Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Naskah Islam Nusantara

Penulisan naskah-naskah di Nusantara telah dimulai dari abad ke 7 hingga abad ke 19 dengan berbagai bahasa lokal yang didominasi oleh Arab Melayu, Pegon, dan Sunda untuk naskah-naskah keagamaan, disamping banyak juga bahasa yang lain. Penulisan telah dilakukan dengan berbagai media, baik kertas, lontar, daluang, dll. keberadaan Jaringan ulama Jama’at al-Jawiyyin di Haramayn telah mendorong tradisi besar penulisan dan penyalinan naskah Nusantara. Kepulangan para ulama dari Haramayn sera kiprahnya di Nusantara telah melahirkan tradisi naskah yang beragam yang menyimpan dinamika keislaman di daerah masing-masing.

Naskah Islam Nusantara: Naskah dan Intlektual Islam Nusantara Makalah untuk memenuhi tugas ujian akhir semester, STAINU Jakarta 2014 Oleh : Suhailid, SS. PENDAHULUAN Naskah tulisan tangan (manuscript) dapat dianggap sebagai salah satu representasi dari berbagai sumber lokal yang paling otoritatif dan paling otentik dalam memberikan berbagai informasi sejarah pada masa tertentu. Naskah merupakan salah satu warisan budaya bangsa di antara berbagai artefak lainnya, yang kandungan isinya mencerminkan berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat, serta perilaku masyarakat masa lalu. Oman Fathurrahman, Khazanah Naskah-naskah Islam Nusantara, http://oman.uinjkt.ac.id/2007/01/khazanah-naskah-naskah-islam-nusantara.html Tradisi penulisan berbagai dokumen dan informasi dalam bentuk manuskrip tampaknya pernah terjadi secara besar-besaran di Indonesia pada masa lalu, terutama jika dilihat dari melimpahnya jumlah naskah yang dijumpai sekarang, baik yang ditulis dalam bahasa asing seperti Arab dan Belanda, atau dalam bahasa-bahasa daerah seperti Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Bali, Madura, Batak, dll. Hal tersebut tampaknya mudah dipahami, terutama jika dikaitkan dengan belum dikenalnya alat pencetakan secara luas hingga abad ke-19, khususnya di wilayah Melayu-Nusantara. Munculnya tradisi besar pernaskahan Nusantara tidak lepas dari peran para intlektual Islam yang telah melahirkan karya-karya besar, lalu diserap dan menyebar di Bumi Nusantara. Makalah ini akan coba mengulas naskah islam Nusantara dengan fokus pada bahasan bagaimana penulisan, penyuntingan, dan penelitian terhadap naskah Islam Nusantara,dan bagaimana peran intlektual muslim dalam mendorong munculnya manuskrip dalam jumlah besar. PEMBAHASAN Pengertian Naskah Dalam Kamus Besar Bahasa Idonesia, kata naskah berarti ; karangan yg masih ditulis dng tangan, karangan seseorang yg belum diterbitkan, bahan-bahan berita yg siap untuk diseting. http://kbbi.web.id/naskah Kata naskah yang berasal dari kata bahasa Arab al-nuskhah mempunyai padanan kata bahasa Indonesia “ Manuskrip” yang berasal dari bahasa latin manu dan scriptus, dan secara harfiah berarti tulisan tangan (written by hand). Manuskrip biasa disingkat MS untuk naskah tunggal, dan MSS untuk naskah Jamak. Jadi manuskrip adalah dokumen yang ditulis tangan secara manual di atas sebuah media seperti kertas, papirus daluang, daun lontar, kulit binatang, dan lainnya. Uka Tjandrasasmita, dalam Filologi dan Islam Indonesia, Oman Fathurahman, Naskah pada umumnya ialah segala hasil tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan cipta, rasa, karsa manusia yang hasilnya di sebut hasil karya sastra, baik tergolong dalam arti umum maupun dalam arti khusus, yang semua merupakan rekaman pengetahuan masa lampau bangsa pemilik naskah itu. Asdi S. Dipodjojo, Memperkirakan Titimangsa Suatu Naskah, ( Yogyakarta: Penerbit Lukman Opset Yogyakarta, 