Serat Jayabaya
Serat Jayabaya
Serat Jayabaya
Ramalan iki ora usah dipercaya. Yen percaya kuwi tegese nglangkahi takdire sing maha kuwasa. Dadi, di
waca wae nanging ora usah dipercaya.
Lali kamanungsan.
Lali kabecikan.
Nantang bapa.
Akeh laknat.
Akeh pengkianat.
Guru disatru.
Pengkhianat nikmat.
Akeh bandha musna ora karuan lungane. Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe
Agama ditantang.
Nggedhekake duraka.
Prikamanungsan di-iles-iles.
Kasusilan ditinggal.
Buruh mangluh.
Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi.
Hore! Hore!
Banyak Orang percaya pada ramalan di atas, bahkan sampai rela menghabiskan waktu kantor hanya untuk
baca ramalan ini.
syekh ibnu athoillah al sakandari
sarkub
Kelahiran dan keluarganya Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah
Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-
Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu
Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-
Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya
tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi
agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa
menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.
Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-
sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku,
suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan:
“Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu
aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.
Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab
ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat
tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu
Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh
banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak
tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ SholihinOleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah
tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt
sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah seorang yang
tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’
yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu
Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat
jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak
percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai
Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi
mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak
musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu
Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”.
Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga
perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena
itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa :
Masa pertama Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir,
hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau
terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya
pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang
mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu
bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang
besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.
Masa kedua Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan
hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan
berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf.
Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung
dari gurunya ini.Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn
Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah
semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-
Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya,
melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan
benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku
yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-
masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-
Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi
Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.Maka demikianlah, ketika ia sudah
mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi.
Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke
dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain.
Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang
guru al-Mursi.
Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada
keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam
hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’.
Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah
kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku
sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan :
“Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa
yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya
adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama
sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang
mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa
mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada
dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang
diberikan oleh Allah”.
Masa ketiga Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir
dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa
kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan
antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir
dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya
dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan
kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia
Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah
SWT.Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi
orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya.
Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan
tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-
Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia
emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar
dan ceramah di Masjid al-Azhar.Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema
yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat
dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau
menjadi simbol kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Atho’illah adalah orang
yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya
sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan
orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-
Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti
Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-
Kubro”.Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab
lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.
Karomah Ibn AthoillahAl-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh
Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang
artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang
kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi
menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu
Atho’illah ketika meninggal kelak.Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah
satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga
melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya
pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak
mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap
sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid
menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan :
“Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti
menjawabnya”.
Ibn Atho’illah wafatTahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali
besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang
Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya
berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk
dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.
LabelPitutur Jawi..
Ing swasana krisis keuangan global, urip prasaja iku perlu. Urip
mewah-mewahan iku ora tepaselira karo sebagian gedhe
masyarakat sing uripe kesrakat. Sajrone krisis iki impor lan
ekspor suda akeh. Supaya barang produksi dalam negeri payu,
perusahaane ora bangkrut, pasar dalam negeri kudu
diramekake. Kanthi mangkono perusahaan isih bisa mlaku,
pabrik terus jalan, saengga buruh sing kena PHK ora saya
tambah akeh.
Masyarakat Indonesia iku satemene isih kudu prihatin. Ora mung
marga anane krisis keuangan global, nanging uga amarga
utange saya akeh, anane bencana alam kang matumpa-tumpa,
produksi narkoba gedhen kang ngancam generasi muda, lan
liya-liyane. Keprihatinan iku perlu diwujudi srana urip prasaja,
senajan ana ya ora perlu hidup bermewah-mewah lan pamer
kemewahan. Urip prasaja iku tegese hidup hemat, setiti lan
ngati-ati, ora bra-breh. Solidaritas marang warga masyarakat
sing uripe sengsara perlu digedhekake, ora mung winates nalika
ngadhepi pemilu bae. Perlu diudi kepriye carane ngentasake
masyarakat saka kemelaratan lan kebodohan.
(/)
Oleh Iman Budhi Santosa
Pangku
Siapa pun yang paham akan ketatabahasaan dan penulisan huruf Jawa akan tahu, misalnya huruf ta
disambung dengan na, bunyinya adalah tana. Tetapi jika na dipangku (diberi sandhangan pangkon), na
akan menjadi huruf mati (tidak berbunyi) dan rangkaian tadi akan berbunyi tan. Gara-gara ciri spesifik
dalam pakem penulisan huruf Jawa inilah sering orang Jawa kena sindir secara halus. Kata yang empunya
cerita, orang Jawa kalau ”dipangku” akan ”mati”. Dan inilah salah satu kelemahan mereka selama ini.
Kritik tersebut tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Kita bahkan harus
mengacungi jempol dengan keberhasilan mereka memainkan othak-athik mathuk yang cukup jitu itu
hingga dapat dijadikan kaca benggala. Sebab, ada benarnya juga jika kepribadian orang Jawa tersirat dan
tersurat dalam huruf-huruf yang menjadi acuannya. Seperti juga filosofi hidup orang Jepang, Cina, Rusia,
India, Arab, yang juga tercermin dalam bentuk dan tatanan huruf-huruf mereka.
Dalam sindiran itu, pemakaian kata ”dipangku” dan ”mati” bukanlah gambaran yang sebenarnya,
melainkan kiasan belaka. Yang dimaksud ”dipangku” adalah keadaan seseorang yang dapat disamakan
dengan bayi atau anak-anak yang didudukkan di pangkuan. Artinya, diberi kebaikan, disantuni, disuapi
(dihidupi), dilindungi, disayangi, oleh orang lain. Dengan dipangku tersebut menunjukkan hubungan
keduanya demikian dekat. Bukan sebatas fisik lagi, melainkan sudah merasuk sampai hati sanubari.
Sebab, kenyataannya tidak sembarang orang akan ”dipangku”. Contohnya, mana ada ayam, atau itik,
dipangku pemiliknya? Meskipun telur dan dagingnya lezat kalau disantap, mustahil mereka memperoleh
kehormatan setinggi itu. Beda dari kucing atau anjing yang sering tidak hanya dipangku, tetapi sampai
diperbolehkan tidur bersama majikan.
Dengan dipangku, biasanya hewan atau manusia akan menjadi jinak, penurut, tidak melawan, tidak
merugikan yang memangku. Inilah yang diibaratkan dengan ”mati”, yaitu mbangun turut habis dengan
yang memangku. Sampai-sampai tindak perbuatan pun hanya untuk memuaskan orang yang memangku
(menyantuni hidupnya).
Soalnya, sedikit saja membuat ulah, biasanya perlakuan si pemangku akan berubah. Bayi saja kalau
dipangku dan tiba-tiba ngompol pasti akan dikembalikan kepada ibu atau pengasuhnya. Berarti kebaikan
yang diterima bukannya gratis, alias cuma-cuma. Kebaikan harus dibalas dengan kebaikan. Haram
hukumnya sampai kabecikan winales kadurakan. Untuk itu, orang Jawa sangat tahu diri. Sangat menjaga
diri.
Yang menjadi persoalan justru ketika sang pemangku ternyata punya pamrih terselubung. Atau, punya
polah-tingkah buruk, atau kejahatan dalam kehidupannya. Siapa pun yang memperoleh budi baik dari
orang seperti itu pasti kebingungan. Pasti merasakan ewuh aya ing pambudi. Misalnya, dia seorang
penjahat, atau koruptor, namun banyak menolong dan berbuat baik kepada kita, apakah kita harus
membela atau justru membuka kedoknya? Padahal, orang Jawa gedhe rasa rumangsane. Masa sudah
diberi kebaikan tega menohok dari belakang? Tega melapor bahwa dia adalah DPO? Apakah tidak
prekewuh, tidak punya rasa terima kasih kalau sampai mencelakakan orang yang telah sepenuh hati
menghidupi selama ini?
Inilah gambaran nyata dari ”wong Jawa yen dipangku mati” itu. Mungkin, contoh lebih tragis lagi dapat
merujuk pada Dipati Karna. Lantaran sudah diberi kamukten di Hastina, ia menolak nasihat Dewi Kunti
untuk bergabung dengan Pandawa dalam Bharatayuda. Ia memilih ngrungkebi Kurawa yang serakah,
angkara murka, dan ditakdirkan bakal kalah di Kurusetra. Demikian pula yang terjadi dengan Begawan
Drona dalam kisah pewayangan versi Purwacarita. Lantaran dimuliakan dan dijadikan penasihat Kurawa,
segala petunjuknya dipatuhi, dijadikan guru besar, maka selama hidup dia terus berjuang mencelakakan
Pandawa yang nota bene juga muridnya sendiri.
Meskipun demikian, orang Jawa tidak otomatis kalau dipangku mati. Mereka punya keberanian pula
melawan kebatilan walaupun telah menerima rezeki melimpah dari yang bersangkutan. Tuntunan orang
Jawa dalam hal ini adalah Gunawan Wibisana dan Arya Kumbakarna. Kendati telah diguyur kamukten
oleh Prabu Dasamuka, toh akhirnya mereka berseberangan juga dengan Rahwana. Bahkan Gunawan
Wibisana, Sang Arya Balik itu berani melawan kakak kandungnya sendiri setelah bergabung dengan
Prabu Ramawijaya.
Orang Jawa memiliki pedoman hidup dan budi pekerti cukup tinggi. Maka, jangan begitu saja percaya
kalau mereka dipangku akan mati. Huruf Jawa memang begitu. Sebagian orang Jawa juga bisa begitu.
Tetapi, yang lain belum tentu seperti itu.
Contohnya Sutawijaya. Sudah dijadikan anak angkat Sultan Trenggana, dihadiahi tanah perdikan di Hutan
Mentaok, akhirnya malah berhasil membangun Mataram serta menenggelamkan Pajang dan ayah
angkatnya sendiri. Artinya, orang Jawa dapat mati karena dipangku, namun dapat juga tumbuh besar
setelah mengalahkan kungkungan dari pangkuan yang ”mematikan” itu. (35)
1.Ana kidung rumeksa ing wengi,teguh ayu luputa ing lara,luputa bilahi kabeh,jin setan datan purun,
paneluhan tan ana wani, miwah panggawe ala, gunane wong luput, geni anemahan tirta, maling adoh tan
ana ngarah ing kami, guna duduk pan sirna.
2. Sakehin lara pan samja bali, sakehing ama sami miruda, welas asih pandulune, sakehing bradja luput,
kadi kapuk tibanireki, sakehing wisa tawa, sato kuda tutut, kayu aeng lemah sangar songing landak,
guwaning mong lemah miring, mjang pakiponing merak.
3. Pagupakaning warak sakalir, nadyan artja mjang sagara asat, satemah rahayu kabeh, dadi sarira aju,
ingideran mring widhadari, rinekseng malaekat, sakatahing rusuh, pan dan sarira tunggal, ati Adam
utekku Bagenda Esis, pangucapku ya Musa.
4. Napasingun Nabi Isa luwih, Nabi Yakub pamiyarsaningwang, Yusuf ing rupaku mangke, Nabi Dawud
swaraku, Yang Suleman kasekten mami, Ibrahim nyawaningwang, Idris ing rambutku, Bagendali
kulitingwang, Abu Bakar getih, daging Umar singgih, balung Bagenda Usman.
5. Sungsumingsun Fatimah Linuwih, Siti Aminah bajuning angga, Ayub minangka ususe, sakehing wulu
tuwuh, ing sarira tunggal lan Nabi, Cahyaku ya Muhammad, panduluku Rasul, pinajungan Adam syara",
sampun pepak sakatahing para nabi, dadi sarira tunggal.
6. Wiji sawiji mulane dadi, pan apencar dadiya sining jagad, kasamadan dening Dzate, kang maca kang
angrungu, kang anurat ingkang nimpeni, rahayu ingkang badan, kinarya sesembur, winacaknaing toja,
kinarya dus rara tuwa gelis laki, wong edan dadi waras.
7. Lamun arsa tulus nandur pari puwasaa sawengi sadina, iderana gelengane, wacanen kidung iki, sakeh
ama tan ana wani, miwah yen ginawa prang wateken ing sekul, antuka tigang pulukan, mungsuhira lerep
datan ana wani, teguh ayu pajudan.
8. Lamun ora bisa maca kaki, winawera kinarya ajimat, teguh ayu penemune, lamun ginawa nglurug,
mungsuhira datan udani, luput senjata uwa, iku pamrihipun, sabarang pakaryanira, pan rineksa dening
Yang Kang Maha Suci, sakarsane tineken.
9. Lamun ana wong kabanda kaki, lan kadenda kang kabotan utang, poma kidung iku bae, wacakna
tengah dalu, ping salawe den banget mamrih, luwaring kang kabanda, kang dinenda wurung, dedosane
ingapura, wong kang utang sinauran ing Yang Widdhi, kang dadi waras.
10. Sing sapa reke arsa nglakoni, amutiha amawa, patang puluh dina wae, lan tangi wektu subuh, lan den
sabar sukur ing ati, Insya Allah tineken, sakarsanireku, njawabi nak - rakyatira, saking sawab ing ilmu
pangiket mami, duk aneng Kalijaga. Kuwasaning Artadaya
11. Sapa kang wruh Artadaya iki, pan jumeneng sujanma utama, kang wruh namane Artate, masyrik
magrib kawengku, sabdaning kang pandita luwih, prapteng sagara wetan angumbara iku, akekasih
Sidanglana, Sidajati ingaranan Ki Artati, nyata jati sampurna.
12. Ana kidung reke Ki Artati, sapa wruha reke araning wang, duk ingsun ing ngare, miwah duk aneng
gunung, Ki Artati lan Wisamatti, ngalih aran ping tiga, Artadaya tengsun araningsun duk jejaka, mangka
aran Ismail Jatimalengis, aneng tengeahing jagad.
13. Sapa kang wruh kembang tepus kaki, sasat weruh reke Artadaya, tunggal pancer lan somahe, sing
sapa wruh panu......sasat sugih pagere wesi, rineksa wong sajagad, ingkang....iku, lamun kinarya ngawula,
bratanana pitung dina....gustimu asih marma
14. Kang cinipta katekan Yang Widhhi, kang..... madakan kena, tur rineksa Pangerane, nadyan..... lamun
nedya muja samadi, sesandi ing nagara, .....dumadi sarira tunggal, tunggal jati swara, .....aran Sekar
jempina
15. Somahira ingaran Panjari, milu urip lawan milu pejah, tan pisah ing saparane, paripurna satuhu, jen
nirmala waluya jati, kena ing kene kana, ing wusananipun, ajejuluk Adimulya Cahya ening jumeneng
aneng Artati, anom tan keneng tuwa
16. Tigalan kamulanireki, Nilehening arane duk gesang, duk mati Lajangsukmane, lan Suksma
ngambareku, ing asmara mor raga jati, durung darbe peparab, duk rarene iku, awajah bisa dedolan,
aranana Sang Tyasjati Sang Artati, jeku sang Artadaya
17. Dadi wisa mangka amartani, lamun marta temah amisaya, marma Artadaya rane, duk laga aneng
gunung, ngalih aran Asmarajati, wajah tumekeng tuwa, eling ibunipun, linari lunga mangetan, Ki Artati
nurut gigiring Marapi, wangsul ngancik Sundara
18. Wiwitane duk anemu candi, gegedongan reke kang winrangkan, sihing Yang kabesmi mangke, tan
ana janma kang wruh, yen weruha purwane dadi
21. Sagara gunung myang bumi langit, lawan ingkang amengku buwana, kasor ing Artadajane, sagara sat
lan gunung, guntur sirna guwa pesagi, sapa wruh Artadaya, dadya teguh timbul, dadi paliyasing aprang,
yen lelungan kang kepapag wedi asih, sato galak suminggah.
22. Jin prayangan pada wedi asih, wedi asih sagunging drubigsa, rineksa siang-dalune, ingkang anempuh
lumpuh, tan tumama mring awak mami, kang nedya tan raharja, sadaya linebur, sakehing kang nedya ala,
larut sirna kang nedya becik basuki, kang sinedya waluya.
23. Gunung guntur penglebur guweki, sagara sat bengawan sjuh sirna, kang wruh Artadaya reke, pan dadi
teguh timbul, kang jumeneng manusa jati, ngadeg bumi sampurna, Yang Suksma sih lulut, kang manusa
tan asiha, Sang Yang Tunggal parandene wedi asih, Yang Asmara mong raga.
24. Sagara agung amengku bumi, surya lintang mjang wong sabuwana, wedi angidep sakehe, kang
kuwasa anebut, dadya paliyasing prang dadi, paser panah sumimpang, tumbak bedil luput, liwat
sakatahing braja, yen linakon adoh ing lara bilahi, yen dipun apalena.
25. Siang dalu rineksa Yang Widhhi, sasedyane tinekan Yang Suksma, kinedepan janma akeh, karan
wikuning wiku wikan liring puja samadi, tinekan sedyanira, kang mangunah luhung, peparab Yang
Tigalana, ingkang simpen kang tuwayuh jroning ati, adoh ingkang bebaya.
26. Sakehing wisa tan ana mandi, sakehing lenga datan tumama, lebur muspa ilang kabeh, duduk tenung
pan ayu, taragnyana tan ana mandi, sambang dengan suminggah, samya lebur larut, ingkang sedya ora
teka, ingkang teka ora nedya iku singgih lebur sakehing wisa.
27. Yen kinarya atunggu wong sakit, ejin setan datan wani ngambah, rinekseng malaekate, nabi wali
angepung, sakeh ama pada sumingkir, ingkang sedya mitenah, miwah gawe dudu, rinu sak maring
Pangeran, iblis na’nat sato mara mati, tumpes tapis sadaya.
Bêbuka
ki pujangga amengêti
sasmita sakalir
ponang paramengkawi
kongas kasudranira
Katatangi tangisira
masalahing ngaurip
wahananira tinêmu
têmahan anarima
kalirên wêkasanipun
dilalah karsa Allah
bêgja-bêgjane kang lali
luwih bêgja kang eling lawan waspada
padu-padune kepêngin
satiba malanganeya
Sakadare linakonan
Ya Allah ya Rasulullah
NGELMU KYAI PETRUK
By Mas Kumitir
Kepethuk si alu-alu,
Patinira kecucuran.
Ki Daruna Ni Daruni,
DIANGGEP bener tidak selalu karena telah berbuat benar. Dianggep salah
juga tidak melulu karena telah bertindak keliru. Selalu berusaha berbuat bener
bisa saja ujungnya selalu ora kepeneran. Bener dianggep keliru, luput
dianggep bener pun makin jamak terjadi.
Pastilah, dalam ukuran kewajaran, tidak ada yang salah. Mencintai saudara
dengan sepenuh jiwa dan ingin selalu bersama dengannya pastilah sikap
mulia. Lebih-lebih ketika menyediakan diri untuk selalu memanggul setiap bot-repot yang dipikul sang
kakak.
Namun ukuran kewajaran itu tidak begitu berlaku bagi Sumantri. Ambisi untuk bisa tampil hero seorang
diri di hadapan banyak orang, terutama atasan, telah membutakan mata hati untuk melihat setiap
kemuliaan yang didermakan dengan tulus oleh Sukasrana.
Sukasrana selalu dianggap sebagai klilip, kalau bukan malah rintangan yang hanya nyandhung-nyrimpeti.
Karena itu, setiap sumbang sih-nya akan selalu dipandang ora pener.
Puncaknya ketika Sukasrana menyembul di antara perdu Taman Sriwedari, buah karyanya sendiri.
Sumantri merasa penampakan Sukasrana adalah sebuah aib di tengah serbagemerlap kuasa negeri
Maespati. Sumantri panik. Sumantri cemas citra sempurna yang telah ia bangun bakal sirna oleh
kehadiran Sukasrana si buruk rupa.
Sumantri lupa bahwa adiknyalah yang telah memutar taman itu hingga ia dapat memenuhi titah sang raja.
Namun segala jasa Sukasrana terkubur dalam-dalam oleh anggapan yang dibangun di atas ambisi akan
kekuasaan yang hendak ia amankan. Sumantri menghunus keris dan mengarahkan ujungnya ke tubuh
Sukasrana. Para dalang kerap kali menyebut Sumantri sekadar ngagak-agaki, meden-medeni, menakut-
nakuti agar Sukasrana pergi.
Toh, Sukasrana tetap bergeming. Tajamnya keris tak menghalanginya untuk merapat dan dekat dengan
sang kakak. Justru pada ujung keris itulah Sukasrana mengabarkan kepada semua bahwa cinta dan
keterusterangannya bakal menjelma jadi keabadian.
Dusta Nagagini
Soal kebenaran yang dipersalahkan, kesalahan yang dicarikan pembenaran, kisah Anglingdarma bisa
menjadi cerminnya. Tatkala lelana brata masuk di hutan belantara, dia justru mendapati Nagagini, istri
Nagaraja sahabatnya, tengah memadu kasih dengan Ula Tampar.
Melihat perselingkuhan itu, dia merasa tak bisa berdiam diri. Dijemparinglah sang pecundang Ula Tampar
hingga mengenai bagian buntut. Upaya itu dimaksudkan sebagai usaha untuk mengingatkan Nagagini
sekaligus menghukum Ula Tampar yang telah ngrusak pager ayu.
Namun tindakan Anglingdarma bukannya membuat Nagagini sadar, melainkan justru mendorongnya
wadul kepada sang suami. Dhandhang diunekake kuntul, kuntul diunekake dhandhang; hitam dikatakan
putih, sebaliknya putih dikatakan hitam.
Kepada suaminya, Nagagini berkata bahwa Anglingdarma berniat menjamahnya. Adapun Ula Tapar yang
hendak mengingatkan, justru dijemparing oleh Raja Malawapati itu.
Tentu saja sikap Nagagini membuat Anglingdarma berkecil hati. Ia tidak membayangkan jika Nagaraja
yang telah direngkuh sebagai kakaknya itu murka, pastilah dia akan lebur tanpa dadi.
Karena itu, di tamansari Malawapati, kepada Setyawati permaisurinya, Anglingdarma bercerita tentang
hal yang sebenarnya, sekaligus berpamitan karena marasa tak lama akan menemui ajal. Sementara di luar
terdengar suara keras Nagaraja memanggil-manggil agar Anglingdarma segera keluar menemui.
Setelah beberapa saaat, dengan segenap keputusasaan, keluarlah Anglingdarma dari tamansari guna
menemui Nagaraja. Namun di luar dugaan, Nagaraja justru menyambut adiknya itu dengan pelukan
hangat. Kepada Anglingdarma, Nagaraja malahan menganugerahkan Aji Gineng, yakni ajian yang
membuat pemiliknya bisa memahami bahasa segala binatang.
Ternyata sebelum memanggil-manggil, dengan menyamar sebagai ular picis, Nagaraja telah menyadap
pembicaraan Anglingdarma dengan Setyawati. Dari situlah ia tahu, apa yang dikatakan oleh istrinya dusta
belaka.
Persekongkolan
Pemutarbalikan kebenaran, sebagaimana yang dilakukan oleh Nagagini, kerapkali tidak hanya dilakukan
oleh seorang diri. Ada yang menjadi perancang skenario, ada yang kemudian menjalankannya.
Pada lakon ketoprak Bayi Lair Sajroning Kubur yang dimainkan oleh grup Sapta Mandala Yogyakarta
kiranya menandaskan hal itu. Jayengkusuma, putra mending Prabu Ranggajaya dari prameswari yang
telah meninggal dan Jayengrasa, putra garwa prameswari sambungan (Asmarawati), terlibat dalam
kompetisi untuk memegang tampuk pemerintahan Jenggala. Syaratnya, bisa mempersembahkan Keris
Nagarunting Luk Sanga.
Keris itu berada di Pertapan Tegalwening. Jayengrasa terlebih dahulu sampai di situ, bertemu dengan
Retnasih, anak pertapa pemilik keris sakti itu. Malahan Jayengrasa jatuh cinta pada Retnasih, namun
endang pertapan itu menolak halus.
Selang beberapa saat datanglah Jayengkusuma, bertemu sang pertapa dan mendapatkan Keris
Nagarunting serta mempersunting Retnasih. Jayengkusuma pun bertakhta dan menjadikan Retnasih
sebagai permaisuri.
Tak lama setelah bertakhta, datanglah pasukan Prabu Gajah Angun-angun yang hendak menaklukkan
Jenggala. Prabu Jayengkusuma berangkat ke medan laga dan meninggalkan Retnasih di keraton.
