Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

25 kg/rn2 in Bogor Rural and Urban,: Peneliti Pada Puslitbang Gizi Dan Makanan, Litbang Kesehatan, RI

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 8

PGM 2008,31(2): 75-81

Sindrom metabolik pada orang dewasa gemuk

Muherdiyantiningsih;dkk

SINDROM METABOLIK PADA ORANG DEWASA GEMUK Dl WILAYAH BOGOR


Muherdiyantiningsihl, Fitrah Ernawatil, Rustan Effendi1 dan Susilowati Herman'
ABSTRACT
METABOLIC SYNDROME AMONG OBESE ADULTS IN BOGOR AREA
Background: Metabolic syndrome, also known by the insulin resistance syndrome, is a common metabolic disorder
that result from the increasing prevalence of obesity. Little information exists on the prevalence of the metabolic
syndrome in lndonesia.
Objectlvea: To find out proportion of metabolic syndrome and factors related to-demographic and potentially
modiflabie lifestyle factors among obese adults in Bogor area.
Methods: Metabolic syndrome, as defined by the US National Cholesterol Education Program - Adult Treatment Panel
Ill (NCEP-ATP ill) criteria, were evaluated in two districts in Bogor sample of 221 overweight and obese ( b d y Mass
Index 2 25 kglm2) women and men aged 30--55 years who participated in the correlational study on Profile of the
Body and Serum Fats Distribution and Physical Activity among adults with BMI 2 25 kg/rn2 in Bogor rural and urban,
7nfl3

Results: The metabolic syndrome was present in 36.2 percent of 221 men and women aged 31-55 years which have
BMI 2 25 kglm2. The syndrome was significantly more frequent in men (44%) than women (28.6%) [P0.017]. The
syndrome was present in 92.3, 62.9, and 40.3 percent of central obesity, low HDL-cholesterol, and high trigiycerides
level, respectively. Age of the subject 2 44 years, the men factor, physical inactivity, and Waist-Hip Ratio (WHR) r
0.93 were the significantly risk factors associated with increased odds of the rnetabolic syndrome.
Conclusions: The metabolic syndrome was present in high prevalence of the two subdistricts in Bogor obese adults.
However, upon thinking about the syndrome was associated with several modifiable lifestyle factors (physical activity,
WHR), there was an opportunity to reduce proportion of metabolic syndrome by increasing physical activity that also
make lower WHR. [Penel Glzl Makan 2000,31(2): 75-01]
Key words: rnetabolic syndrome, adulthood obesity, NCEP-ATP 111, risk factors
PENDAHULUAN
aat ini lndonesia mengalaml masalah gizi ganda.
Di satu slsl masalah gizi kurang masih belum
dapat diatasi secara tuntas, sementara di sisi
lain masalah gizi lebih terus meningkat (l,2)
Kegemukan, sebagai manifestasi dari keadaan
gizi lebih, telah mencapai proporsi epidemi secara
global. Hasil berbagai s u ~ e iyang dihimpun WHO
tahun 2000 mengungkapkan bahwa kejadian
kegemukan di berbagai negara di Asia dan Pasiftk
berkisar 10-30 persen (3). Adapun di Indonesia,
berdasarkan hasil survei indeks massa tubuh di 12
kotamadya tahun 1997, didapati 22,5% subjek usia 18
tahun ke atas mengalami kegemukan (2).
Kegemukan perlu diwaspadai karena banyak
risiko penyakit yang ditimbulkan. Kegemukan
m e ~ p a k a n faktor risiko untuk sejumlah penyakit,
termasuk diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular,

' Peneliti pada Puslitbang Gizi dan Makanan, Badan Litbang


Kesehatan, Depkes RI

hipertensi, batu empedu dan kanker tertentu. Orang


dengan berat-lahir rendah (atau secara lebih spesifik,
kekurusan ketika lahir) dan yang menjadi gemuk
(obese) saat dewasa memiliki risiko terutama tinggi
untuk mengalami sindrom metabolik (obesitas sentral.
intolerans glukosa, resistans insulin, disiiptdemia dan
hipertensi) (3).
Sindrom metabolik, berdasarkan ~edomanMe US
National Cholesterol Education Program-Adult
Treatment Panel Ill (NCEP-ATP Ill), memiliki tiga dari
lima ciri berikut, yakni: obesitas sentral,
hipertrigliserida, hipokolesterol HDL, lekanan darah
tinggi, dan gula darah puasa tinggi (4). Di Amerika
Serikat dilaporkan prevalensi sindrom metabolik pada
kelompok dewasa (20 tahun ke atas) sebesar 23,7%
(5). Bahkan pada anak-anak, sindrom metabolik sudah
terjadi.

