BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Saluran Pernafasan
2.1.1. Pengertian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan
akut yang meliputi saluran pernafasan bagian atas seperti rhinitis, fharingitis, dan
otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laryngitis, bronchitis,
bronchiolitis dan pneumonia, yang dapat berlangsung selama 14 hari. Batas waktu 14
hari diambil untuk menentukan batas akut dari penyakit tersebut. Saluran pernafasan
adalah organ mulai dari hidung sampai alveoli beserta organ seperti sinus, ruang
telinga tengah dan pleura (Depkes RI, 2008).
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernafasan dimulai dengan keluhankeluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejalagejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan
kegagalan pernafasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan
pernafasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian
mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih
berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam
kegagalan pernafasan (Depkes RI, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Penyebab ISPA
Infeksi Saluran Pernafasan Atas disebabkan oleh beberapa golongan kuman
yaitu bakteri, virus, dan ricketsia yang jumlahnya lebih dari 300 macam. Pada ISPA
atas 90-95% penyebabnya adalah virus. Di negara berkembang, ISPA bawah
terutama pneumonia disebabkan oleh bakteri dari genus streptokokus, haemofilus,
pnemokokus, bordetella dan korinebakterium, sedang di negara maju ISPA bawah
disebabkan oleh virus, miksovirus, adenivirus, koronavirus, pikornavirus dan
herpesvirus (Parker, 1985 dalam Putranto, 2007).
2.1.3. Klasifikasi ISPA
Menurut Depkes RI tahun 2008, klasifikasi dari ISPA adalah :
1. Ringan (bukan pneumonia)
Batuk tanpa pernafasan cepat / kurang dari 40 kali / menit, hidung tersumbat /
berair, tenggorokan merah, telinga berair.
2. Sedang (pneumonia sedang)
Batuk dan nafas cepat tanpa stridor, gendang telinga merah, dari telinga keluar
cairan kurang dari 2 minggu. Faringitis purulen dengan pembesaran kelenjar
limfe yang nyeri tekan (adentis servikal).
3. Berat (pneumonia berat)
Batuk dengan nafas berat, cepat dan stridor, membran keabuan di taring, kejang,
apnea, dehidrasi berat / tidur terus, sianosis dan adanya penarikan yang kuat
pada dinding dada sebelah bawah ke dalam.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Gejala ISPA
Penyakit ISPA adalah penyakit yang timbul karena menurunnya sistem
kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres. Bakteri dan
virus penyebab ISPA di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran
pernafasan bagian atas, yaitu tenggorokan dan hidung. Pada stadium awal, gejalanya
berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti bersin terus
menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala.
Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Akhirnya terjadi
peradangan yang disertai demam, pembengkakan pada jaringan tertentu hingga
berwarna kemerahan, rasa nyeri dan gangguan fungsi karena bakteri dan virus di
daerah tersebut maka kemungkinan peradangan menjadi parah semakin besar dan
cepat. Infeksi dapat menjalar ke paru-paru, dan menyebabkan sesak atau pernafasan
terhambat, oksigen yang dihirup berkurang. Infeksi lebih lanjut membuat sekret
menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi,
gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah
sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga
bronkhitis dan pneumonia (Halim, 2000).
Penyakit pada saluran pernafasan mempunyai gejala yang berbeda yang pada
dasarnya ditimbulkan oleh iritasi, kegagalan mucociliary transport, sekresi lendir
yang berlebihan dan penyempitan saluran pernafasan. Tidak semua penelitian dan
kegiatan program memakai gejala gangguan pernafasan yang sama. Misalnya untuk
Universitas Sumatera Utara
menentukan infeksi saluran pernafasan, WHO menganjurkan pengamatan terhadap
gejala-gejala, kesulitan bernafas, radang tenggorok, pilek dan penyakit pada telinga
dengan atau tanpa disertai demam. Efek pencemaran terhadap saluran pernafasan
memakai gejala-gejala penyakit pernafasan yang meliputi radang tenggorokan, rinitis,
bunyi mengi dan sesak nafas (Robertson, 1984 dalam Purwana, 1992).
Dalam hal efek debu terhadap saluran pernafasan telah terbukti bahwa kadar
debu berasosiasi dengan insidens gejala penyakit pernafasan terutama gejala batuk.
Di dalam saluran pernafasan, debu yang mengendap menyebabkan oedema mukosa
dinding saluran pernafasan sehingga terjadi penyempitan saluran.
Menurut Putranto (2007), faktor yang mendasari timbulnya gejala penyakit
pernafasan :
1.
Batuk
Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat adalah jika terjadi rangsangan
pada bagian-bagian peka saluran pernafasan, misalnya trakeobronkial, sehingga
timbul sekresi berlebih dalam saluran pernafasan. Batuk timbul sebagai reaksi
refleks saluran pernafasan terhadap iritasi pada mukosa saluran pernafasan dalam
bentuk pengeluaran udara (dan lendir) secara mendadak disertai bunyi khas.
