Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Implementasi Penegakan Hukum Pidana Pemilu

IMPLEMENTASI PENEGAKAN HUKUM PIDANA PEMILU Linna Nindyahwati; Direktur LN & Associates, Advocates anda Legal Consultants; Kompleks Ruko Sun City Mall Blok A-2 Jalan Pahlawan No. 1 Sidoarjo Jawa Timur; linnanindya@ymail.com ABSTRAK Tindak pidana pemilihan umum adalah perbuatan melanggar hukum, yang telah diatur secara rinci mulai dari pasal 260 sampai dengan pasal 311 Undangundang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang diundangkan pada tanggal 31 maret 2008 (lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008 nomor 51) dan pemeriksaannya dilakukan dengan acara pemeriksaan singkat, serta ancaman pidananya bersifat kumulatif yakni penjatuhan 2 (dua) pidana pokok dalam satu perkara, yaitu pidana penjara dan juga pidana denda. Kata kunci : penyelesaian, tindak pidana, pemilihan umum ABSTRACT Doing an injustice general election [is] deed impinge law, which have been arranged in detail start from section 260 up to section 311 [Code/Law] Republic Of Indonesia Number 10 year 2008 about General election Parliament member, Council Delegation [of] Area, and Parliament Area, invited on 31 maret 2008 ( Republic Of Indonesia year statute book 2008 number 51) and its inspection [is] [done/conducted] with brief inspection event, and also its crime threat have the character of cumulative namely fallout 2 ( fundamental crime) in one case, that is crime serve a sentence as well as penalty/fine] crime. PENDAHULUAN Salah satu variabel ukuran negara demokrasi adalah pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan salah satu bagian dari tata cara untuk melakukan pergantian kekuasaan. Bahwa Pemilihan Umum merupakan bentuk kehidupan demokrasi yang menjadi hak bagi setiap warga negara. Hak tersebut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak sebagai wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Studi demokrasi dimanapun, akan selalu melibatkan berbagai variabel lain selain pemilihan umum (Pemilu), seperti keterbukaan, penegakan supremasi hukum (law enforcement), pergantian kekuasaan, penegakan HAM, pertanggungjawaban pemerintah dan pers yang bebas. Dalam konteks inilah ukuran suatu negara demokrasi akan sangat ditentukan variabel-varibel tersebut. Keterkaitan-keterkaitan ini merupakan instrumen penting untuk melihat sejauh mana nalar negara demokrasi itu berdiri, karena dengan nalar itulah, kita akan menemukan titik relasi yang menyambungkan hubungan negara demokrasi dengan berbagai variabel tersebut. Apabila secara keseluruhan dari variabel itu dikaji satu per satu, akan memakan waktu yang cukup panjang dengan kajian yang sarat akan nilai-nilai intelektual. Karena itu, penulis hendak mempersempit kajian pada salah satu variabel demokrasi, yakni proses pelaksanaan pemilihan umum sebagai langkah awal dalam pergantian kekuasaan yang sering disebut sebagai suksesi politik. Di kebayakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolok ukur dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat (Miriam Budiardjo, 2008; Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama) Selanjutnya, dalam pelaksanaan pemilihan umum pada suatu negara, maka tidak terlepas kemungkinan akan adanya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi baik saat sebelum, ketika pelaksanaan dan pasca pemilihan umum tersebut. Banyak sekali jenis pelangaran yang dapat terjadi dalam penyelenggaraan pemilu, tetapi untuk lebih muda mempelajarinya, maka dapat dibagi dalam tiga kategori jenis pelanggaran meliputi: (Dedi Mulyadi, 2012,  Kebijakan Legislasi tentang Sanksi Pidana Pemilu Legislatif Di Indonesia dalam Perspektif Indonesia, Jakarta, Gramata Publishing, Hlm. 383) Pelanggaran administratif. Dalam UU pemilu yang dimaksud pelanggaran adminitratif adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU, dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi. Misanya tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan danaawal kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan. Tindak pidana pemilu, merupakan tindakan yang dalam