Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 21

TEORI AKUNTANSI: DARI NORMATIF KE POSITIF, ISU BEBAS NILAI,

HINGGA MITOS DAN WACANA REDEFINISI AKUNTANSI


Akhmad Riduwan
STESIA Surabaya
Abstract
The shift of accounting theory from normative to positive label doesnt directly
ascertain the freedom of accounting theory from interest and value. This becomes
evident because positive accounting theory doesnt have independent frame of
thought except when it begins the empirical research based on normative account
ing theory. As a result, positive accounting theory engages within the preserva
tion of accounting myths previously built through normative accounting theory.
These accounting myths include underlying assumption or postulation cover
ing economic entity, going concern (continuity), and monetary units. As a myth,
accounting postulations represent social and collective expectations developed
through accounting theory to serve certain interest. Also, these accounting postu
lations dont remain as rational truth because this myth seems necessary merely
to force the human (accountant or other agent) to accept and to understand the
accounting taken-for-granted.
The myths become a very dominant foundation to construct accounting theory,
normative or positive. In both theories, accounting can be defined in such that
accounting activity only (a) measures, records and reports the financial character
ized quantitative economic transaction, (b) produces financial statement as a type
of managerial accountability to capital owner (investors and creditors), and (c)
provides the useful information for economic decision-making. Accounting plays
social role and thus, it remains important to redefine conventional accountings
practice and discourse. In this redefinition, one can expect that accounting may
not only concern with monetary number, capital owner interest, and accounting
information for economic decision, but also ascertain wider entity accountability.
Keywords: Accounting Theory, Normative Accounting Theory, Positive Accounting
Theory, Redefinition Accounting
Pendahuluan
Persoalan Nilai Dalam Teori Akuntansi
Kemunculan teori akuntansi positif merupakan respons dari berbagai kritik
terhadap teori akuntansi normatif. Jensen (1976) menyatakan bahwa teori dalam
akuntansi tidak lebih dari sebuah proposisi normatif. Teks-teks teori akuntansi ham
pir seluruhnya diarahkan untuk menjelaskan dan menjawab pertanyaan tentang apa
yang seharusnya diiakukan oieh akuntan. .Bahkan, Jensen (1976) menganggap riset
akuntansi pun tidak ilmiah, karena fokus riset akuntansi terlampau normatif dan
definisional. Watts (1977) juga menyatakan hal yang sama, bahwa literatur akuntansi
keuangan tradisional tidak ilmiah karena literatur akuntansi tersebut terfokus pada
preskripsi (norma) dan memberikan perhatian yang sangat kecil dalam pengemban
gan teori, bahkan literatur akuntansi tradisional tersebut tidak mampu menjelaskan
mengapa laporan keuangan memiliki bentuk seperti yang sekarang ini.
16
Riduwan, Teori Akuntansi
Sasaran teori akuntansi normatif hanyalah menghasilkan penjelasan mengapa
perlakuan akun-tansi tertentu lebih baik atau lebih efektif dibandingkan dengan per
lakuan akuntansi lainnya, karena tujuan akuntansi tertentu harus dicapai (Suward-
jono, 2005:27). Sebagai contoh, teori akuntansi normatif berusaha untuk menjawab
apakah historical cost accounting lebih baik dari current cost accounting untuk men
capai tujuan akuntansi. Untuk menjawab masalah tersebut, teori akuntansi normatif
mendasarkan penjelasannya atas dasar tujuan yang telah disepakati untuk dicapai.
Tujuan yang telah disepakati ini jelas penuh dengan muatan nilai (values), karena
penentuan kesesuaian dengan tujuan merupakan proses subyektif yang melibatkan
kemampuan menimbang (art) antara manfaat dan risiko, atau keuntungan dan keru
gian. Hasil akhir dari teori akuntansi normatif adalah suatu pernyataan atau proposal
yang menganjurkan tindakan tertentu (prescriptive). Sebagai contoh, teori akuntansi
akan menghasilkan pernyataan bahwa aktiva tetap harus dinilai dan dicantumkan
dalam neraca atas dasar biaya historis. Jika teori akuntansi normatif ini digunakan
sebagai dasar dalam penyusunan standar akuntansi, maka standar akuntansi terse
but juga akan bersifat normatif, penuh dengan keharusan atau kewajiban. Stan
dar akuntansi normatif menjadi tidak peduli tentang apa yang senyatanya terjadi jika
standar akuntansi tersebut diterapkan.
Karena teori akuntansi normatif penuh dengan muatan nilai (value), maka stan
dar akuntansi yang dihasilkannya pun juga akan penuh dengan muatan nilai (value).
Oleh karena itu, Watts dan Zimmerman (1978) berpendapat bahwa teori akuntansi
positif sebagai dasar penetapan standar akuntansi adalah sesuatu yang penting, un
tuk memastikan bahwa preskripsi (norma) yang diberikan oleh teori normatif me
mang benar atau layak untuk diterapkan dalam dunia nyata. Berkaitan dengan hal
ini, Zimmerman (1980) menyatakan bahwa riset akuntansi positif diperlukan dalam
upaya untuk mengembangkan teori yang dapat menjelaskan fenomena akuntansi
yang diamati. Sejak saat itulah, melalui buku karya mereka, Watts dan Zimmer
man (1986) memperkenalkan metodologi positif yang mewarnai penelitian-penelitian
akuntansi hingga saat ini. Dengan pendekatan positif seperti ini, diharapkan teori
akuntansi menjadi steril dari nilai (value), karena teori akuntansi positif diasumsikan
akan mengajukan pernyataan-pernyataan (proposisi) yang netral atau bebas dari per
timbangan-pertimbangan subyektif. Berbeda dengan teori akuntansi normatif, teori
akuntansi positif tidak bertujuan untuk menilai apakah standar akuntansi tertentu
lebih baik atau lebih bermanfaat dibandingkan dengan standar akuntansi yang lain.
Benarkah teori akuntansi positif bebas nilai?
Blaugh (1992) menyatakan bahwa teori normatif berkepentingan terhadap nilai
(realm of values), sedangkan teori positif berkepentingan terhadap fakta (realm of
fact). Selanjutnya, Blaugh memi-sahkan kedua teori tersebut berdasarkan kata-kata
kunci pembeda yang dapat diringkas sebagai berikut:
Sebagaimana dikatakan oleh Jensen (1976), bahwa teori dalam akuntansi, ti
dak lebih dari proposisi-proposisi. Berdasarkan pembedaan kedua bentuk teori yang
dikemukakan oleh Blaugh (1992) di atas, jelas bahwa teori akuntansi normatif akan
berbentuk proposisi-proposisi yang dihasilkan melalui penalaran-penalaran logis.
Hal ini juga dinyatakan secara tegas oleh Hendriksen (1982: 57) yang mendefinisi
kan teori akuntansi sebagai suatu penalaran logis dalam bentuk norma (seperangkat
prinsip) yang luas, yang (1) memberikan rerangka acuan umum untuk melakukan
penilaian terhadap praktik akuntansi yang sedang berjalan, dan (2) memberi arah
pengembangan prosedur dan praktik akuntansi yang baru.
17
TEMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007
Bagi pihak yang melakukan penalaran, proposisi-proposisi tersebut dianggap
logis karena sesuai dengan tujuan (dalam hal ini tujuan akuntansi) yang telah dis
epakati untuk dicapai. Karena tujuan akuntansi yang telah disepakati tersebut di
tentukan secara subyektif, maka penalaran yang dilakukan pun bersifat subyektif,
sehingga proposisi-proposisi dalam teori akuntansi normatif mengandung berbagai
kepentingan yang terakomodasi selama proses penalaran. Dengan demikian, teori
akuntansi normatif sesungguhnya sarat dengan kepentingan atau sarat dengan nilai
(value).
Untuk mengeliminasi berbagai kepentingan atau nilai (value) yang terkandung
dalam teori akuntansi normatif, Watts dan Zimmerman (1986) mengembangkan teori
akuntansi dengan menggunakan pendekatan yang berakar pada positivism. Pendeka
tan yang dikemukakan oleh Watts dan Zimmerman ini bertujuan untuk menjelaskan
tentang pentingnya penelitian empiris untuk menjustifikasi berbagai metoda atau
praktik akuntansi yang sekarang berlaku. Melalui pendekatan positivism, penelitian-
penelitian empiris akuntansi diarahkan untuk mempelajari dampak atau pengaruh
penerapan standar akuntansi tertentu dalam dunia nyata. Selanjutnya, hasil-hasil
penelitian empiris akuntansi tersebut akan dituangkan dalam bentuk berbagai per
nyataan atau proposisi, dan proposisi-propisisi inilah yang kemudian disebut dengan
teori akuntansi positif. Dengan demikian, teori akuntansi dengan label positif ti
dak lebih dari proposisi-proposisi yang dibangun berdasarkan hasil penelitian em
piris, bukannya proposisi yang dibangun dari hasil penalaran logis seperti dalam
teori akuntansi berlabel normatif .
Teori akuntansi positif mengemukakan proposisi-proposisi yang tidak lain
adalah deskripsi tentang praktik-praktik akuntansi dalam dunia nyata - misalnya:
(1) karakteristik entitas yang memilih untuk menerapkan metoda akuntansi tertentu;
dan (2) dampak penerapan standar akuntansi terhadap perilaku manusia atau en
titas lain yang berkepentingan terhadap informasi akuntansi. Berbeda dengan teori
akuntansi normatif, teori akuntansi positif mengemukakan proposisi-proposisi yang
tidak bertujuan untuk menilai apakah standar akuntansi tertentu lebih baik atau
lebih bermanfaat dibandingkan dengan standar akuntansi yang lain. Karena dasar
penyusunan proposisinya adalah fakta (bukan value) yang diperoleh secara obyektif
(bukan subyektif), dan dasar pengujian validitas proposisinya adalah Science (bukan
art) [lihat Blaugh, 1992], maka teori akuntansi positif dipandang sebagai teori akun
tansi yang bebas nilai (value free). Tetapi, apakah anggapan bahwa teori akuntansi
positif bebas dari nilai (value free) itu benar? Jawaban atas pertanyaan ini dapat
dijelaskan melalui evaluasi atau analisis berikut.
