Kelapa Sawit
Kelapa Sawit
Kelapa Sawit
Bahan bakar memainkan suatu peran penting pada sektor rumah tangga, bisnis dan
industri. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa pengembangan dan pemanfaatan
energi dan bahan bakar yang berasal dari sumber-sumber terbarukan merupakan
suatu hal yang harus dilakukan. Oleh karena itu sebagai salah satu dari negara yang
memiliki cadangan biomassa melimpah dan juga tengah mengalami krisis energi dan
bahan bakar, Pemerintah Indonesia telah mencanangkan target diversifikasi sumber-
sumber energi menggantikan batu bara, gas dan minyak bumi dengan sumber-
sumber energi yang terbarukan, termasuk di dalamnya dengan mengembangkan
biofuel dan bioenergy yang bersumber dari pemanfaatan beragam jenis biomassa,
baik yang dapat diperoleh dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan lain
sebagainya. Sikap pemerintah tersebut tercermin melalui keluarnya Dekrit Presiden
Republik Indonesia No. 5 tahun 2006 (Wirawan, 2006).
67
68 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 4 (1), APRIL 2011
Terkait dengan sumber biomassa, selain memiliki kawasan hutan yang luas dan
beragam, hasil pertanian yang melimpah, negara ini juga dikenal sebagai penghasil
utama kelapa sawit setelah Malaysia. Saat ini industri kelapa sawit menjadi sangat
penting di dunia, tidak hanya sebagai bahan utama penghasil minyak goreng, namun
penggunaannya juga sudah berkembang hingga menjadi salah satu penghara dalam
industri biodiesel.
Secara nasional, kelapa sawit adalah salah satu komoditas andalan Indonesia
dalam meraih devisa. Selama 20 tahun (1985-2005) tercatat pertambahan luas kebun
kelapa sawit sebanyak 837%, hal ini dibuktikan dengan kontribusi minyak sawit
terhadap ekspor nasional sebanyak 6%, komoditas ini juga nomor satu dari produk
Indonesia di luar sektor gas dan minyak bumi. Namun, dampak positif dari
perkembangan industri kelapa sawit juga menghasilkan dampak buruk bagi
lingkungan apabila limbah yang dihasilkan tidak dikelola dengan baik (Goenadi
dkk., 2006).
Mencermati proses pengolahan tandan buah segar (FFB) menjadi minyak sawit
(crude palm oil/CPO), maka sekitar 45% dari input buah segar yang diolah, pada
akhirnya akan berubah menjadi limbah padat berupa cangkang atau tempurung
(shell), serabut (fiber) dan tandan kosong sawit (EFB). Setengah dari jumlah limbah
padat tersebut merupakan tandan kosong sawit. Jumlah yang sangat besar bila
mengingat jumlah buah sawit segar yang diolah terus meningkat dari waktu ke
waktu, demikian pula kapasitas dari industri pengolahan minyak sawitnya. Sebagai
contoh Provinsi Kalimantan Timur saat ini telah beroperasi beberapa perusahaan
perkebunan kelapa sawit dengan realisasi luas areal penanaman yang telah mencapai
714.000 ha dan dengan tingkat produksi tahunan CPO sebesar 2,5 juta ton (produksi
buah segar tahunan 12,5 juta ton). Jumlah produksi yang besar tersebut ditopang
dengan keberadaan 18 pabrik minyak kelapa sawit yang tersebar di sebagian besar
wilayah provinsi ini (Anonim, 2010). Jika diasumsikan bahwa 20% limbah tandan
kosong akan dihasilkan dari pengolahan setiap ton buah sawit segar, maka
setidaknya saat ini terdapat potensi limbah sekitar 2,5 juta yang siap untuk
dimanfaatkan menjadi berbagai produk yang bernilai ekonomi tinggi, satu di
antaranya adalah bio-pellet (Amirta, 2010).
Sejauh ini pemanfaatan limbah padat kelapa sawit untuk menghasilkan energi
baru terbatas sebagai bahan bakar padat pada ketel (boiler), terutama untuk limbah
padat yang berupa cangkang/tempurung dan serabut. Khusus untuk limbah tandan
kosong sawit, pemanfaatan sebagai bahan bakar padat boiler mempunyai
konstrain/penghambat yaitu pada tingginya kandungan air (moisture) 60% dan
polusi yang dihasilkan (Surjosatyo dan Vidian, 2004).
