Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

AHMAD FIRMANSYAH-FSH

HUKUM PERUBAHAN STATUS WAKAF (Studi Kasus Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh: Ahmad Firmansyah NIM : 106044101381 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H / 2011 M HUKUM PERUBAHAN STATUS WAKAF (Studi Kasus Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh: KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H / 2011 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi dengan judul “Hukum Perubahan Status Wakaf (Studi Kasus Masjid AlIstiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat)”, telah diujikan dalam munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Rabu tanggal 8 Desember 2010, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S1) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama. LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S 1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 5 Nopember 2010 Ahmad Firmansyah KATA PENGANTAR Alhamdulillâhirabbil’âlamîn. Seiring dengan rahmat Allah SWT, ma’unah serta barokah-Nya, akhirnya penulis dapat merampungkan penulisan skripsi yang berjudul “Hukum Perubahan Status Wakaf (Studi Kasus Masjid AlIstiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat)”. Kepada Allah SWT. kita memanjatkan pujian, meminta pertolongan, dan memohon ampunan. Kepada-Nya pula kita meminta perlindungan dari keburukan diri dan kejahatan amal perbuatan. Dialah Tuhan Pencipta hukum yang tiada hukum paling tinggi malainkan hukum ciptaan-Nya. Telah Ia syariatkan ajaran-ajaran ketauhidan melalui kitab-kitab suci yang disampaikan para Rasul, manusia pilihan yang diutus-Nya. Shalawat dan salam teriring mahabbah semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad saw., beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti ajaran beliau hingga hari Akhir. Dialah Nabi utusan Allah SWT yang terakhir dan tiada Nabi setelahnya. Kemuliaannya lebih utama dari pada manusia dan makhluk lainnya, Dialah manusia pilihan yang paling bertakwa dan paling taat akan perintah-perintah Allah SWT, Rasul yang sangat mencintai umatnya, ridha Allah SWT agar bisa hidup berdampingan dengan Rasulullah SAW di surga merupakan cita-cita para hamba-Nya. iii Dalam proses penyusunan skripsi ini, Penulis banyak menemui hambatan dan cobaan. Namun, Penulis berusaha menghadapi semuanya dengan ikhtiar dan tawakal. Penulis sadar dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini hanyalah setitik debu jalanan untuk menitik jalan menuju orang-orang besar. Namun dalam kapasitas Penulis yang serba dho’if dan dihimpit dengan berbagai keterbatasan, skripsi ini rasanya sebuah pencapaian monumental yang membuat diri ini serasa besar, minimal membesarkan perasaan Penulis dan mengobarkan bara semangat untuk memburu pencapaian-pencapaian berikutnya yang dianggap besar oleh orang-orang besar. Lebih dari itu, skripsi ini merupakan seteguk air dalam rentang kemarau studi yang Penulis tempuh selama ini. Penulis juga sadar sepenuhnya bahwa diri ini berutang budi kepada banyak pihak yang telah berkontribusi langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah menanamkan jasa baik berupa bimbingan, arahan serta bantuan yang diberikan sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Ketua Program Studi dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag., MH. Sekretaris Program Studi Ahwal iv Al-Syakhsyiah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Dr. KH. A. Juaini Syukri, Lcs., MA. dan Bapak H. Damanhuri Mustafa, SH. Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, fikiran dan kesabarannya untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Administrasi Jakarta Pusat, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang, Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tanah Abang I, Pengurus Nazhir/Dewan Kemakmuran Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat, yang telah memberikan izin untuk mengadakan penelitian dan memberikan keterangan serta data yang diperlukan penulis. 5. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum, terima kasih atas ilmu dan bimbingannya. Seluruh Staf Akademik, Jurusan, Kasubag, dan Perpustakaan, terima kasih atas bantuan dalam upaya membantu memperlancar penyelesaian skripsi ini. 6. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas pengorbanan dan cinta kasihnya baik berupa moril dan materil, serta doa yang tak terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan studi Penulis, segala hormat Penulis persembahkan. 7. Seluruh keluarga besarku yang senantiasa memberi dorongan dan motivasi agar tetap semangat dalam menempuh studi di kampus tercinta ini. v 8. Sahabat-sahabatku tercinta, khususnya teman-teman seperjuangan Peradilan Agama angkatan 2006, yang senantiasa menebarkan benihbenih keceriaan dalam bingkai kebersamaan, dan senantiasa menjaga ikatan tali silaturahmi. Besar harapan bagi Penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukannya dan dapat memberikan khazanah baru dalam dunia akademik. Sebagai manusia yang dho’if, yang memiliki keterbatasan dan kekurangan, tentunya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka dan kerendahan hati Penulis akan sangat berterima kasih apabila para pembaca yang budiman memberikan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan dan perbaikan atas karya-karya yang lainnya. Akrinya, hanya kepada Allah SWT. juga kita memohon agar apa yang telah kita lakukan menjadi suatu investasi yang sangat berharga dan kelak dapat membantu kita di Yaumil Akhir . Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Jakarta, 5 Nopember 2010 Penulis vi DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………iii DAFTAR ISI …………………………………………………………………………….vii BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...1 A. Latar Belakang Masalah……………………………………………….1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah…………………………………....8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………….10 D. Tinjauan Kajian Terdahulu…………………………………………...11 E. Metode Penelitian…………………………………………………….13 F. Sistematika Penulisan………...……………………………………....16 BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PERWAKAFAN……......................18 A. Pegertian dan Dasar Hukum Wakaf…………………………..............18 B. Rukun, Syarat, Tujuan dan Fungsi Wakaf………………....................27 C. Kewajiban dan Hak-Hak Nazhir Atas Benda Wakaf………………....35 D. Macam-Macam Wakaf………………………………………………..40 E. Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf…….....................43 vii BAB III PERUBAHAN STATUS WAKAF DAN MEKANISMENYA………....46 A. Perubahan Status Wakaf dalam Hukum Islam………………….........46 B. Perubahan Status Wakaf dalam Hukum Positif……………………...53 C. Mekanisme Perubahan Status Wakaf…………………………...........56 BAB IV PERUBAHAN STATUS WAKAF MASJID AL-ISTIQOMAH WA HAYATUDDIN…………………………………………..........................59 A. Gambaran Umum Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin………..........59 B. Faktor Penyebab dan Dampak Perubahan Status Wakaf Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin…………………………………62 C. Proses dan Reaksi Masyarakat terhadap Perubahan Status Wakaf Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin…………………………............64 D. Analisis Data Penelitian………………………………………………68 BAB V PENUTUP…………………………………………………………...........75 A. Kesimpulan…………………………………………………………...75 B. Saran-Saran…………………………………………………………...77 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama universal, tidak hanya mengatur bidang ibadah secara khusus (mahdhoh) tetapi juga ibadah secara umum (ghoiru mahdhoh). Islam mewarnai perilaku manusia dalam berpikir, bertindak dengan batasbatas yang telah ditetapkan tidak lain untuk mencari ridla Allah SWT. Pada hakekatnya manusia di muka bumi ini untuk mengabdi atau beribadah kepada Allah SWT. Pelaksanaan ibadah dipraktekkan dan dimanifestasikan melalui pengabdian keseluruhan diri manusia beserta segala apa yang dimilikinya. Ada ibadah melalui bentuk pengabdian badan, seperti shalat, puasa atau juga melalui bentuk pengabdian berupa pengorbanan apa yang kita miliki/harta benda, seperti zakat, shodaqoh, ilmu pengetahuan seperti mengajar/memberi ilmu, di samping ada juga secara bersama-sama badan dan harta, seperti puasa dan haji. Satu bentuk ibadah melalui pengorbanan dengan harta yang kita miliki untuk kepentingan kemanusiaan, kemasyarakatan, dan keagamaan yang telah diatur oleh syari’at Islam adalah wakaf.1 Di Indonesia, Islam merupakan agama yang banyak penganutnya (mayoritas), mempunyai beberapa lembaga yang diharapkan mampu 1 Usman Suparman, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Dar al-Ulum Press, 1994), h.1. 1 2 membantu untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, salah satunya adalah wakaf. Dalam Islam, wakaf termasuk kategori ibadah kemasyarakatan yang hukumnya sunnah, amalan wakaf merupakan amalan yang besar karena amalan ini tidak dapat berhenti atau putus pahalanya bila orang tersebut telah meninggal dunia, maka amalan wakaf akan tetap mengalir pahalanya dan tetap diterima oleh wakif walaupun ia telah meninggal. Wakaf merupakan salah satu lembaga keagamaan yang dianjurkan oleh Allah SWT untuk dijadikan sarana penyaluran harta yang dikaruniakanNya kepada manusia. Amalan wakaf amat besar artinya bagi kehidupan sosial ekonomi, kebudayaan dan keagamaan.2 Lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang atau dimiliki sendiri, tetapi harus dinikmati bersama. Ini mengingatkan pada umat manusia bahwa Islam mengajarkan fungsi sosial harta. Fungsi sosial dari perwakafan mempunyai arti bahwa penggunaan hak milik seseorang harus memberi manfaat langsung atau tidak langsung kepada masyarakat. Dalam ajaran pemilikan terhadap harta benda (tanah) tercakup di 2 Ibid., h.15. 3 dalamnya benda lain, dengan perkataan lain bahwa dalam benda seseorang ada hak orang lain yang melekat pada harta benda tersebut.3 Di dalam Hukum Islam dikenal banyak cara untuk mendapatkan hak atas tanah. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, hadiah, infak, sedekah, wakaf, wasiat, ihya-ulmawat (membuka tanah baru). Diantara banyak title perolehan atau peralihan hak yang dikenal dalam Hukum Islam tersebut, maka ternyata wakaf mendapat tempat pengaturan secara khusus di antara perangkat perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini berbentuk Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, yang dimaksudkan untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Dengan demikian wakaf merupakan salah satu lembaga Hukum Islam yang mempunyai titik temu secara konkrit dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.4 Salah satu faktor penting yang ikut mewarnai corak dan perkembangan wakaf di era Indonesia modern adalah ketika Negara ikut mengatur kebijakan wakaf melalui seperangkat Hukum Positif. Dalam proses 3 Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia (Jakarta: Depag RI, 2006), h. 89. 4 Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teoti dan Praktek (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.4. 4 perumusan kebijakan tersebut, visi dan arah kebijakan wakaf banyak ditentukan oleh bagaimana rezim berkuasa melihat potensi maupun organisasi wakaf, baik dalam kerangka kepentingannya maupun kepentingan umat Islam pada umumya.5 Sejak datangnya Islam, wakaf telah dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, yaitu paham Syafi’iyyah dan adat kebiasaan setempat. Pola pelaksanaan wakaf sebelum adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Buku III Hukum Perwakafan), dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, masyarakat Islam Indonesia masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal shaleh yang mempunyai nilai mulia di hadirat Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah.6 5 Andy Agung Prihatna, dkk., Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h.81. 6 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia ( Jakarta: Depag RI, 2006), h.37. 5 Tradisi wakaf tersebut kemudian memunculkan berbagai fenomena yang mengakibatkan perwakafan di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan untuk kepentingan masyarakat banyak. Bahkan banyak kita jumpai aset wakaf yang mengalami permasalahanpermasalahan akibat tidak adanya tertib administrasi, dan salah satunya mengenai perubahan status wakaf seperti dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Kenyataan ini tentu tidak sesuai dengan ketentuan wakaf dan tujuan dari fungsi wakaf sendiri. Dari kenyataan itulah, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Buku III Hukum Perwakafan), dan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, perwakafan mulai dan terus dibenahi dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan di bidang pengelolaan wakaf secara umum, salah satunya mengenai paradigma baru terhadap perubahan status wakaf yang sangat menarik penulis untuk menelaah ketentuan ini lebih lanjut, dan mencoba menelusuri kenyataan atau praktek yang terjadi di masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Bab IV Pasal 41 telah ada legalitas terhadap tukar menukar benda wakaf setelah 6 terlebih dahulu meminta izin dari Menteri Agama Republik Indonesia dengan dua alasan, pertama karena tidak sesuai dengan tujuan wakaf dan yang kedua demi kepentingan umum. Secara subtansial, benda-benda wakaf boleh diberdayakan secara optimal untuk kepentingan umum dengan jalan tukarmenukar. Keberadaan aturan tersebut merupakan upaya pembaharuan paham yang sejak awal diyakini oleh mayoritas ulama dan masyarakat Indonesia yang mengikuti pendapat Imam Syafi’i bahwa benda-benda wakaf tidak boleh diutak-atik, walaupun demi kepentingan manfaat sekalipun.7 Paradigama baru terhadap perubahan status harta benda wakaf memang menjadi salah satu bukti bahwa paham wakaf di Indonesia sejatinya sudah cukup baik, paling tidak sejak adanya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Buku III Hukum Perwakafan), dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf khususnya yang berkaitan dengan perubahan status dan peruntukannya. Pada kenyataannya, dalam operasional di lapangan masih ditemukan masalah-masalah perwakafan yang perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait secara terkoordinasi, salah satunya wakaf Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta 7 Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia (Jakarta: Depag RI, 2006), h. 99. 7 Pusat. Karena disebabkan untuk kepentingan yang lebih luas dan bermanfaat bagi kepentingan umum, serta dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik lalu lintas, keamanan, kemanfaatan, rencana tata ruang dan pengembangan wilayah di Kecamatan Tanah Abang yang setiap tahun semakin ramai dengan aktivitas masyarakat, dengan begitu tiada pilihan kecuali menukar dan memindahkan wakaf tersebut ke tempat lain. Upaya atau langkah-langkah para pihak yang terkait dalam menyelesaikan masalah perwakafan yang menyangkut perubahan status wakaf tersebut perlu diperhatikan, sehingga dapat mempunyai penyelesaian masalah yang sesuai dengan ketentuan hukum, baik dari segi Hukum Islam maupun perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut menarik penulis untuk meneliti dan mengkaji lebih lanjut proses perubahan status wakaf yang berlangsung, dengan harapan dapat memberikan masukan solusi agar pada masa mendatang dapat dilakukan perubahan status wakaf yang benar, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, dengan tetap memberikan kemanfaatan bagi kepentingan umum dan umat Islam secara khususnya. Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penulis merasa tergerak untuk mengadakan penelitian mengenai: “Hukum Perubahan Status Wakaf (Studi Kasus Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat)”. 8 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar penulisan skripsi ini dapat mencapai hasil yang baik sesuai dengan tujuan yang dikehendaki, maka penulis akan membatasi pada masalah-masalah tertentu saja, yang ada kaitannya dengan judul skripsi sehingga masalah-masalah yang diteliti tidak begitu luas. Penulis dalam menyusun skripsi ini membatasi pada hukum melakukan perubahan status harta benda wakaf, khususnya mengenai tukar-menukar (ruislagh) tanah wakaf dalam ketentuan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia serta prosedurnya. 2. Perumusan Masalah Dalam teori, perwakafan yang telah dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, yakni paham Syafi’iyyah menyatakan bahwa tidak boleh melakukan perubahan status pada aset wakaf seperti menjual, merubah bentuk, memindahkan atau menukar dengan benda lain, namun dalam prakteknya, ternyata saat ini ada praktik tersebut di masyarakat, bahkan dilegalkan oleh negara dalam bentuk perundang-undangan. Dalam teori, prosedur untuk melakukan perubahan status/tukarmenukar harta benda wakaf mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang- 9 Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 51 yang berbunyi sebagai berikut: Penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah statusnya dilakukan sebagai berikut: a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan status/tukar-menukar tersebut; b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota; c. Kepala kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah menerima permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti dalam Pasal 49 ayat (4), dan selanjutnya bupati/walikota setempat membuat Surat Keputusan; d. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota meneruskan permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penelitian kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri; e. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut. namun dalam prakteknya, terdapat pelaksanaan perubahan status/tukarmenukar harta benda wakaf yang belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku tersebut, salah satunya yang penulis kemukakan ialah proses ruislagh tanah wakaf antara Masjid Al-Istiqomah dan Musholla Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat, dengan tanah pengganti milik PT Jakarta Realty. Perumusan masalah yang jelas diharapkan penelitian ini dapat lebih terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, rumusan masalah tersebut di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 10 1. Bagaimanakah ketentuan perubahan status wakaf dalam Hukum Islam dan Hukum Positif serta mekanismenya? 2. Faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya perubahan status wakaf Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat dan dampaknya? 3. Bagaimanakah proses perubahan status wakaf Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat dan apa reaksi masyarakat setempat terhadap perubahan tersebut? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui ketentuan perubahan status wakaf dalam Hukum Islam dan Hukum Positif serta mekanismenya. 2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya perubahan status wakaf Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat serta dampaknya. 3. Untuk mengetahui proses perubahan status wakaf Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat serta reaksi masyarakat setempat terhadap perubahan tersebut. 11 Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritik Diharapkan dapat menambah kontribusi pengetahuan tentang perwakafan, khususnya mengenai perihal perubahan status wakaf, sekaligus memperkaya kepustakaan hukum khususnya Hukum Islam. 2. Manfaat Praktis Dapat memberikan masukan yang berguna bagi pihak yang berkepentingan dan pihak terkait lainnya. D. Tinjauan Kajian Terdahulu Dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Tentang Adanya Perubahan Status Tanah Wakaf (Studi Kasus di KUA Kecamatan Pamulang)” yang ditulis oleh Lilih Munawaroh Jurusan Peradilan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005. Penulis membahas seputar ketentuan Hukum Islam tentang perubahan status tanah wakaf dan penarikan kembali tanah wakaf serta prosedurnya di KUA Kecamatan Pamulang. Dalam skripsi yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Perubahan Status Tanah Wakaf Menurut Hukum Islam dalam Hukum Positif (Studi Kasus Pada TPM Griya Abadi Desa Parung)” yang ditulis oleh Firman Hafiz, Jurusan Administrasi Keperdataan Islam Universitas Islam Negeri 12 Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006. Penulis membahas mengenai gambaran umum tentang sengketa perubahan status tanah wakaf di TPU Griya Abadi Desa Parung, pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang perubahan status tanah wakaf dan penulis juga membahas tentang cara penyelesaian terhadap sengketa tanah wakaf di TPU Griya Abadi Desa Parung. Dalam skripsi yang berjudul “Pengalihan Wakaf Tanah dan Bangunan Menurut Hukum Islam (Studi Kasus Masjid Jami’ Al-Ikhlas Kelurahan Malaka Jaya Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur)” yang ditulis oleh Ahmad Ulfi Maula Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007, penulis membahas pandangan ulama mazhab terhadap pengalihan wakaf tanah dan bangunan. Sedangkan dalam Skripsi yang saya akan buat dengan judul “Hukum Perubahan Status Wakaf (Studi Kasus Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat)” membahas mengenai ketentuan perubahan status wakaf dalam Hukum Islam dan Hukum Positif serta mekanismenya, menelusuri latar belakang terjadinya perubahan status wakaf Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta 13 Pusat, dampaknya, serta proses dan reaksi masyarakat setempat terhadap perubahan tersebut. E. Metode Penelitian Metodologi penelitian berarti cara yang dipakai untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis sampai menyusun laporan guna mencapai suatu tujuan.8 Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut: 1. Jenis dan Metode Penelitian Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif, yakni dengan menggunakan instrumen penelitian lapangan. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yakni berusaha menyajikan fakta-fakta yang objektif sesuai dengan kondisi dan situasi yang sebenarnya terjadi pada saat penelitian dilakukan. Di samping itu, peneliti juga menggunakan instrumen penelitian kepustakaan, yaitu penelitian dengan jalan menelaah buku-buku ilmiah, meneliti buku-buku yang memiliki relevansi dengan objek penelitian, artikel, kitab-kitab karangan para ulama, internet, dan lain-lain sebagai faktor penunjang yang melandasi dasar-dasar teoritis. 8 Cholid Nurboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara Pustaka, 1997), h.1. 14 2. Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin yang terletak di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat. 3. Sumber Data a. Data Primer Merupakan data yang diperoleh langsung dari melalui studi lapangan yaitu dengan mengadakan penelitian di instansi atau perorangan yang ada kaitannya dengan penelitian skripsi ini.9 b. Data Sekunder Merupakan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang bertujuan memperoleh landasan teori yang bersumber dari buku-buku yang memiliki relevansi dengan objek penelitian, artikel, kitab-kitab karangan para ulama, internet, dan literatur lain yang berkaitan dengan objek penelitian.10 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut:11 9 Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya (PUAJ), 2007), h.54. 10 11 Ibid., Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006), h.221. 15 a. Dokumentasi, yaitu penelusuran dokumen-dokumen tertulis untuk memperoleh data, seperti surat-surat, arsip, dan lain-lain. b. Wawancara atau interview, yaitu pengambilan data dengan menggunakan tanya jawab kepada pihak-pihak yang terkait dengan objek penelitian. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara terhadap Pengurus Nazhir Wakaf/Dewan Kemakmuran Masjid AlIstiqomah wa Hayatuddin, Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang, dan Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Pusat. c. Observasi, yang merupakan sebuah proses penelitian secara mendalam untuk mengetahui dalam hal ini faktor penyebab dilakukannya ruislagh tanah wakaf Masjid Al-Istiqomah dan Musholla Hayatuddin, dengan tanah pengganti milik PT Jakarta Realty, dampaknya, serta proses dan reaksi masyarakat setempat terhadap perubahan tersebut. 5. Teknik Analisa Data Dalam menganalisa data, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan memeriksa kelengkapan, kejelasan dan relevansi data yang diperoleh kemudian disajikan secara deskriptif untuk menemukan fakta dengan intervensi yang tepat dan menganalisis lebih dalam tentang hubungan dari fakta-fakta tersebut.12 12 Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, h.91. 16 6. Teknik Penulisan Mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007. F. Sistematika Penulisan Guna memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi skripsi, maka penulis memberikan sistematika skripsi yang secara garis besar berguna untuk pembaca. Sistematika skripsi menjadi 5 (lima bab), dan isi dari masing-masing bab secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: Bab pertama tentang pendahuluan, bab ini merupakan pengantar untuk dapat menjawab pertanyaan apa yang diteliti, mengapa, bagaimana dan untuk apa penelitian ini dilakukan. Oleh karena itu, bab ini terdiri dari uraian tentang latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab kedua tentang ketentuan umum perwakafan, bab ini adalah pisau analisis yang berisi teori-teori mengenai perwakafan. Dalam bab ini diuraikan tentang: pengertian dan dasar hukum wakaf. Tujuan, fungsi, unsur, dan syarat 17 wakaf. Macam-macam wakaf. Kewajiban dan hak-hak nadzir atas benda wakaf. Pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf. Bab ketiga tentang perubahan status wakaf dan mekanismenya, bab ini berisi penjelasan mengenai perubahan status wakaf dalam Hukum Islam dan Hukum Positif serta mekanismenya. Bab keempat tentang data dan analisis, bab ini terdiri dari dua bagian besar, yaitu deskripsi obyek penelitian dan jawaban dari permasalahan penelitian. Dalam bab ini diuraikan tentang gambaran umum Masjid AlIstiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat. Faktor penyebab dan dampak dari dilakukannya perubahan tersebut. Proses dan reaksi masyarakat setempat terhadap perubahan tersebut. Analisa data penelitian. Bab kelima tentang penutup, bab ini merupakan bab terakhir yang memuat dua hal, yaitu: kesimpulan dan saran-saran. BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PERWAKAFAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf 1. Pengertian Wakaf Kata wakaf berasal dari bahasa Arab al-waqf dari ‫ﻒ – َوﻗْ ًﻔﺎ‬ ُ ‫ﻒ – َﯾ ِﻘ‬ َ ‫ َو َﻗ‬. masdar dari bentuk masdar Kata al-waqf semakna dengan al-habs bentuk ‫ﺴﺎ‬ ً ْ‫ﺣﺒ‬ َ – ‫ﺲ‬ ُ ‫ﺲ – َﯾﺤِْﺒ‬ َ ‫ﺣ َﺒ‬ َ yang berarti menahan atau berhenti,1 mengekang atau menghentikan,2 tetapnya sesuatu dalam keadaan semula.3 Menurut istilah, wakaf adalah: ْ‫ف َﻣ َﻨﺎ ِﻓ ِﻌ ِﮫ ِﻓﻲ‬ ُ ْ‫ﺻﺮ‬ َ ‫ل َو‬ ِ ‫ﺲ اﻟْ َﻤﺎ‬ ُ ْ‫ﺣﺒ‬ َ ْ‫ أ ي‬. ‫ﻞ اﻟ َﺜﻤْ َﺮ ِة‬ ُ ْ‫ﻞ َو َﺗﺴْ ِﺒﯿ‬ ِ ْ‫ﺲ اﻻٔﺻ‬ ُ ْ‫ﺣﺒ‬ َ 4 ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻞا‬ ِ ‫ﺳ ِﺒﯿ‬ َ Artinya: “Menahan benda asal (pokok) dan menjadikan buah atau hasil untuk sabilillah atau jalan kebaikan, yakni menahan benda atau harta dan menyalurkan hasilnya di jalan Allah.” Dalam pengertian istilah secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) 1 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, alih bahasa oleh Kamaluddin A., Marzuki, dkk., cet.VIII, (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), Jilid XIV, h.148. 2 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN)), h.1193. Lihat juga Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, cet.IV, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h.168. 3 M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqh, cet.III, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h.414. 4 Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), Jilid III, h.377. 18 19 asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Sedangkan yang dimaksud dengan “tahbisul ashli” ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, disewakan, dan digadaikan kepada orang lain. Sedangkan pengertian “cara pemanfaatannya” adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan.5 Menurut istilah para ahli fiqih terdapat beragam pengertian tentang wakaf, yaitu: a. Menurut Abu Hanifah: 6 ‫ق ِﺑ َﻤﻨْ َﻔ َﻌ ِﺘ َﮭﺎ‬ َ ‫ﺼ ﱡﺪ‬ َ ‫ﻒ َو اﻟ ﱠﺘ‬ ِ ْ‫ﻚ اﻟْ َﻮاﻗ‬ ِ ْ‫ﻋﻠﻰ ِﻣﻠ‬ َ ‫ﻦ‬ ِ ْ‫ﺲ اﻟْ َﻌﯿ‬ ُ ْ‫ﺣﺒ‬ َ Artinya: “Menahan benda yang menurut hukum statusnya tetap menjadi milik dari orang yang berwakaf (wakif) dan yang disedekahkan adalah manfaatnya saja.” Berdasarkan definisi itu maka kepemilikan dari harta wakaf itu tidak lepas dari si wakif bahkan ia dibenarkan untuk menarik kembali harta wakafnya dan ia juga diperbolehkan untuk menjualnya. Karena yang lebih kuat menurut pendapat Abu Hanifah adalah bahwa wakaf hukumnya jaiz (boleh), tidak wajib. 5 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masayrakat Islam Departemen Agama, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, cet.III, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masayrakat Islam Departemen Agama, 2006), h.1. 6 V, h.187. Ibn Najm Zainuddin, Al-Bahrur Raiq (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabiyyah al-Kubro, t.th), Juz 20 b. Menurut Imam Malik: ‫ﺼﯿْ َﻐ ٍﺔ ُﻣ ﱠﺪ َة‬ ِ ‫ﻖ ِﺑ‬ ‫ﺤﱟ‬ ِ ‫ﻏﱠﻠ ٍﺔ ِﻟ ُﻤﺴْ َﺘ‬ ُ ْ‫ك َو َﻟﻮْ ِﺑَﺎٔ ﺟْ َر ٍة َأ و‬ ٍ ْ‫ﻞ َﻣﻨْ َﻔ َﻌ ُﺔ َﻣﻤُﻠﻮ‬ ُ ْ‫ﺟﻌ‬ َ 7 ‫ﺲ‬ ِ ‫َﻣﺎ َﯾ َﺮا ُه اﻟ ُﻤﺤْ ِﺒ‬ Artinya:“ Menjadikan manfaat benda yang dimiliki baik yang berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada yang berhak (maukuf alaih) dalam bentuk penyerahan yang berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan (wakif).” Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya bagi orang banyak untuk tujuan kebaikan, sedangkan perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, oleh karena itu tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya). c. Menurut Imam Syafi’i: ‫ف ِﻓﻲ‬ ٍ ‫ﺼ ﱡﺮ‬ َ ‫ﻋﯿِْﻨ ِﮫ ِﺑ َﻘﻄْ ٍﻊ اﻟ ﱠﺘ‬ َ ‫ع ِﺑ ِﮫ َﻣ َﻊ َﺑﻘﺎ ِء‬ ُ ‫ﻻٕﻧْ ِﺘﻔَﺎ‬ ِ ْ‫ﻦ ا‬ ُ ‫ل ُﯾﻤْ ِﻜ‬ ٍ ‫ﺲ ﻣَﺎ‬ ُ ْ‫ﺣﺒ‬ َ 8 ‫ح‬ ٍ ‫ف ُﻣ َﺒﺎ‬ ٍ ‫ﻋَﻠﻰ َﻣﺼْ َﺮ‬ َ ‫َرﻗَْﺒ ِﺘ ِﮫ‬ Artinya: “Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama.” Maksud dari “lepas” definisi di atas adalah lepasnya kepemilikan benda wakaf dari si wakif dan menjadi milik Allah SWT, dan hasil dari 7 Sayyid Ali Fikri, Al-Mu’aamalatul Madiyah Wal Adabiyah, (Mesir: Mushthofa Al-Baabi AlHalani, 1938), Juz II, h.304. 8 Asy-Syarbini Muhammad al-Khatib, Mughnil Muhtaaj, (Mesir: Mushthofa Al-Baabi AlHalabi, 1958), Juz II, h.376. 