Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
TRADISI BUDAYA DALAM MASAYARAKAT GOWA YANG BERTENTAGAN DENGAN AGAMA RAHMA Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar ABSTRAK Tradisi yang di lakukan dengan tujuan untuk mengetahui pandangan masyarakat, prosesi ritus serta dampak terhadap radisi yang ada di Kabupaten Gowa, Kecamatan Bungaya, Kelurahan Jene Batu. Penelitian ini yang di gunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan pbenomenologis. Penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Gowa meneliti beberapa tradisi yang ada di Kabupaten Gowa. (1) pandangan masyarakat memaknai tentang tradisi ma’dupa. Misalnya ada orang sakit disitu biasanya orang- orang di sana pergi keorang yang di anggapnya bisa tau apa penyebabnya sehingga bisa sakit, di situ orang separu masi mempercayai yang namanya ma’dupa- dupa. Setelah orang yang di anggap bisa tau kenapa bisa sakit, orang tersebut bilang ada di situ yang namanya saukang tubarania biasa ada orang yang mengatakan bahwa saukan itu bisa membuat orang sakit apabila masuk di situ membuan kotoran atau berkata- kata kotor sebagaian orang masih memopercaya itu semua terutama orangorangdulu, katanya bisa membuat kita sakit. Katakunci: Tradisi; masyarakat; Agama I. PENDAHULUAN Islam memiliki relasi yang takterpisahkan oleh, dalam islam sendiri ada nilai universal dan absolute sepanjang saman. Namun demikian, islam sebagai dokma tidak kaku dalam menghadapi zaman saman dan perubahannya. Islam selalu memunculkan dirinya dalam bentuk yang luas, ketika menghadapi masyarakat yang di jumpainya dengan beraneka ragam budaya, adat kebiasaan atau tradisi. Sebagai sebuah kenyataan sejarah, agama dan kubudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapa nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan simbol, dengan kata lain agam memerlukan kebudayaan agama. Agama sangat di perlukan oleh manusia di mana jika kita tidak Beragama maka akan kacau kehidupan kerena tidak ada yang namanya kewajiban bagi kita. Agama sangtlah penting bagi kita semua yakni uamat manusia, di dalam agama sudah terbagi bagi ada yang Bergama islam ada juga yang Bergama hindu, Kristen dan katolik dan lain-lain. Hal ini tidak mungkin terjadi, tampa agama mana kita berani merumuskan turus-menerus apaka yang sesungguhnya sedang terjadi. Dalam pengumpulan umat manusia di suatu tempat, sehingga agama dapat menemukan pesan dasarnya untuk menahan terjadinya duhumanisasi. (Meoslim, 2003: 7). sesuatu yang final, universal, abadi, (perennial) dan tidak mengenal peubahan (absout). Sedangkan kebudayan bersifat particular, ralatif dan tempor. Agama tampa kebudayan memang dapat berkembang dengan agama pribadi, tetapi tampa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat. Islam merespon buadaya lokal, adat atau tradisi sepanjang budaya lokal, adat atau tradisi tersebut tidak bertentangan dengan spirit Al- QUR’AN dan sunnah. Demikian halnya yang ada di Gowa ada yang namanya ma’dupa di mana ma’dupa itu yang biasa di bilang menyembah pohon atau menyembah patun atau batu (musyrik) di daerah dibagaian bungaya masi ada tradisi itu bahkan bukan saja di daerah Gowa saja yang tau itu tempat bahkan banyak orang di luar sana tau dan biasa datang mengunjungi tempat itu (saukan tubarania) saukan itu boleh di katakana terkenal kerena sekian banyak orang di luar kampung di mana saukan itu terletak, bahkan banyak orang biasa kesitu kalau sudah menikah atau mau menikah, tetapi orang didalam dikampung itu tidak terlalu membudayan itu karena berpikiran itu adalah hal yang tidak wajar karena menurut