Saduran
Purasara
Teguh Prasetyo
PerpusQDV3UHVV
20
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Data Katalog dalam Terbitan (KDT)
Purasara
Oleh: Teguh Prasetyo - Jakarta: Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, 2019
118 hlm. ; 16 x 23 cm,--(Seri Naskah Kuno Nusantara)
1. Manuskrip. I. Teguh Prasetyo. II Perpustakaan Nasional. III. Seri
E-ISBN : 978-623-7871-04-0 (pdf)
Editor Isi & Bahasa
Tim Editor
Perancang Sampul
Irma Rachmawati
Tata Letak Buku
Yanri Roslana
Diterbitkan oleh
Perpusnas Press, anggota Ikapi
Jl. Salemba Raya 28 A, Jakarta 10430
Telp: (021) 3922749 eks.429
Fax: 021-3103554
Email: press@perpusnas.go.id
Website: http://press.perpusnas.go.id
perpusnas.press
perpusnas.press
@perpusnas_press
Sambutan
UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, mendefinisikan naskah
kuno sebagai dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak
dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang
berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai
penting bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Dibanding
benda cagar budaya lainnya, naskah kuno memang lebih rentan rusak, baik
akibat kelembaban udara dan air (high humidity and water), dirusak binatang
pengerat (harmful insects, rats, and rodents), ketidakpedulian, bencana alam,
kebakaran, pencurian, maupun karena diperjual-belikan oleh khalayak umum.
Naskah kuno mengandung berbagai informasi penting yang harus
diungkap dan disampaikan kepada masyarakat. Tetapi, naskah kuno yang ada
di Nusantara biasanya ditulis dalam aksara non-Latin dan bahasa daerah atau
bahasa Asing (Arab, Cina, Sanskerta, Belanda, Inggris, Portugis, Prancis).
Hal ini menjadi kesulitan tersendiri dalam memahami naskah. Salah satu
cara untuk mengungkap dan menyampaikan informasi yang terkandung di
dalam naskah kepada masyarakat adalah melalui penelitian filologi. Saat ini
penelitian naskah kuno masih sangat minim.
Sejalan dengan rencana strategis Perpustakaan Nasional untuk
menjalankan fungsinya sebagai perpustakaan pusat penelitian juga pusat
pelestarian pernaskahan Nusantara, maka kegiatan alih-aksara, alih-bahasa,
saduran dan kajian naskah kuno berbasis kompetisi perlu dilakukan sebagai
upaya akselerasi percepatan penelitian naskah kuno yang berkualitas,
memenuhi standar penelitian filologis serta mudah diakses oleh masyarakat.
Dengan demikian, Perpustakaan Nasional menjadi lembaga yang berkontribusi
besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, khususnya di
bidang pernaskahan.
Kegiatan ini wajib dilaksanakan Perpustakaan Nasional, karena
merupakan amanat Undang-Undang No.43 tahun 2007 Pasal 7 ayat 1 butir
d yang mewajibkan Pemerintah untuk menjamin ketersediaan keragaman
koleksi perpustakaan melalui terjemahan (translasi), alih aksara (transliterasi),
alih suara ke tulisan (transkripsi), dan alih media (transmedia), juga Pasal 7
ayat 1 butir f yang berbunyi “Pemerintah berkewajiban meningkatan kualitas
dan kuantitas koleksi perpustakaan”.
- iii -
Purasara
Sejak tahun 2015, seiring dengan peningkatan target dalam indikator
kinerja di Perpustakaan Nasional, kegiatan alih- aksara, terjemahan, saduran
dan kajian terus ditingkatkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pada
tahun 2019, Perpustakaan Nasional menargetkan 150 judul penerbitan bagi
hasil-hasil karya tulis tersebut. Untuk meningkatkan kuantitas sekaligus
kualitas hasil penelitian filologis, maka kegiatan Alih Aksara, Alih Bahasa,
Saduran, dan Kajian Naskah Kuno Nusantara Berbasis Kompetisi ini
dilakukan.
Kegiatan ini dapat terlaksana berkat kontribusi karya para filolog dan
sastrawan. Oleh karena itu, Perpustakaan Nasional mengucapkan terima
kasih sebanyak-banyaknya kepada para filolog dan sastrawan yang telah
mengirimkan karya-karya terbaiknya. Secara khusus, Perpustakaan Nasional
juga mengucapkan terima kasih kepada Masyarakat Pernaskahan Nusantara
(Manassa) yang sejak awal terlibat dalam proses panjang seleksi naskah,
penyuntingan, proofreading, sampai buku ini dapat terbit dan dibaca oleh
masyarakat.
Besar harapan kami semoga fasilitasi terhadap karya tulis Alih Aksara,
Alih Bahasa, Saduran, dan Kajian Naskah Nusantara Berbasis Kompetisi ini
dapat meningkatkan kualitas penerbitan dan mendapatkan apresiasi positif
dari masyarakat, serta bermanfaat dalam upaya menggali kearifan lokal
budaya Indonesia.
Jakarta, 2019
Ttd
Deputi Bidang Pengembangan
Bahan Pustaka dan Jasa Informasi
- iv -
Kata Pengantar
Kesusastraan Indonesia jika ditilik dari kesusastraan melayu klasik
ataupun kesusastraan klasik yang bersifat kedaerahan, sudah dimulai sejak
berabad-abad yang lalu. Cerita-ceritanya sangat dipengaruhi oleh kepercayaan
yang dianut oleh masyarakatnya. Sebagian adalah cerita-cerita mengenai
silsilah sebuah kerajaan, sebagian lagi cerita-cerita mengenai kepahlawanan
tokoh tertentu. Dari sekian cerita yang beredar, tidak sedikit pula yang berkisah
mengenai cerita perwayangan.
Cerita perwayangan pada kesusastraan melayu klasik atau kesusastraan
nusantara (yang meliputi Jawa Kuno, dan beberapa daerah di Nusantara) cukup
beragam. Namun, sebagian besar cerita-cerita tersebut berakar pada epos
Mahabarata, Ramayana, ataupun Bagawadgita. Cerita-cerita yang berakar
pada cerita klasik India tersebut sebagian besar juga telah dikembangkan dan
mengalami sentuhan lokal. Salah satu yang cukup menarik dari keberagaman
cerita pewayangan yang berakar pada cerita klasik India tersebut adalah
Hikayat Pusarasara.
Hikayat Purasara merupakan salah satu cerita yang tertulis dalam naskah
melayu klasik. Naskah Hikayat Purasara tercatat dalam katalogus van Ronkel
dengan nomor ML. 178 (Chambert-Loir, 2014; Khalid, 1972; Sunardjo, 2010).
Naskah ini mempunyai ukuran 34 cm x 21 cm dan berjumlah 150 halaman.
Naskah ini ditulis dengan huruf Arab Melayu yang cukup jelas dan masingmasing halaman memiliki 10—17 baris. Dalam penelitian Khalid M Hussain
(1972), Naskah ini disebutkan tidak memiliki keterangan penulis, hanya
disebutkan penulisnya sama dengan penulis naskah “Hikayat Awal Mula
Wayang”. Akan tetapi, kemudian, Chambert-Loir (2014) dan Sunardjo dkk
(2010), menyebut kalau naskah Hikayat Purasara ini ditulis oleh Muhammad
Bakir bin Syofyan bin Usman bin Fadli sesudah 6 Agustus 1890.
Naskah Hikayat Purasara ini hanya ditemukan satu buah versi saja di
Museum Nasional (Sunardjo, dkk, 2010). Sebagai satu-satunya naskah yang
menceritakan riwayat hidup Purasara, naskah ini tentunya menjadi cukup
spesial. Terlebih lagi, naskah ini ditulis oleh M. Bakir yang dikenal sangat kental
nuansa Betawinya. Dari penelitian Khalid M. Husain yang membandingkan
cerita Hikayat Purasara M. Bakir dengan beberapa naskah yang menceritakan
Purasara lainnya (India dan Jawa), ditemukan bahwa Hikayat Purasara karya
M. Bakir ini mempunyai versi cerita yang berbeda dan unik. Oleh karena itu,
-v-
penulisan kembali dalam bentuk saduran terhadap Hikayat Purasara dirasa
cukup penting.
Selain sebagai cerita yang unik, Hikayat Purasara karya M. Bakir ini juga
perlu disadur ulang karena isi ceritanya yang menyuguhkan cerita pewayangan
yang berbeda dari pewayangan Jawa. Di dalam cerita tentang Purasara ini
pun terkandung beberapa nilai yang disematkan melalui kearifan Purasara.
Hal ini patut diketahui sebagai nilai budaya dan etika yang perlu diketahui.
Penceritaan wayang yang khas dari M. Bakir juga dapat menjadi edukasi yang
baik untuk memahami sudut pandang lintas budaya.
Teks saduran dari Hikayat Purasara karya M. Bakir yang dibuat penulis,
kemudian, diberi judul Purasara. Penyaduran teks ini didasarkan pada
transliterasi naskah Hikayat Purasara (ML. 178) oleh Nikmah Sunardjo,
dkk yang berjudul Hikayat Wayang Arjuna dan Purasara dari Pusat Bahasa
tahun 2010. Dalam proses penyaduran, terkadang terdapat kesulitan dalam
mengeksplorasi karakter maupun relasi antarkarakter karena pada naskah ada
bagian-bagian yang ceritanya kurang begitu jelas. Karena itu, penulis juga
menjadikan buku Dewi Rara Amis karya Sri Sayekti (1999) sebagai referensi
bacaan untuk mengenali lebih dalam beberapa karakter tokoh serta berusaha
mengekplorasinya.
Secara garis besar, cerita saduran yang berjudul Purasara ini bercerita
tentang silsilah Purasara dari diciptakannya Sangkara sebagai seorang
pemimpin di dunia, lahirnya Sentanu dan Purasara, hingga kisah cinta Purasara,
Sentanu, Dewi Raramis, dan keturunannya. Cerita pada Hikayat Purasara
ini mempunyai tiga bagian penting, yakni bagian awal atau pengenalan
yang meliputi silsilah Purasara hingga pengenalan karakter Purasara yang
suka bertapa, bagian tengah atau bagian pemunculan masalah, komplikasi,
hingga klimaks yang menceritakan cinta segitiga Purasara, dewi Raramis,
dan Sentanu; dan bagian akhir atau penyelesaian masalah yang menceritakan
kesadaran Sentanu, serta pilihan hidup Purasara untuk tidak pulang ke negeri
asalnya, Suktadurja.
Penulisan ulang atau penyaduran cerita Hikayat Purasara ini adalah
untuk menarik minat baca masyarakat terhadap naskah dan cerita klasik yang
ditulis oleh penulis Nusantara abad 18/19. Selain untuk melestarikan cerita
dan menarik minat baca, tentunya, seperti telah disebutkan, saduran cerita
ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk memahami nilai budaya
maupun etika yang terkandung di dalam cerita. Tidak hanya itu, berdasar pada
pernyataan Raden dan Andrijanto (2) bahwa Hikayat Purasara karya M. Bakir
- vi -
ini mengandung kekhasan Jawa-Sunda dan Betawi, tentunya penyaduran
cerita ini juga diharapkan dapat memperkaya pandangan pembaca akan
interaksi lintasbudaya yang secara tersirat terkandung di dalam teks. Dengan
demikian, pemahaman akan lokalitas dan kebinekaan juga dapat dipupuk oleh
generasi mendatang.
Atas terbitnya buku saduran ini penulis menyampaikan penghargaan
setinggi-setingginya kepada Perpustakaan Nasional RI dan Masyarakat
Pernaskahan Nusantara yang telah membuat program penerbitan buku alih
aksara, alih bahasa, terjemahan, dan kajian berbasiskan naskah kuno. Semoga
program ini dapat terus berlanjut agar nilai-nilai kebajikan yang terkandung
dalam naskah-naskah kuno nusantara semakin banyak tersosialisasi kepada
masyarakat luas.
- vii -
- viii -
Daftar Isi
Sambutan .................................................................................................
Kata Pengantar .........................................................................................
Daftar Isi .................................................................................................
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
XIII
XIV
XV
XVI
XVII
XVIII
iii
v
ix
Titah Sang Hyang Tunggal pada Sangkara .................................
1
Sebuah Kerajaan Bernama Suktadurja .......................................
5
Tiga Putra Sangkara .................................................................... 12
Pembagian Tahta ......................................................................... 20
Pilihan Bertapa ke Gunung Parasu .............................................. 25
Rintangan Menuju Pertapaan ...................................................... 30
Terjaga dari Pertapaan ................................................................. 41
Raramis dari Negeri Wirata ......................................................... 48
Pertemuan Raramis dan Purasara ................................................ 52
Raramis dan Purasara ke Suktadurja ........................................... 58
Raramis dalam Godaan Sentanu ................................................. 64
Raramis dan Punakawan Mengadu ke Purasara.......................... 70
Mengejar Raramis ....................................................................... 74
Peperangan Sentanu dan Purasara ............................................... 80
Lahirnya Ganggasuta, Anak Purasara ......................................... 84
Peperangan yang Mengguncang Jagat ........................................ 88
Batara Narada Melerai Dua Saudara ........................................... 92
Hutan, Tempat Segala Teduh dan Rindu ..................................... 101
Daftar Pustaka .......................................................................................... 107
Riwayat Hidup Penulis ............................................................................ 108
- ix -
I
Titah Sang Hyang Tunggal pada Sangkara
Angin berembus ragu kala itu di Kahyangan. Kencang tidak, sepoi
pun tidak. Awan pun diam sejenak. Yang nampak hanya kekosongan dan
kebimbangan. Semua seolah berempati pada sikap Sang Hyang Tunggal yang
sedang memikirkan mengenai keberaturan dunia yang mulai ruai karena tak
memiliki seorang pemimpin. Resah, begitu yang mungkin tergambarkan.
“Apa perlu kuciptakan seorang putra di Dunia?” gumam Sang Hyang
Tunggal.
Tak satu pun merespons. Siang, Malam, Kilat, Awan, Petir, Api, ataupun
Angin, semuanya diam. Mereka tidak berani berkata sedikit pun. Tak ada yang
berani memberi pendapat karena takut tak punya daulat. Mereka hanya diam
termenung.
Dan sekali lagi, Sang Hyang Tunggal bergumam, “Perlukah, kubuatkan
pemimpin di dunia?”
Pada saat seperti ini, biasanya Batara Narada dan Batara Guru hadir
untuk dimintai pendapat. Namun, kali ini mereka alpa. Tampaknya, Sang
Hyang Tunggal ingin memutuskan semuanya sendiri. Ia ingin benar-benar
membuat keputusan berdasar kemauannnya.
Siang berganti malam, malam berganti siang kembali. Dan hari pun silih
berganti bulan. Setidaknya, 90 hari sudah sejak pertama kali ia termenung
bimbang. Dengan kata lain, 90 hari juga, semua elemen, seperti awan, kilat,
petir, maupun angin, tak menampakkan suaranya. Dunia pun tak bergejolak,
dan tak berganti musim. Hanya kosong. Sampai pada akhirnya, Sang Hyang
Tunggal mencetus, “Ya, aku harus menciptakan seorang pemimpin, seorang
panglima yang memimpin kerajaan di dunia.
Dengan kuasa yang serba segala, dengan daya yang serba cipta, ia
mencampur cahya menjadi mega. Seluruh sudut kayangan dihiasi sorot yang
menyilaukan. Gemuruh pun tak elak menjelma gaduh. Seluruh penghuni
Kahyangan terpaku dalam cengang. Hingga dengan satu jentik yang mengubah
cahaya dan tanah menjadi satu, terciptalah seorang putra. Muda belia, gagah
perkasa, lemah lembut kelakuannya, dan ramah budinya.
-1-
Purasara
Putra dari Sang Hyang Tunggal. Dengan suka cita, Ia pun memberi nama
Sangkara. Putra dengan segala bahagia dari Sang Pencipta, yang akan diutus
sebagai panglima di kerajaan dunia.
“Mari, Nak, kemari! Ikutlah denganku!” Ajak Sang Hyang Tunggal.
Dengan segala sembah, Sangkara perlahan mendekat ke arah Sang
Hyang Tunggal. Didekapnya ia sambil bercurah rasa bahagia. Kemudian, di
bawanya mendekat ke singgasana Kahyangan. Semua penghuni Kahyangan
berkumpul menyaksikan kehadirannya.
“Inilah Putraku, pemuda yang akan menjadi pemimpin di Kerajaan
Dunia!” Seru Sang Hyang Tunggal memperkenalkan. Serunya kemudian
disambut dengan tempik sorak dan gumam kagum. Sebagian hadirin di
Kahyangan terpesona tanpa kata. Sebagian lagi mendesuskan tampilnya
pemuda yang jadi perhatian itu.
“Putraku, engkau akan aku turunkan ke Kerajaan Dunia sebagai seorang
pemimpin. Apakah ada sesuatu yang kau pinta?” Tanya Sang Hyang Tunggal
pada Sangkara.
“Apakah di Kerajaan Dunia ada teman hamba, Paduka?”
“Oh, tentu saja. Aku akan utus pendamping untuk menemanimu di
Kerajaan Dunia.”
“Hamba pikir, hamba butuh teman wanita dan teman untuk bercakapcakap agar hamba tidak kesepian.”
“Tidak usah khawatir, Anakku! Aku telah berpesan pada Dewi
Asmayawati untuk menemanimu di Dunia.”
Dewi Asmayawati sejenak mendekat ke arah Sang Hyang Tunggal.
Memberi hormat dan memperlihatkan wujudnya di di depan Sangkara. Mereka
saling pandang. Sangkara terpaku sejenak. Memperhatikan Dewi Asmayawati
dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tak berapa lama, ia memalingkan muka
kembali ke arah Sang Hyang Tunggal.
“Lantas siapa yang akan jadi teman bercakap-cakap dan memberiku
nasihat mengenai segala perihal di dunia?”
Sang Hyang Tunggal kaget mendengar pertanyaan Sangkara yang tidak
pernah terpikirkan olehnya. Dia sejenak melengung. Namun, dengan cepat ia
menjawab, “Akan ada seseorang yang bernama Semar, dan beberapa anaknya,
mereka biasa disebut Punakawan. Mereka adalah pribadi-pribadi yang riang
-2-
Purasara
juga bijaksana. Tapi mereka tidak bisa kau temui di sini. Mereka sudah terlebih
dahulu pergi ke dunia untuk menyambutmu nanti.”
Mendengar itu, beberapa Batara dan Bidadari yang hadir dan
memperhatikan, terheran-heran. Mereka bingung dengan Semar dan
Punakawan yang akan menemani Sangkara dan Dewi Asmayawati. Sebab,
selama ini belum pernah terdengar seorang manusia dengan nama Semar dan
Punakawannya. Mereka ingin menyanggah, tetapi urung karena situasinya
terlihat kurang mendukung.
Sangkara menanggapi dengan setengah bingung. Namun, terpaksa ia
mengangguk mengiyakan karena ia pun tidak tahu harus menjawab apa. Ia
bimbang karena tak menahu sama sekali perihal dunia. Bahkan, ia pun tidak
tahu seperti apa bentuknya Semar dan Punakawan itu? Apakah ia seperti
Dewi Asmayawati yang cantik dan bercahaya tubuhnya? Atau seperti apa?
Ia pun hanya diam dan tidak mau banyak bertanya lagi pada Sang Hyang
Tunggal. Pikirannya liar, tetapi ia merekanya agar terlihat tidak ada hal-hal
yang dikhawatirkan.
Sang Hyang Tunggal menatap raut muka Sangkara yang diam tanpa
sepatah kata. Ia menangkap gelisah yang dipikirkannya. Namun, Sang Hyang
Tunggal membiarkannya. Ia harus membiasakan anaknya itu berani dan mau
memecahkan masalah yang digelisahkannya.
“Baiklah, Paduka. Hamba siap untuk turun mengatur keadaan di Kerajaan
Dunia.” Tiba-tiba seru Sangkara dalam gelisahnya. Ia berusaha meneguhkan
dirinya. Dan berusaha siap menghadapi sesuatu apapun yang belum pernah
ditemuinya.
“Aku tak bisa memberitahu apa pun tentang Dunia, Anakku! Kau akan
belajar sendiri ketika di sana. Nanti kau akan dibimbing oleh Semar dan
Punakawannya. Tentu akan banyak hal baru yang kau temui. Tapi sebagai
pemimpin kau akan sangat diharapkan kebijaksanaannya dalam menghadapi
masalahmu dan masalah di dunia nanti. Bersiaplah untuk turun ke dunia
bersama Dewi Asmayawati”
“Baik, Paduka. Hamba siap!”
Sangkara berdiri di samping Dewi Asmayawati yang sejak tadi
memerhatikan gerak-geriknya. Mereka berdua tampak siap. Dengan diantarkan
kilau cahaya, mereka pun menuruni Kahyangan menuju Dunia.
-3-
Purasara
Beberapa saat setelah mereka berdua turun, Batara Guru menanyakan
perihal Semar dan Punakawannya. “Mohon maaf, Sang Hyang Tunggal.
Sebenarnya siapa itu Semar ataupun Punakawan? Saya bahkan tidak tahu
keberadaannya di dunia.”
Sang Hyang Tunggal pun menjawab dengan sungging senyum. “Nah,
itu yang ingin aku sampaikan. Sebenarnya mereka belum ada di dunia sana.
Karena aku telah janji pada mereka. Dan karena rasa sayangku pada mereka,
aku sepertinya yang akan menjelma Semar dan menciptakan Punakawan. Ini
juga demi bisa membimbing mereka di dunia.”
Batara Guru dan Batara lainnya yang hadir di Kahyangan tercengang
seketika. Mereka tidak hanya kaget mendengar rencana tersebut. Mereka pun
bingung. Jika Sang Hyang Tunggal yang akan turun ke dunia, siapa yang akan
memerintah di Kahyangan?
“Kalian semua pasti berpikir, Jika aku ke dunia, siapa yang akan memimpin
di Kahyangan, bukan? Tenang. Aku sudah memikirkannya matang-matang.
Aku tentunya tidak ingin serakah. Tampuk pemerintahan Kahyangan tetap
harus dipegang oleh mereka yang ada di Kahyangan. Sebab, hanya mereka
yang mengambil jarak dan melihat dari atas lah yang bisa mengawasi dunia.”
“Lalu, Siapa itu Paduka?” tanya Batara Guru.
“Apakah Paduka akan menjelma dua?” sahut Batara Narada.
“Tentu tidak! Aku akan mempercayakan kekuasaan padamu, Batara
Guru! Dan kau sebagai patihnya, Batara Narada. Aku yakin Kalian bisa
memimpin Kahyangan dengan bijaksana!”
Batara Guru bingung. Namun, ia tak sempat menyanggah apa pun. Sang
Hyang Tunggal tanpa basa-basi langsung menunjukkan kuasanya. Seketika ia
tiada di Kahyangan. Cahaya sudah membawanya turun ke dunia.
-4-
II
Sebuah Kerajaan Bernama Suktadurja
Sang Hyang Tunggal sampai ke dunia di tempat yang berbeda
dengan Sangkara dan Dewi Asmayawati. Sesuai rencananya, ia pun harus
mempersiapkan penyamarannya menjadi hamba dan penasihat dari Sangkara,
sebelum Sangkara mendapatinya. Sang Hyang Tunggal tidak mau kalau
kebesarannya atau wujudnya sebagai Dewa diketahui oleh Sangkara. Ia
memikirkan sosok yang sangat cocok untuk menjadi penghuni dunia agar
Sangkara tidak curiga.
Sang Hyang Tunggal melihat sekeliling yang penuh rimba. Ia merasa
harus menyamarkan tubuhnya yang bercahaya agar menjadi gelap seperti
rimba. Dengan segala kesaktian dan kuasanya, ia kemudian menjelma sesosok
tua. Ia menanggalkan wujudnya yang perkasa pada sosok bungkuk dan
berbadan buntal. Ia merupa kakek dengan muka pucat dengan giginya yang
sudah tanggal, bersisa satu buah saja. Bertelanjang dada, tapi tak elok rupanya.
Besar tetapi terlihat rapuh perawakannya. Ia pun menamai penyamaran dirinya
sebagai Kiai Lurah Kudapawana Bapa Semar. Dan ia suka menyebut dirinya
dengan nama Semar saja.
“Sambil menunggu Sangkara menemukanku, aku akan bertapa untuk
menyempurnakan penyamaranku.” Gumam Semar dalam hati.
Semar atau penyamaran dari San Hyang Tunggal menghabiskan waktunya
untuk menunggu Sangkara dengan bertapa. Pertapaannya dimaksudkan untuk
menambah sakti kekuatannya. Juga, untuk lebih menyatukan dirinya pada
alam, membuat dirinya menyatu dengan dunia. Dengan begitu, penyamarannya
sebagai Semar, seorang warga dunia yang tua bijaksana, akan lebih sempurna.
Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun Semar melakukan
pertapaan di tengah rimba. Tubuhnya duduk di atas batu berlumut. Ia tampak
seperti cendawan besar yang tumbuh di bebaTuan. Tubuhnya benar-benar
menyatu dengan alam rimba. Ia pun telah bertekad tidak akan terjaga dari
pertapaannya hingga Sangkara menemukannya.
Di lain tempat, Sangkara dan Dewi Asmayawati tampak bingung
sekaligus takjub akan apa yang mereka pandang. Mereka melihat hamparan
hutan yang sangat luas. Mereka heran, apa yang bisa dipimpinnya dari
-5-
Purasara
negeri yang liar dan rimba seperti ini? Namun, mereka pun takjub dengan
pemandangan-pemandangan baru yang mereka temui. Mereka tak jarang tidur
di bawah pohon besar, makan dari dedaunan dan buah-buahan, serta minum
dan mandi pada telaga di alam rimba yang mereka lewati.
“Dinda Asmayawati, ke manakah kita harus berjalan mencari Punakawan
yang disebut Sang Hyang Tunggal itu?”
Mendengar keluh kesah dari pasangannya itu, Dewi Asmayawati pun
kebingungan menjawabnya. Di dalam hati, ia sendiri tidak pernah tahu akan
Punakawan yang diceritakan oleh Sang Hyang Tunggal. Tapi, ia pribadi juga
tidak ingin mematahkan asa dari pasangannya itu. Ia pun meyakinkan diri
di dalam hatinya, bahwa Sang Hyang Tunggal sebagai raja para dewa yang
ia ketahui tidak pernah berbohong apalagi mengada-ada. Karena itu, Dewi
Asmayawati menjawab sekenanya.
“Hamba juga tidak tahu, Kanda. Marilah kita terus mencari. Perjalanan
kita masih panjang. Pun demikian asa kita untuk mencari Punakawan.”
Mendengar kata-kata dari Dewi Asmayawati, Sangkara kemudian
meneguhkan kembali tekad dan kekuatannya. “Mari Dinda, kita terus berjalan
menyusuri Rimba. Aku yakin, Sang Hyang Tunggal juga akan membantu
kita mencari petunjuk,” ucap Sangkara dengan semangat yang kembali ia
tumbuhkan.
“Iya, Kanda, Mari!”
Mereka terus mencari dan berjalan tanpa henti. Dalam pikiran Sangkara,
negeri yang harus ia pimpin pasti tak jauh dari tempat Punakawan berada.
Tubuh Sangkara mungkin lelah, tetapi tekadnya terus membara. Ia ingin
menjalankan titah Sang Hyang Tunggal sampai itu benar-benar bisa
dilaksanakannya. Tak jarang, mereka menemui bahaya akan hewan-hewan
buas. Akan tetapi, Sangkara dengan sisa tenaganya dapat mengantisipasi
bahaya itu. Ia membasmi semuanya dengan tubuh yang setengah gopoh dan
hampir putus asa.
Sampai pada suatu tempat, di sebuah rimba yang penuh dengan jamur,
bebaTuan, dan lumut, ia menjumpai seorang lelaki tua sedang bertapa di atas
batu besar yang terlihat lapuk karena ditumbuhi lumut. Perlahan ia mendekat
untuk memastikan bahwa benar itu adalah seorang manusia seperti dirinya.
“Apakah Dinda kenal dengan lelaki tua itu?”
“Tidak Kanda”
-6-
Purasara
“Apa mungkin ia Semar Sang Punakawan itu?”
“Mari kita tanyakan saja, Kanda.”
Sangkara dan Dewi Asmayawati semakin mendekat ke Semar yang
sedang bertapa di atas batu penuh lumut itu. Dengan nada sedikit ragu,
Sangkara memberanikan diri untuk membangunkan Semar dan bertanya
perihal identitasnya.
“Wahai lelaki tua yang sedang bertapa, siapa gerangan dirimu?”
Pertanyaan Sangkara pada awalnya tidak mendapatkan tanggapan apaapa. Ia pun sejenak menoleh pada Dewi Asmayawati sebelum kemudian
kembali memanggil Semar yang duduk di pertapaannya. Kali ini, Sangkara
lebih memberanikan diri dan menguatkan suaranya.
“Wahai lelaki tua, apakah engkau adalah Semar Sang Punakawan?”
Tanpa jawaban sepatah kata pun, secara gaib, Semar hilang dari
pertapaannya. Ia tiba-tiba muncul dan mengagetkan Sangkara dari
belakangnya. “Benar, Tuanku. Saya Kiai Lurah Kudapawana Bapa Semar,
atau boleh dipanggil Semar saja.”
Sontak Sangkara dan Dewi Asmayawati kaget. Mereka tak menyangka
lelaki tua yang mereka temui di atas batu tiba-tiba sudah berada di belakang
mereka. Muka Sangkara pun tampak pucat.
“Tenang, Tuanku. Benar akulah Semar, Punakawan yang diutus Sang
Hyang Tunggal untuk menemani dan membawa Tuanku ke negeri kita nanti.”
ulang Semar.
Mendengar itu, Sangkara pun senang hatinya. Ia menoleh dan menatap
Dewi Asmayawati dengan isyarat bahwa perjuangannya tidak sia-sia.
Sementara Dewi Asmayawati keheranan akan kehadiran Semar yang selama
ini tidak diketahuinya dari atas Kahyangan.
“Mari, Tuanku. Saya antarkan ke negeri kita.”
Tanpa pikir panjang, Sangkara dan Dewi Asmayawati turut pada Semar.
Mereka melangkah di belakang Semar dengan jalannya yang bergeol-geol.
Tak lama dari tempat mereka berjalan, mereka menemukan padang sabana
yang cukup luas. Semar pun berhenti tepat di tepi sabana itu.
“Lihat Tuanku, ini adalah negerimu, yang besar dan makmur, dalam
pimpinanmu!” seru Semar seraya mengayunkan kedua tangannya.
-7-
Purasara
Perkataan Semar tersebut membuat Sangkara dan Dewi Asmayawati
terkejut. Sebab, negeri dalam bayangannya adalah beberapa Istana dengan
rakyat-rakyat yang hidup secara berkelompok. Sementara yang mereka lihat
hanya hamparan sabana dengan rumput hijau kemuning, beberapa pohon di
sisi-sisinya, serta satu telaga besar di tengahnya. Bukan kawanan manusia
yang terlihat lalu lalang di sana, melainkan segerombolan sapi, kera, dan
burung-burung yang turun sejenak ke telaga untuk minum.
“Maaf Kakang Semar, apa Kakang sedang bercanda atau mabuk? Aku
hanya melihat padang rumput yang luas, dengan telaga di tengahnya. Bahkan,
tak satu pun manusia yang aku lihat berlalu lalang di sini.” Tanya Sangkara
dengan heran.
“Tenang, Tuanku. Tidak usah terburu-buru menghakimiku begitu.
Tenangkan dirimu. Memang saat ini di hadapan Tuanku hanya ada padang
sabana, telaga, dan hewan-hewan yang berlalu lalang. Tetapi, percayalah,
Tuanku, kita akan membangun negeri kita di sini.”
“Bagaimana membangun negeri kalau tidak ada siapa pun di sini?”
“Nah, sekarang Tuanku hanya perlu membangunnya dengan kesaktian”
“Kesaktian?”
“Benar, Tuanku. Tuanku boleh memejamkan mata dan membayangkan
negeri yang akan Tuanku pimpin benar-benar ada di depan mata. Percayalah
itu akan terjadi ketika Tuanku membuka mata. Tentunya harus ada mantra
yang dirapalkan.”
“Mantra apa itu Kakang Semar? Aku bahkan tak tahu satu mantra pun.”
ucap Sangkara terheran.
“Tenang, Tuanku. Pejamkanlah matamu, bayangkan negerimu. Akan aku
tuntun kau membaca mantra.”
Sangkara pun akhirnya menutup matanya, berkonsentrasi, dan
merapalkan mantra dituntun oleh Semar.”Ora ana negara takhta nana …”
begitu tutur Sangkara merapalkan sebagian mantra yang dituntunkan Semar.
Keajaiban pun tiba. Tak disangka, dengan kekuatan gaib, terbangunlah
sebuah negeri yang megah dengan istana dan rakyatnya. Pohon-pohon berubah
menjadi istana, dan sebagian kera dan sapi menjelma manusia. Dengan sebuah
aba-aba, Sangkara membuka matanya. Dan didapatinya negeri yang megah itu
berdiri menggantikan padang sabana yang tadi dilihatnya. Alangkah terkejut
-8-
Purasara
dan bersuka cita ia. Dipeluknya kemudian Dewi Asmayawati. Ditanyakannya
berulang kali apakah ini adalah mimpi? Dewi Asmayawati pun menjawab
bahwa itu adalah kenyataan.
“Nah, masih ada beberapa hal yang harus dibangun lagi. Balairung di
tepi telaga, taman, dan beberapa gubug-gubug peristirahatan.” Ungkap Semar.
“Baiklah, Kakang Semar, mari kita bangun lagi bersama-sama.”
“Tuanku, hamba biarlah yang membuat taman dan gubug-gubug
peristirahatan. Sementara Tuanku dan Dewi Asmayawati buatlah balairung di
tepi telaga itu.”
“Apa Kakang Semar tidak terlalu berat pekerjaannya? Sementara saya
dan Asmayawati membuat balairung saja?”
