Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Sĕkar Cina Gambuh: Anomali Metrum Gambuh pada Teks Swara Sĕstra Sekar Cina Gambuh: An Anomaly of Gambuh Song Pattern in Swara Sestra Text Fajar Wijanarko Museum Negeri Sonobudoyo Jl. Trikora/Pangurakan No. 6 Yogyakarta Ponsel: 628975802008, Pos-el: widjanarko.fajar@gmail.com Naskah masuk: 14 Maret 2018, disetujui: 28 Mei 2018, revisi akhir: 19 Juni 2018 DOI: https://dx.doi.org/10.26610/metasastra.2018.v11i1.17—30 Abstrak: Penulisan sastra kapujanggan umumnya berhubungan dengan metrum sebagai aturan kepenulisannya. Meski demikian, kajian mengenai metrum justru jarang ditemui. Padahal jika diperhatikan, banyak metrum yang belum diketahui atau bahkan hilang seiring dengan hilangnya sastra tersebut. Pada penelitian ini, tujuan utama yang akan dicapai adalah pengungkapan metrum Cina Gambuh dalam teks Swara Sĕstra sebagai anomali dari metrum Gambuh. Hal ini dilakukan dengan mengedepankan disiplin keilmuan filologi dan metode kodikologi. Sementara tahapan kodikologi dilakukan dengan membandingkan corak aksara pada teks Swara Sĕstra dengan teks lain dalam satu skriptorium Pakualaman guna mengidentifikasi teks. Hasil lain penelitian ini kemudian mampu memperkaya varian metrum Gambuh yang telah ada. Lebih lanjut dipahami bahwa anomali metrum tersebut merupakan bentuk kreativitas dari carik bernama Jayengminarsa di Pakualaman. Kata kunci: Metrum Macapat, Filologi, Gambuh, Jayengminarsa, Pakualaman Abstract: The writing of sastra kapujanggan (poetry literature) is always used the meter as rule should be obeyed. However, the study of meter as the rules poetry is rarely found. If we are given the necessary attention, there are many meters that have not been identified or it lost along with the loss of literature. The main aim of this research is to reveal the Cina Gambuh meter in the text of Swara Sĕstra as an anomaly meter of Gambuh song pattern. This study is done by focusing on discipline of philology and codicology as the method. While, the method of codicology is done by comparing an alphabet pattern of the Swara Sestra with another text from Pakualaman's scriptorium in a similar script style to identify the text. The other aim of this study is to identify another variety meter and add the list meter of Gambuh. At the end of the study, the anomaly song pattern of Gambuh, in fact, is a creativity of the writer Jayengminarsa from Pakualaman. Key words: Macapat Poetic Meter, Philology, Gambuh, Jayengminarsa, Pakualaman 1. PENDAHULUAN Sastra kapujanggan merupakan tradisi tulis istana yang menggunakan kaidah metrum macapat sebagai aturan penulisan. Aturan ini berhubungan langsung dengan tradisi sebelumnya, yaitu tradisi lisan yang menggunakan nyanyian atau tĕmbang sebagai media dokumentasi budaya (Endraswara, 2005). Sulitnya penulisan sastra tersebut berdampak pada regenerasi pujangga yang rendah. Bahkan, selama 20 dasawarsa-semenjak awal abad XVIII hingga akhir XIX--hanya tercatat 13 tokoh pujangga besar, termasuk di antaranya METASASTRA Jurnal Penelitian Sastra, Vol. 11, No. 1, Juni 2018: 17—30 2 raja Surakarta Paku Buwana II dan Paku Buwana IV. Beberapa pujangga besar yang dicatat oleh Margana, di antaranya Pangeran Adilangu II (Pujangga masa Paku Buwana I, era Kartasura), Carik Braja (wafat 1751), Raden Ngabehi Yasadipura I (1729-1803), Raden Ngabehi Yasadipura II (1756-1844), dan Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) (Margana, 2004). Pujangga istana demikian oleh Zoetmulder kemudian disebut dengan kawindra rajya yaitu sebagai penggerak roda sejarah sekaligus pemberi tauladan1 melalui sastra karangannya kepada masyarakat di zamannya (Zoetmulder, 1985, 2011). Tidak mengherankan apabila upaya regenerasi penulis sastra kapujanggan kemudian menjadi tidak mudah. Kembali pada pembahasan metrum macapat sebagai kaidah penulisan sastra istana. Pigeaud mengidentikkan metrum yang ada setelah periode setelah Jawa Kuna dan Jawa Tengahan sebagai kaidah penulisan teks tembang dengan menitikberatkan pada penggunaan vokal atau guru lagu. Kemudian bagian ini menjadi cikal bakal perumusan aturan baku penulisan teks menggunakan macapat atau disebut periode Jawa Baru. Arja Wiraga dalam tulisan Pigeaud yang berjudul Pathokaning Nyĕkaraken, menerangkan bahwa terdapat 20 metrum macapat sebagai aturan baku yang sebagian sudah tidak dijumpai metrumnya2 (Pigeaud, 1970). Sementara, Ranggawarsita dengan narasi lebih kuat menuliskan 51 macam metrum macapat termasuk di dalamnya terdapat metrum Tĕngahan dan Kakawin pada buku Mardawalagu. Kuantitas metrum yang berhasil ditelusuri oleh Ranggawarsita sebagian besar cenderung telah hilang dari ingatan pujangga setelahnya3. 