Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat

Tugas Agama

HALAMAN JUDUL MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam Disusun Oleh: Ariandaru Kusuma Yudha NIM 12020119130066 ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS DIPONEGORO 2019 DAFTAR ISI Contents HALAMAN JUDUL 1 DAFTAR ISI ii KATA PENGANTAR iv BAB 1 PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 2 1.3 Tujuan 2 BAB 2 PEMBAHASAN 3 2.1 Konsep Masyarakat Madani 3 2.1.1 Wilayah Pubilik yang Bebas 4 2.1.2 Demokrasi 5 2.1.3 Toleransi 5 2.1.4 Pluralisme 5 2.1.5 Keadilan 6 2.2 Karakteristik Masyarakat Madani 6 2.3 Sejarah dan Perkembangan Masyarakat Madani 8 2.3.1 Kualitas Sumber daya Manusia Umat Islam 9 2.4 Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani 10 2.5 Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat 10 2.5.1 Sistem Ekonomi Islam 10 2.5.2 Kesejahteraan Umat 12 2.6 Konsep Zakat dan Wakaf Menurut Ekonomi Islam 20 2.6.1 Pengertian dan Dasar Hukum Zakat 20 2.6.2 Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia 21 2.6.3 Hikmah Ibadah Zakat 21 2.6.4 Manajemen Wakaf 22 2.6.5 Rukun dan Syarat Wakaf 22 2.6.6 Hukum Wakaf 22 BAB 3 PENUTUP 23 3.1 Kesimpulan 23 DAFTAR PUSTAKA 24 KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti. Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah pengantar bisnis dengan judul “Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat”. penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen kami yang mengampu pada mata kuliah ini. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih. Semarang, November 2019 Penulis PENDAHULUAN Latar Belakang Masyarakat madani merupakan konsep yang mengalami proses yang sangat panjang. Masyarakat madani muncul bersamaan dengan adanya proses modernisasi, terutama pada saat transformasi menuju masyarakat modern. Dalam mendefinisikan masyarakat madani ini sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa. Dalam Islam masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang taat pada aturan Allah SWT, hidup dengan damai dan tentram, dan yang tercukupi kebutuhan hidupnya. Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan dan kesatuan. Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya. Bangsa Indonesia belum terlambat mewujudkan masyarakat madani asalkan semua potensi sumber daya manusia mendapat kesempatan berkembang dan dikembangkan. Mewujudkan masyarakat madani banyak tantangan yang harus dilalui. Untuk itu perlu adanya strategi peningkatan peran dan fungsi masyarakat dalam mengangkat martabat manusia menuju masyarakat madani itu sendiri. Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja. Berangkat dari hal di atas, maka penulis memutuskan untuk menyusun karya ilmiah yang berjudul “Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat.” Rumusan Masalah Bagaimanakah konsep masyarakat madani? Bagaimana karakteristik masyarakat madani? Bagaimana sejarah dan perkembangan masyarakat madani? Bagaimanakah peran umat Islam dalam mewujudkan masyarakat madani? Bagaimanakah sistem ekonomi Islam dan kesejahteraan umat? Bagaimanakah konsep zakat dan wakaf menurut ekonomi Islam? Tujuan Mengetahui konsep masyarakat madani Mengetahui karakteristik masyarakat madani Memahami sejarah dan perkembangan masyarakat madani Mengetahui peran umat Islam dalam mewujudkan masyarakat madani Mengetahui sistem ekonomi Islam dan kesejahteraan umat Mengetahui konsep zakat dan wakaf menurut ekonomi Islam PEMBAHASAN Konsep Masyarakat Madani Madani, merupakan istilah dari bahasa arab “mudun”,atau “madaniyah”, yang mengandung arti peradaban. Dalam bahasa inggris istilah tersebut mempunyai padanan makna dengan kata civilization. Secara terminologis masyarakat madani menurut An-Naquib Al-Attas adalah “mujtama’ madani” atau masyarakat kota. Secara etimologi mempunyai dua arti, Pertama, ‘masyarakat kota karena madani berasal dari kata bahasa arab madinah yang berarti kota, dan kedua “masyarakat berperadaban” karena madani berasal dari kata arab tamaddun atau madinah yang berarti peradaban, dengan demikian masyrakat madani mengacu pada masyarakat yang beradab. Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society juga berdasarkan pada konsep negara mzadinah yang dibangun Nabi Muhammad saw pada tahun 622M. Istilah masyarakat madani sering diartikan sebagai terjemahan dari civil society, tetapi jika dilacak secara empirik istilah civil society adalah terjemahan dari istilah latin, civilis societas, yang mula-mula dipakai oleh Cicero (seorang orator dan pujangga dari Roma), pengertiannya mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik (Political Society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar hidup. Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba‟ ayat 15: لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ “Sesungguhnya bagi kaum Saba´ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun". Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu: Masyarakat Saba’ (masyarakat di masa Nabi Sulaiman) dan Masyarakat Madinah, perjanjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Beberapa unsur pokok yang harus dimiliki oleh masyarakat madani adalah wilayah publik yang bebas (free public sphere), demokrasi, toleransi, kemajemukan (pluralism), dan keadilan sosial (social justice). Wilayah Pubilik yang Bebas Free public sphere adalah ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat masyarakat. Di wilayah ruang publik ini semua warga negara memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan transaksi sosial dan politik tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan di luar civil society. Mengacu pada Arendt dan Habermas, ruang publik dapat diartikan sebagai wilayah bebas di mana semua warga negara memiliki akses penuh dalam kegiatan yang bersifat publik. Sebagai prasyarat mutlak lahirnya civil society yang sesungguhnya, ketiadaan wilayah publik bebas ini pada suatu negara dapat menjadi suasana tidak bebas di mana negara mengontrol warga negara dalam menyalurkan pandangan sosial politiknya. Demokrasi Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society yang murni (genuine). Tanpa demokrasi masyarakat sipil tidak mungkin terwujud. Secara umum demokrasi adalah suatu tatanan sosial politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga Negara. Toleransi Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat. Lebih dari sikap menghargai pandangan berbeda orang lain, toleransi, mengacu pandangan Nurcholis Madjid, adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari pelaksanaan ajaran yanng benar. Dalam perspektif ini, toleransi bukan sekedar tuntutan sosial masyarakat majemuk belaka, tetapi sudah menjadi bagian penting dari pelaksanaan ajaran moral agama. Senada dengan Majdid. Azra menyatakan bahwa dalam kerangka menciptakan kehidupan yang berkualitas dan berkeadaban (tamaddun/ civility), masyarakat madani menghajatkan sikap-sikap toleransi, yakni kesedihan individu-individu untuk menerima beragam perbedaan pandangan politik dikalangan warga bangsa. Pluralisme Kemajemukan atau pluralisme merupakan prasyarat lain bagi civil society. Pluralisme tidak hanya dipahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima kenyataan sosial yang beragam, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat Tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat. Menurut Madjid, pluralisme adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan menurutnya pula, pluralisme merupakan suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance). Kemajemukan dalam pandangan Madjid erat kaitannya dengan sikap penuh pengertian (toleran) kepada orang lain, yang nyata-nyata diperlukan dalam masyarakat yang majemuk. Secara teologis, tegas Madjid, kemajemukan sosial merupakan dekrit Allah untuk umat manusia. Keadilan Keadilan sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional atas hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan: ekonomi, politik, pengetahuan, dan kesempatan. Dengan pengertian lain, keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh kelompok atau golongan tertentu. Karakteristik Masyarakat Madani Pada At-Taubah:71, Allah SWT bersabda: وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [التوبة: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” Meski