“Tenang saja, Tuanku. Pasti nanti akan ada yang membantu.”
“Baiklah, Kakang. Aku dan Asmayawati akan membangun balairung
seperti perintah Kakang.”
Mereka pun bergegas dengan tugas masing-masing. Sangkara dengan
Asmayawati, bergotong royong membuat balairung. Sementara Semar dengan
kekuatannya, membuat taman dan gubug peristirahatan.
Suasana negeri seketika ramai. Sangkara dan Dewi Asmayawati yang
membuat balairung dibantu oleh beberapa warga. Sementara itu, Semar hanya
mengerjakan taman dan gubuh-gubug sendirian. Akan tetapi, perkerjaan Semar
tidak kalah cepatnya dengan Sangkara dan Asmayawati. Hal itu disebabkan
Semar memang sakti mandraguna. Dapat memanfaatkan kekuatannya untuk
membentuk segala rupa dalam waktu yang cukup singkat.
Suasana membangun negeri itu terus berlangsung dalam hitungan hari.
Sampai suatu ketika, bencana datang. Gubug-gubug kayu yang dibuat oleh
Semar digeumuti dan dimakan oleh rayap yang datang entah dari mana.
Sementara taman-taman yang sudah rapi diterjang oleh angin puyuh yang
melintas. Semar tidak murka. Dia hanya merasa pekerjaannya sia-sia. Dia
merasa rayap di gubug-gubug dan angin puyuh turut bertanggung jawab atas
kesia-siaan itu.
“Kalau seperti ini, sepertinya kalian harus berbalik membantuku
merapikan kembali pekerjaanku.” Ucap Semar kepada angin dan gubug penuh
rayap.
-9-
Purasara
Dengan kesaktiannya, Semar pun mencoba menyihir keduanya menjadi
makhluk yang bisa membantunya dan mendampinginya sebagai Punakawan.
Gubug yang penuh rayap disulap menjadi seorang laki-laki bertubuh buntal.
Karena gubug itu sudah rusak dimakan rayap, perawakannya pun cacat.
Dan karena asal-muasalnya adalah gubug, Semar pun menamainya sebagai
Garubug.
Sementara, angin puyuh yang memorak-porandakan taman disihir
sebagai lelaki dengan perawakan kurus tinggi. Tubuhnya pun tak kalah buruk
rupanya dngan Garubug. Hanya saja ia memiliki karakter yang keras dan
berperawakan lebih tinggi. Namanya, Petruk.
Kedua makhluk ciptaan Semar itu berdoyong-doyong mendekat ke
Semar. Mereka menanyakan mengenai identitas Semar dan identitas diri
mereka sendiri. Mereka lahir seperti bayi yang tidak menahu apa-apa, tapi
memiliki perawakan yang dewasa.
“Kalian itu ciptaanku, maka kalian adalah anak-anakku.” Sebut Semar
“Lalu Tuan siapa?” tanya mereka kebingungan.
“Panggil aku, Bapak.”
“Ooo…. Bapak!”
“Bapak Semar! Nah, ini yang bertubuh gumpal adalah anak pertamaku,
Garubug. Sementara kau yang bertubuh tinggi adalah anak keduaku, Petruk.!”
Petruk mengangguk. Tak berapa lama ia menyapa Garubug, “Garubug!”
“Ya, Truk, Petruk!”
“Sudah, sudah cukup berkenalannya. Sekarang, kalian bantu aku
merapikan dan membikin ulang taman dan gubug-gubug yang hancur.”
“Baik Bapak!” jawab keduanya.
Sebagai buah kesaktian Semar, mereka meskipun cacat, tetap mempunyai
kemampuan yang sakti. Kerja mereka sangat cepat. Taman dan gubug-gubug
peristirahatan yang dibuat oleh Semar pun dalam sekejap kembali berdiri.
Bahkan, nampak lebih indah dari sebelumnya.
Tak lama setelah Sangkara dan Dewi Asmayawati yang dibantu warga
menyelesaikan balairung, Semar dan anak-anaknya sebagai Punakawan
melapor bahwa taman dan gubug-gubug peristirahatan telah rampung.
Mendengar itu, betapa bahagia Sangkara dan Asmayawati.
- 10 -
Purasara
“Wah, Kakang Semar, taman yang begitu indah.” Sahut Sangkara.
“Iya, Kakanda, aku menyukainya.” Timpal Dewi Asmayawati pada
Sangkara.
“Sungguh senang pula hamba mendengarnya.” Puja Semar.
“Kakang Semar, siapa mereka berdua yang di sisimu?” tanya Sangkara.
“Mereka berdua adalah anak-anakku, para Punakawan pula yang telah
membantuku, dan juga akan melindungi keturunanmu.” Jawab Semar
“Sungguh bahagia akhirnya aku benar-benar bertemu dengan semua
Punakawanku.” Sahut Sangkara bergembira.
Setelah semua selesai, seluruh warga dan penghuni negeri diajak
berkumpul di balairung. Mereka merayakan telah jadinya sebuah negeri.
Dengan Sangkara sebagai pemimpinnya, sebagai rajanya.
“Baiklah, dengan berkumpulnya semuanya di Balairung ini, akan aku
kumandangkan nama sebuah negeri yang indah ini. Negeri yang kunamai,
Suktadurja.” Seru Sangkara yang kemudian disambut meriah oleh semua
warga.
- 11 -
III
Tiga Putra Sangkara
Semenjak negeri Suktadurja dimaklumatkan dan memulai
pemerintahannya, Sangkara sebagai raja menjadi perhatian seluruh dunia.
Sangkara dianggap sebagai raja yang bisa memakmurkan dan menjaga
perdamaian di kerajaannya. Singkatnya, ia adalah contoh pemimpin yang
baik. Bahkan, karena kondangnya ia sebagai raja yang adil dan bijaksana, ia
didaulat menjadi diplomat para raja. Ia mengelilingi dunia dan menghubungkan
pemimpin kerajaan satu sama lain untuk menjalin hubungan yang baik.
Terjalinlah hubungan yang seimbang dan indah di alam raya. Sangkara seolah
menjalankan titah Sang Hyang Tunggal dengan baik.
Ini juga tidak lepas dari peran Semar dan Punakawan yang selalu
menjadi penyeimbang kerajaan, menjadi penasihat, teman, dan pemecah
masalah yang baik. Punakawan selalu patuh dan setia pada Sangkara dan
Dewi Asmayawati. Tak sedikit pun usaha membelot dilakukan mereka. Sebab,
mereka adalah titisan yang memang berusaha menyeimbangkan kerajaan dan
menyeimbangkan dunia.
Keadaan ini berlangsung terus-menerus selama puluhan bahkan
ratusan tahun. Hingga kemudian Dewi Asmayati hamil. Sangkara dan Dewi
Asmayawati dikaruniai 3 anak yang lahir hampir berdekatan waktunya. Ketiga
anak itu diberi nama, Sentanu, Sambirawa, dan Purasara. Mereka berbeda
hanya beberapa tahun saja antara satu dengan lainnya. Diasuh mereka oleh
Dewi Asmayawati dengan kasih sayang yang teramat sangat.
Sejak kecil, mereka juga sudah diajarkan mengenai darma dan budi
oleh Semar. Tidak hanya itu, bahkan, mereka belajar ilmu perang dan kesaktian
dari ayahnya, Sangkara. Setiap detail ilmu peperangan dan bela diri diajarkan
kepada ketiganya. Sentanu sebagai yang tertua kerap kali terlihat paling mahir
untuk ilmu ini. Sambirawa sebagai yang kedua lebih mahir pada ilmu budi
dan darma. Sementara itu, Purasara adalah yang seimbang antara keduanya.
Budinya amat baik, begitu juga kesaktian dan kecakapan berperangnya.
Tak heran, sebagai anak bungsu, Purasara adalah yang paling dicintai orang
Tuanya serta Punakawannya.
Dalam kebersamaan mereka, mereka juga tidak jarang diajak oleh
ayahnya keliling dunia dan diperkenalkan dengan negeri-negeri lain yang juga
- 12 -
Purasara
menjalin hubungan dengan mereka. Mereka pun secara tidak langsung sudah
sangat kondang di berbagai penjuru negeri di dunia. Mereka bertiga bersamasama sebagai saudara hingga beranjak dewasa.
Ketika mereka mulai dewasa, mereka mempunyai pilihan jalan hidup
masing-masing. Terpaksalah orang Tuanya menerima pilihan masing-masing
dan merelakannya untuk berpisah. Sentanu sebagai anak tertua yang paling
mahir dalam ilmu perang lebih suka berburu dan mengasah kemampuan
berperangnya di hutan. Karena ia yang tertua, tak jarang, ia menjadi contoh
bagi adiknya, terutama Purasara yang memang juga mahir akan kesaktian
dan peperangan. Sementara itu, Sambirawa yang sangat senang dengan ilmu
darma memilih untuk tidak mengikuti hobi kakaknya, Sentanu. Sambirawa
lebih memilih untuk berkelana, lelana brata. Suatu saat ia memantapkan diri
untuk berkelana dan berderma pada kelananya itu. Ia pun meminta izin pada
ayahandanya, Sangkara.
“Ayahanda, Hamba mohon izin untuk memilih jalan hidup Hamba
karena Hamba telah dewasa.” Pinta Sambirawa sambil memberi hormat pada
ayahnya.
“Apa itu jalan hidupmu.” Tanya Sangkara.
“Hamba ingin mengabdi pada Darma. Hamba ingin melakukan lelana
brata. Hamba akan berkelana untuk berderma pada orang banyak. Tidak tahu
di negeri mana hamba akan singgah. Tetapi hamba akan terlus berkelana.”
“Memangnya apa yang mendasarimu itu?”
“Hamba pikir, ilmu darma hamba harus didermakan pada mereka. Darma
juga mengajarkan untuk kita saling berbagi. Dengan berkelana Hamba bisa
mengamalkan darma sambil merasakan hal-hal yang mungkin jarang hamba
rasakan ketika berdiam diri di Istana kerajaan.”
“Apa kau yakin akan pilihanmu itu?”
“Yakin, Ayahanda, hamba sudah meneguhkan diri untuk ini.”
“Kau memang yang paling mahir dalam ilmu darma. Tapi apa kau tidak
akan kangen dengan keluarga dan orang tuamu ini?”
“Masalah itu, hamba sudah pikirkan matang-matang. Hamba pasti akan
kangen dengan keluarga, Ayahanda, maupun Ibunda. Akan tetapi, hamba pikir,
mengamalkan darma adalah salah satu jalan yang paling mulia yang harus
dilakukan hamba saat ini. Adapun yang menemani Ayahanda dan Ibunda ada
- 13 -
Purasara
kakanda Sentanu dan adinda Purasara. Suatu saat hamba akan balik lagi ke
Suktadurja jika hamba merasa sudah berhasil mengamalkan darma hamba.”
“Baiklah kalau itu pilihanmu, Anakku. Akan kuutus Punakawan untuk
menemanimu?”
“Tidak usah Ayahanda. Punakawan adalah mereka yang bijaksana dan
berperan dalam membimbing keberlangsungan negeri. Sehingga Hamba pikir,
Hamba harus berkelana sendiri. Terlebih lagi, menurut hamba, mengamalkan
darma itu adalah sesuatu yang harus dilandasi keimanan dari diri hamba
sendiri. Di situ pula hamba akan benar-benar belajar dan beramal.”
“Kalau memang kau sudah mantap begitu, Kupikir, aku sudah tidak
bisa menghalang-halangi pilihanmu lagi. Aku harap kau segera kembali dari
darmamu sebelum Ayahanda dan Ibunda kembali ke Kahyangan sana. Tapi
kalaupun tidak, kuraharap kau benar-benar selalu bahagia dengan kehidupan
darmamu ini.”
“Baik, Ayahanda. Hamba pamit.”
Dengan segala hormat, Sambirawa mengundurkan diri dari hadapan
Sangkara. Sambirawa pun mulai berpamitan dengan saudara-daudaranya,
ibundanya, dan para Punakawan. Mereka melepas Sambirawa dengan isak
tangis. Namun demikian, mereka adalah yang paling mengerti dan mendukung
cita Sambirawa yang sungguh mulia tersebut.
Sambirawa pun mulai meninggalkan kerjaan dengan menggunakan
sepasang kuda, untuk ia tunggangi dan untuk perbekalannya. Berangsur
Sambirawa makin jauh, makin tak terlihat pula bayangannya. Seiring itu,
tangis dari sanak-keluarga pun berangsur mereda. Mereka mulai beraktivitas
seperti sedia kalanya. Meski perasaan sedih belum sepenuhnya lenyap dari
hati mereka.
Di sisi lain, Sentanu dan Purasara kembali lagi ke aktivitas yang sering
dilakukan mereka berdua. Mereka belajar kehidupan dengan berburu di
tengah hutan. Mereka berdua pun saat itu akan berangkat berburu untuk
pertama kalinya semenjak kepergian dari Sambirawa. Mereka ingin memulai
aktivitas mereka kembali seperti sedia kala. Karena itulah, kemudian mereka
menghadap ke Sangkara untuk meminta izin kembali ke aktivitasnya.
Purasara memang saat ini menyukai berburu dengan Sentanu. Akan
tetapi, ia sendiri memiliki pikiran bahwa suatu saat ia akan menjalankan darma
seperti halnya Sambirawa. Tapi ia sendiri belum tahu kapan hal itu akan ia
- 14 -
Purasara
lakukan. Sementara ini, ia hanya ingin memperdalam ilmu dan kesaktiannya
dengan berburu bersama kakandanya, Sentanu.
“Ayahanda, kami memohon izin untuk kembali berburu ke hutan.”
“Oh, apakah perasaanmu sudah tidak masygul lagi setelah kepergian
Sambirawa?” Tanya Sangkara.
“Mengenai itu, kami tidak ingin larut berduka dengan tak melakukan apaapa. Kami ingin menjalani pembelajaran kami kembali, layaknya Sambirawa
yang belajar berderma dalam lelana brata. Kami akan berburu untuk mengasah
kemampuan kami mengolah senjata. Lagian, ada Kakang Semar, Petruk, dan
Garubug yang selalu membimbing kami selama perburuan untuk juga belajar
darma.”
“Kalau begitu, baiklah. Ayahanda pun senang mendengarnya. Kakang
Semar, Garubug, dan Petruk, tolong temani anak kami. Ajarkan mereka hal
baik dariberburu.”
“Baik Tuanku. Kami akan selalu setia membimbing anak-anak Tuanku
yang juga sangat kami cintai ini.” Sahut Semar.
“Kami pamit, Ayahanda.” Izin Sentanu dan Purasara.
Mereka berdua ditemani Punakawan pun mulai berangkat melakukan
aktivitas berburu mereka ke dalam hutan. Perburuan kali ini ternyata tidak
seperti biasanya. Mereka biasanya hanya berburu di kawasan hutan Suktadurja
saja. Namun, kali ini, mereka ingin berkelana lebih jauh lagi dan mendapatkan
tangkapan yang jauh lebih banyak dari biasanya.
Mereka pun keluar dari hutan Suktadurja. Sebenarnya keinginan ini
sempat dicegah oleh Semar. Menurut Semar, mereka tidak seharusnya pergi
jauh-jauh dan ke negeri lain. Sebab, mereka hanya pamit untuk berburu
seperti biasanya. Selain itu, tempat di negeri lain mungkin saja mempunyai
bahaya yang berbeda dan sulit untuk ditaklukkan. Namun, Sentanu malah
lebih bersemangat dan menganggap itu hal baru yang bisa dipecahkan oleh
mereka karena mereka telah dewasa.
“Sepertinya hutan ini pun sepi pula, Kakanda.” Sebut Purasara yang
merasa tak menemukan buruan apa pun di hutan yang mereka singgahi.
“Iya, sepertinya kita harus mencari hutan yang lainnya lagi, Dinda.”
Jawab Sentanu.
- 15 -
Purasara
“Sudahlah, Tuanku, sebaiknya kita balik saja ke Suktadurja, sepertinya
memang sedang tidak banyak kancil atau kijang karena mereka sedang
berlindung dari musim yang kurang baik.” Sanggah Semar.
“Tidak, Kakang Semar, kalau seperti ini kita tidak layak pulang. Kita
harus membuahkan hasil ketika berburu!” Jawab Sentanu menolak.
“Mari kita jalan lagi ke hutan negeri selanjutnya.” Ucap Purasara
menengahi.
Rombongan pun kemudian kembali berjalan mencari hutan yang mungkin
menyediakan apa yang mereka buru. Hutan demi hutan dilalui, negeri demi
negeri dijajaki, hampir kesemuanya menunjukkan gejala yang sama. Mereka
tidak menemui buruan yang mereka cari, seekor kijang atau kancil.
“Ini aneh, padahal, biasanya kita selalu mendapatkan hasil banyak.
Sementara ini satu pun tidak terlihat. Tidak ada satu panah pun yang meleset,
dan hari ini belum satu panah pun kutembakkan.” Ungkap Sentanu.
“Mungkin Dewata sedang menakdirkan kalau kita harus pulang,
Tuanku.” Celetuk Garubug.
“Betul, Tuanku.” Timpal Petruk, yang sepertinya lelah berkeliling untuk
mencari buruan yang tidak kunjung mereka dapatkan.
“Tunggu dulu… Kakang. Coba lihat keramaian di lapangan itu.” Sanggah
Purasara.
Pandangan mereka teralihkan ke arah keramaian. Karena penasaran,
mereka pun pergi ke keramaian tersebut. Ternyata, di situ sedang diadakan
sayembara. Sayembara itu memberitahu bahwa ada harimau atau mungkin
iblis yang sering membuat kekacauan di negeri tersebut. Dan bagi siapa pun
yang bisa mengatasi atau membunuh harimau atau iblis jadi-jadian itu akan
diberi kesempatan untuk memperistri putri dari negeri itu, yakni Dewi Sriwati.
“Bagaimana kalau kita ikuti ini untuk mengganti hasil buruan kita yang
tidak kunjung kelihatan?”
“Waduh… Jangan Tuanku. Kalau sampai kita mati kemakan harimau
bagaimana?” celetuk Petruk.
“Kau ini penakut sekali Truk. Padahal kau ini sakti juga.” Sahut Purasara.
“Iya... Tuanku, lebih baik tidak usah.” Timpal Bagong.
“Kita harus ikut.” Sanggah Sentanu yakin.
- 16 -
Purasara
“Ya… bagaimana lagi, Bug, Truk. Kita ini tetap harus mengawal Tuan
kita. Jangan cengeng.” Timpal Semar.
Mereka pun akhirnya mengikuti sayembara tersebut. Sentanu dan
Purasara ada di garda terdepan untuk mencari harimau itu. Sementara Semar,
Garubug, dan Petruk mengawasi di belakangnya. Mereka berkeliling negeri
dari malam hingga pagi selama beberapa hari. Sampai pada suatu subuh,
harimau jadi-jadian itu muncul.
“Itu Kakanda, tepat di belakang kandang ternak itu di depan pandang
kakanda.”
Sentanu pun sigap. Ia menarik busur panahnya. Kemudian, ia lontarkan
hingga mengenai perut harimau jadi-jadian itu. Harimau yang terkena panah
tidak langsung mati. Harimau justru berbalik akan menerkam Sentanu.
Sentanu pun menarik busur kedua. Ia lontarkan dan tepat di dadanya. Harimau
ambruk. Tetapi kini justru semakin beringas. Dan semakin dekat dengan
Sentanu. Sentanu mencoba menghindar, tetapi harimau terlalu dekat. Hingga
ketika harimau melompat menerkam, sebuah anak panah dari Purasara
meluncur dan menembus kepala harimau itu. Harimau ambruk dan tak bangkit
lagi. Tubuhnya berubah menjadi hitam yang menandakan bahwa itu harimau
jelmaan.
“Terima kasih, Adinda. Kau memang adik yang bisa kuandalkan.” Ucap
Sentanu berterima kasih pada Purasara.
“Itu hanya kebetulan Kakanda. Mari kita bawa bangkainya dan kita
ambil imbalannya.”
Mereka pun bergegas ke tempat raja. Dan membuktikan bahwa mereka
telah membunuh harimau yang sering membuat huru-hara. Raja negeri itu pun
menepati janjinya. Ia mengikhlaskan putrinya untuk disunting dan dibawa
oleh Sentanu dan Purasara. Karena merasa sudah bisa memuaskan hasrat
berburunya dengan memenangkan sayembara, Sentanu dan Purasara pun
pulang ke Suktadurja membawa putri Dewi Sriwat.
Sesampainya di Suktadurja, Sentanu dan Purasara menghadap pada
Sangkara dan Permaisurinya, Dewi Asmayawati. Ia merasa tidak enak karena
telah lama meninggalkan negeri Suktadurja, dan datang membawa seorang
perempuan cantik. Namun, ternyata justru bahagia yang seketika muncul di
muka Sangkara dan Asmayawati.
- 17 -
Purasara
“Maaf Ayahanda, kami telah lama meninggalkan Negeri. Sekalian Hamba
melapor bahwa kami memenangkan sayembara untuk membunuh Harimau
yang mengacau di negeri seberang.” Ungkap Sentanu mewakili rombongan.
“Oh, siapa gerangan perempuan tersebut.”
“Namanya Dewi Sriwati, Ayahanda.”
“Cantik parasnya, bukan begitu Dinda?” tanya Sangkara pada Dewi
Asmayawati.
“Betul Kakanda, elok nian. Cocok kalau jadi menantu kita. “jawab
Asmayawati dengan riang.
“Apakah ini Dewi akan kau peristri?” tanya Sangkara pada Sentanu.
“Maaf Ayahanda, kami memberantas Harimau bersama, jadi mengenai
itu, kita patutnya putuskan bersama dengan Dinda Purasara.” Sahut Sentanu.
“Oh, begitu, baiklah. Purasara,” panggil Sangkara.
Dengan langkah perlahan, Purasara menghadap ke Ayahandanya,
Sangkara. Dengan gerak sedikit menunduk tanda menghormat, Purasara
menjawab, “Hamba, Ayahanda!”
“Apakah Dewi Sriwati akan kau peristri?” Tanya Sangkara.
“Maaf Ayahanda, sepertinya Kakanda Sentanu adalah yang memenangkan
sayembara. Lagipula, saya tidak ingin menikah terlebih dahulu Ayahanda.
Masih banyak perihal di dunia ini yang ingin Hamba pelajari sebelum Hamba
memutuskan untuk menikah.” Jawab Purasara dengan segala hormat.
“Oh, jawaban yang mengejutkan! Kalau begitu, ini pilihannya ada
padamu Sentanu. Tentunya kau harus menghormati Dewi Sriwati yang sudah
Kau bawa kemari!” tanya Sangkara pada Sentanu.
“Dengan segala hormat, Ayahanda. Hamba sungguh mengapresiasi
jawaban dari Dinda Purasara. Ialah yang menolong Hamba memenangkan
sayembara. Karena Dinda Purasara sudah memutuskan jawabannya. Hamba
pun demikian. Hamba bersedia dan mau menikahi Dewi Sriwati, Ayahanda.”
Jawab Sentanu tegas.
“Sangat senang aku dan ibundamu mendengar jawabanmu itu, Sentanu.
Kalau begitu, marilah kita rayakan pernikahanmu dengan Dewi Sriwati.”
Jawab Sangkara.
- 18 -
Purasara
Dengan titah Sangkara, akhirnya pernikahan pun digelar selama tujuh
hari tujuh malam lamanya. Sentanu resmi menikahi Dewi Sriwati. Sangkara
dan Asmayawati tampak sangat senang dengan menantunya. Begitu pula
Sentanu dan Dewi Sriwati. Mereka berdua tampak sangat bahagia. Dewi
Sriwati sangat menyukai suaminya. Dan Sentanu, terlihat begitu terpaku pada
tawa istrinya.
- 19 -
IV
Pembagian Tahta
Beratus tahun lamanya Kerajaan Suktadurja berdiri. Beratus tahun
pula Sangkara memerintah sebagai seorang pemimpin Negeri, dengan Dewi
Asmayawati sebagai permaisuri. Kedamaian selalu menyertai. Mereka berdua
merasa bahwa anak-anak mereka sudahlah besar. Sesekali mereka mengawasi
Sentanu yang sedang bahagianya bercengkerama dengan istrinya. Sesekali,
mereka mengawasi Purasara yang akhir-akhir ini mulai sering belajar darma
dari Semar dan Punakawan. Mereka pun merasa keduanya sudah teramat
dewasa. Anak-anaknya sudah bisa menjadi seorang pemimpin negeri yang
bijaksana. Terlebih lagi, mereka merasa tubuhnya sudah mulai renta dimakan
usia. Terbersit dalam kepala bahwa mereka akan kembali ke Kahyangan,
negeri para dewata.
“Dinda, apakah sudah wakunya kita memberikan negeri ke anak-anak
kita?”
“Ada apa gerangan Kakanda berpikir seperti itu?” sahut Dewi
Asmayawati.
“Aku merasa kalau tubuhku mulai tua, begitu pula denganmu. Sepertinya,
kita tidak akan bisa memimpin negeri ini dengan baik jika tubuh kita sudah
tidak prima.”
“Hamba mengerti kekhawatiran Kakanda. Tapi apakah mereka sudah
siap?”
“Itulah, Adinda. Sentanu sepertinya sudah pantas untuk menjadi raja.
Purasara pun tampaknya semakin bijaksana di bawah bimbingan Kakang
Semar. Sementara kita? … Sudah waktunya kita kembali ke kahyangan
menemui para dewata.”
“Kalau Kakanda cukup yakin akan hal itu, marilah Kakanda … mari.”
Maka, mereka pun akhirnya memutuskan untuk mengumumkan pada
anak-anaknya dan beberapa penghuni negeri bahwa mereka akan kembali
ke negeri dewata. Dan, tampuk pemerintahan diserahkan pada kedua anak
mereka, Sentanu dan Purasara.
- 20 -
Purasara
Dalam sebuah pertemuan di pagi hari, semua penduduk beserta perangkat
kerajaan berkumpul di Balairung Istana. Sangkara mengumpulkan mereka.
Dan memulai bicaranya dengan nada yang berat.
“Wahai wargaku, wahai seluruh penghuni suktadurja. Serta seluruh
penghuni istana yang aku cintai. Kini ada sesuatu yang ingin aku sampaikan
pada kalian. Sesuatu ini aku rasa penting untuk kusampaikan pada kalian.
Sebab, ini berkait dengan keberlangsungan negeri ini.”
Sangkara menghentikan kata-katanya sejenak. Ia memandang sekitar.
Hening … mereka memerhatikan Sangkara dengan sangat serius. Tak sedikit
mata yang tak berkedip melihatnya. Warga-warga yang dikasihi Sangkara,
warga-warga yang mengasihi sangkara. Dengan sedikit tarikan napas yang
agak berat, ia memulai lagi bicaranya.
“Aku sudah cukup tua. Bahkan, tanganku sudah gemetar memegang
pedang. Lariku sudah kalah cepat dari kura-kura. Dan, karismaku sudah tak
lagi ditakuti siapa-siapa. Aku merasa, tempat yang paling tepat bagiku bukan
lagi pada singgasana, tetapi kembali ….”
Sangkara kembali terdiam, tenggorokannya terasa lebih berat kali ini. Ia
bahkan tak kuat menegakkan kepala, melihat sekitarnya. Sedikit ia menunduk,
melanjutkan bicaranya.
“Kembali ke tempat para dewata di Kahyangan sana.”
Peserta yang hadir belum sempat berbicara apapun. Tapi Sangkara sudah
kembali bersiap melanjutkan kata-katanya.
“Karena itu, tahta dan singgasana negeri akan aku serahkan pada kedua
anakku. Dengan begitu, aku dan Asmayawati bisa tenang meninggalkan
Negeri.”
“Tapi Tuanku, maaf hamba berbicara.” Sahut Semar.
“Tidak apa-apa, Kakang Semar. Lanjutkan kata-katamu.” Sangkara
menganggapi.
“Bukankah negeri ini hanya satu, Tuanku. Sementara, anak Tuanku ada
dua, tiga bahkan. Sambirawa masih merantau.”
“Soal Sambirawa, aku pikir, dia sudah menemukan jalan hidupnya.
Dia akan kembali bukan untuk berkuasa, tapi menebar darma. Untuk negeri,
anakku memang dua. Karena itu, aku pun akan memberikan negeri ini untuk
dibagi menjadi dua. Aku pikir itu adil untuk kedua anakku.”
- 21 -
Purasara
“Kalau begitu adanya, Hamba pikir itu juga cukup adil. Sekarang tinggal
bagaimana tanggapan kedua anak Tuanku.”
Sangkara mengangguk kecil. Sebentar ia menoleh ke Dewi Asmayawati.
Sebentar kemudian ia kembali melihat ke seluruh hadirin.
“Balairung ini adalah batasnya. Dari sini akan ditarik garis lurus. Sebelah
barat adalah negeri untuk Sentanu, dan sebelah timur untuk Purasara.”
Seluruh hadirin mengangguk. Tanpa suara sedikit pun, seolah mereka
menyatakan persetujuan. Akan tetapi, ada kegelisahan pada raut muka
Purasara. Ia terlihat berpikir sangat keras.
“Bagaimana anak-anakku, apa kalian setuju dengan usulanku ini?”
Keduanya tidak ada yang menyahut. Purasara terdiam dan menunjukkan
raut muka yang tidak setuju. Karena itu, Sentanu yang sangat menyayangi
adiknya ini, merasa tidak berhak bicara. Ia memilih diam sebelum adiknya
berbicara.
“Sentanu, kau sebagai yang tertua, apa kau setuju?!” tanya Sangkara
seketika.
Sentanu tetap terdiam. Ia merasa, kalau adiknyalah yang tidak setuju,
dan ia tidak ingin bertengkar dengannya.
“Hai Sentanu. Jawablah pertanyaan Ayahandamu ini!” Sergah Sangkara.
Mendengar Ayahandanya berbicara dengan nada yang cukup keras, ia
pun akhirnya bicara. “Segala hormat, Ayahanda. Ananda bukan berusaha
menentang Ayahanda. Hamba hanya melihat bahwa Purasara menunjukkan
wajah yang kurang bahagia. Hamba tidak berani memutuskan kalau memang
Adindaku Purasara tidak menyukainya.”
“Hai Anakku, Purasara. Apa betul demikian?” tanya Sangkara, memelan.
“Maafkan Ananda, Ayahanda. Bukan tidak setuju dengan maksud adil
dari Ayahanda. Akan tetapi, ananda merasa, ada tujuan hidup ananda yang
belum ananda laksanakan.”
“Apa maksudmu itu?”
“Ananda masih ingin belajar darma dari Kakang Semar, Garubug, dan
Petruk. Karena itu, ananda belum mau untuk memimpin sebuah negeri.
Ananda ingin seluruh negeri dipimpin oleh kakanda Sentanu terlebih dahulu.”
- 22 -
Purasara
“Jadi, Kau tak mau mengemban usulanku, dan lebih memilih semua
negeri untuk Sentanu?”
“Dengan segala hormat, iya, Ayahanda.”
“Kalau begitu maumu, aku akan ikuti.” Sambil menoleh ke arah Sentanu,
Sangkara bertanya dengan tegas, “Apakah kau siap memimpin negeri ini
seutuhnya? Seperti yang diinginkan Adindamu itu?”
“Demi Dewata, Demi Ayahanda, dan demi Adindaku tercinta, Ananda
siap jika memang itu yang terbaik.”
“Baiklah. Dengan begitu, aku resmi mengumumkan bahwa negeri ini
akan aku turunkan pada anak pertamaku, Sentanu.” Ucap Sangkara menutup
pertemuan.
Dengan disetujuinya kesepakatan itu, Sangkara resmi meninggalkan
tahta dan singgasananya. Kekuasaannya diserahkan pada Sentanu. Sepanjang
7 hari 7 malam, Suktadurja berpesta. Mereka mempunyai raja baru untuk
kempimpinannya yang akan datang. Di sisi lain, Suktadurja juga berduka
dengan akan perginya raja mereka terdahulu, Sangkara, bersama permaisurinya,
Dei Asmayawati, kembali ke Kahyangan.
Di tengah pesta, Sangkara memerhatikan putranya yang duduk gagah di
singgasana. Ia seolah melihat dirinya saat muda, gagah perkasa dan bahagia
bersama warga. Tanpa disangka-sangka, datanglah Semar bersama Petruk dan
Garubug menghampiri Sangkara.
“Tuanku, bagimana nasib kami? Kami ke sini kan untuk menemani dan
melayani Tuanku.” Keluh Punakawan.
“Lantas, apa maumu, Kakang?” Sangkara bertanya balik.
“Selama ini kami hanya mengikuti Tuanku, kalau Tuanku pulang,
bagaimana nasib kami? Kami ingin ikut kembali bersama Tuan saja.”
“Tidak Kakang, Aku dan Asmayawati akan kembali berdua saja. Kakang
Semara, Petruk, dan Garubug adalah penasihat negeri. Bagaimana nanti kalau
Kakang semua ikut pulang. Negeri ini bisa kacau.”
“Lalu kami harus apa Tuanku, kami ikut perintah Tuanku.” Ungkap
Semar bersedih dan menitikkan air mata.
- 23 -
Purasara
“Masih ada dua anakku yang ada di negeri ini, tolong bimbing mereka
berdua, jaga mereka berdua. Terutama Purasara yang paling kecil. Tolong
sekali Kakang Puanakawan sekalian, jangan sampai mereka tersesat. Kalian
yang paling tahu keadilan dan ketidakadilan.”
Sambil menahan tangis, Semar menganggapi dengan tersedak-sedak,
“Iya Tuanku. Hamba mengerti akan itu semua.” Petruk dan Garubug hanya
terdiam menundukkan kepala. Mereka bersedih dan tidak tahu mau berkata
apa.
“Itu saja pesan saya, Kakang Semar, Petruk, dan Garubug. Semoga kit
suatu saat bisa bertemu di Kahyangan sana.” Tutup Sangkara.
