MACAPAT MENJAWAB TANTANGAN MEA
Pana Pramulia
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
panapramulia@gmail.com
081231583444
ABSTRAK
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bukan hanya permasalahan persaingan
perdagangan dan ketenagakerjaan, melainkan juga permasalahan integritas. Setiap Negara
di ASEAN diminta men-display integritasnya. Ada dua hal yang harus dipenuhi untuk
sebuah integritas, yaitu moral dan pengetahuan. Moral tanpa didukung pengetahuan akan
menyebabkan kehilangan daya. Sebaliknya, pengetahuan tanpa moral akan menyebabkan
kerusakan. Media yang tepat digunakan untuk menumbuhkan moral dan menambah
pengetahuan tentang menghadapi hidup, salah satunya yaitu macapat. Macapat
merupakan karya sastra Jawa berbentuk tembang yang mempunyai ciri khas guru lagu dan
guru wilangan. Macapat dalam khasanah kesusastraan Jawa termasuk dalam sekar alit.
Macapat mempunyai sebelas metrum (item) atau jenis tembang, antara lain Mijil, Sinom,
Kinanthi, Dandhanggula, Asmaradana, Durma, Maskumambang, Gambuh, Pangkur,
Megatruh, dan Pocung. Sebelas jenis tembang tersebut memiliki karakteristik berbedabeda. Walaupun secara karakteristik berbeda, semua jenis macapat mempunyai pesan dan
makna adi luhung atau mengagungkan nilai-nilai kebaikan. Berdasarkan hal tersebut,
kiranya media yang bernama macapat dapat menumbuhkan moral dan menambah
pengetahuan masyarakat tentang keutamaan hidup, khususnya generasi muda seperti yang
dicita-citakan bangsa ini.
Kata kunci: MEA, moral, pengetahuan, macapat
MACAPAT ANSWER THE CHALLENGE AEC
Pana Pramulia
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
panapramulia@gmail.com
081231583444
ABSTRACT
ASEAN Economic Community (AEC) is not only a lack of competition on trade and
labor, but also of integrity. Every country in ASEAN are required to display integrity.
There are two things that must be met for an integrity, the morality and knowledge.
Morality without the support of knowledge will cause a loss of power. Conversely,
knowledge without moral will cause damage. The right media used to cultivate morality
and gain knowledge about the face of life, that is macapat. Macapat Javanese literature is
shaped a song that has a characteristic guru lagu and guru wilangan. Macapat the realm
of Javanese literature included in the sekar alit. Macapat has eleven metrum or type of
song, among others Mijil, Sinom, Kinanthi, Dandhanggula, Asmaradana, Durma,
Maskumambang, Gambuh, Pangkur, Megatruh, and Pocung. Eleven types of songs that
have different characteristics. Although different characteristics, all kinds of messages
and meanings macapat have adi noble or exalt the values of kindness. Based on that,
presumably named macapat media can foster morality and increase public knowledge
about the virtues of life, especially the younger generation as the nation aspired.
Keyword: AEC, morality, knowledge, macapat
PENDAHULUAN
Salah satu kemajuan sebuah negara bergantung dari keadaan ekonomi masyarakatnya.
Maka dari itu, negara-negara ASEAN mencanangkan Masyarakat Ekonomi ASEAN untuk
meningkatkan perekonomian. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan pasar bebas,
dimana bukan hanya mengenai perdagangan barang, jasa, atau sejenisnya, melainkan juga
mengenai bebasnya masyarakat di kawasan ASEAN untuk menjadi tenaga kerja di NegaraNegara ASEAN. Tujuan dari pergelaran MEA tersebut, menengok bahwa Negara-Negara di
ASEAN masih digolongkan sebagai negara berkembang dan harus ikut bersaing dengan
masyarakat ekonomi dunia, agar sejajar dengan negara-negara maju. Hal ini menjadi
tantangan bagi negara-negara di ASEAN.
