Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 35

Makalah

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas testruktur pada Mata kuliah

Ushul Fiqh

Dosen Pengampu

Dra. Hj. Nina Nurmila, MA, PhD

Dr. Andewi Suhartini, M. Ag

Disusun oleh :
Kelompok 9 / Pendidikan Kimia III B
Moh. Hilman 1152080051
M. Saepul Anwar 1162080044
Qurotul Ismayati 1162080055
Syarifah Rohmanillah 1162080074

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2017
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah yang telah melimpahkan bermacam-macam nikmat dan
karunia kepada hamba-Nya berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
tugas yang diberikan. Salawat beserta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
beserta para keluarganya,sahabatnya, dan kita semua selaku umatnya yang setia hingga akhir
zaman. Aamiin

Makalah ini kami susun dalam rangka memenuhi salah satu tugas terstruktur pada mata
kuliah Ilmu Fiqh adapun makalah Ilmu Fiqh yang kami sajikan ini berjudul “Fiqh Jinayat/Hukum
Pidana Islam” yang diperoleh melalui tinjauan pustaka yang disadur dari berbagai sumber.

Melalui makalah ini semoga pembaca dapat menambah wawasan yang lebih luas dan juga
memperoleh manfaat baik tersurat maupun tersirat yang tertuang dalam makalah ini. Di samping
itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah yang senantiasa memberikan
bimbingan dan motivasinya dalam kelancaran penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan dan masih banyak
kekurangan. Untuk itu kami mengharapkan masukan dan perbaikan dari dosen yang bersangkutan
serta kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk lebih baiknya makalah ini.
Demikianlah dan jika terdapat banyak kesalahan dalam makalah ini, kami selaku penyusun mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Bandung, Desember 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................2

DAFTAR ISI ..............................................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUAN .........................................................................................4

BAB 2 PEMBAHASAN ...........................................................................................6

2.1 FIQH JINAYAH DAN RUANG LINGKUP PEMBAHASANNYA ..........6

2.1.1 Pengertian Jinayah ..................................................................................6

2.1.2 Dasar Hukum Jinayah dalam Islam ........................................................7

2.2 MACAM-MACAM HUKUMAN.................................................................8

2.2.1 Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam
al-Qur’an dan al-Hadist. ......................................................................................8

2.2.2 Ditinjau dari segi hubungan antara suatu hukuman dengan hukuman
yang lain...............................................................................................................9

2.3 PENGERTIAN HUDUD, QISHAS/DIYAT, DAN TA’ZIR BESERTA


MACAM DAN HIKMAHNYA .............................................................................9

2.3.1 HUDUD ................................................................................................10

2.3.2 QISHASH .............................................................................................14

2.3.3 TA’ZIR ..................................................................................................18

2.4 ASPEK-ASPEK DALAM PIDANA ISLAM YANG BERPELUANG


UNTUK DIKEMBANGKAN DALAM KONTEKS KEKINIAN ......................31

BAB 3 PENUTUP ...................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................35


BAB 1 PENDAHULUAN

Islam menaruh perhatian yang sangat besar dalam memberikan pelindungan terhadap hak-hak
detiap muslim yang menyangkut jiwa, harta dan kehormatan. Maka setiap tindak pidana seseorang,
baik yang menyangkut hak Allah Swt. Maupun hak manusia, akan memberikan dampak hukum
bagi pelakunya. Ulama fiqh kontemporer menggunakan istilah fiqh jinayah sebagai salah satu
bidang ilmu fiqh yang membahas persoalan tindak pidana beserta hukumnya.

Hukum pidana atau fiqih jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang berlaku semenjak
diutusnya Rosulullah. Oleh karenanya pada zaman Rosululah dan Khulafaur Rasyidin, hukum
pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh
pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri.

Hukum pidana menurut syari’at islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
kehidupan setiap muslim dimanapun ia berada. Syari’at islam merupakan hukum yang harus
dilaksanakan oleh setiap muslim, karena syari’at islam merupakan bagian ibadah kepada Allah
SWT.

Namun dalam kenyataanya, masih banyak umat islam yang belum tahu dan paham tentang
apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan hukum tersebut
seharusnya disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka pada kesempatan ini
pemakalah akan mencoba menjelaskan apa itu fiqih jinayah atau hukum pidana islam dan beberapa
aspek didalamnya.

Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Fiqh Jinayah dan istilah-istilah didalamnya?


2. Apa saja bentuk-bentuk dari hukuman?
3. Apa pengerrtian hudud, qishas/diyat, dan ta’zir beserta macam dan hikmahnya?
4. Apa aspek-aspek pidana islam yang berpeluang untuk dikembangkan dalam konteks
kekinian?

Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian Fiqh Jinayah dan Istilah-istilah di dalamanya.


2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari hukuman.
3. Untuk mengetahui pengerrtian hudud, qishas/diyat, dan ta’zir beserta macam dan hikmahnya.
4. Aspek-aspek pidana islam yang berpeluang untuk dikembangkan dalam konteks kekinian.
BAB 2 PEMBAHASAN

1.1 FIQH JINAYAH DAN RUANG LINGKUP PEMBAHASANNYA

1.1.1 Pengertian Jinayah

Secara etimologis (lughah) “jinayah”, berarti : perbuatan terlarang, dan “jarimah”, berarti :
perbuatan dosa. Secara termologis (ishtilah) “jinayah” atau “jarimah’, adalah sebagaimana yang
dikemukakan Imam Al-Mawardi : “Jarimah adalah segala larangan syarak yang diancam hukuman
had atau ta’zir’. Dengan demikian, jinayah atau jarimah adalah perbuatan yang mengancam
keselamatan jiwa. (Jazuli, H.A. 2000).

Sedangkan menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya mengatakan jinayah adalah kata jinayah
berasal dari bahasa Arab, yang merupakan jamak dari kata jinayah diambil dari jinaaya yang
berarti memetik. kata jinaayah dijama’kan karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa.
Kadang-kadang ia mengenai jiwa dan anggota badan, baik disengaja ataupun tidak. Adapun kata
jinayah menurut syariat Islam ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syariat untuk
dilakukan; setiap perbuatan yang dilarang oleh syariat harus dihindari, karena perbuatan itu akan
menimbulkan bahaya terhadap agama, jiwa, akal, harga diri, dan harta benda. (Sabiq. 2005)

Jinayah atau lengkapnya Fiqh Jinayah merupakan suatu bagian dari bahasan fiqh. Fiqh
adalah ketentuan yang berdasarkan wahyu Allah dan bersifat amaliyah (operasional) yang
mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah dan sesama manusia, maka fiqh
jinayah secara khusus mengatur tentang pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan manusia dan
sanksi hukuman yang berkenaan dengan kejahatan itu. (Syarifuddin, Amir. 2003)

Fiqh jinayah ini berbicara tentang bentuk-bentuk tindakan kejahatan yang dilarang Allah
manusia melakukannya dan oleh karenanya ia berdosa kepada Allah dan akibat dari dosa itu akan
dirasakannya azab Allah di akhirat. Dalam rangka mempertakut manusia melakukan kejahatan
yang dilarang Allah itu, Allah menetapkan sanksi atau ancaman hukuman atas setiap pelanggaran
terhadap larangan Allah itu. Sanksi hukuman itu dalam bahasa fiqh disebut ‘uqabat. Dengan begitu
setiap bahasan tentang jinayat diiringi dengan bahasan tentang ‘uqabat. Dalam istilah umum biasa
dirangkum dalam ‘hukum pidana’. (Syarifuddin, Amir. 2003)

Tujuan umum dari ketentuan yang di tetapkan Allah itu adalah mendatangkan kemaslahatan
untuk manusia, baik mewujudkan keuntungan dan menfaat bagi manusia, maupun menghindarkan
kerusakan dan kemudaratan dari manusia. Dalam hubungan ini Allah menghendaki terlepasnya
manusia dari segala bentuk kerusakan. Hal ini di penjelas oleh hadist Nabi yang mengatakan:

“Tidak boleh terjadi kerusakan terhadap manusia dan tidak boleh manusia melakukan perusakan
terhadap orang lain”.

