Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Makalah Kelompok (Revisi) Kebijakan Keamanan Nasional China dalam Perang Melawan Terorisme di Xinjiang: Keberhasilan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Mata Kuliah Kebijakan Keamanan Nasional terhadap Terorisme Oleh: Anggalia Putri Permatasari 1006743424 Grawas Sugiharto 1006743544 Mariamah 1006743903 \ PROGRAM MAGISTER KAJIAN TERORISME DALAM KEAMANAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2012 0 Kebijakan Keamanan Nasional China dalam Perang Melawan Terorisme di Xinjiang: Keberhasilan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Dalam isu terorisme dan perang global melawannya yang tampak mendominasi wacana strategis global dalam dekade terakhir, nama China seakan jarang terdengar, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan atau front utama perang tersebut, yaitu negara-negara di Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Tenggara. Meskipun demikian, bukan berarti China tidak tersentuh oleh gerakan terorisme kontemporer ini, yang sering disebut sebagai terorisme gelombang keempat (fourth wave terrorism).1 Isu terorisme di China saat ini terutama dikaitkan dengan gerakan separatisme Turkistan Timur (nama lain dari Xinjiang) dan radikalisme Islam. Perhatian internasional mulai mengarah ke China ketika pemerintah China mulai memberi peringatan mengenai kemungkinan berlangsungnya aksi teror di negeri bambu ini selama Olimpiade Beijing berlangsung.2 Dalam sejarahnya, isu terorisme di China terletak dalam konteks pergolakan politik yang lebih luas, yakni insurgensi kaum Uyghur di Xinjiang yang telah bermula pada tahun 80-an dan memanas pada tahun 90-an.3 Selama ini, China sebagaimana negara-negara berkembang di kawasan lain (misalnya Indonesia) selalu berusaha untuk menjaga agar isu terorisme/insurgensi dan upaya penanggulangannya tidak menjadi isu internasional karena menyangkut integritas teritorial dan kedaulatan negara.4 Akan tetapi, peristiwa 9/11 telah menambah dimensi baru pada isu terorisme di China, yakni faktor Al-Qaeda dan keterkaitannya dengan gerakan politik di Xinjiang yang dalam insurgensinya menggunakan metode-metode teror. Sejak tragedi 9/11, China telah menyatakan empat organisasi sebagai gerakan terlarang, yaitu: the Eastern Turkistan Islamic Movement, the Eastern Turkistan Liberation Organization, the World Uygur Youth Congress, dan the East Turkistan Information Centre, yang diindikasikan terkait dengan Al-Qaeda. Pemerintah AS bahkan telah memasukkan the Eastern Turkistan Islamic Movement ke dalam daftar organisasi teroris PBB atas permintaan Menurut Bruce Hoffman; yakni terorisme berbasis agama yang ditujukan untuk menimbulkan sebanyak-banyaknya korban (casualties) dan dicirikan dengan penggunaan taktik bunuh diri (suicide mission). Lihat Concepts of Terrorism: Analysis of the rise, decline, trends and risk, Transnational Terrorism, Security, and the rule of Law, 2008, COT Institute for Safety, Security, and Crisis Management. Diunduh dari www.transnationalterrorism.eu. Diakses 17 Oktober 2011. 2 Zheng Yongnian & Lim Tai Wei, China s New Battle With Terrorism In Xinjiang, Essai Background Brief No. 446, Link: Http://Www.Eai.Nus.Edu.Sg/BB446.Pdf. Diakses 20 November 2011 3 Ibid. 4 Ibid. 1 1 pemerintah China.5 Selain mencoba menggalang dukungan diplomatis internasional untuk memerangi terorisme di dalam negeri, pemerintah China juga melakukan berbagai manuver internasional dalam isu separatisme/insurgensi yang beririsan dengan terorisme, salah satunya dengan mendukung langkah-langkah Rusia di Georgia. Dukungan Rusia menjadi hal yang penting bagi China dalam memerangi terorisme di Xinjiang berkaitan dengan kredibilitas Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang merupakan desk antiterror di China.6 Selain manuver untuk menggalang dukungan diplomatis di atas, respon nasional China terhadap terorisme di tingkat domestik sangat menarik untuk dibahas karena pertama, negara ini memiliki potensi kuat untuk menjadi superpower baru di tingkat global dan pada saat ini bahkan telah dipertimbangkan sebagai hegemon regional. Tanggapan China terhadap terorisme dalam negeri dan terorisme secara umum berpotensi untuk menjadi benchmark bagi respon nasional di negara-negara lain meskipun isu Xinjiang adalah isu yang sangat domestik bagi China. Kedua, perang China melawan terorisme di dalam negerinya (yang sekali lagi harus dilihat dalam konteks insurgensi yang lebih luas) dipandang berhasil (dalam artian efektif untuk menekan terorisme di China), namun sekaligus banyak mendapat kecaman karena dipandang terlalu draconian dan banyak menimbulkan pelanggaran HAM. 1.2 Rumusan Masalah dan Sistematika Makalah Makalah ini bertujuan untuk memaparkan respons kebijakan nasional China dalam memerangi terorisme di negaranya yang terletak dalam konteks insurgensi Xinjiang dan mengulas mengapa strategi dan kebijakan kontraterorisme di China dikatakan berhasil meskipun dengan membayar harga yang mahal dari sisi HAM. Pertanyaan yang akan dicoba dijawab oleh makalah ini adalah sebagai berikut: Mengapa kebijakan keamanan nasional China dalam memerangi terorisme dikatakan berhasil? Faktor-faktor apa saja yang memungkinkan China untuk mencapai keberhasilan tersebut? Makalah ini dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu 1) pendahuluan (latar belakang dan rumusan masalah), 2) klarifikasi istilah, yang meliputi ulasan mengenai terorisme dan insurgensi, 3) pembahasan, yang terdiri dari ulasan singkat mengenai sejarah terorisme di China, konsepsi kebijakan keamanan nasional China dan posisi terorisme di dalamnya, strategi perang melawan terorisme di Xinjiang dan ulasan atas efektivitasnya, yang selanjutnya ditutup dengan kesimpulan. 5 6 Ibid. Ibid. 2 2. Klarifikasi Istilah Sebelum beranjak pada pembahasan, ada beberapa istilah yang digunakan di dalam makalah ini yang maknanya perlu diklarifikasi, yaitu terorisme dan insurgensi serta apa keterkaitan kedua konsep tersebut. Hal ini menjadi penting karena meskipun secara konseptual terdapat perbedaan yang tegas di antara terorisme dan insurgensi, serta sebagai konsekuensinya, di antara kontraterorisme (CT) dan kontrainsurgensi (COIN), di dalam praktiknya (termasuk dalam fenomena terorisme di Xinjiang), kedua fenomena ini dapat berlangsung pada waktu yang sama dengan aktor yang sama sehingga istilah terorisme dan insurgensi sering dipertukarkan (begitu pula dengan CT dan COIN). Berikut adalah pembahasan konseptual mengenai terorisme dan insurgensi dan keterkaitan di antara keduanya. 