merekah itu makdupa- dupa itu adalah musyrik. Tetapi ada juga yang masih mempercayai tentang itu. II. KAJIAN TEORI Dari berbagai tulisan Durkheim, di temukan ulusannya tentang arti pentingnya agama dalam masyarakat. The Elementary Froms The Religius Life (1912) adalah karyanya yang mengeluas secara mendalam tentang hal itu. Ia menyadari sepenuhnya bahwa agama meruapakan suatu fenomena social (Syukur, 2018). Durkheim mendefinisikan agama sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktif yang telah di persatukan yang berakqitan dengan hal- hal yang kudus. Kepercyaan itu dan praktik tersebuut bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal. Berdasarkan difinisi yang ditemukan tersebut, terdapat dua unsur yang penting sebagai syarat sesuatau dapat disebut agama, yaitu adanya sifat kudus, suci, sakral, (sacred) dari agama-agama dan praktik ritual dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu makhluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi ketika salah satu unsure tersebut tidak di penuhi. Dengan adanya agama dalam masyarakat maka dapat di bedakan antara hal-hal yang sakral dan hal-hal yang tidak sakral, biasa, dan duniawi (pronfane). Jika diera globalisasi lebih jauh definisi agama menurut Durkheim, maka di temuakan makna bahwa sesuatu itu tersebut bukan di lihat dari subtansi isinya melainkan dari bentuknya, yang meliputi dua ciri tersebut tadi. Untuk memahami lebih jauh tentang kedua hal yang di maksud, berikutini di uraikan sifat kudus dari agama dan praktikritual agama, kemudian di lanjutkan pada pandangan Durkheim bahwa agama selalumemiliki hubungan dengan masyarakat. 1. Sifat Kudus dari Agama Sifat kudus dari agama yang di maksud Durkheim disini bukanlah makna yang teologis, melainkan sosiologi. Sifat kudus tersebut dapat di artikan bahwa sesuatu yang kudus tidak di kelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan- larangan, yang memaksakan pemisahan radikal yang duniawi. Sifat kudus itu di bayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segalah-galahnya. Durkheim menghubungkan lahirnya pengkuduasan dengan berkembangnya masyarakat. Pada dunia moderen dengan moralitas rasionalnya pun tidak menghilangkan sifat kudus dari pada moralitasnya sediri (Syukur, 2018). Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap terdapat pada moralitas rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan perasaan di ganggu gugat yang di tidak dapat berikan oleh masyarakat kepada moralitas rasionalnya. Sebuah aturan moral hanya dapat hidup jika ia memiliki sifat khusus, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat kudus dari moralitas akan menjurus kepada penolakan setiap bentuk moral. Akhirnya dapat di simpulkan bahwa kekudusan pun merupakan prasyarat. (prerequisite) bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di masyarakat. 2. Praktik ritual agama Di sampin melibatkan sifat- sifat kudus dalam suatu agama, praktik rituan pun menjadi suatu hal yang selalu mengiringi agam sebagai suatu fenomena sosial. Tentu saja praktik ritual ini di tentukan oleh suatu bentuk lembaga yang jelas dan pasti. Terdapat dua jenis praktik ritual yang saling berhubungan erat atau satu sama lain. Pertama, praktik ritual yang negatif. Praktik ini terwujud dalam pantanga- pantangan atau larangalarangan dalam suatu ritual keagamaan. Upacara- upacara atau ritual yang negatif berfungsi untuk membatasi antara yang kudus dan menduniawi. Pemisahan inilah yang merupakan dasar dari ekstitensi kekudusan itu sendiri. Kedua praktik ritual yang positif. Ritual ini teriplementasi dalam bentuk