Dunia Para Wali dalam Manuskrip Jawa
Pada suatu hari seekor burung elang terbang di atas majelis Syekh Abdul Qodir Al
Jailani. Burung itu berkicau dengan kuatnya sehingga mengganggu hadirin. Syekh Abdul Qodir
Al Jailani pun berkata, “ Wahai angin, ambil kepala burung itu..”. Maka burung itu pun terjatuh
ke tanah, kepalanya terpisah dari tubuhnya. Setelah peristiwa itu Syekh Abdul Qodir Al Jailani
turun dari atas kursinya, lantas mengambil bangkai burung tadi dan mengusap-ngusapnya
dengan mengucapkan “bismillahir rahmanir rahim…” . Maka seketika itu burung tersebut hidup
kembali.
Berangkat dari untaian kisah diatas maka kita bisa sama-sama mengetahui tentang
adanya kejadian-kejadian yang bernuasa spiritual hingga akar intelektual kita seringkali tak
mampu menguliti apa yang sebenarnya terjadi, dan kisah diatas sangatlah berkaitan erat
dengan dunia para wali. Kita pribadi pastinya sudah mengetahui pula bagaimana para wali
selalu identik dengan alam karomah, para wali diyakini sebagai manusia-manusia ruhani yang
mampu mengatur jagat makrokosmos karena kedekatannya dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Wali
menurut Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Jaami’u Karaamatil Aulia, dari segi
bahasa artinya dekat.
Begitu pula terkait dengan karomah, jika kita telisik kata karomah berasal dari bahasa
Arab yang berarti mulia, dan menurut pengertian yang lebih spesifik, karomah adalah kejadian
luar biasa yang ada pada diri Wali Allah. Karomah berbeda dengan Mu’jizat serta bukan pula
termasuk golongan ilmu sihir. Karomah diturunkan atas kehendak Allah pada siapa saja
hambanya yang taat, ikhlas serta istiqomah dalam menjalankan perintah Nya. Allah
melindunginya dan mengkaruniakan keistimewaan sebagai bekal dakwah maupun bukti
keagungan Allah ‘Azza wa Jalla.
Kalangan Kaum Sufi juga berpendapat bahwa karomah dianugerahkan pada seorang
wali selama dirinya terus istiqomah berjalan dan hidup dalam naungan syariat Islam. Karomah
para wali juga tak akan pernah melampaui derajat mukjizat para nabi.
Firman Allah , Surat Yunus 62-63 :
“ Ingatlah, sesungguhnya Wali-wali Allah itu tiada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu
bertaqwa..” .
Surat Al Baqarah 257 :
“Mereka adalah orang-orang beriman yang dilindungi Allah ..”
***
Tokoh yang telah tersebut diatas yaitu Syekh Abdul Qodir Al Jailani, merupakan tokoh
besar dalam dunia para wali, beliau dikenal sebagai wali agung sekaligus pendiri Thariqat
Qodiriah. Beliau termasuk ulama yang ahli ilmu serta di payungi banyak karomah, beliau
bermazhab Hanbali dan mengajar sekaligus berfatwa di Baghdad, Irak. Beliau wafat tahun 1166
M. Syekh Abdul Qadir Al Jailani termasuk wali agung yang universal karena pengaruh ajarannya
yang telah dikenal luas, sehingga turut memberikan sumbangsih dalam globalisasi gerakan
tasawuf di banyak wilayah di dunia. Nusantara termasuk kawasan yang menjadi ladang subur
dalam proses tumbuh dan berbunganya aliran tasawuf Thariqat Qodiriah. Arti dari Tasawuf
sendiri menurut Syekh Junaid adalah menyucikan hati dari segala hal yang mengganggu
kejiwaan kebanyakan makhluk, menjahui segala rayuan hawa nafsu, mendekatkan diri pada
sifat-sifat suci kerohanian, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, menyampaikan nasehat pada
sesama manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, dan mengikuti
Rasulullah dalam hal syari’at.