2. Dahak
Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus glands) dan sel
goblet oleh adanya stimuli, misalnya yang berasal dari gas, partikulat, alergen
dan mikroorganisme infeksius. Karena proses inflamasi, di samping dahak dalam
Universitas Sumatera Utara
saluran pernafasan juga terbentuk cairan eksudat berasal dari bagian jaringan
yang berdegenerasi.
3. Sesak nafas
Sesak nafas atau kesulitan bernafas disebabkan oleh aliran udara dalam saluran
pernafasan karena penyempitan. Penyempitan dapat terjadi karena saluran
pernafasan menguncup, oedema atau karena sekret yang menghalangi arus udara.
Sesak nafas dapat ditentukan dengan menghitung pernafasan dalam satu menit.
4. Bunyi mengi
Bunyi mengi merupakan salah satu tanda penyakit pernafasan yang turut
diobservasikan dalam penanganan infeksi akut saluran pernafasan.
2.1.5. Cara Penularan Penyakit ISPA
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar,
bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, maka penyakit ISPA
termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara terjadi tanpa kontak
dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan
melalui udara, dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang
penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang
mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab (Halim, 2000).
2.1.6. Diagnosa ISPA
Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah
Universitas Sumatera Utara
biakan virus, serologis, diagnostik virus secara langsung. Sedangkan diagnosis ISPA
oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan
cairan pleura (Halim, 2000).
Diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu
frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya penarikan
yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan penderita pnemonia
berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernafas yang disertai adanya
gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka
diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis
atau penyakit non pnemonia lainnya (Halim, 2000).
2.1.7. Pengobatan ISPA
ISPA mempunyai variasi klinis yang bermacam-macam, maka timbul
persoalan pada diagnostik dan pengobatannya. Sampai saat ini belum ada obat yang
khusus antivirus. Idealnya pengobatan bagi ISPA bakterial adalah pengobatan secara
rasional. dengan mendapatkan antimikroba yang tepat sesuai dengan kuman
penyebab. Untuk itu, kuman penyebab ISPA dideteksi terlebih dahulu dengan
mengambil material pemeriksaan yang tepat, kemudian dilakukan pemeriksaan
mikrobiologik, baru setelah itu diberikan antimikroba yang sesuai (Halim, 2000).
Kesulitan
menentukan
pengobatan
secara
rasional
karena
kesulitan
memperoleh material pemeriksaan yang tepat, sering kali mikroorganisme itu baru
diketahui dalam waktu yang lama, kuman yang ditemukan adalah kuman komensal,
Universitas Sumatera Utara
tidak ditemukan kuman penyebab. Maka sebaiknya pendekatan yang digunakan
adalah pengobatan secara empirik lebih dahulu, setelah diketahui kuman penyebab
beserta anti mikroba yang sesuai, terapi selanjutnya disesuaikan.
2.2. Faktor-Faktor
Pernafasan
Lingkungan
yang
Memengaruhi
Penyakit
Saluran
Banyak faktor yang mempengaruhi penyakit saluran pernafasan khususnya
pada aspek tenaga kerja adalah penggunaan alat pelindung diri, dan faktor lingkungan
yaitu : suhu, kelembaban, konsentrasi debu.
2.2.1. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Perlindungan tenaga kerja yang utama melalui upaya teknis pengamanan
tempat, peralatan dan lingkungan kerja. Penggunaan alat pelindung diri merupakan
upaya terakhir dalam usaha perlindungan tenaga kerja. Oleh karena itu alat pelindung
diri harus memenuhi persyaratan antara lain enak dipakai, tidak mengganggu kerja
dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap jenis bahaya yang ada.
Suatu kegiatan industri, paparan dan risiko yang ada ditempat kerja tidak
selalu dapat dihindari. Upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan penyakit
akibat kerja dan kecelakaan kerja harus senantiasa dilakukan. Ada beberapa alternatif
pengendalian (secara tehnik dan administratif) yang bisa dilaksanakan. Pilihan yang
sering dilakukan adalah melengkapi tenaga kerja dengan alat pelindung diri dijadikan
suatu kebiasaan dan keharusan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Th 1970
Universitas Sumatera Utara
tentang keselamatan kerja yang mengatur penyediaan dan penggunaan alat pelindung
diri di tempat kerja baik pengusaha maupun tenaga kerja.
Alat pelindung diri untuk pekerja adalah alat pelindung untuk pekerja agar
aman dari bahaya atau kecelakaan akibat melakukan suatu pekerjaannya. Alat
pelindung diri untuk pekerja di Indonesia sangat banyak sekali permasalahannya dan
masih dirasakan banyak kekurangannya (Husaeri & Yunus, 2003).