Itulah saat yang ditunggu oleh Asmarawati dan Jayengrasa yang merasa cintanya ditolak oleh Retnasih.
Mereka menyiksa Retnasih yang sedang mengandung. Ujung-ujungnya Retnasih meninggal. Jasadnya
dikubur di sebuah pemakaman jauh dari keraton.
Ketika Jayengkusuma pulang dari medan laga, tentu saja Asmarawati yang ditopang oleh Patih
Basunanda memutarbalikkan fakta yang sebenarnya. Namun dengan kemunculan bayi yang lahir dalam
kuburan, akhirnya terkuaklah persekongkolan itu.
Ya, siapa pun meski selalu gandrung pada kebenaran, bisa kena awu anget sebagaimana yang dialami
oleh Anglingdarma ataupun Retnasih. Namun dalam sungsang bawana balik kebenaran macam apa pun,
tetap saja berlaku hukum ”becik kettitik ala ketara”, ”sapa salah seleh”, dan ”tekuk runtut janaloka, sapa
wani luput bakal ketiban pidana”. (35)
—Sucipto Hadi Purnomo, dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa FBS Universitas Negeri Semarang
(/)
Mas Kumitir –demikian dia dipanggil oleh antar blogger– dikenal memiliki minat luas terhadap budaya,
falsafah dan sastra Jawa. Sebelum dia mengenal blog, dia lebih suka untuk menulis renungannya di kertas
seadanya, bahkan di kertas rokok dan sobekan koran. Setelah kini ia punya blog, dia menumpahkan
perenungannya di jagad maya tersebut dan hasilnya, banyak blogger yang terbantu dengan kehadiran
alangalang kumitir.
Yang aneh, mas Kumitir termasuk buta kampus, sama sekali ia tidak terbiasa dengan karya-karya ilmiah,
makalah maupun skripsi. Ia lebih cenderung mengenal puisi, suluk dan kekidungan yang bentuk nya
lebih bebas, tidak kaku dan kering.
Itu sebabnya, ia lebih suka untuk diam dan mendengarkan bila kebetulan ada diskusi tentang hal-hal yang
berbau spiritual yang dihadirinya. Sambil sesekali memberi komentar. Itupun bila diminta oleh yang lain.
Sebab, bahasa, menurut mas Kumitir, sebenarnya mereduksi kekayaan realitas menjadi sekedar
representasi belaka. “Bahasa itu hanya simbol dan simbol tidak mewakili apa yang sesungguhnya. Yang
spiritual itu ya RASA. Bukan kata-kata dan bahasanya,” terang mas Kumitir.
Ia kini menetap di sebuah gubuk di tengah sawah yang sunyi berbaur dengan kodok dan kadal. Mungkin,
kandang kambing di sampingnya lebih bersih. Tapi ia mencuri perhatian dunia budaya Jawa. Barangkali
Mas Kumitir lebih cocok bila disebut sebagai pekerja budaya spiritual Jawa ketimbang hanya sebagai
pengamat pasif saja.
Itu gara-gara ia rajin mengumpulkan serat, babad, suluk dari buku-buku bekas yang diperolehnya di
berbagai kota dan kampus. Kadang ia juga sedikit mencoret-coret kertas untuk menulis laku dan
perjalanan spiritualnya. Coretannya kadang berbentuk puisi sederhana tapi ”magis” dan menyentuh.
Hasil tulisan para pujangga jawa kuno itu diketik lagi, dan juga coretannya sendiri selanjutnya diupload
diblog. Sejak pertengahan tahun 2008 mas Kumitir rutin mendokumentasi kegiatan spiritual yang pernah
dilakoni. Sebelum kenal blog, dia lebih banyak menyimpan pengalamannya di ingatan saja.
Rekan-rekan dan kenalan yang kebetulan membuka blog tersebut rupanya iseng-iseng memberi komentar.
”Tadinya saya khawatir karena terkadang agak menyinggung perasaan Mas Kumitir. Namun ternyata dia
menanggapinya dengan bijaksana,” tutur sang teman mengenang.
Isi blog mas kumitir banyak yang berbentuk macapat dan kekidungan. Alur logikanya melompat ke
depan. Kadang memang seperti diluar akal sehat sepadan dengan hidup sehari-hari Mas Kumitir yang
meskipun senang dengan kesederhanaan, namun mengesankan, nyeleneh dan unik. Yang mengesankan
dari seorang Mas Kumitir adalah melakoni pencarian jati diri dan sangkan paraning dumadi secara total.
Tidak ingin pikirannya terlena oleh urusan dunia yang fana ini, Mas Kumitir bahkan rela untuk memilih
hidup yang merdeka.
Waktunya dihabiskan dengan berkelana di tempat tempat yang sunyi dan bila tidak sedang melakukan
perjalanan ke luar kota, dia biasanya ada di gubuknya hingga larut malam. Di depan komputer yang
mengalunkan gending-gending jawa, Mas Kumitir mengerutkan kening dan jari jemarinya mencakar-
cakar tuts. Membuka blog dan mengupload artikel. Itulah ritualnya.
Mas Kumitir punya kebiasaan bersepeda gunung seorang diri. Bila sedang bersepeda, akunya, ia bisa
menikmati hidup. “Ternyata kita ini bukan siapa-siapa. Kita ini kecil dihadapan alam raya yang luasnya
tidak kita ketahui,” ujarnya pemilik sepeda gunung warna hijau ini.
Namun, kita akhirnya terheran-heran karena kesukaannya untuk bersepeda itu ternyata menghasilkan
karya yang bisa diakses orang banyak.
Ini gara-gara ternyata ada peminat atas karya-karyanya. Seorang pengelola website pernah menawatinya
menjadi nara sumber rubrik budaya jawa. Apa komentar Mas Kumitir? “Biar rekan-rekan blog lain saja
yang jadi narasumber. Saya tidak bisa berargumentasi dan berdebat,” ujarnya sambil menghisap kretek
bercangklong.
Hidup memang harus dinikmati, dan setiap individu memiliki caranya masing-masing untuk memayu
hayuning bawono. Begitu pula dengan Mas Kumitir yang lebih memilih untuk mengabdi dan melukis di
kanvas jagad mayapada ini dengan caranya sendiri. “Kebenaran milik Gusti Kang Murbeng Jagad. Tidak
ada yang tidak mungkin bagi Dia. Apabila Dia berkehendak semuanya menjadi mungkin. Bisa-bisa
hukum alam tidak berlaku,” ujarnya.
Malam semakin larut, jarum jam menunjuk ke angka 12.30 WIB. Saya mencoba membuka blog alang-
alang kumitir. Ternyata ada salah satu karya yang baru saja diupload. Saya akhirnya membayangkan di
kegelapan malam, remang-remang, disinari hanya cahaya bulan Mas Kumitir biasanya duduk sendirian di
luar gubuknya. Tangan kanannya memegang bolpen, tangan kirinya menimang-nimang buku jawa lawas.
Terlihat serius, ia menulis.
Wong Alus
Mas Kumitir –demikian dia dipanggil oleh antar blogger– dikenal memiliki minat luas terhadap budaya,
falsafah dan sastra Jawa. Sebelum dia mengenal blog, dia lebih suka untuk menulis renungannya di kertas
seadanya, bahkan di kertas rokok dan sobekan koran. Setelah kini ia punya blog, dia menumpahkan
perenungannya di jagad maya tersebut dan hasilnya, banyak blogger yang terbantu dengan kehadiran
alangalang kumitir.
Yang aneh, mas Kumitir termasuk buta kampus, sama sekali ia tidak terbiasa dengan karya-karya ilmiah,
makalah maupun skripsi. Ia lebih cenderung mengenal puisi, suluk dan kekidungan yang bentuk nya
lebih bebas, tidak kaku dan kering.
Itu sebabnya, ia lebih suka untuk diam dan mendengarkan bila kebetulan ada diskusi tentang hal-hal yang
berbau spiritual yang dihadirinya. Sambil sesekali memberi komentar. Itupun bila diminta oleh yang lain.
Sebab, bahasa, menurut mas Kumitir, sebenarnya mereduksi kekayaan realitas menjadi sekedar
representasi belaka. “Bahasa itu hanya simbol dan simbol tidak mewakili apa yang sesungguhnya. Yang
spiritual itu ya RASA. Bukan kata-kata dan bahasanya,” terang mas Kumitir.
Ia kini menetap di sebuah gubuk di tengah sawah yang sunyi berbaur dengan kodok dan kadal. Mungkin,
kandang kambing di sampingnya lebih bersih. Tapi ia mencuri perhatian dunia budaya Jawa. Barangkali
Mas Kumitir lebih cocok bila disebut sebagai pekerja budaya spiritual Jawa ketimbang hanya sebagai
pengamat pasif saja.
Itu gara-gara ia rajin mengumpulkan serat, babad, suluk dari buku-buku bekas yang diperolehnya di
berbagai kota dan kampus. Kadang ia juga sedikit mencoret-coret kertas untuk menulis laku dan
perjalanan spiritualnya. Coretannya kadang berbentuk puisi sederhana tapi ”magis” dan menyentuh.
Hasil tulisan para pujangga jawa kuno itu diketik lagi, dan juga coretannya sendiri selanjutnya diupload
diblog. Sejak pertengahan tahun 2008 mas Kumitir rutin mendokumentasi kegiatan spiritual yang pernah
dilakoni. Sebelum kenal blog, dia lebih banyak menyimpan pengalamannya di ingatan saja.
Rekan-rekan dan kenalan yang kebetulan membuka blog tersebut rupanya iseng-iseng memberi komentar.
”Tadinya saya khawatir karena terkadang agak menyinggung perasaan Mas Kumitir. Namun ternyata dia
menanggapinya dengan bijaksana,” tutur sang teman mengenang.
Isi blog mas kumitir banyak yang berbentuk macapat dan kekidungan. Alur logikanya melompat ke
depan. Kadang memang seperti diluar akal sehat sepadan dengan hidup sehari-hari Mas Kumitir yang
meskipun senang dengan kesederhanaan, namun mengesankan, nyeleneh dan unik. Yang mengesankan
dari seorang Mas Kumitir adalah melakoni pencarian jati diri dan sangkan paraning dumadi secara total.
Tidak ingin pikirannya terlena oleh urusan dunia yang fana ini, Mas Kumitir bahkan rela untuk memilih
hidup yang merdeka.
Waktunya dihabiskan dengan berkelana di tempat tempat yang sunyi dan bila tidak sedang melakukan
perjalanan ke luar kota, dia biasanya ada di gubuknya hingga larut malam. Di depan komputer yang
mengalunkan gending-gending jawa, Mas Kumitir mengerutkan kening dan jari jemarinya mencakar-
cakar tuts. Membuka blog dan mengupload artikel. Itulah ritualnya.
Mas Kumitir punya kebiasaan bersepeda gunung seorang diri. Bila sedang bersepeda, akunya, ia bisa
menikmati hidup. “Ternyata kita ini bukan siapa-siapa. Kita ini kecil dihadapan alam raya yang luasnya
tidak kita ketahui,” ujarnya pemilik sepeda gunung warna hijau ini.
Namun, kita akhirnya terheran-heran karena kesukaannya untuk bersepeda itu ternyata menghasilkan
karya yang bisa diakses orang banyak.
Ini gara-gara ternyata ada peminat atas karya-karyanya. Seorang pengelola website pernah menawatinya
menjadi nara sumber rubrik budaya jawa. Apa komentar Mas Kumitir? “Biar rekan-rekan blog lain saja
yang jadi narasumber. Saya tidak bisa berargumentasi dan berdebat,” ujarnya sambil menghisap kretek
bercangklong.
Hidup memang harus dinikmati, dan setiap individu memiliki caranya masing-masing untuk memayu
hayuning bawono. Begitu pula dengan Mas Kumitir yang lebih memilih untuk mengabdi dan melukis di
kanvas jagad mayapada ini dengan caranya sendiri. “Kebenaran milik Gusti Kang Murbeng Jagad. Tidak
ada yang tidak mungkin bagi Dia. Apabila Dia berkehendak semuanya menjadi mungkin. Bisa-bisa
hukum alam tidak berlaku,” ujarnya.
Malam semakin larut, jarum jam menunjuk ke angka 12.30 WIB. Saya mencoba membuka blog alang-
alang kumitir. Ternyata ada salah satu karya yang baru saja diupload. Saya akhirnya membayangkan di
kegelapan malam, remang-remang, disinari hanya cahaya bulan Mas Kumitir biasanya duduk sendirian di
luar gubuknya. Tangan kanannya memegang bolpen, tangan kirinya menimang-nimang buku jawa lawas.
Terlihat serius, ia menulis.
Wong Alus
« NEGARAKERTAGAMA
SANGKAN PARAN »
NGELMU URIP
By Mas Kumitir
Ngelmu Urip #1
Anane tak wenehi irah-irahan ‘ngelmu urip’ amarga ‘ngelmu Jawa’ iku pancadane babagan nglakoni urip
tumraping manungsa ana ing ngalam donya. Fokus utamane tumuju nglakoni urip sing bener, becik lan
pener murih bisa ‘titis ing pati’. ‘Titis ing pati’ iku ora ngrembuk suwarga lan neraka. Nanging luwih
tumuju bisowa ngulihake sakabehing ‘unsur-unsur’ kang mangun wujuding ‘manungsa urip’ marang
sumbere dhewe-dhewe kanthi sampurna. Sing saka unsur alam (geni, lemah, angin, banyu) bali marang
sumber-sumbere kang ‘azali’. Sing saka cahya lan teja ya bali marang sumber azaline. Dene suksma (dzat
urip, ruh) ya bali marang Suksma Kawekas (Guruning Ngadadi, Dzat Sejatining Urip). Wondene kang
maune ‘wujud’ ninggala jeneng kang becik kang bisa tinulad dening turas (anak turune).
Amarga piwulange ngenani ‘ngelmu urip’, mulane piwulang Jawa luwih migatekake babagan urip
bebarengan karo sakabehing titah. Kanyatan kang ora bisa dibantah, menawa manungsa ora bisa urip ijen,
nanging kudu bebarengan karo manungsa liyane lan sakabehing titah kang manggon ing alam donya
(Ngarcapada) kene iki. Holistik, mangkono anggone para ahli menehi tenger marang wawasan (falsafah)
Jawa iki. Karepe, menawa sakabehing ‘kang ana’ ing alam semesta iki ana sesambungane sacara ‘kosmis-
magis’. Kang mangkene iki tumrape wong Jawa sejatine wis mbalung sungsum dadi otot bayu. Karepe,
wis dadi ‘naluri dasar’ kanggone wong Jawa.
Piwulang Jawa kang wujud ngelmu lan laku tumangkare wiwit saka sumber asal biyen-biyene nganti
tumekane jaman saiki ora sarana anane ‘sistim pendidikan’. Mung sarana gethok tular ing antarane
‘sesepuh’ marang generasi bacute. Nanging pilih-pilih marang sing bisa
ditulari kawruh. Mulane saya auwe saya tipis lan terasing saka wong Jawa dhewe. Malah-malah saking
ora ngertine lan kebacut nyecep kawruh saka kabudayan lan peradaban saka manca banjur nganggep
ngelmu lan laku Jawa iku mung gegayutan karo olah kebatinan. Sing ekstrim banjur ngarani yen klenik,
tahayul lan gugon tuhon.
Kemajuan jaman ing wektu iki ndadekake manungsa mundhak pinter lan mulur nalare. Mula yen
ngadhepi bab-bab sing kurang ‘nalar’ padha ora tertarik. Kabeh-kabeh dianggep kudu logika penalaran
kang klebu akal. Yen ora, dianggep omong kosong nggedebus adol abab. Apamaneh tuntutan kanggo
‘survive’ ing jaman saiki butuh ‘segala daya’. Genahe, wektu iki ana ‘pergerakan’ peradaban tumraping
manungsa sak jagad. Owah-owahan kang dumadi rikat banget lan akeh wong sing ‘bengong’ semlengeren
ora gaduk nalare kanggo ‘memahami’. Sing operasional kari ‘naluri defensif’ supaya tetep ‘survive’.
Kabeh butuh urip kang underane (manut Wedhatama): kecukupan kebutuhan sandhang-pangan-papan
(kerta utawa arta), kajen keringan ing tengahing bebrayan (wirya) lan pinunjul ngelmu lan kawruhe
(winasis). Menawa salah siji bab tetelu mau ora diduweni banjur banget nisthane kang diupamakake
‘luwih aji godhong jati aking’. Senajan diskripsi underane kebutuhan urip wis cetha diterangake, nanging
kanyatane ora saben uwong bisa nggayuh kanthi sampurna. Ing tengahing masyarakat ana sing sugih pol
ning ya ana sing mlarat banget. Ana sing bisa dadi panutaning liyang (nggayuh kawiryan) nanging ana
sing dadi ‘memalaning bebrayan’. Ana sing pinter, nanging ya akeh sing bodho lan bloon banget.
Kabeh prabedaning manungsa sing siji lan liyane kanyatane ana ing tenghing masyarakat. Mula ana
‘potensi ketegangan’ kang ora ana enteke.
Mbok menawa bae sakabehing ajaran agama lan ideologi kang lair ing donya iki salah siji tujuwane
kanggo ngawekani murih rukune manungsa. Potensi ketegangan diredam nganggo hukum negara, adat,
ajaran agama lan etika moral liyane. Semono uga ngelmu lan laku Jawa uga duwe tujuwan kanggo gawe
tata tentrem kerta raharjaning bebrayan. Mung bae, cara Jawa iku lueih tumuju marang rekadaya nata
‘kesadaran’ batine manungsa katimbang gawe hukum-hukum kang ngatur tumindake saben manungsa ing
bebrayane. Ya kanggo nata ‘kesadaran’ iku anane ngelmu lan laku ana ing piwulang Jawa. Pitakone, apa
ngelmu lan laku Jawa isih relevan kanggo ngadhepi persoalan urip ing jaman globalisasi wektu iki ?
Nilai-nilai budaya lan peradabane manungsa pancen owah gingsir manut jaman kelakone. Ngelmu lan
laku kang ana ing piwulang Jawa wernane akeh lan duwe piguna dhewe-dhewe. nanging umume, gunane
kanggo kepentingan urip. Kamangka wateking manungsa urip uga werna-werna. Ana sing ‘becik-bener-
pener’ kanggo kepentingane urip bebarengan, nanging ya akeh sing ‘ala-salah-ngawur’ sing ngrusak
bebrayan. Anehe, kok ngelmu lan laku kanggo kekarone ya ana kabeh ing jagad Jawa. Kabeh pancadane
kanggo sangu nglakoni urip. Kanthi mangkono pancen rada abot angone arep njlentrehake bab sakabehing
ngelmu lan laku Jawa. Mulane, murih kepenake anggonku ngaturake ‘Ngelmu Urip’ ing postingan iki tak
rujukake marang serat-serat kapujanggan kayadene Wulangreh, Wedhatama, lan liya-liyane. Muga-muga
Gusti Kang Murbeng Dumadi ngeparengake.
Ngelmu Urip #2
Pancadane ‘Ngelmu Urip’ iku ‘eling’, yaiku eling marang ‘sejatining urip’ utawa ‘hakekating urip’
tumraping manungsa. Manungsa iku titah pinunjul katimbang titah liyane. Pinunjule amarga kaparingan
‘perangkat urip’ kang ana ing khasanah Jawa disebut ‘cipta-rasa-karsa’. Tinengeran ana ing aksara Jawa:
“ha-na-ca-ra-ka” kang tegese ‘utusan’ (hananira hananing Hyang) kang diparingi cipta (ca), rasa (ra), lan
karsa (ka). Ya peparing ‘cipta-rasa-karsa’ iki kang mbedakake titah manungsa karo titah liyane.
‘ana (lair) – dadi momongan wong tuwane – dhiwasa (bisa golek pangan dhewe) – kawin – duwe anak
(momong) – ngentasake momongane – mati’. Siklus kang mangkene iki ora ming tumrape manungsa,
nanging titah-titah liyane iya duwe siklus mangkene. Tegese, mung nglakoni naluri alamiah. Ora
ngoperasionalake perangkat urip peparinging Gusti Kang Maha Kuwasa kang njalari manungsa iku
disebut ‘titah utama’. Menawa miturut basa agama Islam manungsa iku dipapanake (diposisikan) dadi
‘Kalifatullah fil ardhi’, wakile utawa utusane Gusti Allah neng ngalam donya. Nangin perlu dieling-eling
menawa manungsa kang bisa dadi utusan utawa wakile Gusti Allah iku cetha sing bisa ngoperasionalake
‘cipta-rasa-karsa’-ne kang jumbuh karo kersane Gusti Kang Murbeng Dumadi. Dudu sing mung
operasional naluri alamiahe kaya kang tak aturake ing ndhuwur.
Kanggo bisa operasionalake ‘cipta-rasa-karsa’ dibutuhake ‘ngelmu’ lan ‘laku’. Ngelmune kanggo
mangerteni (memahami) babagan sejatining ‘cipta-rasa-karsa’ iku. Dene lakune kanggo mapanake
pangerten ngelmu dadi watak-wantu. Menawa dirembuk nganggo basa Inggris ‘watak-wantu’ iku
nglingkupi :
knowledge, attitude, skill, aptitude, lan habit kang bisa disingkat KASAH. Ya ing kene iki salah sijine
cara kanggo mangerteni unen-unen “ngelmu iku kelakone kanthi laku”. Tegese: ngelmu iku bisa manjing
dadi watak wantune manungsa manawa dikantheni laku. Gandheng ‘cipta-rasa-karsa’ iku manggone ana
ing manungsa urip, mula ngelmune ya ngelmu urip, lakune ya laku nglakoni urip. Pitakonane, nek ana
‘ngelmu urip’, mesthine ya ana ‘ngelmu mati’. Pancen ya ana,
yaiku ‘ngelmu-ngelmu’ sing mentingake kanggo persiapan mati. Sakabehing dayaning urip kanggo
persiapan mati. Ana kang ‘tata lair’, upamane petungan kanggo nyukupi kebutuhane ahli waris njur
numpuk bandha kang perlu diwarisake. Ana kang ‘ranah kebatinan’, umpamane ngelmu ‘mati sajroning
urip’ kang pakertine (cara nglakoni) kanthi nglereni obahing ‘cipta-rasa-karsa’. Yaiku tapa brata neng
papan sepi nyingkir saka bebrayan (masyarakat).
Ngelmu sing kaya mangkono iku ora salah lan ora kleru. Amarga subyektif banget, kaitane karo
‘persepsi’ saben uwong babagan jejibahan urip kang beda-beda. Mulane ana ing khasanah Jawa, iya ana
ngelmu-ngelmu sing mentingake ‘persiapan mati’ iku. Nyuwun pangapunten, babagan ‘ngelmu mati’ iki
kareben diterangake sedulur liya sing luwih nguwasani. Jujur bae, KSM ora pati mudheng. Ngelmu urip
iku ora mung ing babagan tata lair, nanging uga ana gegayutane karo kebatinan. Amarga manut filosofi
Jawa, ana gegayutan (hubungan) ‘kosmis-magis’ ing antarane jagad cilik (manungsa urip) karo jagad
gedhe (alam semesta). Pangertene ndudut saka ‘kawruh sangkan paraning dumadi’. Menawa manungsa
urip iku kawangun saka unsur telung perkara, yaiku: materi (bumi lan langit), cahya lan teja, sarta suksma
sejati (dzat urip, roh). Katelune unsur-unsur iku asale saka ‘Guruning Ngadadi’ kang uga disebut ‘Suksma
Kawekas’, kang ora liy iya Gusti Kang Murbeng Dumadi sing dadi sesembahane sagunging titah dumadi.
Kanthi andaran kasebut ing nduwur, filosofi Jawa kanyatane kanthi cetha wela-wela nerangake anane
‘Sesembahan’ kang disebut ‘Gusti Kang Murbeng Dumadi’, ‘Hyang Agung”, ‘Hyang Suksma Kawekas’,
‘Guruning Ngadadi’ lan sebutan-sebutan liyane kang akeh banget cacahe. Panjenengane R. Ng.
Ranggawarsita ngumpulake sesebutan tumrap ‘Sesembahan’ Jawa iku ana ing seratane, ‘Paramayoga’.
