Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
MAKALAH ANALISIS DAERAH PENANGKAPAN IKAN KELOMPOK 3 : FEMILIANI NOVITASARI SAMUEL SANDI R ANDI WAKIAH MUH. IRWAN ACHMAD PASCASARJANA ILMU PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2018 PENDAHULUAN Alat tangkap adalah sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan. Berbagai macam kepentingan yang dapat “hidup” dan berkembang karena adanya alat penangkap ikan yang diperankan oleh para nelayan di seluruh dunia adalah aspek ketenaga-kerjaan, aspek ekonomi, aspek perdagangan/komersial, aspek sosial dan organisasi, aspek pertahanan dan keamanan Negara, aspek kesehatan. Pemanfaatan sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut (tangkap), sampai saat ini masih didominasi oleh usaha perikanan rakyat yang umumnya memiliki karakteristik; skala usaha kecil, aplikasi teknologi yang sederhana, jangkauan operasi penangkapan yang terbatas di sekitar pantai dan produktivitas yang relatif masih rendah. Menurut Barus et al. (1991), produktivitas nelayan yang rendah umumnya disebabkan oleh rendahnya keterampilan dan pengetahuan serta penggunaan alat penangkapan maupun perahu yang masih sederhana, sehingga efektifitas dan efisiensi alat tangkap dan penggunaan faktor-faktor produksi lainnya belum optimal. Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima oleh nelayan dan akhirnya berpengaruh juga pada tingkat kesejahteraannya. Agar pemanfaatan sumberdaya ikan dengan alat tangkap memperoleh hasil yang optimum, maka perlu diperhatikan beberapa aspek, seperti aspek biologi, teknis maupun ekonomi. Aspek biologi terkait dengan sumberdaya ikan, termasuk factor lingkungan. Aspek teknis menyangkut peralatan dan teknologi untuk memanfaatkan sumberdaya ikan, berupa alat tangkap, armada penangkapan, alat pendeteksi ikan dan sarana penangkapan lain, sedangkan aspek ekonomi menyangkut modal yang dikeluarkan dalam upaya pengembangan perikanan tersebut (Kurniawati, 2005). PEMBAHASAN ALAT PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR (LONGLINE) Tuna longline adalah alat tangkap tuna yang paling efektif. Rawai tuna merupakan rangkaian sejumlah pancing yang dioperasikan sekaligus, yang terdiri dari rangkaian tali utama, tali pelampung yang dimana pada tali utama pada jarak tertentu terdapat beberapa tali cabang yang pendek dan lebih kecil diameternya. Di ujung tali cabang, diikat pancing yang berumpan (Wwf , 2011) Tuna long line sendiri pada umumnya terdiri dari: pelampung, bendera, tali pelampung, tali utama (main line),tali Cabang (branch line), pancing wire leader,dan lain-lain. Berikut gambar bagia” longline : Gambar 1 . Alat tangkap longline (wwf, 2011) ANALISIS DAERAH PENANGKAPAN LONGLINE Prinsip pemasangan alat tangkap yang lebih dlam adalah dikarenakan , bahwa menurut peelitian , swimming layer ( daerah ruaya) ikan tuna lebih dalam dari biota lainnya yang tidak dibutuhkn nelaya seperti penyu : Dipasangnya alat tangkap pada kedalaman 100 meter atau lebih akan memeperbesar kemungkinan pncing diman oleh tuna , bukan penyu Kemungkinan mendapatkan hasil tagkpan yang tinggi karena kelimpahan tertinggi ikan tun ad pada kedalaman 100- 300m Penyu biasanya hanya berenang mencari makan pada kedalaman sekitar 100 meter- kurang Metode setting pancing pada kedalaman ini adalah dissesuaikan dan diseimbangkan untuk menghindari tali pancing putus Gambar 2 . daerah setting longline (wwf, 2011) ALAT PENANGKAPAN IKAN DI KARANG Ikan karang adalah sumberdaya perikanan yang dapat terbaharukan. Secara alami ikan-ikan karang dapat memperbaharui kondisi stoknya dengan cara bereproduksi. Seekor induk ikan karang dapat menghasilkan anak dalam jumlah yang cukup besar, namun sifat ikan karang yang bertumbuh secara lambat, membuat stok ikan karang sangat rentan terhadap upaya penangkapan berlebih. Sumberdaya ikan karang dapat tetap lestari upaya pengelolaan yang bertanggungjawab harus ditegakkan dengan cara menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, tidak merusak ekosistem di terumbu karang. Saat ini banyak dilaporkan bahwa telah terjadi kerusakan terumbu karang di berbagai wilayah dunia. Kerusakan ini diakibatkan oleh proses alami dan faktor antropogenik pada