HUKUM PERUBAHAN STATUS WAKAF
(Studi Kasus Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati
Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Ahmad Firmansyah
NIM : 106044101381
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H / 2011 M
HUKUM PERUBAHAN STATUS WAKAF
(Studi Kasus Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati
Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H / 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi dengan judul “Hukum Perubahan Status Wakaf (Studi Kasus Masjid AlIstiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta
Pusat)”, telah diujikan dalam munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Rabu tanggal 8 Desember 2010, skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S1) pada Program
Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S 1) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 5 Nopember 2010
Ahmad Firmansyah
KATA PENGANTAR
Alhamdulillâhirabbil’âlamîn. Seiring dengan rahmat
Allah
SWT,
ma’unah serta barokah-Nya, akhirnya penulis dapat merampungkan penulisan
skripsi yang berjudul “Hukum Perubahan Status Wakaf (Studi Kasus Masjid AlIstiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang
Jakarta Pusat)”. Kepada Allah SWT. kita memanjatkan pujian, meminta
pertolongan, dan memohon ampunan. Kepada-Nya pula kita meminta
perlindungan dari keburukan diri dan kejahatan amal perbuatan. Dialah Tuhan
Pencipta hukum yang tiada hukum paling tinggi malainkan hukum ciptaan-Nya.
Telah Ia syariatkan ajaran-ajaran ketauhidan melalui kitab-kitab suci yang
disampaikan para Rasul, manusia pilihan yang diutus-Nya.
Shalawat dan salam teriring mahabbah semoga senantiasa tercurahkan
kepada Rasulullah Muhammad saw., beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang
yang mengikuti ajaran beliau hingga hari Akhir. Dialah Nabi utusan Allah SWT
yang terakhir dan tiada Nabi setelahnya. Kemuliaannya lebih utama dari pada
manusia dan makhluk lainnya, Dialah manusia pilihan yang paling bertakwa dan
paling taat akan perintah-perintah Allah SWT, Rasul yang sangat mencintai
umatnya, ridha Allah SWT agar bisa hidup berdampingan dengan Rasulullah
SAW di surga merupakan cita-cita para hamba-Nya.
iii
Dalam proses penyusunan skripsi ini, Penulis banyak menemui hambatan
dan cobaan. Namun, Penulis berusaha menghadapi semuanya dengan ikhtiar dan
tawakal. Penulis sadar dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini hanyalah setitik
debu jalanan untuk menitik jalan menuju orang-orang besar. Namun dalam
kapasitas Penulis yang serba dho’if dan dihimpit dengan berbagai keterbatasan,
skripsi ini rasanya sebuah pencapaian monumental yang membuat diri ini serasa
besar, minimal membesarkan perasaan Penulis dan mengobarkan bara semangat
untuk memburu pencapaian-pencapaian berikutnya yang dianggap besar oleh
orang-orang besar. Lebih dari itu, skripsi ini merupakan seteguk air dalam rentang
kemarau studi yang Penulis tempuh selama ini.
Penulis juga sadar sepenuhnya bahwa diri ini berutang budi kepada banyak
pihak yang telah berkontribusi langsung maupun tidak langsung dalam penulisan
skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah menanamkan jasa baik berupa
bimbingan, arahan serta bantuan yang diberikan sehingga Penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, Penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Ketua Program Studi dan
Bapak Kamarusdiana, S.Ag., MH. Sekretaris Program Studi Ahwal
iv
Al-Syakhsyiah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Bapak Dr. KH. A. Juaini Syukri, Lcs., MA. dan Bapak H.
Damanhuri Mustafa, SH. Dosen Pembimbing yang telah berkenan
meluangkan
waktu,
tenaga,
fikiran
dan
kesabarannya
untuk
memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
4.
Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Administrasi Jakarta Pusat,
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang, Pimpinan
Cabang Muhammadiyah Tanah Abang I, Pengurus Nazhir/Dewan
Kemakmuran Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon
Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat, yang telah memberikan
izin untuk mengadakan penelitian dan memberikan keterangan serta
data yang diperlukan penulis.
5.
Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum,
terima kasih atas ilmu dan bimbingannya. Seluruh Staf Akademik,
Jurusan, Kasubag, dan Perpustakaan, terima kasih atas bantuan dalam
upaya membantu memperlancar penyelesaian skripsi ini.
6.
Ayahanda dan Ibunda tercinta atas pengorbanan dan cinta kasihnya baik
berupa moril dan materil, serta doa yang tak terhingga sepanjang masa
untuk keberhasilan studi Penulis, segala hormat Penulis persembahkan.
7.
Seluruh keluarga besarku yang senantiasa memberi dorongan dan
motivasi agar tetap semangat dalam menempuh studi di kampus tercinta
ini.
v
8.
Sahabat-sahabatku tercinta, khususnya teman-teman seperjuangan
Peradilan Agama angkatan 2006, yang senantiasa menebarkan benihbenih keceriaan dalam bingkai kebersamaan, dan senantiasa menjaga
ikatan tali silaturahmi.
Besar harapan bagi Penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa
saja yang memerlukannya dan dapat memberikan khazanah baru dalam dunia
akademik. Sebagai manusia yang dho’if, yang memiliki keterbatasan dan
kekurangan, tentunya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
dengan tangan terbuka dan kerendahan hati Penulis akan sangat berterima kasih
apabila para pembaca yang budiman memberikan kritik dan saran yang
membangun demi kebaikan dan perbaikan atas karya-karya yang lainnya.
Akrinya, hanya kepada Allah SWT. juga kita memohon agar apa yang
telah kita lakukan menjadi suatu investasi yang sangat berharga dan kelak dapat
membantu kita di Yaumil Akhir .
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 5 Nopember 2010
Penulis
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………iii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………….vii
BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………...1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………….1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah…………………………………....8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………….10
D. Tinjauan Kajian Terdahulu…………………………………………...11
E. Metode Penelitian…………………………………………………….13
F. Sistematika Penulisan………...……………………………………....16
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG PERWAKAFAN……......................18
A. Pegertian dan Dasar Hukum Wakaf…………………………..............18
B. Rukun, Syarat, Tujuan dan Fungsi Wakaf………………....................27
C. Kewajiban dan Hak-Hak Nazhir Atas Benda Wakaf………………....35
D. Macam-Macam Wakaf………………………………………………..40
E. Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf…….....................43
vii
BAB III
PERUBAHAN STATUS WAKAF DAN MEKANISMENYA………....46
A. Perubahan Status Wakaf dalam Hukum Islam………………….........46
B. Perubahan Status Wakaf dalam Hukum Positif……………………...53
C. Mekanisme Perubahan Status Wakaf…………………………...........56
BAB IV
PERUBAHAN STATUS WAKAF MASJID AL-ISTIQOMAH WA
HAYATUDDIN…………………………………………..........................59
A. Gambaran Umum Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin………..........59
B. Faktor Penyebab dan Dampak Perubahan Status Wakaf
Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin…………………………………62
C. Proses dan Reaksi Masyarakat terhadap Perubahan Status Wakaf
Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin…………………………............64
D. Analisis Data Penelitian………………………………………………68
BAB V
PENUTUP…………………………………………………………...........75
A. Kesimpulan…………………………………………………………...75
B. Saran-Saran…………………………………………………………...77
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama universal, tidak hanya mengatur bidang ibadah
secara khusus (mahdhoh) tetapi juga ibadah secara umum (ghoiru mahdhoh).
Islam mewarnai perilaku manusia dalam berpikir, bertindak dengan batasbatas yang telah ditetapkan tidak lain untuk mencari ridla Allah SWT. Pada
hakekatnya manusia di muka bumi ini untuk mengabdi atau beribadah kepada
Allah SWT.
Pelaksanaan ibadah dipraktekkan dan dimanifestasikan melalui
pengabdian keseluruhan diri manusia beserta segala apa yang dimilikinya.
Ada ibadah melalui bentuk pengabdian badan, seperti shalat, puasa atau juga
melalui bentuk pengabdian berupa pengorbanan apa yang kita miliki/harta
benda, seperti zakat, shodaqoh, ilmu pengetahuan seperti mengajar/memberi
ilmu, di samping ada juga secara bersama-sama badan dan harta, seperti puasa
dan haji. Satu bentuk ibadah melalui pengorbanan dengan harta yang kita
miliki untuk kepentingan kemanusiaan, kemasyarakatan, dan keagamaan yang
telah diatur oleh syari’at Islam adalah wakaf.1
Di Indonesia, Islam merupakan agama yang banyak penganutnya
(mayoritas), mempunyai beberapa lembaga yang diharapkan mampu
1
Usman Suparman, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Dar al-Ulum Press, 1994), h.1.
1
2
membantu untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, salah satunya adalah
wakaf. Dalam Islam, wakaf termasuk kategori ibadah kemasyarakatan yang
hukumnya sunnah, amalan wakaf merupakan amalan yang besar karena
amalan ini tidak dapat berhenti atau putus pahalanya bila orang tersebut telah
meninggal dunia, maka amalan wakaf akan tetap mengalir pahalanya dan
tetap diterima oleh wakif walaupun ia telah meninggal.
Wakaf merupakan salah satu lembaga keagamaan yang dianjurkan
oleh Allah SWT untuk dijadikan sarana penyaluran harta yang dikaruniakanNya kepada manusia. Amalan wakaf amat besar artinya bagi kehidupan sosial
ekonomi, kebudayaan dan keagamaan.2 Lembaga perwakafan adalah salah
satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta
dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai
oleh sekelompok orang atau dimiliki sendiri, tetapi harus dinikmati bersama.
Ini mengingatkan pada umat manusia bahwa Islam mengajarkan fungsi sosial
harta.
Fungsi sosial dari perwakafan mempunyai arti bahwa penggunaan hak
milik seseorang harus memberi manfaat langsung atau tidak langsung kepada
masyarakat. Dalam ajaran pemilikan terhadap harta benda (tanah) tercakup di
2
Ibid., h.15.
3
dalamnya benda lain, dengan perkataan lain bahwa dalam benda seseorang
ada hak orang lain yang melekat pada harta benda tersebut.3
Di dalam Hukum Islam dikenal banyak cara untuk mendapatkan hak
atas tanah. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain
melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, hadiah, infak, sedekah, wakaf, wasiat,
ihya-ulmawat (membuka tanah baru).
Diantara banyak title perolehan atau peralihan hak yang dikenal dalam
Hukum Islam tersebut, maka ternyata wakaf mendapat tempat pengaturan
secara khusus di antara perangkat perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, dalam hal ini berbentuk Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977
tentang
Perwakafan
Tanah
Milik,
yang
dimaksudkan
untuk
melaksanakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria. Dengan demikian wakaf merupakan salah satu lembaga
Hukum Islam yang mempunyai titik temu secara konkrit dengan peraturan
yang berlaku di Indonesia.4
Salah
satu
faktor
penting
yang
ikut
mewarnai
corak dan
perkembangan wakaf di era Indonesia modern adalah ketika Negara ikut
mengatur kebijakan wakaf melalui seperangkat Hukum Positif. Dalam proses
3
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia (Jakarta: Depag RI, 2006), h.
89.
4
Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teoti dan Praktek (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002), h.4.
4
perumusan kebijakan tersebut, visi dan arah kebijakan wakaf banyak
ditentukan oleh bagaimana rezim berkuasa melihat potensi maupun organisasi
wakaf, baik dalam kerangka kepentingannya maupun kepentingan umat Islam
pada umumya.5
Sejak datangnya Islam, wakaf telah dilaksanakan berdasarkan paham
yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, yaitu paham
Syafi’iyyah dan adat kebiasaan setempat. Pola pelaksanaan wakaf sebelum
adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (Buku III Hukum Perwakafan), dan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf, masyarakat Islam Indonesia masih menggunakan
kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan
hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada
seseorang atau lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal
shaleh yang mempunyai nilai mulia di hadirat Tuhan tanpa harus melalui
prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang
siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah.6
5
Andy Agung Prihatna, dkk., Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf
dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h.81.
6
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,
Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia ( Jakarta: Depag RI, 2006), h.37.
5
Tradisi wakaf tersebut kemudian memunculkan berbagai fenomena
yang
mengakibatkan
perwakafan
di
Indonesia
tidak
mengalami
perkembangan yang menggembirakan untuk kepentingan masyarakat banyak.
Bahkan banyak kita jumpai aset wakaf yang mengalami permasalahanpermasalahan akibat tidak adanya tertib administrasi, dan salah satunya
mengenai perubahan status wakaf seperti dijadikan jaminan, disita,
dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk
pengalihan hak lainnya. Kenyataan ini tentu tidak sesuai dengan ketentuan
wakaf dan tujuan dari fungsi wakaf sendiri.
Dari kenyataan itulah, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Buku III Hukum
Perwakafan), dan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf,
perwakafan
mulai
dan
terus
dibenahi
dengan
melakukan
pembaharuan-pembaharuan di bidang pengelolaan wakaf secara umum, salah
satunya mengenai paradigma baru terhadap perubahan status wakaf yang
sangat menarik penulis untuk menelaah ketentuan ini lebih lanjut, dan
mencoba menelusuri kenyataan atau praktek yang terjadi di masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Bab IV
Pasal 41 telah ada legalitas terhadap tukar menukar benda wakaf setelah
6
terlebih dahulu meminta izin dari Menteri Agama Republik Indonesia dengan
dua alasan, pertama karena tidak sesuai dengan tujuan wakaf dan yang kedua
demi kepentingan umum. Secara subtansial, benda-benda wakaf boleh
diberdayakan secara optimal untuk kepentingan umum dengan jalan tukarmenukar. Keberadaan aturan tersebut merupakan upaya pembaharuan paham
yang sejak awal diyakini oleh mayoritas ulama dan masyarakat Indonesia
yang mengikuti pendapat Imam Syafi’i bahwa benda-benda wakaf tidak boleh
diutak-atik, walaupun demi kepentingan manfaat sekalipun.7
Paradigama baru terhadap perubahan status harta benda wakaf
memang menjadi salah satu bukti bahwa paham wakaf di Indonesia sejatinya
sudah cukup baik, paling tidak sejak adanya Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Buku III Hukum Perwakafan),
dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf khususnya yang
berkaitan dengan perubahan status dan peruntukannya.
Pada kenyataannya, dalam operasional di lapangan masih ditemukan
masalah-masalah perwakafan yang perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak
terkait secara terkoordinasi, salah satunya wakaf Masjid Al-Istiqomah wa
Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta
7
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia (Jakarta: Depag RI, 2006), h.
99.
7
Pusat. Karena disebabkan untuk kepentingan yang lebih luas dan bermanfaat
bagi kepentingan umum, serta dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik lalu
lintas, keamanan, kemanfaatan, rencana tata ruang dan pengembangan
wilayah di Kecamatan Tanah Abang yang setiap tahun semakin ramai dengan
aktivitas masyarakat, dengan begitu tiada pilihan kecuali menukar dan
memindahkan wakaf tersebut ke tempat lain.
Upaya atau langkah-langkah para pihak yang terkait dalam
menyelesaikan masalah perwakafan yang menyangkut perubahan status wakaf
tersebut perlu diperhatikan, sehingga dapat mempunyai penyelesaian masalah
yang sesuai dengan ketentuan hukum, baik dari segi Hukum Islam maupun
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Hal tersebut menarik penulis untuk meneliti dan mengkaji lebih lanjut
proses perubahan status wakaf yang berlangsung, dengan harapan dapat
memberikan masukan solusi agar pada masa mendatang dapat dilakukan
perubahan status wakaf yang benar, sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku, dengan tetap memberikan kemanfaatan bagi kepentingan umum dan
umat Islam secara khususnya.
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penulis merasa
tergerak untuk mengadakan penelitian mengenai: “Hukum Perubahan
Status Wakaf (Studi Kasus Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin
Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat)”.
8
B.
Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar penulisan skripsi ini dapat mencapai hasil yang baik sesuai
dengan tujuan yang dikehendaki, maka penulis akan membatasi pada
masalah-masalah tertentu saja, yang ada kaitannya dengan judul skripsi
sehingga masalah-masalah yang diteliti tidak begitu luas. Penulis dalam
menyusun skripsi ini membatasi pada hukum melakukan perubahan status
harta benda wakaf, khususnya mengenai tukar-menukar (ruislagh) tanah
wakaf dalam ketentuan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia serta
prosedurnya.
2. Perumusan Masalah
Dalam teori, perwakafan yang telah dilaksanakan berdasarkan paham
yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, yakni paham
Syafi’iyyah menyatakan bahwa tidak boleh melakukan perubahan status pada
aset wakaf seperti menjual, merubah bentuk, memindahkan atau menukar
dengan benda lain, namun dalam prakteknya, ternyata saat ini ada praktik
tersebut di masyarakat, bahkan dilegalkan oleh negara dalam bentuk
perundang-undangan.
Dalam teori, prosedur untuk melakukan perubahan status/tukarmenukar harta benda wakaf mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-
9
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 51 yang berbunyi sebagai
berikut:
Penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah statusnya dilakukan
sebagai berikut:
a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui
Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan
perubahan status/tukar-menukar tersebut;
b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota;
c. Kepala kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah menerima
permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti
dalam Pasal 49 ayat (4), dan selanjutnya bupati/walikota setempat
membuat Surat Keputusan;
d. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota meneruskan
permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penelitian kepada Kepala
Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan selanjutnya meneruskan
permohonan tersebut kepada Menteri;
e. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti
dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor
pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.
namun dalam prakteknya, terdapat pelaksanaan perubahan status/tukarmenukar harta benda wakaf yang belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku tersebut, salah satunya yang penulis kemukakan ialah
proses ruislagh tanah wakaf antara Masjid Al-Istiqomah dan Musholla
Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat,
dengan tanah pengganti milik PT Jakarta Realty.