Ngelmu Urip #3
Pokok baku dhedhasarane ‘ngelmu urip” iku ana 3 (telung) prekara : 1) kesadaran anane Sesembahan
(keber-Tuhan-an, 2) kesadaran kesemestaan (hubungan kosmis-magis jagad cilik lan jagad gedhe), 3)
kesadaran kautamaning urip (keberadaban). Katelune ora bisa mlaku dhewe-dhewe, nanging kudu nyawiji
dadi sawijining pangerten (kawruh). Lumrahe padha diarani ‘Kawruh Kejawen’.
Aturku ing ndhuwur iku minangka pambukaning pangerten menawa ‘Kawruh Kejawen’ iku sawijining
kawruh babagan ‘Sejatining Urip’ utawa ‘Hakekating Urip’. Dudu ajaran agama, wong ora duwe ‘kitab
suci’ lan ‘nabi’ (utusan) kang piniji Gusti kanggo mulang-muruk manungsa kaya salumrahe ‘definisi’
agama.
Kawruh Kejawen pancadane saka olah ‘cipta-rasa-karsa’ para empu lan pujangga Jawa (para jenius Jawa)
wiwit jaman prasejarah nganti tumekaning peradaban lan kabudayan kang nga-Jawa. Ing kene banjur ana
sintesa, asimilasi lan hybrid ing antarane pangerten-pangerten Jawa karo nilai-nilai budaya lan peradaban
(klebu pangerten agama) sing tumeka ing tanah Jawa. Senajan ana sinergi lan sinkretisme, nanging pokok
baku pancadane Kawruh Kejawen 3 (telung) perkara kasebut ing ndhuwur ora ilang lan kesilep, amarga
mapan manggon ana ing bab ‘sejatining urip’. Bisa uga, malah aweh jembaring pangerten (melengkapi
pemahaman) ajaran-ajaran agama. Nanging perkara iki becike ora digawe rembuk, amarga njur mlebu ana
ing ‘Ilmu Perbandingan Agama’ kaya kang diwulangake ing perguruan-perguruan agama. Kang tak
aturake mligi ‘konsep-konsep pandangan Jawa’, supaya bisa dimangerteni dening bebrayan masyarakat
kareben ora ‘salah paham’.
Ana ing jagad ngelmune wong Jawa, ana kang disebut Kawruh Kasampurnan. Yaiku sawijining ngelmu
kanggo nggayuh kasampurnaning urip. Kang dikarepake ‘urip sampurna’ iku nglingkupi tata lair lan
kebatinan. Ing tata lair wis kacetha kaya kang disebut ing Wedhatama: “wirya arta tri winasis”. Kajen
keringan, cukup sandhang pangan papan, lan pinunjul ing kapinterane. Dene ing babagan ‘kebatinan’ sing
dikarepake ‘urip sempurna’ iku lamun bisa ‘titis ing pati’. Yaiku bisa ngulihake (mbalekake) kanthi
sampurna sakabehing ‘gadhuhan’ marang sing kagungan. Menawa wujude manungsa urip iku kedadeyan
saka unsur-unsur: bumi langit, cahya lan teja, sarta dzat urip (suksma, roh), sempurnane menawa bisa
ngulihake unsur-unsur mau marang sumbere dhewe-dhewe.
Unsur materi saka bumi lan langit sarta unsur cahya lan teja, bisa bali sampurna nalikane manungsa mati
(pishing raga lan suksma). Nanging baline dzat urip (roh, suksma) marang Dzat Sejatining Urip, angel
bisane sampurna. Manut keterangan ing kawruh sangkan paran (Wedaran Sang Wiku), angel sampunane
iku jalaran ‘dzat urip’ wis suda kasuciane. Sudane amarga kawoworan rereged saka asiling pakerti nalika
nglakoni urip. Uga saka jalaran durung rampung anggone netepi wajib nindakake sabda dhawuhing Gusti
Kang Maha Kuwasa. Akeh-akehe padha leren ana ing ‘alam pangrantunan’ (suwarga pangrantunan).
Utawa malah kesasar ana ing alaming lelembut, alaming sato kewan, utawa kesangsang dadi dhanyang
neng kayu lan watu.
Gandheng bisa sampurna loan orane ‘dzat urip’ (suksma) bali marang sumbere (Dzat Sejatining Urip,
Suksma Kawekas, Guruning Ngadadi) gumantung saka pakerti nalika nglakoni urip neng ngalam donya,
mula banjur ana paugeran-paugeran kang tumuju marang kasampurnaning urip iku. Iya ing kene iki
‘ngelmu urip’ kang dirembuk iki ana tegese.
Ngelmu Urip #4
Menawa manungsa urip ijen, sejatine ora butuh ilmu lan ngelmu. Cukup naluri alamiahe wae. Nanging
nalika urip bebarengan karo manungsa liyane lan karo titah dumadi liyane dibutuhake ilmu lan ngelmu.
Dadine, ngelmu urip iku lumakune kanggo nuntun manungsa nglakoni urip bebarengan ing ngalam
donya.
Ilmu iku ngoperasionalake nalar utawa cipta, dene ngelmu sing dioperasionalake cipta-rasa-karsa. Mula
ya beda tatacarane ngudi antarane ilmu lan ngelmu. Menawa ngudi ilmu iku lumrahe saka sekolahan lan
pawiyatan-pawiyatan, dene ngudi ngelmu ora cukup semono, nanging kudu disranani laku murih bisa
manjing ing sajroning batin.
Ana ing khasanah Jawa kang luwih diudi iku ‘ngelmu’, mulane kadhang kala lumrahe wong Jawa iku sok
diarani ‘bodho’ ana ing ‘ilmu pengetahuan’. Keladuking panganggep, Jawa iku kakehan klenik lan gugon
tuhon. Rumit, mbulet, angel dinalar, lan ora duwe ‘greget’ pepinginan marang kemajuwan. Sing diudi
mung kasekten lan tapa brata.
Panganggep sing mangkono iku pancene ada alasane. Contone, bisa gawe candhi Borobudur apadene
Prambanan sing cetha butuh ilmu pengetahuan werna-werna tingkat tinggi, nanging kanyatane ora
marisake ilmu matematika, ilmu fisika, mekanika, lan ilmu pengetahuan liyane. Kamangka lagi milih
panggonan kanggo ngedegake candhi-cndhi iku wae wis kabukten pener banget. Uga ing babagan
kalender (almanak) sing njlimet nganti bisa nemtokake wektu kang akurasine luar biasa, nanging kok ora
ana tinggalan bab angka-angka pangetunge. Manut ngendikane para pakar, menawa ing bab petungan
(ping, para, lan, suda, kuwadrat, lsp.) wong Jawa nganggo cara ‘awangan’. Panemu mangkene iki bisa uga
pancen bener. Jalaran operasionale ‘cipta-rasa-karsa’ iku mapan manggon ing ‘daya spiritual’ kang
diduweni manungsa. Ora bisa ditulis kayadene ilmu-ilmune wong Barat.
Ora beda karo ilmu nalar, ngelmu ‘cipta-rasa-karsa’ uga ana tataran cendhek lan dhuwure. Ana manungsa
kang nalare dhedhel sing bodhone ora karu-karuwan, pijer nunggak sing sekolah. Semono uga ing bab
ngelmu ‘cipta-rasa-karsa’ ya ana sing maju lan ana singsendhet ora mundhak babar bisan senajan wis
meguru neng pirang-pirang para sepuh. Malah-malah wis nglakoni laku pirang-pirang werna uga ora ana
kaundhakane.
Akeh-akehe padha nganggep menawa ngudi ngelmu ‘cipta-rasa-karsa’ iku padha karo wong ngudi ilmu
pengetahuan. Bakune karep sing kenceng thok. Kamangka banget bedane. Menawa ngudi ilmu sing
dibutuhake pancen ‘kekarepan’ utawa ‘cita-cita’ (semangat). Dene ngudi ngelmu sing dibutuhake malah
menebake ‘kekarepan’ murih bisa ‘ênêng’ lan ‘êning’. Bisane ‘ênêng’ lan ‘êning’ iku disranani ‘laku’ lan
butuh ‘kas kang nyantosani setya budya pangekesing dur angkara’ (niat kang mantep nduweni budi
luhur). Dadine, kang luwih dhisik kudu diduweni kanggo ngudi ngelmu iku ‘budi luhur’.
Ngudi ngelmu ora bisa menawa mung kanggo ‘pelarian’ jalaran semplah kelangan semangat ngadhepi
urip. Upamane, rekasa golek pegaweyan (golek sandhang pangan) njur nekuni ‘ngelmu kebatinan’.
Panganggepe, nek wis nglakoni ‘lakubrata’ werna-werna njur gampang entuk pegaweyan utawa gampang
rejekine. Modhel pelarian sing kaya mangkene iki akeh banget tinemu ing tengahing bebrayan.
Salah kaprah panemu liyane, ‘ngelmu’ iku bisa kanggo mrantasi pirang-pirang perkara. Ing antarane
kanggo nylametake dhiri saka tumindak salah lan ala. Upamane, murih ora kena ‘jerat hukum’ sawise
korupsi njur nglakoni ‘lakubrata’ utawa golek ‘backing spiritual’ marang ‘sesepuh’. mBok menawa wae
pancen ana kasekten-kasekten sing bisa kanggo kepentingan kang mangkono. Nanging kasekten kang
mangkono iku dudu ‘ngelmu urip’ kang ‘bener-becik-pener’. Ana ing Wedhatama, kasekten jinis
mangkono iku diarani ‘ngelmu karang’. Kekerane (kekuwatane) saka asile kekarangan (bersekutu) karo
bangsaning gaib. Ora rumasuk jroning
daging (ora manjing ing jroning batin). Ngibarate mung manggon ing kulit kayadene boreh (wedhak
pupur) alias apus-apus utawa palsu. Mula ora bisa diandelake kanggo nglakoni urip kang ‘bener-becik-
pener’. Ewa semono, kanyatane ing tengahing bebrayan akeh pawongan kang bebudene seneng golek
gampang. Samubarang apa wae dianggep bisa diprantasi nganggo kekuwatan spiritual silihan saka
bangsaning gaib mau.
Ngelmu Urip #5
Budi Luhur minangka dhedhasarane ‘ngelmu urip’. Ajaran Jawa nduweni konsep menawa urip
bebarengan iku kudu tata (tertib), tentrem (aman tenteram), kerta (makmur) lan raharja (sejahtera). Bisane
wujud menawa para manungsane iku nduweni budi luhur. Murih bisa duwe budi luhur kudu nyecep
‘piwulang kautaman’.
Apa wae sing diwulangake ing ‘piwulang kautaman’ iku ngandhut ‘kawruh’ lan ‘laku’. Tegese ora mung
bisa ngerti bab kawruhe, nanging uga kudu dilakoni apa kang diwulangake. Babon baku piwulang
kautaman mulangake kawruh murih manungsa padha ‘eling’ marang kajatene. Yaiku titah kang diparingi
kaluwihan wujud ‘cipta-rasa-karsa’. Mula kaelingan sing ‘bener-becik-pener’ yaiku :
1. Eling menawa dadi titahing Gusti (Sangkan Paran, Manunggaling Kawula Gusti).
2. Eling menawa dititahake manggon ing planet bumi kang ora ijen anane, nanging minangka bagian cilik
saka ‘alam semesta’. (Jumbuhing jagad cilik lan jagad gedhe).
4. Eling manwa kudu tansah ngutamakake kerukunan karo manungsa liyane lan titahe Gusti liyane.
5. Eling menawa kudu tansah njaga ‘keselarasan’ (kemarmonisan): melu memayu hayuning bawana.
Dhasaring laku diarani ‘Panca Brata’, yaiku lakubrata kanggo nguripake (ngoperasionalake) ‘cipta-rasa-
karsa’, yaiku:
1. Nglatih bisane nduweni watak ‘narima’, disranani laku kanthi ngengurangi mangan lan ngombe.
Umpamane laku pasa, mutih, ngrowot lan sapiturute. Bedane pasa ing laku Jawa karo pasa tumrape
ibadah agama, yaiku ana ing tujuwane. Nek pasa cara agama kanggo nggayuh suwarga, dene pasa laku
Jawa amung kanggo nglatih bisane duwe watak narima. Ewa semono, kanyatane luwih abot syarat-
syarate. Ing antarane, senajan bisa pasa sedina nutug, nanging yen ing batin isih durung bisa nrimakake
pangan lan ngombe saanane nalika ‘buka’ bakal njugarake gegayuhan. Ora bisa kanggonan watak
‘anarima’. Selagine kanggonan watak anarima wae ora bisa, lha kok kepingin nggayuh suwarga mesthi
tangeh lamun.
2. Nglatih bisane tansah ‘eling’, disranani ngengurangi sare (turu). Syarate, anggone melek ora kena
disambi apa wae. Apamaneh dislamur nganggo dolanan kertu utawa jagongan gayeng karo para kanca.
Kang ditindakake, melek lan tansah eling marang kajatene manungsa.
3. Nglatih urip kang tata utawa tertib, disranani laku ngengurangi sanggama. Nanging anggone ngurangi
kudu kanthi pangerten babagan sanggama kang sejatine. Yaiku pangerten sanggama kang gegandhengan
karo ‘titising wiji’ kang mahanani ‘rasa sejati’. Yaiku ‘rasa nikmat mulya’ kang ditampa manungsa nalika
dadi saranane Gusti nyipta manungsa anyar. Rasa nikmat mulyane sanggama kang bisa nitisake wiji, dudu
nikmat sanggama kang lumrah amung nuruti derenging birahi. Kanthi mangkono, sing dikurangi iku
sanggama kang mung mburu kanikmataning birahi.
4. Nglatih kesabaran, disranani kanthi laku ‘ora kena nesu’. Mula kang becik iku laku: “ing siyang ratri
tansah amamangun karyenak tyasing sesama”.
5. Nglatih panalangsa utawa pasrah sakabehane marang Gusti Kang Maha Kuwasa. Srana lakune ‘mbisu’.
Nanging ora mung ora guneman thok. Ing jroning batin tansah ngulati mobah-mosiking ati. Iya obah
osiking ati iku kang bisa uga mujudake wisik utawa dhawuhing Gusti marang kita sowang-sowang
(dhewe-dhewe). Bisane dimangerteni kudu dipêndêng utawa mêlêng temenan. Mêndêng utawa mêlêng
ora bisa kelakon yen sinambi ngendika utawa omong-omong. Wohing pasrah iku antuk wisik utawa
‘sabda dhawuh’ kang nuntun marang bebener, kabecikan sing pener.
Ngelmu Urip # 6
Filosofi Jawa mulangake menawa manungsa iku duwe sedulur-sedulur gaib kang njangkungi uripe, yaiku:
1. Sedulur Marmarti, kedadeyan saka rasa kumesaring ati lan ngemar-emari awake biyung (ibu) nalika
arep nglairake.
2. Sedulur papat, yaiku rohe kawah (ketuban), ari-ari, getih, lan puser.
3. Sedulur tungal dina kelairan, yaiku sakabehing anake titah dumadi kang bareng dina laire utawa
kedadeyane.
Filosofi Jawa iki pancen akeh sing ora percaya apa maneh mudheng karo karepe. Jalaran pancen arang
kang kersa nerangake lan njlentrehake kanthi wijang. Embuh marga ora ngerti apa pancen angel dudutane.
Kamangka sejatine baku banget kanggone ngelmu urip. Jalaran kanthi cetha mulangake bab hubungan
kosmis-magis antarane jagad cilik (manungsa) karo jagad gedhe (alam semesta).
Sedulur marmarti maringi pangerten bab sesambungan lair batine anak karo biyung kandhunge munggahe
marang para leluhure. Sedulur papat (kalima pancer) nerangake menawa roh (suksma)-ne manungsa iku
‘wujud hubungan inti-plasma’. Pancer sing dadi ‘inti’, dene sedulur papat ‘plasma’-ne. Dene anane
sedulur tunggal dina kelairan, mulangake menawa sakabehing kang ana ing alam semesta iki
‘manunggal’.
Miturut Kejawen, alam donya (ngarcapada) kang dipanggoni manungsa urip iki sejatine phase lanjutane
alam kandhutane biyung. Nalika ing jero kandhutan, sing ngreksa urip lan dadi piranti sesambungane
janin karo anggane biyung wujud ‘kawah, ari-ari, getih lan puser’, mula nalika urip ing ngarcapada iya
rohe ‘kawah, ari-ari, getih lan puser’ sing ngreksa lan dadi ‘tali gaibe’ manungsa urip karo alam
ngarcapada (donya).
Anane sedulur tunggal dina kelairan nerangake bab ‘panunggalan’, sakabehing kang gumelar ing jagad iki
miturut kepercayaan Jawa, manunggal utawa nyawiji. Kawangun kanthi hubungan kosmis-magis ‘inti-
plasma’: “Manunggaling Kawula Gusti”. Kawula plasma, dene Gusti (Sesembahan) minangka ‘inti’.
Sesembahan iku ora mung duwekke manungsa, nanging uga sesembahane sakabehing titah dumadi. Mula
konsep Jawa nyedulurake sakabehing ‘titah’. Ora ana memungsuhan ing antarane titah. Kabeh duwe
kewajiban ‘nyangga’ maujude panunggalan.
Gandheng kapercayaan anane sedulur gaib tumraping manungsa iku banget kanggone ngelmu urip, mula
ana ritual Jawa kang khusus kanggo ‘memule’ anane sedulur gaib iku. Memule dudu pekerti nyembah,
nanging mung mulyakake lan ngelingi anane. Yaiku eling marang ‘hubungan gaib’ dhirine manungsa
karo alam semesta sak isine. Suksmane manungsa ora mung nguripi, nanging uga ngreksa lan ‘adeg’
sesambungan karo suksmane sakabehing titah dumadi liyane.
Bisa uga pangerten iki ora nyambung karo ajaran agama. Mula banjur akeh kang ora mathuk lan keladuke
malah nganggep menawa memule sedulur gaib dianggep bersekutu karo setan. Ya sumangga wae, pancen
kapercayan Jawa ngono anane. Dipercaya kena, ora percaya inggih kenging kemawon. Dilaras lan dinalar
dhewe-dhewe sing kepenak wae.
Ritual utawa laku kanggo memule sedulur gaib werna-werna. Gumantung marang abot enthenge jejibahan
uripe dhewe-dhewe. Sing kuwagang lan duwe penggayuh dhuwur mesthine ya nganggo laku sing abot.
Dene sing trima lugu lan sanane, lakune ya sing entheng-enthengan. Sing abot ya laku Pancabrata saben
wetonane dhewe-dhewe. Dene sing entheng wujud sesaji ing saben dina wetonan kelairane dhewe-dhewe.
Sing ora sreg karo sesaji, nindakake pasa saben wetonane dhewe-dhewe.
Njur pikolehe apa? Mangkono pitakonan kang asring tak tampa. Gandheng bab iki nyangkut kapercayan,
mula pikolehe ya dirasakake karo sing nglakoni. Sing percaya lan gelem nglakoni mesthine ya bisa
ngrasakake oleh-olehane. Dene sing ora percaya mesthine ya ora gelem nglakoni, mula ya ora bisa
ngrasakake oleh-olehane. Sing kudu dieling-eling, saben laku iku kudu disranani tekad sing mantep, ora
kena gamang utawa was-was. Sumangga.
Ngelmu Urip #7
Sedulur gaib manut ajaran Jawa (marmarti, sedulur papat kalima pancer, lan sedulur tunggal dina
kelairan) konteks pengertiane anane hubungan kosmis-magis jagad cilik lan jagad gedhe. Tegese,
adege manungsa urip iku duwe sesambungan karo jagad saiisine tata lair lan spirituil. Pangerten
kesadaran kesemestaan lan holistik mangkene iki baku banget kanggo mangerteni lan nindakake ‘ngelmu
urip’ kanggo nggayuh katentreman lan kamulyan. Tentrem lan mulya kanggo pribadi lan bebrayan
tumekaning hayining bawana (jagad).
Paugeran urip mungguhing wong Jawa normatif uga kudu didhasari kesadaran kesemestaan. Mula ranah
budaya lan peradaban Jawa mlakune ora ninggal kesadaran kesemestaan iki. Prasasat ora ana
‘kepentingan individu’ tumrape para empu/pujangga/sarjana sujana anggone ngripta lan nyipta ‘seni
budaya’ Jawa. Contone, kaloka dikayangapa gendhing ‘Ketawang Puspawarna’, kanyatane ora dipatenake
lan nalika diproduksi wujud rekaman ora ana tuntutan ‘royalty’ saka kang nyipta utawa ahli warise. Ing
kene iki katon banget menawa ‘profesionalisme’ Jawa ora gegayutan karo materi lan komersialisme,
nanging wujud ‘persembahan’ tumuju marang hayuning bebrayan. Adoh banget karo model Barat kang
sarwa komersiil lan materialisme. Kabeh mau amarga kang wus ngrasuk Kejawen kanthi ‘bener-becik-
pener’ pancen wus kagungan
‘kesadaran panunggalan’ kang dhuwur tingkatane. Uripe dipasrahake kanggo ‘ngawula kawulaning
Gusti’. Emane, amung sethithik manungsa kang bisa kanggonan ‘kesadaran panunggalan’ iki. Nanging,
senajan sethithik dibutuhake kanggo aweh ‘pencerahan’ marang manungsa liyane.
Banget sing mumet nalika diparingi piwulang bab ‘kesadaran kosmis’ iki. Amarga istilahe medeni banget,
“Manunggaling Kawula Gusti”. Terus carane mulang tansah ana ing ranah spirituil sing lakune jan abot
temenan. Ing antarane ana laku bisane ketemu karo para ‘sedulur papat’ kang digambarake madha rupa
karo awake dhewe mung beda cahyane. Ing kene iki KSM
ngaku blaka menawa gagal. Malah njur gumun dene kanca-kanca sing bareng sinau, jarene kasil bisa
ketemu. Embuh kanyatane, amarga sing ngerti lan pana temenan ya sing nglakoni. Ing batin KSM
ngudarasa, “Kanggo apa menawa wis bisa ketemu sedulur gaibe dhewe? “
Ana sesepuh kang paring pangandikan menawa ‘sedulur papat’ iku sejatine padha karo ‘empat nafsu’
(Amarah, Luamah, Sufiah lan Mutmainah). Nanging KSM tambah bingung maneh. Lha wong sing
dingerteni ‘sedulur papat’ iku rohe ‘kawah-aruman (ari-ari)-getih-puser’ kok njur dipadhakake karo
‘empat nafsu dasare manusia hidup’, kepriye anggone nyambungake pangertene? Luwih kodheng maneh
nalika entuk keterangan ing ‘Layang Djojoboyo’ menawa kang disebut sedulur spirituale manungsa
(cacahe papat) jenenge: Jâbârâlâ, Mâkâhâlâ, Hâjârâlâ, lan Hâsârâpâlâ. Kapapate utusane Gusti Kang
Maha Kuwasa kang ing khasanah agama-agama saka Timur Tengah disebut Malaikat. Bisa ditarik
kesimpulan mengkono jalaran jenenge utusan kasebut persis basa nglegena asmane Malaikat ing ranah
agama Islam: Jibril, Mikail, Ijroil, lan Ishrofil.
Ing ranah ajaran Jawa ora ana diskripsi ngenani anane ‘malaikat’ lan ‘setan’. Amarga dasare ‘filosofi
panunggalan’ kang nerangake menawa kabeh kang ana ing jagad gumelar iki mujudake ‘Kesatuan
Tunggal Semesta’. Manunggaling kawula Gusti, nerangake menawa sing disebut ‘utusan’ iku ora liya ya
suksma sejatine manungsa dhewe. Wondene suksma sejati iku derivasine
‘Suksma Kawekas (Guruning Ngadadi, Hyang Agung, Hyang Widdhi, Gusti Allah).
Wacana ing ndhuwur iku tak aturake murih para kadang kang kepingin ngudi ‘nglemu urip’ bisa mudheng
temenan sesambungane sedulur gaibe manungsa karo ‘ngelmu urip’. Uga aja nganti ‘wor suh’ karo
pangerten-pangerten ‘ajaran agama’. Ngerti bedane lan diskripsine murih bisa ndudut hikmahe lan bisa
milih lan milah kanthi becik, bener, lan pener. Bakune, ‘ngelmu urip’ iku tuntunan nglakoni urip cara
Jawa. Sinebut ing Wedhatama: “mrih kretarta pakartining ngelmu luhung kang tumrap ing tanah Jawi”.
Manungsa iku amung ‘kawula’ utawa ‘titah’ kang duwe kewajiban ‘memayu hayuning alam semesta’.
