Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

moral Rsouning

There is a difference of moral reasoning among boys and girls of high intellectual students perceived from authoritarian, authoritative and permissive parenting styles it is suggested that educators should develop suitable teaching strategy which may enhance the high intellectual children positive developmental aspects by avoiding sex stereotypes; encouraging to be independent and tak a risk; and guiding in problem solving. It is suggested too that parents of high intellectual children should avoid different parenting between boys and girls and help them to make moral decision properly so the can avoid social adapting problems. Key Words : Moral Penalaran-High Style-mahasiswa Parenting Intelektual.

MORAL REASONING PADA ANAK BERBAKAT INTELEKTUAL Oleh: NURHAYANI Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara e-mail: nurhayani_faktarbiyah1976@yahoo.co.id Abstract: There is a difference of moral reasoning among boys and girls of high intellectual students perceived from authoritarian, authoritative and permissive parenting styles it is suggested that educators should develop suitable teaching strategy which may enhance the high intellectual children positive developmental aspects by avoiding sex stereotypes; encouraging to be independent and tak a risk; and guiding in problem solving. It is suggested too that parents of high intellectual children should avoid different parenting between boys and girls and help them to make moral decision properly so the can avoid social adapting problems. Key Words : Moral Penalaran-High Style-mahasiswa Parenting Intelektual. PENDAHULUAN Anak jenius merupakan anak yang memiliki bakat intelektual tinggi yang dalam istilah psikologi disebut anak gifted. Anak gifted memiliki karakteristik khas yang berbeda dari anak seusianya tidak hanya dalam perkembangan kognitif, namun juga dalam perkembangan sosial dan emosinya. Para orang tua anak balita gifted umumnya mengalami frustasi dan putus asa menghadapi perilaku anak gifted, begitu pula gurunya. Ketidak mengertian akan perilaku anak gifted yang dianggap menyimpang dari pola normal menyebabkan para orang tua dan guru berfikir adanya gangguan perilaku dan mental pada anak. Pemahaman mengenai berbagai aspek tumbuh kembang serta personalitas anak gifted sangat dibutuhkan agar tidak terjadi kesalahmengertian terhadap anakanak gifted yang sebenarnya sedang mengalami terjadinya gejolak tumbuh kembang yang luar biasa yang berbeda dari anak lain. JURNAL AL – IRSYAD Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2014 1 ISSN: 2088 - 8341 Selama ini perhatian pendidikan bagi anak gifted juga lebih banyak memfokuskan perhatiannya pada aspek intelektual, atau masalah-masalah akademik, dan hingga kini masih sedikit sekali yang memperhatikan pada intensitas faktor personalitas. Banyak anak gifted yang seharusnya dapat mengembangkan kejeniusannya harus kehilangan kesempatan untuk hidup dan berkembang secara wajar. Komnas Perlindungan Anak menyebutkan 150.000 anak memerlukan perlindungan, sekitar 4.000 anak di bawah usia 16 tahun mengalami masalah hukum dan dibawa ke pengadilan tiap tahun (Banjarmasin Post : 2003). Apakah yang terjadi sebenarnya dengan nilai-nilai moral yang tertanam dalam diri anak sehingga mereka terjebak tindak kriminal dan perilaku amoral? KARAKTERISTIK ANAK JENIUS DAN DILEMA PSIKOLOGIS YANG DIALAMI Jenius atau Gifted berasal dari bahasa Inggris yang berarti ”dikaruniai” atau kelebihan-kelebihan yang diberikan Tuhan saat lahir. Anak jenius (gifted) adalah anak yang memiliki pembawaan kecakapan (bakat intelektual) sejak lahir dengan IQ + 125-150; dan mampu mengerjakan tugas-tugas mental yang mempunyai kadar kesukaran yang tinggi (Tirtonegoro, 2001). Inilah sebabnya mengapa anak