PGM 2008,31(2): 75-81

Sindrom metabolikpada orang dewasa gemuk

Braunschweig dkk (2005) (6) mendapatkan 5,6% anak


sekolah usia rata-rata 10 tahun di Amerika mengalami
sindrom metabolik dan semakin tinggi prevalensinya
(13,8%) pada anak yang mengalami kegemukan.
Terbatasnya publikasi, membatasi penulis untuk
mendapatkan informasi tenlang prevalensi sindrom
metabolik di Indonesia.
Akhir-akhir ini sindrom metabolik sebagai faktor
risiko penyakit diabetes tipe 2 dan penyakit
kardiovaskular banyak diteliti. Salah salunya adalah
penelitian epidemiologis yang melibatkan 3323 orang
secara kohor selama 8 tahun mengungkapkan bahwa
risiko untuk mengalami diabetes mellitus tipe 2 pada
penderita sindrom metabolik hampir 7 kali dibanding
orang normal, tiga kali risikonya unluk penyakit
kardiovaskuler bagi pria dan dua kali risikonya bagi
wanita (7).
lnsiden
sindrom
metabolik
ditengarai
berhubungan dengan pola makan. Penelitian kohort
selama 9 tahun yang melibatkan 9514 subjek
mendapatkan sekitar 40% kasus baru sindrom
melabolik. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa
western food, daging dan makanan gorengan
meningkatkan kasus sindrom metabolik. Sementara itu
penelitian lain mendapalkan konsumsi daiy product,
ikan dan sereal yang tinggi melindungi terjadinya
sindrom metabolik (8,9).
Mengingat berbagai ha1 di atas dan usia 30-55
tahun merupakan usia produktif, maka sangat pentlng
untuk diketahui informasi tentang sindrom metabolik
agar dapat dilakukan pencegahan dan pengobatan dini
sebelum terjadi dampak yang lebih berat.
Tujuan penulisan ini adalah untuk memperoleh
informasi mengenai besar proporsi sindrom metabolik
pada kelompok dewasa yang mengalami kegemukan
di wilayah Bogor serta faktor risiko yang berkaitan
meliputi umur dan jenis kelamin, ukuran tubl~h,
konsumsi makanan dan aktivitas fisik. Tulisan ini
merupakan analisis lanjut dari Penelitian Pro171
Disfribusi Lemak Tubuh dan Lernak Darah seda
Aktivitas Fisik Orang Dewasa dengan lndeks Massa
Tubuh (IMT) 2 25 kg/m2 di Perdesaan dan Perkofaan
Tahun 2003 (10).

Muherdiyantiningsih;dkk

Dengan menggunakan 'power' 90%, tingkat


kepercayaan 95% dan koefisien korelasi (r) 0,3,
diperoieh jumlah subjek 113 perempuan dan 113 lakilaki.
Tim peneliti melakukan wawancara dan
pencatatan aktivitas fisik, pengukuran ukuran-ukuran
tubuh (antropometri), dan pemeriksaan kiinis subjek di
rumah-tangga.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam
wawancara meliputi: 1) karakteristik subjek (umur, jenis
kelamin, tempat tinggal, pendidikan, tingkat
pengeluaran untuk makanan dan non-makalan), yang
dilakukan dengan menggunakan kuesioner tentruktur,
dan 2) pola makan, yang dilakukan dengan
menggunakan kuesioner 'Semiquantitative Food
Frequency'. Aktivitas fisik dicatat dengan metode
'record & recall', yakni pencalatan aktivilas fisik subjek
selama 24 jam sejak bangun hingga menjelang tidur,
dilanjutkan dengan cek ulang oleh pelugas keesokan
harinya sabagai validasi. Kegiatan ini dilakukan selama
tiga hari berturul-turut.
Antropometri mencakup ukuran-ukuran berat dan
tinggi badan, serta lingkar perul dan pinggul subjek.
Berat badan diukur tanpa alas kaki dengan
menggunakan timbangan digital merek Seca
berketelitian 0,l kg. Tinggi badan diukur tanpa alas
kaki dan topi, dalam posisi tegak-lurus, dengan
menggunakan microtoise berketelitian 0.1 cm. Adapun
lingkar perut dan pinggul diukur dengan menggunakan
pita pengukur berketelitian 0.1 cm.
Pemeriksaan klinis standar dilakukan oleh
anggola tim berprofesi dokter, meliputi ukuran-ukuran
yang berhubungan dengan kriteria sindrom metabolik,
seperti tekanan darah, kadar lemak darah (kolesterol
total, kolesterol HDL, kolesterol LDL, trigliserida) dan
kadar gula darah puasa. Tekanan darah diukur dengan
menggunakan lensimeter berketelitian 1 mmHg.
Semenlara kadar lemak darah dan gula darah puasa
dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer,
yang menggunakan 'reagen' Biocon Diagnostic dari
Jerman.