Dene ‘titah’ iku ora mung manungsa thok, lan kabeh padha kaparingan kewajiban sing padha “memayu
hayuning bawana (alam semesta)”. Iya kesadaran dasar ngrumangsani dadi titah kang wajib memayu
hayuning bawana iku pancadan baku ‘ngelmu urip’. Kesadaran iki kang disebut ‘ngelmu luhung’ ing
Wedhatama kasebut ndhuwur.
Ngelmu Urip #8
Ditelisik lan dionceki sing nganti jero, filosofi Jawa iku mulangake menawa sakabehing kang ana
(dumadi) iku ‘manunggal’. Panunggalane sinebut ing unen-unen: ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Menawa
diistilahake nganggo basa Indonesia: ‘Maha Kesatuan Tunggal Semesta’.
Nanging perlu dimangerteni uga menawa ana ing jagad ngelmu kebatinan, ‘Manunggaling Kawula Gusti’
mujudake tataran makrifat kang paling dhuwur dhewe. Yaiku tingkat kesadaran batin kang wus tekan
‘jumbuhing’ kawula lan Gusti. Tegese kang gampang dimangerteni awam yaiku tataran kebatinan kang
wis mangerteni ‘sejatining urip’ utawa ‘hakekating urip’. Mengerteni ‘sejatining urip’ iku kang
dikarepake bisa nggayuh ‘Kawruh Kasampurnan’. Magerti wajibing kawula (titah):
Pepunthoning pangerten werna telu kasebut ndhuwur ora wurunga uga tekan marang kesadaran
panunggalan. ‘Sakabehing kang ana iku manunggal’. Wondene gegambarane panunggalan iku sinebut ing
unen-unen ‘kadya kembang lan cangkoke’ utawa ‘kadya sesotya lan embanane’. Menawa nganggo istilah
moderen kadidene hubungan ‘inti’ lan ‘plasma’. Gusti kang dadi intine,
Struktur hubungan inti pancer, jawa lan plasma (macapat, jawa) kanyatane dadi lelandhesane sakabehing
‘ide-ide’ ing jagad Jawa Contone, ‘roh alam semesta’ disebut ‘Hyang Manikmaya’. Hyang Manik
minangka inti, dene Hyang Maya dadi plasmane. Ing pewayangan Hyang Manik disebut uga Sang Hyang
Jagad Girinata utawa Bathara Guru. Dene Hyang Maya disebut Hyang Ismaya utawa Hyang Taya alias
Semar. Conto liyane, rohe manungsa disebut ‘Pancer lan Sedulur Papat’, ‘Pancer’ dadi inti lan ‘Sedulur
Papat’ dadi plasmane. Ide sistim ‘pancer-mancapat’ uga dipigunakake kanggo ngadegake negara, mangun
desa, percandian, keraton, kutha-kutha, persawahan, gawe giliran pasaran (ekonomi) tumekane gawe
tumpeng sesaji. Dadi cethane, menawa ing jagading ilmu pengetahuan ditemokake sistim inti-plasma
(pancer-mancapat) wiwit anane renaisans ing Eropa, Jawa wis mraktekake wiwit jaman kuna makuthi.
Kang bisa kanggo conto, ide ‘pancer-mancapat’ Jawa babagan adeg negara. Kang dadi pancer (inti, Gusti)
yaiku ide (cita-cita, gegayuhan) didegake negara kang sinebut ing janturan/suluk pedalangan: “Negari adi
dasa purwa, panjang-punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Dene
sakabehing warga negara tanpa mbedak-mbedakake antarane rakyat jelata lan pemimpin dadi mancapat
(plasma, kawula). Kewajibane kawula negara njaga lan nyengkuyung madege negara. Nanging kanyatane,
wiwit jaman kerajaan-kerajaan tumekane jaman republik wektu iki, ide ‘pancer-mancapat’ babagan
kenegaraan dienggokake. Raja (pemimpin) dadi pancer (gusti, inti) dene rakyat dadi mancapat (kawula,
plasma). Wusanane ide Jawa kang ‘adiluhung’ owah dadi sistim feodalisme kang kebak KKN (Korupsi,
Kolusi, Nepotisme).
Owahe sistim peradaban adiluhung Jawa dadi feodalisme wis lumaku atusan taun. Kawiwitan nalika
mlebune budaya lan peradaban saka Asia Daratan. Mlebune budaya lan peradaban India kang ngenalake
sistim kerajaan lan kasta liwat (numpang) agama Hindu lan Budha. Diterusake lumebune budaya lan
peradaban Timur Tengah liwat lumebune agama Islam kang ngenalake sistim pemusatan kekuasaan
(Imperium Turki lan Kekuasaan Ulama Mekah). Sabanjure lumebune penjajahan Landa kang ndadekake
warga pribumi kelas telu, warga asing Asia (China, Arab, India, lsp.) kelas loro, dene wong Landa
(Eropa) kelas sijine.
Pribumi Jawa dening para penjajah asing dianggep kelas batur lan jongos. Marang wong Landa (Eropa)
kudu nyebut ‘ndârâ tuwan’, marang wong China nyebut ‘yuk’ lan marang wong Arab nyebut ‘ayik’.
Sebutan kabeh mau nandhakake menawa wong Jawa drajate asor. Ora kepenake maneh, para wong asing
sing neneka neng Jawa padha nganggep wewatekane wong Jawa:
Nah, sok sintena kemawon menawa kepingin ngudi ‘ngelmu urip’ kang ‘bener-becik-pener’ kudu bisa
ngilangi wewatekan ‘nyadhong-nggemblong-nyolong-nggarong’ luwih dhisik.
Ngelmu Urip #9
Ajaran Jawa akeh sing nganggep aliran kebatinan utawa aliran kepercayaan. Banjur saka kalangan
agamawan dianggep ajaran kang durung mateng kang perlu dimatengake murih slamet ing ngalam
akherat mbesuke. Alasan utamane, ajaran Jawa ora duwe kitab suci kayadene ajaran agama. Wusanane
akeh panganggep menawa ajaran Jawa amung dianggep gaweyane manungsa kang ora bisa dianggo
pandoming urip. KSM uga duwe penganggep mangkono dhek isih enom nganti umur seket. Lha wis,
saben ketemu sesepuh Jawa ora nate entuk keterangan kang maremake bab ‘kitab suci’ lan ‘utusan’.
Kamangka para sepuh sing tak temoni padha ngendika menawa sing digilut iku ‘Agama Budi’. Dene
keterangan bab kepriye sing dikersakake ‘Agama Budi’ iku, wangsulane mbulet angel tak tampa.
Gandheng senengane ngayam wana nemoni para sepuh lan ngulama, KSM entuk tepungan Kyai Bahrul
Rondhi ing tlatah Jepara ing taun 1991. Mas Kyai iki dening para ulama dianggep ‘sesat’ jalaran
mulangake kebatinan Islam campur Kejawen.
Ora marga kepilut karo ajarane, nanging kang penting tak critakake neng kene, amarga Mas Kyai
ngendika menawa panjenengane asring ditekani ‘kitab gaib’ ing saben semedi. Mas Kyai aweh bukti
anggone nulis (ngutip) kitab gaib kang ngatoni panjenengane. Asil penulise iku kang ditontonake marang
KSM. Wujude tulisan Arab Pegon kang KSM babar pisan ora bisa maca. Mas Kyai njur macakake sak
kalimat tulisane: “Hananira sejatining wahananing Hyang”.
Lho kok basa Jawa, mengkono pangudarasane KSM. Lelakon sabanjure, KSM tuku buku karangane Ir.
Sri Mulyono, “Apa dan Siapa Semar ?”. Ing bukune iku dikutipake ‘Filsafat Nusantara’ kang isine filosofi
aksara Jawa ‘ha-na-ca-ra-ka’. Kalimat filosofi aksara (ha) unine: “Hananira sejatining wahananing
Hyang”.
Persis karo kalimat ing kitab gaib Arab Pegon sing nemoni Kyai Rondhi. KSM bisane mung gumun,
amarga ngakoni menawa ora duwe kabisan spiritual kanggo golek wangsulan kang gumathok. Ya mung
ana pengaruh gedhe kang mlebu ing batin, menawa Carakan Aksara Jawa iku ngemot ajaran teologi Jawa.
Kodhenge, kok ing aksara Arab Pegon ya ana tur gaib pisan, iki kepriye larah-larahe.
Ya embuh kepriye kersane Gusti Kang Maha Wikan, lelakone KSM isih berlanjut. Nalikane KDP mulih
saka Jepang (taun ?) ngajak KSM gresek buku neng lowakan mburi Sriwedari Solo. Entuk fotocopian
Kitab Darmagandhul, Gatholoco lan Walisana. KDP sing maca kitab-kitab mau nganti kepingkel-pingkel
gumun karo krenahe pujangga sing ngarang. Lha wong isine kawruh kang jero lan luhur kok dikemas
nganggo crita porno saru banget senajan wujude sastra tembang. Saya kepingkel-pingkel KDP nalika
maca angele Prabu Brawijaya arep pindhah agama. Saka Agama Budi menyang Agama Islam. Bab
kepingkel-pingkele KDP kareben adhi ragilku iku sing crita. Nek KSM pancen ora prigel ngguyu lan
geguyon, bisane mung mesem rada nyureng serius.
Nyureng seriuse KSM jalaran maca kitab Darmagandhul pupuh Megatruh kang ngrembuk ‘Sastra Urip’,
sebutane Ki Pujangga kanggo ‘ngelmune Gusti Allah’. Mangga tak kutipake sethithik :
1. Sastraning Hyang mung sagulma cacahipun, pinencar ngebeki bumi, dadine saking sabda kun, aranira
Sastra Urip, binagi dadi sawiyos.
2. Kang rumiyin Sastra Rancang aranipun, kangge miyat sira kadim, ana aran tanpa wujud, wujude
ginelar sepi, arane cinancang batos.
3. Sastra Swarawangsit kaping kalihipun, ginadhuhke marang peksi, kang urip ing dharat laut, sikap peksi
duwe uni, unine wangsit pasemon.
4. Saunine iku sabdane Hyang Agung, peksi amung darma angling, dhawuh enget eling pemut, sasmita
kang elok gaib, kang ngreti wong ahli kawroh.
5. Sastra Arja Ayuningrat kaping telu, tanpa papan kretas mangsi, sastrane nglimput jro wujud, sipat
wujud duwe nami, namane mawa pangretos.
6. Sastra Endraprawata kaping patipun, dadi saking anggit janmi, kalam lantaraning wujud, cinorek ing
dluwang mangsi, kang kena dinulu mring wong.
7. Mata loro melolo kinarya ndulu, sipat janma doyan kuldi, manut cara bangsanipun, yen marsudi
kawruh budi, sayekti bisa mangretos.
Miturut ngendikane pujangga kang ngripta Serat Darmagandhul (Ki Kalamwadi), sastra suci (firman,
sabda dhawuh) saka Gusti Kang Maha Agung iku tunggal sumebar sak jagad, arane Sastra Urip, kaperang
ing tataran tumurune, bawarasane KSM:
1. Kang sepisan disebut Sastra Rancang, sastra kang nglimputi sakabehing titah urip (kadim).
2. Kapindho sinebut Sastra Swarawangsit, wujude unine manuk. Unine manuk iku sabdane Hyang Agung,
manuk amung darma ngelingake dhawuh sasmita elok gaibe Hyang marang sakabehing titah dumadi.
3. Katelu, sinebut Sastra Arja Ayuningrat kang gaib wujude, ora tinulis ing kertas nanging nglimput
jroning wujud (titah).
4. Kaping papat sinebut Sastra Endraprawata, yaiku sastra anggitane manungsa kang tinulis lan bisa
disawang mata lahiriah. Saben bangsa manungsa duwe aksara dhewe-dhewe. Mula sastra (firman, sabda)-
ne Gusti Allah kanggo saben bangsa tinulis mawa cara bangsane dhewe-dhewe. Dene bisane mangerti
isining sastra (firman, sabda) kudu marsudi ing budi kawruh.
5. Kaping lima disebut Sastra Swarasandi, swara (wisik) metu saking gaib. Kang ngrungu kuping pribadi,
ngrungu swarane wong wadon.
Amung titah pinilih kang bisa mangerti Sastra Rancang, Sastra Swarawangsit lan Sastra Arja Ayuningrat.
Titah pinilih ya titah kang wus tumapak ing tataran ‘paramayoga’, tingkat yoga (semedi, meditasi) kang
paling dhuwur dhewe.
Begjane tinitah Jawa, Gusti Allah ngeparengake para winasise kang wus ing tataran ‘paramayoga’ medar
sabda mbabar kawruh rungsit babagan sejatining urip (hakekating urip). Kawruh kang winedar nulad saka
asiling nampa ‘pencerahan’ maca Sastra Rancang, Sastra Swarawangsit, lan Sastra Arja Ayuningrat.
Sastra gaib tetelune iki mbok menawa kang disebut “Sastra Jendra Hayuningrat”.
Babagan ‘sastra’ iki tak aturake ana ing bawarasa Ngelmu Urip kanggo mengerteni prekara spiritualisme
(kebatinan) Jawa. Bab iki perlu, amarga ing ranah ejawen akeh kang umyek ngrembuk bab “Sastra Jendra
Hayuningrat”, lan akeh uga kang wani ngaku wus bisa ndungkap kawruh ‘Sastra Jendra’. Kejaba iku,
kanggo atur pangerten menawa ngelmu Sejatining Urip cara Jawa ora ngayawara lan dudu mistik
keprimitifan kaya kang didakwakake sasuwene iki. Ngelmu Jawa iku bisa ditelusuri logika rasionale.
Ana pitakon, Jawa iku sejatine duwe donga lan cara panembah marang Gusti Kang Maha Kuwasa apa
ora? Ewuh aya anggone arep atur wangsulan. Menawa diwangsuli ana, sing kepriye donga lan tatacara
panembahe? Menawa diwangsuli ora ana, lha kok aneh ! Bab iki, sajake pancen wis dadi rembuk umyek
duk jaman kapujanggan. Jaman nalika sebaran agama Islam lan sebaran ide rasionil Barat gencar-gencare
ngisi ruang batine wong Jawa. Kahanan kang dening para pujangga
Kraton ditengarai bakal gawe rusake pranatan Jawa. Mula menawa nyimak jero karya sastrane para
pujangga, ngumunake. Diskusi antarane para pujangga adu penemu lan argumen banget narik kawigaten.
Ana sastra kang isine ‘memantapkan’ ajaran Islam, ana sastra kang samar-samar ngemot ‘perlawanan’,
ana uga sastra kang ‘mensinergikan’ ajaran agama Islam, Hindhu, lan Buddha karo piwulang Jawa. Ana
uga kang radikal menyerang doktrin dogma agama-agama. Kawicaksanan politik Kraton anggone
ngemong diskusi aja nganti gawe dredah ing antarane para kawula banjur nganakake seleksi karya
sastrane para pujangga. Ana kang dikeparengake lolos dikonsumsi kawula, ana kang kudu disimpen dadi
kapustakan sinengkere Kraton. Elok temenan para intelektual Jawa jaman iku lan kawicaksanane
pemerintahan Kraton anggone ngecakake ‘manajemen konflik’ murih ora gawe dredahe bebrayan.
Nanging, kang sinengker iku akeh kang didadekake ‘cindera mata’ marang para warga Eropa. Digawa
mulih neng negarane, disinau lan ddianggo studi pirang-pirang kepentingan. Sing cetha banjur kanggo
pancadan ‘menjajah’.
Saperangan karya sastra kang radikal ana sing lolos sensor utawa pancen disengaja dening pemerintah
penjajahan murih kahanan para kawula Jawa kegawa ana ing suwasana ‘konflik’ saengga lali menawa
bumine diperes entek-entekan.
Ditelisik saka literatur lan laku budaya Jawa pancen ora ditemokake donga lan tatacara panembah kang
wujud laku ritual. Kang ana: mantra, sesaji, laku sesirih lan laku semedi (meditasi). Gandheng ora padha
mudheng larah-larahe, banjur ana panganggep menawa mantra iku pada karo donga, sesaji, laku sesirih
lan laku semedi padha karo ritual panembah. Mantra ora padha karo donga. Menawa donga iku panyuwun
marang Gusti, dene mantra iku ngempakake daya uripe manungsa peparinge Gusti. Atur sesaji, laku
sesirih lan laku semedi mujudake tatacara ndayakake dayaning urip murih bisa nindakake urip kang
bener, becik lan pener. Yaiku nindakake urip melu memayu hayuning bawana.
Daya uripe manungsa mahanani anane ‘aurora magis’ kang nglingkupi anggane manungsa. Wateke aurora
magis iku dhewe-dhewe amarga beda-bedane kahanan unsur-unsur kang mangun jasade manungsa.
Unsur-unsur iku asale saka bumi, langit, cahya lan teja kang tansah owah gingsir kahanane ing saben
wektune. Mula banjur ana ngelmu Jawa kanggo nengeri beda-bedane ‘aurora magis’ nganggo dhasar
wetonan lan wuku.
Aurora magis uripe manungsa karo aurora alam semesta iku ana sesambungane lan daya-dinayan sacara
kosmis-magis. Dinamika daya-dinayan ana kang jumbuh (nyambung, bersinergi), nanging uga ana kang
tolak-menolak. Laku sesirih lan semedi mujudake pangrekadaya njumbuhake aurora magis uripe
manungsa karo aurora alam semesta. nJumbuhake jagad cilik (manungsa) karo jagad gedhe (alam
semesta). Dene sesaji minangka pangrekadaya njumbuhake aurora magise manungsa karo titah dumadi
kang padha-padha manggon ing jagad, khususe titah gaib.
Manungsa kang wus bisa nggayuh jumbuhing jagad ciliklan jagad gedhe disebut wus bisa nggayuh
‘wahyu dyatmika’. Yaiku manungsa kang kaparingan Gusti nduweni ‘daya linuwih’ tumrap cipta rasa
karsane kang sinebut ‘prana’. Pandayaning prana sinebut mantra. Jinising mantra werna-werna, kabeh
mesthi ana syarat lakune. Bisa kanggo kabecikan nanging ora sethithik uga kang bisa kanggo laku ala lan
nistha. Mulane ing piwulang Jawa banget ditekanake bab ‘eling’. Yaiku eling marang ‘aras kesadaran’:
ber-Tuhan, kesemestaan, keberadaban, kerukunan lan keselarasan.
Operasionale ‘eling’ mahanani manungsa bisa ndayakake pranane wujud mantra kang tumuju marang
kabecikan urip bebarengan kang ‘tata tentrem kerta raharja’. Luwih utama lan dhuwur maneh, menawa
mantra katujokake kanggo ‘nyengkuyung panunggalan semesta’. Nyengkuyung
panunggalan semesta bisa diarani panembahe manungsa marang Gusti miturut piwulang Jawa. Kang
mangkene iki dingendikakake dening pujangga R.Ng. Ranggawarsita ana ing Kitab Pustaka Raja Purwa:
“Dene patrapipun angabekti ing Dewa (manembah dhumateng Kang Murbeng Dumadi) punika kalih
prakawis, punika boten kenging pisah, karanten ing saestunipun boten wenang amumuja yen dereng
anglampahi tapabrata.”
Panembah pribadi (perorangan) wujud operasionale budi luhur ing tengahing bebrayan. Sinebut ing unen-
unen: “Hangawula kawulaning Gusti”. Yaiku pekerti urip kang
tansah eling marang jejibahan ‘nyengkuyung panunggalan semesta’. Panembah bebarengan ing tata lair
nindakake ‘laku budaya’ ngaturake kaendahan (Laku Kalangwan), kayata: upacara ruwat bumi (grebeg,
suran, sadranan, apitan lsp.), upacara kidungan, ritual gamelan, bedhaya ketawang, lan sapanunggalane.
Intine panembah bebarengan ing tata kebatinan, nyawijekake daya urip (prana urip) kanggo mujudake
‘mahamantra’ kang bisa ndayani keselarasan sesambungan (harmonisasi hubungan) spirituale umat
manungsa karo spirituale alam semesta saisine. Tujuwane golek slamet ing sakabehane.
Emane, saka anane owah-owahan jaman, laku budaya kang sejatine luhur banget iku wis akeh wong Jawa
kang ninggalake. Tradisi grebeg, suran, sadranan, apitan wis owah saka tujuwan nyawijekake ‘prana urip’
lan mung dadi tradisi adat kang ‘kering tanpa makna’. Upacara kidungan lan ritual gamelan saya adoh
saka nuansa sakral kang suci. Bedhaya ketawang dianggep
amung Kraton kang wenang nganakake. Kawula alit ora diwenangake, mengko mundhak kuwalat.
Wejangan Wolung Pangkat (Martabat) medarake “konsep spiritual” Jawa menawa ‘sejatining uripe’
manungsa “tunggal kahanan” karo sesembahane kang disebut Pangeran utawa Gusti. Yaiku: dzat mutlak
suwung, abadi, tanpa arah tanpa papan, tanpa kantha (wujud) tanpa warna, sepi ing ganda-rasa-swara,
asipat elok, ora lanang ora wadon ora wandu, rumasuk ing alam semesta saisine.
Wejangan Wolung Pangkat ana ing serat-serat kapujanggan disebutake minangka kawruh Warisane para
Wali. Wondene sumbere saka wejangane Kanjeng Nabi Muhammad marang Sayidina Ali. Pamejange
kanthi cara diwisikake ing talingan kiwa. Bener lan orane krenahe para pujangga anggone nyantholake
Wejangan Wolung Pangkat marang para Wali butuh ditelisik sing jero. Apa ya ana wejangan kaya ing
wirid kasebut ana ing ajaran Islam. Utamane bab ketasawufan. Kanggo iku, becike para kadang kersa
maos ‘Islam Kejawen’ tulisane Prof. Simuh kang ngudhari “Serat Wirid Hidayat Jati’ anggitane R.Ng.
Ranggawarsita.
Wejangan Wolung Pangkat diaturake ing bawarasa ‘Ngelmu Urip’ kepentingane kanggo mangerteni
‘pokok baku’ konsep spiritualisme Jawa. Keadiluhungan piwulang kebatinan Jawa kanyatane akeh kang
sumbere saka literatur serat-serat kapujanggan (Kawiwitan jaman Sultan Agung). Menawa diunggahake
ing literatur ing sadurunge (parwa lan kakawin) wis akeh kang ora
mudheng basane. Mula perlu dikaji bener lan orane menawa basa Jawa kang saiki isih lumaku iki
biyen-biyene saka basa Kawi (Jawa Kuna). Pandugane KSM, basa Jawa Kuna iku basa persatuan (lingua
franca), dudu basa ibu kanggone wong Jawa. Mula ora merakyat lan ora dimudhengi dening umume wong
Jawa. Menawa panduga iki bener, bisa didudut pangerten menawa sejatine Jawa iku sepanjang sejarahe
dikooptasi (terjajah secara spiritual) dening budaya lan peradaban asing. Wiwit thukul kejatidhiriane
maneh nalika Sultan Agung jumeneng nata ing Mataram. Wiwit jaman iku para intelektual Jawa
(pujangga) nganggit sastra kang ngemot ilmu-ilmu Jawa kanggo ‘melawan’ kooptasi budaya lan
peradaban asing. Salah sijine kanggo ‘menjembatani’ kutub religius agama lan kutub rasionalitas sekuler
Barat kang digawa penjajah Landa.
Kanyatane ing donya iki pancen ana kutub werna loro iku. Analisane para winasis Jawa, ngandhakake
menawa kutub werna loro (religius agama lan rasionalitas sekuler) iku tansah regejegan kang gawe ora
tentreme kahanan donya. Analisane digawe crita ‘carakan aksara
Jawa’: hanacaraka (piwulang urip: religius lan rasionalitas), datasawala (regejegan rebut bener),
padhajayanya (padha dene duwe argumen dasar kang kuwat), magabathanga (tumuju konflik kang bisa
gawe pepati).
Hebate, para winasis Jawa banjur nemokake solusi kanggo ‘meredam konflik’ kasebut tumrape bebrayan
Jawa kanthi mulangake ‘hakekating urip’. Piwulange uga dimomotake ana ing nilai-nilai filosofis aksara
Jawa. Ing antarane nerangake menawa sakabehing aksara Jawa
iku dipapanake ana ing angganing manungsa urip:
Ha : Endraprawata, dununge ing grana utawa irung.
Na : Purwana, dununge ing netra (mripat).
Ca : Sandipranata, dununge ing lesan (tutuk).
