolusi rakyat budak ditempa oleh sejarah perjuangan bersenjata terusmenerus merebut kemerdekaannya untak memberi hidup bahagia pada rakyat Kuba tanpa
rasialisme, tanpa l'exploitation de l'homme par l'homme, tanpa l'exploitation de la nation par la
nation, segalanya bersendikan faktor situasi dan geografinya sendiri.Jose Marti merupakan
Leitstamya, bintang yang memberikan petunjuk jalan seperti Sukarno di Indonesia.
Renungkanlah lagi: apa dan bagaimana basis Revolusi kita tanpa melupakan faktor situasi dan
letak geografi tanah air kita sendiri dengan rakyat jajahan yang tidak homogen, tergantung tak
bertali antara sisa-sisa feodalisme purba dan kolonialisme Belanda. Berun- tung sekali bangsa
Indonesia yang mempunyai pelopor revolusi yang radikal, tangkas dan berani merebut
momentum situasi, memutuskan rantai belenggu penjajahan itu pada mata rantai yang
terlemah. Dengan prakarsa para pemuda radikal yang memaksa Sukarno-Hatta menggunakan
momentum itu untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa pada 17 Agustus 1945. "Lang
leve de avangardisten der revolutie, die de kastanjes uit het vunr durft te halen", (dirgahayu
para perintis revolusi, yang telah berani menangani tugas-tugas berbahaya), saya pinjam
ungkapan Belanda ini untok men1besarkan hatiku sendiri, sisa terakhir dari sebelas pemuda
revolusioner proklamasi yang masih diberi sukma oleh Tuhan sampai ke saat ini.
Alhamdulillahi!
Kalau sebagai ritme musik, Revolusi Kuba itu, ibaratnya dari pianosimo meningLat ke
crescendo, bermula dengan perabu mo- tor kecil bernama Granma, di bawah pimpinan Fidel
Castro didampingi oleh adiknya Raul Castro dan Che Guevara serta Camillo Cienfuegos yang
dimuat padat dengan 87 orang, dan yang pada tanggal 2 Desember 1956 mendarat di pantai
Las Colorados di Oriente Kuba, dari Meksiko. Periode ini dapat dicatat sebagai puncak
semangat dan keperwiraan revolusi Kuba. Begitu perahu mendarat, mereka langsung
bertempur melawan serdadu bayaran Batista, sehingga dari 87 orang tersebut hanya 12 orang
saja yang bisa berhasil mencapai puncak Pico Turquino, yaitu puncak pegunungan Sierra
Maestra. Dan dari tempat itulah diresmikan terbentuknya Tentara Revolusioner Kuba yang
bernama El Ejercito Rebelde.Tiga tahun peperangan gerilya dan perang fFontal telah
menghancurkan tentara Batista, akhirnya sampailah mereka ke ibu kota Havana persis pada
tanggal 1 Januari 1959. Sayangnya, Batista tidak bisa tertangkap, karena sudah lari terbirit-birit
pada parak siang di hari itu juga. Dengan demikian, tuntaslah "La Historia MeAbsolvera"
ditempa oleh Fidel Castro, Raul Castro, Camilo Cienfuegos dan Che Guevara.
Jadilah mereka idola pemuda revolusioner sedunia, teristimewa Ch‚. Saya minta pemuda
revolusioner Indonesia jangan iri dan bersedih-hati. Jalan revolusi kita lain dari jalannya
revolusi Kuba. Kita punya identitas revolusi kita sendiri, Kuba punya identitasnya sendiri.
Ingatlah akan pelajaran "Peristiwa Tiga Daerah". Itu sebenarnya adalah suatu
universitas,sekolah tinggi revolusiAngkatan 45 bangsa Indonesia. Selamilah mutiaranya di
568
dalam lautan pengalaman PeristiwaTiga Daerah itu.Ambillah kesimpulan secara teliti dan
secermatnya. Cita-cita sosialisme Indonesia kita sudah terbukti tidak boleh dicapai dengan
melompati kepala-kepalanya orang kaum marhacn bangsa Indonesia. Oleh karena nilai-nilai
watak rakyat kita yang menjadi basis revolusi itu masih seperti tergantung tidak bertali antara
sisa-sisa feodalisme purba dan kolonialisme Belanda. Pertama, karena tidak adanya partai
pelopor persatuan nasional, seperti yang dengan tepat sekali diinginkan oleh Bung Karno, dan
yang ia umumkan di sekitar hari-hari Proklamasi. Kedua, tidak adanya Tentara Nasional yang
revolusioner. Kebijakan dan penerapan Re-Ra (singkatan Rekonstruksi dan Rasionalisasi) atas
laskar-laskar dan tentara kita di tahun 1947-48 dabulu salah aplikasinya.Tidak ada gunanya
lagi tunjuk hidung siapa yang salah.
Yang penting sekarang, demi Pancasila sebagai dasar dan tujuan negara, bangsa Indonesia
harus punya partai pelopor nasional dan tentara nasional revolusioner, harus bangun pemuda
angkatan baru, seperti Pemuda Menteng 31, para avangarde.Artinya tidak bisa lain ialah partai
politik yang berazaskan Pancasila itu sendirilah yang harus menjadi pelopor bagi kepentingan
rakyat dan Negara Republik Indonesia. Kalau tidak? Kalau tidak, I'histoire se répète (sejarah
berulang), tapi dalam bentuk bencana yang lebih ekstrem daripada "Peristiwa Tiga Daerah"
dan "Peristiwa Madiun" atau juga lebih kejam meledaknya dari revolusi Prancis 1789,atau
sepertigenocidenya Pol Pot di Kamboja yang menghancurkan semua nilai-nilai
perikernanusiaan dan semua agama manusia di dunia. Di atas kuburan Nasakom harus
dibangun persatuan atau Front Persatuan Nasional Nasasos yang sungguh-sungguh
menjunjung ideologi negara dan bangsa: Pancasila. Bukan salahnya marxisme, tapi
aplikasinya, subyektivisme pelakunya yang dogmatik. Marxisme bukan monopoli PKI!
Dan dari tempat pembuanganku di Paris, jauh dari tanah airku yartg tercinta, saya berseru
kepada semua kawan-kawan seper- juanganku Angkatan 45, tanpa pilih, apakah yang pernah
di sebelah kiri atau di sebelah kanan jalan perjuangan demi Ibu Pertiwi, saya serokan
pandangilah wajah seorang wanita ideal, di dalam khayalku: Henriette Roland Holst, seorang
wanita yang berasal-keturunan Yahudi yang menjunj-ng rasa cinta perikeman-siaan setinggitingginya. Ia berseru: "Het mensenlot is in de mensenhand gegeven, en wij voelen dat zij
waarheid spreekt. Degroei naar het socialisme volstrekt zich niet noodzakelijk als de groei van
een dier of een plant. Die groei vereist helder inzicht in de taken en de middelen tot
verwezenlijking, vaste wil en wijsheid, zelfbeheersing- en zelfverloochening.... Zich allerlei
opofferingen gctroosten terwille van de algemeene zaak; met zorgvuldige hand uitgaan tot
zaaien, wetende dat anderen zallen oogsten; daar komt het op aan. Wij zeggen niet als de
Russische bolschewisten: Wij zijn mest op de velden der toekomst..... O, neen, menselijke
wezens zijn nimmer enkel mest. Wij willen de dragers des toekomst zijn, de steenen
aandragen to haar bouw, haar fundamenten leggen. Wij zijn akkers, in ons ontkiemt het zaad".
("Nasib manusia terletak dalam tangan manusia sendiri, dan kita merasa, bahwa suara itu
benar. Pertumbuhan ke arah sosialisme tidak berlaku seperti pertumbuhan hewan atau
tanaman. Pertumbahan ke arah sosialisme meminta pengetahuan yang jernih tentang tugastugas dan cara-cara melaksanakannya, kemaaan yang keras dan kearifan, pengekangan-diri
dan pengorbanan kepentingan diri sendiri ...
Kerelaan berbagai pengorbanan demi tujuan bersama, dengan cermat menebar benih, meski
mengetabui bahwa orang lainlah yang akan memetik buahnya; itulah yang terpenting. Kita
tidak berkata seperti kaum Bolshevik Rusia: Kita adalah pupuk di ladang-ladang masa depan.
O, tidak, makhluk manusia bukan hanya pupok belaka. Kita ingin menjadi pengemban masa
depan, yang menghela batu-batu demi pembangunan masa depan itu, memasangkannya
menjadi fondamen. Kitalah ladangaya, dalam haribaan kitalah benih bersemi.") Lihat 'Bung
Karno: Kepada Bangsaku'.
Saya seorang"perasa" sejak umurku muda, karena menjunjung rasa cinta kepada bangsaku
setinggi rasa cintaku pada ibuku yang sudah kembali ke pangkuan Bunda Bumi, meninggalkan
569
aku ketika baru berumur 10 tahun. Kehilanganku akan nafas cinta-kasihnya, hanya bisa
kutemukan kembali dalam cintaku pada bangsa dan tanah airku. Kepada enam jendral dan
satu juta yang jadi korban-khianat Soeharto, ku tebarkan benih-benih cintaku, karena ku turut
merasa kehilangan!
Pembaca yang terhormat, sekian saja buat sementara sebagai oleh-oleh hasil usahaku
"Menyelami Mutiara di Laut Karibia", yang saya gosok dengan tangan pengalaman dan pikiran,
sekadar persembahan kepada bangsaku.
570
BAB II
Berjuang sebagai Duta Besar di Havana Kuba
Saya memikul jabatan sebagai Duta Besar Republik Indonesia Berkuasa Penuh (Plenipotentiary)
secara"resmi"nya hanya selama dua setengah tahun, sebab pada bulanJuni 1966 saya dipaksa oleh
Deparlu timbang-terima tugas kekuasaan Kedutaan kepada Sekretaris I Moh. Hatta. Pemaksaan Deparlu
itu dilakukan via kawat-kawat sandi, begitu pula sebuah kawat sandi telah dikirimkan kepada seluruh
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang menyatakan bahwa semua paspor-paspor diplomatik
saya sekeluarga (tujuh orang semuanya) tidak berlaku lagi, tanpa diberikan paspor lain sebagai gantinya,
paspor biasa (ordinary passport), yang setiap warga negara semestinya berhak untuk mendapatkannya.
Walau pun secara"resmi"nya sejak bulanJuni 1966 itu saya oleh Departemen Luar Negeri di Jakarta itu
dianggap bukan lagi atau tidak lagi menjabat Duta Besar, namun oleh sebab saya teguh tegak
menjunjung Konstitusi UUD'45 dan teguh menjunjung sumpah jabatan ketika saya dilantik oleh Presiden
Sukarno pada tanggal 19 Desember 1963 sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh dari Republik Indonesia
untuk Republik Kuba di Havana, maka sikap politik Deparlu dengan kawat sandinya itu saya anggap tidak
sah dan tidak konstitusional. Sesuai dengan UUD'45, pengangkatan dan pemberhentian seorang Duta
Besar atau seorang Menteri adalah Hak dan Wewenang Kepala Negara atau Presiden. Persoalan ini
telah saya kemukakan dengan jelas kepada pihak Pemerintah Republik Kuba, kepada Menteri Luar
Negeri Dr. Raul Roa, yang dapat memakluminya dengan sebaik-baiknya. Pada azasnya, Kuba tetap
menerima saya sebagai Duta Besar selama Presiden Sukarno menjabat sebagai Kepala Negara
Republik Indonesia dan selama saya tidak diberhentikan oleh Kepala Negara atau Kepala Negara yang
lain yang menggantikannya.
Dari Presiden Soeharto yang menjadi"Presiden" (menggantikan Presiden Sukarno) melalui
penyelewengan SUPERSEMAR, saya tidak pernah menerima surat pemberhentian secara resmi. Itu
tidak lain berarti, Soeharto telah membenarkan begitu saja perbuatan Deparlu yang tidak konstitusional
itu, memberhentikan seorang Duta Besar semau-maunya, di luar tata-cara yang normal. Apakah ini
bukan satu pembuktian salah satu aksi kudeta Letnan Jendral Soeharto terhadap Presiden Sukarno? "A
creeping coup d'etat", seperti ditulis oleh pengamat politik di luar negeri.
Saya kenal dan saya kenali Soeharto sejak masih Mayor TKR di Yogyakarta di tahun 1945. Dia tahu
saya bukan komunis. Dia tahu sikap politik saya sejak semula menentang kudeta G30S/PKI itu. Tapi dia
tahu juga bahwa saya pengikut yang setia betul pada Presiden Sukarno. Katanya, dia juga menghormati
dan mencintai Presiden Sukarno dengan segala atribut dan kwalitanya sebagai Pemimpin Besar Revolusi
Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Tapi nyatanya, semua itu hanya hypocrisy, kemunafikan yang keluar
dari mulut seorang munafik besar yang telanjang sebulat-bulatnya. Seyogyanya dia bersikap perwira,
fairplay, secara jujur dia harus mengkoreksi perbuatan pejabat-pejabat Deparlu yang keliru itu. Hal-hal
yang bersangkutan dengan masalah tersebut akan saya uraikan lebih lanjut dalam bagian-bagian
berikutnya di dalam buku ini.
Selama bertugas di Kuba, saya membuat KBRI Havana menjadi perwakilan R.l. yang dinamis dan
revolusioner sesuai dengan sifat-sifat Negara R.l. yang saya wakili.Pertama-tama, saya memberikan
pengertian kepada segenap anggota staf KBRI dan staf lokalnya menjauhi langgam kerja birokrasi yang
mati, sleur (lamban), rutin birokrasi cara-cara lama yang dikenal dan yang membosankan: habis bulan
terima gaji, punt. Harus giat dan kreatif, supel dan tidak mahal dengan senyum sebagai pancaran sifatsifat budaya bangsa Indonesia yang dikenal berbudaya tinggi. Saling-hubungan antara Duta Besar
dengan semua anggota staf KBRI ialah merupakan satu unit, satu team untuk melaksanakan tugas
kewajiban negara sebaik-baiknya. Waktu dan perbedaan pangkat janganlah dipersoalkan demi
kelancaran kegiatan dan berhasilnya pekerjaan. Saya berterimakasih atas segala pengertian baik dan
kerjasama yang berbahagia dengan semua staf-staf saya semuanya. Rasanya tidak terasa asing jauh
dari tanah air, sebab semua kami dengan seluruh keluarganya merupakan satu keluarga, satu unit, satu
team keluarga Indonesia yang bertugas untuk negara yang sama-sama kita cintai.
571
Dengan kenangan baik, saya tidak melupakan mereka itu. Pertama-tama kepada Saudara Zuwir Djamal,
Sekretaris I, lalu Saudara Rustamadji, Sekretaris Keuangan, lalu Saudara Hartono, petugas sandi dan
tiga orang staf lokal pembantu.Tiga jalur tenaga itulah saja yang ada ketika saya tiba pertama kali di
Kedutaan di Havana. Kemudian Deparlu mengirim Saudara Junizar Jacub, setahun kemudian Saudara
Mohamad Hatta, Sekretaris II dari KBRI Mexico yang punya problem melawan Duta Besarnya. Mr. Ismail
Thayeb memohon kepada saya untak bisa memindahkannya ke KBRI Havana.
Dalam hal ini saya menyadari, bahwa saya telah berbuat kesalahan dalam memenuhi permohonannya
itu, tidak bijaksana.Tetapi karena rasa-kasihan kepadanya, saya telah meminta Deparlu agar
diperbolehkan menempatkan Saudara Mohamad Hatta itu di KBRI Havana. Baru kemudian saya ketahui,
bahwa karena sikapnya yang temperamental dan suka menentang Duta Besar Ismail Thayeb, Deparlu
hendak memindahkannya ke Afrika sebagai"hukuman" atas conduite-nya yang tidak baik itu. Pada
akhirnya nanti saya akan mengalami sendiri hal yang tidak enak akibat kesalahan saya itu; walaupun
sebelumnya saya sudah diperingatkan oleh Deparlu tentang sifat-sifat, karakter pribadi saudara
Mohamad Hatta yang suka tidak pantas, seperti terjadi terhadap atasannya, Dubes Ismail Thayeb itu tadi,
sehingga sebaiknyalah tidak diambil.
Saya rundingkan bersama program kerja untuk KBRI Havana yaitu baik program khusus maupun
program umum yang biasa, tanpa menantikan tugas perintah dariJakarta. Program khusus yang bersifat
politik, ialah yang bersifat penerangan, terutama mengenai soal Konfrontasi Malaysia, dengan segala
sangkut-pautnya, yaitu bahwa Indonesia pada prinsipnya sama sekali tidak mau menentang Malaysia
merdeka, asal saja memegang teguh prinsip demokratis dengan tekad bertetangga baik sebagai sesama
asal bangsa berbahasa Melayu, melalui perundingan bersama yang independen di atas semangat
persaudaraan Konferensi Maphilindo (Malaysia-Philipina-Indonesia).
Itulah program kerja yang khusus yang saya buat untuk KBRI Havana, di samping tugas penerangan
mengenai ekonomi dan kebudayaan. Dan tentu saja, tidak pernah dilupakan, penerangan tentang
sejarah revolusi, perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, terutama tentang perjuangan Angkatan 45
yang menegakkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus '45 di bawah komando Sukarno-Hatta sehingga
berhasil tercapainya pengakuan oleh negara-negara di dunia secara nyata adanya Negara Republik
Indonesia yang merdeka dan berdaulat, yang bersedia menyumbangkan segala kemampuannya demi
segala cita-cita kemanusiaan yang terbaik, bagi persahabatan dan perdamaian dunia.
Perhatian simpati yang besar sekali kita dapatkan dari Pemerintah dan Rakyat Kuba, begitu juga dari
kalangan diplomatik yang diakreditir di Kuba, atas kegiatan-kegiatan kerja persahabatan di bidang
penerangan dan kebudayaan itu. Berbagai pameran dan pertunjukkan kesenian dan tari-tarian telah
menarik perhatian besar mereka. Saya punya "modal" kesenian tari-tarian, yaitu kedua puteriku, Endang
Teja Nurjaya dan Chandra Leka Damayanti yang bisa mempertunjukkan Tari Bali dan Tari-tarian
Sumatra.
Saudara Gordon Tobing dan Syaugi Bustami yang kebetulan berada di Mexico, saya datangkan ke
Havana. Hasilnya kemudian banyaklah anak gadis dan pemuda Kuba yang bisa menyanyikan dengan
koor lagu-lagu Hallo-hallo Bandung, Rayuan Pulau Kelapa, bahkan Butet secara baik dan
mempesonakan sekali.
Saya beruntung, sesudah menyerahkan letter of credential (surat kepercayaan) kepada Presiden
Osvaldo Dorticos, dapat menyelesaikan tugas protokoler"memperkenalkan diri" kepada korps diplomatik
yang diakreditir di Kuba, dalam tempo dua bulan saja. Sungguh, sejak tiba di Kuba, saya bekerja keras
hampir setiap hari. Hal itu saya lakukan sampai empat atau lima bulan.
Ada lagi yang luar biasa.
Setiap ulangtahun peristiwa-peristiwa bersejarah, seperti 26 Juli 1953, 2 Desember 1956, 17-18-19 April
1961, dijelmakan menjadi Hari Kerja-Bakti dan Hari Setiakawan Revolusioner. Kegiatan demikian bukan
572
hanya disertai oleh seluruh Rakyat Kuba,Tentara dan Rakyat bersama-sama, melainkan juga diikuti pula
oleh orang- orang berbangsa asing yang bersimpati kepada Kuba.
573
BAB III
Konsultasi yang Pertama dan Terakhir
Tatkala saya mengadakan konsultasi yang pertama kali ke Jakarta, itu terjadi di bulanJanuari 1965. Saya
mengusulkan kepada Presiden Sukarno, sesuai dengan harapan Fidel Castro, agar dapat dibuka
hubungan perdagangan R.I.-Kuba. Kuba membutuhkan karet, ia juga sudah melakukan impor karet dari
Kamboja. Dan saya mengharapkan agar Chaerul Saleh, sebagai Deputy III Kabinet Dwikora, dapat
mengurus pelaksanaannya. Itu soal pertama.
Soal kedua yang saya ajukan, ialah mengenai masalah Angkatan 45. Sebab saya, sebagai Wakil Ketua
Badan Musyawarah Angkatan 45, dilapori oleh saudara Chaerul Saleh sebagai Ketua Umum, bahwa
D.N. Aidit telah mengusulkan kepada Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Angkatan 45, untuk
membubarkan saja organisasi Badan Musyawarah Angkatan 45 tersebut. Usul pembubaran Angkatan 45
saya tolak sekerasnya. Sebab adalah saya, dan bukan orang lain yang mengambil inisiatif mendirikan
organisasi Angkatan 45 itu dengan saudara Adenan Anas Nasution, sebagai Pembantu Sekretaris.
Bukan Chaerul Saleh, bukan Jendral Nasution. Chaerul Saleh ketika itu sedang berada di Swiss,
mendapat tugas studi (sebenarnya diselamatkan oleh Bung Karno dari persoalan Laskar Bambu Runcing
yang mendirikan Tentara Rakyat di Bante Selatan, karena menentang K.M.B., dan oleh karena itu dia
dipenjarakan oleh Kolonel Kawilarang dari Divisi Siliwangi, di penjara Gang Tengah Salemba). Rapat
pendirian pertama kali dilakukan di rumah saya, di Jalan Madura No. 5, dihadiri dan disetujui secara
aklamasi oleh yang hadir, yaitu: S.K Trimurti, Pardjono, Pandu Kartawiguna, Adenan Anas Nasution, F.L.
Hutabarat dan ZusJo Chaerul dianggap sebagai mewakili suaminya, Chaerul Saleh, dan Bambang
Suprapto. Adam Malik tidak bisa hadir, tapi menitipkan suaranya kepada Pandu.
Hasil rapat di Jl. Madura No.5 itu ialah berdirinya Panitia Angkatan 45, yang kemudian disokong dan
diresmikan olehWalikota Sudiro di rumah kediamannya, dan disambut dengan meriah serta spontan oleh
banyak tokoh-tokoh pejuang yang dikenal sejak zaman Proklamasi, yang kebetulan berada di Jakarta.
Semuanya minta dijadikan anggota penyokong utama.Tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah:
pertama, menggalang kembali semangat persatuan nasional di kalangan para pejuang Angkatan 45.
Kedua, perjuangan merebut Irian Barat. Ketiga, membela dan mengisi Republik Indonesia berdasarkan
UUD '45 dan Pancasila. Demikianlah telah diletakkan tugas bersejarah dari Angkatan 45.
Kemudian, untok menyambut seruan Bung Karno di Konferensi B.P. PNI di Bandung pada bulan April
1953, yaitu agar bangsa Indonesia membentuk All Indonesia Congres,Walikota Sudiro dan Asmara Hadi
selaku anggota PB. PNI, mengusulkan agar Panitia Angkatan 45 itulah yang maju ke muka, oleh karena
tak ada satu partai politik pun yang berani langsung menyambut seruan Bung Karno tersebut. Maka
lahirlah Kongres Rakyat Seluruh Indonesia Untuk Pembebasan Irian Barat dengan Aruji Kartawinata
sebagai Ketua dan A.M. Hanafi sebagai Sekretaris Jendralnya.
Maka,jikalau diteliti dan dikenang kembali perjuangan Angkatan 45 tersebut di atas, setelah Irian Barat
kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, ke dalam daerah kesatuan Republik Indonesia, adalah tidak pantas
sama sekali,jikalau ada sesuatu golongan yang menepuk dada sebagai yang paling berjasa, kecuali jika
golongan itu adalah bangsa Indonesia seluruhnya dengan Pemimpin Besarnya Bung Karno. Betul sekali
apa yang dikatakan olehJendral Nas (A.H.Nasution): "Tentara sendiri tanpa Rakyat tidak bisa apa-apa".
Maka itu tentara tidak boleh meninggalkan Rakyat! Apalagi Satu Juta Rakyat sudah mati terbunuh, dan
sampai sekarang tentara masih menguber siapa saja yang tidak disukai sebagai hantu Komunis.
Uraian tersebut di atas, adalah alasan dan keterangan saya mengapa saya menolak keras desakan
D.N.Aidit agar Bung Karno sebagai Pemimpin BesarAngkatan 45 membubarkan saja organisasi Badan
Musyawarah Angkatan 45 itu. Sebenarnya, keterangan saya itu satu overlapping, tumpang-tindih, saja,
satu hal yang tidak perlu diceritakan, sebab Bung Karno sendiri sudah mengetahui sejak semula asal
kelahiran Kongres Rakyat Seluruh Indonesia yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah. Dulu All India
Congress yang dipelopori oleh N.l.P. di Bandung pada tahun 1922, gagal. Sedangkan PPPKI
574
(Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaaan Indonesia) yang dipelopori oleh Bung
Karno dan diserta oleh: Dr. Sukirnan, Sjahbudin Latif (PSI), Mr. Iskaq (PNI), Mr. Sartono, Mr. Budiarto,
Dr. Samsi (Algemeene Studie Club), Kusumo Utojo dan Sutopo Wonobojo (B.U.), Oto Subrata, Bakri
SurjaatmadJa, S. Sendjaja (PASUNDAN), Parada Harahap, Dahlah Abdullah (Sarekat Sumatra).
M.H.Thamrin (Kaum Betawi), Sujono, Gondokusumo dan Sundjoto (Indonesiche Studieclub) - yang
didirikan pada tanggal 17 Desember 1927, itu pun gagal pula.
Bung Karno dapat memaklumi dengan baik berdasarkan pengalaman sendiri, akan tidak mudahnya
pekerjaan menggalang persatuan, oleh karena itu beliau dapat menyetujui berdirinya terus Badan
Musyawarah Angkatan 45 itu, dengan catatan (atau syarat) supaya saya, A. M. Hanafi, memperbarui
susunan pimpinannya dan pergi menginsyafkan D.N.Aidit supaya "jangan memperbanyak musuh".
Semua itu akan saya kerjakan, sahutku. Hanya saya mohon terlebih dahulu agar Panglima AhmadYani
diperkenankan meng gantikan kedudukan Jendral Nas di dalam Dewan Harian Badan Musyawarah
Angkatan 45 itu. Bagaimana bangga rasa hatiku, dapatlah kiranya dimaklumi, karena mendapat tugas
langsung dari Pemimpin Besar Angkatan 45. Terpikir dalam hati: ' Baru saja setahun saya pergi
meninggalkan Bung Karno, ada saja macam kerja Aidit bikin sulit Bung Karno". Aidit saya kenal sejak
muda, belum tahu Pergerakan, direkrut oleh F.L. Hutabarat menjadi anggota Barisan Pemuda GERINDO
Cabang Jakarta, di tahun 1941. Ketika itu saya menjabat Sekretaris Jendral Pucuk Pimpinan Barisan
Pemuda GERINDO sejak tahun 1939, menggantikan Saudara Wikana yang didesak mengundurkan diri
oleh Ketua P.B. GERINDO Dr. A.K(apau!) Gani karena tercium keradikalannya yang "komunistis", demi
untuk keselamatan dan kelangsungan perjuangan GERINDO.
Ada sedikit hal lagi yang mau saya ingatkan kepada pembaca, terutama kepada para pemuda yang mau
menjunjung sejarah pergerakan bangsanya, mengenai riwayat PPPKI-nya Bung Karno yang gagal
tersebut di atas. Kegagalannya ialah karena ditindak oleh Pemerintah kolonial Hindia Belanda, sebab
PPPKI mengajukan beberapa program-tuntutan yang revolusioner, antara lain:
a). Memohon kepada Pemerintah Hindia Belanda menerangkan apa kesalahannya rakyat yang dibuang
ke Digul;
b). Mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Pimpinan Perhimpunan Indonesia (P.I.) di negeri Belanda
yang telah dibebaskan dari penjara di mana Bung Hatta telah mengucapkan Pembelaannya yang
berjudul "lNDONESIA VRIJ" ("INDONESIA MERDEKA").
c). Menyetujui dan mengangkat P.I. di negeri Belanda sebagai Pengawal Perjuangan Bangsa Indonesia
terdepan di Eropa.
Dus, kalau saya di dalam buku "Menteng 31 - Membangun Jembatan Dua Angkatan", menganjurkan agar
ditegakkan persatuan dan diteruskannya perjuangan cita-cita Tritunggal Sukarno-Hatta-Sjahrir, bukanlah
hanya karena keinginan subyektif, tetapi karena ingin menjunjung sejarah perjuangan bangsa, bukan
saja sejak dari kerjasama Sukarno-Hatta-Sjahrir di Hotel "Des Indes" pada tahun 1942 di zaman
pendudukan Jepang, bahkan bukan saja dari ketika Sjahrir masih pemuda Sekolah AMS di Bandung
tahun 28-an, yang mulai tertarik kepada seni oratornya Bung Karno, seperti diceritakan oleh Ibu Inggit
Ganarsih kepadaku, tetapi juga karena saya tidak melupakan sejarah perjuangan Bung Karno dengan
PPPKI yang penting itu. Semua peristiwa sejarah itu telah sejak semula dahulu, menjalin persatuan
Tritunggal Sukarno-Hatta-Sjahrir. Hanya kita, para kader pengikutnya, salah pada pecicilan, subyektif dan
sentimen-sentimenan, hingga pada tersesat di jalan, kita cuma melihat pepohonan, tapi tak tahu di mana
hutannya. Bagaikan pepatah Belanda yang mengatakan:"Zij zien wel de bomen, maar niet het bos."
Selanjutnya sekarang, saya meningkat pada masalah ketiga, yang menyangkut kepentingan konsultasi
pertama kali keJakarta di bulan Januari 1965 itu. Saya tidak mengira bahwa itu adalah konsultasi saya
yang pertama, tapi juga yang terakhir kepada Kabinet Dwikora Presiden Sukarno, juga pertemuan yang
terakhir dengan Panglima Achmad Yani.
575
Dua hari sesudah pertemuan saya dengan Bung Karno mengenai Angkatan 45, saya dipertemukan
dengan Panglima Achmad Yani di Istana Merdeka.Waktu saya datang di pagi hari itu, PakYani saya lihat
sudah ada bersama minum kopi dengan Bung Karno. Hatiku senang melihat suasana santai antara
kedua orang penting tersebut.
Rupanya, sebelum saya sampai, Bung Karno sudah membuka soal Angkatan 45 yang saya bicarakan
dua hari yang lalu itu, dan memohon supaya Pak Yani diperkenankan duduk sebagai anggota Dewan
Harian Angkatan 45 untuk menggantikan Pak Nas. Sebab, sehabis saya menyalami PakYani dan duduk
di sebelahnya, beliau ini langsung saja membuka pembicaraan:
"Saya memang turut merasa bangga melihat Bapak Presiden menempatkan seorang tokoh
pejuangAngkatan 45 ini menjadi Duta Besar R.I. di Kuba, tetapi mengapa saya diminta menggantikan
Pak Nas di dalam Dewan Harian Badan Musyawarah Angkatan 45 itu, Pak Hanafi? Bukankah Pak Nas
itu adalah senior saya,'kan?"
"PakYani memang benar sekali", sahutku."Dulu waktu meminta Pak Nas, saya juga turut
mengusulkannya. Karena kami, Dewan Pimpinan Harian Angkatan 45, menghargai jasanya, keikutsertaannya dalam peristiwa bersejarah'Kembali ke Undang-undang Dasar 1945' Saya kali ini
mengusulkan dan memohon Panglima Achmad Yani menggantikan Pak Nas di dalam Dewan Harian
Badan Musyawarah Angkatan 45, bukan untuk mendiskreditkan Pak Nas, tetapi agar PakYani dan Pak
Nas turut serta terus membela integritas Bung Karno sebagai Presiden Pemimpin Besar Angkatan 45,
sebab saya tidak bisa mencari calon lain yang senilai seperti PakYani."
Pak Hardjowardojo, Kepala Rumah Tangga Istana (pensiunan Mayjen), Letkol Mangil (pengawal Bung
Karno sejak dari zaman Jepang, asal dari "Polisi Macan"), Mayor Prihatin, dan seorang tentara pengawal
PakYani duduk bersama-sama di ujung sana di dekat pantri. Seorang pelayan istana datang menyuguhi
kami bertiga dengan tiga cangkir kopi lagi dan sepiring singkong rebus panas.
"Pak Yani, mari, ini singkong Marhaen, ditanam oleh kaum marhaen, makanan kaum Marhaen, ini hari
naik ke Istana Marhaen, mari, silakan Pak".... Saya menyuguhkan piring singkong itu kepada Pak Yani,
tetapi Pak Yani mengambil piring singkong tsb., menyuguhkannya terlebih dahulu kepada Bung Karno,
seraya berkata:"Silakan kepada Bapak Marhaen dulu...."
Bung Karno tertawa-tawa sambil mengambil singkong dari piring di tangan Pak Yani, berkata pula:
"Silakan,Panglima Tentara Marhaen...."
Spontan saya tertawa gelak-gelak. Mereka yang duduk di ujung sana itu pasti mendengar juga cara dan
kata-kata kami itu. Saya tertawa gelak-gelak lagi, lalu mengucap: "Kalau begini naga-naganya, saya tidak
akan sangsi pergi 'jibaku' untuk ngabdi kepada Bapak Marhaen dan Panglima Tentara Marhaen macam
begini ... ha-ha-ha ... sesuai dengan nama yang diberikan Bung Karno padaku: Anak Marhaen!
Simbolik'singkong Marhaen'ini penting!"
Pembaca yang terhormat, kalau Anda tahu peribahasa Sumatra Selatan,"bagai pasak bertemu tiang",
itulah dia, pertemuan tiga iman-manusia di beranda belakang Istana Merdeka di hari itu. Seperti itulah:
cocok, rukun, mesra, bagaikan bertemunya satu keluarga, dua anak sama Bapaknya. Dan kalau
kemudian ada isu macam-macam tentang ketidakcocokan antara Presiden Sukarno dengan Panglima
A.Yani, bagi saya semua itu bullshit, tahi kucing! Kalau memang ada, justru isu fitnah itulah yang harus
dihantam duluan, oleh siapa dan untuk apa dan siapa isu fitnah itu.
Saya mulai punya simpati kepada Jendral Yani tatkala zaman perjuangan pembebasan Yogyakarta dari
pendudukan tentara Belanda. Beliau terkenal sekali, ketika itu berpangkat Letkol, Komandan Brigade 9
yang bernama Brigade Kuda Putih dari Divisi Diponegoro dengan Batalyon yang dikomandoi Mayor
Suryosumpeno. Brigade 9 dengan pasukan-pasukan gerilyanya, menguasai urat nadi penting route
Semarang-Yogya dan Boyolali, Solo-Yogya. Karena posisi frontnya itu, Brigade 9 memperoleh banyak
576
kontak- senjata (pertempuran) dengan Tentara Belanda. Ia bermarkas di Wetan Elo (di sebelah Timur
Kali Elo) di lereng Gunung Merapi, tidak berjarak jauh dari Desa Jetis di mana pendudukuya adalah
hampir semua punya hubungan kekeluargaan dengan mertua saya: Dasar Sosrosoeseno, putranya Pak
Lurah Desa Blabak yang berasal dari DesaJetis tersebut. Dan ketika itu mertua saya tersebut berada di
Jetis dan adik ipar saya Ario Seno dari pasukan Tentara Pelajar yang bergabung pada Brigade 9,
menjadi Ajudan Sarwo Edhie, Komandan Kompi 17.
Walaupun ketika itu saya berada di dalam tahanan penjara di Wirogunan bersama banyak tokoh militer
dan hampir semua tokoh partai politik yang berada diYogyakarta ketika diserbu mendadak oleh tentara
Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, namun saya mendapat kontakberitayang diatur olehArio Seno
dan Pak Mul (Letnan) sebagai kurir rakyat yang berjuang dari DesaJetis tersebut dan yang mendapat
perlindungan dari Brigade 9 dari Overste Achmad Yani.
Saya kira bagi para peneliti sejarah penting sekali mengadakan penyelidikan yang sebenar-benarnya
tentang apa sebab dan latar belakang sehingga Ibu Kota Republik, Yogyakarta, dua hari sebelum
penyerbuan Belanda pada tanggal 19 Desember 1948 dibiarkan kosong tanpa pertahanan Tentara R.I.
yang berarti. Overste Soeharto sudah berangkat keWonosobo, Kolonel A.H. Nasution sudah berangkat
ke Jawa Timur, artinya meninggalkan Panglima Besa Sudirman yang sedang sakit sendirian, dan
Presiden dan Wakil Presiden, Bung Karno dan Bung Hatta sendiri di Yogya tanpa Tentara Pertahanan
Ibu Kota secukupnya. Dus, apa artinya ini? Menurut saya, pucuk pimpinan nasional itu dibiarkan pada
nasibnya sendiri-sendiri, begitupun anggota-anggota Pemerintah R.I. lainnya, semua tanpa penjagaan
dan lindungan TRI yang sesudah di "RE-RA"bernama TNI itu.*)
Walaupun saya berada di dalam penjara, namun dari adik ipar saya Ario Seno dan Letnan Mulyono
(masih pamannya Ario) tersebut di atas, saya seminggu sekali kadang-kadang bisa memperoleh beritaberita, pada kesempatan istri saya, Sukendah, mengantarkan makanan dari rumah untuk saya, mengenai
kegiatan gerilya pasukan 'Garuda Putih' PakYani, yang kemudian kita kenal sebagai Letnan Jendral
Achmad Yani, Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonsia. Tokoh ABRI dan pejuang Angkatan 45
ini jugalah yang dijadikan korban GESTAPU, yang kemudian menaikkan Letjen Soeharto jadi diktator
sejak dari 1 Oktober 1965 sampai sekarang ini. Di sini bedaku sepenuhnya peribahasa Belanda de een
zijn dood, de andere zijn brood! Seorang khilangan nyawa, orang lain yang menarik keuntungannya. Di
Indonesia kita, Soeharto-lah pelaksana pribahasa itu.
Bukan saya sendiri saja yang bisa mendapatkan berita selundupan semacam itu, beberapa teman
sepenjara juga, dan hal itu mempertebal semangat juang kami. Pramudji, bekas Ajudan Ruslan
Widjajasastra dari Laskar PESINDO, Batalyon 100 bahkan berhasil melarikan diri dari penjara
Wirogunan. Pada kesempatan mandi sore, dia tidak kembali lagi ke kamar grupnya, tapi merayap seperti
kadal menelusuri got, kemudian sesudah hari gelap memanjat tembok penjara, sehingga berhasillah ia
lolos. Kami yang tinggal hanya mendengar beberapa tembakan saja, sambil berdoa mudah-mudahan si
fugitive Pramudji bisa selamat. Tiga hari sebelum pertempuran yang dikenal sebagai "Pertempuran Enam
Jam di Yogya" saya dengan Kapten Tema dari Divisi Siliwangi (menantu Opseter Muchdi yang saya
kenal) dapat meloloskan diri juga dari penjara tersebut. Dari situ saya mengetahui bahwa Pramudji tadi
sudah bergabung dengan Laskar PESINDO di bawah pimpinan Supeno dan Sudisman (PKI) yang
bersembunyi di dalam Benteng Keraton Hamengkubuwono ke-lX, dan yang bersama Kapten Abdul Latief
dengan pasukan TNI dari Godean, mempersiapkan pertem- puran, menyerbu dan menduduki Ibu Kota
R.I., dan yang kemu- dian dikenal sebagai "Pertempuran Enam Jam diYogya" itu.
Siapakah Kapten Abdul Latief itu? Dia tadinya adalah dari Laskar PESINDO yang dapat menyelamatkan
diri dari Peristiwa Provokasi Madiun bersama yang lain-lain di bawah pimpinan Pramudji yang
menggabungkannya kembali ke dalam Batalyon 100. Beberapa hari sesudah terjadinya peristiwa penting
itu, saya diminta oleh Pramudji cs agar sebagai Letnan Kolonel Staf PEPOLIT, sudi untuk diantarkan
pergi ke Godean dan dikenalkan kepada Kapten Latief dan sekalian menyampaikan hormat serta
penghargaan kepada Overste Soeharto yang pernah menjumpai Musso (PKI) di Madiun sebelum
dilakukan penggempuran oleh TNI Siliwangi, dan yang mereka pandang sebagai"Overste TNI yang baik".
Dan karena itu pulalah, mereka setujui Kapten Latief membawa anak buahnya untuk menggabungkan diri
577
dengan batalyon Overste Soeharto.Setelah saya simpulkan bahwa pandangan mereka obyektif, saya lalu
setuju untuk diantar Pramudji pergi ke Godean dengan, tentu saja berjalan kaki dariYogya. Sayang, saya
tidak bisa jumpa dengan Letkol Soeharto, oleh karena dia sedang pergi ke seberang Kali Progo, ke
Markasnya Kolonel Simatupang. Saya dan Pramudji diinapkan di Markas Latiefdengan stafnya Letnan
Harjadi (pelukis), dan kepada mereka berdua saya minta agar disampaikan hormat dan salam saya
kepada Overste Soeharto, komandan batalyon mereka.
-----------*). Di dalam pelaksanaan Re-Ra (Rekonstruksi dan Rasionalisasi) Laskar-laskar Rakyat disingkirkan ke
dalam Biro TNI Masyarakat, tapi persenjatannya diambil dan dibagikan kepada TNI sendiri, untuk Pusat
dan Daerah. Inilah sebab, mengapa Laskar Rakyat Jakarta Raya yang pernah saya pimpin (tahun 1945 47) berdiri sendiri mempertahankan kedaulatannya dan bertahan di daerahJawa Barat di Krawang Bekasi, dibawah pimpinan Bahar Rezak alias Sultan Akbar.
Memang penting sejarah pertempuran enam jam di Yogya, namun pelaku utama peristiwa itu sama
sekali tidak disebut di dalam buku yang berjudul "Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya", yang
disunting oleh G. Dwipayana dan Ramadhan K.H.Yang terakhir ini saya kenal di zaman Jepang sebagai
pengagum sajak-sajak abang saya Asmara Hadi, tapi lebih saya kenali jiwanya sekarang! Yang
disebutkan oleh Soeharto hanya nama-nama seperti Letnan Marsudi dan Letnan Amir Murtono,
sedangkan pelaku utamanya tidak disebut-sebut. Orang yang tak disebut-sebut yang saya maksudkan
ialah Kapten Abdul Latief, seorang perwira menenga yang selalu setia kepada Soeharto sampai
GESTAPU, 30 September 1965. Buku Soeharto itu mengandung penggelapan sejarah yang bertendensi
menutupi jejak hubungan ilegalnya dengan GESTAPU dan dengan PKI, yang bertolak dari pertemuannya
dengan Musso (PKI) di Madiun, ketika dia diutus oleh Panglima Besar Sudirman untuk mengetahui apa
sebenarnya yang terjadi di sana dan yang kemudian di populerkan sebagai "kudeta PKI Madiun", yang
padahal tidak ada itu.Yang sebenarnya, seperti yang diceritakan oleh saudara Sumarsono, Ketua BKPRI,
Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, yalah: ketika Overste Soeharto masih di dalam perjalanan
pulang untuk memberikan laporan kepada Pemerintah Hatta, mereka di Madiun diserang dan dikepung
oleh TNI Divisi Siliwangi, sehingga terpaksa melawan untuk membela diri. Maka terjadilah apa yang
disebut "Peristiwa Madiun" yang disinonimkan dengan "kudeta PKI Madiun", tetapi oleh PKI disebut
sebagai "Provokasi Madiun" Demikianlah eksekusi Red Drive Proposal dari Gerard Hopkins, Penasihat
Politik Luar Negeri Presiden Truman dan Merle Cocran di Konferensi Sarangan, yang telah dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya oleh Pemerintah R.I. di bawah Kabinet Parlementer Bung Hatta.
Pelaksanaan apa yang disebut"red drive proposal" (usul penumpasan orang-orang komunis) dari Merle
Cochran itu, nyatanya sengaja tidak terlalu diramai-ramaikan oleh golongan kanan maupun oleh
golongan kiri, sebab menyangkut nama USA, negeri yang secara internasional pegang peran penting,
dan di pihak lain menyangkut nama Bung Karno, tokoh nasional revolusioner, Presiden R.I. Alasan
mengapa red drive itu tidak terlalu ramai dibicarakan, mungkin adalah karena dalam Konperensi
Sarangan itu Bung Karno juga hadir, walaupun beliau pulang lebih dahulu, sehingga Konperensi
Sarangan dengan Merle Cochran dan G.Hopkins itu dilanjutkan oleh Bung Hatta, Dr. Sukiman dan Mr.
Moh. Roem.
Saya kira, inilah latar-belakang mengapa Bung Karno di dalam Kongres PKI ke-VI di Gedung Pertemuan
di Jakarta, untuk meredam kekecewaan PKI, berkata: "Yo sanak, yo kadang, yen mati aku sing
kelangan"*), dan yang mendapat tepukan serta teriakan setuju yang hangat sekali. Maka kemudian Bung
Karno berhasil menginsafkan Aidit untuk menyetujui Pancasila sebagai Tujuan dan Dasar Negara R.I.
Dan demikian pula saya tahu dari Bung Karno, terjadinya political deal mengenai Nasakom.
Dan siapa itu Supeno, teman Pramudji yang aktif memimpin Laskar PESINDO yang tersisa dari
Provokasi Madiun dan mempersiapkan penyambutan di dalam kota Yoyga akan kedatangan serbuan
Pasukan Kapten Latief pada tanggal 1 Maret 1949 dari Godean itu? Dialah yang di tahun 1930-an
menjadi anggota Pemuda GEMPAR (Gemblengan Pemuda PARTINDO), kadernya Bung Karno, seperti
Asmara Hadi, Sukarni, Trimurti, Winoto Danuasmoro dan Sudiro. Kemudian Supeno, Sudiro dan Kakung
578
Gunadi menjadi guru Taman Siswa yang didirikan oleh M. Ali Chanafiah di Bengkulu, lalu kembali
berjumpa dengan Bung Karno di Bengkulu tahun 1947. Di zaman Revolusi di Yogyakarta, Supeno
mendirikan majalah PESINDO "Revolusioner". Keaktifan Supeno dalam perjuangan bersenjata dimulai
dengan mendirikan Laskar Rakyat Mataram di tahun 1947 yang mendapat kehormatan besar karena
diresmikan oleh Panglima Besar Sudirman di pelataran Candi Borobudur. Ketika itu saya masih
memegang komando atas PESINDO Jawa Barat, berkedudukan di Krawang dan Cikampek. Tapi saya
turut menghadiri peresmian Laskar Rakyat Mataram itu. Tragisnya, Bung Peno ini meninggal dunia
sebagai refugee-politik di Amsterdam. Pendiriannya tegas dan tegar di pihak Bung Karno, oleh sebab itu,
ketika sebagai anggota MPRS dia turut serta diundang ke RRT, di situ dia bersama Sukrisno (ex Duta
Besar di Viet Nam) berlawan terhadap mereka yang membabi-buta membela G30S/PKI dan
membuat"Peking serambi Mekah".
Nah, sekian dulu buat sementara. Para pembaca telah saya bawa melihat satu facet, satu bagian dari
pengalaman hidup perjuangan saya sebagai"orang kiri" di dalam arus perjuangan kemerdekaan nasional
yang bersifat kiri. Sebab hakekatnya, perjuangan pembebasan nasional dari penindasan kolonial,
menentang kolonialisme itu sendiri adalah kiri. Buat saya di masa itu, cap atau etiket "kiri" adalah
kehormatan. Berbagai keaktifan atau kegiatan saya sebagai pemuda kiri yang radikal dan revolusioner
bersenjatakan ideologi Marhaenisme Bung Karno membikin saya banyak dikenal dan terkenal di
kalangan kaum Nasionalis, kaum Agama, dan kalangan yang beraliran Marxisme (PKI, PSI dan Murba)
sebagai "orangnya Bung Karno". Demi kepentingan praktis politik sebagai kader yang mau bersetia
kepada Bung Karno, sejak kelahiran R.I. (bahkan sesudah habisnya GERINDO) saya tidak mau berpartai
politik, yang cuma akan membatasi langkah saya sebagai pembantu Bung Karno demi kepentingan
persatuan nasional dan marhaenisme Bung Karno. Namun saya tidak anti-partai, saya menjunjung
prinsip demokrasi Pancasila.
Tetapi sekarang, di zaman Orde Baru, di bawah pimpinan kediktatoran Soeharto, segala norma dan
huLum politik dan demokrasi dibikin hantam kromo saja; sak enake dewe . Saya tidak mau membuat
forecast, pralambang seperti Joyoboyo, Raja Kediri! Tetapi di zaman kapitalis modern ini, diktator mana
yang tidak bisa dijatuhkan mencium debu sampai pada kematiannya yang hina? Mussolini (Italia), Hitler
Jerman), GetulioVargas (Brazilia), Marcel Caetano (Portugal), Ferdinand Marcos (Filipina) - kalau orang
punya mata tidak mau melihat, punya otak tidak mau belajar, punya kuping tidak mau mendengarkan,
maka sekarang hantu-hantu diktator-diktator itu saya panggil berbaris membawa segala harta
serakahnya dan pengalamannya yang keji dan hina itu untuk memberi peringatan terakhir kepada Pak
Soeharto.
Flashback kenangan saya kepada Panglima Pahlawan kita Achmad Yani di masa peperangan gerilya
untuk membebaskan Ibu kota Yogyakarta dari pendudukan Belanda pada bulan Maret 1949, dan lainlainnya tersebut di atas - agar tidak terlalu panjang sampai bisa mencapai brosur tersendiri, kalau mau saya akhiri sampai di sini saja. Maka sekarang saya kembali pada pertemuan yang simbolik "singkong
Marhaen", pertemuan kami bertiga: Presiden Sukarno, Letjen Achmad Yani dan saya, A.M. Hanafi, di
Istana Merdeka sebagaimana telah saya uraikan di atas tadi.
Sesudah ternyata di dalam pertemnan kami bertiga tersebut, Panglima A.Yani tidak berkeberatan untuk
turut serta didudukkan sebagai anggota Dewan Harian Badan Musyawarah Angkatan 45 sebagai
"Panglima Harapan Angkatan 45", maka secepat kilat menyalalah ide di kepala saya untuk merayakan
Hari Ulang Tahun ABRI, 5 Oktober 1945 untuk yang pertama kalinya di Havana Kuba. TNI adalah
Tentara Rakyat yang lahir dalam Revolusi Kemerdekaan Angkatan 45, dubesnya di Kuba eksponen
Angkatan 45 pula. Oleh karena itu saya tidak merasaiminder'terhadap El Ejercito Rebeld (Tentara
Revolusioner) Fidel Castro - malah yang ada dalam kilatan ide saya adalah kebangaan saya terhadap
ABRI yang juga punya pengalaman gemilang dalam revolusi kemerdekaan. Sebenarnya, ada sebab lain
mengapa saya ingin merayakan Hari ABRI di Havana. Saya mau kaulan - melepas nazar - atas
kebanggaan yang mengeram selama ini di dalam hati saya.
Bukannya maksud menepuk-nepuk dada, tetapi saya adalah salah seorang yang pertama-tama
mendesak Pemerintah R.I. supaya secepatmya melahirkan Tentara Republik di sekitar hari-hari
579
Proklamasi. Tentu saja, perihal ini tidak saya ceritakan di muka Bung Karno dan PakYani ketika
bersama-sama bersantap singkong marhaen.Tetapi untuk para pembaca, akan saya uraikan tersendiri
pada halaman-halaman berikutoya dengan judul
"Kisah Terpendam"
Saya merasa puas, Bung Karno dan PakYani menyetujui ide saya merayakanHUT ABRI 5 Oktober 1965
yang akan datang itu. Bahkan, mengetahui di KBRI Havana belum ada atase militer, Pak Yani langsung
mengatakan di depan Bung Karno agar"Pak Hanafi diangkat menjadi MayorJendralTituler untuk
melengkapi upacara Perayaan Hari Ulang Tahun ABRI di Havana nanti."
Bung Karno langsung jawab:"Setuju, ajukan resmi usul itu!" Begitulah hasil puncak konsultasi yang
pertama kali sebagai Duta Besar ke Jakarta pada bulan Januari 1965.
Waktu saya menuliskan baris-baris di atas ini, dengan mesin tik tuaku Remington, nafasku terasa sesak
di dalam dada, karena terharu mengenangkan pertemuan saya dengan Bung Karno bersama Panglima
Achmad Yani. Sebab ternyata itu adalah pertemuan yang terakhir dengan Panglima "Harapan Angkatan
45" itu. Namun saya harus terus menulis, mengetik kenangan yang amat memilukan hati saya ini, di
samping istriku, Sukendah, yang sudah cukup lama sakit-sakitan, sedang saya sendiri sudah bertambah
umur menjadi 80 tahun, terbuang di Paris tak dibolehkan kembali ke tanah air.
Tanggal berapa, saya kira tanggal 20 September 1965, saya menerima kawat sandi dari PanglimaYani,
disampaikan oleh sandiman KBRI, Hartono, kepada saya. Kawat sandi Panglima A. Yani mengatakan:
"Karena kesibukan dengan persiapan Perayaan HUT ABRI, pengangkatan Mayjen pada saya akan
dikirimkan sebelum 5 Oktober". Bagi saya, soal kawat pengangkatan itu cuma soal administrasi saja,
prinsip persetujuan sudah diberikan pada saya, ketika saya berada di Jakarta. Kawat sandi PakYani itu
berarti pula bahwa laporan saya mengenai kemajuan persiapan Perayaan HUT ABRI di Havana, sudah
beliau terima. Dalam rangka pengurusan HUT ABRI itu, ada dua kali saya menerima kawat sandi dari
Panglima Yani. Saya yakin, dokumen itu masih bisa ditemukan kalau dicari di arsip penting KBRI
Havana. Tadinya disimpan oleh Sandiman, saudara Hartono.
580
BAB IV
Kisah Terpendam
"Kisah terpendam" ini adalah seboah pengalaman tiga orang pemuda "avant garde" revolusi dari
Menteng 31, yaitu A.M. Hanafi, Chaerul Saleh, Pandu Kartawiguna, yang hampir saja mati
karena menjadi korban perjuangan ketika pergi mendesak Pemerintah R.l. supaya segera
membentak Tentara Republik Indonesia (TRI) secepat-cepatnya, sebab tentara Belanda sudah
mulai mendarat di Tanjung Priok. Segera, secepat-cepatnya! Tidak ada sukarnya itu, dengan satu
pengumuman Maklumat Pemerintah Republik Indonesia, sudah jadilah itu TRI. Tidak ada
susahnya. Kamilah yang akan merealisasikannya. Kami, Pemuda Menteng 31 akan memanggil,
menyerokan, mengadakan appel kepada semua bekas PETA, bekas Heiho, bekas Seinendan,
bekas Keibodan dan semua pemuda- pemuda yang gagah-berani, mengatur semua itu
menjadikan mereka itu jadi satu Tentara Republik Indonesia. Material sudah ada, sudah cukup
banyak, besi itu sudah hangat, sudah cukup panas tinggal ditempa saja lagi.
Ketika itu sudah bulan September, sudah sebulan Proklamasi 17 Agustus lahir ke bumi
Indonesia, masa' lé. kita belum punya Tentara juga. Dengan apa bayi Republik ini bisa kita bela,
kita pertahankan? Chaerul Saleh yang punya temperamennya tersendiri itu, menimpa dengan
gayanya: "Ya, ya, dengan apaaa... dengan ini ... saja?! (Saya tidak perlu tulis di sini apa yang
dikatakan Chaerul Saleh itu) Nanti, Bung Hanafi saja jadi juru-bicara kita, dan saya akan
menimpa lagi dengan tegas-tegas", kata Chaerul.
Mengapa saya yang ditunjuk menjadi juru-bicara. Karena yang akan kami temui yalah Mr. Amir
Sjarifudin, Menteri Penerangan. Dan Amir Sjarifudin adalah Ketua GERINDO saya dahulu.
Maka berangkatlah kami bertiga dari Markas Menteng 31 menggunakan mobil yang baru dapat
diserobot dariJepang, menujuJalan Cilacap, Kantor Pemerintah Rl. Sesudah Pemerintah Pusat
kembali dari Yogya ke Jakarta, yaitu sesudah pengakuan Kemerdekaan, gedung itu kemudian
menjadi kantor Kementerian P & K (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).Tapi gedung
itulah Kantor resmi yang pertama-tama dari Republik Indonesia kita.
Pintu masuk gedung itu besar, tetapi tertutup saja. Kami bertanya-tanya di antara kami. Hanya
bendera merah-putih terpancang di tiang di luar, tampak lesu terjuntai, tidak berkibar-kibar.
Tidak ada angin berhembus di pagi hari itu. Sesudah pintu kami ketok-ketok, barulah dibukakan
separoh saja, tidak dibukakan kedua daun pintunya yang besar dan lebar itu. Begitu saya dan
Chaerul Saleh serta Pandu Kartawiguna masuk, di saat itu ... rratataat - rratataat -rratataat,
tembakan dua atau tiga mitralyur gencar memuntahkan perlurunya dari jeep-jeep NICA yang
dilarikan kencang. Kami bertiga serentak, sekejap itu juga menjatuhkan diri ke lantai tengkurap,
sambil berteriak kepada penjaga yang membukakan pintu tadi, yang sedang kebingungan:
"Tengkurap!" Kedua daun pintu itu pecah-pecah berserpihan. Di antara kami tentu saja ada yang
pucat, entah saya, entah siapa, karena kaget sekali.
Segera kami bangun berdiri dengan senyum-senyum menyeringai sambil memaki-maki NICA
keparat itu. Sesudah memperingatkan kepada penjaga, supaya pintu yang sudah pecah-pecah
tetapi belum hancur sama sekali, jangan dibuka-buka dulu, siapa tahu bangsat NICA itu akan
lewat lagi. Kami naik ke tingkat satu mencari Amir Sjarifudin yang kebetulan ada di kamarnya.
581
Beliau menyambut kami dengan terseyum-senyum bertanya: "Ada apa pemuda radikal datangada perlu apa?" Amir yang dulunya agak gemuk, tampak menjadi agak kurus, berkemeja sport,
bercelana pendek sampai ke lutut. Belum berapa lama dia itu dikeluarkan dari penjara di Sragen
di mana dia dihukum seumur hidup olehJepang karena dituduh memimpin perjuangan PKIillegal menentang Jepang. Tadinya oleh Jepang mau dijatuhi hukuman mati, tapi karena
diintervensi oleh Bung Karno dan Bung Hatta menjadi hukuman seumur hidup.
"Ada apa?" kataku menirukan pertanyaan Bung Amir, Menteri Penerangan kita itu. Dia resmi
Menteri Penerangan, tetapi sebenarnya dialah yang mendapat tugas urusan keamanan. "Kami
bertiga hampir mati semuanya di bawah tadi, apa Bung nggak dengar suara mitraliur tadi?"
"Pemuda radikal Menteng 31 tidak akan mati-mati, akan hidup terus untuk Revolusi", kata Amir
dengan senyumnya yang mengajuk-ajuk hati kami. Sesaat kemudian dengan bersungguhsungguh saya menguraikan maksud kedatangan kami seperti di atas tadi. Chaerul Saleh dan
Pandu menguatkan dan menambahi pula menjadi lebih jelas dan tegas. Kesimpulan dari
pertemuan itu Menteri Amir Sjarifudin menyambut dengan gembira desakan Pemuda Menteng
31 agar Pemerintah R.l. dalam beberapa hari ini secepatnya membentuk ketentaraan nasional.
"Cocok, cocok, saya setuju sekali, saya akan mengajukan usul saudara-saudara itu secepatnya
kepada Sidang Kabinet dalam hari-hari ini", Amir berkata. Sesudah itu, langsung kepada saya,
Amir berkata, bahwa saudara Sudisman' Ketua Barisan Pemuda GERINDO Cabang Surabaya
telah dikeluarkan juga dari penjara Sragen dan kembali ke Surabaya.
Adalah pemuda Sidik Arselan, anggota Pemuda GERINDO, bekas PETA, dengan sepasukan
Pemuda P.R.I. (yang ketuanya adalah Sumarsono) yang mendatangi penjara Sragen itu. Selain
telah membebaskan Amir Sjarifudin dan Sudisman, mereka juga telah membebaskan semua
tahanan lainnya yang ada di situ.Amir Sjarifudin sengaja menceritakan hal tersebut, karena
beliau masih ingat bahwa saya menjabat sebagai Sekretaris Jendral Barisan Pemuda GERINDO
sejak masa di zaman Belanda dan masa pendudukan Jepang.
Selang beberapa hari setelah terjadinya Rapat Raksasa di lapangan IKADA, tanggal 19
September, kami diberi tahu, bahwa pada tanggal 5 Oktober 1945 akan diumumkan Keputusan
Pemerintah membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kami bangga juga, walaupun tidak
begitu puas. Sebab yang kami tuntut adalah tentara tentara resmi dari Republik Indonesia, bukan
sekadar Badan Keamanan Rakyat yang seakan-akan condong meneruskan pekerjaan BPKP
(Badan Penolong Korban Perang) yang dibentuk di zaman Jepang, yang diketuai Jusuf Yahya
(abang Daan Yahya).
Jelaslah, bahwa antara Pemerintah dengan pemuda radikal Menteng 31 "avant garde"nya
revolusi itu walaupun sama-sama jalur garis perjuangannya, namun tidak selalu sama
gelombang-gelombang semangatnya yang menggebu-gebu di dada pemuda-pemuda itu.
Kami telah mempersiapkan pembentukan laskar-laskar, dimulai terutama oleh pemuda-pemuda
di sekitar Jakarta. Baru kemudian BKR menjelma menjadi TKR (Tentara Keamanan
Rakyat).Yang penting hakekatnya: tentara, tugasnya berperang membela Kemerdekaan yang
baru diproklamirkan, bukan Badan Keamanan yang dualis dengan tugas sebagai kepolisian.
582
Namun di hati kami, kami belum merasa lega, belum pas betul. Keamanan Rakyat - urusan polisi
di garis belakang, yang penting sekarang adalah bertempur di garis depan. Untuk mengisi
kekosongan tugas nasional pertama ini, maka itulah Pemuda Menteng 31 membentuk Laskar
(People's Army).
Pembentukan laskar-laskar dianjurkan ke seluruh daerah-daerah, dan disambut di mana-mana.
Pada mulanya, laskar-laskar itu membentuk diri berdasarkan cita-cita membela Proklamasi,
sayang kemudian berubah berkembang menjadi membela cita-cita aliran politik masing-masing
golongan: agama, nasionalis, komunis, sosialis dan kedaerahan. Hal ini adalah semata-mata
akibat perubahan dari atas,berubahnya sistem Pemerintahan dari kabinet presidensil dengan
sistem kabinet parlementer.Terang saja sistem presidensil memang sesuai dengan jiwa Pancasila,
sesuai dengan cita-cita semua kaum pergerakan sejak lama, tapi sayangnya salah dalam
mengaplikasikan strategi dan taktik perjuangan, yang harus ditentukan oleh penilaian situasi dan
kondisi. Dibolak-balik bagaimana pun juga, haruslah diakui kesalahan prinsipal adalah: kurang
teguh, atau tidak konsekwen pada prinsip perjuangan nasional bersenjata!
Dalam bertabrakannya naluri angkatan muda dengan naluri kaum tua, beruntunglah bangsa
Indonesia, karena ada faktor pengimbangnya yang utama, yaitu statemenship (kenegarawanan)
Tritunggal Sukarno-Hatta-Sjahrir.Jarumnya neraca-pengimbang itu kadang-kala nampak saja
rada ke kiri atau ke kanan, tapi dalam hakekatnya adalah mantap tetap pada titik perjuangan
Proklamasi berdasarkan UUD-45 dan menuju pada Pancasila. Sasarannya: kedaulatan nasional.
Saya tidak mau, dan janganlah siapa pun juga menyalah-tafsirkan arti penting sejarah Tritunggal
Sukarno-Hatta-Sjahrir pada masanya secara dialektis. Tidak secara subyektif, jangan! Tukang
emas yang pandai tahu caranya menguji antara emas dan loyang.Tidak semua metal kuning
adalah emas. Dan antara emas dengan emas pun harus diuji "karat"nya. Sejarah adalah batu ujian
politik bagi bangsa dan masyarakat.
Bandingkanlah sistem politik di masa sejarah Tritunggal Sukarno-Hatta-Sjahrir dengan sistem
politik semasa orde barunya Presiden Soeharto. Pada zaman Tritunggal, UUD'45 dan Pancasila
dijunjung tinggi, pada zaman orde barunya Soeharto, UUD '45 dan Pancasila dikentuti. Jangan
bicara lagi tentang hak-hak demokrasi dan HAM. Bedanya zaman Tritunggal Sukarno-HattaSjahrir dengan orde barunya Soeharto "en grosso modo", seperti bumi dan langit. Tidak ada
persamaannya. Apa pun kekurangan zaman Tritunggal, mereka tidak keluar dari garis demokrasi,
garis kedaulatan rakyat! Zaman orde barunya Soeharto apa pun yang berbau kedaulatan rakyat
dicap komunis. Bila komunisme dan marxisme ditanggapi sebagai ilmu di luar PKI yang sudah
dilarang itu, okelah.Tetapi sekarang nyatanya siapa saja yang menyuarakan Tuntutan Hati
Nurani Rakyat, seperti keterbukaan, keadilan sosial etc. Iangsung dituduh menentang
Pemerintah. Inilah sistem Pemerintah autokratik, istilah yang lebih terkenal adalah diktatur yang
despotis sekaligus nespotis. Kedaulatan rakyat, demokrasi, sudah digantung, sudah dipancung
oleh absolutisme angkara-murka. MPR sejak 1966 dalam kenyataan bukan lagi suatu lembaga
negara tertinggi, tetapi telah menjadi Markas Penipu Rakyat yang mendaulat Presiden Sukarno
dan mengangkat Letnan Jendral Soeharto menjadi Presiden yang menerapkan kediktaturan
represif dengan dalih konstitusional.
583
Kita kembali ke pangkal acara. Bicara tentang kekuatan nasional bersenjata hta bangsa
Indonesia, laksana bocah yang baru belajar berJalan seJak dilahirkan oleh Proklamasi 17
Agustus 1945, sejak dari Laskar Rakyat (People's Army) dan BKR, beranjak menjadi TKR,
sampai ke TRI kemudian menjelma menjadi kekuatan bersenjata nasional bernama TNI, yang
kuceritakan dalam "Kisah Terpendam" ini.
Maafkanlah, kalau saya berkata bahwa yang paling bergembira dan bersyukur kepada
bangsanya, adalah pemuda-pemuda radikal dari Menteng 31, terutama tiga orang yang disebut
namanya di atas tadi: A.M. Hanafi, Chaerul Saleh dan Pandu Kartawiguna. Orang-orang memuji
Tentara kita, tentang ketangkasan gerilyanya, kegagahannya dan bintang-bintang gemerlapan di
dadanya, tidak lebih dari sewajarnya. Tapi, tapi jangan lupa, haruslah diletakkan pada tempat dan
keadaannya. Itu adalah sewajarnya di dalam era Tritunggal Sukarno-Hatta-Sjahrir.Akan tetapi
yang paling bersedih hati melihat ABRI kita sekarang adalah selurnh rakyat segala lapisan, oleh
karena ABRI kita sekarang terpenjara di dalam hirarki militer Panglima Tertinggi Soeharto yang
mengkentuti UUD '45 dan Pancasila, meng- insubordinasi alias mengkhianati Panglima
Tertinggi Sukarno dan memanipulirJendral A.H.Nasution, setelah sebelumnya merekayasa
pembunuhan Panglima A.Yani dan 5 Jendral lainnya.
Para pembaca yang terhormat,
"Kisah Terpendam" ini menjadi alasan dalam hati saya sendiri, sebagai Duta Besar untuk
mengambil inisiatif merayakan HUTABRI untuk pertama kali di Kuba Havana yang disebut
sebagai "el primo pays libre de America Latina" itu. Menurut hemat saya dalam konteks
kenegaraan, patut diperingati sebagai Hari Besar Nasional R.I. bukan hanya terbatas pada Hari
Proklamasi 17 Agustus 1945 dan HUT ABRI 5 Oktober 1945, tetapi juga selayaknya HUT
lahirnya lembaga legistatif atau cikal-bakal demokrasi kita, yaitu KNIP - Komite Nasional
Indonesia. Demikian pun HUT lahirnya lembaga yudikatif R.l. dengan segala perangkat dan
atributnya. Lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif- dikenal dengan Trias Politica
Montesqieu - adalah tolok-ukur paten dari sebuah negara Republik yang menjalankan sistem
demokrasi dan keadilan sosial.
Kalau Adam Malik mendapat tugas dari Komite van Aksi untuk membentuk Komite Nasional,
maka A.M. Hanafi, Chaerul Saleh dan Pandu Kartawiguna mengambil bagian tugas sendiri,
mempersenjatai pemuda menjadi people's army dan terutama mendesak Pemerintah R.I. untuk
membangun Tentara dengan satu Maklumat pembentukan Tentara Republik Indonesia
secepatnya tanpa ragu-ragu lagi. Menteng 31 dan bekas PETA dan Heiho sudah sedia
mempelopori pelaksanaannya. Kalau saya tadi berniat mengambil inisiatif merayakan HUTABRI
di Havana, ialah karena secara spiritual saya ingin bayar-kaul atas tercapainya cita-cita Pemuda
Menteng 31: lahirnyaTentara Nasional Indonesia, walaupun telah melalui sejarah pengorbanan
selurah rakyat pahit dan getir. Pencetusan prakarsa itu secara spritual adalah hak dan tugas
kesadaran nasional dan patriotisme kami: saya bersama Chaerul Saleh dan Pandu, dan Amir
Sjarifuddin. Mengapa tidak?!
Tonggak-tonggak dalam sejarah menegakkan Republik tercinta ini prakarsa dan kesertaan dalam
melahirkanTentara R.I. itu, tidak boleh dilupakan, sekalipun para pemrakarsanya telah jadi
korban dari revolusi di mana mereka turut memeloporinya. Bersyukurlah kita kepadaAllah,
584
bahwa berkat restuNya revolusi Angkatan 45 berhasil mencapai dan menegakkan kemerdekaan
nasional dari penjajahan asing. (Bila dibandingkan, tidak sesulit dan sesakit bangsaVietnam).
Semua itu adalah jasa para pelopor pergerakan nasional kita, teristimewa berkat persatuan dan
cita-citaTritunggal Sukarno-Hatta-SJahrir. Para pemuda sebagai harapan bangsa jangan sekalikali melupakan itu. Perjuangan mencapai muara-bahagia masih jauh namun bagaimana pun
sungai tidak mengalir ke hulu untuk sampai lautan Sang Sungai tidak boleh lupa pada sumbernya
di Gunung Cita-cita Bangsa.
585
BAB V
Rame-rame Potong Tebu pada Hari Ulang Tahun 26 Juli
Ada lagi yang luar biasa. Setiap tanggal 26 Juli, hari ulang tahun penyerbuan gudang senjata El
Quartel Moncada (1953) oleh satu grup pemuda revolusioner dibawah pimpinan Fidel Castro;
dan setiap tanggal 2 Desember, peringatan hari pendaratan Fidel Castro, Raul Castro, Camilo
Cienfuegos, Che Guevara (selurahnya 78 pejuang) mendarat di pantai Las Colorado di Oriente
Cuba dengan sebuah motorboot "Granma" dari Mexico (1956) - kedua hari tersebut dirayakan
besar-besaran dengan melakokan kerja bakti menebang tebu.
Hari penting yang ketiga, yang diperingati setiap tahun selama tiga hari, 17-18-19 April, adalah
hari-hari pertempuran di Playa Giron selama tiga hari tiga malam menghancurkan pendaratan
tentara bayaran (mercenarios) Amerika, yang terkenal dengan nama "Pertempuran di Pantai
Babi" (Baya de Cochon).. Sebagian dari mercenarios, tentara bayaran yang tidak mati, menyerah
kalah, menjadi tawanan perang, kemudian dikirim kembali ke Amerika. Bahwa kekalahan
tentara bayaran di Pantai Babi itu memalukan Amerika sendiri bukan main, tak usah dikatakan
lagi. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada tahun 1961. Itu kekalahan Amerika yang pertama kali
di lautan Karibia, di samping berarti pula kemenangan pertama rakyat Amerika Latin terhadap
imperialismo yanqui. Bahwa kesimpulan demikian itu membuat tambah panas hati pihak
Amerika, dapat dimaklumi pula.Jelaslah, mengapa akibatnya Kuba dijatuhi "blokade ekonomi"bahkan sampai sekarang - dan pengintaian dari laut dan dari udara masih terus dilanjutkan ketika
saya tiba di Havana.
Demikianlah mengapa hari-hari penting tersebut diperingati dengan rasa khidmat dan dirayakan
dengan kerja bakti besar-besaran secara suka-rela, tetapi meriah dan dengan gembira oleh
seluruh rakyat Kuba.
Kerja bakti itu dengan bersenjatakan golok (machete,) pergi menyerbu peladangan tebu untuk
memotong tebu.Tambah meriah lagi karena seluruh perwakilan negara-negara sosialis turut
meramaikannya.
Tentu saja KBRI Havana tak mau ketinggalan. Bangun kembali dalam hatiku, kebanggaaan akan
pengalaman kerja bakti ketika saya sebagai Menteri PETERA, 1957, mengadakan pilot proyek
kerja-bakti gotong-royong pemboatanjalan Saketi-Malimping, di Banten Selatan, satu daerah
yang di"anak-tiri"kan beberapa zaman. Saya pribadi telah bertemu kembali dengan jiwa manusia
Multatuli dengan "Saijah dan Adinda". Rasa hati kemanusiaanku selalu hendak mengulurkan
tanganku kepada makhluk manusia yang di"masa-bodo"kan sistem penjajahan. Di masa itulah
pula penulis pejuang Pramoedya Ananta Toer menggubah karyanya yang dijulukinya "Keluarga
Gerilya". Dia juga turut serta dalam kerja bakti pilot proyek Saketi-Malimping tersebut.
KBRI Havana tak mau ketinggalan kerja bakti menyerbu peladangan tebu di Kuba pada hari
peringatan Hari Perjuangan Bersenjata rakyat Kuba tersebut. Dan juta "tak kepalang tanggung".
Kalau Duta besar Uni Sovyet,Alexander I.Alekseev, hanya beberapa batang saja, sudah. Isyarat
simbolik setiakawan revolusioner itu sajalah. Begitu pula Duta Besar R.R.T., Wang Yu Ping.
Tapi kalah banyak dengan hasil tebasannya. Duta Besar R.I. yang disertai dengan semua stabnya.
586
Rombongan para diplomat dalam kerja bakti itu disertai oleh Wakil Menteri Luar Negeri Kuba,
Arnold Rodrigues dan Kepala Stafnya Eduardo Delgado, juga turut serta Kapten Osmani
Cienfuegos (adik Pahlawan Martyr Camilo Cienfuegos), Anggota Politbiro Partai Komunis Kuba
yang merangkap Urusan Politik Luar Negeri.
Mereka itu dengan bangga menyampaikan salutnya kepada kami yang mau dengan sukarela
mengintegrasikan diri dengan mereka untuk merayakan kemenangan pertempuran hebat di
Pantai Babi tersebut. Lalu, sehabis potong tebu, sebagai penutup kemeriahan hari itu, sebelum
pulang ke rumah, diadakan latihan menembak pakai sasaran. Bukan untuk pamer, rasanya Duta
Besar Indonesia yang oleh Pak Gatot (Jendral) di Juluki "koboy Krawang", tidaklah memalukan
bangsa dalam urusan tembak-menembak itu.
Lain lagi dengan Konsul dari Vatican, Mons. Dr. Cesar Zacchi yang amat bersimpati pada saya.
Beliau tidak pernah turut kerja bakti itu, tetapi ketika ketemu dalam Resepsi, menyalami saya
menanyakan berapa ton tebu yang telah dapat saya potong, dengan senyum yang simpatik yang
tidak dibuat-buat.
Memang barangkali sifat hampir semua Pastor Katolik begitulah. Mulainya dekat sama saya
setelah saya katakan padanya bahwa saya seorang yang beragama Islam, yang menginginkan
orang Islam dan orang Kristen bisa saling menghormati dan bisa bekerja-sama turut membangun
dunia baru yang damai buat semua ummat, tanpa penindasan dan tanpa penghisapan. Dan saya
orang yang beruntung, karena beroleh kesempatan mengunjungi Citta del Vaticano, Istana Paus
di Roma dan diberi pula kehormatan berziarah ke makam para Paus yang ada di situ, tatkala saya
turut mengiring Presiden Sukarno dianugerahi Doctor Honoris Causa oleh Bapak Paus di tahun
1956. Itulah asal-mulanya Konsul Vatican tersebut amat bersimpati pada saya.
587
BAB VI
Berita yang Mengejutkan tentang Kudeta Dewan Jendral
Pada hari itu tepat tanggal 1 Oktober 1965. Hari itu kurang lebih jam 9 pagi, saya sudah ada di
Kantor KBRI Havana, sebab kami sedang giat-giatnya bekerja untuk memper- siapkan perayaan
Hari UlangTahun (HUT) ABRI 5 Oktober 1965. Semua keluarga Staf KBRI serta anak-istrinya
giat dalam Panitia Perayaan yangjuga memperoleh bantuan dari pihak Kuba.Acaranya:
mengadakan resepsi disertai pertunjukan kesenian nyanyian dan tari- tarian Indonesia; sedang
diusahakan pula defile persahabatan Angkatan Pemuda Kuba Juventud Rebelde) di lapangan
baris- berbaris di mana berdiri patungJendral Antonio Maceo (pemimpin pemberontakan
bersenjata Kuba melawan penjajahan Spanyol). Sayangnya, acara defile ini dikoreksi oleh
Panglima AchmadYani, yang dalam kawatnya mengatakan bahwa hal itu tidak biasa. Maka acara
defile ini dibatalkan. Dalam kawatnya yang kedua dia mengatakan, berhubung dengan
kesibukannya dengan Hari Ulang Tahun ABRI di Jakarta, pengangkatan saya menjadi
MayorJendral Tituler TNI baru dapat dilaksanakan sesudah perayaan itu. Saya terima dua buah
kawat sandi Panglima A.Yani itu kira-kira tanggal 15 dan 20 September 1965. Memanglah saya
merasa dekat dengan beliau, dan rupanya beliau demikian pula, sebagai yang telah saya uraikan
terlebih dahulu.
Oleh sebab itu saya amat terkejut dan heran sekali, ketika pada tanggal 1 Oktober jam 9 pagi
ketika baru saja masuk kantor kedutaan dan berada di ruang kerja, tiba-tiba diserbu tanpa bikin
janji terlebih dahulu oleh Capitain Osmani Cienfuegos. Bagaimana tidak akan kaget, sebab
caranya bukan saja luar biasa, tetapi mengingat beliau sendiri adalah seorang tokoh Pemerintah
Kuba yang penting sekali, anggota Politbiro El Partido Comunista de Cuba (PCC), adik
PaKtawan Kuba Camilo Cienfuegos almarhum. Ketika pintu diketuk sekretaris saya :"Ada tamu
penting, Pak", Kapten Osmani itu sudah ada di depan pintu. Segera saya melompat menyalami
dan mempersilakannya duduk. Air mukanya tampak serius, tidak seperti ketika bersama-sama
potong tebu di ladang. Mula-mula saya mengira kedatangannya akan mengabarkan bantuan
Kuba yang telah saya minta untuk memeriahkan HUT ABRI yang pertama kali di Havana itu.
"Excusame, por favor, Señor Embajador, maafkan saya, Tuan Duta Besar, atas kedatangan saya
yang tiba-tiba ini ... sebab kami mengharap dan ingin mendapat kepastian apakan Embajador
sudah menerima juga berita yang telah sangat mengejutkan kami?"
Singkatnya dia mau mengecek suatu berita mengejutkan yang rupanya dia terima duluan
daripada saya. Belum saya tanya apa berita yang mengejutkannya itu, saya langsung menjawab
bahwa berita- berita yang masuk biasa-biasa saja, tidak- ada yang mengejutkan. Kalau ada yang
abnormal, tentulah saya akan minta konsultasi kepada ustedes, kepada anda-anda. Lalu saya
tanyakan, berita apa yang dia terima yang mengejutkan itu?
"Ada kudeta Dewan Jendral di Jakarta. Karni terima kawat dari AFP/Prensa Latina. Ini...."
Saya ambil kawat itu dari tangannya, memang betul dari AFP/ Prensa Latina - kantor berita
Pranci/Kuba. Pendek saja berita itu: TELAH TERJADI COUP D'ETAT Dl JAKARTA
TERHADAP PRESIDEN SUKARNO. Saya perhatikan, kawat itu tertanggal 1 Oktober, berarti
terjadinya kemarin, 30 September waktu Kuba.
588
Kalau langit dan bumi ini pecah tiga, empat, lima - saya tidak akan seterkejut seperti setelah saya
membaca kawat yang dibawa oleh Kapten Osmani tersebut.Walapun sekujur badan saya sŠperti
disengat listrik saking kagetnya mendengar berita yang tidak enak itu, pikiran dan hati saya tetap
saja tidak mau percaya.
"Impossiblé ... yo no puedo crearlo (tidak mungkin saya tidak bisa percaya berita ini) .... I-m-po-s-s-i-b-l-é", tukas saya dalam bahasa Spanyol dengan intonasi panjang.
Saya ceritakan pada Osmani tentang pertemnan saya dengan Presiden Sukarno dan Panglima
A.Yani bulan Januari 1965 secara singkat. Tidak mungkin pahlawan perang yang
menghancurkan pemberontakan separatis PRRI/Permesta itu, mengkhianati Presiden, Panglima
Tertingginya.
Pembaca yang terhormat,
Saya terpaksa dengan susah-payah menahan emosi untuk tidak menumpahkan semua sekaligus
di halaman-halaman ini, dan sebe- narnya sekarang ini memang sudah terlalu janh menggapaigapai kejadian sial 1 Oktober 1965 itu. Suatu kejadian yang sama sekali tak terbayangkan
sebelumnya, tak terandai-andaikan bahkan sedikit pun pada saat kami bertiga - Presiden, Pak
Yani dan saya - begitu intimnya menyantap rebusan"singkong Marhaen" di Istana Merdeka.
Melanjutkan cerita tentang pertemnan dadakan antara Kapten Osmani dengan saya pada 1
Oktober 1965 pagi itu, Kapten Osmani sebelum pamit masih berkata: "Sebaikuya saudara Duta
Besar mengecek berita itu. Karena persahabatan Kuba yang begitu dekat dengan Indonesia, saya
anggap penting berita AFP itu segera diketahui Embajador dan diperiksa sampai di mana
kebenarannya. Kuba mengharapkan berita itu tidak benar. Sekian saja, hasta luego, sampai
nanti." Sesudah menanyakan keadaan keluarga saya, seraya menyatakan salamnya, Kapten
Osmani pamitan pulang.
Sejurus saya termenung memikirkan berita yang sensasional tetapi sekaligus mengkhawatirkan
yang dibawa tokoh penting Kuba tadi. Masih tetap saja tidak masuk akal pada saya. Kemudian
saya kumpulkan semua staf KBRI dan memerintahkan agar mengecek berita itu. Pertama, saya
perintahkan menilpon ke Jakarta. Kedua, menanyakan kepada KBRI Washington apakah mereka
ada mene- rima berita tentang kudeta itu.Ternyata KBRI Washington juga tidak tahu apa-apa,
mereka hanya menjanjikan akan memberitahokan ke Kuba kalau sudah dapat berita resmi dari
Jakarta. Agar pembaca mengetahui, KBRI Havana tidak mempunyai hubungan tilpon langsung
denganJakarta.Telex atau tilpon semuanya harus melalui KBRI Washington. Hanya suratmenyurat, diplomatic bag, bisa langsung via Mexico per plane. Pada waktu saya baru tiba di Havana, saya tanyakan kepada chargé d'affair, saudara Raden Ngabehi Sulaiman, yah begitulah
ketentuan Deplu diJakarta.Tentu saja saya mendongkol, tapi saya belum bisa berbuat apa-apa
untak tidak tergantung kepadaWashington itu. KBRI Havana dalam hal trans- komunikasi ke
Jakarta rupanya cuma embel-embel. Saya pikir pada saatnya keadaan seperti itu harus diubah,
supaya saya dari Havana punya akses langsung dengan pemerintah pusat di Jakarta.
Pada resepsi di Kedutaan RRC pada hari 1 Oktober 1965 itu, banyak Duta-duta Besar asing
menyalami saya, sampai jadi berkerumun. Rupanya mereka sudah memperoleh juga berita sema589
cam yang diberitakan olehAFP itu. Dengan tegas saya membantah, bahwa sama sekali tidak
mungkin terjadi kodeta oleh Dewan Jendral, bahwa saya masih menantikan penjelasan dari
Jakarta.
Mengenai hal ini ada sesuatu yang"aneh" saya alami. Kira-kira dua bulan yang lalu dalam satu
pertemuan dengan Duta Besar Polandia, beliau menanyakan, sampai di mana kekuasaan Presiden
Sukarno di dalam ketentaraan Indonesia. Tentu saja saya jawab positif, semua ABRI bulat di
belakang Presidennya. Mestinya dalam hal seperti itu saya, sebagai Duta Besar dan juga sebagai
telinga di pos depan, segera melaporkan kepada Pemerintah. Mengapa sampai muncul
pertanyaan seperti itu? Tapi apa mau dikata, seperti saya katakan di atas tadi, KBRI Havana
tidak punya komunikasi langsung ke Jakarta. Dan saya selalu bersikap hati-hati mengenai hal-hal
se- cret seperti itu. Satu hal pernah saya minta kepada Presiden Sukarno kalau saya dikirim ke
Kuba, agar dalam hal-hal yang penting dan rahasia saya diperkenankan berhubungan langsung
dengan Presiden. Hanya dalam urusan administrasi dan keuangan saja, saya bertang- gungjawab
kepada Menlu dan Deparlu. Beliau mengerti maksud saya dengan baik. Ketika itu saya belum
mengetahui tentang peralatan Kedutaan Besar Havana yang sangat minim.
Marsekal Suryadharma tadinya ditugaskan untuk mempersiapkan Kedutaan di Havana itu,
kemudian beliau diangkat menjadi Penasihat Militer Presiden Sukarno.Ternyata alat-alat
komunikasi langsung antara KBRI Havana dengan Istana di Jakarta tidak ada sama sekali,
barangkali belum terpikir akan arti penting KBRI Ha- vana, padahal sebagaimana dikatakan
Presiden Sukarno, Kuba punya posisi penting bagi kita dalam kaitan dengan Amerika Latin.
Nanti, nanti di Jakarta saya akan menjumpai lagi keteledoran, kelalaian Penasihat Militer kita ini,
di dalam rangka penyelamatan Presiden Sukarno dari kepungan malapetaka G30S.
Di dalam resepsi di Kedutaan RRT tersebut di atas tadi, Duta Besar Polandia itu juga datang
menyalami saya dengan senyumnya yang simpatik itu, tapi dengan nada rada sarkastis berkata
sambil- lalu: "Itu sebabnya dulu saya mengingatkan Duta Besar supaya periksa lagi sampai di
mana kekuatan Presiden Sukarno di dalam ketentaraan Indonesia".
Dalam hal ini, kiranya, para pembaca dapat memaklumi bahwa telah berlaku pada diri saya
pribadi peribahasa"sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna". Saya tidak bermaksud
menyalahkan siapa pun mengenai kesulitan alat-alat komunikasi itu tadi, tapi biarlah diketahui
kekurangan hal-hal yang amat penting kita butuhkan di masa itu.
Barulah pada tanggal 5 Oktober kita terima telex dari KBRI Washington yang mengabarkan
bahwa telah terjadi kudeta oleh Kolonel Untung. Itu saja. Seminggu kemudian, oleh saudara
Djuwir Djamal, ex Sekretaris I KBRI Havana yang beberapa bulan yang lalu telah dipindahkan
Deplu ke Kedutaan R.I. di Argentina, saya dikirimi majalah yang memuat foto Kolonel Untung.
Dalam keadaan tak menentu itu, saya terpaksa memutuskan membatalkan Peringatan Hari
UlangTahun ABRI yang tadinya telah direncanakan dengan segala kebesaran dan kemeriahan.
Buat apa, kalau hanya akan memalukan nama bangsa, memalukan pemerin- tahan Sukarno.
Sebab masih belum ada juga keterangan yang menjelaskan situasi dari Jakarta mengenai kudeta
itu.
590
Sesudah itu barulah ada telex dari KBRI Washington yang agak jelas, bahwa pada 30 September
telah terjadi percobaan kudeta oleh Kol.Untung dan Presiden Sukarno dalam keadaan selamat.
Kawat-kawat memantau pulang
Tanggal 3 Oktober, saya terima kawat pribadi dari abang saja, Asmara Hadi, anggota MPRS
yang berada di Peking. Kemudian baru saya ketahui, baLwa dia sebagai anggota MPRS turut
serta dalam rombongan Ketua MPRS yang diundang menghadiri perayaan Hari Nasional RRC.
Demikian juga Saudara Winoto Danuasmoro ikut da]am rombongan tsb.,juga sebagai anggota
MPRS. Kawat tersebut meminta saya pulang, sebab keadaan di Indonesia gawat.Tiga hari
kemudian datang pula kawat dari SaudaraWinoto Danuasmoro, mengatakan bahwa saya tidak
usah pulang, sebab Bung Karno selamat.
Selang beberapa hari kemudian, datang pula kawat dari Chaerul Saleh, Ketua MPRS, meminta
kalau bisa saya pulang. Kawat itu tertanda dari Kanton. Saya artikan mereka, rombongan MPRS
itu, dalam perjalanan pulang ke Jakarta.
Kemudian datang pula telex dari Jakarta mengabarkan tentang percobaan kudeta Kolonel Untung
dari G30S/PKI yang telah dapat digagalkan, korban beberapa orang Jendral TNI, di antaranya
Panglima A.Yani, dan Presiden Sukarno dalam keadaan selamat.
Barulah kami dapat berita yang agak jelas. Bagaimana kerusuhan di dalam hati saya tak dapat
dijelaskan dengan kata-kata. Koq, sampai PKI, yang Ketuanya D.N. Aidit, yang saya kenal sejak
dari muda Anggota Barisan Pemuda GERINDO yang saya pimpin dan yang menjabat sebagai
Menteri Negara pula, sampai mau berbuat makar, sampai bisa dimanipulasi oleh Kolonel Untung
itu. Koq bisanya? Ah, Brutus engkau!
Aduh, kenapa Dr. Subandrio, yang saya anggap sebagai sahabat baik saya itu (kalau tidak, mana
saya mau mengajukannya jadi Menlu di dalam Kabinet Karya Djuanda dahulu), yang tahu pula
betapa rapat dan setianya saya kepada Bung Karno, tidak sedikitpun langsung menilpon atau
men-telex saya? Apa sebenarnya yang terjadi sampai AchmadYani,Jendral harapan saya
Angkatan 45 itu sampai menjadi korban?
Hati saya resah, gelisah, tidak menentu, tidak tahu apa yang bisa saya perbuat untuk membantu
Presiden Sukarno, menyelamatkan negara dari malapetaka yang gawat itu. Saya ingin tabu apa
sebenarnya yang telah terjadi. Saya bukan seorang Duta Besar tok, amtenar yang bisa kerja cuma
tunggu petunjuk atasan. Saya patriot pejuang yang turut mendirikan negara ini di barisan paling
depan di zaman revolusi kemerdekaan. Masakan saya harus tengak-tengak saja begitu jauh dari
tanah air yang tertimpa bahaya, duduk di Ha- vana dari resepsi ke resepsi. Akbirnya saya terima
kawat singkat Chaerul Saleh seperti saya singguh di atas: "Kamu harus pulang; sebentar, penting,
cepat".
Saya ambil keputusan, saya harus pulang cepat untuk mengetabui jelas dan menengok apa yang
terjadi. Saya rundingkan maksud saya itu dengan Sukendah, isteri saya. Dia dapat memaklu~ni
karena juga khawatir akan keadaan Presiden Sukarno. Saya punya kekhawatiran dobel, mengenai
591
apa yang sedqng te~adi di Indonesia dan tentang; urusan-urusan KBRI serta keluarga yang akan
saya tinggalkan sementara di Kuba.
Saya rundingkan pula dengan semua staf KBRI, supaya segala sesuatu yang penting yang
mungkin dihadapi KBR], Ibu Sukendah jangan ditinggal sendiri, harus turut rundingkan
bersamanya sebagai wakil langsung dari saya sebagai Dubes, bukan saja karena ia seorang isteri.
Saya tidak lupa amanat Presiden Sukarno ketika melantik saya di mana beliau meminta istri saya
berdiri di samping saya untuk menenma amanat yang diberikannya."Duta Besar dan sang istri
harus merupakan satu team. Sukendah saya kenal sejak masih gadis, seorang pemuda pergerakan
juga, harus bantu Hanafi, suamimu. Seorang istri adalah "een moedertje, geliefde, en kameraad
tegelijk" (seorang ibu, kekasih dan sekaligus kawan seperjuangan), kata Bung Karno.
Tinggal lagi saya harus pamitan, memberi tahu kepada Peme- rintah Kuba maksud kepergian
saya itu. Menlu Dr. Raul Roa menyatakan harapan yang terbaik bagi Presiden Sukarno, atas
nama Pemerintah Kuba. Tapi untuk minta waktu audiensi kepada Commandante Fidel Castro,
Raul Roa menyarankan sebaiknya tunggu selesainya Hari-hari Peringatan Desember yang selalu
penting diperingati, dan Fidel sedang sibuk-sibuknya waktu itu.
Hari 2 desember 1956 . . . adalah hari pendaratan satu grup kaum revolusioner Kuba di bawah
pimpinan Fidel Castro (Camilo Cienfuegos, Che Guevara, Raul Castro dan lainnya) di
pantaiOriente (Kuba) dengan kapal motor Granma dari Mexico. Hari itu diperingati setiap tahun.
Dari 87 orang yang bisa sampai ke puncak gunung Pico Turquino, itu hanya 12 orang. Karena
waktu mendekati pantai mereka diserang oleh kapal terbang Batista. Pada waktu mendarat,
langsung bertempur. Peristiwa heroik bersejarah itu terkenal dengan nama Pendaratan Kapal
Motor Granma. Begitulah riwayatnya secara singkat.
Saya sudah mengatakan kepada Menteri Luar Negeri, Raul Roa bahwa saya akan berangkat ke
Indonesia sehari sesudah peringatan pendaratan Granma itu, Dus tanggal 3 Desember. Saya
masih me- nyempatkan diri menghadiri hari peringatan Pendaratan Granma dengan satu Rapat
Raksana di malam hari. Dengan perasaan agak jengkel, sebab tidak mungkin ketemu
Commandante Fidel Castro, sebab saya tidak mau menunda-nunda lagi keberangkatan saya itu.
Commandante Fidel Castro mengunjungi Dubes R.I.
paraksiang 2 Desember 1965
Hari sudah jam satu malam lebih. Setiba di rumah anak-isteri sedang mempersiapkan barangbarang keberangkatan saya.Tiba-tiba masuk ke pekarangan dua bnah jeep. Beberapa tentara
turun mengetok pintu. Setelah dibuka oleh Tan Joe Hok, koki yang saya bawa dari Jakarta,
tentara-tentara itu minta supaya lampu-lampu yang menerangi pekarangan rumah kediaman saya
itu dimatikan semua. Koki itu meneruskan permintaan itu pada saya. Dengan suara keras saya
melaranguya, sebab menyimpan rasa dongkol akan berangkat tanpa bisa pamitan dengan Fidel
dalam soal sepenting ini.Tentara- tentara itu - entah berapa jumlah mereka - masih menunggu di
luar, kemudian seorang dari mereka masuk ke dalam sambil mengatakan ada Commandante
Fidel Castro di jeep yang satu lagi, bahwa beliau mau masuk bertemu Duta besar, kalau lampu
pekarangan yang terang-benderang itu dimatikan dulu.
592
Mendengar kata-kata tentara itu, segera lampu pekarangan saya suruh padamkan semna dan saya
loncat ke luar menyambut Com- mandante Fidel Castro yang sudah sampai di pangkal tangga
masuk. Saya minta maaf, menyalaminya dan beliau juga minta maaf karena tak memberi tahu
lebih dahulu. Saya tuntun Fidel ke ruangan tamu diantar dokter tentara, dokter pribadinya, yang
lainnya berjaga di luar. Hampir satu jam kami berbicara tentang peristiwa pembe- rontakan
Kolonel Untung. Singkatnya, Fidel mengucapkan selamat jalan untuk saya guna tugasku yang
penting itu. Kemudian dia meminta sehelai kertas untuk menulis surat buat Presiden Sukarno
pribadi, dengan pesan supaya diberikan langsung ke tangan Bung Karno. Saya sambut pesan
kepercayaannya kepada saya dengan hormat dan terimakasih. Sesudah saya jamu dengan
gorengan kripik tempe dariJakarta dan minum kopi serta satu sloki whisky bersama ucapan
kesehatan untuk Commandante Fidel Castro, yang disambut dengan ucapan kesehatan Presiden
Sukarno pula, dan sesudah beliau menghabiskan goreng tempe sepiring itu, beliau pamitan.
Betul- betul satu kenangan yang indah terkesan yang ditinggalkannya padaku. Betul-betul suatu
persahabatan yang mesra yang diberi- kannya itu, dan yang akan saya ceritakan sebulat-bulatnya
kepada Bung Karno. Tidak ada Duta Besar lainnya yang ditanggapinya seperti itu. Barangkali
cuma Dubes Uni Sovyet, tapi tentulah ada lainannya, dan tentu tidak akan menggedor pintu di
tengah malam hari seperti dengan saya itu.
Fidel datang dari peringatan "PendaratanGranma" untuk mem- bebaskan Kuba. Keesokan hari
Hanafi berangkat ke Indonesia untuk bantu keselamatan Presiden Sukarno. Sungguh suatu
simbolik revolusioner, tetapi ternyata Fidel memang berhasil mem bebaskan Kuba- tapi Hanafi
tidak berhasil membebaskan Bung Karno dari kepungan kontra-revolusi bangsanya sendiri. Apa
mau dikata ...
593
BAB VII
Perjalanan ke Jakarta dibuntuti Maut
Di pagi hari tanggal 3 Desember 1965,oleh anak-anak saya, Nurdjaya dan Damayanti, bersama
adiknya Nina Mutianusica yang berumur setahun, serta istri saya Sukendah, saya diantar ke
lapangan terbang Rancho Boyero. Dari staf diplomat KBRI turut mengantar pula Saudarasaudara Moh. Hatta, Hartono dan Rustamadji. Saudara Zuwir Djamal tidak ada, sebab belum
lama berselang pindah ke KBRI Argentina di Buenos Aires. Saya merasa kehilangan dia. Dia itu
masih ponakan dari wartawan kawakan SaudaraAdinegoro yang saya kenal baik, yang bahkan
pernah turut serta dalam rombongan yang mengiring Presiden Sukarno dalam kunjungan
kenegaraannya ke Amerika, Rusia dan Tiongkok, seperti saya. Adinegoro sendiri datang sengaja
ke rumah saya, berbasa-basi mau menitipkan Zuwir Djamal pada saya yang akan ditempatkan
oleh Deplu ke Havana, Kuba. Dia berangkat lebih dulu daripada saya sekeluarga ke Havana,
Kuba. Zuwir Djamal ini Sekretaris I saya yang pertama-tama, orangnya punya jiwa lahur dan
punya budi-baso, kata kami di Sumatra.
Saya kemudian menjadi "orang buangan", political exile di Paris, namun sebagai seseorang yang
tetap berpendirian "putra Indonesia", sejak Duta Besar R.I. di Paris Pak Mohamad Nur dan
Athan Willy Kahirupan, pintu KBRI Paris tidak ditutup buat saya. Sekali, pada hari Lebaran,
ketika saya ke KBRI turut sembahyang Idulfitri, saya merasa ada seseorang duduk di belakang
saya.Ternyata saudara Zuwir Djamal. Dia tidak takut dan ragu-ragu memperkenalkan saya pada
orang-orang KBRI Paris:"Ini Pak Hanafi, bekas senior saya". Saya dengar kemudian, Zuwir jadi
Duta Besar di Brunai Darussalam. Saya menceritakan hal ini, oleh karena sejak saya menjadi
"orang buangan", hanya Zuwir Djamal itu saja yang kebetulan saya jumpai.
Lapangan terbang Rancho Boyero hanya digunakan oleh Cubana de Aviacion,Aeroflot, CSA
(Cekoslowakia) dan Iberia. Sejak Fidel Castro berkuasa kapal-kapal terbang Amerika dan Eropa
tidak ada yang mendarat lagi di sana. Dan yang penting bagi saya, untuk pulang dan pergi ke
Mexico tak ada pesawat selain pesawat Cubana de Aviacion itu.
Ketika tiba waktu berangkat, saya ulangi amanat saya kepada semua, kepada Sekretaris I Moh.
Hatta:"Dalam masalah politik, Ibu Hanafi adalah wakil saya pribadi, selama saya bepergian
keJakarta, rundingkan masalah-masalah sama Ibu,jangan dilupakan".Ternyata kemudian, adanya
amanat saya itu memang penting.
Saya cium "selamat tinggal" anak-anak dan istri saya dan salam mesra pada semua yang
mengantar saya, dan naiklah saya ke kapal terbang. Bismillah. Saya latih diriku di dalam hati
untuk selalu dekat denganTuhan dalam hal-hal begini. Dulu juga begitu. Saban keluar dari
cacuran atap rumah dengan langkah pertama saya mengucapLan "Bismillah". Demikian juga
dahulu ketika masih di front Krawang- Bekasi. Dari kocil saya dilatih begitu.
Ketika tiba di Mexico, tidak ada pegawai lokal KBRI Mexico datang menjemput. Apakah KBRI
Havana ada mengabarkan atau tidak kedatangap saya ke Mexico, saya tidak tahu. Saya ambil
taxi pergi ke Hotel Del Prado di sana saya biasa menginap kalau datang ke Mexico. Saya tilpon
menyalami Duta Besar IsmailThayeb, kalau- kalau ada titipan yang bisa ku bawa untuk hmilinya
594
diJakarta. Saya kenal hampir semua keluarga Bapak Teuku Thayeb dan hubungan saya dengan
Dr. Syarif Thayeb pun rapat sejak hari-hari Proklamasi Kemerdekaan. Ternyata Pak Ismail
Thayeb tidak mengetahui sebelumnya akan kedatangan saya ke Mexico itu. Artinya KBRI
Havana punya kelalaian.Tapi saya juga maklum, memang ada pro- blem soal komunikasi dengan
Mexico. Ini bersangkutan dengan blokade Amerika terhadap Kuba. Ada kala kita bisa menilpon
ke Havana dari Mexico, kadang kala juga tidak mudah. Maka itu KBRI Havana banyak
tergantung pada hubungan kolegial kita dengan KBRI Washington. Contohnya, ketika saya mau
beli mobil Amerika, Duta Besar kita di Washington, Mukarto Notowidigdo, tidak bisa membantu
membelikan, sehingga dia terpaksa membelikan mobil buat KBRI Havana melalui Kanada,
sebab Kanada punya hubungan diplomatik dengan Kuba, sedang Amerika tidak, bahkan
memblokade Kuba. Sampai sekarang!
Soal pita rekaman Dewan Jendral
Pertama kali saya mendengar cerita "tape DewanJendral" ialah ketika saya menginap di Hotel
Del Prado di Mexico ini, dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Ini terjadi secara kebetulan, tapi
sangat menarik.
Ketika saya hendak pergi makan makanan spesial Mexico, Tacos, di sebuah restoran yang berdiri
sendiri terlepas dari hotel tersebut, persis di depan pintu kamar saya, saya bertemu dengan Tuan.
J.F. Cardoso. Ternyata dia menginap di sebelah kamar saya. Nama lengkapaya, kalau saya tidak
salah, adalah Jose Francisco Cardoso. Ibunya selalu memangilnya"Paco". Dia ini baru datang
kemarin dari Jakarta, hendak pulang ke Havana pada hari itu dengan Cubana de Aviacion.
Dahulu, ketika saya berangkat ke Kuba, dialah yang jadi Wakil Kuba, Charge d'Affaires di
Jakarta. Oleh sebab itulah, hubungan pribadi dia dengan saya sekeluarga baik sekali.
"Ola, Senor Cardoso. Buenas dias, de donde viene usted?",1) saya menyapanya dalam nada
terkejut. Dia pun terkejut sekali melihat saya keluar dari kamar yang di sebelah. Dia menjawab
sambil agak tertawa, menyembunyikan kagetnya:"Boenas dias. DariJakarta, baru kemarin tiba,
hari ini akan terus ke Havana. Dan Embajador sendiri, mau ke mana?"
"Saya mau keJakarta.Ada kabar apa, ... apa yang terjadi di sana?" "Caramba ... habia una atentat
de coup d'etat par, como se llama, el 'DewanJendral'."2) "Apa iiyya ... apa bukan oleh Kolonel
Untung?" "Kolonel Untung dkk. mau mencegah kudeta oleh Dewan Jendral itu,tetapi
gagal.Buktinya ada tape Konferensi DewanJendral, itu sudah ada di tangan Presiden
Sukarno.Jadi jelas, Dewan Jendral mau kudeta. Itu berita dan cerita yang dapat saya ketahui di
Jakarta." "Wah, celaka, repot nih", dalam hatiku, mendengar cerita Cardoso. Cepat-cepat saya
bilang:"Fait atencion, Senor Cardoso, por favor, hati-hati tuan Cardoso, tolong, jangan dulu
dilaporkan cerita itu kepada Pemerintah Kuba sebagai keadaan dan kenyataan yang pasti, demi
kepentingan bersama Indonesia dan Kuba.Tunggu dulu kabar saya dari Jakarta."
Demikianlah cerita pertemuan singkat saya dengan Tuan J.F. Cardoso ketika sama-sama
mengunci pintu kamar, dia mau keluar membawa kopornya, dan saya mau keluar cari makan
siang. Kami berpisah sama-sama mengucapkan selamat jalan. Di dalam hatiku, belum juga
sampai ke "gelanggang", baru dalam perjalanan ke situ, saya sudah ditempur angin berita yang
simpang- siur. Untuk menyingkat cerita, supaya sampai pada "tape Dewan Jendral" yang
595
diceritakan oleh Cardoso di atas tadi, saya sekarang melompati jarak dan waktu sampai pada
ketika saya sudah tiba di Jakarta. Ternyata cerita tape Konferensi DewanJendral itu, dan bahwa
tape itu ada di tangan Bung Karno, sebagaimana diceritakan tadi adalah tidak betul, omongkosong, isapan jempol dari pihak GESTAPU saja."Omong-kosong" itu harafiah ucapan Bung
Karno sendiri pada saya. Saya bawa Brigjen Mohamad Imam Sjafi'i (Bang Piti) untuk menemani
saya ke Istana Bogor menanyakan soal tape tersebut. Bung Karno malah bertanya pada Pi'i: "Apa
yang kamu ketahui dan di mana adanya tape itu Pi'i?" Brigjen Pi'i, "jagoan" saya ini, jadi
terheran-heran menjawab: "Lho, Pak, orang kata tape sudah ada di tangan Bung Karno!"
"Semuanya itu omong-kosong, makanya itu jadinya begini." Demikian ucap Bung Karno dengan
wajah yang muram. Ketika saya bersama Brigjen Sjafi'i dipanggil Bung Karno ke Bogor, sudah
bulan Januari 1966, bulan pertama saya tiba di Indo- nesia. Itu terjadi pada malam hari. Ketika
pulang ke Jakarta, di daerah Kalibata, kami dicegat oleh tentara yang mengaku dari Pasukan
Kujang Siliwangi.
Kembali ke cerita di atas, ketika saya masih dalam perjalanan menuju ke Indonesia dan masih
berada di Mexico, di hotel Del Prado, sesudah bertemu dengan Tuan Francisco Cardoso. Saya
terpaksa menunggu lima hari untuk bisa berangkat dengan Cana- dian Pacific. Dan entah, apa
pula sebabnya, time-schedule pesawat itu tertunda dan saya tidak bisa menilpon ke Havana untuk
memberi tahu tertundanya keberangkatan saya itu. Tidak boleh ada tilpun partikeliran dari
Mexico ke Havana dan sebaliknya. Saya pun tidak mau minta tolong KBRI Mexico, sebab
semuanya harus per telex lewat KBRI Washington. Sekalipun kita bukan lagi di zaman Doktrin
Monroe (Presiden Amerika yang kelima), tapi eksesnya masih mengombak sampai sekarang.
Tanggal 10 Desember 1965, barulah saya sampai ke Tokyo. Saya dijemput oleh Teuku Damrah,
staf Protokol dari KBRI dan anak saya Dias Hanggayudha, mahasiswa Sekolah Perkapalan di
Osaka. Kedatangan Canadian Pacific di lapangan udara Haneda juga agak terlambat. Sebab
sesudah take-off dari Vancouver, pesawat harus turun di sebuah landasan lapangan terbang
darurat, berhubung adanya badai salju yang besar sekali. Kira-kira tiga jam kami tertahan di
landasan terbang darurat itu. Kemudian waktu start mau take-off, pesawat itu selip pula, terpaksa
ditarik ke tengah landasan lagi. Di situlah saya jumpa dengan seorang Amerika pengusaha
minyak,yang mengaku sahabat baik dari Kolonel Ibnu Sutowo. Ia memberi saya cendera-mata,
sebuah vulpen Parker. Ketika saya sudah berada di kamar di Hotel Imperial,Tokyo, saya melihat
di TV, pesawat Cana- dian Pacific yang saya naiki tadi, sesudah kembali dari Hongkong, hancur
menabrak pinggir landasan lapangan terbang, lalu pecah dan sebagian badannya terkulai jatuh ke
laut (lapangan terbang Haneda terletak di pinggir laut). Untung sekali, ketika saya masih ada di
dalam pesawat itu pada waktu turun di lapangan terbang Haneda, kapal terbang itu belum
ditangkap kesialan itu.
Saya minta kepada Damrah agar bisa lekas dibook dengan pesawat apa saja yang bisa paling
cepat sampai ke Jakarta, sebab saya ingin bertemu dengan Bung Karno secepatnya. Ternyata
baru lusa ada pesawat ke Jakarta, yaitu BOAC. Saya suruh anak saya, Dias, agar bersiap-siap,
akan saya bawa ke Jakarta. Saya perkirakan, andaikata Istana diblokir dan saya dicurigai,
sehingga tak bisa masuk istana, maka akan saya pergunakan Dias, anak saya itu, karena dia
adalah teman Guntur, ketika sama-sama sekolah di SMP Cikini.
596
Ketika saya pergi ke KBRI Tokyo untuk sowan Pak Duta Besar Rukminto Hendraningrat (adik
Latief Hendradiningrat yang saya kenal baik), saya bertemu degan Sekretaris I saudara Moh.
Jusuf. Saya tidak bisa bertemu dengan Duta Besar, karena beliau sedang pergi ke luar kota.Jusuf
menggerutu, menumpahkan kekesalannya pada saya: "Bagaimana, Pak Hanafi, bagaimana kita
tidak akan jadi jengkel kalau Bung Aidit itu menikam Bung Karno dari belakang dengan Dewan
Revolusi GESTAPU itu. Kita khawatir akan keadaan kita semua, bagaimana jadinya nanti negara
kita ini, orang-orang sekarang punya isu macam-macam terhadap Bung Karno, dia itu Pemimpin
Besar kita, Bapak kita, tidak bisa diganti oleh Bung Aidit atau siapa pun juga."
Jusuf tersebut adalah anggota PSII, tapi juga Sukarnois. Saya hanya manggut-manggut saja, saya
bilang padanya, walau pun saya memaklumi dengan baik perasaannya, tapi saya belum bisa
memberikan penilaian apa-apa akan keadaan umum, keadaan sebenarnya dan latar belakangnya,
sebelum saya sampai di Jakarta. Jusuf menitipkan,minta dibawakan sebuah mesin tik portable
untuk Menteri Ir. Setiadi yang, katanya, pernah singgah di Tokyo ketika pulang dari Kamboja.
Mula-mula saya keberatan.Akhirnya saya bawa juga untuk tidak mengecewakannya yang kena
titipan itu, dan juga mengingat akan Ir. Setiadi dan Dr. Sudarsono adalah pendiri API yang
pertama-tama, Cabang Cirebon, di tahun 1945.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi, saya sudah siap untuk pergi ke lapangan terbang. Makan pagi
ditemani oleh Teuku Damrah dari KBRI. Anak saya, Dias, yang mau saya bawa ke Jakarta itu,
belum datang. Kami tunggu lagi sampai menjelang waktu yang menentukan kepastian sudah
harus berangkat ke lapangan terbang untuk tidak ketinggalan kapal terbang. Dekat jarak ke
lapangan terbang belum tentu bisa dicapai dalam setengah jam, mengingat banyaknya kendaraan
dan sering macet.Tunggu punya tunggu, Dias belum datang juga. Saya gelisah bukan main,
karena ingin secepatnya sampai ke Jakarta. Harapan saya tadinya, kalau bisa jam 9 dia sudah ada
bersama saya di hotel. Sebab dari Hotel Imperial ke lapangan terbang Haneda itu bisa memakan
waktu satu jam, kalau banyak trafic. Saya menunggu di kamar hotel ditemani oleh Damrah
sampai jam 10, tapi Dias, anak saya itu, belum muncul juga. Entah apalah yang diurusnya itu,
saya tidak tahu. Saya jadi tidak sabaran. Sementara itu saya mengenangkan percakapan saya
dengan Saudara Jusuf Sekretaris I KBRI kemarin, setibanya saya melapor ke KBRI dan juga
sekadar mendapatkan info tentang keadaan di Jakarta sejak 1 Oktober. Saudara Jusuf itu kenal
baik dengan saya, dia itu anggota PSII yang Ketuanya Pak Aruji Kartawinanta. Saya catat dalam
ingatanku kata-katanya:
"Bagaimana Pak Hanafi, kita sama-sama kenal siapa itu Bung Aidit, tapi saya tidak mengerti,
koq jadinya begitu. Pak Aidit itu sudah 'gila' barangkali." Jelas bagi saya, maksudnya ia mau
mengatakan bahwa Aidit tersangkut dalam pemberontakan Kolonel Untung. Jusuf tidak mau
banyak bicara lagi. Saya sudah maklum.
Jam 11 sudah, anakku Dias belum datang juga. Saya duduk, berdiri, duduk, berdiri kesal,
dongkol pada si anak itu. Bagaimana nasib Bung Karno sekarang, kekhawatiran itu memukulmukul kepada saya ... Eh, jam 11 seperempat, anak itu baru muncul, mukanya jadi pucat kena
ledakan amarah saya:"Kenapa kamu terlambat begini, sedangkan kamu tahu Bapak sudah
menunggu sejak pagi ?".Ternyata dia terlambat, karena mencarikan oleh-oleh untuk
Budenya.Apa? Benang-benang bordiran, yang kuning, merah dan lainnya, macam-macam warna.
Dia tahu, Budenya suka benang- benang itu untuk membordir. Aduh, jengkelnya saya bukan
597
main. Ditambah lagi Damrah berkata:"Tidak akan bisa kita sampai ke lapangan terbang sebelum
jam 12, Pak. Banyak trafic, banyak lampu merah. Saya kira terpaksa di-cancel saja, Pak."
"Bagaimana di-cancel? Saya mesti hari ini juga sampai diJakarta, apalagi hal itu sudah
dikawatkan kepada Deputy III Chaerul Saleh dan Sekretariat Negara?"Tapi akhirnya terpaksa
dicancel juga. Saya minta Protokol (via Damrah) agar ngebook saya lagi dengan pesawat
berikumya yang pergi ke Jakarta.
"Ada Pak, lusa, dengan Garuda Indonesian Airways." Damrah dan Dias duduk menemani saya di
kamar, mereka akan ajak saya makan sukiyaki nanti. Ketika itu kira-kira jam setengah satu.
Berita dari televisi yang ada di samping saya duduk, mengumumkan bahwa pesawat BOAC,
yang mestinya bakal saya naiki tadi itu, mendapat kecelakaan menubruk lereng Gunung Fuji
yang dipandang keramat oleh bangsa Jepang: dua puluh musikus dari London yang akan ke
Melbourne, Australia, untuk merayakan Hari Ulang tahun Ratu Elisabeth dari Britania dan
penumpang- penumpang lainnya mati semua. Astagafirulllah. Kalau saya tadi jadi naik pesawat
BOAC itu, bagaimanalah nasib saya dan Dias. Barangkali turut mati di Gunung Fuji itu. Saya
merenung mengucap berkali-kali Astagafirullah. Dan kedua pemuda di depan saya itu jadi
bengong melihat saya. Damrah mengucap "Allabu Akbar" beberapa kali, mengucap syukur pada
Tuhan, bahwa saya masih ada di samping mereka di hotel itu karena tidak jadi naik kapal terbang
yang telah mendapat kecelakaan itu. Sesaat saya semedi ... mengucap syukur pada Allah ... aku
yang da'if ini, Engkau tuntun, ya Tuhanku.
Di kanan dan di kiriku Jibrail dan Mikhail, kau surah mengawalku, anakku yang tidak bersalah
itu. Engkau ciptakan menjadi Makna, sehingga aku tak jadi menaiki kapal terbang yang sial
nasibnya itu. Kuucapkan Ayat Kursi dengan khusyuk sepenuh- hati. Rupanya sudahTakdir Nya,
aku belum boleh pergi kepadaNya meninggalkan dunia yang fana ini, yang penuh bencana, dunia
yang bergolak terus-menerus laksana lautan, lautan kehidupan, di mana Sang Bima yang
diperintah oleh Durna untuk menyelaminya sampai kedasar-dasarnya untuk menemukan air suci,
telah menemukan Dewa Ruci dan mengetahui arti sesungguhnya kesaktian hidup yang
dianugerahkan oleh Allah Ta'Alla kepada kita manusia yang dijadikannya .... Aku, Anak
Marhaen Hanafi, yang da'if ini, belum boleh mati, karena belumlah selesai tugas misi-hidupku
yang telah ditentukan oleh Nya, sejak kelahiranku di bunii persada tanah airku ini. Allahu
Akbar!
Pada saat makan siang, saya minta Damrah jangan menyantap dulu sukiyaki lezat yang telah
dihidangkan itu, tetapi membacakan Alfatihah dulu, kita harus syukuran pada Tuhan. Dua hari
kemudian berangkatlah saya bersama Dias dengan Garuda keJakarta, dengan tak lupa membawa
benang bordir untak Budenya,yang punya arti atau makna penting dalam hukam kosmos atau
kepercayaan pada kodrat Tuhan bagi saya. Setahun yang lalu saya menempuh jalan ini juga, dari
Mexico ke Vancouver, lalu ke Tokyo dan Jakarta, yaitu ketika saya pergi mengadakan konsultasi
yang pertama sambil menjalani "refreshing touch" pada Revolusi In- donesia, seperti kata Bung
Karno. Itu merupakan perjalanan yang menggembirakan serta menyenangkan, walaupun saya
amat menyayangkan, bahwa perjalanan itu tidak saya lakukan bersama- sama dengan istriku
Sukendah, yang saya minta untuk "jaga rumah" (KBRI Havana). Sesudah saya kembali,
beberapa bulan kemudian, Sukendah memperoleh giliran menggunakan haknya, sesuai dengan
amanat Bung Karno ketika kami dilantik bersama-sama. Tentang konsultasi pertama ini, akan
598
saya ceritakan di bagian lain. Ia sangat penting, karena di situ saya bertemu terakhir kali dengan
Pak Yani.
Ada satu hal lagi yang aneh bagi saya. Ketika saya sudah akan pulang ke Havana dari konsultasi
pertama itu, Bung Karno sendiri memesan kepada saya agar dibawakan cangkokan kembang
Kamboja yang berwarna merah, kalau Sukendah akan datang ke Jakarta kelak. Pohon itu ada di
Kuba, di Indonesia yang ada hanya berwarna putih. Bagi saya hal itu agak aneh, karena sugesti
kepercayaan orang kampungku (saya kira juga di Jawa), pohon Kamboja hanya diha- diahkan
kepada makam orang yang meninggal dunia. Adalah "pamali", pantangan kalau menghadiahkan
pohon Kamboja pada orang yang masih hidup.Tetapi karena yang memintanya tu adalah Bapak,
apa boleh buat, barangkali dia punya "penangkal" terhadap tahayul jelek itu. Bulan dan bumi,
bintang dan matahari, masing- masing sama-berputar ribuan, jutaan tahun tidak bertabrakan
diatur oleh hukum kosmos, yang bagi theis dipercaya oleh karena ada yang mengaturnya, yaitu
Tuhan. Saya pun orang beragama! Namun cangkokan kembang Kamboja itu saya bawakanjuga
kepada Sukendah, dan diserahkannya pada Bung Karno, yang kemudian diserahkan pula untuk
diurus kepada saudara Tukimin. Demikianlah cerita Sukendah. Ketika di udara, selepas
Hongkong, seorang Indonesia datang menghampiri saya yang tidak bisa segera saya
mengenalinya: "Ah, kalau saya tidak salah, ini Pak Hanafi Duta Besar Kuba? Bapak lupa, saya
Marsudi, masakan lupa?"
"Maaf, Bung, sudah berapa lama tidak bertemu. Dari mana, Bung?" Marsudi menceritakan
bahwa dia transit di Hongkong, datang dari Vientiane, Ibu kota Laos. Pangkatnya sekarang
Letnan Kolonel, bertugas sebagai charge d'afaires di Vientiane. Saya tahu, ketika masih
berpangkat Letnan, dia adalah salah seorang yang turut serta bersama Kapten Abdul Latief
menyerbu masuk Enam Jam diYogya. Kemudian sekali saya tahu dia bersama Kolonel Dachjar
dari KMKB Jakarta Raya, berhasil mencegat pasukan Djaelani dari D.I. yang mau menyerbu
menangkap kami, ketika Sidang Kabinet Karya Djuanda ke I sedang berjalan di Pejambon untuk
menerima penghargaan terima kasih dari Perdana Menteri Djuanda atas jasa mereka itu. Itu di
masa awal gerakan separatis PRRI/Permesta. Sesudah itu, rasanya, saya tidak pernah lagi
bertemu dengan mereka itu.Yang terakhir saya bertemu dengan Kolonel Dachjar, yalah ketika
dia jadi Gubernur di Pakan Baru.
"Bagaimana, Pak Hanafi, sampai ada kejadian begini? Tadinya saya tidak menyangka bahwa Pak
Aidit bisa berbuat komplotan begitu dengan Kolonel Untung, jebul-nya GESTAPU. Apakah itu
bukan gila?" "Kalau bukan gila, ya sinting, sedeng atau edan....", kataku. "Tapi saya belum tahu
jelas yang sebenarnya, maka itu saya ke Jakarta".
Sesudah singgah di Singapura, Garuda langsung terbang menuju Jakarta. Di lapangan terbang
Kemayoran saya dijemput oleh pegawai Protokol dari Deplu dan Sekneg yang saya sekarang
tidak ingat lagi nama-namanya, ada Pak Winoto Danuasmoro dari PARTINDO, dan Ajudan
Deputy III Chaerul Saleh, Mayor Utomo dari ALRI yang saya kenal, yaitu putranya Dr. Sukardjo
dari Tasikmalaya (dulu kolega Dr.Wahidin Sudirohusodo) dan sopir/sekretaris pribadi Chaerul
Saleh, Bung Tommy, anak Ambon.
Anak saya Dias sudah ngacir lebih dahulu naik taxi ke tempat tinggal Budenya di Jalan Madiun,
di rumah ipar saya, Pribadi Notowidigdo.
599
Mayor Utomo berkata:"Pak Hanafi, Pak Chaerul minta Bapak turut kami ke rumahnya, ke Jalan
Tengku Umar lebih dahulu,jangan pergi ke mana-mana dulu."
Saya maklum, bahwa sebaiknya mendapatkan info dari bung Chaerul dulu. Mobil dilarikan
kencang melalui Jalan Gunung Sahari, Pasar Senen, lalu belok ke Jalan Kwitang, melalui
Prapatan Menteng Menteng Raya, akhirnya sampailah ke Jalan Tengku Umar No. 17. Saudara
Ramli, bekas anggota Pasukan Bambu Runcing yang setia, sekarang pengawal merangkap sopir,
muncul dari balik pohon. Hari kira-kira pukul 11 malam. Chaerul dan Zus Jo duduk-duduk di
meja makan menanti kedatangan saya.
_______________
1). Halo, tuan Cardoso. Selamat siang. Dari mana Anda datang?
2). Celaka ... ada percobaan kudeta oleh apa yang disebut Dewan Jendral.
600
BAB VIII
Diskusi dengan Chaerul Saleh
"Assalamutalaikum..."
"Nah, ini dia siluman Kuba datang, semua orang kira jij sudah di kayangan menari'serampang dua
belas'bersama dewi-dewiJepang di Gunung Fuji dengan semua penumpang BOAC yang pecah itu.
Sudah makan apa belum?" begitu cara bung Chaerul Saleh menyambut saya.
"Belum... racik nasi rames saja, Zus Jo, yes!" saya minta pada Zus Jo. Namun saya disuguHi sepiring
nasi, sepiring rendang Padang dan gulai pakis ... la Sumatra dan sayur asem Betawi. Bikin saya"ingat
kampung". Sementara saya makan, Zus Jo menanyakan keadaan Kendah dan anak-anak saya. Dia dan
Chaerul tak punya anak.Yang satu ganteng, yang satu lagi cantik, dua manusia itu saya sukai. Ada sifatsifat sama dengan saya, mereka umumnya selalu terbuka tidak suka pura-pura.
"Fi, jij datang sudah agak terlambat. Saya minta jij segera datang untuk bisa mengetahui keadaan yang
sebenarnya dan membantu 'si gaek' itu mengatasi keadaan sulit yang kita hadapi sekarang. Alle hens
aan dek, kerahkan semua tenaga, kita sedang diterjang badai." Chaerul selanjutnya bercerita tentang
Wikana ketika sama-sama masih di RRT :"Sebelum berangkat pulang, saya nasihatkan Wikana,
sebaiknya dia tak usah pulang dulu. Begitu sampai di Kemayoran dia segera disauk tentara, sekarang
saya tidak tahu, saya tidak dengar lagi bagaimana nasibnya. Abangmu, Asmara Hadi dan Winoto
Danuasmoro, karena dari PARTINDO, saya angggap tidak ada persoalaan, pulang bersama dengan
saya."
"Bagaimana mulanya, maka jadinya begini?" tanyaku."Saya dengar jij ke Peking, kenapa Bung Karno
ditinggal sendirian?" "'Pan ada Subandrio dan Oom Jo. Saya harus pergi ke Peking memimpin 100 orang
anggota MPRS yang mendapat undangan kehormatan dari RRT. Ayo, sekarang saya ngomong dulu,
nanti jij bicara.
"Waktu di Peking saya belum banyak tahu tentang kejadian ini. Pada waktu 1 Oktober, Hari Perayaan
besar-besaran di Tian An Men, saya juga belum tahu apa-apa, sebab semua orang berada di tengah
perayaan itu. Baru pada malamnya saya dengar desas-desus, bahwa di Jakarta terjadi kudeta Dewan
Jendral yang gagal. Desas- desus itu timbul dari kalangan rombongan undangan dari Jakarta yang
berada di tengah perayaan di Tian An Men 1 Oktober itu. Saya kontak dengan KBRI, Duta Besar Djawoto
dan Atase Militer, tapi anehnya mereka, katanya, tidak atau belum menerima berita apa-apa. Baru
kemudian, entah tanggal berapa, tanggal 3 Oktober barangkali, saya diberi tahu bahwa ada berita'Bung
Karno selamat, tapi ada korban enam jendral yang mati terbunuh oleh pemberontak yang dipimpin oleh
Kolonel Untung.
"Lega hati saya karena Bung Karno selamat, tapi hati saya cemas akan akibat pembunuhan enam jendral
itu. Saya minta KBRI mengurus kepulangan kami segera ke Jakarta. Saya minta abang lu mengirimkan
kawat padamu supaya kamu pulang ketika kami berangkat pulang tanggal 5 Oktober. "Saya terima kawat
itu, tanggal 7 Oktober, dikirim dari Kanton", saya menyela."Jij bilang Bung Karno ditinggal pada
Subandrio dan Oom Jo, tapi jij juga tahu siapa Subandrio yang punya dua muka, nempel ke Bung Karno
dan dekat pada PKI. Oom Jo dalam keadaan gempa bumi, dia bisa memimpin sembahyang di Gereja,
tapi lebih setia kepada Bung Karno daripada Subandrio.
"Saya tiba diJakarta baru tanggal 10 Oktober, tapi situasi sudah bergulir begitu cepat. Sekarang situasi
kita sulit, sebab Bung Karno kini terjepit antara PKI dan tentara yang melampiaskan kemarahan kepada
PKI akibat kejadian 30 September, di mana Kolonel Untung, dengan membunuh enam jendral dan
membikin Dewan Revolusi itu, mau merebut pemerintahan, yang sekarang sudah disinonimkan dalam
sebutan GESTAPU/PKI. Sekarang kau datang ini, sebenarnya sangat terlambat untuk membantu kita
601
dan Bung Karno mengatasi kemelut dalam negara kita ini. Hari ini tanggal 21 Desember, saya dengar
Aidit, yang pergi melarikan diri ke Jawa Tengah, kemarin dulu sudah dihabisi In korte metten, langsung
tembak tanpa proses enggak banyak cerita! Nyoto dan Lukman sudah lebih dulu, dihabisi tanpa proses
juga. Padahal Bung Karno sudah mengadakan Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa). Saya tidak
mengerti, apakah Mahkamah/pengadilan kita sekarang kurang akseptabel, apakah kita sekarang sudah
dalam keadaan perang, perang saudara? Nanti jangan-jangan Bung Karno sendiri dimahmilubkan?"
"Betul, saya ikuti, benar jalan pikiranmu", saya menyela. "Fi, saya tidak mengerti, saya heran, kenapa
Aidit jadi begitu? Jij lebih banyak kenal dia dari aku." "Tidak juga, sama seperti you, sejak dia jadi orang
penting,Wakil Ketua MPRS, kemudian jadi Menteri, lalu saya disurah Bung Karno pergi ke Kuba, saya
tidak ada kontak sama dia lagi seperti dulu ketika sama-sama di DPA. Malah jij mestinya bisa
mengetahui langkah-langkahnya dan waspada kalau-kalau akan mencelakakan kita."
Dengan sebenarnya saya mengatakan:"Mestinya begitu, tetapi sejak Aidit mengusulkan Angkatan 45
dibubarkan dan tidak disetujui oleh Bung Karno, dia sama saya sudah seperti minyak dengan air,
walaupun sama-sama dalam satu botol yang namanya Kabinet DWIKORA. Dia jadi lebih dekat dengan
Subandrio, dan jij tahu, sejak 1962 orang pada bikin desas-desus saya ini dan Bandrio sedang saingan,
rivalan katanya. Subandrio atau saya yang akan jadi Presiden menggantikan Bung Karno. Padahal jij
tahu sendiri, kita sebagai Angkatan 45, dan jij sendiri yang bicara satu malam penuh kepada semua
tokoh-tokoh Angkatan 45 sebelum Sidang MPRS di Bandung, supaya dalam Sidang besoknya
mengusulkan Bung Karno diangkat menjadi Presiden Seumur Hidup. Kita suruh Kolonel Djuhartono
mencari anggota MPRS dari TNI untuk menjadi jurubicara ide kita itu. Kau tahu 'kan latar belakang ide
kita itu. Perlu mengantisipasi pihak-pihak mana saja yang berambisi merebut kekuasaan Presiden, baik
dari PKI atau pun dari TNI. Djuhartono ketemu Kolonel Suhardiman, dan dia inilah yang jadi jurubicara.
Aku tahu mengapa dia mau jadi jurubicara, dia takut PKI akan menang, kalau dilaksanakan Pemilihan
Umum yang seharusoya dilakukan tahun 1963."
"Memang betul, saya juga masih ingat. Kalau Pernilihan Umum jadi dilaksanakan, kemungkinan besar
begitu. Bertolak dari kemenangan PKI pada Pemilihan Dewan Daerah pada tahun 1957, pada Pemilihan
Umum yang akan datang, kemungkinan besar PKI akan mencapai kemenangan mayoritas. Suhardiman
tidak ada pilihan lain, kecuali menyetujui ide kita, walaupun dia tahu Jendral Nas punya ambisi gede, juga
karena disanjung-sanjung oleh sementara orang yang anti-Sukarno sesudah kegagalan Peristiwa 17
Oktober 1952. Tetapi Bung Karno sebagai demokrat 'kan menolak untuk dijadikan Presiden Seumur
Hidup. Saya tidak lupa, sayalah yang menemani Bung Chaerul mengantar ke Istana Bogor. Putusan
Sidang MPRS itu, bulan Mei 1962. Sebab, kalau PKI menang, bisa terjadi perang saudara lebih hebat
dari Peristiwa PRRI/Permesta. Dan dari situ kita bisa menarik kesimpulan, mengapa Jendral Achmad
Yani yang mendapat tugas untuk menghancurkan Pemberontakan PRRI/ Permesta itu, ketika berpamitan
dengan kita di dalam Sidang Kabinet tahun 1958, memperingatkan: 'Sekali ini saya dengan TNI akan
melakukan tugas kami sebaik-baiknya, tapi kami tidak ingin ada kejadian seperti ini berulang lagi '.
