Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
PATOGENESIS DAN GEJALA KLINIS RAJUNGAN NAMA : AKHMAD HASANI NIM : AK816004 SEMESTER : IV KELAS :A MATA KULIAH : PARASITOLOGI PROGRAM STUDI : DIII ANALIS KESEHATAN DOSEN PENGAMPU : PUTRI KARTIKA SARI M.Si DOSEN YAYASAN BORNEO LESTARI AKADEMI ANALIS KESEHATAN BORNEO LESTARI BANJARBARU 2018 : PUTRI K AR TIK A SARI,M .Si Patogenesis dan Gejala Klinis Rajungan (Portunus pelagicus) A. Klasifikasi Dilihat dari sistematikanya, rajungan termasuk ke dalam : Kingdom : Animalia Sub Kingdom : Eumetazoa Grade Divisi Section Filum Kelas Sub Kelas Ordo Sub Ordo Seksi Sub Seksi Famili Sub Famili Genus Spesies : Bilateria : Eucoelomata : Protostomia : Arthropoda : Crustacea : Malacostraca : Decapoda : Reptantia : Brachyura : Branchyrhyncha : Portunidae : Portunninae : Portunus : Portunus pelagicus Rajungan memiliki karapas yang sangat menonjol dibandingkan dengan abdomennya. Lebar karapas pada rajungan dewasa dapat mencapai ukuran 18,5cm. Abdomennya berbentuk segitiga (meruncing pada jantan dan melebar pada betina), tereduksi dan melipat ke sisi ventral karapas. Pada kedua sisi muka karapas terdapat 9 buah duri yang disebut sebagai duri marginal. Duri marginal pertama berukuran lebih besar daripada ketujuh duri dibelakangnya, sedangkan duri marginal ke- 9 yang terletak di sisi karapas merupakan duri terbesar.Kaki Rajungan berjumlah 5 pasang, pasangan kaki pertama berubah menjadi capit (cheliped) yang digunakan untuk memegang serta memasukkan makanan ke dalam mulutnya, pasangan kaki ke 2 sampai ke 4 menjadi kaki jalan, sedangkan pasangan kaki jalan kelima berfungsi sebagai pendayung atau alat renang, sehingga sering disebut sebagai kepiting renang (swimming crab). Kaki renang pada rajungan betina juga berfungsi sebagai alat pemegang dan inkubasi telur B. Morfologi Ciri-ciri morfologi kepiting rajungan (Portunus pelagicus) adalah sebelah kiri dan kanan karapaksnya terdapat duri yang besar. Duri-duri sisi belakang matanya berjumlah sembilan buah (termasuk duri besar). Rajungan jantan karapaksnya berwarna dasar biru ditaburi bintik-bintik putih yang beraneka ragam bentuknya. Sedangkan yang betina berwarna dasar hijau kotor dengan bintik-bintik seperti jantan. Pada bagian perut (dada) kepiting jantan umumnya organ kelamin berbentuk segitiga yang sempit dan agak meruncing dibagian depan, sedangkan organ kelamin kepiting betina berbentuk segitiga yang relatif lebar dan dibagiandepannya agak tumpul (lonjong). C. Patogenesis Ektoparasit adalah parasit yang melekat pada bagian permukaan tubuh inang. Ektoparasit mempunyai habitat yang berbeda pada bagian permukaan tubuh inang sebagai tempat hidupnya. Parasit yang menginfeksi bagian permukaan tubuh inang adalah dari kelompok Protozoa, Crustaceans, Monogenea dan Helminths. Akibat dari infeksi ektoparasit ini akan memberikan perubahan-perubahan baik pada jaringan organ tubuh maupun perubahan sifat-sifat inang secara umum. Nourina dan Martiadi (2002), menyebutkan bahwa ektoparasit dapat merugikan inangnya dengan banyak cara, yaitu dengan mengisap darah, mengisap makanan hospes dan menyerap jaringan tubuh inang, akibat dari hal tersebut akan berdampak negatif pada inang yakni dapat merusak jaringan tubuh, menimbulkan gangguan mekanik, membawa bibit penyakit (vektor), menimbulkan penyumbatan secara mekanis, menurunkan resistensi tubuh hospes terhadap penyakit lainnya (Ratmin, 2002). Menurut Izhar (1998) dalam Sarita dkk. (2003), bahwa ektoparasit adalah yang hidup pada permukaan tubuh inang atau rongga tubuh yang