Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN Yogyakarta, 7—9 November 2013 i ii SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN Yogyakarta, 7—9 November 2013 BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA iii PROSIDING SEMINAR(DISKUSI) ILMIAH KEBAHASAANDANKESASTRAAN TIM PENYUNTING Pelindung: Prof. Dr. Mashun, M.S. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pengarah: Drs. Muhajir, M.A. Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Penanggung Jawab: Drs. Tirto Suwondo, M.Hum. Kepala Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Ketua: Dra. Sri Nardiati, M.Pd. Editor: Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, M.A. Dr. Aprinus Salam, M.Hum. Dra. Sri Nardiati, M.Pd. Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum. Dra. Herawati Wening Handri Purnami, S.Pd., M.P.d. Sekretaris: Rijanto, S.Pd. Achmad Abidan H.A., S.Pd. Susam Tri Yuli Haryati Edy Wastana Warseno Diterbitkan oleh: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ISBN: 978-602-777-776-7 Alamat Sekretariat: Jalan I Dewa Nyoman Oka 34, Yogyakarta Telepon (0274)562070 iv KATA PENGANTAR KEPALA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA Dewasa ini penelitian atau kajian interdisipliner sangat diperlukan mengingat secara aksiologis beragam ilmu berkembang secara bersama, berdampingan, bahkan saling berhadapan, saling melawan (resistensif), sehingga di satu pihak tampak bertabrakan, tumpang tindih, di pihak lain saling membangun dan mengukuhkan. Demikian pula eksistensi disiplin ilmu bahasa dan sastra. Sebagai disiplin ilmu kemanusiaan (humaniora), bahasa dan sastra tidak mungkin bekerja sendiri dalam menghadapi beragam fenomena dan permasalahan yang terjadi, tetapi harus bersinergi dengan berbagai disiplin lain. Sinergi demikian diharapkan dapat memberikan jalan masuk ke ruang yang terang dalam rangka mengatasi sekaligus mengelola permasalahan secara benar demi kemaslahatan hidup umat manusia. Berkenaan dengan hal itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menyambut baik kegiatan seminar ilmiah yang mempertemukan para peneliti dari berbagai disiplin ilmu (bahasa, sastra, pendidikan, agama, sejarah, antropologi, komunikasi, dan informatika) yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi DIY bekerja sama dengan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Balai Pengkajian Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI) Yogyakarta pada tanggal 7—9 November 2013 di Hotel Gowongan Inn, Yogyakarta. Dari seminar ilmiah yang diikuti oleh para peneliti dari tiga kementerian ini, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan/Balai/Kantor Bahasa, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, FKIP Universitas Ahmad Dahlan, Balai Pelestarian Nilai Sejarah dan Budaya), Kementerian Agama (Jurusan Sastra Arab UIN), dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (BPPKI), diharapkan muncul temuan-temuan baru yang tidak hanya bermanfaat bagi disiplin ilmu masing-masing, tetapi juga bagi disiplin ilmu lain (interdisipliner). Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Balai Bahasa Provinsi DIY, Dekan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Kepala BPPKI Yogyakarta yang telah menjalin kerja sama untuk mempertemukan dan memperkenalkan para peneliti dari lingkungan masing-masing. v Demikian juga, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada tim ahli, para pemakalah, peserta, dan seluruh pengelola yang telah berperan aktif dalam seminar tersebut. Karya-karya ilmiah yang kemudian dibukukan dalam prosiding ini diharapkan menjadi inspirasi bagi munculnya berbagai wawasan dan temuan baru yang berguna bagi perkembangan ilmu di masa depan. Jakarta, Desember 2013 Prof. Dr. Mahsun, M.S. NIP 195909251986031004 vi KATA PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY Kegiatan seminar (diskusi) ilmiah kebahasaan dan kesastraan yang dilaksanakan pada 7—9 November 2013 di hotel Gowongan Inn, Yogyakarta ini merupakan kegiatan seminar kedua yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi DIY. Kegiatan kedua ini tidak hanya melibatkan para peneliti di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seperti pada kegiatan pertama (2012), tetapi juga melibatkan para peneliti di kementerian lain, yakni Kementerian Agama dan Kementerian Komunikasi dan Informasi. Secara keseluruhan, kegiatan seminar (diskusi) ilmiah kedua ini diikuti oleh para peneliti Badan Bahasa, Balai Bahasa (DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Kalimantan Selatan), Kantor Bahasa (Banten, Kalimantan Timur), Universitas Gadjah Mada, Universitas Sanata Dharma, Universitas Ahmad Dahlan, UIN Sunan Kalijaga, Balai Pelestarian Nilai Sejarah dan Budaya, Balai Pengkajian Pengembangan Komunikasi dan Informatika, dan Sekolah Tinggi Teknik Kedirgantaraan Yogyakarta. Kegiatan seminar yang melibatkan para peneliti dari berbagai disiplin ilmu (bahasa, sastra, budaya, agama, pendidikan, sejarah, informasi, dan komunikasi) ini tidak hanya bertujuan menyediakan forum diskusi demi pengembangan karier semata, tetapi yang lebih utama ialah mencoba mempertemukan berbagai disiplin ilmu sehingga kelak diperoleh wawasan baru sebagai realisasi kolaborasi antardisiplin ilmu tersebut. Hal demikian dilandasi oleh pertimbangan bahwa di era pascamodern ini bidang ilmu tertentu telah dipandang tidak lagi mampu mengatasi berbagai permasalahan kehidupan secara sendiri. Berbagai-bagai disiplin ilmu harus bekerja sama dan saling melengkapi sehingga diharapkan akan ditemukan pola atau tesis-tesis baru dalam rangka memecahkan beragam fenomena yang semakin kompleks. Untuk itu, kegiatan semacam ini perlu dilakukan secara lebih serius dan berkesinambungan. Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu UPT Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang secara khusus bergerak di bidang kebahasaan dan kesastraan merasa perlu bahwa ilmu bahasa dan sastra harus berkolaborasi dengan ilmu lain. Oleh karena itu, pada masa yang vii akan datang diharapkan tidak hanya terwujud kerja sama seperti yang dilakukan pada pertemuan ilmiah kali ini, tetapi juga dapat merangkul dan bekerja sama dengan berbagai disiplin ilmu lain yang lebih luas. Tentu saja, untuk merealisasikan tujuan tersebut, harus ada dukungan dari semua pihak. Akhirnya, kami atas nama Balai Bahasa Provinsi DIY mengucapkan terima kasih kepada tim ahli sebagai penilai, seluruh pemakalah, peserta, dan seluruh pengelola yang telah terlibat dalam seminar dan penerbitan prosiding ini. Secara khusus, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ketua Jurusan Sastra Arab dan Dekan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN dan Kepala Balai Pengkajian Pengembangan Komunikasi dan Informatika Yogyakarta yang telah bersedia bekerja sama dengan kami. Mudah-mudahan hasil kerja sama ini tidak hanya bermanfaat bagi para peneliti, tetapi juga bagi perkembangan ilmu demi kesejahteraan umat manusia. Yogyakarta, November 2013 Drs. TirtoSuwondo, M.Hum. NIP 196211301982031001 viii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KEPALA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA ........................................................................... v KATA PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY ........... vii DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix JADWAL KEGIATAN ...................................................................................... xiii BAHASA ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI WACANA IKLAN OPERATOR SELULER TELKOMSEL DI SURAT KABAR HARIAN KEDAULATAN RAKYAT Aji Prasetyo ...................................................................................................... 3 KATA MAJEMUK DENGAN UNSUR UNIK BERMAKNA AFEKTIF DALAM BAHASA JAWA Edi Suwatno .................................................................................................. 17 LEKSIKON BERBAHASA ASING DALAM MEDIA CETAK PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG Hari Sulastri ................................................................................................. 31 WACANA RITUAL HARI LAHIR DALAM MASYARAKAT BALI KAJIAN LINGUISTIK ANTROPOLOGI I Gde Wayan Soken Bandana ........................................................................ 49 PEMAKAIAN DISFEMISME DALAM SURAT KABAR DI YOGYAKARTA Tarti Khusnul Khotimah ............................................................................... 69 KETIDAKSESUAIAN PRINSIP KUALITAS DALAM KOMUNIKASI: KAJIAN TERHADAP STILISTIKA ALQURAN Mardjoko Idris ................................................................................................ 87 PEPINDHAN BAGIAN TUBUH MANUSIA Nur Ramadhoni Setyaningsih ..................................................................... 107 ix KARENA BANYAK MENUNTUT, NYAWA PUN TERCABUT: KAJIAN REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM BERITA TENTANG PEMBUNUHAN HOLLY DI MEDIA ONLINE Nur Zaini ..................................................................................................... 123 MEDAN LEKSIKAL NOMINA BERKONSEP “TEMPAT” YANG TERBUAT DARI TANAH LIAT DALAM BAHASA JAWA Nuryantini ................................................................................................... 139 MAKIAN DALAM BERITA GOSIP OMG Riani ............................................................................................................. 153 PELANGGARAN MAKSIM KESANTUNAN PADA TUTURAN MENOLAK: SUPIR ANGKUTAN UMUM JURUSAN MARTAPURA ANALISIS SOSIOPRAGMATIK Rissari Yayuk ............................................................................................... 169 PENGGUNAAN MEDIA KARTU GAMBAR UNTUK MENINGKATKAN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERBICARA DI SD MUHAMMADIYAH SANGONAN 3 GODEAN Roni Sulistiyono, S.Pd.,M.Pd. ................................................................... 189 POLA URUTAN (WORD ORDER) STRUKTUR BEKU (FREEZES) DALAM BAHASA INDONESIA DAN BAHASA JAWA Siti Jamzaroh ................................................................................................ 201 PEMEROLEHAN BAHASA YANG MENYATAKAN NEGASI PADA ANAK BERORANG TUA TUNA WICARA (Studi Kasus pada Yusron) Sigit Arba’i, S.Pd. ....................................................................................... 213 UNSUR-UNSUR DAN METODE PENGEMBANGAN PARAGRAF DESKRIPSI DALAM BAHASA JAWA Sri Nardiati .................................................................................................. 229 SIKAP SISWA SMP DI EKSKARESIDENAN SEMARANG TERHADAP BAHASA JAWA Suryo Handono ............................................................................................ 247 KETERBACAAN SOAL UJIAN NASIONAL BAHASA INDONESIA TAHUN 2011 TINGKAT SD/MI Tri Saptarini dan Sariah .............................................................................. 263 x PENANDA IMPERATIF WACANA KHOTBAH JUMAT DALAM BAHASA JAWA Wening Handri Purnami ............................................................................ 277 SAPAAN GELAR KEBANGSAWANAN DALAM MASYARAKAT KUTAI Wenni Rusbiyantoro .................................................................................... 289 KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA DALAM KARYA ILMIAH MAHASISWA: KASUS PEMBENTUKAN DAN PEMILIHAN KATA Widada HS. .................................................................................................. 303 TINDAK TUTUR PADA TUTURAN KAIN RENTANG PASCAGEMPA DI YOGYAKARTA Wiwin Erni Siti Nurlina ............................................................................. 317 KATA SAPAAN KARENA IKATAN PERNIKAHAN SEBAGAI IDENTITAS RUKUT SITELU DALAM KERJA ADAT KALAK KARO Yune Andryani Pinem ................................................................................. 333 SASTRA NASJAH DJAMIN DAN EKSISTENSIALISME DALAM CERITA PENDEK ZIARAH Ahmad Zamzuri ........................................................................................... 351 KONSTRUKSI REALITAS POLITIK DINASTI DALAM MEDIA MASSA ANALISIS FRAMING ISU POLITIK DINASTI GUBERNUR BANTEN RATU ATUT CHOSIYAH PADA HARIAN KOMPAS DAN KORAN TEMPO Budiyono ...................................................................................................... 361 KEARIFAN LOKAL DALAM NOVEL DI ANTARA DUA CINTA: SEBUAH UPAYA PEMERTAHANAN ADAT DAN HUKUM ADAT SUKU DAYAK DARI PENDATANG (LUAR) Derri Ris Riana ............................................................................................ 383 PESAN MORAL DALAM CERITA RAKYAT KALIMANTAN TIMUR Dwi Hariyanto ............................................................................................. 395 NALURI KEMATIAN DALAM CERPEN-CERPEN DI KALTIM POST DAN TRIBUN KALTIM DI KALIMANTAN TIMUR Misriani ........................................................................................................ 405 xi MEMAKNAI DIALOG-DIALOG KESURUPAN DALAM CERPEN “SANDIWARA HANG TUANG” KARYA TAUFIK IKRAM JAMIL Mustari ........................................................................................................ 417 MEMBACA PUISI AL-MUTANABBI (PERSPEKTIF ILMU ‘ARUDL) Nurain .......................................................................................................... 433 PENGAYOM SASTRA WAYANG DALAM KORAN DAN MAJALAH DI YOGYAKARTA Prapti Rahayu .............................................................................................. 447 PERPESENTASI REALITAS SOSIAL DALAM LAKON DOM KARYA BAMBANG WIDOYO SP KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA V. Risti Ratnawati ....................................................................................... 459 NILAI-NILAI BUDAYA DALAM KUMPULAN CERITA RAKYAT YOGYAKARTA Siti Ajar Ismiyati ......................................................................................... 467 KRITIK SASTRA DI MAJALAH DJAYA BAJA PERIODE 1945—1965 Sri Haryatmo ............................................................................................... 485 MAKNA DALAM TEMBANG DOLANAN DAN APLIKASINYA DALAM MASYARAKAT MODERN Sutiyem ........................................................................................................ 499 SIKAP “MENANG TANPA NGASORAKE”, SEBUAH TINJAUAN PSIKOLOGIS TERHADAP NOVEL BERBAHASA JAWA DOKTER WULANDARI Yohanes Adhi Satiyoko ................................................................................. 517 KECERDASAN EMOSIONAL ORANG BANJAR DALAM PANTUN BANJAR Yuliati Puspita Sari ..................................................................................... 533 PERIBAHASA BERBAHASA JAWA YANG MENYATAKAN MAKNA KESIA-SIAAN Nanik Sumarsih ........................................................................................... 547 PERSEPSI SISWA SMA/MA/SMK DI SAMARINDA TERHADAP UJIAN NASIONAL (UN) BAHASA INDONESIA TAHUN 2011 Nurul Masfufah ........................................................................................... 559 NOTULA BAHASA .......................................................................................... 573 NOTULA SASTRA ............................................................................................ 623 xii JADWAL KEGIATAN DISEMINASI (DISKUSI ILMIAH) KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 7—9 NOVEMBER 2013 DI GOWONGAN INN YOGYAKARTA (BAHASA) NO. 1. HARI, TANGGAL Kamis, 7 Nov. 2013 WAKTU 17.00—18.00 18.00—19.00 19.00—19.30 19.30—19.45 19.45—20.00 20.00—20.15 20.15—20.30 20.30—20.45 20.45—21.30 21.30—22.00 2. Jumat, 8 Nov. 2013 ACARA PEMAKALAH 13.00—17.00 MODERATOR Daftar Ulang Makan Malam Pembukaan Pembagian Kelas Sesi 1 1. 2. 3. 4. Dra. Sri Nardiati, M.Pd. Wening Handri P., S.Pd. Riani, S.Pd., M.A. Siti Jamzaroh, S.S., M.Hum. Dra. Tri Saptarini dan Sariah Diskusi dan Ulasan Sigit Arba’i, S.Pd. Istirahat 07.00—07.30 xiii 07.30—07.45 07.45—08.00 08.00—08.15 08.15—09.00 09.00—09.15 09.15—09.30 09.30—09.45 09.45—10.00 10.00—10.45 10.45—13.00 13.00—13.15 13.15—13.30 13.30—14.30 14.30—14.45 14.45—15.00 15.00—15.15 15.15—15.30 15.30—16.15 16.15—16.30 16.30—16.45 16.45—17.00 17.00—17.15 17.15—18.00 18.00—19.00 NOTULIS Daftar Masuk Hotel Daftar Ulang Sesi 2 Istirahat Sesi 3 Sesi 4 Diskusi dan Ulasan Istirahat Sesi 5 Istirahat Sesi 6 1. 2. 3. Drs. Nur Zaini, M.A. Tarti Khusnul Khotimah, S.S. Wening Handri Purnami, S.Pd. I Gde Wayan Soken, M.Hum. Diskusi dan Ulasan Aji Prasetyo, S.S. 1. 2. 3. Dr. H. Marjoko Idris, M.Ag. Sigit Arba’i, S.Pd. Drs. Suryo Handono, M.Pd. Nuryantini, S.Pd. 1. 2. Diskusi dan Ulasan Istirahat, Makan Siang Nuryantini, S.Pd. Sigit Arba’i, S.Pd. Yune Andryani Pinem, S.S., M.A. Edi Setiyanto, M.Hum. Riani, S.Pd., M.A. 1. 2. 3. Drs. Edi Suwatno Aji Prasetyo Nur Ramadhoni Setyaningsih, S.Pd. Wiwin Erni Siti Nurlina, M.Hum. Diskusi dan Ulasan Dra. Titik Indiyastini 1. 2. 3. Drs. Edi Setiyanto, M.Hum. Riani, S.Pd., M.A. Dra. Hari Sulastri, M.Pd. Wenni Rusbiyantoro, M.Hum. Diskusi dan Ulasan Istirahat, Makam Malam Wening Handri P., S.Pd. xiv NO. 3. HARI, TANGGAL Sabtu, 9 Nov. 2013 WAKTU 19.00—19.15 19.15—19.30 19.30—19.45 19.45—20.30 20.30—20.45 20.45—21.00 21.00—21.15 21.15—21.30 21.30—22.15 22.15—22.30 07.00—08.00 08.00—08.15 08.15—08.30 08.5—09.30 09.30—11.00 11.00—11.30 11.30—12.00 ACARA Sesi 7 PEMAKALAH 1. 2. 3. Dr. Restu Sukesti, M.Hum. Aji Prasetyo, S.S. Darmanto, S.Pd., M.PA. MODERATOR I Gde Wayan Soken Bandana NOTULIS Nuryantini, S.Pd. Diskusi dan Ulasan Istirahat Sesi 8 1. 2. 3. Drs. Widada, M.Hum. Drs. Suryo Handono, M.Pd. Tarti Khusnul Khotimah, S.S. Dra. Titik Indiyastini Diskusi dan Ulasan Drs. Edi Suwatno Istirahat Daftar Ulang Sesi 9 1. 2. Rissari Yayuk, M.Pd. Roni Sulistiyono, M.Pd. Tarti Khusnul Khotimah, S.S. Diskusi dan Ulasan Sambung Rasa antara Peserta Diskusi dan Kepala Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Penutupan Administrasi/Daftar Keluar Hotel Dra. Titik Indiyastini JADWAL KEGIATAN DISEMINASI (DISKUSI ILMIAH) KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 7—9 NOVEMBER 2013 DI GOWONGAN INN YOGYAKARTA (SASTRA) NO. 1. HARI, TANGGAL Kamis, 7 Nov. 2013 WAKTU 17.00—18.00 18.00—19.00 19.00—19.30 19.30—19.45 19.45—20.00 20.00—20.15 20.15—20.30 20.30—21.30 21.30—22.00 2. Jumat, 8 Nov. 2013 ACARA PEMAKALAH MODERATOR 13.00—17.00 Daftar Ulang Makan Malam Pembukaan Pembagian Kelas Sesi 1 1. 2. 3. Dhanu Priyo Prabowa, M.Hum. Drs. Herry Mardianto Nur Seha, S.Ag. Siti Ajar Ismiyati, S.Pd., M.A. Diskusi dan Ulasan Sutiyem, S.Pd. Istirahat 07.00—07.30 xv 07.30—07.45 07.45—08.00 08.00—08.15 08.15—09.00 09.00—09.15 09.15—09.30 09.30—09.45 09.45—10.00 10.00—10.45 10.45—13.00 13.00—13.15 13.15—13.30 13.30—13.45 13.45—14.30 14.30—14.45 14.45—15.00 15.00—15.15 15.15—16.00 16.15—16.30 16.30—16.45 16.45—17.00 17.00—17.15 17.15—18.00 18.00—19.00 NOTULIS Daftar Masuk Hotel Daftar Ulang Sesi 2 Istirahat Sesi 3 Sesi 4 Diskusi dan Ulasan Istirahat Sesi 5 1. 2. 3. Nanik Sumarsih, S.Pd., M.A. Y. Adhi Satiyoko, S.S., M.A. Dra. Prapti Rahayu Nurul Masfufah, M.Pd. Diskusi dan Ulasan Ahmad Abidan H., S.Pd. 1. 2. 3. Drs. Herry Mardianto Sutiyem, S.Pd. Drs. Mustari, M.Hum. Dra. Prapti Rahayu Ahmad Zamzuri, S.Pd. Diskusi dan Ulasan Istirahat, Makan Siang Dhanu Priyo Prabowa, M.Hum. 1. 2. 3. Budiyono Dwi Haryanto Ahmad Zamzuri, S.Pd. 1. 2. Y. Adhi Satiyoko, S.S., M.A. Derri Ris R., S.S. Mashuri, S.S. Drs. Sri Haryatmo, M.Hum. Dra. V. Risti Ratnawati, M.A. Diskusi dan Ulasan Istirahat Sesi 6 1. 2. 3. Nurain Nur Seha, S.Ag. Drs. Umar Sidik, S.I.P., M.Pd. Misriani, S.Pd. Diskusi dan Ulasan Istirahat, Makam Malam Dwi Hariyanto xvi NO. 3. HARI, TANGGAL Sabtu, 9 Nov. 2013 WAKTU ACARA PEMAKALAH 07.00—08.00 08.00—08.15 08.15—08.30 08.30—08.45 08.45—09.30 09.30—11.00 11.00—11.30 11.30—12.00 MODERATOR NOTULIS Daftar Ulang Sesi 7 1. 2. 3. Dra. V. Risti Ratnawati, M.A. Drs. Umar Sidik, S.I.P., M.Pd. Drs. Sri Haryatmo, M.Hum. Yuliati Puspita Sari, S.Pd. Diskusi dan Ulasan Sambung Rasa Peserta Diskusi dan Kepala Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Penutupan Administrasi/Daftar Keluar Hotel Ahmad Abidan H., S.Pd. BAHASA PROSIDING 1 2 PROSIDING ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI WACANA IKLAN OPERATOR SELULER TELKOMSEL DI SURAT KABAR HARIAN KEDAULATAN RAKYAT Aji Prasetyo Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pos-el: ajiprasetyo@gmail.com Inti Sari Iklan adalah salah satu bentuk komunikasi yang bertujuan mengajak para pembaca maupun penonton agar mengonsumsi apa yang ditawarkan. Iklan operator seluler Telkomsel dalam surat kabar harian Kedaulatan Rakyat sangat menarik untuk dikaji, selain karena bahasanya yang singkat dan padat juga mengandung bermacam penafsiran yang terkadang tidak dimengerti oleh pembaca. Wacana operator seluler dalam hal ini Telkomsel berisi tentang harga, bonus, jangkauan, dan sebagainya. Bahasa yang digunakan dalam iklan operator seluler Telkomsel sangat berbeda dengan bahasa iklan atau wacana yang lain. Dalam hal ini, pembaca harus mengerti konteks iklan tersebut karena pembaca tentu akan kesulitan dalam menafsirkan kata-kata yang sangat padat dan kata-kata yang mengandung banyak istilah khusus. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode pragmatis. Metode pragmatis digunakan untuk menunjuk pola-pola penyimpangan dalam tindak tutur dengan subjenis alat penentunya, yaitu mitra wicara. Salah satu yang dikaji dalam sebuah wacana adalah kohesi dan koherensi. Sebuah wacana yang baik harus mempunyai kohesi dan koherensi. Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik/koheren, sedangkan koherensi adalah keterkaitan semantis antara bagian-bagian wacana. Oleh karena, tulisan ini bertujuan membahas kohesi dan koherensi yang terdapat dalam iklan operator seluler, khususnya Telkomsel. Kata kunci: iklan, wacana, dan konteks PROSIDING 3 Abstract Advertisement is one of form of communication which is aimed at asking reader or watcher to consume what is offered. Advertisement of Telkomsel cellular operator in Kedaulatan Rakyat newspaper is very interesting to investigate, besides the language is simple and compact it also contains interpretation that sometimes is not easy to be understood. Telkomsel cellular operator advertisement comprises of price, bonus, coverage, and etc. The language used is very different from advertisement language or other discourse. In this matter, the reader should understand the context of the advertisement making because the reader certainly will find difficulties in interpreting a very dense words and words containing certain terms. Analysis of the data in this study using the pragmatic method. Pragmatic method is used to designate patterns of irregularities in the speech act with the determining tool subtypes, namely dialogue partner. One studied in a discourse cohesion and coherence is. A good discourse cohesion and coherence should have. Cohesion is a harmonious relationship between the elements and other elements in the discourse that creates a sense of slick/coherent, whereas coherence is a semantic relationship between the parts of discourse.Therefore, this writing is aimed at cohesion and coherence existing in cellular operator advertisement, particularly Telkomsel. Keywords: advertisement, discourse, and context 1. Pendahuluan Para pemakai bahasa dapat menafsirkan sesuatu yang disampaikan oleh pemakai bahasa yang lain dengan penafsiran yang berbeda. Dalam hal ini para pemakai bahasa harus mengenali wacana dengan baik agar pesan dalam wacana dapat diterima dan tidak menimbulkan salah penafsiran. Menurut Samsuri (dalam Sobur, 2004: 10), wacana merupakan rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, biasanya terdiri atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian yang satu dengan yang lain. Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan dan dapat pula dengan bahasa tulisan. Dalam hal ini wacana merupakan suatu kesatuan gramatikal yang utuh dan berkesinambungan serta mempunyai makna. Untuk dapat memahami sebuah wacana diperlukan suatu kajian yang membahas tentang wacana, baik dari segi gramatikalnya maupun konteksnya. Ilmu yang mengkaji tentang wacana dalam hal ini analisis wacana adalah pragmatik. Menurut Stubbs (dalam Cahyono, 1994: 227), analisis wacana merupakan objek kajian pragmatik yang menekankan telaahnya pada penafsiran wacana dan teks. Di samping itu, analisis wacana juga memanfaatkan hasil kajian pragmatik. Oleh karena itu, analisis wacana juga berupaya menafsirkan suatu wacana yang 4 PROSIDING tidak terjangkau oleh semantik tertentu maupun sintaksis (Cahyono, 1994: 228). Dari pengertian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa analisis wacana berkaitan dengan hal-hal di luar kebahasaan, seperti konteks dan situasi penutur. Dewasa ini kita dapat menikmati berbagai informasi. Hal ini tentu dikarenakan makin canggihnya industri media informasi dan komunikasi, baik media cetak maupun media elektronik. Kita dibuat bingung oleh banyaknya informasi yang ditawarkan terutama di bidang periklanan. Iklan-iklan dibuat demi kepentingan dunia bisnis cenderung bertambah dari waktu ke waktu. Tanpa disadari bahwa sesungguhnya dunia periklanan merupakan salah satu wacana yang sangat menarik untuk dikaji. Salah satu wacana yang dikaji dalam tulisan ini ialah iklan dalam media cetak. Menurut Kasali (1992: 9), iklan merupakan bagian dari bauran promosi (promotion mix). Bauran promosi itu sendiri merupakan bagian dari bauran pemasaran (marketing mix). Secara sederhana, iklan didefinisikan sebagai pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media. Selajutnya, iklan sebagai bagian dari bauran komunikasi pemasaran mempunyai sasaran yang berbeda-beda, sesuai dengan produk yang ditawarkan. Iklan operator seluler dalam hal ini Telkomsel merupakan bagian dari penawaran suatu produk kepada khalayak pengguna telepon seluler. Berbagai jenis layanan operator seluler telah hadir di Indonesia. Tentu saja media promosi yang digunakan melalui media untuk menyakinkan pengguna telepon seluler yang berlomba dapat meyakinkan pemirsa apa pun caranya. Proses penyampaian sesuatu hal yang dilakukan melalui media untuk kepraktisan hidup. Hal itu diharapkan masyarakat menggunakan jasa operator yang telah mereka tawarkan. Perusahaan penyedia jasa telekomunikasi menjaring semua lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak, remaja, pemuda, dan orang tua. Didasari atas ketertarikan akan bahasa iklan tersebut, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai iklan operator seluler, khususnya Telkomsel, yang diambil dari surat kabar harian Kedaulatan Rakyat. Jenis iklan ini dimaksudkan sebagai sarana untuk menarik konsumen menggunakan layanan operator seluler, khususnya produk Telkomsel. Secara ringkas, tulisan ini berusaha memaparkan kohesi dan koherensi yang digunakan dalam iklan operator seluler Telkomsel. Diharapkan melalui penelitian ini dapat ditentukan kohesi dan koherensi dalam wacana iklan operator seluler Telkomsel yang nantinya dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman baru bagi masyarakat dalam menganalisis wacana suatu iklan, khususnya iklan operator seluler Telkomsel ditinjau dari aspek pragmatiknya. PROSIDING 5 2. Teori dan Metode Wacana dan teks merupakan dua hal yang saling berhubungan. Wilis Edmonson (dalam Sumarlam, 2005: 5) mengungkapkan bahwa ada perbedaan antara teks (text) dan wacana (discourse). Teks adalah suatu rangkaian ungkapan bahasa yang terstruktur yang membentuk suatu kesatuan. Perbedaan pokok antara teks dan wacana adalah teks merupakan suatu rangkaian pernyataan bahasa yang terstruktur yang diungkapkan melalui bahasa. Dalam hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa wacana mengacu pada permasalahan/ peristiwa yang terjadi pada kurun waktu tertentu. Di samping itu, konsep teks dan wacana pun berbeda. Menurut Budiman (dalam Sobur, 2004: 52) teks dapat diartikan sebagai seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang penerima melalui medium tertentu dan dengan kode-kode tertentu. Hal ini memiliki pengertian bahwa teks lebih berkaitan dengan hal-hal yang bersifat nyata, dan wacana cenderung mengarah ke sesuatu yang abstrak. Dalam hal ini teks merupakan realisasi dari wacana. Wacana berdasarkan medianya terbagi menjadi wacana lisan dan wacana tulis. Wacana dengan media komunikasi tulis dapat berwujud antara lain: (1) sebuah teks/bahasa tertulis yang dibentuk oleh lebih dari satu alinea yang mengungkapkan sesuatu secara beruntun dan utuh, misalnya sepucuk surat, sekelumit cerita, sepenggal uraian ilmiah, (2) sebuah alinea merupakan wacana, apabila teks hanya terdiri atas sebuah alinea dapat dianggap sebagai satu kesatuan misi korelasi dan situasi utuh, dan (3) sebuah wacana (khusus bahasa Indonesia) mungkin dapat dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk dengan subordinasi dan koordinasi (system ellypsis) (Djajasudarma, 1994: 8). Wacana tulis di sini diartikan sebagai wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis/ media tulis. Untuk dapat menerima/memahami wacana tulis maka sang penerima/pesapa harus membacanya. Di dalam wacana tulis terjadi komunikasi secara tidak langsung antara penulis dengan pembaca (Sumarlam, 2005: 16). Wacana tulis tentunya akan mudah dikaji dan kajiannya akan lebih mendalam dibanding wacana lisan karena wacana tulis membentuk suatu kesatuan yang utuh dan berkesinambungan. Wacana dikaji dalam bidang ilmu analisis wacana. Analisis wacana merupakan salah satu bidang kajian pragmatik yang mengkaji berbagai aspek dalam wacana baik lisan maupun tulisan. Analisis wacana dipakai untuk kajian yang mencakup (a) kajian bahasa dalam bentuk yang lebih besar daripada kalimat, ataupun klausa dan (b) kajian bahasa sebagaimana dipakai secara ilmiah untuk berkomunikasi (Nababan, 1987: 61). Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa analisis wacana mengkaji secara keseluruhan isi teks/wacana baik dari aspek gramatikalnya maupun konteksnya. Menurut Halliday dan Hasan (1992: 16), konteks situasi merujuk pada tiga ciri, yaitu (1) “medan wacana” menunjuk 6 PROSIDING pada hal yang sedang terjadi, pada sifat tindakan sosial yang sedang berlangsung, (2) “pelibat wacana” menunjuk pada orang-orang yang mengambil bagian, pada sifat para pelibat, kedudukan dan peranan mereka, dan (3) “sarana wacana”menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa, hal yang diharapkan oleh para pelibat bahasa dalam situasi itu. Dalam hal ini wacana iklan menunjuk pada konteksnya, yaitu bersifat mengajak dan mengandung prosedur serta ketentuan-ketentuan. Salah satu yang dikaji dalam sebuah wacana adalah kohesi dan koherensi. Sebuah wacana yang baik harus mempunyai kohesi dan koherensi. Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik/koheren, sedangkan koherensi adalah keterkaitan semantis antara bagian-bagian wacana. Berdasar perwujudan lingualnya, Halliday dan Hasan (dalam Baryadi, 2002: 17) membedakan dua jenis kohesi, yaitu (i) kohesi gramatikal (grammatical cohesion) dan (ii) kohesi leksikal (lexical cohesion). Kohesi merujuk pada pertautan bentuk, sedangkan koherensi pada pertautan makna (Djajasudarma, 1994: 46). Sementara menurut Cahyono (1994: 231-232), kohesi adalah ikatan-ikatan dan hubungan yang ada di dalam teks. Hubungan-hubungan kohesif dalam teks memberikan wawasan untuk mengetahui bagaimana penulis menentukan apa yang ingin dikatakannya. Di samping itu, kita juga dapat mengetahui apakah sesuatu yang disampaikan itu telah tertulis dengan baik atau tidak, sedangkan koherensi menurut Wohl (dalam Sobur, 2004: 81) adalah pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dikandungnya. Dalam hal ini, koherensi mengarah pada faktor lain yang menuntun kita untuk membedakan teks-teks yang berkaitan sehingga teks-teks tersebut saling berkesinambungan. Langkah kerja yang digunakan dalam tahap-tahap penelitian ini berdasarkan pendapat Sudaryanto (1993:5--7) yang menyatakan bahwa ada tiga tahapan strategis dalam penelitian, yaitu tahap pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Data penelitian ini bersumber dari iklan operator seluler Telkomsel di surat kabar harian Kedaulatan Rakyat. Tahap pengumpulan data merupakan tahap awal dalam sebuah penelitian, begitu pula dengan penelitian ini, pertama kali dilakukan pengumpulan data-data. Data beberapa iklan operator seluler Telkomsel tersebut diunduh melalui internet. Selanjutnya, data-data itu disimak dan dicatat kemudian diklasifikasikan berdasarkan aspek kebahasaannya dan aspek pragmatiknya. Setelah data dikumpulkan dan diklasifikasi sesuai dengan tindak tuturnya, tahap selanjutnya, yaitu analisis data. Pada tahap ini data dianalisis dengan metode padan. Alat penentu dalam menganalisis data berada di luar, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13). PROSIDING 7 Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode pragmatis. Metode pragmatis digunakan untuk menunjuk pola-pola penyimpangan dalam tindak tutur dengan subjenis alat penentunya, yaitu mitra wicara. Hasil analisis penelitian ini dipaparkan sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah ditemukan dalam tahap sebelumnya. Pemaparan hasil analisis bersifat deskriptif, berdasarkan pada data yang ada. Hasil analisis penelitian ini berdasarkan teknis informal, yaitu pemaparan dengan menggunakan perumusan dengan katakata biasa. 3. Pembahasan Iklan operator seluler biasanya ditempatkan dalam halaman tersendiri, terkadang satu halaman penuh. Wacana iklan ini bersifat mempengaruhi khalayak. Hal yang dipentingkan dalam iklan adalah isi yang dapat menjangkau pendengar/pembaca yang terpengaruh oleh bahasa afektif (Djajasudarma, 1994: 19). Berikut ini beberapa contoh iklan operator seluler yang ada dalam surat kabar yang terbit di Yogyakarta, khususnya iklan operator seluler Telkomsel yang ada di surat kabar harian Kedaulatan Rakyat. 1. Contoh iklan kartu Simpati di Kedaulatan Rakyat, 17 April 2013 Apabila diuraikan, kalimat itu akan menjadi sebagai berikut. (1) Buat kamu yang selalu ingin dapat lebih hubungi *999*9#. (2) Isi pulsa lebih banyak bonusnya, paket internetan, paket blackberry, paket sms. (3) Diskon Rp100 ribu gadget dan elektronik di plasa.com. Diskon s.d. 70% di Zalora.co.id. (4) Pastikan kamu di Jaringan 3G. Lebih cepat, lebih nyaman. Kalimat pertama dalam iklan tersebut berupa kalimat aktif. Apabila dilihat dari strukturnya, iklan ini menunjukkan adanya kekohesian sebuah wacana. Di sini ada kohesi gramatikal, yaitu pelesapan pronomina kamu dan perangkaian dengan konjungsi buat. Pada kalimat (2), ada kohesi gramatikal pelesapan kata Simpati dan kohesi leksikal penggulangan kata paket. Kalimat (3) ada kohesi gramatikal pelesapan pronomina kamu, verba dapat, dan konjungsi dan. Untuk kalimat (4), kohesi yang ada ialah kohesi gramatikal pelesapan verba dan konjungsi. Selain itu, ada kohesi leksikal berupa pengulangan kata lebih. 8 PROSIDING Jika dilihat dari hubungan antarunsur dalam kalimat, iklan ini mempunyai koherensi yang tinggi. Kalimat (1) menyatakan informasi yang dapat dihubungi oleh konsumen kemudian diikuti dengan kalimat (2) yang menyatakan perihal keuntungan menggunakan kartu Simpati, kalimat (3) menyatakan keuntungan yang didapat konsumen dengan menggunakan kartu Simpati, dan kalimat (4) menyatakan sebuah perintah untuk mendapatkan kecepatan dan kenyamanan dalam berkomunikasi. Wacana iklan tersebut berisi tentang penawaran pulsa dari sebuah perusahaan operator seluler. Perusahaan menetapkan berbagai keuntungan bagi konsumen, antara lain banyak bonusnya, ada diskon belanja, dan ada layanan 3G untuk kecepatan dan kenyamanan. Dalam hal ini, perusahaan operator seluler Telkomsel memberikan keuntungan bagi konsumen jika menggunakan kartu Simpati. Konsumen yang menggunakan kartu Simpati akan diberi bonus langsung, seperti adanya paket internetan, paket blackberry, paket sms, dan adanya diskon belanja. Meskipun kata-kata tersebut sepertinya sulit dipahami pemaknaanya, pembaca tetap dapat menangkap isi dari iklan tersebut. Hal ini tentu dikaitkan dengan konteks pembaca dan isinya. Iklan ini tentu saja akan dibaca oleh orang yang akan mencari kartu telepon seluler sehingga ia sudah mengetahui latar belakang pemasang serta isi iklan tersebut. Pembuat iklan berusaha mencari konsumen yang berstatus sosial menengah ke atas. Hal itu terlihat dari penggunaan kata blackberry dan kata gadget. 2. Contoh iklan kartu As di Kedaulatan Rakyat, 18 Maret 2013 Iklan operator tersebut terdiri atas lima kalimat. Kalimat tersebut secara rinci akan diuraikan sebagai berikut. (1) Gokil! Gratisnya 10 hari nonstop! Untuk semua pelanggan kartu As. (2) Isi ulang kartu As mulai dari Rp10.000 dan dapatkan gratisnya! (3) Gratis nelpon dan sms berlaku ke sesama Telkomsel. (4) Gratis nelpon, sms, dan internetan berlaku 24 jam sampai dengan 10 hari. (5) Syarat dan ketentuan berlaku. Info lengkap hubungi layanan informasi 155 (gratis) atau contact center 100 (berbayar) atau klik www.telkomsel.com/kartuas. PROSIDING 9 Iklan kartu As tersebut mengandung kohesi dan koherensi. Kohesi ditunjukkan dengan adanya perangkaian dan pengulangan. Pada kalimat (1) terdapat perangkaian dengan konjungsi untuk yang menunjukkan hubungan menggabungkan. Dalam kalimat (2) terdapat perangkaian dengan konjungsi dan. Kalimat (3) dan (4) juga mengandung konjungsi dan dan adanya pengulangan kata gratis. Kalimat (5) terdapat perangkaian dengan konjungsi dan dan atau. Dalam hal koherensi, iklan kartu As ini sudah berkoherensi cukup baik karena sudah ada konjungsi yang menghubungkan antarkalimat. Dalam hal ini kalimat tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi membentuk kesatuan yang padu. Setiap kalimat saling bertautan. Kalimat (1) dibuka dengan menyebutkan gratis 10 hari untuk semua pelangan. Kalimat (2) menunjukkan syarat minimal isi ulang agar mendapat fasilitas gratis dan diikuti dengan kalimat (3) dan (4) yang berisi macam-macam gratisan dari kartu As. Kalimat (5) berisi syarat untuk mendapatkan fasilitas gratis. Dilihat dari konteks iklan tersebut dapat ditangkap maksud pembuat iklan bahwa perusahaan Telkomsel sedang mencari konsumen, khususnya anak-anak muda. Hal itu terlihat dari penggunaan bahasa gaul, seperti gokil ‘gila’. Keuntungan yang didapatkan seperti, gratis nelpon, sms, internetan berlaku selama 24 jam sampai dengan 10 hari nonstop dengan isi ulang pulsa murah mulai Rp10.000,00 sangat disukai anak-anak muda. Perusahaan Telkomsel akan memberikan gratis 1000 menit menelpon, gratis 300 MB internetan, dan gratis 10.000 sms kepada konsumennya. Kalimat terakhir ialah cara untuk mendapatkan informasi lengkap dalam mendapatkan fasilitas gratis dengan bentuk huruf yang lebih kecil. Hal ini yang kadang-kadang tidak diperhatikan konsumen sehingga merasa ditipu oleh iklan. 10 PROSIDING 3. Contoh iklan kartu Halo di Kedaulatan Rakyat, 16 Maret 2013 Iklan kartu Halo tersebut terdiri atas satu kalimat dan dua paragraf. Secara lengkap iklan tersebut berbunyi sebagai berikut. (1) Berubah menjadi yang terbaik. (2) Kartu Halo selalu memberi yang terbaik untuk Anda. Mulai dari tarif hemat roaming internasional, prioritas akses data hingga 14,4 Mbps, jaringan terluas dan banyak lagi. Pilih paket Halo Fit sesuai dengan kebutuhan dan dapatkan paket istimewa untuk bicara, sms, dan data. (3) Berubah itu mudah. Halo Fit 80 ribu, 2 GB data, 100 menit, 100 sms. Halo Fit 125 ribu, 4 GB data, 135 menit, 300 sms. Dalam iklan ini, kohesi yang ada ialah pelesapan dan penunjukan. Bahasanya lebih lengkap daripada iklan sebelumnya. Di sini ditemukan adanya kohesi perangkaian, pengacuan, dan pelesapan, sedangkan dalam koherensi, iklan ini juga berkoherensi baik karena kalimat yang satu dengan yang lain mempunyai rangkaian yang baik, seperti halnya pada paragraf (2) yang merupakan koherensi perincian dengan ditandai konjungsi mulai dari. Dilihat dari segi konteksnya, iklan ini berisi penawaran kepada konsumen bahwa kartu Halo telah berubah menjadi yang terbaik. Perubahan yang pertama ialah adanya tarif hemat roaming internasional. Untuk perubahan yang kedua, kartu Halo memberi akses data hingga 14,4 Mbp, sedangkan perubahan PROSIDING 11 yang ketiga memiliki jaringan terluas dibanding kartu telepon yang lain. Selain itu, kartu Halo memberi pilihan kepada konsumen berupa paket Halo Fit, ada paket Halo Fit 80 ribu dan paket Halo Fit 125. Dengan iklan kartu Halo tersebut diharapkan konsumen memilih kartu Halo untuk berkomunikasi menggunakan telepon seluler, ataupun menggunakan akses internet. 4. Contoh iklan kartu Flash di Kedaulatan Rakyat, 20 April 2013 Iklan kartu Flash ini terdiri atas satu kalimat bahasa Inggris dan empat kalimat bahasa Indonesia. Secara lengkap iklan kartu Flash di atas berbunyi sebagai berikut. (1) Marvel Iron Man 3 in cinemas April 2013. (2) Ikuti petualangan Marvel’s Iron Man 3 bersama Telkomsel. (3) Daftar di FlashironMan.com dan aktifkan Opera Mini. (4) Menangkan hadiah total 11 MacBook Air, 44 Samsung GALAXY, 80 HP Mito 720, dan 300 HP Mito S500 Watch. (5) Dapatkan tiket nonton bareng untuk total 2500 pendaftar pertama di kota: Bekasi, Bandung, Yogya, Malang, Makassar, Medan, Balikpapan, Manado, Banjarmasin, Pekanbaru. 12 PROSIDING Iklan kartu Flash ini sedikit berbeda dengan iklan operator seluler Telkomsel sebelumnya. Selain menggunakan kalimat bahasa asing, iklan kartu Flash ini menjalin kerja sama dengan produk lain, yaitu film Iron Man 3. Wacana iklan tersebut hampir tidak ditemukan adanya kohesi antarkalimat. Kalimat (1) menggunakan bahasa Inggris yang isinya informasi film Iron Man 3 diputar di bioskop mulai bulan April 2013. Pada kalimat (2) terdapat perintah mengikuti petualangan Marvel’s Iron Man 3 bersama Telkomsel. Kalimat (3) berupa perintah mendaftar di FlashironMan.com dan mengaktifkan Opera Mini. Kalimat (4) berisi perintah untuk memenangkan hadiah. Terakhir, kalimat (5) berisi perintah mendapatkan tiket gratis bagi 2500 pendaftar pertama di kota Bekasi, Bandung, Yogyakarta, Malang, Makassar, Medan, Balikpapan, Manado, Banjarmasin, dan Pekanbaru. Apabila diamati dari unsur koherensinya, wacana iklan kartu Flash ini tidak memiliki konjungsi yang merangkaikan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Selain kalimat (1), semuanya diawali dengan verba, seperti ikuti, daftar, menangkan, dan dapatkan. Akan tetapi dari segi kebertautan, iklan tersebut sebenarnya mempunyai unsur kebertautan yang erat. Kalimat (2) berisi ajakan perusahaan Telkomsel kepada konsumennya untuk menonton film Iron Man 3. Kalimat (3) menyampaikan ajakan kepada konsumennya untuk mendaftar di FlashironMan.com dan mengaktifkan Opera Mini, kemudian diikuti dengan kalimat (4) yang berisi keuntungan yang didapat oleh konsumen jika mendaftar di FlashironMan.com dan mengaktifkan Opera Mini, dan disusul dengan kalimat (5) yang berisi pemberitahuan nonton bareng di beberapa kota bagi 2500 pendaftar pertama. Dilihat dari konteksnya, iklan kartu Flash ini memberitahukan kepada konsumen bahwa perusahaan Telkomsel sedang menawarkan produknya, kartu Flash, dengan bekerja sama dengan bioskop yang memutar film Iron Man 3. Iklan ini diawali dengan kalimat pembuka yang menarik pembaca tentang pemutaran film Iron Man 3 pada bulan April di bioskop. Harapan pembuat iklan ialah pembaca yang membaca iklan tersebut akan tertarik dengan kalimat “Ikuti petualangan Marvel’s Iron Man 3 bersama Telkomsel”. Dengan demikian, pembaca akan tertarik menggunakan kartu Flash karena dapat menonton film baru Iron Man 3 di bioskop secara gratis. Selain itu, konsumen yang beruntung juga akan memenangkan hadiah yang menarik, seperti laptop Apple MacBook Air, smartphone Samsung Galaxy, HP Mito 720, dan HP Mito S500 Watch. Apabila diperhatikan, semua iklan operator seluler Telkomsel yang diteliti ini pada umumnya sama, yaitu mencoba mengajak pembaca untuk menggunakan kartu telepon yang ditawarkannya. Operator seluler Telkomsel mempunyai empat jenis kartu, baik prabayar maupun pascabayar. Hanya saja, PROSIDING 13 pengungkapan dan penyampaiannya dibuat berbeda untuk menciptakan variasi-variasi yang dapat menarik perhatian pembaca sehingga akan menggunakan salah satu kartu yang ditawarkannya. Jika dlihat dari unsur kohesi dan koherensinya, wacana jenis iklan operator seluler Telkomsel ini memang belum semuanya padu. Hal ini disebabkan oleh bahasa yang digunakan dalam iklan operator seluler Telkomsel ini sangat padat sehingga banyak bagianbagian yang dilesapkan. Wacana pada iklan ini memang dituntut untuk dapat menyampaikan pesan secara singkat dan padat dengan didukung ilustrasi gambar yang menarik. Akan tetapi, iklan tersebut tetap harus dapat kita pahami meskipun kalimatnya singkat dan padat. 4. Simpulan Berdasarkan analisis yang dilakukan diperoleh simpulan bahwa iklan dalam hal ini iklan operator seluler Telkomsel merupakan wacana yang bersifat persuasif. Dari empat contoh jenis iklan yang diteliti menunjukkan bahwa iklan operator seluler Telkomsel ini mempunyai ciri yang tidak sama, baik dalam hal tata tulis, bahasa, maupun gramatikalnya. Iklan operator seluler Telkomsel yang diambil dari surat kabar harian Kedaulatan Rakyat tersebut menggunakan bahasa yang amat padat, kata-kata banyak yang dilesapkan, dan unsur-unsur koherensinya sudah cukup baik meskipun kadang tidak ditemukan konjungsi yang merangkaikan klausa atau kalimat. Kohesi yang umum digunakan dalam jenis iklan ini adalah kohesi gramatikal pelesapan, yaitu kohesi gramatikal yang berupa pelesapan konstituen yang telah disebut. Dilihat dari kekoherensiannya, iklan operator seluler Telkomsel ini sudah mengandung koherensi yang cukup baik. Dalam iklan tersebut memang tidak semuanya ditemui adanya konjungsi intrakalimat ataupun antarkalimat yang menunjukkan kepaduan suatu wacana, tetapi dalam hal ini iklan operator seluler Telkomsel mempunyai pertautan yang dikaitkan dengan konteks. Kalimat/pernyataan yang satu dengan pernyataan yang lain saling berkesinambungan dan bertautan satu sama lain sehingga tidak keluar dari masalah dan konteksnya. Kata dan kalimat yang terdapat dalam iklan operator seluler Telkomsel sangat padat dan singkat. Para pembaca harus mampu menafsirkan isinya dengan baik karena dalam iklan tersebut menggunakan kalimat yang singkat, bahkan kadang hanya berupa frasa. Pembaca harus melihat konteks iklan tersebut sebelum menafsirkannya. Dilihat dari isinya, iklan operator seluler Telkomsel tersebut kesemuanya mengandung bahasa persuasif yang mengandung ajakan-ajakan dan mempengaruhi pembaca untuk menggunakan kartu telepon dalam iklan tersebut. Selain itu, iklan operator seluler Telkomsel juga 14 PROSIDING mengandung syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh konsumen agar dapat menikmati fasilitas yang ditawarkan. Keempat iklan yang diteliti menunjukkan perbedaan-perbedaan cara penyampaian ajakan kepada masyarakat. Kejelasan serta bahasa yang menarik ini menentukan keberhasilan iklan dalam menarik perhatian pembaca. Masyarakat juga akan menangkap maksud iklan tersebut dengan baik. Semakin bagus unsur persuasifnya, semakin banyak pula masyarakat yang tertarik pada produk ditawarkan. Daftar Pustaka Baryadi, I. Praptomo. 2002. Dasar-Dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli. Cahyono, Bambang Yudi. 1994. Kristal-kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press. Djajasudarma, T. Fatimah. 1994. Wacana. Bandung: PT Ernesco. Haliday, M. A. K dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Kasali, Rhenald. 1992. Manajemen Periklanan (Konsep dan Aplikasinya di Indonesia). Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Nababan, P. W. J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sumarlam. 2005. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra. PROSIDING 15 16 PROSIDING KATA MAJEMUK DENGAN UNSUR UNIK BERMAKNA AFEKTIF DALAM BAHASA JAWA Edi Suwatno Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Inti Sari Makalah ini membicarakan kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan kata majemuk unik menurut kategori kata dan makna kata hubungan antarunsur unik. Kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif adalah kata majemuk yang salah satu unsurnya hanya bisa bergabung dengan kata di depannya. Unsur mbranang ‘merah menyala’ dalam abang mbranang ‘merah menyala’ hanya bisa bergabung dengan abang ‘merah’, unsur nglintheg ‘ tidur nyenyak’ dalam turu nglintheg ‘tidur nyenyak’ hanya bisa bergabung dengan turu ‘tidur’, royo-royo’hijau muda segar’ hanya dapat bergabung dengan ijo ‘hijau’, unsur nggendring ‘lari terbirit-birit tanpa berani menoleh lagi’ hanya dapat bergabung dengan mlayu ‘lari’,telap-telep ‘makan dengan lahap’ hanya dapat bergabung dengan unsur mangan ‘makan’. Ada berbagai kategori kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa. Hasil pembahasan, yaitu (i) kategori adjektiva -adjektiva , (ii) adjektiva bebas-adjektiva terikat, (iii) verba bebas-verba bebas, dan (iv) verbaadjektiva. Di samping itu, ditemukan berbagai macam makna kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif, yaitu (i) makna menyangatkan, (ii) makna sebab akibat, (iii) makna cara, (iv) makna mendadak (kemendadakan), dan (v) makna sifat/keadaan. Kata kunci: kata majemuk unik bermakna afektif, kategori kata, makna Abstract The paper explores compound word with unique element in Javanese affective meaning. The compound word with unique element of affective meaning is compound word which one of its elements only can combines with the word in front of it. Mbranang element ‘scarlet’ can only combine PROSIDING 17 with abang ‘red’, nglintheg element ‘sleep soundly‘ in turu nglintheg ‘sleep soundly’ can only combine with turu ‘sleep’, royo-royo’fresh light green’ can only combine with ijo ‘green’, nggendring element ‘scuttled without daring to look back’ can only combine with mlayu ‘run’, telap-telep ‘eat voraciously’ can only combine with mangan element ‘eat’. There are various categories in compound word with unique element meaning affective in Javanese, namely (i) adjective – adjective category, (ii) free adjective-bounded adjective, (iii) free verb - free verb, and (iv) verb – adjective. Besides it was found out that various compound word with unique element has affective meaning, namely (i) intensify meaning, (ii) cause and effect meaning, (iii) manner meaning, (iv) sudden meaning (incidentally), and (iv) existence/characteristic meaning. Keywords: unique compound word with affective meaning, word category, various meaning 1. Pendahuluan Makalah ini akan membicarakan tentang kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa. Akan tetapi sebelum membicarakan tentang kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif akan dijelaskan lebih dahulu tentang kata majemuk. Ramlan (2012:77) mendefinisikan majemuk ialah kata yang terjadi dari gabungan dua kata yang menimbulkan suatu kata baru, misalnya keras hati, kepala batu, kamar gelap, meja makan, meja makan, dan mata kaki. Kata majemuk dalam bahasa Jawa, misalnya landhep dhengkul ‘sangat bodoh’, mundur isin ‘pantang mundur’, njarah rayah ‘merebut dengan paksa’, dan mbarang wirang ‘memamerkan rasa malunya’.Yang dimaksud kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif adalah kata majemuk yang salah satu unsurnya hanya bisa bergabung dengan unsur unik atau penggabungan morfem asal dan morfem unik (Wedhawati,dkk.,2001:81). Sebagai contoh kata majemuk dengan unsur unik abang mbranang ‘merah menyala, merah padam’, esuk umunumun/uthuk-uthuk ‘pagi-pagi buta’, lunga klepat ‘pergi dengan cepat’, dan turu nglipus ‘tidur pulas’. Unsur unik bermakna afektif berupa unsur mbranang’merah sekali’, umun-umun/uthuk-uthuk’ pagi-pagi buta’, klepat ‘pergi dengan segera’, dan nglipus’tidur dengan pulas’, hanya bisa bergabung dengan bentuk adjektiva abang ‘merah’, esuk ‘pagi’, dan verba lunga ‘pergi’, turu ‘tidur’. Adapun alasan penulis memilih kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut. Pertama, kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa sangat produktif. Kedua, kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa mencakupi berbagai kategori, sebagai contoh kata maajemuk unik anyep njejet/ njejep ‘sangat tawar’; ajur mumur ‘hancur lebur’; ireng thuntheng ‘hitam legam’; peteng ndhedhet ‘gelap gulita’, garing mekingking ‘kering kerontang’, sepi mamring ‘sunyi senyap’, termasuk kategori golongan adjektiva. Demikian pula kata 18 PROSIDING majemuk unik lungguh ndhepepes ‘duduk menempel seperti bersembunyi’, mlayu nggendring ‘ lari terbirit-birit tanpa berani menoleh lagi’, mangan telap-telep ‘makan dengan lahap’, mandheg greg ‘mendadak sontak berhenti’, lungguh jegang ‘duduk dengan kaki diangkat’, nangis ngglolo ‘menangis keras sekali’ dan tangi gregah ‘bangun dengan tiba-tiba, bangun mendadak’, termasuk kategori golongan verba. Dan, alasan ketiga adalah unsur-unsur kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif memiliki hubungan makna tertentu. Misalnya, kata majemuk unik padhang jingglang ‘terang benderang’, adhem njekut ‘dingin sekali’, bunder leker ‘bundar penuh (sempurna)’, cetha wela-wela ‘tampak jelas sekali, terlihat jelas sekali’, dan jembar gilar-gilar ‘tampak luas sekali dan bersih’ menyatakan makna “menyangatkan”. Kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif yang menyatakan makna “sebab akibat”, misalnya kebak menceb-menceb ‘penuh (sampai) tumpah-tumpah’, lemu gimblah-gimblah ‘gemuk tambun’, meteng njembluk ‘hamil gendut’, dan meteng mblendhis ‘hamil buncit’. Kata majemuk dengan unsur unik yang menyatakan makna “kemendadakan”, misalnya mabur bleber ‘terbang seketika’, bali cengkelak ‘kembali menoleh cepat-cepat’, tangi jenggirat ‘bangun dengan tiba-tiba’, tangi gregah ‘ bangun dengan tiba-tiba’, dan teka bedunduk ‘tiba-tiba datang (sudah di depan kita/seseorang)’. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Apa saja kategori kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa?; (2)Apa saja makna yang dinyatakan oleh hubungan unsur-unsur kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa? Tujuan pokok penelitian ini adalah mendeskripsikan kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa. Tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut: (1) mendeskripsikan kategori kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa; (2) mendeskripsikan makna hubungan antarunsur kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan kaidah pembentukan kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa. Kaidah tersebut mencakup kaidah kategori kata dan kaidah makna hubungan unsurunsur kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa Lingkup penelitian ini meliputi kategori kata dari kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dan makna yang dinyatakan oleh hubungan unsurunsur kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif. 2. Kerangka Teori 2.1 Pengertian Kata Majemuk Pengertian kata majemuk adalah gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan PROSIDING 19 semantis yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan; pola khusus tersebut membedakannya dari gabungan morfem dasar yang bukan kata majemuk (Kridalaksana,2001:99), Ramlan (2012:77) mendefinisikan kata majemuk ialah kata yang terjadi dari dua kata sebagai unsurnya, kata yang terjadi dari gabungan dua kata yang menimbulkan suatu kata baru. Dalam bahasa Indonesia, misalnya mata kaki, keras hati, daya tahan, dan kamar kerja. Adapun kata majemuk yang salah satu unsurnya berupa morfem unik, ialah morfem yang hanya mampu berkombinasi dengan satu morfem asal. Misalnya, kata simpang siur, sunyi senyap, terang benderang, gelap gulita sebagai morfem unik (Ramlan,2012:82). Jadi unsur simpang, sunyi, terang, gelap tidak dapat berkombinasi dengan satuan lain kecuali dengan siur, senyap, benderang, dan gulita sebagai morfem unik. Dalam bahasa Jawa kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif, misalnya peteng ndhedhet ‘gelap gulita’, ajur mumur ‘hancur lebur’, padhang njingglang ‘terang benderang’, mlayu nggendring ‘lari terbirit-birit tidak menoleh lagi’, nganggur methekur ‘menganggur sama sekali (tidak bekerja, tidak mempunyai pekerjaan)’,dan omong ngethuprus ‘berkata/berbicara nyerocos, berbicara terus-menerus’. 2.2 Jenis-Jenis Kata Majemuk Kata majemuk atau kompositum adalah gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantis yang khusus menurut kaidah yang bersangkutan, pola khusus tersebut membedakannya dari gabungan morfem dasar yang bukan kata majemuk (Kridalaksana,2001:99). Adapun Keraf (1991:154) mendefinisikan kata majemuk atau kompositum dapat dibatasi sebagai gabungan dari dua kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan arti. Menurutnya Keraf (1991:154) kelompok kata majemuk yang salah satu unsurnya bersifat terikat, misalnya: terang benderang, gegap gempita, gelap gulita, sorak sorai, tua renta, lalu lalang. Kata majemuk atau kompositum menurut Kridalaksana (1989:109) dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis atau lima golongan, yaitu (1) kompositum subordinatif substantif (tipe A): (2) kompositum substantif (yang sebagian besar juga dapat berfungsi secara predikatif) (tipe B); (3) Kompositum koordinatif (tipe C), (4) kompositum berproleksem (tipe D), dan (5) kompositum sintesis (tipe E). Masalah penipean kata majemuk tipe A, B, C, D, dan E yang relevansi dengan penelitian ini adalah tipe C 6, yaitu makna sebab akibat “ b akibat a” atau makna menyangatkan “ b menyangatkan a”. 2.3 Kategori Kata Kategori kata berkaitan dengan golongan satuan bahasa yang diungkapkan dengan morfem bebas disebut kategori leksikal. Penggolongan kata 20 PROSIDING menurut Kridalaksana (1990,49—118) dikelompokkan menjadi tiga belas jenis atau golongan. Penggolongan kelas kata itu, antara lain: (1) verba, (2) adjektiva, (3) nomina, (4) pronomina, (5), numeralia, (6) adverbia, (7) interogatif, (8) demontrativa, (9) artikula, (10) preposisi, (11) konjungsi, (12) kategori fatis, (13) interjeksi. Adapun Ramlan (1986:10) menggolongkan kelas kata menjadi dua belas golongan atau jenis kata, antara lain: (1) verba, (2) nomina, (3) pronomina, (4) adjektiva, (5) numeralia, (6) advebia, (7) interogatif, (8) preposisi, (9) konjungsi, (10) interjeksi, (11) demontrativa, dan (12) artikula. Penggolongan kata Kridalaksana (1990) dan Ramlan (1986) yang relevansi dengan penelitian ini adalah berkaitan dengan kata majemuk berkategori verba dan adjektiva. 2.4 Makna Kata Majemuk Makna kata majemuk merupakan perpaduan leksem yang membentuk komponen. Menurut Kridalaksana (1988:110) dan (1989:104—158) menggolongkan makna kata majemuk menjadi empat tipe: (1) makna tipe A (perpaduan subordinatif, yang terjadi dari 17 tipe A, (2) makna tipe B (perpaduan subordinatif atributif yang terjadi dari 16 tipe B), (3) makna tipe C (perpaduan koordinatif), yang terdiri atas 8 tipe, (4) makna tipe D (perpaduan berproleksem), dan (5) makna tipe E (perpaduan sintesis). Berkaitan dengan relevansi penelitian ini adalah makna tipe C (perpaduan koordinatif, yaitu makna tipe C unsur pertama dan kedua saling melengkapi, (2) makna tipe C 6 makna “sebab akibat” artinya unsur kedua menyangatkan unsur pertama, dan (3) tipe C 8 b paduan leksem koordinatif pemanjangan, artinya unsur kedua pemanjangan dari unsur pertama. Hal tersebut dapat dilihat Poedjosoedarmo (1979:156) persamaan arti komponen, yaitu komponen pertama sama artinya dengan komponen yang kedua yang memiliki makna yang bersifat menyangatkan. Berkaitan dengan makna atau arti di mana kedua komponennya mempunyai arti yang menyangatkan berkaitan dengan jenis kata yang sempurna (Poedjosoedarmo,1979:159). Berdasarkan penggolongan kata itu yang paling menonjol pemakaiannya, yaitu verba (kata kerja), adjektiva (kata sifat), dan adverbia (kata keterangan). Pemakaian verba dan adjektiva merupakan bentuk dasar bebas, misalnya lungguh ‘duduk’, turu ‘tidur’. teka ‘datang’, dan lunga ‘pergi’. Adapun bentuk dasar bebas, misalnya abang ‘merah’, adoh ‘jauh’, adhem ‘dingin’, putih ‘putih’, sugih ‘kaya’ ireng ‘hitam’, dan cedhak ‘dekat’. 3. Metode dan Teknik Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (1) tahap pengumpulan data, (2) analisis data, dan (3) penyajian hasil analisis data. Pada tahap menganalisis data metode yang digunakan adalah metode agih. Metode agih itu PROSIDING 21 alat penentunya adalah bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto,1993:15). Adapun teknik dasar yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung (BUL). Disebut teknik BUL karena cara yang digunakan pada awal kerja analisis ialah membagi satuan data menjadi beberapa bagian atau unsur (kata majemuk unik); dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto,1993:31).Teknik lanjutan yang berwujud teknik sisip. Adapun teknik sisip dilakukan dengan menggunakan “unsur” tertentu di antara unsur-unsur lingual yang ada. Pada hakikatnya teknik sisip sama dengan teknik perluas, yaitu sama-sama menggunakan “unsur” tambahan. Keduanya menambahi satuan lingual yang bersangkutan dengan unsur baru. Perbedaannya adalah penambahan dalam rangka pelaksanaan teknik perluas ada di luar satuan lingual yang bersangkutan, sedangkan penambahan dalam rangka teknik sisip ada di dalam satuan lingual yang bersangkutan (Sudaryanto,1993:37). Objek penelitian ini adalah kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa. Pengumpulan data digunakan metode simak dan teknik catat. Metode simak atau penyimakan dilakukan menyimak penggunaan data bahasa yang bersangkutan. Adapun teknik catat dengan mencatat data. Dalam rangka penggunaan teknik catat, untuk diklasifikasi, dikelompokkan datanya berdasarkan jenis kata, makna unsur-unsur katanya selanjutnya dianalisis dan ditulis seperti pada makalah ini. Sumber data dalam penelitian ini diambil dari sumber bahasa tertulis dan dilakukan teknik pencatatan langsung dalam bacaan atau teks. Sumber data yang diteliti diambil dari majalah mingguan dan buku pelajaran yang berbahasa Jawa. 4. Pembahasan Kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa dapat digolongkan menjadi dua jenis berdasarkan unsur-unsurnya atau komponen-komponennya. Pertama, kategori kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif yang unsur-unsurnya terdiri atas kelas kata adjektiva-adjektiva. Kedua, kategori kata majemuk unik yang unsur-unsurnya (komponenkomponennya) terdiri atas kelas kata verba-adjektiva. Ketiga, kategori kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif yang unsur-unsurnya berkategori adjektiva-adjektiva dan kategori verba-adjektiva Keempat, berbagai macam makna , yaitu makna menyangatkan; makna sebab akibat; makna cara; makna kemendadakan, dan makna sifat/keadaan akan dibahas sebagai berikut. 22 PROSIDING 4.1 Kata Majemuk Unik yang Unsur-Unsurnya Berkategori AdjektivaAdjektiva Kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif yang unsur-unsurnya terdiri atas kategori adjektiva-adjektiva dapat berbentuk unsur bebas dan unsur terikat. Adapun masing-masing kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif berkategori adjektiva-adjektiva bentuk bebas dan bentuk terikat tampak pada subbagian sebagai berikut. 4.1.1 Kata Majemuk dengan Unsur Unik Bermakna Afektif Berkategori Adjektiva-Adjektiva Adjektiva berkategori unsur bebas atau bentuk bebas adalah bentuk (unsur) bahasa yang dapat berdiri sendiri dan jelas maknanya. Unsur atau bentuk bebas adalah kata atau frasa yang tidak mempunyai hubungan gramatikal dengan bagian-bagian kalimat. Bentuk bebas atau unsur bebas berkategori adjektiva-adjektiva contohnya sebagai berikut. Bentuk entek ‘habis’, bentuk dan gusis ‘habis, lenyap’ menjadi kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif entek gusis ‘habis/lenyap’, menjadi kata majemuk unik sugih derbala ‘ kaya raya’, bentuk tuwek ‘tua’, dan bentuk keklek ‘rejih, selalu mengeluarkan air mata’ membentuk kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif tuwek keklek ‘tua renta’; bentuk bosok ‘busuk’, dan bentuk koklok ‘busuk lusuh’ membentuk kata majemuk unik bosok koklok ‘busuk sekali’; bentuk bunderr bunder ‘bundar, bulat’, dan bentuk leker ‘melingkar’ menjadi kata majemuk unik bunder leker ‘bunder melingkar’; bentuk ireng ‘hitam dan bentuk thuntheng ‘legam/kelam’ menjadi kata majemuk unik ireng thuntheng ‘hitam legam’, dan sebagainya. Kata majemuk unik entek gusis ‘ habis tidak tersisa’; sugih derbala ‘kaya raya’, tuwek keklek ‘tua renta’, bosok koklok ‘busuk lusuh’; bunder leker ‘bundar melingkar’, dan ireng thuntheng ‘hitam legam’, merupakan kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif kategori adjektiva-adjektiva bentuk (unsur) bebas karena unsur-unsurnya bukan bentuk bentuk terikat. 4.1.2 Kata Majemuk dengan Unsur Unik Bermakna Afektif Berkategori Adjektiva Bentuk Bebas dan Terikat Sebagaimana sudah disebutkan di depan bahwa bentuk bebas adalah kata yang dapat berdiri sendiri dan maknanya jelas. Unsur kategori adjektiva bebas bentuk adhem ‘dingin’, dan bentuk nggeges ‘dingin/sejuk sekali’ menjadi kata majemuk dengan unsur unik bermakan afektif adhem nggeges ‘dingin (sejuk) sekali’, bentuk peteng ‘gelap’, dan dan bentuk lelimengan ‘gelap gilita’ menjadi kata majemuk unik peteng lelimengan ‘gelap gulita’; bentuk tipis ‘tipis, dan bentuk nglemir ‘tipis sekali, sangat tipis’ menjadi kata majemuk unik tipis nglemir ‘tipis sekali, sangat tipis’; bentuk nesu ‘marah’ dan bentuk njaprut ‘masam mukanya, cemberut’ menjadi kata majemuk unik nesu njaprut ‘marah (mukanya) PROSIDING 23 cemberut’, bentuk bolong ‘lobang, berlobang’ dan bentuk mlompong ‘ berlubang tembus’ menjadi kata majemuk unik bolong mlompong ‘berlubang tembus’, bentuk rubuh ‘roboh’.bentuk dan mblasah ‘berserakan, berserak-serak’ menjadi kata majemuk unik rubuh mblasah ‘roboh berserakan’, dan sebagainya. 4.2 Kata Majemuk dengan Unsur Unik Bermakna Afektif Berkategori Verba-Verba Kategori verba atau kata kerja adalah kata yang menggambarkan proses, atau keadaan. Kategori verba memiliki unsur semantis perbuatan, keadaan, atau proses (Kridalaksana,2008:226). Verba adalah kelas kata yang berfungsi sebagai predikat. Dalam beberapa bahasa verba mempunyai ciri morfologi, seperti ciri kala, aspek, persona, atau jumlah. Kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif yang unsur-unsurnya berkategori verba-verba sebagai berikut: verba bali ‘kembali/pulang’ dan bentuk unik cengkelak ‘kembali/pulang menoleh seketika’ menjadi kata majemuk unik bali cengkelak ‘ kembali/pulang menoleh seketika’; verba mangan ‘makan’, dan bentuk unik themal-themel ‘makan/menyuap kerap dan tergesa-gesa’ menjadi kata majemuk unik mangan themal-themel ‘makan dengan kerap dan tergesa-gesa’; verba ngguyu ‘tertawa’ dan bentuk unik lakak-lakak ‘tertawa tergelak-gelak’ menjadi kata majemuk unik ngguyu lakak-lakak ‘tertawa tergelak-gelak’; verba nangis’menangis’ dan bentuk unik ngglolo ‘menangis keras sekali’ menjadi kata majemuk unik nangis ngglolo ‘menangis keras sekali’; verba lungguh ‘duduk’ dan bentuk unik ndhepepes, dhepis ‘duduk bersembunyi’ menjadi kata majemuk unik lungguh ndhepepes ‘ duduk bersembunyi’; verba nangis ‘menangis’, dan bentuk unik mingseg-mingseg ‘menangis tersedu-sedu’ menjadi kata majemuk unik nangis mingseg-mingseg ‘menangis tersedu-sedu’, dan lain sebagainya. 4.2.1 Kata Majemuk dengan Unsur Unik Bermakna Afektif Berkategori Verba Adjektiva Kategori verba adalah mewakili unsur semantis perbuatan, keadaan, atau proses. Adjektiva adalah kata yang menerangkan kata benda dan secara umum dapat bergabung dengan kata lebih dan sangat dalam bahasa Indonesia (BI). Dalam bahasa Jawa (BJ) dapat bergabung dengan kata luwih dan banget. Adjektiva verba adalah adjektiva memiliki fungsi dan maknanya dekat dengan verba, misalnya, dalam bahasa Jawa ngethuprus ‘berbicara terus-menerus, selalu berbicara (tidak henti-hentinya)’, ngetheker ‘tidak bergerak-gerak dari pekerjanya’, dan cekikikan ‘selalu tertawa perlahan-lahan’. Kategori adjektiva dari segi perilaku semantis terjadi adjektiva pemeri sifat, adjektiva warna, adjektiva sifat batin, adjektiva cerapan, dan sebagainya. Kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif yang unsur-unsurnya yang terdiri atas verba-adjektiva tampak sebagai berikut. Kata majemuk berkategori verba-adjektiba contoh berikut: 24 PROSIDING lunga semparet ‘pergi dengan segera’, lungguh nyekukruk ‘duduk membungkuk kurang semangat’, lungguh jegang ‘duduk dengan kaki diangkat’, lunga klithihklithih ‘pergi ke sana ke sini seperti bingung ada sesuatu yang dicari’, teka bedunduk ‘datang dengan tiba-tiba sudah di depan seseorang (kita)’, mandheg greg ‘berhenti mendadak sontak, berhenti dengan tiba-tiba’, lungguh sreg ‘duduk sangat rapinya’, nangis ngglolo ‘menangis keras sekali’, mubeng seser ‘berputar sangat cepat’, ngambung sengok ‘mencium (pipi) dengan tiba-tiba’, nangis ngguguk ‘menangis tersedu-sedu’, mangan telap-telep ‘makan dengan lahap’, tangi jenggirat ‘bangun tidur dengan tiba-tiba’, turu nglempus ‘tidur nyenyak sekali, tidur sangat lelapnya’, dan nangis ngglolo ‘menangis sangat keras, menangis keras sekali’. 4.2.2 Kata Majemuk dengan Unsur Unik Bermakna Afektif Kategori Verba-Kategori Verba Kategori verba adalah kata kerja yang mengambarkan proses, atau keadaan. (Kridalaksana,2001:226). Sebagian besar verba mewakili unsur semantis perbuatan, keadaan, atau proses. Kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif bentuk bebas adalah bentuk bahasa (kata) yang dapat berdiri sendiri sebagai kata dan maknanya jelas. Berikut ini contoh kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif verba bentuk bebas-verba bentuk bebas: bali cengkelak ‘kembali/pulang dengan cepat’, lungguh jegang ‘ duduk dengan kakinya yang satu menumpu (tidak sopan)’, bali jegagik ‘kembali agak terkejut’, tangi gregah ‘bangun tidur dengan tiba-tiba’, lunga senthiyeng ‘ tiba-tiba pergi dengan segera’, dan sebagainya. 4.2.3 Kata Majemuk dengan Unsur Unik Bermakna Afektif Kategori Verba Bentuk Bebas-Adjektiva Bentuk Bebas Bentuk bebas adalah bentuk bahasa (kata) yang dapat berdiri sendiri dan jelas maknanya, sedangkan bentuk terikat adalah unsur yang berafiks (prefiks) atau bentuk ulang yang dapat dipakai daya gabung dengan makna yang jelas. Bentuk bahasa yang harus bergabung dengan unsur lain. Misalnya, kata majemuk tangi gregah ‘bangun/bangkit dengan seketika’, tiba gabrug ‘jatuh debuk’, tangi jenggirat ‘bangun tidur dengan tiba-tiba’, lunga semparet ‘pergi dengan segera’, dan lungguh sreg ‘tiba-tiba duduk’. Bentuk tangi ‘bangun’, tiba ‘jatuh’, lunga ‘pergi’, dan lungguh ‘duduk’ merupakan bentuk bebas berkategori verba, sedangkan bentuk unik gregah ‘ bangun dengan tiba-tiba’, bentuk unik gabrug ‘debug’, bentuk unik jenggirat ‘bangun dengan tiba-tiba’, bentuk unik semparet’pergi dengan segera’, bentuk unik sreg ‘tiba-tiba duduk’, merupakan bentuk unik berkategori adjektiva atau verba. PROSIDING 25 5. Makna Hubungann Antarunsur Kata Majemuk dengan Unsur Unik Bermakna Afektif 5.1 Makna Hubungan Antarunsur Dalam subbab ini akan dibicarakan tentang makna hubungan antarunsur kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa. Makna hubungan antarunsur kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif yang dimaksud adalah makna setiap kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam unsur leksikal (kata). Dalan penelitian ini ditemukan lima makna hubungan antarunsur kata majemuk unik, yaitu (1) makna ‘menyangatkan’, (2) makna ‘sebab akibat’, (3) makna ‘cara’, (4) makna ‘mendadak (kemendadakan)’, dan 5) dan makna ‘sifat/keadaan’. Adapun masing-masing makna hubungan antarunsur kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif akan diuraikan pada subbagian berikut. 5.1.1 Kata Majemuk dengan Unsur Unik Bermakna Afektif yang Menyatakan Makna ‘Menyangatkan’ Makna ‘menyangatkan’ adalah menyatakan menjadikan sangat, berlebihlebih halnya, keadaannya, atau teramat sangat. Bentuk atau unsur pada kata majemuk unik memiliki makna ‘menyangatkan’. Dengan kata lain dalam kompositum koordinatif tipe C, seperti pendapat Kridalaksana (1989:145), yaitu sebab akibat “b akibat a” atau makna menyangatkan “b menyangatkan a”. Kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif yang menyatakan ‘makna menyangatkan’, antara lain anyep njejet/njejep ‘tawar sekali/sangat tawar’, cetha wela-wela ‘jetas sekali/sangat jelas’, cedhak nyangklek ‘dekat sekali, sangat dekat’, kebak luber ‘penuh melimpah, penuh tumpah-tumpah’, garing mekingking ‘kering (kurus) sekali’, padhang njingglang ‘terang benderang (sekali)’, putih memplak ‘putih sekali, sangat putih (putih seperti kapuk)’, peteng ndhedhet ‘gelap gulita (sekali)’, resik gumrining ‘bersih sekali, sangat bersih’, sugih mblegedhu ‘kaya sekali, sangat kaya’, teles kebes ‘basah sekali, basah kuyub’, dan tuwek keklek ‘tua renta, tua sekali’. Dengan demikian, kata njejet/njejep memiliki makna menyangatkan pada kata anyep ‘tawar, sejuk’, wela-wela ‘jelas sekali’ memiliki makna menyangatkan pada kata cetha ‘jelas’, luber ‘timpah-tumpah, melimpah’ memiliki makna menyangatkan pada kebak ‘penuh’, mekingking ‘kering/kurus sekali’ memiliki makna menyangatkan pada kata garing ‘kering’, njingglang ‘terang, benderang’ memiliki makna menyangatkan pada kata padhang ’terang’, memplak ‘putih metah’ memiliki makna menyangatkan, pada putih ‘putih’ ndhedhet ‘gelap gulita’ memiliki makna menyangatkan pada peteng ‘gelap’, gumrining ‘bersih sekali’ memiliki makna menyangatkan pada kata resik ‘bersih’, mblegedhu ‘ kaya raya’ memiliki makna menyangatkan pada kata sugih ‘kaya’, kebes ‘basah, kuyup’ memiliki makna menyangatkan pada kata teles ‘basah’, dan keklek ‘selalu mengeluarkan air mata’ memiliki makna menyangatkan tuwek ‘tua’. 26 PROSIDING 5.1.2 Kata Majemuk dengan Unsur Unik Bermakna Afektif yang Menyatakan Makna “Sebab Akibat” Makna ‘sebab akibat’ atau ‘sebab musabab’ adalah berbagai sebab asal mula yang menjadi sebab atau menyebabkan. Dalam pembentukan bahasa Indonesia (Kridalaksana,1989:140) tentang kompositum koordinatif tipe C dikatakan bahwa urutan komponennya tetap dan tidak dapat dibalikkan atau ditukar posisinya. Ciri tersebut membedakannya dengan gabungan leksem yang dapat dibalikkan. Kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif yang menyatakan makna sebab akibat, seperti contoh pada kata majemuk unik wedi mengkirig ‘takut bulu kuduknya tegak’, kebak luber ‘penuh tumpahtumpah (melimpah)’, meteng njembluk ‘hamil buncit (besar perutnya)’, nangis senggruk-senggruk ‘menangis tersedu-sedu (tersengguk-sengguk)’, dan nesu mbesengut ‘marah bersungut-sungut (menggerutu)’. Kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif yang menyatakan makna ‘sebab akibat’ menurut Kridalaksana (1989:145) tersebut kompositum koordinatif tipe C6: ‘b akibat a’, seperti mengkirig ‘bulu keduknya tegak’ disebabkan wedi ‘takut’; luber ‘tumpah-tumpah (melimpah)’ disebabkan oleh kebak ‘penuh’; dheleg-dheleg ‘(duduk) termenung’ disebabkan karena sedhih ‘sedih (susah)’; dan glangsaran ‘tergeletak di tanah’ disebabkan karena tiba ‘jatuh’. 5.1.3 Kata Majemuk dengan Unsur Unik Bermakna Afektif yang Menyatakan Makna ‘Cara’ Makna “cara” adalah jalan, aturan sistem melakukan, atau berbuat sesuatu. Makna cara dapat juga adat kebiasaan, perbuatan, dan kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, dan cara dapat berarti berusaha atau ikhtiar. Menurut Kridalaksana (1989:111) termasuk kompositum subordinatif substantif tipe A 5: ‘ a secara b ‘ (urutan perbuatan — cara). Kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif yang menyatakan makna “cara”, seperti conton kata majemuk unik nangis ngglolo ‘menangis keras sekali’, lungguh angkrong-angkrong ‘duduk di tempat yang tinggi dengan kaki terjuntai’,lungguh medhekes/ngedhekes ‘duduk sangat sopan dan teratur/tertib’, nangis mingseg-mingseg ‘menangis tersedusedu’, turu nglintheg ‘tidur nyenyak’, nangis ngguguk ‘menangis tersedu-sedu’, magawe ngetheker ‘bekerja tidak bergerak-gerak dengan tekun’, lungguh ndhepepel ‘duduk menempel (sesuatu benda)’, lungguh mekokok ‘duduk dengan kaki (paha) agak terbuka’, dan sebagainya. Penggabungan unsur bebas dan unsur unik menyatakan makna ‘cara’. Untuk lebih jelasnya perhatikan unsur unik ngglolo pada kata majemuk unik nangis ngglolo ‘menangis keras sekali’ menyatakan makna cara nangis ‘menangis’; unsur unik angkrong-angkrong ‘duduk di tempat yang tinggi dengan kaki terjuntai’ pada kata majemuk unik lungguh angkrong-angkrong ‘duduk di tempat yang tinggi dengan kaki terjuntai’ PROSIDING 27 menyatakan makna cara lungguh ‘duduk’; unsur unik medhekes ‘duduk sngat sopan dan tertib/teratur’, pada kata majemuk unik lungguh ngedhekes ‘duduk sangat sopan,teratur, dan tertib’ menyatakan makna cara lungguh ‘duduk’; unsur unik mingseg-mingseg ‘menangis tersedu-sedu’ pada kata kajemuk unik nangis mingseg-mingseg ‘menangis tersedu-sedu’ menyatakan makna cara nangis ‘menangis’; unsur unik theklak-thekluk ‘berangguk-angguk’ pada kata majemuk unik turu theklak-thekluk ‘tidur berangguk-angguk’menyatakan makna cara turu ‘tidur’; unsur unik ngetheker ‘bekerja dengan tekun tidak bergerak-gerak’ pada kata majemuk unik turu ngetheker ‘bekerja dengan tekun tidak menoleh/ bergerak-gerak’ menyatakan makna cara nyambutgawe’bekerja’; unsur unik mekokok ‘duduk dengan kaki (paha) terbuka’ pada kata majemuk unik lungguh mekokok ‘duduk dengan kaki (paha) terbuka’ menyatakan makna cara lungguh ‘duduk’. 5.1.4 Kata Majemuk dengan Unsur Unik Bermakna Afektif yang Menyatakan Makna ‘Mendadak (Kemendadakan)’ Makna ‘mendadak’ atau ‘kemendadakan’ adalah sesuatu yang dilakukan secara tiba-tiba; mendadak dapat juga berarti datang dengan tiba-tiba. Dengan kata lain mendadak atau kemendadakan sesuatu yang dilakukan tanpa diduga, diketahui, atau diperkirakan sebelumnya, atau sekonyong-konyong. Kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif yang menyatakan makna ‘mendadak/kemendadakan’, misalnya bali cengkelak ‘ kembali/pulang seketika, menoleh seketika’; lunga klepat ‘pergi seketika dengan cepat-cepat, segera’; mlayu bradhat ‘berlari seketika dan cepat-cepat’; tangi jenggirat ‘bangun tidur dengan tiba-tiba (terkejut)’, ngambung sengok ‘mencium dengan (secara) tiba-tiba’; nangis cenger ‘menangis keras dengan tiba-tiba’; teka bedunduk ‘datang dengan tibatiba (sudah di depan kita/seseorang)’; kepethuk/ketemu gapruk ‘bertemu (bertatapan) dengan tiba-tiba’, dan bali jejagig ‘kembali/pulang/balik dengan tibatiba’. Kata majemuk dengan unsur unik yang menyatakan makna ‘mendadak (kemendadakan)’ dapat disebut juga makna ‘tiba-tiba atau sekonyong-konyong’. Misalnya, ngadeg nyat ‘berdiri seketika’ tiba-tiba berdiri’: jupuk clemut ’tibatiba diambil’; turu glethak ‘tiba-tiba tidur terhantar’; dan lunga semprung ‘pergi dengan tiba-tiba’. 5.1.5 Kata Majemuk dengan Unsur Unik Bermakna Afektif yang Menyatakan Makna “Sifat/Keadaan” Makna “sifat” adalah keadaan (rupa) yang tampak pada suatu benda, tanda lahiriah, perikeadaan yang menurut kodratnya ada pada suatu benda (orang); makna sifat juga ciri khas yang ada pada suatu untuk membedakan dari yang lain. Sifat atau keadaan juga sebagai dasar watak yang dibawa sejak lahir, atau tabiat. Kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif 28 PROSIDING yang menyatakan makna ‘sifat/keadaan’, seperti contoh kata majemuk unik abang mbranang ‘merah sekali, sangat merah’; biru kecu ‘biru agak hitam’; kuning gadhing ‘kuning seperti kulit kelapa gading’; cilik menthik ‘kecil sekali, kecil mungil’; gedhe magrong-magrong ‘besar lagi tinggi (tentang rumah)’; ireng mengesmenges ‘hitam mengkilap’; ijo royo-royo ‘hijau cerah, terang (tanaman atau dedaunan)’; dan cilik menis-menis ‘kecil tampak mengkilat (benda kecil bulat)’. 6. Penutup Dari hasil pembahasan tentang kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Pertama, kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dalam bahasa Jawa memiliki unsur-unsur berkategori adjektiva-adjektiva, baik unsur (bentuk) bebas maupun unsur terikat. Kedua, ditemukan unsur-unsur berkategori verba, baik itu kategori verba bentuk bebas maupun verba bentuk terikat. Selanjutnya, pembahasan dari segi makna hubungan antarunsur-unsurnya kata majemuk dengan unsur unik bermakna afektif dapat menyatakan makna ‘menyangatkan’, makna ‘sebab akibat’, makna ‘cara’, makna ‘mendadak (kemendadakan)’, dan makna ‘sifat/keadaan’. Namun, hal itu tidak tertutup kemungkinan masih ada masalah yang belum terungkap. Daftar Pustaka Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia untuk Tingkat Pendidikan Menengah. Jakarta: Penerbit PT Grasindo. Kridalaksana, Harimurti. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. ————————-.1988. Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. ————————-. 1989. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. ————————-. 2001. Edisi Ketiga. Kamus Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Poedjosoedarmo, Soepomo. 1979. Morfologi Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa, Depdikbud Ramlan,M. 1986. Penggolongan Kata dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset. ——————-. 2012. Morfologi: suatu tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: U.P. Karyono. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. PROSIDING 29 Wedhawati. et al. 2001. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. 30 PROSIDING LEKSIKON BERBAHASA ASING DALAM MEDIA CETAK PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG Hari Sulastri Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pos-el: hrsulastri@yahoo.com Inti Sari Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan leksikon berbahasa asing pada media massa cetak, khusus pada masa penjahan Jepang. Dalam tulisan yang masih berupa tulisan awal ini digunakan metode deskripsi analitik untuk menganalisis data yang bersumber pada media massa cetak yang terbit pada masa penjajahan Jepang (1942—1945) di Indonesia. Tulisan ini dibatasi hanya pada leksikon yang digunakan di media massa cetak. Dari hasil analisis didapatkan bahwa leksikon berbahasa Jepang hanya banyak digunakan pada bidang yang berkaitan dengan pemerintahan, olahraga khususnya dengan menggunakan pedang, dan leksikon yang bertujuan memberi semangat untuk berpihak pada Jepang. Leksikon berbahasa asing, seperti bahasa Inggris dan bahasa Belanda sangat banyak digunakan dalam berbagai bidang, baik dalam istilah maupun leksikon yang bersifat umum. Selain itu, ditemukan pula leksikon berbahasa asing yang lain seperti, bahasa Arab dan Persia. Kata kunci: leksikon, berbahasa asing, media massa cetak, dan masa penjajahan Jepang Abstract This paper aims to describe the lexicon of foreign language in the print media, specifically during the penjahan Japan. In a paper which still form this early writing analytic description of the method used to analyze the data that originates in the print media , published in the Japanese colonial period (19421945) in Indonesia. This paper is also restricted to the lexicon used in the print media. From the analysis it was found that only the Japanese language lexicons are widely used in fields related to government, especially sports using a sword , and a lexicon which aims members to side with the Japanese PROSIDING 31 spirit. Lexicon foreign language, such as English and Dutch languages are widely used in various fields, both in terms of a general nature and lexicon. In addition it was also found that foreign-language lexicon such as, Arabic and Persian. Keywords: lexicon, foreign language, print media, and the Japanese occupation 1. Pendahuluan Bangsa penjajah tidak hanya menguasai wilayah dan perekonomian negara terjajah, namun juga mempengaruhi kebudayaannya, termasuk bahasa merupakan salah satu produk budaya. Keterpengaruhan bahasa ini dimungkinkan karena keberadaan bahasa itu sendiri. Keterpengaruhan bahasa itu, antara lain dapat dilihat pada pemakaian bahasa itu dalam media massa cetak. Bromley (1992) mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem simbol yang teratur untuk mentransfer berbagai ide maupun informasi yang terdiri atas simbol-simbol visual maupun verbal. Simbol-simbol visual tersebut dapat dilihat, ditulis, dan dibaca. Adapun simbol-simbol verbal dapat diucapkan dan didengar. Di samping sebagai simbol, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi bagi masyarakat. Fungsinya sebagai alat komunikasi itulah yang memungkinkan penjajah menggunakan atau memperkenalkan bahasanya kepada negeri yang dijajahnya. Hal itu dilakukan untuk mempermudah komunikasi dengan masyarakat yang dijajah atau pribumi. Penjajah memperkenalkan atau menggunakan bahasanya dan memaksa masyarakat untuk menggunakan bahasanya, selain bahasa negeri yang terjajah. Oleh karena itu, bahasa Indonesia juga terpengaruh dan menyerap kosakata dari bahasa asing, khususnya bahasa asing dari negara yang pernah menjajah Indonesia atau pun bahasa asing yang digunakan oleh para pedagang yang datang di Indonesia, seperti bangsa Arab dan Cina. Besar kecil pengaruh bahasa asing terhadap bahasa Indonesia dimungkinkan karena terjadi interaksi antara penjajah dan yang terjajah, misalnya dapat melalui keterlibatan masyarakat dalam berkomunikasi lewat perdagangan, pemerintahan, atau pun komunikasi lewat tulisan dalam media cetak, seperti majalah. Pada masa penjajahan Belanda sudah barang tentu bahasa Belanda banyak digunakan oleh masyarakat di Indonesia. Hal itu dimungkinkan karena masa penjajahan Belanda yang sangat lama di Indonesia. Pengaruh bahasa Belanda itu sampai saat ini masih dapat kita rasakan di berbagai bidang, misalnya, pada bidang hukum, atau pun kata-kata umum, seperti dongkrak, apotek, dan velodrom. Lama atau sebentar masa penjajahan itu sudah tentu memberi pengaruh pada bahasa Indonesia. Demikian juga dengan bangsa Jepang berkuasa di Indonesia selama 3,5 tahun. 32 PROSIDING Berdasarkan hal di atas, tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengaruh leksikon bahasa asing pada masa penjajahan Jepang khususnya dalam media cetak, mengangkat permasalahan yang termaktub dalam pernyataan berikut. Bagaimanakah keberadaan leksikon berbahasa asing pada masa penjajahan Jepang di dalam media cetak? Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui keberadaan bahasa asing pada masa penjajahan Jepang. Pengetahuan keberadaan bahasa asing tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengetahui sejarah perkembangan sebuah leksikon atau kosakata tersebut. Selain itu, banyak tulisan yang membicarakan leksikon asing dalam bahasa Indonesia, namun tulisan yang berkaitan dengan tulisan leksikon berbahasa asing pada media massa cetak, khususnya pada masa Jepang belum banyak dilakukan. Hal itu yang mendorong penulis untuk menyajikan tulisan kecil ini. Sumber data tulisan ini diambil secara acak dari tulisan-tulisan dalam majalah yang terbit pada tahun 1942—1945, yaitu masa Jepang berkuasa sampai akhir masa pendudukan Jepang di Indonesia. 2. Kerangka Teori dan Metode Pembicaraan leksikon berbahasa asing dalam media cetak pada masa penjajahan Jepang ini akan bersinggungan dengan kosakata asing dalam bahasa Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan pemakaian kosakata berbahasa asing dalam media cetak yang muncul pada masa penjajahan Jepang. Pengaruh bahasa asing yang terdapat pada media cetak itu dapat dianggap sebagai pemerkaya kosakata bahasa Indonesia. Sebagai salah satu alat untuk berkomunikasi, bahasa juga memerlukan media sebagai sarananya. Salah satu sarana yang dapat digunakan sebagai wahana penyebarluasan tersebut adalah media massa, baik yang berbentuk audio, visual, audio-visual, cetak, maupun elektronik. Peran penting media massa itu dapat terwujud oleh adanya bahasa sebagai salah satu alat komunikasi. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa media massa dan bahasa merupakan dua hal yang takterpisahkan Begitu pula dengan perkembangan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi juga tidak terpisahkan dengan keberadaan media massa. Sebagai salah satu sarana komunikasi, media massa mempunyai peranan yang amat penting dalam perkembangan pengetahuan. Hal itu seperti yang dikemukakan oleh Hadiono dalam Putera (2010) yang menyebutkan bahwa peran media massa dalam kehidupan sosial bukan sekedar sarana diversion dalam kehidupan sosial, pelepasan ketegangan atau hiburan, tetapi isi yang disajikan mempunyai peran yang signifikan dalam proses sosial. Selain, berperan dalam proses sosial, media massa juga mempunyai peranan yang besar dalam mendukung perkembangan bahasa, khususnya bahasa Indonesia. Asmadi (2008) menyatakan media massa PROSIDING 33 adalah pendukung utama bahasa Indonesia pada awal bahasa itu bergulat dengan batasan-batasan oleh penjajah. Media massa mempunyai peranan yang besar dalam berbagai aspek. Hal itu perlu dimunculkan mengingat media massa mempunyai peranan yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan manusia. Leksikon KBBI (Sugono, dkk., 2011: 805) dalam salah satu maknanya diberi padanan dengan kosakata. Dalam suatu bahasa leksikon dapat berasal dari kata-kata umum atau kata khusus yang disebut sebagai istilah. Kridalaksana (2008) menyatakan bahwa kosakata (vocabulary) sesuatu yang menunjukkan pada leksikon (lexicon, vocabulary) adalah komponen makna yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam suatu bahasa. Kosakata dapat dipadankan dengan perbendaharaan kata, yaitu kekayaan kata yang dimiliki oleh seorang pembicara atau penulis. Berkaitan dengan kosakata atau leksikon Verhaar (2001) menyatakan bahwa leksikon dalam ilmu bahasa merupakan perbendaharaan kata-kata itu sendiri yang sering disebut dengan leksem. Demikian juga Chaer (2007; 5-6) menyatakan bahwa setidaknya dikenal ada empat buah istilah yang berpadanan dengan kajian tentang kata, yaitu istilah perbendaharaan kata, vokabuler, leksikon, dan kosakata. Keempat istilah itu lazim digunakan, tetapi akhir-akhir ini kosakata tampaknya lebih umum digunakan terutama dalam pendidikan formal. Selanjutnya, Chaer menyatakan bahwa istilah kosakata memiliki konsep yang sama dengan istilah perbendaharaan kata, vokabuler, dan leksikon. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008; 805) memberi penjelasan leksikon (1) kosakata; (2) kamus yang sederhana; (3) daftar istilah dalam suatu bidang disusun menurut abjad dan dilengkapi dengan keterangan; (4) komponen bahasa yang memuat informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam suatu bahasa; dan (5) kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa, sedangkan kosakata dalam KBBI (2008; 736) didefinisikan perbendaharaan kata. Dari definisi tersebut tampaknya KBBI lebih mengutamakan istilah leksikon dibandingkan kosakata. Hal itu sejalan dengan pernyataan Chaer (2007; 6). Ada dua hal yang berhubungan dengan pemakaian kosakata, yaitu masalah sumber bagi unsur yang bertalian dengan leksikal yang baru dan unsur yang dibentuk dengan cara memadukan dengan kosakata yang sudah ada. Berdasarkan uraian yang berkaitan dengan leksikon tersebut, pada dasarnya manusia sangat pandai dalam pemanfaatan pemakaian bahasa, baik secara fungsional maupun dengan majas dan gaya bahasa. Keindahan kata-kata sebagai suatu sistem dapat dilayani oleh manusia melalui kemampuannya untuk mengabstraksikan apa yang dikenalinya. Leksikon yang akan dikodifikasikan dalam tulisan ini menyangkut kosakata asing yang muncul dan digunakan dalam media cetak pada masa penjajahan Jepang. 34 PROSIDING Adapun metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode deskriptif dan teknik pengumpulan data dilakukan secara acak. Data yang terkumpul dicatat sesuai dengan tujuan dan ruang lingkupnya, yaitu berupa leksikon atau kosakata asing yang terdapat dalam media massa cetak. Data yang sudah dicatat kemudian diklasifikasi dan dianalisis. Klasifikasi data didasarkan pada bentuk leksikon atau kosakata yang berbahasa asing, antara lain, berbentuk kata, gabungan kata, istilah, bahasa Jepang, dan bahasa asing. (Sudaryanto dalam Indiastini, 2009). 3. Leksikon Berbahasa Asing dalam Media Massa Cetak pada Masa Penjajahan Jepang Pendeskripsian leksikon berbahasa asing pada masa penjajahan Jepang dapat berupa pemunculan leksikon atau kosakata yang berkaitan dengan berbagai bidang. Leksikon tersebut dapat berupa gabungan kata, kata umum, dan istilah. Di samping itu, leksikon asing tersebut terdapat dalam berbagai bahasa dan berbagai terbitan pada masa itu. Bahasa asing yang digunakan, antara lain bahasa Jepang, bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa lainnya, seperti Arab dan Persia. Terbitan atau media massa cetak tersebut, antara lain bentuk majalah, misalnya, majalah Pandji Poestaka, yang terbit pada massa penjajahan Jepang. Dari data yang terkumpul diperoleh leksikon yang dapat dikelompokkan sebagai berikut. 3.1 Leksikon Berbahasa Jepang Leksikon berbahasa Jepang pada media cetak pada masa itu muncul dalam berbagai bentuk, antara lain sebagai berikut. 3.1.1Berbentuk Ungkapan Ungkapan dapat dimaknai sebagai kelompok atau gabungan kata yang menyatakan makna khusus (makna unsur-unsurnya seringkali menjadi kabur) (KBBI, 2011:1529). Bentuk ungkapan yang digunakan pada waktu itu, antara lain sebagai berikut. Maka kini kita berhadapan poela dengan soeatoe pekerdjaan berat jang lebih penting lagi, ja’ni: menjoesoen soeatoe negeri jang sentosa dan ma’moer bagi segala bangsa Asia Timoer, selaras dengan tjita-tjita jang loehoer Hakko Ichiu (Persaudaraan Seloeroeh Doenia) (PP; 2603; TH XX; 100:1) Ada seboeah bidal Nippon jang termasjhoer, jaitoe: ,,Djoeyoku-goo-seisu’’ jang artinja: Biarpoen lemah, dengan melaloei latihan jang soenggoehsoenggoeh dan teratoer, kelak dapat mengoeasai orang-orang jang Besar dan bertenaga (PP, 2602,Nomor 33, Tahoen XX) PROSIDING 35 Menanam messhi-hookoo (semangat bakti kepada Negara) sematjam di Nippon, dalam hati kanak-kanak sesoeboer-soeboernja(PP, 2602,Nomor 33, Tahoen XX) Perkataan Kokusai Gakuyu Kai sebenernja berarti: ,,Persatoean Oentoek Mengenal Persahabatan Internasional (PP; 2603 ; TH XX; 107:2) Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa bahasa Jepang yang digunakan dalam bentuk ungkapan, pada umumnya ungkapan itu bertujuan memberi semangat dan sebagai propaganda kecintaan terhadap Jepang. Ungkapan yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jepang tersebut disertai juga terjemahan dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, muncul pula bentuk ungkapan dalam bahasa Jepang yang digunakan untuk memuji, misalnya dalam ungkapan berikut. Minasan oshare desu nee, “ kedengaran poela soeara salah seorang anak toean roemah itoe. Ketika kami dalam beranda roemah. Maksoednja kami berpakaian serba parlente atau berlebihan, ....(PP, 2602,Nomor 33, Tahoen XX) 3.2 Nama Lembaga/ Kantor Pemerintah Nama lembaga atau badan pemerintahan pada masa penjajahan yang semula menggunakan bahasa Inggris atau Belanda oleh Jepang diubah dengan menggunakan bahasa Jepang. Misalnya sebagai berikut. Perikanan. ,,Jeifoekeo Sangjokosi” ialah kantor perikanan jang terbesar di Djawa-Barat akan meloeaskan hal perikanan, teroetama di tempat-tempat pemajangan dan perikanan diloear daerah Djakarta.(PP, 2603, No. 33, Th XX) Sekiyu Haikyu Zyo adalah soeatoe badan jang memperoesahakan pembagian petroleum product seperti: minjak tanah, benzine, minjak solar, minjak bakar, minjak smeer, gemoek (vet) dan sebagainja. ....(PP, 2602, No. 33, Tahoen XX) Disahkan oleh Pemerintah dan mendapat hak Zai Dan Hozin (Founditional Juridical Person((PP; 2603; TH XX) Imperial Diet (Teikoku-Gikai) Nippon – Dewan Keradjaan Minister of Welfare – Menteri Kemakmoeran Minister of Greater East Asiatic Affairs – Menteri Asia Timoer Raja Itoelah keterangan sesingkat-singkatnja tjara membentoek Kodomo-Jokai sebagai ,,barisan terketjil” oentoek menjelesaikan oesaha perang menoedjoe kemenangan achir 36 PROSIDING Lebih loeas dan barangkali lebih berpengaroeh lagi, adalah pekerdjaan perkoempoelan perempoean jang diseboet: ,,Kagayaku Butai” (perkoempoelan jang Moelia) (PP; 2603; TH XX; 100:2) Kyoshinkai hendak menoendjoekan poela kepada loear negeri, bahwa kaoem wanita Nippon tidak hanja dapat memikirkan oeroesan dapoer sadja, melainkan djoega toeroet serta memikirkan masalah-masalah jang mengenai kemadjoean bangsa Nippon sebagai bangsa jang telah diakoei kekoeasaannja dalam doenia ini.(PP; 2603; TH XX; 100:2) Seibu Tyokin Sikyoku (Kantor Taboeng Pos) memberi kesempatan seloeasloeasnja oentoek menjimpan.(PP; 2603; TH XX; 153:3) Para pembatja sedikit hari lagi (tgl. 11 boelan ini) dapat menjaksikan sendiri di Goenseikanboe Sanggyobu, gedoeng bekas kantor K.P.M. didjalan Gambir Timoer, Djakarta.(PP; 2603; TH XX; 154:1) Diseloeroeh poelau Djawa Wetan Sekiyu Zyo boeat sementara waktoe telah memboeka tempat-tempat pembagian (depot Selainnja melakoekan pembagian produkt minjak jang setjara adil. Sekiyu Zyo djoega elah menerima perintah dari Commandant Balatentara Dai Nippon boeat membeli verpakking kosong seperti drum, blek, tong, d.s.b.nja (PP; 2603; TH XX) Chuuoo Seinen Kunrensho, Poesat Latihan Pemoeda, tempat mendidik pemimpin Seinendan!....Maka dari itoe ketika akoe ditanja oentoek masoek latihan di Chuuoo Seinen Kunrensho, dengan segala girang hati akoe bersanggoep. .(PP; 2602; No.9, TH XXI Pemakaian bahasa Jepang berkaitan dengan nama lembaga atau kantor pemerintah pada media massa cetak pada umumnya merupakan pengalihan nama dari bahasa Belanda atau bahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Jepang. Selanjutnya, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, misalnya Chuuoo Seinen Kunrensho, Poesat Latihan Pemoeda. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pemakaian bahasa Jepang untuk nama lembaga ini selain merupakan terjemahan bahasa Inggris atau Belanda, nama lembaga tersebut juga diberi terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, misalnya Kagayaku Butai” (perkoempoelan jang Moelia), Seibu Tyokin Sikyoku (Kantor Taboeng Pos). Namun, ada pula nama lembaga pemerintahan yang tetap menggunakan bahasa Inggris, tanpa diberi terjemahan bahasa Jepang, misalnya, Minister of Welfare – Menteri Kemakmoeran; Minister of Greater East Asiatic Affairs – Menteri Asia Timoer Raja. PROSIDING 37 Pemakaian bahasa Inggris digunakan juga secara bersama-sama dengan bahasa Belanda dan Jepang, misalnya, ... Sekiyu Zyo boeat sementara waktoe telah memboeka tempat-tempat pembagian (depot Selainnja melakoekan pembagian produkt minjak jang setjara adil. Sekiyu Zyo djoega telah menerima perintah dari Commandant Balatentara Dai Nippon boeat membeli verpakking kosong seperti drum, blek, tong, Oleh karena itu pengubahan nama dari bahasa selain bahasa Jepang ke bahasa Jepang tidak serta merta menghilangkan bahasa tersebut. Misalnya, Zai Dan Hozin (Founditional Juridical Person) merupakan nama lembaga yang masih tetap diberi padanan dengan bahasa aslinya (bahasa Inggris). 3.3 Dalam Bidang Seni dan Olahraga Pemakaian bahasa Jepang dalam media massa cetak dalam bidang seni dan olahraga meliputi: permainan, baris-berbaris, seni merangkai bunga, dan seni musik. Misalnya sebagai berikut. Dalam seni merangkai bunga dapat ditemukan istilah sebagai berikut, Sebenernja, perkataan mengarang boenga itoe – ikebana – boleh dikatakan beloem lama. Sebeloem itoe biasanja diseboet Rikkwa, jaitoe tjara jang menoeroet kebiasaan semata-mata dan jang sangat mementingkan teknik dan atoeran-atoeran jang telah ditetapkan. ....Menoeroet Teshigawara ikebana itoe menoendjoekan semangat Nippon jang diseboet Furyu. Telah diketahoei dimana-mana, bahwa semangat bangsa Nippon itoe adalah perpadoean semangat Bushido dan Furyu, sedang semangat Bushido itoe memberi tenaga kepada pendoedoek kepoelauan Nippon oentoek tetap bersemangat laki-laki, koeat dan berdjoang sesoanggoeh-soenggoehnja oentoek mempertahankan kebangsaannja, maka semangat Furyu mengadjak memasoeki taman keindahan dan kesenangan oentoek memperoleh kesetimbangan dengan kekerasan semangat Bushido, apabila didalam alam jang permai jang berhiaskan keindahan itoe. Semangat jang memimpin memasoeki taman keindahan semasoek-masoeknja, sambil beroesaha mengadakan kesetimbangan antara kekerasan dan keindahan, ialah semangat Furyu, jang menimboelkan kegembiraan, kesenangan, dan kesesoeaian rohani jang tidak terhingga.....Tjara mengarang boengakado-sangat madjoe dimasa momoyama.....Walaupoen demikian, dimasa aliran Rikkwa, ada djoega beberapa orang jang sangat loeas toedjoean keseniannja, jang mengandjoerkan soepaja ditoeroet tjara mengarang jang tidak menoeroet atoeran telah ditetapkan.(PP; 2603 TH XX; 107:2) Toconama (bilik ketjil) jang ada didalam kamar tamoe dari tiap-tiap roemah orang Nippon, ialah tempat orang Nippon memoedja keindahan dan 38 PROSIDING kesenian. Toconama itoe ialah tempat jang teroetama dan menarik hati karena tjantiknja, sebab disitoelah tergantoeng kakemono dan terdapat karangan boenga jang sedap dipandang mata, jang mendjadikan perhiasan bilik jang lengkap.(PP; 2603; TH XX; 108:2) Dalam bidang seni bahasa Jepang tidak digunakan istilah yang berkaitan dengan seni merangkai bunga saja, tetapi ditemukan juga istilah untuk ruangan, misalnya toconama (bilik ketjil) untuk menempatkan rangakaian bunga ikebana. Istilah seni musik dalam bahasa Jepang dapat ditemukan sebagai berikut. Tanda-tanda jang dapat menjatakan boenji asli itoe, dinamai orang dalam kesenian boenji (lagoe), not moesik (Gakoehoe). Oentoek mengetahoei not oesik itoe, adalah peratoerannja: dalam bahasa Nippon GAKOETEN namanja (PP; 2603; TH XX; 1:1) Garis-garis pendek dinamai garis tambahan, dalam bahasa Nippon KASEN. (PP; 2603; TH XX; 1:2) Sematjam ini, dikatakan ,,notebalk persamaan” ; namanja bahasa Nippon SOHOEHJO, pemimpin didalam memimpin, haroes mempergoenakan notebalk persamaan itoe djoega. (PP; 2603; TH XX; 280:1) Notebalk jang atas memakai koentji not jang tinggi dan notebalk jang bawah memakai koentji not jang rendah. Sematjam itoe diakatakan notebalk jang besar, namanja dalam bahasa Nipoon DAIHOEHJO. (PP; 2603; TH XX; 280:1) Tentang notebalk (Hoehjo) dan tanda boenji (Onpoe) Oentoek menoeliskan not-not moesik, dipergoenakan notebalk; dalam bahasa Nippon HOEHJO atau GOSEN namanja. Hoehjo itoe soedah ditetapkan lima garis jang sama besar djaraknja. (PP; 2603; TH XX; 1:1) Koentji itoe diseboet dalam bahasa Nippon ONBOEKIGO. (PP; 2603; TH XX; 1:2) Boelatan pada tanda boenji itoe, namanja dalam bahasa Nippon HOE TOE dan garis jang tegak namanja HOE BI, jang sepertin bendera namanja KAGI. (PP; 2603; TH XX; 280:2) Berdasarkan data dalam bidang seni musik lebih banyak ditemukan istilah yang berkaitan dengan tanda nada, misalnya hoehjo, atau gosen. Dalam bidang olahraga dapat ditemukan istilah-istilah sebagai berikut Akan tetapi boeat oemoem base-ball itoe baroe. Permainan itoe diseboet oleh orang banjak: kasti Nippon PROSIDING 39 Disinilah letaknja perbedaan antara olah-raga (sport) Nippon dan olahraha lain-lain begeri Barat. Dengan latihan-latihan itoe maka Nippon-seizen (Budho-seizin) senatiasa dipelihara. Akan tetapi oentoek memperoleh Nippon (Budho)-seizin tadi. Mereka itoe akan dapat mempoenjai dan mempoesakai Nippon-seizin (Budhoseizin).(PP; 2603; TH XX; 108:2) Waktoe melakoekan ..sei-keirei”, kain kepala, sorban atau koepiah boleh teroes dipakai, tetapi top Nippon-Too, pedang Nippon, jang berkilaukilauan itoe – barangkali orang Indonesia djoega mengetahoei – boekan sebarang pedang, sebagai mana pedang biasa, karena pedang Nippon diperboeat tidak seperti pedang-pedang jang lain..... Dengan lain perkataan pedang Nippon (Nippon-Too) penoeh berisikan djiwa soetji, djiwa ksatria. Kalau demikian keadaan Nippon-too, maka demikian poelalah keadaan djoedo, dan demikian djoega Kendo (latihan pedang Nippon) Tetapi jang termasoek kyooren boekan hanja berbaris itoe sadja, ada lagi jang haroes kami peladjari, jaitoe santoo kyooren atau latihan perangperangan. Ketjoeali itoe kami peladjari djoega mempergoenakan bajonet (jukenjutsu) dan pedang (kendoo) jang ketjoeali diperloekan oentoek sentoo kyooren, djoega oentoek mempertebal semangat berdjoeang dan menanam keberanian serta kepertjajaan pada diri sendiri. Dengan mempraktekan latihan kesenian budo ini di Butokuden, maka selesailah kunren kami jang tiga boelan lamanja itoe. Seminggoe sebeloem penoetoepan diadakan Ken Etsu atau pemeriksaan oleh pihak militer. Poesat pendidikan pemoeda Indonesia Di Semarang telah dilantik dengan resmi seboeah badan tempat mendidik pemoeda-pemoeda Indonesia setjara militer Nippon, jaitoe ,,Seinendan” namanja. Jang ikoet latihan itoe pada waktoe ini 100 orang pemoeda banjaknja. Sai-keirei adalah satoe tjara orang Nippon memberi hormat kepada TENSO HEIKA serta keloerga Baginda (demikian djoega kepada gambar Baginda, Istana Baginda, waktoe orang mendengarkan sabda Baginda dibatjakan, dan lain-lain jang berkenaan dengan TENNO dan keloergaNja. (PP; 2603; TH XX; 299:1) Selain sei-keirei, ada poela keirei biasa, jaitoe tjara memberi hormat jang dilakoekan oleh orang Nippon, misalnja kepada orang-orang jang tidak dikenal, orang2 toea, pembesar-pembesar dan djoega kepada bendera Nippon, tetapi dalam keirei biasa ini, badan diboengkoekkan sedikit 40 PROSIDING sadja, jaitoe antar 15 dan 30 graad, djadi tidaklah sedalam sei-keirei.(PP; 2603; TH XX; 298:3) Apabila orang sampai pada bagian ,,roekoe” (memboengkoekkkan badan), laloe badan diboengkoekkan sampai 90 graad (djadi memboengkoek lebih dalam dari pada ,,sai keirei”. (PP; 2603; TH XX; 298:1 Istilah yang berkaitan dengan olahraga dalam media cetak pada masa pemerintah Jepang memperkenalkan istilah yang berkaitan dengan gerakan yang dilakukan untuk menghormat pada Tenno. Di samping itu, banyak ditemukan istilah-istilah yang digunakan dalam permainan pedang. Permainan kasti dalam bahasa Jepang merupakan padanan dari permainan base-ball dalam bahasa Belanda. Istilah dalam dunia kemiliteran juga ditemukan, misalnya, pemeriksaan oleh militer yang disebut Ken Etsu. Pemakaian istilah olahraga dalam bahasa Jepang juga diberi penjelasan dengan menerjemahkan leksikon tersebut ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, misalnya, not balok (notebalk), olahraga (sport), dan latihan perang-perangan ( santoo kyooren). Di samping itu, pemerintahan Jepang juga memasukkan istilah militer dalam leksikonnya yang termuat dalam media massa cetak . Misalnya, kunren untuk latihan berat; koodoo (roeang sekolah), dan tenko untuk apel pagi. Leksikon tersebut ditemukan pada data berikut ini. Latihan jang berat itoe tidak mengizinkan perbedaan diantara para Kunrensei. Semoea sama, semoea anggota Seinendan, semoea berhaloean dan bertoedjoean satoe. Berkat kyooren sehari-hari itoe maka timboellah perasaan sependeritaan dan sekehidupan sebagai satoe keloerga. Adapoen jang dimaksoedkan dengan latihan berat (kunren) di Chuuoo Seinen Kunrensho itoe boekan hanja berbaris sadja. Makan, tidoer, mandi dan lain-lainnjapoen termasoek kunren djoega. Seperempat djam kemoedian haroes soedah siap dilapangan oentoek tenko (apel) pagi. Setengah Sembilan kami makan, dan poekoel 9 moelailah kyooren. Waktoe jang sepanas-panasnja, kami moelai lagi kyooren. Tenko malam ini tidak diambil dilapangan, melainkan didalam asrama. Sehabis tenko kami pergi ke koodoo (roeang sekolah) oentoek beladjar pengetahoean bermatjam-matjam, soepaja beladjar pengetahoean tentang kemiliteran dan pertanian, mempoenjai djoega pengetahoean oemoem setjoekoepnja. Kadang-kanga djoega kami tidak ke koodoo, tetapi berkoempoel dilapangan oentoek beladjar menjanji dan teriak memberi komando. PROSIDING 41 Di samping itu, ditemukan pula istilah yang digunakan untuk nama tanaman, makanan dan pakaian sebagai berikut. Ditoemboehi dengan pohon tjemara (matsu). Selain nama tanaman dalam terdapat juga leksikon larangan yang berbahasa Jepang dan dipadankan dalam bahasa Belanda, misanya larangan ini mengenai lelang Zeisankanri Kjokoe (weeskamer). hagoromo”. (bajoe dari pada boeloe) jang tersangkoet diatas seboeah dahan pohon tjemara jang toemboeh dipinggir laoet itoe. sooe soean kake (ikan koekoes); tamago ndan (mi teloer) 3.4 Leksikon Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda 3.4.1 Bidang Pemerintahan/Usaha Leksikon yang digunakan dalam bidang pemerintahan banyak digunakan istilah berbahasa Belanda, misalnya sebagai berikut. Moelai tahoen 2566 (1906 M) koentan seloeroehnja ta’loek kepada pemerintah Belanda dan didjadikan Daerah ,,Zelfbetuur”. Boekan sadja dilapangan politik, ekonomi, sosial dan doenia pengetahoean seoemoemnja (sedangkan ilmoe pasti ada mempoenjai ,,combinatiedan sermutatieleer” !), akan tetapi didoenia sehari-hari peon kombinasi itoe ada kedapatan apa lagi dalam doenia ,,soeara” (toon). Tarip-tarip kereta api oentoek orang penoempang didjadikan satoe soesoenan, agar soepaja dapat dipakai disemoea djalan (lijn) kereta api diseluruh Djawa. President, Directors; General Secretary: Kereta api jang biasanja menjediakan kereta makan (restauratie), sekarang kereta makan itoe tidak ada lagi 3.4.2 Bidang Olahraga Dalam bidang olahraga banyak digunakan leksikon berbahasa Inggris. Hal itu dapat ditunjukkan sebagai berikut. Permainan base-ball di Indonesia, sebetoelnja tidak asing lagi Sedjarah base-ball poen tidak akan kami tjeritakan *) pelempar (pitcher); penangkap=catcher; pendjaga tikar (baseman); penadah-dekat (short stop); penadah djaoeh (outfilder); pemoekoel (batsman); pelari (base-runner). Sehingga pemoekoel ,,out.” Salah satoe bentoek perdjalanan bola jang terkenal ialah ,,outcurve” Mengenai tanah, dihitoeng satoe ,,out”. Djika pelari dapat melaloei tikar-tikar itoe sekali lari sampai ke ,,roemah” (home), ia dinamai ,,homerunner”. Olah-raga=sport dalam arti seloeas-loeasnja. gerak badan (gymnastiek), misalnja: menggerakkan badan menoeroet tjara Zweden, Djerman, dan 42 PROSIDING lain-lain. Permainan base-ball, sepak raga, rugby, football, dan lain-lain sport telah mendjadi sport nasional Nippon, teroetama selama dalam Sekolah Tinggi sangat menarik perhatian maha siswa. 3.4.3 Bidang Tranportasi dan Layanan Publik Leksikon berbahasa Belanda dan Inggris yang digunakan dalam bidang tranportasi dan layanan publik pada masa itu, antara lain sebagai berikut. Tarip-tarip baroe oentoek pengiriman barang dan sepeda ialah sebagai berikoet (jang diseboet barang disini, ialah bestelgoed dan baggage) Soepaja pengiriman vrachtegoed itoe dapat dioeroes dengan moedah dan tjepat. Tarip vrachtgoed kelas standard (kelas 3) adalah sebagai berikoet Kewajidban, membajar padjak kenderaan. Beberapa hari lagi akan diadakan pemeriksaan tentang pembajaran padjak kenderaan (pemakaian penning) 3.4.4 Bidang Ekonomi dan Perdagangan Leksikon yang berkaitan dengan bidang ekonomi perdagangan ini termasuk dalam media cetak, antara lain sebagai berikut. Kereta api jang biasanja menjediakan kereta makan (restauratie), sekarang kereta makan itoe tidak ada lagi lampoe, kapoer (gebluschte kalk) Barang lain seperti aspal, semen, welirang, melasse Biaja jang biasa dikenakan atas pengiriman vrachtgoed dihapoeskan. Pemberi tahoean telah menerima (kennisgeving van ontvangst) dibebaskan; Jang mengirimkan barang memakai dekkleed (toetoep) tidak dikenakan ongkos. Cylinder jang digoenakan oentoek mengangkoet zuurstof atau acetylen dll. ; Katjang kedele, bawang, tembakan iris (jang dibikin dan didjoeal oleh pendoedoek asli), rempah-rempah, kajoe api, arang kajoe, arang briket dan cokes, genteng, bamboe, barang-barang jang diboeat dari besi, badja, poepoek (gemoek), makanan hewan, seng, minjak Pemakaian listrik dikamar-kamar djoega dibatasi. Dan bagaimana djoegapoen dingin hawa, tetapi alat pemanas kan kamar (kachel) tidak dapat dipakai karena ketiadaan batoe arang (steerkool) 3.4.5 Ilmu Pengetahuan dan lain-lain Leksikon yang termasuk dalam ilmu pengetahuan meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan. Adapun leksikon yang termasuk dalam bidang lain-lain dapat berupa kata yang umum. Perhatikan contoh berikut ini. PROSIDING 43 Tjara jang se-,,efficient-efficient”-nja terhadap sja’ir jang sematjam itoe? Tiadalah ia tinggal hanja kepada observatie sadja. Peratoeran-peratoeran jang diambilnja dinamakan ,,cultuurstelsel” (2493 atau 1833 M.). Tentang indoestri goela adalah seperti berikoet. Hewan penarik dan pembadjak, dan oleh karena itoe mereka diloepoetkan dari ,,goegoer goenoeng”, heerendienst. Sekalian pekerdjaan dibajar dengan penghasilan paberik, dipotong padjak tanah.(PP2) Inilah jang menjebabkan indoestri goela dari tebo, dapat poela bersaingan kembali dengan indoestri goela dari ,,beetwortel”. Oemoemnja perkakasa pemanas (heater) baroe dalam bolean Desember diboeka. Mengoeatkan tenaga dibelakang garis peperangan (front), ialah mengoeatkan benteng ra’jat dibelakang front, mengadakan pergerakan oentoek menegoehkan masjarakat dalam masa peperangan.(PP1) Karena perasaan terdesak, maka seorang impressionis mentjari effect dengan akal. Impressionis-impressionis, Jang dinamakan orang. Post naturalisme? (expressionismus). Boekan hendak meloekis bagaimananja, tapi apanja (zijn)(PP3) Jang beladjar dengan langsoeng atau tidak dengan langsoeng (autodidakten), djanganlah sampai menipoe diri sendiri. (PP, 3ri 2603; Th XXI)3) boeat kenderaan dikota Djakarta. Orang jang beloem membajar ,,penning” oentoek tahoen ini, haroes selekas-lekasnja membeli penning dikantor Bendahari Kota, di Kebon Sirih No. 22 soepaja djangan mendapat kesoekaran. Atau seperti dikatakan oleh Max Muller: Bahasa itoe ialah rubicon (maksoed-nja: watas, jaitoe menoeroet nama seboeah soengai di Itali) jang beloem diseberangi oleh hewan. Dalam ilmoe alam orang memboeat kata molecule oentoek menghentikan pikirannja. Akan tetapi biarlah soal psychology ini akan lepaskan dahoeloe dan saja bentangkan dalam karangan lain, djikalau ada kesempatan jang baik. Apakah jang dinamakan intellectualisme itoe? Intellectualism adalah aliran kegila-gilaan kepada pengetahoean, aliran maboek pada hikmat, dan letaknja adalah soedah diloear batas-batas sembojan: Knowledge is power. (pengetahuan itoe kekoesaan). Intellectualism itoelah penjakit disekolah kita pada zaman Belanda. Sifat intellectualism itoelah jang memaksa anak-anak sekolah Mulo beladjar antomie badan manoesia, seolah-olah mereka soedah di Sekolak Tabib Tinggi. Memang aliran intellectualisme ini wajib dibranteras. 44 PROSIDING Dan dalam ilmoe pengetahoean ada bagian-bagian jang tidak laik ditentang, dari fihak manapoen djoega, jaitoe bagian exacte wetenschappen, ‘ilmoe-ilmoe jang njata dan tidak mungkin di sangkal, teristimewa ‘ilmoe pasti (mathematica) dan ilmoe alam (physica) Tetapi hikmat zaman sekarang menetapkan, bahwa saban zarah (atoom) itoe terdiri dari satoe poesat, jaitoe electron, jang dikelilingi oleh beberapa ,,badab’’ lain, namanja: ion. ‘Ibarat matahari dikelilingi beberapa bintang beredar (planeet). Dan pendapatang jang baroe sekali ialah: bahwa ion itoe tidak dapat diraba, oleh karena boekan zat (stof) dan hanja berisi listerik. Mendjadi: tiap-tiap barang-barang jang soedah tentoe terdiri dari stof, apabila petjah-petjah, hingga mendjadi seketjil-ketjilnja, mendjadi boekan stof! Komisi Bahasa Indonesia. Oleh komisi terseboet dipoetoeskan akan memboeat Tata-Bahasa (grammatica) baroe tentang bahasa Indonesia. Berhoeboeng dengan bahaja bandjir ini oepsir-oepsir dari centraal dan dari tempat-tempat disekitarnja diperintahkan oentoek memberi bantoean setjoekeopnja. Karena waktoe liboeran, kami memakai pakaian sipil, djadi boekan pakaian sekolah (uniform). Boekan sadja dilapangan politik, ekonomi, sosial dan doenia pengetahoean seoemoemnja (sedangkan ilmoe pasti ada mempoenjai ,,combinatiedan sermutatieleer” !), akan tetapi didoenia sehari-hari peon kombinasi itoe ada kedapatan apa lagi dalam doenia ,,soeara” (toon). (PP,No.9 Djanuari 2603; Th XXI) Betoel kita tidak selaloe bertemoe dengan nama ,,kombinasi”, akan tetapi itoelah jang dimaksoed dalam ’Ilmoe Filsafat, ’Ilmoe Masjarakat’, Ilmoe Djiwa’, Ilmoe pendidikan atau Ilmoe Moesik dengan kata-kata Adaptie, Relatie, Intentie, Cor-relatie dan Harmonie). (PP,No.9 Djanuari 2603; Th XXI) Boeat mengirim peladjar-peladjar keloear negeri oentoek mengadakan pertemoean besar dari pada peladjar-peladjar belaka (Students conference). Selain bahasa Jepang, bahasa Inggris, dan bahasa Belanda dalam media cetak pada masa itu terdapat unsur bahasa lain, misalnya, bahasa Arab Keinternasional-an, koendjoengan persahabatan, erti-mengerti (understanding), dan perikatan tali silatoerrachim. Bahasa Persia, yang berasal dari bahasa Arab, misalnya divan”, tidaklah teringat oleh orang jang gila barat itoe, bahwa divan itoe asalnja dari kata bahasa Arab diwan, jang sebetoelnja asalnja dari bahasa Persia jang artinja register (PP; 2603; TH XX; 105:2) PROSIDING 45 4. Simpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa leksikon yang berbahasa asing yang muncul atau digunakan pada media massa cetak pada zaman Jepang tidak serta merta didominasi oleh bahasa Jepang. Leksikon berbahasa asing Belanda dan Inggris masih banyak digunakan dalam berbagai bidang, antara lain, berbagai bidang ilmu pengetahuan, bidang olahraga, pemerintahan, dan ekonomi dan perdagangan, dan pendididkan. Leksikon dalam bahasa Belanda maupun bahasa Inggris juga banyak digunakan dalam bentuk kata atau leksikon yang bersifat umum. Artinya, leksikon itu digunakan tidak sebagai bentuk istilah, tetapi dalam bentuk kosakata yang umum digunakan untuk berkomunakasi. Hal itu dimungkinkan karena Indonesia mengalami penjajahan Belanda yang cukup lama. Oleh karena itu, pemunculan bahasa tersebut masih sangat banyak digunakan di media massa cetak pada masa itu, meskipun pemerintahan Jepang pada masa itu menganjurkan pemakaian bahasa Jepang atau bahasa Indonesia. Namun, pada kenyataannya perkembangan bahasa Jepang di media cetak pada masa itu tidak seperti yang diharapkan oleh pemerintahan Jepang. Hal tersebut dimungkinkan juga karena media massa cetak sulit dikendalikan dalam hal pemakaian bahasanya dibandingkan dengan bahasa lisan yang mungkin digunakan di lembaga pemerintahan, misalnya, RRI. Leksikon berbahasa Jepang pada masa itu digunakan dalam bentuk istilah dalam pemerintahan, Seibu Tyokin Sikyoku ‘Kantor Taboeng Pos’. makanan , tamago ndan ‘mi teloer’, seni gakoehoe ‘not musik’, dan nama perkumpulan atau organisasi, Kyoshinkai” ‘Persatoean Kaoem Perempoean jang tidak mementingkan diri sendiri’, Hakko Ichiu ‘Persaudaraan Seloeroeh Doenia’. Kagayaku Butai ‘Prkoempoelan jang Moelia’ Leksikon berbahasa Indonesia juga digunakan untuk memberi penjelasan bahasa Jepang atau bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa asing yang lain. Di samping itu, terdapat pula bahasa Jepang yang diberi penjelasan dalam Belanda atau Inggris, begitu pula sebaliknya bahasa Inggris atau Belanda yang diberi penjelasan dengan menggunakan bahasa Jepang. Selain itu, terdapat leksikon atau kosakata dalam bahasa asing yang lain, misalnya bahasa Romawi (gula ‘saccharam’, Arab zarah (atom), dan Persia (gula ‘sjakar’). Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa bahasa Jepang tidak banyak berpengaruh pada media massa cetak, meskipun pada masa penjajahan Jepang. Tulisan ini masih merupakan tulisan awal dan sangat dangkal. Oleh karena itu, masih sangat diperlukan kajian lebih mendalam dan rinci. 46 PROSIDING DAFTAR PUSTAKA Asmadi, TD. 2008. “Merintis Bahasa Jurnalistik Baku untuk Mencerdaskan Bangsa”, Makalah dalam Konggres IX Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Bromley . 1992. Langage Arts: Exploring Connections. Edoisi Kedua. Boston: Allyn and Bacon. Pusat Bahasa. 2008. Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Edisi Ketiga: Jakarta: Pusat Bahasa. Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi dan leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Putera, Prakosa Bhairawa. 2010. “Peranan Media Massa Lokal dalam Pemertahanan Bahasa Ibu di Bangka Belitung” dalam Menyelamatkan Bahasa Ibu sebagai Kekayaan Budaya Nasional. Bandung: Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print. Sugono, Dendy et.al 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat Jakarta, Gramedia. Verhaar, J.W.M. 2001. Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sumber Data Majalah Pandji Poestaka, Nomor 33, November 2602, Tahoen XX. Majalah Pandji Poestaka, Nomor 33, November 2602, Tahoen XX. Majalah Pandji Poestaka, Nomor 2, Djanoeari 2603, Tahoen XXI. Majalah Pandji Poestaka, Nomor 3, Maret, 2603, Tahoen XXI. PROSIDING 47 48 PROSIDING WACANA RITUAL HARI LAHIR DALAM MASYARAKAT BALI KAJIAN LINGUISTIK ANTROPOLOGI I Gde Wayan Soken Bandana Balai Bahasa Provinsi Bali pos-el: bandana_soken@yahoo.co.id Inti Sari Wacana ritual hari lahir adalah sebuah wacana dalam hubungannya dengan ritual keagamaan, yaitu manusa yadnya yang dilaksanakan saat si bayi telah berusia enam bulan atau 210 hari bertepatan dengan hari kelahirannya menurut kalender atau sistem penanggalan Bali. Wacana ritual hari lahir adalah sebuah studi Linguistik Antropologi, karena berhubungan dengan makna yang bersifat interpretatif. Di samping itu, di dalam upacara tersebut terdapat bentuk atau struktur, fungsi, dan makna pemakaian bahasa yang merupakan objek materi kajian dalam Linguistik Antropologi. Dalam hal ini bahasa berperan mempertahankan dan mengembangkan aktivitas budaya. Secara umum, ritual hari lahir adalah sebuah ritual untuk membayar hutang moral umat Hindu kepada para leluhurnya yang dianggap berjasa terhadap kehadirannya di dunia ini. Sebagai sebuah wacana, ritual hari lahir memiliki bentuk/struktur linguistik yang terdapat pada mantra dan saa, fungsi, wujud ritual, dan makna. Analisis dalam tulisan ini difokuskan pada struktur kalimat imperatif, fungsi wacana, wujud ritual, dan makna budaya. Kata kunci: hari lahir, struktur linguistik, fungsi, makna Abstract Birthday ritual discourse is a discourse in relation to religious ceremony, that is manusa yadnya which is conducted at the baby’s age of six months or 210 days or exactly on its birthday according to Balinese calendar. Ritual discourse is anAnthropology linguistics study dealts with interpretative meaning. Besides, there are form or structure, function, and meaning of language usage whics are object of Anthropology Linguistics study. In this case, language plays the role to maintain and develop cultural activity. Generally, birthday ritual is a ritual to pay moral debt of Hindu to anchestor who are considered PROSIDING 49 to serve it’s existance in the world. As a discourse, birthday ritual has linguistic form/structure which is available in mantra and saa, function, ritual form, and meaning. The analysis focused of imperative sentence structure, discourse function, ritual form and cultural meaning. Keywords: birthday, linguistics structure, function, meaning 1. Pendahuluan Ritual Kelahiran dalam masyarakat Bali lebih dikenal dengan otonan. Otonan adalah bagian dari ritual manusa yadnya ‘kurban suci untuk manusia’. Ritual tersebut dilaksanakan untuk membalas hutang moral kepada leluhur. Hal itu disebabkan oleh umat Hindu mengajarkan kepercayaan kepada reinkarkasi. Anak-anak yang dilahirkan adalah penjelamaan leluhurnya terdahulu. Mengupacarai anak adalah bentuk pengabdian kepada leluhur. Dengan mensucikan anak, berarti juga mensucikan leluhur. Karena itu, otonan, seperti upacara manusa yadnya yang lainnya, yaitu bayi lahir, kepus puser ‘putusnya tali pusar’, tiga bulanan, dan perkawinan perlu dilaksanakan (Suarjaya, dkk., 2008:13). Kata otonan atau pewetonan berasal dari kata wetu ’keluar, terbit, timbul, lahir’ (Mardiwarsito,1978:402; Suparlan, 1988:306). Kemudian mengalami afiksasi dengan mendapat konfiks pe-/-an menjadi pewetuan. Selanjutnya, mengalami proses persandian dan sufiksasi menjadi pewetonan. Sementara itu, dalam Kamus Bali-Indonesia (Warna, 1991:481), memuat kata oton yang berarti 210 hari; moton ‘merayakan hari lahir tiap 210 hari; otonan ‘hari kelahiran, hari jadi (tiap 210 hari). Ritual kelahiran dipimpin oleh pendeta atau keluarga tertua dalam rumah tangga (Suarjaya, dkk., 2008:67). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa otonan atau pawetonan adalah sebuah ritual untuk memperingati hari kelahiran si bayi. Di kalangan wangsa satria dan brahmana, upacara tersebut umum disebut piodalan/ odalan yang berasal dari kata medal, yang berarti ‘lahir, keluar’. Upacara tersebut dilaksanakan saat bayi sudah berumur 210 hari dalam masyarakat Bali disebut aoton ‘satu oton’ (Kamiartha, 1992:9). Berikut adalah wacana ritual kelahiran yang dikutip dari sebuah buku penuntun yadnya. Data 1. Wacana Ritual Hari Lahir Upacara otonan utawi ngotonin punika kawentenang, nganggen uger-uger pawukon, sane rawuh ipun tunggal 210 rahina, wiadin 6 bulan uku. Ciri-ciri sane wenten ring rarene mayusa 6 bulan punika, sampun ngalimbak ring sane duk mayusa 15 wuku, sahantukan rarene sampun ngawit malajah magaang, sampun ngawit malajah ngucapang wianjana utawi ngrawos tur meled pisan maplalian” (Tuntunan Yadnya,1981:29). 50 PROSIDING ‘Ritual otonan atau ngotonin tersebut dilaksanakan, berdasarkan ketentuan pawukon’minggu’, yang datangnya setiap 210 hari,atau 6 bulan. Tandatanda yang telah terlihat saat bayi telah berumur 6 bulan itu, sudah melebihi dari ketika bayi itu berumur 15 minggu, karena si bayi sudah belajar merangkak, sudah mulai belajar berbicara dan keinginannya yang sangat besar untuk bermain.’ Wacana di atas mengisyaratkan bahwa upacara otonan atau ngotonin dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali ketika si bayi berumur 6 bulan atau 210 hari. Mengapa 6 bulan sama dengan 210 hari? Karena dalam perhitungan kalender Bali, 1 bulan itu sama dengan 35 hari. Jadi, 35 dikalikan 6 sama dengan 210 hari. Waktu 210 hari dalam masyarakat Hindu Bali dikenal dengan satu weton/oton. Dari saat lahir sampai 210 hari berikutnya disebut si bayi itu berumur 1 oton. Pada saat itu dilaksanakan upacara pewetonan sebagai peringatan yang pertama kali bagi kelahiran si bayi. Hari kelahiran yang dimaksud dalam hal ini bukanlah ulang tahun, seperti yang saat ini marak diperingati oleh sebagian besar masyarakat di perkotaan. Hari lahir/pewetonan ini ditentukan berdasarkan perhitungan dina ’hari’, pancawara (umanis, pahing, pon, wage, dan kliwon),dan wuku ‘mingguan’. Perlu diketahui bahwa tidak semua masyarakat Bali melaksanakan upacara itu sampai tua. Artinya, sebagian masyarakat (misalnya, di Kabupaten Badung Utara dan Buleleng) hanya melaksanakan satu kali saja. Pelaksanaan upacara pewetonan yang hanya satu kali saja dalam kehidupan ini, biasanya dilaksanakan dengan tingkatan upacara yang utama ‘besar’ sekalian dengan upacara penebusan oton atau ruwatan. Bagi masyarakat yang mengerti dan mendalami ajaran agama, upacara itu dilaksanakannya setiap 6 bulan sekali sampai tua, bahkan sampai ajal menjemputnya. Dengan kenyataan tersebut, upacara yang dimaksud bukanlah suatu keharusan untuk dilaksanakan sampai tua. Itu adalah sebuah kepercayaan yang sifatnya pribadi yang tidak dapat dipaksakan kepada orang lain. Hal itu dikembalikan kepada situasi dan kondisi masyarakat di mana mereka tinggal, yang diistilahkan dengan desa kala patra. Mengingat konsep Tri Rna ‘tiga hutang moral yang harus dibayar’, yaitu Dewa Rna ‘hutang kepada Tuhan’, Pitra Rna ‘hutang kepada orangtua atau leluhur’, dan Rsi Rna ‘hutang moral kepada Rsi/sulinggih, maka menurut penulis upacara otonan atau hari lahir itu harus dilaksanakan, karena yang namanya hutang harus dibayar. Ritual otonan adalah sebuah wacana yang merupakan bagian dari budaya Hindu yang patut dilestarikan dan dikaji lebih jauh. Sebagai sebuah wacana, ritual hari lahir tentu memiliki struktur bahasa sebagai pengantar dalam ritual. PROSIDING 51 Bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi antara masyarakat Hindu dengan Tuhannya dalam hubungannya dengan ritual hari lahir dikenal dengan mantra dan saa/sesontengan. Struktur linguistik yang khas dalam mantra dan saa itu adalah adanya kalimat imperatif. Di samping memiliki struktur, mantra dan saa tersebut memiliki fungsi tertentu. Selain bahasa, mereka juga menggunakan sarana lain yang disebut upakara’wujud persembahan’ atau sajen. Masing-masing upacara dalam masyarakat Hindu memiliki upakara yang berbeda-beda. Setiap wujud persembahan itu pun mengandung makna tertentu. Berdasarkan kenyataan itu, maka dalam tulisan ini tampak beberapa masalah yang perlu dicari pemecahannya. Adapun masalah-masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah struktur kalimat imperatif wacana ritual hari lahir tersebut? 2. Fungsi apakah yang terkandung dalam wacana ritual tersebut? 3. Bagaimanakah wujud ritual dan makna apakah yang terkandung di balik wacana itu? Berdasarkan masalah di atas, dapat dirumuskan tujuan dari tulisan ini. Adapun tujuan tulisan ini adalah (1) mendeskripsikan dan mendalami struktur kalimat imperatif wacana ritual hari lahir, (2) mendeskripsikan fungsi wacana ritual hari lahir, dan (3) mendeskripsikan dan mendalami wujud ritual, serta makna yang terkandung dalam wacana ritual tersebut. 2. Kerangka Teori Teori yang digunakan sebagai acuan dalam tulisan ini adalah teori linguistik antropologi. Sebagai teori dasar adalah teori linguistik budaya, seperti yang dikemukakan oleh Palmer (1996:36) dalam bukunya yang berjudul Toward a Theory of Cultural Lingusitics. Di samping itu, tulisan ini juga mengacu kepada pendapat para ahli, yaitu: Duranti, (1997:14—21); Sibarani (2004:50); Foley, (1997:3); Riana, (2003:8) dan Mbete (2004:18—19). Dalam hubungannya dengan tulisan ini, para penulis terdahulu hanya menulis secara umum ritual hari lahir, sampai-sampai mereka melupakan hal-hal yang prinsip yang harus ada dalam upacara tersebut. Di samping itu, Tuhan atau manifesatsi-Nya yang dituju pun belum jelas. Pembahasan penulis terdahulu hanya berdasarkan sudut pandang agama dan budaya, maka aspek makna pun belum banyak disinggung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyajikan tulisan ini berdasarkan aspek yang sedikit berbeda, dengan teori yang berbeda pula. 52 PROSIDING 3. Metode Data dalam tulisan ini didapatkan melalui dua buah metode, yaitu studi pustaka dan wawancara. Selanjutnya, data dianalisis melalui beberapa tahap. Dalam tahap penyajian data menggunakan metode formal dan informal seperti yang dikemukakan oleh Sudaryanto (1988:16). 4. Pembahasan 4.1 Struktur Kalimat Imperatif Wacana Ritual Kelahiran Seperti telah disinggung di depan, bahwa bahasa pengantar dalam ritual hari lahir/kelahiran disebut dengan mantra dan saa. Masing-masing upakara ‘wujud persembahan’ itu memiliki mantra dan saa sendiri-sendiri. Mantra dan saa tersebut secara linguistik memiliki struktur. Adapun struktur linguistik yang khas dalam mantra dan saa itu adalah kalimat-kalimat imperatif yang selalu hadir dalam setiap tahapan ritual. Oleh karena itu, struktur linguistik yang dikaji pada kesempatan ini dibatasi pada struktur kalimat imperatif saja. Kalimat imperatif adalah kalimat yang dipakai oleh penutur untuk mengajukan permintaan, memberi perintah, atau mensyaratkan sesuatu kepada lawan bicara. Kalimat tersebut memiliki ciri formal, seperti (a) intonasi yang ditandai nada rendah di akhir tuturan; (b) pemakaian partikel penegas, penghalus, dan kata tugas ajakan, harapan, permohonan, dan larangan; (c) susunan inversi; (d) pelaku tindakan tidak selalu terungkap (Alwi dkk., 1998:353 dalam Mulyani, 2004:20—21). Struktur kalimat yang dimaksud adalah bangun kalimat imperatif wacana mantra dan saa ritual hari lahir. Berdasarkan analisis, ada delapan struktur kalimat imperatif dalam wacana hari lahir. Adapun struktur kalimat imperatif yang dimaksud adalah sebagai berikut. 1. Kalimat imperatif dengan kata hilang(kan)(lah) (1) hilangkanlah segala penyakit (dan) halangan. (2) hilangkanlah segala godaan (dan) musuh. (3) hilangkanlah segala kekotoran orang yang dicukur. (4) hilangkanlah segala dosa, cacat (dan) bencana’ Data tersebut menunjukkan bahwa kalimat imperatif diawali dengan kata hilang (kan)(lah) + objek. Bentuk kata hilang yang mengawali kalimat dilekati oleh sufiks –kan dan partikel –lah. Sufiks –kan pada kata hilang berfungsi sebagai pembentuk imperatif, sedangkan partikel –lah pada kata hilang berfungsi untuk menghaluskan perintah. (5) Jauhkanlah dari segala virus (dan) mara bahaya Kalimat (5) menunjukkan bahwa kalimat imperatif diawali dengan kata jauh (-kan) (-lah) +objek. Sufiks –kan sebagai pembentuk imperatif. Partikel –lah yang melekat pada kata jauhkan adalah penghalus perintah. PROSIDING 53 2. Kalimat imperatif dengan kata sudi/sudi kiranya (6) Sudi kiranya Engkau datang dalam upacara yang hamba gelar. (7) Sudilah Engkau menganugerahkan kekuatan. (8) Sudilah Engkau menjaga anak hamba. Data (6) sampai dengan (8) menunjukkan bahwa kalimat diawali dengan kata sudi kiranya dan sudi (lah). Kedua kalimat tersebut tergolong kalimat imperatif halus. Kata sudi kiranya dan sudi (lah) adalah kata yang berfungsi untuk memperhalus perintah. 3. Kalimat imperatif dengan kata silakan (9) Silakan Engkau nikmati (10) Silakan Engkau nikmati bersama. (11) Silakan kembali ke asal-Mu masing-masing. Berdasarkan analisis, wacana ritual hari lahir mengandung kalimat imperatif yang diawali oleh kata silakan yang diikuti oleh subjek dan predikat. Pada data (11) subjek (Engkau) dilesapkan. Ketiga kalimat tersebut tergolong kalimat imperatif halus yang ditandai oleh kata silakan. Katakata seperti tolong, coba, sudilah , kiranya, dan silakan sering dipakai untuk menghaluskan isi kalimat imperatif (Alwi, dkk. 2000:355). 4. Kalimat imperatif dengan kata mohon (12) Hamba mohon perkenan-Mu sebagai saksi. (13) Hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya. (14) Hamba mohon perkenan-Mu semua untuk datang. Kalimat imperatif yang ditandai dengan kata mohon dalam data tersebut tergolong kalimat imperatif permintaan. Kata mohon adalah penanda imperatif. 5. Kalimat imperatif dengan kata maaf (15) Maafkanlah atas kelancangan hamba yang telah berani mengusik ketenangan-Mu. Data (15) adalah bentuk atau struktur kalimat imperatif pada wacana ritual hari lahir yang diawali oleh kata maaf (kan) (lah). Sufiks –kan pada kata maafkan adalah pembentuk imperatif. Partikel –lah adalah sebagai penghalus perintah. Kalimat tersebut termasuk kalimat imperatif halus. Demikian pula halnya dengan kalimat imperatif pada data (16) yang diawali dengan kata ingat (lah) dan data (17) yang diawali kata ber- gembira (lah). 6. Kalimat imperatif dengan kata ingat (16) Ingatlah bahwa Engkau bersaudara dengan anak hamba. 7. Kalimat imperatif dengan kata gembira (17) Bergembiralah semua sambil menikmati suguhan. 54 PROSIDING Bertolak dari pendapat Alwi dkk (2000:353—357), kalimat imperatif dalam wacana ritual hari lahir dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu (1) kalimat imperatif biasa yang ditandai dengan kata hilangkanlah, jauhkanlah, ingatlah, dan bergembiralah, (2) kalimat imperatif halus yang ditandai dengan kata silakan, sudilah, dan sudi kiranya, dan (3) kalimat imperatif permintaan yang ditandai dengan kata mohon. 4.2 Fungsi Wacana Ritual Berbicara masalah fungsi wacana ritual sesungguhnya adalah pembahasan masalah fungsi bahasa. Fungsi bahasa ialah peran bahasa yang bersangkutan di dalam masyarakat pemakainya (Alwi, 2011:5). Fungsi juga diartikan sebagai sebuah kegunaan. Fungsi wacana ritual kelahiran adalah kegunaan wacana yang dalam hal ini adalah mantra dan saa. Mantra dan saa sebagai sebuah wacana ritual kelahiran memiliki fungsi sebagai (1) alat komunikasi antara masyarakat Bali dengan Tuhannya dan (2) sarana untuk mempertajam pikiran kepada maksud yang dituju. Mantra dan saa dalam fungsinya sebagai alat komunikasi antara masyarakat Bali dengan Tuhannya dimaksudkan sebagai bahasa pengantar dalam ritual kelahiran. Mantra dan saa adalah doa yang digunakan oleh masyarakat Bali dalam berbagai ritual keagamaan. Mantra dalam fungsinya sebagai alat untuk mempertajam pikiran kepada maksud yang dituju artikan sebagai doa yang dapat mempercepat hubungan atau proses komunikasi dengan Sang Pencipta. Dalam keyakinan masyarakat Bali, mantra sebagai sebuah doa, memiliki makna yang jauh lebih penting daripada saa atau bahasa biasa. Tidak semua orang atau masyarakat Bali bisa mengucapkan mantra. Hanya orang-orang tertentulah yang mampu merapalkan secara benar dan boleh menggunakannya. Selain fungsi umum seperti tersebut di atas, wacana ritual (mantra dan saa) kelahiran mengandung fungsi: (1) direktif, (2) emotif/ekpresif, dan (2) magis. Fungsi direktif adalah fungsi untuk memengaruhi perilaku atau sikap orang lain, lebih memberikan tekanan pada si penerima, bukan pada penutur. Fungsi emotif wacana ritual kelahiran adalah pengungkapan rasa pelaku, yaitu penyelenggara ritual (Jacobson, 1992). Fungsi emotif tersebut identik dengan fungsi ekpresif (Dell Hymes, 1964), yaitu segala sesuatu yang diekpresikan merupakan cerminan pikiran dan perasaan penyelenggara atau pemimpin ritual. Fungsi magis berkaitan dengan pemakaian bahasa dalam keagamaan. Bila dikaitkan dengan pengertian bahasa dalam ritual keagamaan, fungsi magis bahasa terkandung pada mantra. Mantra merupakan pintu komunikasi antara manusia dengan Tuhannya. Komunikasi dalam ritual bersifat supranatural dan abstrak sehingga cenderung bersifat mistik atau magis (Bandana, dkk., 2011:127). PROSIDING 55 4.2.1 Fungsi Direktif Wacana Ritual Hari Lahir Fungsi direktif wacana ritual hari lahir ditemukan pada mantra yang bermakna sebagai berikut. (1) hilangkanlah segala penyakit (dan) halangan. (2) hilangkanlah segala godaan (dan) musuh. (3) hilangkanlah segala kekotoran orang yang dicukur. (4) hilangkanlah segala dosa, cacat (dan) bencana’ (5) Jauhkanlah dari segala virus (dan) mara bahaya (6) Bergembiralah semua sambil menikmati suguhan. (7) Ingatlah bahwa Engkau bersaudara dengan anak hamba. (8) Maafkanlah atas kelancangan hamba yang telah berani mengusik ketenangan-Mu (9) Hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya. (10) Hamba mohon perkenan-Mu semua untuk datang. (11) Hamba mohon perkenan-Mu sebagai saksi. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa wacana ritual hari lahir memiliki fungsi direktif berupa perintah secara halus dan permohonan. Data (1) sampai dengan (8) mengandung fungsi direktif perintah secara halus. Dengan kata-kata hilangkanlah, jauhkanlah, ingatlah, dan bergembiralah, si pengucap mantra berusaha memengaruhi lawan komunikasinya, yaitu Tuhan dan manifestasi-Nya. Data (9) sampai dengan (11) mengandung fungsi direktif berupa permohonan yang ditandai dengan kata mohon. 4.2.2 Fungsi Ekspresif/Emotif Wacana Ritual Hari Lahir Fungsi ekspresif wacana ritual hari lahir adalah fungsi wacana (mantra dan saa) untuk mengungkapkan perasaan kepada Tuhan dan manifestasi-Nya. Fungsi ekspresif wacana ritual hari lahir yang terkandung dalam mantra dan saa berupa perasaan kagum kepada keagungan dan kemahakuasaan Tuhan. Hal itu tercermin pada data berikut ini. “Ong Adityasya param jyoti, Rakta teja namo’stute, Sweta pangkaja madhya-stha, Bhaskaraya namo’stute Om Hram Hrim Sah Parama Siwa Adityaya namah” ‘Oh Aditya yang memiliki cahaya yang maha cemerlang, Engkau yang memiliki warna merah yang megah, kami bersujud kepada-Mu, Oh Engkau yang bersemayam di tengah-tengah bunga teratai, kami bersujud kepada-Mu oh pembuat kemegahan, kami bersujud kepada-Mu yang dilambangkan dengan aksara Hram Hrim 56 PROSIDING dan Sah, kami bersujud kepada-Mu Siwa Raditya (Dewa Matahari) yang tertinggi’ (Hooykaas, 2002:159). Data tersebut menggambarkan adanya fungsi ekpresif berupa kekaguman kepada kemahakuasaan Tuhan dalam menifestasinya sebagai Dewa Matahari yang memiliki cahaya mahacemerlang, yang sanggup menerangi seluruh alam, dan yang selalu menjadi saksi atas semua ritual yang dilaksanakan. 4.2.3 Fungsi Magis Wacana Ritual Hari Lahir Fungsi magis adalah fungsi bahasa yang bersangkutan dengan kegiatan upacara atau keagamaan dalam suatu kebudayaan. Cassirer (1987:168—169) mengatakan bahwa bahasa sebagai sebuah kata memiliki kekuatan magis. Kata-kata bukanlah letupan angin semata, melainkan memiliki daya magis atau daya-daya misterius. Sebagai sesuatu yang mengandung kekuatan magis, kata-kata itu tidak bisa diubah karena berhubungan dengan kualitas magis itu sendiri (Dhavamony, 1995:58—59). Fungsi magis wacana ritual hari lahir terkandung pada mantra yang digunakan sebagai pengantar ritual. Pengucapan mantra tersebut harus benar dan tidak boleh diubah susunan kata-katanya karena diyakini mengandung kekuatan magis. Sebagai contoh data adalah data mantra pada fungsi ekpresif. 4.2.4 Wujud Ritual dan Makna Wujud ritual dalam hal ini diartikan sebagai bentuk-bentuk persembahan. Kembali kepada hal yang pokok dalam upacara ini adalah persembahan kepada leluhur, kepada Sanghyang Panca Maha Bhuta, dan Dewa Surya sebagai upasaksi’saksi’, maka dalam ritual tersebut minimal yang harus ada adalah wujud ritual yang ditujukan kepada ketiga unsur itu. Berikut adalah wacana wujud ritual hari lahir/otonan. Data 11. Wacana upakara otonan “Pinaka upakara unteng sane patut wenten ring upacara pewetonan inggih punika: daksina pinaka upakara sane katur ring Ida Bhatara Surya, punjung putih kuning katur ring para leluhur rajadewata-dewati, lan ketipat genep katur ring Sanghyang Panca Maha Bhuta. Ritatkala pewetonan sane kapertama mangda sampunang lali ngaturang tumpeng putih kuning sane katur ring Ida Sanghyang Kumara. Munggwing upakara sane lianan, inggih punika: suci, peras, lis, byakala, prayascita, penyeneng, gebogan, muah sane lianan, wantah pinaka pengenep kemanten’ (informan). ‘Wujud ritual inti atau yang mestinya ada dalam ritual kelahiran adalah: daksina sebagai wujud persembahan kepada Dewa Surya, punjung putih kuning dipersembahkan kepada para leluhur, dan ketipat genep dipersemPROSIDING 57 bahan kepada Sanghyang Panca Maha Bhuta. Untuk pewetonan yang pertama kali hendaknya tidak melupakan persembahan berupa tumpeng putih kuning yang ditujukan kepada Sanghyang Kumara. Sedangkan wujud ritual yang lain, seperti suci, peras, lis, byakala, prayascita, penyeneng, gebogan, dan lain sebagainya adalah sarana pelengkap.’ Berdasarkan data 11 wacana upakara otonan dapat diketahui bahwa sebagai wujud inti ritual dalam ritual kelahiran adalah daksina, punjung putih kuning, dan ketipat genep, sedangkan wujud ritual yang lainnya, seperti suci, peras, lis, byakala, prayascita, penyeneng, gebogan, dan yang lainnya adalah pelengkap. Kalau ­wetonan yang pertama kali sampai sebelum tanggalnya gigi si bayi, ditambah tumpeng putih kuning untuk Sanghyang Kumara. Daksina adalah lambang persembahan kepada Dewa Surya atau Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Triyodasasaksi. Sesungguhnya Beliau adalah gabungan ketigabelas unsur Tuhan yang disimbolkan dengan tigabelas aksara suci seperti dijelaskan di depan. Dalam kepercayaan umat Hindu, daksina berarti selatan yang dikuasai oleh Dewa Brahma atau Dewa Api. Itulah sebabnya, selain wujud ritual berupa daksina, dalam setiap upacara selalu ada dupa sebagai simbol Dewa Agni yang menyaksikan upacara tersebut. Punjung putih kuning adalah lambang persembahan kepada para leluhur. Biasanya, wujud tersebut dilengkapi dengan lauk ayam yang dipanggang dan gegecok atau urab ‘sayur-sayuran’. Punjung adalah sebuah wujud ritual berupa nasi. Leluhur sama halnya dengan orang tua yang patut disuguhi makanan seperti saat mereka masih hidup. Dengan wujud ritual yang berupa punjung putih kuning lengkap dengan lauknya, diharapkan Beliau melimpahkan rahmat-Nya, sehingga tidak kekurangan sandang pangan. Warna putih dan kuning mengandung makna kesucian dan kebijaksanaan. Ketipat genep ‘ketupat genap’ adalah lambang persembahan kepada Sanghyang Panca Maha Bhuta. Yang dimaksud dengan ketipat genep dalam hal ini bukanlah ketipat sari genep, melainkan lima jenis ketupat yang dihaturkan kepada Sanghyang Panca Maha Bhuta ’lima unsur Tuhan sebagai rajanya para bhuta kala’. Ketipat ’ketupat’ yang dimaksud adalah : ketipat dampul, ketipat galeng, ketipat gangsa, ketipat gong, dan ketipat lepet. Lebih jelas tentang wujud ritual yang dimaksud bisa dilihat dalam kutipan wacana berikut ini. “Iki luirnya ngaran Sanghyang Panca Maha Bhuta, Iya mula nyama ajak bareng dumadi, meraga tri buwana, dewa iya manusa iya bhuta iya, mangkin sampun dadi dewa meraga lelima’ 58 PROSIDING Sane pinih duwur Sang Bhuta Anggapati , menadi dewa maparab I Ratu Ngurah Tangkeb Langit, labania ketipat dampul mabe taluh brekasem, segehania kepel putih mabe bawang jahe, Sane nomer kalih Sang Bhuta Mrajapati , menadi dewa maparab I Ratu Wayan Teba, labania ketipat galeng mabe taluh bebek, segehania kepel barak mabe bawang jahe, Sane nomer tiga Sang Bhuta Banaspati, menadi dewa maparab I Ratu Made Jelawung, labania ketipat gangsa mabe taluh, segehania kepel kuning mabe bawang jahe, Sane nomer pat Sang Bhuta Banaspatiraja , menadi dewa maparab I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, labania ketipat gong mabe taluh bebek maguling, segehania kepel selem mabe bawang jahe, Sane pinih alit Sang Bhuta Dengen , menadi dewa maparab I Ratu Ketut Petung, labania ketipat lepet mabe taluh, segehania kepel putih brumbun mabe bawang jahe.” (Suastana, 1991:19—25). ‘Inilah yang disebut Sanghyang Panca Maha Bhuta, Mereka adalah saudara yang diajak lahir, hidup di tiga alam, Mereka adalah dewa, bhuta, dan juga manusia, sekarang telah menjadi lima dewa,’ ‘Yang sulung bernama Sang Bhuta Anggapati, menjadi dewa bernama I Ratu Ngurah Tangkeb langit, wujud ritualnya berupa ketipat dampul dengan lauk telor asin, segehan-nya kepal putih dengan lauk bawang jahe,’ ‘Yang nomor dua bernama Sang Bhuta Mrajapati, menjadi dewa bernama I Ratu Wayan Teba, PROSIDING 59 wujud ritualnya berupa ketipat galeng dengan lauk telor itik, segehan-nya kepal merah dengan lauk bawang jahe,’ ‘Yang nomor tiga bernama Sang Bhuta Banaspati, menjadi dewa bernama I Ratu Made Jelawung, wujud ritualnya berupa ketipat gangsa dengan lauk telor, segehan-nya kepal putih dengan lauk bawang jahe,’ ‘Yang nomor empat bernama Sang Bhuta Banaspatiraja, menjadi dewa bernama I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, wujud ritualnya berupa ketipat gong dengan lauk telor itik yang dipanggang, segehan-nya nasi kepal hitam dengan lauk bawang jahe,’ ‘Yang paling kecil bernama Sang Bhuta Dengen, menjadi dewa bernama I Ratu Ketut Petung, wujud ritualnya berupa ketipat lepet dengan lauk telor, segehan-nya kepal brumbun dengan lauk bawang jahe.’ Dengan memohon kepada Sanghyang Panca Maha Bhuta, diharapkan si bayi yang diupacarai akan memperoleh bantuan atau anugerah-Nya, sehingga ia bisa selamat dan terbebas dari gangguan-gangguan yang mungkin akan datang. Tumpeng putih kuning adalah lambang persembahan kepada Sanghyang Kumara. Wujud tumpeng yang berupa krucut sebagai simbol bahwa Beliau adalah puncak kemahakuasaan Tuhan, sama seperti Saraswati, Kala, dan Ghana. Dengan memohon kepada-Nya diharapkan si bayi akan selalu dalam keadaan selamat. Lis adalah wujud ritual sebagai lambang senjata Dewata Nawa Sanga ‘sembilan dewa penjaga penjuru mata angin’. Hal itu terlihat dari wujudnya yang dibentuk menyerupai senjata para dewa itu, seperti gadha milik Dewa Brahma, cakra milik Dewa Wisnu. Dengan wujud ritual itu, si bayi diharapkan mendapat dari anugerah kesembilan dewa, yaitu Iswara, Mahesora, Brahma, Ludra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambu, dan Siwa. Suci adalah wujud ritual sebagai lambang kesucian Hyang Widhi yang dapat mewujudkan kebahagiaan rohani dan kemakmuran ekonomi (Wiana, 2001:218—219). Wujud ritual berupa peras mengandung makna agar ritual yang dilaksanakan perasida ‘berhasil’. Byakala dan prayascita dimaksudkan sebagai pembersihan lahiriah dan bathiniah si bayi sebelum diupacarai. Khusus untuk 60 PROSIDING byakala, belum boleh dilaksanakan pada bayi (Wenten, 1999:22; Putra, 1987:34). Mengapa demikian? Menurut penulis, bayi adalah sosok yang masih suci secara lahir, sehingga wujud ritual yang ditujukan untuk kesuciannya belum diperlukan. Penyeneng adalah lambang permohonan agar si bayi selalu terhindar dari segala gangguan. Kata penyeneng berasal dari kata nyeneng’hidup’. Dengan wujud ritual itu si bayi diharapkan akan mendapat umur panjang. Dalam wujud ritual tersebut terdapat porosan sebagai lambang Sanghyang Tri Murthi, kapur sirih agar kulitnya bersih bagai kapur sirih, kapas agar putih halus bagai kapas, beras adalah lambang pangan, benang dimaksudkan sebagai simbol agar memiliki urat dan tulang yang kuat, dan tepung tawar dengan daun dadap sebagai pelengkapnya adalah lambang permohonan agar apa yang diharapkan akan tercapai. 5. Simpulan Berdasarkan uraian pada subbagian 2, 3, dan 4 dapat disimpulkan bahwa ritual hari lahir adalah hutang moral yang harus dibayar oleh umat Hindu kepada para leluhurnya. Dalam pelaksanaannya perlu permakluman kepada Dewa Surya sebagai saksi dalam ritual tersebut. Sanghyang Panca Maha Bhuta sebagai saudara si bayi hendaknya tidak dilupakan. Begitu pula Sanghyang Kumara sebagai dewa bayi sampai giginya tanggal. Kajian dalam tulisan ini difokuskan kepada struktur atau bangun kalimat imperatif, wujud ritual, fungsi, dan makna. Berdasarkan analisis ditemukan tiga macam struktur atau bangun kalimat imperatif yang tergolong dalam kalimat imperatif biasa, kalimat imperatif halus, dan imperatif permintaan. Fungsi wacana ritual kelahiran secara umum ada dua, yaitu sebagai alat komunikasi atau bahasa pengantar ritual dan sebagai alat untuk mengkilatkan pikiran kepada maksud yang dituju. Selain itu, wacana ritual kelahiran memiliki fungsi direktif, emotif atau ekpresif, dan fungsi magis. Adapun wujud ritual inti dalam ritual kelahiran adalah daksina, punjung putih kuning, dan ketipat genep. Tiap-tiap wujud itu mengandung makna sendirisendiri. Makna yang dikaji adalah makna kontekstual atau makna budaya. Secara kontekstual, ketiga wujud ritual itu mengisyaratkan bahwa dalam ritual kelahiran ada tiga hal pokok yang harus diingat, dan ada tiga unsur Tuhan yang harus sembah, yaitu Dewa Matahari/Dewa Surya, para leluhur, dan Sanghyang Panca Maha Bhuta. PROSIDING 61 DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan dkk.2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Alwi, Hasan dan Dendy Sugono. 2011. Politik Bahasa:Rumusan Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Bandana, IGW. Soken. 2009. Ritual Tolak Bala Masyarakat Bali. Denpasar: Pustaka Larasan. Bandana, IGW. Soken dkk. 2011. Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali dalam Wacana Seremonial Kematian. Denpasar: Cakra Press. Cassirer, Ernest. 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia. (Diindonesiakan oleh Alois A. Nugroho). Jakarta: PT Gramedia. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. (Diterjemahkan dari judul aslinya: Phenomenology of Religion oleh Kelompok Studi Agama Driyarkara). Jakarta: Kanisius. Duranti, Alessandro. 1997. Linguistik Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Foley, William A. 1997. Anthropological linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Published. Hymes, Dell. 1964. Language in Culture and Society.New York, Evanton, and London: Harper & Row. Hooykaas, C. 2002. Surya Sevana (The Way to God of A Balinese Siva Priest). Alih Bahasa oleh: Suariyati. 2002. Surya Sevana (Jalan untuk Mencapai Tuhan dari Pandita dan Umat Hindu). Surabaya: Paramita. Jacobson, R.1992. “Linguistik dan Bahasa Puitik”(Diterjemahkan oleh Koeshendrati, H.dan N. Yusuf), dalam P. Sudjiman dan A.V. Zoes. Serbaserbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia. Kamiartha, I Made Agus. 1992. Kamus Bali Indonesia Bidang Istilah Sajen Bali dan Sarananya. Denpasar: Upada Sastra. Mardiwarsito, L. 1978. Kamus Jawa Kuna (Kawi) –Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah. Mbete, Aron Meko. 2004. Lingusitik Kebudayaan: Rintisan Konsep dan Beberapa Aspek Kajiannya. (Dalam Bawa, I Wayan dan I Wayan Cika (penyunting): Bahasa dalam Perspektif Kebudayaan). Denpasar: Universitas Udayana. Mulyani, Yeni Supriatin dkk. 2004. Struktur dan Pemarkah Kalimat Imperatif SajakSajak Keagamaan Tahun 1930-an. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Palmer, Gary B. 1996. Toward A Theory Of Cultural Linguistics. USA: The University of Texas Press. Putra, Ny. I Gusti Agung Mas. 1987. Upacara Manusa Yadnya. Jakarta: Ny. I Gusti Agung Mas Putra. 62 PROSIDING Riana, I Ketut. 2003. “Linguistik Budaya: Kedudukan dan Ranah Pengkajiannya”. Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Linguistik Budaya pada Fakultas Sastra Unud. Denpasar: Universitas Udayana. Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik:Antropologi Lingusitik, Linguistik Antropologi. Medan: Poda. Suarjaya, I Wayan, dkk. 2008. Panca Yadnya. Denpasar: Widya Dharma. Suastana, I Made. 1991. “Kandapatsari”. Tabanan. Suparlan, Y.B. 1988. Kamus Kawi Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Pertama:Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Warna, I Wayan. 1991. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali. Wenten. M. 1999. Tetandingan Banten Manusa Yadnya. Singaraja: Toko Buku Indra Jaya. Wiana, I Ketut. 