Di Indonesia, hingar bingar MEA sudah terdengar kurang lebih satu dekade sebelum
MEA benar-benar diberlakukan. MEA memungkinkan kompetisi pedagangan semakin ketat,
misalnya satu negara bisa menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di
seluruh Asia Tenggara, bahkan juga memudahkan tenaga kerja bekerja di seluruh kawasan
negara-negara Asia Tenggara. Masyarakat Indonesia, khususnya usaha kecil, usaha
menengah, sampai usaha besar berbondong-bondong mempersiapkan diri untuk menyambut
hal tersebut. Berdasarkan hal itu, Indonesia yang menjadi salah satu anggota ASEAN dan
juga negara terbesar di ASEAN harus bersiap menerima tantangan ini.
Di sisi lain, tidak hanya dunia entrepreneur yang sibuk mempersiapkan diri, tetapi
juga dunia pendidikan yang banyak menggunakan MEA sebagai bahan kajian maupun tema
dalam seminar. Bahkan, universitas-universitas dan sekolah-sekolah di seluruh Indonesia
berbondong-bondong mempersiapkan peserta didiknya agar kompeten dan terampil
menghadapi dunia kerja. Setelah memasuki dunia kerja, peserta didik diharapkan mampu
bersaing menghadapi pasar bebas tersebut. Begitu juga dengan masyarakat umum secara luas,
MEA sudah dikabarkan melalui media, seperti media massa dan media sosial.
Jika merujuk pada yang disebutkan di atas, maka sepintas lalu MEA hanya persoalan
perekonomian, perdagangan, dan ketenagakerjaan. Padahal di balik itu semua, MEA
merupakan permasalahan integritas suatu bangsa. Setiap Negara di ASEAN diminta mendisplay integritasnya. Integritas merupakan mutu dari sebuah potensi dan kemampuan. Ada
dua hal yang harus dipenuhi untuk sebuah integritas, yaitu moral dan pengetahuan. Moral
tanpa didukung pengetahuan akan menyebabkan kehilangan daya. Sebaliknya, pengetahuan
tanpa moral akan menyebabkan kerusakan.
Moral berhubungan dengan hal positif, seperti akhlak, budi pekerti, perilaku baik,
sikap yang baik, berbuat adil, dan sebagainya. Maka dari itu, moral akan menghasilkan
kebijaksanaan. Moral berkaitan dengan permasalahan etika, dan kewajiban yang diemban
setiap manusia. Moral di dalam setiap kebudayaan selalu digaungkan. Suseno (1987:14)
menyatakan moral merupakan ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokanpatokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, baik lisan maupun tertulis, bagaimana manusia
bertindak menjadi baik. Maksudnya, moral merupakan isyarat perintah yang mengharuskan
manusia berusaha lebih baik dari waktu ke waktu. Selain itu, moral juga dapat dimaknai
sebagai kata sifat yang wajib dimiliki setiap manusia.
Moral merupakan potensi yang dimiliki manusia sejak lahir, tetapi moral dapat
tergerus oleh pengaruh buruk atau kebiasaan-kebiasaan yang melanggar peraturan. Ketika
seseorang melanggar peraturan, maka potensi untuk mengulangi akan besar sekali. Hal
tersebut yang menyebabkan manusia jauh dari sumber moral. Moral berkaitan erat dengan
permasalahan etika dan nilai. Pramulia (2016:38) menyatakan seseorang yang bermoral dan
beretika akan menemukan nilai dalam kehidupan bermasyarakat dan seseorang yang
berorientasi terhadap nilai akan dijadikan contoh masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan hal
tersebut, kiranya moral menjadi pondasi utama integritas seseorang atau integritas sebuah
bangsa.
Pondasi utama tersebut harus diimbangi dengan pengetahuan. Pengetahuan
merupakan kemampuan pemahaman informasi yang diperoleh, sehingga menjadi modal
menghadapi kehidupan. Foucault (2012:325) menyatakan pengetahuan merupakan satu ruang
dimana subjek bisa menempati satu posisi dan berbicara mengenai objek-objek yang
dikenalinya di dalam diskursus. Maksudnya, seseorang yang cakap menangkap informasi
akan terampil menggunakan informasi tersebut dalam sebuah kehidupan. Bangsa yang
berpengetahuan akan kuat menghadapi berbagai tantangan. Bangsa yang berpengetahuan
akan mampu meredam reaksi ketika ada aksi.