Pertama, teori akuntansi positif terdiri dari proposisi-proposisi yang dibangun
dari hasil riset empiris yang sebagian besar (kalau tidak dapat dikatakan seluruhnya)
menggunakan pendekatan positivistik. Riset empiris akuntansi dengan pendekatan
positivistik selalu berangkat dengan berpijak pada standar akuntansi yang telah ada,
karena tujuan utama riset akuntansi ini adalah berusaha untuk menyelidiki dam
pak dari penerapan standar akuntansi tersebut dalam dunia nyata. Sementara itu,
standar akuntansi yang ada dan diberlakukan sekarang ini merupakan hasil per
ekayasaan (engineering) dari teori akuntansi normatif. Dengan berpijak pada standar
akuntansi yang sudah ada, jelas bahwa riset akuntansi positivistik dilakukan dengan
menggunakan mindset teori akuntansi normatif. Karena teori akuntansi normatif di-
yakini tidak bebas nilai, maka teori akuntansi positif yang dibangun dari hasil riset
akuntansi positivistik tersebut dengan sendirinya menjadi tidak mungkin bebas dari
nilai.
18
Riduwan, Teori Akuntansi
Kedua, akuntansi keuangan yang dikenal luas sekarang ini dikembangkan atas
dasar premis bahwa investor dan kreditor adalah pihak yang dituju oleh informasi
akuntansi (Suwardjono, 2005:29). Teori akuntansi normatif mengemukakan propo
sisi bahwa informasi akuntansi tersebut merupakan masukan dalam pengambilan
keputusan investor dan kreditor, yang disampaikan melalui media laporan keuangan.
Efek komunikasi informasi akuntansi yang ingin dicapai adalah agar pihak yang ditu
ju (investor dan kreditor) bersedia menanamkan sumberdaya (dana) dalam kegiatan
ekonomik yang dibutuhkan oleh masyarakat melalui perusahaan. Karena perilaku
investor dan kreditor menjadi sasaran untuk dipengaruhi, maka proposisi dalam teori
akuntansi normatif juga menyatakan bahwa pesan (message) tentang perusahaan
yang harus disampaikan melalui informasi akuntansi adalah profitabilitas, likuiditas,
dan solvabilitas. Proposisi-proposisi teori akuntansi normatif yang secara nyata tidak
bebas nilai tersebut (karena berpihak pada kepentingan stakeholder tertentu dan
jenis informasi tertentu pula), selanjutnya digunakan sebagai dasar operasional ri-
set akuntansi positif. Akibatnya, seluruh riset akuntansi positif berkutat pada obyek
stakeholder tertentu (manajemen, investor dan kreditor) dan memusatkan perhatian
pada bidang observasi tertentu (profitabilitas, likuiditas dan solvabilitas). Oleh karena
itu, proposisi-proposisi yang dihasilkan dari riset akuntansi yang kemudian digu
nakan untuk membentuk teori akuntansi positif menjadi tidak bebas dari nilai, sama
halnya dengan proposisi-proposisi dalam teori akuntansi normatif.
Ketiga, riset akuntansi dengan pendekatan positivistik dilakukan oleh subyek
(peneliti) dengan cara mengambil jarak dengan obyek (yang diteliti), berdasarkan ar-
gumentasi agar obyek dapat dipandang secara obyektif. Untuk menjamin obyektivitas
hasil riset, maka dimensi-dimensi yang mewakili obyek harus dapat diukur atau di-
kuantifikasi oleh subyek. Hardiman (2003a:47) menyatakan bahwa suatu obyek di-
anggap obyektif kalau pemikiran lebih dari satu subyek adalah sama dalam meman
dang sebuah obyek. Berdasarkan penjelasan Hardiman ini, dalam konteks akuntansi,
dapat dikatakan bahwa hasil-hasil riset akuntansi adalah obyektif jika para peneliti
mengukur variabel-variabel akuntansi yang diobservasi dengan metoda pengukuran
yang sama. Padahal, dalam kenyataannya, terhadap variabel akuntansi yang sama,
para peneliti seringkali menggunakan indikator atau proksi (proxy) yang berbeda;
bahkan untuk indikator (proksi) yang sama, para peneliti menerapkan metoda pengu
kuran yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan indikator (proksi) varia
bel penelitian dan metoda pengukurannya merupakan proses subyektif, didasarkan
pada pertimbangan dan kepentingan tertentu, dan karenanya, proses riset akuntansi
itu sendiri tidak dapat dikatakan bebas nilai. Demikian pula, proses pengambilan
sampel, pemilihan alat analisis, atau lainnya. Karena proses risetnya sudah tidak
bebas nilai, maka hasil riset yang kemudian menjadi proposisi-proposisi dalam teori
akuntansi positif juga tidak akan bebas dari nilai.
Keempat, substansi pengembangan teori akuntansi positif adalah untuk meng
hasilkan proposisi yang berisi penjelasan tentang fenomena atas aplikasi teori
akuntansi normatif. Sebagai con-toh, teori akuntansi normatif menyatakan bahwa
akuntansi harus dilakukan dengan basis akrual. Sementara itu, teori akuntansi
positif mengemukakan proposisi (sebagai hasil riset empiris) bahwa respon inves
tor terhadap informasi arus kas adalah lebih besar dibandingkan informasi laba .
Proposisi dari teori akuntansi positif tersebut sesungguhnya mengandung kepent
ingan, yaitu secara tidak langsung ingin memberikan penilaian bahwa informasi
laba akrual tidak lebih baik maknanya bagi investor dibandingkan dengan informasi
arus kas. Selan-jutnya, penilaian yang diberikan oleh teori akuntansi positif memi
19
TEMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007
liki kepentingan (walaupun tersembunyi) untuk mendukung atau menolak teori
akuntansi normatif. Dalam konteks ini pun, sudah jelas bahwa teori akuntansi positif
tidak bebas dari nilai.
Kelima, teori akuntansi positif sangat diharapkan oleh Watts dan Zimmerman
(1978) dapat digunakan sebagai dasar penetapan standar akuntansi, terutama untuk
memastikan bahwa nor-ma yang diberikan oleh teori akuntansi normatif memang
benar atau layak untuk diterapkan dalam dunia nyata. Walaupun proposisi teori
akuntansi positif bersifat deskriptif (bukan pres-kriptif atau normatif), tetapi kalau
proposisi tersebut akhirnya digunakan untuk mendukung standar akuntansi, maka
dengan sendirinya sifat proposisi tersebut berubah dari deskriptif menjadi normatif.
Karena proposisi-proposisi normatif selalu mengandung kepentingan atau memiliki
tujuan tertentu, maka proposisi teori akuntansi positif menjadi tidak bebas dari nilai.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa teori positif [termasuk teori akuntansi
positif] yang diklaim bebas nilai oleh Blaugh (1992) tidaklah benar. Kenyataannya, ti
dak ada ilmu penge-tahuan (sosial), teori (sosial), atau apapun namanya, yang bebas
nilai, karena ilmu pengetahuan dan teori (sosial) tersebut juga tidak obyektif. Teori
akuntansi yang obyektif dan bebas nilai hanya bisa dicapai jika teori akuntansi terse
but terpisah dari praxis, padahal memisahkan teori akuntansi dari praxis merupakan
suatu hal yang tidak mungkin untuk dilakukan. Klaim bahwa teori akuntansi positif
adalah obyektif dan bebas nilai (value free) tidak lebih dari sebuah ideologi untuk me
nutupi kenyataan yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hardiman
(2003b:156-157) bahwa:
Obyektivisme segera memisahkan teori dari praxis, pengetahuan dari kehidu
pan, ilmu pengetahuan dari etika, karena pengetahuan menjadi barang obyek
tif yang netral. Fakta itu berada di sana, merupakan barang asing di hadapan
subyek yang sebetulnya turut membentuknya. Penyingkiran subyek pengeta
huan menyembunyikan peranan subyek dalam menentukan obyeknya, yakni:
fakta itu. Jika fakta itu masyarakat, masyarakat yang digambarkan berada di
sana, barang obyektif yang tidak lagi dikenali asal-usulnya. Padahal gambaran
kenyataan sosial itu juga dilakukan oleh subyek. Ilmu-ilmu budaya yang jatuh
pada obyektivisme tak lebih dari ideologi untuk menutupi kenyataan sesung
guhnya atau membiarkan status quo dengan alasan obyektivitas
Teori akuntansi positif yang dibangun dari hasil riset empiris dengan pendeka
tan positivism, di-anggap obyektif dan bebas nilai semata-mata berdasarkan propo-
sisi-proposisinya yang logis sesuai dengan fakta. Sementara itu, proses penelitiannya
sendiri luput dari refleksi peneliti. Padahal justru dalam proses penelitian itu tampak
adanya kaitan antara pengetahuan yang diperoleh dengan tindakan-tindakan. Karena
proses penelitian luput dari refleksi peneliti, maka teori akuntansi positif sebagai ha
sil dari suatu proses menjadi terpisah dari asal-usulnya. Jadi, dalam konteks sumber
teori, makin jelas bahwa teori akuntansi positif yang obyektif dan bebas nilai adalah
nonsense. Hal ini konsisten dengan pendapat Hardiman (2003b:159) bahwa:
...kenyataan bukanlah fakta akhir seperti dimengerti oleh positivisme. Ke
nyataan adalah sesuatu yang independen terhadap pikiran aktual kita masing-
masing. Jadi, kenyataan tidak sama dengan apa yang sedang kita pikirkan. Di
lain pihak, jawaban yang final - yaitu yang nyata - tetap juga ditentukan oleh
pikiran aktual kita. Pikiran aktual kita berusaha memahami kenyataan yang
20
Riduwan, Teori Akuntansi
independen itu dengan melenyapkan kesangsian demi kesangsian yang mun
cul dalam proses penelitian...