berbagai skala, mulai skala kecil yang disebabkan oleh benturan jangkar, predasi oleh biota laut, hingga berskala besar berupa pemutihan (bleaching) pada suatu ekosistem terumbu karang yang luas akibat kenaikan suhu perairan yang berkepanjangan. Namun kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia jauh lebih besar dampaknya dibandingkan kerusakan yang terjadi secara alamiah tersebut. Salah satu aktivitas terbesar manusia di perairan terumbu karang adalah kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan berbagai alat penangkap ikan, misalnya bubu, gillnet, muro ami, pancing, panah, dan sero. Selain itu ada dua cara lain yang juga banyak digunakan secara tersembunyi adalah penggunaan bahan peledak dan bahan beracun yang keduanya telah terbukti sangat merusak habitat terumbu karang (Pet-Soede et al. 2001). Gill net atau jaring insang karena gill berarti insang dan net berarti jaring, adalah suatu jenis alat penangkap ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi panjang dimana mata jaring (mesh) dari bagian jaring utama ukurannya sama. Pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats) dan di bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat (sinkers), sehingga dengan adanya dua gaya yang berlawanan memungkinkan jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan tegak. Gillnet yang merupakan alat pasif dan selektif yang dikategorikan sebagai alat yang ramah lingkungan. Namun gillnet menjadi tidak ramah lingkungan apabila dioperasikan di perairan berkarang pada saat air surut karena berpeluang besar untuk berbenturan karang. Menurut Kushima dan Miyasaka (2003) bahwa gillnet menjadi tidak ramah lingkungan apabila dioperasikan di perairan berkarang pada malam hari karena berpeluang besar untuk berbeturan dengan karang. Gambar 3. Konstruksi Gill net JENIS ALAT PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla spp) Kepiting bakau tersebar hampir di seluruh kawasan pesisir Indonesia yang memiliki ekosistem mangrove. Menurut WWF-Indonesia (2015), dalam operasional penangkapan kepiting bakau, disarankan terlebih dahulu bahwa lokasi penangkapan harus sesuai dengan peruntukan pemanfaatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah/aparat desa/ hukum adat dan tidak melakukan penangkapan pada daerah konflik. Juga diharapkan untuk tetap menjaga kelestarian ekosistem mangrove dengan tidak menebang atau merusak dan berhati-hati ketika menginjak mangrove agar tidak merusak habitat kepiting bakau. Kementerian Kelautan Perikanan juga telah mengeluarkan aturan terbaru mengenai kebijakan penangkapan kepiting bakau pada Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tentang larangan penangkapan dan/atau pengeluaran lobster (Panulirus spp.), kepiting (Scylla spp.), dan rajungan (Portunus spp.) dimana kepiting bakau yang diperbolehkan untuk ditangkap adalah kepiting bakau yang memiliki ukuran karapas lebih dari 15 cm atau berat lebih dari 200 gram per ekor (KKP-RI, 2016). Kepiting bakau yang tertangkap yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut atau dalam kondisi bertelur harus segera dilepaskan kembali ke alam. Kepiting bakau yang diproduksi dari hasil budidaya juga terikat oleh aturan ini dan wajib melampirkan Surat Keterangan Asal (budidaya). Pengecualian ketentuan tersebut hanya berlaku untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan pengembangan. Penentuan lebar karapas kepiting dapat dilihat pada Gambar 1. Di Indonesia, umumnya kepiting bakau ditangkap menggunakan bubu (perangkap) dan jaring (gillnet). Prinsip metode tangkap yang disarankan dalam Better Management Practice (BMP) adalah tidak merusak habitat atau ekosistem, serta menjaga kelestarian sumber daya kepiting bakau. Beberapa jenis alat tangkap tersebut adalah bubu lipat, kail dan caduk atau alat tangkap lainnya yang tidak merusak habitat atau ekosistem. (WWF-Indonesia, 2017) Gambar 4. Cara pengukuran karapas kepiting (Sumber : WWF-Indonesia, 2017) Bubu Lipat Prinsip penangkapan menggunakan bubu lipat adalah dengan cara memancing masuk ke dalam bubu yang diberi umpan dan kepiting terjebak di dalamnya. Bentuk bubu lipat yang bisa digunakan berbentuk persegi panjang atau oval. Contoh