Orang yang berpengetahuan mestinya juga orang yang bermoral, agar tidak
menyebabkan kerusakan. Akan tetapi, banyak orang berpengetahuan yang tidak mempunyai
moral yang kuat. Dampaknya bisa menimpa pribadi itu sendiri, yaitu ketidakpercayaan pihak
lain terhadap pribadi tersebut, dan kedua berdampak pada keselamatan pihak lain. Maka dari
itu, moral dan pengetahuan dibutuhkan oleh seseorang dan bahkan sebuah bangsa agar
memiliki integritas. Integritas akan menghasilkan azas kepercayaan pihak lain. Bangsa yang
memiliki integritas akan dipercaya bangsa lain. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki
integritas yaitu orang yang terampil, cakap, dan dapat dipercaya.
Di zaman sekarang ini, jika kita melihat berita-berita di media massa maupun media
sosial, maka akan banyak ditemukan penyimpangan moral. Sebagai contoh, maraknya kasus
pencurian motor, pemerkosaan, terorisme, dan kasus-kasus kriminal lainnya. Selain itu,
kehidupan bertetangga saat ini sudah mencapai puncak mengkhawatirkan. Misalnya,
pembakaran sampah sembarangan, parkir mobil sembarangan, persaingan yang tidak sehat,
dan sebagainya. Hal tersebut disebabkan, hilangnya moral dan kurangnya pengetahuan
terhadap kehidupan sosial. Maka dari itu, perlu adanya penanaman kembali moral dan
pengetahuan terhadap masyarakat, khususnya generasi muda saat ini.
Salah satu media untuk menanamkan dan memperkuat integritas, yaitu melalui
macapat. Macapat merupakan tembang dalam khasanah kebudayaan Jawa yang berisi
pengetahuan dan pengajaran tentang moral, etika, dan tata nilai dalam kehidupan. Penanaman
dan penguatan moral pengetahuan melalui macapat, dapat diterapkan di sekolah sampai
perguruan tinggi. Siswa, dalam mata pelajaran Bahasa Daerah diajak memahami macapat,
agar memiliki pijakan moral dan pengetahuan yang kuat. Pemahaman tersebut tentu bertahap,
yaitu pertama menyanyikan macapat dengan tujuan agar siswa dapat merasakan
keindahannya, kedua menerjemahkan macapat dengan tujuan agar siswa dapat mengerti dan
memahami maksudnya, dan ketiga menafsirkan macapat dengan tujuan agar siswa dapat
memahami makna dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan.
Berdasarkan tahapan tersebut, kiranya moral yang terdapat dalam tembang macapat
dapat melesak ke dalam bawah sadar siswa dan sekaligus mendapatkan pengetahuan tentang
kehidupan. Dari sini, siswa yang sudah memahami macapat akan memiliki integritas.
Generasi muda yang memiliki integritas yang kuat akan bertahan, bahkan akan mampu
berkutat melawan arus pasar bebas di Era MEA. Mengapa demikian? karena apabila
masyarakat tidak siap menghadapi arus pasar bebas, bisa berdampak pada tindak kejahatan
atau kriminal. Berdasarkan uraian tersebut, maka makalah ini berjudul “Macapat Menjawab
Tantangan MEA”.
PEMBAHASAN
A. Mengenalkan Macapat di Sekolah
Indonesia yang masyarakatnya beragam suku memiliki berbagai macam sastra daerah
yang agung. Akan tetapi, generasi muda sekarang sudah tidak banyak lagi yang mengenal
sastra daerah. Di sekolah, sastra daerah hanya bagian dari mata pelajaran bahasa daerah.