18 Metrum-metrum demikian cenderung rumit dan sulit untuk ditembangkan, lantas mulai ditinggalkan (Ranggawarsita, 1957). Akhirnya, penulisan sastra atau teks-teks istana dewasa kini hanya mengenal 15 metrum, termasuk metrum macapat4, tĕngahan, dan agĕng, yang dituliskan oleh Padmosoekotjo dalam bukunya Ngengrengan Kasusastran Djawi, terbitan setelah kemerdekaan Indonesia 1945 (Padmosoekotjo, n.d.). Keduanya, baik Pigeaud maupun Ranggawarsita telah menuliskan metrum-metrum yang sama dengan yang ditulis oleh Padmosoekotjo. Namun, perbedaan yang kentara ditunjukkan pada identifikasi metrum Gambuh dari ketiganya. Padmosoekotjo menulis Gambuh dengan metrum 7u-10u-12i-8u-8o. (Padmosoekotjo, tanpa tahun: 23—24). Sementara dalam tulisan Pigeaud diungkapkan bahwa terdapat 2 versi metrum Gambuh. Pertama adalah metrum yang serupa dengan tulisan Padmosoekotjo dan yang kedua bermetrum 8u-12u-12i-8u-8o (Pigeaud, 1970). Berbeda lagi dengan tulisan Ranggawarsita yang menyebutkan bahwa metrum Gambuh memiliki 7 varian yang berbeda. Metrum tersebut kemudian dikenal dengan nama Gambuh kapisan, Gambuh kapindho, Gambuh Katĕlu, Gambuh kaping pat, Gambuh kalima, Gambuh kaping nĕm, dan Gambuh kapitu. Dari ke-7 varian metrum Gambuh yang dituliskan oleh Ranggawarsita, terdapat persamaan metrum Gambuh yang dituliskan oleh Padmosoekotjo dan Pigeaud yaitu metrum Gambuh kaping pat ‘Gambuh keempat’ (7u-10u12i-8u-8o). Meski demikian, pujangga terakhir ini tidak menuliskan metrum Gambuh yang kedua versi Pigeaud dan metrum Gambuh kĕtawang (12a12a-12a-12a) yang ditemukan oleh Behrend pada Susuluk Sajatining Salat Fajar Wijanarko: Sékar Cina Gambuh: Anomali Metrum Gambuh$ karya Pangeran Sastrawijaya, (SMP/KS.461.16, pp 189—190). Menurut Behrend dalam tulisannya List of Metres in Javanese Text yang tidak diterbitkan, Gambuh kĕtawang sama sekali tidak dicatat, baik oleh Winter ataupun Ranggawarsita. Metrum ini dapat dikategorikan sebagai varian baru pada guru lagu atau vokal macapat “neither Winter nor Rangawarsita mention this meter. There is some variability in guru lagu”. Persoalan menarik muncul ketika selepas pujangga Ranggawarsita masih ditemukan varian metrum Gambuh di luar seluruh varian metrum Gambuh yang ada. Bahkan metrum ini ditemukan dalam teks skriptorium Pakualaman di Yogyakarta. Melalui pendekatan filologi, kekhasan metrum Gambuh yang terdapat dalam teks Swara Sĕstra dengan nama Sĕkar Cina Gambuh akan diungkapkan. Adanya sifat tembang yang tidak dipatuhi dalam penulisan teks pun akan dimunculkan sebagai bentuk kreativitas pujangga di Pakualaman. Pada akhirnya, temuan metrum Cina Gambuh mampu menambah daftar panjang varian baru dari metrum Gambuh. Di samping itu, metrum Cina Gambuh dapat mengidentifikasi bentuk kreativitas pujangga yang tidak harus patuh terhadap sifat tembang saat menuliskan teks. aparat kritik sebagai pertanggungjawaban penyunting terhadap data penelitian secara terbuka (Soekatno, 2013). Usai melalui tahap recensio dan examiasio, persoalan lain muncul sebab teks objek tidak bertarikh. Kondisi ini menuntut peneliti bekerja dengan kodikologi untuk mengetahui masa kepenulisan teks. Kerja kodikologi dilakukan dengan membandingkan beberapa aspek. Pada kasus ini, instrumen pembandingnya adalah kertas Eropa sebagai media tulis, corak aksara, dan tanda air pada kertas. Sementara, naskah-naskah pembanding berasal dari skriptorium yang sama, yaitu skriptorium Pakualaman. Beberapa naskah yang digunakan sebagai pembanding dari naskah objek di antaranya, Kyai Sĕstradilaras, untuk memperkirakan tarikh penulisan pada teks objek. Selanjutnya, teks-teks lain seperti Babar Palupyan, Sĕstra Agĕng Adidarma, dan Sĕstradisuhul berperan dalam mengidentifikasi carik (penulis teks) dengan melihat guratan aksara yang dihasilkan. Hipotesis sementara bahwa carik yang menulis teks obyek adalah Jayengminarsa. Jayengminarsa adalah carik yang mengabdi sejak masa pemerintahan Paku Alam II (1829— 1858) hingga Paku Alam V (1878-1900). Dengan demikian, tidak dimungkiri apabila Jayengminarsa banyak menulis naskah di Pura Pakualaman. 2. METODE PENELITIAN 3. Metode kerja filologi pada teks Swara Sestra diawali dengan recensio, yaitu telaah teks dengan mengumpulkan berbagai varian data melalui studi katalog. Kemudian adalah examinasio, yaitu penyuntingan dan penafsiran teks melalui terjemahan (Reynolds, L.D. and Wilson, 1978). Pada tahap penyuntingan, dibubuhkan pula 3.1 Jayengminarsa sebagai Carik Penelusuran tarikh penulisan teks Swara Sĕstra membuahkan hipotesis bahwa Jayengminarsa sebagai carik tunggal. Temuan ini kemudian menjadi dasar untuk membaca sejarah kepenulisan di Kadipaten Pakualaman. Puncak produksi teks terjadi di era Paku Alam II (1830— HASIL DAN PEMBAHASAN 19 METASASTRA Jurnal Penelitian Sastra, Vol. 11, No. 1, Juni 2018: 17—30 1858). Kondisi ini berkaitan dengan situasi politik di era Paku Alam II5 yang cenderung tenang. Bahkan sejak berkedudukan sebagai putra mahkota, Suryaningrat (calon Paku Alam II) telah dibiasakan untuk mendengarkan dan melantunkan teks-teks babad. Kebiasaan ini terus berlanjut setelah Suryaningrat pada 4 Januari 1830 naik tahta sebagai Paku Alam II. Hal ini ditulis pada Babad Pakualaman Jilid II:190 (Saktimulya, 2016b). yen ing dalĕm sabĕn ari anjĕnĕngi gladhi ringgit tiyang utawi myarsakakĕn maos yen nuju kendĕl dintĕn Jumungah Apabila di rumah, setiap hari menunggui latihan wayang orang atau mendengarkan pembacaan (teks). (Hal ini) tidak dilakukan pada hari Jumat. Beberapa naskah yang menjadi perhatian untuk didengarkan dan didiskusikan teksnya oleh Paku Alam II di antaranya: Sĕrat Ambya, Tajusalatin, Sĕstra Agĕng Adidarma, hingga Hikayat Sri Makutha. Pada catatan lain, dikatakan oleh Saktimulya (2016) bahwa tidak hanya naskah tersebut tetapi terdapat lebih banyak teks-teks lain yang didiskusikannya. Pada malam hari saat Garĕbĕg Sawal, para penghulu, kerabat Pakualaman, dan sejumlah kerabat dari kasultanan menghadap Paku Alam II. Mereka antara lain diberi suguhan acara macapatan. Melalui tradisi macapat dan seni bertembang, PA II mengolah rasa dengan media seni sastra, sekaligus sebagai upaya melestarikan piwulang leluhur (Saktimulya, 2016b). Pada produksi teks setelahnya, yang dimungkinkan pada era PA III, tradisi macapatan terus dilestarikan sebagai media penanaman nilai-nilai sěstra. 