BAHAN DAN CARA


Subjek PenelitIan
Penelitian ini dilakukan tahun 2003 di Kabupaten
dan Kotamadya Bogor, tepatnya di Kecamatan Ranca
Bungur dan Tanah Sareal, dengan menggunakan
desain penelitian korelasional (12). Subjek penelitian
adalah perempuan tidak hamil dan tidak menyusui
serta laki-laki yang berumur 3C-55 tahun dengan iMT
r25kglmz. Jumlah subjek penelitian (besar sampel)
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Kriteria Sindrom Metabolik


Sindrom metabolik diklasifikasikan berdasar
kriteria NCEP-ATP 111 (7). Menurut NCEP-ATP Ill
sindrom metabolik dicirikan dengan tiga dari lima ciri
berikut: i, pbesitas sentral (lingkar perut: untuk laki-laki
2102 cm, perernpuan 288crn), ii. kadar tr~gliserida
2150 mgldl, iii. kadar kolesterol HDL 540 mgldl unluk
laki-laki dan 550 mgldl untuk wanita, iv, tekanan darah
2130185 mmHg dan gula darah puasa 2110 mgldl. Di

PGM 2008,31(2): 75-81

Sindrom metabolik pada orang dawasa gemuk

Muherdiyantiningsih; dkk

Analisis data ditujukan untuk menghitung proporsi


sindrom metabolik (dalam persen) yang terjadi pada
orang dewasa yang mengalami kegemukan dan
mengukur kuatnya hubungan variabel umur dan jenis
kelamin, sosial ekonomi, tingkat aktivltas Rsik,
konsumsi energi dari makanan sumber iemak dan
ukuran tubuh dengan menghitung nilai odd rasio (OR)
dengan selang kepercayaan 95%. Bila OR dengan
selang kepercayaan 95% tersebut nilainya tidak
meiewati angka 1, maka hubungan tersebut bermakna.

negara Asia Pasifik ditetapkan obesitas sentral pada


laki-laki biia lingkar perut 290 cm dan pada wanita 2 80
cm.
Pengelompokan tingkat sosial ekonomi subjek
alas miskin dan mampu didasarkan pada persentase
pengeiuaran pangan terhadap total pengeluaran
keluarga dengan batasan 2 70% sebagai miskin dan <
70% sebagai mampu (12).
Tingkat pendidikan dibagi atas pendidikan dasar
(SD, SLPI 5 9 tahun) dan pendidikan lanjut (SLA, PTI
>9 tahun).
Tingkat aktivitas fisik dihitung berdasarkan
pedoman WHO, yakni total energi yang dikeluarkan
dibagi dengan basal metabolisme rate (BMR) menurut
jenis kelamin dan kelompok usia. Hasil hitungan
dikelompokkan atas tiga tingkat, yakni rlngan bila 51,7,
tingkat sedang bila 1,8 sampai kurang 2,6 dan tingkat
berat bila 22,6, namun pada tulisan ini batasan yang
dipakai berdasar nilai rata-rata.
Untuk umur, persen energi dari lemak. IMT
(dihitung berdasarkan berat bdan dibagi tinggi badan
kuadrat), RLPP (Rasio Lingkar Pinggang Pinggul) dan
SsiBt (Rasio Subscapula+suprailiaca dengan
BiceptTricep) menggunakan batasan nilai sentral
(rata-rata atau median).