Al-Quran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani Rasulullah dalam menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah. Masyarakat modern mendambakan sebuah sistem kehidupan dimana elemen-eleman dalam masyarakat mempunyai peranan yang dominan dalam menata kehidupan yang mereka inginkan. Beberapa cendikiawan Muslim di Asia Tenggara lebih suka menggunakan istilah masyarakat madani sebagai gantinya. Dan ada beberapa karakteristik mengenai masyarakat madani yaitu : Masyarakat egaliter, masyarakat egaliter atau masyarakat yang mengemban nilai egalitarianisme yaitu masyarakat yang mengakui adanya kesetaraan dalam posisi di masyarakat dari sisi hak dan kewajiban tanpa memandang suku, keturunan, ras, agama, dan sebagainya. Penghargaan, bahwa dalam masyarakat madani adanya penghargaan kepada orang berdasarkan prestise, bukan kesukuan, keturunan, ras, dan sebagainya. Keterbukaan (partisipasi seluru anggota masyarakat aktif), sebagai ciri masyarakat madani adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan untuk mendengarkan pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Penegakkan hukum dan keadilan, hukum ditegakkan pada siapapun dan kapanpun, walupun terhadap keluarga sendiri, karena manusia sama didepan hukum. Toleransi dan pluralisme, tak lain adalah wujud civility yaitu sikap kewajiban pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selalu benar, karena pluralism dan toleransi merupakan wujud dari “ikatan keadaban’ ( Bond of civility), dalam arti masing-masing pribadi dan kelompok dalam lingkunga yang lebih luas, memandang yang lain dengan penghargaaN, betapapun perbedaan yang ada tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat atau pandangan sendiri. Musyawarah dan demokrasi, merupakan unsur asasi pembentukan masyarakat madani. Nur cholis madjid menyatakan, maasyarakat madani merupakan masyarakat demokratis yang terbangun dengan menegakkan musyawarah, karena musywarah merupakan interpretasi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberikan hak untuk menyatakan pendapat, dan mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat orang lain. Sejarah dan Perkembangan Masyarakat Madani Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain. Antara lain dari sudut ini pulalah, kita dapat mengaitkan antara Islam dengan masyarakat madani. Ungkapan apresiatif atau yang bersifat menghargai ini berasal dari kalangan ilmuan nonmuslim atau barat, yang mengatakan bahwa ada kesesuaian antara Islam dan konsep masyarakat madani, bahkan kenyataan itu pernah ada dalam kehidupan nyata masyarakat Islam, barang kali orang akan menilai bahwa ini merupakan suatu penilaian yang objektif. Sosiolog terkemuka dar Amerika Serikat, Robert N. Bellah misalnya mengatakan, bahwa sesungguhnya bangunan politik yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad Saw. Ketika berada di Madinah, adalah bersifat sangat modern. Memang bukan organisasi atau lembaga di luar negara yang berkembang pada waktu itu, tetapi dimensi-dimensi lain yang ada dalam bangunan konsep masyarakat madani. Hal itu tercermin dengan jelas dalam mitsaq Al-madinah (perjanjian madinah), yang oleh para ilmuwan politik, dianggap sebagai konstitusi pertama sebagai negara. Dalam hal ini, sejumlah persyaratan pokok tumbuhnya kehidupan masyarakat madani yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad adalah prinsip kesamaan, keadilan, dan partisipasi. Dalam konstitusi itu disebutkan, bahwa pluralitas suku yang diikatkan dalam suatu kesepakatan, bersama, dan dianggap sebagai umat. Tentu, umat disini bukan dalam arti agama tetapi warga negara. Karenanya, dengan enak bani aus yahudi itu juga disebut dengan umat Madinah. Adanya aturan-aturan yang tegas ini, yang dituangkan secara tertulis dalam perjanjian madinah, yang mengakui diterapkannya prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan musyawarah merupakan ciri-ciri awal terbentuknya kehidupan politik modern, yang antara lain ditandai dengan munculnya semangat masyarakat madani. Disitu, yang ingin dikembangankan adalah nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara yang sebanding dengan