REVIEW ARTIKEL JURNAL
MATA KULIAH BIOLOGI UMUM
REVIEW JURNAL PERTAMA
A. Identitas Diri
Nama / NIM
: Nafi’ah Nurul Aini / 2008086045
Prodi / Kelas
: Pendidikan Biologi / 1-B
Dosen Pembina
: Dwi Mei Ayudewandari Pranatami, M.Sc
B. Bibliografi Artikel yang Dianalisis
Judul Penelitian
: Pengaruh Rasio Berat Bunga Telang (Clitoria ternatea. L) dan Volume
Pelarut Asam Sitrat Terhadap Pewarnaan Preparat Jaringan Tumbuhan.
Peneliti
: Ni Luh Tirtasari, dan Agung Tri Prasetya
Tahun Penelitian
: 2020
Sumber Artikel
: Tirtasari Ni Luh, Agung Tri Prasetya. 2020. Pengaruh Rasio Berat Bunga
Telang (Clitoria ternatea. L) dan Volume Pelarut Asam Sitrat Terhadap
Pewarnaan
Preparat
Jaringan
Tumbuhan.
Sumber:
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ijcs.
Indonesia
Journal
Of
Chemical Science. P-ISSN: 2252-6951 E-ISSN: 2502-6884 Vol.9. No.3.
hlm.201-204. Diakses pada tanggal 21 Desember 2020.
C. Masalah dan Tujuan Penelitian
Pada bagian masalah penelitian tidak dituliskan secara jelas, tetapi dapat diketahui pada
bagian hasil dan pembahasan bahwa masalah dari penelitian yaitu warna dari ekstrak bunga
telang (Clitoria ternatea. L) tidak stabil (dapat berubah) jika terkena kontak matahari langsung
dan sebaiknya dimasukan kedalam botol yang gelap kemudian dimasukan ke dalam lemari
pendingin. Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui manfaat pigmen antosianin dari bunga
telang (Clitoria ternatea. L) sebagai pewarna alternatif untuk pewarnaan alami jaringan
tumbuhan.
D. Ulasan Artikel Jurnal
•
Abstrak
Penulisan pada bagian abstrak belum sesuai dengan kaidah karena pada bagian
masalah dalam penelitian dan metode penelitian tidak dituliskan secara tersurat sehinga
belum jelas. Tetapi pada bagian tujuan sudah dituliskan secara jelas. Pada bagian abstrak
membahas tentang tujuan dari penelitian dan hasil dari pengamatan.
•
Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan yaitu dengan menggunakan metode penelitian
eksperimen dilaboratorium dengan prosedur penelitian yang dilakukan dalam 4 tahap
yaitu tahap pendahuluan (mempersiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam
penelitian), tahap ekstraksi bunga telang/pembuatan filtrat bunga telang (untuk membuat
ekstraksi bunga telang dengan melarutkan asam sitrat dengan konsentrasi pekat yaitu
perbandingan asam sitrat dengan aqades 1:1 atau 10 gram asam sitrat dengan 10 gram
aquades),kemudian timbang 2 gram, 4 gram, 6 gram,8 gram dan 10 gam bunga telang
untuk mendapatkan konsentrasi yang berbeda-beda) kemudian tumbuk bunga telang dan
larutkan dengan asam sitrat dengan maserasi waktunya yang berbeda-beda yaitu 12 jam,
24 jam dan 48 jam), selanjutnya saring dengan kertas saring dan ukur pH masing-masing
perlakukan dengan pH indikator. Tahap pembuatan preparat (Penggunaan jaringan dari
umbi bawang merah ini lebih mudah dalam penyayatan maupun pengamatan dan
seringnya digunakan dalam pembelajaran praktikum pengamatan dengan menggunakan
mikroskop. Sayatan lapisan umbi bawang merah yang dibuat ditempatkan pada kaca
preparat tutup dengan kaca penutup dan diberikan perlakuan, baik pewarnaan dengan
pelarut yang berbeda-beda, waktu masterasi yang berbeda-beda maupun tanpa pewarna.
Sebagai pembanding digunakan pewarna sintetik yaitu safranin). Tahap Pengamatan
dengan mikroskop (menyiapkan mikroskop binokuler elektrik dengan kamera digital
yang terhubung dengan PC untuk proses mengamati preparat yang dibuat dengan
perbesaran 100x dan 400x. Pengamatan sayatan dari lapisan umbi bawang merah
didokumentasikan perlakuan diulang 3x).
•
Hasil dan Pembahasan
Proses pembuatan ekstrak bunga telang tak melewati tahapan pengeringan pada
atmosfer terbuka sehingga tidak banyak material yang akan teruapkan. Ekstrak bunga
telang basah memiliki afinitas yang tinggi pada pewarnaan preparat jaringan tumbuhan
setelah ekstrak dipreparasi, namun warna ekstrak tidak akan mengalami perubahan warna
akibat teroksidasi setelah beberapa jam pembuatan. Dengan demikian dari penelitian ini
dianjurkan setelah pembuatan ekstrak bunga telang untuk menyimpan di lemari
pemdingin, walaupun asam sitrat sudah bisa sebagai pengawet. Lebih baik juga simpan
dalam botol yang gelap supaya tidak ada kontak langsung dengan cahaya matahari.
Prinsip pewarnaan pada pengamatan sayatan jaringan tumbuhan pada kaca
preparat dengan menggunakan mikroskop adalah agar dapat membedakan dengan jelas
bagian-bagian dari jaringan tumbuhan. Oleh karenanya, dalam penelitian ini diamati
bagian-bagian sayatan jaringan tanaman yang belum melalui tahapan pewarnaan, ketika
sayatan jaringan tanaman tersebut diberi pewarnaan dan diberi pewarnaan sintetis.
•
Kesimpulan
Penulisan pada bagian kesimpulan sudah baik karena singkat dan tidak berteletele, namun pada bagian kesimpulan hanya membahas tujuan dari penelitian dan tidak
menuliskan kesimpulan pada bagian hasil dan pembahasan. Jadi kesimpulan dari jurnal
tersebut yaitu ekstrak bunga telang (Clitoria ternatea,L) dapat dimanfaatkan sebagai
pewarna alternatif dari bahan alam untuk pewarnaan pada pengamatan preparat jaringan
tumbuhan. Pewarna alami dari ekstrak bunga telang (Clitoria ternatea,L) ini memiliki
daya ikat yang baik, warna yang cerah, murah, mudah dalam preparasi dan ramah
lingkungan. Menunjukkan kemiripan hasil pewarnaan pada jaringan tumbuhan
menggunakan pewarna sintetik safranin. Pewarna alami dari ekstrak bunga telang dapat
sebagai pewarna alternatif untuk menggantikan pewarna sintetik safranin, yang mahal,
karsinogen dan berbahaya bagi lingkungan.
E. Fakta-Fakta Unik dan Konsep Penting yang Ditemukan
1. Ekstrak bunga telang (Clitaria ternatea. L) dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alternatif
untuk pengamatan preparat jaringan tumbuhan.
2. Perbedaan waktu maserasi pada proses ekstrasi bunga telang (Clitaria ternatea. L) tidak
berpengaruh terhadap warna maupun pH yang dihasilkan.
F. Pertanyaan yang muncul Setelah Mereview Artikel
1. Apa manfaat dari bunga telang (Clitaria ternatea. L) ?
Solusi Penyelesaian Masalah:
Manfaat dari bunga telang (Clitaria ternatea. L) yaitu digunakan sebagai pewarna
alternatif untuk pengamatan preparat jaringan tumbuhan.
2. Bagaimana proses pembuatan ekstrasi bunga telang (Clitaria ternatea. L) ?
Solusi Penyelesaian Masalah:
Proses pembuatan ekstrasi bunga telang (Clitaria ternatea. L) dilakukan dengan
dilakukan dalam 4 tahap yaitu tahap pendahuluan (mempersiapkan alat dan bahan yang
digunakan dalam penelitian), tahap ekstraksi bunga telang/pembuatan filtrat bunga telang
(untuk membuat ekstraksi bunga telang dengan melarutkan asam sitrat dengan
konsentrasi pekat yaitu perbandingan asam sitrat dengan aqades 1:1 atau 10 gram asam
sitrat dengan 10 gram aquades),kemudian timbang 2 gram, 4 gram, 6 gram,8 gram dan 10
gam bunga telang untuk mendapatkan konsentrasi yang berbeda-beda) kemudian tumbuk
bunga telang dan larutkan dengan asam sitrat dengan maserasi waktunya yang berbedabeda yaitu 12 jam, 24 jam dan 48 jam), selanjutnya saring dengan kertas saring dan ukur
pH masing-masing perlakukan dengan pH indikator. Tahap pembuatan preparat
(Penggunaan jaringan dari umbi bawang merah ini lebih mudah dalam penyayatan
maupun pengamatan dan seringnya digunakan dalam pembelajaran praktikum
pengamatan dengan menggunakan mikroskop. Sayatan lapisan umbi bawang merah yang
dibuat ditempatkan pada kaca preparat tutup dengan kaca penutup dan diberikan
perlakuan, baik pewarnaan dengan pelarut yang berbeda-beda, waktu masterasi yang
berbeda-beda maupun tanpa pewarna. Sebagai pembanding digunakan pewarna sintetik
yaitu safranin). Tahap Pengamatan dengan mikroskop (menyiapkan mikroskop binokuler
elektrik dengan kamera digital yang terhubung dengan PC untuk proses mengamati
preparat yang dibuat dengan perbesaran 100x dan 400x. Pengamatan sayatan dari lapisan
umbi bawang merah didokumentasikan perlakuan diulang 3x).