Alat pelindung diri (APD) yang baik adalah APD yang memenuhi standar
keamanan dan kenyamanan bagi pekerja (Safety and acceptation), apabila pekerja
memakai APD yang tidak nyaman dan tidak bermanfaat maka pekerja enggan
memakai, hanya berpura-pura sebagai syarat agar masih diperbolehkan untuk bekerja
atau menghindari sanksi perusahaan (Khumaidah, 2009).
Menurut Budiono (2002), APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada
lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah:
1. Masker
Masker untuk melindungi dari debu atau partikel-partikel yang lebih kasar yang
masuk ke dalam saluran pernafasan. Masker terbuat dari kain dengan ukuran poripori tertentu.
2. Respirator
Respirator berguna untuk melindungi pernafasan dari debu, kabut, uap, logam,
asap dan gas. Alat ini dibedakan menjadi :
Universitas Sumatera Utara
a.
Respirator pemurni udara
Membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyerap kontaminan
dengan toksisitas rendah sebelum memasuki sistem pernafasan. Alat
pembersihnya terdiri dari filter untuk menangkap debu dari udara atau
tabung kimia yang menyerap gas, uap dan kabut (gambar 2.1).
b.
Respirator penyalur udara
Membersihkan aliran udara yang terkontaminasi secara terus menerus. Udara
dapat dipompa dari sumber yang jauh (dihubungkan dengan selang tahan
tekanan) atau dari persediaan yang portable (seperti tabung yang berisi udara
bersih atau oksigen). Jenis ini biasa dikenal dengan SCBA (Self Contained
Breathing Apparatus) atau alat pernafasan mandiri. Digunakan untuk tempat
kerja yang terdapat gas beracun atau kekurangan oksigen.
Alat ini dapat dilihat pada gambar 2.1. berikut:
Gambar 2.1. Alat Pelindung Pernafasan
Sumber: A.M Sugeng Budiono dkk.Bungai Rampai HIPERKES & KK
Edisi 2. Tri Tunggal Tata Fajar.Jakarta. 2002.h.332
Universitas Sumatera Utara
Pemakaian masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak mengandung
debu, merupakan upaya mengurangi masuknya partikel debu ke dalam saluran
pernafasan. Dengan mengenakan masker, diharapkan pekerja melindungi dari
kemungkinan terjadinya gangguan pernafasan akibat terpapar udara yang kadar
debunya tinggi. Walaupun demikian, tidak ada jaminan bahwa dengan mengenakan
masker, seorang pekerja di industri akan terhindar dari kemungkinan terjadinya
gangguan pernafasan.
Banyak faktor yang menentukan tingkat perlindungan dari penggunaan
masker, antara lain adalah jenis dan karakteristik debu, serta kemampuan menyaring
dari masker yang digunakan. Kebiasaan menggunakan masker yang baik merupakan
cara aman bagi pekerja yang berada di lingkungan kerja berdebu untuk melindungi
kesehatan.
Menurut Budiono (2002), cara-cara pemilihan APD harus dilakukan secara
hati-hati dan memenuhi beberapa kriteria yang diperlukan antara lain:
1.
APD harus memberikan perlindungan yang baik terhadap bahaya-bahaya yang
dihadapi tenaga kerja
2.
APD harus memenuhi standar yang telah ditetapkan
3.
APD tidak menimbulkan bahaya tambahan yang lain bagi pemakaiannya yang
dikarenakan bentuk atau bahannya yang tidak tepat atau salah penggunaan
4.
APD harus tahan untuk jangka pemakaian yang cukup lama dan bersifat
fleksibel.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Suhu
Persyaratan kesehatan untuk ruang kerja industri yang nyaman di tempat kerja
adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan kepanasan bagi tenaga kerja
yaitu berkisar antara 18 0C sampai 30 0C dengan tinggi langit-langit dari lantai
minimal 2,5 m. Bila suhu udara > 30 0C perlu menggunakan alat penata udara seperti
air conditioner, kipas angin dan lain-lain. Bila suhu udara luar
< 18 °C perlu
menggunakan alat pemanas ruangan (Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1405/MENKES/SK/XI/2002).
Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal agar memiliki kualitas udara yang baik
dan nyaman juga berkisar antara 18 0C sampai 30 0C dengan langit-langit yang
mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan (Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999).
2.2.3. Kelembaban
Kelembaban udara tergantung berapa banyak uap air (dalam %) yang
terkandung di udara. Saat udara dipenuhi uap air dapat dikatakan bahwa udara berada
dalam kondisi jenuh dalam arti kelembaban tinggi dan segala sesuatu menjadi basah.