Segala bentuk tindakan perusakan terhadap orang lain atau makhluk di larang oleh agama
dan tindakan tersebut di namai tindakan kejahatan atau jinayah dan di sebut juga jarimah. Karena
tindakan itu menyalahi larangan Allah berarti pelakunya durhaka terhadap Allah. Oleh karena itu,
perbuatan yang menyalahi kehendak Allah itu disebut pula ma’siyat. Di antara tindakan yang
dilarang Allah itu ada yang di iringi dengan ancaman hukuman terhadap pelakunya, baik ancaman
itu dirasakan pelakunya didunia, maupun dalam bentuk azab di akhirat. Semua bentuk tindakan
yang dilarang Allah dan diancam pelakunya dengan ancaman hukuman tertentu itu secara khusus
di sebut jinayah atau jarimah. (Syarifuddin, Amir. 2003)

1.1.2 Dasar Hukum Jinayah dalam Islam

Dalam islam dijelaskan berbagai norma/aturan/rambu-rambu yang mesti ditaati oleh setiap
mukalaf, hal itu telah termaktup dalam sumber fundamental Islam, termasuk juga mengenai
perkara jarimah atau tindak pidana dalam Islam, berikut kami akan memaparkan beberapa
dalil yang menjadi hukum dasar dalam hukum pidana tersebut.

“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa.” (Al-Baqarah 179).

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan
Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka
ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada
mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah
orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Maidah 49)

Sehingga jinayat secara garis besar dibedakan menjadi dua kategori, yaitu sebagai berikut:

1. Jinayat terhadapa jiwa, yaitu pelanggaran terhadap seseorang dengan menghilangkan nyawa,
baik sengaja maupun tidak sengaja.
2. Jinayat terhadap organ tubuh, yaitu pelanggaran terhadap seseorang dengan merusak salah
satu organ tubuhnya, atau melukai salah satu badannya, baik sengaja maupun tidak sengaja.
(Al Faruk, Asadulloh. 2009).

1.2 MACAM-MACAM HUKUMAN

1.2.1 Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam al-Qur’an
dan al-Hadist.

1. Hukuman yang ada nashnya. yaitu hudud, qishash, diyat, dan kafarah. Misalnya, hukuman
bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang mendzihar
istrinya.
2. Hukuman yang tidak ada nashnya. hukuiman ini disebut dengan hukuman ta’zir, seperti
percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan amanah, bersaksi palsu.
1.2.2 Ditinjau dari segi hubungan antara suatu hukuman dengan hukuman yang lain.

1. Hukuman pokok (al-uqubat al-ashliyah), yaitu hukuman yang sal bagi suatu kejahatan ,
seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman jilid seratus kali bagi pezina ghayr
muhshan.
2. Hukuman pengganti (al-uqubat al- badaliyah), yaitu hukuman yang menempati empat
pokok apabila hukuman pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum
diyat bagi pembunuh yang sudah di maafkan qishasnya oleh keluarga korban atau hukuman
ta’zir apabila karena suatu hal hukuman had tidak dapat dilaksnakan.
3. Hukuman tambahan (Al-‘Uqubah Al-Thaba’iyah), yaitu: hukuman yang dijatuhkan pada
pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh
untuk mendapat waris dari harta terbunuh.
4. Hukuman pelengkap (Al-‘Uqubat Al-Takmiliyat), yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai
pelengkap terhadap hukuman yang telah dijatuhkan. (Djazuli, H.A. 2000).

1.3 PENGERTIAN HUDUD, QISHAS/DIYAT, DAN TA’ZIR BESERTA


MACAM DAN HIKMAHNYA

Jinayah atau jarimah dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan aspek berat dan ringannya
hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-Quran dan hadist. Atas dasar ini mereka
membaginya menjadi tiga macam, yaitu :

a. jarimah hudud,

b. jarimah qishash, dan

c. jarimah ta’zir.
1.3.1 HUDUD

1.3.1.1 Pengertian Hudud


Hudud adalah bentuk jama’ bahasa Arab “hadd”, pada dasarnya hadd berarti pemisah
antara dua hal atau yang membedakan antara sesuatu dengan yang lain. Secara bahasa hadd berarti
pencegahan. Menurut istilah syara’ hadd adalah memberikan hukuman dalam rangka hak Allah.
Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh
syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama.

Merupakan sutu peraturan yang bersifat membatasi atau mencegah atau undang-undang dari Allah
berkenaan dengan hal-hal boleh (halal) dan terlarang (haram) serta hukuman-hukuman yang di
jatuhkan kepada pelaku-pelaku kemaksiatan.

1.3.1.2 Macam-Macam Hudud dan Hukumnya


a. Khamar

Khamar adalah cairan yang di hasilkan dari peragian biji-bijian atau buah-buahan dan
mengubah sari patinya menjadi alcohol dan menggunakan katalisator (enzim) yang mempunyai
kemampuan untuk memisah unsur-unsur tentu yang berubah melalui proses peragian atau Khamr
adalah minuman yang memabukkan. Orang yang minum khamr diberi sangsi dengan dicambuk
40 kali (Umar bin Khattab 80 kali). Khamr diharamkan dan diberi sangsi yang berat karena
mengganggu kesehatan akal pikiran yang berakibat akan melakukan berbagai tindakan dan
perbuatan di luar kontrol yang mungkin akan menimbulkan ekses negatif terhadap lingkungannya.

b. Zina

Zina adalah melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan yang sah, baik dilakukan
secara sukarela maupun paksaan. Sanksi hukum bagi yang melakukan perzinahan adalah dirajam
(dilempari dengan batu sampai mati) bagi pezina mukhshan; yaitu perzinahan yang dilakukan oleh
orang yang telah melakukan hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang sah. Atau dicambuk
100 kali bagi pezina ghoiru mukhshan; yaitu perzinahan yang dilakukan oleh orang yang belum
pernah melakukan hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang sah.
Adapun dalil terhadap orang yang tidak muhsan ialah firman Allah Swt:

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”(An-
Nur :2)

Sabda Rasulullah Saw.:

“perawan dengan bujang yang berzina hendaklah didera seratus kali, dan diasingkan dari negeri
itu selama seratus tahun.”(Riwayat Muslim).