G. Refleksi Diri
Setelah saya membaca artikel jurnal ini saya mendapatkan banyak pengetahuan dan
wawasan tentang pembuatan pewarna alternatif bunga telang sebagai pewarna alami jaringan
tumbuhan dengan memanfaatkan bunga telang sebagai pewarna alternatif membantu dalam
mengurangi pencemaran lingkungan dan sifat karsinogenik di dalam pewarna sintetik yang
dapat membahayakan manusia dan lingkungan. Selain itu saya juga dapat memahami
bagaimana proses pembuatan ekstrasi dari bunga telang.
REVIEW JURNAL KE DUA
A. Identitas Diri
Nama / NIM
: Nafi’ah Nurul Aini / 2008086045
Prodi / Kelas
: Pendidikan Biologi / 1-B
Dosen Pembina
: Dwi Mei Ayudewandari Pranatami, M.Sc
B. Bibliografi Artikel yang Dianalisis
Judul Penelitian
: Biodiversitas Echinodermata Pada Ekosistem Lamun di Perairan Pulau
Karimunjawa, Jepara.
Peneliti
: Reni Ria Yunita, Suryanti Suryanti, dan Nurul Latifah
Tahun Penelitian
: 2020
Sumber Artikel
: Yunita Reni Ria, Suryanti Suryanti, dan Nurul Latifah. 2020.
Biodiversitas Echinodermata Pada Ekosistem Lamun di Perairan Pulau
Karimunjawa, Jepara. Sumber: www.ejounal2.undip.ac.id/index.php/jkt.
Jurnal Kelautan Tropis. P-ISSN: 1410-8852 E-ISSN: 252-3111.
Vol.23(1):47-56. Diakses pada tanggal 21 Desember 2020.
C. Masalah dan Tujuan Penelitian
Pada bagian masalah penelitian tidak dituliskan secara jelas, tetapi dapat diketahui dari
bagian metode penelitian bahwa masalah dari penelitian tersebut yaitu akses untuk menuju lokasi
B untuk pengambilan sampling sulit dan terjal. Tujuan penelitian yaitu mengetahui kerapatan
lamun biodiversitas Echinodermata serta hubungan antara kerapatan lamun dengan kelimpahan
Echinodermata di perairan pulau Karimunjawa.
D. Ulasan Artikel Jurnal
•
Abstrak
Penulisan pada bagian abstrak tidak sesuai dengan kaidah karena pada masalah
penelitian tidak dituliskan secara tersurat sehingga belum jelas.
•
Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan yaitu dengan menggunakan pengumpulan dan
pengamatan data. Metode pengumpulan dengan menggunkan metode purposive
sampling, sedangkan metode pengamatan menggunakan metode link transek sepangjang
50 meter.
•
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian menunjukan bahwa perbedaan kondisi perairan di kedua lokasi
tersebut juga berpengaruh terhadap lamun yang tumbuh. Pada stasiun A jenis lamun yang
ditemukan terdapat 4 jenis meliputi Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata,
Enhalus acoroides dan Syringodium isoetifolium sedangkan pada stasiun B ditemukan 7
jenis lamun yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata,
Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium, Halophila minor, Halophila ovalis dan
Halodule uninervis.
Perbedaan jenis lamun yang ditemukan pada kedua stasiun dan perbedaan kerapatan
disebabkan karena karakteristik dari masing-masing stasiun. Stasiun A merupakan daerah
dekat dermaga dimana dekat dengan aktivitas manusia dan aktivitas pelayaran, sehingga
jenis lamun yang ditemukan lebih sedikit dengan kerapatan yang rendah. Hal tersebut
didukung dari hasil penelitian Feryatun et al.,(2014) menyatakan bahwa daerah yang
terganggu aktivitas manusia memiliki penutupan lamun yang rendah dan akan semakin
tinggi pada daerah yang alami. Hal ini dikarenakan gangguan ekosistem yang diterima
lamun akibat pembuangan limbah rumah tangga.
•
Kesimpulan
Penulisan pada bagian kesimpulan sudah baik karena pembahasannya tidak berteletele dan sesuai dengan tujuan dan hasil dari pengamatan jurnal tersebut. Berdasarkan
hasil dari pengamatan dapat disimpulkan bahwa terdapat 8 jenis lamun yang di dominasi
oleh Thalassia hemprichi dan Cymodocea rotundata. Echinodermata yang ditemukan
terdiri dari 5 jenis yaitu Archaster typicus, Diadema setosum, Laganum central, Laganum
depressum dan Holothuria atra. Hubungan antara kelimpahan Echinodermata dan
kerapatan lamun cukup erat dan arah hubungannya berlawanan yaitu semakin rapat
lamun maka Echinodermata yang ditemukan semakin sedikit. Kerapatan lamun hanya
berpengaruh sebesar 20,90 % terhadap kelimpahan Echinodermata.
E. Fakta-Fakta Unik dan Konsep Penting yang Ditemukan
1. Hubungan antara kelimpahan Echinodermata dan kerapatan lamun cukup erat dan arah
hubungannya berlawanan yaitu semakin rapat lamun maka Echinodermata yang ditemukan
semakin sedikit.
2. Perbedaan kondisi dari kedua lokasi pengamatan berpengaruh terhadap lamun yang tumbuh.
F. Pertanyaan yang muncul Setelah Mereview Artikel Jurnal
1. Apakah perbedaan kondisi lokasi pada pengamatan tersebut akan mempengaruhi terhadap
lamun yang tumbuh ?
Solusi Penyelesaian Masalah :
Perbedaan lokasi lokasi pada pengamatan akan mempengaruhi terhadap lamun yang
tumbuh karena pada lokasi pertama terletak di dekat dermaga penyebrangan dengan substrat
dasar berpasir dan pecahan karang sedangkan pada lokasi kedua substrat dasarnya tersusun
oleh pasir kasar, pasir halus, pasir berlumpur dan pecahan karang yang terletak di daerah
pantai pancuran. Meskipun memiliki kondisi substrat yang berbeda, namun kedua lokasi
penelitian memiliki tingkat kecerahan yang sama dan hal itu sangat penting bagi lamun
untuk melakukan proses fotosintetis.
2. Kenapa hubungan antara kelimpahan Echinodermata dan kerapatan lamun cukup erat dan
arah hubungannya berlawanan ?
Solusi Penyelesaian Masalah:
Karena semakin rapat lamun maka Echinodermata yang ditemukan semakin sedikit
sehingga kerapatan lamun cukup erat dan arah hubungannya berlawanan.
G. Refleksi Diri
Setelah saya membaca artikel jurnal ini saya mendapatkan pengetahuan dan wawasan
tentang kerapatan lamun biodiversitas Echinodermata serta hubungan antara kerapatan lamun
dengan kelimpahan Echinodermata di perairan pulau Karimunjawa. Dari artiker jurnal ini
dapat disimpulkan bahwa Hubungan antara kelimpahan Echinodermata dan kerapatan lamun
cukup erat dan arah hubungannya berlawanan yaitu semakin rapat lamun maka
Echinodermata yang ditemukan semakin sedikit.
Indo. J. Chem. Sci. 9 (3) (2020)
Indonesian Journal of Chemical Science
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ijcs
Pengaruh Rasio Berat Bunga Telang (Clitoria ternatea.L) dan Volume Pelarut Asam
Sitrat terhadap Pewarnaan Preparat Jaringan Tumbuhan
Ni Luh Tirtasari 1, dan Agung Tri Prasetya2
1
Jurusan IPA Terpadu, FMIPA, Universitas Negeri Semarang
Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Semarang
Kampus Sekaran Gunungpati Telp. (024)8508112 Semarang 50229
2
Info Artikel
Diterima September 2020
Disetujui Oktober 2020
Dipublikasikan November
2020
Keywords:
pewarna alternatif
bunga telang
Clitoria ternatea.L
antosianin
Abstrak
Kegiatan praktikum pada mata kuliah Biologi di jurusan IPA Terpadu tidak akan lepas
dari pengamatan mikroskop baik itu pengamatan sel dan jaringan tumbuhan serta
hewan yang tembus cahaya. Dalam pengamatan sel dan jaringan tumbuhan
diperlukan proses pewarnaan untuk mempermudah saat pengamatan. Pewarnaan
yang biasanya digunakan adalah pewarnaan sintetik yang bersifat karsinogenik serta
limbah yang dihasilkan dapat mencemari lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui manfaat pigmen antosianin dari bunga telang (Clitoria ternatea.L) sebagai
pewarna alternatif untuk pewarna alami jaringan tumbuhan. Ekstrak bunga telang ini
diperoleh dari proses ektraksi bunga telang dengan pelarut asam sitrat dengan variasi
konsentrasi. Perbandingan asam sitrat dan aquades dalam pembuatan larutan asam
sitrat adalah 1:1 dan bunga telang yang diekstrak bervariasi dari 2, 4, 6, 8, dan 10 gram.
Larutan ektrak selanjutnya dimaserasi dengan variasi waktu 12, 24, dan 48 jam
menghasilkan warna merah anggur. Hasil pengamatan dari jaringan tumbuhan yang
diberi pewarnaan ekstrak bunga telang mulai kelihatan lebih jelas dengan pewarnaan
ekstrak bunga telang mulai pada variasi 4 gram dan waktu maserasi tidak
mempengaruhi hasil warna dari ekstrak bunga telang. Pewarnaan jaringan tumbuhan
dengan ekstrak bunga telang hampir sama penampakannya dengan pewarnaan sintetik
yaitu safranin.