kehidupan politik demokratis meskipun masih dalam bentuk dan strukturnya yang sederhana. Faktor pendorong perubahan masyarakat sehingga menjadi masyarakat madani adalah agama Islam, karena sejak muncul dan berlembangnya Islam disana meskipun dalam tahap awal transformasi atau perubahan masayarakat secara besar-besaran terjadi disana, baik dilihat dari sudut pandang keagamaan (lebih rasional) maupun kehidupan sosial budaya, ekonomi, dan politik (lebih berperadaban). Dalam bahasa agama proses perubahan dari situasi jahiliyah ke berperadaban ditegaskan oleh al-Qur’an, bahwa salah satu fungsi Islam adalah membawa atau mengeluarkan masayarakat dari alam kegelapan menuju alam terang. Dalam kehadiran Islam adalah mengeluarkan umat manusia dari kegelapan ke terang benderang. Sebanding dengan itu, yang lebih popular adalah kehadiran Islam adalah rahmat bagi alam semesta. Kualitas Sumber daya Manusia Umat Islam Firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 110 yang berbunyi: كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang yang fasik.” Dari ayat di atas sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDM-nya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil. Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani Sumber daya manusia umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia jumlah umat Islam adalah ±85% tetapi karena kualitas sumber daya manusianya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat Sistem Ekonomi Islam Menurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Dengan demikian realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima dalam Islam melainkan hanya milik Allah saja, sedangkan manusia hanyalah memiliki hak milik nisbi atau relatif. Pernyataan dan batas-batas hak milik dalam Islam sesuai dengan sistem keadilan hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya. Islam memiliki dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Sebagaimana dalam QS. al-Syu’ara ayat 183 yang berbunyi: وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ artinya: “Janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.” Dalam komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat. Dalam Q.S. An-Nahl ayat 71 disebutkan, وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ ۚ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُوا بِرَادِّي رِزْقِهِمْ عَلَىٰ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَاءٌ ۚ أَفَبِنِعْمَةِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ yang artinya: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.” Dalam ukuran tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Alah. Sebagaimana Firman Allah dalam QS. An-nisa ayat 114 disebutkan, ۞ لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا yang artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.” Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat. Dengan melaksanakan kedua hubungan itu dengan baik, maka ekonomi yang dibina berdasar syariat Islam akan berjalan dengan lancar. Kesejahteraan Umat Sebagian pakar menyaakan bahwa kesejahteraan merupakan keadaan yang didambakan dalam Al Qur’an sebagaimana tercermin dari surga yang dihuni oleh Adam dan istrinya sesaat sebelum mereka diturunkan untuk melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui, sebelum Adam dan istrinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebuh dahulu ditempatkan di surga. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi,serta kelak dihuninya secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang bayang surga itu adalah masyarakat yang sejahtera. Beberapa Negara barat, istilah kesejahteraan umat/sosial menunjuk pada pelayanan Negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di Amerika Serikat bahkan hal ini lebih spesifik lagi pada uang yang dibayarkan pemerintah kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan finansial, yakni yang pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Sementara itu, Islam mendefinisikan kesejahteraan umat sebagai kondisi saat seseorang dapat mewujudkan semua tujuan (maqashid) syari’ah, yakni: Terlindung kesucian agamanya Terlindung keselamatan