Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Dunia Para Wali dalam Manuskrip Jawa

2019, Riset Manuskrip Jawa

Kita pribadi pastinya sudah mengetahui pula bagaimana para wali selalu identik dengan alam karomah, para wali diyakini sebagai manusia-manusia ruhani yang mampu mengatur jagat makrokosmos karena kedekatannya dengan Allah 'Azza wa Jalla. Wali menurut Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Jaami'u Karaamatil Aulia, dari segi bahasa artinya dekat. Begitu pula terkait dengan karomah, jika kita telisik kata karomah berasal dari bahasa Arab yang berarti mulia, dan menurut pengertian yang lebih spesifik, karomah adalah kejadian luar biasa yang ada pada diri Wali Allah. Karomah berbeda dengan Mu'jizat serta bukan pula termasuk golongan ilmu sihir. Karomah diturunkan atas kehendak Allah pada siapa saja hambanya yang taat, ikhlas serta istiqomah dalam menjalankan perintah Nya. Allah melindunginya dan mengkaruniakan keistimewaan sebagai bekal dakwah maupun bukti keagungan Allah 'Azza wa Jalla. Kalangan Kaum Sufi juga berpendapat bahwa karomah dianugerahkan pada seorang wali selama dirinya terus istiqomah berjalan dan hidup dalam naungan syariat Islam. Karomah para wali juga tak akan pernah melampaui derajat mukjizat para nabi.

Dunia Para Wali dalam Manuskrip Jawa Pada suatu hari seekor burung elang terbang di atas majelis Syekh Abdul Qodir Al Jailani. Burung itu berkicau dengan kuatnya sehingga mengganggu hadirin. Syekh Abdul Qodir Al Jailani pun berkata, “ Wahai angin, ambil kepala burung itu..”. Maka burung itu pun terjatuh ke tanah, kepalanya terpisah dari tubuhnya. Setelah peristiwa itu Syekh Abdul Qodir Al Jailani turun dari atas kursinya, lantas mengambil bangkai burung tadi dan mengusap-ngusapnya dengan mengucapkan “bismillahir rahmanir rahim…” . Maka seketika itu burung tersebut hidup kembali. Berangkat dari untaian kisah diatas maka kita bisa sama-sama mengetahui tentang adanya kejadian-kejadian yang bernuasa spiritual hingga akar intelektual kita seringkali tak mampu menguliti apa yang sebenarnya terjadi, dan kisah diatas sangatlah berkaitan erat dengan dunia para wali. Kita pribadi pastinya sudah mengetahui pula bagaimana para wali selalu identik dengan alam karomah, para wali diyakini sebagai manusia-manusia ruhani yang mampu mengatur jagat makrokosmos karena kedekatannya dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Wali menurut Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Jaami’u Karaamatil Aulia, dari segi bahasa artinya dekat. Begitu pula terkait dengan karomah, jika kita telisik kata karomah berasal dari bahasa Arab yang berarti mulia, dan menurut pengertian yang lebih spesifik, karomah adalah kejadian luar biasa yang ada pada diri Wali Allah. Karomah berbeda dengan Mu’jizat serta bukan pula termasuk golongan ilmu sihir. Karomah diturunkan atas kehendak Allah pada siapa saja hambanya yang taat, ikhlas serta istiqomah dalam menjalankan perintah Nya. Allah melindunginya dan mengkaruniakan keistimewaan sebagai bekal dakwah maupun bukti keagungan Allah ‘Azza wa Jalla. Kalangan Kaum Sufi juga berpendapat bahwa karomah dianugerahkan pada seorang wali selama dirinya terus istiqomah berjalan dan hidup dalam naungan syariat Islam. Karomah para wali juga tak akan pernah melampaui derajat mukjizat para nabi. Firman Allah , Surat Yunus 62-63 : “ Ingatlah, sesungguhnya Wali-wali Allah itu tiada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa..” . Surat Al Baqarah 257 : “Mereka adalah orang-orang beriman yang dilindungi Allah ..” *** Tokoh yang telah tersebut diatas yaitu Syekh Abdul Qodir Al Jailani, merupakan tokoh besar dalam dunia para wali, beliau dikenal sebagai wali agung sekaligus pendiri Thariqat Qodiriah. Beliau termasuk ulama yang ahli ilmu serta di payungi banyak karomah, beliau