21 pemanfaatan benda wakaf tersebut digunakan untuk kebaikan yang sangat dianjurkan dalam Islam. d. Menurut Ahmad Bin Hanbal: ‫ﻋﯿْ ِﻨ ِﮫ ﯾﻘﻄﻊ‬ َ ‫ع‬ ِ ‫ف َﻣﺎَﻟ ُﮫ اﻟْ ُﻤﻨَْﺘ ِﻔ ُﻊ ِﺑ ِﮫ َﻣﺎَﺑ َﻘﺎ‬ ِ ‫ﺼ ﱡﺮ‬ َ ‫ﻖ اﻟﱠﺘ‬ َ ‫ﻚ ُﻣﻄَْﻠ‬ ٍ ‫ﺲ َﻣﺎِﻟ‬ ُ ْ‫َﺗﺤْ ِﺒﯿ‬ ‫ﺴﺎ‬ ً ْ‫ف َﺗﺤِْﺒﯿ‬ ِ ‫ﺼ ﱡﺮ‬ َ ‫ع اﻟ ﱠﺘ‬ ِ ‫ع ِﻣﻦْ أﻧْ َﻮا‬ ٍ ْ‫ﻏﯿْ ِﺮ ِه ِﻓﻰ َرﻗْ َﺒِﺘ ِﮫ ِﻟَﻨﻮ‬ َ ‫ﺼ ّﺮ ِﻓ ِﮫ َو‬ َ ‫َﺗ‬ 9 ‫ﷲ‬ ِ ‫ف ِرﯾْ ُﻌ ُﮫ ِإﱠﻟﻰ ِﺑ ﱟﺮ َﺗ َﻘ ﱡﺮًﺑﺎ ِإﱠﻟﻰ ا‬ ُ ‫ُﯾﺼْ َﺮ‬ Artinya: “Menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan semua hak penguasaan atas harta itu sedangkan manfaatnya dipergunakan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.” Dalam definisi di atas terdapat kata “putus” yang maksudnya adalah terputusnya kepemilikan benda wakaf dari si wakif dan menjadi milik Allah SWT, dan hasil dari pemanfaatan benda wakaf tersebut digunakan untuk kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selain definisi yang terdapat menurut fiqih klasik, khusus di Negara kita Indonesia ini terdapat rumusan wakaf sebagaimana terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Pasal 1 ayat (1), bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Buku III Hukum Perwakafan) Pasal 215 ayat (1), bahwa wakaf 9 Sayyid Ali Fikri, Al-Mu’aamalatul Madiyah Wal Adabiyah, h.312. 22 adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 1 ayat (1), bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan Fatwa tentang wakaf melalui rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 11 Mei 2002, bahwa wakaf adalah: ‫ف ﻓِﻰ‬ ِ ‫ﺼ ﱡﺮ‬ َ ‫ﻋﯿِْﻨ ِﮫ أوْ َأﺻِْﻠ ِﮫ ِﺑ َﻘﻄْ ِﻊ اﻟﱠﺘ‬ َ ‫ع ِﺑ ِﮫ َﻣ َﻊ ﺑَﻘﺎَء‬ ُ ‫ﻻٕﻧْ ِﺘﻔَﺎ‬ ِ ْ‫ﻦ ا‬ ُ ‫ل ُﯾﻤْ ِﻜ‬ ٍ ‫ﺲ ﻣَﺎ‬ ُ ْ‫ﺣﺒ‬ َ 10 ‫ﺟﻮْ ٍد‬ ُ ْ‫ح َﻣﻮ‬ ٍ ‫ف ُﻣﺒَﺎ‬ ِ ‫َرﻗْ َﺒِﺘ ِﮫ ﻋَﻠﻰ َﻣﺼْ َﺮ‬ Artinya: “Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokonya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.” Dari definisi di atas, meskipun terdapat perbedaan pengertian wakaf antara satu ulama dengan ulama yang lainnya, namun pada dasarnya 10 Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, cet.II, (Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, 2005), h.139. 23 mengandung makna yang sama. Perbedaan yang ada hanya dalam hal-hal yang sekunder (cabang) bukan primer (prinsip), sedangkan dalam hal-hal yang pokok, ada ukuran-ukuran yang disepakati oleh sebagian besar ulama, yaitu eksistensi benda wakaf itu haruslah bersifat tetap. Dengan ungkapan lain istilah wakaf diterapkan untuk harta benda yang tidak musnah dan manfaatnya dapat diambil tanpa mengonsumsi harta benda itu sendiri. Artinya biarpun faedah atau manfaat benda itu diambil, zat benda tersebut masih tetap ada selamanya, sedangkan hak kepemilikannya berakhir, tidak boleh dijual, diwariskan, dihibahkan, serta harta tersebut dipersembahkan oleh si wakif (orang yang mewakafkan) untuk tujuan amal saleh guna mendapatkan keridhaan Allah SWT. Dengan melepaskan harta wakaf itu menjadi milik Allah SWT sehingga tidak dapat dimiliki atau dipindahtangankan kepada siapapun dan dengan cara bagaimanapun juga. 2. Dasar Hukum Wakaf Dasar hukum wakaf sebagai lembaga yang diatur dalam ajaran Islam tidak dijumpai secara tersurat dalam Al-Qur’an. Namun demikian, terdapat ayat-ayat yang memberi petunjuk dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum perwakafan. Ayat-ayat yang dipahami berkaitan dengan wakaf diantaranya adalah: ٌ‫ﻋﻠِﯿﻢ‬ َ ‫ن اﻟﱠﻠ َﮫ ِﺑ ِﮫ‬ ‫ﺷﻲْ ٍء َﻓِﺈ ﱠ‬ َ ْ‫ن َوﻣَﺎ ﺗﻨﻔﻘﻮا ِﻣﻦ‬ َ ‫ﺤﺒﱡﻮ‬ ِ ‫ﺣﺘﱠﻰ ﺗﻨﻔِﻘﻮا ِﻣﻤﱠﺎ ُﺗ‬ َ ‫َﻟﻦْ َﺗﻨَﺎﻟُﻮا اﻟِْﺒ ﱠﺮ‬ (٩٢:٣/‫)ال ﻋﻤﺮان‬ 24 Artinya: “kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”(QS. Ali ‘Imran, 3:92) ‫ض‬ ِ ْ‫ﻦ اﻷر‬ َ ‫ﺴﺒْﺘﻢْ َو ِﻣ ﱠﻤﺎ َأﺧْ َﺮﺟْﻨَﺎ َﻟ ُﻜﻢْ ِﻣ‬ َ ‫ت ﻣَﺎ َﻛ‬ ِ ‫ﻃ ِّﯿﺒَﺎ‬ َ ْ‫ﻦ آ َﻣﻨُﻮا أﻧﻔﻘﻮا ِﻣﻦ‬ َ ‫ﯾَﺎ َأﱡﯾﮭَﺎ اﱠﻟﺬِﯾ‬ (٢٦٧:٢/ ‫)اﻟﺒﻘﺮة‬ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”(QS. Al-Baqarah, 2:267) ‫ﻞ‬ ِّ ‫ﻞ ﻓِﻲ ُﻛ‬ َ ‫ﺳﻨَﺎ ِﺑ‬ َ ‫ﺳﺒْ َﻊ‬ َ ْ‫ﺣ ﱠﺒ ٍﺔ َأﻧْ َﺒ َﺘﺖ‬ َ ‫ﻞ‬ ِ ‫ﻞ اﻟﱠﻠ ِﮫ َﻛ َﻤ َﺜ‬ ِ ‫ﺳﺒِﯿ‬ َ ‫ن َأﻣْﻮَاَﻟ ُﮭﻢْ ﻓِﻲ‬ َ ‫ﻦ ﯾﻨﻔﻘﻮ‬ َ ‫ﻞ اﱠﻟﺬِﯾ‬ ُ ‫َﻣَﺜ‬ (٢٦١:٢/ ‫ﻋﻠِﯿﻢٌ )اﻟﺒﻘﺮة‬ َ ٌ‫ﺳﻊ‬ ِ ‫ﻒ ِﻟ َﻤﻦْ َﯾﺸَﺎ ُء وَاﻟﱠﻠ ُﮫ وَا‬ ُ ‫ﻋ‬ ِ ‫ﺣﱠﺒ ٍﺔ وَاﻟﱠﻠ ُﮫ ُﯾﻀَﺎ‬ َ ‫ﺳﻨْ ُﺒَﻠ ٍﺔ ﻣِﺎ َﺋ ُﺔ‬ ُ Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al-Baqarah, 2:261) Kata-kata menafkahkan harta yang disebut dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 73 tempat, dalam skripsi ini penulis mengutip 3 ayat saja, yang secara umum menganjurkan agar kaum muslimin bersedia menafkahkan sebagian kekayaannya baik yang berkonotasi pada nafkah wajib, seperti zakat atau memberi nafkah keluarga maupun yang menunjukkan hukum sunnah seperti sedekah, hibah, wakaf, dan lain-lain. Selain itu, Allah menjanjikan kepada orang yang menafkahkan hartanya akan dilipatgandakan pahalanya menjadi 700 kali lipat. 25 Adapula beberapa hadist yang berkaitan dengan wakaf yang dijelaskan secara umum, yaitu: ‫ﺳﻠﱠﻢ‬ َ ‫ﻋَﻠﯿْ ِﮫ َو‬ َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا‬ َ ‫ﷲ‬ ِ‫لا‬ َ ْ‫ﺳﻮ‬ ُ ‫ن َر‬ ‫ﷲ ﻋَﻨْ ُﮫ أ ﱠ‬ ُ ‫ﻲ ا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻋﻦْ أﺑﻲْ َُھ َﺮﯾْﺮَة َ َر‬ َ ْ‫ﺻ َﺪ َﻗ ٍﺔ ﺟَﺎ ِر َﯾ ٍﺔ أو‬ َ :‫ث‬ ٍ ‫ﻼ‬ َ ‫ﻻ ِﻣﻦْ َﺛ‬ ‫ﻋ َﻤُﻠ ُﮫ ِٕا ﱠ‬ َ ‫ﻄ َﻊ‬ َ ‫ﻦ َا َد َم ِاﻧْ َﻘ‬ ُ ْ‫ت ِاﺑ‬ َ ‫ ِإذَا ﻣَﺎ‬: ‫ل‬ َ ‫ﻗَﺎ‬ 11 {‫ﻋﻮْا َﻟ ُﮫ }رواه ﻣﺴﻠﻢ‬ ُ ْ‫ﺢ َﯾﺪ‬ ِ ‫ﻋﻠْ ٍﻢ ُﯾﻨَْﺘ َﻔ ُﻊ ِﺑ ِﮫ أوْ َوَﻟ ٍﺪ ﺻَﺎِﻟ‬ ِ Artinya: “Dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua amal perbuatannya kecuali tiga hal yaitu shadaqah jariah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendo’akannya.” (HR. Muslim) ‫ﺨﯿْ َﺒ َﺮ َﻓَﺎٔ َﺗﻰ‬ َ ‫ﺿﺎ ِﺑ‬ ً ْ‫ﻋ َﻤ ُﺮ َٔار‬ ُ ‫ب‬ َ ‫ﺻﺎ‬ َ ‫ َٔا‬: ‫ل‬ َ ‫ﻋﻨْ ُﮭ َﻤﺎ َﻗﺎ‬ َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲ ا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻋ َﻤ َﺮ َر‬ ُ ‫ﻦ‬ ِ ْ‫ﻋﻦْ ِاﺑ‬ َ ‫ﺖ‬ ُ ْ‫ﺻﺒ‬ َ ٔ‫ﷲ ِإ ﱢﻧﻲ ا‬ ِ ‫لا‬ َ ْ‫ﺳﻮ‬ ُ ‫ َﯾﺎ َر‬: ‫ل‬ َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ُﯾﺴْ َﺘﺎْٔ َﻣ َﺮ ِﻓﯿْ َﮭﺎ َﻓ َﻘﺎ‬ َ ‫ﻋَﻠﯿْ ِﮫ َو‬ َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺻﱠﻠﻰ ا‬ َ ‫ﻲ‬ ‫اﻟﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬ ‫ل َﻟ ُﮫ‬ َ ‫ﻋﻨْ ِﺪيْ ِﻣﻨْ ُﮫ َﻓ َﻤﺎ َﺗﺎْٔ ُﻣ ُﺮِﻧﻲْ ِﺑ ِﮫ ؟ َﻓ َﻘﺎ‬ ِ ‫ﺲ‬ ُ ‫ﻂ ُھ َﻮ أﻧْ َﻔ‬ ‫ﻻ َﻗ ﱡ‬ َٔ ‫ﺻﺐْ َﻣﺎ‬ ِ ٔ‫ﺨﯿْ َﺒ َﺮ َﻟﻢْ َا‬ َ ‫ﺿﺎ ِﺑ‬ ً ْ‫َأر‬ ‫ق‬ َ ‫ﺼ ﱠﺪ‬ َ ‫ َﻓ َﺘ‬. ‫ﺖ ِﺑ َﮭﺎ‬ َ ْ‫ﺼ ﱠﺪﻗ‬ َ ‫ﺖ َاﺻَْﻠ َﮭﺎ َو َﺗ‬ َ ْ‫ﺣَﺒﺴ‬ َ ‫ﺖ‬ َ ْ‫ﺸﺋ‬ ِ ْ‫ﻞ ِإن‬ ‫ﺳﱠ‬ َ ‫ﻋَﻠﯿْ ِﮫ َو‬ َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺻﱠﻠﻰ ا‬ َ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ْ‫ﺳﻮ‬ ُ ‫َر‬ ‫ق ِﺑ َﮭﺎ ِﻓﻰ اﻟْ ُﻔ َﻘ َﺮا ِء َو‬ َ ‫ﺼ ﱠﺪ‬ َ ‫ َو َﺗ‬: ‫ل‬ َ ‫ َﻓ َﻘﺎ‬. ‫ث‬ ُ ‫ﻻ ُﺗﻮْ َر‬ َ ‫ﺐ َو‬ ُ ‫ﻻ ُﺗﻮْ َھ‬ َ ‫ع َو‬ ُ ‫ﻻ ُﺗ َﺒﺎ‬ َ ‫ﻋ َﻤ ُﺮ َأ ﱠﻧ َﮭﺎ‬ ُ ‫ِﺑ َﮭﺎ‬ ‫ﻋَﻠﻰ‬ َ ‫ح‬ َ ‫ﺟَﻨﺎ‬ ُ ‫ﻻ‬ َ ‫ﻒ‬ ِ ْ‫ﻀﯿ‬ ‫ﻞ َو اﻟ ﱠ‬ ِ ْ‫ﺴ ِﺒﯿ‬ ّ ‫ﻦ اﻟ‬ ِ ْ‫ﷲ َوﺑ‬ ِ ‫ﻞا‬ ِ ْ‫ﺳِﺒﯿ‬ َ ‫ب َو ِﻓﻰ‬ ِ ‫ِﻓﻰ اﻟْ ُﻘﺮْ َﺑﻰ َو ِﻓﻰ اﻟ ﱢﺮ َﻗﺎ‬ ‫ل‬ ٍ ‫ﻏﯿْ َﺮ ُﻣَﺘ َﻤ ﱢﻮ‬ َ ‫ف َو ُﯾﻄْ ِﻌ ُﻢ‬ ِ ْ‫ﻞ ِﻣﻨْ َﮭﺎ ِﺑﺎﻟْ َﻤﻌْ ُﺮو‬ َ ‫َﻣﻦْ َوِﻟ َﯿ َﮭﺎ َأنْ َﯾﺎْٔ ُﻛ‬ 12 {‫}رواه اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬ Artinya: “Dari Ibnu Umar RA berkata : bahwa sahabat Umar RA memperoleh sebidang tanah di khaibar, kemudian ia menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk dan bertanya : Ya Rasulullah sesungguhnya aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, suatu harta yang belum pernah aku dapatkan sama sekali yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang hendak kau perintahkan kepadaku ? Maka jawab Nabi Muhammad SAW : Jika engkau suka tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya. Lalu Umar menyedekahkan, dengan syarat dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwarisi. Yaitu untuk orang-orang kafir untuk keluarga dekat, untuk memmerdekakan sahaya, utnuk menjamu tamu, untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan (Ibnu Sabil), dan tidak 11 Imam Abi al-Husain Muslim al-Hijaj, Shahih Muslim, (Mesir: Dar-al-Hadits al-Qahirah, 1994), Jilid 6, h.95. 12 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar El-Fikr, t.th), Juz 3, h.196. Lihat juga Ibid., h.14. 26 berdosa orang yang meburusinya itu untuk memakan sebagiannya dengan cara yang wajar dan untuk memberi makan (kepada keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak milik.”(HR. Bukhari dan Muslim) Di samping hadist yang menyatakan landasan hukum wakaf tanah yang merupakan benda yang tidak bergerak, ada juga hadist yang menyatakan kebolehan benda bergerak sebagaimana hadist yang berasal dari Abu Hurairah dan diriwayatkan oleh Bukhari yang berbunyi sebagai berikut: ْ‫ َﻣﻦ‬: ‫ﺳّﻠﻢ‬ َ ‫ﻋَﻠﯿْ ِﮫ َو‬ َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا‬ َ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ْ‫ﺳﻮ‬ ُ ‫ل َر‬ َ ‫ ﻗَﺎ‬: ‫ل‬ َ ‫ﻋﻨْ ُﮫ َﻗﺎ‬ َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻰا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻋﻦْ َاِﺑﻰ ُھ َﺮﯾْ َﺮ َة َر‬ َ ,‫ َوَﺑﻮَْﻟ ُﮫ‬,‫ن ﺸَِﺒ َﻌ ُﮫ َو َرﻓْ َﺜ ُﮫ‬ ‫ ﻓِﺎ ﱠ‬,‫ﺴﺎًﺑﺎ‬ َ ‫ﷲ ِاﯾْ َﻤﺎ ًﻧﺎ َو اﺣْ ِﺘ‬ ِ ‫ﻞ ا‬ ِ ْ‫ﺳ ِﺒﯿ‬ َ ‫ﺳﺎ ِﻓﻰ‬ ً ْ‫ﺲ َﻓﺮ‬ َ ‫ِاﺣَْﺘ َﺒ‬ 13 {‫ﺴَﻨﺎتٌ }رواه اﻟﺒﺨﺮى‬ َ‫ﺣ‬ َ ‫ِﻓﻲْ ِﻣﯿْ َﺰاِﻧ ِﮫ‬ Artinya: “Dari Abi Hurairah RA berkata, Rasulullah bersabda: Barangsiapa mewakafkan seekor kuda di jalan Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan maka sesungguhnya jasad, kotoran, dan kencingnya akan menjadi amal kebaikan pada timbangan pada hari kiamat.”(HR. Bukhari) Walaupun hadist di atas hanya menunjukan keabsahan wakaf hewan, dalam hal ini kuda, tapi jika ditinjau dari fungsi hewan itu di zaman nabi yaitu sebagai hewan yang tercepat, maka dapat disimpulkan bahwa wakaf benda bergerakpun sah menurut hukum manakala pemanfaatannya dapat diperoleh tanpa menghabiskan barang itu sendiri. Uraian hadist di atas mengarah pada adanya dua bentuk benda wakaf, yaitu benda bergerak yang disebut al-manqul atau al-musya’ dan benda yang tidak bergerak yang bisa disebut al-‘aqar.14 13 Ibid., h.198. 14 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, Sejarah, Perkembangannya (Bandung: Yayasan Piara, 1995), h.13. Pemikiran, Hukum dan 27 Dari beberapa hadist di atas dapat disimpulkan bahwa disyariatkannya wakaf sebagai tindakan hukum dengan cara melepaskan hak kepemilikannya atas asal barang dan mensedekahkan manfaatnya untuk kepentingan umum, dengan maksud memperoleh pahala dari Allah. Kepentingan tersebut bisa berupa kepentingan sosial atau kepentingan agama. B. Rukun, Syarat, Tujuan, dan Fungsi Wakaf 1. Rukun dan Syarat Wakaf Meskipun para pakar hukum Islam berbeda pendapat dalam merumuskan definisi wakaf, namun mereka sepakat dalam menentukan rukun wakaf,15 tanpa adanya rukun-rukun sesuatu tidak akan berdiri tegak. Wakaf sebagai suatu lembaga Islam mempunyai beberapa rukun. Tanpa adanya rukun-rukun yang telah ditetapkan, wakaf tidak dapat berdiri atau tidak sah.16 Menurut Abdul Wahhab Khallaf rukun wakaf ada empat macam yaitu:17 a. Orang yang berwakaf (Wakif) Yang dimaksud dengan wakif adalah pemilik harta benda yang melakukan perbuatan hukum (menyerahkan harta bendanya). Menurut para pakar hukum Islam, suatu wakaf dianggap sah dan dapat dilaksanakan apabila 15 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum perdata Islam di Indonesia, cet.II, (Jakarta: Kencana, 2008), h.240. 16 Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta: Permadani, 2004), h.135. 17 Abdul Wahhab Khallaf, Ahkam al-Waqf (Kairo: Matba’ah al Misr, 1951), h.24. 28 wakif mempunyai kecakapan untuk melakukan (tabarru) yakni melapas hak milik dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan materil. Orang dapat dikatakan mempunyai kecakapan melakukan dalam hal perwakafan, apabila orang tersebut merdeka, benar-benar pemilik harta yang diwakafkan, berakal sehat, baligh dan pandai (rasyid). Kemampuan melakukan dalam perbuatan wakaf ini sangat penting, karena wakaf merupakan pelepasan benda dari pemiliknya untuk kepentingan umum. b. Harta yang diwakafkan (Mauquf bih) Agar harta benda yang diwakafkan sah, maka harta benda tersebut harus memenuhi tiga syarat, pertama: mutaqawwin (mal mutaqawwin) yakni harta pribadi milik si wakif secara sah dan halal, benda bergerak atau tidak bergerak, kedua: benda yang diwakafkan itu jelas wujudnya dan pasti batasbatasnya dan tidak dalam keadaan sengketa, ketiga: benda yang diwakafkan itu harus kekal yang memungkinkan dapat dimanfaatkan secara terusmenerus. Namun demikian menurut Imam Malik dan golongan Syiah Imamiyah wakaf dapat atau boleh dibatasi waktunya. c. Tujuan wakaf (Mauquf alaih) Yang dimaksud dengan mauquf alaih adalah tujuan wakaf yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Oleh karena itu, benda-benda yang dijadikan sebagai objek wakaf hendaknya 29 benda-benda yang termasuk dalam bidang yang mendekatkan diri (qurbat) kepada Allah SWT. d. Ikrar wakaf (Sighat wakaf) Tentang sighat wakaf ini merupakan rukun wakaf yang disepakati oleh jumhur fuqaha. Tanpa adanya ikrar wakaf, para fuqaha menganggap wakaf belum sempurna dilaksanakan. Yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah pernyataan yang merupakan penyerahan barang-barang wakaf kepada nazhir untuk dikelola sebagaimana yang diharapkan oleh pemberi wakaf. Pada umumnya, lafaz qabul hanya diperuntukkan kepada wakaf perorangan, tetapi bagi wakaf untuk umum tidak disyaratkan adanya lafaz qabul, cukup dengan ikrar penyerahan saja.18 Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 2 ditentukan bahwa wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syarat-syarat rukun yang ditentukan syariah. Selanjutnya dalam Pasal 6, wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur sebagai berikut; Wakif; Nazhir; Harta Benda Wakaf; Ikrar Wakaf; peruntukan harta benda wakaf; dan jangka waktu wakaf. Pada Pasal 7 ditentukan bahwa wakif meliputi; perseorangan; organisasi; badan hukum. Selanjutnya pada Pasal 8 Wakif perseorangan hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan; dewasa; berakal; sehat; tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan pemilik sah harta 18 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum perdata Islam di Indonesia, h.241. 30 benda wakaf. Sedangkan wakif organisasi hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan. Wakif badan hukum dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan. Pada Pasal 9 ditentukan bahwa nazhir meliputi; perseorangan; organisasi; badan hukum. Selanjutnya pada Pasal 10 perseorangan hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan; Warga Negara Indonesia; beragama Islam; dewasa; amanah; mampu secara jasmani dan rohani; tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Organisasi hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan: pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan; organisai yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. Badan hukum hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan; pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan; badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan badan hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. 