Jurgen Habermas (lihat Hardiman 2003b:214) menyatakan bahwa ...dalam
kekuatan refieksi diri, pengetahuan dan kepentingan adalah satu .
Mitos Dalam Akuntansi
Mitos (berasal dari kata Yunani mutos, yang berarti cerita) biasanya dipakai
untuk merujuk cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak mempunyai kebena
ran historis (Sunardi, 2004:88), dan tidak memiliki kebenaran rasional (Jamil, 2005:
181). Mitos juga berarti angan-angan sosial dan cita-cita kolektif (Jamil 2005:181)
yang berusaha untuk menggerakkan manusia agar melakukan tindakan tertentu.
Cerita semacam itu (mitos) dibutuhkan agar manusia dapat memahami lingkun
gan dan dirinya (Sunardi, 2004:88). Sebagai suatu angan-angan sosial dan cita-cita
kolektif, mitos dapat dikatakan sebagai suatu media untuk melayani tujuan tertentu
(Stiglitz, 2006:283).
Dalam akuntansi, mitos-mitos tersebut adalah berupa asumsi-asumsi dasar
atau postulat-postulat yang digunakan dalam membangun struktur teori akuntansi.
Postulat akuntansi (accounting postultes) merupakan aksioma - yaitu penyataan
yang tidak perlu pembuktian; berterima umum berdasarkan kesesuaiannya dengan
tujuan pelaporan keuangan; dan menggambarkan lingkungan (ekonomi, politik, so
siologi dan hukum) di mana akuntansi beroperasi (Belkaoui, 2000). Postulat-postulat
tersebut adalah economic entity, going concern, dan monetary units. (Belkaoui, 2004;
dan Wolk et al., 1992).
Asumsi-asumsi dasar atau postultes tersebut dapat dikatakan sebagai mitos,
karena asumsi atau postultes tersebut pada hakikatnya merupakan angan-angan
atau cita-cita kolektif para teoritisi akuntansi agar manusia bersedia menerima ke
benaran akuntansi seperti apa adanya. Padahal, asumsi dasar atau postultes itu
sendiri sesungguhnya tidak memiliki kebenaran historis maupun kebenaran rasion
al. Secara arbriter, postulate dalam akuntansi didefinisikan sebagai pernyataan yang
tidak perlu dibuktikan kebenarannya, karena memang pernyataan itu tidak dapat
dibuktikan kebenarannya. Postulate dalam akuntansi juga dikarakteristikkan seb
agai pernyataan yang berterima umum sesuai dengan tujuan laporan keuangan. Hal
ini tidak memiliki kebenaran rasional, karena penalaran logisnya sudah dibalik, yaitu
tujuan menentukan postulate, bukannya postulate menentukan tujuan.
Dalam hal dan situasi apa pun, suatu asumsi dasar merupakan pilihan-pili
han subyektif manusia yang bertujuan agar semua tindakan yang dilakukan mem
peroleh pembenaran. Sebagai contoh, dalam riset akuntansi berbasis pasar modal
dengan pendekatan positivism, peneliti selalu berangkat dengan asumsi dasar bahwa
pasar modal adalah efisien dan investor adalah sophisticated yang selalu bertin-
dak secara rasional . Asumsi yang demikian itu merupakan mitos, karena asumsi
itu dibangun untuk melayani tujuan atau kepentingan tertentu, tanpa mempedu-
likan kebenaran historisnya. Walaupun demikian, asumsi tersebut selalu dijadikan
pijakan oleh para positivist dalam melakukan penelitian, agar simpulan penelitian
yang mereka hasilkan dapat diterima dan memperoleh justifikasi, baik dari orang lain
maupun dirinya sendiri.
Berkaitan dengan uraian di atas, tampaknya penting untuk merenungkan per
nyataan Etzioni (1992:1) berikut:
21
TEMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007
...ilmuwan sosial maupun intelektual menggunakan rangkaian asumsi yang
luas cakupannya untuk mengorganisasi upaya mereka memahami dunia kita,
tujuan yang kita kejar, cara kita memilih sarana untuk memajukan tujuan
kita, dan cara kita berhubungan satu sama lain dalam melakukannya, apakah
sebagai individu atau bersama-sama. Ketika asumsi-asumsi ini diguna-kan
untuk merumuskan teori-teori dan kebijakan-kebijakan yang jangkauan etis
dan empiris-nya terbatas, studi tentang dunia kita menderita, demikian pula
upaya-upaya untuk menangani penyakitnya...
Walaupun asumsi-asumsi merupakan pilihan subyektif manusia, asumsi-
asumsi tersebut seharusnya dapat dibuktikan kebenarannya secara obyektif sesuai
dengan konteks asumsi tersebut dibuat. Dalam teori gravitasi Newton misalnya, ber
laku proposisi bahwa setiap benda yang dilempar ke atas pasti akan jatuh ke bumi .
Proposisi ini berlaku di bawah asumsi bahwa pelemparan benda tersebut dilakukan
pada ruang yang tidak hampa udara. Situasi yang diasumsikan oleh Newton terse
but dapat dibuktikan keberadaannya, yaitu ruang yang tidak hampa udara dan
ruang yang hampa udara. Kedua situasi tersebut memang ada dalam dunia nyata,
sehingga asumsi yang dikemukakan oleh Newton tidak sekedar mitos atau cerita
fiktif, dan teori Newton yang dibangun di atas pijakan asumsi itu dapat dibuktikan
kebenarannya.
Demikian pula asumsi-asumsi dasar atau postulate dalam akuntansi, seha
rusnya dapat dibuktikan kebenarannya dalam dunia nyata, sehingga tidak sekedar
berbentuk proposisi-proposisi arbitrer yang digunakan sebagai alat untuk memper
mudah pencapaian tujuan akuntansi. Selama asumsi atau postulate tersebut didefi
nisikan sebagai pernyataan yang tidak perlu pembuktian, maka asumsi atau postu
late tersebut hanyalah menjadi himpunan mitos.
Mitos Tentang Economic Entity
Economic entity postulate (postulat entitas ekonomik) menyatakan bahwa se
tiap perusahaan merupakan unit ekonomik yang terpisah dari pemiliknya maupun
dari entitas lain (Wolk et al., 1992). Entity postulate merumuskan bidang perhatian
akuntansi dan bertujuan untuk membatasi jumlah obyek, peristiwa ekonomi dan
atribut peristiwa yang harus dimasukkan dalam laporan keuangan. Dengan entity
postulate, perusahaan dimetaforakan sebagai individu yang hidup terpisah dengan
individu lainnya. Berdasarkan postulat ini, akuntan harus dapat membedakan an
tara transaksi perusahaan dan transaksi pemilik; serta akuntan harus melaporkan
transaksi perusahan, bukannya melaporkan transaksi pemilik.
Asumsi atau postulat economic entity tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah
mitos - yang didefinisikan oleh Sunardi (2004:88) sebagai cerita fiktif yang tidak
memiliki kebenaran historis. Dikatakan tidak memiliki kebenaran historis, karena
asumsi tersebut bersifat serampangan (arbitrer) yaitu memisahkan keberadaan pe
rusahaan (sebagai individu) dari konteks entitas lainnya, khususnya masyarakat
dan lingkungan sekitarnya. Sebagai akibatnya, asumsi atau postulat economic entity
yang digunakan dalam akuntansi selama ini menghasilkan prosedur akuntansi yang
menggambarkan kekayaan bersih (net assets) perusahaan sebagai kekayaan bersih
pemilik (pemegang saham). Kekayaan bersih pemegang saham tersebut tergambar
sebagai selisih antara aktiva (assets) dan kewajiban (liabilities) perusahaan. Sebagai
sebuah mitos, dalam konteks ini jelas bahwa postulat economic entity dikonstruksi
22
Riduwan, Teori Akuntansi
untuk melayani kepentingan tertentu, yaitu kepentingan pemegang saham. Hal ini
konsisten dengan pernyataan Stiglitz (2006:283), bahwa mitos merupakan media un
tuk melayani tujuan tertentu.
Atas dasar mitos economic entity, kinerja perusahaan semata-mata didefinisi
kan sebagai perubahan kekayaan bersih (ekuitas) pemegang saham, sedangkan berb
agai aktivitas yang menyebabkan perubahan kekayaan bersih tersebut berada di luar
perhatian akuntansi. Peningkatan kekayaan dan kesejahteraan pemegang saham
menjadi tolok ukur prestasi manajer dalam mengelola perusahaan (sehingga ia layak
untuk diberi imbalan), meskipun upaya manajer untuk meningkatkan kesejahteraan
pemegang saham tersebut menimbulkan externality yang besar pada lingkungan dan
masyarakat.
Karena lingkungan dan masyarakat dianggap bukan bagian dari perusahaan,
maka externality yang terjadi pada lingkungan dan masyarakat tidak perlu dicatat
dan dilaporkan oleh akuntansi. Hal ini dibenarkan oleh mitos economic entity yang
sejak awai menyisipkan pesan bahwa akuntan harus mampu membedakan antara
transaksi perusahaan dan yang bukan transaksi perusahaan. Tetapi pesan terse
but dilanggar, karena dalam kenyataannya, setiap perubahan kesejahteraan peme
gang saham (yang dianggap terpisah dari perusahaan) selalu dicatat dan dilaporkan
oleh akuntansi. Alasannya, perubahan kesejahteraan pemegang saham tersebut ter
jadi mengikuti transaksi-transaksi perusahaan. Fakta semacam ini, secara implisit,
merupakan suatu bentuk pengakuan bahwa sesungguhnya perusahaan tidak per
nah terpisah dengan pemegang saham, karena transaksi perusahaan pada hakikat-
nya adalah transaksi pemegang saham (pemilik perusahaan) yang pelaksanaannya
diwakilkan kepada manajer. Dengan demikian, semakin nyata bahwa asumsi atau
postulat economic entity tidak lebih dari sebuah mitos - sebuah cerita fiktif yang ti
dak memiliki kebenaran historis, dan tidak pula memiliki kebenaran rasional. Mitos
economic entity akhirnya digunakan sebagai dasar untuk melegitimasi penghindaran
tanggungjawab akuntansi secara sosial, dan mendorong akuntansi konvensional den
gan konsep status quo-nya untuk lebih mengedepankan optimalisasi kesejahteraan
pemegang saham dan perlindungan terhadap kepentingan kreditor - yang semuanya
merupakan pihak-pihak pemilik modal.