bermazhab Hanbali dan mengajar sekaligus berfatwa di Baghdad, Irak. Beliau wafat tahun 1166 M. Syekh Abdul Qadir Al Jailani termasuk wali agung yang universal karena pengaruh ajarannya yang telah dikenal luas, sehingga turut memberikan sumbangsih dalam globalisasi gerakan tasawuf di banyak wilayah di dunia. Nusantara termasuk kawasan yang menjadi ladang subur dalam proses tumbuh dan berbunganya aliran tasawuf Thariqat Qodiriah. Arti dari Tasawuf sendiri menurut Syekh Junaid adalah menyucikan hati dari segala hal yang mengganggu kejiwaan kebanyakan makhluk, menjahui segala rayuan hawa nafsu, mendekatkan diri pada sifat-sifat suci kerohanian, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, menyampaikan nasehat pada sesama manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, dan mengikuti Rasulullah dalam hal syari’at. Dr A Mukti Ali (Menteri Agama RI) dalam tulisannya yang berjudul The Spread of Islam in Indonesia menyatakan bahwa keberhasilan pengembangan Islam di Indonesia adalah melalui tarekat dan tasawuf. Dalam tiap tarekat mempunyai keberagaman dalam metode bertasawuf, hadirnya tasawuf juga menjadi media dakwah yang membumi dalam khazanah spiritual masyarakat Nusantara. Islam menjadi lebih mudah diserap dan menyatu dengan komunitaskomunitas pribumi. Diantara nama-nama Syekh Thariqat yaitu Hamzah Fansoeri, Noer al-Raniri, Abdoel Raoef al Singkel, Abdoes Shomad al Palembangi. Nama para syekh tersebut tercatat dengan jelas, persis seperti nama para wali songo. Selain Syekh Abdul Qodir Al Jailani, masyarakat Nusantara juga mengenal tokoh-tokoh ulama yang juga turut diimani sebagai seorang wali Allah, diantaranya seperti Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Kalijaga yang sampai hari ini makamnya ramai diziarahi oleh umat muslim. *** Berkaitan dengan dunia para wali khususnya di Nusantara, maka sudah selayaknya kita meneropong dengan lebih faktual berdasarkan pada sumber-sumber sejarah yang otentik. Diantara metode riset yang bisa kita jadikan rujukan adalah dengan pendekatan studi filologi, karena dengan masuk melalui pintu filologi, akan menghantarkan kita pada rangkaian ilustrasi sejarah yang lebih luas dan dalam. Studi filologi juga akan mempertemukan nalar intelektual kita dengan proses pembacaan manuskrip-manuskrip klasik yang beragam. Salah satu sejarawan yang menggunakan manuskrip-manuskrip sebagai riset ilmiahnya adalah Prof Azyumardi Azra, yang akhirnya menjadi sebuah karya disertasi saat menempuh program Ph.D di Columbia University, New York, Amerika Serikat. Disertasinya berjudul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Dalam tulisan ini juga akan melandaskan argumentasinya pada beberapa manuskrip yang masih bisa kita baca hingga hari ini, manuskrip tersebut berkode IO Islamic 2617 berasal dari abad ke-18 akhir, untuk teksnya menggunakan bahasa jawa-arab lantas aksaranya memakai pegon. Dalam tradisi aksara di tanah Jawa sendiri, ada beberapa aksara yang memang biasa dipergunakan oleh masyarakat. Pertama adalah aksara yang identik dengan Ha Na Ca Ra Ka, kedua adalah aksara pegon yang baru muncul pada era Wali Songo. Aksara Pegon atau Arab Pegon merupakah aksara yang mengadopsi tulisan-tulisan huruf hijaiyah yang berasal dari Arab. Kata pegon dalam kamus bausastra mempunyai arti tidak murni Bahasa Jawa. Saat ini manuskrip berada di British Library, Inggris dan yang menjadi objek kajian adalah halaman 06,07,dan 08 isinya menerangkan tentang kedudukan para Wali Allah. Halaman 06. Isi teks manuskrip : “ Ing Wali Quthub iku sewu kehe utawi kang ana sak kulone ing kabeh iku telung atus akehe arane Wali Quthub Nuqba // Utawi kang ana sak kidule kabeh pitung puluh kehe arane Wali Najib // Utawi kang ana sasawitaning kabeh iku petang puluh kehe arane Wali Quthub Abdal ..” ( Wali Quthub itu