20 Sěstra winarna ngun kawula, ing sakanca kula sami, jrihing kaabdekěn samya, atur pagujěngan gusti, swara sěstra artining, sěstra swara těgěsipun, swara yen tan mawi sěstra, mung swara sěstra upami, měling kěcap kados pundi tĕtelanya. Dikisahkan (ajaran) sěstra padaku, juga pada temanku, rasa takutnya diabdikan untuk sesama, (yakni bagai) ucapan senda gurau tuan. Arti dari swara sěstra, adalah (ajaran) sěstra yang dijelaskan dengan suara, jika suara tanpa menggunakan sěstra, hanya ibarat suara (tanpa) ajaran. Berpesanlah (dengan) dengan suara bagaimana kejelasannya. Suara tanpa nilai-nilai sěstra seolah hanya suara, semata-mata hanya tembang “swara yen tan mawi sěstra, mung swara sěstra upamistra”, tetapi setelah bermuatan sěstra menjadi bernilai piwulang luhur. Pada teks tersebut ditulis pula aturan gending yang digunakan untuk melantunkan tembangnya. Gendingnya bernama Girang-girang, dengan metrum Sinom (Swara Sěstra: 141). Pemaknaan mengenai tradisi sěstra sebagai polapola piwulang secara mandiri telah didefinisikan oleh Saktimulya, sěs berarti “rasa yang tinggi” dan tra adalah “sarana nyata”. Pemahaman demikian lantas diterjemahkan bahwa sěstra mampu melahirkan konsep cita rasa yang tinggi, yang diwujudkan melalui sarana nyata (Saktimulya, 2016a). Di balik suburnya produksi teks Pakualaman terutama di masa Paku Alam II, tidak terlepas dari abdi juru tulis (carik) dan juru gambar, salah satunya adalah Jayengminarsa. Semenjak pemerintahan Paku Alam II hingga Paku Alam V, Jayengminarsa yang semula bernama Mas Pancareja setia mengabdi sebagai juru tulis. Fajar Wijanarko: Sékar Cina Gambuh: Anomali Metrum Gambuh$ Berawal sebagai abdi dalĕm magang, tugas pertama Jayengminarsa yang mulanya bernama Pancareja adalah mencatat status tanah kepemilikan Pakualaman atas permintaan residen Yogyakarta. Pada Babad Pakualaman Jilid II, diceritakan Pancareja selanjutnya diikutkan pada van Nes (residen Yogyakarta pada 1827—1830 dan 1830-1832) untuk mendapatkan guru Jawa, sekaligus mencari pengalaman seluas-luasnya sebab akan bermanfaat bagi pengembangan dirinya. Di bidang seni, Pancareja diberi tugas sebagai pelantun kandha pada peragaan wayang orang dengan lakon Bĕgawan Ciptaning Mintaraga. Pancareja dianggap memiliki kemampuan dalam menyusun kalimat dan artikulasi yang jelas oleh Paku Alam II. Kemahirannya dalam berkesenian selanjutnya membuatnya diangkat dari magang menjadi lurah. Pengangkatan itu, sekaligus mengubah nama Pancareja menjadi Mas Lurah Pancasuwarna (Saktimulya, 2016b). Perjalanan pengabdian Pancareja di kadipaten semakin membawanya pada kedudukan yang terpandang. Di sekitar tahun 1841, Paku Alam II memberinya gelar raden sehingga namanya berubah lagi menjadi Raden Mas Lurah Pancasuwarna. Ia juga dihadiahi istri oleh Paku Alam II bernama Resminingdyah, seorang selir PA II yang sudah berputra satu, bernama R. M. Saparja. Ayah dari Pancareja pun diangkat sebagai riya (sebutan bagi orang yang diluhurkan) karena jasa dari anaknya. Sepeninggal ayahnya, Pancareja lantas mengelola daerah Brosot, Adikarta yang dahulu dikelola ayahnya. Pancareja juga membangun hubungan dengan penguasa kadipaten dengan sangat baik. Kondisi ini membuatnya dianggap sebagai bagian dari keluarga (sĕntana dalĕm Pakualaman) sehingga sering diutus oleh Paku Alam II untuk mewakilinya dalam acara kekeluargaan. Di era Paku Alam III, Pancareja menjalankan tugas dengan porsi yang sama. Paku Alam III pun menempatkan Pancareja sebagai juru tulis yang terhormat. Di samping menuliskan surat-surat perintah Paku Alam II, ternyata Pancareja juga menulis beberapa naskah (teks) yang secara jelas mencantumkan namanya, di antaranya: Sĕstra Agĕng Adidarma (1841), Sĕstradisuhul (1847), dan Babar Palupyan (tidak diketahui tahun pastinya dalam teks). Pancareja menyebut dirinya bukan sebagai Raden Mas Lurah, melainkan menggunakan nama cariknya yaitu Raden Panji Jayengminarsa. Di akhir tahun 1858 (sebelum Paku Alam II mangkat), Paku Alam II meminta kepada residen Yogyakarta agar mengizinkannya untuk menganugerahi Jayengminarsa dengan sebutan Tumenggung. Beberapa bulan setelah Paku Alam III bertahta, gelar Raden Tumenggung resmi disandang oleh Jayengminarsa (Saktimulya, 2016b). Pada masa pemerintahan Paku Alam III, Jayengminarsa diangkat menjadi patih. Meskipun bersedia, Jayengminarsa terlebih dahulu mengajukan syarat agar selama menjadi patih, segala keputusan yang diambil oleh Paku Alam III terlebih dahulu hendaknya dirundingkan dengannya. Hal ini jelas bertujuan agar tidak terjadi kesewenangan atas segala kebijakan yang diambil oleh pemimpin kadipaten tersebut. Posisinya sebagai tangan