Bahkan, kebanyakan siswa tidak tertarik dengan sastra daerah maupun bahasa daerah. Bahasa
daerah dianggap ketinggalan zaman atau tidak kekinian. Padahal, bahasa daerah dan sastra
daerah banyak memuat berbagai macam pengetahuan, pendidikan karakter, di samping
memuat ajaran-ajaran tentang budi pekerti dan moral.
Pada makalah ini sastra daerah yang dijadikan objek, yaitu Sastra Jawa. Sastra Jawa
yang banyak memuat pengetahuan dan ajaran-ajaran tentang budi pekerti dan moral, yaitu
macapat. Macapat juga biasa dinamakan tembang cilik. Wibisana dan Nanik Herawati
(2010:11) menyatakan tembang macapat diciptakan mempunyai tujuan untuk mengajarkan
kebaikan kepada rakyat kecil. Tembang macapat mempunyai sebelas pupuh (item), antara
lain Mijil, Sinom, Kinanthi, Dandhanggula, Asmaradana, Durma, Maskumambang, Gambuh,
Pangkur, Megatruh, dan Pocung. Sebelas jenis tembang tersebut memiliki karakteristik
berbeda-beda. Walaupun secara karakteristik berbeda, semua jenis macapat mempunyai
pesan dan makna adi luhung atau mengagungkan nilai-nilai kebaikan.
Berdasarkan hal tersebut, kiranya tembang macapat perlu diajarkan di sekolah dari
tingkat SD sampai SMA, khususnya di Jawa. Tembang macapat sudah jarang sekali
dinyanyikan oleh masyarakat Jawa, karena dianggap ketinggalan zaman dan pengaruh
budaya populer yang merebak di tanah air. Sekarang ini, tembang macapat hanya digunakan
untuk mengiringi pergelaran wayang kulit, ketoprak, dan kesenian langen beksan di Jawa.
Selain itu, tembang macapat masih terdengar di radio-radio daerah di Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Yogyakarta. Akan tetapi, penikmat macapat kebanyakan orang tua atau sebagian
anak muda yang bergiat di dunia seni gamelan. Maka dari itu, di sekolah-sekolah, khususnya
di Jawa perlu adanya pembelajaran dengan media macapat. Tujuannya untuk menumbuhkan
moral dan pengetahuan siswa akan kehidupan.
Ada yang harus diperhatikan dalam mengajarkan macapat kepada siswa. Pertama,
siswa dilatih untuk menyanyikan tembang macapat terlebih dahulu, agar siswa dapat
merasakan keindahannya. Setelah merasakan keindahan, kiranya siswa dapat mencintai
warisan leluhurnya tersebut. Kedua, siswa diajak menerjemahkan tembang macapat, agar
siswa dapat mengerti maksudnya. Ketiga, siswa diajak menafsirkan tembang macapat yang
sudah diterjemahkan, agar dapat memahami maknanya, baik tersurat maupun tersirat. Paling
tidak makna-makna yang sudah dipahami akan melesak ke dalam bawah sadar siswa,
sehingga dapat menjadi bekal menghadapi tantangan hidup.
Pada makalah ini, tidak semua tembang macapat dijadikan contoh. Maksudnya,
penulis hanya memberikan beberapa pupuh sebagai model pembelajaran di kelas. Hal
tersebut disebabkan keterbatasan halaman dalam makalah ini. Pupuh yang dijadikan model
diambil dari beberapa serat yang sudah populer di masyarakat Jawa. Serat yang diambil, di
antaranya Wedatama, Kalatidha, dan Wulangreh. Sedangkan pupuh yang diambil, di
antaranya Pangkur, Sinom, dan Dhandhanggula. Berikut merupakan pupuh Pangkur yang
diambil dari Serat Wedatama.