2.1 Terorisme Akar dari kata teror berasal dari bahasa Latin terrere yang memiliki makna untuk menciptakan ketakutan .7 Departemen Pertahanan Amerika Serikat mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang telah diperhitungkan untuk memunculkan ketakutan; bertujuan untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dalam mengejar tujuan yang biasanya bersifat politis, religius, ataupun ideologis. .8 Cronin (2002) menyatakan bahwa karena mustahil untuk memberikan satu definisi yang ajeg untuk terorisme, yang dapat dilakukan adalah mengidentifikasi karakteristik-karakteristik utama dari terorisme, yakni sebuah aksi yang bertujuan politis, menggunakan kekerasan yang tidak terduga dengan target yang tampak acak, dan dilakukan oleh aktor-aktor non-negara.9 Secara garis besar, karakter-karakter tersebut terangkum dalam Gambar 1 berikut ini. 7 Gérard Chaliand dan Arnaud Blin (ed.), Preface , the History of Terrorism: From Antiquity to Al Qaeda (Berkeley and Los Angeles: University of California Press), 2007, h. 8-9. 8 J James J. F. Forest (Ed.) Countering Terrorism and Insurgency in the 21st Century: International Perspectives, Volumes 1 3 (London: Praeger Security International), 2007, h. I-IV. 9 R.G. Frey dan Christopher W. Morris, Violence, Terrorism, and Justice, dalam Frey and Morris (ed.), Violence, Terrorism, and Justice (Cambridge: Cambridge University Press), 1991, h. 3. 3 Gambar 1. Karakteristik Terorisme menurut Cronin Sumber: Cronin, 2002 2.2 Terorisme Sebagai Strategi Insurgensi Menurut Merari, terorisme adalah salah satu bentuk strategi insurgensi di antara berbagai strategi lain seperti revolusi, kudeta, dan perang gerilya. 10 Sebagai sebuah strategi insurgensi, terorisme bermain di ranah psikologis, bukan dampak fisik atau teritorial.11 Dengan kata lain, terorisme adalah taktik untuk menjalankan koersi psikologis 12 dengan melemahkan moral musuh dengan menebarkan rasa takut dan pada waktu yang sama untuk memperkuat rasa percaya diri dan tekad berjuang para pelakunya. 13 Menurut Mao Tse Tung dan Vo Nguyen Gap (para penteori revolusi), terorisme digunakan dalam insurgensi sebagai taktik untuk menggalang perhatian atau publisitas di dalam fase propaganda-agitase dari revolusi. Terorisme juga digunakan untuk meyakinkan musuh bahwa mereka tidak akan bisa memenangkan perang, juga untuk membuat musuh lelah.14 Ketika digabungkan dengan perjuangan bersenjata, terorisme dapat menjadi alat yang penting untuk meyakinkan pihak asing bahwa keterlibatan mereka dalam konflik tersebut Ariel Merari, Terrorism as a Strategy of Insurgency , dalam Terrorism and Political Violence, Vol. 5. No. 4 (Winter) (London: Frank Cass), 1993, h. 220. 11 Ibid., h. 225. 12 Ibid., h. 227. 13 Ibid., h. 231. 14 Leonard Weinberg dan William L. Eubank, 21st Century Insurgency: Understanding the Use of Terrorism as a Strategy, dalam James J. F. Forest (Ed.), Countering Terrorism and Insurgency in the 21st Century: International Perspectives, Volumes 1 3 (London: Praeger Security International), 2007, h. 81-82 dan 89. 10 4 tidak sepadan dengan keuntungan politik yang mereka peroleh. 15 Menurut Merari, strategi terorisme dilakukan dalam insurgensi untuk mencapai hal-hal berikut:16 1. Propaganda melalui perbuatan (propaganda by the deed). Untuk mencapai efek propaganda, para pelaku insurgensi melakukan aksi teror terhadap target-target simbolik, misalnya kepala negara. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian pada isu (cause) yang mereka perjuangkan. 2. Provokasi. Dalam hal ini, terorisme digunakan sebagai strategi untuk memprovokasi reaksi yang berlebihan (represif) dari pemerintah agar terbangun persepsi di kalangan rakyat bahwa pemerintah telah bertindak tidak adil dan tidak mampu menyelesaikan permasalahan sehingga popularismenya turun di mata masyarakat. Strategi ini juga digunakan untuk membangun gerakan antipemerintah. 3. Strategi Kekacauan (strategy of chaos). Terorisme juga digunakan oleh para pelaku insurgensi untuk menciptakan atmosfer kekacauan untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa pemerintah tidak mampu menegakkan hukum dan menjaga ketertiban. 4. Strategy of Attrition. Dalam hal ini, terorisme dipandang sebagai strategi perjuangan yang berkepanjangan (protracted struggle) yang bertujuan untuk melelahkan musuh. 5. Terorisme Ekspresif. Dalam konteks ini, terorisme adalah perwujudan dari emosi yang dirasakan para pelakunya dan bukan merupakan rencana politik yang rasional. Tujuan-tujuan penggunaan terorisme dalam insurgensi ini dapat dilihat di dalam Gambar 2 berikut. Propaganda by the Deed Expressive Terrorism Terrorism in Insurgency Strategy of Chaos Strategy of Attrition 15 16 Provocation Ibid., h. 90. Ibid., h. 234-235. 5 Gambar 2. Tujuan Penggunaan Strategi Terorisme dalam Insurgensi Menurut Merari Sumber: Merari, 1993 Menurut Merari, para pelaku insurgensi yang menggunakan metode terorisme dapat mencapai tujuan-tujuan yang sifatnya parsial, antara lain sebagai berikut: 1. penggalangan dukungan domestik yang memungkinkan level pemberontakan yang lebih tinggi 2. penggalangan perhatian internasional terhadap apa yang mereka perjuangkan ( bringing the terrorists grievances to international consciousness ) 3. penggalangan legitimasi internasional 4. mendapatkan konsesi politik parsial dari musuh mereka (misalnya otonomi daerah yang luas). Tujuan-tujuan parsial ini dapat dilihat dalam Gambar 3 di bawah ini. Dukungan Domestik Tujuan Parsial Penggunaan Terorisme dalam Insurgensi Konsesi Politik Parsial Legitimasi Internasional Gambar 3. Tujuan Parsial Penggunaan Terorisme dalam Insurgensi menurut Merari Sumber: Merari, 1993 3. 3.1 Pembahasan Terorisme di China: Insurgent Terrorism di Xinjiang Pembahasan mengenai terorisme di China harus diawali dengan mempertanyakan penggunaan istilah terorisme itu sendiri. Secara historis, permasalahan terorisme di China selalu diasosiasikan dengan Permasalahan Xinjiang atau The Xinjiang Problem yang oleh para penulis secara umum digolongkan ke dalam kategori insurgensi dan bukan semata-mata 6 kelompok teror.17 Meskipun demikian, pemerintah China melabeli gerakan ini sebagai gerakan terorisme dengan argumen bahwa mereka menyasar target-target dan infrastruktur sipil. Pemerintah China mengklaim bahwa serangan teroris di wilayah tersebut telah telah membunuh lebih dari 160 orang dan melukai lebih dari 440 lainnya di dalam lebih dari 200 insiden terorisme yang terjadi di antara tahun 1990 dan 2001. 