Kelembaban lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh kepada kesehatan
pekerja berkisar antara 65 % - 95 %. Kelembaban sangat erat kaitannya dengan suhu
dan keduanya merupakan pemicu pertumbuhan jamur dan bakteri. Pada umumnya
kondisi optimal perkembangbiakan mikroorganisme adalah pada kondisi kelembaban
tinggi. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan kekeringan selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban yang
tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan formaldehid
dari material bangunan (Suma’mur, 1995).
Persyaratan kesehatan untuk kelembaban di lingkungan industri adalah
berkisar antara 65% - 95%. Bila kelembaban udara ruang kerja > 95% perlu
menggunakan alat dehumidifier dan bila kelembaban udara ruang kerja < 65% perlu
menggunakan humidifier, misalnya mesin pembentuk aerosol (Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002).
Persyaratan kesehatan untuk kelembaban di rumah adalah berkisar antara 40 70% (Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999).
2.2.4. Konsentrasi Debu di Lingkungan Kerja
Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama
paparan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin banyak.
Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, setiap alveoli paling sedikit
menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000 partikel per millimeter
kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru. Konsentrasi yang
melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering dihubungkan dengan terjadinya
pneumokoniosis (Mangkunegoro, 2003).
Pneumokoniosis akibat debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak
lama dengan debu. Jarang ditemui kelainan bila paparan kurang dari 10 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian lama paparan mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian
gangguan fungsi paru (Yunus, 2006).
2.2.4.1. Pengertian Debu
Debu yaitu partikel zat padat, yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan
alamiah atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan
yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan, baik organik maupun
anorganik, misalnya batu, kayu, biji logam, arang batu, butir-butir zat dan sebagainya
(Suma’mur, 1995).
Definisi lain mengatakan debu merupakan salah satu polutan yang dapat
mengganggu kenikmatan kerja. Debu juga dapat mengakibatkan gangguan pernafasan
bagi pekerja pada industri-industri yang berhubungan dengan debu pada proses
produksinya. Debu juga sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara
(suspended particulate metter/SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500
mikron. Polutan merupakan bahan-bahan yang ada di udara yang dapat
membahayakan kehidupan manusia (Amin, 1996).
Dalam kasus pencemaran udara baik dalam maupun di luar gedung (indoor
and out door pollution) debu merupakan campuran dari berbagai bahan dengan
ukuran dan bentuk yang relatif berbeda-beda dan sering dijadikan salah satu indikator
pencemaran yang digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya, baik terhadap
lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (Pudjiastuti, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.2.4.2. Pencemaran Udara oleh Debu
Partikel menurut WHO seperti yang dikutip oleh Purwana (1992), adalah
sejumlah benda padat atau cair dalam bermacam-macam ukuran, jenis dan bentuk
yang tersebar dari sumber-sumber antropogenik dan sumber alam.
Partikel debu menyebar di atmosfer akibat dari berbagai proses alami seperti
letusan gunung, hembusan debu serta tanah oleh angin. Aktifitas manusia juga
berperan dalam penyebaran partikel, misalnya dalam bentuk partikel debu dan asbes
dari bahan bangunan, abu terbang dari proses peleburan baja dan asap dari proses
pembakaran tidak sempurna, terutama dari batu arang. Sumber partikel yang utama
adalah pembakaran dari bahan bakar sumbernya diikuti proses-proses industri.
Partikel debu di atmosfer dalam bentuk suspensi, yang terdiri atas partikelpartikel padat dan cair. Ukuran partikel dari 100 mikron hingga kurang dari 0,01
mikron. Terdapat hubungan antara partikel polutan dengan sumbernya (Fardiaz,
1992).
Partikel debu akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam
keadaan melayang-layang di udara, kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui
pernafasan. Menurut Pudjiastuti (2002), selain dapat membahayakan terhadap
kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan sebagai berikut : Gangguan aestetik
dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan pelunturan warna bangunan dan
pengotoran.
Universitas Sumatera Utara
1. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan pori-pori
tumbuhan sehingga mengganggu jalannya fotosintesis.
2. Merubah iklim global regional maupun internasional.
3. Mengganggu perhubungan/penerbangan yang akhirnya mengganggu kegiatan
sosial ekonomi di masyarakat.
4. Mengganggu kesehatan manusia seperti timbulnya iritasi pada mata, alergi,
gangguan pernafasan dan kanker pada paru-paru.
2.2.4.3. Nilai Baku Mutu
Batu mutu debu pada udara ambien di Indonesia diatur dalam Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Sesuai dengan Surat
Keputusan tersebut, nilai baku mutu konsentrasi debu maksimal ditetapkan 10 mg/m3
untuk waktu pengukuran rata-rata 8 jam. Secara internasional konsentrasi total
suspended solid (TSP) ditetapkan dalam National Ambient Air Quality (NAAQ) EPA
sebesar 260 µg/m3 untuk waktu pengukuran 24 jam dan 75 µg/m3 untuk waktu
pengukuran 1 tahun. Sedangkan PM 10 ditetapkan sebesar 150 µg/m3 untuk waktu
pengukuran 24 jam dan 50 µg/m3 untuk waktu pengukuran 1 tahun (US.EPA, 2004
dalam Putranto, 2007).