Ra : Pujanggatarulata, dununge ing rema (rambut).
Ka : Endradipa, dununge ing karna (kuping).
Da : Pujanggataruresmi, dununge ing jangga (gulu).
Ta : Tunjungresmi, dununge ing asta (tangan).
Sa : Sekarsinom, dununge ing dhadha.
Wa : Purwakanthi, dununge weteng.
La : Purwaresmi, dununge ing lempeng antarane lambung lan ula-ula.
Pa : Pratignya, dununge ing puser.
Dha : Patista, dununge ing kempung, weteng perangan ngisor wudel.
Ja : Baskara, dununge ing blegere manungsa disawang saka kadohan.
Ya : Purwangka, dununge ing perji (wewadi).
Nya : Pujanggamurdha, dununge ing pupu Mông : Pustakajamus, dununge plawangan ngisor
(silit).
Ga : Krendha, dununge ing gantangan (pupu kekarone).
Ba : Prawignyaadi, dununge ing bokong.
Tha : Gendhingbarang, dununge ing thiklek (cecingklok, dhengkul mburi).
Nga : Bonangrante, dununge ing dalamakan (tlapak sikil).
A : Sunggingpurbakara, dununge ing titis, yaiku: wujud sawutuhe manungsa.
Sing wis lumrah dimangerteni umum, carakan aksara Jawa iku disambungake karo dongeng ‘Ajisaka’.
Kamangka figur Ajisaka iku misterius banget. Asale saka India kang teka ing tanah Jawa kira-kira abad 3-
4 M. Kamangka penelitian bab aksara Jawa ‘hanacaraka’ nemokake menawa panganggite lan digunakake
wiwit jaman Sultan Agung (Abad 16). Malah-malah, bisa uga, nembe ing jaman kapujanggan. Jaman
nalikane Jawa saperangan gedhe wis dijajah Landa kang nyebarake pemikiran rasionalitas lan aksara
Latin. Dene umume wong Jawa wektu iku luwih akrab karo pemikiran religius Islam lan aksara Arab
Pegon. Iya amarga kanggo ngawekani
kemungkinan konflik iku, para winasis Jawa ngrekadaya ‘menjembatani’ kanthi mulangake ‘hakekating
urip’ nganggo carakan aksara Jawa ‘hanacaraka’ kasebut. Ana uga piwulang ‘hakekating urip’ kang
migunakake urut-urutane carakan aksara Jawa Piwulang kasebut
dening suwargi Ir. Sri Mulyono ana ing bukune “Apa dan Siapa Semar’ disebut ‘Filsafat Nusantara’:
Ha : Hananira sejatining wahananing Hyang.
Na : Nadyan nora kasat mata pasti ana.
Ca : Careming Hyang yekti tan cetha wineca.
Ra : Rasakena rakete lan angganira.
Ka : Kawruhana jiwanira kongsi kurang weweka.
Da : Dadi sasar yen sira nora waspada.
Ta : Tamatna prabaning Hyang sung sasmita.
Sa : Sasmitane kang kongsi bisa karasa.
Wa : Waspadakna wewadi kang sira gawa.
La : Lalekna yen sira tumekeng lalis.
Pa : Pati sasar tan wun manggya papa.
Dha : Dhasar beda kang wus kalis ing godha.
Ja : Jangkane mung jenak jenjeming jiwaraga.
Ya : Yatnana liyep luyuting pralaya.
Nya : Nyata sonya nyenyet labeting kadonyan.
Ma : Madyeng ngalam pangrantunan aywa samar.
Ga : Gayuhaning tanna liyan jung sarwa arga.
Ba : Bali murba misesa ing njero njaba.
Tha : Thakulane widadarja tebah nistha.
Nga : Ngarah ing reh mardi-mardiningrat
Ngelmu urip Jawa pancadane ana ing kesadaran religius, kesadaran kesemestaan lan kesadaran
keberadaban (kemanusiaan). Mula bab spiritualisme Jawa penting banget dimangerteni kanggo menerake
kesadaran telung perkara kasebut. Wirid Wolung Pangkat lan kandhungan nilai-nilai filosofis aksara Jawa
bisa kanggo pancadan mangerteni spiritualisme Jawa kang ora liya wujud
‘piwulang sejatining urip’.
Bisa uga akeh para kadang kang kurang bisa nampa wejangan Wirid Wolung Pangkat apadene Filsafat
Nusantara. Wondene anggone maoni jalaran kang sinebut ing wejangan lan filosofi iku dudu sabda
dhawuhing Gusti kang liwat utusan (mesias, nabi). Pancene Jawa ora kenal sing disebut utusan kayadene
kang lumrah ing agama. Kang ana amung pangandikane para winasis kang lumrahe disebut ‘guru’ utawa
‘panuntun’. Jejibahane guru iku mulang lan nuntun siswane mangerteni kawruh. Wondene kawruhe
dhewe uga saka anggone ‘meguru’. Gurune ngerti kawruh uga saka meguru maneh. Ing kene banjur sapa
guru kang sepisanan paring wedaran kawruh ?
‘Guru Sejati’ ora liya iya Pangeran utawa Gusti kang dadi sesembahane sakabehing titah dumadi. Mulane
kawruh kang diwulangake para winasis amung nuduhake dalan supaya siswane gelem nglakoni ‘sinau’
marang ‘Guru Sejati’. Wirid Wolung Pangkat apadene Filsafat Nusantara iku fungsine dadi kawruh
panuntun marang kita kabeh (lajer Jawa) supaya meguru marang Guru
Sejati. Mula ora salah anggone para pujangga ngendika “Durung wenang amumuja Bathara lamun durung
nglakoni tapabrata”. Wondene laku tapabrata wus diringkes wujud ‘Pancabrata’ kang wus diaturake.
Jutuling laku, utawa bisane rampung tapabratane sawuse nampa ‘wahyu dyatmika’ kang ana ing basa
ampange bisa diarani ‘pencerahan’. Pencerahane ya pencerahan bab ‘Ngelmu Urip’.
Sesepuh kang dadi panuntun biyen-biyene uga mujudake tetungguling bebrayan (tetua adat). Sebutane
werna-werna, upamane: Ki Ajar, Ki Buyut, Ki Gedhe, Ki Ageng, lan liya-liyane. Lumrahe uga dadi
panguwasa ing tanah perdikan kang bebas mardika ora direh pemerintahan kerajaan. Nanging anane
owah-owahan jaman, tanah-tanah perdikan dikuwasani para raja.
Tetungguling bebrayan (tetua adat) didadekake ‘hirarki jabatan tata pemerintahan’. Ki Ajar, Ki Buyut, Ki
Ageng lan Ki Gedhe diganti Bupati (Tumenggung), Wedana, Demang, lan sapiturute.
Tata pemerintahan migunakake kukum (sistem) kang diadopsi saka budaya lan peradaban manca. (Asia
Daratan lan Eropa). Peranane para tetua adat Jawa kesisih, wusanane mung kari para ‘sesepuh pinggiran’
kang dianggep duwe kaluwihan. Marang sesepuh pinggiran mangkene iki wong Jawa awam padha golek
‘tuntunan’ spiritualisme.
Cilakane, para sesepuh pinggiran uga diarani dukun. Mula banjur ana anggepan negatif menawa wong
Jawa seneng merdukun. Banjur tuwuh anggepan spiritualisme (kebatinan) Jawa dipadhakake karo
‘ngelmu perdukunan’. Wusanane nglairake panganggep menawa spiritualisme
Jawa iku ‘aliran sesat’ kang ‘bersekutu karo setan’ lan sapiturute.
Penyebaran agama saka manca lan lumebune modernisasi ala Barat kang ujung tombake ilmu
pengetahuan lan teknologi ing tanah Jawa intensif banget tumekane wektu iki. Nilai-nilai Jawa kejepit ing
antarane religiusitas agama lan rasionalitas moderen Barat. Kamangka wiwit saka sumber asale, antarane
religiusitas lan rasionalitas ‘terperangkap perseteruan’ kang ora ana enteke. Akibate, kejepite Jawa uga
terus-terusan. Para pujangga Jawa kang waskitha banjur ngrekadaya bisane uwal saka ‘situasi kejepit’
kasebut. Ing kene banjur lair ‘Kawruh Kejawen’ kang intine nerangake ‘Sejatining Urip’ (Hakekating
urip, Ngelmu Urip).
Iya wiwit jaman kapujanggan sejatine Kejawen kang adiluhung wiwit ditata diskripsine. Para pujangga
nganggit tulisan-tulisan diskripsi babagan: kebatinan (spiritualisme), balsafah (filosofi lan etika), laku
budaya (pertanian, ekonomi, sosial, ritus-ritus, lsp.), primbon, pranata mangsa, seni budaya (wayang,
karawitan, tari, batik, keris, arsitektur, lsp.), basa lan sastra, sarta ngelmu-ngelmu liyane kang dibutuhake
kanggo uripe manungsa Jawa. Diarani adiluhung jalaran
sakabehing kawruh Jawa kasebut dimomoti konsep: religius, sadar semesta lan kesadaran berbudi luhur
(beradab).
Emane, perkembangan situasine akeh-akehe wong Jawa dhewe nganggep Kejawen iku rumit lan angel
dimudhengi. Banjur padha golek gampange (pragmatisme) milih mengadopsi budaya lan peradaban
manca kang luwih populer lan gampang. Sethithik mbaka sethithik Kejawen dilalekake kang wusanane
ilang kesilep dening dominasine nilai-nilai religius agama lan rasionalitas Barat.
Kodrat pepesthene Gusti Kang Maha Agung kanyatane ora gampang ilang musna. Semono uga kinodrat
Jawa uga ora gampang ilange senajan kesilep dening dominasi tata nilai liya. Arepa ing tata lair wong
Jawa malih ora Jawa maneh, kanyatane otot bayune tetep Jawa. Senajan ngelmu urip cara Jawa wektu iki
dilalekake, nanging isih tetep ana ing sajroning batine saben wong Jawa.
Kanthi mangkono isih bisa diuri-uri lan sawijining wektu ing mbesuke bakal dadi ideologine wong Jawa
maneh. Apamaneh ing mengko sawise akeh sing mangerti menawa ngelmu urip Jawa iku piwulang luhur
babagan ‘sejatining urip’ tumraping manungsa. Lan cetha banget arase kanggo urip bebarengan.
Ngelmu Urip cara Jawa sumber bakune filosofi Jawa, panunggalan. Wondene kang dituju kanggo
nggayuh urip bebarengan kang tata tentrem kerta raharja. Menawa diringkes, kang dituju iku: slamet.
Slamet kanggo pribadi, slamet kanggo kulawarga, slamet kanggo bebrayan, munggahe slamet utawa
hayuning bawana. Kanggo nggayuh sakabehing slamet mau, ajaran Jawa
mulangake cara pangati-ati. Sakabehing persoalan ditimbang-timbang lan dipetung mateng. Mula banjur
ana ‘ngelmu petung’. Yaiku ngelmu pangati-ati anggone nemtokake tumindak murih bisa nggayuh slamet.
Kang paling populer babagan ‘ngelmu petung’ iki, yaiku petung owah gingsire kahanan ‘alam semesta’
kang diarani Primbon Wuku lan Wetonan.
Primbon Wuku lan Wetonan klebu ngelmu kang angel lan rumit, mula akeh kang banjur ora percaya
pigunane. Malah-malah banjur ana sing nganggep gugon tuhon lan ngayawara. Kamangka sejatine
mujudake sawijining sarana kanggo tumindak ngati-ati. Lan maneh uga
nganggo landhesan kang maton, yaiku anane owah gingsire kahanan alam semesta.
Para leluhur Jawa kanyatane bisa niteni babagan owah gingsire alam semesta miturut lakuning wektu.
Bangsa liya, owah-owahan iku akeh-akehe amung kanggo nyatheti ‘perjalanan waktu’. Dene para leluhur
Jawa kang nduweni ‘kesadaran semesta’, owah gingsire kahanan alam semesta ana pengaruhe tumrap
kahanan uripe manungsa. Salagine ubenge bumi ing sumbune, wis
menehi owahing kahanan anane awan lan bengi. Naluri alamiah manungsa urip yen awan padha luru
pangan dene bengine turu. Mula ora mokal menawa owah-owahan ‘posisine’ bumi karo sakabehing
‘benda angkasa’ ana daya pengaruhe marang uripe manungsa. Kesadaran semestane wong Jawa banjur
bisa menehi tenger owah gingsire kahanan alam semesta. Ing antarane tenger owahing kahanan miturut
perjalanan waktu :
Petung ‘perjalanan wektu’ (kalender) Jawa pancene pepak temenan. Kejaba kalender kang wewaton
ubenge rembulan (komariyah, lunar) lan ubenge bumi ngiteri serengenge (syamsiyah, solar), Jawa duwe
petungan Wariga Gemet kang ubengane 210 dina. Ing Bali petungan iki disebut ‘Pewarigaan’. Wewaton
petungan iki njumbuhake petung: Padinan (saubengan 7 dina),
Pasaran (saubengan 5 dina), Paringkelan (saubengan 6 dina), lan Pawukon (saubengan 30 minggu = 210
dina). Ana ing prasasti lan kitab-kitab kakawin (basa Kawi), cathetan wektu wujud gabungan antarane
petung Wariga Gemet lan taun Saka (Çaka) lan Mangsa. Kanggo iku
diaturake conto:
Sejarah dan Prasejarah Bahasa Jawa Kuno Pengetahuan kita mengenai sejarah Jawa Kuno terutama
berdasarkan piagam-piagam dan prasasti-prasasti lama, yang ditulis di atas batu atau lempeng-lempeng
dari perunggu. Tulisan-tulisan itu biasanya menyebut tanggal dikeluarkannya lewat sebuah sistem rumit
yang berkaitan dengan gejala-gejala astronomis. Demikian misalnya prasasti SUKABUMI (bahasa Jawa
Kuno) diawali begini: “Pada tahun 726 penanggalan Saka, dalam bulan Caitra, pada hari kesebelas paro
terang, pada hari Haryang (hari kedua dalam minggu berhari enam), Wage (hari keempat dalam minggu
berhari lima), Saniscara (hari ketujuh dalam minggu berhari tujuh)…” dan seterusnya. Inilah sebuah
contoh khas cara orang Jawa
dulu menentukan sebuah tanggal.
Dalam prasasti-prasasti kemudian hari, sistem tersebut disempurnakan lagi, sehingga juga menyebut
tingginya bulan, sebuah planit tertentu dan konstelasi maupun konjugasi dua bintang. Demikianlah pada
umumnya terbuka kemungkinan untuk mengalihkan tanggal sebuah prasasti ke dalam kronologi kita
dengan suatu kadar kepastian yang cukup memadai. Dan mengenai prasasti
SUKABUMI kita lalu sampai pada tanggal 25 MARET tahun 804 M. (P.J. Zoetmulder, Kalangwan
(1974) halaman 3).
Cerita tentang penulisan Wirathaparwa Waisampayana: “Duli Baginda, beginilah sejauh yang
saya ingat. Kita mulai membaca cerita ini pada hari ke-15 bulan gelap dalam bulan ASUJI; harinya
TUNGLE, KALIWON, BUDHA, pada wuku PAHANG dalam tahun 918
penanggalan SAKA. Dan sekarang ialah MAWULU, WAGE, RESPATI dalam wuku
MADANGKUNGAN, pada hari ke-14 paro petang dalam bulan KARTTIKA. Jadi waktunya genap satu
bulan kurang satu hari. Pada hari kelima Baginda tidak menitahkan diadakannya suatu pertemuan, karena
Baginda terhalang oleh urusan lain. Menerjemahkan cerita ini ke dalam Bahasa Jawa Kuno minta waktu
yang cukup banyak. Duli mengharapkan, agar pembawaan tidak melampaui kesabaran Baginda dan tidak
dianggap terlalu panjang.”
Di sini kita berjumpa dengan suatu contoh bagaimana tanggal dibawakannya untuk pertama kali sebuah
karya Jawa Kuno (deklamasi perdana) ditentukan dengan cukup rumit. Menurut kronologi modern
tanggalnya ialah sejak 14 Oktober sampai 12 Nopember tahun 996 M. (P.J. Zoetmulder, Kalangwan
(1974), halaman 110). Conto kasebut ing ndhuwur nuduhake menawa kawit biyen
mula wong Jawa wis duwe tatacara dhewe netepake tanggal (wektu). Disebutake wektune omplit banget.
Disebutake kahanane rembulan (petung lunar): ‘paro petang’ lan ‘paro terang’. Kahanane ‘mangsa’ (PJZ
nerjemahake bulan – petung solar). Panyebute dina nganggo petung Wariga Gemet (Wuku, Padinan,
Paringkelan, Pasaran). Lan disebutake uga angka taun penanggalan Saka.
Kanthi mangkono, Jawa sejatine pancen wis duwe tata penanggalan sing lunar (komariyah) lan sing solar
(syamsiyah). Malah diganepi nganggo petung Wariga Gemet. Nanging pancen sajake ora duwe cathetan
angka taun, mula jaman prasasti lan kakawin sing dianggo angka taun Saka.
Ing Jaman Mataram Sultan Agung, petung Wariga Gemet dijumbuhake karo Penanggalan Hijriyah.
Hebate, banjur bisa ditemokake wilangan siklus dina kang jumbuh karo petung penanggalan lunar lan
Wariga Gemet, yaiku 5670 dina kang padha karo 2 windu (16 taun).
Panjumbuhe petung Wariga Gemet karo penanggalan sistem lunar (komariyah) ngasilake Penanggalan
Jawa kang banjur bisa ‘nyambung’ (senajan ana bedane) karo penanggalan Hijriyah Islam. Angka taun
Penanggalan Jawa ora njupuk angka taun Hijriyah, nanging nerusake
angka taun Saka kang sisteme solar (syamsiyah). Bab iki ora amarga Jawa ngemohi penanggalan Hijriyah,
nanging murih cetha prabedane penanggalan Jawa (lunar) karo penanggalan Hijriyah. Karomaneh,
penanggalan Saka kang neng Jawa wis lumaku wiwit mlebune agama Hindhu wis dianggap penanggalan
Jawa. Malah-malah, menawa dikaitake karo Pranata Mangsa (sasi, wulan),
bisa uga penanggalan Saka kang dianggo wong Jawa ora padha karo penanggalan Saka sing dianggo ing
tanah Hindustan (India).
Penanggalan Jawa yasane Sultan Agung digawe murih bisa nglebokake sistim petungan wektu (Wariga
Gemet) kang wis ‘mentradisi’ lan asli Jawa. Upamane, kejaba wuku lan wetonan isih ana jenenge taun
cacah 8, windu cacah papat, tumekane kurup cacah 7 (sawise dijumbuhake,
sadurunge ana 35).
Cathetan bab kurup: Lumakune saben 120 taun, yaiku ngajokake sedina tibane tanggal 1 Sura taun Alip.
Menawa kurup sadurunge tiba Rebo Wage (Kurup Aboge), candhake ditibakake Selasa Pon (Kurup
Asapon), tegese puteran kurup manut cacahe dina wetonan (35). Sawise
dijumbuhake cukup pitung kurup kang jenenge manut urutan mundur jeneng Padinan. Upamane
sadurunge tiba tanggal 1 Sura taun Alip tiba dina Saptu dijenengi kurup Sabtiyah, kurup sateruse tiba dina
Jemuwah dijenengi kurup Jamngiyah.
Ing bawarasa Ngelmu Urip perlu banget diaturake pangerten-pangerten petung wektu Jawa iki jalaran ing
tengahing masyarakat akeh kang nganggep petung wektu Jawa ngayawara lan tahayul. Ana uga kang
duwe anggepan menawa Kalender Jawa iku mung jiplakan saka Kalender Hijriyah. Tegese, ngasorake
kawruhe leluhure awake dhewe lan muji-muji kawruh saka manca kang urung
mesthi nyocogi kanggo nglakoni urip neng tanah Jawa. Petung wektu Jawa mujudake perangan pangati-
ati kang tliti temenan. Mula, bisa uga, ya mung wong Jawa kang duwe krenah menehi wataking kahanan
utawa ciriwanci tumrap dina-dina ing Wariga Gemet cacah 210. Kejaba nganggo dhedhasar wataking:
Wuku, Padinan, Pasaran lan Paringkelan, uga dilebokake petungan dina Padewan (saubengan 8 dina) lan
Padangon (saubengan 9 dina). Sabanjure ditambahake petungan neptu cacah 3, yaiku: Petungan
Pancasuda (7 werna), Rakam (6 werna), lan Paarasan (10 werna). Uga ana luluri utawa pangeling-eling
anane dina-dina kang duwe bobot kahanan ‘aurora kosmis khusus’, yaiku: Tali Wangke, Sampar Wangke,
Sarik Agung, Kala Dhite, Dhendhan Kukudan lan Sengkan Turunan.
Kabeh petung lan pepeling tumuju marang pangati-ati anggone mangerti kahanan owah gingsire aurora
kosmis alam semesta ing saben dinane. Kanyatane, kahanane planet bumi ing tengahing alam semesta
tansah dayan dinayan karo sakabehing ‘benda angkasa’. Daya-dinayan iku nuwuhake aurora kosmis kang
tansah owah gingsir dinamis manut posisine bumi karo benda-benda angkasa liyane mau.
Contone:
- Hubungane bumi karo srengenge ndadekake ana awan lan bengi, uga ndayani urip kehidupan) marang
flora lan fauna, nuwuhake angin lan udan kang sabanjure (kanggone manungsa Jawa) bisa ditengeri anane
‘mangsa’ (musim) cacah 12 saben taune.
- Hubungane bumi karo rembulan ana dayane kang njalari ana pasang lan surut tumraping banyu segara.
Uga ndayani prilakune flora lan fauna.
Menawa srengenge lan rembulan nduweni daya pangaribawa tumraming urip (kehidupan) titahing Gusti
Allah kang manggon ing bumi, milyaran lintang ing angkasa mesthi uga ada daya pangaribawane. Ana
daya aurora kosmis kang sipate bisa dititeni sacara empiris, nanging uga
ana daya kang sipate kudu dimangerteni kudu nganggo daya spirituil. Gandheng titah manungsa (Jawa)
kaparingan daya empiris (cipta rasa karsa) lan daya spirituil, mula bisa mangerteni sakabehing owah-
owahane aurora kosmis alam semesta lan pengaruhe marang urip lan panguripane manungsa. Iya nganggo
dhasar pangerten iki, ing Jawa ana Primbon Pawukon lan
Wetonan kang kanggo mangerteni watak lan lelakone uripe manungsa kang gegayutan karo weton lan
wukune nalika lair.
Ing tengahing bebrayan wektu iki, akeh kang nganggep primbon pawukon lan wetonan petungan kang ora
klebu nalar, gugon tuhon ngayawara. Malah-malah akeh uga kang nganggep ‘bertentangan’ karo ajaran
agama. Nanging anehe, sing padha maido iku nyatane ya ora
wani nerak kapercayaan anane dina becik lan ala. Uga ana kang isih perlu golek dina becik nalikane arep
mantu, pindhah omah, serah terima jabatan lan sapanunggalane.
Kanyatan mangkene iki nuduhake menawa sejatine ing jero batine wong Jawa pancen wis kadunungan
‘kesadaran semesta’ kang mbalung sungsum. Anane padha duwe anggepan yen wuku lan wetonan gugon
tuhon mung sawijining ‘pepinginan’ ben diarani moderen utawa
‘lurus imane’.
Pancen gegandengan karo masalah owah-owahan kahanan semesta alam kang dipetung nganggo wuku lan
wetonan banjur ana tuntunan Jawa kanggo ‘menyiasati’ murih becike. Tuntunan mau ana kang wujud
ritual sesaji lan ruwatan kang ora gampang dinalar. Upamane kang disebut ‘sedhekah ngawekani
sambekala wuku’ utawa ‘ruwatan wuku’ kang wujude ritual kendurenan. Apa maneh dongane kok dudu
donga Jawa nanging donga agama Islam kang diwenehi pengantar nganggo basa Jawa. “ Apa mandi
dongane ?”, mangkono pitakonan kang kerep ditampa KSM.
Ewuh aya anggone arep nerangake. Amarga bab iki pancen ana sambunge karo transformasi budaya
nalika lumebune agama Islam ing Jawa. Menawa digoleki ing literatur bab anane sambekala wuku lan
tatacara sidhekahe kaya kang disebut ing buku-buku primbon, ketemune mung ana ing jaman
kapujanggan. Yaiku jaman nalikane akeh lakubudaya Jawa kang wis dileboni pengaruh agama Islam.