dirinya Terlindung akalnya Terlindung kehormatannya Terlindung hak milik/hak ekonominya. Dengan demikian, kesejahteraan tidak cuma merupakan buah suatu sistem ekonomi. Kesejahteraan adalah juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya dan sistem pergaulan sosial. Karena itulah, ideologi yang mendasari sistem-sistem ini sangat menentukan dalam memberikan warna sejahtera seperti apa yang akan diwujudkan, dan apakah sejahtera seperti itu akan bertahan lama atau berlaku secara universal. Berikut adalah cara Islam membangun kesejahteraan umat: Membangun Kesejahteraan Melalui Sistem Hukum Surat an-Nisa’ menyebutkan bahwa sumber hukum dalam Islam yang wajib dijadikan referensi di dalam segala tindakan dan hukum mereka, yaitu: Al-Qur’anul Karim, mengamalkannya merupakan ketaatan kepada Allah. Sunnah Rasul, baik qauliyah (perkataan) maupun fi’liyah (perbuatan) . mengamalkannya adalah ketaatan kepada Rasul. Pendapat Ahlul Halli wal ‘Aqdi di dalam umat. Mereka terdiri atas ulama’ dan orang-orang yang bertanggung jawab tentang kemaslahatan umum, seperti tentara, para petani, industriawan dan pendidik yang semuanya menangani bidangnya masing-masing. Mengamalkan pendapat mereka adalah ketaatan kepada Ulil Amri. Sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah Ta’ala dalam surat an-Nisa’ ayat 59: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam menafsirkan surat an-Nisa’ ayat 59 tersebut adalah perintah wajib yang Allah Ta’ala lontarkan kepada umat Islam berupa taat kepada-Nya dan Rasul-Nya dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan hadits, dan taatilah penguasa-penguasa kamu, jika mereka beragama Islam yang berpegang teguh kepada syari’at Allah, sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk, jika dia durhaka kepada Sang Khalik. Dan dalam firman-Nya terdapat kata “minkum (di antara kamu)” merupakan dalil bahwa penguasa-penguasa yang wajib kamu taati adalah penguasa-penguasa yang muslim lahir dan batinnya, daging dan darahnya, bukan muslim bentuk dan penampilannya saja. Pada ayat kemudian “kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul”, maksudnya adalah putuskanlah sesuatu yang menjadi perselisihan tersebut dari hukum-hukum yang terdapat dalam kitab Allah dan hadits nabi –Nya, dan pada sambungan ayat,”jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir,” ini adalah syarat yang menghapus jawabnya untuk menunjukkan lafazh yang terdahu;lu. Jawabnya yang terbuang; maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul-Nya. Ini bertujuan memotivasi agar umat Islam senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an (Allah) dan hadits (rasul-Nya). Seperti perkataan,”jika kamu anakku maka kamu jangan menentang aku”. “Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,” ialah kembali kepada Allah dan rasul-Nya melalui Al-Qur’an dan hadits merupakan hal yang lebih utama bagi umat dan lebih baik akibat/dampaknya bagi umat. Setiap hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan hadits, bila umat muslim tidak bersandar kepadanya, tidak pula kembali kepada pendapat Ahlul Halli wal ‘Aqdi (Ijma’ Ulama’) maka hukumnya bathil, yang mengikuti hawa nafsu semata dan tidak menjamin kemaslahatan hajat hidup orang banyak serta ridha Allah SWT. Hukum Islam ialah bentuk produk hukum yang sangat menjunjung tinggi kemaslahatan umat, sebenar-benar hukum yang mengedepankan hak asasi manusia, adil tanpa memandang pelaku kejahatan apakah kaya atau miskin, dan bukan produk hukum yang bisa ditawar-tawar serta tidak pula tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Membangun Kesejahteraan Melalui Sistem Ekonomi Ekonomi Islam merupakan suatu cara atau maksud untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak dengan berdasarkan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Perbincangan tentang prinsip moral tersebut dikemukakan Yusuf Qardhawi, yang mencakup: Harus berpegang teguh kepada semua yang dihalalkan Allah dan tidak melampaui batas. Intinya ekonomi Islam, ekonomi yang dicapai secara halal, baik, adil, saling menguntungkan dan penuh dengan keridhaan Allah SWT. Melindungi dan menjaga sumber daya