Abstract
Practical activities in the Biology subject majoring in Integrated Science will not be
separated from microscopic observations, be it observations of translucent cells and
tissues of plants and animals. In observing plant cells and tissues, a coloring process is
needed to make it easier to observe. The coloring that is usually used is synthetic
coloring which is carcinogenic and the resulting waste can pollute the environment.
This study aims to determine the benefits of anthocyanin pigments from Telang flowers
(Clitoria ternatea.L) as an alternative dye for natural plant tissue dyes. This Telang
flower extract was obtained from the extraction process of the Telang flower with a
citric acid solvent with various concentrations. The ratio of citric acid and distilled
water in the manufacture of the citric acid solution was 1: 1 and the extracted Telang
flowers varied from 2, 4, 6, 8, and 10 grams. The extract solution was then macerated
with time variations of 12, 24, and 48 hours to produce a burgundy color. The
observation results from the plant tissue that was stained with the Telang flower extract
began to appear more clearly with the staining of the Telang flower extract starting at
a variation of 4 grams and the maceration time did not affect the color results of the
Telang flower extract. The staining of plant tissue with the Telang flower extract was
almost the same in appearance as the synthetic coloring, namely safranin.
© 2020 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi:
Gedung D1 Lantai 1 Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang 50229
E-mail: niluhtirtasari@mail.unnes.ac.id
p-ISSN 2252-6951
e-ISSN 2502-6844
Ni Luh Tirtasari et al. / Indonesian Journal of Chemical Science 9 (3) (2020)
Pendahuluan
Kegiatan praktikum pada mata kuliah Biologi di jurusan IPA Terpadu tidak akan lepas dari
pengamatan mikroskop baik itu pengamatan sel tumbuhan dan hewan maupun jaringan tumbuhan dan
hewan yang tembus cahaya. Dari pengamatan sel dan jaringan tersebut ada beberapa sel atau jaringan yang
diamati tidak ada atau sedikit yang memiliki pigmen warna dalam selnya, hal ini akan mempersulit pada
saat pengamatan dan analisis sel tersebut karena tidak mampu mengabsopsi atau membiaskan cahaya
walaupun dilakukan di bawah mikroskop. Oleh sebab itu, dalam pengamatan bagian-bagian sel/jaringan
diperlukan proses pewarnaan (Waluyo, 2010).
Salah satu bahan yang diperlukan pada saat praktikum pembuatan media dan pengamatan sel dan
jaringan tumbuhan adalah zat warna. Sehingga dengan adanya zat warna, organel sel atau jaringan sel pada
tumbuhan dapat dengan mudah dibedakan.Tujuan dari pewarnaan sel maupun jaringan tumbuhan adalah
untuk dapat membedakan bagian dari setiap sel maupun jaringan dan memudahkan utuk diamati dibawah
mikroskop.
Bahan pewarna dapat digolongkan ke dalam empat golongan yaitu bahan pewarna sintesis, bahan
pewarna yang dibuat mirip dengan bahan pewarna alami, bahan pewarna anorganik dan bahan pewarna
alami. (Hayati, 2012). Pewarnaan yang biasa digunakan untuk praktikum biasanya bersifat terbatas, sulit
didapat, bersifat karsinogenik dan harganya mahal. Zat karsinogenik yang terdapat dalam pewarnaan
sintetis dapat menimbulkan masalah bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Oleh karena itu zat pewarna
sintetis ini perlu diganti menggunakan zat pewarna alami untuk mengurangi masalah yang ditimbulkan
(Paryanto, 2015). Sangat diperlukan pewarna alternatif sebagai pengganti pewarnaan sintetik yang biasa
digunakan dalam praktikum. Alternatif zat pewarna pengganti haruslah memiliki sifat antara lain ramah
lingkungan (tidak karsinogenik), tersedia melimpah, murah, serta mudah dalam pembuatannya.
Bahan pewarna alami dapat berasal dari jaringan hewan maupun tumbuhan. Pewarna alami adalah
zat warna yang diperoleh dari bagian-bagian tumbuhan atau hewan, misalnya hematoksilin diperoleh dari
tumbuhan Haematoxyli camphecianum, carmin berasal dari insekta Coccus cacti (hanya yang betina) yang hidup
pada tanaman Oputia coccinellifera (Handari, 1983; Robets, 2014). Banyak tanaman ataupun tumbuhan yang
dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami. Sebagian besar warna dapat diperoleh dari produk tumbuhan,
di dalam tumbuhan terdapat pigmen tumbuhan penimbul warna yang berbeda tergantung menurut struktur
kimianya.Pewarna alami yang ada, memiliki beberapa pigmen warna misalnya klorofil, karotenoid, tanin,
dan antosianin. Pigmen pewarna alami lebih aman digunakan meskipun tingkat kestabilan terhadap panas,
cahaya dan tingkat keasaman tidak menentu (Kwartiningsih, 2009). Salah satu pewarna alami yang tersedia
melimpah adalah bunga telang (Clitoria ternatea. L) yang memiliki warna biru.
Metode
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian eksperimen di laboratorium dengan
prosedur penelitian yang dilakukan dalam 4 tahap.
a. Tahap Pendahuluan
Mempersiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. Terutama dipersiapkan bunga
telang (Clitoria ternatea. L) yang akan diektrasi dengan larutan asam sitrat .
b. Tahap Ektraksi Bunga Telang (Clitoria ternatea,L)/ Pembuatan Filtrat Bunga Telang
Untuk pembuatan ektraksi dengan pelarut asam sitrat harus dibuat terlebih dahulu larutan asam sitrat
dengan konsentrasi pekat yaitu perbandingan asam sitrat dan aquades adalah 1:1 atau 10 gram asam sitrat
Kristal dilarutkan dengan 10 ml aquades. Timbang 2 gram, 4 gram, 6 gram 8 gram dan 10 gram bunga telang
untuk mendapatkan konsentrasi ekstrasi yang berbeda-beda. Lakukan pembuatan ekstrasi dengan
menumbuk bunga telang dan larutkan dengan larutan asam sitrat dan maserasi pada waktu yang berbedabeda yaitu 12 jam, 24 jam dan 48 jam.Selanjutnya saring dengan kertas saring dan ukur pH masing-masing
perlakuan dengan pH indicator
c. Tahap Pembuatan preparat
Sayatan jaringan tumbuhan yang digunakan adalah lapisan dari umbi bawang merah (Allium cepa.
L). Penggunaan jaringan dari umbi bawang merah ini lebih mudah dalam penyayatan maupun pengamatan
dan seringnya digunakan dalam pembelajaran praktikum pengamatan dengan menggunakan mikroskop.
Sayatan lapisan umbi bawang merah yang dibuat ditempatkan pada kaca preparat tutup dengan kaca
penutup dan diberikan perlakuan, baik pewarnaan dengan pelarut yang berbeda-beda, waktu masterasi yang
berbeda-beda maupun tanpa pewarna. Sebagai pembanding digunakan pewarna sintetik yaitu safranin
d. Tahap Pengamatan dengan mikroskop.
Menyiapkan mikroskop binokuler elektrik dengan kamera digital yang terhubung dengan PC untuk
proses mengamati preparat yang dibuat dengan perbesaran 100x dan 400x. Pengamatan sayatan dari lapisan
umbi bawang merah didokumentasikan perlakuan diulang 3x.
202
Ni Luh Tirtasari et al. / Indonesian Journal of Chemical Science 9 (3) (2020)
Hasil dan Pembahasan
Proses ekstrasi bunga telang dilakukan denga konsentrasi dan waktu yang berbeda-beda
menghasilkan warna dan pH yang tetap sama yaitu merah anggur dengan pH yang tetap 2. Hai ini dapat
dilihat pada Tabel 1. Sehingga dengan waktu masterasi yang berbeda tidak berpengaruh terhadap warna
yang dihasilkan maupun pHnya.
Tabel 1. Waktu maserasi yang berbeda-beda
Waktu maserasi
Warna
pH
(jam)
0
Merah anggur
2
12
Merah anggur
2
24
Merah anggur
2
48
Merah anggur
2
Proses pembuatan ekstrak bunga telang tak melewati tahapan pengeringan pada atmosfer terbuka
sehingga tidak banyak material yang akan teruapkan. Ekstrak bunga telang basah memiliki afinitas yang
tinggi pada pewarnaan preparat jaringan tumbuhan setelah ekstrak dipreparasi, namun warna ekstrak tidak
akan mengalami perubahan warna akibat teroksidasi setelah beberapa jam pembuatan. Dengan demikian
dari penelitian ini dianjurkan setelah pembuatan ekstrak bunga telang untuk menyimpan di lemari
pemdingin, walaupun asam sitrat sudah bisa sebagai pengawet. Lebih baik juga simpan dalam botol yang
gelap supaya tidak ada kontak langsung dengan cahaya matahari.