Mula (pandugane KSM) babagan sesaji lan donga ngawekani ‘sambekala wuku’ wis ora asli Jawa maneh.
Gumantung sing nampa. percaya njur dilakoni ya becik, ora percaya ya resiko pribadine dhewe-dhewe.
Amarga pratelan ing wuku lan wetonan amung kaya dene ancer-ancer sipating manungsa kang disebabake
kahanan aurora kosmis semesta nalikane lair. Fungsine kanggo instropeksi dhiri anggone nglakoni urip
murih ngati-ati. Karomaneh, kanyatane pratelan wetonan lan pawukon ora bisa ditampa mentahan. Jalaran
bisa gawe nglokro menawa pratelane elek, nanging uga bisa
njalari kemlungkung menawa pratelane tiba becik. Kabeh isih butuh disurasa dhewe-dhewe sagaduke
‘cipta rasa karsa’ kang diduweni.
Pratelan wuku lan wetonan uga dudu ‘kodrat’, nanging amung kaya dene ‘bungkus kosmis’ kang bisa
disuwak utawa diluruhake. Gambarane kaya dene pengaruh lingkungan (masyarakat) marang
perkembangan SDM. Menawa kahanan masyarakate pancen endhek kualitas peradabane, SDM uga
endhek kualitase. Bisane owah menawa diwulang (pendidikan). Mengkono uga bab pratelan wuku lan
wetonan kang gegayutan karo watak wantune manungsa bisa disuwak lan diowahi sarana ‘laku’
ngoptimalake dayane ‘cipta-rasa-karsa’.Ananging gandheng kang dadi sumber pengaruhe iku kahanan
alam semesta, mula laku panyuwake uga ora gampang. Mulane para leluhur banjur njupuk panyuwake
sambekala wuku nganggo sesaji lan didongani. Pamrihe
supaya gampang dilakoni dening ‘awam’. Wondene ‘kahanan alam semesta’ kang pancen ora becik
kanggo sawijining pakaryan, para leluhur paring pepeling murih disingkiri. Pamrihe kanggo pangati-ati
anggone tumindak lan tansah eling marang kahanan alam semesta. Pangati-ati iku becik, dadi ngawur
banget menawa ana komentar nganggep ‘klenik’ marang kang percaya anane dina ala lan dina becik
kanggo sawijining pakaryan.
Ilmu Pengetahuan lan Teknologi jaman saiki pancene wis bisa menehi andharan babagan observasi alam
semesta. Pirang-pirang satelit bisa diorbitake kanggo kepentingan komunikasi lan mengamati gejala lan
peristiwa alam semesta. Pigunane akeh banget tumraping manungsa. Nganti bisa ‘ngramal’ bakal anane
bencana alam werna-werna. Kabeh observasi alam semesta mau bakune uga kanggo mangerteni owah
gingsire kahanan alam semesta kang tujuwane golek ‘slamet’. Mula ing kene becike ditunggu wae asile
observasi mau jumbuh apa ora karo pratelane wuku lan wetonan cara Jawa. Menawa jumbuh tegese
leluhur Jawa wis ndhisiki ngerti pakartine alam semesta. Dene yen geseh, lagi bisa diarani menawa
kawruh warisane leluhur Jawa bab
wuku lan wetonan pancen ‘ngayawara’.
Wuku lan wetonan sejatine dudu ramalan, nanging petung utawa malah bisa diarani sawijining kawruh
kanggo mangerteni ‘situasi lan kondisi’ alam lan wataking manungsa manut weton lan wuku kelahirane.
Gandheng manungsa kadunungan ‘cipta rasa karsa’ mangerteni kahanan alam semesta lan wewatekane
dhewe-dhewe iku migunani kanggo nglakoni urip. Saora-orane kanggo
pangeling-eling murih bisa srawung kepenak karo sapadha-padha.
Pratelan wuku lan wetonan uga dudu kodrat, ananging amung ancer-ancer kahanan kang bisa disiasati
dening dayaning ‘cipta rasa karsa’ kang diduweni manungsa. Ya ing kene iki perlune ngoperasionalake
kesadaran ber-Tuhan, kesadaran kesemestaan lan kesadaran keberadaban. Menawa ing jeroning batin kita
tansah ngupadi nglakoni urip kang ‘becik-bener-pener’ bakale
ya dituntun manggih kamulyan temenan. Beja-cilaka, seneng-susah amung kahanan kang lumrah dialami
dening manungsa.
Ngelmu urip candhake ngrembuk bab ‘kesadaran keberadaban’. Tinitah dadi manungsa kang diparingi
‘cipta rasa karsa’ wus samesthine kudu beradab utawa nduweni ‘budi pekerti luhur’. Pigunane kanggo
urip bebarengan karo sapadha-padha (manungsa liyane). Ing tengahing bebrayan pancen ana kang duwe
panganggep menawa ‘peradaban’ Jawa isih kegolong primitif.
Panganggepe didhasarake anane lakubudaya Jawa ‘atur sesaji’. Malah kepara ana sing ndakwa menawa
lakubudaya ‘atur sesaji’ iku ‘bersekutu’ karo setan. Ya, kabeh mau syah-syah wae, wong mung panemu.
Tur akeh-akehe panemu kang mangkono iku ora dikantheni ‘nyinau’ luwih dhisik. Nek dijlentrehake
larah-larahe sing klebu nalar, padha mbregudul emoh nampa. Lha ya
wis sumangga, wong kadhung nampa piwulang saka peradaban liya kang dianggep luwih bener lan
moderen. Peradaban Jawa iku ngrembakane kanthi aras peradaban pertanian sawah lan kebaharian. Ana
ing peradaban iki kanyatane dibutuhake ‘makarya bebarengan’. Ora ana
pegaweyan kang bisa ditandangi ijen. Olah tani nggarap sawah lan misaya iwak (kenelayanan) ora bisa
tumandang ijen. Mesthi ana sangkut-paute karo manungsa liyane. Contone bab pengairan sawah cetha
kudu ana ‘manajemen bersama’ murih padha bisa entuk banyu saka sumber alam kang uga dadi ‘milik
bersama’. Semono uga nalika kudu golek iwak neng tengah laut,
mesthi bebarengan sak perahu.
Aras peradaban kang kasebut ndhuwur adoh banget sungsate menawa dibandhingake karo aras budaya
‘penggembala ternak’ ing Asia Daratan lan ‘pertanian kebun’ ing Eropa. Kekarone bisa ditandangi ijen
utawa sak keluarga thook. Mula sing berkembang ‘individualisme’ dudu ‘kebersamaan’. Ana ing
peradaban kang individualis banjur thukul anane budaya ‘juragan-pekerja’ lan kang ekstrim budaya
‘majikan-budhak’. Ana ing peradaban individualis banjur akeh tabrakan kepentingan: individu, keluarga
(klan), lan kabilah kang entek-entekane wujud konflik.
Konflike rebutan padhang penggembalaan, rebutan kesuburan lahan perkebunan, rebutan budhak, lan
rebutan ‘kamisuwuran-bandha-wanita’.
Beda banget karo aras peradaban Jawa kang pertanian sawah lan kebaharian. Ana ing peradaban iki,
kanthi alamiah wong-wonge padha sadhar menawa ora bisa urip ijen. Padha sadar menawa antarane
manungsa siji lan sijine ana ‘hubungan lan saling tergantung’. Biyen=biyene, masyarakat Jawa sing
pedalaman (pertanian) nyawiji ana wilayah ‘Kabuyatan’, dene sing
neng pesisir ing wilayah ‘bebandharan’. Malah sing nggumunake, ing masyarakat pesisir, pemimpine para
wanita kang disebut Nyai Ageng. Dene ing para Buyut kang akeh-akehe para pria disebut ‘Ki Buyut’
utawa ‘Ki Gedhe’.
Nyai Ageng lan Ki Buyut (Ki Gedhe) kejaba nduweni kaluwihan kepinteran babagan ‘kepemimpinan
sosial’, uga padaha nduweni karisma (kaluwihan) ing babagan spiritual. Wewatakane ‘ngayomi’, mula
wargane bisa suyud lair terusing batin. Kabeh warga ing
‘bebandharan’ lan ‘kabuyutan’ bisa makarya bebarengan manut kabisane dhewe-dhewe. Arang banget
anane ‘konflik’ amarga arase tansah migunakake ‘musyawarah’ kang dipimpin dening pemimpin utama,
Nyai Ageng lan Ki Buyut.
Anane pemerintahan model ‘kabuyutan’ lan ‘bebandaran’ nuduhake menawa sejatine Jawa iku duwe
sistim pemerintahan sing teratur lan asli. Dudu jiplakan saka Asia daratan (India, Burma, lsp.) kaya dene
panemune para pakar sejarah asing. Pancen ana teori-teori ‘nggladrah’ babagan asal-usule wong Jawa
klebu budaya lan peradabane. Cilakane, anggone nyusupake teori mau pinter banget, kasebut ‘Jangka’.
Manut teori ‘Jangka’ iki, asal-usule wong Jawa iku saka krenahe Sultan Ngerum (Timur Tengah) kang
mrihatinake kahanane P. Jawa kang tansah kompal-kampul ing tengahing samodra. Banjur utusan para
syech-syech sektine supaya mantek P. Jawa. Panteke wujud Gunung Tidar (Magelang). Sawise P. Jawa
anteng banjur diiseni manungsa kang dijupukake saka wilayah Asia daratan. Diusung nganggo prau
komplit sak ingon-ingon lan kaperluwan bukak sawah pertanian. Saben prau diiseni wong salaksa
(10.000). Menawa dinalar, lha rak ketok banget anggone arep gawe ‘pinunjule’ wong-wong saka Timur
Tengah. Buktine, wong Timur Tengah ora duwe ‘budaya bahari’, kok bisa-bisane gawe prau sing bisa
momot puluhan ewu manungsa sak kewan-kewane. Lha ya kepriye bisane gawe prau, wong ora duwe alas
kang kayu-kayune bisa dianggo gawe prau.
Ana maneh teori awur-awuran kang disebut ‘Jangka’ mau. Yaiku, crita menawa Sang Prabu Jayabaya iku
muride Syech Samsujen kang asale saka Ngerum. Klebu nalar apa ora menawa “Ratu Gung Binathara
Jawa’ mik trima dadi muride ‘syech’ saka negara Ngerum sing ora kondhang babar pisan ana ing sejarah?
Strategi penjajahan peradaban, ngono panemune KSM babagan anane teori-teori ‘nggladrah’ bab asal-
usule wong Jawa lan budayane kang disebut ing ‘Jangka’. Bisa uga panemuku iki akeh sing ora sarujuk.
Amarga kadhung percaya banget karo ‘jangka-jangka’ kang sumebar ing tengahing masyarakat. Dhek
malem Selasa Kliwon (16 Juli 2007) kepungkur, KSM dikon sesorah ‘Falsafah Panunggalan’ neng
ngarepe warga Yayasan Kanthil Semarang. Ana peserta sing takon, posisine
‘Jangka Jayabaya’ neng Falsafah Panunggalan iku priye? Tak wangsuli, menawa ing jangka kang
dikarepake isih ana wacana Prabu Jayabaya muride Syech Samsujen, iku jangka ‘omong kosong’. Jangka
kang migunakake basa Jawa anyar kasebut perlu dirunut neng basa Kawi. Jalaran nyebut Prabu Jayabaya
kang ing jamane maju banget kasusastran Kawi (Kakawin). Yen ora ana rujukan ing basa Kawi, cetha yen
‘jangka’ kang dikarepake karyane penjajah. Tujuwane kanggo
ngringkihake ‘kedaulatan Jawa’.
Para maos, kanyatane ing donya iku pancen ana jajah-menjajah antar peradabane manungsa. Ing kene,
Jawa tansah dadi korban penjajahan utawa sing dijajah. Mula akibate budaya lan peradaban Jawa
diasorake. Dianggep primitif, kebak klenik lan ketahayulan. Wusanane wong Jawa akeh sing rumangsa
‘isin’ marang budaya lan peradaban warisan leluhure. Amarga wedi mlebu neraka, wong Jawa wis akeh
kang ora gelem nindakake lakubudayane kang dicap ‘syirik’ utawa
bersekutu karo setan.
Kamangka, sejatine lakubudaya Jawa iku luhur banget. Ana ing sarasehan Selasa Kliwonan Yayasan
Kanthil, tak aturake conto kaluhurane lakubudaya Jawa kang pancadane Falsafah Panunggalan..
“Kambing melahirkan pun perlu diselamati”, ngono irah-irahan berita Harian
Wawasan anggone ngomentari sesorahku. Nylameti laire wedhus, satleraman pancen kayadene tumindak
nganeh-anehi lan mubadir. Nanging akeh sing ora mangerti menawa slametan laire wedhus kang wujud
‘dhawet’ iku nuduhake ‘ide Panunggalan’. Senajan wujude wedhus, kanyatane uga titahe Gusti Allah.
Wong Jawa kang sadar Panunggalan lan rumangsa diparingi
‘Cipta Rasa Karsa’ mesthi mudheng menawa kudu ngurmati laire titahing Gusti. Perkara peradaban liya
nganggep wedhus mik kewan kang syah ‘dibantai’ kanggo ritual agama, iku dudu urusane wong Jawa
kang landhep ‘rasa pangrasane’, lantip ciptane, lan tulus sumarah karsane
tumuju marang Panunggalan.
Conto luhure peradaban Jawa liyane, yaiku tradisi sesaji ing malem Jumuwah Kliwon utawa Selasa
Kliwon. Wujude sesaji ‘kembang setaman’ kang ing esuke disebar ing prapatan dalan utawa plataran
omah. Akeh kang nganggep lakubudaya iki klenik, tahayul, lan syirik. Nanging coba tak aturi nyimak
rapal mantrane nyebar kembang, mangkene:
“Ora nyebar kembang, nanging nyebar kabecikan. Gusti Ingkang Maha Kuwasa keparengna Paduka
paring kawilujengan lan karahayon dhumateng sedaya titah Paduka ingkang langkung ing prapatan
(plataran) punika.” Lha mbok wujud gendruwo, coro, utawa kirik sing liwat katut disuwunake keslametan
lan karahayon. Mangga dipenggalih lan ditandhing karo lakubudaya liyane!.
Dening Ki Sondongmadali
Tulisan ini dikirim pada pada April 19, 2008 10:27 am dan di isikan dibawah NGELMU URIP. Anda dapat meneruskan
melihat respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0 feed. r Anda bisa melewati ke akhir dan meninggalkan sebuah tanggapan.
Memping saat ini tidak diperbolehkan.
13 Tanggapan ke “NGELMU URIP”
1. Catur Berkata:
Mei 22, 2008 pukul 4:29 pm | Balas
Kula ngaturaken panuwun,dene taksih wonten ingkang ngudi ing reh kabudayan jawi. Laku
punika manawi boten dipun kanteni sucining manah. ugi kirang sae. Mila ngudi ngelmi jawi
ingkang rungsid kedah teteken ati suci pepayung budi rahayu. Tartamtu mahani tentreming kalbu
saha wicaksana ing tumindak. Nuwun
2. Catur Berkata:
Mei 22, 2008 pukul 4:59 pm | Balas
Jlentrehe ngelmu urip jebul jembar tebane sasat nglangut kang tanpa tepi. Banjur ngelmu urip
kuwi kanggo sapa? Yen manut andharan kang bawera kaya mgono iku. Kamangka jaman saiki
wong tuwa wae akeh kang gonyak-ganyuk nglelingsemi, apa maneh bocah saiki apa ya bisa miyak
warana pangripta tulis kang njlentrehake ngelmu urip nganti awar-awar angendukur. Bab iki
sejatine akeh para muda kang padha adoh nyecep piwulang luhur marga anggone asung sesulang
nggedabyah nganti ora mudeng kanggone bocah saiki.
3. Catur Berkata:
Mei 22, 2008 pukul 5:07 pm | Balas
Sejatine ngelmu urip ora kudu kajlentrehake kanthi basa kang kebak sanepan.nanging dijabarake
siji mbaka siji kanthi gamblang. Ing kene mahanani para mudha bisa seneng banjur alon2 melu
nyecep kawruh jawi. Upama luput diagung pangapura jer manungsa mono mung saderma. Nuwun
5. temon Berkata:
Agustus 27, 2008 pukul 5:01 am | Balas
Pak Catur, apa yang disampaikan diatas sangat baik sekali. Apa boleh saya tahu dan memahami
tata syariat dan amalan untuk menuju “kasampurnan urip kang sejati” dari sampeyan.
terima kasih.
6. Tukriyo Budiharto Berkata:
Agustus 27, 2008 pukul 7:47 am | Balas
Ass.Wr Wb, kpd Ki Sondang Mandali, sy mau menyampaikan bahwa penulisan kitab Sangkan
Paran yang aKi kirimkan ke Joko Wiro, ternyata ada bab yang isinya sama, yaitu Bab Sangkan
Paran 7 dan 9 isinya sama, tolong ya Ki Sondang pada Bab 9 itu isinya bagaiman? Kalau Ki
Sondang berkenan ya tolong ke alamat sy : tukriyobudiharto@yahoo.co.id, kalau mau dikirim
secara keseluruhan juga tidak apa2. Matur Nuwun Nggih
8. winardiyanto Berkata:
November 23, 2008 pukul 9:10 am | Balas
ngelmu asli saking jawi sanes produk impor, mugi tansah pinaringan seger saras ingkang
pinanggih
9. Sutarja Berkata:
Juli 31, 2009 pukul 1:54 am | Balas
Lare-lare sak puniko sampun kebablasen tumut-tumut adat barat, dados katah remaja ingkang
sampun boten, mangertosi unggah ungguh lan toto kromo dateng tiang asanes ,milo kulo sanget
sarujuk sanget bilih piwulang jawi puniko saget dipun ngrembaka aken malih dateng alam
brebrayan.
Beberapa waktu yang lalu, lupa tahunnya, Metro TV menayangkan tayangan dari Discovery
Channel, yang menjelaskan apa yang kemudian dinamai “HYPERSPACE” – Rupanya hyperspace
(penelitian ini oleh 5 negara besar, Perancis, Inggris, Jepang, Amerika, Jerman) itu adalah alam
yang berada DILUAR NALAR. Berada dalam alam inilah, manusia bisa disebut KHALIFATUL
fil ARD … ternyata alam ADA pada saat OTAK MANUSIA TIDUR. Para pneliti ini kemudian
menemukan 2 musik yang disetel, 1 musik masuk telinga kiri – yang lainnya ke telinga kanan …
karena otak susah memproses… akhirnya otak TIDUR. Maka kemampuan manusia sebagai
makhluk paling sempurna bisa dibuktikan !
Bukankah yang masuk akal/nalar itu cuman sedikit (dibanding hyperspace)?
Bukankah menidurkan otak itu adalah semedi / khusyu’ ?
Bukankah kemampuan itu sudah menjadi keseharian para leluhur kita ?
Suatu saat nantinya tidak lagi diperlukan remote-control, cukup dengan ‘krenteg’ untuk mindah
channel TV, dan lain-lain …. he he he kita ketinggalan jaman lagi.
Wah jan nyamleng tenan, ojo lali ayo nguri-uri murih jawi lestari.
nuwun sewu”ngelmu urip”niku enten sing pun ditulis ngangge boso nasional mboten..?soale terus
terang mawon katah boso sing kulo mboten ngertos ma’na lan maksude..dadose kulo malah
mboten paham. ne biso di tulis nganggo rong boso…
13. ruh_sing_bijak Berkata:
November 1, 2009 pukul 3:32 pm | Balas
Tinggalkan Balasan
Nama
Situs web
Kirim Komentar
Pamomong
24 Februari 2010 | 03:11 wib
Dening Suwardi Endraswara
Piwulang luhur ’’golekana tapake kontul nglayang’’, akeh sing diplintir tekan ’’ngisor ciplukan’’.
Piwulang lungit iki wis dirujag, dipoles-poles, dilipstiki, golek slamet. Tumindake saya nggaret lan
nggraji atine rakyat. Plintir-plintiran tembung kaya dhadhung, diangkah nyrimpung. Nuwun sewu, embuh
yen ’’si kontul bakal nglayang ngulon, bablas kesasaban mega-mega, njur lap, ilang kakedhepake’’.
Embuh bakal menyang ngendi. Kontul-kontul iku wis tanpa tepak meneh. Kontul wis ora dhemen mencok
ing tengah ler-leran sawah. Lha piye ta? Sawangen kanthi heneng-hening awas eling. Tenan. Sing ketoke
ngguya-ngguyu, jebul dha nggembol watu. Kang katone tetembangan, rengeng-rengeng, uga madhahi
kreneng. Priyagung luhur, sing katone mesam-mesem, alus putih kaya kontul, ning jebul atine dhandhang
(ireng). Kabeh ngemu (ndhandhang) pamrih.
*****
YEN ngono, pancen wis wayahe wong Jawa nunggu tumetesing bun parak esuk. Nunggu tetesing madu,
sang ’’Kusuma anjrah ing bawana’’, yaiku Ratu Adil, kusumaning jaman kang lagi lelana, njajah desa
milang kori, samengko bakal jumedhul sawektu-wektu. Pawakane ngungkuli rembulan. Lire, bisa
madhangi sajrone pepeteng. Nanging ora mbrongot sumelet kaya srengenge. Padhange rembulan riyeb-
riyeb, ngemu surasa ting trecep. Ing swasana ngono iku, lelagon bocah ’’Dolanan Dhakon’’, bakal timbul
maneh.
Dhakon? Ya, saiki wis dilalekake. Wis digenti facebook, S-M-S, lan samubarang sing gumebyar liyane.
Iki pratandha wis kelalen ’’dhakon cacahe pitulikur’’. Woww, wong Jawa kuwi angger wis nggepok
wilangan 27, gawat. Akeh kedadeyan, tanggal 27 Juli biyen dha rame ta? Tanggal 27 Mei 2006 ana lindhu
gedhe. Pepundhen negara sedane uga tanggal 27 Januari, lan isih akeh meneh. Sing paling ngeres, wong
Jawa mesthi kerep ngucap: ’’O, cah bodhone 27.’’ Njur ana meneh: ’’Yen isa ngalahake aku, tak sembah
ping 27.’’
Eling, wong Jawa angger wis kegodha pi-tu, lagi dha nuwun sewu: kukur-kukur sirah sing ora gatel.
Luwih-luwih yen nganti njeblos ing pakunjaran, nelangsa jero. Selagine pepundhenku sing kelayu pi-tu,
dilabrak garwane tekan kantor ya kukur-kukur kok. Getun? Lagi neng hotel, ana sing diindhik garwane,
njur diblak kotang, digedhor. Ana sing dilayangi nganti tekan pimpinane, akhire dilengser gara-gara 27.
Yen ngono, pancen wis angel tenan golek pawongan sing kena kanggo panutan, bisa nggelar lan nggulung
sasmita 27 iku.
Dak duga, ’’Sang Sasangka Jati’’, isih kaling-kalingan mendhung, nlempit ing walike angka gaib iku.
Sapa sing kuwawa mbatang cangkriman 27 iku, kiraku sing bakal bisa bali marang lajere wit nangka.
Bakal nggalih, oyode nyokot kuwat ing bumi pertiwi, ora mung ati ciplukan, gampang jebol, lan ora pati
ngumur dawa. Cangkriman iku isih dawa ulurane. Yen klakon mbatang, kiraku bakal ngerti wewadine
piwulang ’’bener lan pener’’. Wektu iki, isih akeh sing mung ngoyak bener thok, ning ora pati pener. Iki
sing seprene wis gumlewang, dha disingkur. Mulane, jejeging adil sok isih neng lambe. Jati-jatine
rembulan, kaendran, tangeh jumedhule yen isih peteng marang oncek-oncekane angka cangkriman.
***
Aku dadi kelingan karo Kinanthine mbakyu sindhen: ’’dhedhasare nagri iku, bener pener kudu lantip, aja
pijer mangan nendra, sepi pamrih den kaesthi, pesunen sariranira, jejeging adil den udi.’’ Lamun bener
iku isih cethek panlusure, ing negara iki durung bakal njedhul Ratu Adil. Yen lelakon bener, isih benere
dhewe, benere kroni (gedibale), dudu bener sejati, ewuh aya. Iki sing sok njalari isih ana rereged ing
batin. Isih kelepetan nepsu amarah. Ya iki kang bisa ngglundhungake wong Jawa angel diluk atine. Pijer
golek pawadan mrana-mrene, luwih-luwih yen rada kepengkok, kepepet rembug. Luwih gawat meneh,
yen ajining dhiri bakal keweleh, wah, wong Jawa sok pijer ’’gawe-gawe’’, dhandhang diunekake kontul.