18 Yang menjadi sasaran serangan insurgensi/terorisme di Xinjiang ini adalah institusi-institusi pemerintah atau negara seperti otoritas Partai Komunis China, pemerintah, dan militer. 19 Insurgensi di Xinjiang itu sendiri sebenarnya termanifestasikan dalam berbagai bentuk selain terorisme, antara lain dalam bentuk demonstrasi publik dan kekerasan massa yang berlangsung pada tahun 80-an. Namun, pada tahun 90-an, tepatnya di sepanjang tahun 92-93, terjadi serangkaian pengeboman yang menyasar berbagai target sipil seperti bioskop, bis, hotel, dan pertokoan. Di puncak insurgensi pada akhir tahun 90-an, metode yang banyak digunakan adalah pembunuhan para pejabat Komunis dan pemimpin-pemimpin yang ditunjuk oleh Partai.20 Penyasaran target-target sipil inilah yang mengkualifikasi insurgensi di Xinjiang sebagai aksi terorisme. Pengeboman tempat publik: bioskop, pertok oan, hotel Terorisme di Xinjiang Pembunuhan bersasaran (targeted killing): Pejabat Partai dan Pemerintah Pengeboman transportasi publik,misal bis Gambar 4. Bentuk-Bentuk Terorisme di Xinjiang Sumber: Wayne, 2008 Ibid. Martin Wayne, Cina s War on Terrorism Counter-Insurgency, Politics, and Internal Security (USA dan Canada: Routledge, 2008), h. 7. 19 Ibid, h. 54. 20 Ibid. 17 18 7 Sejarah insurgensi dan terorisme yang dihadapi China saat ini di Xinjiang berakar pada sebuah proses politik yang dijalankan oleh negara untuk memaksakan kontrolnya terhadap wilayah dan masyarakat Xinjiang.21 Kelompok-kelompok yang melakukan insurgensi di Xinjiang berasal dari etnik Uyghurs. Tujuan-tujuan insurgensi mereka antara lain untuk meningkatkan otonomi Xinjiang dan menentang represi etnis Han, untuk mendapatkan hak untuk menentukan nasib sendiri dan mengusir etnis Han dari teritori Uyghurs untuk mendirikan kekhalifahan yang berdasarkan hukum syariah. 22 Dengan demikian, ketika kita membicarakan masalah terorisme di China, kita secara umum berbicara pula tentang insurgensi. Meskipun secara analitik-konseptual, terorisme dan insurgensi adalah dua konsep yang berbeda dan dapat dibedakan satu sama lain, dalam konteks terorisme di China keduanya harus dipandang sebagai dua sisi yang berbeda dalam satu mata uang yang sama di mana terorisme adalah salah satu strategi yang digunakan di dalam insurgensi Xinjiang. Keterkaitan dengan Jejaring Teroris Internasional Selain sebagai sebuah gerakan insurgensi/terorisme lokal (homegrown insurgency/terrorism), Pemerintah China juga berusaha untuk membentuk persepsi publik, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, bahwa terdapat kaitan di antara kelompok teroris yang beroperasi di dalam negeri, khususnya di Turkistan Timur (sebutan lain untuk Xinjiang) dengan Al-Qaeda. Hal ini tercermin dalam pernyataan salah seorang pejabat China sebagai berikut: East Turkistan terrorist organizations...are an important part of international terrorist forces. 23 Mengenai hal ini, pemerintah China mengklaim bahwa terdapat sekitar 1000 pejuang Uyghurs yang ikut berlatih dan berperang di Afghanistan. Sementara itu, laporan Kongres AS menyatakan bahwa dari 22 orang etnis Uyghurs yang ditahan di Teluk Guantanamo, tujuh orang merupakan operatif Al-Qaeda sementara sepuluh orang berlatih untuk memerangi pemerintah China.24 Salah satu organisasi yang diklaim pemerintah China sebagai sekutu Al- Qaeda adalah East Turkistan Liberation Organization atau ETLO.25 Dan pada tahun 2003, US State Department memasukan East Turkistan Islamic Movement (ETIM) sebagai organisasi teroris yang terkait dengan jejaring Al-Qaeda. 26 Meskipun terkait dengan jejaring Ibid, h. 23 dan 25. Ibid, h. 11. 23 Ibid. 24 Ibid, h. 5. 25 Ibid, h. 45. 26 Ibid, h. 51. 21 22 8 teroris internasional, insurgensi Xinjiang pada dasarnya merupakan fenomena lokal dan bukan internasional. Para pejuang Uyghurs pertama-tama menyasar aparat pemerintah China dan bukan jihad global itu sendiri.27 Dengan pemahaman tentang sifat fenomena terorisme di China yang berjalinkelindan dengan insurgensi Xinjiang di atas, kita akan beranjak pada pembahsan mengenai kebijakan keamanan nasional China secara umum dan letak terorisme/insurgensi di dalam kerangka keamanan nasional China tersebut sehingga kita dapat memahami konsepsi pemerintah China terhadap terorisme yang kemudian menentukan respons nasionalnya. 3.2 Strategi Kebijakan Keamanan Nasional China Sebagaimana dinyatakan di atas, untuk dapat memahami respons nasional China dalam memerangi terorisme, kita harus terlebih dahulu mengetahui bagaimana China mengkonsepsikan keamanan nasionalnya. Dalam pembahasan mengenai strategi kebijakan keamanan nasional China, akan diulas mengenai tujuan dari strategi keamanan nasional China, mengapa hal tersebut menjadi tujuan, bagaimana China mengkonsepsikan terorisme, serta di mana China menempatkan terorisme dalam strategi keamanan nasionalnya. 3.2.1 Tujuan Keamanan Nasional China Strategi Besar Kebijakan Keamanan Nasional China diformulasikan berdasarkan pengalaman sejarah, kepentingan politik, dan lingkungan geostrategisnya. Menurut Wayne, strategi besar China diarahkan untuk mencapai tiga tujuan utama sebagai berikut: menjaga ketertiban domestik di tengah potensi instabilitas sosial; mempertahankan kedaulatan dan integritas wilayah China dari ancaman eksternal, dan mempertahankan pengaruh geopolitik. 28 Tujuan keamanan nasional China di atas dapat dipahami melalui tiga kata sederhana berikut: Kedaulatan, Modernitas dan Stabilitas.29 Ketiga kata ini mencakup totalitas keseluruhan tujuan yang ingin diraih bangsa China dan akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini. a. Kedaulatan Karena faktor sejarah internal China, di antaranya sejarah kepemilikan tanah dan kebutuhan untuk mengamankan wilayah geografis China, kedaulatan menjadi tujuan jangka Ibid. Ibid., h. 58. 29 James C. Mulvenon, Richard H. Yang, The People s Liberation Army in the Information Age (RAND; 1999) Chapter 4). 