Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Saduran Purasara Teguh Prasetyo PerpusQDV3UHVV 20 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Purasara Oleh: Teguh Prasetyo - Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2019 118 hlm. ; 16 x 23 cm,--(Seri Naskah Kuno Nusantara) 1. Manuskrip. I. Teguh Prasetyo. II Perpustakaan Nasional. III. Seri E-ISBN : 978-623-7871-04-0 (pdf) Editor Isi & Bahasa Tim Editor Perancang Sampul Irma Rachmawati Tata Letak Buku Yanri Roslana Diterbitkan oleh Perpusnas Press, anggota Ikapi Jl. Salemba Raya 28 A, Jakarta 10430 Telp: (021) 3922749 eks.429 Fax: 021-3103554 Email: press@perpusnas.go.id Website: http://press.perpusnas.go.id perpusnas.press perpusnas.press @perpusnas_press Sambutan UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, mendefinisikan naskah kuno sebagai dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Dibanding benda cagar budaya lainnya, naskah kuno memang lebih rentan rusak, baik akibat kelembaban udara dan air (high humidity and water), dirusak binatang pengerat (harmful insects, rats, and rodents), ketidakpedulian, bencana alam, kebakaran, pencurian, maupun karena diperjual-belikan oleh khalayak umum. Naskah kuno mengandung berbagai informasi penting yang harus diungkap dan disampaikan kepada masyarakat. Tetapi, naskah kuno yang ada di Nusantara biasanya ditulis dalam aksara non-Latin dan bahasa daerah atau bahasa Asing (Arab, Cina, Sanskerta, Belanda, Inggris, Portugis, Prancis). Hal ini menjadi kesulitan tersendiri dalam memahami naskah. Salah satu cara untuk mengungkap dan menyampaikan informasi yang terkandung di dalam naskah kepada masyarakat adalah melalui penelitian filologi. Saat ini penelitian naskah kuno masih sangat minim. Sejalan dengan rencana strategis Perpustakaan Nasional untuk menjalankan fungsinya sebagai perpustakaan pusat penelitian juga pusat pelestarian pernaskahan Nusantara, maka kegiatan alih-aksara, alih-bahasa, saduran dan kajian naskah kuno berbasis kompetisi perlu dilakukan sebagai upaya akselerasi percepatan penelitian naskah kuno yang berkualitas, memenuhi standar penelitian filologis serta mudah diakses oleh masyarakat. Dengan demikian, Perpustakaan Nasional menjadi lembaga yang berkontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, khususnya di bidang pernaskahan. Kegiatan ini wajib dilaksanakan Perpustakaan Nasional, karena merupakan amanat Undang-Undang No.43 tahun 2007 Pasal 7 ayat 1 butir d yang mewajibkan Pemerintah untuk menjamin ketersediaan keragaman koleksi perpustakaan melalui terjemahan (translasi), alih aksara (transliterasi), alih suara ke tulisan (transkripsi), dan alih media (transmedia), juga Pasal 7 ayat 1 butir f yang berbunyi “Pemerintah berkewajiban meningkatan kualitas dan kuantitas koleksi perpustakaan”. - iii - Purasara Sejak tahun 2015, seiring dengan peningkatan target dalam indikator kinerja di Perpustakaan Nasional, kegiatan alih- aksara, terjemahan, saduran dan kajian terus ditingkatkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pada tahun 2019, Perpustakaan Nasional menargetkan 150 judul penerbitan bagi hasil-hasil karya tulis tersebut. Untuk meningkatkan kuantitas sekaligus kualitas hasil penelitian filologis, maka kegiatan Alih Aksara, Alih Bahasa, Saduran, dan Kajian Naskah Kuno Nusantara Berbasis Kompetisi ini dilakukan. Kegiatan ini dapat terlaksana berkat kontribusi karya para filolog dan sastrawan. Oleh karena itu, Perpustakaan Nasional mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada para filolog dan sastrawan yang telah mengirimkan karya-karya terbaiknya. Secara khusus, Perpustakaan Nasional juga mengucapkan terima kasih kepada Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) yang sejak awal terlibat dalam proses panjang seleksi naskah, penyuntingan, proofreading, sampai buku ini dapat terbit dan dibaca oleh masyarakat. Besar harapan kami semoga fasilitasi terhadap karya tulis Alih Aksara, Alih Bahasa, Saduran, dan Kajian Naskah Nusantara Berbasis Kompetisi ini dapat meningkatkan kualitas penerbitan dan mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat, serta bermanfaat dalam upaya menggali kearifan lokal budaya Indonesia. Jakarta, 2019 Ttd Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi - iv - Kata Pengantar Kesusastraan Indonesia jika ditilik dari kesusastraan melayu klasik ataupun kesusastraan klasik yang bersifat kedaerahan, sudah dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Cerita-ceritanya sangat dipengaruhi oleh kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya. Sebagian adalah cerita-cerita mengenai silsilah sebuah kerajaan, sebagian lagi cerita-cerita mengenai kepahlawanan tokoh tertentu. Dari sekian cerita yang beredar, tidak sedikit pula yang berkisah mengenai cerita perwayangan. Cerita perwayangan pada kesusastraan melayu klasik atau kesusastraan nusantara (yang meliputi Jawa Kuno, dan beberapa daerah di Nusantara) cukup beragam. Namun, sebagian besar cerita-cerita tersebut berakar pada epos Mahabarata, Ramayana, ataupun Bagawadgita. Cerita-cerita yang berakar pada cerita klasik India tersebut sebagian besar juga telah dikembangkan dan mengalami sentuhan lokal. Salah satu yang cukup menarik dari keberagaman cerita pewayangan yang berakar pada cerita klasik India tersebut adalah Hikayat Pusarasara. Hikayat Purasara merupakan salah satu cerita yang tertulis dalam naskah melayu klasik. Naskah Hikayat Purasara tercatat dalam katalogus van Ronkel dengan nomor ML. 178 (Chambert-Loir, 2014; Khalid, 1972; Sunardjo, 2010). Naskah ini mempunyai ukuran 34 cm x 21 cm dan berjumlah 150 halaman. Naskah ini ditulis dengan huruf Arab Melayu yang cukup jelas dan masingmasing halaman memiliki 10—17 baris. Dalam penelitian Khalid M Hussain (1972), Naskah ini disebutkan tidak memiliki keterangan penulis, hanya disebutkan penulisnya sama dengan penulis naskah “Hikayat Awal Mula Wayang”. Akan tetapi, kemudian, Chambert-Loir (2014) dan Sunardjo dkk (2010), menyebut kalau naskah Hikayat Purasara ini ditulis oleh Muhammad Bakir bin Syofyan bin Usman bin Fadli sesudah 6 Agustus 1890. Naskah Hikayat Purasara ini hanya ditemukan satu buah versi saja di Museum Nasional (Sunardjo, dkk, 2010). Sebagai satu-satunya naskah yang menceritakan riwayat hidup Purasara, naskah ini tentunya menjadi cukup spesial. Terlebih lagi, naskah ini ditulis oleh M. Bakir yang dikenal sangat kental nuansa Betawinya. Dari penelitian Khalid M. Husain yang membandingkan cerita Hikayat Purasara M. Bakir dengan beberapa naskah yang menceritakan Purasara lainnya (India dan Jawa), ditemukan bahwa Hikayat Purasara karya M. Bakir ini mempunyai versi cerita yang berbeda dan unik. Oleh karena itu, -v- penulisan kembali dalam bentuk saduran terhadap Hikayat Purasara dirasa cukup penting. Selain sebagai cerita yang unik, Hikayat Purasara karya M. Bakir ini juga perlu disadur ulang karena isi ceritanya yang menyuguhkan cerita pewayangan yang berbeda dari pewayangan Jawa. Di dalam cerita tentang Purasara ini pun terkandung beberapa nilai yang disematkan melalui kearifan Purasara. Hal ini patut diketahui sebagai nilai budaya dan etika yang perlu diketahui. Penceritaan wayang yang khas dari M. Bakir juga dapat menjadi edukasi yang baik untuk memahami sudut pandang lintas budaya. Teks saduran dari Hikayat Purasara karya M. Bakir yang dibuat penulis, kemudian, diberi judul Purasara. Penyaduran teks ini didasarkan pada transliterasi naskah Hikayat Purasara (ML. 178) oleh Nikmah Sunardjo, dkk yang berjudul Hikayat Wayang Arjuna dan Purasara dari Pusat Bahasa tahun 2010. Dalam proses penyaduran, terkadang terdapat kesulitan dalam mengeksplorasi karakter maupun relasi antarkarakter karena pada naskah ada bagian-bagian yang ceritanya kurang begitu jelas. Karena itu, penulis juga menjadikan buku Dewi Rara Amis karya Sri Sayekti (1999) sebagai referensi bacaan untuk mengenali lebih dalam beberapa karakter tokoh serta berusaha mengekplorasinya. Secara garis besar, cerita saduran yang berjudul Purasara ini bercerita tentang silsilah Purasara dari diciptakannya Sangkara sebagai seorang pemimpin di dunia, lahirnya Sentanu dan Purasara, hingga kisah cinta Purasara, Sentanu, Dewi Raramis, dan keturunannya. Cerita pada Hikayat Purasara ini mempunyai tiga bagian penting, yakni bagian awal atau pengenalan yang meliputi silsilah Purasara hingga pengenalan karakter Purasara yang suka bertapa, bagian tengah atau bagian pemunculan masalah, komplikasi, hingga klimaks yang menceritakan cinta segitiga Purasara, dewi Raramis, dan Sentanu; dan bagian akhir atau penyelesaian masalah yang menceritakan kesadaran Sentanu, serta pilihan hidup Purasara untuk tidak pulang ke negeri asalnya, Suktadurja. Penulisan ulang atau penyaduran cerita Hikayat Purasara ini adalah untuk menarik minat baca masyarakat terhadap naskah dan cerita klasik yang ditulis oleh penulis Nusantara abad 18/19. Selain untuk melestarikan cerita dan menarik minat baca, tentunya, seperti telah disebutkan, saduran cerita ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk memahami nilai budaya maupun etika yang terkandung di dalam cerita. Tidak hanya itu, berdasar pada pernyataan Raden dan Andrijanto (2) bahwa Hikayat Purasara karya M. Bakir - vi - ini mengandung kekhasan Jawa-Sunda dan Betawi, tentunya penyaduran cerita ini juga diharapkan dapat memperkaya pandangan pembaca akan interaksi lintasbudaya yang secara tersirat terkandung di dalam teks. Dengan demikian, pemahaman akan lokalitas dan kebinekaan juga dapat dipupuk oleh generasi mendatang. Atas terbitnya buku saduran ini penulis menyampaikan penghargaan setinggi-setingginya kepada Perpustakaan Nasional RI dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara yang telah membuat program penerbitan buku alih aksara, alih bahasa, terjemahan, dan kajian berbasiskan naskah kuno. Semoga program ini dapat terus berlanjut agar nilai-nilai kebajikan yang terkandung dalam naskah-naskah kuno nusantara semakin banyak tersosialisasi kepada masyarakat luas. - vii - - viii - Daftar Isi Sambutan ................................................................................................. Kata Pengantar ......................................................................................... Daftar Isi ................................................................................................. I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV XV XVI XVII XVIII iii v ix Titah Sang Hyang Tunggal pada Sangkara ................................. 1 Sebuah Kerajaan Bernama Suktadurja ....................................... 5 Tiga Putra Sangkara .................................................................... 12 Pembagian Tahta ......................................................................... 20 Pilihan Bertapa ke Gunung Parasu .............................................. 25 Rintangan Menuju Pertapaan ...................................................... 30 Terjaga dari Pertapaan ................................................................. 41 Raramis dari Negeri Wirata ......................................................... 48 Pertemuan Raramis dan Purasara ................................................ 52 Raramis dan Purasara ke Suktadurja ........................................... 58 Raramis dalam Godaan Sentanu ................................................. 64 Raramis dan Punakawan Mengadu ke Purasara.......................... 70 Mengejar Raramis ....................................................................... 74 Peperangan Sentanu dan Purasara ............................................... 80 Lahirnya Ganggasuta, Anak Purasara ......................................... 84 Peperangan yang Mengguncang Jagat ........................................ 88 Batara Narada Melerai Dua Saudara ........................................... 92 Hutan, Tempat Segala Teduh dan Rindu ..................................... 101 Daftar Pustaka .......................................................................................... 107 Riwayat Hidup Penulis ............................................................................ 108 - ix - I Titah Sang Hyang Tunggal pada Sangkara Angin berembus ragu kala itu di Kahyangan. Kencang tidak, sepoi pun tidak. Awan pun diam sejenak. Yang nampak hanya kekosongan dan kebimbangan. Semua seolah berempati pada sikap Sang Hyang Tunggal yang sedang memikirkan mengenai keberaturan dunia yang mulai ruai karena tak memiliki seorang pemimpin. Resah, begitu yang mungkin tergambarkan. “Apa perlu kuciptakan seorang putra di Dunia?” gumam Sang Hyang Tunggal. Tak satu pun merespons. Siang, Malam, Kilat, Awan, Petir, Api, ataupun Angin, semuanya diam. Mereka tidak berani berkata sedikit pun. Tak ada yang berani memberi pendapat karena takut tak punya daulat. Mereka hanya diam termenung. Dan sekali lagi, Sang Hyang Tunggal bergumam, “Perlukah, kubuatkan pemimpin di dunia?” Pada saat seperti ini, biasanya Batara Narada dan Batara Guru hadir untuk dimintai pendapat. Namun, kali ini mereka alpa. Tampaknya, Sang Hyang Tunggal ingin memutuskan semuanya sendiri. Ia ingin benar-benar membuat keputusan berdasar kemauannnya. Siang berganti malam, malam berganti siang kembali. Dan hari pun silih berganti bulan. Setidaknya, 90 hari sudah sejak pertama kali ia termenung bimbang. Dengan kata lain, 90 hari juga, semua elemen, seperti awan, kilat, petir, maupun angin, tak menampakkan suaranya. Dunia pun tak bergejolak, dan tak berganti musim. Hanya kosong. Sampai pada akhirnya, Sang Hyang Tunggal mencetus, “Ya, aku harus menciptakan seorang pemimpin, seorang panglima yang memimpin kerajaan di dunia. Dengan kuasa yang serba segala, dengan daya yang serba cipta, ia mencampur cahya menjadi mega. Seluruh sudut kayangan dihiasi sorot yang menyilaukan. Gemuruh pun tak elak menjelma gaduh. Seluruh penghuni Kahyangan terpaku dalam cengang. Hingga dengan satu jentik yang mengubah cahaya dan tanah menjadi satu, terciptalah seorang putra. Muda belia, gagah perkasa, lemah lembut kelakuannya, dan ramah budinya. -1- Purasara Putra dari Sang Hyang Tunggal. Dengan suka cita, Ia pun memberi nama Sangkara. Putra dengan segala bahagia dari Sang Pencipta, yang akan diutus sebagai panglima di kerajaan dunia. “Mari, Nak, kemari! Ikutlah denganku!” Ajak Sang Hyang Tunggal. Dengan segala sembah, Sangkara perlahan mendekat ke arah Sang Hyang Tunggal. Didekapnya ia sambil bercurah rasa bahagia. Kemudian, di bawanya mendekat ke singgasana Kahyangan. Semua penghuni Kahyangan berkumpul menyaksikan kehadirannya. “Inilah Putraku, pemuda yang akan menjadi pemimpin di Kerajaan Dunia!” Seru Sang Hyang Tunggal memperkenalkan. Serunya kemudian disambut dengan tempik sorak dan gumam kagum. Sebagian hadirin di Kahyangan terpesona tanpa kata. Sebagian lagi mendesuskan tampilnya pemuda yang jadi perhatian itu. “Putraku, engkau akan aku turunkan ke Kerajaan Dunia sebagai seorang pemimpin. Apakah ada sesuatu yang kau pinta?” Tanya Sang Hyang Tunggal pada Sangkara. “Apakah di Kerajaan Dunia ada teman hamba, Paduka?” “Oh, tentu saja. Aku akan utus pendamping untuk menemanimu di Kerajaan Dunia.” “Hamba pikir, hamba butuh teman wanita dan teman untuk bercakapcakap agar hamba tidak kesepian.” “Tidak usah khawatir, Anakku! Aku telah berpesan pada Dewi Asmayawati untuk menemanimu di Dunia.” Dewi Asmayawati sejenak mendekat ke arah Sang Hyang Tunggal. Memberi hormat dan memperlihatkan wujudnya di di depan Sangkara. Mereka saling pandang. Sangkara terpaku sejenak. Memperhatikan Dewi Asmayawati dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tak berapa lama, ia memalingkan muka kembali ke arah Sang Hyang Tunggal. “Lantas siapa yang akan jadi teman bercakap-cakap dan memberiku nasihat mengenai segala perihal di dunia?” Sang Hyang Tunggal kaget mendengar pertanyaan Sangkara yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Dia sejenak melengung. Namun, dengan cepat ia menjawab, “Akan ada seseorang yang bernama Semar, dan beberapa anaknya, mereka biasa disebut Punakawan. Mereka adalah pribadi-pribadi yang riang -2- Purasara juga bijaksana. Tapi mereka tidak bisa kau temui di sini. Mereka sudah terlebih dahulu pergi ke dunia untuk menyambutmu nanti.” Mendengar itu, beberapa Batara dan Bidadari yang hadir dan memperhatikan, terheran-heran. Mereka bingung dengan Semar dan Punakawan yang akan menemani Sangkara dan Dewi Asmayawati. Sebab, selama ini belum pernah terdengar seorang manusia dengan nama Semar dan Punakawannya. Mereka ingin menyanggah, tetapi urung karena situasinya terlihat kurang mendukung. Sangkara menanggapi dengan setengah bingung. Namun, terpaksa ia mengangguk mengiyakan karena ia pun tidak tahu harus menjawab apa. Ia bimbang karena tak menahu sama sekali perihal dunia. Bahkan, ia pun tidak tahu seperti apa bentuknya Semar dan Punakawan itu? Apakah ia seperti Dewi Asmayawati yang cantik dan bercahaya tubuhnya? Atau seperti apa? Ia pun hanya diam dan tidak mau banyak bertanya lagi pada Sang Hyang Tunggal. Pikirannya liar, tetapi ia merekanya agar terlihat tidak ada hal-hal yang dikhawatirkan. Sang Hyang Tunggal menatap raut muka Sangkara yang diam tanpa sepatah kata. Ia menangkap gelisah yang dipikirkannya. Namun, Sang Hyang Tunggal membiarkannya. Ia harus membiasakan anaknya itu berani dan mau memecahkan masalah yang digelisahkannya. “Baiklah, Paduka. Hamba siap untuk turun mengatur keadaan di Kerajaan Dunia.” Tiba-tiba seru Sangkara dalam gelisahnya. Ia berusaha meneguhkan dirinya. Dan berusaha siap menghadapi sesuatu apapun yang belum pernah ditemuinya. “Aku tak bisa memberitahu apa pun tentang Dunia, Anakku! Kau akan belajar sendiri ketika di sana. Nanti kau akan dibimbing oleh Semar dan Punakawannya. Tentu akan banyak hal baru yang kau temui. Tapi sebagai pemimpin kau akan sangat diharapkan kebijaksanaannya dalam menghadapi masalahmu dan masalah di dunia nanti. Bersiaplah untuk turun ke dunia bersama Dewi Asmayawati” “Baik, Paduka. Hamba siap!” Sangkara berdiri di samping Dewi Asmayawati yang sejak tadi memerhatikan gerak-geriknya. Mereka berdua tampak siap. Dengan diantarkan kilau cahaya, mereka pun menuruni Kahyangan menuju Dunia. -3- Purasara Beberapa saat setelah mereka berdua turun, Batara Guru menanyakan perihal Semar dan Punakawannya. “Mohon maaf, Sang Hyang Tunggal. Sebenarnya siapa itu Semar ataupun Punakawan? Saya bahkan tidak tahu keberadaannya di dunia.” Sang Hyang Tunggal pun menjawab dengan sungging senyum. “Nah, itu yang ingin aku sampaikan. Sebenarnya mereka belum ada di dunia sana. Karena aku telah janji pada mereka. Dan karena rasa sayangku pada mereka, aku sepertinya yang akan menjelma Semar dan menciptakan Punakawan. Ini juga demi bisa membimbing mereka di dunia.” Batara Guru dan Batara lainnya yang hadir di Kahyangan tercengang seketika. Mereka tidak hanya kaget mendengar rencana tersebut. Mereka pun bingung. Jika Sang Hyang Tunggal yang akan turun ke dunia, siapa yang akan memerintah di Kahyangan? “Kalian semua pasti berpikir, Jika aku ke dunia, siapa yang akan memimpin di Kahyangan, bukan? Tenang. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku tentunya tidak ingin serakah. Tampuk pemerintahan Kahyangan tetap harus dipegang oleh mereka yang ada di Kahyangan. Sebab, hanya mereka yang mengambil jarak dan melihat dari atas lah yang bisa mengawasi dunia.” “Lalu, Siapa itu Paduka?” tanya Batara Guru. “Apakah Paduka akan menjelma dua?” sahut Batara Narada. “Tentu tidak! Aku akan mempercayakan kekuasaan padamu, Batara Guru! Dan kau sebagai patihnya, Batara Narada. Aku yakin Kalian bisa memimpin Kahyangan dengan bijaksana!” Batara Guru bingung. Namun, ia tak sempat menyanggah apa pun. Sang Hyang Tunggal tanpa basa-basi langsung menunjukkan kuasanya. Seketika ia tiada di Kahyangan. Cahaya sudah membawanya turun ke dunia. -4- II Sebuah Kerajaan Bernama Suktadurja Sang Hyang Tunggal sampai ke dunia di tempat yang berbeda dengan Sangkara dan Dewi Asmayawati. Sesuai rencananya, ia pun harus mempersiapkan penyamarannya menjadi hamba dan penasihat dari Sangkara, sebelum Sangkara mendapatinya. Sang Hyang Tunggal tidak mau kalau kebesarannya atau wujudnya sebagai Dewa diketahui oleh Sangkara. Ia memikirkan sosok yang sangat cocok untuk menjadi penghuni dunia agar Sangkara tidak curiga. Sang Hyang Tunggal melihat sekeliling yang penuh rimba. Ia merasa harus menyamarkan tubuhnya yang bercahaya agar menjadi gelap seperti rimba. Dengan segala kesaktian dan kuasanya, ia kemudian menjelma sesosok tua. Ia menanggalkan wujudnya yang perkasa pada sosok bungkuk dan berbadan buntal. Ia merupa kakek dengan muka pucat dengan giginya yang sudah tanggal, bersisa satu buah saja. Bertelanjang dada, tapi tak elok rupanya. Besar tetapi terlihat rapuh perawakannya. Ia pun menamai penyamaran dirinya sebagai Kiai Lurah Kudapawana Bapa Semar. Dan ia suka menyebut dirinya dengan nama Semar saja. “Sambil menunggu Sangkara menemukanku, aku akan bertapa untuk menyempurnakan penyamaranku.” Gumam Semar dalam hati. Semar atau penyamaran dari San Hyang Tunggal menghabiskan waktunya untuk menunggu Sangkara dengan bertapa. Pertapaannya dimaksudkan untuk menambah sakti kekuatannya. Juga, untuk lebih menyatukan dirinya pada alam, membuat dirinya menyatu dengan dunia. Dengan begitu, penyamarannya sebagai Semar, seorang warga dunia yang tua bijaksana, akan lebih sempurna. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun Semar melakukan pertapaan di tengah rimba. Tubuhnya duduk di atas batu berlumut. Ia tampak seperti cendawan besar yang tumbuh di bebaTuan. Tubuhnya benar-benar menyatu dengan alam rimba. Ia pun telah bertekad tidak akan terjaga dari pertapaannya hingga Sangkara menemukannya. Di lain tempat, Sangkara dan Dewi Asmayawati tampak bingung sekaligus takjub akan apa yang mereka pandang. Mereka melihat hamparan hutan yang sangat luas. Mereka heran, apa yang bisa dipimpinnya dari -5- Purasara negeri yang liar dan rimba seperti ini? Namun, mereka pun takjub dengan pemandangan-pemandangan baru yang mereka temui. Mereka tak jarang tidur di bawah pohon besar, makan dari dedaunan dan buah-buahan, serta minum dan mandi pada telaga di alam rimba yang mereka lewati. “Dinda Asmayawati, ke manakah kita harus berjalan mencari Punakawan yang disebut Sang Hyang Tunggal itu?” Mendengar keluh kesah dari pasangannya itu, Dewi Asmayawati pun kebingungan menjawabnya. Di dalam hati, ia sendiri tidak pernah tahu akan Punakawan yang diceritakan oleh Sang Hyang Tunggal. Tapi, ia pribadi juga tidak ingin mematahkan asa dari pasangannya itu. Ia pun meyakinkan diri di dalam hatinya, bahwa Sang Hyang Tunggal sebagai raja para dewa yang ia ketahui tidak pernah berbohong apalagi mengada-ada. Karena itu, Dewi Asmayawati menjawab sekenanya. “Hamba juga tidak tahu, Kanda. Marilah kita terus mencari. Perjalanan kita masih panjang. Pun demikian asa kita untuk mencari Punakawan.” Mendengar kata-kata dari Dewi Asmayawati, Sangkara kemudian meneguhkan kembali tekad dan kekuatannya. “Mari Dinda, kita terus berjalan menyusuri Rimba. Aku yakin, Sang Hyang Tunggal juga akan membantu kita mencari petunjuk,” ucap Sangkara dengan semangat yang kembali ia tumbuhkan. “Iya, Kanda, Mari!” Mereka terus mencari dan berjalan tanpa henti. Dalam pikiran Sangkara, negeri yang harus ia pimpin pasti tak jauh dari tempat Punakawan berada. Tubuh Sangkara mungkin lelah, tetapi tekadnya terus membara. Ia ingin menjalankan titah Sang Hyang Tunggal sampai itu benar-benar bisa dilaksanakannya. Tak jarang, mereka menemui bahaya akan hewan-hewan buas. Akan tetapi, Sangkara dengan sisa tenaganya dapat mengantisipasi bahaya itu. Ia membasmi semuanya dengan tubuh yang setengah gopoh dan hampir putus asa. Sampai pada suatu tempat, di sebuah rimba yang penuh dengan jamur, bebaTuan, dan lumut, ia menjumpai seorang lelaki tua sedang bertapa di atas batu besar yang terlihat lapuk karena ditumbuhi lumut. Perlahan ia mendekat untuk memastikan bahwa benar itu adalah seorang manusia seperti dirinya. “Apakah Dinda kenal dengan lelaki tua itu?” “Tidak Kanda” -6- Purasara “Apa mungkin ia Semar Sang Punakawan itu?” “Mari kita tanyakan saja, Kanda.” Sangkara dan Dewi Asmayawati semakin mendekat ke Semar yang sedang bertapa di atas batu penuh lumut itu. Dengan nada sedikit ragu, Sangkara memberanikan diri untuk membangunkan Semar dan bertanya perihal identitasnya. “Wahai lelaki tua yang sedang bertapa, siapa gerangan dirimu?” Pertanyaan Sangkara pada awalnya tidak mendapatkan tanggapan apaapa. Ia pun sejenak menoleh pada Dewi Asmayawati sebelum kemudian kembali memanggil Semar yang duduk di pertapaannya. Kali ini, Sangkara lebih memberanikan diri dan menguatkan suaranya. “Wahai lelaki tua, apakah engkau adalah Semar Sang Punakawan?” Tanpa jawaban sepatah kata pun, secara gaib, Semar hilang dari pertapaannya. Ia tiba-tiba muncul dan mengagetkan Sangkara dari belakangnya. “Benar, Tuanku. Saya Kiai Lurah Kudapawana Bapa Semar, atau boleh dipanggil Semar saja.” Sontak Sangkara dan Dewi Asmayawati kaget. Mereka tak menyangka lelaki tua yang mereka temui di atas batu tiba-tiba sudah berada di belakang mereka. Muka Sangkara pun tampak pucat. “Tenang, Tuanku. Benar akulah Semar, Punakawan yang diutus Sang Hyang Tunggal untuk menemani dan membawa Tuanku ke negeri kita nanti.” ulang Semar. Mendengar itu, Sangkara pun senang hatinya. Ia menoleh dan menatap Dewi Asmayawati dengan isyarat bahwa perjuangannya tidak sia-sia. Sementara Dewi Asmayawati keheranan akan kehadiran Semar yang selama ini tidak diketahuinya dari atas Kahyangan. “Mari, Tuanku. Saya antarkan ke negeri kita.” Tanpa pikir panjang, Sangkara dan Dewi Asmayawati turut pada Semar. Mereka melangkah di belakang Semar dengan jalannya yang bergeol-geol. Tak lama dari tempat mereka berjalan, mereka menemukan padang sabana yang cukup luas. Semar pun berhenti tepat di tepi sabana itu. “Lihat Tuanku, ini adalah negerimu, yang besar dan makmur, dalam pimpinanmu!” seru Semar seraya mengayunkan kedua tangannya. -7- Purasara Perkataan Semar tersebut membuat Sangkara dan Dewi Asmayawati terkejut. Sebab, negeri dalam bayangannya adalah beberapa Istana dengan rakyat-rakyat yang hidup secara berkelompok. Sementara yang mereka lihat hanya hamparan sabana dengan rumput hijau kemuning, beberapa pohon di sisi-sisinya, serta satu telaga besar di tengahnya. Bukan kawanan manusia yang terlihat lalu lalang di sana, melainkan segerombolan sapi, kera, dan burung-burung yang turun sejenak ke telaga untuk minum. “Maaf Kakang Semar, apa Kakang sedang bercanda atau mabuk? Aku hanya melihat padang rumput yang luas, dengan telaga di tengahnya. Bahkan, tak satu pun manusia yang aku lihat berlalu lalang di sini.” Tanya Sangkara dengan heran. “Tenang, Tuanku. Tidak usah terburu-buru menghakimiku begitu. Tenangkan dirimu. Memang saat ini di hadapan Tuanku hanya ada padang sabana, telaga, dan hewan-hewan yang berlalu lalang. Tetapi, percayalah, Tuanku, kita akan membangun negeri kita di sini.” “Bagaimana membangun negeri kalau tidak ada siapa pun di sini?” “Nah, sekarang Tuanku hanya perlu membangunnya dengan kesaktian” “Kesaktian?” “Benar, Tuanku. Tuanku boleh memejamkan mata dan membayangkan negeri yang akan Tuanku pimpin benar-benar ada di depan mata. Percayalah itu akan terjadi ketika Tuanku membuka mata. Tentunya harus ada mantra yang dirapalkan.” “Mantra apa itu Kakang Semar? Aku bahkan tak tahu satu mantra pun.” ucap Sangkara terheran. “Tenang, Tuanku. Pejamkanlah matamu, bayangkan negerimu. Akan aku tuntun