kanan Paku Alam III, tampaknya turut membentuk alur tata pamong di Pakualaman. Salah satu bentuk sumbangsihnya di Pakualaman yaitu dengan mendidik R.M. Natawilaya (kelak menjadi Paku Alam V) sebagai pribadi yang luhur budi. Hasil didikannya tersebut menjadikan 21 METASASTRA Jurnal Penelitian Sastra, Vol. 11, No. 1, Juni 2018: 17—30 Natawilaya sebagai pengganti pejabat sementara di Adikarta, atas mandat dari Paku Alam III. Di akhir pemerintahan Paku Alam III, Jayengminarsa menjadi sosok yang bertugas memimpin upacara pemakaman raja ketiga dari Kadipaten Pakualaman. Pada kondisi yang sama, Jayengminarsa juga menjadi saksi dari penobatan Surya Sasraningrat, anak Nataningprang menjadi Paku Alam IV (Saktimulya, 2016b). Di masa pemerintahan Paku Alam IV (1864—1878) kedudukan Jayengminarsa sebagai patih tetap dipertahankan. Paku Alam IV menyapa Jayengminarsa dengan panggilan “paman” dan mengganti namanya menjadi Tumenggung Sasramijaya. Di samping itu, Jayengminarsa juga berperan sebagai penasehat keluarga Pakualaman, sehingga ia menjalankan fungsi ganda sebagai patih (penasihat kadipaten) sekaligus penasihat keluarga Pakualaman. Namun, hubungan Jayengminarsa dengan Paku Alam IV sempat memburuk saat dirinya secara tidak langsung menyetujui pernikahan Gusti Kanjeng (ibu dari Paku Alam IV) dengan Natawilaya. Keadaan ini berdampak pada pelemahan fungsi patih yang saat itu diduduki oleh Jayengminarsa. Pada akhirnya, Jayengminarsa memilih untuk mengundurkan diri sebagai patih dan disetujui oleh Paku Alam IV setelah menjabat lebih dari 9 tahun (Saktimulya, 2016b). Sepeninggal Paku Alam IV pada usia 37 tahun, tahta Pakualaman dilanjutkan oleh Natawilaya (Kangjeng Pangeran Suryadilaga, selanjutnya bergelar Paku Alam V). Berbagai budi baik yang diajarkan oleh Jayengminarsa senantiasa tertanam pada diri Paku Alam V. Oleh karena itu, selama masa pemerintahan Paku Alam V, segala kebutuhan 22 Jayengminarsa dan anak keturunannya akan ditanggung oleh raja. Keadaan ini membuat Jayengminarsa bersyukur dan mendoakan Paku Alam V agar menjadi raja yang bijaksana, sejahtera, dan mampu menjadi pengayom masyarakatnya (Saktimulya, 2016b). Jayengminarsa seolah menutup identitasnya pada teks Swara Sĕstra. Meskipun pada akhirnya diketahui bahwa sosok Jayengminarsa6 lah yang menulis teks objek dengan membandingkan corak aksara pada teks-teks terang. Beberapa teks yang digunakan sebagai pembandingnya, terutama teks produksi Jayengminarsa, di antaranya Sěstra Agěng Adidarma, Sěstradisuhul, dan Babad Palupyan. Terdapat pula teks lain yaitu Kyai Sěstradilaras yang merupakan produksi Jayengminarsa di akhir pemerintahan Paku Alam III atas perintah dari Paku Alam IV, saat masih menjadi putra mahkota. Teks tersebut selesai ditulis pada awal pemerintahan Paku Alam IV “Purwaningkang tĕmbang kidung, karsanira Kangjĕng Gusti, kang jumĕnĕng ping sĕkawan […]”7 (Febriyanto, 2012) Terungkapnya Jayengminarsa sebagai carik memberi pandangan baru tentang kreativitasnya terhadap metrum macapat. Hal ini dikarenakan belum ditemukan keterangan jelas mengenai metrum Sĕkar Cina Gambuh dari beberapa pujangga pendahulunya. Ranggawarsita sebagai pujangga terakhir hanya mengidentifikasi metrum Gambuh menjadi 7. Sementara Pigeaud dan Behrend menambahkan variasi baru di luar ketujuh catatan Ranggawarsita, yaitu Gambuh Ketawang. 3.2 Sekar Cina Gambuh Di awal penelitian terhadap teks ke-148 Swara Sĕstra, diketahui bahwa terdapat anomali metrum Gambuh Fajar Wijanarko: Sékar Cina Gambuh: Anomali Metrum Gambuh$ yang ditemukan pada halaman 137— 140. Pada teks tersebut, secara jelas ditulis bahwa metrum tembang yang digunakan adalah Sĕkar Cina Gambuh. Fakta baru dalam penelitian ini yang mengherankan adalah munculnya metrum baru di antara teks dari skriptorium Pakualaman yang kurang memiliki banyak varian metrum. Berbeda halnya dengan di Keraton Surakarta. Pada tulisan pujangga terakhir Ranggawarsita, terdapat 51 metrum macapat, termasuk bentuk tengahan dan kakawin yang digunakan sebagai aturan tulis naskah. Keadaan ini menunjukkan bahwa dalam segi variasi metrum, pujangga-pujangga di Surakarta memiliki ruang yang luas untuk berkreasi. Sementara di Yogyakarta, metrum-metrum yang digunakan memiliki kecenderungan berulang. Behrend pada sebuah ringkasan penulisan metrum mengamini hal ini, sebab dibandingkan dengan varian metrum yang ditulis oleh Ranggawarsita data yang ditemukan olehnya hanya seperempatnya. Fakta demikian selanjutnya menimbulkan pertanyaan, bagaimana anomali metrum Gambuh muncul pada teks produksi skriptorium di kawasan Yogyakarta. Letak geografis yang memisahkan bagian Surakarta dan Yogyakarta semestinya memberi jarak pula pada tradisi tulis keduanya. Persilangan budaya dan pertukaran informasi meski masih dimungkinkan, tetapi pasti dalam kadar yang sangat jarang. Kemudian bagaimana Pakualaman menerima pengaruh metrum, yang ternyata tidak juga terdapat pada identifikasi Ranggawarsita. Bagian ini yang belum diketahui jawabannya. Namun, pada periode pemerintahan Paku Alam ke VII, titik singgung antara kadipaten ini dengan Kasunanan Surakarta akan lebih kentara9. Kembali pada pembicaraan mengenai Sĕkar Cina Gambuh. Pada teks objek, metrum ini berada pada pupuh kelima dari 8 pupuh metrum yang ada10. Pada umumnya, metrum Gambuh digunakan untuk menuliskan teks piwulang yang bersifat akrab, dapat diduga maksud ajarannya, serta ciri lainnya adalah menggunakan bahasa ngoko. Penggunaan bahasa ngoko dikarenakan sifat dari Gambuh yang dekat, terbiasa, dan akrab tanpa jarak (Padmosoekotjo, n.d.). Akan tetapi sedikit berbeda pada teks bermetrum Cina Gambuh, teks ini mendokumentasikan pelbagai genus sastra yang kecenderungannya bukan teks piwulang. Di dalam konteks pembicaraan ini, teks piwulang berkaitan dengan pedoman hidup dan nilai-nilai moral. Sementara teks ini berbicara dengan jelas varian-varian dari tanaman ladang yang banyak ditemui dan dimanfaatkan oleh masyarakat pada masanya. 