seribu jumlahnya atau yang ada di baratnya semua itu tiga ratus banyaknya, sebutannya Wali Quthub Nuqba // Atau yang ada di selatan semua tiga puluh banyaknya, sebutannya Wali Najib // Atau yang ada di timur semua itu empat puluh banyaknya, sebutannya Wali Quthub Abdal ) Berdasarkan pada isi teks halaman 06, kita bisa mendapatkan informasi yang luas dan tampak rahasia tentang dunia spiritual para Wali Allah, dalam teks manuskrip tersebut kita diberikan kabar bahwa Wali Quthub itu berjumlah seribu dan terbagi ke beberapa wilayah sesuai pembagian arah mata angin. Di barat berjumlah 300, bergelar Wali Quthub Nuqba, di selatan berjumlah 30, bergelar Wali Quthub Najib, di timur berjumlah 40 , bergelar Wali Quthub Abdal, lalu di utara berjumlah 45, bergelar Wali Quthub Akhir (bisa dilihat pada teks halaman 07) . Dari pembagian-pembagian wilayah tersebut kita bisa berimajinasi bersama bahwa para wali mempunyai kedudukannya masing-masing. Dalam buku Keramat Wali-Wali yang ditulis oleh H.A Fuad Said juga dijelaskan secara detail bahwa dalam dunia para wali terdapat beberapa kedudukan. H.A Fuad Said mendasarkan argumentasinya pada kitab Jaami’u Karamatil Aulia, Ar-Ruh, dan At-Tawassul waz Ziarah Fis-Syaria’atil Islamiyah. Dalam buku tersebut dijelaskan adanya Wali Nuqba, Wali Najib, Wali Abdal, Wali Akhir yang kesemuanya mempunyai peran masing-masing. Dan terkait penggunaan gelar Quthub sendiri hanya ditujukan pada satu sosok wali yang dikenal dengan sebutan Wali Quthub. Arti dari Wali Quthub ialah wali yang paling utama derajatnya sekaligus berposisi sebagai pemimpin para wali dan segala yang berkaitan dengan alam kewalian terhimpun semua dalam dirinya. Wali Quthub hanya berjumlah 1 orang dalam tiap masa. Jika Sang Wali Quthub meninggal maka akan digantikan oleh Wali Quthub selanjutnya, dan untuk kedudukan para wali lainnya, seperti Wali Nuqba, Wali Najib, Wali Abdal, termasuk berada di bawah garis struktur dan komando Sang Wali Quthub. Ibnu Hajar al-Haitami turut menjelaskan dalam kitabnya al-Fatawi al-Haditsiyyah: “Dan para wali yang mengetahui hal ghaib dinamai (dengan nama-nama kedudukan) tersebut karena kebanyakan orang tidak mengetahui tentang para wali tersebut. Pemimpin para wali itu adalah Qutb al-Ghawts al-Fard al-Jami dimana Allah menganugerahinya mampu berkeliling ke empat penjuru dunia seperti berputarnya bintang di langit. Allah menutupi hal ihwal mereka pada kelompok khusus apalagi orang-orang pada umumnya “ Belajar dari penjelasan Ibnu Hajar al-Haitami, kita bisa sama-sama mentafsirkan bahwa para wali mempunyai beberapa kedudukan , para wali bisa kita kenali sebagai manusia-manusia yang mempunyai derajat tinggi dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla, selain itu para wali mempunyai amanah secara spiritual, intelektual maupun kultural kemasyarakatan, dan biasanya dibekali dengan banyak karomah. Para wali juga mempunyai pemimpin disebut Qutb al-Ghawts al-Fard al-Jami atau biasa dikenal sebagai Wali Quthub. Bagi seorang wali yang ‘beramanah’ sebagai Wali Quthub maka dirinya dianugerahi banyak karomah diantaranya bisa melakukan perjalanan supranatural ke empat penjuru dunia, dan terkait kedudukan dan dunia para wali pada dasarnya hanya diketahui oleh manusia-manusia khusus yang memang Allah ‘Azza wa Jalla pilih dan mendapat ilham. Halaman 07. Isi teks manuskrip : “ Utawi kang ana loring kakbeh iku petang puluh lima kehe arane Wali Quthub Akhir // Utawi kang ana saing soring langit langit iku papat kehe arane Wali Quthub ‘Imron // Utawi kang ana saing sore ing bumi iku arane Wali Quthub Ghouts // Utawi kang ora tetep ing enggon sawiji // iku limang atus petang puluh akehe arane Wali Quthub Rijalullah iku minangka runda lan minangka uker reng jagat kabeh // Utawi ana umat ingsun iku anemu pesali.. ato pesagiwuhi