gifted disebut sebagai anak dengan kemampuan dan kecerdasan luar biasa. Anak gifted memiliki karakteristik khas baik dalam hal intelektual maupun sosioafektif yang melebihi tingkat di atas usianya. Sankar-Deleeuw menemukan adanya kesamaan 97 % karakteristik yang digambarkan orang tua dan guru pada kemampuan anak gifted yaitu adanya perkembangan yang tidak harmonis/ bertentangan, ketidakmatangan emosi, kesulitan bersosialisasi dan kecenderungan didorong orang tua (Deleeuw, 2002). Hal inilah yang menurut Seagoe (dalam Munandar, 1999) menimbulkan masalah-masalah tertentu yang dimiliki anak gifted sebagai konsekuensi dari kejeniusannya. Masalah-masalah tersebut adalah: a) Kemampuan berpikir kritis dapat mengarah pada sikap skeptis dan kritis, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. 2 JURNAL AL – IRSYAD Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2014 ISSN: 2088 - 8341 b) Kemampuan kreatif dan minat untuk melakukan hal-hal baru dapat menyebabkan siswa gifted tidak menyukai atau cepat bosan terhadap tugas-tugas rutin c) Perilaku ulet dan terarah pada tujuan dapat menjur us pada keinginan untuk memaksakan atau mempertahankan pendapatnya. d) Kepekaan yang tinggi dapat menyebabkan siswa gifted mudah tersinggung atau sensitif terhadap kritik dari orang lain. e) Semangat yang tinggi, kesiagaan mental, dan inisiatif dapat membuat anak kurang sabar dan kurang tenggang rasa bila tidak ada kegiatan atau bila kurang tampak kemajuan dalam kegiatan yang sedang berlangsung f) Kemampuan dan minat yang beraneka ragam menyebabkan anak gifted membutuhkan keluwesan serta dukungan untuk dapat menjajagi dan mengembangkan minatnya yang luas g) Keinginan untuk mandiri dalam belajar dan beraktivitas serta kebutuhannya akan kebebasan dapat menyebabkan anak gifted tidak mudah tunduk terhadap tekanan dari orangtua, sekolah, atau teman sebaya, yang dapat berakhir dengan munculnya perasaan ditolak atau kurang dimengerti oleh lingkungannya. h) Sikap acuh tak acuh dan malas dapat timbul bila pengajaran yang diberikan kurang mengandung tantangan baginya. Ketidak sinkronan perkembangan anak-anak gifted kemudian berakibat dalam berbagai perkembangan perilaku yang menyimpang dari pola umum, sekaligus dapat mengakibatkan berbagai prestasi yang tidak seimbang dari anakanak yang akhirnya mengarah pada kefrustrasian, mudah tersinggung, agresivitas, penarikan dan isolasi diri, pelepasan energi secara negatif, rendah diri, dan jatuhnya prestasi di sekolah (Jurgens, 1991 dalam Tiel, 2004). Hal inilah yang menyebabkan potensi kejeniusannya menjadi tertutupi oleh masalah yang dimilikinya, seperti kasus yang terjadi pada Lysher Loh Jia Hui, siswi SD kelas empat berusia 10 tahun. Siswi asal Singapura itu, mengakhiri hidupnya dengan terjun bebas dari sebuah apartemen di tingkat lima. Ia ditemukan terkapar tewas dengan mengenakan kaus oblong dan celana pendek seragam sekolahnya. Siswi yang tergolong cerdas di sekolah itu sangat terpukul ketika mendapat ranking 3 JURNAL AL – IRSYAD Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2014 ISSN: 2088 - 8341 ketiga. (Siswi SD: Selamat Tinggal Sekolah, Selamat Tinggal Hidup; Koran Tempo, 23 Agustus 2001). Ketidakberhasilan ini dikarenakan adanya karakteristik perfeksionis yang dimiliki oleh individu gifted sehingga alam perasaan anak diliputi kekecewaan, keragu-raguan, tekanan, dan anggapan bahwa dirinya telah gagal. PERAN POLA ASUH ORANG TUA SEBAGAI FIGUR IDENTIFIKASI MORAL Orang tua merupakan figur utama bagi anak. Ibu dan ayah berperan penting dalam perkembangan sikap-sikap atau nilai-nilai positif perilaku anak. Namun sering terjadi ketidaksamaan pendapat ibu dan ayah dalam memandang faktor kuat dan faktor lemah anak-anaknya yang tidak jarang menyebabkan percekcokan dalam menerapkan pola asuh. Anak jenius memerlukan