“Baik, Tuanku Kami undur diri dulu.” Jawab Semar. Gareng, dan Petruk
pamit. Dengan muka sedih, mereka memberi tanda perpisahan kepada Tuan
mereka.
Pesta berlalu, perpisahan telah menunggu. Tepat pada hari baik, Sangkara
dan Dewi Asmayawati mempersiapkan perpisahannya dengan Suktadurja.
Seluruh warga yang dipimpin oleh Sentanu, memberi salam dan ucapan
perpisahan. Tak sedikit tangis meledak. Dan tepat setelah semua air mata telah
habis dilahap tanah Suktadurja, Sangkara dan Dewi Asmayawati dijemput
oleh sesorot cahaya. Dalam kedipan mata, mereka gaib dan pergi seketika.
- 24 -
V
Pilihan Bertapa ke Gunung Parasu
Beberapa saat setelah kepergian Sangkara dan Dewi Asmayawati, negeri
Suktadurja pun memulai aktivitas seperti biasanya. Warga yang kesehariannya
pergi bertani, kembali lagi mengolah sawah dan ladangnya. Warga yang
kesehariannya pergi berburu, kembali menjelajah hutan untuk berburu. Warga
yang kesehariannya menjadi tukang, mulai kembali lagi membuat kerajinan
pertukangan. Warga yang kesehariannya menjadi pembantu dan pegawai
kerajaan pun kembali ke aktivitas mereka sebagai pembantu dan pegawai
kerajaan. Tak terkecuali para Panawakawan, Sentanu dan Dewi Sriwati, juga
Purasara.
Para Punakawan ada pada kedudukannya sebagai penasihat kerajaan.
Mereka ada di sisi Sentanu dan Purasara. Terkadang mereka mengajarkan
darma pada Sentanu dan Purasara. Terkadang mereka memberi nasihat pada
Sentanu untuk mengatur warganya agar warganya selalu dalam naungan
ketenteraman dan keadilan. Kadang pula, mereka menjadi pendamping
Purasara ketika ingin belajar ke hutan, ingin turun ke warga-warganya
membaur dan berderma, ataupun di saat Purasara, secara diam-diam, mencoba
bertapa dengan para Brahmana di gunung-gunung sekitar Suktadurja.
Tampaknya perihal pergi keluar wilayah kerajaan secara diam-diam untuk
berderma ke warga dan bertapa ini belum diketahui oleh Sentanu. Tampaknya
perihal ini pula yang membuat Purasara gelisah dan tidak mau memerintah
kerajaan atau kerajaan dibagi dua. Di samping itu, Semar, Garubug, dan
Petruk memang diminta untuk tutup mulut dan tidak memberi tahu siapa
pun mengenai aktivitas Purasara ini. Purasara ingin kegiatan darmanya
diterima oleh dewata dan menjadi pamrih. Oleh karena itu, ia meminta para
Punakawan yang senantiasa mendampinginya untuk tidak membocorkan apaapa mengenai kegiatannya.
Di satu sisi, Sentanu memang sangat sibuk dengan posisinya sebagai
seorang raja saat ini. Sentanu seringkali menerima kunjungan dari wargawarganya, baik yang ingin memberikan sumbangan pertanian kepada
kerajaan ataupun ingin meminta banTuan menyelesaikan masalah. Ia juga
sering menerima tamu dari berbagai negeri di luar Suktadurja. Kebanyakan
tamu itu hanya ingin berdiplomasi dan menjalin hubungan baik dengan
- 25 -
Purasara
kerajaan Suktadurja. Terlebih lagi, Sentanu adalah raja baru menggantikan
Ayahandanya. Karena itulah, Sentanu sudah jarang sekali memerhatikan
aktivitas adik tercintanya, Purasara. Walaupun, Purasara pun memang sering
bepergian tanpa mau diketahui oleh Kakandanya, selagi Ayahandanya yang
masih berkuasa.
Suatu ketika, Sentanu ingin meminta banTuan dari adindanya, Purasara.
Namun, Purasara ternyata tidak ada di tempatnya. Ia sedang pergi berderma.
Ada seseorang yang memberikan berita kalau Purasara sedang berkeliling
untuk membagi-bagi kebutuhan pada warga. Sentanu yang tidak pernah tahu
kabar itu sontak kaget. Walaupun sebenarnya dalam hati ia juga bangga karena
adindanya itu benar-benar punya komitmen dalam belajar dan menjalankan
darma.
Ketika Purasara sudah kembali lagi ke wilayah kerajaan, Sentanu pun
segera memanggil adindanya itu untuk menghadap. Dengan segera, Purasara
pun menghadap ke hadapan kakandanya, Sentanu, dengan disertai para
Punakawan.
“Salam, Kakanda. Ada apa gerangan Kakanda memanggil Adinda?”
“Kenapa Adinda tidak bilang apa-apa ke Kanda?”
“Maksudnya apa, Kakanda?”
“Jadi selama ini kau lelana brata juga bertapa untuk menjalankan darma
layaknya Sambirawa?”
“Tidak juga Kakanda.” Jawab Purasara lirih.
“Maksudnya?” Sentanu terheran“Adinda tidak bisa disamakan dengan Kanda Sambirawa. Kanda
Sambirawa telah memutuskan seluruh jalan hidupnya untuk berdarama.
Sementara Dinda hanya masih belajar berdarma.”
“Ya, maksudku juga demikian, Dinda. Tapi, sejak kapan kau melakukan
hal mulia seperti itu. Yang kutahu selama ini kau hanya membuntuti
kebiasaanku layaknya satria yang gagah perkasa.” Tanya Sentanu penasaran.
“Sebenarnya ini kulakukan sejak lama, Kanda. Secara diam-diam. Sejak
memutuskan untuk terjun dan mendalami darma lewat kakang Semar. Bahkan
ini juga jadi alasanku kenapa tidak mau menerima pembagian negeri dahulu.
Adinda belum siap untuk memerintah warga karena Adinda memang masih
harus banyak belajar Darma. Lagipula, Adinda belum berpasangan, jadi belum
ada yang mengurus.” Aku Purasara.
- 26 -
Purasara
“Apa benar demikian, Kakang Semar?” tanya Sentanu pada Semar.
“Maaf, Tuanku. Hamba dipaksa untuk tutup mulut oleh Adindanya Tuan
Muda!”
“Walah ternyata kalian sekongkol untuk menyembunyikan tingkah
Adindaku ini ya?” sahut Sentanu sambil tertawa.
“Darma tidak baik untuk diumbar-umbar, Kanda.” Ucap Purasara.
“Baiklah Adindaku. Kau memang jauh lebih mahir segalanya daripada
aku, termasuk ilmu darma, khususnya.” Tambah Sentanu terbahak.
Mendengar Kakandanya terbahak kegirangan, Purasara pun merasa
bahwa ia tak perlu lagi berdarma secara diam-diam. Ia mulai berpikir untuk
menyampaikan keinginannya untuk pergi bertama ke Gunung Parasu.
Namun, setelah ia timbang kembali, ia urung. Ia merasa dirinya baru sampai
ke kerajaan. Tidak sopan jika langsung meminta izin untuk pergi. Terlebih
dalam jangka waktu yang lama. Ia pun memutuskan untuk undur diri istirahat
dahulu. Izin undur diri pun diikuti oleh para Punakawan.
Di tengah perjalanan ke bilik istirahatnya, Semar bertanya ke Puarasara.
“Ada apa Tuan? Sepertinya ada yang masih Tuan sembunyikan.”
“Tidak apa-apa Kakang Semar, aku hanya berpikir untuk menyampaikan
keinginanku bertapa ke Gunung Parasu tadi. Namun, aku urung. Sepertinya
tidak sopan kalau aku baru pulang langsung minta izin untuk pergi lagi.”
“Oh, begitu Tuan. Iya, Hamba sependapat. Besok saja, menunggu waktu
yang lebih tepat. Sekarang Tuan beristirahat saja dahulu.”
“Iya Kakang Semar. Salam”
Mereka pun kembali ke bilik masing-masing untuk beristirahat. Esokesoknya, Purasara pun belum berani menyampaikan niatnya ke Kakandanya.
Selama itu, ia hanya membaca buku mengenai darma, berlatih panahan,
serta berkuda. Sentanu pun sibuk dengan tamu-tamunya dan segala agenda
pemerintahan di Suktadurja. Dalam pikiran Purasara, dahulu Ayahandanya
juga tidak sesibuk Kakandanya sekarang. Tapi pikiran itu segera dibuangnya.
Sampai suatu ketika, Purasara pun mantap untuk menghadap pada
Kakanda, perihal meminta izin bertapa ke Gunung parasu. Di tengah kesibukan
Sentanu, Purasara pun menghadap.
“Maaf beribu maaf Kanda jika Dinda mengganggu Kanda.” Purasara
datang memberi hormat.
- 27 -
Purasara
“Oh… Adinda Purasara. Ada apa gerangan. Kau mau berdarma lagi?”
“Iya Kakanda, hamba mau meminta izin.”
“Baiklah, Aku dengan senang hati mengizinkan.”
“Maaf Kakanda, tetapi kali ini aku akan izin bertapa dengan jangka
waktu yang lama ke Gunung Parasu. Aku pun tidak tahu kapan akan pulang
kembali ke Suktadurja.”
Seketika Sentanu langsung terhenti dari pekerjaannya. Ia menatap ke
Adindanya. Ia menghampiri lalu memeluknya. “Kau sungguh-sungguh,
Dinda?”
“Sungguh-sungguh, Kakanda.”
Sentanu berpikir sejenak. Ia tampak memikirkan keadaan adiknya
nanti jika terjadi apa-apa di perjalanan. “Gunung Parasu itu cukup jauh dari
Suktadurja Adinda. Kalau terjadi apa-apa padamu, aku tidak bisa membantu,”
“Sambil berjalan menuju Gunung Parasu, aku pun ingin sambil
meningkatkan ilmuku, Kanda.”
“Andai Kandamu ini tidak sibuk mengurusi perihal negeri. Pasti
Kandamu ini akan senantiasa menemanimu. Meskipun, Kanda kurang begitu
suka bertapa, Kanda lebih suka ilmu kanuragan dan ilmu perang.”
“Tidak apa-apa Kanda. Uruslah yang menjadi kewajiban Kanda. Dinda
bisa menjaga diri Dinda sendiri.”
“Tidak. Kau harus dikawal. Kakang Semar, Petruk, dan Garubug akan
mengawalmu dan menemanimu menuju Gunung Parasu.”
Sentanu meminta pada para pengawal untuk memanggil Semar, Petruk,
dan Garubug. Tidak lama, mereka pun datang menghadap. “Hormat Tuanku.
Ada apa Tuanku, memanggil kami?”
“Tolong, Kakang Semar, Garubug, dan Petruk, temani Adinda Purasara
untuk pergi ke Gunung Parasu. Aku khawatir terjadi apa-apa pada Adindaku
ini.” Pinta Sentanu.
Semar yang sudah tahu niatan dari Purasara pun hanya tersenyum dan
mengiyakan. “Baik, Tuanku, hamba akan senantiasa menemani Tuan Purasara
karena itu pula pesan dari Ayahanda Tuan.”
“Baiklah, Kakang Semar. Aku sekarang tidak khawatir lagi.”
- 28 -
Purasara
“Kanda agak berlebihan mengkhawatirkanku yang bahkan lebih pandai
ilmu darimu. Sebaiknya para Punakawan menemani Kanda di negeri sini.
Siapa yang akan menemani Kanda dan menjadi penasihat negeri kalau mereka
semua iku?”
“Kalau orang di dalam negeri banyak prajuritnya, tidak perlu kami
temani, kalau orang di gunung banyak bahayanya, makanya harus kami
temani.” Sahut Garubug.
“Godaan dan rintangan di luar tidak ada yang tahu. Tuan harus tetap
waspada. Kalau Kanda Tuan mau kami mengawal, berarti Kandamu ini sangat
sayang padamu.” Timpal Petruk.
“Baiklah kalau memang itu yang diinginkan Kanda dan para Punakawan.”
Terima Purasara sambil sedikit tersenyum.
Mendengar itu, lalu Purasara pamit undur diri. Begitu pula diikuti Semar
dan Punakawan. Tapi, sebelum Semar keluar ruangan, Sentanu kembali
memanggil dan berpesan, “Kakang Semar, juga sekalian Petruk dan Garubug.
Tolong jaga baik-baik Adinda Purasara.”
“Baik, Tuanku. Selalu!” jawab Semar.
Mereka pun berkemas. Keesokan harinya, Purasara ditemani Punakawan
memulai berangkat menunju Gunung Parasu. Gunung yang konon merupakan
tempat bertapa para Batara. Gunung tertinggi yang penuh rintangan. Siapa pun
harus melewati beberapa lembah, hutan, dan sungai untuk kemudian sampai
ke kaki gunungnya. Dan mereka pergi dengan tekad kuat dan dada yang tegap.
- 29 -
VI
Rintangan Menuju Pertapaan
Meskipun tidak pernah memberitahu siapa pun, kabar mengenai
perjalanan Purasara dengan para Punakawan ke Gunung Parasu untuk
bertapa beredar di telinga banyak orang. Di mana-mana, orang keheranan
dengan rencana Purasara untuk pergi ke Gunung Parasu yang terkenal banyak
Rintangannya. Banyak yang mengagumi niatan darmanya, tetapi tidak sedikit
pula yang menggunjingnya, dianggap bodoh tak mau menerima kekuasaan
malah memilih pergi untuk bertapa dan mengorbankan nyawa. Memang
begitu mulut sebagian orang, terkadang, sesuatu bisa saja menjadi omongan,
perihal baik dan buruknya.
Yang paling tidak terduga, kabar itu ternyata menyebar hingga ke
Kahyangan. Hal itu membuat khawatir Batara Guru. Batara Guru saat ini
adalah Raja Kahyangan. Ia menjadi Raja karena ia adalah yang terdekat
dengan Sang Hyang Tunggal, yang sekarang menjelma Semar. Ia terdekat
dari segi keturunan dan segi kekuatan. Tidak ada yang bisa mengalahkan
Batara Guru. Karena itulah Batara Guru dapat berkuasa dari segala Batara
yang ada. Namun, ada ramalan yang mengatakan bahwa seorang keturunan
Sang Hyang Tunggal yang bisa bertapa di Gunung Parasu layaknya Batara,
bahkan melebihi Batara, akan memiliki kekuatan yang sangat besar bahkan
bisa menguasai para Batara. Karena Purasara adalah anak Sangkara yang
masih punya hubungan dengan Sang Hyang Tunggal. Batara Guru yakin kalau
Purasara bertapa melebihi tapa para Batara di Gunung Parasu, kesaktiannya
akan mengancam posisi Batara Guru. Itu yang Batara Guru takutkan.
Ia pun memberi tahu para bawahannya untuk segera mencegah dan
menggoda Purasara. Ia membuat narasi kalau sampai Purasara mendapatkan
kesaktian melebihi para Batara, ia bisa sewaktu-waktu mengacau Kahyangan
dan membuat para Batara menjadi bawahannya.
“Hai para Batara. Turunlah kalian semua ke Dunia untuk menggoda dan
mencegah Purasara bertapa di Gunung Parasu. Sebab, jika ia sampai bertapa
di gunung Parasu, ia bisa menjadi teramat sakti. Terlebih lagi jika ia bertapa
layaknya para Batara. Ia bisa sangat sakti dan dapat mengacak-acak seluruh
isi Kahyangan. Membuat kita semuamenjadi bawahannya. Jika itu terjadi,
keseimbangan dunia dan Kahyangan bisa kacau. Kita harus bisa hentikan itu
semua.” Titah Batara Guru.
- 30 -
Purasara
“Apa memang seberbahaya itu, Tuanku? Apa kita harus takut pada
seorang manusia yang hanya keturunan Sangkara, ciptaan Batara?” tanya
salah satu Batara.
“Kau tidak boleh meragukan omonganku ini. Ini semua sudah termaktub
dalam sebuah ramalan besar yang aku baca. Aku lebih tahu banyak dari kalian
semua. Maka itu, aku perintahkan pada kalian untuk menggoda agar mereka
tidak jadi bertapa di Gunung Parasu.”
“Kalau itu, sepertinya hal yang mudah kami lakukan. Baiklah, Tuanku.”
Jawab salah satu Batara.
“Tapi kalian harus hati-hati dengan para Punakawan, pengawal dari
Purasara. Petruk adalah jelmaan dari angin puyuh. Garubug juga jelmaan dari
kesaktian alam. Dan yang paling bahaya adalah, Semar. Jangan sampai kalian
berhadapan dengan pengawal yang satu itu. Sebab, kalian tak akan mampu
menang melawannya. Ia punya kesaktian tiada tara yang harus diwaspadai
pada Batara. Pada dasarnya kalian harus hati-hati dengan mereka. Dan kalian
harus menyamar sebagai makhluk yang amat seram agar mereka tidak tahu
bahwa kalian ini Batara. Kalau mereka sampai tahu, maka kita sebagai
Batara akan menjadi sasaran dendam para manusia, terutama Purasara dan
keturunannya!” ucap Batara Guru mewanti-wanti.
“Baiklah, kalau begitu, Tuanku. Kami akan turun berempat. Menyamar
sebagai raksasa untuk membuat mereka mengurungkan niat mereka ke
Gunung Parasu. Kami pamit undur diri.” Jawab para Batara undur diri.
Setelah menerima titah dari Batara Guru, keempat Batara tersebut melihat
dari langit keberadaan Purasara dan Punakawannya. Mereka sedang melintasi
sebuah hutan menuju Gungnung Parasu. Tampak Purasara memimpin di
depan dan diikuti tiga Pawanakan. Mereka melihat-lihat mana yang harus
mereka hindari yang bernama Semar. Setelah mereka cukup yakin, mereka
turun dengan perwujudan Raksasa.
Mereka turun bagaikan lemparan batu-batu besar dari letusan gunung.
Suaranya penuh gemuruh disertai dengan gempa yang menjadi-jadi. Purasara
dan Panawakan tampak terkejut melihat kedatangan keempat raksasa tersebut.
Purasara lalu menegakkan diri dan bersikap tenang. Sementara itu, Semar
tampak sangat tenang, berbeda dengan Garubug dan Petruk yang ketakutan
karena baru pertama kali melihat makhluk seperti manusia tetapi wujudnya
sangat besar.
- 31 -
Purasara
“Hai, kau yang bernama Purasara? Undurlah dari hutan ini. Kami adalah
penjaga hutan. Jika kau mau lewat, serahkan dua Punakawanmu sebagai
tumbal untuk kami makan!” sergah Raksasa.
Mendengar itu, Semar yang tak ingin terjadi apa-apa pada Tuannya dan
anak-anaknya, membisiki Tuannya agar cari cara aman saja. “Lebih baik kita
mundur saja, Tuanku. Hamba tidak mau ada yang terluka nantinya.” Namun,
dengan tekad yang kuat, Purasara enggan untuk mundur. Dengan tatapan yang
tajam dan badan tegap, Purasara menyahut.
“Mana mungkin kami urung. Kami akan menunaikan darma dan bertapa
di Gunung Parasu. Kami akan menghadapi segala rintangan di depan kami!”
Mendengar itu, para Raksasa tertawa terbahak. “Hahaha… bertapa di
gunung Parasu katamu? Kalau kau nekat juga, lebih baik kalian semua kami
telan hidup-hidup di sini!” seru para Raksasa.
Petruk dan Garubug tampak menggigil ketakutan. Sementara Semar
kebingungan. Ia tak tahu lagi mau melawan atau mau membujuk Tuannya
agar mundur. Purasara sendiri berbalik menantang.
“Ayo, kemari kalau berani. Akan kujadikan kalian korban selanjutnya
dari kerisku!” sambil menarik keris dan menghunusnya ke depan, Purasara
tampak siap melawan.
Tanpa jawaban dari Raksasa, mereka pun langsung bentrok. Raksasa
bersiap memalukan gadanya. Sementara Purasara sudah mulai maju
menyerang dan menghunus kerisnya ke arah salah satu Raksasa. Hunus keris
dari Purasara ke arah dada raksasa dapat ditangkis dengan Gada dari Raksasa.
Keris pun meleset dan dengan genggamannya yang besar, raksasa memegang
tangan Purasara lalu melayangkan tubuh Purasara ke angkasa. Purasara pun
melayang. Dan segera dipukul oleh raksasa lain dengan Gadanya hingga
terpuruk ke tanah.
“Hahaha … kau pikir dengan tubuhmu yang kecil itu kau akan bisa
melawan kami? Omong kosong!” sergah raksasa mengejek.
Purasara yang mendengar itu pun kesal. Seolah tanpa kesakita, ia bangkit
dan menghunus kembali kerisnya. Kali ini sasarannya adalah perut bagian
kanan raksasa. Sekali lagi raksasa bisa menangkis hunus Purasara dengan
gadanya. Purasara yang goyah ditangkap kakinya. Lalu dilemparkan ia pada
bebaTuan besar.
- 32 -
Purasara
“Haha… orang lemah sepertimu hanya menyetor nyawa saja di hadapanku.
Kita lihat seberapa lama kau bertahan hingga maut menjemputmu.” Lagak
raksasa sombong.
Dua raksasa lain datang menghampiri Garubug dan Petruk. Satu raksasa
dengan cepatnya langsung melempar garubug ke angkasa. Satu lagi membawa
petruk loncat dan membantingna ke permukaan tanah.
Semar yang kebingungan malah berlindung di bawah pohon randu.
Semar tidak tahu mau berbuat apa. Sementara raksasa-raksasa tidak ada yang
berani mendekati Semar karena sudah diwanti-wanti oleh Batara Guru.
Dua raksasa mengeroyok Purasara. Purasara yang tadi tampak kewalahan,
kini bisa melayani dan menangkis perlawanan dari du raksasa. Namun, tak
sedikit pun perlawanan dari Purasara mengenai raksasa-raksasa tersebut.
Tangkisan keris dan gada seolah mememercik cahaya api. Terlihat Purasara
sama kuat dengan kedua rakasasa yang bertarung melawannya.
“Kurang ajar, dia kini semakin lincah rupanya.” Ungkap salah satu
raksasa.
“Iya, sepertinya dia cukup merepotkan setelah berhasil kita banting ke
permukaan tubuhnya. Bukannya hancur, malah makin sulit dipukul.” Sahut
raksasa satunya.
Tanpa pikir panjang, Purasara menjawabnya dengan tebasan kerisnya.
Satu raksasa menangkisnya dengan gada. Raksasa lainnya ingin memukul
tapi terburu purasara menghindar dan lenyap dari hadapannya. Raksasa justru
bertabrakan satu sama lainnya. Kesempatan untuk Purasara menusuk keduanya
dari belakang. Namun, kali ini raksasa masih bisa sigap menghindarinya.
Purasara gagal melayangkan hunusan keris di bagian fatal raksasa.
Garubug yang terlempar ke udara sudah mendarat ke permukaan.
Badannya berasa remuk dimakan bumi. Tapi raksasa belum mau berhenti
memburunya. Iya menarik kembali tubuhnya dan melparnya tinggi-tinggi.
Walaupun terlihat pasrah, kali ini Garubug cukup cerdik. Ketika dirinya akan
jatuh lagi ke permukaan, ia memutar haluan arah. Tubuhnya yang lumayan
besar pun malah berbalik menimpa raksasa. Garubug dan raksasa sama-sama
terkapar di atas tanah.
Di sisi lain, Petruk yang nampak ketakutan malah bisa berbalik menyerang
rakasasa. Dengan kekuatannya, ia berhasil beberapa kali memukul kepala dan
menjambak rambut dari raksasa. Raksasa pun cukup kewalahan. Sampai di
- 33 -
Purasara
satu kesempatan, raksasa berhasil melayang kan gada. Tubuh petruk terpental
ke arah Garubug. Garubug yang mlai bangkit justru kembali jatuh tertimpa
tubuh Petruk. Keduanya sama-sama terkapar. Giliran dua raksasa yang telah
kembali bangun, bersiap melayangkan gada ke tubuh Petruk dan Garubug.
“Bapak, kenapa Bapak diam saja. Sampai hati Bapak biarkan anakmu
dipukul begini?” rintih Garubug.
“Iya Bapak, anakmu ini bisa mati kalau tidak kau tolong.” Sahut Petruk
kesakitan.
Semar yang mendengar rintihan anaknya itu kebingungan. “Waduh,
Garubug, Petruk, Bapakmu ini bingung mau ngapain. Mau menyelamatkan
Tuan Purasara atau malah menyelamatkan kalian. Aku sendiri saja sulit
menyelamatkan diri.”
Setelah mendengar Garubug dan Petruk yang terdesak, Semar pun
akhirnya turun. Ia ambil pasir dan debu di tanah. Lalu dihamburkannya ke
udara ke arah para raksasa. Dengan gaibnya pasir dan debu itu menjelma
puyuh yang guruh dan mengenai mata-mata para raksasa. Seketika mata
mereka kesakitan. Raksasa yang sedang bertarung seperti kehilangan arah.
Mereka hanya memukul ke sana kemari. Petruk dan Garubug yang hampir
kena gada, jadi selamat. Gada berbelok arah menimpa sesama raksasa.
Dua raksasa yang bertarung dengan Purasara pun demikian. Matanya
kerasukan debu dan pasir yang guruh dengan angin kencang. Mereka jadi
tidak menentu pukulannya. Mereka seperti cacing kepanasan yang kelabakan.
Purasara pun kini sangat mudah menikam tubuh mereka yang besar. Mereka
menggada ke kiri, Purasara menusuk dada kanan. Mereka menikam ke kanan,
Purasara menusuk dada kiri mereka. Begitu terus sampai mereka tertikam
tujuh tusukan di dada dan perut.
Dua raksasa yang tadinya menyerang Garubug dan Petruk malahan
ditertawakan bagai kuda kesetanan. Mereka menggada tidak jelas arahnya.
Tak jarang malah saling gada satu sama lain. Akhirnya roboh tubuh keduanya.
Para raksasa pun mohon ampun kepada mereka.
“Ampun, ampun kami menyerah. Ternyata kalian adalah makhluk
yang kuat. Kalian pantas berkeinginan tapa di Gunung Parasu, tempat tapa
para barata. Sepertinya kau pun memang anak raja yang akan menjadi sakti
mandraguna karna tapa. Ampuni kami.”
- 34 -
Purasara
“Pergi kalian para Buta … kami tak berniat membunuh kalian. Kami
hanya ingin lewat. Tapi kalian malah menyerang. Akhirnya kami pun membela
diri. Sekarang pergilah! … lenyaplah dari hadapan kami.” Sergah Purasara
tegas.
“Baik, baik… kami pergi.” Dengan seketika mereka lari terbirit-birit tak
tentu arahnya. Sekali lagi mereka jadi bahan tertawaan Garubug dan Petruk
yang sudah payah berdirinya. Ada yang berlari ke utara, ada yang ke selatan,
ada yang ke timur, ada pula yang ke barat. Setelah mereka semua lenyap dari
pandangan, mereka pun menghilang, kembali mewujud Batara, dan gaib
menuju Kahyangan.
Sementara itu, Purasara menghampiri para Punakawan yang terduduk
lesu. “Apakah Kakang semuanya baik-baik saja?” tanya Purasara sambil
menpuk pundak Garubug.
“Kami baik-baik Tuanku. Hanya saja, sebaiknya kita istirahat dahulu
barang sebentar. Badan rasanya kaku karena dihajar raksasa tadi.” Sahut
Garubug.
“Iya, Tuanku. Biar kami istirahat sejenak.” sahut Petruk mengiyakan.
“Baiklah, Kakang. Kita istirahat sejenak sambil memulihkan kondisi dan
stamina.” Jawab Purasara.
Mereka pun beristirahat di daerah hutan itu hingga mereka pulih dalam
satu atau dua hari. Setelah kembali pulih, mereka kembali melanjutkan
perjalanan ke Gunung Parasu. Melewati hutan, lembah, dan perbukitan yang
terjal.
***
Di Kahyangan, keempat Batara yang pada awalnya diminta menggoda
Purasara agar tak jadi bertapa di Gungung Parasu, kembali ke hadapan Batara
Guru dengan kepala tertunduk. Mereka merasa tak sanggup dan kewalahan
menghadapi para Punakawan dan Purasara.
“Ampun, Tuanku. Kami kembali dengan kabar yang tidak begitu baik.
Kami gagal menggoda Purasara dan Punakawannya.” Ucap salah satu Batara
ke Batara Guru.
“Aku juga sudah melihatnya dari Kahyangan. Memang sulit menggoda
mereka jika masih ada Semar di dekatnya.”
- 35 -
Purasara
“Lantas bagaimana, Tuanku?”
“Kalian istirahatlah, biar selanjutnya kuutus Batara lain untuk menggoda
mereka.”
“Baik, Tuanku.”
Para Batara yang gagal menggoda dan mencegah Purasara undur diri.
Mereka kembali ke kediamannya masing-masing. Batara guru yang belum
menyerah untuk menggagalkan niatan tapa dari Purasara mencoba untuk
mengutus Batara lainnya untuk menghentikan niatan Purasara. Kali ini ia
kembali mengutus empat Batara untuk berubah menjadi hewan liar agar
menghentikan langkah mereka.
Keempat Batara yang diutus pun langsung melaksanakan perintah
Batara Guru. Mereka melihat keempat manusia berjalan di perbukitan yang
sudah dekat dengan Gunung Parasu. Lalu mereka bersiap turun dan menggoda
Purasara beserta Punakawannya dengan menjelma menjadi hewan buas.
***
Lama Purasara dan para Punakawannya berjalan, sampailah ia pada
perbukitan yang naik turun. Dari salah satu puncak bukit, terlihat sebuah
gunung yang amat tinggi dan tertutup kabut di bagian puncaknya.
“Itulah Gunung Parasu, Tuanku.” Ungkap Semar.
“Apa berarti kita sudah dekat Kakang?”
“Setelah perbukitan ini kita akan sampai, Tuanku.”
“Syukurlah… apa Kakang sekalian masih kuat melanjutkan perjalanan?”
tanya Purasara.
“Aduh, badan sudah begini masih ditanya Tuanku.” Celetuk Garubug.
“Hush… badanmu memang besar, jelek lagi. Tapi bukan itu masalahnya.”
Sanggah Petruk.
“Masih, Tuanku. Ayo kita lanjutkan” jawab Semar menengahi lelucon
Garubug.
“Hahaha… Baiklah, mari lanjut.” Sahut Purasara.
Di tengah-tengah perbukitan, keempat Batara yang turun menjelma
menjadi hewan buas seketika menghadang jalan dari Purasara dan
- 36 -
Purasara
Punakawannya. Satu Batara merupa seekor harimau yang buaas dan besar,
satu Batara lagi merupa babi hutan dengan tubuh yang sebesar kerbau; dua
lainnya menjelma hewan sebesar raksasa, yakni gajah dan naga. Kehadiran
mereka secara tidak langsung membuat Purasara dan Punakawan terkejut.
“Astaga, ada apa lagi ini?” Seru Semar terkejut.
“Ya ampun Bapak, sekarang ada empat hewan buas berdiri di hadapan
kita. Tahu akan seperti ini, tadi aku pilih menemani Tuan Sentanu saja di
dalam negeri.” Celetuk Garubug.
“Hush… ngawur kau, Bug. Kita sudah mau sampai ini.” Sanggah Petruk
sambil menahan gemetar.
“Tenanglah Kakang, ini sepertinya rintangan lagi sebelum kita sampai
ke Gunung Parasu yang sudah di depan mata.” Purasara mencoba membawa
keadaan.
“Sepertinya ada yang aneh, Tuanku.” Ungkap Semar.
“Aneh bagaimana, Kakang?” tanya Purasara.
“Lihatlah, keempat hewan buas yang tidak saling berkawan tiba-tiba bisa
kompak menghadang kita tanpa sedikit pun mereka bertengkar.”
“Iya.. Kakang, sepertinya mereka bukan hewan biasa. Apalagi, ukuran
babi dan harimaunya sangat besar.” Sahut Purasara.
“Sepertinya mereka ini hewan jadi-jadian?” ungkap Semar.
“Siluman, ya, Bapak?” celetuk Garubug.
“Ya, pokoknya jadi-jadian, lah, Bug.” Tambah Petruk.
“Iya, Truk. Kita juga kok.” Goda Garubug.
“Masih sempat guyon kau, Bug. Ini genting!” sahut Petruk yang sedang
ketakutan.
“Owalah sudah, tidak usah ribut. Ini kita harus apa ini? Bapak bingung.”
Ucap Semar melerai Petruk dan Garubug.
“Kita lawan, Kakang. Sudah dekat. Tidak ada gunanya kita lari.” Jawab
Purasara bersikap kesatria.
“Kalau Tuanku sudah bertitah, hamba tinggal manut saja.” Sahut Semar.
Semar dan Purasara berdiri tegak dan siap berhadapan dengan keempat
hewan buas di depannya. Garubug dan Petruk yang daritadi hanya bergurau
- 37 -
Purasara
malah ciut dan bersembunyi di belakang Semar. Mereka yang tadi dihajar
habis-habisan oleh raksasa tidak mau dihajar lagi oleh binatang buas jadijadian itu.
“Hush! Kalian ini bagaiaman? Itu Tuan kita yang harus kita lindungi
berdiri di depan, kalian malah ngumpet?” sergah semar.
“Takut Bapak, luka kami belum sembuh betul.” Celetuk Garubug.
“Iya, Bapak. Tulangku rasanya mau patah. Lemes.” Timpal Petruk.
“Kita tugasnya menemani dan melindungi Tuan kita ini, kalau Tuan kita
sampai kenapa-kenapa kita mau mengabdi pada siapa? Apa yang mau dikata
ke Tuan Sentanu juga?”
Garubug dan Petruk saling tatap. Dalam hati mereka sama-sama takut.
Tetapi, mereka saling setuju untuk menguatkan diri. “Iya, ya… kita harus
melindungi Tuan kita ya, Truk?” “Iya, Bug.”