ngati ato sekalen .. “ ( Atau yang ada di utara semua itu empat puluh lima banyaknya, sebutannya Wali Quthub Akhir // Atau yang ada dibawah bumi itu, sebutannya Wali Quthub Ghouts // Atau yang tidak menetap di satu tempat // itu lima ratus empat puluh banyaknya, sebutannya Wali Quthub Rijalullah, itu sebagai penjaga dan sebagai pengendali semua dunia // Atau ada umat berniat itu bertemu … ato sabar hati atau sekali ) Bersambung dengan penjelasan pada halaman sebelumnya, isi teks manuskrip halaman 07 tersebut juga mengandung arus informasi yang sama bahwa ada banyak kedudukan untuk para wali, berdasarkan pada teks manuskrip diatas terdapat Wali Quthub Ghouts dan Wali Quthub Rijalullah, yang semuanya itu bisa kita anggap berada di bawah kepemimpinan Sang Wali Quthub. Maka dari tinjauan isi teks manuskrip halaman 06-07 lalu kita hubungkan dengan sumber literatur yang disampaikan pada halaman sebelumnya , tampak terlihat bahwa konsep kewalian yang ada di abad ke-18 sebagian besarnya mempunyai kesamaan dengan konsep kewalian yang sampai hari ini di pahami. Mulai dari nama-nama para wali serta pembagian kedudukan, dan yang membedakan mungkin terkait kedudukan Sang Wali Quthub sebagai pimpinan para wali, lalu jika dianalisis lebih dalam secara sumber-sumber literatur keislaman yang bertemakan tasawuf. Tampaknya isi teks manuskrip halaman 06-07 masih mempunyai ikatan yang erat dengan mazhab kewalian Ibnu Arabi. Karena dalam kitab Futuhat Makiyyah, Ibnu Arabi menuturkan bahwa jumlah wali sangat banyak dan menyebar di penjuru bumi. Ibnu Arabi juga menyampaikan adanya tingkatan para wali, diantaranya ada Wali Quthub, Wali Aimmah, Wali Autad, Wali Abdal. Halaman 08. Isi teks manuskrip : “ Atok sakitar ato bilahene bareng bilahi iku ato wawelaga iku siro anjalug tulung ing Wali Quthub kang sewu kehe // Utawi wiwinane kang jenalukan tulung iku ing Wali kang ana sakulon ing kakbeh lan serto aweh salam // lan amocoh ing wawacane lan anebut ing asmane // serto nabi satus ewu padlikur ewu // serto malaikat kang kaparek kabeh // serto makhluk kabeh // serto kanjeng Nabi Muhammad Shallawlahhu Alaihi Wa Sallam ..” ( Atau sekitar atau jika memungkinkan bersama … itu ato … itu kepada yang meminta tolong di Wali Quthub yang seribu banyaknya // atau awalnya yang minta tolong itu ke Wali yang ada di barat semuanya dan serta … salam // dan membaca di bacaannya dan nyebut asmanya // serta Nabi seratus dua empat ribu // serta malaikat yang dekat semuanya // serta makhluk semuanya // serta Kanjeng Nabi Muhammad Shallawlahhu Alaihi Wa Sallam ) Berdasarkan pada isi teks manuskrip halaman 07 bagian akhir, menyatakan bahwa jika ada dari golongan umat ini yang ingin bertemu para wali harus sabar, isi teks manuskrip halaman 08 turut menginformasikan bahwa orang-orang umum juga bisa meminta bantuan serta pertolongan dengan perantara atau wasilah para wali, diantara tata caranya adalah dengan menyebut namanya, serta para nabi, para malaikat, para makhluk dan yang paling utama adalah Nabi Muhammad Shallawlahhu ‘Alaihi Wa Sallam, maka dari penjelasan teks manuskrip 8, kita bisa mendapatkan suatu pengetahuan tentang kaedah bertawassul, dan tawassul sendiri adalah salah satu dari tatacara berdoa dan salah satu pintu untuk menghadap kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka tujuan murni yang hakiki, yang asli dalam bertawassul adalah Allah semata. Dan sesuatu yang dijadikan media tawassul adalah sebuah wasithah (perantara) dan wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan siapa pun orang yang meyakini tawassul tidak seperti ini maka dia telah berbuat syirik. Dalil tentang tawassul tercantum dalam QS Al Maidah ; 35 “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan yang mendekatkan diri kepada Nya)..” Arti dari wasilah adalah setiap hal yang