Perumusan masalah yang jelas diharapkan penelitian ini dapat lebih
terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, rumusan masalah
tersebut di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
10
1. Bagaimanakah ketentuan perubahan status wakaf dalam Hukum Islam dan
Hukum Positif serta mekanismenya?
2. Faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya perubahan status wakaf
Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati
Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat dan dampaknya?
3. Bagaimanakah proses perubahan status wakaf Masjid Al-Istiqomah wa
Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta
Pusat dan apa reaksi masyarakat setempat terhadap perubahan tersebut?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penulisan skripsi
ini adalah:
1. Untuk mengetahui ketentuan perubahan status wakaf dalam Hukum Islam
dan Hukum Positif serta mekanismenya.
2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya perubahan status wakaf
Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati
Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat serta dampaknya.
3. Untuk mengetahui proses perubahan status wakaf Masjid Al-Istiqomah wa
Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta
Pusat serta reaksi masyarakat setempat terhadap perubahan tersebut.
11
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritik
Diharapkan dapat menambah kontribusi pengetahuan tentang perwakafan,
khususnya
mengenai
perihal
perubahan
status
wakaf,
sekaligus
memperkaya kepustakaan hukum khususnya Hukum Islam.
2. Manfaat Praktis
Dapat
memberikan
masukan
yang
berguna
bagi
pihak
yang
berkepentingan dan pihak terkait lainnya.
D.
Tinjauan Kajian Terdahulu
Dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Tentang
Adanya Perubahan Status Tanah Wakaf (Studi Kasus di KUA
Kecamatan Pamulang)” yang ditulis oleh Lilih Munawaroh Jurusan
Peradilan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2005. Penulis membahas seputar ketentuan Hukum Islam tentang perubahan
status tanah wakaf dan penarikan kembali tanah wakaf serta prosedurnya di
KUA Kecamatan Pamulang.
Dalam skripsi yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Perubahan
Status Tanah Wakaf Menurut Hukum Islam dalam Hukum Positif (Studi
Kasus Pada TPM Griya Abadi Desa Parung)” yang ditulis oleh Firman
Hafiz, Jurusan Administrasi Keperdataan Islam Universitas Islam Negeri
12
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006. Penulis membahas mengenai
gambaran umum tentang sengketa perubahan status tanah wakaf di TPU Griya
Abadi Desa Parung, pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang
perubahan status tanah wakaf dan penulis juga membahas tentang cara
penyelesaian terhadap sengketa tanah wakaf di TPU Griya Abadi Desa
Parung.
Dalam skripsi yang berjudul “Pengalihan Wakaf Tanah dan
Bangunan Menurut Hukum Islam (Studi Kasus Masjid Jami’ Al-Ikhlas
Kelurahan Malaka Jaya Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur)” yang
ditulis oleh Ahmad Ulfi Maula Program Studi Perbandingan Mazhab dan
Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2007, penulis membahas pandangan ulama
mazhab terhadap pengalihan wakaf tanah dan bangunan.
Sedangkan dalam Skripsi yang saya akan buat dengan judul “Hukum
Perubahan Status Wakaf (Studi Kasus Masjid Al-Istiqomah wa
Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta
Pusat)” membahas mengenai ketentuan perubahan status wakaf dalam
Hukum Islam dan Hukum Positif serta mekanismenya, menelusuri latar
belakang terjadinya perubahan status wakaf Masjid Al-Istiqomah wa
Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta
13
Pusat, dampaknya, serta proses dan reaksi masyarakat setempat terhadap
perubahan tersebut.
E.
Metode Penelitian
Metodologi penelitian berarti cara yang dipakai untuk mencari,
mencatat, merumuskan, dan menganalisis sampai menyusun laporan guna
mencapai suatu tujuan.8 Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode
sebagai berikut:
1. Jenis dan Metode Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif,
yakni dengan menggunakan instrumen penelitian lapangan. Sedangkan
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yakni
berusaha menyajikan fakta-fakta yang objektif sesuai dengan kondisi dan
situasi yang sebenarnya terjadi pada saat penelitian dilakukan.
Di samping itu, peneliti juga menggunakan instrumen penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian dengan jalan menelaah buku-buku ilmiah,
meneliti buku-buku yang memiliki relevansi dengan objek penelitian, artikel,
kitab-kitab karangan para ulama, internet, dan lain-lain sebagai faktor
penunjang yang melandasi dasar-dasar teoritis.
8
Cholid Nurboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara Pustaka,
1997), h.1.
14
2. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di Masjid Al-Istiqomah
wa Hayatuddin yang terletak di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah
Abang Jakarta Pusat.
3. Sumber Data
a. Data Primer
Merupakan data yang diperoleh langsung dari melalui studi lapangan
yaitu dengan mengadakan penelitian di instansi atau perorangan yang
ada kaitannya dengan penelitian skripsi ini.9
b. Data Sekunder
Merupakan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang
bertujuan memperoleh landasan teori yang bersumber dari buku-buku
yang memiliki relevansi dengan objek penelitian, artikel, kitab-kitab
karangan para ulama, internet, dan literatur lain yang berkaitan dengan
objek penelitian.10
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penulis menggunakan
beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut:11
9
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas
Atma Jaya (PUAJ), 2007), h.54.
10
11
Ibid.,
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2006), h.221.
15
a. Dokumentasi, yaitu penelusuran dokumen-dokumen tertulis untuk
memperoleh data, seperti surat-surat, arsip, dan lain-lain.
b. Wawancara
atau
interview,
yaitu
pengambilan
data
dengan
menggunakan tanya jawab kepada pihak-pihak yang terkait dengan
objek penelitian. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara
terhadap Pengurus Nazhir Wakaf/Dewan Kemakmuran Masjid AlIstiqomah wa Hayatuddin, Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah
Abang, dan Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Pusat.
c. Observasi, yang merupakan sebuah proses penelitian secara mendalam
untuk mengetahui dalam hal ini faktor penyebab dilakukannya
ruislagh tanah wakaf Masjid Al-Istiqomah dan Musholla Hayatuddin,
dengan tanah pengganti milik PT Jakarta Realty, dampaknya, serta
proses dan reaksi masyarakat setempat terhadap perubahan tersebut.
5. Teknik Analisa Data
Dalam menganalisa data, pendekatan yang dilakukan adalah
pendekatan kualitatif, yaitu dengan memeriksa kelengkapan, kejelasan dan
relevansi data yang diperoleh kemudian disajikan secara deskriptif untuk
menemukan fakta dengan intervensi yang tepat dan menganalisis lebih dalam
tentang hubungan dari fakta-fakta tersebut.12
12
Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, h.91.
16
6. Teknik Penulisan
Mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2007.
F.
Sistematika Penulisan
Guna memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi
skripsi, maka penulis memberikan sistematika skripsi yang secara garis besar
berguna untuk pembaca. Sistematika skripsi menjadi 5 (lima bab), dan isi dari
masing-masing bab secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
Bab pertama tentang pendahuluan, bab ini merupakan pengantar untuk
dapat menjawab pertanyaan apa yang diteliti, mengapa, bagaimana dan untuk
apa penelitian ini dilakukan. Oleh karena itu, bab ini terdiri dari uraian tentang
latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian
dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua tentang ketentuan umum perwakafan, bab ini adalah pisau
analisis yang berisi teori-teori mengenai perwakafan. Dalam bab ini diuraikan
tentang: pengertian dan dasar hukum wakaf. Tujuan, fungsi, unsur, dan syarat
17
wakaf. Macam-macam wakaf. Kewajiban dan hak-hak nadzir atas benda
wakaf. Pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf.
Bab ketiga tentang perubahan status wakaf dan mekanismenya, bab ini
berisi penjelasan mengenai perubahan status wakaf dalam Hukum Islam dan
Hukum Positif serta mekanismenya.
Bab keempat tentang data dan analisis, bab ini terdiri dari dua bagian
besar, yaitu deskripsi obyek penelitian dan jawaban dari permasalahan
penelitian. Dalam bab ini diuraikan tentang gambaran umum Masjid AlIstiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang
Jakarta Pusat. Faktor penyebab dan dampak dari dilakukannya perubahan
tersebut. Proses dan reaksi masyarakat setempat terhadap perubahan tersebut.
Analisa data penelitian.
Bab kelima tentang penutup, bab ini merupakan bab terakhir yang
memuat dua hal, yaitu: kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG PERWAKAFAN
A.
Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf
1. Pengertian Wakaf
Kata wakaf berasal dari bahasa Arab al-waqf
dari
ﻒ – َوﻗْ ًﻔﺎ
ُ ﻒ – َﯾ ِﻘ
َ َو َﻗ.
masdar dari
bentuk masdar
Kata al-waqf semakna dengan al-habs bentuk
ﺴﺎ
ً ْﺣﺒ
َ – ﺲ
ُ ﺲ – َﯾﺤِْﺒ
َ ﺣ َﺒ
َ
yang berarti menahan atau berhenti,1
mengekang atau menghentikan,2 tetapnya sesuatu dalam keadaan semula.3
Menurut istilah, wakaf adalah:
ْف َﻣ َﻨﺎ ِﻓ ِﻌ ِﮫ ِﻓﻲ
ُ ْﺻﺮ
َ ل َو
ِ ﺲ اﻟْ َﻤﺎ
ُ ْﺣﺒ
َ ْ أ ي. ﻞ اﻟ َﺜﻤْ َﺮ ِة
ُ ْﻞ َو َﺗﺴْ ِﺒﯿ
ِ ْﺲ اﻻٔﺻ
ُ ْﺣﺒ
َ
4
ﷲ
ِ ﻞا
ِ ﺳ ِﺒﯿ
َ
Artinya:
“Menahan benda asal (pokok) dan menjadikan buah atau hasil untuk
sabilillah atau jalan kebaikan, yakni menahan benda atau harta dan
menyalurkan hasilnya di jalan Allah.”
Dalam pengertian istilah secara umum, wakaf adalah sejenis
pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan)
1
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, alih bahasa oleh Kamaluddin A., Marzuki, dkk., cet.VIII,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1996), Jilid XIV, h.148.
2
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan
Nusantara (LPKN)), h.1193. Lihat juga Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, cet.IV,
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h.168.
3
M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqh, cet.III, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h.414.
4
Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), Jilid III, h.377.
18
19
asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Sedangkan
yang dimaksud dengan “tahbisul ashli” ialah menahan barang yang
diwakafkan itu agar tidak diwariskan, disewakan, dan digadaikan kepada
orang
lain.
Sedangkan
pengertian
“cara
pemanfaatannya”
adalah
menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan.5
Menurut istilah para ahli fiqih terdapat beragam pengertian tentang
wakaf, yaitu:
a.
Menurut Abu Hanifah:
6
ق ِﺑ َﻤﻨْ َﻔ َﻌ ِﺘ َﮭﺎ
َ ﺼ ﱡﺪ
َ ﻒ َو اﻟ ﱠﺘ
ِ ْﻚ اﻟْ َﻮاﻗ
ِ ْﻋﻠﻰ ِﻣﻠ
َ ﻦ
ِ ْﺲ اﻟْ َﻌﯿ
ُ ْﺣﺒ
َ
Artinya:
“Menahan benda yang menurut hukum statusnya tetap menjadi milik
dari orang yang berwakaf (wakif) dan yang disedekahkan adalah
manfaatnya saja.”
Berdasarkan definisi itu maka kepemilikan dari harta wakaf itu tidak
lepas dari si wakif bahkan ia dibenarkan untuk menarik kembali harta
wakafnya dan ia juga diperbolehkan untuk menjualnya. Karena yang lebih
kuat menurut pendapat Abu Hanifah adalah bahwa wakaf hukumnya jaiz
(boleh), tidak wajib.
5
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masayrakat Islam
Departemen Agama, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, cet.III, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan
Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masayrakat Islam Departemen Agama, 2006), h.1.
6
V, h.187.
Ibn Najm Zainuddin, Al-Bahrur Raiq (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabiyyah al-Kubro, t.th), Juz
20
b.
Menurut Imam Malik:
ﺼﯿْ َﻐ ٍﺔ ُﻣ ﱠﺪ َة
ِ ﻖ ِﺑ
ﺤﱟ
ِ ﻏﱠﻠ ٍﺔ ِﻟ ُﻤﺴْ َﺘ
ُ ْك َو َﻟﻮْ ِﺑَﺎٔ ﺟْ َر ٍة َأ و
ٍ ْﻞ َﻣﻨْ َﻔ َﻌ ُﺔ َﻣﻤُﻠﻮ
ُ ْﺟﻌ
َ
7
ﺲ
ِ َﻣﺎ َﯾ َﺮا ُه اﻟ ُﻤﺤْ ِﺒ
Artinya:“
Menjadikan manfaat benda yang dimiliki baik yang berupa sewa atau
hasilnya untuk diserahkan kepada yang berhak (maukuf alaih) dalam
bentuk penyerahan yang berjangka waktu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh orang yang mewakafkan (wakif).”
Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan
secara pemilikan tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya bagi orang
banyak untuk tujuan kebaikan, sedangkan perwakafan itu berlaku untuk suatu
masa tertentu, oleh karena itu tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal
(selamanya).
c.
Menurut Imam Syafi’i:
ف ِﻓﻲ
ٍ ﺼ ﱡﺮ
َ ﻋﯿِْﻨ ِﮫ ِﺑ َﻘﻄْ ٍﻊ اﻟ ﱠﺘ
َ ع ِﺑ ِﮫ َﻣ َﻊ َﺑﻘﺎ ِء
ُ ﻻٕﻧْ ِﺘﻔَﺎ
ِ ْﻦ ا
ُ ل ُﯾﻤْ ِﻜ
ٍ ﺲ ﻣَﺎ
ُ ْﺣﺒ
َ
8
ح
ٍ ف ُﻣ َﺒﺎ
ٍ ﻋَﻠﻰ َﻣﺼْ َﺮ
َ َرﻗَْﺒ ِﺘ ِﮫ
Artinya:
“Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap
utuhnya barang dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta
dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama.”
Maksud dari “lepas” definisi di atas adalah lepasnya kepemilikan
benda wakaf dari si wakif dan menjadi milik Allah SWT, dan hasil dari
7
Sayyid Ali Fikri, Al-Mu’aamalatul Madiyah Wal Adabiyah, (Mesir: Mushthofa Al-Baabi AlHalani, 1938), Juz II, h.304.
8
Asy-Syarbini Muhammad al-Khatib, Mughnil Muhtaaj, (Mesir: Mushthofa Al-Baabi AlHalabi, 1958), Juz II, h.376.
21
pemanfaatan benda wakaf tersebut digunakan untuk kebaikan yang sangat
dianjurkan dalam Islam.
d.
Menurut Ahmad Bin Hanbal:
ﻋﯿْ ِﻨ ِﮫ ﯾﻘﻄﻊ
َ ع
ِ ف َﻣﺎَﻟ ُﮫ اﻟْ ُﻤﻨَْﺘ ِﻔ ُﻊ ِﺑ ِﮫ َﻣﺎَﺑ َﻘﺎ
ِ ﺼ ﱡﺮ
َ ﻖ اﻟﱠﺘ
َ ﻚ ُﻣﻄَْﻠ
ٍ ﺲ َﻣﺎِﻟ
ُ َْﺗﺤْ ِﺒﯿ
ﺴﺎ
ً ْف َﺗﺤِْﺒﯿ
ِ ﺼ ﱡﺮ
َ ع اﻟ ﱠﺘ
ِ ع ِﻣﻦْ أﻧْ َﻮا
ٍ ْﻏﯿْ ِﺮ ِه ِﻓﻰ َرﻗْ َﺒِﺘ ِﮫ ِﻟَﻨﻮ
َ ﺼ ّﺮ ِﻓ ِﮫ َو
َ َﺗ
9
ﷲ
ِ ف ِرﯾْ ُﻌ ُﮫ ِإﱠﻟﻰ ِﺑ ﱟﺮ َﺗ َﻘ ﱡﺮًﺑﺎ ِإﱠﻟﻰ ا
ُ ُﯾﺼْ َﺮ
Artinya:
“Menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya
yang bermanfat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan semua
hak penguasaan atas harta itu sedangkan manfaatnya dipergunakan
pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.”
Dalam definisi di atas terdapat kata “putus” yang maksudnya adalah
terputusnya kepemilikan benda wakaf dari si wakif dan menjadi milik Allah
SWT, dan hasil dari pemanfaatan benda wakaf tersebut digunakan untuk
kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Selain definisi yang terdapat menurut fiqih klasik, khusus di Negara
kita Indonesia ini terdapat rumusan wakaf sebagaimana terdapat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
Pasal 1 ayat (1), bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah
milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (Buku III Hukum Perwakafan) Pasal 215 ayat (1), bahwa wakaf
9
Sayyid Ali Fikri, Al-Mu’aamalatul Madiyah Wal Adabiyah, h.312.
22
adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum
yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 1
ayat (1), bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum wakif
untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah.
Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan
Fatwa tentang wakaf melalui rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
pada tanggal 11 Mei 2002, bahwa wakaf adalah:
ف ﻓِﻰ
ِ ﺼ ﱡﺮ
َ ﻋﯿِْﻨ ِﮫ أوْ َأﺻِْﻠ ِﮫ ِﺑ َﻘﻄْ ِﻊ اﻟﱠﺘ
َ ع ِﺑ ِﮫ َﻣ َﻊ ﺑَﻘﺎَء
ُ ﻻٕﻧْ ِﺘﻔَﺎ
ِ ْﻦ ا
ُ ل ُﯾﻤْ ِﻜ
ٍ ﺲ ﻣَﺎ
ُ ْﺣﺒ
َ
10
ﺟﻮْ ٍد
ُ ْح َﻣﻮ
ٍ ف ُﻣﺒَﺎ
ِ َرﻗْ َﺒِﺘ ِﮫ ﻋَﻠﻰ َﻣﺼْ َﺮ
Artinya:
“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau
pokonya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda
tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan
(hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.”
Dari definisi di atas, meskipun terdapat perbedaan pengertian wakaf
antara satu ulama dengan ulama yang lainnya, namun pada dasarnya
10
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, cet.II,
(Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, 2005), h.139.
23
mengandung makna yang sama. Perbedaan yang ada hanya dalam hal-hal
yang sekunder (cabang) bukan primer (prinsip), sedangkan dalam hal-hal
yang pokok, ada ukuran-ukuran yang disepakati oleh sebagian besar ulama,
yaitu eksistensi benda wakaf itu haruslah bersifat tetap.
Dengan ungkapan lain istilah wakaf diterapkan untuk harta benda
yang tidak musnah dan manfaatnya dapat diambil tanpa mengonsumsi harta
benda itu sendiri. Artinya biarpun faedah atau manfaat benda itu diambil, zat
benda tersebut masih tetap ada selamanya, sedangkan hak kepemilikannya
berakhir, tidak boleh dijual, diwariskan, dihibahkan, serta harta tersebut
dipersembahkan oleh si wakif (orang yang mewakafkan) untuk tujuan amal
saleh guna mendapatkan keridhaan Allah SWT. Dengan melepaskan harta
wakaf itu menjadi milik Allah SWT sehingga tidak dapat dimiliki atau
dipindahtangankan kepada siapapun dan dengan cara bagaimanapun juga.
2. Dasar Hukum Wakaf
Dasar hukum wakaf sebagai lembaga yang diatur dalam ajaran Islam
tidak dijumpai secara tersurat dalam Al-Qur’an. Namun demikian, terdapat
ayat-ayat yang memberi petunjuk dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum
perwakafan. Ayat-ayat yang dipahami berkaitan dengan wakaf diantaranya
adalah:
ٌﻋﻠِﯿﻢ
َ ن اﻟﱠﻠ َﮫ ِﺑ ِﮫ
ﺷﻲْ ٍء َﻓِﺈ ﱠ
َ ْن َوﻣَﺎ ﺗﻨﻔﻘﻮا ِﻣﻦ
َ ﺤﺒﱡﻮ
ِ ﺣﺘﱠﻰ ﺗﻨﻔِﻘﻮا ِﻣﻤﱠﺎ ُﺗ
َ َﻟﻦْ َﺗﻨَﺎﻟُﻮا اﻟِْﺒ ﱠﺮ
(٩٢:٣/)ال ﻋﻤﺮان
24
Artinya:
“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang
kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”(QS. Ali ‘Imran,
3:92)
ض
ِ ْﻦ اﻷر
َ ﺴﺒْﺘﻢْ َو ِﻣ ﱠﻤﺎ َأﺧْ َﺮﺟْﻨَﺎ َﻟ ُﻜﻢْ ِﻣ
َ ت ﻣَﺎ َﻛ
ِ ﻃ ِّﯿﺒَﺎ
َ ْﻦ آ َﻣﻨُﻮا أﻧﻔﻘﻮا ِﻣﻦ
َ ﯾَﺎ َأﱡﯾﮭَﺎ اﱠﻟﺬِﯾ
(٢٦٧:٢/ )اﻟﺒﻘﺮة
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untuk kamu.”(QS. Al-Baqarah, 2:267)
ﻞ
ِّ ﻞ ﻓِﻲ ُﻛ
َ ﺳﻨَﺎ ِﺑ
َ ﺳﺒْ َﻊ
َ ْﺣ ﱠﺒ ٍﺔ َأﻧْ َﺒ َﺘﺖ
َ ﻞ
ِ ﻞ اﻟﱠﻠ ِﮫ َﻛ َﻤ َﺜ
ِ ﺳﺒِﯿ
َ ن َأﻣْﻮَاَﻟ ُﮭﻢْ ﻓِﻲ
َ ﻦ ﯾﻨﻔﻘﻮ
َ ﻞ اﱠﻟﺬِﯾ
ُ َﻣَﺜ
(٢٦١:٢/ ﻋﻠِﯿﻢٌ )اﻟﺒﻘﺮة
َ ٌﺳﻊ
ِ ﻒ ِﻟ َﻤﻦْ َﯾﺸَﺎ ُء وَاﻟﱠﻠ ُﮫ وَا
ُ ﻋ
ِ ﺣﱠﺒ ٍﺔ وَاﻟﱠﻠ ُﮫ ُﯾﻀَﺎ
َ ﺳﻨْ ُﺒَﻠ ٍﺔ ﻣِﺎ َﺋ ُﺔ
ُ
Artinya:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al-Baqarah, 2:261)
Kata-kata menafkahkan harta yang disebut dalam Al-Qur’an tidak
kurang dari 73 tempat, dalam skripsi ini penulis mengutip 3 ayat saja, yang
secara umum menganjurkan agar kaum muslimin bersedia menafkahkan
sebagian kekayaannya baik yang berkonotasi pada nafkah wajib, seperti zakat
atau memberi nafkah keluarga maupun yang menunjukkan hukum sunnah
seperti sedekah, hibah, wakaf, dan lain-lain. Selain itu, Allah menjanjikan
kepada orang yang menafkahkan hartanya akan dilipatgandakan pahalanya
menjadi 700 kali lipat.
25
Adapula beberapa hadist yang berkaitan dengan wakaf yang dijelaskan
secara umum, yaitu:
ﺳﻠﱠﻢ
َ ﻋَﻠﯿْ ِﮫ َو
َ ﷲ
ُ ﺻﻠﱠﻰ ا
َ ﷲ
ِلا
َ ْﺳﻮ
ُ ن َر
ﷲ ﻋَﻨْ ُﮫ أ ﱠ
ُ ﻲ ا
َﺿ
ِ ﻋﻦْ أﺑﻲْ َُھ َﺮﯾْﺮَة َ َر
َ
ْﺻ َﺪ َﻗ ٍﺔ ﺟَﺎ ِر َﯾ ٍﺔ أو
َ :ث
ٍ ﻼ
َ ﻻ ِﻣﻦْ َﺛ
ﻋ َﻤُﻠ ُﮫ ِٕا ﱠ
َ ﻄ َﻊ
َ ﻦ َا َد َم ِاﻧْ َﻘ
ُ ْت ِاﺑ
َ ِإذَا ﻣَﺎ: ل
َ ﻗَﺎ
11
{ﻋﻮْا َﻟ ُﮫ }رواه ﻣﺴﻠﻢ
ُ ْﺢ َﯾﺪ
ِ ﻋﻠْ ٍﻢ ُﯾﻨَْﺘ َﻔ ُﻊ ِﺑ ِﮫ أوْ َوَﻟ ٍﺪ ﺻَﺎِﻟ
ِ
Artinya:
“Dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda apabila
seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua amal perbuatannya
kecuali tiga hal yaitu shadaqah jariah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, atau
anak shaleh yang mendo’akannya.” (HR. Muslim)
ﺨﯿْ َﺒ َﺮ َﻓَﺎٔ َﺗﻰ
َ ﺿﺎ ِﺑ
ً ْﻋ َﻤ ُﺮ َٔار
ُ ب
َ ﺻﺎ
َ َٔا: ل
َ ﻋﻨْ ُﮭ َﻤﺎ َﻗﺎ
َ ﷲ
ُ ﻲ ا
َﺿ
ِ ﻋ َﻤ َﺮ َر
ُ ﻦ
ِ ْﻋﻦْ ِاﺑ
َ
ﺖ
ُ ْﺻﺒ
َ ٔﷲ ِإ ﱢﻧﻲ ا
ِ لا
َ ْﺳﻮ
ُ َﯾﺎ َر: ل
َ ﺳﱠﻠ َﻢ ُﯾﺴْ َﺘﺎْٔ َﻣ َﺮ ِﻓﯿْ َﮭﺎ َﻓ َﻘﺎ
َ ﻋَﻠﯿْ ِﮫ َو
َ ﷲ
ُ ﺻﱠﻠﻰ ا
َ ﻲ
اﻟﱠﻨ ِﺒ ﱠ
ل َﻟ ُﮫ
َ ﻋﻨْ ِﺪيْ ِﻣﻨْ ُﮫ َﻓ َﻤﺎ َﺗﺎْٔ ُﻣ ُﺮِﻧﻲْ ِﺑ ِﮫ ؟ َﻓ َﻘﺎ
ِ ﺲ
ُ ﻂ ُھ َﻮ أﻧْ َﻔ
ﻻ َﻗ ﱡ
َٔ ﺻﺐْ َﻣﺎ
ِ ٔﺨﯿْ َﺒ َﺮ َﻟﻢْ َا
َ ﺿﺎ ِﺑ
ً َْأر
ق
َ ﺼ ﱠﺪ
َ َﻓ َﺘ. ﺖ ِﺑ َﮭﺎ
َ ْﺼ ﱠﺪﻗ
َ ﺖ َاﺻَْﻠ َﮭﺎ َو َﺗ
َ ْﺣَﺒﺴ
َ ﺖ
َ ْﺸﺋ
ِ ْﻞ ِإن
ﺳﱠ
َ ﻋَﻠﯿْ ِﮫ َو
َ ﷲ
ُ ﺻﱠﻠﻰ ا
َ ﷲ
ِ لا
ُ ْﺳﻮ
ُ َر
ق ِﺑ َﮭﺎ ِﻓﻰ اﻟْ ُﻔ َﻘ َﺮا ِء َو
َ ﺼ ﱠﺪ
َ َو َﺗ: ل
َ َﻓ َﻘﺎ. ث
ُ ﻻ ُﺗﻮْ َر
َ ﺐ َو
ُ ﻻ ُﺗﻮْ َھ
َ ع َو
ُ ﻻ ُﺗ َﺒﺎ
َ ﻋ َﻤ ُﺮ َأ ﱠﻧ َﮭﺎ
ُ ِﺑ َﮭﺎ
ﻋَﻠﻰ
َ ح
َ ﺟَﻨﺎ
ُ ﻻ
َ ﻒ
ِ ْﻀﯿ
ﻞ َو اﻟ ﱠ
ِ ْﺴ ِﺒﯿ
ّ ﻦ اﻟ
ِ ْﷲ َوﺑ
ِ ﻞا
ِ ْﺳِﺒﯿ
َ ب َو ِﻓﻰ
ِ ِﻓﻰ اﻟْ ُﻘﺮْ َﺑﻰ َو ِﻓﻰ اﻟ ﱢﺮ َﻗﺎ
ل
ٍ ﻏﯿْ َﺮ ُﻣَﺘ َﻤ ﱢﻮ
َ ف َو ُﯾﻄْ ِﻌ ُﻢ
ِ ْﻞ ِﻣﻨْ َﮭﺎ ِﺑﺎﻟْ َﻤﻌْ ُﺮو
َ َﻣﻦْ َوِﻟ َﯿ َﮭﺎ َأنْ َﯾﺎْٔ ُﻛ
12
{}رواه اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ
Artinya:
“Dari Ibnu Umar RA berkata : bahwa sahabat Umar RA memperoleh
sebidang tanah di khaibar, kemudian ia menghadap kepada Rasulullah untuk
memohon petunjuk dan bertanya : Ya Rasulullah sesungguhnya aku
mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, suatu harta yang belum pernah aku
dapatkan sama sekali yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang
hendak kau perintahkan kepadaku ? Maka jawab Nabi Muhammad SAW :
Jika engkau suka tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya. Lalu Umar
menyedekahkan, dengan syarat dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh
dihibahkan, dan tidak boleh diwarisi. Yaitu untuk orang-orang kafir untuk
keluarga dekat, untuk memmerdekakan sahaya, utnuk menjamu tamu, untuk
orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan (Ibnu Sabil), dan tidak
11
Imam Abi al-Husain Muslim al-Hijaj, Shahih Muslim, (Mesir: Dar-al-Hadits al-Qahirah,
1994), Jilid 6, h.95.
12
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar El-Fikr, t.th), Juz 3, h.196. Lihat juga Ibid.,
h.14.
26
berdosa orang yang meburusinya itu untuk memakan sebagiannya dengan
cara yang wajar dan untuk memberi makan (kepada keluarganya) dengan
syarat jangan dijadikan hak milik.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Di samping hadist yang menyatakan landasan hukum wakaf tanah
yang merupakan benda yang tidak bergerak, ada juga hadist yang menyatakan
kebolehan benda bergerak sebagaimana hadist yang berasal dari Abu
Hurairah dan diriwayatkan oleh Bukhari yang berbunyi sebagai berikut:
ْ َﻣﻦ: ﺳّﻠﻢ
َ ﻋَﻠﯿْ ِﮫ َو
َ ﷲ
ُ ﺻﻠﱠﻰ ا
َ ﷲ
ِ لا
ُ ْﺳﻮ
ُ ل َر
َ ﻗَﺎ: ل
َ ﻋﻨْ ُﮫ َﻗﺎ
َ ﷲ
ُ ﻰا
َﺿ
ِ ﻋﻦْ َاِﺑﻰ ُھ َﺮﯾْ َﺮ َة َر
َ
, َوَﺑﻮَْﻟ ُﮫ,ن ﺸَِﺒ َﻌ ُﮫ َو َرﻓْ َﺜ ُﮫ
ﻓِﺎ ﱠ,ﺴﺎًﺑﺎ
َ ﷲ ِاﯾْ َﻤﺎ ًﻧﺎ َو اﺣْ ِﺘ
ِ ﻞ ا
ِ ْﺳ ِﺒﯿ
َ ﺳﺎ ِﻓﻰ
ً ْﺲ َﻓﺮ
َ ِاﺣَْﺘ َﺒ
13
{ﺴَﻨﺎتٌ }رواه اﻟﺒﺨﺮى
َﺣ
َ ِﻓﻲْ ِﻣﯿْ َﺰاِﻧ ِﮫ
Artinya:
“Dari Abi Hurairah RA berkata, Rasulullah bersabda: Barangsiapa
mewakafkan seekor kuda di jalan Allah dengan penuh keimanan dan
keikhlasan maka sesungguhnya jasad, kotoran, dan kencingnya akan menjadi
amal kebaikan pada timbangan pada hari kiamat.”(HR. Bukhari)
Walaupun hadist di atas hanya menunjukan keabsahan wakaf hewan,
dalam hal ini kuda, tapi jika ditinjau dari fungsi hewan itu di zaman nabi yaitu
sebagai hewan yang tercepat, maka dapat disimpulkan bahwa wakaf benda
bergerakpun sah menurut hukum manakala pemanfaatannya dapat diperoleh
tanpa menghabiskan barang itu sendiri.
Uraian hadist di atas mengarah pada adanya dua bentuk benda wakaf,
yaitu benda bergerak yang disebut al-manqul atau al-musya’ dan benda yang
tidak bergerak yang bisa disebut al-‘aqar.14
13
Ibid., h.198.
14
Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, Sejarah,
Perkembangannya (Bandung: Yayasan Piara, 1995), h.13.
Pemikiran,
Hukum
dan
27
Dari beberapa hadist di atas dapat disimpulkan bahwa disyariatkannya
wakaf sebagai tindakan hukum dengan cara melepaskan hak kepemilikannya
atas asal barang dan mensedekahkan manfaatnya untuk kepentingan umum,
dengan maksud memperoleh pahala dari Allah. Kepentingan tersebut bisa
berupa kepentingan sosial atau kepentingan agama.
B.
Rukun, Syarat, Tujuan, dan Fungsi Wakaf
1. Rukun dan Syarat Wakaf
Meskipun para pakar hukum Islam berbeda pendapat dalam
merumuskan definisi wakaf, namun mereka sepakat dalam menentukan rukun
wakaf,15 tanpa adanya rukun-rukun sesuatu tidak akan berdiri tegak. Wakaf
sebagai suatu lembaga Islam mempunyai beberapa rukun. Tanpa adanya
rukun-rukun yang telah ditetapkan, wakaf tidak dapat berdiri atau tidak sah.16
Menurut Abdul Wahhab Khallaf rukun wakaf ada empat macam yaitu:17
a. Orang yang berwakaf (Wakif)
Yang dimaksud dengan wakif adalah pemilik harta benda yang
melakukan perbuatan hukum (menyerahkan harta bendanya). Menurut para
pakar hukum Islam, suatu wakaf dianggap sah dan dapat dilaksanakan apabila
15
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum perdata Islam di Indonesia, cet.II, (Jakarta: Kencana,
2008), h.240.
16
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta: Permadani,
2004), h.135.
17
Abdul Wahhab Khallaf, Ahkam al-Waqf (Kairo: Matba’ah al Misr, 1951), h.24.