Keempat hewan buas yang sudah seperti lapar melihat mangsanya,
langsung menyergap keempat manusia di depannya itu. Purasara yang hampir
diterkam harimau langsung sikap menghindar. Dari belakang ia tusuk kaki
harimau. Darah harimau pun bercucuran. Itu membuat harimau jadi menggila.
Ia murka dan apa pun disekitarnya ia serang.
Babi yang sebesar kerbau menyeruduk ke arah garubug. Garubug yang
badannya hampir remuk dibanting raksasa tak kuasa menghindar. Ia pun kena
seruduk. Terlempar ke semak “Aduh Petruk! pantatku remuk.” Seru Garubug.
Petruk yang mendengar erangan Garubug, hampir tak bisa menahan tawa.
Tapi ia justru tak fokus kalau di depannya gajah yang sebesar bukit sedang
mencoba menggilas tubuhnya. Petruk pun kena pukul belalainya. Badannya
melayang dan melambung ke udara, sebelum akhirnya jatuh di permukaan.
“Aduh, Bapak! Badan ini sudah mau pecah rasanya.” Erang Petruk.
Semar yang diserang naga segera menghindar dengan lincahnya. Badan
gemuknya tidak serta merta menghambat pergerakannya. Justru semakin
cepat naga menyerang, semakin lincah semar menghindar. Sampai ketika
naga membuka mulutnya untuk menyergap tubuh semar, seketika semar
mengambil batu yang sebesar bilik. Diangkatnya batu itu lalu ditumbukkan
pada mulut naga yang mengaga. Naga pun tak berdaya, ia tak bisa menelan tak
bisa juga memuntahkan. Tubuhnya terkapar dengan sumbatan batu.
- 38 -
Purasara
Purasara yang berhadapan dengan harimau masih sigap menghentikan
cakar dan sergapan harimau ganas itu. Sekali harimau melompat menyergap,
Purasara menunduk, lalu menghunus keris ke tengah perut harimau. Dirobekrobek perut harimau hingga terkapar di tanah. Darah harimau pun bercucuran
tak karuan. Tak lama, harimau sudah meregang nyawa.
Pura sara pun balik menolong petruk yang hampir diinjak gajah. Dengan
kerisnya yang tajam, ia memotong belalai gajah menjadi dua. Gajah pun
mengerang darah berkucuran. Petruk selamat.
Babi yang terus melaju ke arah garubug dihentikan Semar. Dengan satu
tangan, tanduk babi ditahannya. Kemudian dilemparkan babi itu ke udara.
Ketika babi akan jatuh ke permukaan, Purasara menghunus kerinya, robeklah
perut babi dan keluarlah segala jeroannya.
Gajah yang belum kalah karena masih berdiri pun tak lepas lagi dari
sergapan keris Purasara. Purasara menggila dengan kesaktiannya yang
semakin menjadi. Dengan ajian barunya, ia bergerak secepat kilat. Menusuk
perut gajah dan juga naga. Keduanya pun terkapar.
Keempat hewan buas yang terkapar tak berdaya itu, kemudian gaiblah…
hilang mereka seperti ditelan cahaya.
Petruk dan Garubug yang mengerang kesakitan dipapah oleh Semar.
Keduanya segera disembuhkan oleh kesaktian Semar.
“Memalukan, kau Bug. Malah Cuma teriak-teriak.” Ejek Petruk.
“Kau juga, Truk. Dasar, tidak tau malu.” Jawab Garubug tidak mau kalah.
“Sudah-sudah, kalian berdua sama saja. Cuma bisa cengengesan saja.
Mari kita hampiri Tuan kita” lerai Semar.
Punakawan pun segera menghampiri Purasara. “Mereka benar-benar
jadi-jadian, Kakang.” Ungkap Purasara.
“Sudah hamba bilang begitu kan Tuan.” Jawab Semar.
“Kalian, tidak apa-apa, Kakang?” tanya, Purasara.
“Sehat, Tuanku.” Jawab Garubug.
“Halah, banyak gaya kau, Bug. Teriak-teriak mau mati juga.” Goda
Petruk.
“Sudah-sudah. Kalian ini!” lerai Semar. “Kami baik-baik, Tuanku.
Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan, sebelum hari malam.” Tambahnya.
“Baik, Kakang. Mari!”
- 39 -
Purasara
Mereka pun melanjutkan perjalanan. Satu dua bukit terlewati. Hingga
sampailah mereka pada kaki Gunung Parasu. Gunung Parasu terlihat sangat
tinggi dan konon tidak ada siapa pun yang bisa sampai ke gunung ini karena
kalah akan godaan dan rintangan di tengah jalan. Purasara dan Panawakan
adalah salah satu yang bisa sampai di gunung ini dengan selamat.
“Inilah Gunung Parasu, Tuanku!” ungkap Semar.
Purasara hanya memandang tak berkata sedikit pun. Tampaknya ia sangat
takjub akan keindahan dan kemegawahan Gunung Parasu itu. Namun, di balik
kemegahan dan keindahannya, gunung ini menyimpan banyak kekuatan gaib.
Sehingga, siapa pun yang bisa bertapa di sini dan melewati segala macam
godaan, akan sakti mandragunalah ia.
“Mari kita naiki, Kakang. Aku harus mencari tempat yang nyaman
untuk bertapa.” Ajak Purasara. Mereka pun menaikin Gunung Parasu.
Mencari tempat yang nyaman untuk bertapa. Sampai pada akhirnya Purasara
menemukan tempat yang cocok di sebuah bongkahan batu putih, di bawah
pohon beringin.
“Kakang, sepertinya, di sinilah aku akan bertapa untuk beberapa waktu
ke depan lamanya. Mungkin Kakang Semar bisa mencari tempat yang nyaman
untuk disinggahi di sekitar sini. Tolong, jikalau saya belum terjaga dari tapa,
janganlah Kakang mencoba membangunkanku. Ataupun janganlah pula
kemari dan mengajakku pulang ke Suktadurja. Sebab aku akan bertapa sampai
pada waktunya aku merasa sudah cukup ilmu.” Ucap Purasara memohon.
“Baiklah, Tuanku. Kalau itu yang Tuanku mau, Hamba dan Garubug,
serta Petruk akan mencari tempat nyaman untuk Hamba tinggali sembari
menunggui Tuanku bertapa.” Balas Semar mengiyakan.
Purasara pun menyiapkan dirinya untuk bertapa. Ia duduk di atas batu
putih dengan khidmatnya. Melihat Tuannya tidak mau diganggu dan sudah
mulai khusyuk, Semar, Garubug, dan Petruk pun kembali turun ke kaki
Gunung Parasu. Mereka menetap di tanah yang cukup landai. Di situlah mereka
berladang, bercocok-tanam, dan berburu untuk menghidupi dan mengisi perut
mereka. Mereka menunggu, sampai nanti Tuannya terjaga dari tapa.
- 40 -
VII
Terjaga dari Pertapaan
Suktadurja, beberapa tahun sepeninggal Purasara, negeri tetap
berlangsung aman dan damai. Sentanu dan istrinya, Dewi Sriwati, tampak
selalu mesra dan harmonis. Mereka menjadi pasangan yang sangat serasi
dalam menjalankan pemerintahan negeri Suktadurja. Saking harmonisnya
mereka, hubungannya dijadikan teladan bagi para pasangan di antero negeri
Suktadurja. Hingga sampai suatu ketika, Dewi Sriwati Hamil dan dikaruniai
seorang anak. Anak itu tampan dan terlihat berkarisma seperti ayahnya,
Sentanu. Anak Sentanu dan Dewi Sriwati ini kemudian diberi nama, Raden
Perbatasari.
Raden Perbatasari adalah anugerah yang tiada terkira bagi Sentanu.
Sentanu memiliki salah satu keluarga laki-laki lagi. Ia adalah pangeran kecil
yang bisa membawa senyum bagi siapa pun di Istana kerajaan. Bagi Sentanu,
Raden Perbatasari adalah lentera yang penuh cahaya. Cahayanya menerangi
seluruh negeri. Namun, ia belum sepenuhnya menerangi seluruh ruang di hati
Sentanu. Ada sisi-sisi di mana kegelapan dan kemurungan masih bersisa. Di
situlah bersemayam bayangan dan pikiran tentang adindanya, Purasara, yang
sampai saat hari kebahagiaan Sentanu dan Sriwati tiba, ia tak sedikit pun
memunculkan batang hidungnya. Dalam hati, ia gelisah, tapi di raut muka
ia harus tetap bahagia. Ia tak boleh sedikit pun terlihat sedih. Sebab, ada
pangerannya di situ.
Raden Perbatasari yang membawa kebahagiaan di Suktadurja, berangsur
lama berangsur tumbuh. Ia pun mulai suka bertanya-tanya akan banyak hal.
Salah satunya adalah anggota keluarga. Sampai pada akhirnya, pertanyaan
mengenai adinda dari Sentanu pun tak sengaja keluar dari mulutnya yang
tanpa dosa. Sentanu pun harus menjawab bahwa pamannya saat ini sedang
berderma. Ia sedang bertapa di Gunung Parasu yang perkasa. Sentanu pun
tak luput menceritakan tentang kehebatan-kehebatan Purasara ke Raden
Perbatasari. Hingga timbul rasa ingin tahu dan ingin bertemu di benak Raden
Perbatasari. Setiap senja, Perbatasari bertanya apa pamannya sudah pulang?
Sebab ia ingin sekali melihat sosoknya yang gagah bijaksana.
Begitulah Perbatasari Muda, selalu ingin tahu dan selalu ingin bertemu
dengan pamannya, Purasara. Bukan karena ia menaruh rindu layaknya
- 41 -
Purasara
Sentanu. Tapi, karena ia penasaran sekali akan sosok pamannya yang bagai
pahlawan, menurut cerita dari ayahnya. Namun, ia pun sabar menunggu
sampai suatu saat nanti ia yakin bertemu. Sentanu pun begitu, berharap suatu
ketika ada kabar dari adindanya yang sangat dicintainya itu.
***
Sementara itu, sudah bertahun-tahun lamanya Purasara masih terpaku
pada pertapaannya. Ia tak terjaga bahkan untuk sekali pun. Lapar dan dahaga
sudah tak bisa ia rasa lagi, yang ia rasa hanya dinamika cakra dalam tubuhnya.
Ia tak bergerak, bahkan tubuhnya yang kaku itu sudah mulai ditumbuhi
lumut. Akar-akar pohon pun mulai menyelimuti beberapa bagian tubuhnya.
Daun-daun memayunginya sehingga panas dan dingin tak lagi mengganggu
kekhusukan tapanya. Beberapa lumut juga tumbuh di sekitar kakinya. Saking
lamanya ia bertapa, sampai-sampai ia pun masuk ke ramalan-ramalan para
petinggi negeri di dekat Gunung Parasu. Dan dalam ramalan itu, ia diberi
julukan Wunga Tapa.
Semar, Garubug, dan Petruk masih setia menunggu Tuannya di kaki
Gunung Parasu. Mereka bercocok tanam hingga membuat ssebuah rumah
yang digunakan oleh mereka bertiga untuk berteduh sehari-hari. Namun,
karena sudah begitu lamanya Tuannya belum terjaga pula, Semar pun mulai
khawatir. Jangan-jangan, terjadi sesuatu pada Tuannya itu.
“Truk, Bug, Tuan kita itu kok lama juga ya tapanya. Mau sesakti apa dia
ada di atas sana?” ungkap Petruk heran.
“Tidak tahu juga, Bapak. Apa perlu kita cek saja ke atas sana?” sahut
Petruk.
“Kan kita tidak boleh mengganggu Tuanku. Itu sudah jadi pesannya
bertahun lalu. Lagian, badanku sudah tak kuat naik ke atas sana.”
“Yasudah, memang itu pesannya. Tapi kalau sampai terjadi apa-apa, kita
juga yang bertanggung jawab. Kalau begitu, kita tunggu dulu sampai setahun
ke depan. Kalau Tuan kita belum terjaga juga, kita mau tidak mau harus
memastikan keadaannya di atas sana.” ucap Semar.
“Baiklah, Bapak. Kita tunggu setahun lagi.” Timpal Petruk mengiyakan.
Teramat lama dan teramat khidmat Purasara bertapa. Tubuhnya pun
memancarkan cahaya yang begitu terangnya. Cahaya ini tak kasat mata bagi
manusia dan penghuni dunia. Namun, cahaya ini bersinar sangat terang dan
- 42 -
Purasara
menyilaukan Kahyangan. Bahkan, cahanyanya menjadi cahaya yang tak kalah
silau dari matahari. Ini membuat beberapa penghuni Kahyangan menjadi
sakit. Dua cahaya yang begitu terang membuat para Batara dan bidadari
terkena penyakit. Hal ini pun mengundang kecemasan di benak Batara Guru
dan Batara Narada.
Selepas percobaan terakhir untuk menggoda niat tapa Purasara kembali
gagal, Batara Guru memang selalu cemas. Ia takut kesaktian Purasara
semakin menjadi-jadi dan membuat keseimbangan dunia dan Kahyangan
terganggu. Bahkan, saat ini, dalam pertapaannya, ia telah memancarkan
cahaya yang menyilaukan. Saking silau dan terangnya, penghuni Kahyangan
yang terdampak keburukannya. Mau tidak mau ia harus bertindak. Kali ini ia
pun turun tangan sendiri. Dengan mengajak empat Batara, ia mencoba turun
ke Gunung Parasu dan menggoda tapa dari Purasara.
Sesampainya di tempat Purasara, Batara Guru dan keempat Batara
lainnya berubah wujud menjadi perempuan nan cantik jelita. Sebagian, bahkan
memperlihatkan pakaian yang terbuka. “Mari kita goda dan bangunkan ia dari
tapanya” perintah Batara Guru dalam jelma wanita.
Satu per satu wanita jelmaan tersebut mula menggoda Purasara agar
terbangun. Pada awal mulanya, mereka menggoda dengan memanggil-menggil
Purasara. Suara yang lembut dan melengking dari para wanita jelmaan ini
mencoba menarik Purasara agar terjaga.
“Kakang, Kakang Wungu Tapa yang tampan, bangunlah. Bangun dari
tapamu. Mari kita bersenang-senang.” Rayu wanita jelmaan.
“Iya Kakang, mari. Aku akan melayani sesuka hati.” Goda wanita
jelamaan yang lainnya.
Godaan demi godaan, rayuan demi rayuan dilontarkan ke Purasara.
Namun, Purasara tetap tidak terjaga dari tapanya. Setelah godaan suara
tidak mempan, satu per satu wanita jelmaan itu menggoda purasara dengan
sentuhan. Satu wanita menyentuk dan mengelus-elus kepalanya. Satu wanita
mengelus-elus perutnya. Satu wanita memijat-pijat punggungnya. Dan du
wanita lainnya memijat kedua kakinya.
Beberapa jam mereka menyentuh, tetap hasilnya nihil. Batara Guru
dalam jelmaan wanita semakin pusing. Ia semakin tak habis pikir, betapa
hebatnya Purasara sampai tak tergoda sedikitpun oleh jelmaan wanita cantik.
- 43 -
Purasara
Sampai pada akhirnya, Batara Guru menyuruh semua wanita jelmaan
ini untuk membuka bajunya dan secara liar menggoda, baik dengan sentuhan,
guncangan, atau panggilan-panggilan yang menggairahkan. Namun, usaha
ini juga tetap gagal. Tidak sedikitpun Purasara tergoda. Bahkan, Purasara
mendengar dan merasakan sentuhan wanita itu pun tidak. Tampaknya
memang Purasara sudah sampai pada titik ketika ia bisa mengontrol dirinya
untuk keluar dari nafsu-nafsu duniawi.
Batara Guru pun menyerah. Usahanya kembali gagal. Ia pun meminta
seluruh Batara yang menjelma wanita untuk kembali ke Kahyangan. Ia sudah
kehabisan akal untuk menghentikan tapa dari Purasara. Ia pun bingung, cara
apa lagi yang bisa membuat Purasara terjaga dari pertapaannya. Sampai
akhirnya ia pun menemui Batara Narada.
“Batara Narada, Aku sudah kehabisan akal untuk menghentikan tapa dari
Purasara”
“Lalu, mau bagaimana lagi?”
“Masalahnya para Batara dan bidadari mulai sakit-sakitan karena tapa
Purasara memancarkan cahaya yang berdampak ke Kahyangan saja.”
“Itu memang menjadi masalah. Tetapi memang tapa dari Purasara ini
sudah lama diramalkan keberadaanya.”
“Meskipun demikian, kita harus tetap berusaha menghentikannya. Jika
tidak, sakit yang melanda penghuni Kahyangan akan semakin menjadi-jadi.”
“Baiklah… kalau begitu, aku sendiri yang akan turun. Aku akan
membujuk dan membangunkan Purasara.” Usul Batara Narada.
“Tapi Batara Narada tidak keberatan, Bukan?”
“Tidak. Aku juga sebagi penghuni dan petinggi Kahyangan harus
bertanggung jawab atas peyakit yang melanda penghuni Kahyangan. Karena
itu, aku pun terpaksa turun tangan.”
“Baiklah, Batara! Aku percayakan padamu.”
Batara Narada yang sakti mandraguna dan dihormati dari segala Batara
turun ke Gunung Parasu untuk membangunkan Purasara. Ia pun turun sebagai
Batara Narada. Sebab, Semar tidak menemani Purasara dalam tapanya,
sehingga ia tidak perlu khawatir ketahuan dan seolah ikut campur kehidupan
dunia. Ia tak menjelma apapun, ia menampakkan diri dalam bentuknya sebagai
Batara.
- 44 -
Purasara
“Wahai, cucuku, Purasara. Aku Batara Narada, Batara yang mulia. Aku
memohon padamu. Bangunlah. Tapamu sudah semakin membuat penghuni
Kahyangan gempar. Tapamu itu memunculkan sinar yang begitu terang
hingga membuat sebagian Batara dan bidadari jatuh sakit. Kau harus pula
mempertimbangkan itu anakku.” Sapa Batara Narada.
Purasara yang khimat dalam tapanya tetap terdiam tanpa sepatah kata
pun. Ia tak membalas. Bahkan ketika ada Batara Narada di depannya.
Batara Narada kembali mencoba membujuk Purasara. “Cucuku,
bangunlah. Pertapaanmu sudah tidak seharusnya dilanjutkan karena sudah
mulai membawa bencana bagi keseimbangan jagat.” Kali ini Batara Narada
sambil memancarkan auranya.
Namun, sekali lagi, Batara Narada tidak dapat respons apa pun. Purasara
hanya diam. Bahkan, semakin Batar Narada memancarkan auranya, cahaya
yang muncul dari Purasara, yang bisa dilihat oleh Batara dan penghuni
Kahyangan saja, semakin menjadi-jadi. Batara Narada sesekali merasa
terintimidasi karena dari cahaya itu muncul aura dari Sang Hyang Tunggal.
Itu menunjukkan bahwa Purasara memang benar-benar titisan Sang Hyang
Tunggal, benar-benar calon raja yang dikehendaki memiliki kekuatan
menguasai jagat.
Merasakan hal itu, Batara Narada mencoba mendekat dan memegang
kepala dari Purasara. “Cucuku, aku akui kesaktianmu. Namun, aku harapkan
kau segera bangun untuk kedamaian seluruh jagat.” Tutup Batara Narada.
Merasa tidak kuasa membangunkan tapa Purasara, Batara Narada kembali
ke Kahyangan. Ia bertemu dengan Batara Guru. Dalam percakapannya, ia
mengakui tak bisa membangunkan Purasara. Dalam pesannya, “Biarlah
Jagat berproses, jagat sendiri yang akan membangunkannya nanti.” Batara
Guru pun memahami kata-kata Batara Narada yang bijaksana. Ia mencoba
menahan cemasnya dan berharap bahwa jagat akan segera membangunkan
tapa Purasara.
Bagaikan gayung bersambut. Kata-kata Batara Narada bahwa jagat
yang akan membangunkan Purasara dari tapanya demi keseimbangan jagat
itu sendiri terbukti. Tak berapa lama setelah sekembalinya Batara Narada
ke Kahyangan, tubuh purasara yang sudah bagaikan bebaTuan dan menyatu
dengan alam itu dihinggapi burung perit yang ingin bertelur dan beranak
pinak. Burung perit itu kemudian membuat sarang di atas kepala purasara.
Berselang beberapa waktu lamanya, burung perit itu bertelur, mengerami
telurnya hingga telurnya menetas.
- 45 -
Purasara
Anak-anak burung perit yang jumlahnya hingga delapan belas bercuit tiap
siang dan malam. Suaranya tak kurang memekakkan telinga. Cuitan-cuitan
burung perit itu sangat melengking dan dekat dengan telinga Purasara. Sampai
pada akhirnya Purasara merasa ada yan mengganggu sehingga tapanya tidak
khidmat lagi. Ia pun mulai membuka mata dan menoleh ke seluruh penjuru.
Alam sudah menyatu dengan tubuhnya, akar-akar pohon, lumut, dedaunan,
tanah, sudah mulai membungkus dirinya. Namun ia tak menemukan asal
muasal suara yang memekakkan telinaga itu.
Ia keheranan. Hingga ia kemudian melucuti lumut dan akar yang
membelenggu tangannya. Tangannya mulai meraba sekujur tubuhnya. Ia pun
menemukan ada sarang burung di atas kepalanya.
Merasa ada ancaman, anak-anak burung perit mencuit semakin keras.
Kali ini Purasara benar-benar terjaga. Ia seketika tersentak dan melepaskan
sarang burung dari atas kepalanya. Anak-anak burung perit pun beterbangan.
Purasara kesal karena tapanya terganggu oleh kawanan burung perit yang
tidak sopan telah bersarang di atas kepalanya.
Ia pun mengumpat dan menyumpahi burung perit itu agar tiak punya
banyak keturunan yang berisik. Jumlahnya pun tidak akan banyak jika beranak.
Kutukan ini berlaku ke burung perit hingga turunan-turunan berikutnya.
Selesai menyumpahi burung perit, Purasara yang sudah terjaga berusaha
membersihkan dirinya. Ia pun mencari pancuran air atau semacam sendang di
dekat tempat pertapaannya.
Saat Purasara terjaga ini bertepatan dengan setahun dengan rencana
Punakawan untuk memeriksa keadaan Tuannya yang tidak mereka ketahui
itu. Para Punakawan pun menaiki Gunung Parasu untuk mengecek keadaan
Tuannya. Namun, alangkah terkejutnya mereka bahwa yang merka temukan
hanyalah bekas-bekas lumut, akar-akar yang menjulang, dan batang-batang
pohong yang rindang. Mereka tidak menemukan Tuannya. Hal itu membuat
mereka berpikir macam-macam.
“Ya Ampun, Tuanku saat ini menjelma pohon. Bagaimana ini?” seru
Garubug.
“Bukan Pohon, ia menjelma akan-akar serabut.” Sanggah Petruk.
“Hush! Mana mungkin Tuan kita bisa menjelma pohon dan akar? Lihat
baik-baik. Tuan kalian sudah tidak ada. Jangan-jangan ia dimakan hewan buas
ketika sedang bertapa. Oh, Hyang Widhi, Gusti Mulia Raya, dosalah kami
- 46 -
Purasara
yang telah gagal mengabdi.” Ratap Semar dalam tangis.
Tangis Semar disambut oleh anak-anaknya. Mereka pun berpelukan
bertiga. Semuanya saling melepas air mata. Hingga tiba-tiba muncul sosok
dari belakang mereka. “Kakang Semar, Garubug, Petruk. Kalian menangisi
pohon? Apa kalian tidak rindu padaku sampai-sampai kalian sekarang
mengabdi pada pohon?”
Suara itu sontak membangunkan mereka dari tangis. Dengan menoleh
ke belakang, mereka terkejut. Ternyata Tuan mereka masih berdiri tegak.
Bahkan, tubuhnya terlihat lebih bercahaya. Melihat ini, Semar pun tak kuasa
meluapkan suka citanya. “Oh.. Gusti Nu Agung, ternyata Tuan masih hidup.
Kami pikir, Tuan sudah habis dimakan hewan buas karena Tuan bertapa begitu
lamanya.”
Mendengar itu, Purasara hanya terbahak. “Hahaha… Kakang Semar,
Petruk, dan Garubug memang selalu lucu perangainya. Kau baik-baik saja,
Kakang.” Balas Purasara. “Sepertinya, sekarang waktunya kita kembali ke
negeri kita, Suktadurja.”
Semar yang tidak jadi berduga pun bersemangat kembali. “Baik, Tuan.
Mari kita kembali. Mari Truk, Bug. Kita jalan lagi. Tuan kita sudah bersama
kita.”
“Iya, Bapak. Ayo kita kembali.” seru Petruk diikuti Garubug.
Purasara, Petruk, dan Garubug pun mulai jalan menuruni Gunung
Parasu. Mereka turun melewati jalan yang berbeda dengan arah jalan pulang.
Begitulah lelana brata, berangkat dan pulang melalui jalan yang berbeda,
namun titik pulang tetap sama. Mereka melewati bukit, lembah, hutan, sungai,
hingga sampailah ia pada sebuah negeri yang dikenal dengan sungainya yang
luas. Di situlah, ia bermalam dan istirahat untuk beberapa hari.
- 47 -
VIII
Raramis dari Negeri Wirata
Di Pagi yang cerah. Burung-burung menyambut ramah. Sebuah
penyambutan yang sempurna akan keadaan yang telah berangsur lebih baik.
Keadaan Kahyangan kembali menjadi membaik seperti semula. Purasara yang
dikenal juga sebagai Wunga Tapa sudah bangun dari pertapaannya. Semua
bidadari yang sebelumnya sakit menjadi sehat, bugar, dan cantik-cantik
kembali. Semua orang sangat bergembira karena keadaan tersebut.
Di lain tempat yang elok, hiduplah seorang raja yang sangat tangguh.
Karena ketangguhan inilah dia berhasil menaklukkan raja-raja siluman yang
ada di sekitar negerinya. Raja ini adalah pemimpin negeri Wirata dan biasa
dikenal dengan nama Bagawan Wangsapati. Bagawan Wangsapati memiliki
istri yang cantik dan mulia budinya bernama Dewi Wargawati. Dari pernikahan
dengan Dewi Wargawati, Bagawan Wangsapati dikaruniai keturunan seorang
perempuan yang amat cantik wajahnya. Anak itu dipanggil dengan nama
Dewi Raramis.
Dewi Raramis memiliki paras yang cantik rupawan. Bibirnya tipis,
hidungnya mancung, kulitnya putih, dan rambutnya hitam lurus. Namun, ada
satu hal yang membuat ia sering dijauhi oleh orang-orang dan teman-temannya,
Dewi Raramis memiliki bau yang teramat amis. Bagawan Wangsapati dan
Dewi Wargawati sudah mencoba berbagai cara untuk menghilangkan bau
amisnya, namun tak ada yang berhasil. Sebagai orang tua, mereka sendiri
heran kenapa anaknya bisa seperti itu. Mereka sempat berpikir kesalahan apa
yang pernah mereka perbuat hingga mereka dikaruniai anak yang tidak sedap
baunya.
Ketika Dewi Raramis beranjak semakin besar namun tetap saja masih
memiliki bau yang amis itu. Suatu ketika Bagawan Wangsapati berpikir untuk
mengasingkan Dewi Raramis.
Namun, sebagai orang tua yang masih memiliki rasa sayang terhadap
anak, tak sampai hati ia melakukannya. Sampai akhirnya ia terpikirkan
sebuah ide untuk menjadikan anakknya penganak perahu di Sungai Dermayu.
Bagawan Wangsapati segera memanggil Dewi Raramis untuk mengatakan hal
tersebut.
- 48 -
Purasara
“Anakku, aku sudah coba berbagai cara untuk menyembuhkan bahumu
yang amis itu, namun tak kunjung membuahkan hasil. Sudikah kiranya kau
menuruti ayahmu untuk hal yang satu ini?”
“Ayahanda yang selalu kusayangi, apa pun yang Ayahanda perintahkan
akan selalu aku turuti dan laksanakan karena sebagai baktiku pada Ayahanda.
Bahkan, jika Ayahanda hendak membuangku, aku pun akan ikhlas agar
Ayahanda tak menanggung malu memiliki anak bau amis sepertiku”, ujar
Dewi Raramis sambal ujud menyembah Bagawan Wangsapati.
“Maafkan Ayahanda, Anakku. Untuk kali ini kau pun harus menuruti
perintah Ayahanda. Kau akan kuperintahkan untuk menjadi penganak perahu
di Sungai Dermayu yang tak memiliki jembatan itu. Kau akan membantu
orang menyeberang. Namun janganlah kau meminta upah. Kau cukup
minta diobati saja. Bagi yang mau mengobati bau amis itu, barulah kau bisa
menyeberangkan orang itu.”
“Baik Ayahanda, segala perintah Ayahanda akan aku patuhi dan
laksanakan.”
“Ayah sempat mendapat penglihatan bahwa akan ada Wunga Tapa yang
bisa menyembuhkan penyakitmu itu. Semoga memang kita bisa berjodoh
dengan dia. Jika memang benar nantinya kau bisa sembuh, segeralah pulang
dan barulah Ayahanda akan mengakui kau sebagai anak secara sungguhsungguh.”
Bakti yang sungguh besar kepada kedua orang Tuanya selalu dihadirkan
oleh Dewi Raramis. Tak peduli orang berkata apa tentang dirinya, yang
penting dia tidak membuat malu kedua orang Tuanya. Segala perintah dari
ayahandanya sebisa mungkin ia laksanakan. Di pikirannya hanya balas budi
yang bisa ia berikan karena orang Tuanya sudah berkorban banyak untuknya.
Bahkan, jika memang ayahandanya menginginkan dia pergi dari negeri
Wirata, Dewi Raramis akan dengan ikhlas melaksanakan perintahnya itu.
Tidak perlu waktu yang lama, Dewi Raramis segera mematuhi perintah
Bagawan Wangsapati. Dengan ditemani oleh dua Dayang, mereka kemudian
menuju Sungai Dermayu untuk menjadi penganak perahu. Jarak negeri Wirata
dan Sungai Dermayu cukup jauh. Hal itu mengharuskan Dewi Raramis dan
dayangnya melewati hutan yang cukup lebat. Hingga akhirnya selepas keluar
dari hutan, mereka melihat aliran air yang sangat deras. Air yang membentang
dari ujung ke ujung dengan sangat lebar itu terlihat tidak memiliki jembatan.
Tidak salah lagi, mereka sudah sampai di Sungai Dermayu.
- 49 -
Purasara
Kemudian mereka semua berjalan menyusuri sungai sambil berpikir di
mana tempat yang tepat untuk menjadi penganak perahu. Tempat yang akan
dijadikan mereka pangkalan siang dan malam. Tentu saja, mereka mencari
pangkalan dan berharap ada orang yang membutuhkan tumpangan perahu
untuk menyeberang sungai. Setelah dirasa tepat menentukan titik pangkalan,
tak jauh dari pangkalan, kedua Dayang Raramis mendirikan sebuah gubug
untuk beristirahat siang dan malam sambil menunggu orang yang hendak
menyeberang sungai.
“Embanku, sepertinya kita akan membuat pangkalan di daerah sini. Aku
berharap akan ada orang yang singgah dan membutuhkan banTuan kita untuk
menyeberang dan terlebih orang tersebut mampu menyembuhkanku”, kata
Dewi Raramis.
“Baik Tuanku, Dewi Raramis, kalau begitu kami akan membuat gubug
tak jauh dari titik ini, untuk nantinya Tuanku beristirahat jika hari sudah
petang,” sahut Dayang Dewi Raramis.
Tidak mudah memang mendapatkan orang yang mampu mengobati
Raramis. Setiap kali ada orang yang hendak menyeberang, mereka tak
sanggup menyembuhkan Dewi Raramis. Ada pula orang yang sangat ingin
menyeberang namun mencium aroma tak sedap dari penganak sungainya
orang itu memilih untuk berputar balik melewati hutan untuk sampai ke
seberang sungai. Hingga sejauh ini, belum ada satu pun orang yang bersedia
dan mampu mengobati Dewi Raramis.
Hari demi hari, hingga bulan demi bulan, Dewi Raramis dan dua Dayang
berada di tepian sungai itu. Tak satu pun orang yang mampu mengobati Dewi
Raramis. Hujan badai, panas terik, tak menyurutkan niat untuk mendapatkan
orang yang bisa menyembuhkan bau amis itu. Sampai Dayang Raramis merasa
iba kepada Dewi Raramis.
“Mbok, kasian sekali kepada Dewi Raramis, di bawah terik seperti ini
dia tetap mencari dan menawarkan orang untuk menyeberang namun tak ada
seorang pun yang bersedia mengobatinya.” kata salah satu dayang ke dayang
yang satunya.
“Iya, lihat saja, keringat mengucur dengan derasnya di wajah dan
badannya. Tapi mbok, ini membuat badan dia semakin berbau amis. Sungguh
aku tak sanggup kalau harus di sini terus-menerus. Boleh kan saya menepi ke
gubug barang sejenak. Bisa-bisa saya pingsan di sini, mau kau menggotongku,
Mbok?” jawab Dayang yang satunya.
- 50 -
Purasara
“Hushh tidak boleh berbicara seperti itu kau, kita diperintahkan untuk
menemani Dewi Raramis, kalau kita tidak melaksanakan perintah Tuan
Bagawan Wangsapati, bisa-bisa kita diusir dari Negeri Wiranta, mau kau
tinggal di hutan? Nanti akan ada binatang buas yang setiap saat memangsa.
Namun, kau memang benar, semakin lama semakin bau lah ini,” keluh dayang.
Dayang itu kemudian menutup hidungnya dengan selembar kain berharap bau
amis yang dikeluarkan dari Dewi Raramis sedikit tercium.
Dari ujung perahu, Dewi Raramis ternyata mendengar bisik-bisik kedua
dayangnya. Ia pun menyadari bahwa bau yang dikeluarkannya semakin
bertambah amis. Kedua Dayang Raramis tentulah seorang manusia biasa.