Ketika postulat economic entity digunakan untuk menjustifikasi bahwa lapo
ran keuangan merupakan media pertanggungjawaban manajemen atas sumberdaya
yang dipercayakan kepadanya, maka dengan sendirinya penyusunan dan penyajian
laporan keuangan lebih diarahkan untuk kepentingan pemegang saham dan kreditor,
dengan mengabaikan kepentingan stakeholder yang lain. Berkaitan dengan hal ini,
Raar (2004) menyatakan bahwa:
...perusahaan adalah bagian dari komunitas (masyarakat). Perusahaan meru
pakan sebuah institusi pembuat keputusan yang berpengaruh bagi lingkungan
nya. Dalam hal ini, perusahaan dapat dikatakan lebih berperan daripada para
pemegang saham. [Oleh karena itu) manajer sebagai pengelola perusahaan,
bertanggungjawab atas kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi peran peru
sahaan dalam masyarakat. Kebijakan yang diambil, di samping harus dapat
mengatasi masalah-masalah keuangan, juga harus mampu mengatasi masalah
sumber daya alam, lingkungan dan masyarakat yang diperlukan untuk men
dukung strategi dan tujuan perusahaan. Hasil dari keputusan itu pada akh
irnya juga akan berhubungan dengan kepentingan para pemegang saham....
23
TEMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007
Pernyataan Raar (2004) tersebut pada hakikatnya mengingatkan bahwa postu
lat accounting entity selama ini telah menyebabkan perusahaan menjadi teralienasi
dari lingkungan dan masyarakatnya. Oleh karena itu perusahaan [manajemen] se
harusnya bertanggungjawab atas akuntabilitas kebijakan-kebijakan yang berkaitan
dengan lingkungan dan masyarakat, bukannya terbatas pada kebijakan yang berkai
tan dengan pemuasan kepentingan pemegang saham dan kreditor.
Mitos economic entity memang telah mendorong perusahaan untuk mengabai
kan accountability dan responsibility atas nilai lingkungan, dan memisahkannya dari
aktivitas ekonomik (bisnis) yang dijalankan. Hal ini terjadi karena mitos economic
entity memetaforakan perusahaan sebagai makhluk ekonomi (homo-economicus)
yang selalu dianggap bertindak untuk memaksimumkan utilitasnya. Dengan prinsip
utilitarian, perusahaan (sebagai homo-economicus) memilih sarana terbaik untuk
mencapai tujuan pribadinya.
Melihat adanya keterpisahan antara perusahaan dengan entitas lainnya, Chris
tie (2004) menyatakan bahwa teori stakeholder sebenarnya merupakan manifestasi
dari teori tanggung-jawab sosial perusahaan (corporate responsibility) yang lebih luas,
dan corporate responsibility inilah yang selanjutnya menjadi pijakan keberlanjutan
perusahaan (corporate sustainability). Christie (2004) mendefinisikan corporate sus
tainability sebagai pengembangan perusahaan untuk memenuhi kebutuhan seka
rang tanpa melemahkan kemampuan pemenuhan kebutuhan di masa depan.
Ada dua model teoritis yang menjelaskan hubungan corporate sustainability
dan tanggungjawab sosial perusahaan. Pertama, Wempe dan Kaptein (2002) [lihat
Christie, 2004] memandang corporate sustainability sebagai tujuan, sedangkan tang
gungjawab sosial perusahaan sebagai langkah intermediasi (jembatan) untuk men
capai tujuan (corporate sustainability) tersebut. Corporate sustainability dapat di
evaluasi melalui laporan triple-bottom-line - yang mempertimbangkan aspek laba,
manusia (masyarakat), dan lingkungan.
Kedua, Linnanen dan Panapanaan (2002) [lihat Christie, 2004] memandang
tanggungjawab sosial perusahaan sebagai serangkaian corporate sustainability.
Dalam model ini, tanggungjawab perusahaan mencakup aspek ekonomi, lingkungan,
dan sosial. Corporate sustainability berhubungan dengan penciptaan nilai, manaje
men lingkungan, sistem produksi ramah lingkungan, dan manajemen human capital
sedangkan tanggungjawab sosial perusahaan berkaitan dengan transparansi, dialog
stakeholder dan sustainability report.
Mitos Tentang Going Concern
Going concern postulate (postulat keberlanjutan usaha) disebut juga sebagai
continuity postulate (postulat kontinyuitas). Postulat ini menyatakan bahwa entitas
akuntansi (perusahaan) akan terus beroperasi untuk menjalankan aktivitasnya se
lama periode waktu yang tidak terbatas, dan tidak diharapkan untuk dilikuidasi. Ber
dasarkan postulat ini, laporan keuangan perusahaan harus disusun secara periodik
untuk menggambarkan posisi keuangan perusahaan yang sifatnya sementara, dan
hanya merupakan bagian dari seri laporan yang berkelanjutan.
Postulat going concern membenarkan penggunaan historical cost untuk pe
nilaian aktiva, membenarkan adanya depresiasi dan amortisasi, serta memberikan
justifikasi pada periodisasi akuntansi dan penggunaan basis akrual (accruals) dalam
akuntansi.
24
Riduwan, Teori Akuntansi
Postulat going concern digunakan sebagai dasar pertimbangan pada saat pe
nyusunan laporan keuangan atau pada saat akuntansi menghadapi berbagai pilihan
dalam proses penyusunan standar akuntansi karena kenyataan bahwa kelangsungan
hidup perusahaan di masa yang akan datang sifatnya tidak pasti. Dalam menghadapi
ketidakpastian kelangsungan usaha, akuntansi menganut konsep ini atas dasar logi-
ka bahwa harapan secara umum atau secara normal, pendi-riaan perusahaan adalah
untuk berlangsung terus, dikembangkan, dan bukan untuk dibubarkan sewaktu-
waktu. Suwardjono (2005:223) menjustifikasi validitas asumsi going concern ini ber-
dasar-kan observasinya bahwa sangat banyak perusahaan yang hidup cukup lama.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa suatu asumsi tidak hanya diban
gun atas dasar penalaran logis, tetapi harus dapat dibuktikan secara empiris. Kare
na, jika asumsi itu tidak dapat dibuktikan, asumsi-asumsi tersebut tidak lebih dari
sebuah mitos, sebuah cerita fiktif yang jauh dari kebenaran. Jika asumsi yang tidak
benar dijadikan sebagai dasar untuk melakukan tindakan, maka tindakan itu sendiri
menjadi tidak benar. Asumsi going concern bagi suatu entitas (perusahaan) adalah
asumsi yang sulit untuk dibuktikan kebenarannya, kecuali hanya melalui penalaran
seperti yang dinyatakan oleh Suwardjono tersebut di atas. Karena asumsi going con
cern perusahaan tidak dapat diuji dan dibuktikan kebenarannya, maka asumsi ini
pun menjadi sebuah mitos, dan setiap mitos selalu membawa kepentingan tertentu
(Stiglitz, 2006:283). Kepentingan di balik mitos going concern ini sudah sangat jelas,
yaitu untuk memperoleh pembenaran tentang pentingnya periodisasi akuntansi,
karena tanpa periodisasi, fungsi akuntansi (terutama pencatatan dan pelaporan)
tidak akan berjalan. Dengan mitos going concern, perilaku maksimalisasi laba se
tiap waktu bagi perusahaan merupakan suatu keharusan, karena tanpa maksimal
isasi laba tersebut, perusahaan tidak akan mampu mempertahankan kelangsungan
hidupnya. . . .
Salah satu konsep yang dilegitimasi oleh mitos going concern adalah periodisasi
akuntansi. Periodisasi akuntansi ini memiliki konsekuensi. Horison waktu yang di
penggal-penggal, cenderung turut memutus keterkaitan antara peristiwa-peristiwa
yang sebenarnya terjadi sepanjang horison waktu tersebut. Akibatnya, gambaran
tentang kinerja perusahaan menjadi menyesatkan. Sebagai contoh, laba besar dalam
suatu perioda merupakan indikator keberhasilan manajemen dalam perioda terse
but, padahal laba yang besar itu diperoleh dari hasil penjualan yang didukung oleh
kampanye (promosi) produk secara besar-besaran pada perioda-perioda sebelumnya.
Contoh lain, kerugian yang besar dalam suatu perioda, mungkin diakibatkan oleh
peristiwa perioda-perioda sebelumnya, misalnya pada perioda sekarang banyak ter
jadi retur penjualan besar-besaran akibat banyaknya produk rusak atau cacat yang
dihasilkan dalam perioda-perioda sebelumnya. Kesalahan dalam evaluasi kinerja pe
riodik seperti dicontohkan di atas merupakan sebuah ketidakadilan dalam akuntansi.
Namun demikian, Hendriksen dan Breda (2000:157) mendukung konsep periodisasi
akuntansi ini dengan menyatakan bahwa:
...pentingnya konsep ini berdasar pada kenyataan bahwa laba relatif mudah
diukur sepanjang seluruh masa hidup suatu proyek.... sangat sulit untuk me
nentukan laba sebelum akhir proyek. Pertimbangkan, dengan cara ilustrasi,
bajak laut yang berlayar dari London ke Dunia Baru. Ketika kapal kembali,
total laba untuk perjalanan itu adalah nilai kas dari penjualan barang ram
pasan dikurangi jumlah yang diinvestasikan mula-mula dikurangi penyusutan
kapal. Tetapi, berapakah pendapatan yang diperoleh bajak laut itu jika tanggai
25
TEAM, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007
31 Desember, yaitu akhir tahun keuangan, kebetulan jatuh pada waktu kapal
masih di tengah laut Atlantik?