Limbah tandan kosong sawit sejauh ini tidak digunakan sebagai sumber energi,
sehingga permasalahan yang kemudian timbul adalah melimpahnya jumlah limbah
yang tertimbun pada kawasan di sekitar industri-industri pengolahan kelapa sawit
tersebut (Surjosatyo dan Vidian, 2004). Berbagai upaya telah dilakukan untuk
mengatasi permasalahan ini, di antaranya adalah dengan mengirimkan kembali
tumpukan limbah tersebut ke areal perkebunan dan menggunakannya sebagai mulsa
dan pupuk alami. Ada pula yang kemudian membakarnya di areal terbuka tanpa
mendapatkan manfaat lain yang mungkin jauh lebih berharga.
Hidajat dan Amirta (2011). Pemanfaatan Limbah Sawit 69
Menyikapi permasalahan limbah yang ada saat ini dan juga perkembangan luas
perkebunan kelapa sawit yang berjalan seiring dengan pencanangan program sejuta
hektar kebun kelapa sawit khususnya di Kalimantan Timur, sudah barang tentu akan
berimbas terhadap meningkatnya produksi limbah tandan kosong, cangkang, serabut
dan bungkil kernel sawit, maka terlahirlah sebuah pemikiran strategis untuk
memanfaatkan potensi limbah yang besar tersebut sebagai bahan baku bio-pellet,
yaitu sebuah produk energi yang dapat diperbaharui (renewable energy) dan
berorientasi ekspor serta bernilai tambah secara ekonomis dan juga tentu saja
menguntungkan bagi lingkungan. Tidak hanya itu, pemanfaatan limbah padat kelapa
sawit sebagai bahan baku bio-pellet juga akan sangat strategis di dalam
menyediakan energi alternatif yang ramah lingkungan, terutama jika dikaitkan pada
upaya dari daerah dan negara ini untuk berperan aktif dalam mengurangi pemanasan
global dan perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi dari bahan bakar fosil.
Di dalam penelitian ini, aspek teknologi yang terkait dengan kesesuaian bahan
baku, proses pembuatan dan kualitas dari produk bio-pellet yang dihasilkan serta
perbandingannya dengan produk bio-pellet berbahan baku serat kelapa sawit dan
juga batu bara sebagai sebuah sumber industri telah dipelajari. Tidak hanya itu,
peluang pengembangan industri dan pemasaran bio-pellet baik secara nasional
maupun internasional juga telah dipelajari.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan limbah
padat kelapa sawit dapat digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan produk
energi, bio-pellet; mengetahui kualitas produk bio-pellet yang dapat dihasilkan dari
pemanfaatan limbah padat kelapa sawit yang dibandingkan dengan standar yang
berlaku; mengetahui pengaruh bungkil kernel sawit dan gliserol dalam
meningkatkan nilai kalori bio-pellet.
Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah menjadi salah satu sumber
rujukan dalam pengembangan sumber energi alternatif, khususnya yang bersumber
dari pemanfaatan biomassa berlignoselulosa yang berasal dari limbah industri dan
perkebunan kelapa sawit; mengetahui kemungkinan dalam pengembangan industri
energi hijau (green industry).
METODE PENELITIAN
Limbah padat sawit berupa tandan kosong, cangkang dan bungkil kernel
(Gambar 1) yang digunakan di dalam penelitian ini berasal dari pabrik minyak
sawit milik PT Perkebunan Nusantara XIII yang berlokasi di Kabupaten Pasir,
Kalimantan Timur, sedangkan bahan perekat alami yang digunakan adalah berupa
tepung tapioka yang diperoleh dari pasar lokal dengan merk dagang Rose Brand.
Bahan tambahan (aditif) berupa gliserol diperoleh dari supplier dengan merk produk
Sinar Glue-SP.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi parang/gunting potong,
mixer, mesin penyerbuk/hammer mill, alat pencetak bio-pellet (pelletizer), mesin
tekan, furnace, gelas ukur, timbangan, oven, caliper dan bomb calorimeter.
Pembuatan bio-pellet dapat dibagi dalam lima tahap, yaitu mencakup
penyediaan sumber bahan berlignoselulosa dari limbah padat sawit, pengeringan
bahan baku, penghalusan bahan baku, pengkondisian dan pelletisasi.