28
wakif mempunyai kecakapan untuk melakukan (tabarru) yakni melapas hak
milik dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan materil. Orang dapat
dikatakan mempunyai kecakapan melakukan dalam hal perwakafan, apabila
orang tersebut merdeka, benar-benar pemilik harta yang diwakafkan, berakal
sehat, baligh dan pandai (rasyid). Kemampuan melakukan dalam perbuatan
wakaf ini sangat penting, karena wakaf merupakan pelepasan benda dari
pemiliknya untuk kepentingan umum.
b. Harta yang diwakafkan (Mauquf bih)
Agar harta benda yang diwakafkan sah, maka harta benda tersebut
harus memenuhi tiga syarat, pertama: mutaqawwin (mal mutaqawwin) yakni
harta pribadi milik si wakif secara sah dan halal, benda bergerak atau tidak
bergerak, kedua: benda yang diwakafkan itu jelas wujudnya dan pasti batasbatasnya dan tidak dalam keadaan sengketa, ketiga: benda yang diwakafkan
itu harus kekal yang memungkinkan dapat dimanfaatkan secara terusmenerus. Namun demikian menurut Imam Malik dan golongan Syiah
Imamiyah wakaf dapat atau boleh dibatasi waktunya.
c. Tujuan wakaf (Mauquf alaih)
Yang dimaksud dengan mauquf alaih adalah tujuan wakaf yang harus
dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam.
Oleh karena itu, benda-benda yang dijadikan sebagai objek wakaf hendaknya
29
benda-benda yang termasuk dalam bidang yang mendekatkan diri (qurbat)
kepada Allah SWT.
d. Ikrar wakaf (Sighat wakaf)
Tentang sighat wakaf ini merupakan rukun wakaf yang disepakati oleh
jumhur fuqaha. Tanpa adanya ikrar wakaf, para fuqaha menganggap wakaf
belum sempurna dilaksanakan. Yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah
pernyataan yang merupakan penyerahan barang-barang wakaf kepada nazhir
untuk dikelola sebagaimana yang diharapkan oleh pemberi wakaf.
Pada umumnya, lafaz qabul hanya diperuntukkan kepada wakaf
perorangan, tetapi bagi wakaf untuk umum tidak disyaratkan adanya lafaz
qabul, cukup dengan ikrar penyerahan saja.18
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 2
ditentukan bahwa wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syarat-syarat
rukun yang ditentukan syariah. Selanjutnya dalam Pasal 6, wakaf
dilaksanakan dengan memenuhi unsur sebagai berikut; Wakif; Nazhir; Harta
Benda Wakaf; Ikrar Wakaf; peruntukan harta benda wakaf; dan jangka waktu
wakaf.
Pada Pasal 7 ditentukan bahwa wakif meliputi; perseorangan;
organisasi; badan hukum. Selanjutnya pada Pasal 8 Wakif perseorangan hanya
dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan; dewasa; berakal;
sehat; tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan pemilik sah harta
18
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum perdata Islam di Indonesia, h.241.
30
benda wakaf. Sedangkan wakif organisasi hanya dapat melakukan wakaf
apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf
milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
Wakif badan hukum dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan
badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum
sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
Pada Pasal 9 ditentukan bahwa nazhir meliputi; perseorangan;
organisasi; badan hukum. Selanjutnya pada Pasal 10 perseorangan hanya
dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan; Warga Negara
Indonesia; beragama Islam; dewasa; amanah; mampu secara jasmani dan
rohani; tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Organisasi hanya dapat
menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan: pengurus organisasi yang
bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan; organisai yang
bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan
Islam. Badan hukum hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi
persyaratan;
pengurus
badan
hukum
yang
bersangkutan
memenuhi
persyaratan nazhir perseorangan; badan hukum Indonesia yang dibentuk
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan badan hukum
yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau
keagamaan Islam.
31
Dalam Pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa, harta benda wakaf adalah
harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang
serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif.
Disyaratkan pula dalam pasal 15 bahwa harta benda wakaf hanya dapat
diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasasi oleh wakif secara sah.
Menurut pasal 1 ayat (3), yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah
pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan
kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Sedangkan dalam
pasal 17 dikatakan bahwa, ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir
dihadapan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) dengan disaksikan
oleh 2 orang saksi dan dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta
dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
2. Tujuan dan Fungsi Wakaf
Jika kita menggali syariat Islam, akan ditemukan bahwa tujuan syariat
Islam adalah demi kemaslahatan manusia. Allah memberi manusia
kemampuan dan karakter yang beraneka ragam. Dari sinilah, kemudian timbul
kondisi dan lingkungan yang berbeda di antara masing-masing individu. Ada
yang miskin, kaya, cerdas, bodoh, kuat dan lemah, di balik semua itu
tersimpan hikmah, di mana Allah memberi kesempatan kepada yang kaya
menyantuni yang miskin, yang cerdas membimbing yang bodoh dan yang
32
kuat menolong yang lemah. Yang demikian, merupakan wahana bagi manusia
untuk melakukan kebajikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah,
sehingga interaksi antarmanusia terus terjalin.19
Wakaf memiliki fungsi sosial, artinya bahwa penggunaan hak milik
oleh seseorang harus memberi manfaat langsung atau tidak langsung kepada
masyarakat. Dalam ajaran kepemilikan terhadap harta benda seseorang,
agama Islam mengajarkan bahwa di dalamnya melekat hak fakir miskin yang
harus diberikan oleh pemiliknya secara ikhlas kepada yang memerlukannya
sesuai aturan yang telah ditentukan yakni melalui infak, sedekah, wasiat,
hibah, dan wakaf. Hal ini adalah sesuai dengan firman Allah SWT,
sebagaimana tersebut dalam QS. adz-Dzaariyaat ayat 19:
{ ١٩:٥١ / ﻞ وَاﻟْ َﻤﺤْﺮُو ِم }اﻟﺬّارﯾﺎت
ِ ﻖ ﻟِﻠﺴﱠﺎِﺋ
ﺣﱞ
َ َْوﻓِﻲ َأﻣْﻮَاِﻟ ِﮭﻢ
Artinya:
“dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta
dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”(QS. Adz-Dzariyat, 51:19)
Kepemilikan harta benda yang tidak menyertakan kepada kemanfaatan
terhadap orang lain merupakan sikap yang tidak disukai oleh Allah SWT.
Agama Islam selalu menganjurkan agar selalu memelihara keseimbangan
sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial dalam tata kehidupan
masyarakat.20
19
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan
Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf (Jakarta:
IIMaN Press, 2003), h.83.
20
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum perdata Islam di Indonesia, h.265.
33
Dalam konsep Islam, dikenal istilah jariyah artinya mengalir.
Maksudnya, sedekah atau wakaf yang dikeluarkan, sepanjang benda wakaf itu
dimanfaatkan untuk kepentingan kebaikan maka selama itu pula si wakif
mendapat pahala secara terus-menerus meskipun telah meninggal dunia,21
ﻦ
َ ( إِﻻ اﱠﻟﺬِﯾ٥) ﻦ
َ ﻞ ﺳَﺎ ِﻓﻠِﯿ
َ ( ﺛ ﱠﻢ َر َددْﻧَﺎ ُه َأﺳْ َﻔ٤) ﻦ ﺗَﻘﻮِﯾ ٍﻢ
ِﺴ
َ ْن ﻓِﻲ َأﺣ
َ ﺴﺎ
َ ْﺧﻠَﻘﻨَﺎ اﻹﻧ
َ َْﻟ َﻘﺪ
{٤-٦ : ٩٥/( }اﻟ ّﺘﯿﻦ٦) ن
ٍ ﻏﯿْ ُﺮ َﻣﻤْﻨﻮ
َ ٌت َﻓَﻠ ُﮭﻢْ َأﺟْﺮ
ِ ﻋ ِﻤﻠُﻮا اﻟﺼﱠﺎِﻟﺤَﺎ
َ آ َﻣﻨُﻮا َو
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya. kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya
(neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh;
Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”(QS. Al-Tiin, 95:4-6)
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik pasal 2 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (Buku III tentang Hukum Perwakafan) pasal
216 menyebutkan, bahwa fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda
wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, yaitu melembagakannya untuk selamalamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan
ajaran Islam.
Tujuan wakaf yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf dijelaskan pada pasal 4, bahwa wakaf bertujuan untuk
memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. Dalam rangka
mencapai tujuan dan fungsi wakaf ditambahkan dalam pasal 22, bahwa harta
benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi; sarana dan kegiatan ibadah;
21
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), h.492.
34
sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; bantuan kepada fakir miskin,
anak terlantar, yatim piatu, beasiswa; kemajuan dan peningkatan ekonomi
umat; dan/atau
kemajuan
kesejahteraan umum lainnya yang
tidak
bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, penetapan peruntukan harta
benda wakaf dilakukan oleh wakif pada saat pelaksanaan ikrar wakaf.
Sedangkan dalam hal wakif tidak menetapkan peruntukkan harta benda
wakaf, nazhir dapat menetapkan peruntukkan harta benda wakaf yang
dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 5
dijelaskan bahwa fungsi wakaf adalah mewujudakan potensi dan manfaat
ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan
kesejahteraan umum. Wakaf merupakan tindakan hukum sukarela yang amat
dianjurkan sebagai manifestasi rasa syukur atas anugerah rezeki yang diterima
oleh seseorang dan difungsikan untuk kepentingan sosial dan keagamaan.
Dalam pelaksanaannya, agar fungsi wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, maka
objek wakaf hendaknya didayagunakan dengan sebaik-baiknya dalam
pengelolaannya. Untuk itu diperlukan nazhir yang profesional dibidangnya
dengan mengedepankan prinsip dan ajaran Islam.
Dengan adanya nazhir yang profesioanal tersebut diharapkan objek
wakaf yang masih banyak terbengkalai serta belum optimal pemanfaatannya
35
dapat lebih produktif, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi
kesejahteraan masyarakat dan pembangunan bangsa serta dapat mencegah
timbulnya permasalahan atau sengketa yang dapat timbul di kemudian hari.
C.
Kewajiban dan Hak-Hak Nazhir atas Benda Wakaf
Nazhir wakaf, baik perorangan, organisasi maupun yang berbentuk
badan hukum merupakan orang yang diberi amanat oleh wakif untuk
memelihara, mengurus dan menyelenggarakan harta wakaf sesuai dengan
ikrar wakaf. Sebagai pemegang amanah tersebut, nazhir tentu mempunyai
berbagai kewajiban dan hak tertentu. Kewajiban adalah menyangkut hal-hal
yang harus dikerjakan dan diselesaikan demi tercapainya tujuan wakaf
sebagaimana yang dikehendaki oleh ikrar wakaf, sedangkan hak adalah
menyangkut penghargaan atas jasa atau jerih payah dari nazhir yang telah
mengelola harta wakaf baik berupa honor atau gaji maupun fasilitas harta
wakaf yang telah dikelolanya.
Sebagai pemegang amanah, nazhir tidak dibebani resiko apapun atas
kerusakan-kerusakan yang terjadi atau menimpa terhadap harta wakaf, selagi
kerusakan-kerusakan dimaksud bukan atas kesengajaan atau kelalaiannya.
Hanya saja untuk menghindari kerusakan terhadap harta benda wakaf, nazhir
dibebankan pengurusan yang meliputi pemeliharaan, pengurusan dan
pengawasan harta wakaf serta hasil-hasilnya. Selain itu juga menyangkut
36
laporan tentang semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf, mulai dari
keadaan, perkembangan harta wakaf sampai kepada pemanfaatan hasilhasilnya.22
Kewajiban nazhir secara lebih rinci terdapat dalam Peraturan Menteri
Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Pasal 10
sebagai berikut:
(1) Nazhir berkewajiban melaporkan, mengurus dan mengawasi harta
kekayaan wakaf dan hasilnya, meliputi:
a. Menyimpan Lembaran Salinan Akta Ikrar Wakaf;
b. Memelihara tanah wakaf;
c. Memanfaatkan tanah wakaf;
d. Memanfaatkan dan berusaha meningkatkan hasil wakaf;
e. Meyelenggarakan pembukuan/administrasi yang meliputi:
1. buku catatan tentang keadaan tanah wakaf;
2. buku catatan tentang pengelolaan dari hasil tanah wakaf;
3. buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf
(2) Nazhir berkewajiban melaporkan:
a. Hasil pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan
sertifikatnya kepada Kepala KUA;
b. Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan
penggunaannya;
c. Pelaksanaan kewajiban yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini kepada
Kepala KUA tiap satu tahun sekali yaitu pada tiap akhir bulan
Desember.
(3) Nazhir berkewajiban pula untuk melaporkan adanya salah seorang
anggota nadzir yang berhenti dari jabatannya sebagai diatur dalam pasal 8
ayat (2) peraturan ini.
(4) Bilamana jumlah anggota nadzir kelompok karena berhentinya salah
seorang anggota atau lebih berakibat tidak memenuhi syarat sebagai diatur
dalam pasal 8 ayat (1) peraturan ini, anggota nadzir lainnya berkewajiban
22
Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang Hampir
Terlupakan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.167.
37
mengusulkan penggantiannya untuk disahkan oleh Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf.
Peraturan Menteri Agama di atas, kemudian oleh Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 11 disederhanakan lagi menjadi
sebagai berikut:
a. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
b. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,
fungsi dan peruntukannya;
c. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Di samping dibebani beberapa kewajiban, nazhir juga diberi hak untuk
memperoleh penghasilan yang layak sebagai imbalan atas jerih payahnya
mengelola harta wakaf.23 Adanya upah bagi si nazhir ini, telah dipraktikkan
oleh Umar Ibn Khattab, Ali ibn Abi Talib, dan sahabat-sahabat lainnya.
Besarnya upah yang diterima nazhir, sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan waqif atau hakim.24
Golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa nazhir berhak mendapatkan
gaji selama ia melaksanakan segala sesuatu yang diminta saat wakaf itu
terjadi. Besarnya gaji bisa sepersepuluh atau seperdelapan, dan sebagainya,
sesuai dengan ketentuan wakif. Namun, apabila wakif tidak menetapkan upah
nazhir, maka hakimlah yang menetapkan upah nazhir tersebut. Besarnya upah
23
Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang Hampir
Terlupakan, h.170.
24
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, h.159.
38
pada umumya disesuikan dengan berat-ringannya tugas-tugas yang diberikan
kepada nazhir.
Pendapat golongan Malikiyyah mengenai upah nazhir ini hampir sama
dengan pendapat golongan Hanafiyyah. Hanya saja, sebagian golongan
Malikiyyah berpendapat bahwa jika waqif tidak menentukan upah nazhir,
maka hakim dapat mengambil upah itu dari bait al-mal.
Adapun golongan Syafi’iyyah berpendapat bahwa yang menetapkan
gaji nazhir itu waqif. Mengenai jumlahnya sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Jika wakif tidak menetapkan upah bagi nazhir, menurut golongan
Syafi’iyyah, nazhir tidak berhak mendapatkan gaji. Jika mengharapkan gaji,
nazhir harus mengajukan permohonan kepada hakim. Selama tidak
mengajukan permohonan, nazhir tidak berhak mendapatkan gaji tersebut. Jika
ia memohon kepada hakim, sebagian golongan Syafi’iyyah menyatakan
bahwa nazhir berhak mendapatkan gaji yang seimbang. Sebagian golongan
Syafi’iyyah menyatakan bahwa sebenarnya ia tidak berhak memohon gaji,
kecuali apabila keadaannya sangat membutuhkan.
Di kalangan golongan Hanabilah terdapat dua pendapat. Pendapat
pertama, nazhir tidak halal mendapatkan upah kecuali hanya untuk makan
sepatutnya. Pendapat kedua, nazhir wajib mendapatkan upah sesuai dengan
pekerjaannya.25
25
Ibid., h.160-161.
39
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
ditegaskan di sini bahwa nazhir boleh menerima upah, baik diambil dari harta
wakaf maupun dari sumber lain. Jumlah upah di samping didasarkan situasi
dan kondisi di suatu tempat. Juga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan
oleh waqif maupun hakim yang bertugas di wilayah di mana wakaf itu berada.
Hak-hak nazhir dirumuskan pula dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 12, yaitu nazhir dapat menerima imbalan
dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang
besarnya tidak boleh melebihi 10% (sepuluh persen). Bahkan dalam pasal
selanjutnya disebutkan bahwa nazhir berhak mendapat pembinaan dari
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.
Karena nazhir mempunyai peran sentral dalam pengembangan harta
wakaf, maka posisi nazhir menjadi sangat penting, karena tanpa nazhir
pegelolaan harta wakaf menjadi tidak akan terlaksana dengan baik seperti
yang diharapkan oleh instrumen disunahkannya wakaf. Oleh karena itu,
nazhir harus ditetapkan pada waktu ikrar wakaf termasuk peruntukan harta
wakaf.
Pengaturan demikian dilakukan untuk menertibkan perwakafan agar
harta wakaf kekal manfaatnya dan secara admnistratif akan lebih baik.
Disamping itu, dengan perincian yang jelas mengenai kewajiban dan hak
nazhir, diharapkan pengelolaan harta wakaf akan lebih baik untuk sekarang
40
dan masa yang akan datang. Hal lain agar harta wakaf terhindar dan
memperkecil terjadinya sengketa yang berakibat hilangnya harta wakaf.26
D.
Macam-Macam Wakaf
Bila ditinjau dari segi peruntukan ditujukan kepada siapa wakaf itu,
maka wakaf dapat dibagi menjadi dua (2) macam:27
1. Wakaf Ahli
Yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau
lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf seperti ini juga disebut wakaf
Dzurri. Wakaf jenis ini (wakaf ahli/dzurri) terkadang juga disebut wakaf ‘alal
aulad, yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial
dalam lingkungan keluarga (famili), lingkungan kerabat sendiri.28 Wakaf ini
bertujuan menjaga anak dan cucu dari yang berwakaf dzurri disyaratkan
supaya barang yang diwakafkan itu hendaklah mengandung faedah yang tidak
ada putus-putusnya sekalipun keturunannya telah habis.29
26
Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang Hampir
Terlupakan, h.170.