pola asuh yang nyaman sesuai dengan tingkat perkembangan yang dicapainya agar ia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat. Rasa ingin tahu yang besar dan sikap kritis terhadap sesuatu dengan pertanyaan ”mengapa” pada semua fenomena sangat penting diperhatikan dan harus senantiasa dalam pengawasan orang tua. Banyak orang tua yang masih membesarkan anak-anaknya dengan caracara yang didasarkan kepada prinsip-prinsip yang keliru, diantaranya dengan prinsip “serba boleh” untuk alasan kebebasan dan tidak mengekang anak. Kesalahan paling nyata yang tampak dalam pengasuhan atau pendidikan anak baik di sekolah maupun di keluarga adalah menjadikan “emosi baik” sebagai pahlawan yang harus terus ditumbuhkan dalam lubuk hati, sedangkan “emosi buruk” dianggap sebagai emosi negatif yang merupakan penjahat yang harus dimatikan dalam diri seseorang. Padahal, ditinjau dari perspektif evolusi, setiap emosi manusia berkembang dengan maksud tertentu, sehingga menghilangkan emosi negatif dari pemahaman kita tentang perkembangan anak sama saja dengan menghilangkan salah satu warna dasar dari palet seorang pelukis; tidak hanya warna dasar itu yang hilang tetapi juga jutaan warna lain yang tercipta dari perpaduan warna-warna dasar lain dengan warna dasar tersebut. 4 JURNAL AL – IRSYAD Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2014 ISSN: 2088 - 8341 Keberhasilan perkembangan moral berarti dimilikinya emosi dan perilaku yang mencerminkan kepedulian akan orang lain. Mendidik anak guna menjadi manusia bermoral, menurut William Damone, seorang ahli perkembangan moral anak-anak dan Remaja menyatakan bahwa anak-anak harus mendapatkan keterampilan emosional dan sosial sebagai berikut : • Mengikuti dan memahami perbedaan antara perilaku yang baik dan yang buruk dan mengembangkan kebiasaan dalam hal pebuatan yang konsisten dengan sesuatu yang dianggap “baik”. • Mengembangkan kepedulian, perhatian dan rasa bertanggung jawab atas kesejahteraan dan hak-hak orang lain. • Harus merasakan reaksi emosi negatif seperti malu, rasa bersalah, marah, takut dan rendah bila melanggar aturan moral. (Shapiro, Lawrence E, 1997 : 46) Emosi negatif seperti rasa malu (shame) dan rasa bersalah (guilt) ternyata lebih berdaya guna daripada emosi positif ketika seseorang belajar mengubah perilakunya. Manurut Lawrence (1997), ada bermacam-macam emosi negatif yang memotivasi anak-anak untuk belajar dan mempraktekkan perilaku-perilaku prososial, termasuk : a. Takut dihukum b. Kekhawatiran tidak diterima oleh orang lain c. Rasa bersalah bila gagal memenuhi harapan seseorang d. Malu bila ketahuan berbuat sesuatu yang tidak dapat diterima oleh orang lain (Shapiro, Lawrence E, 1997 : 47) Rasa malu (shame) merupakan salah satu bentuk rasa rendah diri ekstrem yang terjadi ketika anak-anak merasa gagal memenuhi harapan orang lain dalam bertindak. Rasa bersalah (guilt) terjadi bila anak gagal memenuhi standar perilaku yang ditetapkannya sendiri. Rasa malu menurut Lawrence (1997) mendatangkan kesan yang sulit dihapuskan pada anak-anak, jauh lebih sulit daripada peristiwaperistiwa yang melibatkan perasaan positif. Berdasarkan teori-teori anatomi saraf, emosi-emosi ekstrem yang ditimbulkan oleh rasa malu cenderung menempuh 5 JURNAL AL – IRSYAD Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2014 ISSN: 2088 - 8341 jalan pintas dan menghindari jalur normal ketika menju tempat pencatatan informasi dan penyimpanan ingatan dalam otak. Emosi ekstrem tampaknya sengaja menghindari bagian berpikir pada otak, yaitu korteks, dan mengirimkan sinyal-sinyal listrik langsung ke pusat pengendalian emosi pada otak, yaitu amigdala, tempat berlangsungnya proses pembelajaran dan ingatan emosi. Jadi setiap pengalaman yang melibatkan emosi ekstrem akan memberkan efek langsung yang lebih nyata pada perilaku