"Bung masih ingat'kan? Tapi Bung Karno menerima Keputusan MPRS itu karena sudah menjadi
keputusan, untuk jangka waktu sampai Sidang MPRS yang akan datang. Baiklah Bung, itu hal-hal masa
lampau, saya minta Bung teruskan tentang keadaan kita sekarang ." Demikian saya katakan, karena
saya sudah tidak sabar mau dengar tentang situasi yang sedang berlangsung sekarang. Chaerul Saleh
melanjutkan: "Ketika 1 Oktober di lapangan Tian An Men, sementara golongan dari para anggota
delegasi dari Indo- nesia sudah dengan antusias menggulirkan desas-desus, bisik-bisik, bahwa telah
terjadi 'kontra-aksi'mencegah Dewan Jendral yang mau mengadakan kudeta terhadap Presiden Sukarno.
Susah dan sulit untuk mencari siapa orang yang mulai meniupkan bisik-bisik itu, sebab tempat
penginapan mereka terpencar-pencar. Sedangkan pihak resmi KBRI belum tahu apa-apa tentang apa
yang terjadi di Jakarta. Segera saya mengambil kesimpulan, bahwa kalau terjadi sesuatu di Jakarta
mestilah tidak lain kalau bukan dari TNI, tentulah dari PKI, dua kongkuren sejak dari Affair Madiun.
Setelah saya tiba kembali di Jakarta, saya dapati keadaan betul seperti apa yang telah saya duga itu.
Bagi saya, Aidit dan PKI itu masuk perangkap provokasi, karena mereka 'mata gelap', takut melihat Bung
Karno sudah sakit-sakitan dan itu dukun-dukun shinshe Cina itu mengatakan bagaimana gawat sakitnya
Bung Karno.
602
Dan kalau Bung Karno tidak kuasa memerintah lagi, mereka akan dilibas habis oleh TNI dan golongan
yang anti-komunis. Itulah sebabnya mereka jadi mata gelap, bikin 'putsch' yang fatal, yang akibatnya
bikin sulit kita semua.Yang mestinya'kan tidak boleh begitu. Selama ini bergantung kepada Sukarno,
betul, tapi mestinya gantungan yang benar lainnya sebagai kekuatan basisnya mestinya rakyat, yang
menyokongnya sampai menang seperti ketika Pemilihan Umum 1955 dan Pemilihan Daerah 1957.
Kenapa harus takut dan jadi mata gelap? Sampai sekarang, sekarang bulan Desember, masih
berlangsung pemburuan- liar terhadap rakyat yang dituduh, disangka, ditunjuk sebagai komunis. Balas
dendam. Rumah, harta, anak-bini orang komunis atau yang dicurigai komunis jadi sasaran penjarahan.
Polisi, alat keamanan, semua pada kena hasutan segolongan tentara yang balas dendam atas
terbunuhnya DewanJendral oleh tentaranya GESTAPU Biro Khusus/PKI. Fi, saya tanya, apa jij kenal itu
Kolonel Latief, itu orang yang namanya Sjam Kamaruzaman, dan itu Kolonel Untung dari Cakrabirawa
Pengawal Istana? Mereka itulah eksekutor, tokoh- tokoh utama malam na'as, parak-siang 30 September
yang sudah melangkah ke 1 Oktober 1965. Pihak tentara menyebutnya GESTAPU, sebutan ini cepat
menggulir ramai mensinonimkan dengan GESTAPO untuk menggejolakkan kemarahan orang kepada
PKI.
Tapi kalau mau tepat, kejadian itu ialah pada 1 Oktober, maka itu Bung Karno menyebutnya Gerakan 1
Oktober, disingkat GESTOK. Sebab gerakan penangkapan dan pembunahan enam jendral terjadi
sesudah jam 1 parak siang tanggal 1 Oktober 1965. Ada lagi yang hebat, yang jij mesti tahu, Fi .... pada
jam 6 pagi tanggal 1 Oktober, sesudah Soeharto diberi tahu oleh tetangganya Mashuri,bahwa telah
terjadi pembunuhan Jendral Yani dan jendral- jendral lainnya, dan ini pemberitahuan Mashuri itu
dijadikan alibi penting, walaupun sedang berlangsungnya pemberontakan GESTAPU, dia, Soeharto,
sendiri pergi mengendarai Jeep Toyota sendirian, tanpa pengawal menuju Markas KOSTRAD, melewati
Kebon Sirih,Jalan Merdeka Timur. Kau pikir sendiri, seorang jendral di lapangan, tanpa pengawal, kalau
andai kata ada pertempuran benar-benar akan 'jibaku' sendirian? ONZIN! Itu adalah satu pembuktian
bahwa dia, Soeharto, sudah mengetahui lebih dulu. Terakhir sekali Latief datang dan memberitahukan
Soeharto pada jam 1 malam tanggal 1 Oktober di Rumah Sakit Angkatan Darat itu.Tetapi kabut
prasangka dan kemarahan membuat tentara tidak bisa lagi melihat terang dan tidak sempat lagi
menelusuri keadaan di balik kenyataan secara jernih.
Apa jij kenal orang-orang itu?"
"Saya kenal dan tahu siapa itu Abdul Latief dan Sjam Kamaruzaman, itu orangnya Soeharto. Kolonel
Untung saya belum lihat orangnya, hanya fotonya. Saya tahu dia yang diterjunkan ke Irian Barat, itu
orangnya Soeharto juga. Sekarang saya mau tanya Bung ... dengarkan ... Rul, kalau jij andaikata
GESTAPU atau Biro Khusus/PKI, mengapa tujuh Jendral itu saja yang mesti dibunuh mati, yaitu KASAB
Jendral A.H. Nasution, Jendral Achmad Yani, Letnan Jendral Suprapto, Letnan Jendral Haryono M.T.,
Letnan Jendral S. Parman, MayorJendral D.l. Panjaitan, dan MayorJendral Sutoyo Siswomihardjo,
kenapa mereka tujuh orang itu saja. Kenapa Mayor Jendral Soeharto tidak mau dibunuh juga, kau mau
bikin apa dengan dia ini, maka kau reservir dia itu??" "Ah, Hanafi, kau jangan begitu, aku bukan
GESTAPU atau Biro Khusus/PKI, dong!" "Aku hanya bilang kalau, andai kata, bukan menuduh.Agar
logika dan daya analisa Bung bisa cepat kerja. Pertanyaan itu timbul di kepala saya selama dalam
perjalanan ke Jakarta ini. Setelah Bung menanyai saya, apa saya kenal dengan tiga orang itu, Sjam
Kamaruzaman, Latief dan Untung itu tadi, langsung ingatan saya melihat tali hubungan mereka itu
dengan Brigjen Soeharto, Komandan KOSTRAD.
Ini keterangan singkat saya tentang dua orang itu:
Kesatu, Sjam Kamaruzarnan. Itu orang keturunan Arab Pekalongan. Dikenalkan pada saya ketika
Konperensi PESINDO di Solo sebagai 'restan' Peristiwa Tiga Daerah, katanya, pernah anggota Laskar
PAI (Partai Arab Indonesia-Baswedan). Diceritakan, dia pernah bekerja di bawah Komisaris Polisi
Mudigdo di Pati sebagai polisi intel (penyelidik). Sikap dan caranya ngomong seperti orang terpelajar,
pandai bergurau. Sehabis Peristiwa Madiun, kabarnya berada di Jawa Barat, di Bandung,menempatkan
diri sebagai informan Tentara. Kemudian di Jakarta begitu juga, kontaknya sama Overste Latief, ketika
dia menjabat Komandan Brigade Infanteri Kodam JAYA . Saya tidak pernah jumpa lagi dengan orang itu
603
sesudah kebetulan diperkenalkan di Konperensi PESINDO tahun 1946 itu. Tetapi, kebetulan pada suatu
hari, setelah terberita bahwa saya akan dikirim menjabat Duta Besar di Kuba, D.N.Aidit sebagai anggota
DPA datang ke rumah saya, mau mengucapkan selamat, dengan membawa seseorang, yang walau pun
badannya sudah agak gemukan, tapi saya tidak lupa, itulah dia si Sjam. Saya tidak suka pada orang
yang saya anggap misterius... Aidit saya bentak dengan suara keras: 'Kenapa polisi intel ini kau bawa ke
sini, hah?!' Mendengarkan bentakan saya itu, Aidit terkejut, dan Syam langsung balik ke belakang, masuk
mobil lagi. Aidit pun tidak jadi masuk ke rumah, mengikuti Syam ke mobil, lalu pergi. Rupanya Aidit sudah
'dikili-kili' oleh Syam itu.
Kedua, Kolonel Abdul Latief. Dialah orang yang menaikkan nama Overste Soeharto dalam Peristiwa
Enam Jam di Yogya, 1 Maret 1949. Latief ketika itu Kapten, Komandan Pasukan yang dari Godean
menyerbu masuk ke dalam kota dan bersama dengan Laskar PESINDO, yang standby illegal di bawah
pimpinan Supeno dan Pramudji, menggempur Belanda.
Ketiga, Kolonel Untung. Seperti sudah saya bilang tadi. Sekali lagi, semua pelaku GESTAPU itu, tokohtokohnya, adalah orang-orang Letjen Soeharto sendiri. Jelas, toh, kenapa Soeharto tidak turut dibunuh.
Gampang sekali kalau Latief mau membunahnya, yaitu ketika di rumah sakit sebelum GESTAPU
bergerak.Tentunya Latief ketemu Soeharto ketika itu untuk minta restunya, bukan mau membunuhnya.
Sebab Soeharto Jendral harapan GESTAPU, seperti kita Angkatan 45 kepada Panglima Achmad Yani,
sebagai Jendral Harapan Angkatan 45." "Saya kira betul apa yang kau bilang, rupa-rupanya si Aidit itu
sudah 'dikili-kili' oleh si Sjam", kata Chaerul Saleh,"sampai mau bikin Biro Khusus yang dipercayakan
kepada Sjam bikin rencana Pemberontakan GESTAPU, akhirnya Sjam yang bertindak bebas sendiri,
Aidit tidak bisa mengontrol gerakan itu lagi.
Buktinya, ketika dia diambil dan mau dibawa ke Pangkalan Udara Halim, dia tanya kepada yang
menjemputnya'mau dibawa ke mana saya ini?'. Dijawab 'mau dibawa ketemu Bung Karno', tapi tidak
diketemukan pada Bung Karno. Akhirnya oleh Sjam, katanya, untuk keselamatannya, disuruh pakai kapal
terbang pergi ke Jawa Tengah. Di situlah riwayatnya dihabisi oleh anak buahnya Sarwo Edhie. Tanpa
proses Mahmilub. Coba pikir, kalau secara hukum negara, walaupun pemberontak atau pengkhianat, dia
itu Menteri Negara, mesti ditangkap dan diadili secara hukum.
Fi, kita sudah banyak saling memberikan keterangan, dalam diskusi kita ini, baik kita stop dulu buat
sementara, hari sudah larut malam.Tapi, bagaimana pendapatmu, kita apakan ini PKI? Pemuda KAMI
dan KAPPI yang kena hasut tentara menuntut pembubaran PKI."
"Buat saya, bukan karena tuntutan pemuda-pemuda yang kena hasutan tentara. Partai apa pun yang
bikin pemberontakan harus dibubarkan. Dulu Masyumi dan PSI. Sekarang PKI. Soalnya, problemnya,
ialah waktu, kapan. Itu adalah Hak dan Kewajiban Kepala Negara yang menentukan sesuai dengan cara
dan Kebijaksanaannya. Masyumi dan PSI dibubarkan, sesudah habisnya Pemberontakan
PRRI/Permesta, melalui masa hampir setabun. Kita harus membantu Bung Karno ke arah pembubaran
PKI, sesuai dengan Kebijaksanaannya dan Hak-Kewajibannya sebagai Kepala Negara."
604
Bab IX
Seorang Marhaenis Dianggap dan Ditudah Komunis
Setelah pelayan hotel Hotel Indonesia memasukkan kopor-kopor saya ke dalam kamar, saya
mengunci kamar hendak pergi ke luar lagi, mencari saudara Parjono, bekas anggota Staf saya di
Pepolit yang tinggal di Jalan Dr. Setiabudi. Kalau tidak salah kamar no. 32. Terkejut saya, di
belakang saya Saudara Adisumarto, Sekretaris II PB PARTINDO. Dia, katanya, sudah lama
menunggu saya di bawah. Dia menyalami saya sambil memeluk erat-erat. Di zaman Hindia
Belanda, Adisumarto ini bekerja menjadi Guru Sekolah Desa di Kebumen. Karena menjadi
anggota PARTINDO di tahun 30-an, akibat Volksonderwijs Ordonantie, dia diberhentikan. Saya
baru mengenaloya ketika saya mendirikan Mingguan Pancasila di tahun 1949, sebagai hasil
pembicaraan saya dengan Mr. Sumanang (bekas pemimpin redaksi "Pemandangan") dan
Pangeran Bintoro (saudara Pakoalam,Yogya) dan Islan (dulu anggota Barisan Pemuda
GERINDO di Jakarta. Ketika itulah saya baru bertemu dengan Adisumarto. Lalu dijadikan
pemegang administrasi. Modal pertama mendirikan Mingguan Pancasila itu saya dapat
sumbangan dari Bung Karno. Saya ingat, ketika saya mengunjungi Bung Karno di Istana Gedung
Agung,Yogyakarta, ketika beliau sedang duduk-santai di kamar pavilyun dengan Ibu Fatmawati.
Kuceritakan ide saya tentang penting adanya satu Mingguan Pancasila yang tegak di atas garispolitik persatuan nasional, yang sudah pecah akibat Peristiwa Madion. Ketika itu Adisumarto
tidak sedikit pun mengesankan orang yang cenderung pada komunis atau PKI. Begitulah dia
kemudian, setelah saya atas inisiatif Panitia Angkatan 45 mendirikan Kongres Rakyat Selurnh
Indonesia Untuk Pembebasan Irian Barat, kemudian semua pulang dari pengungsian dari
Yogyakarta ke Jakarta, Adisumarto terus saja bersedia membantu saya. Dia terus membantu saya
sampai ketika saya oleh Bung Karno disuruh mendampingi abang saya, Asmara Hadi, yang
bersamaWinoto Danuasmoro sedang membangun kembali PARTINDO, di samping PNI. Semula
saya mau menolak, sebab saya sudah mencurahkan aktivitas politik saya kepada organisasi
Angkatan 45, karena nostalgia pada zaman kami di Menteng 31, di mana segala macam elemen,
aliran, pejuang ada di situ, dan semuanya bermuara pada: Satu Indonesia Merdeka.
Bung Karno berkata: "KakakmuAsmara Hadi itu tinggal serumah bersama saya sejak di
Bandung, saya kenal betul semangat dan kesanggupannya sebagai seorang Patriot, tapi jangan
disuruh memimpin Partai. Kasih dia duit dan kertas, dia punya kecakapan menulis, yang stijlenya sama seperti cara saya".
Saya tidak suka mendengar abang saya dibilangi enggak bisa memimpin organisasi, sebab
Asmara Hadi itulah yang turut menempa ide nasionalisme pada saya di samping Bung Karno.
Demikianlah ceritanya, maka sesudah saya turun dari Kabinet, saya mengurus Angkatan 45 dan
menjadi Wakil Ketua PARTINDO.
Saya adalah keturunan dari Kepala Marga yang turun-temurun. Jadi darah feodalistis-tanggung,
feodalistis-kampung itu, tidak usah malu dibilang, kalau itu ada menitis pada watak dan jiwa
pribadi saya, sehingga dari zaman pergerakan melawan Belanda, sampai ke zaman republik saya
suka disindir sebagai "burjuis-tanggung".Artinya bukan dari "klas proletar". Sebagai pemuda,
saya bangga kalau Bung Karno menambahkan "Anak Marhaen" pada Hanafi, nama yang
diberikan oleh Ayah dan Ibuku. Sebab Marhaenisme Bung Karno itu sanggup membikin saya
605
menjadi seorang nasionalis yang dibutuhkan zaman, zaman perjuangan untuk mencapai
masyarakat marhaenis: beragama, sosial-demokrasi dan sosio-nasionalis. Saya pandang, orangorang yang menggandrungi etiket "proletar" ketika itu tidak berdiri pada kenyataan, cuma
mendengarkan detak-detik hati dan jantung saja, tapi tidak mendengarkan sedikit pun juga
dentaman dan hantaman palu baja di pabrik dan industri seperti di zaman Rusia Tsar sebelum
Revolusi.
Namun kami kaum nasionalis di zaman itu, menganggap orang- orang komunis di antaranya ada
yang sok-sok "proletar" sebagai sahabat di jalan perjuangan menentang kolonialisme Belanda,
bisa jalan bersama-sarna dengan semna golongan yang ada. Di bidang agama, saya seorang
Muhammadiyah, sejak kecil di Bengkulu, Kepanduan H.W. (Hasbul Wathaon). Orang Bengkulu
yang kolot itu berkata, kamu nanti "mati berhantu" sebab masuk Muhammadiyah. Begitulah
pendapat "kaum tuo" terhadap "kaum mudo". Moh.Yunus, penerjemah A1 Qur'an ke bahasa
Indonesia itu, dikatakan "kaum mudo" juga, Wahabis, akan "mati berhantu" juga.Tapi saya
begeesterd, antusias berapi-api pada kemajuan agama Islam, saya tidak suka pada "kekolotan".
Di Indonesia orang Arab Hadramaut dipandang seperti Said suci keturunan Nabi, walaupun
rentenier (sepuluh/dua puluh). Itulah salah satu bentuk kekolotan. Oleh sebab keaktifan saya
sebagai pemuda radikal di zaman Belanda, zaman pendudukanJepang, zaman Revolusi mencapai
dan membela R.I., saya digolongkan orang sebagai seorang yang radikal kiri. Komandan Laskar
Rakyat di Krawang-Bekasi, karena organisasi PemudaAPI dari Menteng 31 dilebur menjadi
PESINDO di dalam Kongres Pemuda 10 November 1945, saya diusulkan menjadi Komandan
Laskr PESINDOJawa Barat, di samping menjabat Opsir Pepolit T.N.I.,sebelum ditarikke
Kementerian Pertahanan diYogya.
Tetapi, ketika udara di langit perjuangan, di zaman revolusi, angin barat dan angin timur sabungmenyabung di bawah kilat Peristiwa Madiun, tanggapan terhadap "orang/pejuang kiri" menjadi
rincu tak keruan. Orang PESINDO itu orang "kiri" dirincukan dengan "kaum komunis", padahal
tidak semuanya mau jadi komunis, namun pun mereka kena "akibat-sampingan". Misalnya,
Fatah Jasin, asalnya NU, menjadi GERINDO, kemudian PESINDO, kemudian Mayor TNI
Pepolit,kemudian menjadi Menteri Agama. Jusuf Bakri, seorang pemuda Muhammadiyah,
kemudian menjadi PESINDO di Yogyakarta, jadi Komandan Laskar PESINDO Jawa Tengah,
seperti saya menjadi Komandan PESINDO Jawa Barat. Betul kami orang- orang kiri, tapi kami
bukan komunis. Tapi toh, para penjilat mengecap saya komunis. Sembarangan! Beda dengan
Sudisman, asal Barisan Pemuda GERINDO yang pernah saya pimpin, dia kadernya Pamudji
yang dibunah Jepang di penjara di Sragen, dia memang jadi anggota PKI. Saya menilai dia
seorang yang tahu menghormati kaum Sukarnois.
Adakalanya orang yang tidak mengutak Peristiwa Madiun dianggap pro-komunis. Obralanggapan itu salah. Umpamanya saja, saya tidak latah turut mengutuk, sebab saya tahu Peristiwa
Madian bukan soal ideologi saya sebagai Marhaenis, apalagi saya tabu sejarah asal mulanya,
Peristiwa Madiun itu adalah Provokasi Red Drive Pro- posal yang timbul dari konperensi Merle
Cochran di Sarangan dengan Bung Hatta dan Dr. Sukiman. Sikap saya netral, saya tidak
men1ihak dan tidak mengutuk. Urusan ideologi komunis dan ideologi anti- komunis bukan
urusan saya.Yang saya ambil peduli segi politiknya, menguntungkan atau merugikan perjuangan
di masa itu. Itu saja.
606
Demikialah pikiran-pikiran saya, ketika saudara Adisumarto menyalami sambil memeluk eraterat diri saya, maka saya pun bilang:
"Sudahlah, Pak Adi, saya terima bahagia salam erat Saudara, sudahlah, saya sudah tahu semua.
Ini bukan jeneral repetisi seperti Pak Adi mau bilang. Ini putsch, sebab tidak ada massa yang
bergerak. Ini putsch GESTAPU/PKI. Beberapa tokoh PKI yang katanya kaum marxis, kok
munculnya Blanquisme yang memperlakukan pemberontakan sebagai seni. Repetisi-repetisi
berulang sebagai repetisi perkumpulan tonil gezelschap. Salah sendiri, membuka peluang
provokasi ke II, sesudah Peristiwa Madiun. Kalau kami dulu di Menteng 31 memelopori
Revolusi Kemerdekaan, bukan menyandarkan diri pada komplotan rahasia macam GESTAPU,
tapi pada seluruh pejuang yang maju, kaum pemuda-pemudi yang berani mati untuk
kemerdekaan bangsanya. Kita, atau kami, berhasil karena kami tidak menyandarkan diri pada
komplotan rahasia dan juga tidak pada satu partai pun, tidak ilegal-ilegal berbisik-bisik, tapi jelas
dan terang-terangan kepada seluruh bangsa yang sadar merasakan tertindas di bawah Belanda
dan Jepang. Singkatnya, rupanya selama saya di Kuba, beberapa tokoh-tokoh PKI berlagak
main-main dengan Revolusi jadi seperti August Blanqui itu revolusioner Prancis, yang
bersemboyan"ni dieu, ni maître" ("tak ada Tuhan, tak ada Tuan") dan yang oleh Lenin sendiri
telah dikutaknya habis-habisan. Yang saya sayangkan sekali, kok Aidit jadi kena pèlèt si Syam
Kamaruzaman, informan, intel tentara, mata- mata dia itu.
"Sayang sekali Bung Hanafi berada di Kuba", kata Pak Adisumarto.
"Kalau di sini juga, saya bisa apa terhadap komplotan? Barangkali saya masih bisa bicara sama
Aidit pribadi, tapi bagaimana lagi kalau dia sudah dikomploti dan berkomplot dengan Syam itu.
Apalagi sementara tokoh-tokoh PKI itu menganggap saya ini orang burjuis. Apa Aidit mau?
Sudahlah, Pak Adisumarto, sekarang jadinya sudah begini. Kalau PARTINDO mau bikin
statement:'Semua kaum nasionalis revolusioner bersatu dengan Bung Karno! Titik."
Begitulah pertemnan saya dengan saudara Adisumarto yang terakhir. Dia pejuang tanpa pamrih.
Sampai sekarang, saya sekeluarga, 7 orang semuanya, sudah 32 tahun terbuang di luar negeri,
sebagai asyl politik di Prancis. Semula di Kuba sampai tahun 1973. Di masa Letjen Benny
Moerdani menjabat Panglima KOPKAMTIB, beliau sudah mengizinkan saya sekeluarga pulang
ke Indonesia.Tapi pelaksanaannya macet di liku-liku birokrasi di Deparlu. Kemudian di tahun
1979, Wapres Adam Malik, di hadapan saya dan disaksikan oleh Athan KBRI Den Haag,
memerintahkan Sekwapres Ali Alatas S.H., supaya mengurus saya sekeluarga agar bisa pulang
ke Indonesia. Resultatnya zero. Terakhir, pada tahun 1994, Mayjen Samsir Siregar, Kepala Intel,
secara oral menguraikan,bahwa saya sekeluarga sudah boleh pulang. Resultatnya dubbel zero;
sekali pun Menlu sekarang Ali Alatas S.H. itu juga. Orba tidak punya alasan menuduh saya
komunis lagi. Apakah latar belakangnya semua itu diungkapkan oleh Drs Moerdiono Sekneg,
kepada seseorang (saya tidak perlu menyebut namanya): "Kalau Dubes Kuba, Mayjen titulator
itu pulang, dia akan bikin sulit kita semua".
Coba lihat!
Yang menggali kuburan mereka, mereka sendiri itu, kan?!
607
Bab X
Melapor kepada Presiden di Istana Merdeka
Jadi, malam pertama saya tiba di Jakarta, saya hampir tidak tidur. Jam 9 pagi saya dan Chaerul
Saleh sudah berada di Istana Merdeka. Ajudan Protokol Istana, Mayor T.N.I. Prihatin,
mempersilakan kami segera masuk, sebab Presiden dengan Deputy I Dr. Subandrio dan Deputy
II Dr. Johannes Leimena sudah berada di dalam lebih dahulu. Pertemuan berlangsung di Biro
Kerja Presiden, di mana tergantung sebuah tableau raksasa Dullah Sepasukan Laskar Gerilya
menghiasi dinding.
Kami berdua masuk berbarengan, Chaerul Saleh jalan di depan, tiba-tiba saya berhenti tegak
melayangkan pandang pada mereka sekejap, maju dua langkah dengan sikap militer memberi
hormat: "Siap. Lapor kepada Bapak Marhaen/Panglima Tertinggi, kemarin malam baru datang
dari Kuba untuk menghadap kepada Bung Karno". Kutukikkan mataku kepada matanya, Dr.
Leimena dan Subandrio turut berdiri. Mungkin agak keheranan dengan caraku agak pandir yang
kusengaja itu. Dalam hatiku, di dalam situasi begini sikap "sepandir" itu perlu, penting, menjauhi
sikap kakek-kakek yang loyo. Saya menyalami mereka semua. Tampak di wajahnya, Bung
Karno senang melihat kedatangan saya.
"Mari silakan duduk, Hanafi" kata Bung Karno."Silakan bicara apa yang engkau mau laporkan".
"Terlebih dahulu saya mohon maaf. Sebagai pembukaan ingin saya laporkan, bahwa berita
mengenai Peristiwa GESTAPU itu amat terlambat kami terima di Kuba per telex. Saya agak
bingung, karena saya anggap kurang jelas. Adalah kawat Bung Chaerul bulan No- vember yang
membuat saya mengambil keputusan berangkat ke Jakarta. Artinya tanpa menanti lagi kawat
resmi dari Deparlu, yang saya bisa maklumi sedang berada dalam situasi yang gawat. Saya telah
berunding dengan Bung Chaerul tadi malam tentang situasi sekarang dan bagaimana membela
Bung Karno serta Pemerintahnya. Inilah Laporan saya yang pertama.
Yang kedua, baik saya laporkan, akibat peristiwa GESTAPU, rencana KBRI Havana merayakan
5 Oktober yang baru lalu, dengan amat sedih terpaksa kami batalkan sebab yang akan kami
'bintangkan' adalah Panglima Achmad Yani, justru beliaulah yang menjadi korban di antara
lainnya. Sebab dan akibat terlambatnya berita kejadian yang sebenarnya yang kami terima
dariJakarta via telex KBRIWash- ington sesudah lewat 5 Oktober. Sedangkan berita yang
pertama kami terima ialah dari Pemerintah Kuba, berita dari AFP yang mengatakan telah terjadi
Kudeta Angkatan Darat kontra Presiden Sukarno. Saya kira Bapak Presiden masih ingat
bagaimana Panglima Yani mengusulkan kepada Bapak Presiden langsung di hadapan saya,
mengenai pengangkatan saya sebagai Mayor Jendral Tituler, ketika kita merundingkan
pembaharuan Pimpinan Angkatan 45."
"Ya, saya ingat. Teruskan ....", kata Bung Karno. "Maafkan, mengharukan sekali," kataku,
"karena justru tanggal 27 September saya terima kawat sandi dari Panglima Yani bahwa
berhubung dengan kesibukan menghadap 5 Oktober, pengangkatan saya itu baru akan
dilaksanakan sesudahnya.
608
Laporan saya yang ketiga. Saya membawa surat pribadi Commandante Fidel Castro untuk
disampaikan langsung ke tangan Bung Karno. Surat tersebut ditulis tangan sendiri di depan saya
dalam kunjungannya pada saya jam 3 malam tanggal 3 Desember dimana beliau menyampaikan
harapan dan keyakinan bahwa Presiden Sukarno akan dapat keluar dengan kemenangan yang
gemilang dari kesulitan di dalam negeri. Sedangkan yang menyangkut diri saya, Fidel Castro
mengharapkan saya berada kembali di Havana sebelum tanggal 1 Januari 1966 dengan
membawa Delegasi Indonesia untuk menyertai Kongres A-A-A (Asia - Afrika- Amerika Latin).
Sekian, laporan selesai".
Kemudian saya minta permisi buka baju, sebab surat rahasia pribadi dari Fidel Castro saya
simpan dalam sobekan lengan baju saya, yang dibuka dan dijahitkan oleh Sukendah, yang tadi
pagi sudah saya buka lagi.
"Hebat laporan Dubes Hanafi ini, terimakasih. Saya ingat beginilah cara kerja-rahasia Hanafi
bersama sa,va di zaman Jepang dulu", demikian kata Bung Karno.
Surat itu kuserahkan ke tangan Bung Karno, lalu dibacanya sendiri. Sesudah membacanya, surat
itu dikembalikannya kepadaku untak disimpan baik-baik.
"Kalau begitu, baiknya Hanafi kita tahan saja bersama kita di sini", kata Chaerul Saleh.
"Nanti dulu", jawab Bung Karno. "Tugasnya juga penting di sana untuk kita dalam rangka
Conefo".
"Apakah tidak lebih baik Bung Hanafi kita serahi tugas untuk mengurusi PKI dulu di sini?",
Subandrio berkata.
Ucapan Subandrio yang bernada usul itu, sangat mengagetkan saya. Saya lama menganggap dia
itu seorang tukang-intrik yang ambisius. Ada konsepsi apa yang terpikir di kepalanya itu?
Sebentar saya akan bicara, tapi belum sempat mereaksi ucapan Subandrio itu, Bung Karno sudah
bicara lebih dahulu.
"Itu sama sekali tidak bisa", kata Bung Karno."Pimpinan Partai harus dipilih oleh Kongres.
Orang PKI sendiri tidak akan terima Hanafi, sebab dia bukan anggota PKI, dia bukan orang
komunis. Dia Marhaenis, sesuai dengan namanya, Anak Marhaen Hanafi. Kalian belum tahu,
belum kenal Hanafi. Sejak zaman Jepang dia saya beri tugas politik terpercaya untuk mendekati
Wikana, orang PKI (ketika itu illegal, di bawah tanah) supaya jangan menyabot politik saya
kerjasama dengan Jepang untuk kepentingan politik nasional yang saya gariskan.Wikana hanya
kenal baik beberapa orang saja: Aidit dan Sudisman, sebab mereka dulu anggota-anggota
Barisan Pemuda GERINDO yang dipimpin Hanafi. Kalian tahu, sesudah Peristiwa Madiun,
orang-orang PKI memusuhi saya lama sekali. Hanafi saya tugasi menetralisir subyektifisme
mereka itu, mengingat Revolusi belum selesai dan perjuangan Pembebasan Irian Barat selalu
menantang-nantang. Orang-orang PKI wataknya keras, sangat vatbaar gampang sekali kena
penyakit'kokiri-kirian'. Saya berhasil menjinakkan mereka, PKI menerima Pancasila. Saya
berterimakasih pada Hanafi, banyak aktivitasnya membantu saya."
609
Saya sebenarnya mau turut bicara, sebab yang dibicarakan itu mengenai diri saya pribadi, tapi
saya bersabar sementara. Di saat itu Chaerul Saleh. Denuty III bicara....
"Sebagai dikatakan pada permulaan tadi, saya dengan Bung Hanafi sudah berbicara malam tadi.
Saya telah menjelaskan seadanya apa yang telah terjadi sampai sekarang. Saya kira, barangkali
Hanafi sudah mempunyai sesuai ide untuk mengatasi situasi yang kita hadapi sekarang ....
Gimana, Fi?"
Saya melirik kepada semua Menteri Deputy itu. Saya termenung sesaat, Chaerul Saleh menanya
lagi ... Kutatap wajah Bung Karno dengan menahan rasa sayangku yang emosional padanya.
"Saya mohon lebih dulu," kataku pada Bung Karno. "Saya mau bertanya kepada Bung Karno:
Apakah Bung percaya bahwa Aidit itu dan Sudisman, walaupun keduanya itu PKI, begitu busuk
hatinya mau mengkhianati Bung Karno? Saya TIDAK Dan saya yakin Bung Karno juga TIDAK.
Bung Karno mengenal mereka berdua itu dari pandangan politiknya yang kiri bahkan yang
extrem kiri. Saya lebih dari itu, saya kenal riwayat hidupnya dari masa mudanya ketika turut
belajar jadi orang pergerakan, sampai-sampai pada kehidupan pribadi masing-masing, seperti
pengenalan Bung pada diri saya ini.
Namun gara-gara sifat Aidit yangrevolusioneristik - avonturistik dan sifat ambisiusnya yang
selalu menonjol-nonjol, itu bukan sekarang ini saja yang pernah kualami dengan dia, makanya
dia masuk perangkap provokasi kaum Nekolim yang jelas anti-komunis, sampai akhirnya
meledaklah 'Provokasi GESTAPU'. Saya bukan seorang pendeta yang bisa melihat hal itu
sebagai suatu 'peristiwa' sederhana, atau nasib. NO! Saya yakin itu Aidit pada mulanya secara
tidak diinsafinya telah terpancing oleh Syam, seorang informan misterius, masuk ke dalam
perangkap provokasi sesuai dengan konsepsi- subversif kaum Nekolim yang bebuyutan antikomunis. Akibatnya di luar istana ini menderu-deru tuntutan 'Bubarkan PKI!'. Sudah kita dengar
pula di sana-sini tuntutan 'Retool Subandrio, Haji Pe- king!' kemudian tentulah akan meningkat
sampai ke tuntutan retool semua Menteri Kabinet, satu indikasi yang jelas sekali, bahwa sasaran
Nekolim terakhir adalah menjungkir-balikkan Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi.Ya, logis,
sebab PKI is reeds in de kom gehakt, sudah habis dilibas.
Slogan subversi Nekolim "Bubarkan PKI" yang diteriakkan oleh pemuda-pemuda dan sementara
elemen tentara kita yang tidak menginsyafi bahwa mereka itu dipakai oleh Nekolim, slogan itu
harus kita rebut. Kalau kita yang membubarkan PKI Aidit itu, motifnya tentu lain, tidak sama
dengan yang diteriakkan mereka itu. Tapi untuk membela Republik, menyelamatkan Bung
Karno dari titik- sasaran mereka itu, untuk mencegah lebih banyak lagi korban rakyat yang tidak
tahu apa-apa tentang GESTAPU atau PKI. Tidak ada gunya mempertahankan PKI, seperti
maunya Mas Subandrio, yaitu supaya saya mengurus PKI Aidit. PKI Aidit harus bubar dan
sudah bubar.Tidak ada siapa pun yang berhak membubarkan Partai Politik kecuali Presiden R.I.
Saya tabu kesulitan Bung Karno kalau harus membubarkan PKI, berhubung dengan persoalan
CONEFO yang menjadi test case, batu ujian bagi RRC dan Uni Sovyet serta A-A-A terhadap
kita, Republik Indonesia. Tetapi di lain pihak, segenap kekuatan Nekolim akan bersatu untuk
menggagalkan CONEFO. Roda situasi berputar cepat, kita harus bertindak sebelum habis tahun
ini. Dan seperti saya katakan tadi, saya harus berada di Ha- vana sebelum 1 Januari 1966 untuk
610
Konferensi A-A-A, kalau diperkenankan Presiden. Dan saya harus mengurus biaya, sebab sudah
tiga bulan remise tidak dikirim buat KBRI Havana.
Sebagai kesimpulan, saya mengusulkan satu kebijaksanaan suatu konsep pemecahan masalah
politik, suatu political solution yaitu: bubarkan (redress) semua Partai Politik untuk sementara
waktu berdasarkan S.O.B. Untuk sementara, kemudian bangunkan kembali tanpa PKI.
Sekian dari saya, Bung Karno yang kuhormati dan kucintai. Mungkin barangkali saya salah, saya
mohon maaf". Sejurus kemudian ... "Terimakasih, Hanafi," Bung Karno berbicara, "silakan
tunggu di luar, tunggu saya, jangan pulang dulu, saya ada pembicaraan dengan para Deputies."
611
Bab XI
CONEFO untak Pelaksanaan Hak-hak Azasi Manusia
Tape Rapat Dewan Jendral - Berita Palsu!
Komisi Peneliti melaporkan: Korban Satu Juta. Saya keluar dari kamar. Presiden Sukarno
meneruskan sidangnya dengan para Deputy, Dr. J. Leimena, Dr. Subandrio dan Chaerul Saleh.
Untok menantikan Bung Karno selesai dengan sidangnya itu, saya menuju ke beranda di
belakang di mana biasanya saban pagi Bung Karno minum kopi sambil menerima tamu-tamu
secara informal.
Saya lihat di sana ada duduk Pak Hardjo (Suhardjo Wardoyo, pensiunan Mayjen TNI, Kepala
Rumah T odgn Pr kdenn) edang menemani bercakap-cakap dengan Menteri Kolonel
Suprayogi yang menghadap Presiden. Pak Suprayogi saya kenal baik, asal dari T.N.I. Siliwangi,
diangkat menjadi Menteri sejak dari Kabinet Karya ke-I dengan P.M. Djuanda. Ketika itu saya
Menteri PETERA. Kabinet yang langsung dibentuk sendiri oleh Bung Karno, Presiden, di mana
saya membantu beliau dari belakang layar sebagai formateur Kabinet! Itu terjadi pada tahun
1957, sebelum kita kembali ke UUD '45. Itulah kabinet pertama yang mengikut-sertakan orangorang dari ABRI. Selain Pak Suprayogi dari Angkatan Darat, ikut juga Kolonel Nazir dari
Angkatan Laut.
Saya senang hati bertemu lagi dengan Pak Suprayogi:"Oh, Pak Prayogi, kumaha kabarna,
parantos lami henteu tepang" .. Salamanku itu menampilkan rasa keakrabanku kepadanya.
Dengan gembira beliau sambut salamku:"Nuhun, nuhun, saé waé sadayana", seraya menanyakan
kapan aku datang dari Kuba. Tidak berapa lama kemudian Bung Karno keluar dari kamar sidang
diikuti para deputies. Bung Karno terus ke kamarnya sendiri untuk mengganti baju. Chaerul
mendekati saya, mengatakan baiknya saya tinggal di sini dulu di Istana, kemudian ia pergi
bersama Oom Jo dan Subandrio.
Setelah Bung Karno mengganti baju resminya yang berinsinye Presiden dan tanda Panglima
Tertinggi, beliau turun ke beranda mendatangi Menteri Kolonel Suprayogi, yang duduk di
hadapannya. Suprayogi membuka rol blue print yang dibawanya, blue print proyek gedung
bangunan CONEFO. Sesudah beliau mengutarakan beberapa penjelasan mengenai progres
teknik pekerjaan gedung tersebut, dia mengajukan kekurangan biaya untuk pekerjaan yang masih
tersisa, dan menyatakan sebelum Oktober akan dapat diselesaikan. Dengan menggunakan
kacamatanya, Bung Karno memeriksa kertas biru yang disodorkan kepadanya itu. Lalu
menanyakan berapa kekurangan biaya yang masih diperlukan. Saya perhatikan, Suprayogi
mengatakan keperluan untuk bagian itu saja diperlukan sekarang dua ratus ribu dollar (kalau
saya tidak salah dengar!). Bung Karno menjawab: "Okay, teruskan saja pekerjaan itu,keperluan
biaya minta kepadaJusuf Muda Dalam (Menteri Bank Sentral). Kolonel tahu bagaimana
mengurusnya. Kalau masih kurang, saya akan minta bantuan Chou En-lai." Sesudah selesai Bung
Karno menandatangani sehelai surat yang disodorkan oleh Kolonel Suprayogi, Kolonel
Suprayogi memberi hormat seraya mohon permisi.
612
Menyaksikan kejadian itu, saya berfikir, dalam keadaan situasi begini, Bung Karno tampak tetap
optimis. Saya memang sudah dengar bahwa pembangunan untuk gedung CONEFO itu, RRC
banyak memberi bantuan.Tapi kok melepas-ucap menyebut nama Chou En-lai, dalam hatiku
bertanya, apakah itu bluf atau melagak, yang kadang-kadang dalam dunia politik itu biasa. Lalu
saya merasa simpati Bung Karno di saat itu luar biasa.
"Akan adanya CONEFO itu amat penting, Hanafi," kata Bung Karno."Itulah salah satu
pekerjaanmu yang terpenting di Kuba, karena itu kau saya beri tugas di Kuba. CONEFO untuk
mengkon- solidasi Dunia Baru, untuk menghadapi Dunia Lama yang mengabaikan Hak-hak
Asasi Manusia di atas singgasana 'l'exploitation de la nation par la nation' dan 'l'exploitation de
l'homme par l'homme"'.
"Apakah itu sesuai dengan Pidato Bung Karno di PBB tahun 1960: Membangun Dunia
Kembali?" tanyaku. "Sebab Bung Karno belum menyinggung apa-apa ketika itu mengenai
CONEFO." "Persis, CONEFO adalah kelanjutan dari Pidato saya Membangun Dunia Kembali!"
Mengenai soal political solution yang saya kemukakan di kamar tadi. Redress semua partai
politik. Bubarkan semua partai politik buat sementara waktu, kemudian bangunkan kembali
tanpa PKI. Didasarkan pada strategi dan taktik, tujuannya untuk mengembalikan kebulatan
ABRI yang solid di belakang PanglimaTertinggi Presiden Sukarno berdasarkan UUD'45 yang
menjunjung Pancasila. Pelaksanaannya harus dicapai dalam musyawarah dan mufakat bersama
dengan partai-partai politik - ABRI - Presiden/Panglima Tertinggi Bung Karno. Pelaksanaan
Dekrit Pembubaran semua partai politik sebaiknya jangan melewati 1 Januari 1966. Redressing
partai politik tanpa PKI paling lama tiga bulan, Maret 1966. Kalau pembubaran PKI itu sendiri,
sekarang juga.Walaupun kita anggap sudah jelas tersangkut dengan pemberontakan (putsch)
GESTAPU, tapi tanpa penjelasan yang obyektif dalam satu Statement Kepala Negara, akan
tampak kurang adil, baik ke dalam maupun ke luar negeri, dibandingkan dengan tindakan
Pemerintah dalam hal pembubaran Masyumi dan PSI yang tersangkut dalam pem- berontakan
PRRI/Permesta.
"Misalnya, satu soal harus jernih. Barangkali Bung Karno tidak tabu bahwa di luar negeri sudah
tersiar bahwatape Konferensi Dewan Jendral, yang dipakai sebagai alasan oleh Kolonel Untung
untuk mengantisipasi dengan GESTAPU-nya itu, ada di tangan Bung Karno. Apakah itu betul?"
tanyaku kepada Bung Karno. "Oh, begitu? Tidak ada itu, sumpah demi Allah tidak ada itu!"
jawab Bung Karno. "Nah, cocok dengan dugaan saya, soal tape itu berita palsu. Karena saya
tidak goyang kepercayaanku pada Jendral Yani yang setia pada Bung Karno. Kita harus
bertindak cepat, walaupun Bung mengatakan tadi Oom Jo ragu-ragu."
Pada saat itu tampak olehku Menteri Mayjen Sumarno dan Menteri Negara Oei Tjoe Tat
mendatangi tempat saya dan Bung Karno sedang bicara. Beliau-beliau adalah Pimpinan Komisi
Peneliti Korban akibat GESTAPU ke seluruh daerah Republik, terutama Sumatra, Jawa dan Bali.
Kedua Menteri itu melaporkan kepada Presiden Sukarno, bahwa tidak kurang dari satu juta
rakyat yang telah menjadi korban. Cara-cara yang dilakukan dalam pembunuhan massa rakyat
itu bermacam-macam, semuanya amat mengerikan, di luar batas perikemanusiaan. Biadab sekali.
Dan itu terjadi dalam negeri yang bernama Indonesia yang terkenal berkeadaban tinggi. Di
pangkal tangga di bawah sudah banyak orang berkerumun. Mereka tidak bisa maju naik ke atas,
613
sebab ditahan oleh penjaga Cakrabirawa. Presiden menanyakan, siapa orang-orang itu? Oei Tjoe
Tat menjelaskan, bahwa itu adalah wartawan-wartawan dalam negeri dan juga ada wartawanwartawan luar negeri yang menantikan pemberitaan dari Laporan Komisi kepada Presiden.
Mereka mau tanya berapa jumlah korban. Lalu Presiden menanya lagi kepada Menteri Sumarno
dan Oei Tjoe Tat, berapa jumlah yang akan diberitakan.Ya, kalau jumlah korban yang
sebenarnya tidak kurang satu juta, mungkin lebih, dan itu terjadi sejak dari Oktober sampai bulan
Desember ini.Terserah kebijaksanaan Bapak Presiden berapa yang akan kami beritakan. Bung
Karno terdiam sejenak, tetapi saya, Hanafi, mengeluh: "Waduh, kalau laporan satu juta korban
itu diberikan kepada wartawan-wartawan, saya mati, saya tidak berani pulang ke Kuba, jumlah
itu lebih banyak dari korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang amat mengerikan, atau
lebih banyak dari korban perangVietnam yang berjalan beberapa tahun. Ini dalam waktu tiga
bulan saja. Satu juta. Akan hancur nama Indonesia di dalam Konferensi A-A-A yang akan
berlangsung I Januari 1966 beberapa hari lagi itu".
"Lalu berapa", tanya Bung Karno,"para wartawan tidak akan terima, akan protes, kalau tidak
dilaporkan". "Kasihkan saja jumlah 78.000 orang akibat GESTAPU," kataku tidak langsung, atas
pertanyaan Bung Karno. "Ya." kata Bung Karno."Silakan Menteri Oei temui wartawanwartawan itu dan berikan jumlah korban 78.000 itu saja. Bilang juga, Presiden tidak bisa
menjumpai mereka, karena sibuk sekali." Menteri Oei Tjoe Tat pergi menemui wartawanwartawan yang saling berdesak-desakan di tangga itu. Dari keterangan tersebut di atas itulah,
maka disiarkanlah oleh pers bahwa angka resmi 78.000 orang korban akibat GESTAPU,
sebagcumana disiarkan oleh Komisi Peneliti. Padahal yang sebenarnya korban itu satu juta
manusia, dengan catatan "mungkin lebih". Maka demikianlah, ada koran-koran yang
memberitakan 500.000, ada juga yang memberitakan 700.000, tapi pihak yang pro-Amerika
"menawar" cuma 250.000 orang.
Dengan keterangan saya ini, korban yang sebenarnya menurut Laporan Komisi Peneliti itu, saya
munculkan kembali di sini.Yang tadinya dibenamkan dengan sengaja demi kepentingan nama
baik bagi bangsa dan Presiden Sukarno, supaya jangan sampai malu (!) satu juta atau satu milyun
korban rakyat yang tidak berdosa, saya angkat kembali dari dalam lautan rahasia selama 30
tahun lebih. Sekarang ini satu juta jiwa manusia itu jadi menyatu laksana Sang Bima muncul
kembali dari dalam lautan Tirta-Amerta setelah mengalahkan Sang Naga Nemburnawa, bangun
kembali menggunturkan suaranya menuntut keadilan yang sesungguhnya kepada bangsa
Indonesia, kepada PBB, bahkan kepada Mantan Presiden Jimmy Carter yang pada tahun 1970
telah memasukkan HakAsasi Manusia menjadi bahagian dari politik luar negeriAmerika Serikat,
dan kepada Presiden Bill Clinton yang saya harapkan akan menjadi simbol the new America
dengan panji-panji kebangkitan kembali demokrasi, the revival of democracy.
Sebab, satu juta manusia itu adalah korban manipulasi yang kotor dari kadeta Letnan Jendral
Soeharto, Maret 1966, sekarang Presiden Indonesia. Masih ada saksi langsung tiga pejabat tinggi
pemerintah yang masih hidup: Mantan Menteri/Duta Besar A.M. Hanafi, Mantan Menteri Luar
Negeri/Deputy II Dr. Subandrio dan Kolonel Latief (masih dipenjara sudah tiga puluh tahun
lebih). Dua orang saksi langsung lainnya sudah meninggal dunia: Dr. J. Leimena/ Deputy I dan
Laksamana K.K.O. Hartono (dikabarkan"bunuh diri").
614
Dengan bantuan dan hanya dengan kerjasama dengan Amerika, diktator militer Soeharto yang
despot dan nespot itu harus diturunkan dan diadili, diganti dengan seorang Tokoh Nasional yang
didukung penuh oleh rakyat, akseptabel bagi USA, untuk menegakkan demokratisasi dan hak
asasi manusia. Inilah perhitungan politik berdasarkan kenyataan situasi Indonesia kini. Tidak ada
"budi- baik" pihak the big capital atau para punguasa modal dunia di zaman globalisasi ini.
Kalau tergantung pada diri saya, sekali lagi kalau tergantung dari saya, saya akan turunkan
Soeharto itu, tidak dengan jalan pemberontakan rakyat, tetapi melalui kerjasama segenap
kekuatan sosial-politik masyarakat berdasarkan kepentingan nasional seperti kuuraikan di
atas."Budi baik" itu akan kita bayar dengan kerjasama persahabatan nasional yang berdaulat
(souvereign) demi kepentingan pembangunan ekonomi bangsa Indonesia yang mengedepankan
kepentingan rakyat banyak, bukan hanya segelintir golongan elite seperti sekarang ini. Adalah
perbuatan "salah-urus" kaum teknokrat yang tak punya nyala-api patriotisme dalam jiwanya
itulah, maka di masa pembangunan 30 tahun ini yang diajak bersama duduk "di meja kerja dan di
meja makan" lebih banyak warganegara baru (keturuan Cina) daripada orang asli
Indonesia.Yang terakhir ini kalau ada kesempatan hanya sejumlah yang sangat terbatas seperti
Rizal Bakrie (Ical) dan Probosutedjo yang saya kenal, berikut anak- anak Soeharto sendiri.
Sedangkan pengusaha Indonesia lainnya bagian terbesar menjadi "anak bawang", dibiarkan
berebutan mengerubuti tètèlan-tètèlan dan remah-remahnya saja. Inilah kalau ditinjau kenyataan
pada golongan elite kita. Belum lagi ketidak- adilan yang ditimpakan kepada masyarakat lapisan
bawah, penggusuran tanah hak milik rakyat, seperti Kedung Ombo dan lain-lain. Apakah ini
pembangunan nasional ... la "Demokrasi Pancasila??" Nonsens!! Jangan dicari kesalahan pada
kaum kapitalis Amerika atau Eropa Barat yang kasih kredit berjutajuta dan yang harus jadi
beban-tanggungan hidup anak-cucu sampai dua kali tujuh turunan lagi. Kesalahan atau dosa itu
ada pada bangsa kita sendiri! Terutama pada kita, putera Indonesia asli yang bakal mati beberapa
tahun lagi!
Inilah sebagian kecil gemuruhnya suara korban satu juta manusia yang bermetamorfosa, menyatu
bersatu pada sang Bima yang muncul kembali dari lautanTirta-Amerta (SelatanJawa) yang kebal
tak mati- mati suaranya itu, yang menggeledek, mengguntur, membelah angkasa di seluruh
Nusantara Indonesia.Yah, kalau bukan robot, orang akan mengerti, bisa menyerapi arti penting
filsafat kebatinan Jawa atau Kejawen yang ditinjau oleh Dr. Seno Sastroamidjojo tentang cerita
Dewa Ruci. Saya anak Sumatera, bukan anak Jawa tapi putra Indonesia. Bukan robot! Saya suka
belajar memahami yang baik-baik.
Di dalam bagian lain di buku ini, akan saya kemukakan lebih jelas bagaimana siasat-siasat
kudeta LetnanJendral Soeharto sehingga mencapai titik puncaknya pada 11 Maret 1966, di mana
selembar Surat Perintah yang wajar-wajar saja dari Presiden/Panglima Tertinggi kepada
bawahannya, telah disulap secara licik menjadi surat penyerahan kekuasaan, yang dikenal
bernama SUPERSEMAR. Menteri Olah Raga dan Pemuda, Hayono Isman (sayang sekali,
putranya kawan saya sendiri, bekas Mayor dan Duta Besar Isman), disurah oleh Soeharto
mengadakan seminar Nawaksara. Kalau semi- nar itu terjamin bebas dan demokratis dan jangan
hanya yang pro Pemerintah saja yang boleh hadir, boleh, silakan. Dan saya bersedia hadir,
sekalipun untuk menghadiri seminar itu saja sesudah itu dilempar lagi ke pembuangan di luar
negeri seperti sekarang ini. Tapi sejarah yang sebenarnya harus dibuka.
615
Di dalam buku "Menteng 31 - Membangun Jembatan Dua Angkatan", saya telah memberanikan
diri meriskir segala macam tanggapan yang mungkin ditujukan kepada usul saya agar Presiden
Soeharto dipilih kembali buat masa terakhirnya, namun dengan syarat : rekonsiliasi nasional dan
diberlakukan keterbukaan, demokrasi dan HAM. Saya bersabar menanti sejak Pidato Kenegaraan
17-8-1966 sampai sekarang dalam masa menjelang Pemilihan Umum. Namun rupanya sia-sialah
harapan saya itu. Malah tambah jadi lupa daratan dia, menantang-nantang mau menggebug siapa
saja.
Oleh karena itu mulai hari ini, 11 Maret 1997, kalau mereka di Jakarta bikin bancakan, slametan
untuk SUPERSEMAR dan GESTAPUnya yang sialan itu, saya mulai menulis buku ini:
MENGGUGAT: SUPERSEMAR - GESTAPU - Kudeta Soeharto. Kepada orang yang immoral
tak perlu dialog. Dia akan selalu menggebug-gebug kembali.
616
Bab XII
Gagalnya Konperensi AA di Aljazair dan Konperensi
Tricontinental di Havana- 1 Januari 1966
Pada hari ketiga setelah saya tiba di Jakarta, Presiden Sukarno meminta saya turut menghadiri
penyusunan Delegasi Indonesia untuk menghadiri Konperensi Organisasi Setiakawan AsiaAfrika dan Amerika Latin, disingkat AAA yang akan berlangsung pada 2 Januari 1966. Ini
sesuai dengan harapan Fidel Castro dalam pesannya kepada saya agar disampaikan kepada Bung
Karno, hal mana memang telah saya kemakakan kepada Presiden dalam sidang bersama para
Deputies.
Turut serta hadir, selain anggota delegasi yang akan dibe- rangkatkan, Ibu Utami Suryadarma,
bekas Panitia KIAPMA (Konperensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing), yang telah
berlangsung beberapa waktu sebelum pertengahan tahun 1965.
Delegasi itu terdiri dari lima orang diketuai oleh Brigjen Latief Hendraningrat, seorang tokoh
historik yang mengerek naik Merah Putih di PengangsaanTimur 56 pada Hari Proklamasi 17
Agustus 1945. Saya tidak tahu persis, apakah empat orang delegasi lainnya, di luar Brigjen
Latief Hendraningrat, akhirnya jadi atau tidak berangkat. Sebab, menurut laporan istri saya, Ibu
Sukendah Hanafi, yang saya serahi tugas mewakili saya kalau saya sedang tidak ada di tempat
itu yang bisa menghadiri Resepsi Penyambutan Konperensi AAA di kediaman Duta Besar, yang
nampak hadir dari delegasi Indonesia hanya Pak Latief itu saja, sedangkan dari kalangan
diplomatik dan Pemerintah Kuba ada yang hadir. Resepsi itu dibintangi oleh SenoraVilma Espin,
isteri Menteri Pertahanan Raul Castro, adik kandung Commandante Fidel Castro. Lama
kemudian baru saya ketahui, bahwa keempat orang Delegasi lainnya itu dilarang berangkat oleh
elemen tentara Soeharto yang hari demi hari memperketat kekuasaan de factonya, sekalipun
delegasi tersebut diperintah oleh Presiden. Hanya Brigjen Latief Hendraningrat, mungkin karena
ketokohannya yang historik itu bisa pergi, dan yang lainnya nyangkut di lapangan udara
Kemayoran.
Bagaimana dengan saya sendiri? Saya terpaksa tidak bisa menghadiri Konperensi Tricontinental
itu, walaupun Fidel Castro telah sangat mengharapkan. Presiden Sukarno tegas mengatakan agar
saya jangan pulang ke Kuba dulu, karena saya masih sangat diperlukan di Jakarta. Maka saya
minta beliau menjelaskan hal itu tertulis, demi terpeliharanya secara baik hubungan diplomatik
antara kedua negara, Indonesia dan Kuba. Beliau membuat surat tersebut dengan tulisannya
sendiri, di hadapan saya.Tentu saja, beliau tidak lupa menyatakan terima kasih atas surat pribadi
Fidel Castro yang telah diterimanya dengan rasa persahabatan yang sedalam-dalamnya, seraya
menerangkan bahwa saya buat sementara masih sangat diperlukannya di Jakarta. Dan beliau
sangat menyesalkan sekali saya tidak dapat turut serta menghadiri Konperensi Tricontinental
yang bersejarah itu, namun telah mengutus Delegasi Indonesia untuk turut menyertai Konperensi
tersebut, diketuai Brigjen Latief Hendraningrat, seorang revolusioner pula. Surat Presiden itu
harus dapat diterimakan kepada Commandante Fidel Castro sebelum 1 Januari 1966. Karena itu
saya tidak bisa turut mengurus keberang- katan Delegasi tersebut. Saya tergesa-gesa pergi
keTokyo, mengirim anak saya, mahasiswa Dias Hanggayudha, ke Havana untuk membawa surat
penting itu kepada ibunya, agar diserahkan kepada orang penting revolusioner, yaitu Senora
617
Silya Sanchez, Sekretaris Fidel Castro sejak masa gerilya, agar diserahkan langsung kepada
Commandante.
Tetapi, apa mau dikata, situasi kami kaum Sukarnois, nasionalis revolusioner, sesudah peristiwa
GESTAPU, semua serba salah, seperti peribahasa di Sumatra mengatakan "sudah jatuh ditimpa
tangga pula". Sialan!
Ternyata kemudian Brigjen Latief Hendraningrat tidak berhasil untuk diterima hadir dalam
Konperensi Tricontinental itu, diblokir oleh Panitia Konperensi, sebab telah datang pula
berbareng dengan orang-orang PKI dari Peking dan dari Mesir yang menyatakan diri mereka
sebagai Delegasi Indonesia. Commandante Fidel Castro mengharapkan saya datang dengan
Delegasi, tapi justru saya pun tidak datang kembali. Buat Kuba semua itu mengesankan
bagaimana kacaunya keadaan dan situasi Indonesia di bawah Presiden Sukarno ketika itu. Kuba
mendapat laporan-laporan yang tidak obyektif. Di dalam koran Juventud Rebelde dan di dalam
koran Granma (koran Partai Komunis Kuba) termuatlah pemberitaan yang mendiskre- ditkan
Presiden Sukarno, yang antara lain menyatakan: "nanti di atas makamnya haruslah ditulis: di sini
telah dimakamkan seorang Pemimpin yang tidak bisa menghargai kepercayaan rakyat yang
diberikan kepadanya" ... Sayang, saya tidak punya lagi koran-koran tersebut, dan demi akurasi,
baik dicari lagi koran-koran tersebut, nanti. Mohamad Hatta sebagai Sekretaris I KBRI Havana
tidak pula mengajukan protes kepada Kemlu Kuba atas pemberitaan tersebut, walaupun sudah
didesak oleh isteri Dubes.
Berhubung dengan hal itu maka saya buru-buru lagi pulang ke Kuba pada tanggal 21 Januari
1966. Hal ini akan saya singgung kembali dalam bagian berikut nanti.
Brigjen Latief Hendraningrat sebagai Delegasi resmi dari Indo- nesia hanya sempat menghadiri
Resepsi Penyambutan Konperensi Tricontinental di rumah kediaman Duta Besar yang
diselenggarakan oleh Sukendah bersama-sama Staf KBRI. Resepsi yang mendapat perhatian
begitu besar dihadiri oleh semua corps diplomatik dan dihadiri oleh Menteri Perdagangan Kuba
serta Senora Vilma Espin, isteri Menteri Pertahanan Commandante Raul Castro. Di situ juga
digelarkan tari-tari kesenian Indonesia oleh pemuda dan pemudi Kuba yang dipimpin oleh anakanak saya Nurdjaja dan Damayanti.
Sesudah itu, Brigjen Latief Hendraningrat pulang ke Indonesia tanpa sempat berpamitan dahulu
kepada istri saya Sukendah (Latief sekeluarga adalah tetangga sebelah-menyebelah rumah kami
di zaman Jepang). Dia yang mewakili saya sebagai Dubes membela posisi pemerintah R.I. di
masa menghadapi sidang Tricontinental di Havana. Semuanya sudah jadi kacau, gara-gara sikap
kekiri-kirian perseorangan tokoh-tokoh komunis yang datang dari Peking dan Mesir itu.
Sehingga Kuba tanpa ragu-ragu (sebagai setiakawannya yang revolusioner?) menempatkan
artikel di suratkabar Juventud Rebelde dan Granma, tulisan yang mau mendiskreditkan Presiden
Sukarno. Apakah mereka tidak menginsafi bahwa tindak-tanduknya yang memusuhi Presiden
Sukarno (sebab kecewa?) itu bisa ditarik garis-lurus dengan statement Dewan Revolusi Kolonel
Untung?
Subyektivisme macam inilah yang menghancurkan PKI dan menjatuhkan Presiden Sukarno.
Selama zaman Jepang dan di zaman revolusi 1945 yang melindungi tokoh-tokoh PKI (Amir
618
Sjarifuddin, Wikana dan lain-lain) bukan Musso atau Alimin, apalagi bukan Aidit, mereka pada
bergantungan pada ujung bajunya Sukarno. Tetapi sekarang, setelah PKl "kesandung batunya"
sendiri, mereka "bangkit- nafsu" karena Sukarno tidak membantu lagi.
Kalau saya, saya akan tahu, di mana dan kapan harus menggunakan sikap "right or wrong - my
country". Kalau negeri saya "brengsek" itu urusan saya ke dalam negeri dulu. Mengapa harus
membnat "tanggung-rèntèng" setiakawan revolusioner atas sesuatu perbuatan yang tidak ada
dalam kamus revolusi, yang mengharamkan putsch itu. Di atas ladang subyektivisme PKI itulah
tumbuh benih diktator Soeharto. Para tokoh-tokoh bekas PKI bertanggung jawab harus
membikin clear masalah bencana nasional ini, sehingga generasi muda tidak hanya tertarik dari
jauh oleh cantiknya mawar merah, tapi tak tahu banyak durinya yang tajam dan berbisa!
Berbicara mengenai Konperensi Tricontinental, tak bisa terlepas dari masalah lingkaran
pertentangan dua pola dunia: kapitalisme dan sosialisme, kubu USA versus kubu Uni Sovyet dan
kubu RRC. Sudah sejak tahun 1960, Uni Sovyet dan RRC tidaklah merupakan satu kubu
bersama-sama yang bersatu lagi. Kubu sosialisme Uni Sovyet di bawah pimpinan Khrushchev
sejak lahirnya berorientasi baru yang disebut 'peaceful coexistence" di tengah-tengah situasi
internasional yang sedang terlibat Perang Dingin. Khrushchev melansir politik peaceful
coexistence dengan maksud mengcontain RRT yang menempuh garis "arm struggle" untuk
menghadapi imperalisme dan membebaskan negeri-negeri yang masih terjajah. Oleh karena
itulah perpecahan kubu sosialis itu, sejak dari situ sudah mengacu pada kebangkrutan strategi
dalam menghadapi USA. Sovyet Uni ternyata di pihak yang kalah, walaupun sosialisme sebagai
cita- cita sulit dihancurkan atau dimusnahkan dari bumi manusia ini. Namun realitas
perkembangan dunia menyatakan USA mengungguli Uni Sovyet dan RRC, paling-paling sampai
ke permukaan abad ke XXI ini.Tentang Uni Sovyet, saya meminjam istilah Fidel Castro: "ia
telah mengadakan bunuh diri". RRC yang dulu mengutuk Khrushchev sebagai "penempah
restorasi kapitalisme", tampaknya sekarang mengancik ke arah jalan itu juga.
Oleh sebab itu saya ingin bertanya, apakah pelajaran sejarah abad ke XX belum cukup keras,
belum cukup jelas, belum cukup pedih bagi bangsa Indonesia untuk lebih kuat kembali tegak
berdiri di atas kepribadiannya sendiri yang telah ditunjukkan oleh Bung Karno di dalam
"Lahirnya Pancasila". Tentu saja bukan secara munafik ..à la Orde Baru diktator Soeharto! Tiga
tungku yang prinsipal dari Pancasila dan tujuan R.I.: 1) Berketuhanan yang Maha Esa, 2) SosioNasionalisme, 3) Sosio-demokrasi. Menghilangkan salah-satu dari ketiga tungkunya itu, berarti:
mengkhianati Pancasila. Di dalam ilmu politik kontemporer, Pancasila itu disebutkan juga sama
dengan Sosialisme Indonesia. Tentulah dipahami bahwa sosialisme itu bukan komunisme!
Beberapa negara kapitalis di Eropa dengan sistem demokrasi liberal dan partai sosialisme bisa
juga mencapai nilai- nilai sosialisme dalam taraf tertentu, yang spesifik, seperti Swedia, Prancis,
Belanda dan lain-lain, walaupun tidaklah mungkin dalam arti "sama rata dan sama rasa", namun
rakyat pekerjanya mendapatkan haknya, yaitu jaminan sosial.
Sosialisme adalah satu cita-cita, satu ideal. Tuntutan hati nurani rakyat, disingkat TUHANURA.
Ini adalah Matahari Abadi, yang menghayati sejarah. Panggilan sejarah itu adalah progres.
Progres atau kemajuan masyarakat berbangsa itu adalah panggilan atau suruhan Tuhan! Selama
masih ada kekolotan, kemiskinan dan penindasan oleh manusia atas manusia dan oleh bangsa
619
atas bangsa- bangsa, cita-cita akan sosialisme itu akan memancar bersinar terus, laksanan
Matahari Abadi yang takkan bisa ditutupi oleh tangan manusia siapa pun juga.
KonperensiAsia-Afrika ke-I, 18April 1955 yang telah melahirkan Semangat Bandung itu tidak
berhasil mencapai estafetnya yang ke II, oleh sebab tercegat atau disabot oleh kudeta Kolonel
Boumedienne di Aljazair yang menumbangkan Presiden Ben Bella, Juli 1965. Kolonel
Boumedienne berhasil menunggangi kontradiksi Uni Sovyet - RRC. Kabarnya D.N. Aidit
menjadi tersengat fantasinya oleh keberhasilan Boumedienne. Tapi lupa bahwa posisi Aljazair
lain dari posisi Indonesia. Boumedienne, Kolonel tentara dari FLNA, sedangkan Aidit hanya
Ketua PKI yang dicurigai tentara. Maaf, ini tidak berarti saya setuju kudeta, kudeta dari kiri atau
dari kanan akan saya tentang.
Dapatlah dipahami, bahwa yang dapat menarik keuntungan dari kudeta Boumedienne yang
mencegat berlangsungnya Konperensi AA ke-lI itu, ialah Uni Sovyet dan USA. Ini bisa
dimengerti kalau dihubungkan dengan analisa strategi global ketiga negara besar di duni itu.
Sebenarnya, saya sudah merasakan firasat akan adanya bahaya yang mengancam Setiakawan
AA. Ini akibat tidak diikutsertakannya Sovyet Uni sejak dari Konperensi AA ke-l di Bandung.
Sementara` berjalannya persiapan Konperensi AA ke-lI di Aljazair, dan KBRI Havana bersiapsiap pula untuk mengadakan perayaan penyambutan Konperensi AA ke-lI di Aljazair tersebut,
Dubes Mongolia, Sr. Gundiin Baga, mengunjungi saya di KBRI tiga atau empat kali. Acaranya
yang itu-itu juga, menanyakan apakah Jakarta sudah bersedia mengikutsertakan Uni Sovyet
dalam Konperensi AA ke- II. Jelas, kudeta Boumedienne bukan hanya perebutan kekuasaan
dalam negeri kontra Ben Bella semata-mata, tetapi juga karena akibat perebutan pengaruh antara
Uni Sovyet dan RRC. Ketika saya jumpa Letkol Marsudi sebagaichargé d'affair R.I. di Beirut,
Libanon, saya dikabari bahwa dia menjumpai Kolonel Boumedienne di Sahara, untuk
mengabarkan sumbangan senjata R.I. kepada Aljazair sedang dilaksanakan melalui segi tiga R.I.S.U.- Mesir. Untuk diketahui, memang sumbangan setiakawan Uni Sovyet dalam persenjataan
yang dibutuhkan Indonesia, adalah yang terbesar, teristimewa dalam perjuangan untuk
pembebasan Irian Barat. Tapi dalam Konperensi AA ke-lI yang akan diadakan bulan Juli 1965,
Uni Sovyet tidak diikutsertakan dan Indonesia tetap lebih condong ke RRT.
Maka dapatlah kiranya dilihat kembali, bahwa puncak kejayaan era Sukarno adalah Konperensi
AA ke-I yang melahirkan Dasa Sila Semangat Bandung, di mana RRC memperoleh kesempatan
historis keluar dari isolasi dan menancapkan panji-panji setiakawan revolusioner, teristimewa
terhadap negeri-negeri Asia-Afrika. Tetapi, tetapi peristiwa kudeta Kolonel Boumedienne itu
berarti pula dipalunya genderang serangan offensif Nekolim terhadap Indone- sia, negeri-asalnya
Setiakawan Asia-Afrika.
Kejadian itu sebenarnya adalah suatu prediksi atau lebih tepat peringatan yang harus ditanggapi
oleh segenap elemen kubu sosialis, bahwa kubu kapitalis telah menancapkan panji-panji
ofensifnya mulai dari kudeta Boumedienne di Aljazair itu.Tetapi nyatanya tidak terjadi, jalan dan
caranya Sovyet Uni bertabrakan dengan jalan dan langgam kerjanya RRC. Menurut cerita
D.N.Aidit pada saya, Mikoyan, tokoh Politbiro PKUS yang terpenting, ketika berkunjung ke
Jakarta, datang ke kantor CC PKI di Kramat, dan mengancam bahwa PKI akan dihancurkan
kalau terus-terusan menggandol ke Cina (RRC). Lalu saya bertanya:"Kau jawab apa?"
620
"Yah, orang bertamu kok, Mikoyan itu orang penting, kan". Saya tidak tahu selanjutnya, apakah
hal itu didiskusikan oleh CC PKI atau tidak, bukan urusan saya. Tapi bukan hanya selentingan
lagi bahwa CC PKI itu juga pecah di dalam. Ternyata dari pledooi Sudisman di depan
Mahmilub: Sudisman dan Nyoto di satu pihak, D.N.Aidit dan Sjam Kamaruzzaman di pihak
lain.
Saya mau simpulkan tanggapan saya akan arti penting bersejarah dari Konperensi Tricontinental
(AAA) itu, sebagai pancaran cemerlang sinarnya Setiakawan Revolusioner dari Asia-AfrikaAmerika Latin yang terakhir dalam siklus sejarah sementara ini. Dan hal itu tidak terlepas dari
putsch GESTAPU yang mengakibatkan jatuhnya Presiden Sukarno. Kemudian Kuba mercusuar
Amerika Latin itu telah mengalami pukulan pula dari CIA /Amerika, dengan cemerlangnya
keberhasilan CIA di Jakarta, ia menumbangkan pula Presiden Allende di Chili sampai mati
dengan senjata A.K. di tangannya di istana Santiago.
Maka membahanalah tampik-sorak kemenangan kaum anti- komunis di seluruh benua, sampaisampai di Jakarta kaum non- komunis pun, bahkan yang tidak bisa baca ABC politik, apalagi
marxisme, diceburkan mati ke laut dan ke sungai-sungai, di"Pulau- Buru"kan dan dipenjarakan
tanpa proses belasan tahun. Arthur Conte yang mempersunting Konperensi AA begitu indah dan
menariknya, di dalam bukunya CeJour-là: 18 Avril 1955: Bandoung Tournant de l'Histoire
("Hari itu: 18 April 1955 Bandung,Titikbalik Sejarah") hanya meninggalkan mimpi yang indah
pada bangsa In- donesia dan segenap bangsa-bangsa yang dijajah oleh kolonialisme, yang
mengikat setiakawan revolusioner Koferensi AA yang telah menjelmakan Semangat Bandung.
Tetapi orang tidak bisa dan tidak boleh bermimpi terus-terusan. Satu pagi akan terbangun dan
melihat kenyataan di hari terang- benderang, bahwa hidup manusia di zaman sekarang berasal
dari stratagem (siasat perang) Perang Dingin segi tiga: Amerika Serikat, Uni Sovyet, RRC itu
tadi.Tetapi jangan pula lupa, bahwa Konperensi AA, itu sendiri adalah manifestasi dari "produk"
ketegangan segi tiga atau tiga pola kekuatan di dunia itu. Saling baku-hantam, kita terjepit.
Mau tidak mau saya teringat kepada Pidato Bung Karno di Sidang Umum PBB 1960, yang
menawarkan filsafah Pancasila untuk Membangun Dunia Kembali. Pidato tersebut ingin saya
lampirkan di dalam buku ini di dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), setidak-tidaknya untuk
menjadi dokumentasi yang bagi saya seperti Bung Karno menganggap Pancasila itu adalah een
hogere optrekking, satu pengangkatan yang lebih tinggi dan lestari dari Manifesto Komunis dan
Kapitalisme. Untuk mencapai dunia baru tanpa perang dan berkeadilan sosial, sama-sama kerja,
sama-sama makan. Apakah mungkin tercapai cita-cita itu? Mengapa tidak? Sebagai orang yang
beragama Agama Islam, saya menjunjung Al Qur'an Ulkarim di dalam hatiku dengan
keyakinanku dan tafsir yang dialektis. Bahwa Tuhan menjadikan ummatnya bergolonggolongan, berbangsa-bangsa agar saling-mengenal dengan baik, selanjutnya bahwa Tuhan tidak
akan memperbaiki nasib sesuatu bangsa, kalau bangsa itu sendiri tidak mau memperbaiki nasib
bangsanya. Titik beratnya tergantung pada ada tidaknya kemauan. Ada kemauan, pasti ada jalan.
Barangkali seperti ungkapan yang mengatakan:"Bukan satu jalan menuju ke Roma". Barangkali
ada tujuh jalannya menuju ke Roma itu, yang terpenting sampainya, bukan jalannya, dan tentu
saja bukan jalan pintas seperti GESTAPU atau Gestok itu! Dan pasti: bukan jalan dan caranya
D.N.Aidit, apalagi bukan jalan dan caranya kudeta atau kapital dari negeri-negeri Barat, Amerika
dan Eropa untuk pembangunan dalam zaman apa yang disebut era globalisasi, namun pasti
621
bukan jalan dengan caranya Presiden Soeharto yang akibatnya sudah lebih mempertegang
kembali pandangan rakyat Indonesia terhadap negara-negara penegak demokrasi (sekalipun
demokrasi Barat) yang liberal itu.
622
Bab XIII
10 Januari 1966
Demonstrasi Pemuda Kontra Revolusioner Menyerbu Deparlu
Di bagian di muka telah saya ceritakan bagaimana kesubukan saya, pergi ke Tokyo mendadak,
untuk mengirimkan surat penting dari Presiden Sukarno yang harus secepatnya disampaikan ke
tangan Fidel Castro di Havana, lalu saya mengirimkan anak saya sendiri, mahasiswa perkapalan
di Tokyo (kemudian Osaka), Dias Hanggayudha, ke Havana untuk menyerahkan surat tersebut
kepada ibunya, Sukendah Hanafi, agar dengan pertolongan Señora Silya Sanchez, disampaikan
langsung ke tangan Fidel Castro. Señora Silya Sanchez adalah kawan seperjuangan Fidel sejak
zaman puncak gunung Pico Turcuino dan sekarang menjabat Sekretarisnya yang terpercaya.
Saya tidak mau menggunakan saluran Deparlu untuk kepentingan surat tersebut. Ada cerita
sampingan yang perlu lebih dahulu diketahui oleh para pembaca yang terhormat.
Di dalam buku yang diberi judul 'Jejak Langkah Pak Harto 1 Oktober 1965 - 27 Maret 1968"
oleh Team Dokumentasi Presiden RI, dengan editor: G. Dwipayana, Nazaruddin Sjamsuddin,
dan penerbit PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1991, diuraikan sbb:
"Senin, 10 Januari. Pagi ini KAMI mengadakan rapat umum di halaman FK-UI, yang juga
dihadiri oleh Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie dan beberapa stafnya. Pada rapat umum
ini untuk pertama kalinya telah diperkenalkan'Tritura' atau TigaTuntutan Rakyat. Ketiga
Tuntutan Rakyat itu adalah: 1) Bubarkan PKI; 2) Bersihkan Kabinet dari unsur-unsur G30S/PKI;
dan 3). Turunkan harga. Selesai rapat umum, para mahasiswa dengan jaket kuningnya bergerak
menuju Departemen PTIP, dan kemudian ke Sekretariat Negara untuk menyampaikan
pernyataan mereka. Sepanjang perjalanan antara kedua tempat tersebut mereka meneriakkan slogan-slogan seperti 'Turunkan harga beras!', 'Turunkan harga bensin!', 'Singkirkan menteri
goblok!', dan lain-lain."
Lalu, di sini saya mau bertanya kepadaTeam Dokumentasi Presiden RI tersebut:"Mengapa kok
hanya dibilang para mahasiswa dengan jaket kuningnya bergerak menuju Departemen PTIP, dan
kemudian ke Sekretariat Negara, tapi tidak mau mengatakan bahwa sebelum ke Sekretariat
Negara mereka berbelok dulu, berdemonstrasi ke Deparlu, memberantaki segala meja dan
lemari-lemari serta segala surat-surat penting dan kertas-kertas kantor Deparlu itu sehingga
bertebaran di jalanan memenuhi Lapangan Pejambon, sebelum sampai bergerak ke Sekretariat
Negara? Malu? Karena biasanya mahasiswa itu orang yang terpelajar? Malu? Apa karena buku
itu mencatat 'Jejak Langkah Pak Harto dari 1 Otober 1965 - 27 Maret 1968"?
Sekarang saya kembali pada pembicaraan subjudul tersebut di atas. Setibanya di Jakarta kembali
dari Tokyo, esok harinya saya langsung pergi ke Istana Merdeka. Hari itu tanggal l0 Januari
1966. Saya lihat Presiden Sukarno dengan para Deputies: Subandrio, Leimena, Chaerul Saleh,
memberi isyarat kepada saya. Di situ ada juga Duta Besar Pakistan dan Duta Besar Filipina.
Chaerul Saleh yang selalu atent pada saya, langsung berteriak:
"Fi, ayo ikut".
"Mobil mana?" tanyaku.
623
"Mobil mana saja", jawabuya.
"Ah", senang hatiku punya kawan seperti Chaerul Saleh.
Teringatlah saya, kalau tidak lantaran saudara Sidik Kertapati bertemu dengan saya, yang
mengingatkan, kalau saya masih sayang sama Chaerul Saleh, jangan biarkan sampai malam ini
di Penjara Gang Tengah itu, sebab kabarnya dia akan di"bon" oleh Tentara Siliwangi (Kolonel
Kawilarang), dengan alasan akan dipindahkan ke Bandung, akan ditembak mati di tengah jalan.
Saya lalu tidak jadi pergi ke Gang Tengah, semula mau ketemu saudara Setiati Surasto, agen
distributor Mingguan Pancasila yang saya terbithan ketika masih diYogyakarta. Saya balik ke
rumah, ambil mobil, terus saya larikan ke istana, bertemu dengan Presiden Presiden Sukarno,
mendesak beliau agar menyelamatkan Chaerul Saleh. Itulah sebabnya mengapa Jaksa Agung
Suprapto segera dipanggil mendadak ke Istana.
Selanjutnya kemudian Chaerul Saleh dikirim ke luar negeri untuk studi di Swiss. Ajudan Mayor
Prihatin terheran-heran dengan kedatangan saya, dia diperintaLkan untuk membawa Jaksa
Agung Suprapto ke Istana Negara dengan segera. Pikir-pikir, untunglah ada "jembatan" seperti
saya ini, yang menghubungkan Bung Karno dengan Rakyat Pejuang. Peran "jembatan" ini
kupegang sejak zaman Jepang, sampai ke jaman Revolusi, terus sampai sekarang. Lebih baik jadi
"kacung" Revolusi ketimbang jadi jendral petak pengkhianat, murtad kepada cita-cita bangsaku.
Matahari di Jakarta sama panasnya dengan di Kuba.Tanpa pilih- pilih mobil mana yang akan
kunaiki, saya lompat ke dalam sebuah mobil yang paling dekat. Saya tidak tabu mobil siapa, saya
naiki saja. Tak disangka, mobil yang kunaiki adalah milik Duta Besar Philipina. Mobil Presiden
bersama Menlu Subandrio di dalamnya, Leimena dan Chaerul Saleh, di belakangnya mobil Duta
Besar Pa- kistan, dan saya dengan Duta Besar Filipina berada di paling belakang. Saya
memperkenalkan diri, menyalaminya, sambil minta maaf akan kedatangan saya yang
mengganggu itu. "No, no, not at all, we are in a situation of a revolution, isn't?", senyumnya
simpatik. Ke mana kami semua pergi? Saya tidak diberi tahu tadi akan ke mana?
Ternyata segera kemudian semua mobil menuju ke Pejambon, ke Gedung Departemen Luar
Negeri, yang ternyata telah diserbu, diserang oleh kaum demonstran yang menuntut "Gantung
Subandrio, Haji Peking!", sebagaimana nampak pada poster yang tergeletak. Tetapi yang lebih
mengenaskan hati saya, masya'allah, saya lihat isi gedung Deparlu itu diberantaki semoa, mejameja, lemari-lemari, ada yang patah-patah dilemparkan di pelataran dan di jalan. Dokumendokumen, kertas-kertas berserakan, bertaburan di mana-mana, sampai di seberang jalan, sampai
ke pinggir kali Ciliwung itu.
Kami semua turun dari mobil mengiringi Presiden Sukarno memasuki gedung itu. Tidak bisa lagi
lincah menghindari kertas- kertas, surat-surat atau dokumen entah apa, terpaksa terinjak di
bawah telapak kaki kami. Malu sekali rasanya, sebab drama itu disaksikan oleh wakil-wakil
negeri sahabat, Pakistan dan Filipina dan tentu saja akan segera diketahui oleh wakil-wakil
negeri lainnya. Artinya muka Kepala Negara Indonesia ditampar-tampar secara brutal mentahmentah di muka dunia oleh pemuda-pemuda kesurupan yang tidak menyadari apa sebenarnya
yang mereka lakukan itu.
624
Tiba-tiba Presiden Sukarno memanggil saya, mukanya geram berkata: "Hanafi, coba lihat ini,
apa ini kalau bukan perbuatan kontra- revolusioner?"
Tentulah saya tidak bisa lain kecuali menjawab:"Ya, betul-betul kontra-revolusioner". Semua
orang yang menyambut kedatangan kami, umumnya pejabat atau pegawai Deparlu, walaupun
berjarak beberapa langkah, pasti melihat bagaimana wajah Presiden ketika itu, dan tentulah
mendengar betul ucapan pertanyaan beliau serta jawaban penegasan saya tadi.
Peristiwa hari itu, ternyata membawa "buntut" yang panjang, yang melilit dari kaki sampai ke
leher saya.Mulai dari sinilah bisa diketahui mengapa saya secara non-konstitusional dan dengan
cara memperkosa aturan dicopot dari jabatan, dan kemudian, walaupun jelas ada pihak-pihak
yang membolehkan saya pulang dari tempat pembuangan di Paris, ada pula pihak-pihak yang
menghambat.
Persis di belakang saya berdiri Kapten Supardjo Rustam. Mataku melirik kepadanya, sesudah
saya berkata "Ya", menyambut pertanyaan Presiden tadi. Tampak mukanya geram, mulutnya
mengguman kata-kata"apa-apaan ini". Itu saya ingat sampai sekarang, tidak akan lupa.Tapi saya
tidak menghiraukan itu. Memang saya tidak terlatih berjiwa "mata-mata" yang mencatat dan
mencurigai segala sesuatu. Sifatku selalu terbuka dan bersangka baik hampir kepada semua
orang. Saya tidak tahu apa tugasaya Supardjo Rustam di Deparlu. Dahulu, sebelum saya
berangkat ke Kuba, setiap kali saya datang ke istana, saya selalu melihat ada dua orang,
walaupun saya tidak tahu apa tugas resminya di sana itu. Orang itu Kapten Supardjo Rustam itu,
yang kalau menegur, menyapa saya membayangkan sikap samar-samar simpatisan Partai Murba,
sebab setahu saya dia berteman dekat sekali dengan Chaerul Saleh, Sukarni dan Pandu. Yang
seorang lagi adalah Letnan AURI Moerdiono (sekarang Sekretaris Negara). Kata orang, masih
ada tali hubungan famili dengan Bung Karno, yaitu kata Pak Hardjowardojo, walaupun saya tahu
sifat Bung Karno tentang urusan famili itu "sekunder". Baginya yang terpenting kebaktian pada
Negara dan Revolusi.Jelas bedanya dengan Presiden yang sekarang ini, yang nespotik. Keluarga
nomor satu, negara nomor dua. Terhadap saudara Moerdiono ini saya punya "sangka-baik" saja,
ketika itu dia masih mahasiswa.
Di sini saya ingin meminjam gurau satirik dari Duta Besar Filipina tadi,"kita berada dalam
suasana revolusi". Maaf, saya lupa namanya ketika menyalami saya. Dipikir-pikir lagi, memang
sungguh tepat ucapannya itu.Walaupun ada saja orang-orang tidak menginsafi tipe apa dan
apakah karakter "revolusi" yang sedang kita alami itu. Sejak dari masa mudaku, saya hidup
dalam masa revolusi sampai ke puncaknya, Revolusi Nasional Angkatan 45 sampai meningkat
lagi ke Persitiwa 65 dan dari kontra-revolusi 1966 sampai ke 1997, sampai sekarang.Yang dulu
ku alami yalah revolusi dari bawah, meruntuhkan gunung kolonialisme yang menindas rakyat
dan bangsa Indonesia tiga setengah abad. Tapi sejak Oktober 1965 sampai sekarang - kontrarevolusinya GESTAPU dan kita berada dalam likunya arus sejarah, yaitu: kontra-revolusi dari
atas yang nilai-nilai serta cita- cita bertolak-belakang, langsung bertabrakan dengan nilai-nilai
dan cita-cita Revolusi Angkatan 45 yang telah tersimpul dalam Pancasila.
Secara politik di atas pentas sejarah kemerdekaan nasional bangsa Indonesia, telah datang
kembali kolonialisme lama dengan pakaian baru, yang disebut oleh Bung Karno sebagai neokolonialisme, yang arti kongkritnya adalah penjajahan Indonesia oleh bangsa Indonesia sendiri.
625
Sebab kolonialisme tidak mengenal kebangsaan! Itulah feno- mena yang paling hakiki dari
naiknya Soeharto di balik kata "pem- bangunan" yang gemerlapan selama 30 tahun itu. Tidak
usahlah saya mencupliki lagi satu per satu bulu-bulu raksasanya "moneter" pembangunan itu
yang laksana Raksasa-Dasamuka kelaparan meng- hentak-hentakkan kakinya dan mengkibaskibaskan tangannya di seluruh aspek kehidupan dan kekayaan tanah air Indonesia. Semna
struktur kepribadian nasional yang punya kesaktian hidup tak akan mati, tak akan hancur-lebur
selama ada bangsa Indonesia di dunia ini.
Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, itu adalah hasil puncak yang terpuncak daripada
jeritan manusia selama berabad- abad dalam mencari keadilan dan kemakmuran hidup berperikemanusian di dunia kita ini. Sejak dari Tiongkok, Mesir dan Babylonia, 50 abad sebelumJesus
Christus (B.C.), sampai ke zaman Yunani (Griek) di abad ke 8 (B.C.), di mana lahir Republik
yang pertama-tama di dunia dengan pujangga-pujangganya seperti Herodotus dan Thucydides,
Socrates, Plato dan Aristoteles, sampai ke Roma pada zaman Agustinus yang melahirkan corpus
juris civilis (lembaga hukum civil) 527-565 B.C., hal mana adalah sumbangan yang terpenting
dari zaman Romawi Raya itu. Kemudian langkah sejarah berderap terus sampai ke zaman Magna
Carta yang menentang despotisme Inggris di mana King John (1275) yang mencantumkan "no
freeman might be arrested, imprisoned or punished in any way, except after a trial by his equals
and in accordance with the Law of the Land" (Tidak boleh ada orang (rakyat) bebas dipenjarakan
atau dihukum dalam keadaan bagaimanapun juga, kecuali sesudah melalui Pengadilan yang
dilakukan oleh orang-orang setingkat dengannya dan sesuai dengan Perundang-undangan
Negeri). Sejarah kemudian menggenggam terus di tangannya Magna Carta itu sampai ke dalam
Parlemen yang pertama di dunia, di zamannya Dinasti Tudor, sekalipun namannya Absolutisme
(1603 - 1714). Parlemen Inggris dengan Magna Carta itu kemudian menjadi lebih maju lagi di
zamannya Revolusi Besar King Charles II (1660 - 1685), di mana "rakyat Inggris menghendaki
tetap adanya Raja, tetapi menghendaki Rajanya itu memerintah di bawah advisnya Parlemen",
lahirlah Habeas Corpus pada tahun 1679. Para ahli hukam kita tentulah tidak bisa
mengesampingkan makna Magna Carta dan Habeas Cor- pus Act itu, yang intisarinya juga
tertuang di dalam UUD '45 kita. Sebelumnya Pembukaan Declaration of Independence Amerika
4 Juli 1776 menyatakan bahwa gabungan koloni-koloni berhak bebas dan menjadi negara
berdaulat. Jiwa Magna Carta dan Habeas Corpus Act itu kemudian tertampung pula di dalam
Parole-nya Revolusi Prancis: Liberté, Egalité, Fraternité. Sejarah maju terus, tetapi di Indonesia
dibikin munduuuur!
Tuan-tuan ahli hukum di Indonesia, mengapakah semua orang, semua elemen yang tersangkut
langsung atau tidak langsung dengan Peristiwa G30S (GESTAPU/PKI) tidak diusut dan dibawa
ke Sidang Pengadilan, hanya Presiden Sukarno saja yang dicecer, sedangkan LetnanJendral
Soeharto yang tersangkut langsung dan tidak langsung tidak diutik-utik. Dan satu juta jiwa
rakyat yang tidak bersalah dijadikan korban pembantaian tanpa diusut dan dibawa ke
Pengadilan? Siapa sutradara siapa aktor peran utamanya yang pertama- tama dari drama
holocaust itu? Akh, wahai, alma mater.... Itukah nasibmu di Indonesia? Saya khawatir
harimaunya arwah Montesqieu denganTrias Politicanya akan mengerekah kepala-kepala ahli
hukum kita di Indonesia. Mudah-mudahan tidak, Insya Allah.
Sebab, ilmu dasar negara sojak zaman Renaissance (abad XIV) mengajarkan: Politik adalah
Panglima. Mulai dari zaman Renais- sance feodalisme diruntuhkan, kepalanya Demokrasi mulai
626
muncul, lahir dari dalam perut gendut penindasan feodalisme, dan bayi Demokrasi itu dibuaibuai dan disayang-ditimang oleh rakyat-rakyat yang tertindas di bawah kaum feodal: Milan, Pisa,
Genoa, Florence, Venesia dan lain-lain bergerak memberontak mencampakkan penindasan
feodalisme yang bertengger di atas bahunya. Ya, itulah yang menandai kelahirannya kembali
Demokrasi, seperti pertam kali ia pernah mahir di zaman Yunani Kuno.
Tetapi, di Indonesia, tanahairku, sejak 1965 panglima-panglimalah, dalam kenyataan dan secara
harfiah menguasai politik, bukan lagi kaum ilmuwan dan kaum pergerakan. Kalau kaum militer
yang berkuasa, senjatanya bukan lagi logika dan dialog, tapi bedil dan bayonet. Lembagalembaga kenegaraan dari suatu Republik, lembaga-lembaga eksekutif, legistatif, yudikatif
ditundukkan kepada bedil dan bayonet. Itulah dia pemerintahan "Republik" Indonesia sejak
tahun 1965 sampai sekarang. Kepada kawan-kawanku pejuang Angkatan 45 yang telah
memberikan pengorbanan penuh pada Republik Proklamasi 17-8-45 dan Angkatan Muda
penerusnya (bukan apa yang disebut "Angkatan 66" yang telah kesasar, sesat di jalan itu!),
baiklah merenungkan kembali semuanya itu.
Peristiwa disebut dan dikacau-balaukannya seluruh isi Deparlu (Kementerian Luar Negeri) yang
diceritakan di atas tadi, yang dikatakan oleh Bung Karno sebagai suatu perbuatan "kontrarevolusioner", merupakan "tembakan salvo" bagi demonstrasi- demonstrasi brutal yang
menyusul beberapa hari kemudian oleh organisasi pemuda KAMI dan KAPPI.
"Sialan banget" saya, sebab yang membentuk KAMI/KAPPI itu adalah Brigjen Dr. Sjarif
Thayeb, Menteri PTIP yang saya kenal baik sejak di sekitar hari-hari Proklamasi 17 Agustus
1945. Saya turut mengusulkan dia menjadi anggota KNIP bersama Adam Malik, dan isteri saya
Sukendah, bekas Ketua Lembaga PUTRI, sebagai wakil-wakil dari Pemuda Menteng 31. Ketika
itu dia belum menjadi dokter, masih mahasiswa di Ika Daigaku (sekarang kedokteran U.l.). Saya
mengusulkan Sjarif Thayeb, karena saya merasa berhutang- budi pada ayahnya, Bapak Tengku
Thayeb (Kepala Penjara Bukit Duri) yang membantu kami keluar dari penjara tersebut. Hal ini
saya uraikan dalam buku "Menteng 31: Membangun Jembatan Dua Angkatan".
Saya lanjutkan sedikit cerita "kesialan" saya tadi. Ketika saya akan kembali ke Kuba pada akhir
bulan Januari 1966, saya singgah di rumah Dr. Sjarif Thayeb guna berpamitan dan mau
menanyakan kalau-kalau ada sesuatu yang bisa saya bawakan untuk abangnya, Mr. Ismail
Thayeb, Duta Besar di Mexico. Apalagi mengingat Sjarif itu dokter keluarga saya. Tapi Sjarif
tidak berani keluar menerima saya. Sesudah agak lama saya menunggu, isterinyalah yang datang
menjumpai saya, sambil minta maaf, mengatakan bahwa suaminya masih tidur, sebab tadi
malam sampai laat, di rumah itu ramai sekali dengan pemuda-pemuda, membentuk organisasi
KAMI dan KAPPI. Jadi setahu saya, organisasi KAMI dan KAPPI resminya baru dibentuk di
bulan Januari 1966, sedangkan demonstrasi-demonstrasi yang berlangsung setelah terjadinya
demonstrasi ke Kementerian Luar Negeri itu baru di atas-namakan pemuda-pemuda dan
mahasiswa saja. Demikian, kalau saya tidak salah.
Di dalam buku "Bayang-bayang PKI" yang disusun secara baik dan rinci oleh Goenawan
Mohamad dkk (1995), disebutkan bahwa KAMI dibentuk akhir Oktober 1965. Mungkin juga
itulah yang betul. Tapi ketika itu saya belum datang dari Kuba.
627
Dr. Sjarif Thayeb dan Kemal Idris memang bersahabat, keduanya saya kenal. Mereka sama-sama
TNI dari Divisi Siliwangi. Kemal Idris memang boleh dikata beroepsmiliter, seorang tentara
profesional. Dia berasal dari PETA. Sedangkan Dokter Sjarif Thayeb seorang dokter Tentara, di
samping itu buka praktek partikelir di Jalan Kwitang, sesudah saya kembali dari Yogya.
Andaikata saya seorang Panglima, tanpa ragu-ragu saya anggap patut Kemal ini diangkat
menjadi Kepala Staf karena rasa disiplinnya kuat, bukan saja pada anak-buahnya, juga terhadap
dirinya sendiri. Dan dia memiliki watak pemberani. Saya kenal saudara Kemal Idris ketika saya
dan Pak Haji Agus Salim bekerja sebagai Penasihat di kantor Gunseikanbu Shidobu, di Jalan
Budi Kemuliaan. Di situ bekerja juga para Shodanco Zulkifli Lubis, Kemal Idris, Daantje Mogot,
dan Otto Djajasuntara. Tapi ketika itu (sebelum Proklamasi) sudah tampak sifat dan watak
militernya memang, dari Kemal Idris dan Daantje Mogot. Mogot korban pertempuran pertama,
betul-betul bertempur waktu melucuti Jepang di Tangerang, di sekitar hari-hari sesudah
Proklamasi Kemerdekaan. Pada Hari Proklamasi 17 Agustus 1945, saya teringat kepada Kemal
Idris, saya lari ke kantornya dan menyerahkan padanya satu lembar stensilan Proklamasi
kepadanya untuk memberitahukan bahwa kita sudah Merdeka. Kertas itu diterima dengan
terkejut. "Ah, ini mesti dilaporkan pada Chudancho", katanya bergegas masuk ke dalam. Tentu
saja saya segera "hengkang" dari tempat itu. Kalau itu bukan tandanya kuat berdisiplin pada
bossnya, apalagi itu namanya. Padahal situasi sudah berganti rupa.
Sesudah itu saya tidak bertemu lagi dengan Sjarif Thayeb dan Kemal Idris. Baru ketika terjadi
apa yang disebut"percobaan kudeta Nasution pada tanggal 17 Oktober 1952" saya lihat dan saya
bertemu dengan mereka berdua itu di Istana Merdeka. Langsung saya menanyakan pada Sjarif:
"Sjarif; ini apa-apaan ini?"
Dia nyengir-nyengir tertawa: "Mau menegakkan demokrasi, bung".
Tukasku:"Apa itu tank-tank dengan mulut meriam mengarah ke istana itu maunya demokrasi?".
Tetapi untuk tahu hal yang sebenarnya bacalah buku Manai Sophian. Setahu saya, Sjarif Thayeb
dan Kemal Idris pada dasarnya tidak anti-Sukarno, tapi anti PKI memang. Abang Sjarif,
komunis, sejak dari zaman CPN di negeri Belanda, Ir. Tahir Thayeb. Lainnya tidak. Saya kenal
semua, sampai ke adiknya Muchtar Thayeb. Sekarang, sesudah meledaknya pemberontakan
GESTAPU, mereka berdua (Sjarif Thayeb dan Kemal Idris) itu muncul lagi untuk
bekerjasama.Yang satu dulu sebagai Mayor, sekarang sebagai Brigjen, yang satu lagi
mengendalikan pemuda dan mahasiswa sebagai tombak perjuangan. Satu mengendalikan
RPKAD sebagai stoot-troop perjuangan Orde Baru yang ternyata sekarang melemparkan
Demokrasi ke tanah mencium debu, walaupun di make-up dengan nama Demokrasi Pancasila,
yang lebih koprot (rotte kop!) dari Demokrasi Terpimpin yang diejeknya dahulu itu.
Tetapi kalau kita singgung istilah politik Demokrasi itu, maka hukum dialektika berlaku
terhadapnya. Demokrasi dari siapa dan untuk siapa? "Demokrasi Terpimpin" adalah demokrasi
dari Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi untuk cita-cita Revolusi Agustus 1945.
Sedangkan"Demokrasi Pancasila" adalah demokrasi untuk menjamin investasi- kapital asing
demi kelangsungan metode pembangunan ..à la Orde Baru, yang punya dampak membuat semua
jadi serba semu pura-pura. Kenakanlah pada UUD'45, pada Pancasila, pada DPR, pada MPR dan
pada apalagi dan pada apa saja. Ketika saudara Hasjim Ning (sekarang almarhum) menjumpai
628
saya di Paris dengan seakan-akan minta maaf, menumpahkan segala penyesalan dan
kekecewaannya karena atas desakanJendral Soeharto, telah ambil bagian dalam menjatuhkan
Bung Karno, ia berkata: "Ya, Bung Hanafi, sekarang jadinya sudah begini, seperti ORFAL yang
mengongkosi perjalanan saya ini, semuanya semu, kelir Orfal, pura- pura hitam bukan hitam,
pura-pura putih bukan putih. Fiat dan General Motor, hasil ambil-alih kita dulu, nasionalisasi kita
dulu, bukan punya saya lagi, semuanya jatuh ke Cina."
Kasihan Hasyim Ning itu, semoga arwahnya diterima baik oleh Tuhan. Hasyim Ning dan
Dasaad, pengusaha nasional kita, apalagi Dasaad, memang pengusaha yang ulet. Ditemani oleh
Dasaad itulah, Hasjim Ning menghadap kepada Bung Karno beberapa jam sebelum kedatangan
tiga Brigjen:Amir Mahmud, Jusuf dan Basuki Rachmat. Mereka datang untuk mendesak Bung
Karno agar memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada Jendral Soeharto. Hasjim Ning dan
Dasaad telah "dibujuk-bujuk" oleh Brigjen Alamsjah Ratu Prawira Negara, asal sedaerah dengan
saya, Sumatra Selatan Jemo Baturaje) supaya pergi ke Bogor ngelesin Bung Karno supaya
menyerahkan kekuasaan yang lebih besar kepada Letnan Jendral Soeharto. Alamsjah ketika itu
menjaba tAsisten Keuangan Angkatan Darat, sejak semula sudah anti-Sukarno karena terbawa
arus Dewan Garuda sampai terbawa-bawa ke PRRI/Permesta. Ketika pada tabun 1957, saya
menjadi Menteri Kabinet Karya Djuanda, Kang Djuanda sebagai Perdana Menteri, menyarankan
agar saya pergi ke Palembang guna memperingatkan Kolonel Barlian (masih kemenakan saya,
karena kawin dengan kemenakan saya puteri Demang Bachsir dari Manna - Bengkulu) supaya
jangan terpancing ikut-ikutan Dewan Banteng di Sumatra Barat yang mau menentang
Pemerintah Pusat.
Saya peringatkan:"Jangan terpancing oleh siasat Kolonel Zulkifli Lubis itu. Zulkifli Lubis itu
orang berdosa, dulu dia kami tangkap, sekap di Menteng 31 karena dia menjadi anggota Kipas
Hitam (intel Jepang). Untuk menyelamatkannya saya serahkan pada Bung Karno di
PengangsaanTimur 56, dan oleh Bung Karno diserahlc~n kepada Amir Sjarifudin, Menteri
Penerangan yang menyelamatkannya pula dengan mengirimkarmya keYogya untuk mendirikan
P.M.C. (Polisi Militer Chusus). Kok sekarang dia menentang Bung Karno, ini 'kan berdosa
namanya! Dan Pemerintah Pusat pasti akan meng- hancurkan setiap gerakan separatis, walaupun
menggunakan nama segala macam binatang!" Saya nasihati demikian juga saudara saya Major
Marzaki, yang menjadi Komandan CPM.
Uraian di atas adalah percakapan saya dengan saudara Hasjim Ning tatkala dia datang
mengunjungi saya ke Paris. Sebenarnya kedatangan Hasjim Ning itu menyatakan penyesalannya
yang tak terhingga kepada saya atas perbuatannya pergi ke Bogor membujuk- bujuk Bung Karno
itu. Dia teman saya, saya tahu, ketika Bung Karno di Bengkulu, saya kenal dengan ayahaya, Pak
Ning, yang datang ke rumah Bung Karno menghadiahkan sebuah sepeda Fongers kepada Bung
Karno. Kemudian Hasjim Ning diam-diam mengeluarkan dua check blok yang masing-masing
berisi 10 lembar, sesudah ditekennya, dia menyuruh saya meneken pula.
"Apa ini, dan untuk apa ini?" tanyaku.
"Teken saja. Masa' sudah lupa meneken check?" Seluruhnya 10.000 US dollar.
629
"Ini untuk bikin selamatan mendoakan pemimpin kita Bung Karno", kata Hasjim. Itulah
pertemnan saya dengan Hasjim Ning selama saya dalam pembuangan di Paris yang pertama kali,
tapi juga yang terakhir. Dia meninggal lebih dulu. Inna lillahi wa Inna Ilaihi Roji'un!
Dibanding dengan Sjarif Thayeb dan Kemal Idris, lain lagi Kapten Murtono, yang di awal Orde
Baru menjabat Ketua DPR. Hebat! Kapten, asal PESINDO Madinn ini, turut duduk bersama
kami dalam Dewan Harian Angkatan 45, mewakiliJendral A.H. Nasution. Sekali kami
mengadakan rapat Dewan Harian Angkatan 45 di rumah saya, Jalan Madura No. 5, dalam rangka
mempersiapkan Musyawarah Besar Angkatan 45 (Mubes ke-II), 19 Desember 1953. Hadir di
antara lainnya Chaerul Saleh, A.M. Hanafi, Harjoto Judoatmodjo, Bambang Suprapto, Sudisman,
Pandu Kartawiguna, Moh. Imamsjafi'ie (Bang Piti) dan Amir Murtono. Dia datang lebih dulu
dari saya. Dalam omong-omong dengan saya, tiba-tiba nyeletuk: "Jangan Bung kira tidak ada
orang lain bisa jadi Presiden". Sekarang saya~terpikir kembali, mestinya saya tanggapi baik-baik
ucapan yang loncat dari mulutnya itu, tetapi ketika itu saya terlalu yakin tidak mungkin ada
orang yang bisa menggantikan Bung Karno dengan segala kwalitasnya sebagai Pemimpin Besar
Revolusi. Ucapan tadi saya anggap angin lalu saja, atau sinting.
Ternyata dia itu adalah salah satu "kapal selam" di bawah lautan era Sukarno. Itulah bedanya
dengan Sjarif Thayeb dan Kemal Idris, yang kupandang dalam perumpamaan sebagai kapal
penjelajah yang penting, hebat, membukakan pintu gerbang bagi Orde Baru.
Sebenarnya nama "Orde Baru" itu tidak orisinil Indonesia, tapi jiplakan dari "O Estado Novo"
dari Getulio Vargas, Presiden/Diktator fasis Brazilia, yang dengan licik dan licin telah
menegakkan Orde Baru pada tahun 1937. Dia membubarkan Partai Fasis Brazilia, tapi
mengangkat dirinya sendiri menjadi Presiden yang fasistis, Presiden yang tidak mau terikat oleh
partai politik. Carilah sendiri di mana persamaannya dalam segala metode dan taktiknya pada
Presiden Soeharto dengan Orde Baru Indonesia.
Saya mau tutup bagian ini dengan pernyataan bahwa saya tidak punya rasa dendam pada mereka
itu, karena dipimpin oleh kesadaran bahwa di dalam perjalanan hidupnya, manusia bisa kadangkadang tersesat di jalan tanpa diinsafinya, sebagai akibat bertabrakannya secara immanent dua
pola pandangan hidup yang antagonis antara kerakyatan dan non-kerakyatan di ladang
kerezekian hidup masyarakat.
630
Bab XIV
Di Atas Jembatan Gantung
Kalau badan dan umur sudah menjadi tua, bagaikan matahari yang dari
pantai kelihatan pada sore hari akan terbenam ke lautan, banyaklah kenangan
di masa silam muncul kembali dari dalam ingatan.
Teringat saya akan masa saya masih bocah, belum masuk ke sekolah dasar,
di desa kelahiran saya di Marga Ulu Talo. Di atas sebuah anak-sungai,
tergantung sebuah jembatan gantung yang dibuat oleh penduduk dari tali ijuk
dan potongan bambu yang tersusun-susun, yang dapat digunakan orang untuk
menyeberangi jurang kecil itu, kalau tanpa membawa barang yang beratberat. Tapi pernah beberapa kali, di kala hujan lebat beberapa hari tak
berhenti, jembatan itu menjadi terputus dan hanyut oleh air kali kecil yang
berubah menjadi air sungai yang besar dan membanjir. Namun karena itu
merupakan kebutuhan hidup bersama, orang dusun pun bergotong-royong
membuat lagi jembatan gantung yang baru dan lebih diperkuat, walaupun
tidak akan sekuat jembatan model Bailey yang betul-betul. Kalau orang
berjalan di atas jembatan gantung itu, mesti berjalan pelahan-lahan,
mengikuti ritme ayunan jembatan agar tidak terjatuh. Saya dengan anak-anak
sekampung suka juga bermain-main dengan ayunan jembatan itu.
Sesudah terjadi peristiwa demonstrasi pemuda-mahasiswa yang merangsek
ke dalam pekarangan Istana Bogor pada l5 Januari 1966, ketika sedang
berlangsung Sidang Kabinet yang diperluas, saya jadi sentimental, terkenang
akan jembatan gantung di kampungku di masa kanak-kanak. Keadaan di
Jakarta tambah kacau, demonstrasi hampir terjadi setiap hari dan bertambah
galak. Aksi-aksi penggembosan mobil yang dilakukan di jalanan
menghambat lalu- lintas. Polisi penjaga keamanan lalu-lintas menjadi
kewalahan, juga menjadi takut, takut dicap GESTAPU, dan GESTAPU itu
di- identikkan dengan komunis. Sebuah kabar tersiar, yang mengatakan
"sudah ada empat orang Pemuda Rakyat di Tanah Abang yang ditemukan
orang tergantung mati di pohon". Sudah ada poster yang menuntut "Gantung
D.N.Aidit dan konco-konconya!", "Bubarkan PKI!" dan lain sebagainya.
Mewaspadai keadaan situasi yang tambah meningkat hangat dan kacau itu,
saya terkenang kembali pada jembatan gantung dari bambu dan tali ijuk atau
tali akar-rambat di kampungku tersebut di atas. Saya sudah waspada akan ada
bencana banjir datang mengamuk. Saya, Bung Karno dan Chaerul Saleh dan
semua kaum Sukarnois akan dihanyutkannya ke lautan sejarah, apabila tidak
cepat berlalu ke seberang dari "jembatan gantung" itu. Jembatan gantung itu
dalam fantasiku adakan political solution yang telah saya usulkan: "Redress
semua partai politik, kemudian bangunkan kembali, tanpa PKI".Tegasnya
ialah pembubaran PEtI. PKI sudah menjadi "kartu mati". Dua sayap dari
Rajawali Nasakom sudah patah, kebrangesan di kuali subversi Nekolim:
631
golongan A dan Kom.Ternyata A.Yani benar, mestinya jangan nasakom, tapi
nasasos! Sedangkan golongan "nas" terjangkit penyakit anemia, kekurangan
darah.
Saya mewaspadai, bahwa situasi yang kacau itu tidak mungkin terjadi tanpa
dihasut dan dibacking oleh tentara yang de facto sudah kuasai oleh Letjen
Soeharto. Sedangkan Menko Menpangad Jendral A.H. Nasution olehnya
sudah dikepinggirkan sejak kejadian 1 Oktober 1965, een brutale
overrompeling, tindakan dadakan yang kurang ajar.
Dalam ilmu strategi peperangan modern, sebelum serangan umum
dilancarkan, serangan psywar (perang urat-syaraf) digerakkan terlebih
dahulu. Psywar itu sudah bertambah luas sejak 1 Oktober 1965, meningkat
ke demonstrasi Depadu, meningkat lagi ke demonstrasi di Istana Bogor dan
dikembangkan, diperluas dengan berbagai isu yang serem-serem. Sedangkan
di daerah-daerah diJawa Tengah, di Jawa Timur, di Bali dan di Sumatra
Utara dan lain-lain di luar Ibu KotaJakarta berlangsung pembunuhan kejam
dan bengis terhadap satu juta rakyat yang dituduh komunis yang dituduh
berinindikasi PKI dan lain sebagainya. Semua itu mengingatkan kita pada
kejadian dan cara-cara Nazi Hitler ketika melaksanakan pembunuhan kaum
Yahudi di masa Perang Dunia ke-lI. Tetapi ternyata cara mereka yang kena
hasut "anti-komunis dan GESTAPU" itu lebih biadab dalam melampiaskan
dendam-kesumatnya. Offensif psywar menggasak otak dan pikiran orang,
oer-instinct orang yang bersifat kebinatangan itu dihidup-hidupkan dan
diarahkan ke tujuannya, balas-dendam kepada GESTAPU/PKI yang
membunuh jendral-jendral DewanJendral, tanpa ada kecurigaan .... Mengapa
masih ada satu jendral yang direservir tidak dibunuh juga?
Pertanyaan inilah yang akan saya berikan jawaban dan penjelasannya di
dalam buku ini.
Sementara itu di dalam beberapa pasal atau bagian saya sudah mulai
singgung ke arah maksud tersebut. Begitu juga selanjutnya.
Tidak ada sesuatu apapun yang ampuh, yang kebal, yang invul- nerable
terhadap serangan, aksi dan kampanye psywar dari politik kaum neokolonialisme. Baik partai-partai, organisasi-organisasi sosial, organisasi
keagamaan, atau pun kebudayaan, sekalipun Angkatan Bersenjata yang solid
hierarkinya, juga tidak bisa tidak ditembus oleh serangan psywar yang
beraksi laksana virus yang tidak kelihatan.Yang hanya bisa bertahan dan
kebal menahan serangan itu hanya senjata ideologi nasional yang tajam dan
setiap waktu diasah oleh pemimpin partainya atau organisasinya yang cakap,
arif dan bijaksana. Dus, jadinya ideologi nasional kontra ideologi kolonial,
kolonial baru atau Nekolim. Dus, soal politik! Persoalan tetap berada di situ,
bergerak tapi tidak berubah, itulah fenomena dialektika sejarah sejak dahulu
632
kala, sojak masyarakat mengenal kebangsaan etc. etc.
Bangsa Indonesia beruntung memiliki Pemimpin Nasional seperti Bung
Karno. Tapi sayangnya tidak semua, tidak banyak yang bisa menginsafi arti
penting beliau itu di dalam perkembangan hidup kebangsaan kita. Sebabnya
kembali pada kurang mendalamnya kesadaran nasional yang larrgsung
bersangkut-paut pula dengan keadaan perkembangan internasional. Masingmasing partai politik di negeri kita punya kelemahan sendiri-sendiri, masingmasing punya kelemahan yang berakar jauh di dalam bumi masyarakat kita
sendiri, yang langsung menyangkut masalah pokok: ideologi dan Organisasi.
Hal-hal tersebut di atas merupakan problem-problem yang dimintakan
dengan sangat, diharapkan dengan sangat supaya menjadi perhatian bagi
generasi penerus perjuangan cita-cita Proklamasi!
Dua hari sesudah terjadi Sidang Kabinet di Istana Bogor, yang dikepung oleh
demonstrasi pemuda KAMI dan KAPPI seperti telah diuraikan di atas, saya
menghadapi dua persoalan penting yang mendesak saya agar kembali ke pos
saya di Kuba.
Pertama, kawat sandi dari Sekretaris KBRI Mohamad Hatta, yang meminta
saya segera pulang oleh karena Sekretaris II Keuangan, saudara Rustamadji,
tidak bisa mengambil uang dari Bank di Mexico, sebab memerlukan contrasign dari saya sebagai Duta Besar. Peraturan bahwa Duta Besar sendiri, atau
Sekretaris Keuangan tidak boleh mengambil dan mengeluarkan keuangan
sendiri-sendiri itu mulai dikeluarkan di masa Kabinet KaryaJuanda ke-I,
ketika saya menjadi Menteri. Keputusan itu diambil berdasar pengalaman di
masa Pemberontakan PRRI/Permesta, ketika Mr. Rasjid sebagai Duta Besar
R.I. di Roma membawa lari uang untuk pembelian kapal- kapal dari
Yugoslavia.
Kedua, saya menerima tilpon dari isteri saya di Havana, mendesak agar saya
segera pulang, karena telah terjadi pencemaran nama Bung Karno di sekitar
hari-hari bersidangnya Konferensi Tricontinental, mengenai adanya tulisan
berupa artikel yang dimuat di surat kabar Juventud Rebelde dan Granma.
Mengingat bahwa kedua surat kabar tersebut berhubungan langsung dengan
Pemerintah Kuba, hal mana berarti telah merusak keserasian hubungan
diplomatik antara R.l. dengan Republik Kuba yang telah kita bina dengan
segala usaha persahabatan dari kedua belah pihak selama ini. Hal itu
disebabkan oleh adanya keterangan yang tidak benar, tidak obyektif
mengenai Persitiwa GESTAPU dari orang-orang Indonesia yang datang dari
Mesir dan Peking yang menyebut dirinya"Delegasi Indonesia" untuk
Konferensi Tricontinental. Sedangkan Delegasi yang dikirim oleh Bung
Karno langsung dari Jakarta, yang diketuai oleh Brigjen Latief
Hendraningrat, sampai tidak diterima. Hal tersebut telah saya uraikan jelas di
633
bagian yang terdahulu.
Maka pergilah saya menghadap Presiden Sukarno di Istana Merdeka untuk
menjelaskan apa yang telah terjadi di Havana sementara saya berada di
Jakarta. Saya minta agar Bung Karno memperkenankan saya pulang dulu ke
Kuba guna memperbaiki salah-pengertian di pihak Kuba atas situasi yang
terjadi,yaitu bahwa Presiden Sukarno, sesuai dengan harapan pribadi Fidel
Castro di dalam suratnya, telah dan sedang terus berusaha sedapat-dapatnya
menegakkan kembali wibawanya, mengatasi kemelut hebat yang sedang
menimpa negara R.T. dan bangsa Indonesia. Dan bahwa Bung Karno
tidaklah berpangku tangan atas pembantaian satu juta rakyat, seperti berita
palsu yang sampai di Havana. Bung Karno mengizinkan, karena beliau
memaklumi akan tugas kewajiban yang saya pikul, akan tetapi minta dengan
sangat agar saya segera kembali ke Jakarta lagi untuk menerima
pengangkatan sebagai MayorJendral Tituler, sesuai dengan Amanat Panglima
AchmadYani sebelum wafat menjadi korban GESTAPU.
Mendengar keputusan Bung Karno sebagai Presiden/Panglima Tertinggi
ABRI itu, hati saya menjadi sangat terharu.Terasa benar padaku di dalam
hati, bahwa beliau itu kehilangan kawan untuk dijadikan teman dalam
menghadapi situasi yang begitu gawat dan kehilangan Panglima A.Yani, di
mana sebetulnya saya bisa menjadi kawannya dalam keadaan dan situasi
seperti itu. Apalagi kemarin, hari Minggu 16 Januari, atas desakan Letjen
Soeharto tentu saja, ABRI telah melarang pembentukan Barisan Sukarno.
Lihatlah, apakah itu bukan tantangan brutal, creeping coup d'etat dari
Soeharto?! Sebelum Bung Karno memberikan keputusannya seperti di atas
tersebut, saya telah menggunakan kesempatan mengemakakan kemasygulan
saya (kalau tidak bisa dikatakan penyesalan atau kejengkelan hati saya)
mengapa beliau di dalam Sidang Kabinet di Istana Bogor pada tanggal 15
Januari, yaitu dua hari yang lalu, tidak juga mengumumkan political solution
beliau sendiri, baik memodulir usul saya itu atau tidak, tapi pokoknya,
mengumumkan pemecahan yang bersangkutan dengan pembubaran PKI?
Sebab bagi saya, sebagai seorang Marhaenis revolusioner yang tumbuh dari
pemuda pejuang radikal, melihat pada PKI sebagai satu partai pelopor yang
telah melakukan kesalahan politik yang amat besar, yang tidak mungkin
diperbaiki oleh dirinya sendiri lagi, kalau tidak ada sejarah baru dan angkatan
pemuda yang baru pula. Dengan tidak melupakan GESTAPU sebagai akibat
provokasi Nekolim, PKI itu prakteknya sudah mati bunuh-diri, oleh
karenanya secara formal harus dibubarkan. Bagi saya, efek pembubarannya
itu yang penting, penting bagi Bung Karno sebagai Kepala Negara, sebagai
Presiden agar bisa melangkah maju ke depan, ke seberang sana, daripada kita
mandek, umpama-kata, kita terayun-ayun di sebuah jembatan gantung yang
tidak sekuat bailey bridge yang Bung Karno sendiri pernah ajarkan pada saya
dulu.
"Ya, saya mengerti", kata Bung Karno, "pandangan politik dan siasatmu,
634
Hanafi. Tapi sebagaimana sudah saya katakan saya memerlukan keadaan
tenang, stop dulu rongrongan demonstrasi- demonstrasi itu, supaya tindakan
kebijaksanaan bisa keluar dari Presidennya sendiri, tidak karena terdesak
oleh demonstrasi".
"Bung ...", saya berkata,"kalau tergantung sama saya, sekarang juga akan
saya stop. Tapi yang menggerakkan demonstrasi- demonstrasi itu ialah
KOSTRAD, antara lain buktinya demonstrasi yang mau menerjang Sidang
Kabinet di Istana Bogor tanggal 15 Januari, beberapa hari yang lalu. Dan
,KOSTRAD itu ialah Soeharto."
Siapa itu Letjen Soeharto? Dia sebenarnya adalah orang dari GESTAPU itu
sendiri, yang memberi greenlight kepada Abdul Latief untuk bergerak di
malam hari 30 September untuk membunuh Jendral Yani dan jendral-jendral
lainnya, anggota apa yang disebutnya 'Dewan-Jendral' itu. Dan yang
kemutlian segera dia 'berlagak' seperti tidak tahu apa-apa, seperti tidak
campur tangan sama sekali, lalu pagi-pagi sekali tanggal 1 Oktober berbalik
menggasak orang-orang GESTAPU itu, padahal yang sebenarnya dia kenali
semua dan mengetahui semua rencananya.Teman-temannya orang
GESTAPU, lalu berteriak 'maling teriak maling' siapa lagi yang
dimaksudkannya kalau bukan Letjen Soeharto itu? Mereka itu belum berani
atau tidak berani berterus-terang menunjuk hidung Soeharto, karena mengira
dan mengharap bahwa Letjen Soeharto akan masih punya moral dan
setiakawan terhadap kawan-komplotannya GESTAPU itu. Itulah kegoblokan
mereka itu.Tentu saja sia-sia. Nanti apabila Latief di-Mahmilubkan, saya
ingin tahu, apakah dia masih punya 'nyali', keberanian untuk bicara terusterang tentang persekongkolan Letjen Soeharto dengan mereka GESTAPU
itu? Saya kira sekarang cukup jelas bagi Bung Karno sementara ini. Ataukah
Bung akan masih mengira Soeharto akan tetap setia pada Bung? Kalau
Soeharto akan tetap menjunjung Presiden dan Panglima Tertingginya, saya
akan bantu dia sepenuhnya. Sikap saya selanjutnya bagaimana sikap
Soeharto terhadap Presiden Sukarno! Bersetia kepada Bung Karno adalah
sikap seorang Republiken.
Kembali pada soal pembubaran PKI, saya berpendapat sebaiknyalah Bung
Karno melalui rapat-mufakat dengan semua Partai Politik dan ABRI
bersama-sama, mempositifkan keputusan itu yang memang adalah wewenang
Kepala Negara, sesuai dengan UUD'45. Semua partai-partai politik
dibubarkan atau lebih tepat dibenahi (redress) untuk beberapa bulan saja,
kemudian dibangun kembali, kecuali PKI. Situasi Nasional dan internasional
pada umumnya tidak memperkenankan lagi adanya PKI. Adanya PKI di
masa ini, oleh sebab Peristiwa GESTAPUnya itu, membuat Bung Karno
sudah langsung berhadapan (berkonfrontasi) dengan ABRI. Untuk bisa
keluar dari tragedi yang gawat ini, tidak ada jalan lain keculi melalui
PEMBUBARAN PKI.
635
Bung Karno berpendapat: "Tapi kita akan mengadakan CONEFO pada bulan
Oktober 1966 yang akan datang ini. Kamu sudah mendengar laporan Brigjen
Suprayogi, bahwa Gedung CONEFO itu akan segera selesai memerlukan
biaya hanya dua ratus ribu dol- lar lagi. Pembubaran PKI sekarang akan
membuat effek politically tidak menguntungkan bagi Republik Indonesia
sebagai tuan rumah".
Bung Karno tampak masygul. Saya pun terdiam. Pikiran di kepalaku cepat
berputar. Dalam hatiku, biar pun Bung Karno akan menjadi marah pada saya,
tapi apa yang terfikir pada saya, harus saya katakan kepadanya sekarang.
"Bung Karno, saya mohon maaf, kalau saya ini 'kurang-ajar', sebab saya
terfikir bahwa keadaan situasi gawat sekarang ini, sebab pokokuya ialah
subversi Nekolim, yang membuat PKI terjerumus ke dalam provokasinya,
yaitu GESTAPU. Sudah pasti salah satu di antara lain-lain tujuan Nekolim
itu mencogah berlangsungnya CONEFO. Oleh karena itu saya heran betul,
kok Aidit, kalau ia masih waras, mengapa menjadi keblinger beravontur
dengan Biro Khusus-GESTAPUnya Syam Kamaruzaman. Resikonya begitu
besar! Sebab CONEFO itu berarti bersatunya seluruh dunia progressif
menentang dunia kapitalis, sebelum berlangsung harus dicegah dengan bom
yang bernama GESTAPU. CONEFO di bulan Oktober 1966?
Maafkan lagi, Bung! Bung Karno masih ingat sejarah di tahun 1948? Musso
mau mengadakan Kongres ke-V PKI di bulan Oktober 1948, untuk
mengoreksi PKI yang tidak menyadari bahwa Revolusi kita itu adalah
Revolusi Nasional di tanah bekas jajahan yang menuntut persatuan nasional,
bukan perpecahan nasional guna menghadapi perang kolonial Belanda
dengan sekutunya. Kongres ke-V PKI itu dihambat oleh Peristiwa Madiun.
Saya yakin, Bung Karno masih ingat, bahwa Peristiwa Madiun itu adalah
suatu Red Drive (usul membasmi golongan merah/komunis) dari Gerard
Hopkins dan Merle Cochran,Amerika, dalam Konferensi Sarangan.
Sekarang? CONEFO di bulan Oktober yang akan datang itu sudah dihambat
oleh GESTAPU. Dulu Kongres ke-V PKI direncanakan oleh Musso pada
bulan Oktober juga untuk menyatukan kokuatan Persatuan Nasional,
dihambat oleh Peristiwa Madiun. Image PKI itu sudah rusak, dirusak oleh
diri mereka sendiri dengan terpe- rangkapnya mereka ke dalam provokasi
Nekolim. Hanya mereka yang dogmatik tidak menyadari hal itu. Image serta
wibawa Bung Karno juga dirusak oleh GESTAPU lewat cara dan dengan
piranti: lagi-lagi provokasi Nekolim. Ini diprofitir oleh Letjen Soeharto untuk
mewujudkan ambisi pribadi berkoasa, selanjutnya dia berpraktek sebagai
'centeng' Nekolim. Saya tidak percaya kata-kata manisnya yang memuji
Bung Karno sebagai 'Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi
yang kita cintai'. Kalau betul, mengapa demonstrasi kontra-revolusioner itu
tidak distopnya?"
Saya sudah uraikan fikiran saya kepada Bung Karno seperti di atas, sampai di
636
situ saja. Saya pandang wajahnya yang kesal, barangkali mau marah,
matanya besar mendelik pada saya, tapi dia diam tidak berkata apa-apa.
Syukur, fikirku, ini kali dia tak memarahi saya "kurang-ajar". Bagiku sudah
to be or not to be! Saya senang, saya hormat, tapi ini kali saya tidak boleh
takut-takut kepadanya. Saya puas.Apa yang harus kukatakan sudah
kuucapkan, sebagai kadernya yang setia, terus-terang, tanpa dédéng alingaling. Terserahlah. Begitulah, sebagaimana telah kukatakan di muka, . . .
Bung Karno tidak memberikan komentar atas uraian saya itu. Malah
mengizinkan saya untuk pergi pulang ke Kuba guna menyelesaikan urusan
tanggungjawab saya sebagai Duta Besar, yaitu urusan keuangan KBRI
Havana, dan mengoreksi soal pencemaran nama Bung Karno, yang termuat
di dalam Juventud Rebelde dan Granma. Dan Bung Karno memerintahkan
agar begitu selesai urusan yang itu, saya kembali secepat-cepatnya keJakarta
untuk dilantik menjadi Mayor Jendral Tituler, sesuai dengan Amanat
Panglima Ahmad Yani, sebelum beliau wafat sebagai Pahlawan akibat
korban G 30 S/PKI. Mengenai pengangkatan tersebut, saya terima kawat
sandi di KBRI Havana dari Panglima A.Yani kira-kira tiga hari sebelum 1
Oktober 1965, yaitu berhubung dengan kesibukan persiapan HUT ABRI,
pengangkatan akan dilaksanakan sebelum 5 Oktober 1965). Oleh karena itu,
sesuai dengan pendapat Bung Karno, pengangkatan tersebut akan saya
junjung, mengingat penting arti peristiwa arahnya.
Mengenai persoalan-persoalan di Havana yang harus saya selesaikan itu,
telah saya jelaskan di dalam bagian terdahulu daripada buku ini.
Setelah saya berpisah dengan Bung Karno, pada tanggal 19 Januari 1966, di
mana saya telah mengemukakan pendapat dan pandangan saya, seperti
knuraikan tersebut di atas, saya menyadari kemudian bahwa saya telan secara
spontan, secara tak kusengaja, memancangkan tese-politik, sebagai pendirian
dan pandangan politikku yang begitu positif dan terus-terang. Tapi di
samping itu timbul pula rasa iba dalam hatiku terhadap Mahaguru dan
Pemimpin Besar saya itu. Saya merasakan bahwa dia kehilangan seorang
kawan seperti saya di dalam keadaan dan situasi yang mencengkam. Kalau
saya sebagai seorang kader politik saja sudah merasakan bagaimana beratnya
situasi yang mencengkam itu, apalagi beliau yang begitu besar
tanggungjawab dan cita-citanya terhadap negara dan bangsanya yang
dicintainya dengan seluruh jiwa raganya.
"Alleen eenden zwemmen bijéén, de adelaar vliegt alleen ", hanya bebek
yang berenang bergerombol, rajawali terbang sendirian di angkasa! Itu
dincapkan oleh Bung Karno di masa jayanya. Dalam daya fantasiku,
Rajawali atau Garuda Wisnu itu adalah NASAKOM yang tak bisa terbang ke
angkasa lagi, telah patah kedua sayapnya oleh panah subversi Nekolim: satu
di Peristiwa PRRI/Permesta, dan satu lagi di Peristiwa GESTAPU. Hanya
jiwa yang kekeringan fantasi yang tidak melihat tragedi sejarah itu!
637
Tetapi, tahukah pembaca bagaimana nasibnya Barisan Sukarno? Langsung
esok harinya: Minggu 16 Januari 1966, Menpangad Letjen. Suharto
mengajak Menko Hankam/Kasad Jendral Nasution, Menpangal Laksdya (L)
Martadinata, Menpangau (U) Mulyono Herlambang, dan Menpangak
Komjen (P) Sucipto Judodihardjo, - membuat sebuah pernyataan
ABRIÄmelarang pembentukan Barisan Sukarno (dengan èmbèl-èmbèl:
"dalam arti fisik, karena membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa").
Baiklah sampai di sini. Saya sekarang kembali meneruskan cerita kejadian
dalam sidang Kabinet di hari Sabtu 15 Januari 1966 tadi yang tersela oleh
selingan tersebut di atas.
638
Bab XV
15 Januari 1966
Sidang Kabinet Dikepung Demonstran
Letjen Soeharto Kasih Unjuk Siapa Dia
Sebelum kita sampai ke Hari yang penting bersejarah ini, 15Januari 1966, saya ingin mengajak
pembaca meninjau kembali kejadian- kejadian sebelumnya, misalnya di antara lain, demonstrasi
yang dinamakan Bung Karno demonstrasi pemuda"kontra-revolusioner" yang menyerbu Deparlu
pada tanggal l0 Januari 1966,yaitu sehari sesudah saya kembali ke Jakarta lagi dari Tokyo.