kau membaca mantra.” Sangkara pun akhirnya menutup matanya, berkonsentrasi, dan merapalkan mantra dituntun oleh Semar.”Ora ana negara takhta nana …” begitu tutur Sangkara merapalkan sebagian mantra yang dituntunkan Semar. Keajaiban pun tiba. Tak disangka, dengan kekuatan gaib, terbangunlah sebuah negeri yang megah dengan istana dan rakyatnya. Pohon-pohon berubah menjadi istana, dan sebagian kera dan sapi menjelma manusia. Dengan sebuah aba-aba, Sangkara membuka matanya. Dan didapatinya negeri yang megah itu berdiri menggantikan padang sabana yang tadi dilihatnya. Alangkah terkejut -8- Purasara dan bersuka cita ia. Dipeluknya kemudian Dewi Asmayawati. Ditanyakannya berulang kali apakah ini adalah mimpi? Dewi Asmayawati pun menjawab bahwa itu adalah kenyataan. “Nah, masih ada beberapa hal yang harus dibangun lagi. Balairung di tepi telaga, taman, dan beberapa gubug-gubug peristirahatan.” Ungkap Semar. “Baiklah, Kakang Semar, mari kita bangun lagi bersama-sama.” “Tuanku, hamba biarlah yang membuat taman dan gubug-gubug peristirahatan. Sementara Tuanku dan Dewi Asmayawati buatlah balairung di tepi telaga itu.” “Apa Kakang Semar tidak terlalu berat pekerjaannya? Sementara saya dan Asmayawati membuat balairung saja?” “Tenang saja, Tuanku. Pasti nanti akan ada yang membantu.” “Baiklah, Kakang. Aku dan Asmayawati akan membangun balairung seperti perintah Kakang.” Mereka pun bergegas dengan tugas masing-masing. Sangkara dengan Asmayawati, bergotong royong membuat balairung. Sementara Semar dengan kekuatannya, membuat taman dan gubug peristirahatan. Suasana negeri seketika ramai. Sangkara dan Dewi Asmayawati yang membuat balairung dibantu oleh beberapa warga. Sementara itu, Semar hanya mengerjakan taman dan gubuh-gubug sendirian. Akan tetapi, perkerjaan Semar tidak kalah cepatnya dengan Sangkara dan Asmayawati. Hal itu disebabkan Semar memang sakti mandraguna. Dapat memanfaatkan kekuatannya untuk membentuk segala rupa dalam waktu yang cukup singkat. Suasana membangun negeri itu terus berlangsung dalam hitungan hari. Sampai suatu ketika, bencana datang. Gubug-gubug kayu yang dibuat oleh Semar digeumuti dan dimakan oleh rayap yang datang entah dari mana. Sementara taman-taman yang sudah rapi diterjang oleh angin puyuh yang melintas. Semar tidak murka. Dia hanya merasa pekerjaannya sia-sia. Dia merasa rayap di gubug-gubug dan angin puyuh turut bertanggung jawab atas kesia-siaan itu. “Kalau seperti ini, sepertinya kalian harus berbalik membantuku merapikan kembali pekerjaanku.” Ucap Semar kepada angin dan gubug penuh rayap. -9- Purasara Dengan kesaktiannya, Semar pun mencoba menyihir keduanya menjadi makhluk yang bisa membantunya dan mendampinginya sebagai Punakawan. Gubug yang penuh rayap disulap menjadi seorang laki-laki bertubuh buntal. Karena gubug itu sudah rusak dimakan rayap, perawakannya pun cacat. Dan karena asal-muasalnya adalah gubug, Semar pun menamainya sebagai Garubug. Sementara, angin puyuh yang memorak-porandakan taman disihir sebagai lelaki dengan perawakan kurus tinggi. Tubuhnya pun tak kalah buruk rupanya dngan Garubug. Hanya saja ia memiliki karakter yang keras dan berperawakan lebih tinggi. Namanya, Petruk. Kedua makhluk ciptaan Semar itu berdoyong-doyong mendekat ke Semar. Mereka menanyakan mengenai identitas Semar dan identitas diri mereka sendiri. Mereka lahir seperti bayi yang tidak menahu apa-apa, tapi memiliki perawakan yang dewasa. “Kalian itu ciptaanku, maka kalian adalah anak-anakku.” Sebut Semar “Lalu Tuan siapa?” tanya mereka kebingungan. “Panggil aku, Bapak.” “Ooo…. Bapak!” “Bapak Semar! Nah, ini yang bertubuh gumpal adalah anak pertamaku, Garubug. Sementara kau yang bertubuh tinggi adalah anak keduaku, Petruk.!” Petruk mengangguk. Tak berapa lama ia menyapa Garubug, “Garubug!” “Ya, Truk, Petruk!” “Sudah, sudah cukup berkenalannya. Sekarang, kalian bantu aku merapikan dan membikin ulang taman dan gubug-gubug yang hancur.” “Baik Bapak!” jawab keduanya. Sebagai buah kesaktian Semar, mereka meskipun cacat, tetap mempunyai kemampuan yang sakti. Kerja mereka sangat cepat. Taman dan gubug-gubug peristirahatan yang dibuat oleh Semar pun dalam sekejap kembali berdiri. Bahkan, nampak lebih indah dari sebelumnya. Tak lama setelah Sangkara dan Dewi Asmayawati yang dibantu warga menyelesaikan balairung, Semar dan anak-anaknya sebagai Punakawan melapor bahwa taman dan gubug-gubug peristirahatan telah rampung. Mendengar itu, betapa bahagia Sangkara dan Asmayawati. - 10 - Purasara “Wah, Kakang Semar, taman yang begitu indah.” Sahut Sangkara. “Iya, Kakanda, aku menyukainya.” Timpal Dewi Asmayawati pada Sangkara. “Sungguh senang pula hamba mendengarnya.” Puja Semar. “Kakang Semar, siapa mereka berdua yang di sisimu?” tanya Sangkara. “Mereka berdua adalah anak-anakku, para Punakawan pula yang telah membantuku, dan juga akan melindungi keturunanmu.” Jawab Semar “Sungguh bahagia akhirnya aku benar-benar bertemu dengan semua Punakawanku.” Sahut Sangkara bergembira. Setelah semua selesai, seluruh warga dan penghuni negeri diajak berkumpul di balairung. Mereka merayakan telah jadinya sebuah negeri. Dengan Sangkara sebagai pemimpinnya, sebagai rajanya. “Baiklah, dengan berkumpulnya semuanya di Balairung ini, akan aku kumandangkan nama sebuah negeri yang indah ini. Negeri yang kunamai, Suktadurja.” Seru Sangkara yang kemudian disambut meriah oleh semua warga. - 11 - III Tiga Putra Sangkara Semenjak negeri Suktadurja dimaklumatkan dan memulai pemerintahannya, Sangkara sebagai raja menjadi perhatian seluruh dunia. Sangkara dianggap sebagai raja yang bisa memakmurkan dan menjaga perdamaian di kerajaannya. Singkatnya, ia adalah contoh pemimpin yang baik. Bahkan, karena kondangnya ia sebagai raja yang adil dan bijaksana, ia didaulat menjadi diplomat para raja. Ia mengelilingi dunia dan menghubungkan pemimpin kerajaan satu sama lain untuk menjalin hubungan yang baik. Terjalinlah hubungan yang seimbang dan indah di alam raya. Sangkara seolah menjalankan titah Sang Hyang Tunggal dengan baik. Ini juga tidak lepas dari peran Semar dan Punakawan yang selalu menjadi penyeimbang kerajaan, menjadi penasihat, teman, dan pemecah masalah yang baik. Punakawan selalu patuh dan setia pada Sangkara dan Dewi Asmayawati. Tak sedikit pun usaha membelot dilakukan mereka. Sebab, mereka adalah titisan yang memang berusaha menyeimbangkan kerajaan dan menyeimbangkan dunia. Keadaan ini berlangsung terus-menerus selama puluhan bahkan ratusan tahun. Hingga kemudian Dewi Asmayati hamil. Sangkara dan Dewi Asmayawati dikaruniai 3 anak yang lahir hampir berdekatan waktunya. Ketiga anak itu diberi nama, Sentanu, Sambirawa, dan Purasara. Mereka berbeda hanya beberapa tahun saja antara satu dengan lainnya. Diasuh mereka oleh Dewi Asmayawati dengan kasih sayang yang teramat sangat. Sejak kecil, mereka juga sudah diajarkan mengenai darma dan budi oleh Semar. Tidak hanya itu, bahkan, mereka belajar ilmu perang dan kesaktian dari ayahnya, Sangkara. Setiap detail ilmu peperangan dan bela diri diajarkan kepada ketiganya. Sentanu sebagai yang tertua kerap kali terlihat paling mahir untuk ilmu ini. Sambirawa sebagai yang kedua lebih mahir pada ilmu budi dan darma. Sementara itu, Purasara adalah yang seimbang antara keduanya. Budinya amat baik, begitu juga kesaktian dan kecakapan berperangnya. Tak heran, sebagai anak bungsu, Purasara adalah yang paling dicintai orang Tuanya serta Punakawannya. Dalam kebersamaan mereka, mereka juga tidak jarang diajak oleh ayahnya keliling dunia dan diperkenalkan dengan negeri-negeri lain yang juga - 12 - Purasara menjalin hubungan dengan mereka. Mereka pun secara tidak langsung sudah sangat kondang di berbagai penjuru negeri di dunia. Mereka bertiga bersamasama sebagai saudara hingga beranjak dewasa. Ketika mereka mulai dewasa, mereka mempunyai pilihan jalan hidup masing-masing. Terpaksalah orang Tuanya menerima pilihan masing-masing dan merelakannya untuk berpisah. Sentanu sebagai anak tertua yang paling mahir dalam ilmu perang lebih suka berburu dan mengasah kemampuan berperangnya di hutan. Karena ia yang tertua, tak jarang, ia menjadi contoh bagi adiknya, terutama Purasara yang memang juga mahir akan kesaktian dan peperangan. Sementara itu, Sambirawa yang sangat senang dengan ilmu darma memilih untuk tidak mengikuti hobi kakaknya, Sentanu. Sambirawa lebih memilih untuk berkelana, lelana brata. Suatu saat ia memantapkan diri untuk berkelana dan berderma pada kelananya itu. Ia pun meminta izin pada ayahandanya, Sangkara. “Ayahanda, Hamba mohon izin untuk memilih jalan hidup Hamba karena Hamba telah dewasa.” Pinta Sambirawa sambil memberi hormat pada ayahnya. “Apa itu jalan hidupmu.” Tanya Sangkara. “Hamba ingin mengabdi pada Darma. Hamba ingin melakukan lelana brata. Hamba akan berkelana untuk berderma pada orang banyak. Tidak tahu di negeri mana hamba akan singgah. Tetapi hamba akan terlus berkelana.” “Memangnya apa yang mendasarimu itu?” “Hamba pikir, ilmu darma hamba harus didermakan pada mereka. Darma juga mengajarkan untuk kita saling berbagi. Dengan berkelana Hamba bisa mengamalkan darma sambil merasakan hal-hal yang mungkin jarang hamba rasakan ketika berdiam diri di Istana kerajaan.” “Apa kau yakin akan pilihanmu itu?” “Yakin, Ayahanda, hamba sudah meneguhkan diri untuk ini.” “Kau memang yang paling mahir dalam ilmu darma. Tapi apa kau tidak akan kangen dengan keluarga dan orang tuamu ini?” “Masalah itu, hamba sudah pikirkan matang-matang. Hamba pasti akan kangen dengan keluarga, Ayahanda, maupun Ibunda. Akan tetapi, hamba pikir, mengamalkan darma adalah salah satu jalan yang paling mulia yang harus dilakukan hamba saat ini. Adapun yang menemani Ayahanda dan Ibunda ada - 13 - Purasara kakanda Sentanu dan adinda Purasara. Suatu saat hamba akan balik lagi ke Suktadurja jika hamba merasa sudah berhasil mengamalkan darma hamba.” “Baiklah kalau itu pilihanmu, Anakku. Akan kuutus Punakawan untuk menemanimu?” “Tidak usah Ayahanda. Punakawan adalah mereka yang bijaksana dan berperan dalam membimbing keberlangsungan negeri. Sehingga Hamba pikir, Hamba harus berkelana sendiri. Terlebih lagi, menurut hamba, mengamalkan darma itu adalah sesuatu yang harus dilandasi keimanan dari diri hamba sendiri. Di situ pula hamba akan benar-benar belajar dan beramal.” “Kalau memang kau sudah mantap begitu, Kupikir, aku sudah tidak bisa menghalang-halangi pilihanmu lagi. Aku harap kau segera kembali dari darmamu sebelum Ayahanda dan Ibunda kembali ke Kahyangan sana. Tapi kalaupun tidak, kuraharap kau benar-benar selalu bahagia dengan kehidupan darmamu ini.” “Baik, Ayahanda. Hamba pamit.” Dengan segala hormat, Sambirawa mengundurkan diri dari hadapan Sangkara. Sambirawa pun mulai berpamitan dengan saudara-daudaranya, ibundanya, dan para Punakawan. Mereka melepas Sambirawa dengan isak tangis. Namun demikian, mereka adalah yang paling mengerti dan mendukung cita Sambirawa yang sungguh mulia tersebut. Sambirawa pun mulai meninggalkan kerjaan dengan menggunakan sepasang kuda, untuk ia tunggangi dan untuk perbekalannya. Berangsur Sambirawa makin jauh, makin tak terlihat pula bayangannya. Seiring itu, tangis dari sanak-keluarga pun berangsur mereda. Mereka mulai beraktivitas seperti sedia kalanya. Meski perasaan sedih belum sepenuhnya lenyap dari hati mereka. Di sisi lain, Sentanu dan Purasara kembali lagi ke aktivitas yang sering dilakukan mereka berdua. Mereka belajar kehidupan dengan berburu di tengah hutan. Mereka berdua pun saat itu akan berangkat berburu untuk pertama kalinya semenjak kepergian dari Sambirawa. Mereka ingin memulai aktivitas mereka kembali seperti sedia kala. Karena itulah, kemudian mereka menghadap ke Sangkara untuk meminta izin kembali ke aktivitasnya. Purasara memang saat ini menyukai berburu dengan Sentanu. Akan tetapi, ia sendiri memiliki pikiran bahwa suatu saat ia akan menjalankan darma seperti halnya Sambirawa. Tapi ia sendiri belum tahu kapan hal itu akan ia - 14 - Purasara lakukan. Sementara ini, ia hanya ingin memperdalam ilmu dan kesaktiannya dengan berburu bersama kakandanya, Sentanu. “Ayahanda, kami memohon izin untuk kembali berburu ke hutan.” “Oh, apakah perasaanmu sudah tidak masygul lagi setelah kepergian Sambirawa?” Tanya Sangkara. “Mengenai itu, kami tidak ingin larut berduka dengan tak melakukan apaapa. Kami ingin menjalani pembelajaran kami kembali, layaknya Sambirawa yang belajar berderma dalam lelana brata. Kami akan berburu untuk mengasah kemampuan kami mengolah senjata. Lagian, ada Kakang Semar, Petruk, dan Garubug yang selalu membimbing kami selama perburuan untuk juga belajar darma.” “Kalau begitu, baiklah. Ayahanda pun senang mendengarnya. Kakang Semar, Garubug, dan Petruk, tolong temani anak kami. Ajarkan mereka hal baik dariberburu.” “Baik Tuanku. Kami akan selalu setia membimbing anak-anak Tuanku yang juga sangat kami cintai ini.” Sahut Semar. “Kami pamit, Ayahanda.” Izin Sentanu dan Purasara. Mereka berdua ditemani Punakawan pun mulai berangkat melakukan aktivitas berburu mereka ke dalam hutan. Perburuan kali ini ternyata tidak seperti biasanya. Mereka biasanya hanya berburu di kawasan hutan Suktadurja saja. Namun, kali ini, mereka ingin berkelana lebih jauh lagi dan mendapatkan tangkapan yang jauh lebih banyak dari biasanya. Mereka pun keluar dari hutan Suktadurja. Sebenarnya keinginan ini sempat dicegah oleh Semar. Menurut Semar, mereka tidak seharusnya pergi jauh-jauh dan ke negeri lain. Sebab, mereka hanya pamit untuk berburu seperti biasanya. Selain itu, tempat di negeri lain mungkin saja mempunyai bahaya yang berbeda dan sulit untuk ditaklukkan. Namun, Sentanu malah lebih bersemangat dan menganggap itu hal baru yang bisa dipecahkan oleh mereka karena mereka telah dewasa. “Sepertinya hutan ini pun sepi pula, Kakanda.” Sebut Purasara yang merasa tak menemukan buruan apa pun di hutan yang mereka singgahi. “Iya, sepertinya kita harus mencari hutan yang lainnya lagi, Dinda.” Jawab Sentanu. - 15 - Purasara “Sudahlah, Tuanku, sebaiknya kita balik saja ke Suktadurja, sepertinya memang sedang tidak banyak kancil atau kijang karena mereka sedang berlindung dari musim yang kurang baik.” Sanggah Semar. “Tidak, Kakang Semar, kalau seperti ini kita tidak layak pulang. Kita harus membuahkan hasil ketika berburu!” Jawab Sentanu menolak. “Mari kita jalan lagi ke hutan negeri selanjutnya.” Ucap Purasara menengahi. Rombongan pun kemudian kembali berjalan mencari hutan yang mungkin menyediakan apa yang mereka buru. Hutan demi hutan dilalui, negeri demi negeri dijajaki, hampir kesemuanya menunjukkan gejala yang sama. Mereka tidak menemui buruan yang mereka cari, seekor kijang atau kancil. “Ini aneh, padahal, biasanya kita selalu mendapatkan hasil banyak. Sementara ini satu pun tidak terlihat. Tidak ada satu panah pun yang meleset, dan hari ini belum satu panah pun kutembakkan.” Ungkap Sentanu. “Mungkin Dewata sedang menakdirkan kalau kita harus pulang, Tuanku.” Celetuk Garubug. “Betul, Tuanku.” Timpal Petruk, yang sepertinya lelah berkeliling untuk mencari buruan yang tidak kunjung mereka dapatkan. “Tunggu dulu… Kakang. Coba lihat keramaian di lapangan itu.” Sanggah Purasara. Pandangan mereka teralihkan ke arah keramaian. Karena penasaran, mereka pun pergi ke keramaian tersebut. Ternyata, di situ sedang diadakan sayembara. Sayembara itu memberitahu bahwa ada harimau atau mungkin iblis yang sering membuat kekacauan di negeri tersebut. Dan bagi siapa pun yang bisa mengatasi atau membunuh harimau atau iblis jadi-jadian itu akan diberi kesempatan untuk memperistri putri dari negeri itu, yakni Dewi Sriwati. “Bagaimana kalau kita ikuti ini untuk mengganti hasil buruan kita yang tidak kunjung kelihatan?” “Waduh… Jangan Tuanku. Kalau sampai kita mati kemakan harimau bagaimana?” celetuk Petruk. “Kau ini penakut sekali Truk. Padahal kau ini sakti juga.” Sahut Purasara. “Iya... Tuanku, lebih baik tidak usah.” Timpal Bagong. “Kita harus ikut.” Sanggah Sentanu yakin. - 16 - Purasara “Ya… bagaimana lagi, Bug, Truk. Kita ini tetap harus mengawal Tuan kita. Jangan cengeng.” Timpal Semar. Mereka pun akhirnya mengikuti sayembara tersebut. Sentanu dan Purasara ada di garda terdepan untuk mencari harimau itu. Sementara Semar, Garubug, dan Petruk mengawasi di belakangnya. Mereka berkeliling negeri dari malam hingga pagi selama beberapa hari. Sampai pada suatu subuh, harimau jadi-jadian itu muncul. “Itu Kakanda, tepat di belakang kandang ternak itu di depan pandang kakanda.” Sentanu pun sigap. Ia menarik busur panahnya. Kemudian, ia lontarkan hingga mengenai perut harimau jadi-jadian itu. Harimau yang terkena panah tidak langsung mati. Harimau justru berbalik akan menerkam Sentanu. Sentanu pun menarik busur kedua. Ia lontarkan dan tepat di dadanya. Harimau ambruk. Tetapi kini justru semakin beringas. Dan semakin dekat dengan Sentanu. Sentanu mencoba menghindar, tetapi harimau terlalu dekat. Hingga ketika harimau melompat menerkam, sebuah anak panah dari Purasara meluncur dan menembus kepala harimau itu. Harimau ambruk dan tak bangkit lagi. Tubuhnya berubah menjadi hitam yang menandakan bahwa itu harimau jelmaan. “Terima kasih, Adinda. Kau memang adik yang bisa kuandalkan.” Ucap Sentanu berterima kasih pada Purasara. “Itu hanya kebetulan Kakanda. Mari kita bawa bangkainya dan kita ambil imbalannya.” Mereka pun bergegas ke tempat raja. Dan membuktikan bahwa mereka telah membunuh harimau yang sering membuat huru-hara. Raja negeri itu pun menepati janjinya. Ia mengikhlaskan putrinya untuk disunting dan dibawa oleh Sentanu dan Purasara. Karena merasa sudah bisa memuaskan hasrat berburunya dengan memenangkan sayembara, Sentanu dan Purasara pun pulang ke Suktadurja membawa putri Dewi Sriwat. Sesampainya di Suktadurja, Sentanu dan Purasara menghadap pada Sangkara dan Permaisurinya, Dewi Asmayawati. Ia merasa tidak enak karena telah lama meninggalkan negeri Suktadurja, dan datang membawa seorang perempuan cantik. Namun, ternyata justru bahagia yang seketika muncul di muka Sangkara dan Asmayawati. - 17 - Purasara “Maaf Ayahanda, kami telah lama meninggalkan Negeri. Sekalian Hamba melapor bahwa kami memenangkan sayembara untuk membunuh Harimau yang mengacau di negeri seberang.” Ungkap Sentanu mewakili rombongan. “Oh, siapa gerangan perempuan tersebut.” “Namanya Dewi Sriwati, Ayahanda.” “Cantik parasnya, bukan begitu Dinda?” tanya Sangkara pada Dewi Asmayawati. “Betul Kakanda, elok nian. Cocok kalau jadi menantu kita. “jawab Asmayawati dengan riang. “Apakah ini Dewi akan kau peristri?” tanya Sangkara pada Sentanu. “Maaf Ayahanda, kami memberantas Harimau bersama, jadi mengenai itu, kita patutnya putuskan bersama dengan Dinda Purasara.” Sahut Sentanu. “Oh, begitu, baiklah. Purasara,” panggil Sangkara. Dengan langkah perlahan, Purasara menghadap ke Ayahandanya, Sangkara. Dengan gerak sedikit menunduk tanda menghormat, Purasara menjawab, “Hamba, Ayahanda!” “Apakah Dewi Sriwati akan kau peristri?” Tanya Sangkara. “Maaf Ayahanda, sepertinya Kakanda Sentanu adalah yang memenangkan sayembara. Lagipula, saya tidak ingin menikah terlebih dahulu Ayahanda. Masih banyak perihal di dunia ini yang ingin Hamba pelajari sebelum Hamba memutuskan untuk menikah.” Jawab Purasara dengan segala hormat. “Oh, jawaban yang mengejutkan! Kalau begitu, ini pilihannya ada padamu Sentanu. Tentunya kau harus menghormati Dewi Sriwati yang sudah Kau bawa kemari!” tanya Sangkara pada Sentanu. “Dengan segala hormat, Ayahanda. Hamba sungguh mengapresiasi jawaban dari Dinda Purasara. Ialah yang menolong Hamba memenangkan sayembara. Karena Dinda Purasara sudah memutuskan jawabannya. Hamba pun demikian. Hamba bersedia dan mau menikahi Dewi Sriwati, Ayahanda.” Jawab Sentanu tegas. “Sangat senang aku dan ibundamu mendengar jawabanmu itu, Sentanu. Kalau begitu, marilah kita rayakan pernikahanmu dengan Dewi Sriwati.” Jawab Sangkara. - 18 - Purasara Dengan titah Sangkara, akhirnya pernikahan pun digelar selama tujuh hari tujuh malam lamanya. Sentanu resmi menikahi Dewi Sriwati. Sangkara dan Asmayawati tampak sangat senang dengan menantunya. Begitu pula Sentanu dan Dewi Sriwati. Mereka berdua tampak sangat bahagia. Dewi Sriwati sangat menyukai suaminya. Dan Sentanu, terlihat begitu terpaku pada tawa istrinya. - 19 - IV Pembagian Tahta Beratus tahun lamanya Kerajaan Suktadurja berdiri. Beratus tahun pula Sangkara memerintah sebagai seorang pemimpin Negeri, dengan Dewi Asmayawati sebagai permaisuri. Kedamaian selalu menyertai. Mereka berdua merasa bahwa anak-anak mereka sudahlah besar. Sesekali mereka mengawasi Sentanu yang sedang bahagianya bercengkerama dengan istrinya. Sesekali, mereka mengawasi Purasara yang akhir-akhir ini mulai sering belajar darma dari Semar dan Punakawan. Mereka pun merasa keduanya sudah teramat dewasa. Anak-anaknya sudah bisa menjadi seorang pemimpin negeri yang bijaksana. Terlebih lagi, mereka merasa tubuhnya sudah mulai renta dimakan usia. Terbersit dalam kepala bahwa mereka akan kembali ke Kahyangan, negeri para dewata. “Dinda, apakah sudah wakunya kita memberikan negeri ke anak-anak kita?” “Ada apa gerangan Kakanda berpikir seperti itu?” sahut Dewi Asmayawati. “Aku merasa kalau tubuhku mulai tua, begitu pula denganmu. Sepertinya, kita tidak akan bisa memimpin negeri ini dengan baik jika tubuh kita sudah tidak prima.” “Hamba mengerti kekhawatiran Kakanda. Tapi apakah mereka sudah siap?” “Itulah, Adinda. Sentanu sepertinya sudah pantas untuk menjadi raja. Purasara pun tampaknya semakin bijaksana di bawah bimbingan Kakang Semar. Sementara kita? … Sudah waktunya kita kembali ke kahyangan menemui para dewata.” “Kalau Kakanda cukup yakin akan hal itu, marilah Kakanda … mari.” Maka, mereka pun akhirnya memutuskan untuk mengumumkan pada anak-anaknya dan beberapa penghuni negeri bahwa mereka akan kembali ke negeri dewata. Dan, tampuk pemerintahan diserahkan pada kedua anak mereka, Sentanu dan Purasara. - 20 - Purasara Dalam sebuah pertemuan di pagi hari, semua penduduk beserta perangkat kerajaan berkumpul di Balairung Istana. Sangkara mengumpulkan mereka. Dan memulai bicaranya dengan nada yang berat. “Wahai wargaku, wahai seluruh penghuni suktadurja. Serta seluruh penghuni istana yang aku cintai. Kini ada sesuatu yang ingin aku sampaikan pada kalian. Sesuatu ini aku rasa penting untuk kusampaikan pada kalian. Sebab, ini berkait dengan keberlangsungan negeri ini.” Sangkara menghentikan kata-katanya sejenak. Ia memandang sekitar. Hening … mereka memerhatikan Sangkara dengan sangat serius. Tak sedikit mata yang tak berkedip melihatnya. Warga-warga yang dikasihi Sangkara, warga-warga yang mengasihi sangkara. Dengan sedikit tarikan napas yang agak berat, ia memulai lagi bicaranya. “Aku sudah cukup tua. Bahkan, tanganku sudah gemetar memegang pedang. Lariku sudah kalah cepat dari kura-kura. Dan, karismaku sudah tak lagi ditakuti siapa-siapa. Aku merasa, tempat yang paling tepat bagiku bukan lagi pada singgasana, tetapi kembali ….” Sangkara kembali terdiam, tenggorokannya terasa lebih berat kali ini. Ia bahkan tak kuat menegakkan kepala, melihat sekitarnya. Sedikit ia menunduk, melanjutkan bicaranya. “Kembali ke tempat para dewata di Kahyangan sana.” Peserta yang hadir belum sempat berbicara apapun. Tapi Sangkara sudah kembali bersiap melanjutkan kata-katanya. “Karena itu, tahta dan singgasana negeri akan aku serahkan pada kedua anakku. Dengan begitu, aku dan Asmayawati bisa tenang meninggalkan Negeri.” “Tapi Tuanku, maaf hamba berbicara.” Sahut Semar. “Tidak apa-apa, Kakang Semar. Lanjutkan kata-katamu.” Sangkara menganggapi. “Bukankah negeri ini hanya satu, Tuanku. Sementara, anak Tuanku ada dua, tiga bahkan. Sambirawa masih merantau.” “Soal Sambirawa, aku pikir, dia sudah menemukan jalan hidupnya. Dia akan kembali bukan untuk berkuasa, tapi menebar darma. Untuk negeri, anakku memang dua. Karena itu, aku pun akan memberikan negeri ini untuk dibagi menjadi dua. Aku pikir itu adil untuk kedua anakku.” - 21 - Purasara “Kalau begitu adanya, Hamba pikir itu juga cukup adil. Sekarang tinggal bagaimana tanggapan kedua anak Tuanku.” Sangkara mengangguk kecil. Sebentar ia menoleh ke Dewi Asmayawati. Sebentar kemudian ia kembali melihat ke seluruh hadirin. “Balairung ini adalah batasnya. Dari sini akan ditarik garis lurus. Sebelah barat adalah negeri untuk Sentanu, dan sebelah timur untuk Purasara.” Seluruh hadirin mengangguk. Tanpa suara sedikit pun, seolah mereka menyatakan persetujuan. Akan tetapi, ada kegelisahan pada raut muka Purasara. Ia terlihat berpikir sangat keras. “Bagaimana anak-anakku, apa kalian setuju dengan usulanku ini?” Keduanya tidak ada yang menyahut. Purasara terdiam dan menunjukkan raut muka yang tidak setuju. Karena itu, Sentanu yang sangat menyayangi adiknya ini, merasa tidak berhak bicara. Ia memilih diam sebelum adiknya berbicara. “Sentanu, kau sebagai yang tertua, apa kau setuju?!” tanya Sangkara seketika. Sentanu tetap terdiam. Ia merasa, kalau adiknyalah yang tidak setuju, dan ia tidak ingin bertengkar dengannya. “Hai Sentanu. Jawablah pertanyaan Ayahandamu ini!” Sergah Sangkara. Mendengar Ayahandanya berbicara dengan nada yang cukup keras, ia pun akhirnya bicara. “Segala hormat, Ayahanda. Ananda bukan berusaha menentang Ayahanda. Hamba hanya melihat bahwa Purasara menunjukkan wajah yang kurang bahagia. Hamba tidak berani memutuskan kalau memang Adindaku Purasara tidak menyukainya.” “Hai Anakku, Purasara. Apa betul demikian?” tanya Sangkara, memelan. “Maafkan Ananda, Ayahanda. Bukan tidak setuju dengan maksud adil dari Ayahanda. Akan tetapi, ananda merasa, ada tujuan hidup ananda yang belum ananda laksanakan.” “Apa maksudmu itu?” “Ananda masih ingin belajar darma dari Kakang Semar, Garubug, dan Petruk. Karena itu, ananda belum mau untuk memimpin sebuah negeri. Ananda ingin seluruh negeri dipimpin oleh kakanda Sentanu terlebih dahulu.” - 22 - Purasara “Jadi, Kau tak mau mengemban usulanku, dan lebih memilih semua negeri untuk Sentanu?” “Dengan segala hormat, iya, Ayahanda.” “Kalau begitu maumu, aku akan ikuti.” Sambil menoleh ke arah Sentanu, Sangkara bertanya dengan tegas, “Apakah kau siap memimpin negeri ini seutuhnya? Seperti yang diinginkan Adindamu itu?” “Demi Dewata, Demi Ayahanda, dan demi Adindaku tercinta, Ananda siap jika memang itu yang terbaik.” “Baiklah. Dengan begitu, aku resmi mengumumkan bahwa negeri ini akan aku turunkan pada anak pertamaku, Sentanu.” Ucap Sangkara menutup pertemuan. Dengan disetujuinya kesepakatan itu, Sangkara resmi meninggalkan tahta dan singgasananya. Kekuasaannya diserahkan pada Sentanu. Sepanjang 7 hari 7 malam, Suktadurja berpesta. Mereka mempunyai raja baru untuk kempimpinannya yang akan datang. Di sisi lain, Suktadurja juga berduka dengan akan perginya raja mereka terdahulu, Sangkara, bersama permaisurinya, Dei Asmayawati, kembali ke Kahyangan. Di tengah pesta, Sangkara memerhatikan putranya yang duduk gagah di singgasana. Ia seolah melihat dirinya saat muda, gagah perkasa dan bahagia bersama warga. Tanpa disangka-sangka, datanglah Semar bersama Petruk dan Garubug menghampiri Sangkara. “Tuanku, bagimana nasib kami? Kami ke sini kan untuk menemani dan melayani Tuanku.” Keluh Punakawan. “Lantas, apa maumu, Kakang?” Sangkara bertanya balik. “Selama ini kami hanya mengikuti Tuanku, kalau Tuanku pulang, bagaimana nasib kami? Kami ingin ikut kembali bersama Tuan saja.” “Tidak Kakang, Aku dan Asmayawati akan kembali berdua saja. Kakang Semara, Petruk, dan Garubug adalah penasihat negeri. Bagaimana nanti kalau Kakang semua ikut pulang. Negeri ini bisa kacau.” “Lalu kami harus apa Tuanku, kami ikut