1996 ) hal. 7 Dalam makalah ini kata naskah yang dimaksud adalah naskah dalam pengertian manuskrip yang menjadi khazanah kekayaan Islam Nusantara. Sejarah Perkembangan Naskah Islam Nusantara Penulisan Naskah Islam Nusantara Sejak abad ke 13 Nusantara telah didatangi oleh para ulama sufi yang pada proses penyebaran Islam telah banyak menghasilkan karya berbagai tulisan yang kini tersimpan dalam bentuk naskah, menyangkut ajaran-ajaran tasawuf yang disampaikan kepada masyarakat setempat. Azumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, ( Bandung : Penerbit Mizan, 1995) hal. 32 Seiring dengan masuknya Islam di Nusantara, kata dari bahasa Arab yang berjumlah hampir 15 persen dari kosa kata Indonesia. Bagian dari leksikon Melayu sejak abad ke-13, bahkan, menurut Oman Fathurrahman, Keberadaaan naskah tulisan tangan (manuscripts) tidak dapat dipisahkan dari tradisi besar Islam sejak abad ke-7 sudah mulai merembes ke Nusantara, sehingga dalam perkembangannya turut mendorong lahirnya tradisi besar penulisan sejumlah besar naskah-naskah keagamaan. Oman Fathurrahman, Filologi dan Islam Indonesia,(Jakarta: Puslitbang Lektor Keagamaan, Kementerian Agama RI, 2010 ) hal 101 Melaului tradisi ini, masyarakat Melayu-Nusantara mempunyai kebiasaan mencatatkan berbagai pemikiran dan hal-hal penting lainnya dengan tulisan Jawi (bahasa Melayu dengan aksara Arab), Pegon (bahasa Jawa dan Sunda dengan aksara Arab), di samping dengan bahasa Arab itu sendiri. Tulisan-tulisan tersebut dituangkan bukan saja di atas kertas bahkan dalam berbagai media lainnya seperti batu, daun lontar, kayu, tulang, tanduk, kulit hewan dan sebagainya. Oman Fathurrahman, Filologi... hal 102 Bahasa-bahasa lain yang banyak digunakan selain dua bahasa diatas seperti; Aceh, Bali, Madura, Batak, dll. Hal tersebut tampaknya mudah dipahami, terutama jika dikaitkan dengan belum dikenalnya alat pencetakan secara luas hingga abad ke-19, khususnya di wilayah Melayu-Nusantara. Keberadaan Naskah Islam Nusantara Di perpustakaan Nasional Jakarta, terdapat tidak kurang dari 1000 buah naskah Arab, sementara di dayah Tanah Abee, Seulimeum Aceh, terdapat tidak kurang dari 400 naskah. Dalam naskah keagamaan, naskah-naskah di Tanoh Abee ini layak mendapat perhatian khusus, selain karena semuanya bersifat agama. Di luar negeri, naskah-naskah Arab terdapat antara lain di Universitas Bibliotheek, Leiden, Belanda, yaitu sekitar 5000 buah naskah Arab. Selain itu meskipun bercampur dengan bahasa Melayu terdapat sekitar 700-an naskah Arab di Muzium Islam Kuala Lumpur, Malasyia. Nabilah Lubis, Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi, ( Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia, 2007) hal. 6 Sebagian besar naskah di luar negeri yang sudah terinventarisir antara lain tersimpan di Belanda dan di Inggris, selain juga di Malaysia, Afrika Selatan, Sri Lanka, Jerman, Prancis, Rusia, dan di berbagai negeri yang lain. Selain di negara-negara yang sudah diketahui dan dipastikan menyimpan naskah-naskah nusantara tersebut, masih ada lagi beberapa negara yang diasumsikan memiliki koleksi naskah karena pernah mempunyai hubungan sejarah penting dengan Indonesia, seperti Cina, Portugal, India, dan Jepang. Dalam sebuah sumber misalnya, disebutkan bahwa seorang pengembara Cina, I-Tsing, pada tahun 695 M pernah membawa tidak kurang dari 4000 salinan naskah yang diperolehnya ketika selama 4 tahun tinggal di Palembang, Sumatra Selatan. Menurut Dasrizal MA, Kepala Bidang Bina Program Penelitian, Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, karya-karya ulama daerah itu banyak terlupakan. Naskah-naskah yang