anak sekaligus efek jangka lebih panjang pada perkembangan kepribadian mereka. (Shapiro, Lawrence E, 1997 : 75) Memamfaatkan nilai rasa malu dapat dipertimbangkan dalam pengasuhan anak dalam dua hal : 1. Upaya mempermalukan harus diberikan apabila seorang aank tidak memiliki reaksi emosi setelah melakukan sesuatu yang seharusnya membuatnya malu 2. Upaya mempermalukan harus dipertimbangkan sebagai strategi pengubahan perilaku yang sah apabila cara pendisiplinan yang lebih lunak dianggap gagal (Shapiro, Lawrence E, 1997 : 77). Upaya tindak mempermalukan ini diistilahkan oleh seorang professor ilmu sosial di Australian National University, John Braithwaite dengan reintergratif (reintegrative shaming). Menurutnya, tindak mempermalukan ini merupakan bentuk hukuman yang tidak boleh dijadikan pelampiasan kemarahan atau balas dendam tetapi hendaknya dijadikan sebagai bentuk hukuman yang dapat membangkitkan penyesalan sampai tingkat tertentu si pelaku dan maaf pada masyarakat atau keluarga yang bersangkutan. Rasa bersalah (guilt) karena didasarkan pada standard dan tuntutan diri sendiri sesungguhnya lebih berdaya guna dan lebih membekas sebagai pemotivasi moral daripada rasa malu. Penelitian menunjukkan bahwa rasa bersalah antar pribadi, yang sesungguhnya bisa disebut sebagai “kesadaran moral” lebih efektif untuk mengendalikan perilaku anak dibanding ancaman atau rasa takut dari luar. Bahkan, bila sebagai orang tua kita dapat merangsang rasa bersalah pada anak, anak akan bersedia menjalani peraturan dan akibat yang lebih kuat daripada yang telah ditetapkan. 6 JURNAL AL – IRSYAD Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2014 ISSN: 2088 - 8341 Rasa bersalah dapat menuntun sikap untuk meminta maaf dan memaafkan yang merupakan kekuatan kesadaran yang dapat membangkitkan penyesalan sebagai bentuk kepedulian, perhatian dan rasa bertanggung jawab atas kesejahteraan dan hak-hak orang lain. Meminta maaf sebagai respon rasa bersalah membutuhkan energi yang berlipat ganda dimana orang yang memohon maaf harus membuang “gengsi” dan upaya pengakuan kesalah yang disadari, pengakuan terhadap berbagai kekhilafan dan kekeliruan yang pernah diperbuat. Demikian juga orang yang memberi maaf harus ikhlas, sadar, sabar dan berjiwa besar. Memaafkan bukan saja lahir dari jiwa dan hati yang bersih, namun sebagai ungkapan kesetiaan yang mendalam, peneguhan cinta, persahabatan yang utuh atau penyesalan diri atas berbagai kesalahan dan kekeliruan. Allah SWT. Berfirman, “Jadilah Engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Q.S. Al A’raf (7) : 199). (Departemen Agama, 2006: ) Memaafkan merupakan sifat terpuji dan hanya dimiliki oleh orang yang bertaqwa. Ia tidak akan pernah dendam, hasud, iri, dan akan mudah meminta maaf jika melakukan kesalahan. Alasan mengapa harus memaafkan menurut Ahmad Humaedi adalah: pertama, Allah Maha memaafkan dan Maha Pengampun; kedua, memaafkan menghindarkan dari kesombongan. Kala seseorang tidak mau memaafkan akan membuat diri “merasa” benar sehingga menyebabkan lupa diri dan mudah menyalahkan dan menyudutkan serta menindak orang yang bersalah sesuka hati kita; ketiga, memaafkan akan melahirkan sikap tawadhu dan melenyapkan sikap sombong serta memberi kesempatan kepada orang lain untuk berbuat baik; keempat, memaafkan akan membentuk persaudaraan dan kebersamaan; kelima, memaafkan akan mendatangkan ridha Allah SWT (Humaedi, Ahmad: Dengan demikian jelaslah bahwa rasa bersalah akan membawa seseorang untuk meminta maaf yang pada gilirannya menuntun orang lain untuk memaafkan sehingga mampu memunculkan berbagai nilai-nilai moral yang baik dalam diri anak. 7 JURNAL AL – IRSYAD Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2014 ISSN: 2088 - 8341 Namun demikian terkait dengan kepekaan emosi rasa malu dan rasa bersalah pada