perintah Tuanku.” Ungkap Semar bersedih dan menitikkan air mata. - 23 - Purasara “Masih ada dua anakku yang ada di negeri ini, tolong bimbing mereka berdua, jaga mereka berdua. Terutama Purasara yang paling kecil. Tolong sekali Kakang Puanakawan sekalian, jangan sampai mereka tersesat. Kalian yang paling tahu keadilan dan ketidakadilan.” Sambil menahan tangis, Semar menganggapi dengan tersedak-sedak, “Iya Tuanku. Hamba mengerti akan itu semua.” Petruk dan Garubug hanya terdiam menundukkan kepala. Mereka bersedih dan tidak tahu mau berkata apa. “Itu saja pesan saya, Kakang Semar, Petruk, dan Garubug. Semoga kit suatu saat bisa bertemu di Kahyangan sana.” Tutup Sangkara. “Baik, Tuanku Kami undur diri dulu.” Jawab Semar. Gareng, dan Petruk pamit. Dengan muka sedih, mereka memberi tanda perpisahan kepada Tuan mereka. Pesta berlalu, perpisahan telah menunggu. Tepat pada hari baik, Sangkara dan Dewi Asmayawati mempersiapkan perpisahannya dengan Suktadurja. Seluruh warga yang dipimpin oleh Sentanu, memberi salam dan ucapan perpisahan. Tak sedikit tangis meledak. Dan tepat setelah semua air mata telah habis dilahap tanah Suktadurja, Sangkara dan Dewi Asmayawati dijemput oleh sesorot cahaya. Dalam kedipan mata, mereka gaib dan pergi seketika. - 24 - V Pilihan Bertapa ke Gunung Parasu Beberapa saat setelah kepergian Sangkara dan Dewi Asmayawati, negeri Suktadurja pun memulai aktivitas seperti biasanya. Warga yang kesehariannya pergi bertani, kembali lagi mengolah sawah dan ladangnya. Warga yang kesehariannya pergi berburu, kembali menjelajah hutan untuk berburu. Warga yang kesehariannya menjadi tukang, mulai kembali lagi membuat kerajinan pertukangan. Warga yang kesehariannya menjadi pembantu dan pegawai kerajaan pun kembali ke aktivitas mereka sebagai pembantu dan pegawai kerajaan. Tak terkecuali para Panawakawan, Sentanu dan Dewi Sriwati, juga Purasara. Para Punakawan ada pada kedudukannya sebagai penasihat kerajaan. Mereka ada di sisi Sentanu dan Purasara. Terkadang mereka mengajarkan darma pada Sentanu dan Purasara. Terkadang mereka memberi nasihat pada Sentanu untuk mengatur warganya agar warganya selalu dalam naungan ketenteraman dan keadilan. Kadang pula, mereka menjadi pendamping Purasara ketika ingin belajar ke hutan, ingin turun ke warga-warganya membaur dan berderma, ataupun di saat Purasara, secara diam-diam, mencoba bertapa dengan para Brahmana di gunung-gunung sekitar Suktadurja. Tampaknya perihal pergi keluar wilayah kerajaan secara diam-diam untuk berderma ke warga dan bertapa ini belum diketahui oleh Sentanu. Tampaknya perihal ini pula yang membuat Purasara gelisah dan tidak mau memerintah kerajaan atau kerajaan dibagi dua. Di samping itu, Semar, Garubug, dan Petruk memang diminta untuk tutup mulut dan tidak memberi tahu siapa pun mengenai aktivitas Purasara ini. Purasara ingin kegiatan darmanya diterima oleh dewata dan menjadi pamrih. Oleh karena itu, ia meminta para Punakawan yang senantiasa mendampinginya untuk tidak membocorkan apaapa mengenai kegiatannya. Di satu sisi, Sentanu memang sangat sibuk dengan posisinya sebagai seorang raja saat ini. Sentanu seringkali menerima kunjungan dari wargawarganya, baik yang ingin memberikan sumbangan pertanian kepada kerajaan ataupun ingin meminta banTuan menyelesaikan masalah. Ia juga sering menerima tamu dari berbagai negeri di luar Suktadurja. Kebanyakan tamu itu hanya ingin berdiplomasi dan menjalin hubungan baik dengan - 25 - Purasara kerajaan Suktadurja. Terlebih lagi, Sentanu adalah raja baru menggantikan Ayahandanya. Karena itulah, Sentanu sudah jarang sekali memerhatikan aktivitas adik tercintanya, Purasara. Walaupun, Purasara pun memang sering bepergian tanpa mau diketahui oleh Kakandanya, selagi Ayahandanya yang masih berkuasa. Suatu ketika, Sentanu ingin meminta banTuan dari adindanya, Purasara. Namun, Purasara ternyata tidak ada di tempatnya. Ia sedang pergi berderma. Ada seseorang yang memberikan berita kalau Purasara sedang berkeliling untuk membagi-bagi kebutuhan pada warga. Sentanu yang tidak pernah tahu kabar itu sontak kaget. Walaupun sebenarnya dalam hati ia juga bangga karena adindanya itu benar-benar punya komitmen dalam belajar dan menjalankan darma. Ketika Purasara sudah kembali lagi ke wilayah kerajaan, Sentanu pun segera memanggil adindanya itu untuk menghadap. Dengan segera, Purasara pun menghadap ke hadapan kakandanya, Sentanu, dengan disertai para Punakawan. “Salam, Kakanda. Ada apa gerangan Kakanda memanggil Adinda?” “Kenapa Adinda tidak bilang apa-apa ke Kanda?” “Maksudnya apa, Kakanda?” “Jadi selama ini kau lelana brata juga bertapa untuk menjalankan darma layaknya Sambirawa?” “Tidak juga Kakanda.” Jawab Purasara lirih. “Maksudnya?” Sentanu terheran“Adinda tidak bisa disamakan dengan Kanda Sambirawa. Kanda Sambirawa telah memutuskan seluruh jalan hidupnya untuk berdarama. Sementara Dinda hanya masih belajar berdarma.” “Ya, maksudku juga demikian, Dinda. Tapi, sejak kapan kau melakukan hal mulia seperti itu. Yang kutahu selama ini kau hanya membuntuti kebiasaanku layaknya satria yang gagah perkasa.” Tanya Sentanu penasaran. “Sebenarnya ini kulakukan sejak lama, Kanda. Secara diam-diam. Sejak memutuskan untuk terjun dan mendalami darma lewat kakang Semar. Bahkan ini juga jadi alasanku kenapa tidak mau menerima pembagian negeri dahulu. Adinda belum siap untuk memerintah warga karena Adinda memang masih harus banyak belajar Darma. Lagipula, Adinda belum berpasangan, jadi belum ada yang mengurus.” Aku Purasara. - 26 - Purasara “Apa benar demikian, Kakang Semar?” tanya Sentanu pada Semar. “Maaf, Tuanku. Hamba dipaksa untuk tutup mulut oleh Adindanya Tuan Muda!” “Walah ternyata kalian sekongkol untuk menyembunyikan tingkah Adindaku ini ya?” sahut Sentanu sambil tertawa. “Darma tidak baik untuk diumbar-umbar, Kanda.” Ucap Purasara. “Baiklah Adindaku. Kau memang jauh lebih mahir segalanya daripada aku, termasuk ilmu darma, khususnya.” Tambah Sentanu terbahak. Mendengar Kakandanya terbahak kegirangan, Purasara pun merasa bahwa ia tak perlu lagi berdarma secara diam-diam. Ia mulai berpikir untuk menyampaikan keinginannya untuk pergi bertama ke Gunung Parasu. Namun, setelah ia timbang kembali, ia urung. Ia merasa dirinya baru sampai ke kerajaan. Tidak sopan jika langsung meminta izin untuk pergi. Terlebih dalam jangka waktu yang lama. Ia pun memutuskan untuk undur diri istirahat dahulu. Izin undur diri pun diikuti oleh para Punakawan. Di tengah perjalanan ke bilik istirahatnya, Semar bertanya ke Puarasara. “Ada apa Tuan? Sepertinya ada yang masih Tuan sembunyikan.” “Tidak apa-apa Kakang Semar, aku hanya berpikir untuk menyampaikan keinginanku bertapa ke Gunung Parasu tadi. Namun, aku urung. Sepertinya tidak sopan kalau aku baru pulang langsung minta izin untuk pergi lagi.” “Oh, begitu Tuan. Iya, Hamba sependapat. Besok saja, menunggu waktu yang lebih tepat. Sekarang Tuan beristirahat saja dahulu.” “Iya Kakang Semar. Salam” Mereka pun kembali ke bilik masing-masing untuk beristirahat. Esokesoknya, Purasara pun belum berani menyampaikan niatnya ke Kakandanya. Selama itu, ia hanya membaca buku mengenai darma, berlatih panahan, serta berkuda. Sentanu pun sibuk dengan tamu-tamunya dan segala agenda pemerintahan di Suktadurja. Dalam pikiran Purasara, dahulu Ayahandanya juga tidak sesibuk Kakandanya sekarang. Tapi pikiran itu segera dibuangnya. Sampai suatu ketika, Purasara pun mantap untuk menghadap pada Kakanda, perihal meminta izin bertapa ke Gunung parasu. Di tengah kesibukan Sentanu, Purasara pun menghadap. “Maaf beribu maaf Kanda jika Dinda mengganggu Kanda.” Purasara datang memberi hormat. - 27 - Purasara “Oh… Adinda Purasara. Ada apa gerangan. Kau mau berdarma lagi?” “Iya Kakanda, hamba mau meminta izin.” “Baiklah, Aku dengan senang hati mengizinkan.” “Maaf Kakanda, tetapi kali ini aku akan izin bertapa dengan jangka waktu yang lama ke Gunung Parasu. Aku pun tidak tahu kapan akan pulang kembali ke Suktadurja.” Seketika Sentanu langsung terhenti dari pekerjaannya. Ia menatap ke Adindanya. Ia menghampiri lalu memeluknya. “Kau sungguh-sungguh, Dinda?” “Sungguh-sungguh, Kakanda.” Sentanu berpikir sejenak. Ia tampak memikirkan keadaan adiknya nanti jika terjadi apa-apa di perjalanan. “Gunung Parasu itu cukup jauh dari Suktadurja Adinda. Kalau terjadi apa-apa padamu, aku tidak bisa membantu,” “Sambil berjalan menuju Gunung Parasu, aku pun ingin sambil meningkatkan ilmuku, Kanda.” “Andai Kandamu ini tidak sibuk mengurusi perihal negeri. Pasti Kandamu ini akan senantiasa menemanimu. Meskipun, Kanda kurang begitu suka bertapa, Kanda lebih suka ilmu kanuragan dan ilmu perang.” “Tidak apa-apa Kanda. Uruslah yang menjadi kewajiban Kanda. Dinda bisa menjaga diri Dinda sendiri.” “Tidak. Kau harus dikawal. Kakang Semar, Petruk, dan Garubug akan mengawalmu dan menemanimu menuju Gunung Parasu.” Sentanu meminta pada para pengawal untuk memanggil Semar, Petruk, dan Garubug. Tidak lama, mereka pun datang menghadap. “Hormat Tuanku. Ada apa Tuanku, memanggil kami?” “Tolong, Kakang Semar, Garubug, dan Petruk, temani Adinda Purasara untuk pergi ke Gunung Parasu. Aku khawatir terjadi apa-apa pada Adindaku ini.” Pinta Sentanu. Semar yang sudah tahu niatan dari Purasara pun hanya tersenyum dan mengiyakan. “Baik, Tuanku, hamba akan senantiasa menemani Tuan Purasara karena itu pula pesan dari Ayahanda Tuan.” “Baiklah, Kakang Semar. Aku sekarang tidak khawatir lagi.” - 28 - Purasara “Kanda agak berlebihan mengkhawatirkanku yang bahkan lebih pandai ilmu darimu. Sebaiknya para Punakawan menemani Kanda di negeri sini. Siapa yang akan menemani Kanda dan menjadi penasihat negeri kalau mereka semua iku?” “Kalau orang di dalam negeri banyak prajuritnya, tidak perlu kami temani, kalau orang di gunung banyak bahayanya, makanya harus kami temani.” Sahut Garubug. “Godaan dan rintangan di luar tidak ada yang tahu. Tuan harus tetap waspada. Kalau Kanda Tuan mau kami mengawal, berarti Kandamu ini sangat sayang padamu.” Timpal Petruk. “Baiklah kalau memang itu yang diinginkan Kanda dan para Punakawan.” Terima Purasara sambil sedikit tersenyum. Mendengar itu, lalu Purasara pamit undur diri. Begitu pula diikuti Semar dan Punakawan. Tapi, sebelum Semar keluar ruangan, Sentanu kembali memanggil dan berpesan, “Kakang Semar, juga sekalian Petruk dan Garubug. Tolong jaga baik-baik Adinda Purasara.” “Baik, Tuanku. Selalu!” jawab Semar. Mereka pun berkemas. Keesokan harinya, Purasara ditemani Punakawan memulai berangkat menunju Gunung Parasu. Gunung yang konon merupakan tempat bertapa para Batara. Gunung tertinggi yang penuh rintangan. Siapa pun harus melewati beberapa lembah, hutan, dan sungai untuk kemudian sampai ke kaki gunungnya. Dan mereka pergi dengan tekad kuat dan dada yang tegap. - 29 - VI Rintangan Menuju Pertapaan Meskipun tidak pernah memberitahu siapa pun, kabar mengenai perjalanan Purasara dengan para Punakawan ke Gunung Parasu untuk bertapa beredar di telinga banyak orang. Di mana-mana, orang keheranan dengan rencana Purasara untuk pergi ke Gunung Parasu yang terkenal banyak Rintangannya. Banyak yang mengagumi niatan darmanya, tetapi tidak sedikit pula yang menggunjingnya, dianggap bodoh tak mau menerima kekuasaan malah memilih pergi untuk bertapa dan mengorbankan nyawa. Memang begitu mulut sebagian orang, terkadang, sesuatu bisa saja menjadi omongan, perihal baik dan buruknya. Yang paling tidak terduga, kabar itu ternyata menyebar hingga ke Kahyangan. Hal itu membuat khawatir Batara Guru. Batara Guru saat ini adalah Raja Kahyangan. Ia menjadi Raja karena ia adalah yang terdekat dengan Sang Hyang Tunggal, yang sekarang menjelma Semar. Ia terdekat dari segi keturunan dan segi kekuatan. Tidak ada yang bisa mengalahkan Batara Guru. Karena itulah Batara Guru dapat berkuasa dari segala Batara yang ada. Namun, ada ramalan yang mengatakan bahwa seorang keturunan Sang Hyang Tunggal yang bisa bertapa di Gunung Parasu layaknya Batara, bahkan melebihi Batara, akan memiliki kekuatan yang sangat besar bahkan bisa menguasai para Batara. Karena Purasara adalah anak Sangkara yang masih punya hubungan dengan Sang Hyang Tunggal. Batara Guru yakin kalau Purasara bertapa melebihi tapa para Batara di Gunung Parasu, kesaktiannya akan mengancam posisi Batara Guru. Itu yang Batara Guru takutkan. Ia pun memberi tahu para bawahannya untuk segera mencegah dan menggoda Purasara. Ia membuat narasi kalau sampai Purasara mendapatkan kesaktian melebihi para Batara, ia bisa sewaktu-waktu mengacau Kahyangan dan membuat para Batara menjadi bawahannya. “Hai para Batara. Turunlah kalian semua ke Dunia untuk menggoda dan mencegah Purasara bertapa di Gunung Parasu. Sebab, jika ia sampai bertapa di gunung Parasu, ia bisa menjadi teramat sakti. Terlebih lagi jika ia bertapa layaknya para Batara. Ia bisa sangat sakti dan dapat mengacak-acak seluruh isi Kahyangan. Membuat kita semuamenjadi bawahannya. Jika itu terjadi, keseimbangan dunia dan Kahyangan bisa kacau. Kita harus bisa hentikan itu semua.” Titah Batara Guru. - 30 - Purasara “Apa memang seberbahaya itu, Tuanku? Apa kita harus takut pada seorang manusia yang hanya keturunan Sangkara, ciptaan Batara?” tanya salah satu Batara. “Kau tidak boleh meragukan omonganku ini. Ini semua sudah termaktub dalam sebuah ramalan besar yang aku baca. Aku lebih tahu banyak dari kalian semua. Maka itu, aku perintahkan pada kalian untuk menggoda agar mereka tidak jadi bertapa di Gunung Parasu.” “Kalau itu, sepertinya hal yang mudah kami lakukan. Baiklah, Tuanku.” Jawab salah satu Batara. “Tapi kalian harus hati-hati dengan para Punakawan, pengawal dari Purasara. Petruk adalah jelmaan dari angin puyuh. Garubug juga jelmaan dari kesaktian alam. Dan yang paling bahaya adalah, Semar. Jangan sampai kalian berhadapan dengan pengawal yang satu itu. Sebab, kalian tak akan mampu menang melawannya. Ia punya kesaktian tiada tara yang harus diwaspadai pada Batara. Pada dasarnya kalian harus hati-hati dengan mereka. Dan kalian harus menyamar sebagai makhluk yang amat seram agar mereka tidak tahu bahwa kalian ini Batara. Kalau mereka sampai tahu, maka kita sebagai Batara akan menjadi sasaran dendam para manusia, terutama Purasara dan keturunannya!” ucap Batara Guru mewanti-wanti. “Baiklah, kalau begitu, Tuanku. Kami akan turun berempat. Menyamar sebagai raksasa untuk membuat mereka mengurungkan niat mereka ke Gunung Parasu. Kami pamit undur diri.” Jawab para Batara undur diri. Setelah menerima titah dari Batara Guru, keempat Batara tersebut melihat dari langit keberadaan Purasara dan Punakawannya. Mereka sedang melintasi sebuah hutan menuju Gungnung Parasu. Tampak Purasara memimpin di depan dan diikuti tiga Pawanakan. Mereka melihat-lihat mana yang harus mereka hindari yang bernama Semar. Setelah mereka cukup yakin, mereka turun dengan perwujudan Raksasa. Mereka turun bagaikan lemparan batu-batu besar dari letusan gunung. Suaranya penuh gemuruh disertai dengan gempa yang menjadi-jadi. Purasara dan Panawakan tampak terkejut melihat kedatangan keempat raksasa tersebut. Purasara lalu menegakkan diri dan bersikap tenang. Sementara itu, Semar tampak sangat tenang, berbeda dengan Garubug dan Petruk yang ketakutan karena baru pertama kali melihat makhluk seperti manusia tetapi wujudnya sangat besar. - 31 - Purasara “Hai, kau yang bernama Purasara? Undurlah dari hutan ini. Kami adalah penjaga hutan. Jika kau mau lewat, serahkan dua Punakawanmu sebagai tumbal untuk kami makan!” sergah Raksasa. Mendengar itu, Semar yang tak ingin terjadi apa-apa pada Tuannya dan anak-anaknya, membisiki Tuannya agar cari cara aman saja. “Lebih baik kita mundur saja, Tuanku. Hamba tidak mau ada yang terluka nantinya.” Namun, dengan tekad yang kuat, Purasara enggan untuk mundur. Dengan tatapan yang tajam dan badan tegap, Purasara menyahut. “Mana mungkin kami urung. Kami akan menunaikan darma dan bertapa di Gunung Parasu. Kami akan menghadapi segala rintangan di depan kami!” Mendengar itu, para Raksasa tertawa terbahak. “Hahaha… bertapa di gunung Parasu katamu? Kalau kau nekat juga, lebih baik kalian semua kami telan hidup-hidup di sini!” seru para Raksasa. Petruk dan Garubug tampak menggigil ketakutan. Sementara Semar kebingungan. Ia tak tahu lagi mau melawan atau mau membujuk Tuannya agar mundur. Purasara sendiri berbalik menantang. “Ayo, kemari kalau berani. Akan kujadikan kalian korban selanjutnya dari kerisku!” sambil menarik keris dan menghunusnya ke depan, Purasara tampak siap melawan. Tanpa jawaban dari Raksasa, mereka pun langsung bentrok. Raksasa bersiap memalukan gadanya. Sementara Purasara sudah mulai maju menyerang dan menghunus kerisnya ke arah salah satu Raksasa. Hunus keris dari Purasara ke arah dada raksasa dapat ditangkis dengan Gada dari Raksasa. Keris pun meleset dan dengan genggamannya yang besar, raksasa memegang tangan Purasara lalu melayangkan tubuh Purasara ke angkasa. Purasara pun melayang. Dan segera dipukul oleh raksasa lain dengan Gadanya hingga terpuruk ke tanah. “Hahaha … kau pikir dengan tubuhmu yang kecil itu kau akan bisa melawan kami? Omong kosong!” sergah raksasa mengejek. Purasara yang mendengar itu pun kesal. Seolah tanpa kesakita, ia bangkit dan menghunus kembali kerisnya. Kali ini sasarannya adalah perut bagian kanan raksasa. Sekali lagi raksasa bisa menangkis hunus Purasara dengan gadanya. Purasara yang goyah ditangkap kakinya. Lalu dilemparkan ia pada bebaTuan besar. - 32 - Purasara “Haha… orang lemah sepertimu hanya menyetor nyawa saja di hadapanku. Kita lihat seberapa lama kau bertahan hingga maut menjemputmu.” Lagak raksasa sombong. Dua raksasa lain datang menghampiri Garubug dan Petruk. Satu raksasa dengan cepatnya langsung melempar garubug ke angkasa. Satu lagi membawa petruk loncat dan membantingna ke permukaan tanah. Semar yang kebingungan malah berlindung di bawah pohon randu. Semar tidak tahu mau berbuat apa. Sementara raksasa-raksasa tidak ada yang berani mendekati Semar karena sudah diwanti-wanti oleh Batara Guru. Dua raksasa mengeroyok Purasara. Purasara yang tadi tampak kewalahan, kini bisa melayani dan menangkis perlawanan dari du raksasa. Namun, tak sedikit pun perlawanan dari Purasara mengenai raksasa-raksasa tersebut. Tangkisan keris dan gada seolah mememercik cahaya api. Terlihat Purasara sama kuat dengan kedua rakasasa yang bertarung melawannya. “Kurang ajar, dia kini semakin lincah rupanya.” Ungkap salah satu raksasa. “Iya, sepertinya dia cukup merepotkan setelah berhasil kita banting ke permukaan tubuhnya. Bukannya hancur, malah makin sulit dipukul.” Sahut raksasa satunya. Tanpa pikir panjang, Purasara menjawabnya dengan tebasan kerisnya. Satu raksasa menangkisnya dengan gada. Raksasa lainnya ingin memukul tapi terburu purasara menghindar dan lenyap dari hadapannya. Raksasa justru bertabrakan satu sama lainnya. Kesempatan untuk Purasara menusuk keduanya dari belakang. Namun, kali ini raksasa masih bisa sigap menghindarinya. Purasara gagal melayangkan hunusan keris di bagian fatal raksasa. Garubug yang terlempar ke udara sudah mendarat ke permukaan. Badannya berasa remuk dimakan bumi. Tapi raksasa belum mau berhenti memburunya. Iya menarik kembali tubuhnya dan melparnya tinggi-tinggi. Walaupun terlihat pasrah, kali ini Garubug cukup cerdik. Ketika dirinya akan jatuh lagi ke permukaan, ia memutar haluan arah. Tubuhnya yang lumayan besar pun malah berbalik menimpa raksasa. Garubug dan raksasa sama-sama terkapar di atas tanah. Di sisi lain, Petruk yang nampak ketakutan malah bisa berbalik menyerang rakasasa. Dengan kekuatannya, ia berhasil beberapa kali memukul kepala dan menjambak rambut dari raksasa. Raksasa pun cukup kewalahan. Sampai di - 33 - Purasara satu kesempatan, raksasa berhasil melayang kan gada. Tubuh petruk terpental ke arah Garubug. Garubug yang mlai bangkit justru kembali jatuh tertimpa tubuh Petruk. Keduanya sama-sama terkapar. Giliran dua raksasa yang telah kembali bangun, bersiap melayangkan gada ke tubuh Petruk dan Garubug. “Bapak, kenapa Bapak diam saja. Sampai hati Bapak biarkan anakmu dipukul begini?” rintih Garubug. “Iya Bapak, anakmu ini bisa mati kalau tidak kau tolong.” Sahut Petruk kesakitan. Semar yang mendengar rintihan anaknya itu kebingungan. “Waduh, Garubug, Petruk, Bapakmu ini bingung mau ngapain. Mau menyelamatkan Tuan Purasara atau malah menyelamatkan kalian. Aku sendiri saja sulit menyelamatkan diri.” Setelah mendengar Garubug dan Petruk yang terdesak, Semar pun akhirnya turun. Ia ambil pasir dan debu di tanah. Lalu dihamburkannya ke udara ke arah para raksasa. Dengan gaibnya pasir dan debu itu menjelma puyuh yang guruh dan mengenai mata-mata para raksasa. Seketika mata mereka kesakitan. Raksasa yang sedang bertarung seperti kehilangan arah. Mereka hanya memukul ke sana kemari. Petruk dan Garubug yang hampir kena gada, jadi selamat. Gada berbelok arah menimpa sesama raksasa. Dua raksasa yang bertarung dengan Purasara pun demikian. Matanya kerasukan debu dan pasir yang guruh dengan angin kencang. Mereka jadi tidak menentu pukulannya. Mereka seperti cacing kepanasan yang kelabakan. Purasara pun kini sangat mudah menikam tubuh mereka yang besar. Mereka menggada ke kiri, Purasara menusuk dada kanan. Mereka menikam ke kanan, Purasara menusuk dada kiri mereka. Begitu terus sampai mereka tertikam tujuh tusukan di dada dan perut. Dua raksasa yang tadinya menyerang Garubug dan Petruk malahan ditertawakan bagai kuda kesetanan. Mereka menggada tidak jelas arahnya. Tak jarang malah saling gada satu sama lain. Akhirnya roboh tubuh keduanya. Para raksasa pun mohon ampun kepada mereka. “Ampun, ampun kami menyerah. Ternyata kalian adalah makhluk yang kuat. Kalian pantas berkeinginan tapa di Gunung Parasu, tempat tapa para barata. Sepertinya kau pun memang anak raja yang akan menjadi sakti mandraguna karna tapa. Ampuni kami.” - 34 - Purasara “Pergi kalian para Buta … kami tak berniat membunuh kalian. Kami hanya ingin lewat. Tapi kalian malah menyerang. Akhirnya kami pun membela diri. Sekarang pergilah! … lenyaplah dari hadapan kami.” Sergah Purasara tegas. “Baik, baik… kami pergi.” Dengan seketika mereka lari terbirit-birit tak tentu arahnya. Sekali lagi mereka jadi bahan tertawaan Garubug dan Petruk yang sudah payah berdirinya. Ada yang berlari ke utara, ada yang ke selatan, ada yang ke timur, ada pula yang ke barat. Setelah mereka semua lenyap dari pandangan, mereka pun menghilang, kembali mewujud Batara, dan gaib menuju Kahyangan. Sementara itu, Purasara menghampiri para Punakawan yang terduduk lesu. “Apakah Kakang semuanya baik-baik saja?” tanya Purasara sambil menpuk pundak Garubug. “Kami baik-baik Tuanku. Hanya saja, sebaiknya kita istirahat dahulu barang sebentar. Badan rasanya kaku karena dihajar raksasa tadi.” Sahut Garubug. “Iya, Tuanku. Biar kami istirahat sejenak.” sahut Petruk mengiyakan. “Baiklah, Kakang. Kita istirahat sejenak sambil memulihkan kondisi dan stamina.” Jawab Purasara. Mereka pun beristirahat di daerah hutan itu hingga mereka pulih dalam satu atau dua hari. Setelah kembali pulih, mereka kembali melanjutkan perjalanan ke Gunung Parasu. Melewati hutan, lembah, dan perbukitan yang terjal. *** Di Kahyangan, keempat Batara yang pada awalnya diminta menggoda Purasara agar tak jadi bertapa di Gungung Parasu, kembali ke hadapan Batara Guru dengan kepala tertunduk. Mereka merasa tak sanggup dan kewalahan menghadapi para Punakawan dan Purasara. “Ampun, Tuanku. Kami kembali dengan kabar yang tidak begitu baik. Kami gagal menggoda Purasara dan Punakawannya.” Ucap salah satu Batara ke Batara Guru. “Aku juga sudah melihatnya dari Kahyangan. Memang sulit menggoda mereka jika masih ada Semar di dekatnya.” - 35 - Purasara “Lantas bagaimana, Tuanku?” “Kalian istirahatlah, biar selanjutnya kuutus Batara lain untuk menggoda mereka.” “Baik, Tuanku.” Para Batara yang gagal menggoda dan mencegah Purasara undur diri. Mereka kembali ke kediamannya masing-masing. Batara guru yang belum menyerah untuk menggagalkan niatan tapa dari Purasara mencoba untuk mengutus Batara lainnya untuk menghentikan niatan Purasara. Kali ini ia kembali mengutus empat Batara untuk berubah menjadi hewan liar agar menghentikan langkah mereka. Keempat Batara yang diutus pun langsung melaksanakan perintah Batara Guru. Mereka melihat keempat manusia berjalan di perbukitan yang sudah dekat dengan Gunung Parasu. Lalu mereka bersiap turun dan menggoda Purasara beserta Punakawannya dengan menjelma menjadi hewan buas. *** Lama Purasara dan para Punakawannya berjalan, sampailah ia pada perbukitan yang naik turun. Dari salah satu puncak bukit, terlihat sebuah gunung yang amat tinggi dan tertutup kabut di bagian puncaknya. “Itulah Gunung Parasu, Tuanku.” Ungkap Semar. “Apa berarti kita sudah dekat Kakang?” “Setelah perbukitan ini kita akan sampai, Tuanku.” “Syukurlah… apa Kakang sekalian masih kuat melanjutkan perjalanan?” tanya Purasara. “Aduh, badan sudah begini masih ditanya Tuanku.” Celetuk Garubug. “Hush… badanmu memang besar, jelek lagi. Tapi bukan itu masalahnya.” Sanggah Petruk. “Masih, Tuanku. Ayo kita lanjutkan” jawab Semar menengahi lelucon Garubug. “Hahaha… Baiklah, mari lanjut.” Sahut Purasara. Di tengah-tengah perbukitan, keempat Batara yang turun menjelma menjadi hewan buas seketika menghadang jalan dari Purasara dan - 36 - Purasara Punakawannya. Satu Batara merupa seekor harimau yang buaas dan besar, satu Batara lagi merupa babi hutan dengan tubuh yang sebesar kerbau; dua lainnya menjelma hewan sebesar raksasa, yakni gajah dan naga. Kehadiran mereka secara tidak langsung membuat Purasara dan Punakawan terkejut. “Astaga, ada apa lagi ini?” Seru Semar terkejut. “Ya ampun Bapak, sekarang ada empat hewan buas berdiri di hadapan kita. Tahu akan seperti ini, tadi aku pilih menemani Tuan Sentanu saja di dalam negeri.” Celetuk Garubug. “Hush… ngawur kau, Bug. Kita sudah mau sampai ini.” Sanggah Petruk sambil menahan gemetar. “Tenanglah Kakang, ini sepertinya rintangan lagi sebelum kita sampai ke Gunung Parasu yang sudah di depan mata.” Purasara mencoba membawa keadaan. “Sepertinya ada yang aneh, Tuanku.” Ungkap Semar. “Aneh bagaimana, Kakang?” tanya Purasara. “Lihatlah, keempat hewan buas yang tidak saling berkawan tiba-tiba bisa kompak menghadang kita tanpa sedikit pun mereka bertengkar.” “Iya.. Kakang, sepertinya mereka bukan hewan biasa. Apalagi, ukuran babi dan harimaunya sangat besar.” Sahut Purasara. “Sepertinya mereka ini hewan jadi-jadian?” ungkap Semar. “Siluman, ya, Bapak?” celetuk Garubug. “Ya, pokoknya jadi-jadian, lah, Bug.” Tambah Petruk. “Iya, Truk. Kita juga kok.” Goda Garubug. “Masih sempat guyon kau, Bug. Ini genting!” sahut Petruk yang sedang ketakutan. “Owalah sudah, tidak usah ribut. Ini kita harus apa ini? Bapak bingung.” Ucap Semar melerai Petruk dan Garubug. “Kita lawan, Kakang. Sudah dekat. Tidak ada gunanya kita lari.” Jawab Purasara bersikap kesatria. “Kalau Tuanku sudah bertitah, hamba tinggal manut saja.” Sahut Semar. Semar dan Purasara berdiri tegak dan siap berhadapan dengan keempat hewan buas di depannya. Garubug dan Petruk yang daritadi hanya bergurau - 37 - Purasara malah ciut dan bersembunyi di belakang Semar. Mereka yang tadi dihajar habis-habisan oleh raksasa tidak mau dihajar lagi oleh binatang buas jadijadian itu. “Hush! Kalian ini bagaiaman? Itu Tuan kita yang harus kita lindungi berdiri di depan, kalian malah ngumpet?” sergah semar. “Takut Bapak, luka kami belum sembuh betul.” Celetuk Garubug. “Iya, Bapak. Tulangku rasanya mau patah. Lemes.” Timpal Petruk. “Kita tugasnya menemani dan melindungi Tuan kita ini, kalau Tuan kita sampai kenapa-kenapa kita mau mengabdi pada siapa? Apa yang mau dikata ke Tuan Sentanu juga?” Garubug dan Petruk saling tatap. Dalam hati mereka sama-sama takut. Tetapi, mereka saling setuju untuk menguatkan diri. “Iya, ya… kita harus melindungi Tuan kita ya, Truk?” “Iya, Bug.” Keempat hewan buas yang sudah seperti lapar melihat mangsanya, langsung menyergap keempat manusia di depannya itu. Purasara yang hampir diterkam harimau langsung sikap menghindar. Dari belakang ia tusuk kaki harimau. Darah harimau pun bercucuran. Itu membuat harimau jadi menggila. Ia murka dan apa pun disekitarnya ia serang. Babi yang sebesar kerbau menyeruduk ke arah garubug. Garubug yang badannya hampir remuk dibanting raksasa tak kuasa menghindar. Ia pun kena seruduk. Terlempar ke semak “Aduh Petruk! pantatku remuk.” Seru Garubug. Petruk yang mendengar erangan Garubug, hampir tak bisa menahan tawa. Tapi ia justru tak fokus kalau di depannya gajah yang sebesar bukit sedang mencoba menggilas tubuhnya. Petruk pun kena pukul belalainya. Badannya melayang dan melambung ke udara, sebelum akhirnya jatuh di permukaan. “Aduh, Bapak! Badan ini sudah mau pecah rasanya.” Erang Petruk. Semar yang diserang naga segera menghindar dengan lincahnya. Badan gemuknya tidak serta merta menghambat pergerakannya. Justru semakin cepat naga menyerang, semakin lincah semar menghindar. Sampai ketika naga membuka mulutnya untuk menyergap tubuh semar, seketika semar mengambil batu yang sebesar bilik. Diangkatnya batu itu lalu ditumbukkan pada mulut naga yang mengaga. Naga pun tak berdaya, ia tak bisa menelan tak bisa juga memuntahkan. Tubuhnya terkapar dengan sumbatan batu. - 38 - Purasara Purasara yang berhadapan dengan harimau masih sigap menghentikan cakar dan sergapan harimau ganas itu. Sekali harimau melompat menyergap, Purasara menunduk, lalu menghunus keris ke tengah perut harimau. Dirobekrobek perut harimau hingga terkapar di tanah. Darah harimau pun bercucuran tak karuan. Tak lama, harimau sudah meregang nyawa. Pura sara pun balik menolong petruk yang hampir diinjak gajah. Dengan kerisnya yang tajam, ia memotong belalai gajah menjadi dua. Gajah pun mengerang darah berkucuran. Petruk selamat. Babi yang terus melaju ke arah garubug dihentikan Semar. Dengan satu tangan, tanduk babi ditahannya. Kemudian dilemparkan babi itu ke udara. Ketika babi akan jatuh ke permukaan, Purasara menghunus kerinya, robeklah perut babi dan keluarlah segala jeroannya. Gajah yang belum kalah karena masih berdiri pun tak lepas lagi dari sergapan keris Purasara. Purasara menggila dengan kesaktiannya yang semakin menjadi. Dengan ajian barunya, ia bergerak secepat kilat. Menusuk perut gajah dan juga naga. Keduanya pun terkapar. Keempat hewan buas yang terkapar tak berdaya itu, kemudian gaiblah… hilang mereka seperti ditelan cahaya. Petruk dan Garubug yang mengerang kesakitan dipapah oleh Semar. Keduanya segera disembuhkan oleh kesaktian Semar. “Memalukan, kau Bug. Malah Cuma teriak-teriak.” Ejek Petruk. “Kau juga, Truk. Dasar, tidak tau malu.” Jawab Garubug tidak mau kalah. “Sudah-sudah, kalian berdua sama saja. Cuma bisa cengengesan saja. Mari kita hampiri Tuan kita” lerai Semar. Punakawan pun segera menghampiri Purasara. “Mereka benar-benar jadi-jadian, Kakang.” Ungkap Purasara. “Sudah hamba bilang begitu kan Tuan.” Jawab Semar. “Kalian, tidak apa-apa, Kakang?” tanya, Purasara. “Sehat, Tuanku.” Jawab Garubug. “Halah, banyak gaya kau, Bug. Teriak-teriak mau mati juga.” Goda Petruk. “Sudah-sudah. Kalian ini!” lerai Semar. “Kami baik-baik, Tuanku. Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan, sebelum hari malam.” Tambahnya. “Baik, Kakang. Mari!” - 39 - Purasara Mereka pun melanjutkan perjalanan. Satu dua bukit terlewati. Hingga sampailah mereka pada kaki Gunung Parasu. Gunung Parasu terlihat sangat tinggi dan konon tidak ada siapa pun yang bisa sampai ke gunung ini karena kalah akan godaan dan rintangan di tengah jalan. Purasara dan Panawakan adalah salah satu yang bisa sampai di gunung ini dengan selamat. “Inilah Gunung Parasu, Tuanku!” ungkap Semar. Purasara hanya memandang tak berkata sedikit pun. Tampaknya ia sangat takjub akan keindahan dan kemegawahan Gunung Parasu itu. Namun, di balik kemegahan dan keindahannya, gunung ini menyimpan banyak kekuatan gaib. Sehingga, siapa pun yang bisa bertapa di sini dan melewati segala macam godaan, akan sakti mandragunalah ia. “Mari kita naiki, Kakang. Aku harus mencari tempat yang nyaman untuk bertapa.” Ajak Purasara. Mereka pun menaikin Gunung Parasu. Mencari tempat yang nyaman untuk bertapa. Sampai pada akhirnya Purasara menemukan tempat yang cocok di sebuah bongkahan batu putih, di bawah pohon beringin. “Kakang, sepertinya, di sinilah aku akan bertapa untuk beberapa waktu ke depan lamanya. Mungkin Kakang Semar bisa mencari tempat yang nyaman untuk disinggahi di sekitar sini. Tolong, jikalau saya belum terjaga dari tapa, janganlah Kakang mencoba membangunkanku. Ataupun janganlah pula kemari dan mengajakku pulang ke Suktadurja. Sebab aku akan bertapa sampai pada waktunya aku merasa sudah cukup ilmu.” Ucap Purasara memohon. “Baiklah, Tuanku. Kalau itu yang Tuanku mau, Hamba dan Garubug, serta Petruk akan mencari tempat nyaman untuk Hamba tinggali sembari menunggui Tuanku bertapa.” Balas Semar mengiyakan. Purasara pun menyiapkan dirinya untuk bertapa. Ia duduk di atas batu putih dengan khidmatnya. Melihat Tuannya tidak mau diganggu dan sudah mulai khusyuk, Semar, Garubug, dan Petruk pun kembali turun ke kaki Gunung Parasu. Mereka menetap di tanah yang cukup landai. Di situlah mereka berladang, bercocok-tanam, dan berburu untuk menghidupi dan mengisi perut mereka. Mereka menunggu, sampai nanti Tuannya terjaga dari tapa. - 40 - VII Terjaga dari Pertapaan Suktadurja, beberapa tahun sepeninggal Purasara, negeri tetap berlangsung aman dan damai. Sentanu dan istrinya, Dewi Sriwati, tampak selalu mesra dan harmonis. Mereka menjadi pasangan yang sangat serasi dalam menjalankan pemerintahan negeri Suktadurja. Saking harmonisnya mereka, hubungannya dijadikan teladan bagi para pasangan di antero negeri Suktadurja. Hingga sampai suatu ketika, Dewi Sriwati Hamil dan dikaruniai seorang anak. Anak itu tampan dan terlihat berkarisma seperti ayahnya, Sentanu. Anak Sentanu dan Dewi Sriwati ini kemudian diberi nama, Raden Perbatasari. Raden Perbatasari adalah anugerah yang tiada terkira bagi Sentanu. Sentanu memiliki salah satu keluarga laki-laki lagi. Ia adalah pangeran kecil yang bisa membawa senyum bagi siapa pun di Istana kerajaan. Bagi Sentanu, Raden Perbatasari adalah lentera yang penuh cahaya. Cahayanya menerangi seluruh negeri. Namun, ia belum sepenuhnya menerangi seluruh ruang di hati Sentanu. Ada sisi-sisi di mana kegelapan dan kemurungan masih bersisa. Di situlah bersemayam bayangan dan pikiran tentang adindanya, Purasara, yang sampai saat hari kebahagiaan Sentanu dan Sriwati tiba, ia tak sedikit pun memunculkan batang hidungnya. Dalam hati, ia gelisah, tapi di raut muka ia harus tetap bahagia. Ia tak boleh sedikit pun terlihat sedih. Sebab, ada pangerannya di situ. Raden Perbatasari yang membawa kebahagiaan di Suktadurja, berangsur lama berangsur tumbuh. Ia pun mulai suka bertanya-tanya akan banyak hal. Salah satunya adalah anggota keluarga. Sampai pada akhirnya, pertanyaan mengenai adinda dari Sentanu pun tak sengaja keluar dari mulutnya yang tanpa dosa. Sentanu pun harus menjawab bahwa pamannya saat ini sedang berderma. Ia sedang bertapa di Gunung Parasu yang perkasa. Sentanu pun tak luput menceritakan tentang kehebatan-kehebatan Purasara ke Raden Perbatasari. Hingga timbul rasa ingin tahu dan ingin bertemu di benak Raden Perbatasari. Setiap senja, Perbatasari bertanya apa pamannya sudah pulang? Sebab ia ingin sekali melihat sosoknya yang gagah bijaksana. Begitulah Perbatasari Muda, selalu ingin tahu dan selalu ingin bertemu dengan pamannya, Purasara. Bukan karena ia menaruh rindu layaknya - 41 - Purasara Sentanu. Tapi, karena ia penasaran sekali akan sosok pamannya yang bagai pahlawan, menurut cerita dari ayahnya. Namun, ia pun sabar menunggu sampai suatu saat nanti ia yakin bertemu. Sentanu pun begitu, berharap suatu ketika ada kabar dari adindanya yang sangat dicintainya itu. *** Sementara itu, sudah bertahun-tahun lamanya Purasara masih terpaku pada pertapaannya. Ia tak terjaga bahkan untuk sekali pun. Lapar dan dahaga sudah tak bisa ia rasa lagi, yang ia rasa hanya dinamika cakra dalam tubuhnya. Ia tak bergerak, bahkan tubuhnya yang kaku itu sudah mulai ditumbuhi lumut. Akar-akar pohon pun mulai menyelimuti beberapa bagian tubuhnya. Daun-daun memayunginya sehingga panas dan dingin tak lagi mengganggu kekhusukan tapanya. Beberapa lumut juga tumbuh di sekitar kakinya. Saking lamanya ia bertapa, sampai-sampai ia pun masuk ke ramalan-ramalan para petinggi negeri di dekat Gunung Parasu. Dan dalam ramalan itu, ia diberi julukan Wunga Tapa. Semar, Garubug, dan Petruk masih setia menunggu Tuannya di kaki Gunung Parasu. Mereka bercocok tanam hingga membuat ssebuah rumah yang digunakan oleh mereka bertiga untuk berteduh sehari-hari. Namun, karena sudah begitu lamanya Tuannya belum terjaga pula, Semar pun mulai khawatir. Jangan-jangan, terjadi sesuatu pada Tuannya itu. “Truk, Bug, Tuan kita itu kok lama juga ya tapanya. Mau sesakti apa dia ada di atas sana?” ungkap Petruk heran. “Tidak tahu juga, Bapak. Apa perlu kita cek saja ke atas sana?” sahut Petruk. “Kan kita tidak boleh mengganggu Tuanku. Itu sudah jadi pesannya bertahun lalu. Lagian, badanku sudah tak kuat naik ke atas sana.” “Yasudah, memang itu pesannya. Tapi kalau sampai terjadi apa-apa, kita juga yang bertanggung jawab. Kalau begitu, kita tunggu dulu sampai setahun ke depan. Kalau Tuan kita belum terjaga juga, kita mau tidak mau harus memastikan keadaannya di atas sana.” ucap Semar. “Baiklah, Bapak. Kita tunggu setahun lagi.” Timpal Petruk mengiyakan. Teramat lama dan teramat khidmat Purasara bertapa. Tubuhnya pun memancarkan cahaya yang begitu terangnya. Cahaya ini tak kasat mata bagi manusia dan penghuni dunia. Namun, cahaya ini bersinar sangat terang dan - 42 - Purasara menyilaukan Kahyangan. Bahkan, cahanyanya menjadi cahaya yang tak kalah silau dari matahari. Ini membuat beberapa penghuni Kahyangan menjadi sakit. Dua cahaya yang begitu terang membuat para Batara dan bidadari terkena penyakit. Hal ini pun mengundang kecemasan di benak Batara Guru dan Batara Narada. Selepas percobaan terakhir untuk menggoda niat tapa Purasara kembali gagal, Batara Guru memang selalu cemas. Ia takut kesaktian Purasara semakin menjadi-jadi dan membuat keseimbangan dunia dan Kahyangan terganggu. Bahkan, saat ini, dalam pertapaannya, ia telah memancarkan cahaya yang menyilaukan. Saking silau dan terangnya, penghuni Kahyangan yang terdampak keburukannya. Mau tidak mau ia harus bertindak. Kali ini ia pun turun tangan sendiri. Dengan mengajak empat Batara, ia mencoba turun ke Gunung Parasu dan menggoda tapa dari Purasara. Sesampainya di tempat Purasara, Batara Guru dan keempat Batara lainnya berubah wujud menjadi perempuan nan cantik jelita. Sebagian, bahkan memperlihatkan pakaian yang terbuka. “Mari kita goda dan bangunkan ia dari tapanya” perintah Batara Guru dalam jelma wanita. Satu per satu wanita jelmaan tersebut mula menggoda Purasara agar terbangun. Pada awal mulanya, mereka menggoda dengan memanggil-menggil Purasara. Suara yang lembut dan melengking dari para wanita jelmaan ini mencoba menarik Purasara agar terjaga. “Kakang, Kakang Wungu Tapa yang tampan, bangunlah. Bangun dari tapamu. Mari kita bersenang-senang.” Rayu wanita jelmaan. “Iya Kakang, mari. Aku akan melayani sesuka hati.” Goda wanita jelamaan yang lainnya. Godaan demi godaan, rayuan demi rayuan dilontarkan ke Purasara. Namun, Purasara tetap tidak terjaga dari tapanya. Setelah godaan suara tidak mempan, satu per satu wanita jelmaan itu menggoda purasara dengan sentuhan. Satu wanita menyentuk dan mengelus-elus kepalanya. Satu wanita mengelus-elus perutnya. Satu wanita memijat-pijat punggungnya. Dan du wanita lainnya memijat kedua kakinya. Beberapa jam mereka menyentuh, tetap hasilnya nihil. Batara Guru dalam jelmaan wanita semakin pusing. Ia semakin tak habis pikir, betapa hebatnya Purasara sampai tak tergoda sedikitpun oleh jelmaan wanita cantik. - 43 - Purasara Sampai pada akhirnya, Batara Guru menyuruh semua wanita jelmaan ini untuk membuka bajunya dan secara liar menggoda, baik dengan sentuhan, guncangan, atau panggilan-panggilan yang menggairahkan. Namun, usaha ini juga tetap gagal. Tidak sedikitpun Purasara tergoda. Bahkan, Purasara mendengar dan merasakan sentuhan wanita itu pun tidak. Tampaknya memang Purasara sudah sampai pada titik ketika ia bisa mengontrol dirinya untuk keluar dari nafsu-nafsu duniawi. Batara Guru pun menyerah. Usahanya kembali gagal. Ia pun meminta seluruh Batara yang menjelma wanita untuk kembali ke Kahyangan. Ia sudah kehabisan akal untuk menghentikan tapa dari Purasara. Ia pun bingung, cara apa lagi yang bisa membuat Purasara terjaga dari pertapaannya. Sampai akhirnya ia pun menemui Batara Narada. “Batara Narada, Aku sudah kehabisan akal untuk menghentikan tapa dari Purasara” “Lalu, mau bagaimana lagi?” “Masalahnya para Batara dan bidadari mulai sakit-sakitan karena tapa Purasara memancarkan cahaya yang berdampak ke Kahyangan saja.” “Itu memang menjadi masalah. Tetapi memang tapa dari Purasara ini sudah lama diramalkan keberadaanya.” “Meskipun demikian, kita harus tetap berusaha menghentikannya. Jika tidak, sakit yang melanda penghuni Kahyangan akan semakin menjadi-jadi.” “Baiklah… kalau begitu, aku sendiri yang akan turun. Aku akan membujuk dan membangunkan Purasara.” Usul Batara Narada. “Tapi Batara Narada tidak keberatan, Bukan?” “Tidak. Aku juga sebagi penghuni dan petinggi Kahyangan harus bertanggung jawab atas peyakit yang melanda penghuni Kahyangan. Karena itu, aku pun terpaksa turun tangan.” “Baiklah, Batara! Aku percayakan padamu.” Batara Narada yang sakti mandraguna dan dihormati dari segala Batara turun ke Gunung Parasu untuk membangunkan Purasara. Ia pun turun sebagai Batara Narada. Sebab, Semar tidak menemani Purasara dalam tapanya, sehingga ia tidak perlu khawatir ketahuan dan seolah ikut campur kehidupan dunia. Ia tak menjelma apapun, ia menampakkan diri dalam bentuknya sebagai Batara. - 44 - Purasara “Wahai, cucuku, Purasara. Aku Batara Narada, Batara yang mulia. Aku memohon padamu. Bangunlah. Tapamu sudah semakin membuat penghuni Kahyangan gempar. Tapamu itu memunculkan sinar yang begitu terang hingga membuat sebagian Batara dan bidadari jatuh sakit. Kau harus pula mempertimbangkan itu anakku.” Sapa Batara Narada. Purasara yang khimat dalam tapanya tetap terdiam tanpa sepatah kata pun. Ia tak membalas. Bahkan ketika ada Batara Narada di depannya. Batara Narada kembali mencoba membujuk Purasara. “Cucuku, bangunlah. Pertapaanmu sudah tidak seharusnya dilanjutkan karena sudah mulai membawa bencana bagi keseimbangan jagat.” Kali ini Batara Narada sambil memancarkan auranya. Namun, sekali lagi, Batara Narada tidak dapat respons apa pun. Purasara hanya diam. Bahkan, semakin Batar Narada memancarkan auranya, cahaya yang muncul dari Purasara, yang bisa dilihat oleh Batara dan penghuni Kahyangan saja, semakin menjadi-jadi. Batara Narada sesekali merasa terintimidasi karena dari cahaya itu muncul aura dari Sang Hyang Tunggal. Itu menunjukkan bahwa Purasara memang benar-benar titisan Sang Hyang Tunggal, benar-benar calon raja yang dikehendaki memiliki kekuatan menguasai jagat. Merasakan hal itu, Batara Narada mencoba mendekat dan memegang kepala dari Purasara. “Cucuku, aku akui kesaktianmu. Namun, aku harapkan kau segera bangun untuk kedamaian seluruh jagat.” Tutup Batara Narada. Merasa tidak kuasa membangunkan tapa Purasara, Batara Narada kembali ke Kahyangan. Ia bertemu dengan Batara Guru. Dalam percakapannya, ia mengakui tak bisa membangunkan Purasara. Dalam pesannya, “Biarlah Jagat berproses, jagat sendiri yang akan membangunkannya nanti.” Batara Guru pun memahami kata-kata Batara Narada yang bijaksana. Ia mencoba menahan cemasnya dan berharap bahwa jagat akan segera membangunkan tapa Purasara. Bagaikan gayung bersambut. Kata-kata Batara Narada bahwa jagat yang akan membangunkan Purasara dari tapanya demi keseimbangan jagat itu sendiri terbukti. Tak berapa lama setelah sekembalinya Batara Narada ke Kahyangan, tubuh purasara yang sudah bagaikan bebaTuan dan menyatu dengan alam itu dihinggapi burung perit yang ingin bertelur dan beranak pinak. Burung perit itu kemudian membuat sarang di atas kepala purasara. Berselang beberapa waktu lamanya, burung perit itu bertelur, mengerami telurnya hingga telurnya menetas. - 45 - Purasara Anak-anak burung perit yang jumlahnya hingga delapan belas bercuit tiap siang dan malam. Suaranya tak kurang memekakkan telinga. Cuitan-cuitan burung perit itu sangat melengking dan dekat dengan telinga Purasara. Sampai pada akhirnya Purasara merasa ada yan mengganggu sehingga tapanya tidak khidmat lagi. Ia pun mulai membuka mata dan menoleh ke seluruh penjuru. Alam sudah menyatu dengan tubuhnya, akar-akar pohon, lumut, dedaunan, tanah, sudah mulai membungkus dirinya. Namun ia tak menemukan asal muasal suara yang memekakkan telinaga itu. Ia keheranan. Hingga ia kemudian melucuti lumut dan akar yang membelenggu tangannya. Tangannya mulai meraba sekujur tubuhnya. Ia pun menemukan ada sarang burung di atas kepalanya. Merasa ada ancaman, anak-anak burung perit mencuit semakin keras. Kali ini Purasara benar-benar terjaga. Ia seketika tersentak dan melepaskan sarang burung dari atas kepalanya. Anak-anak burung perit pun beterbangan. Purasara kesal karena tapanya terganggu oleh kawanan burung perit yang tidak sopan telah bersarang di atas kepalanya. Ia pun mengumpat dan menyumpahi burung perit itu agar tiak punya banyak keturunan yang berisik. Jumlahnya pun tidak akan banyak jika beranak. Kutukan ini berlaku ke burung perit hingga turunan-turunan berikutnya. Selesai menyumpahi burung perit, Purasara yang sudah terjaga berusaha membersihkan dirinya. Ia pun mencari pancuran air atau semacam sendang di dekat tempat pertapaannya. Saat Purasara terjaga ini bertepatan dengan setahun dengan rencana Punakawan untuk memeriksa keadaan Tuannya yang tidak mereka ketahui itu. Para Punakawan pun menaiki Gunung Parasu untuk mengecek keadaan Tuannya. Namun, alangkah terkejutnya mereka bahwa yang merka temukan hanyalah bekas-bekas lumut, akar-akar yang menjulang, dan batang-batang pohong yang rindang. Mereka tidak menemukan Tuannya. Hal itu membuat mereka berpikir macam-macam. “Ya Ampun, Tuanku saat ini menjelma pohon. Bagaimana ini?” seru Garubug. “Bukan Pohon, ia menjelma akan-akar serabut.” Sanggah Petruk. “Hush! Mana mungkin Tuan kita bisa menjelma pohon dan akar? Lihat baik-baik. Tuan kalian sudah tidak ada. Jangan-jangan ia dimakan hewan buas ketika sedang bertapa. Oh, Hyang Widhi, Gusti Mulia Raya, dosalah kami - 46 - Purasara yang telah gagal mengabdi.” Ratap Semar dalam tangis. Tangis Semar disambut oleh anak-anaknya. Mereka pun berpelukan bertiga. Semuanya saling melepas air mata. Hingga tiba-tiba muncul sosok dari belakang mereka. “Kakang Semar, Garubug, Petruk. Kalian menangisi pohon? Apa kalian tidak rindu padaku sampai-sampai kalian sekarang mengabdi pada pohon?” Suara itu sontak membangunkan mereka dari tangis. Dengan menoleh ke belakang, mereka terkejut. Ternyata Tuan mereka masih berdiri tegak. Bahkan, tubuhnya terlihat lebih bercahaya. Melihat ini, Semar pun tak kuasa meluapkan suka citanya. “Oh.. Gusti Nu Agung, ternyata Tuan masih hidup. Kami pikir, Tuan sudah habis dimakan hewan buas karena Tuan bertapa begitu lamanya.” Mendengar itu, Purasara hanya terbahak. “Hahaha… Kakang Semar, Petruk, dan Garubug memang selalu lucu perangainya. Kau baik-baik saja, Kakang.” Balas Purasara. “Sepertinya, sekarang waktunya kita kembali ke negeri kita, Suktadurja.” Semar yang tidak jadi berduga pun bersemangat kembali. “Baik, Tuan. Mari kita kembali. Mari Truk, Bug. Kita jalan lagi. Tuan kita sudah bersama kita.” “Iya, Bapak. Ayo kita kembali.” seru Petruk diikuti Garubug. Purasara, Petruk, dan Garubug pun mulai jalan menuruni Gunung Parasu. Mereka turun melewati jalan yang berbeda dengan arah jalan pulang. Begitulah lelana brata, berangkat dan pulang melalui jalan yang berbeda, namun titik pulang tetap sama. Mereka melewati bukit, lembah, hutan, sungai, hingga sampailah ia pada sebuah negeri yang dikenal dengan sungainya yang luas. Di situlah, ia bermalam dan istirahat untuk beberapa hari. - 47 - VIII Raramis dari Negeri Wirata Di Pagi yang cerah. Burung-burung menyambut ramah. Sebuah penyambutan yang sempurna akan keadaan yang telah berangsur lebih baik. Keadaan Kahyangan kembali menjadi membaik seperti semula. Purasara yang dikenal juga sebagai Wunga Tapa sudah bangun dari pertapaannya. Semua bidadari yang sebelumnya sakit menjadi sehat, bugar, dan cantik-cantik kembali. Semua orang sangat bergembira karena keadaan tersebut. Di lain tempat yang elok, hiduplah seorang raja yang sangat tangguh. Karena ketangguhan inilah dia berhasil menaklukkan raja-raja siluman yang ada di sekitar negerinya. Raja ini adalah pemimpin negeri Wirata dan biasa dikenal dengan nama Bagawan Wangsapati. Bagawan Wangsapati memiliki istri yang cantik dan mulia budinya bernama Dewi Wargawati. Dari pernikahan dengan Dewi Wargawati, Bagawan Wangsapati dikaruniai keturunan seorang perempuan yang amat cantik wajahnya. Anak itu dipanggil dengan nama Dewi Raramis. Dewi Raramis memiliki paras yang cantik rupawan. Bibirnya tipis, hidungnya mancung, kulitnya putih, dan rambutnya hitam lurus. Namun, ada satu hal yang membuat ia sering dijauhi oleh orang-orang dan teman-temannya, Dewi Raramis memiliki bau yang teramat amis. Bagawan Wangsapati dan Dewi Wargawati sudah mencoba berbagai cara untuk menghilangkan bau amisnya, namun tak ada yang berhasil. Sebagai orang tua, mereka sendiri heran kenapa anaknya bisa seperti itu. Mereka sempat berpikir kesalahan apa yang pernah mereka perbuat hingga mereka dikaruniai anak yang tidak sedap baunya. Ketika Dewi Raramis beranjak semakin besar namun tetap saja masih memiliki bau yang amis itu. Suatu ketika Bagawan Wangsapati berpikir untuk mengasingkan Dewi Raramis. Namun, sebagai orang tua yang masih memiliki rasa sayang terhadap anak, tak sampai hati ia melakukannya. Sampai akhirnya ia terpikirkan sebuah ide untuk menjadikan anakknya penganak perahu di Sungai Dermayu. Bagawan Wangsapati segera memanggil Dewi Raramis untuk mengatakan hal tersebut. - 48 - Purasara “Anakku, aku sudah coba berbagai cara untuk menyembuhkan bahumu yang amis itu, namun tak kunjung membuahkan hasil. Sudikah kiranya kau menuruti ayahmu untuk hal yang satu ini?” “Ayahanda yang selalu kusayangi, apa pun yang Ayahanda perintahkan akan selalu aku turuti dan laksanakan karena sebagai baktiku pada Ayahanda. Bahkan, jika Ayahanda hendak membuangku, aku pun akan ikhlas agar Ayahanda tak menanggung malu memiliki anak bau amis sepertiku”, ujar Dewi Raramis sambal ujud menyembah Bagawan Wangsapati. “Maafkan Ayahanda, Anakku. Untuk kali ini kau pun harus menuruti perintah Ayahanda. Kau akan kuperintahkan untuk menjadi penganak perahu di Sungai Dermayu yang tak memiliki jembatan itu. Kau akan membantu orang menyeberang. Namun janganlah kau meminta upah. Kau cukup minta diobati saja. Bagi yang mau mengobati bau amis itu, barulah kau bisa menyeberangkan orang itu.” “Baik Ayahanda, segala perintah Ayahanda akan aku patuhi dan laksanakan.” “Ayah sempat mendapat penglihatan bahwa akan ada Wunga Tapa yang bisa menyembuhkan penyakitmu itu. Semoga memang kita bisa berjodoh dengan dia. Jika memang benar nantinya kau bisa sembuh, segeralah pulang dan barulah Ayahanda akan mengakui kau sebagai anak secara sungguhsungguh.” Bakti yang sungguh besar kepada kedua orang Tuanya selalu dihadirkan oleh Dewi Raramis. Tak peduli orang berkata apa tentang dirinya, yang penting dia tidak membuat malu kedua orang Tuanya. Segala perintah dari ayahandanya sebisa mungkin ia laksanakan. Di pikirannya hanya balas budi yang bisa ia berikan karena orang Tuanya sudah berkorban banyak untuknya. Bahkan, jika memang ayahandanya menginginkan dia pergi dari negeri Wirata, Dewi Raramis akan dengan ikhlas melaksanakan perintahnya itu. Tidak perlu waktu yang lama, Dewi Raramis segera mematuhi perintah Bagawan Wangsapati. Dengan ditemani oleh dua Dayang, mereka kemudian menuju Sungai Dermayu untuk menjadi penganak perahu. Jarak negeri Wirata dan Sungai Dermayu cukup jauh. Hal itu mengharuskan Dewi Raramis dan dayangnya melewati hutan yang cukup lebat. Hingga akhirnya selepas keluar dari hutan, mereka melihat aliran air yang sangat deras. Air yang membentang dari ujung ke ujung dengan sangat lebar itu terlihat tidak memiliki jembatan. Tidak salah lagi, mereka sudah sampai di Sungai Dermayu. - 49 - Purasara Kemudian mereka semua berjalan menyusuri sungai sambil berpikir di mana tempat yang tepat untuk menjadi penganak perahu. Tempat yang akan dijadikan mereka pangkalan siang dan malam. Tentu saja, mereka mencari pangkalan dan berharap ada orang yang membutuhkan tumpangan perahu untuk menyeberang sungai. Setelah dirasa tepat menentukan titik pangkalan, tak jauh dari pangkalan, kedua Dayang Raramis mendirikan sebuah gubug untuk beristirahat siang dan malam sambil menunggu orang yang hendak menyeberang sungai. “Embanku, sepertinya kita akan membuat pangkalan di daerah sini. Aku berharap akan ada orang yang singgah dan membutuhkan banTuan kita untuk menyeberang dan terlebih orang tersebut mampu menyembuhkanku”, kata Dewi Raramis. “Baik Tuanku, Dewi Raramis, kalau begitu kami akan membuat gubug tak jauh dari titik ini, untuk nantinya Tuanku beristirahat jika hari sudah petang,” sahut Dayang Dewi Raramis. Tidak mudah memang mendapatkan orang yang mampu mengobati Raramis. Setiap kali ada orang yang hendak menyeberang, mereka tak sanggup menyembuhkan Dewi Raramis. Ada pula orang yang sangat ingin menyeberang namun mencium aroma tak sedap dari penganak sungainya orang itu memilih untuk berputar balik melewati hutan untuk sampai ke seberang sungai. Hingga sejauh ini, belum ada satu pun orang yang bersedia dan mampu mengobati Dewi Raramis. Hari demi hari, hingga bulan demi bulan, Dewi Raramis dan dua Dayang berada di tepian sungai itu. Tak satu pun orang yang mampu mengobati Dewi Raramis. Hujan badai, panas terik, tak menyurutkan niat untuk mendapatkan orang yang bisa menyembuhkan bau amis itu. Sampai Dayang Raramis merasa iba kepada Dewi Raramis. “Mbok, kasian sekali kepada Dewi Raramis, di bawah terik seperti ini dia tetap mencari dan menawarkan orang untuk menyeberang namun tak ada seorang pun yang bersedia mengobatinya.” kata salah satu dayang ke dayang yang satunya. “Iya, lihat saja, keringat mengucur dengan derasnya di wajah dan badannya. Tapi mbok, ini membuat badan dia semakin berbau amis. Sungguh aku tak sanggup kalau harus di sini terus-menerus. Boleh kan saya menepi ke gubug barang sejenak. Bisa-bisa saya pingsan di sini, mau kau menggotongku, Mbok?” jawab Dayang yang satunya. - 50 - Purasara “Hushh tidak boleh berbicara seperti itu kau, kita diperintahkan untuk menemani Dewi Raramis, kalau kita tidak melaksanakan perintah Tuan Bagawan Wangsapati, bisa-bisa kita diusir dari Negeri Wiranta, mau kau tinggal di hutan? Nanti akan ada binatang buas yang setiap saat memangsa. Namun, kau memang benar, semakin lama semakin bau lah