Bahkan tidak hanya zinanya yang haram, melainkan mendekatinyapun haram, sebagaimana firman
Allah SWT :

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk”. (Q.S al-Isra:32)

Disamping itu, Rasulullah SAW.,bersabda:

“Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kamu bersepi-sepi dengan seorang perempuan (yang
bukan mahram), karena yang ketiga adalah setan.” (HR Bukhari dan Muslim dari ibn Abas).

Sanksi hukum tersebut baru dapat dijatuhkan apabila sudah terbukti melakukan perzinahan
baik dengan pengakuan, 4 orang saksi atau alat bukti.

Perzinahan diharamkan oleh Islam karena : 1) Menghancurkan garis keturunan dan


putusnya hak waris. 2) Mengakibatkan kehamilan sehingga anak yang terlahir tersia-sia dari
pemeliharaan, pengurusan dan pembinaan pendidikannya. 3) Merupakan salah satu bentuk dari
perilaku binatang yang akan menghancurkan kemanusiaan. 4) Menimbulkan penyakit yang
berbahaya dan menular.

c. Qadzaf

Asal makna qadzaf adalah ramyu melempar, umpamanya dengan batu atau dengan yang
lainya. Menurut istilah adalah menuduh orang melakukan zina.
Sanksi hukumnya adalah dicambuk 80 kali. Sangsi ini bisa dijatuhkan apabila tuduhan itu
dialamatkan kepada orang Islam, baligh, berakal, dan orang yang senantiasa menjaga diri dari
perbuatan dosa besar terutama dosa yang dituduhkan. Namun ia akan terbebas dari sangsi tersebut
apabila dapat mengemukakan 4 orang saksi dan atau bukti yang jelas. Suami yang menuduh
isterinya berzina juga dapat terbebas dari sangsi tersebut apabila dapat mengemukakan saksi dan
bukti atau meli’an isterinya yang berakibat putusnya hubungan perkawinan sampai hari kiamat.

d. Riddah

Riddah adalah kembali kejalan asal (setatus sebelumnya). Disini yang di maksud dengan
riddah adalah kembalinya orang yang telah beragama Islam yang berakal dewasa kepada kekafiran
karena kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari oraing lain : baik yang kembali itu laki-laki
maupun perempuan.

e. Mencuri

Pencurian adalah mengambil sesuatu milik orang lain secara diam-diam dan rahasia dari
tempat penyimpannya yang terjaga dan rapi dengan maksud untuk dimiliki. Pengambilan harta
milik orang lain secara terang-terangan tidak termasuk pencurian tetapi Muharobah (perampokan)
yang hukumannya lebih berat dari pencurian. Dan Pengambilan harta orang lain tanpa bermaksud
memiliki itupun tidak termasuk pencurian tetapi Ghosab (memanfaatkan milik orang lain tanpa
izin). Pelaku pencurian diancam hukuman potong tangan dan akan diazab diakherat apabila mati
sebelum bertaubat dengan tujuan agar harta terpelihara dari tangan para penjahat, karena dengan
hukuman seperti itu pencuri akan jera dan memberikan pelajaran kepada orang lain yang akan
melakukan pencurian karena beratnya sanksi hukum sebagai tindakan defensif (pencegahan).

Hukuman potong tangan dijatuhkan kepada pencuri oleh hakim setelah terbukti bersalah, baik
melalui pengakuan, saksi dan alat bukti serta barang yang dicurinya bernilai ekonomis, bisa
dikonsumsi dan mencapai nishab, yaitu lebih kurang 93 gram emas.
f. Muharobah (berbuat kekacauan)

Muharobah adalah aksi bersenjata dari seseorang atau sekelompok orang untuk menciptakan
kekacauan, menumpahkan darah, merampas harta, merusak harta benda, ladang pertanian dan
peternakan serta menentang aturan perundang-undangan. Latar belakang aksi ini bisa bermotif
ekonomi yang berbentuk perampokan, penodongan baik di dalam maupun diluar rumah atau
bermotif politik yang berbentuk perlawanan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku
dengan melakukan gerakan yang mengacaukan ketentraman dan ketertiban umum. Sangsi hukum
pelaku muharobah adalah :

- Dipotong tangan dan kakinya secara bersilang apabila ia atau mereka hanya mengambil
atau merusak harta benda.
- Dibunuh atau disalib apabila dalam aksinya itu ia membunuh orang.
- Dipenjara atau dibuang dari tempat tinggalnya apabila dalam aksinya hanya melakukan
kekacauan saja tanpa mengambil atau merusak harta-benda dan tanpa membunuh.

1.3.1.3 Hikmah Hudud


Sejarah telah mebuktikan bahawa hukum HUDUD adalah satu peraturan yg bijaksana, adil,
mampu mengawal kebaikan dan telah memberi jalan keluar kpd masalah manusia. Di zaman
kegemilangan Islam yg lampau orang kafir pun menerimanya. Bagi orang beriman, hukum hudu
dirasakan satu anugerah yg mengandungi nikmat. Kerana ia memberi dua faedah yang besar:

- Ia seolah-olah pagar yg mengawal tanam-tanaman dari serangan binatang binatang yg


hendak memakannya. Yakni HUDUD membersihkan masyarakat daripada orang-orang
jahat yg mau mengganggu keselamatan dan kebaikan insaniah dan material yang mereka
telah cetuskan.
- Bagi orang-orang yg melakukan kejahatan sama ada sengaja atau tidak, mereka diberi jalan
keluar untuk lepas dari hukuman Akhirat. yang mana dosa yang sudah dihukum di dunia
(secara HUDUD) tidak lagi dihukum di Akhirat.

Diantara hukuman-Nya yang telah ditetapkan tidak boleh berubah-ubah lagi ialah:

- Hukuman pancung kepada orang yang tidak sembahyang tiga waktu berturut-turut tanpa
uzur syar’i sesudah dinasihatkan.
- Hukum qisas yaitu membunuh dibalas bunuh, luka dibalas luka.
- Hukuman sebat kepada orang yang membuat fitnah.
- Hukuman rotan 100 kali pada penzina yang belum kahwin, dirajam sampai mati pada
penzina yg sudah kawin.
- Hukuman rotan 80 kali kpd orang yg menuduh orang berzina tanpa bukti yang cukup.
- Rotan 80 kali untuk peminum arak

Sebenarnya ‘hudud dunia’ ini lebih kejam. Ada orang ditangkap tanpa dibicara. Hukum hudud
bukan bermaksud menyiksa. Ia lebih bermaksud untuk mendidik orang-orang yang tidak terdidik
dengan nasihat dan tunjuk ajar. Bila ia sakit, malu dan susah, baru dia faham yg sikapnya itu tidak
baik dan tidak patut. Baru dia dapat berfikir tentang perasaan dan keperluan orang lain.
Sebagaimana dia tidak sanggup disusahkan, dimalukan dan disakiti, begitulah orang lain.
Keinsafan ini hanya akan timbul kalau hukuman yg dikenakan benar-benar menyakitkan dan
seimbang.