HASlL

1. Karakterlstlk Subjek
Subjek seluruhnya berjumlah 221 orang yang
terdiri dari 112 perempuan dan 109 laki-iaki dengan
rata-rata umur sekitar 44 tahun dan kisaran umur 31
tahun sampai dengan 55 tahun. lndeks massa tubuh
perempuan sedikit lebih gemuk dibandingkan dengan
laki-laki. Namun, kedua kelompok menunjukkan
sebagian besar dari tingkat sosial ekonomi yang sama,
yakni golongan mampu (tidak miskin). Sementara itu
bila diperhatikan tingkat pendidikannya, sebagian
besar berpendidikan dasar.

Tabel I
Karakteristik Subjek Menurut Jenis Kelamin
Karakteristik Subjek
Umur (tahun)
IMT (kgIm2)
Lama Pendidikan (tahun):'

Laki-laki
(n.109)
X*SD
443 i6,3
28,l i 2,7

Total Pengeluaran Makanan (YO):'


< 70
9
2 70

92
17

Perempuan
(n=112)
X iSD
43,5 i5,2
29,4 2,9

Total
(N.221)
XiSD
43,9 i 5,8
28,7 i 2,9

57

163

87
25

179
42

Keterangan:'Angka pmporsi

2.

Gambaran Lemak Darah, Gula Darah dan


Tekanan Darah
Hasil analisis biokimia lemak darah dan gula
darah menunjukkan bahwa rata-rata kolesterol total
sekitar 190 mgldl. Nilai rata-rata tekanan darah sistol
dan diastol masing-masing sekitar 115 mmHg dan 75
mmHg. Ada perbedaan yang bermakna pada nilai rala-

rata kolesterol HDL laki-laki dan perempuan (p=0,000).


Dernikian pula dengan nilai median trigliserida dan gula
darah; anlara laki-laki dan perempuan menunjukkan
perbedaan yang bermakna. Laki-laki menunjukkan nilai
yang lebih linggi, baik untuk trigliserida maupun gula
darah.

Sindmm metabolikpada orang dewasa gemuk

PGM 2008,31(2): 75-81

Muherdiyantiningsih; dkk

Tabel 2
Kadar Kolesterol& Trlglleertda Darah, Gula Darah dan Tekanan Darah Rata-rata Menurut Jenls Kelamin
Total (N-221)
X f SD

Ukunn Kllnls
Standar
Kolesterol:
total (mgldl)
LDL (mgldl)
HDL (mgldl)
Trialiserida (maldl)
- .

Lakl-lakl (n.189)
X i SD

Gula darah (mgldl)

P
(t-tent)

189,2 f 40,3
66,9 f 14,l
47,O f 9,O
113.2
(78,l-165,4)
74.0
(66,l-El,?)

0,823
0,279
0,000'
0.002"

188,6 f 40,O
633 (55,5-73,6)
44,l f 9,8
131,3
(90,2-194,8)
76,4
(67.6-86,7)

Perempuan (n=l12)
XfOSD

187,9 39,9
70,3 f 29.9
41,l f 9,7
150.1
(106,3-225,3)
80,8
(70,7-92,5)

Tekanan darah:
115,7f 20,5
116,1 k 19,O
sistol (mmHg)
74,8 f 10.8
75,4 f 103
diastol (mmHg)
Keterangan ' Berdasarkan UJI Iberbeda bermakna pada p < 0.05
" Berdasarkan UJI Mann-Wh~tneyberbeda bermakna pada p < 0,05
Pada Tabel 3 dapat dilihat besarnya pmporsi
sindmm metabolik pada orang dewasa yang
mengalami kegemukan, yakni 36,2%. Proporsi sindrom
metabolik laki-laki lebih tinggi secara berrnakna
dibandingkan dengan perempuan, yailu masingmasing 44 dan 28,6% (p=0,017). Sementara ilu bila
faktor risiko dipilah secara lunggal, obesitas sentral
(yang digambarkan oleh lingkar perut) paling banyak
dialami subjek (92,3%). Urutan kedua terbanyak
(62,9%) adalah rendahnya kadar kolesterol HDL, yang