Wit ciplukan, diungal-ungalke, dianggep wit nangka. Toblas!
****
RATU Adil, iku jiwane lelana brata, tanpa pamrih. Yen gelem tapa, wis kegolong tapa ngrame. Wis
gelem mbabar jati dhiri. Ora owel. Dheweke wis bisa mesu raga, mangasah mingising budi. Mula, bisa
ngugemi mahambeg adil paramarta. Nuntun marang keslametan (salvation), yaiku sang mesianis utawa
herucakra kawedhar. Ning, apa wis ana tandha-tandhane, bakal jumedhul? Kari nunggu, mbokmenawa
ana lintang alihan, jumedhul Sang Sasangka Jati, kang jiwane profetik (prophet). Tindak-tanduke tanpa
pamrih, nggunakake lungiding pangawikan Jawa.
Bareng daksarawidekake marang ’’Guru Sejati’’, jare isih dawa jangkahe lelakon iki. Bakal jumedhule
Ratu Adil Kabudayan, kandhane, bebarengan sumilake pedhut ing negara rame. Ing negara rame, tansaya
ngegla. Bakal akeh si Kanthong Bolong kuminter, rumesik. Nanging sejatine crobo. Bebudene dudu
galihe nangka, ning nguwit ciplukan. Gampang mblendok, keblondrok. Merga ’’iman kuwat’’, nanging
’’imin bobrok’’. Samengko, isih bakal akeh wong memuji, njunjung-njunjung, nyembah-nyembah wong
reged. Wong-wong isih kendel apus-apus, blak-blakan, dora cara, lan nganti nglabuhi dora-sembada.
Lole-lole, eyang Drona isih arep kumledhang. Bakal mikuwati umpak Sokalima. Percaya kena ora kena,
yen eyang Drona bakal tetep adol omong sadalan-dalan. Samengko, bakal katon mblegudhuge, monyor-
monyor, njur kesrimpeting laku. Omongane kang ’’lole-lole’’, dadi kendhit bundheting laku, angel udhar-
udharane. Merga, para kawula Sokalima, akeh sing isih ngendhong melik. Yen anggone ngendhaleni
kawula disendhal, bakal dhadhal.
Ana tembange bocah bajang nggiring angin, nawu banyu segara, pangirite kebo dhungkul, sasisih sapi
gumarang, mangkene: Wus wancine padha dielingke, kang dha cidra, njur nglukar gorohe, tindak kang
angkara, bakal mendha, malik kang utama. Kanca ayo kanca ayo aja dha sembrana, ayo muter
cakra.Tembang kang daksaring bebarengan karo dewa nganglang jagad, nyangking bokor kiwa tengen iki,
cumengkling ngajak-ajak nlusup ayang-ayang batin. Mbekmenawa iku jangka tanah Jawa, bakal dadi
ungup-ungup jumedhule jaman kencana rukmi. Bakal dadi pangentase budi suci, sing wis saya panas,
kaya gabah diinteri iki. Paling ora, yen cakra bakal mubeng kaya kitiran, njur eling leladining dhiri. Ora
nganggah-angah ngranggeh tumelunge srengenge. Ora nggrangsang, kaya merang kobong kemratag, terus
pengin nyakrawati mbaudhendha.
Ning ya kuwi, ditonton wae, saumure pari mratak ñ piye jumulure wit-wit nangka. Apa isih kena kanggo
pencokan kontul nglayang? Njur ana Sang Sasangka Jati, sumorot ing sela-selane godhong nangka,
nembus tekan ngisor ciplukan. Ayo maca tengara jati iki, sumitra! (35)
(/)
Blencong
24 Februari 2010 | 03:07 wib
Dening Sindhunata
Pancen kakean bandha iku murugake ati ora bisa tentrem lan marem. Beda lan wong sing ora sugih
bandha, senadyan lawange dijarke mengo ngowoh-owoh, dheweke ora kuatir menawa omahe dileboni
maling. Umpamaa maling arep nyatroni omahe, bandha apa sing bisa digawa? Wong sing ana ing omahe
ya mung barang-barang sing ora ana regane.
Iku mau mratelake menawa ajine manungsa iki ora gumantung saka mbrewu lan lubering bandha. Mula
ana kawicaksanan Jawa sing unine: Manungsa iku kudu luwih saka bandhane. Yen manungsa mung
rebyeg kainteran ing kekarepan, mendah begjane yen omahe bisa dadi luwih apik, kamangka omahe wis
gedhong magrong-magrong, utawa mendah gagahe yen duwe maneh montor sing kinclong, kamangka
montore wis lima cacahe tur kabeh wis kinclong-kinclong wernane, manungsa kaya mengkono mau
sejatine wis kelangan ajine.
Wong sing kedanan bandha iku ora nate marem. Persis kaya dene wong sing ngragas ing panganan.
Nadyan wis mamah apa wae, isih terus ngelih. Kagandhulan bandha, urip iki dadi nggrenggiyek kabotan
sanggan, pepindane uripe dadi sarwa ribed kesrimped bebed.
Kanggo wong sing kasrimpung ing bandha iku, para pinisepuh mbiyen maringi piwulang iki marang aku
kabeh. Sepisan, wong kudu weruh ing tuju. Lire, apa ta sejatine tujuane uripku ing donya iki. Mesthine
dudu kanggo nglumpukake bandha, ning kanggo nggayuh ajining dhiri lan tentreming ati. Saka kuna
makuna aku ngreti, menawa ajining dhiri lan tentreming ati iku bakal bisa ginayuh, yen aku gelem
ngelungake dhiri lan maringake saperangan bandhaku kanggo sapa sing mbutuhake. Banjur weruh ing
tuju uga ateges weruh ing kasampurnaning urip. Cetha menawa kasampurnaning urip iku bisa dak gayuh
menawa aku wani nglumpati urip iku, banjur mulih ing Sing Gawe Urip, sing gedhene ngungkuli
sakabehing bandhaku ing donya iki.
***
Supaya ora kasimprung ing bandha, para pinisepuh mbiyen banjur paring piwulang kang kapindo iki:
wong kudu weruh ing watese. Manungsa iku ora sarwa bisa, utawa sarwa mikolehi. Kabisan itu ana
watese. Ngendi watesing kabisanku? Yen aku bisa mangsuli pitakonan iki, lakuku ora bakal ngalor ngidul
tanpa tujuan. Bandha uga ana watese. Pribasane, aku ora bisa nglebokake prabot apa wae ing omahku sing
mung cilik ukurane. Yen dak peksa-peksa, wewangunaning omahku mung dadi lan ora pantese.
Parandene, yen aku isih tetep meksa, kudune aku nglegewa, menawa rasa srakah wis wiwit sumusup ing
awakku. Pancen sumusuping rasa srakah iku alus, ora dak rasakake, weruh-weruh aku wis kebulet ing
pepengenan sing ora ana watese. Mula yen aku sadhar, kapan rasa srakah iku wiwit nyusupi aku, aku
banjur bisa nggepuk rasa srakah iku, sadurunge rasa mau mrambat lan nyrambahi sakabehing uripku.
Banjur, iki piwelinge para sepuh kang katelu: wong kudu weruh ing prelu. Pancen, manungsa iku kerep
kajiret ing bandha lan prekara sing sejatine ora prelu kanggo uripe. Yen penganggoku akeh nganti turah-
turah, kapan anggonku nganggo. Wong sing ora duwe, nganggone mung iku-iku wae. Ngonoa, dheweke
sejatine luwih ngajeni penganggone tinimbang aku sing penganggone luwih-luwih. Aku mung nyimpen
penganggoku ing lemari. Nalika aku arep nganggo, bingung anggonku milih. Tundhone, ya nganggo sing
iku-iku wae. Coba penganggoku sing mung nganggur mau dak paringake liyan sing mbutuhake, rak
banjur terus kajen merga dienggo. Lire piwulang sing katelu iku mratelake menawa apa sing dak duweni
iki sejatine luwih akeh tinimbang sing dak prelokake. Katembungake liya: kapreluanku sejatine mung
sethithik, mula aku ya ora prelu nduweni barang sing tundhone ora dak prelokake.
Ora ngugemi weruh ing tuju, weruh ing wates, lan weruh ing prelu, ya telung prekara iki sing mururagke
wong kasandhung ing tumindak korupsi. Pancen, korupsi iku sejatine mung tembung liya kanggo sikep
sing ora weruh ing ing tuju, ing wates, lan ing prelu. Kosok baline wong sing ngugemi telung prekara
mau, dheweke bakal tinuntun sing marganing kabegjan lan katentremen, sing njalari dheweke bisa
mbenerake paribasan iki: Wajik klethik, gula jawa, luwih becik dadi prasaja. (35)
(/)L E L U N G I D A N
Agustus 25, 2008
(Lelandhepan, Lelimbangan)
Kapendhet saking Panatacara Tuwin Pamedhar Sabda
anggitanipun Rama Sudhi Yatmana,1994.
LELUNGIDAN – 1
Ha—– Aja ngandhakake utawa ngandhani apa bae kang ora dimangerteni.
Na—– Nandur kabecikan bakal panen kabecikan.
Ca—– Cipta, rasa, karsa, daya lan karya kudu sayeg saeka praya.
Ra—– Ruwet rentenging donya iki jalaran urip ora padha nindakake kuwajibaning urip.
Ka—– Kang wani iku kang wenang.
Da—– Duwe sedya becik ora enggal kok tindakake iku padha karo ndhedher wiji laraning ati.
Ta—– Tansah was-was tandha ora saras.
Sa—– Senennging ati ndawakake umur.
Wa—- Wong Lara ngarep-arep waras. Wong Waras apa pangarep-arepmu ?
La—– Lembah manah agawe kuncaraning diri pribadi.
Pa—– Pinuju bungah elinga susah, pinuju susah elinga bungah !
Dha— Dhedhasaring ngauri iku kudu gotong-royong.
Ja—– Jeneng tresna kudu wani nglabuhi lara lan sengsaraning urip.
Ya—- Yen wis janji kudu kokleksanani.
Nya— Nyampurnakake urip klawan sucining ati.
Ma—- Momor, momot, momong, mesthi mikolehi.
Ga—- Gemi iku becik, mung gemining wong cethil utawa kikir iku kang ora becik.
Ba—- Becik nyacada, cacadmu dhewe !
Tha— Thothok-thothoka lawang yen njaluk diwengani !
Nga— Ngunggulake diri pribadi bakal diasorake, sapa andhap asor bakal diunggulake.
LELUNGIDAN – 2
LELUNGIDAN – 3
Ha—– Ing ngarsa sun tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri Handayani.
Na—– Nistha, madya, utama. Sira kudu bisa mbedakake.
Ca—– Calon, durung mesthi kelakon.
Ra—– Rumangsa pinter tandha yen bodho.
Ka—– Kwiranganing liyan tambuhana !
Da—– Dadia ragi sarta uyahing bebrayan.
Ta—– Tulungana sing pancen butuh pitulungan.
Sa—– Saben dina umurmu suda sedina.
Wa—- Wani urip kudu wani mati.
La—– Luwih mbebayani mogol ing panggulawenthah tinimbang mogol ing pasinaon.
Pa—– Prakara iku geni umpamane : yen wis mubal, angel panyirepe.
Dha— Dhasare manungsa iku kinodrat becik. buktine : emoh diarani ala.
Ja—– Jiwa kang saras dedunung ing raga kang waras.
Ya—- Yen nedya sugih, kudu wani mlarat.
Nya— Nyata, gugunen !
Ma—- Mamerake pintermu padha karo mamerake bodhomu.
Ga—- Gemi, setiti, ngati-ati. kudu diudi.
Ba—- Bares, beres.
Tha—-Thukuling katresnandiipuk-ipuk, disirami, didhangir dirabuk, diopeni, cikben wohe ndadi.
Nga— Ngajeni ing liyan ateges uga ngajeni awakmu dhewe.
LELUNGIDAN – 4
LELUNGIDAN – 5
DHANDHANGGULA
ING GESANG
By Mas Kumitir
1.
Jungkat siti panggaraping sabin,
laku saru datan ilok tenan,
tadhah udan sing ginawe,
den ilangana sampun,
awit iku kang dadi ciri,
tumrap manungsa gesang,
awon dadosipun,
lamun saru trus binekta,
iki jeneng nistha kang tanpa upami,
tan pinercayeng liyan.
2.
Yen kebacut ora duwe isin,
calon klambi bisa mangan banyu,
bakal cilaka ing tembe,
tempe putih ‘ra wurung,
sira dhewe kang nandhang kingkin,
cacat ing salaminya,
wis mesthi keduwung,
ing batinnya bisa perang,
temah nlangsa marang awakira sengit,
tansah kepengin pejah.
3.
Mula sira padha ngati-ati,
nggenya ngecakake pasrawungan,
aja nrajang winatese,
mring angger-anggeripun,
dimen ora ngisin-isini,
sokur bage yen bisa,
urun-urun rembug,
najan sembur-sembur adas,
amemayu hayune negara iki,
makarya sabisanya.
4.
Sarung jagung godhong gedhang garing,
ora abot sanggane wong gesang,
bisa kepenak larase,
nanging yen sira purun,
amarsudi laku utami,
ngenggoni kalumrahan,
padha-padha srawung,
pamrihmu den limbangana,
ora nggugu marang kerepnya pribadi,
iki minangka jimat.
5.
Damar ingkang paring tuduh janmi,
iki ana jrone Pancasila,
ing kono pepak isine,
uwis bener ditanggung,
tumrap kadang wajib ingudi,
ngerti lawan isinya,
lair batinipun,
tanpa iki janma rusak,
bubrah babreh angel banget den dandosi,
donya bakal kiyamat.
Tulisan ini dikirim pada pada Januari 17, 2009 7:47 am dan di isikan dibawah MACAPAT. Anda dapat meneruskan melihat
respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0 feed. r Anda dapat merespon, or trackback dari website anda.
SERAT SABDA PRANAWA
By Mas Kumitir
– 01 –
Rasaning tyas kayungyun ngayati, lukitaning sekar dhandhanggula, linalar srana wengane, krentek
osiking kalbu, katarbuka weninging budi, kang nedya maharjeng tyas, sarwi weh pitutur, sumingkir
mring para-cidra, myang mirangrong murang ing reh krama-niti, tinilar ing jro cipta.
Sabda = pangandika, pranawa = padhanging manah, dados tegesipun: Pangandika ingkang ndadosaken
padhanging manah. Menggah gathukipun kaliyan wasitaning ngelmi, makaten wau winastan:
Pangandikaning Allah. Dados wosipun nerangaken bilih karangan serat Sabda-pranawa (= jangka),
punika mendhet wewaton saking dhawuh pangandikaning Allah. Dene ‘Sabda-pranawa’ wiwit pada 1
suraosipun makaten:
Larasing panggalihipun Sang Pujangga kasengsem ngadani badhe medharaken sasmitaning jaman, kanthi
rinengga (kaanggit) ing sekar Dhandhanggula, menggah tuwuhing sasmita wau sampun kalimbang-
limbang ngantos dumugi kabukaning raos, krentek saha osiking manah ingkang sampun tinarbuka
manjing kaweningan sarta padhang pikiranipun anggening badhe sumedya nata karahayoning budi, sarana
piwulang sageda sumingkir saking tindak para-cidra, punapa malih pandamel piawon, ingkang nyimpang
saking patrap kasusilan, sadaya wau sampun ngantos sumimpen ing manah.
– 02 –
Den anedya amituhu maring, gaibing Hyang jroning jaman edan, iku wus dadi karsane, Gusti Hyang
Mahaagung, anggung maweh atising kapti, tata-tataning gesang, kataliwar mawut, ruwete saya
andadra, dipun sami nyenyuda ardaning budi, ulah titising sedya.
Ing salebetipun jaman ewah, kawontenanipun tetiyang kathah ingkang remen goroh ngapus-apusi sarta
bedhangan, kathah tiyang ingkang kuwalik panganggepipun, pratingkah awon anggepipun sae, tuwin
sapanunggilipun. Mugi nggadhahana sedya ingkang tumemen anggening ngestokaken kaparenging
Pengeran ingkang taksih sinengker, amargi tuwuhing jaman wau, sampun kinodrat (pinasthi) dening Gusti
Ingkang Mahaagung, mila tansah tuwuh lelampahan ingkang damel atising kekajengan, tumraping
pranatan wajibing gesang sampun mawut ketula-tula, kisruhing lelampahan saya adadra, awit saking
punika dipun sami nyenyudaa kekajengan ingkang ngambra-ambra, lajeng kaparenga nggegulang
pratitising tekadipun.
– 03 –
Ngajap maring rahayu ngayemi, ngayomana samining tumitah, ngendhak arda kamurkane,
ngendhangken tindak dudu, den dawaa tumibeng tebih, bablas kentas anatas, tyasing pra tumuwuh,
katarbuka mung anedya, tumindak mring rahayu anrusing budi, dumadi yogya tama.
Mangesthiya dhateng karahayon ingkang nyrambahi damel asreping manah, sarta ngayomana sasamining
tumitah, punapa malih ngendhakna osiking manah ingkang adreng tuwin kamurkaning hawa-nepsu
ingkang ndadosaken pepeteng, nyingkiraken tindak ingkang nyimpang ing kaleresan, kaduaa ngantos
dhumawah ing tebih, bablas lebur sadayanipun. Lejeng sagung dumados manahipun sami tinarbuka, lair
batosipun namung sumedya tumindak dhateng karahayon, ing wasana kawontenanipun dados prayogi
sarta utami.
– 04 –
Beda lan kang pangajaping kapti, ngaji pupung mupung dadi gesang, sadina-dina den tutke,
rubedaning tyas ngumbruk, gung kininthil mung atut wuri, riwut mawut ing nala, arawat dahuru,
korup kaserung tyas growah, wahanane gorohnya saya andadi, sadaya mung yun cidra.
Beda kaliyan ingkang pangestunipun remen ngaji pupung, mupung taksih geseng ing sadinten-dinten
dipun tutaken rubedaning manah, warna-warni ngantos mgumbruk kathah sanget, tansah kininthil,
namung tut wingking kemawon, tumindakipun riwut ngantos mowat-mawut gesangipun, manahipun
kebak reresah, ketarik saking korup kadhesek cupeting budi ngagengaken para-cidra, sadaya sami pinter
goroh.
– 05 –
Hang nglayang budayaning urip. Tanpa bayu weyane ndaluya, sacipta-ciptaning tyase, mung sarwa
gidhuh, mbebayani samining urip, budine saya rusak, padone tan payu, ajine wus ora ana, analutuh
pakewuhe saya ndadi, dumadi kasangsara.
Budi-dayanipun kabur ical, badan cape, sepen ing panggraita, ciptaning manah saben jumedul namung
tansah damel gidhuh, lajeng dados ama ingkang bebayani tumrap sasamining gesang, amargi budinipun
saya risak, rembagipun boten pajeng (awis ingkang pitados), ajining badan sampun boten wonten, jalaran
kepatuh ing piawon, mila pakewedipun sangsaya ndados, ing temahan gesangipun manggih sangsara.
– 06 –
Rongeh rungkat utamaning urip, ringa-ringa kari ura-ura, dhandhanggula mrih agawe, lejar
enggaring kalbu, angleluri leluhur nguni, abote dadi gesang, saking dennya wayuh, wayuh wahyu
paringing Hyang, ya bok donya kalawan embok rijeki, kang sami awratira.
Ing jaman wau manahipun tetiyang sami rongeh (bingung), ical tabeting kautamen, amung rangu-rangu
(samar) kantun ura-ura sekar dhandhanggula kangge nglelipur supados saged damel pepadhang saha
senenging manah, sarana nggegesang pamanggihipun para leluhur ing kina, saking awratipun dumados
gesang, jer sampun kinodrat dening Pangeran, kedah saged wayuh garwa kekalih, inggih punika Bok
Donya lan Bok Rijeki, punika sami awratipun.
(Katrangan: Bok Donya ibaratipun kasugihan, kadosta: raja-brana sandhang-pangangge, raja-darbe, garwa
putra, tuwin sanes-sansipun. Bok Rijeki ngibaratipun: Tedha)
– 07 –
Garapannya langkung gawat rungsit, sami datan kena yen katilar, nanging ta panggupitane, Ki
Pujangga tyasipun, anggung mangu-mangu tan sipi, kalintuning pamawas, wawasaning kalbu, mring
arja mulyaning gesang, saking sruning kataman ing tyas prihatin, tansah muleting prana.
Garapanipun pancen langkung gawat sarta rungsit, amargi sandhang tuwin tedha punika boten kenging
manawi katilar salah satunggal. Mila panganggitipun Kyai Pujangga ing panggalih tansah sumelang
sanget, bokmanawi kalintu ing pamawasipun dhateng karahayon sarta kamulyaning gesang amargi katarik
saking sangeting nandhang prihatos, ingkang tansah nggubel ing panggalih.
– 08 –
Wartanira pra ambek linuwih, wawasaning nala wus tetela, miturut ing kahanane, ran jaman woah
tuhu, keh ngowahi sagung pakarti, pakewuh saya ndadra, sadaya tumuwuh, mung ewuhaya tyasira,
ngeres macek sesambate tanpa uwis, uwas kaworan maras.
Miturut pangandikanipun para linangkung, mendhet saking wawasaning panggalih jumbuhipun kaliyan
kawontenan sampun saged cetha saestu, nerangaken bilih badhe tuwuhing jaman, kawastanan jama ewuh,
tegesipun ing jaman wau tumindakipun tiyang kathah ingkang maleset cidra ing janji, lajeng tuwuhipun
pakewed saya ndadra manahipun sagung dumados namung tansah ewuhaya badhe tumindakipun, kanthi
raos ngeres atis sanget kaliyan sesambat melas-asih.
– 09 –
Sinasaban rahayuning budi, nging dukane jaman sangsayarda, nglimputi sakeh panggawe, kang
maring mbek rahayu, krana saking uwus tan keni, sinirep kabudayan, budiman martarum, yen
durung kala masanya, malah saya maweh sangsara ngranuhi, wus karsaning Hyang Suksma.
Sanadyan dipun aling-alingana alusing bebuden, nanging katarik jamanipun saweg kenging deduka, dados
tuwuhipun inggih malah sangsaya sanget nglimputi sakathahing pandamel ingkang tumuju dhateng
karahayon, mila inggih boten kenging kaendhaaken sarana kalangkunganing budi sarta berbudi ambek
paramarta, sadaya wau manawi dereng dumugi ing kala mangsanipun malah mewahi sangsara kanthi atis,
amargi sampun pinasthi karsaning Pangeran.
– 10 –
Tatanane mung anggung anggili, panutane ambek angkararda, pikantuk kala mangsane, wengane
sedyanipun, saya cetha nglela kaeksi, limut mring kautaman, riwut ngawut-awut, watak candhala
andadra, udreg-udregan kalawan tyas jail drengki, weh wimbuh kasangsara.
Tatananing praja tansah lumintu tumrap anggenipun ngagengaken kamurkan kanthi pameksa,
tumindakipun saged kalampahan jalaran nyarengi ing kala mangasanipun, mila osiking sedyanipun boten
mawi ewed pakewed, langkung cetha tanpa tedheng aling-aling, kesupen dhateng kautamen,
tumindakipun para tiyang sami riwut ngowat-awut tetanggelanipun. Ingkang watek budi candhala
makaten wau lajeng kathah panunggilipun, tansah rame pasulayan udreg-udregan, kaliyan ingkang watek
jail tuwin drengki, jalaran saking meri, ing wasana malah nambahi kasangsaranipun.
– 11 –
Ing antara laju saya keksi, lelamuking jaman katingalan, rupak rumpil kahanane, saya dreng weh
wulangun, panguripan amorat-marit, sirna tentreming nala, wong udrasa manggung, gawangan
saenggonira, nyenyet samun sesunare sukeng kapti, tansah kapilet susah.