terbuka, seperti kulit/karapaks, mata, sirip, insang dan mulut. Sedangkan menurut Anderson (1974) dalam Fatmah (2001), bahwa ektoparasit adalah suatu jenis penyebab penyakit yang menyerang bagian tubuh luar organisme. Bagian tubuh yang umumnya terinfeksi adalah bagian luar yaitu kulit, insang, capik (khusus kepiting), sirip dan mata. Menurut Kusumah (1976) dalam Kabata (1985), mengatakan bahwa parasit ditinjau dari segi siklus hidupnya dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu intermitter parasit yaitu siklus hidupnya secara periodik dalam waktu tertentu berada di dalam inang, tetapi di waktu lain meningggalkan inang yang ditumpanginya. Siklus hidup yang lain adalah fakultatif parasit dimana dapat hidup tanpa organisme lain. Kemudian obligateri parasit yang mana siklus hidupnya membutuhkan organisme lain dan hidup selamanya. D. Gejala Klinis Jenis ektoparasit yang ditemukan menginfeksi rajungan beserta gejala klinis adalah sebagai berikut : 1. Octolasmis sp. dalam insang rajungan dapat mempengaruhi inang dalam banyak hal, menurut Costa et al, (2010) pengaruh yang diberikan Octolasmis sp. pada inangnya adalah akan terjadi pengurangan sirkulasi air dan pertukaran gas dalam insang yang diakibatkan proses fiksasi parasit, berkurangnya oksigen dalam air pada bilik pernapasan inang dan koloni parasit dapat menghalangi sirkulasi air dalam bilik pernapasan inang, sehingga menyebabkan inang harus mengeluarkan energi yang lebih besar untuk proses sirkulasi air.Pada dasarnya parasit ini adalah organisme yang membutuhkan substrat sebagai tempat penempelan. Menurut Ross and Jackson (1972), bahwa pada lingkungan bentik yang normal, karapaks dari rajungan adalah salah satu contoh substrat dengan permukaan keras yang dapat dijadikan lokasi kolonisasi oleh hewan invertebrata bentik termasuk parasit Octolasmis sp. Akan tetapi kulit luar dari inang merupakan substrat sementara bagi teritip ini sebab yang menjadi tujuan penempelan akhir dari Octolasmis sp. adalah insang. Menurut Jeffries and Voris (1983), aliran air yang melalui sistem pernapasan inang adalah penyebab dari penyebaran parasit ini. 2. Parasit Brooklynella sp. merupakan salah satu jenis parasit yang menyerang bagian luar tubuh inangnya (ektoparasit) dan memiliki penyebaran yang kosmopolit, tapi umumnya menyerang organisme laut tropis dan dapat mengakibatkan inangnya menjadi lemah, bernapas dengan cepat serta dapat menurunkan nafsu makan. Brooklynella sp. merupakan pasarit jenis protozoa yang masuk dalam kelas kinetofragminophorea yang dicirikan oleh adanya alat gerak dan berupa cilia yang pendek, dimana dapat menginfeksi organisme yang dibudidayakan maupun yang hidup secara liar (Moler and Andres, 1986). Parasit ini termasuk jenis ektoparasit yang sering ditemukan pada bagian luar inang seperti insang maupun kulit luar (karapaks), namun jarang terjadi kerusakan pada kulit luar dari inang yang terserang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sneiszko and Axelrod (1971), bahwa parasit ini dijumpai di bagian insang dan kulit luar inang yang terserang. Tanda-tandanya penyakit yang ditimbulkan sama dengan penyerangan Cryptocaryon irritans, namun jarang terjadi kerusakan kulit luar inang yang terserang. Pada tingkat akut organisme yang terserang Brooklynella sp. dapat menyebakan kematian massal dan epizootic pada inang karena menyerang dan merusak bagian epitel sel pada insang. Kerusakan epitel pada insang ini akan mengakibatkan laju respirasi meningkat dan sulit bernafas (Anshary, 2008). 