3.2.1 Suntingan Teks Christomy dalam pandangannya menyebutkan bahwa fungsi dari suntingan selain untuk menangkap makna yang terkandung dalam teks, termasuk pula sebagai upaya penyelamatan suatu tradisi agar dikenal oleh kalangan yang lebih luas. Berdasarkan kepentingan tersebut, maka metode penyuntingan yang digunakan adalah metode perbaikan bacaan (Christomy, 2003). Pada tahap penyuntingan, akan diperoleh informasi metrum Cina Gambuh sebagai berikut 8u-8u-8i-7a-5o. Meskipun terdapat pula kesalahan metrum di beberapa bait, tidak memberi dampak apapun terhadap teks. Berikut merupakan suntingan teks dari pupuh Cina Gambuh. 23 METASASTRA Jurnal Penelitian Sastra, Vol. 11, No. 1, Juni 2018: 17—30 (1) Mětu maring jaba mangu, munglat lor kidul asampun, mangkene rasaning ati, larang sarywa tinuku, murah brěrongkos11. (2) Rong gobang oleh rong pincuk, enake ra jamak iku, gělaběd krěrasa kucir, kinokoh lawan sěga, sěgane golong. (3) Samběl dhěle jěruk purut, krěru(h.138)puk kělawan kěthak, trěrung tinutulan pětis, pindhang banyar myang kecap, dud ngombe nginang12. (4) Panganane tela pohung, tela pěndhěm tela kěnthang, wi gadhung lawan gěmbili, běcicing kimpul kajar, blimbing jruk kěprok13. (5) Jagung canthel jali jwawut, kěnthang kacang krai timun, pijětan srikaya manggis, duren nangka lan salak, sěmangka, sawo. (6) Pělěm pakel jěruk gulung, gědhang myang kětela gantung, kokosan kěpěl kuweni, klengkeng dhuwět rambutan, kěmluwa mlinjo. (7) Nangka sabrang (h.139) kleca mundhu, běndha, sarangan lan sěntul, tikěl balung lawan wuni, běkatak tamba rěksa, těbu widara14. (8) Janganan kelor lěmbayung, bu gori thokolan kangkung, kara wědhus kara kapri, gandarusa myang dhadhap, běsaran kroto. (9) Gudhe pacing krěmah katu, kobis buncis krokot lumbu, jlegor kěcipir myang turi, lung waluh gěndhayakan, sěledri terong. (10) Brambang pepe klenthang běstru, kara loke salam labu, pare ayam lan kuncahi, kluwih myang pare ula, bayěm tur bligo. (11) (h.140)Krowodan rawa cinatur, kang enak pinangan iku, jěmbak trate ale wlingi, těki gundha myang krěmah, sěmanggi bopong 3.2.2 Terjemahan Menerjemahkan merupakan tahap lanjut dari penyuntingan teks. 24 Menerjemahkan dipahami sebagai upaya dalam menafsirkan teks. Tujuannya adalah untuk menyajikan kandungan teks dengan menghilangkan segala kemungkinan jurang bahasa (Robson, 1994). Berikut merupakan terjemahan dari pupuh Cina Gambuh. (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Keluar, menuju luar (dengan) ragu, Setelahnya melihat ke utara (dan) selatan, demikian rasanya hati, (meski) mahal tetaplah dibeli, (lebih) murah brongkos Dua gobang mendapat dua pincuk enaknya tiada kepalang itu, gělaběd terasa hingga kucir, dikokohi dengan nasi, sěgane golong. nasinya (nasi) golong Sambal, kedelei, jeruk purut, kerupuk beserta sisa minyak kacang, terong dipalitkan dengan petis, ikan pindang banyar dengan kecap, merokok, minum (dan) mengunyah sirih, Makanannya singkong ubi jalar, ketela, kentang, uwi gadung, dan juga gembili, becicing, kimpul, kajar, belimbing (dan) jeruk keprok. Jagung, canthel, jali, juwawut, kentang, kacang, krai, timun, pijetan, srikaya, manggis, duren, nangka, dan salak, semangka, sawo. Mangga, pakel, jeruk gulung, pisang serta pepaya, kokosan, kepel, kuweni, klengkeng, duwet, rambutan, kemluwa, melinjo. Nangka sabrang, kleca, buah mundu, benda, buah sarangan dan pohon sentul, tikel balung dan (juga) wuni, bekatak pengobat (dan) penjaga, těbu, widara. Fajar Wijanarko: Sékar Cina Gambuh: Anomali Metrum Gambuh$ (8) Sayuran (daun) kelor, lembayung, labu, nangka muda, kecambah, (dan) kangkung, kara wedus, kara kapri. gandarusa dan daun dadap besaran (serta) bunga melinjo. (9) Gude, pacing, kremah, katu, kobis, buncis, krokot, daun keladi jlegor, kecipir, serta turi, batang waluh yang menjuntai, seledri (dan) terong. (10) Bawang merah, pepe, klentang, bestru, kara loke, daun salam, buah labu pare ayam serta kuncahi, kluwih serta pare ula, bayam, turi, bligo, (11) Sayur dan buah-buahan rawa yang dibicarakan, yang enak dimakan itu, jembak, teratai, ale, wlingi, rumput teki (dan) gundha serta krěmah semanggi berwarna hijau. Berdasarkan suntingan teks dan terjemahan dari pupuh Cina Gambuh, dapat diamati bahwa meski metrum tersebut tidak terdapat pada catatan beberapa peneliti sebelumnya, tetapi terdapat pola keteraturan di dalamnya. Metrum dengan pola penulisan 8u-8u-8i-7a-5o memiliki keunikan tersendiri dari metrummetrum Gambuh yang telah ada. Metrum ini jelas ditulis di