Sebelum saya ke Tokyo tersebut, saya telah menasihatkan abang saya Asmara Hadi, sebagai
Ketua PARTINDO, agar bersikap low profile terhadap kekuasaan tentara dalam situasi di masa
itu. Sebab hujan bencana sedang menimpa kita semua, kita kaum Sukarnois, kita kaum Marhaen.
Kalau hujan bencana ini terus-menerus saja tidak berhenti, maka Waduk Jatiluhur itu akan bobol,
kita semua akan kebanjiran, umpama kata! Bendung persatuan Nasional yang disebut
NASAKOM itu sudah retak dan akan pecah, gara-gara aksi pseudo-revolusioner GESTAPU
yang keterlaluan seperti ayam dipotong tanpa kepala.
Maka demikianlah terjadi sementara saya masih diTokyo, Delegasi PARTINDO terdiri dari
Ketua Umum Asmara Hadi,Wakil Ketua K.Werdoyo dan Sekjen. Ismuil, menghadap kepada
Letjen Soeharto, yaitu pada tanggal 5 Januari 1966.Tujuannya untuk menjalin saling- pengertian
dan untuk memupuk kerjasama yang baik.
Saya menyesal sekali, hatiku gemes sekali, tapi apa mau dikata, barangkali seperti kata
orang"sudah suratan nasib".Andai kata saya tidak pergi jauh ke Kuba, jauh dari Bung Karno,
jauh dari Tanah Air, barangkali bencana GESTAPU ini tidak akan bisa terjadi. Sebab D.N.Aidit
(Ketua PKI) itu, saya kenal sojak dari masa mudanya, sebelum dia tahu arti pergerakan nasional
yang sesungguhnya. Janganlah ada orang yang tergesa-gesa menimpa dengan kata-kata, sok
politik internasional:"Jangan lupa bahwa kita ini adalah korban saja dari konflik dunia yang
tumpang-tindih, antara tiga pola kekuatan USA-Uni Sovyet-RRC. Seakan-akan seseorang
individu tak punya arti apa-apa.Walaupun saya bukan dan tidak mau menjadi anggota PKI,
namun hubungan pribadi kami selalu erat, barangkali lebih daripada seperti saudara kandung.
Saya tahu benar kelebihan dan kelemahan sifat-sifat pribadinya. Saya punya wibawa, berani
tegas-tegas mencela kekeliruannya dan menasihatinya. Misalnya, sejak Affair Madiun (Peristiwa
Madiun), hampir semua tokoh PKI sinis, marah, benci kepada Bung Karno. Kalau Peringatan
Proklamasi 17 Agustus 45, sikap mereka ekslusif, menyendiri. Sekali Aidit berpidato dalam
rapat umum di Semarang. Untuk menarik massa, lukisan gambar besar Bung Karno dipasang di
atas podium, ketika Aidit naik ke podium untuk berpidato, gambar lukisan yang besar itu
dikesampingkan ke pinggir. Kemudian Aidit sendiri dengan bangga hati menunjukkan kepada
saya foto di mana dia berpidato itu dan tampak lukisan itu di belakangnya, dikesampingkan.
Saya bilang: "Lu goblok,jangan jadi 'Si Maling Kundang, Anak Durhaka, nanti lu jadi batu
etc.etc...." Sejak dari sana sikap mereka mulai berubah, Aidit tidak mau berlagak-lagak lagi pada
saya. Mereka mulai sadar, kembali ke pangkuan nasional.
639
Ada satu peribahasa, peribahasa Sumatra:"Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak
berguna". Peribahasa ini telah berlaku atas diri saya.
Tetapi oleh karena itu, di dalam buku ini saya terpaksa membuka cerita apa yang saya ketahui
dan saya alami, maka sampai terjadi "hujan bencana nasional", akibat bobolnya bendungan
waduk persatuan nasional yang bermuara ke lautan kudeta .... Letnan Jendral Soeharto. Pada
umumnya bagian terbesar rakyat Indonesia dengan menggunakan segala pancainderanya sudah
bisa meraba dan merasakan mengapa GESTAPU/PKI mereservir Letjen Soeharto tidak dibunuh
mati seperti Panglima AYani dan 5 Jendral lainnya. Hanya saja bukanlah mereka itu tidak berani,
bukan, tapi karena tidak ada jaminan demokrasi, keadilan dan HAM berdasarkan UUD '45 dan
Pancasila. Hal demikian itu akan berakibat ledakan-ledakan terhadap Orde Baru, tidak bisa tidak,
sekali pun Presiden Soeharto menggunakan atau menyalah-gunakan 450.000 ABRI di
belakangnya itu. Dengan bermaksud baik saya telah memberikan peringatan prodeo dengan buku
saya Menteng 31, tetapi ternyata seperti bicara dengan orang tuli-pekak, budeg! Saya telah
melemparkan "pelampung" baginya dengan buku itu, supaya bertobat kepada Tuhan, kepada
Bangsanya, kepada tumpukan dolarnya, dan keluarganya. Tapi dia sendiri yang mau kelebu,
tenggelam. Dan bersama dia pasti kelebu pula Orde Baru!
Untuk sampai pada kesimpulan eksak, bahwa Letjen Soeharto itulah yang punya ambisi
mengadakan kudeta dengan menggunakan GESTAPU, tidak usah dulu dicari hal-hal yang terlalu
jauh ke belakang (sejarah kontaknya dengan kaum kiri) seperti perjum- paannya dengan Pak
Musso dan saudara Sumarsono waktu sebermula terjadinya Affair Madian di kota Madiun. Teliti
sajalah dulu baik- baik segala sikap dan langkah-langkahnya sekitar hari-hari 1 Oktober '65,
waktu terjadi Peristiwa GESTAPU, hingga 11 Maret 1966 yang dimulai dengan
"SUPERSEMAR" (Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966). Periksa dan telitilah pula baik-baik
bagaimana terjadinya proses kelicikan Letjen Soeharto untuk mendapatkan SUPER- SEMAR itu.
Itulah puncak insubordinasi seorang jendral kepada PanglimaTertinggi, satu kudeta! Sesuai tatatertib dan doktrin militer dia sudah harus dieksekusi. Tegen de muur dengan duabelas peluru!
Para pembaca yang terhormat.
Sebelum kita sampai kepada puncaknya sejarah, kudeta Soeharto yang menyalah-gunakan
SUPERSEMAR secara licin dan licik, izinkanlah saya mengajak, menuntut para pembaca
menaiki tingkat- tingkat serta liku-likunya siasat yang dipakai Letjen Soeharto yang bukan saja
punya naEsu, ambisi yang tak terbatas, tetapi juga sebagai seorang Indonesia asal Jawa, tak
punya rasa tepo seliro samasekali terhadap Presiden/Panglima Tertingginya, begitu juga terhadap
atasannya yang langsung:Jendral A.H. Nasution, apalagi! Dikibulin mentah-mentah! Balasdendam Peristiwa"barter Semarang" di mana dia Soeharto, Panglima Jawa Tengah (Divisi
Diponegoro), sebagai hukumannya dicopot sebagai Panglima Diponegoro, dimutasi, kemudian
dimasukkan ke SESKOAD di Bandung.
Mari kita ikuti Jejak Langkah Pak Harto, buku yang disusun oleh G. Dwipayana dan Nazaruddin
Sjamsuddin. Di mana perlu akan saya beri komentar, sebab saya masih ada di Jakarta di hari-hari
itu.
640
Senin, 10 Januari 1966. Peristiwa hari tersebut, sudah saya beri komentar di halaman terdahulu,
sehubungan dengan "Demonstrasi Pemuda Kontra-Revolusioner Menyerbu Deparlu".
Selasa, 1l Januari 1966. Ketika melantik Laksda (U) H. Mohammad Soejono sebagai Duta Besar
RI untuk Syria, hari ini, Presiden Sukarno telah memerintahkanWaperdam I/ Menlu Dr.
Subandrio untuk mengusir semua wartawan AS dari Indonesia.Alasan pengu- siran itu adalah
karena tulisan-tulisan mereka selalu menyakitkan hati kita. Kemudian Subandrio1) menjelaskan
bahwa wartawan- wartawan yang diusir itu adalah dari UPI,AP, dan NewYorkTimes, selanjutnya
semua kantor mereka akan ditutup pula.
Rabu, 12Januari 1966. Menko/Ketua DPR-GR Arudji Kartawinata telah menyampaikan sebuah
Resolusi KAMI kepada Presiden Sukarno di Istana Merdeka, malam ini. Resolusi mahasiswa
tersebut menuntut dibubarkannya PKI yang menjadi dalang dan pelaksana G30S, dan mencabut
keputusan pemerintah tentang kenaikan harga."
Komentar saya. Seyogyanyalah Pak Arudji sebagai Ketua DPR-GR memanggil Sidang DPR-GR
lebih dahulu untuk menilai dan mempertimbangkan resolusi mahasiswa itu. Tidaklah seharusnya
menempatkan dirinya sebagai "kacung" mahasiswa KAMI tersebut.
Kamis, 13 Januari 1966. Menpangad Letjen Soeharto mengatakan bakwa masalah ekonomi yang
multi-kompleks ini tidak mungkin diselesaikan secara ekonomis-teknis saja, melainkan juga
dengan mendengarkan suara hati rakyat dan kenyatoan obyektf kehidupan rakyat.2) Hal ini
dikemukakannya dalam amanat tertulisnya pada pekan ceramah di UI hari ini. Pada kesempatan
ini pulaJendral Soeharto menilai demonstrasi mahasiswa sebagai spontanitas dan kontrol sosial
para mahasiswa atas penderitaan rakyat.
_______________
1) Waperdam l/Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio hari ini membantah berita-berita tentang
adanya pengiriman missi perdamaian ke Malay- sia, baik oleh pihak militer maupun sipil.
2) Perhatikan: itu ucapan Soeharto tahun 1966. Pada saat menghadapi krisis ekonomi paling
gawat dalam sejarah tahun 1997/1998 yang masih berjalan sampai sekarang, dia ingkari
ucapannya sendiri. Suara hati rakyat tak perlu didengar! Hanya suara dan pendapatnya yang
harus didengar dan dilaksanakan! Krisis sekarang dianggap masalah moneter semata- mata, tidak
ada kaitan sama sekali dengan politiknya untuk memuaskan keserakahannya di bidang ekonomi.
Heil, Führer Soeharto!
Menko/Ketua DPR-GR Arudji Kartawinata menjelaskan kepada pers hari ini, bahwa Presiden
Sukarno mengetahui dan mengerti sepenuhnya isi hati daripada tuntutan para mahasiswa.
Dikatakannya pula bahwa Presiden sangat menyesalkan (kursif-AMH) "cara para mahasiswa
berdemonstrasi yang mengejek dan melontarkan tuduhan kepada para menteri yang telah bekerja
keras untuk mengatasi kesulitan ekonomi dewasa ini." Sebagaimana diketahui, Ketua DPR- GR
menghadap Presiden Sukarno di Istana Merdeka kemarin.
641
Komentarsaya. Tentang ucapan Soeharto bahwa demonstrasi mahasis- wa "sebagai spontanitas
dan kontrol sosial" (kursif dari saya). Kata "spontan" dalam ilmu-hayat (biologi) dipakai untuk
menerangkan ucapan atau tindakan yang timbul dari diri-pribadi individu itu sendiri, lepas dari
pengaruh pihak luar individu tersebut. Dalam ilmu sosial-politik, yang membagi masyarakat atas
dua bagian: bagian atas (pemerintah) yang memerintah dan bagian bawah (rakyat) yang
diperintah- kata spontanitas dikenakan pada aksi atau gerakan rakyat, lepas dari hubungan
dengan pihak yang memerintah (Pemerintah).
Tetapi di Indonesia sejak 1 Oktober 1965, semua demonstrasi Pemuda dan Mahasiswa yang
terorganisasi di dalam KAMI dan KAPPI, adalah digerakkan langsung olehTentara di bawah
perintah Letjen Soeharto, yang oleh Presiden Sukarno disebutnya GESTOK. GERAKAN SATU
OKTOBER! GESTAPU menjelma menjadi GESTOK. Brigjen Supardjo, Kolonel Untung,
Kolonel (U) Sujono mati, mati, mati, semua sudah mati. Tetapi brainnya, dalang di belakang
layarnya hidup: Letjen Soeharto.Amanat tertulisnya dalam pekan ceramah di UI, salah satu
contohnya menggerakkan demonstrasi pemuda-pemuda itu yang sejak semula sama sekali bukan
spontanitas! Perkataan "spontanitas" dipakainya untok mengesankan tidak ada campur-tangan
olehnya pada demonstrasi-demonstrasi kontra-revolusioner itu. Kalau mau dibawa kepada soal
"kontrol sosial", saluran untuk itu ialah Parlemen (DPR-GR) yang punya legitimasi. Sedangkan
suatu demonstrasi sebagai salah satu bentuk kemerdekaan menyatakan pendapat, seharusnya
yang berkewajiban menanggapinya di dalam negara-hakum adalah partai atau organisasinya
masing-masing yang punya perwakilan di dalam DPR GR (Parlemen) itu. BukanTentara!
Sebabnya jelas, Republik Indo- nesia bukan negara militer. Begitu, bukan?!
Selanjutnya, sampailah kita sekarang kepada tanggal 15 Januari 1966. Hari Sabtu. Sidang
Kabinet yang diperluas di Istana Bogor, yang juga dikepung oleh demonstrasi pemuda-pemuda
dan mahasiswa yang datang diorganisasi bukan saja dari Ibukota, tapi juga dari berbagai kota di
Jawa Barat.
Saya hadir pada Sidang Kabinet itu, ikut menyaksikan apa yang terjadi. Beginilah ceritanya: Hari
itu (15 Januari 1966) pagi-pagi sekali saya ditilpon oleh saudara Chaerul Saleh,Waperdam
/Deputy III, supaya datang ke Istana Bogor berhubung akan ada Sidang Kabinet diperluas hari
itu. Dikatakan "diperluas" sebab hadir juga wakil pemuda dan mahasiswa dalam sidang Kabinet
itu, katanya. Chaerul pesan kepada saya supaya naik helikopter bersama-sama dengan Dr. J.
Leimena (Oom Jo) dari Markas Besar Polisi Jakarta Raya (KAPOLDA) di J1. Jendral Sudirman.
Chaerul Saleh dan Subandrio sudah di Bogor sejak kemarin sore.
Ketika akan naik ke` helikopter saya bertanya pada Oom Jo: "Apa belum selesai juga Revolusi
kita ini?" OomJo dengan senyum yang spesifik itu menjawab: "Ohoo, nog lang niet, nog lang
niet" (Ohooi, belum, masih jauh, masih lama).
Mestinya saya menanyakan atau dia menanyakan kepada saya, mengenai sikap Bung Karno yang
meragakan political solution yang pernah saya usulkan kepadanya.Tetapi saya merasakan tak ada
suasana untuk menyinggung hal tersebut di saat itu. Namun saya terpancang pada harapan yang
dikemukakan Bung Karno dengan mengumumkan sesuatu langkah untuk mencegah atau untok
membelokkan banjir bencana yang akan menimpa, mungkin di dalam sidang kabinet "diperluas"
hari ini. Nah, kalau tidak juga, apa gunanya saya ditahan, tunggu dulu jangan pulang ke Kuba
642
dulu, sampai saya tidak sempat menghadiri Sidang Tricontinental, sampai tersiar tulisan di koran
Juventud Rebelde dan Granma, tulisan yang mencemarkan nama Bung Karno. Demikianlah
fikiran yang merasuk ke dalam otakku sementara helikopter melayang di udara menuju Bogor.
Saya berdua dengan Oom Jo saja dengan pilotnya di heli itu. Indah sekali letaknya geografis kota
Bogor ini tampak dari Udara. Coba, kalau dulu jadi dilaksanakan ide Bung Karno untuk
memindahkan Ibu kota ke Bogor ini, dan Jakarta hanya dijadikan kota pelabuhan samudra saja!
Saya terkenang ketika saya diikutkan dalam flying tour di masa ide tersebut sedang difikirkan.
Waktu helikopter turun mendarat, sebuah jeep sudah menunggu kedatangan kami. Saya melihat
di dalam ruang-sidang semua Menteri dan Kepala Staf ABRI sudah lengkap hadir:Jendral A.H.
Nasution Letjen Soeharto dari Angkatan Darat; Laksamana Martadinata Laksamana Ali Sadikin
dari Angkatan Laut; Komjen Sutjipto Yudodihardjo dari Kepolisian dan dari AURI saya belum
kenal. Juga yang dikatakan Chaerul" wakil pemuda dan mahasiswa" itu saya belum kenal.
Sebagai biasa, saya selalu mengambil tempat menghadapi Bung Karno. Di kiri dan di kanannya
duduk semua Waperdam dan semua Kepala Staf ABRI. Saya terharu melihat wajahnya Jendral
A.H. Nasution yang mengalami musibah cedera kakinya, ketika lari menyelamatkan diri, juga
karena kehilangan putrinya, si bocah Ida Suryani. Haru kemanusiaan mengimbau rasa kasihan di
dalam hatiku.
Ketika saya menuliskan baris-baris ini dengan mesin ketikku yang sudah tua pula, kenanganku
kembali pada jendral saya A.H. Nasution ini yang secara amikal saya panggil Pak Nas (jangan
lupa, saya pernah di bawah komandonya langsung ketika saya Letkol PEPOLIT di Jawa Barat,
1946-1947, sebelum saya ditarik ke Kementerian Perta- hanan di Yogyakarta). Terbayang
kembali ketika kita sama-sama bergerilya. Sekarang ini, bulan Mei 1997, di Indonesia di sana
sedang bergolak udara panas permainan sandiwara "Pemilihan Umum" Presiden Soeharto,
tentara kontra pemuda dan rakyat pendukung Megawati Sukarnoputri.Walaupun saya tahu, dulu,
pada waktu 1967 di Bandung, skenario sandiwara "Pemilihan Umum" itu adalah kreasi MPR
yang diketuai oleh Jendral Nas, sehingga saya menyebut di dalam brosur saya yang diterbitkan
oleh YAWF (Youth Against War and Fascisme) di NewYork yang berjudul "Dikmilfas Nasuh &
Co." (Diktatur Militer Fasis Nasution Soeharto & Co.) - namun sekarang, setelah 30 tahun
berlalu, dengan ini saya sampaikan kontrak perdamaian yang tulus dari lubuk hatiku kepada
beliau, Pak Nas Sebab saya telah menginsafi, bahwa beliau itu, sejak 1 Oktober 1965 hanya
dijadikan korban manipulasi Letjen Soeharto yang amat licik dan licin.
Sebelum saya berangkat ke Kuba, saya dibawa mutar oleh Ketua PARTINDO Sumatra Utara
oleh Pak Jacob Siregar (Paman Amir Sjarifuddin) ke daerah Sumatra Utara dan Tapanuli. Saya
sempat menyinggahi rumah ayah Pak Nas itu, sebuah rumah yang amat sederhana, seperti
kebanyakan rumah kami di Sumatra pada umumnya, di Pematang Siantar, yang amat terkenal
dengan buah salak yang manis, Tapi "kontrak damai" seperti itu tidak akan aku buat untuk
Soeharto. Never and never! Pembunuhan satu juta manusia yang tidak berdosa dan ngekup
Presiden Sukarno, sebagaimana dilakukan oleh Soeharto itu - tidak ada pintu-maaf baginya,
kecuali Pintu Gerbang Revolusi Massa Pemuda dan Rakyat Total. Hatiku selalu di pihak mereka
yang didera derita ketidakadilan. Lagi sebuah peribahasa kami di Sumatra:"Raja adil raja
disembah - Raja murka raja disanggah". Ini dia prinsip keadilan dan demokrasi di zaman
purbakala! Sekarang Indonesia dibuat oleh Soeharto seperti zaman Jahiliah Kafir Raja Fir'aun di
Mesir sebelum dunia kita bertarich! Apakah manusia yang bisa berfikir harus diam saja? No!
643
Sedangkan Amerika yang dijuluki jagonya dunia kapitalis itu, sudah begitu panas dan benci
melihat praktek-praktek kediktatoran Presiden Soeharto. Buktinya, bacalah Laporan
"INDONESIA HUMAN RIGHTS PRACTICES, 1995-1997" yang dibuat oleh U.S. Department of State mengenai Indonesia.
Selanjutnya, marilah kita saksikan apa yang terjadi di dalam Sidang Kabinet di Istana Bogor di
hari itu.
Saya hidangkan terlebih dahulu apa yang telah dicatat oleh Dwipayana dan Sjamsuddin di dalam
buku Jejak Langkah Pak Harto: Sabtu, 15 Januari 1966. Pagi iniPresiden Sukarno memimpin
sidang paripuna Kabinet Dwikora di Istana Bogor, dan mengundang tokoh- tokoh mahasiswa
untuk menghadirinya. Oleh sebab itu, hari ini kota Bogor tidak hanya didatangi oleh sebuah
delegasi mahasiswa, melainkan ribuan mahasiswa yang bergabung dalam KAMI. Mereka ingin
mengikuti dari dekat sidang Kabinet Dwikora tersebut, karena menurut rencana, Presiden
Sukarno akan memberikan keterangan dan jawabannya secara langsung kepada rakyat.
Sementara sidang berlangsung, di luar istana telah terjadi keributan antara massa KAMI dengan
anggota-anggota Cakrabirawa pengawal Istana Bogor sehingga yang terakhir ini melepaskan
tembakan. Situasi baru dapat ditenangkan setelah Letjen Soeharto, yang didampingi oleh Pangal
Laksdya (L) Martadinata dan Pangak Komjen (P) Sutjipto Judodihardjo, datang melerai.
Sementara itu di dalam sidang, Presiden Sukarno mengatakan bahwa siapa yang sanggup
menurunkan harga-harga dalam waktu 3 bulan, akan diangkatnya menjadi menteri, akan tetapi
jikalau gagal, maka orang tersebut akan ditembak mati. Presiden juga mengatakan bahwa
persoalan harga ini sangat sulit, sehingga ia tidak menyetujui cara-cara mahasiswa
mengemukakan tuntutan mereka dengan men- caci-maki dan malah mengatakan bahwa menterimenteri itu goblok.
Selanjutnya Presiden Sukarno menyerukan kepada para pengikutaya agar menyusun barisan, dan
berdirilah di belakang Sukarno. Sehubungan dengan itu Mayjen (Tituler) Achmadi diperintahkan
untuk membentak barisan itu. Komando inilah yang kemudian diistilahkan oleh Subandrio
sebagai 'Barisan Soekarno"'.
Sekianlah kutipan, catatan yang sesungguhnya terjadi di hari itu adalah: Sidang Kabinet Dwikora
kali ini bukanlah untuk bertukar pikiran, bukan pula untuk menyusun suatu konsepsi dan
kesimpulan mengenai situasi politik yang sedang berlangsung melainkan untuk mendengarkan
sikap Bung Karno yang tegas tidak mau menyerah dan mundur terhadap intimidasi kaum
demonstran pemuda, mahasiswa KAMI yang dihasut dan digerakkan oleh Tentara yang direstui
oleh Letjen Soeharto.
Bung Karno telah melihat dan menyadari,bahwa persatuan nasio- nal yang telah disemangatinya
dengan seluruh jiwanya yang anti- kolonialis sejak usianya yang muda-belia di tahun 1926,
persatuan nasional itu kini telah pecah-berderai oleh hantaman Peristiwa GESTAPU. Di tahun
1926 itu, dengan keberaniannya sebagai Demosthenes orator, Plato, bersama Socrates dan
Aristoteles, para ahli filsafat dari zaman republik pertama-tama diYunani Kuno, dan dengan
kepandaian seninya yang bernilai tinggi keindahannya, sepan- dai Praxiteles dan Phidias di
644
zamanYunani tersebut - Bung Karno di tahun 1926 itu telah membangun berdirinya sebuah
"Tugu Persatuan Nasional" dari batu padas penderitaan bangsanya sejak berabad-abad,yang
terdiri dari elemen-elemen, zat-zat nasionalisme- agama-marxisme. Maka dengan keberanian
jiwa persatuan nasional tersebut,Angkatan 45 berhasil memutuskan rantai belenggu penja- jahan
Belanda tiga setengah abad, dan mendirikan Republik Indo- nesia dari Sabang hingga ke
Merauke, teguh-tegap di atas UUD '45 dan Pancasila.
Begitulah mata-khayalku melihat Bung Karno di dalam Sidang Kabinet di hari itu. Hatiku
bangga dan terharu, tetapi juga gemes (kesal) mendengarkan pidatonya itu. Mengapa? Sebab,
Bung Karno tidak juga mau mengambil keputusan tentang political solution yang saya telah
usulkan kepadanya. Saya kira tadi di Sidang Kabinet hari inilah kesempatan yang sebaik-baiknya
untuk mengeluarkan"dia punya solution" untuk mencegah atau membelokkan banjir intimidasi
politik neo-kolonialisme yang saban hari kian meningkat mau menenggelamkannya.
Ternyata kemasygulan saya itu dibenarkan oleh kenyataan. Selang dua bulan berikut, yaitu pada
tanggal 11 Maret 1966, membrojol itu SUPERSEMAR yang oleh Letjen Soeharto secara licin
dan licik dibuatnya menjadi "linggis konsitusional" untuk secara anti- konstitusional mendongkel
Bung Karno dari kekuasaannya yang sah sebagai Presiden R.l. untuk mencari dasar legitimasi
bagi tindakan-tindakannya yang non-konstitusional itu. DPR-GR dan MPRS dibubarkannya dan
diganti dengan DPR dan MPR yang baru tanpa pemilihan umum demokratis. Katanya,
berdasarkan "konsensus nasional" yang dicabutnya dari kantong celananya sendiri, tidak melalui
pemilihan umum, sebagaimana seharusnya menurut UUD '45. Konsensus Nasional yang betul,
yaitu yang dengan lain perkataan adalah kerukunan atau kemufakatan nasional yang betul,
haruslah dicapai secara demokratis, dan bukan "konsensus nasional" yang palsu yang dicapai di
bawah todongan bayonet tentara dan demonstrasi pemuda KAMI yang diperalatnya. Di dalam
hal inilah saya melihat dan saya sayangkan Jendral A.H. Nasution dibuat menjadi figur tragis,
dibuat korban manipulasi politik oleh Letjen Soeharto di dalam rencana kudetanya untok
memperoleh stempel "konstitusional" dari MPR yang diketuai oleh Jendral Nas itu.Tragis,
kukatakan, sebab saya tahu betul dan semna orang tahu, bahwa Pak Nas itu lebih politics
conscious, lebih sadar politik. Pak Nas adalah seorang jendral yang correct dalam sikap, tidak
sekotor Soeharto dalam sejarah kemiliteran Republik kita ini, secara politik, sosial maupun
material dan finansial.
"Saudara-saudara, kita semua sekarang sedang berada di dalam situasi yang amat sulit, sebagai
akibat perbuatan subversi kaum Nekolim yang tidak berhenti sejak kita mendirikan Negara
Republik Indo- nesia kita ini. Kita menghadapi persoalan-persoalan di bidang politik, ekonomi;
kouangan, keamanan dalam negeri, akibat perbuatan subversi kaum Nekolim yang telah
meningkatkan serangan- serangannya sampai terjadilah apa yang disebut GESTAPU atau
GESTOK. Karena itu Saudara-saudara, kita semua di dalam situasi sedemikian itu,
hendaknyalah, seharusnya bersikap tenang. Bung Karno mohon, minta, kepada Saudara-saudara
bersikap tenang jangan kehilangan kepala, saya memerlukan keadaan tenang untuk bisa
mengambil dan melaksanakan keputusan politik, political solution. Sekah lagi, saya minta
supaya jangan sampai terjadi 'menguber tikus sampai rengkiang padi jadi terbakar'. Berdirilah
semua bangsa dan rakyat kita di belakang Bung Karno, sebagai satu Barisan Sukarno. Saya
t~dak akan mundur selangkah pun, saya tidak akan mundur setapak pun menghadapi perbuatan
subversi Nekolim itu. Insya Allah."
645
Demikianlah uraian isi pidato Bung Karno di dalam Sidang Kabinet pada hari Sabtu, 15 Januari
1966 yang dapat saya ingat- ingat sampai sekarang.
Setelah Bung Karno selesai menguraikan pidatonya itu, beliau mempersilahkan Ketua
MPRS/Waperdam III Chaerul Saleh untuk berbicara. Bagaimana uraian Chaerul Saleh? Dengan
bersemangat Angkatan 45 beliau memperkoat sokongannya terhadap pidato Bung Karno, dengan
kata penutup semna bersatu ke dalam Barisan Sukarno. Soeharto kasih unjuk siapa Dia...
Sehabis pidatonya Chaerul Saleh, sidang Kabinet diistirahatkan untuk makan siang bersama di
Istana. Makan secara "prasmanan" semua. Waktu saya sedang makan, datang Menteri
Pertambangan Armunanto menghampiri dan duduk di sebelah kiri saya. Sebagai sama-sama
wakil-ketua Partindo, dia rupanya ingin membicarakan sesuatu yang penting pada saya.Tetapi,
tiba-tiba datang pula Letjen Soeharto langsung duduk di samping kanan saya dengan sepiring
nasi di tangannya. Sambil makan bersama beliau segera mengajukan pertanyaan:"Apakah Pak
Hanafi, sudah pergi meninjau ke daerah- daerah? Ada baiknya untuk mengetahui keadaan yang
sebenarnya apa yang terjadi. Bukan kami tentara, yang melakukan pembunuhan- pembunuhan
rakyat itu".
Dalam hatiku segera terlintas kesan sungguh tipikal seorang tokoh militer Pak Soeharto ini. Siap
selalu dengan strategi sivis pacum parabellum, serang dulu untuk bertahan! Saya agak terkejut
tadi melihat kedatangannya tiba-tiba itu dan langsung duduk di sebelah kanan saya. Saya kira,dia
sudah sejak dari sidang kabinet tadi memperhatikan saya.Artinya saya diincar! Saya letakkan
sendok dan saya pandangi dia dengan senyumku saya menjawab: "Belum, Pak Harto, memang
ada maksud saya begitu, nanti saya ingin dapatkan bantuan jendral, untuk kemudahan perjalanan
saya".
Soeharto: "Silahkan datang saja ke MBAD".
Hanafi: "Tentu, tentu, Pak Harto, terima kasih lebih dahulu".
Kemudian beliau dengan sopan permisi untuk kembali ke tempat semula dari mana dia datang
tadi. Cobalah lihat, dan renungkan. Jendral Soeharto yang sepenting itu, pemegang kunci rahasia
di belakang layar Gestapu dengan cara yang cerdik sekali datang sendiri menyalami saya
menawarkan simpatinya. Andaikata, kewaspadaan- politik saya tetap tumpul saja walaupun
sudah diasah dan dikikir oleh baja pengalaman langsung atau yang tak langsung yang saya alami
sendiri sejak saya datang dari Kuba ke Jakarta, lalu bersorak gembira masuk ke dalam pintu
gerbang yang dibukakan oleh Jendral Soeharto itu ke dalam dunia pengkhianatannya itu....
tentulah dan pastilah saya tidak akan mampu lagi menuliskan sejarah seperti buku Menggugat
ini! Sekarang berbanggalah Ayah dan Bundaku dan anak- anakku yang tercinta dan kawankawan seperjuanganku Angkatan 45, bahwa saya tidak menjadi pengkhianat bersama dengan
sementara mereka itu di dalam zaman Orde Baru ini.
Dalam buku saya "Menteng 31; Membangun Jembatan Dua Angkatan" ada saya singgung
sekadarnya mengenai pembunuhan- rakyat satu juta di daerah-daerah itu, tetapi belum tahu jelas
bahwa pihak tentara melakukan pembunuhan itu pakai sarung tangan "Banser" dari Ki Achmad
Sjaichu dan Ki H. Subchan.
646
Saya tidak bisa menghabiskan makan saya, sebab saya lihat di beranda belakang Istana Bogor
itu, tampak banyak orang dan menteri-menteri berkerumun tak karuan apa yang dibicarakan.
Beberapa Tjakrabirawa tampaknya gelisah ke sana kemari. Maka saya dekati Brigjen Sabur,
komandanTjakrabirawa mau menanyakan ada apa? Ternyata demonstrasi pemuda sedang
berlangsung hebat di luar istana itu. Beberapa gerombolannya sudah masuk menerobos ke dalam
pekarangan istana yang dijaga ketat oleh Barisan Pengawal Tjakrabirawa. Memang pekarangan
istana itu tidak berjarak jauh dari Jalan raya di mana ada puluhan kalau tidak ratusan ribu
pemuda- pemuda yang seperti kesurupan dan fanatik berteriak-teriak menyerukan yel-yelnya.
Ketika saya berdiri di dekat Brigjen Sabur Kolonel Mangil wakil-komandanTjakrabirawa datang
melapor dan memmta tugas, mendesak, sebab lini pertama Barisan Pengawal Tjakrabirawa
sudah bobol diterobos kaum demonstran yang kalap, barisan pengawal itu sudah terkurung di
tengah kaum demonstran itu. Maka itu jelas terdengar teriakan-teriakan mereka yang bikin bising
kuping. Lini kedua sudah melepaskan tembakan peringatan ke atas "rraang-rraaang-rrraaang"
dengan senjata A.K.nya sebagai peringatan. Kaum demonstran berhenti, tapi tidak mau mundur.
Kolonel Mangil minta tugas pada komandannya Brigjen Sabur apabila kaum demonstran tetap
mau maju merangsek terus menyerbu lebih janh lagi ke dalam pekarangan istana, mereka tidak
lagi akan disambut dengan tembakan peringatan ke atas, tapi laras mitraliur A.K. itu akan
langsung "waterpas" dihadapkan ke arah demonstran yang menggila-gila itu.
Saya kenal betul siapa Kolonel Mangil, bekas anggota Brigade Polisi "Macan" di zaman Jepang,
asal "Wonosaren" (Wonosari, Yogyakarta), setia bersedia berjibaku kalau diperintah demi
keselamatan Presiden Sukarno. Karena menyaksikan hal tersebut, saya cepat-cepat mencari
Jendral Soeharto yang kebetulan sedang dengan tenang saja bercakap-cakap dengan Laksamana
Martadinata? Kombes Sutjipto Judodihardjo dan komandan CPM Brigjen Sudirgo: ".... Kalau
Pak Harto dan para kepala staf tidak turun-tangan, kita akan mengalami banjir darah hari ini",
kataku. Kuceritakan pula pembicaraan Sabur dan Mangil tadi.
Maka sesudah mereka itu herunding sejenak, Letjen Soeharto diiringi oleh jendral-jendral
lainnya itu tadi, pergilah turun ke bawah menampakkan diri. kepada kaum demonstran ribnan itu.
Melihat kedatangan Letjen Soeharto itu kaum demonstran yang telah menginjak-injak segala tata
tertib dalam lingkungan pekarangan istana itu menjadi diam dan tenang semua. Letjen Soeharto
bicara tenang saja, supaya kaum demonstran pulang dengan tentram, dan bahwa tuntutan mereka
itu akan diperhatikan. Pidatonya yang pendek sederhana itu punya kekuatan menekan gejolak
semangat kaum demonstran yang menggila-gila tadi. Kemudian para jendral itu kembali naik ke
istana lagi, untuk pamitan pulang kepada Presiden Sukarno, sebab sidang Kabinet diperluas itu
sudah selesai.Tetapi di dalam hati saya berkata: Letjen Soeharto kasih unjuk siapa dia. Tafsirkan sendirilah sangkut-pautnya dengan pengepungan istana di hari itu!
Tapi langsung esok harinya tanggal 16 Januari 1966, Letjen Soeharto mengadakan rapat dengan
Menpangad Jendral Nas dan kepala staf ABRI lainnya mengeluarkan larangan pembentukan
Barisan Sukarno tersebut. Artinya, secara kontan menentang keputusan Presiden
Sukarno/PanglimaTertinggi ABRI pada sidang Kabinet tanggal 15 Januari kemarinnya itu.
Apapun juga dalihnya yang dipakai pada pelarangan itu, tanpa dikonsultasikan lagi pada
Panglima Tertinggi; apakah itu artinya kalau bukan "ultimatum" perang terhadap Presiden
Sukarno? Lalu pada ke mana ABRI - di luarnya Letjen Soeharto dan Jendral Nas - yang setia
kepada Panglima Tertinggi Sukarno? Laksamana Martadinata, Marsekal Srimuljono
647
Herlambang, Jenpol Sutjipto Judodihardjo, sampai dengan Brigjen Sudirgo (CPM) dan
Laksamana Hartono (KKO), sudah lumpuh. Sebab takut dituduh membela Gestapu yang telah
membunuh "Dewan Jendral" (Panglima A.Yani dan lainnya itU), tetapi tidak berani mengusut
mengapa Gestapu/Untung itu justru menyelamatkan Letjen Soeharto sendiri, sedangkan lainnya
mau dihabisi? Untunglah Jendral Nas bisa selamat! Dengan logika sederhana saja bukankah
sudah cukup alasan untuk menaruh curiga terhadap Letjen Soeharto itu!?
Diperkenalkan kepada Agathocles oleh Machiavelli
Dalam merenungkan kekejian dan kelicikan Letjen Soeharto, di dalam khayalku aku bertemu
dengan arwah Niccolo Machiavelli dari Florence, Italia, yang hidup di tahun 1469-1527, seorang
politikus besar pada zamannya. Machiavelli mengenalkan aku kepada tokoh-tokoh gila
kekuasaan yang pernah ditulisnya dalam bukunya "Il Principe". Aku dikenalkannya kepada
Agathocles dari Sicilia dan Oliverroto de Fermo. Machiavelli mengatakan kepadaku: "Orangorang seperti Agathocles dan de Fermo dapat merebut kekuasaan, tetapi bukan kemuliaan,
karena mereka melakukan perbuatan-perbuatan khianat dan keji. Agathocles, dari kedudukan
yang paling hina dan rendah, anak seorang tukang loak menjadi raja di Siracusa, dia diakui sah
secara "konstitusional" sesudah membunuh semua anggota senat yang sedang bersidang. Dan
Oliverroto de Fermo, seorang anak yatim yang dibesarkan oleh pamannya, Giovani Fogliani,
setelah merebut pasukan Vettellazo, karena ambisi kekuasaan untuk menguasai Fermo,
membunuh pamannya itu sampai mati; tetapi ketika mau merebut Orisini, dia disiasati oleh
Cesare Borgia, akhirnya di kota Orisini itu, dia dicekik sampai mati bersama dengan Vitellozo,
yaitu gurunya yang mengajarkan kecakapan dan kejahatan kepadanya.
Tapi kita jangan salah-salah. Niccolo Machiavelli sebenarnya bukan seorang yang jahat dan
kejam! Dia seorang politikus dan penulis yang hebat. Tetapi karena pengalaman di zamannya
yang diriwayatkannya di dalam bukunya "Il Principe" (Pangeran) itu tentang orang-orang
penting yang gila kekuasaan itu begitu kejam dan seram, tak kenal susila dan perikemanusiaan,
segala cara ditempuhnya untuk kuasa dan harta, maka orang-orang di zaman kemudiannya
sampai sekarang mengidentifikasi orang semacam itu sebagai "machiavellis". Dalam kamus
politik, istilah "machiavellis" menjadi populer karena buku "Il Principe". Silakan kalau mau
perbandingkan sendiri kemiripan Letjen Soeharto di antara dua type sosok yang dikenalkan oleh
Machiavelli itu tadi: Agathocles atau Oliverroto de Fermo dari Sicilia itu.
Setelah selesai sidang Kabinet di Istana Bogor yang ditandai oleh pengepungan puluhan ribu
kaum demonstran yang memalukan itu, lalu sekitar istana menjadi sepi dan kota Bogor pun
menjadi sepi pula, laksana kota yang baru habis diserang garuda dalam cerita pewayangan. Saya
dan Chaerul Saleh duduk terhenyak di tangga Istana itu keletihan. Bukan keletihan fisik tapi
keletihan batin yang terasa berat menekan di dalam hati.
Sepasang menjangan yang sedang berteduh memamah-biak di bawah pohon beringin di kebun
istana itu agaknya memandangi kami, merasa kasihan.
648
Bab XVI
Berangkat ke Kuba untak Mengclearkan Salah Paham Kuba terhadap Indonesia
Sebagaimana telah saya singgung terdahulu, saya telah minta izin kepada Presiden Sukarno
untuk sementara harus pergi ke Kuba guna clearing kesalah-pahaman Kuba terhadap situasi di
Indonesia. Saya berjanji akan berusaha secepatnya kembali ke Jakarta lagi, sebagaimana pesan
beliau, untok mendampinginya mencarikan penyelesaian politik untuk mengatasi kemelut yang
menimpa negara. Kalau tidak salah, saya berangkat pada tanggal 22 Januari 1966.
Betul saja saya alami langit Sukarno, langit saya di Kuba ketika itu, ketika saya datang, sudah
berganti, berganti rupa tidak secermerlang seperti dulu lagi. Dua hari setelah saya tiba di Havana ada upacara resmi di Malecon, itu jalan besar yang tercantik di Havana, kebanggaan Kuba
seperti Champs Elysées buat orang Paris. Fidel Castro akan berpidato dari atas podium yang
telah dibuatkan di bawah lereng Hotel Nacional rnenghadap ke Jalan Raya Malecon diTeluk
Havana itu. Semua Corps Diplomatik hadir. Juga Tentara dan massa revolusioner Kuba. Dari
atas podium itu di dalam pidatonya, saya merasakan seperti "dibanting" ke tanah oleh Fidel
Castro, yang mengatakan di antara lain :"Kuba adalah tanah merdeka yang pertama di Amerika
(Cuba el primero territorio libre de America). Kami tidak akan mengkbianati rakyat kami seperti
yang terjadi di Indonesia pada saat ini.Tentara revolusioner Kuba bersama rakyat revolusioner
Kuba tidak akan mundur sejengkal pun menghadapi serangan atau subversi Amerika dan CIA
yang mau mendarat dan menjamah Tanah Merdeka ini!"
Itu adalah gara-gara cerita versi delegasi ke Tricontinental orang- orang Indonesia dari Mesir dan
Peking yang telah saya ceritakan di bagian lain terlebih dahulu.
Esok harinya, saya langsung datang ke Kemlu Kuba, tanpa appointment audiency lagi. Saya kira
Dr. Raul Roa sudah maklum mengapa saya datang dan meminta jumpa mendadak itu.
Kepadanya saya jelaskan semua apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia dan kalau Fidel
mengetahui hal-hal yang sebenarnya itu, dia tidak akan membanting saya ke tanah seperti keluar
dari pidatonya itu.
Kemudian saya minta dia mencari tahu siapa yang membuat berita yang menghina Presiden
Sukarno seperti termuat di dalam surat kabar Juventud Rebelde dan di surat kabar PartaiGranma
itu. Kemudian setelah saya betul-betul mendesak, beliau memberitahukan bahwa orang
Indonesia yang menulis di surat kabar itu. Saya anggap orang itu konyol, tidak perlu saya
perkenalkan nama si orang konyol itu di buku ini. Dengan itu, hubungan diplomatik R.I. - Kuba
saya perbaiki kembali.
Upacara resmi di Malecon tersebut di atas adalah upacara untuk memperingati El Segundo
Declaration de la Habana, 4februari 1962 mengenai Reform Agraria dan Industrialisasi. Di hari
itu, 4 Februari 1962 sebnah kapal tua Amerika, sisa pendaratan di Playa Giron yang memalukan
Amerika, tapi menaikkan "gengsi" Kuba, ditarik ke Teluk Havana. Sehabis pidato, Fidel, kapal
tua itu ditembak dengan meriam sampai tenggelam, sebagai simbol akan tekad Kuba untuk
menghancurkan setiap kapal Amerika kalau berani mendarat lagi. Seperti diketahui, di tengah
lautan beberapa mil jaraknya dari Ha- vana, kadang-kadang muncul kapal Amerika untuk
649
beberapa hari, menghilang, muncul lagi, menghilang, seperti menantang dan memperingatkan
bahwa Kuba itu diblokade. Namun demikian, baik Kuba mau pun Amerika, walaupun keduaduanya masing-masing panas hatinya, mereka tahu menjaga kepala tetap dingin. Sebab
pengalaman serbuan Amerika di Playa Giron (Pantai Babi) dahulu itu ternyata membikin malu
Amerika sendiri sebagai negara besar. Juga pihak Kuba membiarkan saja provokasi Amerika itu,
walaupun ia mempunyai juga senjata mutakhir dari Uni Sovyet. Si Jenggot, E1 Barbudo,
Commandante Fidel Castro itu, tidak tergiur air-liurnya melihat pancingan provokasi dengan
kapal terbang pengintai Amerika yang terbang tinggi di langit di atas Havana, maupun kapal
pengintai Amerika yang berlayar di lautan hanya tiga mil jaraknya dari Havana. Tapi si Bung, si
jantan macho yang berjenggot, Sang Commandante bernama Fidel Castro itu, jiwa dan moral
revo- lusionernya lebih tabah dan kebal terhadap pancingan-pancingan provokasi yang telanjang
bulat di muka rumahnya itu.
Sekali pernah Amerika mengirimkan beberapa kapal berisi mercenaries, serdadu-serdadu
bayaran dan kaum kontra-revolusioner Kuba dari NewYork dan Miami (Florida) untuk mencoba
mendarat di Playa Giron (Bay of Pigs - Pantai Babi 16-19 April 1961).Terkenal dengan sebutan
La Embarcacion de Playa Giron yang sampai kini setiap tahun diperingati. Pertempuran di Playa
Giron itu dipimpin langsung oleh Fidel Castro sendiri, sementara E1 Commandante Ché Guevara
memimpin kubu pertahanan di sebelah Utara di daerah Pinal del Rio. Serdadu-serdadu bayaran
dan kaum kontra-revolusioner Kuba yang tidak mati, sehabis dilucuti semua dikirim pulang. Ini
artinya apa? Artinya, ialah Kubanya Fidel Castro, mengerti dan menjunjung hukum perang,
walaupun pendaratan di Playa Giron itu adalah suatu undeclared war dari Amerika. Pada tanggal
17 April 1961, saya dan Sukendah, sebagai Dubes, diundang pertama kali berziarah ke Playa
Giron.
Ya, mengapa kita pantas pula merenungi pelajaran agama, yakin, tauhid, rendah-hati, atau
mengapa pula meng-écé ilmu kejawen tentang larangan ojo 'M'- ojo maling, ojo madat, ojo
mabok, ojo main, ojo madon. Sepanjang cerita, di dalam agama Jawa itu tersimpan mutiaramutiara agama Kristen dan agama Islam yang besar itu. Berdasarkan hal itu maka di dalam
negara nasional Indonesia kita ini, bisa dan layak hidup berdampingan secara damai antara kedua
agama tersebut. Saya teringat akan pengalaman ketika saya mengiringi perjalanan Presiden
Sukarno ke luar negeri pada tahun 1956. Kami singgah di Libanon. Bung Karno dalam nada
meng- ingatkan, berkata kepada Presiden Cagille Chamun: "Kalau Libanon membiarkan saja
kefanatikan agama Kristen dan Islam saling- berhadapan, tidak mengkonsentrasikannya kepada
kesatuan nasional, bahayanya nanti ialah perang-saudara".
Benar sekali peringatan Bung Karno itu, terjadilah tragedi Libanon dalam sejarahnya. Dua
golongan, Islam dan Kristen, sama fanatiknya, sampai terjadi tragedi perang saudara yang
dimanfaatkan pihak-pihak luar.
Bisa ditarik beberapa kesimpulan dari uraian pengalaman tersebut di atas:
a. Bahwa seorang pemimpin yang bertanggungjawab, harus kenal situasi dan kondisi, tetapi juga
mengenal Hak dan Kewajibannya, tidak lemah dan mudah terpancing pada "provokasi", seperti
GESTAPU di Indonesia.
650
b. Bahwa kepentingan Nasional dan rakyat bersama harus lebih dijunjung di atas segalanya.
c. Bahwa kerukunan hidup dalam semangat kebangsaan bernegara Merdeka adalah sendi
kehidupan perdamaian dunia.
Ketika saya diundang pertama kali ke Playa Giron, saya terkenang pada Pertempuran di
Surabaya 10 November 1945 yang sampai sekarang kita peringati sebagai Hari Pahlawan
Nasional, sama besar arti pentingnya dengan sejarah perjuangan Kuba di Playa Giron. Tetapi
saya yakin, kita semua yakin betul, bahwa para Pahlawan 10 November itu dengan rakyat yang
setia menyertai pertempuran yang gegap-gempita dengan gagah-berani, walaupun sekarang ini
mereka itu sudah tua-tua dan jompo. Kesemuanya mereka itu pasti tidak rela pengorbanan yang
telah mereka abdikan kepada Rl yang mer- deka berdasarkan Pancasila dan UUD'45 itu
dikhianati oleh Letjen Soeharto, diktator Orde Baru yang despot dan autokratik itu.
Para pemuda yang petentengan yang dihadiahi Soeharto dengan julukan "Angkatan 66" yang
tidak masuk buku Angkatan 45 itu, sama sekali tidak bisa membayangkan persabungan nyawa di
Surabaya antara Rakyat Indonesia yang membela kemerdekaan nasional dengan Tentara Sekutu
yang mau menghina dan merebut Indone- sia untuk dihadiahkan kepada Belanda supaya dijajah
lagi. Ketika itu, di hari-hari bersejarah itu, tidak ada BKR, tidak ada TKR (walaupun sudah
diumumkan terbentuknya 5 Oktober 1945!), belum ada TRI, dan TNI, apalagi ABRI. Belum ada
jendral-jendralan.Yang ada ialah Rakyat Indonesia, Rakyat Indonesia yang bersenjata, bersenjata
segala macam, sejak dari bambu runcing, golok dan tombak, sampai ke segala macam senjata
api, dari bedil sampai M 12,7 yang dapat direbut oleh para pemuda yang kemudian menjadi
PESINDO, dari Angkatan LautJepang.Jadi, anak kandung Revolusi adalah Rakyat. Sebagian dari
Rakyat itu dijadikanTentara.
Jadi jangan salah-salah memproklamirTentara atau ABRI itulah anak kandung Revolusi! Salah!
Dalam zaman Orba, ABRI berdiri terjauh dari Rakyat karena ulahnya Soeharto untuk
kepentingannya yang sama, secita-cita dan sejalan dengan para konglomerat untuk menumpuk
kekayaan, dollar, untuk kepentingan mereka itu sendiri. Pembangunan ekonomi Nasional? Tentu,
tentu! Tanpa konsepsi pembangunan ekonomi nasional ...á la Soeharto, tentu USA, Bank Dunia,
IMF, Negeri-negeri Eropa Barat dan negeri-negeri demokrasi liberal lainnya, tidak akan
menyalurkan bantuannya. Sepèsèr pun tidak! Saya katakan "bantuan" antara tanda kutip. Dan
kita tahu, semasa "Perang Dingin" dalam era Sukarno, investasi- kapital tersebut memusuhi kita,
mereka tidak mau bersahabat dengan Indonesia di bawah Presiden Sukarno. Mereka tidak mau
membantu kita, sebab Presiden Sukarno dianggap memelihara PKI, untuk bekerja sama dengan
golongan agama dan golongan nasionalis.
Heran? No, R.I. terjepit dan jadi korban konfrontasi kapitalisme contra komunisme. Indonesia
sebagai bangsa adalah yang pertama mencapai fighting independece, juga bangsa merdeka yang
termuda pada pasca Perang Dunia ke-lI, walaupun sejarah dan kebudayaannya lebih tua dari
bangsa-bangsa Eropa Barat sekarang. Kita ketinggalan zaman tiga setengah abad karena dijajah
Belanda, karena, karena... banyak lagi "karena", di antaranya yang penting tercatat dalam sejarah
berhubung dengan runtuhuya Kerajaan Majapahit dan wafatnya Brawijaya (1478), yang
dikhianati oleh puteranya sendiri Raden Patah (berasal dari Fathimah dalam bahasaArab berarti
kemenangan, perebutan) yang mendirikan Kerajaan Islam Demak zamannya Kasunanan Gunung
651
Jati,Wali Islam yang terpenting di jawa Barat. Kemudian Kasunanan Gunung Jati runtah pula
karena perlawanan Kerajaan Mataram ke-I yang mulai didirikan oleh Ki Gede Pamanahan di
Kota Gede (1568) di dekat kotaYogyakarta sekarang. Menyusul kemudian kepahlawanan
Senopati Ing Ngalogo, lalu Sul- tan Agung Hanyokrokusumo yang dua kali mengepung
Jayakarta (Batavia), artinya Belanda sudah datang menjajah kita.
Saya pernah mendengar cerita, legenda dari orang-orang tua di Yogyakarta, bahwa Brawijaya,
Raja Majapahit yang terbesar tapi yang terakhir itu, tidaklah sedo (wafat) melainkan, ketika
berada dalam tahanan di Keratonnya di Kediri, dikatakan sedo, tapi sebenarnya dia menjelma
menjadi Naga Geni, kepalanya kadang- kadang muncul di puncak Gunung Merapi (di
utaraYogyakarta), tapi tubuhnya melingkari bumi, dan nanti apabila ekornya bertemu kembali
dengan kepalanya, itulah tandanya kebesaran Majapahit akan datang kembali. Wallahu'alam.
Saya teringat akan cerita dongeng ini (legenda ini) ketika saya bertiga dengan dua putra saya
Dias dan Adityo naik ke puncak Gunung Eufrere di Guadalupe, yang seperti diberi tanda oleh
Harun Tazief (vulkanolog Prancis yang terkenal) adalah "saudara-sejalur" dengan Gunung
Merapi di Jawa Tengah. Bumi, planet kita ini bagaikan bola. Di bawah Gunung Merapi itu
berada Gunung Eufrere di Guadelupe Prancis di Karibia. Demikian sebaliknya, tergantung dari
mana kita berada dan memandangnya.
Masa-masa berlalu silih-berganti. Perang Dingin USA-Uni Sovyet-RRC resminya kini sudah
menjadi masa lampau. Sekarang Rusia dan RRC sudah bekerjasama dengan gembong kapitalis
USA di dalam bidang ekonomi dalam dan luar negeri, yang sama-sama bertujuan untuk
menjamin Perdamaian Dunia, karena itu mem- butuhkan kapital di samping teknologi; di
samping tenaga kerja, yaitu elemen terpokok untuk menciptakan produktivitas masyarakat.
SedangkanVietnam, Korea Utara dan Kuba, rupa-rupanya sudah mengarah seperti Cina dan
Rusia juga.
Saya sekeluarga pernah, karena terpaksa, sebagai refugee politik l0 tahun berada di Kuba. Saya
bisa memaklumi kalau sekarang negeri-negeri terpaksa berhati-hati untuk 'banting stir'. Kuba
butuh kapital, butuh hubungan ekonomi dan perdagangan. Blokade ekonomi dari Amerika
membuatnya terisolasi dan menyengsarakan rakyat,walaupun moral revolusioner tetap kuat
bertahan.Tapi sampai kapan? Saya kira mereka sedang memikirkan pengalaman sampai di mana
bisa mengaplikasikan"mundur selangkah untuk maju dua langkah". Sebab cita-cita sosialisme
adalah Tuntutan Hati Nurani Rakyat, yaitu tercapainya "masyarakat adil dan makmur" yang bagi
kita, bangsa Indonesia, sudah tegas dan jelas tersimpul di dalam Pancasila. Tapi jangan salahsalah saya menyebut sosialisme di sini, bukan dalam pengertian sosialisme ortodoks, tetapi
Sosialisme In- donesia, yaitu: Pancasila! Berketuhanan, berperi-kemanusiaan, demokrasi,
sosialisme (kesejahteraan sosial). Dus tidak boleh ada diktator klas atau militer. Ekonomi
disusun berdasarkan Pasal 33 UUD'45,Peraturan Negara tidak boleh mematikan perkembangan
manusia. Motivasi dan pengaturan pembangunan nasional harus berdasarkan keselarasan
keseimbangan kepentingan masyarakat bersama.Tidak seperti Orde Baru Soeharto yang hanya
ngaher GNP, tetapi memasa-bodohkan bahkan main gusur kepentingan rakyat banyak, yaitu
kaum pekerja.
Itulah di antara lain pokok-pokok perbedaan sosialisme Indone- sia, yaitu Pancasila Sukarno,
dengan sosialisme-nya Marx. "Masyarakat sosialis itu hanya dapat diwujudLan dengan
652
perjuangan klas; yang sanggup melakukan perjuangan klas hanyalah kaum buruh (kaum
Proletar)", demikian kata Marx. Itulah dia komunisme yang di dalam praktek sejarahnya telah
membuka pada peningkatan jalan kemajuan kapitalisme di zaman Abad ke-XXI ini. Begitu
banyak korban manusia yang telah diberikan.
Aksioma hukom dialektika selalu berlaku: tese, antitese, sintese. Memang kapitalisme yang
membangkitkan kerakusan manusia, sehingga menyerupai binatang. Sedangkan sosialisme
bertujuan untuk menciptakan keadaan yang lebih berperikemanusiaan. Tetapi apakah kaum
komunis Indonesia tidak salah menerapkan marxisme di Indonesia? Sebagai bukan komunis,
saya cenderung mengatakan begitulah. Salah penerapan karena salah menilai tempat dan
keadaan, situasi dan kondisi.
Yang ada di Indonesia sebagai basis masyarakat sebagaimana dirumuskan oleh Bung Karno,
ialah kaum marhaen. Bukan proletar. Rakyat yang dimiskinkan oleh kolonialisme Belanda
selama tiga setengah abad yang satu kakinya masih berada di alam kerajaan Majapahit, dan yang
sebelah lagi belum juga bisa sampai ke pinggir pekarangan Pabrik Baja Cilegon (yang di bawah
tanah fondasi pabrik tersebut, oleh kami a.n.Angkatan 45, saya dan Chaerul Saleh, sebagai
Menteri Industri dan Pertambangan, telah ditanamkan sebalok besi aluminium bertuliskan
"Pabrik Baja Cilegon -Angkatan 45, tanggal ... saya lupa tanggal peresmiannya itu).
Kaum buruhnya-pun adalah kaum buruh marhaen (yang tidak bisa dimasukkan ke dalam daftar
nothing to lose). Itulah sebabnya, mengapa Bung Karno menasihatkan "jangan diperuncing itu
perjuangan klas .
Kaum miskin memang banyak, yang hidupnya "sebenggol sehari", tetapi mereka itu bukan kaum
proletariat. Mereka itu adalah kaum marhaen yang dimiskinkan oleh kolonialisme Belanda. Itu
diakui oleh orang Belanda sendiri seperti ditulis oleh Mr. C. Th. van Deventer di dalam de Gids
'Een Eereschuld' ("Hutang Budi"), Agustus 1889. Karena itu Belanda melancarkan politik etik di
Hindia Belanda.Van Deventer menganjurkan memperluas pengajaran dan mempertinggi
perekonomian penduduk. Keuntungan yang diperoleh dari Indonesia seyogianya dapat
dipergunakan untuk keperluan tadi. Tetapi Belanda mempergunakan keuntungan itu untuk
keperluan jalan-jalan kereta api di Nederland. Kehormatan untuk Mr. Conrad Theodor Van
Deventer! Lihatlah bagaimana serakahnya kapitalisme hari ini. Mereka sekarang bahkan
memeras bangsa Indonesia bersama-sama orang Pribumi seperti Soeharto.
Demikianlah sekadar tanggapan saya mengenai dasar-dasar materie yang melahirkan teori
Marhaenisme Bung Karno, secara pokok dan singkat sekali.
Bung Karno adalah seorang marxis. Itu beliau akni sendiri.Tapi ada sementara "marxisgadungan" yang berteriak: "Revisionis! Bernstein! Kautsky!" Tidak! Sukarno adalah Sukarno,
Bapak Marhaenisme! Andai kata, Marx itu orang Indonesia,janganjangan dia akan turut serta
bersama Sukarno menggali Pancasila itu. Faktor tempat, situasi, dan kondisi itulah yang
menentukan aksi dan reaksi! Tapi ada lagi pihak yang lain yang tidak mau Sukarno itu dengan
jujur dan berani mengaku bahwa Bung Karno itu Marxis. Bahkan ada lagi yang lain karena tidak
begitu mengerti apa itu marxisme, serampangan mengecapnya sebagai komunis.
653
Apakah marxisme itu?
Bung Karno sendiri memberikan jawaban: "Orang mengatakan marxisme adalah seolah-olah'satu
agama sendiri', orang mengatakan dia satu star system pula, orang malah mengatakan dia
semacam satu hocus-pocus yang dikira bisa dipakai buat menyelami semua sedalam-dalamnya
roh dan jiwa, padahal dia hanyalah satu metode saja untuk memecahkan soal-soal ekonomi,
sejarah, politik dan kemasyarakatan, satu ilmu perjuangan di dalam ekonomi, politik dan
kemasyarakatan. Sesuatu metode berfikir dan sesuatu ilmu perjuangan tidak mesti harus
bertentangan dengan sesuatu agama, apalagi kalau agama itu adalah satu agama rasional yang
saya visikan itu . . . Kini cukuplah kiranya saya menggambarkan kepada pembaca- pembaca
garis-garis besarnya saya punya jiwa. Saya tetap nasionalis, tetap Islam, tetap marxis. Syntese
dari tiga hal inilah memenuhi saya punya dada, satu sintese yang menurut anggapan saya sendiri
adalah sintese yang geweldig".
Demikian jawaban Bung Karno yang ditulisnya di Bengkulu dan dimuat dalam surat
kabar"Pemandangan", 1941.
Di zaman Orde Baru, Soeharto melarang adanya, dibacanya marxisme. Marxisme sebagai ilmu
sosial tidak bisa ditiadakan dengan Surat Keputusan. Eksesnya, yang salah mengaplikasikannya,
sepertiputch GESTAPU itu, bisa dan harus ditindak-hapuskan. Tetapi marxisme sebagai ilmu
sosial-politik secara keseluruhan tidak bisa ditiadakan. Akan sia-sialah, seperti menjaring angin
di pematang. Dia adalah angin zaman modern yang berhembus di dalam zaman kapitalisme.
Yang harus dijaga dan dicegah yalah eksesnya yang membahayakan kepentingan nasional.
Seperti juga kita harus terus- terang bersikap rasional pada kapitalisme, kita membutuhkan
kapital bantuannya, tapi kita harus menjaga dan mencegah timbulnya ekses penyalah-gunaan
oleh bangsa Indonesia sendiri atas bantuan kapital itu, sehingga tidak membahayakan
kepentingan nasional dan selanjutnya membahayakan kapital-kapital itu sendiri yang kita
dapatkan tidak secara gratis atau budi-baik, melainkan dengan susah- payah, bahkan dengan
segala pengorbanan bangsa dan rakyat yang tidak tepermanai. Baik korban-korban dari golongan
kiri, maupun korban-korban dari golongan kanan, temasuk korban satu juta manusia akibat
GESTAPU atas tanggungjawab Soeharto.
Agak ngelantur, ya ngelantur lagi sedikit, uitstomen sedikit lagi mengeluarkan uneg-uneg saya
sebagai seorang pejuang yang sudah menjadi tua begini, saya ingin mengatakan kalau
kolonialisme Belanda selama tiga setengah abad menjajah kita dan nenek-moyang kita itu, tidak
begitu kelewatan kejam dan onmenselijk, sudah keterlaluan tidak berperikemanusiaannya
(bacalah antara lain Multatuli). Saya kira PKI yang menggantikan ISDV Sneevlet itu, tidak akan
menjadi extra extrem radikal, seperti yang dapat kita ketahui sepanjang sejarahnya, apalagi
mempelajari ilmu marxisme itu selengkap-lengkapnya dan sedalam-dalamnya.
Saya ingat lelucon Bung Karno di hadapan Kursus Pemuda Menteng 31 pada tahun 1943, di
mana ada juga pemuda D.N.Aidit di situ.Yaitu tentang orang-orang buta yang mau mengetahui
rupa, bentuk gajah dengan sekali raba saja. Begitulah, ada yang kebetulan pegang buntut saja,
ada yang pegang kupinguya, ada yang mempegang "senjatanya" saja - tapi masing-masing
berkeras-hati mengatakan begitulah rupa dan bentuk gajah seperti yang telah terpegang olehnya
654
tadi. Demikianlah, maka senang sekali hati Aidit terpaut pada cara dan karisma Bung Karno
memberikan kursus politik.
Saya mau mengatakan bahwa bagaimana aksi itu sendiri, demikianlah reaksi, yang
dilahirkannya!
Lalu, sekarang bagaimana dengan Pancasila? Di zaman apa yang disebut pasca Sukarno, di
zaman mencairnya Perang Dingin, di zaman masuknya kita ke abad ke-XXT yang katanya
menyerokan era globalisasi?? Di zaman tegak bertolak-pinggangnya kapitalisme internasional di
atas seluruh jagad sendiri yang telah merobohkan pilar kekuasaan Bolshewik Uni Sovyet, musuh
dan sekutunya sekaligus di dalam Perang Dunia ke-II.
Lalu bagaimana kita harus bersikap sekarang? Kita bangsa Indo- nesia yang relatif kecil dalam
arti GNP, tetapi besar daam arti cita- cita dan ideal, kita harus bertolok-ukur pada bagaimana
akseptasinya zaman baru kapitalisme internasional ini kepada Pancasila, yaitu Sosialisme
Indonesia. Sejak Presiden Jimmy Carter yang pertama- tama memasukkan Hak Asasi Manusia
(HAM) ke dalam kebijakan politik luar negeri Amerika, daya fantasiku seakan-akan melihat
bintang di cakrawala, Stars and Stripes itu. Daya fantasiku itu melayang pula
kepadaThomasJefferson, penggaris Declaration of Independen, Juli 1776, seorang demokrat
yang besar dan pendiri Partai Demokrat yang pertama di Amerika. Presiden Bush saya anggap
seorang war monger! Sesudah Partai Demokrat mengalahkan Partai Republik dan menaikkan
Bill Clinton sebagai Presiden Amerika Serikat, saya undang seluruh keluarga mengadakan
selamatan di restoran kami yang sederhana itu,di "Djakarta - Bali". Saya kirimkan ucapan
selamat kepada H.E. President Bill Clinton dengan harapan yang terbaik semoga ia menjadi
symbol of newAmerica. Begitu juga ketika beliau dipilih untuk kedua kalinya pada tahun 1996.
White House menya- takan telah menerima surat saya tersebut. Mengapa? Naif? Terserah! Satu
insan manusia ciptaan dan diciptakan Tuhan, kepadanya kita memohon dan kepadaNya pula kita
akan kembali. SedangLan batu sekalipun mempunyai arti penting di dalam conturenya.
Di zaman kapitalisme internasional inilah di dalam hemisphere demokrasi liberal kita
menggunakan kesempatan untuk berjuang terus menegakkan Pancasila, masyarakat yang
berkeadilan sosial atau Sosialisme Indonesia.
Namun bagaimana pun Pancasila yang jelasjemelas berasaskan demokrasi, tidak mungkin
ditegakkan di bawah alam kediktatoran militer Soeharto seperti tigapuluhan tahun ini. Dua ratus
juta manusia, artinya dua ratus juta manpower, tenaga produktif kapital menuntut demokrasi
sebagai Hak Asasi Manusia. Logisnya, tentulah tidak bisa terus-terusan dianggap sepi oleh
duniaAmerika dan dunia Eropa, seperti telah terjadi tigapuluhan tahun ini. Sebab pasti akan
merugikan kedua belah pihak: Indonesia dan negeri-negeri kapitalis pemberi dana. Saya tahu,
suara-suara demokratis di USA dan di Eropa sudah saya dengar, dan tulisan-tulisannya sudah
saya baca. Memang! Tentang pseudo-demokrasi, korupsi, autokrasi. Memalukan!
Rezim diktatorial Soeharto dan Orde Barunya yang autokratik dan korup harus diganti dengan
pemerintahan yang demokratis yang lebih menghargai kepentingan nasional di atas keserakahan
segolongan kecil elit konglomerat, dan menjunjung tinggi hubungan ekonomi dan perdagangan
dengan pihak luar negeri demi kepentingan pembangunan nasional.
655
Bab XVII
Amanat Bung Karno Ingin Dimakamkan di Batu Tulis
Sidang Kabinet sudah selesai. Semuanya sudah pada pulang. Juga kaum demonstran yang
kesurupan setan balas dendam di luar istana itu sudah pergi menghilang semua, sesudah
disembur oleh mantra jampi-jampi Letjen Soeharto. Hanya sampah-sampah dan kertas- kertas
yang mengotori jalan yang tinggal.
Saya dan Chaerul duduk terpesonangelemprok keletihan di tangga Istana. Bukan letih fisik, tapi
letih batin yang berani menekan di dalam hati kami berdua.
Saya belum pernah melihat anak Lintau ini menangis, baik di zaman pendudukan Jepang
maupun di zaman revolusi bersenjata. Sekarang dia menangis, air matanya meleleh pada pipinya.
"Apalagi, Fi, mau apa lagi, kepalaku ini sudah kuserahkan tadi kepadanya" (Maksudnya kepada
Bung Karno). Dia tidak keluar juga dengan political solution itu. Kenapa jij tadi tidak maju?
Mestinya jij yang maju minta bicara, jangan saya".
"Apa legitimasi saya berbicara kalau tidak diminta?", kataku rada kesal.
Chaerul diam, saya pun terdiam. Beberapa menjangan di bawah pohon beringin itu memamahbiak, barangkali memperhatikan kami yang termenung dengan pikiran-pikiran masing-masing,
namun terhadap persoalan yang sama, yaitu bagaimana cara menyelamatkan Presiden dan negara
keluar dari kemelut ini. Chaerul Saleh "telah menyerahkan kepalanya" kepada Bung Karno,
Presiden R.I. yang dia turut tegakkan. Sekarang kepresidenan itu dalam bahaya, kalau itu terjadi
akan menimpa kepala Chaerul pula. Aku teringat pada nasib Plato, ahli negara Yunani yang
linuhung itu, mati karena disurah minum racun karena taatnya kepada Hukum Republik yang dia
dirikan sendiri.
Ternyata sekarang ini, kita mempunyai dua tokoh nasional yang mengalami nasib hampir seperti
Plato di dalam Republik pertama di Yunani: Bung Karno dan Bung Chaerul Saleh. Bukan
minum racun, tetapi korban pengkhianatanJendral Soeharto dan GESTAPU.
Suasana sepi di sekitar saya dan Chaerul Saleh di tangga Istana itu, tiba-tiba terganggu oleh
kedatangan sebuah Jeep dikemudikan oleh Brigjen Sabur sendiri.
"Bapak berdua diminta oleh Bapak Presiden turut beliau ke rumah di Batu Tulis. Presiden, Pak
Dasaad, Bung Hasyim ning, Pak Bandrio dan Oom Jo sedang berangkat bersama ke sana. Kita
mengikuti dari belakang", kata Sabur.
Maka berangkatlah kami bersama-sama denganJeepnya Brigjen Sabur. Mobil Chaerul yang
kosong dengan supirnya, dan mobil- mobil lainnya yang kosong pula, mengikut di belakang.
Ketika saya dan Chaerul tiba, Bung Karno sedang mengaso di kamarnya yang amat sederhana.
Di ruang tengah, yang rupanya bisa digunakan tempat makan, sebab ada meja oval saya lihat di
situ, di atasnya tampak terletak selembar blue-print dari rumah itu. Rumah itu belum selesai,
656
lantainya belum rata diubin semua, apalagi pekarangannya. Saya tahu Bung Karno senang sekali
pada pekarangan rumah yang apik, pepohonan diatur rapi. Itu pengalaman saya-ketika bersamasama dengan Bung Karno di Bengkulu, tempat pembuangannya di zaman Belanda.Tetapi
letaknya rumah itu ideal sekali, cocok sekali dengan jiwa Bung Karno yang mencintai tanah
Priangan Jawa Barat itu.
Priyangan, atau Parahiyangan, artinya tempat para dewa-dewa, para Hiyangan. Dari bumi tanah
Priangan dengan flora dan fauna serta rakyat petaninya yang rajin dan berbudi-basa (atas
kehendak para dewata dari Kahiyangan) lahirlah di situ ide Bung Karno yang besar, yang disebut
MARHAENISME, simbol kesatuan dan pemersatu Bangsa Indonesia. Dari segi sosial, ekonomi,
kaum marhaen, posisinya di antara kaum proletar dan kaum burjuis. Pekarangan rumah itu
berada di atas jurang, di bawahnya mengalir kali Ciliwung, di bagian atas kali itu menjalarjalan
kereta apiJakarta- Bandung. Dari beranda rumah tampak pegunungan Salak dan Pangrango
dengan sawah-sawah turun bersusun sampai ke pinggir kali. Ah, sungguh pemandangan yang
indah dan yang membuat setiap seniman dan pelukis menundukkan kepala dan hati menyembah kepadanya.
"Kenapa rumah ini belumklaar juga?" saya berkata dengan nada yang kecewa.
"Ya,ya, kalau Hanafi bisa bantu keuangannya bisa kita klaarkan cepat", Dr. J. Leimena yang
simpatik dan biasa dipanggil Oom Jo itu menjawab dengan senyumnya yang sudah kita kenal.
"Ah, kalau itu, ya, tiga bulan gaji Dubes boleh saja disumbangkan, itu saya pastikan, tapi mana
bisa cukup untuk selesai", kataku. "Goed zo,goed zo, my dear brother Hanafi,serahkan saja pada
saudara A.M. yang satu lagi itu (maksudnya A.M. Dasaad). Sebab dialah yang tukang-catat
sumbangan", kata Oom Jo, seraya memanggil Dasaad yang sedang duduk bersama dengan
Subandrio, Brigjen Sabur dan Hasjim Ning. Sedangkan Chaerul Saleh selalu di dekat saya dan
Oom Jo. Lalu Bung Dasaad mendekati kami, saya ulangi pertanyaanku tadi:"Kenapa rumah ini
belum klaar juga, dan catatlah sumbanganku tiga bulan gaji Dubes, nanti saya kirim dari Kuba."
"Akan kelar nanti, jangan khawatir", kata Dasaad. "saya barusan berunding juga dengan Hasjim
Ning, terimakasih sumbangan Bung". Di situlah Dasaad menceritakan pada saya bahwa,
walaupun dia tidak lagi bisa mengharapkan "pukulan" dari kontrak Lockheed, dia akan jamin
rumah itu akan segera diselesaikan.Tetapi ... entah bagaimana kelanjutannya, saya tidak tahu,
sebab saya belum pernah lihat lagi rumah itu sampai sekarang, tahun 1997.
Saudara-saudara Hasjim Ning dan A.M.Dasaad sudah meninggal dunia. Sementara itu tampak
Bung Karno keluar dari kamar dari berbaring melepaskan lelahnya. Boleh jadi juga karena
terdengar berisik percakapan kami, apalagi suaraku yang seperti orang memimpin latihan Laskar
Rakyat di lapangan Bekasi dulu. Orang yang tidak kenal saya, barangkali akan bilang
temperamen saya suka menantang-nantang. Tapi tidak, dalam omong-omong resmi atau
persahabatan juga begitu, sama saja.
Bung Karno berpakaian kemeja sport, ia keluar lalu ke beranda peranginan, mengarahkan
pandangan di kejauhan, ke lereng gunung Salak yang melandai, yang sedang dihias oleh sawahsawah. Ada yang sedang menguning, ada yang sudah dituai (dipotong padinya), di sebelah sana
657
masih ada juga yang masih menghijau. Dan bagi kuping orang yang dikecup kesepian alam itu,
terdengar desau arus kali Ciliwung yang mengalir mencapai Laut Jawa. Aku, dan kami semua,
menemani Bung Karno berdiri di situ. Di saat itulah, sejenak kemudian, beliau berkata: "Kalau
nanti saya tidak menjabat Presiden lagi, di rumah inilah saya ingin mengaso, melepaskan
lelahku, belajar- belajar lagi, berjuang-berjuang lagi, terus berjuang, terus." Mata Bung Karno
besar, tapi tak bersinar gemerlap seperti di muka lautan massa rakyat, beliau membalikkan
badannya pada kami: "Oom Jo, Chaerul Saleh, Subandrio, Dasaad dan Hasjim Ning .... Berjuang
terus untuk bangsaku kaum marhaen, berderap bersama untuk mencapai cita-cita kita Pancasila,
dan jika datang saatnya aku dipanggil kembali oleh Illahi, inginlah aku dimakamkan di dekat
rumahku ini, dan dari sini alam Parahiyangan akan dapat terus- terus membelai dan menyayang
kepadaku."
Sejenak kemudian rupa-rupanya OomJo terpecut jiwanya oleh kata-kata Bung Karno yang sayu,
yang kam~ semua rasakan sebagai amanat: "Dengarlah, Bung Hanafi, kata-kata Bung Karno itu,
sebagai anak marhaen, camkanlah baik-baik, kita semua akan kembali kepada Tuhan, bukan
Bung Karno sendiri, dan kalau Bapak kita itu pergi dahulu, kita yang tinggal akan melaksanakan
amanatnya itu. Kalau Bung Karno pergi dahulu, jiwanya tetap mengawani kita.
...Kalau kereta-api Bandung - Jakarta pulang pergi dan Kali Cillmung mengalir mendesau terus
Sarinah dan Marhaen di sawah herjuang terus Gunung Salak dan Pangrango menguraikan
cintanya terus Untuk didengarkan oleh Bung Karno, Dan Bung Karno akan mendengar terus
Akan deru gelombang perjuangan bangsanya...
Kami terdiam, terharu mendengarkan kata-kata Bung Karno dan kata-kata sajaknya OomJo itu
yang membawa perasaan kami terseret ke suasana melankolik.
"Bravo! Oom Jo, cocok sekali! Bagus Oom, kenapa saya tidak tahu dari dulu baLwa OomJo ini
punya jiwa seni seorang seniman, yang mengingatkan saya pada Multatuli", kataku. Sebab, kalau
tidak saya "pukul" suasana menyayu itu dengan bravo, sayalah yang akan menangis terhisakhisak seperti anak kecil cŠngŠng yang tak mau ditinggal ibunya pergi ke pasar.
Hari sudah menjelang sore. Dasaad dan Hasjim Ning minta permisi pulang.
Kemudian kami juga, bersama Bung Karno. Bung Karno pulang ke Pavilyun di Istana Bogor,
saya dan Chaerul Saleh pulang keJakarta. Dr. Subandrio masih mau tinggal bersama Bung
Karno, turut ke Istana.
Beberapa tahun kemudian ...
Saya mendengar kabar dari radio BBC yang aku stel terus- menerus, ketika saya sekeluarga
masih di Kuba, bahwa pada tahun 1970, persisnya pada tanggal 21 Juni 1970, tentang wafatnya
Bung Karno. Ketika itu saya bangunkan seluruh keluarga dari tidurnya. Saya ajak mereka bicara,
kuceritakan tentang berita dukacita itu. Ketika itulah saya putuskan, bahwa sekarang datanglah
saatnya saya harus pergi, kita semua sekeluarga pergi dari Kuba, ke negeri lain, entah ke mana,
sebab ingin pulang sudah tak bisa karena paspor kami semua sudah di revoked - ditarik- oleh
Orde Baru pemerintah Soeharto. Dengan seboah surat sandi yang dikirimkan kepada seluruh
658
perwakilan di luar negeri, telah diumumkan baLwa paspor kami nomor sekian, nomor sekian,
sekeluarga tujuh orang tidak berlaku lagi, sudah dianulir. Itu terjadi di bulan Mei 1966. Sepulah
hari sebelum kawat sandi itu, kawat yang pertama memanggil saya pulang. Tiga hari sesudah
kawat sandi yang pertama itu, saya sebagai Dubes ditugaskan menemui delegasi pemerintah
Indonesia di Mexico: Kolonel Hertasning dan Brigjen Sudirgo. Sepulang dari Mexico itulah saya
menerima kawat sandi yang mencabut validity paspor diplomatik saya sekeluarga dengan cara
tersebut di atas, yang artinya mencabut hak warganegara kami semua. Itukah "ganjaran" buat
pejuang kemerdekaan?
Saya tetap bertahan di Kuba, teguh menjunjung sumpah ja- batan saya sebagai Duta Besar
Republik Indonesia. Apalagi pember- hentian saya itu menyalahi UUD '45, sebab seorang Duta
Besar diangkat dan diberhentikan hanya oleh Presiden, Kepala Negara yang sah, bukan oleh
pejabat Deparlu sekalipun berpangkat Menteri. Wapres Adam Malik (alm.), ketika bertemu
dengan saya di Brussel pada tahun 1979, menyatakan dengan sumpah-mati tidak mengetahui
adanya pemberhentian saya itu, dan malah: "Saya kira memang Bung sendiri yang masih mau
tinggal di luar negeri", katanya.
Walaupun itu "tidak lucu", tapi begitulah "sarkasme" hidup yang menimpa kami sekeluarga.
Nah, nasib seperti itu menimpa pula pada pribadi Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi
Indonesia itu. Beberapa hari kemudian saya dengar berita lagi, baLwa Bung Karno dimakamkan
di Blitar, bukan di Batu Tulis, seperti yang diamanatkannya kepada kami 15 Januari 1966,
seperti yang telah kuceritakan di atas tadi.
Saya termenung. Kalau dahulu, semasa masih hidup Ibunya, Ibu Idayu, ada yang mengatakan
bahwa nanti Bung Karno ingin dimakamkan di dekat Pesarean Ibunya itu. Hal itu masuk akal
pula. Apalagi kalau ditanyakan pendapatoya Mbakyu Werdoyo (Ibu Sukonjono dan Sujoso) yang
saya kenal. Ya, logis juga kalau Mbakyu Werdojo dan suaminya, Kangrnas Werdojo, itu akan
senang bila Bung Karno dimakamkan di Blitar,'kan tidak merepotkan baginya dibanding kalau
makamoya Bung Karno itu di Batu Tulis? Tapi ayah Bung Karno, Bapak Sukemi Sosrodihardjo,
walaupun silsilahnya keturunan dari Sultan Kediri, beliau dimakamkan di Jakarta di Pekuburan
Karet, biar dekat dengan putera yang disayang, Kusno Sosro Sukarno. Ayahanda Bung Karno itu
meninggal dunia tahun 1943. Empat serangkai (Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantoro,
Ki Haji Mas Mansur) dan semua kami pemuda- pemuda Menteng 31 beserta rakyat dan kawan
sejawat lainnya turut mengiring beliau sampai ke Pesareannya di Karet. Seandainya keputusan
dan ketentuan itu ada pada Ibu Fatmawati dengan putra- puterinya (Guntur, Mega, Rahma,
Sukma dan Guruh) atau ditambahkan Ibu Hartini dengan kedua putranya (Taufan dan Bayu) saya
yakin, mereka ini akan memilih tempat Pesarean Bung Karno itu di Batu Tulis. Bukan karena
akan lebih praktis bagi mereka saja, dan mengingat akan amanatnya Bung Karno sendiri, tapi
kiranya berdasarkan pertimbangan politik dan kepentingan nasional juga.
Ada yang berkata: "Yang lalu dan berlaku, itulah pertimbangan yang Berkuasa: pertimbangan
politik, nasional, moral, keke- luargaan. . . "
Itu semua bullshit! Soeharto tidak mau ada Bung Karno di dekatnya.Jahil!! Segala kebesaran
Bung Karno "menghantui" segala "Pikiran, Ucapan dan Tindakannya". Dia ingin memupus habis
659
segala "Pikiran, Ucapan dan Tindakan Bung Karno". Demokrasi Terpimpin? Marhaenisme?
Pancasila? Kepribadian Nasional?They are all nonsense! Itu semua komunis. Komunis No!
Dollar,Yes! Hutang saja, hutang lagi. Toh bukan dia yang bayar kembali, anak-cocu, tujuh
turunan! Masabodoh! Dia akan tinggal aman di Mangad,eg. Begitu maunya. Tidak seperti Bung
Karno, rumah pun tidak punya Jahil!!! - Siapa yangjahil? Gampang menunjuk hidungnya!
Yang pasti bukan saya, terhadap almarhum Bung Karno, Father of the Nation!
660
Bab XVIII
Barisan Sukarno Dibunuh Mati dalam Kandungan
Para pembaca yang terhormat!
Saya bukanlah menulis sebuah memoar di bawah cahaya bulan purnama,
bertabur kembang melati dan bunga rampai harum aneka warna. Saya
menuliskan perasaan hati peri kemanusiawian saya yang menderita,
merasakan pedih kehilangan milik berharga dari sejarah perjuangan Bangsa
Indonesia sebagai akibat pengkhianatan Jendral Soeharto.
1) Saya mengumandangkan Protes dan Gugatan Bung Karno,
Presiden/PanglimaTertinggi ABRI, Pemimpin Besar Revolusi Agustus 1945,
kepada Jendral Soeharto yang ingkar dan menyalah-gunakan Surat Perintah
11 Maret 1966, menjadi- kannya dasar penipuan untuk merebut koknasaan
negara (coup d'etat).
2) Saya meneruskangugatan bersama-sama dari Panglima Jendral
AhmadYani, LetnanJendral Suprapto, LetnanJendral Haryono M.T., Letnan
Jendral S. Parman, Mayor Jendral D.l. Panjaitan, MayorJendral Sutoyo
Siswomiharjo, dan J. Katamso, Ign Soegiono, PierreTendean dan KS.Tuban kepadaJendral Soeharto yang pura-pura innocent, maka par expresse (dengan
sengaja) membiarkan dibunuh oleh pemberontak G30S/PKI yang khianat.
3) Saya meneruskan jeritan permohonan keadilan perikema- nusiaan dari
satu juta manusia tidak berdosa,yang dibunuh secara kejam, dalam satu
holocaust atas hasutan balas-dendam oleh sebagianTentara di bawah perintah
dan tanggung-jawab Jendral Soeharto, tanpa proses hukum pengadilan.
4) Saya mengimbau kepada para tokoh pembela perikemanusiaan dari segala
bangsa di dunia agar mendirikan Komite Pembela Perikemanusiaan untuk
memohon kepada PBB dan Pengadilan Internasional mengadakan penyidikan
kudeta dengan holocaust seperti dilakukan oleh Jendral Soeharto di
Indonesia, Oktober 1965.Dan mengadili pelaku utamanya, Jendral Soeharto
diktator Indonesia (sekarang Presiden R.I., yang menurut majalah FORBES:"
The world's shrewdest businessman", yang mempunyai kekayaan US $ 16
billion, orang terkaya ketiga sesudah Sultan Hasanul Bolkiah, dan King Fahd
Bin Abdulaziz Alsaud).
5) Saya mengingatkan kepada seluruh Bangsa Indonesia, supaya setia dan
menjunjung UUD '45 dengan Mukadimahnya, dan bersama saya sebagai
Pemuda Pelopor Revolusi 1945 yang terakhir yang masih hidup, agar
mengembalikanTimorTimur kepada rakyat Timor Timur yang di anschlus,
dicaplok, oleh diktator Soeharto, oleh karena tindakan tersebut bertentangan
dan mengkhianati UUD'45. Bersamaan dengan itu, untuk memohon kepada
661
PBB membantu pelaksanaan Mosi Komite Rakyat Indonesia untuk
mengembalikan kemerdekaan Timor Timur kepada rakyat Timor Timur
secara demokratis.
Demikian adanya, lima pasal tuntutanBuku Menggugat Diktator Soeharto
ini.
Sekarang tentang Barisan Sukarno
Barisan Sukarno ini sudah dibunuh mati, ketika masih di dalam kandungan,
artinya masih janin belum berwujud apa-apa. Itu adalah ide yang diserukan
oleh Presiden Sukarno ketika menghadapi situasi politik yang jelas sedang
menyerang untuk menjatuLkannya dari kekuasaan, diserukannya ketika itu di
dalam Sidang Kabinet yang diperluas 15 Januari 1966. Tetapi apakah
maksud dan tujuannya? Apakah Presiden Sukarno menginginkan Barisan
Sukarno itu merupakan satu Barisan yang militan yang setia kepadanya
sebagai Presiden/Kepala Negara, dan membela Persatuan serta Kesatuan
Republik Indonesia? Jawaban atas pertanyaan itu adalah:Ya! Jawaban
tersebut ditegaskan oleh Bung Karno, ketika Dr. Subandrio dan Chaerul
Saleh mengusulkan supaya saya, A.M. Hanafi, ditunjuk untuk memimpin
Barisan Sukarno itu. Tetapi oleh Bung Karno, menga- takan bahwa beliau
masih memerlukan saya di Kuba berhubung dengan rencana Konferensi
CONEFO pada bulan Oktober 1966, maka pilihan jatuh kepada Mayor
Jendral Achmadi.
Pada tanggal 17Januari 1966, jadi dua hari sesudah demonstrasi ketika
Sidang Kabinet di Istana Bogor, saya diberitahu oleh Presiden Sukarno,
bahwa Surat Keputusan pengangkatan saya menjadi Mayor Jendral TNI
Kehormatan, sudah beliau siapkan, tapi upacara pelantikan akan
dilaksanakan oleh Menpangad Letjen Soeharto, kata beliau.
Tanggal 21 Januari, ketika jumpa Letjen Soeharto yang didam- pingi Brigjen
Sugiharto di istana, langsung pada kesempatan itu saya gunakan untuk
menanyakan"kapan beliau akan melaksanakan pelantikan saya itu". Beliau
agak terkejut. Lalu sejenak memandangi saya, maka langsung saya
ceploskan: "Pak Harto, pengangkatan saya menjadi Mayjen TNI Kehormatan
itu, bukan atas kemauan Bung Karno sendiri, tetapi itu adalah amanat
Panglima Ahmad Yani".
Tampak beliau terkejut, dengan suaranya merendah beliau menyahut:"Kalau
begitu, maaf, saya tidak tahu. Besok saja, saya minta Pak Hanafi datang ke
MBAD, jam 10 pagi untuk dilantik."
Sebelum saya masuk ke ruangan upacara di MBAD saya disambut oleh
Kolonel Alamsyah Prawiranegara. Saya tahu, dia ini asal dari Dewan Gajah
yang pasang pengeras suara di rumahnya kala Azan Maghrib, yang suaranya
662
nyaring sekali terdengar sampai ke rumah Gubernur Husin di mana saya
menginap, ketika saya berkunjung ke Palembang tahun 1957.
Kolonel Alamsjah bertanya: "Apakah Pak Hanafi dari PARTINDO atau dari
MURBA?"
"Dua-duanya",jawab saya. Sebab saya tidak suka pertanyaan intel semacam
itu. Bahwa saya memang dari MURBA, belakangan memang ada disebutkan
oleh Ex Wapres Adam Malik di dalam bukunyaMengabdi Republik.
Selesai pelantikan Pak Harto menasihatkan saya supaya saya pergi berziarah
ke Makam Pahlawan, di mana dimakamkan pahlawan- pahlawan yang
menjadi korban GESTAPU. Demikianlah, saya, diantar oleh seorang kolonel
dengan jeep Angkatan Darat, berangkat ke Kalibata. Sejenak dengan khusuk
saya bersemedi, yang pertama di makam Jendral A. Yani (yang telah saya
juluki Panglima Harapan Angkatan 45), selanjutnya ke makam Jendral S.
Parman, lalu ke makam Jendral Suprapto yang saya kenali di Yogyakarta di
masa Revolusi, lalu Jendral Haryono, ex mahasiswa Ika Daigaku, yang saya
kenal ketika di Prapatan 10, September 1945. Seterusnya saya ke makam
pahlawan-pahlawan yang lain, yang menjadi korban pembunuhan
GESTAPU.
"Semoga arwah mereka disambut di Suwargaloka, di samping TuhanYang
Maha Esa. Saya mohon diberi kekuatan dan restu oleh Allah untuk dapat
mengetahui rahasia tersembunyi di belakang komplotan GESTAPU itu.
Amien, Amien."
Bagaimana dengan persoalan Barisan Sukarno?
Kita semua tahu, bahwa pribadi Bung Karno punya sifat kemanusiaan yang
begitu mulia dan tinggi.Jangankan kepada binatang yang tidak berdaya, kalau
diberikan kepadanya seekor burung untuk dipelihara di dalam sangkar yang
molek, janganlah kaget nanti, kalau burung itu dilepas pergi bebas
meninggalkan sangkarnya yang molek itu. Ibu Inggit suka memelihara seekor
kucing, mending kalau kucing anggora yang bulunya halus bagus itu, ini
kucing kampung yang lepas tak punya tuan. Kucing itu dipungut dan
dipelihara, saya mengetahui hal itu ketika sama-sama di Bengkulu. Nah,
Bung Karno suka juga mengelus-ngelusnya, karena kucing itu suka
menunggu di dekat Bung Karno, kalau Bung Karno habis sembahyang.
Di zaman GESTAPU, saya terkenang kembali akan hal yang remeh-temeh
itu. Di masa zaman Bung Karno berkoasa, sementara orang yang
memusuhinya tidak diapa-apakannya, bahkan ada yang dimutasi naik
pangkat. Kapten AURI Maukar, yang memberondong istana dengan mitraliur
dari kapal terbang, ketika hari sidang sesudah saya disumpah menjadi
Anggota DPA, diampuni oleh Bung Karno. Lebih hebat lagi terhadap
663
penerbang Amerika Alan Pope yang mengebom Ambon, ratusan rakyat mati
karena sedang ada hari pa- saran. Eee, Alan Pope itu dibebaskannya, sesudah
Robert Kennedy (adik J.F. Kennedy) dan isterinya Alan Pope itu memohon
kepadanya. Semua pemberontak PRRI/Permesta diberi amnesti. Ini saya
sambut baik.
Demikianlah antara lain sifat mulia yang tinggi dari de grote Bung.Tetapi di
balik sifatnya yang mulia dan tinggi itu, beliau juga punya ijdelheid
(kegenitan) yang merangkai pada sifatnya yang mulia itu.Tetapi lagi,
kegenitannya itu sudah menjadi patent nasional tidak bisa dia apa-apakan
lagi. Mulai dari peci nasional di zaman PNI pertama, sampai baju nasional di
zaman Revolusi 1945, dan titel BUNG yang menjadi predikat pada orangorang pergerakan nasional. Yang dikatakan ijdel di samping sifat Bung
Karno yang mulia dan tinggi itu, sebenarnya tidak bisa digunakan untuk
mengecilkan arti penting kepribadian Bung Karno, sebab dasar seluruh
kepribadiannya sepenuh-penuhnya mengabdi pada kepentingan Bangsa
Indonesia yang mau dibesarkannya.
Kriteria yang dipakai untuk mengatakan Bung Karno ijdel dalam arti positif
atau negatif, bagi Bung Karno hanya piranti seni politik. Berguna dan
memang berhasil untuk mengkonsolidasi secara positif sentimen
nasionalisme Indonesia pada zamannya yang mem- butuhkannya. Rakyat
Indonesia yang minder karena dijajah kolonialisme Belanda tiga setengah
abad, membutaLkan seorang pemimpin dengan penjelmaan watak dan sifat
perjuangan seperti Bung Karno itulah! Zaman berubah. Sekarang orang yang
anti- Sukarnois mengejek dan mengolok-olok kepadanya. Louis ke XIV,
Raja Prancis di abad ke 17 yang dikenal dalam sejarah sebagai Roi Soleil,
baginda matahari ijdelheidnya melebihi Bung Karno. Pakaiannya, jubahkerajaannya yang menampangkan rambutnya terurai ke bahunya itu, begitu
mempesonakan, sehingga di zaman feodal di Eropa ketika itu, orang meniru
pakaian jubah-kerajaan Louis ke XIV itu, menjadi tradisi berpakaian kaum
monarkh di zaman feodal itu. Kondisi dan situasi di zaman itu di Prancis
membutuhkan seorang Raja yang sifat dan wataknya dijelmakan oleh Louis
ke-XIV, Roi Soleil itu, yang dapat mengatasi keadaan dan perseteruan di
kalangan kaum monarkh Prancis ketika itu. Dan sampai sekarang di zaman
modern ini dalam hal mode berpakaian, Prancis adalah paling top.
Sekarang kembali ke Barisan Sukarno.
Sudah saya katakan bahwa Barisan Sukarno itu telah dibunuh mati dalam
kandungan, belum sempat menjelma ke dunia.
Keesokan hari sesudah Sidang Kabinet di Istana Bogor (15Januari 1966), di
mana Bung Karno mengumandangkan tidak akan mundur setapak pun dan
menyerukan pembentukan Barisan Sukarno, maka pada tanggal 16 Januari
1966, Menpangad Letjen Soeharto, tanpa ragu-ragu dan terang-terangan
664
menyabotnya. Ingat, ketika itu masih jauh belum ada Supersemar!Walaupun
saya sendiri mengetahui betul, karena memperhatikan kejadian itu, di harihari saya masih berada di Jakarta, baiklah saya kutipkan di sini bagian dari
Brosur Team Dokumentasi Presiden RI, berjudul Jejak Langhah Pak Harto,
dengan editor G. Dwipayana dan Nazaruddin Sjamsuddin:
"Minggu, 1 6Januari (1966). Menanggapi pembentukan 'Barisan Sukarno',
maka hari ini pimpinan ABRI mengeluarkan pernyataan bahwa pembentukan
Barisan Sukarno hanya dalam arti mental-ideologis saja. Dengan demikian
pimpinan ABRI melarang pembentukan Barisan Sukarno dalam arti fisik,
karena membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Seiring dengan itu,
pimpinan ABRI juga menyatakan ketaatannya kepada Presiden Sukarno.
Pernyataan ini ditandatangani oleh Menko/Hankam KASAB Jendral
Nasution, Menpangad Letjen Soeharto, Menpangal Laksdya (L) Martadinata,
Menpangau Laksda (U) Sri Muljono Herlambang, dan Menpangak Komjen
(Pol) Sutjipto Judodihardjo."
Catatan AMH. Semua kepala Angkatan Bersenjata R.I. menan- datangani
larangan pembentukan Barisan Sukarno itu.Yang penting diketahui, mereka
itu hanya dimanipulasi, disalah-gunakan oleh Letjen Soeharto, dipaksa
menuruti pikirannya Soeharto yang sejak dari pecah pemberontakan
GESTAPU yang mengkili-kili mereka itu untuk turut konfrontasi di bawah
pimpinannya melawan Presiden Sukarno di dalam skenario perebutan
kekuasaan. Untuk itu Untung dan Latief merupakan Bagian Pendahuluan,
yang ternyata gagal, dengan Letjen Soeharto yang terjun langsung di bagian
kedua, yang tadinya "sesuai dengan rencana" belum muncul di belakang
GESTAPUnya Untung dan Latief.
Saya merasa kasihan kepada Jendral Nas, yang saya tahu punya dendam
pribadi kepada Bung Karno, apalagi karena anti- komunisnya, tidak
menginsafi apa sebenarnya opzet atau siasat GESTAPU itu yang sengaja
mereservir (mengecualikan) Letjen Soeharto, tidak memasukkannya ke
dalam daftar jendral-jendral ABRI yang harus dihabisi.
Pikirlah. Kalau jujur secara hokom, untuk menghantam-balik GESTAPU dan
pimpinannya, apa itu unsur tentara atau unsur PKI, sewajarnyalah menurut
logika dan hokum yang harus ditangkap untak diadili ialah individu-individu
yang berbuat makar itu saja. Wajarnya tidak harus lebih jauh dari itu,
tidaklah seharusnya membakar negara dengan demam holocaust yang
menghabiskan satu juta manusia, dan menyalah-gunakan para pemuda
KAMI- KAPPI menghasutnya dengan demonstrasi-demonstrasi anti Orla,
sampai membikin berantakan Deparlu dan menyerang Istana Bogor, ketika
Pemerintah sedang mengadakan Sidang Kabinet. Semua tindakan itu tidak
lain adalah bagian dari planning yang dimulai sejak Gestapu. Last, but not
least, mengapa harus menyalah-gunaka Surat Perintah SUPERSEMAR,
mengada-ada dalih busuk untuk menjatuhkan Presiden Sukarno? Apakah itu
665
bukan komplementasi kudeta GESTAPU yang happy ending sukses bagi
pemain utamanya Letjen Soeharto?
Para pembaca yang terhormat,
Kalau kita sekarang merenungi kembali drama GESTAPU/PKI di atas pentas
sejarah yang secara rieel dan obyektif saya rekonstruksi kembali di dalam
buku ini, maka kita tidak bisa mengatakan lain: GESTAPU/PKI itu adalah
kadetanya Letjen Soeharto sendiri! Kita menyadari sekali bahwa kita ini
bukanlah hanya penonton yang tidak punya tanggungjawab atau "masa bodo"
terhadap kejadian drama GESTAPU/PKI itu. Sebab kita adalah putra bangsa
dan warganegara R.I.yang hidup memikul tanggungjawab. Oleh karena itu,
pada suatu hari kita harus ajukan semua ke Mahkamah Pengadilan, nasional
dan internasional, pelaku utamanya Letjen Soeharto, sekarang Presiden,
billioner dollar yang kaya raya di atas kerusakan moral dan spiritual bangsa
Indonesia. Apabila kudeta Soeharto itu dibiarkan tidak dihokam, tidak diadili
oleh hakum, precedent itu akan berulang dengan kudeta yang lain dan
seterusnya begitu, selama tidak ada tangan kuat yang memancangkan
kembali tihang bendera Demokrasi di negeri ini.
Perkembangan proses prolitik ekonomi dunia yang sedang mendatang akan
menentukan bagaimana langkah-langkah politik yang harus kita ambil demi
kepentingan yang menguntungkan bagi pembangunan bangsa dan negeri R.I.
kita, tanpa mengorbankan prinsip perJuangan, yaitu R.I. yang Merdeka dan
Demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD'45. Prinsip perjuangan itulah
dasar pegangan hidup kita di atas segala-galanya, berapa pun harganya!
Kalau dahulu di zaman apa yang disebut zaman Perang Dingin kita telah
menjadi korban, terpaksa tidak memilih salah satu pihak demi tegaknya
kedaulatan nasional kita - sekarang ini praktisnya tidak ada yang harus kita
pilih, kita membutuhkan kapital untuk pembangunan negeri tapi bukan untuk
sesuatu golongan sendiri, dan kapital dunia sekarang ini adalah satu.Tentang
kedaulatan rakyat yang pernah ada di tangan kita, berkat hasil perjuangan di
bawah pimpinanTritunggal Sukarno-Hatta-Sjahrir, adalah tergantung pada
kita sendiri dan tidak tergantung pada pihak luar untuk merebutnya kembali
dari tangan Soeharto.
Saya harap dan saya mohon kepada arwahnya Bung Karno, dapat memahami
dengan baik bahkan sebaik-baiknya akan pendirian dan pandangan politik
yang saya uraikan di atas. Sebagai patriot dan sebagai kadernya, saya belajar
berusaha demi kepentingan nasional secara sebaik-baiknya mengaplikasikan
teori marhaenisme, sesuai dengan sikon yang rieel dalam kategori sejarah
zaman sekarang di mana demokrasi dan kapital Amerika dan Eropa
mengungguli negeri-negeri Timur.
Kalau siang hari berganti malam, kita berdayung dengan segala alat yang kita
punyai, sadar dan berani mengikuti arus kapital dan demokrasi Amerika dan
666
Eropa Barat tanpa diktator Soeharto dan Orde Baru yang autokratik.
Para pembaca yang terhormat,
Sebelum saya meneruskan sejarah sabotase Letjen Soeharto terhadap
"Barisan Sukarno", saya telah menguraikan tanggapan politik saya yang saya
anggap cukup penting untuk diketahui. Saya tidak akan memperpanjang
menjadi diskusi. Saya tidak mau mimpi di siang hari.
Senin, 17 Januari. Kader Front Nasional, setelah mempelajari Amanat
Presiden Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Pemimpin Tertinggi Front
Nasional/PemimpinTertinggi Kader Revolusi Bung Karno, menyatakan dan
menyerukan kepada selurnh kader Front Nasional di mana pun berada,
menyiapkan barisan untuk menerima dan melaksanakan Komando
PBR/Presiden Seumur Hidup/Pangti ABRI/Pemimpin Tertinggi Front
Nasional/Pemimpin Tertinggi Kader Front Nasional.
Rabu, 19 Januari. Kepala KOTI, Letjen Soeharto, atas nama Presiden/ Pangti
ABRI/Panglima Besar KOTI, hari ini mengumumkan bahwa setiap
organisasi massa, partai politik, badan-badan, persorangan dan siapa pun
yang menyatakan dukungan, kesetiaan dan kesiap-siagaan melaksanakan
Komando Presiden/PBR Bung Karno, supaya menyampaikan pernyataan dan
mendaftarkan diri pada Gabungan 5 (G-5) KOTI,Jalan Merdeka Barat No.
14,Jakarta."
Komentar AMH. Pernyataan Letjen Soeharto 19 Januari tersebut, adalah
ultimatum terselubung terhadap Front Nasional yang bersiap untuk
mendirikan Barisan Sukarno, tetapi juga sekaligus tantangan "yang kurangajar" terhadap wibawa Presiden Sukarno "atas nama Presiden Sukarno".
Saya mau mengingatkan kepada bangsaku, memanggil pada akal dan logika
sebagai bangsa yang berbudaya kemanusiaan yang mulya. Apakah mungkin
Letjen Soeharto mendadak-sontak menjadi pembangkang walaupun semua
pihak menggoncengi kata-kata "Presiden Sukarno/ PBR/Pangti ABRI (etc)
yang kita hormati dan kita cintai"? Beberapa hari kemudian ternyata katakata manis itu hanya lip service yang palsu semata. Tidaklah mungkin
perubahan sikap yang membangkang dan menentang Presiden Sukarno,
datang tiba-tiba pada saat"Barisan Sukarno" diumumkan.
lngatlah dengan memakai budi-akal normal, kita akan tahu pemberontakan
GESTAPU itu tidaklah jatuh dari langit sebagai meteor yang jatoh dari langit
seperti Hajaratul'aswad yang menjadi Pusat Ka'bah di Mekah sampai
sekarang dan ke akbir zaman.Tetapi tentulah didahului oleh proses
permulaan yang panjang, planning dan programming, strategi dan taktik
pelaksanaannya dan akhirnya barulah sampai ke hari nahas jam 1.00 tanggal
667
1 Oktober 1965 itu.
Kalau kenyataannya demikian seperti dikatakan oleh Bung Karno, bukanlah
30 September tetapi ternyata 1 Oktober, maka sebutan GESTAPU itu sebutan
rekayasa Soeharto sendiri sebagai resultat pertemuannya dengan Kolonel A.
Latief sebelum waktu tengah malam 30 September 1965.Tentulah Soeharto
tidak bodoh untok mengatakan apa sebenarnya yang dibicarakan Latief
kepadanya pada pertemuan itu, tetapi dengan mangatakan kedatangan Latief
ialah untuk"sowan" sebagai bawahannya yang menunjukkan rasa
persahabatannya berkenaan dengan musibah karena putranya, Tommy,
ketumpahan sop panas. Keterangan Soeharto hanyalah dalih yang tidak
nyaman bagi dirinya sendiri untuk menghapus jejak keterlibatannya dengan
pemberontakan GESTAPU atau GESTOK itu! Hanya Tuan O.G. Roeder, itu
orang Jerman, ahli make-up, penyunting buku The Smiling General President Soeharto Of Indone sia itu, hanya dia saja, dia saja yang tidak
kelolodan menelan keterangan palsu Soeharto itu! Buat dia duit di atas
segalanya! Buat kita kehormatan bangsa di atas segalanya!
Jum'at, 21 Januari, 1965. Sehubungan dengan pelarangan Barisan Sukarno
di Jawa Barat, Menpangad Letjen Soeharto, setelah menghadap Presiden
Sukarno di Istana Merdeka, menjelaskan bahwa pelarangan tersebut adalah
untuk memelihara persatuan nasional yang kompak di belakang PBR Bung
Karno. Dikatakannya lebih lanjut, bahwa "sudah sejak revolusi, ABRI,
organisasi politik, dan organisasi massa di Jawa Barat itu menjadi Barisan
Sukarno."
Komentar AMH. Sengaja saya kutipkan Jejak langLah Pak Harto ini untuk
mengingatkan kembali segara perilaku Soeharto sebelum dia terang-terangan
menyerobot kekuasaan Presiden Sukarno dengan memalsu Surat Perintah
Sebelas Maret. Betul, benar sekali bahwa sejak revolusi, ABRI, organisasi
politik, dan organiasasi massa di Jawa Barat itu menjadi Barisan Sukarno.
Dalam arti di belakang mengikuti segala perintah Presiden Sukarno sampai
ke saat munculnya GESTOK, di saat munculnya Soeharto mengeliminir
orang-orang GESTAPU, orang-orangnya sendiri, di mana dia sendiri berada
di belakang layar komplotan tersebut. Selanjutnya sesudahnya semua pucuk
pimpinan tertinggi ABRI terbunuh semuanya, Soeharto pada 1 Oktober 1965
meneruskan langkahnya yang kedua: mengeliminir Presiden Sukarno sebagai
principal target dalam tujuannya untuk merebut kokuasaan Presiden.
Bung Karno menyadari akan hal yang membahayakan kedu- dukannya itu.
Maka itulah pada sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor,beliau
menyerukan supaya berdirilah Barisan Sukarno, sebab "Barisan Sukarno"
yang dikatakan oleh Soeharto sebagai Letjen Menpangad yang praktis sudah
mengambil oper pimpinan ABRI dan kekuasaan Pemerintahan, sudah
dijauhkan dari Bung Karno dan semuanya ditempatkannya di belakang dia
sendiri, Soeharto. Karena itulah, Bung Karno berseru kepada Bangsanya,
668
supaya membentok Barisan Sukarno, yang dekat dan taat kepadanya!
Bagaimana pendapat pembaca mengenai Barisan Sukarno itu?
Apakah dianggap, atau disangka Barisan Sukarno itu untuk dikonfrontasikan
secara fisik, disiapkan untuk bertempur terhadap pihakTentara yang dibikin
goyang kepercayaannya kepada Presiden Sukarno? Tidak! Seperti telah
dinyatakan oleh Dr. Subandrio, yang dituju, yang hendak dicapai Bung
Karno, ialah ketegasan semangat, jiwanya, dipersatukan dalam Barisan
Sukarno.Tetapi Soeharto, bukan saja karena dia militer, tetapi karena ambisi
yang telah ditempanya sejak berhubungan dengan GESTAPU (Untung,
Latief, Supardjo dan Syam) untuk merebut kekuasaan dari tangan Presiden
Sukarno, menganggap Barisan Sukarno akan menjadi kekuatan fisik atau
people´s army yang diasosiasikan dengan Angkatan ke-V yang pernah
diusulkan PKI. Oleh sebab itulah begitu Sidang Kabinet tanggal 15 Januari
itu selesai, esok harinya, tanggal 16 Januari 1966 itu, kontan Soeharto
menggunakan segala saluran kekoatan yang dikuasainya untuk membunuh
ide dan kelahiran Barisan Sukarno itu.
Kalau saya boleh bicara terus, andakata Bung Karno bukan Bung Karno,
tetapi seorang militer seperti Soeharto, ada kemungkinan hal itu bisa
terjadi.Tetapi di dalam situasi yang gawat ini, sekalipun, beliau tetap saja
seorang manusia Sukarno yang tulen, yang asli. Seorang Bapak Nasion!
Jiwa-jiwa cerita pewayangan selalu dekat kepadanya. Dalam situasi yang
sudah gawat itu beliau masih bisa minta digelarkan wayang di Istana Negara
dengan judul cerita ... yang saya lupa namanya. Beliau masih bisa menikmati
cerita wayang di malam itu, sedangkan saya, walaupun turut hadir, pikiranku
melayang-layang ke luar gedung, memikirkan, akan bagaimana jadinya nasib
Bung Karno pada akhir kemelut ini nanti. Muallif Nasution, Sekretaris
Pribadi, bekas Pemuda Menteng 31, punya hubungan keluarga dengan Bung
Karno, sebab menikah dengan gadis masih famili dengan Bung Karno, di
malam itu menceritakan pada saya, Pak Rahim, dukun di Petojo itu
menujumkan bahwa Bung Karno akan mati berdarah.
Lalu saya menanyakan pada Muallif, apa kau sudah bilang itu pada Bung
Karno."Tidak usah saya bilang", sahut Muallif," Pak Rahim itu yang sudah
bilang, ketika sowan ke Istana dan memeluk Bung Karno sambil bertangisan
berdua".
Lain lagi cerita Pak Darmosugondo, yang pada malam pagelaran wayang di
istana itu hadir pula dengan sikap dan wajahnya yang, saya lihat sayu.
"Sudah diramalkan bahwa Bung Karno jatuh", katanya. Saya tidak tanya,
ramalan siapa? Saya tanya, siapa yang akan meng- gantikannya? Dengan
suara berat Pak Darmosugondo mengatakan: "Raja Jawa". Saya tidak spesial
mempelajari kebatinan Jawa, karena itu saya tidak melanjutkan percakapan
669
itu. Saya teringat padaJendral Nas dan Sri Sultan Hamengku Buwono yang
saya kenal dan hormati. Dua tokoh itu meleset dari bayangan ramalan itu.
Hanya logika intelek saya bertanya-tanya apakah tidak Soeharto yang sudah
diberi oleh Bung Karno banyak keknasaan itu yang sengaja menyebarkan
isu-isu demikian itu. Orang tidak boleh lupa kekuatan gaib dalam apa yang
disebut "kebatinan Jawa", yang pada hal-hal tertentu mempunyai daya
pengaruh pula. Kepercayaan yang terbentuk sejak masa dulu-kala.
Kesimpulan:
1). Pelarangan Barisan Sukarno oleh Menpangad Letjen Soeharto itu adalah
satu bukti yangjelas tingkat-tingkat persiapan dan pelaksanaan kudeta secara
merangkak dan licik itu, tahap demi tahap dengan menggunakan GESTAPU
sebagai tabis asap, penutup mata bagi sebagian besarABRI yang masih mau
tetap setia kepada Presiden/ Panglima Tertingginya.
2). Massa atau rakyat jutaan itu tidak bisa disalahkan, sebab psikologi massa
jutaan orang adalah ibaratkudde, kawanan hewan yang apabila kehilangan
penggembalanya,jadi tidak berketentuan mau ke mana. Bangsa Indonesia
ketika itu laksana itulah. Kehilangan atau terputus hubungan dengan
massaleider-nya. Perkataan"terputus hubungan" itu penting sekali arunya.
Sukarno itu tidak bisa berhubungan dengan massa rakyat lagi, diblokir dan
ditakut-takuti, harus melapor dan mendaftar segala macam. Sukarno, tanpa
disadari oleh pengikut- pengikutaya yang telah diangkat pada kedudukan
penting, tentulah tidak sengaja, atau pun karena "kegoblokannya", menyianyiakannya, sampai tak terpikirkan hubungan per radio di dalam keadaan
sulit. Ketelodoran security, itulah yang saya saksikan sendiri, yang telah
terjadi. Para pembaca akan melihat bagaimana Soeharto dengan liciknya
merangkak terus sampai ke puncak kudeta SUPERSEMAR. Dan para
pemuda yang tersesat di jalan sejarah itu yang menamakan dirinya"Angkatan
66", notabene yang berkontradiksi dengan Angkatan 45 (yang memutuskan
belenggu penjajahan Belanda tiga setengah abad) -Angkatan 66 itu nanti
akan menjadi laksana kayu- kayu jembatan yang membusuk, sekalipun anaianai kekayaan Soeharto tak akan membutuhkannya lagi.
3). Percaya kepada kekuatan rakyat sebagai motor perkembangan sejarah
yang abadi, kita melihat pula bahwa dalam kategori sejarah nasional
sekarang ini, sedang lahir tokoh-tokoh nasional kerakyatan yang baru, yang
sedang menggali kuburan Rezim Soeharto Orde Baru yang autokratis demi
kepentingan tegak Rl yang demokratik berdasarkan Pancasila dan UUD'45.
Inilah garis politik perjuangan nasional kita di masa ini.Adalah bodoh
mencegah dan membendung arus perkembangan sejarah itu. Tidak ada rezim
diktatur yang langgeng dalam dunia. Demokrasi pasti menang! Inilah satu
peringatan yang berani dan jujur, tanpa pamrih!
670
Bab XIX
Kenali kembali beberapa Peristiwa dan
Tokoh Tentara yang Beperan dalam Komplotan GESTAPU
Nomor satu: Letjen Soeharto
Dia pernah mendapat predikat "orang baik" dari kalangan PESINDO. Dan juga dipandang
"orang baik" juga dari kalangan simpatisan Tan Malaka.
Untuk membuktikan kesimpulan saya bahwa Letjen Soeharto itu adalah The Number One dari
komplotan GESTAPU, saya harus kembali kepada sejarah sekitar Peristiwa 3 juli 1946, tragedi
Tan Malaka bersama kawan-kawan saya golongan radikal kiri: Adam Malik, Sukarni, Chaerul
Saleh dan lain-lain.
Tetapi sebagai "aIat-pelejang" memori saya ini, saya mau mulai dengan menggunakan dayafantasi tanpa izinnya dari Pramoedya Ananta Toer yang luar biasa kuat dan tepatnya, yaitu
simbolik mengenai BUNG KARNO-HATTA-SJAHRIR: yanq tumbuh sebagai sebatang bambu
dengan ruas-ruasnya. Lebih kuat dan lebib hidup dari istilah yang biasa suka digunakan untuk
ketiga Pemimpin Nasional kita itu: Tritunggal. Simbolik tersebut automatik mengingatkan saya
pada dua rumpun bambu betung, di belakang rumah saya di dusun, di pinggir Sungai Talo.
Betul sekali, Pramoedya Ananta Toer, apa kata itu: "Sukarno-Hatta-Sjahrir memang tumbuh
sebagai sebatang bambu dengan ruas-ruasnya, dan jelas Sukarno berada di ruas yang lebih dekat
dengan akar. Bukan karena ia tidak dididik di Eropa, tak pernah mengenyam nikmat Demokrasi
Barat ..."
Demikian Pram (begitulah biasanya dia kupanggil), yang kukenal sebagai Penulis, yang hidupmati dari menulis, tapi tidak ragu turut dalam masa perjuangan Krawang-Bekasi karena
panggilan Proklamasi 17 Agustus 1945. Demikianlah, sumbangannya "Nyanyi Sunyi" dari Pulau
Buru, telah menjawil saya dalam uraian-uraianku ini.
Tetapi di belakang rumahku di dusun Lubuk Ngantungan (Bengkulu) sebagai tadi kukatakan ada
dua rumpun bambu betung. Sebatang yang sesuai dengan simbolik yang dicirikan Pram, tapi
yang sebuah lagi itu saya harus bilang apa, untuk simbolik sejarah Semaun, Musso, Alimin, Tan
Malaka? Sebab ruas-ruasnya bambu yang sebuah lagi itu sudah pada "bocel" karena diketokketok oleh tangan gatal atau sejarah yang latah? Jadinya seperti "kerakak tumbuh di batu, hidup
segan mati tak mau"!
Selain saya harus kembali kepada sejarah sekitar Peristiwa 3 Juli 1946, saya harus pula kembali
kepada apa yang disebut Peristiwa Madiun, yang di zaman ORBA diungkit-ungkit, tapi
sebenarnya adalah provokasi red drive dan hasil Konferensi Sarangan, 1948.
Dari kedua Peristiwa tersebut di atas, ketika itulah Overste Soeharto memperoleh kesempatan
bermain dalam arus politik mengasah keahliannya bermuka dua-tiga.
671
Bung Karno dan jendral Nas, sudah salah menilai Soeharto. Bung Karno karena jengkel,
mengatakan dia itu koppig*) sebab dia tidak mau melaksanakan perintah Bung Karno, sebagai
Presiden/Panglima. APRI menangkap Mayjen Sudarsono dan Yamin yang mau mengadakan
perebutan kekuasaan Presiden ketika Peristiwa 3 Juli 1946. Jendral Nas, mengatakan kepada
Mayor Firmansyah, Soeharto itu "bodoh", karena itu dia tidak turut dibawa serta ketika Jendral
Nas berkunjung ke Amerika. Tapi dalam Peristiwa GESTAPU, saya anggap Bung Karnolah
yang koppig dan Jendral Nas itulah yang "bodoh".
Persatuan Perjuangan lahir di Purwokerto, 4 Januari 1946 di bawah dorongan Tan Malaka,
karena tidak setuju pada politik diplomasi Hatta-Sjahrir yang mau mengadakan "Perjanjian
Linggarjati" yang didiktekan oleh Van Mook. "Persatuan Perjuangan" banyak mendapat
sambutan persetujuan dari banyak Laskar-Laskar Bersenjata, kecuali dari Laskar PESINDO yang
kuat sekali persenjataannya. Jelas, karena di dalam Kabinet, ada tokoh-tokoh mereka, yaitu
Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Pak Sudirman, sebagai Panglima Besar sebenarnya lebih
menyetujui politik perjuangan bersenjata, tapi sebagai militer-pejuang tidak goyah menempatkan
wibawanya kepada Presiden Sukarno dan Pemerintah R.I. Yamin cs. dan Mayjen Sudarsono
Panglima Divisi III Yogyakarta, berspekulasi pada posisi Panglima Besarnya itu.
Konfrontasi PP versus Pemerintah Sjahrir dimulai pada tanggal 27 Juni 1946 dengan diculiknya
Perdana Menteri Sjahrir ketika sedang berada di Solo. Saya ingat ketika itu saya sebagai
Komandan Laskar PESINDO Jawa Barat /merangkap Pimpinan Lasjkar Rakyat Jakarta Raya,
sedang berada di Madiun dalam Konferensi PESINDO di Rejoagung. Berita tentang diculiknya
Bung Sjahrir itu dibawa oleh Bambang Kaslan yang datang bersama Des Alwi yang menangis
tersengguk-senggukan karena Oom Sjahrirnya kena culik. Apa akal? "Jangan nangis, Dik" kata
Krisubanu, Ketuaoa PESINDO, menyabarkan Des Alwi. "Kita akan bikin beres" Tapi anak muda
ini menangis terus. Sumarsono pun mengatakan juga "jangan khawatir", mengusulkan supaya
kami lekas mencari Ruslan Wijayasastra, Komandan Tertinggi Laskar PESINDO seluruh
Indonesia yang sedang berada di Mojokerto. Pertimbangan kami bukansaja karena laskar
PESINDO mempunyai kekuatan bersenjata yang terkuat di masa itu, tetapi juga karena kami
tahu Ruslan Wijayasastra itu adalah kader Djohan Sjahruzah ketika jadi Pimpinan Serikat Buruh
di Cepu di masa pendodokan Jepang, dan Johan Syahruzah ini adalah kemanakan Bung Sjahrir
pula. Jadi jelas Bung Johan dan Bung Ruslan itu pengikutnya Bung Sjahrir. Sekarang ini saudara
Des Alwi, syukur masih hidup, dia hadir dalam peluncuran buku "MENTENG 31" di Jakarta
1996, barangkali dia masih ingat perjalanan kami dalam satu mobil dengan dia menuju ke
Mojokerto di hari hujan gerimis pola.
Sedikit tentang Johan Sjahruzah yang saya kenal baik. Dia adalah menantu Pak Haji Agus Salim,
itu tokoh Serikat Islam. Ketika Adam Malik dan semua orang Kantor Berita "Antara" ditangkap
Belanda sebelum kedatangan tentara Jepang, Bung Johan itu meminta saya membantunya
meneruskan pekerjaan "ANTARA". Kami berkantor di Jalan Tanah Abang, presisi di muka
jembatan Jalan Budi Kemuliaan itu. Terakhir saya ketemu Bung Johan di kantor Partai Sosialis,
di Kota Baru, Yogyakarta.
Saya tanya: "Kenapa Bung nggak turut Uda Sjahrir di Kementerian." ltu di tahun 1967.
672
"Ah, biarkan saja saya begini", sahutnya. Sesudah itu saya tak jumpa lagi pada Bung Johan
Sjahruzah itu. Kalau dia PSI, dialah PSI yang terbaik saya nilai. Pandai berteman, tidak sok
petentengan. Jelas kiri, merakyat.
Nah, Bung Karno membela Sjahrir, Perdana Menteri R.I. Beliau umumkan S.O.B. (Staat van
Oorlog en Beleg) yang pertama kali. Maka gegetunlah para penculik Sjahrir, ditambah lagi
dengan "ultimatum" Laskar PESINDO. Maka Sjahrir dibebaskan begitu saja oleh penculiknya,
sesudah disembunyikan 2 hari saja. Sesudah Sjahrir bebas, kembali ke atas kursinya sebagai
Perdana Menteri, dilakukanlah pada tanggal 1 Juli 1946, penangkapan pada tokoh-tokoh
Persatuan Perjuangan, di antaranya kawan-kawan sendiri dari Menteng 31, yaitu Adam Malik,
Chaerul Saleh, Pandu Kartawiguna, Sukarni; lainnya ialah Sayuti Meliik, Moh. Saleh (Wk.
Walikota Yogyakarta), Surip Suprastio, Sumantoro, Joyopranoto, Suryodiningrat, Marlan, Mr.
Subarjo dan Tan Malaka yang saya kagumi. Sedangkan Moh.Yamin dan Iwa Kusuma Sumantri
dapat meloloskan diri. Ketika itu saya sudah kembali berada di front Krawang lagi, dalam tugas
sebagai anggota Pimpinan Laskar Rakyat Jakarta Raya dan merangkap Komandan Laskar
PESINDO Jawa Barat. Saya tidak bisa menduga, kok sampai jadi begitu!
Ketika ke Yogya lagi, saya langsung ke Gondolayu muntahkan kejengkelan saya pada Wikana,
Menteri Negara Urusan Pemuda, kenapa tidak dicegah terjadinya penangkapan itu, sebab akan
bisa berlarut panjang problim PP-Tan Malaka itu, paling sedikit "menetralisir" kawan-kawan dari
Menteng 31, sebab yang akan senang dengan adanya "baku-hantam" ini tidak lain pihak NICA
juga. Sebermula kita semua satu melawan Belanda, sekarang persatuan itu pecah. Kalau Bung
Hatta dan Syahrir mau "Linggarjati", karena takut pada Belanda dan dunia barat semua akan
menggempur kita, itu memang sudah konsekwensi terhadap proklamasi kemerdekaan. Semua
rakyat memilih perjuangan bersenjata lawan NICA untuk membela Proklamasi, kedaulatan
nasional. Pun sudah begitu tekad kita sejak semula!?
Saudara Wikana mengelak, mengatakan bahwa itu putusan kabinet Sjahrir-Amir. Sekarang
soalnya bukan lagi soal berunding atau perjuangan bersenjata" tapi perebutan kekuasaan negara.
Dia menceritakan selama saya di Krawang: "telah terjadi hal-hal yang lebih parah".
Bung Wikana menerangkan: "Pada tanggal 2 Juli 1946, mereka menggerakkan 2 batalion: 1
Resimen dari Mayor Abdul Kadir Jusuf dan satu lagi dari Resimen Overste Soeharto dari Markas
Wiyoro. Mereka menguasai Gedung Radio dan Gedung Telepon Yogyakarta, di Kota Baru, dan
kemudian menyerbu Penjara Wirogunan untuk membebaskan 14 tawanan yang telah ditangkap
pada tanggal 1 Juli itu. Dari penjara Wirogunan mereka itu dibawa ke Markas Overste Soeharto
dan dilindungi di sana, di mana sudah berada Mayjen Sudarsono, Panglima Divisi III." Dus
Panglimanya dari Overste Soeharto.
"Siapa itu Mayor Abdul Kadir Jusuf dari Resimen I itu?" saya bertanya, "Masa jij nggak tahu,"
jawab Wikana."Itu yang kita kenal di Jakarta, biasa dipanggil Jusuf Bokser, tinggal di
Kemayoran Gempol, anak buahnya Pak Joyopranoto yang kalau pergi ke mana-mana suka bawa
senapan "dubbelloop". Jusuf Bokser inilah yang dilaporkan oleh Wikana dan Tisnaya kepada kita
di Menteng 31, tanpa lapor pada kita membentuk API, dan menduduki Istana Bogor. Jij masih
ingat, kan?"
673
"Ya, saya ingat", sahutku.
"Pada tanggal 3 Juli", Wikana meneruskan keterangannya,"Yamin, Mayjen. Sudarsono Panglima
Divisi III, Iwa Kusuma Sumantri dan Dr.Sucipto (Kepala Intel Tentara ex PETA-Stodent Ika
Daigaku) membawa beberapa draft MAKLUMAT. No.l, No.2 No.3, No.4, No.5 yang semuanya
telah disiapkan oleh mereka ketika di Markas Overste Soeharto di Wiyoro. Semua Maklumat
tersebut berwatak kudeta, misalnya yang No.2 itu berbunyi, ini jij baca sendiri:
"Atas desakan rakyat dan Tentara dalam tingkatan kedua revolusi Indonesia yang berjuang untuk
membela seluruh Rakyat dan seluruh kepulauan di bawah Kedaulatan Negara Republik
Indonesia, atas prinsip Kemerdekaan Seratus Persen, pada hari ini memberhentikan seluruh
Kementerian negara Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin."
Yogyakarta, 3 JULI 1946
tertanda
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA."
Lanjut Wikana: "Sementara itu Menteri Amir Sjarifuddin datang dengan mengendarai mobilnya
sendirian. Sebab rumahnya digerebeg oleh pasukan Jusuf Bokser, dia dapat meloloskan diri dan
langsung setir mobil sendiri ke istana. Yang dapat ditangkap oleh pasukan Jusuf, ialah
sekretarisnya Ahmad tapi karena keliru, lantas dilepas lagi. Letkol Mangil, pengawal istana
menyiapkan pasukannya, lalu segera menangkap: Yamin, Mayjen Sudarsono, Iwa Kusuma
Sumantri dan Dr Sucipto, terus dibawa ke Penjara Wirogonan. Sedangkan yang lainnya,
katanya,"diamankan" oleh Overste Soeharto di Wiyoro." Sekali lagi saya mengeluh "Saya tidak
bisa menduga, kok sampai jadi begitu".
Para pembaca yang terhormat,
Sehubungan dengan uraian saya tersebut di atas, mengenai persoalan percobaan kudeta oleh
Mr.Moh. Yamin dan Mayjen. Sudarsono Panglima Divisi III, saya ketahui kemudian bahwa baik
Chaerul Saleh maupun Adam Malik, dan Pandu Kartawiguna, semuanya menyalahkan Yamin
karena tindakannya yang gegabah itu. Apalagi seluruh kekuatan persenjataan Divisi Mayjen.
Sudarsono itu tidak akan bisa mengimbangi kekuatan persenjataan PESINDO Jawa Timur,
apalagi kalau ditambah dengan kekuatan Divisi IV Kolonel Sutarto yang di masa itu menjadi
tulang-belakang kekuatan Pemerintah Sjahrir-Amir Sjarifuddin.
Tetapi, ... ini dia, ... andakata percobaan kudeta ini berhasil, Soeharto sudah menang satu set,
dengan modalnya Markas Wiyoro dan tindakannya menyelamatkan mereka yang ditahan di sana.
Apakah dia akan bersikap setia kepada Presiden Soekarno dan Pemerintah resmi Sjahrir-Amir
Sjarifuddin? Watak mulia demikian akan ada pada Soeharto, ya... kelak "kalau kuda bertanduk".
Sebab kita sudah lihat performance dan wataknya, watak yang begitu ambisius harta dan kuasa.
Buktinya Peristiwa GESTAPU. Dalam hal tidak berhasilnya percohaan kodeta 3 Juli itu, dia pun
sudah mengantongi "set" kemenangannya juga, dia dianggap berjasa oleh Sjahrir dan Amir,
walaupun oleh Presiden Sukarno dijuluki "opsir koppig". Tapi mulai dari masa itulah saya
dengar orang-orang PESINDO, termasuk saya, menganggapnya "opsir yang baik" dan sebutan
674
yang naif itu saya masih dengar sampai lama sesudah Peristiwa Madiun, terus sampai ke masa
"Konfrontasi Malaysia".
Tetapi, kalau mau tahu watak Soeharto yang sebenarnya, bacalah sendiri otobiografinya
Soeharto - "Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya" halaman 37 dan 38 "Saya mau diapusi. Tidak
ada jalan lain, selain balas ngapusi dia". Kalau dalam Peristiwa 3 Juli 1946, Majen Sudarsono
Panglima Divisinya sendiri, Divisi III yang kena "diapusi", kemudian dalam Peristiwa
GESTAPU, Bung Karno dan Jendral Nas yang kena "diapusi", dan tidak kepalang tanggung it
was nobody else than Jendral Ahmad Yani dan lima rekan lainnya yang dijadikan tumbal sebagai
justifikasi untuk mencabut pedang menebas leher Brigjen Supardjo dan Kolonel Latief cs. dan
terus semua insan komunis di padang komonisto-phobi, itu warisan kolonialisme Belanda yang
dipelihara dan dibesar-besarkan oleh CIA.