115,4* 21,9
74,3* 11,4

0,0060,800
0,448

diikuti oleh kadar trigliserida tinggi di urutan ketiga


(40,3%). Urutan tersebut konsisten bila dibandingkan
berdasarkan jenis kelamin. Namun, obesitas sentral
pada perempuan lebih frekuen secara berrnakna
dibandingkan laki-iaki dengan proporsi 98,2 berbanding
6 2 % (p=0,001). Pada laki-laki selain trigliserida
tinggi, guia darah tinggi juga lebih frekuen secara
bermakna dibandingkan dengan perempuan; keduanya
dengan nilai p=0,006.

Tabel 3
Proponl Slndrom Metabolik dan Faktor Risiko Lain Menurut Jenis Kelamin
Jenls Kelamin

Total (N3221)
Sindrom Metabolik dan
Faktor Rlsiko Lain

%
I

Sindmm metabolik
Trigl.serida Sngg'

1
1

80 36,2
89 40.3

1
1

Laki-laki
(n=109)
n %
48 44.0
54 49.5

Perempuan
(11.112)
n %

1
1

32 28.6
35 31 3

Gula darah linggi

22 9,9

17 15,6

Tekanan darah nnggi

42 19,O

20 17,9

22 20,2

Kolesterol HDL rendah

64 58,7

139 62,9
I

Obesitas sentral
1 204 92,3
1 94 86,2
Keterangan: 'Berdasarkan uji chi-kuadrat bermakna pada p < 0,05

1 0,017' 1 1.97 (1,13.3.44)


1

75 67,O

0,006'

1 2.16 (1.25-3 74)

0,006'

3,95 (1,40-11,14)

0,659

1,16 (039-2,28)

0.204
I

110 98,2

4,5

OR (95% CI)

1 O,OOl+

0,70 (0.41-1,21)
I

0,14 (0,03-0.51)

PGM 2008,31(2): 75-81

Sindmrn metabollkpada orang dewase gemuk

Muherdiyanlningsih; dkk

Tabel 4
Hubungan KaraMerlstik Subjek, Energi darl Lsmakdan Tingkat Aktivitas Fislk dengan Sindrom Metabollk

< 1,48
46
60
S1,48
34
81
Kelerangan: 'Berdasarkan uji chi-kuadralbennaknapada p < 0,05
Pada Tabel 4 didapati bahwa usia 44 tahun ke
ataa mempunyai risiko hampir dua kali dibanding usia
kurang dari usia tersebut untuk mengalami sindrom
metabolik (OR=1,8 95% CI: 1,132). Bile
dibandingkan, laki-laki mempunyai rislko yang sama
yaitu hampir dua kaii dibanding perempuan secara

4,569

0,033'

1,8(1,1-3,Z)

bermakna. Kegiatan fisik ringan (oada level c1,48)


mengakibatkan risiko hampir dua kali pula unluk
mengalami sindrom melaboiik (OR=1,8 95% CI: 1,l.
3,2). Tidak ada hubungan yang bennakna antam lama
pendidikan, persen konsumsi energi dari lemak dan
tlngket sosial ekonomi dengan sindrom metablik.