ini,” keluh dayang. Dayang itu kemudian menutup hidungnya dengan selembar kain berharap bau amis yang dikeluarkan dari Dewi Raramis sedikit tercium. Dari ujung perahu, Dewi Raramis ternyata mendengar bisik-bisik kedua dayangnya. Ia pun menyadari bahwa bau yang dikeluarkannya semakin bertambah amis. Kedua Dayang Raramis tentulah seorang manusia biasa. Mereka tentu saja bisa merasakan bau yang luar biasa amis dari badan Dewi Raramis. Apalagi, ditambah kondisi saat itu, di mana panas matahari sangatlah terik, hingga membuat Raramis bercucuran keringat. Tak tahan dengan baunya, kedua dayang turun dari perahu untuk segera menjauh dari Dewi Raramis. Melihat kondisi itu, Dewi Raramis pun paham dan dia dengan ikhlas menjaga jarak dari kedua dayangnya itu. Sungguh sangat mulia sekali hati Dewi Raramis. Ia sama sekali tidak ada rasa marah terhadap kedua dayangnya itu. Bagaimana ia bisa marah kalau kebaikan dayangnya jauh lebih besar daripada rasa enggannya berdekatan dengan Dewi Raramis. Begitulah, keseharian mereka. Dan Dewi Raramis pun tetap berbaik hati dan hidup bersama kedua dayangnya. - 51 - IX Pertemuan Raramis dan Purasara Di sebuah hutan yang cukup rimba, Purasara yang dikenal sebagai seorang Wunga Tapa berjalan dengan ditemani tiga Punakawannya. Mereka sudah melakukan perjalanan yang teramat jauh. Masuk keluar hutan, naik turun gunung. Kepanasan maupun kehujanan menjadi hal biasa buat mereka. Suatu ketika, bertemulah mereka dengan pertapa lainnya di dalam sebuah goa. Semua orang dalam goa itu menyambut dengan hangat Purasara, hingga salah satu dari mereka berkata. “Ya Anakku, aku tahu kau adalah Wunga Tapa titisan orang terpilih yang tentu saja dikasihi oleh banyak dewa di kahyangan sana. Kaulah Wunga Tapa yang baik budinya. Sudikah kiranya kau singgah sejenak bersama kami di gunung ini?” Tanpa pikir panjang, Purasara dengan senang hati mengiyakan ajakan pertapa dalam Goa itu. Sambil singgah bersama dengan pertapa lainnya, Purasara banyak mendapat pertanyaan mengenai ilmu-ilmu kanuragan. Dan dengan sukarela, ia membagi ilmu kepada para pertapa yang ada. Hal itu membuat mereka senang bukan main. Hanya dalam beberapa hari saja, beberapa ilmu dan pengetahuan yang dimiliki oleh Purasara dimiliki juga oleh para pertapa di gunung itu. Setelah dirasa lama berada di gunung itu bersama dengan pertapa lainnya, pamitlah Purasara untuk melanjutkan perjalanan. Di gunung yang lain, Purasara dan tiga Punakawannya yang setia itu bertemu pertapa lain. Diajaknya pula mereka untuk singgah. Namun, kali ini dengan halus Purasara menolaknya. Ia berkata jika ada kesempatan bertemu kembali diusahakan ia akan singgah untuk sementara. Begitu yang ia sampaikan seterusnya jika bertemu pertapa-pertapa yang lainnya. Di sepanjang perjalanan, seringkali Purasara dan ketiga Punakawan setianya diajak untuk singgah. Ternyata bagi pertapa, membedakan mana orang yang sakti dan mana yang tidak itu sangat mudah. Dengan meminta Purasara untuk singgah, mereka berharap beberapa ilmu akan mereka dapatkan. Tak heran, di setiap kali bertemu dengan pertapa lainnya, Purasara selalu diajak singgah. Sebab, ia memang sungguh Wunga Tapa yang sangat sakti lagi baik dan bijaksana. Namun tak semua ajakan dari setiap pertapa dituruti Wunga Tapa. Terlebih, ia juga memiliki tujuan yang harus dicapainya. - 52 - Purasara Suatu ketika, di tengah perjalanan, Purasara dan Punakawan setianya bertemu dengan sungai yang teramat luas seperti lautan. Mereka bingung, bagaimana cara menyeberangi sungai itu. Jika terpaksa kembali ke gunung, tentu saja itu akan memakan waktu yang lebih lama. Wunga Tapa kemudian menyuruh Punakawan untuk mencari jalan dengan menyusuri tepi sungai. “Kakang Semar! Pergilah kakang mengikuti tepian sungai ini. Jika nasib baik memang berpihak pada kita, kita tentu bisa menyebrangi sungai yang luas ini. Aku akan menunggu di sini,” kata Purasara. Semar kemudian pergi dengan ditemani Garubuk dan Petruk. Mereka kemudian berjalan menyusuri tepian sungai sambil sesekali berkelakar. Tak perlu waktu lama mencari, mereka melihat ada penganak perahu di seberang sungai. Terlebih, ketiga penganak perahu adalah seorang wanita, tambah bersemangatlah mereka. “Petruk, lihatlah itu, tiga wanita cantik rupanya. Barangkali mereka bisa mengantarkan kita ke tepi seberang sana. Dan siapa tahu kita juga beruntung mendapatkan hati mereka,” bisik Garubuk malu. “Wah, benar sekali. Yang paling cantik nanti buat aku ya. Pasti nanti jika aku sampai menikah denganyaa, anakku tampan rupawan dan cantik jelita.” “Tapi, kalau dipikir-pikir, mana ada ya wanita cantik mau menjadi penganak di pinggir sungai. Duh, jadi merinding aku. Takutnya mereka itu bukan manusia, tapi setan yang menyerupai manusia untuk menggoda kita,” nyali Garubuk menciut. “Aku juga jadi merinding nih, duh aku tidak mau menikah sama setan.” Sahut Petruk. Di tengah perdebatan mempertanyakan penganak sungai manusia atau bukan, dan di tengah ketakutan keduanya, Semar dari belakang datang mengejutkan. “Kalian ini kenapa seperti anak kecil saja. Dan lagi, wanita saja yang kalian pikirkan. Ini kita sedang diperintahkan mencari jalan untuk menyeberang sungai ini. Atau, kalian mau kembali lagi melewati gunung itu?” ucap Semar kepada anak-anaknya. Lalu, Semar berjalan hingga tepat berada searah dengan penganak perahu. “Sungguh, apakah tidak ada lelaki untuk sebuah pekerjaan berat seperti ini”, gumam Semar merasa iba. - 53 - Purasara Karena Dewi Raramis dan kedua dayangnya berada di seberang, maka Semar berteriak seraya memanggil ketiga wanita itu. “Hai Tukang Perahu yang ada di sana, apakah bisa kami menyeberang ke tepian sana dengan perahumu itu? Tidak ada balasan yang diterima Semar. Berteriaklah lagi ia memanggil tukang perahu hingga beberapa kali. Suaranya yang lantang nyatanya tak cukup terdengar jelas hingga seberang sana. Hanya sayup-sayup. Begitu pulalah yang dirasakan oleh Dewi Raramis di tepian sana. “Embanku, apa kau mendengar ada seseorang memanggil?” tanya Dewi Raramis kepada kedua dayangnya. Kedua dayang Dewi Raramis mengiyakan bahwa mereka mendengar seruan yang belum tahu asalnya dari mana. Seketika mereka bertiga memutarkan pandangan ke segala arah untuk mencari sumber suara. Maka, tepat ketika mereka bertiga menaruh pandangan ke seberang kali tempat mereka berada, ada tiga orang sedang berdiri sambil melambai-lambaikan tangan. Dewi Raramis kemudian memerintahkan kedua dayangnya mencari tahu, “Emban, pergilah ke sana untuk memberi tahu kepada ketiga orang di seberang. Jika mereka hendak menyeberang, maka katakanlah mereka bisa menyeberang dengan memberikan pengobatan kepadaku.” Perintah Dewi Raramis seketika diindahkan oleh kedua dayang. Mereka berdua pun segera mendayung perahu ke seberang sana. Setelah kiranya hampir sampai ke tepian, dayang berkata kepada Semar, “Ya Tuanku, apakah kalian membutuhkan perahu untuk menyeberang?” “Benar sekali, kami membutuhkan perahu untuk menyeberang. Sebab, kami tidak melihat ada jembatan di sini. Tak mungkin juga kami berenang untuk sampai ke tepian sana. Berapakah harga sewa untuk dapat ke tepian sana?” tanya Semar. “Jadi begini, jikalau Tuan-Tuan ini hendak menyeberang, maka kami meminta satu persyaratan. Kami tidak menerima upah sepeser pun. Tapi, sudikah kiranya sebagai gantinya, Tuan bersedia dan mampu untuk mengobati Tuan kami yang menunggu di seberang sana?” dayang Dewi Raramis menjelaskan. “Jika memang itu persyaratannya, kami perlu memberitahu Tuan kami terlebih dahulu. Siapakah nama Tuanmu yang sedang menderita sakit itu?” - 54 - Purasara “Dewi Raramis namanya.” “Apakah Dewi itu cantik parasnya?” tanya Garubug malu-malu “Tentu Tuan, Dewi Raramis sangat cantik parasnya. Tuan-Tuan pasti senang melihatnya. Terlebih hatinya juga sangat baik” Kemudian, Semar berlari ke Purasara, “Tuan, … Tuanku, di sana ada penganak perahu. Tetapi, mereka meminta satu syarat jikalau kita mau menyeberang.” “Apakah persyaratan itu, asal bisa kita menyeberang, apa pun coba aku lakukan.” “Di sana ada Dewi yang cantik parasnya, namun memiliki bahu yang amis, Dewi tersebut bernama Dewi Raramis. Persyaratannya, tentu untuk mengobati Dewi itu Tuanku,” terang Semar. “Baiklah, Kakang Semar. Aku bersedia” jawab Purasara. Wunga Tapa bersedia untuk mengobati Dewi Raramis. Lantas, mereka berdua berjalan ke tempat dayang-dayang Dewi Raramis berada. Setelah mengatakan bahwa Purasara bersedia untuk mengobati Dewi Raramis, kedua dayang mendayung kembali perahu untuk menjemput Dewi Raramis. Sekembalinya dari seberang sungai, terlihat dayang membawa serta Dewi Raramis di perahu. Sementara itu Wunga Tapa dan ketiga kawannya itu menanti. Sesampainya di tepian sungai, Semar, Garubug, dan Petruk terkesima akan kecantikan Dewi Raramis. Memang benar yang dikatakan dayang bahwa tak ada wanita yang memiliki paras secantik dia. Bahkan, Purasara pun tampak tersenyum malu-malu melihat paras cantik Dewi Raramis. Dewi Raramis dan Purasara saling memalingkan wajah malu-malu. Keduanya seolah terjatuh dalam belenggu asmara. “Tuan, aku dan ketiga kawanku ini hendak menyeberang ke seberang sana. Berapakah bayaran untuk tumpangan perahu milik Tuan Dewi,” tanya Purasara. “Selama menjadi penganak perahu, aku tidak mengambil upah. Hanya saja, siapa pun yang bersedia mengobatiku, maka aku beri mereka tumpangan untuk menyeberang sungai ini, Tuan. Jika tidak bisa mengobatiku, maka tentu saja tidak ada tumpangan.” Wunga Tapa kemudian berpikir sejenak. Setelah melihat apa yang diderita Dewi Raramis, Purasara bingung, obat apa yang sebaiknya dia - 55 - Purasara berikan. Berbisik-bisiklah Purasara di telinga Semar. “Ya Kakang Semar, sebenarnya aku bingung bagaimana cara mengobati Dewi itu. Daun-daunan apa yang sekiranya bisa menyembuhkan bau amis itu. Apakah Kakang Semar bisa membantu.” “Jangan panggil hamba Semar jika tidak punya banyak akal. Ketika kita sedang berada di dalam hutan, hamba membawa serta daun-daun seperti kunyit ini jikalau ada salah satu di antara kita sakit. Daun kunyit ini sekiranya bisa dihaluskan untuk mengobati Tuan Dewi,” ujar Semar. “Kalau memang daun kunyit itu bisa menyembuhkan, bagaimana cara menumbuknya? Tidak ada alat untuk menumbuk di sini.” Tanya Purasara. “Janganlah Tuan seperti kehilangan akal seperti itu. Tuan bisa mengunyah daun ini untuk dihaluskan. Lalu, berikanlah pada Dewi Raramis itu. Masa iya mesti hamba yang mengunyah? Hamba sudah tua, Tuanku. Bakal lama nanti jika hamba yang mengunyahnya.” Setelah terjadi pembicaraan dengan Punakawannya, Wunga Tapa mengunyah daun kunyit dengan gigi kuatnya. Setelah itu, diberikannya kepada Dewi Raramis dengan malu-malu. Sambil memejamkan mata, Purasara si Wunga Tapa, mengoleskan daun kunyit yang sudah halus ke sekujur tubuh Dewi Raramis. Ada perasaan berdebar saat Purasara melakukan pengobatan itu. Sambil berbicara dalam hati, Purasara merasa iba dengan keadaan Dewi Raramis yang cantik, tetapi memiliki badan berbau amis, pastilah banyak yang enggan berdekatan dengan dia. “Tuan, apa Tuan merasa jijik tidak mau melihat ke saya?” tanya Dewi Raramis. Purasara kaget dengan pertanyaan itu. “Sungguh bukan karena merasa Dewi hina atau menjijikan, namun lebih karena saya malu berhadapan dengan Dewi yang teramat cantik parasnya. Dan belum pernah saya melihat wanita secantik Dewi Raramis.” Purasara mencoba mencairkan suasana. Setelah selesai diobati, sedikit demi sedikit bau amis yang ada di badan Dewi Raramis menghilang. Sungguh, seraya ingin menangis Dewi Raramis merasakan kesembuhan ini. Dan benar saja, air mata kebahagiaan pun jatuh dari mata Dewi Raramis. Setelah bertahun-tahun dicoba berbagai cara, nyatanya hanya ada satu orang yang mampu mengobati Dewi Raramis. Ialah seorang Wunga Tapa bernama Purasara. - 56 - Purasara “Ya Tuan Purasara, karena kebaikan hati Tuan dan ketiga teman Tuan, marilah Tuan-Tuan semuanya ikut saya ke negeri Wirata untuk bertemu dengan ayahanda saya.” Setelah berdiskusi sejenak dengan ketiga Punakawannya, Purasara menyetujui untuk ikut Dewi Raramis ke Negeri Wirata. Perahu yang tidak terlalu besar itu mengiringi Purasara, Semar, Garubug, dan Petruk menyeberangi sungai untuk kemudian singgah ke negeri Wirata. Sungguh tak hanya Dewi Raramis yang merasakan kebahagiaan atas kesembuhannya. Alam Semesta, termasuk hewan-hewan yang ada di sungai, nyatanya tampak ikut merayakan suka cita itu. - 57 - X Raramis dan Purasara ke Suktadurja Perahu yang tidak terlalu besar nyatanya bisa juga menjadi lapang dengan tujuh orang penumpang. Sungai Derayu menjadi saksi kesembuhan Dewi Raramis. Selama menyeberang semua orang di perahu tampak diam, hanya Petruk dan Garubug yang kadang berkelakar sambil mendayung perahu hingga ke tepian. Sesekali, terdengar Semar yang menengahi kelakar mereka. Suasana pun pecah dengan tawa. Tak butuh waktu lama, mereka pun sampai di seberang sungai. Sampai di seberang, kedua Dayang Raramis segera ke gubug untuk mengambil barangbarang bawaan yang tidak begitu banyak. Mereka pun siap kembali ke negeri Wirata. Untuk kembali ke negeri Wirata, sama seperti perjalanan ke Sungai Derayu, hutan dan beberapa lembah harus di lewati. Namun, perjalanan ini tentunya tidak seberat yang sudah dilalui Purasara dan ketiga Punakawannya ketika hendak menuju Gunung Parasu untuk bertapa. Setelah menempuh waktu berjam-jam lamanya, gerbang Negeri Wirata sudah melambai-lambai. Dewi Raramis terlihat begitu terharu ketika menginjakkan kaki lagi di negeri Wirata yang penuh dengan kenangan itu. Seolah tak percaya ia bisa kembali lagi ke negeri Wirata dalam keadaan sembuh dan tak mengeluarkan bau amis. Untuk sampai ke keraton negeri Wirata, mereka harus melewati pasar. Orang-orang di pasar yang melihat kehadiran Dewi Raramis sungguh terkagum-kagum dan ikut berbahagia. Sebab, Dewi Raramis sudah tidak berbau amis lagi. Sesekali, terlihat beberapa orang bisik-bisik tentang siapa laki-laki gagah perkasa yang dibawa rombongan itu. Setelah melewati Pasar, tak lama kemudian, mereka sampai di keraton utama negeri Wirata. Rombongan Purasara segera diajak untuk menemui Bagawan Wangsapati. Kabar bahagia ini tentu saja perlu Bagawan Wangsapati dan Dewi Wargawati ketahui. Betapa senangnya Bagawan Wangsapati mendapati putrinya telah sembuh dan memancarkan aura yang sangat memesona itu. “Ya Anakku, benarkah sekarang kau sudah sembuh? Siapa orang yang telah menyembuhkanmu? Dan bagaimana caranya?” tanya Bagawan - 58 - Purasara Wangsapati seraya tak kuasa menahan haru mengetahui putrinya sudah tidak mengeluarkan bau amis lagi. “Ayahanda! Ayahanda sungguh benar. Aku disembuhkan oleh Wunga Tapa baik hati ini. Kenalkan, ini Purasara,” sembah Dewi Raramis diikuti Purasara yang menyembah Bagawan Wangsapati. “Sungguh baik hatinya, Anakku Purasara. Karena kau berhasil menyembuhkan putri cantikku ini, maukah kau menerima putriku ini sebagai istrimu? Dan lagi, aku ini sudah tua, sudah saatnya tahta sebagai Raja Negeri Wirata ini aku wariskan kepada penerusku. Rasa-rasanya kau ini adalah orang yang tepat.” Sungguh kaget bukan main Purasara dan ketiga Punakawannya. Mereka saling melihat satu sama lain seolah tak percaya. Sungguh luar biasa garis dari kahyangan ini. Kebaikan hati Purasara dibalas berkali-kali lipat oleh Batara di Kahyangan. Pesta pernikahan digelar tak lama setelah kembalinya Dewi Raramis ke Negeri Wirata. Orang-orang berdatangan untuk memberi selamat kepada kedua mempelai. Tak jarang, mereka datang hanya untuk melihat kecantikan Dewi Raramis yang kini sudah sembuh dan tak berbau amis lagi. Purasara dan Dewi Raramis resmi menjadi sepasang suami istri sejak saat itu. Mereka pun menetap di Negeri Wirata, tempat Dewi Raramis berasal. Hari demi hari sudah dilewati Dewi Raramis dan Purasara sebagai suami istri. Mereka sangat menikmati keseharian mereka yang bahagia. Namun, dalam sebuah lamunan, Purasara punya satu keinginan. Karena sudah terlalu lama meninggalkan negeri, ia berkeinginan untuk mengunjungi negeri Suktadurja kembali. Purasara ingin menemui saudaranya dan tentu saja ingin mengenalkan istrinya pada warga Suktadurja. Keinginan itu kemudian ia sampaikan kepada Bagawan Wangsapati selaku ayah merTuanya. Dengan ditemani Punakawan, mereka bertiga dengan sangat takzim menyembah Bagawan Wangsapati. “Ya Ayahanda, kedatangan ananda menghadap Ayahanda adalah untuk meminta izin pulang ke negeri ananda, yaitu Negeri Suktadurja. Sungguh sudah lama sekali Ananda meninggalkan negeri Ananda. Terlebih, Ananda sudah memiliki seorang istri dan belum ada satu pun saudara-saudara Ananda tahu kabar bahagia ini. Mohon kiranya ananda diberikan izin dari Ayahanda.” - 59 - Purasara Mendengar hal itu, sungguh berat Bagawan Wangsapati untuk memberikan izin melepas Purasara pergi. Dia berpikir bahwa sudah terlalu tua dirinya untuk memimpin Negeri Wirata. Tahta tentu saja akan diwariskan kepada Purasara sebagai mantu yang baik hatinya, bijaksana, dan memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Namun, ketika mendengar Purasara berjanji akan kembali lagi ke Negeri Wirata, Bagawan Wangsapati pun tak bisa melarangnya lagi. “Kira-kira kapan kau akan pergi ke Negeri Sukjadurja Anakku?” “Setelah ananda mendapatkan izin dari Ayahanda, maka hari ini juga ananda akan berangkat ke Negeri Suktadurja.” “Apakah tidak bisa besok saja? Kenapa buru-buru sekali?” “Karena perjalanan yang cukup jauh, kami harus berangkat hari ini juga Ayahanda, agar cepat sampai di negeri Suktadurja,” ujar Purasara. “Baiklah jika itu sudah menjadi keputusanmu, Anakku.” Bagawan Wangsapati pun segera memanggil Dewi Raramis. “Anakku Raramis, Purasara sudah mengatakan tujuannya untuk mengunjungi negerinya yang berada nun jauh di sana, apakah kau akan tinggal di sini atau ikut bersama dengan suamimu?” “Ayahanda, saya tentu saja ingin tetap berbakti kepada suami. Ke mana pun Kanda Purasara pergi, maka saya akan ikut. Mohon juga izinnya untuk keselamatan dan kesehatan kami selama perjalanan nanti,” kata Dewi Raramis sambil menyembah kepada Ayahandanya itu. “Tidak ada yang dapat saya berikan kepada kalian kecuali doa agar keselamatan selalu menyertai perjalanan kalian. Sungguh aku sedih karena akan ditinggal. Tapi, saya percaya kalian pasti akan kembali lagi.” ungkap Bagawan Wangsapati. Izin dari Bagawan Wangsapati sudah di dapatkan. Sembah sujud kepada Bagawan Wangsapati dan Dewi Wargawati tak luput dilakukan sebelum mereka pergi. Setelah itu, dengan segera, Purasara, Dewi Raramis, dan ketiga Punakawan bersiap-siap. Perjalanan mereka tempuh dengan melewati hutan, menaiki bukit hingga pegunungan, mengarungi lembah, dan menyeberang sungai. Mereka membutuhkan waktu berhari-hari hingga mereka akhirnya sampai di negeri Suktadurja. *** - 60 - Purasara Di Negeri Suktadurja, Sentanu sedang menikmati sore bersama dengan anaknya, Raden Perbatasari, dan istrinya, Dewi Sriwati. Sambil bercerita kepada Raden Perbatasari, memori masa kecil dengan adiknya Purasara terlintas. Sudah lama sekali sejak Purasara meminta izin untuk bertapa kepadanya. Di tengah rindu yang mendera terhadap Purasara, Sentanu memikirkan apakah Purasara masih hidup atau sudah tiada. Negeri Suktadurja tidak pernah mendapatkan kabar keberadaan Purasara dan ketiga Punakawannya. Karena khawatir akan Ayahnya yang terus memikirkan sang Paman, Raden Perbatasari berinisiatif untuk menyusul pamannya, Purasara. Namun, permohonan itu, secara halus, tidak diindahkan oleh Sentanu. Sebab, jika Raden Perbatasari pergi, dikhawatirkan ia akan lama tak kembali. Saat ini, keberadaan Purasara saja sulit untuk diketahui. Di saat Raden Perbatasari dan Sentanu sedang berbicara, terdengar teriakan dari arah pintu gerbang Negeri Suktadurja. “Ya Tuanku, Tuan Purasara telah kembali. Tuan Purasara telah kembali”, teriak Semar dengan semangat yang menggebu-gebu. Mendengar hal itu, Sentanu kaget sekaligus senang. Segera mereka menghampiri suara yang sudah sangat dikasihinya itu. Tak ada angin maupun hujan, ketika Sentanu sedang menahan rindu, Purasara, sang adik, hadir di depan matanya. Hal itu tentunya bagai gayung bersambut. Dan Sentanu maupun Purasara tak dapat membendung rasa bahagianya bertemu dengan saudaranya itu. Sentanu memperhatikan penampilan Purasara. Ia pun memperhatikan apa saja dan siapa saja yang datang bersamanya. Dilihatnya di samping Purasara, ada putri cantik jelita. Langsung saja sebuah pertanyaan yang bisa ditebak semua orang ditanyakan oleh Sentanu. “Adindaku, siapakah wanita cantik yang ada di sampingmu itu? Setelah bertahun-tahun lamanya kau pergi, sekarang kembali dengan membawa seorang wanita?” “Kanda Sentanu, perkenalkan ini adalah Istriku, Raramis, dari Negeri Wirata,” ungkap Purasara memperkenalkan Dewi Raramis. “Tak disangka, kau sudah beristri sekarang ini. Kanda turut bahagia Adinda. Mari, akan Kanda antarkan kalian ke dalam keraton yang akan kalian tempati. Segeralah ganti pakaian, dan mari kita makan bersama. Sudah lama rasanya kita tidak makan bersama. Terlebih, kau sekarang sudah memiliki istri. Kabar bahagia ini tentunya harus dirayakan.” - 61 - Purasara Perasaan senang tidak bisa ditutupi oleh Sentanu. Para Punakawan pun turut senang. Akhirnya, mereka bisa kembali. Raden Perbatasari pun turut senang karena ia bisa bertemu dengan Pamannya untuk pertama kali. Terlebih, tidak hanya Paman yang dimiliki, kini, Raden Perbatasari memiliki juga seorang bibi. Hal yang sama juga dirasakan Dewi Sriwati yang ikut menyambut Dewi Raramis, Ia memberikan Raramis beberapa pakaian untuk dikenakan. Semua bergembira dan bersuka cita. Namun, ditengah suka cita yang begitu besar, terdapat bibit yang membahayakan. Sentanu diam-diam selalu memerhatikan Dewi Raramis. Baik ketika sedang makan, berjalan di selasar, atau sedang menikmati waktu sore dengan Purasara di halaman depan. Dengan kesadaran penuh, ia ternyata menaruh hati pada istri Purasara itu. Kemudian, timbullah rasa iri. Terlebih Dewi Raramis lebih cantik daripada Dewi Sriwati. Perasaan itu hanya bisa dipendam saja oleh Sentanu. Hingga di kemudian hari, itu akan menjadi sebuah bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Berbulan-bulan sudah lamanya Purasara tinggal di negerinya itu. Hingga suatu hari, Dewi Raramis merasakan ada yang aneh dari perutnya. Ia mengandung. Perasaan bahagia pun tak bisa ditutupi oleh Purasara. Dalam hitungan bulan, ia akan menjadi seorang Ayah. Melalui penglihatan yang sakti, Purasara bisa merasakan bahwa anak yang dikandung Raramis adalah Laki-laki. Sejenak, Purasara pun merenungkan sesuatu. Karena memang sudah menjadi suatu kebiasaan Purasara sebagai Wunga Tapa, maka keberadaan anak dalam perut Raramis pun menjadi alasan dia ingin pergi bertapa kembali. Dengan bertapa di sebuah gunung, ia akan memuja-muja Sang Hyang Kuasa agar puteranya kelak menjadi seorang pendekar yang gagah berani, bijaksana, dan baik hatinya, melebihi dirinya. Keinginan Purasara untuk bertapa kemudian disampaikan kepada Semar, Garubug dan Petruk. Atas perintah Purasara, Punakawan diminta untuk tetap di dalam negeri untuk menjaga Dewi Raramis. Namun, hal itu membuat Semar bersedih hatinya. Ia merasa kasihan dengan Dewi Raramis jika ditinggal bertapa. Terlebih lagi, Raramis dalam keadaan mengandung. “Kakang Semar, tolong jagalah Dewi Raramis. Dan kabari aku jika ada sesuatu kesedihan atau kesengsaraan yang terjadi. Kakang bisa menyusulku pergi ke gunung dan boleh membangunkan pertapaanku,” pesan Purasara kepada Semar. - 62 - Purasara Mendengar pendirian Purasara yang begitu bulat, Semar tak bisa berbuat banyak selain menurutinya. Meskipun hatinya menangis karena begitu kasihan dengan Dewi Raramis yang akan ditinggal untuk bertapa. “Baiklah Tuanku, akan saya jaga Dewi Raramis.” Semar pun mengikuti perintah Purasara untuk setia menjaga Dewi Raramis ketika Purasara pergi bertapa. - 63 - XI Raramis dalam Godaan Sentanu Kabar bahwa Purasara ingin melakukan pertapaan kembali didengar oleh Sentanu. Sesekali, Sentanu melarang agar Purasara tetap tinggal di dalam negeri. Namun, Sentanu pun tak didengarkan. Purasara sudah memiliki niatan yang kuat untuk melakukan tapa agar anaknya kelak memiliki perangai yang baik. Hingga sampailah pada satu hari, Purasara siap berangkat untuk bertapa. Semua merasa sedih akan ditinggal Purasara, tak terkecuali Dewi Raramis. Setelah berpamitan dan berpelukan satu sama lain, Purasara segera berlalu. Ia pergi ke gunung dengan melewati hutan belantara, sungai yang deras, dan keluar dari padang rumput untuk sampai di sebuah gunung yang akan dijadikan tempat pertapaan. Perjalanan itu tentunya memakan waktu berbulan-bulan lamanya. Selama berbulan-bulan itu Purasara hanya makan umbi-umbian. Selama perjalanan yang menempuh waktu tidak sedikit itu, Purasara seringkali mendapat cobaan bertemu dengan binatang buas hingga raksasa yang ingin menerkamnya. Namun, semua itu berhasil ia lumpuhkan hanya dengan hitungan menit. Lawan yang tidak sepadan dengan kekuatan Purasara. Setelah lawan-lawannya dilumpuhkannya, Purasara pun melanjutkan perjalanannya. Hingga akhirnya, Purasara sampai di gunung tempat ia akan bertapa. Gunung yang sangat tinggi dan memiliki kondisi lereng yang berjurang. Jika melihat dengan seksama, di dalam gunung itu akan ada bekas-bekas dupa terbakar yang menandakan sebelumnya sudah ada orang yang bertapa. Ada pula aliran air yang sangat deras yang membuat Purasara tak sabar untuk berendam ke dalamnya sebagai salah satu cara menyucikan diri sebelum melakukan pertapaan. Di pinggir aliran air itu ada satu pohon menjulang tinggi yang sangat teduh jika berada di bawahnya. Dan, di aliran air terlihatlah sebuah goa. Purasara pun masuk ke dalam goa itu dan menyalakan api unggun untuk menghangatkan diri dan kemudian membakar dupa dan istanggi untuk memuja kepada Sang Hyang Kuasa agar permintaannya dikabulkan. Purasara bertapa di atas batu putih. Ia duduk bersedekap menyerahkan diri kepada Sang Maha Kuasa. Setiap hari, ia gunakan waktunya untuk - 64 - Purasara bertapa. Hal itu mengharuskan ia tidak makan dan minum untuk waktu yang tidak sebentar. Rambutnya yang tampak tak terurus menjuntai panjang. Namun, tak ada yang mempedulikan sebuah penampilan. Inti dari bertapa adalah menyembah sembari berdoa agar permintaan dikabulkan. Dalam pertapaannya, Purasara pun tidak tahu menahu dan tidak peduli pula soal ini hari apa. Yang ia pedulikan adalah fokus melakukan penyembahan kepada Sang Hyang Kuasa, Gusti Mulia Raya. Sementara itu, di Negeri Suktadurja, Sentanu diam-diam memperhatikan Dewi Raramis. Terselip niatan jahat Sentanu untuk merebut Dewi Raramis dari Purasara. Terlebih, Dewi Raramis kini ditinggal Purasara. Niatan untuk menjadikan Raramis istri pun semakin besar. Hampir tiap sore Sentanu tak ragu untuk mengunjungi keraton Dewi Raramis. Ia beralasan untuk menghibur Dewi Raramis yang ditinggal bertapa Purasara. Tak ada seorang pun yang curiga, termasuk ketiga Punakawan yang dengan setia menemani Dewi Raramis siang, malam, pagi, dan sore. Namun, dari balik tembok, di kejauhan, Raden Perbatasari secara sembunyi-sembunyi mengamati apa yang dilakukan oleh ayahandanya itu. Dalam hatinya, muncul perasaan tidak suka terhadap apa yang dilakukan ayahandanya. Hingga pada suatu sore, kejadian tak mengenakan pun terjadi. Seperti biasa, Sentanu datang ke keraton Dewi Raramis. Ketika Dewi Raramis mendapat kunjungan, dengan segera Semar, Garubug, dan Petruk undur diri untuk sementara waktu. Ketika sudah berdua, tanpa malu-malu, Sentanu mengucapkan kata-kata yang kurang pantas dikatakan kepada istri dari adiknya itu. “Ya Dewi belahan jiwaku, padahal baru kemarin sore kita bertemu. Namun