upacaraupacara keagamaan, dan inilah yang merupak intinya. Adapun bentuk praktikpraktik ritual yang positif adalah upacara keagamaan ini sendiri., yang di maksudkan untuk menyahtukan diri dengan keimanan secara lebih khusyuk, sehingga berfungsi untuk mempengaruhi tanggunjawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan (The Elementary Froms The Religius Life (1912) III. PEMBAHASAN Sebagaian masyarakat Gowa memiliki tradisi yang namanya ma’dupa di mana ma’dupa ini biasa di lakukan oleh orang – orang dulu ma’dupa itu ada yang melarang adapun yang tidak melarang bahkan melakukannnya, di Gowa ada tradisinyang sering di lakukan oleh masyarakat baik masyarakat gowa maupun bukan, adapun yang tau tempat itu yaitu ( saukan tubarania) di mana saukan tubarania ini terletak di Kelurahan Jenebatu Kecamatan Bungaya Kabupaten Gowa, letak saukang ini tepatnya ada di Rt Jenekampala, orang- orang disana ada yang masih melakukan itu ma’dupa-dupa ada pula yang sudah tidak melakukannya kerenanya itu ma’dupa-dupa di anggap perbuatan musyrik, ini sangat bertengtangan dengan agama, karena ada yang memperbolehkannyaa ada juga yang tidak memperbolehkannya yang biasanya masyarakat percayai bahwa jika ia sakit maka saukang itulah yang membuat dia sakit, bahkan pergi keorang yang pintar untuk mengetahui, sebagaian masyarakat di sana atau di uar kampung itu masih banyak yang datang memotong sapi atau ayam bahkan kuda, kerbau untuk di makan di sana entah atau acara apa atau kegiatan apa katanya biasa ada yang datang di sana karena dia sakit dan setelah di ketahui dan sembuh karena saukang itu, dan dia datang di orang di anggapnya bisa mengetahuinya yaitu bahasa Makassar attarian disitu attarian itu dia pake bara api sama dupa dan benang yang di pake menggantung alat yang di pake untuk mengatahui bahwa saukang tubarania yang membuat dia sakit, dan katanya orang yang suka di datangi oleh masyarakat mengatakan dia ingin kamu membawah ayam atau sapi begitu katanya, sehingga orang- orang tersembuh percaya hal itu dan membawah kesana ayam atau sapi di potong di situ dan di makan di sana (saukang tubarania). Dan masih banyak yang di namakan saukang di sana tetapi yang paling banyak pendatangnnya dan banyak masyarakat di luar kampung itu mengetahui saukang tersebut dan datang kesana membawah makanan dan bahakan acara besarbesaran. Biasa juga jika ada yang mau menikah dia datang di sana unuk memotong sapi atau kerbau, kuda entah untuk apa merekah datang di sana memotong kuda atau sapi pada saat mau menikah, dan di saukang itu ada pohon besar dan ada juga rumahnya bahkan ada juga sumurnya yang agak kehijau-hijauan airnya dan ada pulah batu kecil- kecil yang sering di olesi minyak sama dukun yang di anggap pintar untuk menyerahkan apa yang masyarakat bawah kesana, entah apa yang terjadi masyarakat di sana pernah membuang batu tersebut melempar kesungai karena di anggap musyrik, tetapi batu tersebut kembali entah ada orang ayan membawahnya kembali atau apa yang menyebabkan batu tersebut kembali kata masyarakt tersebut. Karena masyarakat di sana sebagian masih ada yang melakukan itu yaitu orang- orang dulu yang tidak pernah menduduki yang namanya bangku sekolah tradisi itu tidak mampu ia hilangkan padahal bertentangan sekali dengan agama karena itu suatu perbuatan yang di benci oleh Allah Subuhana Watala. Hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat, bahwa sesungguhnya apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada kebutuhan makanan, minuman, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainny. Berdasarkan hasil riset dan