2001. Makna Upacara Yadnya dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita. Lampiran Data Wacana Ritual Hari Lahir Data 2. Menggunting rambut di depan “Om Sang Sadya ya namah, hilanganing papa klesa pataka”. ‘Ya Tuhan sebagai Sadyojata yang dilambangkan dengan aksara Sang, hilangkanlah segala dosa, cacat (dan) bencana’. Data 3. Menggunting rambut di sebelah kanan “Om Bang Bama Siwaya namah, hilanganing lara roga wigna”. ‘Ya Tuhan sebagai Bamadewa yang dilambangkan dengan aksara Bang, hilangkanlah segala penyakit (dan) halangan’. Data 4. Menggunting rambut di belakang “Om Tang Tatpurusaya namah, hilanganing gegodan satru musuh”. Ya Tuhan sebagai Tatpurusa yang dilambangkan dengan aksara Tang, hilangkanlah segala godaan (dan) musuh’. PROSIDING 63 Data 5. Menggunting rambut di sebelah kiri “Om Ang Aghoraya namah, dohaken gering sasab merana”. ‘Ya Tuhan sebagai Aghora yang dilambangkan dengan aksara Ang, jauhkanlah dari segala virus (dan) mara bahaya’. Data 6. Menggunting rambut di tengah “Om Ing Isanaya namah, hilanganing sebel kandel sang pinetik” (Putra, 1987:36); (Panca Yadnya, 2005:224—225) Data 7. Saa untuk Dewa Surya “Singgih Ratu Bhatara Surya sesuhunan titiyang, ampurayang titiyang kadi purun ngulgul linggih palungguh Bhatara. mangda ledang I Ratu ngrawuhin puniki titiyang madruwe gawe. mangkin pewetonan ipun damuh druwe pianak titiyang. puniki wenten aturan titiyang marupa pras daksina, saka sida antuk titiyang maturan. durusang palungguh Bhatara pada amuktisari. risampun amuktisari, mangda ledang I Ratu nyaksinin. titiyang jagi maturan ring Ida bhatara-bhatarin titiyang, minakadi Ida Sanghyang Panca Maha Bhuta, miwah Ida para Dewata-Dewati, leluhur titiyang sareng sami. inggih wantah asapunika atur piuning titiyang. yaning wenten kirang utawi salit atur titiyang, titiyang nunas geng rna sinampura. (Informan). ‘Ya Tuhan sebagai Dewa Matahari sesembahan hamba. maafkanlah atas kelancangan hamba yang telah berani mengusik ketenangan-Mu. sudi kiranya Engkau datang dalam upacara yang hamba gelar. saat ini adalah upacara hari kelahiran anak hamba. ini hamba haturkan persembahan berupa pras daksina, semampu yang hamba haturkan, silakan Engkau nikmati bersama. setelah menikmati, hamba mohon perkenan-Mu sebagai saksi. hamba akan menghaturkan sembah kepada sesembahan hamba, 64 PROSIDING yaitu yang disebut sebagai Sanghyang Panca Maha Bhuta, dan Beliau yang disebut Dewata-Dewati, para leluhur semuanya, ya Tuhan hanya itu yang ingin hamba sampaikan, kalau ada yang kurang atau kesalahan hamba berkata-kata, hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya.’ Data 8. Saa untuk Sanghyang Panca Maha Bhuta “Singgih Ratu Sanghyang Panca Maha Bhuta, titiyang nunas ledang I Ratu sareng sami rawuh. mangkin pewetonan ipun damuh druwe pianak titiyang. puniki wenten aturan titiyang marupa ketipat genep, saka sida antuk titiyang maturan. durusang palungguh Bhatara pada amuktisari. risampun amuktisari, elingang I Ratu masemeton sarenga pianak titiyang. mangda ledang sareng sami mapaica kesidian. mangda ledang ngemong ngemban raren tityang. mangda ipun selamet dirghayusa ngantos kawekasan. inggih wantah asapunika atur piuning titiyang, yaning wenten kirang utawi salit atur titiyang, titiyang nunas geng rna sinampura. (Informan) ‘Hormatku kepada-Mu yang disebut Sanghyang Panca Maha Bhuta. hamba mohon perkenan-Mu semua untuk datang. sekarang adalah hari kelahiran anak hamba. ini hamba persembahkan ketupat lengkap, semampu yang hamba haturkan. silakan Engkau nikmati bersama. setelah menikmati, ingatlah bahwa Engkau bersaudara dengan anak hamba. sudilah Engkau menganugerahkan kekuatan. sudilah Engkau menjaga anak hamba. agar dia selamat panjang umur sampai nanti. ya Tuhan hanya itu yang ingin hamba sampaikan. kalau ada yang kurang atau kesalahan hamba berkata-kata, hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya.’ Data 9. Saa untuk Leluhur “Singgih Ratu Leluhur Rajadewata-Dewatin titiyang, mangda ledang I Ratu sareng sami rawuh. PROSIDING 65 mangkin pewetonan ipun damuh druwe pianak titiyang. puniki wenten aturan titiyang marupa punjung putih kuning. durusang palungguh Bhatara pada amuktisari. risampun amuktisari, mangda ledang sareng sami mapaica kesidian. mangda ledang ngemong ngemban raren tityang. mangda ipun nenten kirang sandang pangan kinum. mangda ipun selamet dirghayusa ngantos kawekasan. inggih wantah asapunika atur piuning titiyang. yaning wenten kirang utawi salit atur titiyang, titiyang nunas geng rna sinampura. (Informan) ‘Hormat kepada-Mu para leluhurku, hamba mohon perkenan-Mu semua untuk datang. sekarang adalah hari kelahiran anak hamba. ini hamba persembahkan punjung putih kuning. silakan Engkau nikmati bersama. setelah menikmati, sudilah Engkau menganugerahkan kekuatan. sudilah Engkau menjaga anak hamba. agar dia tidak kekurangan sandang pangan dan minuman, agar dia selamat panjang umur sampai nanti, ya Tuhan hanya itu yang ingin hamba sampaikan. kalau ada yang kurang atau kesalahan hamba berkata-kata, hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya.’ Data 10. Saa untuk Segehan “Singgih Ratu Sang Bhuta Raja, Kala Raja, Yaksa Raja, Sang Bhuta Bala, Kala Bala, Yaksa Bala, Sang Catur Sanak Anggapati, Mrajapati, Banaspati, Banaspatiraja, puniki titiyang ngaturang segehan wong-wongan mabe bawang jahe miwah jejeron matah, segehan pulangan, segehan agung. mangda ledang sareng sami pada anadah saji. risampun anadah saji mangda ledang mapaica kesidian, keselametan dirghayusa ring sang inotonan. asapunika pinunas titiyang. kirang langkung titiyang nunas pangampura, durusang sareng sami mawali ring genah soang-soang”. (Bandana, 2009:24) 66 PROSIDING ‘Hormatku kepada-Mu wahai rajanya para Bhuta, Kala, dan Yaksa, pengikutnya para Bhuta, Kala, dan Yaksa, saudara empat, yaitu Anggapati, Mrajapati, Banaspati, Banaspatiraja, ini hamba persembahkan segehan wong-wongan dengan lauk bawang jahe dan jeroan mentah, segehan pulangan, segehan agung. bergembiralah semua sambil menikmati suguhan. setelah itu sudilah menganugerahkan kekuatan, keselamatan umur panjang kepada yang diupacarai, demikianlah permohonan hamba, kurang lebihnya hamba mohon maaf. silakan kembali ke asal-Mu masing-masing.’ Data 11. Mantra untuk Dewa Matahari “Ong Adityasya param jyoti, Rakta teja namo’stute, Sweta pangkaja madhya-stha, Bhaskaraya namo’stute Om Hram Hrim Sah Parama Siwa Adityaya namah” ‘Oh Aditya yang memiliki cahaya yang maha cemerlang, Engkau yang memiliki warna merah yang megah, kami bersujud kepada-Mu, Oh Engkau yang bersemayam di tengah-tengah bunga teratai, kami bersujud kepada-Mu oh pembuat kemegahan, kami bersujud kepada-Mu yang dilambangkan dengan aksara Hram Hrim dan Sah, kami bersujud kepada-Mu Siwa Raditya (Dewa Matahari) yang tertinggi’ (Hooykaas, 2002:159). PROSIDING 67 68 PROSIDING PEMAKAIAN DISFEMISME DALAM SURAT KABAR DI YOGYAKARTA Tarti Khusnul Khotimah tartikk@yahoo.com Balai Bahasa Provinsi DIY Inti Sari Kajian ini berisi paparan hasil penelitian tentang pemakaian disfemisme dalam surat kabar di Yogyakarta. Disfemisme adalah penggunaan kata-kata bernuansa kasar yang biasanya dipakai untuk menunjukkan kejengkelan, rasa tidak senang, penghinaan dan ketidakhormatan, atau sebagai umpatan dan julukan kasar. Pembahasan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui referensi apa sajakah yang digunakan dalam pemakaian disfemisme pada surat kabar yang terbit di Yogyakarta. Data diambil dari wacana berita dan opini surat kabar Kedaulatan Rakyat, Bernas, Harian Jogja, Tribun Jogja, dan Koran Merapi. Dengan berlandaskan pada teori Allan dan Burridge tentang referensi disfemisme diperoleh hasil bahwa referensi disfemisme dalam surat kabar di Yogyakarta meliputi hal-hal yang berkaitan dengan istilah atau ungkapan yang menunjukkan ketidaksenangan, penghinaan, dan ketidakhormatan terhadap karakter atau sifat buruk seseorang/ organisasi/lembaga, pelaku/tindak pidana (kriminal/kejahatan); kritik terhadap kondisi politik, sosial, ekonomi yang timpang; perbandingan sifat/perilaku buruk dengan binatang, penyakit, dan makhluk halus; kematian tragis; aktivitas seksual yang menyimpang; dan istilah atau ungkapan yang digunakan untuk melebih-lebihkan peristiwa dalam pertandingan olahraga. Kata kunci: disfemisme, referensi, surat kabar Abstract The study contains the result of dysphemism in Yogyakarta newspaper. Dysphemism is the use of words which has rude nuance that are usually used to show displeasure, irritation, humiliation and disrespect, or as curse and rude epithet. The aim of discussion is to find out what is the reference of dysphemism in Yogyakarta newspaper. The data gained from news discourse PROSIDING 69 and newspaper opinion in Kedaulatan Rakyat, Bernas, Harian Jogja, Tribun Jogja, and Koran Merapi newspapers. Based on Allan and Burridge theory on dysphemism reference the result shows that dysphemism on newspaper in Yogyakarta which covers things related to term or expression that show displeasureness, humiliation, and disrespectness toward someone/organization/ institution, actor/criminal character or bad attitude; critic on political condition, social condition, unbalanced economy; comparison deviation of character/ behavior; and term or expression to exaggerate event in sport competition. Keywords: dysphemism, reference, newspaper 1. Pendahuluan Surat kabar menyediakan bermacam akses informasi, hiburan, pendidikan, dan memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam masyarakat. Masyarakat cenderung menganggap berita yang ditulis atau diungkapkan dalam surat kabar adalah realitas. Media ini menggunakan pilihan diksi dan piranti linguistik lain untuk mengkonstruksi wacana agar terkesan lebih faktual. Piranti linguistik yang digunakan antara lain disfemisme (periksa Thomas dkk. dalam Laili, 2012:34). Disfemisme adalah penggunaan kata atau frasa yang berkonotasi menyakitkan atau mengganggu, baik bagi orang yang diajak bicara dan/atau orang yang dibicarakan serta orang yang mendengarkan ungkapan tersebut (periksa Allan dan Burridge dalam Laili, 2012:27). Disfemisme dikatakan pula sebagai kebalikan dari eufemisme. Disfemisme biasanya digunakan untuk menunjukkan kejengkelan, rasa tidak senang, penghinaan dan ketidakhormatan, atau sebagai umpatan dan julukan kasar. Pemakaian disfemisme pada surat kabar, tak terkecuali dalam surat kabar harian yang terbit di Yogyakarta, banyak ditemukan. Misalnya, kata mental jongos dan digasak seperti terlihat dalam kalimat (1) dan (2) berikut. (1) Kooptasi birokrasi oleh partai politik menyebabkan birokrasi tidak netral, kurang profesional dan memiliki mental jongos (Bernas, 14 Okt. 2013, hlm.4). (2) Polisi belum menjelaskan secara rinci barang-barang yang digasak kedua pelaku (Bernas, 12 Okt. 2013, hlm.6). Kata jongos berarti ‘pelayan, pembantu rumah tangga laki-laki’ (Tim Redaksi KBBI, 2008:588). Dalam perkembangan lebih lanjut istilah jongos telah bergeser maknanya, tidak lagi sebatas sebagai pesuruh yang harus tunduk melaksanakan perintah majikan tanpa boleh membantah, tetapi juga karena demi imbalan ia akan berusaha membuat hati majikan senang (periksa Sutrisno, 2012). Dalam konteks pemakaian istilah mental jongos pada kalimat 70 PROSIDING (1) terasa sangat kasar karena istilah tersebut dapat dimaknai sebagai karakter kerja yang suka menjilat atasan alias sikap asal bapak senang (ABS). Kata digasak mempunyai arti ‘diambil dengan kekerasan, di rampas, diserobot, dsb.’ (lih. Tim Redaksi KBBI, 2008:420). Kata digasak mempunyai makna lebih kasar jika dibandingkan dengan kata diambil. Dalam konteks kalimat (2) kata digasak menunjukkan ketidaksukaan atau kejengkelan terhadap pelaku dan/atau tindak kriminal/kejahatan. Pemakaian disfemisme, selain untuk menunjukkan ketidaksenangan atau kejengkelan, ternyata sering juga dimanfaatkan sebagai sarana untuk memberikan penekanan yang lebih atau melebih-lebihkan peristiwa atau topik pembicaraan tetapi tanpa terasa kekasarannya (periksa Chaer, 1990:150). Pada surat kabar di Yogyakarta, pemakaian disfemisme semacam ini banyak ditemukan dalam wacana berita olahraga, misalnya kata menghajar pada kalimat (3) berikut. (3) Pimpinan klasemen ditempati Rubin Kazan dengan nilai 6, usai menghajar tamunya, Zulte-Waregem 4-0 (Kedaulatan Rakyat, 5 Okt. 2013, hlm. 21). Kata menghajar merupakan bentuk disfemisme karena mengandung arti yang kasar. Secara harfiah, kata menghajar mempunyai arti ‘membuat tidak berdaya, memukuli dsb. supaya jera, memukuli sebagai hukuman’ (Tim Redaksi KBBI, 2008:473). Dalam konteks kalimat (3) kata menghajar mempunyai arti ‘mengalahkan’. Pemakaian satuan ekspresi disfemisme tersebut berfungsi melebih-lebihkan peristiwa atau topik pembicaraan, bukan untuk menggambarkan ketidaksenangan atau kejengkelan. Contoh di atas menunjukkan bahwa penggunaan disfemisme pada surat kabar di Yogyakarta mempunyai referensi yang berbeda-beda. Referensi disfemisme pada kalimat (1) berkaitan dengan istilah atau ungkapan yang menunjukkan kritik terhadap kondisi politik yang timpang; pada kalimat (2) berkaitan dengan istilah atau ungkapan yang menunjukkan penghinaan dan ketidakhormatan terhadap pelaku/tindak pidana (kriminal/kejahatan); dan referensi pada kalimat (3) berkaitan dengan ungkapan yang digunakan untuk melebihlebihkan peristiwa dalam pertandingan olahraga. Sehubungan dengan hal di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui referensi apa sajakah yang digunakan sebagai satuan ekspresi disfemisme dalam surat kabar di Yogyakarta. Sesuai dengan permasalahan, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan referensi satuan ekspresi disfemisme dalam surat kabar di Yogyakarta. Manfaat penelitian ini, secara teoretis, dapat melengkapi referensi dalam bidang linguistik. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memperluas khazanah pengetahuan dan wawasan tentang pemakaian PROSIDING 71 disfemisme dalam surat kabar di Yogyakarta bagi pembaca. Lebih lanjut, hasil penelelitian ini dapat menjadi bahan masukan atau bahan pertimbangan bagi para redaktur surat kabar agar lebih bijak dalam menggunakan katakata yang bernuansa kasar (disfemisme). Kajian tentang disfemisme telah dilakukan oleh Kurniawati (2009) dalam tesisnya yang berjudul “Eufemisme dan Disfemisme dalam Spiegel Online”. Di dalam tesis ini dikaji mengenai bentuk satuan gramatikal eufemisme dan disfemisme serta latar belakang penggunaan eufemisme dan disfemisme. Terkait dengan disfemisme, ditemukan bentuk satuan gramatikal disfemisme yang berupa kata (tunggal dan majemuk), frasa, dan kalimat; sedangkan latar belakang penggunaan disfemisme, antara lain, untuk menyatakan hal yang tabu atau tidak senonoh, mengolok-olok, mencela, mengumpat atau memaki, menghina, dan mengkritik. Kajian sejenis dilakukan oleh Auriga Maulana Khasan (2011) dalam skripsinya yang berjudul “Pemakaian Disfemisme dalam Kolom Berita Utama Surat Kabar Joglo Semar”. Di dalam tulisan ini dibahas bentuk, alasan penggunaan, dan efek yang ditimbulkan oleh pemakaian disfemisme. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bentuk disfemisme pada kolom berita utama surat kabar Joglo Semar berupa kata, frasa, klausa, dan ungkapan. Adapun alasan penggunaan disfemisme, yaitu untuk menarik perhatian para pembaca, menegaskan pembicaraan atau menguatkan makna, variasi kata, provokasi, dan space (ruang); dan efek penggunaan disfemisme di masyarakat, yaitu membentuk pola berbahasa masyarakat menjadi kasar, mudah terpancing emosi, psikologis menjadi terganggu, dan mengaburkan pemahaman. Penelitian lainnya, yaitu tesis yang berjudul “Eufemisme dan Disfemisme pada Wacana Lingkungan dalam Media Massa di Indonesia” yang ditulis oleh Elisa Nurul Laili (2012). Di dalamnya dikaji bentuk, referensi, tipe, dan fungsi satuan ekspresi eufemisme dan disfemisme. Berkaitan dengan disfemisme, ditemukan bentuk-bentuk disfemisme yang berupa kata, frasa, klausa, dan kalimat; sedangkan referensi disfemisme, antara lain meliputi hal-hal yang berkaitan dengan limbah, polusi, nuklir dan material beracun, perusakan habitat alami, dan kepunahan spesies. Adapun tipe-tipe disfemisme yang digunakan, antara lain sirkumlokusi, metonimia, sinestesia, hiperbola, dan pinjaman dari bahasa lain; dan fungsi disfemisme, antara lain untuk mengungkapkan kemarahan atau kejengkelan, mengkritik, menyindir, menghina, mengejek, memperingatkan, dan untuk melebih-lebihkan. Dari paparan tersebut menunjukkan bahwa hasil penelitian yang terkait dengan pemakaian disfemisme pada surat kabar yang terbit di Yogyakarta, khususnya mengenai referensi disfemisme, belum dilakukan. 72 PROSIDING 2. Kerangka Teori Allan dan Burridge (dalam Laili, 2012:27) menyatakan bahwa disfemisme adalah penggunaan kata atau frasa yang berkonotasi menyakitkan atau mengganggu, baik bagi orang yang diajak bicara maupun orang yang dibicarakan, serta orang yang mendengarkan ungkapan tersebut. Sementara, Chaer (1990:149) menyebut disfemisme sebagai gejala pengasaran (disfemia). Disfemisme digunakan untuk membicarakan lawan, sesuatu yang diharapkan dapat menunjukkan ketidaksukaan, serta sesuatu yang diharapkan lebih menghina, meremehkan atau merendahkan lawan. Namun, adakalanya disfemisme hanya digunakan sebagai sarana untuk memberikan tekanan lebih atau melebih-lebihkan peristiwa/topik pembicaraan sehingga tidak terasa kekasarannya (periksa Allan dan Burridge dalam Laili, 2012:27; Chaer, 1990:150). Lebih lanjut, Allan dan Burridge (dalam Laili, 2012:28) menunjukkan bahwa referensi disfemisme, antara lain, berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut. (1) Istilah tabu yang digunakan sebagai penghinaan, julukan, dan kata seru. Istilah tabu tersebut bersumber dari hal-hal yang berkaitan dengan organ dan aktivitas seksual, kematian, penyakit, makanan dan bau, dan sesuatu yang gaib. (2) Umpatan kotor, makian dan sumpah serapah. (3) Pembandingan manusia dengan binatang yang dianggap memiliki kesamaan sifat buruk. (4) Julukan yang menggunakan karakteristik keabnormalan fisik seseorang. (5) Umpatan dan julukan yang menunjukkan kekurangan mental seseorang. (6) Istilah yang menyinggung suku/golongan, agama, ras, gender (jenis kelamin), umur, spesies, dan sauvinisme (patriotisme yang berlebihan). (7) Istilah atau ungkapan yang menunjukkan penghinaan dan ketidakhormatan yang ditujukan pada karakter dan sifat seseorang. Tidak semua referensi disfemisme yang dikemukakan oleh Allan dan Burridge di atas ditemukan dalam surat kabar di Yagyakarta. Ada referensi yang ditemukan dalam surat kabar di Yogyakarta, tetapi tidak terdapat dalam daftar referensi yang dikemukakan Allan dan Burridge. Oleh karena itu, pengklasifikasian referensi disfemisme pada penelitian ini disesuaikan dengan data yang ditemukan. 3. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan melalui tiga tahap, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Pengumpulan data dilakukan PROSIDING 73 dengan menggunakan metode simak, yaitu metode yang pelaksanaannya dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto 1993:133; band. Mahsun, 2005:92). Metode simak diterapkan dengan menyimak data-data dalam surat kabar yang mengandung satuan ekspresi disfemisme. Setelah itu, diterapkan teknik catat, yaitu mencatat data yang diperoleh pada komputer (Mahsun, 2005:133). Pada tahap analisis data, kata-kata atau istilah yang mengandung disfemisme dicari makna/artinya dan/atau padanan kata-katanya di dalam kamus dan bahan referensi lainnya. Hal ini dilakukan untuk mendukung identitas kata-kata yang mengandung disfemisme tersebut. Selanjutnya, ditentukan referensi yang digunakan dalam satuan ekspresi disfemisme, untuk kemudian diklasifikasikan. Setelah itu, hasil analisis data disajikan dengan metode informal (dirumuskan dengan kata-kata biasa) (Sudaryanto, 1993:145). Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kalimat dalam wacana berita dan opini yang mengandung satuan ekspresi disfemisme. Untuk sumber data digunakan surat kabar berbahasa Indonesia yang terbit di Yogyakarta, yaitu Kedaulatan Rakyat, Bernas, Harian Jogja, Tribun Jogja, dan Koran Merapi. 4. Referensi Satuan Ekspresi Disfemisme pada Surat Kabar di Yogyakarta Satuan ekspresi disfemisme yang digunakan dalam surat kabar yang terbit di Yogyakarta memiliki referen yang bervariasi. Dari data yang ada, ditemukan referensi satuan ekspresi disfemisme yang berupa istilah atau ungkapan untuk menunjukkan ketidaksenangan, penghinaan, dan ketidakhormatan terhadap karakter dan sifat buruk seseorang/organisasi/lembaga; pelaku/tindak pidana (kriminal/kejahatan); kritik terhadap kondisi politik, sosial, ekonomi yang timpang; perbandingan sifat/perilaku buruk dengan binatang, penyakit, dan makhluk halus; peristiwa kematian tragis; aktivitas seksual yang menyimpang; dan istilah atau ungkapan yang digunakan untuk melebih-lebihkan peristiwa dalam pertandingan olahraga. 4.1 Istilah atau Ungkapan yang Menunjukkan Penghinaan dan Ketidakhormatan terhadap Karakter dan Sifat Seseorang/ Organisasi/Lembaga Berdasarkan data yang ada, penghinaan dan ketidakhormatan terhadap karakter dan sifat seseorang/organisasi/lembaga yang diekspos dalam surat kabar yang terbit di Yogyakarta terutama dilakukan sebagai alat untuk memberikan gambaran negatif lawan politik, baik mengenai pandangan, sikap, sifat maupun karakternya. Sebagai contoh, penggunaan istilah berlagak pilon, membangkang, munafik, dan mangkir dalam kalimat (4)—(7) berikut menunjukkan hal itu. 74 PROSIDING (4) SBY sebenarnya tahu, tapi cuma berlagak pilon, kata Wakil Sekjen PKS, Fahri Hamzah (Bernas, 12 Okt. 2013, hlm.6). (5) Partai Demokrat gerah dengan sikap membangkang PKS di koalisi. (Bernas, 5 Juni 2013, hlm.6). (6) PKS dinilai munafik (Bernas, 5 Juni 2013, hlm.6). (7) BK menemukan dua anggota dewan, masing-masing dari PDIP dan Golkar yang 3 kali mangkir dari rapat (Tribun Jogja, 19 Okt 2013, hlm.13). Istilah pilon mempunyai arti ‘bodoh; tidak tahu apa-apa’, sedangkan berlagak bodoh artinya ‘pura-pura tidak tahu; pura-pura bodoh’ (lih. Tim Redaksi KBBI, 2008:1074). Dalam konteks pemakaian istilah berlagak pilon pada kalimat (4) terasa sangat kasar, apalagi istilah tersebut ditujukan kepada seorang presiden. Kata membangkang pada kalimat (5) merupakan satuan ekspresi disfemisme karena mempunyai makna yang lebih kasar jika dipadankan dengan ungkapan lain yang semakna, misalnya tidak mau menurut (perintah) atau menentang yang nilai rasanya lebih netral (lih. Tim Redaksi KBBI, 2008:132). Demikian pula halnya dengan kata munafik dalam kalimat (6), merupakan satuan ekspresi disfemisme untuk menunjukkan karakter yang suka (selalu) mengatakan sesuatu yang yang tidak sesuai dengan perbuatannya; bermuka dua (lih. Tim Redaksi KBBI, 2008:939). Kata mangkir merupakan kosakata bahasa Indonesia bentuk cakapan yang artinya ‘tidak datang (ke sekolah, ke tempat kerja, dsb.); absen’ (Tim Redaksi KBBI, 2008:873). Penggunaan kata mangkir dalam kalimat (7) memiliki nilai rasa lebih kasar jika dibandingkan dengan istilah lain, misalnya tidak hadir atau tidak datang yang mempunyai nilai rasa lebih netral. 4.2 Istilah atau Ungkapan yang Menunjukkan Kritik terhadap Kondisi Politik yang Timpang Satuan ekspresi disfemisme yang menggunakan referensi yang berhubungan dengan kondisi politik yang timpang biasanya dipakai sebagai kritik masyarakat terhadap pemerintah. Sebagai contoh, penggunaan istilah mental inlander, miskin kader dan dibekingi dalam kalimat (8)—(10) berikut menunjukkan hal itu. (8) Eko Prasojo (2009) menyatakan, rusaknya kultur pelayan PNS disebabkan: pertama, mental inlander yang hinggap di anak-anak bangsa ini sehingga rindu menjadi penguasa (Bernas, 14 Okt. 2013, hlm.4). (9) Di samping itu, partai politik kita juga miskin kader (Kedaulatan Rakyat, 21 Maret 2013, hlm.7). PROSIDING 75 (10) Diduga kuat perusahaan ilegal ini dibekingi pejabat (Harian Jogja, 8 Maret 2013:12). Istilah Inlander berarti ‘pribumi; sebutan ejekan bagi penduduk asli Indonesia oleh orang Belanda pada masa penjajahan Belanda’ (Tim Redaksi KBBI, 2008:538). Dalam konteks kalimat (8) istilah mental inlander digunakan untuk menyindir (sebagian besar) para PNS yang selama ini bersikap layaknya penguasa yang selalu minta dilayani dan memandang rendah masyarakat layaknya pribumi yang siap melayani (Periksa Windarko, 2011). Dalam KBBI (2008:921) miskin artinya ‘tidak mampu; serba kekurangan’. Pada kalimat (9) ungkapan miskin kader mengandung makna yang lebih kasar jika dibandingkan dengan penggunaan ungkapan kekurangan kader atau mempunyai sedikit kader yang maknanya terasa lebih netral atau halus. Istilah beking artinya ‘orang yang melindungi (menyokong), pelindung, penyokong’ (KBBI, 1997:107). Dalam konteks pemakaian kata dibekingi pada kalimat (10) menunjukkan kritikan terhadap adanya pejabat yang seharusnya bekerja untuk kepentingan negara, tetapi justru melindungi perusahaan ilegal yang merugikan negara. 4.3 Istilah atau Ungkapan yang Menunjukkan Kritik terhadap Kondisi Sosial Ekonomi yang Timpang Penggunaan satuan ekspresi disfemisme yang menggunakan referensi yang berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang timpang biasanya digunakan sebagai kritik masyarakat terhadap pemerintah. Sebagai contoh, antara lain, dapat dilihat pada pemakaian istilah mangkrak, eksplitasi, dan sampah visual dalam kalimat (11)—(13) berikut. (11) Bantuan satu paket peralatan mesin pengolahan kayu yang nilainya mencapai milyaran rupiah dari Kementerian Perindustrian, mangkrak menjadi besi tua di antara semak belukar (Kedaulatan Rakyat, 21 Maret 2013, hlm.5). (12) Inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Komisi D DPRD Bantul pada program susunisasi menemukan indikasi adanya eksploitasi terhadap guru, khususnya pada proses penyaluran susu ke sekolah (Harian Jogja, 26 Feb. 2013:3). (13) “Reklame serampangan dan tak berizin itu adalah sampah visual dan kami menyebutnya teror visual yang terus meneror masyarakat di mana-mana agar terus membeli,” kata Sumbo Tinarbuko (Harian Jogja, 26 Feb. 2013:11). Kata mangkrak adalah kosakata bahasa Jawa yang artinya ‘keadaan tidak terawat atau tidak terurus (tentang rumah dsb.); terbengkalai’ (Tim Redaksi 76 PROSIDING KBBI, 2008:874). Penggunaan satuan ekspresi disfemisme mangkrak pada kalimat (11) merupakan bentuk kritik atas program pemerintah yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Demikian pula dengan istilah eksploitasi yang berarti ‘pendayagunaan; pemanfaatan untuk keuntungan sendiri, pengisapan, pemerasan (ttg tenaga orang)’ (Tim Redaksi KBBI, 2008:359). Pada kalimat (12) istilah eksploitasi merupakan salah satu bentuk satuan ekspresi disfemisme yang menunjukkan kritikan atas penyimpangan program susunisasi yang menyebabkan para guru menjadi korban. Sampah dapat diartikan sebagai ‘kotoran’ (Tim Redaksi KBBI, 2008:1215), sedangkan visual artinya ‘dapat dilihat dengan indra penglihat (mata)’ (Tim Redaksi KBBI, 2008:1549). Istilah sampah visual pada kalimat (13) mengacu pada papan reklame di ruang publik. Penggunaan satuan ekspresi disfemisme ini digunakan untuk menunjukkan kritik masyarakat terhadap ruang publik yang dipenuhi papan reklame yang sangat mengganggu pemandangan. 4.4 Istilah atau Ungkapan yang Menunjukkan Penghinaan dan Ketidakhormatan terhadap Pelaku/Tindak Pidana (Kriminal/ Kejahatan) Pemakaian disfemisme yang menggunakan referensi yang berkaitan dengan pelaku/tindak kriminal/kejahatan, biasanya dilakukan untuk menunjukkan penghinaan atau ketidakhormatan. Satuan ekspresi disfemisme yang menunjukkan hal itu, misalnya menjerat, meringkus, diseret, kursi pesakitan, dijebloskan, tertangkap basah, dan mendekam sebagaimana tampak pada kalimat (14)— (19) berikut. (14) KPK menjerat adik Atut, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan terkait dugaan suap sengketa Pemilukada Lebak (Bernas, 12 Okt. 2013, hlm.6). (15) Polisi berhasil meringkus para tersangka di kediaman milik Sukisno yang berada di Desa Sengon (Bernas, 5 Juni 2013, hlm.3) (16) Ah (23) dijebloskan ke penjara Polrestabes Semarang, Minggu (20/ 10) malam (Koran Merapi, 22 Okt 2013, hlm.2). (17) NY alias Eni (51) warga Gang Kresno No. 8 Wirobrajan Yogyakarta kembali diseret ke kursi pesakitan PN sleman, kemarin (Koran Merapi, 19 Okt. 2013, hlm.3). (18) Di rumah tersebut, Akil, CHN, dan CN tertangkap basah tengah melakukan transaksi (Kedaulatan Rakyat, 5 Okt. 2013, hlm.1). (19) Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng, tidak mendapatkan perlakuan khusus selama mendekam di Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Tribun Jogja, 19 Okt. 2013:12). PROSIDING 77 Kata menjerat artinya ‘menangkap dengan jerat’ (Tim Redaksi KBBI, 2008:581). Penggunaan kata menjerat dalam kalimat (14) terasa lebih kasar karena mempunyai asosiasi tindakan yang ditujukan untuk binatang. Kata meringkus yang mempunyai arti ‘mengikat kaki dan tangan (kaki binatang yang akan disembelih)’ (Tim Redaksi KBBI, 2008:1176). Penggunaan kata meringkus pada kalimat (15) terasa lebih kasar jika dibandingkan dengan penggunaan kata menangkap yang mempunyai nilai rasa lebih netral. Kata dijebloskan mempunyai makna ‘dimasukkan dengan sekuat-kuatnya ke dalam lubang, dsb.’ (lih. Tim Redaksi KBBI, 2008:406). Dalam konteks kalimat (16), kata dijebloskan mengandung makna ‘dihukum’, dimasukkan dengan cara dan di tempat yang tidak menyenangkan’. Penggunaan kata dijebloskan memiliki nilai rasa lebih kasar dibandingkan dengan kata dimasukkan yang nilai rasanya lebih netral (lih. Tim Redaksi KBBI, 2008:572). Kata diseret artinya ‘ditarik dengan paksa’ (lih. Tim Redaksi KBBI, 2008:1286). Penggunaan kata diseret dalam kalimat (17) terasa lebih kasar dibandingkan dengan kata dibawa yang nilai rasanya lebih netral. Ungkapan kursi pesakitan juga terasa lebih kasar jika dibandingkan dengan ungkapan lain yang semakna, yaitu pengadilan yang nilai rasanya lebih netral. Penggunaan kata tertangkap basah pada kalimat (18) merupakan ungkapan kasar jika dibandingkan dengan ungkapan lain yang semakna. Dalam KBBI (2008:1399) tertangkap basah artinya tepergoki dan tertangkap (ttg orang yang sedang melakukan kejahatan atau perbuatan terlarang)’. Sedangkan istilah mendekam yang berarti ‘meringkuk’ biasa digunakan untuk binatang, seperti ayam yang sedang mengeram, harimau yang hendak menerkam mangsanya, maling yang sedang bersembunyi (Tim Redaksi KBBI, 2008:305). 4.5 Istilah atau Ungkapan yang Menunjukkan Penghinaan dan Ketidakhormatan dengan Menggunakan Perbandingan Sifat/ Perilaku Buruk Binatang Referensi disfemisme yang digunakan untuk menunjukkan ketidaksukaan, kejengkelan, atau kritik sering pula dilakukan dengan cara membandingkan manusia dengan binatang yang dianggap mempunyai kesamaan sifat buruk. Misalnya, satuan ekspresi disfemisme kutu loncat dan gurita bisnis dalam kalimat (20) dan (21) berikut. (20) Hengkangnya beberapa aktor politik dari satu partai politik ke partai politik yang lain sudah mewarnai politik nasional jelang pemilu 2014. Kepindahan tersebut ada yang sembunyi-sembunyi seperti kutu loncat (Kedaulatan Rakyat, 21 Maret 2013, hlm.1) (21) Sejumlah dokumen penting ditemukan, diduga terkait gurita bisnis sang adik gubernur di Banten (Bernas, 12 Okt. 2013, hlm.6). 78 PROSIDING Secara harfiah, istilah kutu loncat dapat diartikan sebagai ‘sejenis serangga parasit (hama) berukuran kecil yang suka meloncat, hidup dengan cara mengisap’ (periksa Tim Redaksi KBBI, 2008:765). Istilah kutu loncat mempunyai konotasi yang biasa dipakai sebagai julukan yang dialamatkan kepada orang yang kerapkali berpindah-pindah tempat/bidang kerja. Dalam konteks kalimat (20) istilah kutu loncat digunakan sebagai bentuk penghinaan dan ketidakhormatan bagi orang yang tidak setia (biasanya untuk keuntungan pribadi). Istilah gurita mengacu pada binatang berlengan banyak (delapan) yang dapat digerakkan secara simultan untuk mengambil apa saja, dan secara licik suka mengaburkan penglihatan pengejar (musuh) untuk bisa lolos dari kejaran. Istilah gurita bisnis dipakai untuk menggambarkan dominasi bisnis yang dimiliki segelintir orang. Pada contoh (21) satuan ekspresi disfemisme gurita bisnis digunakan untuk menunjukkan ketidaksenangan terhadap jaringan bisnis yang dimiliki adik Gubernur Banten yang ada di mana-mana dan memenangi proyek-proyek milik pemerintah. 4.6 Istilah atau Ungkapan yang Menunjukkan Penghinaan dan Ketidakhormatan dengan Menggunakan Perbandingan Sifat Buruk Penyakit Referensi disfemisme yang digunakan untuk menunjukkan ketidaksukaan, kejengkelan, atau kritik, selain dilakukan dengan cara membandingkan manusia dengan binatang, juga dilakukan dengan cara membandingkan kesamaan sifat buruk manusia dengan penyakit. Sebagai contoh, antara lain, tampak pada penggunaan satuan ekspresi disfemisme kanker ganas dan gurita bisnis dalam kalimat (22) dan (23) berikut. (22) Politik dinasti akan menjadi kanker ganas yang menggerogoti demokrasi (Bernas, 14 Okt. 2013, hlm.6). (23) Dari sebanyak 101 koperasi yang terdaftar di Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Jogja mati suri alias sudah tidak berkegiatan lagi (Harian Jogja, 26 Feb. 2013:3). Istilah kanker ganas mengacu pada sebuah penyakit yang sangat berbahaya yang banyak ditakuti orang karena dapat menyebabkan kematian (periksa Tim Redaksi KBBI, 2008:618). Istilah kanker ganas pada kalimat (22) merupakan satuan ekspresi disfemisme untuk menunjukkan rasa tidak suka terhadap politik dinasti yang dipandang dapat menggerogoti demokrasi. Penggunaan istilah kanker ganas mempunyai efek bahasa yang terasa lebih tajam jika dibandingkan dengan istilah penyakit berbahaya yang kandungan maknanya lebih netral Istilah mati suri berarti ‘tampaknya mati tetapi sebenarnya tidak’ (Tim Redaksi KBBI, 2008:889). Pada kalimat (23) istilah mati suri merupakan satuan PROSIDING 79 ekspresi disfemisme untuk menggambarkan Disperindagkop Yogyakarta yang sudah mengalami stagnasi atau tidak berkegiatan lagi. 4.7 Istilah atau Ungkapan yang Menunjukkan Penghinaan dan Ketidakhormatan dengan Menggunakan Perbandingan Sifat/ Perilaku Buruk Makhluk Halus Selain dikaitkan dengan sifat atau perilaku buruk binatang dan penyakit, pemakaian disfemisme juga sering dikaitkan dengan sifat atau perilaku makhluk halus. Satuan ekspresi disfemisme bergentayangan, dihantui dan raksasa kapitalisme pada contoh kalimat (24)—(26) menunjukkan hal itu. (24) Menjelang pelaksanaan penerimaan CPNS di Jateng, calo mulai bergentayangan di sejumlah daerah (Kedaulatan Rakyat, 5 Okt. 2013, hlm.18). (25) Ke luar ruangan di ruang publik kita masih dihantui iklan-iklan itu (Harian Jogja, 26 Feb. 2013:11). (26) Kota ini menurutnya tak lagi identik dengan nilai-nilai budaya dan keteraturan lantaran terus digempur raksasa kapitalisme (Harian Jogja, 26 Feb. 2013:1). Istilah bergentayangan mempunyai asosiasi dengan perilaku makhluk halus yang digambarkan suka menemui manusia dengan cara tidak diundang, secara tiba-tiba, dan menakutkan. Dalam KBBI (2008:441) istilah bergentayangan mempunyai arti ‘bergerak berkeliaran’ atau ‘bergerak kemana-mana’. Dalam konteks kalimat (24) istilah bergentayangan terasa lebih netral jika diganti dengan istilah bergerak atau datang. Istilah bergantayangan digunakan sebagai satuan ekspresi disfemisme untuk menunjukkan ketidaksenangan terhadap praktik-praktik calo yang merebak di mana-mana. Istilah hantu mempunyai arti ‘roh jahat (yang dianggap terdapat di tempat-tempat tertentu). Istilah menghantui mempunyai arti ‘menyebabkan takut (khawatir, gelisah, dsb. mempertakuti; membayangi, mengganggu; mengusik’ (Tim Redaksi KBBI, 2008:481). Dalam konteks kalimat (25) istilah menghantui merupakan satuan ekspresi disfemisme yang menunjukkan ketidaksenangan dan kejengkelan terhadap iklan-iklan yang dipandang sebagai sesuatu yang selalu membayang-bayangi dan mengusik karena keberadaannya yang bertebaran di mana-mana. Istilah raksasa diidentifikasikan/digambarkan sebagai ‘makhluk yang menyerupai manusia, konon berbadan tinggi besar, buta, gergasi’. Dalam kalimat (26) istilah raksasa digunakan untuk menggambarkan sebagai sesuatu yang sangat besar, sangat terkenal di bidang tertentu, dsb. besar sekali (melebihi ukuran biasa)’ (periksa Tim Redaksi KBBI, 2008:1135). Istilah kapitalisme mempunyai arti ‘sistem dan paham ekonomi yang modalnya bersumber pada 80 PROSIDING modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan bebas (periksa Tim Redaksi KBBI, 2008:622). Pada kalimat (26) istilah raksasa kapitalisme merupakan satuan ekspresi disfemisme untuk menunjukkan ketidaksenangan terhadap sistem ekonomi yang telah dikuasai para kapitalis yang menguasai pasar bebas. 4.8 Istilah atau Ungkapan yang Berkaitan dengan Peristiwa Kematian Tragis Penggunaan satuan ekspresi disfemisme yang berhubungan dengan kematian biasanya ditujukan untuk kematian akibat peristiwa tragis, seperti kecelakaan atau pembunuhan. Sebagai contoh adalah penggunaan istilah meregang nyawa, tewas, dan mayat pada kalimat (27)—(28) berikut. (27) Salah seorang perawat di IGD Bethesda Muji Raharjo mengatakan, Arindu meregang nyawa meski sudah dirawat di IMC (Harian Jogja, 26 Feb. 2013:11). (28) Jatuh dari motor tewas dilindas truk tangki (Koran Merapi, 19 Okt. 2013, hlm.2). (29) Setelah dievakuasi dan dicek identitasnya, mayat tersebut ternyata adalah Dedi yang tenggelam di perairan selatan Selok, Kecamatan Adipala, Cilacap (Bernas, 12 Okt. 2013, hlm.3). Istilah meregang nyawa, tewas dan mayat, pada kalimat (27)—(29) merupakan satuan ekspresi disfemisme yang menunjukkan rasa tidak senang atau tidak suka terhadap kematian yang terjadi secara tragis. Istilah meregang nyawa mempunyai arti ‘hampir-hampir mati, sekarat’ (Tim Redaksi KBBI, 2008:1154), sedangkan tewas artinya ‘mati’ (lih. Tim Redaksi KBBI, 2008:1459). Dalam konteks penggunaan kata meregang nyawa pada kalimat (27) dan tewas pada kalimat (28) terasa lebih kasar jika dibandingkan dengan kata meninggal yang mengandung nilai rasa lebih netral dan sama-sama mempunyai makna ‘mati’. Demikian pula halnya dengan penggunaan kata mayat pada kalimat (29) terasa lebih kasar jika dibandingkan dengan penggunaan kata jenazah (Tim Redaksi KBBI, 2008:891). 4.9 Istilah atau Ungkapan yang Menunjukkan Ketidaksenangan dan Ketidakhormatan terhadap Aktivitas Seksual yang Menyimpang Penggunaan satuan ekspresi disfemisme yang berhubungan dengan aktivitas seksual biasanya ditujukan untuk aktivitas seksual yang dilakukan secara tidak wajar, misalnya tindak pemerkosaan atau aktivitas seksual yang dilakukan tidak pada tempatnya. Dalam hal ini, disfemisme digunakan untuk menunjukkan penghinaan dan ketidakhormatan terhadap aktivitas seksual yang menyimpang. Sebagai contoh, antara lain, tampak pada penggunaan istilah PROSIDING 81 bugil, telanjang bulat, cabuli, mesum, penikmat mesum, dan perbuatan maksiat dalam kalimat (30)—(35) berikut. (30) Siswi SMA bermesraan dan bugil di warnet (Bernas, 12 Okt. 2013, hlm.2). (31) Dalam razia dipergoki enam pasangan sedang bermesraan. Bahkan ada yang telanjang bulat di bilik warnet (Bernas, 12 Okt. 2013, hlm.3). (32) Teguh cabuli ibu dan 4 adiknya (Harian Jogja, 5 Maret 2013, hlm.1). (33) Untuk mencegah maraknya tindakan mesum, jajaran Polrestabes Semarang menggelar razia di warnet di wilayah Kedungmundu, Tembalang, Kamis (10/10) (Bernas, 12 Okt. 2013, hlm.3). (34) Goa Selarong sempat ramai menjadi jujugan para penikmat mesum sekitar dua tahun silam (Harian Jogja, 6 Maret 2013, hlm.11). (35) Agus Salim kerap kali memergoki perbuatan maksiat yang dilakukan para banci ketika melayani tamunya (Bernas, 5 Juni 2013, hlm.4). Kata bugil pada kalimat (30) dan telanjang bulat pada kalimat (31) merupakan satuan ekspresi yang berkaitan dengan aktivitas seksual. Dalam KBBI (2008:216,1424) kata bugil dan telanjang bulat mempunyai arti ‘tidak memakai busana sama sekali atau tidak berpakaian sedikit pun’. Kedua kata tersebut merupakan satuan ekspresi disfemisme yang menunjukkan ketidaksenangan, penghinaan, atau ketidakhormatan terhadap pelaku dan/atau perbuatan seksual yang dilakukan secara tidak wajar atau tidak pada tempatnya. Istilah bugil dan telanjang bulat mempunyai makna yang lebih kasar jika dipadankan dengan kata tidak berpakaian atau tanpa busana yang nilai rasanya lebih netral. Kata cabuli pada kalimat (32) juga merupakan satuan ekspresi yang menunjukkan aktivitas seksual. Kata cabul mempunyai arti ‘keji dan kotor; tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan)’. Adapun istilah mencabuli mempunyai arti ‘memerkosa, mencemari (kehormatan perempuan)’ (Tim Redaksi KBBI, 2008:232). Kata cabuli merupakan bentuk disfemisme karena nilai rasanya lebih kasar jika dibandingkan dengan padanan lain yang mempunyai makna yang sama, tetapi mengandung nilai rasa yang lebih halus, yaitu ‘merenggut kesucian/kehormatan’ (periksa Tim Redaksi KBBI, 2008:965). Kata mesum dalam kalimat (33) dan para penikmat mesum dalam kalimat (34) juga merupakan satuan ekspresi disfemisme yang berkaitan dengan aktivitas seksual. Kata mesum mempunyai arti ‘tidak senonoh; tidak patut; cabul’ (Tim Redaksi KBBI, 2008:908). Penggunaan satuan ekspresi disfemisme mesum dan para penikmat mesum pada kalimat (33) dan (34) menunjukkan penghinaan dan ketidakhormatan terhadap pelaku dan/atau aktivitas seksual yang dilakukan tidak pada tempatnya. 82 PROSIDING Kata maksiat mempunyai arti ‘perbuatan yang melanggar perintah Allah atau perbuatan dosa (tercela, buruk)’ (Tim Redaksi KBBI, 2008:865). Dalam konteks kalimat (35) penggunaan istilah perbuatan maksiat merupakan salah satu bentuk ungkapan disfemisme untuk menunjukkan ketidaksukaan, penghinaan dan ketidakhormatan terhadap kelakuan banci yang suka melakukan aktivitas seksual secara menyimpang. 4.10 Istilah atau Ungkapan yang Digunakan untuk Melebih-Lebihkan Peristiwa dalam Pertandingan Olahraga Selain digunakan untuk menunjukkan ketidaksenangan atau kejengkelan, fungsi satuan ekspresi disfemisme juga dapat dipakai sebagai alat untuk memberikan penekanan lebih atau melebih-lebihkan peristiwa atau topik pembicaraan. Dalam surat kabar di Yogyakarta, pemakaian disfemisme semacam ini banyak ditemukan dalam wacana berita olahraga. Sebagai contoh adalah penggunaan istilah menjungkalkan, menghempaskan, ditekuk, dan bulan-bulanan pada kalimat (36)—(39) berikut. (36) Peringkat 3 ditempati Apolion Limassol setelah meraih kemenangan pertama dengan menjungkalkan tuan rumah Legia Warszawa 1-0 (Kedaulatan Rakyat, 5 Okt. 2013, hlm.21). (37) Sedangkan Wigan yang tergabung di Grup D, menghempaskan tamunya, NK Maribor 3-1 di DW Stadium (Kedaulatan Rakyat, 5 Okt. 2013, hlm.21). (38) Timnas U-19 juga mempertahankan rekor tidak pernah kalah sejak ditekuk Vietnam 1-2 pada babak grup Piala AFF U-19 2013, 14 September 2013 (Bernas, 14 Okt. 2013, hlm.8). (39) Pada Piala Asia U-19 2004, Timnas U-19 menjadi bulan-bulanan di Grup B, setelah dikalahkan China, Qatar, dan Iran (Bernas, 14 Okt. 2013, hlm.8). Istilah menjungkalkan mempunyai arti ‘menggulingkan; menjatuhkan terbalik; mengalahkan’ (periksa Tim Redaksi KBBI, 2008:593). Pada contoh kalimat (36) istilah menjungkalkan merupakan disfemisme yang berfungsi untuk melebih-lebihkan tindakan/perbuatan Tim Apolion Limassol. Meskipun istilah menjungkalkan mengandung makna perbuatan kasar tetapi penggunaan istilah tersebut tidak terasa kekasarannya. Penggunaan istilah menjungkalkan memang menimbulkan efek bahasa yang lebih tajam jika dibandingkan dengan kata mengalahkan yang lebih netral. PROSIDING 83 Istilah menghempaskan dalam kalimat (37) dan ditekuk pada kalimat (38) juga merupakan disfemisme yang berfungsi untuk melebih-lebihkan. Secara harfiah kata menghempaskan mempunyai arti ‘mencampakkan, membantingkan; membuangkan (menjatuhkan) kuat-kuat’ (Tim Redaksi KBBI, 2008:491). Dalam konteks kalimat (37) istilah menjungkalkan berarti ‘mengalahkan’, yang dalam dunia olahraga sebagai hal yang lumrah dan bernilai rasa netral. Istilah ditekuk pada kalimat (38) mempunyai arti ‘dikalahkan’. Kata ditekuk artinya ‘dibekuk’, sedangkan menekuk ‘menyerah kalah’ (Poerwadarminta, 1939:599). Dalam KBBI (2008:1423) menekuk mempunyai arti ’bertekuk lutut; menyerah kalah; tunduk’. Demikian pula istilah bulan-bulanan dalam kalimat (39), istilah ini merupakan satuan ekspresi disfemisme yang berfungsi untuk melebih-lebihkan. Dalam KBBI (2008:219) istilah bulan-bulanan diartikan sebagai ‘sasaran’; orang yang mudah dijadikan kurban sehingga seperti alat permainan’. Dalam konteks kalimat (39) Timnas U-19 dipandang sebagai tim yang dengan mudah dapat dikalahkan. 5. Penutup Referensi disfemisme pada surat kabar yang diterbitkan di Yogyakarta digunakan untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan istilah atau ungkapan yang menunjukkan ketidaksenangan, penghinaan, dan ketidakhormatan terhadap karakter dan sifat buruk seseorang/organisasi/lembaga/; pelaku/tindak pidana (kriminal/kejahatan); kritik terhadap kondisi politik, sosial, dan ekonomi yang timpang; perbandingan sifat/perilaku buruk dengan binatang, penyakit, dan makhluk halus; peristiwa kematian tragis; aktivitas seksual yang menyimpang; dan istilah atau ungkapan yang digunakan untuk melebih-lebihkan peristiwa dalam pertandingan olahraga. Pemakaian disfemisme dalam surat kabar tentu akan berpengaruh pada kognisi pembacanya. Semakin besar porsi disfemisme yang tampil di surat kabar, khususnya yang terbit di Yogyakarta, akan membuat masyarakat menjadi terbiasa dengan bahasa yang bernuansa kasar. Jika hal ini berkembang terus-menerus, disfemisme dikhawatirkan akan melahirkan budaya cablaka dalam masyarakat Yogyakarta. Masyarakat akan bertutur dengan bahasa yang lugas, namun mengabaikan etika dan sopan santun. Hal tersebut tentu saja sangat bertentangan dengan masyarakat Yogyakarta yang selama ini telah terbiasa menggunakan undak usuk dalam berbahasa. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika pemakaian disfemisme dalam surat kabar di Yogyakarta ditinjau ulang dan semaksimal mungkin dihindarkan. 84 PROSIDING Daftar Pustaka Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Laili, Elisa Nurul. 2012. “Eufemisme dan Disfemisme pada Wacana Lingkungan dalam Media Massa di Indonesia”. Tesis S-2. Yogyakarta: Program Studi Pascasarjana Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Khasan, Auriga Maulana. 2011. “Pemakaian Disfemisme dalam Kolom Berita Utama Surat Kabar Joglo Semar”. Skripsi S1. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret. Kurniawati, Heti. 2009. “Eufemisme dan Disfemisme dalam Spiegel Online”. Tesis S-2. Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia, Groningen: J.B.Wolters Uitgevers Maatschappij N.V. Sutrisno, Mudji. 2012. “Mental Jongos” dalam SindoNews.Com. Diunduh tanggal 25 Oktober 2013, pukul 20.15 WIB. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa. Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Windarko, Novie Ayub. 2011. “Mental Inlander: Penyakit Mental Kronis yang Masih Menggurita’. Dalam http://kangtanto.com/misc/mental-inlanderpenyakit-mental-kronis-yg-masih-menggurita. Diunduh tanggal 25 Oktober 2013, pukul 20.30 WIB. PROSIDING 85 86 PROSIDING KETIDAKSESUAIAN PRINSIP KUALITAS DALAM KOMUNIKASI: KAJIAN TERHADAP STILISTIKA ALQURAN Mardjoko Idris Fakutas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pos-el: mardjokoidris@yahoo.co.id Inti Sari Alquran merupakan media interaksi antara Allah swt. dengan hambaNya. Interaksi tersebut menggunakan sebuah alat yang dikenal dengan nama bahasa, dalam hal ini adalah bahasa Arab. Dalam interaksi tersebut, Alquran menggunakan beragam kalimat, antara lain kalimat deklaratif (khabar), kalimat imperatif (amr), dan kalimat interogatif (istifhâm). Salah satu dari fenomena kebahasaan dalam stilistika Alquran adalah gaya bahasa tanya-jawab. Aktivitas tanya-jawab selalu melibatkan 2 (dua) partisipan, yaitu pihak penutur dan pihak lawan tutur. Supaya tanya-jawab tersebut berjalan dengan lancar, Grice memberikan arahan dengan 4 (empat) prinsip yang dikenal dengan prinsip-prinsip percakapan; yaitu prinsip kualitas, prinsip kuantitas, prinsip relevansi, dan prinsip pelaksanaan. Tanya-jawab di dalam Alquran jika dilihat dari sudut prinsip kuantitas, ada beberapa jawaban yang sejalan dan ada pula yang tidak sejalan dengan prinsip tersebut. Ketidaksesuaian tersebut, oleh penuturnya dimaksudkan antara lain (1) untuk menunjukkan betapa seriusnya penutur (Yusuf) berkeinginan mendapatkan piala raja itu; (2) untuk menunjukkan betapa seriusnya penutur (Firaun) berkeinginan mendapatkan kemenangan dalam pertandingan tersebut; (3) Musa merasa adanya kenikmatan dan kelezatan yang diraih melalui dialog dengan Allah swt tersebut, dan oleh karenanya Musa sengaja berlama-lama dalam jawaban agar lebih lama pula kenikmatan itu beliau rasakan; (4) untuk menunjukkan keseriusan penutur (Nazar) dan kontinuitas penyembahan mereka terhadap berhala; (5) menunjukkan ketaatan dan keseriusan mereka dalam beribadah kepada Allah swt., serta ingin menunjukkan bahwa dirinya terlepas dari kemusyrikan; (6) penutur (Hawariyun) ingin menguatkan PROSIDING 87 jawabannya sebagai penolong Allah; dan (7) penutur (iblis) memberitahukan kepada lawan tutur bahwa dirinya lebih baik dari unsur penciptaan bila dibandingkan dengan Adam. Kata kunci : tanya-jawab, prinpsip kuantitas Abstract Alquran is a medium of interaction between ALLAH SWT and the believer. The interaction uses Arabic language as its medium. In the interaction, Alquran uses various sentences, such as declarative sentence (khabar), imperative sentence (amr), and interogative sentence (istifhâm). One of language phenomenon in Alquran stylistics is asking and question style. Asking and question activity always involves two participants, namely speaker and his speaker’ parthner; therefore, the conversation goes well. Grice gave direction using four principles that are known as conversation principles, namely quality principle, quantitiy principle, relevant principle, and manner principle. Viewed from quantity principle there are some answers which are in line with question and some are not. The method used in this description is qualitative descriptive method. The maxim violation by the speakers is aimed at (1) showing how serious the speaker (Yusuf) to have king throphy; (2) showing how serious the speaker (Firaun) to win in the contest; (3) showing that Musa felt there were some joyness and delicacy achieved through dialogue with Allah SWT, and Musa intentionally took a long time to answer in order he could feel the joyness and delicacy longer; (4) showing the speaker’s seriousness (Nazar) and the continuity in their worship toward idolatry; (5) showing their observance and the seriousness in their worship to Allah SWT, and also showing that he himself freed from polytheist; (6) showing that the speaker (Hawariyun) wanted to streghtened Hawariyun answer as Allah helper; and (7) showing that the speaker (the devil) acknowledged the speaker parthner that the speaker was better from speaker’s creation element comparing to Adam’s. Keywords: quantity maxim, metode deskriptif kualitatif qualitative descriptive method 1. Pendahuluan Alquran merupakan media interaksi antara Allah SWT dengan hambaNya. Interaksi tersebut menggunakan sebuah alat yang dikenal dengan nama bahasa, dalam hal ini adalah bahasa Arab. Penggunaan bahasa Arab sebagai ), Q.S. Yusuf [12]: 2, Q.S. sarana Q.S. An-Nahl [16]: 103 ( Ar-Ra’du [13]: 37, Q.S. Fushshilat [41]: 3, Q.S. Az-Zuhruf [43]: 3, dan Q.S. AlAhqâf [46]: 12. Dalam interaksi tersebut, Alquran menggunakan beragam 88 PROSIDING kalimat, antara lain: kalimat deklaratif (khabar), kalimat imperatif (amr), dan kalimat interogatif (istifhâm). Kalimat deklaratif adalah kalimat yang dipakai jika penutur ingin menyatakan sesuatu dengan lengkap pada waktu ia ingin menyampaikan informasi kepada lawan tuturnya (Arifin, 2000:87). Kalimat imperatif adalah kalimat perintah yang dipakai jika penutur ingin menyuruh atau melarang orang berbuat sesuatu (Arifin, 2000:87). Kalimat interogatif adalah kalimat pertanyaan yang dipakai jika penutur ingin memperoleh informasi atau reaksi (jawaban) yang diharapkan (Arifin, 2000:88) Suatu kalimat tidak hanya digunakan secara konvensional atau sesuai dengan modus-modus tuturan, misalnya kalimat deklaratif digunakan untuk menginformasikan sesuatu kepada lawan tutur, kalimat interogatif untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat imperatif untuk menyatakan perintah, ajakan, dan permintaan atau permohonan. Kalimat-kalimat tersebut sering digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak langsung, seperti kalimat deklaratif dan kalimat interogatif digunakan untuk menyuruh dan kalimat imperatif digunakan untuk tujuan di luar wujud formalnya. Tuturan-tuturan yang digunakan secara konvensional tersebut dinamakan tuturan langsung (direct speech), sedangkan tuturan yang digunakan secara tidak konvensional tersebut dinamakan tuturan tak langsung (indirect speech) (Wijana, 1996:30; Rahmadi, 2004:33). Diangkatnya persoalan tanya-jawab dalam Alquran kemudian dianalisis secara pragmatik, antara lain dilatarbelakangi oleh banyaknya kalimat interogatif, khususnya tanya-jawab dalam Alquran, serta banyaknya jawaban dalam percakapan tersebut yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kerja sama Grice. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada “Ketidaksesuaian Prinsip Kualitas dalam Tanya-Jawab: Kajian terhadap Stilistika Alquran”. Dalam penelitian tanya-jawab ini, ada tiga fokus masalah yang akan diungkap berdasarkan analisis pragmatik, dan dirumuskan sebagai berikut. (1) Bagaimana mendeskripsi struktur tanya-jawab dalam Alquran?; (2) Bagaimana mendeskripsikan ketidaksesuaian prinsip kualitas dalam tanya-jawab dalam stilistika Alquran?; dan (3) Bagaimana pemaknaan terhadap ketidaksesuaian tersebut? Penelitian memfokuskan kajian tanya-jawab dalam Alquran dengan analisis prinsp-prinsip kerja sama. Penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan struktur tanya-jawab dalam Alquran, ketidaksesuaian prinsip kualitas dalam stilistika Alquran, dan bagaimana pemaknaan terhadap ketidaksesuaian tersebut. Para ulama sepakat bahwa Alquran adalah mu’jiz, namun mereka berbeda pendapat sisi kemukjizatan tersebut. Masalah kemukjizatan itu, Alquran sendiri PROSIDING 89 tidak memberikan jawaban terhadap persoalan itu. Para mufasir klasik sepakat bahwa kemukjizatan utama Alquran adalah terletak pada stilistikanya. Penulis modern seperti Sayyid Qutb, Bintusy Syati’, dan Abdul Karim Al-Khatib juga berpendapat bahwa kemukjizatan Alquran terletak pada keunggulan balaghahnya, walaupun dianggap bukan satu-satunya keunggulan Alquran. Sayyid Qutb dalam bukunya (At-Tashwîr Al-Fannî fî Al-Qur’an) secara implisit menjelaskan tentang ketinggian stilistika Alquran. Dalam teorinya tentang seni penggambaran (at-tashwîr), Sayyid Qutb berpendapat bahwa gaya bahasa Alquran membawa gambaran yang jelas dan dinamis bagi pembacanya. Gambaran ini menjadikan sesuatu yang abstrak, yang digambarkan oleh Alquran berubah menjadi gambaran dalam bentuk atau gerakan yang nyata. Kejadian-kejadian dan kisah-kisah yang telah terjadi di masa lalu dikemukakan dalam Alquran dengan gaya bahasa yang menyentuh, kejadian atau kisah-kisah itu seakan berubah menjadi kenyataan dan penampakan yang dramatis (Qutb, 1962:11—32). Dalam bukunya ini, Sayyid Qutb banyak berbicara tentang seni penggambaran (At-tashwîr) yang ada dalam Alquran. (Al-I’jâz Al-Bayânî) juga Bintusy Syati’ dalam karyanya berpen-dapat bahwa keunggulan Alquran lebih banyak ditentukan oleh gaya bahasanya, terutama keunggulan retorika (bayân)-nya. Dalam menguji teori kemukjizatan Alquran itu, Bintusy Syati’ membahas tiga kategori gaya bahasa Alquran yang terdiri dari; (1) fawâtih as-suwar dan rahasia huruf-huruf, (2) masalah sinonim atau musykilah at-tarâduf, dan (3) gaya bahasa dan rahasia ekspresi atau al-asâlib wa sir at-ta’bîr.1 Abdul Karim Al-Khatib juga memberikankan penilaian bahwa kemukjizatan Alqur’an ada pada sisi balaghahnya, terutama pada aspek nazham dan tikrâr-nya. Dalam mengomentari nazham, Al-Khatib mengatakan nazham atau cara menyusun pengertian-pengertian kata merupakan kekhususan Alquran semata dan belum dikenal oleh orang Arab di masa Jahily. Mereka hanya mengenal cara pengungkapan seperti syair, prosa, serta sajak (Al-Kitab, 1964:206—226). Sejalan dengan pendapat Al-Khatib, Al-Baqilani mengatakan bahwa kemukjizatan Alquran terletak juga pada gaya bahasa pengulangan atau tikrâr. Tikrâr atau pengulangan itu kadang-kadang terjadi pada klausa, kata-kata, atau pun kisah. M. Quraish Shihab dalam bukunya Mukjizat Alquran secara khusus membicarakan tentang mukjizat Alquran. Shihab berpendapat bahwa kemukjizatan Alquran terletak pada aspek kebahasaan, isyarat ilmiah, dan pemberitaan gaib. Dalam membicarakan kemukjizatan Alquran dilihat dari aspek kebahasaan. Shihab lebih banyak membicarakan tentang susunan kata dan kalimat, 90 PROSIDING keseimbangan redaksi Alquran, serta rincian ketelitian Alquran (Shihab, 1997:111—142). Dimulai dari kajian-kajian para pemerhati tersebut di atas, kiranya kajian secara khuhus tentang tanya-jawab dalam stilistika Alquran dengan pendekatan prinsip kerja sama Grice dan analisis pragmatik belum mendapatkan perhatian secara memadai. Itu berarti bahwa penelitian dengan tema prinsipprinsip kerja sama dalam tanya-jawab Alquran merupakan peluang untuk diadakan penelitian. 2. Kerangka Teori Prinsip-prinsip kerja sama adalah rambu-rambu dalam berkomunikasi, sepanjang ditaati oleh mereka yang terlibat dalam pertuturan, maka pertuturan tersebut akan berjalan dengan lancar, namun jika dilanggar besar kemungkinan pertuturan akan berjalan tidak seperti yang diharapkan. Grice mengemukakan adanya empat maksim atau prinsip percakapan (conversational maxim/ ), yaitu: 1. Maksim kuantitas (maxim of quantity/ 2. Maksim kualitas (maxim of quality/ 3. Maksim relevansi (maxim of relevance/ ), dan 4. Maksim pelaksanaan (maxim of manner/ ) ) ) Dalam pandangan Grice, keempat prinsip tersebut bukan berarti wajib atau harus ditaati, dalam komunikasi antara penutur dan mitra tutur bisa saja prinsip-prinsip tersebut dilanggar, sepanjang ada alasan yang kuat untuk meninggalkannya. Penjabaran maksim tersebut adalah sebagai berikut: 1. The Maxim of Quantity Make your contribution as informative as required (Berikan bantuanmu seinformatif yang dibutuhkan untuk maksud pertukaran pembicaraan) Do not make your contribution more informative than required (Jangan memberikan bantuan lebih informative daripada yang dibutuhkan) 2. The Maxim of Quality Do not say what you believe to be false (Jangan mengatakan sesuatu yang anda yakini bahwa itu tidak benar) Do not say that for which you lack adequate evidence (Jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan) 3. The Maxim of Relevance Make your contribution relevant (Usahakan agar perkataan anda ada relevansinya) PROSIDING 91 4. The Maxim of Manner avoid abscurity (Hindari pernyataan-pernyataan samar) avoid ambiguity (Hindari ketaksaan) be brief (Usahkan ringkas) be orderly (Usahakan runtun). 3. Metode Penelitian Metode penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut. Penelitian ini akan berupaya mendeskripsikan fenomena tanya-jawab dalam peristiwa tutur dalam stilistika Alquran. Tanya-jawab dalam Alquran tersebut diasumsikan tidak semuanya sejalan dengan prinsip-prinsip percakapan Grice, terutama prinsip kualitas. Oleh karena itu, perlu dipahami apa implikasi ketidaksesuaian tersebut. Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini adalah memberikan tanda terhadap tanya-jawab yang ada di dalam Alquran, kemudian dilakukan pencatatan. Langkah selanjutnya adalah menganalisis tanyajawab tersebut dari aspek prinsip kerja sama Grice, terutama prinsip kualitas. Setelah itu, menentukan implikasi ketidaksesuaian dengan prinsip kualitas tersebut. Bagian terakhir merupakan kesimpulan. 4. Pembahasan dan Hasil Penelitian 4.1 Prinsip-Prinsip Percakapan Diungkapkan oleh Keith Allan, bertutur adalah kegiatan yang berdimensi sosial (speaking to others is a social acivity) (Allan, 1986:10). Seperti lazimnya kegiatan-kegiatan sosial, kegiatan bertutur dapat berlangsung dengan baik, apabila para peserta pertuturan itu semuanya terlibat aktif di dalam kegiatan bertutur tersebut. Apabila terdapat salah satu pihak yang tidak terlibat aktif dalam kegiatan bertutur, dapat dipastikan pertuturan itu tidak akan berjalan dengan lancar. Menurut Allan, agar proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar, penutur dan lawan tutur hendaklah dapat saling bekerja sama. Bekerja sama yang baik di dalam proses bertutur itu, salah satunya, dapat dilakukan dengan berperilaku sopan kepada pihak lain (being cooperative is being polite mostly) (Wijana, 2003:53) Pernyataan Allan tersebut mengarahkan pada asumsi bahwa penutur dan lawan tutur dalam interaksi verbal sama-sama memiliki pengharapan bahwa mereka selalu terikat pada prinsip-prinsip komunikasi, yaitu ada sesuatu yang ingin disampaikan dan mengharapkan lawan bicaranya memahaminya. Agar proses komunikasi tersebut dapat berjalan dengan baik, efektif, dan dapat dipahami dan diterima oleh lawan bicaranya, maka peserta pertuturan harus mematuhi sejumlah prinsip percakapan (conversational maxim), yaitu 92 PROSIDING prinsip kuantitas, prinsip kualitas, prinsip relevansi, dan prinsip cara. Prinsip kuantitas menuntut peserta percakapan memberikan kontribusi secukupnya, tidak berlebih-lebihan. Prinsip kualitas mengharuskan penutur berbicara berdasarkan fakta-fakta yang memadai. Prinsip relevansi mengharuskan penutur dan lawan tutur berbicara relevan dengan konteks. Prinsip cara mengharuskan penutur dan lawan tutur berbicara secara rasional (runtut, tidak kabur, dan tidak ambigu) (Rahardi, 2005:53—65). Kaidah-kaidah percakapan ini hanyalah bersifat referensi bagi peserta pertuturan. Ia sebaiknya dipatuhi, namun bukanlah harga mati (Wijana, 2002:73) Keempat prinsip percakapan tersebut dalam pelaksanaannya mungkin saja tidak dipatuhi sejauh ada alasan-alasan kuat untuk melanggarnya. Ketidaksesuaian yang tanpa alasan akan membuat wacana sulit dipahami. 4.2 Tanya-Jawab dalam Stilistika Alquran Berikut ini dikemukakan beberapa komunikasi antara penutur dan lawan tutur dalam stilistika Alquran yang diduga terjadi ketidaksesuaian terhadap prinsip-prinsip kerja sama Grice tersebut, terutama maxim of quantity (prinsip kuantitas), kemudian akan dikemukakan pula analisisnya. (1) Q.S. Yusuf [12]: 70-72: Artinya: (70) Maka, tatkala telah disiapkan untuk mereka bahan makanan mereka, Yusuf memasukkan piala [tempat minum] ke dalam karung saudaranya. Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan, “Hai kafilah, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri.” (71) Mereka menjawab, sambil menghadap kepada penyeru-penyeru itu, “Barang apakah yang hilang dari kamu?” (72) Penyeru-penyeru itu berkata, “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan [seberat] beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” Ayat ini dilatarbelakangi oleh peristiwa pertemuan Yusuf As. dengan saudara-saudaranya. Bermula dari peristiwa mimpi raja yang telah menjadi kenyataan. Masa paceklik melanda Mesir dan sekitarnya. Nabi Yaqub As. bersama anak-anaknya yang tinggal tidak jauh dari Mesir (di Palestina) juga mengalami masa sulit. Tatkala mereka mendengar bahwa pemerintah Mesir membagikan pangan atau menjualnya dengan harga yang sangat murah, Nabi PROSIDING 93 Yaqub memerintahkan anak-anaknya menuju ke Mesir, kecuali Bunyamin saudara kandung Yusuf As. Ketika mereka masuk menemui Yusuf, Yusuf langsung mengenal mereka, sedangkan mereka benar-benar merasa asing terhadap Yusuf. Tatkala Yusuf menyiapkan bahan makanan untuk mereka, ia berkata, “Jika besuk kamu datang lagi, bawalah kepadaku saudaramu yang seayah dengan kamu, dan jika kamu tidak membawanya kepadaku di waktu mendatang, maka kamu tidak akan mendapat sukatan lagi dariku.” Kafilah tersebut segera berangkat menuju kampung halaman mereka, dan kini mereka telah kembali kepada ayah mereka. Mereka berkata kepada ayah mereka, “Wahai ayah kami, kami tidak akan mendapat sukatan gandum di masa mendatang kecuali jika kami membawa saudara kami (Bunyamin) ke Mesir menemui penguasa yang berwenang membagi gandum.” Dengan desakan dari anak-anaknya, Yaqub As. akhirnya menyetujui juga kepergian anaknya yang termuda, yakni Bunyamin. Tibalah kesepuluh saudara tiri Nabi Yusuf As. dan Bunyamin ke Mesir, lalu mereka menuju ke tempat Yusuf As. Pada saat itulah Nabi Yusuf memberitahukan kepada saudara kandungnya bahwa aku ini adalah saudara kandungmu (Yusuf) dan janganlah engkau berduka cita terhadap apa yang telah dilakukan oleh saudaramu terhadap kita. Tidak lama setelah pertemuan itu, Yusuf memerintahkan pembantu-pembantunya untuk mempersiapkan kepulangan mereka. Tatkala telah disiapkan untuk mereka bahan makanan, Yusuf memasukkan piala ke dalam karung saudara kandungnya. Setelah mereka berangkat menuju ke kampung halaman, berteriaklah seorang penyeru, “Wahai kafilah, sesungguhnya kamu benar‘Barang apakah yang benar para pencuri.” Mereka menjawab, hilang dari kamu?’ Penyeru itu berkata ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan [seberat] beban unta, dan aku menjamin terhadapnya’. ‘Barang apakah yang hilang dari kamu’? dalam Pertanyaan ayat tersebut penuturnya adalah saudara-saudara Yusuf, sedangkan lawan tuturnya adalah salah seorang dari pegawai Yusuf. Kontribusi jawaban yang diberikan oleh lawan tutur adalah Jawaban tersebut bila dicermati dapat dikatakan tidak sesuai dengan prinsipprinsip percakapan (conversational maxim), terutama prinsip kuantitas. Se- 94 PROSIDING benarnya dan seandainya lawan tutur hanya menjawab tanpa ada tambahan yang lainnya, maka jawaban itu sudah mencukupi apa yang ditanyakan oleh penutur, karena memang itu yang dibutuhkan. Sementara, informasi tentang ganjaran bagi yang dapat mengembalikan piala raja belum ditanyakan oleh penutur, namun sudah diinformasikan oleh lawan tuturnya. Dengan demikian, jawaban dari pegawai kerajaan tersebut melebihi dari apa yang dibutuhkan oleh penanya. Prinsip kuantitas percakapan menyebutkan “sumbangan informasi Anda jangan melebihi dari yang dibutuhkan” (Sperber, 1998:34). Penambahan tersebut disengaja oleh penuturnya, dan dimaksudkan untuk menunjukkan betapa seriusnya penutur berkeinginan mendapatkan piala raja itu. Dalam tambahan jawaban tersebut juga terselip maksud, betapa berat balasan yang akan diterima oleh yang mengambil, dan betapa besar pahala bagi yang menemukannya. Dengan adanya maksud tersebut, kiranya ketidaksesuaian dengan prinsip kuantitas dapat dimaklumi dan dibenarkan. (2) Q.S. Al-A’râf [7]: 113-114: Artinya: (113) Dan, beberapa kali ahli sihir itu datang kepada Fir’aun mengatakan, “[Apakah] sesungguhnya kami akan mendapatkan upah, jika kamilah yang menang?” (114) Firaun menjawab, “Ya, dan sesungguh-nya kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang didekatkan [kepadaku].’ Ayat tersebut berbicara tentang kisah Nabi Musa As. ketika menghadapi raja Fir’aun. Bermula dari penjelasan Nabi Musa kepada Firaun bahwa dirinya adalah utusan Tuhan semesta alam, dan dia diutus kepadanya dengan bukti yang nyata dari Tuhan, maka Musa berharap kepada Firaun agar melepaskan Bani Israil bersamanya. Mendengar ucapan Musa As. dan pernyataannya bahwa beliau membawa bukti kebenaran, maka Firaun berkata, “Jika benar engkau telah membawa suatu bukti, tentang kebenaran ucapanmu, maka datangkanlah bukti itu jika engkau termasuk orang-orang yang benar.” Serta Musa As. menjatuhkan tongkatnya, lalu seketika itu juga tongkat berubah menjadi ular yang sangat jelas. Kemudian, Musa As. menunjukkan bukti kebenaran yang lain, yaitu dia mengeluarkan tangannya dari bajunya atau dari ketiaknya, maka seketika itu juga tangannya menjadi putih bercahaya, terlihat dengan jelas oleh orang-orang yang melihatnya. PROSIDING 95 Setelah menyaksikan apa yang dilakukan oleh Musa As., para pemuka kaum Firaun itu berkata satu sama lainnya, “Sesungguhnya ini, sambil menunjuk kepada Musa As. adalah penyihir yang amat pandai. Musa As. dengan sihirnya itu bermaksud mengeluarkan kamu sekalian dari negeri kamu, yaitu Mesir. Firaun berkata atau mereka satu sama lain berkata, “Apakah yang kamu perintahkan atau anjurkan untuk kita lakukan guna mencegah Musa As. mencapai tujuan itu?” Sebagai tanggapan terhadap pertanyaan tersebut, pemuka masyarakat Firaun berkata kepada Firaun, “Beri tangguhlah dia, yaitu Musa As. dan saudaranya, Harun As. jangan tergesa-gesa menindaknya. Tangguhkanlah pada kesempatan lain, dan kirimkanlah beberapa orang ke kota-kota untuk mengumpulkan ahli-ahli sihir yang amat pandai dan membawa mereka kepadamu.” Usulan ini diterima, dan diutuslah sekian petugas untuk memilih penyairpenyair tangguh dan membawa mereka ke pusat pemerintahan Firaun. Petugas-petugas itu berhasil membawa para penyihir datang ke istana, dan mereka bertanya kepada Firaun, “(Apakah) kami memperoleh upah yang besar, jika kami keluar sebagai pemenang?” Firaun menjawab, “Ya, kamu pasti mendapat upah, dan bukan hanya upah itu saja, sesungguhnya kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang didekatkan kedudukannya kepadaku.” Pertanyaan pada dua ayat tersebut adalah ‘[Apakah] sesungguhnya kami akan mendapatkan upah, jika kamilah yang menang?’ Jawaban yang diberikan oleh lawan tutur adalah ‘Ya, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang didekatkan [kepadaku]’. Percakapan ini, penuturnya adalah ahli-ahli sihir, sedangkan lawan tuturnya adalah Firaun. Topik yang dijadikan fokus pembicaraan adalah hadiah yang akan diberikan kepada penyihir-penyihir Firaun jika dalam menghadapi Musa As. mereka mendapatkan kemenangan. Jawaban tersebut, jika ditilik dari penerapan prinsip kerja sama, dapat dikatakan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip percakapan, terutama prinsip kuantitas. Sekiranya lawan tutur hanya menjawab ‘Ya’ tanpa ada tambahan yang lainnya, maka jawaban itu sebenarnya sudah mencukupi apa yang diminta oleh penutur, karena memang itu yang dibutuhkan. Informasi tentang kedudukannya akan didekatkan kepada raja jika menjadi pemenang adalah informasi yang sebenarnya belum ditanyakan oleh penutur, namun sudah diinformasikan oleh lawan tuturnya (Firaun). Dengan demikian, jawaban dari Fir’aun tersebut melebihi dari apa yang dibutuhkan oleh penanya. Prinsip 96 PROSIDING kuantitas menginformasikan bahwa jawaban hendaklah tidak melebihi dari yang dibutuhkan (Sperber, 1998:34). Prinsip kuantitas menyatakan bahwa sumbangan informasi jangan melebihi dari yang dibutuhkan (do not make your contribution more informative than require) (Sperber, 1998:33). Penambahan jawaban memang disengaja oleh penuturnya dan dimaksudkan untuk menunjukkan betapa seriusnya penutur (Firaun) berkeinginan mendapatkan kemenangan dalam pertandingan tersebut. Dengan adanya maksud tersebut, kiranya ketidaksesuaian jawaban terhadap prinsip kuantitas dapat dimaklumi dan dibenarkan Sementara itu, jika dilihat dari prinsip-prinsip yang lainnya, jawaban yang diberikan oleh lawan tutur (Firaun) tersebut telah memenuhi prinsipprinsip percakapan, seperti prinsip kualitas, yang mewajibkan kepada penuturnya agar memberikankan informasi kepada lawan tutur dengan benar, dan tidak mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan. Jawab pertanyaan (istifhâm) yang berbunyi adalah jawab- an yang diyakini kebenarannya oleh penutur dan lawan tutur. Jawab pertanyaan (istifhâm) dengan menggunakan kata ‘Ya’ tersebut dapat ditafsirkan bahwa seandainya nanti para pengikut Firaun keluar menjadi pemenangnya, maka penutur (Firaun) benar-benar akan memberikan hadiah kepada mereka, dan informasi itu juga diyakini kebenarannya oleh para pengikutnya. Jawab pertanyaan (istifhâm) tersebut di samping memenuhi prinsip kualitas juga memenuhi dua prinsip yang lain, yaitu prinsip relevansi dan prinsip pelaksanaan, sedangkan prinsip kuantitas dikesampingkan. Ketidaksesuaian jawaban dengan prinsip kuantitas ini ditandai dengan penambahan informasi yang belum ditanyakan oleh penutur, yaitu informasi tentang janji untuk didekatkan pada keluarga kerajaan, jika menjadi pemenangnya. (3) QS.Thâha [20]: 18-19: Artinya: (18) “Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?” (19) Berkata Musa, “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul [daun] dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” PROSIDING 97 Dua ayat tersebut adalah bagian dari ayat-ayat yang berbicara mengenai kisah Musa As. Kisah ini bermula dari perjalanan Musa As. Pada suatu malam dari Madyan menuju Mesir, ia melihat api, lalu berkata kepada keluarganya, “Tinggallah kamu,” yaitu tunggulah kamu di tempat ini beberapa saat, jangan melanjutkan perjalanan sampai aku kembali. Nabi Musa As. lalu berangkat menuju ke tempat sumber api itu, ia dipanggil, “Wahai Musa! Aku adalah Tuhanmu yang memelihara dan membimbing-mu, maka tinggalkanlah alas kakimu, sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, Thuwâ.” Selanjutnya, Allah menyampaikan berita gembira sekaligus petunjuk kepada Nabi Musa As. dengan menyatakan bahwa Aku telah memilihmu sebagai nabi, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu untuk engkau amalkan dan ajarkan kepada kaummu. Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakan shalat untuk mengingat Aku. Setelah mengurai-kan prinsip akidah yang pertama, yaitu keesaan Allah SWT, kemudian disampaikan prinsip kedua, yaitu tentang keniscayaan hari kiamat. Allah menyampaikan kepada Nabi Musa As., bahwa sesungguhnya hari kiamat akan datang dan pada hari itu setiap jiwa akan dibalas dengan apa yang ia usahakan. Hai Musa, sekali-kali janganlah engkau dipalingkan darinya oleh orang yang tidak percaya kepadanya dan mengikuti hawa nafsunya. Nabi Musa As. mendengar firman-firman Allah tersebut dengan tekun dan penuh kenikmatan. Pikiran dan jiwanya tenggelam dalam alam keruhanian, maka Allah berkehendak mengembalikan pikirannya ke alam materi, sekaligus menunjukkan kekuasaan Allah dan mukjizat yang menjadi bukti kebenarannya. Dalam konteks itu, Allah bertanya kepada Musa, ‘Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?’ Pertanyaan tersebut bertujuan menyadarkan Nabi Musa bahwa apa yang dipegangnya adalah tongkat yang benar-benar dia kenal, sehingga jika tongkat itu berubah menjadi ular, maka perubahan tersebut merupakan suatu kenyataan. Kalimat tanya yang berbunyi tersebut penuturnya adalah Allah, sedangkan lawan tuturnya adalah Musa As. Penutur dalam tuturannya menggunakan piranti tanya /mâ/apakah. Piranti tanya tersebut tidak difungsikan untuk makna yang sebenarnya, karena Allah sebagai penutur telah mengetahui jawabannya. Pertanyaan tersebut oleh penuturnya difungsikan untuk penegasan/at-taqrîr. Maksud penegasan adalah penutur menegaskan bahwa tongkat tersebut hanyalah sesuatu yang remeh sebagaimana tongkat-tongkat yang lainnya. Namun, dalam hal ini penutur ingin menjadikanya sebagai sesuatu yang luar biasa (Hindawi, 1995:83). Demikianlah kebiasaan 98 PROSIDING yang dijumpai di tengah-tengah masyarakat. Jika seseorang hendak menjadikan sesuatu yang remeh itu menjadi sesuatu yang luar biasa, ia akan menunjukkan terlebih dahulu kepada orang lain dan menanyakan, “Lihat oleh kamu sekalian, benda apa ini?” Baru setelah itu, penutur akan mengubahnya menjadi sesuatu yang luar biasa. Dilihat dari sisi jawab pertanyaan (istifhâm) yang diberikan oleh lawan ‘Ini adalah tutur, maka jawaban yang diberikan oleh Musa adalah tongkatku’. Jawaban yang berbunyi ‘ini adalah tongkatku’ adalah jawaban yang sudah mencukupi, karena itulah yang ditanyakan oleh penutur. Namun, dalam kenyatannya Musa As. memberikan tambahan informasi lain, yaitu tentang fungsi tongkat dan itu sebenarnya belum ditanyakan oleh penuturnya. Dilihat dari perspektif prinsip-prinsip percakapan, jawaban ‘ini tongkatku’, telah sejalan dengan prinsip-prinsip percakapan, terutama prinsip kuantitas, sejalan dengan prinsip kuantitas, karena memang hanya itu yang ditanyakan oleh penutur (Allah). Namun, Musa menambahkan jawabannya dengan ‘Aku bertelekan padanya, dan aku pukul [daun] dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’. Oleh karena itu, jawaban yang diberikan oleh Musa sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip kuantitas yang menghendaki setiap peserta percakapan hendaklah memberikankan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Ketidaksesuaian prinsip kuantitas tersebut disebabkan oleh Musa dalam memberikan informasi fungsi tongkat dan jawaban itu belum ditanyakan oleh penutur. Dalam konteks percakapan antara Allah dan Musa ini, Nabi Musa merasa adanya kenikmatan dan kelezatan yang diraih melalui dialog dengan Allah SWT dan Musa sengaja berlama-lama dalam memberi jawaban agar lebih lama pula kenikmatan itu beliau rasakan. Az-Zamakhsyari mengemukakan bahwa pertanyaan tersebut bagus, maka Musa merasa senang, kemudian memberikan kontribusi jawaban yang lebih, yaitu dengan menyertakan fungsi tongkat (Hindawi, 1995:85). Dengan demikian, keterangan tambahan lawan tutur yang berbunyi dapat dimaklumi dan dibenarkan, karena adanya alasan-alasan yang kuat untuk melanggarnya. Bukankah sering terjadi seperti apa yang terjadi pada Nabi Musa dalam pertuturan? Sekiranya ada pertanyaan yang sangat disukai itu dikemukakan, maka jawaban yang diberikan sangat panjang sebagai bukti rasa senang. Memperpanjang jawaban juga akan tejadi manakala lawan tutur mendapatkan pertanyaan dari orang yang dikagumi atau dicintai, maka jawaban yang PROSIDING 99 diberikan sangat panjang, sebagai bukti ia merasa senang. Demikianlah kirakira apa yang dirasakan oleh Nabi Musa ketika mendapatkan pertanyaan dari Allah Yang Maha Indah dan Agung. (4) QS. Asy-Syu’ara’ [26]: 70-71: Artinya: (71) Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya, “Apakah yang kamu sembah? (71) Mereka menjawab, “Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya.” Dua ayat tersebut di atas dan beberapa ayat sesudahnya berbicara tentang kisah Nabi Ibrahim As. ketika dirinya ingin mengetahui apa yang disembah oleh orang tua serta kaumnya. Keinginan tersebut dapat dipahami melalui percakapan yang dibangun antara kedua belah pihak. Ibrahim dalam percakapan tersebut bertindak sebagai penutur, sedang orang tuanya sebagai lawan tutur. Bermula dari Ibrahim bertanya kepada bapak dan kaumnya mengenai apa yang disembah, mereka (bapak dan kaumnya) menjawab, “Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya” Mendengar jawaban tersebut, Ibrahim bertanya lagi, “Apakah berhala-berhala itu mendengar doamu sewaktu kamu berdoa kepadanya atau dapatkah mereka memberikan manfaat dan madarat kepadamu?” Mereka menjawab, “Bukan karena itu, kami mendapati nenek moyang kami berbuat seperti ini.” Ibrahim kemudian bertanya lagi, “Apakah kamu telah memerhatikan apa yang kamu sembah, dan juga yang disembah oleh nenek moyang kamu? Sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam, (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku.” Dialah yang menunjuki aku, Dia memberikan makan dan minum kepadaku, Dialah yang menyembuhkan aku jika aku sakit, Dialah yang mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku kembali, dan Dialah yang aku inginkan memaafkan kesalahanku pada hari kiamat. Tuturan yang menggunakan gaya bahasa kalimat tanya adalah kalimat ‘Apakah yang kamu sembah?’ Piranti tanya yang digunakan adalah /mâ/apa. Ia adalah piranti tanya yang difungsikan untuk menanyakan benda yang tidak berakal. Jawaban yang diberikan oleh lawan tutur adalah ‘Kami menyembah berhala.’ Ini adalah jawaban yang sudah memadai dan mencukupi yang dibutuhkan oleh penanya. Namun, lawan tutur sengaja memperpanjang jawabannya dengan menambah jawaban 100 PROSIDING ‘Kami senantiasa tekun menyembahnya’. Dengan penambahan ini berarti jawaban tidak sesuai dengan prinsip-prinsip percakapan, utamanya prinsip kuantitas. Prinsip kuantitas menyatakan bahwa sumbangan informasi jangan melebihi dari yang dibutuhkan (do not make your contribution more informative than require) (Sperber, 1998:33). Lawan tutur (Azzar dan kaumnya) dengan sengaja menambahkan jawaban dengan maksud untuk menunjukkan keseriusan dan kontinuitas penyembahan mereka terhadap berhala (Hindawi, 1995:87) Dengan adanya maksud tersebut, kiranya ketidaksesuaian jawaban dengan prinsip percakapan, terutama prinsip kuantitas dapat dimaklumi dan dibolehkan. (5) Q.S. Ali Imran [3]: 52: Artinya: Maka, tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka [Bani Israil], berkatalah dia, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk [menegakkan Agama] Allah ?” Para Hawariyyin [sahabat-sahabat setia] menjawab, “Kamilah penolong-penolong [Agama] Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orangorang yang berserah diri.” Pertanyaan yang berbunyi dalam ayat tersebut di atas dilatarbelakangi oleh peristiwa sebagai berikut: Bermula dari berita yang dibawa oleh malaikat kepada Maryam bahwa sesungguhnya Allah menggembirakan Maryam dengan kelahiran seorang putra yang diberi nama Al-Masih Isa Putra Maryam. Dengan berita itu, Maryam berkata, “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai seorang anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki manapun.” Sebagai jawabannya, Allah berfirman (dengan perantara Jibril), “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendakiNya.” Kemudian Allah memberikantahukan, bahwa Dia akan mengajarkan kepadanya Al-Kitab, hikmat, Taurat dan Injil. Allah mengangkatnya sebagai rasul kepada Bani Israil dengan dibekali mukjizat-mukjizat dari Tuhannya, yaitu Isa dapat membuat burung dari tanah, kemudian ia meniupnya. Dengan seizin Allah, burung dari tanah itu menjadi seekor burung. Ia dapat menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya. Ia dapat menghidupkan orang PROSIDING 101 yang telah mati dengan seizin Allah dan dapat mengabarkan kepada kaumnya apa yang mereka makan dan apa yang mereka simpan di rumah. Ini semua merupakan bukti kerasulan Al-Masih Isa jika mereka sungguh-sungguh beriman. Al-Masih juga datang kepada Bani Israil membenarkan Taurat yang datang sebelumnya. Isa juga memberikantahukan kepada Bani Israil bahwa Allah adalah Tuhanku (Isa) dan Tuhan mereka. Oleh karena itu, Al-Masih mengajak Bani Israil untuk menyembah-Nya (Allah), dan inilah jalan yang lurus. Tatkala Isa mengetahui keingkaran Bani Israil, ia bertanya, ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk [menegakkan Agama] Allah?’ Para Hawariyyun (sahabat-sahabat setia) menjawab, “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah dan saksikanlah sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.” Dengan demikian, dalam percakapan tersebut, penuturnya adalah Al-Masih Isa As., sedangkan lawan tuturnya adalah Bani Israil. Piranti tanyanya adalah man/siapakah. Piranti tanya ini difungsikan untuk menanyakan orang atau yang berakal. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang sebenarnya (hakikî), yaitu meminta keterangan tentang siapakah yang beriman kepada risalah kenabiannya dan berikhlas dengan seihlas-ihlasnya? Al-Hawariyyun memberikan kontribusi jawaban dengan ‘Kamilah penolong-penolong [agama] Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.’ Sampai di sini, sebenarnya lawan tutur (Hawariyyun) telah memenuhi harapan penutur yang menanyakan siapa penolongnya. Piranti tanya yang digunakan /man/siapa, dan kontribusi jawaban yang diberikan adalah ‘Kamilah penolong-penolong [agama] Allah’. Kenyataannya, lawan tutur (Hawariyyun) dengan sengaja menambahkan jawabannya dengan ‘Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.’ Dengan penambahan jawaban ini, Hawariyyun sebagai lawan tutur telah mengesampingkan prinsip-prinsip percakapan, utamanya prinsip kuantitas. Prinsip kuantitas meminta agar masing-masing yang terlibat dalam pertuturan memberikankan sumbangan informasi yang secukupnya, tidak melebihi dari yang dibutuhkan (Sperber, 1998:34). Ketidaksesuaian dengan prinsip percakapan ini memang disengaja oleh penuturnya, mengingat adanya maksud-maksud tertentu ingin disampaikan oleh penuturnya. Maksud tersebut adalah menguatkan jawabannya sebagai penolong Allah. 102 PROSIDING (6) Q.S. Al-A’raf [7]: 12 Artinya: Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud kepada Adam di waktu Aku menyuruhmu? Iblis menjawab, “Saya lebih baik daripadanya; Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah memerintahkan kaum musyrikin agar mengikuti dengan tekun dan sungguh-sungguh tuntunan kitab suci, sambil memperingatkan tentang siksa duniawi dan ukhrawi. Pada ayat selanjutnya, Allah mengingatkan mereka, betapa banyak nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah yang seharusnya disyukuri. Namun, kenyataannya sangat sedikit dari mereka yang mensyukurinya. Di antara manusia ada yang tidak peduli dengan adanya peringatan dan ancaman, namun berkesan dalam hatinya suatu kenangan. Maka, pada ayat seterusnya Allah menguraikan peristiwa yang pernah terjadi pada masa lalu yang dialami oleh leluhur manusia, yaitu Adam As. Untuk tujuan mengingatkan tersebut, Allah mengatakan, “Demi keagungan dan kekuasaan Kami, Sesungguhnya Kami telah menciptakan leluhur kamu, yaitu Adam As., lalu Kami bentuk fisik dan psikisnya dan Kami anugerahi potensi yang menjadikannya memiliki kelebihan.” Selanjutnya, Kami katakan kepada malaikat, “Bersujudlah kamu kepada Adam, maka dengan segera mereka bersujud, tetapi Iblis enggan bersujud.” Atas keengganan iblis bersujud itu, Allah menanyakan sebab yang membuatnya enggan bersujud. Dia berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk tidak bersujud pada saat Aku meyuruhmu”? Iblis berkata, “Aku lebih baik darinya sehingga tidak wajar saya bersujud. Aku lebih baik dari manusia, karena Engkau telah menciptakan aku dari api yang mengandung cahaya, sedangkan Engkau telah menciptakan Adam As. dari tanah.” Kalimat tanya dalam ayat tersebut di atas adalah ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud kepada Adam di waktu Aku menyuruhmu?’ Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa pertanyaan tersebut difungsikan untuk menjelekkan/taubîh terhadap sikap yang diambil oleh Iblis yang menolak untuk bersujud kepada Nabi Adam As. Pendapat Az-Zamakhsyari tersebut juga diikuti oleh para mufasir lainnya, seperti Abu AlSaud, Al-Alusi dan juga Abu Hayyan. Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk penolakan/inkâr dari penutur terhadap PROSIDING 103 sikap iblis yang menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam As. Dengan demikian, kalimat tanya tersebut, penuturnya adalah Allah dan lawan tuturnya adalah iblis. Dalam pertanyaannya, Allah sebagai penutur menginginkan jawaban berupa alasan dari lawan tutur perihal keengganannya bersujud kepada Adam. Seandainya iblis waktu itu memberikan kontribusi jawaban dengan ‘Saya lebih baik darinya’ saja, itu sudah cukup. Memang, itulah yang dibutuhkan oleh penutur. Dengan jawaban “saya lebih baik darinya”, sebenarnya iblis telah memenuhi prinsip-prinsip komunikasi yang benar, dan tidak menyalahi prinsip pertuturan, terutama prinsip kuantitas. Kenyataannya, Iblis tidak berhenti pada ‘saya lebih baik darinya’, melainkan memperpanjang jawabannya dengan ‘Engkau ciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’. Informasi tentang penciptaan Adam dan iblis tersebut belum ditanyakan oleh penutur. Oleh karenanya, tuturan iblis tersebut bila dilihat dari perspektif prinsip-prinsip percakapan telah menyimpang dari prinsip tersebut, terutama prinsip kuantitas. Prinsip kuantitas menghendaki setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya (Sperber, 1998:33) Maksud yang dituju oleh iblis melalui penambahan jawaban tersebut adalah untuk memberitahukan kepada lawan tutur bahwa dirinya lebih baik dari unsur penciptaan bila dibandingkan dengan Adam. 5. Simpulan dan Saran 5. 1 Simpulan Berdasarkan kajian tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, tanya-jawab yang terdapat dalam stilistika Alquran sejalan dengan prinsip-prinsip kerja sama Grice, namun sebagian yang lain tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kerja sama, terutama prinsip kuantitas. Pada saat tanya-jawab dalam stilistika Alquran tersebut tidak sejalan dengan prinsip kuantitas, maka di situ ada maksud yang ingin disampaikan oleh penuturnya. Kedua, penambahan jawaban pada (Q.S. Yusuf [12]: 70-72) dimaksudkan untuk menunjukkan betapa seriusnya penutur berkeinginan mendapatkan piala raja itu. Penambahan jawaban pada (Q.S. Al-A’râf [7]: 113-114) dimaksudkan untuk menunjukkan betapa seriusnya penutur (Firaun) berkeinginan mendapatkan 104 PROSIDING kemenangan dalam pertandingan tersebut. Penambahan jawaban pada (QS.Thâha [20]: 18-19) Nabi Musa merasa adanya kenikmatan dan kelezatan yang diraih melalui dialog dengan Allah SWT tersebut, dan oleh Musa disengaja berlama-lama dalam menjawab agar lebih lama pula kenikmatan itu beliau rasakan. Penambahan jawaban pada (QS. Asy-Syu’ara’ [26]: 70-71) dimaksud- kan untuk menunjukkan keseriusan dan kontinuitas penyembahan mereka terhadap berhala. Penambahan jawaban pada (Q.S. Al-Baqarah [2]: 133) dimaksud untuk menunjukkan ketaatan dan keseriusan mereka dalam beribadah kepada Allah swt., serta ingin menunjukkan bahwa dirinya terlepas dari kemusyrikan. Penambahan jawaban pada (Q.S. Ali Imran [3]: 52) dimaksudkan untuk menguatkan jawabannya sebagai penolong Allah, sedangkan penambahan jawaban pada (Q.S. Al-A’raf [7]: 12) untuk memberitahukan kepada lawan tutur bahwa dirinya lebih baik dari unsur penciptaan bila dibandingkan dengan Adam. 5.2 Saran Penelitian yang terkait dengan stilistika tanya-jawab dalam Alquran ini, tentu belum mencakup semua tanya-jawab yang ada di dalam Alquran. Namun demikian, setidaknya ini menjadi langkah awal yang akan memancing munculnya penelitian sejenis dengan materi ayat yang bereda. Oleh karena itu, saran peneliti untuk diadakan penelitian sejenis dengan materi yang lain. DAFTAR PUSTAKA Al-Katib, Abdul Karim. 1964. Ijaz Alquran fi Dirasat Kashifat li Khashaisah Al Balaghah Al-Arabiyyah wa Maariha. 2 Vol. Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabiy. Allan, Keith. 1986. Linguistic Meaning. London: Routledge & Kegan. Arifin, Zaenal . 2000. Cermat Berbahasa Indonesia untuk Pergurun Tinggi. Jakarta: Akademika Presindo. Hindawi, Abdullah Sulaiman. 1995. Muthabaqatu Al-Jawab li As- Sual fi AnNidzam Alquran. Mesir: Mathbaah Al-Amanah. Qutb, Sayyid. 1962. At-Tashwi Al-Fanni fi Alquran. Kairo: Dar Al-Maarif Rahman,Aisyah Abdul. 1987. Al-Ijaz AL-Bayani li Alquran wa Masail Ibn AlAzraq: Dirasah Quraniyyah, Lughawiyyah wa Bayaniyyah. Kairo:Dar AlMaarif. Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Shihab, M.Quraish. 1997. Mukjizat Alquran. Bandung: Mizan. PROSIDING 105 Sperber, dan Deirde Wilson. 1998. Relevance and Cognition. Oxford uk & Cambridge USA: Blackwell. Wijana, I Dewa Putu. 2002. “Wacana dan Pragmatik”. Kris Budiman (penyunting). Analisis Wacana: dari Linguistik sampai Dekonstruksi. Yogyakarta: Kanal. -----. 2003. Kartun. Yogyakarta: Lentera. -----. 2004. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset. 106 PROSIDING PEPINDHAN BAGIAN TUBUH MANUSIA Nur Ramadhoni Setyaningsih Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Pos-el: aning_80@yahoo.com Inti Sari Pepindhan bagian tubuh manusia dalam bahasa Jawa biasanya digunakan untuk menggambarkan keindahan fisik seseorang. Penelitian ini bertujuan: (1) mendeskripsikan bagian-bagian tubuh manusia yang menjadi objek dalam pepindhan; (2) mendeskripsikan bentuk pepindhan tentang bagian tubuh manusia; (3) mendeskripsikan kaitan antara pepindhan bagian tubuh manusia dengan budaya masyarakat Jawa. Manfaat penelitian ini adalah memperkuat teori yang sudah ada terutama dalam hubungannya dengan makna pepindhan. Selain itu, secara praktis, penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mengetahui salah satu gaya pengungkapan dalam penciptaan suatu karya sastra. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) bagian-bagian tubuh manusia yang di-pepindhan-kan adalah kepala dan bagian-bagiannya, leher, dada, payudara, pinggang, bokong, lengan, jari, dan kaki/betis; (2) bentuk pepindhan bagian tubuh manusia terdiri atas terbanding, penanda perbandingan, dan pembanding. Objek yang menjadi terbanding adalah bagian tubuh manusia. Penanda perbandingan terdiri dari penanda perbandingan implisit dan eksplisit. Penanda perbandingan eksplisit ditandai dengan penggunaan kata pindha, lir, dan kadya. Penanda perbandingan implisit diwakili dengan penggunaan afiks N-. Hubungan makna yang dibangun dalam penelitian ini berkaitan dengan persamaan bentuk, warna, perwujudan/tampilan, dan asosiasi rasa. Dari kosakata yang digunakan tercermin latar belakang budaya masyarakat Jawa, yaitu masyarakat agraris dan masyarakat yang ‘taat’ dengan budaya Jawa (masyarakat kejawen). Kata kunci: pepindhan, masyarakat kejawen PROSIDING 107 Abstract The Javanese part of body pepindhan usually is used for describing someone’s physical beauty. The research is aimed at: (1) describing human part of body as the object of pepindhan; (2) describing pepindhan form on human part of body; (3) describing relation between human part of body pephindan and Javanese society culture. The benefit of research is to strengthen existed theory mainly in its relation to pepindhan meaning. Besides practically the research is aimed at knowing one of expressive styles in literary art piece. The result of research shows that (1) part of human body which is made into pepindhan is head and its part, neck, chest, breast, waist,buttocks, hand, finger, and leg; (2) Pepindhan form on human part of body composed by the compared object, the signal of comparison, and the comparator. The compared object is human part of body. The signal of comparison comprises of implicit and explicit comparison signals. Explicit comparison signal is marked by the use of pindha, lir, and kadya word. Implicit comparison signal is represented by the use of N- affix. Meaning relation is built in this research relating to form, color, realization/ representative, and taste association. Viewed from vocabulary used it is found out that Javanese society culture background is agricultural society and obedient society with Javanese culture (Kejawen society). Key words: pepindhan, kejawen society 1. Pendahuluan Bahasa merupakan alat komunikasi untuk mengekspresikan pikiran serta perasaan seseorang. Untuk menyampaikan pikiran dan perasaan tersebut, seseorang biasanya menggunakan sebuah ungkapan. Ungkapan ini dapat berupa ungkapan dengan makna lugas dan ungkapan dengan makna kias. Ungkapan dengan makna kias dapat disampaikan melalui peribahasa. Secara umum, setiap bahasa mengenal adanya peribahasa, termasuk dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa dikenal beberapa bentuk peribahasa, yaitu paribasan, bebasan, saloka, sanepa, dan pepindhan. Kelima jenis peribahasa tersebut memiliki ciri masing-masing yang membedakan antara yang satu dengan lainnya. Salah satu bentuk peribahasa Jawa yang menarik untuk dikaji adalah pepindhan. Pepindhan merupakan salah satu hasil budaya yang tumbuh dalam masyarakat Jawa yang di dalamnya terkandung makna-makna tertentu. Sebagai salah satu kekayaan budaya, pepindhan perlu dilestarikan agar tidak punah. Apalagi pada saat ini banyak generasi muda, terutama yang berasal dari Jawa asli, tidak sepenuhnya mengenal budaya Jawa. Ada istilah yang menyatakan bahwa orang Jawa yang kehilangan Jawanya. Oleh karena itu, penggalian makna-makna yang ada dalam pepindhan ini diperlukan salah satunya sebagai sarana melestarikan budaya Jawa agar tidak hilang. 108 PROSIDING Pepindhan sebagai salah satu bentuk ungkapan dalam bahasa Jawa digunakan untuk mempersamakan suatu objek tertentu dengan objek yang lain. Poerwadarminta (1939: 492) menyebutkan bahwa pepindhan adalah tetiron ‘tiruan’. Pepindhan digunakan untuk menyangatkan sesuatu agar maknanya lebih mendalam dari makna sebenarnya. Misalnya, galake kaya macan manak. Galake ‘galaknya’ kaya macan manak ‘seperti macan beranak’. Seekor macan ketika beranak biasanya memiliki perangai galak, seolah-olah ingin menerkam siapa saja yang hendak mendekat. Pepindhan ini menggambarkan seseorang yang sangat galak. Kegalakan itu digambarkan seperti macan yang baru saja memiliki anak. Ada banyak hal yang dapat diperbandingkan melalui pepindhan, misalnya keadaan, benda, dan manusia. Alat yang digunakan sebagai pembanding juga dapat berupa tanaman, binatang, alam, benda angkasa, dan sebagainya. Penelitian sebelumnya yang membahas tentang pepindhan berjudul Peribahasa dalam Bahasa Jawa (1989) oleh Triyono dkk. Dalam buku tersebut dibahas tentang peribahasa dalam bahasa Jawa yang meliputi paribasan, bebasan, saloka, sanepa, dan pepindhan dengan menitikberatkan pada segi kebahasaan dan kesastraan. Pembahasan mengenai pepindhan dalam buku tersebut dilakukan secara umum. Oleh karena itu, pada penelitian kali ini akan dibatasi pada masalah pepindhan bagian tubuh manusia. Pepindhan bagian tubuh manusia dalam bahasa Jawa biasanya digunakan untuk menggambarkan keindahan fisik seseorang. Orang Jawa memiliki kriteria tertentu untuk menyatakan bahwa seseorang dikatakan cantik, tampan, gagah, dan sebagainya. Seorang wanita dikatakan cantik jika memiliki ciri fisik tinggi semampai, kulit kuning, alis tipis melengkung, rambut panjang, leher jenjang, dan sebagainya. Jika wanita dalam budaya Jawa dipuji karena kecantikan wajah atau keindahan fisiknya, tidak begitu dengan laki-laki. Laki-laki dipuji karena keperkasaannya. Keperkasaan itu digambarkan dengan badan yang kekar, tinggi, dada bidang, kumis tebal, dan sebagainya. Untuk menggambarkan semua itu, masyarakat Jawa memiliki cara tersendiri, yaitu pepindhan. Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang muncul berkaitan dengan pepindhan tentang bagian tubuh manusia adalah (1) bagian tubuh mana saja yang menjadi objek dalam pepindhan?; (2) bagaimana bentuk pepindhan tentang bagian tubuh manusia?; (3) bagaimanakah kaitan antara pepindhan bagian tubuh manusia dengan budaya masyarakat Jawa? Sehubungan dengan itu, penelitian ini bertujuan (1) mendeskripsikan bagian-bagian tubuh manusia yang menjadi objek dalam pepindhan; (2) mendeskripsikan bentuk pepindhan tentang bagian tubuh manusia; (3) mendeskripsikan kaitan antara pepindhan bagian tubuh manusia dengan budaya masyarakat Jawa. PROSIDING 109 Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis maupun praktis. Manfaat teoretis adalah memperkuat teori yang sudah ada terutama dalam hubungannya dengan makna pepindhan. Makna pepindhan dapat ditelusuri dengan menggunakan analisis komponen makna. Analisis komponen makna tidak hanya dapat diterapkan dalam memaknai kata atau ungkapan secara literal, akan tetapi dapat juga diterapkan dalam memaknai ungkapan dalam bentuk pepindhan. Sementara itu, manfaat praktis dalam penelitian ini adalah diketahuinya hubungan antara pembanding dan terbanding dalam sebuah pepindhan sehingga dapat diketahui makna secara keseluruhan dari sebuah pepindhan. Pengetahuan tentang makna pepindhan ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai penghalus ungkapan. Pilihan beberapa pepindhan yang biasa digunakan oleh seorang pembawa acara dalam pernikahan dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat jika mereka mengetahui makna pepindhan tersebut. Selain itu, pepindhan ini bisa dijadikan sebagai salah satu gaya pengungkapan dalam penciptaan suatu karya sastra. 2. Landasan Teori Pepindhan merupakan salah satu bentuk peribahasa dalam bahasa Jawa. Prawirodihardjo dalam Triyono, dkk (1989: 1) menyatakan bahwa peribahasa dalam bahasa Jawa meliputi paribasan, bebasan, saloka, sanepa, dan pepindhan. Setiap jenis dari peribahasa tersebut memiliki ciri masing-masing yang membedakan antara yang satu dengan lainnya. Pepindhan merupakan bentuk ungkapan yang mempersamakan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain karena memiliki kesamaan/kemiripan asosiasi. Secara umum, ciri yang melekat pada pepindhan adalah (1) adanya arti persamaan, (2) pemakaian kata kaya ‘seperti’ atau sinonimnya, (3) kadang-kadang tanpa kaya, tetapi satuan lingual itu mengandung arti ‘seperti’ (Triyono, dkk; 1989: 9) Menurut Indratmo (2008: 5) pepindhan dibangun oleh konstruksi sebagai berikut. 110 PROSIDING Konstituen pertama Sesuatu yang sedang diperbincangkan Terbanding Tenor + Penanda perbandingan 1. Berupa satuan lingual kata yang bermakna ‘seperti’: sasat, yayah, pindha, lir, kadya, kadi, kaya, persis. 2. Berupa afiks pada wahana: prefiks {N-}, {aN-}, infiks {-um-} + Konstituen kedua Sesuatu untuk membandingkannya Pembanding Wahana Berdasarkan konstruksi tersebut penanda perbandingan dapat berupa satuan lingual yang bermakna ‘seperti’: sasat, yayah, pindha, lir, kadya, kadi, kaya, persis atau berupa afiks pada wahana: prefiks {N-}, {aN-}, infiks {-um-}. Dalam pepindhan, sesuatu yang diperbandingkan dapat berupa keadaan manusia atau bukan manusia. Sedangkan unsur pembanding dapat berupa manusia, binatang, tumbuhan, alam, benda, benda angkasa, wayang, makhluk halus, dan dewa/dewi (Indratmo, 2008: 14). Kesamaan/kemiripan suatu ungkapan/pepindhan dapat diungkap melalui analisis komponen makna. Komponen makna atau komponen semantik mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut (Chaer, 1995: 114). Analisis komponen makna mengandalkan setiap unsur leksikal memiliki atau tidak memiliki suatu ciri yang membedakannya dengan unsur lain. Begitu juga dengan analisis komponen makna dalam pepindhan. Misalnya, bentuk pepindhan bahasa Jawa untune miji timun ‘giginya seperti deretan biji mentimun’. Pembandingan antara untu ‘gigi’ dengan biji ketimun mengandalkan adanya persamaan tatanan, keduanya sama-sama tertata rapi dengan ukuran kecil-kecil. Sedangkan yang membedakan antara keduanya adalah untu ‘gigi’ diperuntukkan bagi manusia atau binatang sedangkan biji ketimun diperuntukkan bagi tanaman atau tumbuhan. Berdasarkan contoh tersebut dapat dikatakan bahwa dalam pepindhan ada proses pengalihan makna dari makna sumber ke makna referennya. Pengalihan makna ini bukan tanpa sebab, tetapi karena adanya relevansi atau kaitan antara keduanya. Aminuddin (1988:126) menyatakan bahwa bentuk kebahasaan, misalnya kata, antara yang satu dengan yang lain mampu menggambarkan adanya hubungan. Hubungan antara terbanding atau sesuatu yang diperbandingkan dengan pembanding dapat dibangun berdasarkan kemiripan keadaan, kemiripan aktivitas, kemiripan perseptual, maupun kemiripan kultural (Indratmo, 2008: 14) PROSIDING 111 Menurut Roget’s jenis asosiasi hubungan dalam sebuah bahasa terdiri atas enam macam, yaitu relasi abstrak, relasi dalam kaitannya dengan ruang, relasi dalam kaitannya dengan benda, relasi dalam kaitannya dengan unsur intelektual, relasi dalam kaitannya dengan dorongan ekspresi, dan relasi yang mengimplikasikan adanya tuntunan dan kekuatan moral (Lyons dalam Aminuddin, 1988: 126). 3. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Data penelitian adalah pepindhan tentang bagian tubuh manusia. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka. Data tentang pepindhan diperoleh dengan pembacaan dari buku Sarine Basa Jawa (1967) karangan Padmosoekotjo dan internet untuk selanjutnya dicatat ke dalam kartu data. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap seperti yang diungkapkan oleh Sudaryanto (1993:5), yaitu (1) penyediaan data; (2) penganalisisan data, dan (3) penyajian hasil analisis data. Pada tahap penyediaan data, data yang diperoleh melalui teknik pustaka dicatat dan diklasifikasikan berdasarkan permasalahan yang ada. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teori analisis komponen makna. Analisis komponen makna dilakukan untuk mengetahui fitur semantis suatu kata sehubungan dengan ciri referen, pemberian abstraksi, maupun konseptualisasinya (Aminuddin, 1988:128). Metode yang digunakan adalah metode padan dengan teknik pilah unsur penentu. Daya pilah yang digunakan adalah daya pilah referensial (Sudaryanto, 1993: 22). Metode padan digunakan karena objek sasaran penelitian ini kejatian atau identitasnya ditentukan berdasarkan tingginya kadar kesepadanan, keselarasan, kesesuaian, kecocokan, atau kesamaannya dengan alat penentu yang bersangkutan yang sekaligus menjadi standar atau pembakunya (Sudaryanto, 1993:13). Daya pilah referensial dipilih karena dalam penelitian ini alat penentunya berupa kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa. Penyajian data dilakukan dengan perumusan melalui kata-kata biasa disertai pemberian kode-kode. Perumusan melalui kata-kata biasa ini dikenal dengan istilah metode penyajian informal, sedangkan penyajian data dengan pemberian kode-kode dikenal dengan istilah metode penyajian formal (Sudaryanto, 1993: 145). 4. Pembahasan 4.1 Bagian Tubuh Manusia yang Menjadi Objek dalam Pepindhan Tidak semua bagian tubuh manusia di-pepindhan-kan. Berikut ini bagianbagian tubuh manusia yang dijadikan objek dalam pepindhan ini. 112 PROSIDING 4.1.1 Kepala dan Bagian-bagiannya Berikut ini pepindhan tentang bagian-bagian kepala. 1) Sirahe nggandhen ‘kepalanya (menyerupai) palu’ (bentuk kepala yang menonjol di bagian belakang) 2) Alise nanggal sepisan ‘alisnya (seperti) bulan tanggal pertama’ (bentuk alis yang melengkung tipis) 3) Alise ngroning imba ‘alisnya (menyerupai) daun imba’ (alisnya tipis) 4) Alise nyingkal ‘alisnya (menyerupai) luku’ (alis yang lebat) 5) Athi-athine ngudhup turi ‘athi-athinya (rambut dekat telinga) (menyerupai) pucuk bunga turi’ (rambut dekat telinga melengkung ke belakang membentuk huruf “J”) 6) Bathuke nyela cendhani ‘keningnya (seperti) batu pualam’ (keningnya indah bercahaya) 7) Bathuke ngungkal gerang ‘keningnya (seperti) ungkal yang sudah sering digunakan’ (kening dengan lekukan pada sisi kiri kanannya) 8) Brengose nglaler menclok ‘kumisnya (seperti) lalat hinggap’ (kumis kecil seperti kumisnya hitler) 9) Brengose nguler keket ‘kumisnya (seperti) ulat’ (kumisnya lebat) 10) Godhege simbar rumembun ‘jambangnya (seperti) simbar yang tumbuh’ (Jambangnya seperti simbar yg beru tumbuh) 11) Idepe tumenga ing tawang ‘bulu matanya menghadap ke atas ke arah langit’ (bulu matanya lentik) 12) Idepe angisi ‘bulu matanya (seperti) ikalan benang’ (bulu matanya panjang-panjang) 13) Irunge kencana pinatar ‘hidungnya (seperti) emas yang dihaluskan’ (hidungnya runcing, indah bersinar) 14) Irunge ngudhup mlathi ‘hidungnya (seperti) kuncup bunga melati’ (hidungnya mancung seperti kuncup bunga melati) 15) Lambene manggis karengat ‘bibirnya (seperti) buah manggis yang diiris’ (bibirnya berwarna merah) 16) Lambene nggula satemlik ‘bibirnya (seperti) gula jawa yang berukuran kecil’ (bibirnya kecil dan terlihat manis) 17) Mripate kadya bawang sabungkul ‘matanya (seperti) bawang utuh’ (batanya lebar) 18) Mripate ndamar kanginan ‘matanya (seperti) lampu yang terkena angin’ (matanya bercahaya) PROSIDING 113 19) Pamulune ambengle kiris ‘raut wajahnya (seperti) bengle yang diiris’ (raut wajahnya berwarna kuning, indah) 20) Pamulune prada binabar ‘wajahnya (seperti) emas yang bertebaran’ (wajahnya bersinar seperti tebaran emas) 21) Pipine nduren sajuring ‘pipinya (seperti) durian yang dibelah’ (pipinya montok kekuningan) 22) Rambute ngandhan-andhan ‘rambutnya (seperti) tangga’ (rambutnya panjang indah bergelombang) 23) Rambute ngembang bakung ‘rambutnya (seperti) bunga bakung’ (rambutnya lebat dan mengembang) 24) Rambute nyambel wijen ‘rambutnya (seperti) sambal wijen’ (rambutnya berkilauan) 25) Sinome micis wuncah ‘sinomnya (rambut halus di atas kening) seperti koin’ (sinomnya tertata rapi) 26) Sinome mbibis mabur ‘sinomnya seperti burung belibis terbang’ (sinomnya rapi) 27) Untune miji timun ‘giginya seperti biji mentimun’ (giginya kecil-kecil tertata rapi) 28) Untune nguntu walang ‘giginya seperti gigi belalang’ 29) Untune ngelar kombang ‘giginya (seperti) bulu sayap kumbang’ (giginya kehitaman karena di’sisig’) 30) Wange ngungkal gerang ‘dagunya (seperti) wungkal yang sudah sering digunakan’ (dagunya melengkung) 31) Wange nyangkal putung ‘dagunya (seperti) gagang sabit yang patah’ (dagunya membentuk sudut yang bagus) 32) Janggute pindha tawon gumantung ‘dagunya (seperti) lebah menggantung’ 4.1.2 Leher Pepindhan yang menggambarkan bentuk leher adalah sebagai berikut. 1) Gulune negelung gadhung ‘lehernya (seperti) pohon gadhung’ ‘lehernya jenjang dan melengkung ke depan’ 2) Gulune ngolan-olan ‘lehernya (seperti) uret/belatung’ ‘lehernya jenjang dan berruas’ 4.1.3 Badan Pepindhan tentang beberapa bagian badan adalah sebagai berikut. 1) Dhadhane ndhadha manuk ‘dadanya (seperti) dada burung’ (dadanya seperti dada burung) 2) Pundhake nraju mas ‘pundaknya (seperti) timbangan emas’ (pundaknya sejajar antara yang kiri dan kanan) 114 PROSIDING 3) 4) 5) Payudharane nyengkir gadhing ‘payudaranya (seperti) kelapa gading yang masih muda’ (payudaranya padat, lancip, dan berwarna kekuningan’ Bangkekane nawon kemit ‘pinggangnya (seperti) lebah’ (pinggangnya ramping) Bokonge manjang ilang ‘bokongnya (seperti) panjang ilang’ (pantatnya bulat dan berisi) 4.1.4 Tangan dan bagian-bagiannya Berikut ini merupakan penggambaran bentuk tangan dalam pepindhan. 1) Tangane nggendhewa pinenthang ‘tangannya (seperti) busur panah yang dibentangkan’ (tangan dengan siku yang menekuk ke dalam) 2) Astane nggendhewa denta ‘tangannya (seperti) gendewa gading’ (tangan yang selain seperti busur juga berwarna kekuningan) 3) Drijine mucuk eri ‘jarinya (seperti) ujung duri’ (jarinya lentik) 4.1.5 Kaki dan bagian-bagiannya Bagian-bagian tubuh yang terlihat, tak terkecuali kaki menjadi objek yang di-pepindhan-kan. Berikut ini penggambaran bentuk kaki dalam pepindhan. 1) Kempole ngembang pudhak ‘betisnya (seperti) bunga pandan’ (betisnya berwarna putih) 2) Kempole nyikil walang ‘betisnya (seperti) kaki belalang’ (betisnya jenjang) 3) Kempole njantung ‘betisnya (seperti) jantung buah pisang’ (betisnya berisi) 4) Tungkake bunder lir jinangka ‘tumitnya bundar seperti diukur menggunakan jangka’ (tumitnya bundar) 5) Wentise mukang gangsir ‘betisnya seperti kaki jengkerik’ ‘betisnya jenjang’ 6) Wentise ndamen meteng ‘betisnya seperti jerami’ ‘betisnya berisi’ 4.2 Bentuk Pepindhan Bagian Tubuh Manusia 4.2.1 Penanda Perbandingan dalam Pepindhan Bagian Tubuh Manusia Pepindhan sebagai salah satu jenis metafora dalam bahasa Jawa, memiliki bentuk seperti yang diungkapkan oleh Indratmo (2008:5), yaitu terdiri atas terbanding, penanda perbandingan, dan pembanding. Berkaitan dengan pepindhan bagian tubuh manusia, yang menjadi pembanding adalah bagian tubuh PROSIDING 115 manusia. Penanda perbandingan dalam penelitian ini dinyatakan secara eksplisit dan implisit. 4.2.1.1 Penanda Perbandingan Eksplisit Penanda perbandingan eksplisit dinyatakan dengan kata-kata yang menunjukkan makna ‘seperti’; pindha, lir, kadya. Berikut ini beberapa contoh data yang menggunakan penanda perbandingan eksplisit 1) Mripate blalak-blalak kadya bawang sabungkul ‘matanya belok seperti bawang sebungkul’ 2) Janggute pindha tawon gumantung ‘dagunya seperti lebah tergantung’ 3) Tungkake bunder lir jinangka ‘tumitnya bundar seperti diukur menggunakan jangka’ 4.2.1.2 Penanda Perbandingan Implisit Penanda perbandingan implisit atau tidak langsung ditunjukkan dengan penasalan. Secara umum, penasalan ini diwujudkan dalam panambang atau imbuhan N- yang memiliki makna ‘seperti’. Ada pula pepindhan yang tidak menampilkan penanda perbandingan. Ada dua jenis penanda perbandingan implisit dalam pepindhan, yaitu penasalan dan tanpa penanda apapun. Penasalan dalam pepindhan dapat dilihat pada contoh data berikut. 1) Alise nanggal sepisan ‘alisnya (seperti) tanggal pertama’ 2) Athi-athine ngudhup turi ‘athi-athi (rambut halus dekat dengan telinga) (seperti) kuncup (kembang) turi’ 3) Bangkekane nawon kemit ‘pinggangnya (seperti) kumbang (kemit)’ 4) Bathuke nyela cendhani ‘keningnya (seperti) batu pualam’ Data tersebut memperlihatkan adanya penasalan untuk menyatakan sebuah persamaan. Nasal yang ada dalam alise nanggal sepisan terbaca pada kata nanggal. Kata tersebut berasal dari kata dasar tanggal ‘tanggal’ mendapat afiks N- menjadi nanggal ‘menyerupai/seperti tanggal’. ‘alisnya (seperti) tanggal pertama’. Kata ngudhup, nawon, dan nyela juga merupakan kata-kata yang dibentuk dengan penasalan. Kata ngudhup dibentu dari N-+kudhup ‘menyerupai kuncup’. Kata nawon dibentuk dari N-+tawon ‘seperti tawon’. Kata nyela dibentuk dari N-+sela ‘seperti batu’. Pepindhan yang dinyatakan secara langsung tanpa menampilkan penanda perbandingan dapat dilihat pada data berikut. 1) Lambene manggis karengat ‘bibirnya (seperti) manggis yang diiris’ 2) Irunge kencana pinatar ‘hidungnya (seperti) emas yang ditata bertingkat-tingkat’ 3) Pamulune prada binabar ‘wajahnya (seperti) emas bertebaran’ 116 PROSIDING Penanda perbandingan dalam ketiga pepindhan tersebut dilesapkan atau tidak ditampilkan. Triyono (1989: 73) menyatakan bahwa ada beberapa pepindhan yang tidak menghadirkan penanda perbandingan. Hal ini menjadi pengecualian dalam pepindhan yang seharusnya menghadirkan penanda perbandingan. Lambene manggis karengat ‘bibirnya (seperti) manggis yang diiris’ mengandung makna warna bibir yang berwarna kemerahan seperti warna buah manggis yang teriris. Penggambaran keadaan hidung dan wajah dalam pepindhan tersebut diungkapkan secara langsung. Hidung yang halus bercahaya sekaligus mancung digambarkan dengan tatanan emas bertingkat. Sementara itu, perwujudan wajah yang bercahaya digambarkan atau dipersamakan dengan kilauan emas. 4.2.2 Pembanding dalam Pepindhan Bagian Tubuh Manusia Pembanding dalam pepindhan bagian tubuh manusia adalah benda-benda atau sesuatu yang dikenal baik oleh masyarakat Jawa dan diambil dari alam, seperti hewan, tumbuhan, benda-benda yang ada dalam kehidupan seharihari. Pembanding yang digunakan menunjukkan hubungan yang kuat antara masyarakat Jawa dengan dunia pertanian. Budaya agraris inilah yang mendasari masyarakat Jawa memilih objek pembanding. 4.2.2.1 Pembanding Berupa Hewan Pembanding berupa hewan dapat dilihat pada contoh data berikut ini. 1) Bangkekane nawon kemit ‘pinggangnya (seperti) lebah’ 2) Sinome mbibis mabur ‘sinomnya seperti burung belibis terbang’ 3) Brengose nguler keket ‘kumisnya (seperti) ulat’ 4) Kempole nyikil walang ‘betisnya (seperti) kaki belalang’ Pepindhan di atas mempersamakan bentuk dari bagian tubuh manusia. Bangkekan ‘pinggang’ seorang wanita dipersamakan dengan bentuk tawon kemit ‘lebah yang biasa hidup di seputaran rumah penduduk’. Tatanan rambut halus di atas kening ‘sinom’ dipersamakan dengan jajaran burung belibis ketika terbang. Kumis tebal dipersamakan dengan bentuk uler keket ‘ulat dengan bentuk gilig panjang’. Bentuk kaki yang panjang atau jenjang dipersamakan dengan bentuk kaki belalang ‘sikil walang’. Hewan-hewan, seperti tawon kemit ‘hewan sebangsa lebah’, bibis ‘burung belibis’, uler keket ‘hewan jenis ulat’, dan walang ‘belalang’ banyak ditemukan di sekitar kehidupan masyarakat Jawa. Burung belibis dan belalang biasa ditemui di persawahan. Pemilihan objek binatang tersebut sebagai pembanding dalam pepindhan dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat Jawa yang hidup di daerah pedesaan dan memiliki mata pencaharian dari hasil pertanian. PROSIDING 117 4.2.2.2 Pembanding Berupa Tanaman Tanaman di sekitar kehidupan masyarakat Jawa juga menjadi objek pembanding. 1) Pamulune ambengle kiris ‘wajahnya (seperti) bengle teriris’ 2) Godhege simbar rumembun ‘jambangnya (seperti) simbar yang tumbuh’ 3) Rambute ngembang bakung ‘rambutnya (seperti) bunga bakung’ Tanaman bengle, simbar, dan bunga bakung merupakan tanaman yang akrab ditemui di sekitar masyarakat Jawa. Bengle merupakan jenis tanaman umbi yang biasa digunakan untuk jamu. Bentuknya, seperti umbi jahe, jika diiris bagian dalamnya berwarna kekuningan. Sedangkan tanaman bernama simbar merupakan jenis tanaman yang melekat pada batang tanaman keras atau batu. Pamulune ambengle kiris ‘wajahnya (seperti) bengle teriris’ mempersamakan warna wajah atau raut wajah dengan irisan bengle ‘tanaman umbi yang biasa digunakan sebagai jamu’. Bengle ketika diiris meperlihatkan warna kekuningan seperti kuningnya wajah seseorang. Godhege simbar rumembun ‘jambangnya (seperti) simbar yang tumbuh’ menggambarkan tampilan/wujud jambang seseorang sama seperti simbar yang baru tumbuh. Jambang seperti ini tidak lebat melainkan merata seperti tanaman semacam lumut yang melekat di tanaman keras. Rambute ngembang bakung ‘rambutnya (seperti) bunga bakung’ mempersamakan bentuk rambut seperti bunga bakung, mengembang. 4.2.2.3 Pembanding Berupa Benda atau Peralatan Rumah Tangga Penanda perbandingan yang mengambil objek benda atau peralatan rumah tangga juga ada dalam pepindhan ini. Hal ini tampak pada bokonge manjang ilang ‘bokongnya (seperti) panjang ilang’. Panjang ilang merupakan jenis piring yang terbuat dari janur. Benda ini biasa digunakan sebagai tempat sesaji dalam sedekah bumi. Persamaan bentuk menjadi hal utama yang diperbandingkan. Panjang ilang memiliki bentuk bulat pada bagian bawah, sehingga jika seseorang memiliki bokong dengan bentuk bulat maka hal ini sama dengan bentuk panjang ilang. Masyarakat Jawa juga dikenal sebagai masyarakat yang kental dengan dunia mistis. Pepindhan tersebut menggambarkan bentuk bokong yang indah. Kata panjang ilang ‘piring yang terbuat dari daun kelapa yang dianyam dan digunakan untuk tempat sesaji’ menandakan begitu lekatnya masyarakat Jawa dengan kehidupan kejawennya. Sesaji menjadi kegiatan yang sering dilaksanakan oleh masyarakat Jawa ketika ada peristiwa-peristiwa tertentu, misalnya acara gunungan yang biasa dilakukan oleh pihak keraton untuk memperingati peristiwa penting dalam kehidupan di Jawa. 118 PROSIDING 4.2.2.4 Pembanding Berupa Makanan Pembanding lain yang menjadi objek dalam pepindhan ini berupa jenis makanan, seperti lambene nggula satemlik ‘bibirnya (seperti) gula jawa’. Pepindhan ini menggambarkan bentuk lidah yang kecil/tipis dan terlihat manis, seperti manisnya gula jawa. Persamaan yang ditampilkan dalam pepindhan ini adalah persamaan bentuk antara bibir dengan gula jawa ‘templik’. Selain itu, persamaan asosiasi rasa juga menjadi perhatian dalam pepindhan ini. Gula jawa memiliki rasa manis. Seseorang yang memiliki senyum indah juga biasa dikatakan memiliki senyum yang manis. Dua asosiasi rasa ini mendukung munculnya pepindhan tentang bibir. 4.3 Pepindhan Bagian Tubuh Manusia Kaitannya dengan Budaya Masyarakat Jawa Budaya suatu masyarakat dapat dilihat melalui bahasa atau kosakata yang biasa digunakan. Begitu juga dengan pepindhan tentang bagian tubuh manusia ini. Dari kosakata pembanding yang digunakan terlihat latar belakang budaya masyarakat Jawa. 4.3.1 Masyarakat Agraris Berdasarkan pengamatan terhadap pepindhan tentang bagian tubuh manusia ini dapat dikatakan bahwa masyarakat Jawa merupakan masyarakat agraris yang tinggal di daerah pedesaan. Hal ini dapat dilihat dalam pepindhan berikut ini. 1) Sinome mbibis mabur ‘sinom (rambut halus di kening) (menyerupai) burung belibis yang terbang’ 2) Wange nyangkal putung ‘dagunya (seperti) gagang sabit yang patah’ 3) Bathuke ngungkal gerang ‘keningnya (seperti) ungkal yang sudah sering digunakan’ 4) Bangkekane nawon kemit ‘pinggangnya (seperti) lebah’ Hewan-hewan seperti bibis ‘burung belibis’, walang ‘belalang’, kombang ‘kumbang’ merupakan hewan yang terbiasa hidup di daerah persawahan. Sementara itu, benda-benda yang terkait dengan kehidupan pertanian tampak dalam penyebutan sangkal ‘gagang sabit’, dan ungkal ‘bajak’. Ciri masyarakat agraris juga tampak dengan penggunaan nama tanaman sebagai objek pembanding dalam pepindhan ini. 1) Mripate kadya bawang sabungkul ‘matanya (seperti) bawang utuh’ 2) Athi-athine ngudhup turi ‘rambut dekat telinga (seperti) bunga turi’ 3) Payudharane nyengkir gadhing ‘payudaranya (seperti) kelapa gading yang masih muda’ PROSIDING 119 Tanaman bawang, turi, dan cengkir gadhing ‘kelapa muda gading’ merupakan tanaman yang tumbuh subur di daerah agraris. Masyarakat Jawa biasanya menanam pohon turi dan pohon kelapa di sawah. 4.3.2 Masyarakat Kejawen Mayarakat Jawa mengenal adanya pelaksanaan sesaji. Hal ini terlihat pada penggunaan kosakata dalam pepindhan berikut ini. Bokonge manjang ilang ‘pantatnya seperti panjang ilang’ Panjang ilang merupakan jenis piring yang terbuat dari janur dan digunakan sebagai tempat sesaji. Dari kosakata inilah terlihat bahwa masyarakat Jawa memiliki hubungan dekat dengan dunia mistis. Masyarakat Jawa yang mengerti rahasia budaya Jawa dan melaksanakan dengan taat inilah yang disebut dengan masyarakat Kejawen. Kejawen merupakan salah satu paham dalam masyarakat Jawa yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah semesta alam (http://kyaimbeling. wordpress.com/falsafah-orang-jawa/ diunduh pada 15 November 2013). Orang Jawa kejawen percaya pada roh-roh halus yang dapat menimbulkan bahaya, seperti kecelakaan atau penyakit, apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak hati-hati. Untuk melindungi semua itu, orang Jawa kejawen memberi sesajen atau caos dhahar yang dipercaya dapat mengelakkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan mempertahankan batin dalam keadaan tenang. Sesajen yang digunakan biasanya terdiri dari nasi dan aneka makanan lain, daun-daun bunga serta kemenyan. 5. Penutup 5.1 Simpulan Bagian tubuh manusia yang di-pepindhan-kan meliputi kepala dan bagianbagiannya, leher, dada, payudara, pinggang, bokong, lengan, jari, dan kaki/ betis. Pepindhan bagian tubuh manusia ini ada yang menggunakan penanda perbandingan, yaitu pindha, lir, kadya, dan N-; ada pula yang dinyatakan secara langsung tanpa penanda perbandingan. Objek pembanding dalam pepindhan bagian tubuh manusia ini adalah hewan, tanaman, peralatan rumah tangga, dan benda-benda yang dikenal baik oleh masyarakat Jawa. Hubungan makna yang dibangun dalam pepindhan ini berkaitan dengan persamaan bentuk, wujud/tampilan, warna, dan asosiasi rasa. 120 PROSIDING Dilihat dari kosakata yang digunakan tercermin latar belakang budaya masyarakat Jawa, yaitu masyarakat agraris dan masyarakat yang ‘taat’ dengan budaya Jawa (masyarakat kejawen). Penggunaan kosakata yang berhubungan dengan dunia pertanian dan beberapa tanaman tertentu menjadi ciri dari masyarakat agraris. Sementara itu, penggunaan kosakata khusus yang berhubungan dengan kemistikan atau tentang sesaji menunjukkan bahwa masyarakat Jawa merupakan masyarakat kejawen yang dekat dengan hal-hal yang bersifat mistis. 5.2 Saran Penelitian ini masih berada pada tingkat analisis dasar sehingga diharapkan ada kajian lebih mendalam lagi mengenai pepindhan dalam bahasa Jawa terutama jika dikaitkan dengan kajian entnolinguistik. DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 1988. Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru. Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Indratmo, Aloysius. 2008. “Struktur dan Makna Pepindhan”. Makalah yang ditujukan untuk Jurnal Ilmiah “Widya Warta” Unika Widya Mandala, Madiun. Padmosoekotjo, S. 1967. Sarine Basa Jawa. Jakarta: P.N. Balai Pustaka. Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J. B. Wolters’ Uitgevers Maatschappaij N.V. Groningen. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. http://jv.wikipedia.org/wiki/Pepindhan. Triyono, Adi et.al. 1989. Peribahasa dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sumber Internet: http://smk.yayasan-gondang.com/index.php?option=com_content&view= article&id=52:panyandran-&catid=42:budaya&Itemid=44 http://iwanmuljono.blogspot.com/2013/03/panyandra-pepindhan-untuksesuatu-yang.html PROSIDING 121 122 PROSIDING KARENA BANYAK MENUNTUT, NYAWA PUN TERCABUT: KAJIAN REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM BERITA TENTANG PEMBUNUHAN HOLLY DI MEDIA ONLINE Nur Zaini Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI) Yogyakarta pos-el: nurzaini07@yahoo.com Inti Sari Berita tentang pembunuhan Holly di Apartemen “Kalibata City” Jakarta pada 30 September 2013 mengundang perhatian khalayak. Penelitian ini membahas representasi perempuan dalam pemberitaan tentang pembunuhan Holly di media online. Data dianalisis dan dibahas dalam perspektif ideologi patriarkhi dengan menggunakan metode analisis wacana kritis model Sara Mills. Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi perempuan meliputi perempuan lemah dan marjinal, perempuan buruk, dan perempuan salah. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa empat teks yang menjadi data memosisikan laki-laki sebagai subjek dan perempuan sebagai objek. Pembaca diarahkan untuk memosisikan diri sebagai laki-laki. Kata kunci: berita, representasi, perempuan, patriarkhi, analisis wacana kritis Abstract The news on the murder of Holly in the “Kalibata City” Apartment in Jakarta on 30 September 2013 inviting public attention. This study discusses the representation of woman in the news about the murder of Holly in the online media. Data were analysed and discussed in partiarchy ideological perspective using the method of critical discourse analysis with Sara Mills model. The results showed that the representation of woman includes a weak and marginalized woman, a poor woman, and a wrong woman. In addition, the results also showed that the four texts placed a man in the position as subject, and a woman as object. The readers were directed to position themselves as men. Keywords: news, representation, woman, patriarchy, critical discourse analysis PROSIDING 123 1. Pendahuluan Akhir-akhir ini, banyak berita di media mengundang perhatian banyak khalayak baik yang dimuat di media cetak, elektronik, maupun online. Berita antara lain tentang politik, hukum, teknologi, olah raga, dan kriminalitas. Seseorang biasanya memilih suatu berita karena berita tersebut memuat peristiwa atau informasi baru, terjadi dekat dengan tempat tinggal, menyangkut orang terkemuka atau terkenal, memiliki daya tarik kemanusiaan, dan dampak dari peristiwa tersebut. Inilah yang disebut MacDougall sebagai nilai berita (Barus, 2010:33). Semakin banyak mengandung nilai berita, semakin besar minat khalayak terhadap berita tersebut. Berita tentang peristiwa pembunuhan Holly Angela Ayu di Apartemen “Kalibata City” Jakarta pada 30 September 2013 yang dimuat di www.detik.com, www.kompas.com, www.republika.co.id, dan www.tempo.com adalah salah satu berita yang mendapat perhatian khalayak karena berisi tentang peristiwa yang mengandung semua nilai berita. Pertama, peristiwa baru karena kasusnya terus berkembang dari mulai kejadian sampai ditangkapnya otak dari pembunuhan tersebut (17 Oktober 2013) sehingga masih banyak media yang memberitakannya. Kedua, peristiwa terjadi di Jakarta. Ketiga, peristiwa menyangkut salah seorang auditor senior Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Keempat, peristiwa terkait dengan pembunuhan terhadap wanita cantik yang menjadi istri siri dari auditor. Kelima, peristiwa akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap eksistensi BPK di mata masyarakat. Dari aspek nilai berita, peristiwa tersebut merupakan berita yang menarik karena mengandung nilai berita secara lengkap. Namun, berita tersebut kurang seimbang dalam menampilkan sumber berita. Isi berita lebih banyak menceritakan tentang Gatot dan 5 orang suruhannya dari sumber berita yang mengetahui perihal Gatot dan suruhannya, dan hanya sedikit menyinggung Holly. Sumber berita yang dekat dengan Holly tidak ditampilkan. Informasi tentang Holly pun hanya terkait dengan sisi buruk Holly sebagai istri siri Gatot karena didapat dari sumber pihak Gatot. Dalam konteks media dan politik pemaknaan, berita pembunuhan Holly yang dimuat di empat media online tersebut termasuk dalam kategori tidak netral. Dalam banyak kasus, pemberitaan media –terutama yang berhubungan dengan peristiwa yang melibatkan pihak dominan– memang selalu disertai penggambaran buruk pihak yang kurang dominan (Sobur, 2009:36). Gatot adalah pihak yang dominan, sedangkan Holly di pihak yang kurang dominan. Penentuan pihak dominan dan pihak kurang dominan ditentukan oleh posisi wartawan yang memproduksi peristiwa menjadi berita. Ada dua pandangan dalam membicarakan posisi wartawan. Pertama, paradigma pluralis yang percaya bahwa wartawan dan media adalah entitas 124 PROSIDING yang otonom, dan berita yang dihasilkan haruslah menggambarkan realitas yang terjadi di lapangan. Kedua, paradigma kritis yang melihat posisi wartawan dan media dalam struktur sosial dan kekuatan sosial di masyarakat. Dalam posisi tersebut, wartawan bisa mempengaruhi berita. Berita bukan cermin dari realitas yang sesungguhnya (Eriyanto, 2005: 32). Dalam kaitannya dengan hal di atas, penelitian terhadap berita tentang pembunuhan Holly tersebut menarik untuk dilakukan. Penelitian sebelumnya yang mengambil objek berita dilakukan oleh Hasfi (2011). Penelitian dengan topik tentang pemberitaan Malinda Dee di detik.com, Majalah Tempo, dan Metro TV menggunakan metode analisis framing dan menyimpulkan bahwa ada enam representasi tentang Malinda Dee. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Zakaria Siregar (2012). Hasil penelitian tentang pemilukada di Medan yang menggunakan metode Analisis Wacana Kritis (AWK) model Norman Fairclough ini menunjukkan bahwa antara lain masih ada teks yang cenderung menghegemoni khalayak. Janji-janji kampanye tak lebih “cek kosong” dan publik tidak mendapat ruang dalam wacana yang dihadirkan media. Penelitian lainnya dilakukan oleh Kasmani (2013) terkait wacana liputan oleh BBC dan Al Jazeera English (AJE) tentang sebelum pelaksaanaan pemilu di Iran. Penelitian ini juga menggunakan AWK, tetapi tidak menyebutkan model AWK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak persamaan dibanding perbedaannya dalam hal wacana hasil liputan oleh kedua lembaga penyiaran tersebut. Penelitian berikutnya tentang sikap partisan dan posisi pembaca dalam isi surat kabar di Inggris pada pasca perang yang dilakukan oleh Bayram (2013). Hasil penelitian yang menggunakan metode survei ini menunjukkan bahwa surat kabar harian mulai menggunakan bahasa yang kurang partisan, pada waktu yang sama posisi pembaca mulai partisan. Dalam hal objek penelitian, penelitian ini sama dengan keempat penelitian tersebut, yakni berita di media. Namun, semuanya mengambil topik berbeda. Terkait metode yang digunakan, penelitian ini sama dengan kedua penelitian sebelumnya, yaitu AWK. Tetapi, ketiganya menggunakan model yang berbeda. Penelitian sebelumnya yang terakhir menggunakan metode survei. Dalam ilmu komunikasi, salah satu metode dalam analisis teks media adalah Analisis Wacana Kritis (AWK). Dalam bukunya, Eriyanto (2005: 20) menyebutkan bahwa AWK termasuk dalam kategori paradigma kritis. Analisis ini menggunakan bahasa sebagai alat untuk mendeteksi atau melihat ideologi dalam teks. Dalam melihat ideologi, sorotan utama dalam analisis adalah representasi, yaitu bagaimana seseorang, kelompok, atau segala sesuatu ditampilkan. Dalam representasi, media yang digunakan adalah bahasa baik tertulis, lisan maupun gambar. Bahasa di sini tidak dimaknai sebagai sesuatu yang netral, tetapi sudah tercelup oleh ideologi yang membawa muatan kePROSIDING 125 kuasaan tertentu. Melalui bahasa, seseorang bisa ditampilkan secara baik atau buruk kepada masyarakat (Eriyanto, 2005: 343). Ada beberapa model dalam AWK yang salah satunya dikembangkan oleh Sara Mills. Model yang juga disebut perspektif feminis ini terutama menitikberatkan perhatiannya pada pemberitaan tentang perempuan di media, yaitu bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks baik dalam novel, gambar, foto, ataupun dalam berita (Eriyanto, 2005: 199). Penelitian ini mengambil topik tentang pemberitaan perempuan di media, maka penelitian ini menggunakan AWK model Sara Mills dan difokuskan pada analisis teks berita pembunuhan Holly yang dimuat di empat media online www.detik.com, www.kompas.com, www.republika, www.tempo.com. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu (1) Bagaimana representasi perempuan dalam berita tentang pembunuhan Holly di empat media online?; (2) Bagaimana posisi subjek-objek dalam berita tentang pembunuhan Holly di empat media online?; dan (3) Bagaimana posisi pembaca dalam berita tentang pembunuhan Holly di empat media online? Sesuai rumusan masalah, penelitian ini betujuan untuk mengetahui: (1) representasi perempuan dalam berita tentang pembunuhan Holly di empat media online; (2) posisi subjek-objek dalam berita tentang pembunuhan Holly di empat media online; dan (3) posisi pembaca dalam berita tentang pembunuhan Holly di empat media online. 2. Kerangka Teori dan Metode 2.1 Kerangka Teori 2.1.1 Representasi Hall mengemukakan konsep tentang representasi sebagai “the production of meaning of the concepts in our minds through language” (Hall, 2000: 17). Dalam hal ini, representasi merupakan produksi makna tentang konsep-konsep dalam pikiran manusia dengan menggunakan bahasa. Bahasa digunakan sebagai alat untuk menyampaikan hasil produksi makna seseorang kepada orang lain. Menurut Burton (2005: 61) bahwa “The idea of representation is central to understand the production of meaning through texs.” Pemahaman ini lebih menitikberatkan pada produksi makna melalui teks. Namun, Burton selanjutnya menjelaskan bahwa teks merupakan representasi baik dalam bentuk pengertian secara material maupun ideologis. Secara material, teks merupakan sesuatu yang dibuat bisa dalam bentuk produk teknologi, gambar pada layar, atau sekumpulan tanda pada halaman (buku atau bahan cetak lainnya). Adapun secara ideologis, teks merepresentasikan ide-ide. Sementara itu, Eriyanto (2005: 113) menekankan istilah representasi dalam kaitannya dengan pemberitaan, baik pada media cetak maupun elektronik 126 PROSIDING (TV). Menurut dia istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Penampilan tersebut mencakup dua hal. Pertama, apakah seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan sebagaimana mestinya, apa adanya atau diburukkan. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan. Hal ini terkait dengan kata, kalimat, aksentuasi dan bantuan foto macam apa seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak. 2.1.2 Ideologi Patriarkhi Menurut Thompson (1990: 19), konsep ideologi dimaknai sebagai kumpulan persoalan yang berhubungan dengan interrelasi antara makna dan kekuasaan. Konsep ideologi dapat digunakan untuk merujuk cara-cara bagaimana makna digunakan, dalam hal tertentu, untuk membangun dan mempertahankan relasi kekuasaan yang secara sistematis bersifat asimetris – yang kemudian disebut ‘relasi dominasi’. Ideologi, secara luas, dinyatakan sebagai makna yang digunakan untuk kekuasaan. Berkaitan dengan ideologi patriarkhi, Azis (2007: 54) menyebutkan bahwa patriarkhi menganggap perempuan lebih buruk daripada laki-laki dan menempatkan perempuan sebagai kelas kedua dalam komunitas sosial. Hal ini mengakibatkan perempuan tidak bebas mengartikulasikan kehendak bebas yang menyebabkan mereka selalu bergantung pada laki-laki. Sementara itu, Bhasin (dalam Sugihastuti dan Saptiawan, 2007: 93) menjelaskan bahwa patriarkhi digunakan untuk menyebut kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, dan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui berbagai cara. Patriarkhi membentuk laki-laki sebagai superordinat dalam model hubungan dengan perempuan yang dijadikan sebagai subordinatnya. Patriarkhi merupakan sebuah sistem dominasi dan superioritas laki-laki, sistem kontrol terhadap perempuan. Selain itu, patriarkhi menganggap bahwa lakilaki lebih tinggi daripada perempuan sehingga perempuan harus dikontrol oleh laki-laki, dan perempuan adalah milik laki-laki. Dengan demikian, terciptalah konstruksi sosial yang berlaku sebagai kontrol terhadap perempuan dan laki-laki berkuasa sepenuhnya dalam mengendalikan hal tersebut. 2.1.3 Analisis Wacana Kritis Dalam Analisis Wacana Kritis (AWK), wacana tidak dipahami sematamata sebagai suatu studi bahasa. Analisis wacana menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis relatif berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa yang dianalisis bukan semata-mata dari aspek kebahasaan, melainkan juga menghubungkan- PROSIDING 127 nya dengan konteks, yakni konteks yang digunakan untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan (Eriyanto, 2005: 7). Wodak dan Meyer (2008:10) menyatakan bahwa: “Crtitical Discouse Analysisi (CDA) can be defined as being fundamentally interested in analysing opaque as well as transparent structural relationships of dominance, discrimination, power and control as manifested in language. In other words, CDA investigate critically social inequality as it is expressed, constituted, legitimized, and so on, by language use (or in discourse)”. Menurut kutipan diatas bahwa minat dalam AWK adalah untuk menganalisis hubungan struktural antara kekuasaan dan kontrol yang terlihat pada penggunaan bahasa. AWK menyelidiki secara kritis ketidaksetaraan sosial seperti yang diekspresikan, dibentuk, dilegitimasi melalui bahasa (dalam wacana). Teun van Dijk (dalam Purbani, 2009:1) menjelaskan bahwa: “Critical discourse analysis (CDA) is a type of discourse analytical research that primarily studies the way social power abuse, dominance, and inequality are enacted, reproduced, and resisted by text and talk in the social and political context. With such dissident research, critical discourse analysts take explicit position, and thus want to understand, expose, and ultimately resist social inequality”. Kutipan kedua lebih memperjelas lagi tentang AWK, yaitu merupakan studi yang mengungkap penyalahgunaan kekuasaan sosial, dominasi, dan ketidaksetaraan yang dipraktikkan, direproduksi, dan dilawan oleh teks dan perbincangan dalam konteks sosial politis. Hal ini menunjukkan bahwa analis memposisikan diri sebagai pihak yang ingin memahami, mengungkap, dan melawan ketidaksetaraan sosial. Selain itu, AWK mendasarkan pada penafsiran analis atau peneliti terhadap teks dengan cara masuk menyelami teks, dan menyingkap makna yang ada di baliknya (Eriyanto, 2005: 610). 2.1.4 AWK Model Sara Mills Salah satu pakar dalam AWK adalah Sara Mills. Dia memusatkan perhatiannya pada wacana mengenai feminisme, yaitu bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks, baik dalam novel, gambar, foto, ataupun dalam berita. Oleh sebab itu, model yang diperkenalkan Sara Mills ini sering juga disebut perspektif feminis. Perspektif wacana feminis ini memfokuskan pada bagaimana teks biasa dalam menampilkan perempuan, yaitu bahwa perempuan cenderung ditampilkan salah dan marjinal dalam teks dibanding laki-laki. Ketidakadilan dan penggambaran yang buruk tentang perempuan inilah yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan Mills (Eriyanto, 2005: 199). 128 PROSIDING Gagasan Sara Mills juga melihat bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Dalam hal ini, siapa yang diperlakukan sebagai subjek atau objek. Hal ini akan menentukan struktur teks dan makna secara keseluruhan. Selain itu, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca ditampilkan dalam teks. Sehingga pada akhirnya cara penceritaan dan posisi-posisi yang ditampilkan dan ditempatkan dalam teks ini membuat satu pihak menjadi legitimate dan pihak lain menjadi illegitimate (Eriyanto, 2005: 200). 2.1.4.1 Posisi: Subjek-Objek Eriyanto (2005: 200) menyebutkan bahwa Sara Mills menempatkan representasi merupakan bagian terpenting dalam analisisnya. Bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan, atau peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana berita yang mempengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh khalayak. Mills juga menekankan pada bagaimana posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa itu ditempatkan dalam teks. Posisi tersebut pada akhirnya menentukan bentuk teks yang hadir di tengah khalayak. Wacana media bukanlah sarana yang netral, melainkan cenderung menampilkan aktor tertentu sebagai subjek, yang mendefinisikan peristiwa atau kelompok tertentu. Posisi itulah yang menentukan semua bangunan unsur teks, dalam arti pihak yang mempunyai posisi tinggi untuk mendefinisikan realitas akan menampilkan peristiwa atau kelompok lain dalam bentuk struktur wacana tertentu yang akan hadir pada khalayak. 2.1.4.2 Posisi Pembaca Posisi pembaca ditampilkan dalam teks merupakan hal penting dan menarik yang diperkenalkan oleh Sara Mills. Dalam suatu teks posisi pembaca sangatlah penting dan haruslah diperhitungkan dalam teks. Model yang diperkenalkan Mills, teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca. Oleh karena itu, pembaca di sini tidaklah dianggap hanya sebagai pihak yang menerima teks, tetapi ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat dalam teks. Bagi Mills, membangun suatu model yang menghubungkan antara teks dan penulis di satu sisi dengan teks dan pembaca di sisi lain, mempunyai sejumlah kelebihan. Berita bukanlah tidak hanya hasil produksi dari awak media atau wartawan dan pembaca tidaklah ditempatkan semata sebagai sasaran karena berita adalah hasil negosiasi wartawan dengan pembaca. Oleh karena itu, dalam mempelajari konteks tidak cukup hanya konteks dari sisi wartawan, tetapi perlu juga mempelajari konteks dari sisi pembaca. 2.1.5 Kerangka Konsep Berdasarkan beberapa teori di bagian sebelumnya, perlu disusun kerangka konsep sebagai acuan dalam analisis. PROSIDING 129 a. b. c. d. Representasi yaitu produksi makna dengan menggunakan bahasa untuk menunjukkan bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Ideologi patriarkhi (1) Laki-laki sebagai superordinat dalam model hubungan dengan perempuan yang dijadikan sebagai subordinatnya. Perempuan dianggap sebagai kelas kedua dalam komunitas sosial. (2) Laki-laki mempunyai hubungan kuasa atau laki-laki menguasai perempuan. Perempuan tetap dikuasai melalui berbagai cara. Perempuan tidak bebas mengartikulasikan kehendak bebas. (3) Laki-laki lebih tinggi daripada perempuan sehingga perempuan harus dikuasai, dikontrol, dan dimiliki laki-laki. AWK digunakan untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan sosial, dominasi, dan ketidaksetaraan yang dipraktikkan, direproduksi, diekspresikan, dibentuk, dilegetimasi melalui bahasa (dalam wacana). Selain itu, AWK digunakan untuk memahami ideologi dan kekuasaan melalui investivigasi yang sistematis terhadap data semiotis baik tulis, lisan maupun visual. AWK mendasarkan pada penafsiran analis atau peneliti terhadap teks dengan cara masuk menyelami teks dan menyingkap makna yang ada di baliknya. AWK Model Sara Mills (1) Teks berita bias dalam menampilkan perempuan yakni bahwa perempuan cenderung ditampilkan salah dan marjinal dalam teks dibanding laki-laki. (2) Posisi: Subjek-Objek, yaitu bahwa wacana media bukanlah sarana yang netral, melainkan cenderung menampilkan aktor tertentu sebagai subjek, yang mendefinisikan peristiwa atau kelompok tertentu. (3) Posisi Pembaca, yakni bawa pembaca tidaklah dianggap hanya sebagai pihak yang menerima teks, tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana terlihat dalam teks. 2.2 Metode 2.2.1 Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam kategori kualitatif dalam paradigma kritis. Metode yang digunakan adalah Analisis Wacana Kritis model Sara Mills. 2.2.2 Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian adalah teks berita tentang pembunuhan Holly Angela Ayu di Apartemen “Kalibata City” Jakarta di media online www.detik.com, www.kompas.com, www.republika.co.id, dan www.tempo.co yang dimuat pada tanggal 17 Oktober 2013. 130 PROSIDING 2.2.3 Teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan dengan cara mengakses dan mengunduh teks berita tentang pembunuhan Holly Angela Ayu di Apartemen “Kalibata City” Jakarta di media online www.detik.com, www.kompas.com, www.republika.co.id, dan www.tempo.co yang dimuat pada tanggal 17 Oktober 2013. Setelah diunduh dan disimpan, teks-teks berita tersebut kemudian diamati, dicrmati, dan dipelajari sesuai topik penelitian. 2.2.4 Teknik Analisis Data Data yang sudah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan AWK model Sara Mills dengan kerangka analisis mencakupi berikut. (a) Analisis tentang bagaimana teks bias dalam menampilkan perempuan, yakni bahwa perempuan cenderung ditampilkan salah dan marjinal dalam teks dibanding laki-laki. Dalam hal ini, analisis dilakukan dengan menggunakan perspektif ideologi patriarkhi. (b) Analisis tentang bagaimana aktor tertentu ditampilkan sebagai subjek, dan aktor lain ditampilkan sebagai objek. (c) Analisis tentang bagaimana posisi pembaca dalam teks. 3. Hasil dan Pembahasan Pada bagian ini, uraian mencakup hasil penelitian dan sekaligus pembahasan yang disajikan langsung terkait dengan data yang ada. 3.1 Deskripsi Data Berita tentang pembunuhan Holly Angela Ayu di Apartemen “Kalibata City” Jakarta pada 30 September 2013 menggemparkan masyarakat Indonesia. Berbagai media baik cetak dan elektronik, termasuk media online memberitakan peristiwa tersebut. Pada 17 Oktober 2013, empat media online juga memuat berita tersebut antara lain www.detik.com, www.kompas.com, www.republika.co.id, dan www.tempo.com. Berita diawali dengan judul bervariasi dan cukup menarik. www.detik.com memberikan judul yang cukup sensasional “Minta Apartemen Hingga Ceraikan Istri Gatot, Ini Motif Pembunuhan Holly”. Judul ini langsung mengarah ke inti berita tentang motif pembunuhan. www.kompas.com mencantumkan judul “Jadi Tersangka, Gatot Diperiksa Lagi Hari Ini”. Judul ini menunjukkan bahwa Gatot sudah diperiksa sebelumnya dan sudah dinyatakan sebagai tersangka. Esok harinya, Gatot diperiksa lagi. Judul berikutnya adalah “Polisi Duga Gatot Bunuh Holly karena Tertekan” merupakan judul berita yang dimuat di www.republika.co.id. Secara tidak langsung, judul tersebut menunjukkan motif pembunuhan. Judul terakhir dimuat di www.tempo.com, “Gatot PROSIDING 131 Diduga Membunuh Holly karena Alasan Ini”. Judul ini mirip dengan judul sebelumnya. Keduanya masih ragu tentang motif pembunuhan. Berita disusul dengan teras berita yang menyebutkan tentang terungkapnya aktor intelektual pembunuhan Holly. Pelaku bernama Gatot Supriartono yang merupakan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dia menghabisi nyawa wanita cantik yang dinikahi secara siri dengan menyuruh lima orang. Pada tubuh berita,berita mengungkapkan motif pembunuhan, yaitu bahwa Gatot merasa tertekan karena Holly banyak menuntut. Berita diakhiri dengan ancaman hukuman pidana yang akan diterima oleh tersangka pelaku. Motif dan ancaman hukuman diperoleh dari sumber Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya dan Kasubdit Jatanras Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. 3.2 Representasi Perempuan dalam Perspektif Patriarkhi 3.2.1 Perempuan Lemah dan Marjinal Tiga di antara empat data yang dikumpulkan yang merupakan teks berita tentang pembunuhan Holly menyebutkan bahwa dia adalah istri siri tersangka otak pembunuh yang bernama Gatot. Beberapa kalimat dalam teks berita www.detik.com menyebutkan bahwa: “Gatot Supiartono yang merupakan auditor utama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebetulnya sudah memiliki seorang istri yang aktif di Dharma Wanita BPK. Namun diam-diam pada tahun 2011, Gatot menikahi wanita cantik lain secara siri bernama Holly Angela”. Kata-kata yang disusun menjadi kalimat, kemudian menjadi sebuah paragraf tersebut merupakan hasil konstruksi wartawan (penulis berita) yang menggambarkan bagaimana seorang perempuan bersedia dinikahi secara diam-diam, dalam status sebagai istri siri dan istri kedua. Hal ini menunjukkan begitu lemahnya posisi perempuan yang tidak kuasa mendapatkan statusnya sebagai istri sah. Seperti layaknya istri pejabat tinggi, pernikahan biasanya disaksikan oleh banyak orang. Acara resepsi pernikahan dihadiri keluarga, teman-teman, tamu undangan lain, dan diselenggarakan di gedung pertemuan yang mewah dengan acara meriah. Dalam konteks patriarkhi, paragraf tersebut memperlihatkan representasi perempuan (Holly) sebagai makhluk yang lemah dan marjinal. Dia lemah karena hanya bisa mendapat posisi sebagai istri siri dan istri kedua, serta dinikahi secara diam-diam. Dia marjinal karena dia tidak bisa mendapatkan statusnya sebagai istri sah. Eksistensinya dianggap tidak penting bagi Gatot. Sebaliknya, paragraf tersebut menunjukkan representasi laki-laki (Gatot) sebagai superordinat yang menjadikan perempuan sebagai subordinatnya. Gatot 132 PROSIDING direpresentasikan sebagai makhluk yang lebih tinggi yang menjadikan Holly sebagai makhluk bawahan. Gatot ditampilkan sebagai kelas atas dan Holly sebagai kelas kedua. Sebagai seseorang yang menempati posisi pada superordinat dan kelas atas, Gatot ditampilkan sebagai sosok yang berhak mengatur kehidupan Holly, termasuk menjadikannya sebagai istri siri dan istri kedua yang hanya sah menurut hukum agama Islam, tetapi belum sah menurut hukum negara. 3.2.2 Perempuan Buruk Dalam teks berita tentang pembunuhan Holly, Gatot menjadi tersangka sebagai otak pelaku pembunuhan. Menurut pernyataan sumber di Polda Metro Jaya, motif pembunuhan, antara lain sebagaimana kutipan berikut: “... Namun tak hanya minta dibelikan barang-barang mewah, wanita asal Salatiga itu juga meminta agar auditor BPK itu menceraikan istri sahnya. Dia (Holly-red) minta apartemen diberi, minta rumah, mobil, semua diberi, termasuk liburan ke luar negeri. Holly ini sering meminta G (Gatot-red) untuk menceraikan istrinya” (www.detik.com). “... karena istri sirinya yang sudah ia nikahi di Bandung pada tahun 2011 lalu itu sering menuntut banyak permintaan, sampai-sampai Holly meminta kepada Gatot untuk menceraikan istrinya” (www.kompas.com). “... Holly menuntut Gatot mulai dari minta apartemen, mobil, rumah, bahkan menceraikan istri pertamanya (www.republika.co.id). “Korban terlalu banyak menuntut, minta apartemen, mobil, rumah, hingga meminta Gatot menceraikan istrinya ...” (www.tempo.com). Kalimat-kalimat pada teks tersebut secara jelas menunjukkan reperesentasi perempuan (Holly) sebagai perempuan buruk yang begitu banyak menuntut kepada Gatot. Pikiran Gatot menjadi kacau dan tertekan dengan tuntutantuntutan Holly, seperti dinyatakan oleh Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Slamet Riyanto “... pembunuhan diduga terjadi karena Gatot tertekan oleh permintaan istri sirinya tersebut” (www.tempo.com). Kasubdit Jatanras Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya AKBP Herry Heryawan juga menyatakan bahwa “Motifnya karena tertekan, Holly banyak menuntut dan permintaan sama G (Gatot-red) ini” (www.detik.com). Dalam teks www.republika.co.id dinyatakan bahwa “... motif pembunuhan terhadap Holly Angela Hayu karena banyak menuntut sehingga tersangka Gatot yang menjabat sebagai auditor utama Badan Pemeriksa Keuangan itu menjadi tertekan”. Dalam konsep patriarkhi, sikap Gatot yang menjadi tertekan karena banyaknya tuntutan dari Holly merepresentasikan bagaimana kekuasaan lakilaki terhadap perempuan melalui berbagai cara. Bagi laki-laki, perempuan PROSIDING 133 atau istri tidak boleh banyak menuntut. Perempuan tidak boleh mempunyai kehendak bebas atau menuntut banyak permintaan kepada laki-laki. Tindakan ini tidak disukai, dan bahkan menyebabkan laki-laki menjadi tertekan. Dengan kekuasaannya sebagai laki-laki, laki-laki yang dalam keadaan tertekan, bisa berbuat apa saja terhadap perempuan. 3.2.3 Perempuan Salah Salah satu paragraf pada teks berita yang dimuat di www.detik.com, menyebutkan bahwa “Dalam foto-foto pernikahan dengan Gatot, Holly tampak bahagia bisa menikahi pejabat eselon I BPK yang memiliki kekayaan Rp 3,5 miliar pada tahun 2010. Namun, belakangan kebahagiaan dalam foto itu berbeda pada faktanya, pernikahan Gatot dengan Holly hanya seumur jagung. Gatot mulai mengenal karakter asli sang istri siri. Pikiran Gatot pun mulai kacau”. Seperti umumnya pasangan suami-istri yang baru menikah, pasangan tersebut tentunya sangat bahagia. Namun, ketika pernikahan sudah mulai berjalan, kejelekan pasangan sedikit demi sedikit mulai kelihatan. Dalam paragraf tersebut, ada kalimat yang merepresentasikan Holly sebagai perempuan salah, yaitu “Gatot mulai mengenal karakter asli sang istri siri. Pikiran Gatot pun mulai kacau”. Holly salah karena karakter aslinya tersebut mengakibatkan pikiran Gatot kacau. Karakter asli Holly tersebut kemungkinan tidak hanya banyak menuntut. Dalam konsep patriarkhi, perempuan dikuasai oleh laki-laki, perempuan harus dikontrol oleh laki-laki, dan perempuan adalah milik laki-laki. Konsep seperti ini tidak bisa menerima kalau ada perempuan yang salah, termasuk memiliki karakter yang bisa mengakibatkan pikiran laki-laki menjadi kacau. Hal ini bisa mengganggu stabilitas eksistensi laki-laki yang mempunyai kuasa, hak mengontrol, dan hak memiliki. Sebagai perempuan yang dikuasai, dia harus tunduk kepada penguasa (laki-laki). Sebagai perempuan yang dikontrol, dia tidak boleh melakukan kesalahan. Sebagai perempuan yang dimiliki, dia tidak boleh membuat pikiran si pemilik kacau. Sebagai layaknya penguasa, pengontrol, dan pemilik perempuan, lakilaki (Gatot) berhak melakukan apa saja ketika perempuan (Holly) melakukan kesalahan. Dengan skenario yang sudah dirancang sebelumnya, Gatot kemudian memerintahkan lima orang untuk membunuh Holly. 