Undang-undangPemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana pemilu adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan mengubah hasil suara. Perselisihan hasil pemilihan umum, adalah perselisihan  antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan  perolehan hasil  suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu. PEMBAHASAN Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemilu Tindak pidana yang sering juga disebut sebagai delik (delict) merupakan perbuatan pidana yang di dalamnya terdapat unsur kejahatan maupun unsur pelanggaran, yang harus dipertanggungjawabkan oleh orang yang melakukan perbuatan yang melanggar nilai ketertiban dalam masyarakat tersebut setalah diundangkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Banyak sekali terdapat diantara sarjana-sarjana dalam bidang Hukum Pidana yang menggunakan istilah yyang berbeda-beda untuk menunjuk kepada Tindak Pidana. Moeljatno, memakai istilah “Perbuatan Pidana”. Beliau tidak menggunakan istilah Tindak Pidana. Perbuatan pidana menurut beliau dirumuskan sebagai berikut : “Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.”(Moeljatno; Asas-Asas Hukum Pidana, Sinar Grafika Jakarta, 1983, h. 1) Sedangkan Utrecht menggunakan istilah “Peristiwa Pidana”. Demikian juga penggunaan istilah yang berbeda untuk menunjuk kepada tindak pidana diberikan oleh Mr. M. H. Tirtaamidjaja, beliau menggunakan istilah “Pelanggaran Pidana”. Namun diantara keanekaragaman penggunaan istilah tersebut pada dasarnya adalah menunjuk kepada pengertian yang sama, yakni yang berasal dari strafbaar feit. Strafbar Feit adalah diambil dari bahasa belanda yang apabila diterjemahkan secara harafiah berarti peristiwa pidana. Menurut Simons, bahwa strafbar feit ialah perbutan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (shculd) seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kesalahan dalam pengertian ini termasuk juga kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpalate (alpa dan lalai). (A. Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika Jakarta, 1995, h. 224) Van Hamel menjelaskan bahwa strafbar feit sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh Undang-undang, melawan hukum, patut atau bernilai unutuk dipidana (strafwaardig), dan dapat dicela karena kesalahan. (Ibid, h. 225) Pada umumnya tindak pidana disinonimkan dengan “delik” yang berasal dari bahasa latin yakni kata delictum. Sedangkan pengertian delik itu sendiri dalam bahasa indonesia adalah: “Delik: perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang Tindak Pidana. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, WJS Poerwadarminta) Dalam mengefektifkan berlakunya hukum terhadap tindak pidana maka harus dikenakan sanksi atas perbuatan pelanggaran itu. Meskipun dalam teori hukum pidana seorang bisa saja lepas dari perbuatan pidana jika perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan atau dengan kata lain orang yang melakukan tindak pidana karena adanya unsur daya paksa, maka orang tersebut lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu merupakan Undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Secara umum KUHP (lex generalis) juga telah mengaturnya dalam pasal 148 sampai dengan pasal 153 KUHP. Begitu ketatnya UU Nomor 10 Tahun 2008 mengatur perihal tindak pidana Pemilu. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatan/tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang menghambat terlaksananya Pemilu. Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada dasarnya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana / KUHAP (lex generalis) namun dalam UU Pemilu juga enentukan mekanisme / hukum acaranya sendiri (lex specialis) mengingat segala penyelesaian yang berkaitan dengan pemilu temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi dapat dilaksanakan secara demokratis dan bersih. Rumusan atau defenisi tindak pidana pemilu baik dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 maupun dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tidak dijelaskan secara rinci, apa yang dimaksud tindak pidana pemilu sebagai salah