observasi, merekah mengambil kesimpulan bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutahan yang bersifat universal. Kebutuhan ini melebih kebutuhan- kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan dan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencintai Tuhan. Dengan demikian tampak bahwa agama dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Kendati demikain perlu di garis bawahin bahwa hubungan kedua hal tersebut tidak mengimplikasikan pengertain bahwa agama merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Dalam artian bahwa agama menurt Dukheim adalah sebuah fakta sosial yang penjelsannya perlu di jelaskan lebih lanjut oleh faktafakta sosial lainnya. Ritual keagaman berfungsi untuk tetap memproduksi kesadaran kolektif dalam masyarakat. Di dalam ritual keagamaan, individu dibahwa kesuatu alam yang baginya tampak berbeda dengan dunia sehri-harinya. Demikain pula sama halnya dalam terorisme, pada saat yang sama totem adalah objek kudus yang merupakan silbol kelebihan masyarakat di banding dengan indivdu- individu. Tradisi menurut Parsudi Suparlan, Ph.D. merupakan unsur ssosial budaya yang telah mengarah dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah. Mcguire melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi erat kaitannya dengan mitos dengan agama. Secara garis besarnya tradisi sebagai kerangka acuan norma dalam masyarakat di sebut pranata. (Suparlan, 1987: 115) Pranata ini ada yang bercorak rasional, terbuka dan umum, kompetiti dan konflik yang menekankan legalitas, seperti pranata politik, pranata. pemerintahan, ekonomi, dan pasar.tradisi keagaman (bagi agama Samawi) bersumber dari norma-norma yang termuat dalam kita suci. Agama menurut Thomas F.O. Dea. Merupakan aspek sentral dan fundamental dalam kebudayaan, kenyatan ini berangkali dapat dilihat dalam kaitannya dengan pola kehidupan masyarakat di Indonesia, yang dengan tegas mendasarkan kebudayaannya berdasarkan pada nilai-nili norma-norma islam. Dalam kehidupan masyarakat sangatalah pentig adat istiadat dan budaya, yang selaulu di lakukan oleh masyarakat (Hamka, 1985: 138). Agama yang terlihat sebagai pusat kebudayaan dan penyaji aspek kebudayaan yang tertinggi dan suci, menujukkan mode kesadaran manusia yang menyangkut bentuk-bentuk simbolik sendiri. Sebagi sistem pengarahan, agama tersusun dalam unsur-unsur normatif yang membentuk jawaban pada berbagai tingakat pemikiran, perasaan, dan perbuaatan dalam bentuk polah berpikir, dengan kompeksitas hubungan manusia dalam masyarakat termasuk lembagalembaga yang suatu masyarakat yang warganya terdiri atas pemeluk agama, maka secara umum keagaman menjadi suatu kebudayaan yang ada di masyarakat. Perubahan sosial yang di akibatkan revolusi politik, revolusi industri dan urbanisasi, berpengaruh besar terhadap religiositis. Banyak sosiologi yang berlatar belakangan religius dan secara aktif terlibat dalam aktifitas keagaman propesional. Mereka membawah cara berpikir kehidupan keagamaan mereka kedalam agama. Tradisi keagamaan pada dasarnya merupakan pranata keagamaan yang sudah di anggap baku oleh masyarakat penduduknya. Dengan demikian tradisi keagamaan sudah merupakan kerangka acuan norma dalam kehidupan dan perilaku masyarakat. Dan tradisi keagaman sebagai pranata primer dari kebuadyaan memeng sulit untuk berubah, karena keberadaannya di dukun oleh kesadaran bahwa pranata tersebut menyangkut kehormatan, harga diri, dan jati diri masyarakat pendukunnya. Para ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk dan isi. Menurut bentuknya kebudayaan terdiri atas tiga, yaitu 1. Sistem kebudayannya (cultural sistem) Sistem kebudayaan berwujud gagasan, pemikiran, konsep, nilai-nilai budaya, norma-norma, pandangapandangan yang bentuknya yang bentuknya abstrak serta berada dalam pemikiran para pengaku kebudayaan yang bersangkutan. 