3.2.3 Laki-Laki sebagai Subjek, Perempuan sebagai Objek Teks berita yang menjadi data penelitian ini ditampilkan dengan judul, teras berita, tubuh berita, dan akkhir berita yang cenderung memosisikan 134 PROSIDING laki-laki (Gatot) sebagai subjek dan perempaun (Holly) sebagai objek. Kalimat demi kalimat menceritakan peristiwa dari sudut pandang Gatot sehingga cenderung menguntungkannya. Teks berita diawali dengan judul yang bervariasi. Namun, tiga judul menempatkan Gatot sebagai subjek. Judul yang dilansir www.detik.com bahkan langsung menyudutkan Holly sebagai objek, dan sekaligus sebagai penyebab timbulnya motif mengapa Gatot membunuhnya, “Minta Apartemen hingga Ceraikan Istri, ini Motif Pembunuhan Holly”. Tiga judul lainnya memang tidak begitu menyudutkan Holly. Namun, dua di antaranya, yaitu judul yang diberikan oleh www.republika.co.id, dan www.tempo.co.id tetap saja memposisikan Holly sebagai objek. Judul yang diberikan www.kompas.com lebih tertuju pada Gatot sebagai tersangka. Pada teras berita, empat media online tersebut memulai kisahnya dengan gaya cerita masing-masing. Keempatnya memulai tulisan di teras dengan menyebutkan tentang tarungkapnya Gatot sebagai otak di balik pembunuhan Holly Angela Ayu di Apartemen “Kalibata City” Jakarta pada 30 September 2013. Teras berita www.republika.co.id langsung menunjuk bahwa Hollylah yang menjadi penyebab pembunuhan tersebut “...dugaan motif pembunuhan terhadap Holly Angela Ayu karena banyak menuntut ...”. Teras ini secara jelas menempatkan Gatot sebagai subjek dan Holly sebagai objek. Pada tubuh berita, teks juga menampilkan Gatot sebagai Subjek dan Holly sebagai objek. Hal ini terlihat melalui deskripsi tentang motif mengapa Gatot membunuh Holly yang intinya Holly banyak menuntut. Sampai di sini, tidak ada satu kata pun yang membicarakan sisi lain dari Holly. Sumber yang dikutip pun hanya bicara tentang motif pembunuhan, siapa dan bagaimana Gatot dan lima orang suruhannya yang membunuh Holly. Sumber lain di mana? Mereka, misalnya, kedua orang tua Holly, saudara, teman, tetangga di apartemen, atau siapa pun yang mengenal Holly. Pada akhir berita, teks pun masih menempatkan Gatot sebagai subjek meskipun tidak menampilkan Holly. Teks lebih banyak cerita tentang akibat perbuatan yang dilakukan oleh Gatot terhadap Holly. Dia dikenakan pasal 340 dan 338 jo 335 KUHP tentang pembunuhan berencana dan diancam hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. 3.2.4 Posisi Pembaca sebagai Laki-Laki Dalam teks berita, keseluruhan kalimat demi kalimat dalam penceritaan memosisikan laki-laki (Gatot) sebagai subjek dan perempuan (Holly) sebagai objek. Judul berita, teras berita, tubuh berita, dan akhir berita menceritakan Gatot secara dominan. Sementara Holly hanya diceritakan sebagai perempuan yang menyebabkan Gatot menjadi kacau pikirannya dan tertekan. Holly ditampilkan sebagai perempuan yang banyak menuntut. Dengan kuasanya PROSIDING 135 sebagai laki-laki, Gatot seakan merasa tidak bersalah melakukan pembunuhan terhadap Holly karena Holly adalah di bawah kuasa, kontrol, dan milik Gatot. Penceritaan dalam teks-teks tersebut tampak jelas memosisikan Gatot sebagai subjek. Pembaca digiring untuk mengikuti alur cerita yang memposisikan Gatot sebagai subjek. Gatot adalah seorang laki-laki sehingga pembaca diarahkan untuk membaca teks berita dengan perspektif laki-laki. Sebagai laki-kaki, pembaca tentunya akan satu perspektif dengan Gatot bahwa Holly adalah lemah dan marjinal. Holly adalah perempuan yang buruk. Holly adalah perempuan salah. 4. Simpulan dan Saran 4.1 Simpulan Secara keseluruhan, hasil analisis data dan pembahasan mengarah pada kesimpulan bahwa teks berita tentang pembunuhan Holly di empat media online (www.detik.com, www.kompas.com, www.republika.co.id, dan www.tempo.com) yang dimuat pada tanggal 17 Oktober 2013 menunjukkan bagaimana bahasa melalui komposisi kata dan kalimat, digunakan untuk memproduksi makna tentang perempuan dalam konsep representasi. Representasi yang tampak pada empat teks tersebut terkait dengan representasi perempuan lemah dan marjinal, perempuan buruk, serta perempuan salah. Tiga representasi tersebut mengandung muatan ideologi patriarkhi. Selain itu, teks juga menunjukkan posisi subjek dan objek terkait dengan aktor dalam penceritaan dan posisi pembaca dalam penceritaan. Representasi perempuan sebagai makhluk yang lemah dan marjinal terlihat pada penggambaran tentang Holly yang hanya bisa mendapat posisi sebagai istri siri dan istri kedua, serta tidak bisa mendapatkan statusnya sebagai istri sah. Dalam konsep patriarkhi, perempuan (Holly) dianggap tidak begitu penting keberadaannya. Sebaliknya, laki-laki (Gatot) digambarkan sebagai superordinat yang menjadikan perempuan sebagai subordinatnya. Gatot ditampilkan sebagai kelas atas dan Holly sebagai kelas kedua. Representasi perempuan buruk terlihat pada kalimat-kalimat yang menggambarkan bahwa Holly sebagai perempuan yang banyak menuntut kepada Gatot. Pikiran Gatot menjadi kacau dan tertekan dengan tuntutan-tuntutan Holly. Dalam konsep patriarkhi, sikap Gatot yang menjadi tertekan karena tuntutan Holly merepresentasikan bagaimana kekuasaan laki-laki terhadap perempuan melalui berbagai cara. Perempuan tidak boleh mempunyai kehendak bebas atau menuntut banyak permintaan kepada laki-laki. Representasi perempuan salah terlihat pada penggambaran tentang Holly yang merusak kebahagian pernikahannya dengan Gatot. Holly memiliki karakter asli yang tidak baik yang mengakibatkan pernikahannnya hanya 136 PROSIDING seumur jagung. Holly dianggap salah. Dalam konsep patriarkhi, laki-laki tidak bisa menerima kalau ada perempuan yang salah, termasuk memiliki karakter yang bisa mengakibatkan pikiran laki-laki menjadi kacau. Hal ini bisa mengganggu stabilitas eksistensi laki-laki yang mempunyai kuasa, hak mengontrol, dan hak memiliki. Dalam kaitannya dengan posisi subjek-objek, keempat teks cenderung menampilkan laki-laki (Gatot) sebagai subjek dan perempuan (Holly) sebagai objek. Hal ini terlihat pada judul berita, teras berita, tubuh berita, dan akhir berita. Dalam hal posisi pembaca, teks tampak jelas memosisikan Gatot sebagai subjek. Pembaca digiring untuk mengikuti alur cerita yang memosisikan Gatot sebagai subjek. Gatot adalah seorang laki-laki sehingga pembaca diarahkan untuk membaca teks berita tersebut dengan perspektif laki-laki. 4.2 Saran Dalam menulis berita, wartawan membawa muatan kekuasaan tertentu. Untuk itu, ada dua saran penting yang perlu diperhatikan. Pertama, wartawan sebaiknya hati-hati dalam mengonstruksi makna agar teks berita bisa memberikan pencerahan bagi khalayak. Kedua, khalayak sebaiknya juga mempunyai pola pikir kritis untuk menangkap makna dalam teks berita agar bisa menyikapi pilihan makna yang disampaikan wartawan dengan benar. DAFTAR PUSTAKA Aziz, Asmaeny. 2007. Feminisme Profetik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Barus, Sedia Willing. 2010. Jurnalistik, Petunjuk Paraktis Menulis Berita. Jakarta: Erlangga. Bayram, Salih. 2013. “Partisanship In The Content And Readership Of British Newspapers: Post-War Trends”..Journal for Communication and Culture vol. 3, no. 1 (spring 2013): 72-87. http://jcc.icc.org.ro/wp-content/-uploads/ 2013/06/Salih_Bayram_72_87.pdf, diakses pada 4 September 2013 Burton, Graeme.2005.Media and Society, Critical Perspectives.England:Open University Press. Eriyanto. 2005. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. Hall , Stuart. 2000.Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage Publications. Hasfi, Nurul. 2011. Analisis Framing Pemberitaan Malinda Dee Di Detikcom, Tempo Dan Metro TV. http://eprints.undip.ac.id/33338/1 / Analisis_ Framing_ Pemberitaan_Malinda_Dee_di_Majalah_Tempo_Metro_TV_dan_Detikcom.pdf, diakses 10 September 2013. PROSIDING 137 Kasmani, Mohd Faizal.2013. “The BBC and Al Jazeera English: The Similarities and Differences in the Discourse of the Pre-Election Coverage of the 2009 Iranian Election”. International Journal of Communication 7 (2013) 17181739. http://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/2053/965 , diakses 4 September 2013 Purbani, Widyastuti.2009. Analisis Wacana Kritis dan Analisis Wacana Feminis. Makalah dibentangkan pada Seminar Metode Penelitian Berbasis Gender di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 30 Mei 2009. http:// staff.uny.ac.id/system/files/ pengabdian/dr-widyastuti-purbani-ma/ analisis-wacana-kritis.pdf, diakses pada 9 Oktober 2013. Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analaisi Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, Gender dan Inferioritas Perempuan, Praktik Kritik Sastra Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Thompson, John B., Kritik Ideologi Global, Teori Sosialis Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa, Penerjemaha: Haqqul Yaqqin, Yogyakarta: IRCiSoD, 2006. Wodak, Ruth, Michael Meyer.2008. Critical Discourse Analysis: History, Agenda, Theory, and Methodology. http://www.corwin.com/upm-data/ 24615_01_Wodak_Ch_01.pdf, diakses pada 26 September 2013. Sumber Internet: http://news.detik.com/read/2013/10/17/070421/2387664/10/1/mintaapartemen-hingga-ceraikan-istri-gatot-ini-motif-pembunuhan-holly, diakses pada 17 Oktober 2013. http://nasional.kompas.com/read/2013/10/17/0920374/ Jadi.Tersangka.Gatot.Diperiksa.Lagi.Hari.Ini, diakses pada 17 Oktober 2013. http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/10/ 17/murrt1-polisi-duga-gatot-bunuh-holly-karena-tertekan, doakses pada 17 Oktober 2013. http://www.tempo.co/read/news/2013/10/16/064522247/Gatot-DidugaMembunuh-Holly-karena-Alasan-Ini, diakses pada 17 Oktober 2013. 138 PROSIDING MEDAN LEKSIKAL NOMINA BERKONSEP “TEMPAT” YANG TERBUAT DARI TANAH LIAT DALAM BAHASA JAWA Nuryantini Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pos-el: nurysutopo@yahoo.com Inti Sari Makalah ini bertujuan mendeskripsikan medan leksikal seperangkat leksem nomina dalam bahasa Jawa yang berkonsep ’tempat’ yang terbuat dari tanah liat dalam bahasa Jawa. Sebagai objek kajian dalam penelitian ini adalah leksem nomina berkonsep ’tempat’ yang terbuat dari tanah liat dalam bahasa Jawa yang tergolong leksikon aktif. Sebagai landasan kerja digunakan teori yang bertalian dengan medan leksikal. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan langkah kerja pengumpulan data, pengolahan data, dan pemaparan hasil pengolahan data. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa leksem nomina berkonsep wadhah ’tempat ’ yang terbuat dari tanah liat yang ditemukan dalam penelitian ini sebanyak 20 leksem, yaitu asbak ‘asbak’, cèlèngan ’cèlèngan’, cemplon ’buyung kecil’, cowèk ’cobèk’, empluk, klemuk ‘guri’, genuk, kendhil, genthong ‘gentong’, jembangan, pot ’pot’, jun ’buyung besar’, klenthing ’buyung’, kuwali ’belanga’, padhasan, pengaron, kendhi ’kendi’, prathola, téko ’morong’, dan poci. Kata kunci: medan leksikal, leksem, wadah, tanah liat Abstrak This paper aims to describe lexical field of nomina lexeme in Javanese which has Javanese ‘place’ concept that is made of clay. As object of study in the research is nomina ‘place’ concept made of clay in Javanese categorized active lexicon. As working ground some theories related to lexical field are used. The research employs descriptive method with working step such as collecting data, analyzing data, and explaining the result of data analysis. The result of discussion shows that there are 20 lexemes of wadhah ’container’ concept made of clay, namely PROSIDING 139 asbak, cèlèngan, cemplon, cowèk, empluk, klemuk, genuk, kendhil, genthong, jembangan, pot, jun, klenthing, kuwali, padhasan, pengaron, kendhi, prathola, téko, and poci. Key words: lexical field, lexeme, container, clay 1. Pendahuluan Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah di nusantara yang memiliki penutur paling banyak dibandingkan bahasa-bahasa daerah lainya. Hal itu terbukti bahwa bahasa Jawa digunakan oleh masyarakat suku Jawa di Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, serta daerah-daerah lain di luar Jawa, seperti pulau Sumatra, bahkan di Suriname. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern, alat-alat rumah tangga juga semakin canggih. Hal tersebut berpengaruh pada penggunaan kosakata bahasa Jawa. Banyak kosakata bahasa Jawa yang menjadi agak asing di lingkungan masyarakat Jawa sendiri. Keterasingan itu terlihat dengan makin banyaknya penutur bahasa Jawa, terutama generasi muda dan anakanak yang sudah tidak mengenal lagi kata padhasan, genuk, kendhi, dan sebagainya. Hal itu terjadi karena adanya kecanggihan teknologi. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka pada kesempatan ini dilakukan kajian medan leksikal nomina berkonsep “tempat’ yang terbuat dari tanah liat dalam bahasa Jawa. Kajian ini merupakan salah satu upaya untuk melestarikan kosakata bahasa Jawa dan untuk melengkapi kajian-kajian medan makna sebelumnya yang telah dirintis oleh Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 1990-an. Dalam penelitian Medan Leksikal Nomina Berkonsep ‘Tempat’ yang Terbuat dari Tanah Liat dalam Bahasa Jawa ini terdapat beberapa permasalahan sebagai berikut. (1) Seperangkat leksem nomina dalam bahasa Jawa berkonsep ’tempat’ yang terbuat dari tanah liat. (2) Komponen makna generik dan spesifik dari masing-masing kata tersebut. (3) Komponen makna yang dikandung oleh seperangkat leksem tersebut. (4) Bagan hiponimi dari leksem nomina berkonsep tempat yang terbuat dari tanah liat dalam bahasa Jawa. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan deskripsi yang jelas tentang leksem-leksem yang mengandung makna ’tempat’ yang terbuat dari tanah liat dalam bahasa Jawa. Dari deskripsi tersebut, kita dapat dengan mudah membedakan antara leksem yang satu dengan leksem yang lain yang mempunyai fungsi dan kemiripan makna. 140 PROSIDING Selain itu, secara tidak langsung deskripsi semantik leksikal ini dapat memberikan sumbangan dalam penyusunan tesaurus baik bahasa Indonesia maupun Jawa pada masa mendatang. Dan juga, deskripsi ini dapat digunakan untuk membantu penerjemahan dan pengajaran bahasa. 2. Teori dan Metode Tercermin dari uraian-uraian di depan bahwa penelitian ini termasuk bidang semantik. Sebagai landasan kerja digunakan teori yang bertalian dengan medan leksikal. Dalam teori medan leksikal, menganggap bahwa keseluruhan leksikal dalam suatu bahasa sebenarnya tersusun dalam struktur seperti halnya fonem, morfem, maupun kalimat (Trier dalam Wedhawati, 1993; Lehrer, 1974:15—41; Lyons, 1977:250—261; dan Basiroh, 1992:14—15). Struktur tersebut tercipta karena setiap leksikal, pada dasarnya selalu berhubungan dengan leksikal yang lain, baik secara erat atau longgar (Lyons, 1977:252). Dilihat dari sifat hubungannya, hubungan tersebut dapat bersifat “persesuaian” atau “pertentangan”. Masing-masing hubungan itu dapat dirinci lagi menjadi beberapa jenis tergantung pada sifat keeratan atau kelonggaran hubungannya (Basiroh, 1992:26—28; Nida, 1975:11—31). Dalam penelitian ini sifat hubungan yang akan diteliti adalah hubungan yang hiponimik (peliputan), yaitu salah satu jenis hubungan persesuaian. Sebagai langkah dasar dalam menentukan tingkat peliputan digunakan metode analisis komponen leksikal seperti dijelaskan dalam Componential Analysis of Meaning (Nida, 1975) dengan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, menyeleksi data untuk menentukan kelompok makna saling berkolokasi yang diperkirakan membentuk satu medan makna tertentu. Misalnya, menyatukan sejumlah leksem yang menyatakan makna tempat yang terbuat dari tanah liat, seperti genthong, klenthing, kendhi, teko, dan seterusnya ke dalam satu medan tertentu. Kedua, menentukan makna generik dan makna spesifik dari masing-masing leksem tersebut. Bertolak dari identifikasi atas komponen makna masing-masing leksem, selanjutnya ditentukan leksem superordinat medan dari makna itu. Terlepas dari ada atau tidaknya superordinat atau subordinat, pembicaraan tentang medan makna berkaitan dengan analisis makna (Lyons 1981: 25). Bertolak dari pendapat tersebut, makalah ini akan menganalisis leksem-leksem nomina berkonsep tempat yang terbuat dari tanah liat dalam bahasa Jawa. Di dalam melakukan analisis komponen makna digunakan beberapa penanda. Penanda tersebut digunakan untuk menandai sifat suatu komponen makna atas suatu leksem, baik untuk komponen yang sifatnya “relevan” mau- PROSIDING 141 pun “takrelevan”. Yang dimaksud komponen relevan ialah komponen yang mempengaruhi pendefinisian makna suatu leksem. Komponen relevan ini terbagi ke dalam komponen yang bersifat “keterwajiban” dan “keteringkaran”. Komponen keterwajiban ialah komponen yang wajib dimiliki oleh suatu leksem. Komponen ini ditandai dengan tanda + (plus). Komponen keteringkaran ialah komponen yang tidak dimiliki oleh leksem tertentu. Komponen ini ditandai dengan tanda – (minus). Selanjutnya, yang dimaksud dengan komponan takrelevan ialah komponen yang tidak merupakan bagian dari suatu leksem (Basiroh, 1992:22). Dengan kata lain, kelompok ini tidak mempengaruhi pendefinisian makna suatu leksem. Komponen takrelevan juga terbagi dua, yaitu yang bersifat “opsional” dan “irasional”. Komponen opsional merupakan komponen yang mungkin terdapat pada suatu leksem, tetapi mungkin juga tidak. Komponen opsional ini ditandai dengan tanda 0 (nol). Komponen takrelevan yang irasional ialah komponen yang tidak mungkin terdapat pada suatu leksem di samping memang tidak berhubungan dengan makna leksem itu. Komponen irasional ditandai dengan tanda * (bintang). Komponen irasional dibedakan dari komponen keteringkaran karena sifat perannya yang tidak mempengaruhi defenisi makna suatu leksem. Di samping teori analisis komponen, digunakan juga teori kontekstual dari Lutzeier (1983). Teori kontekstual dimanfaatkan untuk membatasi pelibatan peran intuisi dan aspek nonlingual dalam analisis komponen atas suatu leksem (band. Basiroh, 1992:24—25). Penerapan teori kontekstual ini diutamakan pada langkah pencarian data dan pengelompokan data. Selain kedua teori itu, dimanfaatkan pula pandangan Leech (1981;18) yang mengatakan bahwa penentuan makna berdasar ilmu pengetahuan adalah tidak tepat. Bahasa sebagai cerminan realita merupakan fenomena yang tidak dapat lepas dari sifat perilakunya yang khas. Oleh karena itu, penelitian bahasa sebaiknya merupakan penelitian yang bersifat lingual otonomik (Wedhawati, 1993:6). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sehubungan dengan hal itu, sebagai langkah kerja dilakukan pengumpulan data, pengolahan data, dan pemaparan hasil pengolahan data. Di dalam pengumpulan data digunakan metode simak-teknik catat dengan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, mendengarkan dan memperhatikan berbagai bentuk penggunaan bahasa Jawa. Tercakup ke dalam pengertian itu adalah pencarian data dari kamus. Sesudah diperoleh, data lalu dicatat ke dalam kartu data (band. Sudaryanto, 1986:15—20). Data-data yang sudah dicatat ke dalam kartu data lalu dikelompok-kelompokkan berdasar semantik leksikalnya. Data penelitian ini adalah leksem nomina dalam bahasa Jawa berkonsep ’tempat’ yang terbuat dari tanah liat yang tergolong leksikon aktif (Kridalak- 142 PROSIDING sana, 1982:98). Data yang dipergunakan dalam tulisan ini diambil dari berbagai sumber, baik sumber tertulis maupun sumber lisan. Kamus-kamus yang digunakan adalah Baoesastra Djawa (Poerwadarminta, 1939), Bausastra Jawi-Indonesia (jilid I dan II) yang disusun Prawiroatmojo (1981), dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional,2003). 3. Pembahasan Leksem nomina berkonsep wadhah ’tempat ’ yang terbuat dari tanah liat yang ditemukan dalam penelitian ini sebanyak 20 leksem, yaitu asbak ‘asbak’, cèlèngan ’cèlèngan’, cemplon ’buyung kecil’, cowèk ’cobèk’, empluk, klemuk ‘guri’, genuk, kendhil, genthong ‘gentong’, jembangan, pot ’pot’, jun ’buyung besar’, klenthing ’buyung’, kuwali ’belanga’, padhasan, pengaron, kendhi ’kendi’, prathola, téko ’morong’, dan poci. Komponen makna pembeda dari masing-masing leksem di atas bisa diamati dari dimensi wujud dan fungsinya. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini disajikan diagram atau matriks tentang leksem berkonsep tempat yang terbuat dari tanah liat dalam bahasa Jawa sebagai berikut. PROSIDING 143 MATRIKS DIMENSI B A H A N BENTUK FUNGSI LEKSEM TANAH LIAT CEMB. PERUT MULUT BESAR MULUT KECIL BERCERAT BERLEHER SPT. PIRING ANEKA MACAM TEMPAT AIR T. BERAS T. TANAMAN T. AIR MINUM T. MENYAYUR, MEREBUS, DSB T. MEMBAWA AIR T. MAKANAN TEMPAT ABU T. MENYIMPAN UANG T. MENGGILING CABE, DLL T. MINYAK DSB. T. PLASENTA KOMP. MAKNA Asbak + - - - - - - + - - - - - - - + - - - - Cèlèngan + 0 - - - - - + - - - - - - - - + - - - Cemplon + + - + - - - - - + - - - - - - - - - - Cowèk + - - - - - + - - - - - - - + - - 0 - - Empluk + + + - - - - - - - - - - - + - - - - - Klemuk + + + - - - - - - - - - - - - - - - + - Genuk + + - + - - - - - + - - - - - - - - - - Kendhil + + + - - - - - - - - - + - - - - - - + Genthong + + - + - - - - + - - - - - - - - - - - Jembangan + + + - - - - + + - + - - - - - - - - - Pot + + 0 0 - - - + - - + - - - - - - - - - Jun + + - + - + - - + - - - - - - - - - - - Klenthing + + - + - + - - 0 - - - - + - - - - - - Kuwali + + + - - - - - - - - - + - - - - - - - Padhasan + + - + + - - - + - - - - - - - - - - - Pengaron + + + - - - - - + - - - - - - - - - - - Kendhi + + - + + + - - - - - + - - - - - - - - Prathola + + - + + + - - 0 - - + - - - - - - - - Téko + + - - + - - - 0 - - + - - - - - - - - Poci + + - - + - - - 0 - - + - - - - - - - - Keterangan: (+) = komponen wajib (-) = komponen ingkar (0) = komponen opsional 144 PROSIDING Adapun analisis komponen makna dari masing – masing leksem tersebut diuraikan di bawah ini. 3.1 Leksem Asbak ‘Asbak’ Leksem asbak ‘asbak’ oleh Poerwadarminta belum dimasukkan sebagai entri, namun oleh Tim penyusun Balai Bahasa Yogyakarta diberi makna wadhah awu rokok ‘tempat abu rokok’ (2011:29). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia leksem ’asbak’ juga didefinisikan ’tempat abu rokok’ (2003:70). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem asbak ‘asbak’ dapat didefinisikan sebagai arane wadhah awu udud kang digawe saka lemah (gerabah), utawa semen, batu, lan kayu awangun maneka warna ’tempat abu rokok yang terbuat dari tanah liat (gerabah), dan bisa juga semen, batu, atau kayu, berbentuk aneka macam (segi empat, segi tiga, dan sebagainya). 3.2 Leksem Cèlèngan ’Cèlèngan’ Leksem cèlèngan ’cèlèngan’ oleh Poerwadarminta diberi makna wadhah dhuwit dianggo nyèlèngi (1939:629) ’tempat uang untuk menabung’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia leksem ’cèlèngan’ didefinisikan ’tabung (terbuat dari tanah, plastik, dan sebagainya, biasanya berbentuk binatang, seperti babi hutan dan sebagainya) untuk menyimpan uang’ (2003:202). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem cèlèngan dapat didefinisikan sebagai arane wadhah dhuwit kang digawe saka lemah (gerabah) lan bisa uga plastik awangun mblendhuk dianggo nyelengi (saiki maneka warna) ’tempat menyimpan uang yang terbuat dari tanah liat (gerabah), dan bisa juga plastik yang berbentuk bulat cembung (sekarang beraneka macam)’. 3.3 Leksem Cemplon ’Buyung Kecil’ Leksem cemplon ’buyung kecil’ oleh Poerwadarminta diberi makna bangsane genuk cilik ’sebangsa buyung kecil’ (1939:633). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem cemplon ’buyung kecil’ dapat didefinisikan sebagai arane wadhah beras kang digawe saka lemah awujud mblendhuk’tempat beras yang terbuat dari tanah liat (gerabah) berbentuk seperti perut (genuk)’. 3.4 Leksem Cowèk ’Cobèk’ Leksem cowèk ’cobèk’ oleh Poerwadarminta diberi makna piring cilik ’piring kecil’ (1939:647). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia leksem ’cobèk’ didefinisikan ‘piring dari batu atau tanah untuk menggiling cabai dan sebagainya’ (2003:217). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem PROSIDING 145 cowèk ’cobèk’ dapat didefinisikan sebagai arane wadhah panganan lan bisa uga kanggo nguleg lombok (nggawe sambel) kang digawe saka lemah (gerabah), watu, utawa kayu awangun kaya piring ’tempat makanan dan bisa juga untuk menggiling cabe (membuat sambal) berbentuk seperti piring yang terbuat dari tanah liat (gerabah), batu, dan atau kayu’. 3.5 Leksem Empluk Leksem empluk oleh Poerwadarminta diberi makna wadhah sing digawe saka lemah kaya kendhil cilik ’tempat yang dibuat dari tanah liat seperti periuk kecil’ (1939:121). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem empluk dapat didefinisikan sebagai arane wadhah panganan kang digawe saka lemah (gerabah), awangun mbledhuk cilik ’nama tempat makanan yang terbuat dari tanah liat (gerabah) berbentuk cembung perut (kecil). 3.6 Leksem Klemuk ‘Guri’ Leksem klemuk ‘guri’ oleh Poerwadarminta diberi makna bangsane empluk gedhe dianggo wadhah lenga lan sapanunggalane (1939:228). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia leksem ‘guri’ didefinisikan sebagai buyung; tempayan kecil (2003:377). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem genthong ‘gentong’ dapat didefinisikan sebagai arane wadhah lenga kang digawe saka lemah (gerabah), awangun mbledhuk cilik ’nama tempat minyak dan sebagainya yang terbuat dari tanah liat (gerabah) berbentuk cembung perut (besar). 3.7 Leksem Genuk Leksem genuk oleh Poerwadarminta diberi makna genthong cilik tanpa lambe kanggo wadhah beras lan sapanunggalane ’gentong kecil tanpa bibir untuk tempat beras dan sebagainya’ (1939:144). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem genuk dapat didefinisikan sebagai arane wadhah beras lan sapanunggalane kang digawe saka lemah (gerabah), awangun mlendhuk kaya gentong tanpa lambe ’tempat menyimpan beras yang terbuat dari tanah (gerabah), berbentuk cembung perut (seperti gentong) tanpa bibir. 3.8 Leksem Kendhil Leksem kendhil ‘kendil’ oleh Poerwadarminta diberi makna piranti kanggo ngliwet kang digawe lemah utawa tembaga (1939:208). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia leksem ‘kendil’ didefinisikan sebagai periuk (2003:543). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem genthong ‘gentong’ dapat didefinisikan sebagai arane wadhah dianggo kelan, nggegodhog, lan uga kanggo wadhah ari- 146 PROSIDING ari kang digawe saka lemah (gerabah), awangun mblendhuk, lambe gedhe ’tempat menyayur, merebus, dan juga tempat plasenta yang terbuat dari tanah liat (gerabah), berbentuk cembung perut dan bermulut besar’. 3.9 Leksem Genthong Leksem genthong ‘gentong’ oleh Poerwadarminta diberi makna wadhah banyu gedhé saèmper genuk ’tempat air, besar seperti genuk’ (1939:144). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia leksem ‘gentong’ didefinisikan ’tempat air yang berbentuk seperti tempayan besar biasanya terbuat dari tanah liat’ (2003:355). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem genthong ‘gentong’ dapat didefinisikan sebagai arane wadhah banyu kang digawe saka lemah (gerabah) utawa plastik awangun mlendhuk, cangkeme cilik ’tempat air berbentuk cembung perut bermulut kecil yang dibuat dari tanah liat (gerabah) dan atau plastik berbentuk cembung perut bermulut kecil’. 3.10 Leksem Jembangan Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, leksem jembangan mengandung dua makna, yaitu: 1. jembangan ‘pasu’ bermakna tempat air yang dibuat dari tanah liat berbentuk seperti gentong berbibir lebar. Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem jembangan yang pertama ini dapat didefinisikan sebagai arane wadhah banyu kang digawe saka lemah (gerabah), awangun mblendhuk, cangkeme gedhé ’tempat air yang dibuat dari tanah liat (gerabah) berbentuk cembung perut bermulut besar’. 2. jembangan ‘pas bunga’ bermakna tempat tanaman berbentuk aneka macam yang dibuat dari tanah liat. Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem jembangan yang kedua ini dapat didefinisikan sebagai arane wadhah tanduran kang digawe saka lemah (gerabah), awangun maneka warna ’tempat tanaman yang bentuknya bermacam-macam dan dibuat dari tanah liat (gerabah)’. 3.11 Leksem Pot Leksem pot ’pot’ oleh Poerwadarminta diberi makna jembangan wadhah tanduran ’jembangan tempat tanaman’ (1939:508). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia leksem ’pot’ didefinisikan ’tempat yang terbuat dari tanah, semen, plastik, dan sebagainya untuk menanam pohon (bunga), biasanya untuk menghias halaman rumah’ (2003:890). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, PROSIDING 147 wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem pot ’pot’ dapat didefinisikan sebagai arane wadhah tanduran kang digawe saka lemah (gerabah), awangun maneka warna ’tempat tanaman yang dibuat dari tanah liat (gerabah), semen, dan atau plastik yang berbentuk aneka macam, cembung perut bermulut besar ataupun bermulut kecil’. 3.12 Leksem Jun Leksem jun ’buyung besar’ oleh Poerwadarminta diberi makna klenthing gedhé ’buyung besar’ (1939:96). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia leksem ’buyung’ didefinisikan ’tempat untuk membawa air yang besar perutnya, dibuat dari tanah’ (2003:182). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem jun ’buyung besar’ dapat didefinisikan sebagai arane wadhah banyu kang digawe saka lemah (gerabah),awangun mblendhuk, nduweni cangkem cilik lan gulu ’tempat air yang terbuat dari tanah liat (gerabah) berbentuk cembung perut, bermulut kecil, dan berleher’ . 3.13 Leksem Klenthing ’Buyung’ Leksem klenthing ’buyung’ oleh Poerwadarminta diberi makna saemper jun cilik ’semacam buyung kecil’ (1939:229). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia leksem ’buyung’ didefinisikan ’tempat untuk membawa air yang besar perutnya, dibuat dari tanah’ (2003:182). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem klenthing ’buyung’ dapat didefinisikan sebagai arane wadhah banyu utawa wadhah kanggo nggawa banyu kang digawe saka lemah (gerabah), awangun mblendhuk, nganggo cangkem cilik lan gulu ’tempat membawa air (dan atau tempat air) yang terbuat dari tanah liat (gerabah) yang berbentuk cembung perut, bermulut kecil, dan berleher’. 3.14 Leksem Kuwali ’Belanga’ Leksem kuwali ’belanga’ oleh Poerwadarminta diberi makna araning wadhah dianggo nggegodhog, kelan, lan sapanunggalane ’nama tempat yang dipakai untuk merebus, membuat sayur, dan sebagainya’ (1939:240). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia leksem kuwali ’belanga’ didefinisikan ’kuali besar dari tanah untuk menyayur, merebus sayur-sayuran, dan sebagainya (2003:125). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem kuwali ’belanga’ dapat didefinisikan sebagai arane wadhah dianggo kelan, nggegodhog, lan sapanunggalane kang digawe saka lemah (gerabah), awangun mblendhuk, lambe gedhe ’tempat menyayur, merebus, dan sebagainya yang terbuat dari tanah liat (gerabah), berbentuk cembung perut dan bermulut besar’. 148 PROSIDING 3.15 Leksem Padhasan Leksem padhasan oleh Poerwadarminta diberi makna genthong mawa pancuran dianggo wudlu ’gentong dengan pancuran untuk wudlu’ (1939:455). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna, seperti terlihat dalam matriks, maka leksem padhasan dapat didefinisikan sebagai arane wadhah banyu (kanggo wudhu) kang digawe saka lemah (gerabah), awangun mblendhuk kaya genthong nganggo pancuran lan cangkem cilik ’tempat air untuk berwudu yang dibuat dari tanah liat (gerabah) berbentuk cembung perut (seperti gentong), bermulut kecil, bercerat’. 3.16 Leksem Pengaron Leksem pengaron oleh Poerwadarminta diberi makna saèmper jembangan cilik ’sebangsa jembangan kecil’ (1939:485). Dalam kehidupan masyarakat Jawa, pengaron adalah tempat air yang terbuat dari tanah liat berbentuk seperti jembangan. Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem pengaron dapat didefinisikan arane wadhah banyu kang digawe saka lemah (gerabah), awangun mblendhuk, cangkem gedhe (luwih cilik katimbang jembangan) ’tempat air yang dibuat dari tanah liat (gerabah) berbentuk cembung perut bermulut besar (seperti jembangan, tetapi lebih kecil)’. 3.17 Leksem Kendhi Leksem kendhi ’kendi’ oleh Poerwadarminta diberi makna wadhah banyu kang digawe lemah (grabah) nganggo cucuk sarta gulu ’tempat air yang dibuat dari tanah liat (gerabah) dengan cerat serta leher’ (1939:208). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia leksem kendi didefinisikan ’tempat air bercerat (dibuat dari tanah)’(2003:543). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem kendhi ’kendi’ dapat didefinisikan sebagai arane wadhah banyu (kanggo ngombe) kang digawe saka lemah (gerabah), awangun mblendhuk nganggo cucuk lan gulu ’tempat air minum yang terbuat dari tanah liat (gerabah) dan atau plastik yang berbentuk cembung perut, bercerat , dan berleher’. 3.18 Leksem Prathola Leksem prathola oleh Poerwadarminta diberi makna kendhi mawa rerenggan ’kendi dengan hiasan’ (1939:512). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna seperti terlihat dalam matriks, maka leksem prathola dapat didefinisikan sebagai arane wadhah banyu kanggo ngombe kang digawe saka lemah (gerabah), awangun mblendhuk nganggo cucuk, gulu, PROSIDING 149 lan mawa rerenggan ’tempat air minum yang dibuat dari tanah liat (gerabah) yang berbentuk cembung perut, bercerat , berleher dan memiliki hiasan (semacam ukiran)’. 3.19 Leksem Téko ’Morong’ Leksem téko ’morong’ oleh Poerwadarminta diberi makna porong sing digawe lempung dianggo ngadoni wedang teh ’morong yang dibuat dari tanah liat (gerabah) digunakan untuk membuat teh’ (1939:596). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia leksem ’téko’ didefinisikan sebagai ’cerek tempat air teh’ (2003:1159). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna, seperti terlihat dalam matriks, maka leksem téko ’morong’ dapat didefinisikan sebagai arane wadhah banyu kanggo ngombe kang digawe saka lemah (gerabah), awangun mblendhuk nganggo cucuk ’tempat air minum (teh) yang dibuat dari tanah liat (gerabah) yang berbentuk cembung perut, dan bercerat’. 3.20 Leksem Poci Leksem poci oleh Poerwadarminta diberi makna bangsane nyo (1939:508). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia leksem ‘poci’ didefinisikan sebagai tempat air minum bercerat dibuat dari tembikar untuk menyeduh kopi, teh, dan sebagainya (2003:883). Berdasarkan pengamatan dari dimensi bahan, wujud, dan fungsi serta komponen makna, seperti terlihat dalam matriks, maka leksem ‘poci’ dapat didefinisikan sebagai arane wadhah banyu kanggo ngombe kang digawe saka lemah (gerabah), awangun mblendhuk nganggo cucuk ’tempat air minum (teh) yang dibuat dari tanah liat (gerabah) yang berbentuk cembung perut, dan bercerat’. 4. Simpulan Leksem nomina berkonsep wadhah ’tempat ’ terbuat dari tanah liat yang ditemukan dalam penelitian ini sebanyak 20 leksem, yaitu asbak ‘asbak’, cèlèngan ’cèlèngan’, cemplon ’buyung kecil’, cowèk ’cobèk’, empluk, klemuk ‘guri’, genuk, kendhil, genthong ‘gentong’, jembangan, pot ’pot’, jun ’buyung besar’, klenthing ’buyung’, kuwali ’belanga’, padhasan, pengaron, kendhi ’kendi’, prathola, téko ’morong’, dan poci. Dalam makalah ini telah diuraikan sejumlah leksem nomina dalam bahasa Jawa berkonsep wadhah ‘tempat’ yang terbuat dari tanah liat. Uraian tersebut meliputi inventarisasi, analisis komponen makna, dan definisi makna setiap leksem berdasarkan komponen maknanya, serta diagram matriksnya. 150 PROSIDING Daftar Pustaka Basiroh, Umi. 1992. “Telaah Baru dalam Tata Hubungan Leksikal Kehiponiman dan Kemeroniman” (Tesis). Jakarta: Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia. Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Leech, Geoffery. 1974. Semantic: The Study of Meaning. Second Edition Revised and Update 1981. England: Panguin Book Ltd. Lehrer, A. 1974. Semantic Field and Lexical Structure. Amsterdam: NorthHolland Publishing Company. Lutzeier, Peter Rolf. 1983. “The Relevance of Semantic Relations Between Words for the Nation of Lexical Field. Dalam Theoretical Linguistics. Vol. 10. N0. 2/3. Lyons, John. 1969. Introduction to Theoritical Linguistics. Great Britain: Cambridge University Press. -----. 1977. Semantics. Volume I and Land II. Cambridge University Press. Nida, Eugene. 1975. Componential Analysis of Meaning: Introduction to Semantics Structure. The Hague Mouton. Penyusun Tim Balai Bahasa Yogyakarta, 2011. Kamus Basa Jawa Bausastra Jawa) Edisi Kedua. Yogyakarta: Kanisius. Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters. Prawiroatmodjo, S. 1981. Bausastra Jawa—Indonesia. Jilid I—II. Jakarta: CV Haji Masagung. Sudaryanto. 1986. Metode Linguistik Bagian Pertama Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wedhawati, 1993. “Trier dan Teori Medan Makna” dalam Widyaparwa Nomor 41, Oktober. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. PROSIDING 151 152 PROSIDING MAKIAN DALAM BERITA GOSIP OMG Riani Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Pos-el: tehriani@gmail.com Inti Sari Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana bentuk, referensi, fungsi, dan karakteristik makian dalam wacana berita selebritis Oh My God pada situs yahoonews.com. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk menjelaskan bentuk, referensi, dan fungsi makian. Data penelitian diperoleh dengan cara melakukan observasi dan pencatatan dari beberapa komentar yang terdapat pada beberapa pemberitaan wacana selebritis selama bulan Juni 2011. Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) berdasarkan bentuknya makian dalam OMG berbentuk kata dasar, kata kompleks, frase, dan klausa; (2) berdasarkan referensinya makian dalam OMG meliputi bentuk makian yang mengacu pada keadaan, binatang, makhluk menakutkan, benda, bagian tubuh, kekerabatan, aktivitas, profesi, seruan, etnis dan suku bangsa, dan penyakit; (3) berdasarkan fungsinya makian dalam OMG terdiri dari makian untuk mengungkapkan kemarahan, kekesalan, kekecewaan, keheranan, penghinaan atau merendahkan orang lain, rasa humor, dan peringatan; (4) berdasarkan karakteristiknya makian dalam OMG makian dalam OMG berbeda dengan makian yang dituturkan secara lisan karena media internet yang digunakan berpengaruh pada konteks, peserta, bentuk ekspresi, dan gaya dalam pengungkapan makian. Kata kunci: bentuk makian, referensi makian, fungsi makian, dan karakteristik makian Abstract The research is aimed at describing how the form, the reference, the function, and the characteristic of swearword in the celebrity news discourse Oh My God on yahoonews.com.The research uses qualitative descriptive method to explain swearword form, reference, and function. Research data is gained by PROSIDING 153 observing and recording some comments existed on the celebrity news during June 2011. The result shows: (1) based on its form the swearword on OMG gossip discourse consist of basic word, complex word, phrase, and clause; (2) based on its reference the swearword on OMG gossip discourse comprises of swearword that refers to situation, animal, scary creature, thing, part of body, kinship, profession, activity, profession, exclamation, ethnic, and tribe, and disease; (3) based on its function swearword in OMG discourse is to express anger, annoyance, disappointment, astonishment, humiliation or degradation, honor, and warning (4) based on its characteristic, the swearword in OMG is different from the swearword stated orally because the media used influences the context, the participant, the form of expression, and the style in expressing the swearword. Key words: swearword form, swearword reference, swearword function, and swearword characteristic 1. Pendahuluan Penggunaan makian merupakan fenomena kebahasaan yang sudah biasa dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kapan dan apa penyebab munculnya makian? Menurut Montagu (1973:81) dalam Indrawati (2005:29), makian terbentuk ketika seseorang dalam situasi dan kondisi yang mendorong seseorang untuk bereaksi akibat ada faktor pemicu dari luar dirinya sehingga terjadilah perubahan emosi. Kadang-kadang emosi yang dirasakan oleh seorang penutur diungkapkan secara verbal dengan cara berlebihan sehingga ungkapan verbal yang dilontarkan secara spontan (swearing). Makian umumnya dianggap sebagai penggunaan bahasa yang tidak baik serta dianggap sebagai fitur linguistik yang tidak penting dan merusak bahasa (McEnery, 2006:1). Namun, Leigh dan Lepine (2005:8) menyatakan bahwa makian telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, “It is a fair guess that swearing has been around as long as human speech” (sebuah dugaan yang tepat bila dikatakan bahwa makian telah seumur dengan bahasa manusia). Selain diungkapkan secara lisan, makian juga diekspresikan secara tertulis, misalnya pada kolom komentar wacana gosip Oh My God (OMG). OMG merupakan situs gosip bagian dari situs yahoo. Berita dalam situs ini sekitar gosip yang beredar di kalangan selebriti. Selain menyajikan berita, situs ini menyediakan kolom khusus kepada pembaca untuk mengomentari isi berita. Komentar pembaca dalam situs ini merupakan hal yang menarik untuk diteliti karena pembaca diberi kebebasan untuk mengekspresikan pendapatnya terhadap selebriti yang mereka tidak sukai. Luapan emosi yang diungkapkan komentator terhadap muatan berita atau tokoh selebritis ada kalanya diwakili oleh penggunaan makian yang cukup banyak. 154 PROSIDING 1. 2. 3. 4. Beberapa permasalahan tentang penggunaan makian sebagai berikut Bagaimanakah bentuk-bentuk makian dalam berita gossip Oh My God (OMG)? Bagaimanakah referensi makian dalam berita gossip Oh My God (OMG)? Bagaimanakah fungsi makian dalam berita gossip Oh My God (OMG)? Bagaimanakah karakteristik pemakaian ekspresi makian pada berita gossip Oh My God (OMG)? Sesuai dengan rumusan permasalahan tersebut, penelitian ini memiliki empat tujuan, yaitu mendeskripsikan bentuk, referensi, fungsi, dan karakteristik pemakaian ekspresi makian pada berita gosip Oh My God (OMG). Penelitian ini merupakan tahap awal yang hanya mengungkapkan makian dari aspek kebahasaan. Namun, penelitian ini perlu dilakukan karena ada beberapa manfaat penelitian. Pertama, beberapa penelitian makian yang telah dilakukan meliputi Kisyani (1985), Indrawati (2006), Wijana (2006), dan Saptomo (2001) meneliti makian baik secara tertulis maupun lisan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa. Namun, penelitian tersebut belum menelaah penggunaan makian pada komentar pembaca. Kedua, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengeksplorasi kekayaan bahasa Indonesia sebagai daya pengungkap ekspresi makian, khususnya pada wacana tulis dalam media sosial media. Ketiga, implikasi hasil penelitian diharapkan dapat menjadi rujukan dalam kebijakan publik berkaitan dengan kebebasan ruang publik untuk mengungkapkan pendapat atau tempat berekspresi. 2. Teori dan Metode Penelitian 2.1 Teori 2.1.1Wacana Gosip OMG Oh My God ‘OMG’ merupakan situs berita gosip bagian dari provider (penyedia informasi) yahoonews.com dengan alamat http://id.omg.yahoo.com/. Berita dalam situs ini sekitar gosip yang beredar di kalangan selebriti. Selain menyajikan berita disediakan pula kolom khusus kepada pembaca untuk mengomentari isi berita. Pada penelitian ini penulis mengambil lima berita gosip OMG. Pemilihan berita ini berdasarkan alasan bahwa artis atau public figure yang diberitakan mendapat cukup banyak komentar makian dari pembacanya. Berikut ringkasan dari kelima berita. 1. Hugh Hefner Batal Menikah! Hugh Hefner sebagai bos majalah Playboy dan berusia tua hendak menikahi gadis Crystal yang beda usianya sekitar 60 tahun. Pernikahan yang sudah direncanakan ternyata gagal karena calon istrinya meninggalkannya setelah bertengkar hebat. Berita ini banyak dikomentari karena perbedaan PROSIDING 155 usia yang mencolok dan banyak orang mengetahui bahwa majalah Playboy berisi pornografi. 2. Ahmad Dhani Bangga Diisukan Mempunyai Anak dari Mulan Ahmad Dhani merupakan penyanyi terkenal yang sudah bercerai dari istrinya Maia. Perceraian mereka diisukan akibat perselingkuhan Ahmad Dhani dengan Mulan. Selang beberapa kemudian Mulan ternyata hamil dan telah melahirkan. Namun, ia tidak mau berterus terang siapa ayah biologis anaknya. Berita ini mendapat komentar dari para penggemarnya yang tidak menyetujui perilaku mereka. 3. Hamil di luar Nikah, Krisdayanti Minta Dimaklumi Krisdayanti adalah seorang artis terkenal yang mempunyai suami Anang Hermansyah. Kemudian mereka bercerai karena perselingkuhan Krisdayanti dengan suami orang lain, yaitu Raul Lemos. Akhirnya, Krisdayanti menikah dengan Raul Lemos dan tidak lama kemudian hamil dengan usia kandungan melebihi usia pernikahan mereka. Hal ini mengakibatkan banyak dari penggemarnya yang menghujat perilaku mereka yang kemudian mereka ungkapkan dalam komentar dari pemberitaan ini. 4. Syahrini Terbiasa dengan Ledekan Olga dan Raffi Syahrini merupakan penyanyi yang terkenal terutama setelah berduet dengan Anang (mantan suami Krisdayanti). Kemudian pasangan duet ini akhirnya berpisah setelah Anang memutuskan untuk berpasangan dengan Ashanti. Selain banyak yang bersimpati kepada Syahrini karena ditinggalkan pasangan duetnya, rupanya banyak pula yang tidak menyukai perilaku Syahrini yang terlalu mengumbar pemberitaan mengenai perpisahan dirinya dengan Anang sehingga banyak makian yang dilontarkan dalam pemberitaan ini. 5. Dewi Persik Selesai Operasi Keperawanan Dewi Persik adalah penyanyi dangdut terkenal. Perilakunya banyak tidak disukai orang karena dahulu ia pernah bertengkar hebat dengan artis lain Julia Peres dan banyak lagi sikap-sikapnya yang penuh sensasi. Pemberitaan mengenai operasi keperawanan ini mendapat banyak komentar negatif dari para pembaca yang tidak menyukai tindakannya. 2.1.2 Definisi dan Karakteristik Makian Montagu dalam Indrawati (2006:23-25) menjelaskan bahwa swearing (sumpah serapah) sebagai tindakan verbal yang mengekspresikan perasaan agresif diikuti perasaan frustasi yang dalam atau berlebihan. Perasaan tersebut tercermin dalam kata yang mengandung asosiasi emosional kuat untuk menghina, merendahkan, dan menyerang orang yang dituju. Keseluruhan dari sumpah serapah (swearing) yang dimaksud Montagu dalam Indrawati (2006:2325) adalah (1) makian (abusive swearing), (2) hujatan (blasphemy), (3) kutukan 156 PROSIDING (cursing), (4) sumpahan (swearing), (5) (ke)carutan (obscenity), dan (6) lontaran/ seruan (expletive). 2.1.3 Bentuk dan Acuan Makian Bentuk makian menurut Wijana (2006:125) dikelompokkan menjadi kata (monomorfemik atau polimorfemik), frasa, dan klausa yang secara kategorial dapat berjenis adjektiva, nomina, dan interjeksi. Selanjutnya, Wijana menyatakan bahwa berdasarkan referensinya, sistem makian dalam bahasa Indonesia dapat digolong-golongkan menjadi bermacam-macam, yaitu (1) keadaan, (2) binatang, (3) benda-benda, (4) bagian tubuh, (5) kekerabatan, (6) makhluk halus, (7) aktivitas, (8) profesi, dan (9) seruan. Wijana (2006:125) lebih lanjut menjelaskan bahwa terdapat enam substansi yang sering dijadikan sasaran makian, yaitu (1) kebodohan, (2) keabnormalan, (3) sesuatu yang terkutuk atau dilarang oleh agama, (4) ketidakberuntungan, (5) sesuatu yang menjijikkan, dan (6) sesuatu yang menganggu hidup manusia dalam arti yang seluasluasnya. 2.1.4 Komponen Tutur Makian terjadi karena adanya peristiwa tutur. Peristiwa tutur adalah keseluruhan peristiwa pembicaraan dengan segala faktor serta peranan faktorfaktor itu di dalam peristiwa pembicaraan. Hymes (1989: 53-62) dalam Wardhaugh (1988: 238—240) mengemukakan adanya faktor-faktor yang menandai terjadinya peristiwa tutur itu dengan akronim SPEAKING. SPEAKING lebih lanjut dijabarkan sebagai berikut. Setting and Scene (S) berhubungan dengan tempat, waktu, dan suasana pembicaraan. Participants (P) mengacu pihak-pihak yang terlibat dalam pembicaran. Ends (E) berkaitan dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai. Act sequence (A) berhubungan dengan bentuk aktual dan isi tuturan. Key (K) berhubungan dengan nada suara, cara menyampaikan pesan. Instrumentalities (I) berkaitan dengan alat atau media dan bentuk bahasa yang digunakan. Norm of interection and interpretation (N) menyangkut norma-norma atau kaidah-kaidah kebahasaan. Genre (G) menyangkut bentuk-bentuk tuturan yang digunakan dalam berkomunikasi. 2.1.5 Fungsi Bahasa dan Fungsi Makian Bahasa dalam pemakaiannya memiliki beberapa fungsi. Fungsi bahasa menurut Leech (1974:52-54) ada lima macam meliputi fungsi informasional, fungsi ekspresif, fungsi direktif, fungsi estetik, dan fungsi fatis. Makian sebagai ungkapan spontan yang berupa kata-kata kasar (tidak sopan) menunjukkan fungsi ekspresif. Dalam fungsi ekspresif, penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Perasaan penutur yang menyertai kata-kata yang digunakan dalam makian dapat berupa rasa marah, rasa jengkel, atau rasa menyesal. PROSIDING 157 2.2 Metode Penelitian Penelitian ini bukan penelitian analisis isi karena analisis data tidak menggunakan kuantitatif (Eriyanto, 2011:2). Pendekatan dalam penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif. Pendekatan kualitatif deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan bagaimana penggunaan makian dalam komentar pembaca pada situs OMG. Data penelitian ini adalah penggunaan makian dalam tuturan komentar pembaca pada situs OMG yang diambil pada bulan Juni 2011. Teknik yang digunakan penulis dalam pengumpulan data adalah teknik dokumentasi. Prosedur penelitian meliputi: (1) mengumpulkan data dengan cara mengobservasi untuk kemudian mencatat data yang mengandung ungkapan makian; (2) mengklasifikasi dan menyeleksi data makian berdasarkan bentuk, acuan, dan fungsinya; dan (3) menyajikan data hasil analisis. 3. Pembahasan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pada bagian ini dibahas beberapa contoh penggunaan makian dalam komentar pembaca yang dikelompokkan berdasarkan bentuk, referensi, dan fungsinya. 3.1 Bentuk-Bentuk Makian 3.1.1 Makian dalam Bentuk Kata Makian pada wacana OMG dalam bentuk kata dibedakan berdasarkan jenisnya, yaitu kata dasar dan kata turunan. Makian bentuk kata dasar dalam wacana OMG adalah bentuk kata yang tidak mengalami proses morfologis apa pun. Berikut tabel contoh makian berbentuk kata dasar. Tabel 1 Makian Berbentuk Kata Dasar dan Kategorinya No. 1. 2. 3. 4. Bentuk Makian dan Kategorinya sikat (verba) dzakar (nomina) tai (nomina) tolol (adjektiva) Contoh Komentar Pembaca Mengandung Makian dasar hefner gila....isi otaknya onderdil cwek semua....tpi iri jga sih..dah mau mati otaknya gak sehat mlulu..sikaaaaaaaat tu cwek mbah brondong gila... Gedein DZIKIR pak! Bukan gedein DZAKAR! artis bagi gua taiiiii!!!! TOLOL LO Komentar (1) ditujukan komentator kepada Hefner (direktur Playboy yang berusia tua dan akan menikahi gadis yang selisihnya 60 tahun). Pada komentar (1) terdapat makian berbentuk kata dasar verba sikat. Berdasarkan 158 PROSIDING Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sugono, dkk., 2008:1303), kata sikat sebagai verba memiliki makna bias, yaitu rampas atau makan sampai habis-habisan. Kata sikat termasuk kata makian karena kata ini menunjukkan ketidaksukaan komentator terhadap perilaku Hefner. Komentator bermaksud merendahkan Hefner dengan cara menyuruhnya melakukan perilaku sebagai laki-laki yang rakus terhadap perempuan untuk sikat (merampas) wanita cantik di bawah usianya. Selain itu, cara penulisan sikat dilakukan dengan cara mengulang beberapa kali huruf a (sikaaaaaaaat), hal ini sengaja dilakukan komentator untuk menekankan kata tersebut sebagai bentuk perintah yang kasar karena kalau saja komentar ini dilakukan secara lisan maka kata sikat merupakan bentuk teriakan yang menandakan kejengkelan komentator. Tuturan (2) ini ditujukan komentator kepada Hefner. Dalam komentarnya komentator menggunakan kata dzakar. Kata dzakar dalam konteks komentar ini dikategorikan sebagai kata makian karena kata dzakar termasuk anggota badan yang merupakan alat seksual dan juga sebagai kata tabu. Strategi komentator dalam memberikan pesannya terlihat pada kalimat sebelumnya berupa anjuran kepada Hefner untuk memperbanyak ibadah, penekanan ibadah terlihat pada penggunaan huruf kapital pada kata DZIKIR. Pada kalimat selanjutnya komentator memberikan peringatan dan luapan emosi yang berupaya merendahkan Hefner dengan menggunakan kata makian DZAKAR dengan huruf kapital yang sebelumnya disertai verba gedein (perbesar). Ini untuk menunjukkan bahwa Hefner lebih mengutamakan menuruti hawa nafsu seksualnya dibanding ibadah padahal usianya sudah tua yang semestinya sudah harus memikirkan kematian. Komentar (3) ditujukan komentator kepada Syahrini. Dalam komentarnya, komentator menggunakan kata makian nomina tai. Tai termasuk nomina yang secara denotatif mengacu pada kotoran yang menjijikan dan berbau tidak sedap. Dalam komentar ini kata makian tai disejajarkan dengan artis dan sebagai perumpamaan kalau artis Syahrini menjijikan. Selain itu, penulisan tai diikuti dengan penekanan cara penulisan, yaitu huruf i yang diulang beberapa kali. Hal ini sengaja dilakukan komentator untuk mengekspresikan kejengkelan dan kekesalan komentator terhadap artis yang diumpamakan seperti sifat tai (menjijikkan dan berbau tidak sedap). Komentar (4) ditujukan komentator terhadap Ahmad Dhani yang diberitakan bangga diisukan memiliki anak dari Mulan Jameela. Komentator tidak menyukai perilaku bangga yang ditunjukkan Ahmad Dhani, luapan emosinya diungkapkan dengan menggunakan kata makian adjektiva tolol. Ditinjau dari dari maknanya, tolol menurut KBBI (2008; 1478) berarti sangat bodoh. Selain itu, penulisan adjektiva tolol menggunakan huruf kapital, cara penulisan ini dipilih komentator untuk menekankan dan mengesankan luapan emosi ketiPROSIDING 159 daksukaan komentator untuk memaki Ahmad Dhani. Ahmad Dhani dianggap sebagai orang yang berperilaku sangat bodoh karena bangga dengan isu mengenai statusnya sebagai ayah dari bayi yang dikandung Mulan. 3.1.2 Makian dalam Bentuk Kata Kompleks Makian bentuk kata kompleks merupakan kategori kata makian yang mengalami proses morfologis. Bentuk makian kompleks terdiri atas proses morfologi berupa afiksasi, pengulangan, dan proses pemajemukan. Berikut beberapa contoh makian berbentuk kata kompleks. Tabel 2 Makian Bentuk Kata Kompleks No. 5. 6. Proses Afiksasi pe- + lacur (afiksasi) muka badak (majemuk) Contoh Tuturan Makian Kategori Bentuk Kata Berafiks Mulan cocok nya kau itu jadi PELACUR di DOLLY.... kalau yg namanya arts dimana2 indak punya maluuuu.....muka badak Pada contoh (5) kata makian yang digunakan adalah pelacur. Pelacur merupakan kata yang terbentuk melalui proses afiksasi pe- + lacur. Afiks pepada kata tersebut bermakna pekerjaan atau seseorang yang berprofesi lacur. Di dalam KBBI, lacur adalah (1) malang; celaka; sial; (2) buruk laku. Namun, setelah mendapat afiks pe-, maknanya berubah menjadi perempuan yang melacur; wanita tunasusila; sundal. Makian ini ditujukan komentator kepada Mulan yang dianggap perilakunya seperti pelacur karena sudah merebut Ahmad Dhani dari istrinya (Maia). Pada contoh (6) terdapat makian muka badak yang bermakna tidak tahu malu. Makian ini ditujukan komentator kepada Dewi Persik yang melakukan operasi keperawanan. Komentator beranggapan kalau perilaku Dewi sudah tidak tahu malu karena bangga setelah melakukan operasi keperawanan. 3.1.3 Makian Bentuk Frasa Makian berbentuk frasa adalah makian yang terbentuk dari satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih, dan tidak melebihi batas fungsi unsur klausa. Makian berbentuk frasa terbagi menjadi makian frasa verbal, frasa nominal, dan frasa adjektival. Dari data terdapat beberapa bentuk makian frasa verbal sebagai berikut. 160 PROSIDING Tabel 3 Makian Bentuk Frase Nomina No. 7. 8. Bentuk Dhani botak sialan (frase nominal) kurang normal (frase adjektival) Contoh Tuturan Makian Kategori Bentuk Frase Nomina KALAU DIGOSIP'IN TAMBAH BESAR KEPALA KAU DHANI BOTAK SIALAN, DASAR ANJING KURAP kayanya si hugh kurang nolmal kali jadi si crystal harris nga mau kalau suaminya kurang nolmal nga puas xxxxx ya kwkwkwkwkwkwkkwkwk Pada contoh (7) nomina inti yang diberi keterangan adjektiva (botak sialan) adalah Dhani. Komentar ini ditujukan kepada Ahmad Dhani yang merasa bangga karena dianggap sebagai ayah dari anak yang dikandung Mulan. Komentator merasa tidak suka dengan perilaku tersebut sehingga ia mengekspresikan rasa ketidaksukaan tersebut dengan menggunakan makian. Pada contoh (8) adjektiva (kurang) dilekatkan pada adjektiva inti (normal). Komentator mengemukakan makian ini (kurang normal) kepada Hefner sebagai hinaan dan merendahkannya. Makian ‘kurang normal’ ini memiliki makna kias apabila mengacu pada konteks frasa selanjutnya nga puas yang dalam hal ini mengacu pada kepuasan seksual. 3.1.4 Makian Bentuk Klausa Berikut contoh makian berbentuk klausa. (9) akhmad dani pantasnya sih dijulukin...BANDOT SI HIDUNG BELANG, JENGGOT DIPANJANGIN KAYAK MUTOWIEF DI SAUDI KLAKUAN NGGAK LEBIH DARI HEWAN. Contoh (9) terdiri atas beberapa klausa. Klausa pertama adalah ahmad dani pantasnya sih dijulukin...BANDOT SI HIDUNG BELANG. Klausa kedua adalah JENGGOT DI PANJANGIN KAYAK MUTOWIEF DI SAUDI; sedangkan klausa ketiga adalah KLAKUAN NGGAK LEBIH DARI HEWAN. Ketiga klausa itu saling berkaitan satu dengan lainnya untuk mendukung pesan ekspresif makian komentator terhadap Ahmad Dhani. Ditinjau dari kandungan pesan dalam setiap klausa terdapat makian. Pada klausa pertama terdapat perumpamaan Ahmad Dhani dengan bandot dan hidung belang; pada klausa kedua terdapat perumpamaan jenggot Ahmad Dhani dengan mutowief di Arab Saudi; dan pada klausa ketiga perumpamaan Ahmad Dhani dengan perilaku hewan. PROSIDING 161 3.2 Referensi Makian dalam Komentar Wacana OMG Berdasarkan data diketahui bahwa beberapa bentuk makian memiliki referen yang berkategori binatang, makhluk menakutkan, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan, aktivitas, profesi, seruan, dan etnis serta suku bangsa. Berikut contoh nama makian dengan referennya beserta pengunaannya dalam kalimat. Tabel 4 Referen Makian No. 10. 11. Bentuk bandot setan 12. tai kucing Referen binatang makhluk halus benda 13. meki anggota tubuh 14. aki sapaan 15. dibuntingi aktivitas 16. profesi 17. Lonte dan placur yahudi 18. katarak etnis atau bangsa penyakit 19. busett seru Contoh Tuturan Makian bandot..hha mampus Ahmad Dhani setan gak pantas biarpun yanti bergaya di depan kamera ama rahul gigolo klo mas anang ama asyanti wowww…..jangan 1anya romy and juliat untung banget mas anang cerai ama yanti dapat asanti dari pada diva bobrook…....tai kucing tu kan biar jualan mekinya larisss,,dia kan mangkal juga di pangkalan 12.... aki uda tua bukan insyaffff mang masi bisa berdiri ya????? makanya KD (pelesetan KB) dulu mba sebelum di RAULI (pelesetan GAUL) biar ga DIBUNTINGI...di dpan publik bermesra-mesraan sperti ga punya dosa,ga taunya perbuatan bejat tlah di lakukan...bertobatlah kalian brdua sbelum azab ALLAH dtng menimpa rumah tangga kalian.. LONTEEEEEE ARABBBB PLACURRRRRRRRRRRRRRR dasar tua bangka yahudi ! mau mampus, masih doyan aje….. ya iyalah batal orang kawinnya ama engkong engkong udah peyot.....wahahahahha cewenya cakep" katarak ya...:D Busett Makian pada contoh (10) adalah bandot. Makian ini ditujukan komentator terhadap Hefner. Komentator mengumpamakan perilaku Hefner yang suka bermain perempuan dengan perilaku hewan bandot. Bandot selain bermakna hewan kambing dalam KBBI juga bermakna hias, yaitu seorang laki-laki yang sangat gila perempuan atau orang laki-laki tua yang masih gemar kepada perempuan. Sementara itu, makian pada contoh (11) adalah setan. Makian ini 162 PROSIDING ditujukan komentator terhadap Ahmad Dhani. Perilaku Ahmad Dhani yang merasa bangga sebagai ayah dari anak yang dikandung Mulan dikomentari diibaratkan sebagai perilaku setan yang mengerikan. Pada contoh makian (12) komentator menggunakan kata makian tai kucing. Komentator menggunakan kata makian ini untuk mengomentari Krisydayanti yang diumpamakan seperti tai kucing. Referen makian tai kucing mengacu pada benda yang bau dan menjijikan. Referen makian tai kucing digunakan komentator untuk menunjukkan ekspresi ketidaksukaannya terhadap perilaku Krisdayanti yang dianggap kotor dan menjijikkan seperti tai kucing. Pada contoh makian (13) komentator menggunakan kata makian meki yang merupakan bagian dari anggota tubuh dan alat seksual wanita. Makian ini ditujukan komentator kepada Dewi Persik yang dianggap komentator memiliki perilaku tidak baik dengan melakukan operasi keperawanan. Komentator menganggap Dewi Persik hanya mementingkan seksualitas saja dan tidak malu membicarakannya di media masa sehingga komentator merasa jengkel dan marah atas perilakunya. Pada contoh makian (14) terdapat makian kata sapaan aki. Kata sapaan aki biasanya digunakan untuk menghormati; akan tetapi, apabila sedang kesal atau jengkel kata sapaan tersebut digunakan untuk tujuan memaki. Komentator menggunakan kata sapaan aki yang ditujukan untuk Hefner. Pemakaian makian sapaan aki ditujukan komentator untuk menekankan usia Hefner yang sudah tua sekaligus merendahkan perilaku Hefner yang tidak mencerminkan usianya yang sudah tua karena masih senang mencari pasangan muda. Pada contoh makian (15) terdapat kata makian dibuntingi. Dibuntingi memiliki referen aktivitas yang berkategori verba. Berdasarkan KBBI bunting bermakna mengandung anak yang ditujukan kepada hewan, sedangkan untuk manusia menggunakan kata hamil. Dengan demikian, pemakaian kata bunting ditujukan komentator sebagai cara untuk memaki serta merendahkan perilaku Raul yang menghamili Krisdayanti yang disamakan seperti perilaku hewan. Pada contoh makian (16) terdapat kata makian lonte dan pelacur. Lonte dan pelacur memiliki referen makian kategori profesi. Profesi ini memiliki nilai negatif di masyarakat. Makian ini ditujukan komentator kepada Syharini sebagai ekspresi ketidaksukaannya terhadap perilaku Syahrini yang dianggap komentator seperti pelacur. Sementara itu, pada contoh makian (17) terdapat kata makian Yahudi. Referensi makian Yahudi termasuk ke dalam kategori etnis atau bangsa karena mengacu pada etnis tertentu atau suku bangsa tertentu. Selain bermakna etnis suku bangsa, berdasarkan KBBI yahudi juga dimaknai secara hias artinya orang yang sangat kikir atau orang yang sangat jahat atau rendah. Makian ini ditujukan komentator kepada Hefner yang dianggap komentator memiliki perilaku rendah karena dalam usia yang sudah PROSIDING 163 tua masih memperturutkan hawa nafsu seksualnya untuk menikahi wanita yang usianya terpaut jauh. Pada contoh makian (18) terdapat kata makian katarak. Katarak termasuk referensi makian kategori penyakit. Berdasarkan KBBI katarak adalah nama penyakit mata karena pengaburan lensa mata dan membran transparan di sekitarnya yang menghalangi jalan masuknya cahaya. Akibat seseorang mengalami katarak maka sulit baginya untuk bisa melihat dengan jelas. Pemaknaan katarak dalam konteks makian yang digunakan komentator bukan untuk menunjukkan makna sebenarnya dari kondisi mata Crystal (calon istri Hefner). Namun, hal ini dilakukan komentator untuk memperlihatkan betapa bodohnya Crystal yang bersedia memilih Hefner padahal sudah jelas terlihat dengan mata kepala sendiri kalau dari segi usia Hefner sudah tua. Pada contoh makian (19) terdapat kata makian buset. Kata makian buset termasuk referensi makian kategori seru yang tidak bersifat referensial, melainkan sebagai interjeksi. Berdasarkan KBBI buset kata makian lembut untuk menyatakan umpatan atau keheranan. Kata makian ini digunakan komentator untuk memaki Dewi Persik yang melakukan operasi keperawanan. Komentator mengekspresikan makian buset untuk menyatakan rasa heran sekaligus melontarkan umpatan karena perilaku Dewi Persik tersebut. 3.3 Fungsi Makian Berdasarkan fungsinya, makian dalam wacana OMG digunakan sebagai alat untuk mengekspresikan emosi yang meliputi kemarahan, kekesalan, keheranan, penghinaan atau merendahkan orang lain, keterkejutan, kesedihan, dan rasa humor. Berikut contoh makian untuk mengungkapkan kemarahan. (20) bandot..hha mampus (21) JIJIK BGT LIAT KELAKUAN AHMAD DHANI DAN MULAN JAMELLA, BAGAIKAN ANJING DAN BABI HUTAN.........GAK TAU MALU, UDAH PUNYA ANAK YANG REMAJA TAPI TINGKAH LAKUNYA GAK PATUT DICONTOH AMA ANAKANAKNYA........TEMPAT YANG PALING TEPAT BAGI MEREKA BERDUA ADALAH NERAKA DAN LUBANG BUAYA Contoh makian (20) ditujukan komentator kepada Hefner sebagai ungkapan kemarahan. Pada contoh ungkapan kemarahan terlihat pada pemilihan kata mampus. Contoh makian (21) ditujukan komentator kepada Ahmad Dhani dan Mulan karena tidak memberi contoh yang baik bagi anaknya. Ungkapan kemarahan pada contoh (21) dikemukakan dengan pemilihan perumpamaan kedua tokoh Ahmad Dhani dan Mulan Jamella dengan nama binatang (anjing dan babi hutan). 164 PROSIDING Berdasarkan data diketahui bahwa beberapa makian diungkapkan sebagai ekspresi keheranan terhadap perilaku selebriti. Berikut contoh makian untuk mengungkapkan keheranan. (22) Ck-ck-ck...tua-tua keladi makin tua makin menjadi demen kawin. Ingat umur pak....seharusnya sudah memikirkan akherat masih aja mikirin syahwat aje. Masyalloh.......Masih cari yg daun muda buat lalapan ye...??? Contoh makian (22) ditujukan komentator kepada Hefner yang sudah berusia tua tapi masih tetap sering gonta ganti perempuan dan akan menikahi wanita yang usianya jauh lebih muda. Padahal menurut komentator sebaiknya usia seperti itu sudah memikirkan kehidupan akherat. Keheranan komentator pada diungkapkan dengan kata interjeksi yang diulang-ulang ck-ck-ck dan kata masyaalloh. Berdasarkan data diketahui bahwa beberapa makian diungkapkan sebagai ekspresi penghinaan atau merendahkan orang lain. Berikut contoh makian untuk mengungkapkan merendahkan orang lain. (23) Yang namanya KRISDAYANTI sungguh seorang manusia yang tidak patut dicontoh sebagai manusia maupun publik figur.sebagai umat Islam apakah hamil diluar nikah diperbolehkan?? Sungguh bejat perbuatan anda... keliatannya KD malah bangga dan dgn santainya toh Raul mau bertanggunmg jawab!! tapi diluar semua yang anda omongkan ke publik tetep tdk bisa menghapus bhw anda seorang manusia yg bejat!!! i hATE YOU... Contoh makian (23) ditujukan komentator kepada Krisdayanti. Komentator menyatakan kemarahannya dengan cara merendahkan perilaku Krisdayanti yang hamil di luar nikah dan menyebutnya sebagai perilaku bejat. Berdasarkan data diketahui bahwa beberapa makian diungkapkan sebagai ekspresi candaan atau humor. Berikut makian untuk mengungkapkan humor. (24) eyang kakung,gaz terus yg penting eyang masih nampak itu lobang.. tp jngan sembarang lobang ya?? hehehehehehehehehehehehehehehehehehehe Makian contoh (24) ditujukan komentator kepada Hefner. Komentator menggunakan makian sapaan eyang untuk menunjukkan usia Hefner yang sudah tua. Penggunaan verba gaz diumpamakan Hefner seperti kendaraan yang harus bergerak cepat dengan cara menaikkan kecepatan. PROSIDING 165 Selanjutnya, digunakan kata lobang yang memiliki referen kepada alat kelamin perempuan. Rasa humor pada pernyataan tersebut terletak pada penggunaan makian dari kata sapaan eyang, gaz, dan lobang. Selain itu, di akhir pernyataan diberikan peringatan kepada Hefner untuk berhati-hati tp jngan sembarang lobang ya??. Peringatan ini dikemukakan komentator untuk mengingatkan Hefner yang usianya sudah tua khawatir salah memasukkan. Pernyataan diakhiri dengan simbol tertawa heheheehehehehe untuk menandakan bahwa pernyataan tersebut berupa candaan atau humor. Berdasarkan data diketahui bahwa beberapa makian diungkapkan sebagai ekspresi ancaman dan peringatan. Berikut contoh makian untuk mengungkapkan ancaman dan peringatan. (25) ANDA HARUS MAU JADI AHLI NERAKA KARENA DISANA AKAN BERTEMU DENGAN PARA RAJA MISALNYA FIR’AUN DAN AKAN BERTEMU PARA ARTIS SEPERTI KRISDAYANTI DLL,,MUDAH-MUDAHAN KAMU SEMPAT BERTOBAT KD SEBENTAR LAGI JUGA SUAMIMU KECANTOL ARTIS YANG LEBIH DARI KAMU,,, (kita lihat saja) AHLI RAMAL DARI ciendogg Pada contoh (25) berisi peringatan komentator kepada Krisdayanti yang merebut suami orang lain (Raul dari istrinya) dan hamil di luar nikah. Komentator memberikan peringatan bahwa dengan perilakunya Krisdayanti akan masuk neraka dan ancaman kalau suatu saat nanti suaminya (Raul) akan tertarik wanita lain. Selain itu, juga ajakan untuk Krisdayanti bertobat. 3.4 Karakteristik Makian dalam OMG Ditinjau dari Bentuk Ekspresinya Karakteristik makian dalam wacana OMG berbeda dengan makian lisan karena makian dalam OMG diungkapkan secara tertulis. Dalam makian lisan pembicara dapat menggunakan variasi intonasi dan tekanan ketika mengungkapkan makian sebagai ekspresi kemarahan, keakraban, kekesalan, humor, dan sebagainya. Namun, pada ekspresi makian dalam OMG komentator dapat menggunakan berbagai cara secara tertulis, seperti menggunakan huruf kapital pada kata-kata yang dianggap penting atau bahkan menggunakan huruf kapital semua, dan penggunaan tanda baca yang sama beberapa kali. Berikut beberapa contoh cara yang dilakukan komentator untuk mengekspresikan makiannya. (26) Saraaaaaaafff......!!!! (27) BERITA BASI KYK SYAHRINIMENDINGAN ELO MELACUR AZA BIAR DAPAT DUIT TRUS 166 PROSIDING (28) eyang kakung, gaz terus yg penting eyang masih nampak itu lobang.. tp Jngan sembarang lobangya?? hehehehehehehehehehehehehehehehehe (29) Gedein DZIKIR pak! Bukan gedein DZAKAR! (30) ges aki 2 ge hayang we nya. :D Pada contoh (26) komentator menulis huruf a beberapa kali untuk mengekspresikan makian kekesalannya, sedangkan pada contoh (27) komentator mengungkapkan makian kemarahannya dengan menggunakan huruf kapital semua. Pada contoh (28) teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan ekspresi ketawa berupa simbol ketawa yang diwakili oleh heheheheheheh yang menandakan bahwa isi makian berupa humor. Pada contoh (29) terdapat pengkapitalan kata DZIKIR dan DZAKAR sebagai penekanan dua hal yang bertolak belakang. Efek dari pengkapitalan adalah terwakilinya pesan penulis dan makiannya menunjukkan kekesalan dan kemarahan terhadap tokoh yang dimaksud. Pada contoh (30) komentator menggunakan bahasa daerah yang berarti sudah tua tetap saja suka. Pemakaian bahasa daerah dimaksudkan sebagai alih kode karena komentator menyadari dengan menulis bahasa daerah maka kekesalan dan kemarahan dapat lebih tersalurkan dan terwakili serta lebih mengena dibanding dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dan, pada akhir pernyataan digunakan simbol tertawa (:D) untuk menunjukkan rasa heran sekaligus ejekan. 4. Simpulan Berdasarkan uraian pembahasan dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Dalam komentar wacana gossip OMG terdapat beberapa bentuk makian, yaitu makian berbentuk kata dasar dan kompleks. Bentuk makian kata dasar terbagi menjadi kata tunggal berkategori verba, nomina, dan adjektiva. Di sisi lain, bentuk makian kompleks terdiri atas kata-kata yang telah mendapat proses afiksasi dan pemajemukan. Sementara itu, makian berbentuk frase terdiri dari tiga jenis berdasarkan unsur pusatnya, yaitu frasa verbal, nominal, dan adjektiva. 2. Referensi makian dalam komentator OMG meliputi bentuk makian yang mengacu pada keadaan, binatang, makhluk menakutkan (termasuk makhluk halus), benda-benda (termasuk kotoran manusia atau binatang), bagian tubuh, kekerabatan, aktivitas, profesi, seruan, etnis dan suku bangsa, dan penyakit. PROSIDING 167 3. 4. Fungsi makian dalam wacana OMG adalah untuk mengungkapkan kemarahan, kekesalan, kekecewaan, keheranan, penghinaan atau merendahkan orang lain, rasa humor, dan peringatan. Dari karakteristiknya, makian dalam OMG berbeda dengan makian yang dituturkan secara lisan. Perbedaan tersebut karena media yang digunakan untuk makian OMG adalah internet sehingga hal ini berpengaruh pada konteks, peserta, bentuk ekspresi, dan gaya dalam pengungkapan makian. DAFTAR PUSTAKA Dendy Sugono, dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Eriyanto. 2011. Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hymes, Dell. 1989. Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Indrawati, Dianita. 2006. “Makian dalam Bahasa Madura”. Disertasi. Denpasar: Universitas Udayana. Kisyani. 1985. “Pisuhan Sebagai Cermin Rasa dan Sikap Jiwa Penutur”. Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Leech, Geoffrey. 1974. Semantics. Harmondsworth, Middlesex: Penguin. Leigh, Mark dan Lepine, Mike. 2005. Advanced Swearing Handbook. West Sussex: Summersdale Publisher Ltd. McEnery, Tony. 2006. Swearing in English. New York: Routledge. Saptomo, Sri Wahono. 2001. “Makian dalam Bahasa Jawa”. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Wardhaugh, Ronald. 1988. An Introduction to Sociollinguistics. Oxford: Basil Blackwell. Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi, Muhammad. 2006. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumber Data: http://id.omg.yahoo.com/=Hugh+Hefner+Batal+Menikah%21B. Diunduh tanggal 15 Juni 2011. http://id.omg.yahoo.com/=Ahmad+Dhani+Bangga+Diisukan+Punya+ Anak+Dari+Mulan. Diunduh tanggal 16 Juni 2011. http://id.omg.yahoo.com/=Hamil+Sebelum+Nikah%2C+KD+Minta+ Dimaklumi. Diunduh tanggal 19 Juni 2011. http://id.omg.yahoo.com/=Syahrini+Terbiasa+Dengan+Ledekan+ Olga+%E2%80%93+Raffi Diunduh tanggal 19 Juni 2011. http://id.omg.yahoo.com/news/dewi-persik-selesai-operasi-keperawananzwp4-464292.html Diunduh tanggal 22 Juni 2011. 168 PROSIDING PELANGGARAN MAKSIM KESANTUNAN PADA TUTURAN MENOLAK: SUPIR ANGKUTAN UMUM JURUSAN MARTAPURA ANALISIS SOSIOPRAGMATIK Rissari Yayuk pos-el: yrissariyayuk@yahoo.co.id Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan Inti Sari Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ragam wujud tuturan menolak dan pelanggaran maksim kesantunan yang terdapat di dalamnya pada tindak tutur supir angkutan umum jurusan Martapura berdasarkan teori Sosiopragmatik. Metode yang digunakan adalah berdasarkan natural setting. Teknik yang digunakan dalam pengambilan data adalah teknik rekam dan dokumentasi. Berdasarkan kajian ini disimpulkan wujud tuturan supir angkutan umum jurusan Martapura yang bermakna menolak dalam bentuk (1) kalimat berita atau pernyataan (deklaratif), (2) kalimat perintah (imperatif), (3) kalimat tanya (interogatif),(4) kalimat seruan (eksklamatif). Penyimpangan enam maksim kesantunan terjadi pada empat wujud tuturan tersebut, yaitu (1) maksim kebijakan, (2) maksim penerimaan, (3) maksim kemurahan, (4) maksim kerendahan hati, (5) maksim kecocokan, dan (6) maksim kesimpatisan. Kata kunci : maksim, kesantunan, tuturan Abstract This study aimed to describe the range of utterances form refuse and politeness maxims violations contained therein on speech acts public transport drivers Martapura majors based on the theory of sosiopragmatics. The method used is based on a natural setting. Techniques used in data retrieval is the technique of recording and documentation. Based on this study concluded form of public transport drivers utterances meaningful Martapura majors declined in the form, (1) sentence news or statements (declarative), (2) the phrase command (imperative), (3) sentences question (interrogative), (4) the sentence call (eksklamatif). Deviation of six maxims of politeness occurred in four form the speech, namely (1) maxim of policy, (2) maxim acceptance, (3) generosity maxim, (4) modesty maxim, (5) maxim suitability, and (6) maxim kesimpatisan. Key words: maxims, politeness, speech PROSIDING 169 1. Pendahuluan Mengenai kesantunan berbahasa dalam sebuah tuturan, dewasa ini mulai dilakukan pembahasan melalui tinjauan ilmu pragmatik. Teori kesantunan sudah banyak dikeluarkan para pakar pragmatik, salah satunya, ialah Leech. Secara umum, kesantunan berbahasa menurut Leech berkaitan dengan penghindaran konflik, yang dibuktikan oleh berbagai spesifikasi maksim-maksim, sekaligus oleh pernyataan bahwa kesantunan diarahkan untuk menetapkan sikap hormat. Ada enam maksim yang dikemukan oleh Leech (dalam Eelen, 2001:10). Senada dengan hal di atas, kesantunan dalam bertutur menurut Brown dan Levinson (1987) (dalam Rahardi, 2005:67) sangatlah penting diperhatikan dalam kehidupan sosial untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi dalam setiap interaksi komunikasi. Namun, kesantunan dalam bertutur diterapkan secara berbeda pada setiap kebudayaan karena setiap teks tidak bisa terlepas dari konteksnya. Hal inilah yang menjadi kajian peneliti dalam menganalisis data yang ada. Kajian yang dimaksud berkaitan dengan teori sosiopragmatik. Penelitian tentang kesantunan berbahasa dilakukan oleh Asim Gunarwan dengan judul “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Bahasa Indonesia-Bahasa Jawa di Jakarta Kajian Sosiopragmatik” pada tahun 1992 dalam bentuk laporan penelitian. Penelitian yang dilakukan peneliti ini berjudul “Pelanggaran Maksim Kesantunan dalam Tuturan Supir Angkutan Umum Jurusan Martapura Analisis Sosiopragmatik”. Pada penelitian ini akan dibahas mengenai pelanggaran maksim kesantunan berdasarkan kajian sosiopragmatik yang terdapat pada tuturan supir angkutan umum jurusan Martapura yang menggunakan bahasa Banjar dilihat dari nilai komunikatifnya, seperti kalimat berita, kalimat tanya, kalimat perintah, dan kalimat seru. Pelaksanaan prinsip kesantunan berbahasa pada tuturan Supir taksi ini sebenarnya sangat penting direalisasikan oleh peserta tutur untuk mempererat hubungan sosial antara pengguna jasa dengan penjual jasa. Namun, dalam kenyataannya tidaklah selalu demikian. Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik mengkaji bentuk pelanggaran maksim kesantunan dalam tuturan tersebut melalui kajian pragmatik. Sejauh pengamatan penulis, masalah kesantunan dalam tuturan dengan menggunakan bahasa Banjar memang pernah diteliti sebelumnya, tetapi dengan fokus penelitian yang berbeda. 2. Kerangka Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang berkaitan dengan maksim kesantunan berbahasa sebagaimana yang terdapat dalam kajian pragmatik yang dianalisis dengan menggunakan teori sosiopragmatik. So- 170 PROSIDING siopragmatik merupakan bagian dari ilmu pragmatik yang sifatnya lebih khusus. Karena dalam kenyataannya pemakaian bahasa dalam komunikasi terkait dengan faktor-faktor nonbahasa yang merupakan kondisi sosial dan budaya lokal yang bersifat spesifik. Jadi, betapa erat hubungan antarasosiopragmatik dengan sosiologi (Tarigan, 1990:26). Pragmatik dan sosiolinguistik adalah dua cabang ilmu bahasa yang muncul akibat adanya ketidakpuasan terhadap penanganan bahasa yang terlalu bersifat formal yang dilakukan oleh kaum strukturalis. Dalam hubungan ini pragmatik dan sosiolinguistik masing-masing memiliki titik sorot yang berbeda di dalam melihat kelemahan pandangan kaum strukturalis. (Wijana, 1996: 6) Kajian sosiopragmatik didasarkan pada kenyataan bahwa konsep kesantunan berlaku secara berbeda dalam kebudayaan dan masyarakat bahasa yang berbeda. Hal ini menyebabkan sering terjadinya kesalahpahaman atau konflik pada anggota tutur yang memiliki latar budaya berbeda saat berkomunikasi. Salah satu bentuk kesantunan berkaitan dengan etika berbahasa. Etika berbahasa berkaitan dengan kode bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam sebuah masyarakat. Etika ini mengatur apa yang dikatakan, ragam bahasa apa yang digunakan, kapan dan bagaimana kita akan berbahasa, dan bagaimana kualitas suara dan sikap saat berbicara (Chaer dkk. 2010:172). Dengan demikian, sosiopragmatik menitikberatkan pada aspek nonlinguistik yang terikat pada pemakaian bahasa pada kondisi sosial tertentu, dan terikat oleh percakapan lokal. Kajian ini merupakan titik temu antara sosiologi dan pragmatik sehingga inferensi pragmatik yang dihasilkan pada hakikatnya merupakan inferensi sosiologis. Kajian sosiopragmatik dibutuhkan untuk menghasilkan deskripsi sosiopragmatik secara terperinci yang terdapat pada kebudayaan tertentu (Zamzani, 2007:23). Sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-fsktor sosial di dalam masyarakat tutur (Chaer dkk. 2010:4). Lebih lanjut Chaer mengatakan bahwa sosiolinguistik lebih berhubungan dengan perincian-perincian penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola pemakaian bahasa pada budaya tertentu, pilihan bahasa yang dilakukan berdasarkan penutur, lawan tutur, kode, topik, amanat, dan latar belakang pembicaraan. Secara garis besar kajian dalam sosiolinguistik membahas tentang pedoman dalam berbahasa (ragam dan gaya bahasa) yang digunakan saat berkomunikasi yang disesuaikan dengan fungsi bahasa itu sendiri dari berbagai sudut pandang konteks tuturan. Kaidah atau etika dalam berkomunikasi ini PROSIDING 171 penting diperhatikan dalam rangka menciptakan suasana dan tujuan tutur yang baik. Bahasa sebagai sarana komunikasi digunakan oleh penutur sebagai alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, maksud, perasaan, dan emosi baik secara langsung maupun tidak. Oleh karena itu, dalam sebuah proses komunikasi terjadilah sebuah peristiwa tutur, tindak tutur, dan situasi tutur. Proses komunikasi yang dimaksud jelas terikat oleh berbagai konteks , hal ini dikaji oleh ilmu yang lebih dalam lagi yakni pragmatik. Selanjutnya, Yule (1996:3) menyebutkan bahwa ada empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara dalam tuturan, (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya, (3) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan oleh pembicara, dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Berkaitan dengan percakapan atau tuturan, wujud kalimat dalam tuturan bisa tidak sesuai dengan makna sebenarnya (Chaer,1997:66). Tuturan memerintah bisa dilakukan dengan imperatif, deklaratif atau interogatif. Tuturan menolak bisa berwujud imperatif, ekslamatif, dan introgatif, tuturan mengkritik bisa berwujud deklarif atau interogatif. Sementara tuturan memuji karena tindakan yang santun cenderung pada wujud deklaratif. Wujud formal kalimat dalam bahasa Indonesia adalah realisasi maksud menurut ciri strukturalnya atau ciri formalnya.Wujud formalnya berupa kalimat imperatif, deklaratif, dan interogatif (Chaer, 1997:54 ). Kalimat imperatif mengandung maksud memerintah petutur untuk melakukan sesuatu yang diinginkan petutur. Kalimat deklaratif mengandung maksud memberitahu sesuatu kepada petutur. Kalimat interogatif mengandung maksud menanyakan sesuatu kepada penuturnya. Rahadi (2005) menyatakan maksud wujud tuturan berdasarkan nilai komunikatifnya dapat dibedakan lima macam, yakni (1) kalimat berita (deklaratif), (2) kalimat perintah (imperatif), (3) kalimat tanya (interogatif), (4) kalimat seruan (eksklamatif), (5) kalimat penegas (empatik). Wujud tuturan ini dapat ditemukan dalam peristiwa tutur, tindak tutur, dan situasi tutur. Peristiwa tutur berkaitan dengan SPEAKING .(tempat, waktu, psikologis, pendengar, tujuan, isi ujaran, cara penyampaian, bentuk bahasa, dan norma dalam berbahasa).Tindak tutur berkaitan dengan lukosi atau pernyataan/informasi, ilokusi atau fungsi informasi, dan perlokusi atau pengaruh informasi terhadap lawan tutur. Situasi tutur berkaitan dengan konteks seperti penutur dengan lawan tutur, latar pengetahuan masing-masing peserta tutur, tujuan tuturan, tindak verbal dan produk verbal dari tuturan. 172 PROSIDING Berbicara mengenai prinsip kesopanan dan sebuah tuturan, Kramsch (dalam Rahadi, 2005) berpendapat bahwa bahasa berfungsi dalam dua cara. Semuanya berhubungan dengan budaya: (1) melalui apa yang dikatakan dan apa rujukannya atau yang disebut semantik, dan (2) melalui apa yang dilakukan dalam konteks atau dikenal dengan istilah pragmatik. Kesantunan dalam bertutur menurut Brown dan Levinson, Leech dan Sachiko Ide sangat penting diperhatikan dalam kehidupan sosial untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi dalam setiap interaksi komunikasi. Namun, kesantunan dalam bertutur diterapkan secara berbeda pada setiap kebudayaan karena setiap teks tidak bisa terlepas dari konteksnya. Pendapat-pendapat ini menyatakan bahwa bahasa selain berkaitan dengan makna yang terkandung di dalamnya juga berkaitan dengan masalah tindak tutur yang tergantung konteksnya. Komunikasi yang baik akan terjalin jika antar penutur terikat oleh sistem budaya yang melingkupinya. Sistem budaya ini berkaitan dengan tata nilai atau kesantunan yang beretika baik secara linguistik maupun sosial, dengan kata lain agar terjalin sebuah komunikasi yang baik maka masing-masing peserta tutur hendaknya mengikuti prinsip dasar komunikasi yang berlandaskan budaya sosial yang dianutnya. Prinsip kesopanan ini diperjelas Leech dalam beberapa aturan atau maksim, yaitu (1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang mengutamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan yang mengutakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan ini, orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yag merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif. Selanjutnya, menurut (Geertz, 1960), sistem penggunaan bahasa yang mendasari kesantunan berbahasa dapat disebut “sopan-santun berbahasa” atau honorifics ini lazim diungkapkan dengan kata ganti orang, sistem sapaan, penggunaan gelar dan sebagainya. Dalam beberapa bahasa, perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan si alamat/pendengar diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem morfologi kata-kata tertentu. Leech (1989) menyatakan beberapa aturan atau maksim dalam prinsip kesantunan, yaitu (1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang mengutamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri PROSIDING 173 sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan yang mengutamakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan ini, orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif. Leech (1989:84) mengklasifikasikannya kesantunan ini ke dalam dua kategori, absolut dan relatif. Prinsip “kesopanan absolut” mengacu pada normanorma umum yang berlaku dalam setiap masyarakat bahasa yang ikut mempengaruhi kesopan-santunan berbahasa. Ilmu Pragmatik umum menjadikan kesopanan absolut sebagai salah satu bidang kajiannya. Sebaliknya, “kesopanan relatif” bervariasi mengikuti dimensi dan standar yang hanya berlaku secara khusus di antara masyarakat bahasa tertentu. 2.1.1 Ranah Sosial dalam Sosiopragamatik Ranah sedikit berbeda dengan konteks dalam pragmatik, sebab di dalam pragmatik konteks itu lazim sebagai aspek spatio-temporal dari sebuah terjadinya tuturan. Jadi dimensi yang dianggap signifikan dalam konteks itu adalah dimensi (1) tempat dan (2) waktu.Maka, sebuah ranah misalnya saja akan dianggap sebagai sebuah ranah keluarga apabila terdapat pertuturan yang terjadi di rumah dalam sebuah keluarga, terdapat topik perbincangan masalah keluarga dan partisipan tutur merupakan bagian dari keluarga itu (Rahardi. 2002:39) Pada penelitian ini penulis menggunakan salah satu ranah sosial yaitu transaksional bisnis sebagaimana yang secara lengkap dikemukakan oleh Rahardi yang terdiri atas ranah pendidikan, perkantoran, kemasyarakatan, pemerintahan, transaksional bisnis, keagamaan, kekeluargaan, dan ranah media. 3. Metode Penelitian Data penelitian ini adalah tuturan supir angkutan umum jurusan Martapura di Kalimantan selatan. Sampel diambil dari tuturan supir taksi tersebut yang berwujud pernyataan, perintah, pertanyaan, dan penegas terhadap penumpangnya/calon penumpang dari Banjarmasin ke Martapura atau sebaliknya. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Penggunaan metode ini didasarkan pada pengumpulan data penelitian berdasarkan natural setting, semata-mata berdasarkan fakta kebahasaan yang ada. Metode ini menggambarkan fenomena yang terjadi pada tuturan yang ada secara empiris. Hal ini sesuai dengan pendapat Djajasudarma (1993) dan Moleong (1995) yang menga- 174 PROSIDING takan bahwa data yang digunakan bersifat akurat dan alamiah. Data yang dihasilkan berupa deskripsi penggunaaan bahasa penuturnya. Metode deskriptif pada penelitian ini bersifat singkronis, yaitu dalam satu waktu tertentu. Teknik yang digunakan dalam pengambilan data adalah teknik rekam dan dokumentasi. Teknik ini digunakan untuk mendapatkan data lisan dan tertulis sebagai pendukung serta sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan bahasa Banjar. Teknik analisis data dilakukan dengan langkah-langkah, pengumpulan data, indentifikasi data, klasifikasi, seleksi dan interpretasi. Langkah ini saling berhubungan dan berkelanjutan. 4. Pembahasan Penelitian ini membahas wujud dan penyimpangan maksim dalam tuturan di ranah transaksi jasa. 1) Wujud tuturan menolak supir angkutan umum jurusan Martapura 2) Sosiopragmatik dalam bentuk (1) kalimat berita atau pernyataan (deklaratif), (2) kalimat perintah (imperatif), (3) kalimat tanya (interogatif), (4) kalimat seruan (eksklamatif) 3) Penyimpangan maksim kesantunan dalam tuturan tersebut berdasarkan analisis sosiopragmatik. Pada penelitian digunakan singkatan (P) untuk menyatakan penumpang dan singkatan (S) untuk menyatakan supir angkutan umum. 4.1 Wujud Tuturan Menolak Berdasarkan Analisis Sosiopragmatik 4.1.1 Wujud Tuturan Berbentuk Kalimat Berita (Deklaratif) Rahardi (2005) menyatakan bahwa tuturan deklaratif mengandung maksud memberitahukan sesuatu kepada mitra tutur. Kalimat ini biasanya berbentuk tuturan menolak langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan data penelitian, wujud tuturan ini adalah sebagai berikut. Tuturan 1 P : Masuk ka dalam kalu Man? ‘Masuk ke dalam terminal kan Paman?’ S : Kada, aku di muka terminal haja. ‘Tidak, aku di depan terminal saja’ P : kanapa Man? ‘kenapa Paman? S : Kulir, saiukungannya pang panumpangnya ‘Malas, satu orang saja penumpangnya’ PROSIDING 175 Konteks tuturan Sebuah pembicaraan yang terjadi di depan terminal pal 6 pada sore hari, supir taksi menolak permintaan penumpang untuk mengantarkannya sampai ke dalam terminal yang padat. Tuturan (1) menyatakan supir menggunakan kalimat berita untuk menolak permintaan penumpang yang ingin diantarkan sampai ke dalam terminal. Sebagai salah satu peserta tutur, berdasarkan jenis tuturan supir memberitahukan secara langsung kepada penumpang sebagai mitra tutur bahwa dia tidak dapat mengantarkan si penumpang dengan alasan malas Kulir, saiukungannya pang panumpangnya. ‘Malas, satu orang saja penumpangnya’. Pernyataan sopir taksi ini mengimplikasikan penolakan atas permintaan penumpang. Dia langsung mengatakan ketidakinginannya untuk mengantarkan penumpang tersebut sampai ke dalam terminal yang sesak. Sopir berharap penumpang bersedia menerima penolakannya tersebut. Penolakan sopir ini sebenarnya tidak konvensional berdasarkan budaya masyarakat Banjar pada umumnya yang identik dengan penolakan secara tidak langsung atau halus. Kesan yang ditimbulkan oleh sopir taksi ini dalam peristiwa tutur adalah angkuh. Sebab berdasarkan parameter kesopanan sopir taksi ini juga telah melanggar dengan jelas. Biasanya dalam kehidupan masyarakat Banjar jika berkomunikasi antara penutur yang memiliki tingkat jarak sosial akrab atau tidak, maka menolak dengan langsung pun harus disertai isyarat tubuh yang halus (senyum, tertawa). Dalam kenyataanya peristiwa tutur yang terdapat pada data 1 ini tidaklah demikian. Sopir dengan tanpa ekspresi berkata dengan ketusnya kepada penumpang yang baru dikenalnya itu. Sopir memungsikan bahasa ketusnya sebagai ekspresi emosinya yang mungkin sudah lelah seharian menyetir angkutan umumnya itu namun jumlah penumpang tidaklah memadai. Wujud Tuturan Menolak Berbentuk Kalimat Perintah (Imperatif) Kalimat imperatif mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan sesuatu sebagaimana yang diinginkan si penutur. Kalimat imperatif berdasarkan data penelitian menunjukkan adanya perintah tolakan secara tidak langsung yang keras hingga sangat kasar. Wujud tuturan yang dimaksud terdapat pada data berikut. Tuturan 2. P : Paman, lawaskah lagi barangkatnya? ‘Paman, lamakah lagi berangkat?’ S : He ih kai ai ‘iya kakek’ P : Kawakah kita barangkat wayahini an, aku handak lakas nah. ‘Bisakah kita berangkat sekarang juga, aku ingin cepat’ 176 PROSIDING S : Mun handak lakas naik mutur saurang, jangan taksi. ‘Kalau ingin cepat gunakan mobil pribadi, jangan agkutan umum’ Konteks Tuturan Waktu siang hari. Supir taksi yang berada di antrian keberangkatan terminal sedang menunggu penumpang sampai penuh, menolak keras permintaan penumpangnya untuk berangkat. Tuturan supir pada (2) menggunakan kalimat perintah yang cukup keras kepada penumpangnya. Mun handak lakas naik mutur saurang, jangan taksi ‘Kalau ingin cepat gunakan mobil pribadi, jangan agkutan umum’. Padahal penumpang meminta dengan baik-baik agar supir angkutan berkenan menjalankan mobilnya. Supir taksi angkutan umum ini memerintahkan agar penumpang jangan menyuruhnya memberangkatkan segera kendaraan yang disupirinya karena ia sedang menunggu calon penumpang lainnya yang belum datang. Permintan penumpang tersebut membuat dia sedikit naik pitam, sehingga keluarlah pernyataan yang membuat sakit hati si penumpang. Pernyataan sopir angkutan ini juga melanggar norma kesantunan berdasarkan budaya masyarakat Banjar kebanyakan. Berdasarkan parameter kesantunan, jika jarak usia antara lawan tutur berbeda maka sebaiknya tata kata dijaga agar terjalin saling menghormati. Tidak demikian halnya yang terjadi pada peristiwa tutur ini. Penumpang yang usianya lebih tua dari sopir taksi mendapatkan tuturan penolakan langsung dari sang sopir. Cara sopir mengatakan kalimat itu pun terdengar ketus dan sombong sekali. Luapan emosi sopir ini adalah bukti bahwa bahasa dijadikan media ekspresi jiwa yang sedang marah. 4.1.2 Wujud Tuturan Menolak Berbentuk Kalimat Tanya (Interogatif) Tuturan interogatif merupakan tuturan yang mengandung maksud menanyakan sesuatu kepada mitra tutur. Dengan perkataan lain, apabila seorang penutur bermaksud mengetahui jawaban suatu hal atau keadaan, penutur akan bertutur dengan menggunakan kalimat interogatif kepada si mitra tutur. Berdasarkan data menunjukkan wujud tuturan supir angkutan umum jurusan Martapura yang bermaksud menolak secara tidak langsung berbentuk kalimat interogatif ini, seperti contoh berikut. Tuturan 3 P : Paman parak sampai pal anam sudahlah? ‘Paman sudah dekat ya kilo meter 6?’ S : Iya ‘Iya’ P : Kawalah diantarakan sampai Pasar Hanyar? ‘Bisakah PROSIDING 177 S : Napa tih, ulangi pang, siapa tukang antarakan? “Apa, ulangi , siapa yang mengantarkan? Konteks Tuturan Supir angkutan umum jurusan Martapura yang menyuruh penumpangnya agar mengulangi permintaannya dengan maksud menolak karena ada angkutan lain yaitu angkot kuning bisa mengantarkan penumpang tersebut sampai terminal berikutnya. Tuturan supir (3) berwujud kalimat pertanyaan atau interogatif. Penolakan supir terhadap permintaan penumpang memang tidak langsung dinyatakan dengan kata tidak, tetapi melalui pertanyaan balik kepada penumpang. Supir angkutan ini merasa keberatan sekali jika harus mengantarkan sampai pasar Hanyar karena angkutan yang dia supiri hanya boleh sampai terminal induk tidak sampai terminal kecil lainnya. Supir kemungkinan berpikir bahwa penumpang ini tidak pada tempat menyuruhnya sehingga dia pun menjadi keras bicaranya. Tuturan tidak langsung yang memiliki implikatur penolakan dari sopir taksi ini menunjukkan pelanggaran kesantunan. Budaya Banjar mengenal kalimat bentakan sebagai bagian dari ketidaksantunan dalam berbicara. Kalimat suruhan yang yang keluar dari mulut sopir taksi ini bernada kemarahan, dia tidak ingin disuruh penumpang untuk mengantarkan penumpangnya lebih jauh lagi. 4.1.3 Wujud Tuturan Menolak Berbentuk Kalimat Seruan (Ekslamatif) Kalimat ekslamatif adalah kalimat yang digunakan untuk menyatakan seruan terhadap tuturan tertentu. Kalimat ini biasanya menggunakan kata umaa ‘aduh’, nah’nah’, dan ayu ‘ayo’. Contoh kalimat yang dimaksud dalam tuturan supir angkutan umum jurusan Martapura adalah sebagai berikut. Tuturan 4 P : Martapurakah Man? ‘Martapurakah Paman?’ S : Iya, ayu kasi kaina ada pulisi. ‘Iya, ayo cepat nanti ada polisi.’ P : Hadangi satumat Man lah, mahadang kawan lagi dalam gang inya manuju ka sini S : Umaa, lawasnya lagi, kada nah, aku handak hancap. ‘Aduuh, lamanya , tidak bisa, aku mau cepat!’ Konteks Tuturan Seorang calon penumpang meminta supir jurusan Martapura di luar terminal induk agar menunggu pemberangkatan sebab masih ada temannya yang ditunggu. 178 PROSIDING Tuturan (4) menggambarkan kalimat seru bernada tolakan langsung yang dinyatakan oleh supir angkutan umum ini dimaksudkan untuk menolak permintaan si penumpang. Supir merasa terlalu lama memberangkatkan angkutannya jika teman si calon penumpang masih berada di dalam gang di luar jalan raya. Supir pun menggunakan kata seru dalam kalimat tersebut yang memungkinkan calon penumpang merasa tersinggung. Umaa, lawasnya lagi, kada nah, aku handak hancap! ‘Aduuh, lamanya , tidak bisa, aku mau cepat!’ Berdasarkan empat tuturan yang berwujud contoh kalimat (1) kalimat berita atau pernyataan (deklaratif), (2) kalimat perintah (imperatif), (3) kalimat tanya (interogatif), dan (4) kalimat seruan (eksklamatif) yang terdapat pada peristiwa tutur antara penumpang/calon penumpang dengan supir taksi jurusan Martapura, terlihat adanya maksud-maksud tertentu yang ingin disampaikan supir taksi kepada penumpang/calon penumpang. Maksud yang terkandung dalam empat wujud kalimat tersebut ada yang disampaikan baik secara langsung maupun tidak. Secara formal, maksud penutur yaitu supir taksi memang dapat tersampaikan kepada mitra tutur yaitu penumpang/calon penumpang. Namun, ada hal lain yang menjadi proses komunikasi itu menjadi timpang kalau dilihat berdasarkan etika berbahasa karena terjadinya penyimpangan kesantunan dalam bertutur. Akibat supir angkutan tidak menerapkan prinsip kesopanan ini, dia pun menggunakan ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain sehingga komunikasi berjalan dalam situasi yang tidak kondusif, khususnya bagi diri mitra tutur. Hal ini dapat dijelaskan pada bahasan berikutnya. 4.2 Penyimpangan Maksim Kesantunan Berdasarkan Sosiopragmatik Terdapat enam prinsip atau maksim kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech, yaitu (1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang mengutamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan yang mengutamakan rasa simpati pada orang lain. Berdasarkan hasil analisis data penyimpangan yang terjadi pada tuturan menolak supir taksi jurusan Martapura di Kalimantan Selatan ini meliputi maksim kesantunan sebagai berikut. 4.2.1 Maksim Kebijakan atau Kebijaksanaan (Tact maxim) Leech (dalam Rahardi:2005) menyatakan realisasi maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada keinginan untuk mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan PROSIDING 179 memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Berdasarkan prinsip ini, tuturan yang dilakukan oleh supir taksi pada contoh (1) dan (2) telah menyimpang dari maksim kebijakan atau kebijaksanaan (tact maxim). Berdasarkan prinsip kesantunan Leech, tuturan (1) menyimpang dari maksim kebijaksanaan (tact maxim) karena telah melanggar aturan dalam pertuturan dengan cara tidak meminimalkan kerugian terhadap lawan tutur dan memaksimalkan keuntungan bagi lawan bicara. Supir angkutan umum jurusan Martapura di atas melakukan tindakan yang berlawanan dengan maksim kesantunan. Dia menolak mengantarkan penumpangnya sampai ke dalam terminal dengan alasan malas. Di sini jelas sekali, penumpang merasa sakit hati akan jawaban langsung yang berupa berita (deklaratif) dari supir angkutan yang ditumpanginya. Penumpang merasa dirugikan karena supir telah memaksimalkan keuntungan diri sendiri daripada keuntungan penumpang. Tuturan supir angkutan umum jurusan Martapura yang berujud kalimat berita (deklaratif) pada data (1) yang menyimpang dari maksim kebijaksanaan ini adalah sebagai berikut. S : Kulir, saiukungannya pang panumpangnya. ‘Malas, satu orang saja penumpangnya.’ Pernyataan ini mengimplikasikan penolakan langsung. Hal ini bertentangan secara konvensional dalam budaya masyarakat Banjar yang memiliki kebiasaan menolak secara tidak langsung (halus) . Tuturan (1) ini akan menjadi santun jika supir mengganti kalimat yang berwujud berita ini dengan menghilangkan kata malas menggantinya dengan kata maaf dan mengemukakan alasan yang bisa membuat penumpang maklum dengan menggunakan kata ganti sapaan yang santun, seperti contoh di bawah ini. Maaf cil lah, ulun kada kawa nah maantarakan, saikungannya pang panumpangnya, rasa alang-alang, di dalam macet. ‘Maaf bi lah, saya tidak bisa mengantarkan satu orang saja penumpangnya, di dalam macet sekali.’ Demikian pula pada tuturan (2) telah terjadi penyimpangan dari maksim kebijaksanaan (tact maxim) yaitu aturan dalam pertuturan dengan cara meminimalkan kerugian terhadap lawan tutur dan memaksimalkan keuntungan bagi lawan bicara. Data (2) ini memiliki konteks supir taksi yang berada di antrian keberangkatan terminal sedang menunggu penumpang sampai penuh, menolak keras permintaan penumpangnya untuk berangkat, dan supir pun menggunakan kalimat jawaban berbentuk perintah yang kasar sehingga dapat membuat penumpang menjadi tersudutkan melalui jawaban yang menyakitkan hatinya 180 PROSIDING S : Mun handak lakas naik mutur saurang, jangan taksi. ‘Kalau ingin cepat gunakan mobil pribadi, jangan agkutan umum.’ Penumpang merasa mengalami kerugian dalam hal rasa tidak nyaman atas informasi yang diberikan supir kepadanya. Supir angkutan ini tidak memperhitungkan bagaimana rasa sakit hati yang diderita penumpang saat dia berkata yang tidak pada tempatnya itu. Meskipun secara logika pernyataan sopir ini bisa dimengerti karena faktor psikologisnya yang tampak lelah akibat susahnya mencari penumpang, tetapi berdasarkan budaya Banjar, etika berbahasa tetaplah penting dilakukan meskipun bagaimana keadaanya.Tuturan supir angkutan pada tuturan (2) akan menjadi santun jika diganti kalimatnya menjadi Sabar kai lah satumat lagi ‘Sabar kakeklah sebentar saja’. S : Sabar kai lah satumat lagi ‘Sabar kakek lah sebentar saja’. 4.2.2 Maksim Kedermawanan atau Kemurahan (Generosity maxim) Maksim kedermawanan atau kemurahan hati mengharapkan adanya keinginan peserta tutur untuk meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri dan memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri. Berdasarkan prinsip kesantunan Leech, tuturan supir taksi jurusan Martapura yang melanggar maksim yang dimaksud terdapat pada tuturan (1), (2).(3), dan (4). Tuturan (1) berkonteks tuturan sebuah pembicaraan yang terjadi di depan terminal kilo meter 6 telah melanggar maksim kesantunan kedermawanan karena supir taksi menolak permintaan penumpang untuk mengantarkannya sampai ke dalam terminal. Tuturan supir yang berbentuk kalimat berita atau deklaratif yang melanggar maksim kedermawanan tersebut yaitu S : Kulir, saiukungannya pang panumpangnya . ‘Malas, satu orang saja penumpangnya.’ Tuturan sopir angkutan umum pada data (2) memiliki konteks supir yang berada di antrian keberangkatan terminal sedang menunggu penumpang sampai penuh, menolak keras permintaan penumpangnya untuk berangkat. Tuturan sopir ini membuat kecewa penumpang. Kalimat perintah (imperatif) yang menyimpang dari maksim kedermawanan pada data (2) berikut. S : Mun handak lakas naik mutur saurang, jangan taksi. ‘Kalau ingin cepat gunakan mobil pribadi, jangan angkutan umum.’ Tuturan (3) memiliki konteks seorang sopir angkutan umum jurusan Martapura menyuruh penumpangnya agar mengulangi permintaannya dengan maksud menolak apa yang diinginkan penumpang karena ada angkutan lain yaitu angkot kuning yang bisa mengantarkan penumpang tersebut sampai terminal berikutnya.Tuturan supir angkutan umum ini membuat penumpang tidak merasakan kemurahan hati dari mitra tuturnya. Kalimat tuturan yang PROSIDING 181 berbentuk pertanyaan (interogatif) yang menyimpang dari maksim kedermawanan tampak pada contoh berikut. S : Napa tih, ulangi pang, siapa tukang antarakan? ‘Apa, ulangi , siapa yang mengantarkan?’ Tuturan (4) memiliki konteks seorang calon penumpang meminta sopir jurusan Martapura di luar terminal induk agar menunggu pemberangkatan sebab masih ada temannya yang ditunggu. Sopir tersebut menolak dengan menggunakan kalimat seru yang tidak santun. Sopir telah membuat calon penumpang tidak merasakan kemurahan hati sopir angkutan umum tersebut. Sopir tidak bersedia menunggu kedatangan temannya. Kalimat seru yang digunakan sopir angkutan umum jurusan Martapura yang melanggar maksim kesantunan kedermawanan terdapat pada data (4) berikut. S : Umaa, lawasnya lagi, kada nah, aku handak hancap! ‘Aduuh, lamanya , tidak bisa, aku mau cepat!’ Keempat tuturan menyatakan adanya penolakan supir taksi untuk memenuhi permintaan penumpang atau calon penumpangnya. Seandainya supir ini memegang prinsip kesantunan kemurahan hati dia akan segera mengiyakan apa yang diinginkan mitra tutur dengan jawaban iya. Meskipun dengan begitu dia akan merasakan kerugian pada diri sendiri yaitu uang yang didapatkannya pun menjadi kurang dari biasanya. Namun, justru penumpang memperoleh untung berupa waktu yang diinginkannya akan cepat diperolehnya karena akan cepat sampai di tujuan masing-masing. Adapun jika sopir menolak permintaan penumpang, sebaiknya gunakan kalimat yang halus. Etika berbahasa dalam budaya Banjar sangat diperhatikan sebagai bagian dari budaya melayu yang terkenal halus. 4.2.3 Maksim Kerendahan Hati atau Kesederhanaan (Modesty Maxim) Maksim ini memiliki prinsip peserta tutur memaksimalkan ketidakhormatan terhadap diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat terhadap diri sendiri. Berdasarkan prinsip ini tuturan supir angkutan umum pada tuturan (1), (2), (3), dan (4) telah melanggar aturan tersebut. Kalimat-kalimat yang terdapat pada keempat data menggambarkan ketidakhormatan supir angkutan umum kepada penumpang/calon penumpangnya. Seandainya supir melaksanakan maksim kerendahan hati maka dia tidak akan menggunakan kalimat kasar yang tidak santun tersebut. Dia pasti akan memperhalus intonasi maupun bentuk kalimat yang digunakannnya untuk menyatakan penolakan atas yang diinginkan penumpang/calon penumpang. Tuturan supir angkutan pada data (1) yang berbentuk kalimat berita atau deklaratif yang melanggar maksim kerendahan hati tersebut akan lebih santun jika didahului dengan permintaan maaf sebelum menolak permintaan 182 PROSIDING penumpang. Hal ini sebagai salah satu bentuk penghormatan supir angkutan kepada mitra tuturnya. Tuturan yang dimaksud adalah sebagai berikut. S : Kulir, saiukungannya pang panumpangnya. ‘Malas, satu orang saja penumpangnya.’ Menjadi S : Maaf cil lah, ulun kada kawa nah maantarakan, saikungannya pang panumpangnya, rasa alang-alang, di dalam macet. ‘Maaf bi lah, ulun tidak bisa mengantarkan satu orang saja penumpangnya, di dalam macet sekali.’ Tuturan supir angkutan umum pada data (2) dengan konteks supir yang berada di antrian keberangkatan terminal sedang menunggu penumpang sampai penuh, menolak keras permintaan penumpangnya untuk berangkat. Tuturan supir ini membuat kecewa penumpang karena menggunakan pilihan kata yang tidak santun. Supir terlihat sekali tidak menunjukkan rasa rendah hati kepada penumpang. Dia tidak menghormati penumpang sebagai “raja”. Kalimat perintah (imperatif) tolakan tidak langsung yang menyimpang dari maksim kerendahan hati pada data (2) akan terdengar santun jika dituturkan sebagai berikut. S : Mun handak lakas naik mutur saurang, jangan taksi. ‘Kalau ingin cepat gunakan mobil pribadi, jangan angkutan umum.’ Menjadi S : Sabar kai lah satumat lagi ‘Sabar kakeklah sebentar saja’. Tuturan (3) memiliki konteks seorang supir angkutan umum jurusan Martapura menyuruh penumpangnya agar mengulangi permintaannya dengan maksud menolak apa yang diinginkan penumpang karena ada angkutan lain yaitu angkot kuning yang bisa mengantarkan penumpang tersebut sampai terminal berikutnya.Tuturan supir angkutan umum ini membuat penumpang tidak merasakan penghormatan dari mitra tuturnya. Supir angkutan umum ini membuat malu penumpangnya karena memperlakukan si mitra tutur seperti seorang anak-anak. Intonasi dan pilihan kata dalam kalimat tersebut tidak pantas diucapkan kepada orang dewasa yang sama-sama memiliki otak dan perasaan. Kalimat tuturan yang berbentuk pertanyaan (interogatif) yang menyimpang dari maksim kerendahan hati ini akan terdengar santun dan bernilai penghormatan dari sopir angkutan kepada mitra tuturnya jika tuturan sopir menjelaskan dasar kebenaran atas penolakannya tersebut dengan menggunakan penanda kesantunan berupa kata ganti sapaan dan penggunaan kata kada papa’tidak apa-apa’ seperti berikut ini. S : Napa tih, ulangi pang, siapa tukang antarakan? ‘Apa, ulangi , siapa yang mengantarkan?’ PROSIDING 183 Menjadi S : Ulun tuh handakai maantarakan piyan, tapi kada bisa, sualnya jurusan taksi ulun nih kawanya sampai di sini haja, jurusan Pasa Hanyar tuh taksinya, taksi kuning, kaina ulun bisa kana sariki bubuhannya. Kada papa kalu Cil ‘Saya ini sebenarnya mau saja mengantarkan Anda, tetapi tidak bisa, sebab jurusan saya ini bisanya hanya sampai di sini saja, jurusan Pasar Hanyar itu sudah ada angkotnya, nanti saya kenaa marah mereka. Tidak apa-apa kan bi.’ Tuturan supir angkutan umum yang terdapat pada data (4) memiliki konteks seorang calon penumpang meminta supir jurusan Martapura di luar terminal induk agar menunggu pemberangkatan sebab masih ada temannya yang ditunggu. Sopir tersebut menolak dengan menggunakan kalimat seru yang tidak santun. Calon penumpang tidak merasakan kerendahan hati supir angkutan umum tersebut. Sopir tidak bersedia menunggu kedatangan temannya. Kalimat seru dengan menggunakan kata seru uma’aduh’ ini seolaholah memposisikan calon penumpang pada kondisi yang salah. Sopir angkutan seakan-akan berada di atas kepentingan penumpang. Sopir angkutan diposisikan sebagai orang yang dibutuhkan sehingga dia menunjukkan rasa sombongnya dengan menolak permintaan calon penumpangnnya melalui kalimat yang tidak hormat tersebut. Kalimat seru yang digunakan sopir angkutan umum jurusan Martapura yang melanggar maksim kesantunan kerendahan hati ini yang terdapat pada data (4) ini akan terdengar santun sesuai maksim kerendahan hati jika menggunakan kalimat yang lebih lembut dengan penanda kesopanan seperti kada papa kan, ‘tidak apa-apa kan’dan maaf ‘maaf’ sebagaimana yang dimaksudkan Leech, seperti berikut. S : Umaa, lawasnya lagi, kada nah, aku handak hancap. ‘Aduuh, lamanya, tidak bisa, aku mau cepat!’ Menjadi S : Mun ku tinggalakan kada papa kalu, panumpang lain handak hancap pang, maaflah. ‘Kalau ku tinggalkan tidak apa-apa kan, penumpang lain ingin cepat, maaflah.’ 4.2.4 Maksim Penghargaan, Penerimaan, atau Pujian (Approbation Maxim) Maksim ini memiliki prinsip meminimalkan penghargaan, penerimaan atau pujian terhadap diri sendiri dengan cara memaksimalkan penghargaan, penerimaan atau pujian terhadap orang lain. Melalui penerapan maksim ini diharapkan peserta tutur tidak saling mengejek dan mencaci. Berdasarkan teori kesantunan Leech ini, telah terjadi penyimpangan maksim penghargaan 184 PROSIDING dalam tuturan sopir angkutan pada data (3) yang memiliki konteks seorang sopir angkutan umum jurusan Martapura menyuruh penumpangnya agar mengulangi permintaannya dengan maksud menolak apa yang diinginkan penumpang karena ada angkutan lain yaitu angkot kuning yang bisa mengantarkan penumpang tersebut sampai terminal berikutnya. Tuturan supir angkutan umum ini membuat penumpang merasa diremehkan atau diejek oleh mitra tuturnya. Supir angkutan menyuruhnya mengulang pertanyaan yang dia ajukan di tengah penumpang lainnya. Rasa malu dan jengkel pun dapat menimpa si penumpang. Kalimat tuturan yang berbentuk pertanyaan (interogatif) yang menyimpang dari maksim penghargaan yang dimaksud akan menjadi lebih santun berdasarkan budaya masyarakat Banjar jika kalimat supir angkutan ini menggunakan penanda kesopanan maaf dan kata ganti sapaan seperti di bawah ini S : Napa tih, ulangi pang, siapa tukang antarakan? ‘Apa, ulangi , siapa yang mengantarkan?’ Menjadi S : Maaf, kada kawa banar ulun. ‘Maaf, tidak bisa sama sekali saya.’ 4.2.5 Maksim Kemufakatan (Agreement Maxim) Maksim kemufakatan disebut pula dengan maksim kecocokan (Wijana, 1996:59). Dalam maksim ini menekankan para peserta tutur dapat membina kecocokan atau kemufakatan dalam kegiatan bertutur. Berdasarkan hasil penelitian menyatakan keempat wujud tuturan supir angkutan umum jurusan Martapura pada data (1), (2), (3), dan (4) telah melanggar maksim ini. Dalam tuturan tersebut tidak satupun yang menghasilkan kemufakatan. Supir angkutan umum tersebut menolak semua keinginan penumpang/calon penumpangnya dengan menggunakan kalimat yang tidak santun. 4.2.6 Maksim Kesimpatisan (Sympathy Maxim) Maksim ini menuntut peserta tutur untuk memaksimalkan sikap simpati dan menghindari sikap antipasti sehingga tidak melahirkan kalimat tuturan yang sinis. Maksim kesimpatisan biasanya tuturan yang terjalin diiringi dengan anggukan, senyuman, gandengan tangan, dan lambaian tangan. Hasil analisis keempat data menunjukkan bahwa semua kalimat tutur supir angkutan pada tuturan (1), (2), (3), dan (4) telah melanggar maksim ini. Penyimpangan yang terjadi ditandai dengan sikap dan intonasi serta penggunaan kalimat tolakan dari penutur atau supir angkutan umum jurusan Martapura yang terdengar dan terlihat kasar atau sinis, sebagaimana penggalan contoh berikut PROSIDING 185 Tuturan 1 S : Kulir, saiukungannya pang panumpangnya. ‘Malas, satu orang saja penumpangnya.’ Tuturan 2 S : Mun handak lakas naik mutur saurang, jangan taksi. ‘Kalau ingin cepat gunakan mobil pribadi, jangan angkutan umum’ Tuturan 3 S : Napa tih, ulangi pang, siapa tukang antarakan? ‘Apa, ulangi , siapa yang mengantarkan?’ Tuturan 4 S : Umaa, lawasnya lagi, kada nah, aku handak hancap. ‘Aduuh, lamanya, tidak bisa, aku mau cepat!’ Berdasarkan maksim ini jelas sopir taksi memang telah melanggar kesantunan dalam berkomunikasi dengan penumpang. Sopir menyampaikan pesan secara ketus dengan nada marah (sombong). Parameter kesantunan saat peristiwa tutur ini terjadi juga dilanggar. Jika tingkat sosial lebih rendah dari lawan tutur biasanya bahasa yang digunakan lebih tertata. Namun, tidak demikian halnya yang terjadi. Sopir angkutan umum memiliki status yang berada di bawah status penumpang, penumpang adalah raja. Akan tetapi, sopir tidak berpegang dengan parameter ini. Dia dengan semaunya melanggar adat kebiasaan dalam masyarakat Banjar dalam berbahasa santun. 5. Penutup 5.1 Simpulan Berdasarkan data dan pembahasan dapat disimpulan wujud tuturan sopir angkutan umum jurusan Martapura yang bermakna menolak berdasarkan analisis sosiopragmatik dalam bentuk (1) kalimat berita atau pernyataan (deklaratif), (2) kalimat perintah (imperatif), (3) kalimat tanya (interogatif),(4) kalimat seruan (eksklamatif). Penyimpangan enam maksim kesantunan terjadi pada empat wujud tuturan berdasarkan analisis sosiopragmatik tersebut, yaitu (1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang mengutamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan yang mengutamakan rasa simpati pada orang lain. 186 PROSIDING 5.2 Saran Bagi peneliti berikutnya hendakanya menelaah kesantunan berbahasa tuturan sopir angkutan umum ini dengan kajian yang lebih dalam lagi berdasarkan ilmu sosiopragmatik. Semoga hasil penelitian ini akan menambah khazanah kepenelitian bahasa daerah. Daftar Pustaka Brown and S.C. Levinson.1987. Politennes Some Universals in Language Usage, Cambridge: Cambridge University Press Chaer, Abdul dkk.1997. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Chaer, Abdul dkk.2010. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Djajasudarma, T. Fatimah 1993. Metode Linguistik; Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung. PT Eresco Eelen, Gino. 2001. Kritik Teori Kesantunan. Terjemahan oleh Jumadi dan Rianto, Slamet. 2006. Surabaya. Airlangga University Press. Gunawan, Asim.1992. Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan IndonesiaJawa di Jakarta; Kajian Sosiopragmatik; dalam PELBA 7. Penyunting Bambang Kaswanti Purwo. Yogyakarta:Kanisius Geertz, C.(1960. ‘Linguistic Etiquette’, in J.A. Fishman, Reading in the Sociology of Language. Netherlands; Mouton Publishers Moleong, L. J. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Leech, Geogffrey N. 1989. Principles of Pragmatics. London.Longman Rahardi, R. Kunjana. 2005. Pragmatik. Jakarta:Erlangga Rahardi, R. Kunjana. 2002. Sosiopragmatik. Jakarta:Erlangga Tarigan, Henry Guntur. 1990. Sosiopragmatik. Bandung: Angkasa. Wijana, I DewaPutu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi Yule, George. 1996. Pragmatics. Terjemahan Jumadi. 2006. Pragmatik. Banjarmasin: Unlam. Zamzani. 2007. Kajian Sosiopragmatik. Yogyakarta: Cipta Pustaka. PROSIDING 187 188 PROSIDING PENGGUNAAN MEDIA KARTU GAMBAR UNTUK MENINGKATKAN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERBICARA DI SD MUHAMMADIYAH SANGONAN 3 GODEAN Roni Sulistiyono, S.Pd.,M.Pd. pos-el: roniuad@yahoo.co.id Universitas Ahmad Dahlan Inti Sari Pembelajaran keterampilan berbicara di SD Muhammadiyah Sangonan 3 belum bisa dikatakan maksimal sehingga menyebabkan keterampilan berbicara siswa rendah. Permasalahan rendahnya keterampilan berbicara siswa salah satunya disebabkan oleh kurangnya inovasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Inovasi pembelajaran yang jarang dilakukan adalah terkait penggunaan media. Oleh karena itu, penggunaan media kartu gambar menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan pembelajaran keterampilan berbicara. Adapun tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan penggunaan media kartu gambar dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Penelitian ini termasuk pada penelitian tindakan kelas. Subjek penelitiannya adalah siswa dan guru kelas V SD Muhammadiyah Sangonan 3 yang terlibat dalam pelaksanaan pembelajaran. Sementara itu, objek penelitian ini adalah proses pembelajaran berbicara menggunakan media kartu gambar pada siswa kelas V SD Muhammadiyah Sangonan 3. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, kajian dokumen, angket, dan tes. Teknik analisis datanya adalah teknik deskriptif komparatif dan teknik analisis kritis. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan media kartu gambar mampu meningkatkan pembelajaran keterampilan berbicara, baik mengenai proses maupun hasil. Peningkatan proses terlihat dari keantusiasan siswa dalam mengikuti pelajaran, kemampuan guru dalam membangkitkan semangat siswa, dan keberanian siswa untuk berbicara, serta cara mengajar guru menjadi menarik dan tidak membosankan. Dari segi hasil, nilai rata-rata pembelajaran keterampilan berbicara mengalami peningkatan dari pratindakan ke siklus I sebesar 16,5 dan dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan sebesar 7,74. Kata kunci: peningkatan, keterampilan berbicara, kartu gambar PROSIDING 189 Abstract The skill teaching in Muhammadiyah Elementary School in Sangonan 3 cannot be said as the maximum effort, therefore it causes the speaking ability is very low. The low ability is caused by the lack of the teacher’s innovation in teaching. The innovation in teaching is rare for using the media of teaching. Therefore, the usage of media of card picture can be an alternative for improving the skill in speaking. The intention of this research is to describe the usage of the media of card in speaking skill. This research is included in the action research. The subjects of the research are the students and the teachers in 5th year student in Muhammadiyah Elementary school of Sangonan 3 that is taking part in the teaching process. While, the object of the research is the teaching process that used the media of card pictures on the students of 5th year Muhammadiyah Sangonan 3 students. The collecting data techniques in this research are observation, interview, document review, questioners, and test. The technique of analysis that will be used are the descriptive-comparative analysis and critical analysis. Based on the result, this conclusion of this research is that the usage of the card picture can improve the student speaking ability in the process as well as the result. The process improvement can be seen on the student’s enthusiasm in joining the teaching process, the teacher ability to encourage student’s motivation, student’s encouragement and the way the teacher that is more interesting. Based on the result, the average score in this speaking process increase from pre-action to the cycle 1 to 16,5, cycle 1 to 2 increases to 7,74. Key words: improvement, speaking skill, card pictures. 1. Pendahuluan Keterampilan berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang bersifat produktif, artinya suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengungkapkan gagasan, pikiran, atau perasaan kepada orang lain secara lisan. Agar dapat menyampaikan pembicaraan yang efektif, pembicara dituntut memahami isi pembicaraannya (Arsjad dan Mukti, 1988: 24). Tarigan (1987: 8) berpendapat bahwa berbicara berarti mengemukakan ide atau pesan lisan secara aktif melalui lambang-lambang bunyi agar terjadi kegiatan komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Memang, setiap orang dikodratkan untuk bisa berbicara, tetapi tidak semua orang memiliki keterampilan berbicara secara baik dan benar. Oleh karena itu, pembelajaran berbicara penting diajarkan di sekolah dan perlu mendapat perhatian dalam pengajaran keterampilan berbahasa di sekolah. Seperti yang diungkapkan Galda (dalam Supriyadi, 2005: 178) keterampilan berbicara di sekolah dasar merupakan inti dari proses pembelajaran bahasa di sekolah. Dengan pembelajaran berbicara, siswa dapat berkomunikasi 190 PROSIDING di dalam maupun di luar kelas sesuai dengan perkembangan jiwanya. Pendapat tersebut juga didukung oleh Farris (dalam Supriyadi, 2005: 179) yang menyatakan bahwa pembelajaran keterampilan berbicara penting diajarkan. Hal itu dikarenakan dengan keterampilan berbicara siswa mampu mengembangkan kemampuan berpikir, membaca, menulis, dan menyimak. Kemampuan berpikir tersebut akan terlatih ketika mereka menyampaikan pesan kepada orang lain secara lisan. Namun, pada kenyataannya pembelajaran berbicara di sekolahsekolah belum bisa dikatakan maksimal sehingga keterampilan siswa dalam berbicara pun rendah. Permasalahan dalam pembelajaran keterampilan berbicara juga terjadi pada siswa kelas V SD Muhammadiyah Sangonan 3. Hal itu dapat diketahui berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru kelas yang menyatakan bahwa rendahnya pembelajaran keterampilan berbicara siswa disebabkan oleh (1) sikap dan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran berbicara rendah. Pada umumnya siswa merasa takut dan malu saat mendapat tugas tampil berbicara di depan teman-temannya. (2) Siswa kurang terampil berbicara sebagai akibat dari kurangnya latihan. Menurut guru, kegiatan berbicara selama ini masih kurang mendapat perhatian. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya waktu pembelajaran Bahasa Indonesia jika digunakan untuk melakukan praktik berbicara secara individu. (3) Pembelajaran berbicara yang dilakukan guru dapat dikatakan masih sederhana atau konvensional karena masih bertumpu pada buku pelajaran. Ketergantungan pada buku pelajaran tersebut menyebabkan guru enggan menggunakan media yang lain. (4) Sebagian besar siswa tidak dapat berbicara menggunakan kalimat berbahasa Indonesia yang gramatikal. Kalimat yang diucapkannya tidak mengandung gagasan yang tepat dan masih terpengaruh bahasa daerah. Berdasarkan permasalahan tersebut, pembelajaran keterampilan berbicara di SD Muhamamdiyah Sangonan 3 memerlukan sebuah inovasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Inovasi pembelajaran tersebut, salah satunya, berkaitan dengan pemanfaatan media pembelajaran yang tepat dan menarik bagi siswa. Media yang dianggap tepat tersebut salah satunya adalah media kartu gambar. Dengan menggunakan media ini, siswa dapat berlatih berbicara dengan menggunakan kalimat berbahasa Indonesia dengan cara menghubungkan isi dari setiap gambar. Harapannya dengan menggunakan media kartu gambar keterampilan berbicara siswa dapat meningkat. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan pembelajaran berbicara menggunakan media kartu gambar. PROSIDING 191 2. Kerangka Teori Di dalam penelitian ini digunakan teori yang terkait dengan cara memainkan kartu gambar. Teori yang digunakan untuk melakukan penelitian ini mengikuti pendapat Suparno (1988:23) dan Ismawati (2011:149—150). Adapun cara memainkan kartu gambar dalam keterampilan berbicara siswa diuraikan sebagai berikut. (1) Para pemain dibuat berkelompok (4-7 orang) dengan posisi duduk melingkar. (2) Setelah dikocok, kartu dibagikan kepada para pemain. Seorang pemain mendapat 5-7 kartu. (3) Salah satu kartu yang tersisa diletakkan terbuka di atas meja. Permainan bertolak dari kartu ini. (4) Setelah melihat kartu di atas meja, pemain pertama memilih salah satu kartu yang dipegang berhubungan dengan kartu di atas meja. Dalam waktu yang singkat, pemain pertama harus menyusun kalimat yang isinya merangkum kedua gambar tersebut. Sambil mengucapkan kalimat, pemain tersebut meletakkan kartunya sehingga menutupi kartu pertama tadi. (5) Pemain berikutnya dan pemain lain secara bergiliran melakukan cara yang serupa dengan pemain pertama. (6) Pemain dianggap tidak sah apabila kalimat yang disusun tidak gramatikal, isi kalimat tidak sesuai gambar, atau waktu terlalu lama. Pemain yang demikian tidak boleh menjatuhkan kartunya. Kemudian, berlanjut ke giliran pemain berikutnya. Dengan demikian pemain yang tidak menjatuhkan kartunya akan kehilangan satu putaran. (7) Pemain yang dinyatakan menang adalah pemain yang lebih awal kartunya habis. 3. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SD Muhammadiyah Sangonan 3. Pemilihan SD Muhammadiyah Sangonan 3 ini sebagai sasaran penelitian dengan pertimbangan bahwa SD Muhammadiyah Sangonan 3 merupakan salah satu SD Muhammadiyah di Kecamatan Godean yang memiliki keterampilan berbicara rendah. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Subjek penelitian ini ialah siswa dan guru kelas V SD Muhammadiyah Sangonan 3 yang terlibat dalam pelaksanaan pembelajaran keterampilan berbicara. Hal ini disebabkan oleh peneliti hanya sebagai pengamat, sedangkan guru sebagai kolabolator. Sementara itu, objek penelitian ini adalah proses pembelajaran berbicara menggunakan media kartu gambar pada siswa kelas V SD Muhammadiyah Sangonan 3. 192 PROSIDING Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah observasi, wawancara, kajian dokumen, angket, dan tes. Sementara itu, teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif komparatif dan teknik analisis kritis. Menurut Suwandi (2009: 61), teknik deskriptif komparatif digunakan untuk data kuantitatif. Teknik deskriptif komparatif ini digunakan untuk membandingkan nilai kemampuan keterampilan berbicara siswa sebelum tindakan dengan nilai pada setiap siklus. Untuk menentukan tingkat keberhasilan keterampilan berbicara diperlukan indikator kinerja. Indikator kinerja ini merupakan tolak ukur keberhasilan penelitian yang dilakukan. Nilai keberhasilan yang sudah ditentukan oleh guru bersama peneliti adalah 7,5. Sementara itu, teknik analisis kritis digunakan untuk data-data kualitatif (Suwandi, 2009: 61). Teknik analisis kritis dalam penelitian ini digunakan untuk mengungkapkan kekurangan dan kelebihan kinerja siswa dan guru pada saat proses belajar mengajar berlangsung. 4. Hasil Penelitian dan Pembahasan Peningkatan pembelajaran keterampilan berbicara menggunakan media kartu gambar yang dapat dilihat pada kegiatan belajar mengajar pada pratindakan siklus I dan siklus II. 4.1 Pratindakan Berdasarkan hasil observasi di kelas diperoleh informasi bahwa pembelajaran keterampilan berbicara pada tahap pratindakan guru sudah melaksanakan tahap-tahap mengajar, yaitu pembukaan, inti, dan penutup. Pada tahap pembukaan, guru sudah menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan garis besar materi, dan melakukan apersepsi. Pada tahap inti, guru sudah berusaha mengaktifkan siswa, tetapi usaha yang dilakukan guru belum membuahkan hasil yang maksimal. Cara yang dilakukan guru untuk mengaktifkan siswa masih secara tradisional, yaitu menegur siswa dan memberi pertanyaan kepada siswa. Hal itu bukan dimulai dari aktivitas guru yang bisa memberikan daya tarik bagi siswa, misalnya pemanfaatan media yang menarik bagi siswa. Selain itu, guru belum mampu membangkitkan motivasi belajar siswa. Hal itu dapat diketahui dari persentase siswa yang aktif mengikuti pembelajaran masih rendah. Dalam kegiatan inti, guru belum melaksanakan pembelajaran keterampilan berbicara secara maksimal. Hal itu dikarenakan kompetensi dasar yang diajarkan adalah berbicara, tetapi fokus pembelajarannya menulis. Kegiatan yang akan disampaikan secara lisan sudah dituliskan terlebih dahulu oleh siswa. Namun, masih saja keberanian siswa untuk berbicara mengungkapkan hasil tulisannya masih rendah. Selain itu, media yang dipakai guru dalam PROSIDING 193 pembelajaran berbicara masih terbatas pada buku teks. Pada tahap akhir pembelajaran, guru sudah membuat kesimpulan secara bersama dengan siswa dan melakukan evaluasi. Pengamatan terhadap siswa pada pembelajaran berbicara sebelum tindakan dapat diperoleh gambaran bahwa respon siswa terhadap guru masih rendah. Hal ini tampak pada kenyataan bahwa hanya dua siswa yang mau merespon guru untuk berani berbicara di depan teman-temannya. Dalam hal ini, ada siswa yang benar-benar tidak berani dan tidak percaya diri untuk berbicara di depan. Keaktifan siswa untuk mengerjakan tugas yang diberikan guru juga rendah. Apabila siswa diberi tugas oleh guru, siswa belum memiliki rasa tanggung jawab bahwa tugas itu harus dikerjakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru diperoleh gambaran bahwa guru merasa kesulitan untuk memilih strategi mengajar yang pas untuk siswa. Hal itu dikarenakan latar belakang siswa yang sangat bervariasi dan kondisi “yang biasa-biasa saja”. Hal kemampuannya ikut mempersulit pemilihan strategi mengajar. Berdasarkan angket yang diberikan kepada siswa dapat diketahui bahwa sebagian besar siswa merasa senang dengan pelajaran bahasa Indonesia, yaitu 87,5% siswa merasa senang. Akan tetapi, hanya 25% siswa yang berani berbicara di depan pada saat pembelajaran keterampilan berbicara. Hal itu disebabkan oleh 62,5% siswa merasa bahwa pembelajaran keterampilan berbicara itu membosankan. Pada saat pembelajaran berlangsung sebagian besar siswa ramai berbicara dengan temannya dan tidak fokus pada pelajaran. Hal itu terbukti pada isian angket yang menjelaskan bahwa 75% siswa mengatakan berbicara dengan temannya pada saat pelajaran. Sementara itu 56,25% siswa merasa mengantuk pada saat pembelajaran berlangsung, dan 50% siswa senang bermain dengan temannya pada saat pelajaran. Permasalahan rendahnya perhatian siswa pada saat mengikuti pelajaran disebabkan oleh cara mengajar guru kurang menarik dan membosankan bagi siswa. Hal itu dikatakan oleh 43,75% siswa sehingga hanya 37% siswa mengatakan bahwa nilai pembelajaran keterampilan berbicaranya baik. Padahal, selama ini guru sudah memberikan motivasi kepada siswa. Hal itu dikatakan oleh 81,25 % siswa. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap pembelajaran keterampilan berbicara dapat diambil kesimpulan bahwa apabila dilihat dari indikator kinerja/kriteria ketuntasan minimal (KKM), siswa kelas V SD Muhammadiyah Sangonan 3 tidak ada yang memenuhi KKM. Nilai rata-rata keterampilan berbicara siswa adalah 62,13 yang artinya nilai rata-rata keterampilan berbicara rendah. Rendahnya keterampilan berbicara dapat dilihat dari kemampuan gramati- 194 PROSIDING kalnya dengan nilai rata-rata 23,13, artinya, unsur gramatikal yang digunakan lebih dari lima kali tidak tepat, kosakata yang digunakan cukup dan bervariasi. Sementara itu, nilai rata-rata kesesuaian isi kalimat dengan gambar dapat diperoleh rata-rata nilai 24, artinya, kalimat yang disampaikan ada lebih dari lima kata yang tidak sesuai dengan gambar. Kecepatan berpikir siswa yang dilisankan pun juga rendah. Hal itu dapat dilihat pada ketepatan waktu yang digunakan siswa untuk berbicara memiliki rata-rata nilai 15, artinya, waktu yang dipakai untuk menyusun kalimat >1 menit. 4.2 Siklus I Pembelajaran siklus I dilakukan dalam empat tahap, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Masing-masing tahap dijelaskan sebagai berikut. 1) Perencanaan Tahap perencanaan dilakukan oleh peneliti berkolaborasi dengan guru kelas V SD Muhammadiyah Sangonan 3. Tahap perencanaan dilakukan dengan kegiatan menentukan hari pelaksanaan siklus I, materi yang akan diajarkan, pembuatan media kartu gambar, penyusunan RPP, dan penyusunan lembar observasi. 2) Tindakan Langkah-langkah pembelajaran keterampilan berbicara pada siklus I sebagai berikut. (1) Guru memulai dengan membuka pelajaran, dilanjutkan presensi dan menjelaskan tujuan pembelajaran. Untuk mengawali kegiatan inti, guru bertanya-jawab dengan siswa, berkaitan dengan masalah faktual dan menjelaskan faktor-faktor yang perlu diperhatikan pada saat berbicara. (2) Guru menjelaskan pembelajaran masalah faktual dengan menggunakan media kartu gambar dan menjelaskan langkah-langkah pembelajaran berbicara dengan kartu gambar. Tidak lupa guru menjelaskan aturan dalam bermain kartu gambar. (3) Guru membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok, masing-masing kelompok empat siswa. (4) Permainan dimulai dari kelompok satu dengan cara guru membagikan kartu gambar pada masing-masing siswa. Masing-masing siswa mendapat lima kartu dan kartu yang disisakan sejumlah lima buah. Selanjutnya, permainan dimulai sesuai dengan langkah-langkah permainan kartu gambar. (5) Setelah semua kelompok sudah bermain kartu gambar, guru memberikan evaluasi pembelajaran berbicara dengan Kompetensi Dasar 6.1, yaitu Mengomentari persoalan faktual disertai alasan yang mendukung dengan memperhatikan pilihan kata dan santun berbahasa. PROSIDING 195 3) Pengamatan Tahap pengamatan dilakukan oleh peneliti untuk mengamati jalannya pembelajaran keterampilan berbicara, baik pada guru maupun siswa. Hasil pengamatan tersebut ialah bahwa siswa lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran keterampilan berbicara menggunakan media kartu gambar dibandingkan dengan aktivitas siswa pada pratindakan. Pada pratindakan siswa masih terlihat pasif, enggan berbicara, bertanya, dan menjawab pertanyaan guru. Siswa bersikap demikin karena kurang memiliki minat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Kurangnya minat siswa disebabkan oleh cara mengajar guru yang kurang menarik dan membosankan. Sementara itu, pada siklus I ini aktivitas siswa menunjukkan peningkatan, siswa mulai ada yang berani bertanya apabila tidak paham dengan penjelasan guru, berani berbicara, dan berani menjawab pertanyaan-pertanyaan guru meskipun belum semua siswa. Meskipun demikian aktivitas siswa dalam proses pembelajaran keterampilan berbicara pada siklus I masih tergolong rendah. Hal itu dibuktikan dengan kemampuan siswa untuk menyusun kalimat secara gramatikal masih rendah dengan bukti adanya pemakaian kosa kata berbahasa Jawa dan pemakaian kosa kata tidak baku. Kemampuan menafsirkan gambar kedalam sebuah kalimat pun masih sulit. Hal itu terbukti bahwa siswa membutuhkan waktu yang lama untuk menyusun sebuah kalimat, bahkan masih ada kalimat yang disusun tidak sesuai dengan gambar. Peningkatan proses pembelajaran keterampilan berbicara juga terjadi pada aktivitas guru. Melalui kegiatan bermain kartu gambar ini guru mampu membangkitkan semangat dan keberanian siswa untuk berbicara. Cara mengajar guru menjadi menarik dan tidak membosankan, serta mampu memotivasi siswa agar berkonsentrasi penuh pada saat bermain kartu gambar. 4) Refleksi Selesai melaksanakan tindakan pembelajaran keterampilan berbicara pada siklus I, guru bersama peneliti melaksanakan refleksi. Kegiatan refleksi ini bertujuan untuk memperbaiki masalah yang terjadi pada tindakan. Hal-hal yang perlu direfleksi atas pelaksanaan pembelajaran keterampilan berbicara pada siklus I adalah masih ada siswa yang belum mampu menyusun kalimat secara gramatikal. Hal itu disebabkan oleh pemakaian kata tidak baku, pemakaian kata berbahasa daerah, dan ketidakjelasan subjek-predikat dalam kalimat. Selain itu, kemampuan siswa menafsirkan kedua gambar untuk dibuat sebuah kalimat juga perlu diperbaiki. Aktivitas guru pun ada yang perlu direfleksi, yaitu ketegasan dalam menerapkan aturan permainan kartu gambar. Dalam hal ini, guru kurang tegas melarang siswa menjatuhkan kartu apabila kalimat yang disusun tidak gramatikal. 196 PROSIDING Untuk mengatasi permasalahan tersebut, guru bersama peneliti mencari solusi. Solusi bagi siswa yang belum mampu menyusun kalimat secara gramatikal ialah guru memberikan penjelasan terkait dengan kriteria kalimat yang gramatikal. Guru menjelaskan bahwa kalimat yang gramatikal tidak dipengaruhi oleh kosa kata tidak baku dan jauh dari pengaruh bahasa daerah. Untuk memberikan solusi atas ketidakmampuan siswa menafsirkan kedua gambar ke dalam sebuah kalimat ialah guru mengawali dengan pemberian kata kunci untuk gambar yang sekiranya membingungkan. Guru menggantikan gambar-gambar yang sulit dengan gambar yang mudah sesuai faktual. Terkait dengan masalah guru yang kurang tegas dalam menegakkan aturan, guru diberi pengertian secara langsung supaya tegas. Berdasarkan evaluasi terhadap penilaian berbicara dapat diketahui bahwa pada siklus I mengalami peningkatan sebesar 16,5, yaitu dari nilai rata-rata 62,13 ke 78,63. Nilai unsur gramatikal kalimatnya pun mengalami peningkatan sebesar 7,31 yaitu dari nilai rata-rata pratindakan 23,13 ke 30,44. Selain itu, rata-rata nilai kesesuaian kalimat dengan gambar juga mengalami peningkatan sebesar 7,06, yaitu dari nilai rata-rata pratindakan 24 ke 31,06. Sementara itu, nilai ketepatan waktu yang dibutuhkan siswa untuk merangkai kalimat pun mengalami peningkatan sebesar 2, yaitu kegiatan pratindakan diperoleh nilai rata-rata 15 dan siklus I diperoleh rata-rata 17. 4.3 Siklus II Pelaksanaan pembelajaran pada siklus II ini dilakukan dalam empat tahap, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Masing-masing tahap dijelaskan sebagai berikut. 1) Perencanaan Perencanaan kegiatan pada siklus II didasarkan pada hasil refleksi pada siklus I. Oleh karena itu, tujuan perencanaan pada siklus II ialah untuk meningkatkan setiap aspek yang belum maksimal pada siklus I. Pada siklus I, proses pembelajaran dan semua aspek kemampuan berbicara siswa sudah mengalami peningkatan yang cukup baik. Namun, kemampuan itu belum dapat dikatakan maksimal. Guru dan peneliti sepakat untuk melakukan perbaikan pada siklus II. Setelah itu guru dan peneliti menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan pada siklus II. Adapun tindakan yang dilakukan oleh peneliti dan guru pada siklus ini sebagai berikut. (1) Peneliti memperbaiki rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang didasarkan pada hasil refleksi siklus I. (2) Menyiapkan materi pembelajaran untuk kriteria penulisan kalimat yang sesuai dengan gramatikal. PROSIDING 197 (3) Menyiapkan instrumen penelitian berupa lembar observasi dan alat untuk mendokumentasikan kegiatan. (4) Menyiapkan lembar penilaian tugas berbicara. 2) Tindakan Langkah-langkah pembelajaran keterampilan berbicara pada siklus II didasarkan pada langkah-langkah RPP yang sudah disusun antara peneliti bersama dengan guru. Adapun langkah-langkah pembelajaran keterampilan berbicara pada siklus II sebagai berikut. Guru mengawali kegiatan dengan membuka pelajaran yang dilanjutkan presensi dan menjelaskan tujuan pembelajaran. Selanjutnya, guru bertanya jawab dengan siswa berkaitan dengan masalah faktual dan menjelaskan mengenai faktor-faktor yang perlu diperhatikan pada saat berbicara. Tak lupa guru menjelaskan kriteria kalimat yang gramatikal sebagai bentuk tindak lanjut refleksi siklus I. Guru menjelaskan pembelajaran masalah faktual dengan menggunakan media kartu gambar dan menjelaskan langkah-langkah bermain kartu gambar serta menjelaskan aturan dalam bermain kartu gambar. Kegiatan selanjutnya ialah guru membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok, masing-masing kelompok empat siswa. Permainan dimulai dari kelompok satu dengan cara guru membagikan kartu gambar pada masing-masing siswa. Masing-masing siswa mendapat lima kartu dan kartu yang disisakan sejumlah lima. Selanjutnya permainan dimulai sesuai dengan langkah-langkah permainan kartu gambar. Setelah semua kelompok bermain kartu gambar, guru memberikan evaluasi pembelajaran berbicara dengan Kompetensi Dasar 6.1 Mengomentari persoalan faktual disertai alasan yang mendukung dengan memperhatikan pilihan kata dan santun berbahasa. 3) Pengamatan Tahap pengamatan dilakukan oleh peneliti untuk mengamati jalannya pembelajaran keterampilan berbicara, baik pada guru maupun siswa. Hasil pengamatan dapat dijelaskan bahwa pelaksanan pembelajaran keterampilan berbicara pada siklus II sudah mengalami peningkatan meskipun peningkatan itu tidak signifikan. Siswa sudah berani berbicara merangkai kalimat di depan kelas dan waktu yang dibutuhkan untuk merangkai kalimat dapat secara tepat. Yang tetap menjadi permasalahan ialah kemampuan merangkai kalimat masih terpengaruh pada penggunaan kosa kata tidak baku. Hal ini dirasa sulit oleh siswa meskipun jumlah prosentasenya tidak sebanyak pada siklus I. Selain itu, siswa masih ada yang salah dalam menafsirkan gambar. Selain menggunakan lembar pengamatan untuk memberikan gambaran pelaksanaan pembelajaran keterampilan berbicara pada siklus II, peneliti juga mengedarkan angket kepada siswa. Hasil angket tersebut dapat disajikan sebagai berikut. 198 PROSIDING (1) Sebagian besar siswa merasa senang menggunakan media kartu gambar dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Hal itu dibuktikan oleh hasil angket menunjukkan 87,50% siswa mengatakan senang. Sejumlah 87,50% siswa mengatakan bahwa penggunaan media kartu gambar memberikan keberanian berbicara di hadapan umum dan sejumlah 87,50% siswa mengatakan media kartu gambar memberikan motivasi dalam pembelajaran keterampilan berbicara. (2) Sementara itu sejumlah 81, 25% siswa mengatakan bahwa media kartu gambar memberikan rangsangan kepada siswa untuk menyusun kalimat faktual dan pembelajaran keterampilan berbicara dengan menggunakan media kartu gambar memberikan daya tarik bagi siswa. Hal itu dikatakan oleh 87,50% siswa. Akan tetapi, ada 25% siswa mengatakan bahwa penggunaan media kartu gambar justru menjadi takut untuk berbicara dan 18,75% siswa mengatakan media kartu gambar justru membosankan serta sejumlah 12,50% siswa mengatakan bahwa media kartu gambar justru membuat mengantuk. 4) Refleksi Hal-hal yang perlu direfleksi atas kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara pada siklus II adalah masih ada siswa yang kalimatnya terpengaruh pada kosa kata tidak baku, kemampuan siswa untuk menafsirkan gambar masih salah. Terkait pada masalah pemakaian kosa kata tidak baku itu solusinya ialah guru harus konsisten mengingatkan siswa untuk tidak boleh menggunakan kosa kata tidak baku dalam pembelajaran. Apabila ada siswa yang menggunakan kosa kata tidak baku, maka tugas guru harus segera meluruskan penggunaan kosa kata bakunya. Terkait dengan masalah kesulitan menafsirkan gambar yang salah, guru bersama peneliti bisa mengganti gambar faktual yang sering kali dilihat, dirasakan, atau didengar oleh siswa. Berdasarkan hasil evaluasi pada siklus II diperoleh kasimpulan bahwa ada peningkatan nilai rata-rata siswa dari siklus I ke siklus II sebesar 7,74 yaitu dari nilai rata-rata 78,63 menjadi 86,37. Sementara untuk nilai rata-rata unsur gramatikalnya pun meningkat sebesar 2,92, yaitu dari nilai rata-rata 30,44 menjadi 33,36. Nilai kesesuaian gambar juga mengalami peningkatan sebesar 2,94, yaitu dari nilai rata-rata 31,06 menjadi 34, sedangkan nilai ketepatan waktu merangkai kalimat meningkat sebesar 2, yaitu dari nilai 17 menjadi 19. PROSIDING 199 5. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di SD Muhammadiyah Sangonan 3 Godean diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan media kartu gambar mampu memberikan peningkatan pembelajaran keterampilan berbicara, baik dari segi proses maupun hasil. 1) Peningkatan proses terlihat dari keantusiasan siswa dalam mengikuti pelajaran, kemampuan guru dalam membangkitkan semangat siswa, dan keberanian siswa untuk berbicara, serta cara mengajar guru menjadi menarik dan tidak membosankan. 2) Dari segi hasil, peningkatan pembelajaran keterampilan berbicara terlihat dari nilai akhir pratindakan ke siklus I mengalami peningkatan 16,5 dan dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan 7,74. Daftar Pustaka Arsjad, Maidar G. dan Mukti. 1988. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Ismawati, Esti. 2011. Perencanaan Pengajaran Bahasa. Surakarta: Yuma Pustaka. Soeparno. 1988. Media Pengajaran Bahasa. Klaten: PT. Intan Pariwara Supriyadi. 2005. “Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas Rendah Sekolah Dasar”. Lingua: Jurnal Bahasa dan Sastra. No. 2 (6): 178195. Palembang: Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya Suwandi, Sarwiji. 2009. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penulisan Karya Ilmiah. Solo: Panitia Sertifikasi Guru (PSG) Rayon 13 Surakarta. Tarigan, Heny Guntur. 1987. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. 200 PROSIDING POLA URUTAN (WORD ORDER) STRUKTUR BEKU (FREEZES) DALAM BAHASA INDONESIA DAN BAHASA JAWA Siti Jamzaroh pos-el : sitijamzaroh@ymail.com Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan Inti Sari Bahasa memiliki keanekaragaman fenomena yang menarik sehingga berharga untuk diteliti terutama dari fenomena linguistik. Fenomena linguistik yang dapat membentuk kata, morfologi, sintaksis, dan wacana adalah salah satu stuktur beku. Kata dalah unit linguistik penting. Unsur yang membuat kata tidak hanya bervariasi dari aspek jenis, akan tetapi juga bervariasi ketika ditinjau dari jenis unsur katanya. Bahasa Indonesia memiliki kekayaan kosakata ditinjau dari segi bentuk dan maknanya. Kekayaan keanekaragaman kosakata akan terlihat secara nyata saat diteliti secara mendetail. Salah satu variasi kosakata adalah struktur beku. Penelitian ini melalui tahapan-tahapan metode, yaitu tahapan pengumpulan data, analisis data, dan presentasi hasil tahapan analisis. Tahapan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan SBLB yang mengacu pada teknik dengan menggunakan percakapan bebas, merekam dan merekayasa teknik catat. Pemrosesan data dilakukan melalui tahapan klasifikasi data berdasarkan aturan yang didefinisikan kriteria. Data diteliti secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk kata-kata. Penelitian Struktur beku dalam bahasa Indonesia dan Jawa dari perspektif deiksis persona meliputi kaidah a) dekat dengan saya, jauh dari saya, dan b) orang pertama ketiga, deiksis temporal termasuk meliputi kaidah pemetaan kronologis, dan kaidah pemetaan non-kronologis, dan dari sudut pandang deiksis lokasi meliputi, a) kaidah pemusatan (luar ke tengah/sisi), b) kaidah penyebaran (terpusat ke tengah/bertahan), makalah ini berupaya untuk memilih dan menggali struktur beku yang dibatasi dalam deiksis perspektif. Kata kunci : kompositum, beku, deiksis. PROSIDING 201 Abstract Language proved to have a diversity of interesting phenomena that deserves to be studied Linguistic phenomena that can form words, morphological, syntactic and discourse is one of the frozen structure. Words are important linguistic units. The elements that make up a word not only vary based on the type he says, but also varied when viewed by the type of its elements. Indonesia has a rich diversity of vocabulary nice views of form and meaning. Biodiversity richness of vocabulary will be very significant when examined in detail. One of vocabulary variaty is frozen structure. This research through the stages of the method , among others, the stage of data collection, data processing stage, the stage of data analysis, and presentation of the results of the analysis phase. Stage of data collection was done by using SBLB refer to the technique involved using free conversation (SBLC), recording and engineering techniques noted. Data processing is done through data classification stage based on the criteria defined rules. Data were analyzed descriptively and presented with a form of words. Frozen structures (freezes) research is in Indonesian and Javanese from the perspective of a persona deixis including rules ) close from me, far from me , and b) the other first, temporal deiksis include chronological mapping rules , and the rules of mapping non-chronological, and from the point of view of locational deiksis include, a) the rules of convergence (the outside to the center/port), b) the rules of the spread (center point/anchoring out, this paper tries to pick and dig the frozen structure is limited in perspective deiksis. Key words : kompositum, freezes atau frozen, and deiksis. 1. Pendahuluan Kata merupakan satuan kebahasaan yang terpenting. Unsur-unsur yang membentuk sebuah kata tidak hanya bervariasi berdasarkan jenis katanya, tetapi beragam pula apabila dilihat berdasarkan jenis/status elemennya. Pembentukan kata dapat dilakukan melalui beberapa macam, yakni (1) afiksasi, (2) reduplikasi, (3) akronim, (4) singkatan, (5) kompositum, dan (6) derivasi zero. Dari keenam proses tersebut, kompositum atau perpaduan leksem merupakan proses pengembangan kosa kata yang banyak dilakukan untuk menambah khasanah kosa kata bahasa Indonesia. Kompositum atau kata majemuk sudah lama menjadi perhatian para pemerhati bahasa. Dalam pembahasan mengenai struktur beku, istilah yang dipergunakan adalah leksem. Sebuah leksem mencakup semua bentuk kata (words-forms) yang dapat mewujudkan leksem tersebut (Bauer,1988:8). Struktur beku (freezes atau frozen) adalah struktur yang tertentu urutan penyebutannya (Purwo, 1982:204). Cooper dan Ross (1975) menyebutnya dengan freezes. Struktur beku merupakan bagian dari kata majemuk. Hanya saja, 202 PROSIDING struktur beku kurang mendapat perhatian dibandingkan kata majemuk oleh para ahli bahasa di tanah air. Hasil pelacakan pustaka yang telah dilakukan, tidak banyak tulisan yang mengemukakan struktur beku ini. Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini ialah perbedaan kata majemuk dengan struktur beku (freezes) dalam bahasa Indonesia dan wujud formal struktur beku ( freezes) dilihat dari sudut pandang deiksis dalam bahasa Indonesia. Sehubungan dengan itu, yang menjadi tujuan penulisan makalah ini ialah mendeskripsikan perbedaan kata majemuk dan struktur beku dalam bahasa Indonesia dan mendeskripsikan wujud formal struktur beku dilihat dari sudut pandang deiksis dalam bahasa Indonesia. Ruang lingkup penelitian ini meliputi struktur beku yang terkait dengan deiksis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Pembatasan dilakukan dengan alasan mengingat luasnya pembahasan yang bisa dilakukan mengenai struktur beku ini. Jadi, penelitian ini hanya membahas struktur beku dari sudut pandang deiksis. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan: tahap pengumpulan data, tahap pengolahan data, dan tahap penganalisisan data. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik simak, yakni teknik simak bebas libat cakap (SBLC) dan tenik lanjutannya, yakni rekam dan catat. Data yang terkumpul diklasifikasi berdasarkan kriteria kaidah yang ditetapkan. Data yang sudah dianalisis, disajikan secara deskriptif menggunakan kata-kata. Sumber data dalam penelitian ini adalah buku-buku terbitan berbahasa Indonesia dan berbahasa Jawa. Data berupa kalimat yang mengandung kata majemuk berstruktur beku. Teori yang digunakan untuk mengupas data itu dipaparkan pada paragraf berikut. 