Prinsip pewarnaan pada pengamatan sayatan jaringan tumbuhan pada kaca preparat dengan
menggunakan mikroskop adalah agar dapat membedakan dengan jelas bagian-bagian dari jaringan
tumbuhan. Oleh karenanya, dalam penelitian ini diamati bagian-bagian sayatan jaringan tanaman yang
belum melalui tahapan pewarnaan, ketika sayatan jaringan tanaman tersebut diberi pewarnaan dan diberi
pewarnaan sintetis.Bagian-bagian sayatan jaringan tanaman yang teramati di bawah mikroskop disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengamatan di bawah mikroskop
No
Larutan
Perbesaran 100x
Perbesaran 400x
1
Aquades
2
Larutan asam sitrat (1:1) : bunga telang =
10 : 2
3
Larutan asam sitrat (1:1) : bunga telang =
10 : 4
4
Larutan asam sitrat (1:1) : bunga telang =
10 : 6
5
Larutan asam sitrat (1:1) : bunga telang =
10 : 8
6
Larutan asam sitrat (1:1) : bunga telang =
10 : 10
7
Larutan Safranin
203
Ni Luh Tirtasari et al. / Indonesian Journal of Chemical Science 9 (3) (2020)
Dari gambar di atas diketahui bahwa pada sayatan umbi bawang merah dengan penambahan ekstrak
bunga telang 2 gram sudah cukup terlihat tapi belum begitu jelas dibandingkan dengan sayatan umbi bawang
merah yang tanpa diberi pewarna/ditetesi aquades. Bagian-bagian yang teramati dinding sel, sitoplasma
dan inti sel.Pewarnaan mulai baik terlihat pada pewarnaan dengan larutan asam sitrat 1:1 dan penambahan
bunga telang mulai 4 gram, 6 gram, 8 gram dan 10 gram.
Penampakan warna yang dihasilkan pada ekstrak bunga telang memberikan warna yang hampir
sama dengan pewarnaan safranin/pewarnaan sintetis setelah diteteskan pada preparat, yaitu merah
keunguan.
Simpulan
Ekstrak bunga telang (Clitoria ternatea,L) dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alternatif dari bahan
alam untuk pewarnaan pada pengamatan preparat jaringan tumbuhan. Pewarna alami dari ekstrak bunga
telang (Clitoria ternatea,L) ini memiliki daya ikat yang baik, warna yang cerah, murah, mudah dalam
preparasi dan ramah lingkungan. Menunjukkan kemiripan hasil pewarnaan pada jaringan tumbuhan
menggunakan pewarna sintetik safranin. Pewarna alami dari ekstrak bunga telang dapat sebagai pewarna
alternatif untuk menggantikan pewarna sintetik safranin, yang mahal, karsinogen dan berbahaya bagi
lingkungan.
Daftar Pustaka
Anonim. 2010. Bunga Telang or Blue Pea Flower. (online). Diakses pada 16 Pebruari 2020
Handari, S. 1983. Metode Pewarnaan (Histologi dan Histokimia). Jakarta: Bhatara Karya Aksara
Hidayat & Saati. 2006. Membuat Pewarna Alami: Cara Sehat dan Aman Membuat Pewarna Makanan dari
Bahan Alami. Trubus Agrisarana. Surabaya
Houghton, J.D. & G.A.F. Hendry. 1995. Natural food colorants. Springer : 53-59
Kwartiningsih, E., Setyawardhani, D.A., Wiyatno, A., Triyono, A. 2009. Zat Pewarna Alami dari Kulit
Buah Manggis. Ekuilibrum, 8(1): 41-47
Li, J. 2009. Total Anthocyanin Content in Blue Corn Cookies as Affected by Ingredients and Oven Types.
Disertation. Department of Grain Science and Industry College of Agriculture. Kansas University.
Manhattan. Kansas
Moss, B.W. 2002. The Chemistry of Food Colour. Di dalam D.B MacDougall. Editor 2002. Colour in Food :
Imporving Quality. Washington: CRC Press
Misra, H.P. 2008. New Promising Insecticides for the Management of Brinjal Shoot and Fruit Borer,
Leucinodes Orbonalis Guenee. Pest Management of Horticulture Ecosystem, 14(2): 140–147
Ovando, A.C., Hernández, M..LP., Hernández, M.E.P., Rodríguez, J.A., and Vidal, C.A.G. 2009.
Chemical Studies of Anthocyanins: A Review. Food Chemistry, 113: 859-871
Paryanto. 2015. Zat Warna Alami dari Mangrove Spesies Rhizopora mucronata sebagai Pengganti Pewarna Sintetis
untuk Batik yang Ramah Lingkungan. Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. Pasca Sarjana UNDIP. Semarang
Rahmawati, T.R. 2011. Aktivitas Antioksidan Minuman Serbuk Buah Buni (Antidesma bunius (L.) Spreng)
pada Tingkat Kematangan yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor
Samsudin, A.S., Khoiruddin. 2011. Ekstraksi dan Filtrasi Membran dan Uji Stablitas Warna dari Kulit Manggis
(Garcinia mangostana). Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro
Tanaka, Y., Sasaki, N., and Ohimya, A. 2009. Biosynthesis of Plant Pigmen: Anthocyanins, Betalains and
Carotenoid. The Plant Journal, 54: 733-749
Wahyuni. 2008. Mikroteknik. Malang: UMM Press.
204
Jurnal Kelautan Tropis Maret 2020 Vol. 23(1):47-56
P-ISSN : 1410-8852 E-ISSN : 2528-3111
Biodiversitas Echinodermata pada Ekosistem Lamun di Perairan Pulau
Karimunjawa, Jepara
Reni Ria Yunita*, Suryanti Suryanti, dan Nurul Latifah
Departemen Sumberdaya Akuatik, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedarto, SH. Tembalang, Semarang 50275
Email : reniriayunita@gmail.com
Abstract
Biodiversity of Echinoderms in the Seagrass Ecosystem in Karimunjawa Island, Jepara
The seagrass ecosystem is an important ecosystem as the place of feeding ground, nursery
ground, and spawning ground. One of the biotas living in the seagrass was Echinoderms. This
research aims to determine the density of seagrass and biodiversity of Echinoderms and the
relationship between the seagrass density with the abundance of Echinoderms in the waters of
Karimunjawa Island. The sampling methods used in this research is purposive sampling with two
stations at a different location and each station there were three transect lines. The types of
seagrass found in the waters of Karimunjawa Island are eight species i.e.: Thalassia hemprichii,
Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata,
Halophila minor, Halophila ovalis and Halodule uninervis. The type of Echinoderms found consists of
three different classes i.e., Asteroidea, Echinoidea, and Holothuroidea. Class of Asteroidea, there is
1 type i.e., Archaster typicus. Class of Echinoidea, there are 3 types i.e., Diadema setosum,
Laganum central, and Laganum depressum. Class of Holothuroidea, there is 1 type i.e., Holothuria
atra. The value of the diversity index (H ') of Echinoderms ranged from 1.24 to 1.49. The range of
index values of diversity (H ') of Echinoderms in Karimunjawa Island has medium species diversity.
The results of this research show that the value of seagrass correlation with Echinodermata (r) is 0.458, it means that the relationship between them is close enough and the higher density of
seagrass then the abundance of echinoderms is lower.
Keywords: Biodiversity; echinoderms; seagrass; Karimunjawa Island
Abstrak
Ekosistem lamun merupakan ekosistem penting sebagai tempat feeding ground, nursery
ground, dan spawning ground. Salah satu biota yang hidup di ekosistem lamun adalah
Echinodermata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerapatan lamun dan biodiversitas
Echinodermata serta hubungan antara kerapatan lamun dengan kelimpahan Echinodermata di
perairan Pulau Karimunjawa. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling dengan dua stasiun pada lokasi yang berbeda dan masing-masing stasiun
terdapat 3 line transek. Line transek ditarik secara tegak lurus pantai sepanjang 50 meter dari
pertama kali ditemukan lamun. Pengamatan yang dilakukan meliputi jenis dan jumlah lamun, jenis
dan jumlah Echinodermata yang ditemukan pada setiap transek serta pengukuran parameter
lingkungan perairan . Jenis lamun yang ditemukan di perairan Pulau Karimunjawa terdapat 8 jenis
yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium,
Cymodocea serrulata, Halophila minor, Halophila ovalis dan Halodule uninervis. Jenis
Echinodermata yang ditemukan terdiri dari 3 kelas yang berbeda yaitu Asteroidea, Echinoidea,
dan Holothuroidea. Kelas Asteroidea terdapat 1 jenis yaitu Archaster typicus, kelas Echinoidea
terdiri dari 3 jenis yaitu Diadema setosum, Laganum central, dan Laganum depressum, sedangkan
kelas Holothuroidea dijumpai 1 jenis yaitu Holothuria atra. Nilai indeks keanekaragaman (H’)
Echinodermata berkisar 1,24 - 1,49. Kisaran nilai indeks keanekaragaman (H’) Echinodermata di
Pulau Karimunjawa memiliki keanekaragaman jenis sedang. Hasil penelitian menunjukkan nilai
*) Corresponding author
www.ejournal2.undip.ac.id/index.php/jkt
Diterima/Received : 09-10-2018, Disetujui/Accepted : 23-05-2019
DOI: https://doi.org/10.14710/jkt.v23i1.3384
Jurnal Kelautan Tropis Maret 2020 Vol. 23(1):47-56
korelasi lamun dengan Echinodermata (r) -0,458 yang berarti hubungan diantara keduanya cukup
erat dan semakin rapat lamun maka kelimpahan Echinodermata semakin rendah.
Kata Kunci : Biodiversitas; Echinodermata; lamun; Pulau Karimunjawa
PENDAHULUAN
Ekosistem padang lamun merupakan
hamparan lamun yang terletak diantara
ekosistem mangrove dan terumbu karang.
Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan
berbunga (Angiospermae) yang mampu
hidup pada salinitas tinggi dan terendam air
(Azkab, 2006). Biota yang berasosiasi dengan
ekosistem lamun beragam, mulai dari ikan,
Mollusca, Arthropoda, Penyu, Dugong dan
Echinodermata. Echinodermata merupakan
biota asosiasi yang mempunyai peranan
penting dalam ekosistem padang lamun.