27
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen Agama, Fiqih Wakaf, cet.IV, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, 2006), h.14.
28
Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah (Lebanon: Dar al-‘Arabi, 1971), h.378.
29
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2010), h.372.
41
2. Wakaf Khairi
Yaitu, wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan)
atau kemasyarakatan (kebajikan umum).30 Wakaf ini ditujukan kepada umum
dengan tidak terbatas penggunaannya yang mencakup semua aspek untuk
kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya. Kepentingan
umum tersebut bisa untuk jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, pertahanan,
keamanan dan lain-lain.
Wakaf ahli, pada prinsipnya, tidak berbeda dengan wakaf khairi.
Keduanya bertujuan untuk membantu pihak-pihak yang memerlukan sebagai
realisasi perintah Allah kepada manusia untuk membelanjakan sebagian
hartanya. Perintah itu antara lain terdapat dalam surat Ali Imran ayat 92:
ٌﻋﻠِﯿﻢ
َ ن اﻟﱠﻠ َﮫ ِﺑ ِﮫ
ﺷﻲْ ٍء َﻓِﺈ ﱠ
َ ْن َوﻣَﺎ ﺗﻨﻔِﻘﻮا ِﻣﻦ
َ ﺤﺒﱡﻮ
ِ ﺣﺘﱠﻰ ﺗﻨﻔِﻘﻮا ِﻣﻤﱠﺎ ُﺗ
َ َﻟﻦْ َﺗﻨَﺎﻟُﻮا اﻟْ ِﺒ ﱠﺮ
(٩٢ :٣ /)ال ﻋﻤﺮان
Artinya:
“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang
kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”(QS. Ali ‘Imran,
3:92)
Perbedaan antara wakaf ahli dan wakaf khairi hanyalah terletak pada
pemanfaatannya. Wakaf ahli pemanfaatannya hanya terbatas pada keluarga
waqif, yaitu anak-anak mereka dalam tingkat pertama dan keturunan mereka
secara turun-temurun sampai anggota keluarga tersebut meninggal semuanya.
Sesudah itu hasil wakaf dapat dimanfaatkan orang lain seperti janda, anak30
Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, h.378.
42
anak yatim piatu, atau orang-orang miskin,31 sedangkan wakaf kahiri sejak
semula pemanfaatannya sudah ditujukan untuk kepentingan umum dan tidak
dikhususkan untuk orang-orang tertentu. 32
Bila ditinjau dari segi jenis harta bendanya, maka wakaf terdiri dari
benda tidak bergerak dan benda bergerak:
1.
Benda tidak bergerak, seperti tanah, sawah, dan bangunan. Benda
macam inilah yang sangat dianjurkan agar diwakafkan, karena
mempunyai nilai jariah yang lebih lama.
2.
Benda bergerak, seperti mobil, sepeda motor, binatang ternak, atau
benda-benda lainnya. Yang terakhir ini dapat juga diwakafkan. Namun
demikian, nilai jariahnya terbatas hingga benda-benda tersebut dapat
dipertahankan.33
Dalam fiqh Islam, wakaf sebenarnya dapat meliputi berbagai benda.
Walaupun berbagai riwayat/hadist yang menceritakan masalah wakaf ini
adalah mengenai tanah, tapi berbagai ulama memahami bahwa wakaf bukan
tanah pun boleh saja asal bendanya tidak langsung musnah/habis ketika
diambil manfaatnya.34
31
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, h.142.
32
Ibid., h.144.
33
Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.505.
34
Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia: Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), h.26.
43
E.
Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum
sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta
benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke
tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu,
tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan nadzir dalam megelola
dan mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat
yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang
seharusnya dilindungi demi kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi,
dan peruntukan wakaf.
Berdasarkan pertimbangan di atas dan untuk memenuhi kebutuhan
hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional, serta untuk menciptakan
tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf,
dibentuklah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam
undang-undang tersebut ditegaskan, bahwa perbuatan hukum wakaf wajib
dicatat dan dituangkan dalam ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan
yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf dan harus
dilaksanakan.35
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 32 dan
33 menentukan bahwa, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) atas
35
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum perdata Islam Di Indonesia, h.256-257.
44
nama nadzir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang
berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf
ditandatangani. Dalam pendaftaran harta benda wakaf, PPAIW menyerahkan:
a. Salinan akta ikrar wakaf;
b. Surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya.
Bukti pendaftaran harta benda wakaf disampaikan oleh PPAIW
kepada nazhir. Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah
peruntukannya, nadzir melalui PPAIW mendaftarkan kembali kepada instansi
yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia atas harta benda wakaf yang
ditukar atau diubah peruntukannya itu, sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf. (Pasal 35-36)
Menteri
dan
Badan
Wakaf
Indonesia
mengadministrasikan
pendaftaran harta benda wakaf dan mengumumkan kepada masyarakat harta
benda wakaf yang telah terdaftar. (Pasal 37-38)
Sebelumnya, berdasarkan seiring dengan hal itu. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Poko Agraria (LN 1960
Nomor 104), telah memberikan pengaturan khusus akan masalah ini di dalam
pasal mengenai kewajiban pembentuk undang-undang untuk mengindahkan
unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.36
36
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Islam, h.398.
45
Dalam rangka menjamin kepastian hak dan kepastian hukum atas
tanah, UUPA telah menggariskan adanya keharusan untuk melaksanakan
pendaftaran tanah diseluruh tanah air. Untuk melaksanakan hal tersebut telah
dikeluarkan
Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961
tentang
Pendafataran Tanah (LN 1961 Nomor28), yang memuat pengaturan secara
tekhnis penyelenggaraan pendaftaran tanah.37
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik dan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang
Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik, telah menentukan prosedur perwakafan tanah milik,
termasuk di dalamnya kewajiban untuk mendaftarkannya.
Keharusan untuk pendaftaran tanah wakaf sebenarya telah ada sejak
tahun 1950, yang mengharuskan tanah wakaf didaftarkan di tiap-tiap
kabupaten. Dengan adanya ketentuan ini diharapakan pengelolaan dan
pemeliharaan serta pelaksanaan di masa yang akan datang lebih baik dan
tertib administrasi serta manajemennya.38
37
Ibid., h.399.
38
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum perdata Islam Di Indonesia, h.258.
BAB III
PERUBAHAN STATUS WAKAF DAN MEKANISMENYA
A.
Perubahan Status Wakaf dalam Hukum Islam
Dalam Hukum Islam pada dasarnya perubahan status wakaf tidak
diperbolehkan, kecuali wakaf tersebut tidak dapat kembali dimanfaatkan
sesuai dengan tujuan wakaf, maka perubahan itu dapat dilakukan terhadap
wakaf yang bersangkutan. Para ulama/ahli Hukum Islam memang beragam
pendapatnya, tentang boleh tidaknya melakukan perubahan status pada benda
wakaf, seperti menjual, merubah bentuk/sifat, memindahkan ke tempat lain,
atau menukar dengan benda lain.
1. Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Hanafiyah
Dalam perspektif madzhab Hanafi, ibdal (penukaran) dan istibdal
(penggantian) boleh dilakukan. Kebijakan ini berpijak dan menitikberatkan
pada maslahat yang menyertai praktik tersebut. Menurut mereka, ibdal boleh
dilakukan oleh siapapun, baik wakif sendiri, orang lain, maupun hakim, tanpa
menilik jenis barang yang diwakafkan, apakah berupa tanah yang dihuni,
tidak dihuni, bergerak, maupun tidak bergerak.1
1
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan
Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf.
Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman, dkk KMPC (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika dan IIMaN
Press, 2004), h.349.
46
47
Ulama Hanafiyah membolehkan penukaran benda wakaf tersebut
dalam tiga hal:
a. Apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut
ketika mewakafkannya. Contoh, ketika wakif ingin berwakaf ia
berkata: “Tanahku ini aku wakafkan dengan syarat bahwa di kemudian
hari aku bisa menggantinya dengan barang wakaf yang lain, atau
berhak untuk menjualnya dan membeli barang lain sebagai gantinya.”
b. Apabila benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankan, dengan kata
lain benda wakaf sudah tidak mendatangkan manfaat sama sekali,
maka boleh dijual dan hasilnya dibelikan tanah lain yang lebih
maslahat, dan penjualan tanah wakaf tersebut harus mendapat izin dari
hakim terdahulu.
c. Jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan lebih
bermanfaat. 2
2. Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Malikiyah
Meskipun pada prinsipnya para ulama Malikiyah melarang keras
penggantian barang wakaf, namun mereka tetap memperbolehkannya pada
kasus tertentu dengan membedakan barang wakaf yang bergerak dan yang
tidak bergerak.
2
Muhammad Jawad Mugniyah, al-Ahwal al-Syakhsiyah ala al-Mazahib al-Khamsah (Beirut:
Dar al-Ilm li al-Malayin, 1964), h.333.
48
a. Mengganti Barang Wakaf yang Bergerak
Kebanyakan fuqaha mazhab Maliki memperbolehkan penggantian
barang wakaf yang bergerak dengan pertimbangan kemaslahatan.
Untuk mengganti barang wakaf yang bergerak, ulama Malikiyah
mensyaratkan bahwa barang tersebut harus tidak bisa dimanfaatkan
lagi. Mengikuti syarat ini, kita boleh menjual buku-buku wakaf yang
berisi bermacam disiplin ilmu jika terlihat usang, rusak dan tidak dapat
dipergunakan lagi. Namun sebaliknya, kita tidak boleh menjual bukubuku itu selama masih bisa digunakan.
b. Mengganti Barang Wakaf yang Tidak Bergerak
Para ulama Malikiyah dengan tegas melarang penggantian barang
wakaf yang tidak bergerak, dengan mengecualikan kondisi darurat
yang sangat jarang terjadi atau demi kepentingan umum. Jika keadaan
memaksa, mereka membolehkan penjualan barang wakaf, meskipun
dengan cara paksaan. Dasar yang mereka gunakan sebagai pijakan
adalah bahwa penjualan akan berpeluang pada kemaslahatan dan
kepentingan umum.3
Di kalangan ulama Malikiyah sendiri terdapat perbedaan pendapat
tentang menjual atau memindahkan tanah wakaf. Mayoritas ulama Malikiyah
melarang menjual atau memindahkan tanah wakaf sekalipun tanah tersebut
3
Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan
Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, h.366-368.
49
tidak mendatangkan hasil sama sekali. Sebagian ulama Malikiyah lainnya
memperbolehkan menggantikan dengan menukarkan tanah wakaf yang tidak
atau kurang bermanfaat dengan tanah lain yang lebih baik,4 namun dengan
tiga syarat, yaitu:
1) Wakif ketika ikrar mensyaratkan kebolehan ditukar atau dijual;
2) Benda wakaf itu berupa benda bergerak dan kondisinya tidak sesuai
lagi dengan tujuan semula diwakafkannya;
3) Apabila penggantian benda wakaf dibutuhkan untuk kepentingan
umum, seperti pembangunan masjid, jalan raya, dan sebagainya.5
3. Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Syafi’iyah
Dalam masalah penggantian barang wakaf, kalangan ulama Syafi’iyah
dikenal lebih berhati-hati dibanding ulama mazhab lainnya, hingga terkesan
seolah-olah mereka mutlak melarang istibdal dalam kondisi apa pun. Mereka
mensinyalir
penggantian
tersebut
dapat
berindikasi
penilapan
atau
penyalahgunaan barang wakaf. Namun, dengan ekstra hati-hati, mereka tetap
membahas masalah penggantian beberapa barang wakaf, secara garis besar
dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok:
a. Kelompok yang melarang penjualan barang wakaf dan atau
menggantinya. Mereka melarang penjualan barang wakaf apabila tidak
4
Muhammad Abu Zahrah, Al-Waqf, cet.II, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1971), h.171.
5
Mugniyah, al-Ahwal al-Syakhsiyah ala al-Mazahib al-Khamsah, h.333.
50
ada jalan lain untuk memanfaatkannya, selain dengan cara
mengkonsumsi sampai habis. Sebagai implikasi pendapat tersebut, jika
barang wakaf berupa pohon yang kemudian mengering tak berbuah
dan hanya bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar, maka penerima wakaf
mempunyai wewenang untuk menjadikannya sebagai kayu bakar,
tanpa memiliki kewenangan menjualnya. Sebab, dalam pandangan
mereka meskipun barang wakaf hanya bisa dimanfaatkan dengan cara
mempergunakannya sampai habis, barang tersebut tetap memilki satu
unsur yang menjadikannya sebagai barang wakaf, sehingga tidak
boleh dijual.
b. Kelompok yang memperbolehkan penjualan barang wakaf dengan
alasan tidak mungkin dimanfaatkan seperti yang dikehendaki waqif.
Pendapat ulama Syafi’iyah tentang kebolehan penjualan barang wakaf
ini berlaku jika barang wakaf tersebut berupa benda bergerak.
Mengenai hukum barang wakaf yang tidak bergerak, ulama Syafi’iyah
tidak menyinggung sama sekali dalam kitab-kitab mereka. Hal ini
mengindikasikan seolah-olah mereka meyakini bahwa barang wakaf
yang tak bergerak tidak mungkin kehilangan manfaatnya, sehingga
tidak boleh dijual atau diganti.6
6
Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan
Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, h.371-373.
51
4. Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Hanabilah
Dalam masalah boleh tidaknya penggantian barang wakaf, ulama
Hanabilah tidak membedakan antara benda bergerak dan tak bergerak.
Mereka juga tidak membedakan apakah benda wakaf itu berbentuk masjid
atau bukan masjid.7 Di sini terlihat Mazhab Hanbali tidak memberikan
pembatasan yang ketat mengenai kebolehan menjual atau memindahkan tanah
wakaf dan masjid sekalipun. Kebolehan tersebut dikelompokkan dalam dua
hal yaitu:
a. Apabila barang wakafnya sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi, sesuai
dengan maksud orang yang mewakafkannya. Seperti wakaf masjid
yang telah rusak dan tidak mungkin untuk dimanfaatkan lagi, maka
tanah beserta bangunan masjid tersebut boleh dipindahkan ke tempat
lain sebagai pengganti masjid yang rusak.
b. Apabila penggantian benda wakaf tersebut lebih maslahat dan lebih
bermanfaat dari pada barang wakaf sebelumnya. Misalnya, wakaf
masjid yang sudah tidak bisa menampung jama’ah yang semakin
bertambah jumlahnya. Maka dalam hal ini masjid tersebut boleh
dibongkar dan kemudian di atas tanahnya dibangun masjid baru yang
lebih besar.8
7
Mugniyah, al-Ahwal al-Syakhsiyah ala al-Mazahib al-Khamsah, h.333.
8
Masfuk Zuhdi, Studi Islam dan Muamalah, cet.II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993),
h.81.
52
Ulama Hanabilah membatasi izin penggantian dengan adanya
pertimbangan kemaslahatan dan kondisi darurat. Mereka memfatwakan
bolehnya menjual bagian wakaf yang rusak demi memperbaiki bagian yang
lain. Itu semua adalah demi kemaslahatan.9
Amalan wakaf amat bergantung kepada dapat atau tidaknya harta
wakaf dipergunakan sesuai dengan tujuannya. Amalan wakaf akan bernilai
ibadah, bila harta wakaf betul-betul dapat memenuhi fungsi yang dituju.
Dalam hal harta wakaf mengalami berkurang, rusak atau tidak dapat
memenuhi fungsinya sebagaimana dituju, harus dicarikan jalan bagaimana
agar harta wakaf itu berfungsi. Apabila untuk itu ditukarkan dengan harta lain,
maka justru dengan maksud agar amalan wakaf itu dapat terpenuhi,
seharusnya tidak ada halangan untuk menjual harta wakaf yang tidak
berfungsi itu, kemudian ditukarkan dengan benda lain yang memenuhi tujuan
wakaf.
Dengan tetap memegang prinsip bahwa wakaf itu abadi dan harus
dijaga serta dipelihara sesuai dengan jenis barang dan cara pemeliharaan yang
disyaratkan waqif. Wakaf tersebut tetap boleh dijual, dipindahkan, dirubah
atau diganti untuk kemudian diatur kembali pemanfaatannya bagi kepentingan
umum, sesuai dengan tujuan wakaf. Yang menjadi landasan utama dari
9
Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan
Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, h.378.
53
kebolehan tersebut ialah agar benda itu tetap memberikan kemaslahatan bagi
umat manusia sepanjang yang dibolehkan agama.
Dalam Fiqh dikenal prinsip maslahat, yaitu memelihara maksud
syara’, yakni memberikan kemanfaatan dan menghindari hal-hal yang
merugikan. Prinsip ini setidaknya dapat dijadikan pertimbangan dalam
perubahan menukar dan menjual harta wakaf untuk mencapai fungsinya
sebagaimana dinyatakan si wakif, dari pada harta wakaf dipertahankan tidak
boleh dijual, tetapi berakibat harta itu tidak berfungsi, maksud syara’ akan
lebih terpelihara bila harta wakaf itu boleh dijual atau digantikan barang lain
yang kemudian berkedudukan sebagai harta wakaf. 10
B.