2.2.4.4. Efek Debu terhadap Kesehatan
Bahaya debu kayu bagi kesehatan bahwa debu merupakan bahan partikel
apabila masuk ke dalam organ pernafasan manusia maka dapat menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
penyakit pada tenaga kerja khususnya berupa gangguan sistem pernafasan yang
ditandai dengan pengeluaran lendir secara berlebihan yang menimbulkan gejala
utama yang sering terjadi adalah batuk, sesak nafas dan kelelahan umum.
Pekerja yang terpapar debu kayu secara kontinyu pada usia 15 sampai dengan
25 tahun akan terjadi penurunan kemampuan kerja, usia 25 sampai dengan 35 tahun
timbul batuk produktif, usia 45 sampai dengan 55 tahun terjadi sesak hipoksemia,
usia 55 sampai dengan 65 tahun terjadi cor pulmonal sampai kegagalan pernafasan
dan kematian (Triatmo, 2006).
Mekanisme penimbunan debu dalam paru dapat dijelaskan sebagai berikut:
debu diinhalasi dalam partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap, debu yang
berukuran antara 5-10 μ akan ditahan oleh saluran nafas bagian atas, debu yang
berukuran 3-5 μ akan ditahan oleh saluran nafas bagian tengah, debu yang berukuran
1-3 μ disebut respirabel, merupakan ukuran yang paling bahaya, karena akan tertahan
dan tertimbun mulai dari bronchiolus terminalis sampai hinggap di permukaan
alveoli/selaput lendir sehingga menyebabkan fibrosis paru. Sedangkan debu yang
berukuran 0,1 – 1 μ melayang di permukaan alveoli (Pudjiastuti, 2002).
Menurut Pope (2003), mekanisme pengendapan partikel debu di paru
berlangsung dengan berbagai cara:
1. Gravitation, sedimentasi partikel yang masuk saluran nafas karena gaya gravitasi.
2. Impaction yaitu terbenturnya di percabangan bronkus dan jatuh pada percabangan
yang kecil.
Universitas Sumatera Utara
3. Brown difusion yang mengendapnya partikel yang diameter lebih besar dari dua
micron yang disebabkan oleh terjadinya gerakan keliling (gerakan Brown) dari
partikel oleh energi kinetik.
4. Elektrostatic terjadi karena saluran nafas dilapisi mukus, yang merupakan
konduktor yang baik secara elektrostatik.
5. Interception yaitu pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel
berupa ukuran panjang/besar partikel hal ini penting untuk mengetahui dimana
terjadi pengendapan.
Tidak semua partikel yang terinhalasi akan mengalami pengendapan di paru.
Faktor pengendapan debu di paru dipengaruhi oleh pertahanan tubuh dan
karakterisrik debu sendiri yang meliputi jenis debu, ukuran partikel debu, konsentrasi
partikel dan lama paparan, pertahanan tubuh.
1. Jenis debu
Jenis debu terkait daya larut sifat kimianya. Adanya perbedaan daya larut dan
sifat kimiawi ini, maka kemampuan mengendapnya juga akan berbeda pula.
Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga akan berbeda pula.
(Suma’mur, 1996) mengelompokkan partikel debu menjadi dua yaitu debu organik
dan anorganik.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Jenis Debu yang Dapat Menimbulkan Penyakit Paru pada Manusia
No
1
Jenis Debu
Organik
a. Alamiah
1. Fosil
2. Bakteri
3. Jamur
4. Virus
5. Sayuran
2
6. Binatang
b. Sintesis
1. Plastik
2. Reagen
Anorganik
a. Silica bebas
1. Crystaline
2. Amorphus
b. Silika
1. Fibrosis
2. Lain-lain
c. Metal
1. Inert
2. Lain-lain
3. Bersifat keganasan
Contoh (Jenis debu)
Batu bara, karbon hitam, arang, granit
TBC, antraks, enzim bacillus substilis
Koksidimikosis,histoplasmosis,kriptokokus
thermophilic actinomycosis.
Psikatosis, cacar air, Q fever
Kompos jamur, ampas tebu, tepung padi, gabus, atap
alang-alang, katun, rami, serta nanas
Kotoran burung merpati, kesturi, ayam.