Dr A Mukti Ali (Menteri Agama RI) dalam tulisannya yang berjudul The Spread of Islam in
Indonesia menyatakan bahwa keberhasilan pengembangan Islam di Indonesia adalah melalui
tarekat dan tasawuf. Dalam tiap tarekat mempunyai keberagaman dalam metode bertasawuf,
hadirnya tasawuf juga menjadi media dakwah yang membumi dalam khazanah spiritual
masyarakat Nusantara. Islam menjadi lebih mudah diserap dan menyatu dengan komunitaskomunitas pribumi. Diantara nama-nama Syekh Thariqat yaitu Hamzah Fansoeri, Noer al-Raniri,
Abdoel Raoef al Singkel, Abdoes Shomad al Palembangi. Nama para syekh tersebut tercatat
dengan jelas, persis seperti nama para wali songo. Selain Syekh Abdul Qodir Al Jailani,
masyarakat Nusantara juga mengenal tokoh-tokoh ulama yang juga turut diimani sebagai
seorang wali Allah, diantaranya seperti Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan
Kalijaga yang sampai hari ini makamnya ramai diziarahi oleh umat muslim.
***
Berkaitan dengan dunia para wali khususnya di Nusantara, maka sudah selayaknya kita
meneropong dengan lebih faktual berdasarkan pada sumber-sumber sejarah yang otentik.
Diantara metode riset yang bisa kita jadikan rujukan adalah dengan pendekatan studi filologi,
karena dengan masuk melalui pintu filologi, akan menghantarkan kita pada rangkaian ilustrasi
sejarah yang lebih luas dan dalam. Studi filologi juga akan mempertemukan nalar intelektual
kita dengan proses pembacaan manuskrip-manuskrip klasik yang beragam. Salah satu
sejarawan yang menggunakan manuskrip-manuskrip sebagai riset ilmiahnya adalah Prof
Azyumardi Azra, yang akhirnya menjadi sebuah karya disertasi saat menempuh program Ph.D
di Columbia University, New York, Amerika Serikat. Disertasinya berjudul Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.
Dalam tulisan ini juga akan melandaskan argumentasinya pada beberapa manuskrip
yang masih bisa kita baca hingga hari ini, manuskrip tersebut berkode IO Islamic 2617 berasal
dari abad ke-18 akhir, untuk teksnya menggunakan bahasa jawa-arab lantas aksaranya
memakai pegon. Dalam tradisi aksara di tanah Jawa sendiri, ada beberapa aksara yang memang
biasa dipergunakan oleh masyarakat. Pertama adalah aksara yang identik dengan Ha Na Ca Ra
Ka, kedua adalah aksara pegon yang baru muncul pada era Wali Songo. Aksara Pegon atau Arab
Pegon merupakah aksara yang mengadopsi tulisan-tulisan huruf hijaiyah yang berasal dari Arab.
Kata pegon dalam kamus bausastra mempunyai arti tidak murni Bahasa Jawa. Saat ini
manuskrip berada di British Library, Inggris dan yang menjadi objek kajian adalah halaman
06,07,dan 08 isinya menerangkan tentang kedudukan para Wali Allah.
Halaman 06.
Isi teks manuskrip :
“ Ing Wali Quthub iku sewu kehe utawi kang ana sak kulone ing kabeh iku telung
atus akehe arane Wali Quthub Nuqba // Utawi kang ana sak kidule kabeh pitung
puluh kehe arane Wali Najib // Utawi kang ana sasawitaning kabeh iku petang
puluh kehe arane Wali Quthub Abdal ..”
( Wali Quthub itu seribu jumlahnya atau yang ada di baratnya semua itu tiga ratus
banyaknya, sebutannya Wali Quthub Nuqba // Atau yang ada di selatan semua tiga
puluh banyaknya, sebutannya Wali Najib // Atau yang ada di timur semua itu
empat puluh banyaknya, sebutannya Wali Quthub Abdal )
Berdasarkan pada isi teks halaman 06, kita bisa mendapatkan informasi yang luas dan
tampak rahasia tentang dunia spiritual para Wali Allah, dalam teks manuskrip tersebut kita
diberikan kabar bahwa Wali Quthub itu berjumlah seribu dan terbagi ke beberapa wilayah
sesuai pembagian arah mata angin. Di barat berjumlah 300, bergelar Wali Quthub Nuqba, di
selatan berjumlah 30, bergelar Wali Quthub Najib, di timur berjumlah 40 , bergelar Wali Quthub
Abdal, lalu di utara berjumlah 45, bergelar Wali Quthub Akhir (bisa dilihat pada teks halaman
07) . Dari pembagian-pembagian wilayah tersebut kita bisa berimajinasi bersama bahwa para
wali mempunyai kedudukannya masing-masing.