Mitos going concern juga digunakan untuk melegitimasi konsep biaya perolehan
(cost) dalam akuntansi. Walaupun horison waktu yang tidak pasti telah dipenggal-
penggal sehingga menjadi penggalan waktu yang terukur, biaya perolehan (cost) masih
digunakan sebagai pengukur nilai sumberdaya yang dimiliki perusahaan, sehingga
potensi sumberdaya yang dimiliki perusahaan pada suatu titik waktu tidak mere
fleksikan potensi yang sebenarnya pada saat itu. Padahal, sesuai dengan konsepsi
semula, periodisasi dimaksudkan agar akuntansi dapat melaporkan perkembangan
potensi perusahaan secara periodik tanpa menunggu perusahaan itu dilikuidasi
(karena memang dimitoskan bahwa perusahaan tidak akan dilikuidasi). Ternyata,
yang dimaksudkan dengan perkembangan potensi perusahaan adalah sisa potensi
yang masih dimiliki perusahaan dari perioda ke perioda. Ini adalah bentuk ketidak
adilan lain yang dijustifikasi oleh mitos going concern.
Konsep lain yang dihasilkan oleh mitos going concern - terutama diturunkan
dari konsep periodisasi akuntansi - adalah konsep akrual (accruals). Konsep akrual
dalam akuntansi menyatakan bahwa pendapatan dan beban diakui pada saat ter
jadinya, tanpa mempersoalkan apakah telah terjadi arus kas masuk atau arus kas ke
luar. Konsep akrual didasari oleh perlunya ketepatan penandingan (matching) antara
pendapatan dan beban untuk menilai kinerja perusahaan. Matching antara pendapa
tan dan beban dianggap tepat jika didasarkan atas waktu timbulnya pendapatan dan
beban tersebut, dan sebaliknya, dianggap tidak tepat jika didasarkan atas arus kas
yang terjadi. Namun demikian, konsep akrual justru menimbulkan banyak konsekue
nsi. Sebagai contoh, transaksi penjualan kredit telah diakui sebagai pendapatan pada
beberapa perioda sebelumnya, sehingga telah menjadi bagian kinerja yang dievaluasi
pada perioda tersebut. Tetapi, karena proses penjualan kredit tersebut tidak selektif,
maka piutang yang timbul atas penjualan tersebut menjadi tidak tertagih dan harus
dihapuskan dalam perioda sekarang, sehingga kinerja sekarang dilaporkan buruk.
Hal sebaliknya juga dapat terjadi akibat konsep akrual ini.
Dengan adanya berbagai konsekuensi atas mitos going concern tersebut, Hen-
driksen dan Breda (2000:156) secara bijak mengingatkan bahwa:
Postulat going concern sebaiknya tidak ditafsirkan sebagai asumsi status quo,
atau pembenaran untuk biaya historis, atau bahkan konsep manfaat dalam
penilaian aktiva, akan tetapi, ini adalah asumsi yang relevan, yang mengarah
pada penyajian informasi mengenai sumberdaya dan komitmen dan kegiatan
operasional, seperti penjualan barang dan jasa selama beberapa tahun.... Go
ing concern mengasumsikan beberapa hubungan antara masa lalu dan masa
datang, meskipun tidak harus masa datang merupakan pengulangan masa
lalu
Mitos Tentang Monetary Units
Asumsi atau postulate ketiga yang menunjukkan prinsip akuntansi berterima
umum adalah asumsi unit moneter (monetary units), yang menyatakan bahwa uang
adalah denominator umum dalam aktivitas ekonomi dan dianggap sebagai dasar
yang tepat untuk pengukuran dan analisis dalam akuntansi. Postulat monetary units
disebut juga unit of measure postulate. Postulat ini menyatakan bahwa akuntansi
26
Riduwan, Teori Akuntansi
adalah proses pengukuran dan proses pengkomunikasian aktivitas perusahaan yang
diukur dalam unit moneter (satuan uang). Postulat monetary units juga menyatakan
bahwa satuan uang yang digunakan sebagai unit pengukur adalah stabil sepanjang
waktu atau perubahannya tidak signifikan.
Di bawah lindungan postulat monetary unit, akuntansi hanya menggunakan ni-
lai uang sebagai satu-satunya unit pengukuran, karena nilai uang dianggap sebagai
unit pengukur yang paling obyektif, sehingga nilai unit pengukur lainnya dimarjinal-
kan. Postulat ini dapat dipandang sebagai mitos, karena argumentasi bahwa nilai
uang merupakan unit pengukur yang obyektif dan andai tidak memiliki kebenaran
historis. Jika unit moneter dimaksudkan untuk mengukur kekayaan, nilai uang bu
kanlah satu-satunya alat pengukur yang obyektif dan andai, karena masih banyak
unit pengukur lain yang lebih obyektif dan lebih andai dibandingkan unit uang. Seb
agai contoh, jumlah kekayaan dapat diungkapkan dalam bentuk pernyataan 3 buah
mobil , 2 buah rumah, 100 kilogram beras , 20 gram emas , 300 meter persegi
tanah dan sebagainya, tanpa harus menyatakan nilai uangnya. Pernyataan jumlah
kekayaan berdasarkan unit pengukur seperti kilogram, gram, buah atau meter terse
but sesungguhnya lebih obyektif dan andai dibandingkan dengan unit uang, karena
kebenaran pengukurannya dapat diamati secara fisik.
Dengan mitos monetary unit, suatu peristiwa yang tidak dapat diukur dalam ni
lai uang tidak akan pernah diakui dalam sistem akuntansi dan tidak akan pernah dil
aporkan dalam laporan keuangan. Menurut Neu (2002), moneterisasi suatu peristiwa
hanyalah bersifat instrumental, dan segala sesuatu yang berifat instrumental akan
menimbulkan konsekuensi tertentu (Christie, 2004). Sebagai contoh, data tentang
jumlah karyawan yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja tidak akan diproses
dalam sistem akuntansi, dan tidak akan dilaporkan dalam laporan keuangan, karena
peristiwa meninggalnya karyawan tersebut tidak dapat diukur dengan nilai uang. Na
mun demikian, sistem akuntansi justru akan mencatat dan melaporkan penurunan
profitabilitas perusahaan akibat kecelakaan kerja dan meninggalnya karyawan terse
but, yaitu melalui pengakuan penurunan produksi dan penjualan, timbulnya biaya
rehabilitasi fasilitas pabrik, biaya perawatan medis, biaya santunan untuk keluarga
korban, dan sebagainya. Dalam konteks ini, mitos monetary unit telah mengalienasi
akuntan (dan akuntansi) dari citra dan fitrahnya, serta menempatkan mereka pada
lingkungan yang materialistik, di mana semua peristiwa harus diukur dan dinilai
dengan uang. .
Salah satu konsekuensi atas keberadaan akuntan (dan akuntansi) dalam ling
kungan yang materialistik adalah, bahwa kekayaan (aktiva) perusahaan ditafsirkan
dan didefinisikan dalam bingkai materi. Akuntansi mendefinisikan aktiva sebagai
sumberdaya yang dikuasai oleh perusahaan akibat dari peristiwa masa lalu, dan
dari situlah manfaat ekonomi di masa depan akan diperoleh perusahaan (IAI, 1994:
paragraf 49a). Akibat dari definisi tersebut, pengeluaran uang perusahaan untuk ak-
tivitas-aktivitas filantropi (philantrophic) dicatat dan dilaporkan sebagai beban (ex
penses), yang dengan sendirinya diakui sebagai penurunan laba atau penurunan
profitabilitas. Pengakuan aktivitas filantropi sebagai beban didasarkan pada pemiki
ran materialistik, bahwa aktivitas tersebut tidak memberikan manfaat ekonomik
bagi perusahaan di masa depan. Seandainya label ekonomik tersebut tidak melekat
pada setiap kata manfaat di setiap definisi-definisi yang dikonstruksi pada akun
tansi, maka niscaya pengeluaran uang perusahaan untuk kegiatan filantropi tersebut
akan dicatat dan dilaporkan sebagai investasi, karena diyakini bahwa aktivitas filan
tropi itu akan memberikan manfaat (tanpa label ekonomik ) di masa depan.
27
TEMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007
Karena kinerja perusahaan dievaluasi dalam bingkai materi, maka aktivitas
perusahaan menjadi terfokus pada upaya maksimalisasi laba, dan akuntansi pun
digunakan sebagai alat untuk mengelola besaran laba yang menjadi sasaran evalu-
asi tersebut. Berkaitan dengan hal ini, Simon (1959) [lihat Etzioni, 1992:123] me
nyatakan:
...kita harus mengharapkan bahwa tujuan-tujuan perusahaan itu bukan
memaksimumkan laba, melainkan mencapai tingkat tertentu laba, memper
tahankan bagian tertentu pasar, atau tingkat tertentu penjualan. [Dengan
demikian], perusahaan-perusahaan akan berusaha untuk memuaskan, bu
kan memaksimumkan.
Istilah tingkat tertentu, bagian tertentu dan sebagainya seperti tersebut di
atas memang memberikan penafsiran yang sangat terbuka, tetapi yang dimaksud
dengan istilah tertentu di sini adalah adanya batasan yang mendorong perusahaan
untuk mengendalikan (kalau tidak da-pat dikatakan mengakhiri) aktivitas pencarian
nya, jika apa yang dicari telah cukup memberikan kepuasan.
Konsep materialistik yang tertanam dalam akuntansi sebagai akibat dari mitos
monetary unit, juga menimbulkan prasangka bahwa setiap pemakai informasi akun
tansi memiliki pola pikir yang sama dengan manajemen (perusahaan), yaitu pola pikir
materialistik yang selalu mendasarkan keputusan-keputusannya pada pertimbangan
nilai uang. Hal ini tercermin pada pernyataan bahwa:
Keputusan ekonomi yang diambil pemakai laporan keuangan memerlukan
evaluasi atas kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kas (dan setara
kas), dan waktu serta kepastian dari hal tersebut....... Para pemakai dapat
mengevaluasi kemampuan perusahaan dalam meng-hasilkan kas (dan setara
kas) dengan lebih baik kalau mereka mendapatkan informasi yang difokuskan
pada posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan perusahaan.