27 28 9 panjang yang ingin dicapai oleh RRC sampai sekarang. Konsep kedaulatan itu sendiri mencakup beberapa masalah keamanan seperti berikut:30 - - - Wilayah yang dianggap China sebagai bagian dari wilayahnya, namun tidak termasuk dalam yurisdiksi China, misalnya Taiwan dan Makau. Sengketa perbatasan China dengan negara-negara tetangga, yang berkaitan dengan masalah demarkasi dan kontrol perbatasan. Wilayah yang dikendalikan China namun populasi rakyat aslinya (yang bukan Han) menentang kekuasaan China, seperti di Xinjiang dan Tibet. Klaim terkait dengan Laut China Selatan, yang berkaitan dengan sumber daya pulau karang,vterumbu karanng dan pulau, juga dengan sumber daya maritim secara keseluruhan. Campur tangan luar negeri terhadap isu isu sosial dan politik China yang dianggap tidak perlu atau bahkan tidak diinginkan. Tekanan internasional terhadap China untuk menyetujui protokol dan instrumen multilateral yang dapat membatasi kebebasannya untuk mengambil tindakan. b. Modernitas Modernitas di sini mencakup isu perubahan sosial, reformasi politik, adaptasi budaya serta inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Saat ini, konsep modernitas yang ingin dicapai China sebagai bagian dari keamanan nasionalnya lebih condong ke arah peningkatan kekuatan ekonomi negara dan kemampuan pengembangan IPTEK serta peningkatan standar kehidupan penduduk. Berikut kutipan dari Jiang Zemin yang mungkin bisa mencakup hampir keseluruhan dari esensi modernitas yang ingin dicapai China:31 The goals we have set are as follows: .the modernization program will have been basically accomplished and China will have become a prosperous, strong, democratic and culturally advanced socialist country. At that time, our country will rank among the moderately developed countries of the world, the Chinese people will have achieved common prosperity on the basis of modernization and the great rejuvenation of the Chinese nation will have been realized. Dari uraian di atas, terlihat bahwa keamanan nasional bagi China turut berarti menjadi bangsa yang makmur, demokratik, dan memiliki peradaban yang maju. Dengan demikian, hal-hal yang menghambat atau mengancam tujuan tersebut, termasuk insurgensi dan terorisme, akan serta merta dipandang sebagai ancaman keamanan nasional. 30 31 Ibid. Ibid. 10 c. Stabilitas Selama ribuan tahun, China telah mengalami periode perdamaian yang silih berganti dengan periode kekacauan dan kekerasan sosial yang tak terduga. Selama dua abad terakhir, stabilitas adalah sesuatu yang sangat langka sehingga masyarakat menyebutnya sebagai periode nei luan wai huan (gangguan domestik dan bencana asing). Dengan demikian, masyarakat China dapat dikatakan sangat mendambakan stabilitas internal. Saat ini, hal ini semakin penting dan menjadi tantangan terbesar bagi para pemimpin China karena mereka harus menyeimbangkan antara modernisasi dan stabilitas karena sejarah mencatat bahwa modernisasi, terutama di bidang ekonomi, selalu disertai dengan dislokasi sosial yang luar biasa.32 3.2.2 Posisi Terorisme dalam Keamanan Nasional China: Terorisme sebagai Ancaman Tingkat Tinggi terhadap Ketertiban Umum dan Keamanan Nasional China Persepsi resmi negara (pemerintah) China terhadap terorisme/insurgensi bersifat tegas dan tidak lagi berada di wilayah abu-abu. Sebagaimana dinyatakan oleh seorang pejabat tinggi di Kementerian Keamanan Publik RRC, terorisme dipandang sebagai a real threat to our country. 33 Terorisme dipandang sebagai ancaman yang nyata terhadap negara China (institusi negara dan warga negaranya). Dengan kata lain, China mengkonsepsikan terorisme sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Adapun level ancaman terorisme terhadap keamanan nasional China dapat dicermati dalam pernyataan seorang pejabat pemerintah berikut ini: East Turkistan terrorist organizations pose a grave threat to people s lives and property... 34 Dari pernyataan tersebut, terlihat bahwa pemerintah China memandang terorisme sebagai ancaman keamanan nasional yang levelnya tinggi, meskipun di dalam pernyataan di atas, yang ditekankan adalah keamanan individu warga negara (lives and property). Meskipun bahasa ancaman keamanan nasional tampak sangat jelas dalam wacana pemerintah China mengenai terorisme, di dalam pernyataan publik lain, terorisme juga sering dikaitkan dengan aktivitas kriminal sebagaimana tercermin di dalam pernyataan berikut: Wayne, loc. cit. Pejabat Tinggi Kementerian Keamanan Publik RRC, Xinhua,Washington Post, 1/26/2006. Dalam Martin Wayne, Cina s War on Terrorism Counter-Insurgency, Politics, and Internal Security (USA dan Canada: Routledge, 2008), h. 10. 34 People s Daily, 12/18/2003 dalam Wayne, Ibid. 32 33 11 Xinjiang s stability worries the whole country. We must continue to strugglehard against all criminal activities and to maintain social order. 35 Dalam pernyataan di atas, terorisme dikaitkan dengan aktivitas kriminal yang mengganggu ketertiban umum dan stabilitas sosial masyarakat China secara keseluruhan, yang pada gilirannya mengancam keamanan nasional China. Penekanan terhadap stabilitas ini dapat dipahami karena China sangat memperhatikan ketertiban publik dan stabilitas internal sebagai salah satu concern keamanan nasionalnya yang paling penting, bahkan menurut beberapa penulis lebih penting dari concern keamanan nasional yang sifatnya eksternal (misalnya masalah Taiwan, Jepang, dan Semenanjung Korea). Hal ini tercermin dalam pernyataan berikut ini: Xinjiang looms much larger (than Taiwan or Japan or Korean Peninsula) in China s security calculations. When China talks about fighting the three evil forces of extremism, splittism (separatism), and terrorism, these are code-words for Xinjiang s troubles. 36 Dari beberapa pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa terorisme di China memang seringkali dikaitkan dengan aktivitas kriminal (dan ditangani dengan sistem hukum pidana), namun tidak pernah dipandang hanya sebagai gangguan terhadap ketertiban publik semata sebagaimana halnya tindak kriminal biasa. Alih-alih, terorisme dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan nasional yang mencakup keamanan negara (Republik) dalam hal institusi-institusinya yang berdiri sendiri terpisah dari masyarakatnya dan keamanan warga negaranya, baik secara individual maupun kolektif sebagai bagian dari tatanan sosial dan ketertiban umum. Persepsi dan konsepsi China terhadap sifat dari terorisme sebagai ancaman keamanan dapat dilihat di dalam bagan berikut ini: Terorisme Ancaman terhadap keamanan individu warga negara (harta dan nyawa) Ancaman terhadap ketertiban umum masyarakat dan stabilitas internal negara Ancaman terhadap institusi-institusi negara Ancaman keamanan nasional (kedaulatan, stabilitas, m odernitas) Gambar 5. Persepsi dan Konsepsi Pemerintah China terhadap Terorisme Sumber: Wayne, 2008 35 36 Pernyataan Luo Gan, anggota Komite Politbiro Partai Komunis Cina, Wayne, Ibid., h. 55. Wayne, op. cit., h.4. 