3. Parasit Ascarophis sp. merupakan ektoparasit yang termasuk dalam kelas Cacing Nematoda, dimana jenis parasit ini dapat menginfeksi berbagai jenis spesies air laut termasuk rajungan. Dari hasil pengamatan yang dilakukan parasit ini ditemukan pada organ karapaks rajungan. Rajungan yang terinfeksi Ascarophis sp. dalam jumlah kecil mungkin tidak menunjukan gejala, namun dapat mengganggu pergerakan dari inangnya sehingga pertumbuhannya akan menjadi lambat. Infeksi dari parasit ini belum membahayakan inangnya karena hanya didapatkan pada bagian karapaks serta jumlahnya juga masih sedikit, apabila parasit ini sudah menginfeksi organ insang walaupun dalam jumlah kecil maka akan membuat rajungan menjadi stres hingga dapat menyebabkan kematian (George and Gerard, 2011). 4. Parasit Chelonibia patula merupakan salah satu jenis parasit metazoa (lebih dari satu sel) yang tergolong dalam kelompok crustaceans yang banyak menyerang rajungan pada bagian karapaks, kaki jalan, maupun kaki renang. parasit Chelonibia patula yang ditemukan masih berukuran kecil dan merupakan parasit yang dominan menginfeksi rajungan. Parasit ini ditemukan menempel pada rajungan, karena lebih banyak mendapatkan cahaya untuk proses perkembangannya. Selain itu, pada karapaks juga memiliki permukaan biologis aktif yang terbuat dari kitin, kalsium serta lapisan mikroba yang lebih menarik jika dibandingkan dengan substrat lain yang tidak hidup. Parasit ini tidak ditemukan pada permukaan ventral karena diduga akibat pengendapan kepiting ketika berjalan disepanjang dasar laut. Infeksi Chelonibia patula pada kepiting dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan sebab akan mempengaruhi proses molting dan mengurangi nilai komersial dari rajungan karena penurunan berat badan serta secara estetika dapat mempengaruhi nilai jual rajungan tersebut (Tania et al, 2010). insang dan kulit luar inang yang terserang. Tanda-tandanya penyakit yang ditimbulkan sama dengan penyerangan Cryptocaryon irritans, namun jarang terjadi kerusakan kulit luar inang yang terserang. Pada tingkat akut organisme yang terserang Brooklynella sp. dapat menyebakan kematian massal dan epizootic pada inang karena menyerang dan merusak bagian epitel sel pada insang. Kerusakan epitel pada insang ini akan mengakibatkan laju respirasi meningkat dan sulit bernafas (Anshary, 2008). 5. Parasit Ascarophis sp. merupakan ektoparasit yang termasuk dalam kelas Cacing Nematoda, dimana jenis parasit ini dapat menginfeksi berbagai jenis spesies air laut termasuk rajungan. Dari hasil pengamatan yang dilakukan parasit ini ditemukan pada organ karapaks rajungan. Rajungan yang terinfeksi Ascarophis sp. dalam jumlah kecil mungkin tidak menunjukan gejala, namun dapat mengganggu pergerakan dari inangnya sehingga pertumbuhannya akan menjadi lambat. Infeksi dari parasit ini belum membahayakan inangnya karena hanya didapatkan pada bagian karapaks serta jumlahnya juga masih sedikit, apabila parasit ini sudah menginfeksi organ insang walaupun dalam jumlah kecil maka akan membuat rajungan menjadi stres hingga dapat menyebabkan kematian (George and Gerard, 2011). 