Mereka tentu saja bisa merasakan bau yang luar biasa amis dari badan Dewi
Raramis. Apalagi, ditambah kondisi saat itu, di mana panas matahari sangatlah
terik, hingga membuat Raramis bercucuran keringat.
Tak tahan dengan baunya, kedua dayang turun dari perahu untuk segera
menjauh dari Dewi Raramis. Melihat kondisi itu, Dewi Raramis pun paham
dan dia dengan ikhlas menjaga jarak dari kedua dayangnya itu.
Sungguh sangat mulia sekali hati Dewi Raramis. Ia sama sekali tidak
ada rasa marah terhadap kedua dayangnya itu. Bagaimana ia bisa marah kalau
kebaikan dayangnya jauh lebih besar daripada rasa enggannya berdekatan
dengan Dewi Raramis.
Begitulah, keseharian mereka. Dan Dewi Raramis pun tetap berbaik hati
dan hidup bersama kedua dayangnya.
- 51 -
IX
Pertemuan Raramis dan Purasara
Di sebuah hutan yang cukup rimba, Purasara yang dikenal sebagai
seorang Wunga Tapa berjalan dengan ditemani tiga Punakawannya. Mereka
sudah melakukan perjalanan yang teramat jauh. Masuk keluar hutan, naik
turun gunung. Kepanasan maupun kehujanan menjadi hal biasa buat mereka.
Suatu ketika, bertemulah mereka dengan pertapa lainnya di dalam sebuah
goa. Semua orang dalam goa itu menyambut dengan hangat Purasara, hingga
salah satu dari mereka berkata. “Ya Anakku, aku tahu kau adalah Wunga Tapa
titisan orang terpilih yang tentu saja dikasihi oleh banyak dewa di kahyangan
sana. Kaulah Wunga Tapa yang baik budinya. Sudikah kiranya kau singgah
sejenak bersama kami di gunung ini?” Tanpa pikir panjang, Purasara dengan
senang hati mengiyakan ajakan pertapa dalam Goa itu.
Sambil singgah bersama dengan pertapa lainnya, Purasara banyak
mendapat pertanyaan mengenai ilmu-ilmu kanuragan. Dan dengan sukarela, ia
membagi ilmu kepada para pertapa yang ada. Hal itu membuat mereka senang
bukan main. Hanya dalam beberapa hari saja, beberapa ilmu dan pengetahuan
yang dimiliki oleh Purasara dimiliki juga oleh para pertapa di gunung itu.
Setelah dirasa lama berada di gunung itu bersama dengan pertapa
lainnya, pamitlah Purasara untuk melanjutkan perjalanan. Di gunung yang
lain, Purasara dan tiga Punakawannya yang setia itu bertemu pertapa lain.
Diajaknya pula mereka untuk singgah. Namun, kali ini dengan halus Purasara
menolaknya. Ia berkata jika ada kesempatan bertemu kembali diusahakan
ia akan singgah untuk sementara. Begitu yang ia sampaikan seterusnya jika
bertemu pertapa-pertapa yang lainnya.
Di sepanjang perjalanan, seringkali Purasara dan ketiga Punakawan
setianya diajak untuk singgah. Ternyata bagi pertapa, membedakan mana orang
yang sakti dan mana yang tidak itu sangat mudah. Dengan meminta Purasara
untuk singgah, mereka berharap beberapa ilmu akan mereka dapatkan. Tak
heran, di setiap kali bertemu dengan pertapa lainnya, Purasara selalu diajak
singgah. Sebab, ia memang sungguh Wunga Tapa yang sangat sakti lagi baik
dan bijaksana. Namun tak semua ajakan dari setiap pertapa dituruti Wunga
Tapa. Terlebih, ia juga memiliki tujuan yang harus dicapainya.
- 52 -
Purasara
Suatu ketika, di tengah perjalanan, Purasara dan Punakawan setianya
bertemu dengan sungai yang teramat luas seperti lautan. Mereka bingung,
bagaimana cara menyeberangi sungai itu. Jika terpaksa kembali ke gunung,
tentu saja itu akan memakan waktu yang lebih lama. Wunga Tapa kemudian
menyuruh Punakawan untuk mencari jalan dengan menyusuri tepi sungai.
“Kakang Semar! Pergilah kakang mengikuti tepian sungai ini. Jika nasib
baik memang berpihak pada kita, kita tentu bisa menyebrangi sungai yang
luas ini. Aku akan menunggu di sini,” kata Purasara.
Semar kemudian pergi dengan ditemani Garubuk dan Petruk. Mereka
kemudian berjalan menyusuri tepian sungai sambil sesekali berkelakar. Tak
perlu waktu lama mencari, mereka melihat ada penganak perahu di seberang
sungai. Terlebih, ketiga penganak perahu adalah seorang wanita, tambah
bersemangatlah mereka.
“Petruk, lihatlah itu, tiga wanita cantik rupanya. Barangkali mereka
bisa mengantarkan kita ke tepi seberang sana. Dan siapa tahu kita juga
beruntung mendapatkan hati mereka,” bisik Garubuk malu.
“Wah, benar sekali. Yang paling cantik nanti buat aku ya. Pasti nanti
jika aku sampai menikah denganyaa, anakku tampan rupawan dan cantik
jelita.”
“Tapi, kalau dipikir-pikir, mana ada ya wanita cantik mau menjadi
penganak di pinggir sungai. Duh, jadi merinding aku. Takutnya mereka itu
bukan manusia, tapi setan yang menyerupai manusia untuk menggoda kita,”
nyali Garubuk menciut.
“Aku juga jadi merinding nih, duh aku tidak mau menikah sama setan.”
Sahut Petruk.
Di tengah perdebatan mempertanyakan penganak sungai manusia
atau bukan, dan di tengah ketakutan keduanya, Semar dari belakang datang
mengejutkan.
“Kalian ini kenapa seperti anak kecil saja. Dan lagi, wanita saja
yang kalian pikirkan. Ini kita sedang diperintahkan mencari jalan untuk
menyeberang sungai ini. Atau, kalian mau kembali lagi melewati gunung
itu?” ucap Semar kepada anak-anaknya. Lalu, Semar berjalan hingga tepat
berada searah dengan penganak perahu.
“Sungguh, apakah tidak ada lelaki untuk sebuah pekerjaan berat seperti
ini”, gumam Semar merasa iba.
- 53 -
Purasara
Karena Dewi Raramis dan kedua dayangnya berada di seberang, maka
Semar berteriak seraya memanggil ketiga wanita itu.
“Hai Tukang Perahu yang ada di sana, apakah bisa kami menyeberang ke
tepian sana dengan perahumu itu?
Tidak ada balasan yang diterima Semar. Berteriaklah lagi ia memanggil
tukang perahu hingga beberapa kali. Suaranya yang lantang nyatanya tak
cukup terdengar jelas hingga seberang sana. Hanya sayup-sayup. Begitu
pulalah yang dirasakan oleh Dewi Raramis di tepian sana.
“Embanku, apa kau mendengar ada seseorang memanggil?” tanya Dewi
Raramis kepada kedua dayangnya.
Kedua dayang Dewi Raramis mengiyakan bahwa mereka mendengar
seruan yang belum tahu asalnya dari mana. Seketika mereka bertiga
memutarkan pandangan ke segala arah untuk mencari sumber suara. Maka,
tepat ketika mereka bertiga menaruh pandangan ke seberang kali tempat
mereka berada, ada tiga orang sedang berdiri sambil melambai-lambaikan
tangan.
Dewi Raramis kemudian memerintahkan kedua dayangnya mencari
tahu, “Emban, pergilah ke sana untuk memberi tahu kepada ketiga orang di
seberang. Jika mereka hendak menyeberang, maka katakanlah mereka bisa
menyeberang dengan memberikan pengobatan kepadaku.” Perintah Dewi
Raramis seketika diindahkan oleh kedua dayang. Mereka berdua pun segera
mendayung perahu ke seberang sana.
Setelah kiranya hampir sampai ke tepian, dayang berkata kepada Semar,
“Ya Tuanku, apakah kalian membutuhkan perahu untuk menyeberang?”
“Benar sekali, kami membutuhkan perahu untuk menyeberang. Sebab,
kami tidak melihat ada jembatan di sini. Tak mungkin juga kami berenang
untuk sampai ke tepian sana. Berapakah harga sewa untuk dapat ke tepian
sana?” tanya Semar.
“Jadi begini, jikalau Tuan-Tuan ini hendak menyeberang, maka kami
meminta satu persyaratan. Kami tidak menerima upah sepeser pun. Tapi,
sudikah kiranya sebagai gantinya, Tuan bersedia dan mampu untuk mengobati
Tuan kami yang menunggu di seberang sana?” dayang Dewi Raramis
menjelaskan.
“Jika memang itu persyaratannya, kami perlu memberitahu Tuan kami
terlebih dahulu. Siapakah nama Tuanmu yang sedang menderita sakit itu?”
- 54 -
Purasara
“Dewi Raramis namanya.”
“Apakah Dewi itu cantik parasnya?” tanya Garubug malu-malu
“Tentu Tuan, Dewi Raramis sangat cantik parasnya. Tuan-Tuan pasti
senang melihatnya. Terlebih hatinya juga sangat baik”
Kemudian, Semar berlari ke Purasara, “Tuan, … Tuanku, di sana ada
penganak perahu. Tetapi, mereka meminta satu syarat jikalau kita mau
menyeberang.”
“Apakah persyaratan itu, asal bisa kita menyeberang, apa pun coba aku
lakukan.”
“Di sana ada Dewi yang cantik parasnya, namun memiliki bahu yang
amis, Dewi tersebut bernama Dewi Raramis. Persyaratannya, tentu untuk
mengobati Dewi itu Tuanku,” terang Semar.
“Baiklah, Kakang Semar. Aku bersedia” jawab Purasara.
Wunga Tapa bersedia untuk mengobati Dewi Raramis. Lantas, mereka
berdua berjalan ke tempat dayang-dayang Dewi Raramis berada. Setelah
mengatakan bahwa Purasara bersedia untuk mengobati Dewi Raramis, kedua
dayang mendayung kembali perahu untuk menjemput Dewi Raramis.
Sekembalinya dari seberang sungai, terlihat dayang membawa serta
Dewi Raramis di perahu. Sementara itu Wunga Tapa dan ketiga kawannya itu
menanti. Sesampainya di tepian sungai, Semar, Garubug, dan Petruk terkesima
akan kecantikan Dewi Raramis. Memang benar yang dikatakan dayang bahwa
tak ada wanita yang memiliki paras secantik dia. Bahkan, Purasara pun tampak
tersenyum malu-malu melihat paras cantik Dewi Raramis.
Dewi Raramis dan Purasara saling memalingkan wajah malu-malu.
Keduanya seolah terjatuh dalam belenggu asmara.
“Tuan, aku dan ketiga kawanku ini hendak menyeberang ke seberang
sana. Berapakah bayaran untuk tumpangan perahu milik Tuan Dewi,” tanya
Purasara.
“Selama menjadi penganak perahu, aku tidak mengambil upah. Hanya
saja, siapa pun yang bersedia mengobatiku, maka aku beri mereka tumpangan
untuk menyeberang sungai ini, Tuan. Jika tidak bisa mengobatiku, maka tentu
saja tidak ada tumpangan.”
Wunga Tapa kemudian berpikir sejenak. Setelah melihat apa yang
diderita Dewi Raramis, Purasara bingung, obat apa yang sebaiknya dia
- 55 -
Purasara
berikan. Berbisik-bisiklah Purasara di telinga Semar. “Ya Kakang Semar,
sebenarnya aku bingung bagaimana cara mengobati Dewi itu. Daun-daunan
apa yang sekiranya bisa menyembuhkan bau amis itu. Apakah Kakang Semar
bisa membantu.”
“Jangan panggil hamba Semar jika tidak punya banyak akal. Ketika
kita sedang berada di dalam hutan, hamba membawa serta daun-daun seperti
kunyit ini jikalau ada salah satu di antara kita sakit. Daun kunyit ini sekiranya
bisa dihaluskan untuk mengobati Tuan Dewi,” ujar Semar.
“Kalau memang daun kunyit itu bisa menyembuhkan, bagaimana cara
menumbuknya? Tidak ada alat untuk menumbuk di sini.” Tanya Purasara.
“Janganlah Tuan seperti kehilangan akal seperti itu. Tuan bisa mengunyah
daun ini untuk dihaluskan. Lalu, berikanlah pada Dewi Raramis itu. Masa iya
mesti hamba yang mengunyah? Hamba sudah tua, Tuanku. Bakal lama nanti
jika hamba yang mengunyahnya.”
Setelah terjadi pembicaraan dengan Punakawannya, Wunga Tapa
mengunyah daun kunyit dengan gigi kuatnya. Setelah itu, diberikannya kepada
Dewi Raramis dengan malu-malu. Sambil memejamkan mata, Purasara si
Wunga Tapa, mengoleskan daun kunyit yang sudah halus ke sekujur tubuh
Dewi Raramis. Ada perasaan berdebar saat Purasara melakukan pengobatan
itu. Sambil berbicara dalam hati, Purasara merasa iba dengan keadaan Dewi
Raramis yang cantik, tetapi memiliki badan berbau amis, pastilah banyak
yang enggan berdekatan dengan dia.
“Tuan, apa Tuan merasa jijik tidak mau melihat ke saya?” tanya Dewi
Raramis.
Purasara kaget dengan pertanyaan itu. “Sungguh bukan karena merasa
Dewi hina atau menjijikan, namun lebih karena saya malu berhadapan dengan
Dewi yang teramat cantik parasnya. Dan belum pernah saya melihat wanita
secantik Dewi Raramis.” Purasara mencoba mencairkan suasana.
Setelah selesai diobati, sedikit demi sedikit bau amis yang ada di badan
Dewi Raramis menghilang. Sungguh, seraya ingin menangis Dewi Raramis
merasakan kesembuhan ini. Dan benar saja, air mata kebahagiaan pun jatuh
dari mata Dewi Raramis. Setelah bertahun-tahun dicoba berbagai cara,
nyatanya hanya ada satu orang yang mampu mengobati Dewi Raramis. Ialah
seorang Wunga Tapa bernama Purasara.
- 56 -
Purasara
“Ya Tuan Purasara, karena kebaikan hati Tuan dan ketiga teman Tuan,
marilah Tuan-Tuan semuanya ikut saya ke negeri Wirata untuk bertemu
dengan ayahanda saya.”
Setelah berdiskusi sejenak dengan ketiga Punakawannya, Purasara
menyetujui untuk ikut Dewi Raramis ke Negeri Wirata. Perahu yang
tidak terlalu besar itu mengiringi Purasara, Semar, Garubug, dan Petruk
menyeberangi sungai untuk kemudian singgah ke negeri Wirata. Sungguh
tak hanya Dewi Raramis yang merasakan kebahagiaan atas kesembuhannya.
Alam Semesta, termasuk hewan-hewan yang ada di sungai, nyatanya tampak
ikut merayakan suka cita itu.
- 57 -
X
Raramis dan Purasara ke Suktadurja
Perahu yang tidak terlalu besar nyatanya bisa juga menjadi lapang
dengan tujuh orang penumpang. Sungai Derayu menjadi saksi kesembuhan
Dewi Raramis. Selama menyeberang semua orang di perahu tampak diam,
hanya Petruk dan Garubug yang kadang berkelakar sambil mendayung perahu
hingga ke tepian. Sesekali, terdengar Semar yang menengahi kelakar mereka.
Suasana pun pecah dengan tawa.
Tak butuh waktu lama, mereka pun sampai di seberang sungai. Sampai di
seberang, kedua Dayang Raramis segera ke gubug untuk mengambil barangbarang bawaan yang tidak begitu banyak. Mereka pun siap kembali ke negeri
Wirata.
Untuk kembali ke negeri Wirata, sama seperti perjalanan ke Sungai
Derayu, hutan dan beberapa lembah harus di lewati. Namun, perjalanan ini
tentunya tidak seberat yang sudah dilalui Purasara dan ketiga Punakawannya
ketika hendak menuju Gunung Parasu untuk bertapa. Setelah menempuh
waktu berjam-jam lamanya, gerbang Negeri Wirata sudah melambai-lambai.
Dewi Raramis terlihat begitu terharu ketika menginjakkan kaki lagi di negeri
Wirata yang penuh dengan kenangan itu. Seolah tak percaya ia bisa kembali
lagi ke negeri Wirata dalam keadaan sembuh dan tak mengeluarkan bau amis.
Untuk sampai ke keraton negeri Wirata, mereka harus melewati pasar.
Orang-orang di pasar yang melihat kehadiran Dewi Raramis sungguh
terkagum-kagum dan ikut berbahagia. Sebab, Dewi Raramis sudah tidak
berbau amis lagi. Sesekali, terlihat beberapa orang bisik-bisik tentang siapa
laki-laki gagah perkasa yang dibawa rombongan itu.
Setelah melewati Pasar, tak lama kemudian, mereka sampai di keraton
utama negeri Wirata. Rombongan Purasara segera diajak untuk menemui
Bagawan Wangsapati. Kabar bahagia ini tentu saja perlu Bagawan Wangsapati
dan Dewi Wargawati ketahui.
Betapa senangnya Bagawan Wangsapati mendapati putrinya telah
sembuh dan memancarkan aura yang sangat memesona itu.
“Ya Anakku, benarkah sekarang kau sudah sembuh? Siapa orang
yang telah menyembuhkanmu? Dan bagaimana caranya?” tanya Bagawan
- 58 -
Purasara
Wangsapati seraya tak kuasa menahan haru mengetahui putrinya sudah tidak
mengeluarkan bau amis lagi.
“Ayahanda! Ayahanda sungguh benar. Aku disembuhkan oleh Wunga
Tapa baik hati ini. Kenalkan, ini Purasara,” sembah Dewi Raramis diikuti
Purasara yang menyembah Bagawan Wangsapati.
“Sungguh baik hatinya, Anakku Purasara. Karena kau berhasil
menyembuhkan putri cantikku ini, maukah kau menerima putriku ini sebagai
istrimu? Dan lagi, aku ini sudah tua, sudah saatnya tahta sebagai Raja Negeri
Wirata ini aku wariskan kepada penerusku. Rasa-rasanya kau ini adalah orang
yang tepat.”
Sungguh kaget bukan main Purasara dan ketiga Punakawannya. Mereka
saling melihat satu sama lain seolah tak percaya. Sungguh luar biasa garis dari
kahyangan ini. Kebaikan hati Purasara dibalas berkali-kali lipat oleh Batara
di Kahyangan.
Pesta pernikahan digelar tak lama setelah kembalinya Dewi Raramis
ke Negeri Wirata. Orang-orang berdatangan untuk memberi selamat kepada
kedua mempelai. Tak jarang, mereka datang hanya untuk melihat kecantikan
Dewi Raramis yang kini sudah sembuh dan tak berbau amis lagi.
Purasara dan Dewi Raramis resmi menjadi sepasang suami istri sejak
saat itu. Mereka pun menetap di Negeri Wirata, tempat Dewi Raramis berasal.
Hari demi hari sudah dilewati Dewi Raramis dan Purasara sebagai suami
istri. Mereka sangat menikmati keseharian mereka yang bahagia. Namun,
dalam sebuah lamunan, Purasara punya satu keinginan. Karena sudah terlalu
lama meninggalkan negeri, ia berkeinginan untuk mengunjungi negeri
Suktadurja kembali. Purasara ingin menemui saudaranya dan tentu saja ingin
mengenalkan istrinya pada warga Suktadurja.
Keinginan itu kemudian ia sampaikan kepada Bagawan Wangsapati
selaku ayah merTuanya. Dengan ditemani Punakawan, mereka bertiga dengan
sangat takzim menyembah Bagawan Wangsapati.
“Ya Ayahanda, kedatangan ananda menghadap Ayahanda adalah untuk
meminta izin pulang ke negeri ananda, yaitu Negeri Suktadurja. Sungguh
sudah lama sekali Ananda meninggalkan negeri Ananda. Terlebih, Ananda
sudah memiliki seorang istri dan belum ada satu pun saudara-saudara Ananda
tahu kabar bahagia ini. Mohon kiranya ananda diberikan izin dari Ayahanda.”
- 59 -
Purasara
Mendengar hal itu, sungguh berat Bagawan Wangsapati untuk
memberikan izin melepas Purasara pergi. Dia berpikir bahwa sudah terlalu
tua dirinya untuk memimpin Negeri Wirata. Tahta tentu saja akan diwariskan
kepada Purasara sebagai mantu yang baik hatinya, bijaksana, dan memiliki
jiwa kepemimpinan yang kuat. Namun, ketika mendengar Purasara berjanji
akan kembali lagi ke Negeri Wirata, Bagawan Wangsapati pun tak bisa
melarangnya lagi.
“Kira-kira kapan kau akan pergi ke Negeri Sukjadurja Anakku?”
“Setelah ananda mendapatkan izin dari Ayahanda, maka hari ini juga
ananda akan berangkat ke Negeri Suktadurja.”
“Apakah tidak bisa besok saja? Kenapa buru-buru sekali?”
“Karena perjalanan yang cukup jauh, kami harus berangkat hari ini juga
Ayahanda, agar cepat sampai di negeri Suktadurja,” ujar Purasara.
“Baiklah jika itu sudah menjadi keputusanmu, Anakku.”
Bagawan Wangsapati pun segera memanggil Dewi Raramis. “Anakku
Raramis, Purasara sudah mengatakan tujuannya untuk mengunjungi negerinya
yang berada nun jauh di sana, apakah kau akan tinggal di sini atau ikut bersama
dengan suamimu?”
“Ayahanda, saya tentu saja ingin tetap berbakti kepada suami. Ke mana
pun Kanda Purasara pergi, maka saya akan ikut. Mohon juga izinnya untuk
keselamatan dan kesehatan kami selama perjalanan nanti,” kata Dewi Raramis
sambil menyembah kepada Ayahandanya itu.
“Tidak ada yang dapat saya berikan kepada kalian kecuali doa agar
keselamatan selalu menyertai perjalanan kalian. Sungguh aku sedih karena
akan ditinggal. Tapi, saya percaya kalian pasti akan kembali lagi.” ungkap
Bagawan Wangsapati.
Izin dari Bagawan Wangsapati sudah di dapatkan. Sembah sujud kepada
Bagawan Wangsapati dan Dewi Wargawati tak luput dilakukan sebelum
mereka pergi. Setelah itu, dengan segera, Purasara, Dewi Raramis, dan ketiga
Punakawan bersiap-siap. Perjalanan mereka tempuh dengan melewati hutan,
menaiki bukit hingga pegunungan, mengarungi lembah, dan menyeberang
sungai. Mereka membutuhkan waktu berhari-hari hingga mereka akhirnya
sampai di negeri Suktadurja.
***
- 60 -
Purasara
Di Negeri Suktadurja, Sentanu sedang menikmati sore bersama dengan
anaknya, Raden Perbatasari, dan istrinya, Dewi Sriwati. Sambil bercerita kepada
Raden Perbatasari, memori masa kecil dengan adiknya Purasara terlintas.
Sudah lama sekali sejak Purasara meminta izin untuk bertapa kepadanya. Di
tengah rindu yang mendera terhadap Purasara, Sentanu memikirkan apakah
Purasara masih hidup atau sudah tiada. Negeri Suktadurja tidak pernah
mendapatkan kabar keberadaan Purasara dan ketiga Punakawannya.
Karena khawatir akan Ayahnya yang terus memikirkan sang Paman,
Raden Perbatasari berinisiatif untuk menyusul pamannya, Purasara. Namun,
permohonan itu, secara halus, tidak diindahkan oleh Sentanu. Sebab, jika
Raden Perbatasari pergi, dikhawatirkan ia akan lama tak kembali. Saat ini,
keberadaan Purasara saja sulit untuk diketahui.
Di saat Raden Perbatasari dan Sentanu sedang berbicara, terdengar
teriakan dari arah pintu gerbang Negeri Suktadurja.
“Ya Tuanku, Tuan Purasara telah kembali. Tuan Purasara telah kembali”,
teriak Semar dengan semangat yang menggebu-gebu.
Mendengar hal itu, Sentanu kaget sekaligus senang. Segera mereka
menghampiri suara yang sudah sangat dikasihinya itu. Tak ada angin maupun
hujan, ketika Sentanu sedang menahan rindu, Purasara, sang adik, hadir di
depan matanya. Hal itu tentunya bagai gayung bersambut. Dan Sentanu
maupun Purasara tak dapat membendung rasa bahagianya bertemu dengan
saudaranya itu.
Sentanu memperhatikan penampilan Purasara. Ia pun memperhatikan
apa saja dan siapa saja yang datang bersamanya. Dilihatnya di samping
Purasara, ada putri cantik jelita. Langsung saja sebuah pertanyaan yang bisa
ditebak semua orang ditanyakan oleh Sentanu.
“Adindaku, siapakah wanita cantik yang ada di sampingmu itu? Setelah
bertahun-tahun lamanya kau pergi, sekarang kembali dengan membawa
seorang wanita?”
“Kanda Sentanu, perkenalkan ini adalah Istriku, Raramis, dari Negeri
Wirata,” ungkap Purasara memperkenalkan Dewi Raramis.
“Tak disangka, kau sudah beristri sekarang ini. Kanda turut bahagia
Adinda. Mari, akan Kanda antarkan kalian ke dalam keraton yang akan kalian
tempati. Segeralah ganti pakaian, dan mari kita makan bersama. Sudah lama
rasanya kita tidak makan bersama. Terlebih, kau sekarang sudah memiliki
istri. Kabar bahagia ini tentunya harus dirayakan.”
- 61 -
Purasara
Perasaan senang tidak bisa ditutupi oleh Sentanu. Para Punakawan
pun turut senang. Akhirnya, mereka bisa kembali. Raden Perbatasari pun
turut senang karena ia bisa bertemu dengan Pamannya untuk pertama kali.
Terlebih, tidak hanya Paman yang dimiliki, kini, Raden Perbatasari memiliki
juga seorang bibi.
Hal yang sama juga dirasakan Dewi Sriwati yang ikut menyambut Dewi
Raramis, Ia memberikan Raramis beberapa pakaian untuk dikenakan. Semua
bergembira dan bersuka cita.
Namun, ditengah suka cita yang begitu besar, terdapat bibit yang
membahayakan. Sentanu diam-diam selalu memerhatikan Dewi Raramis.
Baik ketika sedang makan, berjalan di selasar, atau sedang menikmati waktu
sore dengan Purasara di halaman depan. Dengan kesadaran penuh, ia ternyata
menaruh hati pada istri Purasara itu. Kemudian, timbullah rasa iri. Terlebih
Dewi Raramis lebih cantik daripada Dewi Sriwati. Perasaan itu hanya bisa
dipendam saja oleh Sentanu. Hingga di kemudian hari, itu akan menjadi
sebuah bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Berbulan-bulan sudah lamanya Purasara tinggal di negerinya itu.
Hingga suatu hari, Dewi Raramis merasakan ada yang aneh dari perutnya. Ia
mengandung. Perasaan bahagia pun tak bisa ditutupi oleh Purasara. Dalam
hitungan bulan, ia akan menjadi seorang Ayah.
Melalui penglihatan yang sakti, Purasara bisa merasakan bahwa anak
yang dikandung Raramis adalah Laki-laki. Sejenak, Purasara pun merenungkan
sesuatu. Karena memang sudah menjadi suatu kebiasaan Purasara sebagai
Wunga Tapa, maka keberadaan anak dalam perut Raramis pun menjadi alasan
dia ingin pergi bertapa kembali. Dengan bertapa di sebuah gunung, ia akan
memuja-muja Sang Hyang Kuasa agar puteranya kelak menjadi seorang
pendekar yang gagah berani, bijaksana, dan baik hatinya, melebihi dirinya.
Keinginan Purasara untuk bertapa kemudian disampaikan kepada Semar,
Garubug dan Petruk. Atas perintah Purasara, Punakawan diminta untuk tetap
di dalam negeri untuk menjaga Dewi Raramis. Namun, hal itu membuat Semar
bersedih hatinya. Ia merasa kasihan dengan Dewi Raramis jika ditinggal
bertapa. Terlebih lagi, Raramis dalam keadaan mengandung.
“Kakang Semar, tolong jagalah Dewi Raramis. Dan kabari aku jika ada
sesuatu kesedihan atau kesengsaraan yang terjadi. Kakang bisa menyusulku
pergi ke gunung dan boleh membangunkan pertapaanku,” pesan Purasara
kepada Semar.
- 62 -
Purasara
Mendengar pendirian Purasara yang begitu bulat, Semar tak bisa berbuat
banyak selain menurutinya. Meskipun hatinya menangis karena begitu kasihan
dengan Dewi Raramis yang akan ditinggal untuk bertapa.
“Baiklah Tuanku, akan saya jaga Dewi Raramis.”
Semar pun mengikuti perintah Purasara untuk setia menjaga Dewi
Raramis ketika Purasara pergi bertapa.
- 63 -
XI
Raramis dalam Godaan Sentanu
Kabar bahwa Purasara ingin melakukan pertapaan kembali didengar
oleh Sentanu. Sesekali, Sentanu melarang agar Purasara tetap tinggal di dalam
negeri. Namun, Sentanu pun tak didengarkan. Purasara sudah memiliki niatan
yang kuat untuk melakukan tapa agar anaknya kelak memiliki perangai yang
baik.
Hingga sampailah pada satu hari, Purasara siap berangkat untuk bertapa.
Semua merasa sedih akan ditinggal Purasara, tak terkecuali Dewi Raramis.
Setelah berpamitan dan berpelukan satu sama lain, Purasara segera berlalu.
Ia pergi ke gunung dengan melewati hutan belantara, sungai yang deras, dan
keluar dari padang rumput untuk sampai di sebuah gunung yang akan dijadikan
tempat pertapaan. Perjalanan itu tentunya memakan waktu berbulan-bulan
lamanya. Selama berbulan-bulan itu Purasara hanya makan umbi-umbian.
Selama perjalanan yang menempuh waktu tidak sedikit itu, Purasara
seringkali mendapat cobaan bertemu dengan binatang buas hingga raksasa
yang ingin menerkamnya. Namun, semua itu berhasil ia lumpuhkan hanya
dengan hitungan menit. Lawan yang tidak sepadan dengan kekuatan Purasara.
Setelah lawan-lawannya dilumpuhkannya, Purasara pun melanjutkan
perjalanannya. Hingga akhirnya, Purasara sampai di gunung tempat ia
akan bertapa. Gunung yang sangat tinggi dan memiliki kondisi lereng yang
berjurang. Jika melihat dengan seksama, di dalam gunung itu akan ada
bekas-bekas dupa terbakar yang menandakan sebelumnya sudah ada orang
yang bertapa. Ada pula aliran air yang sangat deras yang membuat Purasara
tak sabar untuk berendam ke dalamnya sebagai salah satu cara menyucikan
diri sebelum melakukan pertapaan. Di pinggir aliran air itu ada satu pohon
menjulang tinggi yang sangat teduh jika berada di bawahnya. Dan, di aliran
air terlihatlah sebuah goa.
Purasara pun masuk ke dalam goa itu dan menyalakan api unggun
untuk menghangatkan diri dan kemudian membakar dupa dan istanggi untuk
memuja kepada Sang Hyang Kuasa agar permintaannya dikabulkan.
Purasara bertapa di atas batu putih. Ia duduk bersedekap menyerahkan
diri kepada Sang Maha Kuasa. Setiap hari, ia gunakan waktunya untuk
- 64 -
Purasara
bertapa. Hal itu mengharuskan ia tidak makan dan minum untuk waktu
yang tidak sebentar. Rambutnya yang tampak tak terurus menjuntai panjang.
Namun, tak ada yang mempedulikan sebuah penampilan. Inti dari bertapa
adalah menyembah sembari berdoa agar permintaan dikabulkan. Dalam
pertapaannya, Purasara pun tidak tahu menahu dan tidak peduli pula soal ini
hari apa. Yang ia pedulikan adalah fokus melakukan penyembahan kepada
Sang Hyang Kuasa, Gusti Mulia Raya.
Sementara itu, di Negeri Suktadurja, Sentanu diam-diam memperhatikan
Dewi Raramis. Terselip niatan jahat Sentanu untuk merebut Dewi Raramis
dari Purasara. Terlebih, Dewi Raramis kini ditinggal Purasara. Niatan untuk
menjadikan Raramis istri pun semakin besar.
Hampir tiap sore Sentanu tak ragu untuk mengunjungi keraton Dewi
Raramis. Ia beralasan untuk menghibur Dewi Raramis yang ditinggal bertapa
Purasara. Tak ada seorang pun yang curiga, termasuk ketiga Punakawan yang
dengan setia menemani Dewi Raramis siang, malam, pagi, dan sore. Namun,
dari balik tembok, di kejauhan, Raden Perbatasari secara sembunyi-sembunyi
mengamati apa yang dilakukan oleh ayahandanya itu. Dalam hatinya, muncul
perasaan tidak suka terhadap apa yang dilakukan ayahandanya.
Hingga pada suatu sore, kejadian tak mengenakan pun terjadi. Seperti
biasa, Sentanu datang ke keraton Dewi Raramis. Ketika Dewi Raramis
mendapat kunjungan, dengan segera Semar, Garubug, dan Petruk undur diri
untuk sementara waktu. Ketika sudah berdua, tanpa malu-malu, Sentanu
mengucapkan kata-kata yang kurang pantas dikatakan kepada istri dari
adiknya itu.
“Ya Dewi belahan jiwaku, padahal baru kemarin sore kita bertemu.
Namun hati ini sudah tak sabar lagi untuk bertemu kembali,” ucap Sentanu.
Mendengar kata-kata Sentanu, Dewi Raramis langsung memalingkan
wajah dan membelakangi Sentanu. Dengan sopan dan lemah lembut, Dewi
Raramis berkata, “Ya Kakanda Sentanu, maaf kalau saya tidak sopan
membelakangi Kakang seperti ini. Namun, perkataan Kakanda tadi, dinda
rasa tidak elok untuk diucapkan. Terlebih jika sampai terdengar oleh Kakang
Semar, Garubug atau Petruk yang menjagaku siang dan malam.”