12 Senada dengan hal di atas, menurut Wayne, separatisme, kekerasan etnis, dan terorisme merupakan ancaman keamanan nasional China yang menempati prioritas tertinggi.37 Hal ini dapat dilihat dari uraian tujuan jangka panjang yang ingin diraih dalam strategi keamanan nasional China di atas, yaitu kedaulatan, modernitas, dan stabilitas. Ancaman terorisme di China merupakan bagian dari insurgensi sehingga hal ini berkaitan langsung dengan kedaulatan yang sangat dijaga oleh China. Insurgensi Xinjiang yang tujuan tertingginya adalah separatisme atau memisahkan diri dari China adalah serangan langsung terhadap integritas teritorial China dan upaya China untuk mempertahankan kesatuan wilayahnya. Selain itu, jika dilihat dari segi stabilitas, terorisme sangat mengancam karena dapat berakibat fatal terhadap stabilitas internal negara dan masyarakatnya. Jika Xinjiang dibiarkan bergolak, daerah-daerah lain yang juga ingin memisahkan diri dari China akan melihatnya sebagai preseden untuk turut berjuang dan menimbulkan kekacauan di China. Terorisme juga mengancam langkah modernisme China secara tidak langsung karena tanpa adanya stabilitas dan keamanan, China tidak akan dapat menjalankan proyek modernismenya untuk mencapai kemakmuran dan kemajuan peradaban sehingga dapat berpengaruh luas secara geopolitik. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa terorisme tidak dipandang sematamata ancaman terhadap jiwa dan keselamatan warga dan properti mereka melainkan juga ancaman terhadap totalitas tujuan keamanan nasional yang ingin dicapai bangsa China. 3.3 3.3.1 Kebijakan Keamanan Nasional China terhadap Terorisme Doktrin, Pendekatan, dan Prinsip Perang China Melawan Terorisme Wayne (2008) menyebut kebijakan keamanan nasional China terhadap terorisme sebagai perang China melawan terorisme yang mencerminkan konsepsi China terhadap terorisme yang dipandang sebagai ancaman keamanan nasional dalam bentuk perang asimetris. Secara umum, doktrin China dalam mengendalikan terorisme adalah Strike Hard/Maximum Pressure. China telah menjalankan perang melawan terorisme berdasarkan doktrin tersebut selama lebih dari satu dekade.38 Dari permukaan, terlihat jelas bahwa pendekatan kebijakan keamanan nasional utama yang digunakan pemerintah China untuk menanggulangi terorisme adalah pendekatan keras (hard power) dengan menggunakan force (kekuatan) yang termanifestasikan dalam penggunaan militer (tentara), pasukan paramiliter, dan pasukan keamanan sipil (polisi). Meskipun demikian, pendekatan keras bukanlah satusatunya pendekatan yang digunakan pemerintah China untuk menanggulangi terorisme. 37 38 Wayne, op. cit., h. 10. Wayne, Ibid., h. 24. 13 Pendekatan kontrainsurgensi (COIN) dan kontraterorisme (CT) yang dilakukan pemerintah China dalam jangka panjang juga didasarkan pada pendekatan perubahan dari bawah atau bottom-up approach yang menekankan pada restrukturisasi masyarakat hingga ke arah rumput. Menurut Wayne, terdapat tiga prinsip yang mendefinisikan kebijakan keamanan nasional pemerintah China dalam memerangi terorisme, yaitu proaktif, dinamis, dan komprehensif. Pemerintah China bersikap proaktif dalam artian bertindak keras bahkan sebelum gerakan insurgensi dan terorisme ini berkembang ke arah yang lebih terkonsolidasi. Dalam hal ini, pemerintah China tidak pernah mengendurkan kontrol atau kekuatan (militer) bahkan setelah menang secara taktis dari kaum insurgen. Pemerintah China juga bersifat komprehensif dalam artian tidak hanya menggunakan pendekatan keras, tetapi juga berinisiatif menggunakan instrumen pembentukan ulang masyarakat dengan cara menginfiltrasi masyarakat Xinjiang dengan aktor-aktor yang loyal terhadap pemerintah dan negara China seperti para penduduk etnis Han, membangun institusi-institusi akar rumput, dan sebagainya. Pendekatan ini juga bersifat dinamis dalam artian pemerintah China fleksibel dalam menyesuaikan taktik mereka sesuai dengan spektrum kekerasan yang terjadi. Ketika level kekerasan telah terkendali dan masyarakat Xinjiang tampak resisten terhadap koersi yang dijalankan, pemerintah China menyertainya dengan instrumen-instrumen pembentukan masyarakat seperti menciptakan peluang-peluang ekonomi bagi unit-unit masyarakat hingga dengan menggunakan institusi-institusi akar rumput mulai dari tingkat pemimpin lokal hingga keluarga.39 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi perang China melawan terorisme dipandu oleh doktrin utama yang menekankan pada hard power, yaitu strike hard/maximum pressure, tetapi juga bersifat dinamis, yakni menurunkan level penggunaan hard power ketika terorisme telah berhasil dikendalikan dan melengkapinya dengan pendekatan dari bawah yang ditekankan pada pendekatan lunak, yaitu dengan membentuk ulang masyarakat dari tataran akar rumput. Efektivitas dari strategi ini akan dianalisis di bagian selanjutnya, yakni analisis keberhasilan strategi kontraterorisme China. Namun, sebelumnya akan dibahas mengenai aktor-aktor keamanan nasional yang terlibat dalam perang China melawan terorisme di Xinjiang. 39 Wayne, Ibid., h. 141. 14 3.3.2 Aktor-Aktor Kebijakan Keamanan Nasional China dalam Perang Melawan Terorisme di Xinjiang Bagian ini akan membahas mengenai aktor yang menjalankan kebijakan keamanan nasional China dalam bentuk perang melawan terorisme di Xinjiang. Secara umum, pemerintah China menggunakan berbagai aktor dan instrumen keamanan sebagai berikut yang masing-masing akan dielaborasi lebih jauh pada bagian berikutnya: a. Militer/Tentara (People s Liberation Army atau PLA). b. Paramiliter (People s Armed Police) c. Biro Keamanan Publik (seperti Biro Penyelidikan Federal/FBI di AS) d. Polisi, mata-mata, dan informan lokal Di Xinjiang, China menerapkan apa yang disebut sebagai pertahanan empat lapis atau four layers of defense, yang terdiri dari kekuatan militer, termasuk Angkatan Darat dan Udara, polisi paramiliter, kelompok paramiliter, dan masyarakat Han yang dipaksa berimigrasi ke Xinjiang untuk menginfiltrasi masyarakat Xinjiang. 40 Kebijakan pertahanan four-in-one ini dapat dilihat di dalam bagan di bawah ini: Gambar 6: Pertahanan four-in-one China di Xinjiang Sumber: Wayne, 2008 a. People s Liberation Army (PLA) Keberadaan militer di Xinjiang tidak terlalu besar dari segi jumlah, terutama jika dibandingkan dengan luas teritori wilayah tersebut. Meskipun demikian, kehadiran militer ini 40 Wayne, Ibid., h. 83. 