alam karena alam merupakan nikmat dari Allah kepada hamba-Nya. Dengan demikian orientasi ekonomi Islam adalah mewujudkan kemaslahatan umat yang berdimensi ibadah dan didasari dengan tujuan mencapai ridho Allah SWT. Masalah ekonomi merupakan bagian mendasar dari kelangsungan hidup manusia, sehingga tidak heran jika manusia sangat ekstra keras dalam melakukan apa saja, agar pemberdayaan ekonominya dapat terjamin. Pemberdayaan ekonomi secara baik, menjadi kata kunci memelihara dan meningkatkan pertumbuhan hidup secara baik. Soal bagaimana pemberdayaannya, Rasulullah menyerahkan persoalan pemberdayaannya kepada manusia karena mereka yang lebih tahu urusan dunianya. Penyerahan Rasulullah tersebut mengisyaratkan bahwa seseorang memiliki kebebasan untuk melakukan pemberdayaan terhadap urusan hidup. Dengan catatan tidak melanggar batas-batas norma hukum yang telah digariskan Allah SWT. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki nilai-nilai prinsipil terhadap aktivitas kehidupan, begitu juga halnya dengan prinsip pemberdayaan ekonomi Islam. Prinsip pemberdayaan itu sejalan dengan tujuannya antara lain: Mewujudkan kesejahteraan ekonomi dalam kerangka norma moral Islam Mewujudkan persaudaraan dan keadilan universal Terwujudnya pendapatan dan kekayaan yang merata Terwujudnya kebebasan individual dalam konteks kemaslahatan dan kesejahteraan umat. Dengan demikian prinsip pemberdayaan ekonomi harus diawali dari beberapa keyakinan normatif. Keyakinan normatif yang dimaksudkan antara lain: Manusia merupakan Khalifah dan pemakmur bumi Setiap harta yang dimiliki terdapat bagian orang lain Dilarang memakan harta (memperoleh harta) secara bathil Penghapusan praktik riba dan berbagai hal yang meracuni kebaikan dan kehalalan harta. Penolakan terhadap monopoli dan hegemoni yang mengakibatkan hak dan ruang berkarya orang menjadi sulit. Kekayaan merupakan amanah Allah dan tidak dimiliki secara mutlak. Islam memberikan ruang gerak yang sangat luas kepada manusia untuk bermuamalah selama tidak melanggar ketentuan syari’ah, etika dan bisnis Islam. Membangun Kesejahteraan Melalui Sistem Politik Memngingat bahwa manusia adalah makhluk sosial, saling membutuhkan satu sama lain sehingga manusia tak akan bisa bertahan hidup tanpa keberadaan makhluk lain atau orang lain. Manusia juga oleh Aristoteles disebutkan “zoon politicon” yaitu dalam artian manusia memerlukan tatanan-tatanan peraturan, norma-norma dan sistem dalam mengatur urusan hidup dan kehidupan serta mengatur kepentingan dan urusan wilayah atau negara berdasarkan tujuan bersama. Oleh karena itu ada dua poin penting kontribusi yang dapat ditarik dari penafsiran Quraish Shihab terhadap Al-Qur’an tentang kekuasaan, yaitu: Penegakkan Etika dalam Kehidupan Politik Kekuasaan politik adalah untuk mengatur masalah-masalah umat, maka apapun proses politik harus dilandasi oleh nilai-nilai moral dan etika yang bersumber pada ajaran agama. Ini sesuai dengan pesan utama Rasulullah SAW, bahwa ia tidak diutus kedunia melainkan untuk menyempurnakan etika (makhluk) manusia. Quraish Shihab menolak pandangan yang mengahalalkan segala cara untuk mencapai tujuan . Pandangan-pandangan yang mengatakan bahwa politik itu kotor dan jargon-jargon lain yang berusaha menjustifikasi segala cara untuk mencapai tujuan politik, adalah cara pandangan yang sesat lagi menyesatkan. Bagi Quraish, agama harus mampu berperan mengarahkan kehidupan sosial menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera di bawah naungan maghfirah Allah, yang dalam bahasa Al-Qur’an diungkapkan dengan baldatun thoyyibatun wa Robbun Ghofur, menurutnya, ada tiga peran agama dalam menwujudkan hal demikian, yaitu: Agama hendaknya menjadi kekuatan pendorong bagi peningkatan kualitas Agama hendaknya memberikan kepada individu dan masyarakat sesuatu kekuatan pendorong untuk meningkatkan partisipasi dalam karya dan kreasi masyarakat Agama dengan nilai-nilainya harus mampu berperan sebagai isolator yang menghambat seseorang dari segala penyimpangan. Menurut Quraish juga, dalam pandangan agama, Tuhan memberi kemampuan kepada pemerintah untuk meluruskan yang keliru dan mendorong