“Ya Dewi Raramis yang sangat cantik jelita. Setiap hari aku selalu
terbayang wajah ayumu. Jantung ini rasanya berhenti berdetak membayangkan
dirimu wahai Dewiku”, lanjut Sentanu seraya ingin memegang tangan Dewi
Raramis, namun berhasil ditepis.
- 65 -
Purasara
“Bukan maksud adinda tidak sopan, tapi apa yang Kakanda katakan tidak
pantas keluar dari mulut Kakanda Sentanu. Saya ini istri adik Kakanda dan
terlebih lagi, saya sedang mengandung, serta Kakanda juga sudah beristri. Tak
sepatutnya Kakanda mengucapkan itu ke dinda,” kata Dewi Raramis dengan
nada sedikit bergetar karena ketakutan.
“Ya Dewi Raramis, janganlah kau takut seperti itu, kemarilah bersamaku.”
Berkali-kali Dewi Raramis tak mengindahkan perkataan Sentanu.
Namun, Sentanu tak pernah menyerah membujuk rayu Dewi Raramis. Hingga
pada suatu sore setelah dengan lemah lembut tak berhasil membujuk Dewi
Raramis, Sentanu mulai sedikit demi sedikit menggertak dan mengancam.
“Ya Dewiku Raramis, jika sebelum-sebelumnya saya dengan lemah
lembut membujuk Dewi, maka kali ini saya tidak akan segan-segan
menyakitimu jika kau tidak mau denganku,” dengan nada meninggi Sentanu
mulai menggertak Dewi Raramis.
“Terlebih jika kau terus menolakku, maka penjaga di keratonmu ini tak
segan-segan aku sakiti.” lanjutnya.
Karena mendapat ancaman tersebut kemudian Dewi Raramis berpikir
sejenak. Agar tak terjadi pertumpahan darah, maka dengan cerdik Dewi
Raramis meminta bukti dan persyaratan. Tidak tanggung-tanggung, Dewi
Raramis meminta seluruh negeri menjadi miliknya.
“Ya Kakanda Sentanu, jika Kakanda memang ingin memiliki dinda, maka
dinda punya satu persyaratan yang harus Kakanda penuhi.” Pinta Raramis.
“Apapun akan saya berikan. Kau mau minta apa? Perhiasan? Ladang
yang luas? Atau apa? Katakanlah. Saya begitu menginginkan kau wahai
Dewiku. Ayo katakanlah, jangan sungkan.”
“Bukan, bukan perhiasan ataupun ladang yang saya inginkan sebagai
bukti bahwa kakanda bersungguh-sungguh. Saya hanya mau negeri ini beserta
seluruh isinya menjadi milik saya. Itulah satu permintaan itu.”
Ketika sedang asyik membujuk rayu Dewi Raramis, di Keraton Dewi
Sriwati, Raden Perbatasari mengadukan kelakuan Ramanya yang setiap sore
singgah di keraton Dewi Raramis. Namun, Dewi Sriwati tidak bisa berbuat
apa-apa. Ia hanya bisa pasrah jika demikian. Hal itu semakin membuat geram
Raden Perbatasari.
- 66 -
Purasara
Suatu sore, Raden Perbatasari sedang berjalan-jalan dan mengunjungi
keraton Bibinya. Kemudian, ia mendengar ada suara laki-laki yang
dipikirannya pastilah bukan Pamanya, Purasara.
“Siapa laki-laki itu, begitu beraninya ia masuk, apakah ia ayahandaku
yang setiap sore datang untuk berkunjung ke tempat Bibi?” pikir Raden
Perbatasari.
Karena takut ketahuan, kemudian Raden Perbatasari naik perlahan-lahan
ke atas jendela untuk mengintai. Maka di waktu yang sama dengan mata
kepala sendiri, Raden Perbatasari mendengar ayahandanya sedang membujuk
rayu Dewi Raramis. Kemudian, satu per satu percakapan Dewi Raramis dan
Sentanu, ayahandanya, ia dengarkan.
“Intinya dinda akan mau sama Kakanda jika Kakanda bersedia memberi
semua negeri untuk dinda. Tidak ada persyaratan lain. Hanya itu saja.”
“Baik, nanti pokoknya itu akan aku berikan untuk Dewi Raramisku.”
Mendengar percakapan Dewi Raramis dan ayahandanya, Raden
Perbatasari seolah diguyur hujan petir. Sungguh marahlah ia mendengar
semua itu. Terlebih, karena Bibinya meminta seluruh negeri dan ayahandanya
menyanggupi. Raden Perbatasari berpikir bahwa tak pantas jika negeri ini
dikuasai oleh seorang wanita. Harusnya negeri ini akan menjadi miliknya
karena merupakan anak yang sah dari Sentanu. Rasa amarah pun membuncah.
Maka, tebersit pikiran untuk membunuh Bibinya itu.
“Tidak akan aku biarkan negeri ini jatuh kepada Bibiku. Namun, jika
aku menghunus Bibi dengan kerisku ini, akan tambah runyam urusannya.
Barangkali, akan lebih baik jika aku melakukannya di tempat yang sepi,” pikir
Raden Perbatasari sambil mengurungkan niatnya pada saat itu. Keris yang
terhunus pun disarungkan kembali. Lalu, Raden Perbatasari segera berlalu
dengan meninggalkan keraton Dewi Raramis.
Sentanu masih terus mencoba membujuk Dewi Raramis hari demi hari.
Namun, selama permintaan Dewi Raramis belum dipenuhi dan dikabulkan,
maka ia tidak akan mau menerina Sentanu. Dalam pikiran Dewi Raramis,
strateginya berhasil. Sentanu tidak akan memberikan seluruh negeri beserta
isinya. Dengan demikian, ia tak harus membagi cintanya untuk Sentanu.
Raden Perbatasari yang sudah menaruh dendam kepada Bibinya, berniat
melakukan perbuatan tidak terpuji. “Rasanya hari ini adalah hari yang tepat
untuk membunuh Bibiku itu. Saya tidak mau Rama memberikan negeri ini
beserta isinya kepada Bibi Raramis.”
- 67 -
Purasara
Kemudian, dari keratonnya, Raden Perbatasari bersiap-siap dengan
pakaian prajurit. Tak lupa, keris di selempangkannya di pinggang. Setelah itu,
pergilah ia ke keraton Dewi Raramis. Sesampainya di keraton Dewi Raramis,
Raden Perbatasari melihat-lihat sekitar. Terlihat Semar, Garubug dan Petruk
sedang melakukan tugasnya masing-masing. Ada yang sedang menimba air
di sumur, ada yang sedang menyapu halaman, ada yang sedang membelahbelah kayu. Sementara Dewi Raramis, ada di dalam keraton. Mereka semua
tidak ada yang mengetahui jika Raden Perbatasari menyusup masuk ke dalam
keraton.
Rasa amarah yang sudah diubun-ubun membuat Raden Perbatasari
ingin segera melancarkan aksi membunuh Bibinya itu. Dengan perasaan waswas dan dengan sembunyi-sembunyi, Raden Perbatasari segera masuk ke
dalam keraton Dewi Raramis. Ia pun melihat Dewi Raramis sedang duduk
melamun di pinggir jendela. Tanpa pikir panjang, Raden Perbatasari segera
mendekati Dewi Raramis sambil menghunuskan keris. Rasa amarah yang
terus membayangi Raden Perbatasari membuatnya terlihat seperti orang
kesetanan.
“Pokoknya Bibi Raramis harus mati. Tidak boleh negeri Suktadurja ini
dimiliki olehnya,” batin Raden Perbatasari.
Semar yang tadi sedang menyapu halaman tiba-tiba masuk ke dalam
keraton hendak membersihkan bagian dalam. Namun, alangkah terkejutnya
ia melihat Raden Perbatasari berada dalam posisi hendak menikam Dewi
Raramis. Dengan segera, Semar mengambil keris milik Raden Perbatasari.
Selepas itu, Semar menarik tangan Dewi Raramis dan diajaknya berlari.
“Ya Dewi, mengapa Raden Perbatasari berbuat seperti itu. Apa kesalahan
kita pada Raden Perbatasari yang membuat ia tega hendak menikam Dewi?”
ungkap Semar sambil terengah-engah karena berbicara sambil berlari
meninggalkan keraton. Keduanya menangis secara bersamaan, antara bingung
dan sedih dengan keadaan yang menimpa mereka saat itu.
Di sisi lain, Garubug dan Petruk yang mendengar suara keributan segera
menghampiri. Kemudian, mereka melihat di luar keraton, Semar sedang
berlari dengan menggandeng Dewi Raramis. Sementara, di dalam keraton,
terlihat Raden Perbatasari dengan amarah yang luar biasa layaknya macan
hendak menerkam mangsanya sedang mengejar Semar dan Dewi Raramis.
Segeralah Garubug dan Petruk menyusul Semar dan Dewi Raramis. Alangkah
terkejutnya Garubug dan Petruk melihat Semar dan Dewi Raramis berlari
sambil menangis tersedu-sedu.
- 68 -
Purasara
Dalam pikirannya, Garubug dan Petruk ingin bertanya penyebab
perkelahian dengan Raden Perbatasari. Selama ini kehidupan mereka adem
ayem, dan tiba-tiba terjadi kejadian seperti saat itu. Namun, tak sampai hati
Garubug dan Petruk bertanya. Mereka hanya mengikuti Semar dan Dewi
Raramis dari belakang dengan perasaan bingung.
“Apa mungkin ya Raden Perbatasari berlaku demikian karena mengetahui
ayahandanya, Sentanu, yang sering bolak-balik berkunjung ke keraton Dewi
Raramis?” pikir Garubug bingung.
Tanpa diketahui, ternyata Raden Perbatasari secara sembunyi-sembunyi
mengikuti jalannya Semar beserta Dewi Raramis. Ketika hendak masuk ke
dalam hutan, tiba-tiba ia berpikir, “Apa yang saya lakukan kepada Bibiku
Raramis. Ini bukan salahnya, dan bukan juga salah ayahandaku. Tidak ada
yang salah akan hal ini. Mungkin ayahandaku hanya tergoda akan kecantikan
Bibi saja. Apa gunanya aku membuntuti mereka?”
Setelah agak tenang dalam berpikir, Raden Perbatasari berputar arah dan
kembali menuju Istananya. Dengan perasaan sedikit menyesal, ia berjalan
dengan sedikit gontai.
Sementara itu, Sentanu yang sudah berpakaian rapi datang ke dalam
keraton Dewi Raramis. Namun, ia hanya mendapati ruangan kosong. Dewi
Raramis tak ada di tempatnya. Demikian pula ketiga Punakawan Raramis.
Mereka tak ada di tempatnya. Maka, dicarilah Dewi Raramis di sekeliling
keraton, tapi tak membuahkan hasil. Hanya sepi yang terlihat.
Kemudian, Sentanu berpikir, “Apakah mungkin mereka pergi menyusul
Purasara ke gunung dengan ditemani Punakawan? Dan apa mungkin jika
Semar mengadukan aku ke Purasara akan kelakuanku yang setiap sore datang
mengunjungi Dewi Raramis? Jika memang itu benar, akan saya susul Dewi
Raramis. Dewi Raramis harus menjadi milikku.”
- 69 -
XII
Raramis dan Punakawan Mengadu ke Purasara
Kala itu, pagi tak begitu cerah. Terlihat Sentanu sedang mempersiapkan
diri. Ia berpakaian layaknya prajurit dengan pusaka keris yang disarungkan di
pinggang. Sesuai dengan tekadnya, Sentanu hendak menyusul Dewi Raramis
yang kabur entah kemana. Firasatnya mengatakan bahwa Dewi Raramis pergi
menyusul Purasara yang sedang bertapa di gunung.
Hawa nafsu yang begitu besar untuk memiliki Dewi Raramis membuat
Sentanu semakin berkobar. Hujan tak menghalanginya untuk berjalan di
hutan rimba. Panas tak menjadi alasan untuk mengarungi lembah. Itu semua
ia lakukan demi merebut Dewi Raramis.
***
Di tempat lain, Semar, Garubuk, Pertruk, dan Dewi Raramis berjalan
menyusuri hutan. Semar masih tak percaya dengan kejadian yang mereka
saksikan itu. Begitu sedihnya ia, hingga ia tak kuasa menahan tangis. Tangis
yang ia tujukan kepada Dewi Raramis yang sedang mengandung dan ditinggal
suaminya bertapa.
Setelah mereka melihat Raden Perbatasari tidak menyusul mereka lagi,
mereka mencari tempat untuk berteduh. Mereka berteduh di bawah pohon
beringin yang begitu rindangnya.
Garubug yang penasaran sejak tadi memberanikan diri untuk menanyakan
perihal kejadian sebenarnya, “Ya Bapak, kalau boleh saya tahu, apa yang
menyebabkan Raden Perbatasari begitu menyimpan amarah yang besar?”
“Ya Anakku aku pun tak mengetahui mengapa Raden Perbatasari berbuat
demikian Tempo hari, aku lihat Raden Perbatasari menghunuskan kerisnya
pada Dewi Raramis dan sungguh terkejutlah aku. Lalu, dengan sigap aku
langsung mengambil keris Raden Perbatasari. Selanjutnya segera aku bawa
lari Dewi Raramis. Aku pun tak mengira jika kalian akan ikut menyusul.
Baragkali Dewi Raramis mengetahui sebab yang sebenarnya. Namun
kami tidak memaksa Dewi untuk bercerita”, kata Semar sambil kemudian
memalingkan pandangan ke dewi Raramis.
- 70 -
Purasara
“Ya Kakang Garubug, Kakang Petruk, dan Kakang Semar. Sulit untuk
mengatakan ini, namun aku pun sangat terkejut dengan apa yang dilakukan
Raden Perbatasari yang hendak membunuhku. Aku hanya berpikir Raden
Perbatasari berbuat seperti itu karena ia mengetahui bahwa ayahandanya,
Kanda Sentanu, menaruh hati padaku.” sambil bersedih Dewi Raramis
bercerita. “Seperti yang kalian semua ketahui, setiap sore selepas Kakang
Purasara pergi bertapa, Kanda Sentanu selalu datang ke keratonku.”
“Sungguh kah begitu? Padahal Tuan Sentanu sudah memiliki istri dan
anak, kenapa ia sampai hati menyimpan rasa ke Dewi Raramis?” pikir Petruk
heran.
“Sentanu selalu bertanya perihal perasaanku. Apakah aku mau
dengannya. Pertanyaan itu ia tanyakan berkali-kali. Hingga suatu saat,
ia mengancam akan menghabisi semua yang ada di keraton jika aku tak
menerimanya. Sungguh sangat dilema aku saat itu. Bagaimana bisa Kanda
Sentanu berpikir demikian. Karena bimbang, aku pun membuat syarat tertentu
dan berharap Kanda Sentanu akan susah untuk mengabulkannya,” lanjut Dewi
Raramis.
“Kalau boleh aku tahu, syarat apakah itu Dewi?” tanya Semar.
“Aku membuat suatu tipu daya agar Kanda Sentanu tidak berani menuruti
kemauanku. Aku bilang kepadanya kalau aku akan menerimanya jika ia
bersedia memberikan seluruh negeri dan isinya kepadaku. Namun, sepertinya
hal ini diketahui oleh Raden Perbatasari. Dan hal itulah yang membuat Raden
Perbatasari ingin membunuhku,” lanjut Dewi Raramis sambil tak kuasa
memebendung tangis.
Mendengar cerita Dewi Raramis, Semar, Garubug, dan Petruk juga tidak
bisa menahan kesedihan. Mereka kemudian menenangkan Dewi Raramis.
Mereka berharap Dewi Raramis bisa menghentikan tangisnya. Namun,
mereka bisa maklum, siapa yang tidak sedih hendak dibunuh seperti itu.
“Dewi Raramis, berhentilah menangis. Kita semua tahu, Tuan Sentanu
memang memiliki kelakukan yang berbeda dengan Tuan Purasara. Dari
gelagatnya saja sudah ketahuan. Ya, Dewi, janganlah bersedih,” hibur
Garubug.
“Sungguh, memang keterlaluan Tuan Sentanu itu. Benar Dewi, Dewi
janganlah bersedih, ini bukan kesalahan Dewi Raramis. Kalau sudah begini,
marilah kita cerita hal yang sebenarnya ini ke Tuan Purasara. Kita susul Tuan
Purasara yang sedang bertapa di gunung. Ia harus tahu perbuatan Kakandanya
seperti apa,” sahut Semar.
- 71 -
Purasara
“Bolehlah kita beristirahat beberapa saat lagi. Ini bukan karena aku
lelah, tapi memang mungkin Dewi Raramis membutuhkan tempat beristirahat
sejenak. Aku kasian melihat ia kelelahan karena selain membawa diri sendiri,
ia juga harus membawa bayi yang dikandungnya,” kata Garubug.
Setelah mendengar perkataan Garubug, Mereka menimbang-nimbang.
Akhirnya mereka memutuskan untuk berteduh dan menginap barang semalam
agar stamina mereka kembali pulih.
Di kemudian hari, ketika matahari belum begitu nampak, Semar sudah
terlihat mempersiapkan hal yang perlu dibawa dalam perjalanan mereka, yang
akan memakan waktu berhari-hari. Terlihat ia mencari daun-daun di sekitar
yang sekiranya bisa menjadi obat untuk siapa saja yang dalam perjalanan
tidak enak badan.
Sementara itu, terlihat Dewi Raramis mengelus-elus perutnya yang
sudah mulai tampak membesar. Di sisi lain, Garubug dan Petruk terlihat masih
tertidur dengan pulas.
“Ya Dewi Raramis, kita tidak boleh menunda-nunda lagi perjalanan
untuk menyusul dan menemui Tuan Purasara. Apakah Dewi sudah siap untuk
perjalanan jauh kita? Kita tentunya akan berjalan menyusuri hutan lebat,
mengarungi beberapa sungai dan lembah,” kata Semar.
“Ya Kakang Semar, aku tidak apa-apa, mungkin semakin kita cepat
berangkat, semakin cepat pula kita bertemu dengan Kakanda Purasara.” jawab
Dewi Raramis.
“Baik Dewi. Memang, tidak ada tempat lain selain menemui Tuan
Purasara di gunung. Kita perlu segera menceritakan semuanya, jika kita tidak
menceritakan hal ini, maka ini akan menjadi hal yang terpendam, dan itu tidak
baik. Hal yang dipendam lama-kelamaan juga akan diketahui. Tuan Purasara
mesti tau perangai Tuan Sentanu.”
“Baik Kakang Semar, aku akan ikut apa kata Kakang Semar.” Ucap
Dewi Raramis.
“Baiklah Dewi, sebelum kita memulai perjalanan ini, aku akan bangunkan
Garubug dan Petruk terlebih dahulu.”
Setelah Garubug dan Petruk dibangunkan, mereka berempat berjalan
menuju Gunung pertapaan Purasara. Siang dan malam mereka lalui, jika
sudah terlihat lelah, mereka berteduh di bawah pohon besar dan bermalam
di bawahnya. Mereka makan dan minum seadanya sesuai dengan apa yang
- 72 -
Purasara
disajikan alam untuk mereka. Air sungai, air embun di ujung rerumputan,
umbi-umbian dan keladi adalah sumber makanan dan minuman yang menjadi
menu utama mereka. Jika memang sudah terlalu lelah, terkadang Dewi
Raramis hanya bisa merenung dan tak kuasa menetes air mata dari ujung mata
cantiknya.
***
Di sisi lain, Sentanu sedang berjalan juga menyusuri hutan seorang
diri. Ia terlihat menggila. Ia sangat menaruh keinginan untuk bersama Dewi
Raramis.
Sambil berjalan, ia berteriak di tengah kesunyian hutan, “Wahai Dewi
Raramis di mana kau berada? Sungguh sejauh apapun akan aku susul. Ke
ujung dunia akan aku kejar kau. Ke dasar samudera juga akan aku selami
untuk bertemu dengan kau. Hujan dan badai tak menjadi alasan untukku untuk
tak mengejarmu. Panas juga tak menjadi penghalang untuk terus mencarimu,
wahai Dewiku.”
- 73 -
XIII
Mengejar Raramis
Berhari-hari, Sentanu berjalan mengarungi hutan yang lebat. Tanpa kenal
lelah, ia terus berjalan. Namun, tak kunjung juga ia mendapati Dewi Raramis.
Lapar dan dahaga tak pernah ia rasakan. Tujuan Sentanu hanya Dewi Raramis
seorang. Jika siang hari menjelang, ia berharap cepat malam. Dan jika malam
hari menjelang, ia berharap siang cepat datang. Itulah yang selalu diminta oleh
Sentanu, tidak lain dan tidak bukan agar segera ia dipertemukan dengan Dewi
Raramis.
Sedikit demi sedikit, alam kesadaran Sentanu mulai terganggu. Ayam
yang berkokok disangkanya sudah pagi, padahal hari masih gelap. Itu terjadi
akibat dirinya yang terus memikirkan Dewi Raramis. Tiap-tiap ia memandang
bulan di langit, wajah ayu Dewi Raramis tiba-tiba menggantikan bulan itu.
Lantas, ia pun berjalan mengikuti bulan itu.
Sementara itu, Semar, Garubug, Petruk, dan Dewi Raramis terus
berjalan menuju gunung tempat Purasara berada. Siang malam mereka lalui
dengan masuk keluar hutan, masuk keluar padang, menyeberangi sungai, dan
menyusuri lembah.
Karena adanya arahan Semar, mereka pun tak kesulitan mencari gunung
tempat Purasara bertapa. Setelah berhari-hari lamanya, mereka berempat pun
akhirnya sampai di kaki gunung tempat Purasara bertapa. Tanpa pikir panjang
lagi, mereka segera mendakil untuk mencapai Puncak. Mereka berharap
segera bertemu dengan Purasara, secepatnya.
Berjam-jam mereka mendaki gunung yang memang tidak terlalu tinggi,
tetapi juga tidak terlalu rendah. Hutan dan sungai sepanjang gunung mereka
lewati. Sampai akhirnya, mereka sampai di sebuah goa. Tak jauh dari Goa itu,
seketika Semar mendapati Purasara, yang seperti orang mati, duduk di atas
batu. Sangat senanglah ia. Akhirnya, setelah perjalanan panjang, mereka bisa
juga bertemu dengan Purasara.
Demikian juga dengan Dewi Raramis, tak terbendung senangnya. Ia
terharu dan menangis melihat suamianya. Akhirnya, ia bisa berjumpa dengan
Purasara. Dengan segera, Dewi Raramis berlari menghampiri. Ia segera
menyembah dan mencium kaki Purasara. Kemudian, ia memeluknya sambil
meratap.
- 74 -
Purasara
Hal itu pula yang kemudian diikuti oleh Garubug dan Petruk. Memberi
hormat pada Purasara, lalu memeluknya karena rindu.
Garubug dan Petruk segera menubruk Purusara dengan gegap gempita.
Mereka sangat senang bisa berjumpa dengan Tuannya, Purasara.
Namun, anehnya, Purasara tak bergerak dan tetap diam dalam
pertapaannya. Hal itu karena Purasara tak merasakan apa-apa. Ia tidak merasa
ada yang meratap. Karena itu, ia terus bertapa dan terus berdiam. Memang,
pada dasarnya, ketika sedang melakukan pertapaan, sang pertapa harus terus
fokus hingga pertapaannya selesai. Dan lagi, ketika bertapa, jiwa serasa tidak
ada di raga. Raga hanya diam di tempat, namun jiwa sebenarnya sedang
berkelana.
“Kakanda Purasara, kenapa kakanda diam saja? Ini aku Kakanda,
istrimu, Raramis. Aku sedih selama ditinggal Kakanda. Bangunlah Kanda,
Bangun. Setelah itu, kita kembali saja ke Negeriku. Ke Negeri Wirata, jangan
ke Suktadurja. Kita bertemu dengan ayahanda dan Ibunda. Sungguh, aku
sangat merindukan mereka. Bangun Kanda! bangun lihat aku di sini. Aku
berjalan ke sini untuk menyusulmu. Lihatlah aku Kanda, buka matamu,” ratap
Dewi Raramis.
Purasara tak kunjung bangun dari pertapaannya, layaknya orang mati.
Garubug dan Petruk menggoyang-goyangkan badan Tuannya, berharap ia
bangun. namun Purasara tak juga kunjung bangun. Mereka seperti kehilangan
ide untuk membangunkan Purasara. Sampai kemudian, Dewi Raramis,
bertanya kepada Semar.
“Kakang Semar, bagaimana ini. Kenapa Kakanda Purasara tidak mau
bangun. Tolong kira-kira apa yang membuat dia bangun dari pertapaannya?”
Sambil berpikir kemudian Semar berkata, “Dewi Raramis, sepertinya
kita tidak akan bisa membangunkan Tuan Purasara. Sebab, pertapaannya
memang belum selesai. Hanya Sang Kuasa yang bisa membangunkan ia jika
memang telah sampai pada waktunya. Hanya izin dari Sang Kuasa yang bisa
membangunkan seorang Wunga Tapa. Saya tentu tak kuasa.”
“Ya Bapakku, jika memang begitu, kita tidak akan bisa membangunkan
Tuan Purasara sampai pertapaannya selesai. Tetapi, waktu itu, sepertinya
Tuan Purasara berpesan jika memang kita ada kesusahan atau kesengsaraan,
kita boleh membangunkan Tuan,” sahut Petruk.
- 75 -
Purasara
“Iya benar Bapak, aku pun ingat sedikit-sedikit akan hal itu. Jika memang
terpaksa karena ada kesusahan dan kesengsaraan kita boleh menyusul dan
membangunkan Tuan Purasara. Bapak tentu ingat kan akan hal itu, bukan?”
lanjut Garubug menimpali.
“Benar itu Kakang Semar, benar yang di katakan Garubug dan Petruk.
Sebelum Kakang Purasara pergi bertapa, ia memang menitipkan pesan, jika
ada sesuatu kesusahan atau kesengsaraan kita hendaknya beritahu dirinya,”
ungkap Dewi Raramis.
Tidak bisa berbuat banyak, Semar kemudian berkata, “Baik. akan
aku coba membangunkan Tuan Purasara. Tapi, jangan salahkan aku karena
memang pertapaan Tuan belumlah selesai. Semoga sang Kuasa memberikan
kita izin.”
Karena keadaan yang terdesak, dan mereka harus memberitahu Purasara,
Semar kemudian berkidung. Suara lantang nan merdu keluar dalam alunan
Kidung Semar. Setelah selesai dalam kidungnya, Semar menggigit ujung kaki
Purasara, berharap ia bangun dari tapanya.
Ketika Semar mengalunkan Kidungnya, Purasara merasakan ada anak
yang sedang bermain di ayunan. Anak itu dinyanyikan kidung oleh ibunya.
Kemudian, anak yang ada dalam perasaannya itu menyuruh dirinya untuk
bangun. Namun, ia pun tak jelas mendengarkan suara itu. Samar-samar
Purasara merasakannya. Namun, terlalu amat merdu suara nyanyian kidung.
Kemudian, ia dengarkan dengan seksama kembali. Kini, ia mendapati suara
itu layaknya suara Semar yang merdu. Sedang asyik mendengarkan Semar
bernyanyi, tiba-tiba ia merasakan ujung kakinya seperti ada yang menggigit.
Hal itu membuatnya terjaga dari pertapaan.
Alangkah terkejutnya ia setelah terjaga. Ia melihat Semar sedang
menggigit kakinya dan Dewi Raramis sedang memeluknya.
Karena kaget dan lemas karena dibangunkan dari pertapaan sebelum
waktunya, Purasara pun bertanya, “Kakang Semar, mengapa Kakang Semar
membangunkanku? Pertapaanku belumlah selesai. Terlebih, kenapa Kakang
Semar membawa serta Dewi Raramis kemari? Bukankah aku menyuruh
kalian berdiam diri di Suktadurja dan menjaga Dewi Raramis yang sedang
mengandung selama aku bertapa di sini? Mengapa kakang tidak mengindahkan
perintah itu dan tidak mendengar pesan diriku?”
Mendengar hal itu Semar merasa bersalah telah membangunkan Tuannya
Purasara. Sambil menangis dia menjelaskan kepada Purasara, “Mohon Tuanku
- 76 -
Purasara
mengampuni saya, bukannya saya tidak mematuhi perintah Tuanku untuk
menjaga Dewi Raramis. Janganlah marah kepada saya. Untuk lebih jelasnya
Tuanku bisa bertanya langsung kepada istri Tuan, Dewi Raramis jika Tuan
sudah hilang kepercayaan kepada saya.”
“Kakang Semar, beritahu aku sekarang juga. Aku akan mendengar semua
yang kau katakan.” lanjut Purasara.
“Baiklah Tuanku. Tapi hamba mohon maaf terlebih dahulu karena bukan
maksud hamba ini untuk mengadu-adu atau melaporkan siapa pun. Dan lagi,
bukan karena hamba tidak mematuhi perintah Tuanku untuk menjaga Dewi
Raramis. Kami ke sini karena waktu itu, Dewi Raramis hendak dibunuh
dengan keris oleh Raden Perbatasari, keponakan Tuanku. Kemudian, ketika
itu, hamba melihatnya dan langsung hamba ambil keris Raden Perbatasari.
Kemudian, dengan sebisa mungkin, hamba membawa Dewi Raramis pergi
menjauhi Negeri Suktadurja. Karena hal itulah hamba bersama-sama dengan
Dewi berjalan melewati rimba hingga sampai di sini.”
“Hai Garubug, apa benar yang Bapakmu ini katakan?”
“Tidak ada yang salah sedikit pun Tuanku Purasara. Terlebih semua itu
bermula dari Tuan Sentanu yang amat tergila-gila dengan istri Tuanku,” kata
Garubug sambil menyembah Purasara.
“Ya Istriku, apakah itu benar?”
“Maaf Kakanda Purasara, suamiku, mungkin jika aku memberi tahu
Kakanda suatu hari nanti, Kakanda akan sulit untuk percaya.”
“Kakanda akan mencoba percaya kepadamu Dewiku. Namun tolong
ceritakan semuanya dari awal agar tidak ada kesalahpahaman.” Sahut Purasara.
“Baiklah Kakanda Purasara, saya akan ceritakan semuanya,” sembah
Dewi Raramis.
“Semua ini mungkin berawal ketika Kakanda pergi untuk bertapa. Setelah
itu, setiap hari, tepatnya di sore hari, Kanda Sentanu selalu mengunjungiku di
keraton. Hingga suatu hari, Kanda Sentanu sangat menginginkanku. Jika saya
tak mau dengannya, ia akan membunuh semua yang ada di keraton. Sungguh
saya sangat sedih kala itu, saya sudah mengatakan bahwa aku sudah punya
suami yang tak lain adalah adiknya sendiri. Bingung apa yang harus aku
lakukan.”
Dewi Raramis agak sedikit tersedak. Ia berhenti sejenak. Namun,
kemudian segera ia melanjutkan ceritanya, “Kemudian, setelah berpikir, saya
- 77 -
Purasara
memberi syarat yang teramat susah. Berharap Kanda Sentanu tidak akan bisa
mengabulkannya. Saya mengatakan kepada Kanda Sentanu, jika ia memang
bersungguh-sungguh hendahklah memberikan seluruh negeri Suktadurja
kepadaku. Saya tahu itu akan sangat susah ditepati oleh Kanda Sentanu.
Karena itu, …”
Dewi Raramis agak berat melanjutkan. Matanya mulai berkaca-kaca.
Purasara dan lainnya pun masih terus memperhatikan.
Dan, dengan segenap tenaga, ia kembali melanjutkan, “Karena itu aku
pikir, aku tak akan pernah bisa menjadi milik Kanda Sentanu. Namun, hal ini
ternyata diketahui oleh Raden Perbatasari. Ia mengetahui rahasia ini. Hal ini
membuat ia marah sehingga hendak membunuhku. Lalu, seperti yang sudah
dikatakan oleh Kakang Semar, kami semua berlari menjauhi Suktadurja untuk
menyusul Kakanda ke sini.”
Dewi Raramis tak bisa menahan tangisnya. Tak mudah untuk
menceritakan itu semua saat itu juga, saat kondisinya masih trauma.
Setelah mendengar semuanya, terlihat Purasara yang geram. Sungguh
tidak terpikirkan olehnya jika kakandanya, Sentanu, menaruh hati pada
istrinya sendiri. Hal yang tentunya tidak patut.
“Hai Kakang Semar, Garubug, dan Petruk. Sebelumnya, aku ingin
bertanya kepada kalian. Kenapa tidak ada satu pun yang melarang Kanda
Sentanu datang ke keraton menemui Dewi Raramis? Apa tidak ada satu pun
dari kalian yang menaruh curiga akan hal ini? Terlebih, ketika Kanda Sentanu
yang memang hampir setiap hari datang ke keraton? Itu sungguh tidak wajar
dilakukan.”
Sembah Semar, “Ya Tuanku, sebelumnya tidak ada sama sekali pikiran
terlintas mengenai Tuan Sentanu yang menaruh hati pada Dewi Raramis. Dan
lagi, Tuan Sentanu adalah saudara Tuan Purasara. Karena itu, hamba tidak
akan bisa melarang. Dan takut jika melarangnya. Karena hamba pikir, Tuan
Sentanu datang hanya untuk menghibur Dewi yang ditinggal Tuan pergi
bertapa.”
Mendengar hal itu tambah ruwetlah pikiran Purasara. Kemudian,
ia bertanya sekali lagi kepada Dewi Raramis, “Dewi Raramis, sekarang
bagaimanakah isi hatimu dan lagi kenapa kau tidak menceritakan semuanya
dari awal kepada Kakang Semar, Garubug dan Petruk?”
- 78 -
Purasara
Sambil menangis Dewi Raramis menjawab, “Aku setia dengan Kanda
Purasara, saya juga Tidak menyangka akan ada hal seperti itu. Jika mengadu
dengan Kakang Semar, saya takut keributan terjadi.”