Politetra fluoretilen diesosianat
Minyak isopropyl, pelarut organik
Quarrz, trymite cristobalite
Diatomaceous earth, silica gel
Asbestosis, silinamite, talk
Mika, kaolin, debu semen
Besi, barium, titanium, tin, alumunium, seng
Berilium
Arsen, kobal, nikel hematite, uranium, asbes, khrom
2. Ukuran Partikel
Tidak semua partikel dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru.
Partikel yang berukuran besar pada umumnya telah tersaring di hidung. Partikel
dengan diameter 0,5-0,1 μ yang disebut partikel terhisap yang dapat mencapai alveoli.
Partikel berdiameter 0,5-0,1 μ dapat mengendap di alveoli dan menyebabkan
terjadinya pneumokoniosis (Malaka, 1996).
Partikel debu yang berdiameter > 10 μ yang disebut coarse particle
merupakan indikator yang baik tentang adanya kelainan saluran pernafasan, karena
Universitas Sumatera Utara
adanya hubungan yang kuat antara gejala penyakit saluran pernafasan dengan kadar
partikel debu di udara (Pope, 2003).
3. Kadar Pertikel Debu dan Lama Paparan
Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama
paparan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin banyak.
Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, setiap alveoli paling sedikit
menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000 partikel per millimeter
kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru. Konsentrasi yang
melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering dihubungkan dengan terjadinya
pneumokoniosis (Mangkunegoro, 2003).
Pneumokoniosis akibat debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak
lama dengan debu. Jarang ditemui kelainan bila paparan kurang dari 10 tahun.
Dengan demikian lama paparan mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian
gangguan fungsi paru (Yunus, 2006).
4. Pertahanan Tubuh terhadap Paparan Partikel Debu yang Terinhalasi
Beberapa orang yang mengalami paparan debu yang sama baik jenis maupun
ukuran partikel. Konsentrasi maupun lamanya paparan berlangsung, tidak selalu
menunjukkan akibat yang sama. Sebagian ada yang mengalami gangguan paru berat,
namun ada yang ringan bahkan mungkin ada yang tidak mengalami gangguan sama
sekali.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini diperkirakan berhubungan dengan perbedaan kemampuan sistem
pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu terinhalasi. Menurut Murray &
Lopez (2006), dilakukan dengan cara yaitu:
a. Secara mekanik yaitu: pertahanan yang dilakukan dengan menyaring partikel
yang ikut terinhalasi bersama udara dan masuk saluran pernafasan. Penyaringan
berlangsung di hidung, nasofaring dan saluran nafas bagian bawah yaitu bronkus
dan bronkiolus. Di hidung penyaringan dilakukan oleh bulu-bulu cilia yang
terdapat di lubang hidung, sedangkan di bronkus dilakukan reseptor yang
terdapat pada otot polos dapat berkonstraksi apabila ada iritasi. Apabila
rangsangan yang terjadi berlebihan, maka tubuh akan memberikan reaksi berupa
bersin atau batuk yang dapat mengeluarkan benda asing termasuk partikel debu
dari saluran nafas bagian atas maupun bronkus.
b. Secara kimia yaitu cairan dan cilia dalam saluran nafas secara fisik dapat
memindahkan partikel yang melekat di saluran nafas, dengan gerakan cilia yang
mucociliary escalator ke laring. Cairan tersebut bersifat detoksikasi dan
bakterisid. Pada paru bagian perifer terjadi ekskresi cairan secara terus menerus
dan perlahan-lahan dari bronkus ke alveoli melalui limfatik. Selanjutnya
makrofag alveolar menfagosit partikel yang ada di permukaan alveoli.
c. Secara imunitas, melalui proses biokimiawi yaitu humoral dan seluler. Ketiga
sistem tersebut saling berkait dan berkoordinasi dengan baik sehingga partikel
Universitas Sumatera Utara
yang terinhalasi disaring berdasarkan pengendapan kemudian terjadi mekanisme
rekasi atau perpindahan partikel.
5. Mekanisme Timbulnya Debu dalam Paru-Paru
a. Mekanisme timbulnya debu dalam paru, menurut Putranto (2007) :
1) Kelembaban dari debu yang bergerak (inertia)
Pada waktu udara membelok ketika jalan pernafasan yang tidak lurus,
partikel-partikel debu yang bermasa cukup besar tidak dapat membelok
mengikuti aliran udara, tetapi terus lurus dan akhirnya menumpuk
selaput lendir dan hinggap di paru-paru.
2) Pengendapan (Sedimentasi)
Pada bronchioli kecepatan udara pernafasan sangat kurang, kira-kira 1 cm
per detik sehingga gaya tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel
debu dan mengendapnya.
3) Gerak Brown terutama partikel berukuran sekitar 0,1 μ, partikel-partikel
tersebut membentuk permukaan alveoli dan tertimbun di paru-paru.
b. Jalan masuk dalam tubuh, menurut Putranto (2007) :
1) Inhalation adalah jalan masuk (rute) yang paling signifikan di mana
substansi yang berbahaya masuk dalam tubuh melalui pernafasan dan dapat
menyebabkan penyakit baik akut maupun kronis.