70 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 4 (1), APRIL 2011
Gambar 1. Limbah Padat Sawit yang Digunakan Sebagai Bahan Baku Bio-pellet. Tandan
Kosong (Kiri), Cangkang (Tengah) dan Bungkil Kernel (Kanan)
Bahan baku berlignoselulosa terdiri dari tandan kosong sawit, cangkang sawit,
dan bungkil kernel sawit. Diperlukan bahan baku yang stabil dalam hal kadar air
yaitu kurang dari 12%. Pengeringan bahan baku dilakukan secara alami yaitu
dikeringkan di bawah sinar matahari selama beberapa waktu, kemudian disimpan
dalam ruang kondisioning dan diuji kadar airnya, dipastikan kadar airnya <12%.
Kemudian bahan-bahan tersebut diubah menjadi bentuk chip. Bahan baku dalam
bentuk chip ini masih disimpan dalam ruangan kondisioning sampai masuk tahap
penghalusan/(grinding).
Tahap selanjutnya dalam pembuatan bio-pellet adalah bahan baku yang yang
berbentuk chip tersebut dihaluskan menjadi bentuk serbuk dengan menggunakan
mesin hammer mill, sehingga ukuran partikel bahan baku memungkinkan untuk
dapat dibuat bio-pellet sesuai alat cetak bio-pellet dan mesin tekan yang tersedia.
Ukuran partikel yang dihasilkan adalah ≤40 mesh (≤0,22 mm). Untuk
mempertahankan kadar airnya, maka bahan baku balam bentuk serbuk ini tetap
disimpan di ruangan kondisioning sampai dilakukan karakterisasi dan pencetakan
bio-pellet.
Bio-pellet dihasilkan dari campuran bahan baku yang telah mengalami
perlakuan sebagaimana tersebut di atas, yaitu tandan kosong sawit (Tks), cangkang
sawit (Cs), bungkil kernel sawit (Bks), perekat alami dan dengan atau tanpa
penambahan bahan aditif gliserol. Semua bahan berdasarkan pada masing-masing
rasio dicampur dalam mixer dengan kecepatan rendah dan kemudian dipelletisasi
menggunakan alat pencetak bio-pellet dan pemberian tekanan sebesar 20 mmbar
dengan mesin tekan merk Siempelkamp untuk mendapatkan bio-pellet dengan
dimensi akhir diameter ±10 mm dan panjang ±40 mm. Bio-pellet yang sudah jadi
segera dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102±3⁰C selama 24 jam untuk
mempertahankan kestabilan dimensi. Setelah dikeringkan kemudian disimpan di
dalam ruang kondisioning dan diuji karakteristiknya untuk mengetahui kualitas yang
dimilikinya.
Secara singkat proses pembuatan bio-pellet tersebut dapat dicermati melalui
bagan alir proses yang termuat di dalam Gambar 2.
Hidajat dan Amirta (2011). Pemanfaatan Limbah Sawit 71
Untuk mengetahui peta data nilai kalori yang lebih lengkap dari bio-pellet,
maka dalam penelitian ini pada tahap pertama adalah menggunakan rasio campuran
tandan kosong sawit (Tks) dengan tingkat penggunaan berkisar 085%, demikian
juga penggunaan cangkang sawit (Cs) berkisar 085% dan bungkil kernel 5% serta
perekat alami 10% untuk masing-masing rasio, sebagaimana tercantum pada
Tabel 1.
Rasio/komposisi (%)
No.
Tks Cs Bks Tapioka
1 85 0 5 10
2 75 10 5 10
3 65 20 5 10
4 55 30 5 10
5 45 40 5 10
6 35 50 5 10
7 25 60 5 10
8 15 70 5 10
9 0 85 5 10
Rasio/komposisi (%)
No.