mereka tulis hanya sebagian yang berhasil dibukukan. Sisanya, tak sempat disusun menjadi sebuah buku. Karena minimnya perhatian terhadap karya-karya klasik ulama tersebut, sebagian besar hilang dan tak jelas rimbanya. Sebagian lagi, naskah mereka ada yang berada di luar negeri, seperti Belanda, Prancis, Inggris, Jerman, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Republika.co.id, http://serbasejarah.wordpress.com/2010/05/05/naskah-kuno-islam-nusantara-ternyata-begitu-berserakan/ Beberapa yang tersisa di Indonesia, tercecer ke mana-mana. Ada yang masih dimiliki ahli waris, ada yang terpendam, dan ada pula yang diperjualbelikan. Naskah yang baru berhasil diselamatkan hanya sekitar 600 naskah Islam klasik karya ulama nusantara. Karya-karya itu berisi tentang ilmu pengetahuan, ajaran, dan syair. Di antaranya berisi tentang ketuhanan, ajaran budi pekerti, sejarah, cerita rakyat (dongeng, legenda), teknologi tradisional, mantra, silsilah, jimat, syair, politik, pemerintahan, undang-undang, hukum adat, pengobatan tradisional, dan hikayat. Kini, naskah-naskah itu telah dijilid dengan baik dan didigitalisasi oleh Puslitbang Lektur Keagamaan, Balitbang Depag. Sebagian tersimpan di perpustakaan nasional dan beberapa ahli waris. Republika.co.id http://serbasejarah.wordpress.com/2010/05/05/naskah-kuno-islam-nusantara-ternyata-begitu-berserakan/ Dengan demikian, naskah-naskah Islam Nusantara kini tersimpan di Perpustakaan Nasional, perpustakaan Daerah, koleksi-koleksi pribadi, dan banyak juga yang dikoleksi di luar negeri oleh sejumlah Universitas. Penelitian dan Penyuntingan Naskah Islam Nusantara Pengkajian naskah-naskah Nusantara mulai timbul seiring dengan kedatangan bangsa Barat pada abad ke 16 M. Salah seorang yang dikenal bergerak alam bidang usaha perdagangan naskah-naskah klasik Nusantara dari pedagang adalah Edward Picocke, pemilik naskah Hikayat Sri Rama (tertua) dan Milliam Laud. Dalam konteks melayu Nusantara, naskah-naskah yang dijumpai sangatlah kental nuansa keagamaannya. Baik yang berkaitan dengan fiqh, tafsir, tauhid, dan tasawuf. Melimpahnya teks-teks keagamaan terutama tasawuf, terutama jika mengingat bahwa kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia hingga dewasa ini secara keseluruhan merupakan hasil dari proses akulturasi manusia Indonesia dengan peradaban Islam yang oleh Edy Sedyawati disebut sebagai salah satu dari tiga pengalaman besar dalam akulturasi di Indonesia. Edi Sedyawati, Menyikapi Warisan Budaya, Media Indonesia, 25 Maret 2000 Pelancong bangsa Belanda yang benama frederik de Haufman (pandai bahasa Melayu) mengarang satu buku yang berjudul Spreack endee Woordboek in de Malaysche ende Madagaskar talen, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin , Inggeris dan Prancis , di samping itu para penginjil yang dikirim NBG ke Indonesia yang umumnya tidak melakukan telaah filologi terhadap naskah-naskah yang dibaca dan dipelajari bahaanya hanya sering menerjemahkan naskah-naskah itu ke dalam bahasa asing terutama bahasa Belanda. Nabilah Lubis, Naskah... hal. 55 Kehadiran tenaga misionaris dan zending di Nusantara dengan bekal ilmu pegetahan linguistik telah mendorong tumbuhnya kegiatan untuk meneliti naskah-naskah berbagai daerah Nusantara. Pada mulanya mempelajari naskah-naskah sekedar untuk mengetahui bahasanya, tetapi ada juga yang berminat mengkaji naskah itu untuk memahami kandungan isinya dengan menyuntingnya agar naskah itu untuk memahami kandungan isinya dan menyuntingnya agar naskah itu dapat diketahui masyarakat luas. Nabilah Lubis, Naskah... hal.56 Selain tenaga peneliti dari Belanda ada beberapa peneliti