(IAI, 1994: paragraf 15).
Salah satu cara yang mungkin dilakukan untuk mengatasi masalah mitos
monetary unit dalam akuntansi ini adalah menghindari penggunaan unit uang seb
agai pengukur semua peristiwa (Christie, 2004), atau setidak-tidaknya penggunaan
secara eksklusif ukuran non-moneter untuk untuk peristiwa-peristiwa yang tidak
dapat dinyatakan dalam unit uang. Dalam konteks ini, pemikiran atas penggunaan
ukuran kinerja non-moneter sudah mulai bermunculan. Friedman dan Miles (2001)
menjelaskan berbagai faktor yang mendasari munculnya pemikiran tersebut. Per
tama, angka-angka moneter dipandang sebagai indikator keterlambatan dalam
pengambilan keputusan. Oleh karena itu, dengan berfokus pada ukuran non-mon-
eter, kebutuhan akan tindakan korektif dapat ditemukan secara lebih cepat. Kedua,
penggunaan ukuran non-moneter dalam akuntansi juga memberikan sarana untuk
mengetahui kinerja non-materi dari suatu entitas. Misalnya, bagaimana suatu enti
tas memenuhi tanggungjawab sosial, mengelola lingkungan, mengedepankan etika
sosial, dan lainnya
28
Riduwan, Teori Akuntansi
Definisi dan Tujuan Akuntansi Konvensional sebagai Sumber Mitos
Berbagai literatur akuntansi keuangan memberikan definisi akuntansi dalam
berbagai cara, tetapi definisi-definisi tersebut secara substansial tidak berbeda an
tara satu dengan yang lain. Berbagai definisi akuntansi dalam literatur-literatur
akuntansi keuangan tersebut, hingga saat ini selalu bertitik-tolak dari definisi yang
diberikan oleh American Institute of Certified Public Accountants - AICPA (1953 dan
1970), Grady (1965) dan American Accounting Association (1966).
Akuntansi adalah seni pencatatan, penggolongan dan peringkasan transak-
si dan kejadian yang bersifat keuangan dengan cara yang berdaya guna dan
dalam bentuk satuan uang, serta penginterpretasian hasil proses tersebut
(AICPA, 1953: paragraf 9. Cetak miring oleh penulis)
Akuntansi adalah aktivitas jasa. Fungsinya adalah menyediakan informasi
kuantitatif, terutama yang bersifat keuangan, tentang entitas ekonomik yang
diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengambilan keputusan-kepu-
tusan ekonomik, dalam membuat pilihan di antara alternatif tindakan yang
ada (AICPA, 1970: paragraf 40. Cetak miring oleh penulis).
Akuntansi adalah seperangkat pengetahuan dan fungsi yang berhubungan
dengan pengumpulan, pencatatan, pengklasifikasian, pengolahan, pering
kasan, penganalisisan, penginterpretasian dan penyajian secara sistematik in
formasi yang dapat dipercaya dan berdaya guna tentang transaksi dan kejadian
yang bersifat keuangan yang diperlukan sebagai dasar penyusunan laporan
yang harus disampaikan untuk memenuhi pertanggungjawaban kepengurusan
keuangan dan lainnya (Grady, 1965:2. Cetak miring oleh penulis).
Akuntansi adalah proses pengidentifikasian, pengukuran dan pengkomunika-
sian informasi ekonomik untuk memungkinkan pembuatan pertimbangan dan
keputusan berinformasi oleh pengguna informasi (AAA, 1966.1. Cetak miring
oleh penulis)
Definisi-definisi tentang akuntansi tersebut mencakup beberapa aspek yang se
lama ini (dianggap) penting. Pertama, akuntansi berkaitan dengan pencatatan tran
saksi atau kejadian yang dapat dikuantifikasikan dan diukur dalam nilai uang. Oleh
karena itu, akuntansi (dianggap) tidak berurusan dengan transaksi atau kejadian
non-kuantitatif, lebih-lebih kejadian yang tidak dapat diukur dalam nilai uang. Ked
ua, produk akuntansi adalah laporan keuangan sebagai sarana pertanggungjawaban
kepengurusan keuangan. Oleh karena itu, pertanggung-jawaban suatu kepenguru
san yang tidak bersifat keuangan (dianggap) berada di luar wilayah tugas akuntansi.
Ketiga, informasi akuntansi diharapkan bermanfaat sebagai dasar pengambilan
keputusan-keputusan ekonomik. Oleh karena itu, akuntansi (dianggap) tidak berke
pentingan dengan penyajian informasi yang diperlukan dalam pengambilan keputu
san-keputusan non ekonomik.
Berdasarkan aspek-aspek yang terkandung dalam definisi itulah lahir mitos
dalam akuntansi seperti diuraikan di atas; dan berdasarkan mitos-mitos itu pula,
teori akuntansi kemudian dikonstruksi dan diverifikasi, seperti dinyatakan oleh
Belkaoui (2004:ix) bahwa:
29
TEMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007
Pengkonstruksian dan verifikasi teori akuntansi mencakup (1) pendefinisian
serta penetapan tujuan akuntansi dan laporan keuangan, serta (2) penggamba
ran elemen-elemen laporan keuangan termasuk atribut elemen-elemen terse
but, dan satuan ukuran yang tepat untuk digunakan
Definisi akuntansi, tujuan akuntansi, dan tujuan laporan keuangan yang telah
disetujui bersama (dalam tanda petik) seperti tersebut di atas, menjadi landasan
penting dalam merumuskan postulat dan konsep-konsep teoritis akuntansi. Postu
lat-postulat akuntansi yang dimaksud adalah economic entity, going concern, mon
etary unit, dan accounting period; sedangkan konsep teoritis yang dimaksud adalah
propietary theory, entity theori, fund theory, dan residual theory. Konsep teoritis
akuntansi yang disepakati untuk digunakan hingga saat ini adalah entity theory
yang memandang perusahaan sebagai entitas yang terpisah dan berbeda dari pihak
penyedia modal, yaitu pemilik dan kreditor. Menurut teori ini, pusat kepentingan
akuntansi adalah pada perusahaan sebagai entitas bisnis. Artinya, perusahaan di-
anggap memiliki aset yang diperoleh dari pemilik dan kreditor, sehingga perusahaan
harus mengelola aset tersebut dan mempertanggungjawabkannya kembali kepada
pemilik dan kreditor.
Realitas Ekonomi Dan Kepentingan Pemodal
Dengan berfokus pada pencatatan transaksi atau kejadian yang dapat dikuan
tifikasikan dan diukur dalam nilai uang, akuntansi akhirnya menjadi sebuah aktivi-
tas yang hanya bertujuan untuk menggambarkan realitas ekonomi perusahaan yang
direfleksikan dalam laporan keuangan. Laporan keuangan ini menyajikan informasi
tentang kinerja perusahaan selama perioda tertentu, dan berakhir dengan penyajian
informasi tentang jumlah kekayaan neto (ekuitas) yang tersedia untuk didistribusi
kan kepada pemilik modal (pemegang saham). Dengan demikian, seluruh pengguna
informasi akuntansi (laporan keuangan) pada hakikatnya akan diarahkan perhatian
nya pada kekayaan pemilik modal (pemegang saham).
Jika laporan keuangan dikatakan bermanfaat bagi kreditor, pemerintah, kary
awan, pelanggan, pemasok, pemerintah, dan masyarakat (lihat IAI, 1994), maka
manfaat yang sebenarnya mereka dapatkan adalah diperolehnya informasi tentang
bagaimana posisi dan perkembangan kekayaan neto pemilik modal tersebut. Dengan
mengetahui posisi dan perkembangan kekayaan neto pemilik modal, pemasok dan
kreditor akan memutuskan apakah pemberian pinjaman layak diberikan atau tidak,
pemerintah akan memutuskan untuk mengambil kebijakan ekonomi mikro dan mak
ro tertentu, karyawan akan menilai kemampuan pemilik modal untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka, dan seterusnya. Dalam konteks ini, jelas bahwa akuntansi
merupakan alat bagi para pemilik modal untuk menyajikan informasi tentang kekay
aan mereka dari waktu ke waktu. Akuntansi telah berpihak pada kepentingan pemilik
modal, serta jaringan kerja dan relasi-relasinya. Sehubungan dengan hal ini, Triyu-
wono (2000: xiii-xiv) menyebutkan bahwa:
Jaringan kerja dan relasi-relasi yang dibentuk kapitalisme...... mewarnai ben-
tuk akuntansi yang disebut-sebut sebagai instrumen penting dalam dunia bis
nis. Akuntansi dalam lingkungan terse-but menjadi tidak berdaya dan mau
tidak mau tergilas atau terseret dalam kapitalisme
30
Riduwan, Teori Akuntansi
Keberpihakan akuntansi pada kepentingan pemilik modal (kapitalis), secara im-
plisit menunjukkan bahwa akuntansi berasumsi bahwa faktor utama yang mempen
garuhi keberlangsungan hidup perusahaan adalah modal yang diinvestasikan oleh
pemilik. Oleh karena itu, kekayaan neto (ekuitas) perusahaan yang dilaporkan oleh
akuntansi merupakan ekuitas pemilik (pemodal). Asumsi seperti ini sesungguhnya
merupakan asumsi yang tidak beralasan, karena asumsi ini mereduksi fakta bahwa
keberlangsungan hidup perusahaan sebenarnya juga sangat dipengaruhi oleh ling
kungan di mana perusahaan tersebut beroperasi. Lingkungan yang baik akan men
jamin perusahaan untuk dapat beroperasi dengan baik. Kondisi lingkungan yang
menguntungkan (sehingga perusahaan berada dalam letak yang strategis, misalnya)
merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan perusahaan di masa depan.