1.3.2 QISHASH

1.3.2.1 Pengertian Qishash


Qishash adalah hukuman yang setimpal atau sama dengan tindak kejahatan para pelakunya;
Membunuh dibunuh lagi, memotong anggota badan dipotong lagi, melukai dilukai lagi; Melukai
orang mungkin bisa tidak diqishash dengan dilukai lagi tetapi dengan cara bertanggung jawab atas
biaya pengobatan jika dimaafkan oleh korban. Hukuman qishash berlaku bagi orang yang
melakukan tanpa alasan yang dibenarkan syara’; Membunuh orang ketika berperang, membunuh
orang ketika mempertahankan diri, membunuh orang ketika melaksanakan hukuman qishash
seperti para algojo atau regu tembak tidak dikenai hukum qishash.

Firman Allah SWT.:

“ Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah
neraka jahanam, kekal ia didalamnya, dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya, serta
menyediakan azab yang besar baginya.” (An-Nisa:93)
1.3.2.2 Hukuman Qishash
Hukuman qishash hanya berlaku bagi pembunuhan yang disengaja itupun apabila keluarga
korban tidak memaafkan. Apabila keluarga korban memaafkan maka hukuman qishash tidak
dilaksanakan, hanya saja yang bersangkutan wajib membayar diyat (denda) yaitu menyerahkan
100 ekor unta; 40 diantaranya yang sedang bunting kepada keluarga korban atau dengan uang yang
senilai dengan itu. Pembunuhan yang tidak sengaja (seperti bermaksud menembak burung tapi
mengenai orang sampai mati), sangsinya adalah kaffarah (pada zaman Nabi saw. dalam bentuk
pembebasan budak belian, untuk saat ini mungkin bisa dalam bentuk pembebasan orang yang
sedang dililit utang, pemberian bea siswa bagi kaum dhu’afa, pemberian jaminan bagi tahanan
politik) Dan jika kaffarah ini tidak mampu dilakukan bisa mengambil kaffarah lain yaitu berpuasa
2 bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang fakir miskin. Disamping kaffarah ia dibebani
untuk membayar diyat berupa pemberian 100 ekor unta atau yang senilai dengannya kepada
keluarga korban. Pembunuhan semi sengaja atau pembunuhan seperti sengaja yaitu pembunuhan
yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain tanpa bermaksud membunuh tetapi hanya
melukai saja karena alat yang digunakan secara biasa tidak akan mengakibatkan kematian, tetapi
justru mengakibatkan matinya seseorang, seperti memukul orang dengan kayu, atau menempeleng
orang tetapi yang dipukul mati karenanya. Sangsi hukum bagi pembunuh semi sengaja adalah
membayar diyat berbentuk penyerahan 100 ekor unta 40 diantaranya yang sedang bunting kepada
keluarga korban.

1.3.2.3 Syarat Qisas


Qishas terhadap selain jiwa (penganiayaan) mempunyai syarat sebagai berikut:

1. Pelaku berakal

2. Sudah mencapai umur balig

3. Motivasi kejahatan disengaja

4. Hendaknya darah orang yang dilukai sederajat dengan darah orang yang melukai.

Yang dimaksud dengan sederajat disini adalah hanya dalam hal kehambaan dan
kekafiran. Oleh sebab itu maka tidak diqisas seorang merdeka yang melukai hamba sahaya atau
memotong anggotanya. Dan tidak pula diqisas seorang muslim yang melukai kafir zimmi atau
memotong anggotanya.
Apabila pelaku melakukan perbuatan pelukaan tersebut secara sengaja, dan korban tidak
memiliki anak, serta korban dengan pelaku sama di dalam keislaman dan kemerdekaan, maka
pelaku diqisas berdasarkan perbuatannya terhadap korban, misalnya dipotong anggota berdasarkan
onggota yang terpotong, melukai serupa dengan anggota yang terluka. Kecuali jika korban
menghendaki untuk pembayaran diyat atau memaafkan pelaku. Besarnya diyat disesuaikan dengan
jenis dari perbuatan yang dilakukannya terhadap korban.

Syarat-syarat qisas dalam pelukaan:

a. Tidak adanya kebohongan di dalam pelaksanaan, maka apabila ada kebohongan maka
tidak boleh diqisas,
b. Memungkinkan untuk dilakukan qisas, apabila qisas itu tidak mungkin dilakukan, maka
diganti dengan diyat,
c. Anggota yang hendak dipotong serupa dengan yang terpotong, baik dalam nama atau
bagian yang telah dilukai, maka tidak dipotong anggota kanan karena anggota kiri, tidak
dipotong tangan karena memotong kaki, tidak dipotong jari-jari yang asli (sehat) karena
memotong jari-
d. Adanya kesamaan 2 (dua) anggota, maksudnya adalah dalam hal kesehatan dan
kesempurnaan, maka tidak dipotong tangan yang sehat karena memotong tangan yang
cacat dan tidak diqisas mata yang sehat karena melukai mata yang sudah buta,
e. Apabila pelukaan itu pada kepala atau wajah (asy-syijjaj), maka tidak dilaksanakan qisas,
kecuali anggota itu tidak berakhir pada tulang, dan setiap pelukaan yang tidiak
memungkinkan untuk dilaksanakan qisas, maka tidak dilaksanakan qisas dalam pelukaan
yang mengakibatkan patahnya tulang juga dalam jaifah, akan tetapi diwajibkan diyat atas
hal tersebut.

Kemudian dalam hal tindakan menempeleng, seseorang diperbolehkan membalasnya sesuai


dengan apa yang telah dilakukannya, hal ini sesuai firman Allah swt.

Artinya : Bulan Haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku
hukum qishaash. oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia,
seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah, bahwa
Allah beserta orang-orang yang bertakwa.(Q.s Al-Baqarah ayat 194)
Dan Allah telah berfirman pula dalam ayat lain,

Artinya : Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa
memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya dia tidak
menyukai orang-orang yang zalim.(Q.s As-Syura ayat 40). (Sabiq, 1990).

1.3.2.4 Hikmah Qishash


Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 178 :

“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang
mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar
(diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu,
maka baginya siksa yang sangat pedih.

Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishaash itu tidak dilakukan, bila yang
membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti
rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang
membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak
menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum
ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat,
maka terhadapnya di dunia diambil qishaash.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Islam hampir disyariatkan, pada jaman
Jahiliyah ada dua suku bangsa Arab berperang satu sama lainnya. Di antara mereka ada yang
terbunuh dan yang luka-luka, bahkan mereka membunuh hamba sahaya dan wanita. Mereka belum
sempat membalas dendam karena mereka masuk Islam. Masing-masing menyombongkan dirinya
dengan jumlah pasukan dan kekayaannya dan bersumpah tidak ridlo apabila hamba-hamba sahaya
yagn terbunuh itu tidak diganti dengan orang merdeka, wanita diganti dengan pria. Maka turunlah
ayat tersebut di atas (S. 2: 178) yang menegaskan hukum qishash.
1.3.3 TA’ZIR

1.3.3.1 Pengertrian Ta’zir


Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata azzara yang berarti man’u wa radda
(mencegah dan menolak). Ta’zir dapat berarti addaba (mendidik) atau azhamu wa waqra. Yang
artinya mengagungkan dan menghormat. Dari berbagai pengertian, makna ta’zir yang paling
relevan adalah al-man’u wa raddu (mencegah dan menolak), dan pengertian kedua ta’dib
(mendidik). Pengertian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Abdur Qadir Audah dan
Wahbah Az-Zuhaili. Ta’zir diartikan mencegah dan menolak karena ia dapat mencegah pelaku
agar tidak mengulangi perbuatannya. Ta’zir diartikan mendidik karena ta’zir dimaksudkan untuk
mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian
meninggalkan dan menghentikannya. Selain diatas, ta’zir secara harfiah juga dapat diartikan
sebagai menghinakan pelaku kriminal karena tindak pidananya yang memalukan.