Ekosistem padang lamun dan Echinodermata
memiliki hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan.
Keuntungan
tersebut
adalah padang lamun merupakan tempat
tinggal
dan
mencari
makan
bagi
Echinodermata
dan
sebaliknya
Echinodermata sebagai pendaur ulang
nutrient yaitu dengan memakan detritus
yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi
ekosistem padang lamun (Hadi, 2011) dan
sebagai pembersih lingkungan. Oleh karena
itu kelangsungan ekosistem padang lamun
akan berpengaruh terhadap biota yang
bergantung hidup di dalamnya.
Echinodermata adalah bagian dari
biodiersitas kelautan, (Supono et al., 2014).
Biodiversitas Echinodermata pada ekosistem
padang lamun perlu diketahui untuk
pengelolaan ekosistem lamun, mengingat
telah terjadi kerusakan ekosistem lamun.
Menurut Kawaroe et al., (2016) bahwa sekitar
30-40 % kondisi ekosistem karena tekanan
dari manusia dalam berbagai aktivitas seperti
pariwisata, olahraga serta budidaya. Kajian
biodiversitas oleh Iken et al., (2010) dikatakan
penting untuk memahami pola ekologis dan
fungsi ekosistem, sebagai pengelolaan
pemanfaatan sumberdaya kelautan serta
identifikasi prioritas konservasi. Lebih lanjut
menurut
Hadi
(2011)
Echinodermata
mempunyai cara dan kemampuan dalam
menentukan lokasi yang cocok untuk tempat
hidupnya, sehingga perbandingan jenis dan
48
kelimpahan Echinodermatadi suatu lokasi
pada waktu yang berbeda perlu untuk
dipelajari.
Penelitian
tentang
biodiversitas
Echinodermata
banyak
dilakukan
di
berbagai tempat (Yusron, 2010; Yusron, 2013;
Yusron, 2016) dan penelitian hubungan
biodiversitas Echinodermata dengan lamun
pernah dilakukan di Kepulauan Seribu
(Oktavianty et al., 2014), sedangkan
penelitian biodiversitas Echinodermata di
Kepulauan
Karimunjawa belum
diteliti.
Kepulauan
Karimunjawa
terdiri
dari
beberapa pulau diantaranya yaitu Pulau
Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang,
Pulau Nyamuk dan Pulau-pulau kecil lainya.
Oleh karena itu pada penelitian ini penulis
membatasi wilayah penelitian hanya terfokus
di Pulau Karimunjawa dengan kajian
mengenai biodiversitas Echinodermata pada
ekosistem padang lamun.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
kerapatan
lamun
dan
biodiversitas Echinodermata di perairan Pulau
Karimunjawa serta untuk mengetahui hungan
antara kerapatan lamun dan kelimpahan
Echinodermata di Pulau Karimunjawa yang
dilaksanakan pada bulan Maret 2018.
MATERI DAN METODE
Materi penelitian ini adalah jenis-jenis
Echinodermata dan lamun yang ditemukan
di perairan Pulau Karimunjawa.
Adapun
metode pengumpulan dilakukan dengan
metode purposive sampling. Lokasi penelitian
adalah Pulau Karimunjawa, yang termasuk
dalam
Kawasan
Taman
Nasional
Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa
secara geografis terletak pada koordinat
5°40’39”- 5°55’00” LS dan 110°05’57”-110°31’
15” BT (BTNKJ, 2016).
Pengamatan
objek
penelitian
menggunakan
metode
line
transek
sepanjang 50 meter. Satu stasiun terdiri dari 3
Biodiversitas Echinodermata Pada Ekosistem Lamun (R.R. Yunita et al.)
Jurnal Kelautan Tropis Maret 2020 Vol. 23(1):47-56
line transek dengan jarak antara line transek
adalah 25 meter. Line transek ditarik
sepanjang 50 meter kearah laut dari pertama
kalinya ditemukan lamun dan pengamatan
dilakukan setiap 10 m sekali. Pengamatan
lamun dan Echinodermata dilakukan dengan
kuadran transek ukuran 1 x 1 m (Hartati et al.,
2012). Pengamatan lamun dilapangan
meliputi jenis lamun, jumlah individu dan
tegakan. Kerapatan lamun dihitung dengan
jumlah tegakan atau pucuk spesies lamun
yang ditemukan di dalam kotak. Lamun yang
ditemukan di setiap kotak diidentifikasi
langsung di lokasi penelitian dari bentuk
daun, rimpang, bunga dan buah-buahan.
Kerapatan spesies lamun adalah total jumlah
spesies lamun individu dalam satu unit satuan
diukur (McKenzie and Yoshida, 2009).
Sedangkan pengamatan Echinodermata
meliputi
jenis,
dan
jumlah
individu.
Echinodermata yang dihitung dan diamati
adalah Echinodermata yang berada dalam
transek
pengalamatan,
kemudian
Echinodermata di foto untuk identifikasi dan
dokumentasi.
Identifikasi
spesies
yang
ditemukan di Pulau Karimunjawa dilakukan
dengan menggunakan metode cek list.
Metode cek list adalah metode yang
digunakan untuk identifikasi spesies dengan
mencocokkan gambar yang sudah ada
beserta keterangannya (Ali et al., 2016).
Selain data lamun dan Echinodermata juga
dilakukan pengambilan data parameter
fisika kimia perairan, antara lain, suhu,
salinitas, pH,, kecerahan, substrat, dan total
bahan organik sedimen.
Data lapangan kemudian diolah untuk
mendapatkan data kerapatan lamun,
kelimpahan Echinodermata dan stuktur
komunitas Echinodermata yang meliputi
indeks keanekaragaman, keseragaman, dan
dominasi serta mengetahui pola sebaran (Ali
et al., 2016)
Gambar 1. Lokasi penentuan titik samplig
Sampling dilakukan di dua stasiun
berdasarkan tingkat aktivitas manusia, stasiun
A merupakan lokasi dengan aktivitas
manusia yang tinggi, dekat
dengan
pemukiman penduduk dan alur pelayaran
yaitu di sekitar dermaga, sedangkan stasiun B
merupakan lokasi dengan aktivitas manusia
yang rendah yaitu di pantai Pancuran
dimana lokasi ini digunakan untuk pariwisata
Biodiversitas Echinodermata Pada Ekosistem Lamun (R.R. Yunita et al.)
namun tidak banyak wisatawan yang
datang, karena akses menuju lokasi yang sulit
dan terjal. Pemilihan 2 stasiun ini adalah untuk
mengetahui perbedaan kerapatan lamun
dan kelimpahan Echinodermata pada lokasi
dengan tingkat aktivitas manusia yang
berbeda. Penentuan sampling dilakukan
pada
saat
pagi
hari,
dikarenakan
Echinodermata bersifat nocturnal (aktif pada
49
Jurnal Kelautan Tropis Maret 2020 Vol. 23(1):47-56
malam hari), selain itu sampling dilakukan
pada saat keadaan surut dengan tujuan
untuk memudahkan pengamatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Stasiun A terletak di dekat dermaga
penyeberangan dengan substrat dasar
bepasir dan pecahan karang. Sedangkan
pada stasiun B substrat dasar tersusun oleh
pasir kasar, pasir halus, pasir berlumpur, dan
pecahan karang yang terletak di daerah
sekitar pantai Pancuran. Kondisi arus perairan
di
stasiun
B
relative
lebih
tenang
dibandingkan dengan stasun A, hal ini
dikarenakan pada stasiun dekat dengan alur
pelayaran sehingga arus lebih besar dari
stasiun B. meskipun memiliki kondisi substrat
dan arus yang berbeda, namun kedua lokasi
penelitian memiliki tingkat kecerahan yang
sama. Kecerahan pada lokasi penelitian
adalah tak terhingga dimana cahaya
matahari mampu menembus hingga ke
dasar perairan. Hal ini sangat penting bagi
lamun untuk melakukan proses fotosintesis.
Nybakken (1992) menyatakan bahwa dalam
melakukan
proses
fotosintesis
lamun
membutuhkan suhu optimum antara 25°C 35°C dan saat cahaya penuh. Suhu perairan
di Pulau karimunjawa pada kedua stasiun
berkisar antara 28-30 ˚C. Hasil yang
didapatkan hasil sama dengan penelitian
terdahulu Ali et al., (2016) bahwa suhu
perairan Pulau Karimunjawa berkisar 29°C30°C. Hal serupa juga dikatan oleh Ziemen
(1980) bahwa lamun daerah tropis umumnya
tumbuh optimal pada suhu 28-30°C dengan
salinitas 20-35 ‰.
Hasil penelitian menunjukan bahwa
perbedaan kondisi perairan di kedua lokasi
tersebut juga berpengaruh terhadap lamun
yang tumbuh. Pada stasiun A jenis lamun
yang ditemukan terdapat 4 jenis meliputi
Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata,
Enhalus
acoroides
dan
Syringodium
isoetifolium sedangkan pada stasiun B
ditemukan 7 jenis lamun yaitu Thalassia
hemprichii,
Cymodocea
rotundata,
Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides,
Syringodium isoetifolium, Halophila minor,
Halophila ovalis dan Halodule uninervis.
Adapun jenis dan kerapatan individu lamun
di Pulau Karimunjawa tersaji pada Gambar 2.