Dalam buku Keramat Wali-Wali yang ditulis oleh H.A Fuad Said juga dijelaskan secara
detail bahwa dalam dunia para wali terdapat beberapa
kedudukan. H.A Fuad Said
mendasarkan argumentasinya pada kitab Jaami’u Karamatil Aulia, Ar-Ruh, dan At-Tawassul waz
Ziarah Fis-Syaria’atil Islamiyah. Dalam buku tersebut dijelaskan adanya Wali Nuqba, Wali Najib,
Wali Abdal, Wali Akhir yang kesemuanya mempunyai peran masing-masing. Dan terkait
penggunaan gelar Quthub sendiri hanya ditujukan pada satu sosok wali yang dikenal dengan
sebutan Wali Quthub. Arti dari Wali Quthub ialah wali yang paling utama derajatnya sekaligus
berposisi sebagai pemimpin para wali dan segala yang berkaitan dengan alam kewalian
terhimpun semua dalam dirinya. Wali Quthub hanya berjumlah 1 orang dalam tiap masa. Jika
Sang Wali Quthub meninggal maka akan digantikan oleh Wali Quthub selanjutnya, dan untuk
kedudukan para wali lainnya, seperti Wali Nuqba, Wali Najib, Wali Abdal, termasuk berada di
bawah garis struktur dan komando Sang Wali Quthub.
Ibnu Hajar al-Haitami turut menjelaskan dalam kitabnya al-Fatawi al-Haditsiyyah:
“Dan para wali yang mengetahui hal ghaib dinamai (dengan nama-nama kedudukan)
tersebut karena kebanyakan orang tidak mengetahui tentang para wali tersebut. Pemimpin
para wali itu adalah Qutb al-Ghawts al-Fard al-Jami dimana Allah menganugerahinya mampu
berkeliling ke empat penjuru dunia seperti berputarnya bintang di langit. Allah menutupi hal
ihwal mereka pada kelompok khusus apalagi orang-orang pada umumnya “
Belajar dari penjelasan Ibnu Hajar al-Haitami, kita bisa sama-sama mentafsirkan bahwa
para wali mempunyai beberapa kedudukan , para wali bisa kita kenali sebagai manusia-manusia
yang mempunyai derajat tinggi dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla, selain itu para wali mempunyai
amanah secara spiritual, intelektual maupun kultural kemasyarakatan, dan biasanya dibekali
dengan banyak karomah. Para wali juga mempunyai pemimpin disebut Qutb al-Ghawts al-Fard
al-Jami atau biasa dikenal sebagai Wali Quthub. Bagi seorang wali yang ‘beramanah’ sebagai
Wali Quthub maka dirinya dianugerahi banyak karomah diantaranya bisa melakukan perjalanan
supranatural ke empat penjuru dunia, dan terkait kedudukan dan dunia para wali pada
dasarnya hanya diketahui oleh manusia-manusia khusus yang memang Allah ‘Azza wa Jalla pilih
dan mendapat ilham.
Halaman 07.
Isi teks manuskrip :
“ Utawi kang ana loring kakbeh iku petang puluh lima kehe arane Wali Quthub
Akhir // Utawi kang ana saing soring langit langit iku papat kehe arane Wali Quthub
‘Imron // Utawi kang ana saing sore ing bumi iku arane Wali Quthub Ghouts //
Utawi kang ora tetep ing enggon sawiji // iku limang atus petang puluh akehe arane
Wali Quthub Rijalullah iku minangka runda lan minangka uker reng jagat kabeh //
Utawi ana umat ingsun iku anemu pesali.. ato pesagiwuhi ngati ato sekalen .. “
( Atau yang ada di utara semua itu empat puluh lima banyaknya, sebutannya Wali
Quthub Akhir // Atau yang ada dibawah bumi itu, sebutannya Wali Quthub Ghouts //
Atau yang tidak menetap di satu tempat // itu lima ratus empat puluh banyaknya,
sebutannya Wali Quthub Rijalullah, itu sebagai penjaga dan sebagai pengendali semua
dunia // Atau ada umat berniat itu bertemu … ato sabar hati atau sekali )
Bersambung dengan penjelasan pada halaman sebelumnya, isi teks manuskrip halaman 07
tersebut juga mengandung arus informasi yang sama bahwa ada banyak kedudukan untuk para
wali, berdasarkan pada teks manuskrip diatas terdapat Wali Quthub Ghouts dan Wali Quthub