31 Dalam Pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa, harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif. Disyaratkan pula dalam pasal 15 bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasasi oleh wakif secara sah. Menurut pasal 1 ayat (3), yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Sedangkan dalam pasal 17 dikatakan bahwa, ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir dihadapan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) dengan disaksikan oleh 2 orang saksi dan dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW. 2. Tujuan dan Fungsi Wakaf Jika kita menggali syariat Islam, akan ditemukan bahwa tujuan syariat Islam adalah demi kemaslahatan manusia. Allah memberi manusia kemampuan dan karakter yang beraneka ragam. Dari sinilah, kemudian timbul kondisi dan lingkungan yang berbeda di antara masing-masing individu. Ada yang miskin, kaya, cerdas, bodoh, kuat dan lemah, di balik semua itu tersimpan hikmah, di mana Allah memberi kesempatan kepada yang kaya menyantuni yang miskin, yang cerdas membimbing yang bodoh dan yang 32 kuat menolong yang lemah. Yang demikian, merupakan wahana bagi manusia untuk melakukan kebajikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah, sehingga interaksi antarmanusia terus terjalin.19 Wakaf memiliki fungsi sosial, artinya bahwa penggunaan hak milik oleh seseorang harus memberi manfaat langsung atau tidak langsung kepada masyarakat. Dalam ajaran kepemilikan terhadap harta benda seseorang, agama Islam mengajarkan bahwa di dalamnya melekat hak fakir miskin yang harus diberikan oleh pemiliknya secara ikhlas kepada yang memerlukannya sesuai aturan yang telah ditentukan yakni melalui infak, sedekah, wasiat, hibah, dan wakaf. Hal ini adalah sesuai dengan firman Allah SWT, sebagaimana tersebut dalam QS. adz-Dzaariyaat ayat 19: { ١٩:٥١ / ‫ﻞ وَاﻟْ َﻤﺤْﺮُو ِم }اﻟﺬّارﯾﺎت‬ ِ ‫ﻖ ﻟِﻠﺴﱠﺎِﺋ‬ ‫ﺣﱞ‬ َ ْ‫َوﻓِﻲ َأﻣْﻮَاِﻟ ِﮭﻢ‬ Artinya: “dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”(QS. Adz-Dzariyat, 51:19) Kepemilikan harta benda yang tidak menyertakan kepada kemanfaatan terhadap orang lain merupakan sikap yang tidak disukai oleh Allah SWT. Agama Islam selalu menganjurkan agar selalu memelihara keseimbangan sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial dalam tata kehidupan masyarakat.20 19 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf (Jakarta: IIMaN Press, 2003), h.83. 20 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum perdata Islam di Indonesia, h.265. 33 Dalam konsep Islam, dikenal istilah jariyah artinya mengalir. Maksudnya, sedekah atau wakaf yang dikeluarkan, sepanjang benda wakaf itu dimanfaatkan untuk kepentingan kebaikan maka selama itu pula si wakif mendapat pahala secara terus-menerus meskipun telah meninggal dunia,21 ‫ﻦ‬ َ ‫( إِﻻ اﱠﻟﺬِﯾ‬٥) ‫ﻦ‬ َ ‫ﻞ ﺳَﺎ ِﻓﻠِﯿ‬ َ ‫( ﺛ ﱠﻢ َر َددْﻧَﺎ ُه َأﺳْ َﻔ‬٤) ‫ﻦ ﺗَﻘﻮِﯾ ٍﻢ‬ ِ‫ﺴ‬ َ ْ‫ن ﻓِﻲ َأﺣ‬ َ ‫ﺴﺎ‬ َ ْ‫ﺧﻠَﻘﻨَﺎ اﻹﻧ‬ َ ْ‫َﻟ َﻘﺪ‬ {٤-٦ : ٩٥/‫( }اﻟ ّﺘﯿﻦ‬٦) ‫ن‬ ٍ ‫ﻏﯿْ ُﺮ َﻣﻤْﻨﻮ‬ َ ٌ‫ت َﻓَﻠ ُﮭﻢْ َأﺟْﺮ‬ ِ ‫ﻋ ِﻤﻠُﻮا اﻟﺼﱠﺎِﻟﺤَﺎ‬ َ ‫آ َﻣﻨُﻮا َو‬ Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya. kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”(QS. Al-Tiin, 95:4-6) Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik pasal 2 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Buku III tentang Hukum Perwakafan) pasal 216 menyebutkan, bahwa fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, yaitu melembagakannya untuk selamalamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Tujuan wakaf yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dijelaskan pada pasal 4, bahwa wakaf bertujuan untuk memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf ditambahkan dalam pasal 22, bahwa harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi; sarana dan kegiatan ibadah; 21 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), h.492. 34 sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa; kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, penetapan peruntukan harta benda wakaf dilakukan oleh wakif pada saat pelaksanaan ikrar wakaf. Sedangkan dalam hal wakif tidak menetapkan peruntukkan harta benda wakaf, nazhir dapat menetapkan peruntukkan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 5 dijelaskan bahwa fungsi wakaf adalah mewujudakan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Wakaf merupakan tindakan hukum sukarela yang amat dianjurkan sebagai manifestasi rasa syukur atas anugerah rezeki yang diterima oleh seseorang dan difungsikan untuk kepentingan sosial dan keagamaan. Dalam pelaksanaannya, agar fungsi wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, maka objek wakaf hendaknya didayagunakan dengan sebaik-baiknya dalam pengelolaannya. Untuk itu diperlukan nazhir yang profesional dibidangnya dengan mengedepankan prinsip dan ajaran Islam. Dengan adanya nazhir yang profesioanal tersebut diharapkan objek wakaf yang masih banyak terbengkalai serta belum optimal pemanfaatannya 35 dapat lebih produktif, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan bangsa serta dapat mencegah timbulnya permasalahan atau sengketa yang dapat timbul di kemudian hari. C. Kewajiban dan Hak-Hak Nazhir atas Benda Wakaf Nazhir wakaf, baik perorangan, organisasi maupun yang berbentuk badan hukum merupakan orang yang diberi amanat oleh wakif untuk memelihara, mengurus dan menyelenggarakan harta wakaf sesuai dengan ikrar wakaf. Sebagai pemegang amanah tersebut, nazhir tentu mempunyai berbagai kewajiban dan hak tertentu. Kewajiban adalah menyangkut hal-hal yang harus dikerjakan dan diselesaikan demi tercapainya tujuan wakaf sebagaimana yang dikehendaki oleh ikrar wakaf, sedangkan hak adalah menyangkut penghargaan atas jasa atau jerih payah dari nazhir yang telah mengelola harta wakaf baik berupa honor atau gaji maupun fasilitas harta wakaf yang telah dikelolanya. Sebagai pemegang amanah, nazhir tidak dibebani resiko apapun atas kerusakan-kerusakan yang terjadi atau menimpa terhadap harta wakaf, selagi kerusakan-kerusakan dimaksud bukan atas kesengajaan atau kelalaiannya. Hanya saja untuk menghindari kerusakan terhadap harta benda wakaf, nazhir dibebankan pengurusan yang meliputi pemeliharaan, pengurusan dan pengawasan harta wakaf serta hasil-hasilnya. Selain itu juga menyangkut 36 laporan tentang semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf, mulai dari keadaan, perkembangan harta wakaf sampai kepada pemanfaatan hasilhasilnya.22 Kewajiban nazhir secara lebih rinci terdapat dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Pasal 10 sebagai berikut: (1) Nazhir berkewajiban melaporkan, mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya, meliputi: a. Menyimpan Lembaran Salinan Akta Ikrar Wakaf; b. Memelihara tanah wakaf; c. Memanfaatkan tanah wakaf; d. Memanfaatkan dan berusaha meningkatkan hasil wakaf; e. Meyelenggarakan pembukuan/administrasi yang meliputi: 1. buku catatan tentang keadaan tanah wakaf; 2. buku catatan tentang pengelolaan dari hasil tanah wakaf; 3. buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf (2) Nazhir berkewajiban melaporkan: a. Hasil pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya kepada Kepala KUA; b. Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya; c. Pelaksanaan kewajiban yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini kepada Kepala KUA tiap satu tahun sekali yaitu pada tiap akhir bulan Desember. (3) Nazhir berkewajiban pula untuk melaporkan adanya salah seorang anggota nadzir yang berhenti dari jabatannya sebagai diatur dalam pasal 8 ayat (2) peraturan ini. (4) Bilamana jumlah anggota nadzir kelompok karena berhentinya salah seorang anggota atau lebih berakibat tidak memenuhi syarat sebagai diatur dalam pasal 8 ayat (1) peraturan ini, anggota nadzir lainnya berkewajiban 22 Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.167. 37 mengusulkan penggantiannya untuk disahkan oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Peraturan Menteri Agama di atas, kemudian oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 11 disederhanakan lagi menjadi sebagai berikut: a. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf; b. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya; c. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. Di samping dibebani beberapa kewajiban, nazhir juga diberi hak untuk memperoleh penghasilan yang layak sebagai imbalan atas jerih payahnya mengelola harta wakaf.23 Adanya upah bagi si nazhir ini, telah dipraktikkan oleh Umar Ibn Khattab, Ali ibn Abi Talib, dan sahabat-sahabat lainnya. Besarnya upah yang diterima nazhir, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan waqif atau hakim.24 Golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa nazhir berhak mendapatkan gaji selama ia melaksanakan segala sesuatu yang diminta saat wakaf itu terjadi. Besarnya gaji bisa sepersepuluh atau seperdelapan, dan sebagainya, sesuai dengan ketentuan wakif. Namun, apabila wakif tidak menetapkan upah nazhir, maka hakimlah yang menetapkan upah nazhir tersebut. Besarnya upah 23 Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan, h.170. 24 Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, h.159. 38 pada umumya disesuikan dengan berat-ringannya tugas-tugas yang diberikan kepada nazhir. Pendapat golongan Malikiyyah mengenai upah nazhir ini hampir sama dengan pendapat golongan Hanafiyyah. Hanya saja, sebagian golongan Malikiyyah berpendapat bahwa jika waqif tidak menentukan upah nazhir, maka hakim dapat mengambil upah itu dari bait al-mal. Adapun golongan Syafi’iyyah berpendapat bahwa yang menetapkan gaji nazhir itu waqif. Mengenai jumlahnya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Jika wakif tidak menetapkan upah bagi nazhir, menurut golongan Syafi’iyyah, nazhir tidak berhak mendapatkan gaji. Jika mengharapkan gaji, nazhir harus mengajukan permohonan kepada hakim. Selama tidak mengajukan permohonan, nazhir tidak berhak mendapatkan gaji tersebut. Jika ia memohon kepada hakim, sebagian golongan Syafi’iyyah menyatakan bahwa nazhir berhak mendapatkan gaji yang seimbang. Sebagian golongan Syafi’iyyah menyatakan bahwa sebenarnya ia tidak berhak memohon gaji, kecuali apabila keadaannya sangat membutuhkan. Di kalangan golongan Hanabilah terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, nazhir tidak halal mendapatkan upah kecuali hanya untuk makan sepatutnya. Pendapat kedua, nazhir wajib mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya.25 25 Ibid., h.160-161. 39 Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditegaskan di sini bahwa nazhir boleh menerima upah, baik diambil dari harta wakaf maupun dari sumber lain. Jumlah upah di samping didasarkan situasi dan kondisi di suatu tempat. Juga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh waqif maupun hakim yang bertugas di wilayah di mana wakaf itu berada. Hak-hak nazhir dirumuskan pula dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 12, yaitu nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak boleh melebihi 10% (sepuluh persen). Bahkan dalam pasal selanjutnya disebutkan bahwa nazhir berhak mendapat pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia. Karena nazhir mempunyai peran sentral dalam pengembangan harta wakaf, maka posisi nazhir menjadi sangat penting, karena tanpa nazhir pegelolaan harta wakaf menjadi tidak akan terlaksana dengan baik seperti yang diharapkan oleh instrumen disunahkannya wakaf. Oleh karena itu, nazhir harus ditetapkan pada waktu ikrar wakaf termasuk peruntukan harta wakaf. Pengaturan demikian dilakukan untuk menertibkan perwakafan agar harta wakaf kekal manfaatnya dan secara admnistratif akan lebih baik. Disamping itu, dengan perincian yang jelas mengenai kewajiban dan hak nazhir, diharapkan pengelolaan harta wakaf akan lebih baik untuk sekarang 40 dan masa yang akan datang. Hal lain agar harta wakaf terhindar dan memperkecil terjadinya sengketa yang berakibat hilangnya harta wakaf.26 D. Macam-Macam Wakaf Bila ditinjau dari segi peruntukan ditujukan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf dapat dibagi menjadi dua (2) macam:27 1. Wakaf Ahli Yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf seperti ini juga disebut wakaf Dzurri. Wakaf jenis ini (wakaf ahli/dzurri) terkadang juga disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga (famili), lingkungan kerabat sendiri.28 Wakaf ini bertujuan menjaga anak dan cucu dari yang berwakaf dzurri disyaratkan supaya barang yang diwakafkan itu hendaklah mengandung faedah yang tidak ada putus-putusnya sekalipun keturunannya telah habis.29 26 Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan, h.170. 27 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, Fiqih Wakaf, cet.IV, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, 2006), h.14. 28 Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah (Lebanon: Dar al-‘Arabi, 1971), h.378. 29 Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Kencana, 2010), h.372. 41 2. Wakaf Khairi Yaitu, wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum).30 Wakaf ini ditujukan kepada umum dengan tidak terbatas penggunaannya yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya. Kepentingan umum tersebut bisa untuk jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan dan lain-lain. Wakaf ahli, pada prinsipnya, tidak berbeda dengan wakaf khairi. Keduanya bertujuan untuk membantu pihak-pihak yang memerlukan sebagai realisasi perintah Allah kepada manusia untuk membelanjakan sebagian hartanya. Perintah itu antara lain terdapat dalam surat Ali Imran ayat 92: ٌ‫ﻋﻠِﯿﻢ‬ َ ‫ن اﻟﱠﻠ َﮫ ِﺑ ِﮫ‬ ‫ﺷﻲْ ٍء َﻓِﺈ ﱠ‬ َ ْ‫ن َوﻣَﺎ ﺗﻨﻔِﻘﻮا ِﻣﻦ‬ َ ‫ﺤﺒﱡﻮ‬ ِ ‫ﺣﺘﱠﻰ ﺗﻨﻔِﻘﻮا ِﻣﻤﱠﺎ ُﺗ‬ َ ‫َﻟﻦْ َﺗﻨَﺎﻟُﻮا اﻟْ ِﺒ ﱠﺮ‬ (٩٢ :٣ /‫)ال ﻋﻤﺮان‬ Artinya: “kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”(QS. Ali ‘Imran, 3:92) Perbedaan antara wakaf ahli dan wakaf khairi hanyalah terletak pada pemanfaatannya. Wakaf ahli pemanfaatannya hanya terbatas pada keluarga waqif, yaitu anak-anak mereka dalam tingkat pertama dan keturunan mereka secara turun-temurun sampai anggota keluarga tersebut meninggal semuanya. Sesudah itu hasil wakaf dapat dimanfaatkan orang lain seperti janda, anak30 Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, h.378. 42 anak yatim piatu, atau orang-orang miskin,31 sedangkan wakaf kahiri sejak semula pemanfaatannya sudah ditujukan untuk kepentingan umum dan tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu. 32 Bila ditinjau dari segi jenis harta bendanya, maka wakaf terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak: 1. Benda tidak bergerak, seperti tanah, sawah, dan bangunan. Benda macam inilah yang sangat dianjurkan agar diwakafkan, karena mempunyai nilai jariah yang lebih lama. 2. Benda bergerak, seperti mobil, sepeda motor, binatang ternak, atau benda-benda lainnya. Yang terakhir ini dapat juga diwakafkan. Namun demikian, nilai jariahnya terbatas hingga benda-benda tersebut dapat dipertahankan.33 Dalam fiqh Islam, wakaf sebenarnya dapat meliputi berbagai benda. Walaupun berbagai riwayat/hadist yang menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai tanah, tapi berbagai ulama memahami bahwa wakaf bukan tanah pun boleh saja asal bendanya tidak langsung musnah/habis ketika diambil manfaatnya.34 31 Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, h.142. 32 Ibid., h.144. 33 Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.505. 34 Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia: Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h.26. 43 E. Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan nadzir dalam megelola dan mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf. Berdasarkan pertimbangan di atas dan untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional, serta untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf, dibentuklah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan, bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf dan harus dilaksanakan.35 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 32 dan 33 menentukan bahwa, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) atas 35 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum perdata Islam Di Indonesia, h.256-257. 44 nama nadzir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani. Dalam pendaftaran harta benda wakaf, PPAIW menyerahkan: a. Salinan akta ikrar wakaf; b. Surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya. Bukti pendaftaran harta benda wakaf disampaikan oleh PPAIW kepada nazhir. Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya, nadzir melalui PPAIW mendaftarkan kembali kepada instansi yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya itu, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf. (Pasal 35-36) Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengadministrasikan pendaftaran harta benda wakaf dan mengumumkan kepada masyarakat harta benda wakaf yang telah terdaftar. (Pasal 37-38) Sebelumnya, berdasarkan seiring dengan hal itu. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Poko Agraria (LN 1960 Nomor 104), telah memberikan pengaturan khusus akan masalah ini di dalam pasal mengenai kewajiban pembentuk undang-undang untuk mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.36 36 Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Islam, h.398. 45 Dalam rangka menjamin kepastian hak dan kepastian hukum atas tanah, UUPA telah menggariskan adanya keharusan untuk melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh tanah air. Untuk melaksanakan hal tersebut telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendafataran Tanah (LN 1961 Nomor28), yang memuat pengaturan secara tekhnis penyelenggaraan pendaftaran tanah.37 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, telah menentukan prosedur perwakafan tanah milik, termasuk di dalamnya kewajiban untuk mendaftarkannya. Keharusan untuk pendaftaran tanah wakaf sebenarya telah ada sejak tahun 1950, yang mengharuskan tanah wakaf didaftarkan di tiap-tiap kabupaten. Dengan adanya ketentuan ini diharapakan pengelolaan dan pemeliharaan serta pelaksanaan di masa yang akan datang lebih baik dan tertib administrasi serta manajemennya.38 37 Ibid., h.399. 38 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum perdata Islam Di Indonesia, h.258. BAB III PERUBAHAN STATUS WAKAF DAN MEKANISMENYA A. Perubahan Status Wakaf dalam Hukum Islam Dalam Hukum Islam pada dasarnya perubahan status wakaf tidak diperbolehkan, kecuali wakaf tersebut tidak dapat kembali dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf, maka perubahan itu dapat dilakukan terhadap wakaf yang bersangkutan. Para ulama/ahli Hukum Islam memang beragam pendapatnya, tentang boleh tidaknya melakukan perubahan status pada benda wakaf, seperti menjual, merubah bentuk/sifat, memindahkan ke tempat lain, atau menukar dengan benda lain. 1. Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Hanafiyah Dalam perspektif madzhab Hanafi, ibdal (penukaran) dan istibdal (penggantian) boleh dilakukan. Kebijakan ini berpijak dan menitikberatkan pada maslahat yang menyertai praktik tersebut. Menurut mereka, ibdal boleh dilakukan oleh siapapun, baik wakif sendiri, orang lain, maupun hakim, tanpa menilik jenis barang yang diwakafkan, apakah berupa tanah yang dihuni, tidak dihuni, bergerak, maupun tidak bergerak.1 1 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf. Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman, dkk KMPC (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika dan IIMaN Press, 2004), h.349. 46 47 Ulama Hanafiyah membolehkan penukaran benda wakaf tersebut dalam tiga hal: a. Apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika mewakafkannya. Contoh, ketika wakif ingin berwakaf ia berkata: “Tanahku ini aku wakafkan dengan syarat bahwa di kemudian hari aku bisa menggantinya dengan barang wakaf yang lain, atau berhak untuk menjualnya dan membeli barang lain sebagai gantinya.” b. Apabila benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankan, dengan kata lain benda wakaf sudah tidak mendatangkan manfaat sama sekali, maka boleh dijual dan hasilnya dibelikan tanah lain yang lebih maslahat, dan penjualan tanah wakaf tersebut harus mendapat izin dari hakim terdahulu. c. Jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan lebih bermanfaat. 2 2. Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Malikiyah Meskipun pada prinsipnya para ulama Malikiyah melarang keras penggantian barang wakaf, namun mereka tetap memperbolehkannya pada kasus tertentu dengan membedakan barang wakaf yang bergerak dan yang tidak bergerak. 2 Muhammad Jawad Mugniyah, al-Ahwal al-Syakhsiyah ala al-Mazahib al-Khamsah (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1964), h.333. 48 a. Mengganti Barang Wakaf yang Bergerak Kebanyakan fuqaha mazhab Maliki memperbolehkan penggantian barang wakaf yang bergerak dengan pertimbangan kemaslahatan. Untuk mengganti barang wakaf yang bergerak, ulama Malikiyah mensyaratkan bahwa barang tersebut harus tidak bisa dimanfaatkan lagi. Mengikuti syarat ini, kita boleh menjual buku-buku wakaf yang berisi bermacam disiplin ilmu jika terlihat usang, rusak dan tidak dapat dipergunakan lagi. Namun sebaliknya, kita tidak boleh menjual bukubuku itu selama masih bisa digunakan. b. Mengganti Barang Wakaf yang Tidak Bergerak Para ulama Malikiyah dengan tegas melarang penggantian barang wakaf yang tidak bergerak, dengan mengecualikan kondisi darurat yang sangat jarang terjadi atau demi kepentingan umum. Jika keadaan memaksa, mereka membolehkan penjualan barang wakaf, meskipun dengan cara paksaan. Dasar yang mereka gunakan sebagai pijakan adalah bahwa penjualan akan berpeluang pada kemaslahatan dan kepentingan umum.3 Di kalangan ulama Malikiyah sendiri terdapat perbedaan pendapat tentang menjual atau memindahkan tanah wakaf. Mayoritas ulama Malikiyah melarang menjual atau memindahkan tanah wakaf sekalipun tanah tersebut 3 Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, h.366-368. 49 tidak mendatangkan hasil sama sekali. Sebagian ulama Malikiyah lainnya memperbolehkan menggantikan dengan menukarkan tanah wakaf yang tidak atau kurang bermanfaat dengan tanah lain yang lebih baik,4 namun dengan tiga syarat, yaitu: 1) Wakif ketika ikrar mensyaratkan kebolehan ditukar atau dijual; 2) Benda wakaf itu berupa benda bergerak dan kondisinya tidak sesuai lagi dengan tujuan semula diwakafkannya; 3) Apabila penggantian benda wakaf dibutuhkan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan masjid, jalan raya, dan sebagainya.5 3. Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Syafi’iyah Dalam masalah penggantian barang wakaf, kalangan ulama Syafi’iyah dikenal lebih berhati-hati dibanding ulama mazhab lainnya, hingga terkesan seolah-olah mereka mutlak melarang istibdal dalam kondisi apa pun. Mereka mensinyalir penggantian tersebut dapat berindikasi penilapan atau penyalahgunaan barang wakaf. Namun, dengan ekstra hati-hati, mereka tetap membahas masalah penggantian beberapa barang wakaf, secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok: a. Kelompok yang melarang penjualan barang wakaf dan atau menggantinya. Mereka melarang penjualan barang wakaf apabila tidak 4 Muhammad Abu Zahrah, Al-Waqf, cet.II, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1971), h.171. 5 Mugniyah, al-Ahwal al-Syakhsiyah ala al-Mazahib al-Khamsah, h.333. 50 ada jalan lain untuk memanfaatkannya, selain dengan cara mengkonsumsi sampai habis. Sebagai implikasi pendapat tersebut, jika barang wakaf berupa pohon yang kemudian mengering tak berbuah dan hanya bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar, maka penerima wakaf mempunyai wewenang untuk menjadikannya sebagai kayu bakar, tanpa memiliki kewenangan menjualnya. Sebab, dalam pandangan mereka meskipun barang wakaf hanya bisa dimanfaatkan dengan cara mempergunakannya sampai habis, barang tersebut tetap memilki satu unsur yang menjadikannya sebagai barang wakaf, sehingga tidak boleh dijual. b. Kelompok yang memperbolehkan penjualan barang wakaf dengan alasan tidak mungkin dimanfaatkan seperti yang dikehendaki waqif. Pendapat ulama Syafi’iyah tentang kebolehan penjualan barang wakaf ini berlaku jika barang wakaf tersebut berupa benda bergerak. Mengenai hukum barang wakaf yang tidak bergerak, ulama Syafi’iyah tidak menyinggung sama sekali dalam kitab-kitab mereka. Hal ini mengindikasikan seolah-olah mereka meyakini bahwa barang wakaf yang tak bergerak tidak mungkin kehilangan manfaatnya, sehingga tidak boleh dijual atau diganti.6 6 Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, h.371-373. 51 4. Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Hanabilah Dalam masalah boleh tidaknya penggantian barang wakaf, ulama Hanabilah tidak membedakan antara benda bergerak dan tak bergerak. Mereka juga tidak membedakan apakah benda wakaf itu berbentuk masjid atau bukan masjid.7 Di sini terlihat Mazhab Hanbali tidak memberikan pembatasan yang ketat mengenai kebolehan menjual atau memindahkan tanah wakaf dan masjid sekalipun. Kebolehan tersebut dikelompokkan dalam dua hal yaitu: a. Apabila barang wakafnya sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi, sesuai dengan maksud orang yang mewakafkannya. Seperti wakaf masjid yang telah rusak dan tidak mungkin untuk dimanfaatkan lagi, maka tanah beserta bangunan masjid tersebut boleh dipindahkan ke tempat lain sebagai pengganti masjid yang rusak. b. Apabila penggantian benda wakaf tersebut lebih maslahat dan lebih bermanfaat dari pada barang wakaf sebelumnya. Misalnya, wakaf masjid yang sudah tidak bisa menampung jama’ah yang semakin bertambah jumlahnya. Maka dalam hal ini masjid tersebut boleh dibongkar dan kemudian di atas tanahnya dibangun masjid baru yang lebih besar.8 7 Mugniyah, al-Ahwal al-Syakhsiyah ala al-Mazahib al-Khamsah, h.333. 8 Masfuk Zuhdi, Studi Islam dan Muamalah, cet.II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h.81. 52 Ulama Hanabilah membatasi izin penggantian dengan adanya pertimbangan kemaslahatan dan kondisi darurat. Mereka memfatwakan bolehnya menjual bagian wakaf yang rusak demi memperbaiki bagian yang lain. Itu semua adalah demi kemaslahatan.9 Amalan wakaf amat bergantung kepada dapat atau tidaknya harta wakaf dipergunakan sesuai dengan tujuannya. Amalan wakaf akan bernilai ibadah, bila harta wakaf betul-betul dapat memenuhi fungsi yang dituju. Dalam hal harta wakaf mengalami berkurang, rusak atau tidak dapat memenuhi fungsinya sebagaimana dituju, harus dicarikan jalan bagaimana agar harta wakaf itu berfungsi. Apabila untuk itu ditukarkan dengan harta lain, maka justru dengan maksud agar amalan wakaf itu dapat terpenuhi, seharusnya tidak ada halangan untuk menjual harta wakaf yang tidak berfungsi itu, kemudian ditukarkan dengan benda lain yang memenuhi tujuan wakaf. Dengan tetap memegang prinsip bahwa wakaf itu abadi dan harus dijaga serta dipelihara sesuai dengan jenis barang dan cara pemeliharaan yang disyaratkan waqif. Wakaf tersebut tetap boleh dijual, dipindahkan, dirubah atau diganti untuk kemudian diatur kembali pemanfaatannya bagi kepentingan umum, sesuai dengan tujuan wakaf. Yang menjadi landasan utama dari 9 Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, h.378. 53 kebolehan tersebut ialah agar benda itu tetap memberikan kemaslahatan bagi umat manusia sepanjang yang dibolehkan agama. Dalam Fiqh dikenal prinsip maslahat, yaitu memelihara maksud syara’, yakni memberikan kemanfaatan dan menghindari hal-hal yang merugikan. Prinsip ini setidaknya dapat dijadikan pertimbangan dalam perubahan menukar dan menjual harta wakaf untuk mencapai fungsinya sebagaimana dinyatakan si wakif, dari pada harta wakaf dipertahankan tidak boleh dijual, tetapi berakibat harta itu tidak berfungsi, maksud syara’ akan lebih terpelihara bila harta wakaf itu boleh dijual atau digantikan barang lain yang kemudian berkedudukan sebagai harta wakaf. 10 B. Perubahan Status Wakaf dalam Hukum Positif Dalam perundang-undangan tentang wakaf di Indonesia tidak diklasifikasikan jenis benda wakaf yang bagaimana yang dapat diubah statusnya, sehingga dalam hal ini undang-undang secara mutlak membolehkan perubahan status harta benda wakaf apapun jenis bendanya. Sebab yang menjadi sorotan bukan bentuk, akan tetapi yang terpenting dari wakaf adalah fungsi dan tujuannya. Pada dasarnya, terhadap benda yang yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan, baik peruntukan maupun statusnya. Dalam 10 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah (Bandung: PT AlMa’rif, 1987), h.17-18. 54 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Pasal 11 dijelaskan: (1) Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. (2) Penyimpangan dari ketentuan tesebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni: a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif. b. karena kepentingan umum. (3) Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh Nadzir kepada kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah, cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut. Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Buku III Hukum Perwakafan) pasal 225 ditentukan, bahwa benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Penyimpangan dari ketentuan dimaksud hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan: a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti dikrarkan oleh wakif. b. Karena kepentingan umum. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 40 juga mengatur tentang perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sudah 55 dianggap tidak atau kurang berfungsi sebagaimana maksud wakaf itu sendiri. Secara prinsip, harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang; dijadikan jaminan; disita; dihibahkan; dijual; diwariskan; ditukar; atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Namun, ketentuan tersebut dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah dan hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian tersebut wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula (Pasal 41). Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 41 di atas, izin perubahan status/pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan, jika pengganti harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 49 ayat 3 (a) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang– Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf). Dengan demikian, hukum asal perubahan dan atau pengalihan benda wakaf dalam perundang-undangan di Indonesia adalah dilarang, akan tetapi 56 selama memenuhi syarat-syarat tertentu dan dengan mengajukan alasanalasan sebagaimana yang telah ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku, perundang-undangan tetap memberikan peluang dibolehkannya melakukan perubahan dan atau pengalihan terhadap harta benda wakaf, meski dengan melalui prosedur dan proses yang panjang. Ketatnya prosedur perubahan dan atau pengalihan harta benda wakaf itu bertujuan untuk meminimalisir penyimpangan dan menjaga keutuhan harta benda wakaf agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang dapat merugikan eksistensi wakaf itu sendiri, sehingga wakaf tetap menjadi alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak.11 C. Mekanisme Perubahan Status Wakaf Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik pasal 12 dijelaskan: (1) Untuk mengubah status dan penggunaan tanah wakaf, Nazhir berkewajiban mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil Depag cq. Kepala Bidang melalui Kepala KUA dan Kepala Kanwil Depag secara hierarkis dengan menyebut alasannya. (2) Kepala KUA dan Kepala Kandepag meneruskan permohonan tersebut pada ayat (1) secara hierarkis kepada Kepala Kanwil Depag cq. Kepala Bidang dengan disertai pertimbangan. (3) Kepala Kanwil Depag cq. Kepala Bidang diberi wewenang untuk memberikan persetujuan atau penolakan secara tertulis atas permohonan perubahan penggunaan tanah wakaf. 