Perbedaan jenis lamun yang ditemukan
pada kedua stasiun dan perbedaan
kerapatan disebabkan karena karakteristik
dari masing-masing stasiun. Stasiun A
merupakan daerah dekat dermaga dimana
dekat dengan aktivitas manusia dan aktivitas
pelayaran, sehingga jenis lamun yang
ditemukan lebih sedikit dengan kerapatan
yang rendah. Hal tersebut didukung dari hasil
penelitian Feryatun et al.,(2014) menyatakan
bahwa daerah yang terganggu aktivitas
manusia memiliki penutupan lamun yang
rendah dan akan semakin tinggi pada
daerah yang alami.
Hal ini dikarenakan
gangguan ekosistem yang diterima lamun
akibat pembuangan limbah rumah tangga
Gambar 2. Kerapatan jenis lamun pada stasiun yang berbeda di perairan Pulau Karimunjawa
50
Biodiversitas Echinodermata Pada Ekosistem Lamun (R.R. Yunita et al.)
Jurnal Kelautan Tropis Maret 2020 Vol. 23(1):47-56
serta
aktivitas
masyarakat.
Stasiun
B
merupakan daerah
di sekitar
Pantai
Pancuran yang relatif jauh dari aktivitas
manusia sehingga terdapat lebih banyak
jenis lamun yang dijumpai dengan kerapatan
yang tinggi.
Thalassia hemprichii merupakan jenis
lamun yang banyak ditemui pada stasiun A,
sedangkan pada stasiun B disominasi oleh
Cymodocea rotundata. Di stasiun A banyak
ditemukan jenis lamun Thalassia hemprichii
dikarenakan pada stasiun A memiliki substrat
yang cocok untuk mendukung kehidupan
lamun jenis Thalassia hemprichii. Stasiun A
memiliki substrat pasir kasar hingga pecahan
karang. Menurut Alie (2010) bahwa Thalassia
hemprichii merupakan lamun yang paling
melimpah dan dominan tumbuh pada
substrat pasir hingga pecahan kasar.
Cymodocea rotundata merupakan lamun
yang
mudah
beradaptasi
dengan
lingkungan. Berdasarkan penelitian Riniatsih
dan Endrawati (2013) bahwa tingkat
kehidupan
transplantasi
lamun
jenis
Cymodocea
rotundata
sebesar
100%
menunjukan
bahwa
lamun
jenis
ini
merupakan lamun yang mudah untuk
beradaptasi dan dapat tumbuh pada
berbagai kondisi lingkungan.
Echinodermata yang ditemukan di
lokasi penelitian terdiri dari 3 kelas yang
berbeda yaitu Asteroidea, Echinodea, dan
Holothuroidea. Kelas Asteroidea terdapat 1
jenis yaitu Archaster typicus, kelas Echinoidea
terdiri dari 3 jenis yaitu Diadema setosum,
laganum central, dan laganum depressum,
sedangkan kelas Holothuroidea dijumpai 1
jenis yaitu Holothuria atra. Kelimpahan
Echinodermata tertinggi yaitu jenis Holothuria
atra. Menurut Yusron (2009) bahwa Holothuria
atra adalah spesies yamg umum ditemukan
di
perairan
Indonesia.
Kelimpahan
Echinodermata di suatu lokasi dipengaruhi
oleh lingkungan baik faktor biotik dan abiotik
yang saling terkait satu dengan yang lain
serta interaksi antara berbagai spesies yang
membentuk
sistem tersebut (Hadi, 2011).
Salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap
kelimpahan
Echinodermata
adalah salinitas. Salinitas pada pada lokasi
penelitian menunjukan nilai 30 ‰. Nilai
tersebut
sesuai
untuk
kehidupan
Biodiversitas Echinodermata Pada Ekosistem Lamun (R.R. Yunita et al.)
Echinodermata, sesuai dengan pernyataan
dari Hyman (1955) bahwa Echinodermata
mampu hidup pada kisaran salinitas antara
29-34 ‰. Kisaran pH pada lokasi penelitian
yaitu 8.
Tipe substrat pada stasiun A yaitu pasir
kasar dan pecahan karang sedangkan pada
stasiun B yaitu pasir halus dan pasir kasar.
Substrat sangat berpengaruh terhadap
Echinodermata. Perbedaan substrat pada
kedua stasiun juga berpengaruh terhadap
kandungan bahan organik pada sedimen.
Kandungan bahan pada stasiun B lebih tinggi
dari stasiun A yaitu mencapai 8,8 %. Menurut
Riniatsih dan Kushartono (2009) ukuran butir
sedimen turut mempengaruhi kandungan
bahan organik dalam sedimen atau dapat
dikatakan semakin kecil ukuran partikel
sedimen semakin besar kandungan bahan
organiknya. Meskipun kandungan bahan
organik pada stasiun B lebih tinggi dari stasiun
A, namun hal ini berlawanan dengan
kelimpahan
Echinodermata,
dimana
Echinodermata pada stasiun A lebih tinggi
dari pada stasiun B. Hal ini disebabkan
karena tidak semua Echinodermata mampu
bertahan hidup pada kadar bahan organik
sedimen yang tinggi, salah satunya adalah
bulu babi. Menurut Nybakken (1992)
kandungan bahan organik yang tinggi
dalam
substrat
tidak
selamanya
menguntungkan bagi kehidupan bulu babi
walaupun bahan organik merupakan bahan
makanannya, karena jika terlalu banyak
akan menyumbat alat pernafasan.
Echinodermata
bersifat
pemakan
detritus, sehingga peranannya dalam suatu
ekosistem untuk merombak sisa-sisa bahan
organik yang tidak terpakai, adanya
buangan sampah organik dari aktivitas
pemukiman
menjadi
makanan
bagi
Echinodermata (Katili, 2011). Jenis dan jumlah
Echinodermata (Tabel 1).
Pola sebaran dari jenis Echinodermata
diketahui dari nilai varian dan mean dari
masing-masing jenis. Jenis Archaster typicus
dan Diadema setosum memiliki nilai Varian
dan Mean yang sama, hal ini dikarenakan
jumlah individu yang ditemukan pada kedua
jenis tersebut sama. Pola sebaran dari
Archaster typicus dan Diadema setosum
adalah mengelompok. Hal ini sesuai dengan
51
Jurnal Kelautan Tropis Maret 2020 Vol. 23(1):47-56
pernyataan Laning et al., (2014) bahwa
Diadema setosum lebih sering ditemukan
pada
area
berpasir
dan
hidup
mengelompok. Pola sebaran Holothuria atra
berdasarkan perhitungan menunjukan pola
sebaran yang mengelompok. Holothuria atra
mengelompok untuk memenuhi kebutuhan
pakan dan reproduksi. Menurut Ali et al.,
(2016) pola sebaran dari kelas Holothroidea
mengelompok (clumped). Pola sebaran
Echinodermata yang ditemukan tersaji pada
tabel 2.
Diadema setosum adalah salah satu
jenis dari kelas Echinoidea yang ditemukan di
stasiun A dan stasiun B. Diadema setosum
mampu hidup pada ekosistem lamun
maupun
ekosistem
terumbu
karang.
Keberadaan Diadema setosum dalam suatu
ekosistem mempunyai peranan yang sangat
penting. Menurut Suryanti et al., (2017) salah
satu jenis bulu babi (Echinoidea) yang
banyak ditemukan di ekosistem terumbu
karang dan ekosistem lamun adalah
Diadema setosum, sedangkan menurut
Rumahlatu
(2012)
Diadema
setosum
merupakan spesies yang mempunyai peran
indikator dalam komunitas lamun.
Bulu babi dikatakan sebagai spesies
kunci
karena
mampu
mengontrol
pertumbuhan makroalga. Bulu babi yang
bersifat herbivor dapat melakukan grazing
pada populasi makroalga agar tidak terjadi
eutrofikasi. Menurut Suryanti et al., (2018)
bahwa bulu babi merupakan spesies kunci
yang
mampu
mengontrol
populasi
makroalga, sehingga terjadi hubungan yang
saling
menguntungkan
(simbiosis
mutualisme). Kelimpahan individu Diadema
setosum pada Stasiun A lebih tinggi dari
pada stasiun B meskipun stasiun A
merupakan kawasan dekat dermaga yang
dekat dengan pemukiman masyarakat dan
aktivitas pelayaran. Hal ini mengindikasikan
bahwa Diadema setosum memiliki daya
adaptasi yang tinggi karena mampu hidup
pada kondisi dengan tekanan yang tinggi.
Diadema setosum mampu bertahan hidup
dengan paparan cadmium (Cd), semakin
tinggi paparan cadmium maka Diadema
setosum akan mengalami perubahan seperti
Tabel 1. Kelimpahan Echinodermata pada stasiun yang berbeda di Perairan Pulau Karimunjawa
No.
Jenis Echinodermata
Kelas Asteroidea
1.
Archaster typicus
Kelas Echinoidea
2.
Diadema setosum
3.
Laganum central
4.
Laganum depressum
Kelas Holothuroidea
5.
Holothuria atra
∑ individu (ind/5m2)
∑ seluruh individu (ind/15m2)
I
Stasiun A
II
I
Stasiun B
II
III
III
1
2
-
-
-
-
1
1
-
2
1
1
2
1
1
1
1
-
1
2
5
3
7
18
2
6
2
4
1
3
9
1
2
Tabel 2. Pola Sebaran Jenis Echinodermata di Perairan Pulau Karimunjawa
Spesies
Archaster typicus
Diadema setosum
Laganum central
Laganum depressum
Holothuria atra
52
Nilai Varian
1
1
0,816
0,632
0,447
Nilai Mean
0,111
0,111
0,148
0,222
0,407
Pola Sebaran
Clumped
Clumped
Clumped
Clumped
Clumped
Biodiversitas Echinodermata Pada Ekosistem Lamun (R.R. Yunita et al.)