2. Kerangka Teori 2.1 Ihwal struktur beku Cooper dan Ross (1975) mengawali penelitiannnya dengan mempertanyakan mengapa elemen-elemen yang membentuk suatu rangkaian memiliki urutan yang tidak dapat ditukartempatkan, seperti yang tampak pada contoh berikut. (1) bigger and better (1a) *better and bigger Leksem bigger ’lebih besar’ dan better ‘lebih baik’ merupakan pasangan yang memiliki makna khusus. Ketika posisi kedua leksem dipertukarkan menjadi better dan bigger, penutur asli bahasa Inggris tidak dapat menerima hal tersebut. Struktur beku (freezes) ternyata mengikuti pola urutan kata dan kaidahkaidah tertentu. Cooper dan Ross mencoba merumuskan kendala fonologis PROSIDING 203 dan semantis yang mendasari urutan penyebutan dalam struktur beku. Seperti yang ditulis oleh Cooper dan Ross di atas, Cooper dan Ross membagi freezes dari sudut pandang kendala fonologis dan semantik. Dari sejumlah struktur beku yang telah diklasifikasikan oleh Cooper dan Ross (1975), beberapa kaidah di antaranya yang terkait dengan deiksis. Beberapa kaidah struktur beku (freezes) Cooper dan Ross (1975), antara lain sebagai berikut. a) Kaidah pertama, pola urutan kata yang terdapat dalam struktur beku dalam bahasa Inggris, adalah kaidah close to me- far from me ‘aku dahulu’ yang artinya leksem yang bertitik labuh pada atau berdekatan dengan persona pertama didahulukan urutan penyebutannya. Jadi, pronomina yang dijadikan acuan adalah pronomina pertama me ’saya’ dan pronomina kedua, you ‘kamu’. (1) here and there (2) in and out (3) now and then (4) sooner or later Kata here, in, now and sooner merupakan leksem yang dianggap memiliki titik labuh lebih dekat dengan pronomina persona pertama, me ‘saya’, sedangkan leksem there, out, then dan later merupakan leksem yang dianggap memiliki titik lebih dekat dari pronomina persona kedua, you ‘kamu’ sebagai mitra bicara dalam situasi tersebut. b) Kaidah kedua, pola urutan kata yang terdapat dalam struktur beku (freezes) adalah kaidah other first. Cooper dan Ross tidak dapat menghubungkan antara kaidah pertama maupun yang kedua dengan kesemestaan bahasa. Jadi, hubungan antara kaidah tersebut dengan kekerabatan bahasa masih perlu diteliti 2.2 Faktor Penyebab Kebekuan Kata Majemuk Dari kajian pustaka yang telah dilakukan, satu-satunya pembahasan mengenai struktur beku (freezes) dalam bahasa Indonesia telah dilakukan oleh Wijana. Wijana (2010: 22-23) mengatakan bahwa dari kekhasan sifat hubungan dan ketegaran urutan elemen-elemen pembentuknya itu kemudian didapatkan adanya satu jenis kata majemuk, yakni kata majemuk berstruktur beku, seperti ke sana ke mari, datang pergi, ayah ibu, besar kecil, tabrak lari, dsb. Wijana sepertinya sepakat dengan Cooper dan Ross, bahwa berdasarkan pengamatan sekurangkurangnya ada faktor-faktor yang menyebabkan kebekuan struktur kata majemuk, seperti berikut. (a) Faktor fonologis, yakni faktor mengharuskan penempatan kata-kata yang memiliki ultima (suku akhir) bervokal /a/ mendahului kata-kata dengan 204 PROSIDING ultima bervokal /i/, seperti ke sana kemari, datang pergi, di sana di sini, pulang pergi, dsb. (b) Faktor ikonik, yakni faktor yang mewajibkan untuk meletakkan elemenelemen yang terjadi lebih dahulu mendahului elemen-elemen yang terjadi lebih kemudian, seperti tabrak lari, makan tidur, jatuh bangun, tanya jawab, dsb. (c) Faktor sosiologis, yakni faktor yang menghendaki elemen-elemen bernuansa sosiokultural lainnya. Nuansa kultural itu, misalnya, (i) gender, genioritas, (ii) senioritas, dan (iii) kuantitas. Faktor gender mewajibkan maskulin mendahului feminin, misalnya kakek nenek, ayah ibu, laki-laki perempuan, jantan betina, siswa siswi, karyawan karyawati, dsb. Faktor senioritas menyebabkan referen yang lebih tua mendahului yang lebih muda, seperti tua muda, besar kecil, atasan bawahan, dan sebagainya. Pertimbangan kuantitas mengakibatkan ditempatkannya kuantitas yang lebih besar mendahului yang lebih kecil, seperti tinggi rendah, besar kecil, panjang pendek. Adapun yang menyangkut perihal faktor sosiologis ini, khususnya perihal gender dan senioritas sedikit banyak tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat seperti ketidaksetaraan gender, penghormatan kepada senior, dsb. 2.3 Deiksis sebagai Sudut Pandang Struktur Beku (Freezes) Cooper dan Ross telah berhasil mengklasifikasikan struktur beku (freezes) berdasarkan kendala fonologis dan semantis. Objek yang dipilih adalah struktur beku (freezes) dalam bahasa Inggris. Dari sekian banyak klasifikasi yang telah dibuat, satu sisi yang cukup menarik untuk dikupas dari struktur beku (freezes) ini, yakni struktur beku dilihat dari sudut pandang deiksis. Deixis is a term in linguistic theory to subsume whose features of languages which refer directly to the personal, temporal or locational characteristics of situation whitin which an utterance takes place, whose meaning is thus relatives to that situation; e.g. now/then , here/there, I/you, this/that, are deicticts (‘deictic’ or exophoric words) . Deixis is analogous to the philosophical notion of indexical expression. The term is also used for words which refer backwards or forwards in disccourse (Anaphora an cataphora respectively) e.g that, the following, the former. This is sometimes known as discourse (or text) deixis, which should be distinguished from social deixis, the encoding of social distinction that relate to Participant roles. (Chrystal, 1997:107) ‘Deiksis merupakan salah satu istilah dalam teori linguistik yang mencakup fitur bahasa yang mengacu secara langsung ke personal, temporal atau karakteristik lokasional dari situasi dalam ucapan memerlukan tempat, yang mengandung makna relatif terhadap situasi tersebut. SePROSIDING 205 perti now/then, here/there, i/ you, this/that, adalah deiksis (deiktik atau katakata eksofora). Deksis merupakan analogi mengarah ke filosofi atas penunjuk ekspresi. Istilah ini juga digunakan untuk kata-kata yang merujuk seperti backwards or forwards ‘ke depan atau ke belakang dalam wacana (anafora dan katafora secara berurutan). Contohnya: that ‘itu, the following ‘berikut’, the former ‘terdahulu’. Hal ini kadang-kadang diketahui sebagai wacana (atau teks) deiksis yang seharusnya dibedakan dari deiksis sosial tertentu, yakni berhubungan role partisipan”.’ Berdasarkan sudut pandang deiksis, struktur beku akan dilihat dalam acuan (a) personal, (b) temporal, (c) lokasional. Untuk jelasnya, perhatikan uraian berikut. 3. Pembahasan Pembahasan tentang pola urutan berstruktur beku pada makalah ini didasarkan pada perbedaan kata majemuk dan struktur beku, struktur beku dan struktur beku, dan sudut pandang struktur beku dari sudut pandang deiksis. Hal itu diuraikan satu per satu pada bagian berikut. 3.1 Perbedaan Kata Majemuk dan Struktur Beku (Freezes) Kata majemuk dalam bahasa Indonesia bukanlah hal yang baru dibicarakan. Banyak kajian tentang perpaduan leksem menghasilkan kata majemuk atau idiom, baik dari sudut unsur-unsur pembentukannya maupun semantisnya. Namun demikian, untuk memahami struktur beku (freezes), akan lebih jelas bila diperbandingkan keduanya. Berikut perbedaan antara kata majemuk atau idiom dan struktur beku. (5) kaki tangan (5a) tangan dan kaki (6) mata panah (6a) panah dan mata bandingkan dengan (7) serah terima (7a) *terima serah (8) antar jemput (8a) *jemput antar Paduan leksem (5) dan (6) di atas adalah contoh kata majemuk atau idiom. Paduan leksem (5) merupakan ungkapan atau idom yang bermakna ‘pembantu, orang kepercayaan’, dan leksem (6) mata panah bermakna ‘ujung panah’. Ketika dipertukarkan tempatnya, tangan dan kaki dan ditambahkan preposisi dan menjadi frase tangan dan kaki dan frase panah dan mata. Selanjutnya, pada contoh (7) serah terima, dan (8) antar jemput, letak leksem pertama dan kedua tidak dapat dipertukarkan menjadi *terima serah dan *jemput antar, karena maknanya menjadi tidak gramatikal. Ketidakgramatikalan pasangan leksem yang dibalik terletak pada faktor semantis kedua leksem tersebut. Leksem serah mendahului leksem terima, dan leksem antar 206 PROSIDING mendahului leksem jemput menurut kronologis atau urutan kejadiannnya. Contoh (7) dan (8) disebut dengan struktur beku (freezes) yang memiliki bentuk mirip kata majemuk tetapi memiliki ciri kekhususan tersendiri, yakni pola urutannya yang tidak dapat dipertukarkan. 3.2 Wujud Formal Struktur Beku Dilihat dari Sudut Pandang Deiksis Seperti yang telah dikemukakan dalam pendahuluan, Cooper dan Ross telah membagi struktur beku atau freezes ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kendala fonologis dan semantisnya. Beberapa di antaranya telah dikemukakan oleh Wijana. Dalam pembicaraan struktur beku ini, dibatasi pada sudut pandang deiksis saja, utamanya struktur beku dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. 3.2.1 Deiksis Persona Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Cooper dan Ross (1975) dan Wijana (2010), struktur beku (freezes) bila dipandang deiksis persona dapat diuraikan sebagai berikut. Kaidah 1 : Close to me- far from me Kaidah I mempunyai pengertian bahwa leksem yang bertitik labuh pada atau berdekatan dengan persona pertama didahulukan urutan penyebutannya. Jadi yang dimaksud dengan deiksis persona di sini adalah pronomina menjadi titik labuh, misalnya, pronomina pertama me ’saya’ dan pronomina kedua, you ‘kamu’. Dalam hal ini, pronomina pertama me ‘saya’ diartikan ‘sesuatu yang lebih dekat’, dan pronomina kedua you ‘ sesuatu yang lebih jauh’. Bila dikaitkan dengan pendapat Wijana tentang penyebab kebekuan kata majemuk (2) adalah faktor ikonik, contoh berikut merupakan contoh penerapan kaidah pertama. Misalnya: (9) yang ini yang itu (10) begini begitu (11) ini itu (12) di sini di situ Pada contoh (9)—(12) di atas, leksem pertama terlihat lebih dekat dari jarak titik labuh dipandang dari pronomina ‘saya’ dibandingkan leksem kedua. Leksem kedua terlihat jaraknya lebih jauh dari jarak titik labuh pronomina saya. Leksem yang ini, begini, ini, dan di sini terasa lebih dekat ke titik labuh pronomina saya dibandingkan dengan leksem yang itu, begitu, itu dan di situ. Kasus pola urutan struktur beku close to me-far from me dalam bahasa Indonesia ini juga dapat ditemukan dalam bahasa daerah, misalnya bahasa Jawa seperti tampak pada contoh-contoh berikut ini. (13) sing iki apa kuwi ‘yang ini yang itu’ (14) mangkene mangkono ‘begini begitu’ (15) kaya ngene kaya ngono ‘seperti ini seperti itu’ PROSIDING 207 Kaidah II : Other first Selain kaidah close to me-far from me, ditemukan pula pola urutan kata struktur beku other first atau ‘yang jauh didahulukan’. Artinya sesuatu yang jauh dari titik labuh atau penutur didahulukan dibandingkan yang lebih dekat far from me, close to me. Bahasa Indonesia (16) ke sana ke mari (17) luar dalam (18) di sana sini Pada contoh (16) — (18) leksem pertama berupa frase depan ke sana, luar, dan frase di sana. Ketiga leksem tersebut terletak lebih jauh dari titik labuh pronomina persona me ‘saya’ dibandingkan dengan leksem kedua, yakni frase ke mari, dalam, dan sini. Kondisi yang mirip juga tampak pada struktur beku dalam bahasa Jawa, seperti berikut ini. (19) mrana mrene ‘ke sana sini’ (20) njaba njero ‘ luar dalam’ (21) ing kana kene ‘di sana sini’ 3.2.2 Deiksis Waktu (Temporal) Kaidah yang kedua adalah kaidah berdasarkan temporal. Dalam struktur beku, temporal diwujudkan dengan kronologis waktu penyebutan. Kaidah ini disebut juga kaidah pemetaan kronologis. Artinya, leksem pertama lebih dulu terjadi daripada leksem kedua. Leksem kedua mengikuti leksem pertama. Seperti pada kaidah yang pertama, kaidah berdasarkan deiksis temporal ini juga ditemukan dalam bentuk (a) kaidah pemetaan kronologis dan (b) kaidah pemetaan nonkronologis (kronologi terbalik). Berdasarkan pendapat Wijana, kaidah ini disebut sebagai faktor ikonik penyebab kebekuan kata majemuk. 3.2.2.1 Kaidah Pemetaan Kronologis Kaidah urutan kata pada struktur beku berdasarkan pemetaan kronologis atau urutan kejadian dapat ditemukan pada struktur beku (freezes) yang berasal dari paduan leksem verba. (22) jatuh bangun (23) hidup mati (24) petik jual (25) tabrak lari (26) tanya jawab Dari sudut pandang semantis, leksem jatuh, hidup, petik, tabrak, dan tanya merupakan leksem verba perbuatan yang terjadi mendahului leksem bangun, terima, jemput, mati, jual, lari dan jawab. Dikatakan ‘bangun’ karena posisi sebelumnya terjatuh atau lebih rendah’, ‘terima karena ada sesuatu yang diserahkan’, ‘jemput karena sebelumnya ada yang diantar,’mati karena sesuatu ada yang 208 PROSIDING dalam keadaan hidup’, ‘jual karena ada sesuatu yang dipetik’, ’lari karena terjadi tabrak sebelumnya’ dan jawab karena ada tanya sebelumnya’. Bila leksem-leksem tersebut dipindahposisikan, pasangan leksem verba tersebut tidak berterima. Dalam bahasa Jawa dapat kita temukan struktur beku dengan pola urutan sesuai kaidah pemetaan kronologis seperti pada contoh berikut ini. (27) niba tangi ‘jatuh bangun’ (28) bukak tutup ‘buka tutup’ (29) munggah mudhun ‘naik turun’ (30) nom tuwo ‘muda tua’ (31) mlebu metu ‘masuk keluar’ (32) maca nulis ‘baca tulis’ Penyebutan struktur beku mengikuti kaidah pemetaan kronologis seperti pada contoh (27)—(32) di atas, juga ditemukan urutan penyebutan struktur beku yang menggunakan kaidah pemetaan kronologis terbalik. Artinya, leksem di sebelah kiri lebih dahulu terjadi daripada leksem di sebelah kanan. Jika leksem itu dibalik, maknanya menjadi tidak berterima. Dalam bahasa Indonesia, paduan leksem struktur beku dengan kaidah pemetaan kronologis ini banyak ditemukan. 3.2.2.2 Kaidah Pemetaan Nonkronologis (Kronologi Terbalik) Selain itu, penyebutan struktur beku yang tidak sesuai dengan urutan penyebutannya juga ditemukan. Hal ini berarti bahwa urutan kata dalam struktur beku tidak ada hubungannya dengan tipologi bahasa. Kaidah tersebut dinamakan kaidah pemetaan kronologis terbalik. (33) pulang pergi (34) keluar masuk (35) tua muda (36) timbul tenggelam Struktur beku dengan urutan kronologis terbalik seperti ini juga ditemukan dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa, kita mengenal struktur beku seperti ini (37) teka lunga ’datang pergi’ (38) mati urip ‘mati hidup’ (39) mumbul mingslep ‘timbul tenggelam’ 3.2.3 Deiksis Tempat (Lokasional) Kaidah struktur beku yang ketiga berhubungan dengan deiksis tempat atau lokasi yang terkait dengan tempat pembicaraan saat tuturan diucapkan. Kaidah tersebut adalah kaidah pemusatan Dalam kaidah ini, titik labuh berada pada titik pusat atau sentral dari kedua leksem. Jadi, leksem pertama tidak lebih dekat atau lebih jauh dari leksem kedua dari pembicara. Selain itu, baik leksem pertama maupun kedua bersifat relatif. Artinya, penyebutan leksem pertama akan sama, tetapi bisa PROSIDING 209 juga tidak sama dengan penerimaan mitra bicara apabila mitra bicara berada pada tempat dan situasi yang tidak searah saat tuturan diucapkan. Untuk itu, perhatikan contoh berikut. (40) atas bawah (41) kiri kanan (42) muka belakang (43) maju mundur Leksem atas –bawah, kiri-kanan, muka belakang, dan maju mundur merupakan pasangan leksem lokasi yang bersifat relatif. Kerelatifannya terletak pada posisi mitra bicara yang sama dan sehadap dengan pembicara. Jika tidak sama dan sehadap, arah yang ditunjuk oleh pasangan leksem tersebut tentu akan merujuk ke lokasi yang berbeda. (44) utara selatan (45) timur barat Sementara untuk pasangan leksem utara-selatan, dan timur- barat akan selalu sama bagi setiap orang karena merujuk pada arah mata angin, dan oleh karena itu bersifat tetap jika dilihat dari titik labuh penutur. Leksem utara– selatan, timur-barat memenuhi kaidah pemencaran Dalam bahasa Jawa, dapat kita temukan struktur beku yang mirip dengan bahasa Indonesia. Untuk penyebutan urutan leksem atas–bawah, bahasa Jawa memiliki urutan yang terbalik dengan bahasa Indonesia. Untuk itu, perhatikan contoh berikut. (46) ngisor ndhuwur ‘bawah atas’ (47) kiwa tengen ‘kiri kanan’ (48) ngarep mburi ‘muka belakang’ (49) ngalor ngidul ‘ke utara ke selatan’ (50) ngetan ngulon ‘’ke timur ke barat’ 4. Kesimpulan Pembahasan mengenai struktur beku memang menarik untuk dikaji. Selama ini topik ini luput dari perhatian para ahli bahasa. Selain dapat diklasifikasi berdasarkan faktor fonologisnya, faktor ikonik, dan faktor sosiologis seperti yang telah dirumuskan oleh Wijana, struktur beku atau freezes dapat diklasifikasikan berdasarkan sudut pandang deiksis. Struktur beku dari sudut pandang deiksis diklasifikasi menurut (a) deiksis personal, di dalamnya, meliputi close for me, dan other first; (b) deiksis waktu (temporal) meliputi kaidah pemetaan kronologis; (c) pemetaan nonkronologis; dan deiksis tempat (lokasional) meliputi (a) kaidah pemusatan dan (b) kaidah pemencaran. 210 PROSIDING DAFTAR PUSAKA Bauer, Laurie, 1988. Intoduction of Morfology, British: Edinburgh University Press. Cooper, W.E.and Ross,J.R. 1975 “World Order” on Functionalisme. Illinois: Chicago Linguistic Society Goodspeed Hall. Crystal, David. 2003. Dictionary of Linguistics and Phonetics. Cambridge. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Purwo, Bambang Kaswanti Purwo.1983. Deiksis dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: PN. Balai Pustaka Wijana, I Dewa Putu, Muhammad Rohmadi 2010. Sosiolinguistik. Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. PROSIDING 211 212 PROSIDING PEMEROLEHAN BAHASA YANG MENYATAKAN NEGASI PADA ANAK BERORANG TUA TUNA WICARA (STUDI KASUS PADA YUSRON) Sigit Arba’i, S.Pd. Balai Bahasa Provinsi Daerah IstimewaYogyakarta pos-el: bagus_asmoro@ymail.com Inti Sari Pemerolehan bahasa merupakan satu fenomena atau masalah yang cukup menarik perhatian, khususnya bagi para peneliti dalam bidang psikoliguistik. Karena terdapat fenomena yang mengagumkan meskipun sulit untuk dibuktikan prosesnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penanda-penanda negasi yang berkembang pada anak umur 2;0 sampai 3;0 tahun,yang memiliki orang tua tunawicara. Penelitian ini mendeskripsikan tahapan perkembangan negasi dan menjelaskan fungsi dari penanda negasi yang diucapkan oleh anak tersebut. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian dengan pendekatan kualitatif yang bersifat longitudinal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemerolehan negasi Yusron sebagai anak yang memiliki orang tua tunawicara memiliki pola perkembangan yang berbeda dengan ana-anak pada umumnya. Sampai umur 2;6 Yusron sama sekali belum mampu mengucapkan kata pengingkar apa pun dalam bahasa Jawa. Yusron baru mampu mengucapkan kata pengingkar pertama kali pada usia 2;7. Kata pengingkar yang pertama kali diucapkan oleh Yusron adalah kata moh. Pada usia 2;9 Yusron mampu mengucapkan kata ora. Kata pengingkar ora diucapkan dengan bunyi [oya]. Pada umur 2;10 Yusron mampu mengucapkan kata pengingkar aja. Kata ini diucapkan dengan bunyi [jo]. Kata larangan aja mampu digunakan oleh Yusron sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk melarang atau mencegah seseorang melakukan sesuatu. Kata pengingkar terakhir yang mampu diucapkan oleh Yusron adalah kata pengingkar durung. Frasa ini mampu diucapkan oleh Yusron pada umur 2;11. Kata pengingkar durung digunakan sebagai jawaban negatif dari pertanyaan yang mengandung perfektif uwis. Kata kunci: pemerolehan, anak, negasi PROSIDING 213 Abstract Language acquisition is a phenomenon or problem that is quite interesting for researcher majoring psycholinguistics because there is amazing phenomenon although it is difficult to prove its process. The research is aimed at knowing negation signals developed by a child’s nonverbal parents in age 2; 0 until 3; 0, describing the stage of child negation development, and explaining the function of negation signal spoken by the child. The research is an investigation with qualitative approach characterized longitudinal. The research concludes that Yusron negation acquisition as a child whose his parents are nonverbal has different development from ordinary child. Until age 2;6 Yusron is hardly able to state any negation word in Javanese. Yusron recently is able to state his first negation word in age of 2;7. The first negation stated by Yusron is moh. At age 2;9 Yusron is able to say ora. The negation word ora is said by the sound [oya]. At the age 2;10 Yusron is recorded to be able to say the negation word ojo. The word is said by the sound [jo]. The ojo negation is able to be used by Yusron in accordance with its function, namely to forbid or prevent someone to do something. The last negation that is able to be said by usron is the negation word durung. The phrase is able to be said by Yusron at the age 2;11. The durung negation is used as negative answer for uwis perfective question. Key words: acquisition, child, negation 1. Pendahuluan Proses pemerolehan bahasa merupakan satu fenomena atau masalah yang cukup menarik perhatian khususnya bagi para peneliti dalam bidang psikoliguistik. Bagaimana manusia memperoleh bahasa merupakan satu fenomena yang mengagumkan meskipun sulit untuk dibuktikan. Kemerdekaan pemerolehan bahasa diperkirakan baru mulai sekitar usia satu tahun di saat anak-anak mulai menggunakan kata-kata lepas atau katakata terpisah dari sandi linguistik untuk mencapai tujuan sosial mereka. Pemerolehan bahasa dapat mendasari kemampuan mengajarkan bahasa kepada siswa di sekolah terutama siswa yang masih kanak-kanak. Ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi yang terdiri dari dua buah proses, yakni proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimatkalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar. 214 PROSIDING Karakteristik setiap anak hampir tidak sama sehingga dengan mempelajari pemerolehan bahasa, guru dapat mengatasi perbedaan perkembangan bahasa pada siswanya. Siswa sekolah dasar pada umumnya berlatar belakang dwibahasa bahkan multi bahasa. Dengan mempelajari materi pemerolehan dan perkembangan bahasa, guru dapat benar-benar memahami konteks sosial budaya lingkungan anak didiknya dan menghargai keragaman budaya tersebut. Penelitian ini difokuskan pada pemerolehan negasi bagi anak yang memiliki orang tua berkebutuhan khusus (tuna wicara). Negasi adalah salah satu aspek kebahasaan yang bersifat universal, artinya di setiap bahasa yang ada di dunia aspek tersebut pasti muncul. Ketika anak berumur 1;0, anak-anak mulai mengetahui atau menolak interprestasi orang tua. Dengan penolakan itu orang tua berupaya memperbaiki aksi yang telah dipilihnya. Negasi menjadi fokus kajian dalam penelitian ini karena dari penelitian-penelitian yang dilaksanakan sebelumnya, baik dari pemerolehan bahasa anak monolingual bahasa Indonesia maupun bilingual Indonesia dan bahasa lainnya, muncul hasil penelitian atau tahapan penguasaan negasi yang berbeda-beda. Dardjowidjoyo (2000), ketika meneliti pemerolehan bahasa cucunya, menemukan bahwa bentuk negasi yang paling awal muncul ialah satuan yang menyatakan ‘bukan’. Sementara, Raja (2004) yang meneliti perkembangan bahasa anak Indonesia selama satu tahun dengan subjek yang bernama Mika, menyimpulkan bahwa bentuk negasi pertama yang diperoleh adalah ‘nggak’ dengan berbagai realitas fonetisnya. Sementara, Soriente (2004) yang meneliti subjek yang bernama Guglielmo yang diekspos dalam bahasa Indonesia dan Italia menyatakan bahwa bentuk negasi yang paling awal diperoleh oleh anak tersebut adalah no. Bentuk kata no berkonsep pengingkar dalam bahasa Italia. Soriente berargumen bahwa bentuk no dikuasai lebih awal dan sudah dapat digunakan secara konsisten oleh Guglielmo. Meskipun anak tersebut mendapatkan masukan, bahasa Italia lebih lemah dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Namun, bahasa Italia lebih kuat dari segi intonasi dan penekanannya. Melihat hasil-hasil penelitian tersebut, peneliti ingin mengetahui dan mengungkap penanda dan fungsi negasi yang dikuasai oleh anak yang memiliki orang tua berkebutuhan khusus (tuna wicara) sekaligus tahapan-tahapan yang dilalui. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan data pemerolehan bahasa anak, khususnya pada perkembangan bahasa anak yang memiliki orang tua berkebutuhan khusus (tuna wicara). 2. Kerangka Teori Menurut Dardjowidjojo (2012: 225), istilah pemerolehan dipakai untuk padanan istilah Inggris acquisition, yang merupakan suatu proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa PROSIDING 215 ibunya. Istilah ini dibedakan dari pembelajaran yang merupakan padanan dari istilah Inggris learning. Dengan demikian, anak yang belajar untuk mendapatkan bahasa ibunya adalah pemerolehan, sedangkan anak yang belajar di kelas adalah pembelajaran. Pemerolehan bahasa juga disebut akuisisi bahasa yaitu suatu proses di dalam otak seseorang ketika memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Terkait dengan pemerolehan bahasa ini, Darjowidjojo (2000: 244) menjelaskan ada tiga komponen, yakni fonologi, sintaksis, dan semantik. Di samping itu, ada bahasan pula mengenai pemerolehan pragmatik, yakni bagaimana anak memperoleh kelayakan dalam berujar. Berikut ini penjelasan dari berbagai macam pemerolehan bahasa di atas. a. Pemerolehan Bahasa dalam Bidang Fonologi Pada waktu dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20% dari otak dewasanya. Ini berbeda dengan binatang yang sudah memiliki sekitar 70%. Karena perbedaan inilah maka binatang sudah dapat melakukan banyak hal segera setelah lahir, sedangkan manusia hanya bisa menangis dan menggerak-gerakkan badannya. Pada umur sekitar 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau vokal. Bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar dengan jelas. Proses mengeluarkan bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing, yang telah diterjemahkan menjadi dekutan (Dardjowidjojo 2012:244). Anak mendekutkan bermacam-macam bunyi yang belum jelas identitasnya. Pada sekitar umur 6 bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan vocal sehingga membentuk apa yang dalam bahasa Inggris dinamakan babbling, yang telah diterjemahkan menjadi celotehan. Celotehan dimulai dengan konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/, dengan demikian strukturnya adalah CV. Ciri lain dari ini celotehan adalah CV ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti berikut: (1) V1 C1 C1 V1 C1 V1…. papapa mamama bababa…. Echa (dalam Dardjowidjojo, 2012:245), mungkin sekali anak Indonesia yang lain, kata pertamanya muncul agak “terlambat”, yakni mendekati umur 1;6. Argumentasi untuk menjelaskan keterlambatan ini adalah anak Indonesia memerlukan waktu yang lebih lama untuk menentukan suku mana yang akan diambil sebagai wakil dari kata itu. Dari perkembangan Echa dan tidak mustahil juga anak Indonesia lain, yang diambil adalah suku terakhir. Pemilihan suku terakhir ini mempunyai latar belakang yang universal, yakni bahwa anak di mana pun cenderung untuk memperhatikan akhir dari suatu bentuk (Slobin dalam Dardjowidjojo, 2012:245). 216 PROSIDING Bunyi konsonan pada akhir kata sampai dengan umur sekitar 2;0 banyak tidak diucapkan sehingga kata mobil akan diujarkan sebagai /bI/. Sampai sekitar umur 3;0 anak belum dapat mengucapkan gugus konsonan sehingga bunyi Eyang Putri akan dilafalkan Eyang /ti/. b. Pemerolehan Bahasa dalam Bidang Semantik Menurut Neil (1970) dan Clark (1997) dalam Fajri (2013) disebutkan bahwa kanak-kanak memperoleh makna suatu kata dengan cara menguasai fiturfitur semantik kata itu satu demi satu sampai semua fitur semantik dikuasai, seperti yang dikuasai oleh orang dewasa. Akhirnya secara umum disimpulkan bahwa perkembangan pemerolehan semantik ini dikelompokkan ke dalam empat tahap sebagai berikut.  Tahap penyempitan makna kata Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun (1;0– 1;6). Pada tahap ini kanak-kanak menganggap satu benda tertentu yang disebut gukguk hanyalah anjing yang dipelihara di rumah saja tidak termasuk yang berada di luar rumah.  Tahap generalisasi berlebihan Tahap ini berlangsung antara usia satu tahun enam bulan hingga dua tahun enam bulan (1;6–2;6). Pada tahap ini anak-anak mulai menggeneralisasikan makna suatu kata secara berlebihan. Jadi, yang dimaksud dengan anjing atau gukguk adalah semua binatang berkaki empat.  Tahap medan semantik Tahap ini berlangsung antara usia dua tahun enam bulan sampai usia lima tahun (2;6 – 5;0). Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke dalam satu medan semantik. Pada mulanya proses ini berlangsung jika makna kata-kata yang digeneralisasi secara berlebihan semakin sedikit setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam generalisasi ini dikuasai oleh kanak-kanak. Umpamanya, utamanya kata anjing berlaku untuk semua binatang berkaki empat, tetapi setelah mereka mengenal kata kuda, kambing, harimau maka kata anjing berlaku untuk anjing saja.  Tahap generalisasi Tahap ini berlangsung setelah kanak-kanak berusia lima tahun. Pada tahap ini kanak-kanak mulai mampu mengenal benda-benda yang sama dari sudut persepsi, bahwa benda-benda itu mempunyai fitur-fitur semantik yang sama. Pengenalan seperti ini semakin sempurna jika kanakkanak itu semakin bertambah usia. Jadi, ketika berusia antara lima tahun sampai tujuh tahun misalnya, mereka telah mampu mengenal yang dimaksud dengan hewan. PROSIDING 217 c. Pemerolehan Bahasa dalam Bidang Sintaksis Dalam bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau bagian kata). Kata ini, bagi anak, sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi dia belum dapat menyebut lebih dari satu kata pada seluruh kalimat yang dihasilkan. Yang menjadi pertanyaan adalah kata mana yang dipilih? Seandainya anak itu bernama Fajri, yang ingin dia sampaikan adalah Fajri mau makan, dia akan memilih jri (untuk Fajri), mau (untuk mau), ataukah kan (untuk makan)? Dari tiga kata pada kalimat Fajri mau makan, yang baru adalah kan. Karena itulah anak memilih kan, dan bukan jri, atau mau. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dalam ujaran yang dinamakan Ujaran Satu Kata, USK, (one word utterance) anak tidak sembarangan saja memilih kata itu; dia akan memilih kata yang memberikan informasi baru. d. Pemerolehan Bahasa dalam bidang pragmatik Jakobson (dalam http://mypapirus-papirus.blogspot.com/2009/06/ autisme-psikolinguistik.html) menyatakan bahwa tahap pemerolehan pragmatik, anak dipengaruhi oleh lingkungannya. Di dalam pemerolehan pragmatik, anak tidak hanya berbahasa tetapi juga memperoleh tindak berbahasa. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kualitatif yang longitudinal. Metode longitudinal adalah pendekatan dalam penelitian yang dilakukan dengan cara menyelidiki anak dalam jangka waktu yang lama. Subjek penelitian ini adalah Yusron. Anak dari pasangan Fatimah dan Haroji, keduanya berkebutuhan khusus, yaitu tuna wicara. Penelitian ini mulai dilaksanakan ketika anak berumur 2;0 yaitu pada bulan September 2012 sampai anak berusia 3;0 yaitu pada bulan September 2013. Observasi terhadap anak dilaksanakan selama 1 tahun. Yusron lahir dari seorang ibu tuna wicara yang merupakan etnis Jawa dan juga seorang ayah tuna wicara beretnis Jawa. Keluarga ini tinggal di desa Karanganom, kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Lingkungan bahasa tempat Yusron dibesarkan yaitu bahasa isyarat tuna wicara yang digunakan oleh kedua orang tuanya dan bahasa Jawa yang digunakan oleh kakek, nenek, dan teman sepermainannya. Penelitian ini dilakukan dengan latar alami yaitu di lingkungan rumah. Selanjutnya seiring perkembangan usia Yusron, anak ini juga memiliki kelompok teman sebaya yang sebagian besar menggunakan bahasa Jawa. Kawan bicara subjek penelitian ini adalah anggota keluarganya. Yaitu ibu dan ayah subjek yang tinggal dalam satu rumah. Sementara nenek (ibunda ibu) dan kakek (ayahanda ibu) tinggal berdekatan. Faza (5 tahun) dan Ilyas (6 tahun) adalah teman sepermainannya yang tinggal tidak jauh dari rumah subjek. 218 PROSIDING 3. Metode Dalam penelitian ini digunakan metode observasi partisipatif. Metode ini dilaksanakan dengan teknik simak untuk menjaring data pemerolehan negasi anak yang mempunyai orang tua berkebutuhan khusus (tuna wicara). Di samping observasi partisipatif, teknik lain yang digunakan adalah elisitasi atau pemancingan. Elisitasi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapat pancingan atau konfirmasi apakah suatu bentuk negasi memang muncul atau belum sehingga bisa diyakini bahwa pada usia atau fase tertentu suatu bentuk bahasa memang sudah muncul atau belum. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan triangulasi data. Dalam penelitian ini, baik metode formal maupun informal digunakan sebagai penyajian analisis data. Metode formal digunakan dengan teknik penggunaan tabel bentuk-bentuk negasi yang dikuasai anak sesuai dengan perkembangan umurnya. Sementara metode informal digunakan dengan bentuk narasi yang menjelaskan hasil penelitian. Teori dan metode yang sudah disebutkan itu digunakan untuk mengkaji penggunaan penanda negasi yang diperoleh anak dalam bahasa Jawa yang berupa kata emoh, ora, dudu, ojo, durung. Selain itu, pemerolehan kode negasi dalam bahasa isyarat tuna wicara yaitu dengan menggelengkan kepala dan mengibaskan tangan dalam kondisi jari-jari terbuka. Data yang sudah dikumpulkan itu dianalisis pada bagian pembahasan berikut. 4. Hasil dan Pembahasan. Dalam penelitian ini penanda negasi dikaji dari aspek sintaksis dan semantik. Dari segi sintaksis, negasi dikaji berdasarkan posisi pengingkar dalam suatu kalimat atau klausa. Sementara dari segi semantik, negasi dikaji berdasarkan makna pengingkar. Makna pengingkar dapat berupa penolakan terhadap sesuatu permintaan, penolakan terhadap suatu kegiatan, dan pengingkaran terhadap kebenaran suatu ujaran (Soriente, 2004). Negasi juga dipakai untuk menandai suatu kontras atau melarang seseorang melakukan sesuatu. Lima kata pengingkar yang umum digunakan dalam bahasa Jawa, yaitu emoh ’tidak mau’, ora ‘tidak’, dudu ‘bukan’, ojo ‘jangan’, dan durung ‘belum’. Kata pengingkar emoh ‘tidak mau’ digunakan sebelum kata kerja. Kata emoh ‘tidak mau’ sering diucapkan dengan bentuk pendeknya, yaitu moh ‘tidak mau’. Kata pengingkar ora ‘tidak’ digunakan sebelum kata kerja dan kata sifat. Kata ora ‘tidak’ sering diucapkan dengan bentuk pendeknya ra atau rak. Kata dudu ‘bukan’ adalah pengingkar yang posisinya terletak sebelum kata benda, atau kata ganti dan pengingkar seluruh kalimat. Bentuk negasi dudu ‘bukan’ juga sering digunakan dalam kalimat atau klausa pengukuh yang merupakan klausa yang memerlukan jawaban positif atau negatif. Kata dudu PROSIDING 219 ‘bukan’ juga sering diucapkan dengan kalimat pendeknya du. Misalnya dalam klausa Iki nggonmu dudu? ‘Ini punya kamu bukan?’ atau Iki nggonmu du?. Kata pengingkar ojo ‘jangan’ digunakan untuk larangan. Kata pengingkar durung ‘belum’ digunakan sebagai jawaban negatif terhadap pertanyaan yang mengandung perfektif uwis ‘sudah’. Sementara dalam bahasa isyarat tuna wicara yang digunakan oleh kedua orang tua subjek, penanda negasi terdiri dari menggelengkan kepala, dan mengibaskan tangan dalam kondisi jari-jari terbuka. Kedua isyarat ini akan digunakan dalam jawaban terhadap suatu pertanyaan yang bermakna tidak. Misalnya, ketika Ibu menyuruh anak untuk segera makan, ia melakukan penolakan dengan menggunakan bahasa isyarat, anak menggerakkan tangan dalam keadaan terbuka. Dalam percakapan yang ditujukan kepada anak, isyarat ini juga sering berfungsi untuk melarang. Isyarat di sini memiliki equivalensi dalam bahasa Indonesia dengan ujaran tidak. Penanda negasi yang diperoleh Yusron secara dominan merupakan penanda-penanda negasi yang terdapat dalam bahasa Jawa. Hal ini disebabkan karena lingkungan luar rumah, seperti kakek maupun nenek dan teman sepermainannya menggunakan bahasa Jawa. Hal ini juga disebabkan bahwa masukan yang diterima anak dalam bahasa Jawa lebih mudah dicerna oleh subjek. Jika dibandingkan dengan bahasa Jawa, bahasa isyarat jauh lebih kuat diperoleh subjek. Namun dalam perkembangan negasi Yusron, tercatat bahwa kemunculan penanda negasi yang pertama kali adalah penanda negasi dalam bahasa Jawa. Pada usia 2;0 Yusron tercatat belum mampu mengucapkan kata-kata yang dapat dikorelasikan dengan makna yang sempurna. Pengingkar biasanya ditujukan dengan bahasa tubuh yang sangat ekspresif atau dengan berteriak. Pada usia 2;3 Yusron terekam mengekspresikan penolakan dengan menjerit sambil menarik mainan yang mau dipindahkan oleh ayahnya. Ekspresi tersebut muncul ketika ayahnya memindahkan mainan dari jalan ke teras rumahnya. Melalui ekspresi tersebut Yusron menginginkan supaya mainan tersebut tidak dipindahkan ke teras. Yusron menginginkan agar tetap bisa bermain di jalan gang yang ada di depan rumahnya. Akhirnya, ayah Yusron kembali menaruh mainan tersebut ke jalan gang tempat Yusron bermain. Dengan ekspresi riang, Yusron kembali bermain di jalan sambil menunjukkan ekspresi gembira. Ekspresi tersebut merupakan ekspresi yang sesuai dengan apa yang sedang dirasakan oleh Yusron. Ketika Yusron berusia 2;5, terekam sebuah kejadian di lingkungan rumahnya. Ketika itu, Yusron sedang berada di dalam rumahnya. Teman sepermainannya Faza dan Ilyas datang untuk mengajaknya bermain. Tetapi ketika itu, Yusron belum mandi. Sehingga Ibunya meminta dengan bahasa isyarat 220 PROSIDING agar Yusron mandi terlebih dahulu. Karena melihat teman sepermainannya sudah berada di depan rumah, Yusron tidak mau mengikuti permintaan Ibunya. Dengan ekspresi serius, Yusron berusaha melepaskan tangan Ibunya yang berusaha membujuknya untuk mandi. Sambil berteriak, dia berusaha mendorong tangan Ibunya dan meminta Ibunya mundur. Hal tersebut mengakibatkan Ibunya melepaskan tangan Yusron yang berusaha menolak permintaan Ibunya. Seketika itu, Yusron berlari sambil mendekati teman sepermainannya. Setelah berkumpul dengan teman sepermaiannnya, tampak ekspresi Yusron kegirangan. Yusron terlihat senang bisa kembali berkumpul dengan teman sepermainannya. Ini menandakan bahwa ekspresi dan teriakannya berfungsi untuk menolak permintaan Ibunya. Namun pada usia ini, Yusron sama sekali belum mampu membunyikan kata pengingkar dengan sempurna. Pada usia 2;6 kembali terekam sebuah kejadian di dalam rumahnya. Kejadian ini muncul ketika Ayahnya meminta Yusron untuk ikut menunaikan ibadah salat maghrib. Ayahnya mengalungkan sarung kecil untuk dikenakan Yusron. Namun, karena Yusron belum terbiasa, sarung tersebut ditarik-tarik kembali. Yusron berusaha melepaskan sarung tersebut sambil berteriak eh...eh...eh. Dia berusaha melepaskannya dan meminta ayahnya menaruh sarung tersebut. Seketika itu Yusron berusaha berjalan menjauhi ayahnya. Kata pengingkar pertama muncul ketika Yusron berumur 2;7. Pada umur ini, Yusron mulai membunyikan kata pengingkar secara progresif dalam bahasa Jawa. Pada usia 2;7 Yusron terekam sedang bermain dengan teman sepermainannya. Ketika itu Faza dan Ilyas sedang asyik menikmati makanan yang dibeli dari pedagang keliling. Kemudian Faza menawarkan es krim tersebut kepada Ilyas. Namun, Ilyas menolaknya dengan kata pengingkar emoh. Kemudian Faza juga memberikan penawaran kepada Yusron. Yusron terekam sedang melakukan penolakan dengan mengucapkan kata pengingkar pertama kalinya. Kata pengingkar yang pertama kali diucapkan adalah kata moh moh ‘tidak mau-tidak mau’. Sebagai ilustrasi perhatikan peristiwa dialog berikut. (1) Faza : Nyo Yas, tak kei sitik yo. ‘Ni Yas, Saya kasih sedikit ya’. Ilyas : Emoh. Aku ra etok mimik es kok Za. ‘Tidak mau. Aku tidak boleh minum es kok Za’. Faza : Kowe arep ra Yus? ‘Kamu mau tidak Yus?’ Ilyas : Emoh, ngono o Yus! ‘Tidak, begitu Yus!’ Yusron : Moh- moh. ‘Tidak’. PROSIDING 221 Pada data (1) terlihat bahwa ketika Faza memberikan penawaran kepada Yusron untuk mencicipi es yang dimiliki Faza, Yusron melakukan penolakan dengan kata moh sebanyak dua kali. Kata moh sebelumnya juga diucapkan oleh Ilyas dalam peristiwa yang terjadi saat itu. Penolakan direalisasikan dengan bunyi [moh] merupakan representasi dari frasa emoh. Kata penolakan ini merupakan kata pengingkar yang muncul pertama kali pada fase perkembangan Yusron. Pada usia 2;8 terlihat bahwa Yusron mampu mengucapkan frasa emoh secara sempurna. (2) Yusron : Moh... emoh.. emoh. ‘Tidak...tidak...tidak.’ (Sambil menyodorkan sisa makanan kecil,dengan bahasa isyarat, sang Ayah bertanya kepada Yusron). Yusron : Emoh.. emoh. ‘Tidak.. tidak.’ Percakapan yang terjadi pada data (2), Yusron sedang menikmati makanan kecil yang diberikan oleh ayahnya. Karena Yusron sudah tidak mau menghabiskan makanan pemberian sang ayah, Yusron berusaha mengembalikan sisa makanan tersebut kepadanya. Ayahnya menerima makanan yang dikembalikan oleh Yusron dan berusaha menanyakan kepada anaknya dengan menggunakan bahasa isyarat. Hal ini membuat Yusron kembali berusaha menyampaikan penolakan dengan menggunakan frasa emoh..emoh secara sempurna. Setelah itu, Yusron menarik-narik tangan ayahnya sambil menunjukkan air minum yang terletak di meja. Frasa emoh ... emoh ‘tidak-tidak’ di sini berfungsi sebagai pengungkapan terhadap penolakan sesuatu. Pada usia 2;8 kembali terekam sebuah kata pengingkar emoh. Kejadian ini bermula ketika Ibu menanyakan dengan bahasa isyarat. Ketika itu, Ibunya menanyakan apakah Yusron mau makan jeruk atau tidak. (3) Ibu : (Dengan bahasa isyarat, Ibu Yusron bertanya, apakah Yusron mau makan jeruk atau tidak) Yusron : Emoh! ‘tidak!’ Data (3) menunjukkan percakapan antara Ibu dengan Yusron. Ibu yang mencoba menawarkan jeruk dengan menggunakan bahasa isyarat, ditolak oleh Yusron dengan menggunakan kata pengingkar emoh ‘tidak’. Kata pengingkar ini berfungsi sebagai penolakan sesuatu. 222 PROSIDING Tuturan yang berupa frasa baru muncul ketika Yusron berumur 2;9. Tuturan ini muncul ketika neneknya mengajak Yusron untuk ikut ke masjid. Frasa baru yang muncul pada usia 2;9 adalah kata ora ‘tidak’. Kata ora diucapkan oleh Yusron dengan bunyi [oya]. Ketika itu neneknya berusaha menggendong Yusron yang sedang berkumpul dengan teman sepermainannya. Yusron melakukan penolakan dengan mengucapkan kata ora. Kemudian neneknya melepaskan gendongan tersebut dan Yusron pun berlari-lari kecil untuk kembali berkumpul dengan teman-temannya. (4) Nenek : Ayo, nderek mbahe ora? Nderek ora? ‘Ayo, ikut nenek tidak? Ikut tidak?’ Yusron : Oya. Oya oya. (Ora. Ora ora) ‘Tidak. Tidak tidak’ Pada data (4) merupakan rekaman dari pembicaraan antara nenek dan Yusron. Nenek berusaha menggendong dan mengajak Yusron untuk pergi ke masjid. Namun, Yusron melakukan penolakan dengan kata pengingkar ora ‘tidak’. Kata ora diucapkan dengan bunyi [oya]. Ketika Yusron berumur 2;10, Yusron terekam mengucapkan kata pengingkar ojo ’jangan’. Kata ojo diucapkan Yusron dengan bunyi [jo]. Kata ini terekam ketika Yusron berkumpul dengan teman sepermainannya. Ketika itu Ilyas berusaha merebut dan menarik-narik mainan yang sedang dipegang oleh Yusron. Yusron tampak ekspresif melakukan pencegahan sambil menarik mainan tersebut. Sambil menarik mainan, Yusron mengucapkan kata eh eh eh dan jo jo. Ilyas masih berusaha merebut mainan tersebut sehingga Yusron menangis. Setelah Yusron menangis, Ilyas baru bersedia mengalah dan mengembalikan mainan tersebut kepada Yusron. Setelah itu, Yusron kembali duduk sambil memainkan mobil-mobilan tersebut. (5) Iyas : Aku iki wae Yus. ‘Aku ini aja Yus’ (Sambil merebut mainan yang sedang dipegang Yusron) Yusron : eh eh eh. Jo jo! ‘Eh eh eh. Jangan jangan!’ Data (5) menunjukkan percakapan antara Ilyas dengan Yusron. Ilyas berusaha merebut mainan yang sedang dipegang Yusron. Dengan ekspresi pencegahan, Yusron kembali merebut mainan tersebut sambil mengucapkan kata eh eh eh, jo jo. Dapat dikatakan bahwa Yusron telah mampu menggunakan kata larangan ojo ‘tidak’ sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk melarang atau mencegah seseorang melakukan sesuatu. PROSIDING 223 Kata pengingkar keempat yang terdapat dalam bahasa Jawa adalah kata dudu. Kata dudu diucapkan oleh Yusron dengan bunyi [uju]. Kata ini muncul ketika Yusron berumur 2;11. Ketika itu Yusron sedang berada di teras rumahnya. Nenek Yusron menanyakan kepada Yusron, apakah mainan yeng tercecer di jalan itu milik Yusron atau bukan. Kemudian Yusron menjawab dengan kata pengingkar dudu. Kata pengingkar dudu diucapkan oleh Yusron dengan bunyi [uju]. (6) Nenek : Iki dolananmu opo dudu? ‘Ini mainan kamu atau bukan?’ Yusron: uju, ki uju ulon mbah. Dudu, iki dudu nggone Yusron Mbah. ‘Bukan, ini bukan punya Yusron Mbah.’ Data (6) menunjukkan percakapan antara nenek dengan Yusron. Ketika itu Yusron berusaha menjawab pertanyaan neneknya. Yusron mengucapkan kata pengingkar dudu dengan bunyi [uju]. Kata pengingkar terakhir berupa kata Jawa adalah kata durung ‘belum’. Kata durung diucapkan oleh Yusron dengan bunyi [uyung]. Kata ini muncul ketika Yusron berumur 2;11. Ketika itu Yusron sedang ditanya oleh kakeknya. Untuk itu, perhatikan contoh berikut! (7) Kakek : Kowe wis maem durung? ‘Kamu sudah makan belum?’ Yusron : Uyong maem. Durung maem. ‘Belum makan’. Pada data (7), sang kakek bertanya kepada Yusron apakah sudah makan apa belum. Kemudian Yusron menjawab dengan kata durung ‘belum’ yang diucapkan dengan bunyi [uyUng]. Kata pengingkar durung ‘belum’ digunakan sebagai jawaban negatif dari pertanyaan yang mengandung perfektif uwis ’sudah’. Semua kata yang menyatakan negasi beserta fungsinya dapat dilihat pada tabel berikut. 224 PROSIDING TABEL 1 PENANDA NEGASI DAN FUNGSINYA PENANDA NEGASI NON VERBAL VERBAL REALISASI FONETIS AWAL KEMUNCULAN Menjerit, menarik, berteriak, melepaskan tangan, mendorong tangan, menarik-narik suatu benda. FUNGSI Penolakan terhadap suatu kegiatan, menolak untuk diajak pergi, menolak untuk mengenakan sarung. emoh [moh] [emoh] ora [oya] ojo [jo] dudu durung [uju] [uyong] Penolakan terhadap suatu ajakan, penolakan terhadap tawaran, penolakan terhadap suatu makanan. Penolakan terhadap suatu ajakan/kegiatan mencegah/melarang orang untuk melakukan sesuatu mengungkapkan oposisi Sebagai jawaban negatif dari pertanyaan yang mengandung perfektif ‘uwis’ Dari paparan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, ketika anak berumur 2;11, anak sudah bisa mengungkapkan penanda negasi atau penanda pengingkar dalam bahasa Jawa. Kelima penanda pengingkar yang sudah dikuasai anak, yaitu emoh ’tidak mau’, ora ‘tidak’, ojo ‘jangan’, dudu ‘bukan’, dan durung ‘belum’. Namun, sampai umur 3;0, penanda negasi pengingkar dalam bahasa isyarat tuna wicara sama sekali belum dikuasai. Secara detail perkembangan pemerolehan negasi anak terlihat dalam tabel 2. Tabel 2. Perkembangan Negasi Anak Umur 2;7 2;9 2;10 2;11 2;11 PROSIDING Pengingkar dalam Bahasa Jawa Pengingkar Realitas Fonetis emoh ‘tidak mau’ [moh] ora ‘tidak’ [oya] ojo ‘jangan’ [jo] dudu ‘bukan’ [uju] durung ‘belum’ [uyong] 225 5. Simpulan dan Saran Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemerolehan negasi Yusron sebagai seorang anak yang mempunyai orang tua berkebutuhan khusus (tuna wicara) memiliki pola perkembangan yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Sampai umur 2;6 Yusron sama sekali belum mampu mengucapkan kata pengingkar apapun dalam bahasa Jawa. Yusron baru mampu mengucapkan kata pengingkar pertama kali pada usia 2;7. Kata pengingkar yang pertama kali diucapkan oleh Yusron adalah kata moh. Pada usia 2;9 Yusron mampu mengucapkan kata ora. Kata pengingkar ora diucapkan dengan bunyi [oya]. Pada umur 2;10 Yusron terekam mampu mengucapkan kata pengingkar ojo. Kata ini diucapkan dengan bunyi [jo]. Kata larangan ojo mampu digunakan oleh Yusron sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk melarang atau mencegah seseorang melakukan sesuatu. Kata pengingkar ke empat yang terdapat dalam bahasa Jawa adalah kata dudu. Kata dudu diucapkan oleh Yusron dengan bunyi [uju]. Kata ini muncul ketika Yusron berumur 2;11. Kata pengingkar terakhir yang mampu diucapkan oleh Yusron adalah kata pengingkar durung. Frasa ini mampu diucapkan oleh Yusron pada umur 2;11. Kata pengingkar durung digunakan sebagai jawaban negatif dari pertanyaan yang mengandung perfektif uwis. Kelima penanda pengingkar dalam bahasa Jawa sudah dikuasai anak, yaitu emoh ‘tidak’, ora ‘tidak’, ojo ‘jangan’, dudu ‘bukan’, dan durung ‘belum’. Namun, sampai umur 3;0, penanda negasi pengingkar dalam bahasa isyarat tuna wicara sama sekali belum dikuasai. Penelitian yang mengkaji perkembangan bahasa anak yang memiliki orang tua berkebutuhan khusus (tuna wicara) masih jarang dilakukan di Indonesia. Diharapkan peneliti-peneliti yang tertarik dalam kajian-kajian perkembangan bahasa anak, khususnya, perkembangan bahasa pada anak yang memiliki orang tua berkebutuhan khusus (tuna wicara). Diharapkan pula, para peneliti terus berusaha menggali aspek-aspek pemerolehan bahasa anak secara longitudinal. 226 PROSIDING DAFTAR PUSTAKA Chaer, A. 2009. Psikolinguistik: kajian teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. Dardjowijoyo, Soenjono, 2000. Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Dardjowijoyo, Soenjono, 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Fajri, Moh, 2013. Membangun Pemahaman Pemerolehan Bahasa. Malang: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya. Jakobson. 2009. “autisme-psikolinguistik” Dalam http/mypapirus-blogspot.com. Diunduh tgl 10 Oktober 2013 pukul 10.00. Raja, Patuan. 2004. “An Indonesian Child’s Negative Construction Development”. Makalah disajikan dalam Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya. Pusat Kajian Bahasa dan Budaya. Unika Atma Jaya. Jakarta 24—25 Februari 2004. Soriente Antonia. 2004. “Pemerolehan Negasi dari seorang anak ItaliaIndonesia”. Makalah disajikan dalam Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya. Pusat Kajian Bahasa dan Budaya.Unika Atma Jaya. Jakarta 24—25 Februari 2004. PROSIDING 227 228 PROSIDING UNSUR-UNSUR DAN METODE PENGEMBANGAN PARAGRAF DESKRIPSI DALAM BAHASA JAWA Sri Nardiati pos-el: sri_nardiati@yahoo.co.id Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Inti Sari Penelitian “Unsur-Unsur dan Metode Pengembangan Paragraf Deskripsi dalam Bahasa Jawa” bertujuan mendeskripsikan unsur pembangun paragraf deskripsi dan metode pengembangan paragraf deskripsi. Pendekatan yang digunakan ialah deskriptif struktural. Data dikumpulkan berdasarkan metode simak, dengan metode agih dan teknik bagi unsur langsung sebagai analisisnya. Teknik analisis ini diwujudkan ke dalam elipsasi, substitusi, interupsi, ekspansi, repetisi, dan parafrasa. Data menunjukkan bahwa paragraf deskripsi berstruktur unsur terdeskripsi dan pendeskripsi. Unsur terdeskripsi ini diisi dengan nomina insani, hewani, barang, suasana, dan tempat. Pengembangannya dapat menggunakan metode pemerian, pemerincian, pengelompokan, pembandingan, dan hubungan bagian-keseluruhan. Hasil dari kajian ini mempunyai manfaat baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis hasil kajian ini untuk melengkapi teori paragraf dalam bahasa Jawa. Secara praktis hasil kajian ini digunakan sebagai bahan pembelajaran dan bahan penyusunan buku paragraf dalam bahasa Jawa. Kata kunci: paragraf, deskripsi, topik, kalimat topik, kalimat penjelas Abstract The research on “The elements and Method in Javanese Paragraph Descriptive Development” is aimed at describing element of descriptive paragraph constructor and method in developing descriptive paragraph. The approach used is structural descriptive. The data obtained based on listening method, with apportion method and direct element division method as its analysis. The analysis technique is realized into substitution, interruption, expansion, repetition, and paraphrase. The data shows that descriptive paragraph has described and descriptor element. The described element is filled with being, animal, thing condition, and place. Its development can use break downing, itemization, grouping, comparison, PROSIDING 229 and relation of part – whole. The result of this study has theoretically and practically benefits. Theoretically, the result of study can complete Javanese paragraph theory. Practically, the result can be used as teaching and learning material and a material in making Javanese paragraph book. Key words: paragraph, descriptive, topic, topic sentence, explanatory sentence 1. Pendahuluan Salah satu jenis paragraf berdasarkan tujuannya berupa paragraf perian yang lazim disebut dengan istilah paragraf deskripsi. Deskripsi melibatkan aktivitas pancaindera. Sehubungan dengan itu, aktivitas pemerian atau pendeskripsian ini dikenal dan dilakukan lebih awal oleh penuturnya. Setiap manusia sejak kecil sampai akhir hayatnya terlibat pada aktivitas pendeskripsian. Setiap manusia dengan mudah melakukannya. Materi deskripsi ini mulai diajarkan pada siswa sejak mereka berada pada pendidikan tingkat rendah. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang berjudul “Paragraf dalam Bahasa Jawa: Konstruksi dan Permasalahannya “ oleh Nardiati dkk. (2013). Penelitian lain yang telah ada berjudul Berbagai Pengisi Komen dalam Kalimat Topik Paragraf Deskripsi Bahasa Jawa” Nardiati (2012). Pembicaraan pada penelitian ini difokuskan pada masalah satuan lingual yang mengisi komen. Istilah komen ini dalam kajian kewacanaan dihubungkan dengan istilah topik. Kadang disebut bahwa kajian topik-komen sejalan dengan istilah tema-rema dalam wacana. Kajian yang lain berjudul “Pengembangan Paragraf Deskripsi Berdasarkan Status Informasinya” dalam Peneroka Hakikat Bahasa oleh Nardiati (2009). Kajian ini berbicara tentang masalah seluk-beluk mengembangkan paragraf yang didasarkan pada status informasinya. Dalam kajian wacana, istilah status informasi dibedakan atas status informasi lama (sudah diketahui) dan status informasi baru (sedang mulai diketahui oleh mitra bicaranya). Kajian ini membahas tentang pengembangan paragraf yang bertolak dari status informasinya, paragraf dikembangkan dari informasi lama atau dari informasi baru. Selain itu, kajian ini membahas kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam pengembangannya sehingga membuat paragraf tidak koheren lagi. Bertolak dari kedua penelitian itu, jelas bahwa penelitian yang berjudul “Unsur-Unsur dan Metode Pengembangan Paragraf Deskripsi dalam Bahasa Jawa” pada makalah ini belum dikaji. Topik ini penting untuk dikaji karena semua orang, secara sadar atau tidak, pasti terlibat pada aktivitas pendeskripsian. Selain untuk memenuhi kebutuhan ekspresi bersifat primer bagi setiap insan, deskripsi juga berfungsi dalam hal bereksposisi, berargumentasi, dan bernarasi. 230 PROSIDING Yang menjadi masalah dalam penelitian ini ialah berbagai satuan lingual yang mengisi unsur terdeskripsi dan unsur pendeskripsi. Selain itu, yang menjadi masalah dalam penelitian ini ialah berbagai metode pengembangan pada paragraf deskripsi dalam bahasa Jawa. Dengan demikian, tujuan yang dicapai dalam penelitian ini ialah memerikan unsur terdeskripsi dan unsur pendeskripsi paragraf deskriptif dalam bahasa Jawa. Selain itu, penelitian ini berupaya memerikan berbagai metode pengembangan yang digunakan dalam paragraf deskripsi dalam bahasa Jawa. Data menunjukkan bahwa unsur terdeskripsi yang menjadi topik pada paragraf deskripsi cenderung dilingualkan. Namun, kadang dijumpai pula paragraf deskripsi yang topiknya tidak dilingualkan. Sebagai penjelasnya, diberikan contoh berikut. (1) (a) Mesjid kagungan dalem Kraton Kasultanan Ngayogyakarta pancen nduweni ciri kang khas. (b) Cakrike kebak perlambang. (c) Biasane, mesjid kagungan dalem kanthi cakrik mesjid keprabon. (d) Ana ruangane inti, kanthi saka guru cacah papat, dene payone tingkat telu, payon serambi wujude limasan tingkat loro. (e) Sarta ana tratag rambat, kanggo nyabrang saka plataran tumuju serambi. (f) Saliyane kuwi, ana maksurane, papan khusus kanggo sholat raja, ana ing shaf paling ngarep. (Penjebar Semangat No.43-24Okt.2009:9.) (a) Masjid Keraton Kesultanan Yogyakarta memang mempunyai ciri yang khas. (b) Coraknya penuh dengan simbol. (c) Biasanya, masjid milik keraton bercorak masjid keprabon. (d) Ada ruangannya inti, dengan tiang berjumlah empat, sedangkan atapnya tingkat tiga, atap serambi berwujud limas tingkat dua. (e) Serta ada jembatan untuk menyeberang dari pelataran munuju serambi. (f) Selain itu, ada maksuranya, tempat khusus untuk salat raja, berada pada shaf paling depan. (2) (a) Lis ingkang satunggal kaetrapaken ing kendhali pangen ingkang dipunslurupi dhadhung wau. (b) Satunggalipun malih kaetrapaken ing kendhali tres. (c) Sanggawedhi kaukur cekaIpan panjang-celakipun. (d) Lis katangsulaken ing gelangan pongoling lapak. (e) Dhadhung ing gulu ingkang kaslurupaken ing kendhali pangen, ingkang katangsulaken wit sawo dipunuculi. (f) Hel kraos longgar saking wit sawo, lajeng budi, nanging boten saged, jalaran sukunipun ingkang satunggal dereng tumapak, taksih ketekuk, dipuntangsuli. (g) Dhadhung lajeng kaubedaken ing gulu. (Ngulandara, 1957:36). (a) Lis yang satu dipasang pada kendhali pangen yang dimasukkan pada dhadhung itu. (b) Satunya lagi dipasang pada kendhali penekan. (c) Sanggawedhi diukur pas panjangpendeknya. (d) Lis ditalikan pada pergelangan lapak. (e) Tali di leher yang dimasukan pada kendali pangen, yang ditambatkan pada pohon sawo dilonggarkan. (f) Hel merasa kendor dari PROSIDING 231 pohon sawo, terus meronta, tetapi tidak mampu, sebab kakinya yang satu belum menapak, masih terlipat, diikat. Dhadhung terus dikalungkan pada leher. Contoh paragraf (1), satuan lingual yang menjadi topiknya berupa kalimat Mesjid kagungan dalem Kraton Kasultanan Ngayogyakarta pancen nduweni ciri kang khas sebagai unsur terdeskripsi. Pernyataan ini dikembangkan melalui gagasan penjelas yang bersifat khusus (1b)—(1f) sebagai unsur pendeskripsi. Hal itu berbeda dengan paragraf (2) bahwa satuan lingual yang menjadi topik tidak dilingualkan. Namun, komponen makna yang menjadi topik dapat diketahui melalui komponen makna unsur pendeskripsinya yang disebutkan pada kalimat penjelas. Hal itu tampak pada frasa nominal lis ingkang satunggal sebagai unsur terdeskripsi pada (2a); sanggawedhi sebagai unsur terdeskripsi pada (2c); lis sebagai unsur terdeskripsi pada (2d); dhadhung sebagai unsur terdeskripsi pada (2e) dan (2g). Semua satuan lingual itu mempunyai komponen makna bersama. Unsur yang menjadi topik utama tidak dilingualkan. Berdasarkan komponen makna bersama yang dimilikinya, unsur yang menjadi pengendali dapat dimunculkan berupa satuan lingual ubarampe dandan (tumrap hel) ‘peranti berdandan (hel)’. Berdasarkan data tersebut, jelas bahwa penelitian tentang unsur-unsur dan metode pengembangan paragraf deskripsi menjadi perihal yang penting untuk dikaji. Hasilnya dapat memberikan manfaat baik secara praktis maupun teoretis. Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat melengkapi teori keparagrafan dalam bahasa Jawa. Adapun secara praktis hasil penelitian ini dapat disumbangkan sebagai bahan penyusunan buku paragraf bahasa Jawa. 2. Kerangka Teori Kajian pada makalah ini berjudul “Unsur-Unsur dan Metode Pengembangan Paragraf Deskriptif dalam Bahasa Jawa”. Pendekatan yang digunakan ialah deskriptif struktural. Paragraf yang menjadi objek penelitian ini strukturnya dibagi ke dalam unsur yang lebih kecil berupa kalimat, klausa, frasa, dan kata. Dengan cara inilah, unsur-unsur itu dikaji berdasarkan keterkaitannya pada sebuah konteks. Karangan berisi serangkaian buah pikiran sebagai realisasi pernyataan penulisnya. Paragraf merupakan penggalan wacana (Wedhawati dkk., 2001:622). Pada ragam tulis, karangan dibangun atas untaian paragraf-paragraf. Paragraf disebut juga dengan istilah perenggan (Moeliono, 1989). Paragraf terdiri atas sejumlah kalimat yang kait-mengait membentuk satu kesatuan mempunyai ide pokok sebagai pengendalinya (Ramlan, 1993:1). Ide pokok atau gagasan pokok itu lazim disebut topik, yaitu sesuatu yang dibicarakan (Poe- 232 PROSIDING djosoedarmo, 1983:5). Sejalan dengan itu, (Moeliono, 2004:216) menyebutkan bahwa sebuah topik dinyatakan ke dalam kalimat topik yang menjadi inti paragraf. Deskripsi merupakan suatu gambaran yang cenderung mengimbau pancaindera (Kramer et al. dalam Moeliono, 2004:210). Topik yang menyatakan fisik pada deskripsi akan menghadirkan komen yang menyatakan kondisional (ajektiva, verba posesif, verba rincian, numeralia, frasa preposisional) (Baryadi, 1993:15). Deskripsi dalam bahasa Jawa ditandai dengan verba statif dan verba posesif, antara lain verba ana, duwe, nganggo. Lebih lanjut, Wedhawati dkk. (2001:622) menyebutkan bahwa posesif dalam bahasa Jawa dapat ditandai dengan satuan lingual –e/-ne. Paragraf merupakan bagian karangan yang bersifat satu, padu, logis, dan sistematis, sedangkan deskripsi dapat diterjemahkan menjadi pemerian. Kata memerikan berarti ‘melukiskan sesuatu hal’ (Keraf, 1982:93). Pada paragraf deskripsi pembaca atau pendengar seolah-olah berada dalam suatu ruangan yang dapat mencium, mendengar, meraba, merasakan, dan melihat segala sesuatu (Alwi, 2001:46.). Paragraf yang baik tidak hanya lengkap pengembangannya, tetapi juga dapat menunjukkan adanya kesatuan isi. Kesatuan atau unity bermaksud bahwa penulis hanya mengembangkan satu gagasan pokok saja. Perpautan (coherence) membuat karangan menjadi padu. Kepaduan ini dicapai atas adanya jalinan dan peralihan yang jelas antara kalimat satu dan yang lain dalam paragraf. Perpautan dapat tercapai melalui adanya jalinan (Moeliono, 1989:137). Paragraf yang baik harus mempunyai ide atau gagasan pokok (Tarigan, 1981). Paragraf adalah kelompok kalimat yamg mempunyai ide pokok atau gagasan pokok baik secara tersirat maupun tersurat. Gagasan pokok atau ide pokok itu terdapat pada kalimat topik. Gagasan pokok itu dapat berada di bagian awal, tengah dan akhir paragraf Ramlan, 1993). Kalimat topik dalam paragraf berupa pernyataan umum yang dikembangkan dengan perincian atau analisis sebagai penjelasannya (Moeliono, 1989: 134). Deskripsi merupakan suatu bentuk kebahasaan yang menggambarkan suatu objek sehingga objek itu seolah-olah berada di depan mata (Keraf, 1982: 135). Deskripsi dimanfaatkan untuk mengkonkretkan pokok pembicaraan bagi pemaparan (eksposisi), pengisahan (narasi), dan argumentasi. Kehadirannya itu dapat menyertai satuan yang lain dapat pula secara khusus dalam bentuk alinea (Keraf, 1982: 133). Di dalam deskripsi terdapat hubungan pentahapan yang ada kaitannya dengan perian, rincian, posesif, dan eksistensi (Montolalu, 1988: 21). PROSIDING 233 3. Metode, Teknik, dan Data Proses penyelesaian sebuah penelitian ditempuh melalui tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Metode simak digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini (Sudaryanto, 1993:133). Data yang sudah terkumpul diseleksi. Data yang mendukung permasalahan diklasifikasi berdasarkan substansi penelitian. Dalam analisis data digunakan metode agih, pelaksanaan metode ini ditempuh melalui teknik bagi unsur langsung (BUL). Data yang berupa paragraf deskripsi ini dibagi-bagi berdasarkan unsur langsungnya. Unsur-unsur itu berupa kalimat-kalimat, klausa, frasa, dan kata. Di dalam analisis digunakan berbagai teknik analisis, antara lain, elipsasi atau pelesapan, substitusi atau penggantian, interupsi atau penyisipan, ekspansi atau perluasan, repetisi atau pengulangan, dan parafrasa atau alih bentuk (Sudaryanto, 1993). Teknik elipsasi, repetisi, referensi, dan substitusi cenderung digunakan pada analisis unsur-unsur paragraf. Selanjutnya, teknik parafrasa cenderung digunakan pada analisis pengembangan paragraf deskripsi. Data dalam penelitian ini berupa bahasa Jawa ragam umum (Poerwadarminta, 1979). Data penelitian ini diambil dari berbagai sumber, baik yang berupa novel maupun majalah berbahasa Jawa. Novel yang digunakan sebagai sampel penelitian berjudul Ngulandara, Kintamani, dan Anteping Tekad, sedangkan majalah yang digunakan sebagai sampel berjudul Penjebar Semangat, Djaka Lodang, dan Jaya Baya. 4. Analisis Sebagaimana telah dikemukakan pada paragraf sebelumnya bahwa paragraf deskripsi dibangun atas unsur yang dideskripsikan dan unsur yang mendeskripsikan. Unsur yang dideskripsikan biasanya berada pada urutan sebelah kiri disebut unsur terdeskripsi. Unsur yang mendeskripsikan berada pada urutan sebelah kanan disebut unsur pendeskripsi. Pengembangan unsur paragraf deskripsi menggunakan berbagai metode. Untuk itu, pembahasan masalah paragraf deskripsi ini didasarkan pada unsur-unsur pembangunnya dan metode pengembangannya. 4.1 Unsur-Unsur Paragraf Dideskripsi Unsur yang membangun paragraf deskripsi ada dua, yaitu unsur terdeskripsi dan unsur pendeskripsi. Pembicaraan tentang unsur paragraf deskripsi ini dikelompokkan berdasarkan jenis pengisi topik paragraf yang bersangkutan. 234 PROSIDING 4.1.1 Unsur Terdeskripsi Satuan lingual yang menjadi unsur terdeskripsi berstatus sebagai topik atau gagasan pokok. Topik atau gagasan pokok ini terdapat di dalam kalimat topik. Di dalam paragraf deskripsi, unsur yang mengisi topik atau gagasan pokok dapat berwujud satuan lingual kata, frasa, atau kelompok kata, dan kalimat. Satuan lingual yang menjadi topik atau kalimat topik ini berjenis nomina insani, hewani, barang, tempat, dan suasana. 4.1.1.1 Deskripsi Nomina Insani Unsur yang terdeskripsi pada bagian ini berjenis nomina insani sebagai tokoh. Untuk itu, perhatikan contoh berikut. (3) (a) Ibu Mamik Ing babagan olahraga duwe pengalaman kang saabreg akehe. (b) Ing antarane dadi pelatih ing Klub Renang Ibu-Ibu “Mino Kridho” Yogyakarta. (c) Uga dadi penanggung jawab lan pelatih Sanggar SenamAsanaria, Yogyakarta. (d) Dadi pengurus KONIPropinsi DIY minangka wakil ketua Bidang Organisasi. (e) Ing sasi September 1989 minangka Chaperone Kontingen DIY ing PON XII ing Jakarta. (f) Kejaba iku, isih akeh liyane maneh jejibahan kang nate diemban.(DL No.37-9 Feb 2008:6) ‘(a) Ibu Mamik di bidang olahraga mempunyai pengalaman yang sangat banyak.(b) Antara lain menjadi pelatih di Klub Renang Ibu-Ibu “Mino Kridho” Yogyakarta. (c) Juga menjadi penanggung jawab dan pelatih Sanggar Senam Asanaria, Yogyakarta. (d) Menjadi pengurus KONI Provinsi DIY sebagai wakil ketua Bidang Organisasi. (e) Pada bulan September 1989 sebagai Chaperone Kontingen DIY di PON XII di Jakarta. (f) Selain itu, masih banyak lagi tanggung jawab yang pernah dipegang.’ Paragraf (3) terdiri atas enam kalimat. Satuan kebahasaan yang berupa kalimat Ibu Mamik duwe pengalaman kang saabreg akehe ing babagan olahraga pada (3a) sebagai gagasan pokok atau unsur terdeskripsi. Gagasan pokok ini menyatakan ‘orang atau tokoh’ yang dikembangkan dengan gagasan-gagasan penjelas pada kalimat penjelas (3b)—(3f) sebagai unsur pendeskripsi. Gagasan pokok sebagai unsur terdeskripsi ini dipertahankan melalui teknik elipsasi atau pelesapan S yang berupa satuan lingual Ibu Mamik pada (3b)—(3 e) dan unsur pembatas pada (3f). Apabila unsur yang lesap dimunculkan, paragraf (3) menjadi berikut ini. (3a) (a) Ibu Mamik ing babagan olahraga duwe pengalaman kang saabreg akehe. (b) Ing antarane, Ibu Menik dadi pelatih ing Klub Renang Ibu-Ibu “Mino Kridho” Yogyakarta. (c) Ibu Menik uga dadi penanggung jawab lan pelatih Sanggar Senam Asanaria, Yogyakarta. (d) Ibu Menik dadi pengurus KONI Propinsi DIY minangka wakil ketua Bidang Organisasi. (e) Ing sasi September 1989 Ibu PROSIDING 235 Menik minangka Chaperone Kontingen DIY ing PON XII ing Jakarta. (f)_Kejaba iku, isih akeh liyane maneh jejibahan kang nate diemban Ibu Menik . 4.1.1.2 Deskripsi Nomina Hewani Unsur terdeskripsi pada bagian ini berkategori nomina hewani menyatakan binatang. Sebagai penjelasnya, perhatikan contoh berikut. (4) (a) Iwak hias Koi rupane maneka warna bisa dadi sesawangan kang endah. (b) Koi pancen duwe corak kang unik ing gegere. (c) Duwe jeneng latin Cyprimus Carpio. (d) Luwih endah yen disawang saka ndhuwur utawa top view. (e) Iwak iki luwih cocog diingu ana ing blumbang.(DL No. 36-2 Feb.2008:34) (binatang) ‘(a) Ikan hias Koi rupannya beraneka warna bisa menjadi pemandangan yang indah. (b) Koi memang mempunyai corak yang unik di punggungnya. (c) Mempunyai nama berbahasa Latin Cyprimus Carpio. (d) Lebih indah kalau dilihat dari atas atau top view. (e) Ikan ini lebih cocok dipelihara di kolam.’ Paragraf (4) terdiri atas lima kalimat dengan satuan kebahasaan frasa iwak hias koi ‘ikan hias koi’ sebagai topik atau gagasan pokok sebagai unsur terdeskripsi. Gagasan pokok sebagai pengisi unsur terdeskripsi ini dipertahankan melalui teknik ulang sebagian atau repetisi pada satuan lingual koi pada (4b) dan satuan lingual iwak iki ‘ikan ini’ pada kalimat penjelas (4e). Gagasan pokok yang menjadi unsur terdeskripsi itu juga dipertahankan melalui teknik lesap atau elipsasi pada S (4c) dan (4d). Apabila unsur yang diulang dan dilesapkan itu dimunculkan lagi, paragraf (4) menjadi seperti berikut ini. (4a) (a) Iwak hias Koi rupane maneka warna bisa dadi sesawangan kang endah. (b) Iwak hias koi pancen duwe corak kang unik ing gegere. (c) Iwak hias Koi duwe jeneng latin Cyprimus Carpio. (d) Iwak hias Koi luwih endah yen disawang saka ndhuwur utawa top view. (e) Iwak hias Koi iki luwih cocog diingu ana ing blumbang. 4.1.1.3 Deskripsi Nomina Barang Unsur yang terdeskripsi pada bagian ini berjenis nomina barang. Sebagai penjelasnya, perhatikan contoh berikut. (5) (a) Kreta Kyai Retnalaya kang dititihi layone Sinuhun PB XII Nata ing Kraton Surakarta tekan titiwanci iki isih katon wingit lan merbawani. (b) Kreta warna putih iku bahane saka kayu sing pengkuh, atepe dhuwur karenggan makutha. (c) Kreta Kyai Retnalaya ditarik jaran wolu, ing sisih kiwa tengene kusir, kayu dicet brom emas, kusire ana ngarep ngungkurake layon. (DL. No. 10/ 2004:43) 236 PROSIDING ‘(a) Kereta Kyai Retnalaya yang dikendarai jenazah Sinuhun PB XII Raja di Keraton Surakarta sampai saat ini masih tampak angker dan wibawa. (b) Kereta berwarna putih itu terbuat dari kayu yang kuat, beratap tinggi berhiaskan mahkota. (c) Kereta Kyai Retnalaya ditarik delapan kuda, di samping kiri kanan sais, kayu dicat brom emas, sais berada di depan membelakangi jenazah. Paragraf (5) terdiri atas tiga kalimat dengan satuan lingual frasa Kreta Kyai Retnalaya sebagai gagasan pokok atau unsur terdeskripsi. Gagasan pokok ini dipertahankan melalui teknik pengulangan unsur kreta sebagai pengisi S pada (5b) dan Kreta Kyai Retnalaya pada (5c). Pemertahanan gagasan pokok ini juga tampak pada penggunaan penanda –e pada kata bahane, atepe (5b), dan kusire pada (5c). 4.1.1.4 Deskripsi Nomina Tempat Pada bagian ini dibicarakan paragraf deskripsi dengan gagasan pokok berjenis nomina tempat. Sebagai penjelasnya, diutarakan contoh sebagai berikut. (6) (a) Sendangsono, papan peziarahan sing paling tuwa ing Indonesia dedunung ing perenge Pegunungan Menoreh utawa Pegunungan Kulon Progo. (b) Papan peziarahan sing ana sedang ing sangisore wit sana gunung iki cumondhok ing dhusun Semanggung. (c) Kliwat satus taun kepungkur yaiku taun 1904 ing papan iki Pastor Van Lith SJ mbaptis 168 panggilut Katolik sing tembene dadi umat Katolik sepisanan ing Kalibawang, Yogyakarta.(DLNo.50-10 Mei 2008:32) ‘(a) Sendangsono , tempat peziarahan yang paling tua di Indonesia berada di lereng Pegunungan Menoreh atau Pegunungan Kulon Progo. (b) Tempat peziarahan yang terdapat sendang di bawah pohon sana gunung ini tinggal di dusun Semanggung. (c) Lebih dari seratus tahun yang lalu, tepatnya tahun 1904, di tempat ini Pastor Van Lith SJ membaptis 168 penganut agama Katolik yang akhirnya menjadi umat Katolik pertama di Kalibawang, Yogyakarta.’ Paragraf (6) terdiri atas tiga kalimat dengan satuan lingual kata Sendangsono sebagai pengisi gagasan pokok. Gagasan pokok ini sebagai unsur terdeskripsi yang dikembangkan melalui tiga kalimat penjelas (6a)—(6c). Pemertahanan gagasan pokok ini menggunakan teknik penggantian, yaitu mengganti satuan lingual Sendangsono dengan papan peziarahan sing paling tuwa ing Indonesia sebagai pengisi S pada (6a), dan papan peziarahan sing ana sedang ing sangisore wit sana gunung iki sebagai pengisi S pada (6b), dan ing papan iki sebagai pengisi fungsi keterangan (6c). Unsur-unsur pengganti itu dapat dikembalikan pada unsurnya semula, yakni Sendangsono sehingga paragraf (6) menjadi berikut ini. PROSIDING 237 (6a) (a) Sendangsono dedunung ing perenge Pegunungan Menoreh utawa Pegunungan Kulon Progo. (b) Sendangsono iki cumondhok ing dhusun Semanggung. (c) Kliwat satus taun kepungkur yaiku taun 1904 ing Sendangsono iki Pastor Van Lith SJ mbaptis 168 panggilut Katolik sing tembene dadi umat Katolik sepisanan ing Kalibawang, Yogyakarta. 4.1.1.5 Deskripsi Suasana Pada bagian ini dibicarakan paragraf yang mendeskripsikan suasana. Sebagai penjelasnya, diutarakan contoh berikut. (7) (a) Dinten Minggu candhakipun, langitipun katingal sumilak resik. (b) Dalunipun mentas jawah, dados wit-witan sami katingal seger. (c) Ronipun ngrembuyung ijem riyep-riyep, adamel sakecaning paningal. (d) Margi-margi katingal resik, boten mblethok. (e) Hawanipun sakeca. (Nglndr, 1947:31) ‘(a) Hari Minggu berikutnya, langit tampak cerah. (b) Malamnya baru saja hujan, pepohonan segar. (c) Daunnya suburmenghijau, membuat indahnya pemandangan. (d) Jalan-jalan tampak bersih, tidak becek. (e) Udaranya nyaman.’ Paragraf (7) terdiri atas empat kalimat dengan gagasan pokok menyatakan ‘suasana atau keadaan’. Hal ini dapat diketahui melalui penggunaan satuan lingual –ipun pada langitipun ‘langitnya’, ronipun ‘daunnya’, hawanipun ‘udaranya’ yang dapat menyatakan ‘keadaan’. Semua unsur tersebut merujuk pada ‘keadaan hari Minggu berikutnya’, yang dalam bahasa Jawa krama dapat dieksplisitkan dengan kata kawontenanipun, dalam bahasa Jawa ngoko menjadi kaanane Untuk itu, paragraf (7) dapat diubah menjadi berikut ini. (7a) (a) Kawontenanipun dinten Minggu candhakipun, langit katingal sumilak resik. (b) Dalunipun mentas jawah, dados wit-witan sami katingal seger. (c) Ronipun ngrembuyung ijem riyep-riyep, adamel sakecaning paningal. (d) Margimargi katingal resik, boten mblethok. (e) Hawanipun sakeca. (Ngulandara, 1947) Dengan demikian, jelas bahwa paragraf (7) bertopik ‘suasana atau keadaan’. Gagasan penjelas tersebut dapat dikendalikan oleh gagasan pokok dengan mengeksplisitkan satuan lingual kawontenanipun ‘keadaan’. 4.2 Unsur Pendeskripsi Unsur pendeskripsi merupakan unsur yang menerangkan topik atau menerangkan gagasan pokok. Unsur pendeskripsi ini cenderung berupa predikat beserta argumen yang berposisi pada urutan sebelah kanan. Unsur pendeskripsi ini juga mengisi predikat kalimat-kalimat penjelas. Kalimat-kalimat penjelas pada wacana deskripsi bersifat kondisional (Baryadi, 1993:15). Sejalan 238 PROSIDING dengan itu, predikat pada paragraf deskripsi cenderung berjenis kata adjektiva, verba, numeralia, dan frasa preposisional. Kategori verba atau kata kerja pengisi predikat menyatakan kemilikan atau posesif dan rincian. 4.2.1 Unsur Pendeskripsi Berkategori Ajektiva Unsur pendeskripsi dapat berjenis kata sifat atau adjektiva yang menyatakan keadaan. Untuk itu, perhatikan contoh berikut. (8) (a) Kenya ayu iki pawakane sedhet, gandhes luwes lan merak ati. (b) Penampilane ing panggung ora saben wong bisa nindakake. (c) Solah bawane nengsemake, apa maneh yen lagi pacak gulu. (d) Gawe trataban sing padha nyawang. (e) Ketambahan maneh, postur awake pindha Dewi Suprobo. (f) Akeh penonton sing padha mriyang sangking sengseme.(Djaka Lodang No. 39-23 Feb 2008:38) ‘(a) Wanita cantik ini perawakanya sintal, luwes,dan memikat hati. (b) Penampilannya di panggung tidak setiap orang bisa mempraktikan. (c) Tingkah lakunya menarik hati, terlebih lagi saat menggayakan lehernya. (d) Membuat gemetar hati orang yang memandangnya. (e)Terlebih lagi, posturnya yang menyerupai Dewi Suprobo. (f) Banyak penonton yang demam karena terpikat padanya.’ Gagasan pokok paragraf deskripsi (8) berkategori frasa nominal kenya ayu iki‘wanita cantik ini’ sebagai unsur terdeskripsi. Unsur tersebut menghadirkan gagasan-gagasan penjelas yang terdapat pada kalimat-kalimat penjelas yang berpredikat kategori adjektiva dan frasa preposisional sebagai pendeskripsi. Gagasan penjelas pada (8a) berfrasa adjektival sedhet, gandhes luwes lan merak ati sebagai pendeskripsi yang menyatakan keadaan, pada (8f) berfrasa adjektival sangking sengseme, pada (8c) berkategori adjektiva nengsemake sebagai unsur pendeskripsi yang menyatakan keadaan. Kehadiranya itu mendeskripsikan gagasan pokok sehingga terbangun satu keutuhan makna. 4.2.2 Unsur Pendeskripsi Berkategori Numeralia, Verba, F. Preposisional Gagasan pokok sebagai unsur terdeskripsi dikembangkan dengan gagasan penjelas yang terdapat di dalam kalimat penjelas sebagai unsur pendeskripsi. Unsur pendeskripsi ini dapat berpredikat kategori numeralia yang menyatakan usia. Untuk itu, perhatikan contoh berikut. (9) (a) Manut sejarahe, iwak koi umure wis 226 taun. (b) Ana maneka versi asalusule. (c) Kang sepisan, asale saka Persia banjur digawa menyang Jepang dening wong-wong Cina liwat dharatan Cina lan Korea. (d) Ana ing Jepang, koi wis dikembangakewiwit 160 taun kepungkur.(DL No, 36-2Feb 2008:34) ‘(a) Menurut sejarahnya, ikan koi usianya sudah 226 taun. (b) Ada aneka versi asal-usulnya. (c) Yang pertama, berasal dari Persia lalu dibawa ke PROSIDING 239 Jepang oleh orang-orang Cina lewat daratan Cina dan Korea. (d) Di Jepang, koi sudah dikembangkan sejak160 taun yang lalu.’ Gagasan pokok paragraf (9) berkategori frasa nominal iwak koi ‘ikan koi’ sebagai unsur terdeskripsi. Pada (9a), unsur tersebut dijelaskan dengan predikat berkategori numeralia wis 226 taun sebagai unsur pendeskripsi yang menyatakan usia. Pada (9b), unsur pendeskripsi itu berkategori verba posesif ana ‘ada’ yang menyatakan keadaan, dan (9c) berkategori frasa preposisional saka Persia ‘dari Persia’ sebagai predikatnya yang menyatakan keterangan. Kehadiran unsur pendeskripsi itu membangun keutuhan makna paragraf. 4.2.3 Unsur Pendeskripsi Berkategori Verba Gagasan pokok sebagai unsur terdeskripsi dikembangkan dengan gagasan penjelas sebagai unsur pendeskripsi. Unsur pendeskripsi ini berkategori verba yang menyatakan keadaan, seperti berikut ini. (10) (a) Rusunawa Gunungsari iku dumadi saka susun lima, kalebu basement. (b) Lapangan bulu tangkis loro ana ing plataran buri. (c) Rusunawa kasebut dumadi saka 268 unit pedunungan lan rumah toko (ruko), 22 unit ana tingkat ngisor. (Jaya Baya,) (a) Rusunawa Gunungsari itu terdiri dari lima susun, termasuk lantai dasar. (b) Lapangan bulu tangkis dua buah berada di halaman belakang. (c) Rusunawa tersebut terdiri dari 268 unit rumah singgah dan rumah toko (ruko), 22 unit berada di lantai bawah.’ Gagasan pokok pada (10) berupa frasa nominal Rusunawa Gunungsari iku sebagai unsur terdeskripsi. Unsur tersebut dijelaskan dengan kategori verba dumadi saka ‘terdiri dari’ pada (10a) dan (10c) yang menyatakan ‘rincian’ sebagai unsur pendeskripsi. Selain itu, unsur pendeskripsi juga berkategori verba ana untuk (10b). Kehadiran unsur pendeskripsi itu menyatakan keadaan yang membangun keutuhan makna paragraf. 4.3 Metode Pengembangan Paragraf Deskriptif Data menunjukkan bahwa pengembangan paragraf deskripsi dalam bahasa Jawa menggunakan berbagai metode, antara lain, pemerian, pemerincian, pengelompokan, pembandingan, dan hubungan bagian-keseluruhan. Penerapan metode pengembangan pada paragraf deskripsi itu dibicarakan pada bagian berikut. 4.3.1 Metode Pemerian Pada bagian ini dibicarakan masalah pengembangan paragraf deskripsi dengan metode pemerian. Sebagai penjelasnya, diutarakan contoh sebagai berikut. 240 PROSIDING (11) a)Wayah esuk, srengenge wis meh mlethek. b) Ing bang wetan, katon semamburat sunaring Hyang Bagaskara kang arep jumedhul saka nendra lagi pungun-pungun kaling-kalingan gunung. c) Ing antariksa katon semu kuning maya-maya, endah dinulu, suminar ngebaki sesawangan. (Kintamani :5). ‘a) Pada pagi hari, mentari hampir terbit. b) Di ufuk timur, tampak sedikit sinar sang surya yang akan terbit dari persembunyiannya, pungun-pungun tertutup gunung. c) Di antariksa tampak sedikit kuning maya, indah dipandang, bersinar memenuhi pemandangan.’ Pengembangan paragraf (11) digunakan metode pemerian. Penerapan metode ini dapat dijelaskan dengan menggunakan satuan lingual digambarake menawa ‘dipemerikan bahwa’. Dengan demikian, metode pemerian ini dapat dijelaskan dengan kalimat Topik iku bisa digambarake menawa … ‘topik itu dapat dilukiskan bahwa …’. Dengan pertimbangan bahwa topik diisi dengan satuan lingual yang menjadi topik paragraf, sedangkan tempat kosong pada titiktitik diisi dengan kalimat-kalimat penjelas yang bersifat khusus. Dengan formula tersebut, metode pemerian pada paragraf (11) itu dapat dijabarkan melalui kalimat Wayah esuk iku bisa digambarake menawa srengenge wis meh mlethek. pada (11a). Wayah esuk iku bisa digambarake menawa ing bang wetan, katon semamburat sunaring Hyang Bagaskara kang arep jumedhul saka nendra lagi pungun-pungun kaling-kalingan gunung pada (11b). Wayah esuk iku bisa digambarake menawa ing antariksa katon semu kuning maya-maya, endah dinulu, suminar ngebaki sesawangan pada (11c). Dengan menggunakan teknik tersebut, penerapan metode pemerian pada paragraf (11) menjadi semakin nyata. 4.3.2 Metode Pemerincian Pada bagian ini dibicarakan masalah pengembangan paragraf deskripsi berdasarkan metode pemerincian. Sebagai penjelasnya, diberikan contoh sebagai berikut. (12) (a) Rusunawa Gunungsari iku dumadi saka susun lima, kalebu basement. (b) Lapangan bulu tangkis loro ana plataran buri. (c) Rusunawa kasebut dumadi saka 268 unit pedunungan lan rumah toko (ruko) 22 unit ana tingkat ngisor. (a) Rusunawa Gunungsari itu terdiri atas lima tingkat, termasuk lantai dasar. Lapangan bulu tangkis dua di halaman belakang. Rusunawa itu terdiri atas 268 unit rumah huni dan rumah toko (ruko) 22 unit di lantai bawah.’ Paragraf deskripsi dapat dikembangkan dengan metode pemerincian. Penerapan metode ini dapat dijelaskan dengan menggunakan kalimat Topik PROSIDING 241 iku dumadi saka/kaprinci/ ana ... ‘Topik itu terjadi dari/dirinci/ada ...’. Dengan pertimbangan bahwa satuan lingual topik dapat diisi dengan satuan lingual yang menjadi topik paragraf, sedangkan tempat kosong yang diisi titik-titik itu dapat diisi dengan kalimat penjelas yang menjadi rinciannya. Paragraf (12) sudah dieksplisitkan dengan penanda pemerincian. Di dalam contoh tersebut sudah digunakan verba dumadi saka ‘terjadi dari’ dan ana ‘ada’ sebagai penanda pemerincian. Tampak pada paragraf (12) yang menjadi topik ialah Rusunawa Gunungsari iku ‘Rusunawa Gunungsari’. Topik tersebut diikuti kalimat penjelas (12a) dan (12c) dengan frasa dumadi saka ‘terjadi dari’ sebagai penanda rincian. Selain itu, kalimat penjelas (12b) menggunakan verba ana ‘ada’ sebagai penanda tempat dari rincian tersebut. 4.3.3 Metode Pengelompokan Pada bagian ini dibicarakan tentang masalah metode pengelompokan pada paragraf deskripsi. Sebagai penjelasnya, diberikan contoh sebagai berikut. (13) Sladha ana rong werna, sladha ijo lan slada brintik sing pinggirane godhonge rada kandel. Slada keriting wernane ijo nom, godhonge tipis gampang suwek. Rasane klemrinyak renyah akeh sing seneng. Ana maneh slada air, pange akeh godhonge cilik-cilik. Kasiyate kanggo kesehatan. (JB No. 01, Minggu 1 Sept. 2008:33) ‘Sladha ana rong werna, sladha ijo lan slada brintik sing pinggirane godhonge rada kandel. Slada keriting wernane ijo nom, godhonge tipis gampang suwek. Rasane klemrinyak renyah akeh sing seneng. Ana maneh slada air, pange akeh godhonge cilik-cilik. Kasiyate kanggo kesehatan.’ Paragraf deskripsi dapat dikembangkan dengan metode pengelompokan. Penerapan metode ini dapat dites dengan kalimat Topik mau kaperang/kapantha dadi ... ‘Topik itu dapat dibagi/dikelompokkan menjadi ...’. Dengan pengertian bahwa tempat kosong yang diisi titik-titik diisi dengan kalimat penjelas yang bersifat khusus. Dari formula tersebut, penerapan metode pengelompokan ini dapat diamati pada kalimat Sladha kaperang dadi rong werna. ‘Slada dibagi menjadi dua macam.’ Kalimat penjelas beserta identitas yang dimiliki berada pada urutan berikutnya. Itu merupakan hasil pengelompokan yang sebagai deskripsiannya. 4.3.4 Metode Pembandingan Pada bagian ini dibicarakan tentang masalah metode pembandingan pada paragraf deskripsi. Sebagai penjelasnya, diberikan contoh sebagai berikut. 242 PROSIDING (14) Jejaka kalih menika, ingkang setunggal cekapan ageng-inggilipun, pakulitanipun abrit asat, pasemon ketinggal kereng sembada kaliyan sentosaning badanipun. Dene ingkang setunggal pakulitanipun jene, dedegipun llencir, pasemonipun nyluring, ulatipun pucet, nelakaken yen awon memanahanipun. (Ngulandara, 1857: 56). ‘Perjaka dua ini, yang satu tergolong sedang kekar-tingg, kulitnya merah kering, mimik kelihatan seram, seimbang dengan kondisi tubuhnya. Sedangkan yang satu berkulit kuning, perawakannya tinggi, mimiknya nyeluring, wajahnya pucat, pertanda bahwa hatinya tidak baik.’ Paragraf deskripsi dapat dikembangkan dengan metode perbandingan. Penerapan metode ini dapat digunakan kalimat … iku yen dibandingake … ‘… itu kalau dibandingkan …’. Dengan pengertian bahwa titik-titik diisi dengan satuan lingual yang menjadi topik paragraf, sedangkan tempat kosong yang diisi titik-titik dapat diisi dengan kalimat penjelas yang diperbandingkan. Apabila formula itu diterapkan, penerapan metode itu akan berbunyi Jejaka kalih menika menawi dipuntandingaken ingkang setunggal cekapan agenginggilipun, pakulitanipun abrit … Dene ingkang setunggal …. ‘Dua jejaka itu kalau dibandingkan yang satu berukuran sedang kekar-tingginya, keadaan kulitnya merah …. Adapun yang satu …’. Dengan menerapkan metode itu, hubungan pembandingan pada paragraf tersebut menjadi semakin jelas. 4.3. 5 Metode Hubungan Bagian-Keseluruhan Pada bagian ini dibicarakan tentang masalah metode hubungan bagiankeseluruhan yang terdapat pada paragraf deskripsi. Sebagai penjelasnya, diutarakan contoh sebagai berikut. (15) (a) Kulawarga Sujoko punika kalebet satunggiling brayat ingkang sae lan katingal. (b) Dr. Sujoko satunggaling priyantun ingkang grapyak lan ambeg welasan. (c) Ny. Sujoko dados anggotanipun sosial, ugi dados RT lan taksih sregep nyumbangaken tenaga wonten ing babagan sanes-sanesipun. (d) Indiah inggih lajeng katut-katut, lajeng mempeng wonten ing kalanganipun pramuka, dados anggota koor sekolah lan sapanunggalanipun. (Anteping Tekad, 1975:126) ‘Keluwarga Sujoko itu termasuk keluarga yang baik dan unggul. Dr. Sujoko seorang yang ramah dan dermawan. Ny. Sujoko menjadi anggota dari organisasi sosial, dan menjadi RT dan masih rajin menyumbangkan tenaga di bidang lainnya. Indiah juga demikian, bersemangat di pramuka, menjadi anggota koor sekolah dan sebagainya.’ Pengembangan paragraf tersebut menggunakan metode hubungan bagian-keseluruhan. Metode ini dapat diidentifikasi dengan kalimat … iku dadi PROSIDING 243 pusating surasa/teges tumrap tetembungan kang minangka jejer ing ukara candhake. ‘… itu menjadi pusat makna bagi kata-kata yang menjadi subjek pada kalimat berikutnya.’. Dengan pengertian bahwa titik-titik diisi dengan satuan lingual yang menjadi *Di dalam makalah ini dideskripsikan hasil penelitian yang terkait dengan satuan lingual pengisi komen pada kalimat topik paragraf deskripsi dalam bahasa Jawa. Berdasarkan kalimat tes tersebut, kedeskripsian paragraf (14) dapat dibuktikan menjadi kalimat Kulawarga Sujoko punika/iku dadi pusating teges tumrap tembung Dr. Sujoko pada (b), Ny. Sujoko pada (c), Indiah pada (d). Komponen makna kata Dr. Sujaka pada (b), Ny. Sujoko pada (c), Indiah pada (d) membangun totolitas makna yang terpusat pada unsur yang menjadi topik, yakni kulawarga Sujoko punika ‘keluarga Sujoko itu’. Dengan demikian hubungan makna bagian-keseluruhan pada (14) menjadi lebih nyata. 5. Kesimpulan Paragraf deskripsi berupa kelompok kalimat yang bersifat satu, padu, logis-sistematis, menyatakan perian atau gambaran dari objek tertentu. Kehadirannya bermanfaat untuk mengkonkretkan paragraf eksposisi, paragraf narasi, dan paragraf argumentasi. Sebagian paragraf deskripsi menyatu pada paragraf lain. Namun, ada pula deskripsi yang berdiri sebagai alinea sendiri, seperti yang dimanfaatkan sebagai data dalam penelitian ini. Sebagian besar paragraf deskripsi bersifat deduktif, pernyataan yang bersifat umum diikuti dengan pernyataan yang bersifat khusus. Paragraf deskripsi yang bersifat induktif berfrekuensi rendah. Sebagian besar topik atau gagasan pokok pada paragraf deskripsi dilingualkan. Namun, ada topik yang tidak dilingualkan. Berdasarkan unsur-unsur pembangunnya, paragraf deskripsi cenderung berstruktur terdeskripsi dan pendeskripsi. Unsur terdeskripsi ini diisi dengan nomina tokoh, binatang, barang, suasana, dan tempat. Unsur terdeskripsi ini dipertahankan pada kalimat penjelas melalui teknik lesap atau elipsasi, ulang atau repetisi, tunjuk atau referensi, ganti atau substitusi, dan rentang atau ekspansi. Unsur pendeskripsi, biasanya, berkategori kata adjektiva, verba, numeralia, dan frasa preposisional. Kategori verba atau kata kerja yang mengisi predikat cenderung menyatakan kemilikan atau posesif dan rincian. Pengembangan paragraf deskripsi cenderung menggunakan metode pemerian, pemerincian, pengelompokan, pembandingan, hubungan bagian-keseluruhan. Sebagai alat uji atau pembuktiannya cenderung digunakan teknik parafrasa atau alih bentuk. Namun, paragraf deskripsi yang sudah menggunakan penanda kedeskripsian, secara nyata sudah tercipta satu perian sehingga teknik parafrasa cenderung tidak diterapkan. 244 PROSIDING Daftar Pustaka Alwi, Hasan. 2001. Paragraf. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Baryadi, 1993. “Kesatuan Topik dalam Wacana Eksposisi, Wacana Deskripsi dan Wacana Narasi dalam Bahasa Indonesia”. Dalam Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Keraf, Gorys. 1982. Eksposisi dan Deskripsi.Ende-Flores: Nusa Indah. Moeliono, Anton M. 1989. Kembara Bahasa: Kumpulan Karangan Tersebar. Jakarta: PT Gramedia. ------. 2004. Pangajaran Bahasa Indonesia untuk Tujuan Akademis”. Dalam Linguistik Indonesia. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia. Montolalu, Lucy R. 1988. “Makna Hubungan Proposisi dalam Teks Bahasa Indonesia” Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta 28 Oktober—2 November 1988. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Nardiati, Sri. 2009. “Pengembangan Paragraf Deskripsi Berdasarkan Status Informasinya”. Dalam Peneroka Hakikat Bahasa. Yogyakarta: Penerbit USD. ------. 2012. “Berbagai Pengisi Komen pada Kalimat Topik Paragraf Deskripsi Bahasa Jawa”. Dalam Prosiding Seminar Kelompok Peneliti Kebahasaan dan Kesastraan di Lingkungan Badan Pengembangan dan Pembinaan B a ha s a Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. -----. dkk. 2013. “Paragraf dalam Bahasa Jawa: Kontruksi dan Permasalahannya”. Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Poedjosoedarmo, Gloria. 1983. “Pengantar Struktur Wacana”. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta. Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: N.V. Groningen. -----. 1979. Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang. Yogya: U.P. Indonesia. Ramlan, M. 1993. Paragraf: Alur Pikiran dan Kepaduaannya dalam Bahasa: Yogyakarta: Andi Offset. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Tarigan, Djago. 1981. Membina Keterampilan Menulis Paragraf. Bandung: Penerbit Angkasa. Wedhawati dkk., 2001. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. PROSIDING 245 246 PROSIDING SIKAP SISWA SMP DI EKSKARESIDENAN SEMARANG TERHADAP BAHASA JAWA Suryo Handono Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah Inti Sari Tulisan ini mendeskripsikan sikap siswa SMP di eks-Karesidenan semarang terhadap Bahasa Jawa, baik sebagai bahasa daerah maupun mata pelajaran. Tulisan dalam ranah sosiologi bahasa yang bersifat deskriptif ini menggunakan data kuantitatif dan diolah dengan penghitungan statistik serta ditunjang data kualitatif. Secara umum, siswa memiliki sikap positif terhadap bahasa Jawa. Namun, sikap tersebut masih pada tataran yang rendah dan perlu ditingkatkan, baik melalui pembiasaan maupun pembenahan kurikulum dan perbaikan model pembelajaran. Kata kunci: sikap bahasa, siswa, dan bahasa Jawa Abstract This paper describes the attitude of junior high school students in the former residency of Semarang toward Javanese language, either as a local language or a lesson. The descriptive research in the areas of linguistics-sociology uses quantitative data. The data are both processed with statistical calculations and supported the qualitative one. In general, the students have positive attitudes towards the Java language. However, the attitudes are still at a low level and it needs to be improved through habituation and both improvement of curriculum and the learning model. Key words: language attitudes, students, and the Javanese language 1. Pendahuluan Sikap bahasa merupakan sesuatu yang menarik dan penting untuk diperhatikan karena kebijakan yang berkaitan dengan bahasa akan berhasil jika para pembuat kebijakan melakukan satu dari tiga hal berikut ini. Pertama, PROSIDING 247 menyesuaikan diri dengan sikap yang diekspresikan oleh orang yang terlibat. Kedua, melakukan tindakan persuasif kepada orang yang mengekspresikan sikap negatif terhadap kebijakan tersebut. Ketiga, mencari serta menghilangkan penyebab ketidaksetujuan orang yang mengekspresikan sikap negatif tersebut. Pembicaraan tentang sikap erat kaitannya dengan penutur dwibahasa, sebagaimana dikemukakan oleh Baker (1992:9) bahwa sikap merupakan konsep penting dalam telaah kedwibahasaan. Berkaitan dengan kondisi kedwibahasaan, siswa SMP di eks-Karesidenan Semarang merupakan masyarakat dwibahasa karena mereka menggunakan lebih dari satu bahasa dalam berkomunikasi. Di sekolah, selain menggunakan bahasa Indonesia, mereka juga menggunakan bahasa Jawa atau Inggris. Kondisi kedwibahasaan ini mengakibatkan timbulnya sikap tertentu terhadap bahasa yang mereka pakai dalam komunikasi. Sikap yang dimiliki siswa perlu dipertimbangkan dalam pembelajaran karena berpengaruh terhadap kegiatan belajar maupun hasil belajarnya. Evans (1965:2) menyatakan bahwa sikap tertentu dalam belajar pada pertumbuhan anak merupakan bagian penting dalam pendidikan. Para ahli psikologi, sosiologi, dan psikologi sosial sudah banyak memberikan rumusan konseptual mengenai sikap. Sikap merupakan sesuatu yang sangat pribadi dan mempunyai latar konseptual yang cukup rumit sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Sikap yang dimiliki seseorang juga akan turut menentukan perilakunya. Sikap itu merupakan kesiapan mental atau neoral yang terorganisasikan melalui pengalaman dan berpengaruh terhadap tingkah laku individu dalam merespon objek tertentu. Pendapat itu sejalan dengan pendapat Gerungan (1986:148) bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan mentalnya terhadap objek tertentu. Sikap senantiasa ada pada diri seseorang yang tampak melalui perilakunya ketika berhubungan dengan objek tertentu. Sikap seseorang dapat ditafsirkan dari perilaku verbal maupun nonverbal. Sikap seseorang memang tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat ditafsirkan melalui perilaku yang tampak, baik secara verbal maupun nonverbal. Selain itu, sikap juga dapat diidentifikasi melalui ide-ide, perasaan, dan perilaku yang jelas. Berdasarkan hal itu, sikap dapat ditafsirkan mulai dari bentuk kecenderungan seseorang untuk bertindak hingga membentuk perilaku yang nyata. Dengan demikian, sikap itu dapat ditelusuri dari rancangan yang tersusun di dalam pikiran, gagasan, cita-cita, keadaan hati, dan tingkah lakunya. Tulisan ini akan mengurai masalah sikap siswa SMP terhadap bahasa Jawa, baik sebagai bahasa daerah maupun sebagai mata pelajaran di sekolah. Pembahasan masalah sikap mengacu kepada tiga komponen sikap bahasa, yaitu kesetiaan bahasa (language loyalty), kebanggaan bahasa (pride), dan kesa- 248 PROSIDING daran akan norma bahasa (awareness) (Garvin dan Madeline Mathiot, 1968:22; Suwito, 1983:91-92). Ketiga komponen tersebut berkaitan dengan komponen sikap pada umumnya, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif. Kesetiaan bahasa berkaitan dengan komponen kognitif. Kesetiaan bahasa muncul karena adanya kepercayaan terhadap bahasa Jawa. Kepercayaan yang dimaksud adalah apa saja yang dipercaya siswa mengenai bahasa Jawa. Kepercayaan itu datang dari apa yang mereka lihat atau ketahui yang kemudian akan membentuk ide atau gagasan mengenai sifat atau karakteristik umum bahasa Jawa. Kepercayaaan itu akan menjadi dasar pengetahuan mereka mengenai apa yang diharapkan dari bahasa Jawa. Dengan kata lain, kepercayaan ini terwujud dalam sikap siswa yang cenderung untuk tetap menjaga dan memertahankan bahasa Jawa. Kemudian, kebanggaan bahasa berkaitan dengan komponen afektif. Sikap ini tercermin pada emosi atau perasaan mereka terhadap bahasa Jawa, apakah mereka merasa senang atau sebaliknya. Reaksi emosional yang merupakan komponen afektif ini banyak dipengaruhi oleh kesetiaan atau kepercayaan terhadap bahasa Jawa (komponen kognitif). Dalam kebanggaan bahasa ini ada kecenderungan untuk dapat mengembangkan bahasa Jawa menuju ke arah pembakuan. Selanjutnya, sikap kesadaran akan norma bahasa berkaitan dengan komponen konatif. Sikap ini tercermin pada perilaku atau kecenderungan perilaku siswa dalam menggunakan bahasa Jawa, apakah mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahasa Jawa. Pengertian kecenderungan perilaku menunjukkan bahwa komponen konatif meliputi bentuk perilaku yang tidak hanya dapat dilihat secara langsung saja, tetapi meliputi pula bentuk-bentuk perilaku yang berupa pernyataan atau perkataan. Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, tulisan ini bertujuan mendeskripsikan sikap siswa SMP terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah. Hal ini mencakupi kebanggaan, kesetiaan, dan kesadaran akan norma bahasa. Bahasa Jawa sebagai mata pelajaran, sikap bahasa itu mencakupi kepercayaan, perasaan, dan kecenderungan terhadap pembelajaran bahasa Jawa. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pembelajaran di sekolah, khususnya pembelajaran bahasa, yaitu menekankan pentingnya sosiologi bahasa sebagai landasan pembelajaran bahasa karena sikap bahasa merupakan bagian dari telaah sosiologi bahasa. Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kepercayaan, perasaan, dan kecenderungan perilaku siswa SMP terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah dan sebagai mata pelajaran. Secara praktis tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru maupun bagi sekolah. Bagi guru, tulisan ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menumbuhkan sikap positif siswa terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah dan sebagai mata pelajaran dengan melakukan perbaikan dan PROSIDING 249 pengembangan materi pembelajaran bahasa Jawa. Selain itu, tulisan ini dapat juga digunakan sebagai pertimbangan bagi peningkatan kompetensi guru dan perbaikan pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah. Bagi sekolah, tulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam penciptaan kondisi yang kondusif untuk menumbuhkan sikap positif siswa terhadap pembelajaran bahasa Jawa yang akan bermuara pada keberlangsungan komunikasi sesuai dengan fungsi dan tujuan berbahasa. 2. Teori dan Metode Tulisan ini merupakan hasil penelitian survei dalam ranah sosiologi bahasa yang bersifat deskriptif dengan menggunakan data kuantitatif yang diolah dengan penghitungan statistik dan ditunjang data kualitatif. Tulisan ini menggunakan pendekatan ilmu sosial, terutama sosiologi karena berkaitan dengan nilai budaya masyarakat multilingual. Masalah sikap bahasa juga berkaitan dengan kondisi kognitif individu dalam masyarakat pemakai bahasa sehingga tulisan ini juga menggunakan pendekatan psikologi. Populasi dalam tulisan ini adalah seluruh siswa SMP di eks-Karesidenan Semarang. Untuk menjaga keterwakilan populasi dilakukan pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling, yaitu penentuan sampel yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Teknik ini dilakukan dengan membagi wilayah di eks-Karesidenan Semarang menjadi lima daerah penelitian, yaitu Semarang, Salatiga, Grobogan, Demak, dan Kendal. Dari masing-masing daerah tersebut diambil 100 siswa dari sepuluh SMP. Dengan demikian, jumlah sampel penelitian ini adalah 500 siswa. Sekolah yang siswanya dijadikan sampel diambil dari wilayah kota atau kabupaten yang dianggap pemakaian bahasa Jawanya telah mengalami pergeseran atau telah terkontaminasi oleh bahasa-bahasa lainnya. Data tulisan ini berupa informasi yang diperoleh dari responden berupa jawaban atas angket tertutup. Angket tersebut berisi butir-butir pernyataan tertulis yang diperlukan peneliti untuk menjaring data tentang sikap responden terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah dan sebagai mata pelajaran di sekolah. Butir-butir pernyataan itu merupakan pernyataan terstruktur, yaitu pernyataan yang dibuat sedemikian rupa sehingga responden dibatasi dalam memberikan jawaban pada beberapa alternatif jawaban saja atau pada satu jawaban saja. Jawaban yang diperoleh dari angket diberi skor tertentu untuk diolah dengan penghitungan statistik. Data kualitatif yang terkumpul melalui wawancara digunakan untuk mendukung data yang diperoleh melalui angket. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode langsung. Penulis datang langsung ke lokasi untuk mengumpulkan data. Penggunaan metode ini memiliki dua keuntungan, yaitu: (1) penulis dapat memperoleh 250 PROSIDING jawaban langsung dari responden; (2) peneliti berkesempatan mendengar, mengamati, mencatat, dan mengumpulkan keterangan-keterangan lain yang terkait dan yang tidak dapat diperoleh melalui daftar pertanyaan. Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan teknik angket dan wawancara. Tulisan ini bermaksud untuk memperoleh pengetahuan empiris tentang sikap bahasa siswa SMP terhadap bahasa Jawa. Alat ukur yang digunakan adalah model skala Likert dan model Trustone (Edward, 1985). Skala Likert ini berisi seperangkat pernyataan yang harus dijawab oleh siswa. Pernyataan tersebut diharapkan dapat menggiring siswa menampakkan sikap berbahasanya, yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Penskoran setiap jenis respon terhadap setiap pernyataan akan mendapat bobot nilai sesuai dengan arah pernyataannya. Sistem penskoran untuk pernyataan yang positif adalah bobot 5 diberikan kepada siswa yang menyatakan sangat setuju, 4 kepada yang menyatakan setuju, 3 kepada yang menyatakan ragu-ragu, dan 2 kepada yang menyatakan tidak setuju, dan 1 kepada yang menyatakan sangat tidak setuju. Kemudian, penskoran pernyataan negatif merupakan kebalikannya, yaitu bobot 1 diberikan kepada siswa yang menyatakan sangat setuju, 2 yang menyatakan setuju, 3 yang menyatakan ragu-ragu, 4 kepada yang menyatakan tidak setuju, dan 5 kepada yang menyatakan sangat tidak setuju. Selanjutnya, pemberian bobot respon sikap siswa dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu apriori dan aposteriori. Apriori ialah pemberian skor secara ditentukan, sedangkan aposteriori ialah pemberian bobot skor berdasarkan hasil uji coba (Subino, 1987:124). Pemberian skor yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan hasil uji coba (aposteriori). Respon pernyataan sikap dalam penelitian ini ada empat, yaitu kategori Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS), sedangkan kategori netral atau ragu-ragu tidak diikutsertakan. Hal itu dilakukan untuk menghindari sikap yang tidak jelas. Dengan demikian, siswa memiliki ketegasan dalam menentukan sikapnya. Pemberian bobot nilai setiap pernyataan dilakukan secara apriori, yaitu Sangat Setuju (SS) diberi bobot 4, Setuju (S) diberi bobot 3, Tidak Setuju (TS) diberi bobot 2, dan Sangat Tidak Setuju (STS) diberi bobot 1. Pernyataan sikap berbahasa ini disusun dalam angket yang berisi 50 butir soal, yaitu 25 butir pernyataan tentang sikap terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah, dan 25 butir pernyataan tentang sikap terhadap bahasa Jawa sebagai mata pelajaran. Pertanyaan pada masing-masing variabel itu dipilah dalam tiga komponen sikap, yaitu afektif, kognitif, dan konatif. Instrumen tersebut diujicobakan kepada sejumlah siswa. Hasil uji coba dihitung tingkat validitas dengan teknik korelasi product moment dan reliabilitasnya mengguPROSIDING 251 nakan rumus Alpha Cronbach untuk setiap butir soal. Setelah valid dan reliable, intrumen itu baru digunakan untuk menjaring data sikap bahasa siswa. Dari 50 butir pernyataan dalam instrument tersebut, skor terendah yang mungkin diperoleh siswa adalah 50 dan tertinggi 200 sehingga rata-rata idealnya 125. Kriteria sikap bahasa yang dikategorikan positif dan negatif diambil dari rata-rata skor ideal (125). Siswa dikategorikan bersikap positif apabila memperoleh skor e”125 dan bersikap negatif apabila skor yang diperoleh < 125. 3. Pembahasan Sikap terhadap bahasa Jawa merupakan sikap yang merefleksikan penilaian siswa terhadap bahasa Jawa, ciri bahasa Jawa, atau terhadap bahasa Jawa sebagai penanda kelompok. Refleksi penilaian ini menunjukkan keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) siswa terhadap bahasa Jawa. Sejalan dengan hal tersebut, pengukuran sikap bahasa siswa terhadap bahasa Jawa, baik sebagai bahasa daerah maupun sebagai mata pelajaran, mencakupi tiga komponen sikap, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif. Sikap siswa pada ketiga komponen sikap secara keseluruhan adalah positif dengan rerata skor +0,74. Hal itu mengindikasikan bahwa siswa memiliki sikap bahasa yang positif terhadap bahasa Jawa, baik sebagai bahasa daerah maupun sebagai mata pelajaran. Namun, sikap tersebut belum maksimal atau masih rendah karena reratanya di bawah angka 1. Sikap tersebut perlu ditingkatkan lagi sehingga mencapai rerata skor +2. Persentase sebaran persepsi responden terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah dan sebagai mata pelajaran di atas dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Persentase Sebaran Persepsi Responden terhadap Bahasa Jawa sebagai Bahasa Daerah dan sebagai Mata Pelajaran Skor 1 2 3 4 Kategori Sangat tidak setuju Tidak setuju Setuju Sangat setuju Jumlah Jumlah 756 2634 11546 10063 24999 Persentase 3% 10,5% 46,2% 40,3% 100% Pada tabel 1 diketahui bahwa persentase sebaran persepsi responden pada pernyataan sikap terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah maupun sebagai mata pelajaran lebih banyak pada kategori setuju, dengan sebaran sebesar 46,2%. Sebaran persepsi responden pada kategori sangat setuju 252 PROSIDING sebesar 40,3%, tidak setuju sebesar 10,5%, dan 3% lainnya menyatakan sangat tidak setuju. Berdasarkan persentase sebaran persepsi responden tersebut dapat disimpulkan bahwa 86,5% responden memiliki sikap positif terhadap bahasa Jawa dan hanya 13.5% yang memiliki sikap negatif. Berdasarkan hasil tersebut, sebagaian besar siswa memiliki sikap positif terhadap bahasa Jawa. Hasil tersebut belum dapat menunjukkan sikap bahasa mereka secara jelas pada masing-masing komponen. Oleh karena itu, pengukuran sikap bahasa siswa terhadap bahasa Jawa ini dibagi menjadi dua, yaitu sikap siswa terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah dan sebagai mata pelajaran berdasarkan tiga komponen sikap. 3.1 Sikap Siswa terhadap Bahasa Jawa sebagai Bahasa Daerah Pengukuran sikap bahasa siswa terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah mencakupi tiga komponen sikap, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif tercermin pada kepercayaan siswa terhadap bahasa Jawa, komponen afektif tercermin pada perasaan siswa terhadap bahasa Jawa, dan komponen konatif tercermin pada kecenderungan perilaku siswa dalam menggunakan bahasa Jawa. Sikap bahasa siswa terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah menunjukkan sikap yang positif dengan rerata skor +0,64. Sikap positif tersebut masih pada tingkat rendah karena masih di bawah angka +1. Hal itu mengindikasikan perlunya upaya peningkatan sikap, baik melalui pembiasaan maupun melalui pendidikan di sekolah. Persentase sebaran persepsi responden terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Persentase Sebaran Persepsi Responden terhadap Bahasa Jawa sebagai Bahasa Daerah Skor 1 2 3 4 Kategori Sangat tidak setuju Tidak setuju Setuju Sangat setuju Jumlah Jumlah 545 1816 5477 4656 1128 Persentase 4,4% 14,5% 43,8% 37,3% 100% Pada tabel 2 dapat diketahui bahwa persentase sebaran persepsi responden pada pernyataan sikap terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah lebih banyak pada kategori setuju, dengan sebaran sebesar 43,8%. Sebaran persepsi responden pada kategori sangat setuju sebesar 37,3%, tidak setuju sebesar 14,5%, dan 4,4% lainnya menyatakan sangat tidak setuju. Berdasarkan persentase sebaran tersebut dapat disimpulkan bahwa 81,1% responden memiliki sikap positif dan hanya 18.9% yang memiliki sikap negatif. PROSIDING 253 Siswa yang memiliki sikap positif berpendapat bahwa penggunaan bahasa Jawa perlu dibiasakan sejak kecil sehingga mereka akan mampu menggunakan dengan tepat untuk berbagai tujuan. Selain itu, siswa berkeyakinan bahwa dengan menggunakan bahasa Jawa secara baik dan benar akan terbentuk perilaku santun. Sementara itu, mereka yang memiliki sikap negatif merasa bahwa penggunaan bahasa Jawa sulit dan ketinggalan zaman sehingga mereka enggan menggunakannya dalam pergaulan. 3.1.1 Kepercayaan Siswa terhadap Bahasa Jawa sebagai Bahasa Daerah Komponen kognitif sikap siswa terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah tertuang dalam bentuk kepercayaan siswa terhadap bahasa Jawa. Kepercayaan yang dimaksud adalah pemahaman siswa terhadap bahasa Jawa. Kepercayaan siswa terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah menunjukkan sikap yang positif dengan rerata skor +0,66. Sikap tersebut masih pada tataran yang rendah dan perlu ditingkatkan. Persentase sebaran persepsi responden pada komponen kognitif dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Persentase Sebaran Persepsi Responden pada Komponen Kognitif terhadap Bahasa Jawa sebagai Bahasa Daerah Skor 1 2 3 4 Kategori Sangat tidak setuju Tidak setuju Setuju Sangat setuju Jumlah Jumlah 222 840 2754 2184 6000 Persentase 3,7% 14% 45,9% 36,4% 100% Pada tabel 3 diketahui bahwa persentase sebaran persepsi responden pada pernyataan sikap yang berkaitan dengan komponen kognitif lebih banyak pada kategori setuju, dengan sebaran sebesar 45,9%. Sebaran persepsi responden pada kategori sangat setuju sebesar 36,4%, tidak setuju sebesar 14%, dan 3,7% lainnya menyatakan sangat tidak setuju pada pernyataan yang berkaitan dengan komponen kognitif. Dengan demikian, secara kognitif siswa memiliki kepercayaan terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah, yaitu dengan persentase sebaran sebesar 82,3%. Responden yang memiliki sikap positif tersebut rata-rata tinggal di lingkungan masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa. Mereka menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari, baik kepada orang tua maupun kepada masyarakat di sekitarnya. Selain itu, jika tidak dapat menggunakan bahasa Jawa, mereka akan tersisih atau seakan tidak diakui oleh masyarakat. Mereka juga berkeyakinan bahwa bahasa Jawa cukup mampu menjalankan fungsinya sebagai bahasa daerah dan bahasa budaya. Oleh karena itu, bahasa 254 PROSIDING Jawa perlu dikembangkan dan dibiasakan penggunaanya dalam komunikasi sehari-hari. 3.1.2 Perasaan Siswa terhadap Bahasa Jawa sebagai Bahasa Daerah Komponen afektif sikap siswa terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah tertuang dalam bentuk perasaan siswa terhadap bahasa Jawa. Perasaan yang dimaksud adalah perasaan senang atau tidak senang. Selain itu, perasaan tersebut juga mencakupi perasaan bangga atau tidak terhadap bahasa Jawa. Hasil penelitian mengenai perasaan siswa terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah menunjukkan perasaan senang dan bangga, yaitu dengan rerata skor +0,7. Perasaan tersebut masih tergolong pada sikap positif tingkat rendah dan perlu ditingkatkan. Persentase sebaran persepsi responden pada komponen afektif dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Persentase Sebaran Persepsi Responden pada Komponen Afektif terhadap Bahasa Jawa sebagai Bahasa Daerah Skor 1 2 3 4 Kategori Sangat tidak setuju Tidak setuju Setuju Sangat setuju Jumlah Jumlah 52 232 896 819 1999 Persentase 2,6% 11,6% 44,8% 41% 100% Pada tabel 4 diketahui bahwa persentase sebaran persepsi responden pada pernyataan sikap yang berkaitan dengan komponen afektif lebih banyak pada kategori setuju, dengan sebaran sebesar 44,8%. Sebaran persepsi responden pada kategori sangat setuju sebesar 41%, tidak setuju sebesar 11,6%, dan 2,6% lainnya menyatakan sangat tidak setuju pada pernyataan yang berkaitan dengan komponen afektif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara kognitif siswa memiliki perasaan senang dan bangga terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah, yaitu dengan persentase sebaran sebesar 85,8%. Responden yang memiliki sikap positif merasa mampu dan bangga menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan orang lain. Mereka juga senang melihat orang Jawa yang selalu menggunakan bahasa Jawa dalam suasana kejawaan, baik di Jawa, luar Jawa, bahkan luar negeri. Lebih dari itu, mereka sangat senang jika melihat orang asing berbahasa Jawa atau mempelajari bahasa Jawa. Sementara itu, responden yang memiliki sikap negatif memang tidak mampu menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan orang lain. Mereka hanya mampu menggunakan bahasa Jawa ngoko. Hal itulah yang membuat mereka tidak merasa bangga dengan bahasa Jawa. PROSIDING 255 3.1.3 Kecenderungan Perilaku Siswa dalam Menggunakan Bahasa Jawa sebagai Bahasa Daerah Komponen konatif sikap siswa terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah tertuang dalam bentuk kecenderungan perilaku siswa dalam menggunakan bahasa Jawa. Siswa memiliki kecenderungan perilaku yang baik dalam menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa daerah, yaitu dengan rerata skor +0,52. Kecenderungan perilaku siswa itu belum maksimal, masih tergolong rendah dan perlu ditingkatkan. Berbagai upaya, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal, harus selalu dilakukan agar kesadaran mereka akan norma-norma bahasa Jawa dapat meningkat. Persentase sebaran persepsi responden pada komponen konatif menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki sikap positif. Hal itu tampak pada tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Persentase Sebaran Persepsi Responden pada Komponen Konatif terhadap Bahasa Jawa sebagai Bahasa Daerah Skor 1 2 3 4 Kategori Sangat tidak setuju Tidak setuju Setuju Sangat setuju Jumlah Jumlah 271 744 1827 1653 4495 Persentase 6% 16,6% 40,6% 36,8% 100% Pada tabel 5 diketahui bahwa persentase sebaran persepsi responden pada pernyataan sikap yang berkaitan dengan komponen konatif lebih banyak pada kategori setuju, dengan sebaran sebesar 40,6%. Sebaran persepsi responden pada kategori sangat setuju sebesar 36,8%, tidak setuju sebesar 16,6%, dan 6% lainnya menyatakan sangat tidak setuju. Dengan demikian, secara konatif siswa memiliki perilaku yang baik terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah, yaitu dengan persentase sebaran sebesar 77,4%. 3.2 Sikap Siswa terhadap Bahasa Jawa sebagai Mata Pelajaran Pengukuran sikap bahasa siswa terhadap bahasa Jawa sebagai mata pelajaran mencakupi tiga komponen sikap, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif tercermin pada kepercayaan siswa terhadap mata pelajaran Bahasa Jawa, komponen afektif tercermin pada perasaan siswa terhadap mata pelajaran dan pembelajaran Bahasa Jawa, dan komponen konatif tercermin pada kecenderungan perilaku siswa dalam mengikuti pembelajaran Bahasa Jawa. Sikap siswa terhadap bahasa Jawa sebagai mata pelajaran menunjukkan sikap yang positif dengan rerata skor +0,84. Hal itu mengindikasikan bahwa 256 PROSIDING siswa memiliki kepercayaan terhadap mata pelajaran Bahasa Jawa dan menganggap pembelajaran Bahasa Jawa perlu diselenggarakan di kelas. Selain itu, siswa juga memiliki perasaan senang dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti pembelajaran Bahasa Jawa dengan antusias. Sikap positif yang relatif rendah (+0,84 dan bukannya +2) disebabkan oleh model pembelajaran Bahasa Jawa yang cenderung membosankan. Faktor yang paling banyak memengaruhi hal itu adalah metode mengajar guru yang membosankan dan kurang menyenangkan serta materi yang cenderung membosankan. Menurut responden, materi pembelajaran relatif sama pada semua tingkatan kelas. Namun, mereka tidak menolak pembelajaran Bahasa Jawa dan tetap berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Persentase sebaran persepsi responden terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah tersebut dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini. Tabel 6. Persentase Sebaran Persepsi Responden terhadap Bahasa Jawa sebagai Mata Pelajaran Skor 1 2 3 4 Kategori Sangat tidak setuju Tidak setuju Setuju Sangat setuju Jumlah Jumlah 206 818 6069 5407 12500 Persentase 1,6% 6,5% 48,6% 43,3% 100% Pada tabel 6 diketahui bahwa persentase sebaran persepsi responden pada pernyataan sikap terhadap bahasa Jawa sebagai mata pelajaran lebih banyak pada kategori setuju, dengan sebaran sebesar 48,6%. Sebaran persepsi responden pada kategori sangat setuju sebesar 43,3%, tidak setuju sebesar 6,5%, dan 1,6% lainnya menyatakan sangat tidak setuju. Berdasarkan persentase tersebut dapat disimpulkan bahwa 91,9% responden memiliki sikap positif terhadap mata pelajaran Bahasa Jawa dan hanya 18.9% yang memiliki sikap negatif. 3.2.1 Kepercayaan Siswa terhadap Bahasa Jawa sebagai Mata Pelajaran Komponen kognitif sikap siswa tertuang dalam bentuk kepercayaan siswa terhadap bahasa Jawa sebagai mata pelajaran. Kepercayaan yang dimaksud adalah pemahaman siswa terhadap pembelajaran Bahasa Jawa sehingga mereka menganggap bahwa pembelajaran perlu diselenggarakan atau sebaliknya tidak perlu diselenggarakan. Kepercayaan siswa terhadap bahasa Jawa sebagai mata pelajaran menunjukkan sikap yang positif dengan rerata skor +0,9. Rerata skor itu belum PROSIDING 257 menunjukkan tingkat kepercayaan siswa yang maksimal. Kepercayaan itu masih dapat ditingkatkan lagi sehingga dapat mencapai rerata yang maksimal, yaitu +2. Persentase sebaran persepsi responden pada komponen kognitif dapat dicermati pada tabel 7 berikut ini. Tabel 7. Persentase Sebaran Persepsi Responden pada Komponen Kognitif terhadap Mata Pelajaran Bahasa Jawa Skor 1 2 3 4 Kategori Sangat tidak setuju Tidak setuju Setuju Sangat setuju Jumlah Jumlah 85 346 2647 2922 6000 Persentase 1,4% 5,8% 44,1% 48,7% 100% Pada tabel 7 diketahui bahwa persentase sebaran persepsi responden pada pernyataan sikap yang berkaitan dengan komponen kognitif lebih banyak pada kategori sangat setuju, dengan sebaran sebesar 48,7%. Sebaran persepsi responden pada kategori setuju sebesar 44,1%, tidak setuju sebesar 5,8%, dan 1,4% lainnya menyatakan sangat tidak setuju pada pernyataan yang berkaitan dengan komponen kognitif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara kognitif siswa memiliki kepercayaan terhadap bahasa Jawa sebagai mata pelajaran, yaitu dengan persentase sebaran sebesar 92,8%. Responden yang memiliki sikap positif berpendapat bahwa pembelajaran bahasa Jawa perlu dilaksanakan di sekolah karena dapat menjadikan mereka mampu menggunakan bahasa Jawa untuk berbagai tujuan, mempermudah menjalin hubungan dengan orang lain, melatih sopan santun, dan mampu mengendalikan emosi. Selain itu, pembelajaran bahasa Indonesia akan menjadikan siswa menghargai dan bahkan bangga dengan bahasa Jawa, termasuk di dalamnya karya sastra Jawa sebagai khazanah budaya bangsa. Pada sisi lain, responden yang memiliki sikap negatif merasa bahwa pembelajaran Bahasa Jawa tidak perlu dilaksanakan di sekolah karena kurang bermanfaat. 3.2.2 Perasaan Siswa terhadap Bahasa Jawa sebagai Mata Pelajaran Komponen afektif sikap siswa tertuang dalam bentuk perasaan siswa terhadap pembelajaran bahasa Jawa. Perasaan yang dimaksud adalah perasaan senang atau tidak senang siswa terhadap mata pelajaran bahasa Jawa. Siswa menunjukkan perasaan senang terhadap bahasa Jawa sebagai mata pelajaran, yaitu dengan rerata skor +0,8. Seperti halnya pada komponen yang lain, rerata skor perasaan siswa tersebut belum menunjukkan sikap positif yang maksimal dan masih dapat ditingkatkan melalui upaya perbaikan kurikulum, model 258 PROSIDING pembelajaran, maupun pembenahan yang lain. Persentase sebaran persepsi responden pada komponen afektif dapat dicermati pada tabel 8 berikut ini. Tabel 8. Persentase Sebaran Persepsi Responden pada Komponen Afektif terhadap Mata Pelajaran Bahasa Jawa Skor 1 2 3 4 Kategori Sangat tidak setuju Tidak setuju Setuju Sangat setuju Jumlah Jumlah 43 117 1109 731 2000 Persentase 2,15% 5,85% 55,45% 36,55% 100% Pada tabel 8 diketahui bahwa persentase sebaran persepsi responden pada pernyataan sikap yang berkaitan dengan komponen afektif lebih banyak pada kategori setuju, dengan sebaran sebesar 55,45%. Sebaran persepsi responden pada kategori sangat setuju sebesar 36,55%, tidak setuju sebesar 5,85%, dan 2,15% lainnya menyatakan sangat tidak setuju pada pernyataanpernyataan yang berkaitan dengan komponen afektif. Dengan demikian, secara afektif siswa memiliki perasaan senang terhadap bahasa Jawa sebagai mata pelajaran, yaitu dengan persentase sebaran sebesar 92%. Sementara itu, 8% responden menyatakan tidak senang dan menganggap pembelajaran tersebut menjemukan dan sulit diikuti. 3.2.3 Kecenderungan Perilaku Siswa dalam Mengikuti Pembelajaran Bahasa Jawa Komponen konatif sikap siswa terhadap bahasa Jawa sebagai mata pelajaran tertuang dalam bentuk kecenderungan perilaku siswa dalam mengikuti pembelajaran. Siswa memiliki kecenderungan perilaku yang baik dalam mengikuti pembelajaran Bahasa Jawa, yaitu dengan rerata skor +0,52. Perilaku tersebut belum menunjukkan sikap positif yang tinggi. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan pembenahan dalam pembelajaran bahasa Jawa. Persentase sebaran persepsi responden pada komponen konatif dapat dilihat pada tabel 9 berikut ini. Tabel 9. Persentase Sebaran Persepsi Responden pada Komponen Konatif terhadap Mata Pelajaran Bahasa Jawa Skor 1 2 3 4 PROSIDING Kategori Sangat tidak setuju Tidak setuju Setuju Sangat setuju Jumlah Jumlah 78 355 2313 1754 4500 Persentase 1,7% 7,9% 51,4% 39% 100% 259 Pada tabel 9 diketahui bahwa persentase sebaran persepsi responden pada pernyataan sikap yang berkaitan dengan komponen konatif lebih banyak pada kategori setuju, dengan sebaran sebesar 51,4%. Sebaran persepsi responden pada kategori sangat setuju sebesar 39%, tidak setuju sebesar 7,9%, dan 1,7% lainnya menyatakan sangat tidak setuju. Dengan demikian, secara konatif siswa memiliki perilaku yang baik dalam mengikuti pembelajaran bahasa Jawa, dengan persentase sebaran sebesar 90,4%. Respon responden pada komponen konatif ini sangat berhubungan dengan sikapnya pada komponen kognitif. Responden yang memiliki sikap positif menunjukkan perilaku yang baik dan antusias mengikuti pembelajaran bahasa Jawa. Mereka berpendapat bahwa pembelajaran bahasa Jawa perlu dilaksanakan di sekolah karena dapat menjadikan mereka mampu menggunakan bahasa Jawa untuk berbagai tujuan, mempermudah menjalin hubungan dengan orang lain, melatih sopan santun, dan mampu mengendalikan emosi. Selain itu, pembelajaran Bahasa Jawa menjadikan siswa menghargai dan bangga dengan bahasa tersebut, termasuk di dalamnya karya sastra Jawa sebagai khazanah budaya bangsa. Pada sisi lain, responden yang memiliki sikap negatif merasa bosan dan malas mengikuti pembelajaran Bahasa Jawa karena mereka merasa kurang bermanfaat bagi siswa. 4. Kesimpulan Secara umum siswa SMP di eks-Karesidenan Semarang memiliki sikap berbahasa yang positif terhadap bahasa Jawa dengan rerata skor +0,74. Sikap tersebut belum maksimal atau masih rendah karena reratanya masih di bawah angka 1. Sikap tersebut masih perlu ditingkatkan lagi sehingga dapat mencapai rerata skor +2. Sikap berbahasa siswa SMP di eks-Karesidenan Semarang terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah pada tiga komponen sikap menunjukkan sikap yang positif dengan rerata skor +0,64. Sikap positif tersebut masih pada tingkat yang rendah karena masih di bawah angka +1. Hal itu mengindikasikan perlunya upaya peningkatan sikap, baik melalui pembiasaan maupun melalui pendidikan di sekolah. Pada komponen kognitif, sikap siswa yang tercermin pada kepercayaan siswa terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah menunjukkan sikap yang positif dengan rerata skor +0,66. Sikap tersebut juga masih pada tataran yang rendah. Oleh Karena itu, perlu dilakukan upaya peningkatan. Pada komponen afektif, sikap siswa SMP di eks-Karesidenan Semarang terhadap bahasa Jawa sebagai bahasa daerah menunjukkan perasaan senang dan bangga, yaitu dengan rerata skor +0,7. Perasaan senang dan bangga 260 PROSIDING dengan rerata tersebut masih tergolong pada sikap positif dengan tingkat rendah dan perlu ditingkatkan. Pada komponen konatif siswa SMP di eks-Karesidenan Semarang memiliki kecenderungan perilaku yang baik, yaitu dengan rerata skor +0,52. Sikap positif pada perilaku tersebut masih tergolong rendah dan masih perlu ditingkatkan. Berbagai upaya, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal, harus selalu dilakukan agar mereka dapat meningkatkan kesadarannya akan norma-norma bahasa Jawa yang berlaku di masyarakat. Terhadap bahasa Jawa sebagai mata pelajaran, siswa SMP di eks-Karesidenan Semarang menunjukkan sikap yang positif, yaitu dengan rerata skor +0,84. Hal itu mengindikasikan bahwa siswa memiliki kepercayaan terhadap mata pelajaran bahasa Jawa dan menganggap bahwa pembelajaran Bahasa Jawa perlu diselenggarakan di kelas. Selain itu, siswa juga memiliki perasaan senang dan kecenderungan mengikuti pembelajaran bahasa Jawa dengan antusias. Komponen kognitif sikap siswa terhadap bahasa Jawa sebagai mata pelajaran tertuang dalam bentuk kepercayaan siswa terhadap bahasa Jawa. Pada komponen ini siswa SMP di eks-Karesidenan Semarang menunjukkan sikap yang positif terhadap bahasa Jawa sebagai mata pelajaran, yaitu dengan rerata skor +0,9. Rerata skor seperti itu masih belum menunjukkan tingkat kepercayaan siswa yang maksimal terhadap pembelajaran bahasa Jawa. Kepercayaan itu masih dapat ditingkatkan lagi sehingga dapat mencapai rerata +2. Komponen afektif sikap siswa terhadap bahasa Jawa sebagai mata pelajaran tertuang dalam bentuk perasaan siswa terhadap pembelajaran bahasa Jawa. Siswa SMP di eks-Karesidenan Semarang menunjukkan perasaan senang terhadap bahasa Jawa sebagai mata pelajaran, yaitu dengan rerata skor +0,8. Seperti halnya pada komponen yang lain, rerata skor perasaan siswa tersebut belum menunjukkan sikap positif yang maksimal. Perasaan tersebut masih dapat ditingkatkan melalui upaya perbaikan kurikulum, model pembelajaran, maupun pembenahan yang lain. Komponen konatif sikap siswa terhadap bahasa Jawa sebagai mata pelajaran tertuang dalam bentuk kecenderungan perilaku siswa dalam mengikuti pembelajaran Bahasa Jawa. Siswa SMP di eks-Karesidenan Semarang memiliki kecenderungan perilaku yang baik dalam mengikuti pembelajaran bahasa Jawa, yaitu dengan rerata skor +0,52. Namun, perilaku tersebut belum menunjukkan sikap positif yang tinggi. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan pembenahan dalam pembelajaran bahasa Jawa. PROSIDING 261 Daftar Pustaka Baker, Colin. 1992. Attitudes and Language. Clevedon: Multilingual Matters. Edwards, John R. 1985. Language, Society, and Identity. Oxford: Basil Blackwell. Evans, K.M. 1965. Attitude and Interest in Education. London: Routledge and Kegan Paul. Garvin, Paul L. dan Madeleine Mathiot. 1968. The Urbanization of The Guarant Language: A Problem in Language and Culture. di dalam Fishman, ed. 1968: 365-374. Gerungan. 1987. Psikologi Sosiologi. Bandung: Eresco. Subino, 1987. Kontruksi dan Analisis Tes Suatu Pengantar Kepada Teori Tes dan Pengukurannya. Jakarta: PPLPTK Depdikbud. Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Surakarta: Henary Offset. 262 PROSIDING KETERBACAAN SOAL UJIAN NASIONAL BAHASA INDONESIA TAHUN 2011 TINGKAT SD/MI Tri Saptarini dan Sariah Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat Abstrak Mata Pelajaran Bahasa Indonesia masih menjadi mata pelajaran tersulit. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Kepala Balitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan), Kemendiknas (2011). Berdasarkan data Kemendiknas, Bahasa Indonesia menempati urutan kedua dengan angka tidak lulus terbanyak setelah Matematika. Makalah ini meupakan salah satu temuan penelitian yang berjudul “Keterbacaan Soal Ujian Nasional Bahasa Indonesia Tahun 2012 Tingkat SD/MI dan SLTP/MTs. Keterbacaan (readability) adalah ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan wacananya. Penghitungan persentase keefektifan kalimat, kebakuan dan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD) dilakukan dengan rumus Siegel, yaitu Na F = % Nb Na adalah data kalimat efektif, baku, dan EYD (ejaan bahasa yng disempurnakan), Nb adalah jumlah data seluruhnya, F adalah hasil yang diperoleh berupa persentase pemakaian data. Makalah ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan keterbacaan soal ujian nasional bahasa Indonesia SD/MI berdasarkan kaidah bahasa Indonesia (keefektifan kalimat berdasarkan kebakuan dan ejaannya). Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu metode berdasarkan fakta yang ada dalam Soal Ujian Nasional Bahasa Indonesia Tahun 2011. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa dari 50 soal terdapat 28 buah soal yang memenuhi kriteria keefektifan kalimat, kebakuan, dan ejaannya. Dengan demikian, keterbacaan Soal Ujian Nasional Bahasa Indonesia SD/MI Tahun 2011 termasuk tinggi. Kata Kunci: ejaan, kalimat efektif, keterbacaan PROSIDING 263 Abstract According to Ministry of Education and Culture Data, Indonesian Subject ranks the second difficult subject after math that most of the students fail in doing the both subjects. The article is one of the result of the research entitling “The Readability of the Test of Indonesian Subject in National Exam in Elementary Level/Junior High School Level in 2011”. The readability is a measure of the the suitability of a particular reading for the reader in terms of level of difficulty/ease of discourse. The percentage calculation of effective sentence, standard pattern, and Indonesian grammar rules (EYD) by applying Siegel formula: Na F = % Nb N is data of effective sentence, standard pattern, and Indonesian grammar rules (EYD). While Nb is the total number of the whole datum, F is the result of the finding shown in the percentage of data frequency. The research aims at describing and explaining readability of Indonesian subject in national exam based on Indonesia grammar (sentence effectiveness based on standardization and grammar rules). The applied method is descriptive, a type of method displaying data based on the real fact of Indonesian subject on national exam for SD/MI in 2011. The result of the research shows that from 50 questions there are only 28 question that meet requirement o sentence effectiveness, standardization, and grammar rules. In conclusion the readability of Indonesian subject in national exam in SD/Mi in 2011 is considered high. Key words: Indonesian grammar rule (EYD), effective sentence, readability. 1. Pendahuluan Hasil ujian mata pelajaran Bahasa Indonesia sering mendapat sorotan karena hasil yang diperoleh tidak sesaui dengan harapan. Sebagai bahasa ibu dan bahasa pengantar, bahasa Indonesia memiliki peluang untuk memperoleh hasil tinggi, baik pada ulangan harian, semester, maupun ujian nasional. Namun, peluang tersebut belum diraih oleh mata pelajaran Bahasa Indonesia. Alasannya beragam komentar. Salah satu alasan adalah bahasa Indonesia sulit. Wacana yang disajikan cenderung panjang dan opsinya membingungkan karena tingkat kesamaannya tinggi. Berdasarkan data Kemendiknas, bahasa Indnesia menempati urutan kedua dengan angka tidak lulus terbanyak setelah Matematika. Tahun 2011, sedikitnya sekitar 1.786 siswa atau (38,43%) SMA/MA yang tidak lulus UN Bahasa Indonesia (Kompas.com 2011). Mata pelajaran Bahasa Indonesia masih menjadi mata pelajaran tersulit. Hal tersebut dikuatkan oleh pernyataan Kepala Balitnang Kemendiknas, Mansyur Ramly. Beliau menjelaskan bahwa mata 264 PROSIDING pelajaran Bahasa Indonesia masih menjadi momok. Menurutnya, penentuan bahasa Indonesia sebagai pelajaran tersulit bisa dipantau dari hasil UN murni. Catatan panitia pusat menyebutkan bahwa rata-rata nilai bahasa Indonesia dalam UN tingkat SMP dan yang sederajat 7,12, nilai terendah 0,40 atau hanya benar dua butir soal dan nilai tertinggi 10,00. Tampaknya, soal ujian Bahasa Indonesia belum memiliki tingkat keterbacaan yang baik. Keterbacaan merupakan alih bahasa dari readability. Bentuk readability merupakan kata turunan yang dibentuk dari kata readable yang artinya ‘dapat dibaca’ atau ‘terbaca’. Konfiks ke-/-an pada keterbacaan mengandung arti ‘hal yang berkenaan dengan apa yang tersebut dalam bentuk dasarnya. Bentuk itu dapat didefinisikan sebagai hal atau ikhwal terbaca atau tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Keterbacaan ini mempersoalkan tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu atau dengan kata lain keterbacaan adalah ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan wacananya. Lebih lanjut yang dimaksud dengan keterbacaan dalam makalah ini adalah keterpahaman pembaca dalam membaca soal. Untuk itu, keterbacaan soal ujian Nasional Bahasa Indonesia mulai tingkat SD/MI perlu diteliti. Dari penelitian ini dapat diungkapkan tingkat keterbacaan atau keterpahaman soal ujian Bahasa Indonesia. Telaah penelitian ini berfokus pada bagaimana keterbacaan soal ujian Bahasa Indonesia SD/MI jika dianalisis dari kata, frasa, klausa, dan kalimatnya. Tentu saja, yang menjadi tujuan penelitian ini ialah mendeskripsikan ujian nasional Bahasa Indonesia SD/MI Tahun 2011. Selain itu, menjelaskan keterbacaan soal ujian nasional Bahasa Indonesia berdasarkan kaidah bahasa Indonesia (kalimat efektif, kebakuan, dan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD)). 2. Kerangka Teori Kerangka konsep yang digunakan untuk menganalisis data penelitian ini ialah teori struktural. Teori ini memberikan perhatian yang eksplisit pada pelbagai unsur bahasa sebagai struktur dan sistem pada analisis bahasa (Kridalaksana, 1982:158). Buku-buku yang dijadikan acuan adalah buku-buku yang berisi kalimat, antara lain, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2002), Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (2002). Di samping itu, acuan yang dipakai adalah Arifin dan Tasai (1989: 111—119), dan Mustakim (1994: 25—37). Penghitungan persentase keefektifan kalimat, kebakuan, dan EYD dalam soal UN Bahasa Indonesia SD/MI dilakukan dengan menggunakan rumus Siegel (1994:24), yaitu PROSIDING 265 Na F = % Nb Dengan keterangan sebagai berikut. (1) Na adalah data yang kalimat efektif, baku, dan EYD. (2) Nb adalah jumlah data seluruhnya. (3) F adalah hasil yang diperoleh berupa persentase pemakaian data. Na merupakan lambang data yang akan dicari persentasenya, yaitu jumlah data/lema yang efektif, baku, dan EYD. Sementara itu, Nb merupakan jumlah kumulatif lema yang ditemukan dalam sampel, misalnya jumlah kumulatif kalimat efektif, baku, dan kualitas EYD. Jumlah kumulatif itu ditentukan sebagai Nb. Untuk memperoleh persentase yang dilambangkan dengan F, data yang akan dicari persentasenya (Na) dibagi dengan jumlah kumulatif lema yang ada (Nb), lalu dikalikan dengan angka 100. Contoh yang mudah dapat dilihat di bawah ini. Na F = % Nb 17 F = % 214 F = 0,079439252 X 100 = 7,94% Dengan cara demikian, penulis menganalisis kalimat efektif, baku, dan EYD. 3. Metode dan Data Penelitian ini menggunakan motode deskriptif, yaitu berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris ada dalam soal ujian Bahasa Indonesia Tahun 2011. Dengan demikian, datanya adalah Soal Ujian Nasional Bahasa Indonesia SD/MI Tahun 2011. Hasil yang diperoleh adalah pemerian keterbacaan dengan analisis kaidah bahasa (kalimat efektif, kebakuan, EYD) terhadap soal ujian nasional Bahasa Indonesia secara apa adanya (Soedaryanto, 1982: 62). 266 PROSIDING 4. Pembahasan Soal UN Bahasa Indonesia berjumlah 50 soal, terdiri atas kebahasaan dan kesastraan. Soal kesastraan tidak dianalisis. Seperti telah dikemukaan di bagian pendahuluan, analisis soal ujian nasional SD/MI didasarkan pada keefektifan kalimat, kebakuan dan EYD yang persentasinya menggunakan Rumus Siegel. 4.1 Analisis Soal a. Soal (11) Wacana (5) (1)”Kerusakan hutan lindung bakau di sepanjang Pantai Karawang panjangnya sekitar 17 kilometer mengakibatkan ancaman abrasi di wilayah tersebut. (2)Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Karawang, 51 kilometer hutan bakau sudah berubah fungsi...” Wacana (5) soal (11) telah memenuhi persyaratan sebagai wacana yang benar berdasarkan kaidah. Dilihat dari kefektifan, kebakuan, dan EYD wacana (5) soal (11) memenuhi kriteria. Dengan demikian, wacana tersebut termasuk wacana yang baik. Keterbacaan dari segi keefektifan, kebakuan, dan EYD pada wacana (5) soal (11) persentasenya adalah sebagai berikut. kalimat efektif Keefektifan = X 100% Jumlah kalimat keseluruhan Kalimat efektif pada wacana (5) soal (11) adalah kalimat (1) dan (2). Jelasnya seluruh wacana memenuhi syarat keefektifan sehingga hasilnya adalah 2 x 100% = 100%. 2 Untuk mencari persentase kalimat baku rumusnya adalah sebagai berikut. kalimat baku Kalimat baku = X 100% Jumlah kalimat keseluruhan Kalimat baku soal (11) pada wacana (5) adalah kalimat (1) dan (2) atau seluruh wacana memenuhi standar baku sehingga hasilnya adalah 2 x 100% = 100%. 2 PROSIDING 267 Untuk mencari persentase EYD yang benar rumusnya adalah sebagai berikut. EYD EYD = X 100% Jumlah kalimat keseluruhan Kalimat yang EYD-nya benar pada soal (11) wacana (5) adalah kalimat (1) dan (2) sehingga hasilnya adalah 2 x 100% = 100%. 2 b. Contoh Analisis Soal (1)—(5) Wacana 1 (1)Ada banyak jenis hutan hujan di bumi ini. (2)Hutan hujan salah satunya. (3)Disebut hutan hujan karena diguyur hujan hampir sepanjang tahun. (4)Curah hujan di kawasan hutan hujan sekitar 170-250 cm. (5)Kawasan hutan hujan merupakan tempat yang paling kaya denga flora fauna. (6)Diperkirakan lebih dari setengahnya spesies yang ada di dunia terdapat di hutan hujan. (7)Di antaranya jutaan serangga, reptil, amfibi, burung, dan mamalia. (8)Dari sekian banyak hewan, serangga merupakan hewan yang paling banyak. (9)Mereka hidup di bagian dasar hutan dan pepohonan. (10)Hutan hujan merupakan tempat tinggal penduduk asli. (11)Umumnya, mereka tinggal secara turun-temurun. (12)Mereka mendapatkan makanan, pakaian, dan obat-obatan serta rumah dari bahan-bahan yang ada di hutan. Wacana (1) dibentuk dari tiga paragraf dan kalimatnya berjumlah 12 kalimat dan digunakan untuk soal 1—5. Jika diamati, kalimat dalam wacana tersebut dibentuk dari kalimat-kalimat tunggal dan sedikit kalimat majemuk. Secara umum kalimat dalam wacana di atas mudah dipahami, tetapi ada beberapa kesalahan, sebagai berikut. Kefektifan kalimat (7) terhalangi oleh ketiadaan subjek dan predikat. Lengkapnya kalimat (7) adalah Di antaranya jutaan serangga, reptil, amfibi, burung, dan mamalia. Kalimat di atas tidak memiliki subjek dan predikat. Tampaknya, kalimat itu masih berhubungan dengan kalimat sebelumnya. Jika dilihat dari segi keefektifannya, kalimat tersebut tidak memiliki kesepadanan. Bentuk tersebut merupakan keterangan dari kalimat Diperkirakan lebih dari setengahnya spesies yang ada di dunia terdapat di hutan hujan. Bentuk lengkapnya adalah Diperkirakan lebih dari setengahnya spesies yang ada di dunia terdapat di hutan hujan, di antaranya jutaan serangga, reptil, amfibi, burung, dan mamalia. Subjek kalimat adalah diperkirakan lebih dari setengahnya spesies yang ada di dunia; 268 PROSIDING predikatnya adalah terdapat; di hutan hujan adalah keterangan. Bentuk keterangannya mencakup di antaranya jutaan serangga, reptil, amfibi, burung, dan mamalia yang berfungsi sebagai keterangan penjelasan atau perincian. Akan tetapi, jika kalimat (7) akan dilengkapi dengan subjek dan predikat, kalimat itu dapat menjadi (7a)spesies itu di antaranya adalah jutaan serangga, reptil, amfibi, burung, dan mamalia. Subjek kalimat perbaikannya adalah spesies itu, predikatnya adalah kata adalah, dan penjelasan di belakang predikat menjadi pelengkap. Kalimat-kalimat pada wacana (1) menggunakan kalimat baku sehingga tidak ditemukan diksi yang tidak baku. Kesalahan ejaan terdapat pada kalimat (4), yaitu penulisan tanda pisah yang menyatakan sampai dengan. Kalimat (4) adalah Curah hujan di kawasan hutan, hujan sekitar 170-250 cm. Kalimat tersebut secara makna mudah dipahami, tetapi secara penulisan terdapat kesalahan pada penulisan 170-250 cm. Tanda hubung tidak digunakan untuk menyatakan sampai dengan (s.d.). Tanda hubung digunakan untuk menyambung suku-suku kata dasar yang terpisah oleh pergantian baris; tanda hubung menyambung awalan dengan bagian kata di belakangnya atau akhiran dengan bagian kata di depannya pada pergantian baris; tanda hubung menyambung unsur-unsur kata ulang; tanda hubung menyambung huruf kata yang dieja satu-satu dan bagian-bagian tanggal; tanda hubung boleh dipakai untuk memperjelas (i) hubugan bagian-bagian kata atau ungkapan dan (ii) penghilangan bagian kelompok kata; tanda hubung dipakai untuk merangkaikan (i) se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital, (ii) ke- dengan angka, (iii) angka dengan –an, (iv) singkatan huruf kapital dengan imbuhan atau kata, dan (v) nama jabatan rangkap; tanda hubung dipakai untuk merangkaikan unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa asing (Sugono, 2002:41—42). Jadi, penulisan yang benar untuk menyatakan sampai dengan (s.d.) adalah tanda pisah (—) karena tanda tersebut dipakai di antara dua bilangan atau tanggal dengan arti ‘sampai dengan’ atau ‘sampai ke’. Oleh karena itu, secara EYD kalimat itu harus ditulis menjadi (4a) berikut Curah hujan di kawasan hutan hujan sekitar 170—250 cm. Untuk mencari persentase kalimat efektif, rumusnya adalah sebagai berikut. kalimat efektif Keefektifan = X 100% Jumlah kalimat keseluruhan Kalimat efektif pada wacana (1) adalah kalimat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (8), (9), (10), (11), dan (12). Hasilnya 11 x 100% = 91,% 12 PROSIDING 269 Untuk mencari persentase kalimat baku rumusnya adalah sebagai berikut. kalimat baku Kalimat baku = X 100% Jumlah kalimat keseluruhan Kalimat baku pada soal (1) adalah kalimat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), (9), (10), (11), dan (12). Hasilnya adalah 12 x 100% = 100%. 12 Untuk mencari persentase EYD yang benar rumusnya adalah sebagai berikut. EYD EYD = X 100% Jumlah kalimat keseluruhan Kalimat yang EYD-nya benar adalah kalimat (1), (2), (3), (5), (6), (7), (8), (9), (10), (11), dan (12). Hasilnya adalah 11 x 100% = 91,% 12 c. Contoh Analisis Soal 9 Wacana (3) (1)Putri Mayang banyak disukai orang. (2)Selain cantik, ia juga berbudu luhur dan baik hati. (3)Sebab itulah Pangeran Banu ingin menjadikan istri. (4)Putri Cempaka tidak senang melihat ini. (5)Ia tidak suka kalau adiknya dijadikan istri pangeran Banu. (6)Ia pun menyusun rencana jahatnya. (7)Dibantu para pengawalnya yang setia, ia menculik Putri Mayang., lalu dibuang ke sungai yang airnya deras sekali. Wacana (3) terdiri atas tujuh kalimat dengan jenis narasi. Secara umum wacana tersebut mudah dipahami. Banyak menggunakan kalimat-kalimat tunggal. Namun, ada juga kalimat yang dibangun menggunakan kalimat panjang atau kompleks. Dilihat dari segi keefektifan wacana (3) soal (9) kalimatnya sudah efektif, tidak ditemukan unsur-unsur kalimat yang dibaikan. Jadi, wacana tersebut telah memenuhi syarat dari segi keefektifan kalimat. Setelah dilihat secara cermat, wacana (3) soal (9) sudah memenuhi standar kebakuan. Dalam setiap untaian kalimat tidak ditemukan diksi atau kosakata yang menyimpang dari kaidah atau ketentuan. 270 PROSIDING Kesalahan EYD ditemukan dalam kalimat (5). Kesalahan itu berkaitan dengan penulisan gelar kebangsawanan. Kalimat (5) itu adalah Ia tidak suka kalau adiknya dijadikan istri pangeran Banu. Kemungkinan terjadi kesalahan pengetikan karena semua orang tahu jika penulisan gelar kebangsawanan yang diikuti nama orang harus ditulis dengan huruf kapital. Perbaikan kalimat (5) dapat diubah menjadi kalimat (5a) berikut. (5a) Ia tidak suka kalau adiknya dijadikan istri Pangeran Banu. Kalimat (7) adalah kalimat panjang karena mencapai 17 kata. Secara teori kalimat panjang sulit untuk dicerna pembaca. Oleh karena itu, salah satu ciri butir keterbacaan adalah tidak terdapat kalimat yang kompleks. Dengan demikian, keterbacaan dari segi kefektifan, kebakuan, dan EYD pada wacana (3) soal (9) persentasenya adalah sebagai berikut. kalimat efektif Keefektifan = X 100% Jumlah kalimat keseluruhan Kalimat efektif pada wacana (3) soal (9) adalah kalimat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7). Jelasnya seluruh wacana memenuhi syarat keefektifan sehingga hasilnya adalah 7 x 100% = 100%. 7 Untuk mencari persentase kalimat baku rumusnya adalah sebagai berikut. kalimat baku Kalimat baku = X 100% Jumlah kalimat keseluruhan Kalimat baku soal (9) pada wacana (3) adalah kalimat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7) atau seluruh wacana memenuhi standar baku sehingga hasilnya adalah 7 x 100% = 100%. 7 Untuk mencari persentase EYD yang benar rumusnya adalah sebagai berikut. EYD EYD = X 100% Jumlah kalimat keseluruhan PROSIDING 271 Kalimat yang EYD-nya benar pada soal (9) wacana (3) adalah kalimat (1), (2), (3), (4), (6), dan (7), sedangkan kalimat (5) ditemukan kesalahan penulisan huruf kapital 6 x 100% = 85%. 7 d. Contoh Analisis Soal 35 Wacana (8) (1)Yura orang kaya, gagah, cerdas, dan lincah. (2)Dia mempunyai banyak teman, yang kaya dan yang miskin. (3)Dia tidak pernah membeda-bedakannya. Soal (35) wacana (8) tidak ditemukan unsur-unsur yang menghalanginya menjadi kalimat efektif. Tidak ditemukan kosakata atau diksi yang tidak baku. Tidak ditemukan ada kesalahan pemakaian EYD. Tiga kalimat dalam soal (35) wacana (8) dibangun dengan memenuhi persyaratan sebagai wacana yang memiliki tingkat keterbacaan tinggi. Kalimat-kalimatnya jelas, terang, dan mudah dipahamai. Jika dipersentasikan, kefektifan, kebakuan, dan EYD mencapai 100%. kalimat efektif Keefektifan = X 100% Jumlah kalimat keseluruhan Kalimat efektif pada soal (35) wacana (8) adalah seratus persen. Jelasnya seluruh wacana memenuhi syarat keefektifan sehingga hasilnya adalah 3 x 100% = 100%. 3 Untuk mencari persentase kalimat baku rumusnya adalah sebagai berikut. kalimat baku Kalimat baku = X 100% Jumlah kalimat keseluruhan Kalimat baku soal (35) wacana (8) adalah kalimat (1), dan (2), (3). atau seluruh wacana memenuhi standar baku sehingga hasilnya adalah 3 x 100% = 100%. 3 Untuk mencari persentase EYD yang benar rumusnya adalah sebagai berikut. 272 PROSIDING EYD EYD = X 100% Jumlah kalimat keseluruhan Kalimat yang EYD-nya benar pada soal (35) wacana (8) adalah kalimat (1), (2), dan (3) sehingga hasilnya adalah 3 x 100% = 100%. 3 Jadi, ada 100% EYD dalam wacana tersebut yang terpenuhi. 7. Simpulan Berdasarkan paparan pada bab pembahasan ada beberapa temuan yang menarik untuk dicermati. Temuan tersebut adalah bahwa soal UN Bahasa Indonesia SD/MI memiliki bagian tertentu yang dapat dikelompokan, yaitu soal pemahaman wacana, tata bahasa, sastra, dan pemakaian bahasa dalam berbagai keperluan. Struktur soal yang ditampilkan dimulai dari soal pemahaman wacana yang terdapat pada soal (1)—(19), tata bahasa atau kaidah kebahasaan terdapat pada soal (20)—(29), sastra terdapat pada soal (12)— (14) dan soal (30)—(31), pemakaian bahasa untuk berbagai keperluan, seperti undangan, formulir, pidato, membaca peta, menafsirkan gambar, petunjuk produk terdapat pada soal (32)—(50). Dengan demikian, soal UN Bahasa Indonesia memuat berbagai kemampuan pemakaian bahasa secara teori dan praktik. Setelah dianalisis dengan cermat dengan menggunakan komponen keefektifan kalimat, kebakuan, dan EYD, soal UN Bahasa Indonesia dapat dilihat tingkat keterbacaannya. Dari 50 soal yang dinalisis, terlihat bagaimana soal UN Bahasa Indonesia SD/MI ditampilkan dalam soal. Dengan menggunakan sistem persentase, temuan dari analisis tersebut adalah sebagai berikut. (1) Dari 50 soal UN Bahasa Indonesia SD/MI ada 28 soal yang memenuhi kriteria keefektifan kebakuan, dan EYD. Persentasenya adalah maksimal, yaitu sebesar 100%. Soal yang mencapai derajar\t tersebut adalah soal (10), (11), (17), (18), (20)—(29), (32)—(41), (44), dan (46)—(48). (2) Soal yang mempunyai kesalahan, baik dari keefektifan, kebakuan, dan EYD tedapat pada soal (1)—(9), (15)—(16), (19), (42)—(43), (45), dan (49). Jika diperinci persentase tiap-tiap soal yang terdapat kesalahan adalah sebagai berikut. Soal (1)—(5) kesalahan terjadi pada keefektifan kalimat sebesar 9%, EYD 9%, tetapi kebakuan bebas dari kesalahan 0%. Soal (6)—(8) kesalahannya hanya terjadi pada keefektifan, yaitu sebesar 25%. Soal (9) hanya terjadi kesalahan pada EYD, yaitu sebesar 15%. Soal PROSIDING 273 (15)—(16) terdapat kesalahan hanya pada komponen EYD yang mencapai 50%. Soal (19) terdapat kesalahan hanya pada komponen keefektifan yang mencapai 25%. Soal (42)—(43) terjadi kesalahan pada EYD yang mencapai 40%. Soal (45) terdapat kesalahan dari komponen keefektifan sebesar 75 % dan EYD sebesar 75%. Soal (49) terdapat kesalahan pada komponen keefektifan sebesar 25% dan EYD sebesar 25%. Kesalahan terjadi pada 16 soal dengan catatan hanya salah satu komponen, misalnya EYD atau keefektifan saja atau kadang keduanya. Dari analisis ini juga ditemukan bahwa dari 16 soal yang ditemukan kesalahan, EYD yang mendominasi. Dengan demikian, ada 44 soal yang dianalisis dengan perincian 28 soal bersih dari kesalahan, 16 soal terdapat kesalahan, tetapi tidak semua komponen (keefektifan, kebakuan, dan EYD) mengalami kesalahan. Jadi, dapat ditegaskan bahwa soal UN Bahasa Indonesia SD/ MI 2011 memiliki kualitas bahasa yang baik sehingga tingkat keterbacaan tinggi. (3) Soal sastra dan mengurutkan peristiwa gambar tidak dimasukkan dalam analisis karena sastra adalah bahasa rasa sehingga tidak dapat diukur dari secara pasti meskipun bahwa segala sesuatu dapat diukur. Soal yang tidak dianalisis adalah soal (12)—(14) dan (30)—(31) yang termasuk soal sastra dan satu soal peristiwa gambar yang terdapat pada soal (50). Jadi, ada enam soal yang dibebaskan dari analisis. Berdasarkan temuan tersebut penulis dapat menegaskan bahwa variasi soal UN Bahasa Indonesia SD/MI memiliki variasi topik yang memadai. Artinya, distribusi soal pemahaman, tata bahasa, sastra, dan bahasa terapan untuk berbagai keperluan tertuang dalam soal. Jika dihitung tingkat kesalahannya, ketidakefektifan kalimat seluruhnya adalah 8/32 x 100%= 25%. Berarti keefektifannya lebih tinggi (75%) daripada ketidakefektifannya (25%). Dari segi kebakuan tidak ditemukan kesalahan. Namun, pada segi EYD ditemukan kesalahan, yaitu 11/40 x 100% = 27,5%. Berarti EYD memiliki tingkat kebenaran 72,5%. Kualitas kefektifan dan EYD termasuk baik sehingga keterbacaan soal termasuk sedang. 274 PROSIDING DAFTAR PUSTAKA Arifin E. Zaenal dan S. Amran Tasai. 1989. Cermat Berbahasa Indonesia: untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: MSP. Kompas. 2011. “Badan Bahasa Tidak Ikut Bikin Kurikulum” (http:// edukasi.kompas.com/read/2011/05/23/19345299). Senin, 11 Juli 2011. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Siegel, Siedney. 1994. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sugono, Dendy. 2002. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Edisi Revisi. Jakarta: Puspa Swara. Sudaryanto. 1982. Metode Linguistik. Yogyakarta: Atma Pustaka. Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia. 2002. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. PROSIDING 275 276 PROSIDING PENANDA IMPERATIF WACANA KHOTBAH JUMAT DALAM BAHASA JAWA Wening Handri Purnami pos-el: hp.wening@yahoo.co.id Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Inti Sari Pada penelitian ini dikaji penanda imperatif dalam wacana khotbah Jumat dalam bahasa Jawa. Tujuan dari penelitian ini ialah mendeskripsikan penanda imperatif yang terdapat pada wacana khotbah Jumat bahasa Jawa. Penelitian dilakukan dengan metode simak dan teknik catat. Teori yang digunakan, yaitu struktural deskriptif. Penelitian ini berhasil memerikan penanda imperatif pada wacana khotbah Jumat. Penanda ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu penanda berupa afiks dan penanda yang berupa kata. Penanda imperatif yang tergolong afiks, yaitu sufiks –a, –en, –na, –ana, dan konfiks N-/-a. Adapun katakata yang lazim digunakan berupa mangga ‘mari’, mugi/mugi-mugi ‘semoga’, dan aja ‘jangan’. Kata kunci: penanda imperatif, wacana khotbah Jumat, bahasa Jawa Abstract The research investigates imperative signal in Javanese hortatory discourse of khotbah Jumat. Its aim is to describe form of hortatory imperative signal of Javanese khotbah Jumat discourse. The research is carried out by listening and noting technique. The theory used in this research is descriptive structural. The research has succeeded in describing imperative signal in khotbah Jumat discourse. The signal is grouped into two, namely affix and word signal. The affix imperative signal are –a, -en, –na, –ana, and N-/-a confix. Common words used for imperative signal are mangga ‘let’, mugi/mugi-mugi ‘hope’, and aja ‘do not’. Key words: imperative signal, hortatory discourse, khotbah Jumat, Javanese PROSIDING 277 1. Pendahuluan Penelitian kalimat perintah atau imperatif dalam bahasa Jawa sudah diteliti atau dilakukan. Wacana khotbah Jumat masih menarik untuk diteliti. Penelitian mengenai wacana khotbah Jumat dalam bahasa Jawa ini sudah dikaji dari struktur makronya. Untuk itu, pada kesempatan ini wacana khotbah Jumat dikaji dari aspek mikronya, utamanya, yang terkait dengan penanda imperatif. Sebab, sepanjang pengetahuan penulis aspek tersebut belum pernah diteliti. Tuturan yang menyatakan imperatif pada wacana khotbah Jumat dalam bahasa Jawa memiliki penanda, baik berupa afiks maupun kata. Penanda imperatif yang berupa afiks berperilaku beda dengan penanda imperatif berupa kata. Buku-buku hasil penelitian yang membahas imperatif, antara lain, sebagai berikut. 