satu bagian undang-undang pemilihan umum yang memberikan sanksi kepada para pelanggarnya. Padahal dalam penyusunan naskah undang-undang hal-hal yang menyangkut ketentuan umum mestinya diberikan definisi dalam ketentuan-ketentuan umum di bagian awal sehingga dalam penerapannya tidak akan memberikan kekaburan makna dan pengertiannya (misalnya dalam Pasal 1). Mengenai tindak pidana pemilu, secara sederhana dapat dikatakan bahwa ada tiga kemungkinan pengertian dan cakupannya. Pertama, semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu yang diatur di dalam UndangUndang Pemilu. Kedua, semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur baik di dalam maupun di luar Undang-Undang pemilu (misalnya dalam Undang-Undang Partai Politik ataupun dalam KUHPidana); dan ketiga, semua tindak pidana yang terjadi pada saat pemilu (termasuk pelanggaran lalu lintas, penganiayaan (kekerasan, perusakan dan sebagainya). (Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, SInar Grafika, Jakarta, 2006, h. 4). Dari berbagai kasus pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu, berkaca pada pemilu tahun 2009  modus operandi tindak pidana pemilu dapat dikemukakan sebagai berikut: (Dedi Mulyadi, 2012,  Kebijakan Legislasi tentang Sanksi Pidana Pemilu Legislatif Di Indonesia dalam Perspektif Indonesia, Jakarta, Gramata Publishing, Hlm 385 s/d 389) : Menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, modusnya melalui beberapa cara diantaranya: Salah satu cara dengan sengaja tidak mendaftarkan dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS), Daftar Pemilih Tetap (DPT), dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTB), walau telah memenuhi syarat sebagi pemilih yaitu berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah pernah kawin, mempunyai hak untuk memilih tetapi karena tidak terdaftar atau tidak didaftarkan dengan motivasi tertentu sebagai hak pilih pada saat pendaftaran pemilih sehingga pada waktu pelaksanaan pemiluh nama orang tersebut tidak ada dalam daftar pemilih. Dengan sengaja mencoret nama  orang yang mempunyai hak pillih dengan alasan karena sudah meninggal atau sudah pindah alamat dan seterusnya padahal orangnya masih hidup dan ada ditempat domisilinya. Dengan sengaja tidak menerbitkan Kartu Tanda Penduduk baru bagi para penduduk yang telah habis masa berlaku Kartu Tanda Penduduknya dengan berbagai alasan, sehingga mengakibatkan penduduk tetap yang tidak mempunyai KTP dianggap sebagai penduduk liardan tidak diberatkan hak pilihnya. Dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih (DPS, DPT, DPTB). Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan Umum tersebut. Pemalsuan dokumen/ surat dan menggunakan dokumen/ surat palsu modusnya melalui beberapa cara diantaranya sebagi berikut: Dengan sengaja membuat surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai surat atau dokumen tersebut khususnya dalam pendaftaran sebagai syarat administrasi bakal calon anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD) juga dipergunakan sebagai dasar untuk mendapatkan hak pilih dari rakyat dalam pemilihan umum legislatif. Khususnya bagi pemilihan anggota DPD melalui modus pengumpulan foto copy KTP dalam pembagian sembako, sembako murah atau pembagian beras Raskin baik yang dilakukan oleh tim suksesnya langsung maupun yang dilakukan oleh RT maupun RW setempat. Bahkan pada beberapa daerah tertentu foto copy sebagai syarat bukti dukungan terhadap calon anggota DPD diambil dari koperasi-koperasi yang seluruh anggota tidak tahu bahwa KTP-nya dijadikan sebagai syarat dukungan pencalonan anggota DPD. Politik uang (money politic) yang dilakukan oleh peserta pemilu anggota legislatif, dengan modus-modus sebagai berikut: Dengan sengaja menjanjikan atau memberikan  uang atau materi  lainnya untuk memperolah dukungan bagi pencalonan pemilu legislatif, biasanya dengan cara membagi-bagikan sembako, uang dan barang pada saat kampanye, hari tenang, menjelang pencotrengan/ pencoblosan (serangan fajar) kepada penduduk yang dsertai dengan  permintaan untuk mendukungnya pada pelaksanaan Pemilihan Umum. Peserta pemilu mendapatkan