Jurnal Kelautan Tropis Maret 2020 Vol. 23(1):47-56
lepasnya duri dan penutupan duri (spine
closure). Menurut Urriago et al., (2011) bahwa
perilaku menutup dari bulu babi meniru
kebiasaan alaminya untuk menghindari diri
dari predator dan stressor lingkungan oleh
logam berat.
Holothuria atra dapat dijumpai pada
berbagai habitat mulai dari lamun, pasir,
alga maupun substrat yang keras seperti
karang dan batu. Hal tersebut yang
menyebabkan Holothuria atra memiliki
kelimpahan
tertinggi.
Holothuria
atra
merupakan jenis dengan jumlah individu
tertinggi yang ditemukan di semua habitat,
antara lain, lamun, makroalga, terumbu
karang, karang mati, pasir serta bawah batu
dan pada kondisi surut Holothuria atra
ditemukan dalam keadaan membenamkan
diri di pasir dan juga beberapa individu
ditemukan dengan butiran pasir halus yang
menempel di pada tubuhnya (Budiman et
al., 2014). Lambert (2010) menyatakan
bahwa
Holothuria
atra
mempunyai
mekanisme pertahanan diri yang tinggi,
dimana Holothuria atra menempeli tubuhnya
dengan butiran-butiran pasir. Pasir yang
menempel pada tubuh Holothuria atra
memantulkan cahaya dan memnuat suhu
tubuhnya lebih rendah (Angreni et al., 2017).
Holothuria atra merupakan jenis yang paling
banyak ditemukan dibandingkan dengan
jenis lain dikarenakan nilai ekonomisnya yang
rendah dibanding dengan jenis lain,
sehingga di alam masih banyak dijumpai. Hal
ini sesuai dengan penilitian Yusron (2009)
bahwa Holothuria atra adalah spesies yamg
umum ditemukan di perairan Indonesia.
Archaster typicus adalah satu-satunya
jenis dari kelas Asteroidea yang ditemukan
pada stasiun A yang di dominasi oleh lamun
jenis Thalassia hemprichii dengan kerapatan
yang rendah dan substrat dominasi pasir.
Menurut Clark and Rowe (1971) populasi
Archaster typicus ditemukan di daerah
pasang surut (intertidal) dengan substrat
pasir, karang, tersebar di wilayah indo-pasifik
barat. Jenis bintang laut Archaster typicus
memiliki sifat berpasangan antara jantan dan
betina saat musim pemijahan.
Kelas
menyesuaikan
Asteroidea
diri
dengan
mampu
kondisi
Biodiversitas Echinodermata Pada Ekosistem Lamun (R.R. Yunita et al.)
lingkungan. Pada saat kondisi air laut surut,
bintang
laut
melakukan
penyesuaian
dengan membenamkan diri di dalam pasir.
Spesies Archaster typicus memiliki sisi aboral
yang terdiri atas madreporit sebagai system
sirkulasi air dan anus, pada bagian oral
ditemukan mulut, bukaan ambulakral dan
kaki tabung berbentuk silinder. Spesies ini
memiliki duri putih, berbentuk tumpul dan
pipih (Suwartimah et al., 2017). Spesies ini
tersebar
di
selatan
Samudra
Hindia,
Mascarane,
Timur
Afrika(Madagaskan)
Maldive, Teluk Bengal, Timur India, Utara
Australia, Filipina, china, Jepang, Selatan
Pasifik dan Hawaii (Clark dan Rowe, 1971)
Struktur
komunitas
Echinodermata
terdiri dari indeks keanekaragaman, indeks
keseragaman dan indeks dominansi . Indeks
keanekaragaman (H’) Echinodermata pada
stasiun A sebesar 1,49 dan stasiun B sebesar
1,27. Hal tersebut menandakan bahwa
keanekaragaman Echinodermata di Pulau
Karimunjawa
adalah
keanekaragaman
sedang. Menurut Rahma dan Fitriana (2006)
nilai indeks keanekaragaman 1,0≤H≤3,322
adalah
kaeanekaragaman
sedang,
produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup
seimbang, tekanan ekologis sedang.
Indeks keseragaman Echinodermata
pada stasiun A sebesar 0,92 dan pada stasiun
B sebesar 0,91. Nilai indeks keseragaman
antara dua stasiun tersebut hampir sama
dikarenakan spesies yang ditemukan hampir
sama di kedua lokasi tersebut. Nilai indeks
keseragaman yang di dapatkan pada kedua
stasiun tinggi dan menandakan bahwa
kondisi komunitas dalam suatu ekosistem
tersebut stabil. Menurut Supono dan Arbi,
(2010) Suatu komunitas bisa dikatakan stabil
bila mempunyai nilai indeks keseragaman
jenis mendekati angka 1, dan sebaliknya
dikatakan tidak stabil jika mempunyai nilai
indeks keseragaman jenis yang mendekati
angka 0.
Nilai indeks dominansi pada stasiun A
sebesar 0,25 dan pada stasiun B sebesar 0,31.
Nilai tersebut termasuk dominasi rendah,
pada dua stasiun memiliki indeks dominasi
rendah yang menandakan bahwa tidak ada
spesies yang dominasi pada kedua stasiun
53
Jurnal Kelautan Tropis Maret 2020 Vol. 23(1):47-56
Kelimpahan Echinodermata
(ind/m2 )
4,5
4
y = -0.0038x + 1.6347
R² = 0.2095
r = - 0.45773
3,5
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
0
100
200
300
400
500
Kerapatan lamun (tegakan/m2 )
Gambar 3. Hubungan Kerapatan Lamun dengan Kelimpahan Echinodermata
tersebut. Menurut Leksono (2007), dominansi
terjadi karena adanya hasil dari proses
kompetisi
penggusuran
individu
satu
terhadap yang lain.
Hubungan antara kerapatan lamun
dengan kelimpahan Echinodermata di Pulau
Karimunjawa diolah menggunakan software
Ms. Excel. Dari hasil pengolahan tersebut
didapatlah hasil yang tersaji pada Gambar 3.
Nilai koefisien korelasi antara variabel
kelimpahan Echinodermata dan kerapatan
lamun diperoleh nilai (r) sebesar -0,458.
Koefisien korelasi bernilai negatif dikarenakan
nilai-nilai koefisien regresi (b) bernilai negatif
juga. Hubungan antara dua variabel juga
ditandai dengan garis lurus yang bernilai
negatif.
Nilai
korelasi
yang
didapat
menunjukan bahwa hubungan antara
kerapatan
lamun
dan
kelimpahan
Echinodermata cukup erat dan arah
hubungannya berbanding terbalik semankin
rapat
lamun
maka
kelimpahan
Echinodermata semakin rendah. Hal ini
dikarenakan tidak semua Echinodermata
menyukai kondisi lamun yang lebat, seperti
Archaster typicus yang menyukai daerah
berpasir. Hasil korelasi yang didapatkan
sesuai
dengan
hasil
penelitian
dari
Oktavianty et al., (2014) bahwa hubungan
antara kerapatan lamun dan kelimpahan
Echinodermata
arah
hubunganya
berlawanan ditandai dengan garislurus yang
54
bernilai negatif karena semakin padat
kerapatan lamun maka semakin sedikit
kelimpahan Echinodermatabahkan hampir
tidak ada. Nilai koefisien determinasi (R2)
sebesar 0,209 menunjukan seberapa besar
pengaruh
kerapatan
lamun
terhadap
kelimpahan Echinodermata. Nilai 0,209
menunjukan bahwa sebesar 20,90 %
kelimpahan Echinodermata dipengaruhi oleh
kerapatan lamun dan sisanya 79,10 %
dipengaruhi oleh faktor lain seperti faktor
lingkungan maupun Echinodermata itu
sendiri. Hal ini berkaitan dengan fisiologi
Echinodermata serta pola pertumbuhan
Echinodermata itu sendiri. Menurut Hadi
(2011)
Keberadaan
dan
kelimpahan
Echinodermata di suatu lokasi dipengaruhi
oleh lingkungan baik faktor biotik dan abiotik
yang saling terkait satu dengan yang lain
serta interaksi antara berbagai spesies yang
membentuk sistem tersebut.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa terdapat 8 jenis lamun
yang di dominasi oleh Thalassia hemprichi
dan Cymodocea rotundata. Echinodermata
yang ditemukan terdiri dari 5 jenis yaitu
Archaster
typicus,
Diadema
setosum,
Laganum central, Laganum depressum dan
Holothuria
atra.
Hubungan
antara
kelimpahan Echinodermata dan kerapatan
Biodiversitas Echinodermata Pada Ekosistem Lamun (R.R. Yunita et al.)
Jurnal Kelautan Tropis Maret 2020 Vol. 23(1):47-56
lamun cukup erat dan arah hubungannya
berlawanan yaitu semakin rapat lamun maka
Echinodermata yang ditemukan semakin
sedikit. Kerapatan lamun hanya berpengaruh
sebesar 20,90 % terhadap kelimpahan
Echinodermata.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A.I., Suryanti & B. Sulardiono. 2016.
Kelimpahan
dan
Pola
Sebaran
Echinodermatadi Pulau
Karimunjawa
Jepara. Dalam : Prosiding Seminar
Tahunan Hasil Penelitian Perikanan dan
Kelautan VI Tanggal 12 November 2016.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Diponegoro.