Rijalullah, yang semuanya itu bisa kita anggap berada di bawah kepemimpinan Sang Wali
Quthub. Maka dari tinjauan isi teks manuskrip halaman 06-07 lalu kita hubungkan dengan
sumber literatur yang disampaikan pada halaman sebelumnya , tampak terlihat bahwa konsep
kewalian yang ada di abad ke-18 sebagian besarnya mempunyai kesamaan dengan konsep
kewalian yang sampai hari ini di pahami. Mulai dari nama-nama para wali serta pembagian
kedudukan, dan yang membedakan mungkin terkait kedudukan Sang Wali Quthub sebagai
pimpinan para wali, lalu jika dianalisis lebih dalam secara sumber-sumber literatur keislaman
yang bertemakan tasawuf. Tampaknya isi teks manuskrip halaman 06-07 masih mempunyai
ikatan yang erat dengan mazhab kewalian Ibnu Arabi. Karena dalam kitab Futuhat Makiyyah,
Ibnu Arabi menuturkan bahwa jumlah wali sangat banyak dan menyebar di penjuru bumi. Ibnu
Arabi juga menyampaikan adanya tingkatan para wali, diantaranya ada Wali Quthub, Wali
Aimmah, Wali Autad, Wali Abdal.
Halaman 08.
Isi teks manuskrip :
“ Atok sakitar ato bilahene bareng bilahi iku ato wawelaga iku siro anjalug
tulung ing Wali Quthub kang sewu kehe // Utawi wiwinane kang jenalukan tulung
iku ing Wali kang ana sakulon ing kakbeh lan serto aweh salam // lan amocoh ing
wawacane lan anebut ing asmane // serto nabi satus ewu padlikur ewu // serto
malaikat kang kaparek kabeh // serto makhluk kabeh // serto kanjeng Nabi
Muhammad Shallawlahhu Alaihi Wa Sallam ..”
( Atau sekitar atau jika memungkinkan bersama … itu ato … itu kepada yang meminta
tolong di Wali Quthub yang seribu banyaknya // atau awalnya yang minta tolong itu ke
Wali yang ada di barat semuanya dan serta … salam // dan membaca di bacaannya dan
nyebut asmanya // serta Nabi seratus dua empat ribu // serta malaikat yang dekat
semuanya // serta makhluk semuanya // serta Kanjeng Nabi Muhammad Shallawlahhu
Alaihi Wa Sallam )
Berdasarkan pada isi teks manuskrip halaman 07 bagian akhir, menyatakan bahwa jika
ada dari golongan umat ini yang ingin bertemu para wali harus sabar, isi teks manuskrip
halaman 08 turut menginformasikan bahwa orang-orang umum juga bisa meminta bantuan
serta pertolongan dengan perantara atau wasilah para wali, diantara tata caranya adalah
dengan menyebut namanya, serta para nabi, para malaikat, para makhluk dan yang paling
utama adalah Nabi Muhammad Shallawlahhu ‘Alaihi Wa Sallam, maka dari penjelasan teks
manuskrip 8, kita bisa mendapatkan suatu pengetahuan tentang kaedah bertawassul, dan
tawassul sendiri adalah salah satu dari tatacara berdoa dan salah satu pintu untuk menghadap
kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka tujuan murni yang hakiki, yang asli dalam bertawassul adalah
Allah semata. Dan sesuatu yang dijadikan media tawassul adalah sebuah wasithah (perantara)
dan wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan siapa pun orang yang
meyakini tawassul tidak seperti ini maka dia telah berbuat syirik.
Dalil tentang tawassul tercantum dalam QS Al Maidah ; 35
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan
yang mendekatkan diri kepada Nya)..”
Arti dari wasilah adalah setiap hal yang dijadikan Allah Ta’ala sebagai sebab untuk
mendekatkan diri kepada Nya, dan sebagai perantara terpenuhinya segala hajat yang diminta
atas kehendak Nya. Wasilah yang dipilih juga harus memiliki derajat yang tinggi dan
kehormatan disisi Allah. Lantas yang bisa dijadikan wasilah diantaranya seperti para Nabi, para
wali,orang-orang shalih, yang masih hidup ataupun telah wafat. Termasuk amal-amal shalih
yang telah kita kerjakan bisa dijadikan wasilah demi terpenuhinya hajat diri kita.