Kalampahanipun ngantos sawatawis lami saya katingal lamuking jaman, lelampahaning tiyang langkung
mepet tambah rumpil (riwil) tumindakipun, amargi saya nesek tansah keraos-raos, lampahing
panggesangan boten kanten-kantenan, ical katentremanipun, ing saenggen-enggen kathah tiyang nangis
salebeting batos, anggening tansah gawang-gawangan (katingal cetha) kagubel ing kasusahan, sadaya
katingal nyenyet sepi samun boten wonten semunipun tiyang seneng.
– 12 –
Kekah kukuh tan kena den ungkih, sangsaraning sagung pra ngagesang, kehing srana tanpa gawe,
kemat isyarat lebur, bubur bubar tan andayani, angles kekesing nala, sangsaya anglantur, tumutur
saparan-paran, mahanani tidhem – tandhaning dumadi, begjane sing den uja.
Kasangsaranipun kekah boten kenging dipun angkah murih ical, inggih punika ingkang tumrap tetiyang
kathah. Sakathahipun sarana kangge ngicali sangsara wau sampun tanpa damel, kemat (pengasihan)
isyarat sami lebur ing bubur tanpa daya, dhateng manah ngantos angles kekes, saya dangu saya ngantur
ngetutaken sapurug-purug, wahananipun lajeng damel ical (sirna) sipating kamanusanipun, begjanipun
tiyang ingkang saweg jinurung.
– 13 –
Dhungkar maring gunung giri-giri, ingkang geneng padha jinugrugan, tan pisan ana kang nyruwe,
wedi yen dipun sretu, yekti kabur kabuncang tebih, wit lagi winong Dewa, widigdaya punjul,
sasaminira tumitah, singa mawas mesthi lebur tanpa dadi, ndlarung sakarsa-karsa.
Dhungkar gunung giri-giri sarta njugrugi ingkang geneng-geneng, punika ibaratipun para luhur (priyantun
ageng) dipun risak darajatipun utawi panguwaosipun, sarta ingkang hartawan dipun keruk, ewa dene
boten pisan wonten ingkang nyaruwe, amargi ajrih manawi dipun sertu mesthi kabucal dhateng tanah
ingkang tebih, lah tiyang saweg winongwong ing Jawata, dhasar langkung digdayanipun ngungkuli para
tumitah, sinten kemawon ingkang ngulat-ulataken badhe damel pakewed mesti lebur tanpa dados, mila
ndlarung sakarsa-karsa.
– 14 –
Sanadyan kasaranipun boten wonten ingkang wani ngebah-ebah punapa malih ngentasaken, pancen
kekah santosa yektos, mila para prikonca kantun ngraosaken ngenesing manahipun, ing batos
namung gumun, miturut piwulangipun tiyang saged, kedah ingkang mulat anggenipun ningali
tuladan utami, ajrih asiha dhateng Pangeran ingkang kuwaos nitahaken bumi lan langit, dipun
suwuna supados luntur sihipun.
– 15 –
Supayantuk awas lawan eling, nitekena lelejeming jaman, kang bakal linakon tembe, yeku sajroning
taun, windu kuning kono kaeksi, wewe putih amawa, gaman tebu wulung, yun kinarya amrajaya,
wedhon ingkang idune kaliwat mandi, dadya esuh sirnanya.
Pinaringan awas lawan enget, sarta nyatitekna dhateng sulak utawi keclaping jaman ingkang badhe
linampahan ing tembe, inggih punika salebeting tahun: windu kuning (windu kencana = jaman kencana,
inggih punika jamanipun manusa sami jejeg adil netepi jejering kasatriyan. Dene menggah seneng lan
nikmatipun kita boten saged nggambaraken ing angen-angen, namung bangsa ingkang sampun
ngraosaken leginipun jaman kencana kemawon ingkang saged kojah klawan gamblang lan ceples. Kangge
kita kados dene ing masa wau, ing sapunika sampun wiwit katingal trontong-trontong kados siratipun
Sanghyang Sumorot ing wanci bangun (enjing), ing ngriku badhe katingalipun: Wewe putih, mbekta
dedamel tebu wulung, badhe mrajaya (natoni) wedhon ingkang idunipun ampuh, temahan ndadosaken
lebur tuwin sirna.
(Katrangan: wewe putih = memedi, damelipun ngajrih-ajrihi; putih = suci; tebu wulung = mbokmanawi:
wuluhing sanjata; wedhon = bangsa pethak; idu ampuh = parentah ingkang mesti kelampahanipun, utawi
mesti dipun gega, saminipun = idu geni, punika tiyang ingkang saweg dipun gega cariyosipun).
– 16 –
Rasanira wus karasa yekti, kesuk saking panguwasnira, Hyang Mahamulya kang gawe, ala kalawan
ayu, sadayaning tinitah urip, wahyune gya tumiba, barkahe Hyang Agung, tyasira sagung agesang,
kukuh bakuh mbek arja lulus lestari, salamet pra tumitah.
Tetiyang sampun sami kraos lan rumaos kedhesek dening karsaning Pangeran, inggih punika ingkang
kuwaos damel awon saening tumitah, nunten wahyu dhumawah sarta angsal barkahing kang Mahaagung,
mila manahipun tetiyang sami santosa sanget, sumedya ambek rahayu, lestari kalampahan wilujeng
sadayanipun para tumitah.
–17 –
Karkating tyas mung nuju maring, sreping nala samining kawula, yuwana sapiturute, lyan praja
samya sayuk, rumeksa mring sakehing urip, mirut larut suranya, saenggon-enggon mangguh, kajen
keringan ing angga, gegarane padha rahayu ning budi, dumadi arja mulya.
Krenteking manah namung tumuju dhateng kaayeman (katentreman) ing sasaminipun kawula, tuwin
kayuwanan sapiturutipun, liyan praja sami sayuk anggenipun rumeksa ing gesangipun, kuwanenipun
(mengsah) sirna larut, ing saenggen-enggen manggih hormat, kajen keringan; pawitanipun sami
rahayuning budi, lajeng ndadosaken wilujeng tuwin mulya.
– 18 –
Tatu-tatu samya tuntum sami, lelarane waluya suh sirna, tyas kang mung prihatin bae, ginantyan
sukeng kalbu, saparan gung weh seneng kapti, tanana ambek arda, ngantuk nemu kethuk, kang isi
dinar kawuryan, suka-suka sagunging para dumadi, begjane wuwuh prapta.
Tetiyang ingkang ketaton (kecuwan) sami pulih, sakiting manah ical, ingkang tansah prihatos santun
dados bingah, sapurug-purugipun namung damel seneng kemawon, ambek angkara murka boten wonten,
bebasan ngantuk nemu kethuk, tegesipun: manggih begja boten nyana, warni dinar = raja brana, damel
bingahing manahipun para tumitah (tetiyang kathah), kebegjanipun tansah wewah-wewah.
– 19 –
Amung padha tinumpukan sami, bandha dunya tanna rinareksa, rerusuh wus sirna entek, dadya
sadayanipun, rajakaya cinancang njawi, tan srana dipun tengga, salamet lestantun, tan ana kang
munasika, durtaning rat wus larut mirut angisis, sumingkir langkung tebah.
Kasugihanipun bandha namung dipun tumpuk wonten ing griya tanpa dipun tengga, (dening kertaning
jaman), reresah sampun boten wonten (telas), rajakaya sami kacancang ing njawi tanpa tinengga, ewadene
wilujeng boten wonten ingkang munasika (ganggu damel), piawoning jagad sampun larut sami sumingkir,
langkung tebih.
– 20 –
Diraning tyas pra durjana juti, sirna gempang gampang gya gumiwang, wewangsone mung agawe,
ayem tentreming kayun, kayuwanan sagunging urip, rep-sirep ardeng driya, dayane kayungyun,
ngayomi ayuning budya, kang budyarja marjaya mring ambek nisthip, cinuthat tibeng tebah.
Kadibyan (peng-penganipun) durjana tuwin piawon-piawon sirna, gampil maliking panggraita, namung
nedya badhe damel ayem lan tentreming manah, kayuwanan sadaya ingkang tinitah gesang, kamurkan
sirep, kadayan anggenipun manah adreng kapengin memayu ayuning budi, dende ingkang pancen sampun
sae (rahayu) manahipun sami merangi ingkang gadhah manah nistha, kasingkiraken dhumawah ing tebih.
– 21 –
Ninggal maring pakarti lan yukti, teteg tata ngastuti parentah, tansap saregep mring gawe, ngandhap
lan luhur jumbuh, boya ana cengil-cinengil, tut-runtut golong karsa, sakehing tumuwuh, wantune
wus katarbuka, tyase wong sapraja kabeh mung arjanti, titi mring reh utama.
Nilar saking pandamel awon, manah teteg (santosa), kanthi tata anggenipun bekti dhateng pamarentah,
sregep nyambut damel, jumbuh (cocog) ngandhap lang nginggilipun, boten wonten cengil-cinengil, atut-
runtut sagolong ing karsa (tunggal karep) tumrap sadaya titah, wantunipun sampun binuka (angsal
wewengan), tetiyang sapraja sadaya manahipun namung nedya wilujeng tuwin titi dhateng kautaman.
– 22 –
Ngratani mring saindenging bumi, keh ing para manggalaning praja, nora kewran nandukake agal
lembut, pulih kadi duk jaman nguni, tyase wong sanagara, teteg teguh-teguh, tanggon rabarang
sinedya, datan pisan ngucira ing lair batin, kang kesthi mung reh aria.
Waradin ngebeki saisining jagad, sakathahing para pangageng nagari ugi boten kewran nandukaken
pandamel agal tuwin remit, dados pulih kados nalika jaman rumiyin, manahipun tetiyang sanagari, sami
teteg-teteg, teguh tanggon, samubarang ingkang sinedya boten pisan-pisan tilar gelanggang colong playu
(medhot banyon), nanging mantep sanget lair dumugining batos, ingkang kaesthi namung dhateng tindak
tata raharja.
Tulisan ini dikirim pada pada Januari 10, 2009 7:14 am dan di isikan dibawah SERAT SABDA PRANAWA. Anda dapat
meneruskan melihat respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0 feed. r Anda dapat merespon, or trackback dari website anda.
1. sardi Berkata:
Januari 16, 2009 pukul 9:09 am | Balas
Den mas,
Tidak banyak yang bisa saya sampaikan, kekagumanku pada suguhanmu yang merupakan ilmu
yang amat sangat luar biasa dalamnya.
Kalaulah islam sudah jangkep rukun saya, tapi sebagai orang jawa masih begitu jauh untuk bisa
untuk mengakuinya.
Hanya satu den mas yang selalu saya ingat, pesan orangtua dulu, bahwa’ “cari ilmu tidak usah
jauh-jauh, karena semua ada pada dirimu”, ini saya belum bisa nemu den mas,
Saya juga gak ngerti ini komentar apa, ungkapan, yang jelas kalaulah bisa mencerna satu demi
satu suguhan den mas Kumitir ini, mungkin akan lengkap pemahaman saya, tapi itu juga sulit,
karena saya tidak besar dalam lingkungan jawa njawani,
Saya hanya kagum dengan warisan budaya jawa, yang begitu tinggi, yang ketika diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari bisa menciptakan keharmonisan hidup yang luar biasa, seperti terlihat paba
kebesaran jaman Majapahit, hanya perjalanan hiduplah yang membuat semua seperti sekarang ini,
bahwa semua akan berjalan (berubah) dan terus berjalan, dan yang namanya baik dan kebaikan
kini tinggal diucapan saja, perbuatan manusia sudah jauh menyimpang.
Terimakasih den mas Kumitir, teruslah sebarkan ajaran leluhur jawa yang memang luhur,
mungkin sudah waktunya seperti yang dijanjikan danyang jawa Sabdopalon dia mau menata
kembali bumi jawa menuju “Karahayon”
2. subiyantoro Berkata:
Februari 1, 2009 pukul 2:52 am | Balas
DH,
Ternyata Piwulang jawa tentang kehidupan rohani sangat tinggi,tapi sayang seribu sayang,saya tdk
bisa mengerti semua bahasa jawa inggil.
Seandainya serat-serat /kitab jawa bisa diterjemahkan ke bahasa indonesia,mungkin bangsa
indonesia bisa lebih baik moralnya,apalagi jika pelajaran Budi Pekerti ala”JAWA” ini diajarkan
dari anak SD sampai perguruan tinggi.
Pemikir Jawa Kuno ternyata lebih cerdas dan arif dibanding bangsa Yunani kuno (Plato,Socrates
dll) serta bangsa Arab.
3. Sam Berkata:
September 10, 2009 pukul 7:11 am | Balas
luar biasa blog ini bisa memberi banyak literatur. salam kenal. terima kasih atas apresiasi budaya
luhung kita
WIJINING URIP
By Mas Kumitir .
Wimbaning rasa kang aneng jro ati, wimbaning katongton, pan rumongso anuksma rasane, ing tingal sih
rasane kang urip, kumpule dumadi, raos sakahetung.Mapan aling wijining ngaurip, wijine sawiyah, enur
suhut kalawan ngelmune, wadah ira geni lawan angina, ping kalihe malih, siti lawan banyu, iya iku
tunggale sawiji sampurnane dadi wong.Tiningalan iku ing lair ira, iya iku rasa banyu urip, kuwat ira
angina, geni karep nepsu iku ingkang amadahi, dadinira awor, iku pada lan lair tamtune.Rasa cahya
manjing marang ngelmi, wiji kang duweni, tan kena cinaturan ingaranan sampurnaning urip, iku dipun
cernoh, aja sira karem donya bae, pan weruh wawekasan urip, cahya rasa urip iku dipun weroh .Sipat iku
kang sira tingali marganipun weroh, iyo apan iku ing dadine, yenta weruh sira rupa jati, nggon ira aurip,
iku misih bingung .Iya mengko sira sun tuturi tegese kang raos, aja sira tingal jaba bae, upamanira yen
sira guling lamun sira ngimpi , sapa kang andulu raragane pan kira aguling, ing jero miraos wan loro
tunggale, nora pisah pan ora atunggil, pilih kang ngawruhi, lir kaca dinulu .Jroning kaca sira tingali,
tanpa dununging nggon, iya uga among sira dhewe kaca iku umpamane jisim, kalimputan urip, sukma
kang ndulu, rasa iku kang wujut jati, katingal kang katon, sirno jisim mulih ing asale, mapan asalira duk
dumadi, bhumi angina geni, kaping patte banyu.Jisim alus tan kena ing pati, iyo iku erroh, among rasa
nikmat lan larane, tandya wangenan nggon ira aurip.Lan sakehe kang jro nala tingali sayekti, kalbunira
nyatane Hyang Widi, kakelir sayekti, megane pandulu.Umpamane lir sare lan estri tingal ira raos, sumrah
kabeh ing raga nikmate, suka nikmat tan wonten kuwatir, tan ngraos darbeni, sedaya pan kumpul.Lamun
sira yen arsa aguling, tan dyanen sayektos, napas ira pan iku yektine, sarta lamun sira manjing, lampahe
aririh, rahmat kang tumurun.Liyaping netra kang rohmat wus manjing, ing jro manah awor, dadya lali ing
kanikmatane, marma datan anget raga iki, tanwruh kula gusti, dudu iyo dudu.Iya iku al bransanusiri,
Mukhammad rasengo, sira kawiti kang sun dadekake, pan wiji sekalir dumadi, saking ing sireki, sira
saking ingsun.Dipun reksa saranaken urip, pasrahna Hyang Manon, dipun nggono rasa sarirane, dipun
awae nggonira ngulati, kang trus lawan ngelmi, pituduh ing guru.Sabdaning gurunen ngati-ati, anuta ing
pakon, sarta iklas ing pangidhep kaberah, pati urip datan den rasani, sunya lawan lawan singgih, pan ora
kaetung.Mengko padha sun tuturi malih, brahisih kang katon, kweruhana, ya ing dadine, pan ing raga
dununge ing ati, ati ingkang putih, arane pausuh.Patang prakara dadine kang isih, pan sanes kang enggon,
ingkang dhingine jantung nggone, kaping kalihe limpa sadyang ati, tyaspangasih, kaping tiganipun.
Ingkang welas sarta awor asih, iku ning papusuh, tulung tinulung ing kono kuwi, tyas ing sih lakune
dhemeni, tresna lan kapengin iku nggonipun.
Ingkang wonten jejantung puniki, kasmaran ingkang wong, iya supe marang liyane, kerut sedyane sih lan
rasmi, rasaning sih, sadaya kapengku.
Ingkang kekalih sih dunya kang katon, lana reremen kalawan tunggale, budi piker metu ing jro ati, sabar
lileng pati, donya tan kaetung,
Kaweruhana ja sira lali iku kang weruh, ing marmane aling ing paberane, barang cinta pangucap ing osik
lawan esir, ya saking Hyang Agung.
Pan tarima lakune kang yekti, iku imaning wong, ingkang padhang nora pethenge, iya padhang tegese pan
eling, nora kena lali, iku dhikir Ya Hu.
Erapipun kang dhikir puniki, napas manjing wiwitane panjinge napas, wedalipun napas Hu kang kapuji,
ing sajeke urip, melek lawan turu.
Tegese Ya hu Allah kang urip, kang mubeng tumuwoh, sakabeh kang gumelar, urip langgeng ingkang
Maha Suci, aniyata dhikir, ing sakjroning kalbu, iya iku sampurna kang urip, dadene papan awor, awor
cahya kang padhange linge, pan ciptanen dadine sawiji, iya ruh ilafi, dadine jeng rasul.
Nalikane sira angabekti, rumongsaha kang awor, tuwin sira dhuk dhikir kalane, pan ing kono nggoning
kang ning, raganira iki sirnaning pandulu liyaping netra.
Kebut ing ati akbarira awor, petenging tyas tan aling ragane, Wimbuh ira katingal jro ati mring kang
Maha Suci, Sih ira Hyang Agung.
Datan mawi lantarane malih, Sih Pangeraning wong, Iya rahmatira iku kabeh, Yakna rahmat Sih tumurun
tan elingling diri, tansah manah liwung.
Tulisan ini dikirim pada pada Januari 9, 2010 5:23 am dan di isikan dibawah WIJINING URIP. Anda
dapat meneruskan melihat respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0 feed. r Anda dapat merespon, or trackback dari website
anda.
SING BAGUS ATINE
By Mas Kumitir
SAPA KANG CEMBURUH IKU NEMU PAKEWUH
Satriya lan wanita utama iku kudu percaya marang Hyang Sukma,
rumangspa yen kawula, marga sapa kang samar utawa was iku bakal tiwas.
Iku ana paribasane : ora-ora diarani, suwe-suwe tak lakoni, yen manungsa rumangsa
duwe Gusti, iku kudu bagus ati, dadi yen ana tindak kang nasar ati, iku kudu dianti
trima keri, ora orane yen bakal lara ati, iku biasane akeh-akeh oleh ganti kang
merak ati, iku akeh kang wus bukti.
Dene yen sira nglunja-lunja kurang narima, tansah nuruti angkara murka iku bakal
ketula-tula, sangsara kang den arani kesiku dendaning angkara, saya tuwa sangsaya
sangsara, malah ora duwe begja, sapa kang bagus ati iku bisa kinasih ing Gusti, sapa
kang ngumbar angkara, iku cadangane sangsara. Mula sakabehing buku, Kitab,
Kur’an, Injil, Wedha, iku ngemot piwulang becik lan utama.
Senadiyan kita apal buku utawa Kur’an nanging ora digugu pituture dawuh-dawuhe
kang becik diarai kapir tegese nyebal saka penggawe becik sapa kang nyebal saka
penggawe becik sapa kang nyebal saka penggawe kebagusan iku bakal apes jajane,
asor asmane surem cahyane wirang tembe burine, apa iku subur uripe!!!!
Mula iku yen kita ngaku manungsa, kudu duwe agama, bagus ati iku bisa kinasih ing
Gusti. Ora samar yen diala-ala ing liyan, lan ora ngarep-arep pawehing liyan, sebab
kita yen ngaku umat, satriya iku kudu adil, kudu jakat (paweh) marang sapa bae
kang lagi susah yen kita isih gagah kanti ora cacat aja pisan-pisan ngarep-arep
dijakati (wenehi) pilih endi bisa paweh lan diwenehi dene kang tampa paweh iku ing
batin rumangsa tanpa kanugrahan lan kebagusan.
Mula iku wajib percaya marang awake dewe kang bagus ati, ora was sumelang, ing
batin ora rungsang-rungsang.
Sumber : Buku We Yoga Dhi (ayo pada diudi, yen digugu dadi Yoga kang Adhi).
Mula aja pada jejuluk tiyang (saka) kang tansah luru momotan, iku ing tembe burine abote disangga
dewe. Elinga yen manungsa iku kang den arani papak nanging ora pada, iku pada nduweni wadah raja
kaya (kedonyan) dewe, wis ana takere miturut gede lan cilike pepancen, dene pada diupaya niku mung
reka daya kepiye murih bisa ayen tentrem. Mangertiya yen ora dipangan uler, utawa penyakit, dene yen
dilemoni kanti dirumat kang becik-becik, iku ya isih jeneng lobor kang subur. Mula itungan wong kuna
iku mbanjur ana paribasan babat, bibit, bobot, bebet.
Babat-bibite, iku wis ora kena diselaki, dene kasunyatane wong dadi lurah iku jare sok ketiban pulung,
iku yen digagapi ya isih babat-bibite wong lurah (pemimpin).
Saiki yen digagas saupama, kita iki dadi Kepala Kantor kabeh, utawa dadi Presiden kabeh, sapa kang
bakal diprentah ? lan sapa kang bakal nandur utawa macul ? Saupama dadi kuli utawa tani kabeh, iku sapa
kang arep dijaluki paeguh ? Mula bocah-bocah kabeh sinaua pegaweyan kang warna-warna wiwit kasar
kongsi temekane alus. Sebab saiki jaman maju nanging ora kena yen mung ngarep-arep saka pucuking
potlot bae iku bisa kapitunan gede. Mara digalih yen rakyat pada didi Kepala kantor kabeh, apa
peprintahan bisa lumaku ? Mula iku ana babat lan bibit-bibite. Dene yen bibit lobor iku kurang trima
nglunja-lunja supaya dadi lubis, iku dadine ngiwa utawa nyimpang saka patokan, ika banjur nggege
(kasusu) mangsa, iku ing tembe mesti gela (kecuwan).
Dene manungsa ana kang dadi pangkat harkat drajat iku bisa uga ana babat lan bibite, turunan darahe
(brayate) wong adi, mula kasebute Rahaden, mula kasebut Priya-priyayi Roh kang Edi, iku kang natuk
supangate para Ratu kang ngrungkebi tanah wutahe, kang makmur apa kang tinandur bisa tukul kanti
subur.
Dek jaman pecahe perang Kanjeng Pangeran Diponegara iku ora beda karo jaman pangungsen kang kita
lakoni para Tumenggung, Bupati lan Pahlawan-pahlawan pada salin aran saemper wong tani, kongsi
turun-tumurun, dadi kepetengan obor persasat wil ilang larine, nanging isih ana harkate. Bareng sungsang
buwana balik timbul kayu jati pada mati, wit jarak pada meratak iku gambare saiki akeh putra lurah dadi
Bupati lan kepala Compi, pada nyontoni bakti lan Ibu Pertiwi, kesenian asli Pribumi pada ditetangi,
ngasih-asih murih kinasih ing embah buyut kita dek jaman kuna ya turunan pembela Kanjeng Pangeran
Diponegara.
Mula iku ana babat bibit, woh kang kebanjiran anyut keplaut, saiki lagi bae arep pada tukul wiji kang
apik. Mula yen kemeren marang kabegjan liyan, iku bisa dadi kasengsaran, mbanjur nyandak utang,
utawa ngutangake iku marakake dadi rubes ngenes. Dene yen pancen niyat tetulung yen ngutangake aja
ditagih, mengko yen pancen watak Priya-satriya, rak hiya dijujugake yen wis ana.
PEPENGET : sing sapa wis oleh petulunganing liyan, kudu diwales kang kanti gawe seneng, wis wajibe
yen nyilih kudu ngulihake kanti apik-apik amrih ora gawe serik, supaya ora gawe rubes lan ngenes, iku
saka tindake dewe kang ginawe.
Sumber : Buku We Yoga Dhi (ayo pada diudi, yen digugu dadi Yoga kang Adhi).
————————————
Alang Alang Kumitir
Tulisan ini dikirim pada pada Desember 24, 2009 4:04 pm dan di isikan dibawah Uncategorized. Anda dapat meneruskan
melihat respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0 feed. r Anda dapat merespon, or trackback dari website anda.