11 Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.155. 57 Berikutnya dalam Pasal 13 dijelaskan: (1) Dalam hal ada permohonan perubahan status tanah wakaf Kepala Kanwil Depag berkewajiban meneruskan kepada Menteri Agama cq. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dengan disertai pertimbangan. (2) Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam diberi wewenang untuk memberi persetujuan atau penolakan secara tertulis atas permohonan perubahan status tanah wakaf. (3) Perubahan status tanah wakaf dapat diizinkan apabila diberikan penggantian yang sekurang-kurangnya senilai dan seimbang dengan kegunaannya sesuai dengan ikrar wakaf. Selanjutnya perubahan status tanah wakaf atau perubahan penggunaan tanah wakaf harus dilaporkan oleh nadzir kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Dit Agraria (sekarang Kantor Badan Pertanahan) setempat untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut. Setiap perubahan tidak dilaksanakan menurut ketentuan yang berlaku di samping terkena sanksi, juga perbuatan itu batal dengan sendirinya menurut hukum. Ketentuan mengenai mekanisme perubahan status harta benda wakaf juga diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasl 51 yang menjelaskan bahwa penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah statusnya dilakukan sebagai berikut: a. Nadzir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan status/tukar-menukar tersebut; b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota; c. Kepala kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah menerima permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti 58 dalam Pasal 49 ayat (4), dan selanjutnya bupati/walikota setempat membuat Surat Keputusan; d. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota meneruskan permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penelitian kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri; dan e. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut. Pembentukan tim sebagaimana dimaksud dalam huruf c Pasal 51 di atas terdiri dari unsur: a. b. c. d. e. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; Majelis Ulama Indonesia Kabupaten/Kota; Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan; Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan. BAB IV PERUBAHAN STATUS WAKAF MASJID AL-ISTIQOMAH WA HAYATUDDIN A. Gambaran Umum Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin 1. Sejarah Singkat Berdirinya Masjid Awalnya terdapat dua bangunan rumah ibadah yaitu Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin. Keduanya terletak di Jalan Kebon Melati V RT.02 RW.08 Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat. Kerena adanya pengembangan wilayah dan tata kota di wilayah tersebut yang rencananya akan dijadikan apartemen. Akhirnya dari pihak pengembang dalam hal ini PT Jakarta Realty menemui kami selaku pengurus kedua rumah ibadah tesebut, dikarenakan warga dan pengurus sebelumnya sudah pindah, sehingga masjid dan musholla tersebut diserahkan ke Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tanah Abang I, hal ini dilakukan mengingat sebelumnya kedua rumah ibadah tersebut berada di bawah Ranting Muhammadiyah Kebon Melati V.1 Dalam pertemuan sekitar tahun 2003 tersebut, terjadilah negosiasi harga untuk pembelian tanah kami, namun hal tersebut menemui jalan buntu 1 Adeng Nurdin, Wakil Ketua DKM Al Istiqomah wa Hayatuddin, Wawancara Pribadi, Jakarta, 21 Juli 2010. 59 60 sebab tidak terjadi kesepakatan harga di antara kedua belah pihak sampai akhirnya keluar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Setelah adanya Undang-Undang Wakaf tersebut muncul usulan dari pihak pengembang untuk dilakukan ruislagh (tukar menukar) tanah wakaf terhadap tanah wakaf yang kami urus dan akan digantikan dengan tanah miliknya yang terletak di Jalan KH. Mas Mansyur Nomor 57 Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat.2 Setelah kami pertimbangkan baik dari sisi kemaslahatan juga dilihat dari lokasi pengganti yang lebih strategis tempatnya dan tanahnya yang lebih luas dari sebelumnya, akhirnya kami menyetujuinya. Kemudian proses ruislagh dilakukan pada tahun 2005 mulai dari perizinan, hingga pembangunan masjid baru di lokasi pengganti. Setelah semuanya selesai pada tahun 2008, kemudian masjid tersebut kami beri nama, oleh karena asalnya dari hasil ruislagh dua rumah ibadah sebelumnya, maka masjid ini diberi nama Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin.3 2. Struktur Kepengurusan Nadzir dan Dewan Kemakmuran Masjid a. Struktur Kepengurusan Nadzir Berikut ini adalah struktur kepengurusan Nadzir Organisasi Muhammadiyah Cabang Tanah Abang I atas harta benda wakaf 2 Ibid. 3 Ibid. 61 Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin untuk masa bakti kerja 20082013: 1) 2) 3) 4) 5) Eno Tardana, SPd Drs. H.M. Fathurrahman Drs. Adeng Nurdin H.M. Kastopa, BBA Marwan : Ketua PCM Tanah Abang I : Wakil Ketua PCM Tanah Abang I : Sekretaris PCM Tanah Abang I : Bendahara PCM Tanah Abang I : Ketua Majelis Wakaf dan ZIS PCM Tanah Abang I b. Struktur Kepengurusan Masjid Berikut ini adalah Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al Istiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat masa bakti kerja April 2010 sampai dengan April 2012: 1) Pembina/Penasehat 2) Ketua 3) Wakil Ketua 4) Sekretaris 5) Bendahara 6) Seksi Imam Rawatib 7) Seksi Dakwah : a) KUA Kecamatan Tanah Abang b) PCM Tanah Abang I c) Nazhir Wakaf Masjid : Eno Tardana, S.Pd : a) Drs. H. Fathurrahman b) Drs. Slamet Sugiono, SH c) Drs. Adeng Nurdin : a) Sahlan Taslim Abdullah b) Iwan Iskandar : a) Syaifuddin Zuhri b) H.M. Kastopa, BBA : a) H. Sanusi Muchtar b) H. Chairil Anwar c) Drs. Adeng Nurdin : a) Drs. Hidayat b) Drs. H. Fachrurozi c) Endis Aziz Rais, M.Pd d) Sobbirin e) Marlen f) Nazaruddin 62 8) Seksi Sholat Jum’at : a) Syaifuddin Zuhri b) Abdul Rosyid c) Suwardi 9) Seksi Pemuda : a) Drs. M. Slamet Wadji b) Ismail Matdoan, S.Pd c) M. Najib Jawas d) M. Iqbal Balfas e) Syahrial / M. Ridawan f) M. Luthfie 10) Seksi Perlengkapan : a) Marwan b) Suhardi c) Eman Sulaeman d) Supardi e) Ali Usman 11) Seksi Keamanan dan Kebersihan : a) M. Taufik HS. b) Suparman c) Basith Jawas d) M. Irfan B. Faktor Penyebab dan Dampak Perubahan Status Wakaf Masjid AlIstiqomah wa Hayatuddin 1. Faktor Penyebab Perubahan Status Wakaf Dilakukannya ruislagh tanah wakaf antara Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin dengan tanah pengganti milik PT Jakarta Realty selaku pihak pengembang disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, dikarenakan adanya rencana pengembangan wilayah dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) di wilayah Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin berdiri. Di mana rencananya di wilayah tersebut akan dijadikan lokasi untuk 63 pembangunan apartemen oleh pihak pengembang PT Jakarta Realty yang saat ini pekerjaannya masih berlangsung.4 Selain faktor di atas, faktor lainnya adalah untuk mengamankan aset wakaf supaya tidak hilang, sebab Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin tersebut sudah tidak bisa digunakan sesuai dengan ikrar wakaf, dalam arti tidak ada yang menggunakan, oleh karena sebelumnya pihak pengembang PT Jakarta Realty sudah membebaskan lebih dahulu masyarakat sekitar Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin, sehingga yang tersisa hanya kedua bangunan rumah ibadah tersebut.5 Berdasarkan kedua faktor tersebut di ataslah akhirnya terhadap tanah wakaf Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin dilakukan ruislagh, yang kemudian dipindahkan menjadi satu bangunan ke lokasi pengganti milik pengembang PT Jakarta Realty, dan bangunannya diberi nama Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin. 2. Dampak Perubahan Status Wakaf Adanya ruislagh tanah wakaf tersebut sangat positif sekali dampaknya, di antaranya dari sisi lokasi pengganti saat ini Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin lebih strategis dibanding lokasi sebelumnya, juga tanah pengganti 4 M. Syarifudin, Pelaksana Zakat Wakaf Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Pusat, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Juli 2010. 5 Ibid. 64 yang lebih luas dari sebelumnya sangat bermanfaat sekali bagi Pengurus Nadzir dan Dewan Kemakmuran Masjid untuk mengelolanya lebih produktif dibanding sebelumnya, sehingga amanat undang-undang untuk mengelola wakaf secara produktif dapat terpenuhi.6 Pengelolaan wakaf secara produktif tersebut terlihat saat bahwa Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin tidak hanya digunakan untuk kepentingan ibadah saja, namun pengurus menyediakan jasa penyewaan tempat seperti, untuk keperluan acara resepsi pernikahan dan ke depan rencananya juga akan dibangun sebuah koperasi masjid yang mana hasil dari itu semua nantinya dipergunakan sebaik-baiknya untuk mengelola aset wakaf serta kemakmuran masjid.7 C. Proses dan Reaksi Masyarakat terhadap Perubahan Status Wakaf Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin 1. Proses Perubahan Status Wakaf Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin ini dalam sejarah berdirinya yang telah penulis jelaskan sebelumnya, merupakan masjid dari ruislagh tanah wakaf dua rumah ibadah yaitu Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin, yang terletak di Jalan Kebon Melati V RT.02 RW.08 Kelurahan 6 Adeng Nurdin, Wakil Ketua DKM Al Istiqomah wa Hayatuddin, Wawancara Pribadi, Jakarta, 21 Juli 2010. 7 Ibid. 65 Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat, dengan tanah milik pengembang PT Jakarta Realty yang terletak di Jalan KH. Mas Mansyur Nomor 57 Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat. Berdasarkan hasil musyawarah bersama para pengurus nadzir kedua rumah ibadah tersebut dengan para tokoh masyarakat setempat, yang terjadi Pada tanggal 5 September 2005. Telah menyetujui pemindahan atau penukaran tanah wakaf tersebut, dan mengajukan permohonan kepada Menteri Agama melalui Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat. Kepala KUA Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat setelah menerima permohonan tersebut beserta alasannya, maka pada tanggal 11 Nopember 2005 menindaklanjutinya dengan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Departemen Agama Kota Jakarta Pusat. Kepala Kantor Departemen Agama Kota Jakarta Pusat setelah menerima permohonan tersebut, kemudian meneruskannya kepada Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 24 Nopember 2005, dan pada tanggal 14 Desember 2005 menyampaikan usulan pembentukan Tim Ruislagh kepada Walikotamadya Jakarta Pusat yang unsurnya terdiri dari; Walikotamadya Jakarta Pusat; Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Pusat; Majelis Ulama Indonesia Kotamadya Jakarta Pusat; Kantor Departemen Agama Kotamadya Jakarta Pusat; Nadzir Masjid Al 66 Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat. Walikotamadya Jakarta Pusat setelah menerima usulan tersebut, maka pada tanggal 11 Januari 2006 membuat keputusan tentang pembentukan Tim Ruislagh tanah wakaf antara Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin dengan PT Jakarta Realty. Berikutnya Tim Ruislagh melaksanakan penelitian administrasi serta peninjauan lapangan dan selesai pada tanggal 21 Februari 2006. Lalu pada tanggal 27 Februari Walikotamadya Jakarta Pusat menyampaikan rekomendasi hasil penilaian Tim Ruislagh tersebut, kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI Jakarta sebagai bahan pertimbangan. Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 2007 Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI Jakarta meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri Agama melalui Direktur Jenderal Bimbingan Mayarakat Islam Departemen Agama Republik Indonesia untuk memperoleh izin secara tertulis. Sebelum Menteri Agama memberikan keputusannya, terlebih dahulu pada tanggal 17 Maret 2007 melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Agama Republik Indonesia memohon persetujuan kepada Badan Wakaf Indonesia. Pada tanggal 11 Januari 2008 Badan Wakaf Indonesia memberikan rekomendasi, bahwa permohonan perubahan status atau tukar menukar harta 67 benda wakaf dapat disetujui, dan telah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006. Akhirnya pada tanggal 14 April 2008 Departemen Agama Republik Indonesia dalam hal ini Menteri Agama melalui surat keputusan, memberikan izin secara tertulis kepada nadzir Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin, untuk melakukan perubahan status atau tukar menukar tanah wakaf, yang terletak di Jalan Kebon Melati V RT.02 RW.08 Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat, dengan tanah penukar yang terletak di Jalan KH. Mas Mansyur Nomor 57 Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat milik PT Jakarta Realty. 2. Reaksi Masyarakat terhadap Perubahan Status Wakaf Dalam prosesnya tersebut, meskipun sebagian besar masyarakat setempat menyetujui adanya ruislagh, namun ada yang mengaku sebagai ahli waris dari wakif tanah Musholla Hayatuddin yang tidak setuju dengan ruislagh tersebut. Sehingga pada saat itu sempat terjadi pertentangan antara pihak ahli waris dengan pihak PT Jakarta Realty selaku pengembang. Mereka berkeinginan mengambil kembali tanah tersebut, yang padahal sudah diwakafkan oleh bapaknya untuk dibangun musholla. Mereka merasa bahwa tanah tersebut miliknya juga, selain itu mereka beralasan karena tidak 68 mempunyai tempat tinggal lain, sehingga mereka akan tetap meguasai tanah tersebut bila tidak ada ganti rugi uang untuk mencari tempat tinggal di tempat lain. Akhirnya setelah dimusyawarahkan pihak pengembang bersedia memberikan ganti rugi uang kepada pihak ahli waris untuk kemudian memberikan tanahnya dikelola oleh pihak pengembang.8 D. Analisis Data Penelitian Memanfaatkan harta benda wakaf berarti menggunakannya untuk kemaslahatan/kepentingan umum, namun kalau suatu ketika dilakukan perubahan status pada benda wakaf tersebut, seperti menjual, merubah bentuk/sifat, memindahkan ke tempat lain, atau menukar dengan benda lain, bolehkah hal itu dilakukan. Para ulama/ahli Hukum Islam memang beragam pendapatnya tentang boleh tidaknya melakukan perubahan status pada harta benda wakaf, seperti menjual, merubah bentuk/sifat, memindahkan ke tempat lain, atau menukar dengan benda lain. Para ulama di kalangan Syafi’iyyah (ulama bermazhab Syafi’i) dan Malikiyah (ulama bermazhab Maliki) terkesan sangat berhatihati, bahkan mereka cenderung melarang praktik tersebut, karena dasar wakaf itu sendiri bersifat abadi, sehingga kondisi apapun benda wakaf tersebut harus dibiarkan sedemikian rupa. Dasar yang digunakan oleh mereka adalah hadits 8 Ibid. 69 Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, di mana dikatakan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. Berbeda halnya para ulama di kalangan Hanafiyah (ulama bermazhab Hanafi) dan Hanbaliyah (ulama bermazhab Hanbali), yang terkesan mempermudah izin melakukan praktik tersebut. Mereka berpendapat, jika kita melarang perubahan status wakaf, sementara ada alasan kuat untuk itu, maka kita termasuk orang-orang yang menyia-nyiakan wakaf. Akibatnya, aset wakaf bisa menjadi rusak dan tidak bisa dimanfaatkan lagi. Dasar yang mereka gunakan adalah tindakan sahabat Umar bin Khatab ra yang memindahkan Masjid Kufah yang lama dijadikan pasar bagi para penjual kurma. Ini adalah penggantian tanah masjid, adapun penggantian bangunannya dengan bangunan lain, maka sahabat Umar dan Utsman pernah membangun Masjid Nabawi tanpa mengikuti kontruksi pertama dan melakukan tambahan serta perluasan.9 Amalan wakaf amat bergantung kepada dapat atau tidaknya harta wakaf dipergunakan sesuai dengan tujuannya. Amalan wakaf akan bernilai ibadah, bila harta wakaf betul-betul dapat memenuhi fungsinya. Dalam hal harta wakaf mengalami penyusutan, rusak atau tidak dapat memenuhi 9 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf. Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman, dkk KMPC (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika dan IIMaN Press, 2004), h.380-381. Lihat juga Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, Fiqih Wakaf, cet.IV (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, 2006), h.80-81. 70 fungsinya sebagaimana tujuan semula, harus dicarikan jalan bagaimana agar harta wakaf itu berfungsi. Apabila untuk itu ditukarkan dengan harta lain, dengan maksud agar amalan wakaf itu dapat terpenuhi, seharusnya tidak ada halangan untuk menjual harta wakaf yang tidak berfungsi itu, kemudian ditukarkan dengan benda lain yang memenuhi tujuan wakaf. Dengan tetap memegang prinsip bahwa wakaf itu abadi dan harus dijaga serta dipelihara sesuai dengan jenis barang dan cara pemeliharaan yang disyaratkan waqif. Wakaf tersebut tetap boleh dijual, dipindahkan, dirubah atau diganti untuk kemudian diatur kembali pemanfaatannya bagi kepentingan umum, sesuai dengan tujuan wakaf. Landasan utama dari kebolehan tersebut ialah agar benda itu tetap memberikan kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam Fiqh dikenal prinsip maslahat, yaitu memelihara maksud syara’, yakni memberikan kemanfaatan dan menghindari hal-hal yang merugikan. Prinsip ini setidaknya dapat dijadikan pertimbangan dalam melakukan perubahan status harta benda wakaf untuk mencapai fungsinya sebagaimana dinyatakan si wakif, dari pada dipertahankan tetapi berakibat tidak berfungsinya aset wakaf tersebut. Maksud syara’ akan lebih terpelihara bila harta wakaf itu boleh dijual atau digantikan barang lain yang kemudian berkedudukan sebagai harta wakaf.10 10 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah (Bandung: PT AlMa’rif, 1987), h.17-18. 71 Proses ruislagh tanah wakaf Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin dengan tanah pengganti milik PT Jakarta Realty, dalam beberapa hal sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku diantaranya, pertama mengenai alasan yang diajukan untuk melakukan ruislagh yakni karena adanya Rencana Umum Tata Ruang dan juga aset wakaf yang sudah tidak dapat digunakan kembali sesuai dengan ikrar wakaf. Hal tersebut sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 49 ayat (2) sebagai berikut: (2) Izin tertulis dari Menteri hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut: a. perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana tata ruang berdasarkan ketentuan peraturan perundangan dan tidak bertentangan dengan prinsip Syariah; b. harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf; atau c. pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak Hal kedua mengenai harta benda yang akan ditukar, yakni tanah wakaf seluas 166 M² dan 112,5 M², dengan harta benda penukar sebidang tanah seluas 684 M². Hal tersebut sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, yakni sekurang-kurangnya manfaat dan nilai tukar sama dengan harta benda wakaf semula (Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 49 ayat 3 (b)). 72 Hal ketiga mengenai prosedur ruislagh tanah wakaf yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang– Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 51 sebagai berikut: Penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah statusnya dilakukan sebagai berikut: a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan status/tukar-menukar tersebut; b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota; c. Kepala kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah menerima permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti dalam Pasal 49 ayat (4), dan selanjutnya bupati/walikota setempat membuat Surat Keputusan; d. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota meneruskan permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penelitian kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri; e. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut. Dalam pasal 51 huruf (e) di atas dijelaskan tukar ganti dapat dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, namun yang terjadi pada ruislagh tanah wakaf Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin dengan tanah pengganti milik PT Jakarta Realty, berdasarkan wawancara pribadi penulis dengan Bapak Adeng Nurdin (Wakil Ketua DKM Al Istiqomah wa Hayatuddin) pada tanggal 21 Juli 2010, ternyata dilaksanakan sebelum adanya persetujuan tertulis dari Menteri. Dengan kata lain, proses ruislagh berjalan bersamaan dengan proses perizinan yang belum 73 mendapatkan keputusan dari Menteri Agama. Hal ini jelas belum sesuai atau melanggar ketetentuan pada pasal 51 huruf (e) tersebut. Setelah tukar ganti selesai dilaksanakan, kemudian hasilnya harus dilaporkan oleh Nadzir ke kantor pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut. Hal ini memang sudah dilaksanakan, namun pelaksanaannya melebihi batas waktu yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Agama tentang izin perubahan status/tukar-menukar tanah wakaf tersebut, yakni paling lambat dalam waktu 6 (enam) bulan sejak persetujuan tersebut dikeluarkan, berkewajiban untuk mensertifikatkan tanah penukar dengan sertifikat wakaf. Keterlambatan tersebut terlihat dari dikeluarkannya izin pada tanggal 14 April 2008, lalu pada tanggal 12 Agustus 2009 hal tersebut baru terlaksana. Hal lainnya dalam pembentukan tim ruislagh yang seharusnya melibatkan unsur yang terdapat dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 49 ayat (4) yaitu: a. b. c. d. e. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; Majelis Ulama Indonesia Kabupaten/Kota; Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan; Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan. Dalam pelaksanannya pembentukan tim tersebut belum memenuhi ketentuan pasal di atas, hal tersebut terlihat dalam Surat Keputusan 74 Walikotamadya Jakarta Pusat Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pembentukan Tim Ruislagh Tanah Wakaf Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin, yang tidak menyertakan salah satu dari kelima unsur di atas yaitu Majelis Ulama Indonesia Kabupaten/kota. Berdasarkan fakta-fakta yang penulis kemukakan dalam analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa, meskipun secara administrasi serta kelengkapan persyaratan sudah terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, namun dalam beberapa hal teknis pelaksanaannya masih terdapat penyimpangan-penyimpangan dari yang semestinya, sehingga pelaksanaannya belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sekecil apapun jenis penyimpangan tersebut, tetaplah hal itu merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang ada, dan hal ini hendaklah menjadi perhatian kita bersama, agar ke depan apa yang diamanatkan oleh undang-undang dapat kita jalankan dengan sebaik-baiknya. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai akhir dari pembahasan skripsi ini, maka dapat penulis berikan kesimpulan dari permasalahan-permasalahan yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya sebagai berikut: 1. Perubahan status wakaf dalam Hukum Islam pada dasarnya tidak diperbolehkan, kecuali aset wakaf tersebut tidak lagi dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf, maka terhadap aset wakaf yang bersangkutan dapat dilakukan perubahan tersebut. 2. Hukum asal perubahan dan atau pengalihan benda wakaf dalam Hukum Positif di Indonesia adalah dilarang. Akan tetapi selama memenuhi syaratsyarat tertentu dan dengan mengajukan alasan-alasan sebagaimana yang telah ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku, perundangundangan tetap memberikan peluang dibolehkannya melakukan perubahan dan atau pengalihan terhadap benda wakaf, meski dengan melalui prosedur dan proses yang panjang. Mekanismenya terdapat dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 75 76 tentang Perwakafan Tanah Milik pasal 12-13, dan kemudian disempurnakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 51. 3. Faktor penyebab dilakukannya ruislagh tanah wakaf pada Masjid Al Istiqomah dan Musholla Hayatuddin, yang pertama dikarenakan adanya Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota di wilayah tersebut. Faktor kedua, adalah upaya penyelamatan terhadap aset wakaf agar tidak hilang. 4. Adanya ruislagh tersebut sangat positif sekali dampaknya, di antaranya dari sisi lokasi pengganti saat ini Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin lebih strategis dibanding lokasi sebelumnya, juga luas tanah pengganti yang lebih luas dari sebelumnya, hal ini sangat bermanfaat sekali bagi Pengurus Nadzir/Dewan Kemakmuran Masjid untuk mengelolanya lebih produktif dibanding sebelumnya, sehingga amanat undang-undang untuk mengelola harta wakaf secara produktif dapat terpenuhi. 5. Meskipun secara administrasi serta kelengkapan persyaratan dalam proses ruislagh tersebut sudah terpenuhi, namun dalam beberapa hal teknis pelaksanaannya masih terdapat penyimpangan-penyimpangan dari yang semestinya, sehingga pelaksanannya belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 77 6. Terhadap ruislagh tersebut sebagian besar masyarakat setempat menyetujuinya, walaupun sempat terjadi pertentangan antara pihak ahli waris dari wakif tanah Musholla Hayatuddin yang tidak setuju, dan meminta ganti rugi uang dengan pihak PT Jakarta Realty selaku pihak pengembang, namun akhirnya, setelah dimusyawarahkan pihak pengembang bersedia memberikan ganti rugi uang kepada pihak ahli waris, dan untuk kemudian memberikan tanahnya dikelola oleh pihak pengembang. B. Saran-Saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, maka saran-saran yang dapat penulis berikan diantaranya adalah: 1. Kepada Pengurus Nadzir/Dewan Kemakmuran Masjid khususnya pada Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin Tanah Abang Jakarta Pusat, hendaklah melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, sehingga aset wakaf dapat dikelola sesuai dengan amanat undang-undang. 2. Kepada Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama Republik Indonesia, hendaklah memberikan perlindungan, judifikasi, pengawasan, pencatatan, dan pendataan untuk tanah wakaf. Khususnya terhadap tanah wakaf yang rawan terkena dampak Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota, sehingga karena itu dilakukan perubahan status 78 wakaf seperti menjual, merubah bentuk/sifat, memindahkan ke tempat lain, atau menukar dengan benda lain, harap dapat ditangani dengan sebaik-baiknya. 3. Kepada para instansi terkait dan kalangan akademisi yang lebih memahami mengenai perwakafan khusunya mengenai prosedur perubahan status wakaf, diharapkan dapat berperan lebih aktif dalam mensosialisasikan segala macam hal yang berkaitan dengan perwakafan pada sekarang ini terutama pada masyarakat yang masih awam. 4. Terakhir untuk kita semua, sekecil apapun jenis penyimpangan yang kita lakukan, tetaplah hal itu merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang ada. Hal ini hendaklah menjadi perhatian kita bersama, agar ke depan, apa yang diamanatkan oleh ketentuan hukum yang berlaku, dapat kita jalankan dengan sebaik-baiknya. Terima kasih. DAFTAR PUSTAKA Al-Alabij, Adijani. Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, cet.IV. Al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar El-Fikr, t.th, juz III. Al-Hijaj, Imam Abi al-Husain Muslim. Shahih Muslim. Mesir: Dar-al-Hadits alQahirah, 1994, jilid VI. Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf. Jakarta: IIMaN Press, 2004. Al-Khatib, Asy-Syarbini Muhammad. Mughnil Muhtaaj. Mesir: Mushthofa Al-Baabi Al-Halabi, 1958, juz II. Al-Munawar, Said Agil Husein. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta: Permadani, 2004, Cet.I. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006. Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah. Bandung: PT Al-Ma’rif, 1987. Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN). Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: CV. Thaha Putra, 1989. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, cet.IV. Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. Jakarta: Depag RI, 2006. . Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Depag RI, 2006. . Peraturan perundangan Perwakafan. Jakarta: Depag RI, 2006. . Fiqih Wakaf. Jakarta: Depag RI, 2006, cet.IV. Fikri, Sayyid Ali. Al-Mu’aamalatul Madiyah Wal Adabiyah. Mesir: Mushthofa AlBaabi Al-Halani, 1938, juz II. Khallaf, Abdul Wahhab. Ahkam al-Waqf. Kairo, Mesir: Matba’ah al Misr, 1951. Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2008. Mugniyah, Muhammad Jawad. al-Ahwal al-Syakhsiyah ala al-Mazahib al-Khamsah. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1964. Mujieb, M. Abdul, dkk. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, cet.III. Nurboko, Cholid dan Achmadi, Abu. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara Pustaka, 1997. Praja Juhaya S. Perwakafan di Indonesia, Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya. Bandung: Yayasan Piara, 1995. Prihatna, Andy Agung. dkk. Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006, cet.I. Purwaka, Tommy Hendra. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya (PUAJ), 2007. Rofik, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Sabiq, Sayyid. Fiqhus sunnah. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987, jilid III. . Fiqh Sunnah. alih bahasa oleh Kamaluddin A., Marzuki, dkk., cet.VIII, Bandung: Al-Ma’arif, 1996, jilid XIV. Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010. Suparman, Usman. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Darul Ulum Press, 1994. Wadjdy, Farid dan Mursyid. Wakaf dan Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Zahrah, Muhammad Abu. Al-Waqf. Beirut: Dar Al-Fikr, 1971, cet.II. Zainuddin, Ibn Najm. Al-Bahrur Raiq. Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabiyyah al-Kubro, t.th, juz V. Zuhdi, Masfuk. Studi Islam dan Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993, cet.II. LAMPIRAN - LAMPIRAN Hasil Wawancara Narasumber : Drs. Adeng Nurdin Jabatan : Wakil Ketua DKM Al Istiqomah wa Hayatuddin Hari/Tanggal : Rabu, 21 Juli 2010 Tempat : Kantor Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tanah Abang I Waktu : Pukul 09.30 - 10.30 WIB 1. Bagaimanakah sejarah berdirinya Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin ini ? Jawaban: Awalnya terdapat dua bangunan rumah ibadah yaitu Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin. Keduanya terletak di wilayah Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat, lalu kerena ada perkembangan wilayah dan tata kota di wilayah tersebut rencananya akan dijadikan apartemen. Akhirnya dari pihak pengembang dalam hal ini PT Jakarta Realty menemui kami selaku pengurus kedua rumah ibadah tesebut, dikarenakan warga dan pengurus sebelumnya sudah pindah, sehingga masjid dan musholla tersebut diserahkan ke Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tanah Abang I, hal ini dilakukan mengingat sebelumnya kedua rumah ibadah tersebut berada di bawah Ranting Muhammadiyah Kebon Melati V. Ketika akan dijadikan apartemen pihak pengembang mengubungi kami sekitar tahun 2003 guna menegosiasikan harga untuk pembelian tanah kami, namun hal tersebut menemui jalan buntu sebab tidak terjadi kesepakatan harga di antara kedua belah pihak sampai akhirnya keluar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Setelah adanya Undang- Undang Wakaf tersebut muncul usulan dari pihak pengembang untuk dilakukan ruislagh (tukar ganti) tanah wakaf terhadap tanah kami dan akan digantikan dengan tanah miliknya di tempat lain. Setelah kami pertimbangkan baik dari sisi kemaslahatan juga dilihat dari lokasi pengganti yang lebih strategis tempatnya dan tanahnya yang lebih luas dari sebelumnya, akhirnya kami menyetujuinya. Kemudian proses ruislah dilakukan pada tahun 2005 mulai dari perizinan untuk melakukan ruislah hingga pembangunan masjid baru di lokasi pengganti. Setelah semuanya selesai pada tahun 2008, kemudian masjid tersebut kami beri nama, oleh karena asalnya dari hasil ruislagh dua rumah ibadah sebelumnya, maka masjid ini diberi nama Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin. 2. Melihat dari sejarahnya masjid ini berdiri dari hasil ruislagh (tukar ganti) tanah wakaf Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin, apakah ada hambatan dalam prosesnya ? Jawaban: Ada, ketika itu ahli waris dari wakif Musholla Al Hayatuddin ada yang tidak setuju dengan ruislagh ini. Sehingga terjadi pertentangan antara pihak ahli waris dengan pihak pengembang. Alasan ahli waris tidak setuju dikarenakan mereka ingin mengambil kembali tanah tersebut yang padahal sudah diwakafkan oleh bapaknya sebelumnya untuk dibangun musholla, mereka merasa bahwa tanah ini miliknya sebab ini adalah tanah yang diwakafkan oleh bapaknya selaku wakif ketika itu, di samping itu mereka beralasan karena tidak mempunyai tempat tinggal selain di sini sehingga mereka akan tetap meguasai tanah tersebut bila tidak ada ganti rugi uang untuk mencari tempat tinggal di tempat lain. Akhirnya setelah dimusyawarahkan pihak pengembang bersedia memberikan ganti rugi kepada pihak ahli waris untuk bersedia memberikan tanahnya untuk dikelola oleh pihak pengembang. 3. Bagaimanakah keadaan (status/luas) tanah yang akan di tukar dan tanah penggantinya ketika akan dilakukan ruislagh? Jawaban: Untuk tanah Masjid Al Istiqomah luasnya 166 M², kemudian statusnya sudah AIW (Akta Ikrar Wakaf) dan sudah bersertifikat tanah wakaf, sedangkan untuk tanah Musholla Al Hayatuddin luasnya 112,5 M² statusnya belum AIW dan belum bersertifikat. Untuk tanah pengganti luasnya 420 M² dengan status dan kepemilikan saat itu sedang dalam proses sertifikasi. 4. Menyambung pertanyaan nomor 3 (tiga), bagaimanakah status tanahnya setelah Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin ini berdiri ? Jawaban: Untuk saat ini status tanahnya sudah bersertifikat tanah wakaf. 5. Setelah masjid ini berdiri bagaimana dengan kepengurusannya ? Jawaban: Setelah Masjid Al Itiqomah wa Hayatuddin berdiri pada tahun 2008 kami melakukan pergantian kepengurusan nazhir terlebih dahulu untuk menggantikan kepengurusan yang lama. Permohonan pergantian nazhir tersebut kami ajukan ke Badan Wakaf Indonesia untuk mendapatkan penetapan, setelah memperoleh penetapan tersebut, kepengurusan nazhir yang baru ini kemudian membentuk Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al Istiqomah wa Hayatuddin ini untuk masa bakti selama dua tahun. Sampai saat ini kami sudah melakukan 2 (dua) kali pergantian Pengurus DKM, terakhir kami adakan pergantian kepengurusan DKM pada bulan April lalu dan akan habis masa jabatannya pada bulan April 2012. Sedangkan untuk kepengurusan nazhir akan berakhir 2 (dua) tahun lagi. 6. Untuk memakmurkan masjid, kegiatan peribadatan apa sajakah yang diadakan di masjid ini ? Jawaban: Yang utama tentu mengadakan shalat lima waktu, shalat Jum’at, shalat tarawih pada bulan Ramadhan dan shalat hari raya Fitri/Adha secara berjamaah. Selain itu kami pengurus juga mengadakan pengajian bulanan dan pengajian untuk memperingati hari besar Islam. Kemudian di luar kegiatan peribadatan di masjid kami ini juga menyediakan jasa penyewaan tempat untuk acara hajatan seperti resepsi pernikahan yang ditempatkan di lantai 1 (satu). Yang terakhir tersebut kami mencoba untuk menjalankan amanat dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf agar aset wakaf ini dapat dikelola secara produktif tidak hanya untuk keperluan peribadatan semata, mengingat tanah pengganti ini yang cukup luas, ke depan Insya Allah kami juga akan membangun koperasi masjid. Hasil Wawancara Narasumber : Drs. Maman Taofik Rahman NIP : 196808091994031003 Jabatan : Penghulu Madya – Wakaf Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat Hari/Tanggal : Rabu, 14 Juli 2010 Tempat : Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat Waktu : Pukul 09.30 - 10.30 WIB 1. Sampai saat ini benda apa sajakah yang sudah diwakafkan di wilayah Kecamatan Tanah Abang ? Jawaban: Sampai saat ini dalam data wakaf di Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang hanya terdapat wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan berupa Masjid, Musholla/Langgar, serta Yayasan/Madrasah. 2. Berapakah luas tanah wakaf se-Kecamatan Tanah Abang sampai dengan saat ini ? Jawaban: Menurut data yang ada pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang luas tanah wakaf se-Kecamatan Tanah Abang saat ini berjumlah sebanyak 149 persil dengan luas 55.027,24 M², dengan rincian sebagai berikut: a. Masjid : 74 persil dengan luas 35.537,24 M² b. Musholla/Langgar : 57 persil dengan luas 5.473 M² c. Yayasan/Madrasah : 18 persil dengan luas 14.019 M² 3. Dari keseluruhan tanah wakaf di Kecamatan Tanah Abang tersebut, bagaimanakah statusnya ? Jawaban: Dari 7 (tujuh) Kelurahan yang terdapat di Kecamatan Tanah Abang sebanyak 136 lokasi tanah wakaf berstatus sudah AIW (Akta Ikrar Wakaf) / APAIW (Akta Pengganti Ikrar Wakaf), 121 sudah bersertifikat, dan 28 belum bersertifikat. 4. Untuk melakukan ruislah (tukar ganti) tanah wakaf prosedur awalnya Nazhir mengajukan permohonan ke Kantor Urusan Agama setempat dengan menjelaskan alasannya, hal tersebut apakah dilakukan secara lisan atau tertulis ? Jawaban: Alasan tersebut diajukan oleh nazhir yang bersangkutan bersamaan dengan permohonan untuk melakukan ruislah secara tertulis ke Kantor Urusan Agama setempat. 5. Menyambung pertanyaan nomor 4 (empat), alasan apa sajakah yang dapat dibenarkan sehingga permohonan Nazhir tersebut dapat diterima ataupun ditolak ? Jawaban: Mengenai alasan apa saja yang dapat dibenarkan, kita kembalikan ke Pasal 49 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf yakni a. karena digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah; b. harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf; atau c. pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak. 6. Dalam proses ruislah Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin terjadi pergantian Nazhir dalam pengurusannya, siapakah yang berwenang dalam pergantian Nazhir tersebut ? Jawaban: Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Kepala Kantor Urusan Agama yang berwenang, namun setelah Undang-Undang tersebut berlaku yang berwenang adalah Badan Wakaf Indonesia. 7. Menyambung pertanyaan nomor 6 (enam), seperti apakah proses pergantian Nazhir tersebut ? Jawaban: Kalau sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf pengurus nazhir lokasi wakaf yang bersangkutan datang ke Kantor Urusan Agama setempat dengan membawa hasil keputusan mengenai pergantian nazhir tersebut, kemudian Kepala Kantor Urusan Agama setempat menindaklanjutinya dengan menetapkannya ke dalam W.5 (Surat Ketetapan Nazhir). Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, sesudah permohonan tersebut diajukan ke Kantor Urusan Agama setempat, lalu oleh pihak Kantor Urusan Agama setempat ditindaklanjuti dengan meneruskannya ke Badan Wakaf Indonesia untuk dibuatkan penetapannya. 8. Setelah proses ruislah selesai, apakah harus melakukan ikrar wakaf kembali ? Jawaban: Harus dilakukan ikrar wakaf kembali terhadap wakaf pengganti. 9. Menyambung pertanyaan nomor 8 (delapan), pihak siapa sajakah yang harus ada ketika itu dan dilangsungkan di mana ? Jawaban: Yang pertama wakif, kemudian para nazhir. Wakif dan para nazhir tersebut datang ke Kantor Urusan Agama tempat lokasi wakaf pengganti dengan membawa surat keterangan kepala desa tentang perwakafan tanah milik (WK), kemudian bukti kepemilikan yang dimiliki seperti akte jual beli tanah, sertifikat tanah, lalu wakif membuat pernyataan secara tertulis bahwa dia akan/telah mewakafkan. Dalam proses tersebut Kepala KUA membimbing ikrar tersebut di hadapan nazhir dengan disaksikan oleh minimal 2 (dua) orang saksi. 10. Untuk melakukan ikrar wakaf adakah biaya yang harus dikeluarkan ? Jawaban: Tidak ada biaya yang di keluarkan untuk itu. Namun mereka biasanya memberi infak istilahnya untuk sekedar membantu dalam urusan administrasi. 11. Apakah Bapak mengetahui latar belakang penyebab diadakannya ruislah pada Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin ? Jawaban: Saya tidak mengetahui detilnya, sebab saat saya bertugas di sini hal itu sudah terjadi, namun dari dokumen yang ada, setahu saya awal mulanya di karenakan adanya rencana pengembangan area usaha oleh PT Jakarta Realty. Hasil Wawancara Narasumber : M. Syarifudin, SE. NIP : 197410122005011005 Jabatan : Pelaksana Zakat Wakaf Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Pusat Hari/Tanggal : Selasa, 27 Juli 2010 Tempat : Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Pusat Waktu : Pukul 10.30 – 11.30 WIB 1. Mohon penjelasan tentang istilah ruislagh ? Jawaban: Dilihat dari segi bahasa sepertinya berasal dari bahasa Belanda atau dari bahasa Agraria. Tapi yang pasti istilah ruislagh (tukar menukar) tanah wakaf tersebut dipakai karena semakna dengan yang terdapat dalam Perundang-undangan tentang Wakaf yang memakai istilah perubahan status atau tukar-menukar tanah wakaf. 2. Apa sajakah syarat untuk melakukan ruislagh tanah wakaf ? Jawaban: Yang pertama harta wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum atau Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota, bisa juga karena sudah tidak dapat digunakan sesuai dengan ikrar wakaf, dapat pula dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak. Dari segi harta penukar haruslah sudah memiliki sertifikat. Kemudian nilai penukar atau tanah penukar minimal seimbang, seimbang ini bukan berarti luasnya tapi nilai jualnya, jadi yang dinilai itu bukan luasnya tapi nilai jualnya. 3. Dalam proses ruislagh terdapat tim ruislagh, seperti apakah bekerjanya ? Jawaban: Tim ruislagh ini sebagai tim penilai awal sebelum melangkah ke tahapan yang lebih tinggi seperti menteri yang nantinya dalam memberikan izin ruislagh salah satu acuannya adalah dari hasil penilaian tim ruislagh tersebut. Penilaian tim ruislagh tersebut seperti tanah wakaf yang akan ditukar nilai jualnya berapa, penukarnya berapa, bagaimana status tanah penukarnya sudah bersertifikat atau belum dan dari segi letak tanah penukar lebih strategis atau tidak. 4. Kapan proses ruislagh Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin dilakukan ? Jawaban: Ruislaghnya terjadi tahun 2005, sehingga dalam prosesnya ketika itu selain menggunakan ketentuan yang terdapat dalam Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama Republik Indonesia Nomor DII/5/HK.007/901/1989 tentang Petunjuk Perubahan Status/Tukar Menukar Tanah Wakaf juga mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 5. Apakah ada batasan waktu atau Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam melakukan ruislagh ? Jawaban: Sampai saat ini belum ada, tapi ke depan nantinya akan ada. 6. Adakah hambatan dalam proses ruislagh Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin ? Jawaban: Setahu saya tidak ada, sebab dari masyarakat sekitar karena sudah dipindahkan lebih dulu, kemudian dari ahli waris pun juga tidak ada, sehingga dari pada hilangnya aset wakaf lebih baik dilakukan ruislagh agar aset wakaf dapat digunakan kembali. Intinya masyarakat sekitar dan wakif/nazhir mengetahui, bahwa tanah wakaf tersebut dipindahkan dan tetap sesuai fungsi awalnya, karena memang dilihat dari kondisi sebetulnya ketika itu ada dua segi kebutuhan, yang pertama dari segi aset wakaf agar tidak hilang dan dapat digunakan kembali, kemudian yang kedua dari segi pengembang pun juga butuh tanah itu untuk mengembangkan usahanya. 7. Selain ruislagh Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin adakah kasus ruislagh lainnya di wilayah Jakarta Pusat ? Jawaban: Banyak, karena di DKI Jakarta khusunya wilayah Jakarta Pusat proyek pengembangan itu sangat cepat sekali, sehingga banyak membutuhkan tanah, salah satunya yang masih berlangsung adalah Musholla Darul Falah di lingkungan yang saat ini berdiri gedung Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). 8. Menyambung pertanyaan nomor 7 (tujuh), dari sekian banyak kasus ruislagh di wilayah Jakarta Pusat tersebut rata-rata latar belakang penyebabnya apa ? Jawaban: Kebanyakan dikarenakan adanya Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota di wilayah Jakarta Pusat. 9. Khusus kasus ruislagh Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin latar belakang penyebabnya apa ? Jawaban: Penyebab utamanya sama karena adanya Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota, kemudian penyebab lainnya adalah upaya penyelamatan aset wakaf agar tidak hilang, sebab masyarakat sekitar ketika itu sudah dipindahkan lebih dulu, sehingga lebih baik dilakukan ruislagh, agar aset wakaf dapat digunakan kembali sesuai dengan ikrar wakaf. 10. Setelah proses ruislagh selesai terhadap status tanah pengganti bagaimana, apakah perlu dilakukan ikrar wakaf kembali ? Jawaban: Status tanah pengganti sudah menjadi tanah wakaf, sebab sudah ada keputusan dari menteri bahwa tanah ini adalah tanah pengganti tanah yang diruislagh sebelumnya, sehingga tidak perlu ada ikrar wakaf kembali, cukup dirubah sertifikatnya saja karena yang diperlukan bukan akta ikrar wakafnya tapi sambungan ke arah perubahan itu. Di samping itu agar tidak terjadi kepemilikan data lebih dari satu.