kenyataannya berbeda dengan yang dirasakan oleh anak jenius. Kemampuan intelektual yang tinggi ternyata membuat kepekaan perasaan yang mengarahkan anak jenius untuk mempersepsi sinyal-sinyal sosial secara tidak tepat sehingga berpengaruh terhadap berfungsinya pemikiran moral untuk berperilaku sesuai situasi sosial. Kemampuan orang tua dalam menstimulasi akan menentukan perkembangan kemampuan dalam perkembangan penalaran moral anak jenius. Sesuai pernyataan Walker dan Hennic (1991) bahwa tidak adanya dukungan dari orangtua dapat mempengaruhi perkembangan penalaran moral anak karena dukungan orangtua merupakan suatu stimulus positif yang akan mempengaruhi perkembangan penalaran moral. Rasa ingin tahu yang sangat besar dan sikap kritis menyebabkan anak jenius suka menentang tradisi dan peraturan yang mengekangnya. Kemampuan kognitif mencakup menyadari adanya kesadaran diri (“menjadi suatu diri“) dan kapasitas untuk merefleksikan perilaku dan mengatribusikan kualitas pada diri dan menilai baik atau buruk. Ada tiga tipe “diri dan diri orang lain“ yang memfokuskan kemampuan kognitif (perwakilan simbol diri –diri orang lain, teori fikiran dan metakognisi) yang merupakan kunci rasa malu (dan rasa bersalah) dan berhubungan dengan sistem pertahanan sosial yang terlibat sebelumnya (Gilbert, Paul, 2003 :1). Salah satu kunci unsur evolusi manusia adalah kemampuan memahami apa yang sedang terjadi dalam pikiran orang lain. Inilah yang disebut teori pikiran (theory of mind). Seseorang dapat memikirkan tentang apa yang memotivasi perilaku orang lain, apa yang mungkin mereka nilai atau devaluasi, apa yang mereka ketahui dan apa yang bisa dapat pikirkan mengenai bagaimana memanipulasi mereka untuk menjadi seperti kita atau berhati-hati pada kita (Gilbert, Paul, 2003 :2). Orangtua otoritatif yakni orang tua yang berusaha mengenal pandangan anak, dan mendorong terjadinya perbandingan pandangan lewat dialog, akan membantu anak berinteligensi dalam menetapkan keputusan moral. Melalui pola 8 JURNAL AL – IRSYAD Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2014 ISSN: 2088 - 8341 asuh otoritatif, anak jenius belajar memahami sendiri batasan-batasan moral yang harus dipegangnya tanpa merasa dikekang. Pengasuhan otoritatif membantunya menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri serta mendorong tindakantindakan mandiri membuat keputusan sendiri sehingga berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab. Beda halnya jika anak jenius memperoleh pola asuh permisif, dimana orang tua cenderung selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama sekali. Anak diberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk berbuat dan memenuhi keinginannya. Hal ini akan membuat anak merasa tidak digubris atau tidak diperdulikan seluruh perbuatannya maka ia akan mencari perhatian dengan cara menampilkan perbuatan yang negatif yang dapat mencemarkan nama baik keluarganya. Jika tindakan negatif mendapat penguatan (reinforcement) maka anak akan lebih sering melakukan tindakan yang negatif (Nurhayani, 2007). Anak jenius laki-laki dan perempuan baik yang diasuh dengan pola asuh otoriter maupun pola asuh permisif menunjukkan penalaran moral yang sama karena pola asuh otoriter memang membatasi hak anak tetapi tetap menuntut tanggung jawab seperti anak dewasa, memaksa anak-anak untuk patuh pada nilainilai orang tua, serta mencoba membentuk tingkah laku anak sesuai dengan tingkah laku orang tuanya akan mengakibatkan anak jenius merasa terkekang dan dibatasi keinginan dan hasratnya yang besar untuk untuk mencari nilai-nilai baru yang kemungkinan bertolak belakang dengan norma-norma masyarakat yang sudah mapan (Nurhayani, 2007, 40). Benturan nilai-nilai yang dimiliki anak berinteligensi dengan nilai-nilai yang diajarkan dan dituntut orang tuanya memungkinkan