Tabel 5
Hubungan Ukuran Tubuh dmgan l n d r o m Mdabollk

PGM 2008,31(2): 75-81

Sindmm metabolik pada orang dewasa gemuk

lndeks massa tubuh dan rasio SSiBT tidak


berhubungan secara bermakna, sedangkan RLPP 2
0,9300 memberikan risiko hampir tiga kali secara
benakna (OR=2,7 95% CI: 1,548) untuk timbulnya
sindrom metabolik.
BAHASAN
Berdasarkan kriteria yang ditetapkan oteh NCEPATP Ill didapati proponi sindrom metabolik pada
subjek usia 31 sampai dengan 55 tahun yang
mengalami kegemukan sebesar 36,2%. Angka ini
tampak lebih tinggi bila dibandingkan dengan
prevalensi sindrom metabolik di Amerika Serikat dan
Portugal, yaitu masing-masing 22% (5,13). Tingginya
angka ini disebabkan oleh IMT subjek yang berbeda.
Bila pada penelitian ini subjek yang ikut serta dibatasi
pada mereka yang mempunyai IMT 2 25 kgIm2 atau
yang mengalami kegemukan, sedangkan di Amerika
atau Portugal angka prevalensi tersebut meliputi
S e l u ~ h subjek dengan mengabaikan IMT-nya.
Kegemukan lebih meningkatkan prevalensi aiau
proporsi sindrom metabolik, seperti diungkapkan oleh
Braunschweig dkk (2005) yang mendapatkan 5,6%
pada seluruh subjek dan 13,8% pada mereka yang
mengalami kagemukan (6).
Penelitian mengenai hubungan gender dengan
sindrom metabolik menunjukkan hasil yang tidak
konsisten (13,14). Penelitian Santos dkk (2008)
mendapatkan bahwa sindrom metabolik lebih prevalen
pada perempuan dibanding laki-laki. Pada penelitian
tersebut tingkat sosial ekonomi yang rendah yang
melatarbelakangi lebih tingginya prevalensi sindrom
metabolik pada perempuan (13). Sejalan dengan
penelitian tersebut, Tonstad dkk (2007) juga
mendapatkan perempuan lebih prevalen daripada lakilaki. Faktor obesitas sentral dan inflamasi yang
ditengarai sebagai latar belakang lebih prevalennya
sindrom metabolik pada perempuan (14). Berbeda
dengan penelitian-penelitian terdahulu, pada penelitian
ini laki-laki mempunyai risiko hampir dua kali dibanding
perempuan untuk mengalami sindrom metabolik
dengan trigliserida tinggi dan gula darah tinggi sebagai
faktor yang berbeda secara bermakna.
Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa usia
44 tahun ke atas mempunyai risiko hampir dua kali
dibandingkan dengan usia kurang dari usia tersebut
untuk mengalami sindrom metabolik (OR=1,8 95% CI:
1,l-3,2). Review beberapa penelitian yang difokuskan
pada aspek usia, mengungkapkan bahwa prevalensi
sindrom metabolik menunjukkan kecenderungan
meningkat seiring dengan peningkatan kelompok usia
(5,15). Ford dkk (2002), yang melakukan penelitian
pada usia 20 tahun ke atas, melaporkan bahwa
prevalensi sindrom metabolik pada kelompok usia 20

Muherdiyantiningsih;dkk

tahun ke atas mencatat bahwa prevalensi sindrom


metabolic pada kelompok usia 20-29 tahun sebesar
6,7% dan terus meningkat di setiap bertambahnya
kelompok usia hingga tercatat sebesar 43.5% subjek
pada kelompok usia 60-69 tahun yang terkena sindrom
metabolik (5). Di Indonesia, penelitian yang dilakukan
oleh Gunanti dan lnong (15) di sebuah perusahaan
pada subjek usia 35-39 tahun prevalensinya sebesar
118 % dan mencapai 34,4% pada usia 50-55 tahun.
Seperti diketahui bahwa penyakit degeneratif
adalah penyakit yang sangat erat kaitannya dengan
proses penuaan. Sindrom metabolik yang merupakan
prediktor yang kuat bagi timbulnya penyakit degeneratlf
seperti penyakit diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit
jantung koroner juga menunjukkan kecepderungan
meningkat seiring bertambahnya usia. Hasil review
WHO (2003) menunjukkan bahwa usia tua me~pakan
puncak terjadinya berbagai penyakit kronis. Ini sebagai
akibat dari interaksi proses berbagai penyakit seiring
dengan menurunnya atau berkurangnya fungsi fisiologi
secara umum (16).
Sindrom metabolik yang merupakan prediktor
terjadinya DM dan PJK juga berkaitan dengan aktivitas
fisik. Aktivitas fisik merupakan variabel yang erat
kaitannya dengan berbagai penyakit seperti
kegemukan, osteoporosis, penyakit diabetes mellitus,
penyakit-penyakit kardiovaskuler dsb, sehingga WHO
menganggap penting membuat kebijakan untuk
menggalakkan aktivitas fisik ini sebagai strategi
mencegah meningkatnya berbagai penyakit di atas.'"
Pada tulisan ini didapati bahwa subjek yang
mempunyai tingkat aktivitas fisik ringan (pada level
<1,48) - sementara WHO menggunakan batasan
aktivitas fisik ringan pada level 51,7 - mempunyai
risiko hampir 2 kali dibandingkan dengan subjek yang
mempunyai aktivitas fisik r 1,48 untuk terkena sindrom
metabolik Gambaran ini menunjukkan bahwa tingkat
aktivitas fisik m e ~ p a k a nvariabel yang tepat untuk
diintewensi sebagai faktor pencegah tejadinya
sindrom metabolik khususnya.
RUJUKAN
1.