Raramis mengambil napas sejenak. dengan suara masih tersendat-sendat,
ia mencoba melanjutkan.
“Ya Kakang Purasara, sungguh tidak ada sedikit pun ajakan Kanda
Sentanu aku indahkan. Terlebih lagi, di perut ini ada anak Kakanda dan
sungguh saya tidak akan pernah melakukan itu. Karena aku akan terus berbakti
kepada suamiku.”
Purasara berada di titik dilema yang luar biasa. Tentunya ia tidak tahu
mana yang benar dan mana yang salah akan hal ini sebelum ia menyaksikan
dengan matanya sendiri. Ia tidak bisa langsung percaya dengan Dewi Raramis,
meskipun ia istrinya sendiri. Dan lagi, ia juga tidak akan langsung mudah
percaya akan perkataan Punakawannya. Semua itu butuh bukti, dan hanya
Sentanu yang bisa membuktikan hal itu.
“Ya Dewi Raramis istriku, sekarang istirahatlah di sini bersama-sama
dengan Semar, Garubug, dan Petruk. Jika memang benar Kakanda Sentanu
ada hati kepadamu, saya kira ia akan menyusul kita ke sini. Jadi saya akan
tahu siapa yang benar dan salah.”
Purasara kini ada di tengah dilema yang luar biasa. Pikirannya tumpah
ruah. Di sisi lain, Purasara juga tak kuat hati melihat Dewi Raramis yang
sedang mengandung, tapi mau berjalan sejauh itu. Ia tentu saja merasa iba
karena meninggalkan istrinya yang sedang dalam keadaan mengandung.
- 79 -
XIV
Peperangan Sentanu dan Purasara
Sentanu berjalan siang dan malam menyusuri hutan untuk mencari Dewi
Raramis yang ingin direbutnya dari Purasara. Wajah cantik Dewi Raramis
selalu terbayang. Itulah yang membuat tekadnya semakin kuat untuk segera
bertemu dengan Dewi Raramis.
“Dewiku, ke mana kau pergi. Akan aku cari sampai ketemu,” teriak
Sentanu.
Setelah berhari-hari lamanya, Sentanu berjalan siang dan malam,
sampailah ia di kaki gunung tempat Purasara bertapa. Tanpa pikir panjang
lagi, Sentanu langsung mendaki gunung tersebut. Ia berharap bertemu dengan
Purasara dan Dewi Raramis.
Di saat yang sama, di gunung itu, Purasara sedang duduk dan
bercengkerama dengan Dewi Raramis yang perutnya semakin besar. Menurut
perhitungan bulan, Dewi Raramis sudah memasuki bulan bersalin. Namun,
tiba-tiba, Purasara merasakan ada orang sakti yang sedang berjalan dengan
perlahan menghampiri mereka.
“Kakang Semar, aku merasakan ada orang yang sedang menghampiri
kita. Firasatku mengatakan, ini adalah Kakanda Sentanu yang berniat kemari
untuk mengambil Dewi Raramis,” ungkap Purasara kepada Semar.
“Tuan Purasara, jika dia benar adalah Tuan Sentanu, pastinya Tuan
lebih mengerti bagaimana cara dia berjalan. Dan jika akhirnya dia sampai
sini, sebaiknya Tuan bertanya kepadanya kejadian yang sebenarnya. Dengan
begitu, kita akan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah untuk hal ini”,
kata Semar menasihati.
Suara langkah kaki semakin nyata terdengar. Dan benarlah, ialah
Sentanu. Purasara berpikir sejenak dan merasakan kegilaan apa yang akan
dilakukan oleh Kakandanya itu. Untuk keselamatan Dewi Raramis, Purasara
menyuruhnya untuk menjauhi tempat mereka sekarang. Kemudian, Dewi
Raramis undur ke belakang dengan ditemani tiga Punakawan yang selalu setia
menemani.
- 80 -
Purasara
Sentanu datang dengan amarah yang berapi-api, tanpa bertegur sapa
terlebih dahulu dengan Purasara, Sentanu langsung menodongkan pertanyaan,
“Di mana Dewi Raramis, berikan ia kepadaku sekarang juga!”
“Hai, Kakanda Sentanu, apa kau tidak punya urat malu? Dewi Raramis
adalah Istriku, ada urusan apa Kanda hendak mengambilnya dari tanganku?
Kanda sudah punya anak dan istri sendiri!” ucap Purasara.
Adu mulut pun tak terbendung lagi. Purasara dengan segala kekuatannya
tentu tidak akan melepaskan istrinya untuk diberikan kepada Sentanu.
“Jika peperangan memang diperlukan, aku akan melakukannya untuk
melindungi Dewi Raramis!”
“Baiklah kalau begitu. Baiklah kalau kau menantangku, Adinda!” jawab
Sentanu tanpa pikir panjang menyetujuinya.
Baik Purasara dan Sentanu sudah berada pada tahap amarah yang
sangat luar biasa. Perkataan pedas dari mulut keduanya saling dilontarkan.
Untuk mengadu kekuatan, mereka sepakat untuk mencari suatu tanah yang
luas. Bukan berada di hutan seperti ini. Keduanya pun segera turun gunung
untuk menemukan alun-alun sebagai tempat adu kekuatan maupun kesaktian
mereka.
Di belakang Purasara dan Sentanu, Dewi Raramis beserta ketiga
Punakawannya ikut turun juga. Namun, ketika sedang berada di tengah
perjalanan, Dewi Raramis merasakan keletihan yang luar biasa. Hal itu bisa
dimaklumi karena Dewi Raramis sedang berbadan dua. Karena hal itu, mereka
berempat terpaksa harus berhenti sejenak untuk istirahat.
Sementara itu, Purasara dan Sentanu sudah tiba di alun-alun yang akan
menjadi medan pertempuran mereka. Keduanya saling berhadapan dan siap
untuk bertarung satu sama lain.
“Adinda Purasara, apakah kau siap mati ditanganku sekarang demi
menyerahkan Dewi Raramis kepadaku?” seru Sentanu sambil berkacak
pinggang.
“Sungguh terlalu kau Kanda Sentanu. Tidak beradab dan bertabiat!
Namun, demi membela Istriku, aku siap menghadapi siapa pun yang hendak
merebutnya, termasuk Kakang Sentanu,” balas Purasara.
Mereka pun mulai beradu kekuatan. Sentanu dan Purasara saling
sergap. Sejurus kemudian, Sentanu dengan kekuatan ototnya dengan mudah
- 81 -
Purasara
mengangkat Purasara. Dibantingnya ia berkali-kali ke bumi. Kemudian,
Purasara diangkat lagi dan dihempaskannya ke udara. Hal itu membuat
Purasara melayang-layang dan kemudian jatuh ke bumi.
Tak mau kalah, Purasara segera bangkit dan berlari menghampiri Sentanu.
Purasara segera menyergap badan Sentanu untuk kemudian dibanting-banting
ke bumi. Dengan kekuatannya, Sentanu dapat dengan mudah dihempaskan
ke langit. Hal itu membuat Sentanu terpontang-panting di udara hingga jatuh
kembali ke bumi.
Keadaan pertarungan tampak imbang. Mereka berdua sama kuat. Mereka
berdua sama-sama tak mau mengalah.
“Dasar, Adik kurang ajar! Sekarang, kita tidak memiliki hubungan
Saudara lagi!” teriakan Sentanu yang begitu menggelegar.
“Hah! Apa tidak salah Kanda berbicara? Kanda yang terlebih dahulu
memulai peperangan ini! Kanda yang tidak ada urat malu hendak merebut
Dewi Raramis dari tanganku!” seru Purasara membalas.
Sentanu semakin marah mendengar perkataan Purasara. Tanpa
pikir Panjang lagi, batu besar yang ada di sebelahnya segera diangkat dan
dilemparkannya ke Purasara. Purasara jatuh, namun berhasil memecahkan
batu tersebut menjadi berkeping-keping hingga kepingan batu tersebut
mengenai Sentanu. Purasara segera membalas dengan mengangkat Sentanu
dan membantingnya kembali ke bumi berkali-kali.
Sentanu merasakan kesakitan yang luar biasa. Akan tetapi, ia masih bisa
bangkit lagi.
Tak puas adu kekuatan dengan tangan kosong, membuat Purasara
dan Sentanu mengeluarkan pusaka mereka yang berupa keris. Pertarungan
semakin sengit. Tikam-menikam tak bisa terelakkan lagi. Keduanya tampak
memiliki kekuatan yang sama besar. Karena masih belum ada yang kalah,
Purasara menyarankan untuk mengadu kekuatan di gunung. Hal itu tentu
disetujui oleh Sentanu.
Di gunung, pertarungan semakin menjadi-jadi. Pohon-pohon yang ada di
sekitarnya dapat dengan mudah diangkat dan dilemparkan ke satu sama lain.
Hutan yang penuh dengan pepohonan seketika berubah menjadi gundul.
“Sudahlah, kau menyerah saja dan serahkah Dewi Raramis kepadaku
untuk aku peristri,” sergah Sentanu.
- 82 -
Purasara
“Tutup Mulutmu, Kanda. Saya tidak akan menyerahkan Istriku!”
berontak Purasara.
Tentu saja dengan tidak segampang itu membuat Purasara menyerah.
Ia masih punya banyak kekuatan untuk mengalahkah Sentanu. Sentanu yang
tidak terima direndahkan segera menantang pertempuran di tengah lautan.
Tantangan tersebut tentu saja diterima dengan baik oleh Purasara. Mereka pun
dengan segera pergi ke laut.
Sesampainya di laut, tak pikir panjang lagi, Sentanu segera mencengkeram
badan Purasara dan dibantingkannya ke lautan. Air yang semula tenang
berubah menjadi berguncang dan bergelombang besar.
Purasara pun tak kuasa terbawa arus lautan ke sana kemari. Ia hanyut.
Namun, bukan Purasara namanya jika tidak segera bangkit. Ia segera
membalas dengan membanting Sentanu, menendang ke langit hingga terjebur
kembali ke laut.
Saling adu kekuatan di lautan tampaknya tidak membuat keduanya
menyerah. Dan, tentu saja, belum ada yang mati di antara keduanya. Yang
ada, mereka berdua tampak lemas dan kembung terlalu banyak menelan air
laut yang asin itu.
Mereka masih hantam-menghantam satu sama lain hingga akhirnya
mereka berdua tidak sadarkan diri di tepi pantai.
- 83 -
XV
Lahirnya Ganggasuta, Anak Purasara
Di tempat lain, tempat Dewi Raramis beristirahat bersama dengan
Punakawan, perut Raramis yang sedang mengandung tiba-tiba mengencang
dan merasakan sakit yang luar biasa. Semar pun hanya bia menenangkan.
Dewi Raramis khawatir jika dia akan melahirkan di tengah hutan dan tanpa
pendampingan Purasara. Sambil menahan sakitnya kontraksi, Dewi Raramis
berujar lirih, “Anakku yang pintar, tunggulah dulu sampai kita berada di
Negeri Wangsapati. Kita tunggu juga ayahandamu datang. Baik-baik dahulu
di perut ibu dan jangan nakal.”
Melihat itu, Semar, Garubug, dan Petruk sangat iba. Hal itu menjadi lebih
menyedihkan lagi karena ia melihat istri dari Tuannya akan melahirkan tetapi
tidak di tempat yang layak. Ia merasa nasib dari Raramis ini begitu malang.
Tapi Raramis sendiri sangatlah tabah. Bahkan ia masih sempat menguatkan
diri dan menyuruh para Punakawan agar tidak mengkhawatirkan dirinya.
“Kakang Semar! Tolong Kakang dan Kakang Petruk serta Garubug,
carikan air buatku. Sepertinya putraku sebentar lagi mau lahir dan aku butuh
air untuk mengisi tenagaku.” Pinta Raramis lirih.
“Duh, Gusti, Kasian sekali perangaimu Dewi. Baiklah, hamba beserta
Petruk dan Garubug akan cari air sebentar.” Balas Semar.
Semar, Garubug, dan Petruk seketika bergegas pergi mencari air. Mereka
pergi bersama-sama. Tinggallah Raramis sendirian. Raramis yang sedang
menegang perutnya seolah hanya bisa berubah dan bersandar di bawah pohon.
Ia tak kuasa bergerak sedikit pun. Keringatnya besar-besar, sebesar biji jagung.
Otot-otonya lemas. Dan dia mencoba mengatur nafasnya agar tidak pingsan
saat bayi akan keluar.
Melihat Raramis rebah sendirian dalam keadaan akan melahirkan, para
Batara iba pula padanya. Ketika perutnya mulai berkontraksi, Batara turun ke
tempat Dewi Raramis berada. Mereka membawa seuntai air surga. Mereka
berniat membantu kelahiran dari Dewi Raramis. Dewi Raramis yang tadinya
menahan sakit tak terkira, tiba-tiba saja merasakan kebugaran yang nyata. Ia
pun tak merasakan sakit sama sekali.
- 84 -
Purasara
Batara yang membantu Raramis hadir dalam bentuknya yang gaib. Ia
tidak kasat mata. Raramis pun tidak dapat melihat wujud siapa pun. Hanya
saja, Raramis dapat merasakan sebuah keajaiban. Bayi yang sudah siap keluar,
tak menimbulkan rasa sakit sedikit pun di perut dan selangkangnya.
Dan seketika, bayi itu lahir, diselimuti cahaya. Rupanya gagah perkasa
dan bercahaya layaknya Purasara. Raramis yang tak punya cukup tenaga,
merasakan kegaiban lainnya. Tiba-tiba bayinya terangkat menuju dekapannya.
Ia pun segera mendekapnya erat. Tangis dari bayi pun tak terdengar, ia hanya
tersenyum bahagia. Seolah, bayi itu tahu bahwa ia harus tersenyum pada
dunia, agar tidak menambah penderitaan ibunya.
“Anakku, rupamu sungguh mirip ayahandamu.”
Perkataan Dewi Raramis disambut dengan geliat mesra dan tawa yang
membuat Dewi Raramis bisa tersenyum bahagia. Dewi Raramis pun merasa
anugerah Batara telah menyertainya.
Tak lama setelah kelahiran anaknya itu, dunia pun ikut menyapa. Atas
kuasa para Batara, dibuatlah siang tidak panas. Diturunkan pula gerimis agar
daun-daun tetap segar dan air tersedia untuk Raramis dan bayinya. Tumbuhlah
bunga-bunga di sekitaran Raramis dan bayinya.
Tidak hanya itu, sekawanan binatang pun datang menegok bayinya yang
telah lahir itu. Beberapa terlihat memberikan salamnya. Beberapa membawa
bunga atau membawa buah untuk bekal makan Raramis.
Raramis sangat bersyukur akan kuasa Batara yang sangat melimpah
padanya. Ia berlinang air mata sambil menciumi anaknya.
“Anakku, rupamu, kehadiranmu sungguh membuat ibundamu ini
bahagia sekali. Kau mungkin juga merasakan hal yang sama ya? Meskipun
kau lahir sendiri tanpa kehadiran ayahmu atau keluarga di sini. Kakang Semar
dan Punakawan pun belum baik lagi, mereka sedang mencari makanan dan
minuman untukmu dan ibundamu ini. Kalau saja, kalau saja, ada ayahandamu
di sini. Kau pasti akan tertawa and tersenyum lebih lebar bukan?”
Begitulah, Dewi Raramis terus menghibur dirinya dan anaknya dengan
banyak percakapan yang ia katakan sendiri. Sang bayi hanya tersenyum dan
tertawa gembira.
Tidak lama kemudian, datanglah kembali Semar, Gareng, Petruk
membawa banyak buah-buahan dan minuman. Mereka sangat terkejut melihat
bayi Raramis justru sudah lahir.
- 85 -
Purasara
“Duh… Gusti nu Agung… Anakmu telah lahir Dewi. Bersahaja sekali
seperti ayahnya. Dan elok seperti ibunya.”
“Syukurlah, lahir dengan selamat.” Sahut Petruk
“Ini Dewi, kami bawakan beberapa makanan dan minuman.” Seru
Bagong.
Dewi Raramis takjub dan terharu dengan makanan-makanan yang
dibawa oleh Semar, Garubug, dan Petruk. Semua makanan itu sangatlah
mewah dan enak. Bahkan, Dewi Raramis tak menyangka, makanan-makanan
itu bisa didapatkan oleh Semar, Garubug, dan Petruk.
“Dari mana makanan-makanan ini Kakang Semar?”
“Dari hutan sini saja, Dewi!” balas Semara dengan menyunggi g senyum.
“Bagaimana bisa mendapat anggur dan delima. Bukankah ini adalah
makanan-makanan sorga yang ada di kahyangan dan biasa dikonsumsi para
Batara?”
“Iya, Dewi. Konon begitu ceritanya. Tapi, kami temukan ini di hutanhutan dekat sini saja.”
“Aku sungguh takjub. Bolehkah aku membawa bijinya untuk aku tanam
di negeri Wirata Nanti?”
“Tentu boleh, Dewi. Bawalah sesuka Dewi” sahut Semar.
Biji-biji itu pun dibawa oleh Dewi Raramis. Konon, kemudian inilah
cikal bakal berkembangnya tanaman delima dan anggur di dunia.
“Oh, iya Dewi. Siapakah gerangan nama dari bayi yang rupawan ini?”
tanya Semar sambil menggendong bayi dari Raramis.
“Belum dikasih nama Kakang. Tetapi, Kanda Purasara pernah berpesan
kepadaku mengenai nama anak-anak kami. Ia berpesan, kalau-kalau nanti
kami punya anak laki-laki, namailah ‘Ganggasuta’. Tapi, jika bayi itu adalah
perempuan, namailah ‘Ratu Mas’.” Jelas Raramis.
“Kalau begitu, bayi ini akan kau namai, ‘Ganggasuta’?” tanya Semar
kembali.
“Begitulah, Kakang Semar. Seperti pesan Kanda Purasara.” jawab
raramis.
- 86 -
Purasara
Semar pun bahagia menggendong anak Purasara dan Raramis itu.
Setiap harinya, ia bermain-main dengan anak Purasara dan Raramis. Hingga
beberapa tahun kemudian, setelah bayi itu bisa bertutur kata dan bertanyatanya. Muncullah banyak pertanyaan dari mulu Ganggasuta itu. “Ibunda, di
mana Ayahanda?”
Mendengar itu, Raramis senang bercampur sedih. Raramis tak bisa
berucap apapun. Kemudian, Semar menimpali jawaban.
“Ayahandamu sedang bepergian. Sebentar lagi ia juga akan pulang
menemuimu. Kau tidak usah memikirkannya, ya. Kita bermain-main saja
mencari capung?”
“A, iya, capung, capung!” sambut Ganggasuta lupa akan pertanyaannya.
Mereka pun kian kemari kian suka bermain-main. Semar beberapa kali
menyanyikan lagu untuk Ganggasuta. Ganggasuta pun membalasnya dengan
pelbagai pertanyaan. Terkadang, Ganggasuta menanyakan sesuatu yang
tidak terduga dan sulit untuk dijawab. Namun, Semar bisa bersilat lidah dan
membuat Ganggasuta melupakan pertanyaannya tadi.
Ganggasuta menjadi anak asuh Semar. Semar pun menjadi Bapak yang
sukarela merawat anak Tuannya, Purasara. Mereka sambil terus berjalan
menuju ke Wirata. Ke tempat asal Dewi Raramis. Mereka tak berpengawal,
mereka tak bermandikan harta, tapi mereka bergelimang tawa dan bahagia
sepanjang berjalanannya.
- 87 -
XVI
Peperangan yang Mengguncang Jagat
Perkelahian antara Sentanu dan Purasara belum mencapai titik
penghabisan. Mereka terus berperang dalam jangka waktu yang sangat lama.
Bergantian mereka pingsan dan bangkit lagi. Keduanya seimbang. Siang
menggelegar karena kilauan dan gemuruh pertarungan. Malam pun layaknya
siang hari. Kilauan dari benturan kedua keris mereka dapat menerangi seisi
semesta.
Pertarungan keduanya, tak pelak membawa banyak kerugian. Kerugian
pertama, Dewi Raramis melahirkan anaknya sendirian di tengah hutan.
Anaknya, Ganggasuta, tidak bisa melihat ayahandanya untuk pertama kalinya
sejak ia lahir. Mereka harus berpisah sampai nanti mereka bertemu kembali.
Lainnya, ialah semesta dan jagat yang terdampak ajian dan jurus-jurus dari
sentanu dan purasara. Banyak kerusakan terjadi. Dan itu tak disadari oleh
Purasara maupun Sentanu.
Mereka berdua asik beradu kesaktian. Beradu ajian. Mereka seolah lupa
mengapa mereka bisa sampai berkelahi dan berperang habis-habisan. Mereka
pun lupa makna persaudaraan yang sejak lama ditanamkan oleh ayah mereka,
Sangkara. Mereka asik beradu tinju dan berhunus keris. Adu kelahi ini jadi
ajang unjuk kekuatan dan yang kalah ilmu adalah mereka yang akan merana
dan terbunuh.
“Kakanda Sentanu, manalagi kekuatanmu? Apa hanya seperti itu saja
kekuatanmu?” tantang Purasara.
“Kau congkak, Adinda. Memang kau ini salah satu yang cukup berbakat,
lebih berbakat dari Sambirawa. Tapi kau belum coba ilmu-ilmu yang kupelajari
dari berbagai guru di negeri.” balas Sentanu.
“Kalau begitu, tunjukkanlah padaku Kanda. Apakah ajianmu itu dapat
melukaiku atau tidak.” Tantang Purasara sekali lagi.
“Terimalah ini Adinda.” Sentanu menggesekkan kedua telapak tangannya,
ia memutar-mutarnya dan menghunusnya ke arah Purasara, keluarlah api yang
sangat besar. Api itu berkobar layaknya sebuah semburan naga, tepat ke arah
Purasara.
- 88 -
Purasara
Purasara tidak menghindar sedikit pun. Dengan menapakkan kedua
tanggan pada dadanya, ia berdiam diri. Ia menerima api dari Sentanu begitu
saja. Tak ada satu helai bulu pun yang terbakar. Jangankan bulunya, bajunya
saja seperti tidak terbakar sama sekali. Api dari sentanu tidak mempan
terhadap Purasara.
Sentanu terheran. “Darimana kau pelajari ilmu itu? Kenapa kau tak
merasa panas atau terbakar sedikit pun?”
“Yang jelas ini bukan belajar darimu, Kanda. Aku cukup banyak
mendulang ilmu selama bertapa.” Balas Purasara. “Tubuhku takkan mempan
oleh api. Oleh air laut pun aku takkan kebasahan.” tambah Purasara berbesar
kepala.
“Kalau nyata begitu, coba perlihatkan kemampuanmu lainnya sekarang!
Aku pun takkan mempan dengan ilmumu.” Sahut Sentanu.
Dengan mengepalkan kedua tangannya, memantrainya, lalu membuka
kedua telapak tangannya, Purasara berhasil mengeluarkan angin puyuh yang
sangat gaduh. Angin puyuh itu menerjang Sentanu dengan seketika. Sentanu
pun terpental. Ia lenyap ke dalam angin puyuh. Ia terbawa angin ke udara. Ke
langit. Dan ketika angin puyuh itu ditarik kembali oleh Purasara, tak terlihat
Sentanu terjatuh. Karena penasaran, Purasara pun langsung terbang menyusul
Sentanu ke udara.
Tampak Sentanu tengah berdiri di udara, di bawah teriknya matahari.
Tegak menunggu Purasara. “Kenapa Kanda tidak terjatuh?”
“Aku ingin unjuk kekuatan padamu, Dinda. Inilah salah satu ilmu yang
kupelajari. Aku dapat terbang hingga mencapai awan. Kupikir kau tidak akan
bisa menyusul. Aku hanya mengetes kekuatanmu apa bisa menyusulku di
udara atau tidak. Kebetulan sekali kalau kau juga bisa menyusul.”
Meski terlihat agak koyak bajunya, Sentanu tetapi tegak seolah ia tak
luka, apalagi sampai celaka dan mati.
“Tentu saja aku bisa menyusulmu. Kukira, kau mati, Kanda. Sehingga
aku pun ingin memastikannya di atas udara.” sahut Purasara.
“Kalau baegitu mari kita beradi keris di sini. Di udara. Siapa yang akan
tertusuk dan mati pasti ia akan jatuh. Ialah yang kalah ilmunya.” tantang
Sentanu.
“Siapa takut!”
- 89 -
Purasara
Keduanya sama-sama menghunus keris. Dalam kedipan mata, keduanya
kembali bentrok. Keris dari Sentanu dan Purasara sama-sama kuat. Mereka
memercikkan cahaya dan api ke tengah semesta.
“Boleh juga kekuatanmu, Kanda!” seru Purasara.
“Kau juga Adinda, Masih bisa bertahan melawanku.” balas Sentanu.
Keduanya saling hunus dan saling tangkis. Mereka seimbang diudara.
Sesekali Sentanu kena pukul. Sesekali Purasara yang kena pukul. Akan tetapi
tak ada satu dari keduanya yang jatuh dari udara.
Pertempuran mereka di udara ini menimbulkan dampak buruk bagi
keseimbangan kehidupan di Kahyangan. Percikan-percikan api dari keris
memancar ke Kahyangan. Hawa panas pun menyelimuti Kahyangan. Para
bidadari banyak yang menjadi lesu dan lemas badannya. Bahan pohon-pohon
dan ranting pohon di Kahyangan mulai layu dan rontok. Itu satu dari beberapa
akibat panas yang diciptakan di langit. Burung-burung di Kahyangan pun jadi
ketakutan dan bingung.
Situasi di Kahyangan yang seperti itu jadi perbincangan para Batara.
Bahkan, Batar Guru pun ikut heran dengan keadaan di Kahyangan.
Situasi ini belum lagi diperparah dengan perang Sentanu dan Purasara
yang masih berkelanjutan itu. Mereka masih saling adu ilmu adu tinju dan
adu keris. Di dunia pun kekeringan panjang mulai terjadi. Sebab, pertarungan
mereka tidak selesai dalam hitungan hari atau bulan saja, tetapi juga hitungan
tahun.
Senjata-senjata Sentanu dan Purasara yang saling beradu dan
menimbulkan bunyi menggericau membuat beberapa hewan seperti anjing dan
para burung di jagat dunia menjadi bisu. Seluruh hewan terheran dengan dua
tingkah keturunan raja yang berkelahi dan berdendam melebihi para hewan.
Mereka tahan bermusuh-musuhan hingga bertahun lamanya dan bertarung
tiada selesai.
“Sekarang, mari kita adu fisik kita, siapa lebih unggul.” tantang Sentanu.
“Mari Kanda, aku takkan kalah dalam ilmu apa pun,” jawab Purasara.
Mereka pun adu kekuatan fisik di udara. Mereka seolah bisa memetik
panas matahari lalu main lempar satu sama lain. Ketika dilempar yang satu
menangkisnya. Tangkisannya menghempas ke hutan. Hutan pun menjadi
terbakar.
- 90 -
Purasara
Ketika mereka sama-sama beradu tinju yang berisi ajian pamungkas.
Mereka sama-sama terhempas. Hempasan ajian mereka mencemari udara.
Dan mereka yang terhempas jatuh ke permukaan bumi.
Ketika mereka jatuh ke permukaan dunia, dunia pun berguncang. Pilarpilar kahyangan jadi terguncang. Gugur dan hancur segala-galanya. Jembatanjembatan di tanah pun hancur. Rumah-rumah maupun instana kerajaan pada
terguncang. Sebagian hancur sebagian masih bisa berdiri.
Segala hewan berhamburan. Mereka mengira ada bencana alam atau
gunung meletus. Sebagian mereka mati terkena hawa panas. Sebagian lagi
terus berlari sehingga banyak merusak bilik-bilik warga. Suasana jadi kaos.
Bumi pun seolah bergetar layaknya orang yang sedang menggelengkan
kepalanya.
Sentanu dan Purasara sama-sama terkapar di permukaan bumi. Keduanya
belum ada yang bangkit. Mereka masing-masing mendapat pukulan yang
sama kuatnya dan terpental ke dua arah yang berbeda. Pukulan itu membuat
keduanya tak kuasa menggerakkan badannya untuk beberapa saat. Mereka
hanya bisa menatap ke arah langit yang riuh akan burung-burung beterbangan.
Burung-burung yang kian kemari tak tahu tujuan karena rumah mereka
terbakar dan rusak. Sebagian cepat menghilang ditelan asap, sebagian lagi
riuh dengan teriakannya.
Setidaknya, kondisi mereka berdua yang tak bergerak menahan lajunya
peperangan untuk beberapa saat, serta menahan penyebaran kerusakan dalam
waktu yang singkat.
- 91 -
XVII
Batara Narada Melerai Dua Saudara
Terguncangnya bumi membuat Kahyangan pun turut terguncang.
Sebagian Batara yang tidak mengetahui perihal pertarungan Sentanu dan
Purasara terheran-heran. Mereka lalu keluar berhamburan. Mereka ingin tahu,
sebenarnya apa yang terjadi di Kahyangan sehingga terjadi guncangan besar.
Namun, Barata Guru sebagai raja kemudian menenangkan sebagian Batara
yang panik.
“Tenanglah semuanya. Tenang para penduduk Kahyangan. Aku sudah
tahu penyebab goncangnya Kahyangan, dan aku akan segera mengutus Batara
Narada untuk turun ke Bumi.”
Para Batara yang tadinya gusar, kini mulai tenang. Ia yakin pada kekuatan
dari Batara Guru dan Batara Narada untuk menyelesaikan semua masalah.
Apalagi, mereka ada para pemimpin jagad.
Batara Narada yang coba diutus oleh Batara Guru pun datang terlebih
dahulu menghadap Batara Guru. “Salam, Raja Batara,” sapa Batara Narada.
“Kakang Batara Narada, tolong kau turun ke bumi. Di sana sumber
kekacauan dari apa yang ada di Kahyangan terjadi,” ucap Batara Guru.
“Ada apa Gerangan Batara sampai sepanik itu menyuruhku. Apakah
perihal tapa Purasara lagi?” tanya Batara Narada.
“Bukan Kakang, Purasara telah terjaga dari tapanya. Kini masalahnya
adalah kerusakan bumi yang diakibatkan oleh pertarungan Purasara dan
kakaknya, Sentanu,” ungkap Batara Guru.
“Apa ini juga berkaitan dengan guncangan di Kahyangan barusan saja?”
“Betul, Kakang Narada. Itu semuanya karena bumi gonjang-ganjing oleh
pertarungan dua turunan Sangkara itu.”
“Baiklah, kalau begitu, saya akan coba turun dan pulihkan segala
kerusakan yang melanda.”
“Tolong pula lerai mereka berdua. Sebab, tanpa dilerai mereka tak punya
kesadaran. Mereka membabi buta layaknya bukan seorang kesatria.”
- 92 -
Purasara
“Baiklah, Raja Batara. Saya akan turun dan melerai mereka. Aku pamit
undur diri dahulu.” Pinta Batara Narada pamit.
Batara Narada pun turun ke dunia. Ia mulanya hanya memeriksa dahulu,
sejauh mana kerusakan yang terjadi di dunia. Setelah semuanya terlihat jelas,
perlahan Batara Narada, dengan kekuatannya, memulihkan segala yang rusak.
Mendamaikan segala yang kaos. Dan menegakkan segala yang tumbang.
Segala hewan yang ketakutan hingga sawan, dipegang kepalanya,
dimantrai, dan sembuhlah mereka. Gunung-gunung yang hancur gugur
dikembalikannya ke wujudnya semula. Samudera-samudera yang mulai
tercemar ataupun mengering dibuatnya asri seperti semula. Hewan-hewan di
lautan yang mati dan menjadi bangkai dimantrai dan kembali hidup seperti
semula. Sungai-sungai yang kering dibuat kembali menjadi mengalis. Segala
pohon, rumput, dan hutan diusapnya agar tumbuh dan hijau kembali. Setelah
semuanya terlihat tumbuh lagi, dan terlihat mulai seimbang, Batara Narada
melayang ke atas daratan, menyaksikan daerah-daerah yang rusak karena
peperangan Purasara dan Sentanu. Ia pun terlihat menggeleng-gelengkan
kepala tanda tak percya kalau kerusakan bisa sehebat itu.
“Pantas saja landasan Kahyangan bisa goyah, dunia hampir benar-benar
musnah seperti ini!” batin Batara Narada.
Batara Narada yang merasa bahwa dunia harus dipulihkan, terus
mengelilingi seisi neeri dan bumi yang rusak. Ia datang dan memulihkannya
satu per satu, sampai semuanya kembali. Sampai ia bisa menemukan dan
menghentikan sumber kerusakan.
***
Sentanu dan Purasara yang sempat terhentak bersama ke bumi, mulai
bangkit kembali. Itu artinya genderang perang akan kembali dikumandangkan.
Emosi mereka seolah tak pernah surut. Kekuatan mereka pun seolah tak
pernah habis. Mereka jatuh pingsan, bangkit lagi, terpacu amarah lagi, dan
berperang lagi.
Kali ini, Sentanu melayang ke udara, menatap Purasara yang tegak di
atas tanah. Dengan pandangan yang merendahkan, Sentanu pada Purasara,
“Sudahlah Adinda. Menyerah saja. Ilmumu tak akan bisa membunuhku.
Yang ada, tubuhmu yang hancur karena ilmu perangku yang teramat hebat
ini. Menyerahlah, tak usah melawan lagi. Lagipula, aku ini Kandamu, lebih
tua darimu. Sebaiknya kau menurut pada Kandamu dan melepaskan Dewi
Raramis untuk menjadi milikku.”
- 93 -
Purasara
Purasara yang merasa tak terima, menyusul Sentanu ke udara. Ia
membalas pandangan Sentanu dengan mata yang tajam. Kemudian, dari
mulutnya, berucap dengan lantang, “Sampai mati pun aku takkan menyerah
padamu Kanda. Mau tubuhku remuk dan hancur, mau badanku tercerai-berai
ke tujuh penjuru dunia, jika nafasku asih ada, aku akan tetap melawan. Dewi
Raramis adalah istriku. Ia adalah jodohku. Walaupun Kanda lebih tua, bukan
berarti aku harus memberikan Istriku kepada Kanda!”