Perubahan Status Wakaf dalam Hukum Positif
Dalam perundang-undangan tentang wakaf di Indonesia tidak
diklasifikasikan jenis benda wakaf yang bagaimana yang dapat diubah
statusnya, sehingga dalam hal ini undang-undang secara mutlak membolehkan
perubahan status harta benda wakaf apapun jenis bendanya. Sebab yang
menjadi sorotan bukan bentuk, akan tetapi yang terpenting dari wakaf adalah
fungsi dan tujuannya.
Pada dasarnya, terhadap benda yang yang telah diwakafkan tidak
dapat dilakukan perubahan, baik peruntukan maupun statusnya. Dalam
10
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah (Bandung: PT AlMa’rif, 1987), h.17-18.
54
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
Pasal 11 dijelaskan:
(1) Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat
dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain dari pada yang
dimaksud dalam ikrar wakaf.
(2) Penyimpangan dari ketentuan tesebut dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni:
a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh
wakif.
b. karena kepentingan umum.
(3) Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan
penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus
dilaporkan oleh Nadzir kepada kepada Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah, cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendapatkan
penyelesaian lebih lanjut.
Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (Buku III Hukum Perwakafan) pasal 225 ditentukan, bahwa
benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau
penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Penyimpangan
dari ketentuan dimaksud hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu
setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan
dan Camat setempat dengan alasan:
a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti dikrarkan oleh wakif.
b. Karena kepentingan umum.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal
40 juga mengatur tentang perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sudah
55
dianggap tidak atau kurang berfungsi sebagaimana maksud wakaf itu sendiri.
Secara prinsip, harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang; dijadikan
jaminan; disita; dihibahkan; dijual; diwariskan; ditukar; atau dialihkan dalam
bentuk pengalihan hak lainnya.
Namun, ketentuan tersebut dikecualikan apabila harta benda wakaf
yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan
Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah dan
hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas
persetujuan Badan Wakaf Indonesia. Harta benda wakaf yang sudah diubah
statusnya karena ketentuan pengecualian tersebut wajib ditukar dengan harta
benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta
benda wakaf semula (Pasal 41).
Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 41 di atas,
izin perubahan status/pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan,
jika pengganti harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan
sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 49 ayat 3 (a)
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang–
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf).
Dengan demikian, hukum asal perubahan dan atau pengalihan benda
wakaf dalam perundang-undangan di Indonesia adalah dilarang, akan tetapi
56
selama memenuhi syarat-syarat tertentu dan dengan mengajukan alasanalasan sebagaimana yang telah ditentukan oleh perundang-undangan yang
berlaku, perundang-undangan tetap memberikan peluang dibolehkannya
melakukan perubahan dan atau pengalihan terhadap harta benda wakaf, meski
dengan melalui prosedur dan proses yang panjang.
Ketatnya prosedur perubahan dan atau pengalihan harta benda wakaf
itu bertujuan untuk meminimalisir penyimpangan dan menjaga keutuhan harta
benda wakaf agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang dapat merugikan
eksistensi wakaf itu sendiri, sehingga wakaf tetap menjadi alternatif untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak.11
C.
Mekanisme Perubahan Status Wakaf
Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 yang
merupakan Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik pasal 12 dijelaskan:
(1) Untuk mengubah status dan penggunaan tanah wakaf, Nazhir
berkewajiban mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil Depag cq.
Kepala Bidang melalui Kepala KUA dan Kepala Kanwil Depag secara
hierarkis dengan menyebut alasannya.
(2) Kepala KUA dan Kepala Kandepag meneruskan permohonan tersebut
pada ayat (1) secara hierarkis kepada Kepala Kanwil Depag cq. Kepala
Bidang dengan disertai pertimbangan.
(3) Kepala Kanwil Depag cq. Kepala Bidang diberi wewenang untuk
memberikan persetujuan atau penolakan secara tertulis atas permohonan
perubahan penggunaan tanah wakaf.
11
Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang Hampir
Terlupakan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.155.
57
Berikutnya dalam Pasal 13 dijelaskan:
(1) Dalam hal ada permohonan perubahan status tanah wakaf Kepala Kanwil
Depag berkewajiban meneruskan kepada Menteri Agama cq. Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dengan disertai pertimbangan.
(2) Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam diberi wewenang untuk
memberi persetujuan atau penolakan secara tertulis atas permohonan
perubahan status tanah wakaf.
(3) Perubahan status tanah wakaf dapat diizinkan apabila diberikan
penggantian yang sekurang-kurangnya senilai dan seimbang dengan
kegunaannya sesuai dengan ikrar wakaf.
Selanjutnya perubahan status tanah wakaf atau perubahan penggunaan
tanah wakaf harus dilaporkan oleh nadzir kepada Bupati/Walikotamadya
Kepala Daerah cq. Kepala Sub Dit Agraria (sekarang Kantor Badan
Pertanahan) setempat untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut. Setiap
perubahan tidak dilaksanakan menurut ketentuan yang berlaku di samping
terkena sanksi, juga perbuatan itu batal dengan sendirinya menurut hukum.
Ketentuan mengenai mekanisme perubahan status harta benda wakaf
juga diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006
tentang Pelaksanaan Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Pasl 51 yang menjelaskan bahwa penukaran terhadap harta benda wakaf yang
akan diubah statusnya dilakukan sebagai berikut:
a. Nadzir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui
Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan
perubahan status/tukar-menukar tersebut;
b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor
Kementerian Agama Kabupaten/Kota;
c. Kepala kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah menerima
permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti
58
dalam Pasal 49 ayat (4), dan selanjutnya bupati/walikota setempat
membuat Surat Keputusan;
d. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota meneruskan
permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penelitian kepada Kepala
Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan selanjutnya meneruskan
permohonan tersebut kepada Menteri; dan
e. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti
dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor
pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.
Pembentukan tim sebagaimana dimaksud dalam huruf c Pasal 51 di
atas terdiri dari unsur:
a.
b.
c.
d.
e.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
Majelis Ulama Indonesia Kabupaten/Kota;
Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan;
Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.
BAB IV
PERUBAHAN STATUS WAKAF
MASJID AL-ISTIQOMAH WA HAYATUDDIN
A.
Gambaran Umum Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin
1. Sejarah Singkat Berdirinya Masjid
Awalnya terdapat dua bangunan rumah ibadah yaitu Masjid Al
Istiqomah dan Musholla Hayatuddin. Keduanya terletak di Jalan Kebon
Melati V RT.02 RW.08 Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang
Jakarta Pusat. Kerena adanya pengembangan wilayah dan tata kota di wilayah
tersebut yang rencananya akan dijadikan apartemen. Akhirnya dari pihak
pengembang dalam hal ini PT Jakarta Realty menemui kami selaku pengurus
kedua rumah ibadah tesebut, dikarenakan warga dan pengurus sebelumnya
sudah pindah, sehingga masjid dan musholla tersebut diserahkan ke Pimpinan
Cabang Muhammadiyah Tanah Abang I, hal ini dilakukan mengingat
sebelumnya kedua rumah ibadah tersebut berada di bawah Ranting
Muhammadiyah Kebon Melati V.1
Dalam pertemuan sekitar tahun 2003 tersebut, terjadilah negosiasi
harga untuk pembelian tanah kami, namun hal tersebut menemui jalan buntu
1
Adeng Nurdin, Wakil Ketua DKM Al Istiqomah wa Hayatuddin, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 21 Juli 2010.
59
60
sebab tidak terjadi kesepakatan harga di antara kedua belah pihak sampai
akhirnya keluar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.
Setelah adanya Undang-Undang Wakaf tersebut muncul usulan dari pihak
pengembang untuk dilakukan ruislagh (tukar menukar) tanah wakaf terhadap
tanah wakaf yang kami urus dan akan digantikan dengan tanah miliknya yang
terletak di Jalan KH. Mas Mansyur Nomor 57 Kelurahan Kebon Melati
Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat.2
Setelah kami pertimbangkan baik dari sisi kemaslahatan juga dilihat
dari lokasi pengganti yang lebih strategis tempatnya dan tanahnya yang lebih
luas dari sebelumnya, akhirnya kami menyetujuinya. Kemudian proses
ruislagh dilakukan pada tahun 2005 mulai dari perizinan, hingga
pembangunan masjid baru di lokasi pengganti. Setelah semuanya selesai pada
tahun 2008, kemudian masjid tersebut kami beri nama, oleh karena asalnya
dari hasil ruislagh dua rumah ibadah sebelumnya, maka masjid ini diberi
nama Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin.3
2. Struktur Kepengurusan Nadzir dan Dewan Kemakmuran Masjid
a. Struktur Kepengurusan Nadzir
Berikut
ini
adalah
struktur
kepengurusan
Nadzir
Organisasi
Muhammadiyah Cabang Tanah Abang I atas harta benda wakaf
2
Ibid.
3
Ibid.
61
Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin untuk masa bakti kerja 20082013:
1)
2)
3)
4)
5)
Eno Tardana, SPd
Drs. H.M. Fathurrahman
Drs. Adeng Nurdin
H.M. Kastopa, BBA
Marwan
: Ketua PCM Tanah Abang I
: Wakil Ketua PCM Tanah Abang I
: Sekretaris PCM Tanah Abang I
: Bendahara PCM Tanah Abang I
: Ketua Majelis Wakaf dan ZIS PCM
Tanah Abang I
b. Struktur Kepengurusan Masjid
Berikut ini adalah Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al
Istiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah
Abang Jakarta Pusat masa bakti kerja April 2010 sampai dengan April
2012:
1) Pembina/Penasehat
2) Ketua
3) Wakil Ketua
4) Sekretaris
5) Bendahara
6) Seksi Imam Rawatib
7) Seksi Dakwah
: a) KUA Kecamatan Tanah Abang
b) PCM Tanah Abang I
c) Nazhir Wakaf Masjid
: Eno Tardana, S.Pd
: a) Drs. H. Fathurrahman
b) Drs. Slamet Sugiono, SH
c) Drs. Adeng Nurdin
: a) Sahlan Taslim Abdullah
b) Iwan Iskandar
: a) Syaifuddin Zuhri
b) H.M. Kastopa, BBA
: a) H. Sanusi Muchtar
b) H. Chairil Anwar
c) Drs. Adeng Nurdin
: a) Drs. Hidayat
b) Drs. H. Fachrurozi
c) Endis Aziz Rais, M.Pd
d) Sobbirin
e) Marlen
f) Nazaruddin
62
8) Seksi Sholat Jum’at
: a) Syaifuddin Zuhri
b) Abdul Rosyid
c) Suwardi
9) Seksi Pemuda
: a) Drs. M. Slamet Wadji
b) Ismail Matdoan, S.Pd
c) M. Najib Jawas
d) M. Iqbal Balfas
e) Syahrial / M. Ridawan
f) M. Luthfie
10) Seksi Perlengkapan
: a) Marwan
b) Suhardi
c) Eman Sulaeman
d) Supardi
e) Ali Usman
11) Seksi Keamanan dan Kebersihan : a) M. Taufik HS.
b) Suparman
c) Basith Jawas
d) M. Irfan
B.
Faktor Penyebab dan Dampak Perubahan Status Wakaf Masjid AlIstiqomah wa Hayatuddin
1. Faktor Penyebab Perubahan Status Wakaf
Dilakukannya ruislagh tanah wakaf antara Masjid Al Istiqomah dan
Musholla Hayatuddin dengan tanah pengganti milik PT Jakarta Realty selaku
pihak pengembang disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, dikarenakan
adanya rencana pengembangan wilayah dan Rencana Umum Tata Ruang
(RUTR) di wilayah Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin berdiri. Di
mana rencananya di wilayah tersebut akan dijadikan lokasi untuk
63
pembangunan apartemen oleh pihak pengembang PT Jakarta Realty yang saat
ini pekerjaannya masih berlangsung.4
Selain faktor di atas, faktor lainnya adalah untuk mengamankan aset
wakaf supaya tidak hilang, sebab Masjid Al Istiqomah dan Musholla
Hayatuddin tersebut sudah tidak bisa digunakan sesuai dengan ikrar wakaf,
dalam arti tidak ada yang menggunakan, oleh karena sebelumnya pihak
pengembang PT Jakarta Realty sudah membebaskan lebih dahulu masyarakat
sekitar Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin, sehingga yang tersisa
hanya kedua bangunan rumah ibadah tersebut.5
Berdasarkan kedua faktor tersebut di ataslah akhirnya terhadap tanah
wakaf Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin dilakukan ruislagh,
yang kemudian dipindahkan menjadi satu bangunan ke lokasi pengganti milik
pengembang PT Jakarta Realty, dan bangunannya diberi nama Masjid Al
Istiqomah wa Hayatuddin.
2. Dampak Perubahan Status Wakaf
Adanya ruislagh tanah wakaf tersebut sangat positif sekali dampaknya,
di antaranya dari sisi lokasi pengganti saat ini Masjid Al Istiqomah wa
Hayatuddin lebih strategis dibanding lokasi sebelumnya, juga tanah pengganti
4
M. Syarifudin, Pelaksana Zakat Wakaf Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Pusat,
Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Juli 2010.
5
Ibid.
64
yang lebih luas dari sebelumnya sangat bermanfaat sekali bagi Pengurus
Nadzir dan Dewan Kemakmuran Masjid untuk mengelolanya lebih produktif
dibanding sebelumnya, sehingga amanat undang-undang untuk mengelola
wakaf secara produktif dapat terpenuhi.6
Pengelolaan wakaf secara produktif tersebut terlihat saat bahwa
Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin tidak hanya digunakan untuk
kepentingan ibadah saja, namun pengurus menyediakan jasa penyewaan
tempat seperti, untuk keperluan acara resepsi pernikahan dan ke depan
rencananya juga akan dibangun sebuah koperasi masjid yang mana hasil dari
itu semua nantinya dipergunakan sebaik-baiknya untuk mengelola aset wakaf
serta kemakmuran masjid.7
C.
Proses dan Reaksi Masyarakat terhadap Perubahan Status Wakaf
Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin
1. Proses Perubahan Status Wakaf
Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin ini dalam sejarah berdirinya yang
telah penulis jelaskan sebelumnya, merupakan masjid dari ruislagh tanah
wakaf dua rumah ibadah yaitu Masjid Al Istiqomah dan Musholla
Hayatuddin, yang terletak di Jalan Kebon Melati V RT.02 RW.08 Kelurahan
6
Adeng Nurdin, Wakil Ketua DKM Al Istiqomah wa Hayatuddin, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 21 Juli 2010.
7
Ibid.
65
Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat, dengan tanah milik
pengembang PT Jakarta Realty yang terletak di Jalan KH. Mas Mansyur
Nomor 57 Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat.
Berdasarkan hasil musyawarah bersama para pengurus nadzir kedua
rumah ibadah tersebut dengan para tokoh masyarakat setempat, yang terjadi
Pada tanggal 5 September 2005. Telah menyetujui pemindahan atau
penukaran tanah wakaf tersebut, dan mengajukan permohonan kepada
Menteri Agama melalui Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tanah
Abang Jakarta Pusat.
Kepala KUA Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat setelah menerima
permohonan tersebut beserta alasannya, maka pada tanggal 11 Nopember
2005 menindaklanjutinya dengan meneruskan permohonan tersebut kepada
Kantor Departemen Agama Kota Jakarta Pusat.
Kepala Kantor Departemen Agama Kota Jakarta Pusat setelah
menerima permohonan tersebut, kemudian meneruskannya kepada Kantor
Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 24 Nopember
2005, dan pada tanggal 14 Desember 2005 menyampaikan usulan
pembentukan Tim Ruislagh kepada Walikotamadya Jakarta Pusat yang
unsurnya terdiri dari; Walikotamadya Jakarta Pusat; Kantor Pertanahan
Kotamadya Jakarta Pusat; Majelis Ulama Indonesia Kotamadya Jakarta Pusat;
Kantor Departemen Agama Kotamadya Jakarta Pusat; Nadzir Masjid Al
66
Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan
Tanah Abang Jakarta Pusat.
Walikotamadya Jakarta Pusat setelah menerima usulan tersebut, maka
pada tanggal 11 Januari 2006 membuat keputusan tentang pembentukan Tim
Ruislagh tanah wakaf antara Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin
dengan PT Jakarta Realty. Berikutnya Tim Ruislagh melaksanakan penelitian
administrasi serta peninjauan lapangan dan selesai pada tanggal 21 Februari
2006. Lalu pada tanggal 27 Februari Walikotamadya Jakarta Pusat
menyampaikan rekomendasi hasil penilaian Tim Ruislagh tersebut, kepada
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI Jakarta sebagai
bahan pertimbangan.
Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 2007 Kepala Kantor Wilayah
Departemen Agama Provinsi DKI Jakarta meneruskan permohonan tersebut
kepada Menteri Agama melalui Direktur Jenderal Bimbingan Mayarakat
Islam Departemen Agama Republik Indonesia untuk memperoleh izin secara
tertulis. Sebelum Menteri Agama memberikan keputusannya, terlebih dahulu
pada tanggal 17 Maret 2007 melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam Departemen Agama Agama Republik Indonesia memohon persetujuan
kepada Badan Wakaf Indonesia.
Pada tanggal 11 Januari 2008 Badan Wakaf Indonesia memberikan
rekomendasi, bahwa permohonan perubahan status atau tukar menukar harta
67
benda wakaf dapat disetujui, dan telah sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006.
Akhirnya pada tanggal 14 April 2008 Departemen Agama Republik
Indonesia dalam hal ini Menteri Agama melalui surat keputusan, memberikan
izin secara tertulis kepada nadzir Masjid Al Istiqomah dan Musholla
Hayatuddin, untuk melakukan perubahan status atau tukar menukar tanah
wakaf, yang terletak di Jalan Kebon Melati V RT.02 RW.08 Kebon Melati
Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat, dengan tanah penukar yang terletak di
Jalan KH. Mas Mansyur Nomor 57 Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang
Jakarta Pusat milik PT Jakarta Realty.