1. Penelitian mandiri “Kalimat Perintah dalam Bahasa Jawa” oleh Herawati (1990). Di dalam penelitian ini dipaparkan ciri-ciri formal yang menandainya, serta untuk membuktikan adanya bentuk kalimat perintah dalam bahasa Jawa. Sumber data penelitian, yaitu wacana bahasa Jawa yang ada dalam majalah berbahasa Jawa. 2. Penelitian “Kalimat Perintah dalam Bahasa Jawa” oleh Gina, dkk. Tahun 1998. Di dalam penelitian dideskripsikan macam struktur internal, konstituen yang mendukung, dan macam jenis dan subjenis pada kalimat perintah dalam bahasa Jawa. 3. Penelitian oleh Kulsum dkk (2004) dalam buku Struktur dan Pemarkah Kalimat Imperatif Sajak-Sajak Keagamaan Tahun 1930-an meninjau kalimat imperatif dari struktur dan pemarkahnya. 4. Penelitian Wacana Religius dalam Bahasa Jawa oleh Sukesti dkk. (2006) secara umum wacana khotbah Jumat memiliki struktur yang sama dengan bentuk wacana pada umumnya, yaitu pembuka, isi, dan penutup. 5. Penelitian yang berjudul ‘Wacana Khotbah Jumat: Studi Kasus Empat Masjid di Yogyakarta (Kajian Sosiolinguistik)’ oleh Ma’ruf (1999) memaparkan bahwa Khotbah Jumat merupakan salah satu jenis wacana. Wacana Khotbah Jumat dikaji dari segi realitasnya, media komunikasinya, cara pemaparannya, serta wujud pemakaiannya. Dengan pemaparan hasil penelitian yang terkait dengan imperatif di atas, diketahui bahwa imperatif pada khobah Jumat belum pernah dikaji. Untuk itu, pada kesempatan ini perlu diteliti. Berdasarkan latar belakang yang ada, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ialah penanda imperatif dalam wacana khotbah Jumat dalam 278 PROSIDING bahasa Jawa. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman tentang kalimat imperatif dalam wacana khususnya wacana khotbah Jumat dalam bahasa Jawa. Selain itu, hasil penelitian ini bermanfaat menambah wawasan bagi para pengajar dan pemakai bahasa Jawa tentang wacana khotbah Jumat dalam bahasa Jawa. 2. Teori dan Metode Penerapan teori yang berhubungan dengan kalimat imperatif mengikuti pendapat M. Ramlan (1981:21). Teori struktural dimanfaatkan untuk menganalisis penanda imperatif. Batasan kalimat ada bermacam-macam, ada yang memberi batasan dengan memberi tekanan pada kesatuan pikiran, hubungan makna yang timbul akibat bergabungnya kata-kata, unsur-unsur yang membentuk kalimat itu, dan masalah suprasegmental yang ada di dalam kalimat Menurut Kridalaksana (2001:169), pengertian imperatif ialah makna ujaran yang menuntut atau melarang pelaksanaan suatu perbuatan. Pengertian imperatif Alisjahbana (1978) mengartikan kalimat perintah sebagai ucapan yang isinya memerintah, memaksa, menyuruh, mengajak, meminta agar orang yang diperintah itu melakukan apa yang dimaksudkan di dalam perintah. Berdasarkan maknanya, yang dimaksud dengan memerintah adalah memberitahukan kepada mitra tutur, si penutur menghendaki orang yang diajak bertutur itu melakukan apa yang diberitahukannya. Menurut Alwi et al (1998:353) kalimat imperatif ditinjau dari isinya diperinci menjadi enam golongan, yaitu (1) perintah atau suruhan, (2) perintah halus, (3) permohonan, (4) ajakan dan harapan, (5) larangan atau perintah negatif, dan (6) pembiaran. Di dalam wacana hortatori khotbah Jumat bahasa Jawa, penanda imperatif selain berupa afiks, juga berupa kata-kata. Wacana (discourse) dalam istilah linguistik memiliki pengertian sebagai satuan lingual yang berada di atas tataran kalimat (Stubbs via Baryadi, 2002:2). Selain itu, Kridalaksana (2001:231) juga mengatakan bahwa wacana ialah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Tujuan pembuatan wacana menurut Baryadi (2002) ada enam, yaitu wacana deskripsi, hortatori, argumentasi, persuasi, prosedural, dan narasi. Wacana khotbah Jumat merupakan salah satu wacana hortatori. Hortatori berasal dari bahasa Latin hortatory, yaitu wacana yang berisi nasihat atau imbauan kepada pembaca agar melakukan sesuatu. Khotbah Jumat ialah salah satu syarat sahnya pelaksanaan salat Jumat. Artinya, bahwa khotbah Jumat merupakan kegiatan wajib yang harus dilakukan sebelum salat Jumat dilaksanakan secara berjamaah. Struktur wacana khotbah Jumat terdiri atas struktur khotbah pertama dan struktur khotbah PROSIDING 279 kedua. Struktur khotbah pertama terdiri atas khotbah yang berbahasa Arab dan khotbah pertama yang berbahasa Jawa. Di dalam struktur khotbah pertama yang berbahasa Jawa terdiri atas tiga bagian, yaitu pendahuluan, isi, dan penutup (periksa Sukesti dkk., 2006:9—35). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan pandangan Sudaryanto (2001), yaitu (1) tahap penyediaan data, (2) tahap analisis data, dan (3) tahap penyajian hasil analisis data. Dalam tahap penyediaan data digunakan metode simak, yaitu peneliti menyimak tuturan khotbah Jumat dalam bahasa Jawa. Dalam metode ini digunakan teknik catat untuk mencatat tulisan berbentuk teks, yaitu berupa karangan yang sudah ditulis oleh pengarang atau tulisan hasil transkripsi dari teks yang semula berupa wacana lisan. 3. Pembahasan Sebagaimana telah disebut pada paragraf sebelumnya bahwa penanda imperatif pada wacana khotbah Jumat ada dua bentuk, yaitu afiks dan kata. Kedua bentuk penanda itu dibicarakan pada bagian berikut. 3.1 Penanda Imperatif Berupa Afiks Di dalam wacana khotbah Jumat ditemukan tuturan yang berfungsi ajakan, yaitu (1) ajakan untuk bersyukur, (2) ajakan untuk meningkatkan iman atau taqwa, (3) ajakan untuk selalu ingat, dan (4) ajakan untuk yakin. Penanda imperatif itu terdapat pada kalimat imperatif yang menyatakan fungsi ajakan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut ini. 1) Sufiks –a Sufiks –a sebagai penanda imperatif tampak pada kata dasar eling ‘ingat’ dan weruh ‘lihat’. Untuk itu, perhatikan contoh berikut. (1) He wong-wong kang pada iman pada elinga marang Allah. ‘Hai orang-orang beriman ingatlah pada Allah.’ (2) Lan padha weruha kowe kabeh yen sejatine bandha donya lan anak-anakmu iku dadi pacoban. ‘Dan ketahuilah bahwa kamu semua sebenarnya harta di dunia dan anak-anak kamu menjadi cobaan.’ Pada contoh (1) elinga ’ingatlah’ berubah menjadi kalimat imperatif berupa ajakan agar selalu ingat kepada Allah dengan adanya sufiks –a melekat di belakang kata eling ’ingat. Selanjutnya, sufiks –a pada kata dasar weruh ’paham’ pada kalimat imperatif (2) menyatakan ajakan untuk memahami bahwa harta benda di dunia dan anak-anak adalah suatu cobaan. 280 PROSIDING 2) Sufiks –en Penanda imperatif yang berupa sufiks –en ditemukan dalam wacana khotbah Jumat. Penanda imperatif ini melekat pada kata sebagai pengisi predikat. Untuk itu, perhatikan contoh berikut. (3) Jaganen awakmu senajan nganggo sedekah separo kurma, lamun ora duwe mula nganggoa omongan kang becik. ’Jagalah dirimu walaupun dengan sedekah separo buah kurma, kalau tidak mempunyai maka pergunakan dengan bicara yang baik.’ (4) Gusti Allah sembahen lan aja padha nyekutokake menyang apa wae, lan padha bektia menyang wong atuwamu. ‘Allah sembahlah dan jangan sampai menyekutukan terhadap apa saja, dan kamu semua berbaktilah kepada kedua orang tuamu.’ Contoh kalimat (3) dan (4) merupakan kalimat imperatif yang verbanya dibentuk dengan sufiks –en. Pada contoh (3) sufiks –en melekat di belakang kata dasar jaga ‘jaga’ sehingga membentuk kata jaganen ‘jagalah’. Contoh yang sejenis tampak pada sembahen ‘sembahlah’ pada (4). Kata tersebut diturunkan dari dasar sembah ‘hormat’ dan sufiks –en yang tampak pada kalimat imperatif, yaitu imperatif ajakan menyembah kepada Allah. Contoh lain yang sejenis tampak pada kalimat berikut. (5) Apa wae sing diparingake Rosul menyang sira kabeh mula jupuken lakonana, lan apa wae sing dilarang Rosul menyang sira kabeh mula padha tinggalna. ’Apa saja yang diberikan Rosul kepada kamu semua maka ambillah laksanakan, dan apa saja yang dilarang Rosul kepada kamu semua tinggalkan.’ (6) He wong-wong kang padha iman, nalikane diundang nglakoni salat Jumat, enggal-enggala kowe eling marang Allah lan tinggalen adol tinuku. ‘Hai orang-orang yang beriman, sewaktu diundang melaksanakan salat Jumat, segeralah kamu ingat kepada Allah dan tinggalkan jual beli. ‘ Contoh sejenis pada kalimat (5) dan (6) merupakan kalimat imperatif yang verbanya dibentuk dengan sufiks –en. Kata dasar jupuk ‘ambil’ kalimat (5) dan tinggal ‘tinggal’ pada kalimat (6) berupa verba. Penanda imperatif sufiks –en melekat di belakang kata dasar jupuk ‘ambil’ contoh (5) membentuk kalimat imperatif, yaitu perintah untuk mengambil kemudian melakukan apa saja yang diberikan Allah. Kehadiran sufiks –en pada contoh (6) kata dasar berupa verba, yaitu tinggal ‘tinggal’ membentuk kalimat imperatif, yaitu imperatif untuk meninggalkan jual beli. Namun, apabila penanda imperatif sufiks –en yang melekat pada kata dasar jupuk ‘ambil’ dan tinggal ‘tinggal’ pada kalimat (5)—(6) ditanggalkan, kalimat tidak berterima seperti berikut. PROSIDING 281 * (5a) Apa wae sing diparingake Rosul menyang sira kabeh mula jupuk lakonana, lan apa wae sing dilarang Rosul menyang sira kabeh mula padha tinggalna. ’Apa saja yang diberikan Rosul kepada kamu semua maka ambil laksanakan, dan apa saja yang dilarang Rosul kepada kamu semua tinggalkan.’ *(6a)He wong-wong kang padha iman, nalikane diundang nglakoni salat Jumat, enggal-enggala kowe eling marang Allah lan tinggal adol tinuku. ‘Hai orang-orang yang beriman, sewaktu diundang melaksanakan salat Jumat, segeralah kamu ingat kepada Allah dan tinggal jual beli.’ 3) Sufiks –na Di dalam wacana khotbah Jumat ditemukan tuturan yang berfungsi ajakan dengan penanda sufiks -na, yaitu (1) ajakan untuk memberikan kabar senang, (2) ajakan untuk selalu menjalankan perintah-Nya, dan (3) ajakan untuk meninggalkan kejahatan. Masing-masing kalimat imperatif fungsi ajakan tersebut ditandai dengan adanya penanda perintah. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut. (7) Aku wenehi pacoban marang kowe, wong-wong sing sabar wenehana kabar seneng. ‘Saya beri cobaan kepada kamu, orang-orang yang sabar berikan kabar gembira.’ (8) Opo wae sing ingsun perintahke, kowe laksanakna menurut kemampuanmu, lan opo wae seng ingsun larang tinggalke kabeh. ‘Apa saja yang Saya perintahkan, kamu laksanakan sesuai kemampuanmu, dan apa saja yang Saya larang tinggalkan semua.’ (9) Ingsun perintahke, kowe kabeh tinggalna kedholiman ing donya iki. ‘Saya perintahkan, kamu semua tinggalkan kejahatan di dunia ini.’ Penanda imperatif sufiks –na melekat di belakang kata dasar weneh ‘beri’ (7), laksana ‘laku’ (8), dan tinggal ‘tinggal’ (9). Penanda imperatif sufiks –na pada contoh (7)—(9) memiliki imperatif yang berbeda-beda, yaitu. ajakan untuk memberikan kabar senang (7), ajakan untuk meninggalkan kejahatan (8), dan ajakan untuk meninggalkan kejahatan (9). 4) Sufiks –ana Di dalam wacana khotbah Jumat ditemukan imperatif permohonan berbuat sesuatu, yaitu dengan penanda imperatif sufiks –ana. Untuk itu, perhatikan contoh kalimat berikut ini. (10) He anak-anakku padha lungaa golekana Yusuf lan aja padha putus asa saka rahmating Allah swt. 282 PROSIDING ’Hai anak-anakku pergilah carilah Yusuf dan jangan putus asa pasti akan dapat rahmat dari Allah.’ (11) Hei Malaikat ingsun podo seksenana siro kabeh saktemene ingsun wus paring pangapuro marang wong kang sholat jum’at”. ‘Hei Malaikatku jadilah saksi kamu semua sebenarnya Saya sudah memberikan maaf kepada orang yang melakukan salat Jumat.’ (12) Apa wae sing diparingake Rosul menyang sira kabeh mula jupuken lakonana apa wae sing dilarang Rosul menyang sira kabeh mula padha tinggalna. ’Apa saja yang diberikan Rosul kepada kamu semua maka ambillah, lakukan perintah-Nya dan apa yang dilarang Rosul kamu semua tinggalkan.’ Penanda imperatif sufiks –ana melekat di belakang bentuk dasar golek ‘cari’ (10), seksen ‘saksi’ (11), dan lakon ‘laku’ pada contoh (12). Imperatif pada kalimat tersebut menyatakan ‘berbuatlah sesuatu seperti pada D’.. Pada contoh (10) menyatakan ‘untuk mencari Nabi Yusuf’. Imperatif yang menyatakan ‘untuk menjadi saksi’ tampak pada contoh (11). Dan, imperatif (12) menyatakan ‘melakukan apa yang dilarang Allah tampa’. 5) Konfiks N-/–a Penanda imperatif N-/–a tampak pada contoh (13)—(15) berikut ini. (13) Nyambut gaweya kanggo donyamu kaya-kaya kowe urip salawase lan ngamala kanggo akhiratmu kaya-kaya kowe sesuk bakal mati. ’Bekerjalah dengan duniamu seperti kamu hidup selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seperti kamu besuk akan mati.’ (14) Mangkata kowe sanajan ta ana kahanan kepenak apa dene ora, lan ngabektia karo bandha lan awakmu marang Alloh. ’Berangkatlah kamu walaupun dalam keadaan seneng atau susah, dan berbaktilah dengan kekayaan dan badanmu kepada Allah.’ (15) Jaganen awakmu senajan nganggo sedekah separo kurma, lamun ora duwe mula nganggoa omongan kang becik ’Jagalah badanmu walaupun dengan sedekah separo buah kurma, kalau tidak mempunyai pergunakan dengan bicara yang baik.’ Pada contoh (13) digunakan penanda N-/–a pada dasar amal ‘amal’. Pada (14) digunakan penanda N-/–a dasar bekti ‘bakti’. Pada contoh (15) digunakan penanda imperatif N-/–a yang melekat pada dasar kanggo ‘pakai’. Penanda imperative N-/–a menyatakan ‘ajakan untuk beramal’ pada contoh (13), ‘ajakan untuk berbakti’ pada contoh (14), dan ‘ajakan untuk berbicara yang baik’ tampak pada contoh (15). PROSIDING 283 3.2 Penanda Imperatif Berupa Kata Di dalam wacana khotbah Jumat dalam bahasa Jawa sering digunakan imperatif yang berupa kata. Imperatif ini berfungsi (1) perintah halus, (2) ajakan dan harapan, dan (3) larangan atau perintah. Untuk itu, perhatikan contoh berikut ini. 3.2.1 Penanda Imperatif Berupa Kata mangga ‘mari’ Di dalam wacana khotbah Jumat berbahasa Jawa ditemukan kalimat imperatif yang menggunakan kata mangga ‘mari’. Untuk itu, perhatikan contoh berikut. (16) Mangga kita tansah usaha sak kuate tenaga lan pikiran kang netepi roso ajrih dateng ngersanipun Allah. ’Mari kita selalu berusaha sekuat tenaga dan pikiran yang membuat takut dihadapan Allah.’ (17) Mangga kita tansah berusaha ningkataken rasa taqwa dateng ngersanipun Allah kanti berusaha sekuat tenaga ngelampai sedoyo perintah-perintahipun Allah.’ ’Mari kita selalu berusaha meningkatkan taqwa terhadap Allah dengan berusaha sekuat tenaga melakukan semua perintah-perintah Allah.’ (18) Kita sedaya mangga nindakake dhawuhipun, anebihi sedaya laranganipun. ’Kita semua mari melaksanakan perintah-Nya, menjauhi laranganNya’ Contoh (16)—(18) menggunakan imperatif mangga ‘mari’. Pada (16) imperatif itu menyatakan ‘ajakan untuk usaha dan takut kepada Allah’. Kalimat (17) imperatif mangga ‘mari’ menyatakan ‘ajakan untuk meningkatkan rasa taqwa dan menjalankan semua perintah Allah’. Adapun contoh (18), imperatif mangga ‘mari’ menyatakan ‘ajakan untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah’. 3.2.2 Penanda Imperatif Berupa Kata mugi ‘semoga’ Penanda imperatif harapan dapat diwujudkan dengan kata mugi ’semoga’ dan mugi-mugi ’mudah-mudahan’. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut. (19) Ing wusana mugi-mugi khotbah ingkang cekak punika saget migunani tumrap kita sedaya, ... ’Akhirnya, mudah-mudahan khotbah singkat ini bisa berguna untuk kita semua, ....’ (20) Mugi-mugi kita dipuntebihaken saking watak munafiq .... ’Mudah-mudahan kita dijauhkan dari sifat munafiq....’ 284 PROSIDING (21) ... mugi-mugi punapa ingkang sampun kawula aturaken saget migunani dhumateng hadirin saha kawula piyambak. Amin. ’... mudah-mudahan apa yang sudah saya berikan bisa berguna untuk kita semua serta saya sendiri. Amin.’ Contoh (19)—(21) menggunakan kata mugi-mugi ’moga-moga’ sebagai penanda imperatif. Contoh (19) penanda imperatif menyatakan ‘harapan isi khotbah berguna untuk kita semua’. Pada contoh (20) penanda imperatif menyatakan ‘harapan dapat dijauhkan dari sifat munafik’. Pada contoh (21) penanda imperatif menyatakan ‘harapan apa yang sudah disampaikan bermafaat’. 3.2.3 Penanda Imperatif Berupa Kata Aja ‘jangan’ Penanda imperatif aja ‘jangan’ menerangkan konstituen pengisi predikat. Untuk itu, perhatikan contoh berikut. (22) Sapa wonge kang iman marang Allah lan dina akhir, becik aja gawe lara atine tangga ’Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, sebaiknya jangan membuat sakit hati tetangga.’ (23) He wong-wong kang padha iman aja nganti donya brana lan anak-anakmu ndadekake lali marang Allah. ’Hai orang-orang yang beriman jangan sampai harta dunia dan anakanakmu menjadikan lupa kepada Allah.’ (24) Kowe kabeh aja wedi lan sedih lan padha seneng-senenga ’Kamu semua jangan takut dan sedih bersenang-senanglah.’ Contoh kalimat (22)—(24) merupakan kalimat imperatif yang ditandai kata aja ‘jangan’. Penanda perintah aja ‘jangan’ pada contoh (22)—(24) menyatakan larangan yang ditujukan pada persona kedua secara formal dalam bentuk kowe kabeh ‘kamu semua’, sapa wonge ‘siapa orangnya’, dan wong-wong kang padha iman ‘orang-orang yang beriman’ atau bentuk lainnya yang pada prinsipnya mengacu pada persona kedua. Selanjutnya, penanda imperatif aja ‘jangan’ pada kalimat (22)—(24) sebagai unsur pembentuk kalimat imperatif dan kehadirannya bersifat wajib. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa konstituen aja ‘jangan’ pada kalimat (22)—(24) tidak dapat dihilangkan. Jika penanda imperatif aja ‘jangan’ dihilangkan, kalimat tersebut tidak berterima, seperti berikut. *(22a) Sapa wonge kang iman marang Allah lan dina akhir, becik gawe lara atine tangga ’Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, sebaiknya membuat sakit hati tetangga.’ PROSIDING 285 *(23a) He wong-wong kang padha iman nganti donya brana lan anak-anakmu ndadekake lali marang Allah. ’Hai orang-orang yang beriman sampai harta dunia dan anakanakmu menjadikan lupa kepada Allah.’ *(24a) Kowe kabeh wedi lan sedih lan padha seneng-senenga ’Kamu semua takut dan sedih bersenang-senanglah.’ Hilangnya penanda imperatif larangan aja ‘jangan’ pada kalimat (22)— (24), kalimat itu menjadi kalimat (22a)—(24a), tidak lagi menjadi kalimat imperatif tetapi menjadi kalimat berita. 4. Penutup 4.1 Simpulan Berdasarkan data penelitian tersebut, di dalam penelitian ini ditemukan berbagai penanda imperatif wacana khotbah Jumat bahasa Jawa seperti berikut. (1) Penanda imperatif bentuk sufiks –a, yaitu tumindaka ‘berbuatlah’, elinga ‘ingatlah’, dan weruha ‘lihatlah’. (2) Penanda imperatif bentuk sufiks –en , yaitu jaganen ‘jagalah’, sembahen sembahlah’, jupuken ‘ambillah’, dan tinggalen ‘tinggalkan’. (3) Penanda imperatif bentuk sufiks –na, yaitu wenehna ‘berikan’, laksanakna ‘laksanakan’, dan tinggalna ‘tinggalkan’ (4) Penanda imperatif bentuk sufiks –ana, yaitu golekana ‘carilah’, seksenana ‘jadilah saksi’, dan lakonana ‘lakukan’,. (5) Penanda imperatif bentuk sufiks N-/-a, yaitu ngamala ‘beramallah’, ngabektia ‘berbaktilah’, nganggoa ‘pergunakan’, nyembaha ‘sujutlah’ dan nyambunga ‘jadilah teman’. (6) Penanda imperatif bentuk kata mangga ‘mari’, mugi/(mugi-mugi) ‘semoga, dan aja ‘jangan’. 4.2 Saran Sampai saat ini penelitian, penanda imperatif pada wacana khotbah Jumat dalam bahasa Jawa secara menyeluruh belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pendorong para pemerhati bahasa Jawa untuk mengadakan penelitian lanjutan terhadap penanda imperatif bahasa Jawa, dalam wacana yang berbeda. 286 PROSIDING DAFTAR PUSTAKA Alwi, dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jilid I Cetakan ke-39 tahun 1975. Jakarta; Dian Rakyat. Alisjahbana, S. Takdir. 1978. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat. Baryadi, Praptomo. 2002. Dasar-Dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Gondho Suli. Gina, dkk. 1998. “Kalimat Perintah dalam Bahasa Jawa”. Penelitian Tim: Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta. Herawati. 1990. “Kalimat Perintah dalam Bahasa Jawa”. Penelitian Mandiri: Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta. Kulsum, dkk. 2004. Struktur dan Pemarkah Kalimat Imperatif Sajak-Sajak Keagamaan Tahun 1930-an. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Ma’ruf, Amir. 1999. “Wacana Khotbah Jumat: Studi Kasus Empat Masjid di Yogyakarta (Kajian Sosiolinguistik)”. Tesis. Program Pascasarjana UGM Yogyakarta. Ramlan, M.1981. Sintaksis dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: CV Karyono. Sudaryanto. 2001. Metode dan Aneka Teknik Analisa Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sukesti, Restu, dkk. 2006. Wacana Religius dalam Bahasa Jawa. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta. PROSIDING 287 288 PROSIDING SAPAAN GELAR KEBANGSAWANAN DALAM MASYARAKAT KUTAI Wenni Rusbiyantoro Pos-el: wenni_indiecard@yahoo.com Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur INTISARI Bahasa Melayu Kutai merupakan bahasa yang banyak digunakan untuk berkomunikasi di wilayah Kalimantan Timur, terutama di wilayah bekas Kerajaan Kutai Kartanegara. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemakaian sapaan gelar dalam masyarakat Kutai beserta faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan wujud variasi sapaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan kata sapaan gelar kebangsawanan oleh masyarakat Kutai di Kabupaten Kutai Kartanegara. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiolinguistik yang terkait dengan teori etnografi komunikasi yang dikembangkan oleh Hymes. Kajian sapaan ini dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama, penyediaan data dengan menggunakan teknik wawancara dan teknik simak. Tahap kedua, analisis data dengan menggunakan metode padan translasional dan pragmatis. Tahap ketiga, penyajian hasil analisis, digunakan metode informal, yaitu penyajian dengan rumusan katakata tanpa lambang-lambang yang bersifat teknis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam bahasa Melayu Kutai terdapat sejumlah bentuk sapaan gelar bangsawan, yaitu sapaan gelar aji, awang, dayang, dan encek. Kata sapaan gelar kebangsawan dalam masyarakat Kutai memiliki variasi pemilihan bentuk sapaan. Faktorfaktor yang mempengaruhi pemilihan bentuk sapaan berkaitan dengan usia, jenis kelamin, situasi, keintiman, dan status sosial. Kata kunci: Bahasa Melayu Kutai, gelar kebangsawanan, faktorfaktor sapaan PROSIDING 289 ABSTRACT Kutai Malay language is the language that is widely used to communicate in East Kalimantan, especially in the territory of the former Kingdom of Kutai Kartanegara. This study aims to describe the use of address for nobility titles in Kutai Malay language and the factors that influence the use of it. This research aims to describe the variety of address and the factors that influence the preference choice of address by the people in Kutai Regency. This research use sociolinguistic approaches associated with theories of ethnography of communication developed by Hymes, and was conducted in 3 stages. First, data compilation using the interview and listening techniques. Second, data analysis using the method of equivalent translation and pragmatic. Third, result presentation using informal methods, in which words were written without technical symbols. The results showed that Kutai Malay language has a number of address for nobility titles. They were aji, awang, dayang, and encek. It appears that the choice of nobility address is influenced by several factors, i.e. age, gender, circumstances, intimacy, and social status. Key words: Kutai Malay language, title of nobility, factors of address 1. Pendahuluan Setiap bahasa pasti memiliki sistem sapaan yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama penutur dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya sapaan bisa diketahui bahwa suatu komunikasi/ tuturan ditujukan kepada orang tertentu. Kartomihardjo (1988:238) mengatakan bahwa sapaan merupakan salah satu komponen bahasa yang penting karena dalam sapaan itu dapat ditentukan suatu interaksi tertentu akan berlanjut. Dikatakan pula bahwa setiap kelompok masyarakat mempunyai pedoman yang berupa adat kebiasaan, norma, nilai, dan peraturan yang ditetapkan bersama oleh para anggota masyarakat yang bersangkutan untuk mengatur warganya. Pedoman yang digunakan untuk mengatur perilaku masyarakat tersebut juga terdapat pada bahasa yang dimilikinya (Kartomihardjo,1988:2) Bentuk sapaan sering menjadi bagian dari salam yang digunakan untuk menyatakan kekuasaan (power) dan solidaritas (solidarity). Di samping itu, bentuk sapaan dapat diulang secara tetap dalam sebuah percakapan untuk memperkuat hubungan yang agak akrab di antara sesama (Chaika, 1982:46— 47). Dalam memilih bentuk sapaan, penutur dapat menggunakan gelar (title), nama depan (first name), nama keluarga (last name), nama kecil (nickname), istilah kekerabatan maupun gabungan dari bentuk-bentuk tersebut (Wardaugh, 1986 dalam Sulistyowati, 1998 dan Chaika, 1982). Menurut EvansPritchard (1964:221) nama dan gelar dalam sapaan merupakan faktor yang 290 PROSIDING penting dalam berbahasa karena dapat menunjukkan posisi sosial seseorang dalam hubungannya dengan orang lain di sekitarnya sehingga dengan penggunaan nama atau gelar tersebut status penyapa dan orang yang disapa dengan mudah dapat dikenali. Penggunaan status yang tinggi atau rendah dalam suatu hubungan sosial. Penggunaan kata sapaan dalam masyarakat Kutai banyak dijumpai variasi-variasi sapaan yang muncul, baik di dalam sapaan kekerabatan maupun di luar kekerabatan dalam masyarakat Kutai. Timbulnya variasi bentuk sapaan dalam setiap bahasa tergantung pada komponen tutur dan stratifikasi sosial masyarakat pengguna bahasa itu. Misalnya dalam bahasa Melayu Kutai untuk menyapa orang kedua atau pronomina kedua menggunakan sapaan awak ‘kamu’ biasanya digunakan untuk menyapa mitra tutur yang usianya sebaya atau lebih muda, sedangkan sapaan kita ‘kamu’ biasanya digunakan untuk menyapa mitra tutur yang usianya lebih tua sebagai bentuk penghormatan. Selain itu, dalam masyarakat Kutai terdapat variasi sapaan dalam gelar kebangsawanan. Penelitian mengenai sapaan gelar kebangsawanan dalam masyarakat Kutai belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas sapaan gelar kebangsawanan dalam masyarakat Kutai yang merupakan bagian dari kajian sosiolinguistik. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan bentuk dan variasi pemakaian gelar kebangsawanan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sapaan gelar kebangsawanan dalam masyarakat Kutai. Dalam penelitian ini penulis mengharapkan ada suatu manfaat yang dapat diperoleh baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah kajian kebahasaan, seperti leksikologi, dan leksikografi. Manfaat praktis penelitian ini adalah untuk menambah bahan dokumentasi penelitian bahasa Melayu Kutai, khususnya bidang sosiolinguistik. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengenal manusia, masyarakat, dan kebudayaan Kutai secara lebih mendalam. Penelitian ini diharapkan berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan bahasa Melayu, khususnya mengenai sapaan kebangsawanan dalam masyarakat Kutai. 2. Teori dan Metode 2.1 Teori Penelitian sapaan gelar kebangsawanan dalam masyarakat Kutai ini menggunakan teori sosiolinguistik. Penelitian sosiolinguistik selalu memperhitungkan pemakaian bahasa dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktorfaktor sosial tertentu, seperti usia, jenis kelamin, status sosial, dan sebagainya. Di samping itu wujud bahasanya juga dipengaruhi oleh faktor situasional. Dinyatakan oleh Hymes (dalam Wardhaugh, 1986:238) bahwa pemakaian bahasa pada dimensi sosial budaya komunikasi masyarakat tutur dipengaruhi PROSIDING 291 oleh delapan komponen yang disebut sebagai komponen tutur. Kedelapan komponen tutur itu diakronimkan dengan SPEAKING. Sementara itu, Kridalaksana (1974:14) menyatakan bahwa semua bahasa mempunyai bahasa tutur sapa, yakni sistem yang mempertautkan seperangkat kata-kata atau ungkapan yang dipakai untuk menyapa para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Selanjutnya, Kridalaksana menjelaskan bahwa sapaan adalah morfem, kata atau frasa yang dipergunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan dan berbeda-beda menurut sifat hubungan antara pembicara (1993:191). Teori berikutnya digunakan kaidah sapaan berkaitan dengan kaidah alternasi dan kaidah kookurensi yang digagas oleh (Ervin-Tripp, 1972:213). Kaidah alternasi mengenai bagaimana cara menyapa berkaitan dengan pemilihan unsur-unsur leksikal yang disesuaikan dengan ciri-ciri orang yang disapa, ciri-ciri yang menandai hubungan antarpenutur, dan sifat situasi yang melatarbelakanginya. Kaidah kookurensi berkaitan dengan kesertaan bentuk sapaan dengan bentuk yang lain. Penggunaan kata-kata tertentu disesuaikan dengan situasi dan kedudukan orang yang disapa. Selanjutnya, menurut EvansPritchard (1964:221) bahwa nama dan gelar dalam sapaan merupakan faktor yang penting dalam berbahasa,karena dapat menunjukkan posisi sosial seseorang dalam hubungannya dengan orang lain di sekitarnya, sehingga dengan penggunaan nama atau gelar tsb status penyapa dan orang yang disapa dengan mudah dapat dikenali. Penggunaan gelar-gelar tertentu dapat menunjukkan status yang tinggi atau rendah dalam suatu hubungan sosial. 2.2 Metode 2.2.1 Metode Pengumpulan Data Data dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan para informan dengan menerapkan teknik rekam dan catat terhadap komponen sapa yang diperlukan agar informasi dapat dianalisis secara maksimal. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh informasi tentang penggunaan sapaan bagi masyarakat Kutai dari beberapa informan, seperti guru, seniman, bangsawan, tokoh masyarakat, dan anggota masyarakat biasa. Untuk mendapatkan data yang lengkap, peneliti juga menggunakan teknik elisitasi (Spolsky, 2003: 9), yaitu satu strategi untuk memancing atau mengarahkan informan dalam memberi informasi yang sebenarnya. Wawancara dilakukan sendiri oleh peneliti ini terhadap informan dalam suasana yang tidak formal. Selanjutnya, dalam praktik pelaksanaan observasi ini, peneliti bisa melakukan pengamatan dengan cara terlibat langsung dan bisa pula dengan cara tidak terlibat langsung. Observasi terlibat langsung ini sering dinamai metode observasi partisipasi atau metode observasi berperan serta, sedangkan obser- 292 PROSIDING vasi tidak terlibat langsung dikenal pula sebagai metode observasi nonpartisipasi atau metode observasi tidak berperan serta. Metode yang digunakan dalam penyediaan data dengan cara observasi ini disebut juga metode simak secara langsung penggunaan bahasa Melayu Kutai di kalangan penuturnya. Sudaryanto (1993: 133-134) menamakan metode observasi partisipasi sebagai teknik simak libat cakap, sedangkan metode observasi nonpartisipasi sebagai teknik simak bebas libat cakap. Penyimakan dilakukan dengan menyadap pemakaian bahasa dari informan dengan teknik simak bebas libat cakap, yaitu penulis tidak ikut berpartisipasi dalam pembicaraan tersebut. Peneliti mengamati objek tetapi tidak terlibat dalam interaksi dengan penutur lain. Dalam konteks terakhir ini, peneliti hanya mencatat dan merekam tuturan yang mengandung kata sapaan. Hasil rekaman penggunaan bahasa yang berupa tuturan ditranskripsikan dalam bentuk tulisan dengan tambahan keterangan tentang situasi yang melatarbelakangi tuturan tersebut. 2.2.2 Metode analisis Pada tahap analisis data ini digunakan metode padan. Menurut Sudaryanto (1993:13) metode padan adalah metode yang dipakai untuk mengkaji atau menentukan identitas satuan lingual tertentu dengan memakai alat penentu yang berada di luar bahasa, terlepas dari bahasa dan tidak menjadi bagian bahasa yang bersangkutan atau diteliti. Metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah translasional dan pragmatis. Metode padan translasional digunakan mengingat objek penelitian ini adalah bahasa Melayu Kutai yang harus dijelaskan dengan bahasa Indonesia sebagai media deskripsinya. Seperti dalam Kesuma (2007:49), metode padan translasional merupakan metode padan yang alat penentunya bahasa lain. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa di luar bahasa yang diteliti Selanjutnya, untuk mengidentifikasi pemakaian bentuk sapaan yang tepat (pemilihan bentuk sapaan) digunakan metode padan pragmatis dengan alat penentu mitra tutur (Kesuma, 2007:49). Mitra tutur dipahami sebagai segenap individu yang memiliki usia, jenis kelamin, status, gelar, pangkat, jabatan, kekerabatan, dan atribut-atribut lainnya yang menyertai penutur itu. Metode ini juga digunakan untuk mengetahui sapaan sebagai penanda solidaritas dan kekuasaan. Alat penentu metode padan pragmatis selain mitra tutur, yaitu berupa tempat, latar (setting), waktu, aspek suprasegmental seperti intonasi, nada, dan lain-lain. Metode padan translasioanal dan metode padan pragmatis dengan alat penentu mitra tutur dan faktor selain mitra tutur, antara lain yang terpenting tempat, waktu, dan hubungan kekerabatan dipakai untuk mengklasifikasikan sapaan berdasarkan kedudukan. PROSIDING 293 2.2.3 Metode Penyajian Data Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode penyajian informal. Metode penyajian informal yaitu penyajian hasil analisis dengan menggunakan perumusan dengan kata-kata biasa. Penggunaan metode penyajian informal dalam penelitian ini digunakan pada pemaparan hasil analisis tentang penggunaan sapaan gelar kebangsawanan dalam masyarakat Kutai yang berupa kata-kata atau unsur biasa tanpa lambang-lambang formal yang bersifat teknis. 2.3 Sumber Data Data yang dikumpulkan terdiri dari dua kelompok, yaitu penggunaan kata sapaan gelar bengsawan di dalam lingkungan keraton dan di luar lingkungan keraton. Proses pengumpulan data diperoleh melalui pustaka dan penelitian lapangan. Data lapangan didapat dari hasil wawancara dan observasi partisipan. Jadi, pemerolehan data juga berasal dari tuturan lisan. Tuturan lisan merupakan tuturan yang dominan terjadi dalam semua peristiwa tutur diberbagai ranah pemakaian bahasa Melayu Kutai. 3. Hasil/Pembahasan 3.1 Keadaan Kebahasaan Dalam masyarakat suku Kutai terdapat dua golongan, yaitu golongan bangsawan dan golongan masyarakat biasa. Berkaitan dengan kebahasaan, bahasa yang digunakan oleh kedua golongan tersebut sama. Jadi, bahasa Melayu Kutai ini digunakan tidak hanya di kalangan masyarakat biasa, tetapi juga pada golongan bangsawan. Perlu diketahui juga dalam bahasa Melayu Kutai tidak ada unda usuk atau tingkatan dalam berbahasa seperti kromo inggil, madya, dan ngoko seperti dalam bahasa Jawa. Meskipun demikian, tetap ada perbedaannya yaitu pada pemakaian pronomina atau kata ganti orang. Penggunaan pronomina ini pun hanya digunakan oleh sesama golongan bangsawan baik di lingkungan keraton maupun di luar keraton. Bahasa Melayu Kutai dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh suku Kutai yang mendiami daerah Kabupaten Kutai. Suku-suku lain yang berasal dari luar Kutai tetapi sudah lama tinggal di sana, pada umumnya mengerti dan dapat berbahasa Melayu Kutai. Sampai sekarang, di samping Bahasa Indonesia, Bahasa Melayu Kutai masih dipergunakan sebagai alat komunikasi orang-orang Bugis, Banjar, Dayak, Kutai, dan kaum pendatang lain, terutama yang berdiam di Tenggarong dan daerah pehuluan Mahakam. Bahasa Melayu Kutai sebagai alat komunikasi, selain digunakan oleh penutur aslinya sendiri, bahasa Kutai juga dipergunakan oleh keluarga campuran antarsuku dan penduduk bukan Kutai ketika mereka berhubungan dengan orang Kutai atau yang tidak sesuku dengannya. 294 PROSIDING Bahasa yang digunakan masyarakat Kutai dalam situasi dan tempat formal atau resmi seperti di kantor pemerintahan, sekolah, kotbah di masjid, upacara resmi, dan pidato, bahasa Indonesia. Bahasa Melayu Kutai sendiri digunakan di rumah, pasar, warung, toko, dan pelabuhan, oleh orang Kutai. 3.2 Sekilas Kerajaan Kutai Kartanegara Di Kalimantan Timur terdapat dua kerajaan dengan nama Kutai, yaitu Kutai Martadipura dan Kutai Kartanegara. Kutai yang berdiri pada abad ke4 di Muara Kaman biasanya disebut dengan Kutai Mulawarman/Kutai Martadipura. Sementara itu, Kutai yang berdiri pada abad ke-13 di Jahitan Layar (Kutai Kartanegara) ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara. Oleh karena itu, dalam tulisan ini untuk membedakan nama Kutai yang berada di hulu atau yang berada di Muara Kaman kita sebut saja Kerajaan Kutai Martadipura dan nama Kutai yang berada di hilir Mahakam atau yang berada di Kutai Lama kita sebut dengan Kerajaan Kutai Kartanegara. Saat ini status daerah Kutai telah menjadi sebuah Kabupaten, yaitu Kabupaten Kutai Kartanegara yang berpusat di Tenggarong. Kota Tenggarong mayoritas penduduknya dihuni suku Kutai, sedangkan penduduk lainnya adalah suku Dayak, Banjar, Bugis, dan Jawa. Dengan berakhirnya status daerah istimewa, berakhir pula kekuasaan Sultan Kutai ing Matadipura. Dalam sidang khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai pada tanggal 21 Januari 1960, Sultan Kutai Kartaegara A.M. Parikesit secara resmi menyerahkan kekuasaan kepada Aji Raden Padmo selaku bupati Kutai, Kapten Soedjono selaku wali kota Samarinda, dan A.R. Sayid Mohammad selaku walikota Balikpapan. Pada tahun 2001, Kesultanan Kutai kembali eksis setelah dihidupkan lagi oleh pemerintah kabupaten sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai Keraton. Ini ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putra mahkota H. Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001 (Koeswoyo, 2009: 31-33). 3.3 Sistem Pelapisan Sosial Secara umum dalam masyarakat Kutai dikenal pelapisan sosial atau stratifikasi sosial, yaitu dengan adanya dua golongan dalam masyarakat yaitu golongan bangsawan dan golongan masyarakat biasa. Hal tersebut sebenarnya sudah ada sejak pada zaman kesultanan hingga sekarang dalam kehidupan masyarakat Kutai masih mengenal beberapa golongan atau pelapisan masyarakat yang membedakan antara lapisan yang satu dengan lapisan yang lain. PROSIDING 295 Menurut Amin dan Badaranie (1979:185) membagi masyarakat Kutai dalam tiga golongan atau tiga lapisan masyarakat, yaitu: 1. Lapisan atas merupakan golongan bangsawan yang mempunyai ciri khas penggunaan nama depan yang diawali dengan Aji, misalnya Aji Mohammad Parikesit. 2. Lapisan tengah merupakan golongan yang dekat hubungannya dengan golongan atas. Golongan ini juga mempunyai ciri khas pada nama depan yang diawali dengan Awang dan Encek, misalnya Awang Mas Pati, Encek Mas Syaifudin. 3. Lapisan bawah merupakan golongan rakyat yang menurut istilah daerahnya disebut orang kampung. Lapisan atas termasuk golongan bangsawan, yaitu keturunan langsung dan kaum kerabat Sultan Kutai Kartanegara. Golongan bangsawan biasanya ditandai dengan gelar yang diberikan di depan nama seseorang, yaitu Aji. Gelar ini diberikan untuk laki-laki maupun perempuan. Pada lapisan tengah, terdapat lapisan masyarakat yang mengabdi untuk kejayaan raja dengan penuh kesetiaan. Lapisan masyarakat ini, biasanya masih memiliki hubungan kerabat dengan raja, tetapi juga dapat terjadi seseorang masuk dalam lapisan ini karena “jasa” yang dianggap luar biasa yang telah ditunjukkannya. Seseorang dapat masuk dalam golongan menengah ini juga karena adanya perkawinan antara perempuan dari golongan bangsawan dengan laki-laki masyarakat biasa dan anak keturunannya masuk dalam golongan menengah ini. Dalam masyarakat Kutai, orang-orang dalam strata tengah ini begelar Awang untuk laki-laki, Dayang untuk perempuan dan Encek untuk laki-laki dan perempuan. Kelompok masyarakat ini menjadi penting, karena birokrasi kesultanan memang mengutamakan orang-orang yang berasal dari lapisan atas dan lapisan tengah untuk mendukung pemerintahan kerajaan.(Sani, 2006:113). Tabel (1) Pemberian Gelar pada Keturunan Gelar 296 Ayah Ibu Aji Aji Aji Awang Awang Awang - Aji Dayang Aji Dayang Aji Dayang Anak Laki Aji Aji Aji Awang Awang Awang - Anak Perempuan Aji Aji Aji Dayang Dayang Dayang - PROSIDING Menurut Zularfi (2006: 32-33) dikatakan perkawinan ideal dalam golongan bangsawan adalah perkawinan yang mempertahankan darah kebangsawanan, sehingga perkawinan dalam golongan ini biasanya antar keluarga golongan bangsawan. Sampai dekade yang lalu perkawinan semacam ini masih terus dipertahankan, namun sejalan dengan perkembangan dan perubahan pola pikir, sekarang ini hal tersebut tidak selalu dilakukan. Seorang perempuan yang berasal dari golongan bangsawan seharusnya kawin dengan seorang laki-laki yang berasal dari golongan bangsawan juga. Apabila dia kawin dengan seorang laki-laki yang bukan berasal dari golongan bangsawan, maka anaknya tidak akan mendapat gelar kebangsawanan. 3.4 Bentuk Gelar Kebangsawanan Stratifikasi masyarakat Kutai terbagi dalam dua golongan, yaitu golongan bangsawan dan golongan masyarakat biasa1. Kedua golongan ini dalam kehidupan bermasyarakat tidak begitu terlihat perbedaannya juga dalam pemahaman tata krama pergaulan. Hanya saja yang membedakan antara kedua golongan adalah adanya gelar di depan nama yang dimiliki oleh golongan bangsawan. Berikut beberapa gelar bangsawan yang ada dalam masyarakat Kutai.2 3.4.1 Gelar Kerabat Kerajaan Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah aji. Gelar aji diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Gelar aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai, perhatikan tabel (1). Jadi, laki-laki yang bergelar aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar aji. Namun, jika wanita yang bergelar aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar aji, kecuali wanita yang bergelar aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid). Apabila wanita yang bergelar aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar Aji Sayid dan Aji Syarifah. Gelar Aji Sayid merupakan gelar yang diturunkan kepada putera atau anak laki-laki dari wanita yang bergelar aji yang menikah dengan pria keturunan Arab, sedangkan Aji Syarifah gelar untuk puteri atau anak perempuannya. 1 2 Lihat Zularfi (2004) dikatakan golongan bangsawan disebut bubuhan aji dan golongan masyarakat biasa disebut orang kampung. Sumber dari tulisan Bapak Abdul Rachim (Pangeran Ario Projo) yang tidak diterbitkan dan wawancara dengan beliau pada tanggal 8 April 2010 dan http//kesultanan.kutaikartanegara.com. PROSIDING 297 Penggunaan gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara dalam lingkungan kraton dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Aji Sultan merupakan gelar terhadap nama yang digunakan oleh kerabat kerabat kerajaan. 2. Aji Ratu merupakan gelar yang diberikan kepada istri sultan atau permaisuri. 3. Aji Pangeran merupakan gelar yang diberikan kepada anak laki-laki sultan atau putra sultan. 4. Aji Puteri merupakan gelar yang diberikan kepada anak perempuan sultan atau putri sultan. 5. Aji Raden merupakan gelar yang diberikan oleh sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji bambang. Jadi, gelar Aji Raden ini tingkatannya di atas gelar Aji Bambang. 6. Aji Bambang merupakan gelar yang diberikan oleh sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja. Jadi, gelar Aji Bambang ini tingkatannya lebih tinggi dari gelar Aji. 7. Aji merupakan gelar yang digunakan oleh pria wanita bangsawan Kutai yang merupakan keturunan langsung dari sultan. Ada juga gelar yang menggunakan Aji dengan tambahan belakang Sayid dan Syarifah, seperti pada uraian di atas. Gelar Aji Sayid dan Aji Syarifah tingkatannya setara dengan gelar Aji saja. Maksudnya gelar ini tingkatannya berada di bawah gelar Aji Bambang dan Aji Raden. Pemberian gelar dalam Kerajaan Kutai Kartanegara biasanya dilaksanakan di istana oleh Sultan Kutai pada saat upacara adat Erau3. Penentuan seseorang yang patut menerima anugerah gelar dari Sultan Kutai biasanya dipertimbangkan dalam sidang para Menteri Kerajaan sepuluh hari sebelum upacara adat Erau dilaksanakan. Hasil dari sidang tersebut berupa daftar orang yang patut menerima gelar dan diserahkan kepada Sutan. Sultan akan mempertimbangkan dan mempunyai hak prerogratif untuk menentukan apakah seseorang patut atau tidak mendapat gelar bangsawan Kutai. Pertimbangan dalam pemberian gelar kebangsawanan Kutai pada seseorang berdasarkan pada: 3 Erau merupakan upacara adat untuk pelantikan raja yang kemudian menjadi sebuah tradisi kerajaan Kutai untuk pelantikan raja-raja sekaligus pemberian gelar bagi tokoh atau pemuka masyarakat yang berjasa bagi kerajaan. Tradisi Erau tetap dipelihara dan dilestarikan sebagai pesta rakyat dan festival budaya yang menjadi agenda rutin Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dalam rangka memperingati hari jadi Kota Tenggarong, sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara sejak tahun 1782. 298 PROSIDING - Asal usul keturunannya Jasa-jasanya pada kerajaan dan tanggung jawab terhadap tugas-tugas yang diembannya dalam kerajaan. Diberikan kepada keluarga raja, para bangsawan, pejabat pemerintahan dan orang kebanyakan. Di bawah ini diuraikan peristilahan gelar kebangsawanan dalam Kesultanan Kutai. Gelar anugerah yang diberikan kepada anak laki-laki tertua sultan dari permaisuri yang kelak menjadi putra mahkota atau putra sultan yang nantinya akan menggantikan kedudukan sultan adalah Pangeran Ratu atau Pangeran Adipati Prabu Anum Suria Adiningrat. Adik laki-laki dari putra mahkota bergelar Pangeran Adi Menggala, tetapi apabila putra mahkota sudah menjadi sultan maka sang adik bergelar Pangeran Adipati. Ada beberapa gelar pada anak laki-laki sultan lainnya seperti, Pangeran Kesuma Adiningrat, Pangeran Sokma Negara, dan Pangeran Suryo Negoro. Sementara itu, semua anak perempuan sultan dengan permaisuri memakai gelar putri, seperti Putri Puspa Ningrat, Putri Indra Ningrat, Putri Prabu Ningrat, dan sebagainya. Adakalanya semua anak perempuan Sultan biasanya juga ada tambahan gelar aji di depan, misalnya Aji Putri Maha Dewi, Aji Putri Parti Wati, dan sebagainya. Lain halnya, dengan anak perempuan sultan yang bukan berasal dari permaisuri, tetapi berasal dari selir maka anak perempuan tersebut tidak boleh menggunakan gelar Ningrat. Jadi, anak perempuan sultan yang berasal dari selir menggunakan gelar ratu, seperti, Ratu Puspa Negara, Ratu Samenta Negara, dan sebagainya. Penganugerahan gelar ini bertujuan untuk mengangkat kehormatan seseorang karena pengabdiannya yaitu dengan cara mencantumkan nama gelar sesuai dengan identitasnya. Penganugerahan gelar ditujukan kepada siapa yang benar-benar mengabdi, cakap, berjasa, baik rupa dan tingkah lakunya yang disumbangkan kepada Kesultanan. Pembacaan gelar langsung dibacakan seorang yang ditunjuk dihadapan Majelis Balai Adat Kutai Kartanegara, dengan sebuah surat keputusan pada acara syukuran Erau. 3.4.2 Gelar Keturunan dari Asal Daerah a. Kampung Panji Gelar juga diberikan pada seseorang yang berasal dari Kampung Panji yang merupakan keturunan Maharaja Sakti, gelar keturunan yang laki-laki biasanya disebut awang dan yang perempuan disebut dayang. Ada beberapa hal yang menjadikan seorang perempuan disebut atau mendapatkan gelar dayang, yaitu: Keturunannya berasal dari Kampung Panji meskipun ia bukan selir raja. Selir Sultan yang berasal dari masyarakat biasa dan juga istri pendamping PROSIDING 299 - seorang Pangeran menurut martabatnya mendapatkan gelar raden, tetapi istri yang lain disebut dayang. Dalam lingkungan istana seorang perempuan yang bermartabat, setia melayani dan patuh kepada Sultan dapat diberi gelar dayang. Pemakaian gelar awang dan dayang dalam masyarakat Kutai seperti, Awang Long, Awang Mas Ngebe, Dayang Padma Wati, Dayang Anggan Wati, dan sebagainya. b. Kampung Melayu Berbeda dengan keturunan dari Kampung Panji, gelar yang diberikan pada seorang laki-laki dan perempuan yang keturunannya berasal dari Kampung Melayu disebut Encek. Gelar Encek diberikan pada seseorang yang keturunannya berasal dari Kampung Melayu baik laki-laki maupun perempuan, seperti Encek Mas Jaya Indra, Encik Muhammad Saleh, dan sebagainya. Gelar kebangsawanan digunakan masyarakat penutur bahasa Kutai sebagai bentuk sapaan. Gelar yang biasanya digunakan sebagai sapaan secara langsung, seperti aji, awang, dayang, dan encek. Namun, tidak semua semua orang menyapa menggunakan gelar kebangsawanan sebagai bentuk sapaan. Pada umumnya masyarakat Kutai ketika menyapa orang yang memiliki gelar kebangsawanan menyebutkan namanya saja bila usianya sebaya dan memiliki hubungan yang akrab dalam situasi informal. Apabila penutur menyapa mitra tutur bergelar bangsawan yang usianya lebih tua dari penutur dalam situasi informal dan memiliki hubungan akrab maupun tidak akrab biasanya didahului oleh sapaan kata kerabat bapak atau ibu, seperti bapak awang, bapak encek, dan ibu dayang. Adapun penggunaan sapaan tersebut juga disingkat dengan pak awang, pak encek, dan bu dayang. Bahkan sapaan dengan gelar pendek, seperti ji dan wang, yang berasal dari gelar lengkap aji dan awang. Sapaan dengan menyebut gelar pendek dipakai dalam situasi informal dan penyapa merupakan orang yang berada dalam kelompok luar (bukan masyarakat Kutai). Berikut contoh penggunaan sapaan gelar bangsawan Kutai. Berikut contoh tuturan (1) dan (2) menggambarkan penutur menyapa temannya yang memiliki gelar bangsawan dalam perbincangan di tempat parkir motor. (1) Apa dipolah malam ni Wang, ndik nunu jukut kah nyambut 1 muharam ? ‘Malam ini apa yang dikerjakan Wang (awang), hendak membakar ikan menyambut 1 muharam?’ (2) Apanya yang nyaman Ji? ‘Apanya yang enak Ji (aji)?’ 300 PROSIDING Pada contoh tuturan (1) dan (2) terlihat penutur menyapa mitra tuturnya menggunakan sapaan gelar bangsawan awang dan aji yang penggunaannya disingkat menjadi wang (awang) dan ji (aji). Percakapan tersebut dalam situasi informal dan memiliki hubungan yang akrab antara penutur dan mitra tutur. (3) Pak encek mau nangkap itik untuk dimasak besok ya? ‘Pak Encek akan menangkap itik untuk dimasak besok ya?’ Contoh tuturan (3) menggambarkan konteks mitra tutur yang sedang memperlihatkan fotonya kepada beberapa teman. Tuturan tersebut merupakan komentar dari penutur/teman yang menyapa mitra tuturnya yang bergelar encek dengan diawali sapaan bapak disingkat pak kemudian diikuti dengan gelarnya. Percakapan tersebut menunjukkan penutur lebih muda usianya dari yang disapa (mitra tutur) dan memiliki hubungan yang tidak akrab. (4) Zul foto awak masih halus naik haji, loco Zul,.... ’Zul foto kamu waktu masih kecil sedang naik haji, lucu Zul...’ Contoh (4) umumnya masyarakat Kutai ketika menyapa orang yang memiliki gelar kebangsawanan menyebutkan namanya saja bila usianya sebaya dan memiliki hubungan yang akrab dalam situasi informal. Seperti contoh (4) yang disapa memiliki gelar Encek Zulmy disapa dengan Zul. Sapaan dengan tanpa menyebut gelar dipakai dalam situasi informal dan penyapa merupakan orang yang berada dalam kelompok dalam (masyarakat Kutai). 4. Simpulan dan Saran 4.1 Simpulan Sapaan gelar kebangsawanan masyarakat Kutai diklasifikasikan berdasarkan kerabat kerajaan dan keturunan dari asal daerah. Gelar aji merupakan gelar yang dipakai kerabat atau keturunan langsung dari raja. Sementara itu, gelar kebangsawanan berdasarkan keturunan dari daerah asal menggunakan gelar awang, dayang dan encek. Kedua golongan ini dalam kehidupan bermasyarakat tidak begitu terlihat perbedaannya juga dalam pemahaman tata krama pergaulan. Hanya saja yang membedakan antara kedua golongan adalah adanya gelar di depan nama yang dimiliki oleh golongan bangsawan. 4.2 Saran Berkaitan dengan kegiatan dan hasil tulisan ini, maka perlu dirumuskan saran sebagai berikut. Penulis menyarankan perlunya penelitian tentang penggunaan sapaan gelar kebangsawanan dalam lingkungan Keraton Kutai yang lebih komprehensif dan dalam konteks yang lebih luas. PROSIDING 301 5. Daftar Pustaka Amin, Asli dan Badaranie Abbas. 1979. Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. Chaika, Elaine.1982. Language The Social Mirror. Newburg House Publishers. Inc. London. Ervin-Tripp, S.M. 1972. “Sociolinguistics Rules of Address” dalam J.B. Pride and Janet Holmes (ed). Sociolingustics Selected Readings. Middlesex: Penguin Books. Evans-Pritchard. 1964. “Nuer Modes of Address” dalam Dell Hymes (ed). Language in Culture and Society A Readee in Linguistics and Anthropology. New York: Harper & Row. Kartomiharjo, Soeseno. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Koeswoyo, Endik, dkk. 2009. Kisah Raja-Raja Legendaris Nusantara. Jogjakarta: Garailmu. Kridalaksana, Harimurti. 1974. “Second Participant in Indonesia Address” dalam Language Sciences. Agustus 1974. ___________________. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Rachim, H.A.B. Abdul. 2007. “Gelar di Kutai”. (Makalah belum diterbitkan) Sani, M. Yamin. 2006. Pernik Budaya Pariwisata dan Pembangunan Derap Gerakan Pengembangan Pemberdayaan Kutai. Tenggarong: Humas Pemkab Kutai Kartanegara. Spolsky, Bernard. 2003. Sociolinguistics. Oxford: Oxford University Press. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sulistyowati. 1998. “Sistem Sapaan Bahasa Jawa (analisis Kasus Sapaan di Keraton Yogyakarta)”. Tesis Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Language and Sociaty. Oxford: Basil Blackwell. Zularfi. 2004. “Tata Krama Suku Bangsa Kutai di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur”. Asdep Urusan Tradisi Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Timur. _______. 2006. “Bahasa dan Sastra Kutai (Tradisi Monolog Masyarakat Suku Kutai)”. Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. 302 PROSIDING KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA DALAM KARYA ILMIAH MAHASISWA: KASUS PEMBENTUKAN DAN PEMILIHAN KATA Widada Hs. Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pos-el: widada@yahoo.co.id Inti Sari Seorang mahasiswa sering megalami kesulitan dalam menulis karya ilmiah karena yang bersangkutan tidak memiliki kompetensi atau keterampilan komunikasi dengan ragam tulis yang memadai. Akibatnya, sewaktu menulis mereka sering mendapat hambatan dalam menuangkan gagasan atau pikiran ke sebuah tulisan, misalnya berupa karya ilmiah. Kualitas kemampuan menulis yang rendah itu dapat diketahui dari banyaknya kekurangcermatan penggunaan unsur-unsur kebahasaan, seperti pembentukan kata serta pemilihan kata. Oleh karena itu, ketidakcermatan dalam pembentukan dan pemilihan kata yang dilakukan oleh mahasiswa itu harus dicari akar permasalahnya, dengan dilakukan penelitian terhadap hasil penulisan karya ilmiah. Kekurangmampuan mahasiswa dalam menyusun karya ilmiah itu disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap berbagai kaidah kebahasaan, seperti kaidah ejaan, kaidah tata bentuk kata, kaidah pembentukan istilah, dan kaidah pemilihan kata. Oleh karena itu, sebagai calon ilmuwan mahasiswa perlu diberi bekal yang cukup untuk dapat menyusun karya ilmiah dengan menggunakan bahasa Indonesia secara benar. Kata kunci: mahasiswa, karya ilmiah, bentuk dan pilihan kata Abstract A college student often finds difficulties in writing academic paper because the student does not have adequate written competency or written communication skill. Therefore, in writing process the student sometimes has obstacles in expressing opinion or idea into writing piece as academic paper. Low writing competency quality can be known from many inaccurateness of language usage element, such as word formation and diction. Thus, the PROSIDING 303 inaccurateness in word formation and diction carried out by the student should be found its root of problem by conducting a research on the result of academic writing. Student incompetency in making academic writing is caused by the lack of understanding of various language rules, such as spelling, rule of word formation, rule of term formation, and rule of diction. Hence, as a candidate of scientist the college student should be given adequate knowledge in order to be able to write academic writing using correct Indonesia language. Key words: student college, academic writing, word form and diction 1. Pendahuluan Mahasiswa sebagai generasi muda dianggap kurang menghargai terhadap bahasa Indonesia. Hal itu dapat dikaitkan tingkat kompentensi yang dimilikinya yang kurang menggembirakan. Ada dua faktor yang menyebabkan kompetensi berbahasa Indonesia mahasiswa rendah, yaitu (1) memudarnya kebanggaan terhadap bahasa Indonesia dan (2) menganggap tidak penting bahasa Indonesia bagi dirinya. Memudarnya kebanggaan terhadap bahasa Indonesia berakibat pada sifat yang dimiliki oleh mahasiswa yakni suka menggunakan atau menyisipkan kata (isitilah) asing dalam berbahasa Indonesia yang sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, dalam acara tertentu mahasiswa akan cenderung memilih menggunakan bahasa pengantar bahasa asing. Gejala semacam itu terjadi pada generasi muda Indonesia sekarang (Band. Lanin, 2013:4). Hasil sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1994 menyatakan bahwa secara rata-rata setiap halaman sekripsi yang ditulis oleh mahasiswa terdapat kesalahan bahasanya, yaitu berupa penyimpangan kaidah bahasa Indonesia mencapai 2,3. Kesalahan bahasa itu berakibat pada kesalahan informasi atau menjadikan gagasan yang terkandung dalam tulisan itu menjadi tidak jelas (Tadjudin dalam Lanin, 2013:4). Hal itu kemungkinan disebabkan sikap dari mahasiswa yang menganggap remeh bahasa Indonesia. Keterampilan menulis merupakan hal yang penting bagi mahasiswa. Keterampilan tersebut perlu dimiliki oleh mahasiswa dalam rangka menghadapi penyusunan skripsi. Banyak mahasiswa yang merasa kesulitan dalam menyusun karya ilmiah dengan menggunakan bahasa Indonesia yang benar. Meraka menyadari bahwa bahasa Indonesia yang digunakan terdapat kesalahan di berbagai aspek kebahasaan, baik yang berupa kesalahan ejaan, unsur pembentukan kata, pemilihan kata, dan juga struktur kalimat yang tidak logis. Akibatnya, hasil karya ilmiah yang disusun oleh mahasiswa susah dipahami informasinya. Oleh karena itu, perlu adanya usaha peningkatan keterampilan berbahasa terutama keterampilan menulis agar mahasiswa dapat menulis karya 304 PROSIDING ilmiah seperti makalah, artikel, dan laporan penelitian yang lain. Berdasarkan kondisi tersebut, kiranya perlu diadakan penelitian terhadap bahasa laporan karya ilmiah yang berkaitan dengan keterampilan berbahasa mahasiswa khususnya dalam hal penyusunan kalimat. Hasil penelitian tersebut akan bermanfaat sebagai masukan bagi pengajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi. Apabila proses pembelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan kebutuhan tentunya akan mengurangi beban mahasiswa yang sedang menyusun karya ilmiah seperti laporan penelitian dan artikel. Oller & Virgil (1978) telah melakukan beberapa kajian mengenai hubungan sikap dan keberhasilan berbahasa pada penutur bahasa. Hasil penelitian itu menunjukkan adanya sejumlah variabel sikap yang berkorelasi dengan kecakapan atau keterampilan berbahasa yang dimiliki. Adanya sikap positif kepada diri sendiri, bahasa asli, dan kepada bahasa kedua atau bahasa sasaran dapat meningkatkan keterampilan berbahasa (Brown, 2008: 212). Kemampuan mahasiswa dalam menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia memang merupakan hal yang dirasakan cukup berat. Hal itu disebabkan oleh faktor sikap yang dimiliki oleh mahasiswa terhadap bahasa Indonesia. Jika yang dimiliki oleh mahasiswa berupa sikap kurang posistif terhadap bahasa Indonesia akan mengakibatkan terbatasnya keterampilan mahasiswa dalam berbahasa Indonesia. Kemahiran menulis menggunakan bahasa yang benar tidak datang dengan sendirinya, tetapi diperoleh dengan pelatihan. Swain, M. & Lapkin, S. (1995:186) berpendapat bahwa keterampilan berbahasa didukung empat kompentensi, yaitu kompetensi gramatikal, kompetensi wacana, kompetensi sosiolinguistik, dan kompetensi strategik. Di samping itu, keterampilan bahasa ditingkatkan melalui tiga cara sebagai berikut. Pertama, pembelajaran harus menampakkan perubahan dalam tingkah laku. Kedua, pembelajaran harus melibatkan sesuatu pemikiran. Ketiga, pembelajaran harus menghasilkan perubahan melalui pengalaman dan latihan (Beebe, 1983:41). Adanya pendapat yang menyatakan bahwa kemampuan menulis menggunakan bahasa Indonesia oleh mahasiswa sangat rendah perlu disikapi dengan bijaksana. Hal itu dapat dipahami dari hasil tulisan mahasiswa salah satunya berupa karya ilmiah yang berupa skripsi. Kualitas kemampuan menulis yang rendah itu dapat diketahui dari banyaknya ketidakcermatan penggunaan unsur-unsur kebahasaan, seperti pemakaian tanda baca, penulisan huruf, penggunaan kosakata, serta pembentukan dan pemilihan kata. Oleh karena itu, ketidakcermatan atau ketidaktepatan mahasiswa itu harus dicari akar permasalahannya, yaitu dengan dilakukan penelitian terhadap penggunaan bahasa Indonesia mahasiswa pada laporan hasil penelitian atau karya tulisnya. PROSIDING 305 Sesuai dengan latar belakang, penelitian ini ingin mendeskripsikan ketidakcermatan penggunaan bahasa Indonesia pada aspek pembentukan kata dan pemilihan kata yang dilakukan oleh mahasiswa dalam tulisan karya ilmiah. Dengan adanya hasil penelitian itu dapat dijadikan bukti bahwa keterampilan bahasa Indonesia mahasiswa perlu ditingkatkan terutama pada ragam bahasa tulis. Dengan adanya tingkat keterampilan berbahasa yang tinggi tentunya akan berakibat pada lebih cepatnya mahasiswa dalam proses penyelesaian penulisan skripsi. 2. Kerangka Teori dan Metodologi Untuk menganalisis kesalahan bahasa perlu dibedakan pengertian antara kekeliruan dan kesalahan bahasa. Kekeliruan bahasa merujuk pada ketidaktepatan perfoma yang merupakan kegagalan memanfaatkan sistem bahasa yang sudah dikenalnya. Penyimpangan penggunaan bahasa yang dibuat bukanlah merupakan kurangnya kompetensi yang dimiliki, tetapi cenderung berupa kemacetan dalam berbahasa. Adapun kesalahan bahasa merupakan manifestasi langsung yang dihasilkan oleh penutur yang berupa penyimpangan dari tatabahasa (Brown, 2008:282—283). Menurut analisis kesalahan bahasa, proses kejadiannya dapat secara alami maupun tidak dan juga dapat berupa sebab dan akibat dari kesalahan berbahasa. Kesalahan berbahasa bisa terjadi karena adanya kesulitan penutur bahasa dalam memahami bahasa tersebut karena adanya pengaruh dari bahasa ibu (James, 1998:1). Alasan lainnya yaitu karena penutur bahasa memang tidak mengerti makna dari bahasa asing tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa jenis kesalahan yang biasanya dilakukan oleh penutur bahasa asing adalah kesalahan yang disebabkan oleh pengaruh dari bahasa ibu terhadap bahasa asing. Biasanya kesalahan ini terjadi karena penutur bahasa merasa dibebani oleh adanya transfer negative atau dengan istilah lain sebagai proses interferensi (James,1998:179). Menurut Jack Richard dalam Parera (1997: 142) dan Brown (2008: 289) bahwa sumber kesalahan bahasa dapat berupa, di antaranya, (1) transfer interlingual dan transfer intralingual adalah sumber kesalahan bahasa yang sangat dominan dalam pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing; (2) penerapan kaidah secara tidak lengkap oleh penutur yang sedang belajar bahasa; (3) generalisasi berlebih yaitu fakta dan kebiasaan dari penutur bahasa menggunakan bentuk-bentuk yang sama yang diketahui oleh penutur dalam bahasa yang sedang dipelajari; (4) ketidaktahuan akan batas-batas kaidah bahasa asli (pertama) dan bahasa kedua sehingga penutur membuat kesalahan bahasa karena ketidaktahuan. Kegiatan menulis dimulai dari proses penyusunan kata yang di dalamnya melibatkan pembentukan dan pemilihan kata. Dalam hal ini pemakai bahasa 306 PROSIDING harus mempertimbangkan kata yang akan digunakan. Agar informasi yang disampaikan itu dapat dengan cepat dan tepat dipahami oleh orang lain, pemakai bahasa harus mempertimbangkan orang yang diajak berkomunikasi. Jika orang yang diajak berkomunikasi dari kalangan awam, kata-kata yang digunakan akan berbeda bila yang diajak berkomunikasi itu adalah cendikiawan. Jika bahasa yang dipergunakan itu mudah dipahami dengan cepat dan tepat oleh pihak yang diajak bicara atau pembaca, harus menggunakan bentuk dan pilihan kata yang baik. Pembentukan dan pemilihan kata berfungsi juga untuk menghindari pemakaian hahasa yang membosankan. Oleh karena itu, ada beberapa aspek yang harus dipertimbangan dalam pembentukan dan pemilihan kata, yaitu (1) kata yang harus merupakan bentuk yang tepat sehingga benar-benar mengungkapkan gagasan secara cermat, (2) kata yang dipilih harus diselaraskan dengan kaidah tata bahasa yang berlaku, (3) kata yang dipilih harus merupakan kata yang lazim digunakan. Parameter atau alat ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya kesalahan bahasa itu berdasarkan kepada wujud bahasa yang digunakan oleh mahasiswa berdasarkan kekonsistenan penerapan kaidah bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kesalahan berbahasa adalah penggunaan bahasa Indonesia yang menyimpang dari faktor-faktor komunikasi dan kaidah kebahasaan dalam bahasa Indonesia (Tarigan, 1997:12). Kesalahan berbahasa yang menyimpang dari kaidah bahasa dapat menimbulkan salah informasi yang terkandung di dalam karya ilmiah. Sementara itu kekeliruan adalah penggunaan bahasa yang menyimpang dari kaidah bahasa yang berlaku dalam bahasa itu tetapi tidak dipandang sebagai suatu pelanggaran berbahasa karena sifatnya tidak acak, tidak sistematis, dan tidak permanen (bersifat sementara). Jadi, analisis kesalahan berbahasa difokuskan pada kesalahan berbahasa berdasarkan penyimpangan kaidah bahasa yang berlaku dalam bahasa itu (band. Widada, 2012:149). Guna memilih kata yang dianggap “terbaik” dalam berbahasa harus diperhatikan tiga hal, yaitu kata yang tepat sehingga benar-benar mengungkapkan gagasan secara cermat, diselaraskan dengan kaidah tata bahasa, dan kata yang lazim dalam pemakaian. Masalah pertama yang harus diperhatikan dalam pemilihan kata ialah masalah makna kata. Agar suatu gagasan dapat terungkap secara cermat, pemakai bahasa harus memilih kata yang tepat. Ketepatan kata yang dipilih bergantung juga pada makna yang dikandung oleh kata itu. Penelitian ini bertujuan ingin mendapatkan gambaran yang jelas tentang kesalahan pemakaian bahasa Indonesia yang dilakukan oleh mahasiswa khususnya dalam pembentukan dan pemilihan kata. Sehubungan dengan itu, penelitian ini menerapkan sebuah pendekatan yang bersifat kualitatif. Sesuai dengan topik penelitian kiranya perlu ditentukan korpus yang dijadikan bahan PROSIDING 307 data penelitian ini. Korpus penelitian itu berupa jenis-jenis tulisan mahasiswa S-1 yang menggunakan bahasa Indonesia. Adapun yang dijadikan data pada penelitian itu adalah karya ilmiah mahasiswa yang berupa skripsi S-1 dari berbagai bidang ilmu. Sampel ditentukan secara random yang berjumlah sekitar dua puluh buah skripsi mahasiswa S-1. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode dan teknik tertentu. Dalam tahap pengumpulan data digunakan metode simak, yaitu metode yang pelaksanaannya dilakukan dengan menyimak penggunaan bentuk-bentuk kata dan pemilihan kata yang terdapat dalam karya ilmiah yang disusun oleh mahasiswa. Data yang diperoleh itu berupa kata-kata yang digunakan dalam skripsi mahasiswa yang tidak tepat dari segi bentuk maupun segi penggunaan. Agar dapat menganalisis persoalan tersebut, metode simak tersebut ditunjang dengan berbagai teknik di antaranya teknik urai, teknik banding, dan lesap (Sudaryanto, 1999:74). Analisis kesalahan berbahasa adalah suatu prosedur kerja. Sebagai suatu prosedur kerja atau metode, analisis kesalahan berbahasa memiliki langkahlangkah kerja tertentu. Langkah-langkah kerja tertentu tersebut selanjutnya dipandang sebagai metodologi analisis kesalahan berbahasa. Ellis dalam Tarigan (1997) mengajukan langkah-langkah analisis kesalahan berbahasa sebagai berikut: (1) mengumpulkan sampel kesalahan, (2) mengidentifikasi kesalahan, (3) menjelaskan kesalahan, (4) mengklasifikasi kesalahan, dan (5) mengevaluasi kesalahan (band. Widada, 2012: 150). 3. Ketidakcermatan dalam Pemakaian Bentuk Kata 3.1 Pembentukan Kata Karya ilmiah yang disusun oleh mahasiswa banyak ditemukan bentuk kata yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa. Bentuk kata yang tidak sesuai dengan kaidah tersebut berkaitan dengan proses pembentukan kata dan juga proses penyerapan kata yang berasal dari bahasa asing. 1) Proses Pembentukan Kata Ketidakcermatan pemakaian bentuk kata oleh mahasiswa ditemukan pada pemakaian bentuk dasar yang menyimpang dari bentuk yang telah dibakukan. Untuk jelasnya perhatikan data pada kalimat berikut. (1) Sebagai bahan preventif dengan membentuk barrier racun di antara sumber penyebaran penyakit dan jaringan tanaman itu berfungsi untuk menghambat terjadinya mokulum. (2) Ogsigen sangat berperan dalam proses respirasi, sehingga ogsigen sangat diperlukan dalam perkecambahan. 308 PROSIDING Bentuk kata pada contoh di atas seperti barrier dan ogsigen pada kalimat (1) dan (2), adalah bentuk kata yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan bentuk yang baku. Adapun betuk kata yang baku untuk kata barrier adalah kata barier. Kata barrier dengan dobel /r/ berdasarkan kaidah pembentukan kata merupakan bentuk yang tidak tepat karena dalam sistem bahasa Indonesia tidak dikenal sebuah kata yang mengandung bunyi yang dobel. Oleh karena itu, penulisan yang tepat untuk kata barrier cukup ditulis dengan satu bunyi /r/ saja, yaitu menjadi barier. Untuk kata ogsigen tidak tepat karena kata tersebut berasal dari kata oxigen diindonesiakan menjadi oksigen bukan ogsigen. Bunyi /x/ diserap menjadi /ks/ bukan /gs/ dalam bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena pengaruh dari pelafalan bunyinya. Bentuk kata dalam bahasa Indonesia banyak yang berasal dari bahasa asing, terutama dari bahasa lnggris. Para mahasiswa ternyata di dalam menyusun karya ilmiah sering menyerap kata-kata asing itu secara tidak tepat atau penyerapan yang tidak sempurna. Artinya, penyerapan itu sebagian sudah diindonesiakan, sebagian yang berupa unsur asing, atau bahkan bentuk penyerapan itu salah. Untuk jelasnya, perhatikan data pada kalimat berikut. (3) Perkecambahan adalah peristiwa meningkatnya aktifitas biji dari keadaan istirahat untuk membentuk kecambah. (4) Ada kalanya suatu bahan digunakan serentak bersama-sama dengan pestisida lain yang komparible untuk memberantas cendawan maupun untuk memberantas hama. Penulisan kata aktifitas dan komparible apabila dicermati ternyata tidak sesuai dengan kaidah penulisan penyerapan kata yang baku. Kata aktifitas pada kalimat (3) berasal dari kata activity, yang diindonesiakan menjadi aktivitas. Oleh karena itu, penulisan kata aktifitas tidak cermat dan harus diubah menjadi aktivitas. Kata kompatible juga berasal dari bahasa Inggris yaitu compatible yang artinya ‘sebanding’. Kata compatible itu dindonesiakan menjadi komparibel bukannya komparible. Oleh karena itu, penulisan yang tepat untuk komparible adalah komparibel. 2) Proses Pembentukan Kata Turunan Seperti telah dibicarakan di bagian awal bahwa ketidakcermatan pemakaian bentuk kata dapat berupa bentuk kata turunan. Ketidakcermatan itu timbul akibat adanya proses penampakan afiks pada sebuah kata dasar. Untuk jelasnya perhatikan data pada kalimat berikut. (5) Di kalangan atas, antara para pemangku adat serta alim ulama di satu pihak dan para pejabat di lain pihak terdapat perbedaan yang cukup menyolok dalam gaya hidup mereka. PROSIDING 309 (6) Para warga Polewali pada kelas menengah tampaknya lebih suka merubah gaya hidupnya di dalam masyarakat. Kata turunan menyolok dan merubah pada kalimat (5) dan (6) berasal dari kata dasar colok dan ubah yang mendapat awalan me-. Pada kaidah pembentukan kata, apabila me- bergabung dengan kata dasar yang berawal bunyi /c/ maka /c/ tidak luluh dan awalan me- menjadi men-. Apabila afiks me- bergabung dengan kata dasar yeng berawal bunyi vokal, afiks me- berubah menjadi meng-. Oleh karena itu, bentuk kata turunan seperti kata menyolok dan merubah merupakan bentuk-bentuk yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Oleh karena itu, bentuk-bentuk tersebut harus dibetulkan sesuai dengan kaidah yang ada. Untuk jelasnya, perhatikan kalimat (5a) dan (6a) berikut. (5a) Di kalangan atas antara para pemangku adat serta alim ulama di satu pihak dan para pejabat di lain pihak terdapat perbedaan yang cukup mencolok dalam gaya hidup mereka. (6a) Para warga Polewali pada kelas menengah tampaknya lebih suka mengubah gaya hidupnya di dalam masyarakat. 3) Proses Pembentukan Kata Ulang Pembentukan kata ulang biasanya dapat berupa proses pengulangan kata dasar baik dengan penambahan imbuhan atau pun tidak. Namun, dalam data dijumpai proses pengulangan yang menyimpang dari kaidah yang ada. Untuk jelasnya, perhatikan kalimat berikut. (7) Di pasaran terdapat puluhan merek dagang obat pembasmi hama wereng dan ulat. Bentukan kata puluhan mempunyai arti ‘bilangan kelipatan sepuluh’. Pemakaian bentuk kata puluhan pada kalimat (7) ternyata tidak tepat. Bentuk kata yang menyatakan arti ‘beberapa puluh’ yaitu kata berpuluh-puluh. Oleh karena itu, kalimat tersebut harus dibetulkan menjadi (7a) berikut. (7a) Di pasaran terdapat berpuluh-puluh merek dagang obat pembasmi wereng dan ulat. 4) Proses Pembentukan Kata dari Bahasa Daerah Berdasarkan data yang ada, ternyata pemakaian bentuk kata dari bahasa daerah sering dipakai oleh para mahasiswa. Hal itu dapat diketahui melalui data kalimat berikut. (8) Pada percobaan ini diketemukan beberapa faktor yang menyebabkan penyakit tumbuhan cepat berkembang biak. 310 PROSIDING (9) Pemeliharaan tanaman yang sudah besar dapat dilakukan dengan pengaturan wiwilan yang tumbuh pada pohon pokoknya. Kata dasar ketemu dalam bahasa Jawa mempunyai arti ‘jumpa, sua, temu’ yang mendapat konfiks di-/-kan. Padahal, dalam bahasa Indonesia terdapat bentuk kata temu, jumpa yang maknanya sama dengan kata ketemu dalam bahasa Jawa. Oleh karena itu, pemakaian bentuk kata diketemukan tidak tepat, yang tepat adalah ditemukan, didapatkan, dan sebagainya. Adapun bentuk kata wiwilan berasal dari kata dasar wiwil mendapat akhiran -an. Kata wiwilan itu berasal dari bahasa Jawa yang artinya ‘tunas liar yang harus disiangi (tanaman tambahan)’. Oleh karena itu, bentuk kata wiwilan diganti dengan kata yang telah ada dalam bahasa Indonesia, yaitu kata tunas liar. 4. Ketidakcermatan dalam Pemilihan Kata Seorang mahasiswa diharapkan dapat memilih kata secara tepat, yaitu kata pilihan yang berupa kata baik dan benar. Kata yang baik adalah kata yang digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi. Adapun kata yang benar adalah kata yang sesuai dengan kaidah bahasa. Untuk jelasnya, dapat diperhatikan pemakaian kata semua dan seluruh pada kalimat berikut. (10) Rumah yang akan ditempati itu semula kelihatan kotor, tetapi setelah dibersihkan seluruh rumah kelihatan bersih. Kata seluruh pada kalimat itu tidak menyatakan ‘makna banyak rumah’. Kelompok kata seluruh rumah dalam kalimat itu tidak mengandung pengertian ‘semua rumah’, tetapi ‘semua bagian rumah’. Oleh karena itu, kelompok kata seluruh rumah tidak sama dengan ‘semua rumah’. Pemakaian kata semua dan seluruh sering dipertukarkan. Kedua kata itu mempunyai perbedaan makna. Oleh karena itu, sebaiknya dibedakan pula dalam pemakaiannya. Perbedaan itu akan terasa dengan jelas bila kata itu dipergunakan di dalam kalimat. Berdasarkan data yang terkumpul, ketidakcermatan pemilihan kata itu sekurang-kurangnya berkaitan dengan pemakaian kata referensial dan nonreferensial. 4.1 Ketidaktepatan Pemakaian Kata Referensial Yang dimaksud kata referensial adalah kata yang mempunyai arti penuh atau kata yang mandiri, tidak bergantung hubungannya dengan kata yang lain. Misalnya kata saya, rumah, dan kemarin. Kata-kata tersebut sudah mempunyai arti secara mandiri tanpa kehadiran bentuk yang lain. Berdasarkan data yang terkumpul pemakaian kata referensial ini dapat meliputi penggunaan PROSIDING 311 kata yang salah ejaannya, kata yang salah konsepnya, dan kata yang salah bentuknya. Jadi, ketidakcermatan pemakaian kata itu dilihat di faktor cara penulisan, bentuk, dan makna. a) Ketidakcermatan Penerapaan Kaidah Ejaan Bahasa pada karya ilimah mahasiswa masih banyak ditemukan adanya penulisan kata yang salah ejaannya. Kesalahan itu muncul akibat kekurangtahuan tentang cara penulisan kata yang benar. Untuk jelasnya perhatikan data kalimat berikut. (11) Cara mekanis seperti menggosok dan mencuci buah telah dipraktekkan semenjak dahulu. (12) Para petani di pedesaan sering kali dijadikan obyek penelitian dengan cara pemberian subsidi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kalimat (11), kata dipraktekkan penulisannya tidak benar karena kata dasarnya bukan praktek melainkan praktik. Oleh karena itu, penulisan yang tepat ialah dipraktikkan. Kesalahan kalimat (12) terjadi pada kata obyek. Bunyi tersebut seharusnya tidak terdapat /y/ tetapi /j/. Jadi, penulisan yang benar ialah objek. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kalimat (11a) dan (12a) berikut. (11a) Cara mekanis seperti menggosok dan mencuci buah telah dipraktikkan semenjak dahulu. (12a) Para petani di pedesaan seringkali dijadikan objek penelitian dengan cara pemberian subsidi baik secara langsung maupun tidak langsung. b) Ketidakcermatan Pemakaian Kata yang Salah Konsep Ketidakcermatan pemakaian kata dapat terjadi pada pemakaian kata yang tidak cermat dalam konsep maknanya atau terlalu longgar (luas) cakupan maknanya. Untuk jelasnya perhatikan data pada kalimat berikut. (13) Beranjak dari kasus tersebut para petani dapat menentukan pilihan terbaik untuk mengolah sawahnya pada musim tanam yang akan datang. (14) Pembunuh jamur dapat juga dengan cara lain seperti pemanasan, penyiraman, dan sebagainya. Pemakaian kata beranjak pada kalimat (13) tidak tepat. Hal ini disebabkan kata beranjak mempunyai makna yang tidak sama dengan kata, misalnya, berdasar, berasas, beranjak, dan sebagainya. Berdasarkan KBBI tahun 1993, dinyatakan bahwa kata beranjak itu mempunyai arti ‘bergerak, beringsut, bergeser’. Dengan demikian, kata beranjak ternyata tidak tepat untuk memulai 312 PROSIDING kalimat (13), yang tepat adalah kata berdasar, berpedoman, dan belajar yang mempunyai makna ‘memakai dasar, beralaskan’, dan sebagainya. Kata pembunuh pada kalimat (14) ternyata tidak tepat. Kata pembunuh berarti tidak sama ‘membunuh’. Padahal yang terjadi pada kalimat (14) adalah suatu proses membunuh bukan alat untuk membunuh. Oleh karena itu, kata yang tepat untuk menggantikan kata pembunuh pada kalimat (14) yaitu kata pembunuhan atau pembasmian. Untuk lebih jelasnya, perhatikan hasil pembetulan kalimat di atas menjadi kalimat (13a) dan (14a) berikut. (13a) Bepedoman Berdasar Belajar dari kasus tersebut para petani dapat menentukan pilihan terbaik untuk mengolah sawahnya pada musim tanam yang akan datang. (14a) Pembunuhan Pembasmian jamur dapat juga dengan cara lain seperti pemanasan, penyiraman, dan sebagainya. 3.2 Ketidakcermatan Pemakaian Kata Nonreferensial Kata nonreferensial adalah kata yang artinya baru dapat diketahui secara pasti apabila kata tersebut sudah digabung dengan kata yang lain. Pada umumnya kata-kata nonreferensial itu berupa konjungsi dan preposisi. Mengingat artinya belum begitu jelas, kata nonreferensial itu dipakai oleh mahasiswa cenderung mengalami ketidaktepatan. Untuk jelasnya ikutilah uraian berikut ini. a) Konjungsi tetapi Kata tetapi adalah kata penghubung intrakalimat untuk menyatakan hal yang agak bertentangan atau tidak selaras (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahsa, 1993:151). Kenyataan ini menunjukkan bahwa kata tetapi sering mengawali kalimat. Hal itu menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia. Untuk jelasnya perhatikan kata pada kalimat berikut. (15) Pada praktikum kali ini, kita sudah mengetahui fase-fase stadium pembelahan sel mitosis. Tetapi masih terdapat kendala mengenai alat yang digunakan. (16) Hal tersebut ternyata harus diimbangi dengan peningkatan kualitas dan kuantitasnya. Tetapi masih disayangkan bahwa nilai ekspor jahe Indonesia masih sedikit. Penggunaan kata tetapi pada kalimat (15) dan (16) itu kurang tepat. Hal itu disebabkan oleh kedudukan kata tetapi pada awal kalimat. Konjungsi tetapi itu hanya terdapat di dalam kalimat atau dengan kata lain sebagai konjungsi intrakalimat. Data pada kalimat (15) dan (16) ternyata kata tetapi PROSIDING 313 berfungsi sebagai konjungsi antarkalimat. Hal ini menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia. Oleh karena itu, konjungsi tetapi kalimat tersebut harus diganti dengan kata namun atau akan tetapi. Untuk jelasnya, perhatikan kalimat (15a) dan (16a) berikut. (15a)Pada praktikum kali ini, kita sudah mengetahui fase-fase stadium pembelahan sel mitosis. Namun, Akan tetapi, masih terdapat kendala mengenai alat yang digunakan. (16a)Hal tersebut ternyata harus diimbangi dengan peningkatan kualitas dan kuantitasnya. Namun, masih disayangkan bahwa nilai ekspor jahe Indonesia Akan tetapi, masih sedikit. b) Konjungsi maka Konjungsi maka, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, itu sebagai kata penghubung interkalimat untuk menyatakan hubungan akibat. Namun, di dalam pemakaiannya kata maka itu sering kali menyimpang dari kaidah yang ada. Untuk jelasnya, perhatikan data yang terdapat pada kalimat berikut. (17) Benang-benang plasma yang membentuk spol dapat terjadi karena mengentalnya sitoplasma. Maka fase-fase pembelahannya tidak seperti fase-fase pembelahan mitosis yang normal. (18) Kromosom-kromosom yang berasal dari induk betina bentuknya serupa dengan yang jantan. Maka sepasang kromosom itu menjadi kromosom homolog yang sulit untuk diidentifikasi. Kalimat (17) dan (18) merupakan data yang terdapat pemakaian konjungsi maka yang tidak tepat. Ketidaktepatan pemakaian konjungsi ada dua hal, yaitu konjungsi maka yang dipakai untuk mengawali sebuah kalimat dan konjungsi maka yang digunakan secara bersama-sama dengan konjungsi lain. Jika diamati kalimat (17) dan (18) di sana ditemukan kata maka mengawali sebuah kalimat. Padahal berdasarkan kaidah yang ada konjungsi maka tidak dapat mengawali sebuah kalimat. Oleh karena itu, cara pembetulannya adalah dengan cara menggabung dua buah kalimat itu menjadi kalimat majemuk dan megganti maka dengan konjungsi akibatnya dan sehingga. Untuk jelasnya, perhatikan kalimat (17a) dan (18a) berikut. (17a)Benang-benang plasma yang membentuk spol dapat terjadi karena mengentalnya sitoplasma, akibatnya fase-fase pembelahannya itu tidak seperti fase-fase pembelahan mitosis yang normal. 314 PROSIDING (18a)Kromosom-kromosom yang berasal dari induk betina bentuknya serupa dengan yang jantan, sehingga sepasang kromosom itu menjadi kromosom homolog yang sulit untuk diidentifikasi.. c) Konjungsi sedang/sedangkan Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa kata sedang/ sedangkan adalah konjungsi yang menyatakan makna sebaliknya yaitu ‘padahal, meskipun’, dan sebagainya. Oleh karena itu, konjungsi tersebut selalu ada di awal anak kalimat dalam kalimat majemuk setara. Berdasarkan kaidah bahasa Indonesia, konjungsi sedang/sedangkan tidak dapat mengawali sebuah kalimat. Data yang ada justru konjungsi sedang/sedangkan berada di awal kalimat. Untuk jelasnya, perhatikan data pada kalimat berikut. (19) Kubis ini diduga berasal dari Italia yang kemudian menyebar ke Prancis dan Jerman pada abad ke-l6. Sedangkan kubis tunas terbentuk sekitar tahun 1750 di Belgia yang kemudian menyebar ke Inggris dan Prancis. (20) Temperatur minimun adalah temperatur terendah di mana suatu biji dapat berkecambah kurang baik. Sedangkan temperatur optimun adalah temperatur di mana suatu biji dapat berkecambah sangat baik. Pemakaian kata sedangkan pada kalimat (19) dan (20) tidak tepat. Hal itu disebabkan oleh adanya kesalahan posisi konjungsi sedangkan, kata penghubung untuk menandai ‘perlawanan’ yang mengawali sebuah kalimat. Berdasarkan kaidah bahasa Indonesia, kata konjungsi tersebut sebagai penghubung intrakalimat dalam kalimat majemuk setara. Oleh karena itu, agar fungsi konjungsi sedangkan menjadi benar, kalimat (19) dan (20) harus diganti penghubung yang semakna sebagai kata penghubung intrakalimat kalimat majemuk setara yakni akan tetapi dan sebaliknya. Untuk jelasnya, perhatikan kalimat (19a) dan (20a) berikut. (19a)Kubis ini diduga berasal dari Italia yang kemudian menyebar ke Prancis dan Jerman pada abad ke-l6. Akan tetapi, kubis tunas terbentuk sekitar tahun 1750 di Belgia yang kemudian menyebar ke Inggris dan Prancis. (20a)Temperatur minimum adalah temperatur terendah pada saat suatu biji dapat berkecambah kurang baik. Sebaliknya, temperatur optimum adalah temperatur pada saat suatu biji dapat berkecambah sangat baik. PROSIDING 315 5. Simpulan Berdasarkan analisis data yang ada ternyata pemakaian bahasa Indonesia oleh mahasiswa dalam menyusun karya ilmiah masih banyak kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia, terutama tentang hal-hal yang berkaitan dengan proses penyerapan kata yang berasal dari bahasa asing, proses penerapan kaidah ejaan, proses pembentukan kata yang baku, dan proses pemilihan kata yang cermat. Mengingat mahasiswa nantinya akan menjadi calon ilmuwan, mereka harus dipersiapkan sejak dini agar dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan benar dan cermat. Oleh karena itu, seorang mahasiswa harus dibekali ketermpilan berbahasa Indonesia yang meliputi, antara lain, kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata dan pemilihan kata, serta kaidah pembentukan istilah. Mengingat banyaknya temuan ketidakcermatan pemakaian bahasa Indonesia dalam menyusun karya ilmiah, diharapkan sistem perkuliahan bahasa Indonesia dapat menuju kepada keterampilan mahasiswa dalam menyusun karya ilmiah dengan menggunakan bahasa Indonesia yang benar. Daftar Pustaka Beebe, L. 1983. “Risk-taking and Language Leaner”. Dalam H. Selinger & M. Long (Ed). Classroom Oriented Reserch in Scond Lnguage Acquisition. Rowley: Newbury House. Brown, Douglas H. 2008. Prinsip Pembelajaran Bahasa dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Pearson Education, Inc. James, C. 1998. Error in Language Learning and Use: Exploring Error Analysis. Harlow, UK: Addison Wesley Longman. Lanin, Ivan. 2013. “Penguatan Bahasa Indonesia di Dunia Internasional”. Yogyakarta: Makalah Sarasehan Kenahasaan dan Kesastraan Indonesia 2013. Oller, J. , Baca, L., &Virgil, A. 1978. “Atticudes and Attained Proficiency in ESL: A Sociolingictics Study of MaxicanAmericanin The Southwest”. TESOL Quarterly, 11, 173-183. Parera, Jos Daniel. 1997. Linguistik Edukasional. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. Sudaryanto, 1999. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press. Swain, M. & Lapkin, S. 1995. “Problems in Output and the Cognitive Process the Generate: A Step Toward Scond Language Learning”. Aplllied Lungistics. 16, 181-191. Tarigan, Guntur H. (1997). Analisis Kesalahan Berbahasa. Jakarta: Depdikbud. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa . 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta: Balai Pustaka. Widada. 2012. “Ketidakefektifan Kalimat bahasa Indonesia dalam Laporan Ilmiah Mahasiswa; Studi Kasus di Fakultas Pertanian UGM tahun 2002— 2006”. Dalam Prosiding Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta. 316 PROSIDING TINDAK TUTUR PADA TUTURAN KAIN RENTANG PASCAGEMPA DI YOGYAKARTA Wiwin Erni Siti Nurlina Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pos-el: erni_bby@yahoo.co.id Inti Sari Dengan berbagai fungsinya, bahasa merupakan bagian kekuatan dari kehidupan manusia. Berkaitan dengan fungsi bahasa, dalam tulisan ini diungkapkan salah satu fenomena bahasa yang ada dalam masyarakat, yaitu ungkapan-ungkapan yang dituangkan pada kain-kain rentang pascagempa di Yogyakarta. Ungkapan tersebut berupa wacana, yang memiliki makna dan maksud yang direalisasikan dalam tindak tutur. Untuk menjelaskan maksud tuturan yang tertulis pada kain rentang itu digunakan pendekatan pragmatik, khususnya dengan teori tindak tutur gagasan Austin (1962) dan Searle (1969), yang juga dikemukakan dalam konsep dan teori pragmatik (Cumming, 1999, dalam Ibrahim, 2000:8-13). Tindak tutur tersebut dilihat pada lokusi dan ilokusinya. Metode yang digunakan dalam tulisan ini ialah metode deskriptif pragmatis. Dari kajian ini jenis tindak tutur dapat diketahui, di antaranya, mengajak, mendukung, menghibur, dan mengancam. Kata kunci: wacana, pragmatik, konteks, tindak tutur Abstract With its various function, language is part of power in human life. Relating to language function, this paper discusses one of language phenomenon in society, namely expression stated in after earthquake banner in Yogyakarta. The expression is in form of discourse that has meaning and aim realizing in speech act. To explain utterance aim stated in banner the research employs pragmatic approach, particularly speech act concept proposed by Austin (1962) and (1969), which is also stated in pragmatic concept and theory (Cumming, 1999, in Ibrahim, 2000:8-13). Speech act can be viewed in its illocution and illocution. The method used in this paper is pragmatic descriptive method. From this research it is found out that some speech act types are asking, support, entertain, and threat. Key words : discourse, pragmatic, contect, speech act PROSIDING 317 1. Pendahuluan Selain sebagai alat ungkap perasaan dan pikiran, bahasa juga merupakan hasil olah pikir yang memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu, antara lain, sebagai alat perekat atau pemersatu, ekspresi seni, ekspresi sosial, identitas, pencatat sejarah. Dengan berbagai fungsinya itu, bahasa merupakan bagian kekuatan dari kehidupan manusia. Salah satu contoh bahwa bahasa sebagai alat ekspresi sosial dapat dilihat pada gambar berikut. Ekspresi sosial yang dituangkan melalui bahasa itu terjadi setelah adanya peristiwa di Lapas Cebongan pada awal tahun 2013. Peristiwa tersebut berpengaruh pada masyarakat Yogyakarta, yang direalisasikan pada kain rentang yang terpasang di beberapa tempat. Adalagi peristiwa di Yogyakarta yang lebih menyentuh nurani manusia yaitu peristiwa yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 di DIY. Pada waktu itu, khususnya di Kabupaten Bantul dan sekitarnya terjadi gempa tektonik yang dahsyat. Seluruh kegiatan kehidupan lumpuh total. Salah satu ajakan masyarakat untuk bangkit diekspresikan melalui ungkapan-ungkapan yang dituangkan pada kain rentang (spanduk) pascagempa di Yogyakarta. Ungkapan yang direalisasikan pada kain rentang itu memiliki kekuatan dan keampuhan sebagai ekspresi sosial yang digunakan sebagai penggali semangat hidup dan cita-cita masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya setelah porak poranda terkena musibah gempa. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapan itu banyak dipasang di berbagai tempat. Melalui bahasa pada media kain rentang itu, suara dan harapan dari masyarakat yang terkena musibah dapat tersalurkan dan tersampaikan. Bentuk-bentuk tuturan tersebut sangat menarik, yang juga ingin diketahui maksudnya. Untuk itu, perhatikan contoh berikut. (1) Gempa Menggugah Nurani, menebar Peduli (2) STOP, Korban Gempa Bukan Barang Jaminan Hutang Luar Negeri (3) Otot kawat balung wesi, Kita pantang lemah nurani (4) YOGYA FOR BETTER LIVE, Bangkitlah 318 PROSIDING Rasanya, tuturan tersebut tidak hanya mempunyai makna harafiah saja, seperti tuturan pengumuman, tetapi ada makna yang perlu dijelaskan beserta muatan-muatan maksud dari tuturan tersebut. Perilaku penyampaian yang dilakukan oleh pembuat kain rentang perlu dikaji sehingga diperoleh gambaran secara empirik tentang tulisan/komunikasi melalui kain rentang dengan bahasa secara alamiah yang terdapat dan terjadi di lapangan, di sini dalam peristiwa pasca gempa di DIY. Berdasarkan alasan itulah, pembahasan ini dilakukan. Di samping itu, pembahasan ini juga ingin dijadikan pancingan untuk melakukan pembahasan setipe dalam peristiwa tutur yang lain. Alasan dipilihnya objek kajian pada kain rentang yang terjadi setelah gempa tersebut yaitu karena selain datanya lebih banyak, juga memiliki keragaman ekspresi kebahasaan. Di samping itu, kain rentang yang dipasang pascagempa itu mempunyai daya persuasif lebih beragam melalui tindak tutur yang diekspresikannya. Sebagai inti masalah dalam kajian ini ialah bagaimana penjelasan gambaran tuturan pada kain rentang pasca gempa (TKRPG) di DIY? Inti masalah tersebut dapat dirinci menjadi sub-submasalah berikut ini. (a) Bagaimanakah wujud kebahasaan yang digunakan TKRPG? (b) Bagaimanakah makna yang diungkapkan TKRPG? (c) Tindak tutur apa saja yang terdapat pada TKRPG? Tujuan utama dalam penelitian ini ialah diperolehnya sebuah gambaran tentang TKRPG di DIY. Secara rinci kajian ini bertujuan sebagai berikut. (a) Diperolehnya deskripsi wujud TKRPG. (b) Diperolehnya deskripsi makna-makna yang diungkapkan TKRPG. (c) Diperolehnya gambaran tindak tutur pada TKRPG. Dari kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam perkembangan keilmuan, khususnya kajian sosiopragmatik terhadap tuturan yang memerlukan penjelasan di luar kajian linguistik struktural. Selain itu, kajian ini mempunyai manfaat praktis yaitu sebagai alat komunikasi sosial dalam menjelaskan makna dan maksud sebuah tuturan untuk dipahami masyarakat. 2. Kerangka Teori Sebagai landasan untuk melihat, membahas, dan menjelaskan tuturan pada kain rentang yang dipasang pasca gempa di DIY digunakan pendekatan atau teori pragmatik. Dengan teori tersebut diperlukan metode untuk menyaranai pembahasannya. PROSIDING 319 2.1 Landasan Teori Untuk menjelaskan makna dan fungsi tuturan pada kain rentang pascagempa di DIY digunakan pendekatan sosiopragmatik, yang pada dasarnya menggunakan prinsip pragmatik, khususnya dengan teori tindak tutur gagasan Austin (1962) dan Searle (1969) yang juga dikemukakan dalam konsep dan teori pragmatik (Cumming, 1999, dalam terjemahan Ibrahim, 2000:8-13). Oleh karena, keberadaan tuturan tersebut sangat terkondisi dengan ekspresi sosial, pembahasan akan lebih mengena dengan digunakannya pendekatan sosiopragmatik. Pendekatan sosiopragmatik yang digunakan dalam tulisan ini mengikuti pandangan Zamzani (2007). Berkaitan dengan pendekatan tersebut, perlu dikemukakan konsep-konsep yang berkaitan, yaitu (a) prinsip pragmatik, (b) pendekatan sosiopragmatik, (c) tindak tutur, (d) komponen tutur, dan (e) konteks tutur. Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang memperhatikan bahasa dan konteksnya, seperti dikatakan oleh Levinson (1991:9) sebagai berikut. Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a language. Dikatakan oleh Tarigan (1986: 26) bahwa pragmatik—yang disebutnya dengan istilah sosiopragmatik—adalah telaah mengenai kondisi-kondisi ‘setempat’ atau kondisi-kondisi ‘lokal’ yang lebih khusus mengenai bahasa. Sebagai suatu definisi, Wijana (1996:1) mengemukakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi. Lebih lanjut, Wijana (2002:7) menjelaskan bahwa dengan perhatian yang saksama terhadap proses produksi tuturan, pragmatis dapat menerangkan bentukbentuk tuturan yang diutarakan secara nonkonvensional. Jadi, tujuan pengkajian wacana adalah untuk mengungkapkan kaidah kebahasaan yang mengkonstruksi wacana, pemroduksian wacana, pemahaman wacana, dan pelambangan sesuatu dalam wacana Dengan kata lain, tujuan analisis wacana adalah untuk memerikan wacana (sebagai salah satu eksponen bahasa) dalam fungsinya sebagai alat komunikasi (Baryadi, 2002: 4). Leech (1983:11) juga mengatakan bahwa pragmatik adalah ilmu tentang komunikasi yang menggunakan bahasa berdasarkan prinsip-prinsip percakapan. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa pragmatik mengaitkan antara bahasa dengan situasi penggunaannya. Sehubungan dengan itu, Tarigan (1986:25) mengatakan bahwa dari segi maksud dan tujuan linguistik, kaitan makna dalam pragmatik yaitu pragmatik merupakan suatu telaah makna dalam hubungannya dengan aneka situasi ujaran. 320 PROSIDING Pragmatik juga membicarakan masalah makna (semantik), tetapi makna yang dekat dengan kondisi yang sebenarnya (truth condition). Hal ini dijelaskan oleh Gazdar (1979) dalam Levinson (1991:12) sebagai berikut. Pragmatic has as its topic those aspects of the meaning of utterances which cannot be accounted for by straightforward [preference to the truth conditions of the sentences uttered. Put crudely: PRAGMATICS = MEANING – TRUTH CONDITION. Jadi, pembicaraan makna dalam pragmatik itu kaitannya dengan situasi tutur (speech situation). Situasi tutur yang berbeda akan menimbulkan maksud tuturan yang berbeda (Wijana, 1997:9). Pada buku yang lain, Wijana (1996:913) mengatakan bahwa aspek situasi tutur ada lima, yaitu (1) penutur dan lawan tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tuturan sebagai aktivitas, dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal. Lebih lanjut, dikatakan Wijana (1996:11) bahwa, di dalam pragmatik, konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (back ground knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur. Dijelaskan oleh Baryadi (2012:8), yang mengakomodasi pernyataan Wijana (1996:12), bahwa dari sudut pandang pragmatik, bahasa merupakan tindakan verbal (verbal act). Tindakan verbal adalah tindakan yang khas menggunakan bahasa. Searle (1969) menyebut tindakan verbal dengan istilah “tindak tutur” atau “tindak ujar”. Untuk melengkapi cara pandang dalam pembahasan ini, perlu juga dikemukakan konsep sosiopragmatik. Sebagai suatu pendekatan, kajian sosiopragmatik dijelaskan oleh Zamzani (2007:20-21) bahwa pemakaian bahasa dalam berkomunikasi kondisi umum merupakan kajian bidang pragmatik umum karena pragmatik umum memang hanya mengungkap bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi. Dalam kenyataannya, pemakaian bahasa dalam komunikasi terkait pula dengan faktor-faktor nonbahasa yang merupakan kondisi sosial dan budaya “lokal” yang bersifat spesifik. Pemakaian bahasa yang bersifat spesifik demikian itu menjadi bidang garapan kajian sosiopragmatik. Selanjutnya, dikatakan Zamzani (2007:23) bahwa sosiopragmatik merupakan pertemuan sekaligus perkawinan antara sosiologi dan pragmatik. Kajian sosiopragmatik terbatas pada pemakaian bahasa dalam kondisi sosial tertentu dan terikat pada percakapan lokal. PROSIDING 321 2.2 Metode Untuk mengungkapkan fenomena kebahasaan pada kain rentang tersebut digunakan metode deskriptif kualitatif dengan rincian sebagai berikut. Pencarian dan pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi dalam beberapa waktu. Ada data yang diperoleh sebulan setelah gempa, ada yang beberapa bulan setelah gempa tergantung kain rentang itu dipasang. Data dikumpulkan dengan teknik simak-catat. Data yang diperoleh belum tentu lengkap memiliki identitas penulis/pemilik kain rentang. Dari pencarian data, dapat terkumpul empat puluh delapan (48) kain rentang (seperti pada lampiran) Dalam analisis data, untuk mendeskripsikan wujud dan bentuk bahasa beserta bagian-bagiannya yang terdapat pada kain rentang, digunakan metode padan dan metode agih, yang dibantu dengan teknik pilah-unsur, substitusi, perluas. Pengertian dan pelaksanaan metode dan teknik tersebut mengikuti konsep dan pendapat Sudaryanto (1993: 29, 39). 3. Pembahasan Dalam pembahasan tuturan pada kain rentang tersebut dirinci menjadi dua, yaitu (a) wujud atau bentuk tuturan yang digunakan dan (b) pembahasan sosiopragmatis 3.1 Bahasa pada TKRPG Dari data yang diperoleh, yang berjumlah empat puluh delapan kain rentang, dapat dilihat bahwa ungkapan itu direalisasikan dengan bahasa campuran, struktur, penggunaan ejaan, dan huruf yang beragam. Bahasa yang digunakan pada TKRPG ialah bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan Bahasa asing. Gejala bahasa pada TKRPG merupakan gejala bahasa yang disebut campur kode (mixing code). Pendekatan struktural digunakan sebagai langkah awal analisis data. Namun, analisis struktural di sini tidak dikemukakan secara detail, hanya digunakan sebagai konsep berpikir untuk menjelaskan segi pragmatisnya. Klasifikasi wujud data dapat dilihat pada tabel berikut. 322 PROSIDING Tabel 1. Wujud TKRPG di DIY NO. 1. 2. 3. 4. 5. BAHASA CONTOH YANG DIGUNAKAN Indonesia (a) AYO YOGYA BANGKIT, YOGYA …AYO BANGKIT !! (b) Gempa Menggugah Nurani, Menebar Peduli Contoh lain dilihat pada lampiran nomor (1, 2, 4, 5, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 42, 44, 46) Pantang menyerah, maju bareng Indonesia, mBANGUN YOGYA… Jawa Contoh lain dilihat pada lampiran nomor (6) Jawa, Otot kawat balung wesi, Kita pantang lemah nurani Indonesia Contoh lain dilihat pada lampiran nomor (21) Inggris, YOGYA FOR BETTER LIVE, Bangkitlah !! Indonesia Yen ta saiki lagi dicoba, Allah paring nugraha Jawa Contoh lain dilihat pada lampiran nomor (3, 7, 11, 22, 37, 39, 41, 43, 45, 47) 3.2 Wujud Tuturan TKRPG di DIY Tulisan yang terpampang pada TKRPG di DIY berupa kalimat. Banyak data berupa kalimat yang mengalami pelesapan unsur/konstituennya. Untuk mengetahui makna kalimat secara utuh/lengkap, unsur yang lesap dihadirkan. Agar keterbacaan data lebih mudah, data dikelompokkan menurut penggunaan bahasa, yaitu bahasa (a) Indonesia; (b) Ingonesia, Jawa; (c) Jawa, Indonesia; (d) Inggris. Indonesia; dan (e) Jawa, seperti pada tabel berikut. PROSIDING 323 Tabel 2. Wujud TKRPG di DIY No. 1 2 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 324 DATA Kelompok A AYO YOGYA BANGKIT YOGYA …AYO BANGKIT !!! STOP ! Korban Gempa Bukan Barang Jaminan Hutang Luar Negeri DENGAN BANTUAN DAN PARTISIPASI ANDA DALAM MEMBAYAR PAJAK HOTEL DAN RESTORAN AKAN MEMBANTU PEMULIHAN KOTA YOGYA SETELAH TERKENA GEMPA BADAI PASTI BERLALU BETAPAPUN DERITANYA… JANGAN JUAL AQIDAH KITA “YA ALLAH” Beri Kami Kekuatan untuk Segera Membangun Mari kita bekerja kembali untuk berkarya yang terbaik Bertindak Cepat Untuk Rakyat…Pasti!!! Berbagi Rejeki, Membangun Kembali Melalui Program Rehabilitasi Gempa 27 Mei biarlah berlalu MARI KITA KEMBALI GIAT MEMBANGUN, BERKARYA YG TERBAIK Gempa Menggugah Nurani, menebar Peduli Mari Kita jaga Keamanan Guna Membangun Kota Yogya JANGAN JADIKAN BENCANA GEMPA INI UNTUK MENAMBAH HUTANG NEGARA DIGEMBLENG HANCUR LEBUR… BANGKIT KEMBALI BENTUK LENGKAP Kami mengajak masyarakat Yogya agar bangkit dari kondisi terpuruk akibat gempa. stop ! Korban gempa bukan dijadikan barang jaminan hutang luar negeri Bantuan dan partisipasi Anda dalam membayar pajak hotel dan restoran akan membantu pemulihan kota Yogya setelah terkena gempa Betapapun kita menderita, jangan jual aqidah kita. Kami bertindak cepat untuk rakyat…Pasti!!! Mari kita berbagi rejeki untuk membangun kembali melalui Program Rehabilitasi Walaupun kita digembleng hancur lebur, kita bangkit kembali PROSIDING 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 MARI BEKERJA GIAT, BERKARYA YANG TERBAIK DUKAMU DUKAKU MARI KITA BERSATU Bersama Kesulitan Ada Kemudahan Mari kita bekerja giat dan berkarya yang terbaik Dukamu ialah dukaku. Mari kita bersatu Jika kita bersama (berada) dalam kesulitan, (disitu) juga ada kemudahan. DENGAN SHOLAT DAN BERSABAR KAU AKAN MEMPEROLEH KEMENANGAN DAERAH GEMPA BUKAN DAERAH Kami beritahukan bahwa daerah WISATA gempa bukan merupakan daerah wisata. BERSAMA KOPERASI KITA BANGKITKAN KEMBALI EKONOMI YOGYA PASCA GEMPA Bangkitlah Yogya… Bangkitlah Yogya… Pasti Esok Hari Akan Lebih Baik Pasti esok hari Yogya akan lebih baik. BANGKITLAH YOGYA… Bangkitlah Yogya… Menuju hari esok yang lebih baik Kita menuju hari esok yang lebih baik TERIMA KASIH atas Peran Aktif dalam Membantu Korban Gempa Yogya JOGJAKU BANGKIT Mari bergandengan tangan kita membangun bersama GEMPA BAGAIKAN KOMPOR Gempa bagaikan kompor menyala. MENYALA Gempa mematangkan mental baja MATANGKAN MENTAL BAJA Pantang menyerah, maju bareng Kita pantang menyerah. Kita maju bareng. Kita membangun Yogya. BANGUN YOGYA… MAJU BERSAMA Kita maju bersama untuk memulihkan keadaan. PULIHKAN KEADAAN… PULIHKAN JOGJA KITA KAMI TIDAK BUTUH DITONTON TAPI BUTUH DIBANTU NIKMATI LEZATNYA Kita nikmati lezatnya kepedulian. KEPEDULIAN YANG MENGKORUPSI DANA Orang (siapa saja) yang GEMPA mengkorupsi dana gempa, dia akan sengsara 7 turunan. SENGSARA 7 TURUNAN PROSIDING 325 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 326 Hentikan DUKAMU SOBATKU ….. KASIH BAGI KORBAN GEMPA Sesudah kesulitan ada kemudahan Ayo bangkit mandiri Kelompok B (Indonesia, Jawa) BANGKIT KEMBALI, guyub rukun, gotong royong Kelompok C (Jawa, Indonesia) Yo ayo…aja nglokro, semangat bangkit Otot kawat balung wesi Kita pantang lemah nurani Semoga Tuhan memberi kasih bagi korban gempa Ketahuilah bahwa sesudah kesulitan, ada kemudahan. Ayo bangkit untuk mandiri. Mari kita bangkit kembali. Mari kita guyub rukun. Mari kita bergotong royong. Yo ayo…kita aja nglokro, kita semangat untuk bangkit Otot kawat balung wesi(pantun) Kelompok D (Inggris, Indonesia) YOGYA FOR BETTER LIVE Bangkitlah Kelompok E (Jawa) Saiyeg Saekoproyo ‘gotong royong’ Ojo podo nelongso Kuwi kabeh soko sing Kuwoso Ayo wiwit ditoto Sepi ing pamrih, rame ing gawe Yen to saiki lagi dicobo Allah Paring Nugroho Maling mlebu, mati ngenggon Rawe-rawe rantas, malang-malang putung Aja susah kena musibah Ayo gumregah Golong gilig gumregah noto omah Kita kudu saiyeg saekapraya. Aja padha nelangsa Kuwi kabeh pacoban saka sing Kuwasa Ayo wiwit ditata Luwih becih kita sepi ing pamrih, ananging rame ing gawe. Yen ta saik ikita lagi dicoba, kuwi Allah paring nugroho. Yen ana maling mlebu, dheweke mati ngenggon. Ayo kita golong gilig gumregah kanggo nata omah Holobis kontul baris Ojo pijer nangis PROSIDING 3.3 Konteks Tutur pada TKRPG di DIY Berdasarkan pengamatan yang berlandaskan pada kerangka pendekatan pragmatik, dapat dijelaskan tindak tutur dari TKRPG di DIY yang memiliki komponen tutur dan situasi tutur sebagai berikut. a. Pewicara Pewicara TKRPG di DIY ialah pembuat atau penerbit TKRPG, yang dapat secara eksplisit (nyata) dan tersembunyi. Pewicara yang tersembunyi, maksudnya identitas pembuat TKRPG di DIY, tidak tampak atau tidak tertulis di kain rentang yang bersangkutan. Pewicara yang eksplisit pada kain rentang dapat dilihat pada contoh berikut. (5) DUKAMU DUKAKU MARI KITA BERSATU Bernas Data (5) di atas menunjukkan bahwa yang menjadi pewicara ialah Bernas sebagai penerbit/pemasang kain rentang, dengan tuturan Dukamu Dukaku, Mari Kita Bersatu. Nama Bernas mempunyai referen sebuah media cetak koran harian (Berita Nasional) di Yogyakarta. Dari data ditemukan pewicara yang eksplisit dengan nama sebagai berikut: (a) Yogya, (b) Bernas, (c) Peduli gempa, (d) Polres Yogyakarta, (e) Toko Arloji Gunung Mas, (f) Solidaritas rakyat Yogya, (g) Jemaah Syamsu Rizal, (h) DPPP Golkar, (i) Posko Peduli Kemanusiaan DPPP Golkar, (j) PKPU Lir-ilir Yogyaku, (k) Polres Yogya, (l) Gerakan Yogya bangkit, (n) ACT (aksi cepat tanggap), (o) Elnusa peduli, (p) PKPRI, (q) Java Tourism. b. Mitra Wicara Mitra wicara TKRPG di DIY ialah pembaca kain rentang. Mitra wicara TKRPG dapat dipilah menjadi tiga kelompok, yaitu (a) masyarakat yang terkena gempa, (b) masyarakat luar DIY yang peduli gempa, dan (c) pemerintah. c. Situasi Tutur Kain rentang TKRPG ini dipasang untuk dikomunikasikan kepada masyarakat pada waktu setelah gempa pertama terjadi. Pemasangan kain rentang tersebut tidak bersamaan. Rentang waktu dipajangnya juga tidak sama. Ada yang terpampang lama berminggu-minggu atau berbulan-bulan; tetapi ada yang terpampang beberapa hari saja. Kain rentang tersebut dipasang di pinggir jalan raya, di pojok-pojok kampung atau desa, di gapura-gapura, di depan perkantoran, dan di pohon-pohon. Yang jelas, dipasang di lokasi yang strategis dan mudah dibaca masyarakat. PROSIDING 327 3.4 Tindak Tutur pada TKRPG di DIY Berdasarkan penjelasan Baryadi (2012:8-9), dikatakan bahwa tindak tutur itu diungkapkan dalam kata kerja, yang disebut “kata kerja mengatakan”. Selanjutnya, diungkapkan oleh Baryadi (2012:9-12) bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat 219 jenis tindak tutur yang diungkapkan oleh kata kerja. Dari data yang diperoleh, tindak tutur pada TKRPG di DIY dapat diklasifikasikan menjadi tujuh macam, yaitu (a) mengajak/ajakan, (b) memohon/ permohonan, (c) menghibur, (d) menyemangati, (e) menasihati/nasehat, (f) menolak/penolakan, dan (g) mengancam/ancaman. Penjelasan dan contoh ketujuh macam tindak tutur tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3. Jenis Tindak Tutur pada TKRPG di DIY NO. TINDAK TUTUR PEWICARA MITRA WICARA CONTOH Polres Yogyakarta masyarakat yang melewati perempatan Korem dan membaca kain rentang tersebut Mari kita jaga keamanan guna membangun kota Yogya kalimat imperatif permohonan verba beri Warga Yogya Tuhan Allah “Ya Allah” Beri kami kekuatan untuk segera membangun. menghibur Frasa verbal pasti berlalu Toko Arloji Gunung Mas masyarakat yang terkena gempa yang melewati jembatan Kewek serta jalan Banguntapan dan membacanya Badai pasti berlalu Menyemangati verba menyala dan frasa mental baja Warga Gambiran, Yogyakarta Masyarakat yang terkena gempa yang melewati Gambiran dan membacanya Gempa bagaikan kompor menyala, matangkan mental baja. 1. Mengajak (ajakan) 2. Memohon (permohonan) 3. 4. 328 PENANDA LINGUAL mari PROSIDING 5. Menasihati kalimat yang bersangkutan Warga Yogya Masyarakat yang terkena gempa yang melewati jalan Adi Sucipto km 8 dan membacanya Dengan sholat dan bersabar kau akan memperoleh kemenangan 6 Menolak (penolakan) kata jangan BEM UGM Pemerintah 7 Mengancam (ancaman) kalimat yang bersangkutan Jangan jadikan bencana gempa ini untuk menambah hutang negara Yang mengkorupsi dana gempa, sengsara 7 turunan orang/ kelompok yang melakukan korupsi terhadap dana gempa Tindak tutur ajakan dengan contoh (1 pada Tabel 3) dapat dijelaskan sebagai berikut. Tuturan tersebut terjadi pada peristiwa tutur dalam situasi pasca gempa di Perempatan Korem Yogyakarta. Pewicara (Polres Yogyakarta) mengajak mitra tuturnya (masyarakat yang melewati perempatan Korem dan membaca kain rentang tersebut) untuk menjaga keamanan dan membangun Kota Yogyakarta. Dengan tuturan Mari kita jaga keamanan guna membangun kota Yogya, secara lengkap memiliki maksud sebagai berikut. “Kami ingin mengajak Anda (masyarakat yang melewati perempatan Korem dan membaca kain rentang tersebut) untuk menjaga keamanan guna membangun Kota Yogyakarta yang rusak karena gempa.” Tindak tutur permohonan dengan contoh (2 pada Tabel 3) dapat dijelaskan sebagai berikut. Tuturan tersebut terjadi pada peristiwa tutur dalam situasi pasca gempa di stadion Kridosono Yogyakarta. Pewicara (tidak eksplisit tertulis) memohon Tuhan Allah untuk memberikan kekuatan kepada hamba-Nya yang terkena musibah gempa. Dengan tuturan “Ya Allah”, Beri kami kekuatan untuk segera membangun , secara lengkap memiliki maksud sebagai berikut. “Kami memohon kepada Allah untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat yang setelah terkena gempa agar dapat segera membangun Kota Yogyakarta yang rusak karena gempa.” Tindak tutur menghibur dengan contoh (3 pada Tabel 3) dapat dijelaskan sebagai berikut. Tuturan tersebut terjadi pada peristiwa tutur yang dipasang pada dua lokasi, yaitu di jembatan Kewek Kali Code, Yogyakarta dan di daerah Banguntapan, Bantul. Pewicara (Toko Arloji Gunung Mas) menghibur PROSIDING 329 mitra tuturnya (masyarakat yang terkena gempa yang melewati jembatan Kewek serta jalan Banguntapan dan membaca kain rentang tersebut) agar tidak larut dalam kesedihan akibat gempa. Dengan tuturan Badai pasti berlalu, secara lengkap memiliki maksud sebagai berikut. “Kami ingin menghibur Anda (masyarakat yang terkena gempa yang melewati jembatan Kewek serta jalan Banguntapan dan membaca kain rentang tersebut) agar tidak larut dalam kesedihan akibat gempa. Artinya bahwa kesedihan itu pasti akan berlalu” Tindak tutur menyemangati dengan contoh (4 pada Tabel 3) dapat dijelaskan sebagai berikut. Tuturan tersebut terjadi pada peristiwa tutur dengan lokasi di perempatan Gambiran, Yogyakarta. Pewicara (Warga kampung Gambiran) menyemangati mitra tuturnya (masyarakat yang melewati perempatan perempatan Gambiran, Yogyakarta, dan membaca kain rentang tersebut) agar bersemangat. Dengan tuturan Gempa bagaikan kompor menyala, matangkan mental baja secara lengkap memiliki maksud sebagai berikut. “Kami ingin menyemangati Anda (masyarakat yang melewati perempatan Gambiran dan membaca kain rentang tersebut) untuk bersemangat dengan mental baja dalam menghadapi kehidupan pasca gempa.” Tindak tutur menasihati dengan contoh (5 pada Tabel 3) dapat dijelaskan sebagai berikut. Tuturan tersebut terjadi pada peristiwa tutur yang berlokasi di jalan Adi Sucipto km 8, Yogyakarta. Pewicara (atas nama warga Yogya) menasihat mitra wicara (masyarakat yang melewati jalan Adi Sicipto, km 8 dan membaca kain rentang tersebut) untuk bersabar dan salat. Dengan tuturan Dengan sholat dan bersabar kau akan memperoleh kemenangan secara lengkap memiliki maksud sebagai berikut. “Kami ingin menasihati Anda (masyarakat yang melewati jalan Adi Sicipto, km 8 dan membaca kain rentang tersebut) untuk tetap bersabar dan selalu melakukan salat. Dengan begitu, Anda akan memperoleh kemenangan lahir batin nantinya.” Tindak tutur menolak dengan contoh (6 pada Tabel 3) dapat dijelaskan sebagai berikut. Tuturan tersebut terjadi pada peristiwa tutur yang berlokasi di Bundaran UGM, Yogyakarta. Pewicara (atas nama Warga Yogya) menolak mitra wicara (pemerintah dan pihak yang bekompeten) jika bencana gempa ini digunakan untuk menambah hutang negara. Dengan tuturan Jangan jadikan bencana gempa ini untuk menambah hutang negara secara lengkap memiliki maksud sebagai berikut. “Kami ingin menolak Anda (pemerintah dan pihak yang berkompeten dan membaca kain rentang tersebut) agar gempa ini tidak dunakan sebagai alasan untuk menambah hutang negara.” 330 PROSIDING Tindak tutur mengancam dengan contoh (7 pada Tabel 3) dapat dijelaskan sebagai berikut. Tuturan tersebut terjadi pada peristiwa tutur yang berlokasi di perempatan SGM. Pewicara mengancam mitra wicara, yaitu masyarakat yang melewati perempatan SGM untuk tidak mengorupsi dana gempa. Dengan tuturan Yang mengkorupsi dana gempa, sengsara 7 turunan secara lengkap memiliki maksud sebagai berikut. “Kami ingin mengancam Anda (masyarakat yang melewati perempatan SGM dan membaca kain rentang tersebut) akan mengalami kesengsaraan 7 turunan jika melakukan korupsi terhadap dan gempa.” 4. Simpulan Dari uraian tentang TKRPG di DIY, dalam tulisan ini, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. (1) Kajian terhadap TKRPG di DIY memerlukan kajian secara sosiopragmatis untuk dapat mengungkapkan siratan makna pada peristiwa verbalnya. Berkaitan dengan itu, kajian ini perlu dilakukan. (2) Dari pengumpulan data diperoleh empat puluh delapan kain rentang yang dipasang di beberapa tempat. (3) Bahasa yang digunakan pada TKRPG di DIY bermacam-macam (yaitu bahasa Indonesia, Jawa, dan Inggris), yang dapat dilihat pada Tabel 1. (4) Tataran bahasa yang digunakan pada TKRPG di DIY berupa kalimat. Ada beberapa kalimat yang mengalami pelesapan unsur. Unsur yang lesap dapat dihadirkan kembali (lihat pada Tabel 2). (5) Konteks tutur pada TKRPG di DIY meliputi (a) pewicara, yaitu pembuat atau penerbit TKRPG; (b) mitra wicara, yaitu pembaca kain rentang, yang dapat dipilah menjadi tiga kelompok, yaitu (i) masyarakat yang terkena gempa; (ii) masyarakat luar DIY yang peduli gempa, dan (iii) pemerintah; dan (c) latar sosial, yaitu tempat dipasangnya TKRPG. (6) Tindak tutur yang terkandung pada TKRPG di DIY berimplikasi mengajak (ajakan), memohon (permohonan), menghibur, menyemangati, menasihati, menolak (penolakan), dan mengancam (ancaman). (7) Dengan pembahasan ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat tentang bentuk dan ragam bahasa kain rentang, Dalam hal ini, bahasa pada kain rentang itu digunakan sebagai sarana komunikasi yang efektif untuk memberi dukungan moral atas terjadinya bencana. Bentuk bahasa itu dimungkinkan sebagai suatu model dukungan dalam pencapaian cita-cita atau harapan masyarakat. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapan itu banyak dipasang di berbagai tempat. Melalui bahasa pada media kain rentang itu, suara dan harapan dari masyarakat yang terkena musibah dapat tersalurkan dan tersampaikan. PROSIDING 331 Daftar Pustaka Austin, J.L. 1962. How to DO THINGS with WORDS. J.O. Urmson (Ed.) New York: Oxford University Press. Searle, John R. 1969. Speech Act: An Eassay in The Philosophy of Language. Cambridge: Cambridge University Press Baryadi, I. Praptomo. 2002. Dasar-Dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli. __________________. 2012. Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma Ibrahim, Abdul Syukur. 2000. Kajian Tindak Tutur. (Terjemahan). Surabaya: Usaha Nasional. Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. New York: Longman Group Limited. Levinson, Stephen C. 1991. Pragmatics. (Cetakan ke-6). Cambridge: Cambridge University Press. Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkasa. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset. _____________. 2002. “Wacana dalam Sudut Pandang Struktural, Pragmatik, dan Sosiolinguistik”. Yogyakarta: Balai Bahasa. _____________. 1997. “Lingustik, Sosiolinguistik, dan Pragmatik”. Yogyakarta: Balai Penelitian bahasa. Zamzani. 2007. Kajian Sosiopragmatik. Yogyakarta: Cipta Pustaka 332 PROSIDING KATA SAPAAN KARENA IKATAN PERNIKAHAN SEBAGAI IDENTITAS RUKUT SITELU DALAM KERJA ADAT KALAK KARO Yune Andryani Pinem Sekolah Tinggi Kedirgantaraan Yogyakarta pos-el: j.andryani@yahoo.com Inti Sari Sistem tutur sapa selain bersifat universal yaitu memiliki kesamaan antara satu bahasa dengan yang lain, juga memiliki karakteristik unik pada masing-masing bahasa yang membedakannya dengan bahasa lain. Sapaan pada umumnya ditentukan oleh faktor non-kebahasaan dalam interaksi sosial di sebuah komunitas, sehingga berbeda tempat, situasi dan hubungan akan membuat perbedaan dalam sapaan. Penelitian ini bertujuan untuk menjabarkan kata sapaan Kalak Karo yang ditetapkan oleh ikatan pernikahan sebagai identitas rukut sitelu yakni sembuyak, kalimbubu dan anak beru dalam kerja adat. Menggunakan metode studi pustaka dan intuisi penulis sebagai penutur asli, penelitian yang merupakan kajian komponen makna dan antrolinguistik ini menemukan bahwa kata sapaan akibat ikatan pernikahan pada Kalak Karo bersifat tidak dapat dipertukarkan disebabkan oleh tanggungjawab yang terkandung dalam sapaan tersebut. Selain itu, tanggungjawab yang dimaksud menggambarkan posisi seorang perempuan Karo sebagai yang berharga sekaligus tidak berharga dalam adat Karo. Kata kunci: sapaan, pernikahan, rukut sitelu, sembuyak, kalimbubu, anak beru Abstract Address system is universal as well as unique. It can represent general similarity among languages, yet specific in character which differenciate one from others. Non-linguistics factors such as place, situation and relationship are reasons in determining address in a community. This research is to explore address among Karonese determined by marital relationship. Such relationship is a reflection of rukut sitelu (sembuyak, kalimbubu and anak beru) in custom events. Methos of this research is library study and using researcher’s intuition PROSIDING 333 as a Karonese. This semantics and antrolinguistics study finds address because of marital relationship among Karonese is non-interchangeable since with this relationship comes responsiblitiy in performing custom events. It also shows the value of a daughter inside Karonese family, which is worth as well as worthless. Key word: address, marital relationship, rukut sitelu, sembuyak, kalimbubu, anak beru 1. Pendahuluan Semua bahasa pastinya memiliki sistem tutur sapa, yang didefinisikan oleh Kridalaksana (1974:14) sebagai sistem yang mempertautkan seperangkat kata-kata atau ungkapan yang dipakai untuk menyapa pada pelaku dalam suatu peristiwa. Kata sapaan pada masing-masing bahasa memiliki keunikan mengingat bahwa selain bersifat universal yakni berbagi karakteristik umum yang sama, bahasa juga memiliki sifat khas yang spesifik dan tidak dimiliki oleh bahasa lain (Chaer, 2012:51-53). Oleh karena itu, sistem sapaan pada bahasa tertentu berbeda dengan bahasa yang lain di mana pembedanya terletak pada aspek sosiokultural pada setiap masyarakat penggunanya (Crystal, 2008:10). Memahami penggunaan kata sapaan Kalak Karo yang bersifat frozen atau beku dan uninterchangeable atau tidak dapat dipertukarkan, bukanlah tanpa maksud dan ditetapkan secara sembarangan. Masing-masing sapaan sangat menentukan untuk memetakan posisi dalam kerja adat, kaitannya dengan kedudukan dan fungsi orang Karo (Kalak Karo) sesuai identitasnya dalam Rukut Sitelu. Dalam ikatan kekeluargaan akibat pernikahan pada adat Karo, kemunculan kata sapaan bersifat unik dan tidak sama dengan yang ada pada suku adat lain. Sebagai contoh dapat dilihat dari panggilan seorang menantu perempuan terhadap mertuanya yakni bengkila (mertua laki-laki) dan bibi (mertua perempuan). Akan berbeda maknanya jika seorang menantu laki-laki memanggil bengkila dan bibi karena sapaan tersebut akan merujuk pada orang yang berbeda. Oleh sebab itu, seorang menantu laki-laki Karo akan memanggil mertuanya dengan panggilan mama (mertua laki-laki) dan mami (mertua perempuan). Melalui penelitian ini, akan dijabarkan apa saja kata sapaan dalam bahasa Karo yang muncul akibat ikatan pernikahan dipandang dari tanggung jawab yang terkandung di dalamnya. Tanggung jawab tersebut terkait identitas Kalak Karo yang memegang teguh kebudayaan dalam kerja adat rukut sitelu (sembuyak, kalimbubu dan anak beru). Untuk itu, yang menjadi masalah dalam kajian ini ialah apa saja kata sapaan yang ada dalam bahasa Karo akibat 334 PROSIDING pernikahan dan mengapa kata sapaan yang ada dalam bahasa Karo akibat pernikahan tidak dapat dipertukarkan. Bertolak dari permasalahan tersebut, yang menjadi tujuan dalam penelitian ini ialah mendeskripsikan (1) kata sapaan bahasa Karo sebagai akibat pernikahan dan (2) jawaban mengapa kata sapaan itu tidak dapat dipertukarkan 2. Landasan Teori Yang dimaksud sapaan atau address (Kridalaksana, 1983:147) adalah morfem, kata atau frase yang dipergunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan dan yang berbeda-beda menurut sifat hubungan antara pembicara itu dan dibedakan dengan istilah kekerabatan (term of reference) yang merujuk pada hubungan kekerabatan, misalnya saudara yang lebih tua atau saudara laki-laki dari ibu, dan sebagainya (Sumarsono dan Partana, 2007:63). Faktor nonkebahasaan tidak dapat dilepaskan dalam penentuan pilihan bentuk linguistik dalam suatu interaksi yang didasarkan pada hubungan antara pembicara dan mitra bicara berdasarkan asas relasional (Brown dan Ford, 1972:128). Pola sapaan yang dibedakan menurut Tripp (1969:24), tidak dapat dilepaskan dari faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor itu ialah (1) faktor usia dewasa dan anak-anak dibedakan dengan batasan; 16 tahun ke atas dianggap sebagai dewasa dan 16 tahun ke bawah anak-anak. (2) Faktor situasi yang melatarbelakangi pertuturan (status mark situation) seperti tempat persidangan, ruang kuliah atau lembaga perwakilan rakyat. Tempat yang sangat menentukan pemilihan sapaan yang digunakan sebagai contoh: sapaan kepada hakim dengan menggunakan kata-kata ‘Yang Mulia’ (your honour). (3) Faktor hubungan kekerabatan (kindship) teman atau kolega juga ikut menentukan pilihan sapaan. (4) Faktor pangkat (rank) mengacu pada hierarki dalam kelompok kerja atau status pangkat dalam pekerjaan (ranked status) seperti pilihan sapaan murid kepada guru (teacher-pupil). (5) Faktor rangkaian identitas (identity set) adalah gelar tertentu seperti profesor, hakim, dan dokter (professor, judge, dan doctor). Aspek sosiokultural yang menjadikan keunikan pada kata sapaan Cakap Karo ‘bahasa Karo’ dilatarbelakangi oleh dasar peradatan Kalak Karo yang dikenal dengan Sangkep Nggeluh yang membawa dan menopang permusyawaratan dan perkumpulan pada masing-masing rumah tangga, kelompok maupun di sebuah kampung. Sangkep Nggeluh diartikan bahwa sudah tepat bagiannya, tidak ada yang kurang dan tidak ada yang lebih sebagaimana digambarkan Sangkep Jabu (jabu = keluarga) dalam keluarga yang sudah memiliki anak lakilaki maupun anak perempuan. PROSIDING 335 Dasar ini sangat penting dalam perjalanan hidup sehari-hari Kalak Karo yang pastinya membutuhkan aturan hidup, baik dalam menentukan perilaku, melakukan pekerjaan, maupun hal-hal yang harus dilakukan seseorang terhadap yang lain dan yang dia butuhkan dalam hidupnya. Dengan demikian, akan selalu ada jalan dan tempat untuk berdiskusi, berkelompok, melakukan pekerjaan pada masing-masing keluarga, maupun pekerjaan yang dianggap bermanfaat bagi kepentingan semua anggota Kuta ‘kampung’. Oleh karena itu, Sangkep Nggeluh dapat dikatakan sebagai pengikat dalam kelompok besar yang mengharuskan mereka untuk saling tolong-menolong dan saling menyayangi (Sitepu, 1993:83). Yang tidak dapat dilepaskan dari dasar peradatan ini adalah keberadaan Merga Silima (Panca Marga) sebagai nama klan (family name) yang diturunkan oleh orang tua laki-laki kepada anak laki-lakinya sebagai merga dan kepada anak perempuannya sebagai beru. Selanjutnya, beru orang tua perempuan diwariskan sebagai bere-bere untuk anak laki-laki dan perempuan sehingga Daut Sembiring yang beristrikan Revina br. Perangin-Angin akan memberikan nama untuk anak laki-laki mereka Joas (Merga) Sembiring bere-bere Perangin-angin dan anak perempuan mereka Natasha beru Sembiring bere-bere Perangin-angin. Demikian pemberian nama keluarga ini terjadi turun-temurun dari orang tua kepada anak dan cucu sampai dengan saat ini. Lima merga yang dimaksud merupakan lima bagian besar, antara lain, Karo-Karo, Tarigan, Ginting, Sembiring, dan Perangin-angin, dengan lebih dari sepuluh submerga untuk masingmasingnya. Keberadaan merga ini membantu kalak Karo dalam ertutur (perkenalan), kegiatan percakapan yang menanyakan merga dan bere-bere seseorang untuk mengetahui jauh-dekat kekerabatan seseorang dengan yang lain atau satu keluarga dengan yang lain (Perangin-Angin, 2004:131). Perkenalan ini dibagi menjadi dua jenis yaitu tutur sindauh dan tutur sindeher yang mana seorang kalak karo dengan yang lain saling bertanya untuk mengetahui silsilah kekeluargaan (shared family system) atau istilah kekerabatan yang mungkin mereka miliki bersama dirunut dari merga yang dimiliki. Perkenalan ini sangat penting untuk menemukan posisi dan panggilan untuk setiap orang dalam hubungannya dengan yang lain oleh karena ertutur adalah bentuk manifestasi dari suatu tanggung jawab terhadap penyelenggaraan adat Karo, sekaligus mencerminkan kebanggaan terhadap identitas diri suatu suku bangsa (Sitepu, 2007:7). Hubungan kekeluargaan (perkade-kaden) ini dapat menentukan apakah seseorang akan memanggil turang (bersaudara oleh karena berbagi marga yang sama bagi mereka yang tidak sama jenis kelamin seperti seorang laki-laki merga Tarigan dengan seorang perempuan beru Tarigan) atau senina (bersau- 336 PROSIDING dara oleh karena berbagi merga yang sama dengan jenis kelamin yang berbeda seperti dua orang laki-laki ber-merga Ginting) meskipun mereka tidak memiliki ikatan darah langsung. Inilah yang dikenal dengan tutur sindauh. Melalui pertuturen (kegiatan melakukan tutur), seorang kalak Karo juga bisa mendapatkan jodoh karena setiap merga dan sub-merga yang ada di dalamnya dapat mengambil istri dari merga yang lain termasuk sub-merga di dalamnya. Misalnya, seorang laki-laki dengan merga Tarigan dapat mengambil istri dari beru Karo-karo, Ginting, Sembiring dan Perangin-angin. Dari ikatan pernikahan inilah terwujud perkade-kaden karena tumbuk (pernikahan). Inilah yang disebut dengan tutur sindeher. Sistem pernikahan ini tidak hanya berlaku pada pasangan yang keduanya adalah Balak Karo, tetapi juga pada pasangan campur terutama yang laki-lakinya bukan orang Karo dengan seorang perempuan Karo. Untuk pasangan campur semacam ini akan dilakukan adat untuk memberi merga bagi laki-laki yang bukan orang Karo dengan diadakannya orang tua angkat baginya. Dengan demikian, peradatan Karo tetap berlaku dalam pernikahan campur tersebut. Selanjutnya, penjelasan mengenai rukut sitelu dapat digambarkan lebih luas melalui telu (tiga) kelompok adat antara lain sembuyak, kalimbubu, dan anak beru. Yang dimaksud dengan Sembuyak adalah sukut (pokok) saudara satu rahim dengan satu orang tua laki-laki dan satu orang tua perempuan, sementara Senina adalah mereka dengan ikatan sada ninina (satu nenek) karena orang tua mereka Sembuyak. Belakangan senina juga termasuk mereka yang memiliki merga yang sama (sesama laki-laki). Selanjutnya, kalimbubu adalah sebutan pihak si pemberi istri yaitu keluarga istri termasuk orang tuanya dan keluarga besar bapaknya. Yang terakhir adalah anak beru yaitu pihak si penerima istri termasuk orang tuanya dan keluarga besar bapaknya (Sitepu, 1993:84-85; Limbeng, 1995:6-8; Prinst, 2002:496). Pada kajian ini, kata sapaan yang difokuskan adalah hasil dari tutur sindeher yaitu akibat tumbuk (pernikahan), yang selanjutnya dari sistem ambil mengambil istri muncul tutur kekeluargaan Rukut Sitelu dalam kerja adat yaitu Sembuyak/Senina, Kalimbubu, dan Anak Beru. Dalam kajian ini digunakan metode studi pustaka. Berdasarkan intutisi peneliti sebagai penutur bahasa Karo, kajian ini menelaah kata sapaan menggunakan metode analisis komponen makna pada masing-masing kata dan menjabarkannya lebih lanjut faktor-faktor nonkebahasaan yang melatari penggunaan kata tersebut dalam komunitas Karo. 3. Kata Sapaan dalam Rukut Sitelu Kata sapaan yang muncul dalam rukut sitelu dapat dikategorikan sebagai berikut. PROSIDING 337 3.1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Semua yang termasuk dalam sembuyak/senina yaitu: kaka/abang (kakak) dibagi berdasarkan usia – siapa yang lebih tua, kaka/abang nguda (kakak muda), kaka/abang tengah (kakak tengah), kaka/abang tua (kakak tua), agi (adik), bapa (bapak), bapa nguda, bapa tengah, bapa tua, nini (nenek), nini bulang (kakek), nini tudung (nenek) atau sebutan yang dipanggil dari beru-nya misal Tigan untuk yang beru Tarigan, Karo untuk yang beru Karo-Karo, Biring untuk yang beru Sembiring dan seterusnya. 3.2 Sapaan untuk mereka yang masuk kelompok kalimbubu si pemberi istri, antara lain, 1. silih (ipar laki-laki), 2. turangku (istri ipar laki-laki), 3. mama (mertua laki-laki) dan saudara laki-lakinya berdasarkan umur dipanggil mama nguda, mama tengah dan mama tua, mami (mertua perempuan), 4. istri dari saudara laki-laki mertua laki-laki berdasarkan umur dipanggil mami nguda, mami tengah dan mami tua, 5. permen (anak silih untuk yang laki-laki maupun yang perempuan) yang kesemuanya berorientasi pada semua laki-laki dari pihak pemberi istri. 3.3 Kata sapaan bagi mereka yang ada dalam kelompok anak beru si penerima istri adalah 1. silih (ipar laki-laki), 2. bengkila (mertua laki-laki), 3. bibi (mertua perempuan), termasuk bibi nguda, bibi tengah dan bibi tua, 4. menantu laki-laki yang disebut kela yang semuanya berpusat pada semua perempuan dari pihak penerima istri. 3.4 Penjelasan tentang Anak Beru dan Kalimbubu akibat Tumbuk atau Pernikahan dapat Dirinci sebagai Berikut. Anak Beru: Anak perempuan dan suaminya (anak diberu dan kela), saudari perempuan dari anak perempuan (kaka tua, kaka tengah, kaka uda dan agi- adik 338 PROSIDING sesuai urutan umur), orang tua suaminya (bengkila dan bibi), saudara-saudari dan ipar suaminya (abang ‘laki-laki’ dan eda ‘perempuan’), anak-anak yang lahir hari pernikahan anak perempuan dan suaminya (sukut) dan anak-anak hasil pernikahan saudara-saudari suaminya (permen), saudara-saudari orang tua suaminya (bibi tua, bibi tengah dan bibi uda) beserta seluruh keluarga mereka bahkan kakek nenek dari suaminya. Sekali lagi, kesemuanya berorientasi pada anak perempuan dan semua yang terkait padanya akibat tumbuk. Kalimbubu: Orang tua pihak perempuan (mama dan mami), saudara lakilaki pihak perempuan beserta istri dan anak-anaknya (silih, eda dan permen), saudara laki-laki orang tua laki-laki pihak perempuan (mama tua, mama tengah dan mama uda) beserta istri (mami tua, mami tengah dan mami uda) yakni paman dan bibi pihak perempuan beserta anak-anaknya. Demikian terlihat bahwa kalimbubu berorientasi pada laki-laki dari pihak anak perempuan. Dalam diagram berikut digambarkan posisi masing-masing orang sesuai nama panggilannya. 1. Mama Tua dan Mami Tua 2. Mama Tengah dan Mami Tengah 3. Mama Uda dan Mami Uda Mama dan Mami 1. Kaka Tua Silih dan Turangku EGO dan Kela 2. Kaka Tengah 3. Kaka uda Permen 4. Agi Diagram 1.1 Posisi Keluarga Pihak Pemberi Istri 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Istilah kekerabatan itu mencakupi mama ‘mertua laki-laki dari pihak perempuan’ mami ‘mertua perempuan dari pihak perempuan’ mama tua, mama ‘saudara laki-laki mertua laki-laki dari pihak tengah dan mama uda perempuan’ mami tua, mami tengah ‘ipar perempuan mertua laki-laki dari pihak dan mami uda perempuan’ ego ‘anak perempuan’ kela ‘menantu laki-laki’ silih ‘saudara laki-laki pihak perempuan’ PROSIDING 339 8. 9. eda permen ‘ipar perempuan pihak perempuan’ ‘anak saudara laki-laki pihak perempuan’ 1. Bibi Tua dan Bengkila 2. Bibi Tengah dan Bengkila 3. Bibi uda dan Bengkila Abang dan Eda Bengkila dan Bibi EGO dan Permen 1. Kaka Tua 2. Kaka Tengah 3. Kaka uda Anak 4. Agi Diagram 1.2 Posisi Keluarga Pihak Penerima Istri Istilah kekerabatan itu bengkila bibi bibi tua, bibi tengah dan bibi uda 4. bengkila laki 5. ego 6. permen 7. kaka tua, kaka tengah kaka uda dan agi 8. eda 9. abang 10. anak 1. 2. 3. 340 mencakupi ‘mertua laki-laki dari pihak laki-laki’ ‘mertua perempuan dari pihak laki-laki’ ‘saudara perempuan mertua laki-laki dari pihak laki-laki’ ‘ipar laki-laki mertua laki-laki dari pihak laki‘anak laki-laki’ ‘menantu perempuan’ ‘saudara perempuan dari menantu perempuan’ ‘saudara perempuan dari pihak laki-laki’ ‘ipar laki-laki dari pihak laki-laki’ ‘anak saudara perempuan dari pihak laki-laki’ PROSIDING PROSIDING 3.5 Analisis Komponen Makna Kata Sapaan Akibat Ikatan Pernikahan Kalak Karo Dilihat dari Posisi dan Penggunaannya. 341 342 PROSIDING Melalui pengelompokan kata sapaan berdasarkan posisi dan penggunaannya ditemukan bahwa penggunaan kata sapaan kalak Karo yang timbul karena pernikahan seorang laki-laki dan seorang perempuan dibedakan berdasarkan posisi usia yang mana yang lebih tua dan yang mana yang lebih muda. Selain itu, penggolongan kata sapaan juga dibedakan berdasarkan jenis kelamin yakni perempuan dan laki-laki, dan posisi orang tersebut di dalam adat yakni sebagai pihak pemberi istri (kalimbubu) atau pihak penerima istri (anak beru). Akan tetapi dapat ditemukan pula penggunaan kata sapaan yang dibagi bersama antara pihak kalimbubu dan anak beru yakni kata sapaan yang merujuk kepada saudara laki-laki (abang) dan saudara perempuan (kaka) sekandung yang lebih tua dan adik (agi) yang merupakan saudara laki-laki maupun perempuan yang lebih muda. Selain dari penggunaan kata sapaan secara formal, ada pula ditemukan sapaan yang informal, antara lain, kata tua, tengah dan uda yang dapat digunakan pada semua kata sapaan jika merujuk pada pembedaan berdasarkan usia, serta sapaan mateng untuk menyebut mama tengah dan kila untuk menyebut bengkila dalam situasi informal. 3.6 Kerja Adat Karo Beranjak dari keeratan kalak karo akibat sistem pertuturan, dapat dipastikan jika setiap orang dalam suku ini memiliki keterikatan persaudaraan yang kuat dengan yang lain baik itu akibat tumbuk, maupun melalui runut silsilah merga sebagai bagian dari wujud budaya, identitas etnis. Sebutan seorang dengan yang lain, akan membantunya dalam penyelenggaraan sekurang-kurangnya sepuluh jenis kerja adat (Sitepu, 1993:132) yang sangat dekat dengan keseharian masyarakat Karo dimulai dari kelahiran sampai dengan kematian. Adapun beberapa kerja adat yang dimaksud, antara lain sebagai berikut. (1) Adat Anak ibas bertin yang dilakukan pada waktu anak masih di dalam kandungan agar jabang bayi dan ibunya selamat sampai masa kelahiran tiba. (2) Adat mbelin anak ipupus sebagai selamatan pada waktu seorang anak lahir ke dunia dalam keluarga kalak Karo. (3) Adat ngembah anak ku lau yang diselenggarakan sesudah anak berusia beberapa hari berupa kebiasaan membawanya ke lau (sungai) berkaitan dengan keyakinan turun temurun bahwa jika sesudah dimandikan di sungai dan si anak tidak bermasalah, maka itu adalah suatu keuntungan. (4) Erbahan gelar ras ngelengi bayang-bayang sebagai kegiatan adat yang dilakukan untuk memberi nama kepada anak yang baru lahir. (5) Adat njabuken bana yang dilakukan oleh kalak Karo yang siap untuk menikah dikarenakan sudah cukup umurnya atau telah memenuhi ketetapan adat untuk dapat melangsungkan pernikahan. PROSIDING 343 (6) Adat mereken bulang (pemberian bulang = penutup kepala untuk laki-laki) sebagai penghargaan atau menunjukkan kasih sayang anak yang telah mapan kepada orangtua laki-laki atau perempuan (mereken tudung; tudung = penutup kepala untuk perempuan) yang berusia 60 sampai dengan 65 tahun. (7) Adat mereken ciken yang didedikasikan untuk orangtua yang sudah lanjut usianya, dikarenakan kondisi tubuh yang dianggap tidak terlalu prima lagi dalam melakukan aktivitas sehingga membutuhkan ciken (tongkat). (8) Adat mereken nakan simalem-malem yang dianggap sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang bagi orangtua yang sudah sangat uzur antara 80 hingga 100 tahun, jika masih panjang umurnya, tetapi sudah terlalu lemah hingga tidak mampu lagi mengunyah makanannya sendiri. (9) Adat ibas kematen yakni adat yang dilakukan sebagai penghormatan terakhir bagi seseorang yang meninggal dunia dan sebagai penghiburan bagi keluarga yang berduka ditinggalkannya. (10) Adat ngukal tulan-tulan yang dilakukan keluarga sebagai pengingat bagi yang sudah meninggal yakni menggali kembali kuburan untuk merapikan tulan (tulang) dan dibuatkan pengingat simbolis berupa kuburan permanen atau yang lainnya. Selain dari kesepuluh kerja adat Karo yang telah disebutkan di atas, masih banyak kegiatan peradatan lain yang menjadi kekhasan budaya dan buah pemikiran Kalak Karo sebagai ciri yang tidak dapat dilepaskan dari karakteristik saling menyayangi dan saling menolong dalam kekeluargaan. Terlepas dari jenis-jenis kerja adat yang dimaksud, kekayaan budaya Karo yang tercermin melaluinya membutuhkan sumber daya manusia yang tidak sedikit. Masingmasing kerja adat diikuti dengan prosesi adat yang kompleks dan tanggung jawab yang besar bagi masing-masing pelaku dan pemangku adat yang bersangkutan sehingga tidak mungkin dilakukan sendirian. Kerumitan ini menyangkut penyediaan makanan untuk begitu banyak tamu dan keluarga yang diundang, sarana prasarana maupun prosesi yang menyangkut wacana yang harus disampaikan pada masing-masing kerja adat dan orang yang layak untuk menyampaikannya sesuai adat dan tujuan yang diinginkan. 3.7 Tanggung Jawab Rukut Sitelu dalam Kerja Adat Di sinilah peran rukut sitelu mengemuka sebagai pelaku dan pemangku adat sehingga setiap kerja adat yang dilaksanakan, dapat berjalan dengan lancar dan tujuan dapat dicapai. Tanggung jawab rukut sitelu (Sitepu, 1993:88-89) berdasarkan kata sapaan yang muncul akibat ikatan pernikahan, dapat dijabarkan sebagai berikut. 344 PROSIDING (1) Sembuyak/Senina mempunyai komponen berikut. a. Saling menyayangi, menolong, dan ajar-mengajari sesama sembuyak/ senina. b. Menjaga persatuan sesama saudara. c. Menjaga tingkah laku untuk menjaga martabat dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain. d. Rajin, sigap, dan bersatu dalam membantu pekerjaan Kalimbubu. e. Memberikan kehormatan kepada Kalimbubu dalam setiap kerja adat. (2) Kalimbubu mempunyai komponen berikut. a. Menunjukkan kasih sayang kepada Anak Beru. b. Memberikan restu dan doa, petuah dan ajaran yang baik sehingga Anak Beru mendapatkan kedamaian dan kesejahteraan. c. Mempersatukan Anak Beru jika ada yang sedang tidak cocok ataupun bersitegang. d. Memberikan pemenuhan kebutuhan kepada Anak Beru dapat berupa mata pencaharian ataupun yang dapat dipelihara, misalnya ayam, babi, kambing, lembu, maupun lahan untuk digarap. e. Memperhatikan Anak Beru, membawa, dan menata ke arah yang baik jika diketahui ada Anak Beru yang kedapatan berperilaku tidak baik. (3) Anak Beru mempunyai komponen berikut. a. Dalam posisinya setingkat sembuyak/senina, pekerjaan Anak Beru sama dengan yang telah disebutkan di atas. b. Mau dan rajin mengerjakan pekerjaan yang dibutuhkan maupun yang diminta oleh Kalimbubu. c. Harus mampu mengatur dan menata kerja adat Kalimbubu. d. Mau dan berani mewakili Kalimbubu meluruskan pemikiran orang yang tidak baik atas Kalimbubu. e. Mampu dan bersedia menjunjung tinggi kemuliaan Kalimbubu. f. Mengambil istri dari pihak Kalimbubu agar persaudaraan tidak terpisah. 3.8 Faktor Nonkebahasaan Penentu Penggunaan Kata Sapaan Akibat Tumbuk Dengan merujuk kepada tugas dan tanggung jawab masing-masing orang dalam rukut sitelu, dapat dipastikan bahwa masing-masing kata sapaan dalam sistem peradatan Kalak Karo, tidak dapat dipertukarkan, karena dibalik kata sapaan khususnya yang ditetapkan karena adat pernikahan, tersimpan tanggung jawab yang besar antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam kerja adat tumbuk (pernikahan) misalnya, seorang beru (anak perempuan) dan kela (menantu laki-laki) sebagai Anak Beru, akan PROSIDING 345 memasak di dapur untuk mempersiapkan makanan yang disajikan dalam pesta mama dan mami (mertua dari pihak istri), karena mereka disebut dengan Kalimbubu. Disisi lain, mama dan mami akan ditempatkan di tempat yang terhormat sehingga dapat dilayani dengan baik. Contoh lain, jika kedapatan bengkila dan bibi (keluarga dari pihak laki-laki) ada yang sedang tidak baik hubungannya, mama dan mami berkewajiban untuk merukunkan serta memberi nasihat. Sistem kerja semacam ini, berlaku tidak hanya antara Anak Beru dan Kalimbubu yang 1 lapis, yakni mertua, anak, dan menantu. Akan tetapi, hubungan Anak Beru dan Kalimbubu akibat tumbuk juga mencakup lapis atas hingga nini (nenek), oppung (buyut), dan lapis bawah ke anak, cucu dan seterusnya. Perihal sistem pemanggilan yang tidak dapat dipertukarkan, budaya Karo juga memiliki sistem peradatan yang disebut dengan Rebu yang tetap memegang sangkep nggeluh sebagai tolok ukur, yakni demi keteraturan dan ketepatan. Rebu yang dimaksud di sini adalah keadaan yang dilarang oleh adat dan dibedakan dengan pantang yang berhubungan dengan keyakinan bahwa jika melakukan sesuatu yang pantang maka akan berakibat buruk, misalnya mengucapkan kata-kata kasar di tempat tertentu. Penggunaan kata sapaan yang frozen, juga terkait dengan unsur budaya Karo yang ada larangan bagi seseorang yang telah terikat pernikahan untuk berbicara dengan beberapa anggota keluarga dari pihak Kalimbubu. Rebu yang dimaksud, antara lain, sebagai berikut. (1) Seorang pria yang sudah menikah (anak beru) tidak boleh berbicara dengan turangku (istri dari saudara laki-laki istrinya atau besannya perempuan) dan mami (ibu mertua) yang termasuk dalam kelompok kalimbubu. Atau sebaliknya, seorang wanita yang sudah menikah tidak boleh berbicara dengan turangku (suami dari saudara perempuan suaminya atau besannya laki-laki). (2) Jika dalam kondisi terpaksa, seorang menantu laki-laki harus berbicara dengan turangku atau mami-nya, haruslah dilakukan dengan memberi jarak atau seolah-olah ada jarak. Jarak yang dimaksud disini adalah dengan tidak bertatapan muka dengan muka secara langsung, ataupun jarak dengan menggunakan leksikon “katanya (nina)” dan “katakan padanya (kataken man ba na)” sehingga seolah-olah seperti berbicara kepada orang ketiga. Penggunaan kata sapaan yang melekat dalam tata cara pemanggilan akibat tumbuk memastikan setiap orang mengetahui posisinya masing-masing sehingga dapat menjaga sikap. Sikap yang dimaksud, khususnya, berkaitan 346 PROSIDING dengan kerja adat bahwa kalimbubu ditempatkan dengan istimewa sebagai pemberi restu, doa, dan petuah, sementara anak beru menjunjung martabat kalimbubu, tanggung jawab kalimbubu untuk mensejahterakan anak beru dan memastikan kehidupan mereka tenteram dan tanpa pertikaian, sementara sebaliknya tanggung jawab anak beru bekerja untuk kepentingan kalimbubu supaya tidak kerepotan. Selanjutnya, kata sapaan mengatur agar anak beru dan kalimbubu tidak melakukan rebu di mana beberapa posisi anak beru tidak memungkinkannya berbicara dengan pihak kalimbubu. Pada akhirnya, kata sapaan yang muncul akibat tumbuk dalam kaitannya dengan adat semakin meneguhkan posisi anak perempuan di tengah keluarga Karo, dengan dua cara pandang berbeda. Di satu sisi, anak perempuan begitu berharganya sehingga seorang menantu laki-laki beserta dengan seluruh keluarganya, terdedikasi dalam posisi sebagai anak beru untuk memberi penghargaan bagi kalimbubu dan bertanggung jawab untuk melakukan pekerjaan demi kepentingan mereka. Di sisi lain, anak perempuan tidak mendapat tempat yang terhormat bagi pihak kalimbubu sehingga terdedikasi untuk selalu bekerja bagi kalimbubu, termasuk suami, anak-anak, dan keluarga mertuanya. 4. Kesimpulan dan Saran Sistem tutur sapa dalam setiap bahasa tidak dapat dilepaskan dari faktor nonkebahasaan. Dalam hal ini, budaya dijunjung oleh komunitas pengguna bahasa. Kata sapaan dalam bahasa Karo yang muncul akibat ikatan pernikahan seorang laki-laki Karo dengan seorang perempuan Karo, atau seorang lakilaki Karo dengan seorang perempuan bukan Karo, atau seorang perempuan Karo dengan seorang laki-laki bukan Karo, bersifat tidak dapat dipertukarkan dan ditentukan karena adanya beban tanggung jawab dalam kerja asat sebagai identitas Kalak Karo. Dari penetapan sapaan yang disertai tanggung jawab tersebut, dapat terlihat bahwa budaya Karo memandang seorang perempuan sebagai yang berharga, sekaligus yang tidak berharga dalam adat. Dari paparan tersebut dapat terbukti bahwa kata sapaan telah menjadi salah satu ciri penentu karakteristik Kalak Karo. Dengan tetap memelihara penggunaan kata sapaan dan aplikasi tanggung jawab masing-masing seorang dalam kerja adat akan dapat mempertahankan kebudayaan Karo. Manusianya sebagai sebuah komunitas yang mewarnai keberagaman budaya di Indonesia. Penelitian yang berkaitan dengan kata sapaan ini dapat dilanjutkan. Tujuan yang dicapai, antara lain untuk mencari tahu penyebab perilaku rebu (tidak boleh dilakukan) yang sampai sekarang masih dipegang teguh oleh Kalak Karo yang muncul akibat ikatan pernikahan. PROSIDING 347 Daftar Pustaka Brown, Roger W dan Marguerite Ford. 1972. “Address in American English” dalam Language and Culture in Society. Dell Hymes (ed). New York: Harper and Row Publisher Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta Crystal, David. 2008. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. Massachusetts: Basil Blackwell Kridalaksana, Harimurti. 1974. “Second Participant in Indonesia Address” dalam Language Sciences. Agustus 1974 ____________________. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Limbeng, Yulianus. 1995. Orat Tutur Karo. Medan: Ulih Saber Perangin-Angin, Martin L. 2004. Orang Karo di Antara Orang Batak. Jakarta: Pustaka Sora Mido Prinst, Darwin. 2002. Kamus Karo-Indonesia. Medan: Bina Media Sitepu, Bujur. 1993. Taneh Karo Simalem Ras Pijer Podi Karo. Medan:______ Sitepu, Rosalana Viva Br. 2007. Ertutur: Wacana Perkenalan Masyarakat Karo di Sumatera Utara (Suatu Kajian Sosiopragmatik). Tesis (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Sumarsono dan Partana. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Tripp, Susan E. 1969. “Sosiolinguistic Rules of Address” dalam J.B Pride and Janet Holmes (Ed) Sociolinguistics. Penguin Books 348 PROSIDING SASTRA PROSIDING 349 350 PROSIDING NASJAH DJAMIN DAN EKSISTENSIALISME DALAM CERITA PENDEK ZIARAH Ahmad Zamzuri Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta alakazam80@gmail.com Inti Sari Kajian ini bertujuan untuk mengungkap paham eksistensialisme dalam cerita pendek Ziarah karya Nasjah Djamin. Kajian ini akan menggunakan teori eksistensialisme Jean Paul Sartre yang mengungkap bawah kebebasan manusia tidak hanya dipengaruhi oleh hal-hal di luar dirinya, tetapi juga dipengaruhi oleh kesadaran dalam diri sehingga membuat sadar diri akan adanya eksistensi diri. Sedangkan metode pengkajian akan menggunakan teknik analisis isi. Dari studi ini diketahui bahwa manusia berada dalam keadaan bebas, tetapi terbatas oleh kekuatan besar di luar dirinya, yaitu Tuhan. Kata kunci: eksistensialisme, sastra, ziarah, sartre Abstract This study aims to reveal the understanding of existentialism in the worko Nasjah Djamin, Ziarah. This study will use the theory of Jean Paul Sartre’s of existentialism that revealed under freedom of man is not only influenced by things outside of himself, but also influenced by the self-awareness that makes the existence of self-conscious self-existence. Meanwhile, the method of study will use content analysis method. From these studies it is known that humans are in a free state, but is limited by a large force outside itself, namely God. Key words: existentialism, literature, ziarah, Sartre 1. Pendahuluan Dalam sejarah kesastraan di Indonesia, Nasjah Djamin dikenal sebagai penulis yang kreatif dan produktif meskipun baru menerbitkan tiga kumpulan cerita pendek, yaitu Sekelumit Nyanyian Sunda (1962), Di Bawah Kaki Pak Dirman (1967), dan Sebuah Perkawinan (1974). Produktivitas menulis Nasjah Djamin PROSIDING 351 tidak lepas dari pengalaman bekerjanya di Balai Pustaka (1949) dan ketika menjadi anggota redaksi majalah Budaya (1953).Selama bekerja di Balai Pustaka, Nasjah Djamin melahirkan dua cerita remaja, yaitu Hang Tuah (1952) dan Si Pai Bengal (1952). Sementara, selama kurun waktu menjadi anggota redaktur majalah Budaya (1953), Nasjah Djamin melahirkan beberapa karya naskah drama, antara lain Titik-Titik Hitam (1956), Sekelumit Nyayian Sunda (1957), dan Jembatan Gondolayu (1957). Dari karya-karya yang dihasilkan oleh Nasjah Djamin dapat disimak bahwa pergumulan dengan beberapa pengarang sastra, semisal Idrus, H.B. Jasin, Rivai Apin, dan Sitor Sitomorang, memberikan pengaruh terhadap karya-karya yang dihasilkan oleh Nasjah Djamin. Sebut saja, roman Hilanglah Si Anak Hilang (ditulis di tahun 1960) yang menyoal kebebasan dan kemerdekaan manusia sebagai individu dan atau pun hubungannya dengan ikatanikatan masyarakat. Roman Hilanglah Si Anak Hilang, bila disimak secara seksama, mengingatkan pada karya terjemahan Chairl Anwar yang berjudul Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1950) dari karya Andre Gide Le Retour de l’Enfant Prodigue (Rosidi, 1988: 126). Sebetulnya, tema-tema keterasingan dan individualitas sangat lekat dengan karya-karya Nasjah Djamin, begitu pula cerita pendek Ziarah yang ditulis pada tahun 1954 (pernah dimuat dalam Majalah Budaya, 1958).Pergaulan dengan Sitor Sitomorang yang diketahui memiliki karya-karya yang bertemakan keterasingan agaknya memberikan pengaruh tersendiri bagi karya-karya Nasjah Djamin.Beberapa karya Sitor Sitomorang, sebut saja dalam kumpulan cerita pendek berjudul Pertempuran dan Salju di Paris (1956). Tokohtokoh cerita bersetting di kota besar dengan peradaban tua tidak berbeda dengan kehidupan di desa-desa yang sunyi dan terasing. Penggabungan antara filsafat eksistensialisme dan alam pikiran mistis mewarnai cerpen-cerpen Sitor Sitomorang, begitu pula dengan cerpen Ziarah karya Nasjah Djamin. Cerita pendek Ziarah karya Nasjah Djamin kental dengan pemikiranpemikiran hasil pergumulan dialog dengan para pengarang ketika berada di Balai Pustaka dan majalah Budaya. Tidak hanya berbekal kekuatan romantik, pada beberapa karya cerita pendek lainnya, Nasjah Djamin menyajikan konflik keluarga yang disebabkan oleh perbedaan pandangan hidup.Cerita pendek “Ziarah” (pernah dimuat dalam Majalah Budaya, 1958) menunjukkan kekuatan Nasjah Djamin dalam mengelola konflik. Cerita pendek Ziarah menyajikan perenungan keagamaan seseorang yang cenderung eksistensialis, yang merasa terasing kepada semuanya, bahkan keluarganya hingga memunculkan rasa keterasingan diri di mana pun berada. Karya-karya Nasjah Djamin telah banyak dibincangkan, antara lain Ajip Rosidi dalam bukunya Cerita Pendek Indonesia, Jacob Sumardjo dalam bukunya Fiksi Dewasa Ini yang hanya mengupas 352 PROSIDING sebuah novel, yaitu Gairah Untuk Gidup dan Untuk Mati, dan Lustanti Septiningsih dalam bukunya Pengarang Nasjah Djamin dan Karyanya. Pada ulasan terakhir, meskipun mengupas dunia kepengarangan Nasjah Djamin dan karyanya, tidak diperoleh informasi mengenai pembahasan cerita pendek Ziarah. 2. Masalah Masalah dalam kajian ini adalah mengenai bagaimana paham eksistensialisme tergambarkan dalam cerita pendek Ziarah karya Nasjah Djamin. 3. Tujuan Kajian ini bertujuan untuk mengungkap paham eksistensialisme dalam cerita pendek Ziarah karya Nasjah Djamin. 