Tks Cs Gliserol Tapioka
1 80 10 5 5
2 70 20 5 5
3 60 30 5 5
4 50 40 5 5
No Parameter Metode
1 Nilai panas Bomb calorimeter (ASTM D1989-97)
2 Kadar air Dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 1 jam. (ASTM D3173)
3 Kadar abu Dibakar di furnace pada suhu 750°C selama 30 menit (ASTM D3174)
4 Karbon terikat Dibakar di furnace pada suhu 950°C selama 30 menit (ASTM D3174)
5 Kerapatan/BJ Massa dibagi volume pellet {ASTM D6347)
6 Zat terbang 100 dikurangi kadar air, kadar abu, dan karbon terikat (ASTM D3172)
Sumber: Chaiyaomporn dan Chavalparit (2010)
digunakan. Sebagaimana yang tampak pada data Tabel 4, cangkang sawit memiliki
nilai kalori yang jauh lebih tinggi dibandingkan tandan kosong sawit, walaupun
karbon terikat cangkang lebih rendah daripada tandan kosong. Nilai kalori dari
cangkang yang tinggi inilah yang melatarbelakangi penggunaannya secara langsung
sebagai bahan bakar pada boiler-boiler di lingkungan industri minyak sawit sendiri,
namun tidak demikian dengan tandan kosong sawit. Tidak hanya itu, nilai kalori
yang tinggi dari cangkang sawit juga telah mendorong berkembangnya transaksi
jual-beli dan meningkatnya permintaan akan limbah cangkang sawit di pasaran
energi, baik untuk kebutuhan nasional maupun pembangkit listrik di kawasan
regional Asia.
Tabel 4. Sifat Fisika dan Kimia dari Bahan Baku Limbah Tandan Kosong dan Cangkang Kelapa
Sawit
Bio-pellet dari Tandan Kosong Sawit dengan Bungkil Kernel sebagai Inisiator
Peningkatan Panas
Peran bungkil kernel sebagai inisiator dalam meningkatkan nilai panas/kalori
dari produk bio-pellet limbah padat kelapa sawit telah dipelajari.
Tabel 5. Kualitas dari Produk Bio-pellet Limbah Tandan Kosong Sawit dengan Penambahan
Bungkil Kernel sebagai Inisiator Peningkatan Panas/Nilai Kalori
Komposisi campuran (%) Kadar air Kerapatan Abu Karbon Zat terbang
Tks Cs Bks Tap (%) (g/cm3) (%) terikat (%) (%)
85 0 5 10 4,36±0,05 0,81±0,01 5,70±0,07 4,61±0,06 85,34±0,07
75 10 5 10 5,55±0,09 0,85±0,01 3,98±0,04 3,83±0,01 86,64±0,03
65 20 5 10 6,71±0,02 0,91±0,00 3,47±0,03 3,18±0,10 86,65±0,00
55 30 5 10 6,84±0,00 0,91±0,00 3,49±0,00 3,02±0,00 86,65±0,05
45 40 5 10 9,13±0,12 1,06±0,00 2,58±0,05 1,62±0,01 86,67±0,00
35 50 5 10 9,15±0,08 1,11±0,00 2,39±0,06 1,58±0,05 86,87±0,05
25 60 5 10 9,01±0,37 1,15±0,01 2,27±0,18 1,57±0,02 87,15±0,02
15 70 5 10 8,89±0,21 1,22±0,00 2,23±0,03 1,53±0,17 87,35±0,17
0 85 5 10 9,19±0,32 1,32±0,02 1,97±0,00 1,48±0,06 87,36±0,00
Keterangan: Tks = tandan kosong sawit. Cs = cangkang sawit. Bks = bungkil kernel sawit. Tap =
tapioka. Nilai pengujian merupakan rataan dari 3 kali ulangan. ± = standar deviasi
Gambar 3. Nilai Kalori Bio-pellet dari Limbah Padat Kelapa Sawit dengan Inisiator Bungkil
Kernel Sawit. Tks = tandan kosong sawit. Cs = cangkang sawit. Setiap komposisi ditambah
campuran masing-masing 5% bungkil kernel sawit dan 10% tapioka. Nilai pengujian
merupakan rataan dari 3 kali ulangan. standar deviasi = 2, 3, 3, 8, 8, 4, 4, 4, 4
Tabel 6. Karakterisasi dari Produk Bio-pellet Limbah Tandan Kosong Sawit dengan Gliserol
sebagai Inisiator Peningkatan Panas/Nilai Kalor
Komposisi campuran (%) Kadar air Kerapatan Abu Karbon Zat terbang
Tks Cs Gli Tap (%) (g/cm3) (%) terikat (%) (%)
80 10 5 5 4,36±0,00 0,91±0,00 3,52±0,01 3,06±0,05 89,06±0,01
70 20 5 5 4,35±0,01 0,91±0,00 3,05±0,02 2,54±0,00 90,06±0,02
60 30 5 5 4,56±0,00 0,91±0,00 3,00±0,00 2,00±0,00 90,64±0,00
50 40 5 5 4,35±0,00 0,91±0,00 3,00±0,00 3,00±0,00 90,65±0,00
Keterangan: Tks = tandan kosong sawit. Cs = cangkang sawit. Gli = gliserol. Tap = tapioka. Nilai
pengujian merupakan rataan dari 3 kali ulangan. ± = standar deviasi
Pada Tabel 6 terlihat, bahwa tingkat kehadiran gliserol yang tetap ternyata
memberikan hasil yang relatif seragam terhadap semua karakteristik bio-pellet yang
dihasilkan, baik kadar air, kerapatan, kadar abu, karbon terikat dan zat terbang,
walaupun terdapat perubahan tingkat kehadiran Tks dan Cs. Hal tersebut berbeda
dengan penelitian tahap awal yang tidak menyertakan kehadiran gliserol (Tabel 5),
yang mana dengan adanya perubahan tingkat kehadiran Tks/Cs diikuti juga
perubahan untuk setiap karakteristik bio-pellet yang dihasilkan. Hasil pengujian
kalorinya dapat dilihat pada Gambar 4.