hati ini sudah tak sabar lagi untuk bertemu kembali,” ucap Sentanu. Mendengar kata-kata Sentanu, Dewi Raramis langsung memalingkan wajah dan membelakangi Sentanu. Dengan sopan dan lemah lembut, Dewi Raramis berkata, “Ya Kakanda Sentanu, maaf kalau saya tidak sopan membelakangi Kakang seperti ini. Namun, perkataan Kakanda tadi, dinda rasa tidak elok untuk diucapkan. Terlebih jika sampai terdengar oleh Kakang Semar, Garubug atau Petruk yang menjagaku siang dan malam.” “Ya Dewi Raramis yang sangat cantik jelita. Setiap hari aku selalu terbayang wajah ayumu. Jantung ini rasanya berhenti berdetak membayangkan dirimu wahai Dewiku”, lanjut Sentanu seraya ingin memegang tangan Dewi Raramis, namun berhasil ditepis. - 65 - Purasara “Bukan maksud adinda tidak sopan, tapi apa yang Kakanda katakan tidak pantas keluar dari mulut Kakanda Sentanu. Saya ini istri adik Kakanda dan terlebih lagi, saya sedang mengandung, serta Kakanda juga sudah beristri. Tak sepatutnya Kakanda mengucapkan itu ke dinda,” kata Dewi Raramis dengan nada sedikit bergetar karena ketakutan. “Ya Dewi Raramis, janganlah kau takut seperti itu, kemarilah bersamaku.” Berkali-kali Dewi Raramis tak mengindahkan perkataan Sentanu. Namun, Sentanu tak pernah menyerah membujuk rayu Dewi Raramis. Hingga pada suatu sore setelah dengan lemah lembut tak berhasil membujuk Dewi Raramis, Sentanu mulai sedikit demi sedikit menggertak dan mengancam. “Ya Dewiku Raramis, jika sebelum-sebelumnya saya dengan lemah lembut membujuk Dewi, maka kali ini saya tidak akan segan-segan menyakitimu jika kau tidak mau denganku,” dengan nada meninggi Sentanu mulai menggertak Dewi Raramis. “Terlebih jika kau terus menolakku, maka penjaga di keratonmu ini tak segan-segan aku sakiti.” lanjutnya. Karena mendapat ancaman tersebut kemudian Dewi Raramis berpikir sejenak. Agar tak terjadi pertumpahan darah, maka dengan cerdik Dewi Raramis meminta bukti dan persyaratan. Tidak tanggung-tanggung, Dewi Raramis meminta seluruh negeri menjadi miliknya. “Ya Kakanda Sentanu, jika Kakanda memang ingin memiliki dinda, maka dinda punya satu persyaratan yang harus Kakanda penuhi.” Pinta Raramis. “Apapun akan saya berikan. Kau mau minta apa? Perhiasan? Ladang yang luas? Atau apa? Katakanlah. Saya begitu menginginkan kau wahai Dewiku. Ayo katakanlah, jangan sungkan.” “Bukan, bukan perhiasan ataupun ladang yang saya inginkan sebagai bukti bahwa kakanda bersungguh-sungguh. Saya hanya mau negeri ini beserta seluruh isinya menjadi milik saya. Itulah satu permintaan itu.” Ketika sedang asyik membujuk rayu Dewi Raramis, di Keraton Dewi Sriwati, Raden Perbatasari mengadukan kelakuan Ramanya yang setiap sore singgah di keraton Dewi Raramis. Namun, Dewi Sriwati tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa pasrah jika demikian. Hal itu semakin membuat geram Raden Perbatasari. - 66 - Purasara Suatu sore, Raden Perbatasari sedang berjalan-jalan dan mengunjungi keraton Bibinya. Kemudian, ia mendengar ada suara laki-laki yang dipikirannya pastilah bukan Pamanya, Purasara. “Siapa laki-laki itu, begitu beraninya ia masuk, apakah ia ayahandaku yang setiap sore datang untuk berkunjung ke tempat Bibi?” pikir Raden Perbatasari. Karena takut ketahuan, kemudian Raden Perbatasari naik perlahan-lahan ke atas jendela untuk mengintai. Maka di waktu yang sama dengan mata kepala sendiri, Raden Perbatasari mendengar ayahandanya sedang membujuk rayu Dewi Raramis. Kemudian, satu per satu percakapan Dewi Raramis dan Sentanu, ayahandanya, ia dengarkan. “Intinya dinda akan mau sama Kakanda jika Kakanda bersedia memberi semua negeri untuk dinda. Tidak ada persyaratan lain. Hanya itu saja.” “Baik, nanti pokoknya itu akan aku berikan untuk Dewi Raramisku.” Mendengar percakapan Dewi Raramis dan ayahandanya, Raden Perbatasari seolah diguyur hujan petir. Sungguh marahlah ia mendengar semua itu. Terlebih, karena Bibinya meminta seluruh negeri dan ayahandanya menyanggupi. Raden Perbatasari berpikir bahwa tak pantas jika negeri ini dikuasai oleh seorang wanita. Harusnya negeri ini akan menjadi miliknya karena merupakan anak yang sah dari Sentanu. Rasa amarah pun membuncah. Maka, tebersit pikiran untuk membunuh Bibinya itu. “Tidak akan aku biarkan negeri ini jatuh kepada Bibiku. Namun, jika aku menghunus Bibi dengan kerisku ini, akan tambah runyam urusannya. Barangkali, akan lebih baik jika aku melakukannya di tempat yang sepi,” pikir Raden Perbatasari sambil mengurungkan niatnya pada saat itu. Keris yang terhunus pun disarungkan kembali. Lalu, Raden Perbatasari segera berlalu dengan meninggalkan keraton Dewi Raramis. Sentanu masih terus mencoba membujuk Dewi Raramis hari demi hari. Namun, selama permintaan Dewi Raramis belum dipenuhi dan dikabulkan, maka ia tidak akan mau menerina Sentanu. Dalam pikiran Dewi Raramis, strateginya berhasil. Sentanu tidak akan memberikan seluruh negeri beserta isinya. Dengan demikian, ia tak harus membagi cintanya untuk Sentanu. Raden Perbatasari yang sudah menaruh dendam kepada Bibinya, berniat melakukan perbuatan tidak terpuji. “Rasanya hari ini adalah hari yang tepat untuk membunuh Bibiku itu. Saya tidak mau Rama memberikan negeri ini beserta isinya kepada Bibi Raramis.” - 67 - Purasara Kemudian, dari keratonnya, Raden Perbatasari bersiap-siap dengan pakaian prajurit. Tak lupa, keris di selempangkannya di pinggang. Setelah itu, pergilah ia ke keraton Dewi Raramis. Sesampainya di keraton Dewi Raramis, Raden Perbatasari melihat-lihat sekitar. Terlihat Semar, Garubug dan Petruk sedang melakukan tugasnya masing-masing. Ada yang sedang menimba air di sumur, ada yang sedang menyapu halaman, ada yang sedang membelahbelah kayu. Sementara Dewi Raramis, ada di dalam keraton. Mereka semua tidak ada yang mengetahui jika Raden Perbatasari menyusup masuk ke dalam keraton. Rasa amarah yang sudah diubun-ubun membuat Raden Perbatasari ingin segera melancarkan aksi membunuh Bibinya itu. Dengan perasaan waswas dan dengan sembunyi-sembunyi, Raden Perbatasari segera masuk ke dalam keraton Dewi Raramis. Ia pun melihat Dewi Raramis sedang duduk melamun di pinggir jendela. Tanpa pikir panjang, Raden Perbatasari segera mendekati Dewi Raramis sambil menghunuskan keris. Rasa amarah yang terus membayangi Raden Perbatasari membuatnya terlihat seperti orang kesetanan. “Pokoknya Bibi Raramis harus mati. Tidak boleh negeri Suktadurja ini dimiliki olehnya,” batin Raden Perbatasari. Semar yang tadi sedang menyapu halaman tiba-tiba masuk ke dalam keraton hendak membersihkan bagian dalam. Namun, alangkah terkejutnya ia melihat Raden Perbatasari berada dalam posisi hendak menikam Dewi Raramis. Dengan segera, Semar mengambil keris milik Raden Perbatasari. Selepas itu, Semar menarik tangan Dewi Raramis dan diajaknya berlari. “Ya Dewi, mengapa Raden Perbatasari berbuat seperti itu. Apa kesalahan kita pada Raden Perbatasari yang membuat ia tega hendak menikam Dewi?” ungkap Semar sambil terengah-engah karena berbicara sambil berlari meninggalkan keraton. Keduanya menangis secara bersamaan, antara bingung dan sedih dengan keadaan yang menimpa mereka saat itu. Di sisi lain, Garubug dan Petruk yang mendengar suara keributan segera menghampiri. Kemudian, mereka melihat di luar keraton, Semar sedang berlari dengan menggandeng Dewi Raramis. Sementara, di dalam keraton, terlihat Raden Perbatasari dengan amarah yang luar biasa layaknya macan hendak menerkam mangsanya sedang mengejar Semar dan Dewi Raramis. Segeralah Garubug dan Petruk menyusul Semar dan Dewi Raramis. Alangkah terkejutnya Garubug dan Petruk melihat Semar dan Dewi Raramis berlari sambil menangis tersedu-sedu. - 68 - Purasara Dalam pikirannya, Garubug dan Petruk ingin bertanya penyebab perkelahian dengan Raden Perbatasari. Selama ini kehidupan mereka adem ayem, dan tiba-tiba terjadi kejadian seperti saat itu. Namun, tak sampai hati Garubug dan Petruk bertanya. Mereka hanya mengikuti Semar dan Dewi Raramis dari belakang dengan perasaan bingung. “Apa mungkin ya Raden Perbatasari berlaku demikian karena mengetahui ayahandanya, Sentanu, yang sering bolak-balik berkunjung ke keraton Dewi Raramis?” pikir Garubug bingung. Tanpa diketahui, ternyata Raden Perbatasari secara sembunyi-sembunyi mengikuti jalannya Semar beserta Dewi Raramis. Ketika hendak masuk ke dalam hutan, tiba-tiba ia berpikir, “Apa yang saya lakukan kepada Bibiku Raramis. Ini bukan salahnya, dan bukan juga salah ayahandaku. Tidak ada yang salah akan hal ini. Mungkin ayahandaku hanya tergoda akan kecantikan Bibi saja. Apa gunanya aku membuntuti mereka?” Setelah agak tenang dalam berpikir, Raden Perbatasari berputar arah dan kembali menuju Istananya. Dengan perasaan sedikit menyesal, ia berjalan dengan sedikit gontai. Sementara itu, Sentanu yang sudah berpakaian rapi datang ke dalam keraton Dewi Raramis. Namun, ia hanya mendapati ruangan kosong. Dewi Raramis tak ada di tempatnya. Demikian pula ketiga Punakawan Raramis. Mereka tak ada di tempatnya. Maka, dicarilah Dewi Raramis di sekeliling keraton, tapi tak membuahkan hasil. Hanya sepi yang terlihat. Kemudian, Sentanu berpikir, “Apakah mungkin mereka pergi menyusul Purasara ke gunung dengan ditemani Punakawan? Dan apa mungkin jika Semar mengadukan aku ke Purasara akan kelakuanku yang setiap sore datang mengunjungi Dewi Raramis? Jika memang itu benar, akan saya susul Dewi Raramis. Dewi Raramis harus menjadi milikku.” - 69 - XII Raramis dan Punakawan Mengadu ke Purasara Kala itu, pagi tak begitu cerah. Terlihat Sentanu sedang mempersiapkan diri. Ia berpakaian layaknya prajurit dengan pusaka keris yang disarungkan di pinggang. Sesuai dengan tekadnya, Sentanu hendak menyusul Dewi Raramis yang kabur entah kemana. Firasatnya mengatakan bahwa Dewi Raramis pergi menyusul Purasara yang sedang bertapa di gunung. Hawa nafsu yang begitu besar untuk memiliki Dewi Raramis membuat Sentanu semakin berkobar. Hujan tak menghalanginya untuk berjalan di hutan rimba. Panas tak menjadi alasan untuk mengarungi lembah. Itu semua ia lakukan demi merebut Dewi Raramis. *** Di tempat lain, Semar, Garubuk, Pertruk, dan Dewi Raramis berjalan menyusuri hutan. Semar masih tak percaya dengan kejadian yang mereka saksikan itu. Begitu sedihnya ia, hingga ia tak kuasa menahan tangis. Tangis yang ia tujukan kepada Dewi Raramis yang sedang mengandung dan ditinggal suaminya bertapa. Setelah mereka melihat Raden Perbatasari tidak menyusul mereka lagi, mereka mencari tempat untuk berteduh. Mereka berteduh di bawah pohon beringin yang begitu rindangnya. Garubug yang penasaran sejak tadi memberanikan diri untuk menanyakan perihal kejadian sebenarnya, “Ya Bapak, kalau boleh saya tahu, apa yang menyebabkan Raden Perbatasari begitu menyimpan amarah yang besar?” “Ya Anakku aku pun tak mengetahui mengapa Raden Perbatasari berbuat demikian Tempo hari, aku lihat Raden Perbatasari menghunuskan kerisnya pada Dewi Raramis dan sungguh terkejutlah aku. Lalu, dengan sigap aku langsung mengambil keris Raden Perbatasari. Selanjutnya segera aku bawa lari Dewi Raramis. Aku pun tak mengira jika kalian akan ikut menyusul. Baragkali Dewi Raramis mengetahui sebab yang sebenarnya. Namun kami tidak memaksa Dewi untuk bercerita”, kata Semar sambil kemudian memalingkan pandangan ke dewi Raramis. - 70 - Purasara “Ya Kakang Garubug, Kakang Petruk, dan Kakang Semar. Sulit untuk mengatakan ini, namun aku pun sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Raden Perbatasari yang hendak membunuhku. Aku hanya berpikir Raden Perbatasari berbuat seperti itu karena ia mengetahui bahwa ayahandanya, Kanda Sentanu, menaruh hati padaku.” sambil bersedih Dewi Raramis bercerita. “Seperti yang kalian semua ketahui, setiap sore selepas Kakang Purasara pergi bertapa, Kanda Sentanu selalu datang ke keratonku.” “Sungguh kah begitu? Padahal Tuan Sentanu sudah memiliki istri dan anak, kenapa ia sampai hati menyimpan rasa ke Dewi Raramis?” pikir Petruk heran. “Sentanu selalu bertanya perihal perasaanku. Apakah aku mau dengannya. Pertanyaan itu ia tanyakan berkali-kali. Hingga suatu saat, ia mengancam akan menghabisi semua yang ada di keraton jika aku tak menerimanya. Sungguh sangat dilema aku saat itu. Bagaimana bisa Kanda Sentanu berpikir demikian. Karena bimbang, aku pun membuat syarat tertentu dan berharap Kanda Sentanu akan susah untuk mengabulkannya,” lanjut Dewi Raramis. “Kalau boleh aku tahu, syarat apakah itu Dewi?” tanya Semar. “Aku membuat suatu tipu daya agar Kanda Sentanu tidak berani menuruti kemauanku. Aku bilang kepadanya kalau aku akan menerimanya jika ia bersedia memberikan seluruh negeri dan isinya kepadaku. Namun, sepertinya hal ini diketahui oleh Raden Perbatasari. Dan hal itulah yang membuat Raden Perbatasari ingin membunuhku,” lanjut Dewi Raramis sambil tak kuasa memebendung tangis. Mendengar cerita Dewi Raramis, Semar, Garubug, dan Petruk juga tidak bisa menahan kesedihan. Mereka kemudian menenangkan Dewi Raramis. Mereka berharap Dewi Raramis bisa menghentikan tangisnya. Namun, mereka bisa maklum, siapa yang tidak sedih hendak dibunuh seperti itu. “Dewi Raramis, berhentilah menangis. Kita semua tahu, Tuan Sentanu memang memiliki kelakukan yang berbeda dengan Tuan Purasara. Dari gelagatnya saja sudah ketahuan. Ya, Dewi, janganlah bersedih,” hibur Garubug. “Sungguh, memang keterlaluan Tuan Sentanu itu. Benar Dewi, Dewi janganlah bersedih, ini bukan kesalahan Dewi Raramis. Kalau sudah begini, marilah kita cerita hal yang sebenarnya ini ke Tuan Purasara. Kita susul Tuan Purasara yang sedang bertapa di gunung. Ia harus tahu perbuatan Kakandanya seperti apa,” sahut Semar. - 71 - Purasara “Bolehlah kita beristirahat beberapa saat lagi. Ini bukan karena aku lelah, tapi memang mungkin Dewi Raramis membutuhkan tempat beristirahat sejenak. Aku kasian melihat ia kelelahan karena selain membawa diri sendiri, ia juga harus membawa bayi yang dikandungnya,” kata Garubug. Setelah mendengar perkataan Garubug, Mereka menimbang-nimbang. Akhirnya mereka memutuskan untuk berteduh dan menginap barang semalam agar stamina mereka kembali pulih. Di kemudian hari, ketika matahari belum begitu nampak, Semar sudah terlihat mempersiapkan hal yang perlu dibawa dalam perjalanan mereka, yang akan memakan waktu berhari-hari. Terlihat ia mencari daun-daun di sekitar yang sekiranya bisa menjadi obat untuk siapa saja yang dalam perjalanan tidak enak badan. Sementara itu, terlihat Dewi Raramis mengelus-elus perutnya yang sudah mulai tampak membesar. Di sisi lain, Garubug dan Petruk terlihat masih tertidur dengan pulas. “Ya Dewi Raramis, kita tidak boleh menunda-nunda lagi perjalanan untuk menyusul dan menemui Tuan Purasara. Apakah Dewi sudah siap untuk perjalanan jauh kita? Kita tentunya akan berjalan menyusuri hutan lebat, mengarungi beberapa sungai dan lembah,” kata Semar. “Ya Kakang Semar, aku tidak apa-apa, mungkin semakin kita cepat berangkat, semakin cepat pula kita bertemu dengan Kakanda Purasara.” jawab Dewi Raramis. “Baik Dewi. Memang, tidak ada tempat lain selain menemui Tuan Purasara di gunung. Kita perlu segera menceritakan semuanya, jika kita tidak menceritakan hal ini, maka ini akan menjadi hal yang terpendam, dan itu tidak baik. Hal yang dipendam lama-kelamaan juga akan diketahui. Tuan Purasara mesti tau perangai Tuan Sentanu.” “Baik Kakang Semar, aku akan ikut apa kata Kakang Semar.” Ucap Dewi Raramis. “Baiklah Dewi, sebelum kita memulai perjalanan ini, aku akan bangunkan Garubug dan Petruk terlebih dahulu.” Setelah Garubug dan Petruk dibangunkan, mereka berempat berjalan menuju Gunung pertapaan Purasara. Siang dan malam mereka lalui, jika sudah terlihat lelah, mereka berteduh di bawah pohon besar dan bermalam di bawahnya. Mereka makan dan minum seadanya sesuai dengan apa yang - 72 - Purasara disajikan alam untuk mereka. Air sungai, air embun di ujung rerumputan, umbi-umbian dan keladi adalah sumber makanan dan minuman yang menjadi menu utama mereka. Jika memang sudah terlalu lelah, terkadang Dewi Raramis hanya bisa merenung dan tak kuasa menetes air mata dari ujung mata cantiknya. *** Di sisi lain, Sentanu sedang berjalan juga menyusuri hutan seorang diri. Ia terlihat menggila. Ia sangat menaruh keinginan untuk bersama Dewi Raramis. Sambil berjalan, ia berteriak di tengah kesunyian hutan, “Wahai Dewi Raramis di mana kau berada? Sungguh sejauh apapun akan aku susul. Ke ujung dunia akan aku kejar kau. Ke dasar samudera juga akan aku selami untuk bertemu dengan kau. Hujan dan badai tak menjadi alasan untukku untuk tak mengejarmu. Panas juga tak menjadi penghalang untuk terus mencarimu, wahai Dewiku.” - 73 - XIII Mengejar Raramis Berhari-hari, Sentanu berjalan mengarungi hutan yang lebat. Tanpa kenal lelah, ia terus berjalan. Namun, tak kunjung juga ia mendapati Dewi Raramis. Lapar dan dahaga tak pernah ia rasakan. Tujuan Sentanu hanya Dewi Raramis seorang. Jika siang hari menjelang, ia berharap cepat malam. Dan jika malam hari menjelang, ia berharap siang cepat datang. Itulah yang selalu diminta oleh Sentanu, tidak lain dan tidak bukan agar segera ia dipertemukan dengan Dewi Raramis. Sedikit demi sedikit, alam kesadaran Sentanu mulai terganggu. Ayam yang berkokok disangkanya sudah pagi, padahal hari masih gelap. Itu terjadi akibat dirinya yang terus memikirkan Dewi Raramis. Tiap-tiap ia memandang bulan di langit, wajah ayu Dewi Raramis tiba-tiba menggantikan bulan itu. Lantas, ia pun berjalan mengikuti bulan itu. Sementara itu, Semar, Garubug, Petruk, dan Dewi Raramis terus berjalan menuju gunung tempat Purasara berada. Siang malam mereka lalui dengan masuk keluar hutan, masuk keluar padang, menyeberangi sungai, dan menyusuri lembah. Karena adanya arahan Semar, mereka pun tak kesulitan mencari gunung tempat Purasara bertapa. Setelah berhari-hari lamanya, mereka berempat pun akhirnya sampai di kaki gunung tempat Purasara bertapa. Tanpa pikir panjang lagi, mereka segera mendakil untuk mencapai Puncak. Mereka berharap segera bertemu dengan Purasara, secepatnya. Berjam-jam mereka mendaki gunung yang memang tidak terlalu tinggi, tetapi juga tidak terlalu rendah. Hutan dan sungai sepanjang gunung mereka lewati. Sampai akhirnya, mereka sampai di sebuah goa. Tak jauh dari Goa itu, seketika Semar mendapati Purasara, yang seperti orang mati, duduk di atas batu. Sangat senanglah ia. Akhirnya, setelah perjalanan panjang, mereka bisa juga bertemu dengan Purasara. Demikian juga dengan Dewi Raramis, tak terbendung senangnya. Ia terharu dan menangis melihat suamianya. Akhirnya, ia bisa berjumpa dengan Purasara. Dengan segera, Dewi Raramis berlari menghampiri. Ia segera menyembah dan mencium kaki Purasara. Kemudian, ia memeluknya sambil meratap. - 74 - Purasara Hal itu pula yang kemudian diikuti oleh Garubug dan Petruk. Memberi hormat pada Purasara, lalu memeluknya karena rindu. Garubug dan Petruk segera menubruk Purusara dengan gegap gempita. Mereka sangat senang bisa berjumpa dengan Tuannya, Purasara. Namun, anehnya, Purasara tak bergerak dan tetap diam dalam pertapaannya. Hal itu karena Purasara tak merasakan apa-apa. Ia tidak merasa ada yang meratap. Karena itu, ia terus bertapa dan terus berdiam. Memang, pada dasarnya, ketika sedang melakukan pertapaan, sang pertapa harus terus fokus hingga pertapaannya selesai. Dan lagi, ketika bertapa, jiwa serasa tidak ada di raga. Raga hanya diam di tempat, namun jiwa sebenarnya sedang berkelana. “Kakanda Purasara, kenapa kakanda diam saja? Ini aku Kakanda, istrimu, Raramis. Aku sedih selama ditinggal Kakanda. Bangunlah Kanda, Bangun. Setelah itu, kita kembali saja ke Negeriku. Ke Negeri Wirata, jangan ke Suktadurja. Kita bertemu dengan ayahanda dan Ibunda. Sungguh, aku sangat merindukan mereka. Bangun Kanda! bangun lihat aku di sini. Aku berjalan ke sini untuk menyusulmu. Lihatlah aku Kanda, buka matamu,” ratap Dewi Raramis. Purasara tak kunjung bangun dari pertapaannya, layaknya orang mati. Garubug dan Petruk menggoyang-goyangkan badan Tuannya, berharap ia bangun. namun Purasara tak juga kunjung bangun. Mereka seperti kehilangan ide untuk membangunkan Purasara. Sampai kemudian, Dewi Raramis, bertanya kepada Semar. “Kakang Semar, bagaimana ini. Kenapa Kakanda Purasara tidak mau bangun. Tolong kira-kira apa yang membuat dia bangun dari pertapaannya?” Sambil berpikir kemudian Semar berkata, “Dewi Raramis, sepertinya kita tidak akan bisa membangunkan Tuan Purasara. Sebab, pertapaannya memang belum selesai. Hanya Sang Kuasa yang bisa membangunkan ia jika memang telah sampai pada waktunya. Hanya izin dari Sang Kuasa yang bisa membangunkan seorang Wunga Tapa. Saya tentu tak kuasa.” “Ya Bapakku, jika memang begitu, kita tidak akan bisa membangunkan Tuan Purasara sampai pertapaannya selesai. Tetapi, waktu itu, sepertinya Tuan Purasara berpesan jika memang kita ada kesusahan atau kesengsaraan, kita boleh membangunkan Tuan,” sahut Petruk. - 75 - Purasara “Iya benar Bapak, aku pun ingat sedikit-sedikit akan hal itu. Jika memang terpaksa karena ada kesusahan dan kesengsaraan kita boleh menyusul dan membangunkan Tuan Purasara. Bapak tentu ingat kan akan hal itu, bukan?” lanjut Garubug menimpali. “Benar itu Kakang Semar, benar yang di katakan Garubug dan Petruk. Sebelum Kakang Purasara pergi bertapa, ia memang menitipkan pesan, jika ada sesuatu kesusahan atau kesengsaraan kita hendaknya beritahu dirinya,” ungkap Dewi Raramis. Tidak bisa berbuat banyak, Semar kemudian berkata, “Baik. akan aku coba membangunkan Tuan Purasara. Tapi, jangan salahkan aku karena memang pertapaan Tuan belumlah selesai. Semoga sang Kuasa memberikan kita izin.” Karena keadaan yang terdesak, dan mereka harus memberitahu Purasara, Semar kemudian berkidung. Suara lantang nan merdu keluar dalam alunan Kidung Semar. Setelah selesai dalam kidungnya, Semar menggigit ujung kaki Purasara, berharap ia bangun dari tapanya. Ketika Semar mengalunkan Kidungnya, Purasara merasakan ada anak yang sedang bermain di ayunan. Anak itu dinyanyikan kidung oleh ibunya. Kemudian, anak yang ada dalam perasaannya itu menyuruh dirinya untuk bangun. Namun, ia pun tak jelas mendengarkan suara itu. Samar-samar Purasara merasakannya. Namun, terlalu amat merdu suara nyanyian kidung. Kemudian, ia dengarkan dengan seksama kembali. Kini, ia mendapati suara itu layaknya suara Semar yang merdu. Sedang asyik mendengarkan Semar bernyanyi, tiba-tiba ia merasakan ujung kakinya seperti ada yang menggigit. Hal itu membuatnya terjaga dari pertapaan. Alangkah terkejutnya ia setelah terjaga. Ia melihat Semar sedang menggigit kakinya dan Dewi Raramis sedang memeluknya. Karena kaget dan lemas karena dibangunkan dari pertapaan sebelum waktunya, Purasara pun bertanya, “Kakang Semar, mengapa Kakang Semar membangunkanku? Pertapaanku belumlah selesai. Terlebih, kenapa Kakang Semar membawa serta Dewi Raramis kemari? Bukankah aku menyuruh kalian berdiam diri di Suktadurja dan menjaga Dewi Raramis yang sedang mengandung selama aku bertapa di sini? Mengapa kakang tidak mengindahkan perintah itu dan tidak mendengar pesan diriku?” Mendengar hal itu Semar merasa bersalah telah membangunkan Tuannya Purasara. Sambil menangis dia menjelaskan kepada Purasara, “Mohon Tuanku - 76 - Purasara mengampuni saya, bukannya saya tidak mematuhi perintah Tuanku untuk menjaga Dewi Raramis. Janganlah marah kepada saya. Untuk lebih jelasnya Tuanku bisa bertanya langsung kepada istri Tuan, Dewi Raramis jika Tuan sudah hilang kepercayaan kepada saya.” “Kakang Semar, beritahu aku sekarang juga. Aku akan mendengar semua yang kau katakan.” lanjut Purasara. “Baiklah Tuanku. Tapi hamba mohon maaf terlebih dahulu karena bukan maksud hamba ini untuk mengadu-adu atau melaporkan siapa pun. Dan lagi, bukan karena hamba tidak mematuhi perintah Tuanku untuk menjaga Dewi Raramis. Kami ke sini karena waktu itu, Dewi Raramis hendak dibunuh dengan keris oleh Raden Perbatasari, keponakan Tuanku. Kemudian, ketika itu, hamba melihatnya dan langsung hamba ambil keris Raden Perbatasari. Kemudian, dengan sebisa mungkin, hamba membawa Dewi Raramis pergi menjauhi Negeri Suktadurja. Karena hal itulah hamba bersama-sama dengan Dewi berjalan melewati rimba hingga sampai di sini.” “Hai Garubug, apa benar yang Bapakmu ini katakan?” “Tidak ada yang salah sedikit pun Tuanku Purasara. Terlebih semua itu bermula dari Tuan Sentanu yang amat tergila-gila dengan istri Tuanku,” kata Garubug sambil menyembah Purasara. “Ya Istriku, apakah itu benar?” “Maaf Kakanda Purasara, suamiku, mungkin jika aku memberi tahu Kakanda suatu hari nanti, Kakanda akan sulit untuk percaya.” “Kakanda akan mencoba percaya kepadamu Dewiku. Namun tolong ceritakan semuanya dari awal agar tidak ada kesalahpahaman.” Sahut Purasara. “Baiklah Kakanda Purasara, saya akan ceritakan semuanya,” sembah Dewi Raramis. “Semua ini mungkin berawal ketika Kakanda pergi untuk bertapa. Setelah itu, setiap hari, tepatnya di sore hari, Kanda Sentanu selalu mengunjungiku di keraton. Hingga suatu hari, Kanda Sentanu sangat menginginkanku. Jika saya tak mau dengannya, ia akan membunuh semua yang ada di keraton. Sungguh saya sangat sedih kala itu, saya sudah mengatakan bahwa aku sudah punya suami yang tak lain adalah adiknya sendiri. Bingung apa yang harus aku lakukan.” Dewi Raramis agak sedikit tersedak. Ia berhenti sejenak. Namun, kemudian segera ia melanjutkan ceritanya, “Kemudian, setelah berpikir, saya - 77 - Purasara memberi syarat yang teramat susah. Berharap Kanda Sentanu tidak akan bisa mengabulkannya. Saya mengatakan kepada Kanda Sentanu, jika ia memang bersungguh-sungguh hendahklah memberikan seluruh negeri Suktadurja kepadaku. Saya tahu itu akan sangat susah ditepati oleh Kanda Sentanu. Karena itu, …” Dewi Raramis agak berat melanjutkan. Matanya mulai berkaca-kaca. Purasara dan lainnya pun masih terus memperhatikan. Dan, dengan segenap tenaga, ia kembali melanjutkan, “Karena itu aku pikir, aku tak akan pernah bisa menjadi milik Kanda Sentanu. Namun, hal ini ternyata diketahui oleh Raden Perbatasari. Ia mengetahui rahasia ini. Hal ini membuat ia marah sehingga hendak membunuhku. Lalu, seperti yang sudah dikatakan oleh Kakang Semar, kami semua berlari menjauhi Suktadurja untuk menyusul Kakanda ke sini.” Dewi Raramis tak bisa menahan tangisnya. Tak mudah untuk menceritakan itu semua saat itu juga, saat kondisinya masih trauma. Setelah mendengar semuanya, terlihat Purasara yang geram. Sungguh tidak terpikirkan olehnya jika kakandanya, Sentanu, menaruh hati pada istrinya sendiri. Hal yang tentunya tidak patut. “Hai Kakang Semar, Garubug, dan Petruk. Sebelumnya, aku ingin bertanya kepada kalian. Kenapa tidak ada satu pun yang melarang Kanda Sentanu datang ke keraton menemui Dewi Raramis? Apa tidak ada satu pun dari kalian yang menaruh curiga akan hal ini? Terlebih, ketika Kanda Sentanu yang memang hampir setiap hari datang ke keraton? Itu sungguh tidak wajar dilakukan.” Sembah Semar, “Ya Tuanku, sebelumnya tidak ada sama sekali pikiran terlintas mengenai Tuan Sentanu yang menaruh hati pada Dewi Raramis. Dan lagi, Tuan Sentanu adalah saudara Tuan Purasara. Karena itu, hamba tidak akan bisa melarang. Dan takut jika melarangnya. Karena hamba pikir, Tuan Sentanu datang hanya untuk menghibur Dewi yang ditinggal Tuan pergi bertapa.” Mendengar hal itu tambah ruwetlah pikiran Purasara. Kemudian, ia bertanya sekali lagi kepada Dewi Raramis, “Dewi Raramis, sekarang bagaimanakah isi hatimu dan lagi kenapa kau tidak menceritakan semuanya dari awal kepada Kakang Semar, Garubug dan Petruk?” - 78 - Purasara Sambil menangis Dewi Raramis menjawab, “Aku setia dengan Kanda Purasara, saya juga Tidak menyangka akan ada hal seperti