Universitas Sumatera Utara
2) Absorbtion adalah paparan debu masuk ke dalam tubuh melalui absorbsi
kulit di mana ada yang tidak menyebabkan perubahan berat pada kulit,
tetapi menyebabkan kerusakan serius pada kulit.
3) Ingestion adalah jalan masuk yang melalui saluran pencernaan (jarang
terjadi).
2.3. Aspal Hotmix
2.3.1. Pengertian Aspal Hotmix
Aspal Beton (Hotmix) adalah campuran agregat kasar, agregat halus, dan
bahan pengisi (Filler) dengan bahan pengikat aspal dalam kondisi suhu tinggi (panas)
dengan komposisi yang diteliti dan diatur oleh spesifikasi teknis. Aspal Beton
(Hotmix) secara luas digunakan sebagai lapisan permukaan konstruksi jalan dengan
lalu lintas berat, sedang, ringan, dan lapangan terbang, dalam kondisi segala macam
cuaca (Prima, 2010).
2.3.2. Jenis Aspal Hotmix
Berdasarkan bahan yang digunakan dan kebutuhan desain konstruksi jalan
aspal Beton mempunyai beberapa jenis antara lain (Prima, 2010):
1. Asphalt Traeted Base (ATB) dengan tebal minimum 5 Cm digunakan sebagai
lapis pondasi atas konstruksi jalan dengan lalu lintas berat / Tinggi.
2. Binder Course (BC) dengan tebal minimum 4cm biasanya digunakan sebagai
lapis kedua sebelum wearing course.
Universitas Sumatera Utara
3. Wearing Course (AC) / Laston dengan tebal penggelaran minimum 4 cm
digunakan sebagai lapis permukaan jalan dengan lalu lintas berat.
4. Hot Roller Sheet (HRS) / Lataston / laston 3 dengan tebal penggelaran minimum
3 s/d 4 cm digunakan sebagai lapis permukaan konstruksi jalan dengan lalu lintas
sedang.
5. (FG) Fine Grade dengan tebal minimum 2.8 cm maks 3 cm bisanya digunakan
untuk jalan perumahan dengan beban rendah.
6. Sand Sheet dengan tebal Maximum 2.8 cm biasanya digunakan untuk jalan
perumahan dan perparkiran.
2.3.3. Kelebihan Aspal Hotmix
Adapun kelebihan dari aspal Hotmix adalah ( Prima, 2010):
1. Lapisan konstruksi Aspal beton tidak peka terhadap air, (kedap air)
2. Dapat dilalui kendaraan setelah pelaksanaan penghamparan .
3. Waktu pekerjaan yang relatif sangat cepat sehingga terciptanya efesiensi waktu.
4. Mempunyai sifat flexible sehingga mempunyai kenyamanan bagi pengendara,
5. Stabilitas yang tinggi sehingga dapat menahan beban lalu lintas tanpa terjadinya
deformasi.
6. Tahan lama terhadap gesekan lalu lintas dan cuaca
7. Pemeliharaan yang relatif mudah dan murah.
8. Ekonomis
Universitas Sumatera Utara
2.3.4. Perencanaan Campuran
Prosedur perencanaan campuran (Asphalt Mixing Plant) menurut metode Bina
Marga (Ditjen Bina Marga, 2007) dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pemilihan Agregat dan Penentuan Sifat-Sifatnya Harus sesuai dengan
Spesifikasi Material.
Adapun standard yang menjadi parameter perencanaannya adalah:
-
Berat jenis agregat
-
Nilai absorbsi air dari agregat
-
Sifat-sifat agregat yang umumnya harus dipenuhi untuk lapisan perkerasan
jalan
- Gradiasi butir dari masing-masing kelompok agregat kasar, sedang, pasir dan
abu batu. Berikut adalah tabel batas distribusi partikel agregat kasar dan halus:
Tabel 2.2. Batas Distribusi Partikel Agregat Kasar dan Halus
Tapisan Bukaan
Ukuran ASTM
3/4"
1/2"
3/8”
No. 4
No. 4
No. 30
No. 70
No. 200
Agregat Kasar
% Loloas Saringan
100
30 – 100
0 – 55
0 – 10
Agregat Halus/Abu Batu
% Lolos Saringan
100
90 – 100
40 – 100
25 – 100
7 – 60
5 – 11
Universitas Sumatera Utara
2.
Penentuan Campuran Nominal.
Rencana campuran nominal ini diperlukan sebagai:
- Saringan tingkat pertama, apakah agregat yang tersedia dapat dipergunakan
atau tidak.