luar kepatuhan yang dirumuskan oleh Padmosoekotjo. Gambuh sebagai metrum macapat digunakan untuk mengutarakan piwulang yang bersifat etik didaktik. Adapun pada dokumentasi Gambuh tersebut, nilai piwulang yang hendak disampaikan cenderung abu-abu, tidak terdapat kejelasan maksud. Di samping hal tersebut, terdapat pula kesalahan metrum dari beberapa bait (pada). Kesalahan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah ketidakkonsistenan dari penulis dalam menentukan diksi yang sesuai dengan guru lagu. Kesalahan ditemukan pada bait pertama, baris ke-4 yang seharusnya berakhir dengan 7a, tetapi justru 7u. Kesalahan lain terdapat pula pada bait ke-3, baris ke-2 yang seharusnya 8u tetapi justru 8a, sedangkan pada baris ke-5 yang seharusnya berakhir 5o tetapi justu 5a. Adapula pada bait ke-4, baris ke-2 yang seharusnya berakhir 8u tetapi justru 8a. Kesalahan terakhir terdapat pada bait ke-7, baris ke-5 yang seharusnya berakhir 5o tetapi justru 5a. Beberapa kesalahan tersebut dimungkinkan karena tidak terdapatnya padanan diksi yang sesuai dengan maksud dari penulis. 3.3 Catatan Anomali Metrum Gambuh Metrum Gambuh secara diakronis merupakan turunan dari metrum tengahan. Kenyataan ini berbeda dengan Gambuh sebagai metrum macapat. Akan tetapi, sesungguhnya sĕkar Gambuh ping catur sebagai metrum Gambuh kaping pat adalah bentuk penyederhanaan dari metrummetrum yang lainnya. Kartomi (1973) membenarkan bahwa metrum Gambuh adalah metrum tengahan yang diwariskan sejak tradisi kekidungan. The well-known Gambuh and Megatruh metres, which are often sung in kidung together with songs in matjapat metres, are regarded by some Javanese writers as belonging to the tengahan group (Kartomi, 1973). Mangunwidjaja dalam tulisan Kartomi mempertegas bahwa metrum Gambuh dahulu adalah metrum tengahan. Metrum ini menjadi bagian dari catatan para Wali saat mendokumentasikan piwulangnya 25 METASASTRA Jurnal Penelitian Sastra, Vol. 11, No. 1, Juni 2018: 17—30 dalam bentuk tembang macapat. “Pangkur by Sunan Murjapada, Kinanti by Sunan Padjang, and Maskumambang by Sunan Madjaagung. They also wrote tembang tengahan such as Gambuh, Megatruh, Balabak, Wirangrong, and Djurudemung15” (Kartomi, 1973). Berdasarkan fakta demikian, diasumsikan bahwa metrum Gambuh termasuk metrum tua yang secara turun-temurun diwariskan. Meskipun pada tradisi macapat kemudian hanya terdapat satu varian metrum saja16. Terlepas dari diakronis Gambuh, dipahami bahwa setiap metrum memiliki karakter masing-masing. Di awal ulasan telah dijelaskan bahwa Gambuh adalah metrum macapat yang berfungsi untuk merekam berbagai piwulang bagi masyarakat dengan sifat yang akrab (Padmosoekotjo, n.d.). Akan tetapi, Pigeaud mengidentifikasi bahwa Gambuh merupakan metrum yang memiliki arti pengalaman dan ahli. Metrum ini dalam tembang berhubungan dengan iringan tari tertentu (Pigeaud, 1967). Berdasarkan catatan Pigeaud, maksud dari arti Gambuh yang menjelaskan tentang pengalaman apabila dipahami saksama berkaitan dengan konsep piwulang. Pengalaman adalah bentuk paling sederhana dari piwulang. Dengan demikian antara Padmosoekotjo dan Pigeaud sebenarnya memiliki keseragaman cara pandang terhadap metrum ini. Gambuh sebagai metrum teks piwulang adalah benar adanya. Hal ini ternyata diutarakan pula oleh Sulistyo. Penelitiannya terhadap metrum Gambuh dalam Sĕrat Wedhatama, berhasil mengungkapkan tradisi sembah (worship) sebagai bentuk persembahyangan. Terdapat 4 konsep sembah yang dituliskan oleh Sulistyo, di antaranya: sĕmbah raga, sĕmbah cipta, sĕmbah jiwa, dan sĕmbah rasa. Kesemuanya mengajarkan pada 26 penghormatan baik terhadap diri sendiri, lingkungan, dan alam raya (Sulistyo, 2015). Sementara di Cornish College of the Arts memahami bahwa metrum Gambuh melalui Sĕrat Wulangreh karya Paku Buwana IV mengandung tema kekeluargaan dan nasehat atau piwulang. Ditambahkan bahwa pada umumnya tembang Gambuh merekam pelajaran dan nasehat bagi para pembacanya. “Gambuh usually includes themes of kinship, family, and advice or piwulang. This particular Gambuh gives advice or counsel”17 Berdasarkan penelusuran metrum-metrum Gambuh, maka dapat dikatakan bahwa Cina Gambuh adalah bentuk anomali metrum. Hal ini seolah memberi kelonggaran pada carik sehingga tidak menyepakati beberapa aturan tembang Gambuh. Namun, tidak dimungkiri bahwa anomali metrum ini menarik untuk disejajarkan dengan beberapa metrum Gambuh lainnya. Tidak hanya secara aturan kepenulisan, tetapi juga perbandingan dari khazanah isinya. Berikut merupakan tabel varian metrum Gambuh yang dapat diinventarisasi. Tabel 1. Tabel Varian Metrum Gambung Varian Gambuh Gambuh Kapisan Gambuh Kapindho Gambuh Kaping Tĕlu Gambuh Kaping Pat18 Gambuh Kaping Lima Gambuh Kaping Nĕm Gambuh Kaping Pitu Gambuh Kĕtawang19 Cina Gambuh Metrum 8a-8e-7a-10a-10a-8a 8u-8u-12a-8i-8o 8i-8o-12u-6a-7a-7a 7u-10u-12i-8u-8o 12u-6a-8i-8u-8i-8u-8o 8u-8a-9i-8u-12e 8u-8u-12i-8u-8o 12a-12a-12a-12a 8u-8u-8i-7a-5o Berdasarkan tabel di atas, dapat diasumsikan bahwa Cina Gambuh merupakan kreativitas dari Jayengminarsa. Beberapa hal yang Fajar Wijanarko: Sékar Cina Gambuh: Anomali Metrum Gambuh$ menjadi aturan penulisan dari tembang Gambuh juga tidak sesuai dengan metrum Gambuh secara