itu. Jika mengadu dengan Kakang Semar, saya takut keributan terjadi.” Raramis mengambil napas sejenak. dengan suara masih tersendat-sendat, ia mencoba melanjutkan. “Ya Kakang Purasara, sungguh tidak ada sedikit pun ajakan Kanda Sentanu aku indahkan. Terlebih lagi, di perut ini ada anak Kakanda dan sungguh saya tidak akan pernah melakukan itu. Karena aku akan terus berbakti kepada suamiku.” Purasara berada di titik dilema yang luar biasa. Tentunya ia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah akan hal ini sebelum ia menyaksikan dengan matanya sendiri. Ia tidak bisa langsung percaya dengan Dewi Raramis, meskipun ia istrinya sendiri. Dan lagi, ia juga tidak akan langsung mudah percaya akan perkataan Punakawannya. Semua itu butuh bukti, dan hanya Sentanu yang bisa membuktikan hal itu. “Ya Dewi Raramis istriku, sekarang istirahatlah di sini bersama-sama dengan Semar, Garubug, dan Petruk. Jika memang benar Kakanda Sentanu ada hati kepadamu, saya kira ia akan menyusul kita ke sini. Jadi saya akan tahu siapa yang benar dan salah.” Purasara kini ada di tengah dilema yang luar biasa. Pikirannya tumpah ruah. Di sisi lain, Purasara juga tak kuat hati melihat Dewi Raramis yang sedang mengandung, tapi mau berjalan sejauh itu. Ia tentu saja merasa iba karena meninggalkan istrinya yang sedang dalam keadaan mengandung. - 79 - XIV Peperangan Sentanu dan Purasara Sentanu berjalan siang dan malam menyusuri hutan untuk mencari Dewi Raramis yang ingin direbutnya dari Purasara. Wajah cantik Dewi Raramis selalu terbayang. Itulah yang membuat tekadnya semakin kuat untuk segera bertemu dengan Dewi Raramis. “Dewiku, ke mana kau pergi. Akan aku cari sampai ketemu,” teriak Sentanu. Setelah berhari-hari lamanya, Sentanu berjalan siang dan malam, sampailah ia di kaki gunung tempat Purasara bertapa. Tanpa pikir panjang lagi, Sentanu langsung mendaki gunung tersebut. Ia berharap bertemu dengan Purasara dan Dewi Raramis. Di saat yang sama, di gunung itu, Purasara sedang duduk dan bercengkerama dengan Dewi Raramis yang perutnya semakin besar. Menurut perhitungan bulan, Dewi Raramis sudah memasuki bulan bersalin. Namun, tiba-tiba, Purasara merasakan ada orang sakti yang sedang berjalan dengan perlahan menghampiri mereka. “Kakang Semar, aku merasakan ada orang yang sedang menghampiri kita. Firasatku mengatakan, ini adalah Kakanda Sentanu yang berniat kemari untuk mengambil Dewi Raramis,” ungkap Purasara kepada Semar. “Tuan Purasara, jika dia benar adalah Tuan Sentanu, pastinya Tuan lebih mengerti bagaimana cara dia berjalan. Dan jika akhirnya dia sampai sini, sebaiknya Tuan bertanya kepadanya kejadian yang sebenarnya. Dengan begitu, kita akan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah untuk hal ini”, kata Semar menasihati. Suara langkah kaki semakin nyata terdengar. Dan benarlah, ialah Sentanu. Purasara berpikir sejenak dan merasakan kegilaan apa yang akan dilakukan oleh Kakandanya itu. Untuk keselamatan Dewi Raramis, Purasara menyuruhnya untuk menjauhi tempat mereka sekarang. Kemudian, Dewi Raramis undur ke belakang dengan ditemani tiga Punakawan yang selalu setia menemani. - 80 - Purasara Sentanu datang dengan amarah yang berapi-api, tanpa bertegur sapa terlebih dahulu dengan Purasara, Sentanu langsung menodongkan pertanyaan, “Di mana Dewi Raramis, berikan ia kepadaku sekarang juga!” “Hai, Kakanda Sentanu, apa kau tidak punya urat malu? Dewi Raramis adalah Istriku, ada urusan apa Kanda hendak mengambilnya dari tanganku? Kanda sudah punya anak dan istri sendiri!” ucap Purasara. Adu mulut pun tak terbendung lagi. Purasara dengan segala kekuatannya tentu tidak akan melepaskan istrinya untuk diberikan kepada Sentanu. “Jika peperangan memang diperlukan, aku akan melakukannya untuk melindungi Dewi Raramis!” “Baiklah kalau begitu. Baiklah kalau kau menantangku, Adinda!” jawab Sentanu tanpa pikir panjang menyetujuinya. Baik Purasara dan Sentanu sudah berada pada tahap amarah yang sangat luar biasa. Perkataan pedas dari mulut keduanya saling dilontarkan. Untuk mengadu kekuatan, mereka sepakat untuk mencari suatu tanah yang luas. Bukan berada di hutan seperti ini. Keduanya pun segera turun gunung untuk menemukan alun-alun sebagai tempat adu kekuatan maupun kesaktian mereka. Di belakang Purasara dan Sentanu, Dewi Raramis beserta ketiga Punakawannya ikut turun juga. Namun, ketika sedang berada di tengah perjalanan, Dewi Raramis merasakan keletihan yang luar biasa. Hal itu bisa dimaklumi karena Dewi Raramis sedang berbadan dua. Karena hal itu, mereka berempat terpaksa harus berhenti sejenak untuk istirahat. Sementara itu, Purasara dan Sentanu sudah tiba di alun-alun yang akan menjadi medan pertempuran mereka. Keduanya saling berhadapan dan siap untuk bertarung satu sama lain. “Adinda Purasara, apakah kau siap mati ditanganku sekarang demi menyerahkan Dewi Raramis kepadaku?” seru Sentanu sambil berkacak pinggang. “Sungguh terlalu kau Kanda Sentanu. Tidak beradab dan bertabiat! Namun, demi membela Istriku, aku siap menghadapi siapa pun yang hendak merebutnya, termasuk Kakang Sentanu,” balas Purasara. Mereka pun mulai beradu kekuatan. Sentanu dan Purasara saling sergap. Sejurus kemudian, Sentanu dengan kekuatan ototnya dengan mudah - 81 - Purasara mengangkat Purasara. Dibantingnya ia berkali-kali ke bumi. Kemudian, Purasara diangkat lagi dan dihempaskannya ke udara. Hal itu membuat Purasara melayang-layang dan kemudian jatuh ke bumi. Tak mau kalah, Purasara segera bangkit dan berlari menghampiri Sentanu. Purasara segera menyergap badan Sentanu untuk kemudian dibanting-banting ke bumi. Dengan kekuatannya, Sentanu dapat dengan mudah dihempaskan ke langit. Hal itu membuat Sentanu terpontang-panting di udara hingga jatuh kembali ke bumi. Keadaan pertarungan tampak imbang. Mereka berdua sama kuat. Mereka berdua sama-sama tak mau mengalah. “Dasar, Adik kurang ajar! Sekarang, kita tidak memiliki hubungan Saudara lagi!” teriakan Sentanu yang begitu menggelegar. “Hah! Apa tidak salah Kanda berbicara? Kanda yang terlebih dahulu memulai peperangan ini! Kanda yang tidak ada urat malu hendak merebut Dewi Raramis dari tanganku!” seru Purasara membalas. Sentanu semakin marah mendengar perkataan Purasara. Tanpa pikir Panjang lagi, batu besar yang ada di sebelahnya segera diangkat dan dilemparkannya ke Purasara. Purasara jatuh, namun berhasil memecahkan batu tersebut menjadi berkeping-keping hingga kepingan batu tersebut mengenai Sentanu. Purasara segera membalas dengan mengangkat Sentanu dan membantingnya kembali ke bumi berkali-kali. Sentanu merasakan kesakitan yang luar biasa. Akan tetapi, ia masih bisa bangkit lagi. Tak puas adu kekuatan dengan tangan kosong, membuat Purasara dan Sentanu mengeluarkan pusaka mereka yang berupa keris. Pertarungan semakin sengit. Tikam-menikam tak bisa terelakkan lagi. Keduanya tampak memiliki kekuatan yang sama besar. Karena masih belum ada yang kalah, Purasara menyarankan untuk mengadu kekuatan di gunung. Hal itu tentu disetujui oleh Sentanu. Di gunung, pertarungan semakin menjadi-jadi. Pohon-pohon yang ada di sekitarnya dapat dengan mudah diangkat dan dilemparkan ke satu sama lain. Hutan yang penuh dengan pepohonan seketika berubah menjadi gundul. “Sudahlah, kau menyerah saja dan serahkah Dewi Raramis kepadaku untuk aku peristri,” sergah Sentanu. - 82 - Purasara “Tutup Mulutmu, Kanda. Saya tidak akan menyerahkan Istriku!” berontak Purasara. Tentu saja dengan tidak segampang itu membuat Purasara menyerah. Ia masih punya banyak kekuatan untuk mengalahkah Sentanu. Sentanu yang tidak terima direndahkan segera menantang pertempuran di tengah lautan. Tantangan tersebut tentu saja diterima dengan baik oleh Purasara. Mereka pun dengan segera pergi ke laut. Sesampainya di laut, tak pikir panjang lagi, Sentanu segera mencengkeram badan Purasara dan dibantingkannya ke lautan. Air yang semula tenang berubah menjadi berguncang dan bergelombang besar. Purasara pun tak kuasa terbawa arus lautan ke sana kemari. Ia hanyut. Namun, bukan Purasara namanya jika tidak segera bangkit. Ia segera membalas dengan membanting Sentanu, menendang ke langit hingga terjebur kembali ke laut. Saling adu kekuatan di lautan tampaknya tidak membuat keduanya menyerah. Dan, tentu saja, belum ada yang mati di antara keduanya. Yang ada, mereka berdua tampak lemas dan kembung terlalu banyak menelan air laut yang asin itu. Mereka masih hantam-menghantam satu sama lain hingga akhirnya mereka berdua tidak sadarkan diri di tepi pantai. - 83 - XV Lahirnya Ganggasuta, Anak Purasara Di tempat lain, tempat Dewi Raramis beristirahat bersama dengan Punakawan, perut Raramis yang sedang mengandung tiba-tiba mengencang dan merasakan sakit yang luar biasa. Semar pun hanya bia menenangkan. Dewi Raramis khawatir jika dia akan melahirkan di tengah hutan dan tanpa pendampingan Purasara. Sambil menahan sakitnya kontraksi, Dewi Raramis berujar lirih, “Anakku yang pintar, tunggulah dulu sampai kita berada di Negeri Wangsapati. Kita tunggu juga ayahandamu datang. Baik-baik dahulu di perut ibu dan jangan nakal.” Melihat itu, Semar, Garubug, dan Petruk sangat iba. Hal itu menjadi lebih menyedihkan lagi karena ia melihat istri dari Tuannya akan melahirkan tetapi tidak di tempat yang layak. Ia merasa nasib dari Raramis ini begitu malang. Tapi Raramis sendiri sangatlah tabah. Bahkan ia masih sempat menguatkan diri dan menyuruh para Punakawan agar tidak mengkhawatirkan dirinya. “Kakang Semar! Tolong Kakang dan Kakang Petruk serta Garubug, carikan air buatku. Sepertinya putraku sebentar lagi mau lahir dan aku butuh air untuk mengisi tenagaku.” Pinta Raramis lirih. “Duh, Gusti, Kasian sekali perangaimu Dewi. Baiklah, hamba beserta Petruk dan Garubug akan cari air sebentar.” Balas Semar. Semar, Garubug, dan Petruk seketika bergegas pergi mencari air. Mereka pergi bersama-sama. Tinggallah Raramis sendirian. Raramis yang sedang menegang perutnya seolah hanya bisa berubah dan bersandar di bawah pohon. Ia tak kuasa bergerak sedikit pun. Keringatnya besar-besar, sebesar biji jagung. Otot-otonya lemas. Dan dia mencoba mengatur nafasnya agar tidak pingsan saat bayi akan keluar. Melihat Raramis rebah sendirian dalam keadaan akan melahirkan, para Batara iba pula padanya. Ketika perutnya mulai berkontraksi, Batara turun ke tempat Dewi Raramis berada. Mereka membawa seuntai air surga. Mereka berniat membantu kelahiran dari Dewi Raramis. Dewi Raramis yang tadinya menahan sakit tak terkira, tiba-tiba saja merasakan kebugaran yang nyata. Ia pun tak merasakan sakit sama sekali. - 84 - Purasara Batara yang membantu Raramis hadir dalam bentuknya yang gaib. Ia tidak kasat mata. Raramis pun tidak dapat melihat wujud siapa pun. Hanya saja, Raramis dapat merasakan sebuah keajaiban. Bayi yang sudah siap keluar, tak menimbulkan rasa sakit sedikit pun di perut dan selangkangnya. Dan seketika, bayi itu lahir, diselimuti cahaya. Rupanya gagah perkasa dan bercahaya layaknya Purasara. Raramis yang tak punya cukup tenaga, merasakan kegaiban lainnya. Tiba-tiba bayinya terangkat menuju dekapannya. Ia pun segera mendekapnya erat. Tangis dari bayi pun tak terdengar, ia hanya tersenyum bahagia. Seolah, bayi itu tahu bahwa ia harus tersenyum pada dunia, agar tidak menambah penderitaan ibunya. “Anakku, rupamu sungguh mirip ayahandamu.” Perkataan Dewi Raramis disambut dengan geliat mesra dan tawa yang membuat Dewi Raramis bisa tersenyum bahagia. Dewi Raramis pun merasa anugerah Batara telah menyertainya. Tak lama setelah kelahiran anaknya itu, dunia pun ikut menyapa. Atas kuasa para Batara, dibuatlah siang tidak panas. Diturunkan pula gerimis agar daun-daun tetap segar dan air tersedia untuk Raramis dan bayinya. Tumbuhlah bunga-bunga di sekitaran Raramis dan bayinya. Tidak hanya itu, sekawanan binatang pun datang menegok bayinya yang telah lahir itu. Beberapa terlihat memberikan salamnya. Beberapa membawa bunga atau membawa buah untuk bekal makan Raramis. Raramis sangat bersyukur akan kuasa Batara yang sangat melimpah padanya. Ia berlinang air mata sambil menciumi anaknya. “Anakku, rupamu, kehadiranmu sungguh membuat ibundamu ini bahagia sekali. Kau mungkin juga merasakan hal yang sama ya? Meskipun kau lahir sendiri tanpa kehadiran ayahmu atau keluarga di sini. Kakang Semar dan Punakawan pun belum baik lagi, mereka sedang mencari makanan dan minuman untukmu dan ibundamu ini. Kalau saja, kalau saja, ada ayahandamu di sini. Kau pasti akan tertawa and tersenyum lebih lebar bukan?” Begitulah, Dewi Raramis terus menghibur dirinya dan anaknya dengan banyak percakapan yang ia katakan sendiri. Sang bayi hanya tersenyum dan tertawa gembira. Tidak lama kemudian, datanglah kembali Semar, Gareng, Petruk membawa banyak buah-buahan dan minuman. Mereka sangat terkejut melihat bayi Raramis justru sudah lahir. - 85 - Purasara “Duh… Gusti nu Agung… Anakmu telah lahir Dewi. Bersahaja sekali seperti ayahnya. Dan elok seperti ibunya.” “Syukurlah, lahir dengan selamat.” Sahut Petruk “Ini Dewi, kami bawakan beberapa makanan dan minuman.” Seru Bagong. Dewi Raramis takjub dan terharu dengan makanan-makanan yang dibawa oleh Semar, Garubug, dan Petruk. Semua makanan itu sangatlah mewah dan enak. Bahkan, Dewi Raramis tak menyangka, makanan-makanan itu bisa didapatkan oleh Semar, Garubug, dan Petruk. “Dari mana makanan-makanan ini Kakang Semar?” “Dari hutan sini saja, Dewi!” balas Semara dengan menyunggi g senyum. “Bagaimana bisa mendapat anggur dan delima. Bukankah ini adalah makanan-makanan sorga yang ada di kahyangan dan biasa dikonsumsi para Batara?” “Iya, Dewi. Konon begitu ceritanya. Tapi, kami temukan ini di hutanhutan dekat sini saja.” “Aku sungguh takjub. Bolehkah aku membawa bijinya untuk aku tanam di negeri Wirata Nanti?” “Tentu boleh, Dewi. Bawalah sesuka Dewi” sahut Semar. Biji-biji itu pun dibawa oleh Dewi Raramis. Konon, kemudian inilah cikal bakal berkembangnya tanaman delima dan anggur di dunia. “Oh, iya Dewi. Siapakah gerangan nama dari bayi yang rupawan ini?” tanya Semar sambil menggendong bayi dari Raramis. “Belum dikasih nama Kakang. Tetapi, Kanda Purasara pernah berpesan kepadaku mengenai nama anak-anak kami. Ia berpesan, kalau-kalau nanti kami punya anak laki-laki, namailah ‘Ganggasuta’. Tapi, jika bayi itu adalah perempuan, namailah ‘Ratu Mas’.” Jelas Raramis. “Kalau begitu, bayi ini akan kau namai, ‘Ganggasuta’?” tanya Semar kembali. “Begitulah, Kakang Semar. Seperti pesan Kanda Purasara.” jawab raramis. - 86 - Purasara Semar pun bahagia menggendong anak Purasara dan Raramis itu. Setiap harinya, ia bermain-main dengan anak Purasara dan Raramis. Hingga beberapa tahun kemudian, setelah bayi itu bisa bertutur kata dan bertanyatanya. Muncullah banyak pertanyaan dari mulu Ganggasuta itu. “Ibunda, di mana Ayahanda?” Mendengar itu, Raramis senang bercampur sedih. Raramis tak bisa berucap apapun. Kemudian, Semar menimpali jawaban. “Ayahandamu sedang bepergian. Sebentar lagi ia juga akan pulang menemuimu. Kau tidak usah memikirkannya, ya. Kita bermain-main saja mencari capung?” “A, iya, capung, capung!” sambut Ganggasuta lupa akan pertanyaannya. Mereka pun kian kemari kian suka bermain-main. Semar beberapa kali menyanyikan lagu untuk Ganggasuta. Ganggasuta pun membalasnya dengan pelbagai pertanyaan. Terkadang, Ganggasuta menanyakan sesuatu yang tidak terduga dan sulit untuk dijawab. Namun, Semar bisa bersilat lidah dan membuat Ganggasuta melupakan pertanyaannya tadi. Ganggasuta menjadi anak asuh Semar. Semar pun menjadi Bapak yang sukarela merawat anak Tuannya, Purasara. Mereka sambil terus berjalan menuju ke Wirata. Ke tempat asal Dewi Raramis. Mereka tak berpengawal, mereka tak bermandikan harta, tapi mereka bergelimang tawa dan bahagia sepanjang berjalanannya. - 87 - XVI Peperangan yang Mengguncang Jagat Perkelahian antara Sentanu dan Purasara belum mencapai titik penghabisan. Mereka terus berperang dalam jangka waktu yang sangat lama. Bergantian mereka pingsan dan bangkit lagi. Keduanya seimbang. Siang menggelegar karena kilauan dan gemuruh pertarungan. Malam pun layaknya siang hari. Kilauan dari benturan kedua keris mereka dapat menerangi seisi semesta. Pertarungan keduanya, tak pelak membawa banyak kerugian. Kerugian pertama, Dewi Raramis melahirkan anaknya sendirian di tengah hutan. Anaknya, Ganggasuta, tidak bisa melihat ayahandanya untuk pertama kalinya sejak ia lahir. Mereka harus berpisah sampai nanti mereka bertemu kembali. Lainnya, ialah semesta dan jagat yang terdampak ajian dan jurus-jurus dari sentanu dan purasara. Banyak kerusakan terjadi. Dan itu tak disadari oleh Purasara maupun Sentanu. Mereka berdua asik beradu kesaktian. Beradu ajian. Mereka seolah lupa mengapa mereka bisa sampai berkelahi dan berperang habis-habisan. Mereka pun lupa makna persaudaraan yang sejak lama ditanamkan oleh ayah mereka, Sangkara. Mereka asik beradu tinju dan berhunus keris. Adu kelahi ini jadi ajang unjuk kekuatan dan yang kalah ilmu adalah mereka yang akan merana dan terbunuh. “Kakanda Sentanu, manalagi kekuatanmu? Apa hanya seperti itu saja kekuatanmu?” tantang Purasara. “Kau congkak, Adinda. Memang kau ini salah satu yang cukup berbakat, lebih berbakat dari Sambirawa. Tapi kau belum coba ilmu-ilmu yang kupelajari dari berbagai guru di negeri.” balas Sentanu. “Kalau begitu, tunjukkanlah padaku Kanda. Apakah ajianmu itu dapat melukaiku atau tidak.” Tantang Purasara sekali lagi. “Terimalah ini Adinda.” Sentanu menggesekkan kedua telapak tangannya, ia memutar-mutarnya dan menghunusnya ke arah Purasara, keluarlah api yang sangat besar. Api itu berkobar layaknya sebuah semburan naga, tepat ke arah Purasara. - 88 - Purasara Purasara tidak menghindar sedikit pun. Dengan menapakkan kedua tanggan pada dadanya, ia berdiam diri. Ia menerima api dari Sentanu begitu saja. Tak ada satu helai bulu pun yang terbakar. Jangankan bulunya, bajunya saja seperti tidak terbakar sama sekali. Api dari sentanu tidak mempan terhadap Purasara. Sentanu terheran. “Darimana kau pelajari ilmu itu? Kenapa kau tak merasa panas atau terbakar sedikit pun?” “Yang jelas ini bukan belajar darimu, Kanda. Aku cukup banyak mendulang ilmu selama bertapa.” Balas Purasara. “Tubuhku takkan mempan oleh api. Oleh air laut pun aku takkan kebasahan.” tambah Purasara berbesar kepala. “Kalau nyata begitu, coba perlihatkan kemampuanmu lainnya sekarang! Aku pun takkan mempan dengan ilmumu.” Sahut Sentanu. Dengan mengepalkan kedua tangannya, memantrainya, lalu membuka kedua telapak tangannya, Purasara berhasil mengeluarkan angin puyuh yang sangat gaduh. Angin puyuh itu menerjang Sentanu dengan seketika. Sentanu pun terpental. Ia lenyap ke dalam angin puyuh. Ia terbawa angin ke udara. Ke langit. Dan ketika angin puyuh itu ditarik kembali oleh Purasara, tak terlihat Sentanu terjatuh. Karena penasaran, Purasara pun langsung terbang menyusul Sentanu ke udara. Tampak Sentanu tengah berdiri di udara, di bawah teriknya matahari. Tegak menunggu Purasara. “Kenapa Kanda tidak terjatuh?” “Aku ingin unjuk kekuatan padamu, Dinda. Inilah salah satu ilmu yang kupelajari. Aku dapat terbang hingga mencapai awan. Kupikir kau tidak akan bisa menyusul. Aku hanya mengetes kekuatanmu apa bisa menyusulku di udara atau tidak. Kebetulan sekali kalau kau juga bisa menyusul.” Meski terlihat agak koyak bajunya, Sentanu tetapi tegak seolah ia tak luka, apalagi sampai celaka dan mati. “Tentu saja aku bisa menyusulmu. Kukira, kau mati, Kanda. Sehingga aku pun ingin memastikannya di atas udara.” sahut Purasara. “Kalau baegitu mari kita beradi keris di sini. Di udara. Siapa yang akan tertusuk dan mati pasti ia akan jatuh. Ialah yang kalah ilmunya.” tantang Sentanu. “Siapa takut!” - 89 - Purasara Keduanya sama-sama menghunus keris. Dalam kedipan mata, keduanya kembali bentrok. Keris dari Sentanu dan Purasara sama-sama kuat. Mereka memercikkan cahaya dan api ke tengah semesta. “Boleh juga kekuatanmu, Kanda!” seru Purasara. “Kau juga Adinda, Masih bisa bertahan melawanku.” balas Sentanu. Keduanya saling hunus dan saling tangkis. Mereka seimbang diudara. Sesekali Sentanu kena pukul. Sesekali Purasara yang kena pukul. Akan tetapi tak ada satu dari keduanya yang jatuh dari udara. Pertempuran mereka di udara ini menimbulkan dampak buruk bagi keseimbangan kehidupan di Kahyangan. Percikan-percikan api dari keris memancar ke Kahyangan. Hawa panas pun menyelimuti Kahyangan. Para bidadari banyak yang menjadi lesu dan lemas badannya. Bahan pohon-pohon dan ranting pohon di Kahyangan mulai layu dan rontok. Itu satu dari beberapa akibat panas yang diciptakan di langit. Burung-burung di Kahyangan pun jadi ketakutan dan bingung. Situasi di Kahyangan yang seperti itu jadi perbincangan para Batara. Bahkan, Batar Guru pun ikut heran dengan keadaan di Kahyangan. Situasi ini belum lagi diperparah dengan perang Sentanu dan Purasara yang masih berkelanjutan itu. Mereka masih saling adu ilmu adu tinju dan adu keris. Di dunia pun kekeringan panjang mulai terjadi. Sebab, pertarungan mereka tidak selesai dalam hitungan hari atau bulan saja, tetapi juga hitungan tahun. Senjata-senjata Sentanu dan Purasara yang saling beradu dan menimbulkan bunyi menggericau membuat beberapa hewan seperti anjing dan para burung di jagat dunia menjadi bisu. Seluruh hewan terheran dengan dua tingkah keturunan raja yang berkelahi dan berdendam melebihi para hewan. Mereka tahan bermusuh-musuhan hingga bertahun lamanya dan bertarung tiada selesai. “Sekarang, mari kita adu fisik kita, siapa lebih unggul.” tantang Sentanu. “Mari Kanda, aku takkan kalah dalam ilmu apa pun,” jawab Purasara. Mereka pun adu kekuatan fisik di udara. Mereka seolah bisa memetik panas matahari lalu main lempar satu sama lain. Ketika dilempar yang satu menangkisnya. Tangkisannya menghempas ke hutan. Hutan pun menjadi terbakar. - 90 - Purasara Ketika mereka sama-sama beradu tinju yang berisi ajian pamungkas. Mereka sama-sama terhempas. Hempasan ajian mereka mencemari udara. Dan mereka yang terhempas jatuh ke permukaan bumi. Ketika mereka jatuh ke permukaan dunia, dunia pun berguncang. Pilarpilar kahyangan jadi terguncang. Gugur dan hancur segala-galanya. Jembatanjembatan di tanah pun hancur. Rumah-rumah maupun instana kerajaan pada terguncang. Sebagian hancur sebagian masih bisa berdiri. Segala hewan berhamburan. Mereka mengira ada bencana alam atau gunung meletus. Sebagian mereka mati terkena hawa panas. Sebagian lagi terus berlari sehingga banyak merusak bilik-bilik warga. Suasana jadi kaos. Bumi pun seolah bergetar layaknya orang yang sedang menggelengkan kepalanya. Sentanu dan Purasara sama-sama terkapar di permukaan bumi. Keduanya belum ada yang bangkit. Mereka masing-masing mendapat pukulan yang sama kuatnya dan terpental ke dua arah yang berbeda. Pukulan itu membuat keduanya tak kuasa menggerakkan badannya untuk beberapa saat. Mereka hanya bisa menatap ke arah langit yang riuh akan burung-burung beterbangan. Burung-burung yang kian kemari tak tahu tujuan karena rumah mereka terbakar dan rusak. Sebagian cepat menghilang ditelan asap, sebagian lagi riuh dengan teriakannya. Setidaknya, kondisi mereka berdua yang tak bergerak menahan lajunya peperangan untuk beberapa saat, serta menahan penyebaran kerusakan dalam waktu yang singkat. - 91 - XVII Batara Narada Melerai Dua Saudara Terguncangnya bumi membuat Kahyangan pun turut terguncang. Sebagian Batara yang tidak mengetahui perihal pertarungan Sentanu dan Purasara terheran-heran. Mereka lalu keluar berhamburan. Mereka ingin tahu, sebenarnya apa yang terjadi di Kahyangan sehingga terjadi guncangan besar. Namun, Barata Guru sebagai raja kemudian menenangkan sebagian Batara yang panik. “Tenanglah semuanya. Tenang para penduduk Kahyangan. Aku sudah tahu penyebab goncangnya Kahyangan, dan aku akan segera mengutus Batara Narada untuk turun ke Bumi.” Para Batara yang tadinya gusar, kini mulai tenang. Ia yakin pada kekuatan dari Batara Guru dan Batara Narada untuk menyelesaikan semua masalah. Apalagi, mereka ada para pemimpin jagad. Batara Narada yang coba diutus oleh Batara Guru pun datang terlebih dahulu menghadap Batara Guru. “Salam, Raja Batara,” sapa Batara Narada. “Kakang Batara Narada, tolong kau turun ke bumi. Di sana sumber kekacauan dari apa yang ada di Kahyangan terjadi,” ucap Batara Guru. “Ada apa Gerangan Batara sampai sepanik itu menyuruhku. Apakah perihal tapa Purasara lagi?” tanya Batara Narada. “Bukan Kakang, Purasara telah terjaga dari tapanya. Kini masalahnya adalah kerusakan bumi yang diakibatkan oleh pertarungan Purasara dan kakaknya, Sentanu,” ungkap Batara Guru. “Apa ini juga berkaitan dengan guncangan di Kahyangan barusan saja?” “Betul, Kakang Narada. Itu semuanya karena bumi gonjang-ganjing oleh pertarungan dua turunan Sangkara itu.” “Baiklah, kalau begitu, saya akan coba turun dan pulihkan segala kerusakan yang melanda.” “Tolong pula lerai mereka berdua. Sebab, tanpa dilerai mereka tak punya kesadaran. Mereka membabi buta layaknya bukan seorang kesatria.” - 92 - Purasara “Baiklah, Raja Batara. Saya akan turun dan melerai mereka. Aku pamit undur diri dahulu.” Pinta Batara Narada pamit. Batara Narada pun turun ke dunia. Ia mulanya hanya memeriksa dahulu, sejauh mana kerusakan yang terjadi di dunia. Setelah semuanya terlihat jelas, perlahan Batara Narada, dengan kekuatannya, memulihkan segala yang rusak. Mendamaikan segala yang kaos. Dan menegakkan segala yang tumbang. Segala hewan yang ketakutan hingga sawan, dipegang kepalanya, dimantrai, dan sembuhlah mereka. Gunung-gunung yang hancur gugur dikembalikannya ke wujudnya semula. Samudera-samudera yang mulai tercemar ataupun mengering dibuatnya asri seperti semula. Hewan-hewan di lautan yang mati dan menjadi bangkai dimantrai dan kembali hidup seperti semula. Sungai-sungai yang kering dibuat kembali menjadi mengalis. Segala pohon, rumput, dan hutan diusapnya agar tumbuh dan hijau kembali. Setelah semuanya terlihat tumbuh lagi, dan terlihat mulai seimbang, Batara Narada melayang ke atas daratan, menyaksikan daerah-daerah yang rusak karena peperangan Purasara dan Sentanu. Ia pun terlihat menggeleng-gelengkan kepala tanda tak percya kalau kerusakan bisa sehebat itu. “Pantas saja landasan Kahyangan bisa goyah, dunia hampir benar-benar musnah seperti ini!” batin Batara Narada. Batara Narada yang merasa bahwa dunia harus dipulihkan, terus mengelilingi seisi neeri dan bumi yang rusak. Ia datang dan memulihkannya satu per satu, sampai semuanya kembali. Sampai ia bisa menemukan dan menghentikan sumber kerusakan. *** Sentanu dan Purasara yang sempat terhentak bersama ke bumi, mulai bangkit kembali. Itu artinya genderang perang akan kembali dikumandangkan. Emosi mereka seolah tak pernah surut. Kekuatan mereka pun seolah tak pernah habis. Mereka jatuh pingsan, bangkit lagi, terpacu amarah lagi, dan berperang lagi. Kali ini, Sentanu melayang ke udara, menatap Purasara yang tegak di atas tanah. Dengan pandangan yang merendahkan, Sentanu pada Purasara, “Sudahlah Adinda. Menyerah saja. Ilmumu tak akan bisa membunuhku. Yang ada, tubuhmu yang hancur karena ilmu perangku yang teramat hebat ini. Menyerahlah, tak usah melawan lagi. Lagipula, aku ini Kandamu, lebih tua darimu. Sebaiknya kau menurut pada Kandamu dan melepaskan Dewi Raramis untuk menjadi milikku.” - 93 - Purasara Purasara yang merasa tak terima, menyusul Sentanu ke udara. Ia membalas pandangan Sentanu dengan mata yang tajam. Kemudian, dari mulutnya, berucap dengan lantang, “Sampai mati pun aku takkan menyerah padamu Kanda. Mau tubuhku remuk dan hancur, mau badanku tercerai-berai ke tujuh penjuru dunia, jika nafasku asih