6. Parasit Chelonibia patula merupakan salah satu jenis parasit metazoa (lebih dari satu sel) yang tergolong dalam kelompok crustaceans yang banyak menyerang rajungan pada bagian karapaks, kaki jalan, maupun kaki renang. parasit Chelonibia patula yang ditemukan masih berukuran kecil dan merupakan parasit yang dominan menginfeksi rajungan. Parasit ini ditemukan menempel pada rajungan, karena lebih banyak mendapatkan cahaya untuk proses perkembangannya. Selain itu, pada karapaks juga memiliki permukaan biologis aktif yang terbuat dari kitin, kalsium serta lapisan mikroba yang lebih menarik jika dibandingkan dengan substrat lain yang tidak hidup. Parasit ini tidak ditemukan pada permukaan ventral karena diduga akibat pengendapan kepiting ketika berjalan disepanjang dasar laut. Infeksi Chelonibia patula pada kepiting dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan sebab akan mempengaruhi proses molting dan mengurangi nilai komersial dari rajungan karena penurunan berat badan serta secara estetika dapat mempengaruhi nilai jual rajungan tersebut (Tania et al, 2010). DAFTAR PUSTAKA Anshary, H. 2008. Modul Pembelajaran Berbasis Student Center Learning (SCL) Mata Kuliah Parasitologi Ikan. Jurusan Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar. Cholik, F., A.G. Jagatraya., R.P. Poernomo. dan A, Jauzi. 2005. Akuakultur: Tumpuan Harapan Masa Depan Bangsa. Penerbit Masyarakat Perikanan Nusantara dengan Taman Akuarium Air Tawar Taman Mini ”Indonesia Indah”. Jakarta. 415 h Costa, T.M., Christofoletti, R.A. and Pinheiro, M.A.A. 2010. Epibionts on Arenaeus cribrarius (Brachyura: Portunidae) from Brazil. Zoologia 27 (3): 387-394. George O. P. Jr. And Gerard M. T., 2011. Occurrence of Ascarophis (Nematoda: Spiruridea) in Callianassa californiensis Dana and Other Decapod Crustaceans. Division of Entomology and Parasitology, University of California, Berkeley, California, 94720; and The Bodega Marine Laboratory, University of California, Bodega Bay, California. Ikan Mania. 2007. Pengamatan Aspek Biologi Rajungan dalam Menunjang Teknik Perbenihannya. Jeffries,W.B., Voris, H.K., Naiyanetr, P.H and Panha. S., 2005. Pedunculate Barnacles of the Symbiotic Genus Octolasmis (Cirripedia: Thoracica: Poecilasmatidae) from the Northern Gulf of Thailand. The Natural History Journal of Chulalongkorn University, Chulalongkorn University : Thailand. (2005, May). 5(1): 9-13. _______ and Voris, H.K. 1983. The Distribution, Size Reproduction of the pedundculate barnacle Octolasmis mulleri. Fieldiana –Zoologi. Moler, H and K. Andres, 1986. Diseases and Parasites of Marine Fishes, Kiel : Moller. 365 Hal. Ratmin, R. 2002. Inventarisasi Ektoparasit dan Endoparasit Pada Tubuh Ikan Lema (Rastrelliger canagurta, curiver) di Perairan Seri Kotamadya Ambon. Skripsi. Fakultas Perikanan Universitas Pattimura. Ambon. 100 hal. Ross, A., Jackson, C.G.Jr., (1983). Barnacle fouling of the ornate diamondback terrapin Malaclemys terrapin macrospilota. Crustaceana 22: 203-205. Tania, M.C. Ronaldo, A.C. & Marcelo, A.A.P., 2010. Epibionts on Arenaeus cribrarius (Brachyura: Portunidae) from Brazil. Zool., 27: 387–394.
JUDUL RINGKASAN : PATOGENITAS DAN GEJALA KLINIS UDANG NAMA : AKHMAD HASANI MAHASISWA : DIII TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK NIM : AK816004 SEMESTER : IV KELAS :A MATA KULIAH : PARASITOLOGI DOSEN : PUTRI KARTIKA SARI, M.Si 1.1.DEFINISI Udang adalah binatang yang hidup di perairan, khusus nya sungai, laut atau danau. Udang dapat ditemukan di hamper semua “genangan” air yang berukuran besar baik air tawar, air payau, maupun air asin pada kedalaman bervariasi, dari dekat permukaan hingga beberapa ribu meter di bawah permukaan laut. Banyak resep menggunakan udang dari berbagai kebudyaan: contoh jambalaya, okonomiyaki, ppon choi, bagoong dan scampi. Sama seperti makanan laut lainnya udang kaya akan kalsium dan protein tetapi rendah energi. Makanan yang sumber utamanya udang merupakan sumber kolesterol. Beberapa jenis udang pangan telah dibudidayakan