terjadinya konflik sosio kognitif pada anak sehingga mempengaruhi anak jenius dalam membuat keputusan moral. Demikian pula dengan siswa yang memperoleh pola asuh permisif, sikap orang tua yang terlalu membebaskan pemikiran anak jenius dalam membuat keputusan sendiri akan memungkinkan anak belajar menyelesaikan sendiri konflik sosio kognitif yang dialami akibat benturan nilai-nilai yang dialami 9 JURNAL AL – IRSYAD Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2014 ISSN: 2088 - 8341 dengan nilai-nilai diterimanya sehingga juga dapat mempengaruhi anak dalam membuat keputusan moral (Nurhayani, 2007 : 43). Banyak faktor yang membedakan laki-laki dengan perempuan. Perlakuan berbeda yang sering diterapkan untuk membedakan anak laki-laki dengan anak perempuan menurut Mubayyidh (2006) adalah : 1. Sikap keras lebih sering ditujukan pada anak laki-laki 2. Cerita atau kisah yang menggunakan kosakata emosional (perasaan) lebih banyak ditujukan pada anak perempuan 3. Nuansa emosional tampak lebih dominant jika sang ibu bermain dengan anak perempuannya dibandingkan dengan anak laki-laki 4. Anak laki-laki lebih banyak mendapat teguran jika ia melakukan kesalahan Indikasi perlakuan berbeda yang sering diterapkan untuk membedakan anak laki-laki dengan anak perempuan, menurut Hurlock (1972) terlihat dari bagaimana pola asuh yang diterapkan orang tua pada anak laki-laki dan perempuan yang dapat dilihat melalui : a. Aspek peraturan yang diterapkan orangtua untuk ditaati anak b. Aspek hukuman yang diberikan orangtua atas pelanggaran yang telah dilakukan anak c. Aspek hadiah yang selalu atau jarang/tidak pernah diberikan atau pujian atas prestasi yang telah dicapai anak d. Aspek kontrol dari orangtua dalam mengawasi perilaku anak e. Aspek komunikasi orangtua ketika berinteraksi dengan anak. Jika dilihat dari perkembangan emosi pada anak laki-laki dan anak perem- puan, banyak sekali perbedaan yang mencolok. Masyarakat secara umum khususnya keluarga membantu perkembanan emosi anak perempuan dalam bentuk merasakan dan mengekspresikannya. Sementara, anak laki-laki dimotivasi untuk memperlakukan diri sendiri dengan tepat dan diajari untuk beradaptasi dengan situasi sulit dan menegangkan. 10 JURNAL AL – IRSYAD Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2014 ISSN: 2088 - 8341 Setiap jenis kelamin memiliki kecerdasan emosional dalam batas-batas tertentu sesuai dengan potensi yang dimiliki setiap individu. Hanya saja, masingmasing dari laki-laki dan perempuan mempunyai cara khusus untuk mengekspresikan emosinya. Emosi perempuan bertolak dari hubungan antar manusia, sementara laki-laki bertolak dari perasaan akan jati diri dan kegemaran menghadapi tantangan dan kesulitan. Berdasarkan penelitian perempuan lebih mampu mengenali emosi dan perasaannya dan orang lain dibandingkan dengan laki-laki. Pada kaum laki-laki, “menghormati harga diri” tampak lebih dominant dibandingkan dengan kaum perempuan karena lebih mampu menghadapi tantangan dan kegelisahan (Mubayyidh, 2006). Sisi perbandingan yang didominasi antara laki-laki dan perempuan adalah: 1. Sisi perbandingan yang didominasi perempuan. 2. - Hubungan antar sesama manusiaTanggung jawab social. - Empati dengan orang lain. Sisi perbandingan yang didominasi laki-laki. - Menghargai jati diri. - Kemampuan menghadapi kesulitan. Pada anak jenius laki-laki, pengajaran nilai moral lebih tepat dengan pola asuh otoriter atau pola asuh otoritatif. Pola asuh otoriter merupakan cara melatih dan mengatur anak laki-laki jenius untuk terlibat dan mendekat secara fisik walaupun menekankan dominasi orang dewasa. Menurut Greenfield & Suzuki, kondisikondisi tertentu seperti kondisi lingkungan sekitar anak yang dianggap berbahaya mendorong orang tua untuk memberikan disiplin yang keras bukan untuk mendominasi tetapi untuk menjaga dan melindungi integritasnya, melindungi, serta menjaga hubungan yang harmonis dengan orang lain serta agar anak laki-laki tidak terjebak dalam aktivitas-aktivitas anti sosial atau merusak moral (Berns, 2004). Sedangkan pola asuh otoritatif akan memotivasi anak laki-laki jenius untuk belajar dan berperilaku menurut harapan-harapan orang tua, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi anak di dalam mengambil suatu keputusan atau di dalam melakukan penalaran moral. 