15 membawa dampak sosial yang signifikan, yaitu memberi tekanan psikologis terhadap penduduk lokal. Kekuatan militer China dikonsentrasikan di kota-kota kunci Xinjiang, terutama ibu kota provinsinya, Urumqi. Kakuatan infrantri (ground forces) PLA tidak hanya digunakan untuk menunjukkan kekuatan pemerintahan China, tetapi untuk tujuan-tujuan pertahanan (defensif) sebagai berikut: Untuk menjaga perbatasan China di sebelah Timur Untuk mempertahankan ibu kota provinsi Untuk mempertahankan populasi dan pusat-pusat industri Untuk menjaga saluran komunikasi dan transportasi (terutama jaringan kereta api) Untuk menjaga keamanan internal b. Paramilitary: the People s Armed Police (PAP) The People s Armed Police (PAP, dikenal juga sebagai People s Armed Police Force atau PAPF) adalah tentara yang dirancang khusus untuk menertibkan masyarakat dan menjaga keamanan internal, juga untuk menangani kerusuhan. 41 Di Xinjiang, polisi paramiliter ini dilengkapi dengan senjata otomatis. c. Paramilitary: Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC) XPCC atau bingtuan dirancang untuk mengambilalih lahan-lahan Xinjiang untuk memproduksi hasil bumi dan mencegah kekuatan insurgen untuk menancapkan akar mereka di Xinjiang.42 d. Paramilitary: The People and The Police Para imigran Han yang dimasukkan oleh pemerintah China ke wilayah Uyghur dipandang sebagai tentara tanpa senjata oleh penduduk Uyghur dan negara China sendiri karena mereka adalah kaum partisan yang sangat loyal terhadap negara dan pemerintah China. Tugas utama mereka adalah untuk mendapatkan wilayah sehingga tidak dapat digunakan sebagai basis insurgensi oleh kaum Uyghur. 43 Berbagai aktor di atas dapat dilihat dalam Gambar 7 di bawah ini: Wayne, ibid., h. 21. Wayne, h. 78. 43 Wayne, ibid., h. 80. 41 42 16 Tentara Nasional China Polisi Paramiliter Paramiliter XPCC Imigran Han Demonstrasi kekuatan (koersi psikologis) Perlindungan objek vital Menertibkan masyarakat Menghancurkan demonstrasi (huruhara) Menginfiltrasi Xinjiang dengan mengambilalih lahan Menghalangi insurgen untuk menguasai Xinjiang secara teritorial Menduduki wilayah Xinjiang supaya tidak dapat diduduki oleh insurgen Menjadi informan dan mata-mata Gambar 7. Aktor-Aktor Kemanan Nasional China dalam Perang Melawan Terorisme di Xinjiang Sumber: Wayne, 2008 3.3.3 Praktik Kebijakan Keamanan Nasional China dalam Perang Melawan Terorisme di Xinjiang a. Hard Power: Militer dan Paramiliter Komponen utama dari perang China melawan terorisme adalah penggunaan militer dan paramiliter sebagaimana terlihat dalam konfigurasi aktor keamanan nasional di atas. Pada mulanya, China menggunakan apa yang oleh para penulis disebut sebagai brutal force untuk mencegah kerusuhan agar tidak tereskalasi. Penggunaan kekuatan militer ini mampu menstabilkan situasi sehingga kerusakan tidak meluas dan insurgen tidak mendapatkan momentum untuk meluaskan gerakan.44 Selain untuk meredam kekacauan dan mencegah eskalasi insurgensi/teror, kekuatan militer dapat digunakan untuk menangkap atau membunuh kaum insurgen atau memaksa masyarakat untuk mempertimbangkan resiko yang harus mereka hadapi jika memilih untuk mendukung insurgensi melawan negara. Dengan menangkap atau membunuh insurgen, negara dapat mengisolasi para pemimpin insurgensi dari gerakannya dan memotong alur gerakan. Dengan menakut-nakuti masyarakat untuk tidak mendukung insurgensi, militer digunakan sebagai alat untuk melakukan quite coercion terhadpa masyarakat. Pada awalnya, China menggunakan militernya untuk menangkapi dan membunuh insurgen, namun perlahan-lahan beralih menjadi quite coercion, menargetkan masyarakat untuk melawan insurgensi itu sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakann bahwa China menggunakan kekuatan militer untuk menekan masyarakat, bukan dengan kekerasan secara langsung, melainkan dengan mempertahankan kehadiran militer secara masif di Xinjiang, yaitu di kota-kota utama 44 Ibid, h. 132. 17 Xinjiang dan lokasi-lokasi strategis lainnya. Selain pasukan militer murni (tentara), China juga memanfaatkan kehadiran pasukan paramiliter dan etnis Han dalam skala besar di Xinjiang untuk memberi tekanan pada masyarakat. Penggunaan kekuatan militer di Xinjiang sendiri mengalami evolusi. Pada tahun 1990, PLA turun tangan secara langsung dalam memerangi insurgen. Pada tahun 1995, peran tersebut diambil alih oleh PAP. Pada tahun 1996, kekerasan meningkat dan pada tahun 1997, terjadi kerusuhan di kota Yining yang dihancurkan oleh PAP dengan bantuan PLA. Pada tahun 2001 hingga 2006, PAP dan PLA mendemonstrasikan kekuatan mereka untuk menekan masyarakat, namun kekerasan tersebut menurun secara drastis. 45 PLA, PAP, XPCC, dan etnis Han yang dimasukkan ke dalam wilayah Xinjiang disebut Wayne sebagai China s force-mix yang bergeser dari penggunaan kekuatan militer ke paramiliter dan pada akhirnya pasukan keamanan lokal. Setelah menangani insurgensi dengan brutal, peran militer dikurangi dan diserahkan pada pasukan keamanan lokal. b. Soft Power: Penetrasi Institusi-Institusi Akar Rumput Ketika insurgensi mulai bertempat di hati masyarakat, China mengambil langkah- langkah untuk menangkal hal tersebut, di antaranya dengan membangun kembali institusi partai, pemerintahan, dan pasukan keamanan di tingkat akar rumput atau lokal di Xinjiang. Dengan demikian, China berhasil merebut kembali institusi-institusi vital pemerintahan di level lokal. Lebih jauh lagi, China memanfaatkan institusi-institusi sosial seperti keluarga, serikat pekerja, komunitas, dan hubungan pribadi, untuk membantu melawan insurgensi. Penggunaan institusi-institusi akar rumput untuk melawan musuh ini disebut juga sebagai society-centric warfare. 46 Pembangunan institusi-institusi akar rumput ini meningkatkan persepsi kekuatan negara dan tata kelola pemerintahan di kalangan masyarakat lokal Xinjiang. Ko-optasi dan inkorporasi menjadi dua hal yang sangat penting. Hal ini dalam dirinya sendiri tidak menghentikan insurgensi, tetapi menjaganya agar tidak tereskalasi. Bagaimanakah China melakukan hal ini? Sebagai contoh, China membangun jejaring polisi lokal dan informan yang dapat beroperasi secara leluasa di Xinjiang. Modus operandi mereka adalah menyasar baik individu maupun organisasi yang terkait dengan insurgensi.47 Wayne, Ibid., h. 133. Ibid., h.134. 