Menurut istilah, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Mawardi bahwa yang dimaksud
dengan ta’zir adalah sebagai berikut :

“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya
ditentukan oleh syara’.”

Sementara Wahbah az-Zuhaily memberikan definisi yang mirip dengan definisi al-
Mawardi :

“Ta’zir menurut syara’ adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang
tidak dikarenakan had dan tidak pula kifarat.”

Jadi dengan demikian jarimah ta’zir adalah suatu jarimah yang hukumannya diserahkan
kepada hakim atau penguasa. Hakim dalam hal ini diberi kewenangan untuk menjatuhkan
hukuman bagi pelaku jarimah ta’zir. Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir
adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh
syara’. Dikalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumnya belum ditetapkan oleh syara’
dinamakan dengan jarimah ta’zir. Jadi istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga
untuk jarimah (tindak pidana).
Dari definisi tersebut, juga dapat difahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-
perbuatan maksiat yang tidak dikenakan had dan tidak pula dikenakan kifarat, dengan demikian,
inti dari jarimah takzir adalah perbuatan maksiat. Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah
meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan (dilarang).
Para fiqaha memberikan contoh meninggalkan kewajiban seperti menolak membayar zakat,
meninggalkan shalat fardhu, enggan membayar hutang padahal mampu, mengkhianati amanat,
seperti menggelapkan titipan, memanipulasi harta anak yatim, hasil wakaf dan lain sebagainya.
Sebagai contoh melakukan perbuatan yang dilarang, seperti mencium perempuan lain bukan istri,
sumpah palsu. Penipuan dalam jual beli, melakukan riba, melindungi dan menyembunyikan pelaku
kejahatan, memakan barang-barang yang diharamkan, seperti darah, bangkai, dan sebagainya.
Contoh diatas termasuk dalam jarimah ta’zir.

Disamping itu juga hukuman ta’zir dapat dijatuhkan apabila hal itu dikehendaki oleh
kemashlahatan umum, meskipun perbuatannya bukan maksiat, melainkan pada awalnya mubah.
Perbuatan-perbuatan yang termasuk kelompok ini tidak bisa ditentukan, karena perbuatan tersebut
tidak diharamkan karena zatnya, melainkan karena sifatnya. Apabila sifat tersebut ada maka
perbuatannya diharamkan, dan apabila sifat tersebut tidak ada maka perbuatannya mubah. Sifat
yang menjadi alasan (illat) dikenakan hukuman atas perbuatannya tersebut adalah membahayakan
atau merugikan kepentingan umum. Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur merugikan
kepentingan umum maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku dikenakan hukuman.
Akan tetapi apabila dalam perbuatan tersebut bukan jarimah dan pelaku tidak dikenakan hukuman.

Penjatuhan hukuman ta’zir untuk kepentingan umum ini didasarkan kepada tindakan
Rasulullah SAW, yang menahan seorang laki-laki yang diduga mencuri unta. Setelah diketahui
ternyata ia tidak mencurinya. Rasulullah SAW melepaskannya. Analisis terhadap tindakan
Rasulullah SAW tersebut adalah bahwa penahanan merupakan hukuman ta’zir, sedangkan
hukuman hanya dapat dikenakan terhadap suatu jarimah yang sudah dapat dibuktikan. Apabila
dalam peristiwa tersebut tidak terdapat unsur pidana maka artinya Rasulullah mengenakan
hukuman penahanan (penjara) hanya karena tuduhan semata-mata (tuhmah). Hal ini mengandung
arti bahwa Rasulullah SAW membolehkan penjatuhan hukuman terhadap dalam posisi tersangka,
meskipun ia tidak melakukan perbuatan yang dilarang. Tindakan yang diambil oleh Rasulullah
SAW tersebut dibenarkan oleh kepentingan umum, sebab membiarkan si tersangka hidup bebas
sebelum dilakukan penyelidikan tentang kebenaran tuduhan terhadap dirinya biar mengakibatkan
ia lari, dan biar juga menyebabkan dijatuhkannya vonis yang tidak benar terhadap dirinya, atau
menyebabkan tidak dapat dijalankannya hukuman yang telah diputuskan.

1.3.3.2 Dasar Hukum Jarimah Ta’zir.


Pada jarimah ta’zir al-Qur’an dan al-Hadits tidak menerapkan secara terperinci, baik dari
segi bentuk jarimah maupun hukumannya. Dasar hukum disyariatkannya sanksi bagi pelaku
jarimah ta’zir adalah at-ta’zir yadurru ma’a mashlahah artinya, hukum ta’zir didasarkan pada
pertimbangan kemashlahatan dengan tetap mengacu kepada prinsip keadilan dalam masyarakat.

Menurut Syarbini al-Khatib, bahwa ayat al-Qur’an yang dijadikan landasan adanya jarimah
ta’zir adalah Qur’an surat al Fath ayat 8-9 yang artinya : “Sesungguhnya kami mengutus kamu
sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.”.

“Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya,
membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang”.

Dari terjemahan tersebut diatas A. Hasan menterjemahkan: watu’aziruhu sebagaimana


dikutip oleh Haliman dengan: dan supaya kamu teguhkan (agamanya) dan untuk mencapai tujuan
ini, satu diantaranya ialah dengan mencegah musuh-musuh Allah, sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh Syarbini al-Khatib.

Adapun Hadits yang dijadikan dasar adanya jarimah ta’zir adalah sebagai berikut :

1. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim yang artinya “ Dari Bahz ibn Hakim dari
ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW menahan seseorang karena disangka melakukan
kejahatan.
2. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burdah yang artinya “Dari Abu Burdah Al-Anshari
RA. Bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda :Tidak boleh dijilid diatas sepuluh cambuk
kecuali didalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah ta’ala (Muttafaqun Alaih)”.
3. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah yang artinya “Dari Aisyah Ra. Bahwa nabi
bersabda : Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan
atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud”.

Secara umum ketiga hadits tersebut menjelaskan tentang eksistensi ta’zir dalam syariat
Islam. Hadits pertama menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga
melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan boleh lebih dari sepuluh cambukan
untuk membedakan dengan jarimah hudud. Dengan batas hukuman ini dapatlah diketahui mana
yang termasuk jarimah hudud dan mana yang termasuk jarimah ta’zir. Menurut al-Kahlani, para
ulama sepakat bahwa yang termasuk jarimah hudud adalah zina, pencurian, minum khamr,
hirabah, qadzaf, murtad dan pembunuhan. Selain dari jarimah-jarimah tersebut, termasuk jarimah
ta’zir meskipun ada juga beberapa jarimah yang diperselisihkan oleh para fuqaha, seperti liwath,
lesbian, dan sedangkan hadits ketiga mengatur tentang tekhnis pelaksanaan hukuman ta’zir yang
bias berbeda antara satu satu pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi
lain yang menyertainya.

Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk jarimah dan hukuman
ta’zir antara lain tindakan Sayyidina Umar ibn Khattab yang melihat orang menelentangkan seekor
kambing kemudian dia mengasah pisaunya. Khalifah Umar memukul orang tersebut dengan
cemeti dan ia berkata : “Asah dulu pisau itu.

1.3.3.3 Macam-Macam Jarimah Ta’zir.


Menurut Abd Qadir Awdah, jarimah ta’zir terbagi menjadi tiga.

Pertama, jarimah hudud dan qisas diyat yang mengandung unsur subhat atau tidak
memenuhi syarat, namu hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti wati’ subhat,
pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, pencurian yang bukan harta benda.
Kedua, jarimah ta’zir yang jenisnya telah ditentukan oleh nash, tapi sanksinya oleh syar’i
diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengicu timbangan, menipu,
mengingkari janji, mengkhinati amanat, dan menghina agama. Ketiga, jarimah ta’zir dan jenis
sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat.
Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang utama. Misalnya pelanggaran terhadap
peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah lainnya.
Dilihat dari segi berubah tidaknya sifat jarimah ta’zir dan jenis hukumannya, para fuqaha
membaginya menjadi dua macam. Pertama, jarimah ta’zir yang jenisnya ditentukan oleh syara’,
seperti mu’amalah dengan cara riba, memicu timbangan, megkhianati amanat, korupsi, menyuap,
manipulasi, nepotisme, dan berbuat curang. Semua perbuatan tersebut dilarang dan sanksinya
diserahkan kepada penguasa. Kedua, jarimah ta’zir yang ditentukan oleh penguasa atau
pemerintah. Bentuknya dapat mengalami perubahan tergantung situasi dan kondisi masyarakat
pada waktu tertentu, misalnya UU Lalu Lintas dan Angkutan Raya.

Dalam menetapkan jarimah ta’zir, pemerintah mengacu dan berpegang pada prinsip
menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadharatan di
samping itu penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i (nash).

Para ulama membagi jarimah ta’zir menjadi dua bagian, yaitu:

1. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan
kemaslahatan umum. Misalnya membuat kerusakan di muka bumi, perampokan, pencurian,
pemberontakan, perzinaan, dan tidak taat pada ulil amri.

2. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak perorangan atau hamba, yaitu segala sesuatu yang
mengancam kemaslahatan bagi seorang manusi, seperti tidak membayar hutang dan
penghinaan.

Pentingnya pembagian jarimah ta’zir kepada jarimah yang berkaitan dengan hak Allah dan
jarimah yang berkaitan dengan hak hamba;

a. Untuk yang berkaitan dengan hak hamba disamping harus ada gugatan dari ulil amri juga tidak
dapat memaafkan, sedang yang berkaitan dengan hak Allah atau jamaah tidak harus ada
gugatan dan ada kemungkinan bagi ulil amri untuk memberi pemaafan atau mendeponir bila
hal itu membawa kemaslahatan.
b. Dalam ta’zir yang berkaitan dengan hak hamba tidak dapat diberlakukan teori tadakhul. Jadi
sanksinya dijumlahkan sesuai dengan banyaknya kejahatan. Misalnya bila seseorang
menghina A, B, C dan D, maka hukumannya adalah empat kali. Sedang dalam ta’zir yang
berkaitan dengan hak Allah berlaku teori tadakhul, seperti seseorang tidak mengeluarkan
zakat beberapa kali dan beberapa macam zakat, maka dia dikenakan satu kali ta’zir.
c. Ketika tindak pidana ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah berlangsung, semua orang wajib
mencegahnya, hal ini merupakan penerapan nahi munkar. Sesuai sabda Rasulullah saw : “
Barangsiapa melihat suatu tindakan kemunkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan
kekuasaan, bila ia tidak kuasa maka dengan lidahnya, bila ia tidak mampu maka dengan
hatinya dan cara itu merupakan standar iman yang terendah.” [HR Muslim dari abu Said al-
Khudri].
d. Sedang ta’zir yang berkaitan dengan hak hamba setiap orang dapat mencegahnya ketika
kejahatan itu terjadi dan penjatuhan hukuman dalam kasus ini sangat tergantung kepada
gugatan.
e. Ta’zir yang berkaitan dengan hak hamba dapat diwariskan kepada ahli waris korban bila tak
sempat mengajukan gugatan sedangkan ia telah berniat untuk itu. Adapun ta’zir yang
berkaitan dengan hak Allah tidak dapat diwariskan. Meskipun demikian, perlu ditekankan
bahwa tidak ada maksiat yang betul-betul hanya berkaitan dengan hak Allah atau dengan hak
perorangan secara murni. Jadi dalam suatu kejahatan kedua hak tersebut pasti terganggu tetapi
dapat dibedakan salah satu dari kedua hal itu mana yang dominan.

1.3.3.4 Macam-Macam Hukuman Ta’zir.

1. Hukuman Ta’zir yang Berkaitan dengan Badan

a. Hukuman Mati

Hukuman mati ditetapkan sebagai hukuman qishash untuk pembunuhan sengaja dan
sebagai hukuman had untuk jarimah hirabah, zina muhsan, riddah, dan jarimah pemberontakan.
Untuk jarimah ta’zir, hukuman mati ini diterapkan oleh para fuqaha secara beragam. Hanafiyah
membolehkan kepada ulil amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam jarimah-
jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan
berulang-ulang. Contohnya pencurian yang dilakukan berulang-ulang dan menghina Nabi
beberapa kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk Islam.

Malikiyah juga membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk jarimah-jarimah ta’zir
tertentu, seperti spionase dan melakukan kerusakan di muka bumi. Pendapat ini juga dikemukakan
oleh sebagian fuqaha Hanabilah, seperti Imam ibn Uqail.
Sebagian fuqaha Syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus penyebaran
aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Alquran dan assunah. Demikian pula hukuman
mati bisa diterapkan kepada pelaku homoseksual (liwath) dengan tidak membedakan antara
muhsan dan ghair muhshan.

Dari uraian tersebut jelas bahwa hukuman mati untuk jarimah ta’zir, hanya dilaksanakan
dalam jarimah-jarimah yang sangat berat dan berbahaya, dengan syarat-syarat sebagai berikut.

1) Bila pelaku adalah residivis yang tidak mempan oleh hukuman-hukuman hudud selain
hukuman mati
2) Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap masyarakat dan pencegahan
terhadap kerusakan yang menyebar di muka bumi.

Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati sebagai ta’zir tidak ada
keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan pedang, dan ada pula yang mengatakan
boleh dengan alat yang lain, seperti kursi listrik. Namun kebanyakan ulama memilih pedang
sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah digunakan dan tidak menganiaya terhukum, karena
kematian terhukum dengan pedang lebih cepat.

b. Hukuman Jilid (Dera)

Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang pertengahan (sedang,
tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam
Ibn Taimiyah, dengan alasan karena sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan.