berkebangsaan Inggris, seperti John Leyden, J.Logan, W. Marsdem, J. Crawfurd dan peneliti asal Jerman, Hans Overbeck datang ke Nusantara untuk melakukan penelitian dan mereka seklaigus sebagai tenaga pengajar Belanda yang memberi pelajaran bahasa Nusantara kepada calon pegawai sipil sebelum mereka dikirim ke Nusantara. Adapun penyuntingan naskah-naskah nusantara melalui beberapa tahapan perkembangan sbb: berawal dari penyuntingan naskah berbahasa Jawa dan Melayu. Penuntingan hanya berupa penyajian teks dalam huruf Jawa dengan disertai pengantar yang sanagat singkat misalnya naskah Ramayana Kakawin oleh H. Kem, Syair Bidasari van Hovel. Suntingan awal ini umumnya menggunakan metode intstuitif atau diplomatik. Penyuntingan naskah dalam bentuk transliterasi dalam huruf latin, seperti Wrettasanjaya, Arjuna Wiwaha, dan Bomakawya, ketiganya disunting oleh T. TH. A. Friederick. Suntingan naskah disertai terjemahan dalam bahasa asing, terutama dalam bahasa Belanda, misalnya penyuntingan dilakukan oleh J. Kats pada naskah Hyang Kamahayanikam, dan Arjuna Wiwaha oleh Poerbacaraka. Suntingan naskah pada abad ke 20 umumnya umumnya diserai terjemahan dalam bahasa Inggris, dan Belanda Suntingan naskah dengan metode kritik teks banyak dilakukan di abad ke 20 didasarkan pada filologi tradisional antara lain seperti syair Ketambunan oleh Teeu, Arjuna wiwaha oleh S.Supomo. pada periode ini dilakukan penerbitan ulang naskah yang pernah disunting sebelumnya dengan maksud penyempurnaan, misalnya Primbon Jawa oleh H.Kreamer dan diterbitkan lagi oleh G.W `Drewes. Naskah Sunan Bonang pada tahun 1916 disunting oleh B.J.O Schrieke dengan judul Het Boek van Bonang dan pada tahun 1969 diterbitkan ulang dengan judul The Admonition of Syekh Bari Penelitian naskah melahirkan karya-karya ilmiyah dalam bidang teologi dan sejarah, seperti (1) The Mysticism of Hamzah Fansuri tersebut diteliti oleh Naquib al-Attas, berdasarkan tulisan Nuruddin ar-Raniri disunting oleh P. Voorhoeve, (2) De Hikajat Aceh oleh Teuku Iskandar dengan bersumber pada naskah Hikajat Atjeh. (3) Hikayat Banjar, oleh J.J Ras penelitiannya berdasarkan naskah-naskah Kalimantan dengan menggunakan pendekatan kritik teks Penelitian naskah yang dilakukan untuk tujuan pembahasan isi naskah melalui pendekatan berbagai disiplin ilmu. Pada periode mutakhir mulai dirintis studi naskah Nusantara menggunakan analisa sastra (Barat), misalnya analisa struktur terhadap naskah Hikayat Sri Rama, dan Hikayat Hang Tuah Nabilah Lubis, Naskah....hal. 55- 57 Demikian perkembangan penyuntingan dan pengkajian naskah di Nusantara sejak zaman kolonial hingga saat ini. Kajian ini mengantarkan kita pada hubungan erat naskah dan Islam di Nusantara, dalam arti manuskrip-manuskrip berupa karya besar para ulama Nusantara membuktikan adanya dinamika keislaman di bumi Nusantara. Hubungan Naskah dan Intlektual Islam Nusantara Kekayaan manuskrip Nusantara merupakan buah dari kegelisahan para cerdik-cendikia masa lalu yang ingin menerjemahkan gagasan dari luar ke dalam konteks lokal. Sebahagian dari para penulis dan penyalin naskah berasal dari kalangan ahli agama, guru sufi, kyai, muballig, dan sastrawan yang menerjemahkan ajaran agama dalam konteks seni dan budaya. Khazanah manuskrip nusantara yang kini dimiliki terhubungkan dengan Islam sedemikian dinamis dan mempresentasikan beragam tafsiran yang dalam bahasa Taufik Abdullah disebut sebagai broker of ideas terhadap ideologi-ideologi yang lahir dari konteks pemikiran dan budaya lain, seperti Arab, Persia, India dan lain-lain. Betapa manuskrip-manuskrip menggambarkan proses pribumisasi Islam pada masa