Komposisi campuran
Gambar 4. Nilai Kalori Bio-pellet dari Limbah Padat Kelapa Sawit dengan Inisiator Gliserol.
Tks = tandan kosong sawit. Cs = cangkang sawit. Setiap komposisi ditambah campuran masing-
masing 5% gliserol dan 5% tapioka. Nilai pengujian merupakan rataan dari 3 kali ulangan.
standar deviasi = 2, 3, 3, 3
Hidajat dan Amirta (2011). Pemanfaatan Limbah Sawit 77
Saran
Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan rujukan untuk pengambilan
kebijakan dalam rangka mencari/sumber-sumber energi alternatif ramah lingkungan.
Penelitian ini masih bisa diperkaya dengan ragam rasio yang lain dari bahan
baku penyusun bio-pellet, misalnya dibuat rasio dengan tingkat kehadiran gliserol
yang meningkat yang ditambahkan kepada tandan kosong sawit untuk melihat
pengaruh gliserol terhadap perbaikan karakteristik bio-pellet termasuk nilai
kalorinya.
Sebagai bahan pembanding, maka perlu diadakan penelitian lanjutan dengan
mengambil bahan baku dari lokasi yang berbeda.
Agar menjadi lebih aplikatif, maka perlu dibuat mesin pembuat bio-pellet yang
spesifikasinya sama antara yang digunakan di laboratorium dan yang akan
digunakan di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Amirta, R. 2010. Potential Utilization of Tropical Lignocellulosic Biomass for Biofuels-
bioenergy Production in East Kalimantan. Proceeding of JSPS Exchange Program for
East Asian Young Researchers: "Fostering Program of Leading Young Scientists
toward the Establishment of Humanosphere Science in East Asia", Shigaraki, Kyoto,
Japan.
Anonim. 2010. Why Use Wood Pellet Fuel for Heating, USA. 5 h.
Brandy, S.; K. Tam; G. Leung and C. Salam. 2009. Zero Waste Biodiesel: Using Glycerin
and Biomass to Create Renewable Energy. UCR Undergraduate Research Journal 511.
Chaiyaomporn, K. and O. Chavalparit. 2010. Fuel Pellets Production from Biodiesel Waste.
Environment Asia 3 (1): 103110.
Goenadi, A.; S. Hadi dan M. Firman. 2006. Prospek Industri Minyak Sawit di Indonesia,
Jakarta. 37 h.
Melero, J.A.; R. van Grieken; G. Morales and M. Paniagua. 2007. Acidic Mesoporous Silica
for the Acetylation of Glycerol: Synthesis of Bioadditives to Petrol Fuel. Energy Fuels
21 (3): 1782–1791.
Hidajat dan Amirta (2011). Pemanfaatan Limbah Sawit 79
Sukandarrumidi. 2004. Batu Bara dan Gambut. Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta.
Surjosatyo, A. dan F. Vidian. 2004. Studi Co-gasifikasi Tandan Kosong dan Tempurung
Kelapa Sawit Menggunakan Gasifier Aliran ke Bawah. Prosiding Seminar Nasional
Rekayasa Kimia dan Proses, Jakarta. h 1327.
Wirawan, S. 2006. Current and Future Usage of Biofuels in Indonesia. Proceeding of
Australia – Indonesia Joint Symposium in Science and Technology, Jakarta. 26 h.