Serat Wedatama Pupuh Pangkur
Terjemahan Bebas
Mingkar mingkuring angkara,
Akarana karenan mardi siwi,
Sinawung resmining kidung,
Sinuba sinukarta,
Mrih kretarta pakartining,
Ngelmu luhung,
Kang tumrap ning tanah Jawa,
Agama ageming aji. (Wedhatama)
Menjauhkan diri dari nafsu angkara,
karena berkenan mendidik putra,
dalam bentuk syair dan lagu,
dihias berwarna warni,
agar menjiwai ilmu luhur yang dituju,
Di tanah Jawa (Indonesia),
yang hakiki itu agama sebagai pegangan
hidup.
Pangkur mempunyai filosofi mundur. Maksudnya, mundur dari bebrayan atau
kehidupan. Selain itu, dapat diartikan sebagai nepi atau menyingkir. Pangkur juga
menggambarkan perjalanan menuju Tuhan. Bisa diartikan meninggalkan duniawi, dan juga
bisa diartikan kematian. Makna dari kata “Pangkur” serta terjemahan dari tembang Pangkur
di atas, dapat dijadikan model pembelajaran terhadap moral siswa. Di sisi lain, tembang
Pangkur tersebut memberikan pengetahuan bahwa ilmu yang harus dimiliki setiap manusia,
yaitu ilmu agama. Berkaitan dengan hal tersebut, Any (1983:67) menyatakan bahwa Serat
Wedatama ditulis sebagai alat pendidikan untuk anak (siswa).
Tembang macapat juga banyak berisi mengenai pipeling atau nasihat. Nasihat yang
diberikan bersifat universal. Maksudnya, nasihat ditujukan kepada anak-anak sampai orang
dewasa. Selain itu, nasihat juga berlaku di setiap zaman dan bahkan masih relevan di era
MEA saat ini. Salah satu tembang macapat yang memuat nasihat terdapat dalam Serat
Kalatidha karya R. Ng. Ranggawarsita. Serat Kalatidha yang akan dijadikan model
pembelajaran diambil dari pupuh sinom. Berikut kutipan pupuh sinom Serat Kalatidha
beserta terjemahan bebasnya.
Serat Kalatidha Pupuh Sinom
Terjemahan Bebas
Amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya kéduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.
Menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
bagaimana akan mendapatkan bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat
dan waspada.
Sinom merupakan jarwadhasak dari isih nom atau masih muda. Pemuda yang
mempunyai watak bergas, tangkas, dan penuh semangat. Sinom juga berarti daun asam yang
masih muda. Berdasarkan hal tersebut, pemuda dalam masyarakat Jawa disebut dengan
sinoman. Sinoman dalam kebudayaan Jawa begitu penting kedudukannya untuk membantu
hajatan. Wirodono (2011:xxvi) menyatakan dalam Serat Purwaukara sinom berarti sekaring
rambut atau anak rambut pada kening perempuan. Hal tersebut menandakan bahwa
perempuan telah beranjak dewasa atau akil baliq. Secara filosofis sinom menggambarkan
kedewasaan manusia, yang telah siap untuk menerima segala macam resiko kehidupan.
Kedewasaan secara lahir maupun batin dan semangat berjuang dalam menjalani hidup.
Sedangkan tembang sinom di atas memberikan gambaran (pengetahuan) bahwa
zaman akhir banyak orang menjadi gila. Gila di sini dalam arti bukan sebenarnya, tetapi gila
hal-hal yang bersifat duniawi. Misalnya, gila harta, gila jabatan, gila pangkat, gila wanita, dan
sebagainya. Akhir dari tembang sinom tersebut ditutup dengan “luwih begja kang éling
klawan waspada,” yang maksudnya bahwa kegilaan yang dilakukan kebanyakan manusia
sekarang ini dapat dihindari melalui selalu ingat kepada Tuhan dan waspada terhadap segala
ancaman hidup. Pembelajaran melalui tembang sinom tersebut, kiranya dapat dijadikan
penanaman moral sekaligus pengetahuan terhadap keadaan zaman.