Adapun sifat atau cara pelaksanaan hukuman jilid masih diperselisihkan oleh para fuqaha.
Menurut Hanafiyah, jilid sebagai ta’zir harus dicambukkan lebih keras daripada jilid dalam had
agar dengan ta’zir orang yang terhukum akan menjadi jera, disamping karena jumlahnya lebih
sedikit daripada dalam had. Alasan yang lain adalah bahwa semakin keras cambukan itu semakin
menjerakan. Akan tetapi, ulama selain Hanafiyah menyamakan sifat jilid dalam ta’zir dengan sifat
jilid dalam hudud. Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala,
melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu Yusuf menambahkan tidak boleh
mencambuk bagian perut dan dada, karena pukulan ke bagian tersebut bisa membahayakan
keselamatan orang yang terhukum.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa hukuman jilid tidak boleh sampai
menimbulkan cacat dan membahayakan organ-organ tubuh orang yang terhukum, apalagi sampai
membahayakan jiwanya, karena tujuannya adalah memberi pelajaran dan pendidikan kepadanya.

2. Hukuman yang Berkaitan dengan Kemerdekaan

a. Hukuman Penjara

Dalam bahasa Arab istilah untuk hukuman penjara yaitu disebut dengan Al-Habsu yang
artinya mencegah atau menahan. Menurut Imam Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, yang dimaksud Al-
Habsu menurut syara’ bukanlah menahan pelaku di tempat yang sempit, melainkan menahan
seseorang dan mencegahnya agar tidak melakukan perbuatan hukum, baik penahanan tersebut di
dalam rumah, atau masjid, maupun di tempat lainnya. Penahanan model itulah yang dilaksanakan
pada masa Nabi dan Abu Bakar tidak ada tempat yang khusus disediakan untuk menahan seorang
pelaku. Akan tetapi setelah umat Islam bertambah banyak dan wilayah kekuasaan Islam bertambah
luas, Khalifah Umar pada masa pemerintahan-nya membeli rumah Shafwan ibn Umayyah dengan
harga 4000 dirham untuk kemudian dijadikan sebagai penjara.

Hukuman penjara dalam syariat Islam dibagi kepada dua bagian, yaitu:

1) Hukuman penjara terbatas

Adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara
terbatas ini diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjual khamr, pemakan riba, melanggar
kehormatan bulan suci Ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa uzur dll. Adapun lamanya
hukuman penjara ini tidak ada kesepakatan dikalangan ulama. Batas tertinggi untuk hukuman
penjara terbatas ini juga tidak ada kesepakatan di kalangan fuqaha.

2) Hukuman penjara tidak terbatas

Hukuman penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus
sampai orang yang terhukum mati, atau sampai ia bertobat. Dalam istilah lain bisa disebut
hukuman penjara seumur hidup. Hukuman ini dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya,
misalnya seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga, atau seperti orang
yang mengikat orang lain, kemudian melemparkannya ke depan seekor harimau dll.
b. Hukuman Pengasingan

Meskipun hukuman pengasingan itu merupakan hukuman had, namaun dalam praktiknya,
hukuman tersebut diterapkan juga sebagai hukuma ta’zir. Di antara jarimah ta’zir yang dikenakan
hukuman pengasingan (buang) adalah orang yang berperilaku mukhannats (waria), yang pernah
dilaksanakan oleh Nabi dengan mengasingkannya ke luar Madinah. Demikian pula tindak pidana
pemalsuan terhadap Alquran. Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah yang
dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga pelakunya harus dibuang (diasingkan)
untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut.

Adapun tempat pengasingan diperselisihkan oleh fuqaha. Lamanya (masa) pengasingan


juga tidak ada kesepakatan di kalangan para fuqaha. Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, masa
pengasingan tidak boleh lebih dari satu tahun agar tidak melebihi masa pengasingan dalam jarimah
zina yang merupakan hukuman had. Menurut Imam Abu Hanifah, masa pengasingan bisa lebih
dari satu tahun, sebab pengasingan di sini merupakan hukuman ta’zir, bukan hukuman had.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik. Akan tetapi, mereka tidak mengemukakan batas
waktunya dan menyerahkan hal itu kepada pertimbangan penguasa (hakim).

3. Hukuman yang Berkaitan dengan Harta.

Para ulama, Imam Abu Hanifah dan Muhammad tidak membolehkan sanksi ta’zir berupa
harta, sedangkan Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad membolehkannya.

Ulama yang membolehkannya juga berbeda pendapat dalam mengartikan sanksi ta’zir
berupa harta benda. Ada yang mengartikannya dengan menahan harta terhukum selama waktu
tertentu, bukan dengan merampas atau menghancurkannya. Alasannya adalah, karena tidak boleh
mengambil harta seseorang tanpa ada alasan hukum yang membolehkannya.

Ada pula ulama yang berpendapat bahwa sanksi ta’zir berupa harta diperbolehkan pada
waktu awal Islam lalu dinasakh, karena dengan diperbolehkannya sanksi yang demikian maka
menyebabkan Ulil Amri mengambil harta orang lain dengan sewenang-wenang. Akan tetapi alasan
ulama tidak memperbolehkannya ini tidak dapat diterima oleh jumhur ulama, karena banyak bukti,
baik Rasulullah maupun Khalifah al-Rasyidin menerapkan sanksi ta’zir berupa harta ini, seperti
keputusan Rasul yang memerintahkan untuk menghancurkan tempat khamr dan mendenda dengan
dua kali lipat buah-buahan yang dicuri dari pohonnya serta memberikan hukuman didenda kepada
pencuri harta bukan dari tempat penyimpanannya yang layak.

Macam-macam sanksi Ta’zir yang Berupa Harta

Ibn Taimiyah membagi sanksi ta’zir berupa harta menjadi tiga bagian, yaitu
menghancurkannya, mengubahnya dan memilikinya. Contohnya, Umar menumpahkan harta
dagangan yakni susu yang dicampur dengan air untuk menipu pembeli.

Ulama berpendapat bahwa itlaf al-mal itu bukan dengan cara menghancurkan, melainkan
diberikan kepada fakir miskin bila harta tersebut halal dimakan.

Contoh sanksi ta’zir yang berupa mengubah milik penjahat antara lain mengubah patung
yang disembah oleh muslim dengan cara menghilangkan kepalanya.

Contoh sanksi ta’zir berupa pemilikan harta penjahat adalah keputusan Rasulullah
melipatgandakan harta buah-buahan yang dicuri oleh seorang pencuri sebagai denda.

Dengan demikian, maka di kalangan ahli hukum Islam dikenal adanya sanksi denda dalam
ta’zir ini dan kadang-kadang ia sebagai hukuman pokok dan kadang-kadang sebagai hukuman
tambahan. Namun, para ulama tidak menentukan batas tertinggi dan terendah dalam sanksi ta’zir
berupa harta. Dari contoh diatas bahwa sanksi ta’zir yang berupa harta diancamkan kepada
jarimah-jarimah yang berkaitan dengan harta atau yang bernilai harta. Tetapi, ada juga yang
berpendapat bahwa jarimah yang berkaitan dengan harta dapat dijatuhi hukuman penjara.