sumbangan dana dari pihak ketiga dengan modus sipemberi sumbangan disamakan alamatnya dan perusahaannya, bahkan ada perusahaan yang fiktif dan alamat yang fiktif sehingga sangat susah untuk dilacak keakuratannya. Dengan sengaja  memobilisasi penduduk dari tempat tinggalnya menuju keTempat Pemungutan Suara khususnya kalau tempat tinggal dengan Tempat Pemungutan Suara berjauhan maka diperlukan tumpangan kendaraan, para calon anggota legislatif baik secara langsung maupun melalui tim suksesnya yang ada di daerah mencoba memanfaatkan kondisi ini dengan memberi tumpangan gratis kepada pemilih dengan maksud ingin mendapatkan simpati dan dukungan dari para pemilih. Dengan memanfaatkan para tokoh masyarakat baik agama, budaya,  dengan iming-iming atau memberikan janji akan mendapatkan imbalan berupa proyek, bantuan (sarana dan prasarana), bahkan jabatan tertentu agar mendapatkan dukungan  dari masyarakat padasaat pencoblosan suara dalam pemilu legislatif. Dengan sengaja membagi-bagikan uang pada saat menjelang pemungutan suara dengan dalil sebagai pengganti penghasilan yang seharusnya di dapat jika pada hari itu pemilih bekerja ditempat lain, dengan maksud untuk mendapatkan dukungan dari para pemilih dalam pelaksanaan pencoblosan tersebut. Dengan sengaja membagi-bagikan kepada para pemilih berupa barang: korek api, semen, cat, kalender dan lain-lain yang bertuliskan pilihan yang harus diambil oleh penerima barang tersebut dengan tujuan ingin mendapatkan dukungan pada saat Pemilihan Umum tersebut. Pelanggaran kampanye, kampanye terselubung, kampanye di luar jadwal dengan modus sebagai berikut: Dengan sengaja melalkukan kampanye di luar jadwal waktu yang ditentukan oleh KPU, KPU Provisni, KPU Kabupaten/ Kota misalnya pada masa tenang masih dilaksanakan kampanye baik secara terang-terangan  atau terbuka maupun secara terselubung misalnya melalui cara pengajian, diskusi dan pertemuan-pertemuan yang isinya adalah kampanye. Pemasnagan atau penyebaran bahan kampanye kepada umum pada saat masa tenang bisanya dilakukan setelah Panwas melakukan upaya pembersihan  seluruh atribut kampanye pada masa tenang, maka para tim kampanye menyebarkan atribut kampanye kembali dengan maksud agar pada saat pelaksanaan pemilihan atribut kampanye mampu mengingatkan kembali masyarakat akan pilihan khususnya calon yang diusungnya. Peretemuan tatap muka pada masa sebelum masa kampanye baik setelah masa kampanye biasanya banyak dilaksanakan dengan argumentasi konsolidasi baik hanya pertemuan biasa dalam artian silaturrahmi yang ada di dalam materinya disisipkan kamapanye terselubung. Pelanggaran kampanye yang dapat terjadi salah satunya berupa pelanggaran lalu lintas misalnya peserta kampanye tidak memakai helm pada saat berkonvoi (beramai-ramai) menuju tempat kampanye atau pulang dari tempat kamapnye baik kampanye terbuka maupun kampanye tertutup. Pelanggaran rute kampanye yang dilakukan oleh peseta kampanye pada saat pelaksanaan kampanye baik pada saat berangkat, maupun pulang kampanye dengan tidak mengindahkan rute jalan yang telah ditetapkan oleh KPU sehingga pada akhirnya mengganggu ketertiban, dapat mengakibatkan pelanggaran lalu lintas bahkan yang paling fatal bertemunya dua peserta kampanye yang berbeda sehingga berpotensi mengakibatkan bentrokan antara peserta kampanye. Pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu diantaranya anggota KPUD pada saat penghitungan suara di KPUD, dengan modus diantaranya dalam penghitungan suara akhir di KPUD potensi untuk melakukan kecurangan atau keberpihakan kepada salah satu peserta pemilu menjadi tren yang marak terjadi misalnya pada saat penghitungan suara di tingkat KPUD maka dari sekian banyak partaiyang mendapatkan suara ada partai-partai kecil  yang tidak ada calegnya tetapi mendapatkan suara atau dengan bahasa lain suara tak bertuan, maka suara tak bertuan ini menjadi potensi disalahgunakan oleh anggota KPUD dengan modus dijual kepada calon yang perolehan suaranya kurang. Dalam perkara ini agak sulit untuk ditemukan mengingat tidak ada yang dirugikan dari para kontestan atau calon anggota legislatif karena suara yang