2. Sistem sosial (sosial sistem) Sistem sosial yang bewujud aktivitas, tingka laku berpola, perilaku upacara – upacara serta ritus- ritus yang wujudnya lebih kongkret. Sistem sosiol adalah bentuk kebudayan dalam wujud yang lebih kongkret dan dapat di alamati. 3. Benda-benda budaya (material cultural) Benda-benda buadaya di sebut juga sebagai kebudayaan fisik atau kebudayaan materil. Benda budaya merupakan hasil tingkalaku dan karaya pemangku kebudayaan yang bersangkutan. Secara fenomena, kebudayaan dalam era globali mengarah kepada nialai-nilai secular yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan khususnya di kalangan generasi mudah. Mesikipun dalam sisi tertentu kehidupan tradisi budaya tampak meningkat dalam kesemarakannya, namun dalam kehidupan masyarakat global yang cenderung sekuler barangakali akan dapat pengaruhnya terhadap ketumbuhan jiwa keagamaan budaya para generasi mudah. Pada dasarnya masyarakat yang menganut budaya yang bertentangn dengan agama sangalah amat masih di lakukan oleh sebagai masyarakat terutama menyembah pohon menyembah berhalah, dan menyembah patun. Di Gowa masih ada sebagaian masyarakat yang menyembah pohon atau mempercayai yang namanya tradisi- trades adat-adat yang anut oleh orang dulu, masih saja ada yang biasa pergi kepohon atau keberhala meminta suapaya katanya sehat atau biasanya di jauhkan dari bahaya itu sangat bertentangn dengan islam kerena mepercayai selain Allah swt. Itu adalah perbuatan musyrik. IV. KESIMPULAN Kebanyakan masyarakat masih mempercayai yang namanya menyembah pohong atau patung masyarakat masih percaya bahwa pohong itu dapat memberikan dia kesehatan padahal itu adalah perbuatan musyrik di larang oleh Allah wst. Dan masih saja tradisi itu tidak biasa dia hilangkan kerena kurangnya pemahaman, tertuma orang-orang terdahuku kita. Agama yang terlihat sebagai pusat kebudayaan dan penyaji aspek kebudayaan yang tertinggi dan suci, menujukkan mode kesadaran manusia yang menyangkut bentuk-bentuk simbolik sendiri. Sebagi sistem pengarahan, agama tersusun dalam unsur-unsur normatif yang membentuk jawaban pada berbagai tingkat pemikiran, perasaan, dan perbuaatan dalam bentuk polah berpikir, dengan kompeksitas hubungan manusia dalam masyarakat termasuk lembagalembaga yang suatu masyarakat yang warganya terdiri atas pemeluk agama, maka secara umum keagaman menjadi suatu kebudayaan yang ada di masyarakat. Dengan adanya agama dalam masyarakat maka dapat di bedakan antara hal-hal yang sacral dan hal-hal yang tidak skaral, biasa, dan duniawi (pronfane). Jika diera globalisi lebih jauh definisi agama menurut Durkheim, maka di temuakan makna bahwa sesuatu itu tersebut bukan di lihat dari subtansi isinya melainkan dari bentuknya, yang meliputi dua ciri tersebut tadi. Untuk memahami lebih jauh. V. DAFTAR PUSTAKA BUKU: Abdurrahman, Moeslim .(2003). Islam Sebagai Kritik Sosial. Jakarta: PT Gelora askara pranata Jalaluddin, (2016). Psikologi Agama. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Rizer, George. (2014), Teori Sosiologi Meoderen. Jakarta: Prenadamedia group Syukur, M. (2018). Dasar-Dasar Teori Sosiologi. Depok: Rajawali Press. Upe, Ambo. (2010). Tradisi Alian dalam sosiologi, Jakarta: PT Rajagrafindo persada. WEBB: Kastolani. 2016, Relasi Islam Dalam Budaya Lokal, jurnal relasi budaya islam 2 (12) 1-24.