Saya tidak anti Amerika, apalagi sejak Jimmy Carter menegakkan demokrasi dan HAM, tetapi
saya konsisten anti-kudeta, setiap kudeta kiri maupun kanan. Sebab saya seorang demokrat dan
adalah peserta bahkan Pemuda Pelopor Proklamasi 17 Agustus 1945. Bukan sesumbar,
melainkan hanya kenyataan sejarah yang sederhana. Bukan seperti Soeharto yang
mempermainkan sabdo Jawa: mendem jero mikul duwur, yaitu refleksi ambisi-pribadinya sendiri
yang mencuat keterlaluan!
Saya tidak lupa, kata-kata Bang Ali (Jendral KKO Ali Sadikin, seorang Republikein
ANGKATAN 45 yang konsekwen, pengikut Bung Karno yang setia) ketika mengantar Bu Nani
(alm.) dioperasi di Belanda: "Oh, dia itu (Soeharto) mau jadi Presiden sampai mati, Presiden
seumur hidup".
Ucapan Bang Ali tersebut tampaknya akan terbukti kebenarannya, sebab sekarang (sementara
saya menyiapkan buku ini) Presiden Soeharto sedang giat-giatnya bikin lagi siasat liciknya
supaya dipilih lagi terus jadi Presiden lagi dengan melemparkan pola semacam SUPERSEMAR
ke II. Tentulah dengan memproyeksikan surga "pembangunan nasional bagi konglomerat dan
keluarga sendiri, dengan dalih demi persatuan dan kesatuan bangsa etc. etc. sebagai umpankailnya.
Aduhai ... aduhai, bangsaku,... bangunlah dari ketiduran yang pulas itu, hari sudah siang,
"ashalatu chairum minannuuuuuuuuum", bahkan sudah sore hari, kepadaNya kita yang hina-hina
ini bersujud, sadarlah, bangunlah, sebab Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) itu
telah sengaja digunakan Soeharto untuk niatnya yang terkutuk oleh Tuhan. Wallahunabi, saya
menyaksikan peristiwa pengkhianatan Soeharto itu pada momentum kejadiannya sejak pagi-pagi
Sebelas Maret di Istana di Jakarta sampai di Istana Bogor Tiga-Belas Maret 1966. Ikuti uraian
lebih lanjut pada bagian yang berikut.
Kembalikanlah DPR dan MPR menjadi Lembaga Demokrasi yang sesungguh-sungguhnya,
janganlah diteruskan sandiwara pengkhianatan itu, sebab perjalanan setiap pengkhianatan
berakhir di Neraka!
Bangunlah segenap insan beragama, Islam maupun Kristen, dan serukanlah dari segala Menara
Mesjid dan segala Menara Gereja Katolik maupun Protestan: Allahu Akbar, Allahu Akbar,
675
Allahu Akbar ... dan "Oooh, Bapak Kami, Segala Puji Pada Tuhan ... Basta, basta, basta: diktator
Soeharto!!! Amien, Amien! Halleluya, Amien!
_____________
*) koppig - keras kepala, orang yang ngotot pada kebenarannya sendiri
Kedua: Trio Soeharto : Soeharto-Yoga-Ali Murtopo
Kubu Soeharto, yang oleh Yoga Sugama disebut team, bukanlah untuk pertama kali. Semasa
masih di Jawa Tengah dulu, TRIO ini juga telah membuktikan satu "team" kerja yang baik. Asal
mula prosesnya diceritakan begini: Mayjen Soeharto menilgram Yoga, dimintanya menjadi
kepala Intelijen KOSTRAD. Yoga tiba di Jakarta tanggal 5 Februari 1965, langsung menghadap
Panglima KOSTRAD di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim. Tiba di sana segera terlibat ke
dalam pembahasan masaalah nasional. Dibahas bahwa keputusan keluar dari PBB hanya akan
mengucilkan Indonesia dan percaturan internasional, sementara dukungan dari negara-negara
NON BLOK tak akan sepenuhnya dapat diharapkan. Ketika KASAD Ahmad Yani berkunjung
ke Beograd, Yoga pun sempat mengingatkan masalah ini. Bila politik konfrontasi Malaysia
dilanjutkan, hal tersebut akan sangat berbahaya bagi Angkatan Darat. Yoga tahu bahwa Ahmad
Yani adalah seorang yang amat setia kepada Presiden Soekarno, dan ia tidak sependapat dengan
Yani bahwa Presiden Sukarno akan tetap di belakang Angkatan Darat.
Yoga adalah seorang yang sangat berjasa terhadap Soeharto. Ia mengabdi Soeharto sampai 1989.
(Yoga Sugama inilah yang pertama tama memberitakan interviewnya kepada AFP, bahwa saya
(AMH) boleh saja pulang tapi dengan sendirinya harus diinterogasi; kalau saya tidak salah
sesudah Bung Karno di Proklamirkan sebagai Proklamator - AMH). Tetapi sampai dipensiunkan
Yoga Sugama tidak pernah dianugerahi oleh Soeharto dengan jabatan Menteri seperti rekanrekannya seperti Ali Murtopo, Alamsyah dan lain-lainnya. Tampak ada rasa kecewa pada Yoga
terhadap Soeharto. Hal ini terlihat dalam memoarnya, di mana dimuat antara lainnya:
"Pernyataan Kepribadian (Keprihatinan? - LSSPI) Petisi 50".
Tetapi betapapun juga, dari memoar Yoga dapat dipastikan bahwa kubu Soeharto benar-benar
ada, di samping kubu Yani dan Nas.
Ada tiga indikasi kuat untuk sampai pada kesimpulan ini :
Pertama, Yoga kembali bertugas di Indonesia tidak melalui jalur hierarki yang normal. Ingat,
ketika Ketua Pemuda PATHOK, Sundjojo, membawa Perintah Presiden Sukarno kepada Overste
Soeharto, supaya menangkap Mayjen Sodarsono yang mau kudeta, dia menolak dengan alasan
hirarki tidak normal. Walaupun sesudah disusul secara tertulis dan melalui Panglima Besar
Sudirman, ia pun masih menolak, sebagai seorang militer yang baik.
676
Kedua, tujuan kedatangannya adalah untuk bersama dengan Soeharto menyabot politik
"Kofrontasi Malaysia" Presiden Sukarno.
Ketiga, dengan rasa bangga Ali Murtopo menyingkapkan tujuan "kotor" ini tanpa tedeng alinga1ing:
Berdasarkan penjelasan Pak Yoga kepada Pak Harto, Ali berkata "maka kita bertiga kumpul lagi di ruang
Pak Harto. Di sini kita tentukan lagi nasib bangsa selanjutnya".
Di samping TRIO: Soeharto-Yoga Ali Murtopo, ada lagi kubu Soeharto yang lain, yang tidak kurang
pentingnya, terdiri dari: Suwarto (lebih dikenal sebagai Kolonel Suwarto), Yan Walandow, Alamsjah,
Amir Machmud, Basuki Rachmat, Andi Yusuf dan Supardjo. Yang paling penting adalah yang disebut
pertama dialah, "braintrust"nya: Kolonel Suwarto. Di tahun 1958, Kolonel Suwarto membentuk
SESKOAD. Mereformasi SSKAD. Pada tahon 1959, sebagai akibat korupsi Soeharto di Semarang,
Soeharto dicopot dari kedudukannya sebagai Panglima Divisi Diponegoro. Ini terjadi atas desakan
Perdana Menteri Djuanda kepada Jendral Nas. Tanpa mengetahui adanya barter Semarang itu,
beberapa bulan sebelumnya saya sempat mengunjungi Kolonel Soeharto di markasnya di Semarang
dalam kapasitas sebagai Menteri PETERA meresmikan Proyek Gotong-Royong "Kali-Gatel" di daerah
Kebumen. Kolonel Soeharto dan Gubernur Hadisubeno menyambut saya di Semarang di Markas Divisi
Soeharto. Dasarnya Bung Karno terlalu "ke-Bapak-Bapakan" dan Jendral Nas terlalu "sok gentlemen"
(maaf, bukan menghina Pak Nas, sebab dulu kitika apa yang disebut percobaan Kudeta 17 Oktober 1952,
gara-gara Dr. Mustopo mendemonstrasi Parlemen dan Kemal Idris dengan tank-tank menodong Istana
Merdeka, ia sampai dicopot sebagai KSAD, lalu Zulkifli Lubis bertindak sebagai Wk.KSAD, tapi tidak mau
di angkat oleh Bung Karno jadi KSAD sampai "ngambek" bikin "Peristiwa Cikini" dan sebagainya),
Soeharto bukan dicopot dari dinas kemiliteran, sementara waktu kek, eee malah disekolahkan ke
Bandung, sampai bangkit sinisnya Menteri Veteran Chaerul Saleh terhadap Nas ... Memang type yang
begini yang diharap-harap oleh Kolonel Suwarto. Di masa itu Kol. Suwarto punya seorang informan yaitu
Syam Kamaruzaman. Mengenai hal ini saya akan singgong lagi dalam bagian berikut, sehubungan
dengan keterangan Wikana pada saya.
Di Seskoad itu Suwarto telah mencurahkan perhatiannya untuk mendorong Soeharto maju ke
depan. Hubungan in berkelanjutan sampai bulan-bulan menjelang GESTAPU. Soeharto
mengangkatnya (Kolonel Suwarto) menjadi penasihat politiknya yang penting. Di samping itu,
seperti diceritakan oleh Chaerul Saleh, kesalahan bebetapa oknum-oknum PSI bukan hanya
memberi bekal idee kepada Kolonel Suwarto tersebut, tapi macam-macam lagi, sehingga
akhirnya meledaklah GESTAPU. Kalau oknum PSI hanya cenderung pada balas-dendam, lain
lagi dengan Kolonel Suwarto yang memang punya design politik, sebagai agen CIA.
Yan Walandow, seorang yang punya hubungan lama dengan CIA, adalah petugas Soeharto untuk
mendapatkan dana dari luar-negeri. Baca SCOTT: "Sudah sejak Mei 1965 perusahaanperusahaan leveransir Amerika (terutama Lockheed) melakukan transaksi mengenai penjualan
persenjataan dengan pembayaran pada orang- orang perantara dengan cara demikian rupa bahwa
pembayaran itu tidak akan sampai ke tangan pembantu-pembantu Nasution dan Yani. Tetapi
kepada fraksi ketiga Tentara, Mayjen Soeharto" (kursif AMH)
677
Alamsyah Prawiranegara, dulu juga pernah bertugas di Seskoad. Sejak 1960 ia bertugas untuk
Soeharto, antara lain juga untuk mencari dana dari luar negeri. Tugas ini dipermudah karena dia
melakukannya dengan seorang yang punya pertalian keluarga dengan dia, yaitu A.M.Dasaad
(Agus Munir Dasaad), yang punya hubungan suka memberi nasihat di bidang perdagangan
kepada Bung Karno, dan yang juga punya hubungan simpatik dengan beberapa tokoh pergerakan
sejak mendekati runtuhnya Hindia Belanda. Bahwa Alamsjah berada dalam kubu Soeharto,
selain memang telah kita ketahui sejak semula, terbukti juga dari Memo Lockheed, 1968:
"Setelah perebutan kekuasaan dengan mana Sukarno digantikan oleh Soeharto, Alamsjah menyediakan
Dana yang besar yang ada dalam penguasaannya untuk kepentingan Soeharto, dengan mana Presiden
yang baru itu menunjukkan rasa terima kasih kepadanya."
Ketiga: Soeharto sabot "Konfrontasi Malaysia"
Mengenai politik "Konfrontasi Malaysia" Presiden Sukarno bertolak dari kepentingan
Pertahanan Indonesia dan solidaritas terhadap Perjuangan Rakyat Kalimantan Utara. Sampai
batas menyatakan solidaritas terhadap aspirasi demokratik Rakyat Kalimantan Utara, kami
bertiga, Chaerul Saleh, Kolonel Djuhartono dan saya sebagai Pimpinan Angkatan 45, memang
yang paling pertama berdiri di depan dalamn rapat di gedung MENTENG 31. Tapi kami tidak
setuju Dr. Subandrio sebagai Menteri Luar Negeri meningkatkan masalah tersebut menjadi
bagian dari Policy luar negeri Pemerintah. Inilah kesalahan kami "membuat permulaan, tapi
tidak bisa mengakhiri".
Hal ini penting diakui dan dijelaskan! Sebab kemudian ternyata bahwa Pernyataan solidaritas
organisasi Angkatan 45 itu, setelah menjadi Policy pemerintah dimanfaatkan pula oleh Angkatan
Darat untuk memperpanjang S.O.B. Di situlah permainannya Kolonel Djuhartono dan Dr.
Subandrio, sedangkan Chaerul Saleh dan saya tidak diajak rundingan lagi.
Selanjutnya, di belakang Sukarno, Angkatan Darat menyabot politik Konfrontasi Malaysia itu,
walaupun tampak seakan-akan menyokongya. Hal ini tampak dari pengakuan Yoga Sugama
sendiri. Pada tanggal 5 Februari 1965, setelah kembali ke Jakarta dari posnya sebagai Atase
Militer Indonesia di Beograd, Yoga menyusun laporan untuk menghentikan Konfrontasi
Malaysia. Panglima KOSTRAD/Wakil Panglima KOLAGA, Mayjen Soeharto, kemudian
menugaskan Ali Murtopo untuk mencari kontak-kontak dengan Malaysia. Dalam Tim Ali
Murtopo terdapat antara lain Benny Moerdani, A.R.Ramli dan Sugeng Jarot. Di Malaysia, Tim
ini berkoordinasi dengan beberapa orang-sipil seperti Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Des
Alwi dan beberapa lainnya lagi. Ali Murtopo berdasar tugas Mayjen Soeharto, melanjutkan
mengorganisasi kontak-kontak ini melalui kontak intelijen yang dipimpinnya, OPSUS (Operasi
Khusus) dengan sepengetahuan Menlu Dr. Subandrio. Di samping itu semua, PKI juga main,
pegang rol kekuatan massa rakyat, membuat Bung Karno hanya sebagai kapstok sebagai alat
bergantung. Semua masalah itu jalin-menjahn, simpang siur, tapi benang merahnya kelihatan
jelas sabotase Mayjen Soeharto sebagai Panglima KOSTRAD/Wakil Panglima KOLAGA (Baca
juga Memoar Oei Tjoe Tat). Dalam kedudukannya sebagai Asisten 1 KOSTRAD, Yoga Sugama
langsung terlibat dalam intrik sabotase ini.
678
Di atas segala proses yang telah terjadi tersebut di atas, saya kembali mengingatkan "penyesalan"
saya akan Bung Karno, yang telah men-Dubeskan saya ke Kuba; yang telah termakan oleh
"pinternya" manipulasi manis Menlu Subandrio yang menganggap saya bisa menjadi 'penyakit"
dalam kepintarannya memanipulasi Bung Karno.
Hal ini sudah saya singgung sedikit dalam buku "MENTENG 31" - Membangun Jembatan Dua
Angkatan". Sekarang, buat apa punya rasa dendam, saya tidak butuh, tidak kepada Mas Ban, ahli
manipulator itu, sebab nasibnya juga tidak lebih dari saya yang terbuang ini, juga tidak kepada
siapapun juga, juga tidak kepada Pak Harto.
Yang saya harapkan ialah keberesan, saya minta ditegakkan kembali Demokrasi dalam negara
R.I. hasil perjuangan seluruh Angkatan 45 ini, saya hanya minta bisa ditegakkan dasar dan tujuan
Pancasila dan UWD '45 itu. Kalau di sini saya ajak kita semua Kenali Kembali Beberapa
Peristiwa dan Tokoh-Tokoh Penting yang Kemudian Mendalangi GESTAPU, agar kita semua
mawas-diri, demi generasi baru, agar negara R.I. kita nanti tidak dijadikan bola untuk disepak
oleh semua "orang" di padang era globalisasi di abad ke XXI yang mendatang ini. Tegakkan R.I.
sebagai Negara Hukum yang berperikemanusiaan, yang tidak melacur pada autokrasi dan
korupsi!
Tegakkan Prinsip Kedaulatan Rakyat: bukan Rakyat untuk Pemerintah tapi Pemerintah untuk
Rakvat. Titik harmoni bertemunya Rakyat dan Pemerintah adalah dalam suasana demokratik!
Bukan seperti Orde Baru sekarang ini, di mana Rakyat ditundukkan kepadanya di bawah bayonet
dwi-fungsi, yang menurut sang penciptanya yaitu Jenderal Nas: salah digunakan! Adalah Rakyat
yang harus menjadi dasar dan tujuan pembangunan!
Saya mau kongkretkan pendirian-politik yang terkandung dalam jiwaku:
1. Presiden Soeharto harus diganti.
Sebab alasan saya, walaupun dalam buku MENTENG 31 saya usulkan supaya beliau dipilih
untuk periode yang terakhir, namun dalam Pidato Negara 17 Agustus 1996, dia tetap menutup
Keterbukaan, Rekonsiliasi Nasional dan Demokratisasi, yang menjadi aspirasi Rakyat seperti
yang saya usulkan. Latar belakang usul saya itu ialah: menarik rambut di dalam tepung, rambut
jangan putus dan tepung jangan berserakan. Tapi beliau sombong tetap dengan sikapnya yang
terus mau menggebuk. Menggebuk siapa saja yang tidak mau tunduk kepadanya.
2. Adakan suatu Referendum oleh partai-partai politik yang demokratik untuk:
a. Membatalkan hasil P.U. yang baru lalu yang tidak LUBER (Langsung-Umum-Bebas-Rahasia).
b. Bikin program pembangunan nasional yang demokratis di segala bidang: politik, ekonomi dan
kebudayaan, yang menjaga harmonisasi dan kedamaian dalam era globalisasi.
c. Usulkan calon-calon pengganti Presiden Soeharto yang dapat didukung oleh Rakyat seluas
mungkin, yang tidak cuma radikal anti-kapital: Amerika, Inggris, Perancis dan Jepang. Tanpa
679
good understanding empat negara demokrasi Barat itu, akan sempit jalan kita maju ke depan
mengejar ketinggalan.
3. Musyawarahkan sasaran referendum yang mau dicapai. Kalau tergantung pada saya (ini barangkali
tidak mungkin), calonkan tokoh-tokoh seperti: Gus Dur, atau Megawati, atau Bang Ali, atau Subadio
(Tokoh Angkatan 45), dan kenapa tidak Jendral Nas untuk memberikan kesempatan beliau mawas diri
atas segala kekeliruannya di masa lampau sejak dia dipilih oleh API-Bandung (Sutoko. Sudjono dkk.)
menjadi Kepa]a Divisi 1 (Siliwangi).
Saya, A.M.Hanafi, walaupun dibuang 35 tahun di luar negeri, tidak mengganti kewarga-negaraan
saya, saya tetap warga-mnegara R.I. yang punya hak-kewajiban yang sama di bawah UUD'45.
Saya tidak menuntut apa-apa, kecuali ganti Soeharto dan perbaiki kesalahan Orde Baru.
Keempat: Tentang bagaimana Soeharto menunggangi "Dewan Jendral" dan "GESTAPU"
Sampai sekarang para cendekiawan, ilmuwan dan peneliti sejarah masih belum berhenti
menyelidiki apa sesungguhnya yang terjadi di Indonesia pada 1 Oktober 1965, yang dikenal
sebagai peristiwa GESTAPU itu? Di luar maupun di dalam negeri keluar buku-buku dan tulisantulisan mengenai peristiwa tersebut; peristiwa yang telah mengorbankan sejuta manusia dibantai
tanpa proses hukum dan hancurnya satu republik nasionalis dan demokratik Presiden Sukarno.
menjadi setalam adonan-tepung-roti yang dibakar dengan api anti komunis untuk menjadi
santapan para penguasa baru: diktator Soeharto dengan regimnya Orde Baru.
Mereka hebat dalam banyak data dan fakta tetapi masih samar- samar tentang latar belakangnya,
mereka kutip surat-surat kabar, dokumen-dokumen, tetapi belum sampai kepada apa yang tersirat
di belakangnya itu yang sebenar-benarnya. Ini bisa dimaklumi. GESTAPU adalah peristiwa
@litik yang maha besar. Dan soal politik itu tempatnya adalah di atas segala soal di dalam
masyarakat. Di antara buku-buku yang ditulis terdapat a.l.:
1. Nugroho Notosusanto Ismail Saleh.
2. B.Anderson & Ruth Mc.Vey.
3. Harold Crouch.
4. Peter Dale Scott.
5. W.F. Wertheim.
6. Van den Heuvel.
7. Manai Sophian.
8. A.C.A Dake
9. M.R. Siregar
680
10. Oel Tjoe Tat
11. dan lain-lainnya
Kita bisa terbantu pula oleh karya Goenawan Mohammad, yang berjudul: 'Bayang-bayang PKl'
yang bagi saya menarik sekali. Kompilasi dan penyimpulannya saya anggap obyektif dan benar
terhadap tanggapan herbagai pihak, termasuk para penulis yang saya sebut di atas.
Saya sendiri bukan penulis, peneliti apalagi ahli sejarah. Saya tulis buku ini sebagai seorang ex
pemuda peIopor revolusi 17 Agustus 45 yang dirampas Hak-Azasinya oleh Soeharto dan
regimnya sekarang ini, demi kepentingan negeri dan bangsaku yang kucinta, angkatan sekarang
maupun angkatan yang mendatang!. Saya tulis tanpa punya akses atas data dan dokumen, seperti
yang cukup tuntas telah disajikan oleh Ex Dubes Manai Sophian dalam bukunya Kehormatan
Bagi yang Berhak". Saya menulis sepenuhnya berdasarkan pengalaman dan kesaksian langsung
saya sendiri. Saya tulis sementara fosfor di kepalaku ini masih mau bekerja dalam umur lanjut 80
tahun ini dalam keadaan bertahan hidup sebagai refugee politik.Tidak untuk membela siapasiapa, kecuali kebenaran sejarah yang saya alami dan saya saksikan langsung dari peristiwa
GESTAPU itu.
Orang-orang nyinyir, asal saja ada daging yang bernama bibir di mulut dan lidah tidak bertulang
bilang dengan latah berkokok: Itu Peristiwa G3OS/PKI, sebab pihak penguasa negara sekarang
yang bilang begitu. Saya mengatakan secara bulat-bulat saja: Peristiwa GESTAPU atau
GESTOK, tanpa ada embel-embel. Kalau mau dibilang GESTAPU/PKI wajarnya harus dibilang
juga NEKOLIM dan oknum yang tidak benar, yaitu Letjen Soeharto cs!. Dus,
GESTAPU/PKI/Nekolim/Soeharto cs. Dengan catatan bahwa yang dimaksud PKI itu ialah
beberapa orang pimpinannya, di lain pihak oknumang tidak benar itu bukanlah seluruh anggota
AbRI, melainkan hanya Letjen Soeharto saja.
Sebab Peristiwa GESTAPU itu adalah provokasi, provokasi yang tumpang tindih yang lebih
kompleks dari peristiwa provokasi Madiun. Peristiwa GESTAPU adalah provokasi dari tiga
pihak yang bersatu pada waktu tertentu:
a.NEKOLIM
b.Pemimpin-Pemimpin PKI yang keblinger
c.Oknum-oknum yang tidak benar, yang ternyata ialah Letjen Soeharto cs.
Supaya lebih jelas perkenankan saya kutip Manai Sophian "Kehormatan Bagi yang Berhak"
halaman 172:
"Dengan memperhatikan Pidato Bung Karno di depan rapat Panglima Angkatan Darat seluruh Indonesia
28 Mei 1965, diperkuat oleh dokumen-dokumen State Department dan CIA yang diumumkan di Amerika
serta proses di pengadaan yang mengadili tokoh-tokoh G3OS/ PKI, membantu kita memahami
konstatasi Bung Karno tentang terjadinya G3OS/PKI dalam pidato "Pelengkap Nawaksara" yang
disampaikan kepada MPRS pada 10 Januari 1967 yang mengatakan bahwa berdasar penyelidikannya
yang seksama, Peristiwa G3OS/PKI itu ditimbulkan oleh pertemuannya 3 sebab:
681
1. Keblingernya pemimpin-pemimpin PKI.
2. Kelihaian subversi Nekolim
3. Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar."
Mengapa ketiga-pihak itu bertemu pada satu waktu tertentu: pada 30 September 1965? Saya
menanggapinya sebagai disebabkan oleh Tiga Faktor:
a. Tancep gas-nya gerakan NEKOLIM sesudah menggagalkan Konferensi AA-ke II di Aljazair
yang ditandai oleh Kudeta Kolonel Boumedienne terhadap Presiden Ben Bella.
b. Meningkatnya Konfrontasi Malaysia dalam suasana paranoia pro dan kontra yang melahirkan
isu "Dewan Jendral" di dalam Pimpinan PKI dan Pimpinan A.D.
c. Menyabot rencana CONEFO yang sudah ditetapkan oleh Presiden Sukarno, akan
dilangsungkan OKTOBEk 1966.
Untuk lebih jelasnya itu provokasi, yang berpangkal pada issu "Dewan Jendral", perkenankan
pula saya kutip dari bukunya M.R. Siregar "Tragedi Manusia dan Kemanusiaan" halaman 142.
Sebab kebetulan saya kenal beberapa orang yang tersangkut, umpamanya Mayor Rudhito
Kusnadi Herukusumo, Ketua CC-PNKRI (Pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia),
yang sejak semula saya sudah mulai curigai mengapa dia tidak masuk saja ke dalam salah satu
partai politik kalau betul-betul mau turut mendukung Negara Kesatuan R.I., yang memberikan
keterangan dalam "Pengadilan Untung di depan MAHMILUB II". Saya kutip: Rudhito pertama
kali mendengar adanya "Dewan Jendral" dari rekannya dari CC-PNKRI (Comite Central
Pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia), Amir Achsan.
Tetapi cerita yang paling mencemaskan adalah yang disampaikan pada tanggal 26 September
1965 di ruangan P.B.Front Nasional oleh empat orang "sipil", yaitu: Muchlis Bratanata, Nawawi
Nasution, Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatupang. Menurut keempat orang itu
diadakan rapat Dewan Jendral di gedung AHM (Akademi Hukum Militer) dan mengajak
Rhudito, dalam kedudukannya sebagai Ketua CC-PNKRI, supaya membantu pelaksanaan
rencana.
Keempat orang itu menceritakan rencana Dewan Jendral lengkap dengan cara-caranya. Pertama,
kalau toh bisa maka akan digunakan cara seperti matinya Singman Ree, Presiden Republik Korea
Selatan, dan kalau tidak berhasil akan dibuat seperti Bhao Dai dari V d|nam Selatan, kalau toh itu
masih tidak bisa akan di "Ben-Bella"-kan. Rencana lainnya dari Dewan Jendral adalah mengenai
susunan Kabinet Dewan Jendral. Ini diketahui oleh Rhudito dari catatan Muchlis Bratanata yang
ditunjukkan kepadanya. Tapi itu saja belum cukup. Supaya Rhudito benar-benar percaya,
keempat orang itu memutar rekaman dari Rapat Dewan Jendral, di mana Mayor Jendral Parman
membacakan susunan Kabinet dimaksud. Mereka yang akan duduk dalam Kabinet apabila
Kudeta Dewan Jendral itu berhasil, adalah: Jendral A.H.Nasution sebagai Perdana Menteri,
Letnan Jendral Amhad Yani sebagai Wakil Perdana Menteri I merangkap Menteri
Pertahanan/Keamanan, Letnan Jendral (tituler) Dr. Ruslan Abdul Gani sebagai Wakil Perdana
682
Menteri II merangkap Menteri Penerangan, Mayor Jendral Haryono Sebagai Menteri Luar
Negeri, Mayor Jendral Suprapto sebagai Menteri Dalami Negeri, Mayor Jendral S. Parman
sebagal Menteri Jaksa Agung, Brigadir Jendral Sutojo sebagai Menteri Kehakiman, Brigadir
Jendral Drs. Sukendro sebagai Menteri Perdagangan, Dr. Sumarno sebagai Menteri
Pembangunan, Mayor Jendral Dr. Ibnu Sutowo sebagai Menteri Pertambangan Dasar, dan
Jendral Rusli sebagai Menteri Kesejahteraan Rakyat. Menurut Rhudito berdasarkan laporan dan
rekannya Mohammad Amir Achsan, dokumen-dokumeen tersebut telah dimiliki Supardjo,
Presiden, Jaksa Agung dan KOTRAR (Komando Tertinggi Retuling Aparatur Revolusi.
Note dari saya AMH: Yang dikatakan bahwa Dokumen atau kaset itu sudah ada di tangan
Presiden, sudah dibantah oleb Bung Karno, ketika saya dan Brigjen Imam Syafi'i menghadap di
Istana Bogor. Malah justru beliau menanyakan hal itu kepada Brigjen M.I.Syafi'i.
Menarik untuk diperhatikan, sekalipiunn Soeharto adalah anggota Dewan Jeudral, namun
namanya tidak tercantum dalam susunan Kabinet Dewan Jendral. Ada udang di balik batu?
Dua butir rencana Dewan Jendral - satu tentang cara-cara menyingkirkan Sukarno dan satu lagi
mengenai susunan Kabinet Dewan Jendral, menurut sifatnya adalah rencana yang sangat peka
dan gawat yang seharusnya dengan ketat dirahasiakan. Kalau bukan untuk maksud provokasi,
mengapa rencana sepeka dan segawat itu justru sengaja dibocorkan? Bukankah CC-PNKRI yang
diketuai oleh Rhudito suatu organisasi pemuja dan pendukung Sukarno? Mungkin dua butir
rencana tersebut dibuat hanya "seolah-olah", dan bukannya sungguh -sungguh". Tapi yang
manapun gerangan yang benar, dan yang manapun yang akan menjadi kesan orang yang
mendengarnya, namun "pembocoran" dari dua butir rencana tersebut mempunyai tujuan yang
sama dan, pada kenyataannya, dengan efek yang sama: provokasi!
Petunjuk yang tak meragukan lagi mengenai maksud ini dapat ditemukan pada identitas keempat
orang"sipil" yang"membocorkan" itu dan para jendral yang berada di belakang mereka. Muchlis
Bratanata dan Nawawi Nasution (keduanya dan Partai NU), serta Sumantri Singamenggala dan
Agus Herman Simatupang (keduanya dari Partai IP-KI, partainya Jendral Nasution) adalah
penghubung langsung dari orang-orangnya Jendral S.Parman, Jendril Harjono dan Jendral
Sutojo. Berdasarkan cerita dari keempat orang "sipil" ini, tiga Jendral yang disehut di atas adalah
tokoh-tokoh puncak dari Dewan Jendral (anggota Pleno Dewan Jendral terdiri dari 40
orang.Yang aktif ada sebanvak 25 orang.
Dari yang 25 ini ada 7 yang memegang peranan penting. Mereka adalah:
1. Jendral A.H. Nasution,
2. Letjen Ahmad Yani,
3. Mayjen Suprapto,
4. Mayjen S.Parman,
5. Mayjen. Harjono,
6. Brigjen Sutojo.
7. Brigjen Drs. Sukendro.
Demikianlah saya kutip M.R. SIREGAR dari bukunya TRAGEDI MANUSIA DAN
KEMANUSIAAN.
683
Dari kutipan nama-nama saya merenungi nama seorang jendral, yang saya merasakan punya
simpati terhadap saya. Namun diri saya tersembunyi teka-teki di sudut hatiku. Beliau itu ialah
Brigjen Drs. Sukendro. Dia tinggal di Jalan Lembang di depan danau, saya di Jl. Madura 5, jadi
tidak jauh, sama-sama di daerah Menteng. Adiknya, saudara Abioso demikian pula malah
menjadi anggota PARTINDO.
Saat terakhir saya ketemu Brigjen Sukendro, ialah di hari Peristiwa bersejarah 11 Maret 1966 di
dalam Sidang Kabinet di Istana Negara. Dia duduk di belakang saya, di samping Brigjen
Achmadi. Saya kira pada umumnya, sudah mengetahui bahwa ketika sidang Kabinet sedang
berlangsung di istana itu, dikepung oleh tentara-tentara yang tidak pakai tanda-pengenal
(sebenarnya tentara RPKAD, anak- buahnya Brigjen Kemal Idris), sehingga Bung Karno,
Subandrio dan Chaerul Saleh dinasihatkan oleh Dr. J.Leimena sebaiknya segera berangkat ke
Bogor demi keselamatan. Semua yang tinggal mengira Presiden Sukarno hanya keluar ruangan
dan akan segera kembali lagi untuk meneruskan sidang, sehab tidak mengetahui apa yang telah
terjadi. Sejenak kemudian setelah Dr. Leimena menutup sidang, dengan alasan bahwa Presiden
ada urusan penting terpaksa harus pergi ke Bogor. Brigjen. Sukendro itu memegang bahu saya
seraya mengatakan dengan mimiknya yang selalu senyum itu: "Pak Hanafi, sebaiknya harus
cepat ikuti Presiden ke Bogor, ikuti dia ke mana dia pergi,jangan tinggalkan Bapak itu sendiri!"
Cepat saya timbul berbagai tanda tanya dalam kepalaku. "Apakah Sukendro itu sudah tahu apa
yang sedang terjadi dan yang akan terjadi dengan Bung Karno, apakah Subandrio dan kawan
saya Chaerul Saleh itu dianggapnya kurang cukup bisa dipercaya untuk mendampingi (untuk
membela) Bung Karno kalau terjadi apa-apa??" Namun, oke, saya terus berdiri, bergegas
mengejar Bung Karno, saya loncat menuruni tangga, terus berlari, berlari sampai terasa nafas
sengal-sengal, sampai di pintu gerbang Istana Merdeka, kulihat dengan rasa kecewa. helicopter
Bung Karno sudah start mengangkat badannya ke udara, meninggi seperti rasa kecewa saya yang
ketinggalaii di bawah sendiri dan sendirian.
Inilah salah satu bagian drama permulaan di hari 11 MARET 1966, hari bersejarah yang penting,
dan amat penting itu. Hari dimulainya penodongan langsuug kepada Bung Karno, Presiden/
Panglima Tertinggi ABRI, bukan oleh PKI AIDIT atau sebangsanya, tapi Letjen. Soeharto yang
menunggangi dua-kuda sekaligus: Dewan Jendral (dengan Trionya Yoga Sugama dan Ali
Murtopo) dan GESTAPU (dengan Trionya Syam dan Latief cs). Satu kakinya di Dewan Jendral,
satu lagi di GESTAPU uutuk mengganti R.I. Proklamasi dengan Orde Baru.
Tentang bagaimana kelanjutan penodongan tersebut yang menghasilkan SUPERSEMAR yang
disalah-gunakan oleb Soeharto, sebagai seorang yang gila kekuasaan dan gila harta, kemudian
bernafsu mau menjadi diktator seumur hidup, akan saya buka di bagian berikut ini nanti.
Sebelum sampai ke bagian tersebut, saya anggap penting diketahui tentang bagaimana Soeharto
bisa dan berhasil menunggangi GESTAPU, hingga sampai ke 30 September 1965.
Tentang Trio: Soeharto-Syam-Latief cs
684
Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. ditandatangani atas nama Bangsa Indonesia
Sukarno-Hatta, dibacakan oleh Bung Karno, dengan didampingi oleh Bung Hatta, telab
dikumandangkan ke udara dan ke seluruh Nusantara. Tanah Air Pusaka, warisan Sriwijaya,
Gajah Mada dan Brawijaya. Dari Bukit Siguntang-guntang dan dari Gunung Mahameru
(Semeru) Dewa-dewi naik ke angkasa mene- barkan harum mawar dan melati oleh sebab saking
gembira bersuka ria mengetahui bahwa keturunan Dinasti Syailendra telah berani membebaskan
dirinya sendiri dari penjajahan asing selama tiga- setengab abad.
Radio transmisi di kantor Domei di bawab pimpinan Djawoto, setiap ada kesempatan digunakan
untuk menyiarkan Proklamasi, dan Jusuf Ronodipuro begitu berani mencuri kesempatan
menggunakan radio-transmisi luar negeri Radio Hosokiuku yang masih dikuasai Jepang. Siaran
inilah yang sampai tertangkap di udara Singapura sehingga segera seperti epidemi dibawa angin
ke seluruh negeri. Seluruh dunia menjadi tahu, juga pihak kaum kolonial.
Tapi juga kaum pangrehpraja dan kaum pengikut Belanda yang terlalu banyak minum "cekokan"
kolonial pada jadi kaget dan mengejek secara sinis sekali: "Huh mana bisa Sukarno. Yang bisa
kasih merdeka itu hanya Sri Baginda Ratu, Hare Majesteit de Koningin".... Bom-bom waktu
seperti itu banyak ditanam Belanda di daerah Pekalongan, Brebes, Pemalang dan di sepanjang
pesisir Utara Jawa Tengah. Inilah pula salah satu sebabnya maka pecah apa yang disebut
"revolusi sosial" lebih dikenal sebagai Peristiwa Tiga Daerah, 1946. Apalagi di Jakarta, kota
besar Ibu kota Proklamasi. Namun para pemuda dan Rakyat yang dipelopori oleh Komite Van
Aksi yang bermarkas di Menteng 31 menginsafi benar apa arti Proklamasi 17-8-45 itu
sesungguhnya. Revolusi! Sekali Merdeka Tetap Merdeka! Itu meminta darah dan air mata.
Pengorbanan jiwa dan harta benda.
Maka bermufakatlah kami, supaya sebaiknya anak-isteri yang sudah sejak persiapan dan dimulai
revolusi tidak sempat kami perhatikan karena obsessie revolusi kemerdekaan, masing-masing
kami carikan tempat pengungsiannya. Ada yang mengusulkan supaya disatukan pada satu tempat
atau kota. Chaerul Saleh, Wikana dan Sukarni, mengusulkan di Sukabumi, agar tidak terlalu
jauh. Tapi saya mengambil cara lain. Saya ungsikan isteriku Sukendah, dengan dua bayi di
bawah umur 3 tahun, ke Jawa Tengah, ke desa Gondang di atas Blabak atau ke Jetis di lereng
Gunung Merapi. Sebab ada banyak keluarga kakeknya berdiam di sana turun-temurun. Memang
saya ini "sinting" seperti ditegor oleh mertua saya. Karena panggilan Proklamasi, sampai "segitugitunya". Sukendah, Ketua Lembaga Putri di zaman Jepang dan Ketua Putri Indonesia Muda di
zaman Belanda, sebenarnya hatinya ingin turut serta bersama dengan saya dalam perjuangan,
tapi saya mohon kepadanya berikan kesempatan pada saya, keinginan hatinya kubawa bersama
saya, tapi demi kesayangan bersama pada anak, kita bagi sementara tugas mulia kita.
Tetapi ketika di lereng Merapi di daerah Kedu berkecamuk Gerakan Herucokro (gerakan
kebatinan ciptaan Van der Plas!), masih sempat saya pindahkan keluarga saya itu ke Yogyakarta.
Gerakan Herocokro itu mengajarkan kepercayaan, bahwa semua orang yang sudah dewasa harus
dimatikan semua, karena hidupnya mengandung dosa, bahwa bayi-bayi dan anak-anak di bawah
umur saja boleh dibiarkan hidup. Gila! Nanti, katanya, Ratu-Agung akan turun ke Gunung
TIDAR untuk menyelamatkan tanah Jawa. Setelah saya laporkan gerakan Van der Plas itu
kepada Pemerintah R.I., malah Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, mengatakan bahwa
Menteri Dalam Negeri R.A.A. Wiranatakusuma mau mengangkat saya menjadi Residen Kedu.
685
Ini gila'. Menandakan bahwa Kabinet Pertama R.I. itu belum siap dengan konsepsi Pemerintah
Dalam Negeri di dalam pergolakan menegakkan Proklamasi. Tentu saja saya yang keberatan,
sebab itu bukan bidang perjuangan saya. Apalagi bahasa Jawa saya, amat memalukan!
Nah,di Yogya inilah saya mengenali beberapa ex Pemuda Pathok, yang markasnya tadinya
berada di Jl. Pakuningratan arah ke Jalan Tugu Lor. Di sana masih berdiam saudara Sulistio
bersaudara (adiknya Dr. Sulianti dan Sulendro Sulaiman, semua pangkal namanya pakai
"Su").Arah ke rumah saya Pakuningratan no. 60 ada rumah saudara Sumantoro Tirtonegoro
(biasa kami panggil Mas Mantoro Waterleiding!). Dia inilah yang mengenalkan saya kepada
saudara Sundjojo, Ketua Pathok yang aktif di sekitar hari-hari Proklamasi. Pemuda Pathok
adalah hasil kaderisasi saudara Djohan Sjahruzah yang sudah saya kenal. Dan para Pemuda
Pathok inilah yang memprakarsai agar Sri Sultan Hamengku Buwono dan anggota BKR yang
bernama Soeharto berdiplomasi dengan Militer Jepang di Markasnya di Kota Baru secara damai
menyerahkan senjata-senjata kepada Sri Sultan, demi keamanan. Dan dari saudara Sumantoro
Tirtonegoro ini juga saya pertama kali mendengar sebuah nama Pemuda Pathok: Syamsul Qamar
Mubaidah (yang di zaman Peristiwa GESTAPU, berubah sedikit namanya menjadi Syam
Kamaruzaman Bin Mubaidah).
Jadi, bisa disimipulkan Syam Kamaruzaman itu sudah mengenal Letjen Soeharto, sejak dari
zaman "penyerbuan" Markas Jepang pada hari-hari permulaan Revolusi di Yogyakarta. Ketika
saudara Mantoro Waterleiding itu bicara dengan saya itu, Syam sudah tidak berada di Yogya
lagi, tapi bergabung dengan AMKRI yang diketuai oleh saudara Ibnu Parna di Semarang, dan
kabarnya bersama Ibnu Parna turut mengorganisasi Penyerbuan Kidobutai di Semarang.
Kemudian jadi "informan-rahasia" dari Komisaris Polisi Mudigdo di Pekalongan. Komisaris
Polisi Mudigdo ini (masih punya hubungan Famili dengan Mukarto Notowidigdo). Dia di masa
Provokasi Madiun mati ditembak tentara di Pati, oleh sebab ternyata bersimpati kepada Amir
Syarifuddin. Anak Komisaris Mudigdo itu, Dr. Sutanti biasa dipanggil 'Bolle", kemudian kawin
dengan D.N. Aidit. Dari riwayat ini agaknya mulai ada hubungan Syam dengan Aidit sampai ke
Peristiwa GESTAPU. Tapi kabarnya D.N. Aidit baru mengenal Syam di Jakarta di tahun l95Oan diTanjung Priok. Mengenai hal "cerita" di Tanjung Priok ini akan saya singgung lagi
kemudian.
Saya sendiri mengenal langsung Syam Kamaruzaman Bin Mubaidah itu, barulah secara
kebetulan di dalam penutupan Konferensi PESINDO di Solo, di akhir tahun 1946. Sebab
sepanjang saya tahu, dia tidak ada fungsi apa-apa dalam PESINDO. Pada suatu malam setelah
sidang selesai di malam itu (untuk diteruskani lagi besok hari), saya dan Wikana sedang duduk
ngobrol ngopi dengan Fatkur, Tjugito, Krisubanu dan Ibnu Parna. Tiba-tiba datang dua orang
menghampiri menyalami Wikana. Siapalah yang tidak kenal Wikana, selain Pemuda MENTENG
31, menjabat Menteri Negara dan menjabat Wakil Ketua PESINDO, di samping Krisubanu,
Ketua Umum. Wikana mengenalkan pada saya dua orang itu: Syamsul Qamar, pemuda LaskarPAI (Partai Arab Indonesia) asal Pekalongan, dan seorang lagi Polisi Sudjono Jemblung, asal
Jawa Tiniur.
"Syamsul Qamar boleh, Syam Kamaruzaman boleb juga, asal ada Syam-nya tapi yang penting
pula bin Mubaidah," berseloroh Syam itu sambil ketawa mengoreksi Wikana.
686
Syam perawakannya sedang, kulitnya tidak putih bersih seperti beberapa keturunan Arab,
anggota Laskar PAI yang saya pernah kenal di Jakarta. Kulitnya agak kehitam-hitaman dan pakai
kumis sedikit. Saudara Fatkur mengatakan kedua orang itu adalah polisi. Syam itu dikatakannya
adalah "restan" Peristiwa Tiga Daerah. Entah Fatkur itu berseloroh saja, ataukah betul saya tidak
ada kesempatan untuk berkenalan lebih panjang. Kedua orang itu kemudian diajak Fatkur pergi.
Yang kedua kalinya saya ketemu pada Syam itu, kebetulan lagi juga di gedung PESINDO Pusat
di Solo itu juga, pada akhir Juli 1948 sebelum terjadi Peristiwa Provokasi Madiun. Barangkali
dia datang untuk menyaksikan apakah PESINDO Pusat itu masih ada? Sebab pernah gedung
PESINDO itu diduduki oleh Tentara Siliwangi. ketika keadaan di Solo sangat kacau dekat
sebelum kejadian Peristiwa Madiun tersebut.
"Mau apa lagi itu Arab, itu mata-mata polisi Komisaris Mudigdo datang ke mari", ucap saya
sebel pada Krisubanu. "Saya juga tidak kepadanya. barangkali dia mau menyaksikan kekalahan
kita, tapi Fatkur yang mengurusi dia itu" kata Krisubanu. Itu kali Syam melaporkan tentang
Konferensi Rahasia Sarangan, 21 Juli 1948, antara pihak Amerika (Gerald Hopkins dan Merle
Cochran) dan dari pihak Indonesia Sukarno-Hatta-Sukiman- Moh.Natsir-Moh.Rum dan
Sukamto. Tetapi Bung Karno pulang duluan, tidak menunggu sampai selesai begitulah dia
melapor.
Bahwa infonya Syam itu begitu penting mengenai Red Drive Pro o*me ba¢o*memud©an kami
menginsafinya, setelah kejadian Provokasi Madiun. Dan bagaimana Syam bis atahu itu
Konferensi Rahasia Sarangan kalau tidak punya jalur hubungandengan kalangan PSI? O,
sebenarnya saya sudah dengar berita begitu dan akhirnya begitu banyak sudah orang-orang
PESINDO yang menjadi korban dalam Peristiwa Provokasi Madiun itu. Seperti Kolonel Dahlan,
suaminya Maasje Siwi anggota Dewan Penerangan PESINDO di mana saya menjabat sebagai
Ketua. Dan lain-lain lagi. Sebenarnya mengenai saya, saya sudah lama ex-officio dan kedudukan
saya sebagai Ketua Dewan Penerangan PESINDO, sejak kesibukan saya di Kementerian
Pertahanan sebagai Opsir Staf PEPOLIT. Dan jabatan saya sebagai Komandan Laskar PESINDO
Jawa Barat, sudah saya letakkan pada pertengahan Juli 1949 dan saya percayakan kepada
saudara Wahidin Nasution dari Laskarr Rakyat Jakarta Raya.
Sesudah dua kali saya ketemu, melihatnya bermuka-muka, itu informan, atau polisi mata-matagelap dari Komisaris Mudigdo, ex Pemuda Pathok, yang orang kata kadernya Djohan Sjahruzah
yang saya sangsikan pantasnya disebut kader, tapi sebetulnya seorang insan yang memberi kesan
seorang pengabdi perjuangan, tapi hanya seorang avonturir yang berpretensi bisa tahu semua,
tapi akhirnya mendorong R.I. terjerembab ke bawah sepatu seorang diktator.
Dua kali saya bertemu dengannya seperti tersebut di atas, tapi lama sekali kemudian saya melihat
sekali lagi, yang terakhir, di tahun 1963, sebelum saya berangkat ke Kuha.
Dari 11 orang Pemuda Pelopor Proklamasi dari MENTENG 31, hanya saya sendiri yang
beruntung menyaksikan peristiwa Penyerahan Kedaulatan R.I., di mana dokumen serah-terima
itu ditandatangani oleh Komisaris Lovink atas nama Kerajaan Belanda dan Sri Sultan Hamengku
Buwono ke IX atas nama Republik Indonesia, di Istana Merdeka, 27 Desember 1949. Saudara
Wikana masib menghilang, akibat Provokasi Madiun, sedangkan Chaerul Saleh dengan Pasukan
687
Bambu Runcingnya berada di Jampang Kulon (Banten), konsekwen menentang K.M.B. Sukarni
saya tak tahu ada di mana, Adam Malik anggota DPR, tapi ogah-ogahan, Pandu kerja di
ANTARA.
Saya pun menyaksikan peristiwa sejarah itu dengan perasaan kecewa pula, tapi saya menyadari
sebab kami Pemuda Radikal itu tak berdaya apa-apa lagi. Maka itu, saya membangun Organisasi
Angkatan 45 di tahun l953.
Dengan hasil KMB itu kita harus membayar "retribusi" milyunan dollar, begitupun semua biaya
pendudukan dan penyerbuan NICA ditimpakan kepada R.I. yang harus dibayar, dan lain-lain pil
pahit. Semua itu terpaksa kita telan, demi bisa memiliki Republik Proklamasi, dengan
Presidennya Bung Karno dan Wapresnya Bung Hatta.
Tapi rasa sakit di hati itu bisa dilembutkan, ketika menyaksikan lautan gelombang massa yang
menyambut kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta sejak dari lapangan terbang Kemayoran
sampai ke Istana Merdeka. Itu saya sempat menyaksikan, dengan perasaan "masih beruntung
Republik ini tidak tenggelam". Sekarang teruskan saja berdayung dengan segala daya dan cara,
dengan segala piranti yang ada pada kita ke arah pulau tujuan: negeri adil sejahtera bagi seluruh
rakyatnya, ber-Pancasila.
Bulan Februari 1950, saya boyong keluarga kembali ke Jakarta. Naik kereta api dari stasiun
Tugu via Magelang dan Semarang, sambil membawa segala suka-duka pengalaman perjuangan
menegakkan Republik yang takkan cukup waktu untuk diceritakan sampai nafas terakhir
sekalipun.
Kalau saya pikir-pikir,Jakarta dan Yogyakarta adalah dua muka dari satu mataa-wang
Proklamasi 17 Agustus l945. Tergantung di tangan siapa dan untuk apa digunakannya.
Sukarno dan Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX telah menempa kekuatan persatuan nasional
sedemikian rupa sehingga berhasil mencapai pengakuan internasional terhadap negara Republik
In- donesia di atas nyala api Proklamasi 17 Agustus 45. Sukarno berperan di bidang nasional
seluruh Nusantara. Hamengkubuwono dengan mempertaruhkan tanah pusaka warisan Kerajaan
Mataram dan akhirnya memimpin perjuangan di bawab tanah, menyatukan semua kekuatan
tenaga pejuang, baik yang Merah, yang Hijau maupun yang Kuning, untuk meledakkan 'bomwaktu' penyerbuan terhadap pendudukan Belanda 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Dialah orang dan
pahlawan sebenarnya penyerbuan 1 Maret 1949 di Yogya itu. Bukan Kolonel Soeharto! Kapten
Latief dengan pasukannya tidak akan berani jibaku, kalau tidak ada kekuatan yang sudah siap
menunggu, dan pasukan Pramudjilah yang memberikan sinyal kepadanya di Godean untuk mulai
bergerak. Itu saya tahu. Sejarah yang benar harus dibuka, jangan diselimuti oleh kepentingan
politik pribadi yang berbau duit dan harta itu.
Setelah Wikana sudah berani muncul kembali, sesudah D.N.Aidit mengadakan pembelaannya
mengenai Provokasi Madiun di muka Pengadilan yang diketuai Jaksa Dali Mutiara, 2 Februari
1955, saya berkesempatan lagi jumpa lagi dengan Wikana. Dalam suatu percakapan secara iseng
saya tanyakan, apakah dia masih ingat akan Syam Kamaruzaman, yang dia pernah kenalkan
688
kepada sava di konferensi PESINNDO dahulu itu, apa dan di mana kerjanya sekarang? Tapi
lebih dulu siapa Wikana ini.
Wikana ini adalah tokoh PKI-illegal sejak zaman Belanda dan di zaman Jepang yang punya
sikap menentang Sukarno dan siapa saja yang sedia kerjasama dengan Jepang. Dr Adnan Kapau
Gani Ketua P.B.GERINDO memberhentikannya dari Ketua Barisan Pemuda GERINDO di tahun
1939, lalu menunjuk saya A.M.Hanafi sebagai Sekretaris Jendral Barisan Pemuda GERINDO,
administratif langsung di bawah Pengurus Besar GERINDO. Setelah Bung Karno kembali ke
Jawa dari pembuangan inginnya Wikana, Bung Karno gabung 'ke bawah tanah" berjuang illegal
bersama rakyat menentang pendudukan militer Fasis Jepang. Rupanya ada pengaruh pikiran
Amir Sjarifuddin padanya.
Tentu saja pikiran Wikana itu ditentang oleh Bung Karno. Bagaimana mungkin menjadikan
singa podium menjadi tikus mencicit-cicit di bawah tanah. Buug Karno sudah waspada bahwa
kaum komunis, dengan tidak menyebut Wikana, menghendaki dia jadi seperti itu. Saya dipanggil
di kediamannya si Oranje Boulevard no.11 (abang saya Asmara Hadi yang sudah kawin dengan
puteri angkatnya Ratna Djuami juga tinggal di situ). Satu malam penuh saya dikursus, di mana
links radikalisme komunis Wikana itu dicabuti bulu-bulunya habis-habisan. Karena tidak ada
orang lain yang bisa disuruhnya untuk meyakini kebenaran politik dan siasatnya "menunggangi
kuda-kesempatan" untuk mencapai kemerdekaan melalui masa pendudukan Jepang itu, maka
sayalah yang ditugasi untuk menyampaikan pandangan politik dan siasatnya kepada kaum
komunis via Wikana.
Singkatnya kaum komunis jangan menyabotnya! Bung Karno sudah mengetahui sejak masih di
Bengkulu, bahwa Wikana itu "jago" komunis di bawah tanah karena diberi tahu oleh utusan
Wikana yaitu saudara Ismail Wijaya. Beliau juga memberikan sokongan untuk disampaikan
kepada Wikana sebanyak 75 gulden. Maka, dari peristiwa inilah orang-orang komunis kemudian
menyalah gunakan nama saya dan Bung Karno. Kasarnya mencatut nama saya dan Bung Karno
dan menganggap saya orang komunis. Hal-hal ini wajib saya uraikan, sebab saudara Sukisman
suami Umi Sardjono menulis sebuah brosur yang tidak tepat mengenai saya. Tidak tepat isinya
maupun waktu dikeluarkannya.
Seorang Sukarnois harus bisa berhubungan dengan segala golongan tanpa pilih-pilih aliran
partai, nasionalis, agama, ataukah marxis demi kepentingan strategi perjuangan sesuai dengan
garis politik Bung Karno sebagai pemimpin nasional. Bung Karno rupa- rupanya dilahirkan
Tuhan ke dunia untuk memenuhi sejarah hidupnya, dan dia punya panggilan untuk menjadi
Bapak Nasion, El Padre y el Libertador de la nacion Indonesia, yang seyogyanya sesuai dengan
budi-daya atau kebudayaan manusia Indonesia harus dijunjung selama hidupnya dan sampai
wafatnya! Dengan segala hormat kepada beliau, di dalam hatiku berkata-kata, dia bukanlah
orang seperti Lenin atau Mao. Karena itu saya tidak heran ketika B.M. Diah atas nama BPI
(kebetulan saya hadir) mengusulkan supaya Bung Karno langsung memimpin PNI, beliau
menolak. Panggilan hidupnya memimpin partai sudah masa lampau. Untuk itu mesti ada satu
Partai Pelopor yang sesuai dengan harapannya dan punya kemampuan di zaman Indonesia
Merdeka. Itulah yang justru tidak ada.
689
PKI yang bisa menampung sebagian dari harapannya menjunjung cita-cita rakyat marhaen,
berani turun ke bawah dan bersatu dengan rakyat marhaen. Tetapi kita tahu, PKI di samping
berpenyakit kekiri-kirian, punya cacat (menurut Bung Karno) obsessi perjuangan klas.
Sebaliknya Bung Karno berjiwa-seniman yang punya obsesi persatuan dan kesatuan Indonesia.
Alle familieleden aan de eettafel en aan de werk tafel, yang sebenarnya tidak bisa diciptakan di
atas sebuah kanvas warisan 3,5 abad kolonialisme, yang sudah sobek-sobek pula. PNI yang
tadinya sangat diharapkannya untuk jadi Partal Pelopor ternyata sudah kejangkitan penyakit
arrive. Maka dilahirkannya kembali PARTINDO yang sebenarnya lahir terlambat, sebab
sebahagian besar massa marhaen sudah kesabet slogan- kerakyatan dari PKI. Salah siapa?
Kekecewaan Bung Karno itulah akibat penyakit arrive PNI. Sebenarnya tidak ada yang salah.
Proses perkembangan sosial masyarakat memang begitu. Semuanya hal ihwal berputar pada
sumbu-pusarnya kerezekian, kebutuhan hidup. Saya dihadapkan pada masaalah itulah, ketika
saya disuruh oleh Bung Karno turut PARTINDO itu sebagai Wakil-Ketua. Sedangkan saya ingin
berkiprah menjadikan Angkatan 45 sebagai katalisator atau "bumper" sekalipun untuk
menghindarkan tabrakan rebutan rezeki dan posisi di masyarakat agar semua keluarga bangsa
rukun di belakang Bung Karno. Tapi itu pun rupanya satu cita-cita yang terlalu lugu!
Sekarang ini bulan Agustus 1997. Saya tidak mau hitung lagi berapa lama saya sekeluarga
berada dalam pembuangan di luar negeri. Dan itu bangsaku yang turut kuangkat dan kujunjung
kini berpesta pora dengan gercing dollar dalam keadaan lupa-daratan, bahwa di dalam dunia ini
tak ada yang kekal abadi. Vandaag is toch geen morgen, morgen komt wel terech. Yang penting
urus hari ini, urusan besok - besok lagi pikirkan dan selesaikan.
Namun saya yakin, yakin betul, bahwa tidak semua insan bangsa ini yang lupa daratan seperti
bangsa Sodom dan Gomora yang laknat dan terkutuk, karena itu dihancurkan Tuhan. Walaupun
sebagian dari bangsa Indonesia ini sementara bisa hidup senang dan merasa terima kasih pada
Soeharto dan Orde Baru, mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa Soeharto itulah
jagonya GESTAPU. Mereka menjadi kaum profiteur yang harus dihentikan dari sikapnya yang
berbohong pada diri sendiri dan menipu pada bangsanya.
Pada bagian terdahulu, tentang bagaimana Soeharto menunggangi Dewan Jendral, telah saya
uraikan bagaimana team Soeharto-Yoga Sugama-Ali Murtopo menyabot"Konfrontasi Malaysia".
Maka para peneliti sejarah sudah bisa menunjukkan bagaimana team tersebut bekerja sama
dengan Inggris dan Amerika untuk menjatuhkan Presiden Sukarno. Dokumen Provokasi
Gilchrist mencapai hasil tujuannya. Menlu Subandrio dipandang "berjasa" menelan mentahmentah provokasi yang disuguhkan para NEKOLIM itu, sehingga dia mengambil Ali Murtopo
menjadi tangan-kanannya di dalam BPI (Biro Pusat Intelijen yang diketuai oleh Menlu
Subandrio).
Bersamaan denganTeam de drie musketier tersebut dikerjakan pula Team-nya yang lain secara
full speed yang terdiri dari: Letjen. Soeharto-Suwarto (SESKOAD)-Amir Machmud-Basuki
Rachmat- Andi Jusuf dan lain-lain jendral lagi. ltulah de club van vijf dari Soeharto yang menarinari di atas bangkainya korban GESTAPU sesuai dengan manipulasi kotor dan tak bermoral dari
Soeharto dan Suwarto (SESKOAD) untuk merampungkan secara tuntas rencana kudeta,
mengganti Presiden Sukarno dengan Soeharto. Dan Jendral Nas? Ah, dia hanya figur tragis,
sebagai wayang di tangan dalang Ki Soeharto.
690
Dengan uraian di atas, saya telah tunjuk-hidung siapa dalang "DewanJendral" dan GESTAPU
sekaligus. Selanjutnya dengan cara merayap laksana ular yang kelaparan sambil mendesiskan
kata-kata "Presiden Sukarno/Panglima Tertinggi yang tercinta dan yang kita hormati"
diterkamlah Presiden Sukarno itu menjadi mangsanya melalui secarik kertas Surat Perintah 1
Maret 1 966 yang dikenalkan sebagai SUPERSEMAR. Presiden Sukarno dijatuhkan mencium
debu melalui Surat Perintah yang dia tanda tangani sendiri sebagai Presiden/Panglima Tertinggi
ABRI. Masya Allah! Bukan main, alangkah "hebatnya" Jendral Soeharto ini.Tunggu dulu! Kerja
kudeta bukan perbuatan Soeharto secara magic, secara ahli-sulap sim-salabim dalam satu hari,
No!. Melainkan sejak Peristiwa 3 Juli di Yogya, sejak barter-Semarang sampai dia dicopot dari
kedudukannya Panglima Divisi Diponegoro, sampai "distrap" dimasukkan ke SESKOAD, lalu
kontak-komplotan dengan Kolonel Suwarto Direktur SESKOAD sebenarnya agen CIA (di mana
Syam Kamaruzaman sudah lama menjadi "informan" di SESKOAD itu). "Hebatnya" Soeharto
itu selaku abdi NEKOLIM! Kalau Jendral Yani tidak bakal mungkin mau begitu. Maka itu
Jendral Yani dihabisi oleh orangnya Soeharto sendiri (GEST PU). Yang sebenarnya hebat itu,
ialah Gilchrist dan Marshall Green, di mana Menlu Dr. Subandrio turut salah-main, sebentar
center-kiri, sebentar center- kanan, akhirnya ditendangnya bola masuklah Marshall Green ke
dalam goal-nya sendiri. Ya, toh? Tadinya Bung Karno sudah tidak mau politik konfrontasi,
Subandrio mendesak. Sebagai diplomat kaliber tinggi, dia pikir sebaiknya lebih baik insiden
diplomatik dari pada insiden fisik di dalam negeri. Masih bisa menang waktu rundingan dengan
Washington. Sama Marshall Green tidak ada yang bisa dirunding, sebagai pejabat tinggi hanya
melakukan tugas. Dan tugasnya ialah menjatuhkan Sukarno sekaligus dengan PKI. Amerika
tidak menghendaki adanya komunis di Asia Tenggara. Ini jelas.
Di atas saya telah menyinggung sambil lalu tentang Syam Kamaruzaman. Sekarang akan saya
bereskan keterangan saya mengenai dia itu sampai selesai bagaimana dia sampai jadi informan
Kolonel Suwarto di SESKOAD di Bandung, akhirnyi kecantol pada Kolonel Soeharto di tahun
1959.
Di zaman Jepang dia kerja jadi polisi mata-mata di bawah Kornisaris Polisi Mudigdo di
Pekalongan (yang kemudian jadi mertua D.N.Aidit). Ini keterangan Fatkur dari Biro Khusus
Dewan Pimpinan Pusat PESINDO. Tapi sebelum sampai di Semarang ketemu dengan Kompol
Mudigdo, dia adalah salah seorang Pemuda Pathok di Yogyakarta dan termasuk dalam barisan
kadernya Djohan Sjahruzah.
Kalau di Jakarta yang jadi central aktivis pemuda ialah NIENTENG 31, maka di Yogyakarta
yang bangun memelopori aktivitas revolusioner dikenal kemudian ialah Pemuda Pathok ini. Atas
desakan pemuda-pemuda yang dipelopori pemuda Pathok ini Sri Sultan Hamengkubuwono dan
anggota BKR Soeharto didesak merebut senjata Jepang di Kota Baru. Dapat disimpulkan dari
masa itulah kontak pertama Sjam Kamaruzaman dengan Soeharto. Ini sesuai dengan keterangan
Sumantoro Tirtonegoro tetangga saya di Pakuningratan. Ia di zaman Belanda anggota PNIPendidikan (Hatta- Sjahrir).
Di zaman mulainya revolusi bersenjata, Syam bergabung dengan pemuda di Semarang di bawah
pimpinan Ibnu Parna (kemudian menjadi AKOMA). Kemudian Syam turut dalam apa yang
disebut "revolusi sosial" di Peristiwa Tiga Daerah (Brebes-Tegal-Pemalang) yang pada mulanya
dalam prinsip disetujui oleh Bung Sjahrir, tetapi kemudian setelah ia menjadi Perdana Menteri
691
terpaksa distop sebab tidak terkendalikan lagi. Seorang di antara tokoh pimpinan Peristiwa Tiga
Daerah ini bernama Widarta, seorang komunis, dihukumn mati oleh PKI sendiri atas desakan
Menteri Amir Sjarifuddin. (Baca Anton Lucas, Peristiwa Tiga Daerah). Syam Kamaruzaman lari
ke Pekalongan; di sini ia kembali menjadi polisi mata-mata (Informan) dari Komisaris Polisi
Mudigdo yang Amir-minded. Oleh sebab itu dalam peristiwa Provokasi Madiun dia di tembak
mati oleh tentara di Pati.
Selama Peristiwa Madiun tersebut Syam menghilang, tidak ada yang tahu dia ada di mana. Juga
saya tidak pernah dengar dia ada di mana selama Perang Kolonial ke II ketika Yogyakarta, Ibu
Kota R.I. diduduki NICA (Tentara Belanda).
Ketika saya ketemu dengan Wikana, di tahun 1955, ketika saya aktif memimpin Kongres Rakyat
untuk Pembebasan Irian Barat dia menceritakan babwa Syam Kamaruzaman itu selama Peristiwa
Madiun lari menyelundup ke Jakarta dan bersembunyi di Tanjung Priok. Di sana ditemukan oleh
saudara Mr. Hadiono Kusumo Utoyo yang seperti Syam cenderung kepada Sjahrir, tapi banyak
hubungan dengan orang-orangnya Amir Sjarifuddin (PKI).
Hadiono menganjurkan Syam sebaiknya mendirikan organisasi Serikat Buruh. Maka berdirilah
SBKP (Serikat Burub Kapal dan Pelabuhan). Mr. Hadiono Kusumo Utoyo ini asal dari anggota
P.I. Belanda, dia hanya menganjurkan saja. Pimpinan SBKP itu terdiri dari Syam sebagai Ketua.
Lainnya Munir, Hartojo. Sudio (guru Taman Siswa Ki Mohamad Said di Kemayoran).
Mulai dari sejarah SBKP inilah, D.N.Aidit dan Lukman tahun 1950 mulai kenal dengan Syam
Kamaruzaman . Sebab sebeIumnya Aidit dan Syam tidak pernah kenal ketika masih di
pedalaman R.I.
Sejak Peristiwa Madiun dan PKI babak belur, Aidit dan Lukman menyelamatkan diri ke Jakarta.
Di sana oleh Munir yang memang sudah dikenal Aidit, di masa Munir mengorganisasi supir
becak di Jakarta di hari-hari Proklarnasi, Adit bersembunyi bersama Syam dan Munir di Tanjung
Priok; kemudian pindah bersembunyi di rumahnya saudara Husein (ex-Ketua B.P. GERINDO
cabang Sawah Besar). Ini diceritakan Husein langsung kepada saya yang tetap bersimpati kepada
saya sebagai ex-sekjen B.P. GERINDO.
Sehubungan dengan hal ini penting saya menunjuk pada "isapan jempol" Sugiarso Surojo "Siapa
menabur angin ..." halaman 230, yang menyebut Aidit ke Peking 1950, tentang Tanti dokter
keluaran Moskow, dan tentang Dokter Mudigdo, tentang D.N.Aidit, semua itu isapan jempol
komunisto-phobi Sugiarso Surojo.
Ketika saya tanya kepada Husein "apa betul Aidit dan Lukman sempat pergi ke Vietnam dan
ketemu dengan Ho Chi Minh dan ke Tiongkok ketemu Mao, seperti desas-desus yang saya
dengar?" Husein senyum-senyum saja. Dia tidak bisa dan tidak berani bohong pada saya. Maka
mulai dari masa itulah saya mulai bertambah khawatir terhadap Aidit. Apalagi kemudian saya
ketahui dia jadi ketua PKI. Saya jadi tambah khawatir. Qua intelek dia oke, sebab rajin baca, tapi
pengalaman politik kurang sekali, pengalaman revolusi bersenjata tak ada sama sekali (waktu
pertempuran bergolak di Jakarta dan di Krawang-Bekasi, waktunya habis terbuang dalam
692
tahanan Belanda di pulau Onrust. Ketika keluar dari Onrust tahun 1947 dia cari saya di
Pakuningratan-Yogyakarta. Dia datang pamit mau masuk PKI.
Saya bilang: "Jangan, saya sendiri, terus terang tidak berani, menurut saya orang yang masuk
PKI orang yang tidak akan kehilangan apa-apa dan tidak akan mendapat apa-apa, kecuali
memberi, sekali lagi memberi kepada orang lain, kepada Rakyat. Turut saja sama saya ke Front
Krawang!" Dia minta waktu pikir-pikir. Aidit sejak zaman Belanda dan zaman Jepang di Barisan
Pemuda GERINDO dan MENTENG 31 selalu turut sama saya, di masa permulaan zaman
Jepang di mana kehidupan rakyat mulai jadi tambah sulit, saya dan Pardjono angkat dia dari itu
"bedeng-liar" di daerah Pasar Senen, kerja-upahan sama Si Ali- Padang menjahitkan pakaian tua,
pantalon satu bisa dijadikan dua celana-pendek dan sebagainya. Saya masukkan dia ke
MENTENG 31, Asrama Angkatan Baru Indonesia bersama Pardjono dan lain- lain, untuk
menjadi Pejuang Kemerdekaan yang tangguh. Dia memang betul jadi seorang pejuang betulbetul, tapi sejak dari mudanya wataknya suka keblacut karena semangat petualangannya dan
ambisius. Saya ceritakan ini bersih dari penghinaan atau sanjungan, melainkan dengan rasa
persaudaraan yang sewajarnya saja. Oleh sebab itulah saya tidak merasa segan untuk selalu
menasihatinya, bahkan memarahinya kalau caranya saya pandang agak keterlaluan. Tetapi,
sesudah dia menjadi Ketua PKI, saya tahu membatasi diri saya, dan diapun menjadi jarang
ketemu saya lagi.
Pernah dia mengatakan, "orang bilang Bung itu orang burjuis". Sebenarnya dia menyindir.Tapi
saya tidak merasa maju atau mundur dengan sindiran demikian.
Oleh karena itu saya tidak heran kalau orang bilang Aidit itu berspekulasi politik dengan Syamn
Kamaruzaman, mulainya dari persembunyiannya di Tanjung Priok dalam SBKP yang diketuai
oleh Syam di tahun 1948 itu. Menurut Sudio, sejak ketika razia Agustus 1951, Syam menghilang
tidak ada yang tahu ke mana dia pergi.
Tapi apa itu razia Agustus? Itu zaman Dr. Sukiman, Perdana Menteri. Katanya Kantor Polisi
Tanjung kena serbu orang-orang PKI, buktinya ada ditemui bendera palu arit. Setelah dibuktikan
bendera itu bukan palu arit PKI, sebab letak palu arit itu terbalik, jadi bendera itu palsu.
Mestinya palunya di kanan dan aritnya di kiri. PKI sejarah romantiknya ialah tidak berhenti kena
Provokasi, mulai Madiun, ketika itu Tanjung Priok, dan akhirnya yang ketiga dengan adanya
Peristiwa GESTAPU, di mana Aidit dan Syam terpancing oleh "isu Dewan Jendral" dengan
bersemangat individual bergerak "daripada didahului lebih baik mendahului". Di situlah apesnya.
Aidit jalan "keluar-rel", mesti saja terbalik kereta api PKI. Artinya hanya pinter- pinteran
persekongkolan berdua-duaan dengan Syam yang sebenarnya agen-informan tiga-rangkap: PSITentara-Aidit. Dus, Aidit secara pribadi, bukan PKI'. Kalau Syam sungguh- sungguh komunis
mengapa urusan kudeta ditangani sendirian tidak oleh Partai, PKI. Ini logika yang sederhana
saja. Kalau urusan kudeta dihadapkan pada Partai, maka cara Aidit/Syam menghadapi "isu
Dewan Jendral" itu, saya kira akan lebih banyak yang tidak setuju daripada yang acc. Lagi ini
logika yang sederhana, demokratik saja.
Itulah kenapa saya sebut "keluar-rel". Tapi buat apa lagi analisa ini. Tidak ada gunanya lagi
sebab PKI sudah dilibas habis oleh Soeharto masuk ke alam neraka yang tersiksa menebus
693
kesalahan ... yang bukan kesalahannya. Sebab Soeharto: Himmler-nya GESTAPU- Mbah
Provokasi.
Saya tidak akan nenjelaskan lagi. Biarlah para para penulis roman, cerpen, politisi, peneliti
sejarah mengadakan riset dan menggunakan daya imaginasi mereka, fantasi rasa demokrasi dan
kepekaan manusiawinya bekerja, supaya dunia yang bundar ini bisa berputar pada sumbunya
dengan kedamaian.
Masa'le ... semua kang-mas dan diajeng di Indonesia mau disulap oleh Soeharto menjadi penjilat
semua?
Kita kembali pada Syam Kamaruzaman. Sesudah razia Agustus di mana SBKP jadi sasaran di
tahun 1951. Syam lari menghilang akhirnya diketemukan sudah menjadi "tentara" katanya,
menjadi informan" SESKOAD, katanya orang lagi, berpangkat mayor. Ini ceritanya Wikana.
"Katanya", atau "kata orang", itulah karena tidak ada orang tahu kepastiannya. Tapi kemudian,
lama-kelamaan, bahwa kepergiannya Syam ke Bandung itu atas kemauannya, inisiatipnya, tapi
dengan persetujuan Aidit Ketua PKI. oleh sebab dia (Syam) mengatakan bisa ber-camuflage
berlindung menjadi informan" pada tentara. Kepada siapa dia berhubungan dengan Tentara yang
dikatakannya itu tidak jelas, barulah kemudian, setelah kolonel Suwarto pulang dari Amerika
membawa konsepsi membangun SESKOAD, Syam Kamaruzaman dengan sendirinya
menginsafi bahwa dirinya atau missinya sebagai "informan" rangkap itu, mempunyai arti yang
bertambah penting, berdiri kuat di antara dua rival : Tentara versus PKI. Sesudah PKI:
PERMESTA berantakan dipukul oleh tentara di bawah pimpinan Jendral Yani, kolonel Suwarto
sebagai Direktur SESKOAD Me-refomasi konsepsinya yang sesuai dengan garis kepentingan
CIA untuk menghancurkan Sukarno dan PKI (komunis). Dengan kedatangan Soeharto ke
SESKOAD sebagai "setrapan" dan Jendral Nas karena barter Semarang dan karena pembakaran
"Gedung Papak" yang menggegerkan itu, kolonel Suwarto menemukan diri kolonel Soeharto itu
satu kecocokan untuk dijadikan "ujung tombak" untuk digunakan kepada sasarannya. Salah satu
sebab tentulah berdasar kekecewaan dan kejengkelan Soeharto dicopot dari kedudukannya
sebagai Panglima Divisi Diponegoro yang telah dibangunnya dengan dua anggota trionya: Yoga
Sugama dan Ali Murtopo dan tentulah juga karena ambisinya setelah Suwarto sendiri kontak
dengan Guy Pauker di Amerika (baca Peter Dale Scott).
Tampaklah jelas aktor-aktor utama di belakang layar GESTAPO dan Dewan Jendral yaitu:
Soeharto-Suwarto-Syam Kamruzaman. Namun, setelah layar adegan GESTAPU
diangkat/dibuka, yang tampak atau ditampakkan hanyalah Syam Kamaruzaman dengan Latief cs.
Soeharto ganti peranannya jadi "dewa Semar palsu". Jadi kerja pengkhianatan Soeharto itu
bukanlah tiba-tiba dalam satu hari, sudah jauh hari sebelumnya, bulan dan tahun sebelum
GESTAPU, jadi bukan baru dimulai tanggal 1 Oktober l965 jam 6 pagi, ketika saudara Mashuri
datang ke rumahnya memberi tahukan tentang pembunuhan jendral-jendral, seakan-akan dia
tidak tahu sebelumnya akan kejadian mengerikan itu. Itulah yang kemudian dia gunakan sebagai
"pretext" (dalih) sekaligus justifikasi untuk melibas PKI dan kemudian memenjarakan Presiden
Sukarno di rumah Ibu Dewi sampai beliau meninggal. Tapi ketika Mashuri datang ke rumahnya
itu, Soeharto sudah siap berpakaian uniform tempur. Alangkah tidak lucunya dimunculkannya
Soeharto sebagai penyelamat Pancasila sehubungan dengan Peristiwa 1 Oktober 1966 itu.
694
Sekalipun kodok-kodok yang biasa hidup di comberan, tidak akan mau "mengorek-ngorek"
begitu. Sungguh saya malu melihat ulahnya jendral bangsa saya ini.
Setelah penumpasan pemberontakan PRRI/PERMESTA di Sumatra Barat, dan ditariknya Letkol
Latief ke Jakarta menjadi Komandan Brigade Infanteri pada Kodam JAYA, Syam Kamaruzaman kerjanya bolak-balik antara Bandung-Jakarta. kemudian menetap di Jakarta setelah
jendral Soeharto diangkat menjadi Panglima KOSTRAD. Syam jadi bertambah kuat sandarannya
dalam berhubungan dengan Aidit. Selain menempatkan dirinya sebagai informan di bawah
lindungan Brigade Infanteri Kodam V Jaya (overste Latief), dia juga punya hubungan dengan
KOSTRAD (Jendral Soeharto). Dapatlah kiranya disimpulkan hahwa mulai masa itu, ditambah
lagi dengan datangnya masa "Konfrontasi Ganyang Malaysia", dan keadaan SOB oleh Tentara
dipertahankan terus, avonturisme ke arah KUDETA yang di-isukan Dewan Jendral dan di-isukan
juga oleb Biro Khusus Aidit dan Syam, sesuai dengan perkembangannya mencapai bentuk yang
lebih kongkret. Sampai bulan Apustus, Dewan Jendral dan Biro Khusus masing-masing saling
berhadapan dengan nyala api provokasinya sendiri-sendiri sampailah ke 30 September 1965, di
mana Biro Khusus (Syam Kamaruzaman dan D.N.Aidit dengan Untung dan Latief keduanya
terakhir orangnya Jendral Soeharto pula) bergerak menerjuni perangkap provokasi yang
diciptakan Suwarto (SESKOAD) dan Jendral Soeharto (baca MAHMILUB II tentang Kolonel
Latief).
Ada sedikit peristiwa lagi mengenai Syam dan Aidit yang penting saya tambahkan di sini. Ketika
saya sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan keberangkatan saya ke Kuba di bulan Desember
1963 pada suatu hari tiba-tiba datang D.N.Aidit ke rumah saya di jalan Madura No.5 dengan
seorang temannya. Aidit lebih dulu turun dari mobil segera langsung naik ke tangga. Temannya
itu menyusul dari jalan mulai masuk ke pekarangan. Setelah saya perhatikan siapa temannya itu,
dengan suara keras saya membentak Aidit: "Kenapa kau bawa itu polisi pada saya? Polisi dia itu
..." Orang itu ialah Syam Kamaruzaman yang pernah ketemu saya di Konperensi PESINDO
dahulu dan yang sudah banyak saya dengar cerita yang mencurigakan mengenai dia: Badannya
sudah agak gemukan, tidak seperti masih muda dahulu.
Mendengar bentakan keras saya kepada Aidit itu, Syam jadi kaget terus mambalikkan badan
kembali masuk ke mobil lagi tanpa mau melihat dan berkata apa-apa. Aidit pun tanpa berkata
tanpa pamit pergi menyusul Syam masuk ke mobil. Begitulah. Saya betul-betul jengkel dan tidak
mengerti apa maunya Aidit dengan orang Itu dan kenapa dia bawa orang itu mau dikenalkan
pada saya? Dia kira dia bisa bikin surprise bagi saya, sedangkan saya sudah lebih dahulu dari dia
kenal si Syam itu. Andaikata Aidit dari jauh-jauh hari mau menceritakan pada saya tentang
kontaknya pada Syam itu, sudah pasti saya mau bilang: "jauhi itu penyakit''. Tapi Aidit bukan
orang bodoh, apalagi dia Ketua PKI, buktinya dia punya kelebihan tertentu, tidak mungkin dia
tidak mengetahui siapa dan apa yang ada di belakang Si Syam itu. Barangkali dia kira dia bisa
menggunakan Syam. Bagaimana seorang Ketua Partai bisa begitu? Tidak ada yang bisa jamin
apa kerjanya Syam itu. Ideologi tidak punya. Katanya orang PSI, katanya, kenapa tidak ditelusuri
betul tidaknya, kan Aidit kenal L.M. Sitorus Sekjen PSI, dulu sama-sama anggota asrama
MENTENG 31? Kalau bagi saya jelas siapa Syam, dia itu hantu - boleh saja ketemu di jalan
tapijangan dibawa masuk ke dalam rumah.
695
Tapi seperti sudah saya katakan di muka sejak D.N.Aidit, asal nama Ahmad, oleh Pemuda
GERINDO Cabang Jakarta diganti menjadi Dipa Nusantara Aidit, menjadi orang penting, Ketua
PKI, saya membatasi diri, tahu diri, dan dia pun sudah jarang datang ketemu. Namanya
"Ahmaad" itu diganti oleh teman-temannya Barisan Pemuda GERINDO, sebab kata mereka
sudah terlalu banyak yang bernama Amat atau Ahmad di situ.
Sekarang tentang Soeharto dan Abdul Latief
Overste Soeharto kemudian naik menjadi kolonel Soeharto sejak dari zaman peristiwa Provokasi
Madiun, dikenalkan di dalam kalangan kaum kiri dan di kalangan PESINDO pada umumnya
sebagai "orang-baik - TNI yang baik", beda dari Kolonel A.H.Nasution Komandan Divisi
SILIWANGI yang menggempur PKI-Madiun dan kolonel Gatot Subroto yang tanmpa proses
pengadilan langsung tembak mati ex-Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin dengan 10 orang
pemimpin FDR di Ngalian.
Sebelum saya melanjutkan tentang mengapa ada sentimentalisme di kalangan kaum kiri dan
PESINDO terhadap Overste Soeharto, supaya tidak terlupa, saya mau tambahkan di sini satu
peristiwa yang saya alami, sebelumnya Amir Sjarifuddin dkk. ditembak mati. Abang saya,
Asmara hadi, yang tinggal di Padokan, di luar kota Yogyakarta di mana ia disuruh Bung Karno
menyelesaikan buku SARINAH sebab percaya pada kemampuannya Asmara Hadi dab style
menulisnya pun hampir sama dengan Bung Karno, datang mencari saya di Pakuningratan.
Sambil berlinang air-niata dia berkata:"Fi, kalau kau bisa, tolong selamatkan Bung Amir, tolong
dia Fi, dia bekas Ketua kita di GERINDO, ex Menteri Pertahanan dan ex Perdana Menteri.
Untuk menyelamatkan Bung Amir kau sendiri coba ketemu Bung Karno.
Saya nggak bisa , jij saja, jij bisa. Saya tidak bisa sebab hari sudah sore, saya mesti pulang ke
rumah, ke Padokan kan jauh juga". Saya tambahi: "Juga bekas Menteri Penerangan Kabinet
Pertama R.I." Sehabis sembahyang magrib saya tunggu Bung Karno keluar dari kamarnya di
Istana (diYogya). Sementara itu saya duduk dengan Bu Fat. Saya minta bicara dengan Bung
Karno sendirian, tapi Bu Fat (yang biasa saya panggil Zus Fat) maklum keperluan kedatangan
saya, ia permisi masuk ke dalam. Saya bilang tanpa omong putar- putar: "Saya minta Bung
Karno selamatkan Bung Amir, Hadi yang menyuruh saya ketemu Bung".
Bung Karno bertanya, apakah saya tahu di mana Amir sekarang? Saya katakan: "Dia ada di
depan kita ini, di dalam benteng di depan Istana ini, tadi siang dia dengan kawan-kawannya
dibawa oleh sepasukan tentara di dalam truck terbuka ke dalam benteng itu."
"Baiklah akan saya urus ... tapi kau tidak tahu persoalannya". Saya jawab saja: "Saya tahu
soalnya, saya kan bukan pemuda seperti bengkulu dulu, saya sudah Bung angkat jadi letnan
kolonel, kan, yang penting selamatkan Amir itu dulu, nanti bisa diurus perkaranya".
696
Tetapi apa yang terjadi? Pada malam itu tanpa setahu Bung Karno sebagai presiden,
Amirsjarifuddin dkk. diangkut dari benteng Vredesburg itu entah ke mana, ke Solo barangkali
untuk ditembak mati cepat-cepat di Ngalian.
Sampai sekarang tidak pernah ada orang yang tulis peristiwa itu. Biarlah orang zaman sekarang
bisa berpikir-pikir lagi bahwa Bung Karno bukanlah orang The Number One yang
bertanggungjawab atas terjadinya Provokasi Madiun di tahun 1948 itu. Walaupun dia berpidato:
"Pilih SUKARNO-HATTA atau PKI MUSSO". Apalagi kalau diketahui, bahwa Bung Karno
sebagai Presiden tidak menghadiri sampai selesai Konperensi Sarangan bulan Juli l948 itu, di
mana pihak Amerika diwakili oleh Gerald Hopkins dan Merle Cochran yang mengusulkan
pembasmian kaum komunis Indonesia untuk bisa membantu R.I. yang membutuhkan keuangan
dan sebagainya dalam menghadapi Belanda. (Terjadinya Konperensi Sarangan itu, Syam
Kamaruzaman yang memberitahu pada kita ketika di Konperensi PESINDO di Solo, seperti telah
saya ceritakan di bagian di muka). Yang melanjutkan perundingan itu sampai selesai ialah Bung
Hatta-Dr.Sukiman-Moh. Roem-Moh.Natsir dan Sukamto (Kepala Kepolisian R.I.). Saya tahu
bahwa Peristiwa Mediun itu adalah pelaksanaan Red Drive Proposal dari Amerika, walupun saya
tidak perlu gembar-gembor seperti orang-orang komunis. Karena saya tahu pokok pangkal
kesalahan, adalah karena kesalahan Amir Sjarifuddin yang menyerahkan kembali Mandat
Perdana Menteri kepada Presiden secara sukarela. (Amir orang beragama Kristen-Protestan,
karena didikan agama dia punya moral, dulu di Jakarta sama isterinya saban minggu ke Gereja,
sampai pada suatu hari Minggu mestinya dia berpidato di rapat-umum di bioskop Rialto Tanah
Abang terpaksa diganti oleh Asmara Hadi).
Overste Soeharto sejak Affair Madiun oleh kalangan kiri dan PESINDO dipandang "orang baik"
("TNI yang baik"). Baiklah saya jelaskan sedikit apa yang dimaksud dengan istilah "orang baik".
Istilah itu sebenarnya suatu "jargon" di kalangan golongan kiri/ komunis yang digunakan
terhadap orang yang dianggap "jelas bukan komunis atau marxis, akan tetapi cukup progresif.
Kira-kira sudah merah- jambu". Soeharto mendapat predikat itu, sebab sebelum meletusnya
Peristiwa Madiun itu, dialah yang melaksanakan tugas-perintah Panglima Besar Sudirman untuk
memeriksa dan menyaksikan keadaan di Madiun yang sehenarnya. Ada dua hal penting dapat
dicatat sehubungan hal ini. Pertama, Panglima Besar Sudirman, orang jujur bijaksana dan
menjunjung tanggungjawab kedudukannya sebagai Panglima Angkatan Perang di dalam zaman
Revolusi. Kedua, dari sebab dan akibat Peristiwa Madiun itulah, maka seorang pemimpin
pasukan PESINDO Kapten Abdul Latief dengan "Batalion-100" bergabung ke dalam Brigade
Letkol. Soeharto. Dari masa itulah dimulainya tali perhubungan antara Soeharto dengan Latief
yang mencuat sejak dari Peristiwa Enam Jam di Yogja, 1 Maret 1949, sampai berdua itu
bersama-sama pula mencong ke Peristiwa GESTAPU sialan itu. Berdua bersama berjalan tapi
antara satu sama lain saling siasat-mensiasati ditambah jadi bertiga dengan Syam yang punya
dua-tiga muka: AD dan Biro Khusus (Aidit-Syam) dan sebuah-muka lagi mukanya dia sendiri,
yang dia bisa jual kepada siapapun dia mau. Dari semula memang saya tidak percaya sama itu
orang. Saya ambil kesimpulan tersebut dari bahan-bahan cerita Wikana, bahwa sejak Latief
ditarik kembali ke Jakarta dan Operasi 17 Agustus di bawah Komando jendral A.Yani dalam
menumpas PRRI/PERMESTA, dan di Jakarta menjadi Komandan Batalyon Infanteri Kodam V
JAYA, Syam bekerja sebagai informan kepada Latief di Kodam V Jaya itu dan di samping itu
juga menempatkan dirinya sebagai informan pada KOSTRAD yang dikepaiai oleh jendral
697
Soeharto. Klop: Trio Soeharto-Latief-Syam! Di samping itu ada Trio: Soeharto- Yoga - AIi
Murtopo.
Saya ketemu Wikana yang terakhir di rumahnya di simpangan Matraman Plantsoen dalam
keadaan sengsara, di-isolasi oleh Aidit, tapi dia dapat ditarik oleh Chaerul Saleh menjadi anggota
MPRS. Saya ketemu dengan Wikana Januari 1965, ketika saya datang konsultasi ke Jakarta dari
Kuba. Saya sempatkan memberi sekadar sumbangan, jangan tidak, sebagai kawan lama di
MENTENG 31. "Tolong saya, Fi", katanya.
Saya terharu kalau saya mengenang dia. Dia hilang tak ketahuan ditelan gelombang GESTAPU,
sepulangnya dari Peking bersama- sama dengan Chaerul Saleh Ketua MPRS, walaupun sudah
dinasihatkan oleh Chaerul, sebaiknya dia jangan pulang dulu. Kalau saya kenangkan kembali
hari bersejarah Proklamasi 17 Agustus 1945, saya kenangkan diriku di hari itu yang telah
meriskir segalanya yang ada padaku, anak-isteriku yang tercinta, hatiku yang pedih jadi gembira.
Karena bersatunya seluruh Rakyat kita menang.
Dengan gegap gempita kita menyerukan: Sekali Merdeka Tetap Merdeka, merdeka atau mati
letupan semangat semua pejuang. Tetapi kalau kuingat kembali Peristiwa Madiun, yang di muka
telah kusebut dengan sadar yaitu Provokasi, adalah pelaksanaan Red Drive Proposal hasil
Konperensi Sarangan, karena peduli akan perjuangan yang belum selesai, hati pedih bukan
kepalang. Karena kita kaum pejuang jadi berpecah saling baku hantam.
Saya tahu persoalannya. Kalau saja pemerintah Hatta mau mencegah pertumpahan darah itu,
mestinya dia bisa. Keributan di Madiun itu pada mulanya adalah soal kecil dan sederhana sekali:
seorang anggota SBKA dipukuli oleh seorang tentara. Diurus oleh SBKA, agar si prajurit itu
mau berdamai, minta maaf, selesai. Tapi rasa kehormatan SBKA (yang merasa kaum-pejuang
juga), merasa di-ece dan dihina. Maka SBKA mengadakan aksi-mogok. Overste Sumantri
komandan Resimen TNI Madiun sedang tidak ada di kota.
Pak Residen Samadikun sedang sakit. Walikota Madiun juga sedang bepergian. Wakil-Walikota
Saudara Supardi mengambil inisiatif. Saya kenal orang ini. Sama sekali tidak punya karakter
"jagoan". Saya pernah di Madiun atas perintah langsung Panglima Besar Sudirman, sebagai
Opsir PEPOLIT mengepalai Biro Penerangan/Propaganda Markas Besar Pertempuran Jawa
Timur (MBP) dalam rangka perjuangan yang bertugas merebut kembali Mojokerto. Staf saya
terdiri dari Mayor Karnen, Sutomo Djauhar Arifin, Yetti Zain, Rusjati Suprio, Rudhito, dan
Fransisca Fangidae yang lancar Belanda dan Inggerisnya; dan dapat bantuan Radio "Gelora
Pemuda" yang diurus oleh saudara Supardi tersebut dengan staf "Gelora Pemuda".
Jadi, kalau saja dicegah itu serbuan Tentara Siliwangi ke Madiun, pertempuran dan
penyembelihan kaum komunis dan rakyat-rakyat lainnya tidak bakal terjadi. Apalagi di Madiun
itu ada kekuatan PESINDO bersenjata pula. Sekali lagi, kalau saja, kekacauan di Solo bisa
dilokalisir (di mana kolonel Sutarto ditembak mati oleh orang yang tak dikenal, hilangnya Dr.
Muwardi Kepala Barisan Banteng, ditembak matinya Mayor Sutarno dengan pengawalnya di
Markas Siliwangi di Srambatan ketika mau mengadakan perundingan supaya lima orang Perwira
TNI anak buah Mayor Slamet Riyadi dibebaskan, dan lain-lain perbuatan provokatif, sampai
Markas Pusat PESINDO diduduki beberapa hari oleh Pasukan Siliwangi), jika hal pengacauan
698
itu dilokalisir hanya di Solo saja dan dicegahnya Long Mars Siliwangi ke Madiun, tidak
mungkin pecah Peristiwa Madiun itu.
Pembaca yang terhormat,
Silahkan baca juga dan renungkan pula, apa yang dikatakan Jendral Presiden Soeharto dalam
bukunya "Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya", istimewa halaman 53-54. Jadi ketika itu Madiun
masih aman tentram. Bahkan kalau menurut keterangan saudara Sumarsono (Bekas Ketua B.P.
BKPRI, sekarang berada dalam exile di Australia): "Dia jemput Letkol. Soeharto di desa
Mantingan (perbatasan Solo-Madiun) dibawanya ke Madiun. Sesudahnya mengadakan
pembicaraan dengan Pak Musso: dibuatlah oleb Soeharto satu keterangan-bersama yang ditulis
dengan tangannya sendiri tentang situasi keadaan yang aman tentram dan kesediaan dari pihak
Musso/PKI untuk berunding lagi dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Dokumen itu ditandatangani oleb Letkol Soeharto di satu pihak dan Pak Musso dan Sumarsono di pihak PKI, untuk
dijadikan laporan kepada Panglima Sudirman dan Pemerintah Hatta. Tetapi sementara letkol
Soeharto masih di dalam perjalanan pulang ke Yogva, pasukan Siliwangi sudah datang
menyerbu Madiun. Bahkan Soeharto tertahan, ditangkap Siliwangi di jembatan Srambatan
(Keterangan Pak Harto sendiri dalam bukunya itu). Saya tulis uraian ini dengan bahan
pengetahuan saya sendiri yang saya cocokkan dengan keterangan Soeharto dalam bukunya
tersebut.
Kendatipun begitu, bahwa Peristiwa Madiun itu yang sebenarnya adalah Provokasi dan
Pemerintah Hatta yang melaksanakan Red Drive Proposal Merle Cochran di Konperensi
Sarangan yang men- janjikan bantuan senjata dan keuangan yang sangat dibutuhkan R.I. yang
menurut hemat saya tak perlu dihangat-hangatkan dan dihebohkan lagi demi persatuan dan
kesatuan R.I. dan pula karena menyangkut nama Dwi-Tunggal Sukarno-Hatta yang mesti dijaga,
- masih saja sampai sekarang pun pihak-pihak phobi-komunis mengatakan bahwa Peristiwa
Madiun itu pengkhianatan PKI. Sadarlah kalau masih bisa!
Dari uraian tersebut di atas karuan saja mudah dimengerti kenapa orang-orang PESINDO dan
kaum kiri umumnya sejak masa itu menganggap Letkol Soeharto itu "orang baik", apalagi
dikejar "hantu" Re-Ra (Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang) menggabungkan
kekuatan pasukannya kepada letkol TNI Soeharto yang juga memang butuh untuk menambah
kekuatan Brigadenya.
Begitulah jadinya maka Kapten Latief masuk ke dalam TNI Brigade Soeharto, lainnya mencari
saluran masing-masing dengan membawa anggota-anggotanya yang bersenjata satu/satu.
Saya sendiri pun menganggap Pak Soeharto begitu juga; "TNI yang baik", walaupun saya sudah
lebih dahulu resmi sudah menjadi TNI sejak tahun 1946 diangkat menjadi Letkol PEPOLIT
berkedudukan di Jawa Barat dalam Divisi Siliwangi yang dikepalai oleh kolonel A.H.Nasution.
Bertolak dari naluri saya demikian, saya masih menganggap pak Harto "orang baik", ketika
Lebaran Februari (?) 1966, ketika halal bihalal kepadanya di rumahnya di Jalan H.Agus Salim,
saya nyatakan sikap saya sungguh-sungguh untuk membantunya. Beliau menyambut sikap saya
itu. "Baik, Pak Hanafi bersama kita". Meski segala kecurigaan saya yang sudah mulai timbul
699
mengenai GESTAPU saya meriskir diri dengan harapan masih bisa menyelainatkan Bung Karno.
Memang ada reaksinya, kemudian saya diminta oleh kolonel Sudarto, katanya atas nama Pak
Harto, untuk meggantikan Menlu Subandrio. Tetapi saya tidak bisa memberikan jawab yang
tegas, sebab Bung Karno sudah memerintahkan saya kembali ke pos saya di Kuba demi
kepentingan rencana CONEFO, seperti telah saya singgung di bagian lain di muka. Juga lagi
saya pikir secara administratif Soeharto harus mengusulkan kepada Sukarno.
Berhubung dengan alasan tersebut, saya mengusulkan supaya Adam Malik ditunjuk kalau perlu
menggantikan saya. Ternyata kemudian, memang Adam Malik yang dijadikan Menlu. Sehari
sebelum saya berangkat kembali ke Kuba, Adam Malik sebagai Menlu, menilpon saya di Hotel
Indonesia supaya saya mendampingi Presiden Sukarno yang diundang dubes Pakistan pada pesta
Perayaan Hari Nasional Pakistan di Hotel Indonesia, tanggal 23 Maret. Ada dokumentasi fotonya
dalam majalah New Times di mana tampak Dubes Pakistan, Bung Karno, Adam Malik dan
Dubes A.M.Hanafi.
Kalau saya mengenangkan hal ini, dalam keadaan saya menjadi korban "akibat-sampingan", ini
istilah Wapres Adam Malik ketika saya jumpa beliau terakhir di Brussel 1979, sesudah 30-an
tahun terbuang, saya kembali menyadari bahwa nasib di tangan Tuhan. Kalau Pak Soeharto
bukan "nasib pemberian Tuhan" tapi pemberian Guy Pauker (CIA) dan lnggris-Amerika. Sebab
saya percaya Tuhan melarang orang berbuat dosa, melarang membunuh orang yang tidak
berdosa satu juta, melarang orang mengkhianati Bapaknya, Gurunya dan Pemimpinnya, dan
melarang serakah menumpuk harta-benda secara tidak halal, dan menurut hukum Islam
Zakat/Fitrah harus diamalkan, tidak untuk dikekepin sendiri.
Bagaimana Ki Gus Dur dan Ki Idham Chalid, betul apa tidak keteranganku menyangkut hukum
Islam ini? Kurang tepat? Haraplah dibetulkan. Terima kasih.
Yang terakhir: Mengenai Soeharto dan Latief
Pembaca yang terhormat,
Baiklah dibaca lagi pleidooi kolonel Latief di mana dia menjelaskan, balwa dua hari sebelum 1
Oktober 1965, dus tanggal 28 September 1965 dia sudah berkunjung ke rumah Panglima
KOSTRAD Letjen Soeharto di Jalan Haji Agus Salim. Pada kesempatan itu ia melaporkan
kepada Soeharto mengenai "info" Dewan Jendral.
Soeharto menjawab bahwa dia juga sebelumnya sudah diberi info oleh anak buahnya dari
Yogyakarta, yang bernama Subagyo, tentang Dewan Jendral yang akan mengadakan kudeta.
Kunjungan tersebut tampaknya saja pertemuan ramah-tamah kekeluargaan, bersama Latief turut
Ibu kolonel Sujoto, di pihak Soeharto dan Ibu Tien ada Tommy puteranya yang masih berumur 3
tahun dan ada pula hadir orang-tuanya lbu Tien. Tapi yang penting dicatat dari adanya
kunjungan ini, bahwa Latief telah melaporkan tentang rencana kudeta apa yang disebut Dewan
Jendral itu, dua hari sebelum kejadian apa yang kemudian disebut GESTAPU.
700
Pembaca yang terhormat,
Dan sini harus dipertanyakan, mengapa Jendral Soeharto tidak tegas memperingatkan, artinya
segera memperingatkan para anggota Dewan Jendral, yang nota bene kolega sendiri, supaya hatihati dan siap-waspada untuk tidak dibikin kambing dan disate oleh konspirator-konspirator
kudeta itu? Dua hari itu kesempatan waktu lebih dari cukup untuk mengambil tindakan
preventief(pencegahan) supaya tidak kedahuluan.
Itulah yang mesti dia kerjakan, tapi tidak dikerjakan. Inilah membuktikan bahwa Soeharto sudah
berencana (voorbedacht) dengan sengaja membiarkan Jendral Ahmad Yani dan lain-lain itu
menjadi korban kup yang dia sudah atur.
Malah selanjutnya lebih terbukti lagi pengkhianatan itu terhadap Jendral Panglima A.Yani
dengan lima jendral yang telah menjadi korban itu. Ketika Kolonel Latief datang ke RSPAD,
katanya Soeharto untuk menengok anaknya Tommy yang ketumpahan sop panas, sebenarnya
merupakan alasan yang konyol terbanding dengan pengorbanan Panglima A.Yani cs. Kenapa dia
tidak langsung menangkap kolonel Abdul Latief itu, padahal Soeharto sudah tahu "kerjakomplot" Latief itu, tetapi dia malahan membiarkan kolonel Latief pulang ke sarang GESTAPU
untuk memberi signal gerak kepada Kol.Untung cs menangkap atau di mana perlu membunub
A.Yani cs. Di sinilah terletak tanggung-jawab yang kedua dari Letnan Jendral Soeharto yang
paling berat, paling kriminal dan paling khianat dengan sengaja membiarkan Panglima Yani dan
jendral- jendral dibunuh.Jadi dialah yang harus diadili lebih dulu, lalu baru dideretkan itu
anggota komplotan GESTAPU, termasuk Syam dan Aidit. Mestinya begitu, toh!
Baca Lampiran: "Mengungkap sejarah yang sebenarnya". Dokumen tersebut saya terima dari
saudara Karna Rajasa (alm.) ketika beliau berkesempatan di masa hidupnya mengunjungi saya di
Paris.
Soeharto boleh bilang apa yang dia mau bilang, lidah tidak bertulang, dia tidak mati bersama
A.Yani cs., dia bangun, sekali bangun terus teriak "maling", menunjukkan jari ke
GESTAPU/PKI. Tapi kalau kita waras, kita pakai logika dan dialektika, artinya tidak
merancukan urutan fakta, maka jelaslah memang Soeharto punya gara-gara.
Makanya saya gugat dia. Dan saya yakin sebagian besar Rakyat Indonesia sependapat dengan
saya!!!
Di dalam sidang MAHMILUB, rupanya Latief tidak berani bicara terus terang, seperti apa yang
saya uraikan di atas ini. Walaupun fisiknya sudah dibikin invalid oleh petugas yang
menangkapnya. Saya dapat memakluminya. Barangkali dia masih mengharap demi keselamatan
nyawanya adanya seujung rambut rasa kemanusiaan pada ex komandannya Soeharto itu.Apakah
ada rasa kemanusiaan,masih ada moral atau sedikit rasa kasihan sang komandan kepada bekas
bawahannya, Latief, itu pejuang "Enam jam di Yogya 1 Maret 1949" yang mengangkat nama
Overste Soeharto lebih dikenal? Saya tidak menemukan bayangan moralitas yang saya tanyakan
itu pada Soeharto di dalam bukunya yang dibanggakannya mengenai "Enam Jam di Yogya" itu.
Mengapa tidak ada satu patah kata pun menyebutkan nama Kapten Latief, apalagi peranan Latief
yang memimpin pasukannya masuk menyerang ke dalam kota Yogvakarta di hari 1 Maret 1949
701
itu.Yang dikenalkannya cuma nama Letnan Marsudi dan Letnan Amir Murtono bekas pemuda
PESINDO Madiun yang anti Sukarno. Marsudi tidak anti Sukarno karena itu tidak diberi
kedudukan seperti Amir Murtono yang dijadikannya Ketua DPR yes man yang pertama.
"Demokrasi" a'la DPR Orde Baru cuma merek doang, frasiologi demokrasi yang isinya tulangsumsum autokrasi.
Saya kasihan pada Latief, pada nasibnya. Dia pejuang yang turut berjasa banyak pada
Republik.Tapi disalah gunakan oleh Soeharto untuk kepentingan pribadi Soeharto sendiri. Tapi
Tuhan itu Besar, Tuhan belum mau panggil pulang Latief, tentulah ada maknanya rahasia Tuhan.
Wallahu'alam.
Semua harapanku yang terbaik untuk Nusa dan Bangsaku. Sekian, saya cukupkan sampai di sini
seruanku kepada pembaca yang terhormat, agar Kenali Kembali Beberapa Peristiwa dan TokohTokoh Tentara yang Punya Peranan dalam Komplotan GESTAPU.
Terima kasih.
702
Bab XX
Saat Bersejarah Jatuhnya Presiden Sukarno
Ketika umurku masih muda belia, belum dewasa, aku pernah belajar agama Islam pada seorang
guru Muhammadiyah, namanya Mohamad Said asal dari Bintuhan, Bengkulu Selatan. Dia ini
keluaran universitas Al Azhar di Cairo. Berkatalah dia, bahwa menurut filsuf Islam, perbedaan
yang menentukan antara insan manusia dengan binatang adalah oleh karena seorang manusia itu
mempunyai sifat-sifat yang mulia, berpengetahuan dan bercita-cita tinggi, oleh sebab itulah
manusia itu selalu memikul penderitaan lahir dan batin selama hayatnya, memikul tanggung
jawab pada kedua bahunya selama masih di kandung badan.
Darah romantisme beregelora dalam kalbuku yang masih muda. Kubayangkan penderitaanpenderitaan yang diuraikannya itu sebagai bunga mawar merah yang indah dipandang mata,
melambai-lambai di kejauhan. Oh, alangkah besar hikmatnya jiwa pemuda yang dilambai
renungan cita-cita. Tapi, ketika usiaku sudah meningkat tinggi, laksana matahari menjelang sore,
sekali-sekali kurenungkan dengan rasa damba akan cara-cara ustadz Moh. Said menguraikan
persoalan perbedaan antara manusia dan binatang itu, tapi sekarang tidak lagi kulihat sebagai
bayangan mawar merah yang melambai- lambai di kejauhan, tapi sebagai realita yang kurasakan
sendiri keras- pedasnya, mawar cita-cita yang berduri-duri tajam pada tangkainya, yang telah
menggores-gores dan melukai dan membekaskan bakatoya pada tangan-tanganku yang kubawa
berlari selama hidup perjuangan cita-citaku. Namun, jika kuhubungkan dengan cerita-cerita
kenangan dalam memoarku ini, saya tidak bisa lain hanya bersyukur kepadaTuhan, sebab saya
telah dibuatnya sebagai pelaku-sejarah yang bersahaja, telah dibuatnya menjadi saksi yang
terdekat atas peristiwa yang begitu penting, yaitu saat bersejarah jatuhnya Presiden Sukarno,
yang besar. ]elas, saksi yang tidak berhasil dalam daya upaya membantunya mencegah
kejatuhannya.Tangisku sepanjang jalan...!
Sidang Kabinet 11 Maret 1965
Hari itu adalah hari Juma't, 11 Maret 1966. Pada pagi-pagi hari sekali, kira-kira jam 7.00 Wakil
Perdana Menteri (Waperdam) atau biasa juga disebut Deputy III, Chaerul Saleh,menilpon saya di
Hotel Indonesia di mana saya selalu bertempat tinggal kalau saya datang ke Jakarta dari Kuba
untuk berkonsultasi dengan Presiden, mengatakan bahwa mobilnya sudah dikirimnya untuk
menjemput saya, untuk bersama-sama dengan dia, berangkat dari rumahnya ke Istana untuk
menghadiri sidang Kabinet yang akan dipimpin Presiden pada jam 10.00. Anakku Adityo, biasa
dipanggil Dito, terburu-buru menyiapkan sarapan pagi untukku. Dia adalah seorang pemuda
umur 19 tahun, mahasiswa Universitas Respublica. Gedung universitas tersebut sudah terbakar
dan dihancurkan oleh pemuda KAMI yang kena dihasut oleh segolongan kontra-revolusi, karena
itu dia buat sementara masih menganggur. Agaknya dia itu dalam dirinya mempunyai suatu
"gave", semacam bakat gaib, sebab dia mengingatkan padaku: "Pak, ... Bapak jangan tinggalkan
Bung Karno, kasihan, dia itu sekarang sendirian, dia tentu memerlukan orang-orang seperti
Bapak, seperti Pak Chaerul, ikuti saja ke mana dia pergi, jangan tinggalkan dia sendirian!"
Kemudian dia berkata lagi, bahwa kalau dia dan mobilnya tidak diperlukan lagi, dia akan
menengok rumah kami di Jalan Madura no. 5 (ketika itu digunakan oleh Perwakilan FNPVS,
703
Front Nasional untuk PembebasanVietnam Selatan), dan kemudian akan mencari dan
mengumpulkan pemuda-pemuda teman-temannya untuk bersiap-siap, menantikan komando.
Sebelum saya berangkat aku menasihatkan kepadanya apa-apa yang patut dikerjakannya, tapi
harus waspada dan hati-hati, oleh karena situasi begitu gentingnya dan keadaan kita sedang
berada sementara di pihak yang defensif.
Dan saya harus pergi cepat-cepat, sebelum pemuda-pemuda yang kena hasutan kaum kontrarevolusi keluar berdemonstrasi memblokade semua jalan yang menuju ke istana. Kita sudah
mengetahui sejak dari kemarin, mereka akan beraksi untuk mencegah jangan sampai sidang
kabinet dapat dilangsungkan. Saya mengenakan uniformku, MayorJendral TNI, karena kurasa
dengan baju-hijau ini aku lebih aman dan bisa lebih leluasa. Dengan menyisipkan pistolku tanpa
holster di pinggangku, aku cepat-cepat turun menuju ke mobil Pak Chaerul yang sedang
menunggu. Kulihat mobil itu bukan sedan yang biasa dipakainya, tapi sebuah jeep Toyota, di
samping supirnya, seorang bekas anggota Laskar Rakyat Bambu Runcing yang kukenal sejak
masa revolusi bersenjata dahulu, di sampingnya menggeletak sebuah senapan otomatis AK.
"Pak Chaerul bilang buruan, Pak," kata supir itu memberi salam, sambil menyengir kelihatan
giginya, karena mengerti yang mataku tertukik ke senapan otomatis AK itu.
Hotel Indonesia terletak tidak jauh dari rumah Chaerul Saleh dan jalan yang terdekat ke
rumahnya itu kalau dari Hotel Indone- sia, adalah mengambil ujung Jalan Madura, kemudian
sesudah meliwati Bioskop Menteng membelok ke kiri ke Jalan Tengku Umar. Tapi kami tidak
mengambil jalan itu, sebab di pertemuan ujungnya Jalan Madura dengan Jalan H.Agus Salim
terletak rumah Jendral Soeharto dengan banyak penjagaan militer. Lalu kami mengambil Jalan
Thamrin, Jalan Jawa, Jalan Cemara terus ke Jalan Tengku Umar. Setibanya di rumah Chaerul
Saleh, ia sudah siap beruniform Deputy III, sedang sarapan dihadapi istrinya Zus Jo, sambil
mempersilahkan aku duduk dan menawarkan sarapan kalau aku mau. Chaerul kemudian
berkata:"Sidang Kabinet hari ini penting sekali .... der op ...of der onder1) ........Babé akan
meminta kebulatan sikap dan tekad segenap anggota kabinetnya, bulat bersatu dengan dia untuk
mengatasi krisis yang berlarut-larut ini. Kalau terpaksa 'show down' yah, apa boleh buat ...
mungkin kau tidak akan bisa kembali ke Kuba lagi".
"Kalau harus begitu, apa boleh buat", jawabku dengan tegas. Kulirik Zus Jo di sampingku, diam
saja, namun tampak kekhawatiran di air mukanya. Lalu kataku lagi: "Ketegasan sikap itulah
yang saya harap-harapkan, bukankah sejak saya datang pertama kali di bulan Desember '65, saya
sudah mendesakkan usulku satu political solution, pegang itu corong radio, serukan seluruh
rakyat bersatu di belakang
_________________
1). der op of der onder, sebuah ungkapan Belanda, cuma satu pilihan: menang atau kalah,
tindakan harus diambil.
Bung Karno, bubarkan itu semna partai politik, termasuk PKI, termasuk partai ku PARTINDO,
kecuali Front Nasional, kemudian bentuk panitia-panitia yang ditunjuk oleh Bung Karno untuk
re- dressdan pembangunan kembali partai-partai politik dan Front Nasional setelah mengadakan
704
selfkoreksi total di atas landasan demokrasi terpimpin, dan stop buat sementara semua koran
kecuali koran pemerintah, dan mutasi di kalangan Angkatan Bersenjata, bentuk Barisan Sukarno,
etc., etc."
"Ya, itu betul, tapi kau kan tahu sudah, dulu itu belum bisa", Chaerul menimpa...."Di kalangan
kita ada zwakke broeders, Oom Jo (Deputy II, Dr.J.Leimena) takut, Bandrio (Deputy I, Dr.
Subandrio) plin-plan kagak berani, tapi bikin konsepsi sendiri yangnoch vis noch vlees....... nah,
nanti dalam sidang, sesudah saya bicara, saya akan minta supaya kau juga bicara, saya tidak mau
lagi saya sendiri bicara seperti di sidang Kabinet di Bogor, 15 Januari yang lalu. Nanti kau harus
bicara! ..."
"Ya, tapi suasana sekarang sudah lain dari dulu", cetusku,"situasi harus diperiksa lagi, dulu Oom
Jo tidak berani, takut PARKINDO- nya dibubarkan, soalnya siapa yang membubarkan,
pembubaran partai bukan tujuan tapi hanya strategi sementara, cobalah nanti kalau kita jatuh dan
tentara berkuasa potong kuping saya kalau semua partai politik tidak dibubarkannya, bagi saya
partai bukan tujuan, partai hanya alat dari idee, idee harus mempunyai banyak alat, kalau
Sukarno bisa sementara dijadikan alat untuk idee itu, saya tidak takut partai dibubarkan untuk
sementara waktu. Partai bisa illegaal, di bawah tanah, Sukarno tidak, dan ini orang tidak akan
mengkhianati cita-citanya, udah terlalu tue untuk gituan".
"Fi," jawab Chaerul,"sebenarnya dalam hati kecilnya itu orang tua, dia sendiri bimbang kalau
harus membubarkan PKI, masa kau tidak tahu itu, kau bayangkan bagaimana kalau dia harus
mencekik anaknya sendiri, NASAKOM ...."
"Bukan begitu alasannya," aku segera menyela,"bagi saya dia itu bukan takut atau bimbang,
selama ini dia itu ambil kesempatan orientasi, periksa-barisan, celakanya barisannya itu nyatanya
kini masih kacau balau, pada ketakutan pada ngumpet. Seorang komandan-tempur memang tidak
bisa maju ke front dengan barisan yang kacau, sampai sekarang tidak ada yang datang mèl,
melapor siap-tugas di belakang Presiden/PanglimaTertinggi, baik dari pihak massa maupun dari
Angkatan Bersenjata, ini perbedaan pokok dengan ciri-ciri kita dulu ketika Agustus
1945.......Dari Angkatan Laut, Laksamana Muljadi, dan dari KKO, Brigjen Hartono, dari
Angkatan KepolisianJendral Sucipto dan sebagainya, tidak ada yang datang melapor minea tugas
kepada Presiden/Panglima tertinggi, Front Nasional sudah lumpuh, dari massa eidak ada lagi
yang berani keluar di jalanan berdemonstrasi uneuk mengimbangi demonstrasi demonstrasi
kontra-revolusioner itu sebagaimana biasanya dilakukan untuk menempa dan kasih unjuk
kebulatan tekadnya, ini pun logis sekali, sebab siapa yang sanggup menantang demonstrasi
pemuda pemuda KAMI/KAPPI yang dipersenjatai dan dibantu anak-buah Sarwo Eddhy dan
Kemal Idris RPKAD itu? ... Baiklah, nanti saya akan turut bicara juga dalam sidang Kabinet".
Zus Jo nyeletuk: "Sudahlah, berangkat sajalah, nanti kalian terlambat!"
Di dalam jeep Toyota yang dikemudikan kencang, Chaerul mengatakan bahwa banyak menterimenteri sudah diangkut kemarin sore dan tadi malam oleh Cakrabirawa atas perintah Presiden ke
Istana, dan mereka itu disuruh menginap di Guest House Istana, sebab dikhawatirkan mereka
tidak akan sampai di sidang kabinet kalau berangkat di pagi hari. Saya dan Chaerul Saleh sudah
bulat hati, bagaimana pun kami harus sampai di istana dan sidang kabinet harus dilangsungkan.
705
Kami mengambil jalan, yang walaupun agak jauh, tapi dapat menghindari stopan penjagaan yang
berada di setiap pojok-pojok jalan sekitar lapangan Merdeka yang menuju ke istana. Kami
mengambil Jalan Asem Lama, membelok ke Jalan Sunda melewati rumah Menteri Olah Raga
Maladi, yang kulihat sepi saja semua jendela dan pintunya tertutup kemudian kami membelok ke
kiri mengambil Jalan Tanah Abang Tanjakan, terus ke Jalan Tanah Abang Barat meliwati
Asrama AURI dan Cakrabirawa, lalu tembus ke Jalan Kesehatan dan Jalan Jaga Monyet,
akhirnya memasuki gapura Istana Negara dengan selamat. Dari mobil yang dilarikan cepat itu,
kami melihat juga dari kejauhan penjagaan-penjagaan di sekitar Bank Negara dan Air Mancur di
ujung Jalan Merdeka Barat, dan ketika melewati asrama tentara di Jaga Monyet kami lihat
seakan-akan sepi saja, tetapi tampak juga beberapa orang tentara bersembunyi di belakang pintu
dan di belakang pohon-pohon di sekitarnya berpakaian full-combat, bertopi baja dan beruniform
macan loreng.
Tapi aku pun sangat heran, sebab apa Cakrabirawa tidak pasang dia punya penjagaan keamanan
untuk observasi di pojok dan di sekitar istana itu. Kemudian ada kudengar bahwa dari kemarin
ada larangan angkatan bersenjata ke luar di jalan tanpa tugas tertentu, alasannya untak
menghindari terjadinya sesuatu provokasi, dan larangan ini rupanya dikenakan juga pada
Resimen Cakrabirawa pasukan pengawal Presiden. Memang di dalam ada banyak pasukan
Cakrabirawa, kelihatan serius semuanya, sampai kami pun diperiksa sebelum diperbolehkan
masuk. Saya lihat wajah baru yang belum kukenal.Yang pernah kukenal malah tidak kelihatan.
Kami dikawal diantarkan ke Guest House yang berada di dalam pekarangan Istana itu juga.
Hampir semua menteri-menteri sudah ada di sana sejak dari kemarin sore, sebagian sedang
menyelesaikan sarapan pagi. Tidak lama kemudian baru datang juga Menteri Mardanus, dia
menceritakan pengalamannya juga yaitu mengambil jalan putar-putar untuk menghindari stopan
penjagaan, tapi tidak urung dia kena stopan juga, oleh karena mengambil Jalan Tanah Abang
Barat menuju ke Jalan Mojopahit, dan di belakang gedung RRI dia kena cegat. Tapi dia untung
diberi lewat juga. Beberapa menteri datang menghampiri saya, di antaranya Ir. Setiadi, Menteri
Urusan Listerik, dan Sutomo Menteri Perburahan dan Armunanto Menteri Pertambangan,
semuanya datang sejak dari kemarin. Menteri KeamananJendral Mursid datang pula menjabat
tanganku sambil tersenyum lebar di bawah kumisnya ...à la Clark Gable itu. Waktu tanganku
sudah melepaskan jabatan-tangannya, kuteruskan tanganku menepok pinggangnya yang sudah
mulai gendut itu. Jendral Mursid tersenyum lagi, karena rupanya mengerti maknanya tepokan
belakang tanganku pada pinggangnya, sebab apa yang kucari ketemu, terasa padaku, bahwa
tersembunyi dalam uniform itu ada tersisip pistol kaliber 38-special, dua buah, di kiri dan di
kanan. Saya teringat jaman kami di tahun 1946 di front pertempuran di daerah Krawang-Bekasi,
dia di front KrawangTimur, ketika itu dia berpangkat kapten, saya letnan kolonel, dia komandan
Batalyon TNI, saya komandan Laskar Rakyat/PESINDO Jawa Barat, di samping Opsir
Pendidikan Politik Tentara.
Jendral Mursid: "Kalau Bung Hanafi pulang ke Kuba, kirimi saya pistol cowboy, yang besar,
buat tanda mata...."
"Seguro, mon general", kataku dalam bahasa Spanyol, sebagai bergurau dan untuk menghindari
sejenak suasana yang ria artifisial itu.
706
"Saya akan bawakan sendiri nanti, dua buah, dan kalau mau pistol tanda-mata dari Fidel Castro,
itu pun dapat saya usahakan. Pokoknya beres, asal di sini kita bereskan dulu."Terasa dalam
hatiku, keakraban dan solidaritas sesama pejuang revolusi dahulu datang kembali, melonjaklonjak dalam kalbuku, rasanya mengharukan.
Kemudian Chaerul Saleh dan saya pergi mencari Menteri Luar Negeri Subandrio, yang juga
sejak dari kemarin sore datangnya, yang berada masih dalam kamar, satu kamar dengan
MayorJendral Sumarno, Gubernur Daerah Jakarta Raya. Pak Marno kami dapati sedang
berpakaian, kebetulan dia sedang mengeluarkan pistolnya dari bawah bantalnya, rupanya FN-32,
1alu disisipkannya di belakang kemejanya.
"Apakah semua menteri-menteri bersenjata hari ini", tanyaku sambil lalu.
"Habis, kalau kita tidak tahu akan berhadapan dengan siapa, Bung", jawabnya serius. "Kalau
dicomot oleh tentara resmi berpakaian seragam dan bawa surat perintah, itu jelas urusannya dan
bisa diusut... tapi kalau bukan, gimana ... kan banyak kejadian".
"Itu namanya penculikan", sahutku. Bukan sekali itu saja aku mendengar ucapan-ucapan serupa
itu, tentang penculikan- penculikan yang dilalcukan oleh orang-orang tentara berpakaian preman,
atau "tentara gelap", atau apa lagi sebutannya, ada juga yang menyebutkannya "tentara malam".
Chaerul Saleh, Subandrio dan Leimena sudah pergi menjemput Bung Karno di istana Merdeka.
Sidang kabinet dibuka oleh Presiden di Istana Negara,jam 10.00 tepat. Saya tidak tahu presis lagi
berapa jumlahnya menteri-menteri kabinet ini, tampaknya banyak sekali, rupanya semua menteri
hadir lengkap duduk di sekitar meja besar dan panjang itu. Di sebelah kiri Bung Karno, duduk
berjejer Deputy I Dr. Subandrio dan Deputy II DrJ. Leimena. Di belakang kursi Presiden berdiri
ajudan-ajudan: Komisaris Besar Polisi Sumirat dan Mayor Jendral TNI Moh. Sabur. Agak ke
belakang kulihat Ajudan kolonel Maulwi Saelan, kolonel Mangil dari Cakrabirawa. Saya duduk
di jejeran menghadapi Presiden, agak ke sebelah kanan, di samping saya presis duduk Brigjen
Sukendro, Menteri Negara, dan MayorJendral Mursid, Menteri Keamanan dan Pertahanan.
Dengan membaca Bismilah, palu diketok Presiden ke atas meja, dia mulai berbicara. Pidatonya
tenang dan terang. Mula-mula menjelaskan dan meminta perhatian terhadap situasi yang amat
gawat yang menimpa tanah air dan bangsa, kemudian menyinggung beberapa peristiwa dan
adanya pikiran-pikiran yang salah, yaitu seperti "mau membunuh tikus tapi seluruh rengkiang
padi itu mau dibakarnya", maka untuk dapat mengatasi situasi yang gawat itu Presiden meminta
seluruh menteri, seluruh alat-alat negara, seluruh pemerintahan dan seluruh rakyat bersikap tegas
dan bersatu berdiri di belakang Presiden/Panglima Tertinggi ABRI untuk membela negeri dan
rakyat yang kini sedang terancam oleh Nekolim ......
Baru kira-kira belum sepuluh menit Presiden Sukarno berpidato, kulihat Kolonel Saelan masuk
ruangan mendekati Mayjen Sabur. Mereka berdua itu berbisik-bisik, barangkali ada dua menit.
Kemudian Mayjen Sabur mendekati Kombes Sumirat yang berdiri di belakang Presiden yang
sedang berpidato itu. Sabur dan Sumirat berbicara berbisik-bisik pula. Sabur memberi isyarat
supaya Saelan mendekat. Kemudian mereka bertiga itu mundur ke belakang, rupanya berunding
berbisik-bisik lagi. Kemudian kulihat Sabur menulis surat pada sepotong kertas kecil, dan oleh
707
Kombes Sumirat diserahkan kepada Dr. Subandrio, lalu diperlihatkannya kepada Presiden yang
sedang berpidato itu.
Hatiku merasa jengkel melihat adegan bisik-bisikan itu, dan semua orang yang melihatnya
tentulah merasa keheranan, ada apa- apaan itu, kenapa Sabur menulis surat sepotong itu,
menganggu pidato Presiden saja. Begitulah anggapanku dan kejengkelan hatiku.
Tiba-tiba Presiden Sukarno berbisik-bisik kepada Subandrio, Subandrio kepada Chaerul Saleh,
lalu Presiden berbisik pula kepada Leimena, kemudian dia berdiri dan melangkah hendak pergi,
diikuti oleh Subandrio, Chaerul Saleh dan Kombes Sumirat. Mereka itu pergi keluar
meninggalkan ruangan sidang.
Umumnya semua hadirin heran tercengang, satu sama lain bertanya-tanya. Sedangkan saya
sendiri, saya mengira barangkali ada persoalan penting di Istana Merdeka, atau barangkali
Perdana Menteri Ali Bhuto dari Pakistan menilpon Presiden lagi seperti terjadi bulan Januari
yang lalu di mana kebetulan saja di saat itu ada bersama Presiden Sukarno, atau barangkali
Jendral Soeharto mohon diterima Presiden menghadap di Istana Merdeka untak sesuatu hal
penting yang khusus ... pokoknya saya mengira, dan semna orang mengira begitu pula bahwa
Presiden men-schors sidang sebentar saja, dan dia segera akan datang kembali. Apalagi melihat
Leimena masih tetap ada, duduk menungu.
Tapi semua dugaan-dugaan itu meleset sama sekali. Dr. Leimena kemudian berbicara, bahwa
berhubung Presiden ada persoalan yang amat penting di Istana Bogor, maka sidang tidak bisa
dilanjutkan dan sidang ditutup. Semua yang mendengarkan jadi lebih tercengang lagi, dan
menggerutu, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Semua itu terjadi dalam tempo
beberapa menit saja. Pada saat itu, saya dijawil oleh Brigjen Sukendro, dia berkata: "Sebaiknya
Pak Hanafi, ikuti Bapak Presiden, jangan lepaskan beliau sendirian, pergilah Pak, pergilah
sekarang juga ...! Suaranya itu bukan hanya menyarankan, rasanya suaranya itu seperti mendesak
kepadaku. Saya terkejut, saya tersadar dari pesona akan kejadian yang begitu cepat. Dalam hati
saya menduga, Sukendro mengetahui sesuatu yang akan terjadi atas diri Presiden, paling sedikit
dia mempunyai dugaan tertentu bahwa barangkali Presiden akan menghadapi sesuatu soal yang
berat, di mana orang amat setia kepadanya akan amat diperlukannya. Sukendro bukan tidak
mengetahui hubungan pribadi saya dengan Bung Karno, dia juga bukan tidak mengetahui
kesanggupan dan sikap saya yang selalu tegas di pihak Presiden Sukarno, dan hubungan saya
yang selamanya baik dengan dia, Sukendro, walaupun tidak sering jumpa.
Saya segera berdiri, keluar ruangan dan berlari mengejar rombongan Presiden tadi. Saya berlari
mengejar sampai di pintu gerbang Istana Merdeka.Tapi rombongan itu sudah berada di dalam
helicopter, mesinnya sudah menderu, baling-baling sudah berputar, kupandangi kemudian
terbang di udara menuju Bogor. Aku kecewa, hatiku kesal sekali, kenapa saya terlambat? Apa
boleh buat, Tuhan menentukan, manusia hanya melaksanakan. Saya bertekad akan segera
menyusul ke Bogor dengan mobil, hatiku memuji-muji kepada Tuhan moga-moga tidak akan
terjadi malapetaka apa atas diri Presiden dan rombongannya. Di saat itu belum sedikit pun juga
terbayang kepadaku, bahwa akan terjadi chantage politik yang amat kotor yang melahirkan apa
yang sekarang disebut "Supersemar" itu.
708
Sehabis termenung sejenak,memandangi helicopter yang telah jauh terbang tinggi, saya kembali
ke dalam pekarangan Istana Merdeka, terus menuju ke pekarangan Istana Negara, di mana
mobil-mobil di parkir, sebab maksudku akan segera pulang ke hotel Indonesia dan dari sana
dengan mobil anakku Dito terus ke Bogor. Di sana masih saya dapat jumpai Mayjen Mursid,
lainnya sudah pulang. Dia sedang menuju ke mobilnya. Saya tanyakan kepadanya, apa yang
terjadi. Dia menjawab, baginya juga belum jelas apa yang sebenarnya terjadi, ada yang
mengatakan bahwa ada pasukan yang tidak dikenal telah masuk ke dalam kota, itu tidak
mungkin, dan saya sendiri telah pergi melihat-lihat di sekitar istana, tapi tidak saya dapati apaapa yang mencurigakan, kecuali pasukan yang bertugas keamanan, berkumpul beberapa orang di
beberapa tempat.Tapi saya akan pulang untuk mengadakan pemeriksaan lagi. Demikian Mayjen
Mursid. Dia adalah Menteri Pertahanan dan Keamanan, jadi saya pikir dia bisa lebih mengetahui
keadaan, maka saya menjadi agak tenang.
Saya kembali lagi ke dalam pekarangan istana, saya mau menengok, ada siapa di Istana
Merdeka. Di sana kudapati Kepala Rumah Tangga Istana, Letjen (purn.) Hardjowardoyo, dengan
Mayjen Sarbini dan Mayjen Achmadi, masing-masing MenteriVe- teran dan Menteri
Penerangan. Saya mengambil tempat duduk di kursi rotan dekat mereka, di beranda belakang
Istana Merdeka. Kutanyakan pada Pak Hardjowardoyo, apakah Presiden akan kembali hari itu ke
Jakarta. Dia menyahut tidak mengetahui pasti, mungkin kembali mungkin tidak.
Berceritalah Mayjen Sarbini, agaknya ceritanya itu tadi terputus melihat saya datang:"Saya tidak
merasa ada hal-hal yang mencurigakan, yang membahayakan keamanan, apalagi keamanan
Presiden. Orang-orang ada yang bicara bahwa ada tentara yang tak dikenal telah memasuki kota,
itu kan desas-desus saja; saya sendiri kemarin malam bersama MayjenAchmadi mengadakan
pemeriksaan ke beberapa tempat, pergi ke.Cijantung, tempat di mana anak buahnya Sarwo
Eddhy diasramakan. Kami tidak menemukan hal- hal yang mencurigakan, bukankah begitu Pak
Achmadi?" Tetapi Achmadi diam saja.
Sarbini meneruskan:"Memang beberapa moncong meriam ada yang diarahkan ke Cililitan dan ke
arah Jakarta, tapi itu kan tidak apa-apa bisa saja kejadian karena perbuatan anak buah yang iseng
atau gatal-tangan.Tatkala kutanyakan kenapa moncong meriam itu diarahkan ke sana, tentara
yang berjaga di sana itu menjawab: tidak tahu, pak".