2. Reaksi Masyarakat terhadap Perubahan Status Wakaf
Dalam prosesnya tersebut, meskipun sebagian besar masyarakat
setempat menyetujui adanya ruislagh, namun ada yang mengaku sebagai ahli
waris dari wakif tanah Musholla Hayatuddin yang tidak setuju dengan
ruislagh tersebut. Sehingga pada saat itu sempat terjadi pertentangan antara
pihak ahli waris dengan pihak PT Jakarta Realty selaku pengembang. Mereka
berkeinginan mengambil kembali tanah tersebut, yang padahal sudah
diwakafkan oleh bapaknya untuk dibangun musholla. Mereka merasa bahwa
tanah tersebut miliknya juga, selain itu mereka beralasan karena tidak
68
mempunyai tempat tinggal lain, sehingga mereka akan tetap meguasai tanah
tersebut bila tidak ada ganti rugi uang untuk mencari tempat tinggal di tempat
lain. Akhirnya setelah dimusyawarahkan pihak pengembang bersedia
memberikan ganti rugi uang kepada pihak ahli waris untuk kemudian
memberikan tanahnya dikelola oleh pihak pengembang.8
D.
Analisis Data Penelitian
Memanfaatkan harta benda wakaf berarti menggunakannya untuk
kemaslahatan/kepentingan umum, namun kalau suatu ketika dilakukan
perubahan status pada benda wakaf tersebut, seperti menjual, merubah
bentuk/sifat, memindahkan ke tempat lain, atau menukar dengan benda lain,
bolehkah hal itu dilakukan.
Para ulama/ahli Hukum Islam memang beragam pendapatnya tentang
boleh tidaknya melakukan perubahan status pada harta benda wakaf, seperti
menjual, merubah bentuk/sifat, memindahkan ke tempat lain, atau menukar
dengan benda lain. Para ulama di kalangan Syafi’iyyah (ulama bermazhab
Syafi’i) dan Malikiyah (ulama bermazhab Maliki) terkesan sangat berhatihati, bahkan mereka cenderung melarang praktik tersebut, karena dasar wakaf
itu sendiri bersifat abadi, sehingga kondisi apapun benda wakaf tersebut harus
dibiarkan sedemikian rupa. Dasar yang digunakan oleh mereka adalah hadits
8
Ibid.
69
Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, di mana dikatakan bahwa benda
wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan.
Berbeda halnya para ulama di kalangan Hanafiyah (ulama bermazhab
Hanafi) dan Hanbaliyah (ulama bermazhab Hanbali), yang terkesan
mempermudah izin melakukan praktik tersebut. Mereka berpendapat, jika kita
melarang perubahan status wakaf, sementara ada alasan kuat untuk itu, maka
kita termasuk orang-orang yang menyia-nyiakan wakaf. Akibatnya, aset
wakaf bisa menjadi rusak dan tidak bisa dimanfaatkan lagi. Dasar yang
mereka gunakan adalah tindakan sahabat Umar bin Khatab ra yang
memindahkan Masjid Kufah yang lama dijadikan pasar bagi para penjual
kurma.
Ini
adalah
penggantian
tanah
masjid,
adapun
penggantian
bangunannya dengan bangunan lain, maka sahabat Umar dan Utsman pernah
membangun Masjid Nabawi tanpa mengikuti kontruksi pertama dan
melakukan tambahan serta perluasan.9
Amalan wakaf amat bergantung kepada dapat atau tidaknya harta
wakaf dipergunakan sesuai dengan tujuannya. Amalan wakaf akan bernilai
ibadah, bila harta wakaf betul-betul dapat memenuhi fungsinya. Dalam hal
harta wakaf mengalami penyusutan, rusak atau tidak dapat memenuhi
9
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan
Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf.
Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman, dkk KMPC (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika dan IIMaN
Press, 2004), h.380-381. Lihat juga Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Departemen Agama, Fiqih Wakaf, cet.IV (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, 2006), h.80-81.
70
fungsinya sebagaimana tujuan semula, harus dicarikan jalan bagaimana agar
harta wakaf itu berfungsi. Apabila untuk itu ditukarkan dengan harta lain,
dengan maksud agar amalan wakaf itu dapat terpenuhi, seharusnya tidak ada
halangan untuk menjual harta wakaf yang tidak berfungsi itu, kemudian
ditukarkan dengan benda lain yang memenuhi tujuan wakaf.
Dengan tetap memegang prinsip bahwa wakaf itu abadi dan harus
dijaga serta dipelihara sesuai dengan jenis barang dan cara pemeliharaan yang
disyaratkan waqif. Wakaf tersebut tetap boleh dijual, dipindahkan, dirubah
atau diganti untuk kemudian diatur kembali pemanfaatannya bagi kepentingan
umum, sesuai dengan tujuan wakaf. Landasan utama dari kebolehan tersebut
ialah agar benda itu tetap memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.
Dalam Fiqh dikenal prinsip maslahat, yaitu memelihara maksud
syara’, yakni memberikan kemanfaatan dan menghindari hal-hal yang
merugikan. Prinsip ini setidaknya dapat dijadikan pertimbangan dalam
melakukan perubahan status harta benda wakaf untuk mencapai fungsinya
sebagaimana dinyatakan si wakif, dari pada dipertahankan tetapi berakibat
tidak berfungsinya aset wakaf tersebut. Maksud syara’ akan lebih terpelihara
bila harta wakaf itu boleh dijual atau digantikan barang lain yang kemudian
berkedudukan sebagai harta wakaf.10
10
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah (Bandung: PT AlMa’rif, 1987), h.17-18.
71
Proses ruislagh tanah wakaf Masjid Al Istiqomah dan Musholla
Hayatuddin dengan tanah pengganti milik PT Jakarta Realty, dalam beberapa
hal sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku diantaranya, pertama
mengenai alasan yang diajukan untuk melakukan ruislagh yakni karena
adanya Rencana Umum Tata Ruang dan juga aset wakaf yang sudah tidak
dapat digunakan kembali sesuai dengan ikrar wakaf. Hal tersebut sudah sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 49 ayat (2)
sebagai berikut:
(2) Izin tertulis dari Menteri hanya dapat diberikan dengan pertimbangan
sebagai berikut:
a. perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan
umum sesuai dengan rencana tata ruang berdasarkan ketentuan
peraturan perundangan dan tidak bertentangan dengan prinsip Syariah;
b. harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar
wakaf; atau
c. pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan
mendesak
Hal kedua mengenai harta benda yang akan ditukar, yakni tanah wakaf
seluas 166 M² dan 112,5 M², dengan harta benda penukar sebidang tanah
seluas 684 M². Hal tersebut sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku, yakni sekurang-kurangnya manfaat dan nilai tukar sama dengan harta
benda wakaf semula (Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 49
ayat 3 (b)).
72
Hal ketiga mengenai prosedur ruislagh tanah wakaf yang diatur oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang–
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 51 sebagai berikut:
Penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah statusnya dilakukan
sebagai berikut:
a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui
Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan
perubahan status/tukar-menukar tersebut;
b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota;
c. Kepala kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah menerima
permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti
dalam Pasal 49 ayat (4), dan selanjutnya bupati/walikota setempat
membuat Surat Keputusan;
d. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota meneruskan
permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penelitian kepada Kepala
Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan selanjutnya meneruskan
permohonan tersebut kepada Menteri;
e. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti
dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor
pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.
Dalam pasal 51 huruf (e) di atas dijelaskan tukar ganti dapat
dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, namun
yang terjadi pada ruislagh tanah wakaf Masjid Al Istiqomah dan Musholla
Hayatuddin dengan tanah pengganti milik PT Jakarta Realty, berdasarkan
wawancara pribadi penulis dengan Bapak Adeng Nurdin (Wakil Ketua DKM Al
Istiqomah wa Hayatuddin) pada tanggal 21 Juli 2010, ternyata dilaksanakan
sebelum adanya persetujuan tertulis dari Menteri. Dengan kata lain, proses
ruislagh
berjalan
bersamaan
dengan proses
perizinan
yang belum
73
mendapatkan keputusan dari Menteri Agama. Hal ini jelas belum sesuai atau
melanggar ketetentuan pada pasal 51 huruf (e) tersebut.
Setelah tukar ganti selesai dilaksanakan, kemudian hasilnya harus
dilaporkan oleh Nadzir ke kantor pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk
pendaftaran lebih lanjut. Hal ini memang sudah dilaksanakan, namun
pelaksanaannya melebihi batas waktu yang ditetapkan oleh Keputusan
Menteri Agama tentang izin perubahan status/tukar-menukar tanah wakaf
tersebut, yakni paling lambat dalam waktu 6 (enam) bulan sejak persetujuan
tersebut dikeluarkan, berkewajiban untuk mensertifikatkan tanah penukar
dengan sertifikat wakaf. Keterlambatan tersebut terlihat dari dikeluarkannya
izin pada tanggal 14 April 2008, lalu pada tanggal 12 Agustus 2009 hal
tersebut baru terlaksana.
Hal lainnya dalam pembentukan tim ruislagh yang seharusnya
melibatkan unsur yang terdapat dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor
42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang wakaf Pasal 49 ayat (4) yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
Majelis Ulama Indonesia Kabupaten/Kota;
Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan;
Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.
Dalam pelaksanannya pembentukan tim tersebut belum memenuhi
ketentuan pasal di atas, hal tersebut terlihat dalam Surat Keputusan
74
Walikotamadya Jakarta Pusat Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pembentukan
Tim Ruislagh Tanah Wakaf Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin,
yang tidak menyertakan salah satu dari kelima unsur di atas yaitu Majelis
Ulama Indonesia Kabupaten/kota.
Berdasarkan fakta-fakta yang penulis kemukakan dalam analisa di
atas, dapat disimpulkan bahwa, meskipun secara administrasi serta
kelengkapan persyaratan sudah terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku, namun dalam beberapa hal teknis pelaksanaannya masih
terdapat penyimpangan-penyimpangan dari yang semestinya, sehingga
pelaksanaannya belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku. Sekecil apapun jenis penyimpangan tersebut, tetaplah hal itu
merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang ada,
dan hal ini hendaklah menjadi perhatian kita bersama, agar ke depan apa yang
diamanatkan oleh undang-undang dapat kita jalankan dengan sebaik-baiknya.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai akhir dari pembahasan skripsi ini, maka dapat penulis berikan
kesimpulan dari permasalahan-permasalahan yang telah dibahas pada bab-bab
sebelumnya sebagai berikut:
1. Perubahan status wakaf dalam Hukum Islam pada dasarnya tidak
diperbolehkan, kecuali aset wakaf tersebut tidak lagi dapat dimanfaatkan
sesuai dengan tujuan wakaf, maka terhadap aset wakaf yang bersangkutan
dapat dilakukan perubahan tersebut.
2. Hukum asal perubahan dan atau pengalihan benda wakaf dalam Hukum
Positif di Indonesia adalah dilarang. Akan tetapi selama memenuhi syaratsyarat tertentu dan dengan mengajukan alasan-alasan sebagaimana yang
telah ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku, perundangundangan tetap memberikan peluang dibolehkannya melakukan perubahan
dan atau pengalihan terhadap benda wakaf, meski dengan melalui
prosedur dan proses yang panjang. Mekanismenya terdapat dalam
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 yang merupakan
Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
75
76
tentang
Perwakafan
Tanah
Milik
pasal
12-13,
dan
kemudian
disempurnakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006
tentang Pelaksanaan Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf Pasal 51.
3. Faktor penyebab dilakukannya ruislagh tanah wakaf pada Masjid Al
Istiqomah dan Musholla Hayatuddin, yang pertama dikarenakan adanya
Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota di wilayah tersebut. Faktor
kedua, adalah upaya penyelamatan terhadap aset wakaf agar tidak hilang.
4. Adanya ruislagh tersebut sangat positif sekali dampaknya, di antaranya
dari sisi lokasi pengganti saat ini Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin
lebih strategis dibanding lokasi sebelumnya, juga luas tanah pengganti
yang lebih luas dari sebelumnya, hal ini sangat bermanfaat sekali bagi
Pengurus Nadzir/Dewan Kemakmuran Masjid untuk mengelolanya lebih
produktif dibanding sebelumnya, sehingga amanat undang-undang untuk
mengelola harta wakaf secara produktif dapat terpenuhi.
5. Meskipun secara administrasi serta kelengkapan persyaratan dalam proses
ruislagh tersebut sudah terpenuhi, namun dalam beberapa hal teknis
pelaksanaannya masih terdapat penyimpangan-penyimpangan dari yang
semestinya, sehingga pelaksanannya belum sepenuhnya sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
77
6. Terhadap ruislagh tersebut sebagian besar masyarakat setempat
menyetujuinya, walaupun sempat terjadi pertentangan antara pihak ahli
waris dari wakif tanah Musholla Hayatuddin yang tidak setuju, dan
meminta ganti rugi uang dengan pihak PT Jakarta Realty selaku pihak
pengembang,
namun
akhirnya,
setelah
dimusyawarahkan
pihak
pengembang bersedia memberikan ganti rugi uang kepada pihak ahli
waris, dan untuk kemudian memberikan tanahnya dikelola oleh pihak
pengembang.
B.
Saran-Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, maka saran-saran
yang dapat penulis berikan diantaranya adalah:
1. Kepada Pengurus Nadzir/Dewan Kemakmuran Masjid khususnya pada
Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin Tanah Abang Jakarta Pusat,
hendaklah melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, sehingga aset
wakaf dapat dikelola sesuai dengan amanat undang-undang.
2. Kepada Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama
Republik Indonesia, hendaklah memberikan perlindungan, judifikasi,
pengawasan, pencatatan, dan pendataan untuk tanah wakaf. Khususnya
terhadap tanah wakaf yang rawan terkena dampak Rencana Umum Tata
Ruang (RUTR) kota, sehingga karena itu dilakukan perubahan status
78
wakaf seperti menjual, merubah bentuk/sifat, memindahkan ke tempat
lain, atau menukar dengan benda lain, harap dapat ditangani dengan
sebaik-baiknya.
3. Kepada para instansi terkait dan kalangan akademisi yang lebih
memahami mengenai perwakafan khusunya mengenai prosedur perubahan
status
wakaf,
diharapkan
dapat
berperan
lebih
aktif
dalam
mensosialisasikan segala macam hal yang berkaitan dengan perwakafan
pada sekarang ini terutama pada masyarakat yang masih awam.
4. Terakhir untuk kita semua, sekecil apapun jenis penyimpangan yang kita
lakukan, tetaplah hal itu merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap
ketentuan hukum yang ada. Hal ini hendaklah menjadi perhatian kita
bersama, agar ke depan, apa yang diamanatkan oleh ketentuan hukum
yang berlaku, dapat kita jalankan dengan sebaik-baiknya. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Alabij, Adijani. Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, cet.IV.
Al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar El-Fikr, t.th, juz III.
Al-Hijaj, Imam Abi al-Husain Muslim. Shahih Muslim. Mesir: Dar-al-Hadits alQahirah, 1994, jilid VI.
Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama
dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian
atas Sengketa Wakaf. Jakarta: IIMaN Press, 2004.
Al-Khatib, Asy-Syarbini Muhammad. Mughnil Muhtaaj. Mesir: Mushthofa Al-Baabi
Al-Halabi, 1958, juz II.
Al-Munawar, Said Agil Husein. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta:
Permadani, 2004, Cet.I.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2006.
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah. Bandung: PT
Al-Ma’rif, 1987.
Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN).
Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: CV. Thaha Putra,
1989.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997, cet.IV.
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf. Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Paradigma Baru Wakaf di
Indonesia. Jakarta: Depag RI, 2006.
. Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Depag RI, 2006.
. Peraturan perundangan Perwakafan. Jakarta: Depag RI, 2006.
. Fiqih Wakaf. Jakarta: Depag RI, 2006, cet.IV.
Fikri, Sayyid Ali. Al-Mu’aamalatul Madiyah Wal Adabiyah. Mesir: Mushthofa AlBaabi Al-Halani, 1938, juz II.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ahkam al-Waqf. Kairo, Mesir: Matba’ah al Misr, 1951.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2008.
Mugniyah, Muhammad Jawad. al-Ahwal al-Syakhsiyah ala al-Mazahib al-Khamsah.
Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1964.
Mujieb, M. Abdul, dkk. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, cet.III.
Nurboko, Cholid dan Achmadi, Abu. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara
Pustaka, 1997.
Praja Juhaya S. Perwakafan di Indonesia, Sejarah, Pemikiran, Hukum dan
Perkembangannya. Bandung: Yayasan Piara, 1995.
Prihatna, Andy Agung. dkk. Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang
Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia. Jakarta: CSRC UIN
Syarif Hidayatullah, 2006, cet.I.
Purwaka, Tommy Hendra. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit
Universitas Atma Jaya (PUAJ), 2007.
Rofik, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Sabiq, Sayyid. Fiqhus sunnah. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987, jilid III.
. Fiqh Sunnah. alih bahasa oleh Kamaluddin A., Marzuki, dkk., cet.VIII,
Bandung: Al-Ma’arif, 1996, jilid XIV.
Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2010.
Suparman, Usman. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Darul Ulum Press,
1994.
Wadjdy, Farid dan Mursyid. Wakaf dan Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang
Hampir Terlupakan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Zahrah, Muhammad Abu. Al-Waqf. Beirut: Dar Al-Fikr, 1971, cet.II.