11 JURNAL AL – IRSYAD Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2014 ISSN: 2088 - 8341 Bagi anak jenius perempuan hendaknya mengajarkan nilai moral dengan pola asuh otoritatif karena anak perempuan yang memperoleh pola asuh otoritatif karena menurut (Archer, 1996), emosi perempuan lebih besar daripada anak lakilaki dan anak perempuan kurang tegas atau mudah bimbang dan memiliki kecemasan. Anak perempuan memiliki respon emosi yang berbeda dengan anak lakilaki ketika mengalami ketegangan. Hal ini didukung pendapat Campbell (1993), rasa marah pada anak perempuan disertai emosi-emosi seperti rasa takut, cemas, merasa bersalah dan rasa malu; sedangkan rasa marah pada anak laki-laki ditandai dengan amukan atau menentang nilai-nilai moral. Anak perempuan ketika marah cenderung menyalahkan diri sendiri karena mereka khawatir kemarahannya akan membahayakan orang lain dan merusak hubungan dengan orang lain (Chesney, 2004). Orang tua otoritatif yang menunjukkan sikap simpatik, hangat dan mendukung akan membantu anak perempuan jenius agar dapat mengatur emosi secara efektif sehingga termotivasi untuk belajar dan berperilaku menurut harapanharapan orang tua sehingga mampu membuat keputusan moral dengan baik. Ketika melakukan penalaran moral, anak berpikir mengenai soal-soal moral berdasarkan motivasi yang ada di dalam diri individu yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk pilihan di dalam melakukan penalaran moral. Sebaliknya orang tua otoriter yang cenderung keras dan sering menerapkan disiplin yang keras, bagi anak perempuan yang sensitifitas emosinya tinggi akan membuat anak perempuan menyimpan perasaannya dan keinginannya padahal ketika orangtua memberikan tuntutan dan harapan seharusnya memberikan penawaran alasan atau pembenaran sehingga menyebabkan anak perempuan beresiko mengalami lebih banyak konflik sosio kognitif yang pada gilirannya berpengaruh terhadap perkembangan penalaran moralnya. Orang tua melalui tindakan dan contoh mempengaruhi anak laki-laki dan perempuan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma moral yang ada dalam lingkungan budayanya (Sears, 1994). Terjadinya perubahan-perubahan psikologis pada siswa perempuan jenius ini sebagai akibat dari adanya konflik antara kebu12 JURNAL AL – IRSYAD Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2014 ISSN: 2088 - 8341 tuhan psikologis dengan pengharapan masyarakat terhadap peran gender, anak perempuan sejak kecil belajar dari keluarganya, sekolah, dan media massa mengenai perilaku yang dapat diterima kelompok (keluarga, sekolah, dan masyarakat), dan anak perempuan jenius juga mempelajari hal-hal yang ditolak kelompoknya, dan ia berusaha untuk menghindarinya (Widyorini, 1995). Orang tua memiliki kecenderungan bertindak berbeda terhadap anak lakilaki dan perempuan dalam berperilaku yang sesuai dengan nilai moral yang berlaku dalam masyarakatnya, dimana ketika menerapkan pola asuh orang tua memiliki harapan-harapan perilaku tertentu menurut jenis kelamin anaknya sehingga memungkinkan anak laki-laki dan perempuan mendapatkan kesempatan alih peran yang berbeda di dalam pembelajaran moral. Maka anak-anak pun belajar bersikap dan berperilaku yang sesuai dan tidak sesuai dengan perilaku gender melalui observasi dan peniruan dari perbedaan perlakuan orang tua terhadap anak