Beberapa macapat juga berisi mengenai petunjuk dan pengharapan. Salah satunya,
yaitu Serat Wulangreh karya Pakubuwana II. Serat Wulangreh yang dijadikan contoh berpupuh dhandhanggula, yang mempunyai watak indah dan berwibawa. Gula menggambarkan
perilaku yang manis ketika menghadapi segala sesuatu. Konon, dhandhanggula diambil dari
nama raja Kediri, Prabu Dhandhanggendis (Wirodono, 2011:xxv). Secara harafiah,
dhandhanggula berasal dari kata dhandhang dan manis yang berarti pengharapan akan
kebahagiaan. Pengharapan tersebut identik dengan keinginan atau cita-cita dari anak muda.
Dhandhanggula juga mempunyai filosofi segala hal yang manis. Manis dapat dilihat dari
kata-katanya, perilakunya, dan sikapnya. Perilaku dan sikap manis tersebut diberikan kepada
Tuhan, kekasih, atau sesama manusia. Berikut petikan Serat Wulangreh pada loro.
Serat Wulangreh Dhandhanggula
Terjemahan Bebas
Nanging yen sira ngguguru kaki,
amiliha manungsa kang nyata,
ingkang becik martabate,
sarta kang wruh ing kukum,
kang ngibadah lan kang wirangi,
sokur oleh wong tapa,
ingkang wus amungkul,
tan mikir pawewehing liyan,
iku pantes sira guronana,
sartane kawruhana.
Namun jika kamu berguru wahai anakku,
pilihlah manusia yang baik akhlaknya,
serta yang memahami hukum,
ahli ibadah dan ahli mengendalikan diri,
untung jika mendapatkan ahli tirakat,
yang telah meninggalkan urusan dunia,
tidak memikirkan pemberian orang lain,
itulah yang pantas engkau kamu jadikan
guru,
serta syarat berguru pun harus kau pahami.
Wirodono (2011:xxv) menyatakan dhandhanggula dipersonifikasikan sebagai remaja
beranjak menjadi dewasa. Dapat dikatakan bahwa dhandhanggula merupakan tembang
dengan menceritakan proses menuju kedewasaan. Proses menuju kedewasaan tersebut bisa
mencakup kedewasaan fisik, mental, emosional, dan bahkan spiritual. Berdasarkan hal
tersebut, kiranya makna dari dhandhanggula berkorelasi dengan makna Serat Wulangreh di
atas, dimana secara filosofis tembang tersebut menggambarkan petunjuk untuk belajar ke
siapa saja, asal sesuai dengan yang dituliskan pada tembang tersebut. Di sisi lain,
dhandhanggula di atas juga gambaran nasihat orang tua kepada anaknya. Nasihat tersebut
mempunyai pengharapan hari depan harus ditempuh dengan kehati-hatian dalam memilih
segala sesuatu.
B. Macapat Menjawab Tantangan MEA
Pada subbab berikut diuraikan bagaimana macapat dapat membentengi generasi muda
menghadapi tantangan MEA. Seperti yang diketahui, ketidakmampuan menghadapi
persaingan dapat menggerus moral bangsa. Kalah bersaing akan mengakibatkan banyaknya
tindak kriminal, misalnya berbohong, melakukan ketidakadilan, mencuri, bahkan korupsi.
Maka dari itu, sejak dini hendaknya generasi muda (siswa) dibekali pengetahuan tentang
kehidupan dan penanaman moral. Salah satu media yang tepat digunakan untuk hal tersebut,
yaitu membelajarkan macapat di sekolah.
Subbab berikut menguraikan manfaat tembang-tembang yang dijadikan contoh pada
subbab sebelumnya, yaitu Serat Wedatama Pupuh Pangkur, Serat Kalatidha Pupuh Sinom,
dan Serat Wulangreh Pupuh Dhandhanggula. Ketiga tembang tersebut tepat dijadikan media
pendidikan moral kepada generasi muda, khususnya siswa-siswa di sekolah. Dari pemaknaan
nama tembangnya saja sudah memberikan manfaat yang besar untuk pembelajaran. Pangkur
menggambarkan perjalanan menuju Tuhan. Bisa diartikan meninggalkan duniawi, dan juga
bisa diartikan kematian. Berdasarkan hal tersebut, kiranya pembaca atau yang
mendendangkan tembang akan selalu ingat tentang pesan tersirat dari tembang Pangkur.