4. Landasan Teori Sartre (Dagun, 1990:106) mengemukakan bahwa eksistensialisme bermuasa dari konsep kebebasan dan sesungguhnya manusia itu sendiri tidak lain adalah kebebasan. Kebebasan dalam manusia, menurut Sartre (Dagun, 1990: 97—105, tidak hanya dipengaruhi oleh hal-hal di luar dirinya, tetapi juga dipengaruhi oleh kesadaran dalam dirinya sehingga membuat sadar diri, yaitu sadar adanya keberadaan, atau eksistensi, dirinya.Dalam diri mausia ada dua hal keber-ada-an, yaitu “ada dalam diri” dan “ada untuk diri”.Sejalan dengan pendapat Sartre, Suwondo (2011:213—214) menyebutkan “ada dalam diri” diartikan sebagai kebebasan yang ada begitu saja, tanpa diciptakan.Keberada-an semacam ini tidak aktif, tetapi juga tidak pasif. Sementara, “ada untuk diri” berhubungan dengan eksistensinya yang ditentukan oleh kesadaran. Manusia sadar bahwa dirinya ada. Kesadaran ini berhubungan dengan sesuatu yang lain sehingga manusia tidak hanya menjadi objek, tetapi juga menjadi subjek yang melihat objek, yaitu dirinya. “Ada untuk diri” menjadikan manusia memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan dan tidakannya. Manusia tidak lain adalah rencananya sendiri (Sartre dalam Hasan, 1992: 134). Manusia tidak lain adalah kumpulan tindakannya, ia adalah hidupnya sendiri dalam pengertian bahwa manusia harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Apapun pilihannya terhadap hal yang dihadapi adalah pilihan sendiri. Artinya, manusia tidak berhubungan dengan kekuatan yang berada di luar dirinya, termasuk kekuatan Tuhan, karena segalanya dipilih, ditentukan, dan dipertanggung jawabkan sendiri. Namun, akibat keberadaan semacam ini, Sartre (Hassan, 192: 136) mengungkap kondisi itu justru menggiring manusia berada dalam kegelisahan dan kecemasan. Ini terjadi disebabkan oleh segala pilihan yang ditentukan sendiri dan dipertanggungjawabkan sendiri. PROSIDING 353 5. Metode Penelitian Cerita pendek Ziarah karya Nasjah Djamin adalah sumber data kajian ini. Selanjutnya, teknik dokumentasi, baca-simak, dan catat merupakan metode pengumpulan data-data pendukung. Kajian ini bersifat kualitatif-deskriptif sebab data yang digunakan merupakan data kualitatif berupa kata-kata. Sementara itu, data berupa kata-kata tersebut akan dianalisis menggunakan teknik analisis isi atau content analysis (Ratna, 2004: 48 - 49). Analisis isi berhubungan dengan isi komunikasi. Dalam karya sastra, isi yang dimaksudkan adalah pesan-pesan. Sebagai pembaca, peneliti menangkap pesan-pesan melalui beragam kalimat yang ditulis oleh pengarang. 6. Pembahasan 6.1 Selintas Ziarah karya Naskah Djamin Nur pulang ke rumah dengan gelisah, apalagi ketika bertatap muka dengan maknya. Nur merasa asing di rumah. Nur bercakap-cakap bersama maknya dan sesekali bertanya tentang kondisi papanya sebelum minggal. Tetapi dalam perbincangan itu Nur bertanya pada diri sendiri tentang perasaannya, perlu tidaknya dia bersedih dalam kondisi pasca papanya meninggal. Dalam kondisi seperti itu, Mak bercerita tentang segala peristiwa yang dialami papa Nur sebelum meninggal. Di setiap perbincangan itu, Nur selalu gundah dengan segala perasaan dalam dirinya. Iatidak berani menatap wajah Mak. Dalam kondisi seperti itu Nur tidak tahu harus berkata apa tentang penyakit dan ajal papanya. Ketika mengingat rupa papanya, ia tidak ingat lagi. Untuk kesekian kalinya Nur bertanya pada dirinya tentang apa yang membuat dirinya jauh dan terasing dari kehidupan papa, mak, dan adiknya, Si Mona. Nur mengakui telah menerima telegram, berita meninggal papanya, tapi dia tidak datang. Ia mengakui dirinya tidak suka dengan namanya pamitan. Ia takut menghadapi namanya perpisahan. Berbagai hal ia hubung-hubungkan untuk menutupi kegelisahan tetapi tetap rasa keterasingan yang lebih mendominasi perasaanya. Meski rasa keterasingan lebih dominan, dari perkataan Mak, sesungguhnya papa Nur selalu inget dengan Nur. Ketika Mak meminta Nur berziarah ke makam papanya, Nur mencari segala alasan untuk tidak berada di makam papanya. Ia akui bahwa ia takut dengan suramnya makam sebab ia sendiri memang sudah begitu suram dengan kesendirian. Tapi akhirnya Nur berangkat juga ke makam bersama adiknya.Di makam inilah segala pertanyaan Nur tentang kematian, kesendirian, dan Tuhan, muncul di benak dan pikirannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan di makam. Pesan untuk membaca Al Fatihah pesanan Makanya pun tidak dilakukan. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di pusara 354 PROSIDING makam itu Nur menekur setekun-tekunnya, tetapi tetap ia tidak merasakan getaran apa pun, kecuali hanya merasakan jarak sehingga ia merasakan benarbenar asing dari papanya. Pada kondisi terpekur, dalam batin dan pikiran Nur berkecamuk tentang kepercayaan yang diajarkan papanya, tentang menyembah Tuhan, tentang berbuat baik, tentang cinta kasih, dan segala hal tentang keyakinan dan Tuhan. Ia yakin bukan agama yang peting, tetapi perikemanusiaan yang berdasar sifat-sifat ketuhanan. Ia yakin bahwa manusia yang baik dan merdeka adalah manusia yang baik dengan dengan sesamanya. Dan ia yakin bahwa inilah yang membuat putus hubungan dengan papanya. Di pusara itu Nur berdialog dengan dirinya sendiri dan mengakui keterasingannya disebabkan ia telah murtad dari ajaran yang diberikan papanya. Ia berkeyakinan bahwa yang terpenting ialah manusia sudah dilahirkan, dan kewajibannyalah mengatasi hawa nafsu dan kejatuhan-kejatuhan dosa dengan berusaha menjadi manusia baik, menjauhi segala perkosaan terhadap segala, terhadap siapa pun. Di benak Nur, menjadi manusia yang penting bukan taat menyembah Tuhan, baik di gereja, masjid, maupun kelenteng, tetapi taat kepada keyakinannya, yaitu menjadi orang baik. Sampai Nur terjaga oleh sapa adiknya, Mona, Nur tidak melaksanakan pesan Maknya untuk membacakan Al Fatihah untuk papanya.Ia tidak dapat berbuat lain, atau memperkosa dirinya sendiri untuk berbuat pura-pura seolah-olah dia orang yang taat dengan kepercayaan dan agama yang diajarkan dulu oleh papanya. Mona dan Mak tidak tahu rahasia hatinya. 6.2 Individualistik dan Keterasingan Dalam kisah Ziarah, Nur merupakan tokoh sentral yang hatinya diselimuti kegelisahan dan keterasingan. Nur adalah salah satu anak laki-laki Mak yang merantau dan jarang pulang sekadar menengok keadaan keluarga. Keterasingan melekat pada diri Nur. Kebekuan hati dan suasana lebih didominasi oleh bekunya perasaan dan hati Nur terhadap segalanya, baik diri sendiri dan orang lain. Keterasingan dan kebekuan perasaan Nur pada suasana rumah membuat kondisi yang diciptakannya menjadi suasana garing dan jauh dari keakraban, meskipun Nur berada seruang dan bercakap-cakap dengan ibunya. Nur tidak memancarkan aura kebahagian, alih-alih asing dan beku, dan seakan menyimpan beragam pikiran (Ziarah: 1). Tidak dipungkiri, kebekuan Nur dan Mak disebabkan oleh pendiriannya mengenai hidup yang mengakibatkan dirinya merasa asing dan jauh dari siapa dan apa pun. Di ingatannya pun tak lagi ada papanya. Bahkan, sketsa wajah–bentuknya, warna mata, rupa hidung, bibir—papanya pun tidak muncul. Nur tidak mampu mengingatnya lagi. Nur cenderung bersifat individual, tidak mengenal siapa-siapa, dan terkesan sebagai seorang eksistensialis, yang PROSIDING 355 merasa terasing. Keterasingan itu berefek pada semuanya. Nur merasa tidak akrab lagi dengan siapa pun, bahkan keluarganya. Keterasingan Nur tidak lepas dari masa lalunya dalam berumah tangga yang berakhir cerai dan petualangan hidupnya yang berimbas pada pandangan hidup yang berlainan sudut pandang dengan khalayak. Keterasingan Nur dibentuk oleh pemikiran bebasnya tentang hidup. Dari hal itu, Nur termasuk seorang pemikir yang bebas (vrijdenker). ”Ha,” katanya kemudian, “jadi kau ini si Nur! Sudah besar kau!” aku tertawa menghiyakan, sambil bertanya-tanya, apakah yang membuat rasa keasingan dan pemisahan antara aku dengan papa begini? Benar-benarkah aku jadi orang asing terhadap mak, terhadap papa, terhadap adikku si Nona, dan terhadap abang-abangku? Asing karena perceraian 10 tahun itu? Atau karena aku telah banyak mengecap derita hidup dan telah tumbuh dewasa dalam pemikiran dan pandangan tentang segalanya mengenai hidup ini? Karena aku telah mempunyai sikap sendiri terhadap kehidupan ini?” (Ziarah:3) Rasa keterasingan Nur terhadap segala hal di sekelilingnya, sebenarnya berasal dari pemikirannya yang terlalu jauh sehingga menimbulkan ketidak yakinan dan dugaan-dugaan terhadap hal tertentu. Misalnya, Nur menduga Mak bertanya-tanya tentang dirinya ketika tiba di rumah dan tiba-tiba Mak memagut, menciumi, dan menangisinya. Keheranan atas pertanyaan Nur terjawab ketika tidak disadari air matanya berlinang. Ia mengakui bahwa keterasingan itu hanyalah dari dirinya sendiri (Ziarah: 4) Sebetulnya, Nur pun tidak menampik kebutuhannya terhadap lawan jenis. Pengakuan kebutuhan terhadap lawan jenis tampak ketika Nur bercakapcakap dengan Mak. Meski hubungan itu tidak berakhir pada perkawinan, komitmen sebuah hubungan khusus antara seorang laki-laki dan perempuan sempat terjadi di antara Nur dan perempuan yang ia minati, Wina. Di hadapan Mak, Nur mengakui bila Wina hanyalah teman biasa, tetapi dalam hati Nur tersirat bahwa dia sempat memiliki hubungan khusus: “Padahal aku hampir sudah berputus-putus dengannya” (Ziarah: 5). Sekilas Nur mengakui hal itu, hanya saja segalanya tertutupi oleh rasa keterasingan diri dari orang lain. Rasa keterasingan Nur sangat beralasan dilihat dari pengalaman hidupnya sebelum merantau. Kesendiriannya yang terlalu sering sejak kecil mempengaruhi jalan pemikirannya. Pemikirannya selalu berseberangan dengan orang orang di sekelilingnya, khususnya Mak dan Papanya. Ketika ajal menjemput papanya, Nur dikirimi telegram yang meminta dirinya segera pulang. Tetapi, Nur tidak segera pulang dan berkilah bahwa jenazah akan telah dikuburkan bila ia datang. Itu pun sebetulnya hanyalah alasan melepaskan diri saja. Nur sebetulnya takut menghadapi kenyataan konsekuensi dari pamitan, 356 PROSIDING yaitu perpisahan. Bagi Nur, masalah yang sebenarnya dan diakuinya sendiri adalah cara penempatan diri yang individualistis di antara orang-orang di selilingnya sehingga segala pemikiran dan sikapnya terkadang absurd. “Cuma begitulah aku.Aku terlalu banyak berseorang diri.Mungkin rasa takutlah itu namanya, tidak mau tahu dengan pamitan. Takut menghadapi perceraian yang akan membawa perubahan di hadapan! Tak tahu aku. Tapi dari kecil aku sudah begitu, dan besar pun aku begitu! Masih pendiam dan tak mau mendesakkan diri, tak mau jadi pusat perhatian! Dan kependiamanku itu, kini mungkin lebih banyak menyusahkan orang lain dan aku sendiri.” (Ziarah: 4) 6.3 Tuhan dan Kegelisahn Manusia tidak lain adalah rencananya sendiri (Sartre dalam Hasan, 1992: 134). Manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri apa pun pilihannya. Manusia tidak berhubungan dengan hal di luar dirinya, termasuk Tuhan, sebab segala yang dipilih, ditentukan, dan dipertanggung jawabkan sendiri. Dalam diri Nur agaknya mengarah pada keberadaan untuk dirinya. Ia menganggap manusia adalah merdeka dan yakin bahwa penyembahan terhadap Tuhan itu tidak penting, yang penting adalah menjadi manusia baik dengan sifat-sifat Tuhan. Nur menganggap menyembah Tuhan itu tidak penting, tetapi taat kepada keyakinan bahwa menjadi manusia baik itu lebih penting.Hal semacama itu diyakini betul oleh Nur.Perhatikan kutipan berikut. “Yang penting ialah manusia sudah dilahirkan, dan kewajibannyalah mengatasi hawa nafsu dan kejatuhan-kejatuhan dosa.Dengan berusaha menjadi manusia baik.Menjauhi perkosaan terhadap segala, terhadap siapa pun. Juga terhadap diri sendiri! Buat manusia yang penting bukanlah taat menyembah Tuhan, biar di gereja, di masjid atau dikelenteng, tapi taat kepada keyakinan: jadi manusia baik. Tuhan bukan hanya di tempat-tempat suci yang tertentu tapi dalam diri setiap manusia itu sendiri. (hlm. 11) Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa Tuhan tidak lagi menjadi pusat keyakinan Nur. Menjadi diri sendiri, bebas menenetukan, dan terbebas dari perkosaan diri senyatanya merupakan bentuk keberadaan untuk diri sendiri. Tuhan bagi Nur ada dalam diri setiap manusia, termasuk dirinya. Di bagian yang lain, Nur pun menunjukkan bahwa kesadaran untuk menentukan pilihan sebenarnya ada dalam diri setiap manusia. Nur sebagai manusia juga memiliki kesadaran itu sehingga ketika berada di pusara makam, Nur mengungkapkan alasan ia tidak menjalankan ajaran papanya. “Papa, papaku, Tuhan tidak menghendaki manusia bersifat pura-pira dan tidak mengerti. Kalaupun aku datang pada Tuhan, ialah karena ia adalah sumber cinta dan dengan cinta itulah aku datang pada-Nya, tapi tidak dengan menyembah-nyembah-nya. Tuhan tidak suka pada orang PROSIDING 357 yang hanya pandai menyembah-nyembah saja karena terpaksa atau karena tidak punya kesadaran. … Tapi Ia menghendaki orang jadi manusia merdeka.” (hlm. 9) Keyakinan dan pilihan Nur justru menggiringnya pada kondisi gelisah, resah, dan cemas.Kondisi ini terjadi disebabkan oleh keberadaan dirinya yang harus mempertanggung jawabkan segala pilihannya. Akhirnya, kegelisahn dan kecemasan seperti itu muncul karena terbebani oleh keharusan memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. “Selama hidupku tak pernah aku pergi ziarah, dan pecah pikiranku ingin mengetahui apa perlunya ziarah ke tempat istirahat manusia! Kuburan membaca perasaan suram leking padaku.Bukan tempat duniaku berpijak. Bukan aku takut mati bila melihat kuburan, tapi kesuraman yang menyayat itulah yang tak kusukai.Sebab hidupku sendiri memang sudah begitu suram sendirian.” (hlm. 5) Kecemasan dan kegalauan Nur merupakan ujung dari eksistensi pemikian yang iainginkan–kebebasan dalam berpikir (bertindak) sesuai pilihannya sendiri. Meminjam konsep pemikiran Sartre (Hasan, 1992:136), pilihan sendiri, diaktualisasikan sendiri, dan ditanggung akibatnya sendiri, menghantarkan manusia, termasuk Nur, dalam kondisi gelisah dan cemas. Nur pun pada akhirnya berziarah (meskipun terpaksa) di pusara makam papanya. Bedanya, Nur tidak membacakan Al-Fatihah. Diakuinya bahwa ia lama tidak membaca Al-Fatihah dan di pusara itu pertanyaan muncul tentang dimana papanya berada, surga atau sedang menemaninya di pusara itu. Baginya, berita dari alam “sana” adalah sebuah misteri. Dalam pertanyaan itu Nur mengutip ungkapan dari Umar Khayyam1: “Strange, is it not? That of the myriads who Before us pass’d the door of Darkness through, Not one returns to tell us of the Road, Which to discover we must travel too.”(Aneh, bukan? Bahwa, dari begitu banyak sebelum kita melewati pintu kegelapan, tidak satu pun kembali untuk memberitahu kita tentang jalan itu, yang untuk menemukan jalan itu, kita harus melakukan perjalanan juga.). Bagi Nur, ziarah menjadi sebuah renungan sekaligus pengakuan atas rasa keterasingan terhadap papanya, bahkan agama (sebab tidak ingat lagi Al-Fatihah). Perdebatan dalam batin Nur seakan menghadirkan papanya dan menemukan alasan keterasingan Nur, baik pada papanya maupun Tuhan, yaitu keingkaran Nur dari ajaran yang telah ditanamkan papanya. Yang 1 Umar Khayyam adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan pelatih penting dalam Sufisme. Namanya terkenal di dalam literatur Eropa, terutama karena Edward Fitzgerald, yang di zaman Victoria telah mempublikasikan beberapa kwartrinUmar Khayyam dalam bahasa Inggris. (www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/11 /05/24/llpcrc-tokoh-sufi-umarkhayyam-dikenang-tapi-tak-dikenal) 358 PROSIDING penting bagi Nur adalah menjadi orang baik dan mempergunakan sifat keTuhanan. Bagi Nur, Tuhan ada di diri setiap manusia. Manusia adalah Tuhan bagi dirinya sendiri. 7. Simpulan Dari kajian sederhana ini akhirnya dapat dikatakan bahwa manusia dengan paham eksistensialisme cenderung individualistik sehingga merasa terasing di lingkungan ia berada. Eksistensialisme dalam cerita pendek Ziarah karya Nasjah Djamin adalah eksistensi yang ditentukan oleh diri sendiri, atau “ada untuk diri”. Selain keterasingan, eksistensialisme dalam cerita pendek Ziarah memberi pengaruh terhadap keyakinan tokoh kaitannya dengan Tuhan sehingga muncul kegelisahan mengenai keberadaan diri. Akhirnya, kebebasan yang ada sebetulnya tetap terbatas oleh kekuatan yang berada di luar diri tokoh (baca: manusia), yaitu Tuhan. Daftar Pustaka Culler, Jonathan. 1981. The Pursuit of Signs; Semiotics, Literature, Deconstruction. New York: Cornell University Press. Dagun, Save M. 1990.Filsafat Eksistensialisme. Jakarta: Rineka Cipta. Hassan, Fuad. 1992. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya. Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra: Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Kutha Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _____. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sartre, Jean Paul. 2007. Existentialism Is a Humanism. New York: Yale University. Suwondo, Tirto. 2011. Studi Sastra: Konsep Dasar Teori dan Penerapannya pada Karya Sastra. Yogyakarta: Gama Media Yogyakarta, Festival Kesenian. 1993. Pagelaran. Yogyakarta: PT. Bentang Intervisi Utama. Zaimar, Okke K.S. 2008. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. PROSIDING 359 360 PROSIDING KONSTRUKSI REALITAS POLITIK DINASTI DALAM MEDIA MASSA1 ANALISIS FRAMING ISU POLITIK DINASTI GUBERNUR BANTEN RATU ATUT CHOSIYAH PADA HARIAN KOMPAS DAN KORAN TEMPO Budiyono Peneliti pada BPPKI Yogyakarta Pos-el: masbudism@yahoo.co.id Inti Sari Tujuan penelitian ini dipakai untuk melihat framing berita politik dinasti di media massa. Pendekatan yang menggunakan metode analisis framing dari Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Inti metodenya adalah bagaimana sebuah berita diberi makna dan dibingkai oleh media massa. Konsep dan teori yang digunakan adalah Konsep Konstruksi Sosial pada media massa, dan Teori Agenda Setting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada jaringan kekuasaan pemerintahan yang dibangun berbasis kekerabatan berdampak pada menurunnya nilainilai demokratisasi. Oleh karena harian Kompas dan Koran Tempo mendukung untuk dibatasinya pola politik dinasti dalam sistem pemerintahan. Pola konstruksi realitas isu melalui penempatan teks pemberitaannya dengan mengutip sumber-sumber berita yang relevan, melalui judul utama (headline), lead berita dalam bentuk piramida terbalik. Kata kunci: politik dinasti, analisis framing, media massa, komunikasi politik. Abstract The research objective to see the news framing of Political Dynasties in the Mass Media . The approach uses the method of framing analysis Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki. Core method is how a given meaning and the news is framed by the mass media. Concepts and theories used is Social Construction Concepts in Mass Media and Agenda Setting Theory. The results showed that there is a network of governmental power that is built based kinship decrease the 1 Makalah “Disemenasi (Diskusi Ilmiah) Hasil Penelitian Kebahasaan dan Kesastraan (Penerbitan Prosiding),” diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tanggal 7-9 November 2013, di Hotel Gowongan Inn Yogyakarta. PROSIDING 361 values of democracy. Therefore Kompas and Koran Tempo daily patterns of Political Dynasties in support sistem for limited government. Pattern Construction reality through text placement issue its news sources quoting relevant news, headline through (headline), the lead story in the form of an inverted pyramid. Keywords: political dynasties, framing analysis, mass media political communication. 1. Pendahuluan Isu politik dinasti2 Politik Dinasti atau sering pula disebut Dinasti Politik, dapat dimaknai sebagai pendistribusian kekuasaan antar anggota keluarga sedarah. Fenomena ini sangat berdampak negatif terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. (http://padangekspres.co.id/? Akses, 16-10-2013) dalam jaringan pemerintahan di Indonesia tampak terus menjadi fenomena yang menarik untuk diperbincangkan. Betapa tidak, karena dalam realitanya ada kecenderungan di banyak kepala daerah berupaya membangun politik dinasti untuk mendukung kinerjanya. Fenomena ini terlihat dengan merujuk data Kemendagri, yang mengungkap terdapatnya 57 kepala daerah yang sedang membangun dinasti politik (Kompas, 18 Maret 2013). Seringkali media massa mengangkat dalam pemberitaannya sebagai wacana politik dinasti ketika ada penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), yang kemudian terus diikuti perkembangan wacana pro dan kontra atas keberadaannya dalam sistem pemerintahan. Isu politik dinasti di Banten yang akhir-akhir ini menjadi topik pembicaraan, layak di angkat ke permukaan oleh media, lantaran adanya kondisi yang perlu dikritisi atas fenomena politik dinasti itu. Terkait pemberitaan potensi jaringan kekerabatan dari keluarga Gubernur Ratu Atut Chosiyah masuk dalam pemerintahan di Banten, bahkan dalam pemberitaan berjudul “Dinasti Atut Disebut Akan Runtuh,” presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), mengecam politik dinasti di daerah. Ia menilai bahwa “tidak patut jika ayah, ibu, anak, dan adik sama-sama duduk dalam pemerintahan. Menurut presiden, dinasti politik ini akan berbahaya jika dimiliki pejabat-pejabat daerah yang juga punya bisnis baik pribadi maupun keluarga “godaannya besar bisa terjadi penyimpangan di sana-sini.” (Koran Tempo, 12-10-2013). Kecaman seperti itu sangat beralasan, mengingat seorang pimpinan daerah yang juga menjalankan bisnis sudah tentu akan cenderung memikirkan keuntungan untuk pribadi dan keluarganya, jika sudah demikian akhirnya akan kurang memikirkan nasib kesejahteraan rakyatnya. 2 Politik Dinasti atau sering pula disebut Dinasti Politik, dapat dimaknai sebagai pendistribusian kekuasaan antar anggota keluarga sedarah. Fenomena ini sangat berdampak negatif terhadap penyelenggaraan pemerin­tahan di daerah. (http://padangekspres.co.id/? Akses, 16­10­2013). 362 PROSIDING Sebuah pemberitaan mengungkapkan, bahwa menurut laporan Bank Indonesia, Banten mengalami pertumbuhan ekonomi pesat. Pada triwulan II2013, pertumbuhan mencapai 5,66 persen atau mendekati pertumbuhan nasional 5,81 persen. Sementara di bagian lain pemberitaan mengisahkan masih terjadinya kemiskinan di Banten. Provinsi dengan jumlah penduduk 12 juta jiwa yang tersebar di delapan kabupaten/kota, tercatat punya nilai ekspor 9,48 miliar dollar AS tahun lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) Banten juga mencatat, produk domestik regional bruto Banten naik dari tahun ke tahun, yang berarti pendapatan rata-rata penduduk membaik. Namun, kemiskinan justru meningkat. Jika per Maret 2012 jumlah orang miskin di Banten 652.766 jiwa, pada Maret 2013 jumlahnya menjadi 656.243 jiwa. Angka pengangguran juga masih tinggi. Hingga Februari lalu, jumlah penganggur 552.895 jiwa atau 10,10 persen dari angkatan kerja sebanyak 4,9 juta jiwa, sementara itu dikatakan bahwa angkatan kerja di Banten sebagian besar hanya berpendidikan SD. Kondisi seperti tersebut di atas menjadi unsure penguat adanya indikasi manajemen pengelolaan pemerintahan kurang mendukung pengembangan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, hal tersebut menunjukkan sebuah ironi. Itu sebabnya kondisi kontradiksi demikian yang mengundang media massa merasa berkepentingan mengungkap adanya kekuatan politik dinasti dalam pemerintahan, mempengaruhi menurunnya kontrol atas penyimpangan yang terjadi yang dilakukan anggota dinasti atau kerabat yang menduduki jabatan tertentu. Bisa saja seorang pejabat –misalnya- di Badan Pengawasan Daerah tidak melakukan pengawasan dengan baik karena Ia tahu kalo sebuah proyek sedang dikendalikan oleh Bupati, sementara Bupatinya adalah kerabatnya sendiri. Selain itu banyak terjadi pengelolaan anggaran pemerintah dalam proyek pembangunan –melalui perusahaannya yang dikelolan kerabat pejabat tertentu- namun tidak berorientasi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakatnya dan sebaliknya mereka lebih memikirkan menumpuk keuntungan untuk keluarganya atau kerabatnya sendiri. Jika demikian yang terjadi maka sudah barang tentu cita-cita pembangunan untuk mensejahterakan masyarakat menjadi terbengkelai. Hal tersebut karena implementasi model politik dinasti, dalam perspektif komunikasi politik dapat dipandang sebagai pisau bermata dua, tergantung bagaimana media mengemas informasi pemberitaannya. Untuk kepentingan ini, politik media kemudian menggunakan framing untuk mengarahkan pemberitaan sesuai dengan apa yang akan dikonstruksikan oleh wartawan. Di sini bahasa memengang peran penting dalam menentukan format narasi (dan makna) tertentu dalam pemberitaan. Seperti dikemukakan Y Ukhaerunisa, 2012, dari perspektif ini, bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi bahkan menciptakan realitas (Ukhaerunisa, PROSIDING 363 2012). Itu sebabnya peneliti memandang isu politik dinasti merupakan fenomena yang perlu di apresiasi oleh berbagai kalangan untuk pembahasan prospek kedepannya. Sebagai objek penelitian adalah berita menyangkut politik dinasti Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, di Harian Kompas dan Koran Tempo. Ada tiga alasan yang menjadi pertimbangan pemilihan dua media tersebut, yaitu: pertama, Koran Tempo dan Harian Kompas merupakan media pemberitaan yang bersifat nasional. Media tersebut memiliki komunitas pembaca yang sangat luas, baik dari aspek keluasan wilayah maupun segmentasi audiensnya. Kedua, Koran Tempo dan Harian Kompas merupakan media pemberitaan “berbahasa terbaik.” Ketiga, dua media tersebut mendukung tereksposnya fenomena politik dinasti dalam pemberitaan media. 2. Masalah Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana media massa mengkonstruksi realitas isu politik dinasti di pemerintahan Provinsi Banten, dan dengan cara apa konstruksi itu dibentuk? 3. Tujuan Adapun tujuan penelitian adalah untuk melihat atau mengetahui isu politik dinasti tersebut dikonstruksi oleh media massa dan pola pembentukan konstruksi realitas yang digunakan oleh media. Manfaat penelitian ini adalah dapat mengetahui bagaimana media massa (dalam hal ini Harian Kompas dan Koran Tempo) mengonstruksi peristiwa politik dinasti terhadap perkembangan politik pemerintahan yang demokratis di Provinsi Banten, menjadi realitas media. 4. Kerangka Teori Dari aspek teoritik, teori yang membahas hubungan antara media dengan realitas sosial adalah teori konstrusi sosial atas realistas yang dikembangkan Adony dan Maney. Teori ini memusatkan perhatian kepada proses pembentukan realitas. Inti teorinya adalah bagaimana realitas dibentuk oleh individu dan bagaimana individu menginternalisasi realitas yang disajikan media. Teori lainnya, terkait dengan pembentukan persepsi masyarakat, adalah Agenda Setting yang dikembangkan oleh Makswell McKOM Mbs. dan Donald Show. Asumsi dasar dari teori ini adalah bagaimana media membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dengan teknik pemilihan dan penonjolan, maka media memberikan cues tentang isu yang lebih penting. Singkatnya, apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting 364 PROSIDING juga oleh masyarakat. Kemudian apa yang dilupakan oleh media, akan luput juga dari perhatian masyarakat. (Rakhmat, 1995: 68). 4.1 Konstruksi Realitas oleh Media Massa Menurut Shoemaker dan Reese (1996: 33-37) menyebutkan ada dua konsep dalam melihat realitas yang direfleksikan oleh media. Pertama, konsep media secara aktif yang memandang media sebagai partisipan yang turut mengkonstruksi pesan sehingga muncul pandangan bahwa tidak ada realitas sesungguhnya dalam media. Kedua, konsep media secara pasif yang memandang media hanya sebagai saluran yang menyalurkan pesan-pesan sesungguhnya, dalam hal ini media berfungsi sebagai sarana yang netral, media menampilkan suatu realitas apa adanya. Dalam konteks ini, maka konsep media secara aktif menjadi relevan dalam kaitannya dengan permasalahan yang diteliti. Hal ini juga sesuai dengan paradigma konstruksionis yang digunakan. Paradigma tersebut memandang bahwa media dilihat bukan sebagai saluran yang bebas nilai atau netral melainkan sebagai subyek yang mengkonstruksi realitas, dimana para wartawan dalam memproduksi pesan juga menyertakan pandangan, bias dan pemihakannya. Berdasarkan hal tersebut, sehingga bisa saja peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan bisa jadi mempunyai pandangan dan konsepsi berbeda ketika melihat suatu peristiwa. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita (Eriyanto, 2004:17). Hamad (2004: 11-13) mengatakan prinsipnya bahwa setiap upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda tak terkecuali mengenai hal-hal yang berkaitan dengan politik dalam usaha mengonstruksi realitas. Dalam menceritakan fenomena untuk konsumsi publik, media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media tidak lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna. 4.2 Penempatan Bahasa dalam Mengkonstruksi Realitas Surat kabar sebagai bagian dari media massa merupakan medium yang memiliki fungsi -salah satunya- memberikan informasi kepada masyarakat. Agar informasinya mudah dipahami pembaca, sudah semestinya jika dalam pemberitaannya menggunakan bahasa yang baik dan benar. Dalam pemberitaan, bahasa oleh wartawan sering dikonstruksikan untuk mengarahkan pembaca memahami realitas sebagaimana disajikan media. Dalam konstruksi realitas, bahasa memegang peran sentral. Artinya penggunaan bahasa atau kata tertentu dalam kalimat-kalimat beritanya, akan membawa pembaca pada panPROSIDING 365 dangan tertentu pula sesuai arah pemberitaannya. Di sini bahasa menjadi unsur utama dalam pemberitaan. Ia merupakan instrumen pokok dalam menceritakan realitas. Berger, Peter dan Thomas Luckman (dalam Hamad, 2004) meyakini bahwa bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Dalam perpektif komunikasi politik penggunaan bahasa menentukan format narasi (dan makna) tertentu. Sementara menurut Fiske (1990) dalam Cultural and Communication Studies, menambahkan bahwa penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini, maka relevan apa yang dikemukakan oleh Y. Ukhaerunisa, (2012) bahwa bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi bahkan menciptakan realitas (Ukhaerunisa, 2012). Dengan demikian, dari uraian tersebut maka media dengan pilihan bahasanya akan menjadi sumber informasi yang dominan tidak saja bagi individu tetapi juga bagi masyarakat dalam memperoleh gambaran realitas mengenai suatu peristiwa. 5. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah Discourse Analysis, dengan metode analisis framing dari Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Pertimbangan pemilihan metode tersebut bahwa framing menurut Pan dan Kosicki sebagai suatu proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih dari pada yang lain, sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan tersebut. Dengan demikian Framing lalu dimaknai sebagai suatu strategi atau cara wartawan dalam mengkonstruksi dan memproses peristiwa ke dalam berita untuk disajikan kepada khalayak (Pan dan Kosiscki, dalam Eriyanto, 2005: 253). Dalam pendekatan Pan dan Kosicki, perangkat framing dapat dibagi ke dalam empat struktur besar, yaitu sebagai berikut: Pertama, struktur sintaksis, yaitu berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa– pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa ke dalam bentuk susunan umum berita (lead yang dipakai, latar, headline, kutipan yang diambil dan sebagainya). Kedua, struktur skrip, berhubungan dengan bagaimana wartawan mengisahkan atau menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita. Struktur ini melihat bagaimana strategi cara bercerita dan bertutur yang dipakai wartawan dalam mengemas peristiwa ke dalam bentuk berita. Ketiga, struktur temetik. Tematik berhubungan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. 366 PROSIDING Struktur ini melihat bagaimana pemahaman itu diwujudkan dalam bentuk yang lebih kecil. Keempat, struktur retoris berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memakai pilihan kata, idiom, grafik, dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan, melainkan juga menekankan arti tertentu kepada pembaca. (Sumber: Nugroho, Bimo, at all, 1999: 30) Keempat struktur tersebut merupakan rangkaian yang dapat menunjukkan framing dari suatu media. Pendekatan ini dapat digambarkan ke dalam bentuk skema framing sebagai berikut: Empat Struktur Framing Model - Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki Struktur Perangkat Framing Unit Yang Diamati Sintaksis - Cara wartawan menyusun fakta 1. Skema Berita Headline, lead, latar informasi, kutipan sumber berita, pernyataan, penutup Skrip - Cara wartawan mengisahkan fakta 1. Kelengkapan berita 5W + 1H Tematik Cara wartawan menulis fakta 1. 2. 3. 4. 5. 6. Detail Maksud Nominalisasi Koherensi Bentuk kalimat kata ganti Paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar Kalimat Retoris - Cara wartawan menekankan fakta 1. 2. 3. 4. Leksikon grafis Metafora Pengandaian Kata, idiom, gambar/foto, grafik (Sumber: Nugroho, Bimo., at all, 1999: 30) 5.1 Teknik Pengumpulan Data Satuan analisis dalam penelitian ini adalah teks berita tentang isu politik dinasti di pemerintahan Banten sebagai dampak pemberitaan seputar opini tentang dinasti gubernur Banten (Ratu Atut Chosiyah) yang dimuat di harian Kompas dan Koran Tempo, edisi bulan Oktober tahun 2013. 5.2 Teknik analisis data Dari data pemberitaan yang dihimpun berdasarkan pembagian struktur framing varian Pan dan Kosicki ke dalam empat struktur besar (sintaksis, skrip, tematik, dan retoris), kemudian diinterpretasikan berdasarkan paradigma konstruksionis yang mengacu atau memanfaatkan teori Shoemaker PROSIDING 367 dan Resee juga agenda setting, maka dicari suatu “titik temu” dari hasil penafsiran-penafsiran tersebut. 6. Pembahasan Pemberitaan media massa yang mengungkap isu Politik Dinasti di lingkup pemerintahan, telah mengundang perhatian berbagai pihak yang pro dan kontra. Argumen bagi yang memiliki pandangan pro atas politik dinasti, bahwa pengembangan politik dinasti dalam jaringan pemerintahan dapat mengurangi nilai demokratisasi dan menutup akses bagi warga masyarakat yang lain terhadap sumberdaya pemerintan, maka opini yang muncul, perlu ada aturan main dalam regulasi untuk membatasi politik dinasti agar tidak merusak tatanan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan menyuburkan fenomena KKN yang tidak terkendali. Sementara argument bagi yang memiliki pandangan kontra atas politik dinasti dalam pemerintahan, adalah karena belum ada aturan mainnya yang membatasi keberadaannya, maka opini menyatakan sah-sah saja adanya politik dinasti dalam jaringan pemerintahan. Berikut ini akan disajikan peristiwa Politik Dinasti di Pemprov Banten yang dibingkai oleh dua media harian Kompas dan Koran Tempo sesuai dengan fram masing-masing berdasar Framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. 6.1 Deskripsi Media dan Pemberitaannya 6.1.1 Harian Kompas Harian Kompas, terbit mulai, 28 Juni 1965, merupakan surat kabar nasional yang menjangkau semua provinsi dan isinya mencakup peristiwa berskala nasional untuk bisa memenuhi perannya sebagai Amanat Hati Nurani Rakyat. Harian Kompas berkantor pusat di Jakarta Palmerah Selatan No.26-28 Jakarta, diterbitkan oleh PT Kompas Media Nusantara yang merupakan bagian dari Kelompok Kompas Gramedia (KG). Kini Kompas terbit lebih dari 530.000 eksemplar tiap hari dan beredar di seluruh wilayah Indonesia melalui teknologi cetak jarak jauh. Harian Kompas pernah menerima penghargaan Peringkat I Media Massa Cetak Berbahasa Indonesia Terbaik Tingkat Nasional 2011 yang diberikan Kepala Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, MQ Wisnu Aji pada puncak acara Bulan Bahasa dan Sastra 2011 di Sasono Langen Budoyo, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Jumat (28/10) (http://edukasi.Kompas. com/read/ 2011/10/29/ akses, 27 oktober 2013). Guna memudahkan akses bagi pembaca di seluruh dunia, Kompas juga terbit dalam bentuk daring bernama Kompas.com yang dikelola oleh PT Kompas Cyber Media. Harian Kompas dipimpin oleh redaktur kepala Rikard Bagun, 368 PROSIDING diformat, Lembar lebar 7 kolom, berhaluan netral. (http://kiosk.Kompas.com/ Subscription V10/ Akses, 27-10-2013). 6.1.2 Koran Tempo Koran Tempo hadir di hadapan pembaca, sejak terbit pertama kali pada 2 April 2001, banyak hal telah diungkap untuk memenuhi tuntutan pembaca akan berita yang lebih cerdas dan berkualitas. Dengan pagina enam kolom, Koran Tempo menghadirkan berita yang ringkas tanpa kehilangan kedalamannya. Koran Tempo tetap menyajikan berita-berita investigatif, terutama yang berkaitan dengan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Penghargaan: pada 2002 memperoleh penghargaan sebagai koran paling kredibel dari Dewan Pers. Penghargaan dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, sebagai koran berbahasa Indonesia terbaik selama empat tahun berturut-turut, mulai 2007 hingga 2010. Berfokus pada pemberitaan politik dan ekonomi. Banyak kasus menarik yang diangkat, seperti sepanjang 2010, yang paling menghebohkan kasus penyelamatan Bank Century. Kasus ini menyita perhatian banyak kalangan karena melibatkan dua tokoh penting: Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Penulisannya berimbang (http://korporat.Tempo.co/produk/2/koran-Tempo, Akses, 6-11-2013). 6.1.3 Selintas Pemberitaan Kompas dan Koran Tempo atas Politik Dinasti Kompas dan Koran Tempo merupakan dua suratkabar harian yang sangat intens melakukan pemberitaan terkait dengan isu politik dinasti di provinsi Banten. Mencuatnya isu Politik Dinasti Ratu Atut dalam pemberitaan media tersebut, berawal dari penangkapan dan penetapan -adik kandung gubernur Banten Ratu Atut chosiyah-, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dugaan melakukan suap terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (kini nonaktif) Akil Mochtar, terkait sengketa Pilkada Lebak yang ditangani Mahkamah Konstitusi (MK). Selanjutnya berita-berita berlabel Politik Dinasti Ratu Atut terus bertebaran di halaman-halaman harian Kompas dan Koran Tempo, utamanya pada edisi bulan Oktober 2013. Dalam pemberitaannya, media mengungkap adanya relasi kekuasaan yang mendominasi perilaku politik dan ekonomi menjadi icon pemberitaan yang dapat membuai pembacanya. Kepiawian dua medium tersebut tampak memiliki kemauan keras agar public pembaca ikut menyelami peristiwa politik dinasti yang dikembangkan pemerintahan Gubernur Ratu Atut Chosiyah beserta kerabatnya di lingkungan wilayah pemerintahan Banten dan efeknya terhadap kehidupan demokrasi politik dan ekonomi bagi masyarakat Banten. Bahwa ada gejala tereduksinya nilai-nilai demokratisasi politik dan terabaikannya upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bisa terindikasi dalam pemberitaan itu. PROSIDING 369 Pada banyak pembahasan, dijum­pai tawaran solusi untuk meruntuhkan dinasti politik kepala daerah. Salah satunya pada pemberitaan RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) yang diajukan oleh pemerintah. Pemerintah dalam RUU Pilkadanya memberi batasan kerabat kepala daerah untuk mencalonkan diri sebelum melalui jeda satu periode jabatan (5 tahun) sejak kerabatnya menjadi kepala derah. Keten­tuan tersebut dituangkan pada Pasal 12 Ayat (1) Huruf P yang berbunyi: “tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan.” Suatu opini dalam pemberitaan yang mencuat atas solusi yang ditawarkan pemerintah dalam konsep RUU Pilkada tersebut mengungkapkan, jika dicermati lebih intens, solusi yang ditawarkan Pemerintah adalah inkonstitusional, hal tersebut karena ber­tentangan dengan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. Bahwa Negara memberikan perlakuan yang sama dalam pemerintahan untuk setiap WNI, dalam hal ini dapat diinterpretasikan sebagai hak untuk dipilih dalam pemilihan umum. Dengan adanya Pasal 12 Ayat (1) Huruf P tersebut, akan mencederai hak konstitusional kerabat para Gubernur karena menghalang-halangi hak mereka untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Itu selintas gambaran bagaimana Kompas dan Koran Tempo memenuhi aspirasi public, melalui pembingkaian berita mengenai fenomena politik yang sedang berkembang dan pro kontranya saat ini. A. Framing Harian Kompas Merespon munculnya fenomena isu Politik Dinasti di Pemprov Banten, harian KOMPAS mengangkat fenomena harapan politik masyarakat terhadap pengkritisan fenomena politik Dinasti Gubernur Atut di Prov Banten dalam pemberitaannya. Seperti Kompas, edisi Rabu, tanggal, 16 Oktober 2013, halaman 2, kolom, 1-4, dengan frame sebagai berikut: Judul Utama: Politik Dinasti Rawan Judul kedua (sub judulnya): Demokrat dan Golkar Merasa Tak Ada Peraturan yang Dilanggar Lead berita: “Politik dinasti makin menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di Indonesia, praktik politik dinasti yang merupakan anomaly dalam demokrasi dibangun untuk mempertahankan dan mengendalikan kekuasaan secara penuh hingga lepas dari kendali.” Kutipan Sumber-1: “Politik dinasti membuat demokrasi kehilangan daya tarik dimata publik,” kata pengajar sosiologi Univ Gajah Mada, Arie Sudjito, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (15/10). 370 PROSIDING Kutipan Sumber-2: Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakri, mengatakan: Keluarga Atut dipilih sesuai dengan aturan yang ada, jika mau dirubah, aturannya harus dirubah. Kutipan Sumber-3: Presiden Susilo Bambang Yodhoyono mengingatkan, meskipun konstitusi ataupun undang-undang tidak melarang orang yang memiliki hubungan kekerabatan menduduki jabatan di daerah, ada batasan norma kepatutan. Menurut presiden, berbahaya jika kekuasaan politik dan kekuatan bisnis menyatu di daerah (Kompas, 12/10) Ketua Harian Partai Demokrat, Sjarifudin Hasan menyatakan, pencalonan sejumlah kerabat Yudhoyono itu tidak menjadi masalah karena telah memenuhi batas kepatutan yang diadopsi partai Demokrat. “pertama, dia memiliki kemampuan atau kualitas. Kedua, harus dibatasi. Di partai Demokrat, misalnya, dibatasi tidak boleh lebih dari dua dalam satu keluarga inti,” DPR dan Pemerintah Pimpinan Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) Komisi II DPR, Arif Wibowo, menyatakan, semua fraksi di DPR sepakat mencegah adanya mpraktik politik dinasti. Namun, mereka belum sepakat dengan model pencegahan yang diusulkan pemerintah karena dapat berarti mengebiri hak politik warga Negara. Untuk mencegah politik dinasti, dalam Pasal 12 Huruf (p) RUU Pilkada yang disusun pemerintah disebutkan, calon Gubernur tidak boleh memiliki ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan Gubernur dan Bupati/Walikota, kecuali ada selang waktu minimal satu tahun. Sementara dalam Pasal 70 Huruf (p) disebutkan, calon Bupati tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan Gubernur dan Bupati/Walikota, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan. Pimpinan Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) Komisi II DPR, Arif Wibowo: “Kami mengusulkan jalan tengah, antara mencegah politik dinasti yang cenderung menyeleweng dan jaminan terhadap hak politik warga Negara, misalnya dengan memperberat syarat pencalonan agar tidak muncul calon karbitan dari keluarga kepala daerah. Kepala daerah juga harus mundur jika ada kerabanya ikut pilkada,” ujar arif. (Kompas, 16 Oktober 2013, hal.2/Kolom 2-5) PROSIDING 371 Frame Harian Kompas: Adanya Realitas isu Dinasti Politik Gubernur Atut di Banten Elemen Strategi Penulisan Sintaksis Frame menunjukkan pandangan harian Kompas tentang adanya Politik Dinasti Dalam Pemerintahan Provinsi Banten yang bisa merusak tatanan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pandangan seperti itu terlihat pada judul-judul berita, bentuk leed, strategi pengemasan teks-teks beritanya dan substansi isi pemberitaannya. Sintaksis Pengutipan sumber-sumber berita yang relevan yang menyatakan adanya keterkaitan penempatan pimpinan politik pemerintahan berbasis hubungan darah dan perkawinan dengan upaya membangun dinasti politik, setidaknya dengan mengangkat pemberitaan seputar isu dinasti politik Gubernur Atut, ditempatkan pada posisi headline, latar, dan lead berita dengan model piramida terbalik. Seperti pada pemberitaan Kompas, tanggal, 16 Oktober 2013 yang berjudul (1): Politik Dinasti Rawan; (2) sub judulnya: Demokrat dan Golkar Merasa Tak Ada Peraturan yang Dilanggar. Kutipan Sumber-1: Pengajar sosiologi Univ Gajah Mada, Arie Sudjito; Kutipan Sumber-2: Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakri; Kutipan Sumber-3: Presiden Susilo Bambang Yodhoyono; Kutipan Sumber-4: Pimpinan Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) Komisi II DPR, Arif Wibowo. Dst. 372 PROSIDING Skrip Framing harian Kompas yang memaknai adanya dukungan terhadap upaya pembenahan Regulasi sebagai antisipasi Politik Dinasti, melalui ungkapan yang mengisahkan “Politik dinasti makin menyuburkan praktik KKN. Di Indonesia, praktik politik dinasti yang merupakan anomaly dalam demokrasi dibangun untuk mempertahankan dan mengendalikan kekuasaan secara penuh hingga lepas dari control (Kompas, 16 Okt 2013) “Politik dinasti membuat demokrasi kehilangan daya tarik dimata publik” (Skrip). Kompas dalam Judul “Politik Dinasti Rawan”, menulis kalimat berita “pimpinan Panitia Kerja RUU Pilkada, Komisi II DPR, Arif Wibowo, menyatakan, semua fraksi di DPR sepakat mencegah adanya praktik Politik dinasti, namun mereka belum sepakat dengan model pencegahan yang diusulkan pemerintah karena dapat berarti mengebiri hak politik warga Negara. (Kompas, 16-102013) Tematik Elemen tematik yang ditampilkan harian Kompas adalah adanya koherensi yang tampak pada beberapa kalimat yang menghubungkan setiap alinea pada berita yang ditampilkan, terutama dengan pengutipan statemen orangorang /tokoh yang diasumsikan relevan untuk dimuat, yaitu: Kutipan statemen -1: “Politik dinasti membuat demokrasi kehilangan daya tarik dimata public,” kata pengajar sosiologi Univ Gajah Mada, Arie Sudjito, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (15/10). Kutipan statemen -2: Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakri, mengatakan: Keluarga Atut dipilih sesuai dengan aturan yang ada, jika mau dirubah, aturannya harus dirubah. Kutipan statemen -3: Presiden Susilo Bambang Yodhoyono mengingatkan, meskipun konstitusi ataupun undangundang tidak melarang orang yang memiliki hubungan kekerabatan menduduki jabatan di daerah, ada batasan norma kepatutan. Kutipan statemen -4: semua fraksi di DPR sepakat mencegah adanya praktik Politik dinasti, namun mereka belum sepakat dengan model pencegahan yang diusulkan pemerintah karena dapat berarti mengebiri hak politik warga Negara. (Kompas, 16-10-2013) PROSIDING 373 B. Framing Harian Koran Tempo Senada dengan harian Kompas, demikian pun Koran Tempo memaknai isu adanya keterkaitan antara Politik Dinasti Keluarga Besar Atut dalam Pemerintahan Provinsi Banten sebagai suatu fenomena politik yang menjadi pengganjal berlangsungnya demokratisasi dalam proses pemilihan politik yang fair bagi semua warga Banten yang akan menggunakan hak-hak politiknya, sehingga menjadi peristiwa politik yang penting untuk dikaji prospek solusinya. Seperti Koran Tempo, edisi Senin, 14 Oktober 2013, halaman 1, kolom, 1-4, dengan frame dua berita sekaligus: Berita Pertama, Judul Utama: KPK Bongkar Gurita Bisnis Dinasti Atut Sub Judul: Bisnis Politiknya merambah hingga ke Tangerang Selatan Komisi Pemberantasan Korupsi berjanji mengembangkan kasus Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan Tak sebatas suap terhadap Akil Mochtar-saat itu Ketua Mahkamah Konstitusi-tapi juga gurita bisnis dinasti Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Wawan yang kini ditahan bersama Akil adalah adik Ratu Atut. Kami akan usut intensif dugaan korupsi yang melibatkan struktur kekuasaan kata Wakil Ketua KPK Busyro Muqqodas Sebelumnya KPK telah menggeledah perusahaan milik Wawan PT Bali Pacific Pragama di Jakarta dan Serang. (Koran Tempo, 14-10-2013) Berita Ke dua, berjudul: Selingkuh Politik – Bisnis Lead berita: “Sebelas tahun berkuasa, Gubernur Ratu Atut Chosiyah sukses menarik gerbong politik dan bisnis keluarganya. Bersamaan dengan naiknya anggota klan Atut di lima wilayah, makin semarak pula bisnis keluarga itu di semua sector, ini hanya sebagian dari proyek mereka.” Kutipan Sumber-1: “Kami akan usut intensif, dugaan kekuasaan,” kata wakil ketua KPK Busyro Muqqodas. Sebelumnya KPK telah menggeledah perusahaan milik Wawan, PT. Bali Pasifik Pragama, di Jakarta dan Serang. Kutipan Sumber-2: Wawan diduga berperan memainkan proyek. “Dia menggiring proyek supaya dikerjakan perusahaan keluarganya,” Kata seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kepada Tempo, kemarin malam. Wawan disebut-sebut sering berkoordinasi dengan para kepala dinas dan jarang sekali usul program itu dimentahkan Dewan. “Karena Wawan juga memegang top leader di DPRD Banten, dari fraksi sampai komisi,” katanya. Praktek yang sama diduga dilakukan di kabupaten/kota yang dikuasai dinasti Ratu Atut. (Koran Tempo, 14-10-2013). 374 PROSIDING Frame : Adanya Realitas isu Dinasti Politik Gubernur Ratu Atut di Banten Elemen Strategi Penulisan Sintaksis Pengutipan sumber-sumber berita yang relevan yang menyatakan adanya keterkaitan penempatan pimpinan politik pemerintahan berbasis hubungan darah dan perkawinan dengan upaya membangun dinasti politik. Fenomena Politik Dinasti Gubernur Atut dibingkai oleh Koran Tempo melalui Pola penempatan beritanya pada posisi headline, latar, dan lead berita dengan model piramida terbalik. Skrip Fram Harian Koran-Tempo yang memaknai adanya ProKontra terhadap kehidupan politik dinasti dalam sistem pemerintahan daerah, itu juga diwujudkan dalam bagaimana Harian Koran Tempo mengisahkan peristiwa tersebut, melalui Skrip dengan kelengkapan unsure berita (5w+1H). Peristiwa yang dikisahkan Koran Tempo adalah dengan pernyataan kalimat beritanya seperti pada berita berjudul: Dinasti Keluarga Atut & Kemiskinan di Banten. Gubernur Banten sekaligus kakak ipar Airin, Ratu Atut Chosiyah (kanan) melantik Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Airin Rachmi Diany-Benyamin Davnie, di Kampus Universitas Terbuka (UT), Tangerang Selatan (April 2011). Menjabatnya Airin diduga sebagai usaha untuk memperkokoh dinasti keluarga Atut di Banten. TEMPO, Selasa, 08 Oktober 2013 Tematik Elemen tematik yang ditampilkan harian Koran Tempo adalah adanya koherensi yang tampak pada beberapa kalimat yang menghubungkan setiap alinea pada berita yang ditampilkan. Pengutipan statemen sumber berita yang dipandang relevan, missal pada berita Klan Atut Berkuasa di Lima Daerah, Ketua Partai Golkar Fadel Muhammad tak memungkiri Ratu Atut Chosiyah sebagai Ketua Golkar di Banten memiliki beban memenangkan kader-kadernya di Banten Atut harus mampu menyiapkan kader dan membuktikan… Koran Tempo, 5-102013. PROSIDING 375 Retoris Harian ini telah melakukan pemilihan dan pemakaian katakata tertentu untuk memframe isu Adanya Realitas Politik Dinasti Gubernur Atut di Banten, seperti pada kalimat dalam judul berita: “KPK Bongkar Gurita Bisnis Dinasti Atut; Selingkuh Politik – Bisnis” (Koran Tempo, 14-10-2013). Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Heryani (kanan) menjabat sebagai wakil Bupati Pandeglang periode 2011-2016. Heryani merupakan isteri kelima Chasan Sochib, ayah Atut, ini berhasil memenangkan Pilkada Pandeglang ulangan pada Desember 2010 lalu. ANTARA/Asep Fathulrahman. Pada aspek lain menggunakan grafis lima wilayah kekuasaan Dinasti Atut, dan foto pimpinan daerah (1 kerabat) untuk penekanan berita tentang isu tersebut melalui penggunaan huruf kapital di setiap katanya dengan ukuran besar dan hitam tebal (bold) dan sebagian di blok warna merah sehingga tampak penonjolannya dan menimbulkan daya tarik bagi khalayak pembaca. 6.1.6 Interpretasi Dari informasi (teks-teks berita) yang telah diuraikan, bahwa media telah menyampaikan berita-berita yang telah mengindikasikan terjadinya hubungan kekerabatan dari klan Gubernur Ratu Atut Chosiyah dalam jajaran pemerintahan di provinsi Banten. Dalam konteks tersebut terbentuknya citra politik dinasti Gubernur Atut itu merupakan realitas sesungguhnya atau hanya frame (bingkai) dari media yang jeli memberitakannya tersebut ? Untuk mengetahui hal tersebut, maka setelah dilakukan analisis framing dengan menggunakan varian Pan dan Kosicki dalam bagian ini dilakukan interpretasi atau penafsiran dengan mendasarkan pada pandangan konstruksionis, mengacu pada teori Shoemaker dan Reese serta agenda setting, yang hasilnya sebagai berikut: A. Framing Harian Kompas Harian Kompas memaknai realitas isu Politik Dinasti –Gubernur BantenRatu Atut sebagai realitas sesungguhnya. Dari strategi penulisannya, harian ini mengkonstruksi teks tentang isu tersebut melalui pengutipan sumber-sumber berita yang relevan, melalui penempatan judul utama (headline), lead berita dalam bentuk piramida tebalik. Fram Harian Kompas juga memaknai adanya kecenderungan penguatan jaringan kekerabatan dalam kepemimpinan di lingkup pemerintahan provinsi Banten maupun di wilayah Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten. Dinamika hubungan Kekerabatan terlihat pada Posisi Gu- 376 PROSIDING bernur dipegang Ratu Atut sementara kerabatnya di posisi sebagai Bupati, wakil Bupati, kepala Dinas dan sebagainya. Semua menunjukkan adanya hubungan kerabat atas dasar hubungan darah dan ikatan perkawinan. Dalam pandangan konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektivitas wartawan. Dalam konteks ini, Harian Kompas telah menghadirkan fakta atau realitas adalah hasil konstruksi wartawannya, termasuk juga medianya yang menurut pandangan ini adalah agen konstruksi pesan. Artinya, media bukanlah sebagai saluran yang netral, tetapi juga subyek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakannya. Harian Kompas memaknai adanya isu Politik Dinasti Ratu Atut tersebut menjadi penting karena menempatkan judul utama, penggunaan label dan jenis huruf yang lebih menonjol dari berita-berita yang lain sehingga teori agenda setting yang direfleksikan redaksinya bahwa isu itu adalah penting. Dari sudut teori Shoemaker dan Reese yang menyebutkan dua konsep dalam melihat realitas yang direfleksikan media, yaitun konsep media secara aktif dan konsep media secara pasif, maka dalam konteks ini, bahwa konsep media secara aktiflah yang relevan dalam kaitannya pemaknaan Harian Kompas terhadap isu Politik Dinasti Ratu Atut. Hal ini juga sesuai dengan paradigma konstruksionis yang digunakan, yang memandang media dilihat bukan sebagai saluran yang bebas atau netral melainkan sebagai subyak yang turut mengkonstruksi realitas, di mana para pekerja yang terlibat dalam memproduksi pesan juga menyertakan pandangan, bias dan pemihaknya. B. Framing Harian Koran Tempo Koran Tempo memaknai isu Politik Dinasti Ratu Atut, juga sama seperti Kompas, sebagai suatu fenomena yang penting dalam perkembangan politik demokrasi. Dari sisi penempatan berita, teks tentang isu Politik Dinasti Ratu Atut tersebut berada dalam beberapa kolom, artinya memberikan keleluasaan dalam mengungkap substansi materi yang penting diketahui masyarakat. Seperti pada berita berjudul: “Jawara, Ulama, dan Golkar dalam Dinasti Ratu Atut, dan KPK Bongkar Gurita Bisnis Dinasti Atut”. Dalam mengkonstruksi teks-teks beritanya, Koran Tempo memberi penonjolan adanya Politik Dinasti Ratu Atut, yaitu melalui penonjolan dalam penempatan judul berita menggunakan “huruf capital yang dicetak tebal (bold), sehingga lebih menonjol dibanding dengan pemberitaan dengan judul yang lain. Pemaknaan Koran Tempo terhadap isu politik dinasti Ratu Atut tersebut telah sesuai dengan pandangan konstruksionis yang mengatakan bahwa realitas adalah hasil konstruksi wartawannya, dalam hal ini redaksi Koran Tempo telah mengkostruksi isu Politik Dinasti dengan mengemas berita tentang terbangunnya hubungan kekerabatan dalam lingkup pemerintahan di Provinsi PROSIDING 377 Banten. Hal ini juga serupa dengan yang diberitakan Harian Kompas yang memaknai isu politik dinasti Ratu Atut menjadi penting dipublikasikan untuk mendapat respond dan pembahasan publik. Sama halnya dengan Harian Kompas, maka konsep media secara aktif dari Shoemaker dan Reese, menjadi relevan dalam kaitannya pemaknaan Koran Tempo terhadap isu politik dinasti Ratu Atut. Hal ini juga sesuai dengan paradigma konstruksionis yang digunakan, yang memandang media bukan sebagai saluran yang bebas atau netral melainkan sebagai subyak yang mengkonstruksi realitas. Koran Tempo menampilkan frame tentang isu politik dinasti tersebut sebagai fenomena yang penting dikritisi seperti diharapkan dari pemberitaan pada teks-teks berita yang berisi adanya keterkaitan hubungan kekerabatan dalam sistem pemerintahan di Provinsi Banten, meski dari berbagai perspektif masih terjadi pro-kontra karena belum ada aturan yang secara tegas melarang adanya hubungan kekeluargaan dalam pemerintahan. Kedua media pemberitaan (Harian Kompas dan Koran Tempo) ini samasama memandang fungsi agenda settingnya menjadi penting ditonjolkan, karena teks yang disajikan kedua harian tersebut mencakup berbagai pelabelan guna meyakinkan publik pembaca pada potensi dibangunnya politik dinasti keluarga besar Ratu Atut yang sebelumnya merupakan pewarisan dari ayahnya (Kasan) yang juga merupakan tokoh penting di pemerintahan di Provinsi Banten. 7. Penutup 7.1 Simpulan 1. Harian Kompas mengkonstruksi realitas isu politik dinasti Ratu Atut di Provinsi Banten didasarkan pada penempatan teks pemberitaannya melalui pengutipan sumber-sumber berita yang relevan, melalui judul utama (headline), lead berita dalam bentuk piramida terbalik. 2. Harian Kompas memaknai realitas isu politik dinasti Ratu Atut di Provinsi Banten sebagai realitas sesungguhnya, juga memaknai adanya indikasi hubungan antara penempatan pimpinan pemerintahan di provinsi dan pabupaten serta di beberapa lembaga dengan pengembangan dinasti politik sebagai upaya membangun jaringan kerjasama yang bisa menguntungkan kepentingan kerabat (keluarga besar dinasti Ratu Atut Chosiyah). 3. Koran Tempo telah mengkonstruksi isu politik dinasti sebagai informasi yang penting direspon oleh semua pihak untuk melihat bagaimana prospek ke depannya bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Dari sisi penempatan berita, teks tentang isu dinasti politik keluarga besar Ratu Atut tersebut berada dalam topik dan judul pemberitaan yang sangat 378 PROSIDING 4. 5. 6. menonjol. Koran Tempo, sangat tegas memblok satu halaman penuh (di halaman paling depan) hanya untuk satu pemberitaan berkait dengan politik dinasti Banten, Ratu Atut, dengan judul yang sangat mencolok. (Seperti, Koran Tempo, edisi tanggal, 14 Oktober 2013, dengan dua judul sekaligus yang saling mendukung. Judul pertama “KPK Bongkar Gurita Bisnis Dinasti Atut”. Judul kedua, “Selingkuh Politik-Bisnis”. Koran Tempo telah memaknai isu tentang politik dinasti Ratu Atut sebagai sesuatu gejala komunikasi politik yang kontroversi, dengan mengkemas berita tentang penegasan Gubernur Ratu Atut bahwa tidak ada dinasti dalam pemerintahan di Banten….. maju sebagai calon pimpinan daerah secara prosedural memenuhi aturan main yang berlaku, dipilih oleh rakyat. Terdapat kesamaan dalam hal mengonstruksi teks berita antara Harian Kompas dan Koran Tempo. Hanya saja Koran Tempo tampak lebih berani dan tegas dalam menampilkan persoalan politik dinasti. Seperti menyediakan satu halaman penuh, di halaman pertama hanya untuk satu pemberitaan berkait dengan politik dinasti Banten, Ratu Atut, dengan judul yang sangat mencolok. Dalam penggunaan bahasa sebagai strategi komunikasi untuk sosialisasi dan penekanan pesan komunikasi terkait eksistensi politik dinasti di lingkup pemerintahan Provinsi Banten, kedua harian Kompas dan Koran Tempo, cukup baik, jelas dan mudah dipahami. 7.2 Signifikasi Penelitian 1. Signifikasi Akademis-Metodologis Penelitian ini, secara teoritis, dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan teori dan metode, terutama komunikasi politik. Penggunaan teori-teori media, yaitu teori konstruksi realitas oleh media yang dikemukakan Shoemaker dan Reese (1996), kemudian teori efek media (agenda setting), ternyata telah memperkaya analisis atau pembahasan interpretasi, yaitu terdapat kesesuaian antara teori dengan cara-cara media mengkontruksikan suatu peristiwa ke dalam teks pemberitaannya. 2. Signifikansi Praktis Media massa (dalam penelitian ini adalah media massa cetak/surat kabar) dinilai memiliki potensi kuat dalam penyebarluasan pesan-pesan politik, melakukan sosialisasi politik, dan membentuk opini publik. Dalam konteks ini, pandangan tersebut menurut hasil penelitian terhadap Harian Kompas dan Koran Tempo dengan metoda analisis framing ternyata benar adanya. Pengembangan realitas kehidupan politik dinasti Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah sebagaimana telah dikonstruksi dalam pemPROSIDING 379 beritaan harian Harian Kompas dan Koran Tempo edisi Oktober 2013, memahamkan kepada publik pembacanya. Oleh karenyanya, kemunculan opini pro dan kontra mengindikasikan secara teoritis media menaruh penghargaan terhadap hak privasi publik untuk beropini sebagai pihak yang memiliki nilai subjektivitas utamanya dalam merespon pemberitaan oleh kedua media ini. Daftar Pustaka Abrar. 2004. Memberi Perspektif Pada Ilmu Komunikasi, dalam Nunung Prajarto, Komunikasi, Negara dan Masyarakat. Yogyakarta: Fisipol UGM. Cangara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik, Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Denis Mc.Quail. 1996. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Erlangga. Eriyanto. 2005. Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa, Sebuah Studi Critical Discurse Analysis terhadap Berita-berita Politik, Jakarta: Granit. Kovach, Bill dan Tom Rorosentiel, 2003. Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya diketahui Wartawan dan yang Diharapkan Publik. Jakarta: Pantau. Nimo, Dan. 1993. Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan dan Media. Bandung: Remaja Rosda Karya. Nugroho, Bimo, Eriyanto, dan Frans Surdiasis, 1999. Politik Media Mengemas Berita, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. Rakhmat, Jalalludin. 1995. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Salim, Agus (Penyunting). 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Pemikiran Norman K. Denzin & Egon Guba, dan Penerapannya). Yogyakarta: Tiara Wacana. Severin, Werner J – Jemes W. Tankard, Jr. 2005. Teori Komunikasi, Sejarah Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Prenada Media. Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 380 PROSIDING Internet: Shoemaker dan Reese. 1996. Dalam Dede Drajat, 2011. “Studi Analisis Framing Isu Konflik dalam Penyajian Berita pada Surat Kabar Mercusuar, http:// mitrapustaka.blogspot.com/2011, akses 17-10-2013. Ukhaerunisa, Y. 2012. Alat Komunikasi Politik. http://ukhaerunisa.word press.com/ 2012/05/27/alat-komunikasi-politik/ Akses, 19-10-2013 Zahri Nasution. 2007. Bahasa sebagai Alat Komunikasi Politik dalam Rangka Mempertahankan Kekuasaan, Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, Desember, 2007, p. 445-464, Error! Hyperlink reference not valid., akses, 12-11-2013 ------, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/ Akses, 17-102013). ------, Ironi pertumbuhan. http://regional.Kompas.com/read/2013/10/22/ 1013262/ Kemiskinan.di.Banten.Saat.Rumah.Atut.Tak.Sesuai.Harapan. PROSIDING 381 382 PROSIDING KEARIFAN LOKAL DALAM NOVEL DI ANTARA DUA CINTA: SEBUAH UPAYA PEMERTAHANAN ADAT DAN HUKUM ADAT SUKU DAYAK DARI PENDATANG (LUAR) Derri Ris Riana Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur Pos-el: derririsriana@yahoo.co.id Inti Sari Penelitian ini bertujuan merefleksikan peran kearifan lokal suku Dayak dalam upaya pemertahanan terhadap pendatang (luar). Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis dengan didukung oleh pendekatan antropologi sastra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal, khususnya adat istiadat dan hukum adat suku Dayak, mampu mengatur seluruh perilaku masyarakat suku Dayak dan memfilter pengaruh pendatang (luar). Oleh karena itu, pendatang (luar) harus beradaptasi dengan budaya setempat jika tidak ingin berhadapan dengan pelanggaran hukum adat yang memiliki konsekuensi sanksi adat. Kata kunci: kearifan lokal, adat istiadat, hukum adat, suku Dayak Abstract This study aims to reflect the role of Dayak local wisdom in a purpose to defence from outsider. It uses descriptive analysis method that is supported by literature antropology theory. The result shows that local wisdom, especially Dayak’ customs and adat law, can regulate all the society’attitudes and filter the influence from outsider. Therefore, the outsider has to adapt to the local culture if he doesn’t want to deal with transgressions toward adat law that has the concequence of fine law. Key words: local wisdom, custom, adat law, Dayak tribe 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Suku Dayak merupakan sebutan bagi suku asli Kalimantan yang sebagian besar tinggal di pedalaman. Seperti halnya suku-suku lain di Indonesia, suku PROSIDING 383 Dayak juga memiliki kekhasan tersendiri sehingga membedakannya dengan suku lain. Identitas yang melekat pada suku Dayak adalah bertelinga panjang, bertempat tinggal di rumah panjang, dan berprofesi berburu dan berladang. Jumlah suku Dayak di Kalimantan mencapai ratusan, terdiri atas tujuh suku, dan ketujuh ini terdiri dari 18 anak suku yang sedatuk, dan 18 suku yang sedatuk ini terdiri dari 405 suku kekeluargaan (Riwut, 1993:234). Ratusan suku Dayak itu tersebar di berbagai penjuru di wilayah kalimantan. Walaupun tempat tinggal antara suku Dayak satu dan suku Dayak lainnya saling berjauhan karena faktor geografis, mereka tetap memiliki berbagai kesamaan dalam hal adat istiadat. Kenyataan itu disebabkan oleh keberadaan mereka yang serumpun, serta kepatuhan terhadap adat dan hukum adat yang memang sangat dijunjung tinggi. Selain itu, terjadinya perkawinan antarsuku Dayak semakin memperkokoh entitas Dayak itu sendiri. Suku Dayak memiliki adat istiadat dan hukum adat yang sangat kompleks karena mengatur seluruh tingkah laku anggota masyarakatnya dari lahir sampai meninggal, misalnya adat bergaul, adat bertamu, adat pernikahan, adat kematian, dan lain-lain. Adat istiadat dan hukum adat itu bersifat mengikat seluruh anggota masyarakatnya yang memang berfungsi sebagai kontrol sosial. Jadi, anggota masyarakat tidak dapat berbuat sewenang-wenang karena ada aturan yang harus ditaati. Walaupun tidak tertulis dan tidak terkodifikasi, aturan-aturan itu tetap dipatuhi dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Masyarakat Dayak yang terpaut erat dengan budaya dasarnya membentuk mereka dalam pendirian, prinsip, dan tata cara hukum adatnya menjadikan mereka sangat kukuh dalam menegakkan perilaku. Mereka berpegang teguh pada kepercayaan nenek moyangnya (Asya’rie, 2002:1—2) Tidak semua orang memahami aturan dalam adat istiadat Dayak. Salah satu orang yang dianggap menguasai seluruh adat istiadat adalah kepala adat. Kepala adat tidak hanya bertanggung jawab terhadap pelanggaran hukum adat, tetapi juga terhadap kesejahteraan rakyatnya. Semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan dan administrasi dipegang oleh kepala adat. Seorang kepala adat yang didampingi beberapa ahli adat berhak untuk memutuskan apabila ada pelanggaran adat yang dilakukan anggota masyarakat. Berat atau ringannya pelanggaran itu diputuskan di dalam sebuah rapat rapat yang dihadiri oleh seluruh anggota masyarakat. Pelanggar adat akan diberi sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Inni Indarpuri dalam novel Di Antara Dua Cinta secara lugas menceritakan kedudukan hukum adat bagi masyarakat Dayak. Inni Indarpuri adalah perempuan penulis yang berasal Samarinda, Kalimantan Timur. Penulis yang lahir di Malang pada tanggal 5 Agustus 1970 ini adalah salah satu penulis yang sering mengangkat eksotisme alam dan 384 PROSIDING budaya Kalimantan Timur dalam setiap karyanya. Beberapa karyanya yang mengupas alam dan budaya Kalimantantan Timur adalah novel Di Antara Dua Cinta, Gampiran, dan Never Give up. Dari karya-karyanya itu terekspos secara detil daerah pedalaman Kaltim yang belum terjamah oleh dunia luar, serta budaya Dayak yang memiliki adat istiadat sangat kental. Selama ini penulis Kaltim yang secara gencar menyuarakan budaya Dayak adalah Korrie Layun Rampan. 1.2 Masalah Salah satu novel Inni Indarpuri yang mengekspos adat istiadat dan hukum adat Dayak secara gamblang adalah novel Di Antara Dua Cinta. Novel ini membalut budaya Dayak dengan konflik kisah cinta segitiga dari tokoh utama. Novel yang diterbitkan pada tahun 2011 ini bercerita tentang tokoh utama, Horizon. Ia adalah seorang guru yang ditempatkan di pedalaman Kutai Barat, yaitu Kampung Rikong, Kecamatan Muara Pahu. Kampung Rikong tidak hanya dikenal dengan lokasi yang susah dijangkau, tetapi juga adat istiadat Dayak yang masih kental. Horizon berbenturan hukum adat Dayak yang membuatnya harus berhadapan dengan denda adat. 1.3 Tujuan (1) Penelitian ini bertujuan mengungkapkan pemanfaatan kearifan lokal (adat istiadat dan hukum adat Dayak) (2) Fungsi kearifan lokal dalam menyaring pengaruh pendatang. Kajian ini mengarah pada penggalian dan pemanfaatan kearifan lokal suku Dayak dalam upaya memfilter pengaruh pendatang. Diharapkan dari pembahasan itu dapat terkuak kondisi adat istiadat dan hukum adat yang masih berlaku di dalam masyarakat Dayak dan cara pendatang seharusnya menyikapi kearifan lokal masyarakat setempat yang kontras dengan budaya sebelumnya. 2. Teori Kearifan lokal adalah kekayaan leluhur yang sarat dengan nilai-nilai, konsep, dan tata cara hidup masyarakat. Kekayaan itu perlu dilestarikan dan dipertahankan karena menjadi tonggak identitas suatu masyarakatnya. Identitas itulah yang membedakan antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok yang lain. Hilangnya identitas akan berdampak pada labilnya keberadaan kelompok masyarakat sehingga dapat dengan mudah terpengaruh oleh budaya luar. Padahal, fungsi kearifan lokal adalah mengantisipasi, menyaring, bahkan mentransformasikan berbagai bentuk pengaruh budaya luar sehingga sesuai dengan ciri-ciri masyarakat lokal (Ratna, 2011:94—95). PROSIDING 385 Terbentuknya masyarakat didasarkan pada kebersamaan yang disebut sebagai solidaritas sosial. Durkheim dalam Faruk membagi solidaritas sosial ke dalam 2 tipe, yaitu: solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Dalam kajian ini masyarakat yang dimaksud terdapat pada tataran solidaritas mekanik yang memiliki indikator bahwa ruang lingkup dan kerasnya hukumhukum yang bersifat menekan (represif), biasanya menyatakan diri dalam bentuk kemarahan kolektif terhadap pelanggaran atas norma-norma kehidupan bersama (Durkheim dalam Faruk, 2012:28). Dari definisi yang diungkapkan oleh Durkheim tersebut masyarakat suku Dayak termasuk ke dalam tipe ini karena kesatuan mereka didasarkan atas ikatan emosional dan kebersamaan yang sangat erat, serta diikuti oleh adat dan hukum adat yang bersifat represif. Kearifan lokal yang diperbincangkan dalam kajian ini mengarah pada adat istiadat dan hukum adat suku Dayak. Salah satu teori yang memberi batasan tentang adat dan hukum adat adalah teori L. Pospisil (Koentjaraningrat, 1983:203—205). Keempat ciri hukum/ attribute of law adalah sebagai berikut. 1. Attribute of authority menentukan bahwa aktivitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan-keputusan melalui suatu mekanisme yang diberi wewenang dan kekuasaan dari masyarakat. 2. Attribute of intention of universal application menentukan bahwa keputusankeputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang dan yang harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa serupa dalam masa yang akan datang. 3. Attribute of obligation menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pemegang kuasa harus mengandung perumusan dari kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua, tetapi juga hak pihak kedua yang harus dipenuhi oleh pihak kesatu. 4. Attribute of sanction menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya. Dari teori Pospisil di atas diperoleh gambaran yang jelas tentang aspekaspek yang diperlukan untuk masuk ke dalam kategori hukum adat. Tidak semua adat istiadat/tata cara/kebiasaan digolongkan ke dalam hukum adat. Adat-kebiasaan (Inggris: custom) adalah tradisi kebudayaan atau bentuk kebiasaan perilaku dalam suatu masyarakat atau kelompok sosial (Hariantho, 2008:13—14). Pembeda di antara keduanya terletak pada konsekuensi dari hukum adat adalah adanya sanksi hukum atas pelanggaran hukum adat. Menurut R. Soepomo dalam Muhjad (2011:1), hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh 386 PROSIDING pihak yang berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Lebih lanjut, Van Volenhoven (Lahajir, 2008:25) juga menambahkan definisi tentang hukum adat, yaitu: Hukum adat adalah merupakan hukuman yang tidak bersumber kepada undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah, tetapi kumpulan norma-norma yang bersumber dari rasa keadilan yang selalu berkembang di masyarakat yang meliputi peraturan-peraturan serta tingkah laku sehari-hari dalam melakukan aktivitas kehidupan selama hidup. Meskipun beberapa peraturan tidak tertulis namun selalu ditaati, dan dijunjung tinggi oleh anggota masyarakat karena di dalamnya mengandung akibat hukum berupa sanksi-sanksi baik dalam bentuk materi maupun non materi. Banyaknya sistem norma itu terkadang tidak dikuasai oleh semua anggota masyarakat sehingga muncul adanya kepala kepala adat dan ahli-ahli adat. Satu orang “ahli” adat dapat mencakup pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai semua norma dalam banyak institusi, bahkan semua institusi yang ada dalam masyarakatnya (Lahajir, 2008:16). Lebih lanjut, peranan kepala adat akan dijelaskan secara rinci oleh Lebar (Maunati, 2006:87), yaitu: “Kepala-kepala suku yang memimpin rumah (desa) diharapkan dapat memimpin dalam peperangan, menjalankan peradilan, dan mengawasi bendabenda keramat dan jalannya upacara-upacara keagamaan. Jabatan kepala suku diperoleh melalui pemilihan, tetapi biasanya seorang anak yang mumpuni akan menggantikan ayahnya sebagai kepala suku.” Adapun, keberadaan adat dan hukum adat suku Dayak didasarkan pada tiga hal, yaitu (1) menjaga keamanan umum masyarakat sesuku, (2) memelihara kedamaian di antara rakyat sesuku bahkan manusia pada umumnya, (3) memelihara derajat agama dan kepercayaan (Riwut, 1993:397). Berdasarkan ketentuan tersebut hukum adat suku Dayak berperan untuk menjaga keamanan dan ketertiban, serta mengatur perilaku anggota masyarakat. Masyarakat pun berkewajiban untuk mematuhi dan melestarikan hukum adat itu. 3. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis adalah metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2009:53). Penggunaan metode-metode itu akan didukung dengan pendekatan antropologi sastra. Penelitian antropologi sastra menitikberatkan pada dua. Pertama, meneliti tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya di dalam masyarakat (Endraswara, PROSIDING 387 2011:107). Antropologi sastra bila dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, berhubungan dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra (Ratna, 2007:351). 4. Pembahasan 4.1 Pergeseran Sosial dan Budaya Suku Dayak Suku Dayak yang menghuni hampir di seluruh pulau Kalimantan ini memang memiliki memiliki kearifan lokal yang sangat kaya. Sampai dengan sekarang kekayaan itu masih sangat melekat di masyarakat. Akan tetapi, ada sebagian kearifan lokal itu yang mulai bergeser karena pengaruh dari pendatang dan modernisasi. Salah satu kekhasan itu terletak pada tempat tinggalnya yang dinamakan rumah lamin atau lamin adat. Berikut ini adalah kutipan yang menyatakan keberadaan rumah lamin bagi masyarakat suku Dayak. Rumah Lamin atau Lamin Adat dalam bahasa Dayak berarti rumah panjang karena bentuknya yang panjang dan dibuat menyerupai rumah panggung yang tinggi, kolongnya mencapai 3 meter. Usia lamin biasanya ratusan tahun dengan tiang penyangga terbuat dari kayu gelondongan, biasanya kayu ulin yang diukir etnik. Ukuran rumahnya memanjang sekitar 200 meter dan memiliki lebar 25 meter, biasanya dihuni sekitar 20 keluarga, karena panjang inilah maka rumah lamin terdiri dari beberapa pintu yang dihubungkan beberapa tangga yang dipahat khusus (Di Antara Dua Cinta, hlm. 30). Rumah lamin yang bentuknya tinggi dan panjang ini memiliki berbagai fungsi. Tinggi rumah yang kira-kira mencapai 1—5 meter ini berfungsi untuk menghindari banjir dan serangan binatang buas. Di bagian kolong rumah juga dimanfaatkan untuk memelihara babi. Selain itu, ada bagian tertutup yang digunakan untuk menumbuk padi dan keperluan lain-lain. Sementara itu, panjang rumah yang bisa mencapai ratusan meter itu difungsikan sebagai tempat tinggal puluhan keluarga. Rumah yang menjadi simbol suku Dayak ini juga dilengkapi dengan ornamen-ornamen ukiran khas suku Dayak, bahkan ada yang dilengkapi dengan tengkorak manusia di bagian beranda rumah. Keberadaan rumah panjang dianggap cukup penting bagi suku Dayak karena menjadi pusat tempat berkumpulnya keluarga yang masih berkerabat dan pusat kegiatan upacara-upacara adat dan keagamaan. Kenyataan itu tercermin di dalam novel Di Antara Dua Cinta, yaitu ketika Horizon disambut dengan upacara penyambutan tamu di rumah lamin. Pada saat ini sudah banyak masyarakat Dayak yang mulai mendirikan rumah tunggal yang letaknya tidak jauh dari rumah panjang. Kebanyakan kepala keluarg ayang memutuskan untuk keluar dari rumah panjang karena pertimbangan privasi dan kebebasan. Rumah panjang lebih difungsikan untuk 388 PROSIDING keperluan upacara-upacara adat walaupun masih banyak tetua Dayak yang tinggal di rumah panjang itu. Ciri khas lain yang menempel pada suku Dayak adalah praktik berburu kepala manusia. Akan tetapi, sejak adanya Perjanjian Tumbang Anoi Tahun 1894 permusuhan antarsuku Dayak yang memicu praktik ini dihentikan (Supriyadi, 2008:1). Perjanjian yang dihadiri oleh banyak tetua adat Dayak di seluruh wilayah Kalimantan itu membahas perihal keseragaman adat dan hukum adat. Salah satu pokok pembahasan adalah sesama suku Dayak tidak boleh saling menyakiti. Oleh karena itu, praktik mengayau dilarang sejak saat itu. Dalam novel Di Antara Dua Cinta pelaku praktik ini meyakini bahwa kepala manusia mengandung simbol dan makna yang luas dalam kaitannya dengan kekuatan supranatural. Selain bertujuan menambah kekuatan, praktik ini dapat membuang malapetaka. Semakin banyak kepala yang dipenggal, semakin besar kekuatan yang dimiliki oleh suku Dayak. Jika dilihat dari segi perekonomian, ciri khas masyarakat suku Dayak terletak pada mata pencaharian berladang. Setiap keluarga suku Dayak menanam padi di ladang dengan sistem pertanian ladang berpindah. Jika dirasa sudah tidak subur lagi, mereka akan membuka lahan yang lebih subur. Sebelum membuka lahan baru, mereka harus melakukan ritual-ritual khusus yang ditujukan kepada arwah leluhur, baik sebelum maupun sesudah panen. Selama musim berladang ini mereka akan fokus pada kegiatannya berladang, bahkan sampai menginap di ladang. Semua kegiatan menugal menggunakan mandau sebagai alat utama. Pada zaman dulu mandau digunakan sebagai senjata untuk menebas musuh pada waktu perang. Sejak praktik mengayau dilarang, mandau sekarang beralih fungsi menjadi alat menugal. Pergeseran itu disebabkan oleh adat istiadat yang berubah dan tuntutan zaman. Masyarakat suku Dayak masih menganut animisme dan dinamisme. Kepercayaan turun-temurun ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap rohroh leluhur, alam, ritual-ritual khusus, dan dukun. Orang Dayak percaya, roh nenek moyang akan menjaga mereka dari gangguan roh-roh jahat. Oleh karena itu, mereka melakukan berbagai ritual untuk melakukan persembahan kepada leluhur. Berikut ini kutipan yang memotret agama yang dianut suku Dayak. Kampung Rikong kental dengan aura bernuansa animisme dan dinamisme di mana masyarakat percaya kepada kekuatan roh dan bendabenda berkekuatan magic, sehingga dalam kegiatan apapun sangat menggantungan pada kekuatan alam dan leluhur ... (Di Antara Dua Cinta, hlm. 111—112). Jika dibandingkan dengan kondisi pada saat ini, masyarakat Dayak sudah banyak yang menganut agama Kristen dan Katolik. Hal itu terbukti dengan PROSIDING 389 banyak berdirinya gereja sebagai tempat ibadah. Masuknya misionaris ke daerah pedalaman Kalimantan menjadi faktor penting menyebarnya agama Kristen dan Katolik. Walaupun demikian, mereka masih melakukan ritualritual/upacara-upacara adat yang berkaitan dengan pemujaan terhadap roh leluhur mereka karena ketaatan mereka terhadap kearifan lokal leluhur. 4.2 Fungsi Kearifan Lokal dalam Memfilter Pengaruh Pendatang (Luar) Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat perlu dilestarikan dan dipertahankan. Tidak hanya berfungsi untuk menghormati nenek moyang/leluhur tetapi juga memfilter pengaruh dari luar. Pendatang (luar) yang masuk ke suatu kelompok masyarakat pada awalnya membekali dirinya dengan budaya yang ada didaerahnya/budaya bawaan. Budaya bawaan itu seringkali bertentangan dengan kearifan lokal masyarakat setempat. Pada taraf ini adat dan hukum adat yang berlaku di masyarakat itu seharusnya mampu menyaring pengaruh buruk dari pendatang (luar). Jika tidak, kearifan lokal semakin lama akan semakin bergeser, bahkan berubah mengikuti budaya pendatang sehingga identitas suku tersebut akan hilang. Novel Di Antara Dua Cinta mampu merefleksikan ketahanan dan keampuhan adat dan hukum adat Dayak dalam menghadapi pendatang. Pendatang luar, Horizon, yang kental dengan budaya kota harus mampu menyesuaikan diri dengan adat dan hukum adat Dayak. Sayangnya, ia tidak berusaha mengetahui dan memahami adat istiadat suku Dayak dengan benar. Ketidaktahuannya tentang adat istiadat inilah yang akhirnya memosisikan dirinya sebagai pelanggar adat. Horizon dianggap telah melanggar adat istiadat suku Dayak. Ia telah diadukan oleh warga karena sering melakukan aktivitas secara bersama-sama. Menurut adat istiadat suku Dayak, apabila ada seorang laki-laki mengajak perempuan untuk berjalan-jalan tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada ayah si gadis, ia dianggap melanggar adat. Berikut ini adalah kutipan yang menggambaran pelanggaran adat yang dilakukan oleh Horizon. Pelanggaran adat akan dikenakan denda dan akan dituntut dalam rapat adat. Laki-laki yang melanggar adat akan dituntut di antaranya adalah apabila seorang laki-laki mengajak perempuan untuk berjalan-jalan tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada ayah si gadis. Akan lebih berat lagi dendanya, apabila di antara mereka tidak saling mengenal, maka si lakilaki dianggap melakukan kesalahan dan dapat dituntut di rapat adat (Di Antara Dua Cinta, hlm. 155—156). Konsekuensi dari Hukum adat Dayak adalah sanksi/denda adat jika melakukan pelanggaran hukum adat. Pelanggar hukum adat akan dihadapkan pada rapat adat yang dihadiri oleh seluruh masyarakat. Jika ditetapkan bersalah, pelanggar harus memenuhi denda adat. Denda adat disesuaikan 390 PROSIDING dengan berat/ringannya pelanggaran dan jenis pelanggaran. Pelanggaran hukum adat Dayak yang telah dilakukan oleh Horizon membuatnya harus menanggung denda adat. Berikut ini adalah beberapa alasan dikenakan denda adat kepada Horizon. Dewan adat akan membahas tiga denda utama yaitu, pertama denda telah membuat keresahan orang banyak, yang kedua denda pengakuan telah membuat keributan untuk menjaga ketentraman kampung, dan ketiga, denda telah mengambil tunangan seseorang. Khusus denda yang terakhir, ini merupakan kewenangan pihak tunangan yang telah dirugikan, jadi dalam hal ini Ayus berhak mengemukakan dendanya (Di Antara Dua Cinta, hlm. 157). Denda adat yang pertama dan kedua dapat dipenuhi dengan mudah oleh Horizon jika ia bersedia untuk menikahi Leang. Horizon hanya perlu menyediakan piring putih. Akan tetapi, denda yang diajukan oleh Ayus sebagai mantan tunangan Leang lebih berat. Ia mensyaratkan Horizon untuk menggantikan janjinya sewaktu melamar Leang dulu untuk menguburkan tulangbelulang leluhur Leang di Long Apari. Horizon yang notabene bukan penduduk asli kampung Rikong tentu tidak mudah untuk memenuhi denda adat ini. Lokasi Long Apari sangat terisolasi karena terhadang hutan rimba dan dua jeram yang sangat berbahaya, yaitu Jeram udang dan Jeram Panjang. Hal inilah yang membuat denda adat itu sulit terpenuhi. Akan tetapi, Horizon tidak takut dengan tantangan itu. Dengan didampingi sahabatnya, Loren dan Ayus, Horizon akhirnya berangkat menuju Long Apari untuk memenuhi denda adat. Jika menolak untuk melaksanakan denda adat yang telah diputuskan di dalam rapat adat, Horizon harus membayar denda, baik itu berupa barang maupun pengucilan dari masyarakat. Bagi Horizon tentu tidak begitu berat karena bukan penduduk asli Kampung Rikong. Ia bisa saja pergi dari Kampung Rikong. Akan tetapi, bagi keluarga Leang pengucilan dari masyarakat tentu sangat berat. Terlebih lagi, ayah Leang adalah kepala adat yang merupakan orang yang berkewajiban untuk melestarikan adat. Ia akan menanggung malu seumur hidup. Berikut ini adalah kutipan yang menyatakan penjabaran denda adat. Sanksi adat akan kakak terima, jika kakak menolak pernikahan, kakak akan membayar denda berupa guci yang nilainya ratusan juta, tetapi yang lebih tidak dapat kakak tanggung adalah denda rasa malu karena berlaku seumur hidup. Kakak, Leang, dan keluarga Leang akan dikucilkan seumur hidup, dianggap tidak bisa menjaga adat, tentu akan membuat sedih terutama terhadap Bapak, karena sebagai Kepala Adat beliau tidak akan mampu menanggung malu (Di Antara Dua Cinta, hlm. 173). PROSIDING 391 5. Simpulan Tulisan tentang “Kearifan Lokal dalam Novel Di Antara Dua Cinta: Sebuah Upaya Pemertahanan Adat dan Hukum Adat Dayak dari Pendatang (Luar)” ini tidak hanya menguak kearifan lokal masyarakat Dayak tetapi juga merefleksikan ketahanan adat dan hukum adatnya dalam menghadapi pendatang (luar). Masyarakat Dayak yang memiliki kearifan lokal yang kuat juga mulai mengalami perubahan sosial dan budaya, baik karena pengaruh modernisasi maupun kebutuhan masyarakat itu sendiri. Walaupun demikian, hasil kajian ini merefleksikan bahwa adat dan hukum adat Dayak yang diwariskan dari leluhur masih mampu memfilter pengaruh dari pendatang (luar). Pendatang yang tidak memahami dan melanggar kearifan lokal Dayak akan berhadapan dengan pelanggaran hukum adat yang memiliki sanksi adat. Daftar Pustaka Asya’arie, Harries. 2002. Sentaro. Balikpapan: Total FinaElf E & P Indonesie. Endraswara, Suwardi. 2002. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Caps. Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme sampai Post-modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hariantho, Vincentius, dkk. 2008. Studi Tentang Keberadaan Adat Istiadat Serta Hukum Adat Setempat: Berdasarkan Etnik Bahau Dalam Rangka Sinkronisasi Pelaksaannya Dengan Hukum Nasional. Kerjasama antara Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kutai Barat dan Center for Ethnoecology Research and Development. Indarpuri, Inni. 2010. Di Antara Dua Cinta. Samarinda: Qiyas Media. Koentjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Lahajir, Yuvenalis, dkk. 2007. Studi Tentang Keberadaan Adat Istiadat Serta Hukum Adat Setempat. Kerjasama antara Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kutai Barat dan Center for Ethnoecology Research and Development. Maunati, Yekti. 2006. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS. Muhjad, Hadin. 2011. “Peran dan Fungsi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Nasional Dalam Rangka Penguatan Dan Pelestarian Nilai-Nilai Istiadat Di Daerah”. http://www.gunungmaskab.go.id/informasi/ucapandirgahayu-ke-8-kab-gunung-mas-dari-pemprov-kalteng.html, diakses 21 Juni 2013, pukul 13.00. 392 PROSIDING Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan teknik: Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ——— . 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: P.T. Tiara Wacana Yogya. Supriyadi, Yohanes. 2008. “Pasang Surut Identitas Dayak”. Dalam http:// yohanessupriyadi.blogspot.com/2008/11/pasang-surut-identitasdayak.html,Diakses 23 Juli 2013, pukul 10.15. PROSIDING 393 394 PROSIDING PESAN MORAL DALAM CERITA RAKYAT KALIMANTAN TIMUR Dwi Hariyanto Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur Inti Sari Cerita rakyat adalah salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Cerita rakyat yang pada masa lampau disampaikan secara lisan memiliki fungsi dan peranan dalam kehidupan sosial masyarakat. Selain menghibur, cerita rakyat juga memuat kearifan lokal dan mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Modernitas adalah salah satu penyebab kemunduran nilai-nilai moral masyarakat. Pengkajian terhadap cerita rakyat ini diharapkan dapat menggambarkan nilainilai luhur yang terdapat di dalam cerita Ayus dan Siluq. Cerita Ayus dan Siluq adalah legenda yang cukup populer di kalangan masyarakat Kalimantan Timur, terutama suku Dayak. Cerita Ayus dan Siluq ini ditulis ulang dalam bentuk buku cerita oleh Siti Jumariyah dengan judul Kisah Ayus & Siluq. Cerita tersebut mengungkapkan nilai-nilai positif dalam kehidupan melalui karakter para tokohnya dan amanat cerita. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan pendekatan objektif. Setelah itu, hasil analisa dijelaskan secara deskriptif. Nilai-nilai didaktis dalam cerita ini tersurat dalam perilaku tokohtokohnya, yaitu: Ayus, Siluq, Ongo, Raden Baroh, dan Putri Seroja. Nilai-nilai yang mengandung ajaran kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat dalam cerita Ayus dan Siluq, yaitu: kearifan, kasih sayang, dan etos kerja. Kata kunci: nilai-nilai moral, kearifan lokal, cerita rakyat Abstract Folklore is one of Indonesia’s heritages. As an oral tradition in the past, folklore contributes to the society’s life. Not only entertaining, the local wisdom in folklore teaches us the value of kindness in didactical ways. One of the reasons of morality decline in the society is modernity. This research is expected to describe the local wisdom from the story of Ayus and Siluq. The story of Ayus PROSIDING 395 and Siluq is a popular legend in East Kalimantan, especially among Dayak tribe. This story is rewritten by Siti Jumariyah in Kisah Ayus & Siluq, exposing positive values in social life through the characterization of the personages. This study is using qualitative method with descriptive analysis and objective approach. Then, the analysis explained descriptively. The moral values are presented trough the characters: Ayus, Siluq, Ongo, Raden Baroh, and Putri Seroja. These values are local wisdom, affection, and work ethics. Key words: moral values, local wisdom, folklore 1. Pendahuluan Cerita rakyat adalah salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Robert Sibarani, bangsa Indonesia memiliki kekayaan berupa tradisi lisan yang tersebar di ratusan etnik yang ada di Indonesia. Setiap daerah dapat dipastikan memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat dapat digolongkan dalam sastra tradisional (Nurcahyo, 2012). Menurut Mitchell, sastra tradisional merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu yang umumnya disampaikan secara lisan Nurgiyantoro, 2005:163). Cerita rakyat memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat di masa lalu. Menurut Nurgiyantoro, cerita atau tradisi bercerita sudah dikenal sejak manusia ada di muka bumi ini, jauh sebelum mereka mengenal tulisan. Cerita merupakan salah satu sarana penting untuk mempertahankan eksistensi diri. Cerita dipergunakan untuk memahami dunia dan mengekspresikan gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai. Selain itu, cerita juga sebagai sarana penting untuk memahamkan dunia kepada orang lain, menyimpan, mewariskan gagasan dan nilai-nilai tersebut kepada generasi selanjutnya (Nurgiyantoro, 2005:164). Cerita tentang Ayus dan Siluq adalah salah satu bentuk kearifan budaya dari Kalimantan Timur dan sarat dengan pesan moral yang luhur. Cerita Ayus dan Siluq mengisahkan sepak terjang dan kehidupan tiga orang bersaudara, yaitu Siluq, Ayus, dan Ongo. Masyarakat suku Dayak percaya bahwa Ayus dan Siluq adalah cerita yang benar-benar terjadi pada masa yang telah lampau. Cerita Ayus dan Siluq adalah salah satu bentuk cerita rakyat atau prosa rakyat. Menurut William R. Bascom, prosa rakyat dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) mite, (2) legenda, dan (3) dongeng. Mite adalah cerita dengan tokoh dewa atau makhluk setengah dewa yang dianggap benar-benar terjadi dan dianggap suci. Latar peristiwa yang digunakan adalah bukan dunia nyata, tetapi terjadi di dunia lain dan terjadi pada masa lampau. Legenda mempunyai kemiripan 396 PROSIDING dengan mite karena dianggap benar-benar terjadi, tetapi tokoh-tokohnya diperankan oleh manusia dan dianggap tidak suci. Meskipun tokohnya manusia, terkadang tokoh dalam legenda memiliki sifat yang luar biasa atau dibantu oleh makhluk-makhluk ajaib. Latar peristiwanya terjadi di dunia nyata dan terjadi pada masa yang belum terlalu lampau. Dongeng adalah cerita yang dianggap tidak benar-benar terjadi dan tidak terikat oleh tempat dan waktu (Danandjaja, 1997:50). Berdasarkan penggolongan prosa rakyat di atas, cerita tentang Ayus dan Siluq termasuk legenda. Modernitas adalah salah satu penyebab kemunduran moralitas di masyarakat. Perkembangan zaman ikut membawa dampak sosial dan merosotnya nilai-nilai luhur nenek moyang. Sikap arif dan kasih sayang terhadap sesama mulai berkurang. Kekerasan terhadap sesama terjadi di setiap hari. Hal tersebut dibuktikan dengan maraknya pemberitaan di media yang menginformasikan pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Kehidupan modern telah membawa masyarakat cenderung berperilaku semaunya. Tradisi lisan dan seni sastra adalah salah satu media pembelajaran dalam masyarakat terkait nilai-nilai moral dalam kehidupan. Salah satu fungsi cerita rakyat adalah menanamkan ajaran-ajaran luhur dan kearifan lokal melalui media cerita. Apresiasi terhadap cerita rakyat dapat menimbulkan sikap positif dalam masyarakat. Selain melestarikan budaya luhur bangsa, apresiasi terhadap cerita rakyat dapat mengungkapkan nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya. Ajaran-ajaran budi pekerti dan moral dapat ditanamkan kepada generasi muda atau anak-anak secara ringan dan menghibur. Ada banyak cerita rakyat yang berkembang di Kalimantan Timur dan dapat dikatakan semuanya memiliki nilai-nilai moral terkait kehidupan. Namun, cerita rakyat yang berupa legenda Ayus dan Siluq cukup populer di Kalimantan Timur. Ada banyak versi cerita terkait Ayus dan Siluq yang berkembang di Kalimantan Timur. Selain memuat kearifan lokal, cerita ini sarat dengan nilai-nilai yang berisi ajaran kebaikan. Hal tersebut mendasari pengkajian ini untuk mengungkapkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita Ayus dan Siluq. 2. Masalah Legenda Ayus dan Siluq ini ditulis ulang dalam bentuk buku Kisah Ayus & Siluq. Dalam cerita tersebut banyak diungkapkan nilai-nilai moral dalam kehidupan. Nilai-nilai tersebut patut untuk diteladani dan menjadi bahan perenungan untuk kita semua. Dalam Kisah Ayus & Siluq, nilai-nilai moral dapat dilihat melalui karakter tokoh-tokoh di dalamnya. Tokoh Ayus, Siluq, PROSIDING 397 Ongo, Raden Baroh, dan Putri Seroja adalah pembawa pesan terkait ajaran moral dalam kehidupan. 3. Tujuan Tujuan pengkajian ini adalah mendeskripsikan pesan-pesan moral yang ada dalam legenda Ayus dan Siluq. Selain itu, kajian ini diharapkan dapat memberikan perenungan dan pencerahan bagi masyarakat pembacanya, serta menambah khasanah pemikiran sastra, terutama cerita rakyat Kalimantan Timur. Sumber data pengkajian ini adalah cerita rakyat yang berkembang di Kalimantan Timur. Untuk memudahkan analisis, penulis mengambil cerita rakyat yang diceritakan kembali oleh Siti Jumariyah dalam bentuk buku dengan judul Kisah Ayus & Siluq. Buku tersebut diterbitkan oleh Adicita Karya Nusa pada tahun 2003. 4. Teori dan Metode Dinyatakan oleh Fuad Hassan dan Koentjaraningrat bahwa metode adalah cara kerja untuk memahami suatu objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Suatu metode penelitian dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan objek studi (dalam Yudiono, 1986:14). Oleh karena itu, untuk memudahkan kajian isinya, penulis menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah metode yang memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi (Ratna, 2006). Pengkajian ini menggunakan data sekunder yang berupa buku cerita. Selanjutnya, berdasarkan data tersebut, analisis dilakukan dengan pendekatan objektif dan hasilnya dijabarkan secara deskriptif. Karya sastra sebagai karya kreatif memiliki otonomi penuh yang harus dilihat sebagai suatu sosok yang berdiri sendiri terlepas dari hal-hal lain yang berada di luar dirinya (Semi, 1993). Sejalan dengan hal tersebut, Sumardjo dan Saini, (1994:142) juga mengemukakan bahwa struktur adalah kesatuan dari bagian-bagian, jika satu di antara bagiannya diubah maka keseluruhan strukturnya akan berubah. Selain itu, Nurgiyantoro, (2005:37) juga mengemukakan bahwa analisis struktural dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi, dan hubungan antarunsur intrinsik. Pendekatan objektif digunakan untuk analisis struktur Kisah Ayus & Siluq. Unsur-unsur intrinsik yang dikaji adalah tokoh dan amanat. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan nilai-nilai moral yang tersurat dalam karakter tokohnya dan yang tersirat dalam amanatnya. Kata moral berarti ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Selain itu kata moral 398 PROSIDING dapat berarti kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya. Moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Norma-norma moral merupakan tolak ukur dalam menentukan benar atau salah tindakan dan sikap manusia dilihat dari segi baik buruknya suatu tindakan sebagai manusia (Suseno, 1986:19). Pendapat lain mengenai moral diungkapkan oleh Semi yang menyebutkan bahwa moral dalam pengertian filsafat adalah konsep yang dirumuskan oleh masyarakat terkait nilai kebaikan dan keburukan, sehingga moral merupakan suatu norma tentang kehidupan yang telah diberi kedudukan istimewa dalam kehidupan bermasyarakat (1993:71). Berdasarkan dua pendapat di atas dapat dikatakan bahwa moral adalah nilai yang terkait dengan kebaikan dan keburukan manusia. 5. Pembahasan Siluq, Ayus, dan Ongo adalah tiga orang kakak beradik yang tinggal di belantara Kalimantan. Sebagai kakak tertua, Siluq sangat menyayangi adikadiknya. Mereka bertiga hidup tanpa kasih sayang orang tua karena keduanya telah meninggal dunia. Mereka dapat bertahan hidup berkat keuletan dan kesaktian yang mereka miliki. Mereka memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan cara berburu dan berladang. Kehidupan harmonis yang mereka jalani bersama akhirnya rusak. Masalah demi masalah mulai muncul dan mengganggu kehidupan kakak beradik tersebut. Masalah pertama muncul karena kemalasan si bungsu yang bernama Ongo. Sikap malas yang dimiliki Ongo mengakibatkan tubuh Ongo berubah menjadi batu yang mengakibatkan Ayus marah kepada Siluq. Masalah kedua yang mengganggu hubungan kakak beradik itu adalah ketika Ayus jatuh hati kepada Siluq. Hal itu terjadi karena Ayus salah mengartikan kasih sayang kakak perempuannya. Tempat tinggal mereka yang berada di belantara terpencil dan jarang berinteraksi sosial dengan orang lain menyebabkan Ayus hanya dapat menumpahkan perasaannya kepada Siluq. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Siluq pergi meninggalkan Ayus dan rumahnya. Siluq berharap Ayus segera sadar dengan sikapnya yang salah tersebut. Kepergian Siluq membuat Ayus merasa kehilangan dan mencarinya. Namun, Siluq menghilang di pusaran air di hilir Muara Jawa. Sebelum menghilang, Siluq berpesan kepada Ayus untuk hidup bermasyarakat. Hal itu dimaksudkan supaya Ayus menemukan makna hidup dan arti kasih sayang yang sebenarnya setelah berinteraksi sosial dengan masyarakat. Nilai-nilai moral dalam cerita rakyat dalam buku Kisah Ayus & Siluq dapat dilihat dari karakter tokoh-tokoh yang terdapat dalam Kisah Ayus & Siluq tersebut. Ayus, Siluq, Ongo, Raden Baroh, dan Putri Seroja adalah tokohPROSIDING 399 tokoh yang membawa pesan-pesan tersebut. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam buku Kisah Ayus & Siluq adalah sebagai berikut. 5.1 Kearifan Kearifan berasal dari kata dasar arif. Arif juga mempunyai arti bijaksana. Selain itu, arif dapat diartikan dengan cerdik atau pandai. Kearifan dapat diartikan kebijaksanaan atau kecendekiaan. Kearifan adalah bentuk kesalehan hidup yang tumbuh dan berkembang dari semangat menghayati iman secara mendalam. Untuk itu, orang yang arif adalah orang baik yang mampu memperlihatkan perilaku terpuji dalam kehidupan sehari-hari (Gea dan Wulandari, 1996). Sikap arif dalam cerita Ayus dan Siluq digambarkan melalui tokoh Siluq, Raden Baroh dan Putri Seroja. Siluq adalah tokoh perempuan yang menjadi kakak Ayus. Sikap arif Siluq ditunjukkan melalui nasihat-nasihat yang ia berikan pada adik-adiknya. Nasihat-nasihat arifnya terkait kehidupan bermasyarakat dan menghormati orang lain dapat dilihat dalam kutipan berikut. Kemudian Siluq menasihati Ayus agar mengubah wujud jika akan bertemu dengan orang lain agar mereka tidak ketakutan. Ayus juga dinasehati agar tidak menampakkan ilmu kesaktian yang dimiliki jika tidak diperlukan. Siluq menasehati adiknya dengan harapan agar Ayus dapat mengubah wataknya yang keras, kasar dan pemarah. Ia berharap suatu saat nanti jika Ayus kembali mengunjungi kampung, penduduk akan menyambutnya dengan ramah dan baik (Kisah Ayus & Siluq. 2003:11). “Cobalah mengerti, Adikku. Di mana pun dan sampai kapan pun hubungan cinta saudara sekandung itu tidak diperbolehkan, meskipun kita tinggal di tengah hutan dan memisahkan diri dari penduduk lainnya, kita harus menjunjung aturan tersebut. tunjukkan pada mereka bahwa kita juga mempunyai budi pekerti yang baik dan luhur (Kisah Ayus & Siluq. 2003:29). Selain Siluq, sikap arif juga ditunjukkan oleh tokoh Raden Baroh. Raden Baroh adalah Raja di Kerajaan Baroh. Sebagai seorang raja, Raden Baroh digambarkan memiliki sikap yang arif. Kearifan Raden Baroh terlihat saat menyikapi perilaku dari Ayus dan Putri Seroja. Gambaran kearifan Raden Baroh dapat dilihat dalam kutipan berikut. Sebagai raja yang arif, Raden Baroh dapat memaklumi dan tidak ingin melarang hubungan mereka. Namun, ia memanggil mereka berdua dan memberikan pengertian bahwa apa yang dilakukan Ayus dan Putri Seroja itu tidak pantas. Mereka adalah pembesar kerajaan yang sikap dan tingkah lakunya selalu diperhatikan oleh masyarakat (Kisah Ayus & Siluq. 2003:55). Putri Seroja adalah anak dari Raden Baroh, penguasa Kerajaan Baroh. Putri Seroja digambarkan sebagai putri yang arif. Kearifan Putri Seroja 400 PROSIDING ditunjukkan melalui nasihat-nasihatnya kepada Ayus. Gambaran tentang Putri Seroja dapat dilihat dalam kutipan berikut. Nasihat-nasihat yang selalu diberikan sang Putri sangat menyentuh hati Ayus. Ia mulai menyadari bahwa cintanya pada Siluq memang hal yang tidak wajar dan harus dihilangkan. Ia mulai berusaha untuk menghapus cintanya pada Siluq dengan mencari hakikat cinta yang sebenarnya (Kisah Ayus & Siluq. 2003:54). Berdasarkan latar belakang ketiga tokoh tersebut, tokoh Siluq dapat dikatakan sebagai perwujudan rakyat jelata yang memiliki sifat arif. Sementara itu, tokoh Raden Baroh dan Putri Seroja merupakan perwujudan sikap arif dari kalangan bangsawan. 5.2 Kasih Sayang Kasih sayang adalah bentuk cinta yang tulus dari seseorang kepada orang lain. Menurut Sumartono, kasih sayang merupakan penuntun hidup dalam mewujudkan kebersamaan dan sebagai dasar kehidupan bermasyarakat tanpa adanya kasih sayang, kehidupan sosial dalam masyarakat akan terganggu. Perilaku manusia dapat berubah menjadi beringas tanpa ada kasih sayang (2004). Siluq digambarkan sebagai kakak yang sangat menyayangi dan melindungi kedua adiknya. Kasih sayang Siluq terhadap adik-adiknya merupakan kasih sayang yang tulus. Kasih sayang Siluq terhadap adik-adiknya dapat dilihat dalam kutipan-kutipan berikut. Melihat hal itu, Siluq cepat-cepat memeluk tubuh Ayus kemudian membujuk dan menghiburnya untuk meredakan kemarahannya. Berkat kelembutan dan kasih sayang Siluq, akhirnya Ayus dapat memahami peristiwa tersebut (Kisah Ayus & Siluq, 2003:7). Siluq memberi perlindungan kepada kedua adiknya dengan penuh kasih sayang. Ia menjelaskan tentang keadaan alam yang sedang terjadi tersebut dan mengatakan bahwa mereka tidak perlu takut. Sepanjang hari mereka tinggal di dalam rumah (Kisah Ayus & Siluq, 2003:4). Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, Siluq selalu berusaha menjadi kakak sekaligus orang tua kedua adiknya. Rasa kasih dan sayang Siluq ditunjukkan melalui nasihat-nasihat dan perbuatan Siluq kepada adik-adiknya. 5.3 Etos Kerja Etos kerja adalah semangat kerja yg menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Pendapat lain terkait etos kerja adalah suatu sikap mental yang merupakan dasar yang dipegang oleh seseorang atau PROSIDING 401 sekelompok orang untuk menilai bekerja sebagai sesuatu yang positif dalam rangka peningkatan kualitas hidup (Binham, 2012). Semangat kerja ini adalah bentuk ajaran yang positif untuk manusia dalam menghadapi kehidupan. Kesuksesan dan kebahagian dalam kehidupan diwujudkan melalui usaha kerja dan berdoa. Dalam cerita Ayus dan Siluq, etos kerja kakak beradik digambarkan dalam bentuk kerja keras mereka dalam bertahan hidup di tengah hutan tanpa kehadiran kedua orang tua mereka. Semangat kerja kedua kakak beradik tersebut menjadi kunci keberhasilan mereka dalam bertahan hidup di tengah hutan. Gambaran kerja keras kedua anak tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut. Setiap pagi setelah memasak, Siluq kecil pergi menembus hutan lebat untuk mengolah lahan yang akan ditanami padi, singkong, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Ayus bertugas mencari kayu bakar dan berburu binatang hutan, serta mencari ikan untuk lauk-pauk. Keberanian Ayus memang luar biasa, meskipun masih kecil dia dapat menaklukkan hutan yang banyak ditumbuhi bermacam-macam pohon besar. Biasanya semakin masuk ke dalam hutan, medannya semakin sulit ditempuh sebab terdiri dari hutanhutan rawa, nipah, dan belukar yang semakin lebat, serta terdapat banyak binatang buas (Kisah Ayus & Siluq, 2003:1—2). Berbeda dengan Ayus dan Siluq, Ongo adalah adik Ayus yang digambarkan memiliki sifat yang berlawanan dengan kedua kakaknya tersebut. Ongo digambarkan sebagai anak yang malas. Karena sifat malasnya, Ongo dikutuk oleh dewa menjadi batu. Gambaran terkait sifat malas dan tidak mematuhi peraturan dari Ongo dapat dilihat dalam kutipan berikut. Padahal Siluq telah menasihati Ongo agar tidak menyuruh binatang piaraan untuk bekerja, apalagi berhubungan dengan api. Hal tersebut merupakan pantangan. Namun karena sifat malas yang dimiliki Ongo, dia tidak mempedulikan nasihat kakaknya, bahkan menyepelekannya. Pada saat anjing piaraan itu mulai berlari meninggalkan rumah menuju ladang, tiba-tiba susana alam langsung berubah menjadi gelap gulita. Yang tampak hanya kilatan-kilatan di langit. Tidak lama kemudian sebuah halilintar datang dengan cepat dan menyambar tubuh Ongo dan anjingnya. Seketika wujud mereka berubah menjadi batu. Setelah peristiwa itu langit kembali cerah seperti biasa (Kisah Ayus & Siluq, 2003:6). Sifat malas tokoh Ongo dapat dijadikan sebuah pelajaran bahwa kemalasan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Pesan moral yang hendak disampaikan adalah bahwa etos kerja sangat menunjang seseorang dalam meraih kesuksesan. 402 PROSIDING 6. Simpulan Pesan moral yang terdapat dalam Kisah Ayus & Siluq tersurat melalui karakter tokoh-tokohnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa bentuk penyampaian pesan moral disampaikan oleh penulis cerita secara langsung. Pesan moral yang dimuat oleh pengarang dalam Kisah Ayus & Siluq yaitu: kearifan, kasih sayang, dan etos kerja. Dalam Kisah Ayus & Siluq ini, pesan moral yang disampaikan tidak hanya melalui karakter tokohnya yang positif. Karakter negatif tokoh Ongo dan Ayus dalam cerita ini juga dapat menjadi perbandingan, renungan, dan pencerahan bagi masyarakat—terutama generasi muda—untuk menyikapinya secara bijaksana. Daftar Pustaka Binham, Rona. 2012. “Meningkatkan Etos Kerja”. Dalam (http://cafemotivasi.com/ meningkatkan-etos-kerja/. Diakses 6 Mei 2013). Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Gea, A.A, Rachmat, N, dan Wulandari, A.P.Y. 2006. Character Building III, Relasi dengan Tuhan. Jakarta. Elex Media Komputindo. Jumariyah, Siti. 2003. Kisah Ayus & Siluq. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Nurcahyo, Henri. 2012. “Tradisi Lisan yang Diabaikan”. Dalam (http:// henrinurcahyo.wordpress.com/2012/06/26/tradisi-lisan-yang-diabaikan/.Diakses 28 April 2013. Nurgiyantoro, Burhan.2005. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. Sumardjo, Jakob & Saini K.M. 1994. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Sumartono. 2004. Komunikasi Kasih Sayang. Jakarta. Elex Media Komputindo. Suseno, Franz Magnis. 1986. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius Yudiono K.S. 1986. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa. PROSIDING 403 404 PROSIDING NALURI KEMATIAN DALAM CERPEN-CERPEN DI KALTIM POST DAN TRIBUN KALTIM DI KALIMANTAN TIMUR Misriani Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur Posel: misri_an@ymail.com Inti Sari Tulisan ini menunjukkan bagaimana naluri kematian (thanatos) ditunjukkan di dalam beberapa cerpen surat kabar Kaltim Post dan Tribun Kaltim di Kalimantan Timur. Artikel ini menganalisis bagaimana naluri kematian timbul dan dialami para tokoh dengan menggunakan teknik analisis dekriptif melalui pendekatan psikologi sastra. Dalam cerpen-cerpen terpilih (“Perahu”, “Darah”, dan “Purnama dalam Ramadhan”) terlihat bahwa para tokoh melakukan tindakan agresif bahkan destruktif kepada pasangannya, tokoh lain, dan dirinya sendiri karena ketidakberdayaannya dalam menghadapi masalah dalam hidupnya. Kata Kunci: naluri, kematian, cerpen, Koran Kalimantan Timur Abstract This paper shows how death instinc (thanatos) describe in some short stories in Kaltim Post and Tribun Kaltim in Kalimantan Timur newspaper. This article analyzes how the death instinct arises and experienced leaders using descriptive analysis techniques through a psychological approach to literature. In selected short stories (“Perahu”, “Darah”, and “Purnama di Bulan Ramadan”) shows that the aggressive action figures and even destructive to her partner, another character, and himself because of his helplessness in facing of problems in his life. Key words: instinct, death, short story, East Kalimantan Newspaper 1. Pendahuluan Naluri kematian sangat dekat dengan kehidupan manusia. Naluri kematian bersifat destruktif yang merugikan si pelaku maupun orang lain. Naluri kematian dipicu dari permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat PROSIDING 405 baik di ruang keluarga maupun ruang publik. Di Indonesia, kasus pembunuhan menjadi sorotan tajam masyarakat, karena pelaku melakukan pembunuhan dengan cara yang tidak disangka-sangka (Yunita, 2012). Permasalahan-permasalahan tersebut menimbulkan konflik pada setiap individu. Proses dalam menghadapi permasalahan yang ada sangat berbeda dirasakan oleh setiap individu dan merugikan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung (materi maupun imateri, seperti kerusakan harta/ benda dan timbulnya keresahan atas keamanan). Keinginan-keinginan manusia yang tidak mempertimbangkan rasa kemanusiaan dan moral dalam pemenuhan kebutuhannya sering kali berbenturan dengan norma dan aturan yang berlaku di masyarakat hingga harus melewati proses hukum. Tindakan-tindakan yang memicu tindakan kriminalitas sering terjadi ketika seorang individu di hadapkan pada suatu persoalan yang dia tidak dapat memecahkannya dengan baik, apabila pendidikan moral tidak tertanam. Naluri adalah dorongan hati atau nafsu yang dibawa sejak lahir, insting (Sugono, 2008:994). Kematian adalah perihal mati (Sugono, 2008:928). Dengan demikian, konsep naluri kematian di dalam tulisan ini adalah dorongan hati atau insting ke arah kematian yang dianalisis menggunakan pendekatan psikoanalisis melalui tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen. Tulisan ini mengangkat tiga cerpen yang terbit di dua surat kabar di Kalimantan Timur, yaitu Kaltim Post dan Tribun Kaltim. Penulis memilih ketiga cerpen tersebut dengan pertimbangan cerpen-cerpen tahun 2000-an memuat lebih banyak penulis dengan tema yang beragam. Hal tersebut dinyatakan Kurniawati dkk (2010:3) Pada tahun 2000-an, perkembangan dunia cerpen di Kalimantan Timur meningkat secara signifikan. Peningkatan itu ditandai dengan banyaknya cerpenis yang memunculkan karya mereka di surat kabar dan menerbitkan antologi cerpen, baik antologi bersama maupun tunggal di Kalimantan Timur. Cerpen terpilih di Kaltim Post dan Tribun Kaltim sarat dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat khususnya di ruang keluarga, dua dari tiga cerpen tersebut ditulis oleh sastrawati dan sastrawan Kalimantan Timur. Judul cerpencerpen tersebut adalah “Perahu” karya Santined, Kaltim Post 19 Februari 2006, “Darah” karya Dh. Fitrianda, Kaltim Post, Minggu, 24 Juli 2005, dan “Purnama di Bulan Ramadhan” karya Nanang Rijono Tribun Kaltim, 16 Oktober 2005. Cerpen “Perahu” merepresentasikan suara perempuan yang termarginal di keluarga dan menghadapi konflik batin yang menyebabkan timbulnya naluri kematian kepada pasangannya. Cerpen kedua “Darah” merepresentasikan tindakan amoral seorang pria kepada kekasihnya karena harus bertanggung jawab dan menikahi kekasihnya karena perbuatannya. Cerpen ketiga “Purnama di Bulan Ramadhan” merepresentasikan pergulatan kaum marginal 406 PROSIDING dalam memenuhi kebutuhannya hingga timbul naluri kematian kepada dirinya sendiri. Dalam penelitian ini psikoanalisis dioperasionalkan untuk mendapatkan gambaran naluri kematian yang dialami tokoh dalam cerpen-cerpen Kaltim Post dan Tribun Kaltim dan pembaca dapat memahami kontradiktif, perubahan, dan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam cerpen-cerpen tersebut yang merupakan refleksi dalam kehidupan masyarakat. 1.1 Masalah Naluri kematian menjadi alasan utama dilakukannya penelitian. Naluri kematian adalah penyebab utama terjadinya kerugian baik berupa materi maupun immateri yang sangat meresahkan lingkungan sekitar. Psikologi sastra dalam penelitian ini berkaitan dengan gambaran (fenomena) dan analisis naluri kematian para tokoh fiksi di dalam cerpen yang dipengaruhi struktur kepribadian (id, ego, dan super ego) dalam cerpen yang diterbitkan surat kabar Kaltim Post dan Tribun Kaltim. 2. Tujuan Penelitian ini bertujuan menganalisis tokoh-tokoh di dalam karya fiksi cerpen yang dimuat di surat kabar Kaltim Post dan Tribun Kaltim. 3. Landasan Teori dan Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra. Tujuan penggunaan psikologi sebagai pendekatan dalam tulisan ini adalah bagaimana psikologi membantu kita memahami perilaku, pikiran, dan perasaan orang (Widowati, 2000:1). Psikologi sastra adalah model penelitian interdisiplin dengan menetapkan karya sastra sebagai memiliki posisi yang lebih dominan. Atas dasar khazanah sastra yang luas, yang dievokasi melalui tradisi yang berbeda-beda, unsurunsur psikologis pun menampilkan aspek-aspek yang berbeda-beda (Ratna, 2008:349). Psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya, karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (unconscious) yang selanjutnya dituangkan ke dalam bentuk conscious (Endraswara, 2003:96). Selanjutnya Freud (dalam Sarwono 2013:124) mengatakan bahwa pengertian tentang tingkah aku manusia yang overt (tampak mata) hanya dapat dicapai melalui penyimpulan yang benar tentang isi ketidaksadaran. Freud sebagai salah satu tokoh psikologi terkemuka, paling banyak memberikan pemikiran dalam psikologi sastra. PROSIDING 407 Dalam konsepnya, Freud meyakini bahwa perilaku manusia dilandasi oleh dua enerji mendasar, yaitu (1) naluri kehidupan (life instinc-Eros) yang dimanifestasikan dalam perilaku seksual, menunjang kehidupan serta pertumbuhan; (2) naluri kematian (death instinc-Thanatos) yang mendasari tindakan agresif dan destruktif (Minderop, 2010:27). Hilgard (dalam Minderop 2010:27) menambahkan bahwa kedua naluri ini, walaupun berada di alam bawah sadar menjadi kekuatan motivasi. Ia juga mendukung teori Freud dengan mengatakan bahwa naluri kematian dapat menjurus pada tindakan bunuh diri atau pengrusakan diri (self-destructive behavior) atau bersikap agresif terhadap orang lain. Selain menggunakan pendekatan naluri kematian, tulisan ini diperkuat dengan struktur kepribadian berupa id, ego, dan super ego. Freud (dalam Minderop, 2010:20) membahas psikisme manusia: id (terletak di bagian tak sadar). Ego (terletak di antara alam sadar dan tak sadar) yang bertugas sebagai penengah mendamaikan tuntutan pulsi dan larangan super ego. Superego (terletak sebagian di bawah sadar dan sebagian lagi di bagian tak sadar) bertugas mengawasi dan menghalangi pemuasan sempurna pulsi-pulsi tersebut yang merupakan hasil pendidikan dan identifikasi pada orang tua. Selain itu, Gerald Corey (dalam Hatta 2003:78) manusia dilihat dalam sistem energi, di mana dinamika kepribadian itu terdiri dari cara-cara untuk mendistribusikan energi psikis kepada id, ego, dan superego, tetapi energi tersebut terbatas, maka satu diantara tiga sistem itu memegang kontrol atas energi yang ada. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis kualitatif yang didukung oleh teori psikologi sastra. Menurut Ratna (2006:46) metode kualitatif memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Sumber data penelitian kualitatif dalam ilmu sastra adalah karya, naskah, dan data penelitiannya, sedangkan deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta dalam penelitian ini adalah psiko kemudian disusul dengan analisis. Tiga komponen analisis data, yaitu reduksi data, sajian data, dan verifikasi. 1. Reduksi data dalam penelitian ini adalah memilih dan memilah cerpen di dalam dua harian surat kabar dan membuat sinopsisnya. Cerpen-cerpen yang terpilih adalah “Perahu” karya Santined, dan “Darah” karya Dh. Fitrianda, dan “Purnama di Bulan Ramadhan” karya Nanang Rijono. 2. Sajian data meliputi deskripsi, analisis data melalui teori-teori yang berhubungan dengan psikologi sastra untuk mendapatkan permasalahanpermasalahan apa saja yang dihadapi para tokoh dalam ketiga cerpen tersebut. 408 PROSIDING 3. Verifikasi meliputi pemeriksaan kembali hasil penelitian “Naluri Kematian dalam cerpen di Kaltim Post dan Tribun Kaltim. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi pustaka, yaitu dengan mengkaji bahan yang berasal dari surat kabar harian Kaltim Post dan Tribun Kaltim. 4. Pembahasan Kaltim Post dan Tribun Kaltim adalah dua surat kabar yang terbit di Provinsi Kalimantan Timur. Kedua surat kabar harian itu memuat karya sastra berupa puisi atau cerpen. Saat ini Kaltim Post masih memuat karya sastra cerpen di setiap hari Minggu dengan menyeleksi cerpen-cerpen yang dikirimkan melalaui posel. Tribun Kaltim saat ini tidak lagi memuat karya sastra di halamannya. 4.1 “Perahu”: Konsep Kebencian-Tokoh Aku membunuh Sang Suami Cerpen “Perahu” mengisahkan seorang perempuan yang tinggal di sebuah pulau bersama dengan seorang anak dan suami. Kehidupan yang mereka jalani adalah kehidupan yang sangat sederhana. Tokoh utama digambarkan sebagai Aku. Sejak pernikahan paksa (karena tindakan perkosaan) dijalani, tokoh Aku tidak diperlakukan layaknya sebagai seorang isteri. Tokoh Aku harus menerima seorang laki-laki yang secara paksa memberikannya anak dan menjadi suaminya. Sejak saat itu kehidupan Aku terisolasi dengan masyarakat. Tokoh Aku, anak, dan suaminya tinggal di suatu tempat yang tidak dihuni oleh seorang manusia pun. Gambaran awal rumah tangga tokoh Aku terdapat dalam kutipan berikut. Kedatanganku lima tahun yang lalu ke kota kecil pinggir laut ini begitu membawa banyak masalah dalam hidupku. Tanah kelahiran laki-laki yang lalu kusebut suami setelah membuahi rahimku secara setengah paksa di balik rerimbunan pandan dan semak belukar di tepi danau. Laki-laki yang lalu mengunci hidupku dari dunia luar. Memenjarakanku dalam kurun waktu yang terbilang oleh terbitnya matahari dan rembulan. (Kaltim Post, 19 Februari 2006) Naluri kematian tokoh Aku menggejala ketika penderitaannya semakin bertambah. Aku tidak hanya sebatas terasing dari kehidupan masyarakat, ia juga juga harus menyaksikan suaminya bercinta dengan perempuan lain di hadapan matanya. Ah, lelaki. Sebelumnya, air mata yang berbeda selalu turun mengalir deras, setiap kali kulihat suamiku bercinta dengan perempuan muda lain (Kaltim Post, 19 Februari 2006). PROSIDING 409 Naluri kematian yang timbul diredamnya dengan menerima tingkah laku suaminya yang selalu membawa perempuan ke rumahnya Mula-mula aku gusar dan menolak tatkala dia membawa seorang perempuan lain ke tempat tidur kami yang sederhana. Tapi dia begitu gagah perkasa. Tak mampu aku melawan kemauannya yang luar biasa. Hingga akhirnya aku harus berterima kasih kepada perempuan-perempuan yang silih berganti dibawanya ke gubuk kami (Kaltim Post, 19 Februari 2006). Pada akhirnya naluri kematian pun menguasai diri tokoh Aku sepenuhnya. Dorongan id lebih besar dari dorongan ego dan super ego. Tokoh Aku memiliki fantasi sejak lama yaitu membayang darah yang keluar atas tindakan destruktifnya. Aku membayangkan darah yang menyembur dari lehernya. Ah betapa indah pemandangan itu. Sungguh indah dan lama kuidam-idamkan (Kaltim Post, 19 Februari 2006). “Perahu” menampilkan perempuan yang mengalami penderitaan di ruang keluarga. Selain hak sosialisasi, penderitaan setelah pemerkosaan, tokoh Aku juga harus dihadapkan dengan suaminya yang tidak setia. Tokoh Aku pada awalnya menerima keadaan itu. Ia rela diposisikan sebagai pihak yang tertindas. Akan tetapi, pada akhirnya dorongan id lebih besar dari ego dan super ego hingga tokoh Aku mewujudkan impiannya dengan melenyapkan nyawa suaminya. 4.2 “Darah”: Konsep Kebebasan (Tokoh Abang ingin terbebas dari aturan yang berlaku dan beban ekonomi) : Tokoh Abang Membunuh Sang Kekasih “Darah” menampilkan naluri kematian seorang kekasih(pria) kepada pasangannya karena harus menikahi pasangannya sebagai pertanggungjawabannya atas perbuatan mereka. Sudut pandang dari pencerita adalah Aku dengan sebutan Abang. Abang memiliki kekasih yang bernama Pariyem. Sejak awal kisah ini bermula, Abang merasakan kegalauan, bahkan ia pun memaki dalam hati atas kejadian yang terjadi. Pariyem, kekasihnya hamil dan meminta pertanggungjawabannya. “Sialan!” kutuknya di hati. Dan dia memang hanya mampu begitu. Hanya bisa mengutuk dalam hati. Lidahnya selalu kelu. meski hatinya membuncah, tidak ada kata-kata lain yang bisa keluar dari bibirnya. “Brengsek. Sungguh brengsek”, jeritnya (Kaltim Post, 24 Juli 2005). Abang tidak mau bertanggung jawab menikahi Pariyem. Pada fase ini dorongan id pada diri Abang memegang kontrol atas energi yang ada, ia 410 PROSIDING hanya ingin memuaskan keinginannya yang masih ingin hidup sendiri tanpa mengindahkan tanggung jawab atas perbuatannya. Abang beranggapan menikah adalah sebuah beban dalam menjalani hidup karena ia harus menghidupi istri dan anaknya. Apalagi ia belum memiliki pekerjaan tetap. “Aku tahu. Memang ini kenyataan yang harus kita hadapi. Tapi bukankah masih ada jalan lain”. “Jadi, abang tidak mau bertanggung jawab?!”. “Bukan begitu, Pariyem. Abang tetap akan bertanggung jawab (Kaltim Post, 24 Juli 2005). Pariyem, cobalah mengerti. Kita belum siap.”Tidak ada kata belum siap. Jangan mencari alasan yang tidak-tidak. “Tapi aku belum punya pekerjaan tetap.” (Kaltim Post, 24 Juli 2005). Pariyem sebagai anggota masyarakat ingin pertanggungjawaban dari kekasihnya agar jika anak mereka lahir, semua orang mengetahui dari keturunan siapa. “Perutku ini semakin membesar. Tidak mungkin menunggu sampai abang dapat pekerjaan. Aku tidak mau anak ini lahir tanpa kejelasan siapa bapaknya (Kaltim Post, 24 Juli 2005). Dalam keterdesakannya, Abang menawarkan jalan keluar kepada Pariyem. Abang menyuruh Pariyem menggugurkan kandungannya. “Kita cari dukun. Gugurkan saja kandunganmu itu.” Plakk!! Sebuah tamparan hinggap di pipi lelaki muda itu. Tubuhnya terjengkang. Jatuh ke parit di bawah bangku yang ia duduki sejak tadi. Baju kesayangannya belepotan lumpur yang berbau busuk menyengat. “Abang lelaki pengecut!” pekik Pariyem (Kaltim Post, 24 Juli 2005). Pariyem terus mendesak hingga memberikan tamparan kepada Abang yang meminta Pariyem menggugurkan kandungannya, Abang yang merasa terdesak dan kalut akan pikirannya karena dorongan id yang begitu kuat, melakukan sesuatu di luar sistem superego yang mengutamakan moral dan tanggung jawab atas perbuatannya selama setahun terakhir bersama Pariyem. Lelaki itu merasa tangannya tergenggam erat, mencekik lehar wanita yang setahun terakhir telah banyak berkorban untuk dia. Termasuk pula rela digauli, meskipun mereka berdua belum disahkan oleh tali pernikahan (Kaltim Post, 24 Juli 2005). Abang semakin hilang control ketika ia tidak dapat meyakinkan dan mengubah keputusan Pariyem. Naluri kematian pada diri Abang timbul dan akhirnya menghilangkan nyawa Pariyem. PROSIDING 411 “Kubunuh kau!” pekik lelaki yang telah diliputi kalap. Selanjutnya ia membenturkan kepala Pariyem ke aspal jalanan. Sampai akhirnya tubuh wanita itu terkulai. Diam. Mati. Kepalanya pecah. Darah menggenang dari luka yang menganga (Kaltim Post, 24 Juli 2005). Perbuatan tidak terpuji Abang yang telah melenyapkan nyawa Pariyem tidak disesalinya bahkan ia membuang jasad Pariyem ke sebuah sungai terdekat. “Aku tak mau masuk penjara”, bisik hatinya. Lantas dengan sisa tenaga, dia menyeret tubuh Pariyem yang kaku menuju ke arah tepian sungai berjarak sekitar seratus meter. Keringat membasahi sekujur tubuh. Nafasnya tersengal, tinggal satu-satu. Namun ia terus menyeret tubuh wanita yang telah menyerahkan cinta untuknya (Kaltim Post, 24 Juli 2005). “Darah” menunjukkan pemarginalan posisi perempuan dalam relasi gender. Perempuan tidak dapat melawan atas kekerasan yang diperbuat kepadanya. 4.3 “Purnama di Bulan Ramadhan”: Konsep Lemah Ekonomi (Tokoh Aku Menginginkan Kematian bagi Diri Sendiri karena Ketidakberdayaan dalam Ekonomi) Cerpen “Purnama di Bulan Ramadhan” mengisahkan sebuah keluarga yang memiliki kesulitan di bidang ekonomi. Kondisi keuangan mereka yang lemah menyebabkan beberapa kebutuhan hidup tidak terpenuhi. Aku sebagai kepala keluarga merasa bersalah dengan keadaan yang ada. Ketika lebaran tiba, Aku tidak dapat memenuhi permintaan anak-anaknya untuk memiliki baju baru. Sang istri mempertegas permintaan anak-anak mereka dengan mengingatkan Aku bahwa tahun lalu pun mereka tidak dibelikan baju baru. “Pak, anak-anak minta dibelikan baju baru untuk lebaran nanti. Mereka kepingin sekali punya baju baru, karena tahun lalu mereka tidak kita belikan,”kata istriku perlahan. (Tribun Kaltim, 16 Oktober 2005) Aku yang tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka hanya bisa berkata sabarlah. Kata-kata itu bukannya menenangkan sang istri untuk menerima keadaan, melainkan menyampaikan keluh kesah anak mereka. “Ya, sabarlah,”sahutku pendek. “Tapi anak-anak terus merengek. Baju si Buyung sudah kekecilan. Rok si Upik sudah kusam”, lanjut istriku sambil menyodorkan singkong rebus sisa buka puasa tadi (Tribun Kaltim, 16 Oktober 2005). 412 PROSIDING Dalam kegamangannya, Aku berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan. Pertanyaannya malahan membuat ia semakin terpojok dengan ketidakberdayaannya. Anak-anak mereka sedang berada di mesjid karena di sana menyediakan makanan berbuka puasa yang enak dan mereka tidak bisa mendapatkannya di rumah. “Anak-anak kemana?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Mereka ke mesjid. Shalat tarawih bersama teman-temannya. Kemarin mereka bercerita, kolak pisang dan durian yang disediakan pengurus mesjid enak sekali. Sudah lama mereka tak merasakan kolak itu. Kita juga kan Pak?” sahut istriku sambil menelan ludah (Tribun Kaltim, 16 Oktober 2005). Dalam ketidakberdayaannya, Aku mengalami konflik identitas. Ia merasa bahwa tenaganya tidak dibutuhkan lagi oleh orang-orang, karena kondisi tubuh dan usia yang sudah tidak muda lagi. Keadaan ekonomi dan kelemahannya menyebabkan konflik batin dan perang moral di dalam dirinya. Ia sempat berpikir untuk memperoleh penghasilan dengan cara yang tidak halal. Ya Allah, dengan cara apalagi aku dapat memperoleh uang untuk membelikan sekedar pakaian baru untuk anak-anak kami? Sementara orangorang sudah enggan menggunakan tenagaku. Aku tak lagi muda, jalanku oyong tak lagi perkasa, tenagaku kian habis dimakan usia. Mengemis sambil membaca doa di jalanan? Menipu dengan pura-pura minta sumbangan untuk pembangunan mesjid? Mengutil barang di pasar? Oh, aku tak bisa (Tribun Kaltim, 16 Oktober 2005). Aku tidak dapat mengemis sambil membaca doa di jalan, menipu dengan purapura minta sumbangan untuk pembangunan mesjid, atau mengutil di pasar. Nilai moral yang ada di dalam dirinya menolak semua perbuatan tidak terpuji itu, walaupun Aku sangat membutuhkan uang untuk menutupi ketidakberdayaan ekonominya selama ini. Pada akhir cerita konflik identitas yang terjadi pada diri Aku semakin parah. Dalam menjalani hari-harinya di bulan Ramadan, aku yang merasa sakit pada waktu sebelum imsak menunggu kapan saatnya berpulang kepada Yang Mahakuasa. Seribu kunang-kunang kembali beterbangan. Rasa sesak di dada kembali menghujam. Ribuan jarum menusuk ulu hatiku. Waktu imsak masih lama. Tapi waktuku akankah segera tiba, di saat purnama di bulan Ramadhan ini? (Tribun Kaltim, 16 Oktober 2005). “Purnama di Bulan Ramadhan” menunjukkan ketakberdayaan masyarakat yang marginal secara perekonomian. Pemenuhan kebutuhan mendasar yang merupakan dorongan id, menyebabkan tokoh berpikiran untuk menipu PROSIDING 413 atau melakukan perbuatan tidak terpuji. Dalam proses, benturan antara id, ego, dan superego terjadi hingga naluri kematian muncul menyebabkan tokoh Aku yang sakit fisiknya menunggu kematian menjemput untuk mengakhiri kehidupannya di dunia. 5. Simpulan Dari analisis tokoh dalam “Perahu”, “Darah”, dan “Purnama di Bulan Ramadhan” tergambar bahwa tokoh dalam cerpen berada dalam dorongan id hingga menimbulkan naluri kematian. Cerpen-cerpen tersebut menyampaikan berbagai permasalahan laki-laki dan perempuan di ruang keluarga. Dalam menghadapi persoalan tersebut, tokoh dalam cerpen tidak dapat menguasai sistem kepribadian id nya, justru id menguasai tokoh-tokoh tersebut. Ketiga cerpen tersebut menggambarkan bagaimana persoalan diselesaikan melalui jalan pintas. Cerpen “Purnama di Bulan Ramadhan” menggambarkan bagaimana konflik batin tokoh (benturan kepribadian id, ego, dan super ego) dan akhirnya mengalami naluri kematian kepada dirinya sendiri. Ketidakberdayaan tokoh Aku menyebabkan tokoh memiliki rasa bersalah yang amat dalam hingga menginginkan kematian kepada dirinya. Pada cerpen “Perahu”, tokoh utama mengalami naluri kematian kepada pasangannya karena kekerasan psikis dan fisik yang diakibatkan oleh pasangannya. Perasaan benci tokoh Aku timbul dan tumbuh dari kekerasan fisik dan psikis hingga pada masalah ketimpangan gender. Pada cerpen “Darah”, tokoh utama tidak memiliki pendidikan moral yang baik sehingga dorongan id begitu terasa digambarkan sejak awal cerpen. Ketika tokoh Abang tidak dapat mengubah keputusan Pariyem, Abang nekad menghilangkan nyawa Pariyem. Tokoh Abang tidak ingin bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya, yaitu bertanggung jawab atas kehamilan sang kekasih dan bakal anak yang di kandung nya. Naluri kematian pada Abang begitu kuat karena sistem super ego sama sekali tidak tampak sejak awal. Abang terlihat begitu egois. Proses menghadapi persoalan dengan dorongan id, ego, dan super ego yang berbeda membuat proses menghadapi persoalan terasa sulit. Dorongan id yang kuat menyebabkan tokoh mengalami naluri kematian. Gambaran naluri kematian, proses, dan konflik tokoh di dalam cerpencerpen dapat menjadi refleksi dan respon bagi masyarakat Indonesia ketika menjalankan kehidupan dalam lingkup keluarga, agar tidak menghadapi masalah dengan naluri kematian. 414 PROSIDING Daftar Pustaka Dh. Fitrianda 2005. “Darah”. Dalam Kaltim Post, 24 Juli 2005. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogjakarta: Pustaka Widyatama. Nanang Rijono.2005. “Purnama di Bulan Ramadhan”. Dalam Tribun Kaltim, 16 Oktober 2005. Hatta, Kusmawati. 2003. “Aplikasi Teori Kepribadian Sigmund Freud dalam Proses Bimbingan” dalam Al Bayan vol. 7, No. 7 Januari—Juni 2003. Kurniawati, Diyan dkk. 2010. “Cerita Pendek Indonesia Mutakhir”. Samarinda: Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur. Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra. Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Yunita, Niken Widya. 2012. “4 Kasus Pembunuhan Menghebohkan di Indonesia”. Dalam http://news.detik.com/read/2012/07/07/092654/ 1959974/10/4-kasus-pembunuhan-menghebohkan-di-indonesia. Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Santined. 2006 . “Perahu” dalam Kaltim Post tanggal 19 Februari 2006. Sarwono, Sarlito Wirawan. 2013. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta:RajaGrafindo Persada. Sugono, Dendy dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka. Widowatie, Derta Sri (ed). 2000. Teori-teori Psikologi: Pendekatan Modern untuk Memahami Perilaku, Perasaan, dan Pikiran Manusia. Bandung: Nusa Media. PROSIDING 415 416 PROSIDING MEMAKNAI DIALOG-DIALOG KESURUPAN DALAM CERPEN “SANDIWARA HANG TUANG” KARYA TAUFIK IKRAM JAMIL Mustari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Inti Sari Objek material penelitian ini adalah cerpen “Sandiwara Hang Tuah” karya Taufik Ikram Jamil yang dimuat dalam kumpulan cerpennya dengan judul Sandiwara Hang Tuah (Jakarta: Grasindo, 1996). Fokus kajian adalah dialog-dialog kesurupan dari tokoh-tokoh cerpen yang dirumuskan dalam dua masalah penelitian: (1) Apa makna dialog-dialog kesurupan yang diucapkan tokoh-tokoh historis dalam cerpen tersebut? (2) Mengapa pengarang memilih dialog-dialog kesurupan dari tokohtokoh historis dalam cerpen SHT? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, digunakan teori semiotik struktural lalu dibantu dengan pembacaan hermeneutika. Pertanyaan pertama dapat dijawab dengan dua kesimpulan: pertama, pengarang ingin melakukan kritik terhadap peran historis tokoh-tokoh bangsa Melayu masa silam, khususnya kepada Hang Tuah yang dianggap sebagai pahlawan bangsa Melayu. Juga kepada orang-orang yang berperan secara tidak langsung dalam mengangkat imeg kepahlawanannya. Kedua, pengarang juga ingin melakukan kritik kepada penguasa Orde Baru yang memperioritaskan pembangunan di segala bidang, walau pun hal itu menimbukan kesengsaraan terhadap rakyat kecil. Berkaitan dengan pertanyaan kedua, temuannya adalah bahwa dialogdialog kesurupan tersebut merupakan cara paling aman di saat itu. Dengan meminjam tokoh-tokoh historis untuk menyampaikan kritik, pengarang jauh lebih aman karena dialog-dialog tersebut dikemas dalam model otokritik, yakni semua tokoh kesurupan dalam cerpen melakukan otokritik terhadap peran mereka masing-masing. Semua melakukan penyesalan. Terkesan, andainya waktu dapat diputar ke belakang, mereka akan memperbaiki peran mereka masing-masing agar bisa melahirkan generasi Melayu yang dapat diperhitungkan di dalam percaturan internasional saat ini. Kata kunci: sandiwara Hang Tuah, Taufik Ikram Jamil, dialog kesurupan PROSIDING 417 Abstract Material object of this study is the short story “Sandiwara Hang Tuah “ by Taufik Ikram Jamil contained in a collection of short stories under the title Sandiwara Hang Tuah (Jakarta: Grasindo , 1996). The focus of the study is the dialogue of the characters possessed short story formulated in two research issues: (1) What is the meaning of the dialogues spoken possessed historical characters in the short story? (2) Why did the author choose the dialogues possessed of historical figures in stories SHT? To answer this question, use the theory of structural semiotics and hermeneutics assisted with reading . The first question can be answered with two conclusions: first, the author wants to criticize the historical role of Malay figures of the past, especially to the Hang Tuah is regarded as a hero of the Malays. Also to those who indirectly participate in lifting imeg heroic. Secondly, the author also wants to criticize the New Order regime that prioritize development in all areas, even if it raises people’s misery to the poor. With regards to the second question, the findings are that the possessed dialogue is the safest way at that time. By borrowing historical figures to express criticism, the author is much more secure because these dialogues packaged in self-criticism of the model, that all the characters in the short story trance do self-criticism of their role. All do regret. Impressed, suppose that the time can be played back, they will improve their respective roles in order to give birth to generations of Malays to be reckoned with in the international arena today. Key words: sandiwara Hang Tuah, Taufik Ikram Jamil, possessed dialog 1. Pendahuluan “Sandiwara Hang Tuah” (SHT) adalah salah satu judul cerpen karya Taufik Ikram Jamil (TIJ) yang yang terdapat dalam antologinya dengan judul yang sama, Sandiwara Hang Tuah, terbitan Grasindo, 1996. TIJ adalah salah seorang cerpenis kelahiran Riau dan menetap pula di Riau yang rajin mengangkat realitas kehidupan masyarakat Melayu dalam karya-karya imajinasinya. Kekhasan TIJ terletak pada dialog-dialog tokoh-tokoh fiksinya. Di banyak cerpennya, ia memang selalu memainkan dialog-dialog “tak sadar”, seperti orang yang sedang mimpi, orang yang sedang kesurupan, atau seseorang yang tidak sadar terhadap eksistensi dirinya seperti anak kecil. Dipilihnya cerpen “Sandiwara Hang Tuah” sebagai judul antologi cerpen tersebut, tampaknya, bukan semata-mata karena cerpen tersebut memiliki keistimewaan dari cerpen-cerpen lainnya, melainkan karena cerpen itu memiliki tantangan yang paling menarik untuk dimaknai. Sebuah kilas balik sejarah yang ditampilkan melalui tokoh-tokoh kesurupan dari roh masa lalu bangsa Melayu telah disajikan dengan bahasa yang hkas dan memikat oleh TIJ. Gaya bahasa Riau Kepulauan yang ditampilkannya juga terasa pas dengan setting 418 PROSIDING cerita, dan penulis, dialog-dialog kesurupannya bukan semata-mata khayalan biasa, tetapi sebuah pilihan sadar yang sarat makna. Kisah dalam cerpen ini terjadi di sebuah kampung-pantai di Kepulauan Riau. Atas imbauan camat setempat demi pariwisata, sekelompok nelayan yang telah dimiskinkan oleh pencemaran minyak dan pengrusakan terumbu karang di laut Cina Selatan, mementaskan sandiwara Hang Tuah. Salah seorang tokoh dalam sandiwara itu, Jali, yang memerankan Hang Tuah tidak dapat melepaskan dirinya dari perannya sebagai Hang Tuah meskipun pementasannya telah berlalu dua hari. Tidak hanya Jali, semua pemeran sandiwara itu ikut kesurupan yang merasa dirinya sebagai tokoh-tokoh yang dimainkannya. Dalam keserupan itulah dialog-dialog cerpen ini mengalir merangkai cerita. Hingga cerita berakhir, tak saorang pun tokoh-tokoh kesurupan itu sadar terhadap dirinya. Namun, yang menarik dari peristiwa kesurupan itu adalah semua tokoh histories itu menyesali lakon sejarahnya, yang menurut mereka sebagai sebab ketidakberdayaan anak cucu mereka sekarang. 2. Rumusan Masalah Kegunaan dialog dalam cerita fiksi, adalah untuk menggambarkan karakter dari para tokohnya. Dialog juga merupakan manifestasi fungsi show not tell pada cerita. Dengan teknik tersebut penulis mengeksplorasi cerita, sehingga menjadi lebih hidup dan menarik. Dialog berfungsi sebagai penggerak cerita selain berguna juga untuk memperkuat karakter tokoh dalam cerita. Selain itu, dialog juga dapat membuat cerita menjadi lebih dinamis. Dialog antar tokoh dalam cerita apabila dikemas bisa pula menjadi “cara halus” untuk menyampaikan pesan-pesan moral tanpa terkesan menggurui (Haziulaq, 2012). Dari paparan latar belakang dan pengertian tentang dialog di atas, maka masalah penelitian dapat dirumusakan sebagai berikut: 1. Apa makna dialog-dialog kesurupan yang diucapkan tokoh-tokoh historis dalam cerpen SHT? 2. Mengapa pengarang memilih dialog-dialog kesurupan dari tokoh-tokoh historis dalam cerpen SHT? 3. Tujuan Penelitian 1. Mengungkapkan makna dialog 2. Mengungkapkan alasan pengarang menulis 4. Asumsi dan Landasan Teori 4.1 Asumsi penelitian Dalam pengertian sehari-hari, asumsi diartikan sebagai anggapan, sementara dalam konteks penelitian, asumsi diperlakukan sebagai anggapan PROSIDING 419 dasar, yaitu sesuatu yang diakui kebenarannya atau dianggap benar tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu (Moehni Labib 1997:18). Berangkat dari keterangan tersebut, maka beberapa anggapan dasar penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: “Bahwa karya sastra diciptakan oleh seorang pengarang yang merupakan bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu karya sastra tidak pernah lepas dari gambaran apa yang terjadi di masyarakatnya saat karya itu lahir. Gejala sosial atau fenomena sosial merupakan hipogram (stimulan) bagi terbentuknya karya sastra. Hipogram yang ada dalam karya sastra tersebut bisa mendukung, tetapi bisa juga bersifat menolak nilai-nilai yang ada di masyarakatnya”(Wajiran, 2008). Setiap karya sastra adalah otobiografi pengarangnya pada tahap dan sitiuasi tertentu. Oleh karenanya, ia merupakan produk individu dan bersifat individual. Persembahannya kepada masyarakat tak lain dari sumbangan individu pada kolektivitas. Juga dalam hubungan kekuasaan, standar budaya yang berlaku, sikap pengarang sebagai individu terpancarkan baik dengan sadar atau tidak. Sampai di sini tugas pengarang adalah melakukan evaluasi dan re-evalusi kemapanan di semua bidang kehidupan. Laku ini diambil karena pengarang bersangkutan tidak puas, bahkan merasa terpojokkan, bahkan tertindas oleh kemapanan yang berlaku. Ia berseru, malah melawan, bahkan memberontak. Bukan suatu kebetulan bila dikatakan bahwa pengarang dinamai oposan, pemberontak, bahkan biang revolusi seorang diri dalam kebisuan (Toer, 2007). Dengan asumsi dasar seperti di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah: bahwa dialog-dialog kesrupan dalam cerpen SHT adalah juga suara TIJ dalam rangka mengkritisi peran tokoh-tokoh sejarah bangsa Melayu masa lalu, sekaligus mengkritisi kekuasaan Orde Baru yang tidak terlawan di saat cerpen ini ia ciptakan. 4.2 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan teori semiotika dalam mencari makna di balik dialog-dialog kesurupan cerpen SHT. Studi sastra dalam kerangka teori semiotik merupakan usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna (Pradopo, 1997:123). Menurut Preminger (Preminger, 2001:89) semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda, mempelajari fenomena sosial-budaya, termasuk sastra sebagai sistem tanda. Semiotik adalah teori tentang pemberian ‘tanda’. Secara garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik, semiotik sintatik, dan semiotik semantik7 (wikipedia….). Secara etimologis, semiotik berasal dari kata Yunani “Semion” yang berarti “Tanda”. Tanda itu sendiri 420 PROSIDING diartikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain. Ilmu ini menganggap bahwa kejadian sosial di masyarakat dan kebudayaannya merupakan tanda-tanda. Ada sembilan macam semiotik yang kita ketahui: 1. Semiotik Analitik: Semiotik analitik adalah semiotik yang menganalisis sistem tanda. 2. Semiotik Deskriptik: Semiotik deskriptif adalah semiotk yang memeperhatikan sistem tanda yang adapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksiskan sekarang. 3. Semiotik Faunal (Zoo Semiotic): Semiotik Faunal adalah semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. 4. Semiotik Kultural: Semiotik kultural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. 5. Semiotik Naratif: Semiotik Naratif adalah semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (Folkkore). 6. Semiotik Natural: Semiotik natural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. 7. Semiotik Normatif: Semiotik normatif adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas. 8. Semiotik Sosial: Semiotik Sosial adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berupa lambang. 9. Semiotik Struktural: Semiotik Struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yag dimanifestasikan melalui struktur bahasa.8 (Adiyanto, 2012). Karena dialog-dialog kesurupan dalam SHT merupakan struktur kebahasaan, maka semiotik yang diterapkan adalah semiotik struktural. Kemudian untuk mempertajam pemaknaan analisis ini dibantu dengan metode hermeneutik dalam menasirkan makna di balik dialog-dialog kesurupan tersebut. Hermenetik menurut pandangan kritik sastra ialah sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan dan diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermenetik cocok untuk membaca karya sastra karena dalam kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkut-paut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra–terutama dalam prosesnya–pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperleh pemahaman yang PROSIDING 421 memadai. Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) harus memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam. Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai. Hermeneutika adalah studi pemahaman, khususnya pemahaman terhadap teks. Ada 2 fokus utama di sini; yaitu 1) peristiwa pemahaman teks, dan 2) persoalan yang lebih mengarah kepada pemahaman dan interpretasi itu. Ada 3 pilar dalam pemahaman dan penafsiran, yaitu dunia pengarang, dunia teks dan dunia pembaca. Melalui 3 pilar tersebut, upaya mehami, atau lebih lanjut menafsirkan, menjadi merekonstruksi dan mereproduksi makna teks, juga mencari bagaimana suatu teks itu diungkap oleh pengarang, serta muatan apa yang terpancar dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks, akhirnya juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi saat yang teks dibaca dan dipahami. Karena jarak waktu, tempat dan nuansa cultural antara pembaca dengan teks dan sang pengarang, pasti menimbulkan keterasingan dan kesenjangan, bahkan bukan suatu mustahil, penyimpangan. Masalah keterasingan inilah yang menjadi tekanan hermeneutika sebagai sebuah teori, hingga pemahaman teks dalam hermeneutika mengharuskan perbedaan antara makna teks dan signifikansi konteks. Ada 3 (tiga) yang terlibat dalam proses pemahaman, penafsiran dan pemaknaan atas suatu teks, yaitu dunia pengarang, dunia teks dan dunia pembaca (the world of the text, the world of author and the world of reader). Berkaitan dengan peringatan di atas, maka ada gambaran dalam hermeneutika. Gambaran struktur triadik seni interpretasi tersebut adalah: 1. Tanda (sign) atau pesan (message) atau teks (text), 2. Perantara atau penafsir dan 3. Audiens. Agar lebih jelas, konsep dan cara kerja metode dan pendekatan yang telah diuraikan di atas dalam kaitannya dengan karya seni sebagai subjek penelitian sebagai berikut. a. Mula-mula teks (sastra) ditempatkan sebagai objek yang diteliti sekaligus sebagai subjek atau pusat yang otonom. Karya sastra diposisikan sebagai fakta ontologi. 422 PROSIDING b. c. d. e. f. Selanjutnya, karya sastra sebagai fakta ontologi dipahami dengan cara mengobjektivasi strukturnya. Di sini analisis struktural menempati posisi penting. Pada tahap berikutnya, pemahaman semakin meluas ketika masuk pada lapis simbolisasi. Di sini tafsir telah melampaui batas struktur. Kode-kode simbolik yang ditafsirkan, tentu saja membutuhkan hal-hal yang bersifat referensial menyangkut proses kreatif sastrawan dan faktorfaktor yang berkaitan dengannya. Kode simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan berbagai persoalan di luar dirinya menuntut disiplin ilmu lain untuk melengkapi tafsir. Sebuah cara untuk memahami teks yang pada akhirnya, ujung dari proses itu adalah ditemukannya makna atau pesan. Dari skema tampak bahwa makna dan pesan dalam tafsir hermeneutik berada pada wilayah yang paling luas dan paling berjauhan dengan teks (karya sastra sebagai fakta ontologisnya), tetapi tetap berada di dalam horizon yang dipancarkan teks. 5. Pembahasan Cerpen ini dibuka dengan sebuah paragraf yang menggambarkan suasana panik. Ketika sampai subuh itu Jali masih saja menyebut dirinya Hang Tuah, Rapeah tidak tanah lagi. Perempuan itu membuka pintu, kemudian setengah berlari menerobos gelap. Sejuk yang hinggap di tubuhnya, tidak bisa mengecutkan hatinya. Sementara rambutnya yang tidak terikat tampak berkibar— beberapa helai jatuh di muka—juga tidak dipedulikannya. Tak bisa lain, dia hanya tahu bahwa Ramli harus bertanggung jawab dalam persoaln ini.10 (SHT, hlm.64) SHT merupakan salah satu dari cerpen TIJ yang terkumpul dalam antologi cerpennya dengan judul yang sama, Sandiwara Hang Tuah. Membaca SHT— dan cerpen-cerpen TIJ yang lain—menurut penulis memang terasa adanya nuansa yang “tak biasa”, namun tetap dapat dirujuk pada dunia nyata. SHT bercerita tentang sekelomok nelayan miskin di sebuah kecamatan di Kepulauan Riau. Atas imbauan Pak Camat, demi pariwisata, para nelayan yang telah dimiskinkan oleh pencemaran minyak dan pengerukan pasir laut telah mementaskan Sandiwara Hang Tuah yang legendaris itu di hadapan para wisatawan. Sandiwara itu sendiri sudah lama tidak dipentaskan karena mereka tidak punya waktu lagi untuk berkesenian. Jali, setelah pertunjukan tersebut tidak bisa melepasan perannya sebagai Hang Tuah dan menganggap dirinya sebagai “Hang Tuah” yang sesungguhPROSIDING 423 nya. Akhirnya, semua pemain sandiwara itu kesurupan dan merasa menjadi tokoh peran yang mereka mainkan. Itulah sumber kepanikan seperti dikutip di atas. Orang-orang yang kesurupan permanen dalam SHT, menurut penafsiran saya, sengaja dipilih TIJ sebagai media kritik/keluh resahnya. Oleh karenanya, pemaknaannya memang harus dicari dibalik dialog-dialog tak-sadar mereka karena kesurupan ini bukan jenis yang biasa dikenal dalam dunia mistikperdukunan atau bomoh Melayu. Komunikasi Jali yang “Hang Tuah” hanya mampu direspon dan diapresiasi oleh sesama orang kesurupan, dalam hal ini oleh Rajab yang “Sultan Mahmud”, Malik yang “Gajah Mada”, Katik yang “Patih Kamajaya”, dan Sulaiman yang “Hang Jebat” seperti terbaca pada dialog “Hang Tuah” dan “Hang Jebat” berikut: “Percayalah, hamba akan menolong bangsa kita… Sering hamba hanyut mengingat tentang apakah yang dapat dibanggakan dari Tumasik atau Singapura, Malaka, Johor, dan Riau sekarang? Di mana mereka. Sejarah dan kependudukannya seolah-olah berjalan dengan dirinya sendiri” (SHT, hlm.70). Keluh resah “Hang Tuah” di atas jelas bukan keluh resah sembarangan yang diucapkan oleh seorag nelayan miskin seperti Jali, melainkan sebuah perenungan sarat-sejarah. Akan tetapi, dengan menempuh teknik kesurupan, kejanggalan tersebut dapat dieliminir sedemikian rupa sehingga menjadi wajar dalam rangka logika cerpen tersebut. Pertanyaannya, mengapa TIJ menempuh teknik dialog-kesurupan yang tak-biasa ini? Jawaban yang mungkin, ada dua. Pertama, TIJ, sadar atau tidak, telah menggunakan teknik komunikasi yang menurut Searle dalam Wijana (1996:17—22) sebagai tindak tutur perlokusi (perlucutionary act). TIJ tidak sekedar menginformasikan sebuah keadaan di sebuah kampung nelayan yang tergilas oleh derap pembangunan (tindak tutur lokusi, locutionary act), tidak pula sekedar memberi bahan untuk direnungkan: ada hak-hak penduduk setempat yang seharusnya diperlakukan bukan semata objek dalam pembangunan (tindak tutur ilukosi, ilucotionary act), melainkan ia ingin mempengaruhi pembacanya untuk melakukan sesuatu, yakni menggugat dan menuntut sebuah pertanggungjawaban terhadap “musibah” pembangunan yang menimpa anak watannya. Itulah yang kemudian terlihat dalam gugatan Rapeah. Kedua, kesurupan yang dikenal dalam dunia perdukunan atau bomoh Melayu adalah jenis yang disusupi oleh makhluk halus. Jenis ini dapat dikendalikan oleh dukun atau bomoh. Dengan memijit bagian tertentu dari tubuh pasien disertai dengan mantra-mantra khusus, makhluk halus yang menyusupi seseorang akan dapat diajak berdialog dan diusir. TIJ tidak menggunakan teknik ini, dengan maksud agar ia aman meluahkan keluh-resah dan kepedih- 424 PROSIDING annya. Tidak tanggung-tanggung, TIJ menggunakan roh para tokoh sandiwara yang dimainkan. Dengan demikian, TIJ telah memasuki area steriil yang tak terjangkau, sehingga ketika “Hang Tuah” dan kawan-kawannya menyesali peran sejarah mereka, TIJ tidak dapat digugat karena logika tersebut masih dalam frem cerpen itu. “Pertama-tama hamba tidak bermaksud memperbaiki kekeliruan orang sekarang terhadap hamba. Hamba tahu hamba kini disebut bajingan, terlalu setia kepada Sultan sehingga sanggup membunuh Jebat, padahal Adinda Jebat membela hamba. Cuma patutlah hamba ingatkan dulu, hamba sama sekali tidak pernah mengatakan dan berbuat bahwa hamba hanya patuh dengan Sultan. Yang hamba sebutkan adalah bahwa hamba hanya bertuan kepada Sultan Malaka dan itu hendaknya diartikan bahwa hamba bertuan kepada suatu lembaga pemerintah yang sah.” “Jebat,” teriak Jali begitu melihat Sulaiman muncul. Semua mata beralih kepada Sulaiman yang tercegat di pintu. Tapi sebentar kemudian, Sulaiman datang tersusu-susu menghampiri Jali, mereka berpelukan, kemudian menangis. “Akulah yang salah Kanda Tuah,” kata Sulaiman. “Akulah yang kemudian melahirkan Megat Sri Rama di Johor, membunuh Sultan hingga anak cucu kita kehilangan tempat dan waktu. Sekarang, mungkin aku akan melahirkan Mahathir,” kata Sulaiman. “Siapa Mahathir?” tanya Malik berat (SHT, hlm.71). “Tidak, kulo yang salah, kulo busuk, menyebar fitnah di istana Malaka, menyebutkan Tuah bergendak dengan Tun Teja, isteri Gusti Mahmud. Hukumlah kulo,” teriak Katik sambil menciumi kaki Rajab yang tampak tertunduk. “Apabila dengki sudah bertanah, datanglah padanya seribu anak panah—begitu kata orang,” kata Rajab pula (SHT, hlm.71). Persoalan berikutnya, apa makna keseluruhan teks SHT tersebut? Penjelasan “bermakna” dan “tidak bermakna” adalah persyaratan utama dan penting untuk menemukan kebenaran dalam proses kerja hermeneutik. Dalam cara pandang tekstual, makna teks yang hadir dalam konteks keseluruhan kata-kata yang terungkap di dalam cerita dimaknai sebagai teks yang tidak bermakna. Tetapi, ia akan menjadi penting bila dikaitkan dengan makna referensial, yakni makna yang berada di luar teks itu sendiri. Dengan dialog-dialog kesurupan di atas, sesungguhnya TIJ telah mencoba melakukan perenungan ulang terhadap sejarah anak bangsanya. Ini berarti, makna referensial SHT harus dicari di dalam peristiwa sejarah dari tokohtokoh tersebut. Untuk memahami sebuah peristiwa sejarah, menurut Dilthey (dalam Sumaryono, 1999:57) ada tiga proses yang harus ditempuh: PROSIDING 425 1. 