47 Ibid. 45 46 18 3.4 Mengapa Kebijakan Keamanan Nasional China dalam Perang Melawan Terorisme di Xinjiang Berhasil? Bagian ini akan membahas mengenai mengapa strategi dan kebijakan keamanan nasional China dalam memerangi terorisme di Xinjiang dikatakan berhasil. Sebagaimana diulas di bagian kerangka teoretik (klarifikasi istilah), terorisme digunakan sebagai strategi insurgensi di antaranya untuk propaganda, menimbulkan kekacauan, memprovokasi pemerintah, dan melelahkan pemerintah dalam perang jangka panjang (atrisi), selain ditujukan untuk mendapatkan konsesi politik parsial dari pemerintah. Kebijakan keamanan nasional China dalam memerangi terorisme berhasil karena pemerintah China tidak membiarkan satu pun dari tujuan di atas tercapai. Pertama, pemerintah China tidak membiarkan kaum insurgen untuk menjadikan protes dan serangan teror mereka sebagai propaganda untuk membangkitkan semangat juang masyarakat Uyghur secara keseluruhan karena pemerintah China selalu dapat menghancurkan setiap aksi yang ada dengan penggunaan hard power. Dalam hal ini, China bermain dengan persepsi kekuatan (power) dan melakukan langkah-langkah agar kaum insurgen yang menggunakan metode terorisme dalam upaya mencapai tujuannya tidak dipersepsikan sebagai pihak yang lebih kuat dan yang mampu menyediakan keamanan bagi masyarakat, misalnya dengan mengerahkan pasukan keamanan (termasuk tentara dan paramiliter) dalam jumlah yang tidak terlalu besar tapi intensif dan terus-menerus di Xinjiang. Dengan demikian, salah satu hal penting yang menentukan keberhasilan perang China melawan terorisme adalah demonstrasi kekuatan. Strategi ini terbukti sukses karena terorisme berupaya untuk mengubah persepsi masyarakat tentang kekuatan negara. Dengan melakukan pengeboman atas sarana publik, misalnya kereta, bis, pusat perbelanjaan, teroris berupaya untuk meyakinkan masyarakat bahwa negara lemah dan tidak dapat memberikan keamanan pada masyarakatnya. 48 Dalam hal ini, momentum menjadi faktor yang krusial. China menjaga faktor ini dengan cara bertindak cepat di awal dan menghancurkan insurgensi pada tahap awal perkembangannya sebelum kaum insurgen mendapatkan momentum di kalangan masyarakat. Dalam kata-kata Wayne, China acted early, repeatedly, and comprehensively, to crush insurgency before it could gain momentum within society. 49 Dengan menghancurkan insurgensi di tahap awal (secara represif), China mencegah terbukanya window of opportunity bagi kaum insurgen untuk menggoda masyarakat agar berpihak pada mereka. 48 49 Ibid., h. 128. Ibid., h.127. 19 Kedua dan berkaitan dengan prinsip di atas, China tidak pernah membiarkan situasi di Xinjiang menjadi tidak terkendali. Dengan menggunakan kekuatan represif dan pertahanan berlapis, China menjaga agar stabilitas internal tetap terjaga sehingga chaos yang berusaha dituju kaum insurgen dengan melakukan serangan teroris tidak terjadi. Ketiga, China tidak pernah lelah dalam menekan insurgensi, termasuk ketika mereka menggunakan metode terorisme. Sebagaimana disebutkan di atas, meskipun menang secara taktis, pasukan keamanan China terus hadir di Xinjiang meskipun diturunkan levelnya dari tentaran nasional menjadi pasukan paramiliter dan polisi lokal. Keempat, China tidak pernah memberikan konsesi politik apapun pada kaun insurgen meskipun banyak korban sipil yang jatuh karena serangan bom dan banyak pejabat pemerintah yang menjadi sasaran. Akan tetapi, sebagaimana diargumenkan oleh Wayne, kunci kesuksesan China dalam memerangi terorisme dan insurgensi di Xinjiang sebenarnya terletak pada kombinasi di antara hard power dan soft power yang terdiri dari upaya membentuk ulang masyarakat di tingkatan akar rumput dengan cara menginfiltrasi institusi-institusi lokal dengan pihak-pihak yang loyal terhadap pemerintah China dan menawarkan berbagai insentif untuk kaum Uyghur yang menunjukkan loyalitasnya terhadap negara dan pemerintah China, termasuk dalam bentuk pembangunan ekonomi, pendidikan, dan janji akan hidup yang lebih baik. 50 Kombinasi pendekatan keras dan lunak yang dijalankan pemerintah China dan efektivitas strategisnya dapat dilihat dalam Gambar 8 berikut ini: Gambar 8. Kombinasi Pendekatan Hard Power dan Soft Pwer dalam Perang China Melawan Terorisme di Xinjiang Sumber: Wayne, 2008 50 Ibid., h. 127. 20 Perang China melawan insurgensi dan terorisme di Xinjiang relatif berhasil karena China tidak memiliki kekangan untuk menggunakan kekuatan untuk mengendalikan eskalasi teror (mencapai tactical efficacy) dan setelah itu, pemerintah China beralih pada pendekatan yang lebih lunak, yakni pembentukan ulang masyarakat dan memberi insentif kepada masyarakat agar menjauhi insurgensi dan terorisme (mencapai strategic efficacy). Dengan demikian, perang yang dilancarkan pemerintah China untuk melawan terorisme di Xinjiang dilancarkan sekaligus dengan menggunakan dua entitas, yaitu entitas pasukan keamanan dan dengan menggunakan masyarakat itu sendiri untuk melawan insurgen (society-centric warfare). Mengapa pemerintah China mampu mengadopsi strategi dan kebijakan seperti ini tanpa ada kekangan berarti? Jawabannya sederhana, yaitu karena China memiliki political will yang tidak terbatas, yang akan dijelaskan berikut ini. 3.4.1 Kunci Keberhasilan Perang China Melawan Terorisme: Political Will yang Tidak Terbatas Menruut Wayne. faktor utama yang memungkinkan China untuk menjalankan kebijakan keamanan nasionalnya dalam perang melawan terorisme adalah political will China yang dapat dikatakan tidak terbatas.51 Yang dimaksud dengan political will di sini adalah seperangkat keyakinan mendalam dan preferensi yang dianut oleh masyarakat. Political will adalah sumber dukungan bagi negara dan perangkatnya dalam menghadapi masa-masa sulit dan menjadi center of gravity yang dengannya pemerintah dan kaum insurgen berperang satu sama lain.52 China memiliki political will yang tidak terbatas dalam menghadapi terorisme/insurgensi di Xinjiang karena faktor-faktor sosio-struktural dan historis. Political will ini memungkinkan China untuk menggunakan kekuatan yang represif dengan sumber daya yang masif untuk menghancurkan insurgensi di tahap awal perkembangannya. Political will yang tidak terbatas ini bersumber pada tiga hal, yaitu: posisi Partai Komunis China (CPP), posisi negara yang berusaha mengejar keamanan, dan tuntutan masyarakat atas stabilitas.53 Ibid. Ibid 53 Ibid, h. 132. 51 52 21 a. Partai Komunis China sebagai sumber political will Menghancurkan insurgensi dipandang sebagai prioritas oleh Partai Komunis China yang selalu berupaya untuk menjaga posisi dan keutamaannya di dalam struktur negara dan masyarakat China. Partai Komunis adalah satu-satunya partai di China yang memiliki struktur dan personel di setiap lapisan masyarakat hingga ke akar rumput. Entitas politik ini mendapatkan kekuasaan China dengan susah payah dan tidak akan membiarkan terorisme atau insurgensi memecah belah China dan menghancurkan basis kekuasaannya di Xinjiang. Dengan demikian, menghancurkan insurgensi dan terorisme di Xinjiang adalah langkah logis Partai Komunis untuk mempertahankan keutamaannya di seluruh wilayah China dan memvalidasi kepemimpinan mereka. Untuk itu, Partai Komunis tidak akan ragu mengerahkan dukungan dan sumber daya untuk menghancurkan insurgensi di Xinjiang. 