dijual oleh anggota KPU merupakan suara tak bertuan, disamping itu perhatian orang akan tertumpu pada jumlah suaranya masing-masing atau dukungannya tersebut mengingat para calon yang lain tidak merasa dirugikan karena suaranya tetap. Pelanggaran yang dilakukan oleh para pejabat Negara yang harusnya netral atau tidak berpihak, dengan modus sebagai berikut: Pejabat Negara tertentu turut mengatur dan memfasilitasi pertemuan antara masyarakat dengan peserta kampanye atau tim kampanye dengan maksud agar masyarakat melihat keberadaan pejabat tersebut dapat mempengaruhi pilihan masyarakat. Peserta pemilu yang merupakan mantan pejabat mempunyai potensi untuk mempergunakan fasilitas Negara, misalnya dalam berkampanye mempergunakan mobil dinas atau fasilitas Negara lainnya yang mengakibatkan kerugian terhadap Negara dengan berpotensi pada kecemburuan dari peserta pemilu yang lain. Pejabat Negara secara langsung atau tidak langsung memperkenalkan peserta pemilu tertentu kepada masyarakat atau khalayak umum dengan harapan agar masyarakat terpengaruh dalam menentukan pilihannya. Diantara sekian masalah yang menyulut ke permukaan menjadi bagian dari pelanggaran tindak pidana pemilu, paling tinggi kasus pelanggaran tindak pidana pemilu, biasanya terjadi pada saat penyelenggaraan kampanye pemilu oleh anggota legislatif. Pada tahap ini karena melibatkan bukan hanya calon anggota legislatif namun melibatkan juga peserta kampanye sehingga tindak pidana kekerasan terhadap peserta kampanye lain seringkali terjadi. Pasca perubahan Undang-undang Pemilu, pengaturan tentang  sanksi terhadap modus tindak pidana sebagaimana yang telah  di kemukakan di atas ketentuan pidana dalam UU Pemilu (UU No 8 Tahun 2012) telah menghapuskan pidana minimum pada UU pemilu sebelumnya (UU Nomor 10 tahun 2008), guna memberikan asas kepastian hukum dan memudahkan bagi hakim dalam memberikan putusan. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu. Proses Penyidikan. Sebenarnya penanganan tindak pidana pemilu tidak berbeda dengan penanganan tindak pidana pada umumnya yaitu melalui kepolisian kepada kejaksaan dan bermuara di pengadilan. Secara umum perbuatan tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu juga terdapat dalam KUHP. Tata cara penyelesaian juga mengacu kepada KUHAP. Dengan asas lex specialist derogat lex generali maka aturan dalam UU Pemilu lebih utama. Apabila terdapat aturan yang sama maka ketentuan yang diatur KUHP dan KUHAP menjadi tidak berlaku. Mengacu kepada pasal 247 angka (9) UU Pemilu, temuan dan laporan tentang dugaan pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana, setelah dilakukan kajian dan didukung dengan data permulaan yang cukup, diteruskan oleh Bawaslu kepada penyidik Kepolisian. Proses penyidikan dilakukan oleh penyidik polri dalam jangka waktu selama-lamanya 14 hari terhitung sejak diterimanya laporan dugaan pelanggaran pidana pemilu. Kepolisian mengartikan 14 hari tersebut termasuk hari libur. Hal ini mengacu kepada KUHAP yang mengartikan hari adalah 1 x 24 jam dan 1 bulan adalah 30 hari. Dalam hal ini, pihak kejaksaan masih bisa mengembalikan berkas perkara yang dikirim penyidik kepolisian apabila dianggap belum lengkap paling lama 3 )tiga) hari sejak diterima berkasnya dan kelengkapan berkas ini harus dilengkapi oleh penyidik dalam jangka waktu 3 (tiga) hari sejak pengembalian berkas oleh kejaksaan. Proses Penuntutan.  UU Pemilu tidak mengatur secara khusus tentang penuntut umum dalam penanganan pidana pemilu. Melalui Surat Keputusan (September 2008) Jaksa Agung telah menunjuk jaksa khusus pemilu di seluruh Indonesia (31 Kejaksaan Tinggi, 272 kejaksaan Negeri, dan 91 Cabang Kejaksaan Negeri). Masing-masing Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri ditugaskan 2 orang jaksa khusus untuk menangani pidana pemilu tanpa menangani kasus lain di luar pidana pemilu. Di tingkat Kejaksaan Agung ditugaskan 12 orang jaksa yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) untuk menangani perkara pemilu di pusat dan Luar Negeri. Penugasan ini dituangkan dalam Keputusan Jaksa Agung No. 125/2008. Jika hasil penyidikan dianggap belum