***
Menurut Yahya bin Mu’adz , wali itu tidak pamer, juga tidak berpura-pura munafik.
Selain itu , wali adalah wewangian dari Allah yang harumnya dihirup oleh para shiddiq (orangorang ikhlas) hingga semerbaknya menyeruak dalam hati mereka. Dan kita juga perlu tahu
bahwa tidak semua wali yang memiliki karomah lebih utama daripada wali yang tak punya
karomah secara mutlak. Bahkan karomah itu bisa jadi muncul karena lemahnya keyakinan atau
tekad seorang wali. Maka disegerakanlah karomah itu bagi wali yang dikehendaki mendapatkan
pertolongan.
Dunia para wali, dunia spiritual yang penuh rahasia. Pemaparan dari awal sampai akhir
tulisan yang banyak membicarakan tentang wali, semoga memberikan manfaat secara spiritual
dan intelektual pada diri kita bahwa menjadi wali itu bukan proses menjadi sakti, namun
menjadi manusia yang ikhlas, sabar, dan istiqomah dalam melaksanakan syariat Allah dan terus
setia menjahui segala larangan Nya. Para wali juga mengajarkan pada kita tentang pentingnya
bertasawuf, karena dengan menempuh jalan tasawuf maka kita bisa melakukan kontrol moral
atas diri kita, maupun masyarakat yang selama ini hidup di sekitar kita. Para wali juga bisa
menjadi wasilah bagi kita, dalam bab berdoa dan munajat atas semesta harapan yang kita
punyai pada Allah ‘Azza wa Jalla.
Analisis teks manuskrip yang dilakukan juga memberikan gambaran pada kita tentang
adanya peta intelektual dan spiritual yang telah terbentuk antara dunia keislaman di Nusantara
dengan pusat pengetahuan Islam di kawasan Timur Tengah. Sehingga bisa dikatakan bahwa
keislaman kita hari ini nyatanya mempunyai rangkaian kronologi sejarah yang begitu panjang
termasuk tentang dunia para wali. Dan kisah para wali yang masih hidup hingga hari ini, sengaja
untuk ada agar kita ikut mampu mentauladaninya.
***
Wildan Taufiqur Rahman
Pengamat Sejarah Islam
Guru Sejarah SMA IT Al Uswah Sby
Daftar Pustaka :
Sumber primer :
Manuskrip berkode IO Islamic 2617 berasal dari abad ke-18 akhir
Bughyatul Adzkiya’ fi Bahsi ‘An Karamatil Auliya’ , abad ke -19 karya Syekh Muhammad
Mahfudz At Tarmasi (Terjemahan)
Sumber sekunder :
Fuad Said, H.A, “Keramat Wali-Wali : Keistimewaan Anugerah Allah Swt. kepada Hamba-Nya
yang dikehendaki”, Jakarta : PT Pustaka Al Husna Baru, 2004.
Loir, Henri-Chambert dan Guillot, Claude, “Ziarah dan Wali di Dunia Islam”, Depok : Komunitas
Bambu, 2010.
Hamka, “Perkembangan Tasauf : Dari Abad ke Abad”, Djakarta : Pustaka Islam, 1962.
Haww,Said, “Pendidikan Spiritual”, Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2006.
Al Maliki, As-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi, “Mafahim Yajibu an Tushahhah”, Surabaya : Hai’ah
ash-Shofwah al Malikiyyah, 2016. (terjemahan)
Romandhon MK, Muhammad, “Melacak Jejak Syekh Subakir : Riwayat Penumbalan Tanah Jawa
dan Walisanga Generasi Pertama”, Yogyakarta : Araska, 2017.
Azra, Azyumardi, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII”,
Jakarta : Prenada Media, 2004.
Suryanegara, Ahmad Mansur, “Api Sejarah Jilid Kesatu”, Bandung : Surya Dinasti, 2016.
Sunyoto, Agus, “Atlas Walisongo”, Tangerang Selatan : Pustaka IIMan, 2018
Sumber Online :
https://tirto.id/karomah-sayidah-nafisah-dan-wali-allah-lainnya-dRv6, November 2019
https://bincangsyariah.com/khazanah/hirarki-kewalian-mengenal-tingkatan-wali-2-habis/
November 2019