54 b. Negara sebagai sumber political will Negara China memiliki kepentingan yang inheren untuk menanggulangi ancaman terorisme dan insurgensi karena hal tersebut mengancam integritas teritorial China secara keseluruhan, meskipun letak Xinjiang berada di wilayah periferi. Menurut Wayne, Xinjiang tidak boleh lepas dengan harga apapun karena dapat membentuk preseden bagi wilayahwilayah lainnya yang juga menuntut otonomi atau bahkan ingin memisahkan diri dari China, misalnya Tibet. Kegagalan mengatasi insurgensi di Xinjiang dapat menimbulkan efek domino. Jika satu area China memisahkan diri, seluruh China dapat mengalami disintegrasi, bukan saja yang berada di periferi, tetapi juga yang berada di wilayah inti. Dengan demikian, sama seperti Partai Komunis, negara China akan mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk memerangi insurgensi/terorisme di Xinjiang. c. Tuntutan masyarakat akan stabilitas internal sebagai sumber political will Selain mencegah separatisme ( renegade provinces ), negara China juga mendapat tuntuan untuk selalu menjaga stabilitas internal. Isu stabilitas menjadi sangat penting di China karena hal itu adalah tuntuan pokok masyarakat China yang begitu mendambakan kestabilan, juga karena hal tersebut adalah kondisi syarat untuk China mengembangkan perekonomiannya dan memperbaiki taraf hidup warganya. Stabilitas domestik dan perkembangan politik yang progresif adalah faktor-faktor yang melegitimasi negara China. Insurgensi Xinjiang mengancam negara karena ia menunjukkan ketidakmampuan negara 54 Ibid., h. 32. 22 untuk mengelola ketidakpuasan di wilayah periferi dan untuk menyediakan stabilitas bagi masyarakatnya. Karena faktor-faktor sosio-struktural dan politis-historis (banyaknya kerusuhan dan kekacauan internal, mulai dari perang integrasi, Loncatan ke Depan, dsb.), China harus menghancurkan insurgensi di Xinjiang untuk mempertahankan kelangsungan negaranya. Jika China gagal melakukan hal ini, wilayah periferi akan memberontak dan wilayah inti pun berpotensi mengalami hal yang serupa. 55 Sumber-sumber political will China di atas dapat dilihat dalam Gambar 9 berikut ini: Gambar 9. Sumber-Sumber Political Will China dalam Memerangi Terorisme Sumber: Wayne, 2008 Dengan demikian, kombinasi dari hasrat Partai Komunis untuk tetap memuncaki struktur negara dan masyarakat, kebutuhan negara untuk mencegah disintegrasi, dan tuntutan masyarakat akan stabilitas internal menyediakan political will bagi pemerintah China untuk menghancurkan insurgensi, memungkinkan China untuk menggunakan pendekatan represif tanpa diprotes warganya secara berarti dan menggunakan metode-metode social engineering untuk merestrukturisasi masyarakat hingga ke akar rumput. Hal ini tidak dapat direplikasi di sembarang negara, terutama negara-negara demokrasi liberal yang memiliki kekangan institusional (struktural) dalam bentuk Konstitusi, rule of law, mekansime check and balance, dan kekangan kultural dalam bentuk opini publik yang dilandasi oleh prinsip-prinsip demokrasi dan HAM, ditambah dengan media yang bebas dan independen. Dengan kata lain, China lebih leluasa dalam menggunakan pendekatan yang represif secara struktural dan 55 Ibid. 23 kultural. Tantangan serius yang muncul terhadap pendekatan ini dapat dikatakan sebagian besar berasal dari luar China, yakni negara-negara besar dan aktivis gerakah HAM yang sering mengecam pendekatan China dalam menangani insurgensi di dalam wilayahnya, tidak hanya Xinjiang tetapi juga misalnya Tibet. Meskipun demikian, tekanan internasional ini berhasil dimitigasi oleh meningkatnya pengaruh geopolitik China di dalam sistem internasional. 4. Kesimpulan China menempatan terorisme/insurgensi Xinjiang sebagai ancaman terhadap keamanan nasional (kedaulatan, stabilitas dan modernitas), dan oleh karenanya menjalankan strategi kebijakan keamanan nasional dalam bentuk perang melawan terorisme di Xinjiang yang didasarkan pada kombinasi pendekatan hard power dengan doktrin strike hard/maximum pressure dan pendekatan soft power dari bawah ke atas (bottom-up) dengan prinsip restrukturisasi masyarakat hingga di tataran akar rumput (social engineering) dan pemberian insentif dan janji hidup yang lebih baik untuk masyarakat Uyghur. Keberhasilan kebijakan nasional China ini disebabkan oleh sifatnya yang proaktif (tidak menunggu sampai insurgensi/terorisme menjadi tidak terkendali), dinamis (fleksibel dalam meningkatkan dan menurunkan level kekerasan), dan komprehensif (tidak hanya menyasar pada insurgen tetapi juga masyarakat hingga di akar rumput). Model perang yang dijalankan China tidak hanya perang langsung secara fisik dengan kaum insurgen, tetapi juga society-centric warfare, menggunakan masyarakat itu sendiri untuk melawan insurgen. Pemerintah China dapat mengadopsi kebijakan draconian ini karena memiliki political will yang tak terbatas, yang bersumber dari Parta Komunis yang hendak mempertahankan kekuasaannya, negara yang hendak menghindari disintegrasi, dan masyarakat yang menuntut stabilitas internal dari pemerintah. Selain itu, China pun relatif tidak memiliki kekangan struktural dan kultural sebagaimana negara-negara demokrasi liberal sehingga lebih leluasa menggunakan pendekatan represifnya untuk mengendalikan eskalasi insurgensi/terorisme dan mendapat peluang yang lebih besar untuk mengatasi terorisme hingga tingkat akar rumput. 24 DAFTAR PUSTAKA Forest, James J. F. (Ed.). Countering Terrorism and Insurgency in the 21st Century: International Perspectives, Volumes 1 3. London: Praeger Security International. 2007. Merari, Ariel. Terrorism as a Strategy of Insurgency . Terrorism and Political Violence, Vol. 5. No. 4 (Winter). London: Frank Cass. 1993. Mulvenon, James C. dan Richard H. Yang. 1999. The People s Liberation Army in the Information Age RAND Corp. Wayne, Martin. 2008. Cina s War on Terrorism Counter-Insurgency, Politics, and Internal Security. USA dan Canada: Routledge. Yongnian, Zheng & Lim Tai Wei. 2001. China s New Battle With Terrorism In Xinjiang. Essai Background Brief No. 446. Dalam Http://Www.Eai.Nus.Edu.Sg/BB446.Pdf. Diakses 20 November 2011 Concepts of Terrorism: Analysis of the rise, decline, trends and risk, Transnational Terrorism, Security, and the rule of Law, 2008, COT Institute for Safety, Security, and Crisis Management. Diunduh dari www.transnationalterrorism.eu. Diakses 17 Oktober 2011. 25