“Memang keras keapala kau Dinda! Kalau begitu, rasakan seluruh
kekutanku Dinda!”
“Majulah, Kanda! Kita bertarung sampai penghabisan!” jawab Purasara.
Mereka pun kembali beradu kekuatan. Dengan tinju apinya,
Sentanu menghantam Purasara. Namun Purasra bisa membalikkan dan
memadamkannya dengan jurus angin puyuhnya. Lantas, Purasara memukul
dengan kerasnya hingga Sentanu terpental ke permukaan. Sentanu yang jatuh
bisa bangkit lagi. Purasara mengejar dan akan menghujamkan tinjunya lagi,
tetapi dapat ditangkis Sentanu. Dalam keadaan terjepit, Sentanu menendang
Purasara hingga terpental jauh.
Sentanu yang cukup kelelahan tidak mengejar Purasara yang masih
terperosok. Ia sejenak mengambil napas. Dan ketika Purasara datang kembali
untuk menghajarnya, Sentanu memberi tanda sembari berbicara, “Sebentar,
Ananda. Bagaimana kalau kita buktikan kekuatan kita dengan siapa yang
berhasil membanting lawannya sampai pingsan?”
Purasara yang selalu merasa lebih kuat dan berilmu dari Sentanu balik
menantang, “Mari Kakang, Majulah!”
Sentanu menyergap leher Purasara. Ia membawanya ke udara,
melemparnya, lalu memukulnya ke arah permukaan tanah. Purasara meluncur
ke permukaan layaknya peluru yang ditembakkan dari pelatuknya. Lalu,
membentur bumi dan menimbulkan getaran yang kuat.
Sentanu yang membanting dan memukul Purasara kencang-kencang terus
mengamati ke arah jatuhnya Purasara. Tubuh Purasara tak terlihat, terselimuti
debu yang beterbangan karena benturan yang sangat kencang. Sentanu pun
membayangkan tubuh Purasara yang remuk dan tak dapat bangkit lagi.
Lama ia mengamati hingga ia semakin yakin bahwa ialah yang patut
memenangkan pertarungan itu. Ia pun kemudian memalingkan pandangan
ke hamparan langit. Ia sudah tak kuasa membayangkan Dewi Raramis yang
- 94 -
Purasara
membuatnya mabuk kepalang itu. Hingga tak disangka-sangka kakinya diseret
Purasara yang tiba-tiba muncul. Purasara pun segera membawa Sentanu
terbang dengan kecepatan tinggi. Dan ketika memasuki area pegunungan,
Purasara memutar-mutar tubuh Sentanu hingga kemudian melemparnya. Tubuh
sentanu pun terbang membentur gunung-gunung dan tertimpa bebaTuan yang
amat besar. Tanpa menunggu Sentanu bangkit, Purasara menghujani tubuh
Sentanu yang tertimpa bebaTuan dengan ajian tapak saktinya. BebaTuan yang
tadinya nampak sebagai tumpukan, kini rata dengan tanah, bagai bebijian
yang ditumbuk oleh lesung.
Purasara mengamati kubur bebaTuan yang sudah rata dengan tanah
itu. Ia mengamati tempat itu dengan penuh hati-hati. Dia tak mau terkecoh
kalau-kalau Sentanu hanya pura-pura tidak bergerak dan berusaha mengecoh
konsentrasi Purasara. Satu jam, dua jam, tak ada pergerakan apa pun dari
tempat jatuhnya Sentanu. Namun, Purasara tetap was-was. Ia terus fokus
mengamati. Hingga hari mulai senja, tiba-tiba terlihat tangan Sentanu muncul
ke permukaan. Sentanu naik ke permukaan dengan susah payah. Purasara tak
mau buru-buru menyerang. Ia menunggu hingga Sentanu benar-benar berdiri
atau tubuhnya muncul seutuhnya di atas tanah.
Ketika Sentanu sudah keluar dari tanah dan mencoba berdiri, Purasara
meluncur ke arahnya dengan kecepatan cahaya. Tangannya memegang keris
dan siap untuk mencabik tubuh sentanu yang masih tidak berdaya. Namun,
ketika ujung keris Purasara hanya tinggak sejengkal ke kepala Sentanu, secara
tiba-tiba sebuah tangan yang besar muncul dan menghentikan laju keris
juga Purasara. Tangan itu melindungi Sentanu dan menghindarkannya dari
kematian. Purasara kaget dan terheran. Terlebih lagi dengan Sentanu.
Dari atas, suara yang keras tapi halus nadanya berkumandang. “Hai
cucu-cucuku, mengapa kau saling bunuh dan membuat kehancuran di dunia?
Apa gerangan yang membuat kalian melakukan hal keji demikian?”
Purasara dan Sentanu yang keheranan nampak memeriksa sekeliling.
Mereka diam tanpa suara dan sesekali saling tatap muka. Ketika tangan yang
menghentikan laju keris Purasara menghilang, muncul dari langit Batara
Narada yang bijaksana. Ia turun ke arah Purasara dan Sentanu yang terpaku
memandangnya. Kemudian, ia peluk tubuh keduanya yang sudah penuh luka.
“Marilah cucuku, kita hentikan ini semua, kita duduk dan tenangkan
hati kita. Kita bicarakan ini bersama tanpa perkelahian. Agar tak ada lagi
pertumpahan darah ataupun kerusakan yang terjadi akibat pertengkaran kalian
ini.” Ucap Batara Narada sambil memeluk keduanya.
- 95 -
Purasara
Semakin lama dipeluk, hati Purasara dan Sentanu yang angkuh pun
melunak. Mereka tetap terdiam tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Dengan perlahan Batara Narada melepaskan pelukannya. Dan dengan
nada yang lebih halus, ia kembali bertanya, “Ada apakah gerangan hingga
perkelahian hebat yang hampir menghancurkan jagat ini terjadi? Kita
bicarakan semuanya baik-baik agar dapat ketemu jalan yang mendamaikan.”
Purasara dan Sentanu masih membisu. Sesekali kakak beradik ini saling
tatap muka. Mereka kebingungan dan merasakan hal yang aneh. Pikiran dan
perasaan mereka lama-lama terbuka. Sebab, mereka yang biasanya rukun
malah bertengkar hebat dan membuat rusak jagat.
“Wahai Purasara, cucuku paling kecil, Wunga Tapa yang sakti
mandraguna, apa sebabnya kau ini sampai hati ingin membunuh Kakandamu
yang dari kecil kau ikuti dan sayangi ini?” Tanya Batara Narada pada Purasara.
Purasara memalingkan pandangannya pada Batara Narada. Ia terpaku
dan membisu sejenak. Ia merasa bahwa ada sosok bijaksana yang sedang
mengelus-elus hatinya sehingga tak ada amarah lagi. Dan dengan lirih, ia
mulai menjawab, “Segala hormat, Eyang Batara Narada, Hamba seperti ini
juga ada sebabnya.”
“Kalau begitu, ceritakan sebabmu itu,” ajak Batara Narada untuk
berunding dan bercerita.
“Hamba sampai seperti ini karena Kanda Sentanu sudah seperti orang
mabuk ingin merebut istri hamba. Ia dibutakan dengan nafsu yang bisa
membuat persaudaraan kami hancur. Hamba pun tak mau tinggal diam melihat
istri Hamba akan direbut, Eyang. Jadilah kami bertengkar hebat seperti ini.”
jawab Purasara menjelaskan.
“Apa betul demikian, Sentanu?” tanya Batara Narada ke Sentanu yang
sedang terengah-engah.
“Mohon ampun, Eyang Batara Narada. Hamba khilaf. Hamba akui kini
Hamba buta. Hamba sudah lupa kalau itu adalah istri Adinda hamba yang
dari dulu Hamba sayang. Kini, Hamba sadar dan ingin meminta maaf. Hamba
yang sudah menguasai negeri, malahan ingin juga menguasai istri.” Jawab
Sentanu tersesal.
Mendengar pengakuan Sentanu, Purasara menjadi sedikit meluluh
hatinya. Ia tidak semarah sebelumnya. Namun, ia tak mau berkata apa-apa,
hanya diam menunduk mendengarkan Batara Narada.
- 96 -
Purasara
“Baiklah, dari sini cucuku Sentanu memang gelap mata mau merebut
Istrimu, cucuku Purasara. Akan tetapi, kau juga tak sepatutnya ingin
membunuh Kandamu itu. Dalam hal ini, kau juga salah jika mau membunuh
Kandamu!” Batara Narada menasihati.
Purasara dan Sentanu sama-sama terdiam. Dan Batara Narada
melanjutkan, “Aku pun tidak mau menyalahkan kalian berdua. Kalian berdua
akan mendapatkan karma masing-masing. Terlebih, kau Purasara.”
Batara Narada kemudian menepuk pundak Purasara dan memberi tahu,
“Kelak, kau akan punya ketrurunan bernama Arjuna. Ia mempunyai kesaktian
dan kekuatan sepertimu. Gagah perkasa dan tiada ampun pada musuh.
Namun, ia punya kelakuan mirip dengan Kandamu Sentanu. Jadi saya pun
tidak mau menyalahkan Kandamu terlalu jauh lagi. Sekarang ini, sebaiknya
kalian berbaikan, bermaafan. Hilangkan nafsu dan amarah pribadi. Duduklah
dalam damai.”
Mendengar nasihat Batara Narada, keduanya tertunduk menyesal.
Terlihat keduanya seperti anak kecil yang merasa bersalah dan takut pada
kesalahannya, hingga tak ingin lagi mengulangi.
Suasanya sekitar lebih tenang. keadaan pun sudah cukup membaik dan
terkendali. Batara Narada dengan sangat bijak menasihati kedua Cucunya
untuk saling hidup rukun berdampingan karena memang pada dasarnya mereka
adalah saudara. Batara Narada meminta kedua saudara itu untuk kembali ke
negeri untuk memimpin negeri yang sudah ditinggalkannya. Sentanu dan
Purasara hanya diam mematung sambil tunduk hormat.
“Ya Cucu-cucuku, yang berlalu sudah menjadi suatu pembelajaran buat
kalian berdua agar ke depannya hidup lebih damai lagi. Sekarang kembalilah
kalian berdua ke dalam negeri seperti sedia kala. Janganlah saling berperang
satu sama lain. Kalian ini seorang pemimpin, tunjukkanlah bahwa kalian
mampu memimpin rakyat-rakyat kalian. Nanti negeri akan dibagi menjadi
dua, sebagian untuk cucuku Sentanu, dan sebagian untuk Cucuku Purasara.
Kalian akan menjadi seorang raja di negeri kalian masing-masing,” kata
Batara Narada
Mendengar hal itu kedua kakak-beradik itu kaget. Sungguh amat terkejut
mereka mendengar Batara Narada membagi negeri menjadi dua. Dengan
takzim Purasara angkat bicara.
“Ya Eyang Batara Narada, bukan bermaksud untuk menolak untuk
menjadi seorang Raja. Namun, kini belum saatnya untuk hamba memimpin
- 97 -
Purasara
rakyat-rakyat yang sangat banyak itu. Dan lagi sepertinya saya masih belum
pantas untuk itu. Biarlah semua ini menjadi milik Kanda Sentanu”, ujar
Purasara.
Batara Narada tersenyum. Mendengar itu, ia kemudian melontarkan
pertanyaan ke Sentanu, “Ya Cucuku Sentanu, mendengar perkataan saudaramu,
Purasara, sekarang bagaimana tanggapanmu?”
Sentanu yang merasa bersalah mencoba mencairkan suasana dan menjadi
lebih ikhlas akan kepemilikannya. “Saya sudah terlalu lama duduk sebagai
Raja di negeri Suktadurja, mungkin sekarang giliran Dinda Purasara yang
memimpin dan menjadi Raja.”
Purasara terkejut. Ia merasa dirinya belum pantas dan tidak mau
memimpin kerajaan. Namun, Sentanu nampak merasa bersalah dan ingin
menebusnya dengan memberi kekuasaannya pada Purasara.
Kedua kakak beradik itu pun kemudian saling melempar penyataan
perihal siapa yang akan memimpin Suktadurja. Mendengar jawaban keduanya,
Batara Narada kemudian berkata, “Baiklah, untuk hal itu biarlah nanti Eyang
yang mengurusnya dan memberikan suatu pelajaran untuk kalian juga atas
apa yang sudah kalian perbuat. Sekarang kembalilah kalian berdua ke dalam
negeri.”
“Baik Eyang Batara Narada,” kata Sentanu dan Purasara bersamaan.
“Dan untuk kau Purasara, segeralah kau kembali kepada istrimu dan
Punakawan. Sebab, Semar, Garubug, Petruk serta istrimu Dewi Raramis sangat
menanti kedatanganmu. Semoga kalian selalu mendapatkan keselamatan dan
kesehatan. Baiklah, Eyangpun tidak boleh berlama-lama di sini. Ada banyak
urusan lain yang mesti dikerjakan.”
Mendengar perkataan Batara Narada, Purasara kemudian tersadar
bahwa dia sudah meninggalkan Dewi Raramis cukup lama. Bayangan tentang
istrinya, Dewi Raramis, pun muncul dan menghantui. Dewi Raramis yang
sedang hamil tua ditinggalkannya bersama dengan para Punakawannya.
Hanya karena amarah yang begitu besar, Purasara tega meninggalkan istrinya
yang sedang mengandung, terlebih akan segera melahirkan waktu itu.
Namun, ketika sedang memikirkan Istrinya itu, rasa sedikit sakit hati akan
Sentanu yang tega ingin merebut Dewi Raramis kembali muncul. Ternyata,
hati Purasara masih labil. Dendam akan Kandanya, Sentanu, sedikit-sedikit
masih tebersit.
- 98 -
Purasara
“Ya Cucu-cucuku, Eyang mohon pamit terlebih dahulu. Dan kalian
segeralah kembali juga”, begitulah kata-kata perpisahan yang dilontarkan dari
Batara Narada kepada kedua cucunya. Seketika itu juga mereka berpelukan
satu sama lain di depan Batara Narada.
Dengan hanya sekejapan mata, Batara Narada segera melesat dan tak
dapat lagi dijangkau oleh indra penglihatan.
Sekarang, di tempat itu hanya ada Sentanu dan Purasara. Mereka berdua
saling berdiam diri. Terlebih Purasara yang sambil memikirkan sesuatu,
seperti ada hal yang masih di pendamnya.
“Hai, Adinda Purasara, marilah kita kembali ke negeri Suktadurja dan
memulai semua ini dengan kebaikan,” ajak Sentanu.
Tak ada reaksi dari Purasara. Dia hanya terdiam membisu. Ternyata,
Purasara sedang menahan amarah yang terkadang masih memercik di hatinya.
Amarah kepada Sentanu yang sangat susah untuk dilupakan dan dihapuskan.
Namun, ketika amarah itu datang, Purasara kembali teringat perkataan Batara
Narada. Semua kata-kata Batara Narada seolah kembali terputar dalam otak
Purasara, tak ada satu pun yang tertinggal.
“Jika aku sekarang memulai perang kembali dengan Kanda Sentanu,
maka akan menjadi petaka buatku nanti. Terlebih, Eyang Batara Narada sudah
turun tangan dan mendamaikan kami dan memberi nasihat-nasihat kepadaku
dan Kanda Sentanu. Jika aku tidak mengindahkan semua nasihat-nasihatnya,
pastilah aku dan semua keturunanku nantinya akan mendapat akibatnya”,
pikir Purasara dalam hati. Kemudian dengan segenap usahanya, amarah itu
pun dapat dia tahan.
Melihat Purasara yang diam mematung, Sentanu berkata, “Hai Adinda!
Mengapa kau berdiam diri seperti itu. Apa yang sedang kau pikirkan? Apakah
kau tidak mau menuruti semua nasihat dari Eyang Batara Narada? Janganlah
terlalu amat kaku seperti itu. Ingat semua petuah Eyang Batara Narada kepada
kita. Dan lagi, jika kau tidak patuh mala kelak kau akan mendapatkan petaka
dan kesengsaraan. Sekarang marilah kita turuti nasihat Eyang Batara Narada,
ayo ikut pulang bersamaku.”
Purasara masih terus berdiam diri tanpa mempedulikan perkataan
Sentanu. Tak terlontar satu atau dua patah kata dari mulutnya. Terlihat Sentanu
diacuhkan begitu saja.
- 99 -
Purasara
“Baiklah jika kau masih ingin terus berdiam diri di situ layaknya patung,
aku akan kembali ke negeri Suktadurja. Selamat tinggal,” kata Sentanu sambil
mengulurkan tangannya hendak berjabat tangan dan memeluk Purasara.
Purasara terlihat masih mengacuhkan dan malah berbalik badan. Melihat
hal itu, kemudian Sentanu berkata dalam hati, “Baiklah kalau memang itu
maumu Adindaku, aku tidak akan menunggumu di sini. Jika aku menunggu
di sini, akan ada peperangan kembali. Lebih baik memang saya kembali ke
negeri Suktadurja sendirian. Biarlah kau di sini merenung dan berharap kau
segera memaafkanku.”
Sentanu kemuadian pergi menjauh dan berjalan menuju Negeri
Sukadurja. Ia sedikit tergopoh, namun karena sakti dalam beberapa saat saja,
ia pun tak terlihat lagi oleh pandangan mata.
Purasara yang tinggal sendiri hanya bisa berkata dalam hati, “Apa
gunanya aku ikut denganmu Kanda Sentanu? Terlebih, ikut kembali ke negeri
Suktadurja. Aku sudah teramat sakit hati kepadamu. Lebih baik aku mencari
Dewi Raramis dan ketiga Punakawanku yang memang sudah lama sekali aku
tinggal hanya karena berperang denganmu.”
Purasara kemudian segera meninggalkan tempat itu. Sambil berjalan
sempoyongan karena masih terlalu memikirkan perbuatan Sentanu
membuatnya tidak bisa berjalan tegak. Jangankan berjalan tegak, untuk
berpikir jernih saja Purasara enggan.
Di tengah perjalanan mencari Dewi Raramis, Semar, Garubug dan
Petruk, Purasara berkata layaknya sumpah, “Hai Kanda Sentanu, mungkin kali
ini kita bisa berdamai dan selesailah peperangan kita. Namun, jangan senang
dulu kau. Perbuatanmu kepadaku sudah sepatutnya diberi ganjaran. Aku harap
dengan izin yang Dewata Mulia Raya Yang Maha Kuasa, dia mengabulkan
keinginanku ini. Semoga kelak cucu-cucu dan semua keturunanku yang akan
membalaskan ini. Cucu-cucu dan keturunanku biar saja menjadi musuh untuk
keturunanmu nantinya.”
- 100 -
XVIII
Hutan, Tempat Segala Teduh dan Rindu
Hutan memberikan keteduhan. Tinggal di hutan akan mendapatkan
banyak pelajaran terutama untuk hidup bertahan dan berjuang. Berjuang
dari ganasnya hewan-hewan dan bertahan dari terik matahari dan dinginnya
malam. Hutan juga yang mampu memberikan penghidupan. Segala macam
tumbuh-tumbuhan tersebar, mulai dari umbi-umbian hingga obat-obatan. Air
mengalir seolah tak kenal kering. Air yang mampu menghilangkan segala
macam dahaga dan mampu untuk menyembuhkan luka-luka.
Di dalam hutan itu, Dewi Raramis tinggal. Dia ditemani ketiga kawan
setianya, yakni Semar, Garubug, dan Petruk. Mereka bertahan hidup di dalam
hutan.
Selama beberapa tahun juga Ganggasuta dibesarkan di dalam hutan. Sejak
ia dilahirkan dan ditinggal oleh Ayahandanya untuk berperang. Rutinitas yang
mereka lakukan dari pagi hingga petang hanya begitu saja. Dewi Raramis
akan terbangun lebih awal sebelum matahari terbit. Dia akan dengan segera
mengganti baju Ganggsuta yang basah terkena embun. Ganggasuta pun
tak kuasa menahan tangis. Tangis rasa tidak nyaman karena kebasahan dan
barangkali tangis karena lapar. Sambil dipeluk dan dicium, Dewi Raramis
berupaya menenangkan Ganggasuta.
“Ya Anakku sayang, jangan menangis ya, Ibu di sini akan segera
mengganti baju kau yang basah”.
Tangis Ganggasuta yang belum reda segera membangunkan Semar yang
tertidur. Semar yang terbangun dari tidurnya melihat Petruk dan Garubug
masih tertidur pulas. Ketika Ganggasuta menangis, Garubug dan Petruk hanya
terbangun sesaat untuk menarik kain agar menutupi seluruh badan. Sungguh
nikmat tidur di pagi hari yang dingin dengan berselimut kain yang tebal.
Rasanya ingin bangun nanti saja ketika matahari sudah sejajar dengan kepala.
Karena tidur Garubug yang terlalu makan tempat, kain Petruk,lama kelamaan
semakin menepi dan lama-lama kain yang menutupi Petruk terkena embun dan
jadi basahlah ia. Hal itu membuat Petruk terpaksa terbangun. Karena dirasa
Garubug terlalu menyebalkan, maka dengan disengaja kencinglah Petruk di
kain yang meutupi Garubug.
- 101 -
Purasara
Garubug masih terlelap dalam tidurnya hingga siang hari ketika
Ganggasuta sudah waktunya untuk tidur siang. Ketika Garubug bangun, dia
merasakan ada bau pesing. Dilihatnya sekitar dan ke badan dia sendiri. Lalu
diciuminya satu persatu dari mana bau pesing itu berasal. Garubug segera
tersadarkan bahwa kainnyalah yang memberikan bau pesing yang luar
biasa tidak sedap. Dengan marah Garubug menebak bahwa itu adalah ulah
saudaranya, Petruk.
“Ya Petruk, di mana kau? Kau kan yang membuat kain yang aku gunakan
ini bau pesing. Dasar jorok kau! Kencingmu itu bau laknat. Tanggung jawab
kau! Cucikan kain ini di sungai dan hari ini juga harus kering. Aku hanya
punya satu kain ini, bagaimana mungkin kau tega mengencingi ini!” teriak
Garubug.
Mendengar hal itu, Petruk hanya menyaut, “Enak saja kau menuduhnuduh! Kita kan tidur bersama dan lagi kainmu kan kau yang pakai, pastilah
kau mengompol dalam tidurmu. Mana mungkin aku mengompol, jika aku
mengompol ya pada kainku sendiri, bukan kainmu Garubug. Kita kan tidur
belakang-belakangan, aku tadi merasakan sedikit hangat dari belakang.
Maka sebab itu aku terbangun! Kau bukannya bangun malah semakin pulas
saja tidurnya. Kainmu itu sudah kena ompol, najis!” kata Petruk sambil
cengengesan menahan tawa.
Mendengar hal itu, Garubug langsung lari menuju telaga untuk mencuci
kainnya itu dan mandi. Sementara itu, Petruk yang melihat Garubug lari
terbirit-birit ikut menyusulkan. Setelah selesai membersikan badan dan
mencuci segeralah kain itu dijemur. Mumpung matahari sedang terik-teriknya
kain pasti akan segera kering dan malamnya bisa digunakan lagi untuk
berselimut.
Sore sudah tiba. Ganggasuta yang sudah puas dalam tidur siangnya
segera bangun dan waktunya bermain-main. Garubug dan Petruk dengan ceria
menemani Ganggasuta bermain.
Kain yang tadi siang kena kencing nyatanya sudah kering dan terlihat
dikenakan lagi oleh Garubug. Ketika mereka sedang bermain-main Semar
datang dengan membawa buah-buahan untuk dimakan. Kebetulan sekali,
mereka semua sedang lapar, termasuk Dewi Raramis yang terkadang memilih
makanan buatnya untuk diberikan ke Ganggasuta saja.
Mereka asik bercengkerama, sampai kemudian mereka dipanggil oleh
Semar untuk membantu membersihkan sekeliling tempat mereka tinggal
- 102 -
Purasara
dan tempat berteduh. Daun-daun kering yang berguguran butuh untuk
dikumpulkan kemudian dibakar, rumput-rumput yang tumbuh sudah terlalu
tinggi sudah saatnya untuk dipotong. Selagi ketiga Punakawannya melakukan
tugas, Ganggasuta bermain dengan Ibunya.
Di saat Ganggasuta asyik bermain dengan ibundanya, tiba-tiba ia
melemparkan pertanyaan yang membuat ibundanya, Dewi Raramis, kewalahan
menjawab hingga menjadi bersedih.
“Ibunda apa Ibunda tahu di mana Ayahanda berada? Masa aku tidak
memiliki Ayah. Burung-burung saja ada ayahnya,” celetuk Ganggasuta.
Dewi Raramis hanya terdiam dan menitikkan air mata. Ini sudah kali
kesekian Ganggasuta bertanya akan Ayahandanya. Namun, terlihat belum ada
jawaban yang pas untuk diberikan kepada Ganggasuta. Sebab, Dewi Raramis
sendiri ragu apakah suaminya masih hidup atau sudah mati.
“Ibunda, di mana Ayahanda, ibu! Saya ingin menyusulnya,” lanjut
Ganggasuta.
Tiba-tiba Dewi Raramis menangis kencang dan dipeluklah Ganggasuta.
Sudah begitu lama mereka semua ditinggalkan oleh Purasara. Bahkan, ketika
Ganggasuta lahir ke dunia, Purasara tidak menemani karena berperang
melawan saudaranya sendiri, Sentanu. Sungguh rasa rindu yang teramat
dalam dirasakan oleh Dewi Raramis. Namun, apa boleh buat, selama Purasara
tidak datang, Dewi Raramis akan menganggapnya sudah tiada.
“Ibu kenapa menangis Ibu. Lihat Garubug dan Petruk saja memiliki
Ayah, masa saya tidak ada Ayah.”
Semar yang sedang menyapu mendengar perkataan Ganggasuta. Hal
itu membuat dia berhenti menyapu. Sungguh iba ia melihat Ganggasuta.
Anak kecil itu semakin besar dan akan semakin pintar. Sungguh sulit pasti
mengatakan yang sebenarnya terkait dengan Ayahandanya. Ayahandanya yang
meninggalkan ibundanya dalam keadaan hamil besar hanya untuk berperang.
Memang benar, orang berperang tidaklah banyak diharapkan. Sama
halnya Purasara. Hingga saat ini pun tak ada tanda kehadirannya. Jika Purasara
masih hidup, pasti akan segera mencari Dewi Raramis. Setelah berdiam diri
cukup lama memikirkan Purasara, Semar kembali melanjutkan menyapu.
Dewi Raramis kemudian menenangkan Ganggasuta dengan berkata, “Ya
Anakku Ganggasuta, Ayahandamu itu ada di Negeri Wirata”.
- 103 -
Purasara
“Kalau Ibu tahu di mana Ayahanda, mari kita susul saja Ibu agar kita
bisa tinggal bersama dengan Ayahanda. Namun, jika Ibu tidak mau, biarkan
aku saja yang pergi ke Negeri Wirata itu. Cukup Ibu beritahu di mana Negeri
Wirata itu berada.”
Dewi Raramis diam sejenak. Kemudian sambil menghela napas, dia
berkata, “Tidak perlu kau melakukan itu, anakku, Ganggasuta. Baiklah kita
semua bersama-sama pergi ke Negeri Wirata.”
Bukan keputusan yang mudah mengatakan bahwa Purasara ada di
Negeri Wirata. Sebab, nyatanya Dewi Raramis tak mengetahui di mana
suaminya berada. Hal itu diucapkan hanya karena dia ingin sekali kembali
ke negerinya, Negeri Wirata. Tentu saja dia tak akan sudi kembali lagi ke
Negeri Suktadurja. Selain karena belum tentu suaminya ada di sana, negeri
Suktadurja akan mengingatkan kembali pada hal buruk mengenai kelakukan
Sentanu dan Raden Perbatasari.
Setelah mengatakan hal itu, Dewi Raramis kemudian memanggil Semar,
Garubug dan Peturk, “Ya Kakang Semar, Garubug, dan Petruk, sekarang
marilah kita bersiap-siap untuk keluar dari hutan rimba ini. Kita akan kembali
ke Negeri Wirata karena seperti yang kalian ketahui bahwa hingga saat ini
Kakang Purasara tidaklah pergi mencari kita dan tidak ada pula kabar yang
terdengar.”
“Baik Dewi. Apa kata Dewi kita semua akan mengikuti selagi itu untuk
kebaikan Dewi dan Putra Ganggasuta. Tapi kenapa Negeri Wirata?” sahut
Semar.
“Iya benar, kita kembali saja ke Negeri Wirata. Aku juga tidak akan mau
jika mesti kembali ke Negeri Suktadurja,” timpal Petruk bersemangat.
“Ya Bapakku, jika Bapak ingin kembali ke negeri Suktadurja, Aku
dan Petruk pergi ke negeri Wirata saja. Biarlah berpisah dengan Bapak tak
mengapa. Aku juga mau ke Negeri Wirata saja”, kata Garubug.
Terlihat semuanya telah setuju untuk kembali ke negeri Wirata termasuk
Semar. Kemudian, tanpa membuang-buang waktu, mereka berkemas dan
melakukan perjalanan menuju Negeri Wirata.
Tentu bukan perjalanan yang singkat dan mudah untuk sampai ke negeri
Wirata. Terlebih, mereka membawa serta anak kecil yang akan mudah sekali
lelah dan tentunya menangis. Jika merasa sudah lelah berjalan, mereka pun
duduk untuk beristriahat.
***
- 104 -
Purasara
Di tempat lain, Purasara sedang kebingungan mencari jalan. Dia tersesat
dan hilang arah. Purasara masih dengan segenap jiwanya mencari istrinya,
Dewi Raramis dan ketiga Punakawannya. Tanpa lelah, siang dan malam,
Purasara terus berjalan masuk keluar hutan rimba. Banyak hutan sudah dia
jelajahi. Namun, belum juga bertemu dengan istrinya. Tidur ia lakukan jika
sudah terpaksa karena saking lelahnya.
Ketika sedang tertidur di atas pohon, sayup-sayup terdengar suara anak
kecil menangis. Mendengar suara itu, Purasara terbangun. Dia heran anak siapa
yang tengah malam menangis meraung-raung teramat sedihnya. Seketika, ia
teringat Dewi Raramis yang ia tinggalkan dalam keadaan hamil tua. Pastilah
anak mereka juga masih kecil. Dan tentunya sudah sewajarnya menangis jika
merasakan lapar atau tidak nyaman.
Tanpa pikir panjang, Bagawan Purasara segera lompat dari pohon.
Perlahan, ia berjalan menuju sumber suara tangis anak kecil itu. Perlahan pula
Purasara tidak lagi terlihat dalam pandangan mata. Ia hilang dalam kabut.
Ia mencari kerinduannya, dalam hutan, dalam kesunyian, dalam keteduhan,
dalam tempat segala kehidupan.
- 105 -
Purasara
- 106 -
Daftar Pustaka
Chambert-Loir, Henri. 2014. “Muhammad Bakir, Pengarang, dan Penyalin
Batavia Abad ke-19” dalam Henri Chambert-Loir. 2104. Iskandar
Zulkarnain, Dewa Mendu, Muhammad Bakir dan Kawan-Kawan: Lima
Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama. Jakarta: KPG
Khalid Bin Muhammad Hussain. 1972. Hikajat Purasara. Jakarta: Skripsi
Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Raden, Agung Zainal Muttakin, Mohamad Sjafei Andrijanto. “Hikayat
Purasara: Komunikasi Visual Ilustrasi Warang pada Naskah Sastra
Betawi Abad ke-19” dalam Manuskripta, Jurnal Manassa, Vol. 7, No. 1,
2017.
Sayekti, Sri. 1999. Dewi Rara Amis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sunardjo, Nikmah, dkk. 2010. Hikayat Wayang Arjuna dan Purasara. Jakarta:
Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional.
- 107 -
Riwayat Hidup Penulis
Teguh Prasetyo merupakan Alumnus program Pascasarjana Ilmu
Susastra dan Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya, Universitas Indonesia (FIB UI). Dia menamatkan studi S2 sastranya
pada 2018 dengan tesis yang berjudul, Puisi-Puisi Pandji Masjarakat (1959—
1967) dan Gema Islam (1964—1962): Representasi Soekarno Sebelum dan
Setelah 1965. Tesis ini merupakan eksplorasi lebih dalam mengenai sastra,
agama, dan politik yang pernah ditelitinya melalui skripsi S1-nya yang
berjudul, Tema Sosial-politik pada Cerpen-cerpen Pandji Masjarakat tahun
1959—1974. Selain dua karya ilmiah tersebut, dia juga pernah membawakan
dan mempublikasikan karyanya dalam beberapa konferensi nasional maupun
internasional. Karya-karya makalahnya antara lain, “Representations of
Soekarno in Four Poems Published in Gema Islam Magazine from 1964 to
1966”, “The Role of Pandji Masjarakat During The Guided Democracy
Period: A Sociological Criticism Approach to Pandji Masjarakat’s 19591960 Literary Publications”, “Representation of Merapi Caretaker in Babad
Ngalor-Ngidul Novel by Elizabeth D. Inandiak”, “Demistifikasi Tokoh
Kuntilanak dalam Komik Strip Teh Uti karya Alriya: Sebuah Kajian Alih
Wahana”, dan “Sastra Berbahasa Inggris di Indonesia sebagai Fenomena Baru
dalam Kesusastraan Indonesia Modern”. Selain karya-karya ilmiahnya, dia
juga beberapa kali menulis artikel populer melalui pengalamannya sebagai
wartawan lepas majalah Margo dan sebagai Content Writer. Saat ini dia bisa
dihubungi melalui email teguh.prasetyo.ui@gmail.com
- 108 -
Penerbit
PERPUSNAS PRESS
Jl. Salemba Raya No. 28A Jakarta