2.

3.

Jahari AB, dkk. Status Gizi Balita di lndonesia


Sebelum dan Selama Krisis: Analisis Data
Antropometri SUSENAS 1989-1999. Pmsiding
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII,
2000:93-123,181-188.
Kodyat BA, dkk. Survei lndeks Massa Tubuh
(IMT) di 12 Kotamadya, Indonesia. Gizi Indonesia
1996,21:52--61.
WHO Western Pacific Region, IASO, and IOTF.
The Asia-Pasific Perspective: Redefining Obesity

PGM 2008,31(2): 75-81

Sindmm metabolik pada orang dewasa gemuk

and its Treatment. Melbourne: Health


Communications Australia Pty Limited, 2000.
4. Expert Panel on DetecCon. Evaluation, and
Treatment of High Blwd Cholesterol in Adulls.
Executive Summary of the Third Report of the
National Cholesterol Education Program (NCEP)
Expert Panel on Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Cholesterol in Adults
(Adult Treatment Panel Ill). JAMA 2001,
285:248697.
5. Ford ES, Giles WH. Dietz WH. Prevalence of the
Metabolic Syndrome among US Adults: Findings
from thc TbYr:! National and Nutrition Examination
Survey. JAMA 2002,287:356-9.
6. Braunschweig CL. Gomez S, Liang H, Tomey K,
DoerRer 8, Wang Y, et al. Obesity and Risk
Factors for the Metabolic Syndrome among lowincome, urban. African American Schoolchildren:
the Rule Rather than the Exception? Am J Clin
Nutr 2005.81 :97C-5.
7. Wilson PWF, D'Agostino RE, Parise H, Sullivan L,
Meigs JB. Metabolic Syndrome as a Precursor of
Cardiovascular Disease and Type 2 Diabetes
Mellitus. Circulation. 2005, 112:3066-72.
8. Vanina Bongard, et al. High Consumption of Fish,
Dairy Products and Cereals are Associated with
Low Prevalence of Metabolic Syndrome.
Circulation 2006, 114:Il-889.
9. Lutsey PL, Steffen LM, Stevens J. Dietary Intake
and the Development of the Metabolic Syndrome:
The Atherosclerosis Risk in Communities Study.
Circulation 2008, 117:754-761

Muherdiyantiningsih;dkk

10. Ernawati F, Muherdiyantiningsih, Martuti S,


Rustan E, Herman S. Pmfil Distribusi Lemak
Tubuh dan Lemak Darah Serfa Aktivitas Fisik
Orang Dewasa dengan IMT 2 25kg/m2 di
Pem'esaan dan Perkotaan. Laporan Penelitian.
Bogor: Puslitbang Gizi dan Makanan, 2003.
11. Lemeshow SL, Hosmer Jr DW, Klar J, Lwanga
SK. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan
(Adeauacv of Sam~leSize in Health Studies).
ieriekahen. yogyaitarta: Gajah Mada u"iversiiy
Press, 1997.
12. Badan Pusat Statistik. Statistik Kesejahteraan
Rakyat. Jakarta: BPS, 1998.
13. Santos AC, Ebrahim S, Barros H. Gender, Socioeconomic Status and Metabolic Syn'Urome in
Middle-aged and Old Adults. BMC Public Health
2008. 8:62.
14. Tonstad S, Sandvik E, Lund-Larsen PG, Thelle D.
Gender Differences in the Prevalence and
Determinants of the Metabolic Syndrome in
Screened Subjects at Risk for Coronary heart
Deasese. Metabolic Syndmme and Related
Disorders 2007,5(2):174--82.
15. Gunanti IR, Martini S, Nindya TS. Obesitas dan
Sindmma Metabolik: Sfudi di Kalangan Pekefja
PT Badak NGL, Bontang. Laporan Penelitian.
Surabaya: Universitas Airlangga, 2005.
16. Joint WHOIFAO Expert Consultation. Diet,
Nutrifion and the Prevention of Chmnic Diseases:
Report Geneva: WHO, 2003.