lalu, mempertontonkan proses adaptasi teks Arab dan Persia menjadi teks-teks lokal, terkadang membuktikan adanya proses peralihan dan perubahan ide dari sumber askinya. Oman Faturrahman, Filologi... hal.112 Adataptasi, peralihan dan perubahan gagasan dalam proses pribumisasi Islam di Nusantara tampaknya memang tidak terelakkan, sebagian menunjukkan gagasan harmoni Islam dengan budaya lokal, seperti tercermin dalam tradsi manuskrip Melayu, tetapi sebagian juga menunjukkan perlawanan seperti dalam manuskrip Jawa. Seperti Serat Cabolek, Serat Centini, Serat Gotoloco, Suluk Wujil, dll, tidak hanya menggambarkan islamisasi Jawa, tapi juga jawanisasi islam. Penting dicatat bahwa sejak kemunculannya, naskah Nusantara telah membentuk identitas kultural ragam etnis masyarakat yang melahirkannnya. Naskah Sabil al-Muhtadin karya Syekh Arsyad al-Banjari dari etnis Banjar, ditulis atas inspirasi dari Shirat al-Mustaqim karya Syekh Nuruddin al-Raniri dari etnis Aceh. Sebuah manuskrip berbahasa Maranao filipina menyebut berhutang budi pada Miratul al-Thullah karya Abdurrauf al-Fansuri di Aceh, Serat Menak lahir dari resepsi atas Hikayat Amir Hamzah dari etnis Melayu, manuskrip dalam tradisi Bugis-Makasar mengingat peranan tiga ulama Minangkabau, Minangkabau ingat pada Aceh, Ternate ingat pada Aceh dan Gersik, Fatani ingat pada Makasar dan Palembang, Palembang ingat pada Demak, dan demikian seterusnya, karena itulah hubungan manuskrip-manuskrip tersebut layak disebut sebagai cerminan persatuan dan keragaman etnis yang sekarang bernama Indonesia. Oman Fathurrahman, Filologi... hal. 115 Apa yang telah ditunjukkan Azra pada karyanya Jaringan Ulama timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, tentang sejumlah ulama Nusantara telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah tradisi intlektual di pusat keilmuan Islam, dan terekam dalam sejumlah naskah kuno (manuscrif). Ibrahim Al-Kurani menulis sejumlah karya yang membahas masăil al-jăwiyah, seperti I’thăf al-Zăki, al-Jawăbăt al-Ghărawiyyah ‘an Masăil al-jăwiyah al-Jahriyyah. Selain itu muridnya ‘Abd al-Syakur al-Syami menulis karya berjudul Ziyădah min ‘Ibărat Al-Mutaqaddimin Ahl Jăwi. Kitab Tuhfat Al-Mursalah yang diberikan syarh oleh Ibrahim Al-Kurani, jelas ia telah digunakan sebagai acuan penting oelh semua ulama Melayu Indonesia sepanjang abad ke-17 dan 18, sejak Syams Al-Dhin Al-Sumatrani (w.1039/1630 M), Al-Răniri, Al-Singkili, Al-Maqassari, samapai Al-Falembani dan Muhammad Nafis Al-Banjări. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 2004 ) hal 136 Pada abad ke-18, Sulayman Al-Kurdi, seorang ulama Haramain terkemuka juga menjadi guru sekelompok murid dari Melayu-Indonesia, menulis sebuah karya berjudul Al-Durrat Al-Bahiyyah fi Jawab Al-Asilat Al-Jawiyyah. Semua ini menunjukkan adanya wacana regio-intlektual yang kuat di antara para murid melayu-indonesia dan para ulama di Haramayn dan tanggung jawabnya terhadap pembaharuan religio-intlektual di kalangan kaum muslimin Jawi. Azyumardi Azra, Jaringan...hal. 137 Terbentuknya jmaat al-jawiyin di Haramain berawal dan semakin meningkatnya, minat,dan tentu saja kemungkinan perjalanan, Muslim Nusantara ke Tanah suci Makkah mulai abad ke 16 hingg abad-abad berikutnya melahirkan ulama-ulama produktif dengan sejumlah karya yang kini menjadi khazanah intlektual Nusantara. Mobilisasi Muslim Nusantara ke Haramayn yang semakin meningkat juga dimungkinkan berkat kemakmuran ekonomi sebagai hasil dari keterlibatan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara dalam perdagangan bebas internasional. Dengan demikian transportasi laut semakin