Dalam hatiku berkata-kata, ini Pak Sarbini apakah karena lugu atau bersiasat? Dan
MayjenAchmadi itu kenapa dia diam saja? Karena sudah lewat pukul 11.00 aku diajak turun
pergi ke mesjid di dalam pekarangan Istana itu juga, untuk sembahyang Jum'at. Kami semua
pergi sembahyang, sebagai khatib bertindak Menteri Agama Sjaifuddin Zuhri, dan sebagai
Imam, menteri Wakil Ketua MPRS Idham Chalid. Sehabis sembahyang aku hendak pergi lagi ke
tempat parkir mobil, barangkali saja supirnya Chaerul Saleh akan kembali menjemputku, kalau
saja diketahuinya saya masih di istana, tidak turut pergi ke Bogor. Demikian harapanku.Aku
berjalan bersama- sama dengan Menteri Sjaifuddin Zuhri dan Menteri Idham Chalid yang akan
pergi pulang ke rumahnya masing-masing. Mereka ketawa-tawa bercakap-cakap berdua itu.
Sjaifuddin Zuhri berkata sinis sambil tersenyam-senyum ke arahku: "Kalau orang sabar dikasihi
Allah, sabar, sabar pasti berhasil.. ."
709
Apa yang dimaksudkannya, tidak begitu jelas kepadaku.Tapi jika kuhubungkan dengan
wajahnya yang gembira ria itu, dalam suasana yang bagiku begitu menegangkan urat saraf itu,
kusimpulkan barangkali dia sudah mengetahui sesuatu yang akan terjadi. Tapi Idham Chalid
diam saja, berjalan menundukkan kepala, sekali diangkatnya, hanya menanyakan kapan aku
kembali ke Kuba. Kujawab pendek saja, terserah kepada Presiden. Jika kuingat kata- kata dan
senyum Sjaifuddin Zuhri yang sinis itu, sekarang ini sesudah sepuluh tahun Jendral Soeharto
berkuasa (uraian mengenai jatuhnya Presiden Sukarno ini saya tulis di tahun 1975), bertanyalah
aku di dalam hati, apakah kesabaran yang dimaksudkannya itu dahulu sebagai pertanda untuk
menyambut kejatuhan Sukarno dan kema- tiannya, dan kemudian pembubaran partai-partai
politik termasuk partainya N.U. dan hancurnya demokrasi di bawah kekuasaan kediktatoran
pemerintah militer Soeharto? Jika demikian, oh,Tuhan, mogaTuhan mengampuni dosanya Kiai
ini!
Sesampainya di tempat parkir mobil, aku tidak melihat jeepToyota yang kuharap-harap itu.
Dengan kecewa aku kembali ke Istana Merdeka lagi. Kulihat Pak Sarbini dan Achmadi masih
ada di sana bercakap-cakap dengan Pak Hardjowardoyo. Belum sempat aku duduk, kulihat
datang tiga orang Jendral, yaitu Brigjen Amir Machmud, Brigjen Basuki Rachmat dan Brigjen
Jusuf. Rupanya Amir Machmud2 yang bertindak sebagai pemimpin. Sesudah bersalaman, dia
mengajak Pak Sarbini berbicara berdua saja di dalam ruangan yang biasa dia pakai buat resepsi
di Istana Merdeka itu. Sesudah itu mereka duduk kembali, ke tempat kami duduk-duduk tadi.
Amir Machmud: ..."tidak ada itu gerombolan bersenjata yang tak dikenal itu, ada dilaporkan
bahwa ada orang-orang berpakaian seragam yang agak aneh kelihatan, tapi setelah diperiksa
ternyata tentara-tentara yang sedang cuti di Jakarta, bergerombol-gerombol Andaikata kalau
memang ada yang membahayakan keamanan Presiden, ya buat apa kami anak-anaknya ini, kami
kan bertanggung jawab atas keselamatan Bapak Presiden."
Namun, bagiku, kurasa dia itu bukanlah orang yang berjiwa pengkhianat pada mulanya, ternyata
saya keliru gede dia itu sifatnya suka mengabdi kepada orang yang berkuasa, dahulu yang
berkuasa Sukarno, dia tunduk-tunduk dan sanjung. Sekarang yang berkuasa Soeharto yang
berbeda seperti bumi dan langit dengan Sukarno, dia tunduk-tunduk dan sanjung juga. Apakah
dia itu bisa berbuat lagi nanti buat ketiga kalinya? Wallahualam, hanyaTuhan yang lebih
mengetahui.
Kemudian Amir Machmud berdiri, untuk menilpon ke Bogor, menggunakan tilpon yang ada di
dekat situ, lima langkah saja dari tempat kami duduk.
_________________________
2. Amir Machmud memang salah seorang yang dekat, disayangi dan dipercayai Presiden
Sukarno, itulah salah satu alasan kenapa dia diberi kepercayaan yang begitu besar, yaitu
menjabat komandan militer untuk keamanan daerah istimewa Jakarta Raya, Ibu Kota
Republik.Aku pun mengenalnya dengan baik, orangnya sederhana dalam berpakaian, tidak
berlagak sok gagah, dan pandai mengambil hati dalam bercakap-cakap dengan logat Sundanya.
Dia pernah bekerja bersama-sama dengan saya, ketika saya menjabat Menteri PETERA
merangkap Ketua Komite Penerimaan Kepala-Kepala Negara Asing, untuk urusan keamanan
710
tamu-tamu agung itu yang berkunjung ke Indonesia. Pengalamanku dengan dia selama itu, tidak
berlebihan jika kukatakan menyenangkan. Dari saat itu kedudukannya meningkat terus, ketika
itu dia baru berpangkat Mayor. Sekarang, sesudah sepuluh tahun dia berkuasa, kuingat-ingat
kembali kata-katanya di beranda belakang istana itu, tanggal 11 Maret 1966
Dia segera dapat sambungan, sebab ada hubungan langsung ke istana Bogor, rupanya diterima
oleh Ajudan Kombes Sumirat. Kudengar dia meminta waktu untuk diperkenankan menghadap
kepada Presiden segera hari itu juga, bertiga dengan Basuki Rachmat dan Jusuf, penting
sehubungan dengan keamanan pribadi Presiden. Sesudah menunggu sejenak, rupanya
permohonannya itu diperkenan- kan oleh Presiden. Sebab begitu selesai menilpon, ketiga Brigjen
itu segera berangkat bersama-sama.
Saya dan Achmadi minta mobil istana untuk mengantar kami pulang. Pak Sarbini masih tinggal.
Saya bertanya kepada Achmadi, ketika kami sudah berada di dalam mobil, apakah dia juga
bermaksud akan ke Bogor, sebab saya tahuAchmadi adalah di pihak Bung Karno. Dia menjawab
dengan pasti, ya!
"Ya, saya harus ke Bogor juga untuk melaporkan semua pengalaman saya ke Presiden.Tapi
mungkin saja saya harus lakukan berjalan kaki, sebab jalan ke Bogor sekarang sudah rapat dijaga
tentara, banyak penjagaan dan pemeriksaan.Juga saya mau melihat sendiri, sebab kudengar
lapangan terbang Panasan dekat Bogor sudah diduduki tentara Soeharto."
"Kalau berjalan kaki ke Bogor," aku menyela" mana bisa sampai satu hari, dalam satu hari dunia
mungkin sudah terbalik, sekarang ini kita harus menghitung dengan sekon, bukan menit, bukan
jam- jaman".
"Kalau saudara berani mencoba pakai mobil, silakan, tapi mesti siap resiko, sebab situasi sudah
begini ruwet".
Hatiku menjadi kesel (jengkel), mendengar kata-kata Achmadi yang sudah seakan-akan tak
berdaya itu, namun saya diam saja. Sebab kebenaran kata-katanya itu ada juga terasa pada
hatiku: kami sudah berada dalam kecamuk hantaman psywar yang mengacaukan dan
melumpuhkan segala pikiran dan semangat juang. Ini karena tak ada sesuatu tindakan, sesuatu
action yang berarti dari pihak kaum Sukarnois dan Sukarno, termasuk kaum komunis yang dulu
pernah begitu hebatnya menempa keknatan massa di jalan-jalan dan berselogan "ke gunung, ke
gunung" membebaskan kaum tani dengan revolusi bersenjata, etc. etc. Dengan tanpa
mengemukakan masaalah pokoknya,yaitu aksi dan offensifnya kaum kontra-revolusi, terutama
sesudah tahun'60-an, maka sejak terjadi GESTOK (biasa disebut G30S/PKI), kaum Sukarnois
dan Sukarno berada terlalu lama dalam pihak yang defensif, semuanya berpegangan pada ujung
bajunya Sukarno, persis seperti anak kecil yang kehilangan ibu- bapanya di tengah pasar yang
ramai.
Dari mobil kulayangkan pandangan keluar; ketika mobil yang kami naiki itu keluar dari pintu
pekarangan istana dan ketika persis melewati Gedung RRI yang dijaga oleh pasukan RPKAD,
tiba-tiba melompat tiga orang tentara bersenjata dari tempat persembu- nyiannya. Agaknya
karena melihat mobil itu adalah yang terakhir keluar dari pintu gerbang-muka Istana Merdeka.
711
Memang tadi supirnya mobil istana itu pernah mengatakan kepadaku bahwa mereka sebenarnya
dinasihatkan lebih baik jangan keluar istana, kecuali pasukan keamanan Cakrabirawa yang
semata-mata kalau bertugas keluar mengawal Presiden. Agaknya oleh karena melihat di dalam
adalah orang yang berbaju hijau semuanya, dan dari topinya dan tanda pangkat di bahunya dapat
dikenali adalah jendral-jendral semuanya, maka tentara-tentara itu melongo saja. Dari
pengalaman ini, saya dapat suatu kesimpulan bahwa istana mulai dari hari itu sudah dikurung
dalam pengawasan yang amat keras. Resimen Cakrabirawa sudah tidak bergigi lagi, bukannya
mereka itu takut, saya tahu dari kalangan mereka masih cukup banyak yang sedia mati untuk
Presidennya, kalau ada yang memimpinnya, tetapi secara militer resimen itu setiap waktu dapat
dihancurkan oleh RPKAD kalau mereka mau. Maksud saya "bisa dihancurkan", karena resimen
Cakrabirawa tidak menerima komando apa-apa dari atasannya - Brigjen Sabur untuk berlawan.
Padahal resimen Cakra itu punya daya tempur yang tinggi. Bahwa Cakrabirawa belum dilucuti
oleh tentara yang sudah langsung dalam kekuasaan Jendral Soeharto, itu adalah hanya soal
waktu, waktu apabila dia akan membuka kartunya secara terbuka di atas meja.
Aku merasa bahwa keadaan kami seperti macan yang sudah dalam kerangkeng atau seperti
pasukan yang terkurung oleh musuh, dan kami menantikan saat datangnya pukulan "coup de
grace".Ya, ini kalau bertempur, sekarang apa? Satu pun rencana tempur tak ada yang dapat kami
lakukan, ketika aku datang pertama kali di bulan Desember 1965 sesudah terjadinya GESTOK
(ini istilah yang tepat dari Presiden Sukarno) dan sekatang ini adalah yang kedua kalinya,
didesas-desuskan kepadaku, bahwa masih ada 36 batalyon tentara di Jawa Tengah dan Jawa
Timur yang revolusioner, yang setia, yang hanya menunggu komando saja dari Presiden
Sukarno. Saya katakan itu desas-desus, oleh karena kenyataannya itu tidak betul, sebab setelah
saya check batalyon-batalyon yang dikatakan itu sudah "dibereskan" sejak November 1965 sudah
dimutasi pemimpinnya dan sebagian dilucuti. Desas-desus itu cuma memberikan harapan kosong
kepada massa dan rakyat yang memihak Sukarno, merugikan diri sendiri, sebab akibatnya secara
psychologis mendorong pikiran- pikiran menggantungkan diri kepada Sukarno, tunggu
komando, tunggu komando Saya mengerti, dan mengetahui, apa sebabnya "komando" yang
diharapkan oleh sementara orang-orang itu tidak bisa datang dari Presiden Sukarno. Secara
sederhana dan wajar dan secara revolusioner, tidak ada cukup alasan untuk menimpakan
kekecewaan dan kesalahan kepada Presiden Sukarno. Sebab apa? Sebab; apa yang disebut
G30S/PKI itu, sudah kalah sebelum main. Begitu mulai main, sudah ngawur, kehancurannya
telah ditentukan oleh pembunuhan enam orang jendral-jendral itu. Mempersatukan dan
menggerakkan massa rakyat dan tentara untuk membela Sukarno, tidak akan begitu sulit sebab
figuur Sukarno adalah jaminan nasional, jaminan revolusi.Tetapi membela Sukarno
yang"dianggap membela" G30S/PKI yang membunuh enam jendral itu ini adalah pekerjaan
dewa-dewa dari kayangan. Orang yang mengenal betul-betul psikologi dan keadaan masyarakat
Indonesia akan dapat mengerti hal yang kumaksudkan itu.
Kepalaku seakan-akan pecah memikirkan dilema itu. Bagiku satu dilema. Sebab, bagiku
membela Sukarno, adalah tugas politik dan moral, tugas revolusioner, tugas revolusi. Pikiranku
payah mencari- cari. Mencari siapa-siapa yang bisa aku hubungi, tapi hasilnya nol. Menantinya,
sama dengan menanti kuda bertanduk. Harapanku satu- satunya lagi, ialah kepada Brigjen
Hartono, Komandan KKO yang masih utuh yang belum dilucuti. Jika Hartono ini sanggup, setia
kata dengan perbuatan, tanpa menunggu-nunggu "komando" Presiden, aku bertekad, apa boleh
712
buat, biarlah aku tidak lagi bisa kembali ke Kuba, seperti pernah dikatakan Chaerul Saleh
padaku, ........to be or not to be!
Pertanyaan Achmadi menyetop aku terbang dengan pikiranku sendiri itu. Dia bertanya:"Nah,
sekarang apa pikiran saudara, apa rencana Bung lagi. Tapi saya kira rapat seperti yang saudara
dan Chaerul adakan di rumahnya seminggu yang lalu, sekarang tidak bisa lagi. Sudah sulit
dihubungi lagi. Semua bilang"siap", tapi apa yang disiapkan tidak ada buktinya, semua salingtunggu, sampai sekarang tidak ada yang maju duluan, kalau menunggu komando- tempur dari
Presiden, itu edan namanya".
Aku menyadari kalau tadi Achmadi diam saja, dia bekerja dengan pikirannya sendiri. Aku
menjawab dengan berbisik kepadanya: "Sebaiknya, Bung kontaki orang-orang itu, orang-orang
yang saudara hubungi. Kalau masih bisa. Persoalan kita jelas, sejak semula dan sekarang juga,
bukanlah harus menunggu-nunggu 'komando- tempur' dari Bung Karno, itu edan seperti kau
bilang, sebab siapa yang menyerang, siapa yang menyerang duluan pasti hancur, hancur betulbetul. Bung Karno juga tahu itu. Persoalannya ialah supaya ada satu kekuatan yang berani maju
secara tegas, dengan secaracom- bat-ready, berani secara terang-terangan menyatakan
sikapnyahands off Sukarno, bela dan setia kepada Sukarno dan pemerintahnya. Kekuatan itu
harus dicari di kalangan angkatan bersenjata yang sampai sekarang masih di pihak kita".
Saya tidak mau menyatakan, yang pikiranku tertuju kepada Brigjen Hartono, Komandan KKO.
Bagiku sudah jelas sekali apa yang sebenarnya harus dikerjakan. Itulah yang sebenarnya harus
dikerjakan. Itulah yang sejak semula menjadi garis-tugas yang memimpin aktivitasku, sejak
pertama kali aku datang dari Kuba (pertama kali pada bulan Desember 1965 - kedua kalinya
pada bulan Februari 1966). Dalam keadaan yang sudah kepepet seperti itu, massa dan partai
politik hanya dapat dipakai sebagai basis dukungan politik. PARTINDO bersama dengan PNI,
sudah pernah sekali di bulan Februari mengerahkan massa pemudanya mengadakan demonstrasi
yang besar merupakan"Barisan Sukarno" dengan poster-poster "Berdiri di Belakang Bung
Karno", untuk mengim- bangi demonstrasi-demonstrasi yang diadakan pemuda-pemuda
KAMI/KAPPI yang kena hasut menuntut pembubaran kabinet dan pembubaran PKI, dan
bersikap bermusuhan terhadap Bung Karno; akibatnya cuma pertempuran baku-hantam seperti
pertempuran jaman Romawi-kuno dengan Pemuda KAMI/KAPPI yang dibantu oleh tentara.
Hasilnya cuma tambah memperknat posisi KAMI/ KAPPI itu saja, mereka lalu mendapat
bantuan yang lebih banyak dan tambah dihasut oleh pihak kontra-revolusi itu. Sedangkan apa
yang diharapkan dari demonstrasi pemuda-pemuda marhaenis itu akan disusul oleh sikap yang
serupa dari sesuatu pihak angkatan bersenjata secara tegas dan resmi (bukan secara berbisik-bisik
atau didesas-desuskan!), tidak kunjung datang juga. Bisik-bisikan dan desas-desus yang
mengatakan macam-macam, seperti Kolonel Leo Wattimena (AURI), Brigjen Laksamana
Hartono (KKO), Brigjen Sudirgo (CPM), PGT-Kepolisian, dan banyak lain-lain lagi "sudah siap
dan tetap setia kepada Bung Karno", itu membuat massa dan rakyat tergantung pada harapan
kosong, membuat sikap saling- tunggu-menunggu yang sebenarnya passif melemahkan.
Akibatnya bisa lebih mencelakakan lagi, yaitu membahayakan posisi orang- orang yang
bersangkutan itu sendiri.
Semua itu sebab pokoknya hanya satu: tak ada dari mereka itu yang berani ambil risiko untuk
menyatakan sikap yang tegas dan resmi: siap, tegas di belakang pemerintah dan Bung Karno. Itu
713
saja. Bukanlah harus menunggu-nunggu "komando bertempur" dari Bung Karno. Seorang buta
politik pun akan mengerti, Bung Karno tidak akan memberikan komando serupa itu. Andai kata
ada pernyataan tegas dan resmi dari sesuatu pihak Angkatan Bersenjata itu, kuperhitungkan hal
itu akan memberikan landasan politik yang kuat bagi Bung Karno untuk mencapai satu
penyelesaian politik yang menguntunghan bagi negara dan hangsa. Pernyataan dari satu
kekuatan angkatan bersenjata lebih mempunyai bobot dan nilai yang rieel. Saya telah
perhitungkan bahwa Jendral Soeharto tidak akan berani, memerintahkan menggempur sesuatu
keknatan angkatan bersenjata yang mengeluarkan sikap tegas dan resmi sedemikian itu. Kalau
dia berani mencoba juga, dia akan kehilangan Sukarno yang masih sangat dibutuhkannya itu, dan
Sukarno bersama rakyat yang setia kepadanya akan berada dipihak kekuatan bersenjata yang
tegas membelanya itu. Itu pasti seperti dua kali dua adalah empat. Pikiran-pikiran atau rencana
ini sudah matang dalam pembicaraanku dengan Presiden Sukarno, setelah kedatanganku yang
kedua kali dari Kuba mengingat konsep penyelesaian politik yang kuajukan pada kedatanganku
yang pertama kali di bulan Desember 1965, tidak dapat dilaksanakan dalam sidang kabinet di
Bogor pada tanggal 15Januari dahulu. Pidato Presiden di dalam sidang kabinet yang tidak selesai
tadi pagi (11 Maret 1966), adalah sehubungan dengan pikiran-pikiran itu.
Saya tidak bisa ke Bogor hari itu, sebab anakku Dito dengan mobilnya belum kembali. Saya
tidak bisa menghubunginya ke mana dia pergi. Sementara saya menantikan dia kembali di Hotel
Indo- nesia, ketika itu kira-kira jam 15.00 sore, kulihat jalan-jalan dari segala jurusan di depan
Hotel Indonesia itu sudah penuh sesak dengan ratusan truck yang diisi pemuda-pemuda
KAMI/KAPPI yang beruniform jacket kuning dan rakyat-biasa, dan beca-beca yang mau
mengadakan demonstrasi menuju ke arah istana. Beberapa orang yang bercelana hijau tentara,
dengan sangat menyolok kulihat melompat turun dari beberapa truck, mendekati penjual-penjual
buah-buahan yang berdagang di pinggir jalan itu. Keranjang- keranjang buah-bnahan itu dengan
semua isinya dengan gesit diang- katnya semuanya, dibagi-bagikannya kepada pemuda-pemuda
dan rakyat di dalam truck itu dengan keranjang bersama pikulannya sekali. Kepada pedagangpedagang buah itu dikeluarkannya segebok uang kertas dari dalam tasnya, dibagi-bagikannya
kepada pedagang- pedagang buah itu tanpa dihitung-hitungnya lagi.
Aku terpaksa menyaksikan panorama yang mengandung drama politik itu sendirian tidak
berdaya.Ah, itu pedagang-pedagang masih baik nasibnya, jika saja tidak dirampok dagangannya
itu, masih dapat bayaran, walaupun keranjang dan pikulannya terbang, turut demonstrasi.
Alangkah banyaknya uang tentara itu. Dari mana uangnya itu.Dan itu begitu saja, demonstrasi di
Jakarta terjadi hampir setiap hari, sudah seminggu itu sejak diketahui Presiden akan mengadakan
sidang kabinet penting tanggal 11 Maret 1966 itu. Tapi demonstrasi yang terbesar di Jakarta
adalah hari ini. Rupanya mereka tidak mengetahui bahwa Presiden sudah tidak berada di istana
di Jakarta, sebab kemudian esok harinya saya baru mengetahui, bahwa barisan demonstrasi itu
dibelokkan menuju Bogor, sebab Presiden berada di sana.Waktu sidang kabinet di Bogor 15
Januari yang lampau, juga Istana Bogor itu dikurung oleh demonstrasi yang besar-besaran, yang
menuntut dibubarkannya PKI dan diretulnya Menteri Luar Negeri Subandrio, yang dikatakannya
"haji Peking".
Demonstrasi hari ini poster-posternya lebih meningkat lagi isinya, bukan saja menuntut supaya
dibubarkannya PKI, tapi juga "retul kabinet". Walaupun Sukarno belum di attack, tapi itu berarti
memencilkan Sukarno. Pernah dilaporkan kepada Menteri Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam,
714
yang diberitahukan Chairul Saleh kepadaku, bahwa pasar-uang gelap di Jakarta (di Glodok dan
Pasar Baru, umumnya pedagang-pedagang Tionghoa), dalam minggu pertama bulan Maret itu
berhasil membeli 200.000 U.S dollar dari orang-orang yang "tidak dikenal" yang membutuhkan
rupiah, dengan kurs pukul rata 1 = 500 rupiah; jadi ada kira-kira 100 juta rupiah. Untuk apakah
uang sebanyak itu? Apakah uang itu, untuk membayar sewa-sewa ratusan truck-truck itu, untuk
membiayai dapur umum manusia-manusia yang dikerahkan demonstrasi itu, dan segala
keperluan usaha-usaha jahat menggoncangkan negara dan untuk menjatuhkan Sukarno?
Sore itu sampai malamnya saya tidak bisa pergi ke mana-mana. Karena gelisah sendirian saja di
kamar hotel, saya tilpon Mayjen Sudirgo, Komandan CPM di rumahnya. Kebetulan dia ada.
Tentu saja saya tidak bisa bicara banyak per tilpon. Saya cuma memberi salam dengan"apa
kabar". Dijawabnya sederhana pula "kabar baik", tapi kemudian dia mengatakan kalau Pak
Hanafi mendengar kabar sesuatu, supaya dia diberi tahu. Aku bertanya apa tidak sebaiknya jika
saya datang saja ke rumahaya. Dijawabnya, sebaiknya tidak usah, sebab di rumahnya itu banyak
kesibukan, banyak orang yang pada datang, katanya.
Kemudian, tiba-tiba saya mendapat tilpon gelap, yang sebenarnya mengancam; dia tidak mau
memberikan namanya. Suaranya saya kenali, suaranya selalu serak seperti suara orang yang baru
bangun dari tidur, si ... orang IPKI dengan ketawa:"Ha, ha, haaa, ini koboinya Fidel Castro, ya".
"Ada apa, apa kabar, dari mana saudara tilpon kamar saya", aku bertanya, dengan menahan
perasaan. Sebab saya tidak merasa ada hubungan dengan dia. Dia ini pernah jadi tentara, pro
Nasution dan anti Sukarno setengah mati. Sambungnya lagi dengan suara yang congkak dengan
ketawanya yang sinis:"Ha, ha, ... dari mana saya tahu, itu urusan saya, semua saya tahu; kenapa
saudara tidak pulang saja ke Kuba, apa yang saudara perbuat di sini".
"Itu juga urusan saya, ini negeriku, ini negara saya turut mempe- lopori menegakkannya dan
akan saya bela terus, kalau saudara mau turut, boleh datang ke kamar saya sekarang, kita bicara
..."
"Ha, haaa, masih keras juga, huh," suara putus pesawat dibanting rupanya. Saya menduga, pasti
dia itu menilpun saya dari reception desk dari Hotel itu, sebab banyak suara terdengar, orangorang bicara. Kalau dia betul datang bergerombolan untuk datang menculik, sudah pasti saya
akan kalah. Saya yakin dia itu tidak akan berani datang kalau sendirian, watakaya saya kenal,
watak tukang obat yang suka sesumbar. Bagaimanapun juga saya pindah ke kamar lain, saya
menyewa dua kamar reserve sebagai persiapan diri terhadap hal-hal serupa. Sebab pemudapemuda PARTINDO, dan dua orang Cakrabirawa yang biasanya mengawal saya tidak datang
pada hari itu. Keadaan saya sendirian betul-betul. Dua hari kemudian, setelah kejadian itu
kuhubungkan dengan peristiwa "11 Maret", kusimpulkan bahwa itu orang IPKI, sudah
mengetahui terlebih dahulu bahwa akan terjadi apa yang disebut SUPERSEMAR itu, jika tidak
dia tidak akan berlagak sesombong itu terhadap saya yang tidak pernah berhubungan apa-apa
dengan dia, orang yang tidak punya nyali untuk berkelahi kalau satu lawan satu.
Baru saja saya masuk kembali ke kamarku semula, ada yang mengetok pintu. Saya "kokang"
pistolku, sambil bertanya siapa di luar: "Saya, Sudarto, Pak". Pintu kubuka tampak Brigjen
Sudarto, bekas ajudan Presiden, menyeringai kasih unjuk giginya.
715
"Masa, bapak kokang pistol menerima saya, Pak Hanafi".
"Maafkan aku jendral, saya tidak tahu bahwa saudara yang datang".
Setelah duduk dan kusuguhi minum, Brigjen Sudarto berkata: "Pak Hanafi, saya datang
menengok bapak tidak akan lama. Saya diutus teman-teman, supaya Pak Hanafi mendesak
kepada Bapak Presiden, supaya pak Bandrio itu diganti saja, untuk meredakan sedikit suasana.
Supaya diganti saja, oleh Pak Hanafi, atau Pak Adam Malik. Buat kami sama saja, tetapi
sementara teman-teman mendesak supaya Pak Hanafi. Tapi supaya segera, Pak".
"Siapa teman-teman itu?", tanyaku, agak keheranan.
"Mereka sekarang berkumpul di rumah saya, kalau tidak percaya saya, tilponlah sekarang. Bapak
kenal Kolonel Mustapa, Komandan pasukan cadangan Sukarelawan Kalimantan Utara, bekas
Overste Singgih, dan lain-lain lagi ..."
Brigjen Sudarto pulang, setelah aku sanggupi untuk membicarakan yang dimintanya itu kepada
Presiden, tapi dengan perjanjian supaya mereka itu aktif setia kepada Bung Karno. Saya jelaskan
kepadanya, saya tidak keberatan diajukan Adam Malik, asal dia berjanji akan setia dan tegas
membela Bung Karno dan Chaerul Saleh, dan kalau memang pergantian Subandrio itu
merupakan syarat mutlak bagi peredaan ketegangan, saya yakin akan dapat dilakukan dengan
segera oleh Presiden, pun saya percaya pula bahwa Subandrio akan ikhlas meletakkan
jabatannya. Namun dalam hatiku, aku tahu sudah bahwa kuncinya persoalan bukan di situ, oleh
karena itulah saya tekankan kepadanya bahwa "kunci" peredaan ketegangan itu sejak semula ada
di tangannya Jendral Soeharto. Atas perkataanku yang terakhir ini Brigjen Sudarto menjawab
bahwa persoalan yang dibicarakannya kepadaku itu "sudah di tangan Pak Harto".
Saya hanya manggut-manggut; tanpa menunjukkan bahwa saya tetap bercadang. Sebab dalam
kehidupan selalu ada kejadian yang tidak bisa dikenali segera apa yang tersembunyi di belakang
kejadian itu. Kenapa Jendral Soeharto sendiri tidak mengajukan langsung kepada Presiden, kalau
memang serius itu persoalannya, atau kenapa Jendral Soeharto sendiri tidak langsung memanggil
saya.
Belum berapa lama Brigjen Sudarto pulang, pintu diketok orang lagi. Kuharap anak saya Dito
yang datang. Kubuka pintu, ternyata Menteri Sudibyo (Wakil Ketua Front Nasional), ditemani
seorang sekretarisnya, yaitu Sekjen pemuda PSII yang saya kenal.
Air muka Sudibyo tampak kusut. Dia tidak gembira lagi, seperti biasa kukenal, jika jumpa
dengan ku. Sekarang tampaknya lesu sekali. Tidak jelas apakah dia mau mencari informasi atau
mau memberikan informasi. Tapi selama dia duduk bercakap-cakap, dia lebih banyak
mencurahkan kekecewaannya kepada PKI dan kepada Aidit, dan tentang Front Nasional yang
sudah lumpuh. Itu adalah perasaan umum yang sudah banyak kudengar sejak semula aku tiba di
Indo- nesia. Dari Sudibyo sebenarnya aku mengharapkan suatu pandangan yang konstruktif, atau
sesuatu idee. Aku mengerti dan dapat memahami kalau dia hanya menumpahkan kesesalannya
saja itu, barangkali tak ada teman lain yang dia bisa ajak bicara. Tapi saya tidak ada waktu untok
716
menanggapinya, saya cuma manggut-manggut saja, sebab urat syarafku sejak dari pagi sampai
sore itu sudah terlalu tegang.
Adalah biasa dan sudah lumrah, pihak yang kalah dilempari orang dengan penyesalan dan
kutukan, bahkan tidak jarang lebih dari itu. Seperti sekarang ini, orang menyalahkan PKI, orang
marah kepada Aidit, orang walaupun masih segan-segan sudah mulai menyesali Bung Karno,
tapi "tidak berani" mengecam dan mengeritik Jendral Soeharto yang membiarkan jiwa ratusan
ribu rakyat dalam bahaya. Tapi, bagaimana pun juga penyesalan-penyesalan itu harus
diperhatikan dan diperiksa dari pihak mana datangnya, dari kawan atau lawan. Menteri Sudibyo
jelas bukan musuh rakyat dilihat dari riwayat perjuangannya. Penyesalan walaupun mengalir
seperti air ke laut dari orang semacam dia itu, sepatutnya didengarkan dengan hati yang kasih.
Apakah PKI sebagai partai, Aidit cs sebagai pimpinan tertinggi PKI, dan Sukarno sebagai
Kepala Negara dengan segala kwaliteit yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya, bersalah
sehingga terjadinya malapetaka, yaitu Gerakan Tiga Puluh September dan kudeta Soeharto 1965
itu?? Bagiku pertanyaan ini saya jawab: ya dan tidak.
Kesimpulan ini telah kutetapkan sejak hasil kunjunganku yang pertama ke Indonesia (Desember
'65 - Januari '66) berdasarkan pengetahuan dan pengalaman secara langsung dan indirect atas
peristiwa itu. Saya berpendapat, tidak ada sesuatu kejadian atau sesuatu hal ikhwal yang berdiri
sendiri, inilah landasan pikiran kenapa saya berkesimpulan ya dan tidak. Masalah yang
menentukan persoalan-pokok, adalah soal politik, soal kekuasaan-negara, persoalan kekuatan
kontra-revolusi melawan keknatan revolusi - pengertian inilah yang seyogyanya harus dipakai
sebagai lampu yang bisa menerangi untuk memeriksa fakta-fakta dan duduk permasalahan yang
sebenarnya. Ini menyangkut langsung masaalah sejarah dan masyarakat, dus soal politik.
Sedangkan pencuri ayam tidak boleh divonnis secara serampangan begitu saja, apalagi persoalan
revolusi yang menyangkutiangsung kedudukan Sukarno sebagai Kepala Negara yang bukan
sembarangan, tetapi juga pemimpin perjuangan kemerdekaan yang menegakkan Republik
Indonesia ini.
Bagiku setiap orang yang berjiwa kerakyatan dalam hatinya, kalah dan menangnya perjuangan
harus disambut dengan senyuman, risikonya dipikul bersama-sama janganlah kalau sukses saja
datang minta pembagian!
Dalam konteks persoalan ini, soal yang laksana beras dalam intaran (alat untuk memisahkan
beras dengan padi) yang sedang dikocok ke kanan dan ke kiri, orang harus bisa memisahkan
antara beras dengan padi antara padi dengan batunya. Jika telah dilaksanakan analisa dan
penelitian secara tepat, saya yakin orang akan melihat bahwa Aidit cs dengan PKInya adalah
mangsa jaringan-jaringan provokasi, provokasi mana melahirkan GESTAPU yang menunggangi
Sukarno, dan Soeharto kemudian menunggangi GESTAPU itu sebagai kuda pacuannya untak
melancarkan kudetanya. Di samping itu orang akan dapat melihat pula bahwa malapetaka kudeta
Soeharto 1965 itu, adalah pula sebagai produk bertabrakannya kepentingan politik dan ekonomi
tiga besar, USA-RRT-UNI SOVIET (botsingen van politieke en ekonomische belangen).
Akhirnya yang beruntung adalah USA, yang buntung adalah Indonesia, yang gigit jari adalah
RRT dan Uni Soviet.Bagaimana orang bisa mengadakan retrospeksi diri sendiri, atau sebagai
717
partai politik mengadakan self koreksi, bila semua masaalah yang saling bersangkutan itu tidak
dianalisa secara tepat, dan berani mengambil sikap mandiri dan berdaulat demi ke- pentingan
rakyat, bangsa dan tanah air? Ya, dengan mengedepankan kepentingan rakyat, bangsa dan tanah
air sendiri terlebih dahulu, lebih daripada pertimbangan-pertimbangan lainnya. Kalau sungguhsungguh mau menemukan dari mana sumber kesalahan paling pokok yang menimbulkan
malapetaka yang"dimahkotai" oleh kemenangan coup d'etat Soeharto dengan penyembelihan
sejuta lebih rakyat yang tidak berdosa itu, saya berpendapat pertama-tama bukanlah harus dicari
kepada Sukarno, juga bukan kepada Aidit dan PKI, tetapi terhadap mereka yang telah
melacurkan diri kepada Amerika. Mereka itulah yang mengacau dengan menjalin-jalin jerat
provokasi dengan apa yang disebut GerakanTigapuluh September (GESTAPU).
Dari situlah Soeharto mulai menggunakan GESTAPU itu sebagai kuda tunggangannya untuk
mencapai puncak kekuasaan, kemudian merestorasi neo-kolonialisme di Indonesia seperti yang
kita alami sekarang. Tapi jelas, GESTAPU itu bukan PKI, dan PKI bukan GESTAPU!!!
GESTAPU menunggangi Sukarno, Soeharto menunggangi GESTAPU. Bahwa Aidit cs
tersangkut dengan GESTAPU itu jelas. (Sudisman sendiri telah mengakuinya dengan jantan).
Dus, sesungguhnya GESTAPU itulah yang harus diperiksa dan diadili dengan teliti berikut
segala sangkut paut dan latar belakangnya, secara terbuka, adil dan demokratis. Semua itu
memerlukan waktu yang cukup, tidak bisa tergesa-gesa atau main tembak tanpa proses, seperti
dialami oleh Aidit, Nyoto, Sakirman, Lukman dll. Penggabungan nama GESTAPU dengan nama
PKI menjadi G30S/PKI, itu sebenarnya sudah menunjukkan salah satu mata rantai yang
tersembunyi. Siapa-siapa dan ke mana kaitan mata- rantai mata-rantai itu? Jadinya seperti maling
berteriak maling, karena tidak ada penyidikan yang jujur dan terbuka. Kenapa tidak disebut saja
GerakanTiga Puluh September, sebab bukankah begitulah nama sebenarnya yang dinyatakan
oleh kolonel Untung sendiri? Kalau toh mau dilengkapi kata adjektifnya, yang paling kena
adalah: "GESTAPU/SOEHARTO " .
Hari sudah petang, matahari sudah turun, tapi udara masih terasa panas. Udara panas tadi siang,
masih belum mengendap, dan aku sendirian dicengkam rasa tidak tentram. Radio yang terus
kupasang membawakan lagu-lagu tidak begitu kuperhatikan. Saya ngelamun, terkenang anakanakku dan isteriku di Havana, yang juga tidak tentram tentunya, dan tentulah mereka
mengetahui juga keadaan genting yang kudapati.Tiba-tiba saya melompat terkejut, kabesarkan
suara radio itu yang mulai menyiarkan siaran pemerintah. Apa yang kudengar adalah pembacaan
Surat Perintah Sebelas Maret. Sesaat setelah pembacaan saya masih juga belum cepat menyadari,
di kepalaku timbul segera tanda tanya.
Tidak lama kemudian pembacaan SUPERSEMAR itu disusul dengan pembacaan sebuah Surat
Keputusan Jendral Soeharto, yang berdasarkan SUPERSEMAR itu membubarkan PKI di selurah
In- donesia, "atas nama Sukarno Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi".
Saya menjadi lebih terkejut dan keheranan. Apakah benar Presiden menyetujui atau menyurah
Jendral Soeharto membubarkan PKI? Ini tidak masuk akal pada saya. Automatis pikiranku
tertuju kepada tiga orang brigjen: Amir Machmud, Basuki Rachmat dan Jusuf yang kebetulan
kutemui di Istana Merdeka tadi siang, mereka kemudian bertiga pergi ke Bogor. Sekarang
barulah menjadi jelas bagiku, rupanya kepergian mereka ke Bogor itu, diperintahkan oleh Jendral
Soeharto, siap dengan Naskah Surat Perintah 11 Maret 1966 untuk memaksa Presiden
memberikan tanda tangannya. Sedangkan Surat Keputusan pembubaran PKI disiapkan oleh
718
Jendral Soeharto sesudah mereka itu kembali dari Bogor dengan membawa SUPERSEMAR itu.
Dugaanku ini mengenai SUPERSEMAR itu, esok harinya dibenarkan oleh Chaerul Saleh yang
ada bersama Presiden di Bogor.
Sehabis siaran Pemerintah itu, segera saya menilpon Brigjen Sudirgo, Komandan CPM. Dia
mengatakan dia juga sudah dengar. "Kita tunggu saja apa kelanjutannya", katanya. Saya seperti
mendapatkan sesuatu yang kosong. Jangan tidak dia tambahkan, bahwa dia sudah
memerintahkan mengecek apakah anak saya Dito yang tidak pulang itu apakah tertangkap, dia
mengatakan bahwa dilaporkan tidak ada. Sebab waktu saya menilpon dia pertama kali tadi siang,
saya minta pertolongannya.
Kemudian saya segera menilpon ke Istana Bogor. Saya langsung dihubungkan kepada Ajudan
Kombes Sumirat. saya tanyakan apa kabarnya bagaimana keadaan presiden.
"Tadi siang di sini rame sekali," Sumirat menjawab,"istana dikurung oleh demonstrasi besarbesaran, tembakan-tembakan terdengar rame, tank-tank mengurung istana. Kalau Pak Hanafi
mau datang menengok Presiden, datanglah cepat-cepat".
Saya menjawab bahwa saya besok pagi, akan segera ke Bogor, sebab malam itu, walaupun saya
ingin sekali, tapi tidak bisa, sebab alasan keamanan. Suaranya Sumirat kudengar dengan nadanya
yang sangat mengharap. Maka kusimpulkan dengan dikeluarkannya surat perintah presiden 11
Maret itu, di Bogor telah terjadi suatu tragedi besar!
Malam itu Dito pulang. Saya marah-marah kepadanya. Dia datang dengan Iwan, pemuda
Bengkulu keponakannya Syamsuddin, yang selalu mengantarkan rantang makanan ...à la
Bengkulu setiap malam untukku. Malam itu datang juga Letnan Andreas dari Cakrabirawa yang
bertugas menjadi ajudan/pengawalku. Datang pula Palti Simatupang kawannya Dito,yang
biasanya mengikuti Dito ke mana- mana. Esok harinya kira-kira jam 1 siang, tanggal 12 Maret
1966, diikuti oleh mereka itu, kecuali Iwan, saya berangkat ke Bogor. Sepanjang jalan antara
Jakarta-Bogor, di banyak tempat saya melihat regu-regu tentara berjaga-jaga, di beberapa tempat
tank-tank, dan mobil-mobil berlapis baja.Tapi jalan terbuka, walaupun sepi, hampir tidak ada
kendaraan partikelir yang lewat, kecuali kendaraan militer yang dilarikan dengan cepat. Mereka
pada melongo memandang kepada mobil yang kunaiki, agaknya ada keheranan melihat kok ada
jendral di dalamnya, berpakaian dinas militer dan Cakrabirawa, sedangkan yang lainnya
berpakaian sipil, dan mobil partikelir pula.
Agakya tentara yang melongo itu berspekulasi, mungkin kami itu bertugas rahasia yang penting.
Ini juga memang sudah kuper- hitungkan. Saya pesan kepada ajudan kalau disetop dan ditanya
dia saja yang menjawab, lainnya diam: panggilan Presiden. Kalau perlu aku sendiri akan
menjawab: diutus Jendral Soeharto.Jikalau sampai disuruh keluar dari mobil, aku sudah sedia
dengan siasat yang lain, aku sendiri akan minta bicara langsung dengan Jendral Soeharto.
Biasanya kalau sampai begitu mereka tidak akan berani.Ketika mobilku memasuki kota Bogor,
di pinggir jalan masih ada tampak kertas bertaburan, sobekan-sobekan dari poster-poster
rupanya. Kota itu sepi tampaknya, tidak seperti biasanya.Toko roti yang biasa saya singgahi
dahulu ketika belum pergi ke Kuba, dibuka pintunya saja, tidak banyak lagi mobil-mobil
berderet-deret di depannya.
719
Sedangkan itu adalah hari Sabtu, kalau jaman normal, tempat itu banyak disinggahi orang yang
pulang-pergi ke Puncak (daerah pegunungan yang sejuk). Pintu gerbang muka, yang disebut juga
"gerbang-protokol" ditutup dan dijaga Cakra. Tapi di pojok pada jalan yang menurun ke arah
kali, tampak agak tersembunyi sebuah tank yang lagi nongkrong, saya pastikan itu bukan
tanknya Cakra, sebab saya tahu Cakrabirawa tidak punya tank. Barangkali ada lagi di tempat
lain, tapi tidak saya lihat, sebab mobil langsung menuju pintu masuk di samping istana, bukan
"gerbang protokol", bukan pintu resmi. Saya langsung mula-mula diterima oleh Kombes Sumirat
di pavilyun penerimaan tamu, kemudian diantarkannya sendiri ke pavilyun istana tempat yang
digunakan Presiden apabila ke Bogor dan yang ditinggali Bu Hartini, yang bersebelahan terpisah
kira- kira dua puluh langkah saja dari pavilyun penerimaan tamu tadi. Biasanya tamu-tamu
diminta mengisi buku daftar tamu. Rupanya ini kali formalitas itu tidak diwajibkan kepada saya.
Bung Karno kebetulan sedang berada di beranda muka bersama Bu Hartini memandang
sekumpulan menjangan di kejauhan di dalam peka- rangan istana itu. Dia berkemeja sport yang
ujungnya dikeluarkan, biasanya begitulah dia kalau waktu beristirahat, dan tidak berpeci. Saya
memberi saluut militer kepadanya, kemudian kami bersalaman. Aku tidak biasa mencium tangan
Bung Karno, tapi sekali ini tangannya kucium ... dan tiba-tiba terloncat dari mulutku kata- kata
yang mendorong hendak keluar:"Bung Karno, kucium tangan ini ... tanpa tangan ini tak ada
Proklamasi Agustus 45".
Bu Hartini masuk ke dalam rumah. Bung Karno mengajak saya duduk ke beranda samping. Hari
kira-kira jam 11.30 lebih.
"Sudah dengar siaran radio kemarin?"tanya Bung Karno
"Sudah, ... itulah sebabnya saya datang kemari, sebab saya ingin mendengar dari Presiden
sendiri, pertama, berhubung dengan apa maka sidang kabinet kemarin terpaksa tiba-tiba
dihentikan, kedua, bagaimana sikap kita selanjutnya "
"Ada katebelletje dari Sabur, mengatakan ada pasukan yang "tak dikenal" masuk Jakarta, sudah
mendekati istana, sebaiknya segera saya berangkat ke Bogor. Nah, Hanafi dengar siaran radio
kemarin, jadi sebenarnya, saya masuk perangkap ke Bogor ini "
"Tapi kenapa Sabur ?" tanyaku."Perlu saya laporkan, bahwa Jendral Mursid sendiri pergi
memeriksa sekitar istana, tapi ketika itu dia tidak melihat apa-apa".
"Bukan salah Sabur ," kata Bung Karno."Sebabnya karena sudah panik. Kemarin, datang Amir
Machmud, Basuki Rachmat dan Jusuf diutus Jendral Soeharto, dengan membawa Naskah Surat
Perintah yang disusunnya. Kemarin, istana dikepung. Hanafi tanya kepada Chaerul Saleh nanti.
Saya terpaksa tandatangani karena keadaan dan posisi kita sedang sangat terjepit, saya laksana
singa meraung-raung sendirian di tengah padang pasir, saya memerlukan waktu Amir Machmud,
Basuki Rachmat dan Jusuf menjamin, yang mereka akan tetap membela Bapak, menjamin yang
Surat Perintah itu tidak akan disalahgunakan, pelaksanaan yang penting penting akan minta izin
saya.Tapi pembubaran PKI is zonder mijn accoord gedann en niet eens met mij besproken."
Kalimat yang terakhir ini diucapkannya dengan keras. Saya tahu Bung Karno akan marah kalau
distop, saya khawatir marahnya itu akan menimpa saya.
720
"Itu bukan tanggung jawab Bung Karno, bukan salahuya Bung Karno," kataku.
"Pembubaran partai politik, menurut konstitusi adalah hak prerogatif Presiden, dat weet je wel,
itu tidak bisa didelegeer dengan Surat Perintah itu. Soeharto bukan Wakil Presiden, dan saya
tidak uzur. Saya tidak takut membubarkan PKI kalau memang PKI yang memberontak, tapi
harus jelas dulu apa itu GESTOK, yang jelas baru Aidit itu yang keblinger.
Apa rencanaku selanjutnya? Saya telah mengutus Pak Leimena membawa Surat Perintahku
kepada Jendral Soeharto, mari kita tunggu reaksinya, apakah dia akan tetap patuh atau
membangkang. Nah, Hanafi, kalau dia tetap patuh, kau tetap di sini membantu Presiden, kalau
dia membangkang terus, kamu secepatnya kembali ke Kuba en doe je best. Sekarang, pergilah
temui Chaerul Saleh dan Subandrio, bantulah, mereka sedang bekerja di pavilyun sana".
Presiden terus berdiri dan saya pun segera ke pavilyun istana yang lain di mana berada Chaerul
Saleh dan Subandrio. Melihat saya datang, Chaerul segera berdiri menyambut, dan
berkata:"Jangan marah-marah dulu, bacalah ini dulu!"
Dia menunjukkan sebuah tembusan Surat Perintah Presiden tertanggal 13 Maret 1966, yang
sedang diketik oleh seorang pegawai administrasi istana dan Dr Subandrio sedang berdiri di
sampingnya. Isi pokok surat perintah itu adalah sebagai berikut:
a) mengingatkan bahwa Surat Perintah Sebelas Maret 1966 itu sifatnya adalah
teknis/administratif, tidak politik, semata-mata adalah surat perintah mengenai tugas keamanan
bagi rakyat dan pemerintah, untuk keamanan dan kewibawaan presiden/ Panglima
Tertinggi/Mandataris MPRS.
b) bahwa Jendral Soeharto tidak diperkenankan melakukan tindakan-tindakan yang melampaui
bidang dan tanggung jawabnya; sebab bidang politik adalah wewenang langsung Presiden,
pembubaran sesuatu partai politik adalah hak Presiden semata-mata.
c) Jendral Soeharto diminta datang menghadap Presiden di Istana, untuk memberikan
laporannya.
Tembusan.
"Surat Perintah akan diperbanyak, distensil," kata Chaerul."Untuk disebarkan,jij dan Achmadi
punya tugas supaya pemuda marhaenis, pemuda-pemuda PARTINDO itu menyebarkannya, dan
akan dibagikan kepada orang lain supaya turut menyebarkannya."
"Apa ini artinya siap untuk show-down?" saya menyahut."Sebab ini tidak ada artinya lain. Kalau
begitu kenapa tidak disiarkan segera per radio dari sini?"
"Manaaa radio, yang ada di sini cuma (yang diucapkannya itu tidak patut diulangi). Kau cari
Suryadharma apakah dia masih punya alat transmisi, atau punya apa? Kalau tidak, tugas kita
cuma sampai di batas ini. Orang-orang bilang mau revolusi, kok pakai "tunggu-komando", setia
kepada Bung Karno "tunggu komando" .......tai kucing......."
721
Chaerul naik pitam, begitulah temperamennya.Tidak asing lagi bagi yang mengenalnya. Sifat
tegas dan berani sejak dahulu, walaupun ada kalanya tanpa perhitungan yang tenang dan dalam.
Kata-katanya yang terakhir saya anggap tepat sekali. Kalau dahulu kita yang disebut pemuda
proklamasi menunggu-nunggu datangnya komando, sudah pasti tidak akan ada itu Proklamsi 17
Agustus 45.
Subandrio, kulihat wajahnya membayangkan kelesuan, namun jangan sampai tidak ngomong
apa-apa, dia berkata juga: "Jangan putus harapan, Fi, masih ada jalan".
Pada saat itu datang Achmadi. Hatiku yang ingin mengatakan, bahwa "jalan-tunggu-komando itu
jalan-kapitulasi", tidak jadi kuucapkan. Kemudian sudah kurasakan, tidak perlu diperdebatkan
lagi, sebab dalam suasana yang demikian itu sudah jelas soalnya: bertindak dulu bicara
belakangan!
Kutanyakan pada Achmadi: "Dari mana, Bung Achmadi? " Achmadi: "Dari Jakarta, dari mana
lagi."
Dia menunjuk kepada uniform lengkap yang kupakai, berkata: "Kenapa masih pakai pakaian
begini, orang tidak harus pakaian begini lagi..."
"Kalau saya tidak berpakaian begini, mungkin juga saya tidak akan sampai di
sini,"jawabku."Kalau ditangkap sebagai jendral itu lebih baik daripada konyol". Achmadi diam.
Dia berpakaian kain sarung, bertopi pandan buatan Tangerang, dan sandalan, uniform jendralnya
entah di mana.
Dia pergi ke meja, membaca surat yang akan diperbanyak itu. Dia menceritakan bahwa, dia dari
kemarin berjalan kaki dari Jakarta, melalui jalan-jalan kampung, via daerah Pasar Minggu. Dan
hari itu tadi dia melewati daerah lapangan terbang Panasan di dekat Bogor, lapangan terbang itu
sudah diduduki Angkatan Darat dan bahwa dia akan menghadap Presiden untak melaporkan hal
itu.
Setelah copy Surat Perintah 13 Maret itu selesai diperbanyak di atas mesin stencil Gestetner,
sebanyak lima ribu lembar, maka diaturlah pembagiannya. Sebagian akan dibawa oleh orang
Cakrabirawa yang terpercaya ke Jakarta, sebab dengan demikian akan lebih aman, sedangkan
Achmadi bertanggung jawab akan penyebarannya. Tapi saya langsung mengambil sebagian
kecil, (dan yang saya ambil ini kemudian setelah di Jakarta saya serahkan kepada PemudaPemuda PARTINDO, yang saya tidak ingat lagi siapa-siapa, supaya disebarkan). Achmadi
mengambil semua stencilan itu, dikepitnya dibawanya ke kamarnya. Chaerul Saleh mengatakan
bahwa nanti kita semua akan ketemu makan bersama Presiden.Achmadi berkata, bahwa dia tidak
akan turut, kalau sudah laporan, dia bersama Achadi (yang sedang menanti di kamar) akan pergi
untuk mengurus penyebaran stencilan- stencilan itu. Demikianlah katanya. Bagaimana
selanjutnya stencilan itu, saya tidak mengetahuinya lagi.
Brigadir Jendral KKO Hartono: "kita harus mulai baru"3
722
Sehabis waktu magrib, sesudah sembahyang, saya pergi menuju ke pavilyun Presiden.
Sebelumnya saya menanyakan kepada pengawal istana, ada di mana Dito, Palti dan Andreas,
yang dijawab mereka itu berada di pavilyun, dan diurus makan dan penginapannya. Sebab saya
belum ada kepastian, apakah pulang ke Jakarta atau tidak malam itu.
Di pavilyun Presiden, sudah berada lebih dahulu Dr. Subandrio dengan isterinya Mbakyu
Hurustiati, Chaerul Saleh dengan isterinya Zus Jo, Bung Karno dan Bu Hartini. Suasana
tampaknya biasa saja. Walaupun masing-masing sudah mengetahui bahwa keadaan adalah
genting sekali, tapi berhubung ada hadirnya wanita-wanita yang amat bijaksana itu, sangat
membantu adanya ketenangan. Begitulah pikiranku.
Bu Hartini:"Bung Hanafi, apa kabar, kenapa Jeng Kendah tidak dibawa? Anaknya yang kecil
siapa namanya?"
"Baik-baik saja Bu, tapi belum bisa saya bawa bersama-sama, saya sedang bertugas di sini, dia
bertugas pula di sana anakku yang kecil itu namanya Nina ... Nina Mutianusica, singkatan dari
pada mutiara Nusantara dan Caribia".
_____________________
3. Jendral KKO AL Hartono pernah oleh Orba dikirim keluar menjadi Dubes Rl di Pyongyang,
Korea Utara.Tahun 1967, saya kirim pesan kepadanya supaya"jangan pulang ke Indonesia
apabila selesai periode jabatan Dubes". Pesan saya itu saya titipkan pada Dubes Korea di Havana. Ketika Dubes Korea tersebut kembali ke Havana, tapi sudah diangkat menjadi Menteri
Pertahanan, beliau datang menemui saya untuk mengabarkan bahwa pesan saya itu sudah
diusahakannya untuk disampaikan kepada Dubes Hartono, tapi sayang Dubes Hartono sudah
dipanggil kembali ke Indonesia. Beberapa waktu kemudian saya mendengar berita Dubes
Hartono itu mati bunuh diri. Saya tidak tahu pasti apakah betul Hartono itu bunuh diri?
"Wah, bagus sekali namanya, Bung Hanafi pandai sekali memilih nama, ya apa tidak Mas", Bu
Hartini berkata kepada Bung Karno yang duduk di sebelahnya. Bung Karno manggut-manggut
saja.
Chaerul Saleh: "Apakah Bu Hartini tahu riwayatnya, ... ketika Hanafi baru saja tiba di Kuba,
Kuba diserang dengan bom dari udara, dia matikan semua lampu, lari ke kamarnya minta
dikeloni sama bininya, ha, ha, haa... anaknya Babe ...hi, hi, hi ...." Semua tertawa gelak-gelak,
mendengar kelakar Chaerul itu. Bung Karno kulihat juga senang.Aku tidak membantah dijadikan
sasaran seloroh itu. Semua bisa gembira, saya pun juga senang.
Kami makan malam di satu meja bersama-sama Bung Karno. Bagiku itulah yang terakhir makan
bersama-sama dengan mereka itu dan dengan Bung Karno. Sehabis makan kami diajak main
kartu oleh Bu Hartini. Zus Jo dan Mbakyu Hurustiati pandai main dua- puluh-satuan, Bung
Karno, berganti-ganti mereka menang. Tapi sementara itu kesanku Bung Karno tidak begitu
antusias, rupanya ada sesuatu yang tetap masih menyangkut di pikirannya. Kami main kartu
cukup lama, diseling kopi dan bercakap-cakap. Tiba-tiba kedengaran suara helikopter berderu
dari kejauhan mendekat. Subandrio, melihat ke jam di tangannya:
723
"Jam 10.55. Itu Oom Jo dan Hartono datang", dia berkata dan memandang kepada Bung Karno.
Mendengar kata Subandrio, nyonya-nyonya yang bijaksana itu bersiap-siap akan pergi dari
tempat itu.Yang tinggal hanya kami yang menanti kedatangan Oom Jo yang diutus Presiden
menyerahkan Surat Perintah 13 Maret kepada Jendral Soeharto.
Dua buah jeep Cakrabirawa kedengaran menderu menuju ke lapangan hijau di muka sebelah
kanan istana untuk menjemputnya, dan tidak lama kemudian jeep itu kembali lagi, lalu berhenti
di muka tangga pavilyun Presiden.
Tenang saja wajahnya Dr. Leimena masuk, bersalaman kepada Presiden, dan kepada kami,
diiringi oleh Brigjen Hartono dari KKO. Lalu Presiden mempersilakan kedua orang utusan
penting itu duduk. Pelayan segera keluar menghidangkan kopi, tanpa diperintahkan lagi,
barangkali Bu Hartini yang mengatur di belakang supaya kopi itu keluarnya tepat pada
waktunya, atau sudah biasa tugas rutine pelayan.
Dr. Leimena:"PadukaYang Mulia Presiden, mohon dimaafkan barangkali saya agak terlambat" ...
suaranya tenang dan kalimatnya setiap pada koma terhenti sebentar, sedang Presiden dan kami
mendengarkan dengan hening dan penuh perhatian; suara jangkerik yang mengerik-ngerik itu
rasanya menambah terkonsentrasinya pikiran menantikan kata-kata selanjutnya dari Oom Jo
itu...
"Tugas sudah saya laksanakan ... Dengan diantar oleh Brigadir Jendral Hartono ... Surat Perintah
sudah saya sampaikan kepada LetnanJendral Soeharto ... di tangannya sendiri.Jendral Soeharto
membaca surat perintah itu, ... kemudian dia berkata: 'Sampaikan kepada Presiden, semua
tindakan yang saya lakukan adalah atas tanggung jawab saya sendiri.' Dan bahwa Jendral
Soeharto tidak bisa datang ke Bogor, berhubung besok akan diadakan sidang lengkap semua
Panglima Angkatan Bersenjata di Istana Merdeka ... dan Paduka Yang Mulia Presiden
diharapnya hadir jam 11.00 siang'. Sekianlah laporan saya.... barangkali Jendral Hartono perlu
menambah?"
Jendral Hartono diam saja. Presiden pun diam, dan kamipun terdiam semnanya. Oom Jo
menunduk melihat ke lantai. Masing- masing dengan perasaan terharu ditimpa tragedi yang
sama. Langit pun runtuh!
Saya nantikan sejenak, kalau Chaerul Saleh akan bicara sesuatu atau bertanya, saya harap dia
yang bicara, tapi tak ada juga. Tiba- tiba saya berdiri, saya dekati Jendral Hartono, saya tarik
tangannya mengajak dia keluar sambil berkata pelan-pelan: "Jendral saya minta kita berdua
bicara sebentar di luar". Sesampai di luar, di beranda samping pavilyun itu, di bawah naungan
pohon beringin rindang, kupandangi sejenak wajah dan biji matanya Hartono di dalam cahaya
samar di malam itu:"Mas Hartono, bagaimana, apa yang kita dapat lakukan? Kita berdua bicara
di bawah empat mata".
"Pak Hanafi, saya kira mulai dari saat ini kita harus mulai baru sama sekali. Kita tidak bisa
berbuat apa-apa lagi sekarang ini. Saya rasa begitu juga teman-teman di lain angkatan. Memang
pada saya masih ada satu resimen KKO, tapi kalau kita bangun sekarang, sama saja kita
menentang arus, kita akan dicap membela GESTAPU yang bertanggungjawab atas pembunuhan
724
kejam jendral-jendral TNI itu walaupun kita hanya bermaksud menyelamatkan Presiden....
walaupun kami sendiri mengherankan mengapa Soeharto tidak berusaha mencegah pembunuhan
itu, sebab dugaanku dia pasti mengetahui komplotan GESTAPU itu sebelumnya, mengingat
hubungannya dengan Kolonel Latief dan Brigjen Supardjo"....
"Ya, saya pun mempunyai dugaan seperti itu", sahutku. Mataku menembus kegelapan yang
samar-samar kena cahaya dari dalam pavilyun itu, memandangi wajah Brigjen Hartono. Tadi
waktu tangannya kupegang, tangannya itu terasa dingin. Sekarang wajahnya itu pun tidak
bernyala, kelam seperti abu yang sudah padam. Tapi apa yang dikatakannya itu, betul-betul
terasa dalam hatiku. Tidak ada lagi pengikut setia Presiden Sukarno di dalam keempat angkatan
bersenjata itu yang berani bangun dan bertindak sekarang ini, untuk membela kebenaran dan
membongkar segala tipu muslihat yang jahat itu. Soeharto pastilah akan segera menghancurkan
segala"yang bergerak" untuk menghilangkan segala jejak yang akan menunjukan
ketersangkutannya dengan GESTAPU itu.
Kami terhenti bercakap, sebab kami dipanggil masuk. Kami pun masuklah ke dalam
rumah.Waperdam Leimena sudah berdiri untuk pamitan, untuk kembali bersama Brigjen
Hartono malam itu juga dengan helicopter ke Jakarta. Kami semuanya bersalam-salaman. Hari
kira-kira jam 1.00 malam.
Presiden Sukarno:"Besok jam 10.00 pagi harus sudah siap semua untuk ke Jakarta, dengan dua
helicopter, saya akan hadir dalam rapat panglima itu", demikian berkata Bung Karno, seraya
mempersilakan kami semua untuk pergi tidur.
Walaupun badanku letih, tapi saya tak bisa lantas tertidur.Teringat saja dalam kepalaku, katakata Jendral Hartono tadi "kalau kita bangun sekarang, sama saja kita menentang arus, kita akan
dicap membela GESTAPU yang bertanggung jawab atas pembunahan kejam Jendraljendral TNI
itu .... walaupun kita hanya mau menyelamatkan Presiden ... walaupun dia sendiri heran sekali
kenapa Soeharto tidak berusaha mencegah pembunuhan itu, sebab dia punya dugaan bahwa
Soeharto pasti mengetahui komplotan GESTAPU sebelumnya, mengingat hubungannya dengan
Kolonel Latief dan Brigjen Supardjo"....
Bagiku bukan saja dengan Latief dan Supardjo, tapi juga dengan Untung; kalau Hartono tidak
menyebut nama Untung tadi, saya yakin sebabnya oleh karena tidak perlu disebut lagi. Terasa
kepadaku, bagaimana usaha Chaerul Saleh dan saya, yang sia-sia untuk mengatasi bahaya yang
mengancam revolusi.Teringat pengalaman yang telah banyak kualami selama perjuangan ...
barangkali ini sajalah yang dapat menyabarkan hatiku.Jadi, berpegang kepada keterangan
Brigjen Hartono tadi, besar kemungkinan Jendral Soeharto mengetahui adanya komplotan
GESTAPU itu sejak semula, namun dengan tujuan tertentu membiarkan saja Panglima A.Yani
dengan jendral-jendral lainnya dibunuh sampai mati. Jadi kalau begitu, Jendral Soeharto, mainmuka-dua, atau memainkan pisau mata- dua memotong ke kiri dan menyayat ke kanan.
Soal yang lebih memberatkan masuk akalku apa yang dikatakan Hartono itu, ialah bahwa
Kolonel Latief seorang penting dalam GESTAPU itu, ada bersama-sama Jendral Soeharto pada
malam 30 September itu, sebelum pasukan-pasukan yang akan menangkapi/ membunuhi jendral-
725
jendral TNI itu. Dikabarkan bahwa Latief itu menjumpai Jendral Soeharto di Rumah Sakit yang
sedang menengok anaknya yang sedang sakit dirawat di rumah sakit itu.
Bagiku ini bukan pertemuan yang"kebetulan",juga bukan untuk "mengambil-muka" atau untak
kasih unjuk simpati kepada sang ayah dari anak yang tersiram sup panas. Ini tidak logis.
Mengingat Kolonel Latief adalah seorang anggota braintrust komplotan GESTAPU,
kedatangannya di rumah sakit menemui Jendral Soeharto itu, punya maksud satu untuk
melapor/meminta perintah.Ternyata Jendral Soeharto tidak ditangkapnya. Jelas Latief datang
untak melapor, bukan untok menangkap Soeharto.
Bagi orang-orang seperti Latief, Supardjo dan Untung, yang punya pengalaman berjuang dan
punya pengetahuan kemiliteran, sudah pasti mengetahui mana lawan yang harus ditarik ke
pihaknya, mana yang harus dinetralisir dan mana yang harus dipukul lebih dulu. Jendral
Soeharto yang langsung punya pasukan KOSTRAD, yang markasnya hanya beberapa ratus
meter dari istana mestinya telah dimasukkan ke dalam tiga scope militer itu. Logika mestilah
mengatakan, tidak ditangkapnya Jendral Soeharto itu adalah disebabkan oleh karena dia telah
dimasukkan ke dalam salah satu dari dua scope militer yang pertama, yaitu sudah ditarik ke
pihaknya, atau sudah di"netralisir", yaitu dianggap "sudah-tahu-sama-tahu".
Siapakah Kolonel Latief itu? Dia adalah anak-buahnya Soeharto sejak dari jaman revolusi
bersenjata dahulu.Aku kenal padanya ketika dia berada langsung di bawah komandonya
Soeharto yang bertugas mempertahankan dan merebut Yogyakarta kembali. Pangkatnya kapten
ketika itu, yang bertugas juga menghubungi dan mengumpul- kan kembali Laskar PESINDO
yang masih bersenjata dan bertebaran akibat Provokasi Madiun yang berdarah itu. Bagi kapten
Latief, pekerjaan itu tidak begitu sukar, berhubung dia sendiri adalah juga di samping anggota
TNI, juga adalah anggota Laskar PESINDO. Banyak bekas Laskar PESINDO menggabung ke
TNI, ke dalam resimen yang Komandannya Overste Soeharto itu untuk merebut kembali
Yogyakarta dari pendudukan Belanda (perang kolonial kedua 1948/1949). Ketika itu markas
Komando Resimen Soeharto berada di Godean, di sebelah Barat Yogyakarta, tidak jauh dari kali
Progo. Di sanalah Latief pernah kujumpai, dia denganLetnan Haryadi (pelukis), ketika aku dan
bekas Shudanco Pramuji datang dari kampung Demangan ke Godean.
Bekas Shodanco Pramuji, adalah Komandan Laskar PESINDO JawaTimur, anak buahnya
banyak yang dioperkannya kepada kapten Latief, yang merupakan kekuatan militan sekali
merebutYogyakarta kembali. Kekuatan Laskar PESINDO yang menyerbu masuk ke dalam kota
dari Selatan pada 1 Maret 1949, penyerbuan masuk ke dalam kota Yogya yang terkenal itu,
adalah langsung berhubungan dengan kapten Latief di bawah komandan Overste Soeharto yang
bermarkas di Godean itulah. Sejak itu hubungan Latief dengan Soeharto tidak pernah putus, dia
pernah dikirim ke Ambon untuk menumpas sisa pasukan KNIL di sana, dia juga pernah dikirim
ke Padang di bawah komandonya Jendral A.Yani untuk menumpas pemberontakan
PRRI/Permesta. Kolonel Latief adalah seorang opsir yang berani dan cerdas dan berjiwa
revolusioner.Tapi sekali ini, kecerdasan dan keberaniannya serta jiwanya yang revolusioner itu,
disalah gunakan oleh orang yang dianggapnya sebagai bapaknya, ...Jendral Soeharto.
Itulah kesimpulan analisaku, jika mengkaji keterangan Brigjen Hartono tadi lebih lanjut.
726
Bung Karno disiasati sengaja sendirian dipisahkan dari kami
Esok harinya jam 8 pagi, kami bertiga Subandrio, Chaerul Saleh dan saya sudah siap semua,
untuk menepati order Bung Karno yang mengatakan, "jam 10 pagi berangkat ke Jakarta dengan
dua helikopter, saya akan hadir dalam rapat panglima-panglima itu di Istana Merdeka". Dapatkah
dipahami oleh para pembaca latar belakangnya rapat para panglima itu? Pertama: rapat itu
diadakan tidak atas perintah Presiden Sukarno/Panglima Tertinggi ABRI. Tetapi ditentukan dan
diatur oleh Letjen Soeharto sendiri, tanpa dikonsultasikan terlebih dahulu kepada
Presiden/PanglimaTertinggi ABRI. Kedua: itu artinya Letjen Soeharto telah merampas hak dan
wewenang Presiden/Panglima Tertinggi Bung Karno, atas seluruh ABRI. Ketiga: Itulah
penegasan arti ucapannya yang sangat brutal, yang diucapkannya kepada Dr. J. Leimena yang
didampingi oleh Brigjen (KKO) Hartono: "Sampaikan kepada presiden, semua tindakan yang
saya lakukan, adalah atas tanggung jawab saya sendiri". Menurut kamus-politik itu artinya coup
d'etat - kudeta!!!
Hanya orang gila yang mengatakan itu bukan kudeta. Rupa-rupanya Bung Karno sudah seperti
terbiasa dengan pengalaman "kudeta". Sebab ada sementara orang yang suka "memancing di air
keruh" mengatakan bahwa Maklumat No. X dari Wakil Presiden Hatta, 16 Oktober 1945 dahulu
itu juga disebut "kudeta". No! Salah itu.Tindakan Bung Hatta (Wakil Presiden) dahulu itu sama
sekali bertolak belakang dengan tindakan Letjen Soeharto yang sudah dari semula berniat
khianat dengan Gestapunya terhadap Presiden Sukarno sekarang, ditambah lagi dengan
menyalah-gunakan Supersemar, menjadi satu kudeta yang terang-terangan telanjang bulat-bulat.
Bung Hatta dan Bung Sjahrir tidak begitu perilakunya, bahkan politis dan historis memperkuat
posisi Bung Karno sebagai Presiden R.I.
Tapi barangkali juga di dalam dugaanku Bung Karno mengira hanya akan seperti yang telah
dialaminya dengan peristiwa Maklumat No. X Oktober '45 itu. Oleh karena itulah beliau ambil
keputusan untuk menghadiri rapat para panglima yang direkayasa oleh Soeharto itu.Tapi, apa
mau dikata, akhirnya beliau cuma dijadikan presiden tanpa kuasa atau "raja tanpa mahkota".
Untuk sementara ternyata kemudian hanya untuk sampai ke sidang MPR 1967 hasil rekayasa.
Waktu kami akan berangkat ke Jakarta,Bung Karno dipersilakan naik ke helikopter sendirian
terlebih dahulu, sedangkan kami bertiga Dr. Subandrio, Chaerul Saleh dan A.M. Hanafi
dipersilakan naik helikopter yang sebuah lagi. Ketika helikopter Bung Karno sudah naik ke
udara, helikopter kami tidak bisa naik, dikatakan motornya tidak bisa hidup karena accu (battery)
nya "decharge", jadi harus diisi dulu ke Airport Panasan atau ganti battery-nya dulu. Kami
dengan kesal sekali harus menunggu lebih dari satu jam. Mau naik mobil saja, mobil-mobil
sudah disuruh duluan pulang ke Jakarta. Singkat cerita, akhirnya kami bisa juga diangkut ke
Jakarta dengan helikopter yang segaja dibikin brengsek itu. Ketika kami tiba di Istana Merdeka,
sidang panglima-panglima di bawah pimpinan Letnan Jendral Suharto, sudah selesai. Namun
Subandrio dan Chaerul Saleh langsung juga ke istana, tapi saya dinasihatkan Chaerul lebih baik
jangan turut demi keselamatan. Namun saya ngotot, walaupun tidak turut ke sidang, menunggu
di luar untuk pulang bersama-sama. Mulai dari hari itu Dr. Subandrio tidak keluar lagi dari
istana, tapi beberapa hari kemudian dia "diangkut" oleh Tentara Soeharto.
727
Waktu Chaerul dan saya hendak pulang, mobil Jeep Toyota Ramli ex Kepala Pasukan Bambu
Runcing sudah menunggu. Brigjen Hartawan menghampiri Chaerul, entah apa yang
dibicarakannya, kemudian Hartawan turut sama kita ke dalam Jeep. Saya diantarkan pulang ke
Hotel Indonesia, Chaerul mengatakan akan pergi bersama Brigjen Hartawan itu keluar kota.
Siapa itu Brigjen Hartawan? Saya tidak begitu kenal dia.Tapi ketika kami mengadakan rapat di
rumah Chaerul mempersiapkan barisan "jibaku" yang dikepalai oleh Kolonel Mustafa, Hartawan
itu turut hadir. Karena itulah Brigjen Sapi'i menggerundel pada saya kenapa Hartawan itu
dibolehkan hadir, sebab dia itu orangnya Soeharto, katanya. Di rapat itu hadir juga Ir.
Surachman, Sekjen PNI. Kelanjutan dari kepergian Chaerul dengan Brigjen Hartawan itu tadi,
akhirnya Chaerul Saleh menjadi tahanan di rumah sendiri. Dan saya tidak bisa mengunjunginya
lagi. Sampai saya pulang ke Kuba tak bisa saya pamitan padanya lagi. Hanya ajudannya saja
secara incognito (dengan membawa anaknya), Sutomo, menemui saya menyampaikan pesan
Chaerul supaya lekas- lekas pulang ke Kuba. Sebagai sudah saya ceritakan di bagian lain, saya
diantar sampai ke dalam plane didampingi oleh chargé d'affaire Cuba, Jacinto Basques, yang
bertekad jibaku untuk membela saya, kalau saya mau ditahan oleh bandit-bandit Soeharto.
(Foto Bung Karno sedang merokok)
Foto ini pernah dimuat dalam Newsweek dengan keterangan gambar "Sukarno lights up The
scatter-gun charges didn't seem to bother him" Caption itu jelas secara kias bermaksud
melecehkan, "Sukarno menyalakan api dentuman senjata di mana-mana rupanya tak
mengganggunya." Pers Barat memang kesenangan melihat konspirasi pendongkelan mereka
terhadap Bung Karno sebagai pemimpin Bangsa Indonesia yang berdiri paling depan dalam
barisan Asia-Afrika dan The New Emerging Forces, mulai menampakkan tanda-tanda berhasil.
Namun Pakistan-nya Ali Bhuttho sangat menghormati Bung Karno, sebagai Pemimpin maupun
sebagai Presiden Indonesia. Dalam foto tampak Dubes Pakistan di Jakarta pada hari ulang-tahun
nasional Pakistan 23 Maret 1966 mengundang Presiden Sukarno di Hotel Indonesia. Di tengah
pada latar belakang berdiri A.M. Hanafi yang sengaja meninggalkan posnya di Havana untuk
membantu Presiden Sukarno mencarikan penyelesaian politik akibat pengkhianatan
GESTAPU/SOEHARTO bulan September 1965.
728
Bab XXI
Kekecewaanku pada Suryadharma
Keesokan harinya, tanggal 14 Maret, 1966. Saya tidak pergi ke istana. Chaerul Saleh menilpon,
kalau ke istana bersama dengan dia, tapi dia hari itu tidak akan pergi. Dalam catatanku, hari itu
saya pergi ke rumah Marsekal Suryadharma, yang terletak di Jalan Mendut. Setelah berhenti
sebagai Panglima AURI, kedudukan Suryadharma secara resmi adalah Penasihat Militer
langsung kepada Presiden/ Panglima Tertinggi.
Dia menolak untuk dijadikan Duta Besar di Cuba, sehingga saya yang jadi ditunjuk oleh
Presiden, untuk pergi ke Cuba. Iparnya: Utomo Ramelan,Walikota Solo, telah ditangkap karena
tersangkut GESTAPU. Namun, mengingat Suryadharma adalah pendiri utama AURI,
kedudukannya tetap terpandang, walaupun tidak menjabat sebagai Panglima AURI lagi, dia
masih mendapat penjaga keamanan di rumahnya dan pasukan bersenjata AURI.
Saya datang ke Suryadharma untuk membicarakan apakah dia mempunyai transmitter untuk
penyiaran Surat Perintah 13 Maret itu. Dia mengatakan, bahwa memang dia pernah mempunyai,
yang bisa digunakannya langsung dengan pusat penyiaran radio AURI, tetapi beberapa hari yang
lalu pesawat itu telah diminta kembali oleh pihak AURI.
Dia menyesalkan kepada pihak istana, kenapa tidak mempunyai kewaspadaan sejak dan dahulu.
Adalah sangat lalai,jika istana tidak mempunyai alat penyiaran sepenting itu, untuk digunakan
bila dalam keadaan darurat.
Tapi saya tidak mau menyesali dia, tidak ada gunanya, sebab dalam hatiku saya berpikir, bahwa
dia juga sebenarnya turut bertanggung jawab, mengingat dia secara resmi adalah Penasihat
Militer langsung kepada Presiden/Panglima Tertinggi.
Jika dia melaksanakan tugasnya sepenuhnya, barangkali juga tidak akan kejadian tragedi dengan
GESTAPU itu atau paling kurang bisa diatasi kalau situasi memuncak ke suatu krisis yang
gawat. Tapi ini hanya berandai-andai saja. Kalau Suryadharma, tidak terlalu antusias dengan
kedudukan sebagai Penasihat Presiden/Panglima Tertinggi itu, saya sendiri dapat memahami,
sebab merupakan persoalan sensitive baginya. Presiden jarang sekali memanggilnya untuk
dimintai pendapatnya. Semestinya, diminta atau tidak diminta pendapatnya, dia harus melakukan
tugasnya sebagaimana mestinya. Tapi kalau semua hal bisa berjalan semestinya semua persoalan
bisa berjalan lancar ...
Saya berpendapat dalam tiap-tiap keadaan yang sulit, sesuatu penyesalan walaupun benar, tidak
banyak berguna, yang perlu adalah sikap kongkret apa yang harus dilakukan.
Jikalau saya sendiri mau mengemukakan penyesalan atas diri saya sendiri, adalah karena saya
sesudah menolak, mau juga menerima desakan Presiden untuk pergi menjabat Duta Besar
Indonesia di Kuba. Kalau saya tetap berada di Indonesia, mungkin peristiwa GESTAPU itu tidak
akan terjadi, setidak-tidaknya saya akan berusaha sekuat-kuatnya sehingga Presiden tidak bisa
ditunggangi oleh avontur semacam GESTAPU itu. Ini kedengarannya seakan- akan bombasme,
729
tapi saya kira orang-orang yang mengenali hubungan saya - baik secara pribadi maupun secara
politik dengan Presiden Sukarno, seperti Winoto Danu Asmoro, Asmara Hadi, dan Chaerul
Saleh, barangkali tidak akan mengejek saya. Setiap penyesalan bisa berakibat menyakitkan hati,
dan hatiku sendiri menjadi sakit jika aku mengenangkan hal ini.
Suryadharma menasihatkan kepadaku, sebaiknya aku tidak lagi sering mondar mandir, sebab ada
kemungkinan yang sekarang saya sudah diawasi. Karena tidak ada hal yang menggembirakan,
saya pulang dengan perasaan lesu.
730
Bab XXII
Kekhawatiran Señora Silya Sanchez dan Keluargaku di Havana
Tanggal 15 Maret. Pagi-pagi hari, saya menilpon Chaerul Saleh. Ajudannya Sutomo, dari ALRI,
menjawab bahwa Pak Chaerul tidak ada di rumah, sedang bepergian; dikatakan bahwa Chaerul
baru akan ada di rumah pada sore hari. Kemudian saya mendapat tilpon dari kedutaan Kuba.
Kuasa Usaha kedutaan Kuba, namanya Señor Jacinto Vasques, mengatakan bahwa ada surat dari
isteriku (di Havana) untuk saya, dan mengharap supaya saya segera datang ke kedutaannya di
Jalan Teuku Umar, supaya saya langsung yang menerima surat itu.
Segera saya bisa menerka bahwa ada sesuatu yang penting sekali yang dia ingin bicarakan
kepada saya. Sebab kalau hanya sekadar surat saja, dia cukup menilpon saya, danjika saya ada di
tempat, dia bisa menyuruh sekretarisoya untak mengantarkan surat itu kepada saya. Señor
J.Vasques, adalah seorang pejuang yang berpengalaman, bukan saja dalam pertempuran gerilya,
tapi juga dalam pekerjaan diplomatik, pernah menjabat Kuasa Usaha Kedutaan Kuba di Rio de
Janeiro, Brazilia. Kemudian, selama saya dalam exile di Kuba, dia menjadi sahabat saya yang
karib.
Ketika saya sudah berhadapan dengan dia, memang betul ada surat dari isteri saya, yang segera
kubaca, isinya mengabarkan selain tentang keadaan keluarga, bahwa Señora Silya Sanchez,
Sekretaris Presiden, wanita pejuang kenamaan di samping Fidel Castro, beberapa kali sudah
datang berkunjung ke rumah, untuk mena- nyakan bagaimana keadaan dan keselamatan saya di
Jakarta.
Saya mengakui kesalahanku kepada diriku sendiri, saya memang lalai, sudah tiga minggu saya di
Jakarta, saya belum juga mengirim kabar kepada istriku. Kecuali kawat-kawat dinas kedutaan.
Saya terlalu sibuk dengan soal-soal politik.
Surat isteriku itu mengatakan bahwa, Señora Silya Sanchez itu datang berkunjung sudah dua
kali, atas nama Presiden dan Fidel Castro sendiri, sebab pemerintah Kuba sangat khawatir
tentang situasi di Jakarta dan tentang keadaan keselamatan diri saya.
Saya belum mengirim kabar, justru disebabkan karena belum ada kabar menyenangkan yang
dapat saya kirim.
Kemudian Señor JacintoVasques, yang dalam pembicaraan tanpa basa-basi protokol lebih suka
dipanggil Campanero Jacinto, mengatakan bahwa dia mendapat perintah langsung dari Silya
Sanchez, untuk menyampaikan rasa khawatir Pemerintah Cuba atas keselamatan diri saya, dan
menyarankan apakah tidak sebaiknya saya segera kembali ke pos saya di Cuba dan dari Cuba
dapat juga berbuat sesuatu untok membantu posisi Presiden Sukarno guna keselamatan rakyat
Indonesia. Dia menyatakan hal itu dengan sangat bersungguh-sungguh.
Saya tidak tahu apakah ada negeri-negeri lain yang bersahabat dengan Indonesia, yang tadinya
bersimpati kepada Pemerintah Sukarno, menunjukkan rasa prihatinnya, setiakawannya,
731
sedemikian rupa, seperti ditunjukkan Kepala Perwakilan Pemerintah Cuba itu. Saya kira tidak
banyak. Maka hal ini patut dibnat pelajaran yang berharga kalau bicara tentang"solidaritas
internasional." Misalnya, bagaimana sikap RRT, Korea Utara, Sovyet Uni danVietnam setelah
kedudukan Soekarno goyah?Yang saya ketahui di samping Cuba, adalah Pakistannya Ali Bhutto.
Ketika saya sedang berada bersama Presiden Sukarno di Istana, kira-kira pertengahan Januari
1966, yaitu pada kunjunganku yang pertama keJakarta sesudah terjadinya GESTAPU, Perdana
Menteri Ali Bhutto, langsung menilpon Presiden Sukarno dari Islamabad. Aku berdiri
mendengarkan di samping Presiden:"Hallo ...yes Bung Karno speaking, Bung Karno himself...
How are you Ali? ... me?... I am allright ... cdon't worry ... I am allright No, I can't do that ... I
have and I want to stay with my people ... nevertheless thanks very much to you and your people
... I appreciate your offer. Your sentiment of brotherhood touched me deeply, very deeply, but I
want to be always and forever with my people; I am doing my utmost now to encounter the
intervention of the Nekolim; do you hear me Ali ... the intervention of the Nekolim ... my warmest
regard to you, thanks you very much ... "
Pembicaraan Bung Karno dengan Perdana Menteri Ali Bhutto itu terjadi, sehari atau dua hari
sesudah sidang kabinet 15 Januari 1966 di Bogor, di mana ratusan ribu demonstran menyerbu
mencoba untuk masuk ke dalam Istana untok mengacaukan sidang kabinet itu, sehingga pasukan
pengawal Cakrabirawa terpaksa melepaskan tembakan gencar ke udara. Namun demonstrasi itu
tidak mau mundur juga. Agaknya sudah direncanakan, biar ada korban yang jatuh untuk
memancing provokasi. Ketika itu kebetulan saya duduk di samping Jendral Soeharto. Saya
peringatkan kepadanya,jika Jendral tidak turun-tangan, maka barisan kedua Cakrabirawa akan
meng- arahkan tembakannya horizontal, tidak ke udara lagi seperti barisan yang pertama yang
sudah tenggelam dilampaui demonstran itu. Barulah kemudian Jendral Soeharto turun, bersama
panglima- panglima semna Angkatan Bersenjata, maka setelah melihatJendral Soeharto yang
naik ke atas jeep, banjir manusia itu mundurlah dan berangsur-angsur berlalu. Bagiku, ini suatu
bukti bahwa demonstrasi- demonstrasi itu bukan demonstrasi spontan, tapi dibuat oleh pihak
tentara Soeharto sendiri.
Kembali mengenai pembicaraan tilpon. Bung Karno mengatakan bahwa Ali Bhutto, meminta
dengan sangat, jika keadaan sangat membahayakan dirinya, supaya Bung Karno mau pergi ke
Pakis- tan, pintu Pakistan selalu terbuka lebar baginya, dan bahwa Ali Bhutto sudah memberikan
perintah kepada Duta Besar Pakistan di Jakarta. Hubungan Sukarno dengan Ali Bhutto adalah
sebagai saudara sendiri, comrade in arms, kawan seperjuangan.
Negara yang ketiga, yang menunjukkan simpatinya yang serupa kepada Presiden Sukarno,
adalah Dios Dadong Macapagal, Presiden Filipina.
732
Bab XXIII
Aku Ditangkap di Hotel Indonesia
Malam hari tanggal 15 Maret 1966. Sepulangnya dari Kedutaan Kuba saya tidak pergi ke manamana. Saya cape sekali. Apalagi Chaerul Saleh tidak ada di rumah, dia pergi ke luar kota dengan
Brigjen Hartawan, orangnya ganteng. Saya tidak begitu kenal padanya, tapi rupanya Chaerul
menganggap dia "orang baik". Malam itu saya tinggal saja di kamar saya di hotel. Kepada
reception-desk saya minta sebuah kamar lagi tambahan. Sebab anak saya Dito, pengawal letnan
Arnel dari Cakrabirawa, dan keponakan Syamsudin Yaw, namanya Iwan, akan menginap
menemani saya. Iwan membawakan untuk saya dari rumah Syamsuddin satu rantang masakan
Bengkulu, ada sambel tempuyak, gulai pet‚ dengan ikan teri. Antensi dari isteri Syamsuddin
untuk "Pa' Uncu Hanafi" yang masih ada sangkut paut famili pada saya.
Sejak pulang dari Kedutaan Kuba tadi siang hati saya merasa kurang enak.Tapi hati kusabarkan
saja dalam menghadapi situasi di mana saya berada dan tentang kokhawatiran pihak Pemerintah
Kuba, dari isteriku dan anak-anakku yang saya tinggalkan di Kuba mengenai diri saya. Jelas
Kuba sudah dapat mengetabui dari segala saluran bahwa keadaan Presiden Sukarno adalah gawat
sekali, setelahJendral Soeharto dengan menyalaLgunakan SUPERSEMAR rmembubarkan PKI.
Akibatnya luas sekali, berarti Sukarno sudah berada di dalam mulut buaya.
Kira-kira jam 12 malam pintu kamar saya diketok-ketok seperti oleh orang yang bergegas tidak
sabaran, dengan teriakan: Buka, buka! Pintu saya buka, empat orang tentara menyerbu masuk
dikepalai oleh seorang mayor."Bapak diminta turut kami sekarang", katanya pendek."Ke mana?"
tanyaku."Turut saja, nanti Bapak tahu", jawabnya kasar sang mayor."Tunggu, saya berpakaian
dulu, pakaianku ada di kamar sebelah". Saya keluar kamar, diapit rapat oleh mereka. Barangkali
dikira saya mau melawan atau lari. Saya tidak sekonyol itu, saya tahu apa artinya sergapan itu.
Di kamar sebuah lagi itu saya lihat anak saya Dito, letnan Arnel dan Iwan sudah dijejerkan,
senjata letnan Arnel dirampas. Dan Iwan yang masih di SMP itu nyengir ketakutan. Saya
sabarkan mereka, tidak apa-apa, turut saja! Saya minta pakaian militer saya pada Dito.
Sementara saya berpakaian, pistol saya diambil oleh mayor itu yang tidak saya kenal namanya.
Saya diam saja. Tetapi setelah mereka melihat saya memakai uniform berbintang Mayor Jendral
itu, kelihatan mereka bersikap agak lebih "tahu adat".
Kami diangkut ke Markas Kodam JAYA. Jadi, markasnya Amir Machmud."Oo, jadinya Pak
Amir Machmud yang suruh menangkap saya?" Kutanya pada si mayor, ketika turun dari jeep.
Dia diam saja.
Di ruangan di mana kami ditahan ada seorang penjaga saja yang tampak dekat kami.Tetapi di
luar banyak. Dito dan dua temannya itu biasa saja, tidak menampakkan rasa takut. Dan seorang
penjaga itu ngomel-ngomel, sebenarnya menyindir."Saya tidak tahu apa itu "markis", markis,
markisa, tapi saya dalam pertandingan "ngaji" di Malaysia menang". Kami diam saja.Walaupun,
saya pernah tiga kali khatam Qur'an, di Bengkulu. Malam itu sampai pagi kami tidak tidur.
Ketika hari sudah menjelang pagi, saya bilang kepada penjaga yang saya minta ketemu dengan
Brigjen Amir Machmud, ... dan saya minta boleh menggunakan tilpon, sebab kataku, bahwa saya
"harus lapor kepada Bapak Menpangad Jendral Soeharto, bahwa mungkin saya agak terlambat
733
bersama beliau ke istana di pagi hari itu, sebab saya sekarang masih berada di sini" ... dan
memang saya minta tolong disambungkan per tilpon ke rumah Letjen Soeharto, dan dapat bicara
dengan ajudannya nama Sutrisno. (Saya tidak tahu apakah ajudan Sutrisno yang bicara pada saya
di tilpon itu, bukan lain dari BapakWapres kita Tri Sutrisno sekarang, saya tidak tahu!).
Kepadanya saya minta tolong disampaikan:"Saya Dubes Rl di Kuba, MayorJendral Hanafi,
minta tolong disampaikan kepada Pak Harto bahwa saya barangkali agak terlambat datang ke
istana, sebab ini pagi saya masih berurusan dengan Brigjen Amir Machmud di Markas Kodam
JAYA". Saya sengaja tidak minta bicara langsung kepada Menpangad Jendral Soeharto, sebab
saya cuma mau membluf (menggertak) para pengawal itu saja, supaya mereka laporkan kepada
Brigjen Amir Machmud.
Rupanya semua gerak-gerik saya segera dilaporkan kepada Amir Machmud. Betul saja. Kira-kira
pk. sembilan Amir Machmud masuk kantornya. Saya dan ketiga anak muda (Dito, Arnel dan
Iwan) diminta datang, diantar oleh mayor yang mengangkut saya tadi malam itu. Saya memang
sudah kenal Amir Machmud sejak lama, sejak zaman Kongres Rakyat Untuk Pembebasan Irian
Barat beberapa kali saya ke Bandung mengiring Presiden Sukarno untok berpidato
menggembleng semangat perjuangan Irian Barat di Rapat Raksasa Merah Putih di lapangan
Tegalega. Amir Machmud mengambil kesempatan pula untuk menampilkan simpati.Begitu pula
dengan Bapak GubernurJawa Barat Ipik Gandamana.Tentu saja tidak bisa selalu dapat
kesempatan "rariungan" dengan presiden, maka sayalah yang selalu didekati. Semuanya pintar,
lihay, cuma saya yang lugu! Ketika saya sebagai Menteri Negara menjabat Kepala Panitia
Penyambutan Kepala-kepala Negara Asing (PPKN) saya percayakan tugas keamanan kepada
Amir Machmud dalam rangka kunjungan Presiden Ho Chi Minh ke Indonesia. Bukan main besar
biaya keamanan yang dia minta, tapi saya acc.-kan saja, asal beres! Jadinya dia tambah dekat
pada saya. Saya tidak sungkan panggil dia pada namanya langsung.
"Pak Amir, apa-apaan ini, masa begini caranya kita kerja menghadapi GESTAPU, apa ini
perintah Pak Harto?", saya langsung tanya ketika saya masuk ke ruang bironya dalam uniform
Mayjen TNI.
"Oo, Pak Dubes Hanafi, maaf, maaf sekali lagi maaf, ini kesalahan." Lalu di depan saya dia
memarahi mayor yang menangkap saya malam tadi itu."Kenapa Pak Hanafi ditangkap, beliau
kan Dubes kita di Kuba, kapan tidak ada dalam daftar, kan?"
"Punten wae Bapak itu mah kesalahan", senyuman pada saya. Mayor disuruh mengantar saya
pulang.
Amir Machmud bertanya:"Bapak mau langsung ke istana atau pulang ke rumah?" Saya bilang,
antar pemuda-pemuda itu pulang ke Hotel Indonesia, dan saya minta diantar ke rumah Pak Adam
Malik. Demikianlah terjadi. Dalam hatiku, ini bluf saya yang kedua.
Untuk menunjukkan pada Amir Machmud keakraban saya dengan si Akoy itu yang telah saya
ketahui sudah berada di dalam kandang Soeharto.
Di situlah kesempatan saya "melabrak" Adam Malik, yang secara akrab antara kami selalu
panggil "Si Akoy".
734
"Fi, jij itu kena 'akibat sampingan' saja, yang jadi sasaran GESTAPU, bukan orang macam
Bung", kata Adam Malik
"Ah, jij yang bilang begitu,pet of untukmu Bung, kalau memang sikap sana itu begitu",
kataku."Secara tidak langsung saya telah mengusulkan supaya Bung diangkat menjadi Menlu
untuk menggantikan Subandrio, sebab Bung Karno sudah memerintaLkan saya kembali ke pos
saya di Kuba. Saya minta Bung jaga dan selamatkan Bung Karno dan Chaerul Saleh, kan Bapak
kita itu dan Chaerul itu bukan GESTAPU, toh. Jangan Bung kira saya tidak maklum akan semna
basa-basi seremoni ini. Tapi saya tidak akan menentangnya selama sikap kalian "correct"
terhadap Bung Karno dan Chaerul Saleh. Jij kan tahu, tanpa Chaerul Saleh dan Bung Karno,
tidak bakal kita punya Proklamasi 17 Agustus itu pada saatnya".
Adam Malik:"Sayang, mestinya dulujij tidak pergi ke Kuba, Fi; sejak jij pergi, terjadi
kortsluiting, jadi tambah parah, sebab tidak ada lagi"tukang-reparasi" dari MENTENG 31 lagi."
Saya tidak mau perpanjang percakapan yang intim tapi penting dengan Bung Adam ini. Sebab
kekecewaan saya sendiri banyak sekali kepadanya, walaupun dia mengenangkan kembali
semangat Menteng 31. Pada saat ketemu yang terakhir dengan bung Adam di Brussel tahun
1979, barulah dia berani bilang "Fi, jij tahu sebenarnya saya juga berada dalam tahanan."Buat
saya dia jelas bukan dalam tahanan, tetapi berada dalam "sangkar-mas" seperti beo, tapi saya
sekeluarga dalam pembuangan di luar negeri. Dan si Akoy ini tidak berdaya mencegah tindakan
pegawainya di Deparlu yang phobi-komunis, melemparkan saya sekeluarga ke dalam
pembuangan di luar negeri itu.
Tanggal 25 Maret 1966, saya berangkat ke Kuba kembali, sesudah saya menemui Adam Malik
sebagai menlu baru dan Bung Karno menghadiri Resepsi Hari Nasional Pakistan tanggal 23
Maret malam, di Hotel Indonesia. Arti yang sebenarnya, Adam mengajak saya menemaninya
menjadi "dekorasi" menjumpai "raja tanpa mahkota", Presiden Sukarno tanpa kuasa.
Mayor Jacinto Vasques, chargé d'affair Kuba mengantar saya sampai dalam plane, sampai saya
duduk. Di belakang saya anak saya Dito. Umar Senoadji dan Ibnu Sutowo di jejeran paling
belakang, satu plane sama saya. Mereka berdua itu akan ke Tokyo juga. Baris terakhir ini ialah
renungan kesimpulan pengalaman kita sekarang, di tahun 1997, bulan Agustus, ketika jariku
menari di atas mesin ketik Remington-ku yang tua ini. Dahulu di tahun 1966, di bulan Maret itu,
walaupun kita kaum Sukarnois sudah kepepet, namun kita masih bisa "main" sama waktu,
berspekulasi dengan keadaan di atas faktor kepribadian dan kewibawaan Bung Karno. Yaitu
selama Bung Karno masih ada dan massa rakyatnya masih ada walaupun sudah kucar-kacir, ada
kemungkinan masih bisa bangun kembali kalau hari dan kesempatan itu masih mengikuti
kehendak hati. Kalau kambing-kambing di padang rumput yang insting hidupaya cuma cari
makan rumput saja, bila hari petang tak ada gembalanya, tidaklah tahu jalan pulang ke kandang.
Kalau datang pemburu jalang (pemburu liar) kambing-kambing habis "dimakannya" atau
mencari selamat sekalipun terjun ke jurang. Ini cuma kata kiasan dalam mengertikan hukum
sosial masyarakat yang sudah merupakan satu aksioma: Rakyat dengan Pemimpinnya Pemimpin dengan Rakyatnya. Harap jangan salah terima, ini bukan sindiran kepada bangsaku
Indonesia, sebab hokum aksioma itu berlaku pada seluruh Nasion.
735
Pemimpin yang sesungguhnya, lahir dan tumbuh di atas buminya rasa hormat dan kecintaan
rakyat kepadanya. Jalurnya dari bawah ke atas. Normal, wajarnya pohon beringin tumbuh
dengan akarnya membenam ke dalam bumi, akamulasi oxigennya memberikan kerindangan dan
kesejukan alam sekitarnya. Itulah simbolnya Demokrasi, rakyat dan kerakyatan, yang telah
menjadi kesadaran nasional.
Kecintaan dan penghormatan rakyat kepada Bung Karno, sebagai manusia biasa dengan segala
kelebihan dan kokurangannya takkan menjadi pudar dan padam, selama matahari bersinar, di
waktu malam dia bersinar laksana bintang. Kebesaran dan kehebatannya, bukan karena dia
Proklamator (di samping Bung Hatta sebagai co-Proklamator), tapi karena dia punya ideal dan
wawasan yang lebih hebat dan agung dari segala pemimpin di dunia yang pernah ada, yaitu
Pancasila. Pancasila bukan Kapitalisme - bukan Komunisme!
Di dalam buku "Menteng 31 - Membangun Jembatan Dua Angkatan", saya telah menggunakan
kesempatan untok meng- ingatkan, bahwa:Versi asli Pancasila barangkali sekarang sudah tidak
pernah atau jarang sekali dibaca lagi. Bung Hatta yang kita semua kenal sebagai orang yang
sangat kritis, nuchter tidak emosional pernah berpendapat:"Itu pidato Sukarno terbaik dari
banyak pidato yang pernah diucapkannya".
Mutiara cemerlang yang keluar dari hasil pemikiran Bung Karno ini, ada baiknya kita baca ulang
untok penyegaran pemikiran politik kita menghadapi erosi nasionalisme dan patriotisme yang
sedang merambak pada sebagian masyarakat kita akibat kejangkitan demam globalisme.
Rasanya tidak salah kalau saya katakan, bahwa Pancasila adalah Anugerah Yang Maha Pengasih
kepada bangsa Indonesia lewat makhluk pilihanNya. yang bernama Sukarno.
Di dalam proses pelaksanaannya kita harus berani mempelajari pengalaman-pengalaman dan
segi-segi yang positifnya dari kedua antipoda tersebut dan faktor-faktor kondisi dan situasi
bangsa In- donesia sendiri.Tapi syaratnya "condition sine quanon" mutlak harus ada suasana
yang demokratik. Dus harus ada demokrasi yang sesungguhuya, bukan sekadar frasiologi kosong
saja seperti sekarang, di mana DPR dan MPR sejak semulanya diketok dan dicetak menurut
matrix kemauanJendral Soeharto dan Jendral Nas.
Walaupun di dalam buku ini dibeberkan sejarah yang sebenar- benarnya, seluruhnya menggugat
pertanggungan jawabnya pengkhianatan Jendral Soeharto terhadap Dewan Jendral dan
GESTAPU dan kudeta terhadap Presiden Sukarno, namun di sini pada akhirnya saya terpaksa
menyatakan kekecewaan saya yang sebesar-besarnya kepada Jendral Nas pula.Jendral yang kami
kenal sejak dari Bengkulu di tahun 1937, ketika dia menjadi Guru Sekolah Partikelir di Anggut
Atas, Bengkulu, yang oleh API-Bandung diusulkan untuk menggantikan Daidancho Arudji
Kartawinata dan Mayor KNIL Didi Kartasasmita untuk menjadi Panglima Divisi I Siliwangi di
tahun 1946.
Mengapa? Sebab pukulan decisive, genade slag, yang menjatuhkan Presiden Sukarno adalah
palu yang diketokkan oleh Jendral Nasution sebagai Ketua MPR Gadungan di tahun 1967, hasil
rekayasa komplotan kaum militeris Soeharto cs. Walaupun saya tahu bahwa sebenarnya beliau
736
hanya dimanipulasi oleh Jendral Soeharto yang sudah mengantongi kekoasaan de facto atas
ABRI.
Kita mohon kepada Tuhan semoga diampuni dosa kedua beliau tersebut.
Kita sudah sama-sama tua semuanya. Kita harus siap menghadap kepada Tuhan. Tetapi
kebenaran sejarah harus ditegakkan. Kalau tergantung pada pribadi saya saja, bisalah dicukupkan
kalau Soeharto dan Nasution mengakui kesalahannya dan memohon maaf kepada bangsanya,
agar pembangunan nasional yang harus dilanjutkan tidak berbau busuk pengkhianatan itu, dan
rekonsiliasi nasional dapat ditegakkan.
Kalau saya sekeluarga bisa pulang kembali ke tanah air, saya akan mengulurkan tangan saling
memaafkan kepada kedua beliau yang bersejarah itu. Jika tidak, saya pinjam cara Fidel Castro
dalam nada yang sama (yang sudah sakit-sakitan pula): Adios, los traidores - au revoir, para
pengkhianat Bangsaku, di hadapan Tuhan kita berjumpa!
Biarlah kupungut mutiara ucapanJose Rizal yang tak terlupakan: "Adios, mi eldorato patria !"
"Selamat tinggal Tanah Airku!"
Saya tahu pada mulanya kita semua adalah satu, semua mau mengabdi kepada cita-cita, tapi
intervensi imperialisme memecah kita. Dan sangat tragis bahwa ada saja orang-orang di antara
kita yang demi kekuasaan dan keuntungan materi, rela menyediakan diri menjadi perangkat
kepentingan imperialisme, di atas pengorbanan Rakyat dan sumber-sumber kekayaan bumi
Indonesia.
Oleh karena itu eksistensi agama bertambah penting, untuk menegakkan moral ke dalam hati
manusia.
737
Lampiran-lampiran
Sajak dalam Exile : Right or wrong my country!
Bundaku
Untuk Ibuku : Qamaria
Di langit bertabur bintang
Kususun menjadi namamu,
Di bumi kutabur cinta
Kurangkai pada namamu
Kau bernama Qamaria, oh, Ibuku.
Anak Rakyat letih mencari,
Dalam exile dan penjara,
Di Rusia, Tiongkok dan Manila
Di Belanda, Digul dan Banda Neira
Di Endeh, Bengkulu - Nusantara,
Semua tapak kakimu - kususun jadi namamu, oh Bundaku,
Kau bernama Indonesia Merdeka.
Tawa dan tangis si anak desa
Kudengar sayu merayu pulang,
Debu dan lumpur pada kakimu, oh Ibu, oh Bundaku,
Kudekap ke dada, ku cium, Sayang .....
Dalam exile dan penjara!
Paris, 17 Oktober 1983
A.M. Hanafi
738
Presiden Republik Indonesia
PJ.M. Perdana Menteri
Fidel Castro
Havana
Kawanku Fidel yang baik!
Lebih dulu saya mengucapkan terimakasih atas suratmu yang dibawa oleh Dutabesar Hanafi
kepada saya.
Saya mengerti keprihatinan saudara mengenai pembunuhan- pembunuhan di Indonesia, terutama
sekali jika dilihat dari jauh memang apa yang terjadi di Indonesia,- yaitu apa yang saya namakan
Gestok, dan yang kemudian diikuti oleh pembunuhan- pembunuhan yang dilakukan oleh kaum
kontra revolusioner -, adalah amat merugikan Revolusi Indonesia.
Tetapi saya dan pembantu-pembantu saya, berjuang keras untuk mengembalikan gengsi
pemerintahan saya; dan gengsi Revolusi Indonesia. Perjuangan ini membutahkan waktu dan
kegigihan yang tinggi. Saya harap saudara mengerti apa yang saya maksudkan, dan dengan
pengertian itu membantu perjuangan kami itu.
Dutabesar Hanafi saya kirim ke Havana untuk memberikan penjelasan-penjelasan kepada
saudara.
Sebenarnya Dutabesar Hanafi masih saya butuhkan di Indo- nesia, tetapi saya berpendapat
bahwa persahabatan yang rapat antara Kuba dan Indonesia adalah amat penting pula untuk
bersama-sama menghadapi musuh, yaitu Nekolim.
Sekian dahulu kawanku Fidel!
Salam hangat dari Rakyat Indonesia kepada Rakyat Kuba,
dan kepadamu sendiri!
Kawanmu,
Jakarta 26 Januari 1966
ttd
Soekarno
Disalin dari surat asli dalam tulisan tangan Presiden Sukarno yang disampaikan langsung oleh
Dubes A.M. Hanafi kepada PM. Fidel Castro.
739
Pledoi Kolonel A.Latief
Pembelaan ex Kolonel Latief Nrp.10685 di depan Sidang Mahmilti II Jawa Bagian Barat
dalam kaitan Peristiwa"G30S" 1965
No.: Sifat: Sangat penting
Lampiran: Perihal: Permohonan tambahan saksi
Kepada
Yth. Ketua Mahkamah Militer Tinggi II
Jawa Bagian Barat
di Tempat
Dengan hormat,
Sehubungan dengan keputusan Hakim Ketua Mahmilti untuk mensahkan sidang Mahkamah
Militer ini, sekalipun putusan ini telah saya protes, maka untuk selanjutnya demi terciptanya
hukum yang adil dan tidak memihak sesuai dengan UU No.14 tahun 1970 pasal 5. Dengan ini
saya mengajukan saksi-saksi tambahan untuk disahkan di hadapan sidang ini.
1. Bapak Jendral Soeharto
2. Ibu Tien Soeharto
3. Bapak RM. Somoharyomo ayah Ibu Tien Soeharto
4. Ibu RM. Somoharyomo
740
5. Ibu Kolonel Suyoto
6. Ibu Dul tamu Ibu Tien Soeharto
7. Bapak Dul tamu Ibu Tien Soeharto
8. Ny. Soeharto isteri saya pada waktu itu 9. Subagyo anak buah BapakJendral Soeharto asal
Yogyakarta yang melaporkan adanya Dewan Jendral dan Gerakan tanggal 1 Oktober 1965.
10. Tuan Brackman yang pernah mewawancarai Bapak Presiden Soeharto.
11. Wartawan Der Spiegel Jerman barat yang pernah mewancarai BapakJendral Soeharto.
Sehubungan beliau (Jendral Soeharto) turut tersangkut dalam peristiwa gerakan G.30.S. pada
tahun 1965 sesuai dengan eksepsi yang telah saya serahkan di hadapan sidang.
Selain itu sesuai dengan surat Oditur No.001/3/1972/II BAR/TUD/X/1976/IV/1978 tanggal 17
April 1978 disebutkan saksi-saksi yang sangat saya perlukan, untuk ini agar dihadapkan saksisaksi:
1. Brigjen Suparjo ex Panglopur II KOSTRAD
2. Letkol. Untung ex Dan Yon Men Cakrabirawa
3. May. Udara Suyono ex Dan Men PPP AU
4. Lettu Ngadimo Staf Yon S30 Brawijaya
5. Lettu Dularif Dan Kie Men Cakrabirawa
Demi keadilan mohon agar oknum-oknum yang saya sebutkan di atas untuk dihadapkan pada
sidang Mahkamah Militer Tinggi II Jawa Bagian Barat ini dan dihadlirkan pada pemeriksaan
pertama.
Demikian permohonan saya untuk mendapat perhatian.
Jakarta, pada hari putus
disahkannya Sidang Mahmilti, 9 Mei 1978,
Hormat kami Tertuduh
ttd
(A.Latief)
Tembusan:
1. Yth.Ketua Mahkamah Agung
2. Yth. Ketua Mahkamah Militer Agung
3. Yth. OMI...(?) Letkol Sianturi SH
4. Yth. Pembela
5. Yth. Bp. Mr.Yap Thiam, Hien Speed Building Jln.Gajahmada 18,Jakarta
6. Yth. Ketua PERADIN
7. Yth.Panitera Sidang MAHMILTI II Jawa Bagian Barat 8. Berkas.
741
No.:
Sifat :-Penting
Lamp.: Hal: Pernyataan PROTES dan
pernyataan tidak sahnya
pembacaan serta isi
kesaksian sdr. Pono
tertulis oleh MAHMILTI.
Kepada
Yth. Ket-a mahkamah Militer
Tinggi II Jawa Bagian Barat
di TEMPAT
Dengan hormat,
Pada tanggal 20 Mei 1978 dalam sidang Mahmilti II Jawa Bagian Barat, Hakim KetuaYth. telah
membacakan kesaksian tertulis sdr. Pono (orangnya tidak hadir dalam sidang pengadilan)
menurut Oditur dan hakim Ketua, alasannya karena kesulitan tehnis. Selanjutnya dengan
berpegang dengan Undang2 259 ayat(2), maka kesaksian tertulis di atas sumpah adalah sah
menurut hukum katanya.
Saya selaku tertuduh sekali lagi, menolak putusan Mahkamah seperti yang diuraikan tersebut di
atas, karena:
a. Pada waktu ini, negara Indonesia dalam keadaan aman pada umumnya dan Ibu Kota Jakarta
pada kbususnya juga dalam keadaan aman, tenteram, situasi kotanya selalu bisa dikendalikan.
Lagi pula ABRI sebagai kekuatan stabilisator dan dinamistor masyarakat sekarang ini telah kuat
dan mampu menjaga keamanan di segala bidang. Mengingat ini semua "alasan kesulitan tehnis"
sehingga tak mampu mendatangkan seorang saksi bernama Pono dalam persidangan ini adalah
sangat tidak masuk akal dan sangat membuat malu atau meremehkan keamananA]BRI dan
aparat Pemerintah lainnya termasuk Mahkamah ini.
b. Sepengetahuan saya (karena saya diberi bacaan buku HIR/-- -) tercantum dalam Undangundang pasal 260 dan 261 menyatakan bahwa apabila saksi tidak datang juga patut disesalkan
dibawa di muka sidang pengadilan. Hal ini saya sampaikan pada sidang yang lalu. Akan tetapi di
samping Hakim ketua mencap saya sebagai "memberi kuliah" juga telah memaksakan kepada
saya supaya sidang dilanjutkan dengan tetap membacakan kesaksian tertulis sdr.Pono.
c. Selanjutnya pada sidang yang lalu juga saya telah meminta kepada Hakim KetuaYth untuk
membacakan pernyatuan saya selaku saksi dalam sidang Mahmilub sdr.Pono pada bulan Januari
742
1972 yang dibenarkan oleh sdr.Pono sebagai tertuduh pada sidang tersebut yang isinya pada
pokoknya seperti keterangan saya dalam sidang ini dan yang tidak sesuai sama sekali dengan
kesaksian sdr. Pono tertulis yang dibacakan dalam sidang ini. Permintaan saya inipun ditolak
oleh sdr. Ketua sidang Mahmilti ini.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, jelas Hakim ketua dalam sidang ini telah bertindak berat sebelah,
yaitu selalu membela dan menguntungkan oditur dan selalu merugikan tertuduh langsung
maupun tidak langsung.
Karena itu dibagi-bagi di hadapan sidang Mahkamah Militer Tinggi ini, saya tertuduh
menyatakan "P R O T E S" atas keputusan Hakim Ketua sidang ini yang telah memaksa untuk
meneruskan membacakan kesaksian tertulis sdr.Pono tersebut tanpa menghiraukan hak-hak
tertuduh dan tertuduh mnganggap tidak sah dan tidak fair.
Dan sebagai penutup pernyataan saya ini, saya sekali lagi menuntut di hadapan sidang
Mahkamah ini:
1. Supaya saksi sdr. Pono tetap didatangkan di hadapan sidang Mahkamah ini untuk memberikan
kesaksian sebenarnya secara lesan dan terbuka.
2. Supaya pernyataan saya pada sidang Mahmilub sewaktu saya sebagai saksi sdr. Pono pada
bulan Januari 1972 dibacakan di hadapan sidang Mahmilti ini.
3. Saya tertuduh merasa curiga dengan tidak didatangkan saksi sdr.Pono Oditur bisa
memanipulasikan kesaksian dengan sengaja tidak mendatangkan saksi di hadapan sidang, karena
dengan kesaksian tertulis adalah sangat menguntungkan Oditur.
4. Apabila saksi menolak tidak bersedia datang tanpa alasan, maka tertuduh mencapnya sebagai
"pengecut" yang perlu dituntut menurut undang-undang yang berlaku.
5. Apabila tuntutan saya ini tetap ditolak oleh sidang Mahkamah ini, maka tertuduh menyatakan
tidak terlaksananya fair trial dan bahwa putusan Hakim untuk membacakan kesaksian tertulis
sdr. Pono pada tanggal 20 mei 1978 y.l. tidak sah dan tidak satupun bisa saya benarkan.
Demikian pernya'taan saya di hadapan sidang hari ini dan terima kasih atas perhatiannya.
Jakarta,29 Mei 1978
HORMAT KAMI
TERTUDUH
ttd.
A. L a t i e f
Tembusan:
1. Yth.Ketua Mahkamah Agung
743
2. Yth.Ketua Mahkamah Militer Agung
3. Yth.OMILTI SR.Sianturi SH.
4. Yth.Team Pembela
5. Yth.Bp.Mr.Yap Thiam Hien
6. Yth.Ketua PERADIN
7. Berkas tertuduh
LAPORAN TENTANG DEWAN JENDRAL PADA SOEHARTO
Di sini perlu saya ungkapkan di muka Sidang Mahkamah Militer Tinggi ini agar persoalannya
lebih jelas, Dua hari sebelum peristiwa tanggal 1 Oktober 1965, saya beserta keluarga
mendatangi ke rumah keluarga Bapak Jendral Soeharto di rumah Jalan Haji Agus Salim yang
waktu itu beliau masih menjabat sebagai Panglima KOSTRAD di samping acara kekeluargaan
saya juga bermaksud:
"MENANYAKAN DENGAN ADANYA INFO DEWAN JENDRAL SEKALIGUS
MELAPORKAN KEPADA BELIAU".
Oleh beliau sendiri justru memberi tahukan kepada saya: "BAHWA SEHARI SEBELUM SAYA
DATANG KE RUMAH BELIAU,ADA SEORANG BEKAS ANAK BUAHNYA BERASAL
DARI YOGYA- KARTA BERNAMA SUBAGYO, MEMBERI TAHUKAN TENTANG
ADANYA INFO DEWAN JENDRAL AD YANG AKAN MENGADA- KAN COUP D'ETAT
"TERHADAP KEKUASAAN PEMERINTAHAN PRESIDEN SUKARNO".
Tanggapan beliau akan diadakan penyelidikan. Oleh karena di tempat/ruangan tersebut banyak
sekali tamu, maka pembicaraan dialihkan dalam soal-soal lain antara lain soal-soal rumah. Saya
datang ke rumah Bapak Jendral Soeharto bersama isteri saya dan tamu isteri saya berasal dari
Sala Ibu Kolonel Suyoto dan dalam perjamuan di ruangan beliau ada terdapat ibu Tien Soeharto,
Orang tua suami isteri Ibu Tien, Tamu Ibu Tien Soeharto berasal dari Sala bernama Bapak Dul
dan Ibu Dul juga termasuk putera bungsu laki-laki Bapak Jendral Soeharto yang kemudian
harinya ketumpahan sup panas.
Selain dari pada itu sesuai dengan laporan dari seorang penulis bernama Brackman menulis
tentang wawancara dengan Jendral Soeharto sesudah peristiwa 1 Oktober 1965 kira-kira pada
tahun 1968. Diterangkan bahwa dua hari sebelum 1 Oktober 1965 demikian kata Jendral
Soeharto: Anak laki-laki kami yang berusia 3 tahun mendapat kecelakaan di rumah, ia
ketumpahan sup panas dan cepat-cepat dibawa ke rumah sakit.
Banyak kawan-kawan datang menjenguk anak saya di malam tanggal 30 september 1965 saya
juga berada di situ. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah
sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu atas keprihc#inan
744
Ada lagi sebuah wawancara dari surat kabar Der Spiegel Jerman Barat pada bulan Juni 1970
yang menanyakan bagaimana Soeharto tidak termasuk daftar Jendral-jendral yang harus
dibunuh, Soeharto menjawab: "Kira-kira jam 11 malam itu Kolonel Latief dari komplotan putsch
datang ke rumah sakit untuk membunuh saya, tapi nampaknya ia tidak melaksanakan berhubung
kekhawatirannya melakukan di tempat umum.
Dari dua versi keterangan tersebut di atas yang saling bertentangan satu sama lain, yaitu yang
satu hanya mencek dan yang satu untuk membunuh, saya kira Hakim Ketua sudah bisa menilai
dari kedua keterangan tersebut dan akan timbul pertanyaan tentunya:"mengapa Latief datang
pada saat yang sepenting itu? Mungkinkah Latief akan membunuh Jendral Soeharto pada malam
itu?"
Mungkinkah saya akan berniat jahat kepada orang yang saya hormati saya kenal semenjak
dahulu yang pernah menjadi Komandan saya? Logisnya seandainya benar saya berniat untuk
membunuh Bapak Jendral Soeharto,pasti perbuatan saya itu adalah merupakan suatu blunder
yang akan menggagalkan gerakan tanggal 1 Oktober 1965 itu.
Dari dua versi keterangan tersebut di atas menunjukkan bahwa Bapak Jendral Soeharto berdalih
untuk menghindari tanggungjawabnya dan kebingungan. Yang sebenarnya bahwa saya pada
malam itu di samping memang menengok putranda yang sedang terkena musibah sekaligus
untuk melaporkan akan adanya gerakan pada besok pagi harinya untuk menggagalkan rencana
Coup D'etat dari Dewan Jendral di mana beliau sudah tahu sebelumnya.
Memang saya berpendapat, bahwa satu-satunya adalah beliaulah yang saya anggap loyal
terhadap kepemimpinan Presiden Sukarno dan saya kenal semenjak dari Yogyakarta siapa
sebenarnya Bapak Jendral Soeharto itu. Saya datang adalah atas persetujuan Brigjen Soeparjo
sendiri bersama-sama Letkol Untung sewaktu menemui saya pada malam tanggal 1 Oktober
1965 kira-kira jam 21.00 atau lebih di rumah saya dengan tujuan sewaktu-waktu akan minta
bantuan dari beliau. Karena itulah saya berkepentingan untuk datang kepada beliau. Letkol
Untung pun ad@
Saya sebagai anak buah sekalipun sudah terlepas dalam ikatan komando dengan Bapak Jendral
Soeharto di manapun beliau berada selalu saya temui. Dengan sendirinya timbul keakraban
secara kekeluargaan di luar dinas. Saya mempercayai kepemimpinan beliau seandainya berhasil
dapat menggagalkan usaha Coup Dewan Jendral beliaulah yang terpilih sebagai tapuk pimpinan
sebagai pembantu setia Presiden Sukarno.Akan tetapi situasi cepat berubah yang tidak bisa saya
jangkau pada waktu itu. Beliau yang kami harapkan akan menjadi pembantu setia
Presiden/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Bung Karno menjadi berubah memusuhinya.
Mengapa saya dan teman-teman saya terutama yang berasal dari Jawa Tengah mempercayai
Jendral Soeharto, sbb:
"Memang saya pribadi adalah bekas anak buah beliau sewaktu menjabat sebagai Dan Kie 100
yang langsung organisatoris dan taktis pada Brigade X pada waktu jaman gerilya. Letkol.Untung
745
pun juga pernah menjadi anak buah langsung sewaktu di daerah Korem Sala yang kemudian
Let.Kol.Untung terpilih sebagai salah seorang pimpinan Gerilyawan yang diterjunkan di
Kaimana sewaktu Trikora. Pernah saya dengar dari pembicaraan Let.Kol. Untung sendiri
sewaktu selesai tugas Trikora ia dipindahkan ke Resimen Cakrabirawa, ia katakan dengan
peristiwa itu Jendral Soeharto pernah marah-marah atas kepindahannya ke Men Cakra itu, karena
ia akan ditarik sebagai pasukan Kostrad di bawah pimpinan beliau. Selain itu sewaktu Let.Kol.
Untung menjadi temanten di Kebumen Jendral Soeharto juga memerlukan datang untok turut
merayakan pesta perkawinan.
"Dengan saya pun demikian, secara dinas menurut perasaan saya bahwa saya selalu mendapat
kepercayaan. Sewaktu masa Gerilya di Yogyakarta sering saya mendapatkan perintah-perintah
penting untuk menggempur kedudukan musuh tentara Belanda dengan menggabungkan pasukan
lain (Brimob) di bawah pimpinan saya. Kemudian pada penyerangan total kota Yogyakarta yang
terkenal enam jam di Yogyakarta, pasukan saya mendapat kepercayaan untuk menduduki daerah
sepanjang Malioboro mulai dari Setasiun Tugu sampai Pasar Besar Yogyakarta dan beliau
sendiri mengikuti pasukan saya yang terletak di daerah Kuncen atau desa Sudagaran yang hanya
terletak 500 m dari batas kota Yogyakarta itu (daerah Demakijo). Hal tersebut setelah saya dapat
lolos dari kepungan tentara Belanda yang sedang mengadakan counter offensif dan saya dapat
mundur kembali keluar kota dengan meninggalkan korban 12 luka-luka, 2 gugur dan 50 orang
pemuda-pemuda gerilya kota di bawah pimpinan saya mati terbunuh oleh pembersihan tentara
belanda, pemuda-pemuda tersebut yang sekarang dimakamkan atau dengan nama MAKAM
TAK BERNAMA di daerah BALOKAN di depan Setasian Tugu Yogyakarta. Kira-kira pada jam
12.00 siang hari bertamulah saya pada Komandan Wehrkraise Let.Kol.Soeharto di Markas
rumah yang saya tempati sebagai Markas Gerilya, yang sewaktu itu beliau sedang menikmati
makan soto babat bersama-sama pengawal dan ajudannya. Kami segera melaporkan atas tugas
kewajiban saya.
Kemudian beliau masih memerintahkan lagi supaya menggempur pasukan Belanda yang sedang
berada di kuburan Kumoan Yogyakarta yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari Markas
gerilya saya itu, akhirnya beliau segera kembali ke Markas Besarnya. Hanya saja sayang dalam
sejarah yang sering ditulis dalam peringatan penyerbuan ibu kota Yogyakarta pada 1 Maret
hanya ditulis "Bahwa Jendral Soeharto dalam memimpin serangan pada tgl. 1 Maret di
Yogyakarta mengikuti salah satu pasukan."Di sinilah pentingnya saya ungkapkan demi untuk
melengkapi sejarah dengan ceritera yang sebenarnya. Bagi saya tidak ada ambisi untuk
menonjol-nonjolkan agar ditulis dalam sejarah, sekalipun saya sendiri semenjak revolusi Agustus
1945 ikut secara phisik melucuti Jepang menggempur tentara Sekutu dan Belanda sebagai
seorang pejuang kemerdekaan. Di Jawa Timur Surabaya. Bagi saya tidak ada artinya karena
bukanlah orang penting dan orang besar. Yang penting bagi ahli-ahli sejarah harus teliti
menyelidiki dalam tulisan-tulisan sejarah yang tepat.
Sesudah Clash ke II saya merasa selalu mendapat kepercayaan dari Jendral Soeharto yang waktu
itu sebagai komandan saya untuk memimpin pasukan-pasukan pada saat yang sulit. Sampai pada
saat TRIKORA pun sekalipun saya secara organisatoris terlepas dari komandonya masih dicari
untuk memimpin pasukan penerjun (para) Task force II ke Irian Barat dan yang dintus waktu itu
adalah staf beliau let.Kol.Mardanus sekarang anggauta MPR/DPR. Mengingat pada waktu itu
saya sendiri mendapat perintah harus menempah Sekolah Staf Komando (SESKOAD II), maka
746
perintah untuk tugas Irian Barat dibatalkan. Kemudian pada tahun 1965 kira-kira bulan Juni tepat
pada hari ulang tahun CPM (Corp Polisi Militer) Jenderal Soeharto telah menemui Pangdam V
Jaya Jendral Umar Wirahadikusumah dengan maksud meminta diri saya untuk ditugaskan
sebagai Komandan Task Force di Kalimantan Timur.
Singkatnya oleh Jendral Umar permintaan tersebut ditolak dengan alasan karena tenaga saya
dibutuLkan untuk tugas keamanan di Ibu Kota RI Kodam V Jaya. Keterangan ini saya dapat dari
Pangdam Jendral sendiri diberitahukan tentang hal itu. Jendral Umar menyatakan:"Bahwa tugas
untuk menjaga keamanan di Ibu Kota RI tidak kalah pentingnya dengan tugas di garis depan,
sebab disini terletak pemimpin-pemimpin negara terutama Pemimpin Besar Revolusi Bung
Karno jadi secara strategis adalah penting sekali, sedangkan bila di garis depan hanya
mempunyai arti "taktis". Atas dasar penjelasan itulah sayapun sadar dan bersemangat karena
panglima saya benar-benar setia kepada Pemimpin Besar revolusi sependirian dengan saya.
Sekalipun saya sendiri waktu itu mengusulkan agar diijinkan berangkat bertugas dengan maksud
untuk mencari pengalaman dalam perang modern, mentrapkan theori yang saya hasilkan dari
sesudah sekolah SESKOAD II. Selanjutnya kira-kira pada permulaan bulanAgustus saya pun
pernah menghadap Jendral Soeharto ke rumah datang atas dasar kekeluargaan biasa, antara lain
juga memberitahukan seperti yang saya terangkan tersebut di atas dan kemungkinan akan
diajukan ke atasan agar saya bisa bertugas.
Mengenai kekeluargaan di luar dinas pun saya mempunyai keakraban semenjak di JawaTengah,
sekalipun beliau sudah terlepas dari komando saya tetap sering saya datangi. Kebiasaan Perwiraperwira bawahan yang sejajar dengan saya (komandan-komandan Batalyon) jarang datang
ketempat beliau, terkecuali saya, kata teman- teman saya itu banyak yang merasa segan karena
Jendral Soeharto dianggap terlalu seram. Penilaian saya tidak.
Sebagai bukti lagi sewaktu beliau mengkhitankan puteranya bernama Sigit keluarga saya pun
datang adapun Ibunya tak dapat datang karena Ibu saya sedang sakit keras di Surabaya.
Sebaliknya pada waktu saya mengkhitankan anak saya beliau dengan Ibu Tien juga datang ke
rumah saya.Jadi kesimpulan saya denganJendral Soeharto sekeluarga tidak mempunyai persoalan
apapun malahan mempunyai hubungan secara akrab.
Misalnya: saya pernah mengusahakan agar beliau bisa membangun rumah yang agak besar
sedikit, karena yang saya lihat rumah beliau terlampau kecil. Karena itu saya pernah
mengusahakan tanah lewat bagian kaveling DKI dan kemudian mendapatkan di daerah
Rawamangun. Di samping itu sewaktu saya pernah mendapat rumah di jalan Jambu bekas
Kedutaan Inggeris yang kebetulan rumah itu besar, saya berkeinginan untuk mem- berikan
rumah itu untuk ditempati oleh Jendral Soeharto sekeluarga dan saya menempati rumah beliau
yang kecil. Dalam soal inilah antara lain yang pernah saya bicarakan di rumah beliau dua hari
sebelum peristiwa.
(Bahan ini diperbanyak oleh Penerbit: GOTONG ROYONG dengan ijin Penyusun)
747
Jul 31 03:54:21 MET DST 1998
SURAT TERBUKA TERPIDANA KOLONEL (INF) A. LATIEF
---------------------------------------------------------Sidang Pembaca yang terhormat,
Di bawah ini adalah surat terbuka Kolonel (INF) A. Latief yang menuntut diberikannya amnesti
menyeluruh bagi semua narapidana dan tahanan politik, tanpa kecuali. Ia sampai saat ini masih
mendekam dalam penjara yang dihuninya selama tigapuluh dua tahun karena dianggap sebagai
salah satu pelaku utama Gerakan 30 September. Saat itu ia menjabat sebagai Komandan Brigade
Infanteri I Angkatan Darat.
Tokoh ini menjadi sangat menarik ketika dalam kesaksiannya menyebutkan bahwa malam
menjelang gerakan militer itu dimulai, ia sudah melaporkan rencana ini kepada Mayor Jendral
Soeharto yang saat itu menjabat Panglima KOSTRAD. Tidak adanya reaksi apapun pada saat
kritis itu dari bekas penguasa rejim fasis 32 tahun Orba ini, menimbulkan banyak spekulasi di
kalangan sejarawan politik dan militer. Apakah Soeharto terlibat dalam gerakan ini? Pengadilan
yang jujur dan transparan akan menjawabnya.
Yang jelas Soeharto adalah penanggung-jawab utama dibantainya lebih dari limaratus ribu
rakyat Indonesia. Belum lagi para tapol G-30-S yang mati kelaparan atau disiksa di kamp-kamp
konsentrasi Nusa Kambangan, Pulau Buru,LP Tangerang, LP Kalisosok dan lain-lain.
Sudah saatnya para bekas Tapol/napol tragedi nasional berdarah 1965 (bahkan keluarga mereka)
memberikan kesaksian/testimoni tentang penderitaan yang telah mereka alami. Kalau toh belum
memungkinkan situasinya untuk bersaksi seperti Pius Lustrilanang cs, media alternatif seperti
mailing list di Internet bisa menjadi sarana yang memungkinkan testimoni mereka bisa dibaca
oleh rekan-rekannya sebangsa dan setanah air.Redaksi SiaR
-----------UNTUK APA AMNESTI DIBERIKAN KEPADA TAHANAN POLITIK DALAM ERA
REFORMASI SEKARANG INI
Pada dasarnya, pemberian amnesti kepada para tahanan politik pada era reformasi sekarang ini
dimaksudkan untuk mengadakan rekonsiliasi atau persatuan nasional dalam gejolak politik pada
waktu ini. Semua pihak bisa diajak bekerja sama dalam suatu pemerintahan untuk persatuan
nasional.
Dalam masa-masa lalu telah sering terjadi diadakan amnesti, abolisi kepada tahanan untuk
mengatasi penyelesaian konflik-konflik politik secara menyeluruh. Adapun contoh-contohnya
pernah saya lakukan sendiri sebagai pelaku sejarah:
748
A. 1. Masa muda saya sewaktu masih sekolah di sekolah menengah terjadi Perang Dunia Kedua,
sehingga kira-kira bulan November 1941 para murid sekolah tersebut dan sekolah lainnya
dicomoti untuk menjadi tentara Milisi Belanda dan dilatih di Magetan, Madiun sampai bulan
Pebruari 1942.
2. Kemudian setelah latihan militer segera dikirim untuk membuat pertahanan di Soreang dan
Ciwidae, Bandung Selatan.
3. Belum sampai terjadi pertempuran Belanda menyerah pada 8 Maret 1942, kemudian saya
seteman ditawan di sebuah sekolah di kota Soreang.
4. Beberapa hari kemudian kami dipindahkan dari Soreang ke Batu Jajar dengan jalan kaki.
Beberapa hari kemudian dipindahkan ke Kamp Tawanan Perang Batalyon IV di Cimahi,
berkumpul dengan tawanan lain dari KNIL, bersama antara lain Groot Majoor Urip Sumohardjo
(Letjen, Kepala Staf Panglima ABRI).