Suatu perusahaan dapat melakukan efisiensi karena lingkungannya, atau perusa
haan mampu memperoleh laba di atas laba normal juga karena lingkungan yang
mendukungnya. Dalam akuntansi, semua kelebihan atau keunggulan yang dimiliki
perusahaan pada umumnya dibukukan sebagai goodwill.
Namun demikian, sejauh ini akuntansi hampir tidak pernah mempertimbang
kan mengapa perusahaan memiliki goodwill, atau mengevaluasi faktor-faktor penting
yang menyebabkan timbulnya goodwill bagi perusahaan. Oleh karena itu, goodwill
yang timbul selalu dibukukan sebagai penyesuaian ekuitas pemilik, sehingga secara
implisit akuntansi memberikan gambaran bahwa semua kelebihan atau keunggulan
yang dimiliki oleh perusahaan (yang disebut goodwill) tersebut seolah-olah merupak
an investasi pemilik modal. Karena goodwill digambarkan sebagai investasi pemi
lik modal, maka selanjutnya akuntansi menyajikan informasi bahwa kekayaan neto
(ekuitas) perusahaan merupakan hak pemilik modal.
Dalam kenyataannya, goodwill seperti yang dimaksud di atas dapat disebab
kan karena dukungan lingkungan yang menguntungkan, misalnya letak perusahaan
yang aman, strategis, atau tersedianya sumberdaya yang dibutuhkan secara mema
dahi. Jika fakta seperti ini yang terjadi, maka sebagian kekayaan bersih (ekuitas) pe
rusahaan seharusnya dilaporkan sebagai hak dari lingkungannya yang secara peri
odik harus didistribusikan untuk mempertahankan kondisi lingkungan perusahaan,
seperti saat ini. Dengan demikian, kekayaan neto perusahaan tidak hanya menjadi
hak pemilik modal, tetapi juga menjadi hak lingkungan, karena atas kondisi lingkun
gan itulah ekuitas perusahaan mengalami perkembangan. Sampai pada pemikiran
ini, akuntansi seharusnya mampu untuk membedakan antara ekuitas pemilik dan
ekuitas lingkungan .
Di samping itu, keberlangsungan hidup perusahaan juga tergantung pada
diterima atau tidaknya keberadaan perusahaan oleh masyarakat di sekitarnya. Tanpa
dukungan masyarakat sekitarnya, perusahaan tentu tidak akan dapat berlangsung
hidup meskipun tersedia modal dari para pemilik. Stabilitas kehidupan masyarakat
di sekitar tempat perusahaan beroperasi akan membuka dan memberikan peluang
yang sangat besar bagi perusahaan untuk berkembang di masa depan. Kehidupan
masyarakat yang stabil tentu akan mendukung stabilitas operasi perusahaan, dalam
arti bahwa perusahaan dapat beroperasi tanpa gejolak. Dari stabilitas operasi inilah
perusahaan akan memperoleh manfaat berupa efisiensi operasi. Kekayaan neto pe
rusahaan dengan sendirinya akan meningkat akibat adanya efisiensi tersebut. Oleh
karena itu, sebagian kekayaan neto perusahaan seharusnya didistribusikan kem-
bali kepada masyarakat untuk mempertahankan kondisi masyarakat seperti saat
ini. Sampai pada pemikiran ini, akuntansi seharusnya mampu membedakan antara
ekuitas pemilik , ekuitas lingkungan dan ekuitas sosial.
31
TEMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007
Pembedaan ketiga kelompok ekuitas tersebut diperlukan agar akuntansi tidak
hanya sekedar menjadi alat bagi para pemilik modal untuk mengukur dan melipat
gandakan kekayaan mereka, tetapi peran akuntansi lebih berkembang sebagai pen
gukur dan pelipat ganda kesejahteraan lingkungan dan sosial.
Redefinisi Akuntansi: Sebuah Wacana
Terpusatnya perhatian akuntansi pada transaksi-transaksi ekonomik yang
bersifat kuantitatif dan terukur dalam satuan moneter, serta keberpihakan akun
tansi pada kepentingan pemilik modal (kapitalis) pada hakikatnya adalah berawal
dari definisi akuntansi yang telah dibuat sedemikian rupa dan disepakati bersama
oleh para teoritisi akuntansi. Seperti telah disebutkan di muka, definisi akuntansi se
cara konvensional memaksa akuntan untuk memahami akuntansi sebagai: (a) proses
pencatatan dan pelaporan transaksi kuantitatif yang bersifat keuangan; (b) proses
yang menghasilkan laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban manajemen pe-
rasa-haan kepada pemilik modal (dan kreditor, bila ada); serta (c) proses yang menye
diakan infor-masi bagi pengambilan keputusan-keputusan ekonomik.
Atas dasar definisi akuntansi yang konvensional tersebut, maka: (a) akuntansi
tidak dirancang (bahkan tidak diharuskan) untuk bersinggungan dengan pencatatan
dan pelaporan transaksi-transaksi yang tidak terukur dalam satuan moneter, (b)
proses akuntansi tidak dirancang untuk menghasilkan laporan non-keuangan, kecu
ali penjelasan tambahan atas informasi keuangan yang utama; dan (c) proses akun
tansi tidak menyediakan informasi bagi keperluan pengambilan keputusan non-eko-
Definisi akuntansi konvensional memberikan dasar justifikasi bahwa laporan
keuangan merupakan media pertanggungjawaban manajemen atas sumberdaya yang
dipercayakan kepadanya, sehingga penyusunan dan penyajian laporan keuangan
lebih diarahkan untuk kepentingan pemegang saham dan kreditor, dengan meng
abaikan kepentingan stakeholder yang lain.
Karena sesungguhnya akuntansi memiliki peran yang sangat besar secara sos
ial maka redefinisi terhadap akuntansi konvensional tampaknya m e m a n g perlu un
tuk dilakukan. Dengan melakukan redefinisi tersebut, akuntansi diharapkan tidak
hanya terfokus pada angka-angka moneter, tidak hanya terfokus kepada kepentingan
pemilik modal (pemegang saham), dan informasi akuntansi tidak hanya tersedia bagi
keputusan-keputusan ekonomik. Dengan redefinisi, akuntansi membantu mencip-
takan akuntabilitas entitas yang lebih luas. Akuntansi berpotensi sebagai pra e
yang lebih luas dengan mengkaitkan konsepsi-konsepsi yang lebih berarti Untuk
mencapai tujuan tersebut, definisi akuntansi yang mungkin sesuai adalah dengan
memodifikasi definisi akuntansi dari Grady (1965:2), sehingga definisi akuntansi
menjadi:
......... seperangkat pengetahuan dan fungsi yang berhubungan dengan pen
gumpulan, pencatatan, pengklasifikasian, pengolahan, peringkasan, penga-
nalisisan, penginterpretasian dan penyajian secara sistematik informasi yang
dapat dipercaya dan berdaya guna tentang transaksi dan kejadian - baik yang
bersifat keuangan maupun non-keuangan - yang diperlukan sebagai dasar pe
nyusunan laporan yang harus disampaikan untuk memenuhi peitanggung-
jawaban kepengurusan keuangan, tanggungjawab terhadap lingkungan, dan
tanggungjawab sosial .
32
Riduwan, Teori Akuntansi
Berdasarkan definisi akuntansi yang dimodifikasi tersebut, maka: (a) akuntansi
dirancang tidak hanya untuk mencatat dan melaporkan transaksi-transaksi yang
terukur dalam satuan moneter, tetapi juga transaksi atau kejadian non-kuantitatif
dan non-moneter; (b) proses akuntansi dirancang tidak hanya untuk menghasilkan
laporan keuangan, tetapi juga menghasilkan laporan non-keuangan; dan (c) proses
akuntansi tidak menyediakan informasi bagi keperluan pengambilan keputusan non-
ekonomik.
Akuntansi Pertanggungjawaban Lingkungan Dan Sosial
Akuntansi alternatif yang mempertimbangkan masalah lingkungan (environ
mental accounting) merupakan akuntansi yang mencakup komunikasi tentang in
formasi yang berkaitan dengan dampak aktivitas suatu entitas terhadap terhadap
lingkungan di sekitarnya. Sedangkan akuntansi yang mempertimbangkan masalah
sosial (social accounting) merupakan akuntansi yang mencakup komunikasi tentang
informasi yang berkaitan dengan dampak aktivitas suatu entitas terhadap terhadap
kehidupan sosial (Boyce, 2000). Dalam kedua bidang akuntansi tersebut, informasi
yang dihasilkan dapat mencakup informasi tentang dampak keuangan maupun non
keuangan.
Dengan definisi akuntansi alternatif tersebut, akuntansi harus dirancang un
tuk membantu memfasilitasi proses pengambilan keputusan melalui integrasi antara
faktor sosial dan lingkungan. Boyce (2000) mengidentifikasi masalah yang mungkin
inheren dengan masalah akuntansi lingkungan, misalnya kewajiban dan tanggung-
jawab perusahaan terhadap lingkungan, analisis biaya yang menyangkut masalah
dampak energi yang digunakan, investasi instrumen pengolahan limbah, serta biaya
serta manfaat yang diperoleh dari adanya program pengembangan lingkungan.
Dalam akuntansi keuangan konvensional, masalah yang berkaitan dengan
dampak aktivitas perusahaan terhadap lingkungan hanya diukur dalam nilai eko-
nomi (berbentuk nilai moneter) yang dilaporkan sebagai kerugian luar biasa (extraor
dinary loss) bagi perusahaan, sedangkan nilai yang tidak dapat diukur secara fi
nansial atas kerusakan lingkungan dan dampak ikutannya tidak pernah dilaporkan,
karena proses akuntansi hanya dirancang untuk menyediakan informasi tentang
jumlah finansial saja. Biaya-biaya yang timbul untuk mengatasi masalah lingkungan
tadi, oleh akuntansi diperlakukan dan dilaporkan semata-mata sebagai penurunan
likuiditas perusahaan dan berkurangnya ekuitas pemegang saham, dengan meng
abaikan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Boyce (2000) bahwa akuntansi keuangan konvensional yang berkaitan
dengan masalah lingkungan hanyalah sebuah proses teknis, yang dikonstruksikan
untuk mendukung vested interest tertentu.