Di sisi lain, Any (1983:67) menyatakan Serat Wedatama oleh pengarangnya ditulis
sebagai pendidikan anak. Uraian tembang tersebut memerintahkan agar manusia senantiasa
menjauhi angkara murka. Sejak dini, anak-anak dilatih untuk menjauhi hal-hal buruk dan
dituntut untuk berpegang teguh kepada agama. Jika hal ini meresap ke dalam hati generasi
muda, maka sebesar apapun tantangan hidup, seperti tantangan MEA akan dapat dihadapi
dengan kebijaksanaan. Intinya, walaupun bangsa Indonesia turut serta bersaing dalam pasar
bebas, asalkan memiliki modal pengetahuan dan moral yang kuat, maka MEA akan mudah
dihadapi.
Tembang macapat kedua, yaitu Serat Kalatidha Pupuh Sinom. Sinom berkaitan
langsung dengan generasi muda. Sinom atau isih nom yang diterjemahkan masih muda.
Pemuda yang mempunyai watak bergas, tangkas, dan penuh semangat. Sinom juga berarti
daun asam yang masih muda. Dalam Serat Kalatidha dijelaskan bahwa zaman sekarang ini
merupakan zaman edan, dimana banyak manusia yang memperebutkan segala sesuatu yang
bersifat nisbi. Akibatnya, banyak orang lupa dengan Tuhannya, keluarganya, dan temannya,
karena hanya mengejar urusan dunia. Akan tetapi, penutup tembang tersebut mengingatkan
“begja-begjaning kang lali// luwih begja kang éling klawan waspada//” artinya, sebahagiabahagianya orang yang lalai// akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Tembang Sinom dari Serat Kalatidha tersebut, apabila diajarkan kepada generasi
muda, khususnya siswa akan bermanfaat besar untuk memberikan pengetahuan tentang
kehidupan sekarang. Di era MEA saat ini, bisa jadi antar saudara atau teman saling
bermusuhan karena persaingan. Padahal, persaingan dalam hal apapun seharusnya
menguatkan. Maka dari itu, agar hal yang dikhawatirkan itu tidak terjadi generasi muda perlu
mendapatkan suntikan moral, seperti macapat.
Tembang terakhir yang dijadikan media pembelajaran moral, yaitu tembang
dhandhanggula dari Serat Wulangreh. Seperti sinom, makna dhandhanggula juga identik
dengan generasi muda. Secara harafiah, dhandhanggula berasal dari kata dhandhang dan
manis yang berarti pengharapan akan kebahagiaan. Pengharapan tersebut identik dengan
keinginan atau cita-cita dari anak muda. Di balik pengharapan terdapat petunjuk-petunjuk
untuk melangkah. Hal tersebut tampak pada tembang dhandhanggula Serat Wulangreh yang
dijadikan contoh.
Pada tembang tersebut dijelaskan cara mencari guru yang tepat. Secara filosofis, yang
dimaksud guru dalam tembang dhandhanggula Serat Wulangreh bukan hanya guru di
sekolah, melainkan guru yang tersebar di seluruh jagat raya ini. Tentu dengan persyaratan
yang sudah ditentukan, antara lain baik akhlaknya, yang tidak mudah tergoda urusan duniawi,
yang senantiasa bertirakat, dan yang tidak mengharapkan pemberian orang lain. Artinya,
generasi muda diajurkan mencari suri teladan dalam kehidupan, dan suri teladan tersebut bisa
siapapun.