di tambak, seperti udang galah, udang windu, dan udang vaname. Gambar 1.1 Udang Gambar1.2. . Olahan pakan udang 1.2. PATOGENITAS Istilah alergi dikemukakan pertama kali oleh von Pirquet pada tahun 1986. Alergi dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas dan dapat diartikan sebagai reaksi imunologi terhadap antigen secara tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang yang sebelumnya pernah terpapar dengan antigen bersangkutan (Kresno 2001). Secara garis besar, reaksi alergi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu reaksi tipe cepat (immediate hypersensitivity) dan tipe lambat (delayed type hypersensitivity). Reaksi alergi tipe cepat dimediasi oleh sistem imun humoral (humoral-mediated) yang menunjukkan gejala secara cepat dalam hitungan menit atau jam setelah tubuh terpapar oleh antigen. Reaksi tipe lambat dimediasi oleh sel (cell-mediated) dan gejala yang ditimbulkan muncul setelah beberapa hari terpapar oleh antigen (Clark et al 2004). Kelompok crustacea dan moluska merupakan janis pangan yang paling sering menyebabkan reaksi hipersensitif yang diperantarai oleh antibodi IgE, yang menimbulkan gejala alergi berupa urtikaria (gatal di kulit), angiodema, asma atau kombinasi dari beberapa gejala tersebut (Motoyama et al. 2006). Penelitian Hardiansyah. 1990 menunjukkan bahwa alergen ikan laut dapat mengakibatkan terjadinya 10% reaksi anafilaksis. Sifat alergi dari protein ikan dipengaruhi oleh kondisi fisiologis lambung, terutama pada individu yang sensitive terhadap jenis pangan ini. Salah satu spesies dari famili Penaeidae yang bernilai ekonomis tinggi dan tersebar luas hampir di seluruh Indonesia adalah udang jerbung (Penaeus merguiensis). Seperti hewan laut lainnya, dua komponen yang dominan pada udang adalah air dan protein. Protein udang juga terdiri dari protein sarkoplasma, miofibril dan stroma. Penelitian Sriket et al. (2007) terhadap dua jenis udang Penaeus monodon dan Penaeus vannamei menunjukkan bahwa komponen protein utama adalah miofibril yang terdiri dari aktin dan myosin heavy chain (MHC). Perbedaan kandungan protein miofbril, sarkoplasma dan stroma dari jenis udang putih (P.vannamei) dan udang P.monodon disebabkan karena perbedaan sifat dan karakteristik dari kedua jenis spesies udang tersebut. Udang jerbung memiliki klasifikasi sebagai berikut (Racek dan Dall 1965 dalam Naamin et al. 1992) : Filum : Arthropoda Subfilum : Crustacea Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Penaeidae Genus : Penaeus Spesies : Penaeus merguiensis Dari sejumlah pangan penyebab alergi, kelompok udang-udangan ditetapkan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya alergi pangan yang dikarenakan semakin meningkatnya konsumsinya, terutama di negara-negara pesisir (Lehrer et al. 2003). Udang merupakan satu diantara delapan sumber utama alergen pangan yang ditetapkan oleh organisasi kesehatan dunia dan merupakan jenis pangan yang banyak disukai karena rasa dan nilai gizinya yang tinggi (Moosa, 1984). Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui jenis allergen utama dari udang-udangan, seperti yang dikemukakan dalam penelitian Motoyama et al. (2007), alergen utama pada kelompok udang adalah tropomiosin, yaitu suatu protein miofibril 35-38 kDa yang terdapat di dalam kontraksi otot. Pengujian alergenisitas terhadap ekstrak protein udang putih (Penaeus merguensis) menunjukkan bahwa ekstrak protein baik fraksi sarkoplasma danmiofibril mampu menimbulkan terjadinya reaksi alergi pada subyek penderita alergi (Subani, 1978). 