laki-laki dan perempuan. Anak perempuan akan mengobservasi perilaku yang diharapkan orang tua menurut peran jenis kelaminnya dan demikian pula anak laki-laki. Namun demikian, suatu lingkungan tertentu akan memiliki pengaruh yang berbeda tergantung pada kecenderungan-kecenderungan anak laki-laki dan perempuan dalam membangun versi mereka sendiri tentang pola -pola perilaku secara aktif. Dalam kehidupan sehari-hari, anak laki-laki dan perempuan menggunakan bakat dan dorongan dasar mereka dengan cara yang ada kaitannya dengan jenis kelamin. KESIMPULAN Penanaman nilai kepada anak dilakukan melalui penanaman kebiasaan, yang akan berakumulasi menjadi kepribadian anak dan muncul dalam bentuk penalaran dan perilaku moralnya. Model dari orangtua di dalam mensosialisasikan dan menerapkan pembelajaran moral pada anak laki-laki dan perempuan dalam kondisi tertentu mendukung terjadinya perbedaan perkembangan penalaran moral antara anak laki-laki dan perempuan. 13 JURNAL AL – IRSYAD Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2014 ISSN: 2088 - 8341 Pembagian peran berhubungan dengan hal-hal apa yang boleh dilakukan dan siapa yang boleh melakukan mempengaruhi pemahaman mengenai partisipasi masing-masing jenis kelamin dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian ketika terjadi suatu ketidakseimbangan peran yang diperoleh dari status antara anak laki-laki dan anak perempuan, pada akhirnya akan mempengaruhi kognitif yang berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap perkembangan penalaran moralnya. Dalam mengajarkan pesan-pesan moral disarankan bagi pendidik hendaknya mengembangkan strategi mengajar yang tepat yang dapat mengembangkan aspek positif bagi anak jenius dengan (a) menghindari stereotip peran jenis kelamin; (b) memberi dorongan bagi anak jenius untuk independen dan berani mengambil resiko; (c) membimbing mereka dalam perilaku problem solving dan strategi pengambilan keputusan. Bagi orang tua, hendaknya hendaknya menghindarkan pola pengasuhan atau tuntutan (harapan) yang berbeda bagi anak laki-laki dan perempuan dan membantu mereka menetapkan batasan-batasan dalam membuat keputusan moral secara tepat sehingga terhindar dari masalah penyesuaian sosial. DAFTAR PUSTAKA Chesney, Meda., Lind., Pasko, Lisa. 2004. Girls, Women And Crime : Selected Reading. London : Sage Publication Deleeuw, N. S. 2002. Gifted Preschoolers : Parent and Teacher View on Identification, Early Admission and Programming. Rooper Review, 21. Gallucci Nicholas, T. 1999. Intellectually Superior Children and Behavioral Problems and Competence. Roeper Review, 22. Gross, Miraca U.M. 1998. The “Me” Behind the Mask: Intellectually Gifted Students And The Search For Identity. Roeper Review, 20. Munandar, Utami. 1994. Pengembangan Kreativitas Anak Jenius. Jakarta : Rineka Cipta. 14 JURNAL AL – IRSYAD Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2014 ISSN: 2088 - 8341 Nurhayani. 2007. Penalaran Moral Anak Berinteligensi Tinggi Ditinjau Dari Pola Asuh Orang Tua. Tesis. (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. Shapiro, Lawrence E. (1997). Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak.terj. Alex Tri Kantjono W. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama Smith, J. David. Alih bahasa : Dennis. 2006. Inklusi : Sekolah Ramah Untuk Semua. Bandung : Nuansa Walker, L. J. & Hennic, K. H. 1999. Parenting Style and the Development of Moral Reasoning. Journal of moral education, 28 (3), 360-374 Wandasari, Yettie. 2004. Peran Dukungan Orang Tua Dan Guru Terhadap Penyesuaian Sosial Anak Jenius Intelektual. Jurnal Provitae, 1, 29-41 Widyorini, Endang. Perempuan Berbakat Dalam Budaya Jawa. Tesis. (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. 15 JURNAL AL – IRSYAD Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2014