Tembang dhandhanggula Serat Wulangreh meneguhkan tembang sebelumnya, bahwa
untuk menghadapi tantangan hidup hendaknya manusia memiliki akhlak yang baik dan tidak
mudah tergoda. Pertengkaran dan pertikaian yang terjadi di dunia ini banyak disebabkan
seseorang tidak memiliki akhlak yang baik dan mudah tergoda. Sedangkan yang dimaksud
dengan tirakat, yaitu ketika seseorang kalah bersaing hendaknya selalu bersabar dan belajar
memperbaiki diri. Terakhir, bahwa sejak dini seharusnya generasi muda berlatih tidak
berharap terhadap pemberian orang lain. Hal tersebut berkaitan dengan kemandirian. Maka,
untuk menghadapi MEA generasi muda harus dilatih untuk mandiri, agar persoalan-persoalan
yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik.
SIMPULAN
MEA bukan hanya persoalan perekonomian, perdagangan, dan ketenagakerjaan,
melainkan juga permasalahan integritas suatu bangsa. Integritas merupakan mutu dari sebuah
potensi dan kemampuan. Ada dua hal yang harus dipenuhi untuk sebuah integritas, yaitu
moral dan pengetahuan. Moral tanpa didukung pengetahuan akan menyebabkan kehilangan
daya. Sebaliknya, pengetahuan tanpa moral akan menyebabkan kerusakan. Salah satu cara
untuk menumbuhkan kedua hal tersebut, yaitu dengan mengenalkan macapat pada generasi
muda, khususnya siswa sekolah. tembang macapat perlu diajarkan di sekolah dari tingkat SD
sampai SMA, khususnya di Jawa. Ada yang harus diperhatikan dalam mengajarkan macapat
kepada siswa. Pertama, siswa dilatih untuk menyanyikan tembang macapat terlebih dahulu,
agar siswa dapat merasakan keindahannya. Kedua, siswa diajak menerjemahkan tembang
macapat tersebut, agar dapat mengerti maksudnya. Ketiga, siswa diajak menafsirkan tembang
macapat yang sudah diterjemahkan, agar dapat memahami maknanya, baik tersurat maupun
tersirat. Macapat yang dijadikan media pembelajaran, antara lain Serat Wedatama, Serat
Kalatidha, dan Serat Wulangreh. Ketiga serat tersebut menguraikan pesan moral sekaligus
petunjuk menghadapi kehidupan. Generasi muda juga dituntut untuk mandiri, agar persoalanpersoalan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik. Maka dari itu, macapat merupakan
media yang tepat untuk menghadapi MEA.
DAFTAR PUSTAKA
Any, Anjar. 1983. Menyingkap Serat Wedotomo. Semarang: Aneka Ilmu.
Foucault, Michel. 2012. Arkeologi Pengetahuan. Jogjakarta: IRCiSoD.
Pramulia, Pana. 2016. “Sanggit: Filosofi Pergelaran Wayang Kulit Jawa Timuran”. Tidak
Diterbitkan.
Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: Kanisius.
Wibisana, Bayu dan Herawati. 2010. Pesona Tembang Jawa. Klaten: Intan Pariwara.
Wirodono, Sunardian. 2011. Serat Centhini Dwi Lingua Jilid 1: Sri Susuhan Pakubuwana V.
Yogyakarta: Wiwara.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas PGRI Adi Buana
Surabaya, Drs. Djoko Adi Walujo, S.T., M.M., DBA., yang mengijinkan saya mengikuti
forum ilmiah ini. Kedua, saya mengucapkan terima kasih kepada Ketua Program Studi PGSD
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Drs. Bahauddin Azmy, M.Pd., M.Pd., yang
mengijinkan serta memberikan keluasan untuk mengampu mata kuliah Bahasa Daerah.
Terima kasih juga saya haturkan kepada Dr. Sunu Catur Budiyono, M.Hum., yang tidak
pernah lelah menjadi guru dan teman diskusi saya. Rasa bangga dan terima kasih kepada
mahasiswa PGSD Universitas PGRI Adi Buana Surabaya angkatan 2012, yang berkontribusi
besar dalam menyelesaikan tugas-tugas Bahasa Daerah, baik di kampus maupun di luar
kampus. Terakhir, untuk teman-teman sejawat dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar dan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Adi Buana Surabaya yang rela
menjadi teman diskusi dan sudi memberi masukan. Terima kasih.