lengkap, maka dalam waktu paling lama 3 hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai dengan petunjuk untuk melengkapi berkas bersangkutan. Perbaikan berkas oleh penyidik maksimal 3 hari untuk kemudian dikembalikan kepada PU. Maksimal 5 hari sejak berkas diterima, PU melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. Karena sejak awal penanganan kasus di kepolisian pihak kejaksaan sudah dilibatkan untuk mengawal proses penyidikan maka duduk perkara sudah dapat diketahui sejak Bawaslu melimpahkan perkara ke penyidik. Dengan demikian maka PU dapat mempersiapkan rencana awal penuntutan/matrik yang memuat unsur-unsur tindak pidana dan fakta-fakta perbuatan. Pada saat tersangka dan barang bukti dikirim/diterima dari kepolisian maka surat dakwaan sudah dapat disusun pada hari itu juga. Karena itu masalah limitasi waktu tidak menjadi kendala. Untuk memudahkan proses pemeriksaan terhadap adanya dugaan pelanggaran pidana pemilu, Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah membuat kesepahaman bersama dan telah membentuk sentra penegakan hukum terpadu (Gakumdu). Adanya Gakumdu memungkinkan pemeriksaan perkara pendahuluan melalui gelar perkara. Proses Persidangan. Tindak lanjut dari penanganan dugaan pelanggaran pidana pemilu oleh Kejaksaan adalah pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum. Mengingat bahwa pemilu berjalan cepat, maka proses penanganan pelanggaran menggunakan proses perkara yang cepat (speed trial). Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana pemilu menggunakan KUHAP sebagai pedoman beracara kecuali yang diatur secara berbeda dalam UU Pemilu. Perbedaan tersebut terutama menyangkut masalah waktu yang lebih singkat dan upaya hukum yang hanya sampai banding di Pengadilan Tinggi. Tujuh hari sejak berkas perkara diterima Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana pemilu. Batasan waktu ini akan berimbas kepada beberapa prosedur yang harus dilalui seperti pemanggilan saksi dan pemeriksaan khususnya di daerah yang secara geografis banyak kendala. Untuk itu maka UU memerintahkan agar penanganan pidana pemilu di pengadilan ditangani oleh hakim khusus yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan MA (Perma). PERMA No. 03/2008 menegaskan bahwa Hakim khusus sebagaimana dimaksud berjumlah antara 3 – 5 orang hakim dengan kriteria telah bekerja selama 3 tahun. MA juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. 07/A/2008 yang memerintahkan kepada Pengadilan Tinggi untuk segera mempersiapkan/menunjuk hakim khusus yang menangani tindak pidana pemilu. Dalam hal terjadi penolakan terhadap putusan PN tersebut, para pihak memiliki kesempatan untuk melakukan banding ke Pengadilan Tinggi. Permohonan banding terhadap putusan tersebut diajukan paling lama 3 hari setelah putusan dibacakan.PN melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada PT paling lama 3 hari sejak permohonan banding diterima. PT memiliki kesempatan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima. Putusan banding tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum lain. Proses Pelaksanaan Putusan. Tiga hari setelah putusan pengadilan dibacakan, PN/PT harus telah menyampaikan putusan tersebut kepada PU. Putusan sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan paling lambat 3 hari setelah putusan diterima jaksa. Jika perkara pelanggaran pidana pemilu menurut UU Pemilu dipandang dapat mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu maka putusan pengadilan atas perkara tersebut harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional. Khusus terhadap putusan yang berpengaruh terhadap perolehan suara ini, KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan peserta harus sudah menerima salinan putusan pengadilan pada hari putusan dibacakan. KPU berkewajiban untuk menindaklanjuti putusan sebagaimana dimaksud. Demikian pengecualian hukum beracara untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu menurut UU 10/2008 yang diatur berbeda dengan KUHAP. Sesuai dengan sifatnya yang cepat, maka proses penyelesaian pelanggaran pidana pemilu paling lama 53 hari sejak terjadinya pelanggaran sampai dengan pelaksanaan putusan oleh jaksa. Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada dasarnya menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana / KUHAP (lex generalis) namun dalam UU Pemilu juga menentukan mekanisme / hukum acaranya sendiri (lex specialis) mengingat segala penyelesaian yang berkaitan dengan pemilu temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi dalam mengisi fungsi-fungsi kenegaraan yang masa jabatannya terbatas dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. UU Pemilu 10/2008 menentukan batasan penyelesaian perkara pidana pemilu dari sejak diterimanya laporan kejadian oleh Badan Pengawas Pemilu atau Panwaslu Propinsi atau Panwaslu Kabupaten/Kota atau Panwaslu Kecamatan dan/atau Pengawas pemilu lapangan sampai dengan putusan pengadilan dan eksekusinya. Putusan pengadilan pelanggaran pidana pemilu yang dapat mempengaruhi perolehan suara Peserta Pemilu harus diselesaikan paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional. Dengan kecepatan dan kekhususan yang demikian, maka dituntut adanya koordinasi antara lembaga penyelenggara pemilu ic KPU dengan instansi-instansi terkait penegakan hukum Kepolisian, Kejaksaan dam Mahkamah Agung, hal ini dimaksudkan agar penyelesaian perkara pidana pemilu tidak akan mengganggu jadwal pelaksaan pemilu itu sendiri. Selain Kepolisian dan kejaksaan dalam kaitan begitu singkatnya penanganan perkara di tingkat penyidikan dan penuntutan dibandingkan dengan hukum acara dalam KUHAP, dalam kaitan ini sangat urgent peranan Mahkamah Agung dalam membuat ketentuan dan kriteria “hakim khusus” yang akan menangani perkara-perkara pemilu. Namun demikian dengan pengaturan yang bernuansa cepat dalam penyelesaian perkara pidana pemilu ini, aturan ini masih menyimpan beberapa potensi problem didalamnya yang dapat diihat sebagai berikut: Pertama, ketentuan yang membatasi laporan pelanggaran pidana pemilu paling lama tiga hari sejak terjadinya perkara dapat menimbulkan problem, utamanya bagi kejadian-kejadian atau perkara pidana pemilu yang baru diketahui setelah melewati batas waktu tiga hari. UU Pemilu No. 10/2008 tidak menjelaskan mengenai hal ini, padahal pada realitasnya banyak kecurangan-kecurangan baru diketahui setelah pemilu selesai dilaksanakan. Pertanyaannya bagaimana penyelesaian terhadap tindak pidana pemilu yang diketahui setelah pemilu selesai ? Jika mengacu pada UU Pemilu 10/2008, maka konsekwensi dari pemberlakuannya sebagai lex specialis, tindak pidana pemilu yang diketahui pasca pemilu selesai menjadi kadaluarsa dalam pengertian tidak tunduk lagi pada hukum acara yang diatur oleh UU No.10/2008, hasil putusannya menjadi tidak relevant, meski sebagai keputusan hukum harus juga tetap ditegakkan. Apalagi bagi putusan-putusan pengadilan yang berpengaruh terhadap perolehan suara akan gugur pasca ditetapkannya hasil pemilu nasional oleh KPU.  Kemungkinan yang akan terjadi terhadap tindak pidana pemilu pasca pemilu selesai adalah penuntutannya tetap dilakukan karena secara hukum tindak pidana ini tidak gugur. Hanya saja penuntutannya tidak didasarkan atas UU Pemilu tetapi dengan mengggunakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pemilihan umum dalam KUHP yaitu Pasal 148 sampai dengan 153. Karena pada prinsipnya ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam UU Pemilu No. 10/2008 masih dapat diakomodir oleh ketentuan-ketentuan pidana pemilu dalam KUHP. Sedangkan bagi tindak pidana yang mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu akan dimasukkan pada wilayah pelanggaran lain yaitu sengketa hasil pemilu yang kewenangan memutusnya berada di tangan Mahkamah Konstitusi. Kedua, potensi konplik antara lembaga-lembaga penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU). Dari 51 pasal yang mengatur tindak pidana pemilu, mayoritas bahkan hampir keseluruhan ketentuannya mengancam penyelennggara pemilu sampai ketingkat desa. Dari mulai KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK (Kecamatan), PPS (Desa/kelurahan) dan PPLN (Luar Negeri) jika lalai dalam melaksanakan tugas atau tidak mengindahkan rekomendasi-rekomendasi Bawaslu/ Panitia Pengawas, maka jerat hukum membentang di hadapan mmereka. Demikian juga Bawaslu / Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, panwaslu Kecamatan atau Panwaslu lapangan / Luar Negeri yang tidak mengindahkan / menindak lanjuti temuan / laporan KPU menghadapi persoalan yang sama yaitu jerat hukum yang ancaman hukuman maksimalnya tiga tahun. Kewenangan mengawasi yang begitu besar disisi lain juga dapat melahirkan ketegangan-ketegangan antara KPU dengan Bawaslu yang pada gilirannya bila tidak disadari akan menghambat pelaksanaan pemilu itu sendiri.  