- Resep awal untuk campuran percobaan dilaboratorium yang memenuhi
persyaratan gradasi campuran dan kadar aspal seperti yang ditetapkan dalam
spesifikasi.
3. Pemeriksaan Sifat Campuran di Laboratorium Tahap Pertama.
Pemeriksaan campuran tahap pertama ini dilakukan dengan mengambil kadar
aspal tetap yaitu kadar aspal efektif + persen absorpsi aspal yang diperkirakan
(40% absorbsi air). Untuk dapat menggambarkan sifat campuran sehubungan
dengan variasi campuran agregat pada kondisi kadar aspal tetap, maka dibuatkan
variasi campuran agregat dengan basis campuran nominal. Umumnya dibuatkan
untuk 3 (tiga) proporsi agregat kasar yaitu:
-
Proporsi agregat kasar campuran nominal
-
Proporsi agregat kasar untuk campuran nominal + 10%
-
Proporsi agregat kasar untuk campuran nominal – 10%
4. Pemeriksaan Sifat Campuran di Laboratorium Tahap Kedua.
Pemeriksaan sifat campuran di laboratorium tahap kedua ini bertujuan untuk
menentukan kadar aspal optimum dan persentase penambahan bahan pengisi jika
Universitas Sumatera Utara
diperlukan terhadap proporsi agregat kasar dan perbandingan pasir dan abu batu
terbaik yang merupakan hasil pemeriksaan tahap pertama.
5. Korelasi Hasil Perencanaan Campuran di Laboratorium dengan Mesin
Pencampur Asphalt Mixing Plant (AMP).
Ketepatan pengaturan dari bagian-bagian AMP sangat menentukan kualitas
produksi. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Kalibrasi dan pengaturan cold bin sesuai dengan hasil perencanaan campuran
di laboratorium
- Penentuan proporsi penakaran agregat panas pada hot bin (jika ada)
- Kalibrasi dan pengaturan hot bin sesuai dengan hasil perencanaan
6. Pemeriksaan Percobaan Produksi Mesin Pencampur.
Sifat dari campuran yang diproduksi seringkali berbeda dengan sifat yang
diperoleh di laboratorium. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan produksi
sebelum mesin pencampur berproduksi penuh. dengan demikian diharapkan
rencana campuran dapat dikoreksi sehingga menjadi resep campuran akhir.
Untuk lebih jelas mengenai alur perencanaan campuran dengan metode Bina
Marga dapat dilihat pada gambar 2.2. berikut:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Alur Perencanaan Campuran Metode Bina Marga
2.3.5. Jarak Industri dengan Pemukiman
Berkembangnya suatu Kawasan Industri tidak terlepas dari pemilihan lokasi
kawasan industri yang dikembangkan, karena sangat dipengaruhi oleh beberapa
factor/variabel di wilayah lokasi kawasan. Selain itu dikembangkannya suatu
Kawasan Industri juga akan memberikan dampak terhadap beberapa fungsi di sekitar
lokasi kawasan. Oleh sebab itu, beberapa kriteria menjadi pertimbangan di dalam
Universitas Sumatera Utara
pemilihan lokasi Kawasan Industri, salah satu diantaranya adalah Jarak terhadap
Pemukiman.
Pertimbangan jarak terhadap pemukiman bagi pemilihan lokasi kegiatan
industri, pada prinsipnya memilikki dua tujuan pokok, yaitu:
1. Berdampak positif dalam rangka pemenuhan kebutuhan tenaga kerja dan aspek
pamasaran produk. Dalam hal ini juga perlu dipertimbangkannya adanya
kebutuhan tambahan akan perumahan sebagai akibat dari pembangunan kawasan
industri. Dalam kaitannya dengan jarak terhadap pemukiman disini harus
mempertimbangkan masalah pertumbuhan perumahan, dimana sering terjadi
areal tanah disekitar lokasi industry menjadi kumuh dan tidak ada lagi jarak
antara perumahan dengan kegiatan industri.
2. Berdampak negative karena kegiatan industri menghasilkan polutan dan limbah
yang dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat.
3. Jarak terhadap pemukiman yang ideal minimal 2 (dua) Km dari lokasi kegiatan
industri (Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No: 35/MIND/PER/3/2010).
Universitas Sumatera Utara
2.4. Kerangka Konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
Lingkungan Aktivitas Produksi
Aspal Hotmix :
Pada Pekerja di PT.Tamitana
- Suhu
- Kelembaban
- Kadar Debu
- APD
Syndrome ISPA
Pada Lingkungan Pemukiman
Penduduk Di Kawasan
Pelabuhan Balohan Sabang :
- Suhu Dalam Rumah
- Kelembaban dalam Rumah
- Kadar Debu dalam Rumah
- Jarak Rumah dengan Industri
Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian
.
Universitas Sumatera Utara