bubu lipat dapat dilihat pada Gambar 2. Bentuk bubu lipat yang bisa digunakan berbentuk persegi panjang atau oval. Bagian-bagian bubu lipat : Rangka: terbuat dari besi dan sebaiknya dari bahan anti karat, berfungsi untuk memberi bentuk bubu. Ukuran minimal; Panjang : >40 cm, Lebar : > 30 cm, Tinggi : >8 cm. Badan: Terbuat dari bahan jarring polyethylene (PE) dan berfungsi sebagai tempat kepiting bakau terkurung. Ukuran mata jaring minimal 1 inci. Pintu/Mulut: Terbuat dari jaring dan berfungsi sebagai tempat masuk kepiting. Didesain sehingga kepiting mudah untuk masuk namun tidak bisa keluar. Celah Pelolosan: Berbentuk persegi empat dan berfungsi sebagai celah pelolosan untuk kepiting berukuran kecil yang secara tidak sengaja tertangkap oleh bubu. Penanda: terdiri dari kayu yang dilengkapi pelampung, pelampung terbuat dari bahan yang mudah mengapung (misal: styrofoam). Tempat umpan: Berfungsi sebagai tempat menggantungkan umpan. Gambar 5. Struktur Rangka Bubu Lipat (Sumber : WWF-Indonesia, 2015) Hal-hal yang perlu diperhatikan : Tidak menangkap kepiting bakau yang berukuran di bawah 15 cm, atau jika tertangkap segera dilepaskan kembali ke perairan. Waktu terbaik peletakkan bubu saat mulai air pasang, sedangkan hauling atau mengambil bubu dilakukan setelah melewati pasang. (Penarikan bisa dilakukan berkali kali pada saat kondisi air pasang atau setelah air surut). Bubu perlu diberi tanda dengan pelampung untuk memudahkan kontrol pada saat hauling. Pelampung bisa ditambahkan pada masing-masing bubu atau merupakan tanda dari serangkaian bubu yang dipasang dalam satu alur. Lokasi pemasangan bubu disesuaikan dengan lokasi perairan setempat. Bubu di kawasan mangrove diletakkan pada kedalaman sekitar 1-2 meter. Di kawasan sungai dilakukan pada tepian dengan kedalaman 1-2 meter, dan di pantai dilakukan di sekitar muara sungai atau kurang lebih 10 meter dari garis pantai dengan kedalaman sekitar 2-3 meter (Gambar 9). Gambar 6. Lokasi pemasangan bubu yang disarankan. (Smber : WWF-Indonesia, 2015) Alat Tangkap ikan demersal Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.06/Men/2010 Tentang Alat Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Menetapkan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang menurut jenisnya terdiri dari 10 (sepuluh) kelompok yaitu: 1. Jaring Lingkar ( Surrounding Nets ); 2. Pukat Tarik ( Seine Nets ); 3. Pukat Hela ( Trawls ); 4. Penggaruk ( Dredges) ; 5. Jaring Angkat ( Lift Nets ); 6. Alat Yang Dijatuhkan ( Falling Gears ); 7. Jaring Insang ( Gillnets And Entangling Nets ); 8. Perangkap ( Traps ); 9. Pancing ( Hooks And Lines ); 10. Alat Penjepit Dan Melukai ( Grappling And Wounding ). Untuk menangkap ikan Demersal yang efektif , pada umumnya digunakan beberapa kelompok jenis Alat Tangkap Yaitu : Pukat Tarik ( Seine Nets ), Pukat Hela ( Trawls ), Jaring Insang ( Gillnets And Entangling Nets ), Perangkap ( Traps ), Pancing ( Hooks And Lines ). Pukat Hela ( Trawls ) Kelompok jenis alat penangkapan ikan pukat hela ( trawls ) adalah kelompok alat penangkapan ikan terbuat dari jaring berkantong yang dilengkapi dengan atau tanpa alat pembuka mulut jaring dan pengoperasiannya dengan cara dihela di sisi atau di belakang kapal yang sedang melaju. Alat pembuka mulut jaring dapat terbuat dari bahan besi, kayu atau lainnya Gambar 7. Double ring trawl Gambar 8. Alat tangkap Trawl DAFTAR PUSTAKA KKP-RI. 2016. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 56/PERMEN-KP/2016. Jakarta Kushima J-A and Miyasaka A. 2003. Report on the discussions to manage the use of lay nets. State of Hawaii. Department of Land and Natural Resources. Division of Aquatic Resources. 22 p. (hawaii.gov/ dlnt/dar/pubs/net_report02. of Indoensian coral reef fisheries on fish community structure and the resultant catch composition. Pet-Soede C, van Densen WLT, Pet JS, and Machiels MAM. 2001. Impact repository.unhas.ac.id/bitstream/123456789/.../DISERTASI-FINAL%20BAB-1h.docx WWF Indonesia . 2011. Seri pnduan perikanan by cath. Buku panduan pengeporrasian longline ramah lingkungan. Edisi I. WWF Indonesia. 2015. Seri Panduan Perikanan Skala Kecil Kepiting Bakau (Scylla sp.) : Panduan Penangkapan dan Penanganan. Edisi I.