tersedia, termasuk untuk melakukan ibadah haji ke tanah suci Makah. Keputusan sebajgian muslim Melayu-Nusantara untuk tinggal di Haramayn selama bertahun-tahun telah memungkinkan mereka untuk melakukan intraksi sosial-keagamaan, baik hubungan sebagai guru dan murid maupun sebagai kolega biasa. Oman Fathurrahman, I’thaf Al-Dhaki, Tafsir Wahdatul Wujud Bagi Muslim Nusantara, ( Jakarta: Mizan, 2012) hal. 14 Hubungan intlektual para ulama dengan Haramayn mendorong penulisan dan penyalinan teks-teks keagamaan di Nusantara. Maka dalam proses dunia Islam-melayu apa yang terjadi kemudian adalah munculnya proses transmisi “tradisi besar Islam” melalui sejumlah ulama Syams Al-Dhin Al-Sumatrani (w.1039/1630 M), Al-Răniri (w.1658 M), Al-Singkili (1615-1693 M), Al-Maqassari (1629-1699 M), samapai Al-Falembani dan Muhammad Nafis Al-Banjări (1710-1812 M), dan Syekh Dawud Al-Fathani (w. 1847). Pada awal aba19, Syekh Nawawi al-Bantani ( 1813-1879 M), Ahmad Rifa’i Kalisalak ( 1786-1870 M), Ahmad Khatib Sambas ( 1803-1875 M), Muhamad Saleh Darat ( w.1903), Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau (1860-1916 M), dan Syekh Yasin Al-Fadani (1917-1990 M). Oman Fathurrahman, Filologi...hal 117 Gelombang transmisi keilmuan yang dibawa oleh Jamaat al-jawiyyin sebagai oleh-oleh dari Haramayn diyakini kuat telah semakin memperkuat tradisi tulis yang sebelumnya telah berkembang pada masyarakat Nusantara, sehingga perkembangan tradisi ini turut mendorong lahirnya sejumlah naskah besar, khususnya naskah-naskah keagamaan, yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari naskah Nusantara secara keseluruhan. KESIMPULAN Dari paparan tersebut di atas dapat disimpulkan, sbb: Penulisan Naskah Penulisan naskah-naskah di Nusantara telah dimulai dari abad ke 7 hingga abad ke 19 dengan berbagai bahasa lokal yang didominasi oleh Arab Melayu, Pegon, dan Sunda untuk naskah-naskah keagamaan, disamping banyak juga bahasa yang lain. Penulisan telah dilakukan dengan berbagai media, baik kertas, lontar, daluang, dll. Penelitian dan penyuntingan Pengkajian naskah-naskah Nusantara mulai timbul seiring dengan kedatangan bangsa Barat pada abad ke 16 M. para peneliti diantaranya adalah ara misionaris Belanda, para pengajar Belanda berkebangsaan Inggris, dan Jerman, hingga abad 20. Pada abad ke 20 akhir barulah warga pribumi Nusantara tertarik dan mulai melakukan penelitian terhadap naskah. Jaringan ulama Jama’at al-Jawiyyin di Haramayn telah mendorong tradisi besar penulisan dan penyalinan naskah Nusantara. Kepulangan para ulama dari Haramayn sera kiprahnya di Nusantara telah melahirkan tradisi naskah yang beragam yang menyimpan dinamika keislaman di daerah masing-masing. DAFTAR PUSTAKA Azra, Azumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, ( Bandung : Penerbit Mizan, 1995) Dip odjojo , Asdi S., Memperkirakan Titimangsa Suatu Naskah, ( Yogyakarta: Penerbit Lukman Opset Yogyakarta, 1996 ) Fathurahman, Oman, Filologi dan Islam Indonesia,(Jakarta: Puslitbang Lektor Keagamaan, Kementerian Agama RI, 2010 ) _________________, I’thaf Al-Dhaki, Tafsir Wahdatul Wujud Bagi Muslim Nusantara, ( Jakarta: Mizan, 2012) _________________, Khazanah Naskah-naskah Islam Nusantara, http://oman.uinjkt.ac.id/2007/01/khazanah-naskah-naskah-islam-nusantara.html http://kbbi.web.id/naskah Lubis , Nabilah, Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi, ( Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia, 2007) Republika.co.idhttp://serbasejarah.wordpress.com/2010/05/05/naskah-kuno-islam-nusantara-ternyata-begitu-berserakan/ Sedyawati, Edi, Menyikapi Warisan Budaya, Media Indonesia, 25 Maret 13