PGM 2008,31(2): 82-87

Detenninanstatus anemia siswa SLTA

Fitrah E; dkk

DETERMINAN STATUS ANEMIA SlSWA SLTA Dl DKI JAKARTA


Fitrah Emawatit dan M.Saidin1
ABSTRACT
DETERMINATS OF ANEMIA STATUS AMONG HIGH SCHOOL STUDENTS IN JAKARTA
Background: The prevalence of anemia among adolescents remains high. The effect of anemia among adolescents
especially girls will affect the heaifh status of mothers in the future.
Objectives: The study was to anatpe the determinants of anemia status among adolescents high school sthdents.
Methods: The study design was crosssectional from The Survey Of School Children's Nutritional Status at 10 Cities In
Indonesia 2005. The samples of the study were adolescent aged of 15-19 years from high school in Jakarta.
Results: The result of the study was that anemia among adolescents high school students were 16%. and the female
students had 2.2 ( Ci 95%: 1.3-3.7)rtskof getting anemia compared to male students.
Conclution: Adolescents high school female students need more attention because they have twice the chance to get
anemia than male. [Panel Gizi Makan 2008, 31(2): 82-67]
Key word: status anemia, female students, high schoolstudents
PENDAHULUAN
esempatan untuk memperbaiki status gizi
manusia adalah dibatasi oleh waktu yang sempit
yaitu dimulai dari awal terjadi kehamilan sampai
tahun ke dua kehidupan. Telah banyak fakta yang
menunjukkan bahwa dampak dari kekurangan gizi
pada masa ini mengganggu pertumbuhan fisik, otak,
dan pembangunan manusia yang sangat iuas dan tidak
dapat diperbaiki (1). Disini dapat dimaknai bahwa
status gizi masa remaja sangatlah penting termasuk
status anemia remaja. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa proporsi anemia pada remaja
cukup tinggi yaitu 40% (2) dan 25.5% (laki-iaki 21%
dan perempuan 30% (3). Status anemia remaja dalam
ha1 ini siswa SLTA yang mempunyai kadar Hemoglobin
(Hb) di bawah nilai normal menurut umur yaitu untuk
siwa SLTA perempuan (15 -19 th) kadar Hb < 12 gldl
dan laki-iaki (15-19 th) kadar Hb < 13 gldl (4).
Penyebab anemia dinegara berkembang
termasuk di Indonesia sebagian besar adalah anemia
karena kekurangan besi, keadaan ini disebabkan
sebaglan besar konsumsinya berasal dari bahan
pangan yang banyak mengandung zat besi dalam
bentuk non haem iron dan sedikit mengkonsumsi
bahan pangan hewani yang banyak mengandung zat
besi dalam bentuk heme iron. Rata rata penyerapan

' Penelis pada Puslihng Gizi dan Makanan, Badan Lm


' ng
Whatan, Depkas RI

heme iron dari makanan hewani sekitar 25% (5),


sementara itu penyerapan non heme iron
penyerapannya sangat dipengaruhi oleh adanya faktor
penghambat seperti tanin dan inositol phosphat yang
banyak dijumpai pada pangan sereal.
Kebutuhan remaja akan zat besi cukup tinggi, ha1
ini disebabkan karena pada kelompok ini terjadi
peningkatan kebutuhan zat gizi untuk pertumbuhannya
dibandingkan kelompok umur lainnya (6). Konsekuensi
anemia pada remaja seiain berdampak pada jangka
panjang ketika menjadi seorang ibu, dalam jangka
pendek sebagai remaja yang sedang belajar, anemia
sangat mengganggu konsentrasi belajar dan juga
berpengaruh terhadap jumlah absensi ke sekolah yang
pada akhimya akan berpengaruh terhadap prestasi di
sekolah (7).
TUJUAN
Mengingat dampak anemia dapat merugikan
masa depan anak bangsa, maka penelitian ini
bertujuan untuk meneliti faktor-faktor yang
mempengaruhi tejadinya anemia khususnya anemia
pada kelompok remaja yang bersekoiah di DKI Jakarta.

You might also like