1.3. GEJALA KLINIS UDANG Alergi udang merupakan reaksi atipikal yang terjadi akibat sistem kekebalan tubuh keliru dalam menanggapi protein yang terkandung dalam udang atau makanan laut lainnya sebagai suatu ancaman. Reaksi atipikal atau alergi ini pun bervariasi, mulai dari munculnya ruam kulit, kesulitan bernapas hingga gejala berat yang mengancam nyawa. Penyebab utama timbulnya reaksi alergi udang ini tentunya karena mengonsumsi menu olahan udang atau produk-produk olahan berbahan dasar udang seperti kerupuk udang atau terasi udang. Responsivitas sistem kekebalan tubuh yang berlebihan terhadap protein udang, menyebabkan pelepasan histamin dan zat lainnya yang memicu timbulnya reaksi alergi Gejala alergi udang biasanya berkembang dalam waktu yang sangat singkat hingga sekitar satu jam setelah mengonsumsi udang atau produk olahannya. Gejala yang mungkin terjadi antara lain seperti: Munculnya ruam merah dan gatal di kulit. Gatal di dalam rongga mulut. Sakit perut, mual, muntah dan diare. Sakit kepala atau pusing. Hidung tersumbat. Mengi atau sesak napas. Kesulitan menelan. Bengkak pada bibir, lidah, wajah dan bagian tubuh lainnya. Timbulnya penyakit eksim (dermatitis atopik). Selain itu, alergi udang juga dapat memicu respons anafilaksis, yakni suatu reaksi alergi berat yang dapat mengancam nyawa. Untuk mengatasinya dibutuhkan penanganan medis serius dengan suntikan adrenalin (epinefrin) dan perawatan langsung ke ICU. Gejala anafilaksis diantaranya seperti: Terjadi pembengkakan di tenggorokan. Penyempitan saluran napas hingga sulit bernapas. Denyut nadi berdetak cepat. Pusing dan hilang kesadaran. Penurunan tekanan darah. Respons anafilaksis juga dapat berujung pada kematian akibat terhentinya detak jantung dan pernapasan. Gambar 1.3. alergi terhadap udang DAFTAR PUSTAKA Clark S, Bock SA, Gaeta TJ, Brenner BE, Cydulka RK, Camargo CA. 2004. Multicenter study of emergency department visits for food allergies. J Allergy Clin Immunol 113:347-52 Hardiansyah. 1990. Penilaian dan Perencanan Konsumsi Pangan. [Skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Keluarga. Program Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kresno, S.B, 2001, Imunologi : Diagnosis dan Prosedur LAboratorium Edisi IV. Jakarta : EKG Lehrer SB, Ayuso R, Reese G. 2003. Seafood allergy and allergens : a review. Mar Biotechnol 5(4):339-348. Motoyama K, Ishizaki S, Nagashima Y, Shiomi K. 2006. Chepalopod tropomyiosin : Identification as major allergens and molecular cloning. Food and Chemical Toxicology 44: 1997-2002. Moosa MK dan I, Aswandy. 1984. Udang Karang (Panulirus sp) dari Perairan Indonesia. Proyek Studi Pengembangan Alam Indonesia, Studi Hayati Potensi Ikan, Lembaga Oseanografi Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 41 hlm. Naamin N, Badruddin. 1992. Eksplorasi Sumberdaya Hayati Laut Dan Prospeknya Dibidang Perikanan. Makalah Pada Stadium General Dies Natalis II HIMITEKA. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Subani W. 1978. Perikanan Udang Barong (spiny lobster) dan Prospek Masa Depannya. Prosiding Seminar ke II Perikanan Udang 15-18 Maret 1977. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian Pengembangan Perikanan, Jakarta. Hal 39 – 53 Sriket P, Benjakul S, Visessanguan W, Kijroongrojana K. 2007. Comparative studies on chemical composition and thermal properties of black tiger shrimp (Penaeus monodon) and white shrimp (Penaeus vannamei) meats. Food Chemistry 103:1199-1207. Von Pirquet C. Klinische Studien Uber Vaccanation and vaccinale allergie…J Immunol 1986. 133 : 1594-1600.