Alie, K. 2010. Pertumbuhan dan Biomassa
Lamun Thalassia hemprichii di Perairan
Pulau
Bone
Batang
Kepulauan
Spermonde Sulawesi Selatan. Jurnal Sains
MIPA Universitas Lampung. 16(1) : 105110.
Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2008.
Statistik
Balai
Taman
Nasional
Karimunjawa Tahun 2007. Balai Taman
Nasional Karimunjawa, Semarang, 133
hlm.
Clark, A.M. & Rowe, F.E.W.. 1971. Monograph
of Shallow-water Indo West Pasific
Echinoderms. Trustees od the British
Museum. London. p. 238.
Azkab, H.M. 2006. Ada Apa dengan Lamun.
Jurnal Oseana, 31 (3): 45-55.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi
Pengelolaan
Sumberdaya
dan
Lingkungan. Kanisius. Yogyakarta, 258
hlm.
Fachrul, F.M. 2006. Metode Sampling
Bioekologi. PT. Bumi Aksara, Jakarta, 198
hlm.
Feryatun, F., B. Hendrarto, & N. Widyorini.
2012. Kerapatan Dan Distribusi Lamun
(Seagrass) Berdasarkan Zona Kegiatan
Yang Berbeda
Di Perairan Pulau
Pramuka, Kepulauan Seribu. Journal of
Management Of Aquatic Resources,
1(1):44-50
Hadi, A., Hartati, R. & Widianingsih. 2011.
Fauna Echinodermata di Indonoor
Wreck, Pulau Kemujan, Kepulauan
Karimunjawa. Ilmu Kelautan: Indonesian
Journal of Marine Sciences, 16(4):236-242.
Biodiversitas Echinodermata Pada Ekosistem Lamun (R.R. Yunita et al.)
Hartati, R., Djunaedi, A., Haryadi, & Mujiyanto.
2012. Struktur Komunitas Padang Lamun
di Perairan Pulau Kumbang, Kepulauan
Karimunjawa. Ilmu Kelautan: Indonesian
Journal of Marine Sciences, 17(4):217-225.
Heiri, O., Lotter, A.F. & Lemcke, G. 2001. Loss
on ignition as a method for estimating
organic and carbonate content in
sediments:
reproducibility
and
comparability of results. Journal of
Paleolimnology. 25:101-110.
Hyman, L. H. 1995. The Invertebrates
Echinodermata The Coelomate Bilateris.
Vol. 3 IV. Mc Graw-Hill Book Company.
Inc. New York- Toronto-London. 763.
Iken, K., Konar, B., Benedetti-Cecchi, L., CruzMotta, J.J. & Knowlton, A. 2010. LargeScale Spatial Distribution Patterns of
Echinoderms
in
Nearshore
Rocky
Habitats. PLoSONE 5(11): p.e13845.
Katili,
A.S.
2011.
Struktur
Komunitas
Echinodermata pada Zona Intertidal di
Gorontalo di Gorontalo. Jurnal Penelitian
dan Pendidikan, 8(1):51-61.
Kawaroe, M., Nugraha, A.H., Juraij &
Tasabaramo,
I.A.
2016.
Seagrass
Biodiversity at Three Marine Ecoregions of
Indonesia: Sunda Self, Sulawesi Sea, and
Banda Sea. Jurnal Biodiversitas, 17(2):585591.
Lambert, P. 2010. Sea Cucumbers of British
Colombia, Southest Alaska and Puget
Sound. British Colombia. UBC Press.
Laning, T.H., Yusup, D.S. & Wiryanto, J. 2014.
Sebaran Bulu Babi (Echinoidea) Di
Kawasan Padang Lamun Pantai Merta
Segara, Sanur-Bali. Jurnal Biologi 18(2):4145.
Leksono, A.S. 2007. Ekologi: Pendekatan
Deskriptif dan Kuantitatif. Bayumedia
Publishing . Malang.
McKenzie L.J., and R.L. Yoshida. 2009.
Seagrass-Watch:
Proceeding
of
workshop
for
monitoring
seagrass
habitats in Indonesia. The Nature
Conservancy, Coral Triangle Center,
Sanur, Bali. 9th May 2009. SeagrassWatch HQ, CairnS.
Nybakken. J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu
Pendekatan Ekologis. PT Gramedia.
Jakarta, 459 hlm.
Odum, E.P. 1971. Fundamental Of Ecology.
3rd Edition. W.B Saunders Company,
Philadelphia.
55
Jurnal Kelautan Tropis Maret 2020 Vol. 23(1):47-56
Oktavianti, R., Suryanti & Purwanti, F. 2014.
Kelimpahan
Echinodermata
Pada
Ekosistem Padang Lamun Di Pulau
Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Diponegoro Journal of Maquares, 3(4):
243-249.
Rahma, Y. & Fitriana. 2006. Keanekaragaman
dan Kemelimpahan Makrozoobenthos di
Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman
Hutan Raya Ngurah Rai, Bali.
Riniatsih, I. & Kushartono, E.W.. 2009. Substrat
Dasar dan Parameter Oseanografi
sebagai
Penentu
Keberadaan
Gastropoda dan Bivalvia di Pantai Sluke
Kabupaten
Rembang.
Jurnal
Ilmu
Kelautan, 14(1):50-59.
Riniatsih,
I.,
&
Endrawati,
H.
2013.
Pertumbuhan Lamun Hasil Transplantasi
Jenis Cymodocea rotundata di Padang
Lamun Teluk Awur Jepara. Buletin
Oseanografi Marina, 2(1):34-40.
Rumahlatu, D. 2011. Respon Perilaku Bulu Babi
Deadema setosum terhadap Logam
Berat Kadmium. Jurnal Bumi Lestari,
12(1):45-54.
Rumahlatu, D., 2012. Konsentrasi logam berat
kadmium pada air, sedimen dan
Deadema setosum
(Echinodermata,
Echinoidea) di Perairan Pulau Ambon.
Ilmu Kelautan: Indonesian Journal of
Marine Sciences, 16(2):78-85.
Budiman, C.C., Maabuat, P.V., Langoy, M.L.
and Katili, D.Y., 2014. Keanekaragaman
Echinodermata di Pantai Basaan Satu
Kecamatan Ratatotok Sulawesi Utara.
Jurnal MIPA, 3(2):97-101.
Supono and U.Y. Arbi. 2010. Struktur
Komunitas Ekhinodermata Di Padang
Lamun Perairan Kema, Sulawesi Utara.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia,
36(3):329–342.
Supono, D. J. W. Lane and Susetiono. 2014.
Echinoderm Fauna in Lembeh Strait,
North Sulawesi: Inventory and Distribution
Review. Marine Research Indonesia, 39
(2):51-61.
Suryanti, Ain, C. & Latifah, N. 2018. Mapping
of Nitrate, Phospat and Zooxanthelae
with Abundance of Sea Urchin on
Massive Coral Reef in Karimunjawa
Island. IOP Conference Series: Earth and
Environmental science, 116(1):1-8.
56
Suryanti, Ain, C., Latifah, N. & Febrianto, S.
2017. Mapping of Sea Urchin Abundance
as Control of Expansion for the Balance
of Coral Reef Ecosystem in Karimunjawa
Island. Journal of Applied Environmental
and Biological Sciences, 7(12):120-127.
Suryanti, M.R. Muskananfola dan K.E.
Simanjuntak.
2016.
Sand
Dollar
Distribution Pattern and Abundance at
the coast of Cemara Kecil Island,
Karimunjawa, Jepara, Indonesia. Jurnal
Teknologi, 78 (4-2) : 239-244.
Suwartimah, K., D. S. Wati, H. Endrawati, dan
R.
Hartati.
2017.
Komposisi
Echinodermata
di
Rataan
Litoral
Terumbu Karang Pantai Krakal, Gunung
Kidul, Yogyakarta. Buletin Oseanografi
Marina, 6 (1) : 53-60.
Urriago, J.D., J.H. Himmelman, and C.F.
Gaymer. 2011. Responses of the Black
Sea Urchin Tetrapygus niger to its Sea-star
Predators
Heliaster
heliantus
and
Meyenaster gelatinous under Field
Conditions. Journal of Experimental
Marine Biology and Ecology, 399: 17-24.
Yusron,
E.
2009.
Biodiversitas
fauna
ekhinodermata
di
perairan
Selat
Lembeh,
Bitung-Sulawesi
Utara.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia,
35(2): 225-237.
Yusron,
E.
2010.
Keanekaragaman
Echinodermata di Perairan Likupang,
Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Ilmu
Kelautan: Indonesian Journal of Marine
Sciences, 15(2):85-90.
Yusron, E. 2013. Biodiversitas
Fauna
Ekhinodermata
(Holothuroidea,
Echinoidea,
Asteroidea
Dan
Ophiuroidea) Di Perairan Pulau Lombok,
Nusa Tenggara Barat. Zoo Indonesia, 22
(1):1-10.
Yusron,
E.
2016.
Struktur
Komunitas
Ekhinodermata(Asteroidea, Ophiuroidea,
Echinoidea Dan Holothuroidea)
Di
Perairan Taman Nasional
Wakatobi
Sulawesi Tenggara. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis, 8(1):357-366.
Ziemen, J.C. 1980. Produktivity in Ecology of
the Indonesia Seas. Part One. Periplus
Edition (HK) Ltd., Singapore.
Biodiversitas Echinodermata Pada Ekosistem Lamun (R.R. Yunita et al.)