5. Beberapa bulan kemudian kami dari rombongan milisi terdiri atas para pelajar diberikan
amnesti oleh tentara pendudukan Jepang, kemudian berturut-turut bagi tentara beroep KNIL.
Kami tidak pernah mendapat perlakuan kasar dari tentara Jepang. Hanya kurang 1 (satu) hari
dibebaskan, ada tentara Belanda Indo dan Ambon melarikan diri, dan kemudian tertangkap 12
orang. Pada pagi harinya didemonstrasikan mereka dihukum mati dengan jalan ditembak mati di
lapangan. Dan kami disuruh semua menyaksikannya.
6. Pada pagi hari kami dibebaskan tanpa syarat dan kembali ke rumah masing-masing,
dibebaskan begitu saja tanpa dikawal. Kami pun segera pulang dengan mengendarai kereta api
bersama ke rumah masing-masing tanpa halangan apa pun dan kami dapat menikmati kebebasan
tersebut bersama orang tua dan saudara-saudara kami di rumah.
B. 1. Pada jaman kemerdekaan kami dihadapkan oleh pemberontakan DI/TII, pemberontakan
Andi Aziz, Kahar Muzakar, Republik Maluku Selatan (RMS), Merapi Merbabu Complex,
Peristiwa 17 Oktober 1952 (dikepungnya Istana Negara Republik Indonesia di Jalan Merdeka
Jakarta). Peristiwa PRRI, PERMESTA di Sumatera dan Sulawesi.
B. 2. Kami telah mengalami peristiwa-peristiwa tersebut selaku komandan pasukan:
2.1. Tahun 1950 menghadapi Andi Aziz di Sulawesi Selatan.
2.2. Tahun 1950-1951 tugas menghadapi DI/TII di Jawa Barat, Tasikmalaya, Garut, Ciamis,
Cijulang Parigi. Selama 8 (delapan) bulan belum lagi kembali ke pangkalan ditugaskan
berangkat ke Ambon, RMS di Serang.
2.3. Sekembali dari tugas RMS menghadapi DI/TII kembali ke perbatasan Jawa Tengah dan
pada tahun 1952 menghadapi pemberontakan Batalyon 426 di Kudus, dan tanggal 4 Pebruari
1952 pertempuran Batalyon saya dengan Batalyon 426 terjadi dengan sengitnya di Pegunungan
Kandang Samin, Wonosari.
749
2.4. Tugas selanjutnya Batalyon saya menghadapi DI/TII di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa
Barat: daerah Bumiayu, Bandarejo, Brebes, daerah Wangon, Majenang terus-menerus mulai
tahun 1952 sampai dengan 1958.
2.5. Sehabis sekolah SSKAD (sekarang SESKOAD, red.) pada tahun 1959 (satu setengah tahun)
kemudian ditugaskan untuk menumpas pemberontakan PRRI/PERMESTA di Sumatera Barat.
2.6. Pada tahun antara 1960-1961 terjadi pengumuman pemerintah Presiden Soekarno untuk
memberikan amnesti kepada pemberontak PRRI/PERMESTA dan tahun-tahun dilanjutkan
perolehan amnesti terhadap TII Kartosoewirjo dan Daud Beurueh. Kesemuanya amnesti tersebut
berlaku kepada kesemuanya tanpa syarat, malahan Prajurit PRRI/PERMESTA diberikan abolisi.
Saya sendiri pernah bertemu bersama mantan panglima PRRI Sumatera Barat mantan Letkol
Ahmad Husein tennis bersama di Senayan.
2.7. Demikianlah arti dari amnesti untuk kepentingan rekonsiliasi nasional untuk persatuan
bangsa tanpa pandang bulu. Apakah itu aliran DI/TII atau PRRI/PERMESTA tidak menjadi
masalah tanpa mendiskriminasi satu sama lain yang pada pokoknya mereka kembali ke
pangkuan ibu pertiwi secara nasional. Jadi adalah tidak benar ada perbedaan perlakuan sama
sekali.
PERLAKUAN TERHADAP DIRI SAYA SELAMA DALAM TAHANAN 32 TAHUN DI
PENJARA SALEMBA, RTM, DAN CIPINANG
1. Pada waktu saya ditembak dan kemudian sekedar saya diobati operasi kaki kiri digips sekujur
kaki kiri sampai batas perut, sehingga harus tidur terlentang, tanpa bisa bangun. Pada hari itu
juga dalam masih diinfus harus dibawa ke markas Kodam V Jaya dengan disertai seorang
perawat. Tidak dirawat inap di RSPAD.
2. Di markas Kodam V Jaya selama satu minggu datang pemeriksaan-pemeriksaan, tapi saya
tidak mampu menjawab karena keadaan penyakit luka saya sangat kritis. Pemeriksa mengancam
bahwa saya akan diperiksa oleh prajurit.
3. Pada akhir minggu itu gips (pembalut) kaki saya diganti di RSPAD dengan jalan dibius.
Kemudian pada suatu hari dipindahkan ke rumah tahanan penjara Salemba di sel dubbel deur
(pintu ganda, red.) dan ruangan 2x3 meter dan cahaya lampu sangat gelap (15 watt) dan saya
ditempatkan di lantai bawah hanya dengan satu tikar.
4. Saya sering mengalami pingsan karena sakit ginjal dan infeksi pada luka kaki kiri karena luka
saya selalu mengeluarkan cairan (nanah) sehingga memenuhi pada gips pembungkus
menimbulkan bau busuk. Pada suatu waktu keluar ulat-ulat (belatung) yang mengerumuni badan
saya. Bersamaan dengan itu anak saya laki-laki yang tertua kena musibah tertubruk mobil
sehingga tewas.
5. Saya sering pingsan karena saya terkena penyakit ambeien yang terus-menerus mengeluarkan
darah dan penyakit ginjal (mungkin kencing batu) sehingga kalau kencing juga
mengeluarkan darah.
750
AKIBAT DARI PENYAKIT-PENYAKIT TERSEBUT SEHINGGA SAYA DIHARUSKAN
DIRAWAT
1. Di RTM Lapangan Banteng menjalani operasi di RSPAD pada kaki sebanyak tiga kali. Dua
kali hemorrhoid (ambeien). Satu kali hernia sebelah kanan (enam kali di RSPAD).
2. Di LP Cipinang menjalani operasi di RS Persahabatan: satu kali hernia sebelah kanan; operasi
ginjal (dua kali di Persahabatan).
3. Di Rumah Sakit POLRI dirawat karena stroke tanggal 2 Januari 1997, sulit bicara,
kerongkongan menyempit, keluar air liur, kaki kesemutan, tensi tidak normal, dan kena katarak
sehingga sulit membaca.
4. Di RS Sint Carolus operasi hernia sebelah kiri tanggal 7 Juli 1998.
Saya tidur terlentang tanpa bisa bangun selama dua tahun di dalam sel dan saya mengalami disel
isolasi berat dikunci terus-menerus tanpa dibuka selama sepuluh tahun (tanggal 11 Oktober
1965-1975) di Penjara Salemba.
PROSES PERSIDANGAN DAN PERMOHONAN PIDANA SEUMUR HIDUP MENJADI
TERBATAS
1. Diputuskan oleh Mahmilti (Mahkaman Militer Tinggi) II Jawa Bagian Barat dengan hukuman
pidana SEUMUR HIDUP tanggal 1 Agustus 1978.
2. OTMILTI (Oditur Militer Tinggi) mengajukan banding dan kami mengajukan kontra banding
ke Mahkamah Militer Agung (MAHMILGUNG) tanggal 7 Agustus 1978.
3. Keputusan MAHMILGUNG menolak banding OTMILTI dengan menguatkan keputusan
MAHMILTI tanggal 18 Januari 1982. Pada tanggal 18 Januari 1983 oleh OTMILTI saya
diserahkan kepada KALAPAS (Kepala Lembaga Pemasyarakatan) Cipinang untuk menjadi
NARAPIDANA. Pada tanggal tersebut saya mengajukan permohonan PIDANA SEUMUR
HIDUP MENJADI TERBATAS, dan selesai 18 Januari 1988 (seharusnya bebas), tetapi tidak
terlaksana karena terhalang Keppres No. 5 tahun 1978, pada bulan Agustus saya hanya tinggal
kurang dari 5 bulan.
4. Bersamaan dengan itu saya, saudara Rewang anggota Polit Biro PKI dan saudara Marto
Suwandi anggota Biro Chusus yang sama-sama hukumannya SEUMUR HIDUP mengajukan
permohonan SEUMUR HIDUP MENJADI TERBATAS. Pada tahun 1988 kedua orang tersebut
bisa dibebaskan, tetapi saya TIDAK DIBEBASKAN.
5. Pada bulan Mei 1994 saya bersama Dr. Soebandrio, Omar Dhani, dan Sugeng Sutarto
bersama-sama dipanggil KALAPAS untuk menandatangani permohonan grasi dengan nomor
yang sama, tanggal yang sama, pengiriman pada OTMILTI bersama.
6. Pada tanggal 17 Agustus 1995 Dr. Soebandrio, Omar Dhani, Sugeng Sutarto mendapat
amnesti pembebasan oleh pemerintah, sedangkan saya tidak dibebaskan.
Menurut keterangan keluarga-keluarga mereka yang datang di Sekretarian Negara, mereka
melihat bahwa nama saya ada di meja Menteri Sekretaris Negara.
751
7. Bahwa kami pada setiap tahun oleh KALAPAS Cipinang semenjak tahun 1991 selalu diajukan
untuk mendapatkan PIDANA SEUMUR HIDUP menjadi TERBATAS.
Terakhir tanggal 22 Januari 1998, 2 Pebruari 1998, dan terakhir sekali secara kolektif diajukan
pada tanggal 27 Juli 1998.
Demikianlah keterangan yang saya berikan dengan sesungguhnya dan mohon mendapat
perhatian sepenuhnya mengenai amnesti menyeluruh bagi kami tahanan politik/nara- pidana
politik secara keseluruhan.
Di samping itu bahwa teman-teman kami yang hanya tersisa 13 orang di seluruh Indonesia, pada
umumnya sudah berusia 70 tahun ke atas dan umumnya sudah rapuh dan lumpuh.
Karena itu secara perikemanusiaan mohon perhatian sepenuhnya.
Sekian.
Tanggal 27 Juli 1998
Hormat kami,
A. LATIEF
752
Kehormatan bagi yang berhak , Bung Karno tidak terlibat G30S/PKI
(Oleh:Manai Sophiaan)
BAB I
AWAL SEBUAH TRAGEDI
UNGKAPAN berbagai peneliti mengenai "Gerakan 30 September 1965" di Indonesia,
berbeda-beda.
Antonie C.A. Dake dalam bukunya "In the Spirit of the Red Banteng",
mengungkapkan tragedi ini dengan banyak mengacu kepada keterlibatan PKI sebagai
perencana, Bung Karno mengetahui dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai
pensuplai senjata untuk persiapan apa yang disebut Angkatan ke-V, yang dituduhkan
akan menjadi kekuatan bersenjata PKI.
Ada 22 juta sukarelawan yang sudah mendaftarkan diri di Front Nasional, memenuhi
seruan Bung Karno mobilisasi kekuatan rakyat untuk mengganyang Malaysia. Mereka
inilah katanya yang akan disaring untuk dimasukkan ke dalam Angkatan ke-V.
Pembentukan Federasi Malaysia dirancang oleh Perdana Menteri Inggeris, Harold
McMillan, dan Perdana Menteri Malaya, Tungku Abdul Rahman, dalam perundingan
di London pada bulan Oktober 1961 dan dilanjutkan bulan Juli 1962, itulah yang
mengawali provokasi politik dan militer meng-contain Indonesia.
Ganis Harsono, jurubicara Departemen Luar Negeri R.l. selama 8 tahun di era
Sukarno, menulis dalam bukunya "Recollections of an Indonesian Diplomat in the
Sukarno Era" yang diterbitkan oleh University of Queensland Press, Australia, tahun
1977 dan kemudian pada tahun 1985 diterbitkan edisi Indonesianya oleh Inti Idayu
Press Jakarta dengan judul "Cakrawala Politik Era Sukarno", menulis bahwa Inggris
memberitahukan kepada Indonesia mengenai rencananya membentuk Federasi
Malaysia. Indonesia tidak menentang, karena dipahami bahwa ide pembentukkannya
ialah untuk memberikan kemerdekaan kepada wilayah-wilayah jajahan Inggeris di
Kalimantan Utara.
Tetapi setelah Presiden Macapagal dari Filipina mengajukan tuntutan supaya dalam
proses pemberian kemerdekaan tersebut, wilayah Sabah dikembalikan kepada
Filipina, karena memang tadinya adalah wilayah kekuasaan Kasultanan Sulu di
Filipina Selatan yang dicaplok oleh Inggeris ketika menjajah Kalimantan Utara, justru
timbul reaksi keras dari Kuala Lumpur, yang disampaikan oleh Duta Besarnya di
Manila, Zaiton Ibrahim, dengan mengatakan kepada Presiden Macapagal bahwa
situasi akan menjadi gawat, apabila Filipina menuntut wilayah Sabah. Malahan
Menteri Pertahanan Malaya, Najib Tun Razak, memberikan reaksi yang lebih keras
lagi: "Kami siap pergi berperang mempertahankan Sabah dalam naungan Malaysia".
753
Tadinya Sabah hanya disewa oleh Inggeris dari Sultan Sulu, Jamal Alam, yang
akhirnya jatuh ke bawah penguasaan The British North Borneo Company.
Waktu itu Indonesia tidak memberikan reaksi apa-apa, diam saja. Tapi pada tanggal
8 Desember 1962, setelah Azhari yang dituduh memberontak di Brunai dan
memproklamasikan kemerdekaan Kalimantan Utara yang terdiri dari Brunai, Serawak
dan Sabah di Manila, di tempat mana ia melarikan diri bersama teman- temannya,
dan menyatakan dirinya sebagai Perdana Menteri Negara Kalimantan Utara, cepat
sekali Tungku Abdul Rahman menuding Indonesia sebagai biang keladinya.
Padahal duduk persoalannya, Azhari yang memimpin Partai Rakyat Brunai, dalam
Pemilihan Umum Agustus 1962, memenangkan 54 dari 55 kursi di Dewan Distrik dan
16 dari 33 kursi di Dewan Legislatif. 1)
1) JAC Mackie, Konfrontasi, The Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966
Oxford University Press, Kuala Lumpur -London, hal. 37
Apa yang dilakukan oleh Azhari setelah partainya ditumpas dan dia dikejar--kejar
sebagai pemberontak, ialah selalu mengadakan kontak dengan Wakil Presiden
merangkap Menteri Luar Negeri Filipina, Immanuel Pelaez, dan sama sekali bukan
dengan Indonesia.
Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI), Ali Sastroamidjojo, memberikan reaksi
menolak tudingan Tungku.
Tungku pun menjadi marah oleh adanya reaksi dari Ali Sastroamidjojo dan langsung
menyerang secara pribadi kepada Bung Karno dengan mengatakan: "Jangan campuri
urusan Kalimantan Utara!"
Serangan ini sebenarnya datang dari Inggeris, tapi Tungku yang menjadi jurubicaranya.
Oleh karena itu, pada bulan April 1963, Bung Karno di hadapan Konperensi Wartawan
Asia Afrika di Jakarta menjawab ancaman Tungku dengan mengatakan: "Perjuangan
rakyat Serawak, Brunai dan Sabah, adalah bagian dari perjuangan negara-negara "the
new emerging forces" yang membenci penghisapan manusia oleh manusia.
Karena Jepang melihat bahwa proses pembentukan Federasi Malaysia sudah
menjurus pada kecurigaan Indonesia sebagai proyek neokolonialisme Inggeris, maka
pada tanggal 3 1 Mei sampai 1 Juni 1963, Tokyo menyediakan tempat pertemuan
antara Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Tungku Abdul Rahman, untuk
mengusahakan pendekatan. Tujuannya ialah untuk menghilangkan kecurigean
mengenai rencana pembentukan Federasi Malaysia, yang terdiri dari Federasi Malaya
sebagai induknya digabungkan dengan Singapura dan tiga wilayah lainnya di
Kalimantan Utara.
754
Pertemuan Tokyo menyepakati sebuah prinsip, yaitu tetap memelihara Semangat
Perjanjian Persahabatan Indonesia- Malaya tabun 1959.
Untuk merumuskan lebih lanjut hasil pertemuan Tokyo, diadakan lagi pertemuan para
Menteri Luar Negeri tiga negara, yaitu: Indonesia, Malaya dan Filipina, di Manila dari
tanggal 7 sampai 11 Juni 1963.
Ketiga Menteri Luar Negeri itu, semuanya mempunyai jabatan rangkap, yaitu:
Subandrio di samping Menteri Luar Negeri, juga Wakil Perdana Menteri I, Tun Abdul
Razak, Menteri Luar Negeri dan Deputy Perdana Menteri dan Immanuel Pelaez,
Menteri Luar Negeri dan sekaligus Wakil Presiden.
Dalam pertemuan Manila, Indonesia dan Filipina menyatakan tidak keberatan
dibentuknya Federasi Malaysia, asal hal itu dilakukan atas dasar Hak Menentakan
Nasib Sendiri bagi rakyat di wilayah- wilayah yang hendak digabungkan, dan
ditentukan oleh otoritas yang bebas dan tidak berpihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB.
Pertemuan itu juga mengembangkan pemikiran Presiden Filipina, Macapagal, yaitu
pembentukan Konfederasi tiga negara serumpun Melayu yang disebut MAPHILINDO
(Malaysia-Philipina-lndonesia), gagasan yang langsung ditentang oleh Amerika dan
Inggeris. Ironisnya, dari Peking, Menteri Luar Negeri Chen Yi menuduh MAPHILINDO
sebagai proyek Nekolim.
Pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri ini, diperkuat dengan diadakannya Konperensi
Tingkat Tinggi antara Perdana Menteri Tungku Abdul Rahman, Presiden Macapagal
dan Presiden Sukarno yang dilangsungkan di Manila dari tanggal 31 Juli sampai 1
Agustus 1963, yang hakekatnya hanya mengesahkan hasil-hasil yang telah dicapai
dalam pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri sebelumnya.
Dalam perundingan tersendiri antara Presiden Sukarno dan Presiden Macapagal,
disetujui apa yang dikenal dengan Doktrin Sukarno - Macapagal yang menegaskan
bahwa Masalah Asia supaya diselesaikan oleh bangsa Asia sendiri.
Doktrin ini dengan serta merta ditolak oleh Amerika Serikat dan Inggeris, karena
dinilai dapat menggagalkan tujuan pembentukan Federasi Malaysia yang dirancang di
London yang sebenarnya untuk meng-contain Indonesia.
Hasil KTT Manila ternyata menggelisahkan London dan Kuala Lumpur.
Dengan adanya gagasan Presiden Macapagal yang mengusulkan pembentukan
Konfederasi MAPHILINDO dan doktrin Sukarno- Macapagal yang menghendaki
supaya masalah Asia diselesaikan oleh bangsa Asia sendiri, maka anasir Inteligen
Inggeris dan Malaysia melansir satu berita bahwa Federasi Malaysia akan dibentuk
pada tanggal 31 Agustus 1963, 2) mendahului pelaksanaan Persetujuan Manila yang
menghendaki supaya pembentukan itu dilakukan atas dasar Hak Penentuan Nasib
755
Sendiri dari rakyat bersangkutan, yang akan diatur oleh Sekretaris Jenderal PBB,
waktu itu U Thant.
2) Dr. Hidayat Mukmin, TNI dalam politik luar negeri Studi kasus
penyelesaian konfrontasi Indonesia - Malaysia, hal. 95.
Dilansirnya berita itu, makin meyakinkan Indonesia bahwa memang ada udang di
balik batu dengan pembentukan Federasi Malaysia yang dirasakan sebagai sangat
tergesa-gesa.
Oleh karenanya, Sekjen PBB segera mengirimkan Misi PBB ke Serawak dan Sabah
untuk meneliti sejauh mana rakyat Kalimantan Utara bersedia bergabung dalam
Federasi Malaysia, seperti yang dituntut oleh KTT Manila. Tapi Misi sudah distel
demikian rupa, dengan ketuanya diambilkan dari Amerika yaitu Laurence
Michaelmore, dibantu oleh delapan anggota yang diambilkan dari berbagai negara.
Indonesia, Malaya dan Filipina menyertakan juga wakil-wakilnya sebagai peninjau.
Karena Misi sedang bekerja, maka Kuala Lumpur berusaha meredakan kemarahan
Indonesia dan mengumumkan penundaan pembentukan Federasi Malaysia sampai
tanggal 16 September 1963, yaitu tanggal yang diperkirakan Misi PBB sudah
menyelesaikan tugasnya dengan hasil yang menguntungkan London dan Kuala
Lumpur. Penundaan tanggal, dianggap oleh Indonesia sebagai proforma belaka,
karena hasilnya sudah ditentukan sesuai dengan keinginan Kuala Lumpur dan London.
Memang sebelum itu, Inggeris sudah mengadakan penjajagan di Kalimantan Utara
dengan sebuah komisi yang diketuai oleh Lord Cobbold dan anggotanya terdiri dari:
Sir Anthony Abell, Sir David Watherston, Dato Wong Po Nee dan Enche Gazali bin
Sofie.
Hasil penjajagan ini diumumkan dalam Report of the Commission of Inquiry North
Borneo and Serawak 1962 yang menyebutkan:
1. Sepertiga penduduk menyetujui tanpa syarat, merdeka dalam
Federasi Malaysia.
2. Sepertiga menyetujui dengan syarat supaya kepentingan daerah
mereka terjamin.
3. Sisa yang lain, ingin mendapatkan kemerdekaannya dulu, sebelum
bergabung dalam Federasi Malaysia.
Tapi ini semua adalah versi Komisi Cobbold. Sebelum itu sudah ditentukan supaya
diadakan Pakta Pertahanan antara Inggeris dan Federasi Malaysia.
Dengan demikian, dari segi pertahanan, Federasi Malaysia dianggap oleh Inggeris
lebih sederhana, karena Federasi dapat dikelola bersama sebagai satu unit strategik.
756
Karena Federasi berada dalam lingkungan Persemakmuran Inggeris, maka Inggeris
berkewajiban tetap memberikan perlindungan militer. Ketika Malaya baru merdeka, di
sana hanya ada 2000 tentara Inggeris dan Australia. Tapi setelah Federasi Malaysia
dibentuk, kekuatan Militer itu cepat ditambah menjadi 50.000. 3)
3) Ibid haL 115.
Strategi pertahanan ini mencemaskan Indonesia, karena perlindungan militer Inggeris
yang begitu besar, merupakan ancaman serius bagi keamanan Indonesia. Apalagi
dalam mempertahankan Malaysia, sudah tersiar berita bahwa Inggeris akan
mendapat dukungan dari Pakta Pertahanan ANZUS (Australia - New Zealand - United
States), untuk menghadapi Sukarno yang sudah lama dicap sebagai "trouble maker"
di Asia, yang kegiatannya harus dicegah jangan sampai merembet mempengaruhi
negara-negara Afrika dan Amerika Latin.
Sebenarnya di Malaysia, Singapura dan British North Borneo (Kalimantan Utara),
terdapat kekuatan-kekuatan politik yang menentang pembentukan Federasi Malaysia
menurut konsep McMillan - Tungku Abdul Rahman, tapi mereka ditindas sehingga
tidak bisa berbuat banyak.
Kekuatan menentang pembentukan Federasi Malaysia di Malaya ialah: Front Sosialis
Malaya yang terdiri dari Partai Rakyat Malaya dan Partai Buruh, serta Partai Islam
se-Malaya. Di Singapura: Barisan Sosialis, Partai Pekerja dan Partai Rakyat. Di
Kalimantan Utara: Partai Rakyat Brunai dan Serawak United People's Party. Partai
Rakyat Brunai sejak 1956 di bawah pimpinan Azhari, sudah mempunyai program
hendak mengusir Inggeris dari Kalimantan Utara. 4)
4) Ibid hal. 115.
Dan apa yang terjadi kemudian?
Misi PBB yang dipimpin oleh Michaelmore, tanpa penyelidikan seksama, langsung
menyatakan bahwa rakyat Kalimantan Utara (Serawak dan Sabah) menyetujui
merdeka dalam Federasi Malaysia. Hasil Kerja Misi PBB ini segera disahkan oleh
Sekjen PBB.
Sebaliknya Indonesia, setelah mendengarkan laporan dari peninjau- peninjaunya yang
menyertai penyelidikan Misi PBB, menuduh adanya kecurangan-kecurangan yang
menyolok, sehingga laporan Misi PBB itu tidak bisa dianggap sah.
Akibatnya, mudah dipahami. Karena Indonesia menolak hasil penyelidikan Misi PBB
yang disahkan oleh Sekjen PBB, ditambah lagi tersiar berita bahwa sesudah
Federasi Malaysia diresmikan pada tanggal 16 September 1963, negara federasi baru
itu segera akan diterima menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, maka
Jakarta langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur.
757
Oleh perkembangan yang sangat cepat, dan usaha diplomatik untuk mencoba
meredamnya mengalami kegagalan, maka konfrontasi Indonesia - Malaysia tidak
terhindarkan lagi. Dr. Subandrio dalam kedudukannya sebagai Wakil Panglima Besar
KOTI (Komando Tertinggi Indonesia) dan Kepala Badan Pusat Inteligen (BPI), mulai
menerjunkan gerilyawan di Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara, untuk
memberikan tekanan kepada Kuala Lumpur supaya mau merubah sikapnya dengan
mengemukakan aproach baru yang bisa mengatasi deadlock.
Malaysia didirikan tanpa ikut sertanya Brunai, sedang Singapura yang tadinya. ikut
bergabung, kemudian memisahkan diri dan menyatakan dirinya merdeka sendiri.
Tapi tindakan Dr. Subandrio itu, justru memberikan alasan kepada Inggeris dan
sekutunya Pakta ANZUS untuk bersiap - siap menyerang Indonesia, kemungkinan
yang sebenarnya sudah lebih awal disinyalir oleh Bung Karno.
Sebelum itu, dalam bulan Oktober 1963, Presiden Kennedy dari Amerika,
mengirimkan surat kepada Presiden Sukarno yang menganggap sikap Indonesia
terhadap Malaysia, menempatkannya pada posisi yang amat sulit untuk mewujudkan
keinginannya membantu usaha-usaha Indonesia ke arah pembangunan dan
pemulihan ekonominya.
Setelah menerima surat tersebut, Presiden Sukarno langsung mengadakan
pertemuan dengan 10 orang menteri seniornya, yaitu: Ir. Djuanda, Dr. Subandrio,
Chaerul Saleh, Dr. J. Leimena, Sudibyo, disertai dengan menteri-menteri militer yaitu:
A.H. Nasution, A. Yani, E. Martadinata, Omar Dhani dan Sucipto. Pertemuan
merumuskan jawaban yang paling tepat untuk Surat Presiden Kennedy dengan
sebuah kalimat yang tegas: "Go to hell with American aid". 5)
5) Ganis Harsono, Cakrawala Politik Era Sukarno, hal. 160 -161
Dengan surat Presiden Kennedy tersebut, makin menjadi jelas bahwa bukan saja
Inggeris, melainkan juga Amerika ikut ambil bagian dalam merekayasa pembentukan
Federasi Malaysia.
Tapi cara mengelola ketegangan akibat pembentukan Federasi Malaysia, akhirnya
menggiring Indonesia terjaring masuk perangkap konfrontasi militer yang sudah
dipasang oleh Inggeris dan Amerika. Bung Karno segera melihat bahaya akan makin
meningkatnya eskalasi konfrontasi, maka berusaha mencari upaya
mengendorkannya dengan mengusulkan segera diselenggarakannya KTT 3 negara
yang terkait.
Upaya Bung Karno terlambat, karena segera sesudah itu, bom waktu yang sudah
lama dipasang oleh persekutuan Nekolim di Indonesia, tidak bisa ditangkal lagi.
Meletuslah "Gerakan 30 September 1965", yang mengundang Amerika makin
terang-terangan berkiprah melaksanakan rencana menghancurkan revolusi Indonesia
758
dan kepemimpinan Bung Karno yang dijuluki oleh Barat sebagai "Hitler Baru" seusai
Perang Dunia II.
Itulah lihainya Nekolim yang tidak secara dini bisa diantisipasi.
Meski pun demikian, pada bulan Februari 1966 Presiden Sukarno masih menugaskan
Duta Besar Keliling R.l., Supeni, pergi ke Manila membicarakan dengan Presiden
Ferdinand Marcos yang sudah menggantikan Macapagal, mengenai perlunya segera
diadakan KTT MAPHILINDO dan minta supaya Filipina jangan dulu memberikan
pengakuan kepada Federasi Malaysia. Tujuan Bung Karno untuk segera
menyelenggarakan KTT MAPHILINDO, ialah mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia
dan menyelesaikan dispute Sabah yang di claim oleh Filipina, atas dasar semangat
MAPHILINDO.
Tapi rencana Bung Karno ini, sebelum bisa dilaksanakan, sudah kedahuluan dicegat
oleh keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR), yang berakibat
kekuasaan berpindah ke tangan Letnan Jenderal Soeharto sebagai pengemban
SUPERSEMAR yang segera saja melakukan penahanan terhadap menteri-menteri
yang penting, sehingga Presiden Sukarno kehilangan pembantu- pembantunya dan
Kabinet Baru harus dibentuk bersama Pengemban SUPERSEMAR. Praktis Bung
Karno sudah kehilangan kekuasaannya.
Dr. Suharto, dokter pribadi Bung Karno, dalam bukunya "Saksi Sejarah" memastikan
bahwa konfrontasi dengan Malaysia tidak termasuk dalam calender of event Bung
Karno 6). Barangkali Komando Dwikora (konfrontasi dengan Malaysia) adalah
imposed (desakan) pihak lain, mungkin musuh dalam selimut yang mengetahui
psycho emosional Bung Karno. Dengan menggunakan metode psycho analisa,
dilakukan berbagai tipu muslihat, yang bertujuan mempengaruhi Bung Karno dalam
mengambil keputusan melakukan suatu tindakan.7)
6) Dr. Suharto, SaksiSejarah, hal. 135.
7) Ibid, hal. 189
Setelah Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB,
Indonesia memberikan reaksi yang sangat keras dan langsung menyatakan keluar
dari keanggotaan PBB, meski pun disadari bahwa putusan ini adalah satu imbalan
yang sangat mahal. Putusan ini diumumkan oleh Bung Karno pada 7 Januari 1965
dalam rapat umum Anti Pangkalan Militer Asing, di ISTORA Jakarta.
Pada awal Bab ini, sudah disinggung adanya 22 juta sukarelawan yang mendaftarkan
diri untuk melawan serbuan Inggeris dan sekutunya ke Indonesia, jika konfrontasi
mencapai puncaknya. Tujuan seruan Bung Karno mengadakan mobilisasi kekuatan
rakyat, sangat jelas yaitu untuk apa yang dirumuskan secara populer: Ganyang
Malaysia!. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan tuduhan sebagai persiapan untuk
pembentukan Angkatan ke V. Prosedur yang harus dipenuhi untuk pembentukan
Lembaga semacam itu, bukan saja belum pernah ditempuh, bahkan dibicarakan saja
759
dalam sidang Kabinet sebagai Lembaga kekuasaan eksekutif, DPRGR sebagai
Lembaga kekuasaan Legislatif, maupun dimintakan pertimbangan dari Dewan
Pertimbangan Agung, sebagai Lembaga Tinggi Negara, belum pernah.
Untuk membentuk Angkatan ke-V yang begitu prinsipil, tidak mungkin dilakukan
tanpa disetujui oleh ketiga Lembaga Tinggi Negara seperti yang disebutkan di atas.
Gagasan Angkatan ke-V sebenarnya hanya move politik yang dilontarkan oleh Bung
Karno, yang ide pokoknya bertolak dari ketentuan UUD 1945 pasal 30 tentang bela
negara, dikaitkan dengan gerakan "ganyang Malaysia". Hanya pihak pers tertentu
yang membesarbesarkannya dan meminta reaksi dari Menteri/ Panglima Angkatan
Darat yang tentu saja menentangnya. Dengan demikian, move politik ini segera di
ekspos seolah-olah Bung Karno sudah memerintahkan pembentukan Angkatan ke-V,
yang kemudian dituding sebagai salah satu alasan keterlibatan Bung Karno dalam
G30S/PKI.
Rekayasa lain untuk mencoba membuktikan keterlibatan Bung Karno dalam
G30S/PKI, ialah keterangan Brigadir Jenderal H.R. Sugandhi, (ajudan Presiden
19481962) yang memberikan pengakuan kepada Team Pemeriksa Pusat (TEPERPU)
di bawah sumpah, bahwa ia telah berbicara langsung dengan ketua CC PKI, D.N.
Aidit, dan sekretaris CC, Sudisman, pada tanggal 27 September 1965, di mana
kedua tokoh PKI itu katanya memberitahukan kepadanya bahwa PKI akan
melakukan coup d'état atau tindakan untuk membenahi revolusi Indonesia yang
dirongrong oleh "Dewan Jenderal". Rencana itu hendak dilaksanakan dalam tempo
satu- dua tiga hari lagi. Sugandhi diajak ikut bergabung, karena kata Aidit, rencana ini
sudah diberitahukan kepada Bung Karno. Sugandhi, katanya menolak ajakan itu.
Dalam pengakuannya, ia mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965, yakni
sesudah tiga hari pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman, dilaporkannyalah
berita ini kepada Presiden Sukarno di Istana Merdeka. Menurut pengakuan Sugandhi,
Bung Karno tidak mau percaya pada laporan itu, bahkan Bung Karno menuduhnya
"PKI-phobi".
Dikatakan dalam pengakuan itu, pada tanggal yang sama, ia melaporkan juga
pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman, kepada Menteri/Panglima Angkatan
Darat Letnan Jenderal A. Yani. Namun tidak dijelaskan bagaimarra jawaban atau
perintah A. Yani sebagai reaksi atas laporan tersebut.
Menurut Sugandhi, pada tanggal 1 Oktober 1965, ia melaporkan juga kepada Menteri
Koordinator Pertahanan dan Keamanan Jenderal A.H. Nasution. Juga tidak dijelaskan
apa reaksi Jenderal Nasution.
Bila diteliti dengan seksama, pengakuan di bawah sumpah Brigadir Jenderal H.R.
Sugandhi tersebut, terasa sangat aneh dan mengandung tanda tanya. Dia diketahui
sebagai seorang prajurit pilihan sehingga diangkat menjadi Jenderal, di samping juga
ia orang terhormat sebagai anggota MPRS/DPRGR.
760
Mengapa dikatakan sangat aneh dan mengandung tanda tanya, karena pertama,
menurut akal sehat, tidak mungkin seseorang, apalagi seorang ketua CC PKI dan
sekretaris CC, begitu saja membicarakan suatu rencana yang kadar kerahasiaannya
paling tinggi, kepada seseorang, apalagi dari jajaran pihak lawannya. Kedua, sudah
begitu rapuhkah semangat Sapta Marga dan Sumpah Prajurit dalam diri seorang
prajurit pilihan, sehingga suatu informasi yang kadar nilainya sangat tinggi, serta
diperoleh secara langsung dari pimpinan PKI yang paling kompeten, harus disimpan
sendiri selama tiga kali 24 jam baru disampaikan kepada atasannya, di mana suhu
politik dalam negeri waktu itu sedang panas? Apakah ini suatu kelalaian atau suatu
kesengajaan? Ketiga, makna apa yang tersirat dalam sentuhan hubungan antara
Brigjen Sugandhi dengan Aidit dan Sudisman, yang masingmasing sebagai ketua CC
PKI dan Sekretaris Jenderal CC?
Dapat dimengerti bahwa pada tahun-tahun awal sesudah terjadinya G30S/PKI,
suasana masih dalam serba emosional, sehingga pertimbangan kelayakan satu
informasi kadang-kadang subyektivitasnya lebih menonjol. Apa lagi tidak dibentuk
satu Komisi yang ditugaskan untuk memeriksa benar tidaknya pengakuan Sugandhi
tersebut, yang akhirnya pengakuan ini digunakan untuk memvonis Sukarno terlibat
G30S/PKI. Sebaliknya, Sugandhi mendapat nama baik.
Sidang Istimewa MPRS 7 Maret 1967 yang anggotaanggotanya banyak dipecat dan
diganti serta ditambah dengan orang-orang yang menguntungkan, termasuk pimpinan
lama diganti dengan Jenderal A.H. Nasution sebagai ketua baru, itulah yang
mencabut mandat Ir. Sukarno sebagai Presiden, serta melarangnya melakukan
kegiatan politik.
Dan apa yang terbukti kemudian?
Sesudah nasi menjadi bubur, komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden
Sukarno, Letnan kolonel polisi H. Mangil Martowidjojo, baru mengungkapkan dengan
mengemukakan bukti-bukti bahwa keterangan Sugandhi di bawah sumpah itu,
sepenuhnya kebohongan dan fitnah. 8)
8 ) Majalah PETA, edisi September/Oktober 1992, Jakarta, hal. 3-6.
Baca juga: Soegiarso Soerojo, Siapa menabur angin akan menuai
badai, hal. 236-237, yang mengutip dialog antara Sugandhi dengan
Aidit-Sudisman dan dialog antara Bung Kamo dengan Sugandhi
menurut versi yang diceritakan oleh Sugandhi.
Memang sayang sekali Mangil tidak segera menyampaikan kebohongan Sugandhi
kepada Bung Karno, padahal ia sudah mendengar "Geruchten" (desas-desus)nya,
jauh sebelum Sukarno dijatuhkan oleh MPRS.
Mangil mengatakan, karena ia penasaran, maka tanggal yang disebutkan oleh
Sugandhi melaporkan hasil pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman kepada
Presiden, yaitu tanggal 30 September 1965, diperiksanya kembali buku catatan tamu
761
Istana, apakah betul waktu itu Sugandhi datang. Ternyata tidak ada nama Sugandhi
masuk Istana pada hari itu. Bukan saja Mangil yang selalu mengawal Bung Karno
tidak melihat Sugandhi menemui Presiden hari itu, juga di buku catatan tamu yang
harus diisi oleh setiap tamu yang masuk Istana, baik ia tamu dipanggil atau tamu
yang mendadak datang, nama Sugandhi tidak ada. Di "wachtrooster" (buku jaga)
yang harus diisi oleh setiap tamu sesuai dengan peraturan yang ditentukan oleh
ajudan, mau pun dalam buku Detasemen Kawal Pribadi yang selalu memasukkan
dalam catatan semua tamu yang masuk Istana, tidak ada nama Sugandhi pada 30
September 1965 masuk Istana.
Beberapa hari sesudah meletusnya Gerakan 30 September, melalui Menteri
Penerangan Ahmadi, Bung Karno berpesan supaya Sugandhi datang ke Istana
Bogor, karena Bung Karno memerlukan masukan mengenai gerakan tersebut, tapi ia
tidak mau datang. Bahkan berkata kepada Ahmadi supaya menyampaikan kepada
Bung Karno kalau ia tidak berhasil menemuinya.
Sesudah penolakan Sugandhi atas panggilan Bung Karno, pada suatu hari ia datang
ke Istana Jakarta, saat Bung Karno sedang berolahraga pagi jalan kaki mengelilingi
Istana diikuti oleh beberapa anggota staf Istana dan para pengawal. Sugandhi terus
bergabung dengan rombongan dan dari belakang Bung Karno, ia melaporkan
kehadirannya. Tapi mengetahui kedatangan Sugandhi ini, Bung Karno malah
langsung memerintahkannya supaya keluar. "Deruit, deruit" perintah Bung Karno.
Karena Sugandhi belum juga keluar dan masih terus mengikuti dari belakang, sekali
lagi Bung Karno memerintahkannya supaya keluar. Barulah Sugandhi keluar.
Kata Mangil: Rasanya koq tidak masuk akal dan tidak logis Aidit dan Sudisman
sembarangan begitu saja memberitahukan rencananya yang begitu rahasia kepada
orang yang tidak sepaham. Kecuali kalau Sugandhi itu memang orang PKI".
Meski pun Mangil terlambat mengungkapkan fitnah terhadap Bung Karno ini, tapi
ungkapan itu sama sekali tidak berkurang arti pentingnya, karena ia menambah satu
bukti lagi dari sekian banyak bukti yang sudah ada, bahwa Bung Karno digulingkan
melalui rakayasa yang skenarionya sudah dirancang demikian rupa.
Keterangan lain yang menarik, dikemukakan oleh Prof. Peter Dale Scott, seorang
diplomat Kanada, Guru Besar dan Doctor dalam ilmu politik, ketika ia diundang pada
bulan Desember 1984 untuk mengemukakan makalahnya dalam sebuah forum di
"University of California", Berkeley, yang dihadiri juga oleh tokoh-tokoh terkemuka
antaranya terdapat bekas direktur CIA periode 1962- 1966 untuk bagian Timur Jauh,
di mana ia membahas sebuah judul "The United States and the Overthrow of
Sukarno, 19651967" - Amerika Serikat dan penggulingan Sukarno, 19651 967.
la memulai uraiannya dengan mengatakan bahwa subjek yang akan dibahasnya,
adalah subjek besar tapi menjengkelkan, karena kisah yang lengkap mengenai
periode yang rumit dan kurang dimengerti ini, akan tetap berada di luar jangkauan
analisis tertulis yang paling lengkap sekali pun. Banyak yang telah terjadi, tidak
762
mungkin bisa didokumentasi, sedang catatan-catatan yang bisa diselamatkan,
banyak hal yang bersifat kontroversial yang tak mungkin diverifikasi.
Namun demikian, setelah pertimbangan-pertimbangan tersebut dikemukakan, maka
intisari kisah yang rumit dan bermakna ganda itu, mengenai suatu tragedi yang
berdarah. Setelah mempelajari referensi-referensi yang ada, sebenarnya bersifat
sederhana saja dan lebih mudah dimengerti ketimbang keterangan-keterangan
akademis dari sumber-sumber Indonesia mau pun Amerika Serikat. Kesimpulan dari
keterangan-keterangan mereka yang bersifat problematis itu, hanya mengatakan
bahwa pada musim gugur 1965, golongan kiri di Indonesia telah menyerang pihak
kanan yang menyebabkan diadakannya restorasi kekuasaan dan pembantaian
golongan kiri oleh golongan tengah.
Peter Dale Scott memberikan catatan betapa sukarnya melakukan analisis yang
pada pokoknya hanya bersandar pada apa yang dinamakan bukti-bukti yang disajikan
dalam sidang-sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB) yang bertentangan
dengan studi CIA 1968, yang agak kurang bersifat khayalan. 9)
9) Termuat dalam "Pacific Affair': Summer 1985, hal. 239.
Juga H. W. Brands menulis dalam "Journal of American History" bahwa waktu
pengaruhnya tengah memuncak di Asia Tenggara, Amerika telah ambil bagian dalam
kup yang gagal terhadap Sukarno di tahun 1958. Pemerintah Johnson tidak
menyembunyi- kan kecemasannya bahwa Sukarno dapat mengantar Indonesia pada
suatu posisi yang penting, sementara Amerika Serikat sendiri sedang berusaha
menyelamatkan Vietnam Selatan.
Maka pada waktu Amerika Serikat di tahun 1966 telah memperoleh keyakinan bahwa
Soeharto telah berhasil mengesampingkan Sukarno dan menghancurkan PKI,
pemerintah Amerika secara mencolok memberi selamat kepada penguasa baru,
karena telah melakukan suatu tugas dengan baik sekali.
Meski pun demikian, Brands mengatakan bahwa penggulingan Sukarno, tidak ada
hubungannya dengan Amerika Serikat, padahal diakuinya bahwa selama beberapa
bulan, pejabat-pejabat Amerika Serikat telah mendesak pihak Tentara di Indonesia
supaya bertindak, tapi tidak berhasil. Pada musim panas 1965 (sebelum G30S),
kelihatan Pemerintah Johnson sudah putus asa.
Selama satu dekade lebih, Sukarno dapat mengatasi beberapa tantangan, termasuk
affair 17 Oktober 1952, satu kup yang tidak langsung, di mana A.H. Nasution hendak
memaksa Sukarno mem- bubarkan kekuasaan Eksekutif dengan jalan membubarkan
kekuatan- nya di Parlemen, untuk memberikan peluang bagi Tentara supaya bisa
tampil. Sukarno berhasil menggagalkan pemberontakan di Sumatera (PRRI) yang
dibantu oleh CIA dengan 300 orang tentara Amerika, Filipina dan Tiongkok
Nasionalis, lengkap dengan pesawat udara transport dan Bomber B-26. 10)
763
10) Baca: H. W. Brands dalam "Journal of American History", The
Organization of Historians, vol. 76, No. 3, Desember 1989.
Geoffrey Robinson (Boston, Massuchusetts) dalam makalahnya (1990) yang berjudul
"Some Arguments Concerning U. S. Influence and Complicity in the Indonesian Coup
of October 1, 1965 - Beberapa argumen mengenai keterlibatan A.S. dalam kudeta 1
Oktober 1965 di Indonesia--, mengatakan bahwa sejak dari awal, "Gerakan 30
September" itu kelihatannya seperti sebuah kup yang direncanakan untuk gagal,
kudeta itu di disain sedemikian rupa sehingga mampu menyimpan sebush dalih
untak mengadakan suatu pameran kekuatan dan meraih kekuasaan.
Kata Geoffrey Robinson, laporan CIA yang menyatakan PKI lah penanggungjawab
tunggal atas kup, adalah hal yang sukar didukung. Tapi logika argumentasi yang
dikemukakannya, tidak membuang sama sekali kemungkinan adanya peran PKI.
Dikatakan, baik strategi yang digunakan maupun bukti dorongan yang membawa PKI
ke dalam peristiwa tersebut, semuanya menunjukkan kecenderungan bahwa
keikut-sertaan PKI, tidak lebih dari sesuatu yang marginal, lebih banyak didorong
oleh kesalahan informasi mengenai rencana coup d'état "Dewan Jenderal". Dengan
mengutip Mortimer, ia menyimpulkan bahwa asal-usul Gerakan 30 September
hendaklah dicari dalam kegiatan kelompok perwira dissident (berpendapat lain) Divisi
Diponegoro. Bukan suatu koinsidensi (kebetulan) bahwa hasil kudeta itu ialah
kehancuran PKI, jatuhnya Sukarno dan tampilnya Angkaran Darat sebagai pelaku
politik kunci, pembukaan kembali pintu Indonesia bagi investasi modal asing dan
reorientasi politik luar negeri Indonesia persis seperti apa yang selama beberapa
tahun direncanakan dalam berbagai macam skenario kebijaksanaan, berbagai
prospektus politik dan berbagai laporan situasi yang disiapkan oleh National
Security Council, State Department dan "country team" Kedutaan Besar
Amerika di Jakarta.
Kekurang-jelian PKI menilai kebenaran informasi yang diterimanya sekitar rencana
coup d'etat "Dewan Jenderal" sehingga langsung mempercayainya dan bertindak
mendahului, itulah yang menghantarkan partai ini ke liang kehancurannya.
Argumentasi yang dikemukakan oleh Geofrey Robinson untuk mendukung
kesimpulan di atas, ialah kenyataan bahwa coup d'etat tampil pada saat titik kritis
polarisasi antara Angkatan Darat di satu pihak dan apa yang disebutnya aliansi
Sukarno-PKI di pihak lain.
Sedang faktor-faktor lain yang dimanipulasi, antaranya intervensi Amerika Serikat di
Vietnam Utara dengan memulai pemboman, dukungan Amerika Serikat kepada
Inggris mengenai konfrontasi Malaysia, serangan terhadap Sukarno oleh
anggota-anggota Kongres dan tulisan-tulisan pers Amerika yang provokatif untuk
memancing kemarahan Sukarno dan PKI agar menyerang balik. Dalam keadaan
demikian, tidak banyak lagi apa yang harus dilakukan oleh Amerika, karena
semuanya sudah dikerjakan dengan terjadinya polarisasi "kanan" dan "kiri" yang
telah ditingkatkan oleh kedua belah pihak.
764
Pola umum yang tampil dari studi atas periode ini, mempunyai dua dimensi yang
saling berhubungan.
Pertama, kegiatan agen-agen Amerika yang sengaja mengembangkan sejenis politik
tertentu terhadap Indonesia yang sedang berada dalam polarisasi politik yang sudah
serius. Jenis politik itu ialah merupakan tekanantekanan ekonomi dan tekanantekanan lainnya secara selektif dengan tujuan melemahkan yang "kiri" dan
memperkuat yang "kanan" -- yang disebut sebagai sahabat kita".
Kedua, bulan-bulan terakhir menjelang kudeta, para penasehat Amerika Serikat,
sudah sampai pada titik mem- pertimbangkan pembalasan militer langsung terhadap
pemerintah Sukarno, karena cara lain dianggap sudah gagal secara essensial,
termasuk perebutan kekuasaan oleh Tentara, sebuah rencana yang diharap-harap
dan lama direnungkan oleh Amerika; sebagai jawaban atas ancaman "kiri" yang
menghantui.
Ralph McGehee, seorang pensiunan CIA, dalam hubungan ini menyarankan supaya
metode yang dipakai CIA di Indonesia, yang dinilai penuh kepiawaian, dapat
digunakan sebagai satu tipe atau denah untuk operasioperasi terselubung lainnya di
masa yang akan datang. Secara khusus metode ini memang sudah dipraktekkan
dalam kasus keterlibatan CIA menggulingkan Presiden Alende dari Chili. Terbukti
dipakainya rancangan atau denah tipe Jakarta ini, mencapai hasil yang baik. 11)
11) "The CIA and the White Paper on El-Salvador", The Nation April 11,
1981, hal. 423.
Dengan pengakuan-pengakuan yang diuraikan di atas, jelas menunjukkan bahwa
keterlibatan Amerika Serikat dengan ClA-nya dalam peristiwa Gerakan 30 September
1965, dengan sasaran pokoknya menghancurkan PKI dan menggulingkan Sukarno,
tidak terbantah lagi.
Bagi kita di Indonesia, tentu lebih mudah memahami peristiwa itu karena ikut
mengalaminya, meski pun pengalaman-pengalaman itu tidak semua bisa
dikemukakan secara terbuka.
Sebagai pelengkap, berbagai referensi berupa bukubuku atau tulisan-tulisan, telah
diterbitkan. Misalnya, buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (Kepala
Pusat Sejarah Militer AD), Soegiarso Soerojo (Seorang Intel), Memoir Jenderal Yoga
Sugomo, seorang yang sangat berpengalaman di bidang Intel dan mantan kepala
BAKIN serta banyak buku lainnya yang umumnya menunjuk biang keladi G30S: PKI,
Bung Karno dan RRT. Tidak satu pun yang menyebutkan keterlibatan Amerika
Serikat.
Bahkan sudah di-release film "Pengkhiatan G30S/PKI" yang setiap tanggal 30
September ditayangkan ulang di TVRI, meski pun efeknya seperti angin ribut yang
lekas berlalu.
765
Sayangnya di Indonesia sendiri, meski pun sudah 30 tahun kejadiannya, belum
pernah diselenggarakan SEMINAR yang dapat mengungkapkan peristiwa itu secara
utuh dan objektif, bahkan terasa masih tabu.
Sebuah analisis yang tajam dikemukakan oleh Bung Karno dalam "Pelengkap
Nawaksara" yang disampaikannya kepada MPRS 10 Januari 1967, sebagai
Pelengkap "Amanat Nawaksara" mengenai terjadinya G30S sebagai berikut:
"Berdasarkan penyelidikanku yang seksama, menunjukkan bahwa peristiwa Gerakan
30 September itu, ditimbulkan oleh pertemuannya tiga sebab, yaitu:
1. Kebelingeran pimpinan PKI
2. Kelihaian subversi Nekolim
3. Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar".
Ketiga sebab yang disebutkan oleh Bung Karno itu meski pun tidak diperinci, tapi dari
hasil penelitian yang luas di kemudian hari, membuktikan kebenarannya.
Kebelingeran pemimpin-pemipin PKI, diakui oleh tokoh-tokoh PKI sendiri, yang akan
diuraikan pada bab berikut.
Kelihaian subversi Nekolim, dibenarkan oleh begitu banyak pengakuan tokoh-tokoh
Barat dan Amerika, dan dokumen- dokumen resmi yang terungkap mengenai
keterlibatan Amerika Serikat dan CIA di Indonesia.
Terakhir, dalam bulan Desember 1992 di Monash University Melburne, Australia, telah
diseminarkan topik yang bertema "Indonesian Democracy 1950's and 1990's". Prof.
George McT. Kahin dari Cornell University (AS), adalah salah seorang dari 300 pakar
tentang Indonesia yang ambil bagian dalam Seminar itu, mengemukakan terus terang
dalam makalahnya "Impact of US Policy on Indonesian Politics" (Dampak
kebijaksanaan politik Amerika Serikat terhadap Indonesia), betapa jelas campur
tangan pemerintah Amerika Serikat dalam soal-soal politik Indonesia, karena
kekhawatiran Washington tentang kemungkinan Indonesia jatuh ke tangan komunis.
Dengan mengutip catatan mantan Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Hugh S.
Cumming Jr, yang tersimpan di Arsip Nasional Amerika, Prof. Kahin mengatakan
bahwa Presiden Dwight Eisenhower meminta Cumming supaya waspada atas
kenyataan sebuah negara seperti Indonesia yang katanya merupakan masalah besar
karena tidak mempunyai tradisi memerintah sendiri, sehingga bisa jatuh ketangan
komunis atau terpecah-pecah menjadi bagian lebih kecil.
Dalam konteks perang dingin, Eisenhower lebih suka memilih Indonesia
terpecah-pecah ketimbang jatuh ke tangan komunis. Maka setelah Cumming
bertugas di Indonesia, Presiden Eisenhower memerintahkan supaya merealisasikan
keinginannya meredam kemajuan komunis dengan memperhatikan dua
perkembangan di lapangan.
766
Pertama, sikap Sukarno yang dinilai lebih dekat dengan Beijing, lebih-lebih setelah
mengunjungi RRT di tahun 1956, ia mengagumi dan ingin meniru kemajuan Cina
dalam mem- bangun ekonominya.
Kedua, PKI dalam PEMILU 1955 meraih 20,6% suara di Jawa dan malah 27,4%
dalam pemilihan tingkat propinsi bulan Juli dan Agustus 1957.
Perkembangan ini meningkatkan kecemasan Washington tentang kemungkinan Jawa
jatuh ke tangan komunis. Malahan Kahin mengakui, masih banyak arsip Amerika
Serikat mengenai keterlibatan CIA di Indonesia yang sampai sekarang masih
dirahasiakan, meski pun sudah melewati batas waktu kerahasiaan 30 tahun.`
Dengan premis bahwa komunis di Jawa sudah menjadi suatu mayoritas absolut,
maka Badan Keamanan Nasional mendorong CIA membantu memperkuat gerakan
pemberontakan di daerah- daerah. Menurut perhitungan Washington, sekiranya
pemberontak kuat karena mendapat bantuan Amerika Serikat, maka bisa terjadi
perang saudara dan Amerika Serikat pasti memihak kekuatan anti komunis.
Dalam makalahnya sepanjang 31 halaman itu, Kahin mengungkap- kan, CIA
kemudian segera beraksi dengan menghubungi tokoh- tokoh miiiter pembangkang di
daerah. Hanya dalam tempo 1 minggu, seorang agen CIA tiba di Padang untuk
menyerahkan dana kepada Kolonel Simbolon sebagai bantuan bagi pasukannya yang
digulingkan di Sumatera Utara.
Kolonel Simbolon dan beberapa perwira staf Letnan Kolonel Ahmad Husein,
komandan tentara di Sumatera Barat, diundang oleh CIA ke pangkalannya di
Singapura, kemudian diikuti dengan pengiriman senjata dan dana dalam jumiah besar
ke Padang.
Lima bulan kemudian, Amerika Serikat memberikan alat komunikasi dan
persenjataan modern kepada 8000 pemberontak di Sumatera. Bantuan itu diserahkan
secara sembunyi-sembunyi dan pemberontak mengambilnya sendiri dari kapal selam
yang nongkrong di lepas pantai Padang.
CIA juga membawa sejumlah anak buah letnan kolonel Ahmad Husein untuk dilatih
komunikasi dan penguasaan menggunakan senjata- senjata modern di berbagai
fasilitas militer Amerika Serikat di Pasifik Barat.
Amerika Serikat juga memberikan bantuan serupa kepada pem- berontak
PERMESTA di Sulawesi. Tapi bantuan dana dan senjata Amerika Serikat kepada
gerakan pemberontak di Sumatera dan Sulawesi, ternyata tidak cukup kuat untuk
memaksa Sukarno dan Pemerintah Jakarta memenuhi keinginan Washington. 12)
12) Laporan wartawan "KOMPAS' Ratih Hardjono dan Rikard Bagun
yang meliput jalannya Seminar diAustralia, "KOMPAS" 21 Desember 1992, Jakarta.
767
Uraian Prof. George McT. Kahin sangat menarik para peserta seminar. Campur
tangan Amerika Serikat di Indonesia tidak bisa dibantah lagi, karena yang
mengemukakan tokoh Amerika sendiri dan klimaksnya ialah keterlibatan negara
Uncle Sam ini dalam perencanaan dan pencetusan Gerakan 30 September 1965
yang berhasil mengguling- kan Sukarno dan menghancurkan PKI.
Amerika Serikat yang menjadikan dirinya Polisi Dunia, fungsi yang seharusnya hanya
menjadi milik PBB, di manamana terus mencam- puri urusan dalam negeri negara lain.
Kenyataan bahwa 20 Januari 1993, hanya beberapa jam sebelum Presiden George
Bush melepaskan jabatannya dan menyerahkan tongkat kepresidenan kepada
penggantinya yang menang dalam Pemilihan Umum, Bill Clinton, ia masih
melancarkan aktifitasnya yang terakhir, mendesak pemerintah-pemerintah di seluruh
dunia supaya mendukung usaha yang dirintisnya yaitu menggulingkan Presiden Irak,
Saddam Hussein, membuktikan betapa tradisi Amerika Serikat campur tangan
urusan dalam negeri negara lain, makin melembaga dan tidak lagi dijalankan secara
diam-diam. Pembantu Pusat Keamanan Presiden Bush, Brent Scowcraft, dengan
terang-terangan mengakui bahwa Washington memang telah mendukung usaha coup
d'etat terhadap Saddam Hussein.13)
13) Disiarkan oleh Kantor Berita "Reuter" dan "AFP" pada tanggal 21 Januari 1993
Apa yang dilakukan oleh Bush terhadap Saddam Hussein, itu pula yang telah
dilakukan Amerika Serikat terhadap Sukarno sejak 1956 dan akhirnya sukses pada tahun 1966
768
BAB II
INSPIRASI DARI ALJAZAIR
DUNIA dikejutkan oleh siaran Radio Aljir 19 Juni 1965 yang mengumumkan bahwa telah
terjadi pengambil-alihan kekuasaan dari tangan Presiden Ben Bella oleh kolonel Houari
Boumedienne, Panglima Tentara Pembebasan Aljazair. Dunia gempar, terutama negara-negara
Asia-Afrika, karena ketika itu di Aljir, ibukota Aljazair, sedang disiapkan Konperensi AsiaAfrika II, dengan gedung konperensinya yang baru dan megah dibangun atas bantuan Uni
Sovyet.
Timbul kekhawatiran kalau-kalau penyelenggaraan konperensi akan gagal.
Oleh perkembangan di Aljazair yang mendadak itu, Jakarta pun terlibat dalam kesibukan.
Penentuan Konperensi AA-II diputuskan di Indonesia sewaktu Peringatan Dasawarsa
Konperensi Asia-Afrika (KAA) April 1 965.
Dari Duta Besar Rl di Aljir, Assa Bafagih, segera diterima laporan mengenai perkembangan
politik di Aljazair. Duta Besar melaporkan bahwa perubahan pemerintahan di Aljazair,
dinilainya tidak negatif bagi penyelenggaraan KAA-II.
Tanggal 1 9 Juni 1 965 dinihari, Presiden Ben Bella yang sedang tidur nyenyak di Istananya,
tiba-tiba diserbu sepasukan tentara bersenjata lengkap dan Presiden itu diambil dari tempat
tidurnya. Gerakan militer ini hanya berlangsung 10 menit, tanpa ada perlawanan dari pasukan
pengawal Istana.
Sejak saat itu berakhirlah kekuasaan Ben Bella dan ia digantikan oleh kolonel Houari
Boumedienne, Panglima Tentara Pembebasan Aljazair yang merencakan semua gerakan
pengambilalihan kekuasaan.
Suasana waktu subuh dinihari yang sepi, sebentar diramaikan oleh suara brondongan senapan
mesin serta deru beberapa panser yang bergerak sepanjang jalan membawa prajurit-prajurit yang
bertugas memutuskan semua kawat telepon yang ada hubungannya ke Istana.
Terasa aneh, karena tidak ada perlawanan sedikit pun, baik dari pasukan Pengawal Istana mau
pun pasukan lainnya. Sesudah semua terjadi, juga tidak ada perlawanan.
Hal ini membuktikan bahwa semua pasukan tentara dikuasai oleh Kolonel Houari
Boumedienne.
Manyadari kekhawatiran negara-negara Asia-Afrika akan nasib Konperensi AA-II di Aljir,
pemimpin coup d‗état Kolonel Houari Boumedienne segera mengeluarkan pengumuman bahwa
penyelenggaraan konperensi dijamin bisa berjalan terus sesuai dengan jadwal.
Presiden Ben Bella digulingkan menurut tuduhan resminya seperti yang disiarkan oleh Radio
Aljir, karena ia selalu bertindak sewenang- wenang selama masa kekuasaannya 641 hari. Ia
dinilai mau kuasa sendiri, seorang diktator yang meninggalkan dasar musyawarah. Menterimenteri yang dianggap beroposisi, akan digeser dan pertama- tama hendak disingkirkan ialah
Menteri Luar Negeri Bouteflika.
Rencana tersebut dicegah oleh Kolonel Houari Boumedienne dengan mengemukakan
pertimbangan, supaya jangan mengambil tindakan yang bisa berakibat luas, mengingat waktu itu
Aljir akan menjadi tuan rumah KAA-II, di mana Menteri Luar Negeri sangat penting perannya.
769
Pertimbangan yang diajukan oleh Boumedienne ditolak, bahkan ia diancam akan disingkirkan
juga. Tapi di luar dugaan Ben Bella, keadaan justru membalik.
Komandan pasukan yang ditugaskan Ben Bella menangkap Kolonel Houari Boumedienne malah
melapor kepadanya. Kemudian perwira itu ditugaskan oleh Boumedienne menangkap Ben Bella.
Tentu Ben Bella tidak pernah memperhitungkan bahwa orang yang begitu dipercayainya, dengan
mudah bisa berbalik haluan.
Dengan berpedoman pada laporan Duta Besar Rl di Aljazair, Kabinet segerabersidang
membicarakan perkembangan yang dilaporkan dan kemudian memutuskan: Rezim Kolonel
Houari Boumedienne diakui.
Pengakuan ini dinilai tepat, karena juga didukung oleh ber- bagai informasi lainnya yang masuk.
Indonesia adalah negara kedua yang mengakui rezim Kolonel Houari Boumedienne.
Yang pertama memberikan pangakuan ialah Syria dan beberapa jam sesudah pengakuan
Indonesia, menyusul Republik Rakyat Tiongkok sebagai negara ketiga. Laporan yang diterima
dari Duta Besar Rl di Aljazair mengatakan bahwa politik yang dianut oleh Boumedienne
mengenai gerakan Asia-Afrika, pada dasarnya tidak berbeda dengan apa yang dianut oleh Ben
Bella.
Bagi Indonesia, soal terjadinya coup d‗état, tidak terlalu merisaukan, apalagi setelah diterima
laporan bahwa tidak ada keributan yang terjadi dan juga tidak ada perlawanan. Semua tenang
dan terkendali, pemerintahan berjalan normal dan demontrasi yang terjadi justru mendukung
Boumedienne.
Kontra demontrasi, sama sekali tidak ada.
Oleh karena itu, Kabinet memutuskan, delegasi Indonesia ke KAA-II, segera berangkat menuju
Aljir, yang dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Rombongan bertolak dari Bandar Udara
Kemayoran 23 Juni 1965 pukul 06.00 pagi dengan pesawat Garuda Convair Jet 990-A,
diterbangkan oleh Kapten Pilot Sumedi.
Penerbangan dari Jakarta langsung ke Dacca, yang waktu itu masih masuk wilayah Pakistan
(Timur). Dari sana menuju Karachi. Ketika rombongan Bung Karno singgah di Karachi untuk
mengisi bahan bakar, pejabat- pejabat tinggi Pakistan yang menyambut di airport, segera
melaporkan kepada Presiden Sukarno bahwa baru saja diterima berita dari Aljir, Gedung
Konperensi diledakkan dengan bom dan belum diketahui siapa pelakunya. Presiden Pakisatan
Jenderal Ayyub Khan dan Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Buttho, waktu itu sedang ke London
menghadiri konperensi negara-negara Persemakmuran.
Meski pun terjadi malapetaka di Aljir, Presiden Sukarno memutuskan, perjalanan diteruskan ke
Kairo. Di sana telah menunggu Presiden Gamal Abdul Nasser dari Republik Persatuan Arab
(Mesir) dan Perdana Menteri Chou Enlay dari RRT. Ada pun Presiden Ayyub Khan akan dicegat
di Kairo dalam perjalanannya kembali dari London, supaya ikut merundingkan dengan Presiden
Sukarno, Presiden Gamal Abdul Nasser dan Perdana Menteri Chou Enlay, mengenai sikap
bersama yang harus diambil menanggapi kejadian di Aljir. Tapi ternyata Presiden Ayyub Khan
tidak bisa ikut dalam perundingan itu, karena ia sudah ditunggu oleh tugas yang tidak bisa
ditunda di tanah airnya dan sebagai gantinya, menugaskan Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali
Buttho mewakilinya dalam pertemuan Kairo.
Pertemuan Kairo yang disebut „Konperensi Tingkat Tinggi Kecil―, menyetujui keputusan yang
telah diambil oleh beberapa delegasi yang sudah berada di Aljir (termasuk delegasi Aljazair),
770
supaya penyelenggaraan KAA-II ditunda. KTJ kecil di Kairo memutuskan menundanya untuk
kurang lebih 6 bulan dengan memutuskan juga supaya tempatnya tetap di Aljir.
Setelah terjadi ledakan bom, Menteri Luar Negeri RRT, Chen Yi, yang memimpin delegasi Cina
dan lengkap sudah berada di Aljir, adalah orang pertama yang mengusulkan supaya konperensi
ditunda saja, karena katanya, mereka datang ke Aljazair bukan untuk dibunuh.
Persiapan akhir KAA-II sendiri sebetulnya belum begitu tuntas. Masalah mengundang atau tidak
Malaysia dan Uni Sovyet, belum ada kesepakatan bulat. Indonesia menolak mengundang
Malaysia karena alasan „konfrontasi―, sedang Cina menolak kehadiran Uni Sovyet dengan alasan
bahwa meski pun Uni Sovyet mempunyai wilayah di Asia, tapi pusat pemerintahannya berada di
Eropa. Jadi, Uni Sovyet tidak bisa dianggap „Asia―, Mesir dan India mendukung kehadiran
Malaysia, sedang Aljazair sebagai tuan rumah, akan mengundang Uni Sovyet, apalagi Sovyetlah
yang membangun gedung konperensi atas permintaan Aljazair.
Dalam kedudukan saya sebagai Duta Besar Rl di Moskow, mengalami Lobbying yang sulit
mengenai undangan kepada Uni Sovyet, karena Indonesia berat menolak usul RRT yang tidak
menghendaki Uni Sovyet diundang, sebagai imbalan dukungan RRT terhadap Indonesia yang
rnenolak Malaysia.
Kalau KAA-II jadi diselenggarakan, Menteri Luar Negeri Indonesia Dr. Subandrio, sudah siap
dengan satu pengumuman yang akan disampaikan dalam konperensi itu, yaitu bahwa Amerika
dan Inggris sudah membuat satu komplot (persekongkolan) akan mengadakan serangan militer
terhadap Indonesia dan mengakhiri kekuasaan
Sukarno. Bukti-bukti tentang persekongkolan ini, ada di tangan Subandrio, katanya.
Karena konperensi tidak jadi diadakan, Subandrio hanya memberikan interview kepada
wartawan harian terbesar d Kairo „Al-Ahram―, mengenai rencana Amerika-lnggris tersebut.
Setelah adanya putusan penundaan, Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio ditugaskan oleh Presiden
Sukarno mengunjungi berbagai negara di Timur Tengah dan Afrika yang dikenal dengan sebutan
„Safari Berdikari― untuk menjelaskan mengenai penundaan KAA-II serta berkampanye tentang
akan diselenggarakannya „Conference of the New Emerging Forces― (CONEFO) di Jakarta,
sesudah KAA-II usai. Gedung konperensinya sedang dibangun atas bantuan RRT.
Presiden Sukarno sendiri setelah urusan di Kaira selesai, bersama rombongannya menuju Paris.
Di sana dikumpulkannya semua Duta Besar Rl yang berada di Eropa dan Amerika Serikat, untuk
mendapatkan Briefing mengenai penundaan KAA-II serta persiapan penyelenggaraan
CONEFO.
Dalam delegasi Indonesia yang berunsurkan NASAKOM, ikut juga ketua PKI, D. N. Aidit.
Selama berada di Paris, Aidit diketahui menggunakan kesempatan mengadakan kontak dengan
pimpinan Partai Komunis Perancis. Juga ia berkunjung ke kantor harian „Le Humanité― (organ
Partai Komunis Perancis), di tempat mana ia berjumpa dengan enam orang tokoh Partai Komunis
Aljazair yang melarikan diri ke Paris, karena takut ditangkap Boumedienne.
Sekembalinya dari kunjungan ini, Aidit dicegat oleh wartawan A. Karim D.P., Ketua Umum
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang ikut rombongan Presiden, menanyakan apa yang
dibicarakannya dengan kameradkameradnya di Paris. Aidit menerangkan bahwa ia
memberitahukan kepada enam orang tokoh Partai Komunis Aljazair yang melarikan diri ke
Paris, supaya segera kembali ke negerinya dan memobilisasi massa rakyat untuk memberikan
dukungan kepada Boumedienne.
771
Tindakan yang diambil oleh Boumedienne, adalah benar dan progresif.„Jika satu coup d‗etat
didukung sedikitnya 30% rakyat, maka coup yang demikian, bisa bermutasi menjadi revolusi,
kata Aidit―. 14}
Ternyata kemudian, teori Aidit ini telah memberikan inspirasi dan merangsang terjadinya
malapetaka nasional G30S/PKI, yang disebut oleh Bung Karno salah satu penyebabnya ialah
karena keblingerannya kemimpinpemimpin PKI.
Aidit sejak di Paris, sudah memisahkan diri dari rombongan Bung Karno, tapi tidak
memberitahukan kepada saya bahwa ia akan ke Moskow.
Padalah waktu itu saya juga hadir di Paris dan ia mengetahui.
14) A. Karim DP, Safari Perdikari, Surya Prabha Jakarta, 1965.
Sebelum itu, sudah juga diceritakannya kepada saya ketika kami bertemu di Paris, Juli 1965
Setelah saya tiba kembali di Moskow dari Paris, datang telegram dari Jakarta yang
memerintahkan supaya Aidit dan Nyoto, segera disuruh kembali ke Indonesia. Saya terkejut,
karena tidak mengetahui kalau Aidit dan Nyoto ada di Moskow. Kedutaan besar tidak menerima
laporan tentang kedatangan kedua tokoh PKI itu, padahal keduanya adalah Menteri. Nyoto
kemudian tiba-tiba saja muncul di rumah kediaman Duta Besar, namun tidak memberitahukan
kalau Aidit juga ada di Moskow. Oleh karena itu saya berusaha menemukannya dan ternyata
Aidit ada di Kremlin. Saya sampaikan kepadanya, bahwa ada telegram dari Jakarta yang
memerintahkan supaya ia dan Nyoto segera kembali ke Indonesia. Mengenai kunjungan Aidit ke
Kremlin, saya diberitahu oleh Duta Besar Korea di Moskow, katanya menurut informasi yang
diterimanya, antara Aidit dengan orangorang Kremlin, terjadi semacam „perang besar―. Apa
persisnya yang terjadi, tidak jelas. Hanya diperkira- kan Aidit mengemukakan teorinya tentang
coup d‘état yang bisa dirubah menjadi revolusi, jika didukung 30% rakyat.
Teori ini bisa dipastikan ditolak oleh Kremlin, karena menurut keterangan, tidak ada dalam
ajaran Marxisme, kemungkinan semacam itu. Revolusi harus selalu bersumber dari kemauan
rakyat dengan dukungan syaratsyarat objektif yang ada di dalam masyarakat, bukan dipaksakan
dari atas dengan satu rekayasa coup d‗etat.
Tapi ada keterangan lain bahwa kedatangan Aidit ke Moskow, untuk mengurus kasus cinta
antara Nyoto dengan seorang gadis Rusia yang bekerja di Kementerian Luar Negeri Uni Sovyet.
Aidit menghendaki supaya hubungan cinta itu diputuskan, mengingat Nyoto sudah mempunyai
isteri. Jika diteruskan, akan merusak citra seorang komunis, apa lagi Nyoto sebagai seorang
tokoh komunis Internasional, harus menjunjung tinggi moralitas.
Nyoto sendiri dikenal sebagai tokoh komunis Indonesia yang orientasi ideologinya lebih
condong ke Sovyet ketimbang ke RRT. Karena mayoritas pimpinan PKI condong ke RRT dan
menganggap Sovyet sebagai ‚revisionist‗ gara-gara politik ko-eksistensinya dengan Amerika
Serikat dianggap sudah terlalu jauh, maka kabarnya Nyoto sudah dipersiapkan untuk dicopot dari
kedudukannya sebagai wakil ketua II, bahkan sudah dicopot dari jabatannya sebagai kepala
Departemen AGITPROP (Agitasi Propaganda) dan digantikan oleh Bismark Oloan Hutapea,
direktur Akademi llmu Sosial Ali Archam (AISA), yang tewas di Blitar Selatan dalam Operasi
Trisula, pada tahun 1968.
772
BAB III
PUTUSAN DEWAN HARIAN POLITBIRO
30 SEPTEMBER 1965 dipilih oleh Dipa Nusantara Aidit sebagai moment yang tepat untuk
menguji kebenaran teorinya yang bersumber dari keberhasilan coup d‗état Boumedienne di
Aljazair. Teori ini didukung oleh Syam Kamaruzzaman dan anggota-anggota Biro Ketentaraan
Departemen Organisasi PKI lainnya, yang menjadi arsitek Gerakan 30 September 1965.
Departemen Organisasi PKI yang membawahi Biro Kententaraan, diketuai oleh Aidit. Anggotaanggota Biro Ketentaraan ialah:
Sudisman, Oloan Hutapea, Munir dan Syam sebagai ketuanya.
Dalam meniru keberhasilan Boumedienne di Aljazair, rupanya Aidit lupa mempertimbangkan
bahwa Boumedienne bukanlah seorang komunis, meski pun ia dianggap progresip. Partai
Komunis Aljazair sendiri tidak mempunyai peran menentukan dalam revolusi kemerdekaan
Aljazair. Revolusi Kemerdekaan Aljazair dipimpin oleh satu Front Nasional.
Biro Ketentaraan inilah yang kemudian dikenal sebagai „Biro Khusus― yang mempunyai
jaringan luas dalam Angkatan Bersenjata di bawah koordinasi trio Syam, Pono dan Bono.
Pembentukkannya tidak pernah diumumkan, sehingga eksistensinya pun tidak diketahui oleh
organorgan PKI yang lain, apalagi anggota. Berbagai bekas tokoh PKI lepasan pulau Buru yang
diwawancarai, mengatakan bahwa Biro ini ilegal.
Pembentukkannya tidak pernah diputuskan dalam rapat-rapat CC PKI, yaitu badan formal dalam
PKI yang menjalankan kebijaksanaan tertinggi antara 2 kongres.
Bahkan adanya Biro Ketentaraan, tidak pernah dilaporkan dalam sidang-sidang CC PKI.
Kedudukan Syam dalam partai sangat strategis, justru karena jabatannya sebagai ketua Biro
Ketentaraan. Kata teman-temannya, dialah satu-satunya tokoh PKI yang apabila kehendaknya
ditentang, dengan mudah mengeluarkan pistol dan meletakkan di meja untuk menggertak.
Ada pun Syam Kamaruzzaman, menurut seorang mantan anggota CC PKI yang diwawancarai,
ayahnya adalah seorang Naib (penghulu pengganti) di Tuban. Waktu pendudukan Jepang, ia
masuk Sekolah Dagang di Yogyakarta dan sejak itu ia sudah belajar politik dari Djohan
Syahroesyah dan Wijono (kedua-duanya kemudian menjadi tokoh Partai Sosialis Indonesia).
Di awal revolusi, Syam bergabung dengan apa yang dikenal „Kelompok Pathuk―. di Yogya.
Kelompok inilah yang memilih Soeharto (sekarang Presiden) memimpin penyerbuan tangsi
Jepang di Kota Baru (Yogya) dan berhasil melucuti serdadu-serdadu Jepang dalam tangsi itu dan
menawannya.
Ketika terjadi perpecahan dalam tubuh Partai Sosialis (1948) antara Sutan Syahrir dengan Amir
Syarifuddin, Syam memihak Amir Syarifuddin.
Sesudah pemberontakan PKI di Madiun ditumpas oleh TNi, Syam bersama dua orang temannya
masuk Jakarta. Di Jakarta ia ikut memimpin Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran (SBPP) di
Tanjung Priok.
D. N. Aidit dan Moh. Lukman, meski pun keduanya tokoh Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang
berontak di Madiun, tidak tertangkap. Keduanya berusaha masuk Jakarta, tapi harus diusahakan
supaya juga bersih dari tuduhan sebagai pemberontak di Madiun.
Rencana ini direkayasa dengan sempurna oleh Syam, di mana Aidit dan Lukman dinaikkan kapai
dari salah satu pelabuhan dan diturunkan di Tanjung Priok.
Keduannya mengaku datang dari Vietnam sebagai penumpang gelap karena tidak punya paspor.
773
Setelah mendarat di Priok, keduannya ditangkap, tapi dengan kecerdikan Syam, bisa dibebaskan.
Setelah Aidit berhasil merebut jabatar, ketua PKI dari tangan tokoh-tokoh tua seperti Alimin dan
Tan Ling Djie, ia tidak melupakan Syam. Syam dinaikkan kedudukannya dari SBPP, ditugaskan
memimpin di SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Lalu ia dikirim ke RRT
untuk mempelajari soal-soal kemiliteran.
Sekembalinya dari RRT tidak diketahui persisnya kapan), ia ditempatkan oleh Aidit memimpin
Komite Militer dalam organisasi PKI, menggantikan pimpinan lama, Soehadi, yang meninggal
dunia. Dalam Komite Militer inilah ia berkiprah yang berakhir dengan terjadinya G30S/PKI.
Pengalaman Syam dalam kemiliteran ialah dalam „Lasykar Tani― pada awal revolusi.
Dengan pengalaman itu, ia berangkat ke RRT memperdalam soal-soal kemiliteran.
Untuk menggambarkan sampai di mana kekuasaan Biro Khusus, ada sebuah cerita yang
disampaikan oleh seorang bekas anggota CC sebagai berikut:
Pada suatu hari, seorang anggota CC PKI dari Jakarta,ditugaskan ke Padang untuk urusan partai.
Ketika datang di kantor CDB (Comite Daerah Besar) Sumatera Barat di Padang, ia heran karena
tidak bisa menemukan seorang pun fungsionaris partai yang berada di tempat. Setelah diusutnya,
ketahuan bahwa semua fungsionaris partai diperintahkan supaya mengungsi, karena ada berita
bahwa kantor CDB akan diserbu oleh lawan-lawan PKI. Dengan cekatan sekali, semua dokumen
diamankan, bahkan mesin-mesin tulis semua dibawa pergi.
Setelah ditelusuri lebih lanjut duduk persoalannya, ternyata yang memerintahkan pengungsian
ialah orangorang Biro Khusus.
Karena kemudian terbukti tidak ada apa-apa yang terjadi, maka yang mengungsi diperintahkan
supaya kembali bekerja seperti biasa. Katanya, perintah mengungsi datang dari petugas-petugas
keamanan partai (yang tidak lain dari Biro Khusus), ialah untuk menguji sampai di mana
kecekatan para fungsionaris dan kader menyelamatkan partainya jika ada bahaya.
Anggota CC dari Jakarta itu jadi bengong, karena tindakan tersebut sama sekali tidak di
koordinasikan dengan CC di Jakarta.
Inilah Biro Khusus yang dibentuk oleh Aidit dengan kekuasaan yang begitu luas.
Seluruh kegiatannya terselubung dan hanya boleh berhubungan dengan ketua Aidit.
Issue „Dewan Jenderal― sudah berbulan-buian beredar sebelum meletusnya G30S/PKI. PKI
katanya mengetahui kalau Angkatan Darat sudah siap memukulnya, dengan mengeksploitasi
makin buruknya kesehatan Bung Karno. PKI sudah lama menyadari bahwa Angkatan Darat
makin tidak suka kepadanya dan terus berusaha menghancurkannya. Oleh karena itu PKI makin
giat juga bekerja di kalangan Angkatan Darat dan Aidit membanggakan bahwa pendukungnya di
Angkatan Darat kuat, sambil menunjuk hasil Pemilihan Umum 1955, pencoblos tanda gambar
palu arit dalam lingkungan Angkatan Darat tercatat 25 %. Di asrama CPM Guntur, Jakarta,
banyak sekali pemilih Palu-Arit, katanya.
Karena rencana penghancuran PKI -menurut PKI-dirumuskan oleh sekelompok jenderal AD,
maka kelompok inilah yang didesas-desuskan sebagai „Dewan Jendral―.
Kelompok Jenderal ini pula—menurut PKI—yang selalu merumuskan sikap politik Angkatan
Darat yang menjadi garis menteri-rnenteri dari AD dan wakil-wakil mereka yang duduk dalam
berbagai Lembaga Negara. Tapi kalau ditanya, bagaimana susunan organisasinya, mereka tidak
774
bisa menjelaskan selain menduga-duga bahwa dewan ini dipimpin oleh Jenderal A.H. Nasution
dan Jenderal A. Yani.
Setelah Aidit memperkenalkan teorinya tentang kemungkinan coup d‗etat bermutasi menjadi
revolusi, maka sikapnya yang selama ini nampak loyal kepada Pemerintah dan Bung Karno, tibatiba saja berubah. Sudah mulai kedengaran suara-suara supaya Bung Karno dikritik. Biro Khusus
yang menjelin kerjasama dengan apa yang disebut „Kelompok Perwira Muda yang Maju―,
sepakat melaksanakan putusan Dewan Harian Politbiro, mendahului mengadakan gerakan
memukul Angkatan Darat sebelum PKI dihancurkan.
Gerakan ini finalnya diputuskan dalam rapat Dewan Harian Politbiro tanggal 28 September
1965, yang menurut keterangan seorang yang ikut hadir, sidang dihadiri juga oleh eriskre aris
CD arisg k betulan akardi Jakarta yaitu: CDB Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Kalimantan Barat.
Adapun anggota Politbiro ialah: Aidit, Lukman, Nyoto, Sudisman, B.O. Hutapea, Ir.
Sakirman, Nyono, Munir, Ruslan Wijayasastra dan Rewang. Ada keterangan bahwa tidak semua
anggota Politbiro hadir dalam rapat penentuan itu.
Menurut sebuah keterangan, dalam rapat Politbiro ini, ada beberapa peserta yang menyatakan
tidak setuju dengan rencana gerakan yang disampaikan olen Aidit, tapi cara mereka
menentangnya, hanya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai keraguan mereka
tentang efektifnya diadakan satu gerakan mendahului.
Tapi setelah Aidit menjawab dengan mengajukan alasan-alasan yang mematahkan pertanyaanpertanyaan tersebut, perdebatan tidak berkepanjangan lagi, karena segala persiapan sudah
diadakan.
Diantara mereka yang jelas menentang ialah Sekretaris CDB Jawa Barat dan Sekretaris CDB
Kalimantan Barat. Kedua CDB itu kemudian mengeluarkan pernyataan mengenai sikap mereka
yang menentang Gerakan 30 September.
Menurut pleidooi anggota Polrtbiro Rewang yang ditangkap di Blitar, di muka sidang pengadilan
militer yang mengadilinya, 18 Desember 1971, mengatakan bahwa dalam bulan Agustus 1965,
telah dilangsungkan rapat Politbiro CC PKI yang membicarakan masalah gerakan. Dalam rapat
itu tidak diambil putusan mengenai akan dibentuknya Dewan Revolusi sebagai pengganti
Kabinet Dwikora.
Sesudah rapat Politbiro, Aidit memanggil anggotaanggota CC PKI yang ada di Jakarta (tidak
disebutkan waktunya), dalam satu pertemuan yang bersifat briefing.
Dalam pertemuan itu, tidak ada diambil keputusan apa pun, apalagi keputusan mendahului
mengadakan gerakan.
Terdakwa mengatakan bahwa ia menyetujui kebijaksanaan mendukung sikap golongan „Perwira
Muda yang Maju― hendak menentang kudeta segolongan Jenderal.
Sesudah itu, pimpinan partai menugaskan kepada sementara anggota CC pergi ke daerah-daerah
guna membantu CDB-CDB menjelaskan situasi politik dalam negeri dan sikap politik pimpinan
partai menghadapi situasi itu.
Pada tanggal 30 September malam, terdakwa menerima pemberitahuan dari pimpinan atasannya
mengenai akan diadakannya gerakan oleh perwira-perwira muda yang maju.
775
Terdakwa menyangkal kalau gerakan itu diputuskan oleh Politbiro. Tapi dikatakan, pada
lazimnya, pelaksanaan keputusan Politbiro dilakukan oleh Dewan Harian Politbiro atau ketua
partai. Meski pun demikian, sampai terjadinya Gerakan 30 September 1965, Politbiro tidak lagi
dipanggil bersidang untuk menerima laporan dari Dewan Harian dan ketua partai, mengenai
pelaksanaan keputusan Politbiro menilai kebijaksanaan ketua, atau Dewan Harian Politbiro
dalam melaksanakan keputusan Politbiro.
Terdakwa mengakui bahwa ditinjau dari kejadian gerakan mendemisionerkan Kabinet Dwikora,
memang dapat diartikan pengambil-alihan kekuasaan mengenai pemerintahan yang ada pada
Presiden Sukarno. Tapi gerakan itu sendiri menyatakan tetap setia kepada Presiden Sukarno dan
garis politiknya.
Bahkan pada tanggal 1Oktober 1965, kata terdakwa, tokoh-tokoh gerakan berusaha beraudiensi
kepada Presiden Sukarno dan mentaati segala perintahnya.
Terdakwa mengatakan, ia setuju dengan Kritik Oto Kritik (KOK) Politbiro CC PKI yang
mengakui bahwa pimpinan PKI telah menjalankan avonturisme di bidang ideologi, teori, politik
dan organisasi, sehubungan dengan terjadinya Gerakan 30 September. Gerakan itu tidak bisa
dibenarkan ditinjau dari perjuangan revolusioner, secara teknis mau er, secara teknis mau pun
prinsip.
Terdakwa membenarkan pernyataan Presiden Sukarno dalam Pelengkap Nawaksara bahwa
Gerakan 30 September ditimbulkan oleh 3 faktor:
1. Keblingeran pemimpin-pemimpin PKI
2. Lihainya Nekolim
3. Memang ada oknum-oknum yang tidak benar
Menurut terdakwa, penilaian Bung Karno diberikan atas dasar
pandangan seorang non komunis, sebagai landasan untuk mengambil tindakan
sesuai dengan dasar-pandang dan politiknya. 15}
Yang banyak juga dibicarakan, ialah keterlibatan RRT dalam gerakan. Tapi pembuktiannya yang
konkrit tidak ada, selain dari analisa politik. Salah satu bukti yang ditunjuk. Ialah bahwa Perdana
Menteri Chou Enlay sudah mengetahui kejadian di Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi dan
menyampaikannya kepada wakil ketua MPRS, Ali Sastroamidjojo, yang sedang berada di
Peking, sebelum sumber resmi di Jakarta mengetahui duduk persoalannya secara jelas.
Sebenarnya hal ini mudah dimengerti, karena di Jakarta ada cabang Kantor Berita Xinhua yang
mempunyai hubungan telex langsung Jakarta-Peking. Segala kejadian di Jakarta sudah disiarkan
oleh Xinhua yang diterima secara lengkap di Peking pagi tanggal 1 Oktober itu, yang bersumber
dari pimpinan Gerakan 30 September.
15) Pleidooi Rewang, dicuplik dan naskah aslinya(tulisan tangan),
hal.28, 31, 32, 33 dan 34
Sepanjang yang diketahui, RRT tidak penah mengeluarkan pernyataan mendukung gerakan itu.
Apa yang dilakukan oleh RRT ialah Radio Peking menyiarkan secara lengkap KOK Politbiro CC
PKI dan menyatakan persetujuannya dengan KOK itu.
KOK menyalahkan Gerakan 30 September dan menyatakan sebagai avonturisme di bidang
ideologi, politik, teori dan organisasi.
776
Dari analogi ini, bisa disimpulkan bahwa RRT tidak mendukung Gerakan 30 September 1965.
Kesimpulan ini bisa dimengerti apabila dikaji bahwa Rl dan RRT kemudian bisa menormalisasi
kembali hubungan diplomatiknya yang sejak terjadinya G30S, dibekukan. Sementera persoalan
G30S sendiri di Indonesia belum ditutup.
Bahkan selanjutnya RRT menyatakan tidak lagi mengakui eksistensi PKI yang di Indonesia
memang sudah dinyatakan sebagai partai terlarang.
Mengapa Dewan Harian Politbiro CC PKI memutuskan mendahului mengadakan gerakan?
Menurut keterangan, karena mereka memanfaatkan momentum kehadiran 2 batalyon pasukan
yang pro „Kelompok Perwira Muda yang Maju― yang didatangkan oleh KOSTRAD dari Jawa
Tengah dan Jawa Timur, untuk ambil bagian dalam peringatan Hari Angkatan Perang 5 Oktober
1965. Momentum semacam ini dianggap tidak akan berulang lagi, oleh karena itu kesempatan
yang ada harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Tapi justru yang tidak diantisipasi, kekuatan induk yang ada di Jakarta, dianggap sudah beres
begitu saja. Padahal dalam kenyataannya, kekuatan rieel yang berhasil digerakkan dari
Tjakrabirawa, hanya 1 kompi, Brigade Infantri I dibawah kolonel A.
Latief hanya 1 pleton, dari AURI hanya bertugas menjaga lapangan Udara Halim Perdana
Kusumah, sedang 1 batalyon Infantri dari Tangerang di bawah komandan mayor Sigit, dan satu
Batery Artileri Pertahanan Udara di Jakarta di bawah komandan Kapten Wahyudi, yang semula
sanggup ikut bergerak, sama sekali tidak muncul.
Sukarelawan yang hanya menerima latihan kemiliteran secara kilat, meski pun jumlahnya 4
batalyon bersenjata lengkap, tapi tidak bisa diandalkan. Betul di antara mereka ada 1 kompi yang
sudah menerima latihan menggunakan peluncur roket yang berlaras banyak, senjata yang
mempunyai daya penghancur besar, tapi pada tanggal 2 Oktober, setelah acla perintah cease fire
dari Panglima Tertinggi, semua senjata diperintahkan oleh AURI supaya dikumpull;an di
gudang, termasuk roket. Tindakan ini untuk mentaati perintah Presiden/Panglima Tertinggi
supaya menghindarkan pertempuran.
Adapun cerita 1 juta massa PKI yang dijanjikan oleh Syam akan menguasai kota Jakarta begitu
gerakan dimulai, ternyata hanya omong kosong. Juga bantuan yans diperhitungkan akan datang
dari Bandung dan Cirebon, tidak terbukti.
Tanggal 2 Oktober pagi, di Jakarta, praktis Gerakan 30 September sudah lumpuh.
Penanggungjawab gerakan di Jakarta, dipercayakan kepada 3 orang yaitu: Nyono sebagai orang
pertama Komite Daerah Besar Jakarta Raya, Sukatno ketua Pemuda Rakyat dan Cugito anggota
CC PKI.
Analisa tokoh-tokoh PKI setelah melihat gerakan mereka gagal, menyimpulkan bahwa Aidit
sebetulnya terjebak dalam perangkap yang dipasang oleh Syam, tokoh yang misterius itu, tapi
yang paling dipercayainya dalam rangka memenuhi ambisinya hendak berkuasa.
Hal ini terungkap ketika Mayor (U) Soejono ditahan di RTM (Rumah Tahanan Militer)
Budi Utomo (sebelum menjalani eksekusi) menceritakan kepada teman-temannya sesama
tahanan bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam, ia ditugaskan menjemput D.N. Aidit
dari rumahnya dibawa ke Pangkalan Udara Halim, dimana G30S menempatkan Sentral
Komandonya. Dalam perjalanan di dalam mobil, Soejono menanyakan kepada Aidit mengenai
beberapa hal penting menyangkut „gerakan― yang disampaikan melalui Syam untuk di teruskan
kepadanya. Syam membuat ketentuan bahwa persoalan yang akan disampaikan kepada Aidit,
777
tidak boleh disampaikan langsung, melainkan harus lewat dirinya. Syamlah yang akan
menyampaikan kepada Aidit.
Ternyata berbagai pertimbangan militer yang harus disampaikan kepada Aidit, tidak
disampaikan oleh Syam, sehingga banyak hal yang tidak bisa dikoordinasi dengan baik. Semua
pertimbangan, hanya Syam sendiri yang menampung dengan akibatnya, setelah gerakan dimulai,
terjadi kesimpang-siuran.
Disinilah Syam menjalankan peran sesuai dengan misinya yang misterius dan ia berhasil.
Bagi Angkatan Darat, sikap PKI mendahului mengadakan gerakan, malah dianggap kebetulan,
karena malah dianggap kebetulan, karena sudah diperhitungkan, PKI tidak mungkin bisa menang
melawan AD. Sebaliknya dengan kenekatan PKI itu, AD sudah diperhitungkan, PKI tidak
mungkin bisa menang melawan AD. Sebaliknya dengan kenekatan PKI itu, AD mendapatkan
alasan yang sah untuk menghancurkan PKI sampai ke akar-akarnya. Demikian analisa tokohtokoh PKI setelah mereka meringkuk dalam penjara.
Menurut pengakuan tokoh-tokoh PKI yang pernah ditahan atau diadili tapi kemudian
dikembalikan ke masyarakat, mereka tidak mempunyai rencana hendak membunuh para
Jenderal. Tugas gerakan yang dikendalikan oleh Biro Khusus, hanya bertindak sebagai polisi,
menangkap perwira-perwira tinggi yang dituduh anggota „Dewan Jenderal―, sesudah itu
menyerahkannya kepada Presiden/Panglima Tertinggi untuk menentukan tindakan apa yang
harus diambil terhadap mereka.
Ternyata dalam pelaksanaan terjadi penyimpangan, yang diperkirakan karena akibat rencana
terselubung yang memanfaatkan gerakan ini. Tadinya diharapkan supaya pengambilan para
Jenderal beraelan mulus saja. Akan tetapi didalam pelaksanaan, bukan saja para Jenderal
dibunuh dengan kejam atas perintah Syam, dimasukkan ke dalam sumur tua, bahkan
berkelanjutan dengan mengambil tindakan politik yang memberikan warna bahwa tindakan ini
betul-betul suatu tindakan coup d‗état. Dewan Revolusi dibentuk untuk menjeiaskan bahwa yang
terjadi adalah sebuah revolusi dan Kabinet Dwikora di-demisioner-kan, dengan catatan boleh
bekerja terus menjalankan tugas rutin yang tidak bertentangan dengan garis yang ditetapkan oleh
Dewan Revolusi. Kemudian mengumumkan program utuk segera menyiapkan penyelenggaraan
Pemilihan Umum dan dari hasil Pemilu, akan dibentuk Kabinet Front Nasional yang adil, di
mana PKI tentu harus menjadi bagian yang penting didalamnya.
Sebetulnya semua itu hanya angan-angan yang dicoba untuk dimaterialisasikan, tapi
pelaksanaannya amburadul. Penyusunan Dewan Revolusi dilakukan sembarangan saja, tanpa
konsultasi dengan orang-orang yang namanya dicantumkan dalam susunan Dewan. Dengan
demikian, maka susunan Dewan hanya fiktif belaka, sekedar nama- namanya diumumkan lewat
RRI yang waktu itu mereka kuasai, tapi tidak pernah efektif walau sejenak. Walau pun Kabinet
sudah dinyatakan demisioner, tetap saja menjalankan kekuasaan eksekutifnya tanpa campur
tangan Dewan Revolusi.
Memang politik tidak sesederhana seperti apa yang sering dipikirkan orang naif.
Untuk mendapatkan sedikit gambaran awal mengenai tanda-tanda akan terjadinya peristiwa
G30S, ada baiknya kita menengok ke belakang dengan memperhatikan beberapa keterangan
berikut:
778
1. Pada suatu hari di bulan Agustus 1965, Ny. Umi
Sarjono, ketua umum GERWANI, dan anggota DPRGR, minta tolong kepada Menteri/Wakil
ketua DPRGR Mursalin Daeng Mamanggung untuk menyampaikan kepada Menko/Ketua M P
RS Chaerul Saleh supaya mencegah Aidit (Menko/Wakil ketua MPRS) melaksanakan satu
rencana yang tidak disebut- kan apa bentuknya. Setelah pesan itu disampaikan oleh Mursalin
kepada Chaerul, reaksinya tidak serius, sehingga tidak terkesan adanya sesuatu yang penting.
Dikira hal itu urusan pribadi saja.
2. Dalam rangka peringatan Hari ABRI, 5 Oktober 1965, atas prakarsa Men/Pangad Letnan
Jenderal A. Yani, Presiden Sukarno dimohon bersedia menerima satu pawai SEKBERGOLKAR
(Sekretariat Bersama Golongan Karya). Bung Karno menjawab, bersedia saja menerima, asal
panjangnya barisan lima Km. Yani menyanggupinya. Tentu saja untuk menghimpun massa
SEKBERGOLKAR dalam barisan yang begitu panjang, diperlukan satu pengorganisasian yang
luas. Mursalin terlibat dalam kegiatan ini, karena ia adalah seorang anggota pimpinan
SEKBERGOLKAR.
Lukman, wakil ketua PKI yang juga Menteri/Wakil ketua DPRGR, mendengar keterlibatan
Mursalin dalam rencana itu, minta kepadanya supaya tidak usah ikut-ikut campur tangan. Tapi
Mursalin menjawab bahwa keikut-sertaannya, karena statusnya sebagai anggota pimpinan
SEKBERGOLKAR.
3. Ceramah Prof. Dr. Wertheim dalam satu pertemuan 23 September 1990 di Amsterdam, di
mana diuraikannya bahwa ketika ia dan istrinya pada tahun 1957 mengajar sebagai Guru Besar
Tamu di Bogor, ia sempat bertemu dengan Aidit dan beberapa tokoh PKI lainnya. Aidit
memberitahukan kepadanya tentang kunjungannya ke RRT. Dari sumber lain Wertheim
mendengar bahwa ketika Aidit di Peking dan menemui Mao Zedong, Aidit ditanya: „Kapan ia
akan mundur ke daerah pedesaan― 16)
16) Majalah „Arah „ Suplemen, No, 1, 1990, Amsterdam.
Tentang pembicaraan Aidit dengan Mao Zedong ini, seorang bekas mahasiswa Indonesia yang
pernah belajar di Peking dan berhasil menyelesaikan studinya dalam jurusan Sinologi,
menceritakan bahwa rumor yang tersiar dikalangan mahasiswa Indonesia di Peking waktu itu,
pertama-tama Mao Zedong menanyakan kepada Aidit, apakah ia sudah pernah mencopot dasinya
dan terjun ke desa memimpin gerakan tani, mengingat Indonesia adalah negara agraris yang 80%
rakyatnya terdiri dari petani?
Menurut cerita ini, Aidit merasa agak dipermalukan oleh Mao Zedong, karena ia tidak bisa
memberikan keterangan yang memuaskan mengenai gerakan tani di Indonesia.
Mungkin karena pengalaman buruk ini, maka pada tahun 1964, Aidit memimpin satu gerakan
riset besarbesaran untuk meneliti gerakan tani di Jawa dengan melibatkan kurang lebih 3300
kader PKI, yaitu 3000 kader tingkat kecamatan dan desa, 250 kader tingkat propinsi dan 50
kader tingkat pusat. Proyek ini diselesaikan dalam 4 bulan, yaitu Pebruari sampai Mei 1964.
Menurut perkiraan waktu itu di Jawa ada 45 juta kaum tani. Yang diriset ialah desa-desa di 124
kecamatan. Masing-masing kader melakukan riset 45 hari, kemudian menyusun kesim- pulan.
Aidit sendiri mengatakan bahwa ia melakukan perjalanan dengan mobil sepanjang 6000 Km
selama memimpin pekerjaan riset itu.
Laporan hasil risetnya, disampaikan dalam ceramahnya dihadapan para dosen, mahasiswa dan
779
undangan Akademi llmu Politik „Bachtaruddin― (milik PKI) tanggal 28 Juli 1964 di Balai
Prajurit „Diponegoro―, Jakarta.
Dari hasil riset ini, kata aidit, telah bisa dipusatkan sasaran gerakan tani di seluruh tanahair
melawan apa yang disebutnya „7 setan desa―: tuan tanah jahat, lintah darat, tengkulak jahat,
tukang ijon, penguasa jahat, kapitalis birokrat di desa dan bandit desa.
Hasil riset tersebut telah memperkuat kesimpulan PKI bahwa di Indonesia terdapat 4 ciri sisasisa feodalisme, yaitu: 1. Monopoli tuan tanah atas tanah. 2. Sewa tanah dalam wujud hasil bumi.
3. Sewa tanah dalam bentuk kerja di tanah tuan tanah. 4.
Utang-utang yang mencekek leher kaum tani. 17)
Maka mulailah diatur supaya Barisan Tani di Indonesia (BTI) melakukan latihan revolusioner di
desa, yang dikenal dengan Aksi Sepihak, untuk menguji sampai dimana militansi kaum tani yang
diorganisasi oleh BTI.
Di daerah Klaten, Jawa Tengah, misalnya. Yang menjadi sasaran ialah kaum tani yang sawahnya
luas, melebihi 5 ha. Menurut Aidit, Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang- Undang Pokok
Bagi Hasil, sesuai ketentuan Menteri Pertanian dan Agraria, tahun 1963 adalah tahun terakhir
pelaksanaannya di Jawa, yaitu tanah tuan tanah dinasionalisasi dan seorang petani tidak boleh
mempunyai tanah lebih dari 5 ha. Itulah alasannya mengapa Aksi Sepihak dilancarkan, karena
sampai tahun 1964, ketentuan UU tersebut tidak dilaksanakan oleh Pemerintah.
17) Majalah „llmu Marxis‗, triwulan ketiga, tahun ke-VII, No. 3 Jakarta, 1964
Tapi apa yang terjadi di Jawa Tengah, BTI melakukan Aksi Sepihak tanpa persetujuan
Pemerintah. Kebetulan yang menjadi sasaran ialah petani-petani anggota PNI. Tentu saja orangorang PNI melakukan perlawanan dan akibatnya jatuh korban.
Dalam ceramah Wertheim yang disinggung di atas, ia juga mengatakan bahwa pada tahun 1964,
menerima kunjungan wakil ketua PKI Nyoto di Amsterdam. Nyoto bersama tokoh-tokoh PKI
lainnya, waktu itu sedang berada di Eropa, menghadiri satu konperensi di Helsinki. Sewaktu
bertemu dengan Nyoto, kata Wertheim, ia teringat kembali pertanyaan Mao Zedong kepada Aidit
„ Kapan akan mengundurkan diri ke daerah pedesaan?―, sambil mengingatkan kepadanya bahwa
situasi Indonesia sekarang, mirip dengan keadaan di Tiongkok sebelum coup d‗état Generalisimo
Chiang Kaisyek. Menurut Wertheirn, di Indonesia juga akan ada bahaya besar seperti di
Tiongkok tahun 1927, di mana PKI akan dihancurkan. Oleh karena itu dianjurkannya dengan
keras supaya golongan kiri di Indonesia mempersiap- kan diri untuk menyusun perlawanan di
bawah tanah dan mundur ke pedesan.
Jawaban Nyoto, menuru1 Wertheim, „ untuk menghancurkan PKI sekarang sudah terlambat,
karena PKI sudah terlalu kuat dan juga mempunyei kekuatan di lingkungan ABRI―. Wertheim
mengatakan, ia tidak berhasil meyakinkan Nyoto. 18)
18) Ceramah Prof. Dr. W.F. Wertheim, seperti yang dimuat dalam rnayalah„Arah―, Supplement,
No. 1, 1990, Amsterdam.
Biro Ketentaraan Departemen Organisasi PKI atau yang dikenal dengan„Biro Khusus― bersama
sekutunya „Perwira Muda yang Maju―, sebelum 30 September 1965, sudah berkali- kali
mengadakan pertemuan, tempatnya bergantiganti, di rumah kapten Wahyudi dari ARHANUD
(Artileri Pertahanan Udara), di rumah kolonel Latief (komandan Brigade Infantri I KODAM V
Jaya) dan rumah Syam, untuk mengkonsolidasi kekuatan sampai pada tahap persiapan akhir.
780
Seorang komandan batalyon yang ikut dalam rapat-rapat itu dan akhirnya ditahan di Rumah
Tahanan Khusus Salemba, yang kemudian berganti nama menjadi INREHAB (Instalalasi
Rehabilitasi) Salemba, sudah mengemukakan keraguannya mengenai kemungkinan keberhasilan gerakan. Secara perhitungan militer, gerakan yang dipersiapkan hendak mendahului itu,
tidak bisa menjamin kemenangan mutlak, karena pasukan yang hendak digerakkan, tidak
konkrit, baru perhitungan di atas kertas. Diperkirakan, akan lebih banyak yang meng- gabung,
jika gerakan sudah dimulai.
Tapi Syam berkata: „masa tidak percaya kepada kokuatan massa PKI yang sudah teruji
militansinya, siap rnenguasai ibukota begitu gerakan dimulai―.
Ketika gerakan siap dimulai dengan menjadikan desa Lubang Buaya sebagai pangkalan, perwira
yang ragu tadi tidak muncul dan juga tidak menyiapkan pasukannya untuk bergerak, seperti yang
diputuskan dalam rapat. Ia seorang militer profesional yang merasa bertanggung jawab penuh
atas nasib prajurit. Ia tidak mau mengorbankan anak buah, karena yakin persiapan tidak matang.
Senada dengan apa yang diakui oleh anggota Politbiro Rewang dalam pleidooinya dimuka
sidang pengadilan, sebelum semua persiapan kegiatan itu, ada sidang CC PKI yang dihadiri
anggota-anggota CC yang berada di Jakarta dengan menghadirkan juga Sekretaris-Sekretaris
tingkat Propinsi di Jawa, pada bulan Agustus 1965. Dalam rapat itu Aidit menguraikan situasi
politik dalam negeri yang dinilainya sudah semakin kritis, karena katanya, sudah diketahui akan
ada rencana coup d‗etat „Dewan Jenderal― yang dini terhadap Bung Karno dan sekaligus
menghancurkan PKI.
Gerakan ini akan dilancar- kan oleh „Dewan Jenderal―, sehubungan dengan kesehatan Bung
Karno yang makin buruk, yang diketahui dari laporan team dokter RRT yang merawatnya. PKI,
kata Aidit, harus bersiap menghadapi · bahaya itu, karena bagaimana pun, PKI pasti terancam.
Mengenai gerakan, mantan ketua Mahkamah Agung Rl, Ali Said, SH., dalam ceramahnya di
depan mahasiswa Akademi Hukum Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer Jakarta 23
Nopember 1992 mengatakan bahwa berdasarkan hasii pemeriksaan tim dokter RRT yang pernah
mengobati Bung Karno, menyimpulkan bahwa apabiia datang serangan lagi, akan berakibat fatal
bagi Bung Karno, yaitu lumpuh atau meninggal dunia.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tim dokter RRT ini, Aidit menyelenggarakan pertemuan berturutturut dengan Politbironya untuk membahas:
1. Keadaan Presiden/PBR (Pemimpin Besar Revolusi) yang makin memburuk.
2. Adanya suatu Dewan Jenderal di lingkungan AD yang siap mengambil alih kekuasaan setelah
Presiden tidak berdaya lagi, bahkan kemudian menginformasikan Politbironya bahwa Dewan
Jenderal akan lebih dulu bertindak sebelum Presiden wafat, dan tindakan itu akan dilancarkan
sekitar Hari Angkatan Perang 5 Oktober 1965.
3. Adanya kelompok perwira progresif di lingkungan
Angkatan Darat yang akan mencegah serangan/ menggagalkan upaya coup Dewan Jenderal.
781
4. Kepada rekan-rekannya ditanyakan oleh Aidit, bagaimana seyogianya sikap yang harus
diambil PKI. Membiarkan Dewan Jenderal bergerak dulu untuk kemudian dilawan, ataukah lebih
tepat apabila PKI menyerang terlebih dahulu. Aidit sendiri lebih berat meletakkan pilihannya
„Mendahului― gerakan Dewan Jenderal. 19)
19) Berita Buana, 25 Nopember 1992, Jakarta.
Ali Said, SH., tidak menjelaskan sumber keterangan butir-butir yang diuraikannya, terutama
mengenai butir 2 sampai 4. Butir 1 sudah umum diketahui.
Tapi menurut keterangan seorang yang hadir dalam pertemuan CC yang diperluas, dan kemudian
ditahan, Aidit tidak menjelaskan apa bentuk gerakan yang akan ditempuhnya untuk
menyelamatkan PKI. Ia hanya minta persetujuan sidang supaya memberikan kepercayaan
kepadanya mengambil langkah-langkah yang diperlukan, permintaan mana diluluskan.
Berdasarkan kepercayaan inilah, Dewan Harian Politbiro dalam sidangnya tanggal 24 September
1965, menyusun rencana hendak mendahului gerakan apa yang mereka tuduhkan sebagai
rencana coup d‗etat yang hendak dilancarkan oleh „Dewan Jenderal―.
Dewan Harian yang dimaksud ialah para ketua Partai Kepala Sekretariat dan tentu saja ditambah
dengan Syan Kamaruzzaman.
Pada hari itu juga Komite Jakarta Raya mengadakan rapat yang dipimpin oleh sekretarisnya,
Nyono, dihadiri oleh seluruh pimpinan Seksi Komite di seluruh Daeral Jakarta Raya, untuk
membagi tugas masing-masing.
Jakarta Raya dibagi dalam beberapa Sektor dan Komandan Sektor sudah diangkat begitu selesai
latihan kemiliteran di Lubang Buaya. Pembagian wilayah sudah ditentukan.
Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) yang berafiliasi dengan PKI, ditugaskan menyediakan
konsumsi dengan membuka dapur umum. Pada saat gerakan dimulai, nasi bungkus dengan lauk
pauknya supaya disediakan untuk melayani prajurit yang bergerak. Beras dan uang lauk pauk
sudah didrop.
Tapi pada saat gerakan dimulai, tidak satu pun dapur umum yang berfungsi.
Akibatnya, semua prajurit dari sukarelawan yang sudah menerima latihan kemiliteran di Lubang
Buaya dan siap disektornya masing-masing, jac kelaparan. Ini membuktikan bahwa
pengorganisasian gerakan itu tidak beres dan tidak cukup dipahami olel massa bawahan.
Menurut keterangan seorang perwira Batalyon Infantri 454/Diponegoro yang ikut bergerak pada
1 Oktober 1 965 itu, uang Batalyon yang dibawa dari Semarang, terpaksa dikeluarkan membeli
makanan, karena prajurit-prajurit sudah kelaparan.
Begitulah gambaran betapa kacaunya pengaturan gerakan itu. Seorang mantan anggota CC PKI
yang pernah ke pulau Buru, menceritakan bahwa 2 hari sebelum gerakan dicetuskan, ia sudah
mendengar akan adanya gerakan. Maka ia pun segera menemui Nyono, orang pertama PKI
Jakarta Raya, minta dengan sangat supaya gerakan dibatalkan. Tapi Nyono menjawab bahwa itu
sudah menjadi putusan yang tidak mungkin dirubah lagi.
Karena orang itu merasa dirinya mempunyai kedudukan yang penting dan seharusnya ikut
menentukan dalam Partai, yeitu sebagai anggota CC, maka ia bertanya: Putusan siapa? Karena ia
sebagai anggota CC PKI tidak pernah merasa ikut merundingkan apalagi menyetujuinya.
782
Ketika Nyono akhirnya ditangkap dalam satu operasi pembersihan di sekitar percetakan Negara
Jakarta, ia diadili sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB) dan dijatuhi hukuman
mati.
Sebelum dieksekusi, Nyono ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) jalan Budi Utomo Jakarta
dan kebetulan mantan anggota CC yang pernah memperingatkannya supaya membatalkan
pelaksanaan „Gerakan 30 September― itu, juga ditahan di tempat yang sama. Karena ia
mendengar bahwa eksekusi terhadap Nyono akan dilaksanakan besoknya, maka diperlukannya
menemui Nyono dengan cara sembunyi-sembunyi, untuk menyampaikan berita sedih itu.
Nyono hanya menjawab bahwa ia belum lupa nasehat temannya ini, tapi sekarang nasi sudah
menjadi bubur. Risikonya adalah yang terpahit:
Menghadapi regu tembak, sesuai dengan vonnis yang dijatuhkan oleh MAHMILLUB.
Gerakan ini berakibat fatal bukan saja tidak mendapat dukungan rakyat, tapi juga
pelaksanaannya tidak lewat perencanaan yang akurat, sehingga yang tampil ke permukaan
hanyalah ketakaburan dengan menganggap bahwa gerakan pasti berhasil. Sama sekali tidak
diperhitungkan kemungkinan gagal. Dengan demikian, gerakan ini secara militer sepenuhnya
avonturisme, menyimpang dari teori revolusi seperti yang dimaksudkan oleh pencetusnya.
Itulah sebabnya, setelah Letnan Jenderal Soeharto menumpas gerakan ini, hanya dalam tempo 5
hari seluruh kekutan inti gerakan, telah dihancurkan. PKI mundur dan hanya berusaha menolong
situasi dengan mengeluarkan pernyataan seolah-olah mereka tidak terlibat dan apa yang terjadi
semata-mata persoalan intern Angkatan Darat.
PKI mengeluarkan seruan kepada seluruh anggota dan simpatisannya supaya memper- tahankan
legalitas sambil waspada. Untuk mendukung prinsip ini, PKI menyerukan kepada anggotaanggotanya supaya mendaftarkan diri di Front Nasional, satu seruan yang sebenarnya bunuh diri.
Karena ternyata, semua yang datang mendaftarkan diri, tak seorang pun lagi yang bisa kembali,
mereka langsung ditahan.
Dalam waktu yang relatif singkat, beribu-ribu pengikut PKI sudah berada dalam tahanan dan
gerakan perlawanan yang berarti, sudah tidak ada lagi. Di Yogyakarta dan Solo ada sedikit
perlawanan karena D.N. Aidit berada di sana setelah diterbangkan oleh pesawat AURI dari
Halim atas perintah Menteri/Panglima Angkatan Udara, Omar Dhani.
783
BAB IV
APEL LEWAT TENGAH MALAM
28 SEPTEMBER1965, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), melangsungkan
resepsi penutupan kongresnya di Istana Olahraga (ISTORA) Senayan, dengan mengundang
Bung Karno dan beberapa Menteri untuk memberikan amanat.
Gedung yang bisa menampung 10.000 audience itu, penuh sesak oleh mahasiwa anggota CGMI
dan anggotaanggota pemuda seazas. Yel-yel yang mereka teriakkan:
„Bubarkan HMI (Himpunan Mahasiwa Islam) yang dikenal sebagai organisasi mahasiswa yang
mendukung MASYUMI, partai Islam yang sudah dibubarkan karena dituduh terlibat
pemberontakkan PRRI di Sumatera Barat (1958). Itulah sebabnya CGMI menuntut pula supaya
HMI dibubarkan. Seolah- olah kongres ini diselenggarakan, terutama untuk menuntut
pembubaran HMI.
Biasa, kalau Bung Karno diminta memberikan amanat, selalu didahului dengan sambutan
seorang atau dua orang menteri. Sebagai gongnya, barulah Bung Karno tampil.
Pertama-tama tampil Menteri Penerangan Ahmadi. Tapi ternyata suaranya tenggelam dalam
gemuruhnya yel-yel yang menuntut pembubaran HMI. Audience tidak sabar dan minta Ahmadi
cepat- cepat saja menyatakan mendukung pembubaran HMI.
Karena pidatonya terus diganggu oleh gemuruh yang berlebih-lebihan, akhirnya ia hentikan
setelah diam 10 menit menantikan redanya suara yang gemuruh, tapi tidak juga berhenti.
Suasana terasa sekali sangat menekan.
Sesuai dengan acara, tampillah pembicara berikutnya, Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena,
berbicara menurut gayanya yang tidak agitatif. Ia dengan tenang dan jelas menyampaikan sikap
Pemerintah berkenaan dengan tuntutan pembubaran HMI.
Inilah kata-kata Dr. Leimena:
„Pemerintah tidak mempunyai niat untuk membubarkan HMI. HMI adalah organisasi yang
nasionalistis, patriotik dan loyal kepada Pemerintah. Pemerintah banyak mendapat sokongan
dari HMI dalam perjuangan melawan NEKOLIM „ .
Mendengar pernyataan Dr. Leimena yang sangat jelas itu, meski pun diucapkan dalam gaya
seorang pendeta, tapi cukup mengejutkan. Suasana di seluruh tenahair waktu itu yang diciptakan
oleh PKI dan para pendukungnya, sepertinya memastikan bahwa HMI malam itu dibubarkan.
Tibalah giliran Bung Karno menyampaikan amanatnya. Massa CGMI - mengharapkan Bung
Karno berbicara lain. Bung Karno memulai pidatonya dengan mengatakan:
„Sebelum memulai pidato saya, saya ingin menyampaikan hal berikut ini.
Saudara-saudara baru saja mendengar tentang kebijaksanaan Pemerintah yang disampaikan oleh
Pak Leimena sebagai wakil Perdana Menteri II, mengenai kedudukan HMI. HMI tidak akan
dibubarkan. Karena saudara-saudara sudah mendengar kebijaksanaan Pemerintah, mungkin
saudara-saudara ingin pula merigetahui sikap ketua Partai Komunis Indonesia, saudara Aidit. Dia
hadir sekarang di sini. Walau pun ia tidak tercantum dalam daftar yang akan berpidato malam
ini, ada baiknya kalau kita mendengar bagaimana sikapnya, sebelum saya melanjutkan dengan
pidato saya. Setuju ?―
Tentu saja di jawab „setuju―.
784
Maka Aidit pun berdiri mendampingi Bung Karno. Suaranya menggemuruh melalui pengeras
suara. Katanya: „Kalau Pemerintah tidak akan membubarkan HMI, maka janganlah kalian
berteriak-teriak menuntut pembubaran HMI. Lebih baik kalian bubarkan sendiri saja. Dan kalau
kalian tidak mampu melakukan itu, lebih baik kalian jangan pakai celana, tapi tukar saja dengan
sarung―.
Aidit meneruskan pidatonya dengan berkobar-kobar dan akhirnya berkata kepada mahasiswamahasiswa komunis itu tentang adanya pemimpin-pemimpin palsu yang merampok uang rakyat
dan me- melihara isteri empat sampai lima. 20)
20) Cuplikan pidato Wakil Perdana Menteri 11 Dr Leimena, pidato Bung Karno dan pidato
Aidit, dikutip dari rekaman Ganis Harsono yang dimuat dalam bukunya Cakrawala Politik Era
Sukarno, hal.202
Pidato Aidit ini betul-betul satu tantangan dan juga satu komando yang menentang kebijaksanaan
Pemerintah. Pada waktu itu, PKI sudah memutuskan siap bertindak, tapi rencana itu tidak segera
bisa diantisipasi oleh aparat keamanan Negara.
Dua hari kemudian, terjadilah apa yang harus terjadi, seperti yang memang sudah direncanakan
oleh PKI. Peristiwa 28 September 1965 malam di ISTORA, adalah klimaks dari akumulasi
ketegangan politik yang sejak berbulan-bulan sudah dirasakan dan akhirnya meletus lewat cara
antagonis dengan „Gerakan 30 September 1 965―.
Alasan mencetuskan G30S difokuskan pada melawan apa yang disebut „rencana Dewan Jenderal
hendak melakukan coup d‗etat terhadap Presiden Sukarno―. Bukan mustahil bahwa
kebijaksanaan untuk tidak membubarkan HMI seperti yang dituntut oleh CGMI, juga dianggap
sebagai satu rangkaian dari rencana keberhasilan „Dewan Jenderal―, padahal sikap itu sangat
jelas adalah sikap Bung Karno dan Kabinet
Memang PKI sudah dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang G30S, makin
agresif dalam sikap dan tindakannya. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi
serangan yang sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut „kapitalis birokrat― terutama
yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak
menepati waktunya sehingga melahirkan „Aksi Sepihak― dan istilah ;, „7 setan desa―, serta
serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik
berat kepada „kepemimpinan―-nya dan mengabaikan „demokrasi―-nya, adalah pertanda
meningkatnya rasa superioritas PKI, sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa
secara politik, PKI merasa telah berdominasi. Dilupakannya bahwa seumpama benar dibidang
politik partai ini sudah berdominasi, tapi dalam kenyataan sama sekali tidak berhegemoni,
sehingga anggapan berdominasi, tidak lebih dari satu ilusi.
Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah Dewan Militer
yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas di rumah
sersan (U) Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi
militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang
bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung PENAS
(Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen Nasional).
Sedang pimpinan gerakan, adalah letkol. Untung Samsuri.
785
Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih semua
wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah, hanyalah yang bersumber dari
Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan akan mengalami kegagalan, karena
mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana, maka dewan ini tidak
berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masingmasing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang
dan tak bisa ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan
selanjutnya. Kolonel A. Latief yang juga gagal menemukannya, terpaksa mencari jalan
penyelamatan sendiri.
Wishnu Djajeng Minardo, komandan pangkalan Halim sewaktu meletusnya G30S dalam
percakapan dengan saya mengatakan, ketika Bung Kamo pada tanggal 1 Oktober 1965 berada di
Halim, ia melihat Suparjo duduk di ubin sambil termenung. Wishnu memang mengenalnya.
Supardjo mengatakan kepadanya: „Kita sudah kalah―. Ucapan Supardjo membuktikan dengan
jelas bagaimana perintah ceace fire dari Bung Karno, tidak bisa berarti lain kecuali bahwa G30S
memang tidak diketahui oleh Bung Kamo sebelum terjadi, oleh karena itu ia menolak
memberikan dukungan, ketika diminta oleh Supardjo.
Gerakan dimulai dengan sebuah apel lewat tengah malam, sudah masuk tanggal 1 Oktober 1965,
karena jarum jam menunjukkan pukul 02.00 pagi dengan berpangkalan di desa Lubang Buaya, di
luar Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Apel diikuti oleh semua pasukan yang sudah
disiapkan akan bergerak pagi buta itu menuju sasaran. Tugas pokoknya menangkap para Jenderal
yang dituduh tidak loyal kepada Presiden/ Panglima Tertinggi. Ternyata satu regu tidak hadir,
yaitu yang ditentukan untuk sasaran Jenderal A. H. Nasution, kabarnya dari AURI.
Tapi ketidak hadiran regu itu, bukan sesuatu yang tidak bisa diatasi, karena kemungkinan yang
demikian dalam gerakan militer, selalu diperhitungkan. Regu cadangan selalu siap untuk setiap
saat mengambil alih tugas pihak yang berhalangan. Regu cadangan yang dipimpin oleh letnan
Jahurup dari „Tjakrabirawa― mempunyai kelemahan, yang berhalangan. Regu cadangan yang
dipimpin oleh letnan Jahurup dari „Tjakrabirawa― mempunyai kelemahan, yaitu belum pernah
melakukan survey medan yang akan menjadi sasaran. Untuk sasaran lain, sudah disurvey oleh
masing-masing regu yang bersangkutan.
Ternyata ketidak-hadiran regu untuk sasaran Jenderal A.H. Nasution dan digantikan regu
cadangan yang tidak menguasai medan, berakibat fatal.
Sebelum regu-regu sasaran bergerak dengan bantuan pasukan pendukungnya masing-masing,
komandan memberikan pengarahan dan instruksi mengenai tugas yang harus dilaksanakan, serta
menjelaskan alasan-alasannya.
„Tugas ini adalah tugas mulia―, kata komandan, sebagaimana ditirukan oleh seorang prajurit
yang ikut dalam apel itu. Perintahnya, supaya para Jenderal yang sudah ditentukan dan fotonya
dibagikan kepada para komandan regu, harus dibawa untuk dihadapkan kepada
Presiden/Panglima Tertinggi, dalam keadaan hidup atau mati.
Karena ternyata 3 Jenderal dibawa dalam keadaan tidak bernyawa, maka diberikanlah alasan:
Mereka melakukan perlawanan!
Kolonel A. Latief di muka sidang MAHMILTI (Mahkamah Militer Tinggi) II Jawa Bagian Barat
yang mengadilinya, memberikan keterangan bahwa Letnan Kolonel Untung memberitahukan
kepadanya, para Jenderal diambil untuk kemudian diserahkan kepada Presiden/Panglima
786
tertinggi. Tapi setelah tiba dalam pelaksanaan, tidaklah seperti rencana semula, karena tiga
Jenderal lainnya yang dibawa dalam keadaan hidup, kemudian juga dibunuh. Ketika Latief minta
penjelasan mengenai hal ini kepada Untung, dijawab bahwa itu semua menjadi tanggung
jawabnya.
Kolonel Latief juga mengatakan bahwa Syam mengakui di muka sidang MAHMILTI yang
mengadilinya, bahwa dialah yang memerintahkan membunuh semua Jenderal yang dibawa
masih dalam keadaan hidup di Lobang Buaya. 21)
21) Dikutip dari pembelaan kolonel A. Latief, hal. 94.
Pelaksanaan operasi seperti yang diuraikan di atas, sesuai dengan perintah komandan, semua
dilaksanakan tanpa ragu-ragu. Menurut ketentuan, Perintah Militer, baik tertulis mau pun lisan,
nilainya sama. Jika ada yang belum jelas, harus ditanyakan pada saat perintah itu diberikan.
Sesudah itu, semua dianggap sudah jelas dan dipahami untuk langsung dilaksanakan. Jika ada
sesuatu keberatan, perintah harus dilaksanakan dulu, baru alasan keberatannya diajukan kepada
komandan atasannya. Menyimpang dari prosedur ini, berarti pem- bangkangan yang bersanksi
Hukuman Militer.
Oleh karena itu dikemudian hari timbul masalah hukum, yaitu setelah kasus G30S/PKI
dinyatakan sebagai tindak makar yang diajukan ke sidang Pengadilan Militer, timbul pertanyaan:
Apakah prajurit yang bertindak menjalankan perintah komandan atasan yang tidak bisa dibantah,
harus ikut bertanggungjawab atas akibat tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan perintah
komandan atasan itu? Bukankah jika perintah ini diingkari, berarti pelanggaran Sumpah Prajurit,
yang juga akan mendapat hukuman berat? Bukankah dalam hal ini, seharusnya yang
bertanggungjawab hanyalah komandan yang memerintahkan tindakan itu?
Ada pula pendapat lain yaitu bahwa sesudah kejadian, semua prajurit yang terlibat, langsung
dipecat dari dinas tentara, karena dinyatakan sebagai pemberontak melawan kekuasaan yang sah.
Oleh karena itu, semua anggota yang terlibat, tidak terbatas pada komandan yang memerintahkan
saja, semua anak buah harus dianggap sebagai hoofddader (pelaku utama). Argumentasi ini
disangkal lagi dengan mengatakan bahwa perbuatan itu dilakukan masih dalam status mereka
sebagai tentara resmi dan karenanya semua dilakukan atas dasar tugas. Mereka bergerak berdasarkan Perintah Militer, bagaimana mereka bisa disebut hoofddader?
Akhirnya, semua prajurit anggota regu sasaran divonnis, umumnya hukuman mati.
Waktu menyerbu rumah Jenderal A. H. Nasution, komandan regu (cadangan), tidak mengetahui
di mana persisnya letak rumah itu. Oleh karenanya, rumah yang diserbu justru yang tidak ada
hubungan apa-apa dengan tugas yang harus dilaksanakan, yaitu rumah Wakil Perdana Menteri II
Dr. J. Leimena, yang kebetulan diselingi rumah lain dari rumah Jenderal A. H. Nasution.
Setelah menyadari terjadi kekeliruan, mereka segera menuju ke rumah Jenderal Nasution.
Karena setelah pintu diketuk tidak dibuka, maka kunci pintu ditembak sehingga terbuka.
Sebelum pintu terbuka, ibu Nasution sudah menyuruh suaminya meninggalkan rumah, lewat
lubang angin terjun ke pekarangan Kedutaan Besar Irak yang berdampingan dengan rumahnya.
Meski pun kakinya terkilir sewaktu melompat ke tanah, ia masih dapat berjalan dan
menyelamatkan diri mencari perlindungan. Suara tembakan masih terdengar dan sebuah peluru
nyasar mengenai putrinya, Ade Irma, yang sedang digendong ibunya.
Kemudian Ade Irma meninggal akibat tembakan itu.
787
Menjelang Maghrib, Jenderal A. H. Nasution berhasil mencapai Markas KOSTRAD di jalan
Merdeka Timur dan bergabung dengan Pariglima KOSTRAD, Jenderal Soeharto, yang
sementara itu sudah mengambil langkah penumpasan terhadap Gerakan 30 September.
Adapun Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Letkol Untung Samsuri, komandan batalyon
I Resimen Tjakrabirawa, setelah berhasil mengambil para Jenderal, kecuali Jenderal A.H.
Nasution yang lolos, maka Brigadir Jenderal Suparjo dengan ditemani oleh Letnan Kolonel (U)
Heroe Atmodjo (deputy direktur bagian operasi khusus AURI), keduanya termasuk anggota
Presidium G30SlPKI, pada tanggal 1 Oktober pagi itu pergi ke Istama Merdeka, hendak
melaporkan kepada Presiden/Panglima Tertinggi apa yang telah terjadi. Ternyata Presiden tidak
ada di Istana, dan keduanya pergi ke Halim, setelah mengetahui Presiden ada di sana.
Menurut keterangan kolonel Maulwi Saelan, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, pada
tanggal 30 September 1965 pukul 19.00, Presiden menghadiri resepsi penutupan Musyawarah
Nasional Kaum Teknisi Indonesia di ISTORA Senayan sampai pukul 21.00.
Saelan ma!am itu memegang tanggungjawab seluruh pengamanan Presiden, karena komandan
Tjakrabirawa Brigjen Sabur pergi ke Bandung dan tidak diketahui apa urusannya.
Yang ditugaskan oleh Saelan mengamankan sekitar ISTORA ialah batalyon I Resimen
Tjakrabirawa yang dipimpin langsung oleh komandannya, letkol Untung Samsuri. Saelan
mengatakan bahwa malam itu ia sempat memarahi Untung karena salah satu pintu ISTORA yang
seharusnya ditutup, tidak diperintahkannya supaya ditutup.
Saelan memastikan bahwa pada malam itu, ia selalu berada di dekat Bung Karno, sehingga tidak
ada gerakgerik Presiden yang lepas dari pengamatannya.
Menurut ajudan Presiden Sukarno, kolonel (KKO) Bambang S. Widjarnako yang memberikan
kesaksian didepan petugas pemeriksa, pada tanggal 30 September 1965 malam pukul 22.00,
Presiden menerima surat dari letkol Untung diserahkan oleh Sogol atau Nitri (anggota
Detasemen Kawal Pribadi) lewat kolonel Bambang yang langsung diserahkannya kepada Bung
Karno. Setelah menerima surat itu, Bung Karno berdiri dan pergi ke toilet yang diiringi oleh
Saelan, AKBP Mangil (Komandan Detasemen Kawal Pribadi) dan Bambang Widjarnako.