umum. Perihal khazanah teks Cina Gambuh pun tidak sesuai dengan Padmosoekatja, Pigeaud, ataupun Behrend. Meskipun demikian, terdapat sisi menarik dari anomali metrum tersebut. Bagian terpenting adalah metrum ini merupakan identitas dari produksi naskah di Kadipaten Pakualaman. SIMPULAN Cina Gambuh merupakan anomali metrum Gambuh yang ditemukan dalam tradisi tulis Pakualaman. Metrum ini ditemukan pada teks Swara Sĕstra dengan ditulis sebagai pupuh sendiri pada halaman naskah 137—140. Metrum Cina Gambuh selanjutnya menjadi temuan baru dari daftar panjang metrum-metrum macapat yang telah diidentifikasi sejak Ranggawarsita hingga Padmosoekotjo. Di samping itu, hal yang menarik dari metrum Cina Gambuh justru terletak pada kreativitas carik-nya, Jayengminarsa. Carik yang hidup sejak periode pemerintahan Paku Alam II hingga Paku Alam V, menuliskan metrum ini di luar kaidah yang telah digunakan oleh para carik sebelumnya. Jayengminarsa dengan berani meminjam istilah Cina Gambuh untuk menuliskan catatan varianvarian tanaman ladang. Meskipun tidak mendokumentasikan piwulang seperti halnya metrum Gambuh pada umumnya, metrum ini justru membuka wacana baru tentang keberagaman metrum dalam teks lokal yang belum teridentifikasi. 2. 3. 4. 4. Endnotes 1. Pangeran muda Sutasoma bercerita, tidak ada sesuatu demikian yang disukainya daripada bergaul dengan 5. para kawi agar dapat mengambil mereka sebagai teladan dalam berbuat ‘tan saheng kawi rakwa kenaka nira n tuladĕn ing angikĕt pralãpita’ (Zoetmulder, 1985). Metrum-metrum yang telah langka di antaranya Kĕnya Kadhiri, Kulanthe, Lindur, Maesa Langit, dan Salobog (Pigeaud, 1970). Metrum yang dicatat oleh Ranggawarsita (selain yang telah ditulis oleh Pigeaud dan Padmosoekotjo) di antaranya: Kuswarini, Palugon, Kuswaraga, Kuswawirangrong, Sumĕkar, Rangsangtuban, Palugangsa, Pamiwalkung, Lonthang, Rangsang, Lambang, Lambangsari, Lonthangkasmaran, Ontanganting, Gambuh sapisan, Gambuh kapindho, Gambuh katĕlu, Gambuh kaping pat, Gambuh kaping lima, Gambuh kaping nĕm, Gambuh kaping pitu, Kadhirimiring, Halabhalab, Sumĕdhang, Serang, Jayaraga, Bawaraga, Parikarantan, Grĕjitawatang, Handul, Lelale, Mahesakĕtawang, Mahesajalamprang, Patralewo, Kurinjen, Sumyang, Kelingan, Pamungu, Raradenok, Onanganing, Kalajara (Ranggawarsita, 1957). Perubahan metrum dari tengahan menuju macapat tidak terlepas dari campur tangan para Wali. Pigeaud (1967) menyebutkan bahwa penggunaan metrum macapat awalnya ditemukan dalam tradisi kesusastraan Jawa pada masa kerajaan Islam ‘macapat metres first were used in Javanese written literature in the beginning of the Islamic period’(Pigeaud, 1967). Periode penggunaan metrum macapat ini terjadi pada abad ke-15 hingga abad ke-19, kemudian dengan sangat terbuka digunakan pula oleh Sultan Demak, Raden Patah pada periode abad ke-16 (Pigeaud, 1970). Dikarenakan kerajaan pada periode berikutnya bernafaskan Islam, metrum macapat terus dilestarikan. Di era Paku Alam II (1830-1858), segala pembangunan dan pengembangan kadipaten dilakukan, 27 METASASTRA Jurnal Penelitian Sastra, 6. 7. 8. 9. 28 Vol. 11, No. 1, Juni 2018: 17—30 termasuk usaha dalam memajukan kesusastraan. Berawal dari penggubahan kisah Baratayuda dalam berbagai gambar saat masih menjadi putra mahkota, lantas seusai naik tahta Suryaningrat (Paku Alam II) banyak memproduksi naskah (teks) antara lain Sěstra Agěng Adidarma, Sěstradisuhul, Babar Palupyan, Piwulang Estri (Saktimulya, 2016a). Jayengminarsa merupakan penulis teks Sěstradisuhul. Pada pupuh Sinom tertulis ‘dene abdine kang (ng)garap, wusdene ingkang ngladosi. Den Panji Jayengminarsa, craki pěthěl těměn tabri’. Abdi yang mengerjakan dan juga melayani adalah Raden Panji Jayengminarsa yang sangat rajin dan bersungguh-sungguh (Saktimulya, 2016b). Permulaan kidung tembang, (atas) kehendak Kangjeng Gusti (Paku Alam) keempat yang bertahta. Teks ini selanjutnya akan mengisahkan tentang kepiawaian Arjuna langênira risang Arjuna, satriya lananging bumi (Kyai Sêstradilaras: 10). Pada naskah Swara Sestra (St. 93) teks ke-14 sebagai obyek penelitian berada pada halaman 124-163 sebagai salah satu teks piwulang dari 5 teks yang terdapat naskah tersebut. Sementara 13 teks lainnya bersifat teks sastra sejarah (Wijanarko, 2015). Paku Alam (PA) VII menikah dengan BRA. Retno Puwoso, putri terkasih dari Sunan Paku Buwana (PB) X. Pernikahan politis ini terjadi pada Selasa Pon, 21 Besar Je 1838 (5 Januari 1909). Dari perkawinan PA VII dengan BRA. Retno Puwoso, lahirlah putra laki-laki bernama BRMH. Sularso Kunto, yang kelak akan menjadi PA VIII. Sunan PB X sangat senang atas kelahiran cucu laki-laki dari putri kinasihnya. Tidak tanggung-tanggung, PB X yang bergelar Sunan Sugih ini memberikan sepasang gamelan slendro-pelog bernama Kyai Raras Rum (slendro) dan Kyai Ruming Raras (pelog) dan sebilah keris bernama Kyai Anggrek, bukan kepada PA VII melainkan kepada calon PA VIII 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. (Poerwokoesoemo, 1985). Di kemudian hari, PB VIII meneguhkan identitas Kadipaten Pakualaman seirama dengan Kasunanan Surakarta. Inilah episode kadipaten dengan terus terang berkiblat pada kebudayaan Surakarta, meski berada pada kawasan Yogyakarta. Beberapa