Zainuddin, Ibn Najm. Al-Bahrur Raiq. Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabiyyah al-Kubro,
t.th, juz V.
Zuhdi, Masfuk. Studi Islam dan Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993,
cet.II.
LAMPIRAN - LAMPIRAN
Hasil Wawancara
Narasumber
: Drs. Adeng Nurdin
Jabatan
: Wakil Ketua DKM Al Istiqomah wa Hayatuddin
Hari/Tanggal
: Rabu, 21 Juli 2010
Tempat
: Kantor Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tanah Abang I
Waktu
: Pukul 09.30 - 10.30 WIB
1. Bagaimanakah sejarah berdirinya Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin ini ?
Jawaban:
Awalnya terdapat dua bangunan rumah ibadah yaitu Masjid Al Istiqomah dan
Musholla Al Hayatuddin. Keduanya terletak di wilayah Kelurahan Kebon Melati
Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat, lalu kerena ada perkembangan wilayah
dan tata kota di wilayah tersebut rencananya akan dijadikan apartemen. Akhirnya
dari pihak pengembang dalam hal ini PT Jakarta Realty menemui kami selaku
pengurus kedua rumah ibadah tesebut, dikarenakan warga dan pengurus
sebelumnya sudah pindah, sehingga masjid dan musholla tersebut diserahkan ke
Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tanah Abang I, hal ini dilakukan mengingat
sebelumnya
kedua
rumah
ibadah
tersebut berada di
bawah
Ranting
Muhammadiyah Kebon Melati V. Ketika akan dijadikan apartemen pihak
pengembang mengubungi kami sekitar tahun 2003 guna menegosiasikan harga
untuk pembelian tanah kami, namun hal tersebut menemui jalan buntu sebab tidak
terjadi kesepakatan harga di antara kedua belah pihak sampai akhirnya keluar
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Setelah adanya Undang-
Undang Wakaf tersebut muncul usulan dari pihak pengembang untuk dilakukan
ruislagh (tukar ganti) tanah wakaf terhadap tanah kami dan akan digantikan
dengan tanah miliknya di tempat lain. Setelah kami pertimbangkan baik dari sisi
kemaslahatan juga dilihat dari lokasi pengganti yang lebih strategis tempatnya
dan tanahnya yang lebih luas dari sebelumnya, akhirnya kami menyetujuinya.
Kemudian proses ruislah dilakukan pada tahun 2005 mulai dari perizinan untuk
melakukan ruislah hingga pembangunan masjid baru di lokasi pengganti. Setelah
semuanya selesai pada tahun 2008, kemudian masjid tersebut kami beri nama,
oleh karena asalnya dari hasil ruislagh dua rumah ibadah sebelumnya, maka
masjid ini diberi nama Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin.
2. Melihat dari sejarahnya masjid ini berdiri dari hasil ruislagh (tukar ganti) tanah
wakaf Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin, apakah ada hambatan
dalam prosesnya ?
Jawaban:
Ada, ketika itu ahli waris dari wakif Musholla Al Hayatuddin ada yang tidak
setuju dengan ruislagh ini. Sehingga terjadi pertentangan antara pihak ahli waris
dengan pihak pengembang. Alasan ahli waris tidak setuju dikarenakan mereka
ingin mengambil kembali tanah tersebut yang padahal sudah diwakafkan oleh
bapaknya sebelumnya untuk dibangun musholla, mereka merasa bahwa tanah ini
miliknya sebab ini adalah tanah yang diwakafkan oleh bapaknya selaku wakif
ketika itu, di samping itu mereka beralasan karena tidak mempunyai tempat
tinggal selain di sini sehingga mereka akan tetap meguasai tanah tersebut bila
tidak ada ganti rugi uang untuk mencari tempat tinggal di tempat lain. Akhirnya
setelah dimusyawarahkan pihak pengembang bersedia memberikan ganti rugi
kepada pihak ahli waris untuk bersedia memberikan tanahnya untuk dikelola oleh
pihak pengembang.
3. Bagaimanakah keadaan (status/luas) tanah yang akan di tukar dan tanah
penggantinya ketika akan dilakukan ruislagh?
Jawaban:
Untuk tanah Masjid Al Istiqomah luasnya 166 M², kemudian statusnya sudah
AIW (Akta Ikrar Wakaf) dan sudah bersertifikat tanah wakaf, sedangkan untuk
tanah Musholla Al Hayatuddin luasnya 112,5 M² statusnya belum AIW dan
belum bersertifikat. Untuk tanah pengganti luasnya 420 M² dengan status dan
kepemilikan saat itu sedang dalam proses sertifikasi.
4. Menyambung pertanyaan nomor 3 (tiga), bagaimanakah status tanahnya setelah
Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin ini berdiri ?
Jawaban:
Untuk saat ini status tanahnya sudah bersertifikat tanah wakaf.
5. Setelah masjid ini berdiri bagaimana dengan kepengurusannya ?
Jawaban:
Setelah Masjid Al Itiqomah wa Hayatuddin berdiri pada tahun 2008 kami
melakukan pergantian kepengurusan nazhir terlebih dahulu untuk menggantikan
kepengurusan yang lama. Permohonan pergantian nazhir tersebut kami ajukan ke
Badan Wakaf Indonesia untuk mendapatkan penetapan, setelah memperoleh
penetapan tersebut, kepengurusan nazhir yang baru ini kemudian membentuk
Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al Istiqomah wa Hayatuddin ini
untuk masa bakti selama dua tahun. Sampai saat ini kami sudah melakukan 2
(dua) kali pergantian Pengurus DKM, terakhir kami adakan pergantian
kepengurusan DKM pada bulan April lalu dan akan habis masa jabatannya pada
bulan April 2012. Sedangkan untuk kepengurusan nazhir akan berakhir 2 (dua)
tahun lagi.
6. Untuk memakmurkan masjid, kegiatan peribadatan apa sajakah yang diadakan di
masjid ini ?
Jawaban:
Yang utama tentu mengadakan shalat lima waktu, shalat Jum’at, shalat tarawih
pada bulan Ramadhan dan shalat hari raya Fitri/Adha secara berjamaah. Selain itu
kami pengurus juga mengadakan pengajian bulanan dan pengajian untuk
memperingati hari besar Islam. Kemudian di luar kegiatan peribadatan di masjid
kami ini juga menyediakan jasa penyewaan tempat untuk acara hajatan seperti
resepsi pernikahan yang ditempatkan di lantai 1 (satu). Yang terakhir tersebut
kami mencoba untuk menjalankan amanat dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf agar aset wakaf ini dapat dikelola secara produktif tidak
hanya untuk keperluan peribadatan semata, mengingat tanah pengganti ini yang
cukup luas, ke depan Insya Allah kami juga akan membangun koperasi masjid.
Hasil Wawancara
Narasumber
: Drs. Maman Taofik Rahman
NIP
: 196808091994031003
Jabatan
: Penghulu Madya – Wakaf Kantor Urusan Agama
Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat
Hari/Tanggal
: Rabu, 14 Juli 2010
Tempat
: Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat
Waktu
: Pukul 09.30 - 10.30 WIB
1. Sampai saat ini benda apa sajakah yang sudah diwakafkan di wilayah Kecamatan
Tanah Abang ?
Jawaban:
Sampai saat ini dalam data wakaf di Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah
Abang hanya terdapat wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan
berupa Masjid, Musholla/Langgar, serta Yayasan/Madrasah.
2. Berapakah luas tanah wakaf se-Kecamatan Tanah Abang sampai dengan saat ini ?
Jawaban:
Menurut data yang ada pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang luas
tanah wakaf se-Kecamatan Tanah Abang saat ini berjumlah sebanyak 149 persil
dengan luas 55.027,24 M², dengan rincian sebagai berikut:
a. Masjid
: 74 persil dengan luas 35.537,24 M²
b. Musholla/Langgar
: 57 persil dengan luas 5.473
M²
c. Yayasan/Madrasah
: 18 persil dengan luas 14.019
M²
3. Dari keseluruhan tanah wakaf di Kecamatan Tanah Abang tersebut,
bagaimanakah statusnya ?
Jawaban:
Dari 7 (tujuh) Kelurahan yang terdapat di Kecamatan Tanah Abang sebanyak 136
lokasi tanah wakaf berstatus sudah AIW (Akta Ikrar Wakaf) / APAIW (Akta
Pengganti Ikrar Wakaf), 121 sudah bersertifikat, dan 28 belum bersertifikat.
4. Untuk melakukan ruislah (tukar ganti) tanah wakaf prosedur awalnya Nazhir
mengajukan permohonan ke Kantor Urusan Agama setempat dengan menjelaskan
alasannya, hal tersebut apakah dilakukan secara lisan atau tertulis ?
Jawaban:
Alasan tersebut diajukan oleh nazhir yang bersangkutan bersamaan dengan
permohonan untuk melakukan ruislah secara tertulis ke Kantor Urusan Agama
setempat.
5. Menyambung pertanyaan nomor 4 (empat), alasan apa sajakah yang dapat
dibenarkan sehingga permohonan Nazhir tersebut dapat diterima ataupun ditolak
?
Jawaban:
Mengenai alasan apa saja yang dapat dibenarkan, kita kembalikan ke Pasal 49
ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf yakni a. karena digunakan
untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR)
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan prinsip syariah; b. harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai
dengan ikrar wakaf; atau c. pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan
secara langsung dan mendesak.
6. Dalam proses ruislah Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin terjadi pergantian
Nazhir dalam pengurusannya, siapakah yang berwenang dalam pergantian Nazhir
tersebut ?
Jawaban:
Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Kepala
Kantor Urusan Agama yang berwenang, namun setelah Undang-Undang tersebut
berlaku yang berwenang adalah Badan Wakaf Indonesia.
7. Menyambung pertanyaan nomor 6 (enam), seperti apakah proses pergantian
Nazhir tersebut ?
Jawaban:
Kalau sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf
pengurus nazhir lokasi wakaf yang bersangkutan datang ke Kantor Urusan Agama
setempat dengan membawa hasil keputusan mengenai pergantian nazhir tersebut,
kemudian Kepala Kantor Urusan Agama setempat menindaklanjutinya dengan
menetapkannya ke dalam W.5 (Surat Ketetapan Nazhir). Namun setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, sesudah
permohonan tersebut diajukan ke Kantor Urusan Agama setempat, lalu oleh pihak
Kantor Urusan Agama setempat ditindaklanjuti dengan meneruskannya ke Badan
Wakaf Indonesia untuk dibuatkan penetapannya.
8. Setelah proses ruislah selesai, apakah harus melakukan ikrar wakaf kembali ?
Jawaban:
Harus dilakukan ikrar wakaf kembali terhadap wakaf pengganti.
9. Menyambung pertanyaan nomor 8 (delapan), pihak siapa sajakah yang harus ada
ketika itu dan dilangsungkan di mana ?
Jawaban:
Yang pertama wakif, kemudian para nazhir. Wakif dan para nazhir tersebut
datang ke Kantor Urusan Agama tempat lokasi wakaf pengganti dengan
membawa surat keterangan kepala desa tentang perwakafan tanah milik (WK),
kemudian bukti kepemilikan yang dimiliki seperti akte jual beli tanah, sertifikat
tanah, lalu wakif membuat pernyataan secara tertulis bahwa dia akan/telah
mewakafkan. Dalam proses tersebut Kepala KUA membimbing ikrar tersebut di
hadapan nazhir dengan disaksikan oleh minimal 2 (dua) orang saksi.
10. Untuk melakukan ikrar wakaf adakah biaya yang harus dikeluarkan ?
Jawaban:
Tidak ada biaya yang di keluarkan untuk itu. Namun mereka biasanya memberi
infak istilahnya untuk sekedar membantu dalam urusan administrasi.
11. Apakah Bapak mengetahui latar belakang penyebab diadakannya ruislah pada
Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin ?
Jawaban:
Saya tidak mengetahui detilnya, sebab saat saya bertugas di sini hal itu sudah
terjadi, namun dari dokumen yang ada, setahu saya awal mulanya di karenakan
adanya rencana pengembangan area usaha oleh PT Jakarta Realty.
Hasil Wawancara
Narasumber
: M. Syarifudin, SE.
NIP
: 197410122005011005
Jabatan
: Pelaksana Zakat Wakaf
Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Pusat
Hari/Tanggal
: Selasa, 27 Juli 2010
Tempat
: Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Pusat
Waktu
: Pukul 10.30 – 11.30 WIB
1. Mohon penjelasan tentang istilah ruislagh ?
Jawaban:
Dilihat dari segi bahasa sepertinya berasal dari bahasa Belanda atau dari bahasa
Agraria. Tapi yang pasti istilah ruislagh (tukar menukar) tanah wakaf tersebut
dipakai karena semakna dengan yang terdapat dalam Perundang-undangan
tentang Wakaf yang memakai istilah perubahan status atau tukar-menukar tanah
wakaf.
2. Apa sajakah syarat untuk melakukan ruislagh tanah wakaf ?
Jawaban:
Yang pertama harta wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum atau
Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota, bisa juga karena sudah tidak dapat
digunakan sesuai dengan ikrar wakaf, dapat pula dilakukan untuk keperluan
keagamaan secara langsung dan mendesak. Dari segi harta penukar haruslah
sudah memiliki sertifikat. Kemudian nilai penukar atau tanah penukar minimal
seimbang, seimbang ini bukan berarti luasnya tapi nilai jualnya, jadi yang dinilai
itu bukan luasnya tapi nilai jualnya.
3. Dalam proses ruislagh terdapat tim ruislagh, seperti apakah bekerjanya ?
Jawaban:
Tim ruislagh ini sebagai tim penilai awal sebelum melangkah ke tahapan yang
lebih tinggi seperti menteri yang nantinya dalam memberikan izin ruislagh salah
satu acuannya adalah dari hasil penilaian tim ruislagh tersebut. Penilaian tim
ruislagh tersebut seperti tanah wakaf yang akan ditukar nilai jualnya berapa,
penukarnya berapa, bagaimana status tanah penukarnya sudah bersertifikat atau
belum dan dari segi letak tanah penukar lebih strategis atau tidak.
4. Kapan proses ruislagh Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin
dilakukan ?
Jawaban:
Ruislaghnya terjadi tahun 2005, sehingga dalam prosesnya ketika itu selain
menggunakan ketentuan yang terdapat dalam Surat Edaran Dirjen Bimas Islam
dan
Urusan
Haji
Departemen
Agama
Republik
Indonesia
Nomor
DII/5/HK.007/901/1989 tentang Petunjuk Perubahan Status/Tukar Menukar
Tanah Wakaf juga mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf.
5. Apakah ada batasan waktu atau Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam
melakukan ruislagh ?
Jawaban:
Sampai saat ini belum ada, tapi ke depan nantinya akan ada.
6. Adakah hambatan dalam proses ruislagh Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al
Hayatuddin ?
Jawaban:
Setahu saya tidak ada, sebab dari masyarakat sekitar karena sudah dipindahkan
lebih dulu, kemudian dari ahli waris pun juga tidak ada, sehingga dari pada
hilangnya aset wakaf lebih baik dilakukan ruislagh agar aset wakaf dapat
digunakan kembali. Intinya masyarakat sekitar dan wakif/nazhir mengetahui,
bahwa tanah wakaf tersebut dipindahkan dan tetap sesuai fungsi awalnya, karena
memang dilihat dari kondisi sebetulnya ketika itu ada dua segi kebutuhan, yang
pertama dari segi aset wakaf agar tidak hilang dan dapat digunakan kembali,
kemudian yang kedua dari segi pengembang pun juga butuh tanah itu untuk
mengembangkan usahanya.
7. Selain ruislagh Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin adakah kasus
ruislagh lainnya di wilayah Jakarta Pusat ?
Jawaban:
Banyak, karena di DKI Jakarta khusunya wilayah Jakarta Pusat proyek
pengembangan itu sangat cepat sekali, sehingga banyak membutuhkan tanah,
salah satunya yang masih berlangsung adalah Musholla Darul Falah di
lingkungan yang saat ini berdiri gedung Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
8. Menyambung pertanyaan nomor 7 (tujuh), dari sekian banyak kasus ruislagh di
wilayah Jakarta Pusat tersebut rata-rata latar belakang penyebabnya apa ?
Jawaban:
Kebanyakan dikarenakan adanya Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota di
wilayah Jakarta Pusat.
9. Khusus kasus ruislagh Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin latar
belakang penyebabnya apa ?
Jawaban:
Penyebab utamanya sama karena adanya Rencana Umum Tata Ruang (RUTR)
kota, kemudian penyebab lainnya adalah upaya penyelamatan aset wakaf agar
tidak hilang, sebab masyarakat sekitar ketika itu sudah dipindahkan lebih dulu,
sehingga lebih baik dilakukan ruislagh, agar aset wakaf dapat digunakan kembali
sesuai dengan ikrar wakaf.
10. Setelah proses ruislagh selesai terhadap status tanah pengganti bagaimana, apakah
perlu dilakukan ikrar wakaf kembali ?
Jawaban:
Status tanah pengganti sudah menjadi tanah wakaf, sebab sudah ada keputusan
dari menteri bahwa tanah ini adalah tanah pengganti tanah yang diruislagh
sebelumnya, sehingga tidak perlu ada ikrar wakaf kembali, cukup dirubah
sertifikatnya saja karena yang diperlukan bukan akta ikrar wakafnya tapi
sambungan ke arah perubahan itu. Di samping itu agar tidak terjadi kepemilikan
data lebih dari satu.