Diberanda muka, Bung Karno membaca surat itu, kemudian memasukan ke dalam sakunya. 22)
22) Memori Jenderal Yoga, PT Bina Rena Pariwara, Jakarta 1990, hal. 173
Keterangan Bambang Widjarnako ini dibantah keras oleh kolonel Maulwi Saelan. Ia
memastikan, pada malam itu sama sekali tidak ada adegan seperti yang diceriterakan oleh
Bambang Widjarnako, karena Saelan sendiri sebagai penanggungjawab keamanan Presiden
malam itu, tidak pernah jauh dari Presiden selama berada di Senayan sampai kembali ke Istana.
Kesaksian Bambang Widjanarko dianggapnya sangat aneh dan direkayasa.
Keterangan yang direkayasa ini mendapat imbalan, Bambang Widjarnako tidak ditahan dan
Saelan yang di depan pemeriksa membantah dengan tegas keterangan Bambang Widjarnako,
ditahan. Kolonel Maulwi Saelan menceritakan bahwa setelah selesai acara di Senayan, Presiden
kembali ke Istana Merdeka. Karena tak ada lagi sesuatu yang perlu mendapat perhatian dan
Presiden sendiri tidak memerintahkan supaya Saelan tetap berada di Istana, maka pukul 24.00 ia
pamit kembali ke rumahnya di jalan Birah II, Kebayoran Baru. Pukul 01.00 ia tidur.
788
Pukul 05.15 Subuh, ia dibangunkan oleh deringan telepon dari Komisaris Besar Polisi Sumirat,
salah seorang ajudan Presiden, yang me- nyampikan bahwa barusan diterima berita dari
Kornisaris Besar Polisi Anwas:
Tanumiharja dari KOMDAK Jaya, tentang terjadinya penembakan di rumah Wakil Perdana
Menteri II Dr. J. Leimena dan di rumah Jenderal A.H. Nasution, duaduanya di jalan Teuku
Umar.
Saelan menjawab, berita itu segera akan diceknya.
Lima belas menit kemudian, ia terima telepon lagi dari Sumirat yang memberitahukan bahwa
disekitar Istana kelihatan banyak tentara yang tidak diketahui kesatuannya, disamping
menyampaikan bahwa penembakan juga terjadi di rumah Brigadir Jenderal Panjaitan.
Menerima laporan yang bertubi-tubi ini, Saelan mengatakan kepada Sumirat bahwa ia segera
berangkat ke Istana. Sumirat minta supaya mampir di rumahnya, agar bersama-sama kesana.
Selagi Saelan bersiap-siap berangkat, tiba-tiba datang Kapten Suwarno, komandan Kompi I
Batalyon I Tjakrabirawa; yang saat itu kompinya sedang giliran tugas menjaga Istana. Kapten
Suwarno langsung menanyakan:
Presiden ada di mana?
Dilaporkan- nya bahwa di sekitar Istana, banyak kesatuan tentara yang tidak dikenalnya. Saelan
sendiri menjawab bahwa ia tidak tahu persis dimana Presiden bermalam, karena semalam ketika
ia meninggalkan Istana, Bung Karno ada di Istana.
Oleh karena itu ia perintahkan Kapten Suwarno supaya mengikutinya bersama-sama mencari
dimana Bung Karno berada.
Menurut Saelan, kebiasaan Bung Karno, kalau tidak berada di Istana pada malam hari, berarti ia
bermalam di rumah salah seorang isterinya, di Grogol atau di Slipi.
Atas dasar keterangan inilah, maka Saelan ber- sama Kapten Suwarno dan asisten-asistennya
menuju Grogol, ke rumah Haryati. Ternyata Bung Karno malam itu, tidak bermalam di situ.
Lalu rombongan ini akan pergi ke Slipi, ke rumah isteri Bung Karno, Ratnasari Dewi, tapi baru
sampai di jalan besar menuju Slipi (sekarang: jalan S. Parman), rombongan bertemu dengan jeep
Detasemen Kawal Pribadi yang dilengkapi dengan radio transmitter & receiver „Lorenz―. Saelan
segera menanyakan, di mana posisi Presiden sekarang?
Dijawab: Presiden beserta pengawal sedang menuju Istana dari Slipi.
Segera Kolonel Saelan mengadakan kontak dengan Mangil, Komandan Detasemen Kawal
Pribadi melalui pembicaraan radio „Lorenz―, yang menanyakan posisinya sekarang berada di
mana. Dijawab, sudah membelok ke jalan Budi Kemuliaan, tidak jauh lagi dari Istana.
Saelan memerintahkan supaya jangan masuk Istana, karena di sekitar Istana ada pasukan tentara
yang tidak dikenal, agar iring- iringan memutar di air mancur, kemudian dibavva ke Grogol dulu,
di mana Saelan mengatakan, ia tetap menunggu ditempat itu.
Pukul 07.00 Presiden sampai di Grogol dan Saelan langsung melaporkan semua berita yang
diterima dari Komisaris Besar Sumirat. Bung Karno lalu bertanya dalam bahasa Belanda: „wat
wil je met me doen?― saya mau dikemanakan? Dijawab oleh Saelan:„Sementara kita tunggu di
789
sini saja dulu, Pak! Kami segera mencari keterangan ke luar, mengenai berita-berita tersebut dan
menanyakan tentang situasi―.
Pertanyaan Bung Karno: „wat wil je met me doen?―, menunjukkan bahwa Bung Karno sama
sekali belum tahu apa yang telah terjadi.
Kemudian Presiden berkata: „Kita tidak boleh lama berada di sini― Jawab Saelan:
„Memang betul, kami segera akan mencari tempat lain yang lebih aman―.
Setelah merundingkan dengan AKBP Mangil dan letnan kolonel Suparto (seorang staf ajudan
Presiden), bagaimana sebaiknya menyelamatkan Presiden dalam situasi yang belum jelas ini,
maka diputuskanlah tempat penyelamatan sementara, di rumah seorang kenalan Mangil di jalan
Wijaya, Kebayoran Baru. Saelan langsung memerintahkan kepada Mangil supaya segera
mengirimkan beberapa anggota Detasemen Kawal Pribadi ke tempat tersebut, mengadakan
persiapan. Di samping itu kolonel Saelan memerintahkan juga kepada letnan kolonel Suparto
untuk mencari hubungan ke luar, dengan menghubungi PanglimaPanglima Angkatan bersenjata.
Semua hubungan ini harus dikerjakan langsung, tidak bisa melalui telepon, karena hubungan
telepon dari Grogol putus.
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Brigadir Jenderal Sunaryo dan Komisaris Besar Polisi
Sumirat (ajudan), datang juga ke Grogol, diantar oleh Inspektur polisi Djoko Suwarno.
Presiden Soeharto dalam Otobiografinya mengatakan bahwa pukul 06.00 pagi (1 Oktober
1965),- letkol Sadjiiman atas perintah Panglima Kodam V Jaya, Umar Wirahadikusumah,
melaporkan bahwa di sekitar MONAS dan Istana, banyak pasukan yang tidak dikenalnya. „Saya
percepat merapihkan pakaian yang sudah kenakan, loreng lengkap, tapi belum mengenakan
pistol, pet dan sepatu. Kepada letkol Sadjiman saya berkata bahwa saya sudah mendengar
tentang adanya penculikan terhadap Pak Nasution dan Jenderal A. Yani serta PATI (Perwira
Tinggi)
Angkatan Darat lainnya. Segera kembali saja dan laporkan kepada Pak Umar, saya akan cepat
datang ke KOSTRAD dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan Darat.
Dengan segala yang sudah siap pada diri saya, saya siap menghadapi keadaan―. Demikian tulis
Pak Harto. 23)
Ketika Pak Harto masuk Markas KOSTRAD, segera medapat laporan dari Piket bahwa orang
terpenting, Bung Karno, tidak jadi ke Istana, tetapi langsung ke Halim Perdana Kusumah.
Disebutkan, Bung Karno menggunakan kendaraan kombi putih, berputar di Prapatan Pacoran, di
depan Markas Besar AURI. Piket menerima laporan telepon dari Intel yang sedang bertuga― 24)
23) Soeharto,Otobiografi, hal. 11&119.
24) Ibid, hal. 119
Jadi, Panglima KOSTRAD yang mengambil sendiri untuk sementara pimpinan Angkatan Darat,
sudah mengetahui apa yang terjadi sejak pukul 06.00 pagi, tapi tidak disebutkan bahwa ia
berusaha menghubungi Presiden.
Laporan yang disampaikan kepada Pak Harto mengenai perjalanan Presiden, berbeda dengan
keterangan Kolonel Siaelan yang mengikuti terus perjalanan itu sampai di Halim.
Pukul 08.30 Letkol Suparto datang melaporkan bahwa ia hanya mendapatkan kontak dengan
790
MEN/PANGAU Omar Dhanidi Pangkalan Halim Perdana Kusumah. Panglima yang lain tidak
berhasil ditemui. Karena dipertimbangkan bahwa di Halim terdapat pesawat Kepresidenan „Jet
Star― yang selalu standby dan setiap saat siap membawa Presiden untuk penyelamatan jika
dianggap perlu, maka diputuskan sebaiknya Presiden dibawa ke Halim saja. Hal ini sesuai
dengan „Operating Standing Procedure― (OSP) Resimen Tjakrabirawa yang menyebutkan bahwa
salah satu cara untuk menyelamatkan Kepala Negara bila situasi memerlukan, adalah dengan
pesawat „Jet Star― yang ada di Halim, disamping bisa juga dengan kapal laut Kepresidenan „R.l.
Varuna― (Admiral Sloep) yang ada di Tanjung Priok atau kalau darat dinaikkan pantser berlapis
baja anti peluru.
Kemungkinan-kemungkinan itu dilaporkan oleh Saelan kepada Presiden dan Presiden
memutuskan: Pergi ke Halim saja. Saelan langsung memerintahkan kepada letkol Suparto supaya
mengadakan persiapan di Halim.
Pukul 09.00 Presiden meninggalkan Grogol menuju Halim dan sampai disana pukul 09.30, di
sambut oleh Omar Dhani dan Leo Wattimena yang langsung membawanya ke ruangan Komando
Operasi. Kurang lebih pukul 10.00, datang Brigadir Jenderal Suparjo yang tadinya berusaha
menemui Preside‗n di Istana Merdeka. Ia memberikan laporan kepada Presiden, tapi Saelan tidak
bisa mendengarkan dengan jelas pembicaraan antara Presiden dengan Brigjen Supardjo. Yang
kedengaran, hanya menyebut-nyebut „Dewan Jenderal― dan terjadinya korban ketika menangkap
beberapa Jenderal.
Presiden kemudian memerintahkan kepada ajudan, Komisaris Besar Sumirat, untuk memanggil
MEN/PANGAK (Menteri Panglima Angkatan Kepolisian), MEN/PANGAL (Menteri Penglima
Angkatan Laut) dan Panglima KODAM V Jaya, Umar Wirahadikusumah. Sekitar pukul 11.30
komandan Resimen Tjakbirawa brigadir Jenderal Sabur, baru muncul di Halim dari Bandung. Ia
minta laporan kepada kolonel Saelan, apa yang telah terjadi dan disampaikan seperti apa yang
diuraikan di atas.
Presiden juga memerintahkan memanggil Wakil Perdana Menteri II Dr J. Leimena beserta Jaksa
Agung Brigadir Jenderal Sutardio. Wakil Perdana Menteri I Dr.
Subandrio sedang tourney ke Sumatera, dan Wakil Perdana Menteri III Dr. Chaerul Saleh selaku
ketua MPRS belum kembali dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), memimpin delegasi MPRS
ke negara itu.
Apa yang dibicarakan oleh Presiden dengan semua pembesar yang dipanggil itu, tidak bisa
didengar oleh Saelan, karena ia tidak boleh berada di ruangan pertemuan.
Presiden kemudian beristirahat di rumah Komodor Udara Susanto (pilot Jet Star) dan kolonel
Saelan ikut ke rumah itu. Tidak lama kemudian, datanglah Wakl Perdana Menteri II Dr. J.
Leimena dan Jaksa Agung Sutardio, yang kemudian mengadakan pembicaraan dengan Presiden.
Apa yang dibicarakan, tidak bisa didengar oleh Saelan.
Pukul 12.00 siang, Saelan mendengarkan siaran RRI dari radio transistor yang dipinjamkan oleh
Komodor Udara Susanto, di mana diumumkan pengumuman letkol Untung selaku ketua Gerakan
30 September, tentang pembentukan Dewan Revolusi dan pendemisioneran Kabinet.
791
Pengumuman lewat RRI ini segera dilaporkan oleh ajudan senior dan komandan Resimen
Tjakrabirawa Brigadir Jenderal Moh. Sabur kepada Presiden.
Tidak lama kemudian, Sabur memberitahukan kepada Saelan bahwa Presiden/Panglima
Tertinggi ABRI mengangkat Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra sebagai Care-Taker
MEN/PANGAD (Menteri Panglima Angakatan Darat). Ajudan Presiden, Kolonel (KKO)
Bambang Widjarnako, saat itu juga diperintahkan oleh Presiden memanggil Pranoto menghadap
ke Halim. Tapi sampai pukul 17.00, Pranoto belum juga muncul, karena tidak diizinkan oleh
Panglima KOSTRAD Mayor Jenderal Soeharto yang telah mengambil alih pimpinan Komando
Angkatan Darat.
Berdasarkan laporan-laporan yang makin banyak masuk mengenai situasi, dan setelah yakin
bahwa justru Presiden berada di sarang Gerakan 30 September, maka diusulkan supaya Presiden
segera meninggalkan Halim menuju Istana Bogor.
Tapi Presiden ingin menunggu sampai kolonel - (KKO) Bambang Widjarnako yang
diperintahkan mernanggi Pranoto datang dan menyampaikan juga hasil pembicaraannya dengan
Panglima KOSTRAD Mayor Jenderal Soeharto, yang atas kehendaknya sendiri sudah lebih dulu
mengambil alih pimpinan Komando Angkatan Darat.
Setelah Bambang Widjarnako datang, ia melaporkan bahwa Mayor Jenderal Soeharto telah
memberikan ultimatum kepada pasukan-pusukan yang berada di sekitar Istana dan MONAS
untuk menyerahkan diri dan masuk KOSTRAD sebelum puku119.00.
Setelah menerima laporan itu, Presiden didesak supaya segera saja berangkat ke Istana Bogor.
Sebelum itu puteriputeri Presiden yang masih berada di Istana Merdeka, dijemput dengan mobil
dibawa ke Halim. Mereka tiba pukul 17.30 dan segera diterbangkan oleh kolonel Udara
Kardjono dengan helikopter ke Bogor.
Pukul 22.30, Presiden keluar dari Halim menuju Istana Bogor, tapi tidak lewat jalan raya biasa
Jakarta - Bogor, me!ainkan melalui jalan tikus, yaitu lewat sela-sela pohon karet. Mobil Presiden
Rl-1 dengan pengawalan seperti biasa keluar dari Halim melalui jalan raya, sehingga umum
mengira Bung Karno berada dalam mobil itu menuju ke salah satu tempat. Yang mengetahui
kalau Bung Karno dengan kendaraan lain mengambil jalan belakang pergi ke Bogor, hanyalah
para pengawal yang ditugaskan khusus untuk keperluan itu.
Sementara itu kolonel Saelan memerintahkan seorang anggota Detasemen Kawal Pribadi
melaporkan kepada Mayor Jenderal Soeharto bahwa Presiden sudah menuju Bogor.
Pukul 23.45 iring-iringan Presiden tiba di Istana Bogor dengan selamat.
Pukul 24.00 Kolonel Saelan menerima telepon dari Mayor Jenderal Soeharto yang menanyakan
perjalanan Presiden dan segera saja dilaporkan bahwa Presiden sekarang telah berada di Istana
Bogor dalam keadaan selamat. Sesudah itu kolonel Saelan menghubungi Mayor Jenderal Ibrahim
Adjie, Panglima KODAM Vl/Siliwangi dengan telepon, melaporkan bahwa Presiden sekarang
berada di Istana Bogor, yang masuk wilayah kekuasaan KODAM Vl/Sillwangi.
Sementara itu Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra yang diangkat oleh Presiden menjadi
Care-Tàker MEN/PANGAD, tidak berhasil memenuhi panggilan Presiden supaya datang ke
Halim, karena ada yang mencegah. Di kemudian hari ia mengeluarkan pernyataan tertulis dan
792
ditandatanganinya, sekitar peristiwa yang dialaminya, mau pun yang diketahuinya, mengenai
Gerakan 30 September 1965 yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965.
Urut-urutannya sebagai berikut:
1. Pada tanggal 1 Oktober 1965, kurang lebih pada pukul 06.00, pada saat Pranoto sedang mandi,
datanglah Brigadir Jenderal dr.Amino (Kepala Departemen Psychiatri Rumah Sakit Gatot
Soebroto) yang memberitahukan diculiknya Letnan Jenderal A. Yani beserta beberapa Jenderal
lainnya, oleh sepasukan bersenjata yang belum , dikenal, sedang nasib para Jenderal itu belum
diketahui. Sesudah mandi, Pranoto segera berangkat ke MBAD (Markas Besar Angkatan Darat)
dengan mengenakan pakaian dinas lapangan.
2. Setibanya di MBAD dan setelah menampung berita dari beberapa sumber, maka oleh karena
saat itu hanya dia dari antara perwira-perwira tinggi lainnya (yang ada di MBAD) yang
berpangkat senior, maka ia segera memprakarsai mengadakan rapat darurat dengan para Asisten
MEN/PANGAD atau wakilnya yang pada saat itu hadir di MBAD, yaitu para pejabat teras Staf
Umum Angkatan Darat, mulai dari Asisten I MEN/PANGAD sampai Asisten Vll termasuk Irjen
P.U. dan pejabat Sekretariat. Setelah menampung beberapa laporan dan keterangan dari sumbersumber yang dapat dipercaya, maka rapat menyimpulkan:
Secara positif Letnan Jenderal A. Yani beserta 5 Jenderal lainnya, telah diculik oleh sepasukan
penculik yang pada saat itu belum dapat dikenal secara nyata. Oleh karena itu rapat memutuskan
menunjuk Mayor Jenderal Soeharto, Panglima KOSTRAD, agar bersedia mengisi pimpinan
Angkatan Darat yang vacuum. Melalui kurir khusus, keputusan rapat disampaikan; kepada
Mayor Jenderal Soeharto di MAKOSTRAD pagi Itu juga.
3. Kemudian Pranoto menerima laporan dari seorang perwira Menengah MBAD (namanya lupa)
yang mengatakan bahwa menurut siaran RRI, 25) dirinya ditunjuk oleh Presiden/ PANGTI untuk
menjabat sebagai Care-Taker MEN/PANGAD. Oleh karena hal itu baru merupakann berita,
maka Pranoto tetap tinggal di Pos Komando MBAD untuk menunggu perintah lebih lanjut.
25) Menurut keterangan lain, bukan RRI yang menyiarkan berita itu, tapi Radio AURI
4. Sesudah Pranoto menerima berita tentang penunjukannya menjabat Care-Taker
MEN/PANGAD, maka berturur-turut datang utusan dari Presiden/PANGTI yang memanggilnya
supaya datang menghadap ke Halim, yaitu:
Pertama: Letnan Kolonel Infantri Ali Ebram, Kepala Seksi I Staf Resimen Tjakrabirawa.
Kedua: Brigadir Jenderal Sutardio, Jaksa Agung, bersama Brigadir Jenderal Soenarjo, Kepala
Reserse Pusat Kejaksaan Agung.
Ketiga: Kolonel (KKO) Bambang Widjarnako, Ajudan Presiden/ PANGTI.
Semuanya menyampaikan perintah Presiden/PANGTI supaya menghadap ke Halim.
Oleh karena Pranoto merasa sudah terlanjur masuk dalam hubungan Komando Taktis di bawah
Mayor Jenderal Soeharto, maka ia tidak bisa secara langsung menghadap Presidenl PANGTI
tanpa izin Mayor Jenderal Soeharto sebagai pengganti pimpinan Angkatan Darat saat itu.
Atas dasar panggilan dari utusan-utusan Presiden/PANGTI, Pranoto pun berusaha mendapatkan
izin dari Mayor Jenderal Soeharto. Akan tetapi Mayor Jenderal Soeharto melarangnya
menghadap, dengan alasan bahwa Mayor Jenderal Soeharto tidak berani meriskir kemungkinan
793
tambahnya korban Jenderal lagi, jika dalan keadaan sekalut itu pergi menghadap
Presiden/PANGTI Pranoto mentaati perintah itu dan tetap tinggal di MBAD.
5. Pada malam harinya sekira pukul 19.00 Pranotc dipanggil oleh Jenderal A.H. Nasution,
Kepala Staf Angkatan Bersenjata, supaya datang ke Markas KOSTRAD untuk menghadiri rapat.
Selain Jenderal A. H. Nasution hadir juga Mayor Jenderal Soeharto, Mayor Jenderal Mursyid,
Mayor Jenderal Satari dan Brigadir Jenderal Umar Wirahadikusumah, Panglima KODAM
V/Jaya.
Jenderal A.H. Nasution secara resmi menjelaskan bahwa mulai hari ini (1 Oktober 1965) Mayor
Jendera Pranoto Reksosamodra ditunjuk oleh Presiden/PANGT sebagai Care-Taker
MEN/PANGAD dan menanyakar bagaimana pendapat Pranoto secara pribadi.
Pranoto menjawab bahwa ia belum menerima pengangkatannya secara resmi, hitam di atas putih.
Oleh karena itu berpendapat, sebelum ada pengangkatan resmi yang tertulis entah nantinya siapa
di antara kita yang akar diangkat, lebih baik kita menaruh perhatian dalam usaha menertibkan
kembali keadaan darurat waktu itu, yang ditangani langsung oleh Panglima KOSTRAD, Mayor
Jenderal Soeharto, yang juga kita percayakan untul sementara menggantikan Pimpinan Angkatan
Darat.
Akan tetapi mengingat saat itu ada suara dan kesan dari media massa yang memuat berita-berita
adanya usaha menentang keputusan Presiden/PANGTI tentang penunjukkan Pranoto sebagai
Care-Taker MEN/PANGAD, maka oleh Jenderal A.H. Nasution ia diminta agar pada tanggal 2
Oktober 1965 pagi, mengadakan wawancara pers, yang direncanakan tempatnya di Senayan.
Pranoto bersedia.
6. Tanggal 2 Oktober 1965, menjelang waktu Pranoto akan mengadakan wawancara pers, tibatiba Mayor Jenderal Soeharto dan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra mendapat penggilan
dari Presiden/PANGTI yang saat itu sudah meninggalkan Pangkalan Udara Halim dan
menempati Istana Bogor.
Oleh karena itu, wawancara pers terpaksa ditunda. Mayor Jenderal Soeharto bersama Mayor
Jenderal Pranoto Reksosamodra ditemani Brigadir Jenderal Soedirgo (Direktur Polisi Militer)
segera berangkat ke Bogor menghadap Presiden/PANGTI.
Di Istana Bogor diadakan rapat, di mana hadir juga wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena,
MEN/KASAL Martadinata, MEN/PANGAU Omar Dhani, MEN/PANGAK Soetjipto
Yudodihardjo, Mayor Jenderal Mursyid, Menteri M. Yusuf dan beberapa Menteri lagi.
Hasil rapat, Presiden/PANGTI memutuskan bahwa pimpinan Angkatan Darat langsung dipegang
oleh PANGTI, sedangkan Mayor Jenderal Soeharto diperintahkan untuk menjalankan tugas
operasi militer dan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra ditugaskan sebagai Care-Taker
MEN/PANGAD dalam urusan sehari-hari (dayly duty).
7. Tanggal 14 Oktober, setelah melalui macam-macam proses kejadian, maka Mayor Jenderal
Soeharto diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dengan membentuk susunan stafnya
yang baru.
Pranoto menjadi Perwira Tinggi yang diperbantukan pada KSAD.
794
8. Tanggal 16 Februari 1966, atas perintah KSAD Mayor Jenderal Soeharto, Pranoto ditahan di
Blok F Kabayoran Baru, dengan tuduhan terlibat dalam G30S/PKI Penahanan itu berdasarkan
Surat Perintah Penangkapan, Penahanan No. 37/2/1966, tanggal 16 Pebruari 1966.
9. Kemudian terjadi perubahan status penahanan dari Ketua Team Pemeriksa Pusat, dalam Surat
Perintahnya No. Print. 018/TP/3/1966, ia mendapatkan penahanar rumah mulai tanggal 7 Maret
1966.
10. Dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.Print.
212/TP/I/1969, Pranoto ditahan di INREHAB Nirbaya, tetap dalam tuduhan yang sama.
11. Dengan Surat Keputusan Menteri HANKAM Panglima ABRI yang termuat dalam keputusan
No Kep./E/645/ll/1970 tertanggal 20 Nopember 1970 yang ditandatangani oleh Jenderal
M.Panggabean,
Pranoto mulai dikenakan schorsing dalam statusnya sebaga anggota Angkatan Darat yang diikuti
pada bulan Januar 1975, tidak lagi menerima gaji schorsing dan penerimaar lainnya. Sedang
Surat Pemberhentian atau pun Pemecatan secara resmi dari keanggotaan Angkatan Darat, tidak
pernah diterimanya.
Setelah mengalami semua perlakuan di atas, akhirnya berdasarkan Surat Keputusan Panglima
Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB) No. SKEP
/04/KOPKAM/I/1981, dalam pelaksanaannya oleh Kepala TEPERPU dengan Surat Perintah No.
SPRIN/481 /II/1981 /TEPERPU, Pranoto Reksosamodra dibebaskan dari tahanan terhitung mulai
tanggal 16 Pebruari 1981. Jadi masa penahanannya berlangsung selama 15 tahun, yaitu dari 16
Pebruari 1966 sampai 16 Pebruari 1981.
Selama dalam masa penahanan, Pranoto mengatakan tidak pernah mengalami pemeriksaan
melalui proses dan pembuatan Berita Acara yang resmi. Ia hanya mengalami interogasi secara
lisan yang dilakukan oleh Team Pemeriksa dari TEPERPU pada tahun 1970 dan sesudah itu
tidak pernah diinterogasi lagi, sampai akhirnya dibebaskan.
Ketika saya menemui dia di rumahnya yang sangat sederhana di daerah Kramatjati, dengan
mantap ia mengatakan: „Ya, saya harus berani menelan pil yang sepahit ini dan harus pula berani
membaca kenyataan dalam hidup yang sudah menjadi suratan Takdir―.
la tidak direhabilitasi dan tidak juga menerima pensiun sampai wafatnya.
795
BAB V
BUNG KARNO MENOLAK MEMBERIKAN
DUKUNGAN
ADA PUN pimpinan Gerakan 30 September setelah mengetahui tidak ada dukungan massanya
sendiri seperti yang dijanjikan oleh Syam dalam rapat dengan kelompok „Perwira Maju―
terhadap gerakan mereka, menjadi panik dan kocar-kacir.
Desas-desus bahwa PKI akan mengerahkan 1 juta massanya menguasai jalan- jalan di Jakarta,
setelah gerakan dimulai, sama sekali tidak terbukti. Massa PKI malah ketakutan setelah melihat
reaksi ABRI dan massa rakyat lainnya, yang sangat cepat mengutuk gerakan tersebut dan mulai
dengan pembakaran gedung-gedung PKI dan organisasi- organisasi yang berafiliasi dengan PKI.
Usaha G30S untuk mendapat dukungan dari Presiden Sukarno lewat Brigadir Jenderal Supardjo
yang menghadap ke Halim, tidak berhasil. Presiden malah memerintahkan kepada Supardjo
supaya menghentikan semua operasi militer dan mencegah terjadinya pertempuran.
Ultimatum Panglima KOSTRAD kepada pasukan yang mengepung Istana dan yang berada di
sekitar Taman MONAS supaya menyerah sebelum pukul 19.00, ditaati.
Mereka segera masuk komplek KOSTRAD sebelum batas waktunya berakhir, kecuali sebagian
anggota batalyon 454/Diponegoro dengan membawa senjata berat, terlanjur menuju Pangkalan
Udara Halim, karena ada permintaan dari SENKO untuk membantu AURI menahan
kemungkinan serangan RPKAD. Tapi kemudian juga mereka mentaati perintah
PANGKOSTRAD supaya menyerah.
Pasukan-pasukan yang menyerah itu terdiri dari Batalyon 530/Brawijaya dan Batalyon
454/Diponegoro, Kedua Batalyon didatangkan ke Jakarta masing-masing berdasarkan perintah
dengan radiogram tanggal 19 September 1965 No.T.220/9 dan 21 September 1 965 No.T.239
oleh PANGKOSTRAD yang memerintahkarn pemberangkatan dengan seluruhnya membawa,
perlengkapan tempur garis I dan sudah harus berada di Jakarta pada tanggal 28 September 1965.
Setelah Untung mengumumkan lewat RRI tujuan gerakannya, serta mengumumkan pula susunan
Dewan Revolusi dan men- demisionerkan Kabinet Dwikora, tapi kemudian mengetahui juga
bahwa pengangkatan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra sebagai Care-Taker
MEN/PANGAD tidak bisa direalisasi, padahal dialah satusatunya harapan setelah Bung Karno
menolak mem-berikan dukungan kepada G30S/PKI, maka ia pun menghilang dan tidak
memperdulikan lagi anak buahnya yang sudah berantakan dalam keadaan tanpa pimpinan.
Terpaksa mereka melakukan„longmarch― ke Jawa Tengah di bawah pimpinan letnan Dul Arip.
Tapi Dul Arip sendiri dengan beberapa pengawalnya, memisahkan diri dari pasukan, namun
kabarnya disergap oleh ABRI di daerah Cilacap dan tewas dalam penyergapan itu.
Ada pun anggota-anggota „Tjakrabirawa― lainnya, berusaha melanjutkan perjalanan ke
Semarang untuk bergabung dengan teman-teman mereka di sana, tapi baru sampai di daerah
Brebes, sudah dihadang oleh pasukan yang setia kepada Pak Harto dan digiring kembali ke
Jakarta untuk dimasukkan tahanan di Rumah Tahanan Khusus Salemba.
Akhirnya Gerakan 30 September 1965 hanya bisa dinilai tidak lebih dari suatu avonturisme
militer yang menculik 6 Jenderal lalu membunuhnya. Sedang pendukung politik di belakangnya,
PKI, tidak lebih dari pelaku petualangan politik yang berakibat runtuhnya struktur kenegaraan
yang ada dan sekaligus kepemimpinan Bung Karno.
Letkol. Untung sendiri menurut laporan pers, berusaha menyelamatkan diri ke Jawa Tengah,
dengan berpakaian preman naik bus dari Jatinegara, untuk bergabung dengan teman-temannya di
sana. G30S Jawa Tengah, terutama Yogyakarta dan Solo, masih sempat berkuasa beberapa hari,
bahkan di Yogyakarta berhasil menculik kolonel Katamso, komandan KOREM di sana dan
796
membunuhnya.
Tapi sial, dalam perjalanan dengan bus itu, ia melihat dalam bus ada beberapa anggota tentara
yang menurut perasaannya, selalu memperhatikan dia dan dikiranya hendak menangkapnya.
Maka sebelum terjadi apa-apa, ia pun meloncat dari bus yang sedang melaju ke jurusan Tegal,
dan sekali lagi sial menimpanya, ia menghantam tiang telepon sehingga kesakitan.
Rakyat yang melihat kejadian ini, mengira ada copet meloncat dari bus, oleh karena itu mereka ramai-ramai hendak mengeroyok- nya. Terpaksalah Untung berterus terang bahwa ia bukan
pencopet melainkan Letnan Kolonel Untung dari „Tjakrabirawa―. Rakyat curiga, lalu
menyerahkannya kepada petugas keamanan untuk mengurusnya lebih lanjut. Ia segera
diserahkan kepada CPM setempat dan setelah mengusut seperlunya, langsung membawanya ke
Jakarta dengan panser yang akhirnya dimasukkan blok isolasi di Rumah Tahanan Khusus
Salemba (Blok N), dalam keadaan tangannya diborgol dan kakinya dirantai.
Presiden Soeharto dalam Otobiografinya mengatakan bahwa Gerakan 30 September 1965 yang
dipimpin oleh Letkol. Untung Samsuri, bukan sekedar gerakan yang menghadapi Angkatan
Darat dengan alasan untuk menyelamatkan Presiden Sukarno, tapi mempunyai tujuan yang lebih
jauh, yaitu ingin menguasai Negara secara paksa atau kup.
Pasukan RPKAD segera disiapkan untuk menguasai kembali RRI yang digunakan oleh G30S
menyiarkan pengumumannya dan Pusat Telkom (Kantor Telepon) yang juga mereka kuasai.
Pukul 15.00 sore 1 Oktober 1965, di ruangan KOSTRAD dibuatkan rekaman pidato Pak Harto
untuk siaran di RRI, jika pemancar itu sudah dikuasai kembali. Rekaman menggunakan tape
recorder besar. Brigadir Jenderal Ibnu Subroto, Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat dan
Brigadir Jenderal Sucipto, SH., dari KOTI menyaksikannya.
Menjelang senja, kira-kira pukul setengah enam, muncullah Jenderal A.H. Nasution di
KOSTRAD, setelah ia lolos dari penculikan pasukan G30S. Ia dalam keadaan pincang dan
memakai tongkat.
Sejurus lewat Magrib, satuan RPKAD berangkat menyerang RRI dan Telkom, masing-masing
dipimpin kapten Heru dan kapten Urip. Kolonel Sarwo Edhie, Komandan RPKAD menunggu di
halaman KOSTRAD. Setengah jam kemudian diterima laporan kalau kedua sasaran itu sudah
dikuasai kembali sepenuhnya tanpa perlawanan dan tak sebutir peluru pun dilepaskan. Anak
buah Untung telah melarikan diri. (Menurut keterangan lain, mereka sebelumnya memang sudah
menarik pasukannya dari RRI).
Lalu Brigjen Ibnu Subroto dengan beberapa pengawal menuju RRI membawa rekaman pidato
Pak Harto. Sebelum berangkat, Ibnu Subroto mengucapkan „Bismillah― dengan agak keras.
Maka pukul 19.0 tepat (malam), siaran pidato Pak Harto dikumandangkan lewat RRI. Bunyinya
sebagai berikut:
„Para pendengar sekalian di seluruh tanahair, dari Sabang sampai Merauke.
Sebagaimana telah diumumkan, maka pada tanggal 1 Oktober 1965 yang baru lalu, telah terjadi
di Jakarta suatu peristiwa yang dilakukan oleh suatu gerakan kontra revolusioner, yang
menamakan dirinya „Gerakan 30 September―. Pada tanggal 1 Oktober 1965, mereka telah
menculik beberapa Perwira Tinggi Angkatan Darat, ialah :
1. Letnan Jenderal A. Yani,
2. Mayor Jenderal Soeprapto,
3. Mayor Jenderal S Parman,
797
4. Mayor Jenderal Haryono M.T.,
5. Brigadir Jenderal D.l. Panjaitan,
6. Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo.
Mereka telah dapat memaksa dan menggunakan studio RRI Jakarta untuk keperluan penteroran
mereka. Dalam pada itu perlu kami umumkan kepada seluruh rakyat Indonesia, baik di dalam
mau pun di luar negeri bahwa P.Y.M. Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata
R.l./Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan Yang Mulia MENKO HANKAM/KASAB,
dalam keadaan aman dan sehat wal‗afiat.
Para pendengar sekalian.
Kini situasi telah dapat kita kuasai, baik di pusat mau pun di daerah- daerah. Dan seluruh
slagorde Angkatan Darat ada dalam keadaan kompak bersatu.
Untuk sementara pimpinan Angkatan Darat kandii pegang.
Antara Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian Rl, telah terdapat saling
pengertian, bekerjasama dan kebulatan tekad penuh, untuk menumpas perbuatan kontra
revolusioner yang dilakukan oleh apa yang menamakan dirinya „Gerakan 30 September―.
Para pendengar sebangsa dan setanahair yang budiman, Apa yang menamakan dirinya „Gerakan
30 September― telah membentuk apa yang mereka sebut „ Dewan Revolusi Indonesia―. Mereka
telah mengambil alih kekuasaan Negara atau lazimnya disebut coup dari tangan Paduka Yang
Mulia Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan
melemparkan Kabinet Dwikora ke kedudukan demisioner, di samping mereka telah menculik
beberapa Perwira Tinggi Angkatan Darat.
Para pendengar sekalian,
Dengan demikian jelaslah bahwa tindakan-tindakan mereka itu kontra revolusioner yang harus
diberantas sampai ke akar-akarnya. Kami yakin, dengan bantuan penuh dari massa rakyat yang
progresif- revolusioner, gerakan kontra revolusioner 30 September, pasti dapat kita
hancurleburkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pasti tetap
jaya dibawah pimpinan PYM Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi kita
yang tercinta Bung Karno.
Diharap masyarakat tetap tenang dan tetap waspada, siap siaga serta terus memanjatkan do´a ke
hadirat Tuhan Yang Maha Esa, semoga PYM Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin
Besar Revolusi Bung Karno terus ada dalam lindunganNya.
Kita pasti menang karena kita tetap berjuang atas dasar Pancasila dan diridoi Tuhan Yang Maha
Esa. 26)
26) Ibid,hal. 127-128.
Demikian Pak Harto yang mengemukakan juga dalam Otobiografinya bahwa tengah malam 1
Oktober 1965, ia perintahkan RPKAD dengan kekuatan 5 kompi kurang lebih 600 personil,
bergerak menuju Halim Perdanakusumah lewat Klender, dan menguasai lapangan terbang itu
dengan sedikit pertempuran.
Dari RPKAD seorang yang gugur dan AURI 2 orang.
798
Sebetulnya secara rasional tidak terdapat kondisi yang memaksa PKI melakukan coup d‗etat,
karena partai ini sendiri sudah duduk dalam Pemerintahan, mulai dari Kabinet sampai ke tingkat
daerah. Malahan M.H. Lukman,
seorang wakil ketua PKI, dalam sebuah bukunya menulis bahwa PKI secara politik sudah
berdominasi. Mudah
dipahami mengapa Bung Karno mengatakan bahwa PKI dengan tingkahnya ini, benar-benar
keblinger. Bahkan berbagai pengamat luar negeri yang tidak bisa memahami mengapa PKI
bersikap sebodoh itu, menganggap
bahwa bukan mustahil pimpinan partai ini kesusupan agen-agen provocateurs yang berhasil
menciptakan sesuatu yang „ready made― dan bekerja dengan kecerdikan yang prima Prof. Dr.
W.F. Wertheim dalam interviunya dengan mingguan Belanda „De Nieuwe Linie― 8 April 1976
mencatat beberapa kecurigaan termasuk kecurigaannya terhadap peran Letkol Untung dan
Brigjen Supardjo, dua tokoh penting dalam peristiwa coup d‗etat tersebut.
PKI duduk dalam Kabinet dengan 4 Menterinya, yaitu Aidit, Lukman, Nyoto dan Ir. Setiadi.
Kalau memang akan ada usaha coup d‗etat dari „Dewan Jenderal― seperti yang dituduhkan oleh
G30S/PKI, dapat dipastikan bahwa kewibawaan Bung Karno dan kekuasaan Pemerintah, di
tambah dengan bantuan massa PKI yang militan dan massa PNI yang setia kepada Bung Karno,
akan mampu mengatasinya. Apalagi sudah dapat dipastikan bahwa dalam usaha coup seperti
yang terjadi pada 17 Oktober 1952, pihak ABRI tidak akan kompak. Pengalaman sepanjang
sejarah kemerdekaan kita, mulai dari peristiwa 3 Juli 1946 (Persatuan Perjuangan) sampai
peristiwa PRRI/PERMESTA, siapa saja yang mendahului mengadakan gerakan semacam itu,
pasti dapat di tumpas.
Sebelum G30S, memang PKI sudah memperlihatkan sikap-sikap yang ekstra agresip, namun
sikap politiknya secara umum tetap menunjukkan komitmen yang kuat mendukung Pemerintah
dan politik Bung Karno sebagai pemimpin bangsa.
Sejak 1954 PKI memperlihatkan sikap yang positip dengan menurunkan semua gerombolan
bersenjatanya yang selama ini beroperasi dari gunung-gunung dan hutanhutan, seperti MMC
(Merapa Merbabu Complex) di Jawa Tengah, BSA (Barisan Sakit Ati) dan Pasukan Siluman di
Jawa Barat dan di beberapa daerah lainnya lagi di luar Jawa. Dengan demikian, PKI sebetulnya
sudah menempuh langkah untuk melucuti dirinya sendiri.
Penurunan gerombolan bersenjata ini, didahului dengan satu per-nyataan dari D.N. Aidit bahwa
tidak mungkin mengkombinasikan perjuangan bersenjeta di satu pihak dengan perjuangan legalparlementer di pihak lain. PKI sudah menentukan sikap, hanya menempuh perjuangan secara
legal-parlementer.
Juga Aidit sudah minta kepada SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang
berafiliasi dengan PKI, supaya sedapat mungkin mencegah terjadinya pemogokan kaum buruh,
senjata yang biasanya digunakan oleh PKI sebagai alat politik untuk menekan Pemerinah.
Dengan demikian, PKI telah diarahkan menempuh perjuangan legal-parlementer seperti partaipartai komunis di India dan Eropa Barat.
Ini semua adalah keberhasilan taktik yang diterapkan oleh Bung Karno dalam upayanya
menjinakkan PKI untuk menggalang persatuan dan menciptakan stabilitas nasional, meski pun
799
cara yang ditempuh oleh Bung Karno itu tidak bisa diterima oleh pihak lain yang a priori anti
komunis. Tapi PKI terus berkembang.
Ada pun cepat berkembangnya PKI tidak semata-mata seperti apa yang dikemukakan oleh
Jenderal Yoga Sugomo dalam memorinya, yaitu karena militansi pendukungnya dan tidak
sempatnya dituntaskan peberontakkan PKI di Madiun, karena 3 bulan kemudian (19 Desember
1948), kita sudah harus meng- hadapi agresi militer Belanda ll, sehingga situasi kacau itu dimanfaatkan oleh PKI dengan cepat sekali melakukan konsolidasi. 27) Secara objektif perlu
dicatat, Amerika dan sekutu Baratnya, juga turut memhesarkan PKI, karena sikap mereka yang
memihak Belanda dalam sengketa Irian Barat dengan Indonesia. Amerika dan negara-negara
Barat menolak menjual senjata kepada Indonesia untuk membebaskan Irian Barat, menyebabkan
Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain kecuali berpaling kepada Uni Sovyet yang komunis.
27) Memori Jenderal Yoga, hal. 74.
Kompensasinya, sangat masuk akal bahwa Bung Karno menolak tuntutan Konperensi
Palembang 4 September 1957 yang diseleng-garakan oleh Dewan Gajah dari Sumatera Utara,
Dewan Banteng dari Sumatera Barat, Dewan Lambung Mangkurat dari Kalimantan Selatan,
PERMESTA dari Sulawesi, Front Pemuda Sunda dari Jawa Barat serta beberapa Panglima, yang
menghendaki supaya PKI dilarang dengan undang-undang. 28)
28) H. Ahmad Muhsin, Perang Tipu Daya antara Bung Kamo denga, tokoh-tokoh komunis.
Golden Troyan Press, Jakarta 1969, hal. 28.
Mana mungkin negara-negara sosialis yang dipimpin oleh Uni Sovyet mau memberikan bantuan
senjata, jika PKI dilarang.
Tapi dalam Pelengkap Nawaksara yang disampaikan oleh Presiden Sukarno di muka sidang
MPRS 10 Januari 1967, dikatakan bahwa salah satu sebab terjadinya G30S, ialah karena
keblingeran pemimpin- pemimpin PKI. Presiden tidak merinci bentuk keblingeran PKI itu, tapi
kemudian jelas dari beberapa hasil penelitian bahwa sebenarnya D.N. Aidit terperangkap dalam
strategi „Biro Ketentaraan― yang dibentuk oleh Politbiro PKI yang dipimpinnya sendiri, tapi
sehari-hari oleh Kamaruzzaman alias Syam, tokoh yang berperan double agent 29) yang
mempunyai jaringan luas.
Mingguan „TEMPO― yang terbit di Jakarta misalnya, mengutip studi yang dilakukan oleh pakar
Indonesia di Cornell University, seperti Benedict R. Anderson dan Ruth McVey yang dikenal
dengan nama Cornell Paper (1966) mengatakan bahwa Gerakan 30 September itu, tadinya adalah
persoalan dalam tubuh Angkatan Darat, tapi pada saat- saat terakhir ada upaya memancing
supaya PKI ikut terseret. Berbagai tulisan lain yang dikutip, misalnya dari Prof. Dr. W.F.
Wertheim yang berjudul „Soeharto and Untung Coup - The Missing Link― (1970) dan Prof. Dale
Scott dari California University (1984), menunjuk peran CIA dalam gerakan ini. Sebaliknya Dr.
Anthonie C.A. Dake dalam bukunya In The Spirit of The Red Banteng, justru; menuduh Bung
Karno sebagai dalang Gerakan 3Q September, berdasarkan pengakuan dalam Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) KOPKAMTIB terhadap ajudan Presiden Sukarno, kolonel (KKO) Bambang
S. Widjarnako. Juga John Hughes dalam bukunya The End of Sukarno (1967) menyimpulkan
demikian.30)
Yang mengejutkan, justru ada seorang pengacara di. Jakarta Sunardi, SH., tanggal 10 desember
1981 mengirimkan surat kepada 500 alamat pejabat tinggi termasuk Presiden Soeharto, menuduh
Presiden Soeharto terlibat G30S/PKI, satu tuduhan yang dinilai tidak logis, karena Pak Hartolah
800
orang pertama yang bertindak dalam kedudukannya sebagai Panglima KOSTRAD mengambil
alih untuk sementara pimpinan Angkatan Darat, menumpas Gerakan 30 September. Oleh karena
itu tuduhan Sunardi, SH. dinyatakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang mengadilinya
dalam sidang 7 Oktober 1982, sebagai penghinaan terhadap Presiden dan ia dituntut hukuman 4
tahun 6 bulan penjara potong masa tahanan. 31)
29) Harian „Sinar Harapan― Jakarta, 13Maret 1967. Menuut Prof Dr. Wertheim, istilah ini hanya
digunakan sekali dan sesudah itu tidak pemah lagi diulangi.
30) Mingguan „Tempo― Jakarta, 8 Oktober 1980.
31) Harian „Pos Kota― Jakarta, 8 Oktober 1982.
Dalam pembelaannya, Sunardi mengatakan bahwa coup d‗etat Gerakan 30 September 1965 yang
dikatakan gagal, justru berhasil dengan baik sesuai dengan rencana yang lebih dulu telah diatur
dan diperhitungkan dengan cermat, yaitu menjatuhkan kekuasaan Presiden Sukarno sebagai
pemegang Pemerintahan yang sah.
Menurut Sunardi yang mengutip pembelaan Kolonel A. Latief, Komandan Brigade Infantri I
KODAM V Jaya, 2 hari sebelum kejadian, ia sudah datang kepada Pak Harto melaporkan akan
adanya gerakan. Tapi laporan itu dianggap tidak serius. Tanggal 30 September 1965 sekitar
pukul 10 malam kolonel A. Latief datang lagi menemui Pak Harto di Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat„Gatot Subroto― yang sedang menunggui putranya, Tommy yang dirawat disana
karena tersiram sup panas dan melaporkan tentang akan dicetuskannya gerakan pada malam itu
juga. Karena Pak Harto diam saja, Latief menganggap sebagai menyetujuinya.
Tapi keterangan Latief ini dibantah oleh Pak Harto dalam Otobiografinya dan mengatakan
bahwa kedatangan Latief ke Rumah Sakit „Gatot Subroto―, ialah untuk mencek apakah Pak
Harto benar berada di sana malam itu.
Kolonel Latief saja yang sangat naif menarik kesimpulan bahwa Pak Harto tidak akan
mengadakan kontra aksi atas gerakan yang hendak dilakukannya.
Dikemudian hari masih muncul lagi orang lain yang menuduh Pak Harto seperti apa yang
dituduhkan oleh Sunardi, SH., yaitu dari Drs. Wimanjaya K. Liotohe, pada awal September 1993
di umumkannya di Amsterdam ketika ia berkunjung ke Nederland.
Menanggapi tuduhan ini, direktur BAKIN, Letnan Jenderal TNI Sudibyo, dalam dengar pendapat
dengan Komisi I DPR 7 Pebruari 1994 mengatakan:
„Hanya orang gila yang menuduh Pak Harto yang mendalangi G30S/PKl.―
Sebuah pertanyaan muncul: „Mengapa PKI begitu dungu menentukan jalan perjuangannya
dengan menempuh jalur coup d‗etat yang berakibat kehancurannya?
PKI tidak mampu menilai dengan tepat kondisi masyarakat Indonesia―.
Sambil mengintrospeksi diri dengan pernyataan „Kritik; dan Otokritik― yang disusun segera
setelah kekalahan PKI, tokoh-tokoh bekas PKI yang masih hidup, dan bisa saya temui,
mengatakan bahwa gerakan mereka kesusupan unsur provokasi, sebagai akibat masih lemahnya
organisasi. PKI sebenarnya hanya terbuai oleh puas diri dengan anggapan sudah berdominasi
secara politik. Padahal anggapan itu tidak mengandung kebenaran, karena kualitas dan status
801
masyarakat Indonesia, tidak pernah berubah sesuai dengan keinginan PKI. Syaratsyarat yang
dapat mendukung berdominasinya PKI di bidang politik, ternyata tidak konkrit.
802
BAB Vl
CAMPUR TANGAN CIA DAN KGB
SEORANG Peneliti tentang Indonesia, Gabriel Kolko, mengungkapkan dalam
laporannya dengan mengutip dokumen-dokumen State Department (Kementerian
Luar Negeri A.S.) dan CIA (Central Intelligence Agency) mengenai debat tentang
peran Amerika Serikat dalam kasus Gerakan 30 September 1965 di Indonesia,
mengemukakan keterlibatan A.S. yang isinya sangat mengejutkan dan berbeda
sekali dengan apa yang kita ketahui melalui sumber resmi. Dokumen yang
digunakannya antara lain mengutip arsip dari perpustakaan mantan Presiden A.S.,
Lindon B. Johnson yang sudah diumumkan Tuduhan letnan kolonel Untung tentang
keterlibatan CIA di Indonesia, dibenarkan oleh dokumendokumen yang terungkap di
A.S.
Ke-tidak-senangan Amerika terhadap Bung Karno dan Republik Indonesia yang
dipimpinnya, sudah muncul ketika kunjungannya yang pertama ke negara Uncle Sam
pada bulan Mei 1956 Waktu itu Bung Karno menjelaskan kepada Menteri Luar Negeri
A.S., John Foster Dulles, dasar politik Indonesia "Kami tidak mempunyai hasrat
untuk meniru Uni Sovyet, juga tidak mau mengikuti dengan membabi buta jalan yang
direntangkan oleh Amerika untuk kami. Kami tidak akan menjadi satelit dari salah
satu blok, kata Bung Karno kepada Menlu Dulles.
Tapi politik seperti ini mudah sekali disalah-artikan oleh Amerika. Amerika hanya
menyukai apabila kita memilih pihak seperti yang dikehendakinya. Kalau tidak
sependirian dengan dia, secara otomatis dianggapnya tergolong dalam blok Uni
Sovyet.
Jawaban yang tajam datang dari John Foster Dulles: "Politik Amerika Serikat bersifat
global. Suatu negara harus memilih salah satu pihak. Aliran yang netral adalah
immoral (tidak bermoral)," katanya.
Ini dialog antara Bung Karno dengan Dulles :
Kemudian Bung Karno menyampaikan isi hatinya kepada Presiden Eisenhower yang
mengaku kesenangannya nonton film koboi, yang dilakukannya tiap malam.
Lebih dulu Bung Karno mengatakan bahwa ia menonton film hanya 3 kali seminggu
dan yang disukainya ialah film-film yang menceriterakan pengalaman sejarah dan
biografi.
Di antara adegan-adegan dalam film Amerika, menunjukkan bahwa A.S. tidak dapat
memahami masalah Asia. Benua Asia sekarang sedang "dimabuk" kemerdekaan.
Seluruh benua itu merasakan kemerdekaan dengan kegembiraan yang amat sangat.
Jadi, tolonglah sampaikan kepada rakyat Amerika agar memahami, bahwa jikalau
suatu bangsa selama hidupnya menderita kepahitan hidup; kutukan, laknatan dan
803
penindasan terhadap hasrat untuk merdeka, maka ia tidak akan melepaskan
kemerdekaan itu lagi, apabila sekali telah berhasil merebutnya.
"Sebagai sahabat yang bijaksana dan lebih tua, jika Amerika memberi kami nasehat,
itu bisa! Akan tetapi mencampuri persoalan kami, jangan! Kami telah menyaksikan
kapitalisme dan demokrasi Barat pada orang Belanda. Kami tidak mernpunyai
keinginan untuk memakai sistim itu. Kami akan menumbuhkan suatu cara baru yang
hanya cocok dengan kepribadian kami. Ia bukanlah barang yang bisa diekspor ke
luar, akan tetapi sebaliknya juga kami tidak bisa menerima bararig impor berupa
ajaran yang mengikat". 32) Demikian Bung Karno.
32) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 409-410
Lama sebelum itu kekhawatiran Amerika terhadap kepemimpinan Sukarno di
Indonesia, sudah nampak. Mulamula Amerika terkejut, begitu cepat persetujuan KMB
yang arsiteknya Amerika, dibatalkan begitu saja oleh Indonesia secara sepihak.
Peter Dale Scott mengatakan, nampaknya sudah sejak 1953, Amerika
berkepentingan untuk membantu mencetuskan krisis regional di Indonesia, yang
telah diakui sebagai penyebab langsung yang merangsang Sukarno untuk pada
tanggal 14 Maret 1957 meniadakan sistem Parlementer di Indonesia dan menyatakan
berlakunya keadaan darurat militer, serta memasukkan korps perwira secara legal ke
dalam kehidupan politik.
Pada tahun 1953, Menteri Luar Negeri John Foster Dulles sudah mengatakan kepada
Duta Besar Amerika di Jakarta, Hugh S. Cumming Jr, supayà dia jangan berbicara
tidak bisa menarik kembali politik keterikatan Amerika memelihara persatuan
Indonesia. Dipeliharanya persatuan sesuatu bangsa bisa menimbulkan bahaya,
sebagai contohnya: Cina. 33)
Program aksi politik khusus yang mendukung pemberontakan regional, secara resmi
telah disetujui di Washington pada bulan Nopember 1957. Tapi perwiraperwira dan
agen-agen CIA sudah melakukan kegiatan di kalangan kaum pembangkang, jauh
sebelum itu. 34)
Keputusan NSC (National Scurity Counsil) 171/1 20 Nopember 1953, sudah
mempertimbangkan latihan-latihan militer sebagai suatu cara meningkatkan pengaruh
Amerika Serikat, walau pun usaha-usaha utama CIA ditujukan kepada partai-partai
politik moderat sayap kanan, khususnya MASYUMI dan PSI (Partai Sosialis
Indonesia). Jutaan dollar yang telah dituangkan oleh CIA kepada kedua partai itu
dalam pertengahan 1950, merupakan faktor yang berpengaruh atas peristiwa 1965, di
mana seorang bekas kader PSI, Syam (Kamaruzzaman) didalihkan sebagai otaknya
G30S/PKI. 35)
Slanjutnya Peter Dale Scott mengatakan bahwa di tahun 1957-1958, CIA telah
menginfiltrasikan senjata-senjata dan personil dalarn mendukung pemberontakan
804
regional PRRI/PERMESTA melawan Sukarno. Sebuah pesawat terbang militer A.S.
(B25) ditembak jatuh oleh APRI di Ambon dan pilotnya seorang penerbang Amerika,
Allan Pope, ditangkap. Usaha-usaha CIA ini didukung oleh sebuah task force lepas
pantai dari Armada ke-VII (AL A.S.)
33) Peter Dale Scott mengutip Mosley (1978) hal. 437.
34) Memorandum 7 April 1961 dari Direktur CIA, Allen W. Dulles, Hal.
1: Indonesia 22 (Oktober 1976) hal. 168.
35) Peter Dale Scott mengutip studi CIA hal. 107 dan Wertheim (1979)
hal. 203.
Dalam tahun 1957, suatu Komisi Khusus Senat yang mempelajari kegiatan CIA, telah
menemukan apa yang dinamakanya "beberapa bukti tentang keterlibatan CIA dalam
rencana hendak membunuh Presiden Sukarno". Tapi setelah melakukan suatu
pemeriksaan awal atas usaha pembunuhan itu, komisi memilih sikap untuk
menghentikan pemeriksaanya. 36)
Sebenarnya Bung Karno mengetahui semua rencana ini meski pun tidak terperinci
dari laporan-laporan Intelligen dan membacanya dari surat-surat kabar Amerika yang
sering membocorkan rahasia, misalnya majalah "US World and News Report" sering
disebut oleh Bung Karno sebagai salah satu sumber informasinya.
Memang Bung Karno sering mendapat pertanyaan, apakah sikapnya anti Amerika?
Bung Karno menjawab: "Bertahun-tahun lamanya aku sangat ingin menjadi sahabat
Amerika, akan tetapi sia-sia". 37)
36) Dokumen-dokumen yang di-deklasifikasi, 1982, 002386, seperti
yang dikutip oleh Peter Dale Scott
37) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 430.
Puncak penghinaan Amerika terhadap Bung Karno terjadi pada tahun 1960, ketika ia
diundang mengunjungi Washington oleh Presiden Dwight Eisenhower. Pertama sudah
terasa, ketika Bung Karno mendarat di lapangan terbang Washington, Presiden
Eisenhower tidak datang menyambutnya seperti yang menjadi kelaziman protokol
kenegaraan yang berlakù waktu itu. Dengan kejadian ini, Bung Karno belum berkata
apa-apa. Kemudian ia menuju Gedung Putih dan mengira bahwa Eisenhower akan
menyambutnya di pintu Gedung Putih. Tapi ternyata tidak juga. Terhadap periakuan
ini pun Bung Karno masih sabar, karena mungkin Eisenhower terlalu sibuk dan tidak
bisa meninggalkan tempatnya.
Tapi ketika Eisenhower membiarkan Bung Karno menunggu di luar, di ruang tunggu,
Bung Karno merasa, ini sudah keterlaluan. Setelah menunggu hampir satu jam,
dengan tajam ia menyampaikan kepada protokol: "Apakah saya harus menunggu
805
lebih lama lagi? Kalau harus begitu, saya akan berangkat sekarang juga". Orang itu
pucat mukanya dan berkata: "Saya mohon dengan sangat kiranya tuan dapat
menunggu barang satu menit", dan dengan gugup ia berlari ke dalam. Kemudian
keluarlah Eisenhower, dia tidak minta maaf.
Bung Karno menceritakan kemudian bahwa hanya Presiden Kennedy pada tahun
1961 yang berjanji akan datang ke Indonesia di musim semi 1964. "Aku begitu
gembira", kata Bung Karno, "sehingga aku membentuk satu team arsitek dan
insinyur untuk membangun Gedung Tamu Agung, siap menyambut kedatangannya,
terletak dalam lingkungan pekarangan Istana".
Tapi, kata Bung Karno, secara umum memang Amerika memperhatikan
negara-negara Asia yang terbelakang, karena dua alasan. Pertama, negara-negara itu
merupakan pasar yang baik untuk melemparkan barang- barang hasil industrinya.
Kedua, Amerika takut negara-negara itu menjadi komunis. Oleh karena itu, ia
mencoba membeli kesetiaan negara-negara tersebut kepadanya, dengan
membagi-bagikan pinjaman disertai peringatan bahwa pinjaman tidak akan diteruskan
lagi, kecuali si penerima pinjaman tetap "berkelakuan baik".
Menanggapi sikap Amerika yang demikian itu, Bung Karno mengutip ucapan Manuel
Quezon dari Filipina yang mengatakan: "Lebih baik pergi ke neraka tanpa
Amerika, dari pada pergi ke sorga bersama dia".
Anthonie A.C. Dake yang anti Sukarno, mengatakan bahwa pertemuan 4 mata antara
Sukarno dengan Perdana Menteri RRT, Chou Enlay, bulan Nopember 1964, setelah
RRT meledakkan bom atomnya yang pertama, Indonesia dijanjikan akan mendapat
Atom Device dalam tahun 1965. Kunjungan Menteri Luar Negeri Chen Yi ke Indonesia
sesudah pertemuan Nopember antara Sukarno dan Chou Enlay (di Shanghai, dalam
perjalanan dari Korea Utara), juga membicarakan soal ini. Brigjen Hartono, Kepala
Logistik Angkatan Darat, dikutip oleh Dake, mengatakan bahwa semuanya
tergantung dari Sukarno, karena Indonesia sudah mempunyai ahli- ahli untuk
membuat atom. 33)
Bahkan dikatakannya dengan mengutip sumber kantor berita "Antara" bahwa 200 ahli
Indonesia bekerja untuk memproduksi bom atom dan akan terjadi surprise pada 5
Oktober 1965 (Hari Angkatan Perang).
38) Dake mengatakan mengutip dari "Indonesian Observer" 23
Desember 1964.
Dikatakannya sebuah delegasi di bawah pimpinan Wu Heng, wakil ketua Komisi
Atom RRT, tiba di Jakarta berunding dengan Prof. Soedjono Djuned Pusponegoro
sebagai Menteri Riset Nasional. 39)
Menurut pendapat saya, cerita tentang bom atom dari RRT ini, bertentangan dengan
kenyataan lain, di mana saya waktu itu sebagai Duta Besar Indonesia di Moskow,
806
ditugaskan menandatangani atas nama Pemerintah Rl, Perjanjian Sedunia tentang
Non Proliferation Nuclear (tidak mengembang-biakkan senjata nuklir).
Jadi tuduhan Dake bahwa Indonesia akan mengadakan percobaan bom atom di pulau
Mentawai, 40) tidak benar, meski pun katanya persetujuan itu telah ikut
ditandatangani oleh Prof. Soedjono.
39) In the Spirit of the Red Benteng, hal. 335.
40) Ibid, hal. 328.
Ini semua tujuannya untuk dijadikan dalih supaya Amerika Serikat segera bertindak
terhadap Sukarno, karena rencana-rencananya dianggap sudah terlalu berbahaya.
Rencana penyelenggaraan Konperensi Asia Afrika kedua di Aljazair, bulan Juni 1965,
juga dikacau oleh CIA, dimana bertepatan dengan saat-saat persiapan akhir, tibatiba
terjadi ledakan di gedung konperensi.
Guy Pauker, yang dipercaya sebagai tokoh CIA, adalah orang Amerika yang di setiap
peristiwa internasional penting selalu muncul, tepat waktu itu berada di Aljir dan
memerlukan mengunjungi Ny Supeni, Duta Besar Keliling Rl yang waktu itu sudah
berada di Aljir untuk ambil bagian dalam konperensi sebagai anggota delegasi Rl.
Pauker mengatakan, keberadaannya di Aljir untuk memantau KAA-II secara
langsung, karena peristiwa ini penting bagi Amerika.41)
41) Supeni Wanita Utusan Negara, hal. 220.
Setelah terjadi ledakan bom di gedung konperensi, Menteri Luar Negeri RRT, Chen
Yi, yang memimpin delegasi negaranya dan sudah lebih awal tiba di Aljir, langsung
mengusulkan supaya konperensi ditunda saja, karena katanya, mereka datang ke
Aljazair bukan untuk dibunuh. Usul ini disetujui oleh Aljazair dan negara- negara
peserta lainnya, yang kemudian disetujui pula oleh 3 kepala Negara/Pemerintahan
yang sedang menunggu di Kairo, yaitu Presiden Sukarno, Perdana Menteri Chou
Enlay dan Presiden Gamal Abdel Nasser.
Kalau KAA-II jadi dilangsungkan, Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Subandrio, sudah
siap dengan satu pengumuman yang akan disampaikan dalam konperensi itu, bahwa
Indonesia mempunyai bukti adanya satu plot Amerika-lnggeris akan mengadakan
serangan militer terhadap Indonesia. Karena konperensi tidak jadi diadakan, oleh
Subandrio hanya diberikan interview kepada wartawan harian terbesar di Kairo,
Al-Ahram (dipimpin Heykal), mengenai rencana Amerika- lnggeris tersebut. Semenjak
itu ketegangan makin terasa mencekam.
Presiden Sukarno dalam pidatonya di depan rapat Panglima TNI Angkatan Darat
seluruh Indonesia bertempat di Markas Besar GANEFO Senayan 28 Mei 1965, sudah
memperingatkan kemungkinan yang bakal terjadi.
807
la menunjuk kepada makin meningkatnya kegiatan Nekolim (Neo
kolonialisme/imperialisme) untuk memukul revolusi Indonesia, sambil
memperingatkan bahwa dalam negeri pun sudah ada kaki- tangan yang mereka
tanam. Beberapa bagian pidato itu kutipannya sebagai berikut:
Kaum imperialis sejak mereka bisa mengadakan peacefull coexistence dengan
Moskow, mereka mempunyai anggapan bahwa yang menjadi musuh bukan lagi
Moskow, melainkan kita: Indonesian Revolution, Sesudah the Indonesian Revolution
naik aktivitas dan gengsinya, bahkan sesudah revolusi Indonesia benar-benar
universal, suaranya mendapat resonansi di bangsa- bangsa lain.
Sesudah mereka melihat bahwa Indonesia adalah salah satu pokok dalam kesatuan
Asia-Afrika, sesudah mereka melihat bahwa di dalam Dasa Warsa AA. (18 april 1965)
Indonesia tidak tenggelam kedudukannya di dunia AA, malahan naik, malahan
Indonesia oleh beberapa negara AA dianggap sebagai mercu suarnya, sesudah
Indonesia menganjurkan agar supaya Konperensi AA-II di Aljazair lekas diadakan,
sesudah Indonesia mengambil inisiatif untuk mengadakan CONEFO (Conference of
the New Emerging Forces) dan ternyata inisiatif Indonesia ini mendapat sambutan
yang hebat dari negara-negara AsiaAfrika, Amerika Latin dan negara-negara komunis,
sesudah itu maka pihak imperialis boleh dikatakan terbuka matanya dan
mengatakan: Here in Indonesia lies the danger. Revolusi Indonesia ini harus
di-contain.
Dulu mereka mencoba menghancurkan revolusi komunis di Rusia, karena Sovyetlah
yang pertama memberontak terhadap sistim kapitalisme dan sistim kolonial. Pada
waktu itu segala usaha diadakan oleh mereka untuk menghancurkan Sovyet Uni.
Ini in geuren en kleuren (panjang lebar) diceritakan oleh Leon Trotzky dalam bukunya
"Mein Leben". Bagaimana Trotzky sendiri memimpin ketahanan terhadap gempuran
dari lima jurusan. Trotzky sebagai Panglima Besar tentara Sovyet mondar-mandir ke
lima front itu dalam Markas Besarnya di gerbong Kereta Api.
Sejak usaha itu gagal untuk menghancur-lemburkan Sovyet Uni, mulailah mereka
mengadakan international campaign terhadap komunis. Maka tiap usaha dari bangsa
apa pun yang anti imperialis, dicap komunis.
Bahkan Petrus Bloemberger dalam bukunya "De Communistische Beweging In
Nederlandsch Indie", Dr. Cipto Mangunkusumo dan Ir. Sukarno juga dikatakan: Ze
Zijn communisten - mereka komunis. Dan sampai sekarang masih saja "the
communist danger in Indonesia "
Baca bukunya Arnold Brackman, wartawan Amerika dulu tinggal di Jakarta dan kawin
dengan noni Jakarta, bukunya tebal, "Communism in Indonesia", kita semua
dikatakannya komunis, di samping PKI.
808
Sebutan komunis itu bagi kita sudah oude koek (basi). Kita sebenarnya sekedar
mempertahankan tanahair kita, mempertahankan kemerdekaan kita dan
mempertahankan revolusi kita. Oleh karena revolusi kita anti imperialisme, ; mereka
sebut komunis. Dijual oleh mereka omongan bahwa Indonesia yang paling berbahaya,
oleh karena Indonesia is going communist. Padahal tidak. Indonesia hanya ingin
mempertahankan kemerdekaannya, hanya ingin menggabungkan semua tenaga anti
imperialis di 3 dunia menjadi satu barisan yang berhasrat menentang imperialisme.
Karena revolusi kita dianggap sebagai yang paling berbahaya, enemy number one musuh nomor satu, -. maka segala usaha mereka sebenarnya ditumpahkan kepada
menghancurkan kita, revolusi kita. Itulah yang penting harus kita pahami. We are in
the centre -kita berada di pusat aktivitas mereka untuk menghancurkan. Kita yang
akan dihancurkan, dengan macam-macam jalan.
Panglima Angkatan Darat sudah disclose (menyingkap) bahwa ada plan yang nyata
bisa dibuktikan zwart op wit dari mereka untok menghantam kita. Ada plan yang
nyata en jullie moet het weten (kalian harus tahu). Bukah sekedar plan yang nyata
ada untuk mengadakan propaganda per radio dan surat kabar anti kita, tidak! Dan
Jenderal Yani pun sudah berkata: Kita tidak gentar! Kalau; mereka serang kita,
sekaligus kita hancur leburkan Singapura. Ya, memang karena Singapura adalah
pokok, mile stone di dalam life line of imperialism.
Sebetulnya selain plan-plan itu, kita mengetahui juga macam-macam plan dari
mereka untuk menghancurkan revolusi Indonesia, Salah satu plan itu untuk
membunuh beberapa pemimpin Indonesia: Sukarno, Yani dan Subandrio. Itu yang
pertama-tama harus dibunuh, malah kalau bisa, sebelum Konperensi AA - II di
Alzajair (April 1965).
Kalau tidak bisa, sesudah Konperensi di Aljazair, diadakan limited attack on
Indonesia-gempuran terbatas terhadap Indonesia. Dan pada waktu itu sedang ada
limited attack, maka seperti disebutkan dalam mereka punya plan, kawan-kawan
mereka (di dalam negeri) akan bertindak membantu menggulingkan Sukarno, Yani
dan Subandrio.
Kalau ini gagal juga, mereka akan berikhtiar lain untuk menggulingkan Sukarno, Yani
dan Subandrio, yaitu membuka segala rahasia mereka terutama yang mengenai
personal life (rahasia hidup pribadi), sehingga rakyat akan bertindak memberontak
terhadap Sukarno, Yani dan Subandrio.
Kita mengetahui: "They are preparing an attack of Indonesia. They are going to try to
kill Sukarno, Yani and Subandrio. They are going to make a limited attack on
Indonesia. They have the* friends here" - mereka mempersiapkan serangan terhadap
Indonesia. Mereka mencoba hendak membunuh Sukarno, Yani dan Subandrio.
Mereka akan melakukan serangan terbatas terhadap Indonesia. Dan mereka
mempunyai teman-teman di sini "
809
Demikian kutipan sebagian dari isi pidato Bung Karno yang rekamannya setelah
ditranskrip terdiri dari 14 halaman folio tik-tikan (2 spasi).
Apa yang diuraikan oleh Bung Karno, ada kemiripannya dengan dokumen-dokumen
State Department dan CIA yang diumumkan di Amerika dan dikutip oleh berbagai
peneliti sejarah seperti Prof. Peter Dale Scott dan Gabriel Kolko yang sudah dicatat
di atas.
Dengan memperhatikan pidato Bung Karno di depan rapat Panglima Angkatan Darat
seluruh Indonesia 28 Mei 1965, dipérkuat oleh dokumen-dokumen State Department
dan CIA yang diumumkan di Amerika serta proses di pengadilan yang mengadili
tokoh-tokoh G30S/PKI, membantu kita memahami konstatasi Bung Karno tentang
terjadinya G30S/PKI dalam pidato "Pelengkap Nawaksara" yang disampaikan kepada
MPRS pada 10 Januari 1967 yang mengatakan bahwa berdasarkan penyelidikannya
yang seksama, peristiwa G30S/PKI itu ditimbulkan oleh pertemuannya 3 sebab:
1. Kebelingernya pemimpin-pemimpin PKI.
2. Kelihaian subversi Nekolim.
3. Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar.
Namun jauh sebelum Bung Karno mengucapkan pidatonya itu, Wakil Perdana
Menteri/Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio yang juga Kepala Badan Pusat Inteligen
(BPI) dan karenanya tentu lebih banyak mengetahui detail situasi dari laporan-laporan
Intel, pada tanggai 3 Januari 1965 dalam resepsi peringatan harian "Duta Masyarakat"
sudah menyatakan bahwa tahun 1965, memang merupakan tahun gawat. Gawat
bukan saja karena kaum Nekolim terus menambah gencarnya sorangan dan
rongrongan terhadap revolusi Indonesia tapi juga berbagai macam hal lainnya,
sebagai akibat keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB, karena PBB menjadikan
"Malaysia" anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang ditentang keras oleh
Indonesia.
Tahun 1965 juga gawat karena kita dalam tahun ini akan berusaha memperbaiki
perekonomian kita, sedangkan kaum Nekolim sudah. pasti tidak senang terhadap
perbaikan ekonomi Indonesia itu dan akan terus menghalang-halanginya.
Dikatakannya juga bahwa tahun 1965 adalah tahun kristalisasi dari
kekuatan-kekuatan dalam revolusi Indonesia. "Jangan terkejut apabila saya katakan
bahwa mungkin dalam tahun 1965 ini kawan-kawan seperjuangan kita terpaksa ada
yang rontok dan kita tinggalkan, karena tidak lagi dapat mengikuti jalannya revolusi.
Untuk meninggalkan kawan-kawan yang tadinya merupakan kawan-kawan
seperjuangan itu, memang hati kita menangis, tapi hal itu terpaksa kita lakukan, demi
keselamatan revolusi kita", kata Subandrio.
810
Mengenai usaha Pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi dikatakannya
selain usaha kaum Nekolim merongrong, juga dari kalangan bangsa kita sendiri ada
tanda-tanda ke arah itu. Pada saat ini tidak saja ada multimilyuner, tapi sudah
terdengar pula adanya rnulti-milyarder yang hanya menggunakan ludah, lidah dan
dengkul sebagai modalnya.
Dr Subandrio di kemudian hari divonis hukuman mati oleh MAHMILLUB, tapi
kemudian dirubah menjadi hukuman seumur hidup.
Juga Menteri Penerangan Achmadi dalam sambutannya mengatakan bahwa bagi
revolusi Indonesia, tahun 1965 adalah tahun to be or not to be, sebab Indonesia
berhadapan dengan kaum Nekolim yang merongrong kita. Rongrongan itu tidak saja
dari luar, tapi sudah di dalam tubuh kita sendiri, sebab sadar atau tidak, di tengahtengah kita ada saudara-saudara yang ikut serta membantu rongrongan kaum
Nekolim itu.42)
42) "Berita Indonesia", Jakarta, 5 Januari 1965.
Juga Achmadi divonis 10 tahun penjara.
Kecurigaan Bung Karno atas keterlibatan CIA di Indonesia, memuncak pada bulan
Juni 1965, setelah menerima pemberitahuan dari Washington bahwa Marshall Green
diangkat menjadi Duta Besar AS yang baru untu k Indonesia, menggantikan Howard
Jones yang sudah 7 tahun bertugas.
Pers Indonesia diinstruksikannya melalui ketua umum PWI Pusat, A. Karim DP,
supaya menggerakkan public opinion untuk menolak kehadiran Marshall Green. Bung
Karno mengatakan, sudah mempelajari riwayat hidup ; Marshall Green yang berperan
dalam penggulingan Perdana Menteri Mohammed Mossadegh dari Iran yang
menasionalisasi perusahaan minyak Abadan pada tahun 1956 Juga ia yang berperan
dalam penggulingan Presiden Syngman Rhee di Korea Selatan pada tahun 1960.
Tapi instruksi Bung Karno ini ditentang oleh Subandrio dan berusaha membujuk Bung
Karno supaya melunakkan sikapnya dan jangan menolak Marshall Green, karena ia
khawatir akibatnya yang tidak bisa terduga, misalnya Armada ke-VII AS tiba-tiba
menampakkan diri di Teluk Jakarta.
Akhirnya Bung Karno mengalah, tapi sikapnya tetap tidak sreg dengan kehadiran
Marshall Green di Indonesia. Howard Jones juga ikut mendesak Bung Karno supaya
tidak menolak Marshall Green.
Gabriel Kolko mengungkapkan adanya sebuah laporan dari Duta Besar Howard Jones
di Jakarta kepada Gedung Putih yang diterima tanggal 3 Juni 1964 pukul 09.20 waktu
Washington,43) menjelaskan adanya pembicaraan antara Duta Besar Jones dengan
Jendral A.H. Nasution selama 1 jam 10 menit. Jones mula-mula mengatakan bahwa
ia datang membawa semangat yang bersahabat dengan Indonesia, tapi katanya, ia
811
melihat badai sedang nampak di cakrawala dan oleh karenanya baik diperhatikan
peribahasa lama: Secercah persiapan pencegahan lebih baik dari mengharapkan
sekali penyembuhan.
43) Gabriel Kolko: Dokumen-dokumen State Department dan CIA
mengenai debat tentang peranan Amerika Serikat di lndonesia 1965,
13 Agustus 1990 - mengutip dari copy Lyndon B. Johnson Library.
Nasution mendengarkan dengan sabar selama setengah jam uraian Jones tentang
situasi ekonomi Indonesia yang sangat kritis. Situasi akan menjadi lebih serius
kalaupembicaraan Bangkok (mengenai sengketa Rl dengan Malaysia), gagal.
Keadaan yang demikian- akan berkembang menguntungkan PKI dengan me- ngambil
langkah-langkah yang bisa berakibat putusnya hubungan Indonesia dengan "Dunia
Bebas", tèrutama Amerika.
Jones mengingatkan kepada Nasution bahwa bantuan kepada Indonesia akan
terpaksa dihentikan dan kewajiban- kewajiban Amerika terhadap Pakta ANZUS
{Australia, New Zealand dan Amerika Serikat) akan diberlakukan, kalau Australia dan
Selandia Baru terlibat di dalamnya.
Nasution menjawab bahwa ia membenarkan analisis itu karena ia juga menilai
keadaan dalam dan luar negeri sangat gawat. Ia ingatkan bahwa beberapa bulan lalu
ia telah menyatakan pandangannya yang sangat pesimistis tentang masalah
Malaysia dan kemungkinan bahwa pembicaraan di Manila dan Tokyo tidak bisa
menyelesaikan masalahnya. Ia mengakui dengan jujur bahwa konfrontasi dengan
Malaysia, menyakitkan.
Jones mengatakan bahwa ia sampai kepada satu kesimpulan: "Karena tidak ada
penyelesaian politik (mengenai Malaysia), militer Indonesia bertekad melanjutkan
konfrontasi, tapi dengan hati-hati akan mencegah eskalasi menjadi sengketa besar.
Bagaimana pun akan diusahakan lewat penyelesaian politik. Nasution setidaknya
sadar akan bahaya komunis dan karenanya mementingkan pembinaan ke dalam,
agar militer Indonesia sudah siap kalau tantangan datang. Tentara Indonesia
dipercaya, masih anti kominis. Meski pun demikian, ia menghindari dengan keras
tentang kemungkinan tentara ambil alih kekuasaan, sekali pun masalah ini sudah
menjadi issue".
Jones menganggap pembicaraan ini konstruktif dan tidak pernah sekali pun Nasution
menyatakan permintaan bantuan, kalau krisis datang.
"Saya rencanakan", kata Jones, "untuk menghubungi lain-lain Jenderal dan yang
pertama dengan Jenderal Yani"
Jones melaporkan bahwa, Nasution menyatakan kepada saya, kata laporan Jones,
"secara rahasia Angkatan Darat sedang mengembangkan suatu rencana
istimewa untuk mengambil alih kekuasasn, yaitu pada saat Sukarno turun".
812
Catatan lain dari H. W. Brands (The Journal of American History) mengatakan, 2
minggu kemudian Jones bertemu lagi dengan Nasution yang meyakinkan kepadanya
bahwa militer Indonesia tetap pro Amerika dan anti PKI.
Jones melaporkan juga bahwa dalam satu pertemuan seorang stafnya dengan
Jenderal Parman, ia telah mendiskusikan suatu rencana dengannya. Dikatakan,
sekali pun sudah ada rencana sehubungan dengan era post Sukarno, sentimen kuat
memang tumbuh di antara golongan penting pimpinan puncak tentara, untuk ambil
alih kekuasaan sebelum Sukarno meninggal. Kapan hal ini terjadi, tergantung dari
perkembangan beberapa minggu mendatang. Tekanan-tekanan yang saling
bertentangan tumbuh dengan cepat dan menurut pendapat Parman, Angkatan Darat
mungkin akan mengambil tindakan dalam waktu 30 sampai 60 hari, untuk
menghalangi kegiatan PKI.
Kaum komunis sedang membangun kekuatan para militer dan mulai mempersenjatai
kekuatan itu. Inte I tentara telah mengetahui lokasinya dan merencanakan sesuatu
untuk menjalankan isolasi segera terhadap pusat kekuatan itu, kalau detik-detik
bertindak sudah tiba.
Tapi dikatakan, tidak ada sentimen di antara kepemimpinan militer untuk bergerak
terhadap Sukarno. Kalau tentara bergerak, mungkin melakukan fait a acompli, coup
akan dilakukan sedemikian rupa untuk mempertahankan kepemimpinan Sukarno.
Mereka yang mengeritik kepemimpinan Sukarno sekali pun,- berpendapat bahwa
tidak ada kemungkinan akan berhasilnya sesuatu coup terhadap Sukarno. Ia masih
dicintai oleh rakyat.
Demikian laporan Jones yang disampaikan ke Gedung Putih di Washington pada
tanggal 3 Juni 1964.
Jones menyatakan kesannya: "Dalam pembicaraan itu Nasution menyadari, bahwa ia
tidak perlu terkejut, oleh pandangan yang saya kemukakan kepadanya".
Menurut buku "Indonesia Crisis and Transformation 1965- 1868" yang ditulis oleh
Marshall Green sesudah ia bertugas sebagai Duta Besar AS di Jakarta,44) rasa anti
Amerika yang dikobarkan oleh Sukarno mencapai puncaknya pada bulan Mei 1965.
Sebelumnya, pada awal tahun 1965, Rl menyatakan keluar dari keanggotaan PBB.
Selain itu Indonesia juga makin dekat dengan RRT, Korea Utara dan Vietnam Utara.
Di luar negeri Sukarno juga sedang hebat hebatnya meng- galang persatuan
negaranegara berkembang Asia dan Afrika guna menentang kaum imperialis.
44) Ringkasan dan resensi buku itu dimuat dalam harian "Suara
Pembaruan" Jakarta berturut-turut tanggal 15, 16, 17 dan 18 Juni 1991
yang ditulis oleh wartawannya di Amerika Albert Kuhon. Kemudian
terjemahan buku itu dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh "Grafiti".
Jakarta, 1992.
813
Di dalam negeri, Sukarno menolak bantuan Amerika yang disalurkan lewat program
USAID (United State Aid), serta mengisyaratkan kemungkinan pengambil-alihan
perusahaan Amerika Serikat seperti Calltex, Stanvac, Good Year dan Union Carbide.
Pada saat-saat seperti itulah Marshall Green ditawari jabatan Duta Besar di
Indonesia, menggantikan Howard Jones yang pensiun. Waktu itu ia menjabat Deputy
Asisten Menteri luar negeri AS untuk Wilayah Timur Jauh, mendampingi sahabatnya
sejak kecil, William Bundy, yang menjabat Asisten Menteri Luar Negeri untuk wilayah
Tirnur Jauh. .
Waktu itu Presiden Amerika Serikat dijabat oleh Lyndon Johnson. Dalam banyak hal
langkah Duta Besar Howard Jones dinilai terlalu membela Sukarno. Bahkan
hubungan Jones dengan Sukarno dianggap terlalu dekat, sehingga menutupi
buruknya hubungan antara Rl dengan Pemerintah AS. Jones pula yang membujuk
Sukarno agar bersedia menerima Marshall Green sebagai Duta Besar AS untuk
Indonesia. Walau pun ketika itu Sukarno tegas- tegas mengatakan kepada pers
bahwa Green yang dicalonkan menggantikan Jones, bukan NEFOS (New Emerging
Forces), bahkan disebutnya Green adalah tokoh yang amat dekat dengan CIA.
Setelah ada isyarat bisa diterima oleh Jakarta, maka Marshall Green diambil
sumpahnya di Gedung Putih sebagai Duta Besar, pada tanggal 11 Juni 1965.
Marshall Green dan Lisa, istrinya, serta putera bungsu mereka Grampton (14),
berangkat ke Jakarta 13 Juli 1965. Mereka terbang melalui Honolulu dan Hongkong.
Wakil Dubes AS di Jakarta, Frank Gilbraith, ketika itu mengirim kabar ke
Washington, agar keberangkatan Green ditunda. Situasi agak keruh karena di Jakarta
sedang berlangsung demonstrasi besar- besaran menentang kehadiran Marshall
Green. Kabar itu diterima oleh Green di perjalanan. Akibatnya, Green rnenunggu
sekitar seminggu di Hongkong, baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Jakarta.
Mereka beruntung karena pesawatnya tertunda lagi di Singapura selama 2 jam.
Pesawat tersebut baru tiba di Jakarta larut malam dan para demonstran yang
menunggunya sudah menghilang. Bandar Udara ketika itu dijaga ketat, rombongan
Marshall Green dikawal sampai kediaman Duta Besar AS di daerah Menteng.
Poster-poster, menentang kehadiran Green masih tampak di berbagai tempat dalam
perjalanan dari Bandar Udara Kemayoran ke tempat kediamannya di Jakarta Pusat
kediamannya di Jakarta Pusat.
Sebagai layaknya pendatang baru, Green mengunjungi 3 Menteri untuk berkenalan,
yaitu Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio, Menteri Koordinator
Pertahanan/Keamanan Jenderal A.H. Nasution dan Menteri Negara Adam Malik.
Green menilai Subandrio sebagai pelaksana politik yang cerdik dan merasa
berpeluang besar menggantikan Presiden Sukarno. Jenderal Nasution dicatatnya
sebagai pejuang yang menentang komunisme. Sedang Adam Malik merupakan
814
politisi dan diplomat pendukung Sukarno, namun melihat betapa PKI
menyelewengkan semua keputusan dan pendapat Sukarno.
Marshall Green menuturkan betapa Duta Besar Jepang di Jakarta, Shizo Saito
mempunyai jalur khusus ke Istana Merdeka, berkat bantuan Dewi, istri (wanita
Jepang) ketiga Sukarno, Saito sempat membantu Green pada awal penugasannya
sebagai Duta Besar AS di Indonesia.
Tulis Green: Setidaknya ada beberapa kesan yang menggores sangat dalam ke
hatinya. Pertama, waktu ia membacakan dan menyerahkan Surat Kepercayaan dari
Presiden AS kepada Presiden Sukarno dalam upacara resmi di Istana Merdeka 26
Juli 1965, lima hari setelah rombongannya tiba di Jakarta. Sukarno dalam pidato
sambutannya menyerang kebijaksanaan politik luar negeri Pemerintah
AS, sehingga ia merasa amat tersinggung. Sebenarnya ia ingin meninggalkan begitu
saja upacara itu, tapi tak berani melakukannya, karena takut dikenai persona non
grata.
Green secara diplomatis membalas dengan menggoda Ny. Supeni, seorang pejabat
tinggi Departemen Luar Negeri Rl yang hadir dalam upacara itu. Dubes Green
mengatakan betapa Ny. Supeni yang mengenakan kebaya hijau itu (green) memiliki
daya tarik yang sangat hebat, sehingga ia tak sempat menangkap kalimat-kalimat
terakhir yang diucapkan oleh Sukarno. Maksudnya, bagian yang menyerang
kebijaksanaan luar negeri AS. Godaan itu diucapkan dengan suara yang sangat
keras, sehingga tertangkap oleh mikrofon dan terdengar oleh seluruh hadirin. Tentu
saja suasana jadi tegang.
Tindakan Green ini ternyata berbuntut. Beberapa jam kemudian, ribuan demonstran
berkumpul di dekat kediaman Duta Besar Green. Wakil demonstran yang diterima
oleh Green mengemukakan banyak hal mengenai imperialise Amerika Serikat, CIA
dan berbagai hal lainnya yang mengecam Amerika Serikat.
Kesan kedua yang diterima oleh Green dari Sukarno adalah betapa seringnya ia
dikata-katai sebagai orang yang menolak sebutan sebagai Marshall of Air Force
(Marsekal Udara). Karenanya Sukarno di hadapan orang banyak beberapa kali
menyebut Green sebagai Marshall of CIA (Marsekal Intelligen AS).
Bulan September 1965, hubungan Rl dengan beberapa negara tertentu memburuk,
terutama dengan AS. Green segera mengirim telegram kepada Menteri Luar Negeri
Dean Rusk di Washington meminta, supaya menyampaikan ultimatum kepada
Indonesia. Isi ultimatum dirancang oleh Green sendiri. Bunyinya: Segala bentuk
pengrusakan terhadap harta diplomatik dan konsuler AS, akan mengakibatkan
ditutupnya Konsulat Jenderal Rl di New York serta tempat-tempat lainnya di Amerika
Serikat. Green sengaja menekankan penutupan Konsulat Jenderal Rl di New York,
karena ia tahu, Menlu Subandrio dan sebagian besar anggota Kabinet Indonesia
ketika itu, mengharapkan peran khusus Konjen Rl di New York dalam bidang
815
keuangan. Ultimatum yang diharapkan, didapat dari Washington dalam waktu kurang
dari 24 jam. Green menyampaikannya kepada Dr. Subandrio tanggal 13 September
1965.
Ternyata Subandrio tidak marah menerima ultimatum itu. Bahkan menanyakan
hal-hal apa yang bisa dibantu oleh Pemerintah Indonesia.
Sejak itu tidak pernah ada lagi demonstrasi terhadap Kedutaan AS sampai akhir
1965.
Menyinggung peristiwa G30S/PKI, analisis pertama dari Kedutaan Besar AS di
Jakarta mengatakan, gerakan itu dilakukan oleh PKI karena khawatir mengenai
kesehatan Sukarno yang memburuk. Karenanya, PKI buru-buru bertindak menghabisi
lawan-lawannya di lingkungan Angkatan Darat, selama Sukarno masih bisa
melindungi PKI. Jika Sukarno harus turun dari kepemimpinan negara, PKI berasumsi
bahwa Angkatan Darat tak punya lagi kesempatan untuk menyaingi komunis.
Analisis kedua dari pihak Kedutaan Besar, adalah kecurigaan mereka terhadap peran
Sukarno dalam coup d'état. Green menyatakan, kecurigaan itu antara lain disebabkan
oleh munculnya Sukarno di Halim Perdanakusumah, di mana berada para perencana
coup d'état. Green menambahkan, keterlibatan Sukarno dalam pembunuhan para
perwira tinggi AD, dimungkinkan karena merekalah yang sejauh ini menghalangi
Sukarno mencapai tujuan NASAKOM.
Analisis ke tiga, menurut Green, yang lebih dicurigai lagi adalah pihak Cina Komunis.
Pihak Cina tahu daftar nama para Jenderal yang terbunuh pada pukul 11 siang 1
Oktober 1965, satu jam sebelum daftar itu diumumkan di Jakarta. Dalam daftar yang
diperoleh Cina, terdapat nama Jenderal A.H. Nasution sebagai yang terbunuh,
sehingga muncul dugaan daftar Jenderal yang akan dijadikan sasaran, sebenarnya
sudah ada di tangan pihak Cina sebelum G30S/PKI meletus.
Dua hari setelah Marshall Green kembali dari Washington berkonsultasi dengan
Presiden Lyndon Johnson, wakil Presiden Hubert Humprey serta Menlu Dean Rusk,
tepatnya 7 Maret 1966, Presiden Sukarno berpidato di muka umum yang menyatakan
Marshall Green akan di usir dari Indonesia. Tanggal 8 Maret 1966, kedutaan Besar
AS di jalan Merdeka Selatan diserbu demonstran yang pro Sukarno.
Dikatakan oleh Green, International Governmental Group on Indonesia (IGGI)
merupakan realisasi dari rencana Deputy Asisten Menteri Luar Negeri AS, Robert
Barnett pada awal tahun 1966.
Dalam resepsi memperkenalkan bukunya "Indonesia Crisis and Transformation
1965-1968" di Gedung Asia Society Washington awal Juni 1991, Marshall Green
mengatakan bahwa tujuannya menulis buku itu, terang-terangan ia sebutkan untuk
membantah tuduhan sebagian pihak mengenai keterlibatan AS dalam pembantaian
816
kaum komunis di Indonesia. "Amerika sama sekali tidak ikut campur dalam soal itu.
Indonesia menyelesaikan kemelutnya dengan kemampuannya sendiri", kata Green.
Marshall Green menunjukkan ketersinggungannya karena dituduh sebagai pihak yang
bekerja untuk CIA. Tapi sebaliknya dalam kata sambutan di bagian awal buku karya
Green itu, seorang rekan sejak kecilnya yang kemudian menjadi atasan Green,
Asisten Menlu AS, William P. Bundy, mengakui bahwa Green pernah bekerja di
lingkungan CIA.
Wartawan "Suara Pembaruan " menutup resensinya sehubungan dengan apa yang
dituliskan dalam buku itu, Green sama sekali tidak menyebut nama George Benson.
Disekitar meletusnya G30S/PKI tahun 1965, Benson adalah seorang atase di
lingkungan Kedutaan Besar AS yang mempunyai hubungan khusus dengan beberapa
tokoh militer Indonesia. Green cuma mengatakan, salah seorang atasenya yang
bernama Willis Ethel, mempunyai hubungan istimewa dengan ajudan Jenderal A.H.
Nasution.
Buku Green ini bisa menjadi pelengkap khazanah sejarah Indonesia, tapi tentu saja
diperlukan kepastian akan kebenaran dan keruntutan urainnya, kata Albert Kuhon
(Wartawan "Suara Pembaruan"), menutup tulisannya.
Apa yang dikutip di sini hanya bagian-bagian yang terpenting saja.
Pengakuan Marshall Green di atas, membuktikan betapa beralasannya kecurigaan
Bung Karno bahwa Amerika memang campur tangan mengenai persoalan dalam
negeri Indonesia dengan tujuan akhirnya menggulingkan Presiden Sukarno yang
terlalu anti imperialisme dan kapitalisme yang justru menjadi strategi dasar politik
global Amerika Serikat.
Bung Karno yang tadinya sudah bulat sikapnya menolak kehadiran Marshall Green,
kemudian merubah sendiri sikap itu setelah dicairkan oleh Subandrio. Memang
dikemudian hari menimbulkan pertanyaan juga, apa yang tersembunyi di balik peran
Subandrio itu, yang sangat kuat mendesak Bung Karno supaya jangan. menolak
Marshall Green?
Kelemahan Bung Karno, karena ia sendiri ambivalent (mendua) dalam sikapnya,
sebagaimana umumnya orang-orang yang bernaung di bawah bintang Gemini, dan
masih berpikir dapat merubah sikap agresif Amerika Serikat, jika saja ia memberikan
konsesi. Padahal konsesi itu terbukti tidak menolong apa-apa.
Cerita tentang penerbang Amerika, Allan Pope yang disewa oleh kaum pemberontak
PRRI/PERMESTA dan dalam satu kali serangan saja sudah mernbunuh 700 rakyat di
Ambon, akhirnya di ampuni oleh Bung Karno dengan menggunakan hak
prerogatipnya sebagai Presiden, meski pun dengan imbalan yang tidak seimbang
dengan subversi AS di Indonesia, adalah sebuah contoh. Juga kemurahan hati Bung
Karno ini, sama sekali tidak merubah politik Amerika Serikat terhadap Indonesia.
817
Tentu maksud Bung Karno hendak menunjukkan bahwa ia ingin nunjukkan bahwa ia
ingin bersahabat dengan Amerika, tanpa memahami lebih jauh strategi politik
Amerika yang justru hendak meruntuhkan kepemimpinannya.
Ada baiknya kita kaji kembali kisah kebaikan hati Bung Karno menyelesaikan kasus
Allan Pope.
"Di satu pagi hari Minggu bulan April 1958" kata Bung Karno, penerbang Amerika,
Allan Pope, yang disewa oleh kaum pemberontak PRRI/PERMESTA, melakukan
serangan terhadap pulau Ambon, menyerang sebuah Gereja dan gedung itu hancur,
yang di dalamnya jama'at sedang melakukan kebaktian dan terbunuh semua. Juga
ditenggelamkannya sebuah kapal Republik dan semua awak kapal mengalami nasib
yang malang. Serangan pagi itu telah membunuh 700 rakyat yang tak berdosa.
Prajurit-prajurit kita yang menggunakan meriam penangkis serangan udara yang
sudah tua menembak jatuh pesawat B-25 dan penerbangnya, Allan Pope, jatuh di
pohon kelapa. Sebelah kaki dan tulang pahanya patah. Ia harus bersyukur karena
jiwanya diselamatkan oleh Republik, ia diangkut ke rumah sakit.
Bung Karno menanyakan kepada Duta Besar Amerika Serikat, mengapa penerbang
itu memerangi kami?
Jawab sang Duta Besar: "Oleh karena dia dengar tuan komunis dan dia hendak
menyumbangkan tenaga dalam perjuangan melawan komunisme".
Surat-surat Pope yang ditemukan di tempat dia jatuh, menyatakan bahwa ia seorang
penerbang yang diberi ijin untuk angkutan udara sipil dengan menjelaskan haknya
untuk menggunakan lapangan terbang Clark di pangkalan Amerika dekat Manila.
Bung karno yakin, Allan Pope seorang agen CIA, meski pun tidak ditemukan bukti
yang tertulis. Tentu ia tidak ; sebodoh itu untuk membawa bukti-bukti yang dapat
memberatkan dirinya.
Di setiap negara yang baru berkembang, orang akan melihat agen-agen Amerika
banyak berkeliaran. Kami pun melihat mereka berkeliaran di Jakarta, kata Bung
Karno.
Isteri Allan Pope, bekas pramugari pada perusahaan penerbangan PAN American
Airways datang kepada Bung Karno dan menerimanya Dia menangis mencurahkan,
seluruh kesedihannya dan memohon supaya suaminya diampuni. Bung karno tidak
dapat memandangi air mata seorang perempuan, sekali pun dia seorang asing.
Kemudian ibu dan saudara perempuannya juga datang dengan sedu-sedan yang
melebihi dari perasaan yang dapat ditahankan oleh Bung Karno.
818
Saat itu Allan Pope sudah keluar dari rumah sakit setelah dokter- dokter Indonesia
menyelamatkan jiwanya tanpa memotong kakinya. Ia sedang berada dalam tahanan
rumah menunggu pemindahannya ke penjara tentara untuk dihukum mati.
Tapi Bung Karno menyampaikan kepadanya: "Atas kemurahan hati Presiden
Republik Indonesia, engkau diberi ampun. Putusan ini dilakukan secara diam-diam.
Saya tidak menghendaki propaganda mengenai hal ini. Pergilah dan sembunyikan
dirimu di Amerika Serikat dengan diamdiam. Jangan bikin cerita-cerita sensasi di
surat-surat dan sembunyikan dirimu di Amerika Serikat dengan diam-diam. Jangan
bikin cerita-cerita sensasi di surat-surat kabar. Jangan buat pernyataan-pernyataan.
Pulanglah, sembunyikan dirimu, kami akan melupakan semua yang telah terjadi".45)
45) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 400-402
Begitu besar kemurahan hati Bung Karno, sampai-sampai ia menggunakan hak
prerogatipnya mengampuni agen CIA yang telah membunuh ratusan mungkin ribuan
rakyat Indonesia dan menenggelamkan banyak kapal Republik.
Tergerakkah hati Pemerintah Amerika Serikat untuk membalas budi baik Bung Karno
dengan menghentikan subversinya di Indonesia? Tidak! Justru Amerika meningkatkan
kegiatannya hendak menggulingkan Bung Karno.
Namun cukup mengejutkan pengakuan Ladislav Bittman, bekas kepala Departemen
VIII Dinas Intelligen Cekoslowakia dalam bukunya "The Deception Game" -permainan
curang-yang kemudian disadur ke dalam bahasa Indonesia oleh Oejeng Soewargana.
46) Digambarkannya bahwa Dinas Intelligen Cekoslowakia dan KGB (Dinas Intelligen
Uni Sovyet), pada saat- saat pengganyangan Amerika di Indonesia, nimbrung
memancing di air keruh.
46) Diterbitkan oleh PT. Tjandramerta, Jakarta, 1973.
Pengakuan itu mengatakan, Mayor Louda seorang perwira senior intel Ceko yang
beroperasi di Indonesia, menyampaikan dokumen-dokumen palsu kepada
pejabatpejabat Indonesia, pimpinan partai-partai politik dan pers, yang langsung
memper- cayainya. Adegan dimulai dengan menyampaikan informasi palsu kepada
Duta Besar Rl di Praha (yang tidak disebut namanya), mengenai apa yang
dinamakannya "Operasi Palmer". Sang Duta Besar yang katanya juga seorang
perwira intelligen BPI (Badan Pusat Intelligen), percaya kepada informasi itu dan
meneruskannya ke Jakarta, karena memang pesan Mayor Louda, harus diketahui
oleh Subandrio dan Bung Karno.
Akibatnya, bukan Bill Palmer saja yang menghadapi kesulitan, juga "Peace Corps"
Amerika yang banyak melatih di bidang olah raga, dituduh menjadi mata-mata CIA,
diusir dàri Indonesia.
819
Pada akhir bulan Maret 1965, Presiden Lyndon B. Johnson mengirim wakil khusus ke
Indonesia, Ellsworth Bunker, untuk mengusahakan peredaan ketegangan antara
Amerika dengan Indonesia. Misi Bunker gagal dan sesudah ia pulang, permusuhan
terhadap AS makin menjadi-jadi.
Pada bulan April 1965 datang di Jakarta seorang Armenia yang tinggi langsing,
dengan rambut dan kumis yang sudah mulai ubanan, sikapnya aristokratis dan tidak
banyak menarik perhatian orang. Padahal dia sebenarnya Jenderal Agayant, kepala
Departemen Berita berita Palsu KGB yang bekerja sama dengan Dinas Rahasia
Cekoslowakia. Dia merasa puas melihat hasil- hasil yang dicapai oleh "Operasi
Palmer". Hasilnya, hubungan Indonesia-Amerika telah mencapai taraf yang sangat
kritis.
Tanpa takut kemungkinan akan diketahui bahwa sumber kampanye anti Amerika
didapat dari Dinas Berita Palsu Blok Sovyet, Jenderal Agayant memerintahkan siaran
luar negeri Radio Moskow yang ditujukan ke Indonesia, meningkatkan
siaran-siarannya dengan komentar-komentar yang sebelumnya sudah terbukti sangat
berhasil. Salah satu komentar yang disiarkan 3 Juni 1965, merupakan contoh yang
dinilai baik.
Kutipannya sebagai berikut:
"Pendengar-pendengar yang terhormat! Anda tentu banyak mengetahui tentang
kegiatan-keg atan subversif yang dilakukan oleh United States Intelligence Agency
(Dinas Intelligen AS). Sejumlah besar agen-agen rahasianya ditempatkan di seluruh
dunia Dalam mempekerjakan agen-agen yang dapat dilukiskan sebagai
"pembunuh-pembunuh tersembunyi" (the knights of cloak and dagger), ahli-ahli
subversi Amerika Serikat mengarahkan perhatian khusus mereka ke negara-negara
Asia dan Afrika. Mereka sedang berusaha keras untuk mengubah suasana politik di
negara-negara tersebut dengan subversi.
Sebagai biasa, agen-agen rahasia CIA mendapat dukungan pasukan-pasukan AS di
seluruh duriia. Hal ini dapat dibuktikan dengan kejahatan-kejahatan AS di Vietnam,
Laos dan Konggo.
Telah diketahui, bahwa sejak lama CIA merencanakan kejahatan- kejahatan yang
sama di Indonesia. Belum lama berselang seorang agen rahasia CIA yang
kerkemuka, Bill Palmer, telah tertangkap basah. Ia mengatur sebuah jaringan
komplotan baru Palmer adalah seorang agen rahasia kawakan la menyamar sebagai
wakil dari AMPAI (American Motion Picture Association in Indonesia). Selama 19
tahun ia melakukan kegiatan-kegiatan subversi di Indonesia. Menurut berita-berita
pers, Palmer memelihara hubungan-hubungan yang luas di Indonesia la
menggunakan dana yang di sediakan oleh CIA dan iuran yang dikumpulkan dari
pemutaran film-film Amerika di Indonesia, yaitu film-film yang mempropagandakan
imperialisme dan aspek-aspek penghidupan Amerika, untok menyogok agen-agen
820
rahasia Indonesia dan Amerika dan untuk membiayai unsur-unsur anti revolusioner
yang merencanakan komplotan-komplotan.
Tugas Palmer yang paling penting ialah merencanakan pemberontakanpemberontakan di Indonesia antara tabun 1957 dan 1959, yang mengakibatkan
hilangnya banyak harta benda dan ribuan jiwa orang Indonesia
Palmer telah mengadakan kontak dengan pemimpin-pemimpin pemberontak seperti
Simbolon, Kawilarang dan lain-lain di Bungalawnya di Puncak Palmer telah
menyerahkan uang kepada mereka dan memberi nasehat Palmer di Bungalawnya
juga telah mengatur sebuah pertemuan antara pimpinan CIA, Allen Dulles, dan
pemimpin-pemimpin jaringan spionase, di mana mereka merencanakan komplotan
untuk membunuh Presiden Sukarno dalam tabun 1957.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, Palmer giat sekali mengumpulkan
orang-orang kontra-revolisioner di Indonesia untuk merencanakan
petualangan-petualangan baru. Disamping itu ia merongrong perkembangan ekonomi
Indonesia dengan gerakan subversi dan sabotase. Memang tepat, jika Indonesia
menuduh CIA dan Palmer sebagai Indonesia dengan gerakan subversi dan
sabotase. Memang tepat, jika Indonesia menuduh CIA dan Palmer sebagai otak
subversi pada kedudukan-kedudukan militer di Jawa dan Sumatera akhir bulan Maret
dan awal bulan April yang baru lalu, yang mengakibatkan banyak korban jiwa.
Kegiatan-kegiatan subversi di Jawa dan Sumatera dilaksanakan pada saat utusan
Gedung Putih, Michael Forrestal, berada di Indonesia. Kantor berita Perancis AFP
(Agency France Press) menghubung- hubungkan subversi di Jawa dan Sumatera itu
dengan kunjungan Forrestal. Sangat besar kemungkinannya, Forrestal
mengharapkan akan dapat menggunakan subversi itu sebagai alasan untuk
melakukan tekanan-tekanan pada Pemerintah Indonesia dan memaksa Presiden
Sukarrio supaya membatalkan maksudnya menasionalisasi perusahaan- perusahaan
asing, termasuk perusahaan-perusahaan AS di Indonesia.
Pembukaan kedok Palmer mengungkapkan pula kegiatan-kegiatan yang tidak
pantas, yang di lakukan oleh Duta Besar Howard Jones di Indonesia. Seperti
diketahui, Howard Jones telah dipanggil pulang beberapa waktu yang Ialu untuk
menghapus kegiatan-kegiatannya yang ilegal Jones telah menterapkan kolonialisme
AS di Indonesia selama kira-kira 7 tahun la sendiri telah ikut serta mengorganisasi
pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia dan memelihara
kontak dengan agen-agen CIA serta memimpin kegiatan-kegiatan subversif mereka
Seperti ditulis oleh wartawan-wartawan Ross dan Wise dalam buku mereka "The
Invisible Government" (Pemerintahan yang tidak nampak), Jones telah mengambil
bagian dalam komplotan-komplotan CIA di Indonesia. Ia mengetahui perincian siasat
C/A untuk memberikan senjata kepada kaum pemberontak di Sumatera dan Jawa.
Ia sendiri juga terlibat dalam pemberian senjata itu. Sejumlah besar kegiatan
subversif yang dilakukan agenagen C/A di bawah pimpinan Palmer, yang
821
berlangsung di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini, telah mendapat
persetujuan Jones Pers International telah memuat artikel-artikel mengenai
keterlibatan Jones dalam komplotan untuk membunuh Presiden Sukarno di Teluk
Sulawesi
Duta Besar Amerika, Howard Jones, menyerahkan jabatannya kepada Marshall
Green. Jones akan mengepalai apa yang dinamakan " East-West Center" di Hawai.
Palmer telah meninggalkan Indonesia karena takut akan pembalasan. Jones juga
akan meninggalkan Indonesia, tetapi jaringan CIA tetap tinggal di Indonesia. Rakyat
Indonesia selalu menuntut, agar pengaruh modal AS dan kegiatan-kegiatan CIA di
Indonesia di hentikan "
Demikian siaran radio Moskow.
Buku "The deception game" juga mengatakan bahwa dokumen Gillchrist, Duta Besar
Inggris di Jakarta, yang terkenal itu, katanya diproduksi oleh Dinas Rahasia Blok
Sovyet, berupa sebuah surat kepada Kementerian Luar Negeri di London, yang
dialamatkan kepada Sir Harold Cassia, Sekertaris Muda Kementrian Luar Negeri di
London bertanggal 24 Maret 1965.
Dokumen itu katanya, diteruskan kepada Wakil Perdana Menteri/ Menteri Luar Negeri
Dr. Subandrio dan Presiden Sukarno. Antara lain isinya seperti yang dikutip oleh
Ladislav Bittman sebagai berikut:
Saya telah mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Duta Besar Jones
mengenai masalah yang tersebut dalam surat No. 67785/65. Duta Besar Jones pada
pokoknya sepakat dengan pendirian kita. Akan tetapi ia meminta lebih banyak
waktu untuk mempelajari persoalan itu dari berbagai segi.
Menjawab sebuah pertanyaan, pengaruh apa yang akan timbul dari kunjungan
Bunker, utusan istimewa Presiden Johnson ke Jakarta untuk membicarakan
masalah perbaikan hubungan Amerika-lndonesia, Duta Besar Jones mengatakan,
bahwa ia tidak melihat suatu kemungkinan untuk memperbaiki keadaan, dan bahwa
hal itu akan memberikan waktu kepada kita untuk membuat persiapanpersiapan
yang lebih mantap. Duta Besar Jones juga mengingatkan perlunya mengambil
langkah-langkah baru untuk menciptakan koordinasi yang lebih baik dan ia
mengatakan, tidak perlu menekankan keharusan membuat rencana itu menjadi
sukses. Saya telah berjanji akan membuat persiapan- persiapan yang diperlukan dan
saya akan melaporkan pendapat saya mengenai masalah ini dalam waktu yang tidak
begitu lama. 47)
Yang dimaksud ialah serangan bersama terhadap Indonesia dari
pangkalan-pangkalan di Malaysia.
Surat itu disangkal oleh Inggris.
822
47) Baca: Ladislav Bittman, Permainan Curang, bab: Bumerang
Indonesia, hal. 123-141. 197
Dari pengakuan Ladislav Bittman, menunjukkan bahwa Dinas Rahasia Cekoslowakia
dan KGB (Sovyet) juga ikut terlibat mendorong meletusnya G30S/PKI, meski pun
diakui kemudian bahwa tindakan itu menjadi bumerang, karena akibatnya melampaui
apa yang direncanakan. Rencana mereka hanyalah hendak menunggangi situasi anti
Amerika yang meningkat di Indonesia untuk menghancurkan sama sekali pengaruh
AS di negara tersebut.
Akibat yang tidak mereka perhitungkan, justru yang hancur Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Tapi seorang cendekiawan Inggris, Neville Haxwell, menemukan sepucuk surat dari
seorang Duta Besar Pakistan di Paris yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri
Pakistan waktu itu, Zulfikar Ali Bhuttho, yang melaporkan ucapan seorang pejabat
Belanda di Nato pada bulan Desember 1964 yang mengatakan bahwa Indonesia akan
jatuh ke tangan Barat seperti apel busuk. Agen- agen intelligen Barat punya rencana
untuk mengorganisasi "premature communist coup" (kup komunis pradini), untuk
memberi peluang kepada Angkatan Darat menumpas PKI dan menjadikan Sukarno
sebagai sandera.48)
48) New York Review of Books, Juni 1978
Seorang peneliti, Geofrey Robinson (Boston, AS) dalam makalahnya "Some
Arguments Concerning S. Influence and Complicity in Indonesia coup of October 1,
1965" (1990) mencatat bahwa surat Gillchrist yang kesohor itu terlihat sebagai
dokumen yang tidak mengherankan dan akibat-akibatnya sama sekali bukan tak
masuk akal. Apa yang dinamakan surat Duta Besar Inggris di Jakarta, Sir Andrew
Gillchrist kepada Departemen Luar Negerinya, dilaporkan berisi alinea:
.........Akan baik untuk menekankan sekali lagi kepada para sahabat kita di
dalam Angkatan Darat, (our local army friends, pen.) bahwa kehati-hatian
yang paling seksama, disiplin dan koordinasi, adalah esensial dari suksesnya
usaha. 49)
49) New York Review of Books, Mei 1978
Orang-orang Inggris dan Amerika menyatakan bahwa surat ini palsu dan memang
barangkali begitu. Tapi siapa yang memalsunya? Pada umumnya diperkirakan bahwa
surat ini dimasak oleh jaringan Intelligen Subandrio yang akan digunakan dalam
pertarungan politik di dalam negeri menghadapi Angkatan Darat dan sudah tentu juga
menghadapi Inggris (dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia). Tapi surat itu juga
berguna (meski pun dikatakan palsu) untuk mempolarisasi politik Indonesia dan
membuat PKI waspada terhadap desas-desus kemungkinan kudeta tentara. Sampai
sejauh itu, ia juga agak berguna bagi tujuan-tujuan politik AS dalam menenangkan
823
krisis politik ke arah yang tak terhindarkannya bentrokan antara Angkatan Darat dan
PKI.
Tapi jika dokumen Gillchrist itu di balik menjadi pemalsuan CIA dan sengaja
diedarkan untuk menghasut PKI dan Sukarno, kita akan punya bukti yang
meyakinkan bahwa usul-usul pemerintah AS dan CIA, telah benar-benar dilaksanakan
dengan atau melalui dokumen itu.
Nyatanya, kita tidak punya bukti bahwa dokumen Gillchrist adalah produk CIA. Yang
ada hanya bukti-bukti lingkungan keadaan dari upaya-upaya intelligen luar negeri
untuk menggerakkan polarisasi dan saling curigamencurigai di kalangan
pengomplot-pengomplot kudeta, bulan dimana surat Duta Besar Pakistan beredar,
Chaerul Saleh dianggap taruhan anti komunis yang baik oleh CIA, karena ia
membongkar dokumen adanya rencana kudeta PKI 50)
50) Ruth McVey, Korespondensi pribadi dengan George Kahin,
Benedict Anderson dan Prederick Bunnel. Namun "Harian Rakyat"
(harian PKI 2 Januari 1965, mengatakan bahwa dokumen yang
dimaksud adalah palsu.
Ini dapat dimengerti karena kerjaan Chaerul Saleh itu, dianggap sebagai gerak awal
dari Intelligen Barat untuk mengembangkan suasana curiga-mencurigai sehubungan
dengan tanda-tanda bahaya dari "kiri" yang direncanakan untuk membangkitkan dan
mempercepat reaksi Angkatan Darat. Surat Gillchrist dan kemudian desas-desus
tentang akan adanya kup "Dewan Jenderal", kedua- duanya telah sengaja diedarkan
untuk menghasut PKI masuk ke dalam komplotan mengadakan "kup pradini" atau
apa yang dikenal dengan "kup Untung". Apa pun nilainya, suratsurat ini bersamasama dengan bukti-bukti yang menyangkut CIA dan usul-usul pemerintah AS
mengenai ancaman komunis, telah memberikan sejumlah kepercayaan kepada
interpretasi yang memasukkan kegiatan AS dan asing lainnya, sebagai kegiatan
sengaja menghasut atau memprovokasi suatu pertarungan terbuka antara "kiri" dan
"kanan" dengan asumsi bahwa yang "kanan" dapat menang. Ralp McGehee
mengatakan, strategi ini telah menjadi semacam trade mark dari CIA semenjak
1965.5l)
51) Ralp McGehee, wawancara pribadi dengan Geofrey Robinson, Nop.
1983
Namun perlu dicatat bahwa bertahun-tahun sebelum itu, AS dengan ClA-nya sudah
bekerja keras untuk menggulingkan Sukarno, seperti secara terperinci diuraikan di
atas.
Amerika Serikat memang sudah lama menghendaki supaya Indonesia mengikuti
petunjuknya, jangan anti imperialis mau pun kapitalis. Bahkan pemberontakkan
PRRI/ PERMESTA yang dibantu oleh Amerika Serikat, adalah untuk menggulingkan
824
Pemerintah Pusat di Jakarta yang dianggap radikal bersama dengan Sukarno yang
anti imperialis dan anti kapitalis.
Sesudah itu masih bertahun-tahun lagi Amerika Serikat memamerkan dukungannya
terhadap Belanda di PBB, dengan menolak Irian Barat dikembalikan kepada
Indonesia.
Setelah Indonesia mulai menerjunkan gerilyawannya di daratan Irian Barat, dibantu
kapal-kapal selam yang bertebaran diperairan sekitarnya dan bomber-bomber jarak
jauh menyerang sasaran tertentu di Irian Barat, barulah Amerika Serikat mendesak
Belanda supaya menyerahkan saja Irian Barat kepada Indonesia, karena khawatir
sengketa itu akan meluas menjadi konflik internasional.
Karena terlampau kasarnya campur tangan Amerika Serikat terhadap persoalan
dalam negeri Indonesia, maka Pemerintah Indonesia merasa perlu membalas dengan
menasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak dan perusahaan-perusahaan
Amerika lainnya.
Alasan Amerika Serikat bahwa "Sosialisme Indonesia" yang dicanangkan oleh Bung
Karno, dikhawatirkan akan merubah Indonesia menjadi komunis, sangat tidak
realistis. Syarat-syarat untuk menjadi negara sosialis, sama sekali tidak tersedia.
Disamping itu meski pun PKI dikatakan makin kuat dan makin agresif, tapi kekuatan
yang anti PKI jauh lebih besar dan lebih kuat, termasuk ABRI.
Seperti yang ditulis oleh Gabriel Kolko, kontroversi mengenai peran CIA dalam
pergolakan politik di Indonesia Oktober 1965, telah menimbulkan perhatian yang lebih
mendalam oleh adanya dokumen- dokumen rahasia yang terungkap di Amerika yang
memastikan bahwa memang Amerika campur tangan dalam persoalan dalam negeri
Indonesia.
Hanya tuduhan Letnan Kolonel Untung tentang adanya "Dewan Jenderal" yang
disponsori oleh CIA yang akan meng-kup Presiden Sukarno, adalah tuduhan yang
tidak bisa dibuktikan di muka persidangan MAHMILLUB. Juga PKI yang menuduh
seperti itu, tidak bisa membuktikan kebenaran tuduhannya.
Tapi 20 Januari 1965, CIA sudah menyampaikan sebuah memorandum kepada
Pemerintahannya, yang menyatakan bahwa "kita sekarang menghadapi bukan saja
bahaya dari Sukarno, tapi juga ketidak-pastian suatu kemungkinan Indonesia tanpa
Sukarno".
Apa yang dicatat diatas, hanyalah untuk membuktikan bahwa Amerika Serikat
dengan ClA-nya memang selalu terlibat dalam setiap pergolakan dan mencampuri
persoalan dalam negeri Indonesia.
Namun yang cukup menarik bahwa di luar negeri, terus saja terbit banyak buku atau
makalah mengenai G30S/PKI dan hubungannya dengan gerakan menggulingkan
825
Sukarno, bahkan sesudah seperempat abad peristiwa itu, pembahasannya masih
berjalan terus. Sementara di Indonesia sendiri hal ini malah menjadi tabu, kecuali jika
sekedar mencaci maki PKI dan mendiskreditkan Bung Karno tanpa me- ngaitkannya
dengan ulasan yang berpandangan lain.
Terakhir ada lagi makalah yang terbit di luar negeri (1990) mengenai G30S/PKI dan
Keterlibatan Amerika dalam kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia, sebagian besarnya
memuat pembahasan seberapa jauh keterlibatan PKI dalam apa yang dinamakan
kudeta Untung. Masalah ini tetap penting, karena adanya pembenaran yang
bersandar pada penerimaan kalangan politik yang menganggap PKI sebagai partai
terlibat, dan anggapan keterlibatan PKI ini digunakan sebagai dalih membasmi kaum
komunis, bahkan pendukung Sukarno, dan semua anggota organisasi yang berafiliasi
dengan PKI. Dalam waktu kurang lebih 6 bulan sesudah kudeta Untung, antara
500.000 sampai 1.000.000 orang dibunuh dan mendekati 75.000 yang ditangkap dan
ditahan.52)
52) Angka yang dikutip di sini berasal dari Amnesti Internasional
Report, The New York Review of Books, 24 Nopember 1977.
Isu keterlibatan PKI ternyata mempunyai arti lebih luas, karena tampaknya dijadikan
tameng agar orang tidak melihat keterlibatan pelaku lain yang lebih penting, yaitu
Pemerintah A.S. dan berbagai agennya.
Makalah ini dimaksudkan untuk membuka dengan sebuah gambaran singkat
mengenai bukti-bukti "domestik" dan "internal" yang mendukung berbagai penjelasan
alternatif dari kudeta itu. Dengan bahan-bahan tersebut akan tampak lebih terang
pengaruh dari pasang surutnya hubungan AS - RI. Pendekatan yang demikian
diharapkan akan memberikan gambaran yang lebih lengkap, karena akan menarik
perhatian kita kepada akibat-akibat komplementer dari sejumlah faktor dalam negeri
dan internasional, yang memungkinkan kita lebih baik menilai watak dan seberapa
jauh keterlibatan AS dalam peristiwa itu. Lebih-lebih jika hal ini dihubungkan dengan
bantuan militer dan ekonomi dari CIA dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA 1958,
telah lama ada upaya AS menggulingkan Pemerintahan Sukarno.
Pemberontakan daerah-daerah di luar Jawa merupakan hal yang penting bagi
Amerika untuk menetapkan kembali politik dan strateginya terhadap komunisme di
Indonesia. Beberapa Departemen melihat dalam pemberontakan itu, terbuka
kesempatan baik untuk menjatuhkan Pemerintahan Sukarno dan dengan begitu,
menghancurkan komunisme di Indonesia.
Satu catatan lain yang dimuat dalam "The Journal of American History", tulisan H.W.
Brands, dikatakan bahwa dalam pemberontakan di Sumatera (maksudnya:
PRRI/PERMESTA, PEN.), CIA membantu sekitar 300 serdadu yang terdiri dari
orang-orang Amerika, Filipina dan Cina Taiwan, serta beberapa pesawat terbang
transport dan beberapa bomber B-26. 53)
826
53) H.W. Brands, The Limits of Manipulation: How the United States
Didn't Topple Sukarno, The Journal of American History, published by
The Organisation of Historians, Vol. 76 No.3, Des. 1989, hal. 790.
Tahun berbahaya, menurut Geofrey Robinson, ialah tahun terakhir sebelum kudeta
Untung ditandai oleh mengentalnya tiga kecenderungan politik Indonesia yang
kait-mengait. Pertama, politik luar negeri Sukarno yang makin bergeser ke kiri ini
mencerminkan pertumbuhan polarisasi kekuatan politik di negeri itu.54) Kedua,
perjuangan politik yang semakin berlangsung di luar lembaga dan jalur politik
"normal". Ini sebagian besar karena reaksi atas kegiatan Sukarno dan PKI. Ketiga,
selaku musuh utama, Sukarno dan PKI telah semakin menjadi titik peradikalan dan
polarisasi pertarungan politik dalam negeri. AS disini menjadi semacam wakil dari
negara asing lainnya, termasuk Inggris. Ia juga menjadi sasaran ancaman kekerasan
politik yang serius dari kaum kiri.
54) Suasana ini dilukiskan oleh Mortimer sebagai satu "krisis dan
histeria" serta sikap kekerasan yang sudah dipolarisasi dari segmen
penduduk yang sudah dipolarisasikan, hal. 387.
Serangan langsung terhadap Amerika, dimulai oleh Sukarno ketika mengeritik politik
Amerika di Vietnam dan Malaysia dalam pidato 17 Agustus 1964. Kritik-kritik
Sukarno ini telah membuka tutup bendungan banjir dan sikap anti Amerika menjadi
pusat logika politik dalam negeri Indonesia. Misalnya AS dituduh terlibat dalam
komplotan hendak membunuh Sukarno.
Nasehat yang disampaikan oleh Washington kepada Kedutaan Besar AS di Jakarta
sehubungan dengan tuduhan itu berbunyi:
"Hasil yang baik mungkin akan tumbuh dengan sangkalan formal terhadap
keterlibatan AS dalam komplotan pembunuhan. Bagaimana pun juga, kita ingin
menghindar dari tuduhan berat yang tak pantas diucapkan oleh seorang Presiden".
Duta Besar Howard Palfrey Jones diinstruksikan supaya mengemukakan kepada
Sukarno reaksi Presiden Johnson dengan mengatakan bahwa Presiden Johnson
merasa terganggu oleh tuduhan itu dan bahwa ada unsur-unsur jahat yang sengaja
berupaya meracuni suasana kemajuan hubungan antara Indonesia- Amerika yang
telah ditegakkan oleh Kominike Bersama Sukarno dengan Duta Besar Keliling,
Bunker.55)
Dalam konteks pertarungan politik yang demikian, harus dinilai arti penting berbagai
macam desas-desus akan adanya kudeta militer yang didukung AS, CIA dan Inggris
dengan dibantu intervensi militer langsung terhadap Indonesia.
55) Departement of State: Telegram kepada Kedutaan Besar AS . di
Jakarta, 3 Juni 1965, National Security Files, Indonesia, jilid III.
827
Politik anti Amerika yang langsung dan keras telah memaksa pembuat politik di
Amerika mempertimbangkan atau menilai kembali tujuan dan caranya Arnerika
bertindak. Sebuah dokumen CIA bertanggal 26 Januari 1965, terang-terangan
mengatakan bahwa kepentingan Amerika dan Sukarno bertabrakan di hampir setiap
lapangan.56)
56) ClA-Office of National Estimates Special Memorandum No. 4-65
Principle Problems and Prospects in Indonesia", 26 Januari 1965
(Jones File)
Walau pun ada perbedaan mengenai usul berbagai Departemen dan agen-agen,
terdapat pengakuan yang meningkat sepanjang tahun 1965, mengenai sudah
waktunya untuk mengurangi kepercayaan mengenai kemungkinan mempengaruhi
Sukarno dan supaya memulai perencanaan yang serius bagi pemecahan krisis untuk
keuntungan kekuatan-kekuatan anti komunis dan anti konfrontasi.
Tapi sebuah telaah CIA yang lain (Office of National Estimates, 26 Januari 1965),
memberikan perhatian yang lebih besar pada kurangnya persatuan di kalangan
kekuatan non komunis yang diharapkan bisa menjadi sekutu Amerika.
Sedang dokumen CIA lainnya menyimpulkan satu perkiraan yang suram terhadap
alternatif dari krisis yang ada bahwa momentum dan arah yang telah ditanam
Sukarno pada kecenderungan- kecenderungan yang- ada sekarang, telah
membawanya ke arah kemungkinan perang dengan Inggris dan Amerika Serikat di
mana Sukarno mengharapkan bantuan Cina (RRT) atau pengambil-alihan kekuasaan
oleh PKI.
Geofrey Robinson mengatakan bahwa fakta intervensi AS sesudah kudeta 1 Oktober
1965, dapat dibenarkan menjadi subjek studi yang terpisah dan berjilid-jilid, sambil
menyimpulkan, ia di sini hanya membuat sketsa kasar, mengenai kemungkinan
keterlibatan AS.
Dikatakannya, tindakan AS mengambil tiga bentuk. Pertama, pengakuan politik
langsung kepada pihak yang menumpas kudeta Untung, tanpa intervensi langsung.
Kedua, memberikan bantuan militer dan ekonomi terselubung, sesuai dengan
kebutuhan mendesak, untuk menghindari penampilan mencampuri urusan dalam
negeri Indonesia. 57) Ketiga, bantuan propaganda tentang perkembangan Indonesia,
di luar negeri.
57) Mengutip: Van Langenberg (1967) hal 8
Jadi, Amerika Serikat berkepentingan menjauhkan diri dari setiap campur tangan
terang-terangan atas peristiwa yang terjadi di Indonesia. Segala bantuan harus
disalurkan melalui saluran tertutup.
828
Bulan-bulan sesudah kudeta Untung, walau pun Sukarno masih tetap Presiden,
Amerika secara efektif menggeser pangakuan politiknya dari de jure Kepala Negara,
kepada yang de facto berkuasa, politik yang memberikan keuntungan luar biasa bagi
penentang Presiden Sukarno di tengah-tengah satu perubahan politik yang terus
menerus.
Secara publik, Administrasi Johnson jarang menyatakan kegirangannya atas
"perubahan" di Indonesia, bahkan ia membentuk satu citra toleran non-intervensi,
terhadap masalah "dalam negeri" negeri itu.
Sebuah dokumen DOS (Department of State) menyatakan: "Sampai akhir Maret
1966, politik kita atas perkembangan di Indonesia, adalah diam 58)
58) Department of State: Post Mortem dari Kudeta, 1966, (D.D.1981).
Tapi sambil melanjutkan posisi ini di hadapan umum, seluruhnya telah jelas bahwa
pada waktu yang tepat, Amerika Serikat siap memberikan sumbangan materi untuk
membantu tegaknya kepemimpinan baru.59). Inilah satu penyamaran yang mulia,
liberal dan efektif, kata Geofrey Robinson.
59) Ibid hal. 4
Para pejabat Kedutaan Besat AS tampil menyerupai tokoh-tokoh dalam lukisan
goa-goa Romawi, di mana mereka mengamati pertarungan di pinggir ring sambil
mencatat "menjadijadinya perkembangan" sebagai berikut:
1) PKI sekarang sudah melarikan diri untuk pertama kalinya dan Aidit
bersembunyi, organisasi Partai rontok, dokumen-dokumen bertebaran
dan Markas Besar-nya dibakar.
2) Angkatan Darat telah memegang momentum pembasmiannya
terhadap PKI dan menangkap beberapa ribu aktivis Partai.60)
60) Department of State: Laporan Situasi Kelompok Kerja Indonesia, 9
Oktober 1965.
Geofrey Robinson menutup makalahnya dengan mengatakan bahwa atas dasar fakta
yang dikemukakan, kita sungguh dapat memastikan bahwa Amerika Serikat telah
berbuat apa yang dapat dilakukannya untuk memiliki kekuatan-kekuatan disertai
peluang yang menguntungkan untuk bertindak (di Indonesia) dengan jaminan bahwa
mereka dapat berbuat begitu dengan bebas dari hukuman.
829
BAB VII
SURAT PERINTAH MUKJIZAT DAN ADANYA OKNUM YANG
"TlDAK BENAR"
SEPULUH tahun lamanya Amerika mengupayakan penggulingan Sukarno. Hitung
saja sejak suksesnya Konperensi Asia-Afrika April 1955 di Bandung, yang berhasil
rnenjadikan Bung Karno pemimpin dunia, setidaktidaknya dunia Asia-Afrika, hal yang
mengkhawatirkan Amerika.
Kerja keras Amerika ini akhirnya menjadi sempurna setelah ketua MPRS Jenderal
A.H. Nasution menandatangani Ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS11967, yang
mencabut semua kekuasaan pemerintahan negara dari tangan Presiden Sukarno,
bahkan melarangnya melakukan kegiatan politik untuk akhirnya dijebloskan ke dalam
tahanan. Bung Karno dituduh terlibat G30S/PKI.
Penyelesaian hukum menurut ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum
dan keadilan, sebagaimana tercantum dalam pasal 6 dari Ketetapan MPRS XXXIII,
tidak diindahkan lagi, karena kalau prosedur hukum ini ditempuh, dikhawatirkan akan
mencairkan kembali sasaran pokok Ketetapan tersebut, yaitu membenarkan
pencabutan semua kekuasaan pemerintahan negara dan larangan melakukan
kegiatan politik terhadap diri Bung Karno.
Belakangan timbul pendapat yang meragukan mengenai prosedur yang ditempuh oleh
MPRS menggulingkan Sukarno dengan alasan terlibat Gerakan 30 September 1965,
karena alasan-alasan yang dikemukakan tidak didukung oleh pembuktian yang sah di
muka sidang pengadilan.
Sebagai contoh, keberadaan Presiden Sukarno di Kompleks Halim Perdana
Kusumah misalnya, daerah yang dinyatakan sebagai sarang G30S/PKI, dianggap
sebagai salah satu bukti keterlibatannya.