ada, aku akan tetap melawan. Dewi Raramis adalah istriku. Ia adalah jodohku. Walaupun Kanda lebih tua, bukan berarti aku harus memberikan Istriku kepada Kanda!” “Memang keras keapala kau Dinda! Kalau begitu, rasakan seluruh kekutanku Dinda!” “Majulah, Kanda! Kita bertarung sampai penghabisan!” jawab Purasara. Mereka pun kembali beradu kekuatan. Dengan tinju apinya, Sentanu menghantam Purasara. Namun Purasra bisa membalikkan dan memadamkannya dengan jurus angin puyuhnya. Lantas, Purasara memukul dengan kerasnya hingga Sentanu terpental ke permukaan. Sentanu yang jatuh bisa bangkit lagi. Purasara mengejar dan akan menghujamkan tinjunya lagi, tetapi dapat ditangkis Sentanu. Dalam keadaan terjepit, Sentanu menendang Purasara hingga terpental jauh. Sentanu yang cukup kelelahan tidak mengejar Purasara yang masih terperosok. Ia sejenak mengambil napas. Dan ketika Purasara datang kembali untuk menghajarnya, Sentanu memberi tanda sembari berbicara, “Sebentar, Ananda. Bagaimana kalau kita buktikan kekuatan kita dengan siapa yang berhasil membanting lawannya sampai pingsan?” Purasara yang selalu merasa lebih kuat dan berilmu dari Sentanu balik menantang, “Mari Kakang, Majulah!” Sentanu menyergap leher Purasara. Ia membawanya ke udara, melemparnya, lalu memukulnya ke arah permukaan tanah. Purasara meluncur ke permukaan layaknya peluru yang ditembakkan dari pelatuknya. Lalu, membentur bumi dan menimbulkan getaran yang kuat. Sentanu yang membanting dan memukul Purasara kencang-kencang terus mengamati ke arah jatuhnya Purasara. Tubuh Purasara tak terlihat, terselimuti debu yang beterbangan karena benturan yang sangat kencang. Sentanu pun membayangkan tubuh Purasara yang remuk dan tak dapat bangkit lagi. Lama ia mengamati hingga ia semakin yakin bahwa ialah yang patut memenangkan pertarungan itu. Ia pun kemudian memalingkan pandangan ke hamparan langit. Ia sudah tak kuasa membayangkan Dewi Raramis yang - 94 - Purasara membuatnya mabuk kepalang itu. Hingga tak disangka-sangka kakinya diseret Purasara yang tiba-tiba muncul. Purasara pun segera membawa Sentanu terbang dengan kecepatan tinggi. Dan ketika memasuki area pegunungan, Purasara memutar-mutar tubuh Sentanu hingga kemudian melemparnya. Tubuh sentanu pun terbang membentur gunung-gunung dan tertimpa bebaTuan yang amat besar. Tanpa menunggu Sentanu bangkit, Purasara menghujani tubuh Sentanu yang tertimpa bebaTuan dengan ajian tapak saktinya. BebaTuan yang tadinya nampak sebagai tumpukan, kini rata dengan tanah, bagai bebijian yang ditumbuk oleh lesung. Purasara mengamati kubur bebaTuan yang sudah rata dengan tanah itu. Ia mengamati tempat itu dengan penuh hati-hati. Dia tak mau terkecoh kalau-kalau Sentanu hanya pura-pura tidak bergerak dan berusaha mengecoh konsentrasi Purasara. Satu jam, dua jam, tak ada pergerakan apa pun dari tempat jatuhnya Sentanu. Namun, Purasara tetap was-was. Ia terus fokus mengamati. Hingga hari mulai senja, tiba-tiba terlihat tangan Sentanu muncul ke permukaan. Sentanu naik ke permukaan dengan susah payah. Purasara tak mau buru-buru menyerang. Ia menunggu hingga Sentanu benar-benar berdiri atau tubuhnya muncul seutuhnya di atas tanah. Ketika Sentanu sudah keluar dari tanah dan mencoba berdiri, Purasara meluncur ke arahnya dengan kecepatan cahaya. Tangannya memegang keris dan siap untuk mencabik tubuh sentanu yang masih tidak berdaya. Namun, ketika ujung keris Purasara hanya tinggak sejengkal ke kepala Sentanu, secara tiba-tiba sebuah tangan yang besar muncul dan menghentikan laju keris juga Purasara. Tangan itu melindungi Sentanu dan menghindarkannya dari kematian. Purasara kaget dan terheran. Terlebih lagi dengan Sentanu. Dari atas, suara yang keras tapi halus nadanya berkumandang. “Hai cucu-cucuku, mengapa kau saling bunuh dan membuat kehancuran di dunia? Apa gerangan yang membuat kalian melakukan hal keji demikian?” Purasara dan Sentanu yang keheranan nampak memeriksa sekeliling. Mereka diam tanpa suara dan sesekali saling tatap muka. Ketika tangan yang menghentikan laju keris Purasara menghilang, muncul dari langit Batara Narada yang bijaksana. Ia turun ke arah Purasara dan Sentanu yang terpaku memandangnya. Kemudian, ia peluk tubuh keduanya yang sudah penuh luka. “Marilah cucuku, kita hentikan ini semua, kita duduk dan tenangkan hati kita. Kita bicarakan ini bersama tanpa perkelahian. Agar tak ada lagi pertumpahan darah ataupun kerusakan yang terjadi akibat pertengkaran kalian ini.” Ucap Batara Narada sambil memeluk keduanya. - 95 - Purasara Semakin lama dipeluk, hati Purasara dan Sentanu yang angkuh pun melunak. Mereka tetap terdiam tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dengan perlahan Batara Narada melepaskan pelukannya. Dan dengan nada yang lebih halus, ia kembali bertanya, “Ada apakah gerangan hingga perkelahian hebat yang hampir menghancurkan jagat ini terjadi? Kita bicarakan semuanya baik-baik agar dapat ketemu jalan yang mendamaikan.” Purasara dan Sentanu masih membisu. Sesekali kakak beradik ini saling tatap muka. Mereka kebingungan dan merasakan hal yang aneh. Pikiran dan perasaan mereka lama-lama terbuka. Sebab, mereka yang biasanya rukun malah bertengkar hebat dan membuat rusak jagat. “Wahai Purasara, cucuku paling kecil, Wunga Tapa yang sakti mandraguna, apa sebabnya kau ini sampai hati ingin membunuh Kakandamu yang dari kecil kau ikuti dan sayangi ini?” Tanya Batara Narada pada Purasara. Purasara memalingkan pandangannya pada Batara Narada. Ia terpaku dan membisu sejenak. Ia merasa bahwa ada sosok bijaksana yang sedang mengelus-elus hatinya sehingga tak ada amarah lagi. Dan dengan lirih, ia mulai menjawab, “Segala hormat, Eyang Batara Narada, Hamba seperti ini juga ada sebabnya.” “Kalau begitu, ceritakan sebabmu itu,” ajak Batara Narada untuk berunding dan bercerita. “Hamba sampai seperti ini karena Kanda Sentanu sudah seperti orang mabuk ingin merebut istri hamba. Ia dibutakan dengan nafsu yang bisa membuat persaudaraan kami hancur. Hamba pun tak mau tinggal diam melihat istri Hamba akan direbut, Eyang. Jadilah kami bertengkar hebat seperti ini.” jawab Purasara menjelaskan. “Apa betul demikian, Sentanu?” tanya Batara Narada ke Sentanu yang sedang terengah-engah. “Mohon ampun, Eyang Batara Narada. Hamba khilaf. Hamba akui kini Hamba buta. Hamba sudah lupa kalau itu adalah istri Adinda hamba yang dari dulu Hamba sayang. Kini, Hamba sadar dan ingin meminta maaf. Hamba yang sudah menguasai negeri, malahan ingin juga menguasai istri.” Jawab Sentanu tersesal. Mendengar pengakuan Sentanu, Purasara menjadi sedikit meluluh hatinya. Ia tidak semarah sebelumnya. Namun, ia tak mau berkata apa-apa, hanya diam menunduk mendengarkan Batara Narada. - 96 - Purasara “Baiklah, dari sini cucuku Sentanu memang gelap mata mau merebut Istrimu, cucuku Purasara. Akan tetapi, kau juga tak sepatutnya ingin membunuh Kandamu itu. Dalam hal ini, kau juga salah jika mau membunuh Kandamu!” Batara Narada menasihati. Purasara dan Sentanu sama-sama terdiam. Dan Batara Narada melanjutkan, “Aku pun tidak mau menyalahkan kalian berdua. Kalian berdua akan mendapatkan karma masing-masing. Terlebih, kau Purasara.” Batara Narada kemudian menepuk pundak Purasara dan memberi tahu, “Kelak, kau akan punya ketrurunan bernama Arjuna. Ia mempunyai kesaktian dan kekuatan sepertimu. Gagah perkasa dan tiada ampun pada musuh. Namun, ia punya kelakuan mirip dengan Kandamu Sentanu. Jadi saya pun tidak mau menyalahkan Kandamu terlalu jauh lagi. Sekarang ini, sebaiknya kalian berbaikan, bermaafan. Hilangkan nafsu dan amarah pribadi. Duduklah dalam damai.” Mendengar nasihat Batara Narada, keduanya tertunduk menyesal. Terlihat keduanya seperti anak kecil yang merasa bersalah dan takut pada kesalahannya, hingga tak ingin lagi mengulangi. Suasanya sekitar lebih tenang. keadaan pun sudah cukup membaik dan terkendali. Batara Narada dengan sangat bijak menasihati kedua Cucunya untuk saling hidup rukun berdampingan karena memang pada dasarnya mereka adalah saudara. Batara Narada meminta kedua saudara itu untuk kembali ke negeri untuk memimpin negeri yang sudah ditinggalkannya. Sentanu dan Purasara hanya diam mematung sambil tunduk hormat. “Ya Cucu-cucuku, yang berlalu sudah menjadi suatu pembelajaran buat kalian berdua agar ke depannya hidup lebih damai lagi. Sekarang kembalilah kalian berdua ke dalam negeri seperti sedia kala. Janganlah saling berperang satu sama lain. Kalian ini seorang pemimpin, tunjukkanlah bahwa kalian mampu memimpin rakyat-rakyat kalian. Nanti negeri akan dibagi menjadi dua, sebagian untuk cucuku Sentanu, dan sebagian untuk Cucuku Purasara. Kalian akan menjadi seorang raja di negeri kalian masing-masing,” kata Batara Narada Mendengar hal itu kedua kakak-beradik itu kaget. Sungguh amat terkejut mereka mendengar Batara Narada membagi negeri menjadi dua. Dengan takzim Purasara angkat bicara. “Ya Eyang Batara Narada, bukan bermaksud untuk menolak untuk menjadi seorang Raja. Namun, kini belum saatnya untuk hamba memimpin - 97 - Purasara rakyat-rakyat yang sangat banyak itu. Dan lagi sepertinya saya masih belum pantas untuk itu. Biarlah semua ini menjadi milik Kanda Sentanu”, ujar Purasara. Batara Narada tersenyum. Mendengar itu, ia kemudian melontarkan pertanyaan ke Sentanu, “Ya Cucuku Sentanu, mendengar perkataan saudaramu, Purasara, sekarang bagaimana tanggapanmu?” Sentanu yang merasa bersalah mencoba mencairkan suasana dan menjadi lebih ikhlas akan kepemilikannya. “Saya sudah terlalu lama duduk sebagai Raja di negeri Suktadurja, mungkin sekarang giliran Dinda Purasara yang memimpin dan menjadi Raja.” Purasara terkejut. Ia merasa dirinya belum pantas dan tidak mau memimpin kerajaan. Namun, Sentanu nampak merasa bersalah dan ingin menebusnya dengan memberi kekuasaannya pada Purasara. Kedua kakak beradik itu pun kemudian saling melempar penyataan perihal siapa yang akan memimpin Suktadurja. Mendengar jawaban keduanya, Batara Narada kemudian berkata, “Baiklah, untuk hal itu biarlah nanti Eyang yang mengurusnya dan memberikan suatu pelajaran untuk kalian juga atas apa yang sudah kalian perbuat. Sekarang kembalilah kalian berdua ke dalam negeri.” “Baik Eyang Batara Narada,” kata Sentanu dan Purasara bersamaan. “Dan untuk kau Purasara, segeralah kau kembali kepada istrimu dan Punakawan. Sebab, Semar, Garubug, Petruk serta istrimu Dewi Raramis sangat menanti kedatanganmu. Semoga kalian selalu mendapatkan keselamatan dan kesehatan. Baiklah, Eyangpun tidak boleh berlama-lama di sini. Ada banyak urusan lain yang mesti dikerjakan.” Mendengar perkataan Batara Narada, Purasara kemudian tersadar bahwa dia sudah meninggalkan Dewi Raramis cukup lama. Bayangan tentang istrinya, Dewi Raramis, pun muncul dan menghantui. Dewi Raramis yang sedang hamil tua ditinggalkannya bersama dengan para Punakawannya. Hanya karena amarah yang begitu besar, Purasara tega meninggalkan istrinya yang sedang mengandung, terlebih akan segera melahirkan waktu itu. Namun, ketika sedang memikirkan Istrinya itu, rasa sedikit sakit hati akan Sentanu yang tega ingin merebut Dewi Raramis kembali muncul. Ternyata, hati Purasara masih labil. Dendam akan Kandanya, Sentanu, sedikit-sedikit masih tebersit. - 98 - Purasara “Ya Cucu-cucuku, Eyang mohon pamit terlebih dahulu. Dan kalian segeralah kembali juga”, begitulah kata-kata perpisahan yang dilontarkan dari Batara Narada kepada kedua cucunya. Seketika itu juga mereka berpelukan satu sama lain di depan Batara Narada. Dengan hanya sekejapan mata, Batara Narada segera melesat dan tak dapat lagi dijangkau oleh indra penglihatan. Sekarang, di tempat itu hanya ada Sentanu dan Purasara. Mereka berdua saling berdiam diri. Terlebih Purasara yang sambil memikirkan sesuatu, seperti ada hal yang masih di pendamnya. “Hai, Adinda Purasara, marilah kita kembali ke negeri Suktadurja dan memulai semua ini dengan kebaikan,” ajak Sentanu. Tak ada reaksi dari Purasara. Dia hanya terdiam membisu. Ternyata, Purasara sedang menahan amarah yang terkadang masih memercik di hatinya. Amarah kepada Sentanu yang sangat susah untuk dilupakan dan dihapuskan. Namun, ketika amarah itu datang, Purasara kembali teringat perkataan Batara Narada. Semua kata-kata Batara Narada seolah kembali terputar dalam otak Purasara, tak ada satu pun yang tertinggal. “Jika aku sekarang memulai perang kembali dengan Kanda Sentanu, maka akan menjadi petaka buatku nanti. Terlebih, Eyang Batara Narada sudah turun tangan dan mendamaikan kami dan memberi nasihat-nasihat kepadaku dan Kanda Sentanu. Jika aku tidak mengindahkan semua nasihat-nasihatnya, pastilah aku dan semua keturunanku nantinya akan mendapat akibatnya”, pikir Purasara dalam hati. Kemudian dengan segenap usahanya, amarah itu pun dapat dia tahan. Melihat Purasara yang diam mematung, Sentanu berkata, “Hai Adinda! Mengapa kau berdiam diri seperti itu. Apa yang sedang kau pikirkan? Apakah kau tidak mau menuruti semua nasihat dari Eyang Batara Narada? Janganlah terlalu amat kaku seperti itu. Ingat semua petuah Eyang Batara Narada kepada kita. Dan lagi, jika kau tidak patuh mala kelak kau akan mendapatkan petaka dan kesengsaraan. Sekarang marilah kita turuti nasihat Eyang Batara Narada, ayo ikut pulang bersamaku.” Purasara masih terus berdiam diri tanpa mempedulikan perkataan Sentanu. Tak terlontar satu atau dua patah kata dari mulutnya. Terlihat Sentanu diacuhkan begitu saja. - 99 - Purasara “Baiklah jika kau masih ingin terus berdiam diri di situ layaknya patung, aku akan kembali ke negeri Suktadurja. Selamat tinggal,” kata Sentanu sambil mengulurkan tangannya hendak berjabat tangan dan memeluk Purasara. Purasara terlihat masih mengacuhkan dan malah berbalik badan. Melihat hal itu, kemudian Sentanu berkata dalam hati, “Baiklah kalau memang itu maumu Adindaku, aku tidak akan menunggumu di sini. Jika aku menunggu di sini, akan ada peperangan kembali. Lebih baik memang saya kembali ke negeri Suktadurja sendirian. Biarlah kau di sini merenung dan berharap kau segera memaafkanku.” Sentanu kemuadian pergi menjauh dan berjalan menuju Negeri Sukadurja. Ia sedikit tergopoh, namun karena sakti dalam beberapa saat saja, ia pun tak terlihat lagi oleh pandangan mata. Purasara yang tinggal sendiri hanya bisa berkata dalam hati, “Apa gunanya aku ikut denganmu Kanda Sentanu? Terlebih, ikut kembali ke negeri Suktadurja. Aku sudah teramat sakit hati kepadamu. Lebih baik aku mencari Dewi Raramis dan ketiga Punakawanku yang memang sudah lama sekali aku tinggal hanya karena berperang denganmu.” Purasara kemudian segera meninggalkan tempat itu. Sambil berjalan sempoyongan karena masih terlalu memikirkan perbuatan Sentanu membuatnya tidak bisa berjalan tegak. Jangankan berjalan tegak, untuk berpikir jernih saja Purasara enggan. Di tengah perjalanan mencari Dewi Raramis, Semar, Garubug dan Petruk, Purasara berkata layaknya sumpah, “Hai Kanda Sentanu, mungkin kali ini kita bisa berdamai dan selesailah peperangan kita. Namun, jangan senang dulu kau. Perbuatanmu kepadaku sudah sepatutnya diberi ganjaran. Aku harap dengan izin yang Dewata Mulia Raya Yang Maha Kuasa, dia mengabulkan keinginanku ini. Semoga kelak cucu-cucu dan semua keturunanku yang akan membalaskan ini. Cucu-cucu dan keturunanku biar saja menjadi musuh untuk keturunanmu nantinya.” - 100 - XVIII Hutan, Tempat Segala Teduh dan Rindu Hutan memberikan keteduhan. Tinggal di hutan akan mendapatkan banyak pelajaran terutama untuk hidup bertahan dan berjuang. Berjuang dari ganasnya hewan-hewan dan bertahan dari terik matahari dan dinginnya malam. Hutan juga yang mampu memberikan penghidupan. Segala macam tumbuh-tumbuhan tersebar, mulai dari umbi-umbian hingga obat-obatan. Air mengalir seolah tak kenal kering. Air yang mampu menghilangkan segala macam dahaga dan mampu untuk menyembuhkan luka-luka. Di dalam hutan itu, Dewi Raramis tinggal. Dia ditemani ketiga kawan setianya, yakni Semar, Garubug, dan Petruk. Mereka bertahan hidup di dalam hutan. Selama beberapa tahun juga Ganggasuta dibesarkan di dalam hutan. Sejak ia dilahirkan dan ditinggal oleh Ayahandanya untuk berperang. Rutinitas yang mereka lakukan dari pagi hingga petang hanya begitu saja. Dewi Raramis akan terbangun lebih awal sebelum matahari terbit. Dia akan dengan segera mengganti baju Ganggsuta yang basah terkena embun. Ganggasuta pun tak kuasa menahan tangis. Tangis rasa tidak nyaman karena kebasahan dan barangkali tangis karena lapar. Sambil dipeluk dan dicium, Dewi Raramis berupaya menenangkan Ganggasuta. “Ya Anakku sayang, jangan menangis ya, Ibu di sini akan segera mengganti baju kau yang basah”. Tangis Ganggasuta yang belum reda segera membangunkan Semar yang tertidur. Semar yang terbangun dari tidurnya melihat Petruk dan Garubug masih tertidur pulas. Ketika Ganggasuta menangis, Garubug dan Petruk hanya terbangun sesaat untuk menarik kain agar menutupi seluruh badan. Sungguh nikmat tidur di pagi hari yang dingin dengan berselimut kain yang tebal. Rasanya ingin bangun nanti saja ketika matahari sudah sejajar dengan kepala. Karena tidur Garubug yang terlalu makan tempat, kain Petruk,lama kelamaan semakin menepi dan lama-lama kain yang menutupi Petruk terkena embun dan jadi basahlah ia. Hal itu membuat Petruk terpaksa terbangun. Karena dirasa Garubug terlalu menyebalkan, maka dengan disengaja kencinglah Petruk di kain yang meutupi Garubug. - 101 - Purasara Garubug masih terlelap dalam tidurnya hingga siang hari ketika Ganggasuta sudah waktunya untuk tidur siang. Ketika Garubug bangun, dia merasakan ada bau pesing. Dilihatnya sekitar dan ke badan dia sendiri. Lalu diciuminya satu persatu dari mana bau pesing itu berasal. Garubug segera tersadarkan bahwa kainnyalah yang memberikan bau pesing yang luar biasa tidak sedap. Dengan marah Garubug menebak bahwa itu adalah ulah saudaranya, Petruk. “Ya Petruk, di mana kau? Kau kan yang membuat kain yang aku gunakan ini bau pesing. Dasar jorok kau! Kencingmu itu bau laknat. Tanggung jawab kau! Cucikan kain ini di sungai dan hari ini juga harus kering. Aku hanya punya satu kain ini, bagaimana mungkin kau tega mengencingi ini!” teriak Garubug. Mendengar hal itu, Petruk hanya menyaut, “Enak saja kau menuduhnuduh! Kita kan tidur bersama dan lagi kainmu kan kau yang pakai, pastilah kau mengompol dalam tidurmu. Mana mungkin aku mengompol, jika aku mengompol ya pada kainku sendiri, bukan kainmu Garubug. Kita kan tidur belakang-belakangan, aku tadi merasakan sedikit hangat dari belakang. Maka sebab itu aku terbangun! Kau bukannya bangun malah semakin pulas saja tidurnya. Kainmu itu sudah kena ompol, najis!” kata Petruk sambil cengengesan menahan tawa. Mendengar hal itu, Garubug langsung lari menuju telaga untuk mencuci kainnya itu dan mandi. Sementara itu, Petruk yang melihat Garubug lari terbirit-birit ikut menyusulkan. Setelah selesai membersikan badan dan mencuci segeralah kain itu dijemur. Mumpung matahari sedang terik-teriknya kain pasti akan segera kering dan malamnya bisa digunakan lagi untuk berselimut. Sore sudah tiba. Ganggasuta yang sudah puas dalam tidur siangnya segera bangun dan waktunya bermain-main. Garubug dan Petruk dengan ceria menemani Ganggasuta bermain. Kain yang tadi siang kena kencing nyatanya sudah kering dan terlihat dikenakan lagi oleh Garubug. Ketika mereka sedang bermain-main Semar datang dengan membawa buah-buahan untuk dimakan. Kebetulan sekali, mereka semua sedang lapar, termasuk Dewi Raramis yang terkadang memilih makanan buatnya untuk diberikan ke Ganggasuta saja. Mereka asik bercengkerama, sampai kemudian mereka dipanggil oleh Semar untuk membantu membersihkan sekeliling tempat mereka tinggal - 102 - Purasara dan tempat berteduh. Daun-daun kering yang berguguran butuh untuk dikumpulkan kemudian dibakar, rumput-rumput yang tumbuh sudah terlalu tinggi sudah saatnya untuk dipotong. Selagi ketiga Punakawannya melakukan tugas, Ganggasuta bermain dengan Ibunya. Di saat Ganggasuta asyik bermain dengan ibundanya, tiba-tiba ia melemparkan pertanyaan yang membuat ibundanya, Dewi Raramis, kewalahan menjawab hingga menjadi bersedih. “Ibunda apa Ibunda tahu di mana Ayahanda berada? Masa aku tidak memiliki Ayah. Burung-burung saja ada ayahnya,” celetuk Ganggasuta. Dewi Raramis hanya terdiam dan menitikkan air mata. Ini sudah kali kesekian Ganggasuta bertanya akan Ayahandanya. Namun, terlihat belum ada jawaban yang pas untuk diberikan kepada Ganggasuta. Sebab, Dewi Raramis sendiri ragu apakah suaminya masih hidup atau sudah mati. “Ibunda, di mana Ayahanda, ibu! Saya ingin menyusulnya,” lanjut Ganggasuta. Tiba-tiba Dewi Raramis menangis kencang dan dipeluklah Ganggasuta. Sudah begitu lama mereka semua ditinggalkan oleh Purasara. Bahkan, ketika Ganggasuta lahir ke dunia, Purasara tidak menemani karena berperang melawan saudaranya sendiri, Sentanu. Sungguh rasa rindu yang teramat dalam dirasakan oleh Dewi Raramis. Namun, apa boleh buat, selama Purasara tidak datang, Dewi Raramis akan menganggapnya sudah tiada. “Ibu kenapa menangis Ibu. Lihat Garubug dan Petruk saja memiliki Ayah, masa saya tidak ada Ayah.” Semar yang sedang menyapu mendengar perkataan Ganggasuta. Hal itu membuat dia berhenti menyapu. Sungguh iba ia melihat Ganggasuta. Anak kecil itu semakin besar dan akan semakin pintar. Sungguh sulit pasti mengatakan yang sebenarnya terkait dengan Ayahandanya. Ayahandanya yang meninggalkan ibundanya dalam keadaan hamil besar hanya untuk berperang. Memang benar, orang berperang tidaklah banyak diharapkan. Sama halnya Purasara. Hingga saat ini pun tak ada tanda kehadirannya. Jika Purasara masih hidup, pasti akan segera mencari Dewi Raramis. Setelah berdiam diri cukup lama memikirkan Purasara, Semar kembali melanjutkan menyapu. Dewi Raramis kemudian menenangkan Ganggasuta dengan berkata, “Ya Anakku Ganggasuta, Ayahandamu itu ada di Negeri Wirata”. - 103 - Purasara “Kalau Ibu tahu di mana Ayahanda, mari kita susul saja Ibu agar kita bisa tinggal bersama dengan Ayahanda. Namun, jika Ibu tidak mau, biarkan aku saja yang pergi ke Negeri Wirata itu. Cukup Ibu beritahu di mana Negeri Wirata itu berada.” Dewi Raramis diam sejenak. Kemudian sambil menghela napas, dia berkata, “Tidak perlu kau melakukan itu, anakku, Ganggasuta. Baiklah kita semua bersama-sama pergi ke Negeri Wirata.” Bukan keputusan yang mudah mengatakan bahwa Purasara ada di Negeri Wirata. Sebab, nyatanya Dewi Raramis tak mengetahui di mana suaminya berada. Hal itu diucapkan hanya karena dia ingin sekali kembali ke negerinya, Negeri Wirata. Tentu saja dia tak akan sudi kembali lagi ke Negeri Suktadurja. Selain karena belum tentu suaminya ada di sana, negeri Suktadurja akan mengingatkan kembali pada hal buruk mengenai kelakukan Sentanu dan Raden Perbatasari. Setelah mengatakan hal itu, Dewi Raramis kemudian memanggil Semar, Garubug dan Peturk, “Ya Kakang Semar, Garubug, dan Petruk, sekarang marilah kita bersiap-siap untuk keluar dari hutan rimba ini. Kita akan kembali ke Negeri Wirata karena seperti yang kalian ketahui bahwa hingga saat ini Kakang Purasara tidaklah pergi mencari kita dan tidak ada pula kabar yang terdengar.” “Baik Dewi. Apa kata Dewi kita semua akan mengikuti selagi itu untuk kebaikan Dewi dan Putra Ganggasuta. Tapi kenapa Negeri Wirata?” sahut Semar. “Iya benar, kita kembali saja ke Negeri Wirata. Aku juga tidak akan mau jika mesti kembali ke Negeri Suktadurja,” timpal Petruk bersemangat. “Ya Bapakku, jika Bapak ingin kembali ke negeri Suktadurja, Aku dan Petruk pergi ke negeri Wirata saja. Biarlah berpisah dengan Bapak tak mengapa. Aku juga mau ke Negeri Wirata saja”, kata Garubug. Terlihat semuanya telah setuju untuk kembali ke negeri Wirata termasuk Semar. Kemudian, tanpa membuang-buang waktu, mereka berkemas dan melakukan perjalanan menuju Negeri Wirata. Tentu bukan perjalanan yang singkat dan mudah untuk sampai ke negeri Wirata. Terlebih, mereka membawa serta anak kecil yang akan mudah sekali lelah dan tentunya menangis. Jika merasa sudah lelah berjalan, mereka pun duduk untuk beristriahat. *** - 104 - Purasara Di tempat lain, Purasara sedang kebingungan mencari jalan. Dia tersesat dan hilang arah. Purasara masih dengan segenap jiwanya mencari istrinya, Dewi Raramis dan ketiga Punakawannya. Tanpa lelah, siang dan malam, Purasara terus berjalan masuk keluar hutan rimba. Banyak hutan sudah dia jelajahi. Namun, belum juga bertemu dengan istrinya. Tidur ia lakukan jika sudah terpaksa karena saking lelahnya. Ketika sedang tertidur di atas pohon, sayup-sayup terdengar suara anak kecil menangis. Mendengar suara itu, Purasara terbangun. Dia heran anak siapa yang tengah malam menangis meraung-raung teramat sedihnya. Seketika, ia teringat Dewi Raramis yang ia tinggalkan dalam keadaan hamil tua. Pastilah anak mereka juga masih kecil. Dan tentunya sudah sewajarnya menangis jika merasakan lapar atau tidak nyaman. Tanpa pikir panjang, Bagawan Purasara segera lompat dari pohon. Perlahan, ia berjalan menuju sumber suara tangis anak kecil itu. Perlahan pula Purasara tidak lagi terlihat dalam pandangan mata. Ia hilang dalam kabut. Ia mencari kerinduannya, dalam hutan, dalam kesunyian, dalam keteduhan, dalam tempat segala kehidupan. - 105 - Purasara - 106 - Daftar Pustaka Chambert-Loir, Henri. 2014. “Muhammad Bakir, Pengarang, dan Penyalin Batavia Abad ke-19” dalam Henri Chambert-Loir. 2104. Iskandar Zulkarnain, Dewa Mendu, Muhammad Bakir dan Kawan-Kawan: Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama. Jakarta: KPG Khalid Bin Muhammad Hussain. 1972. Hikajat Purasara. Jakarta: Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Raden, Agung Zainal Muttakin, Mohamad Sjafei Andrijanto. “Hikayat Purasara: Komunikasi Visual Ilustrasi Warang pada Naskah Sastra Betawi Abad ke-19” dalam Manuskripta, Jurnal Manassa, Vol. 7, No. 1, 2017. Sayekti, Sri. 1999. Dewi Rara Amis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sunardjo, Nikmah, dkk. 2010. Hikayat Wayang Arjuna dan Purasara. Jakarta: Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional. - 107 - Riwayat Hidup Penulis Teguh Prasetyo merupakan Alumnus program Pascasarjana Ilmu Susastra dan Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB UI). Dia menamatkan studi S2 sastranya pada 2018 dengan tesis yang berjudul, Puisi-Puisi Pandji Masjarakat (1959— 1967) dan Gema Islam (1964—1962): Representasi Soekarno Sebelum dan Setelah 1965. Tesis ini merupakan eksplorasi lebih dalam mengenai sastra, agama, dan politik yang pernah ditelitinya melalui skripsi S1-nya yang berjudul, Tema Sosial-politik pada Cerpen-cerpen Pandji Masjarakat tahun 1959—1974. Selain dua karya ilmiah tersebut, dia juga pernah membawakan dan mempublikasikan karyanya dalam beberapa konferensi nasional maupun internasional. Karya-karya makalahnya antara lain, “Representations of Soekarno in Four Poems Published in Gema Islam Magazine from 1964 to 1966”, “The Role of Pandji Masjarakat During The Guided Democracy Period: A Sociological Criticism Approach to Pandji Masjarakat’s 19591960 Literary Publications”, “Representation of Merapi Caretaker in Babad Ngalor-Ngidul Novel by Elizabeth D. Inandiak”, “Demistifikasi Tokoh Kuntilanak dalam Komik Strip Teh Uti karya Alriya: Sebuah Kajian Alih Wahana”, dan “Sastra Berbahasa Inggris di Indonesia sebagai Fenomena Baru dalam Kesusastraan Indonesia Modern”. Selain karya-karya ilmiahnya, dia juga beberapa kali menulis artikel populer melalui pengalamannya sebagai wartawan lepas majalah Margo dan sebagai Content Writer. Saat ini dia bisa dihubungi melalui email teguh.prasetyo.ui@gmail.com - 108 - Penerbit PERPUSNAS PRESS Jl. Salemba Raya No. 28A Jakarta