pupuh lain yang terdapat pada teks ke-14, naskah Swara Sestra di antaranya, a) Sinom, b) Megatruh, c) Gadhung Mlathi, d) Sinom, e) Cina Gambuh, f) Juru Demung, g) Mijil, h) Asmaradana (Wijanarko, 2015). Di samping metrum macapat yang digunakan sebagai aturan tulis pada teks, Saktimulya (2013) menyebutkan pula bahwa teks Swara Sestra ditulis pula dengan menggunakan metrum lagon, sehingga tidak mengherankan terdapat metrum Gadhung Mlathi. Terdapat kesalahan metrum pada baris (gatra) ke-4, seharusnya 7a tetapi justru 7u. Terdapat kesalahan metrum pada baris (gatra) ke-2, seharusnya 8u tetapi justru 8a, dan pada baris ke-5, seharusnya 5o tetapi justru 5a. Terdapat kesalahan metrum pada baris (gatra) ke-2, seharusnya 8u tetapi justru 8a. Terdapat kesalahan metrum pada baris (gatra) ke-5, seharusnya 5o tetapi justru 5a. Para Wali memiliki peran cukup besar dalam mewariskan tradisi pertembangan. Pigeaud menyatakan bahwa Para Wali juga yang membawa metrum tengahan dalam ruang lingkup metrum macapat. Di dalam hal ini, justru para Walilah yang menciptakan metrum macapat itu sendiri. “Accroding to Javanese historical tradition of Islamic period, among other elements of Javanese culture also the macapat metres were invented by the Walis” (Pigeaud, 1967). Di dalam catatan Roth, metrum Gambuh ditemukan dalam Babad Pajang sekaligus sebagai iringan tari, dan sangat dimungkinkan pula mendapatkan pengaruh dari pujian (nyanyian) penganut agama Budha (Roth, 1986). Fajar Wijanarko: Sékar Cina Gambuh: Anomali Metrum Gambuh$ 17. Gambaran perihal Gambuh dalam Sĕrat Wulangreh karya PB IV dikutip dari Booklet Cornish Music Series Laras Madya yang diselenggarakan di Cornish College of the Arts, Washington United State pada 19 April 2014. 18. Metrum Gambuh kaping pat juga dituliskan oleh Pigeaud pada Literature of Java volume III dan Behrend pada rangkuman List of Metres in Javanese Text. Namun, Pigeaud menambahkan bahwa metrum Gambuh kaping pat kerap 5. berubah menjadi 8u-12u-12i-8u-8o (Pigeaud, 1970). 19. Menurut catatat Behrend, metrum Gambuh Ketawang merupakan metrum tidak banyak ditemukan. Satu-satunya teks dengan metrum tersebut adalah Susuluk Sejatining Salat oleh Pangeran Sastrawijaya (Behrend, n.d.). DAFTAR PUSTAKA Behrend, T. E. (n.d.). List of Metres in Javanese Text. Auckland. Christomy, T. (2003). Wawacan Sama’un Edisi Teks dan Analisis Struktur. Jakarta: Djambatan. Endraswara, S. (2005). Tradisi Jawa Lisan: Warisan Abadi Budaya Leluhur. Yogyakarta: Narasi. Febriyanto, B. (2012). Kyai Sestradilaras Koleksi Perpustakaan Pura Pakualaman (Suntingan Teks, Terjemahan, dan Analisis Teks). Universitas Gadjah Mada. Kartomi, M. J. (1973). Matjapat Song in Central and West Java. Canberra: Australia National University. Margana, S. (2004). Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Padmosoekotjo. (n.d.). Ngengrengan Kasusastran Djawa (I). Yogyakarta: Hien Hoo Sing. Pigeaud. (1967). Literature of Java (Volume I). Hague: Martinus Nyhoff. Pigeaud. (1970). Literature of Java (Volume III). Den Haag: Martinus Nyhoff. Poerwokoesoemo, S. (1985). Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ranggawarsita. (1957). Mardawalagu. Solo: Sadu-Budi. Reynolds, L.D. and Wilson, N. G. (1978). Scribes and Scholars: A Guide to the Transmission of Greek and Latin Literature (Second Edi). New York: Claredon Press Oxford. Robson, S. O. (1994). Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Perpustakaan Nasional Indonesia dan Universitas Leiden. Roth, A. R. (1986). New Composition for Javanese Gamelan. Durham: University of Durham. Saktimulya, S. R. (2016a). "Memaknai Sestradi Melalui Iluminasi Naskah Koleksi Pura Pakualaman". In A. (Universitas G. M. Sudibyo dan Wulandari (Ed.), Warisan Keberaksaraan Yogyakarta: Naskah sebagai Sumber Inspirasi (pp. 69–87). Yogyakarta: Manassa Cabang Yogyakarta. Saktimulya, S. R. (2016b). Naskah-naskah Skriptorium Pakualaman Periode Paku Alam II (1830-1858). Yogyakarta: KPG; Ecole Francaise d’Extreme-Orient; Widyapustaka Pura Pakualaman. 29 METASASTRA Jurnal Penelitian Sastra, Vol. 11, No. 1, Juni 2018: 17—30 Soekatno, R. A. G. (2013). Kidung Tantri Kediri, Kajian Filologis Sebuah Teks dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sulistyo, E. T. (2015). "The Implicature of Tembang Gambuh in Serat Wedhatama and Its Significance for The Society". Humaniora, 27, 96–106. Wijanarko, F. (2015). Swara Sestra (Suntingan Teks dan Terjemahan). Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Zoetmulder. (1985). Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Yogyakarta: Djambatan. Zoetmulder. (2011). Kamus Bahasa Jawa Kuna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. DAFTAR NASKAH Babar Palupyan, 0005/PP/73 (Ll. 1), koleksi Perpustakaan Widyapustaka, Pura Pakualaman Yogyakarta. Kyai Sĕtradilaras, 0148/PP/73 (Ll. 30), koleksi Perpustakaan Widyapustaka, Pura Pakualaman Yogyakarta. Sĕstra Agĕng Adidarma, 0012/PP/73 (Pi. 35), koleksi Perpustakaan Widyapustaka, Pura Pakualaman Yogyakarta. Sĕstradisuhul, 0008/PP/73 (Pi. 36), koleksi Perpustakaan Widyapustaka, Pura Pakualaman Yogyakarta. Swara Sĕstra, 0181/PP/73 (St. 93), koleksi Perpustakaan Widyapustaka, Pura Pakualaman Yogyakarta. 30