kepada kebenaran melebihi kemampuan tuntutan-tuntutan-Nya yang termaktub dalam kitab suci. Dalam konteks ini hadits Nabi menyatakan yang artinya “Sesungguhnya Allah mencegah melalui penguasa apa yang tidak tercegah melalui Al-Qur'an”. Dengan kekuasaan yang dimiliki pemerintah, sekian banyak hal dapat dicapai dan sekian banyak keburukan dapat tercegah. Sehingga, kekuasaan politik yang dilandasi etika yang kuat tentu akan melahirkan masyarakat yang beretika pula. Pemihakan Terhadap Kepentingan Masyarakat Seseorang memperoleh kekuasaan politik adalah berdasarkan kontrak sosial. Masyarakat yang dipimpinnya telah menyerahkan sebagian haknya untuk diatur urusan-urusannya dan menyatakan kepatuhan kepadanya. Bentuk konkretnya pada masa lalu diwujudkan ketika rakyat membai’at pemimpin. Dalam masa modern sekarang hal ini direalisasikan dalam bentuk pemilu. Memang di dalam pemilu tidak semua orang secara aklamasi memilih seorang penguasa atau dengan kata lain tidak ada penguasa yang memperoleh suara secara mutlak. Namun dengan mayoritas suara yang diperolehnya dari masyarakat ia berhak menduduki kursi kepemimpinan. Meskipun sebagian rakyat tidak memilihnya, ketika ia terpilih secara sah, maka semua rakyat wajib mematuhinya. Oleh sebab itu, sebagai imbalannya pemimpin yang terpilih wajib menjalankan tugas-tugasnya dengan baik dan mengayomi semua masyarakatnya, mengutamakan kepentingan mereka dan tidak berlaku sewenang-wenang terhadap mereka. Karena kekuasaan merupakan perjanjian segitiga antara penguasa, rakyat serta penguasa dan Allah, maka apapun bentuk pelaksanaan kekuasaan akan dipertanggungjawabkannya di depan Mahkamah Allah kelak. Tidak ada satupun yang lepas dari pertanggungjawaban. Dari berbagai keterangan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa masalah kesejahteraan sosial (umat) sebenarnya adalah menjadi tanggung jawab ita semua. Individu Muslim. Dalam menjaga keseimbangan kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, Nabi Muhammad SAW, pernah menegur sahabat Abu Darda’ yang hanya sibuk puasa dan shalat saja, tanpa mengabaikan kesehatan diri sendiri dan kebutuhan keluarganya. Masyarakat Muslim Di dalam hidup bermasyarakat kita harus dapat mempunyai solidaritas terhadap sesama dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Setiap Muslim dianjurkan agar saling tolong menolong dalam urusan kebijakan dan takwa, dan dilarang tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan seperti yang tertulis pada QS. Al-Maidah ayat 2: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” Solidaritas masyarakat muslim dapat disalurkan dalam bentuk bantuan dan zakat agar tepat sasaran. Pemerintah Kisah Khalifah Umar bin al- Khattab dalam menanggulangi kesulitan makanan rakyatnya, secara pribadi beliau mengadakan pemantauan langsung kepada rakyatnya dan kemudian beliau mengantarkan sendiri makanan untuk rakyatnya yang miskin. Kasus ini mengandung makna tanggung jawab pemerintah terhadap masalah kesejahteraan sosial, yang seharusnya dapat diteladani oleh semua pemimpin. Konsep Zakat dan Wakaf Menurut Ekonomi Islam Pengertian dan Dasar Hukum Zakat Zakat dibebankan atas harta yang telah mencapai nisab dan haul kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Zakat juga berarti kebersihan, setiap pemeluk Islam yang mempunyai harta cukup banyaknya menurut ketentuan (nisab) zakat, wajiblah mengeluarkan zakatnya. Dari sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Menurut istilah fikih zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada yang berhak. Orang yang wajib zakat disebut “muzakki”,sedangkan orang yang berhak menerima zakat disebut ”mustahiq.” Zakat merupakan pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa untuk mengalahkan kelemahan dan mempraktikan pengorbanan diri serta kemurahan hati. Allah telah berfirman dalam QS. al-Baqarah ayat 110 yang berbunyi: وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ yang artinya: “Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan”. Adapun harta-harta yang wajib dizakati itu yaitu: harta berharga, hasil pertanian, binatang ternak, harta perdagangan, harta galian (harta rikaz). Sedangkan orang-orang yang berhak menerima zakat adalah: Fakir, Miskin, Amil, Muallaf, Riqab, Gharim, Fi sabilillah, Ibnussabil. Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia Sejak Islam memasuki Indonesia, zakat, infak, dan sedekah merupakan sumber-sumber dana untuk pengembangan ajaran Islam. Pemerintah Belanda khawatir dana tersebut akan digunakan untuk melawan mereka jika masalah zakat tidak diatur. Pada tanggal 4 Agustus 1938 pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan zakat dan fitrah yang dilakukan oleh penghulu atau naib. Untuk melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu, pemerintah Belanda melarang semua pegawai dan priyai pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Hal itu memberikan dampak yang sangat negatif bagi pelakasanaan zakat di kalangan umat Islam. Hal inilah yang tampaknya diinginkan Pemerintah Belanda. Setelah Indonesia merdeka, di Aceh satu-satunya badan resmi yang mengurus masalah zakat. Pada masa orde baru barulah perhatian pemerintah terfokus pada masalah zakat, yang berawal dari anjuran Presiden Soeharto untuk melaksanakan zakat secara efektif dan efisien serta mengembangkannya dengan cara-cara yang lebih luas dengan pengarahan yang lebih tepat. Anjuran presiden inilah yang mendorong dibentuknya badan amil di berbagai provinsi. Hikmah Ibadah Zakat Zakat memiliki hikmah yang besar. Bagi muzakki zakat berarti mendidik jiwa manusia untuk suka berkorban dan membersihkan jiwa dari sifat kikir, sombong dan angkuh yang biasanya menyertai pemilikan harta yang banyak dan berlebih. Bagi mustahik, zakat memberikan harapan akan adanya perubahan nasib dan sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan suudzan terhadap orang-orang kaya, sehingga jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dapat dihilangkan. Dan bagi masyarakat muslim, melalui zakat akan terdapat pemerataan pendapatan dan pemilikan harta di kalangan umat Islam. Manajemen Wakaf Istilah wakaf beradal dari “waqb” artinya menahan. Sedangkan menurut istilah wakaf ialah memberikan sesuatu barang guna dijadikan manfaat untuk kepentingan yng disahkan syara’ serta tetap bentuknya dan boleh dipergunakan diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan (yang meneriman wakaf). Sebagaimana hadits Abu Hurairah r.a. menceritakan, bahwa Rasullullah SAW bersabda, “Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah masa ia melanjutkan amal, kecuali mengenai tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (waqafnya) selama masih dipergunakan, ilmunya yang dimanfaatkan masyarakat, dan anak salehnya yang mendo’akannya.” (Riwayat Muslim). Rukun dan Syarat Wakaf Rukun Wakaf Yang berwakaf, syaratnya: berhak berbuat kebaikan dan kehendak sendiri Sesuatu yang diwakafkan, syaratnya: kekal dan milik sendiri. Tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu). Lafadz wakaf. Syarat Wakaf Ta’bid, yaitu untuk selama-lamanya/tidak terbatas waktunya. Tanjiz, yaitu diberikan waktu ijab kabul. Imkan-Tamlik, yaitu dapat diserahkan waktu itu juga. Hukum Wakaf Pemberian wakaf tidak dapat ditarik kembali sesudah diamalkannya. Dan pemberian harta wakaf yang ikhlas karena Allah akan mendapatkan ganjaran terus-menerus selagi benda itu dapat dimanfaatkan oleh umum PENUTUP Kesimpulan Membangun kesejahteraan umat memang tidaklah mudah, tidak semudah membalik telapak tangan. Kesejahteraan diindikasikan dengan sejahtera umat secara sistem hukum, sistem ekonomi, dan sejahtera secara sistem politiknya. Sejahtera secara hukum diukur dengan kesadaran umat dalam mematuhi tatanan-tatanan hukum syar’i yang telah ditetapkan oleh Tuhannya melalui agama islam, bertindak semata beribadah dan mengharap ampunan serta keridhaan-Nya. DAFTAR PUSTAKA [1] http://fixguy.wordpress.com/makalah-masyarakat-madani/ (16 November 2011) [2] http://fixguy.wordpress.com/makalah-masyarakat-madani/ (16 November 2011) [3] Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 92 [4] Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 94 [5] Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 99 [6] Ramadhan, Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, 2015 5 25