dijadikan Allah Ta’ala sebagai sebab untuk mendekatkan diri kepada Nya, dan sebagai perantara terpenuhinya segala hajat yang diminta atas kehendak Nya. Wasilah yang dipilih juga harus memiliki derajat yang tinggi dan kehormatan disisi Allah. Lantas yang bisa dijadikan wasilah diantaranya seperti para Nabi, para wali,orang-orang shalih, yang masih hidup ataupun telah wafat. Termasuk amal-amal shalih yang telah kita kerjakan bisa dijadikan wasilah demi terpenuhinya hajat diri kita. *** Menurut Yahya bin Mu’adz , wali itu tidak pamer, juga tidak berpura-pura munafik. Selain itu , wali adalah wewangian dari Allah yang harumnya dihirup oleh para shiddiq (orangorang ikhlas) hingga semerbaknya menyeruak dalam hati mereka. Dan kita juga perlu tahu bahwa tidak semua wali yang memiliki karomah lebih utama daripada wali yang tak punya karomah secara mutlak. Bahkan karomah itu bisa jadi muncul karena lemahnya keyakinan atau tekad seorang wali. Maka disegerakanlah karomah itu bagi wali yang dikehendaki mendapatkan pertolongan. Dunia para wali, dunia spiritual yang penuh rahasia. Pemaparan dari awal sampai akhir tulisan yang banyak membicarakan tentang wali, semoga memberikan manfaat secara spiritual dan intelektual pada diri kita bahwa menjadi wali itu bukan proses menjadi sakti, namun menjadi manusia yang ikhlas, sabar, dan istiqomah dalam melaksanakan syariat Allah dan terus setia menjahui segala larangan Nya. Para wali juga mengajarkan pada kita tentang pentingnya bertasawuf, karena dengan menempuh jalan tasawuf maka kita bisa melakukan kontrol moral atas diri kita, maupun masyarakat yang selama ini hidup di sekitar kita. Para wali juga bisa menjadi wasilah bagi kita, dalam bab berdoa dan munajat atas semesta harapan yang kita punyai pada Allah ‘Azza wa Jalla. Analisis teks manuskrip yang dilakukan juga memberikan gambaran pada kita tentang adanya peta intelektual dan spiritual yang telah terbentuk antara dunia keislaman di Nusantara dengan pusat pengetahuan Islam di kawasan Timur Tengah. Sehingga bisa dikatakan bahwa keislaman kita hari ini nyatanya mempunyai rangkaian kronologi sejarah yang begitu panjang termasuk tentang dunia para wali. Dan kisah para wali yang masih hidup hingga hari ini, sengaja untuk ada agar kita ikut mampu mentauladaninya. *** Wildan Taufiqur Rahman Pengamat Sejarah Islam Guru Sejarah SMA IT Al Uswah Sby Daftar Pustaka : Sumber primer : Manuskrip berkode IO Islamic 2617 berasal dari abad ke-18 akhir Bughyatul Adzkiya’ fi Bahsi ‘An Karamatil Auliya’ , abad ke -19 karya Syekh Muhammad Mahfudz At Tarmasi (Terjemahan) Sumber sekunder : Fuad Said, H.A, “Keramat Wali-Wali : Keistimewaan Anugerah Allah Swt. kepada Hamba-Nya yang dikehendaki”, Jakarta : PT Pustaka Al Husna Baru, 2004. Loir, Henri-Chambert dan Guillot, Claude, “Ziarah dan Wali di Dunia Islam”, Depok : Komunitas Bambu, 2010. Hamka, “Perkembangan Tasauf : Dari Abad ke Abad”, Djakarta : Pustaka Islam, 1962. Haww,Said, “Pendidikan Spiritual”, Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2006. Al Maliki, As-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi, “Mafahim Yajibu an Tushahhah”, Surabaya : Hai’ah ash-Shofwah al Malikiyyah, 2016. (terjemahan) Romandhon MK, Muhammad, “Melacak Jejak Syekh Subakir : Riwayat Penumbalan Tanah Jawa dan Walisanga Generasi Pertama”, Yogyakarta : Araska, 2017. Azra, Azyumardi, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII”, Jakarta : Prenada Media, 2004. Suryanegara, Ahmad Mansur, “Api Sejarah Jilid Kesatu”, Bandung : Surya Dinasti, 2016. Sunyoto, Agus, “Atlas Walisongo”, Tangerang Selatan : Pustaka IIMan, 2018 Sumber Online : https://tirto.id/karomah-sayidah-nafisah-dan-wali-allah-lainnya-dRv6, November 2019 https://bincangsyariah.com/khazanah/hirarki-kewalian-mengenal-tingkatan-wali-2-habis/ November 2019