Tentang tuduhan ini, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, kolonel Maulwi Saelan,
yang membawa Bung Karno ke Halim, memberikan kesaksiannya bahwa tindakan itu
diambil sesuai dengan ketentuan "Operating Standing Procedure" (OSP)
Tjakrabirawa, yaitu dalam keadaan darurat, Presiden harus diselamatkan melalui cara
yang paling mungkin. Dalam kasus ini setelah dipertimbangkan dengan seksama,
diputuskan Presiden dibawa ke Halim, karena di sana selalu standby pesawat
terbang Kepresidenan "Jet Star" yang setiap saat dapat menerbangkan Presiden ke
tempat lain yang lebih aman.
Tuduhan lain di samping keterangan Brigjen Sugandhi, mantan Ajudan Presiden,
seperti yang sudah diuraikan di Bab I, juga ada keterangan dalam 14 Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) setebal 90 halaman, hasil interrogasi Team Pemeriksa Pusat
(TEPERPU) atas diri mantan Ajudan Presiden Sukarno yang lain, letnan kolonel
(KKO) Bambang Setyono Widjanarko yang menerangkan bahwa Presiden Sukarno
830
pada malam 30 September menerima surat dari letnan kolonel Untung Samsuri,
komandan batalyon I Resimen Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September,
di tengah- tengah penyelenggaraan acara penutupan Musyawarah Besar Teknik yang
dihadiri oleh Presiden di ISTORA Senayan.
Keterangan Widjanarko ini dibantah keras oleh Wakil Komandan Resimen
Tjakrabirawa, kolonel Maulwi Saelan, yang malam itu bertanggungjawab atas
pengawalan dan keselamatan Presiden, yang memastikan bahwa sama sekali tidak
ada adegan seperti yang dikatakan oleh Widjanarko. Maulwi Saelan selama acara
berlangsung di ISTORA Senayan, selalu berada di dekat Presiden.
Di kemudian hari, keterangar-keterangan yang dinyatakan sebagai bukti keterlibatan
Bung Karno dalam Gerakan 30 September, dinilai oleh Jaksa Agung Singgih, SH.,
bersifat audita, artinya sekedar didengar atau diketahui dari orang lain, tanpa
dikonfimmasikan atau dikuatkan oleh alat bukti lain, sehingga pembuktiannya
mengambang.61)
61) Manai Sophiaan, Apa yang masih teringat, hal 454
Bisa dimengerti bahwa penilaian Bung Kamo dalam Pelengkap Nawaksara tentang
"adanya oknum-oknum yang tidak benar" bisa saja dirasakan oleh Jenderal A.H.
Nasution sebagai sindiran atas dirinya, mengingat adanya desas-desus negatif
mengenai sikapnya. Hubungan Bung Karno dengan Nasution waktu itu memang
kurang baik, sehingga dalam menentukan sikap, emosi masing-masing dimungkinkan
sekali ikut berperan.
Ini terbukti setelah keadaan menjadi lebih tenang, 25 tahun kemudian Nasution
memberikan keterangan sambil mengutip pengakuan ajudan Presiden Sukarno,
kolonel (KKO) Bambang Widjanarko, yang menyatakan bahwa Presiden Sukarno
telah memerintahkan supaya Jenderal A. Yani datang menghadap ke Istana pada 1
Oktober 1965, memberi petunjuk bahwa Presiden Sukarno tidak mengetahui
sebelumnya akan terjadi Gerakan 30 September, dan dengan demikian tidak
mengetahui juga akan terjadinya pembunuhan atas 6 Jenderal di Lubang Buaya.62)
62) Ibid, hal. 455.
Bahkan Presiden Sukarno mempertanyakan dalam Pelengkap Nawaksara, mengapa
dia saja yang diminta pertanggungjawaban atas peristiwa G30S/PKI dan justru bukan
Menteri Koordinator Pertahanan/Keamanan yang waktu itu dijabat oleh Jenderal A.H.
Nasution?
Lalu Presiden Sukarno bertanya:
"Siapa yang bertanggungjawab atas usaha hendak membunuhnya dalam peristiwa
Idul Adha di halaman Istana Jakarta?"
831
"Siapakah yang bertanggungjawab atas pemberondongan dari pesawat udara atas
dirinya (di Istana Jakarta) oleh Maukar?"
"Siapakah yang bertanggungjawab atas pericegatan bersenjata atas dirinya di dekat
gedung Stanvac (Jakarta) ?"
"Siapakah yang bertanggungjawab atas pencegatan bersenjata atas dirinya di
Selatan Cisalak (antara Jakarta-Bogor) ?"
Presiden Sukarno menyebut 7 peristiwa usaha hendak membunuhnya dan siapa
yang harus dimintai tanggungjawab atas semua kejadian itu? Tapi masih ada bukti
lain mengenai "adanya oknumoknum yang tidak benar".
Geofrey Robinson yang sudah banyak dikutip dalam Bab terdahulu, mengutip sebuah
telegram dari Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, 21 Januari 1965, kepada
Department of State (DOS) di Washington, di mana dilaporkan pertemuan yang baru
saja diadakan antara seorang pejabat Kedutaan Besar dengan Jenderal S. Parman,
yang mengungkapkan kuatnya "perasaan dalam Angkatan Darat" terhadap
pengambilan alih kekuasaan sebelum meninggalnya Sukarno.
Angkatan Darat, menurut telegram itu, sangat prihatin terhadap gerakan PKI untuk
membangun Angkatan ke-V, karena itu merasa perlu mengambil tindakan langsung
untuk "mengimbangi gerakan PKI". Angkatan Darat menyadari bahwa bagaimana
pun, tidak ada kup terhadap Sukarno yang akan berhasil. Oleh karena itu dianjurkan
supaya kup dilakukan demikian rupa, seakan-akan menjaga kepemimpinan Sukarno
tetap utuh.63)
63) Geofrey Robinson mengutip Departmenr of Defence, telegram dari
Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, 21 Januari 1965 (dari Jones File).
Seperti diuraikan dalam Bab Vl, Gabriel Kolko yang menulis tentang Indonesia
dengan mengutip dokumendokumen Kementerian Luar Negeri AS dan CIA yang tidak
dirahasiakan lagi mengenai debat tentang peran Amerika Serikat di Indonesia 1965,
mengatakan tentang adanya telegram dari Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta,
Howard Jones 22 Januari 1965. Dengan menghilangkan nama orangnya dalam
telegram, orang itu menerangkan kepada saya (Duta Besar) berita yang sangat
rahasia, bahwa tentara mengembangkan rencana spesifik untuk megambil alih
kekuasaan pada saat Sukarno akan turun tahta. Orang itu baru datang dari
pertemuan dengan Jenderal Parman yang mendiskusikan rencana itu dengannya. Ia
berkata, sekali pun telah ada rencanarencana tentang contingency (kemungkinan)
basis dengan perhatian kepada post Sukarno era, terdapat satu sentimen kuat di
antara segment top military command untuk mengambil kekuasaan sebelum Sukarno
turun.
Dapat dipercaya, bagaimana pun dirahasiakannya, Presiden Sukarno menerima
laporan mengenai kegiatankegiatan ini melalui jalur khusus, sehingga cukup alasan
832
baginya untuk mengatakan bahwa salah satu sebab terjadinya Gerakan 30
September, karena "adanya oknum- oknum yang tidak benar".
Pada tahun 1957 sewaktu seorang wartawan Belanda Willem Oltmans, beraudiensi
ke Istana (dikatakannya sudah diulas dalam 2 bukunya, pen.), ia mengatakan kepada
Bung Karno supaya tidak sepenuhnya mem- percayai Dr. Subandrio, tapi Bung Karno
meneruskan saja percaya kepadanya. William Oltmans mengatakan bahwa
Subandrio lah yang membakar-bakar Bung Karno mengenai konfrontasi terhadap
Malaysia.
William Oltmans menceritakan juga bahwa di dalam Tentara ada Jenderal-Jenderal
yang menyuruh orang-orang seperti Oejeng Soewargana pergi ke Den Haag dan
Washington untuk meyakinkan orang-orang Belanda dan Washington supaya
menaruhkan kartunya pada Tentara, karena Jenderal A.H. Nasution siap menjadi
Presiden dan Bung Karno akan diturunkan. Dikatakan, gerakan internasional dari
Panjaitan dan Parman, telah dimulai sejak 1961. "Permainan ini berjalan terus dan
Jenderal Parman pernah menjumpai saya di New York. Kolonel Sutikno yang
mengatur pertemuan itu. Ia menghubungi saya dan seorang bekas agen CIA bernama
Werner Verrips. Ternyata maksudnya, kami berdua harus dilenyapkan. Saya tetap
hidup dan Verrips terbunuh".64)
64) Resensi Willem Oltmans atas buku "Otobiografi Soeharto", edisi
bahasa Belanda. Amsterdam 24 Maret 1991.
Demikian tulis Willem Oltmans, yang Mei 1994 kembali berkunjung ke Indonesia
dalam rombongan Perdana Menteri Belanda, Lubbers.
Mengapa Willem Oltmans dan Warner Verrips harus dilenyapkan? Karena keduanya
sudah mengetahui adanya kegiatan mencari dukungan dari Belanda dan Washington
atas rencana hendak menggulingkan Sukarno, rencana yang mereka tidak setujui
dan dikhawatirkan akan melaporkannya kepada Sukarno.
Mudah untuk dimengerti bahwa rencana ini akhirnya disampaikan oleh Willem
Oltmans kepada Bung Karno. Dengan demikian, Bung Karno tidak asal menuduh
begitu saja tanpa alasan yang kuat tentang "adanya oknumoknum yang tidak benar".
Ada pun tentang Dr. Subandrio, ketika ia sebagai Menteri Luar Negeri menyelesaikan
sengketa Irian Barat dengan Belanda lewat Dewan Keamanan PBB dengan bantuan
wakil Amerika di PBB, E. Buncker, pada 16 Agustus 1962, sehingga Indonesia tidak
perlu lagi membebaskan Irian Barat dengan kekuatan militer, secara serius ia
berbicara dengan seseorang yang dipercayainya, bahwa dengan prestasinya itu,
pantaslah membuat dirinya diangkat menjadi Wakil Presiden, yang waktu itu
memang lowong.
Analisa CIA juga mengatakan bahwa jika Sukarno tidak lagi mampu menjalankan
tugasnya, maka Dr. Subandriolah yang berambisi menggantikannya.
833
Tapi Gerakan 30 September 1965 yang gagal, menyebabkan harapan Dr. Subandrio
manjadi buyar.
Dokumen Amerika mengungkapkan bahwa sebelum keluarnya Surat Perintah 11
Maret 1966 yang menyebabkan banyak Menteri dari Kabinet 103 Menteri yang
ditahan, ABRI sudah merencanakan hendak menangkap Dr. Subandrio, karena
menganggap dia termasuk biang keladi peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Sebuah telegram dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta tanggal 26 Pebruari (1966)
ditujukan kepada Menteri Luar Negeri di Washington menyatakan sebagai berikut:
1. Minta perhatian Departemen Luar Negeri dan Duta Besar Green
untuk .... (tidak dikutip, pen.) sedang kita sudah tentu tidak dalam
kedudukan untuk mengatakan apakah kegiatan kita sebenarnya harus
di ambil terhadap Subandrio. Sumber laporan ini dapat dipercaya dan
saya anggap harus diperhatikan dengan sungguh- sungguh.
2. Sudah ada laporan terdahulu, paling sedikit tanggal 10 Nopember
yang lalu (1965) bahwa Tentara akan "mengambil" Subandrio. Ini
ternyata palsu. Akan tetapi Tentara sekarang merasa lebih putus asa.
Kelompok berhaluan keras memperbesar tekanan mereka untuk
sesuatu bentuk tindakan dan Tentara mempunyai risiko untuk
mendapat nama buruk, kalau gagal melakukan tindakan lanjut dengan
kesempatan baik yang sudah diciptakan mahasiwa. Tambahan pula
laporan menunjukkan bahwa pimpinan tertinggi Tentara jauh lebih
bersatu dari pada sebelumnya dalam keputusan untuk menyingkirkan
Subandrio. Ia menempel bagai lem pada Istana. Akan tetapi Tentara
pasti mempunyai kekuatan untuk mendapatkan dengan salah satu
cara, kalau memang mempunyai kemauan untuk melakukannya.
3. Penyingkiran Subandrio tidak akan seluruhnya mengubah
kecenderungan sekarang di Indonesia. Tentara masih harus
menghadapi Sukarno dan tujuannya tidak akan berubah. Akan tetapi,
tanpa Subandrio sebagai wakilnya, Sukarno akan mempunyai jauh lebih
banyak kesulitan untuk memaksakan rencananya (CONEFO, Poros
Peking, kebangkitan neo-PKI). Lagi pula fakta tentara bertindak
terhadap anteknya, akan mempunyai pengaruh yang menenangkan
kepadanya dan dia mungkin akan lebih mudah dikendalikan. Bahkan
kalau ia akan mencoba menyerang tentara sebagai pembalasan,
kenyataan bahwa tentara sudah melakukan langkah pertama, akan
memudahkan langkah kedua terhadap Sukarno sendiri.
4. Kami tidak tahu sifat atau penentuan waktu untuk bergerak, akan
tetapi menurut perkiraan pendahuluan kami, Tentara mempunyai
kemampuan untuk melakukannya tanpa me- nimbulkan perang saudara
atau kerusuhan lokal yang serius. Gerakan cepat dan efektif terhadap
834
Subandrio, mungkin tidak akan berulang, tidak akan ditentang oleh
unit-unit militer yang lain, teristimewa kalau Sukarno tidak cedera. Akan
tetapi selalu ada kemungkinan perkembangan yang tidak diduga atau
ceroboh. Oleh karena itu kami mengulangi peringatan kepada orangorang Amerika untuk sedapat mungkin berdiam diri dan kami akan
mengambil tindakan selanjutnya untuk memperketat keamanan
perwakilan. Kami merasa tidak perlu mengulang, tidak perlu ada
tindakan lebih lanjut pada waktu ini.
CP-1
Lydman
BT
Catatan:
Advance copy ke S/S-o pukul 1:27 pagi, 26/2/66 melewati Gedung Putih pukul 1:37
pagi, 2612166. Gedung Putih menasehatkan staf Kedutaan Besar Amerika "untuk
berdiam diri" kalau Tentara Indonesia "mengambil" Subandrio, 65)
65) The Declassified Documents Respective Collection, 1977, # 129 D,
26 Pebruari 1966. Disunting oleh William L Bradley dan Mochtar Lubis
dalam "Dokumen-dokumen pilihan tentang politik luar negeri Amerika
Serikat di Asia", hal. 177-179.
Pada tanggal 4 Maret 1966, Pak Harto minta izin kepada Presiden Sukarno hendak
menangkap sejumlah Menteri yang dianggap terlibat G30S/PKI, tapi Presiden
menolaknya. Menurut Jenderal Soemitro dalam bukunya (disunting oleh Ramadhan
K.H.) "Soemitro, Dari PANGDAM Mulawarman Sampai PANGKOPKAMTIB" (terbit
April 1994), Sebelum 11 Maret 1966, ada rapat staf SUAD yang dipimpin oleh Pak
Harto. Rapat itu mendengarkan briefing dari Pak Harto, dan sampai pada keputusan
hendak memisahkan Bung Karno dari apa yang disebut " Durno- durno"-nya.
Diputuskan, sejumlah Menteri akan ditangkap, yang harus dilakukan oleh RPKAD
pada saat ada sidang Kabinet di Istana Merdeka, 11 Maret 1966.
Yang ditugaskan membuat Surat Penangkapan, Jenderal Soemitro selaku Asisten
Operasi MEN/PANGAD, kemudian meneruskan kepada KOSTRAD dan RPKAD
untuk pelaksanaannya.
Namun sebelum penangkapan dilaksanakan, tiba-tiba datang perintah lagi dari Pak
Harto kepada Jenderal Soemitro melalui Asisten Vll, Alamsyah, supaya Surat
Perintah Penangkapan dicabut kembali. Jenderal Soemitro menyatakan, pencabutan
tidak mungkin dilaksanakan, karena pasukan sudah bergerak.
835
Sebelum itu, Panglima KOSTRAD Umar Wirahadikusumah sudah memerintahkan
Kepala Stafnya, Kemal Idris, supaya membatalkan perintah menangkap Subandrio,
tapi ditolaknya, dengan alasan perintah sudah jalan dan Istana sudah dikepung sehari
sebelum sidang Kabinet.
Meski pun demikian penangkapan Subandrio tidak berhasil dilaksanakan hari itu.
Sesudah keluarnya Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) 1966, Subandrio baru
ditangkap di Wisma Negara dalam komplek Istana Jakarta, yang dilakukan setelah
Presiden Sukarno lebih dulu disingkirkan oleh "Tjakrabirawa", dibawa ke Istana
Bogor. Tjakrabirawa menolak penangkapan Subandrio dilakukan, selagi Presiden
berada di Istana Jakarta. Ternyata Presiden Sukarno sendiri tidak berusaha
menyelamatkan Subandrio dari penangkapan.
Tentang usaha hendak menangkap Subandrio, dikemudian hari diceritakan oleh
Letnan Jederal (purn.) Achmad Kemal Idris kepada mingguan "Tempo" (20 Oktober
1990) bahwa sehari sebelum sidang Kabinet 103 Menteri di Istana Merdeka, ia dalam
statusnya sebagai Kepala Staf KOSTRAD, menempatkan pasukan RPKAD tanpa
inisial mengelilingi Istana, dengan tugas untuk menangkap Subandrio yang dianggap
salah satu tokoh G30S. Dikatakannya bahwa Pak Harto-lah yang memerintahkan
penangkapan itu, bagaimana caranya, terserah.
Tapi ketika sidang Kabinet sedang berjalan (11 Maret 1966) Ajudan Senior Presiden,
Brigadir Jenderal Moh. Sabur, melapor kepada Presiden bahwa ada pasukan yang
tidak dikenal me- ngelilingi Istana dan ada kekhawatiran pasukan ini akan menyerbu.
Oleh karena itu Presiden Sukarno segera diamankan ke Istana Bogor dengan
Helicopter yang tersedia di halaman depan Istana. Subandrio yang menjadi sasaran
hendak ditangkap, ikut dengan Bung Karno ke Bogor. Hari itu usaha menangkap
Subandrio, gagal.
Pada tahun 1993, Kemal Idris menceritakan lagi kepada wartawan "Forum Keadilan"
66) bahwa Amirmachmud sebagai Panglima KODAM V/Jaya mengetahui dialah yang
menempatkan pasukan tanpa tanda-tanda pengenal di sekeliling Istana. Tapi kata
Kemal Idris, dia memang yang bertanggungjawab mengenai penggerakan pasukan,
sedang Amirmachmud sebagai Panglima KODAM, hanya melaksanakan tugas
teritorialnya.
66) "Forum Keadilan", 22 Juni 1993
Waktu berkumpul di KOSTRAD, Kemal Idris dapat perintah supaya menarik pasukan
itu. Yang memerintahkan penarikan pasukan, ialah Letnen Jenderal Maraden
Panggabean (Pejabat Panglima Angkatan Darat) melalui Amirmachmud, Panglima
KODAM V/jaya. Kemal Idris tidak mau melaksanakannya. " Kalau pasukan saya
tarik, apa SUPERSEMAR akan jadi?", kata Kemal Idris.
836
Menurut Kemal Idris, karena pasukan tetap berada di sekitar Istana, maka Bung
Karno kabur ke Bogor. Setelah Bung Karno pergi, Pak Harto menulis surat kepada
Bung Karno yang dibawa oleh 3 Jenderal (Basuki Rachmat, M. Yusuf dan
Amirmachmud), isinya kira-kira menyatakan tidak bisa bertanggungjawab mengenai
keamanan, kalau tidak diberikan lebih banyak kekuasaan untuk menumpas
G30S/PKI dan mempertanggung-jawabkan keamanan.
Ketika ditanya, setelah keamanan pulih, haruskah kewenangan itu dikembalikan
kepada Bung Karno?, Kemal Idris menjawab: "Iya, cuma sampai di situ saja, tidak
berarti dia (Soeharto) me- ngambil alih kekuasaan. Jadi, setelah keamanan bisa
dipulihkan, kekuasaan itu harus dikembalikan kepada Bung Karno. Tapi MPRS
menghendaki lain".
Sebelum sidang Kabinet dimulai, Presiden Sukarno bertanya kepada Amirmachmud,
apakah situasi keamanan memungkinkan Sidang Kabinet diadakan?, yang dijawab
"bisa", sambil memberikan jaminan: AMAN!
Itulah sebabnya ketika 3 Jenderal yang diutus oleh Pak Harto menemui Bung Karno
di Bogor, sekali lagi Bung Karno bertanya kepada Amirmachmud, bagaimana situasi
sebenarnya, yang dijawab oleh Amirmachmud bahwa keadaan AMAN. Waktu itu ia
dibentak oleh Bung Karno sambil mengatakan "Kau bilang aman, aman, tapi
demonstrasi jalan terus".67)
67) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 56.
Kedatangan 3 Jenderal ke Bogor yang menurut Kemal Idris membawa surat Pak
Harto menyebabkan lahirnya Surat Perintah 11 Maret. Tapi mantan Asisten Operasi
MEN/ PANGAD Jenderal Soemitro mengatakan, bukan 3 Jenderal yang
menyebabkan SUPERSEMAR keluar, melainkan karena RPKAD mengepung Istana.
Ketika membaca teks SUPERSEMAR dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta untuk
disampaikan kepada Pak Harto, Amirmachmud mengatakan: "Koq ini penyerahan
kekuasaan".68)
Oleh karena itu dikatakannya, Surat Perintah tersebut adalah MUKJIZAT dari Allah
SWT kepada rakyat dan bangsa Indonesia. 69)
68) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 59.
69) Ibid, hal. 59. Istilah MUKJIZAT yang digunakan oleh Amirmachmud
di sini, adalah istilah agama yang berarti: Kejadian yang menyimpang
dari hukum-hukum alam (menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
yang diolah oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa).
Mukjizat hanya diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi dan Rasul.
837
Akhirnya setelah pemegang SUPERSEMAR melaksanakan perintah itu,
pertama-tama dilakukannya membubarkan PKI, disusul dengan penahanan 15
Menteri. Tindakan ini sangat mengejutkan Bung Karno, karena tidak dikonsultasikan
dulu dengan Prèsiden/Panglima Tertinggi ABRI, seperti yang dimaksud dalam Surat
Perintah tersebut. Langkah pun dipercepat dengan memanggil Sidang Umum IV
MPRS 25 Juli 1966, lalu membubarkan Kabinet Dwikora yang menteri- menterinya
sudah ditangkap lebih dulu 15 orang, sesudah mana Jenderal Soeharto lalu
membentuk Kabinet AMPERA dengan ia sendiri sebagai ketua Presidium Kabinet itu.
Klimaksnya, diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7 s/d 12 Maret
1967, yang mengangkat Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden, karena
Presiden Sukarno sudah divonis oleh Sidang Istimewa MPRS dengan Ketetapan
No.XXXIII/1967 yang mencabut semua kekuasaannya dari Pemerintahan Negara.
Semua itu kata Amirmachmud, berhulu dari SUPERSEMAR.70)
70) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 61.
Sejak SUPERSEMAR diluncurkan, sebenarnya Bung Karno tidak mampu lagi
mengantisipasi situasi secara tepat.
Berikut ini kutipan penilaian Bung Karno yang meleset mengenai perkembangan
situasi yang diucapkannya dalam Amanat Proklamasi 7 Agustus 1966. Bung Karno
berkata:
" .......Tahun 1966 ini, - kata mereka -, ha, eindelijk, eindelijk at long last, Presiden
Sukarno telah dijambret oleh rakyatnya sendiri; Presiden Sukarno telah dikup;
Presiden Sukarno telah dipreteli segala kekuasannya; Presiden Sukarno telah
ditelikung oleh satu "triumvirat" yang terdiri dari Jenderal Soeharto, Sultan Hamengku
Buwono dan Adam Malik. Dan " Perintah 11 Maret" kata mereka: "Bukankah itu
penyerahan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto?"
Dan tidakkah pada waktu sidang MPRS yang lalu, mereka - reaksi musuh-musuh kita
- mengharapkan, bahkan menghasut-hasut, bahkan menujumkan, bahwa sidang
MPRS itu sedikitnya akan menjinakkan Sukarno, atau akan mencukur Sukarno
sampai gundul sama sekali, atau akan mengdongkel Presiden Sukarno dari
kedudukannya semula?
Kata mereka dalam bahasa mereka, "The MPRS session will be the final setlement
with Sukarno", artinya sidang MPRS ini akan menjadi perhitungan terakhir - laatste
afrekening - terhadap Sukarno. Surat Perintah 11 Maret itu mula-mula, dan memang
sejurus waktu, membuat mereka bertampik sorak-sorai kesenangan. Dikiranya Surat
Perintah 11 Maret adalah satu penyerahan pemerintahan. Dikiranya Surat Perintah 11
Maret itu satu "transfer of authority". Padahal tidak! Surat Perintah 11 Maret adalah
satu perintah pengamanan .......bukan penyerahan pemerintahan. Bukan transfer of
authority.
838
Mereka, musuh, sekarang kecele sama sekali, dan sekarang pun, pada hari
Proklamasi sekarang ini, mereka kecele lagi: Lho, Sukarno masih Presiden, masih
Pemimpin Besar Revolusi, masih Mandataris MPRS, masih Perdana Menteri: Lho,
Sukarno masih berdiri lagi di mimbar ini! 71)
71) Presiden Sukarno, Amanat Proklamasi IV 1961-1966, Inti Idayu
Press bekerjasama dengan Yayasan Pendidikan Soekarno, hal.
199-200.
Demikian Cuplikan pidato Bung Karno yang mengevaluasi situasi waktu itu, penilaian
mana meleset sama sekali. Yang benar justru penilaian musuh, yang diejek oleh
Bung Karno.
Urut-urutan kejadian yang mengikuti Surat Perintah 11 Maret, sama sekali tidak
membuktikan kecelenya musuh, seperti yang digambarkan oleh Bung Karno.
Baru belakangan, 10 Januari 1967, Bung Karno memberikan penilaian yang benar
mengenai sebab musabab terjadinya Gerakan 30 September 1965, antara lain karena
ada oknum- oknum yang tidak benar dalam tubuh kita sendiri.
839
BAB VIII
LANDASAN YANG RAPUH
PADA bulan Mei 1978, KOPKAMTIB di bawah Panglima Sudomo, pernah
menerbitkan semacam BUKU PUTIH tentang G30S/PKI, yang isinya memastikan
PKI sebagai dalang, juga menuduh Bung Karno sebagai pihak yang terlibat. Satu
tuduhan yang sungguh mengandung risiko tinggi. Karena seperti sudah diuraikan
pada bagian lain, tidak ada pengadilan yang pernah memastikan Bung Karno terlibat,
padahal pengadilanlah satu-satunya instansi yang kompeten untuk pemastian itu.
Apa lagi persyaratan ini dicantumkan dalam Ketetapan MPRS No. XXXIII 1967,
menyebutkan bahwa "penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut
diri Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka
menegakkan hukum dan keadilan".
Mantan Jasa Agung dan Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, S.H., dalam wawancara
dengan mingguan "Detik" 16 Pebruari 1994 menanggapi tuduhan keterlibatan Bung
Karno dalam G30S/PKI menyatakan bahwa kita harus membedakan antara sekedar
memihak PKI dengan memihak dalam arti pemberontakan. Kalau memihak PKI
sebagai Presiden untuk tujuan mempersatukan, dapat dipahami, karena semuanya
harus dirangkul. Dan merangkul seperti itu, memang biasa dilakukan oleh pimpinan
dan ini tidak berarti terlibat. Orang ingin mengatakan bahwa Bung Karno memihak
(PKI). Ini sesuatu yang simplistik. Tidak demikian! Kita kan sudah bisa menilai peran
Bung Karno dalam sejarah kita. Tidak patut serta meria turut menghakimi bakwa
beliau terlibat, kata Ismail Saleh.
Juga Mantan Panglima KOPKAMTIB Soemitro, menyatakan kepada wartawan
"Amanah" 21 Maret 1 994, bahwa meski pun ABRI kecewa atas sikap Bung Karno
yang tidak mau membubarkan PKI, tapi tidak terlintas sedikit pun menuduh Bung
Karno terlibat G30S/PKI. Sama sekali tidak!
Jadi, penyidik hukum mana yang sudah memastikan bahwa Bung Karno terlibat
G30S/PKI, sehingga ketua MPRS waktu itu Jenderal A.H. Nasution berupaya keras
menggiring MPRS supaya mengadakan Sidang Istimewa yang dibuka pada 7 Maret
1967 untuk menggulingkan Presiden Sukarno dengan alasan keterlibatan itu?
Banyak yang berpendapat bahwa Jenderal A. H. Nasution meng- harapkan, sesudah
Presiden Sukarno digulingkan, dialah yang berpeluang dipilih menggantikannya,
sesuai dengan apa yang ditulis oleh wartawan Belanda, William Oltmans, bahwa
rencana ini jauh hari sebélumnya, sudah dipolakan dan dikampanyekan di luar negeri.
Tapi pada saat-saat yang menentukan, justru ia tidak berani mengambil inisiatif untuk
tampil, sedang waktu itu yang diperlukan, di samping kemampuan, juga keberanian.
Syarat ini dinilai ada pada Pak Harto. Itulah sebabnya yang diusulkan dan dipilih oleh
MPRS untuk menggantikan Presiden Sukarno yang digulingkan, Jenderal Soeharto
dan bukan Jenderal A.H. Nasution.
840
Dengan tangkas Jenderal Soeharto pada 13 Maret 1967 mengucapkan pidato dalam
rangka mengamankan pelaksanaan proses penggantian Presiden, dengan
mengatakan:
Kedudukan Presiden Sukarno telah ditegaskan oleh MPRS, oleh pemegang
kekuasaan tertinggi, oleh pemegang kedaulatan rakyat yang merupakan penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia, yang akan kami laksanakan sebaik-baiknya dengan
bantuan dan kepercayaan dari seluruh rakyat.
Marilah kita semua tidak lagi mempersoalkan kedudukan Bung Karno!
Tidak terduga, sesudah Bung Karno terguling, Jenderal A. H. Nasution tidak lagi bisa
melanjutkan kiprahnya, karena ia pun segera tersingkir dan di hari tuanya
sakit-sakitan.
Ada pun bekas tahanan politik (Tapol) G30S/PKI, sesudah melalui masa seperempat
abad, tetap saja dinyatakan sebagai bahaya laten dan komunisme meski pun sudah
dilarang masih saja dinyatakan sebagai ancaman di Indonesia. Sebuah buku
berjudul "Sekitar Padnas, Bahaya Laten & Tapol G30S/PKI" diterbitkan oleh
Lembaga Pertahanan Nasional, memuat 16 tulisan yang menyoroti bahaya laten
komunis dan sisa-sisa kekuatannya.
Buku ini menjelaskan bahwa keruntuhan komunisme, tidaklah dengan sendirinya
membawa kelumpuhan pada kekuatan sosial yang berorientasi kepada Marxisme,
karena adanya 4 faktor pendukung:
1. Masalah sosial-ekonomi yang diidentifikasi dan dideskripsikan oleh
analis Marxis sebagai kritik sosial, tetap menarik, seperti kesenjangan
sosial, kemiskinan dan eksploatasi tenaga manusia.
2. Janji kesanggupan Marxisme untuk mengubah nasib hidup menuju
emansipasi.
3. Perangkat teori Marxisme sebagai disiplin ilmu serta metodologi
yang mendukungnya, telah berkembang dan menjadi daya tarik
tersendiri, terutama di Barat.
4. Komunisme sebagai sistim, ajaran, metode dan gerakan, tetap
menarik dan dapat saja dimanfaatkan oleh siapa pun dalam mencapai
tujuannya, tanpa yang bersangkutan menjadi komunis.
Marxisme sebagai filsafat dan teori sosial, tidak menghilang dengan runtuhnya sistim
komunisme.
Itulah sebabnya mengapa G30S/PKI tetap bahaya laten dan berbagai hak azasi ratusan ribu orang
yang pernah ditahan karena kasus itu, direnggut dengan " Instruksi Menteri Dalam Negeri No.
841
32/1981", dimana ditetapkan banyak ketentuan yang harus ditaati. Untuk menyebutkan sebagian
kecil saja dari padanya, antara lain:
1. Keharusan mencantumkan kode ET (Eks Tapol) pada Kartu Tanda Penduduk.
Pencantuman kode ET ini mengakibatkan dihambatnya yang bersangkutan mencari
pekerjaan dan semua pasar kerja akan takut menerimanya.
2. Melakukan pembatasan pekerjaan bagi mereka untuk menjadi dosen/guru,
wartawan, lembaga bantuan hukum, pendeta dan sebagainya yang tidak diperinci,
sehingga sangat elastis.
3. Mencegah mereka memasuki kegiatan kemasyarakatan yang dianggap mungkin
menimbulkan kerawanan di bidang sosial- politik, sosial-ekonomi, sosial-budaya dan
KAMTIBMAS.
4. Untuk bepergian dalam negeri meninggalkan kelurahan/desa tempat domisilinya
lebih dari 7 hari, harus dengan izin khusus. Warganegara biasa, tidak memerlukan
izin itu.
5. Untuk bepergian ke luar negeri atau melakukan ibadah Haji, harus mempunyai
konduite baik dan ada jaminan tertulis dari seseorang/instansi yang dapat
dipertanggungjawabkan bahwa yang bersangkutan akan kembali ke daerah domisili
semula, serta telah mendapat santiaji dari pejabat atau petugas setempat.
Meski pun Panglima ABRI Jenderal Faisal Tanjung dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR 13
Desember 1993 telah menyatakan tidak keberatan atas penghapusan kode ET yang terkesan
tidak manusiawi itu, mengingat tidak ada lagi masalah dari segi keamanan, tapi Departemen
Dalam Negeri tetap mempertahankan sistim hukuman tanpa putusan pengadilan itu, berlaku bagi
orang-orang bekas tahanan politik.
Berbagai lembaga yang bergerak di bidang Hak Azasi Manusia telah mengajukan persoalan ini
kepada Komisi Nasioanal Hak Azasi Manusia untuk diperhatikan. Hukuman kolektif semacam
ini,
tidak mempunyai dasar hukum dalam sistim UUD 1945 dan bertentangan dengan Deklarasi
Sedunia Tentang Hak Azasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB
10
Desember 1948.
Dalam Mukaddimah Deklarasi itu antara lain dikatakan:
Bahwa sikap tidak memperdulikan dan sikap menghina hak-hak azasi manusia, mengakibatkan
tindakan biadab yang mendatangkan amarah pada hati nurani manusia.
Bahwa penting sekali hak-hak azasi manusia dilindungi oleh hukum, supaya manusia tidak
mengambil jalan lain yang terakhir, dengan pemberontakan terhadap tirani dan penindasan.
842
Pasal 13:
Setiap orang berhak untuk bergerak dan memilih tempat tinggalnya secara bebas
dalam batas wilayah setiap negara.
Pasal 23:
Setiap orang berhak untuk bekerja, untuk memilih pekerjaan yang bebas, untuk
mendapat syarat bekerja yang menguntungkan dan perlindungan terhadap
pengangguran.
Oleh karena itu apa yang diterapkan dengan instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32/1981, tidak
lain
dari upaya untuk mempertahankan supaya G30S/PKI tetap menjadi issue bahaya laten.
Bahwa PKI yang menggerakkan coup d'état yang gagal itu, tidak terbantahkan lagi. Hanya
masalahnya tidak sederhana dan selesai sampai di situ, karena ternyata banyak juga jaringan lain
yang disebut-sebut ikut terkait di dalamnya. Jika kasus ini tidak segera ditutup, akan makin
merebak saja dan makin banyak lubang- lubang yang selama ini seolah-olah tertutup, potensial
berpeluang terbuka.
Yang jelas makin terungkap: Bahwa Bung Karno ternyata tidak terlibat kasus G30S/PKI, seperti
tuduhan bertubi-tubi sebelumnya.
Kasus G30S/PKI sendiri seperti yang disimpulkan MPRS dan dituduhkan kepada Bung Karno,
tidak pernah dimasukkan dalam GBHN yang disampaikan kepada Mandataris supaya
dipertanggung- jawabkan. Yang disampaikan kepada Presiden/ Mandataris, hanya NOTA
PIMPINAN MPRS No. 2/1966 yang minta melengkapi Laporan Pertanggungjawaban Presiden
yang
dikenal dengan "Pelengkap Nawaksara", yang isinya dengan mudah saja ditolak oleh MPRS.
Waktu menyampaikan " Pelengkap Nawaksara" itu, Presiden Sukarno sudah menegaskan bahwa
sesuai dengan bunyi pasal 3 UUD 1945 dan penjelasannya, hanyalah Keputusan MPR mengenai
GBHN yang harus dipertanggungjawabkan dan bukan tentang hal-hal yang lain. Sedang kasus
G30S/PKI tidak masuk GBHN.
Alasan bahwa Presiden sebagai Mandataris MPRS tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban
Konstitusionalnya (mengenai kasus G30S/PKI), menjadi tidak jelas, bahkan absurd.
Apa lagi alasan yang dicantumkan dalam TAP MPRS No. XXXIII 1967 yang menuduh
Presiden/Mandataris tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban Konstitusionalnya, sangat
sumir,
tidak dijelaskan apa bentuk konkrit pelanggaran yang dilakukan, padahal Ketetapan itu
menyangkut perubahan ke-tata-negaraan yang sangat fundamental, yaitu menjatuhkan seorang
Presiden Konstitusional.
843
Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 itu, lebih dirasakan sebagai ketetapan emosional atau balas
dendam.
Oleh karena itu alasan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI yang diangkat oleh MPRS
untuk
menggulingkannya sebagai Presiden dan mencabut semua hak politiknya, dengan mengatasnamakan wewenang Konstitusi, landasannya sangat rapuh.
Ketetapan MPRS No. XXXIII 1967, mengandung kekurang-cermatan Konstitusional yang
memerlukan koreksi.
844
BAB IX
"SUKARNOISME" DAN "DE-SUKARNOISASI"
SEGERA setelah Presiden Sukarno diturunkan dari tahta kekuasaan dan mencabut
semua hak politiknya, ia pun dikenakan tahanan, resminya diumumkan .1968 tapi
sebelumnya sudah dilakukan sampai wafatnya, 21 Juli 1970. Begitu ketatnya
penahanan ini, sehingga jenazahnya pun tidak boleh dibawa ke rumah keluarganya
(Ibu Fatmawati), tapi harus dibawa kembali ke tempat tahanannya di Wisma Yaso,
sebelum dimakamkan.
Banyak waktu untuk mengusut dan menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bagi
Bung Karno sebelum wafatnya, jika ia memang dianggap bersalah, untuk memenuhi
ketentuan pasal 6 Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 yang berbunyi:
Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir.
Sukarno, dilakukan menurut ketentuan- ketentuan hukum dalam rangka menegakkan
hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pj. Presiden.
Tapi ketentuan ini tidak pernah dilaksanakan, sedang vonnis sudah jatuh mendahului
penyidikan hukum yang seharusnya dilakukan. Azas "praduga tak bersalah" yang
dianut dalam sistim hukuom Republik Indonesia, tidak berlaku untuk kasus Bung Karno.
Sesudah Bung Karno digulingkan, histeria atas semua yang berbau Sukarno,
dikobarkan. Juli 1967 lahir apa yang dikenal dengan "Tekad Yogya", yaitu tekad para
Panglima KODAM se-Jawa tentang "de-Sukarnoisasi".
Jenderal A. H. Nasution dalam bukunya " Dari Kup 1 Oktober 1965 ke Sidang
Istimewa MPRS 1967", menyambut "Tekad Yogya" dengan mengatakan bahwa sikap
TNI dalam persoalan ini, dapat dimengerti (hal. 69).
De-Sukarnoisasi cepat sekali merebak seperti epidemic yang menyerang ke
mana-mana. Semua ajaran Bung Karno dinyatakan: Dilarang! Sampai-sampai Dasar
Negara, "Pancasila" yang dirumuskan oleh Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945,
harus diperlakukan sebagai bukan hasil pemikiran Bung Karno.
Ketika jajaran Pembina Politik di Departemen Dalam Negeri berusaha menahan
desakan arus bawah yang murni, bukan direkayasa, (di lingkungan GOLKAR katanya
ada arus bawah yang direkayasa, Pen.), yang mendukung tampilnya Megawati
Sukarnoputri memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang sedang mengalami
krisis kepemimpinan dalam kongres ke-V (Kongres Luar Biasa) di Surabaya (2-6
Desember 1993), ditudinglah Mega sebagai pewaris "Sukarnoisme" akan
menghidupkan kembali ajaran Sukarno yang selama ini tabu. Terutama yang paling
ditakuti, dihidupkannya kembali NASAKOM.
845
Ketakutan terhadap NASAKOM yang dianggap masih gentayangan, sangat tidak
logis, karena KOM (komunis) dalam kenyataan telah dibasmi dan tidak ada lagi.
Bukan saja Pemerintah telah membasminya, tapi juga golongan Agama dan
Nasionalis sudah menolaknya, sehingga persekutuan itu tidak lagi terkondisi untuk
direalisasi dan oleh karenanya tidak mungkin juga dimaterialisasikan.
NASAKOM bukan suatu pandangan hidup yang mempunyai perangkat teori. Di masa
hidupnya, hanya digunakan oleh masyarakat Indonesia waktu itu untuk satu tujuan
tertentu: bersatu. Ketika kebutuhan itu sudah lewat dan kondisinya berubah, maka
dasar hidupnya pun menjadi absurd.
Istilah "Sukarnoisme" juga mempunyai sejarah yang berada di luar keinginan Bung
Karno, bahkan ditolaknya.
Rupanya orang pura-pura melupakan siapa yang merekayasa lahirnya istilah
"Sukarnoisme' sebagai penamuan atas ajaran Bung Karno. Kalau para pembenci
ajaran Sukarno waspada, mereka tidak akan menggunakan "Sukarnoisme" sebagai
senjata mengintimidasi Megawati, karena bisa menampar muka sendiri.
Mengapa?
Karena bukan saja sejak diperkenalkannya istilah "Sukarnoisme", sudah mendapat
dukungan dari Angkatan Darat, juga " Sukarnoisme" adalah satu ajaran yang
dimanfaatkan oleh satu gerakan yang bernama "Badan Pendukung Sukarnoisme"
(BPS), menjelang kelahiran "Orde Baru". Organisasi ini bergerak di lingkungan pers,
radio dan televisi. Tokoh-tokohnya antara lain B.M. Diah, Adam Malik, Sayuti Melik,
J.K. Tumakaka, Harmoko, Sukowati, Djoehartono dan beberapa tokoh Angkatan
Darat lainnya.
Yang diterima menjadi anggota: surat kabar, majalah, wartawan profesional,
orang-orang yang mengaku wartawan, atau yang baru diangkat menjadi wartawan
dengan memenuhi syarat: Anti PKI. Mereka memperkenalkan diri sebagai organisasi
persurat-kabaran, sama dengan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Ini untuk
menghindarkan supaya tidak dituduh sebagai organisasi tandingan PWI (Persatuan
Wartawan Indonesia). Tapi SPS sama sekali tidak menerima keanggotaan wartawan
atau orang yang baru diangkat menjadi wartawan seperti yang dilakukan oleh BPS.
Anggota SPS hanyalah perusahaan suratkabar, bukan perorangan. Organisasi ini
bergerak di bidang bisnis.
BPS didirikan pada 1 September 1964, setahun mendahului G30S dengan
mempopulerkan "Sukarnoisme" sebagai senjata untuk mendukung penyelesaian
revolusi dan terbentuknya masyarakat Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila
dan berpedoman MANIPOL/ USDEK.
Menurut siaran BPS, simpati langsung diperolehnya dari Jenderal A.H. Nasution, di
samping sejak awal juga sudah menerima dukungan dari Amerika Serikat. Tapi
846
dukungan Washington dikritik oleh pers Amerika sendiri sebagai satu kekeliruan,
karena terlalu cepat memberikan dukungan, sehingga menimbulkan kecurigaan
rakyat Indonesia.
Presiden Sukarno dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1965 mengatakan, tujuan
BPS yang sebenarnya ialah memecah persatuan nasional dengan
mengacau-balaukan pengertian NASAKOM. BPS malah dikatakan terlibat satu . BPS
malah dikatakan terlibat satu rencana jahat. Organisasi ini melakukan kriminalitas
politik dan kriminalitas biasa.
Sebelum pidato ini, pada 17 Desember 1964 Presiden sudah membubarkan BPS dan
pada 23 Pebruari 1965 memerintahkan supaya semua atribut BPS ditutup dan
dihentikan kegiatannya. "Sukarnoisme" yang dimaksudkan sebagai ajaran Bung
Karno, di tangan BPS menjadi lain artinya, yaitu menunggu momentum untuk
menghancurkan ajaran itu.
Tugas BPS sebenarnya, dinyatakan dalam program perjuangannya yaitu berperan
sebagai champion social dengan melakukan economic reform dan political reform,
satu tatanan baru yang menolak tatanan ekonomi dan politik yang sedang
operasional, seperti yang digariskan oleh Bung Karno dan sudah disahkan menjadi
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh MPRS.
Oleh tindakan Bung Karno di atas, BPS merasa dirinya telah menjadi martir dari satu
perjuangan. Maka pada 13 Nopember 1982, bertempat di kantor PWI (waktu itu
beralamat jalan Veteran 7-C), diadakan pertemuan sehari yang dipimpin oleh ketua
PWI (tokoh BPS) Harmoko (kemudian Menteri Penerangan 3 periode berturut-turut),
dihadiri kurang lebih 50 wartawan bekas anggota BPS.
Pertemuan ini mengangkat sejarah kepahlawanan orang-orang BPS melawan
komunis dan sekutu-sekutunya, yang berhasil meruntuhkan PKI dan lahirlah ORDE
BARU.
Sepuluh tokoh BPS yaitu: 1. Sumantoro, 2. Asnawi Idris, 3. Suhartono, 4. Sutomo
Sutiman, 5. Sumantri Martodipuro, 6. Tengku Sjahril, 7. H.A. Dahlan, 8. Arif Lubis, 9.
Sayuti Melik dan 10. Zein Efendi, dianugerahi Piagam Penghargaan "Satya Penegak
Pers".
Di samping itu pada 1983, diterbitkan buku yang berjudul "Perlawanan Pers Indonesia
BPS terhadap gerakan PKI", ditulis oleh Tribuana Said dan D.S. Muljanto. Buku ini
sangat menarik, karena membuka baju penyamaran BPS dan memakai baju aslinya
sambil mengakui adanya hubungan BPS dengan unsur-unsur Angkatan Darat dan
beberapa partai politik MURBA, NU, IPKI dan PSII.
Tipu muslihat lain yang menyesatkan, ditampilkannya program ikut membantu,
membela, memberikan penerangan dan mendukung kebijaksanaan Pemerintah Pusat
(Orde Lama) sebagai konsekwensi berdirinya BPS di belakang Pemimpin Besar
847
Revolusi Bung Karno, untuk menyelesaikan revolusi serta sebagai pengemban
"Sukarnoisme".
Untuk mencapai semua ini, dijanjikan langkah menjaga pelaksanaan "Sukarnoisme"
dengan seksama, berusaha mengumpulkan buku- buku ajaran Bung Karno sejak
zaman perjuangan di masa penjajahan, sampai pada zaman kemerdekaan, guna
disebar-luaskan dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Berusaha
mengumpulkan ucapan-ucapan Bung Karno, baik yang tertulis mau pun tidak, dulu
dan sekarang sampai pidato TAVIP dan ajaran-ajaran pada waktu-waktu selanjutnya
Tapi dalam kenyataan, semua itu hanyalah jargon. Terbukti sesudah Bung Karno
ditumbangkan, semua ajaran Bung Karno disapu bersih.
Oleh karena itu Bung Karno tidak keliru menilai BPS sebagai gerakan "to kill
Sukarnoisme" - hendak mematikan ajaran Sukarno.
Ketika memerintahkan pelarangan seluruh atribut BPS dalam rapat umum PWI "Maju
Tak Gentar", Bung Karno menegaskan lagi, BPS itu anti NASAKOM. NASAKOM
adalah wadah yang diciptakan oleh Bung Karno untuk mempersatukan kekuatan
nasional melawan neokolonialisme/imperialisme dan membangun tanah air.
NASAKOM disetujui oleh 10 partai politik yang ada di Indonesia dalam pertemuan di
Istana Bogor 12 Desember 1964: PNI, NU, PKI, PERTI, PARTINDO, PSII, MURBA,
IPKI, Partai Kristen dan Partai Katolik yang melahirkan Ikrar 4 pasal:
1. Mendukung politik konfrontasi dengan Malaysia.
2. Memelihara persatuan nasional yang progresif revolusioner
berporoskan NASAKOM.
3. Menempuh musyawarah dalam menyelesaikan sengketa tanah.
4. Membantah issue bahwa Bung Karno akan meletakkan jabatan.
Tinggal seorang B.M. Diah dengan suratkabarnya "Merdeka", mantan pemimpin
tertinggi BPS, sesudah ia tidak lagi menjadi Menteri Penerangan dalam Kabinet I
Orde Baru, tampil membela Bung Karno dan ajarannya dari gilasan bekas
kawan-kawan seperjuangannya yang - dulu berjuang bersama-sama dalam BPS. Ia
dulu menjadikan BPS sebagai senjata untuk melawan komunis dan bukan rnelawan
Sukarno, seperti yang dilakukan teman-temannya yang lain.
Sementara BPS sendiri semakin berterus terang membuka rahasia, dengan
mengakui bahwa organisasinya memang gerakan kewartawanan dan bukan
semacam SPS yang hanya mengurus masalah bisnis persurat-kabaran.
Hal ini sudah diantisipasi oleh PWI sejak semula dan mengambil langkah-langkah
untuk ditaatinya ketentuan Peraturan Dasar PWI, yang tidak membenarkan
848
anggotanya rnerangkap menjadi anggota organisasi kewartawanan nasional selain
PWI.
Itulah sebabnya, pada waktu itu PWI menjatuhkan skorsing terhadap semua
anggotanya yang menjadi anggota BPS.
Untuk selanjutnya BPS tidak perlu lagi berbicara banyak, karena tinggal
menggaris-bawahi apa yang ditulis pendukung mereka di luar negeri, seperti Ricklefs
yang menyambut bahwa BPS dibentuk oleh sekelompok wartawan yang anti PKI,
Van der Kroef mencatatnya sebagai organisasi anti PKI yang dilarang. Sedang Legge
mengatakan, BPS adalah salah satu langkah dalam membangun tirai asap ideologis
dari mana suatu kampanye anti PKI dapat diluncurkan. Semua pengakuan ini dapat
dibaca dalam buku "Perlawanan Pers Indonesia BPS Terhadap Gerakan PKI".
BPS-lah yang menciptakan "Sukarnoisme" dan sekarang menjelma menjadi hantu
untuk menakut-nakuti orang.
849
BAB X
PNI YANG MALANG
SEBUAH film dokumenter yang diproduksi oleh ABC melukiskan kegiatan CIA di
berbagai negara, dengan sasaran pokoknya menghancurkan komunis, bukan saja di
negara-negara sosialis Eropa Timur dan Cina, tapi juga dinegara-negara bukan
komunis yang kuat partai komunisnya, seperti Italia dan Indonesia.
Mengenai Indonesia, film ini merekam ulang kunjungan Bung Karno ke Uni Sovyet
dan Cina pada tahun 1956, di mana dilukiskan Bung Karno bermesraan dengan
komunis. Tentu saja gerak-gerik Bung Karno dibayangi terus oleh CIA, bahkan
merupakan obsesi yang makin lama makin memuncak dan akhirnya bermuara pada
Gerakan 30 September yang membawa CIA kepada kemenangan sempurna di
Indonesia. Untuk kemenangan itu, Presiden Richard Nixon (AS) menilai bahwa
perubahan politik di Indonesia tahun 1966, merupakan kemenangan terbesar bagi
Amerika di Asia Tenggara, sesudah sebelumnya mengalami kekalahan yang
memalukan di Vietnam.
Tampil sebagai salah satu narrator pada bagian mengenai Indonesia, Dewi Ratnasari
(istri Bung Karno wanita Jepang) yang berpindah-pindah tinggal di Amerika, Perancis
dan Jepang. Ia mengemukakan bagaimana kegiatan CIA menggulingkan Sukarno
sambil mengemukakan pula bahwa dalam penumpasan Gerakan 30 September 1965,
dua juta rakyat Indonesia dibantai. Mengenai pembantaian ini, pers atau
penulis-penulis Barat hanya mencatat angka 500.000, meski pun angka yang lebih
kecil ini, sudah lebih dari cukup untuk mendirikan bulu roma, namun tidak terlalu
diributkan.
Hardi, SH., salah satu ketua PNI dalam periode 19631966, bercerita bahwa pada
bulan Mei 1965 ia merasa sangat gelisah melihat pesta peringatan 45 tahun
berdirinya PKI. Waktu itu sinarnya sang surya mulai galak menggarang warga
ibukota. Tapi sekali-sekali tampak langit kelabu sebagai tanda peralihan ke musim
kemarau. Dalam pikirannya, suatu kekeringan dalam politik pun akan datang,
kegersangan politik akan muncul, di mana PKI akan melancarkan perebutan
kekuasaan. Ia berpikir dan berpikir terus. Satu firasat semakin merasuk pikirannya,
apakah ini sekedar bayangan atau impian tanpa sadar.
Tapi yang mendorong timbulnya firasat itu, ialah keinginannya memperoleh
kesempatan bertemu muka dengan Bung Karno.
Pada 18 Mei 1965, ia diterima oleh Bung Karno, katanya di kamar tidurnya di Istana
Merdeka. Maka disampaikanlah perhitungan politiknya bahwa PKI akan merebut
kekuasaan dengan mengemukakan sebagai alasan, terjadinya peristiwa Bandar Betsi
di mana seorang Pembantu Letnan dibunuh oleh BTI karena sengketa tanah, aksi
sepihak yang dilancarkan oleh BTI di Klaten (Jawa Tengah) dan Banyuwangi (Jawa
Timur) melawan pemilik tanah anggota-anggota PNI. Semua itu adalah senamsenam
850
revolusioner yang merupakan persiapan menuju perebutan kekuasaan. "Kita semua
khawatir negara Rl atir negara Rl yang Pancasila, mau dirubah menjadi negara
komunis, maka kita pasti akan yang Pancasila, mau dirubah menjadi negara
komunis, maka kita pasti akan mengalami malapetaka dan perang saudara", kata
Hardi kepada Bung Karno.
Lalu Bung Karno minta, supaya ia berjuang terus dan "baik juga sekali-sekali datang
ke mari berbicara dengan saya". kata Bung Karno kepadanya menurut Hardi.
Hardi mengatakan, Bung Karno tidak mengoreksi atau menyanggah pendapat ini.
Malah kata Bung Karno - Menurut Hardi -, "Ya, jika begitu, saya dapat mengikuti dan
mengerti perasaanmu".
"Dengan terjadinya peristiwa G30S/PKI sebagai perwujudan nyata firasat yang
dikemukakan dalam pembicaraan dengan Bung Karno pada tanggal 18 Mei 1965,
sering menimbulkan rasa penyesalan yang tidak habis-habisnya, karena Bung Karno
ternyata melupakan warning voice yang tersirat dalam firasat seorang muridnya".
Hardi mengatakan bahwa ia adalah murid Bung Karno.
Pada tahun 1968, sewaktu Bung Karno sudah dikenakan karantina politik di Istana
Bogor, Hardi bersama istrinya diundang nonton wayang kulit di Istana Bogor dan
kebetulan mendapat tempat duduk persis di kursi belakang Bung Karno. Bung Karno
berbisik kepadanya, "Mas Hardi, achteraf heb je gelijk"(Mas Hardi, ternyata engkau
benar). Hardi mengatakan, andaikata pikirannya diperhatikan oleh Bung Karno,
G30S/PKI dapat dicegah.72)
Dalam kasus ini, Hardi juga perlu disesali, mengapa "perhitungan politiknya yang
begitu penting tidak disampaikan kepada aparat keamanan, padahal aparat
keamananlah yang harus bertindak jika ada sesuatu yang membahayakan negara".
Tapi berbeda dengan Hardi, Mayor Jenderal Alamsyah Ratu Prawiranegara, mantan
Sekretaris Negara dan pernah Menteri Agama Rl, justru mempunyai penilaian,
G30S/PKI tidak mungkin terjadi jika PNI tidak menjalankan politik yang mendekatkan
diri kepada PKI.73)
72) Hardi, Bung Kamo Dalam Kenangan, hal. 32-38, disajikan dalam
peringatan Hari Wafat Bung Kamo 21 Juni 1991 yang diselenggarakan
oleh Yayasan MARINDA Jakarta.
73) Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, hal. 142
Kedua penilaian yang berbeda itu, hakekatnya penilaian hitam- putih yang sederhana
tanpa mempertimbangkan relasinya dengan aspek lain seperti peran Amerika,
terutama CIA, yang berprespektif terjadinya tragedi nasional dan berakhir dengan
digulingkannya Presiden Sukarno, yang bagi Amerika Serikat menjadi tujuan pokok.
851
PNI yang mempunyai keterkaitan historis-ideologis dengan Bung Karno, yang
seharusnya tampil melindungi pada saat-saat yang paling kritis dalam sejarah
kepemimpinannya, justru bersikap munafik. Ketika Bung Karno dinista oleh
komponen Orde Baru dan menuntutnya supaya di-MAHMILLUBKAN, PNI tidak
membelanya. Pemimpin- pemimpin PNI yang bekerja sama dengan Orde Baru,
dengan cara kasar mengambil alih kepemimpinan Partai dalam Kongres
Pemersatuan yang dipenuhi intrig dan ancaman, dengan melibatkan unsur luar partai.
Kongres Pemersatuan di Bandung dari tanggal 24 sampai 28 April 1966 itu,
mengingkari komitmen PNI terhadap Bung Karno sebagai pendiri PNI dan Bapak
Marhaenisme yang disahkan dalam 2 kali kongres, dengan klimaksnya mengeluarkan
Pernyataan Kebulatan Tekad 21 Desember 1967.
Pernyaratan kebulatan Tekad menegaskan bahwa di bidang ideologi, Marhaenisme
bukan lagi ditafsirkan seperti rumusan penciptanya, yaitu sebagai Marxisme yang
diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia dan alat persatuan anti imperialisme,
kapitalisme dan feodalisme, melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio
Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Sedangkan di bidang politik dengan tegas PNI
menyatakan melaksanakan ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 yang tidak
menghendaki lagi kembalinya kepemimpinan politik Sukarno dan menyatakan PNI
tidak terikat pada pemikiran-pemikiran politik Sukarno Prediksi "Bapak Marhaenisme"
yang selama ini melekat pada diri Bung Karno, ditiadakan.74)
74) Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, hal. 197.
Sebelum Pernyataan Kebulatan Tekad diambil, pada tanggal 11 Desember 1967,
Dewan Pimpinan PNI yang diwakili oleh Hardi, SH., Mh. Isnaeni dan Gde Djaksa,
SH., menghadap Soeharto. Mereka minta supaya Pak Harto membantu PNI
mempercepat proses konsolidasi dan kristalisasi Partai. Soeharto mengatakan
bahwa sikapnya terhadap PNI, akan tergantung bagaimana sikap Angkatan Darat.
Oleh karena itu pada tangal 14 Desember 1967, Osa Maliki, Mh. Isnaeni dan Gde
Djaksa menemui pejabat Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Maraden
Panggabean, untuk menanyakan bagaimana sikap Angkatan Darat terhadap PNI.
Jika PNI memang tidak diperlukan, maka partai ini segera dibubarkan. Panggabean
menjawab bahwa dengan segala kejujuran dan keikhlasan, Angkatan Darat ingin
memberikan bantuan kepada PNI dalam usahanya melakukan konsolidasi dan
kristalisasi.
Penegasan Panggabean ini, oleh PNI disampaikan lagi kepada Pak Harto dan pada
tanggal 21 Desember 1967, datanglah Osa Maliki, Mh. Isnaeni dan Gde Djaksa
menghadap Pak Harto dan menyerahkan Pernyataan Kebulatan Tekad.
Sejak itu, Bung Karno sudah ditempatkan oleh PNI pada satu posisi yang tidak lagi
didukung.
852
Tapi sejak itu pula PNI mencatat bagaimana massanya berbondong- bondong
meninggalkan partainya dan dalam Pemilihan Umum I yang diselenggarakan~oleh
Orde Baru 1971, partai yang bertanda gambar "Banteng dalam segi tiga" ini
mangalami kekalahan tragis dengan hanya kebagian 8% suara, untuk kemudian
mengumumkan kematiannya dengan memasuki fusi ke dalam Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) tanpa melalui putusan Kongres, bergabung dengan partai-partai kecil:
MURBA, IPKI, Partai Katolik dan Partai Kristen. PNI mengakhiri eksis- tensinya
sebagai partai terbesar simbul nasionalisme Indonesia yang pernah menjadi partai
nomor I dalam Pemilihan Umum I 1955.
Sebetulnya PNI dibangun oleh Bung Karno bersama teman-teman sepahamnya,
untuk mewadahi berbagai aliran politik yang ada di Indonesia, dipersatukan dalam
satu ideologi baru yaitu MARHAENISME. Marhaenisme dirumuskan sebagai satu
ajaran yang mempunyai konsep dasar perjuangan baru melawan penjajahan,
kapitalisme dan feodalisme, setelah Bung Karno melihat terpecah belahnya tiga aliran
politik besar yang ada, yaitu: Budi Utomo yang nasionalistis tapi Jawa sentris,
Serikat Dagang Islam yang menekankan kesetiaan kepada agama, dan Partai
Komunis Indonesia yang kebarat-baratan karena menganut paham sosialisme Barat
dan Marxisme. Usaha Bung Karno mempersatukan aliran-aliran politik dalam
Permufakatan Perhimpunan- Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI),
mengalami kegagalan. PNI dengan Marhaenismenya diharapkan bisa menjadi Partai
Pelopor mepersatukan semua kekuatan politik yang ada. Tiga aliran besar yang
merupakan realitas kekuatan politik di Indonesia, diperhitungkan akan mampu
menumbangkan penjajahan, apabila berjuang bersama-sama dalam satu koordinasi
yang baik.
Program ini mendapatkan rumusan yang lebih sempurna dalam Pidato 1 Juni 1945
yang dikenal dengan Pidato "Lahirnya Pancasila", yang kembali menekankan
mutlaknya persatuan seluruh kekuatan rakyat untuk menopang kemerdekaan.
29 Mei sampai 1 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) atau yang dalam bahasa Jepangnya disebut "Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai", bersidang di Jakarta di bawah pimpinan ketuanya, dr. K.R.T. Radyiman
Wediodiningrat. Sidang diminta oleh ketua supaya mengemukakan dasar bagi Negara
Indonesia Merdeka.
Bung Karno sebagai pembicara terakhir, mengemukakan secara terperinci mengenai
dasar yang dimaksud, diucapkan tanpa teks dan isi pidatonya dicatat dalam suatu
"stenografische verslag" secara lengkap.
Radjiman Wediodiningrat ketika memberikan Kata Pengantar untuk penerbitan buku
pidato yang bersejarah itu tertanggal Walikukun 1 Juli 1947 menulis:
".........Selama fasisme Jepang berkuasa di negeri kita,
Democratische Idee tak pernah dilepaskan oleh Bung Karno,
853
selalu dipegangnya teguh-teguh dan senantiasa dicarikannya
jalan untuk mewujudkannya. 75)
75) Sukamo, Pancasila sebagai Dasar Negara, Inti Idayu Press
Yayasan Pendidikan Sukamo, Jakarta, 1986.
Democratische Idee yang dimaksud ialah Pidato Lahirnya Pancasila yang dikatakan
oleh Bung Karno sebagai Philosofische grondslag daripada Indonesia Merdeka atau
satu Weltanschauung di atas mana kita mendirikan negara Indonesia.
Weltanschauung ini, Kata Bung Karno, harus kita bulatkan di dalam hati dan pikiran
kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Kita bersama-sama mencari persatuan
Philosofische grondslag, mencari Weltanschauung yang kita semua setujui.
Ini berarti kita harus mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu
orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan mau pun golongan yang
kaya, - tetapi "semua buat semua".
Pendek kata, bangsa Indonesia, natie Indonesia bukanlah satu golongan yang hidup
dengan "le desir d'etre ensemble" seperti yang dikatakan oleh Ernest Renan, di atas
daerah yang kecil seperti Minangkabau, Madura, Jawa, Sunda atau Bugis, tapi
bangsa Indonesia yaitu seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik tinggal di
kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatera sampai Irian.
Seluruhnya, karena antara manusia 70.000.000 (waktu itu, pen) sudah ada "le desir
d'etre ensemble": sudah jadi "Karakter- gemeinschaft", Natie Indonesia, bangsa
Indonesia jumiah orangnya 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang menjadi satu. 76)
76) Sukarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Inti Idayu Press.
Yayasan Pendidikan Sukarno, Jakarta 1986.
Pidato ini diterima oleh sidang dengan aklamasi dan kemudian dirumuskan menjadi
Pancasila yaitu 5 dasar Negara Republik Indonesia yang didirikan pada tanggal 17
Agustus 1945. Dasar negaranya dulu yang dirumuskan, barulah di atas dasar itu
didirikan Negara Republik Indonesia.
Itulah sebabnya 1 Juni disebut sebagai hari lahirnya Pancasila yang menjadi dasar
lahirnya Republik Indonesia.
Namun Bung Karno ditentang oleh kekuatan besar dan dengan dibantu G30S/PKI
yang sayap militernya dipimpin oleh kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infantri I
Kodam V Jaya) dan letnan kolonel Untung Samsuri (Komandan Batalyon I Resimen
Tjakrabirawa) serta seorang tokoh sipil misterius yang bernama Kamaruzzaman,
berhasil menciptakan momentum yang menentukan bagi terjungkirnya kekuasaan
Sukarno.
854
Ide besar yang diperjuangkan oleh Bung Karno, dipaksa mengubah nilai seperti
dirumuskan oleh PNI gaya baru, dan kali ini Bung Karno tidak mampu lagi banting
stir.
Tragisnya, dengan sikap pimpinan PNI yang ikut mendiskreditkan Bung Karno, tokh
tidak berhasil tampil sebagai juru selamat bagi PNI, meski pun sudah begitu banyak
memberikan konsesi politik. Sikap Orde Baru terhadap PNI, tetap mencurigainya
mempunyai keterkaitan ideologis dengan Sukarno. Oleh karena itu, untuk
memastikan kehancuran Sukarno, PNI juga harus dihancurkan, karena bagaimana
pun tetap ada kekhawatiran bahwa dalam tubuh PNI masih mengendap kekuatan
Sukarno yang pada saatnya yang tepat, berusaha bangkit kembali.
Dr. Elisio Rocamora dari University of Phylippines dalam thesisnya untuk meraih
gelar Doctor di Cornell Univesity (AS), menulis bahwa pada tahun 1966 dan 1967
Angkatan Darat melakukan pembersihan terhadap PNI dengan alasan yang dicari-cari
bahwa PKI telah melakukan penyusupan ke dalam pimpinan PNI. Kalangan pimpinan
Orde Baru yang melihat Sukarno sebagai bajingan besar, membayangkan PNI
sebagai salah satu alat utamanya. Menurut tema propaganda ini, pimpinan PNI
membiarkan dirinya diperalat Presiden Sukarno dan PKI, agar dapat memetik
keuntungan dari dominasi keduanya, dalam politik Demokrasi Terpimpin setelah
1963.
Memang mudah menangkis tuduhan ini dengan menyebutnya sebagai propaganda
pemerintah yang seenaknya sendiri. Tapi sampai taraf tertentu, hal ini mencerminkan
ke-tidak-percayaan yang mendalam terhadap PNI dan ke-tidak-sediaan untuk
mempercayai bahwa partai ini sudah banyak berubah dan bukan lagi PNI yang
terombang- ambing dan oportunistik.77)
77) J. Elisio Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi. Grafiti, 1991,
hal. 436.
Bukan saja terus menerus dipompakan kepada masyarakat dengan sangat
melebih-lebihkan kekuatan PKI sebagai bahaya laten dan potensial, tapi sejak
kembali ke UUD 1945 dan diberlakukannya UU Darurat (SOB), kegiatan partai-partai
dibatasi dengan sangat ketat. Tokohtokoh partai yang duduk dalam Kabinet, harus
menyatakan keluar dari partainya masing-masing, sehingga menutup kemungkinan
bagi partai-partai membuat keputusan besar di tingkat nasional. Dalam sistim
Demokrasi Terpimpin, yang mengendalikan kegiatan politik adalah Presiden. Dan
karena berlakunya UU SOB, maka dalam prakteknya Angkatan Darat yang
menjalankan kekuasaan, berperan membatasi kegiatan partai-partai politik.
Dengan menggunakan UU SOB itu juga, Konstituante yang memang macet, terus
dibubarkan dan diganti dengan MPRS yang anggota- anggotanya diangkat oleh
Presiden. DPR hasil Pemilihan Umum 1955, diganti dengan DPR Gotong Royong
yang anggota-anggotanya meski pun sebagian besar masih terdiri dari hasil PEMILU
(1955), tapi semuanya diangkat oleh Presiden. Anggota-anggota MASYUMI dan PSI
855
tidak dimasukkan lagi baik dalam DPR mau pun MPRS karena kedua partai itu
dianggap terlibat pemberontakan PRRI/PERMESTA, maka kedudukan mereka
digantikan oleh wakil-wakil golongan fungsional, misalnya fungsional politik,
fungsional sarjana, fungsional Angkatan Bersenjata, fungsional buruh, fungsional tani,
fungsional pemuda, fungsional wanita, fungsional wartawan dan sebagainya.
Meski pun peran partai kemudian berangsur-angsur dilonggarkan, tapi PNI sudah
cukup menjadi lemah, terutama karena adanya Peraturan Presiden No. 2/1959 yang
melarang semua pegawai negeri golongan F- 1 ke atas menjadi anggota sesuatu
partai. Di sini PNI sangat dirugikan, karena anggota-anggotanya banyak yang
menduduki jabatan tinggi di jajaran birokrasi.
Ada pun PKI tidak terlalu dirugikan, karena anggotaanggota mereka tidak banyak
yang menduduki jabatan atas di birokrasi.
Dengan pelonggaran itu, PNI bisa bangkit. Di samping bisa menduduki jabatan
Gubernur di Jawa Tengah. (Mochtar), juga berhasil merebut 23 dari 34 Kepala Daerah.
Dalam keadaan SOB, memang terasa pihak militer berusaha merebut pengaruh
politik, karena wakil-wakil mereka duduk di DPRGR dan MPRS. Usaha ini dilakukan
lewat Badan Kerjasama dengan militer dan Front Nasional. Namun kedua-duanya
gagal, karena baik Bung Karno mau pun partai-partai enggan bekerja sama.78)
78) Ibid, hal. 345.
Dalam laporan DPP PNI pada sidang Badan Pekerja Kongres (1961 ) dikatakan
bahwa selama periode 1960-1961 , kegiatan anti partai Angkatan Darat merupakan
satu-satunya rintangan paling penting bagi upaya PNI membangun kembali dirinya
untuk memperoleh pengaruhnya yang dulu, terutama di daerah-daerah.
Larangan kegiatan politik yang mula-mula diumumkan Juni 1959, diperpanjang masa
berlakunya pada bulan September 1960 dan sekali lagi diperpanjang Januari 1961.
Dengan kewenangan peraturan ini, Panglima Daerah Militer menghalangi PNI dan
partai-partai lainnya menggelar rapat raksasa dan berbagai kegiatan yang diperlukan
untuk memperoleh dukungan masyarakat. Malahan simbul semua partai pernah
dilarang pemasangannya.79)
79) Suluh Indonesia, 8 September 1960 dan 18 Januari 1961.
Pada waktu itu PNI berusaha memperkecil kekuasaan politik militer yang terasa
makin besar. Pada 16 September 1960 DPP PNI mengirimkan telegram kepada
Presiden/Panglima Tertinggi, memprotes Peraturan Penguasa Perang Tertinggi
(PEPERTI), yang melarang kegiatan politik. Dan pada bulan Agustus 1961, PNI
mendesak diakhirinya undang-undang SOB. Juga PNI mempersoalkan lemahnya
sikap Angkatan Darat terhadap sisa- sisa pemberontakan PRRI/PERMESTA.80)
856
80) Putusan Sidang BPK PNl, Agustus 1961.
Mungkin karena sikap-sikap yang sedemikian itu, menyebabkan Angkatan Darat
sangat mencurigai PNI setelah Orde Baru.
Pukulan berat yang dirasakan oleh PNI ialah ketika DPP pada bulan April 1961 harus
menyerahkan daftar anggotanya kepada Pemerintah memenuhi ketentuan Peraturan
Presiden No.13/1960 untuk memastikan apakah sesuatu partai mempunyai hak hidup
atau tidak. PNI hanya mampu menyampaikan daftar yang memuat 198.554 nama
yang harus dilengkapi dengan tanda-tangan dari masing-masing nama.
Jumiah ini dianggap memalukan, karena PNI dalam PEMILU 1955 keluar sebagai
partai terbesar nomor satu dengan mengumpulkan 8.434.653 pemilih, mengungguli
MASYUMI yang hanya mengumpulkan 7.903.886 pemilih.
Baru dalam Kongres di Purwokerto (1963), DPP memberikan laporan, telah
menyampaikan kepada Pemerintah 1.855.119 nama anggota PNI, Jumiah ini tetap
masih kecil, tapi dianggap sudah ada kemajuan. Hal ini menimbulkan persoalan di
kalangan partai-partai kecil, yang menuntut supaya PNI tidak lagi dianggap- sebagai
partai besar dan dengan demikian jumiah kursi yang diberikan kepadanya di DPRGR
dan MPRS harus dikurangi. Kursi yang diduduki PNI dalam DPRGR misalnya,
bertambah jika dibandingkan dengan jumiah kursi yang diraihnya dalam PEMILU
1955 dari 57 menjadi 80 kursi. Ini dimungkinkan karena banyak anggota baru yang
formalnya mewakili golongan fungsional, tapi mereka berasal dari organisasi
kemasyarakatan PNI.
Kemerosotan PNI juga dikarenakan pengaruh pembentukan Kabinet Kerja 9 Juli 1959
setelah Dekrit kembali ke UUD 1945 (5 Juli 1959); di mana semua Menteri Kabinet
meski pun berasal dari sesuatu partai, diharuskan keluar dari keanggotaan partainya.
D.engan ketentuan ini ditambah dengan dilarangnya semua pegawai negeri golongan
F - 1 ke atas menjadi anggota partai, aktifitas PNI terpengaruh menjadi kendor. Ini
memang harus diakui juga sebagai akibat satu kelemahan di bidang managemen
organisasi partai.
Ditambah lagi dengan persoalan intern yang memperlemah posisi partai, yaitu
beberapa tokoh tertentu dari PNI ikut dalam gerakan "Liga Demokrasi" bersarna
dengan MASYUMI, PSI, IPKI dan Partai Kristen menentang pembubaran DPR hasil
PEMILU 1955. Sikap ini tentu saja merugikan PNI ke dalam, karena partai sudah
menentukan sikap tidak menolak pembentukan DPRGR sebagai pengganti DPR hasil
PEMILU.
Liga Demokrasi dibubarkan oleh Pemerintah. Kemudian palam merumuskan
manifesto Dasar-dasar Pokok Marhaenisme, timbul lagi kesulitan, kali ini dengan
Bung Karno sebagai Bapak Marhaenisme. Rumusan pertama yang disusun oleh
Sayuti Melik, ditolak oleh Bung Karno. Kemudian dibentuk panitia Perancang yang
dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo (ketua umum PNI) dengan anggotaanggota intinya
857
Roeslan Abdulgani, Sayuti Melik dan Osa Maliki. Memahami apa keberatan Bung
Karno mengenai rumusan yang disusun oleh Sayuti Melik, maka panitia Ali
memberikan konsesi identitas ke kiri dengan menyetujui dasar Marhaenisme ialah
Pancasila, Demokrasi Terpimpin, Manipol (Manifesto Politik) dan Sosialisme
Indonesia. Tapi Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia yang
diinginkan oleh Bung Karno supaya masuk sebagai identitas Marhaenisme, tidak
masuk dalam rumusan.
Yang keras menolaknya ialah Sayuti Melik dan Osa Maliki, sedang Ali
Sastroamidjojo dan Roeslan Abdulgani bersedia memahami keinginan Bung Karno.
Rumusan tersebut kembali tidak disetujui oleh Bung Karno. Dalam pidatonya pada
peringatan ulang tahun ke36 lahirnya PNI (7 Juli 1963) di Stadion Utama Senayan, Ali
Sastroamidjojo menegaskan bahwa Marhaenisme adalah doktrin dan program
perjuangan berdasarkan sosialisme ilmiah yang dikembangkan di Indonesia.81)
81) Ali Sastroamidjojo, Mari Terus Menunaikan Kewajiban Kita, hal. 18
Akhirmya dasar-dasar pokok Marhaenisme dirumuskan dalam sidang Badan Pekerja
Kongres PNI di Lembang pada bulan Nopember1964 yang dikenal sebagai "Deklarasi
Marhaenis" dan diterima oleh Bung Karno, di mana ditegaskan antara lain:
Bahwa perjuangan untuk membela kaum Marhaen menentang musuh-musuhnya,
yaitu kapitalisme, Nekolim dan feodealisme adalah suatu perjuangan yang paling
terhormat, suci dan mulia.
Partai Nasional Indonesia/Front Marhaenis adalah alat bagi kaum Marhaen untuk
memperjuangkan dan merealisasikan cita-citanya yaitu kemerdekaan penuh dan
Dunia Baru.
Oleh karena itu setiap Marhaenis harus senantiasa membajakan diri dan mendidik
dirinya di dalam teori dan praktek perjuangan rakyat untuk menjadi Marhaenis yang
lebih baik lagi sebagai murid-murid yang terbaik dan terpercaya dari Bapak
Marhaenisme Bung Karno.
Marhaenisme ajaran Bung Karno yang dicetuskan pada tahun 1927 bersamasn
dengan berdirinya PNI yaitu sebagai hasil penarikan pelajaran yang tepat dari praktek
perjuangan rakyat Indonesia dan rakyat-rakyat lainnya di muka bumi, yang ditindas
dan dimelaratkan oleh sistim kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, merupakan
senjata ampuh di tangan kaum Marhaen sebagai azas dan cara perjuangan serta
memberikan semua landasan yang kokoh kuat, yang menjamin kemenangan kaum
Marhaen dengan menggalang semoa kekuatan nasional.
Untuk mendatangkan kemenangannya kaum Marhaen, mereka harus diorganisir
dalam satu barisan Front Marhaenis yang teratur, dinamis dan berdisiplin yang di
dalam segala haloya menyelamatkan kaum Marhaen.
858
Disebutkan dalam Deklarasi, pada 1 Januari 1966 sampai dengan 31 Desember 1968
diselenggarakan kongres-kongres atau konperensi- konperensi di segala tingkat
untuk melaksanakan retooling atas dasar penggeseran pimpinan partai ke tangan
unsur-unsur yang membela kepentingan Marhaen.
Bisa dimengerti bahwa "Deklarasi Marhaenis" menjadi masalah besar, terutama bagi
pimpinan yang merasa terancam akan digeser, karena tidak memenuhi syarat bagi
menegakkan PNI/Front Marhaenis sebagai Partai Pelopor.
Menurut Dr. J. Eliseo Rocamora, para pemimpin konservatif PNI sangat sadar akan
arti penerapan Deklarasi Marhaenis. Mereka berusaha sekuat tenaga menentangnya.
PNI Jawa Tengah yang menjadi benteng kekuatan konservatif partai, menolak
orientasi kegiatan partai harus sejalan dengan rencana kerja Deklarasi Marhaenis.
Tapi perlawanan seperti itu, hanya mempercepat jatuhnya para pemimpin konservatif
tersebut.82)
82) J. Eliseo Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi, hal. 383
Perbedaan pendapat dalam tubuh PNI, sebetulnya bukanlah sesuatu yang perlu
menjadi sensasi, jika saja hal itu dipahami sebagai kewajaran dalam sistim
demokrasi. Tapi kalau perbedaan pendapat tidak lagi dapat dianggap sebagai
kewajaran, maka sangat mudah dimanfaatkan oleh pihak ke tiga dan
dimungkinkanlah terjadinya perubahan nilai.
Golongan oposisi dalam PNI mengundang pihak ke tiga untuk membantunya dan
tanpa disadari justru pihak ke tiga inilah yang memetik keuntungan.
Dalam mengelola konflik intern partai, agaknya ke dua belah pihak yang berbeda
pendapat, lalai mengantisipasi rekayasa dari luar yang sudah lama berusaha
melemahkan PNI.
Itulah yang menyebabkan Kongres Pemersatuan di Bandung dari tanggal 24 sampai
dengan 28 April 1966, terjerumus dalam kekusutan, tidak berhasil menemukan solusi
yang tepat dan arif untuk menyelesaikan perbedaan pendapat. Kongres digiring untuk
melakukan "balas dendam" dengan bantuan rekayasa pihak ke tiga. Akibatnya,
kepemimpinan PNI hasil Kongres Pemersatuan, tidak bisa bersikap mandiri lagi,
hanyut terbawa arus. Terbukti dalam PEMILU pertama yang diselenggarakan oleh
Orde Baru (1971), PNI yang ikut sebagai kontestan, terhempas habis-habisan, hanya
kebagian 8% suara. Sebagian besar massanya berpaling memilih tanda gambar lain
yang bukan "Kepala Banteng Dalam Segitiga", mereka memilih GOLKAR, kontestan
baru dengan tanda gambar "Beringin", yang berhasil mengumpulkan 64.5% suara.
Kepemimpinan PNI gaya baru, kehilangan pamor dan sekaligus menyebabkan:
859
1. Hancurnya PNI sebagai partai besar yang pernah menjadi simbol
Nasionalisme Indonesia yang berjuang untuk demokrasi, anti
kapitalisme, imperialisme dan feodalisme.
2. Ikut berperan menjatuhkan Bung Karno, Bapak Marhaenisme, dari
tampuk kepemimpinan nasional.
Alangkah malang nasib PNI
Tapi penyesalan selalu datangnya terlambat. Bukankah Yudas Iskariot, murid Yesus
yang mengkhianat, menebus penyesalannya dengan menggantung diri di pohon? Ia
tewas bersama pengkhianatannya ....... Kongres Pemersatuan PNI yang ternyata
tidak mempersatukan di Bandung akhir April 1966, disusul Nopember tahun itu juga
dengan sidang Majelis Permusyawaratan Partai,yang tugas pokoknya mencabut "
Deklarasi Marhaenis" rumusan Marhaenisme yang disahkan oleh sidang Badan
Pekerja Kongres PNI di Lembang, Nopember 1964. Rumusan itu dinyatakan sebagai
penyelewengan, oleh karenanya harus dicabut. Deklarasi ini disetujui oleh Bung
Karno, dan dianggap sebagai rumusan Marhaenisme yang benar, sesuai dengan
pemikiran Bung Karno ketika menciptakan paham Marhaenisme. Sidang MPP PNI
gaya baru, tidak memperdulikan rekomendasi dari Bung Karno dan tetap
menganggap "Deklarasi Marhaenis" satu penyelewengan.
Sidang membuat rumusan baru yang menyatakan bahwa Marhaenisme sebagai
ideologi dan paham politik, hanya mengandung tiga unsur:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Sosio-Nasionalisme
3. Sosio-Demokrasi.
lewat lembaga-lembaga Legislatip dan Eksekutip, di mana PNI dan Gerakan Massa
Marhaen diwakili; Meningkatkan aktifitas-aktifitas di dalam masyarakat sebagai
sumbangan yang kongkrit berupa amalan yang nyata dalam rangka mengadakan
perbaikan-perbaikan di bidang-bidang termaksud di atas.
E. MENGENAI KERJA SAMA DENGAN KEKUATAN- KEKUATAN PANCASILA-IS
LAINNYA.
1. PNI dengan segenap Organisasi Massanya menyadari bahwa
penunaian tugas nasional yang berat sebagaimana digambarkan di
atas, tidak dapat dilaksanakan sendirian oleh satu kekuatan sosial
politik dan atau oleh pemerintah saja.
2. Berhubung dengan hal-hal termaksud di atas, maka PNI dengan
segenap Organisasi Massa-nya tidak akan berhenti-henti untuk
berusaha bekerja sama dengan pemerintah beserta segenap
aparaturnya, dengan segenap kehuatan sosial politik Pancasilais
860
lainnya yang menunjuLkan itikad baik dan kesediaan untuk diajak
bekerja sama dan memupuk partnership dengan ABRI.
F. BIDANG ORGANISASI
1. Di dalam usaha mengisi dan membina Orde Baru ini, maka PNI dengan segenap
Organisasi Massa-nya meyakini bahwa semua kekuatan sosial politik harus
melaksanakan kristalisasi dan konsolidasi daiam tubuhnya masing-masing.
2. PNI dan segenap Organisasi Massanya menyadari bahwa dalam tubuh PNI dan
Organisasi Massanya harus juga diadakan kristalisasi dan konsolidasi, agar supaya
tubuh sehat, dewasa, militant dan trampil untuk dapat menunaikan tugas perjuangan
yang berarti itu.
3. Konsolidasi dan kristalisasi yang dimaksud di atas meliputi:
a. Menghilangkan mental Orde Lama dan menumbuhkan serta
mengembangkan mental Orde Baru dalam arti kata yang
sebenar-benarnya.
b. Meningkatkan tenaga-tenaga pimpinan Partai/ Organisasi Massa PNI
hingga terdiri dari pemimpinpemimpin yang memenuhi syarat- syarat
dan mampu melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas.
c. Terus menerus mengadakan penyempurnaan di bidang Organisasi
Partai/Organisasi Massanya.
d. Membersihkan diri dari unsur-unsur negatip di dalam tubuh
PNI/Organisasi Partai/Organisasi Massanya, dan yang mengganggu
pelaksanaan tugas suci sebagaimana digambarkan di atas.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi perjuangan kita sekalian.
Jakarta, 20 Desember 1967
Desember 1967 Pada bulan September 1966, Panitia Peneliti Ajaran Pemimpin Besar
Revolusi yang dibentuk oleh MPRS, diketuai Osa Maliki, datang kepada Bung Karno.
Ada Roelan Abdulgani, Sanusi Hardjadinata dan bersamaan itu kebetulan hadir juga
Pak Harto dan Ibu Wachid Hasyim. Sebelum itu, Bung Karno baru saja mengatakan
di depan pertemuan Angkatan 45, bahwa ia seorang Marxis. Oleh karena itu, dalam
pertemuan ini, Ibu Wachid Hasyim minta: "mbok Bung Karno tidak usah menyatakan
sebagai seorang Marxis, kami kan .tidak percaya kalau Bung Karno itu seorang
Marxis"
861
Menurut cerita Osa Maliki, menjelang penyelenggaraan sidang MPP, pimpinan PNI
menghadap ke Istana dan Bung Karno berpesan, hendaknya Deklarasi Marhaenis
terus berlaku. Tapi kata Osa, DPP PNI tidak dapat menerimanya.
Namun Osa Maliki sebagai ketua umum PNI dalam ceramahnya yang berjudul
"Marhaenisme berlawanan dengan Marxisme" yang dimuat dalam brosur "Keterangan
Azas PNI" (1968), mengatakan bahwa Marxisme Bung Karno adalah Marxismenya
Bung Karno sendiri, bukan Marxisme dari abad ke-19, bukan Dogmatic Marxis. Bung
Karno adalah seorang Marxis Revisionis.
Sepanjang ingatan saya, memang Bung Karno berulang-kali mengatakan bahwa ia
seorang Marxis Revisionis, karena menolak filsafatnya yang atheis (mengingkari
Tuhan). Bung Karno menyetujui Marxisme mengenai hukum dialektikanya, yaitu
metode berpikir dalam memecahkan soal-soal masyarakat.
Dalam uraiannya yang disampaikan di hadapan peserta kursus kaum ibu di Gedung
Agung Yogyakarta pada tahun 1 946 (yang kemudian dibukukan menjadi "Sarinah")'
Bung Karno sudah mengatakan - bahkan diulanginya dalam berbagai kesempatan -,
bahwa dalam cita-cita politiknya, ia seorang nasionalis, dalam cita- cita sosialnya, ia
seorang sosialis dan dalam cita-cita sukmanya, ia seorang theis yang percaya
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Osa Maliki Sendiri mengakui bahwa Bung Karno sebagai seorang Marxis,
menggunakan Marxisme untuk menghancurkan imperialisme dan kapitalisme.
Dengan hancurnya kedua sistim ini, akan menguntungkan dan memberikan
kebahagiaan kepada kaum Marhaen.
Bung Karno menyesuaikan Marxisme dengan kondisi Indonesia. Meski pun Marx
mengajarkan bahwa imperialisme dan kapitalisme harus dilawan oleh proletar, tapi
Bung Karno berkata: Apakah di Indonesia hanya proletar saja yang ada dan
berjuang?
Ajaran Marx dianalisa oleh Bung Karno dengan melihat sejarah bermacam-macam
revolusi di dunia.
Revolusi Amerika ( 1776), bukan revolusi rakyat, tapi revolusi militer. Angkatan
Perang Amerika dengan kekuatan senjatanya melawan kolonialisme Inggris.
Revolusi Perancis (1789), juga bukan revolusi rakyat, tapi revolusi kaum middenstand
(golongan menengah) yaitu kaum borjuasi yang menggunakan kekuatan rakyat.
Revolusi India juga revolusi kaum middenstand atau revolusi swadesi yang tidak
berhasil.
862
Revolusi Indonesia menurut analisa Bung Karno, bukan revolusi militer yang waktu itu
tidak ada, bukan revolusi middenstand atau borjuasi, karena golongan ini di Indonesia
sangat lemah. Yang ada ialah rakyat yang ditindas oleh penjajahan.
Tapi tanya Bung Karno: Rakyat itu siapa? Apakah proletar atau bukan? Akhirnya ia
sampai kepada studi bahwa yakyat Indonesia sebagian terbesar bukan proletar.
Memang ada proletarnya sedikit yang hidupnya dengan menjual tenaga kepada
pemilik modal, tapi lebih banyak petani kecil yang memiliki alat-alat produksi seperti
tanah yang sempit, punya pacul dan cangkul, tapi hidupnya melarat dan sengsara.
Banyak lagi golongan masyarakat lainnya seperti kaum kromo yang mempunyai
rumah gubuk dan alat-alat pertanian, tapi hidupnya melarat. Mereka itulah yang
terlibat dan mendukung revolusi.
Golongan ini dinamakan oleh Bung Karno sebagai kaum Marhaen yang menjadi
tulang punggung perjuangan nasional. Beda sekali dengan pengertian Marxisme yang
menunjuk kepada proletar untuk menghancurkan imperialisme dan kapitalisme.
Mereka dirugikan oleh imperialisme dan dihisap oleh kapitalisme/feodalisme, tapi
mereka bukan proletar.
Bung Karno menolak diktatur proletariat dan perjuangan klasnya, jadi bagaimana ia
bisa dikatakan seorang Marxis.
Inilah alasannya mengapa banyak orang keberatan, terutama tokoh-tokoh PNI gaya
baru, jika Bung Karno mengaku seorang Marxis. Artinya, Bung Karno tidak tepat
mengaku seorang Marxis, karena beberapa prinsip Marxisme ditolaknya. Mereka
tidak memahami bahwa pengakuan "seorang Marxis" yang digunakan oleh Bung
Karno itu, digunakan dalam pengertian metafora, pengakuan politis untuk kebutuhan
politik, bukan dalam arti hakiki. Bahkan Bung Karno mengakui, dia seorang Marxis
Revisionis.
Padahal Amerika selalu berupaya membendung kegiatan politik Bung Karno, bukan
semata-mata karena masalah "Marxis" atau "komunis", tapi terutama sekali karena
Bung Karno tidak mau tunduk pada keinginan Amerika. Sampai sekarang pun
Amerika tidak menolak bermesraan dengan komunis Cina dan Vietnam, karena
kedua negara itu membuka pintu bagi penanaman modal Amerika dan pasarnya
dibuka bagi pemasaran hasil industri Amerika.
PNI gaya baru yang menyesuaikan diri dengan trend politik baru di Indonesia, dengan
sikap pragmatis yang kaku dan dirayu ilusi, merasa tertarik untuk menyatakan bahwa
Bung Karno BUKAN BAPAK MARHAENISME, sehingga dengan demikian,
Marhaenisme yang menjadi asas PNI, rumusannya bisa direvisi, disesuaikan dengan
selera baru, dengan tidak perlu lagi memperhitungkan sikap Bung Karno.
Sejak 1927 ketika Marhaenisme pertama kali diperkenalkan oleh Bung Karno sampai
1965, paham ini diterima penuh dan tidak pernah diributkan. Setiap warga PNI dengan
bangga meneriakkan: Marhaen Jaya dan Hidup Bung Karno Bapak Marhaenisme!
863
Setelah era Orde Baru, segalanya menjadi terbalik. Tokoh-tokoh PNI gaya baru,
mengingkari Bapaknya, untuk sekedar mengharapkan "pengakuan".
Tapi malangnya, semua itu tidak menolong. Sebaliknya yang terjadi ialah keruntuhan
total PNI, sebuah partai besar simbul nasionalisme Indonesia.
PNI tersungkur dalam posisi pimpinannya berkolaborasi dengan kekuatan yang justru
hendak menghacurkannya.
Berikut ini Pernyataan Kebulatan Tekad pemimpinpemimpin PNI gaya baru yang ikut
menggulingkan Presiden Sukarno. Akibatnya, setelah Bung Karno di gulingkan, di
luar perhitungan pemimpin- pemimpin PNI,PNI sendiri yang dihancurkan.
PERNYATAAN KEBULATAN TEKAD
DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI NASIONAL INDONESIA
Beserta
SEGENAP DPP/PRESIDIUM ORGANISASI MASSA P.N.I.
SETELAH menyadari sedalam-dalamnya bahwa:
1. Negara Republik Indonesia dan Pancasila sebagai dasar dan falsafah
negara hingga kini masih mendapatkan tantangan dan rongrongan baik
dari sisa-sisa kekuatan G30S/PKI atau pun dari kekuatan-kekuatan anti
Pancasila lainnya.
2. Keadaan politik, ekonomi - kebudayaan - keagamaan dalam
masyarakat Indonesia masih jauh dari apa yang dicita-citakan oleh
rakyat Indonesia.
KEMUDIAN dari pada itu, setelah meyakini, bahwa untuk menanggulangi
masalah-masalah termaksud di atas, segenap potensi PNI - Organisasi Massanya:
berlandaskan azas partai yaitu Marhaenisme dengan tatsiran dan
perumusan yang asli/murni dan bebas dari pengaruh- pengaruh
Marxisme; yang terkonsolidasi dan telah mengalami Kristalisasi secara
positip;
harus ditingkatkan perjuangannya untuk mengamankan dan mengamalkan Pancasila,
untuk menyumbangkan amal dan dharma baktinya kepada negara, bangsa dan
masyarakat Indonesia guna mensukseskan Dwi Dharma dan Catur Karya Kabinet
Ampera bersama-sama dengan kekuatan Pancasilais lainnya dalam keadaan rukun
dan damai dengan semangat gotong royong sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi
Pancasila.
Dengan menegaskan kembali pendirian dan sikap sebagaimana telah diputuskan oleh
kongres Persatuan/Kesatuan PNI tanggal 24 - 28 April 1966 di Bandung, Keputusan
864
Sidang M.P.P. ke I dan Sidang MPP ke 11 dan sekaligus MENYATAKAN
KEBULATAN TEKAD, sebagai berikut:
A. BIDANG IDEOLOGI
1. Azas PNI adalah "MARHAENISME" yang rumusannya sebagaimana
telah ditegaskan dalam Yudya Pratidina Marhaenis ialah: Ketuhanan
Yang Maha Esa, Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi.
2. Rumusan termaksud di atas, sebagaimana telah ditegaskan dalam
"Yudya Pratidina Marhaenis" sebagai pengganti "Demokrasi Marhaenis"
adalah rumusan dan tafsiran asli/murni sejak tabun 1927 dan sama
sekali bebas dari pengaroh-pengaruh Marxisme.
3. Dengan azas Marhaenisme yang arti, sifat dan rumusannya sebagai
dimaksud di atas itulah, maka PNI dengan segenap Organisasi
Massa-nya secara konsekoen akan melanjutkan perjuangan untuk
menegakkan, mengamalkan dan melaksanakan Pancasila serta
melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen dalam rangka mengisi dan membina Orde Baru.
B. BIDANG POLITIK
1. Dengan melempar jauhjauh mental Orde Lama, PNI dengan
Organisasi Massa-nya bertekad bulat untuk mengisi dan membina Orde
Baru, yang tidak bisa lain dari pada Orde Pancasila.
2. P.N.I. dengan segenap Organisasi Massa-nya bertekad bulat untuk
bersama-sama dengan kekoatan Pancasilais lainnya - mengikis habis
sisa-sisa G.30.S./PKI dan kekuatan-kekuatan lainnya yang hendak
merongrong/ meniadakan Pancasila.
3. PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya berketetapan hati untuk
melaksanakan Ketetapan MPRS No: XXXIII/MPRS/1967, secara
konsekuen, halmana berarti tidak menghendaki kembalinya Dr. Ir.
Soekarno dalam Kepemimpinan Negara/Pemerintah Nasional.
4. Mengingat hal-hal di atas, maka di dalam melaksanakan garis
politiknya - PNI dan Organisasi Massanya sebagai Partai/Ormas
bersikap bebas halmana berarti tidak terikat pada pola pemikiran
politik Dr. Ir. Soekarno.
C. MENGENAI MASALAH DR. IR. SOEKARNO
865
1. PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya akan tetap menjauhkan
diri dari sikap Kultus individu terhadap siapa pun juga termasuk terhadap Dr. Ir. Soekarno.
2. Sebagai konsekuensi dari pada pendirian termaksud di atas, dan
untuk mencegah pen-salah tafsiran terhadap gelar "Bapak
Marhaenisme" sebagaimana diputuskan oleh Sidang MPP ke II dari
PNI pada tanggal 20 - 25 Juli 1967, maka gelar "Bapak Marhaenisme"
ditiadakan.
D. BIDANG EKONOMI-SOSIAL-KEBUDAYAAN DAN KEAGAMAAN
Dengan berpedoman kepada Yudya Pratidina Marhaenis dan Bina Dharma (Program
Partai), PNI dengan segenap Gerakan Massa Marhaen akan terus berjuang sekuat
tenaga memberikan amal dan dharma bakti kepada negara, bangsa dan masyarakat
dalam bentuk:
Konsepsi-konsepsi yang positip di bidang ekonomi-sosial- kebudayaan dan
keagamaan, yang disalurkan
Sosio-Nasionalisme yang dianut, ialah nasionalisme kemasyarakatan yang menolak
chauvinisme. Yang dikembangkan, ialah paham kebangsaan gotong-royong yang
berdasarkan hidup kemasyarakatan dan berperikemanusiaan. Paham ini anti
imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, menolak
segala macam bentuk kapitalisme, termasuk kapitalisme negara.
Sosio-Demokrasi ditafsirkan sebagai demokrasi lengkap meliputi: demokrasi politik,
ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Demokrasi politik, mengakui hak setiap warganegara dan orang, hidup
sama makmur, sama mengatur penghidupan dan kehidupan.
Demokrasi ekonomi, mengakui hak setiap warganegara dan orang
secara luas dan baik, dalam bidang perekonomian.
Demokrasf sosial, mengakui hak setiap warganegara dan orang
mendapat penghargaan yang sama sebagai makhluk sosial, mengakui
hak setiap orang mencapai tingkat kemajuan dan kedudukan sosial,
sesua! dengan bakat dan kemampunannya.
Demokrasi kebudayaan, mengakui hak setiap warganegara dan orang
menikmati keindahan dan manfaat kebudayaan.
Ditegaskan oleh sidang MPP, bahwa tidak ada satu pun basic ideas Marxisme yang
dianut oleh Marhaenisme, meski pun Bung Karno mengatakan: ada! Dalam hal ini
Orde Baru yang anti PKI, lebih rasional dibandingkan PNI gaya baru, karena ORBA
866
tidak mengingkari, eksistensi Marxisme sebagai ilmu yang diakui oleh ilmuwan
secara global.
Ketua Umum PNI gaya baru, Osa Maliki, mengatakan dalam satu ceramahnya, baru
pada tahun 1958 Bung Karno menjelaskan bahwa Marhaenisme adalah: het in
Indonesia toegepaste Marxisme- Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan
sesuai dengan kondisi Indonesia.
Sesudah Kongres Pemersatuan di Bandung, Osa Maliki dan beberapa tokoh PNI
lainnya menghadap Bung Karno di Istana Bogor. Osa Maliki berkata kepada Bung
Karno dalam bahasa Jerman: "Im Marhaenisme leben wir und sterben wir allen?"
Bung Karno menjawab: "Marhaenisme dalam arti Marxisme yang diterapkan di
Indonesia".
Osa Maliki lalu mengatakan lagi: "Kami mengerti, tapi persoalannya bukan itu.
Pancasila sekarang sedang terancam, Pancasila dalam bahaya".
Bung Kàrno lalu bertanya kepada yang lain, bagaimana pendapat mereka. Prof. Usep
Ranumihardja (Sekjen) yang menjawab: "Bagi kami, Marhaenisme itu sesuai dengan
apa yang pernah diterangkan oleh Bung Karno sendiri dalam satu kesempatan di
Universitas Padjajaran Bandung, yaitu: Marxisme hanya sebagai metode berpikir
saja. Bung Karno tidak membantah.
DEWAN PIMPINAN PUSAT
PARTAI NASIONAL INDONESIA
Ketua Umum, Sekretaris Jenderal II
(Osa Maliki) (I.G.N. Gde Djaksa)
DEWAN PIMPINAN PUSAT/PRESIDIUM
ORGANISASI MASSA PNI
1. Kesatuan Buruh Marhaenis (K.B.M.)
Ketua, Sekretaris Jenderal, (Abdul Madjid) (Rasjid St. Radjamas)
2. Pesatuan Tani Nasional Indonesia (PETANI)
Ketua, Sekretaris Jenderal,
(Sadjarwo S.H.) (Sunardjo)
3. Gerakan Wanita Marhaenis (G.W.N.)
Ketua, Sekretaris Jenderal,
867
(Ny. A.S. Gani S.) (Ny. S. Abadi)
4. Gerakan Pemuda Marhaenis
Ketua, Sekretaris Jenderal,
(Daud Sembiring) (Hendrik Wangge)
5. Gerakan Sarjana Rakyat Indonesia (I.S.R.I.)
Ketua, Sekretaris Jenderal,
(Ir. A. Sarbini) (A. Nasution S.H.)
6. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (G.M.N.I)
Ketua, Sekretaris Jenderal,
(Soerjadi) (Budi Hardjono)
7. Gerakan Nelayan Marhaenis (G.N.M.)
Ketua, Sekretaris Jenderal,
(I.B.P. Manuaba) (Kusbara Bsc)
8. Gerakan Pendidik Marhaenis
Ketua, Sekretaris Jenderal,
(Karim M. Doerjat) (Ny: Samingatun K.)
9. Gerakan Siswa Nasional Indonesia (G.S.N.I.)
Ketua, Sekretaris Jenderal,
(Sopingi) (Sam Arajad)
JAWABAN SOEHARTO
Sehari kemudian, Pak Harto menjawab Pernyataan Kebulatan Tekad PNI sebagai
berikut:
Jakarta, 21 Desember 1967
868
Kepada Yth.
DEWAN PIMPINAN PUSAT P.N.I
di Jakarta
Nomor: 6-57/PRES/12/1967
Sifat : PENTING/SEGERA
Lampiran :
Perihal : HAK HIDUP BAGI P.N.I.
Memperhatikan surat DPP PNI No. 587/DPP/ Pol/040/67 dan Pernyataan Kebulatan
Tekad PNI tanggal 20 Desember 1967, perihal seperti pada pokok surat ini, dengan
ini saya sampaikan hal-hal berikut:
1. Mengenai hak hidup dan perlindungan hukum bagi partai-partai politik pada
dasarnya saya berpegang teguh pada jiwa ketetapan MPRS No.XXII dihubungkan
dengan pasal 5 ketetapan MPRS No. XIX, hal ini berarti bahwa kehidupan kepartaian
dewasa ini tetap dijamin berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang
masih berlaku.
2. Dengan sendirinya partai politik harus berdasarkan diri pada keseluruhan jiwa,
semangat dan ketentuan hasil sidang Umum ke IV dan sidang Istimewa MPRS,
khususnya di bidang ideologi dan politik, secara kongkrit partai-partai politik harus:
a. Dibidang Ideologi: menerima, mempertahankan dan mengamalkan
PANCASILA sebagai dasar falsafah negara secara murni dan
konsekuen, sebaliknya tidak mendasarkan pandangan dan kegiatan
secara langsung atau tidak pada Marxisme-Leninisme;
b. Dibidang politik: menerima dan mempertahankan Undang- Undang
Dasar 1945, hal ini berarti menjunjung tinggi kehidupan konstitusionil
dan melenyapkan segala bentuk kultus individu terhadap siapa pun
juga:
3. Sangat disayangkan, bahwa dalam waktu-waktu yang lalu, PNI sebagai partai mau
pun pemimpinpemimpinnya dan anggota- anggotanya telah melakukan
tindakan-tindakan politik yang setidak- tidaknya bertentangan dengan jiwa, semangat
dan ketentuan- ketentuan sidang Umum ke IV MPRS dan sidang istimewa MPRS itu,
antara lain ialah:
a. Niat DPP PNI untak menyerahkan piagam kepada Dr. Ir. Soekarno
sebagai "Bapak Marhaenis";
b. Anggota PNI di daerah-daerah masih ingin mempertahankan
kepemimpinan Dr. Ir. Soekarno, halmana berarti berusaha
mengembalikan Orde Lama dan menentang Orde Baru;
869
c. Terlibatnya anggota-anggota PNI dalam kegiatan-kegiatan gelap
sisa-sisa G.30.S/PKI;
4. Disamping "Deklarasi Marhaenis" yang merumuskan Marhaenis sebagai Marxisme
yang diteraphan dan disesuaikan dengan kondisi-kondisi Indonesia dianggap oleh
keknàtan-kehuatan Orde Baru sebagai pola pikiran yang membahayakan
PANCASILA.
5. Hal-hal tersebut pada angka 3 dan 4 di atas mengakibatkan kecurigaan
golongan-golongan lain terhadap PNI sehingga penguasa-penguasa di daerahdaerah
terpaksa mengambil tindakan sementara terhadap PNI.
6. Secara keseluruhan dapat dinilai bahwa proses peng-Orba-an dalam tubuh PNI
belum terlaksana. Dasar peng-Orba-an yang perlu dilakukan dan dibuktikan oleh PNI
adalah:
a. Di bidang Idiologi:
Di hilangkannya segala bentuk pola pikiran Marxis dari cara berpikir
PNI;
b. Di bidang politik
Di hentikan segala bentok hubungan PNI dengan Dr. Ir. Soekarno;
yang kesemuanya itu mutlak diperlukan untuk membuktikan kemauan
dan maksud baik dari PNI, sebagai anggota keluarga- besar Orde Baru
di satu pihak, dan di lain pihak, justru untuk menghilangkan kelemahan
prinsipiil bagi PNI sendiri yang telah menimbulkan keraguraguan
partner-partner Pancasilais lainnya.
7. Dengan telah dikeluarkannya Pernyataan Kebulatan Tekad DPP PNI beserta
segenap DPP/Presidium Organisasi Massa PNI yang disampaikan kepada saya,
maka saya menilai bahwa dilihat dari segi materinya PNI telah mampu meletakkan
kembali landasanlandasan di bidang N deologi dan politik yang sesuai dengan
semangat dan tekad Orde Baru seperti yang saya tunjukkan dalam angka 6 di atas.
8. Langkah-langkah nyata yang perlu segera dilakukan dan dibuktikan oleh PNI
adalah melaksanakan dengan penuh kejujuran dan kesungguhan isi pernyataan
Kebulatan Tekad tersebut sehingga meyakinkan kekuatan-kekuatan Orde Baru
lainnya. Dengan adanya langkah itu maka penguasa-penguasa di daerah tidak perlu
lagi mengambil tindakan yang dirasakan merugikan PNI dan Organisasi Massa PNI
lainnya walau pun tindakan-tindakan itu telah terpaksa dan harus dilakukan untuk
mengamankan perjuangan menegakkan Orde Baru.
9. Dengan adanya Pernyataan Kebulatan Tekad dan pengertian- pengertian tersebut
pada angka 8 di atas, maka saya akan mengambil langkah-langkah yang perlu untuk
memberi petunjuk- petunjuk kepada semua penguasa di daerah untuk membantu
870
usaha usaha PNI dalam melakukan kristalisasi dan konsolidasi kekuatan Orde Baru
dalam tubuhnya.
10.Demikianlah tanggapan saya terhadap surat DPP PNI tersebut di atas dan
langkah-langkah yang perlu segera diwujudkan oleh PNI dan Organisasi-Organisasi
Massa PNI, baik di tingkat pusat mau pun daerah, sehingga hak hidup dan
perlindungan hukum bagi PNI dan Organisasi-Organisasi Massa PNI benar-benar
dapat dijamin atas dasar-dasar yang kuat realistis dan menjamin keselamatan
perjuangan menegakkan Orde Baru.
PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd SOEHARTO
JENDERAL - T.N.I
Tembusan:
1. Menteri Pertahanan/Keamanan;
2. Menteri Dalam Negeri
3. Jaksa Agung
4. Arsip
871
BAB Xl
CATATAN AKHIR:
SEBERKAS TEKA-TEKI
SEWAKTU hendak mengakhiri tulisan ini, kondisi di Indonesia kokoh bertahan pada
penilaian tunggal mengenai "Gerakan 30 September 1965". Gerakan itu sepenuhnya
menjadi tanggung jawab PKI, apalagi tokoh-tokohnya yang diadili, mengakui demikian.
Namun ironisnya, Sukarno, Presiden Republik Indonesia waktu itu, juga harus ikut
bertanggungjawab, dituduh ikut terlibat gerakan yang hendak menjatuhkan
kekuasaannya sendiri (coup d'etat). Sebuah logika aneh yang direkayasa.
Penilaian ini sudah baku dan tidak kunjung surut sampai seperempat abad lebih
lamanya. Sampai-sampai K.H. Abdurrahman Wahid, ketua Umum Pengurus Besar
NU, penerima Magsaysay Award 1993, menganggap sangat menyedihkan bahwa
tregedi 1965 itu tidak pernah muncul dalam teater kita 83). Karena teater bisa
mengungkapkannya secara utuh dan lebih transparan.
33) "Kompas" 21 Oktober 1993
Penilaian tunggal yang selalu dinyatakan dalam "paduan suara", menyebabkan
dilupakannya pertanyaan mendasar: Mengapa akan terjadinya Gerakan 30
September 1965 sama sekali tidak sempat diantisipasi oleh Inteligen ABRI, sehingga
tidak ada pula tindakan preventif untuk menangkalnya?
Kenyataan ini sangat rumit untuk dimengerti bisa terjadi dalam sistim Inteligen kita,
karena persiapan gerakan, cukup transparan.
Statement terbuka anggota Politbiro CC PKI, Anwar Sanusi, sebelum kejadian, yang
menyatakan bahwa ibukota sudah hamil tua dan paraji (bidan) sudah tersedia untuk
menolong kelahiran bayi yang ditunggu-tunggu, seharusnya dapat dianalisis oleh Intel
ABRI, apa yang tersirat di balik kata- kata itu, mengingat situasi politik sudah begitu
panas.
Juga pidato ketua Politbiro CC PKI, D.N. Aidit pada penutupan kongres Consentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), sebuah organisasi kemahasiswaan yang
berafiliasi dengan PKI, 28 September 1965 di ISTORA Senayan, menganjurkan
kepada CGMI yang menuntut pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), supaya
membubarkannya sendiri saja, karena Pemerintah tidak mau melakukannya,
seharusnya sudah diantisipasi sebagai satu tantangan terbuka.
Di samping itu, Mayor Jenderal Sugandhi yang pada waktu itu Kepala Penerangan
HAN KAM, seperti pengakuannya sendiri kepada tim pemeriksa yang
mengintrogasinya, juga sudah mengetahui akan terjadinya coup d'état, yang
872
disampaikan oleh D.N. Aidit kepadanya 3 hari sebelum peristiwa. Dengan keterangan
ini saja, sebetulnya G30S bisa dicegah sebelum meletus.
Sedang issue "Dewan Jenderal" hendak melakukan coup, sudah lebih lama
didesas-desuskan di masyarakat, sehingga sudah harus dipertimbangkan apa tujuan
desas-desus itu.
Semua ini merupakan petunjuk yang lebih dari cukup untuk menarik kesimpulan
bahwa ada sesuatu yang akan terjadi.
Atau apakah memang ada kesengajaan meloloskan terjadinya G30S, meski pun
dengan mengorbankan 6 Jenderal, agar ada alasan yang kuat untuk menghancurkan
PKI dan menggulingkan Sukarno, seperti yang dikehendaki oleh Amerika?
Oleh karena itu, keterlibatan Amerika Serikat dalam penyusunan skenario ini, patut
dipertimbangkan. Kegiatan Marshall Green, Duta Besar Amerika di Jakarta waktu itu,
sangat mencurigakan. Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk urusan Asia Timur dan
Pasifik (1964-1969), William P. Bundy dalam kata pengantarnya pada penerbitan
buku karya Marshall Green, "Dari Sukarno ke Soeharto" menulis,..... "apa yang
dilakukan oleh Pemerintah AS di Indonesia sejak pertengahan tahun 1965 hingga
1968, ialah pada dasarnya mengikuti nasehat Marshall Green mengenai pendekatan
pokok dan beberapa hal lainnya tentang bagaimana melaksanakan pendekatan itu.
Cerita itu dapat disebut keberhasilan suatu Misi yang membuat "Indonesia" menjadi
kisah keberhasilan yang sejati".84)
84) Marshall Green, Dari Sukarno ke Soeharto, hal. 164
Pengakuan yang lain datang dari wartawan Amerika, Arnold G. Brackman. Ia
menulis: "Apa yang terjadi di Indonesia pada hari- hari pertama yang menentukan
dalam bulan Oktober 1965, mungkin yang paling mencolok dalam zaman ini di Asia
sejak Mao bangkit berkuasa di daratan Cina pada 1949" 85).
85) Arnold G. Brackman, The Communist Collaps in Indonesia, hal. 1
Meski pun demikian, Marshall Green merasa perlu mengatakan bahwa AS tidak
terlibat di Indonesia, hanya memperoleh manfaat besar dari hilangnya kekuatan
komunis di negeri itu. Ia mengutip tulisan Lektor Kepala H. W. Brands dari Texas A &
M University dalam Journal of American History (Desember 1989) bahwa Amerika
Serikat tidak mendongkel Sukarno dan tidak bertanggungjawab terhadap ratusan ribu
jiwa yang tewas dalam penumpasan PKI. Oleh karenanya, kata Green, "kita tidak
punya alasan untuk meminta maaf karena masa lampau".
Sangkalan Marshall Green cukup berani, karena bukti-bukti yang diungkapkan dalam
dokumen-dokumen yang dikutip dari Presiden Johnson Library yang sudah
diumumkan di Amerika, justru mengungkapkan keterlibatan AS di Indonesia.
873
Bahkan menurut Russel H. Fifield dalam bukunya Southeast Asia in United States
Policy (hal. 404-440), untuk menangkal perkembangan yang mengkhawatirkan di
Indonesia, antara 1959- 1960 ahli-ahli strategi Amerika dan para Jenderalnya
mengadakan 7 kali pertemuan. Council on Foreign Relations mendirikan apa yang
dinamakan Study Group on Southeast Asia in U.S. Policy. Itulah rancangan awal
berdirinya ASEAN yang disiapkan oleh Amerika, kemudian diresmikan pada bulan
Agustus 1967 di Bangkok, di mana Indonesia masuk di dalamnya.
Korban penumpasan G30S/PKI, sangat besar. K.H. Abdurrahman Wahid, ketua
umum PB NU ketika diwawancarai majalah Mingguan Berita "Editor", mengakui
bahwa orang Islam membantai 500.0 eks PKI 86). Tentu masih ada lagi yang dibunuh
oleh yang tidak masuk "Orang Islam". Maka angka 1 juta seperti yang diumumkan
oleh Panitia Amnesti Internasional 87), bisa dimengerti.
86) Editor No.49/Tahun Vl/4 September 1993
87) Amnesty International, Getting Away With Murder Political killings
and "disappearances" in the 1990s, Amnesty International Publications, London
Kata Abdurrahman Wahid dalam wawancara itu, meski pun sudah begitu besar
korbannya, tidak ada sanak keluarga korban pembantaian yang masuk Islam. Malah
mereka mencari keteduhan jiwa dalam dendam mereka kepada Islam, dengan masuk
agama lain.
Namun sisi lain yang menjadi noda dalam sejarah, dikaitkannya G30S/PKI dengan
Bung Karno. Ada kekuatan yang menganggap Bung Karno sebagai dalangnya. Dalam
keadaan terdesak, Bung Karno menandatangani Surat Perintah 11 Maret
(SUPERSEMAR) yang terkenal itu. Tragisnya SUPERSEMAR itu juga yang
menggiring Bung Karno ke keruntuhannya, setelah disulap menjadi Ketetapan MPRS
No. IX/1966, berdasarkan konsep yang disusun oleh Prof. Dr. Ismail Suny, SH. MCL.,
Adnan Buyung Nasution, SH., Dahlan Ranuwihardjo, SH., dibantu oleh K.H. Achmad
Syaichu dan Subhan Z.E. yang disambut hangat oleh Ketua MPRS, Jenderal A.H.
Nasution.88) Dengan demikian, Surat Perintah itu tidak bisa dicabut lagi dengan
segala implementasinya yang terus bergulir sesuai dengan kebutuhan dan bermuara
pada keluarnya Ketetapan MPRS No.XXXIII/1968 yang menggulingkan Bung Kamo
sebagai Presiden R.l.
88) Keterangan Prof. Dr. Ismail Suny, SH., MCL. kepada "Forum
Keadilan", 11 Nopember 1993.
Padahal kenyataan menunjukkan bahwa yang menggagalkan gerakan lebih lanjut dari
sayap militer G30S/PKI justru Bung Kamo sendirii dengan dikeluarkannya Perintah
Lisan sebagai Penglima Tertinggi kepada Brigadir Jenderal Soepardjo, pimpinan
militer G30S/PKI di Halim pada 1 Oktober 1965 pagi, supaya menghentikan semua
operasi militer, pada saat G30S/PKI secara militer dalam posisi memegang inisiatif.
Perintah Usan Panglima Tertinggi ini mempunyai akibat langsung, di mana operasi
874
militer G30S/PKI berhenti seketika. Senjata yang ada di tangan para militer yang
berkekuatan 2 batalyon (unsur PKI), diperintahkan oleh AURI supaya dikumpulkan
dalam gudang dan rnenghentikan semua gerakan militer. Rencana hendak
menyerang KOSTRAD, langsung dibatalkan. Begitu juga rencana operasi militer
lainnya. Dengan demikian, KOSTRAD dengan mulus dapat menghancurkan
G30S/PKI tanpa menemui perlawanan.
Soepardjo sendiri begitu menerima Perintah Lisan dari Panglima Tertinggi, langsung
memastikan bahwa Gerakan 30 September sudah kalah. Seorang saksi mata yang
berada di Halim pada tanggal 1 Oktober 1965 itu mengatakan bahwa D.N. Aidit yang
berada di Sentral Komando G30S Halim begitu mendengar ada perintah supaya
menghentikan operasi militer dan mencegah pertempuran, memberikan reaksi marah
sekali. Laksamana Muda (Purn.) Wisnu Djayengminardo yang waktu itu komandan
Pangkalan Udara Halim mengatakan bahwa ia mendengar sendiri ucapan Soepardjo
yang dalam keputusasaannya mengatakan bahwa "kita sudah kalah", sambil duduk
di atas ubin.
Fakta ini semua tidak pernah dipertimbangkan sewaktu mengambil keputusan
menuding Bung Karno terlibat G30S/PKI.
Layaklah dalam peristiwa 30 September 1965 ini, tampil seberkas teka-teki.
Setidaknya tiga pertanyaan besar memerlukan jawaban.
1. Mengapa Gerakan 30 September 1965 tidak bisa dicegah sebelum
terjadi, padahal ada kesempatan? Petunjuk akan terjadinya gerakan itu,
begitu transparan.
2. Mengapa Perintah Lisan Bung Karno untuk menghentikan semua
Operasi Militer dan ditaati, tidak dipertimbangkan sebagai faktor utama
yang menggagalkan G30S/PKI?
3. Mengapa SUPERSEMAR yang hendak ditarik kembali oleh Presiden
Sukarno, secara mengejutkan disulap menjadi Ketetapan MPRS tanpa
persetujuan pembuat Surat Perintah itu yang kemudian digunakan
untuk menggulingkan Bung Karno sendiri? Tindakan menyulap itu
terlalu jelas mengisyaratkan tujuan akhirnya: Menggulinglan Bung Karno.
Hanya sejarah yang darahnya mengalir di sekujur tubuh bangsa, itulah yang dapat
menjawab dengan tepat, jika saatnya telah tiba.
Namun seperempat abad setelah wafatnya, terdaftar 9 juta peziarah mendatangi
makam Bung Karno di Blitar, untuk mengenang dan mendo'akan yang terbaik baginya.
Wartawan Keith Loveard menulis dalam "Asia Week" 29 Juni 1994, ia heran dan
sekaligus kagum, mengapa yang ditempelkan supir-supir taxi pada kaca mobil
mereka bukan gambar Presiden Soeharto tapi gambar Bung Karno. Wartawan ini
875
tidak memerlukan jawaban karena sepanjang perjalanannya menyusuri Indonesia
sepanjang 5000 Km, ia menemukan hanya satu nama yang sinonim dengan
Indonesia yaitu SUKARNO.
Demikianlah, usul mencabut TAP MPR No. XXXIII/1968 yang menggulingkan Presiden
Sukarno dengan alasan yang diciptakan, nampaknya terlalu berat untuk dikabulkan,
karena akibat ke-tata- negaraannya di khawatirkan menggoncangkan dan
memalukan. Tapi berbagai tindakan resmi untuk memperlemah secara berangsurangsur makna TAP MPR itu, mulai ditempuh, misalnya:
1. Pengakuan formal bahwa Bung Karno adalah Proklamator
Kemerdekaan bersama Bung Hatta.
2. Presiden Soeharto meresmikan makam Bung Karno di Blitar pada 21
Juni 1979, sebagai Makam Pahlawan.
3. Merubah nama Bandar Udara Internasional "Cengkareng" menjadi
"Bandar Udara Sukarno-Hatta".
Entahlah tindakan apa lagi selanjutnya yang akan diambil. Mungkin giliran " 1 Juni
sebagai Hari Lahir Pancasila" yang selama ini diingkari, akan diakui kembali.
Memang terlampau pahit untuk mengakui kesalahan.
Meski pun demikian, sejarah tidak pernah lalai mencatatnya.
876
Soeharto Dalang Pembunuhan Jenderal Achmad Yani?
Tabloid "Demokrat" edisi 12 - 18 AprilTabloid "Demokrat" edisi 12 - 18 April
Kesaksian bekas Menteri Pengairan Dasar zaman Orde Lama :
HARYA SUDIRJA bahwa Bung Karno menginginkan Menpangad Letjen Achmad
Yani menjadi presiden kedua bila kesehatan Proklamator itu menurun, ternyata sudah
lebih dahulu diketahui isteri dan putra-putri pahlawan revolusi tersebut.
"BAPAK sendiri sudah cerita kepada kami (isteri dan putra-putri Yani - red) bahwa dia
bakal menjadi presiden. Waktu itu Bapak berpesan, jangan dulu bilang sama orang
lain", ujar putra-putri Achmad Yani : Rully Yani, Elina Yani, Yuni Yani dan Edi Yani
- Sebelumnya diberitakan dalam acara diskusi "Jakarta - Forum Live, Peristiwa G30S/PKI, Upaya Mencari Kebenaran" terungkap kesaksian baru, yaitu beberapa hari
sebelum peristiwa kelam dalam sejarah republik ini meletus, Bung Karno pernah
meminta Menpangad Letjen Achmad Yani menggantikan dirinya menjadi presiden bila
kesehatan proklamator itu menurun.
Kesaksian tersebut disampaikan salah satu peserta diskusi :Harya Sudirja.
Menurut bekas Menteri Pengairan Dasar zaman Orde Lama ini, hal itu disampaikan
oleh Achmad Yani secara pribadi pada dirinya dalam perjalanan menuju Istana Bogor
tanggal 11 September 1965.
Putra-putri Achmad Yani kemudian menjelaskan, informasi baik itu sudah diketahui
pihak keluarga 2 (dua) bulan sebelum meletusnya peristiwa berdarah G-30S/PKI.
"Waktu itu ketika pulang dari rapat dengan Bung Karno beserta para petinggi negara,
Bapak cerita sama ibu bahwa kelak bakal jadi presiden", kenang Yuni Yani, putri
keenam Achmad Yani.
"Setelah cerita sama ibu, esok harinya sepulang main golf, Bapak juga menceritakan
itu kepada kami putra-putrinya. Sambil tertawa, kami bertanya, benar nih Pak. Jawab
Bapak ketika itu, ya", ucapnya.
Menurut Yuni, berita baik itu juga mereka dengar dari ajudan Bapak yang mengatakan
Bapak bakal jadi presiden. Makanya ajudan menyarankan supaya siap-siap pindah ke
Istana.
Sedangkan menurut Elina Yani (putri keempat), saat kakaknya Amelia Yani menyusun
buku tentang Bapak, mereka menemui Letjen Sarwo Edhie Wibowo sebagai salah satu
nara sumber.
"Waktu itu, Pak Sarwo cerita bahwa Bapak dulu diminta Bung Karno menjadi presiden
bila kesehatan Proklamator itu tidak juga membaik. Permintaan itu disampaikan Bung
Karno dalam rapat petinggi negara. Di situ antara lain, ada Soebandrio, Chaerul Saleh
dan AH Nasution", katanya.
"Bung Karno bilang, Yani kalau kesehatan saya belum membaik kamu yang jadi
presiden", kata Sarwo Edhie seperti ditirukan Elina.
Pada prinsipnya, tambah Yuni pihak keluarga senang mendengar berita Bapak bakal
jadi presiden. Namun ibunya (Alm. Nyonya Yayuk Ruliah A.Yani) usai makan malam
877
membuat ramalan bahwa kalau Bapak tidak jadi presiden, bisa dibunuh. "Ternyata
ramalan ibu benar. Belum sempat menjadi presiden menggantikan Bung Karno, Bapak
dibunuh secara kejam dengan disaksikan adik-adik kami - Untung dan Eddy, kalau
Bapakmu tidak jadi presiden, ya nangdi (kemana - red) bisa dibunuh", kata Nyonya
Yani seperti ditirukan Yuni.
Lalu siapa pembunuhnya ?
Menurut Yuni, Ibu dulu mencurigai dalang pembunuhan ayahnya adalah petinggi
militer yang membenci Achmad Yani. Dan yang dicurigai adalah SOEHARTO.
Mengapa Soeharto membenci A.Yani ?. Yuni mengatakan, sewaktu Soeharto menjual
pentil dan ban yang menangkap adalah Bapaknya. "Bapak memang tidak suka militer
berdagang. Tindakan Bapak ini tentunya menyinggung perasaan Soeharto.
Selain itu, usia Bapak juga lebih muda, sedangkan jabatannya lebih tinggi dari
Soeharto", katanya.
Sedangkan Rully Yani (putri sulung) yakin pembunuh Bapaknya adalah prajurit yang
disuruh oleh atasannya. "Siapa orangnya, ini yang perlu dicari", katanya.
Mungkin juga, lanjutnya, orang-orang yang tidak suka terhadap sikap Bapak yang
menentang upaya mempersenjatai buruh, nelayan dan petani. "Bapak dulu kan tidak
suka rakyat dipersenjatai.
Yang bisa dipersenjatai adalah militer saja", katanya.
Menurut dia, penjelasan bekas tahanan politik G-30S/PKI Abdul Latief bahwa
Soeharto dalang G-30S/PKI sudah bisa menjadi dasar untuk melakukan penelitian oleh
pihak yang berwajib. "Ini penting demi lurusnya sejarah.
Dan kamipun merasa puas kalau sudah tahu dalang pembunuhan ayah kami", katanya.
Dia berharap, kepada semua pelaku sejarah yang masih hidup bersaksilah supaya
masalah itu bisa selesai dengan cepat dan tidak menjadi tanda tanya besar bagi generasi
muda bangsa ini.
DENDAM SOEHARTO
Kesaksian istri dan putra-putri A.Yani bahwa Bapaknyalah yang ditunjuk Bung Karno
untuk jadi presiden kedua menggantikan dirinya, dibenarkan oleh bekas Assisten
Bidang Operasi KOTI (Komando Operasi Tertinggi), Marsekal Madya (Purn) Sri
Mulyono Herlambang dan ajudan A.Yani, Kolonel (Purn) Subardi.
Apa yang diucapkan putra-putri Jenderal A.Yani itu benar.
Dikalangan petinggi militer informasi tersebut sudah santer dibicarakan. Apalagi
hubungan Bung Karno dan A.Yani sangat dekat, ujar Herlambang.
Baik Herlambang maupun Subardi menyebutkan, walaupun tidak terdengar langsung
pernyataan Bung Karno bahwa dia memilih A.Yani sebagai presiden kedua jika ia
sakit, namun keduanya percaya akan berita itu. "Hubungan Bung Karno dengan
A.Yani akrab dan Yani memang terkenal cerdas, hingga wajar jika kemudian ditunjuk
presiden", kata Herlambang.
"Hubungan saya dengan A.Yani sangat dekat, hingga saya tahu betapa dekatnya
hubungan Bung Karno dengan A.Yani", ujar Herlambang yang saat ini sedang
878
menyusun buku putih peristiwa G-30S/PKI.
Menyinggung tentang kecurigaan Yayuk Ruliah A.Yani (istri A.Yani), bahwa dalang
pembunuh suaminya adalah Soeharto, Herlambang mengatakan bisa jadi seperti itu.
Pasalnya 2 (dua) bulan sebelum peristiwa berdarah PKI, Bung Karno sudah menunjuk
A.Yani sebagai penggantinya.
Tentu saja hal ini membuat iri orang yang berambisi jadi presiden. Waktu itu peran
CIA memang dicurigai ada, apalagi AS tidak menyukai Bung Karno karena terlalu
vokal. Sedangkan Yani merupakan orang dekat Bung Karno.
Ditambahkan Herlambang, hubungan A.Yani dengan Soeharto saat itu kurang
harmonis. Soeharto memang benci pada A.Yani. Ini gara-gara Yani menangkap
Soeharto dalam kasus penjualan pentil dan ban. Selain itu Soeharto juga merasa iri
karena usia Yani lebih muda, sementara jabatanya lebih tinggi.
Terlebih saat A.Yani menjabat Kasad, Bung Karno meningkatkan status kasad menjadi
Panglima Angkatan Darat. "Dan waktu itu A.Yani bisa melakukan apa saja atas
petunjuk Panglima Tertinggi Soekarno, tentu saja hal ini membuat Soeharto iri pada
A.Yani.
Dijelaskan juga, sebenarnya mantan presiden Orde Baru itu tidak hanya membenci
A.Yani, tapi semua Jenderal Pahlawan Revolusi. DI.Panjaitan dibenci Soeharto garagara persoalan pengadaan barang dan juga berkaitan dengan penjualan pentil dan ban.
Sedangkan kebenciannya terhadap MT.Haryono berkaitan dengan hasil sekolah di
SESKOAD. Disitu Soeharto ingin dijagokan tapi MT.Haryono tidak setuju. Terhadap
Sutoyo, gara-gara ia sebagai oditur dipersiapkan untuk mengadili Soeharto dalam
kasus penjualan pentil dan ban itu.
Menurut Subardi, ketahuan sekali dari raut wajah Soeharto kalau dia tidak menyukai
A.Yani. Secara tidak langsung istri A.Yani mencurigai Soeharto.
Dicontohkan, sebuah film Amerika yang ceritanya AD disuatu negara yang begitu
dipercaya pemerintah, ternyata sebagai dalang kudeta terhadap pemerintahan itu.
Caranya dengan meminjam tangan orang lain dan akhirnya pimpinan AD itulah yang
menjadi presiden. "Om .Peristiwa G-30S/PKI hampir sama dengan cerita film itu", kata
nyonya Yani seperti ditirukan Subardi.
879