Alternatif yang mungkin dilakukan untuk masalah akuntansi yang berkaitan
dengan masalah lingkungan dan sosial adalah menyediakan data yang lebih kualita
tif. Misalnya, sehubungan dengan perluasan akuntansi konvensional, Boyce (2000)
menyarankan agar para akuntan terlibat dalam perkembangan akuntansi dan sistem
informasi baru yang mengekspresikan investasi dan kewajiban ekologis. Keadaan
yang demikian itulah yang potensial untuk bentuk akuntansi sosial dan lingkungan.
Bentuk akuntansi yang demikian akan menampilkan image yang berupa interaksi
antara organisasi dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Hal itu juga mencakup
perhitungan-perhitungan akuntansi atas kejadian-kejadian lain di luar transaksi
ekonomik.
33
TEMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007
Pengembangan akuntansi lingkungan dan sosial (environmental dan social
accounting) akan melibatkan sebuah rekonseptualisasi yang jauh berbeda dengan
aturan-aturannya yang konvensional. Seperti yang dikemukakan oleh Christie et al
(2004) adalah mungkin untuk membangun sebuah account alternatif yang berasa
dari informasi yang tersedia serta menggunakan account yang sama untuk dijadikan
bahan penguji terhadap pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan publik. Dan juga
menampilkan transparansi yang sangat jelas dalam pembelajaran publik. Christie et
al (2004) juga mendemonstrasikan kemungkinan penguasaan terhadap konstru si
social account berdasarkan informasi yang tersedia dalam sebagai bapan dalam se
buah laporan tahunan. Sependapat dengan Christie et al. (2004), Colin (2004) juga
menyarankan penggunaan akuntansi sosial oleh organisasi-organisasi yang berop
erasi berdasarkan prinsip-prinsip non komersial dari moral.
Laporan Triple Bottom Line
Christie et al. (2004) menyatakan sebagai yang tidak etis bila akuntansi hanya
menfokuskan kepentingan pemilik saham dan mengabaikan lmplikasi lingkungan.
Teori stakeholder seharusnya menjadi sebuah manifestasi dari teori tanggungjawab
sosial perusahaan yang lebih luas. Pendukung dari tanggungjawab sosial perusahaan
berkeyakinan bahwa sebuah bisnis perlu menjalankan aktivitas yang sesuai deng^n
nilai dan tujuan masyarakat konvensional yang menekankan akuntansi non-mdivi -
ualistik dan non-material. Meskipun pandangan manajerial memunculkan akuntansi
yang mendukung status-quo dengan memenangkan stakeholder (mungkin Praktek
akuntansi seperti laporan triple-bottom-line dapat digunakan), laporan triple-bot
tom-line adalah sebuah proposal akuntansi alternatif yang merespon panggilan un
tuk tanggungjawab sosial perusahaan. Colin (2004) berpendapat bahwa stakeholder
menghendaki agar entitas bisnis memberikan informasi selain data kinerja keuangan.
Bisa dikatakan bahwa penggunaan laporan triple-bottom-lme adalah sebuah respon
terhadap kebutuhan atas laporan sosial perusahaan. Colm (2004) mendefinisikan
laporan sosial perusahaan sebagai:
Proses memberitahukan efek sosial dan lingkungan dari tindakan ekonomi
organisasi pada kelompok kepentingan tertentu dalam masyarakat dan kepada
masyarakat secara menyeluruh. Dalam kondisi tersebut, mi melibatkan per
luasan akuntabilitas organisasi (khususnya perusahaan, sampai di luar peran
tradisional yang memberikan laporan keuangan kepada pemilik modal). Per
luasan tersebut bisa didasarkan pada asumsi bahwa perusahaan mempunyai
tanggungjawab yang lebih luas daripada sekedar membuat laporan kekayaan
shareholder-nya.
Christie et al. (2004) mengungkapkan bahwa Elkington dan sebuah tim Inggris
yang disebut Sustainability Ltd. menggunakan pendekatan triple bottom line untuk
memberikan saran kepada perusahaan tentang bagaimana mempertahankan sus
tainability dengan menggabungkan kemakmuran ekonomi, kesetaraan sosial, dan
perlindungan lingkungan ke dalam tujuan operasional perusahaan. Christie et ai.
(2004) juga menunjukkan bahwa Survey Internasional Laporan Sustainabihtas eru-
sahaan 2002 dari KPMG menyatakan bahwa 45 % dan Perusahaan Fortune Global
Top 250 telah menyusun dan menyajikan laporan lingkungan dan sosial. Semuanya
berawal dari respon terhadap pemikiran-pemikiran kritis terhadap peran akuntansi.
34
Riduwan, Teori Akuntansi
Respon terhadap pemikiran-pemikiran tersebut tentu didasari oleh keinginan untuk
menghadapi tudingan bahwa informasi akuntansi konvensional hanya bermanfaat
bagi pemilik modal (investor dan kreditor) dan kurang bermanfaat bagi stakeholder
lainnya.
Daftar Pustaka
American Accounting Association (AAA). 1966. A Statement of Basic Accounting Theory.
Evanston III: United States of America.
American Institute of Certified Public Accountants (AICPA). 1953. Accounting Terminology
Bulletin. Review and Resum. New York.
American Institute of Certified Public Accountants (AICPA). 1970. Accounting Principle
Board Statement No.4 Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Fi
nansial Statements of Business Enterprises. New York: AICPA.
Belkaoui, A.R. 2004. Accounting Theory. 5th Edition. London: Thomson Learning.
Blaugh, M. 1992. The Methodology of Economics or How Economics Explain. Cambridge:
Cambridge University Press.
Boyce, G. 2000. Public Discourse and Decision Making Exploring Possibilities For Fi-nan-
cial, Social and Envionmental Accounting. Accounting, Auditing and Accountability
Journal 13 (1): 27-64
Christie, N., B. Dyck, J. Morrill, dan R. Stewart. 2004. Escaping The Materialistic-Indi-
vidualis-tic Iron Cage: A Weberian Agenda For Alternative Radical Accounting. The
Fourth Asia Pacific Interdiciplinary Research in Accounting (Apira) Conferrence,
Singapore: 4-6 July.
Colin, D. 2004. Social Accounting of Traidcradft PLC: An Ethnographic Study of A Struggle
For The Meaning of Fair Trade. The Fourth Asia Pacific Interdiciplinary Research in
Accounting (Apira) 2004 Conference, Singapore
Grady, Paul. 1965. ARS No.7: Inventory of Generally Accepted Accounting Principles for
Business Enterprises. New York: AICPA.
Etzioni, A. 1992. Dimensi Moral: Menuju Ilmu Ekonomi Baru. Terjemahan dalam Bahasa
Indo-nesia (Tjun Surjaman). Cetakan Pertama. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Friedman, A.L. dan S. Miles. 2001. Socially Responsible Investment and Corporate Sosial
Environmental Reporting inthe UK: An Exploratory Study. The British Accounting
review 33 (4): 523-548.
Hardiman, F.B. 2003a. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis Tentang
Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, F.B. 2003b. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama
Jurgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik.
Hendriksen, E.S. 1982. Accounting Theory. Fourth Edition. Homewood Illinois: Richard D.
Irwin, Inc.
Hendriksen, E.S. dan M.F. Van Breda. 2000. Teori Akuntansi. Terjemahan dalam Bahasa
ln-donesia (Herman Wibowo). Edisi Kelima. Buku Satu. Batam Centre: Interak-
sara.
Ikatan Akuntan Indonesia. 1994. Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan
Keuangan. Jakarta.
Jamil, M.M. 2005. Membongkar Mitos Menegakkan Nalar: Pergulatan Islam Liberal versus
Islam Literal. Cetakan I. Semarang: Pustaka pelajar.
Jensen, M.C. 1976. Reflection on the State of Accounting Research and the Regulation of
Accounting. Graduate School of Business, Stanford University: 11-19.
TBMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007
Neu, D. 2000. Accounting and Accountability Relations: Colonization, Genocide and Cana
das First Nation. Accounting, Auditing and Accountability Journal. 268-288.
Raar J 2004. Environmental and Social Responsibility: A Normative Financial Reporting
Concepts. The Fourth Asia Pacific Interdiciplinary Research in Accounting (Apira)
Conference, Singapore: 4-6 July. .
Stiglitz J.E. 2006. Dekade Keserakahan: Era 90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Duma.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia (Aan Suhaem). Cetakan Pertama. Tangerang.
Marjin Kiri.
Sunardi, ST. 2004. Semiotika Negativa. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Buku Bai .
Suwardjono. 2005. Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Edisi Ketiga. Yo
gyakarta: BPFE.
Triyuwono, Iwan. 2000. Organisas! dan Akuntansi Syariah. Yogyakarta: LKiS.
Watts, R.L. 1977. Corporate Finansial Statements: A Product of the market and Political
Processes. Australian Jurnal of Management (April): 53-75.
Watts, R.L. dan J.L. Zimmerman. 1978. Towards a. Positive Theory of the Determination of
Accounting Standards. The Accounting Review (January): 112-134.
Watts, R.L. dan J.L. Zimmerman. 1986. Positive Accounting Theory. Englewood Cliffs, New
Jersey: Prentice-Hall., Inc.
Watts, R.L. dan J.L. Zimmerman. 1990. Positive Accounting Theory: Ten Years Perspective.
The Accounting Review (65) January: 131-156.
Wolk H.E., J.K. Francis, dan M.G. Tearney.1992. Accounting Theory - Conceptual and In
stitutional Approach. Homewood Illinois: Richard D. Irwin Inc.
Zimmerman, J.L. 1980. Positive Research in Accounting. Graduate School of Business,
University of Winconsin: 107-128.
36

You might also like