Problem ketiga, adalah bahwa dalam UU Pemilu No. 10/2008 pengawasan dana kampanye belum menjadi focus perhatian. Dari 51 ketentuan tindak pidana pemilu tiga belas pasal diantaranya mengatur tentang kampanye, dan hanya satu ketentuan yaitu pasal 281 yang mengatur tentang laporan dana kampanye. Ini berarti bahwa pengawasan terhadap dana kampanye, yang berdasarkan pengalaman penylenggaraan pemilu pada waktu-waktu yang lalu menimbulkan banyak masalah, justru hanya diatur melalui “pengawasan laporan”.  Aturan mengenai pengawasan dana kampanye pemilu nampaknya memang sengaja tidak dibuat oleh para anggota DPR, karena pada kenyataannya banyak pengusaha yang memberikan suntikan dana terhadap partai politik terutama pada partai yang besar. Hal ini tentu menguntungkan parpol besar, dan tidak untuk partai kecil. Demikian juga mengenai besaran dana yang digunakan untuk kampanye juga tidak dapat diawasi oleh BAWASLU, karena Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak memiliki kewenangan dalam mengawasi dana kampanye.  Dana kampanye bukan merupakan tahapan pemilu, karenanya tidak diawasi oleh Bawaslu, dalam UU No 10 tahun 2008, tugas Bawaslu hanya mengawasi pemilu saja.  Di sisi yang lain ketentuan meskipun ketentuan mengenai dana kampanye memberikan kebebasan menerima sumbangan dari perseorangan, kelompok dan /atau perusahaan, namun juga membatasi penerimaan sumbangan dari badan usaha milik negara/pemerintah. Realitas politik praktis yang memungkinkan para pejabat negara termasuk pejabat BUMN/D berasal dari orang partai politik justru menjadi potensi penyimpangan berupa pemberian sumbangan ilegal yang diberikan oleh Instansi/BUMN yang dipimpinnya. Peluang penyimpangan dana kampanye ini memang sangat potensial terjadi. Oleh sebab itu, pengawasan dana kampanye partai politik menjadi sangat penting, mengingat audit terhadap dana kampanye partai politik ini baru diserahkan ke KPU sekitar empat puluh lima hari setelah pemungutan suara, maka akan menjadi sangat penting jika masyarakat dapat melaporkan indikasi penyimpangan ini kepada pengawas pemilu sehingga dapat diantisipasi sejak awal. Dalam konteks pelaksanaan kampanye terdapat sejumlah potensi penyimpangan yang tidak terakomodasi dalam ketentuan pidana pemilu, sehingga kesadaran dari para pejabat yang berasal dari partai politik untuk memilah antara jabatan dan posisinya di partai politik menjadi sangat penting. Sama pentingnya dengan sikap profesional, tidak memihak, dan tegas dari para pengawas dan penegak hukum yang diperintahkan oleh undang-undang untuk mengawal aturan main pemilu. KESIMPULAN Sistem penegakan hukum tindak pidana pemilu yang diatur dalam UU No. 10/2008 nampak begitu komprehensif, karena kriminalisasi terjadi hampir pada seluruh tindakan penyelenggara pemilu yang diasumsikan menyimpang dan merugikan masyarakat pemilih maupun peserta pemilu pada setiap tahapan pemilu. Di sisi yang lain “nuansa cepat” dalam penegakkannya berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan yang setidaknya juga dapat diakomodir oleh sistem hukum pidana yang bersifat umum. Aturan perundangan pidana pemilu setidaknya merupakan sistem yang sengaja diciptakan dalam rangka terus menerus memperbaiki kualitas demokrasi, adalah tidak akan terhindarkan kepentingan politis golongan mewarnai sistem perundang-undangan. Jika bandul kekuatan politik sarat mewarnai sistem perundangan pemilu yang mengarah pada negasi (pengingkaran) terhadap nilai-nilai demokrasi, jangan khawatir, masyarakat dan Mahkamah Konstitusi akan melawannya.