2. 3. Memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli. Memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah. Menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat pelaku-pelaku sejarah itu hidup. Proses tiga tahap pemahaman dan interpretasi itu tidak mudah dilakukan dan cenderung tidak ilmiah. Alasannya adalah karena untuk memahami atau mencerna sudut pandang pelaku asli dalam sejarah, seseorang harus memiliki pengetahuan tentang psikologi atau cara mengenal orang atau masyarakat. (Sumaryono, 1999:57). Tetapi itu tidak penting karena bukankah bukti-bukti dan penjelasan yang diperlukan dalam sejarah tidak selalu harus ilmiah? Dengan kata lain, TIJ, berdasarkan pemahaman dan pengalamannya, sah dalam melakukan perenungan itu dan melakukan penafsiran ulang sesuai interpretasinya. Jika TIJ menjadikan tokoh-tokoh kesurupan sebagai media keluh-resah dan keprihatinannya, tidak demikian terhadap tokoh-tokoh waras dalam cerpen tersebut. Dengan mengandalkan pembacaan alegoris dan analogis seperti yang dilakukan Seung terhadap Commedia, (Seung, 1982:158—163) paling tidak ada dua kelompok waras dalam SHT yang dapat dibedakan berdasarkan perannya. Pertama, kelompok penggugat yang diperankan oleh tokoh tunggal, Rapeah. Kedua,kelompok tergugat yang diperankan oleh Ramli, bomoh Kamis, dan tentu saja Pak Camat sebagai wakil penguasa. Dengan pembacaan semacam ini, kesadaran Rapeah dapat ditafsirkan sebagai kesadaran yang realistis seorang manusia Melayu miskin yang insaf terhadap eksistensinya. Ia adalah satu-satunya tokoh waras yang tidak terpengaruh oleh bujukan pamrih akibat pementasan sandiwara yang pernah populer itu. Dalam hal ini, Rapeah mewakili pandangan-pandangan realistis TIJ. Baginya, Jali harus membuang waktu untuk latihan karena musim utara segera tiba sehingga sungguh mencari nahas kalau menangkap ikan dalam waktu seperti itu. Waktu yang digunakan untuk latihan selama tiga malam per pekan, lebih baik digunakan untuk menangkap ikan. Apa lagi tidak seperti dahulu, ikan tampaknya seperti meninggalkan perairan mereka… Rapeah merasa benar karena keras kepala Jali menyebabkan mereka harus semakin berhemat. Cukup bersyukur kalau di rumah hanya tersedia sepiring kecil nasi seorang, ditambah gobak—sagu yang digongseng sampai kering. Namun itu semua tak mengendurkan semangat Jali untuk main sandiwara… (SHT, hlm.69). Maka, dalam kerangka kesadaran itu pulalah, konflik Rapeah dengan Ramli terasa pas memperoleh makna referensinya. 426 PROSIDING “Cik harus bertanggungjawab,” sembur Rapeah begitu pintu rumah Ramli terkuak sedikit. Mukanya kelihatan menyala karena diterjang cahaya pelita yang tampak berkedip-kedip karena kekurangan minyak, “Cik harus bertanggungjawab…” (SHT, hlm.64). “Sudah dari dulu kan saya tak ingin Bang Jali main sandiwara, tetapi Cik bersitegang urat leher juga membawanya. Sekarang apa yang sudah jadi. Cik lihatlah sendiri. Apa nasib kami Bang Jali begini terus.”(SHT, hlm.67). Ramli hanyalah salah seorang dari “antek” pembangunan yang dituding oleh TIJ yang harus bertanggungjawab atas malapetaka itu. Ada tokoh lain: Bomoh Kamis adalah tokoh spritual yang telah melaksanakan tugasnya dengan “baik” mengawal pementasan itu, namun gagal. Semuanya di luar dugaan, apalagi setelah semua persyaratan main sandiwara dengan cerita seorang tokoh semacam Hang Tuah, sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya. Selain membuang tetemas dengan cara menghanyutkan jung kecil berwarna kuning, ditambah telur kuning, bertih, dan kemenyan, tentu saja dengan mantra-mantra pelindung, bomoh Kasim sudah menyembah panggung berdasarkan empat penjuru angin. Tak cukup demikian, ia sendiri duduk di belakang panggung sambil tak henti-hentinya membaca mantra agar makhluk halus tak mengganggu para pendukung sandiwara (SHT, hlm.67). Praktek merekayasa dan memanfaatkan lembaga-lembaga, baik spritual (keagamaan) maupun non-spritual untuk mendukung pembangunan atau program pemerintah memang marak di zaman Orde Baru, bahkan berlanjut hingga sekarang. Tetapi mereka tetap saja tidak dapat mengatasi ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh pembangunan atau program itu. Tak pelak, kutipan di atas merupakan sindiran sinis TIJ terhadap institusi-institusi tersebut. Seperti biasanya, dalam praktek Orde Baru dan juga sekarang, Ramli, selaku tokoh tergugat, tidak mau begitu saja menerima tudingan Rapeah, sebagai broker pembangunan. Ia menuding Jali juga turut andil karena ia memang menghendaki pula lakon tersebut. “Sabarlah dulu Peah,” ucap Ramli, “Memang aku yang bersikeras mengajak Jali main sandiwara. Ia pun tampaknya ingin betul.” (SHT, hlm.67). Jali adalah jenis manusia yang mudah terbujuk oleh pamrih yang menjanjikan. Ramli kembali menceritakan kepada Rapeah betapa pentingnya sandiwara ini ditampilkan. Itulah yang didengarnya dari Pak Camat. Sebagai salah satu daerah tujuan pariwisata, mereka harus bisa menampilkan kembali sandiwara yang sempat populer dari kampung mereka, terutama PROSIDING 427 sebelum zaman Jepang. Dengan demikian, para turis lebih betah karena ada sesuatu yang mereka lihat. Sesuatu yang menjadi penyegar. “Kita harus menghidupkan kembali sandiwara itu setelah lebih setengah abad tidak dimainkan. Almarhum Karim—mertua kau—kan pelakon Hang Tuah yang baik. Tak mustahil pula darah itu mengalir ke dalam tubuh suamimu. Jali tampaknya memang berbakat untuk itu,” kata Ramli (SHT, hlm.68). Pamrih ketenaran, pamrih efek positif yang akan diterima oleh penduduk di sekitar daerah tujuan wisata, dan pamrih-pamrih lainnya merupakan “nyanyian” merdu yang senantiasa didendangkan oleh “pialang-pialang” pembangunan semacam Ramli dan kawan-kawannya. Akan tetapi, jika terjadi mala petaka, orang-orang ini akan berlepas tangan sambil mencari “kambing hitam”, “melempar batu sembunyi tangan”, kesalahan prosedural, dan alasan-alasan lain yang seirama. “Ya, Cik. Dikau ini yang akan bertanggung jawab,” “Tanggung jawab apa? Cik tidak tahu…” Tak segera Ramli membalas kalimat itu, kemudian, dikatakannya bahwa apa yang terjadi sekarang bukanlah tujuan dari dilaksanakannya sandiwara dengan cerita Laksmana Hang Tuah tersebut (SHT, hlm.67). “Percayalah, Peah, Semuanya telah Cik lakukan. Sebelum kami main, tetamas sudah dibuang. Lancang Kuning dengan telur kuning juga sudah dihanyutkan. Bomo Kamis yang melakukannya. Rasanya tak mungkin roh lakon mengikuti pemain sampai ke rumah apalagi sudah dua hari seperti ini,” kata Ramli kepada Rapeah di tengah jalan (SHT, hlm.65). Lantas, siapakah yang mau memikul tanggungjawab tersebut? SHT tidak memberikan jawaban. Bahkan, ia memperlihatkan akibat lain yang harus ditanggung oleh orang-orang kecil yang tidak berdaya dan tidak mengerti keadaan seperti yang dialami oleh anak-anak Rapeah. “Mak, Deris lapar…” Rapeah tersentak. Dengan matanya dia menyuruh anak mungkin berumur lima tahun itu masuk ke dalam kamar. Seiring dengan itu, Wahab yang belih kecil muncul di belakang. “Mak, Wahab juga lapar…” Mendengar kalimat dari mulut Wahab itu, Rapeah bangun dari duduknya. Secepat kilat ia menyambar rotan belah empat di dinding. Kedua anak itu disebatnya, “Ini lapar, ini, ini, ini…” (SHT, hlm.68). Sungguh ironi. Karena panik, justru Rapeah kalap dan membantai anakanaknya sendiri. Apakah dengan demikian TIJ ingin memperlihatkan watak asli Melayu yang terkenal dengan budaya “amok” jika sedang kalut? Jika demikian adanya, analogi ini patut dicari rujukannya di dalam sejarah. Dan, 428 PROSIDING itu tidak terlalu sulit karena amok Rapeah mirip dengan amok penguasa terakhir Kesultanan Melayu di Pulau Penyengat yang menghancurkan bangunanbangunan istananya ketika terdesak oleh Belanda di awal abad ke-19. Mereka berpendapat, daripada dikuasai oleh Belanda, lebih dihancurkan oleh tangan sendiri. Kekesalan TIJ terhadap tokoh-tokoh sejarah yang menurutnya punya andil dalam ketercerai-beraian anak bangsanya, terlihat pula dari gaya bahasanya yang meledak-ledak. Ia sempat memaki dengan kalimat tertahan. “Tetapi mengapa lakiku tetap mengatakan dirinya Hang Tuah. Dia menyebut Sultan Mahmud, Tun Teja, Gajah Mada, dan entah apa lagi. Bagaimana dia bisa mengatakan Gajah Mada sebagai sahabatnya yang licik…Ba…” Kalimat itu tak selesai diucapkan Rapeah karena terasa ada sesuatu benda yang sebesar buku tinju seperti keluar dari dadanya. Dia tersedak. Matanya panas (SHT, hlm.65). Tidak sulit melengkapi kata “Ba…” tersebut menjadi “Babi”. Namun TIJ tetap aman karena makian itu diucapkan oleh Jali yang “Hang Tuah”. Kesadaran sejarah merupakan kata kunci dalam menafsirkan dan memaknai SHT. Makhluk gaib yang menyusupi para nelayan itu adalah roh-roh pelaku sejarah. Akan tetapi, dialog-dialog yang mengalir dari mulut mereka, jelas bukan ucapan historis tokoh-tokoh itu. Kalimat-kalimat itu adalah milik TIJ yang sangat memikat dan khas gaya TIJ. Hang Tuah adalah tokoh sejarah yang lebih banyak bias mitosnya, rentang masa hidupnya amat panjang, melebihi usia normal manusia. Ia diklaim memiliki beberapa kuburan oleh masingmasing daerah yang memujanya: ada di Malaka, ada Pulau Bintan, ada pula di Pulau Singkep. Bahkan, sebagian masyarakat meyakini Hang Tuah tidak mati. Itulah yang terbaca dari kalimat TIJ. “Hamba tidak pernah mati, hamba hanya raib karena sesuatu yang tidak mungkin hamba sebutkan dan sebagaimana tersurat dalam kitab. Singkat cerita, hamba belum mati,” katanya (SHT, hlm.70). Ketidakmatian Hang Tuah adalah simbol dari semboyan heroik yang pernah diucapkan oleh tokoh ini, “Tak Melayu hilang di bumi, patah tumbuh hilang berganti, patah satu tumbuh seribu”. Semboyan ini tentu saja menjadi beban moral anak bangsa Melayu yang disadari sepenuhnya oleh TIJ. Tidak mudah mempertahankan semboyan keramat tersebut. Jika berbicara dalam konteks Indonesia, etnis Melayu mungkin tidak hilang secara kuantitatif, namun sumberdaya manusianya sangat perlu dipertanyakan. Dalam bahasa TIJ, “Apa yang dapat dibanggakan?” Sesuatu yang sangat merisaukannya seperti terbaca dalam lapporan-laporan jurnalistiknya. Dalam kepedihannya menatap sejarah anak bangsanya, TIJ telah melakukan imajinasisasi fakta-fakta sejarah dan mencoba berandai-andai dengan PROSIDING 429 menarik dan mengumpulkan tokoh-tokoh sejarah itu ke dalam suatu ruang dan suatu waktu: kini dan di sini. Andainya bisa, ia ingin memutar kembali jarum jam sejarah tokoh-tokoh tersebut agar berjalan sebagaimana idealnya, bukan sebagaimana adanya. Sambil memyesali peran sejarah mereka TIJ merindukan kebesaran Bangsa Melayu yang bersatu dalam satu rumpun yang terhimpun. Entah dalam kesatuan politik, entah dalam kesatuan ekonomi, entah dalam kesatuan budaya, entah dalam kesatuan bahasa. Bagi TIJ, Tumasik (Singapura), Malaka, Johor, dan Riau (termasuk Kepulauan Riau sekarang) merupakan daerah Melayu serumpun yang tidak semestinya terisah-pisah. Hanya karena kebodohan dalam memainkan peran sejarahlah, mereka kini tercerai-berai, berjalan sendiri-sendiri. Hang Tuah, Hang Jebat, Sultan Mahmud, Megat Sri Rama, Patih Kamajaya, bahkan Mahathir adalah pemimpinpemimpin Melayu yang pantas disesali karena tidak mampu menyatukan anak bangsanya. Nada sesal itulah yang terbaca dari dialog-dialog kesurupan lakonlakon itu. Apakah TIJ memberikan solusi? Tidak! Malah putera “Bumi Lancang Kuning” ini melihat masalah yang dihadapi bangsa Melayu menjadi semakin kompleks dan rumit seperti ucapan Rajab “Sultan Mahmud”. “Itu semua bukan masalah lagi, kita menghadapi masalah besar yang lebih lain,” sambung Rajab. “Kita sudah bertemu di sini, di sejarah yang lain.” (SHT, hlm.72). TIJ, dengan segala kepedihan, gugatan, dan angan-angannya tetap menjadikan cerpennya memiliki tematik yang koheren. Akan tetapi—masih dalam konteks perenungannya itu ia tetap tidak dapat menemukan jalan keluar atas persoalan bangsa Melayu yang semakin tak terkendali. Ia, seperti sebagian besar masyarakatnya, tetap gamang dan tidak tahu harus berbuat apa dalam menghadapi derasnya arus perubahan zaman, sebagaimana dapat ditafsirkan dari penutup cerpen ini. Dalam kadar yang lebih cair dari Rapeah, tampaknya Roslina, Gayah, Ramli, bahkan bomo Kamis memandang semua tindakan, baik tindakan Jali, Sulaiman, Malik, Katik, dan Rabaj dengan mata kosong. Rapeah mendekati Gayah, menggait mantan sri panggung bangsawan itu kuat-kuat. Dia bertanya apa yang sedang terjadi. “Kak Gayah, apa yang harus saya buat sekarang?” tanya Rapeah. Lama Gayah baru menjawab pertanyaan Rapeah, sambil matanya tak lepas dari keempat lelaki itu, “Entahlah…” (SHT, hlm.72). 6. Kesimpulan SHT lahir ketika zaman Orde Baru masih berkuasa dan belum terbayangkan akan tergantikan. Setelah melakukan pembacaan yang berlandaskan teori seimotik struktural, lalu dibantu dengan metode penafsiran hermeneutik, 430 PROSIDING dapat disimpulkan bahwa makna dialog-dialog keserupan antara tokoh-tokoh historis Hang Tuah dan rekan-rekannya di dalam cerpen SHT tidak lain merupakan cara pengarang cerpen tersebut melakukan kritik terahdap dua hal. Pertama, pengarang ingin melakukan kritik terhadap peran historis tokohtokoh bangsa Melayu masa silam, khsusnya kepada Hang Tuah yang dianggap sebagai pahlawan bangsa Melayu. Juga kepada orang-orang yang berperan secara tidak langsung dalam mengangkat imeg kepahlawanannya. Kedua, pengarang juga ingin melakukan kritik kepada penguasa Orde Baru yang mempanglimakan pembangunan di segela bidang, walau pun hal itu menimbulkan kesengsaraan terhadap rakyat kecil. Berakaitan dengan pertanyaan mengapa pengarang memilih dialogdialog kesurupan dari tokoh-tokoh historis dalam cerpen SHT? Dapat dijawab bahwa ini adalah cara yang paling aman di saat itu. Dengan meminjam tokohtokoh historis untuk menyampaikan kritik, pengarang jauh lebih aman karena dialog-dialog tersebut dikemas dalam model otokritik, yakni semua tokoh kesurupan dalam SHT melakukan kritik terhadap peran mereka masing-masing. Semua melakukan penyesalan. Terkesan, andainya waktu dapat diputar ke belakang, mereka akan memperbaiki peran mereka masing-masing agar bisa melahirkan generasi Melayu yang dapat diperhitungkan di dalam percaturan internasional saat ini. Wallahu’alam!!! Daftar Pustaka Adiyanto, Samdevi. 2012 “Pengertian Semiotik”. Dalam http:// samdeviadiyatno.blogspot.com/2012/10/pengertian-semiotik.html. Diakses tanggal 15 November 2013. Hafizulhaq, Fadli. 2012 “Kesalahan Dalam Penulisan Dialog”. Dalam http:// kotaksastra.blogspot.com/2012/01/kesalahan-dalam-penulisandialog.html#.UoWKi3_-2ho. Diakses tanggal 15. Jamil, Taufik Ikram. 1996 Sandiwara Hang Tuah: Kumpulan Cerpen. Jakarta: Grasindo. Moehnilabib, M. (ed.) 1997. Dasar-dasar Metodologi Penelitian. Malang: Lembaga Penelitian IKIP Malang. Pradopo, Rachmat Djoko.1997. Pengkajian Puisi( cet. ke-5). Yogyakarta: Gadjah Mada Uniersiry Press. Preminger, Alex, dkk.2001 Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetic. Princeton: Princeton University Press. Rukmini, Maria Indah. 1999. “Hang Tuah”, dalam Nurhayati Rahman & Sri Sukesi Adiwimarta, Antologi Sastra Daerah Nusantara: Cerita Rakyat Suara Rakyat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999. PROSIDING 431 Seung, T.K.1982. Semiotic and Thematics in Hermeneutics. New York: Columbia University Press. Sumaryono, E . 1999. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Toer, Pramoedya Ananta.2007. “Sastra dan Kekuasaan”. Dalam http:// acehmarxist.wordpress.com/2007/12/14/sastra-dan-kekuasaan/. Diakses tanggal 10 November 2013. Ukonpurkonudin, “Teori Hermeneutik dalam Karya Sastra”. Dalam http:// filsafat.kompasiana.com/2011/06/20/teori-hermeneutik-dalam-karyasastra-374548.html. Diakses tanggal 12 September 2013. Wajiran.2008. “Sastra dan Kekuasaan (Nyi Roro Kidul adalah Propaganda Politik Kerajaan)”. Dalam http://wajirannet.blogspot.com/2008/07/ sastra-dan-kekuasaan-nyi-roro-kidul.html. Diakses tanggal 10 November 2013. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Prakmatik, Yogyakarta: Andi Offset. Wikipwdia. “Semiotika.” Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika. Diakses tanggal 15 November 2013. 432 PROSIDING MEMBACA PUISI AL-MUTANABBI (PERSPEKTIF ILMU ‘ARUDL) Nurain UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Inti Sari Objek material Penelitian ini adalah puisi al-Mutanabbi dalam buku “Syarh Diwan al-Mutanabbi” yang ditahqiq oleh Mushtafa Subaiti, dan objek formalnya adalah Ilmu ‘Arudl atau ilmu tentang musikalitas puisi Arab. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bahar apa saja yang digunakan dalam puisi al-Mutanabbi; 2. Perubahan apa yang terjadi dalam wazan puisi al-Mutanabbi. Setelah melakukan penelitian ini penulis memperoleh jawaban bahwa al-Mutanabbi hanya menggunakan 10 dari 16 Bahar yang ada dalam ilmu ‘arudl, yaitu Thawil, Mutaqarib, Wafir, Basith, Rajaz, Sari’, Kamil, Ramal, Khafif dan Munsarih. Adapun perubahan dari segi wazan pada bahar-bahar tersebut adalah: zihaf qabdl pada bahar thawil dan mutaqarib;’ashb pada bahar wafir; thayy pada bahar sari’ dan munsarih; khabn pada bahar basith, rajaz, sari’, ramal dan khafif; qathf pada bahar wafer; dan idlmar pada bahar kamil; illat hadzf pada bahar thawil, mutaqarib, dan ramal; kasf pada bahar sari’; qath’ pada bahar rajaz dan kamil serta tasy’its pada bahar khafif. Abstract This article entitled “reading al-Mutanabbi’s poems: an ‘Arudl (rhyme) analysis” will answer two main questions: first, what kind of bahar (modes of rhyme) that al-Mutanabbi uses?; second, what are the changes taking place in wazan (model) of al-Mutanabbi’s poems. In order to answer the questions above, this article uses ‘arudl (Arabic style of rhyme) theoretical framework. Having “Syarh Diwan al-Mutanabbi” (The explanation of al-Mutanabbi’s Poems) edited by Mushtafa Subaiti as a primary source, this article found that al-Mutanabbi uses 10 of 16 bahar presented in ‘Arudl, namely Thawil, Mutaqarib, Wafir, Basith, Rajaz, Sari’, Kamil, Ramal, Khafif dan Munsarih. In each bahar, there are chages of wazan. They are zihaf qabdl in bahar thawil and mutaqarib;’ashb in bahar wafir; thayy in bahar sari’ and munsarih; khabn PROSIDING 433 in bahar basith, rajaz, sari’, ramal and khafif; qathf in bahar wafir; idlmar in bahar kamil; illat hadzf in bahar thawil, mutaqarib, in ramal; kasf in bahar sari’; qath’ in bahar rajaz in kamil; and tasy’its in bahar khafif. Kata kunci: Puisi, al-Mutanabbi, Ilmu ‘Arudl 1. Pendahuluan Sebagaimana telah diketahui bahwa genre karya sastra Indonesia ada 3 macam, puisi, prosa dan drama. Secara etimologis puisi berasal dari bahasa Yunani poeima ‘membuat’ atau poeisis ‘pembuatan’ dan dalam bahasa Inggris poem atau poetry. Puisi disebut membuat atau pembuatan karena lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan dunia tersendiri yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniyah (Aminuddin, 1991:134). Demikian juga dalam sastra Arab, terdapat genre puisi dan prosa. Puisi atau dalam bahasa Arab syi’ir merupakan genre sastra yang paling digemari di kalangan masyarakat Arab terutama pada masa klasik. Secara definitif, syi’r adalah ungkapan atau pembicaraan yang bermetrum dan berrima, pada umumnya mengekspresikan imajinasi yang indah (Iskandari dan Annani, 1916:42). Definisi lain menjelaskan pernyataan yang sama dengan menambahkan pernyataan pelukisan yang sangat mengesankan hati (Zayyat, t.t.:28). Adonis (2002: 196) juga menyepakati definisi di atas dengan menambahkan bahwa pe-wazan-an dan peng-qafiyahan-nya dilakukan secara sengaja dan menjadi prioritas. Orang yang pertama menggubah puisi dalam sejarah sastra Arab adalah Muhalhil bin Rabi’ah at-Taghlibi untuk meratapi kematian saudaranya (Iskandari dan Annani, 1916:44). Selanjutnya, kegiatan berpuisi ini terus berkembang luas sehingga dalam setiap kesempatan dan even-even tertentu mereka selalu menampilkan puisi dan mencapai puncaknya pada masa Jahiliyyah, sekitar abad keenam Masehi dan masa Abbasiyah. Kedua masa ini dianggap sebagai masa keemasan dalam sejarah puisi Arab (Syanthi, 1992:24). Dalam rentang sejarahnya yang panjang, puisi Arab pernah dilarang pada awal masa Islam. Namun, kemudian diperbolehkan kembali. Islam melarang puisi dan merendahkan para penyair, karena digunakan untuk mencela Islam dan kaum muslimin. Mereka juga menuduh Nabi sebagai penyair dan apa yang dikatakannya sebagai puisi. Setelah keadaan berubah dan banyak penyair memeluk Islam kemudian menjadikan puisi sebagai salah satu sarana dakwah dan pembelaan terhadap Islam serta kaum muslimin, berpuisi diperbolehkan kembali (Tarhini, 1990:87) dan memunculkan para penyair yang kemudian disebut penyair Mukhadlram (penyair yang hidup di dua masa: Jahiliyah dan Islam) seperti Hasan bin Tsabit, Ka’b bin Malik, Ka’b bin Zuhair dan lain-lain. 434 PROSIDING Pada perkembangan selanjutnya, puisi mencapai puncak keemasan kedua pada masa Abbasiyah yang meskipun dalam sejarah tercatat sebagai masa yang secara politis banyak mendapat warna Persia, namun kehidupan sastra tetap berwarna Arab. Para khalifah dan para ulama selain mencintai ilmu pengetahuan juga mencintai sastra. Setelah itu, kejayaan sastra berangsurangsur memudar seiring dengan beralihnya pucuk pimpinan dari tangan Arab ke non-Arab yang kurang peduli terhadap perkembangan sastra Arab. Pada masa keemasan ini lahir seorang maestro sastra yang gaungnya masih terdengar sampai saat ini dan mendapat banyak sorotan serta kritikan dari rekanrekan sezaman maupun sesudahnya, yaitu al-Mutanabbi. Al-Mutanabbi, nama lengkapnya Ahmad bin Husain bin Hasan al-Ju’fi, lahir pada 303 H/915 M dari sebuah keluarga miskin di daerah Kindah, Kufah. Ayahnya bekerja sebagai penjual air sehingga mendapat gelar Abd al-Saqa. Meskipun al-Mutanabbi kecil hidup dalam keluarga miskin, ayahnya sangat memperhatikan pendidikannya. Ia belajar bahasa dan sastra di Kuttab Alawiyyin sampai kemudian ayahnya membawanya pindah ke Baghdad setelah terjadi pemberontakan Qaramithah pada 316 H/928 M. Pada 321 H/ 933 M, ayahnya membawanya pindah ke Syam. Di Syam, ia belajar dari para ulama seperti al-Zajjaj, Ibnu Siraj, Abu al-Hasan al-Akhfasy, Ibnu Duraid, dan Abu Ali al-Farisi (Subaiti, 1986:3). Setelah tinggal di sana selama 15 tahun, ia pindah ke Aleppo pada 337 H/948 M. Pada 346 H./ 957 M ia kembali pindah ke Fustat, Mesir. Terakhir pindah ke Irak dan Persia pada 350 H./962 M sampai wafatnya (al-Hasyim, 1966:16). 2. Masalah Puisi Arab (klasik) merupakan khazanah kesusasteraan yang menarik untuk diketahui estetikanya, khususnya ilmu ‘arudl. 3. Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperkenalkan ilmu ‘Arudl dan memberi contoh penerapannya dalam puisi Arab (klasik) kepada kalangan Sastra Arab khususnya dan Sastra pada umumnya. Sehingga penikmat sastra (puisi Arab klasik) dapat meningkatkan penghayatan estetiknya. 4. Teori dan Metode Ilmu ‘Arudl adalah ilmu tentang musikalitas Puisi Arab, dengan ilmu tersebut kita bisa menilai apakah sebuah puisi dianggap mengikuti kaidah atau tidak. Istilah ‘arudl ini diambil dari kata arudl yang menurut bahasa berarti jalan yang sulit, jarak yang melintang di tengah bait puisi dan Mekkah karena terletak di tengah negeri (As’ad, 1996:11). Orang pertama yang menyusun PROSIDING 435 ilmu ‘Arudl menjadi sebuah ilmu yang sistematis adalah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100--170 H) pada abad ke-2 H. Al-Khalil merangkum bahar (pola yang menjadi acuan seorang penyair menulis puisinya) dalam puisi Arab menjadi 15 dan kemudian ditambahkan oleh muridnya al-Akhfasy (w. 221 H) menjadi 16 (Abu Ali, 1991: 19). Dalam ilmu ‘arudl, puisi yang biasanya terdiri dari dua larik (dalam istilah ilmu ‘arudl disebut syathr, syatr pertama disebut shadr dan yang kedua disebut ‘ajuz, taf’ilah terakhir shadr disebut ‘arudl dan taf’ilah terakhir ‘ajuz disebut dlarab) bisa dipecah-pecah menjadi satuan terkecil yang terdiri dari huruf hidup (dilambangkan dengan /) dan huruf mati (dilambangkan dengan ●). Satuan terkecil ini disebut wihdah shautiyyah dan terdiri dari 6 macam, yaitu sebagai berikut. 1) Sabab khafif: satuan bunyi yang terdiri dari satu huruf mati dan satu huruf hidup (●/) seperti: 2) Sabab tsaqil: satuan bunyi yang tediri dari dua huruf hidup (//) seperti: 3) Watad majmu’: satuan bunyi yang tediri dari dua huruf hidup kemudian satu huruf mati (●//) seperti: Watad mafruq: satuan bunyi yang terdiri dua huruf hidup yang diselingi 4) satu huruf mati (/●/) seperti: 5) 6) Fashilah Shughra: satuan bunyi yang terdiri tiga huruf hidup diikuti satu huruf mati (●///) seperti: Fashilah kubra: satuan bunyi yang terdiri dari empat huruf hidup diikuti satu huruf mati (●////), seperti: Keenam satuan bunyi ini kemudian digabung menjadi kalimat: . Dari satuan bunyi ini kemudian terbentuk wazan syi’r atau dikenal dengan nama taf’ilah. Taf’ilah terbagi dua, yaitu khumasi (5 huruf) seperti yang terdiri dari sabab khafif dan watad majmu’: (fa’ilun), watad (fa’ulun), dan suba’i (7 huruf) seperti yang terdiri majmu’ dan sabab khafif: dari watad majmu’ dan dua sabab khafif: (mafa’ilun), dua sabab khafif dan (mustaf’ilun), watad majmu’ dan fashilah shughra: watad majmu’: (mufa’alatun), fashilah shughra dan watad majmu’: (mutafa’ilun), sabab khafif, (fa’ilatun), dua sabab khafif dan watad mafruq: watad majmu’ dan sabab khafif: (maf’ulatu), watad mafruq dan dua sabab khafif : (fa’ilatun) dan dua sabab khafif yang diselingi watad mafruq: (mustaf’i lun). (Bithroji, 1987:252-3) 436 PROSIDING Wazan-wazan tersebut di atas membentuk bait-bait syi’r yang dikenal dengan nama bahar. Bahar dalam ilmu ‘arudl terdiri dari 16 (15 di antaranya disusun oleh al-Khalil dan 1 bahar ditambahkan oleh muridnya al-Akhfasy), yaitu, sebagai berikut. 1) Bahar thawil dengan wazan: 2) Bahar mutaqarib dengan wazan: 3) Bahar hazaj dengan wazan (aslinya terdiri dari 6 taf’ilah, tetapi digunakan selalu dalam keadaan majzu’): 4) Bahar wafer dengan wazan: 5) Bahar basith dengan wazan: 6) Bahar rajaz dengan wazan: 7) Bahar sari’ dengan wazan: 8) Bahar kamil dengan wazan: 9) Bahar madid dengan wazan: 10) Bahar ramal dengan wazan: 11) Bahar khafif dngan wazan: 12) Bahar munsarih dengan wazan: 13) Bahar mudhari’ dengan wazan: 14) Bahar muqtadhab dengan wazan: 15) Bahar mujtats dengan wazan: 16) Bahar mutadarik dengan wazan: PROSIDING 437 Dalam praktiknya, wazan-wazan di atas terkadang digunakan secara utuh dan terkadang juga bisa mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi pada wazan ini disebut zihaf dan illat. Zihaf menurut bahasa adalah mempercepat. Sedangkan menurut istilah, zihaf adalah perubahan yang terjadi pada huruf kedua dari sabab, hanya bisa mengenai ‘arudl, dlarab dan hasyw (taf’ilah selain arudl dan dlarab), dan apabila terdapat pada satu bait tidak harus diikuti oleh bait selanjutnya. Zihaf terbagi dua, yaitu zihaf mufrad (tunggal) dan zihaf murakkab (ganda). Zihaf mufrad terdiri dari 8 (delapan) macam, yaitu idlmar (mematikan huruf kedua yang hidup) seperti pada buang huruf kedua yang mati) seperti huruf kedua yang hidup) seperti menjadi menjadi menjadi , khabn (mem, waqsh membuang , thayy (membuang huruf keempat yang mati) seperti menjadi , ‘ashb (mematikan huruf kelima yang hidup) seperti menjadi , qabdl (membuang huruf kelima yang mati) seperti menjadi , ‘aql (membuang huruf kelima yang hidup) seperti menjadi , dan kaff (membuang huruf menjadi . Sedangkan zihaf murakkab ketujuh yang mati) seperti adalah penggabungan dari dua zihaf tertentu. Zihaf murakkab terdiri dari 4 (empat) macam, yaitu khabl (khabn dan thayy) seperti menjadi , menjadi , syakl (khabn dan kaff) khazl (idlmar dan thayy) seperti menjadi , naqsh (‘ashb dan kaff) seperti menjadi seperti (Patah, t.t.: 30--34). Illat menurut bahasa adalah penyakit dan menurut istilah illat adalah perubahan yang terjadi pada watad dan sabab, hanya mengenai arudl dan dlarab, apabila terjadi pada suatu bait harus diikuti oleh bait-bait selanjutnya (Patah, t.t.: 30). Illat terbagi dua, yaitu illat ziyadah (tambahan) dan illat naqsh (pengurangan). Illat ziyadah ada 3 macam, yaitu tarfil (menambahkan satu sabab menjadi , khafif pada taf’ilah yang diakhiri watad majmu’) seperti tadzyil (menambah satu huruf mati pada taf’ilah yang diakhiri watad majmu’) seperti menjadi , dan tasbigh (menambahkan satu huruf mati pada taf’ilah yang diakhiri sabab khafif) seperti menjadi . Illat naqsh ada 9 macam, yaitu hadzf (membuang sabab khafif di akhir taf’ilah) seperti menjadi , qathf yaitu gabungan hadzf dengan ‘ashb (membuang sabab khafif di akhir taf’ilah dan mematikan huruf sebelumnya) seperti menjadi seperti dalam bahar wafer, qat’ (membuang huruf mati pada watad majmu’ dan mematikan huruf sebelumnya) seperti menjadi , qashr (membuang huruf mati pada sabab khafif dan mematikan huruf sebelumnya) seperti menjadi , tasy’its (membuang huruf pertama atau kedua dalam watad majmu’) 438 PROSIDING seperti menjadi , hadzadz (membuang watad majmu’ pada akhir taf’ilah) seperti menjadi , shalm (membuang watad mafruq) seperti menjadi , waqf (mematikan akhir watad mafruq) seperti menjadi , kasf (membuang akhir watad mafruq) seperti menjadi . Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka menjawab permasalahan di atas dengan menggunakan ilmu ‘arudl, yaitu (1) membaca seluruh diwan al-Mutanabbi dan menyeleksi bait-bait yang mewakili seluruh bahar yang digunakan; ( 2) membaca bait-bait yang sudah dipilih dengan bacaan ‘arudl, memenggalnya menjadi taf’ilah-taf’ilah, dan mencermati apakah di dalamnya terdapat perubahan atau tidak. Jika ditemukan ada perubahan lalu ditentukan jenis perubahannya. Data yang dijadikan sumber dalam tulisan ini adalah kumpulan puisi al-Mutanabbi yang di-tahqiq oleh Mushtafa Subaiti. Pemilihan bait-bait yang ditampilkan ditentukan secara acak. Jadi, untuk setiap bahar yang digunakan hanya mewakili satu variasi saja dari bahar tersebut. Hal ini dilakukan karena keterbatasan ruang dan waktu. 5. Pembahasan Bahar yang digunakan al-Mutanabbi dalam puisinya sebagai berikut. (1) Bahar Thawil Bahar thawil merupakan bahar yang paling banyak digunakan oleh para penyair dalam puisi mereka (As’ad, 1996:147) terdiri dari satu arudl, maqbudhah serta tiga dharab, yaitu maqbudl, shahih dan mahdzuf. Bahar ini selalu digunakan dalam keadaan tamm (digunakan seluruh taf’ilahnya tanpa mengalami pemotongan dan pembuangan). Contoh: Jika dibaca secara arudl, bait di atas akan mengalami pemenggalan (disebut taqthi’) sesuai dengan wazan bahar thawil. Contoh: PROSIDING 439 Pada bait pertama terdapat zihaf qabdl pada taf’ilah keempat atau taf’ilah terakhir syahtr pertama (‘arudl), ke-tujuh, dan kedelapan atau taf’ilah terakhir syathr kedua (dlarab). Sedangkan pada bait kedua terdapat 5 zihaf qabdl, yaitu pada taf’ilah ketiga, empat, lima, tujuh dan delapan. Secara definitif, zihaf apabila mengenai suatu bait tidak harus diikuti oleh bait selanjutnya, tetapi untuk qabdl pada ‘arudl bahar thawil terjadi pengecualian karena menjadi kepastian, ia termasuk salah satu zihaf yang diberlakukan seperti illat. (2) Bahar Mutaqarib. Bahar mutaqarib digunakan dalam keadaan tamm dan majzu’ (dibuang arudl dan dlarabnya). Mutaqarib tamm memiliki arudl shahih dan mahdzuf dengan empat dlarab; shahih, maqshur, mahdzuf dan abtar. Sedangkan mutaqarib majzu’ dengan arudl mahdzuf dan dlarab mahdzuf dan abtar (berkumpulnya illat hadzf dan qath’ dalam satu taf’ilah). Contoh: Kedua bait di atas dibaca dengan bacaan arudl, yaitu sebagai berikut. Bait pertama tidak mengalami perubahan pada seluruh wazannya. Sedangkan pada bait kedua terdapat illat hadzf yaitu taf’ilah keempat atau arudl dan zihaf qabdl pada taf’ilah kedua dan ke-tujuh. (3) Bahr Wafer Bahar wafer asalnya berwazan enam kali , tetapi pada pemakaiannya, selalu terkena zihaf qathf pada ‘arudl dan dlarabnya sehingga berubah menjadi dan kemudian dikonversi menjadi bentuk tamm dan majzu’. Contoh: 440 . Bahar ini digunakan dalam PROSIDING Bacaan ‘arudl untuk kedua bait di atas sebagai berikut. Pada bait pertama terdapat zihaf ‘ashb pada taf’ilah kedua, empat dan lima, dan illat qathf pada ‘arudl dan dlarabnya dan pada bait kedua terdapat zihaf yang sama pada taf’ilah pertama, ke-empat dan lima serta illat qathf pada ‘arudl dan dlarab. (4) Bahar Basith Bahar basith merupakan salah satu bahar yang paling banyak digunakan oleh para penyair. Bahar ini biasa digunakan dalam bentuk tamm, majzu’ dan mukhalla’. penggunaannya dalam puisi al-Mutanabbi misalnya dua bait berikut. Bacaan keduanya dengan ‘arudl sebagai berikut. Pada bait pertama terdapat zihaf khabn pada taf’ilah kedua, empat (‘arudl) lima, dan delapan (dharab). Sedangkan pada bait kedua terdapat zihaf yang sama pada taf’ilah pertama, ke-empat, lima, dan delapan. Seperti halnya qabdl yang diberlakukan seperti illat dalam bahar thawil di atas, dalam bahar basith khabn juga diberlakukan seperti illat . (As’ad, 1996: 27) PROSIDING 441 (5) Bahar Rajaz Bahar rajaz adalah bahar yang digunakan dalam empat bentuk: tamm, majzu’, masythur (dibuang setengah bait) dan manhuk (dibuang dua per tiga bait). Dalam diwannya, al-Mutanabbi menggunakan bahar ini hanya dalam dua bentuk: tamm dan majzu’. Rajaz tamm. Contoh: Dengan bacaan ‘arudl sebagai berikut. Pada bait pertama terdapat zihaf khabn pada taf’ilah ke-tiga (‘arudl), empat, lima dan enam (dlarab) serta illat qath’­ pada arudl dan dlarabnya. Pada bait kedua terdapat zihaf khabn di empat taf’ilah:ke- dua, tiga, empat dan enam. ‘Arudl dan dlarab kedua bait tersebut makhbun maqthu’ (terkena zihaf khabn dan illat qath’ sekaligus). (6) Bahar Sari’ Bahar Sari’ sama halnya dengan bahar wafer, tidak pernah digunakan dalam keadaan shahih pada ‘arudl dan dlarabnya, tetapi selalu mengalami illat kasf dan zihaf thayy,maka dari wazan asal berubah menjadi , dikonversi menjadi Contoh: 442 . Bahar digunakan dalam keadaan tamm dan masthur. PROSIDING Dibaca secara ’arudl sebagai berikut. Arudl dan dlarab kedua bait tersebut sama-sama mathwiyy maksuf (terkena zihaf thayy dan illat kasf sekaligus). Zihaf thayy lainnya dalam bait pertama terdapat pada taf’ilah pertama ke-empat dan lima, sedangkan pada bait kedua terdapat pada taf’ilah ke-dua. Di samping itu taf’ilah pertama dan ke-empat bait ke-dua mengalami zihaf khabn. (7) Bahar Kamil Bahar Kamil biasa digunakan dalam keadaan tamm dan majzu’. Bahar ini memiliki dua arudl: Shahih dan hadzdza’ dengan tiga dlarab: shahih, maqthu’ dan ahadzdz. Penggunaan bahar ini dalam puisi al-Mutanabbi. Contoh: Bacaannya secara ‘arudl sebagai berikut. ‘Arudl dan dlarab bait pertama mengalami illat qath’ dan zihaf idlmar (secara teoritis, bahar kamil memiliki ‘arudl shahih dan hadzdza, tetapi di sini terjadi pengecualian: ‘arudlnya maqthu’ untuk menyesuaikan dengan dlarabnya peristiwa ini disebur tashri’ dan baitnya disebut bait musharra’. Tashri’ biasanya pada bait pertama). Zihaf idlmar juga ditemukan dalam taf’ilah pertama. Sedangkan bait kedua hanya dlarabnya saja yang mengalami illat qath’ dan PROSIDING 443 zihaf idlmar sedangkan ‘arudlnya hanya terkena idlmar saja. Idlmar lainnya ditemukan pada taf’ilah keenam. (8) Bahar Ramal Bahar Ramal digunakan dalam keadaan tamm dan majzu’. ‘arudlnya mahdzuf dengan dlarab shahih, maqshur dan mahdzuf. Contoh: Dibaca dengan bacaan ‘arudl sebagai berikut. Bait pertama dengan arudl terkena illat hadzf dan zihaf khabn, dan dlarab terkena illat hadzf, sedang taf’ilah lainnya shahih. Bait kedua dengan ‘arudl dan dlarab terkena illat hadzf, dan taf’ilah pertama dan keempat terkena zihaf khabn. (9) Bahar Khafif 444 PROSIDING Dengan bacaan ‘arudl sebagai berikut Pada bait pertama terdapat zihaf khabn pada taf’ilah pertama, ke-dua, dan kelima. Arudlnya terkena illat tasy’its sedang dlarabnya shahih. Pada bait ke-dua terdapat zihaf yang sama pada taf’ilah pertama, ke-dua, tiga (arudl), lima dan enam (dlarab). (10) Bahar Munsarih Penggunaan bahar munsarih dalam puisi al-Mutanabbi. Contoh: Kedua bait di atas dibaca dengan bacaan ‘arudl sebagai berikut. Bait pertama mengalami zihaf thayy pada taf’ilah ke-dua, tiga (‘arudl), lima dan enam (dlarab). Bait kedua demikian juga mengalami zihaf yang sama pada taf’ilah ke-dua, tiga, lima dan enam. 6. Kesimpulan Setelah melakukan pembacaan terhadap buku Syarh Diwan al-Mutanabbi yang di-tahqiq oleh Mushtafa Subaiti, penulis menyimpulkan bahwa alMutanabbi hanya menggunakan 10 dari 16 Bahar yang ada dalam ilmu ‘arudl. Namun, dalam tulisan ini hanya ditampilkan satu contoh untuk setiap jenis bahar, meskipun pada praktiknya, setiap bahar memiliki lebih dari satu variasi PROSIDING 445 ‘arudl dan dlarab-nya, dan hanya bait yang tamm. Adapun 10 bahar yang digunakan, yaitu bahar Thawil, Mutaqarib, Wafir, Basith, Rajaz, Sari’, Kamil, Ramal, Khafif dan Munsarih. Sedangkan perubahan wazan pada bahar-bahar tersebut adalah menjadi dan menjadi zihaf qabdl pada bahar thawil dan mutaqarib ;’ashb pada bahar wafer: menjadi munsarih menjadi dan menjadi menjadi menjadi dan , menjadi menjadi menjadi ; qathf pada bahar wafer ; dan idlmar pada bahar kamil hadzf pada bahar thawil, mutaqarib, dan ramal , dan ; khabn pada bahar menjadi basith, rajaz, sari’, ramal dan khafif , ; thayy pada bahar sari’ dan menjadi menjadi , ; illat menjadi ; kasf pada bahar sari’ menjadi menjadi menjadi qath’ pada bahar rajaz dan kamil dan terakhit tasy’its pada bahar khafif menjadi , ; . Daftar Pustaka Aminuddin. 1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Karya Baru Abu Ali, Taufiq. 1988. Ilm al-‘Arudl. Beirut: Dar al-Nafa’is Adonis. 2002. aAl-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ibda’ wa al-Ittiba’ ‘ind al‘Arab. Beirut: Dar al-Saqi As’ad, Umar. 1996. Ma’alim al-‘Arudl wa al-Qafiyah. Riyadl: Maktabah al-Abikan. Bithroji, Irfan. 1987. Al-Jami’ li Funun al-Lughah al-Ararabiyah wa al-‘Arudl. Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah Al-Hasyim, Yusuf.1966. Abu Thayyib al-Mutanabbi: Dirasah wa Nushush.T.tp. al-Maktab al-Tijari li al-Thiba’ah wa al-Tauzi’ wa al-Nasyr Al-Iskandari, Ahmad dan Mushtafa ‘Annani. 1916. Al-Wasith fi al-adab al-Arabi wa Tarikhihi. Kairo: Mathba’ah al-Ma’arif. Patah, Ahmad. t.t. Khulashah fi ‘Ilmay al-‘Arudl wa al-Qafiyah. Yogyakarta: Idea Press Subaiti, Mushtafa. 1986. Syarh Diwan al-Mutanabbi. Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah Al-Syanthi, Muhammad Shalih. 1992. Al-Adab al-Arabi al-Hadits (madarisuhu wa fununuhu wa tathawwuruhu wa qadlayahu wa namadzija minhu). Hail: Dar al-Andalus li al-Nasyr wa al-Tauzi’ Tarhini, Fayiz. 1990. Al-Islam wa al-Syi’r. Beirut: Dar al-Fikr al-Lubnani Zayyat, Ahmad Hasan. T.t. Tarikh al-Adab al-Arabi. Kairo: Dar Nahdlah alMishriyyah 446 PROSIDING PENGAYOM SASTRA WAYANG DALAM KORAN DAN MAJALAH DI YOGYAKARTA Prapti Rahayu Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Inti Sari Dalam menelusuri sejarah sastra wayang, pengayom sastra wayang, tujuan pengayom sastra wayang, dan jenis sastra wayang dalam koran dan majalah di Yogyakarta digunakan teori makro sastra. Teori makro sastra meliputi pengayom, pengarang, penerbit, dan pembaca. Pengayom adalah sistem sastra dari bagian sistem makro sastra atau merupakan elemen konkret di luar sastra. Adapun metode yang digunakan adalah metode deduktif, artinya berawal dari teori menuju penerapannya. Hal itu dilakukan dengan langkah-langkah tertentu, misalnya, merekam dan mencatat gerakan para pengayom sastra wayang dalam koran dan majalah di Yogyakarta. Dengan mengetahui keberadaan sastra wayang, dapat dikatakan bahwa sastra wayang perlu diuri-uri ‘dilestarikan’ dan diayomi karena bermanfaat bagi masyarakat. Pengayom sastra wayang meliputi pengayom pemerintah (pemimpin redaksi majalah Sempulur) dan pengayom swasta (pemimpin redaksi majalah Djaka Lodang, dan sebagainya). Tujuan pengayom sastra wayang adalah untuk melestarikan budaya bangsa, membentuk filosofi wayang agar menjadi suri tauladan bangsa di dunia, untuk menanggulangi pengaruh kebudayaan asing yang tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia, dan sebagainya. Kata kunci: pengayom, sastra wayang, koran, majalah, deduktif, Yogyakarta Abstract In tracing sastra wayang history, patron for sastra wayang, purpose of patron for sastra wayang, and kinds sastra wayang in magazine and newspapers in Yogyakarta, this research used literary macro theory. The theory consist patron, author, publisher, and reader. Patron is literary system from literary macro system or concrete element out of literature. While method used in this research PROSIDING 447 was deductive, it means theory to application. It uses steps like recording and writing of sastra wayang patron movement in newspaper and magazines in Yogyakarta. By understanding sastra wayang existence, so that sastra wayang needs to be preserved and protected for its usefulness for people. Sastra wayang patron are government and non-governmental patron. The patron aims to preserve national culture, to protect inappropriate foreign culture of Indonesia, etc. Key words: patron, sastra wayang, newspaper, magazine, deductive, Yogyakarta 1. Pendahuluan 1.1 Alasan Pemilihan Topik Penelitian ini berjudul “Pengayom Sastra Wayang dalam Koran dan Majalah di Yogyakarta”. Hal itu dipilih karena dikhawatirkan sastra wayang dilupakan masyarakat dan terdesak oleh kesenian luar negeri yang beraneka ragam. Kesenian tersebut ada yang selaras dan ada yang tidak selaras dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sastra wayang adalah jenis sastra yang hidup sejak dahulu kala sampai sekarang. Pertunjukan wayang sampai sekarang telah berumur lebih kurang 1110 tahun (lebih kurang 903—2013). Kalau menurut pertunjukan aslinya, wayang telah berumur lebih kurang 3513 tahun (lebih kurang 1500 SM – 2013). Walaupun demikian, pertunjukan wayang tetap digemari dan mendarah daging bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan suku Jawa pada khususnya. Pernyataan Dr. G.A.J. Hazeu bahwa bangsa Indonesia, terutama suku Jawa, banyak terpengaruh oleh kebudayaan Hindu. Pengaruh itu meliputi seluruh peradaban, baik material maupun spiritual, yang diselaraskan dengan kepribadian sendiri. Perlu diketahui bahwa pertunjukan wayang kulit (dalam bentuk asli) berasal dari Indonesia dan diciptakan oleh bangsa Indonesia di Jawa. Dapat dikatakan bahwa wayang kulit tersebut muncul sebelum kebudayaan Hindu datang (Mulyono, 1975: 1). Sastra wayang tetap digemari oleh masyarakat karena menceritakan halhal yang diperlukan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Fungsinya untuk alat upacara keagamaan, alat pendidikan, alat penerangan, sebagai kesenian daerah, dan obyek ilmiah. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau ada orang yang menyebutkan bahwa wayang adalah kesenian klasik yang adiluhung (Mulyono 1975: 2). Akhir-akhir ini cerita wayang ada yang hadir dalam bentuk naskah di koran-koran dan majalah-majalah. Naskah cerita wayang seperti itu merupakan syarat untuk diterima sebagai karya sastra (Ras, 1985: 3). Di sini peneliti akan mengkaji pesan-pesan apa saja yang disampaikan dalam naskah sastra wayang tersebut. 448 PROSIDING 1.2 Rumusan Masalah Penelitian di sini mempunyai rumusan masalah sebagai berikut. (1) Siapa dan bagaimana pengayom sastra wayang dalam koran dan majalah di Yogyakarta; (2) Apa tujuan pengayom sastra wayang dalam koran dan majalah di Yogyakarta; dan (3) Sastra wayang apa saja yang diayomi oleh pengayom sastra wayang dalam koran dan majalah di Yogyakarta. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan (1) untuk mengetahui siapa saja dan bagaimana pengayom sastra wayang dalam koran dan majalah di Yogyakarta; (2) untuk mengetahui apa tujuan pengayom sastra wayang dalam koran dan majalah di Yogyakarta; dan (3) untuk mengetahui tentang sastra wayang apa saja yang diayomi oleh pengayom sastra wayang dalam koran dan majalah di Yogyakarta. Sedangkan manfaat penelitian ini dilakukan adalah untuk meningkatkan kualitas karya sastra wayang di koran-koran dan majalah-majalah sehingga pembacanya akan lebih luas jangkauannya. 2. Teori, Metode, dan Data 2.1 Teori Penelitian ini menggunakan teori makro sastra karena peneliti mencari keterangan pengayom karya sastra wayang dalam koran dan majalah di Yogyakarta. Sistem pengayom merupakan bagian dari teori makro sastra karena merupakan unsur sastra yang terdapat di luar karya sastra. Hal itu untuk menjabarkan kiprah pengayom yang mengayomi sastra wayang dalam koran dan majalah di Yogyakarta. Ackoff (Widati, 2005: 12—13) menyatakan bahwa hubungan pengayom dengan masyarakat atau sistem makro akan berpengaruh dalam sistem mikro sastranya. Maksudnya, dengan adanya pengayom yang kuat dan lestari, unsurunsur dari mikro sastranya akan berubah lebih baik atau kualitasnya akan lebih mendekati sempurna. Sistem makro sastra terdiri atas sistem pengarang, penerbit, dan pembaca. Wellek dan Waren menerangkan bahwa hubungan pengayom dan pengarang sangat penting. Mereka dapat menghadirkan karya sastra yang bermutu. Profesionalisasi pengarang lebih baik dan terarah karena kehidupan mereka lebih terjamin: penyebaran sastra semakin luas, perpustakaan semakin banyak, dan pembaca semakin banyak. Hal itu terjadi karena pengarang yang bermutu baik sangat dibutuhkan masyarakat (Damono, 1978: 61). Dengan adanya pengayom sastra wayang dalam koran dan majalah di Yogyakarta, diharapkan sastra wayang akan lestari dan berkembang di masyarakat. PROSIDING 449 2.2 Metode dan Teknik Dalam penelitian di sini digunakan teori makro sastra dari konsep Tanaka. Oleh karena itu, metode yang digunakan adalah metode penelitian reseptif lewat wawancara kepada para narasumber dan karya sastra wayang. Pelaksanaan metode tersebut dilakukan dengan cara diakronis karena obyek yang diteliti adalah “Pengayom Sastra Wayang dalam Koran dan Majalah di Yogyakarta”. Metode pengumpulan datanya adalah studi pustaka dengan teknik baca dan catat. Untuk mencapai itu semua, sebelumnya diadakan pencarian di perpustakaan dengan teknik reproduksi, yang dengan cara memfotokopi. Di samping itu, data diperoleh dengan cara mewawancarai dengan para narasumber dengan cara merekam dan mencatat. Setelah data terkumpul, lalu diklasifikasikan selaras dengan pokok-pokok masalah yang dibahas. Semua itu dilakukan dengan kerangka berpikir deduktif. Hasil penelitian ini akhirnya dilaporkan secara deskriptif. Analisa data dilakukan dengan metode deskriptif analitik. Teknik pelaksanaannya adalah data yang telah diklasifikasi dianalisis selaras dengan pemilahan dan pengelompokan per bab dan subbab seperti dengan apa yang telah direncanakan. 2.3 Data Penelitian di sini adalah “Pengayom Sastra Wayang dalam Koran dan Majalah di Yogyakarta”. Adapun koran dan majalah di Yogyakarta yang akan diteliti, antara lain majalah Sempulur, koran Kedaulatan Rakyat dalam rubrik “Mekar Sari”, koran Merapi, koran Minggu Pagi, dan majalah Djaka Lodang. Karena waktu dan dananya terbatas maka datanya dibatasi yang mewakili saja. 3. Pembahasan 3.1 Pengayom Sastra Wayang dalam Koran dan Majalah di Yogyakarta Pengayom sastra wayang di sini adalah pengayom pemerintah dan pengayom swasta. Adapun yang dimaksud pengayom adalah orang dan sebagainya yang mengayomi (Sugono, 2008: 106). Menurut Laurenson dan Swingewood, pengayom bertugas membantu dan melindungi pengarang dalam proses menulis dan menghadirkan karyanya di hadapan pembaca. Menurut Ackoff dalam Tanaka, kehadiran pengayom dapat berupa apa saja yang ada di dalam lingkaran sistem sastra (Widati, 2000: 8). 3.1.1 Pengayom Pemerintah Di sini sastra wayang diayomi oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam majalah Sempulur, alamat kantor redaksinya di 450 PROSIDING Jalan Cendana 11, Yogyakarta 55122, telepon (0274) 562628, faksimile (0274) 564945. Kepala kantornya adalah Drs. GBPH. H. Yudaningrat, M.M. 3.1.2 Pengayom Swasta Pengayom swasta dari koran Kedaulatan Rakyat adalah dr. Gun Nugroho Samawi dan para pemimpin redaksinya yang mengurusi sastra wayang, misalnya pemimpin redaksi “Mekar Sari” adalah Bp. Sutopo Sugihartono. Pemimpin redaksi koran Merapi adalah Bp. Nurhadi. Pemimpin redaksi koran Minggu Pagi adalah Drs. Nisbi Sabakingkin. Pengayom dari sastra wayang di majalah Djaka Lodang adalah Drs. H. Abdullah Purwadarsono. 3.1.3 Kiprah Pengayom Pemerintah Kiprah pengayom pemerintah di majalah Sempulur adalah sebagai berikut. Menurut pemimpin redaksi majalah Sempulur Dwiyanto Budiutama, S.S., majalah Sempulur dinaungi oleh pemerintah daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta. Anggarannya dari Pemerintah. Pemimpin redaksi majalah Sempulur tidak boleh menerima dana dari sponsor di luar pemerintah. Siapa saja boleh menulis di rubrik-rubrik yang ada di majalah Sempulur. Tujuan pengayom sastra wayang di majalah Sempulur di Yogyakarta adalah sebagai berikut. Menurut pemimpin redaksi, sastra wayang telah mendarah daging dalam sanubari masyarakat Jawa. Kebanyakan orang Jawa selalu mengidolakan tokoh wayang. Oleh karena itu, di dalam majalah Sempulur terdapat rubrik sastra wayang. Perlu diketahui bahwa sastra wayang mempunyai nilai-nilai filosofi, yakni perilaku orang Jawa dituntun oleh sifat tokoh-tokoh wayang. Jadi, perilaku wayang itu dijadikan pedoman bagi orang Jawa. Cerita wayang yang dimuat di majalah Sempulur bersumber pada kitab Mahabarata dan Ramayana. Di samping menulis cerita wayang pengarang ada yang menjadi ahli karawitan dan wartawan. Sepanjang sejarahnya, majalah Sempulur belum pernah menerima tulisan cerita wayang yang dikarang oleh para dalang wayang purwa. Pengarang cerita wayang di majalah Sempulur belum ada yang mendapat penghargaan, tetapi mereka mendapat honorarium. Majalah Sempulur memunculkan rubrik sastra pewayangan karena bertujuan untuk melestarikan wayang, untuk membentuk budi pekerti luhur masyarakat, dan untuk nguri-uri atau melestarikan kebudayaan wayang. Nama rubrik cerita wayang di majalah Sempulur adalah “Cempala” dan “Pakeliran”. Yang menentukan ilustrasi dalam cerita wayang adalah ilustrator yang bekerja di redaksi majalah Sempulur. Di samping itu, ada juga pengarang cerita wayang yang mengirimkan ilustrasinya dan menentukan cerita wayang itu berbentuk cerita pendek berbahasa Jawa adalah tim redaksi. Cerita wayang bersifat sekali muat selesai, disebut sebagai cerita carangan. Jumlah kolom cerita wayang yang ditulis di majalah Sempulur sebanyak dua sampai tiga PROSIDING 451 lembar. Sejak mulai terbit sampai dengan sekarang (tahun 2001—sekarang) majalah Sempulur memuat cerita wayang. 3.1.4 Kiprah Pengayom Swasta Kiprah pengayom swasta yang mengayomi sastra wayang dalam majalah dan koran di Yogyakarta, antara lain terdapat di majalah Djaka Lodang, “Mekar Sari” (di dalam koran Kedaulatan Rakyat), koran Merapi, dan koran Minggu Pagi. (1) Kiprah Pengayom di Majalah Djaka Lodang Menurut pemimpin redaksi, Drs. H. Abdullah Purwodarsono, cerita wayang di majalah Djaka Lodang muncul sejak tahun 1971. Kepengayoman sastra wayang berupa pemberian rubrik, honorarium (diambilkan dari iklan dan hasil penjualan majalah Djaka Lodang di masyarakat). Rubrik cerita wayang adalah “Padhalangan”. Pengayom sastra wayang bertujuan untuk menghibur, untuk melestarikan wayang, dan untuk menambahkan rasa cinta kepada cerita wayang. Jenis cerita wayang yang terdapat di dalam majalah Djaka Lodang adalah wayang purwa yang berbahasa Jawa karena untuk nguri-uri ’melestarikan’ sastra Jawa. Dahulu, majalah Djaka Lodang pernah memuat cerita wayang golek, namun timbul kendala karena penulisnya langka sehingga kehabisan bahan. Untuk itu, pemimpin redaksi menghubungi para pengarangnya untuk mencari naskah cerita wayang. Dahulu majalah Djaka Lodang sering berhubungan dengan Senawangi dan Pepadi. Pada waktu itu Bp. Pandam Guritna, ketua Senawangi, sering menulis di majalah Djaka Lodang. Majalah Djaka Lodang beredar di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Jakarta, Banjarmasin, Medan dan sebagainya. (2) Kiprah Pengayom “Mekar Sari” di dalam Koran Kedaulatan Rakyat Menurut Sutopo Sugihartono, pemimpin redaksi di “Mekar Sari” dalam koran Kedaulatan Rakyat, dahulu Mekar Sari berdiri sendiri sebagai majalah Jawa. Akan tetapi, sejak tanggal 1 Maret 2004 “Mekar Sari” merupakan rubrik besar yang menempel di koran Kedaulatan Rakyat. Sutopo Sugihartono sebagai pemimpin redaksi memberi perlindungan (dimuat atau tidaknya) karya tulis yang masuk. Dana penerbitan diperoleh dari iklan dan penjualan koran. Tujuan pengayom sastra wayang adalah untuk menghibur pembaca, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan Jawa (dalam hal ini adalah seni pewayangan), membentuk budi pekerti luhur, menyampaikan pesan pemerintah. Jenisjenis sastra wayang dalam “Mekar Sari” adalah wayang purwa yang berdasarkan Mahabarata dan Ramayana. Hal itu ditulis karena masyarakat lebih senang pada wayang purwa. Dulu “Mekar Sari” pernah memuat cerita wayang golek. “Mekar Sari” dalam koran Kedaulatan Rakyat formatnya sangat terbatas, 452 PROSIDING sedangkan kalau dalam bentuk majalah formatnya lebih banyak atau lebih leluasa atau lebih panjang lebar. Rubriknya adalah “Pedhalangan”. (3) Kiprah Pengayom Koran Merapi Menurut Nurhadi, pemimpin redaksi koran Merapi, naskah cerita wayang yang dimuat adalah cerita tentang Pandawa dan Panakawannya. Naskah berasal dari luar kantor koran Merapi. Naskah tersebut diserahkan ke redaktur lalu diseleksi. Kalau memenuhi syarat, naskah dimuat. Dana untuk memberi honorarium berasal dari perusahaan dan iklan. Pada umumnya cerita wayang di koran Merapi dimuat secara bersambung. Pengarang dan ilustrator menyerahkan bahan jadi, berupa gambar dan cerita. Kalau bahan jadi layak muat, lalu dimuat. Pemberian rubrik merupakan kebijakan sejak awal. Cerita wayangnya berupa cerita bergambar. Cerita bergambar berfungsi untuk mengendorkan urat syaraf, untuk menghibur, untuk mendidik, dan untuk memberi tambahan ilmu pengetahuan tentang wayang. Rubriknya bernama “Stelkendho” berupa cerita bergambar dan berbahasa Indonesia. Tujuan pengayom sastra wayang di koran Merapi adalah untuk menghibur, untuk mendidik, dan untuk mengendorkan urat syaraf. Jenis sastra wayang yang terdapat di koran Merapi adalah Mahabarata, berbahasa Indonesia, tetapi tetap menghargai bahasa Jawa. Hal tersebut berdasarkan keadaan yaitu tidak semua orang memahami bahasa Jawa. Jalan tengahnya adalah menggunakan bahasa Indonesia dengan disisipi bahasa Jawa. Tujuannya adalah tetap nguri-uri ’melestarikan’ kebudayaan Jawa, sedangkan tujuan menggunakan bahasa Indonesia, yaitu untuk mengembangkan cerita wayang ke kancah nasional. (4) Kiprah Pengayom Koran Minggu Pagi Menurut Drs. Nisbi Sabakingkin, pemimpin redaksi koran Minggu Pagi mulai memuat cerita wayang pada tahun 1960. Perlu diketahui bahwa koran tersebut pertama kali terbit pada tahun 1947. Penulis cerita wayang berasal dari luar pegawai koran Minggu Pagi. Fungsi pengayom adalah memberi rubrik atau kolom, mengenai honorarium ditentukan oleh tim. Dana penerbitan diperoleh dari perusahaan, penjualan koran, iklan, sponsor, dan dari danadana yang tidak mengikat. Perusahaan yang menerbitkan bernama PT. Ambeg Paramarta. Selain itu, kiprah pengayom dalam menerbitkan cerita wayang bertujuan untuk mengacu cerita pakem dan cerita carangan yang diselaraskan dengan keadaan sekarang. Cerita wayang tersebut berdasarkan pada cerita dalam epos Mahabarata dan Ramayana. Nama rubriknya adalah “Bukan Wayang Koclok”, rubrik itu mempunyai arti wayang purwa baku yang di dalamnya terdapat plesetan-plesetan yang bertujuan untuk variasi atau penyegar imajinasi. PROSIDING 453 3.2 Tujuan Pengayom Sastra Wayang dalam Koran dan Majalah di Yogyakarta Pengayom mau mengayomi karya sastra wayang dalam koran dan majalah karena bertujuan untuk melestarikan budaya bangsa. Di samping itu, pengayom juga bertujuan membentuk filosofi pewayangan yang dapat dijadikan suri tauladan di dunia, serta untuk menanggulangi pengaruh kebudayaan asing yang tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. Cerita wayang perlu diayomi oleh para pengayom karena menyenangkan dan bermanfaat. Seperti yang terlihat di dalam pendapat-pendapat para tokoh berikut ini. Cerita wayang di media cetak seharusnya dikemas dengan baik sehingga dapat ditayangkan di televisi. Tujuan tersebut disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di TVRI pada hari Minggu, 28 Juni 2009, pukul 20.30 sampai pukul 21.00. Menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, wayang menjadi karya agung yang diakui dunia. Wayang merupakan hasil kreasi seni yang luar biasa dan mampu memberikan pendidikan dan nilai moral pada masyarakat. Kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan arus globlalisasi telah memengaruhi perkembangan wayang. Oleh karena itu, masyarakat dan perguruan tinggi diharapkan terus melestarikan wayang (Kedaulatan Rakyat, Jumat Wage, 23 Agustus 2013, hlm. 2, dengan judul: “Wayang, Ekspresi dan Identitas Masyarakat”). Menurut Drs. G.B.P.H. H. Yudaningrat, M.M., Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, wayang adalah sebagai penghibur masyarakat (tontonan), dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari (tatanan), dan sebagai pembentuk budi pekerti luhur (tuntunan). Menurut Ir. Yuwono Sri Suwito, wayang perlu diayomi dan dikembangkan karena menurut Prof. Dr. Timbul Haryono, wayang adalah budaya Jawa yang dapat untuk menanggulangi desakan kebudayaan global (“Yogya TV”, Jumat Wage, 23 Agustus 2013, pk. 19.10). Menurut Suyami, nilai-nilai yang terkandung dalam seni sastra pewayangan meliputi nilai kerohanian atau nilai religius, etika, moral, mental, maupun sosial. Emha Ainun Najib berpendapat, bahwa dalang atau pengarang sebaiknya sebagai pemimpin moral atau guru moral yang menyampaikan nilai-nilai moral dan kebenaran karena pengarang berkedudukan sebagai begawan. (Suyami, 2006: 53, 56). Pesan yang terdapat di dalam sastra wayang yang berjudul “Rabine Bathara Brama” ’Pernikahan Batara Brama’ (DL, Sabtu Legi, 7 Agustus 2004, hlm. 16—17), yaitu peraturan dan etika perjodohan sebaiknya dilaksanakan dengan semestinya. Pesan sastra wayang yang berjudul “Digandrungi Para Widadari” ’Para Bidadari Pada Jatuh Cinta’ (DL, Sabtu Kliwon, 2 Februari 2008, hlm. 16—17), yaitu perempuan yang jatuh cinta kepada pemuda itu 454 PROSIDING hendaknya bersikap sewajarnya saja, jangan sampai keterlaluan karena akan membuat para dewa marah. Pesan sastra wayang di “Mekar Sari” yang berjudul “Naraka Paring Katrangan” ’Neraka Memberi Keterangan’ (KR, Kamis Legi, 4 Mei 2006, hlm. 15), yaitu binalah persaudaraan kita agar tidak menumbuhkan permusuhan di antara kita. Pesan sastra wayang di “Mekar Sari” yang berjudul “Pralampitane Raden Narayana” ’Lambang atau Sindiran untuk Raden Narayana’ (KR, Minggu Kliwon, 23 November 2008, hlm. 8), yaitu sebaiknya seorang siswa menghormati gurunya, agar kedua belah pihak selamat. Pesan sastra wayang yang berjudul “Antareja Takon Bapa” ’Antareja Menanyakan Siapa Ayahnya’ (Sempulur, September 2004, hlm. 22—23), yaitu seorang anak yang sungguh-sungguh ingin mengetahui siapa ayahnya, akhirnya akan bertemu juga. Pesan sastra wayang yang berjudul “Wahyu Cakraningrat” ’Wahyu Cakraningrat’ (Sempulur, Juli 2005, hlm. 20—21), yaitu wahyu cakraningrat dapat menyatu pada diri Raden Abimanyu karena dia dapat menahan hawa nafsu. Tujuan sastra wayang yang diajarkan oleh guru di Sekolah Menengah Atas atau SMA di Yogyakarta, yaitu untuk mencari nilai budi pekerti luhur yang dapat diterapkan kepada siswa, baik melalui media cetak atau pun di Yogya TV, TATV, TVRI, CD atau DVD. Cerita wayang merupakan tontonan, tuntunan, dan tatanan; untuk nguri-uri ’melestarikan’ kebudayaan Jawa, memetik filosofinya, sifat tokoh-tokoh wayang yang baik. Hal tersebut dapat diselaraskan dengan agama siswa, misalnya sifat Raden Harjuna yang senang prihatin dan bertapa sehingga menjadi tokoh yang sakti, dan sebagainya. Maka siswa yang ingin meniru Raden Harjuna harus rajin puasa Senin dan Kamis, sembahyang tahajud, belajar dengan baik, dan sebagainya. Perlu diketahui bahwa cerita wayang adalah gambaran kehidupan manusia yang di dalamnya terdapat gambaran sifat kebajikan dan keangkara-murkaan. Tokoh wayang yang bersifat berbudi pekerti luhur adalah tokoh Pandawa, Prabu Ramawijaya, Prabu Harjunasasrabahu, dan sebagainya; sedangkan yang bersifat angkara murka adalah Kurawa dan Dasamuka. Hal tersebut terdapat di dalam Ramayana dan Mahabarata. Sifat pengayom sastra wayang dalam koran dan majalah di Yogyakarta adalah tidak mengikat, tetapi selalu berharap kepada pengarang agar karya sastra wayangnya selalu hadir dengan baik, menarik dan bermanfaat bagi bangsa indonesia pada umumnya dan bagi masyarakat Yogyakarta pada khususnya. Sedangkan sistem relasinya adalah sistem relasi persaudaraan, maksudnya pengarang dikunjungi oleh pengayom, dimohon untuk mengarang dengan baik, menarik, dan bermanfaat. Setelah karya sastra wayangnya jadi, lalu dimuat di koran atau majalahnya dan diberi honor yang selaras dengan jerih payahnya. PROSIDING 455 3.4 Jenis Sastra Wayang dalam Koran dan Majalah di Yogyakarta Jenis sastra wayangnya adalah sastra wayang yang bersumber pada epos Ramayana dan Mahabarata. Sastra wayang yang tergolong epos Ramayana dan Mahabarata adalah cerita wayang yang sangat populer sampai tingkat dunia (Suratno, 2009:109). Adapun bentuk sastra wayang tersebut berupa cerita pendek dan cerita bergambar. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Contoh cerita wayang yang berbahasa Jawa, yaitu “Sirnane Ambeg Angkara” ’Hilangnya Sifat Angkara Murka’, karya Wisnu Sri Widodo (DL, Sabtu Pahing, 9 Juni 2007, No. 02, Th. XXXVII, hlm. 16). “Minangkani Panyuwune Dewi Sinta” ’Mengabulkan Permintaan Dewi Sinta’, karya Mul/War (Mulyantara/ Warsiman) terdapat dalam rubrik “Mekar Sari” (KR, Minggu Wage, 27 Januari 2008, hlm.8). Contoh cerita wayang berbahasa Indonesia, berupa cerita bergambar yang terdapat di dalam rubrik kecil “Punakawan” dalam rubrik besar “Stelkendho” dalam koran Merapi. Contohnya terdapat di koran Merapi, Rabu Legi, 9 Januari 2008, halaman 8. Di sini menceritakan tentang para punakawan yang sedang berbincang-bincang tentang tahun baru Hijriyah 1 Muharam atau tanggal 1 Suro, hari raya anak yatim, hari libur tanggal merah, dan hari cuti bersama. 4. Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan 1) Pengayom sastra wayang dari pihak swasta lebih banyak dari pada pengayom sastra wayang dari pihak pemerintah. 2) Kiprah pengayom sastra wayang, baik pemerintah maupun swasta, adalah memberi honor, memberi rubrik, menyebarluaskan sastra wayang ke masyarakat luas, dan mengedit bahasanya. 3) Tujuan pengayom sastra wayang adalah untuk melestarikan budaya bangsa, membentuk filosofi pewayangan agar dapat dijadikan suri tauladan di dunia, dan menanggulangi pengaruh kebudayaan asing yang tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia, membentuk budi pekerti luhur, mengendorkan urat syaraf, menghibur, mendidik, dan untuk menyampaikan program-program pemerintah. 4) Jenis sastra wayang yang diayomi di sini adalah sastra wayang yang bersumber pada epos Ramayana dan Mahabarata. Adapun bentuk sastra wayang tersebut berupa cerita pendek dan cerita bergambar. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. 456 PROSIDING 4.2 Saran Melihat begitu pentingnya tujuan pengayom yang sarat dengan nilainilai kebaikan, maka sudah selayaknya kiprah pengayom lebih ditingkatkan, khususnya melalui media cetak koran dan majalah dan dapat lebih diperluas lagi melalui bidang-bidang lain yang memungkinkan. Sebagai contoh melalui bidang pendidikan, sastra wayang diperkenalkan oleh guru, mulai TK sampai dengan Perguruan Tinggi agar para siswa mengenal filosofi wayang, yang banyak memuat nilai-nilai luhur, dengan baik dan benar. 5. Daftar Pustaka 5.1 Daftar Pustaka Acuan Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sugono, Dendy dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi Keempat. Jakarta: P. T. Gramedia Pustaka Utama. Mulyono, Sri. 1975. Wayang Asal Usul, Filsafat & Masa Depannya I. Jakarta: BP. Alda. Ras. J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: PT. Grafitipers. Suratno, Pardi. 2009. The Magic of Mahabharata Ramayana Rahasia Kedahsyatan Hukuman & Kutukan dalam Tradisi Jawa Kuno. Yogyakarta: Pararaton. Suyami. 2006. “Wayang sebagai Tontonan, Tuntunan, dan Tatanan”. Dalam Jantra, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol.I, No.1, Juni 2006, hlm. 47—57. Yogyakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradidional. Widati, Sri. 2000. “Pengayom dalam Sastra Jawa Modern: Studi Kasus Periode 1981—1997”. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Bahasa Yogyakarta. __________. 2005. Pengayom dalam Sastra Jawa Modern. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta. 5.2 Daftar Pustaka Data Djaka Lodang tahun 2004—2008. Kedaulatan Rakyat dalam rubrik “Mekar Sari” tahun 2004—2008. Merapi tahun 2004—2008. Minggu Pagi tahun 2004—2008. Sempulur tahun 2004—2008. PROSIDING 457 458 PROSIDING PERPESENTASI REALITAS SOSIAL DALAM LAKON DOM KARYA BAMBANG WIDOYO SP KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA V. Risti Ratnawati Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Inti Sari Drama Lakon Dom menampilkan tragedi ironi yang merepresentasikan kelas sosial yang terpinggirkan. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menuliskan representasi penulis sebagai wakil kelas sosial yang terpinggirkan dan representasi realitas sosial pada era tahun 1980an. Teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra Marxis model refleksi. Hasilnya adalah drama Lakon Dom merepresentasi penulisnya yang mewakili kelas sosial yang tersingkirkan, yang diwakili pejabat, pengusaha,kaum miskin yang tersingkir dari struktur sosial. Kelas yang berkuasa diwakili oleh ideologi atau pemikiran yang terwujud dalam simbol-simbol, seperti sistem pemerintahan, atau perdagangan pasar gelap.Realitas sosial yang terhadirkan adalah ketidakberdayaan kelas terpinggirkan dalam melawan kuasa kelas yang menindasnya pada era 1980-an. Kata kunci: Lakon Dom, kelas sosial, dan realitas sosial Abstract Dom play presents tragedy-irony that shows marginalized social class. The aim of this research is to write author representation as marginalized social class representative and representation of social reality in 1980s era. Theory used in this research is literary sociology Marxis reflection model. The result shows that Dom play represents its writer as representative of marginalized social class, characterized by functionaries, entrepreneur, and poverty class in social structure. Ruling class is portrayed by ideology and way of thinking by symbols, governmental system, or marketing trading. Represented Social reality is the marginal weakness in fighting the ruling class that oppressing in 1980s era. Key words: Dom Play, social class, social reality PROSIDING 459 1. Pengantar Drama memberi manfaat pengalaman humanistik, selain pengertian, perasaaan, kejelian, maupun kematangan artistik. Sebagai agen pembaharu sosial, teks sastra drama patut dimanfaatkan untuk mengenali masyarakat yang melahirkan dan menikmatinya. Sehubungan dengan itu, teks sastra drama dimanfaatkan pula untuk mengembangkan, menumbuhkan, serta mengarahkan budayanya (Sarumpaet, 2003:1). Keunikan drama tidak hanya ditemui ketika dipentaskan, tetapi juga pada saat disajikan dalam bentuk teks drama sebagai karya sastra. Keberhasilan drama seakan-akan hanya ada di tangan aktor, sutradara, maupun penata pentas sebagai eksekutornya. Padahal, di samping action, “nyawa drama juga terdapat pada text play atau teks dramanya (Cahyaningrum, 2010:xiii-1). Teks sastra drama, seperti genre yang lain, memiliki kesamaan dalam menyampaikan pesan dari pengarangnya sebagai wakil kelas sosialnya. Pesan itu merupakan suatu konstruksi makna sosial. Melalui konstruksi makna sosial tersebut, pembaca teks drama diajak untuk mengikuti persebaran pandangan dan pikiran-pikiran dari penulisnya ataupun pemainnya. Persebaran pandangan itu bersifat ideologis untuk tujuan kelas sosial tertentu. Fakta yang demikian ini merupakan strategi teks dalam menyebarkan makna sosialnya terhadap pembaca. Sebagai satu teks, drama memiliki kode-kode ataupun kunci-kunci tertentu dalam menyampaikan makna konstruksi sosial yang mewakili kelas sosial ataupun realitas sosial. Kode-kode itu sering diistilahkan dengan tanda. Tanda dalam teks bisa bermacam-macam wujudnya dan tergantung dari konvensi ataupun tradisi kesastraan yang ada. Tanda-tanda itu digunakan untuk merujuk pada proses penyampaian pandangan ataupun realitas sosial dari golongan tertentu dalam masyarakat. Salah satu jenis drama yang mengungkapkan hal tersebut adalah tragedi ironi. Drama tragedi ironi ini menampilkan suatu situasi sosial ataupun subjek tokoh yang bersifat ironis dalam kehidupan. Situasi ironis tersebut dimaksudkan bukan hanya sebagai sindiran ataupun kritik sosial, tetapi untuk tujuan memparafrasekan lingkungan sosial suatu kelas tertentu. Dalam konteks ini, drama dipandang sebagai representasi dari realitas sosial. Umumnya, dengan menghadirkan tokoh yang terasing, ironi, ataupun tersingkirkan dari struktur sosial demi membela idealisme dan cita-cita kelompoknya. Tokoh yang demikian merupakan representasi dari kelas sosial yang diwakili oleh para pengarangnya. Drama Lakon Dom karya Bambang Bambang Widoyo SP adalah salah satu contohnya. Drama ini tidak terlepas dari biografi Bambang Widoyo SP yang merepresentasikan kelas sosial tertentu, umumnya adalah kelas sosial 460 PROSIDING tersingkirkan, pejabat dan pengusaha yang tersingkirkan, buruh dan orang kecil yang dirugikan karena sistem kekuasaan. Mereka dihadirkan oleh penulisnya untuk mewakili kelas sosial tertentu. Dengan asumsi seperti ini, pertanyaan yang muncul adalah kelompok sosial yang mana, yang diwakili oleh sang penulis. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa drama Lakon Dom bukan hanya sekedar teks sastra untuk hiburan ataupun kritik sosial, tetapi merupakan wakil dari kelas sosial yang ada dan direpresentasikan oleh penulisnya melalui karya tersebut. Melalui tokoh ironis, drama Lakon Dom ini memiliki kepentingan sebagai upaya penyebaran kesadaran pada para pembacanya. Penyebaran ini hakikatnya berhubungan dengan penyebaran pandangan tertentu. Pandangan itu dapat berupa ideologi ataupun tujuan politis dari penulisnya yang mewakili kelas atupun kelompoknya. Strategi teks ataupun cara penyebaran pandangan itu dapat dilakukan melalui penampilan tekstual dari drama itu, seperti tokoh yang tragis, tersingkirkan, ataupun melakukan perlawanan terhadap sistem kuasa yang ada dari struktur sosialnya. 2. Masalah Berdasarkan keterangan dan uraian tersebut, pokok pembicaraan ataupun masalah yang hendak dibahas dalam tulisan itu ada dua hal. Pertama, Lakon Dom sebagai representasi penulisnya tentu saja mewakili kelas sosial atau kelompok tertentu. Kedua, Lakon Dom merupakan representasi dari realitas sosial pada masyarakatnya sehingga yang menjadi persoalan adalah bagaimana representasi realitas sosial tersebut hadir dalam teks ini. 3. Teori dan Metode Marxis merupakan teori sosial yang berasal dari pemikiran Karl Marx. Teori Marxis ini memiliki kecenderungan bersifat ideologis, yakni membela subjek yang dipikirkan oleh Karl Marx, yakni kelas sosial tertentu. Menurut Hall (1979:7) teori ini menempati posisi yang dominan dalam perbincangan sosiologi sastra. Teori ini memiliki berbagai cabang pemikiran seperti masalah sejarah, perjuangan kelas, keterasingan subjek, kelas sosial, bangunan atas dan bawah, dan lain-lain. Salah satu pemikiran yang ada adalah persoalan bangunan atas dan bangunan bawah ataupun struktur masyarakat menurut pandangan Marxis. Konsep tersebut berhubungan dengan kelas sosial. Dalam memandang struktur masyarakat, Marx mengenalkan teori kelas. Dia bependapat bahwa sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas sosial. Kelas sosial adalah golongan sosial dalam tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksinya (Magnis-Suseno, 2000:111; Maliki, 2012:166—167). Marx selanjutnya mengatakan bahwa sastra berada dalam struktur atas. Sistem ekonomi menjadi dasarnya. Produk sastra menPROSIDING 461 cerminkan dan dihasilkan oleh sistem ekonomi dalam masyarakat, sebagai produsen. Marx tidak menerapkan teorinya secara pasti (Faruk, 1998:8). Dia cenderung terombang-ambing di antara dua kecenderungan yang bertentangan. Pertama, adalah kecenderungan yang menempatkan sastra sebagai gejala kedua yang ditentukan oleh infrastruktur, kedua adalah kecenderungan untuk menempatkan sastra dalam posisi yang otonom, yakni gejala pertama yang menentukan dirinya sendiri (Swingewood dan Hall dalam Faruk, 1998:8). Salah satu model dalam kritik sastra Marxis adalah model refleksi yang dikenalkan oleh Georg Lukacs. Lukacs (Forgacs, 1987:166-167) menganggap bahwa karya sastra sebagai refleksi dari sejarah yang menginformasikan persoalan masyarakat modern. Sastra dipandang sebagai hasil dari representasi. Representasi dari pecah ataupun terbelahnya subjek dan dunia yang kejam. Keterbelahan subjek ini dapat dicontohkan melalui kelahiran roman modern. Roman modern merupakan wujud dari individu yang terbuang dari dunianya. Contoh dari itu adalah karya sastra dari Cervantes, Don Quixote, ataupun dalam karya-karya seperti Goethoe, Honore de Balzac, Gustave Flaubert hingga Dostoyvesky. MenurutLukacs, sastra atupun novel harus mampu menemukan posisinya sebagai bentuk perlawanan. Manusia atau subjek yang terbelah dalam sastra harus dilawan dengan cara melakukan perubahan atas realitas. Hal ini dilakukan dengan cara mengubah pikiran menjadi langkah yang praktis. Dalam konteks ini, model refleksi tidak hanya menawarkan sastra sebagai satu pemikiran tentang masyarakat atau individu yang terbelah, tetapi juga harus mencari jalan praktis melalui tindakan yang revolusioner. Sastra dipandang sebagai sebuah pengetahuan realitas. Realitas yang tampil dalam karya sastra akan menjadi satu bentuk dalam karya itu sendiri yang merefleksikan bentuk-bentuk realitas dalam dunia nyata. Bentuk selalu mengalami perubahan (Forgacs, 1987:168). Georg Lukacs terlalu menyederhanakan bahwa teks sastra yang menunjukkan reaitas dan tidak realitas dijembatani oleh totalitas teks itu atau totalitas yang termediasi seperti dalam karya Emile Zola dan Proust. Karya sastra sebagai refleksi dipandang sebagai cermin realitas. Bentuk karya sastra sendiri dengan struktur sosial memunculkan hukum yang objektif dari bentuk-bentuk karya yang memungkinkan membuat dunia kenyataan secara tepat. 4. Kelas Sosial dan Representasi Realitas Sosial 4.1. Kelas Sosial Tokoh dalam Lakon Dommewakili dua kelas sosial yakni kelas sosial yang terpinggirkan atau proletas dan kelas sosial yang memiliki kuasa atau borjuis. 462 PROSIDING Kelas sosial yang terpinggirkan diwakili oleh tokoh Den Setra, Pak Lakon, Kresna Gambar, Mbah Jaga, Landa Bajang, Genjik, dan Blenyik. Kelas sosial korban kapitalis birokrat diwakili tokoh Den Setra, pejabat tinggi kantor pemerintah yang mumpuni, jujur, dan ikut andil berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia. Ia disingkarkan, dipisahkan dengan keluarga, dibuang, sakit-sakitan dan hidup melarat di kampung kumuh Kandhangan. Kelas sosial korban kapitalis ekonomi adalah tokoh Pak Lakon, jagal terkenal yang semula bergelimang harta menjadi bangkrut, kalah bersaing dengan perdagangan illegal. Pengusaha yang gigih, jujur, dan dermawan ini tersingkir hidup melarat dikampung kumuh Kandhangan. Kelas sosial golongan proletar juga diwakili tokoh Kresna Gambar maupun Mbah Jaga. Kresna Gambar,pedagang asongan wayang kardus yang miskin tertindas kapitalis ekonomi. Sedangkan, Mbah Jaga,pengangguran yang berprofesi sebagai pelayan. Pengasong yang rajin dan gigih maupun pelayan yang setia tersebut juga hidup pas-pasan di kampung kumuh Kandhangan. Di samping itu, di bawah tingkat upah buruh, masih ada kategori dropouts dan ne’er-do-well’s, yangMarx menyebutnya sebagai Lumpenproletariat (Johnson, 1988:149). Lumpenproletariat, yakni kelas sosial proletariat yang tidak laku, mencakupi penjahat dari segala jenis, pencuri, gelandangan, dan tuna wisma. Adapun golongan yakni kelas sosial proletariat yang tidak laku diwakili oleh tokoh Landa Bajang, Genjik, dan Blenyik. Landa Bajang dan Blenyik, penjahat klas kakap buronan polisiitu tersingkir di tempat persembunyian kampung Kandhangan. Pembahasan di atas menunjukkan bahwa tokoh-tokoh yang terpinggirkan, ataupun sengaja memilih jalan pinggir dari sistem kuasa itu, mengembangkan suatu strategi bertahan hidup dengan kekuatananya sendiri. Tokoh-tokoh tersebut hakikatnya merupakan wakil ataupun representasi dari golongan proletar atau orang yang tersingkirkan. Sedangkan, kelas sosial yang menguasai ataupun borjuis, dilambangkan dengan institusi pemerintah yang berkuasa dengan berbagai perangkatnya, misalnya dalam sistem birokrasi, perdagangan, pemerintahan, dan perekonomian 4.2. Representasi Realitas Sosial Pengarang merepresentasikan realitas sosial masyarakat Indonesia umumnya pada tahun 1980-an. Representasi ini merupakan bentuk kritik sosial atas ketimpangan pembangunan dan kebijakanan negara ataupun penguasa. Penguasa dengan berbagai wacana dan kuasanya membentuk satu kekuatan untuk mendukung kekuasaannya sehingga ada sebagian kelompok masyarakat yang tersinggirkan atas tujuan-tujuan tersebut. Masyarakat yang tersinggirkan tersebut diwujudkan dalam kelas terpinggirkan ataupun proletar. Dalam konteks ini, hakikatnya dramaLakon Dom ini merupakan wujud dari pembelaannya PROSIDING 463 terhadap kelas sosial proletar. Dengan demikian, pengarang merupakan agen ataupun berpihak pada kelas yang terpinggirkan dalam sistem kuasa dan ideologi era 1980-an, yakni kuasa yang didukung kapitalisme dan liberalisme ekonomi. Terlihat dalam teks, Pak Lakon, pengusaha sapi yang bangkrut karena sistem perdagangan pasar gelap, Den Setra, pejabat tinggi jujur yang tersingkir dari sistem birokrat, Kresna gambar, pengrajin wayang yang tertindas kapitalis ekonomi, Representasi realitas sosial itu diwujudkan dalam struktur masyarakat. Menurut pandangan pengarang, masyarakat era 1980an dikonstruksi menjadi dua kelas sosial, yakni kelas terpinggirkan dan kelas yang menguasai. Kelas sosialyang menguasai ataupun borjuis ini didukung oleh berbagai perangkatnya, misalnya dalam sistem birokrasi, perdagangan, pemerintahan, dan perekonomian. Kelas terpinggirkan bukan hanya pada kelas sosial yang mengacu pada kepemilikan ekonomi, tetapi mereka yang tidak meyetujui sistem dan kuasa dari masa 1980-an, misalnya pejabat yang bersih dan jujur tersingkir dari kapitalis birokrat. Dalam drama Lakon Dom tidak terjadi adanya pertentangan kelas. Dan, yang terjadi adalah tersingkirnya kelas sosial terpinggirkan dalam kuasa kelas atas atau borjuis. Namun, drama Lakon Dom ini hakikatnya merupakan wujud strategi perlawanana kelas sosial yang diwakili oleh pengarang. Meskipun, realitas sosial yang ditampilkan tidak ada perlawanan kelas, teks hadir pada era tahun 1980-an, adalah wujud dari perlawanan terhadap kuasa era saat itu, yakni Orde Baru pada tahun 1980an.Dengan tidak terjadinya pertentangan kelas berarti tokoh-tokoh drama Lakon Dom mengalami kekalahan atau diidentifiaksikan sebagai kelas tertindas. Hal tersebut tampak saat Den Setra yang tidak kuat lagi bertahan karena semakin parah penyakitnya akibat menahan penderitaan hidup, dan Landa Bajang tewas tertembak aparat saat keluat dari persembunyian di kampung Kandhangan. 5. Simpulan Berdasarkan uraian pembahasan di atas, simpulan dalam tulisan ini adalah drama Lakon Dom merepresentasi penulisnya yang mewakili kelas sosial atau kelompok orang yang tersingkirkan, pejabat, pengusaha kaum papa, miskin dan tersingkir dari struktur sosial. Kedua, sementara itu kelas yang berkuasa diwakili oleh ideologi atau pemikiran yang terwujud dalam simbul-simbul, seperti sistem pemerintahan, perdagangan pasar gelap, dankapitalisme ekonomi. Teks ini merepresentasikan realitas sosial pada era tahun 1980-an. Realitas itu diantaranya ketidak berdayaan kelas terpinggirkan dalam melawan kuasa kelas yang menindasnya. Dengan demikian, teks ini hakikatnya representasi kritik kelas terpinggirkan terhadap kuasa pada era itu, yakni pemerintahan Orde Baru. 464 PROSIDING Daftar Pustaka Dewojati, Cahyaningrum. 2010. Drama, Sejarah, Teori, dan Penerapannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Faruk. 1998. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Forgacs, David. 1987. “Marxist Literary Theory” dalam Ann Jefferson dan David Robey (ed.). 1987. Modern Literary Theory: A Comperative Introduction. London: B.T. Batsford Ltd Hall, John. 1979. The Sociology of Literature. London and New York: Longman Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT Gramedia. Magnis-Suseno, Franz. 2000. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Maliki, Zainuddin. 2012. Rekonstruksi Teori Sosial Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sarumpaet, Riris K. Toha. 2003. “Drama dan Rekayasa Budaya”. Makalah Dies Natalis ke-62 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Widoyo SP, Bambang. 1998. Gapit. Solo: Bentang. PROSIDING 465 466 PROSIDING NILAI-NILAI BUDAYA DALAM KUMPULAN CERITA RAKYAT YOGYAKARTA Siti Ajar Ismiyati Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Inti Sari Penelitian ini berupaya mendiskripsikan nilai-nilai budaya yang ada di dalam buku Kumpulan Cerita Rakyat Yogyakarta (KCRY) karya Susana K.Y (2012). Pendekatan yang dilakukan ialah sosiologi atau sosiokultural. Metode yang digunakan adalah metode pustaka yang ditopang oleh teknik membaca dan mencatat. Dalam penelitian ini ditemukan nilai-nilai budaya yang mencerminkan keagamaan (religius), kesusilaan (etika), dan kesosialan (sosial). Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita itu merupakan kearifan lokal yang patut untuk diteladani. Kata kunci: cerita rakyat, sosiologi, nilai-nilai budaya, kearifan lokal Abstract This research tries to describe cultural values from “Kumpulan Cerita Rakyat Yogyakarta” by Susana K.Y. Sociology and sociocultural is conducted as approaches. Method conducted in this research is library research that is supported by reading and recording technique. This research finds cultural values that reflecting religiosity, ethics, and social. Cultural values of the story are local wisdom to obey. Key words: folklore, sociology, cultural values, local wisdom 1. Pendahuluan Indonesia selama ini dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekayaan yang melimpah ruah, tidak hanya kekayaan sumber daya alam, kesuburan tanah, laut yang luas, hutan yang hijau, akan tetapi juga terdapat kekayaan lain berupa naskah cerita rakyat karya leluhur bangsa. Naskah cerita rakyat yang terdapat pada setiap suku bangsa itu terkandung nilai-nilai budaya yang PROSIDING 467 luhur untuk kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai yang luhur itu merupakan kearifan lokal yang perlu dilestarikan dan diwariskan untuk generasi berikutnya. Kebudayaan suatu bangsa terwujud dalam tiga unsur yang dapat ditemukan dalam berbagai kehidupan bangsa itu. Tiga unsur yang dimaksud adalah (1) kompleks gagasan, nilai, norma, dan peraturan; (2) kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan (3) benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1985:5). Unsur pertama yang disebut juga kebudayaan ideal, antara lain terdapat dalam karya sastra karena di dalamnya tersimpan ungkapan, pikiran, cita-cita, dan renungan manusia pada masa tertentu. Kebudayaan ideal merupakan landasan perilaku manusia dalam masyarakat dan menjadi latar belakang seluruh kebudayaan material masyarakat itu yang masih dapat diamati dan dipahami. Ungkapan yang terdapat di dalam kebudayaan ideal itu diwujudkan dalam berbagai bentuk, antara lain adat-istiadat, upacara-upacara peribadatan, doa, mantra-mantra, cerita rakyat, yang seluruhnya tergolong dalam kesastraan lisan (Barried dkk., 1987:1). Di antara daerah Nusantara yang dipandang paling banyak memiliki karya sastra adalah daerah suku bangsa Jawa. Ungkapan kebudayaan ideal suku bangsa Jawa banyak dimunculkan kembali lewat karya sastra yang hidup dan berkembang dalam rentang waktu yang cukup panjang. Oleh karena hakikat kebudayaan ideal mengandung seluruh gagasan masyarakat yang mendasar, maka jelas bahwa dalam karya sastra (cerita rakyat Yogyakarta), terkandung pula gagasan manusia pada umumnya. Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk sastra lama yang perlu mendapat perhatian karena akan mengalami kepunahan jika tidak segera dilestarikan. Usaha pelestarian sastra daerah (cerita rakyat) perlu dilakukan karena di dalam sastra daerah terkandung wawasan budaya leluhur bangsa Indonesia yang sangat tinggi nilainya. Upaya pelestarian itu tidak hanya memperluas wawasan terhadap sastra dan budaya masyarakat daerah yang bersangkutan, tetapi juga akan memperkaya khazanah sastra dan budaya Indonesia. Dengan kata lain, upaya yang dilakukan itu dipandang sebagai dialog antarbudaya dan antar daerah yang memungkinkan sastra daerah berfungsi sebagai salah satu alat bantu dalam mencari identitas bangsa maupun suku-suku bangsa yang ada di Indonesia (Danandjaya, 1991: 13). Cerita rakyat atau biasa disebut cerita prosa rakyat, karena digubah dalam bentuk prosa. Menurut Bascom (dalam Dananjaja, 1984:50), cerita prosa rakyat dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu mite, legenda, dan dongeng. Mite adalah adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi 468 PROSIDING dan dianggap suci oleh pemilik cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Sedangkan legenda adalah cerita prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri mirip dengan mite, yang dianggap sebagai kejadian yang benar-benar pernah terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Legenda ditokohi oleh manusia meskipun kadang-kadang mempunyai sifat-sifat luar biasa dan seringkali dibantu oleh makhluk-makhluk ajaib. Peristiwanya terjadi di dunia seperti yang dikenal sekarang dan waktu terjadinya belum terlalu lampau. Oleh karena itu, orang sering menganggap legenda sebagai cerita yang bersifat historis walau fakta yang dianggap fakta itu kadar kesejarahannya masih sering dipertanyakan. Sebaliknya, dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi, tidak terikat oleh waktu dan tempat (Danandjaya, 1984:50). Yogyakarta, dikenal memiliki aktivitas beberapa jenis sastra daerah, baik yang berbentuk puisi, nyanyian rakyat, maupun cerita rakyat. Sejumlah karya sastra lisan berupa cerita rakyat Yogyakarta ini sudah dibukukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Sastra daerah, khususnya cerita rakyat di Yogyakarta yang menjadi fokus penelitian ini, diharapkan menjadi cermin kearifan lokal yang sarat dengan nilai-nilai budaya yang masih dapat diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat hingga sekarang. Paling tidak, cerita rakyat itu dapat dimanfaatkan untuk mengisi kekosongan para pemuda akan bacaan dan membantu membendung dekadensi moral bangsa serta sekaligus warisan leluhur yang penuh dengan nilai budaya itu dapat sampai kepada mereka. 2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini ialah nilai-nilai budaya atau kearifan lokal apa sajakah yang terkandung di dalam buku cerita rakyat Yogyakarta? Bagaimana nilainilai budaya itu tercermin dalam sastra yang berada di dalam kondisi sosial budaya masyarakat Jawa yang melatarbelakanginya. 3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menggali nilai-nilai budaya yang terkandung dalam buku Kumpulan Cerita Rakyat Yogyakarta (untuk seterusnya disingkat KCRY) karya Susana K.Y., diterbitkan oleh penerbit New Merah Putih, tahun 2012. Dengan terdeskripsikannya nilai-nilai budaya itu diharapkan dapat memperkaya pemahaman terhadap kebudayaan Jawa (Yogyakarta) pada khususnya dan kebudayaan Indonesia pada umumnya. PROSIDING 469 4. Landasan Teori Dalam mengungkap nilai-nilai yang terkandung dalam buku KCRY, dipergunakan pendekatan sosiologis atau sosiokultural. Menurut Grebstein (dalam Damono, 1984:4), karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap jika dipisahkan dari lingkungan yang telah menghasilkannya. Sastra harus dipelajari di dalam konteks yang lebih luas dan tidak hanya di dalam diri sendiri. Karya sastra sesungguhnya merupakan hasil pengaruh timbal balik antara faktorfaktor sosial dan kultural. Bahkan, karya sastra itu bukanlah gejala tersendiri melainkan merupakan objek kultural. Dijelaskan pula bahwa setiap karya sastra dapat bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik di dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dengan orang-seorang. Hal itu berarti bahwa sastra terlibat dalam kehidupan dan menampilkan anggapan yang bersifat penilaian terhadapnya. Dengan demikian, sastra merupakan eksperimen moral. Di samping itu, karya sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologis atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural. Oleh karena itu, di dalam usaha memahami nilai atau makna karya sastra harus mempertimbangkan faktor-faktor yang berada di luar karya sastra itu sendiri. Masalah hubungan antara sastra dengan dunia sosial manusia, Ian Watt mencoba memahami konsep sastra sebagai cermin dunia sosial dengan cara mencari hubungan timbal balik di antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Menurut Watt (dalam Damono, 1984:3—4), telaah sosiologis terhadap sastra mencakup tiga hal. Pertama, konteks sosial pengarang yang menyangkut posisi sosial masyarakat serta kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengarang dan isi karyanya. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat, yaitu sampai sejauh mana sastra dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra. Di dalam hal ini, yang akan dikaji adalah sampai sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan pengaruh nilai itu terhadap sastra, dan sejauh mana nilai itu berfungsi sebagai hiburan sekaligus mendidik masyarakat pembacanya. Berdasarkan pernyataan tersebut, hal-hal yang akan diungkapkan di dalam penelitian ini adalah nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam buku KCRY. Hal itu didasari oleh asumsi bahwa nilai-nilai budaya di dalam cerita rakyat mencerminkan keadaan, setidak-tidaknya sebagian, masyarakat pemilik cerita rakyat itu. 5. Metode, Teknik, Data Dalam penelitian ini dipergunakan metode studi pustaka. Objek data yang dipilih ialah buku KCRY. Buku tersebut memuat sepuluh cerita rakyat 470 PROSIDING dari daerah Yogyakarta yang dikumpulkan oleh Susana K.Y. dan diterbitkan oleh penerbit New Merah Putih, tahun 2012. Sepuluh buah cerita rakyat itu ialah (1) “Kesederhanaan Mertua Sultan”, (2) “Gunung Suci Makam Sang Raja”, (3) “Kutukan Bagi Si Pemalas”, (4) “Misteri Pohon Kelapa”, (5) “Munculnya Sebuah Desa Judi”, (6) “Kesetiaan Pengikut Ki Ageng Mangir”, (7) “Pesona Seorang Ledek”, (8) “Asal Mula Desa Krapyak”, (9) “Amarah Kiai Bregas”, dan (10) “Misteri Air Zam-Zam Gua Cerme”. Teknik pengumpulan atau penentuan data penelitian dilakukan dengan teknik membaca dan mencatat. Sudaryanto (2003:29) menyatakan bahwa teknik membaca dan mencatat lazim digunakan untuk mengungkap permasalahan yang terdapat dalam suatu bacaan, dalam hal ini cerita rakyat. Teknik membaca dilakukan berulang-ulang secara cermat, memahami dengan saksama, yang kemudian membuat penandaan pada bagian-bagian tertentu dari cerita yang penting, sesuai dengan tujuan penelitian. Selanjutnya, dilakukan penafsiran teks untuk mendapatkan deskripsi pemahaman atau simpulan atas data. Dalam teknik catat, hal yang dilakukan ialah mencatat secara cermat hal-hal yang sesuai dengan permasalahan penelitian. 6. Nilai-Nilai Budaya dalam Kumpulan Cerita Rakyat Yogyakarta 6.1 Pengertian Nilai-Nilai Budaya Untuk memahami nilai-nilai budaya, terlebih dahulu harus diketahui pengertian nilai dan budaya. Nilai adalah hakikat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia (Drijarkara dalam Suwondo, 1994:3). Nilainilai itu sendiri sesungguhnya berkaitan erat dengan kebaikan, meski kebaikan lebih melekat pada ‘hal’ nya, sedangkan ‘nilai’ lebih menunjuk pada ‘sikap orang terhadap sesuatu atau hal yang baik’. Sementara itu, ‘budaya’ menunjuk pada pikiran atau akal budi. Budaya yang berasal dari kata budi dan daya itu setelah mengalami beberapa pemaknaan memperoleh pengertian baru sebagai ‘kekuatan batin dalam upayanya menuju kebaikan’ atau ‘kesadarann batin menuju kebaikan’. Budaya juga dimaknai sebagai sesuatu yang membuat kehidupan menjadi lebih baik dan lebih bernilai untuk ditempuh’’ (Herusatoto, 1985:6). Dari berbagai pengertian nilai dan budaya tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang bernilai, pikiran dan akal budi yang bernilai, kekuatan dan kesadaran yang bernilai, yang semua itu mengarah kepada kebaikan. Dan bagi manusia, nilai budaya itu pantas diperoleh, pantas dikejar. Beberapa nilai budaya yang perlu diangkat dari KCRY adalah nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Menurut Mardiatmadja (dalam Hartoko, 1985:39), dalam berbagai perwujudannya, nilai luhur itu, antara lain, terdiri atas nilai yang mencerminkan keagamaan (religius), kesusilaan (etika), dan PROSIDING 471 kesosialan (sosial) (Mardiatmadja dalam Hartoko, 1985:39). Usaha pengangkatan nilai-nilai luhur itu didasari oleh anggapan bahwa nilai-nilai itu dapat dipergunakan sebagai upaya penyesuaian diri dengan peradaban dunia masa kini, dalam arti manusia memiliki mentalitas yang mampu menanggulangi tekanan berat yang berupa masalah-masalah yang ada di lingkungan kehidupannya (Koentjaraningrat, 1982:4230). 6.2 Adat-istiadat yang Tercermin dalam KCRY KCRY adalah kumpulan cerita rakyat yang berkembang di daerah Yogyakarta. Cerita rakyat itu berupa mite, legenda, dan dongeng yang berisi peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan latar dan sejarah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terbagi menjadi empat daerah tingkat dua dan satu kotamadia, yaitu Gunungkidul, Bantul, Kulonprogo, Sleman, dan Kotamadia Yogyakarta. Setiap daerah terdapat cerita rakyat yang sesuai dengan situasi dan kondisi daerah itu. Sebagaimana diketahui, cerita rakyat atau folklore dikenal sebagai suatu fenomena dari kehidupan rakyat, lahir dan berkembang di atas dasar kehidupan itu sendiri. Begitu juga halnya dengan cerita-cerita di dalam KCRY merupakan kumpulan cerita milik masyarakat Yogyakarta, unsur-unsur tertentu yang terkandung di dalam kehidupan rakyat mempengaruhi wujud, bahkan membentuk corak cerita-cerita itu. Oleh karena itu, untuk mempermudah pembahasan cerita tersebut, perlu dikemukakan unsur-unsur kehidupan rakyat, khususnya tentang adat-istiadatnya. Adapun unsur-unsur adat-istiadat yang dikemukakan hanya terbatas pada materi cerita yang menjadi bahan pembahasan. Unsur-unsur tersebut meliputi status sosial, adat perkawinan, dan kepercayaan masyarakatnya. (1) Status Sosial Dari beberapa dongengan yang ada di dalam KCRY, dapat diketahui bahwa masyarakat Yogyakarta mengenal status sosial masyarakat. Status sosial itu terdiri atas golongan pembesar atau raja beserta kerabatnya (golongan ningrat), golongan rokhaniawan, dan rakyat biasa, beserta hak dan kewajibannya yang masing-masing berbeda. Sepuluh cerita yang ada dalam KCRY pada dasarnya juga memiliki tiga struktur sosial itu. Mengenai golongan raja, ditunjukkan dalam beberapa cerita, misalnya, dalam cerita “Kesederhanaan Mertua Sultan”, Sultan Agung di samping berkewajiban mengatur tata pemerintahan, juga menyebarkan agama Islam. Ketaatan pada agama ini sama persis dengan menantunya, yakni Sultan Agung. Keduanya (Kiai Jejer dan Sultan Agung) merupakan penganut agama Islam yang taat dan kokoh. Keduanya juga saling bantu-membantu dalam tugasnya menyebarkan agama (KCRY, hlm. 7). 472 PROSIDING Tugas pembesar (golongan ningrat), selain raja, ialah berusaha melindungi rakyatnya dari serangan musuh. Hal itu ditunjukkan di dalam cerita “Kesetiaan Pengikut Ki Ageng Mangir”. Bersamaan dengan itu, kemudian dibangunlah prajurit perang yang tangguh untuk melindungi rakyatnya dari serangan musuh. Ki Ageng Mangir dan Ki Demang Suro Handoko terjun langsung untuk menyemangati mereka (KCRY, hlm. 47) Selain sifat baik seperti yang ditunjukkan dalam contoh di atas, ternyata raja pada waktu itu, ada pula yang mempunyai sifat kurang bijaksana. Dalam “Gunung Suci Makam Sang Raja”, Sultan Agung mengungkapkan kemarahannya ketika permintaan untuk memakamkan jasadnya di Makkah jika mati, ditolak oleh Imam Supingi. Mendengar jawaban yang sama sekali di luar dugaannya, Sultan Agung sangat kaget dan kecewa. Sebagai seorang raja besar di Tanah Jawa, dengan daerah kekuasaan yang luas, permintaannya di tolak. Bagi Sultan, itu merupakan sebuah penghinaan terhadap dirinya. Ia pun sangat marah.….Dalam sesaat, Makkah pun terserang wabah penyakit, dan korban pun segera berjatuhan (KCRY, hlm. 14). Sifat kurang baik ditunjukkan pula oleh Raja Ranawijaya, raja terakhir Kerajaan Majapahit. Demi meraih kekuasaan, ia tega membunuh saudarasaudaranya sendiri. Hal itu ditunjukkan dalam “Misteri Pohon Kelapa”. Raja Ranawijaya merupakan raja terakhir Kerajaan Majapahit. Ia berhasil menjadi raja setelah memenangkan perang saudara. Ia tega membunuh saudara-saudaranya demi mendapatkan kekuasaan (KCRY, hlm. 30). Adapun tugas dan kewajiban golongan rokhaniawan, yaitu memberi nasihat kepada raja atau kepada murid-muridnya. Hal itu ditunjukkan di dalam cerita “Gunung Suci Makam Sang Raja” dan “Kutukan Bagi Si Pemalas”. Di dalam cerita “Gunung Suci Makam Sang Raja”, Imam Supingi yang tidak ingin melihat jatuh korban lebih banyak, dengan tulus, segera memohon kepada Sunan Kalijaga (penasihat Sultan Agung) untuk menyampaikan permintaan maafnya kepada Sultan Agung. Sunan Kalijaga segera menghadap Sultan Agung untuk menyampaikan pesan Imam Supingi. Karena Sunan Kalijaga adalah sahabat sekaligus penasihat Sultan Agung, maka permintaan maaf dari Imam Sapingi diterimanya (KCRY, hlm. 15). Adapun kewajiban rakyat (masyarakat kelas bawah), di dalam cerita adalah melaksanakan perintah raja serta kewajiban-kewajiban lainnya. Hal PROSIDING 473 itu ditunjukkan di dalam cerita “Gunung Suci Makam Sang Raja” dan “Asal Mula Nama Krapyak”. Di dalam “Gunung Suci Makam Sang Raja”, ditunjukkan bahwa mala petaka yang menimpa negerinya, diakibatkan oleh Imam Supingi (golongan masyarakat kelas bawah) yang menolak perintah raja. Imam Supingi menjadi sangat bersedih hati. Ia menyalahkan dirinya karena ternyata dirinyalah penyebab terjadinya semua petaka yang menimpa negerinya. “Hanya gara-gara aku, negeriku jadi seperti ini! Mengapa aku dulu menolak permintaan Raja Tanah Jawa itu? Oh!” pikir Imam Supingi berduka (KCRY, hlm. 15). Di dalam “Asal Mula Desa Krapyak”, para prajurit (masyarakat kelas bawah) melaksanakan perintah raja untuk berburu hewan. Hal itu ditunjukkan dalam kutipan berikut. “Prajurit, hewan buruan terlalu sedikit! Carilah hewan buruan, lalu lepaskanlah di hutan ini. Biarkan hewan itu berkembang dengan liar!’ perintah Sri Sultan. Maka pada saat itu pula, para prajurit berburu hewan, dan hasil tangkapannya mereka lepaskan di hutan itu (KCRY, hlm. 57). (2) Adat Perkawinan Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap cerita-cerita yang terdapat di dalam buku KCRY, adat perkawinan masyarakat pada waktu itu tidak memperlihatkan adanya sifat-sifat khusus tertentu secara jelas. Masalah perkawinan, agaknya dapat dilaksanakan, meskipun ada perbedaan derajat atau tingkat sosial di antara pria dan wanita. Hal itu dapat dilihat di dalam cerita “Kesederhanaan Mertua Sultan”. Diceritakan bahwa anak satu-satunya Kiai Jejer, bernama Rara Batang (golongan masyarakat kelas bawah) dapat menikah dengan Raja Mataram, bernama Sultan Agung (golongan masyarakat kelas atas). Setelah menjadi permaisuri Raja Mataram, Rara Batang bergelar Kanjeng Ratu Batang (KCRY, hlm. 6). Pada cerita yang lain, masalah perkawinan rupanya menjadi satu-satunya tujuan agar dapat memperluas daerah kekuasaan raja. Hal itu ditunjukkan dalam kutipan berikut. Raja Senopati berpikir, bila dirinya melakukan penyerangan, tentulah akan timbul banyak korban. Ki Ageng Mangir sendiri dikenal sangat sakti. Namun, Raja Senopati tak mau menyerah. Maka, ia menggunakan cara halus dengan mengirimkan putri kesayangannya sendiri, Putri Pembayun, ke daerah Mangiran. Putri tersebut ditugaskan untuk memikat hati Ki Ageng Mangir agar jatuh hati padanya. Dengan jatuh hati pada putrinya, berarti akan dengan mudah membuat Ki Ageng Mangir mau mengakui kekuasaan Mataram tanpa harus melalui peperangan (KCRY, hlm. 49). 474 PROSIDING (3) Kepercayaan Masyarakat Kepercayaan rakyat, atau yang seringkali juga disebut “takhyul”, adalah kepercayaan yang oleh orang berpendidikan Barat dianggap sederhana bahkan pander, tidak berdasarkan logika, sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan (Danandjaya, 1991: 153). Seperti umumnya masyarakat yang berpikirnya masih sederhana, masyarakat pada waktu itu atau yang melahirkan cerita-cerita yang dihimpun di dalam KCRY mempunyai kepercayaan adanya kekuatan sakti sesuatu benda, kepercayaan mengenai alam gaib (makhluk-makhluk gaib), dan kepercayaan adanya pantangan (sesuatu yang tidak boleh dilanggar). Kepercayaan rakyat akan adanya kekuatan magis sesuatu benda atau bahwa sesuatu itu ada tuahnya sehingga perlu diperlakukan dengan hati-hati dan perlu diadakannya sajian, ditunjukkan di dalam cerita “Misteri Air ZamZam Gua Cerme” (KCRY, hlm. 75). Diceritakan bahwa di dalam Gua Cerme, terdapat mata air bukan sembarang air. Air itu sampai sekarang masih dipercaya oleh masyarakat sekitar gua sebagai air zam-zam, air suci yang dibawa oleh Sunan Kalijaga dari Makkah. Masyarakat sekitar percaya bahwa air itu penuh dengan mukjizat untuk menyembuhkan segala macam penyakit dan menjadikan awet muda. Adanya kepercayaan rakyat bahwa selain dunia kehidupan manusia, ternyata terdapat dunia lain tempat makhluk lain hidup. Makhluk lain itu, misalnya jin atau makhluk halus, seperti ditunjukkan di dalam cerita “Gunung Suci makam Sang Raja” (KCRY, hlm. 14). Diceritakan bahwa Kanjeng Ratu, penguasa Laut Selatan, membalaskan sakit hati Sultan Agung kepada Imam Supingi, dengan memerintahkan bala tentaranya yang berujud makhlus halus menuju Makkah dan membawa serta menyebarkan berbagai penyakit. Akibatnya, warga Makkah terserang wabah penyakit dan korban pun segera berjatuhan. Selain itu, kepercayaan adanya pantangan ditunjukkan di dalam cerita “Amarah Kiai Bregas” (KCRY, hlm. 69). Diceritakan bahwa sikap warga Desa Ngino yang konon kurang menghargai kunjungan tamu, mengakibatkan Kiai Bregas marah dan mengultimatum, jangan sampai ada warga yang menggunakan lesung, sumur, dan menanam sirih di rumahnya lagi. Sampai sekarang, di Desa Ngino tidak ada satu pun warga menanam pohon sirih dan menggunakan lesung, maupun sumur di rumahnya. Jika warga membutuhkan barang itu. terpaksa mereka mencarinya ke desa tetangga. Mereka takut akan kena kutuk jika melanggar pesan Kiai Bregas. Kepercayaan adanya pantangan ditunjukkan pula dalam cerita “Kutukan Bagi Si Pemalas” (KCRY, hlm. 27). Sampai sekarang warga Desa Kasuran masih menaati adanya pantangan untuk tidur di atas kasur. Semenjak masih PROSIDING 475 kecil, anak-anak sudah dibiasakan tidur di atas tikar, tanpa menggunakan kasur. Jika pantangan itu dilanggar, mereka akan terkena kutukan yang berupa kematian mendadak, atau sakit menahun yang juga berujung pada kematian. Sikap itu dilakukan sebagai rasa penyelasan warga Desa Kasuran dan sebagai janji mereka untuk bekerja lebih keras lagi. Demikianlah sedikit gambaran tentang status sosial, adat perkawinan, dan kepercayaan masyarakat yang tercermin di dalam KCRY. Unsur-unsur adat-istiadat itu untuk kepentingan pendidikan tidak dapat diabaikan begitu saja karena di dalam adat-istiadat pada dasarnya dapat disesuaikan dengan tuntutan pendidikan modern. 6.3 Nilai-Nilai Budaya dalam KCRY Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa nilai-nilai budaya yang perlu diangkat dari KCRY adalah nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai luhur itu, terdiri atas nilai yang mencerminkan keagamaan (religius), kesusilaan (etika), dan kesosialan (sosial). 6.3.1 Nilai Religius KCRY mengandung nilai-nilai religius (keagamaan), salah satu nilai budaya yang terkait dengan kehidupan manusia sebagai makhluk berketuhanan. Adapun nilai religius itu meliputi ketaatan beribadah dan keteringatan manusia terhadap Tuhan. (1) Ketaatan Beribadah Berkaitan dengan ketaatan beribadah, manusia telah diberikan petunjuk berupa kitab-kitab agama yang berisi perintah-perintah dan laranganlarangan dari Tuhan. Manusia diajarkan untuk taat dan bertakwa kepada Tuhan. Hal itu, misalnya, ditunjukkan dalam cerita “Kesederhanaan Mertua Sultan”. Kiai Jejer digambarkan sebagai manusia yang taat dalam beribadah dan memberikan ajaran agama yang dimiliki kepada masyarakat setempat. Sosok Kiai Jejer inilah yang menjadi cikal bakal adanya agama Islam di desa itu. Ia dengan tekun, sabar, dan bijaksana, memberikan ajaran agama Islam kepada masyarakat setempat. Ketaatan dan kesederhanaan hidup sehari-hari yang selalu diperlihatkan oleh Kiai Jejer, membuat warga desa setempat menjadi tertarik dengan agama yang disebarkannya (KCRY, hlm. 6). Gambaran ketaatan beribadah kepada Tuhan juga tercermin pada Sunan Kalijaga yang selalu menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok desa berikut. Ketika diundang raja untuk dimintai nasihat, Sunan Kalijaga selalu menggunakan kesempatan itu juga untuk menyebarkan agama Islam di Kerajaan 476 PROSIDING mataram. Seusai memberi nasihat, ia segera melanjutkan upayanya untuk menyebarkan agama Islam, khususnya di pelosok-pelosok desa di kerajaan itu (KCRY, hlm. 20). (2) Keteringatan manusia terhadap Tuhan Adanya kepercayaan bahwa Tuhan memiliki sifat utama, yaitu Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Adil, Maha Tahu, dan sebagainya sehingga manusia perlu merasa bersyukur atas karunia yang diberikan Tuhan. Rasa syukur akan karunia yang diberikan itu direalisasikan dengan tindakan yang tidak pernah melalaikan kewajiban yang diperintahkan-Nya. Di dalam cerita “Kesederhanaan Mertua Sultan” digambarkan sikap Kiai Jejer yang selalu rutin menjalankan salat tepat pada waktunya. Meski hidupnya jauh dari kaya dan saban hari harus banting tulang mencari makan layaknya orang desa biasa, namun Kiai Jejer tidak pernah melupakan salat. Begitu tiba waktunya salat, saat itu juga pekerjaannya ditinggalkan untuk menunaikan salat terlebih dahulu (KCRY, hlm. 7). Rutinitasnya dalam menjalankan salat tepat pada waktunya merupakan bentuk sikapnya yang selalu ingat akan kenikmatan yang diberikan Tuhan. Di samping itu, sikap hidup yang tidak pernah melupakan kewajiban menjalankan perintah Tuhan dan amalan-amalan lainnya, merupakan bentuk rasa syukur manusia atas nikmat dan karunia yang diberikan-Nya. 6.3.2 Nilai Etika Etika merupakan keseluruhan norma dan nilai yang dipakai oleh perseorangan ataupun kelompok orang sebagai petunjuk fundamental bagi hidup mereka (Suseno, 1983:83). Jadi, etika adalah keseluruhan paham untuk menjawab pertanyaan bagaimana manusia harus hidup seupaya berhasil. Nilai-nilai budaya secara kodrati berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi perilaku kehidupan manusia. Oleh karena itu, nilai budaya sangat berfungsi dalam kehidupan manusia untuk menentukan sikap di tengah kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, etika di dalam kehidupan manusia menjadi salah satu persoalan yang cukup penting karena melalui etika, manusia berusaha menenmpatkan keberadaannya di antara manusia lain dengan sebaik mungkin (Prabowa. t.t.:4) Berdasarkan pandangan di atas, ada beberapa nilai etika yang dapat dipetik dalam KCRY, di antaranya adalah anjuran untuk (1) bersahaja, (2) menerima kenyataan (3) menghormati sesama, (4) bekerja keras, (5) sabar, dan (6) cinta alam dan lingkungan. PROSIDING 477 1) Bersahaja Sikap bersahaja sebagai cermin nilai etika dan moral ditunjukkan dalam cerita “Kesederhanaan Mertua Sultan”. Sikap bersahaja Kiai Jejer yang kesehariannya selalu hidup dalam kesederhanaan dan rendah hati, tercermin dalam kutipan dialog berikut “Seandainya aku menggunakan kesaktianku dalam mengerjakan setiap pekerjaan, mungkinkah itu bisa ditiru oleh warga di sini? Padahal, aku ingin mengajari mereka agama, bukan sekedar nasihat. Aku ingin mengajarkan kepada mereka tentang bagaimana cara hidup keseharianku. Dan lagi, aku memang mengajari mereka untuk hidup sederhana dan apa adanya, sebagaimana yang aku lakukan sendiri. Nyatanya dengan hidup sederhana, kebahagiaan dan ketenteram hidup sudah aku dapatkan. Bukankah dengan begitu, untuk mendapatkan kebahagiaan hidup, kesaktian tidak dibutuhkan lagi?” jawab Kiai Jejer panjang lebar (KCRY, hlm. 8). Sikap bersahaja Kiai Jejer ditunjukkan pula dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari tidak mengandalkan kesaktian untuk hal-hal yang dapat meringankan beban pekerjaannya. Hal itu tercermin dalam kutipan dialog berikut. “Aku sengaja tak mau melakukannya. Aku ingin menjalani hidup di desa ini sebagaimana orang lain menjalaninya. Aku melakukan semua pekerjaanku dengan wajar seperti yang dilakukan orang desa pada umumnya. Dengan segenap tenagaku, kulakukan pekerjaanku sebagaimana manusia yang tidak punya kesaktian,” jawab Kiai Jejer ramah (KCRY, hlm. 7). 2) Menerima Kenyataan Bagi orang Jawa, sikap ‘menerima kenyataan’ atau “narima” adalah salah satu sikap distansi yang positif, dalam arti bahwa dalam keadaan “narima” manusia dapat memenuhi kewajiban dengan teliti (De Jong, 1976:19). Dalam “Kesederhanaan Mertua Sultan” sikap menerima kenyataan digambarkan dalam keinginan Kiai Jejer untuk hidup di desa bersama warga karena ia berani hidup sederhana, berani bekerja keras (lihat juga kutipan di atas) dan tidak tertarik untuk memanfaatkan kesaktian yang dimiliki berikut. “Tapi sayang, aku tetap tidak tertarik. Aku ini sudah tua, aku tak akan ke mana-mana lagi. Cukuplah di desa ini, sudah membuatkan merasa bahagia,” tolak Kiai Jejer, halus (KCRY, hlm. 9). Sikap “narima” juga tercermin dalam diri Ki Ageng Paker ketika terjadi perang saudara untuk memperebutkan kerajaan, dia memilih menyingkir dan meninggalkan kerajaan, menjalani hidup sederhana di desa. . “Kebahagiaan hidup bukan terletak pada harta dan kekuasaan, namun pada hati. Maka untuk bahagia, orang tak harus kaya. Dengan hidup 478 PROSIDING sederhana seperti ini, nyatanya aku bisa bahagia,” tutur Ki Ageng Paker (KCRY, hlm. 28). 3) Menghormati Sesama Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan sama dengan manusia lainnya. Perbedaannya terletak pada cara manusia menyikapi hidupnya sehingga kadang-kadang ada yang merasa dirinya “lebih” dari yang lain sehingga menimbulkan kesombongan, keangkuhan, dan sebaliknya. Berkenaan dengan cerita “Amarah Kiai Bregas” di dalamnya terdapat gambaran tentang ketidakpedulian warga Desa Ngino dengan kedatangan Sunan Kalijaga yang bertamu ke rumah Kiai Bregas. Warga Desa Ngino bahkan membuat suara gaduh dan memekakkan telinga, yaitu suara orang menimba air di sumur senggotan dan suara gaduh orangorang yang sedang menumbuk padi. Sunan Kalijaga merasa terganggu setiap kali bertamu ke rumah Kiai Bregas, Selain itu, Kiai Bregas saat menerima tamu, merasa kesulitan mendapatkan daun sirih untuk menginang (KCRY, hlm. 63). Peristiwa itu menumbuhkan kemarahan Kiai Bregas sehingga sejak itu, ia melarang warganya untuk menanam pohon sirih. “Aku tidak tahu. Hanya pesanku, bersikaplah sopan dan hargailah setiap tamu yang dating ke desa ini, siapa pun orangnya! Aku melihat selama ini kalian kurang sopan terhadap tamu yang berkunjung ke desa ini. Maka sebagai hukumannya, mulai saat ini juga, di desa ini tak boleh ada lagi daun sirih! Dan jangan sekali-kali berani mencoba untuk menanamnya!” Kutuk Kiai Bregar (KCRY, hlm. 68). Cerita tersebut menginspirasikan adanya pesan moral bahwa sikap saling menghormati dan menghargai sesama atau pada orang yang lebih tua, perlu ditanamkan pada setiap orang agar tidak menimbulkan sikap egois atau mementingkan diri sendiri. Sikap menghormati sesama ditunjukkan pula dalam cerita “Kesetiaan Pengikut ki Ageng Mangir”. Sikap ramah dan menghormati sesama ditunjukkan Ki Ageng Mangir—yang merupakan keturunan bangsawan dari Kerajaan Majapahit—terhadap Ki Demang Suro Handoko. Hal itu menumbuhkan kepercayaan Ki Demang sehingga ia dengan senang hati bersedia menyerahkan seluruh daerah kekuasaannya sebagai bagian dari daerah kekuasaan Ki Ageng Mangir (KCRY, hlm. 46—47). PROSIDING 479 4) Bekerja Keras Sikap mau bekerja keras sebagai cermin nilai etika dan moral merupakan upaya manusia menunju keberhasilan, dan sebaliknya sikap malas bekerja menghambat manusia untuk meraih cita. Sikap malas bekerja ditunjukkan dalam cerita “Kutukan Bagi Si Pemalas” berikut. Kiai kasur, aku kecewa dengan sifat warga Desa ini. Ketika sudah saatnya bekerja, warga di sini tetap saja keenakan tidur. Warga di sini tidak dapat hidup prihatin. Dengan begitu, tolong sampaikan kepada seluruh warga Kasuran dan anak cucunya kelak, ‘Jangan sekali-kali berani tidur di atas kasur, kalau kesaktiannya belum bisa menyamaiku!’ Ingat itu!” tegas Sunan Kalijaga sambil bergegas pergi melanjutkan perjalanan (KCRY, hlm. 25) Sifat malas bekerja sebagai sifat negatif perlu dihindari. Sebaliknya, yang bersifat positif perlu ditanamkan di dalam jiwa anak bangsa. Kutipan di atas merupakan ajaran agar manusia mau hidup kerja keras dan jangan malas bekerja. 5) Sabar Sifat sabar tercermin di dalam cerita “Kesederhanaan Mertua Sultan”. Diceritakan bahwa Kiai Jejer dikenal tekun, sabar, dan bijaksana dalam memberikan ajaran agama Islam sehingga masyarakat desa setempat menjadi tertarik dengan agama yang disebarkannya (KCRY, hlm. 6). (6) Cinta Alam dan lingkungannya Alam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia karena alam menyediakan barang kebutuhan fisik manusia, seperti makanan dan minuman (air). Oleh karena banyak sekali manfaatnya dalam kehidupan manusia, maka alam, salah satunya, hutan, perlu dijaga kelestariannya. Berkenaan dengan hal itu, dalam “Asal Mula Nama Krapyak” terkandung nilai ajaran atau himbauan agar manusia mencintai hutan dengan segala isinya. Di dalam cerita itu, Sri Sultan HB I (Raja Kerajaan Mataram) menyaksikan semakin langkanya hewan sebagai penghuni hutan sehingga ia memerintahkan para prajurit untuk berburu hewan dan hasil tangkapannya dilepaskan di hutan itu. Akhirnya beragam hewan, seperti kijang, banteng, kancil, rusa, dan harimau dipelihara dan beranak-pinak di hutan itu. Hewan-hewan itu dapat hidup dengan liar sebagaimana di hutan pada umumnya (KCRY, hlm. 57). Sikap positif, cinta alam dan lingkungan, yang ditunjukkan Sri Sultan HB I tersebut patut diteladani agar hewan-hewan di hutan tidak habis terbunuh oleh manusia-manusia (pemburu binatang hutan) yang tidak bertanggung jawab. 480 PROSIDING 6.3.3 Nilai Sosial 1) Berbakti Di dalam kehidupan masyarakat Jawa, “bekti” atau bakti, berbakti, mengandung pengertian ‘tunduk’, ‘hormat’, ‘menghargai’, merupakan hal yang wajib dilakukan oleh setiap orang, baik di dalam lingkungan wong cilik maupun dalam lingkungan priyayi. Dalam hubungan sosial masyarakat Jawa, ‘bekti’ wajib ditujukan kepada 1) raja, 2) orang tua, termasuk mertua, paman, bibi, dan nenek, 3) saudara tua, 4) guru, termasuk guru laki ‘suami’, dan 5) Tuhan (De Jong, 1976:73). Berbakti kepada raja dan orang tua ditunjukkan dalam “Pesona Seorang Ledek”. Sebagai ungkapan rasa ingin berbakti kepada Raja Senopati yang sekaligus orang tuanya, Putri Pembayun bersedia ditugasi ayahnya menyamar sebagai penari ledek untuk memikat hati Ki Ageng Mangir (KCRY, hlm. 49). Di dalam “Kesederhanaan Mertua Sultan”, Rara Batang —setelah menjadi permaisuri raja Mataran bergelar Kanjeng Ratu Batang— selalu datang mengunjungi ayahnya (Kiai Jejer) di Desa Jejeran untuk melepas rindu (KCRY, hlm. 6). Hal itu mencerminkan sikapnya yang tetap ingin berbakti kepada orang tuanya. Di dalam “Asal Mula Nama Krapyak” ditunjukkan sikap prajurit yang setiap saat siap melaksanakan perintah raja, termasuk berburu hewan di hutan (KCRY, hlm. 57) . 2) Rukun Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam maksud untuk saling membantu. Guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan (contohnya: perselisihan), setiap anggota masyarakat dalam segala kegiatannya selalu didasari musyawarah, gotong royong, tidak melanggar tata tertib, bijaksana (Suseno, 1988:39). (1) Musyawarah Nilai sosial yang berupa musyawarah ditunjukkan, misalnya dalam “Kesetiaan Pengikut Ki Ageng Mangir”. Untuk mencari mufakat dalam memperluas daerah kekuasaan, Ki Ageng Mangir melakukan musyawarah lebih dahulu dengan para pengikutnya, berikut. “Kita harus menggunakan cara lain untuk menguasai daerah itu. Jangan sampai ada peperangan. Ingatlah, kita akan menetap di sana! Seandainya mereka telah curiga, bagaimana mungkin kita bisa diterima dengan baik?” pesan Ki Ageng Mangir kepada para pengikutnya, sambil menyusun siasat (KCRY, hlm. 42). (2) Gotong Royong atau Kerja Sama Menurut Mulder (1983:40), sikap hidup orang Jawa tidak memisahkan individualitasnya dengan lingkungan dan golongan. Budaya kerja sama PROSIDING 481 atau gotong royong itu tercermin di dalam cerita “Misteri Pohon Kelapa”. Ki Wongsoyudha oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai orang sakti dan suka membantu/memberi pertolongan pada warga sekitar. Warga sekitar sering meminta bantuannya untuk mengobati anaknya yang sakit panas, lumpuh, atau tidak mau makan. Tidak jarang ia juga dimintai bantuan untuk memecahkan masalah pekerjaan maupun rumah tangga dan bahkan ada yang ingin menimba ilmu darinya. Ki Wongsoyudha dengan penuh kebijaksanaan, selalu meberikan saran dan nasihat kepada mereka (KCRY, hlm. 29). Sikap terpuji yang dilakukan Ki Wongso dengan warga desa tersebut merupakan bentuk kerja sama, tolong menolong, yang patut diteladani. (3) Tidak Melanggar Tata Tertib Ketertiban, dalam kehidupan bermasyarakat merupakan salah satu syarat demi terciptanya ketenangan dan kedamaian. Orang hidup bermasyarakat harus pandai menjaga diri, mengendalikan bicara, sebab bicara kadang-kadang dapat membahayakan diri sendiri. Dalam “Amarah Kiai Bregas” ditunjukkan sikap warga Desa Ngino yang tidak menghormati tamu yang sedang berkunjung ke rumah Kiai Bregas. Setiap kali tamu datang, selalu ada suara gaduh dan memekakkan telinga, yang muncul dari kerumunan orang menumbuk padi keras atau orang menimba air (KCRY, hlm. 65—66). Kegaduhan warga dengan bunyi suara yang ditimbulkan itu merupakan bentuk pelanggaran tata tertib yang dapat meresahkan dan tidak membuat nyaman setiap tamu yang datang. (4) Bijaksana Bijaksana merupakan salah satu sikap dan sifat Kiai Jejer dan Ki Demang Suro Handoko. Di dalam “Kesederhanaan Mertua Sultan”, tokoh Kiai Jejer dikenal sikapnya yang tekun, sabar, dan bijaksana dalam memberikan ajaran agama Islam sehingga masyarakat desa setempat menjadi tertarik dengan agama yang disebarkannya (KCRY, hlm. 6). Di dalam cerita “Kesetiaan Pengikut Ki Ageng Mangir”, Ki Demang Suro Handoko dikenal sebagai orang yang pandai dan bijaksana dalam memimpin daerahnya. Ki Ageng Mangir menyanjung-nyanjung kepemimpinan Ki Demang yang mampu memakmurkan daerah kekuasaannya (KCRY, hlm. 42—43). 482 PROSIDING 7. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan di depan, ternyata buku KCRY banyak mengandung nilai-nilai budaya luhur, antara lain nilai religius, nilai etika dan nilai sosial. Nilai-nilai itu diharapkan dapat digunakan sebagai upaya penyesuaian diri dengan peradaban dunia masa kini. Artinya, dengan memanfaatkan nilai-nilai tersebut dimaksudkan agar manusia memiliki jiwa sosial, bersikap etis, dan selalu dilandasi dengan semangat religius. Paling tidak, nilai-nilai budaya yang terkandung dalam KCRY merupakan kearifan lokal yang patut untuk diteladani. Daftar Pustaka Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafitipers. De Jong, De Josselin. 1976. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Kanisius. Hartoko, Dick. 1985. Memanusiakan Manusia Muda. Yogyakarta: Kanisius. Herusatoto, Budiono. 1985. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita. Koentjaraningrat. 1982. Masalah-masalah Pembangunan. Jakarta: LP3ES. …………1985. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. K.Y., Susana. 2012. Kumpulan Cerita Rakyat Yogyakarta. Yogyakarta: New Merah Putih. Mulder, Niels. 1983. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: Gramedia. Prabowa, Dhanu Priyo. t.t. “Beberapa Nilai Etika Sastra Jawa”. Yogyakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Sudaryanto. 2003. Metode dan Aneka Teknik Analisis Data: Pengantar Penelitian Wacana. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Suseno, Franz Magnis. 1983. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia. Suwondo, Tirto dkk. 1994. Nilai-Nilai Budaya Susastra Jawa. Jakarta:Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. PROSIDING 483 484 PROSIDING KRITIK SASTRA DI MAJALAH DJAYA BAJA PERIODE 1945—1965 Sri Haryatmo Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Inti Sari Tulisan ini bertujuan untuk melihat kritik sastra yang terdapat di media masa Djaja Baja (DB) periode 1945—1965. Metode yang digunakan metode kritik sastra yang ditetapkan dengan cara sinkronik. Dalam kaitannya dengan pengumpulan data, metode yang digunakan adalah metode pustaka yang ditopang oleh teknik baca dan catat. Teori yang digunakan adalah kritik sastra model Abrams yang meliputi jenis kritik dan orientasi kritik. Dengan kerangka berpikir deduktif-induktif hasil penelitian ini akan disajikan secara deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa kritik sastra yang terdpat dalam DB didominasi oleh kritik sastra Jawa lama, sastra Jawa umum, dan sastra Jawa moern. Adapun jenis kritik cenderung didominasi oleh jenis kritik impresionistik. Sementara itu, jenis kritik yudisial tampak sedikit. Orientasi kritik tertuju pada karya dan pengarangnya. Hal itu menunjukkan bahwa pembaca atau kritikus pada waktu itu masih suka pada karya sastra jawa lama. Kata kunci: Djaja Baja, kritik, yudisial, impresionistik, sinkronik, deduktif Abstract This research aims to show literary critics in Djaja Baja (DB) period 1945— 1965. A literary critic with synchronic method was used in this research. Data collection was conducted by library research with reading and making notes. Abrams literary theory was used with deductive-inductive operation and critic orientation. The result shows that literary critics in DB are dominated by critics on old Javanese literature, general Javanese literature, and modern Javanese literature. Impressionist critics dominated the findings. It critics prefer to works and their authors. It shows that readers or critics prefer to old Javanese literature. Key words: Djaja Baja, critic, judicial, impressionist, synchronic, deductive PROSIDING 485 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Sejak munculnya media massa cetak berbahasa Jawa, perkembangan dunia sastra Jawa sejak awal kemerdekaan hingga sekarang tidak hanya didukung oleh istana (kraton), tetapi didukung oleh keberadaan media massa cetak (majalah dan koran). maka, sejak kemedekaan sampai sekarang perkembangan sastra Jawa lebih didominasi oleh sastra majalah dan koran (Hutomo, 1975:45). Beberapa media massa cetak yang terbit dan menjadi pendukung eksistensi sastra Jawa, antara lain, adalah mingguan (umum) Bramartani (25 Januari 1855) dan jurnal (umum dua bulanan) Puspita Mancawarni yang keduanya diterbitkan Hartevelt lan Sadherekipun ‘Hartevelt dan Saudaranya’ di Surakarta (Tjokrosisworo, 1960; bandingkan Soepardi, 1961:40; Hutomo, 1975:9; Molen, 1996). Ternyata, kedua pers itu tidak mampu bertahan karena mengalami kesulitan dalam penjualan. Meskipun tidak berumur panjang, kedua pers itu amat berjasa dalam memperkenalkan dan mengembangkan sastra Jawa melalui rubrik-rubriknya (Adam, 1995:18—19). Karya sastra yang menjadi objek kajian ini adalah esai dan kritik sastra di majalah Djaja Baja (DB) periode 1945—1965. Berkenaan dengan terbitnya majalah DB dan untuk mengetahui seberapa jauh keberadaan kritik sastra dalam media massa tersebut, seluruh kritik sastra yang dimuat dalam media harus diteliti. Akan tetapi, tidaklah mungkin meneliti seluruh esai/kritik sastra yang terbit dalam media tersebut karena hal itu hanya mungkin dilakukan jika tersedia waktu, kemampuan, dan biaya yang cukup banyak. Karena penelitian ini serba terbatas, lebih-lebih hanya dilakukan secara mandiri, pembatasan terhadap objek penelitian pun harus dilakukan. Sehubungan dengan hal di atas, tulisan ini hanya membahas salah satu aspek di bidang sastra, yaitu kritik sastra Jawa dalam mingguan DB periode 1945—1965. Pembatasan pada esai atau kritik tidak berarti bahwa karya-karya lain (guritan, cerkak, drama) tidak dianggap penting, tetapi semata karena karya-karya lain itu sudah diteliti oleh para peneliti lain, misalnya beberapa penelitian serupa yang pernah dilakukan, antara lain, sebagai berikut. (1) “Sistem Kritik Dalam Sastra Jawa Modern 1966—1980” oleh Sri Widadi (1999). Penelitian itu secara singkat membicarakan kritik dalam sastra Jawa modern dan perkembangannya serta jenis-jenis kritik dalam sastra Jawa; (2) Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta 1966—1980. Oleh Tirto Suwondo dkk. (2009). Penelitian ini membicarakan dinamika kritik sastra Indonesia di Yogyakarta dan jenis dan orientasi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta; (3) Kritik Sastra Jawa Periode 1981—1997" oleh Tirto Suwondo dkk. (2000). Penelitian ini membicarakan dinamika kritik dalam sastra Jawa Moern dan orientasi kritik sastra Jawa modern periode 1981—1997; (4) Novel Jawa Tahun 50-an: Telaah Fungsi, 486 PROSIDING Isi, dan Struktur (1993) oleh Damono. Dalam penelitiannya Damono menyatakan bahwa sistem kritik sastra Jawa modern tahun 50-an tidak berkembang; pada masa itu telah terbit puluhan novel dan ratusan cerpen, tetapi tidak ada seorang pun yang dianggap sebagai kritikus profesional. Oleh karena tiga penelitian itu dipandang belum tuntas, pada tahun 2013 ini dilakukan penelitian yang sasarannya lebih khusus pada kritik sastra di majalah DB periode 1945–1965. Penelitian—yang diberi judul “ Kritik Sastra di Majalah Djaja Baja peeriode 1945—1965”—ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan pada penelitian “ Kritik Sastra di Majalah berbahasa Jawa peeriode 1945—1965”. Perlu dikemukakan juga bahwa alasan perlu ditelitinya kritik sastra ialah bahwa sebagai sebuah disiplin ilmu sastra, kritik sastra merupakan bagian dari ilmu sastra yang memiliki kedudukan yang penting, sama seperti kedudukan teori dan sejarah sastra (Wellek dan Warren, 1968). Oleh karena ketiga disiplin ilmu sastra itu (teori, sejarah, dan kritik) saling berkaitan, saling menopang, dan tidak ada yang lebih utama dibanding yang lain, jelaslah bahwa kritik sastra tidak sekedar sebagai ilmu yang membahas baik buruk suatu karya sastra, tetapi juga menjadi bagian yang penting dalam proses perkembangan teori dan sejarah sastra. Oleh karena itu, perkembangan kritik sastra akan menjadi bagian dari parameter perkembangan atau perjalanan sejarah dan teori sastra yang bersangkutan. 1.2 Masalah Sebagaimana dikemukakan dalam latar belakang bahwa tulisan ini akan membahas kritik sastra dalam majalah DB periode 1945—1965. Ada beberapa masalah yang perlu diungkap dan dibahas untuk memperoleh hasil yang dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa masalah itu, antara lain, adalah (1) bagaimana jenis kritik yang digunakan dan (2) bagaimana orientasi karyakarya kritik sastra dalam media tersebut. Dalam pokok masalah ini dilihat bagaimana fokus perhatian kritik sastra. Terhadap hal kritik, kepada siapa kritik itu ditujukan, apakah terhadap pengarang, karya, penerbit, pembaca, kritik, atau terhadap yang lain yang berada di dalam lingkaran sistem kritik sastra periode 1945—1965. Selain hal di atas, karena tulisan ini hanya membahas kritik di DB. Gambaran umum rubrik sastra Jawa pun dibahas tersendiri guna melihat peranannya dalam pertumbuhan sastra Jawa. 1. 3 Tujuan dan Hasil yang Diharapkan Penelitian “Kritik Sastra dalam Majalah DB periode 1945—1965” ini dilakukan dengan dua tujuan. (1) Tujuan pertama, untuk mengetahui jenis kritik yang terdapat dalam DB periode 1945—1965. (2). Tujuan kedua, penelitian ini bermaksud untuk mengetahui orientasi kritik sastra Jawa di DB periode PROSIDING 487 1945—1965. Dalam hal ini, orientaskritik apakah ditujukan kepada karya sastra, para pengarang, para pembaca, atau penerbit. 1.4 Kerangka Pendekatan Teori Tulisan ini berjudul “Kritik Sastra dalam Majalah Djaja Baja periode 1945— 1965”. Sesuai dengan permasalah yang digunakan, teori yang digunakan adalah teoriu kritik sastra model Abrams (1981). Sehubungan dengan hal di atas, Abrams (1981: 36—37) menyatakan bahwa di dalam praktik penilaiannya kritik sastra dipilah menjadi dua jenis, yaitu kritik yudisial (judicial criticism) dan kritik impresionistik (impressionistic criticism). Kritik judisial adalah kritik yang di dalam penilaiannya menggunakan standar (konsep, teori, aturan) tertentu, sedangkan kritik impresionistik sebaliknya, yakni tidak menggunakan standar teertentu, tetapi hanya berdasarkan kesan (impresi) kritikus terhadap karya sastra (Pradopo, 1988: 28—30). Kritik sastra ala Abrams seperti di atas pada dasarnya tidak bertentangan dengan pembagian yang dilakukan oleh Tanaka. Misalnya, kritik judusial model Abrams sesuai dengan kritik akademik model Tanaka dan kritik impresionistik model Abrams tidak berbeda dengan kritik umum model Tanaka. Karena beberapa kategori kritik yang dikemukakan oleh para ahli di atas tidak bertentangan, tetapi justru saling melengkapi, dalam penelitian “Kritik Sastra di DB Periode 1945—1965” ini penerapan beberapa kategori kritik tersebut tidak akan dipisahkan secara tegas, tetapi justru akan dipadukan. dalam arti bahwa penggolongan oleh beberapa tokoh tersebut akan dimodifikasi sehingga sesuai dengan data yang dianalisis. 1.5 Metode dan Teknik Dalam landasan teori digunakan teori kritik sastra model Abrams (1981). Dalam hal ini metode yang dapat diterapkan di dalam penelitian ini metode penelitian yang sesuai dengan kritik sastra. Pelaksanaan metode tersebut dilakukan dengan cara sinkronik karen objek yang diteliti meliputi kritik sastra pada kurun waktu tertentu, yakni tahun 1945—1965. Sementara itu, dalam kaitannya dengan pengumpulan data, metode yang digunakan adalah studi pustaka yang ditopang oleh teknik baca dan catat. Melalui metode studi pustaka, dilakukan terhadap pencatatan terhadap artikel, buku, dan atau tulisan dan dokumen lain yang berkaitan dengan kritik sastra Jawa tersebut.. Selanjutnya, untuk menemukan majalah sastra Jawa (DB) dilakukan observasi ke perpustakaan, museum, dan tempat koleksi lainnya, diikuti dengan teknik reproduksi, misalnya dengan cara memfoto dan atau memfotokopi dokumen yang diperlukan. 488 PROSIDING Setelah data terkumpul, data diklasifikasikan sesuai dengan pokok-pokok masalah yang dibahas, baik yang menyangkut sistem makro maupun mikro sastra. Dengan kerangka berpikir deduktif, induktif-deduktif, hasil penelitian atas karya-karya kritik sastra tersebut akhirnya disajikan secara deskriptif. Analisis data (klasifikatif) dilakukan dengan metode deskriptif analitik. Teknik pelaksanaannya ialah bahwa data (klasifikatif) yang telah siap kemudian dianalisis setiap komponennya sesuai dengan pemilahan dan pengelompokan per bab dan subbab yang telah dirancangkan. Dalam penelitian ini, seluruh majalah DB periode 1945—1965 dan segala dokumen yang berkaitan dengan majalah sastra Jawa perioe tersebut dijadikan sumber data. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam jangka waktu 20 tahun (1945—1965) majalah Jawa sudah sulit dicari. 2. Kritik dalam Majalah Djaja Baja Periode 1945-1965 2. 1 Gambaran Umum Majalah DB adalah majalah umum yang terbit pertama kali tanggal 1 September 1946. Jika dihitung sejak terbit sampai dengan 1945, DB telah berusia 20 tahun. Namun, data yang ditemukan terbatas pada tahun-tahun tertentu saja, yaitu tahun 1955, 1956, 1957, 1960, 1961, dan 1964. Rubrik yang dimuat dalam majalah itu beraneka ragam seperti rubrik berita dalam negeri (“Kumandhang Jero Nagara” dan “Jaba Nagara”) sebagai rubrik utama, “Kagunan” yang berisi informasi pemilihan umum, “Esai dan Kritik”, “Layang Saka Sala”, “Roman Sacuwil”, “Taman Rochani”, “Lembar Sejarah”, “Layang Saka Warga”, “Macapat”, dan “Widya Umum” ’pengetahuan umum’ (DB, 5 September 1955). Dalam rubrik-rubrik tersebut terdapat rubrik “esai dan kritik sastra” (terlihat pada tulisan yang berjudul “Ronggo Warsito”) kemudian, rubrik “Layang Saka Warga” juga berisi esai tentang bahasa dan sastra Jawa. Selanjutnya, rubrik layang saka berjudul “Basa Jawa lan kasusastran Menyang Endi Parane?” tulisan G.Sr. (DB 18 Desember 1955) Di samping itu kritik, rubrik-rubrik sastra lain juga cukup beragam seperti rubrik kasusastran, crita sambung, roman sacuwil, dongeng, sambel bajag, dan Wedhatama Piningit (DB 13 Februari 1955). Meskipun demikian, rubrikrubrik tersebut tidak pasti muncul dalam setiap penerbitan. Misalnya: DB 27 maret 1955 hanya memuat rubrik sastra “Jangka Djaya Baya Kawedhar”, “Kaca Wirangi”, dan “Cerbung”. Dari sekian itu, jenis esai atau kritik sastra Jawa terlihat pada rubrik “Kesusastran dan rubrik “Layang Saka Warga”. Sementara itu, rubrik-rubrik lain dianggap sebagai rubrik sastra biasa. Yang termasuk rubrik sastra antara lain adalah “Crita Sambung”, “Roman Sacuwil”, dan “Dongeng”. PROSIDING 489 Adapun yang terdapat di dalam rubrik “Kasusastran” dan rubrik “Kritik Sastra” dapat berupa kririk sastra lama dan kritik sastra Jawa modern. Bahkan berdasarkan data, kritik sastra Jawa tradisional lebih dominan. Misalnya: kritik sastra “Serat Ramayana”, “Ramayana Walmiki”, “Cerita Panji” oleh Darusuprapta; “Wedhatama”, “Adi Parwa” oleh Hardi; “Semut Ireng Anak-anak Sapi” dan “Sang Gethek Sinangga Bajul” oleh Imam (DB 8 Mei 1955), dan sebagainya. 2.2 Jenis-Jenis kritik dalam Majalah Djaja Baja periode 1945—1965 Kritik sastra Jawa yang muncul pada tahun 50-an dan 60-an paling tidak sudah meliputi tiga wilayah kelembagaan, yaitu sistem mikro sastra, sistem makro sastra, dan kritik umum. Sistem mikro sastra membahas masalah norma-norma intrinsik sastra, sedangkan sistem makro sastra membahas faktorfaktor luar sastra yang mendukung kehadiran karya sastra. Seperti telah disebutkan di depan bahwa sistem mikro sastra membahas aspek-aspek intrinsik kesastraan, yang dalam hal ini meliputi berbagai unsur intrinsik sastra dari jenis-jenis sastra prosa maupun puisi. Adapun sistem makro sastra akan memperhatikan elemen-elemen luar sastra yang mendukung kehadiran sastra, yaitu sistem pengarang, penerbit, pengayom, dan pembaca. Kritik-kritik sastra tentang dunia sastra yang muncul di sepanjang tahun 1946— 1965 yang dominan adalah kritik yang berkaitan dengan sistem pengarang sastra, baik sastra Jawa lama maupun sastra Jawa modern. Tentang sistem pembaca dan sistem penerbit hanya sedikit sekali dibahas, yaitu hanya muncul dalam “Apa Kasusastran Jawa Uga Oleh Kawigaten” (DB 1 Januari 1956). Sesuai dengan teori di atas bahwa praktik penilaian terhadap karya kritik sastra dipilah menjadi dua, yaitu kritik Yudisial dan kritik impresionistik. 2.2.1 Jenis Kritik Yudisial Di samping kritik-kritik sastra yang berkaitan dengan dua kelembagaan itu, ada pula kritik sastra Jawa modern yang membahas sastra Jawa secara umum, yaitu membahas kondisi mutakhir bahasa dan sastra Jawa. Misalnya membahas kondisi sastra Jawa dan kondisi bahasa Jawa: “Modernisasi sastra Jawa”, “Ngudaraos Bab lelampahanipun Basa Jawi”, “Kasusastran Jawi lan Mekaring Jaman”, “Kasusastran Jawi badhe Gesang Malih”, dan sebagainya. Di samping itu, di dalam kerangka teori juga dijelaskan bahwa ada dua jenis praktik penilaian kritik sastra, yaitu kritik yudisial dan kritik impresionistik. Berdasarkan data yang ditemukan bahwa kritik yang terdapat di majalah DB periode 1945—1965 didominasi oleh jenis kritik impresionistik. Sementara itu, kritik yang berdasar penilaian norma, atau konsep tampak sedikit. Dari data yang ditemukan, kritik yang berdasarkan penilaian konsep, norma, atau teori terlihat pada kritik yang berjudul “Modhernisasi (modhernake) Kasusastran Djawa” (30 Desember 1956) tulisan Senggono, “Guwayane Kasusas- 490 PROSIDING tran Jawi Jaman Kamardikan (JB 1 Januari 1956) tulisan Muryalelana, serta “Njinggleng Buku Asmara ing Balet Ramayana” (JB, 27 September 1964). Kritik berjudul “Modhernisasi (Modhernake) Kasusastran Djawa” pada awalnya berupa kritik umum, yaitu tulisan yang berisi bagaimana kasusastran Jawa bisa digarap secara modern. Namun, dalam keterangan selanjutnya, Senggono menampilkan norma-norma atau konsep-konsep baru, yaitu tentang menyinggung deskripsi latar tempat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di samping itu, deskripsi tokoh juga disinggung. Bahkan disinggung juga alur cerita, baik alur ceita progresif (lurus), alur cerita sorot balik, dan alur yang dimulai dari klimaks kemudian kembali ke awal cerita seperti kutipan berikut. Sawetara pengarang seneng yen nggambarake cecandran kanthi cara sing direk (langsung=laju), semono uga para maose kayata candraning alam ing wayah bengi padhang mbulan banjur dicritakake rembulane, megane, langite, lintange, angine, lan sabanjure, utawa nyandra kaendahaning wanita ya banjur dicritakake pipine, latine, irunge, mripate, lan sabanjure, yen nyandra nonoman ya mripate, rambute, kemejane, dasine, sepatune, lan sapanungggale, ngelingake marang cara-carane ki dhalang angucapake prolog utawa nyandra R. gatutkaca yen nuju arep napak gegana. Semono uga biografine sing dadi pelaku crita banjur cara direk dicritakake anake si Anu, ing desa kana nalika cilik mengkene-mengkene lsp. Nanging saweneh pangarang, ya sastrawan gagrak anyar akeh sing ora seneng marang cakrik sing kaya kuwi. Ewasemana kabeh bisa kacakup kanthi panataning ukara sing diengo, nganti apa sing dikandhakake dening cara kapisanan mau bisa kena kabeh. Carane crita ana sing seneng gawe crita urut kaya dene yen nyinau dhentawyanjana, nanging ana sing banjur ujug-ujug diwiwiiti saka tengah utawa pungkasan. Diwiwiti saka klimaks ing crita banjur bali saka kawitane. Kabeh mau mung gumantung marang tekan ngendi tenagane si pengarang adhedhasar ing gawane utawa bakate dhewe (DB, 30 Des.1956). ‘Sementara pengrang senang jika menggambarkan perumpamaan dengan cara langsung, demikian juga para pembaca seperti perumpamaan alam di waktu malam terang bulan lalu diceritakan bulannya, awannya, langitnya, lintangnya, anginnya, dan selanjutnya atau menggambarkan keendahan wanita yang kemudian diceritakan pipinya, bibirnya, hidungnya, matanya, dan selanjutnya jika menggambarkan anak muda, ya matanya, rambutnya, kemejanya, dasinya, sepatunya dan sebagainya, mengingatkan pada caracaraa dalang mengucapkan prolog atau menggambarkan R. gatutkaca jika akan terbang. Demikian juga biografi yang menjadi pelaku cerita langsung diceritakan anaknya anu, di desa anu, ketika masih kecil demikian, dan sebagainya. Akan tetapi, seorang pengarang, ya sastrawan angkatan modern banyak yang tidak suka terhadap cara seperti ini. Meskipun demikian, semua bisa tercakup oleh aturan kalimat yang digunakan, sampai apa yang disampaikan dengan cara pertama tadi bisa terkafer semuanya. Cara bercerita ada yang suka membuat cerita dengan urut seperti belajar huruf PROSIDING 491 dentawyanjana, tetapi ada yang secara tiba-tiba dimulai dari tengah atau dari belakang. Dimulai dari klimaks lalu cerita kembali ke awal. Semua itu tergantung pada kepiawaian pengarang berdasar pembawaan atau bakatnya sendiri.’ Selanjutnya, kritik yang berjudul “Guwayane Kasusastran Jawa Jaman Kamardikan” karya Muryalelana (DB, 1 januari 1956) juga menunjukkan kritik yang berdasarkan adanya penilaian, teori, atau konsep tertentu. Bab yang dibicarakan dalam kritik itu meliputi tema dan masalah yang digarap, tokoh atau penokohan, amanat. Masalah yang digarap atau dibicarakan dalam kritik cukup merenik, termasuk genre sastra juga dibicarakan seperti kutipan berikut ini. Ing babagan apa wae manawa ana owah-owahan mesthi kudu kinantenan ing sesanggan lan pangurbanan kang kudu disandhang lan disangga. Semono uga ing rehning prekara iki. Kaum mudha anggone padha mbrastha paham-paham lawas mau iya ora luput sangka rerangkening ayahan-ayahan mau. Harjita lan Nawawi kang jejere dadi wewakiling para mudha uga ora entheng bebanane, rina wengi kang diudi kepiye carane nanggulangi bancana kang bakal nglempara ana ing baweraning atine para mudha bebarakane. Krana kang kaya mangkono mau temah bisa kasil lan paham-paham lawas kang diwududake dening Senggono kaya dene waris. Harja cakil sakancane kang nunggal wawasan kalakon kalebokake ing buwen. Kongsi pawasananing carita wis ora disenggol-senggol maneh. Sawijining pratandha Manawa paham Jawa kaya kang wis kasebut ing dhuwur mau wis ora njamani lan katuhone kudu kalebokake ing museum bae. Dene cara kang kanggo ngge lar lumadining carita kaya dene laku durjana kang dijejeri dening polisi sandine lan sapiturute iku muhung suwijining piranthi kanggo anyungging reroncene lan bab iki dadi wewadining pengarang kang wis samesthine kudu bisa mikat atining para nupiksa kaya dene melu ngrasakake sarta mikirake anane prakara-prakara kang kababar (DB, 1 Januari 1961). ’Dalam hal apa saja jika ada perubahan, pasti harus disertai tanggung jawab dan pengurbanan yang harus dipikulnya. Demikian juga dalam urusan ini. Kaum muda yan g akan membasmi paham-pham lama tadi iya tidak luput dari rangkaian tugas-tugas tadi. Harjita dan nawawi yang bertugas sebagai wakil para muda juga tidak ringan tanggung jawabnya, siang malam yang dicari bagaimana cara menangghulangi bencana yang akan memengaruhi hati para muda seangkatannya. Karena yang demikian itu, akhirnya bisa berhasil dan faham-faham lama yang diwujudkan oleh Senggono seperti halnya Waris. Harja Cakil bersama temannya yang nunggal faham dimasukkan dalam dalam penjara. Sampai wawasan cerita sudah tidak disenggol lagi. Suatu pertanda jika faham Jawa seperti yang telah disebutkan di depan tadi sudah tidak sesuai dengan jamannya dan akhirnya harus dimasukkan di museum saja. Sementara itu, cara yang digunakan untuk membuka cerita seperti halnya laku durjana yang diprakarsai 492 PROSIDING oleh polisi, sandinya dan lain-lainnya itu sebagai suatu alat untuk melukiskan rangkaian dan bab ini menjadi rahasia pengarang yang sudah semestinya harus bisa memikat hati para pembaca seperti halnya ikut merasakan serta memikirkan adanya perkara-perkara yang ditulis.’ Dalam krtiknya, Muryalelana menyatakan pemikirannya secara mendetil tentang masing-masing watak tokoh di dalam mmenghadapi zaman yang semakin modern ini. Selanjutnya, kritik sastra yang menggunakan penilaian atau norma atau konsep kritik teredapat di dalam kritik yang berjudul “Wawasan Bab Suluk Salebeting Kasusastran Jawi (DB, 6 Juni 1963) karya Drs. Pitono. Di dalam kritiknya, ia selalu mengacu pada judul buku sebagai acuannya. Di dalam menulis judul buku itu, ia selalu menyeebutkan secaraa lengkap mulai dari menyebutkan nama pengarang, penerbit, tahun terbit seperti kutipan berikut. Ing salebeting buku Kapustakan Djawi anggitanipun Prof. Dr. Poerbatjaraka prakawis suluk punika ugi sampun kasebat sawatawis. Kajawi punika buku ingkang kangge standardwerk tumraping babagan punika arupi buku thesis saking panjenenganipun Prof. Dr. Zoetmulder (Mahadwija ing Fak.Sastra Univ. Gadjah Mada ing Ngayogyakarta) ingkang mawi irah-irahaan pantheisme end monism in de javanchsche Sulukliteratur”. Leiden 1936. (DB, 6 Januari 1963). ‘Di dalam buku Kapustakan Djawi karya Prof Dr. Poerbatjaraka, perkara suluk itu juga sudah disebutkan sementara. Kecuali itu buku yang dijadikan standar bagi bab ini berupa buku thesis dari beliau Prof Dr. Zoetmulder (Mahaguru di Fak. Sastra Univ. Gadjah Mada di Yogyakarta) yang berjudul “Paantheisme and monism in de Javanchsche Sulukliteratur, Leiden 1936”’ Selanjutnya, dalam kritik sastra “Wawasan Mbabarake Wawasan” (DB 1 September 1957) karya Patrisiwi Juwadi dijelaskan dengan lengkap. Adapun yang dibahas meliputi masalah-masalah yang digarap oleh Widi Widayat melalui karya-karyanya. Di samping itu, juga dibicarakan nama tokoh-tokoh yang dimunculkan secara detail serta diberi komentar bahwa cerita yang digarap oleh Widi Widayat tidaklah lengkap. Di samping karya Widi Widayat, masih ada juga karya-karya lain yang dikomentari dan dinilai kurang baik oleh kritikus seperti karya Sri Hadidjoyo, karya Yasawidagda, serta karya Purwadi yang berjudul “Manikku Wonten Napas Humanism” yang dianggap kurang baik. 2.2.2 Jenis Krritik Impresionistik Di samping karya-karya yang telah disebutkan di atas, kritik sastra yang tergolong impressionistik juga cukup banyak. Jenis kritik impresionistik adalah kritik sastra yang tidak berstandar pada teori tertentu, tetapi hanya berdaPROSIDING 493 sarkan pada kesan (imperesi) kritikus terhadap karya sastra. Akibatnya, hasil kritik semacam ini dikatakan tidak ilmiah dan hanya berupa ulasan singkat saja. Esai berjudul “Candraning Kasusastran lan Kasulistyan ing Kasusastran Jawi” (DB, 3 Juli 1955) menunjukkan kenderungan ulasan yang impresif. Dalam hal ini, kritikus hanya memberikan kesan secara sekilas terhadap karya yang dikomentarinya. Komentar yang disampaikan hanya berbicara bahwa karya itu membuat rasa tenteram dan indah seperti kutipan berikut. “Sumangga ing mangke kaaturaken tembang ingkang medharaken sengseming raos kaendahan. Candraning kasulistyan kanthi methik sekar Dhandhanggula tigang pada saking “Serat Rerepen”. Lung-elungan pakis taru resmi kang ngarompyoh rumambat araras merang kalamun tumoleh wirang ingkang lung-elung wurung lumung lalu malintir duk anon sinomira kang pating cangkenuk rumenggeng wadana pindha Hyang sasangka ri sedheng purnama siddhi melok-melok meh rimang” ‘Mari sekarang disampaiakan tembang yang menjabarkan asiknya rasa keindahan. Gambaran perumpamaan kecantikan dengan memetik tembang Dhandhanggula tiga bait dari “Serat Rerepen”. Daun muda pohon pakis yang indah yang mengurai menjalar dengan indah malu jika terlihat malu yang masih muda lebih baik gagal lalu menghindar ketika melihat sinom ‘rambut’nya yang tumbuh menghiasi muka seperti Rembulan yang sedang purnama tampak bercahaya seperti gila asmara’ Jenis kritik impresif yang lain terdapat dalam beberapa judul, antara lain, “Basa lan Kasusastran Menyang Endi Parane” (DB, 18 Des 1955), “Apa Kasusastran Jawa Uga Oleh kawigaten” (DB, 1 Janyari 1956), “Ngudaraos Bab Lelampahanipun Sastra Jawi” (DB, 15 April 1956), “Panyaruwe Tumrap Lelagon Ilir-ilir” (DB, 3 April 1955), dan “Kritik Pranitiwakya” (DB, 15 januari 1955). 494 PROSIDING 2.3 Orientasi Kritik Orientasi kritik itu bisa terhadap sistem pengarang, karya kritik, penerbit, dan pembaca. Berdasarkan data yang ditemukan, orientasi kritik sastra didominasi oleh kritik karya dan pengarang. Orientasi kritik terhadap pembaca, dan penerbit jarang ditemukan. 2.3.1 Para Kritikus Berdasarkan data yang ditemukan dapat dikatakan bahwa para kritikus berasal dari beberapa profesi yang beragam seperti dosen, pengarang, pembaca, dan redaksi. Kritikus yang berasal dari lingkungan akademik yang tampak produktif adalah Darusuprapta. Ia waktu itu telah bekerja sebagai dosen di fakultas sastra, jurusan sastra timur, di Universitas Gajah mada, Yogyakarta. Dalam hal ini, ia berbicara tentang sastra lama, seperti Ramayana, Ramayana Walmiki, Cerita Panji, dan Mahabarata. Di samping itu, ia juga berbicara tentang Rangga Warsita sampai beberapa seri. Di samping berbicara tentang sastra lama, ia juga berbicara tentang esai umum sastra Jawa seperti keindahan sastra Jawa (DB, 3 Juli 1955). Para kritikus yang berasal dari pengarang antara lain adalah Murya Lelana, Sriningsih, Iesmaniasita, Isdito, Soemarno Sastra Rahardjo, Boedihardjo, dan Purwadie Atmodihardjo. Adapun Kritikus yang ketiga adalah yang berasal bukan dari para pengarang maupun dari kalangan akademik, tetapi berasal dari para pemerhati dan pembaca sastra Jawa. Mereka itu, antara lain, adalah P. Ong Go (DB, 28 Oktober 1956), Lesmanadewa (DB, 8 juli 11956), R.S. Yudi Parto Yuwono (DB, 10 juni 11956), Sastra Wirya (DB, 15 April 1956), S. Suriatmadja (DB, 18 Maret 1956), SHD (DB, 11 Maret 1956), Gunawan, dan sebagainya. Jenis kritik yang berkaiatan dengan pengarang cukup banyak. Kritik jenis ini terlihat pada kritik sstra Jawa lama. Misalnya, tulisan berjudul “Yasadipura I Tus Pajang” (DB, 1 Agustus 1955). Kritik ini menitikberatkan pada penilaian terhadap pengarang Yasadipura yang dipandang sebagai pengarang yang sangat mumpuni. Ia dianggap menguasai sastra Jawa kuna (kakawin) dan menggubahnya ke bentuk tembang macapat. Di samping itu, ia juga menjadi kritikus yang handal dengan karyanya yang berjudul Wicara Keras. Di samping mengulas masalah keahliannya di bidang sastra, kritikus juga menyoroti biografi pengarang Yasadipura yang dianggap masih keturunan pujangga besar. Contoh lain kritik terhadap pengarang juga terdapat pada tulisan berjudul “Ki Ageng Ranggawarsita” karya Darusuprapta. dalam hal ini kritikus lebih banyak memuji-muji pengarang karena kelebihannya di dalam menulis sandi asma. Kritik yang semacam itu juga terdapat dalam “Ki Padmasusastra iku Sapa” (DB, 18 Maret 1955), “Adipati Sasradiningrat” (DB, 1 Mei 1955). PROSIDING 495 2.3.2 Kritik Terhadap Karya Bedasarkan data yang ditemukan, orientasi kritik pada karya sastra ini cukup dominan, baik sastra lama (tradisional) maupun sastra mosern. Kritik terhadap sastra Jawa lama antara lain berjudul “Mahabarata Astadasaparwa” (DB 24 Oktober 1955) tulisan Darusuprapta; “Bnisma Parwa” (DB, 12 Agustus 1955); “Kritik Pranitiwakya” (DB, 15 januari 55), “Adiparwa” (DB, 4 Desember 1955), “Serat Nitisastra” (DB, 28 Des 1958). “Serat Kalimataya” (DB, 2 Nov. 1958), dan “Ramayana” (DB, 13 Februari 1955). Kritik sastra Jawa modern juga dapat dilihat pada judul “Guwayane Sastra Jawa Jaman Kamardikan” (DB, 1 dan 8 Januari 1951) tulisan Muryalelana, “Njinggleng Buku Asmara ing Balet Ramayana” (DB, 4 Oktober 1964), dan “Tumrap Widi Widayat”. 3. Kesimpulan Seperti dijelaskan dalam pendahuluan bahwa data yang ditemukan dalam penelitian ini dapat dikatan minim. Meskipun mencakupi kurun waktu yang cukup panjang, yakni 1946—1965, data yang ditemukan hanya terbatas pada tahun 50-an dan 60-an. Berdasarkan analisis data tersebut, dapat dikatakan bahwa kritik sastra Jawa masih didominasi oleh kritik sastra tradisional dan kritik umum. Sementara itu, kritik sastra Jawa modern (cerpen, novel, dan guritan) tampak sangat sedikit meskipun kritik sastra Jawa bukanlah hal yang baru lagi. Hal itu terlihat pada hasil penelitian bahwa dari data yang ditemukan hanya terdapat dua kritik sastra Jawa modern, yaitu berjudul “Guwayane Sastra Jawa Modern” oleh Muryalelana dan “Njinggleng Buku Asmara ing Balet Ramayana” karya Senggono. Selanjutnya, dilihat dari analisis terhadap kritik sastra yang terdapat pada DB periode 1945—1965 dapat disimpulkan bahwa kritik sastra didominasi oleh jenis kritik yang bersifat umum atau impresionistik. Kritik sastra yang dibuat oleh kritikus Jawa waktu itu cenderung bersifat impresif, yaitu berdasarkan kesan selintas tanpa menunjukkan evaluasi atau penilaian baik dan buruk. Hal demikian disebabkan oleh media DB yang memuat karya-karya umum (populer, bukan ilmiah). Sebagai media umum, tulisan-tulisan yang dimuat dituntut untuk memenuhi peersyaratan sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh media massa umum waktu itu. Bahkan dalam DB, kritik impresionistik juga diperkuat oleh adanya kritik yang dipublikasikan dalam rubrik “Surat Pembaca”. Berdasarkan pengamatan terhadap orientasi kritiknya, karya-karya kritik sastra di DB 1945—1965 didominasi oleh adanya kritik yang menyooroti sistem mikro (cerita wayang, cerita panji, cerpen, novel), tetapi juga menyoroti sistem makro (sistem pengarang). Secara Kuantitas, karya yang mempersoalkan hal- 496 PROSIDING hal di luar sastra (pengarang), tampak dominan pada karya sastra Jawa lama. Sementara itu, secara kualitas, karya kritik terhadap sastra dipandang cukup memadai. Meskipun masih terbatas, kritik sudah mengarah pada substansial, terutama pada kritik sastra Jawa modern. Kritik yang demikian ini memberikan kontribusi bagi perkembangan kritik sastra Jawa pada periode selanjutnya. Daftar Pustaka Adam, Ahmad B.1995. The Venaculeer press and the Emergence of modern indonesian conciousness (1855—1913), New York ithaca: Cornell University. Abrams, M.H. 1981. (Fourth Printing). A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart, and Winson. Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. ————-. 1993. Novel jawa Tahun 50-an telaah fungsi, isi, dan struktur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hutomo, Suripan Sadi. 1975. Telaah Kesusastraan Jawa Modern. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media. Molen, Willem van der. 1996. “Daniel Hartevelt (1824—1896) dan Peranannya dalam Perkembangan Pers Jawa”. Makalah Kongres Bahasa Jawa II. Malang. Soepardi, Imam. 1961. Ki Padmosusastro. Surabaya: Panjebar Semangat Suwondo, Tirto. 2009. Esai/Kritik Sastra dalam Minggu Pagi, Masa Kini, dan Semangat. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta. —————— dkk. 2000. “Kritik sastra Jawa Periode 1981—1997”. Yogyakarta: Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. Tjokrosiswoyo, Sudarjo. 1960. “Darmo kondho”. Dalam Mekar Sari. Nomor 2, tahun IV. Jogjakarta. Wellek, Rene and Austin Warren. 1968. Theory of Literature. Harmondsworth. Middlesex: Penguin Books. Widati, Sri. 1999. “Sistem Kritik Dalam Sastra Jawa Modern 1966—1980”. Yogyakarta: Balai Bahasa Daftar Pustaka Data: Majalah Djaja Baja Tahun 1955—1964. PROSIDING 497 498 PROSIDING MAKNA DALAM TEMBANG DOLANAN DAN APLIKASINYA DALAM MASYARAKAT MODERN Sutiyem Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Pos-el: puri_bbs@yahoo.co.id Inti Sari Penelitian ini berusaha mengungkap kembali beberapa aspek tentang makna dalam tembang dolanan anak berbahasa Jawa, baik makna harfiah maupun makna filosofis serta muatan yang terkandung di dalamnya. Kajian mengenai makna tembang dolanan menggunakan teori genre dengan pendekatan struktural semiotik. Diharapkan, hasil penelitian ini dapat menjadi upaya pelestarian dan pengenalan kembali tembang dolanan kepada masyarakat, yang mungkin sudah jarang mendengarnya. Dalam upaya melestarikan warisan budaya ini diharapkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dapat berperan melestarikan tembang dolanan di sekolah terutama dalam pelajaran Bahasa Jawa dan Pelajaran Seni Daerah sebagai muatan lokal agar tembang dolanan tidak punah di zaman modern ini. Kata kunci: makna harfiah, makna filosofis, tembang dolanan, genre Abstract This research aims to reveal aspects about meaning in tembang dolanan anak in Javanese language, either literal or philosophy meaning in it. Research about meaning in tembang dolanan is conducted using genre theory and structural semiotic approach. Result is expected to be effort for preserving and reintroducing tembang dolanan to society. In order to preserve this heritage, it is expected for Dinas Pendidikan dan Kebudayaan to role in preserving tembang dolanan in schools, particularly in Bahasa Jawa subject and Pelajaran Seni Daerah as local content. Key words: literal meaning, philosophy meaning, tembang dolanan, genre PROSIDING 499 1. Pendahuluan Masyarakat Jawa memiliki kebudayaan yang adiluhung. Hasil-hasil kebudayaannya mulai dari peninggalan situs-situs purbakala, rumah joglo, tari-tarian, bahasa, hingga tembang. Tembang dalam budaya Jawa merupakan puisi yang dilagukan. Ada tembang-tembang yang memiliki aturan ketat dalam hal guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan persajakan. Ada pula tembang-tembang yang tidak beraturan, yakni tembang-tembang yang umumnya dinyanyikan anak-anak atau oleh orang tua untuk anak-anak dengan tujuan menimang, menghibur, atau meninabobokan. Tembang-tembang yang biasa didendangkan atau disenandungkan untuk meninabobokan dan menimang anak tersebut amat banyak, dikenal juga dengan istilah tembang dolanan. Tembang dolanan biasa dinyanyikan anak-anak sambil bermain-main dengan kawan-kawannya, di antaranya ketika bermain Jamuran, Cublak-Cublak Suweng, Sepuran, Gula Ganti, dan lain-lain. Anak-anak juga mengenal permainan teka-teki, seperti wangsalan, parikan, dan sebagainya. Permainan tradisional merupakan potret lagu dan permainan anak yang cocok untuk dikonsumsi kejiwaan. Jiwa anak akan terangsang mengikuti aliran bunyi dan gerak, hingga dapat mengambil nilai-nilai yang ada di dalamnya (Endraswara, 2009:66). Pada masa lampau secara tidak langsung, tembang dolanan ini digunakan untuk memberikan pendidikan moral kepada anak-anak. Bagi masyarakat Jawa sebuah tembang (lagu) tidak hanya sebatas lagu yang hanya memiliki nilai komersial, tetapi lebih mencerminkan watak atau karakter masyarakat Jawa, baik itu berupa kebudayaan, keadaan sosial, ajaran budi perkerti, atau sebuah doa dan harapan. Selain bertujuan untuk menghibur, secara tersirat tembang dolanan juga mengandung makna yang luhur. Mengajarkan moral melalui tembang-tembang dolanan ini tanpa disadari oleh anak-anak merasuk ke dalam jiwanya. Mereka akan menerimanya dengan suka cita. Penerimaannya akan berbeda dengan norma atau nilai yang diajarkan dengan petuahpetuah yang dogmatis, anak-anak akan cenderung menarik diri dan bersikap defensif. Namun, warisan agung ini hanya sayup-sayup terdengar pernah hidup dalam suatu masa pada masyarakat Jawa. Kini anak-anak dan remaja Jawa kurang mengenal berbagai ragam tembang dolanan tersebut karena tergerus oleh lajunya perkembangan zaman. Anak-anak sekarang lebih riuh dalam pergaulan jejaring sosial dunia maya, sedang dengan lingkungan sendiri asing. Penelitian ini berusaha mengungkap kembali beberapa aspek tentang makna teks yang tersirat dalam tembang dolanan anak berbahasa Jawa, baik 500 PROSIDING makna harfiah maupun makna filosofis, serta muatan yang terkandung di dalamnya. Adanya muatan-muatan filosofis tersebut secara tidak langsung tembang dolanan anak berbahasa Jawa menyimpan beragam nilai luhur yang berakar pada budaya bangsa Indonesia, terutama budaya Jawa. Dalam upaya membangun jati diri dan karakter bangsa, tembang dolanan perlu dikenalkan kepada generasi penerus bangsa yang akan melanjutkan tongkat estafet perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila mereka kurang mendapat pemahaman mengenai akar budaya bangsa ini bukan tidak mungkin generasi yang akan datang akan kehilangan jatidiri dan karakter yang berbudi luhur. Kekayaan bangsa ini jangan sampai diakuisisi oleh bangsa lain karena kelalaian sendiri, seperti yang pernah terjadi dengan lagu daerah Rasa Sayange yang telah diakuisisi sebagai milik bangsa Malaysia. Diharapkan penelitian ini dapat menjadikan upaya pelestarian dan pengenalan kembali tembang dolanan kepada mayarakat modern, yang mungkin sudah jarang mendengarnya khususnya para remaja yang lebih suka dengan jejaring dunia maya. Penelitian tentang tembang dolanan sudah pernah dilakukan, di antaranya oleh Sutarsih (2005) yang mengambil judul “Pendekatan Stilistik dalam Tembang Dolanan”. Penelitian yang dilakukan oleh Sutarsih mengungkap aspek stilistik dari tembang dolanan. Dengan analisis aspek stilistik dari tembang dolanan, dapat diperoleh pemahaman makna harfiah yang terkandung. Hal itu dilakukan dalam rangka menjembatani keterbatasan penguasaan kosakata bahasa Jawa oleh pelantun atau pembaca lirik tembang dolanan. Penelitian yang lainnya dilakukan oleh Suciwati (2001) dengan judul “Ideologi Gender dalam Tembang Dolanan”. Penelitian Suciwati dan kawankawan mengungkap masalah ideologi gender yang terdapat dalam lagu dolanan. Penelitian Suciwati menunjukkan adanya indikasi perbedaan gender, secara sangat tersirat, yakni dengan pemberian peran yang berlebih kepada lakilaki dibanding perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Dhanu (2002) dengan jujul “geguritan Tradisional dalam Sastra Jawa. Penelitian Dhanu dan kawan-kawan mengungkap masalah struktur formal dan makna geguritan tradisional. Penelitian yang dilakukan oleh Umi (2012) dengan judul “ Refleksi Filosofi Jawa dalam Tembang Dolanan”. Penelitian Umi dan kawan-kawan mengungkap masalah makna harfiah dan makna filosofi dalam tembang dolanan. Sementara itu, penelitian ini, selain bertujuan menginventarisasi dan mengenalkan kembali tembang dolanan, juga berusaha mendapatkan deskripsi yang lebih dalam mengenai makna, nilai dan fungsi tembang dolanan. PROSIDING 501 2. Masalah Permasalahan-permasalahan tersebut akan dibahas dalam satu kesatuan sehingga dihasilkan gambaran nilai, dan fungsi setiap tembang dolanan secara utuh. Adapun rumusannya adalah sebagai berikut. (1) Bagaimanakah makna harfiah dan makna filosofi dalam tembang dolanan? (2) Apa sajakah nilai dan fungsi yang terkandung dalam tembang dolanan? (3) Apa sajakah antisipasi aplikasinya dalam masyarakat modern? 3. Tujuan penelitian (1) Mengungkap makna harfiah dan makna filosofi dalam tembang dolanan. (2) Memahami nilai-nilai dan fungsi yang terkandung dalam tembang dolanan. (3) Membahas antisipasi aplikasinya dalam masyarakat modern. 4. Teori Lagu dolanan anak-anak atau geguritan tradisional Jawa adalah jenis sastra yang utuh khas, menuntut penelitian ini menggunakan teori genre atas dasar metode struktural semiotik. Adapun yang dimaksud dengan genre adalah suatu model penulisan yang berfungsi untuk menuntun aktualisasi penulisan sastra melalui prinsip-prisip pokok (Guillen, 1971:72; Wellek dan warren, 1956:226) melalui Dhanu. Dengan demikian, prinsip pencarian genre ditentukan selama proses pembacaan retroaktif yang menandai berbagai elemen struktur, baik struktur dalam maupun struktur luar, melalui praduga dan harapan—selama pembacaan teks—tentang genre-genre geguritan tradisional (Riffaterre, 1978: 5—6; Fowler, 1987: 104—105) melalui Dhanu. Puisi adalah struktur (tanda-tanda) yang bermakna (Pradopo, 2012:120121). Dalam pengertian struktur, puisi (dalam hal ini tembang dolanan) terdiri atas unsur-unsur yang tertata. Tiap-tiap unsur hanya mempunyai makna dalam kaitannya dengan unsur-unsur yang lain dalam stuktur itu secara keseluruhan (Hawkes, 1978:17-18). Sesuai dengan pengertian itu, analisis struktur adalah analisis puisi (tembang dolanan) ke dalam unsur-unsur dan fungsinya (dalam struktur tembang dolanan), dan penguraian bahwa tiap-tiap unsur mempunyai makna hanya kaitannya dengan unsur yang lain. Jadi unsur-unsur itu hendaknya dipahami sebagai bagian dari keseluruhan (tembang dolanan itu) Karya sastra (termasuk puisi) tidak lahir dari kekosongan budaya (Teeuw, 1981:11) . karya sastra ditulis oleh penyair tentu saja terikat pahampaham, pikiran-pikiran, atau pandangan-pandangan dunia masyarakat pada zamannya atau sebelumnya. Dengan kata lain, puisi tidak dapat terlepas dari situasi sosial-budaya yang melingkupinya. Puisi tidak lahir kekosongan yang 502 PROSIDING terjadi sebelumnya (tradisi). Semua hubungan itu sangat erat menetukan makna dan pemahaman atas puisi (geguritan). Oleh karena itu, agar strukturalisme dapat menjangkau data yang akan dianalisi, teori tersebut perlu digabungkan dengan dengan teori semiotik. Gabungan antara kedua teori itu disebut teori srukturalisme-dinamik (Teeuw,1983:63). Strukturalisme-dinamik adalah strukturalisme dalam kerangka semiotik. Dengan kata lain, strukturalisme –dinamik adalah strukturalisme dengan memperhatikan karya sastra sebagai sistem tanda. Sistem tanda ini mempunyai makna berdasarkan konvensi masyarak (bahasa) maupun konvensi sastra. Oleh karena itu, untuk pemaknaan puisi dalam pembahasan dipergunakan teori dan metode strukturalisme-semiotik. Denga teori tersebut, diharapkan gambaran sruktur dan makna tembang dolanan dapat tergambar secara lengkap dan komprehensif sehingga unsurunsur yang membangun keberadaan puisi tidak terpisah-pisah. Dengan adanya ketidakterpisahan antarunsur itu, makna puisi secara bulat dapat dipahami. Tembang dolanan merupakan jenis tembang atau lagu yang termasuk gagrak anyar, yang tidak menggunakan gatra, guru lagu, dan guru wilangan. Akan tetapi, lagu ini biasa dinyanyikan oleh anak-anak, terutama di pedesaan sambil bermain bersama dengan teman-temannya dan bisa diiringi gendhing. Melalui lagu dolanan, anak-anak diperkenalkan bab jenis-jenis hewan, tetumbuhan, kehidupan sosial, lingkungan alam, dan sebagainya. Kadangkala tembang dolanan juga dinyanyikan oleh waranggana saat suasana tertentu dalam pagelaran wayang. Menurut Prabowo dkk. (2012:296), lagu dolanan adalah puisi Jawa tradisional yang sering dinyanyikan anak-anak untuk mengiringi permainan yang mereka selenggarakan. Puisi jenis ini tidak terikat oleh peraturan khusus. Puisi yang berbentuk lagu dolanan anak-anak merupakan puisi bebas. Dalam perkembangannya, lagu dolanan anak-anak disebut juga dengan nama geguritan tradisional Jawa. Tembang dolanan termasuk dalam salah satu jenis folklor, yakni folklor lisan karena tembang dolanan dapat dikategorikan dalam nyanyian atau puisi rakyat (Danandjaja, 2002:141). Nyanyian rakyat dapat dibagi ke dalam beberapa subkategori lagi, yakni: (a) nyanyian kelonan yakni nyanyian yang mempunyai lagu dan irama yang halus tenang, berulang-ulang, ditambah dengan kata-kata kasih sayang sehingga dapat membangkitkan rasa santai, sejahtera, dan menimbulkan rasa kantuk bagi anak yang mendengarnya; (b) nyanyian kerja (working song), yakni nyanyian yang memunyai irama dan kata-kata yang bersifat menggugah semangat sehingga dapat menimbulkan rasa gairah untuk bekerja; (c) nyanyian permainan (play song), yakni nyanyian yang mempunyai irama gembira serta kata-kata lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan bermain (play) atau permainan bertanding (game) (Danandjaja, PROSIDING 503 2002:141). Namun, tembang dolanan Jawa kurang tepat jika hanya dikategorikan dalam nyanyian permainan ( play song) sebab bagi masyarakat Jawa tembang dolanan dapat mencakup nyanyian permainan, nyanyian yang membangkitkan semangat, dan nyanyian kelonan sehingga ketiga kategori tersebut termasuk dalam tembang dolanan. Jadi, penelitian ini tidak akan menggolongkan tembang dolanan hanya dalam subkategori nyanyian permainan. Lebih lanjut, penelitian ini akan mengupas makna dan muatan-muatan nilai yang terkandung dalam tembang dolanan. Yang dimaksud dengan nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan; sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya (Sugono, 2008:963). Sedangkan pengertian budi pekerti adalah tingkah laku perangai, watak, atau akhlak (Sugono, 2008:215). Mengacu pada pengetian nilai dan budi pekerti tersebut, maka pengertian nilai budi pekerti adalah tingkah laku, perangai, watak, akhlak yang baik, benar, dan berguna bagi kemanusiaan. Menurut Tarigan (1984:195), karya sastra memuat bermacam-macam nilai,yaitu (1) Nilai hedonik ialah nilai yang memberikan hiburan secara langsung; (2) Nilai artistik ialah nilai yang melahirkan seni atau ketrampilan seseorang dalam pekerjaan/kegiatan yang dilakukannya itu; (3) Nilai etis moral religius ialah nilai yang memancarkan ajaran dengan etika, moral, dan agama; serta (4) Nilai praktis ialah nilai yang dapat dilaksanakan dalam kehidupan seharihari. Sementara itu, Huck dkk (dalam Nurgiyantoro, 2005:36) mengemukakan bahwa nilai sastra anak secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu nilai personal (personal values) dan nilai pendidikan (educational values). Nilai personal dapat dirinci menjadi sejumlah subkategori nilai yaitu perkembangan emosional, perkembangan intelektual, perkembangan imajinasi, pertumbuhan rasa etis dan religius. Nilai pendidikan dapat dibagi menjadi lima subkategori yaitu eksplorasi dan penemuan, perkembangan bahasa, pengembangan nilai keindahan, penanaman wawasan multikultural, dan penanaman kebiasaan membaca. 5. Metode Penelitian Pada intinya penelitian ini dilakukan dalam tiga langkah penelitian, yaitu, (1) penyedian atau pengumpulan data, (2) analisis data, dan (3) penyajian hasil analisis data. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alamiah, dengan peneliti sebagai instrumen kunci. Pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snaw- 504 PROSIDING baal, teknik keabsahan data dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/deduktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono,2008:15). Dengan demikian, penelitian yang dihasilkan tidak bersifat generalisasi melainkan subtansi. Sumber data dalam penelitian ini diambil dari buku 65 Kumpulan Tembang Dolanan (2000) karangan Dwijawiyata, buku Puspa Sumekar (2002) karya Warih Jatirahayu dan Suwarna Pringgawidagdo, internet, serta majalah berbahasa Jawa. Keabsahan data dirujuk silang antara sumber data, peneliti sebagai instrumen utama penelitian, dan orang-orang di sekitar peneliti yang masih memahami tembang-tembang dolanan. Hal itu didasarkan peneliti juga merupakan penutur asli bahasa Jawa yang lahir dan menetap di Jawa Tengah. Teknis analisis data dalam penelitian ini bersifat interdisipliner, artinya cara menganalisis sebuah folklor dengan mengaitkannya dengan unsur kebudayaan atau bentuk (genre) folklor lainnya. Teknik ini dipandang dapat membantu merekontruksi watak bangsa (Endraswara, 2009:108). 6. Pembahasan 6.1 Tembang Dolanan “É, Dhayohé Teka” Syair tembang dolanan “É, Dhayohé Teka” adalah sebagai berikut. É, Dhayohé Teka É, Dhayohé Teka, é, gelarna klasa É, Klasané bedhah, é, tambalen jadah É, jadahé mambu, é, pakakna asu É, asuné mati, é, buwangen kali É, kaliné banjir, é, buwangen pinggir Lirik tembang dolanan yang berjudul ‘E, Dhayohe Teka’ tersebut, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut. E, Tamunya Datang E, tamunya datang, e, gelarkanlah tikar E, tikarnya rusak, e, tambal dengan jadah E, jadahnya bau, e, berikanlah pada anjing E, anjingnya mati, e buanglah ke sungai E, sungainya banjir, e, buanglah di pinggir Menurut Endraswara (2006), tembang dolanan tersebut menggambarkan filsafat yang berkaitan dengan siklus kelahiran manusia. Kata dhayoh ‘tamu’ secara filosofis dapat diartikan ‘telah lahir seorang bayi’. Bayi yang baru lahir itu kemudian ditaruh di atas tikar untuk dirawat, sejak awal sampai ia memasuki alam berumah tangga. Kata klasa ‘tikar’ secara filosofis berarti bumi atau tempat (alam semesta) untuk hidup. Alam raya ini tidak selamanya PROSIDING 505 memberikan kenikmatan tetapi juga kadang-kadang menerima musibah atau kesusahan. Musibah atau kesusahan yang muncul di dunia ini dilambangkan dengan kata bedhah ‘rusak’. Oleh karena itu, kewajiban orang hidup adalah menjaga supaya papan itu tetap dalam keadaan tertata dan tenteram. Untuk menjaga keadaan yang tenteram, manusia harus berikhtiar. Ikhtiar tersebut digambarkan dengan cara selalu menambal bagian-bagian tikar yang bedhah ‘rusak’. Bagian yang rusak itu ditambal dengan jadah ‘juadah’. Dalam larik-larik berikutnya kalau juadah itu bau hendaklah diberikan pada anjing, kalau anjingnya mati mati hendaklah dibuang di sungai. Larik-larik itu merupakan filsafat yang meberikan petunjuk bahwa papan yan di temapti ‘bayi yang baru lahir tersebut rusak’ (sudah berbau) akibat godaan hawa nafsu (nafsu hewan: anjing). Untuk menghilangkan sesuatu yang tidak enak harus dicuci di sungai yag airnya selalu mengalir. Air yang mengalir ini merupakan gambaran pikir-nalar yang dapat membersihkan nafsu. Oleh karena itu, kalau sungainya banjir (pikiran sedang tidak tenteram) jangan mencoba bertindak untuk membuang nafsu. Untuk dapat membuang nafsu, orang harus dalam keadaan yang tenang, dan untuk mencapainya harus ditempuh dengan laku ‘upaya yang bersifat mistis’, yaitu dengan selalu waspada 6.2 Tembang Dolanan “Sluku-Sluku Batok “ Syair tembang dolanan “Sluku-Sluku Batok “ adalah sebagai berikut. Sluku-Sluku Batok Sluku-sluku bathok Bathoké éla-elo sluku-sluku bathok Bathoke éla-elo Si Rama menyang Solo Olèh-olèhé payung motha Mak jenthit lolo lobah Wong mati ora obah Nèk obah medèni bocah Nèk urip golèka dhuwit. Lirik tembang dolanan yang berjudul ‘Sluku-sluku Bathok’ tersebut apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut. Duduklah seperti batok ‘Duduklah seperti batok’ ‘Batoknya bernyanyi’ ‘Duduklah seperti batok’ ‘Batoknya bernyanyi’ ‘Si bapak pergi ke Solo’ ‘Oleh-olehnya payung layar’ 506 PROSIDING ‘Mak jenthit lo lo bah’ ‘Orang mati tidak bergerak’ ‘Kalau bergerak membuat anak takut’ ‘Kalau hidup carilah uang’ Tembang dolanan tersebut di atas bukan hanya sekedar puisi yang dinyanyikan anak-anak sewaktu terang bulan melainkan puisi yang di dalamnya terdapat ajaran mengenai ketuhanan. Menurut Endraswara (2006). Geguritan itu dapat ditelusur dari segi sufisme Jawa, yaitu filsafat Jawa yang sudah terpengaruh oleh ajaran Islam sehingga berbau mistik. Larik yang berbunyi sluku-sluku bathok berkaitan dengan ‘husluk-ghusluk batnaka’ yang berarti ‘bersihkan batinmu’. Manka dari larik itu adalah berupa perintah agar mencegah hawa nafsu terutama berkaitan dengan isi perut karena perut merupakan gambaran mengenai mikrokosmos. Di samping itu, membersihkan perut juga dapat berarti menyucikan hati dengan menyebut lafal bathoké éla-elo ‘batnaka lailaha ilallah’ yang berarti tidak ada Tuhan selain Allah. Larik itu pada hakikatnya merupakan kalimat tauhid yang dalam dan dalam sufisme Jawa diseyogiakan agar ketika berdzikir dengan mengucapkan lailaha ilallah. Hal ini berarti ketika membersihkan batin disertai dengan falsafah eling ‘sadar’. Degan langkah itu, manusia akan selalu menyadari bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT. Kalimat tauhid tersebut dalam agama Islam disebut kalimat Syahadat, yaitu dirinya mempercayai tidak ada Tuhan selain Allah dan mengakui kalau Muhammad SAW merupakan utusan Allah. Larik yang berbunyi Si rama menyang Solo berkaitan dengan ‘siruma yasluka’ dari kata salaka yang berarti ‘berjalanlah’ di jalan yang dijalani oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, percaya terhadap sunah-sunah rasul. Di dalam mengimani sebuah keyakinan tidak cukup hanya disertai dengan sikap eling ‘sadar’ saja karena masih perlu digenapi dengan larik leholehe payung motha ‘la ilaha ilallah hayun wal mauta’. Artinya, selalu lafalkanlah ‘la ilaha ilallah’ sejak dini sampai akhir hayat agar mendapatkan kematian yang khusnul khotimah. Di dalam falsafah kehidupan orang Jawa, hal itu mempunyai makna yang mengisyaratkan agar seseorang menjadi ‘manusia sempurna’. Sampai pada tataran tersebut, manusia belum dapat mencapai kesempurnaan kalau belum dapat melakukan seperti yang tertera pada larik mak jenthit lo lo bah ‘mandzolik moqorobah”. Kata mandzolik berasal dari kata mandzalika yang berarti berhati-hatilah dengan kesalahanmu. Menurut Endraswara (2006) kata moqorobah dapat diartikan ‘ instropeksi, mawas diri’, atau ‘meneliti segala kesalahan yang pernah diperbuat. Dengan demikian, dari larik tembang dolanan tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa PROSIDING 507 manusia hidup harus selalu dapat mengoreksi diri dan mengakui kesalahan yang diperbuatnya. Di dalam filsafat orang Jawa, hal ini dapat diartikan sebagai pertobatan. Orang yang mau mengakui kesalahan yang telah dilakukannya dapat disebut sebagai satriya pinandhita ‘satria yang berwatak pendeta atau orang yang mempunyai kelebihan’. Orang yang berwatak satriya pinandhita selalu mendasari dirinya dengan sikap religius. Hal itu diungkapkan dalam larik wong mati ora obah ‘hayun wal mauta inalillah’. Artinya , mati dan hidup hanya milik Allah. Dalam filsafat orang Jawa, manusia harus sudah mengetahui sangkan paraning dumadi ‘ asal dan tujuan orang hidup’. Hal ini tergambar dalam larik nek mati ora obah ‘ mahabatan mahrojuhu taubatan’ yang berarti hendaklah berbakti kepada Allah agar dicintai. Agar dicintai Allah, manusia harus ‘mahrojuhu’ yang artinya mencari jalan terang melalui cara pertobatan. Dengan bertobat, manusia diharapkan dapat mendekat pada Allah. Di samping itu, ia harus mengetahui tujuan hidup manusia melalui manunggaling kawula lawan Gusti ‘bersatunya manusia denganTuhan’. Untuk mencapai tataran itu, manusia harus selalu pasrah sumarah ‘ pasrah denan segenap hati’ terhadap kodratnya. Agar dapat pasrah dengan segenap hati, manusia harus memahami arti kehidupan seperti yang tergambar dalam larik nek urip goleka dhuwit ‘yasrifu innal khalagnal insan min main dhofiq’. Kata yasrifu berarti bahwa hidup manusia dapat mencapai kemulian dengan cara selalu mengingat dan mengerti kalau hidupnya sebenarnya selalu dalam perintah (dari Tuhan) untuk memahami hidup dan matinya. Oleh karena itu, manusia tidak diperkenankan sombong. 6.3. Tembang Dolanan “JaranTeji”. Jaran Tèji Jaranan- jaranan, jarané jaran tèji Sing nunggang ndara Bèi, sing ngiring para mantri Jrèk-jrèk nong, jrèk-jrèk gung, jrèk-jrèk gedebug krincing Gedebug jedhèr, prog­prog gedebug jedhèr Jaranan-jaranan, jarane jaran tèji Sing nunggang ndara Bèi, sing ngiring para mantri Jrèk-jrèk nong, jrèk-jrèk gung, jrèk-jrèk turut lurung Syair tembang dolanan yang berjudul ‘Jaranan’ tersebut apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah: Kuda Teji Berkuda, berkuda, kudanya teji yang naik Tuan Bei yang mengiring para mantri Jrek-jrek nong, jrek-jrek gung, jrek-jrek gedebuk krincing gedebug jedher, prog-prog gedebug jedher 508 PROSIDING Berkuda, berkuda, kudanya teji yang naik Tuan Bei yang mengiring para mantri Jrek-jrek nong, jrek-jrek gung,jrek-jrek sepanjang jalan kecil Dalam tembang dolanan yang berjudul “Jaran Teji” ini menggambarkan nilai kebersamaan antara majikan dan bawahan. Kebersamaan seorang majikan dan bawahan yang saling membutuhkan, dan saling membantu yaitu seseorang yang lebih tinggi kedudukannya ternyata membutuhkan seserang yang lebih rendah kedudukannya, demikian pula seseorang yang lebih rendah kedudukannya juga membutuhkan seseorang yang lebih rendah kedudukannya. Kedudukan yang tinggi tersebut diibaratkan ndara Bei yang membutuhkan pengawalan dari para mantrinya yang dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah. Itulah kebersamaan antara ndara Bei dan para mantri yang menunjukkan nilai kebersamaan antara bawahan dan atasan. Penggambaran nilai kebersamaan tersebut tersirat dalam syair berikut. Jaranan- jaranan, jarane jaran teji sing nunggang ndara Bei sing ngiring para mantri Budaya Jawa telah mengajarkan bahwa seseorang yang mempunyai kedudukan yang lebih rendah harus menghormati orang yang berkedudukan lebih tinggi. Hal itu dapat dilihat dalam syair sing numpak ndara Bei sing ngiring para mantri. Dalam syair tersebut ndara Bei dianggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari para mantrinya, karena sebutan ndara Bei hanya digunakan untuk menyebutkan seseorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan keturunan ningrat. Apalagi ditunjang dengan tunggangannya kuda yang tinggi besar yang harus diiringi oleh para mantrinya. Oleh karena itu, tugas para mantri adalah mengawal ndara Bei tersebut. Dalam hal ini, jelaslah bahwa nilai budi pekerti yang harus ditanamkan adalah sikap menghormati yang lebih tua atau yang lebih tinggi kedudukannya. 6.4. Tembang Dolanan “Tak Lélo-Lélo Ledhung” Tak Lélo-Lélo Ledhung Cup menengo aja pijer nangis anakku sing ayu/bagus rupané nèk nangis ndak ilang ayuné/baguse tak gadang bisa urip mulya dadiyo wanita/priyo kang utama ngluhurké asmané wong tua dadiyo pendekaring bangsa cup menengo anakku cah ayu/bagus PROSIDING 509 kaé mbulané ndadari kaya ndas butho nggilani agi nggolèki cah nangis tak lélo lélo lélo ledhung cup menenga anakku cah ayu/bagus tak emban nganggo bathik kawung yèn nangis mundhak gawé bingung tak lélo lélo lélo ledhung srengéngé nyunar kanthi mulya anginé midid klawan rena manuké ngocèh ono ing wit-witan kéwane nyegrut ono ing pasuketan kabèh padha muji Allah kang mulya kabèh padha muji Allah kang mulya Syair tembang dolanan yang berjudul ‘Tak Lélo Lélo Lédhung’ tersebut apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah: Tak Lélo-Lélo Ledhung Diamlah jangan selalu nangis Kalau nangis nanti hilang ayune/baguse Tak gadang dapat hidup mulia Jadilah wanita atau pria yang utama Memuliakan namanya orang tua Jadilah pendekarnya bangsa Diamlah anakku yang cantik atau yang bagus Itu rembulannya terbit seperti kepala butho atau raksasa yang menakutkan lagi mencari anak nangis Tak Lélo-Lélo Ledhung Diamlah anakku yang cantik atau manis Tak gendong pakai batik kawung Kalau menangis membuat bingung Tak Lélo-Lélo Ledhung matahari menerangi dengan mulia anginnya semilir dengan senang burungnya bersiul di pohon-pohon hewannya makan rumput di rerumputan semua sama memuji Allah yang mulia semua sama memuji Allah yang mulia Tembang dolanan Tak Lélo-Lélo Ledhung adalah sejenis lagu yang dibuat untuk meninabobokan anak biar tidur dan tidak menangis. Terbukti dengan 510 PROSIDING dinyanyikan lagu tersebut anak tidak menangis dan bisa tidur. Dengan dinyanyikannya lagu Tak Lélo-Lélo Ledhung ini menandakan bahwa ada ikatan batin seorang ibu terhadap anaknya. Nilai yang terkandung dalam tembang dolanan Tak Lélo-Lélo Ledhung adalah: 6.4.1 Nilai Kasih Sayang Dalam budaya Jawa tembang yang berjudul Tak Lélo-Lélo Ledhung Ledhung itu sangat akrab sekali dinyanyikankan orang tua kepada anaknya untuk menunjukkan betapa sangat sayang dan cintanya orang tua terhadap anaknya. Lagu tersebut menunjukkan keeratan orang tua terhadap anaknya seperti dalam syair berikut. Tak Lélo-Lélo Ledhung Diamlah jangan selalu nangis Kalau nangis nanti hilang ayune/baguse Tak gadang dapat hidup mulya Jadilah wanita atau pria yang utama Memuliakan namanya orang tua Jadilah pendekarnya bangsa Di samping nilai kasih sayang, dengan dinyanyikan tembang Tak LéloLélo Ledhung menandakan betapa eratnya hubungan seorang anak dengan orang tuanya. Orang tua jaman dulu lebih mengutamakan anak dari pada karir. Ibu-ibu zaman dulu lebih mengutamakan mengurus rumah tangga khususnya memelihara anak dari bayi hingga dewasa. Lain dengan ibu- ibu di zaman modern lebih mengutamakan karir daripada mengurus anak. Terbukti anak-anak sekarang lebih banyak tinggal samapembantu daripada sama orang tuanya. Ibu- ibu di jaman modern ini mungkin tidak kenal dengan syair tembang dolanan Tak Lélo-Lélo Ledhung, apalagi menyanyikannya lebih tidak bisa. Anak- anak sekarang ini mengenal lagu tembang dolanan hanya lewat guru di sekolahan, itu saja bila guru keseniaannya mengajarkan bila tidak ya anak tidak akan tahu. Tapi lain dengan ibu yang terlahir di desa kemungkinan besar masih bisa menyanyikan tembang dolanan Tak Lélo-Lélo Ledhung. Di dalam syair itu, juga terdapat harapan orang tua terhadap masa depan anaknya. Harapan orang tua biar anak-anaknya nanti dapat hidup mulia, jadi wanita atau pria yang baik dan dapat menjadi pahlawan bangsa yang bisa mengharumkan nama orang tua. 6.4.2 Nilai Religius Menurut Atmosuwito yang termasuk dalam kriteria-kriteria religius dalam karya sastra adalah penyerahan diri, tnduk, dan taat kepada Tuhan; kehidupan yang penuh kemuliaan; perasaan batin yang ada hubungannya dengan PROSIDING 511 Tuhan; perasan batin yang ada hubungannya dengan rasa berdusa; perasaan batin yang ada hubungannya dengan rasa takut; dan pengakuan akan kebesaran Tuhan. Larik dalam tembang dolanan ini menggambarkan adanya pengakuan akan kebesaran Tuhan yaitu Allah sebagai sang pencipta alam semesta ini telah memberikan anugerah kepada ciptannya. Matahari adalah ciptaan Allah yang diperuntukkan bagi manusia buat penerangan pada siang, tanpa matahari dunia serasa gelap gulita seperti pada syair srengenge nyunar kanthi mulya. Kebesaran sang pencipta juga tercermin dalam larik berikutnya yaitu Tuhan menciptakan angin untuk memberikan kesejukan pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan di alam semesta ini. Dengan diciptakannya tumbuhtumbuhan tersebut hewan-hewan dapat makan rumput dan daun- daun dari tumbuh-tumbuhan itu, seperti pada syair berikut. tak lélo lélo lélo lédhung srengéngé nyunar kanthi mulya anginémidid klawan rena manuké ngocèh ono ing wit-witan kewané nyegrut ono ing pasuketan kabèh padha muji Allah kang mulya kabèh padha muji Allah kang mulya 6.5. Nilai Budi Pekerti dalam Tembang Dolanan 6.5.1 Nilai Budi Pekerti yang terdapat dalam tembang dolanan “E Dhayohe Teka” Tamu harus dihormati, karena ada pepatah bahwa tamu itu ratu maka harus dihormati dan dihargai (ana bebasan tamu iku ratu, mula kudu di ajeni) ; tata cara menghormati tamu, yang punya rumah berusaha dengan berbagai cara agar tamu senang; orang yang hidup tidak perlu takut untuk menghadapi ujian hidup dan penghalang; orang yang hidup berusaha atau ikhtiar untuk bisa hidup dan menghidupi keluarganya. 6.5.2 Nilai Budi Pekerti yang terdapat dalam tembang dolanan “SlukuSluku Batok” Orang harus tahu kekurangannya sendiri; orang harus beribadah dengan khusuk’ dan selalu ingat akan sang pencipta serta melakukan semua perintahNya dan menghindari segala larangan-Nya.; semua itu untuk bekal bila mati; semua orang pasti mati maka jangan hanya memikitrkan dunianya saja atau hanya selalu mencari uang tanpa memikirkan akhirat. 6.5.3 Nilai Budi Pekerti tembang dolanan yang berjudul “Jaran Teji” Bawahan harus menghormati pimpinan, dapat menjaga keselamatan pimpinan, bisa menghargai dan menghormati orang yang lebih luhur atau 512 PROSIDING lebih tinggi baik pangkatnya, umurnya, maupun kedudukkannya, mengerti akan kewajibannya sendiri, dan bisa mengerti derajat kedudukkannya sendiri atau introspeksi diri. 6.5.4 Nilai Budi Pekerti tembang dolanan yang berjudul “Tak LéloLélo Ledhung” Ikatan batin dan eratnya hubungan orang tua terhadap anaknya, harapan orang terhadap masa depan anaknya, selalu mengucapkan syukur kepada sang pencipta. 6.6. Antisipasi Aplikasi Tembang Dolanan dalam Masyarakat Modern Tembang dolanan ini merupakan warisan budaya yang pernah hidup dalam suatu masa pada masyarakat Jawa. Pada masa kini anak-anak dan remaja Jawa kurang mengenal berbagai ragam tembang dolanan tersebut karena tergerus oleh lajunya perkembangan zaman. Anak-anak dan remaja sekarang lebih riuh dalam jejaring sosial dunia, sedang dengan lingkungan sendiri asing. Namun begitu, tembang dolanan ini juga masih kita temui dalam buku pelajaran sekolah. Di masyarakat pedesaan pun juga masih kita temukan tembang dolanan yang dilantunkan seorang bapak dan seorang kakek untuk menimang anak dan cucucnya. Tembang dolanan perlu diajarkan pada generasi penerus bangsa karena dalam tembang dolanan banyak mengandung nilai budi pekeri, kerendahan hati, cinta sesama dan nilai-nilai luhur. Bagi masyarakat modern tembang dolanan ini terasa asing di telinga mereka, dan kebanyakan remaja sekarang hanya satu dua yang tahu akan tembang dolanan, itu pun didapat dari bangku sekolah. Tetapi ada juga yang langsung mendengar dari orang tua mereka dan rata-rata orang tua yang ada di pedesaan. Untuk mengantisipasi supaya tembang dolanan ini tidak hilang ditelan zaman, sekolah-sekolah yang muatan lokalnya bahasa Jawa untuk selalu mempertahankan kelestarian tembang tersebut. Selain itu, Daerah Istimewa Yogyakarta yang terkenal dengan budaya jawanya mendirikan rumah budaya yang fungsinya untuk menampung karyakarya yang berbahasa Jawa, Balai Bahasa Yogyakarta juga turut melestarikan kekayaan yang luhur itu dengan cara menampung karya-karya sastra Jawa baik dari kalangan sastrawan, guru, dosen, mahasiswa yang dipublikasikan dalam majalah Pagagan yang dikelola Sanggar Sastra Jawa. 7. Simpulan dan Saran 7.1 Simpulan 1. Tembang donanan yang berjudul “E Dhayohe Teka” mengandung makna yang berkaitan dengan ketuhanan, fungsinya untuk memberikan pendidikan kepada pembacanya agar lebih dekat dengan Tuhan. Dalam TemPROSIDING 513 2. bang dolanan yang berjudul “Sluku-Sluku Batok” mengandung makna yang berkaitan dengan ketuhanan, fungsinya untuk memberikan pendidikan kepada pembaca untuk selalu ingat kepada Tuhan. Tembang dolanan “Jaran Teji” mengandung nilai kebersamaan, nilai menghormati yang lebih tinggi kedudukannya dan fungsinya sebagai alat pendidikan dan menghibur, sedangkan dalam tembang dolanan “Tak Lélo-Lélo Ledhung” mengandung nilai kasih sayang dan nilai religius, fungsinya untuk meninabobokan anak biar tidur biasanya anak digendong kemudian orang tua menyanyikan tembang tersebut. Untuk mengantisipasi aplikasinya dalam masyarakat modern Daerah Istimewa Yogyakarta mendirikan rumah budaya guna menampung karyakarya sastra Jawa agar tidak punah. Balai Bahasa Yogyakarta juga turut berperan serta untuk menjadi wadah karya-karya satra Jawa tersebut yang dimuat dalam majalah Pagagan yang dikelola oleh Sanggar Sastra Jawa. 7.2 Saran Untuk melestarikan warisan budaya yang agung ini, diharapkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dapat berperan melestarikan tembang dolanan anak ini di sekolah-sekolah terutama dalam pelajaran Bahasa Jawa dan pelajaran Seni Daerah sebagai muatan lokal agar tembang dolanan tidak punah di zaman modern ini. Daftar Pustaka Atmo Suwito, Subijantoro.1987. Perihal Sastra dan Relegiusitas dalam Sastra. Bandung: Sinar Baru Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia: Ilmu Gosi, Dongeng, dan lain-lain. PT Pustaka Utama Grafika: Jakarta Dwijawiyata. 2000. 65 Tembang Dolanan. Kanisius: Yogyakarta Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklor:Konsep, Teori, dan Aplikasi. PT Buku Kita: Jakarta. —————. 2006. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spritual Jawa. Yogyakarta: Narasi. Jatirahayu, Warih dan Suwarna Pringgawidagda. 2002. puspa Sumekar: Budi Pekerti ing Lagu Dolanan Anak. CV Grafika Indah : Yogyakarta Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gama Press. Prabowo, Dhanu Priyo. dkk. 2010. Ensiklopedi Sastra Jawa. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta. 514 PROSIDING ———— dkk. 2002. Geguritan Tradisional dalam Sastra Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa. Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suciwati dkk. 2001. Ideologi Gender dalam Tembang Dolanan. Penelitian Tim (Tidak Diterbitkan. Balai Bahasa Semarang. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. ..............: Alfabeta. Sugono, Dendy, dkk. 2008.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Sutarsih. 2005. Pendekatan Stilistik dalam Tembang Dolanan. Penelitian Mandiri (Tidak diterbitkan). Balai Bahasa Semarang. Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Teeuw, A. 1981. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya. ————. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Umi dkk. 2012. Refleksi Filosofi Jawa dalam Tembang Dolanan. Penelitian Tim (Tidak Diterbitkan). Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah. PROSIDING 515 516 PROSIDING SIKAP “MENANG TANPA NGASORAKE”, SEBUAH TINJAUAN PSIKOLOGIS TERHADAP NOVEL BERBAHASA JAWA DOKTER WULANDARI Yohanes Adhi Satiyoko Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta Inti Sari Penelitian ini berusaha untuk menjelaskan perkembangan perwatakan tokoh Wuladari dalam novel berbahasa Jawa Dokter Wulandari. Perkembangan perwatakan tersebut akan diuraikan melalui pembahasan secara psikologi melalui analisis psikologi Terry Eagleton dan teori penokohan Franco Imoda. Pembahasan perkembangan perwatakan tokoh utama, Wulandari tersebut bertujuan mengungkap latar belakang permasalahan yang dihadapi Wulandari selama hidup di panti asuhan serta menunjukkan cara-cara Wulandari mengatasi masalah yang bersumber dari permasalahan status sosial tetapi dengan cara akademik. Secara psikologi, perkembangan pemikiran dan sikap Wulandari ditunjukkan dari caranya mengatasi neurosis yang dialaminya sampai dengan keberhasilan mencapai gelar dokter. Dalam perjuangan Wulandari tersebut, faktor keluarga, status sosial, dan latar belakang akademik menjadi pembahasan yang membantu penjelasan perkembangan perwatakan Wulandari secara akademik. Keberhasilan “perjuangan” Wulandari tersebut digambarkan sebagai “menang tanpa ngasorake” dalam pemahaman orang Jawa. Kata kunci: keluarga Jawa, status sosial, neurosis, akademik, psokologi Abstract This research aims to explain characterization development of main character, Wulandari in Javanese language novel, Dokter Wulandari. The characterization development will be discussed psychologically through psychoanalysis of Terry Eagleton and characterization theory of Franco Imoda. Characterization discussion of main character, Wulandari aims to reveal background problem faced by Wulandari along her life in an orphanage and to show ways of Wulandari overcoming her problem originated from social status PROSIDING 517 academically. Psychologically, Wulandari way of thinking development is shown from her way of overcoming neurosis she experienced until she succeeded in reaching doctor title. In Wulandari’s struggles, family factor, social status, and academic background are conducted to support development of Wulandari characterization academically. Success of Wulandari’s “struggle” is illustrated as “menang tanpa ngasorake” attitude in Javanese understanding. Key words: Javanese family, social status, neurosis, academic, psychology 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Konflik selalu muncul dalam perjalanan kehidupan manusia.Dalam pandangan Nietszhe, “setiap kita selalu terlibat dalam permainan besar kehidupan dan drama dunia, meskipun aturan dan tujuanterbaiknya masih abu-abu” (Makaryk, 1993: 66). Menyitir pertanyaan Nietszche tersebut, manusia tidak akan pernah lepas dari konflik. Beraneka caramenghadapi dan menyelesaikan konflik menjadi sebuah dinamika kehidupan yang menunjukkan eksistensi manusia. Keberadaan atau eksistensi manusia dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dilihat dari berbagai parameter, seperti kekayaan, derajat pendidikan, ataupun status sosial. Sifat manusia yang “homo homini lupus” inilah yang secara harafiah dan batiniah menimbulkan konflik, baik antar individu, dengan diri sendiri, ataupun individu dengan alam.Inilah yang kemudian menjadi sebuah “permainan besar kehidupan” dan “drama dunia”. Konflik, dalam karya sastra, merupakan salah satu unsur yang membangun alur cerita. Konflik hadir melalui berbagai cara di dalam karya sastra, diantaranya konflik antartokoh, konflik tokoh melawan alam, dan konflik tokoh melawan dirinya sendiri. Konflik dalam alur cerita mampu mencerminkan fakta kemanusiaan dalam budaya masyarakat tertentu.Di dalam kebudayaan masyarakat Jawa terdapat berbagai pranata sosial. Di dalam pranata sosial, masyarakat berinteraksi satu sama lain dan, seharusnya, tidak membedakan golongan serta status sosial. Status sosial yang masih dikenal dalam kebudayaan Jawa adalah priyayi atau biasa dikenal dengan bangsawan keturunan raja dan wong cilik atau masyarakat kebanyakan. Priyayi merupakan kelompok orang Jawa yang cenderung menghindari aktivitas fisik, dunia material, dan cenderung berurusan dengan masalah penataan dunia spiritual, seperti pengendalian emosi, kegiatan mistik, dan perenungan filosofis mengenai hakikat kehidupan. Hal ini memang amat mungkin untuk mereka lakukan sebab dalam sistem pembagian kerja masyarakat Jawa mereka mendapat tugas sebagai penguasa, pemerintah, dan birokrat-birokrat yang kebutuhan ekonominya dipenuhi oleh wong cilik (Geertz, 1981: 7; 307-308). Menyitir uraian Geertz, 518 PROSIDING priyayi dapat diasumsikan sebagai kaum eksklusif, berbeda, dan lebih terhormat dari kelas sosial lainnya. Di sisi lain, Geertz (1981:6) menggambarkan bahwa wong cilik adalah kelompok orang yang tidak mungkin melepaskan dari dunia material dan kegiatan jasmani mereka, karena mereka adalah kelompok petani di pedesaan. Dengan demikian, wong cilik pun dianggap tidak mampu mengolah batin mereka. Lebih lanjut Geertz (1981:317) juga menyebutkan bahwa wong cilik juga mempunyai sikap tidak sopan santun serta mempunyai ketakteraturan dalam memelihara anak. Salah satu masalah yang muncul karena ketakteraturan itu adalah perceraian. Bagi priyayi, perceraian merupakan hal yang memalukan serta menurunkan derajat sosial mereka. Peristiwa perceraian menunjukkan kurangnya budi pekerti dan kemampuan mengendalikan diri orang yang mengalaminya (Geertz, 1983: 144-145). Relasi priyayi-wong cilik ini tidak hanya muncul dalam strata sosial saja, melainkan juga dipahami sebagai pedoman untuk bersikap bagi sebagian orang di luar kedua kelompok sosial tersebut.Kehidupan priyayi menjadi sebuah idealisme dan pedoman untuk hidup lebih baik dan terhormat. Tentu saja, pemenuhan kebutuhan akan kehidupan priyayi tersebut menimbulkan oposisi relasional, dengan kehidupan wong cilik. Relasi oposisi dalam pemenuhan kebutuhan hidup inilah yang berpotensi menimbulkan konflik antar kedua strata sosial tersebut. Konflik dalam relasi kehidupan priyayi-wong cilik muncul dalam berbagai karya fiksi, baik yang berlatar masyarakat Jawa tradisional maupun masyarakat Jawa modern. Salah satu novel berbahasa Jawa yang menggambarkan konflik dalam relasi strata sosial priyayi-wong cilik dalam masyarakat Jawa modernis adalah novel berbahasa Jawa Dokter Wulandari karangan Yunani yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1987.Dokter Wulandari dipilih karena isi ceritanya dianggap mempunyai “nilai” yang dapat diuraikan sebagai sebuah pengetahuan bagi pembacanya melalui pembahasan perwatakan tokoh utamanya. Artinya, karya tersebut meskipun sederhana, tetapi mampu menguraikan beragam pengalamanmanusia baik dalam dimensi perseorangan maupun dimensi sosial (Suwondo, 2011: 5). Novel Dokter Wulandari(DW) berkisah tentang seorang perempuan bernama Wulandari yangsejak kecil hidup di Panti Asuhan Kartini di Tuban. Ketika bersekolah di SMA, Wulandari berpacaran dengan Bambang Trisula, tetapi tidak mendapat restu dari orang tua Bambang Trisula. Kegagalan menjalin hubungan dengan pria yang dicintai Wulandari terjadi lagi ketika Wulandari kuliah di Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga.Hubungan Wulandari dengan Rudi kandas juga, karena orang tua Rudi tidak merestui hubungan mereka. Lebih menyakitkan hati Wulandari, karena keluarga Bambang Trisula PROSIDING 519 dan Rudimenganggap derajat dan status sosial Wulandari jauh di bawah status sosial mereka sebagai orang kaya dan bangsawan.Wulandari dianggap sebagai orang yang berasal dari kelas sosial paling rendah, wong cilik. Penolakan dan kegagalan hubungan percintaan Wulandari dengan pemuda-pemuda idamannya telah menyebabkannya dirinya sakit hati dan menyesali keadaan yang menimpa dirinya. Namun, keterpurukan Wulandari tersebut tidak berlangsung lama. Dia segera sadar bahwa dia harus lebih fokus terhadap kuliahnya daripada memikirkan hubungan percintaannya yang pernah gagal. Berbekal tekad dan keyakinan yang kuat untuk menyelesaikan kuliahnya, Wulandari berhasil memperoleh gelar dokter dengan predikat cumlaude di Universitas Airlangga. Konflik batin dan latar belakang yang memicu timbulnya konflik tersebut serta titik balik dan ideologi yang menyebabkan Wulandari mampu mengatasi masalah hidupnya menjadi pokok bahasa dalam analisis ini. 1.2 Tinjauan Pustaka Novel Dokter Wulandari terbitan Balai Pustaka tahun 1987, sebelumnya adalah cerita bersambung yang pernah dimuat majalah Jaya Baya dalam 17 episode dari bulan oktober 1983 sampai dengan Januari 1984. Selain itu, Dokter Wulandari juga pernah dimuat dalam disertasi George Quinn (1995) sebagai contoh novel yang memaparkan permasalahan mengenai orang tua problematik. Quinn menunjukkan bahwa permasalahan orang tua menjadi dominan dalam pengembangan konflik tokoh utama Wulandari. Selain itu, Dokter Wulandari juga pernah diteliti oleh Drs. Suwardi pada tahun 1992 dengan judul “Refleksi Konsep Bibit, Bobot, dan Bebet dalam Novel Dokter Wulandari.” Konsep yang dipaparkan Suwardi menekankan pada situasi sosial dalam balutan tata nilai Jawa. 1.3 Masalah Penelitian Penelitian ini berusaha melihat permasalahan dalam perkembangan perwatakan tokoh utama, Wulandari. Permasalahan ini mengerucut pada beberapa hal yang menjadi titik sorot pembahasan, seperti peran keluarga, sebab-sebab yang menimbulkan konflik batin bagi Wulandari, serta ideologi perkembangan perwatakan Wulandari yang menyebabkannya mampu mengubah “kekurangan” menjadi sebuah “kelebihan” (inferioritas menjadi superioritas). Pembahasan dalam penelitian ini akan difokuskan pada latar belakang permasalahan yang dialami Wulandari, perkembangan perwatakan yang dialami Wulandari dalam menyelesaikan masalah hidupnya, dan ideologi yang mendasari perubahan perwatakan Wulandari. 520 PROSIDING 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Menunjukkan latar belakang permasalahan yang dialami tokoh utama Wulandari, b. Menunjukkan perkembangan perwatakan tokoh utama Wulandari dan ideologi yang melatarbelakanginya. 1.5 Teori Penelitian ini berusaha mengungkap perkembangan perwatakan tokoh utama, Wulandari. Fokus penelitian terhadap tokoh utama dilakukan dengan menggunakan psikoanalisis Terry Eagleton dan teori penokohan Franco Imoda. Terry Eagleton (1996: 153) dalam Literary Theory. An Introduction menjelaskan mengenai psikoanalisis sebagai berikut: pembacan novel secara psikoanalisis dapat difokuskan pada suatu situasi kemanusiaan tunggal. Pembaca dapat melihat bagaimana hubungan kemanusiaan antara ketidakadaan ayah, kekerasan ayah, suatu ambisi, tuntutan ibu yang emosional dan seorang anak yang sensitif, dipahami baik dalam proses ketaksadaran dan dalam suatu istilah tekanan sosial tertentu dan hubungan-hubungan tertentu. Lebih lanjut Eagleton (1996: 138) mencoba menggabarkan mengenai suatu analisis psikologi pada novel sebagai suatu cara untuk mengembalikan atau menyembuhkan suatu keadaan. Pada dasarnya suatu analisis psikologi bukan hanya suatu teori tentang pikiran manusia, tetapi suatu praktik untuk menyembuhkan mereka yang dianggap sakit secara mental atau mengalami gangguan. Sedangkan tujuan analisis psikologi adalah mengungkap sebab-sebab yang tersembunyi dari beberapa neurosis untuk membebaskan para pasien dari konflik-konflik mereka, lalu menghancurkan gejala-gejala yang berbahaya. Uraian Eagleton senada dengan apa yang telah diungkapkan oleh Freud mengenai psikoanalisis teori, yaitu bahwa analisis psikologi adalah metode terapi, yang berasal dari penemuan klinis Freud secara mendalam untuk diabdikan pada kajian sastra dan budaya (Makaryk, 1993: 163).Dengan demikian, uraian metodologis analisis psikologi Eagleton bersumber dari dalil Freud yang meletakkan dasar hubungan antara psikoanalisis dan sastra. Dalam hubungan ini, Freud menunjukkan tiga sistem yang terbangun dalam pikiran manusia, yaitu pengungkapan kesadaran, prakesadaran, dan ketaksadaran.Kesadaran adalah dunia persepsi, sensor, pemahaman mengenai dunia luar; prakesadaran adalah dunia yang diangkat oleh kesadaran dan biasanya berhubungan dengan ingatan sesuatu yang dapat diakses melalui bahasa; ketaksadaran adalah dunia mengenai sensor yang dihalangi dari kesadaran dan pengetahuan prakesadaran (Makaryk, 1993: 164). Ketiga sistem tersebut muncul dalam tingkah laku dan perwatakan tokoh utama dalam analisis ini. PROSIDING 521 Mekanisme analisis psikologi menurut Eagleton dibagi menjadi empat bentuk cara berdasarkan pada objek penelitian. Analisis tersebut dapat masuk melalui: (1) Pengarang teks tersebut, (2)Isi teks tersebut, (3) Konstruksi formalnya, dan (4) Pembaca (1996: 155). Analisis Dokter Wulandari ini menggunakan analisis isi teks. Analisis ini yang memberi ruang interpretasi bagi peneliti mengenai isi teks. Lebih lanjut, analisis psikologi tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai tokoh, sehingga teori penokohan juga harus menjadi dasar operasional. Teori penokohan menurut Franco Imoda digunakan untuk membantu operasional psikoanalisis Eagleton. Menurut Imoda perkembangan watak tokoh dapat dibedakan menjadi perkembangan yang substansial dan perkembangan yang tidak disengaja (Imoda, 1998:102). Perkembangan watak tokoh tentu saja dipengaruhi oleh beraneka faktor kehidupan yang dialami oleh tokoh tersebut dalam berinteraksi dengan sesama tokoh ataupun dengan alam. Seorang yang sudah dewasa pada akhir perkembangannya tidak lagi menjadi seorang manusia seperti dirinya sebelumnya,karena pada awalnya manusia tersebut telah mempunyai potensi yang akan ada dalam alur perkembangannya, dan potensi-potensi tersebut mendukung menentukan seorang manusia berdasarkan pada esensinya, manusia tersebut telah menjadi manusia dari permulaan hidupnya (Imoda, 1998:102). 1.6 Metode Penelitian Secara psikologi, pembahasan mengenai latar belakang kehidupan Wulandari dan perkembangan perwatakan yang dialaminya dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama akandiungkap latar belakang permasalahan yang dialami tokoh utama, Wulandari. Permasalahan yang dialami Wulandari tersebut menyebabkan gangguan psikisnya. Gangguan tersebut disebut neurosis atau “sakit syaraf”. Dalam pandangan psikologi Eagleton, neurosis perlu diketahui gejala dan penyebabnya, supaya penderitanya dapat sembuh. Tahap pertama ini memfokuskan pembahasan mengenai latar belakang keluarga Wulandari yang menyebabkannya harus hidup di panti asuhan. Tahap kedua adalah menemukan neurosis atau gejala-gejala yang berbahaya yang muncul dalah pikiran dan sikap Wulandari yang dilatarbelakangi oleh perlakuan lingkungan sosial dan orang-orang yang dicintainya. Berikutnya, adalah menunjukkan perkembangan perwatakan Wulandari yang menunjukkan bahwa dia mampu melepaskan diri dan menemukan jalan keluar dari permasalahan yang telah menimpanya. Perwatakan Wulandari akan dijelaskan melalui penokohan yang dikemukakan oleh Imoda. Dalam perkembangan perwatakan ini akan ditunjukkan potensi-potensi yang dimiliki Wulandari untuk mampu keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Capaian-capaian dari operasional potensi 522 PROSIDING yang dimiliki Wulandari inilah yang akan menunjukkan ideologi perwatakan Wulandari. 2. Pembahasan 2.1 Fungsi Keluarga (Jawa) Keluarga adalah kelompok kekerabatan paling kecil dalam tatanan sosial budaya masyarakat. Pengertian keluarga Jawa dalam penelitian ini merujuk pada tulisan Koentjaraningrat dan Frans Magnis-Suseno. Koentjaraningrat (dalam Magnis Suseno, 1984: 16) menyatakan bahwa keluarga inti terdiri dari ayah, ibu, dan anak dan merupakan kelompok kekerabatan dasar dalam hidup setiap orang Jawa. Lebih lanjut, Magnis-Suseno (1991: 169) mengatakan bahwa keluarga Jawa adalah keluarga tempat orang Jawa dapat menjadi dirinya sendiri, ia merasa bebas dan aman, ia jarang harus mengerem dorongandorongan dan apabila perlu maka hal itu tidak dirasakannya sebagai heteronomi. Oleh karena itu, keluarga merupakan suatu kenyataan yang mempunyai arti istimewa bagi etika Jawa. Bagi individu Jawa, keluarga merupakan sarang keamanan dan sumber perlindungan. Itu pertama-tama berlaku bagi pada orang tua. Mereka adalah sumber pertama kesejahteraan jasmani dan rohani bagi anak mereka. Dari mereka ia menerima segala macam kebaikan dan berkat mereka ia memperoleh kedudukannya dalam masyarakat. Mereka memberikan cinta kasih kepada anaknya dan segala apa yang dibutuhkannya tanpa memperhitungkan syarat. Di sisi lain fungsi keluargaadalah melakukan kewajiban-kewajiban yang lebih berat dan hanya dari keluarga,anggota-anggota keluarga tersebut dapat mengharapkan perhatian dan bantuan secara maksimal. Maka, ketika anggota keluarga melalaikan kewajiban-kewajiban terhadap keluarga inti sendiri akan dianggap sebagai suatu kelakuan yang amat tercela (Magnis-Suseno, 1984:16). Pernyataan Magnis-Suseno merujuk kepada ketiadaan fungsi keluarga dan orang tua sebagai individu yang mampu member rasa aman bagi anak. Dengan demikian idealisme keluarga Jawa telah jelas tergambarkan dengan adanya keutuhan pertalian emosi antar individu anggota keluarga yang saling menguntungkan dan menguatkan, yaitu “asah, asih, dan asuh”. Pertalian emosional tersebut tidak lain untuk menjaga kehormatan keluarga tersebut. Kutipan berikut ini menunjukkan bahwa fungsi individu anggota keluarga Wulandari tidak berfungsi menjaga kehormatan keluarga, sehingga yang terjadi adalah munculnya hinaan terhadap Wulandari dan orang tuanya. “Dheweke kuwi bocah buwangan. Dibuwang neng Panti Asuhan Kartini merga wong tuwane ora ngakoni. Mesthine dheweke bocah haram, dene wong tuwane dhewe nganti isin ngakoni lan ngopeni. Aku ora setuju yen anakku sesambungan karo Wulandari, can panti asuhan kuwi...” (DW, 1987: 11) PROSIDING 523 “Dia itu anak buangan. Dibuang di Panti Asuhan Kartini karena orang tuanya tidak mengakui. Pastinya dia anak haram, sedangkan orang tuanya sendiri sampai malu mengakui dan memeliharanya.Aku tidak setuju jika anakku berhubungan dengan Wulandari, anak panti asuhan itu…” (DW, 1987:11) Idealisme keluarga Jawa tersebut tidak dialami oleh tokoh Wulandari.Dia sebenarnya mempunyai keluarga, ayah dan ibu, tetapi keduanya hidup terpisah karena adanya permasalahan yang tidak mampu diselesaikan oleh mereka berdua. Wulandari sejak kecil dititipkan kepada Bu Sosro, pemimpin panti asuhan Kartini, sedangkan Ibu kandung Wulandari meminta Bu Sosro untuk merahasiakan jati dirinya. Wulandari sadar bahwa Ibunya sudah tega membuang dirinya dari keluarga. Tangis panelangsa lan keranta-ranta ora bisa diampah maneh. Pranyata wong tuwane dhewe sing pancen negakake dheweke. Rasane wis ora ana pangarep-arep maneh tumrap Wulan bisa ketemu wong tuwane (DW, 1987: 59) Tangis kesedihandan sakit hati tak bisa ditahan lagi.Ternyata orang tuanya sendiri memang tega terhadap dirinya. Rasanya sudah tidak ada lagi harapan Wulan bisa bertemu orang tuanya (DW, 1987: 59) Ketiadaan ayah dan ibu kandung dalam kehidupan sehari-hari Wulandari dari kecil sampai dewasa telah membentuk karakter Wulandari menjadi pribadi yang lemah (inferior). Akhirnya, kelemahan pribadi Wulandari akibat tersebut muncul dalam sikap pasrah dan putus asa terhadap keadaan yang menerimanya, seperti tergambar dalam cuplikan berikut. “Sejatine wis makaping-kaping aku nyuwun pirsa Bu Sosro sapa sejatine wong tuwaku. Nanging, Bu Sosro ora tau kersa terus-terang.Kuwi wadi ngendikane. Aku ora bisa meksa maneh…(DW, 1987: 16). “Sebenarnya sudah berkali-kali aku bertanya kepada Bu Sosro siapa sebenarnya orang tuaku.Tetapi, Bu Sosro tidak pernah ma uterus terang.Itu rahasia katanya. Aku tidak bisa memaksa lagi…(DW, 1987: 16) Pernyataan Wulandari “aku ora bisa meksa maneh” menunjukkan bahwa dia sudah pasrah, sudah tidak bersemangat untuk berusaha lebih keras mencari informasi tentang jati diri kedua orang tuanya. Bahkan, kemudian muncul sikap putus asa dalam hati Wulandari, “Rasane wis ora ana pangarep-arep maneh tumrap Wulan bisa ketemu wong tuwane”. Kelemahan hati Wulandari yang muncul dalam sikap pasrah dan putus asa ini menjadi sebuah konsekuensi logis dari seorang anak yang terlepas dari keutuhan keluarga inti. Fungsi keluarga tidak berlaku dalam hidup Wulandari. Konflik batin muncul dalam sikap wulandari yang pasrah dan putus asa. 524 PROSIDING Konflik batin yang dialami oleh Wulandari berkembang menjadi konflik antara Wulandari dengan Bambang Trisula dan Rudi. Sebagai seorang anak yang tidak memperoleh hak dari keluarganya menyebabkan hubungan Wulandari menjadi bermasalah dengan pria-pria idamannya tersebut. Wulandari pernah berpacaran dengan Bambang Trisula, teman SMA-nya, tetapi diputus karena Bambang dan orang tuanya tidak bisa menerima status Wulandari sebagai anak panti asuhan yang tidak jelas asal-usul kedua orang tuanya. Selanjutnya, Wulandari juga gagal berpacaran dengan Rudi, teman kuliahnya, juga karena status sosial Wulandari yang dianggap tidak lebih rendah dari keluarga Rudi. Keluarga Rudi adalah keluarga ningrat yang memegang teguh prinsip hidup priyayi. Maka, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga priyayi selalu berusaha menelusur bobot, bibit, dan bebet setiap orang yang akan masuk ke dalam keluarga mereka. Pandangan ke-priyayi-an inilah yang akhirnya memutus hubungan Wulandari dengan Rudi. “Apa jalaran aku bocah panti asuhan sing ora karuwan wong tuwane?Rak ngono ta, Luk?........ Lukman rada rangu-rangu. Nanging banjur gelem waleh marang Wulandari, “mbokmenawa bener pangiramu kuwi, Wulan. Wong tuwane Rudi kuwi asal saka Sala.Jarene isih turune ningrat. Kowe rak ya ngerti, ta, piye alam pikirane wong ningrat. Mula bab bibit ya mesthi prinsip kanggone kulawargane Rudi.” (DW, 1987: 34) “Apa karena aku anak panti asuhan yang tidak jelas orang tuanya? Begitu, kan Luk?... Lukman agak ragu-ragu.Tetapi kemudian mau berterus-terang kepada Wulandari, “mungkin benar perkiraanmu, Wulan.Orang tua Rudi itu berasal dari Sala.Katanya masih keturunan priyayi. Kamu tahu, kan, bagaimana alam pikiran priyayi. Maka masalah asal-usul ya pasti menjadi pegangan dasar bagi keluarganya Rudi.”(DW, 1987: 34) Percakapan antara Lukman dan Wulandari semakin memperuncing konflik batin yang dialami oleh Wulandari. Sikap pasrah dan rasa putus asa semakin menggelayut di benak Wulandari. Sikap pasrah dan rasa putus asa Wulandari muncul dalam, “Apa jalaran aku bocah panti aku bocah panti asuhan sing ora karuwan wong tuwane?Rak ngono ta, Luk? Pernyataan ini sekaligus menegaskan bahwa Wulandari memang benar-benar berasal dari golongan wong cilik, yang lekat dengan predikat negatif jika dilihat dari “kaca mata” priyayi. Bagi priyayi, perceraian merupakan hal yang memalukan serta menurunkan derajat sosial mereka. Peristiwa perceraian menunjukkan kurangnya budi pekerti dan kemampuan mengendalikan diri orang yang mengalaminya (1983: 144--145). Dengan demikian, sumber permasalahan yang dialami Wulandari berasal dari keluarganya yang sudah tidak utuh lagi. Latar belakang PROSIDING 525 dan pengalaman menyakitkan yang dialami Wulandari akibat latar belakang keluarganya menjadi tahap ketaksadaran. Proses ini sekaligus mengarah pada tahap prakesadaran Wulandari untuk menemukan talenta yang dipunyainya yang selama ini masih tersembunyi. 2.2 Menang Tanpa Ngasorake Dikotomipriyayi-wong cilikdan status menyangkut status orang tua kandung Wulandari yang hidup terpisah, membuat Wulandari sadar bahwa dirinya tidak dapat lagi meraih keinginannya untuk berhubungan dengan Bambang Trisula dan Rudi karena keluarga mereka sangat memegang teguh prinsip kepriyayian. Dua terminologi tersebut menjadi pembatas yang tegas bagi tatanan kehidupan yang menganggap Wulandari sebagai representasi wong cilik dan tidak boleh masuk dalam lingkungan kelompok sosial priyayi. Dengan kata lain secara status sosial Wulandari kalah dengan Bambang Trisula, Rudi, dan keluarga keduanya. Kesadaran Wulandari akan status sosialnya tersebut semakin mengarah pada kesadarannya untuk mengubah konflik dalam hatinya menjadi penyemangat untuk menemukan jalan lain menentukan arah hidupnya menjadi lebih baik. Akibat konflik dengan Bambang Trisula dan Rudi adalah neurosis atau “sakit syaraf”, seperti dikatakan oleh Eagleton (1996: 138). Lebih lanjut, neurosis tersebut, menurut Eagleton (1996:153), dapat bersumberdari ketiadaan ayah, suatu ambisi, tuntutan ibu yang emosional dan seorang anak yang sensitif yang dipahami baik dalam proses ketaksadaran dan dalam suatu tekanan sosial tertentu dan hubungan-hubungan tertentu. Wulandari mengalami neurosis yang bersumber dari ketiadaan orang tua, sehingga dia mengalami dikotomi status sosial yang menyebabkan dirinya menjadi sensitif terhadap lingkungan sosialnya dan laki-laki. Neurosis yang dialami oleh Wulandari ternyata mampu disadari secara perlahan-lahan hingga mencapai titik balik. Kesadaran ini muncul karena sifat jujur, tidak mau menipu diri sendiri atau penipuan diri bahwa Wulandari ingin memperbaiki diri. Sikap menipu diri dilakukan tidak lain juga untuk menghindari tanggung jawab terhadap diri sendiri yang tujuannya mengurangi kecemasan, kesukaran, dan rasa tidak enak yang menyertai tindakan atau pemenuhan tanggung jawab (Suwondo, 2011: 217). Semangatdan rasa tanggung terhadap statusnya sebagai mahasiswa kedokteran itulah yang memicu penyembuhan keadaan yang dialami Wulandari. Eagleton (1996:138) mencoba menggambarkan bahwa suatu analisis psikologi pada novel muncul sebagai suatu cara untuk mengembalikan atau menyembuhkan suatu keadaan. Pada dasarnya suatu analisis psikologi bukan hanya suatu teori tentang pikiran manusia, tetapi suatu praktik untuk menyembuhkan mereka yang dianggap 526 PROSIDING sakit secara mental atau mengalami gangguan. Secara psikologis, gangguan mental yang dialami Wulandari tersebut menimbulkan inferioritas. Perasaan sedih, merasa disisihkan dari status sosial tertentu, dan dihina telah menimbulkan inferioritas. Namun, Wulandari sebagai seorang perempuan mahasiswa kedokteran yang pandai segera mampu menyadari keadaan inferioritasnya. Pada tahap penyembuhan ini digambarkan bahwa pada akhirnya Wulandari menyadari bahwa dirinya harus bangkit dari keterpurukannya, menyesali keadaan dirinya dengan status sosialnya yang dianggap sebagai wong cilik berlabel miskin, tidak berpendidikan, dan tidak mempunyai keteraturan dalam hidupnya. Namun, sebenarnya Wulandari mempunyai berbagai potensi yang bertolakbelakang dengan karakteristik yang disandangnya sebagai “wong cilik” tersebut. Wulandari mempunyai potensi akademik dan mempunyai keteraturan dalam hidupnya. Potensi diri hanya muncul dalam kesadaran individu atau dalam keadaan keterpaksaan atau tidak sengaja disebabkan oleh tekanan tertentu. Kesadaran Wulandari terhadap potensi dirinya dipicu oleh hadirnya tokoh-tokoh Rudi, Bambang Trisula, serta orang tua kedua orang tersebut. Kesadaran Wulandari ditunjukkan dengan usahanya untuk melupakan masalah percintaan dengan Bambang Trisula dan Rudi. Kesadaran tersebut secara fungsional mengarahkan Wulandari untuk memikirkan sekolah dan kuliahnya. Kesadaran potensi akademin tersebut oleh Wulandari dimaksimalkan dengan dorongan sakit hatinya, sehingga membuahkan hasil akademik yang unggul yang ditunjukkan dengan perolehan gelar pelajar teladan seJawa Timur. Ya wiwit kuwi Wulandari jinja banget marang priya lankatresnan. Dheweke banjur mligi mikirake pasinaone nganti kelakon dadi pelajar teladan sa-Jawa Timur lan entuk beasiswa saka pamarentah. (DW, 1987: 11) Ya sejak itu Wulandari benci dengan laki-laki dan cinta.Dia kemudian hanya melulu memikirkan belajarnya sampai akhirnya menjadi pelajar teladan se-Jawa Timur dan memperoleh beasiswa dari pemerintah.(DW, 1987: 11) Potensi akademik tersebut menjadi modal kuat ketika untuk kedua kalinya Wulandari jatuh pada masalah yang sama. Kali ini percintaanya kandas dengan Rudi, seorang teman kuliahnya di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Namun, kegagalan percintaannya secara fungsional kembali mengarahkan Wulandari untuk menunjukkan potensi akademiknya. Kutipan berikut ini menunjukkan bahwa Wulandari telah menemukan kesadarannya kembali untuk menggunakan kemampuan akademiknya sebagai jalan melupakan kepa- PROSIDING 527 hitan hatinya dan sebagai cara untuk membuktikan diri bahwa dia mempunyai talenta akademik yang lebih unggul dari orang lain. Wulan nyoba ngipatake pengalaman pait kang nembe dialami ing dina iku, jalaran pasinaone luwih mbutuhake kawigatene. Dheweke emoh gagal ming perkara katresnan bae. Arep dibuktekake yen dheweke sawijining wanita kang kuwat, ora kalah karo priya. Najan uripe diserik priya, nanging ora bakal nglumpuhake gegayuhane. Wulandari arep mbuktekake yen ora mung anake wong pangkat lan sugih bae sing bisa dadi dhokter. Najan bocah panti asuhan kang kena diarani trahing pidak padarakan, uga saguh nggayuh kautaman lan bisa dadi wong kang sukses uripe. Sinaune disrempeng tanpa maelu tatuning ati kang perih.Saya krasa laraning ati, saya mempeng sinaune kanggo nglalekake kabeh panandhange kang diindhit dhewe (DW, 1987: 35-36). Wulan mencoba mangabaikan pengalaman pahit yang baru saja dialaminya hari itu, karena pelajarannya lebih membutuhkan perhatian. Dia tidak mau gagal hanya karena urusan percintaan.Akan dibuktikan bahwa dirinya adalah seorang wanita yang kuat, tidak kalah dengan laki-laki. Walaupun hidupnya dibenci pria, tetapi tidak akan melumpuhkan keinginannya. Wulandari akan membuktikan bahwa tidak hanya anak orang berpangkat dan kaya saja yang bisa menjadi dokter. Walaupun anak panti asuhan yang dapat disebut keturunan hinda dina, juga sanggup meraih keutamaan dan bisa jadi orang yang sukses hidupnya. Belajarnya dikuatkan tanpa mengingat luka hati yang perih.Semakin terasa sakit hatinya, semakin kuat belajarnya untuk melupakan semua penderitaan yang dialaminyasendiri (DW, 1987: 35-36). Perubahan sikap Wulandari tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Eagleton sesuai dengan tujuan analisis psikologi, yaitu membebaskan diri dari neurosis yang dialami dengan menghancurkan gejala-gejala yang berbahaya (1996: 138). Dengan demikian, kutipan “Sinaune disrempeng tanpa maelu tatuning ati kang perih.Saya krasa laraning ati, saya mempeng sinaune kanggo nglalekake kabeh panandhange kang diindhit dhewe” adalah bukti bahwa Wulandari telah mampu menghancurkan gejala-gejala neorusis yang membahayakan dirinya. Semangat Wulandari untuk benar-benar bebas dari masa lalunya yang pahit ditegaskan dalam kutipan berikut “Aku emoh diina kaya sing uwis. Senajan aku digedhekake ing panti asuhan, nanging aku duwe harga diri lan sanggup dadi wong kang terhormat ing tengahe masyarakat” (DW, 1987: 88-89) “Aku tak mau dihina seperti yang sudah-sudah. Walaupun aku dibesarkan di panti asuhan, tetapi aku punya harga diri dan sanggup menjadi orang yang terhormat di tengah masyarakat” (DW, 1987: 88-89) 528 PROSIDING Kutipan tersebut sekaligus menunjukkan titik awal munculnya potensi dalam diri Wulandari, yaitu potensi akademik. Namun, di titik awal atau titik balik tersebut memunculkan juga “dendam” dalam diri Wulandari. Ungkapan “aku emoh diina kaya sing uwis” menegaskan bahwa sudah muncul “genderang perang” dari diri Wulandari untuk membuktikan kepada orang-orang yang telah merendahkannya, menghinanya, menyingkirkannya, dan menyakiti hatinya. Namun, Wulandari yang, memang, mempunyai latar belakang intelektual yang unggul dari rata-rata mampu mengolah “dendam” kekalahan masa lalunya dengan cara yang terhormat. Walaupun Wulandari telah dianggap sebagai wong cilikoleh orang-orang yang menganggap diri mereka priyayi, Wulandari mencoba untuk melawan tetapi dengan sebuah “strategi” akademik. Dalam hal ini, status yang ingin ditunjukkan Wulan bukan pencapaian status kepriyayian, tetapi kehormatan diri di tengah masyarakat. Akhirnya, Wulandari pun mampu memaksimalkan potensi akademiknya. Keberhasilan Wulandari “menghancurkan”neurosisnya ditandai dengan dua hal, yaitu munculnya perasaan bangga, senang, dan terharu atas apa yang selama ini diperjuangkannya dan perolehan pengakuan sebagai mahasiswa lulusan terbaik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dengan predikat cumlaude dan pengakuan masyarakat yang menyukai Wulandari sebagai seorang dokter yang baik hati. Rasa mongkok, bungah, lan trenyuh campur dadi siji ing atine Wulandari nalika ana pengumuman yen dheweke lulus klawan cumlaude (DW, 1987:37) Rasa bangga, senang, dan haru bercampur jadi satu di hati Wulandari ketika ada pengumuman bahwa dirinya lulus dengan predikat cumlaude (DW, 1987:37) Perkembangan perwatakan Wulandari merupakan hal esensial, hal yang dipunyai oleh setiap manusia. Menurut Imoda, perkembangan berarti perubahan, karena perubahan berhubungan dengan perkembangan manusia, perubahan melibatkan manusia (Imoda, 1998:102). Perkembangan watak tokoh dapat dibedakan menjadi perkembangan yang substansial dan perkembangan yang tidak disengaja. Tokoh Wulandari mengalami perubahan watak yang tidak disengaja, karena perkembangan yang terjadi karena terpicu oleh sebuah masalah. Perkembangan tersebut dapat juga disebut dengan kedewasaan pikiran. Seorang yang sudah dewasa pada akhir perkembangannya tidak lagi menjadi seorang manusia seperti dirinya sebelumnya. Karena pada awalnya manusia tersebut telah mempunyai potensi yang akan ada dalam alur perkembangannya, dan potensi-potensi tersebut mendukung menentukan seorang manusia berdasarkan pada esensinya, manusia tersebut telah menjadi manusia dari permulaan hidupnya (Imoda, 1998:102). Keberhasilan Wulandari mencapai gelar dokter dengan predikat cumlaude tersebut telah membuatnya bangga. PROSIDING 529 Dia tidak lagi merasa inferior dan rendah diri. Dokter adalah sebuah profesi yang terhormat di tengah masyarakat dan Dokter Wulandari diterima dan disayangi oleh masyarakat karena kebaikan hatinya dalam menolong orang sakit. Derajat sosial tinggi atau terhormat dalam masyarakat Jawa yang digambarkan dengan status ke-priyayian, menurut Wulandari tidak perlu dikejar. Wulandari menyadari akan potensi akademiknya, maka dia berusaha mencapai status sosial tinggi dengan meraih gelar dokter. Wulandari berhasil meraih status sosial tersebut tanpa sedikitpun bersinggungan dengan orangorang yang merendahkan status sosialnya di masa lalu. Secara psikologis, kemenangan Wulandari atas masa lalunya digambarkan dengan bagan relasi oposisi biner inferior menjadi superior atau perjalanan dari konsep wong cilik menjadi priyayi atau tak terhormat menjadi terhormat. Latar belakang sosial, neurosis yang dialami Wulandari, proses usaha Wulandari mencapai derajat kesetaraan secara status sosial (inferioritas  superioritas) digambarkan dalam bagan berikut ini. Lingkungan Sosial Inferioritas Superioritas anak panti asuhan (wong cilik) dokter (priyayi/bangsawan) sedih dihina disingkirkan tak terhormat “menang tanpa ngasorake” (cumlaude-dokter) bangga dihargai dibutuhkan terhormat Pencapaian status Wulandari sebagai dokter tersebut sekaligus menunjukkan kemenangan atas masa lalunya. Inilah tahap kesadaran Wulandari yang ditemukan melalui proses yang dilaluinya. Dengan kesadaran ini, Wulandari menemukan talenta tersembunyi dan Wulandari berhasil menunjukkan potensi akademiknya dalam memenuhi “tuntutan” hatinya untuk memperoleh derajat sosial secara akademik. Wulandari berhasil menunjukkan bahwa derajat status ke-priyayi-an dapat disejajari dengan capaian derajat akademik. Dia sudah menunjukkan bahwa orang yang berasal dari keluarga tidak terhormat mampu membangun sebuah keluarga yang terhormat. Inilah sebuah perjuangan “menang tanpa ngasorake” atau “menang tanpa harus merendahkan” yang dibuktikan Wulandari melalui cara akademik. Dengan demikian dapat dilihat bahwa pencapaian sebuah derajat kehormatan di tengah masyarakat 530 PROSIDING tidak hanya dapat dicapai melalui status sebagai priyayi, tetapi dapat juga melalui cara akademik, yang menjadi potensi Wulandari, dengan pencapaian status sebagai seorang dokter yang lulus dengan predikat cumlaude. Status dokter adalah status yang sangat dihormati di tengah masyarakat.Dengan cara akademik inilah Wulandari menunjukkan kemenangan atas orang-orang yang merendahkannya secara status sosial di masa lalu. Inilah “kemenangan yang indah” tanpa harus merendahkan dan berkonfrontasi langsung dengan mereka yang telah menghina, menyingkirkan, dan merendahkan derajat sosial Wulandari di masa lalu. 3. Simpulan Analisis psikologi novel berbahasa Jawa Dokter Wulandari menunjukkan perkembangan perwatakan tokoh utama, Wulandari dari seorang yang inferior menjadi superior. Perubahan watak ini, dalam pandangan psikologi Eagleton, ditandai dengan ditemukannya neurosis yang menyebabkan tokoh utama, Wulandari mengalami berbagai permasalahan hidup, sebagai seorang anak yang dibesarkan di panti asuhan dan dipandang rendah dalam strata sosial. Melalui kacamata strata sosial ini diketahui bahwa penyebab inferioritas dan marginalisasi yang dialami oleh Wulandari pertama-tama berasal dari keluarganya yang tidak utuh, yaitu berpisahnya kedua orang tuanya. Di dalam analisis psikologi ini perkembangan perwatakan Wulandari ditunjukkan bahwa dia mempuyai potensi esensial sebagai seorang manusia yang dengan sengaja mampu mengubah inferioritas menjadi superioritas. Perubahan tersebut mengejawantah dalam pencapaian gelar dokterdengan predikat cumlaude. Secara psikologis, pencapaian gelar akademik ini adalah sebuah usaha memenangkan perjuangan atas konflik batin yang dialami Wulandari. Idealisme ke-priyayi-an dapat dikalahkan dengan pencapaian gelar akademik oleh Wulandari. Ini adalah gambaran dari “menang tanpa ngasorake” atau “menang tanpa harus merendahkan” dalam pandangan masyarakat Jawa, yaitu memenangkan persaingan dalam meraih sebuah status tanpa harus merendahkan dan berkonfrontasi langsung dengan lawan. Pandangan masyarakat Jawa dengan “menang tanpa ngasorake” perlu ditelaah dan dicerna sebagai sebuah penyikapan terhadap rivalisme pencapain tujuan hidup yang tidak terelakkan. Sikap “menang tanpa ngasorake”perlu dipahami sebagai pedoman aktivitas dan usaha manusia untuk tetap bersaing secara sehat dalam hidup tanpa harus saling bermusuhan dan saling merendahkan, rendah hati, toleran, berpikir strategis-positif, karena pada hakekatnya setiap manusia itu setara. Dengan sikap “menang tanpa ngasorake” berarti seseorang telah berhasil memenangkan perang terhadap permasalahan dalam batinnya sendiri. PROSIDING 531 Daftar Pustaka Eagleton, Terry. 1996. Literary Theory. An Introduction. Second Edition, Minneapolis: University of Minnesota Press. Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press. Imoda, Franco, S.J. 1998. The Sense of Biblical Narrative. Structural Analyses in The Hebrew Bible. Trowbridge, Wiltshire: Sheffield. Redwood Burn Ltd. Magnis-Susseno, Franz. 1991. Etika Jawa. Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia. Makaryk, Irena R (editor and compiler), 1993.Encyclopedia of Contemporary Literary Theory. Approaches, Scholars, Terms. Toronto Buffalo London: University of Toronto Press. Suwondo, Tirto., M.Hum. 2011. Studi Sastra. Konsep Dasar Teori dan Penerapannya pada Karya Sastra. Yogyakarta: Gama Media. Yunani, 1987.Dokter Wulandari. Jakarta: Balai Pustaka. 532 PROSIDING KECERDASAN EMOSIONAL ORANG BANJAR DALAM PANTUN BANJAR Yuliati Puspita Sari Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan yulia.pink@yahoo.com yuliatipuspitasari@gmail.com Inti Sari Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tentang berbagai bentuk kecerdasan emosional yang dimiliki orang Banjar yang tergambar dalam pantun Banjar. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Teori yang dijadikan landasan utama dalam penelitian ini merujuk pada teori kecerdasan emosi yang dipaparkan oleh Goleman (2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada sekian banyak pembelajaran tentang kecerdasan emosional yang terdapat dalam pantun Banjar. Kecerdasan emosional tersebut antara lain: (1) mengenali emosi sendiri yang direfleksikan melalui kesadaran beragama dan sikap introspeksi diri; (2) mengelola emosi yang direfleksikan melalui kemampuan dalam mengelola konflik dan mengendalikan emosi; dan (3) membina hubungan yang direfleksikan melalui bersikap tolong-menolong, sopansantun, cinta kasih, dan kolaborasi/kerja sama. Kata kunci: kecerdasan emosional, orang Banjar, pantun Banjar Abstract This research was conducted to find out the various forms of emotional intelligence possessed by Banjar people depicted in pantun Banjar. The method used in this research was descriptive analysis method. Theory that was used as a primary basis in this study referred to the theory of emotional intelligence described by Goleman (2006). The results showed that there were so many lessons about emotional intelligence contained in pantun Banjar. Emotional intelligence included: (1) recognize their own emotions that were reflected through religious awareness and self introspection, (2) managing emotions that were reflected through the ability to manage conflict and emotional control, and (3) developing relationships PROSIDING 533 that were reflected through mutual assistance, politeness, compassion, and collaboration/ cooperation. Key words: emotional intelligence, Banjar people, Pantun Banjar 1. Pendahuluan Kecerdasan emosional belakangan ini dinilai tidak kalah penting dengan kecerdasan intelektual. Kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual merupakan dua bentuk kecerdasan yang dapat berinteraksi secara dinamis. Kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan lingkungan masyarakat. Kecerdasan emosional atau yang biasa dikenal dengan EQ (Emotional Quotient) jika dimiliki seseorang dengan baik akan membuat seseorang tersebut dapat menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya. Gambaran kecerdasan emosional sebenarnya sudah dapat kita temukan sejak dulu, salah satunya yaitu dalam bentuk pantun. Sama seperti pantun di daerah lainnya, pantun banjar juga merupakan salah satu bentuk sastra lama yang keberadaannya masih bertahan sampai saat ini, khususnya di kalangan masyarakat Banjar. Menurut Indradi dalam http://pantun-banjar.blogspot.com, struktur pantun Banjar sama seperti halnya pantun Indonesia lama atau pantun Melayu. Baris pertama dan kedua adalah sampiran, baris ketiga dan keempat adalah isi. Rima persajakan pada pantun Banjar ada yang berima a-b-a-b, dan ada pula yang berima a-a-a-a. Selain sebagai hiburan, pantun Banjar juga mengandung unsur pengajaran yang dapat disaring oleh pendengar maupun pembaca. Secara tidak langsung, pantun dapat digunakan sebagai teguran dan nasihat kepada pemakainya agar seseorang yang ditegur atau dinasihati tersebut tidak tersinggung atau berkecil hati. Penelitian mengenai kecerdasan emosi ini sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Khairil Anshari dalam makalahnya yang berjudul Refleksi Kecerdasan Emosional dalam Bahasa Indonesia sebagai Bagian dari Kecerdasan Ganda (2006). Sejalan dengan hal tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti hal yang berkaitan dengan kecerdasan emosional ini, yakni kecerdasan emosional yang dimiliki orang Banjar melalui pantun Banjar. Kecerdasan emosi yang terdapat dalam pantun dapat dilihat dalam isi pantun yang biasanya terdapat pada bait ketiga dan keempat. Penelitian ini sengaja dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran tentang kecerdasan emosional yang dimiliki Banjar, khususnya yang terdapat dalam pantun Banjar. 534 PROSIDING Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, antara lain sebagai bahan masukan bagi pembaca tentang kecerdasan emosional orang Banjar dan sebagai bahan informasi dan dokumentasi yang dapat dijadikan landasan bagi peneliti-peneliti lainnya, khususnya bagi mereka yang tertarik untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan kecerdasan emosional 2. Landasan Teori 2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional Konsep tentang kecerdasan emosional sebenarnya sudah banyak diperkenalkan oleh berbagai tokoh, salah satunya ialah Robert K.Cooper. Robert K. Cooper dalam Ari Ginanjar Agustian (2002:44) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai suatu kemampuan untuk merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Sementara itu, dalam KBBI edisi IV juga disebutkan bahwa kecerdasan emosional merupakan kecerdasan yang berkenaan dengan hati dan kepedulian antarsesama manusia, makhluk lain, dan alam sekitar (2008:262) Goleman (2006: 404—405) membagi kecerdasan emosional dalam lima bentuk, yakni: 1. Mengenali Emosi Diri: Kesadaran mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. 2. Mengelola Emosi: Menangani perasaan agar dapat terungkap secara tepat. 3. Memanfaatkan emosi secara produktif 4. Mengenali Emosi Orang lain: Empati 5. Membina Hubungan. Sejalan dengan beberapa pendapat di atas, Segal menganggap bahwa kecerdasan emosional ini meliputi hubungan pribadi dan antarpribadi, kecerdasan emosional bertangung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan kemampuan adaptasi sosial pribadi (2000:27). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan kecerdasan yang mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi. Seseorang yang cerdas secara emosional berarti memiliki kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebihlebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban masalah tidak melumpuhkan kemampuan berpikir. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional akan mampu membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, mampu memelihara hubungan sebaik-baiknya dengan orang lain, PROSIDING 535 mampu menyelesaikan konflik, serta mampu memimpin diri dan lingkungan sekitarnya. Kecerdasan emosional seseorang harus terus dilatih dan dikembangkan. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik tidak akan mengalami kesulitan untuk bergaul dengan orang yang ada di sekitarnya. 2.2 Kecerdasan Emosional dalam Lingkup Sastra Konsep tentang kecerdasan emosional ini berkaitan erat dengan karya sastra. Endraswara (2003:102) mengatakan bahwa karya sastra merupakan ungkapan kejiwaan pengarang yang menggambarkan emosi dan pemikirannya. Karya sastra lahir dari endapan pengalaman yang telah dimasak dalam jiwanya. Sastra merupakan sebuah karya seni yang terwujud dalam bentuk bahasa. Umumya sebuah karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang ada di sekitarnya. Kita tahu bahwa karya sastra merupakan cermin kehidupan masyarakat. Melalui karya-karya sastra yang lahir pada kurun waktu tertentu, dapat kita lihat fenomena kehidupan sosial yang terjadi pada masa itu. Hal ini lah yang diungkapkan oleh endraswara (2003:78) bahwa sastra merupakan ekspresi kehidupan manusia yang tak lepas dari akar masyarakatnya. Oleh sebab itulah tidak berlebihan jika muncul pendapat bahwa membaca karya sastra pada hakikatnya adalah membaca kehidupan. Secara langsung maupun tidak langsung, nilai dan pesan yang dikandungnya dapat terefleksi dalam diri pembacanya. Ruang yang tersedia dalam suatu karya sastra akan membuka peluang bagi pembaca untuk tumbuh menjadi pribadi yang kritis pada satu sisi, dan pribadi yang bijaksana pada sisi lain. Setelah membaca maka efek yang diha­ rapkan adalah terasahnya jiwa pembacanya sehingga menjadi arif terhadap kehidupan. Hal ini lah yang kemudian menjadikan sastra sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kecerdasan emosional dalam diri seseorang. Melalui penelitian ini, peneliti mencoba menguraikan hal-hal yang berhubungan dengan kecerdasan emosional dalam karya sastra (dalam hal ini pantun Banjar) sehingga dapat tergambar berbagai bentuk kecerdasan emosi di dalamnya. 3. Metode dan Teknik Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2006:53). Adapun teori yang dijadikan landasan utama dalam penelitian ini merujuk pada teori kecerdasan emosi yang dipaparkan oleh Goleman (2006). 536 PROSIDING Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan, yakni: (1) mengumpulkan berbagai jenis pantun Banjar dari berbagai sumber, antara lain: (a) Buku Kesenian Tradisional Banjar: Lamut, Madihin, dan Pantun, karya Syamsiar Seman; (b) Buku Ayo Kita Bapapantunan, karya Syamsiar Seman; (c) laman http://pantun-banjar.blogspot.com/; (2) menerjemahkan pantun berbahasa Banjar ke dalam bahasa Indonesia dan mempelajarinya dengan cermat; (3) mengklasifikasikan data berupa pantun; (4) menganalisis data yang telah diperoleh dari referensi yang ada dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan mengacu kepada teori Goleman (2006) sebagai rujukan primer, dan teori Segal (2000) dan Robert K.Cooper (2002) sebagai rujukan skunder; (5) menyusun hasil penelitian dalam bentuk jurnal. 4. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis data, kecerdasan emosional orang Banjar yang tergambar dalam pantun Banjar dapat dilihat sebagai berikut. 1. Mengenali emosi sendiri. Mengenali emosi sendiri merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Kemampuan seseorang dalam mengenali emosi yang ada pada dirinya terutama ketika emosi itu terjadi menandakan adanya kecerdasan emosional yang dimiliki orang itu. Refleksi dari pengenalan emosi sendiri ini dapat berupa: a. Munculnya kesadaran beragama Kesadaran beragama merupakan salah satu refleksi dari kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang. Kekuatan prinsip yang berpegang pada kesadaran beragama merupakan titik tolak dari sebuah kecerdasan emosi dan dapat dijadikan sebagai landasan penjernihan emosi Kesadaran beragama itu sendiri dapat diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas keberagamaan bukan hanya terjadi ketika seseorangmelakukan ritual (beribadah) saja, tetapi juga ketika melakukan aktivitas kehidupanlain, bukan hanya dilihat oleh mata tetapi juga aktivitas yang tidak tampak danterjadi dalam hati. Timbulnya kecerdasan emosional pada diri seseorang dapat dilihat pada sejauhmana kesadaran beragama yang dimilikinya, karena kesadaran beragama tersebutlah yang mampu menjadi kontrol terhadap arah berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan emosional orang Banjar dalam memanfaatkan pantun untuk membangun aspek kesadaran beragama tampak pada pantun-pantun berikut. PROSIDING 537 (1) Bawalah paikat ka birayang Imbah nitu ka palaihari Wajib salat atawa sambahyang Lima kali dalam sahari bawa rotan ke Birayang setelah itu ke Pelaihari wajib salat atau sembahyang lima kali dalam sehari (2) Banang bagalas dililit-lilit Gasan talinya kalayangan Wayah mandangar bang di masigit Nitu wayahnya sambahyangan benang gelasan dililit-lilit untuk tali layang-layang saat mendengar azan di masjid itu saatnya salat (3) Tuan haji baju babalah Balinjang-linjang di luar kuta Mangaji mamuji Alla Sambahyang mambuang dusa Tuan haji baju berbelah berjalan-jalan di luar kota mengaji memuji Allah sembahyang membuang dosa (4) tulak manangguk basusubuhan pahumaan hulu nang jadi tujuan ayam bangkuk sudah kungku'ukan ayu bangunan siap sambahyangan pergi menangguk saat Subuh sawah di hulu yang jadi tujuan ayam bangkok sudah berkokok ayo bangun siap sembahyang Pada keempat pantun di atas tersirat nasihat untuk mendirikan salat. Nasihat dalam pantun tersebut cukup beralasan sebab perintah shalat merupakan bagian dari rukun Islam. Mendirikan shalat hukumnya wajib bagi kaum muslim yakni sebanyak lima kali dalam sehari. Demikian pula dengan pantun di bawah ini, tergambar aspek kesadaran beragama yang dimiliki oleh orang Banjar, yakni dalam hal mencintai agama Islam (pantun 5), membaca al-Quran (pantun 6), dan kewajiban untuk berpuasa di bulan Ramadan (pantun 7). (5) Luruk banyu ka dalam balanai Gasan mangurung si iwak patin Islam nitu agama nang damai Damai di lahir damai di batin tumpahkan air ke dalam gentong untuk mengurung ikan patin Islam itu agama yang damai damai di lahir damai di batin (6) Mun isuk mudik ka kandangan Batarus haja ka mantimin Kitap suci kitap Al Quran Bacaan mulia urang muslimin kalau esok mudik ke Kandangan terus saja ke Mantimin kitab suci kitab Al Quran bacaan mulia orang muslimin (7) Daun pudak atawa pandan Bawalah ka pasar ari arba Amun datang bulan ramadhan Jangan tatinggal wajib puasa daun suji atau pandan bawa ke pasar hari Rabu jika datang bulan Ramadan jangan tinggalkan wajib puasa 538 PROSIDING Hampir seluruh pantun Banjar – yang peneliti temukan, yang berkaitan dengan aspek kesadaran beragama mengarah pada ajaran Islam. Hal ini wajar, sebab pada kenyataannya, mayoritas orang Banjar memeluk agama Islam. Oleh sebab itu mereka kemudian memanfaatkan pantun sebagai media untuk menyampaikan dakwah dengan harapan agar kesadaran beragama masyarakat dapat dibangun secara tidak langsung. b. Introspeksi diri Istilah introspeksi diri merupakan hal yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Introspeksi menurut KBBI adalah peninjauan atau koreksi terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dan sebagainya) diri sendiri atau bisa juga disebut mawas diri (2008:545). Melalui introspeksi diri, kita dapat memahami kekurangan dan kelebihan yang kita miliki. Dalam segala hal, introspeksi diri ini sangatlah penting, terlebih jika kita lakukan ketika kita sedang dirundung kesedihan. Seseorang yang cerdas secara emosi tidak berada di bawah kekuatan emosi. Ia akan cepat kembali bersemangat apapun situasi yang menghadang dan tahu cara menenangkan diri. Berikut ini pantun Banjar yang menggambarkan tentang kecerdasan emosional orang Banjar dalam hal introspeksi diri. (8) Dadaian kain paikat laki Kain didadai nang bakurawang Kada baik bahiri dangki Pariksa haja diri saurang Jemuran kain paikat laki Kain dijemur yang berlubang Tidak baik iri dengki Periksa saja diri sendiri (9) Mayang pinang babungkus upih Gasan dipakai bamandi-mandi Wayah bapangkat wayah sugihBaingatingatlah lawan diri Mayang pinang berbungkus upih Untuk digunakan bamandi-mandi Saatberpangkat saat kaya Ingat-ingatlah dengan diri (10) Kayu halaban diulah harang Ditatak-tatak dipanggal dua Jangan mancari kasalahan urang Kasahan saurang ada haja Kayu halaban dibuat arang Dipotong-potong dibelah dua Jangan mencari kesalahan orang Kesalahan sendiri ada saja Pada pantun di atas terdapat pembelajaran untuk tidak bersikap iri dengki (pantun 8), tidak sombong dengan kekayaan yang diperoleh dan selalu ingat dengan asal-usul (pantun 9), serta kita diajarkan untuk tidak mencari-cari kesalahan orang sementara kesalahan diri sendiri masih banyak (pantun 10). Mengelola suasana hati bukan berarti menekan perasaan. Salah satu ekspresi emosi yang bisa timbul bagi setiap orang adalah marah. Menurut PROSIDING 539 Aristoteles, Marah itu mudah. Tetapi untuk marah kepada orang yang tepat, tingkat yang tepat, waktu, tujuan dan dengan cara yang tepat, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang cerdas secara emosi. Melalui introspeksi diri kita akan mampu menemukan makna dari setiap tujuan yang kita miliki dan akan semakin memastikan, apakah tujuan yang telah kita tetapkan sebelumnya sudah terarah atau belum. Karena Sering kita melihat kesalahan orang lain bahkan mengkritik kesalahan yang dibuat orang lain, sadarkah kita bahwa kita pun sering berbuat salah, melalu cara intropeksi diri sendiri kita dapat memahami kekurangan dan kelebihan yang kita miliki. 2. Mengelola Emosi Kemampuan dalam mengelola emosi berarti mampu menangani perasaan agar perasaan tersebut dapat terungkap dengan tepat. Refleksi dari pengelolaan emosi yang dapat kita lihat dalam pantun Banjar, antara lain: a. Pengelolaan konflik Orang Banjar juga memanfaatkan pantun sebagai pembelajaran dalam hal pengelolaan konflik. Konflik merupakan suatu fenomena yang tak terelakkan dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, jika tidak ditangani dengan baik, konflik dapat berujung pada kehancuran suatu masyarakat. Oleh karena itulah, kecerdasan emosional, khususnya dalam hal mengelola konflik penting untuk dimiliki oleh tiap orang agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan yang akan merugikan dirinya sendiri dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Berikut ini gambaran kecerdasan emosional orang Banjar dalam hal pengelolaan konflik yang terdapat dalam pantun Banjar. (11) Mananam laus, lausnya mati Inya rapunnya kada baakar Nang talanjur bahual kalahi Bawa baingat, bawa basabar Menanam laos, laosnya mati Sebab rumpunnya tidak berakar Yang terlanjur bertengkar Beringat, bersabar (12) Tulak mamulut baduduaan Imbah bulik di wayah sanja Jangan bacakut papadaan Hual sadikit baakuran haja Pergi memulut berdua Setelah pulang di waktu senja Jangan bertengkar dengan kerabat Perselisihan sedikit bermaafan saja (13) Handak manjulung sarang karangga Anak hulatnya diulah umpan Jangan bahual jiran tatangga Amun talanjur dibaikakan Ingin menyerahkan sarang serangga Kepompongnya dibuat umpan Jangan bertengkar dengan tetangga Jika terlanjur dimaafkan saja Pada beberapa pantun di atas, terdapat pembelajaran tentang pengelolaan konflik, yakni tidak bertengkar baik dengan kerabat maupun dengan tetangga. Seandainya pertengkaran itu terlanjur terjadi, kita diajarkan untuk mengakhiri perselisihan tersebut dengan saling memaafkan. 540 PROSIDING b. Pengendalian emosi Kemampuan seseorang dalam mengendalikan emosi merupakan salah satu cermin adanya kecerdasan emosi yang dimiliki oleh orang tersebut. Kualitas hidup seseorang akan terlihat dari perilaku kesehariannya dalam mengelola emosi. Emosi cenderung melahirkan motivasi yang tidak terbatas untuk berbuat, sehingga diperlukan sebuah keterampilan untuk mengelola emosi atau yang lebih dikenal dengan kecerdasan emosional. Memang, bukan hal yang mudah untuk mengendalikan emosi, terlebih ketika seseorang tersebut sedang menghadapi masalah. Kecerdasan emosional yang berhubungan dengan pengendalikan emosi ini juga dapat kita temukan dalam pantun Banjar berikut. (14) Digaragaji kayu pang lanan Papan nang kandal diulah tangga Kada tamasuk urang baiman Amun bahual lawan tatangga digergaji kayu lanan papan yang tebal dibuat tangga tidak termasuk orang beriman jika bertengkar dengan tetangga Pada pantun (14) di atas, secara tidak langsung kita diajarkan untuk menjauhi pertengkaran dengan tetangga sebab jika bertengkar dengan tetangga merupakan tindakan orang yang tidak beriman. Demikian pula pada pantun (15) di bawah ini, kita diajarkan untuk bersabar ketika dilanda kebangkrutan dan musibah. (15) Buah jambu sapuluh bigi Lima bigi gugur ka tanah Bawa basabar, badagang rugi Basabar jua dapat musibah buah jambu sepuluh biji lima biji jatuh ke tanah bawa bersabar, berdagang rugi bersabar juga dapat musibah Ada istilah di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Hal ini pula lah yang tampak pada pantun (16)dan (17) berikut. Kita diajarkan untuk pandaipandai menempatkan diri terutama jika berada di kampung orang. (16) Kumpai jariwit daunnya panjang Makanannya si biri-biri Amun bagana di kampung urang Babisa-bisa mambawa diri rumput jariwit daunnya panjang makanan biri-biri jika tinggal di kampung orang harus bisa membawa diri (17) Tahukah nyawa jukung tambangan? Jukung panjang wayah bahari Jangan baucap sambarangan Bisa maulah cilaka diri tahukah kamu jukung tambangan perahu panjang zaman dahulu jangan berucap sembarangan bisa membuat celaka diri PROSIDING 541 3. Membina Hubungan Kemampuan membina hubungan dengan orang lain akan mendukung keberhasilan seseorang dalam pergaulan. Refleksi dari kecerdasan emosional dalam hal membina hubungan ini, antara lain: a. Aspek Tolong Menolong Kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang akan berdampak pada sikap yang ditunjukan oleh orang tersebut kepada orang lain di sekitarnya. Sikap ringan tangan untuk menolong sesamanya tercermin dalam kehidupannya sehari-hari. Hal ini pula lah yang tergambar pada pantun-pantun Banjar berikut. (18) Kayu panjang di halaman Lalu ditatak lawan parang Parilaku urang baiman Katuju manulungi urang kayu panjang di halaman lalu dipotong dengan parang perilaku orang beriman suka menolong orang (19) Parak haja kampung barikin Wadah baulah handuk sasapu Urang cacat pakir miskin Bubuhannya nitu parlu dibantu dekat saja kampung barikin tempat membuat sapu ijuk orang cacat fakir miskin orang-orang itu perlu dibantu (20) Kupasakan sabigi mangga Mangga banyak dalam barunjung Balaku baik lawan tatangga Amun parlu kawa manulung kupaskan sebiji mangga mangga banyak dalam barunjung berlaku baik dengan tetangga jika perlu bisa menolong Pada pantun-pantun di atas, kita diajarkan untuk berperilaku baik dan bersikap ringan tangan pada tetangga, orang cacat, dan fakir miskin. Perilaku baik dan ringan tangan tersebut merupakan perilaku orang beriman. Sikap tolong-menolong memang benar-benar perlu ditanamkan sejak dini. Seseorang yang mempunyai sikap ringan tangan, tentulah hatinya akan mudah tersentuh dan berusaha untuk menolong saat melihat orang lain yang dilanda kesusahan. Kecerdasan emosional yang berhubungan dengan sikap tolongmenolong tersebut juga tergambar dalam pantun Banjar berikut ini. (21) 542 Jangan ditaguk jangan dikulum Makan iwak katulangan Ada gawian kapantingan umum Jiran tatangga batutulungan jangan ditelan jangan dikulum makan ikan ketulangan ada kerjaan kepentingan umum jiran tetangga saling membantu PROSIDING b. Aspek Tata Krama/Sopan Santun Ada sekian banyak norma yang harus dipatuhi seseorang agar ia dapat diterima secara sosial, salah satunya yaitu norma kesopanan. Kesopanan merupakan tuntutan dalam hidup bersama Sekali saja terjadi pelanggaran terhadap norma kesopanan, pelakunya akan mendapat sanksi dari masyarakat, misalnya berupa cemoohan. Sopan santun adalah suatu etika/norma terhadap tingkah laku kita dalam kehidupan sehari-hari. Orang Banjar sebagai bagian dari bangsa Indonesia juga mempunyai budaya sopan santun tersebut. Dan salah satu cara untuk mengajarkan sopan santun ini adalah melalui pantun. Gambaran kecerdasan emosional orang Banjar dalam hal pembelajaran tentang sopan santun dapat kita lihat pada pantun Banjar berikut ini. (22) Anak saluang si anak sapat Timbul tinggalam banyalam-nyalam Amun kita hanyar badapat Badahulu kita maucap salam Anak saluang si anak sepat timbul-tenggelam menyelam-nyelam kalau kita baru bertemu lebih dulu kita mengucap salam Secara tersirat pantun (22) di atas mengajarkan kepada kita tentang sopan santun ketika bertemu dengan orang lain, yakni mengucapkan salam. (23) Sandal kayu disambat kalum Asal kayunya balangiran Nginum sagalas sakali tuntum Nitu parigal sapi hadangan sandal kayu disebut kalum asal kayunya balangiran minum segelas sekali telan itu seperti sapi hadangan Pada pantun (23) di atas, tergambar pembelajaran tentang sopan santun saat makan atau minum, yakni nginum sagalas sakali tuntum//nitu parigal sapi hadangan, artinya, jika seseorang minum air satu gelas langsung habis diminum, itu sama diibaratkan seperti cara minumnya sapi peliharaan. Demikian juga pada pantun-pantun berikut, tergambar pembelajaran tentang sopan-santun ketika berbicara (pantun 24), ketika berjalan di hadapan orang tua (pantun 25), dan bersikap dengan orangtua (pantun 26 dan 27). PROSIDING 543 (24) Puhun gambir di dalam hutan Andaknya di padang sabat Amun bapandir lawan kuitan Baucap nitu bagamat-gamat pohon gambir di dalam hutan letaknya di tempat rimbun kalau berbicara dengan orangtua berbicaranya pelan-pelan (25) Mambawa papan ka muhara Papan handak diulah pasak Parak hadapan urang tuha Mun bajalan babungkuk awak membawa papan ke muara papan ingin dibuat pasak di hadapan orang tua kalau berjalan membungkukkan badan (26) Banyak raragi lawan rarampah Ada katumbar lawan jintan Handak tulak ka luar rumah Basujut cium tangan kuitan banyak ragi dengan rempah-rempah ada ketumbar dengan jintan ingin berangkat ke luar rumah bersujud mencium tangan orang tua (27) Bungkah janar diulah japa Dipirik-pirik di dalam cubik Dikiau mama dikiau bapa Lakasi manyahut baik-baik bongkah kunyit dibuat japa diulek-ulek di dalam cobek dipanggil ibu dipanggil ayah cepat menyahut baik-baik c. Cinta Kasih Manusia tidak pernah lepas dari yang namanya cinta kasih. Entah itu cinta kasih terhadap sesama ataupun tidak. Cinta kasih merupakan perpaduan kata-kata yang memiliki keterkaitan erat dan arti yang mendalam. Kata cinta menurut KBBI edisi IV dapat diartikan sebagai (rasa) suka sekali atau (rasa), sayang sekali, ingin sekali, berharap sekali (2008:268). Sedangkan kata kasih dapat diartikan sebagai perasaan sayang, cinta, atau suka kepada seseorang (2008:631). Karena cinta sebenarnya merupakan suatu rasa yang sulit untuk di ungkapkan, maka kasih itu sebagai kelanjutan tindakan yang timbul dari rasa cinta yang mendalam tersebut. Kecerdasan emosional yang berhubungan dengan cinta kasih tersebut juga dapat kita temukan dalam pantun Banjar berikut. (28) Buah nyiur sabigi dua Banyunya manis nyaman dinginum Hurmat lawan urang tuha Sayang pulang lawan nang anum Buah kelapa satu biji dua Airnya manis enak diminum Hormat dengan orang tua Sayang juga dengan yang muda (29) Bamamalaman manabang paring Kada tatabang si haur gading Bamamalaman kada taguring Kada tadapat lawan si ading Malam-malam menebang bambu Tidak tertebang si haur kuning Malam-malam tidak tertidur Tidak bertemu dengan si adik Cinta merupakan kekuatan spiritual yang dapat membangkitkan fungsifungsi kecerdasan emosional dan secara spiritualitas dapat mengembangkan 544 PROSIDING potensi-potensi seseorang yang sedang mengalaminya. Perasaan cinta di sini tidak hanya terbatas pada lawan jenis, tetapi dalam lingkup yang lebih luas, yakni kepada orang tua, orang yang lebih tua, dan orang yang lebih muda. d. Kolaborasi/kerja sama Pada dasarnya, manusia tidak dapat hidup seorang diri, tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya. Menurut Freud dalam Gerungan (2004:27) super-ego manusia yang terdiri atas hati nurani, norma-norma, dan cita-cita pribadi itu tidak mungkin terbentuk dan berkembang tanpa manusia itu bergaul dengan manusia lainnya. Menurutnya, tanpa pergaulan sosial, manusia itu tidak dapat berkembang sebagai manusia seutuhnya. Pentingnya pergaulan sosial ini juga tak luput dari perhatian orang Banjar. Dari sekian banyak pantun yang terkumpul, ada beberapa pantun yang menggambarkan kecerdasan orang Banjar yang berhubungan dengan pergaulan sosial ini, yakni dalam hal kerja sama, seperti yang terdapat dalam pantun berikut. (30) Ulin panjang gasan galagar Ulin nang tipis diulah sirap Maulah masigit manggawi langgar Gawi sabumi mangumpul wakap Ulin panjang untuk galagar Ulin yang tipis dibuat sirap Membuat masjid membuat mushalla Kerja bersama mengumpul wakaf (31) Serumpun Tanah Melayu Pulau Pandan Angsana dua Ikat simpul kita basatu Nagri Banjar tanah pusaka Serumpun tanah Melayu Pulau pandang angsana dua Ikat simpul kita bersatu Negeri Banjar tanah pusaka Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi yang baik akan mampu bekerja sama secara baik pula dengan orang lain. pada kedua pantun di atas terdapat pembelajaran dalam hal kerja sama ini yakni bekerja sama mengumpulkan wakaf untuk membangun rumah ibadah (pantun 30) dan menjalin keakraban dan ikatan persaudaraan yang kuat sebagai sesama orang Melayu (pantun 31). 5. Kesimpulan Kecerdasan emosional seseorang harus terus diasah. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik, tidak akan mengalami kesulitan untuk bergaul dengan orang yang ada di sekitarnya. Konsep tentang kecerdasan emosional ini sendiri secara tidak langsung telah diajarkan oleh orangorang Banjar sejak dulu, antara lain melalui pantun Banjar. Sebagai salah satu perwujudan dari sastra lama, pantun dinilai cukup efektif digunakan dalam rangka pembelajaran tentang kecerdasan emosi ini, mengingat pantun biasanya disampaikan tanpa ada kesan menggurui. PROSIDING 545 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terungkap ada sekian banyak kecerdasan emosionalyang dimiliki orang Banjar yang terdapat dalam pantun Banjar, antara lain (1) mengenali emosi sendiri yang direfleksikan melalui kesadaran beragama dan sikap introspeksi diri; (2) mengelola emosi yang direfleksikan melalui kemampuan dalam mengelola konflik dan mengendalikan emosi; dan (3) membina hubungan yang direfleksikan melalui bersikap tolong-menolong, sopan-santun, cinta kasih, dan kolaborasi/kerja sama. Jika dalam keberadaannya, pantun digunakan orang-orang zaman dahulu untuk menyisipkan pembelajaran tentang kehidupan, tinggal kita sebagai pewaris pantun tersebut, mampukah kita merefleksikan petuah yang disampaikan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Daftar Pustaka Agustian, Ary Ginanjar. 2002. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ: Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga Wijaya Persada. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarrta: Pustaka Widyatama. Gerungan. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Goleman, Daniel. Diterjemahkan oleh T.Hermaya. 2006. Kecerdasan Emosional: Mengapa EI lebih penting daripada IQ. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Rahman, Ulfiani. 2009. “Perilaku Religiusitas dalam Kaitannya dengan Kecerdasan Emosi Remaja”. Jurnal Al-Qalam Volume 15 Nomor 23, Januari– Juni 2009. Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Saphiro, Lawrence E. 1998. Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Jakarta: Gramedia. Segal, Jeane. 2000. Melejitkan Kepekaan Emosional. Bandung: Mizan Media Utama. Seman, Syamsiar. 2004. Ayo Kita Bapapantunan. Banjarmasin: Bina Budaya Banjar. Seman, syamsiar. 2008. Kesenian Tradisional Banjar: Lamut, Madihin, dan Pantun (cetakan ketiga). Kalimantan Selatan: Lembaga Pengkajian dan Pelestarian Budaya Banjar. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia. Indradi, Arsyad. 2011. Pantun Banjar. (http://pantun-banjar.blogspot.com). Diakses 11 Maret 2013. 546 PROSIDING NOTULA BAHASA PROSIDING 547 548 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Analisis Kohesi dan Koherensi Wacana Iklan Operator Seluler Telkomsel di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat Penyaji Makalah : Aji Prasetyo, S.S. Moderator : I Gde Wayan Soken Notulis : Nuryantini, S.Pd. Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 19.15 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN 1. Judul perlu diperbaiki karena pengertian wacana terlalu luas, sedangkan dalam makalah hanya dibahas kohesi dan koherensi saja. (Sri Nardiati) 2. Perlu diperhatikan penggunaan istilah “syarat dan ketentuan” dalam iklan. Apakah tidak memengaruhi konsumen? (Edi Setiyanto) 3. Mengapa konteks hanya ada di data tiga? Yang lain tidak dijelaskan konteksnya. (Roni Sulistiyono) PROSIDING 549 JAWABAN: 1. Untuk judul, nanti akan saya perbaiki menjadi lebih khusus lagi. 2. Kata syarat dan ketentuan memang dapat memengaruhi konsumen. Biasanya tulisan “syarat dan ketentuan” ada di sudut dan hurufnya kecil sehingga tidak diperhatikan oleh konsumen. 3. Baik, nanti akan saya memberi penjelasan konteks untuk contoh-contoh yang lain. 550 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Kata Majemuk dengan Unsur Unik Bermakna Afektif dalam Bahasa Jawa” Penyaji Makalah : Drs. Edi Suwatno Moderator : Nanik Sumarsih Notulis : Titik Indiyastini Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 14.45 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN 1. Apakah abang mbranang, ireng thuntheng itu termasuk kata majemuk unik? Apakah kata-kata tersebut hanya merupakan kata yang memiliki makna ‘menyangatkan’. Sebaiknya perlu dijelaskan definisi antara kata majemuk unik dan kata majemuk biasa sehingga akan jelas perbedaannya! (Herawati) 2. Kata majemuk unik harus dijelaskan dan lebih konkret; kata majemuk dengan unsur unik bermakna ‘afektif/emotif’. Jadi, harus dijelaskan apa kata majemuk unik itu? Tentu yang bermakna afektif atau emotif. PROSIDING 551 SARAN KONSULTAN: Makalah ini harus ada teorinya. Kerangka teori apa yang digunakan untuk membahas masalah penelitian tersebut. JAWABAN: 1. Abang mbranang, ireng thuntheng termasuk kata majemuk unik dan berkaitan dengan makna ‘menyangatkan’. Masalah kata majemuk secara jelas definisinya terletak pada teori, nanti akan penulis tata kembali. 2. Semuanya merupakan saran/masukan saya terima. Terima kasih. 3. Terima kasih saran yang disampaikan oleh konsultan. 552 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Leksikon Berbahasa Asing dalam Media Cetak pada Masa Penjajahan Jepang” Penyaji Makalah : Dra. Hari Sulastri, M.Hum. Moderator : Riani Notulis : Wening Handri Purnami Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 16.45 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN (1) Apa urgensinya media cetak pada masa penjajahan Jepang? (2) Leksikon asing dalam bentuk majalah Pantja Radja apa relevan dengan isi makalah? (3) Penggunaan sumber data apakah relatif dipakai ? (4) Paparan data ini belum menemukan maknanya. (Darmanto) PROSIDING 553 JAWABAN: Topik berupa media cetak bukan media elektronik. Masukan diterima dan data akan dilengkapi lebih banyak lagi. 554 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Wacana Ritual Hari Lahir dalam Masyarakat Bali Kajian Linguistik Antropologi” Penyaji Makalah : I Gde Wayan Soken Bandana Moderator : Tarti Khusnul Khotimah Notulis : Aji Prasetyo Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 08.00 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN 1. Bagaimana jika orang muslim yang mempunyai hajat tersebut. Apakah mereka juga melakukan ritual hari lahir seperti itu? (Mardjoko Idris) 2. Di Jawa ada pasaran, seperti wage, kliwon, pon, legi, dan pahing. (a) Bagaimana dengan di Bali? (b) Kosakatra atau kata-kata dalam bahasa Bali sebaiknya diberi arti/glos. (c) Apakah dalam bahasa Indonesia ada kata dihaturkan? (Herawati) PROSIDING 555 3. Apakah manusia pernah berhutang kepada Tuhannya sehingga perlu dibayar memakai sesaji? (Hari Sulastri) JAWABAN: 1. Hajatan ritual hari lahir tersebut hanya dilakukan oleh orang Hindu saja. Penganut agama lain tidak. 2. Di Bali juga ada neptu pasaran seperti di Jawa, namanya weweran dan wuku. Nanti saya tambahkan glos untuk kata-kata berbahasa Bali dan saya cek juga kata dihaturkan dalam KBBI. 3. Menurut masyarakat Bali, manusia memang harus membayar kepada dewa, pendeta, dan leluhur. 556 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKAI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : Penyaji Makalah : Moderator : Notulis : Hari, tanggal : Waktu : “Pemakaian Disfemisme dalam Surat Kabar di Yogyakarta” Tarti Khusnul Khotimah, S.S. Drs. Suryo Handono, M.Pd. Drs. Edi Suwatno Jumat, 8 November 2013 20.45—23.15 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN 1. Berdasarkan data-data yang disampaikan, tampaknya antara satu orang dengan orang lain akan berbeda-beda dalam menafsirkan apakah sebuah kata atau ungkapan disebut sebagai disfemisme atau bukan. Kriteria apakah yang dipakai untuk menentukan kata atau ungkapan sebagai disfemisme? (Imam Budi Utomo) 2. Tampaknya dalam makalah ini disfemisme dioposisikan dengan eufemisme? Yang ingin saya tanyakan adalah kalimat pada bagian penutup, yaitu PROSIDING 557 3. pada kalimat pertama dan kalimat terakhir pada alinea kedua, tampak kurang logis dan kurang runtut. Bagaimana menurut Ibu? (Sri Nardiati) Sebenarnya pertanyaan saya sama dengan yang dikemukakan oleh Pak Imam Budi Santoso, yaitu kriteria apa yang digunakan untuk menentukan sebuah kata disebut sebagai disfemisme? (Aji Prasetyo) JAWABAN: 1. Karena pertanyaan Pak Imam dan Pak Aji sama, saya jawab sekalian. Kriteria penentuan disfemisme memang bersifat relatif. Sebuah kata atau ungkapan dapat dikatakan sebagai satuan ekspresi disfemisme bergantung pada pemakaiannya dalam kalimat (konteks kalimat). Sebagai penutur asli bahasa Indonesia, kita juga mempunyai kemampuan untuk menilai atau menentukan apakah sebuah kata atau ungkapan merupakan satuan ekspresi disfemisme (mempunyai nilai rasa kasar) atau tidak; dan penilaian semacam ini dalam penelitian linguistik diperbolehkan (dianggap valid). Dalam penelitian ini, saya juga menggunakan kamus (KBBI) untuk mencari arti/makna dan padanan kata-kata yang mengandung disfemisme. Selain itu, untuk mendapatkan penjelasan yang lebih tepat dan lengkap, istilah atau ungkapan disfemisme tersebut juga dicari di internet. 2. Iya, benar. Disfemisme adalah kebalikan dari eufemisme. Mengenai kalimat yang Ibu tunjukkan tadi, saya akui saya kurang cermat. Yang saya maksudkan kalimat tersebut seharusnya “Semakin besar porsi disfemisme yang tampil di surat kabar di Yogyakrta, akan membuat masyarakat menjadi terbiasa dengan bahasa yang bernuansa kasar”. Terima kasih atas koreksinya. 558 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Ketidaksesuaian Prinsip Kualitas dalam Komunikasi: Kajian terhadap Stilistika Alquran” Penyaji Makalah : Dr. H. Mardjoko Idris Moderator : Edi Setiyanto Notulis : Nuryantini Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 09.15 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: 1. Bagaimana penggunaan kata ganti pada terjemahan Alquran yang kadang-kadang menggunakan kata “Aku” dan kadang-kadang “Kami”? (Sri Nardiati) 2. Sistematika makalah Anda belum sesuai dengan format yang diajukan oleh panitia. Apa yang dinamakan stilistika Alquran itu? Metode apa yang Bapak gunakan untuk meneliti itu? (Nur Zaini) 3. Apakah prinsip kerja sama ini bisa berlaku untuk manusia dengan Tuhan? (Riani) PROSIDING 559 JAWABAN: 1. Allah menggunakan kata “Nahnu” dan “Anna” agar tidak membosankan. Itulah gaya bahasa Alquran. 2. Maaf, saya belum membaca aturannya, yang penting saya membuat makalah. Stilistika adalah gaya bahasa. Suatu cara yang dianut seseorang dalam menyampaikan pemikiran, maksud, dan perasaannya. 3. Sepanjang untuk keilmuan, bisa saja karena dalam Alquran itu penuturnya bukan hanya Tuhan saja. Jadi, dapat diteliti dengan pendekatan pragmatik. 560 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : Penyaji Makalah : Moderator : Notulis : Hari, tanggal : Waktu : “Pepindhan Bagian Tubuh Manusia” Nur Ramadhoni Setyaningsih, S.Pd. Nanik Sumarsih, S.Pd., M.A. Dra. Titik Indiyastini Jumat, 8 November 2013 14.45—14.30 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: 1. Apa metafora sama dengan pepindhan? (Herawati) 2. Bisakah dalam pepindhan penyebutannya dibalik, misalnya ‘wiji timune kaya untumu’? (Mardjoko Idris) JAWABAN: 1. Antara metafora dan pepindhan memiliki persamaan, yaitu sama-sama membandingkan atau mempersamakan sesuatu. Hanya saja, dalam meta- PROSIDING 561 2. 562 fora pembandingan tersebut dinyatakan secara langsung tanpa kata pembanding, sedangkan dalam pepindhan, pembandingan dilakukan dengan menampilkan penanda perbandingan dengan makna ‘seperti’, yaitu kaya, lir, kadya, pindha atau bentuk lain yang memiliki makna ‘seperti’. Dalam bahasa Indonesia, pepindhan dapat disamakan dengan simile. Dalam sebuah komunikasi ada kemungkinan seseorang menciptakan gaya yang berbeda dari yang seharusnya. Ketika seseorang mengatakan ‘wiji timune kaya untumu’, hal ini merupakan kreasi yang diciptakan oleh penutur agar terdengar berbeda. Hanya saja, inti dari apa yang di-pepindhankan adalah sama, yaitu gigi yang memiliki susunan yang rapi seperti biji ketimun. PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Karena Banyak Menuntut, Nyawa Pun Tercabut: Kajian Representasi Perempuan dalam Berita tentang Pembunuhan Holly di Media Online” Penyaji Makalah : Nur Zaini Moderator : Tarti Khusnul Khotimah Notulis : Aji Prasetyo Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 07.30 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: 1. Nikah siri jangan dilihat negatifnya, dianggap netral saja. Seorang istri menuntut materi ke suaminya itu hal yang wajar. Mengapa menggunakan ideologi patriarki yang memandang perempuan sebagai sosok yang lemah dan marjinal? Sudut pandangnya harus seimbang dalam memandang laki-laki dan perempuan. (Mardjoko Idris) PROSIDING 563 2. 3. Holly dan Gatot sama-sama membutuhkan sehingga jangan menyudutkan Holly. Pihak wanita selalu disalahkan, seharusnya keduanya sudah menyadari pasti akan timbul permasalahan dan permasalahan itu harus ditanggung mereka. (Herawati) Moral yang menentukan etika seseorang. Meskipun seorang pejabat, moralnya belum tentu baik, contohnya Gatot telah melakukan nikah siri. (Hari Sulastri) JAWABAN: 1. Analisis kualitatif memang subjektif sehingga subjektivitas penulis akan masuk ke dalam analisisnya. Jika memakai sudut pandang feminisme, saya akan memandang wanita yang kuat dan tidak mudah menyerah. 2. Memang keduanya saling membutuhkan. Jika tidak sama-sama membutuhkan, itu namanya pemerkosaan. 3. Dilihat dari etika, seorang PNS sebenarnya tidak boleh melakukan nikah siri. 564 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : Medan Leksikal Nomina Berkonsep “Tempat” yang Terbuat dari Tanah Liat dalam Bahasa Jawa. Penyaji Makalah : Nuryantini, S.Pd. Moderator : Sigit Arba’I, S.Pd. Notulis : Riani, S.Pd, M.A. Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 13.00—14.30 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: 1. Apa objek kajian Anda, leksem atau kata? Apa pengertian “leksem” dan “kata” menurut Anda? Bagaimana dengan data Anda seperti: celengan, padhasan? (Edi Setiyanto) 2. Leksem “kendhil” belum Anda masukkan. Menurut saya, leksem tersebut masuk ke dalam leksem berkonsep tempat dalam bahasa Jawa karena akhir-akhir ini, pada kenyataannya kendhil banyak dimanfaatkan untuk tempat ari-ari atau plasenta bayi. (Herawati) PROSIDING 565 3. Dari mana Anda yakin bahwa leksem celengan, kuwali, dan lain-lain itu berasal dari bahasa Jawa? (Mardjoko Idris) JAWABAN: 1. Objek kajian ini adalah leksem nomina berkonsep “tempat” dalam bahasa Jawa yang terbuat dari tanah liat. Saya di sini mengambil definisi leksem dari Kridalaksana, yang menyebutkan bahwa leksem adalah kata atau frase yang merupakan satuan bermakna. Jadi, celengan, padhasan, dan yang lainnya adalah leksem. Terima kasih. 2. Terima kasih Bu Hera atas masukannya. 3. Saya yakin leksem-leksem tersebut berasal dari bahasa Jawa karena saya sendiri sebagai penutur asli bahasa Jawa dan leksem-leksem tersebut juga saya ambil dari kamus Poerwadarminto yang tergolong kamus berbahasa Jawa yang sudah lama. 566 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : Penyaji Makalah : Moderator : Notulis : Hari, tanggal : Waktu : “Makian dalam Berita Gosip OMG” Riani, S.Pd., M.A. Wening Handri Purnami Sigit Arba’i Kamis, 7 November 2013 20.00 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: 1. Apakah penggunaan makian yang digunakan oleh bukan penutur asli akan memiliki makna yang kurang lebih sama dengan makian yang digunakan oleh penutur aslinya? (Mardjoko Idris) 2. Mengapa judulnya makian pada wacana OMG tidak langsung saja makian pada komentar pembaca OMG? Mengapa metode yang digunakan bukan analisis konten? (Darmanto) PROSIDING 567 JAWABAN: 1. Penggunaan makian berkaitan dengan kekhasan bahasa dan budaya bahasa tersebut digunakan. Misalnya, anjing dan babi adalah makian yang digunakan oleh penutur yang memiliki pandangan dan keyakinan serta pemahaman bahwa kata-kata tersebut menyatakan hal-hal yang dianggap buruk atau jelek. Penggunaan kata-kata tersebut oleh bukan penutur asli yang menyakini bahwa makian tersebut tidak memiliki makna serta konotasi negatif akan berbeda baik dalam konteks penggunaan ataupun nilai rasanya yang menyebabkan salah dalam penggunaannya. 2. Judul makian pada wacana OMG lebih tepat karena komentar pembaca yang mengandung makian tidak terlepas dari isi pemberitaan yang disajikan dalam berita selebriti OMG. Untuk dapat memahami fungsi dan tujuan penggunaan makian maka diperlukan juga pemahaman akan konteks pemberitaan sehingga makian pada wacana OMG dapat lebih luas mewadahi konteks, makna, dan fungsi penggunaan makian. 3. Metode yang digunakan bukan analisis konten karena penelitian ini bukan penelitian kuantitatif. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif karena data yang dianalisis berupa data kualitatif dan hasil analisis ditujukan untuk dapat mendeskripsikan penggunaan makian. 568 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Pelanggaran Maksim Kesantunan pada Tuturan Menolak: Supir Angkutan Umum Jurusan Martapura Analisis Sosiopragmatik” Penyaji Makalah : Rissari Yayuk Moderator : Tarti Khusnul Khotimah Notulis : Titik Indiyastini Hari, tanggal : Sabtu. 9 November 2013 Waktu : 08.15 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN 1. Dari data yang Ibu kemukakan tampak bahwa sopir sangat ngeyel. Saya yakin bahwa tidak semua sopir seperti itu. Sebab, kalau di Jawa, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur sopir masih berperilaku santun. Bahkan, penolakan atau ketidaksetujuan itu masih dikemas sehingga bersifat tidak langsung. (Sri Nardiati) 2. Anda menggunakan prinsip kesantunan dalam kajian Anda. Mengapa tidak mencoba dengan teori Levinson? (Edi Setiyanto) PROSIDING 569 3. Ibu Rissari Yayuk, sebaiknya saran Ibu disampaikan kepada para sopir juga. Data yang Ibu kemukakan itu menjadi sebuah bukti yang tidak baik dari para sopir itu. Dengan demikian, hasil penelitian ini mempunyai tujuan akhir yang lebih nyata dan mempunyai andil yang sangat besar terhadap pembangunan manusia seutuhnya. (Roni Sulistiyono) JAWABAN: 1. Iya Ibu, benar bahwa tidak semua sopir menolak secara kasar. Tentu, itu dilakukan untuk menjalin komunikasi yang baik. Secara umum, kesantunan berbahasa menurut Leech berkaitan dengan penghindaran konflik, yang dibuktikan oleh berbagai spesifikasi maksim-maksim, sekaligus oleh pernyataan bahwa kesantunan diarahkan untuk menetapkan sikap hormat. 2. Terima kasih sarannya Bapak. Untuk kesempatan ini saya menerapkan teori kesantunan yang dikemukakan oleh Leech. Tentu, saran Bapak sangat baik untuk pengembangan teori yang saya gunakan sehingga menjadi lebih sempurna dan dapat membandingkan teori dari dua pakar yang berbeda. 3. Terima kasih Bapak atas masukannya. Itu saran yang sangat baik dan saya akan menyampaikan hasil penelitian ini kepada dinas yang terkait. Sekurang-kurangnya, saya berharap hasil penelitian ini dapat dibaca dan menjadi bagian bahan perbaikan di masa yang akan datang. 570 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Penggunaan Media Kartu Gambar untuk Meningkatkan Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SD Muhammadiyah Sangonan 3 Godean” Penyaji Makalah : Roni Sulistiyono, S.Pd., M.Pd. Moderator : Tarti Khusnul Khotimah, S.S. Notulis : Dra. Titik Indiyastini Hari, tanggal : Sabtu, 9 November 2013 Waktu : 08.00—09.30 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: 1. Bagaimana cara siswa memahami tema dalam pembelajaran keterampilan berbicara dengan menggunakan media kartu gambar? Saya beranggapan bahwa berbicara menjadi bagian dari ekspresi buah pikiran secara lisan. Siswa, dalam hal ini, sebelum berbicara harus melihat gambar. Bagaimana siswa itu dapat menentukan temanya? (Hari Sulastri) PROSIDING 571 JAWABAN: 1. Cara memahami tema dalam pembelajaran berbicara dengan menggunakan kompetensi. Dengan kompetensi yang ia miliki siswa akan memahami gambar. Bagi siswa yang berkompetensi standar ke atas akan lebih mudah mengapresiasi gambar tersebut, menghubung-hubungkan komponen itu secara baik. Atas dasar pengalaman itu, siswa dengan mudah menentukan tema sebagaimana yang dimaksudkan gambar tersebut. 572 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Pola Urutan (Word Order) Struktur Beku (Freezes) dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa” Penyaji Makalah : Siti Jamzaroh, S.S., M.Hum. Moderator : Wening Handri Purnami, S.Pd. Notulis : Sigit Arba’i, S.Pd. Hari, tanggal : Kamis, 7 November 2013 Waktu : 19.45—20.45 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: 1. Saya baru tahu kalau ada istilah yang disebut struktur beku. Apa bedanya dengan kata majemuk. Apakah sama dengan yang disebut dengan peras keringat, banting tulang, atau kerja keras? (Marjoko) 2. Dalam bahasa Arab ada satu istilah (tidak tercatat) yang mungkin disebut dengan ‘naik ke atas’. Nah sekarang dalam bahasa Indonesia, frase tersebut dimaknai dengan turun ranjang. Apakah yang terjadi dengan perbedaan makna tersebut? (Mardjoko Idris) PROSIDING 573 JAWABAN: 1. Seperti yang telah saya kemukakan dalam makalah saya, struktur beku itu adalah bagian dari kata majemuk yang letaknya tidak bisa dipertukarkan. Misalnya kaki tangan, mata panah adalah kata majemuk. Makna yang muncul dari kedua paduan leksem tersebut adalah ‘pembantu’, ‘ujung panah’. Jika dipindahletakkan akan menjadi frase, yakni tangan dan kaki, mata, dan panah. Berbeda dengan serah terima dan antar jemput. Kedua paduan leksem tersebut adalah struktur beku. 2. Mengenai kasus yang Bapak sebutkan tadi, sebenarnya itu terjadi karena beda budaya, antara budaya Arab dan budaya Indonesia. Bahasa Indonesia mengatakan turun ranjang dan bahasa Arab mengatakan (tidak tercatat) ‘naik ke atas’. Keduanya bermakna sama, yakni bila seorang istri meninggal, kemudian sang suami menikahi adik iparnya. Tetapi bila perbedaan makna itu terjadi hanya dalam bahasa Arab, hal itu berarti telah terjadi peristiwa meliorasi ‘perkembangan makna’. SARAN NARASUMBER: 1. Pada contoh struktur beku berdasarkan deiksis persona, tolong diperhatikan. Apa betul deiksis persona kok contohnya sekarang atau nanti, pagi atau sore, siang atau malam, dan sebelum dan sesudahnya. 2. Mungkin yang pemakalah maksudkan dengan other first atau far from me, close to me itu adalah faktor ikonik. Coba digunakan faktor ikonik dalam analisis Anda. 574 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Pemerolehan Bahasa yang Menyatakan Negasi pada Anak Berorang Tua Tuna Wicara” Penyaji Makalah : Sigit Arba’i Moderator : Drs. Edi Setiyanto, M.Hum. Notulis : Nuryantini, S.Pd. Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 09.15—10.45 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN 1. Apa yang mendorong Pak Sigit melakukan penelitian tentang pemerolehan kata yang bermakna negasi bagi anak yang memiliki orang tua tuna rungu? Tadi dikemukakan bahwa kata /moh/ diperoleh lebih awal dari pada kata-kata yang lain. Tentu saja ini berkaitan dengan kemampuan anak mengucap kata melibatkan suara yang dihasilkan bibir, misalnya, /mama/. Mungkinkah perolehan bahasa anak itu dikaitkan dengan aktivitas termudah bagi artikulasi anak? (Sri Nardiati) PROSIDING 575 2. Saya berpendapat bahwa hendaknya Pak sigit juga mengkaji perolehan bahasa anak dengan orang tua keadaan normal. Dengan demikian perbedaan pemerolehan bahasa pada anak yang mempunyai keluarga normal dan tidak normal dapat dijelaskan. (Riani) JAWABAN 1. Saya mengambil tema perolehan bahasa anak, terbatas, pada kata yang bermakna ‘negasi’ dengan orang tua tunawicara. Pembatasan ini sengaja dilakukan dengan pertimbangan waktu yang tersedia sangat terbatas. Akhirnya, yang semula akan mengambil pemerolehan bahasa dengan makna kata yang lebih luas diganti dengan makna ‘negasi’. 2. Terima kasih, masukan Ibu. Tentu, kalau masukan itu diterapkan akan memerlukan waktu yang cukup panjang. Sebab, selain kajian kata dan makna lebih luas, juga keadaan orang tua yang lebih umum. Maksudnya, bukan hanya orang tua yang berkeadaan tunawicara. 576 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Unsur-Unsur dan Metode Pengembangan Paragraf Deskripsi dalam Bahasa Jawa” Penyaji Makalah : Dra. Sri Nardiati, M.Pd. Moderator : Wening Handri Purnami, S.Pd. Notulis : Sigit Arba’I, S.Pd. Hari, tanggal : Kamis, 7 November 2013 Waktu : 19.45—21.30 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN 1. Apakah paragraf dekripsi yang jumlahnya sangat banyak ini mempunyai implikasi makna atau tidak? Lalu manfaat dan tujuan dari penelitian ini ana? (Marjoko Idris) JAWABAN: 1. Tentu saja hasil penelitian ada manfaatnya. Hampir belum ada penelitian paragraf deskripsi paragraf dalam bahasa Jawa. Pendidikan dasar, deskripsi sudah mulai diajarkan, karena sangat diperlukan. Saat anak PROSIDING 577 mengarang, selalu diawali dengan deskripsi. Implikasi maknanya: setiap paragraf mempunyai implikasi makna, dan tidak dapat saya paparkan di sini. Ada yang sifatnya implisit maupun eksplisit. SARAN Pada penelitian ini saya sarankan, permasalahannya itu berupa pernyataan berupa apa saja pengisi unsur-unsur paragraf deskripsi itu. Untuk unsur terdeskripsi diisi dengan nomina apa saja. Pengembangan paragraf itu menggunakan metode apa saja. Bagaimana metode pengembangan itu diterapkan? 578 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Sikap Siswa SMP di Eks-Karesidenan Semarang terhadap Bahasa Jawa” Penyaji Makalah : Drs. Suryo Handono, M.Pd. Moderator : Edi Setiyanto, M.Hum. Notulis : Nuryantini, S.Pd. Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 09.15—10.45 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN 1. Sikap guru dan materi pembelajaran memang harus sejalan. Sikap guru harus positif dan menguasai bahan ajar. Apabila guru menguasai materi, guru dapat menyampaikan materi secara utuh dalam waktu yang sangat terbatas. Mengingat alokasi waktu sangat terbatas, pembelajaran efektif justru di dalam rumah oleg orang tua. Namun, tanpa dukungan pemerintah, semangat itu akan luntur. (Sri Nardiati) PROSIDING 579 2. 3 Bagaimana aplikasi konsep hingga pengukuran sikap dilaksanakan. Apakah siswa menggunakannya dengan baik, perlu disampaikan secara lengkap. Analisis sebuah penelitian harus mendalam. Mengapa dalam makalah tidak dilampirkan pertanyaan-pertanyaan tersebut? (Nur Zaini) JAWABAN 1. Perlu kami informasikan bahwa per daerah yang mengatur penggunaan bahasa Jawa di Jawa Tengah sudah ada, Bu. Namun, pembelajaran bahasa Jawa itu terkendala pada kualifikasi guru. Di Semarang, guru rata-rata bukan dari jurusan bahasa Jawa, melainkan ada yang dari matematika, biologi, dan bahasa Indonesia. 2. Sebelum melakukan penelitian, konsep yang menjadi kajian penelitian sudah harus dikuasai. Untuk pengukurannya kami menyusun menggunakan instrumen. Itu semua ada di dalam penelitian. Maaf, hal itu tidak dapat tergambar pada makalah ini karena terbatasnya halaman. 3. Contoh pertanyaan sudah ada Bu pada makalah ini, tetapi hanya sebagian. Sebab, instrumen itu tebalnya kurang-lebih sepuluh halaman. 580 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Keterbacaan Soal Ujian Nasional Bahasa Indonesia Tahun 2011 Tingkat SD/MI” Penyaji Makalah : Tri Saptarini Moderator : Wening Handri P. Notulis : Sigit Arba’i Hari, Tanggal : Kamis, 7 November 2013 Waktu : Pukul 20.45—21.00 WIB PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN 1. Saya merasa lebih bisa berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia. Bagaimana seperti ini bisa terjadi padahal saya adalah orang Indonesia dan lahir di Indonesia. Sejak kecil saya menggunakan bahasa Indonesia. (Yune Andryani Pinem) 2. Sering sekali kita mendengar dan menggunakan istilah sikap dalam bahasa. Seakan-akan istilah ini semakin lama menjadi ungkapan klise. Sebenarnya bagaimana istilah ini digunakan! (Widada) PROSIDING 581 JAWABAN 1. Sebagaimana kita ketahui bahwa bangsa Indonesia sebagai masyarakat yang multietnik sehingga di Indonesia terdapat bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Bahasa daerah yang biasanya disebut bahasa ibu sudah mulai luntur dan berkurang jumlah penuturnya. Hal ini terjadi, antara lain, karena banyak terjadi kawin campur sehingga bahasa Indonesia yang dipergunakan. Namun, para pemakai bahasa Indonesia belum maksimal mempelajari bahasa nasionalnya, tidak begitu peduli dengan bahasa Indonesianya. Umumnya mereka belum bangga dengan bahasanya sendiri, yakni bahasa Indonesa. Mereka justru malah berbangga dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. 2. Mbak Yune adalah salah satu contoh salah seorang bangsa Indonesia yang merasa bangga bisa berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia. Bahasa Inggris justru dipelajarinya dengan seksama. Sebaliknya, bahasa Indonesia barangkali dianggap sepele. Maka tidak dipelajarinya secara serius dan mendalam berakibat Mbak Yune lebih menguasai bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Para peneliti bahasa umumnya menyatakan istilah sikap. Jadi bagaimana seseorang menyikapi sesuatu bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Kalau saya lebih tepat memakai istilah kesadaran. Jadi, Mbak Yune merasa malah justru lebih bisa menguasai bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia karena Mbak Yune belum mempunyai kesadaran yang memadai terhadap bahasa Indonesia. Ajakan saya, kami sebagai bangsa Indonesia selayaknyalah berbangga dengan bahasanya sendiri, yakni bahasa Indonesia. Selain itu di Indonesia terdapat bahasa-bahasa daerah. Tentu mbak Yune yang orang Batak tentu bisa berbahasa Batak walau tinggal di Yogyakarta atau Jawa. SARAN Saya setuju kalau soal-soal ujian bahasa Indonesia itu sulit karena kalau tidak sulit bahasa Indonesia itu dianggap remeh. Jadi, suka dinyek. Dinyek adalah bahasa Jawa yang artinya direndahkan dalam bahasa Indonesia. Yang dimaksud keterbacaan dalam penelitian itu adalah pemahaman dalam membaca. Konsultan penelitian itu sudah tepat, yakni ahli dari UPI dan sudah tepat pula memberi rumus seperti itu. Ini adalah salah satu penelitian awal untuk mengetahui bagaimana soal-soal ujian itu. Selanjutnya, akan lebih mendalam lagi jika diadakan penelitian-penelitian selanjutnya. 582 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Penanda Imperatif Wacana Khotbah Jumat dalam Bahasa Jawa” Penyaji Makalah : Wening Handri Purnami, S.Pd. Moderator : Tarti Khusnul Khotimah, S.S. Notulis : Aji Prasetyo, S.S. Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 07.30—09.00 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN 1. Dalam makalah, contoh-contoh yang digunakan bahasa Jawa ngoko sehingga ada penanda-penandanya. Jika contohnya dalam bahasa Jawa kromo, penanda-penandanya kadang-kadang tidak ada. Perlu dilihat juga bentuk-bentuk yang pasif. (Mardjoko Idris) 2. Contoh-contoh dalam bahasa Jawa kromo perlu ditambahkan. (Herawati) PROSIDING 583 JAWABAN 1. Data yang dipakai memang mengambil bahasa Jawa ngoko, tetapi nanti akan saya pertimbangkan juga penggunaan contoh bahasa Jawa kromo dan penggunaan bentuk-bentuk pasif. 2. Terima kasih saran dan masukannya. Penanda imperatif dalam bahasa Jawa krama, misalnya sumangga/mangga ‘mari’ dan mugi-mugi ‘semoga’. Penggunaan kata-kata itu dalam kalimat akan saya tambahkan untuk melengkapi data yang harus dianalisis pada penelitian ini. 3. Data yang dipakai memang mengambil bahasa Jawa ngoko, tetapi nanti akan saya pertimbangkan juga penggunaan contoh bahasa Jawa kromo dan penggunaan bentuk-bentuk pasif. 4. Terima kasih saran dan masukannya. 584 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah Pemakalah Moderator Notulis Hari, Tanggal Waktu : : : : : : “Sapaan Gelar Kebangsaan dalam Masyarakat Kutai” Wenni Rusbiyantoro, M.Hum. Riani, S.Pd., M.A. Wening Handri Purnami, S.Pd. Jumat, 8 November 2013 16.30—18.00 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN 1. Isi makalah ini diuraikan dari yang sederhana dulu kemudian masalah yang lebih sulit. 2. Perlu dibedakan kata aji yang digunakan di masyarakat Kutai dengan kata awang dan dayu. 3. Penggunaan bahasa perlu diperbaiki supaya logis dan sistematis sehingga mempunyai daya baca yang tinggi. PROSIDING 585 SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Kesalahan Berbahasa Indonesia dalam Karya Ilmiah Mahasiswa: Kasus Pembentukan dan Pemilihan Kata” Penyaji Makalah : Drs. Widada, M.Hum. Moderator : Drs. Suryo Handono, M.Pd. Notulis : Drs. Edi Suwatno Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 20.45—23.15 PERANYAAN-JAWABAN DAN SARAN 1. Target apa yang tidak tercapai oleh mahasiswa tentang kasus pembentukan dan pemilihan kata berkaitan dengan ketidakcermatan pemakaian bahasa Indonesia? Dalam kaitan penyusunan karya tulis, kasus yang dihadapi tidak sederhana. Permasalahan itu kompleks dari penulisan ejaan hingga pengalimatan. Selain itu, isi simpulan tidak koheren dengan rumusan masalah dan tujuan. Untuk itu, perlu diselaraskan. (Sri Nardiati) 2. Masalah kesalahan dalam penggunaan bahasa Indonesia, berkaitan dengan proses penyerapan kata yang berasal dari bahasa asing, proses 586 PROSIDING penerapan kaidah ejaan, proses pembentukan kata yang baku, dan proses pemilihan kata yang cermat tidak sesuai atau tidak bisa, apa sebabnya? (Hari Sulastri) JAWABAN 1. Sebagaimana dalam kesimpulan bahwa titik berat makalah ini adalah tentang hal-hal yang berkaitan dengan proses penyerapan kata yang berasal dari bahasa asing, proses penerapan kaidah ejaan, proses pembentukan kata yang baku, dan proses pemilihan kata yang cermat. Jadi, semuanya tidak memenuhi target. 2. Kesalahan penggunaan bahasa memang berkaitan dengan banyak hal: proses penyerapan kata asing, proses penerapan kaidah ejaan, proses pembentukan kata, proses pemilihan kata juga sangat penting. Untuk pemilihan kata harus mempertimbangkan kelayakan gramatikal, geografis, dan temporal. SARAN Bahasa yang digunakan perlu diperbaiki. Seperti saya sendiri kalau mengritik mahasiswa malah tidak sedetail ini. Karena makalah ini mengambil data tulisan mahasiswa, bahasa dalam makalah ini harus baik. PROSIDING 587 SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Tindak Tutur pada Tuturan Kain Rentang Pasca Gempa di Yogyakarta” Penyaji Makalah : Dra. Wiwin Erni Siti Nurlina, M.Hum. Moderator : Nanik Sumarsih, S.Pd., M.A. Notulis : Dra. Titik Indiyastini Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 14.45—16.15 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN Penulisan Judul harus cermat. Misalnya, dalam bahasa Indonesia mengikuti hukum diterangkan-menerangkan, ini harus diterapkan dalam menyusun struktur. Sebab, kalau tidak cermat dapat mengganggu struktur pesan. Mungkin itu dianggap masalah kecil, tetapi kalau kita tidak cermat menjadi masalah besar. (Sri Nardiati) 588 PROSIDING JAWABAN Terima kasih masukan Bu Nardiati. Mohon masukan dari Bu Nar. Benar, meskipun masalah kecil memang harus diperhatikan. Untuk judul memang harus dicermati lagi dan nanti saya minta masukan Bu Nardiati. PROSIDING 589 SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Kata Sapaan karena Ikatan Pernikahan sebagai Identitas Rukut Sitelu dalam Kerja Adat Kalak Karo” Penyaji Makalah : Yune Andryani Pinem Moderator : Sigit Arba’i Notulis : Riani, S.Pd., M.A. Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 13.00—14.30 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN 1. Apa yang dimaksud dengan ngukup siteru? 2. Kekerabatan dimulai dari ego, dimana posisi ego? Dimulai dari titik yang mana? (Edi Setiyanto) 3. Belum ada deskripsi masalah yang jelas, pembahasan kurang bagus, masalah perlu diperjelas. (I Gde Wayan Soken) 590 PROSIDING JAWABAN 1. Memang tidak ada definisi langsung dari ngukup siteru. Akan tetapi, hal itu dijabarkan dalam ketiga kategori yang terdapat pada halaman 6. 2. Biasanya menggunakan ego, saya hanya menggunakan cara yang sederhana. 3. Deskripsi masalah yang dijabarkan adalah apa-apa saja kata sapaan yang muncul karena ikatan pernikahan. PROSIDING 591 592 PROSIDING NOTULA SASTRA PROSIDING 593 594 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Pengayom Sastra Wayang dalam Koran dan Majalah di Yogyakarta Periode 2004—2008” Penyaji Makalah : Dra. Prapti Rahayu Moderator : Yohanes Adhi Satiyoko, S.S., M.A. Notulis : Achmad Abidan H.A., S.Pd. Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 07.30—08.15 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: Apa tujuan pengayom sastra wayang dalam kesastraan Jawa? (Sutiyem) JAWABAN: Tujuan pengayom sastra wayang adalah untuk melestarikan budaya bangsa, membentuk filosofi pewayangan supaya dapat dijadikan suri tauladan, dan menanggulangi pengaruh kebudayaan asing yang tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. PROSIDING 595 SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Kecerdasan Emosional Orang Banjar dalam Pantun Banjar” Penyaji Makalah : Yuliati Puspita Sari Moderator : Drs. Umar Sidik, S.I.P., M.Pd. Notulis : Achmad Abidan H.A., S.Pd. Hari, tanggal : Sabtu, 9 November 2013 Waktu : 08.00—0845 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: 1. Bagaiamana kondisi kearifan lokal di tengah Suku Dayak saat ini, khususnya di tengah modernisasi dan masuknya para pendatang? (Herry Mardiyanto) JAWABAN: 1. Sampai dengan sekarang kekayaan itu masih sangat melekat di tengah suku Dayak. Akan tetapi, ada sebagian kearifan lokal itu yang mulai 596 PROSIDING bergeser karena pengaruh dari pendatang dan modernisasi. Salah satu kekhasan itu terletak pada tempat tinggalnya yang dinamakan rumah lamin atau lamin adat. PROSIDING 597 SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Adat Istiadat dan Hukum Adat Dayak dalam Novel Di Antara Dua Cinta Karya Inni Indarpuri” Penyaji Makalah : Derri Ris Riana Moderator : Mashuri Notulis : V. Risti Ratnawati, M.A. Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 14.45—15.15 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: Apakah pantun-pantun Jatra dapat dijadikan reverensi? (Mustari) JAWABAN: Pantun Jatra digunakan orang-orang zaman dahulu untuk menyisipkan pembelajaran tentang kehidupan, tinggal kita sebagai pewaris pantun tersebut, mampukah kita merefleksikan petuah yang disampaikan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. 598 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Naluri Kematian dalam Cerpen-cerpen di Kaltim Post dan Tribun Kaltim Di Kalimantan Timur” Penyaji Makalah : Misriani Moderator : Y. Adhi Satiyoko, S.S., M.A. Notulis : Achmad Abidan H.A., S.Pd. Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 07.30—08.15 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: Bagaimana pertimbangan memilih tiga cerpen? (Mashuri) JAWABAN: Judul cerpen-cerpen “Perahu” karya Santined, Kaltim Post 19 Februari 2006, “Darah” karya Dh. Fitrianda, Kaltim Post, Minggu, 24 Juli 2005, dan “Purnama di Bulan Ramadhan” karya Nanang Rijono, Tribun Kaltim, 16 Oktober 2005 merupakan karya yang sarat dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat PROSIDING 599 khususnya di ruang keluarga. Di samping dua dari tiga cerpen tersebut ditulis oleh sastrawati dan sastrawan Kalimantan Timur. 600 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : Penyaji Makalah : Moderator : Notulis : Hari, tanggal : Waktu : “Kritik Sastra di Majalah Jaya Baya Periode 1945—1965” Sri Haryatmo Drs. Umar Sidik, S.I.P., M.Pd. Achmad Abidan H.A., S.Pd. Sabtu, 9 November 2013 08.00—08.45 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: Apa urgensi kritik periode 1945—1965 dipilih sebagai data penelitian? (Yohanes Adi Setiyoko) JAWABAN: Dalam penelitian ini, seluruh majalah DB periode 1945—1965 dan segala dokumen yang berkaitan dengan majalah sastra Jawa perioe tersebut dijadikan sumber data. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam jangka waktu 20 tahun (1945—1965) majalah Jawa sudah sulit dicari. PROSIDING 601 SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Konstruksi Realitas Politik Dinasti dalam Media Massa Analisis Framing Isu Politik Dinasti Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah pada Harian Kompas dan Koran Tempo” Penyaji Makalah : Budiyono Moderator : Drs. Dhanu Priyo Prabowa, M.Hum. Notulis : Dra. Prapti Rahayu Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 13.00—13.45 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: Bagaimana Harian Kompas dan Koran Tempo merekonstruksi isu tentang politik dinasti di Provinsi Banten? (Derri Ris Riana) 602 PROSIDING JAWABAN: Antara Koran Tempo dan Harian Kompas terdapat kesamaan dalam hal mengkonstruksi teks berita antara Harian Kompas dan Koran Tempo. Koran Tempo tampak lebih berani dan tegas dalam menampilkan persoalan politik dinasti jika dibandingkan dengan Harian Kompas. PROSIDING 603 SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : Penyaji Makalah : Moderator : Notulis : Hari, tanggal : Waktu : “Pesan Moral dalam Cerita Rakyat Kalimantan Timur” Dwi Haryanto Drs. Dhanu Priyo Prabowa, M.Hum. Dra. Prapti Rahayu Jumat, 8 November 2013 13.00—13.45 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: Mengapa cerita rakyat dipilih sebagai penelitian? (Mashuri) JAWABAN: Cerita rakyat dapat menimbulkan sikap positif dalam masyarakat. Selain melestarikan budaya luhur bangsa, apresiasi terhadap cerita rakyat dapat mengungkapkan nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya. Ajaran-ajaran budi pekerti dan moral dapat ditanamkan kepada generasi muda atau anakanak secara ringan dan menghibur. 604 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Nasjah Djamin dan Eksistensialisme dalam Cerita Pendek Ziarah” Penyaji Makalah : Ahmad Zamzuri, S.Pd. Moderator : Drs. Dhanu Priyo Prabowa, M.Hum. Notulis : Drs. Sri Haryatmo, M.Hum. Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 13.00—13.45 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: Apakah karya Nasjah Djamin yang berjudul Ziarah memang menggambarkan eksistensialisme? Seperti apa? (Budiyono) JAWABAN: Eksistensialisme dalam cerita pendek Ziarah karya Nasjah Djamin adalah eksistensi yang ditentukan oleh diri sendiri, atau “ada untuk diri”. Selain keterasingan, eksistensialisme dalam cerita pendek Ziarah memberi pengaruh PROSIDING 605 terhadap keyakinan tokoh kaitannya dengan Tuhan sehingga muncul kegelisahan mengenai keberadaan diri. 606 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Makna dalam Tembang Dolanan dan Aplikasinya dalam Masyarakat Modern” Penyaji Makalah : Sutiyem, S.Pd. Moderator : Achmad Zamzuri, S.Pd. Notulis : Dra. Prapti Rahayu Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 09.15—10.00 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: Bagaimana relevansi tembang dolanan pada masyarakat modern? JAWABAN: Bagi masyarakat modern tembang dolanan ini terasa asing di telinga mereka, dan kebanyakan remaja sekarang hanya satu dua yang tahu akan tembang dolanan, itu pun didapat dari bangku sekolah. Tetapi ada juga yang langsung mendengar dari orang tua mereka dan rata-rata orang tua yang ada di pedesaan. Untuk mengantisipasi supaya tembang dolanan ini tidak hilang PROSIDING 607 ditelan zaman, sekolah-sekolah yang muatan lokalnya bahasa Jawa untuk selalu mempertahankan kelestarian tembang tersebut. 608 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : Penyaji Makalah : Moderator : Notulis : Hari, tanggal : Waktu : “Membaca Puisi al-Mutanabbi (Perspektif Ilmu ‘Arudl)” Nurain Mashuri Dra. Risti Ratnawati, M.A. Jumat, 8 November 2013 16.30—17.00 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: Berapa bahar di dalam buku “Syarh Diwan al-Mutanabbi”? (Mashuri) JAWABAN: Buku “Syarh Diwan al-Mutanabbi” yang ditahqiq oleh Mushtafa Subaiti bahwa al-Mutanabbi hanya menggunakan 10 dari 16 Bahar yang ada dalam ilmu ‘arudl. Namun dalam tulisan ini hanya ditampilkan satu contoh untuk setiap jenis bahar, meskipun pada praktIknya, setiap bahar memiliki lebih dari satu variasi ‘arudl dan dlarabnya, dan hanya bait yang tamm. PROSIDING 609 SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Sikap Menang Tanpa Ngasorake, Sebuah Tinjauan Psikologis terhadap Novel Berbahasa Jawa Dokter Wulandari” Penyaji Makalah : Yohanes Adhi Satiyoko Moderator : Mashuri Notulis : Dra. Risti Ratnawati, M.A. Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 14.45—15.15 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: Bagaimana sebenarnya konsep menang tanpa ngasorake? (Sutiyem) JAWABAN: Sikap “menang tanpa ngasorake” perlu dipahami sebagai pedoman aktivitas dan usaha manusia untuk tetap bersaing secara sehat dalam hidup tanpa harus saling bermusuhan dan saling merendahkan, rendah hati, toleran, berpikir strategispositif, karena pada hakekatnya setiap manusia itu setara. Dengan sikap “menang 610 PROSIDING tanpa ngasorake” berarti seseorang telah berhasil memenangkan perang terhadap permasalahan dalam batinnya sendiri. PROSIDING 611 SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Perpesentasi Realitas Sosial dalam Lakon Dom Karya Bambang Widoyo SP: Kajian Sosiologi Sastra” Penyaji Makalah : V. Risti Ratnawati Moderator : Drs. Umar Sidik, S.I.P., M.Pd. Notulis : Achmad Abidan H.A., S.Pd. Hari, tanggal : Sabtu, 9 November 2013 Waktu : 08.00—09.45 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: Lakon Dom sebenarnya menggambarkan persoalan kelas sosial apa? (Dhanu Priyo Prabowo) JAWABAN: Drama Lakon Dom karya Bambang Bambang Widoyo SP merepresentasikan kelas sosial tersingkirkan, pejabat dan pengusaha yang tersingkirkan, buruh dan orang kecil yang dirugikan karena sistem kekuasaan. 612 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Memaknai Dialog-Dialog Kesurupan dalam Cerpen Sandiwara Hang Tuang Karya Taufik Ikram Jamil” Penyaji Makalah : Mustari Moderator : Drs. Herry Mardianto Notulis : Sutiyem Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2013 Waktu : 09.15—10.00 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN: 1. Apa nilai budaya yang digambarkan di dalam cerita “Misteri Pohon Kelapa”? (Prapti Rahayu) 2. Bagaimana masyarakat di Riau memandang SHT dalam perspektif kesejarahan? (Budiyono) PROSIDING 613 JAWABAN: 1. Di dalam “Misteri Pohon Kelapa” merefleksikan sikap hidup orang Jawa. Orang Jawa tidak memisahkan individualitasnya dengan lingkungan dan golongan. Budaya kerja sama atau gotong royong itu tercermin di dalam cerita “Misteri Pohon Kelapa”. 2. Kesadaran sejarah merupakan kata kunci dalam menafsirkan dan memaknai SHT. Hang Tuah adalah tokoh sejarah yang lebih banyak bias mitosnya, rentang masa hidupnya amat panjang, melebihi usia normal manusia. Ia diklaim memiliki beberapa kuburan oleh masing-masing daerah yang memujanya: ada di Malaka, ada Pulau Bintan, ada pula di Pulau Singkep. Bahkan, sebagian masyarakat meyakini Hang Tuah tidak mati. 614 PROSIDING SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (BPPKI) YOGYAKARTA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Hotel Gowongan Inn Yogyakarta 7—9 November 2013 NOTULA PRESENTASI MAKALAH Judul Makalah : “Nilai-Nilai Budaya dalam Kumpulan Cerita Rakyat Yogyakarta” Penyaji Makalah : Siti Ajar Ismiyati, S.Pd., M.A. Moderator : Drs. Herry Mardianto Notulis : Sutiyem Hari, tanggal : Kamis, 7 November 2013 Waktu : 19.45—20.30 PERTANYAAN-JAWABAN DAN SARAN Unsur-unsur apa saja yang terkandung di dalam KCRY? JAWABAN: KCRY merupakan kumpulan cerita milik masyarakat Yogyakarta, unsur-unsur tertentu yang terkandung di dalam kehidupan rakyat mempengaruhi wujud, bahkan membentuk corak cerita-cerita itu. Oleh karena itu, untuk mempermudah pembahasan cerita tersebut, perlu dikemukakan unsur-unsur kehidupan rakyat, PROSIDING 615 khususnya tentang adat-istiadatnya. Unsur-unsur adat-istiadat KCRY meliputi status sosial, adat perkawinan, dan kepercayaan masyarakatnya. 616 PROSIDING