Setelah mengetahui yang dikemukakan Ibn Taimiyah tentang pembagian sanksi ta’zir
berkaitan dengan harta, maka salah satu bentuk pemilikan harta itu adalah denda. Sanksi denda ini
bisa merupakan hukuman pokok yang dapat digabungkan dengan sanksi lainnya. Hanya saja
syari’at tidak menentukan batas tertinggi dan terendah bagi hukuman denda inidan hal ini
diserahkan kepada hakim sesuai dengan keadilan dan tujuan pemberian hukuman denda dengan
mempertimbangkan jarimah-jarimah pelaku dan kondisi-kondisinya. Penerapan sanksi denda ini
tampaknya dikenakan dalam jarimah-jarimah yang berkaitan dengan ketamakan seseorang
terhadap harta orang lain.

Selain denda, sanksi ta’zir berupa pemilikan harta juga dengan jalan perampasan, meskipun
dalam hal ini ada ulama yang tidak membolehkannya bila harta tersebut adalah harta yang halal
dimiliki oleh muslimin. Akan tetapi jumhur ulama pada umumnya membolehkan dengan alasan
karena harta itu sendiri bila kita menggunakan teori ta’asuf dalam pemilikan harta, maka menurut
ulama, kita tidak boleh mengganggu hak milik orang lain dengan cara:

- Harta itu dihasilakan dengan jalan halal

- Harta itu digunakan sesuai dengan fungsi

- Penggunaan harta tersebut tidak menggangu hak orang lain.

Jika persyaratan itu tidak terpenuhi, maka dapat diterapkan sanksi ta’zir dengan merampas
harta tersebut oleh Ulil Amri sebagai hukuman terhadap perbuatannya.

4. Hukuman Ta’zir lainnya.

a. Peringatan dan Dihadirkan ke Hadapan Sidang

Peringatan itu dapat dilakukan dirumah atau dipanggil ke sidang pengadilan. Sudah tentu
bentuk yang pertama disebut oleh para ulama sebagai peringatan keras semata-mata dan dianggap
lebih ringan daripada bentuk peringatan yang kedua. Sebab pelaksanaan peringatan pertama
pelaku cukup dirumah dan didatangi oleh petugas dari pengadilan, sedangkan peringatan kedua
pelaku harus hadir ke pengadilan untuk mendapatkan peringatan langsung dari hakim. Dan
pemilihan apakah peringatan bentuk pertama atau bentuk kedua yang akan diberikan kepada si
pelaku itu sangat tergantung kepada kebijaksanaan hakim dengan mempertimbangkan jarimahnya,
pelakunya dan kondisinya. Pemberian peringatan itu harus didasarkan kepada ada atau tidak
adanya maslahat.

b. Dicela

Para ulama mendasarkan pemberian sanksi ta’zir yang berupa celaan ini kepada sunnah
Nabi yang menceritakan bahwa Abu Dzar pernah menghina seorang dengan menghina ibunya.[14]
Umar bin Khaththab juga pernah menjatuhkan sanksi celaan ini terhadap orang yang memakai
pakaian sutera asli.

Meskipun para ulama menyebutkan bahwa celaan ini bisa diucapkan didalam maupun diluar
persidangan, akan tetapi tampaknya yang lebih tepat adalah dilakukan didepan pengadilan.
c. Pengucilan

Yang dimaksud dengan pengucilan adalah larangan berhubungan dengan si pelaku jarimah
dan melarang masyarakat berhubungan dengannya.dasar sanksi ini adalah firman Allah SWT:

“ wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri
dari tempat tidur mereka” (Q.S. al-Nisa: 34)

Disamping itu berdasarkan kepada sunnah Nabi dan sahabatnya yang mengucilkan tiga
orang yang mengundurkan diri dari barisan perang Tabuk. Mereka itu adalah Ka’ab ibn Malik,
Mirarah ibn Rabi’ah al Amiri dan Hilal ibn Umayah al Waqifi., mereka dikucilkan selama lima
puluh hari sampai mereka bertaubat. Dalam kasus ini Rasulullah melarang muslimin berbicara
dengan mereka bertiga dan memerintahkan agar menjauhi mereka.

Sanksi ta’zir yang berupa pengecualian ini diberlakukan bila membawa kemaslahatan sesuai
dengan kondisi dan situasi masyarakat tertentu.

d. Nasihat

Para ulama mengambil dasar hukum yang berupa nasihat dengan firman Allah an-Nisa’:34.

Hukuman ta’zir dalam ayat tersebut bukan hukuman ta’zir yang dijatuhkan oleh Ulil Amri,
melainkan hukuman ta’zir yang dijatuhkan oleh kepala rumah tangga atau seorang suami kepada
istrinya. Sedangkan yang dimaksud nasihat sebagai sanksi ta’zir sebagaimana dikatakan oleh ibn
Abidin adalah memperingatkan si pelaku bila ia lupa atau tergelincir kepada suatu kesalahan yang
bukan kebiasaannya. Sudah tentu dalam arti sanksi yang dijatuhkan oleh Ulil Amri nasihat harus
diucapkan oleh hakim.

e. Pemecatan dari Jabatan

Yang dimaksud dengan pemecatan adalah melarang seseorang dari suatu pekerjaan tertentu
atau menurunkan atau memberhentikannya dari suatu tugas atau jabatan tertentu.

Sanksi ta’zir yang berupa pemberhentian dari tugas ini biasa diberlakukan terhadap setiap
pegawai yang melakukan jarimah. Pada prinsipnya hukuman pemecatan ini dapat diterapkan
dalam segala kasus kejahatan, baik sebagai hukuman pokok, pengganti, maupun sebagai hukuman
tambahan sebagai akibat seorang pegawai negeri tidak dapat dipercayai untuk memegang suatu
tugas tertentu.

Adapun pemilihan apakah pemecatan itu sebagai hukuman pokok atau pengganti ataukah
sebagai hukuman tambahan sangat tergantung kepada kasus-kasus kejahatan yang dilakukannya.

f. Diumumkan Kejahatannya

Dasar hukuman pengumuman kejahatan sebagai hukuman ta’zir adalah tindakan Umar
terhadap seorang saksi palsu yang sesudah dijatuhi hukuman jilid lalu keliling kota. Jumhur ulama
berpendapat bahwa mengumumkan kejahatan seseorang itu diperkenankan.

Dalam mazhab Syafi’i pengumuman juga boleh dengan menyuruh pencuri keliling pasar
orang-orang pasar tahu bahwa ia adalah pencuri.

Dengan demikian, menurut fuqaha sanksi ta’zir yang berupa pengumuman kejahatan itu
dimaksudkan agar orang yang bersangkutan menjadi jera dan agar orang lain tidak melakukan
perbuatan serupa.

Diantara jaimah yang dicontohkan oleh para ulama adalah saksi palsu, pencurian,
kerusakan akhlak, kezaliman hakim, dan menjual belikan harta yang haram. Dari contoh diatas
jelas bahwa sanksi ta’zir yang berupa pengumuman kejahatan si pelaku itu diterapkan terhadap
kejahatan-kejahatan yang mempunyai pengaruh atau bahaya yang besar bagi masyarakat.
Meskipun tidak menutup kemungkinan untuk kejahatan-kejahatan lainnya yang atas pertimbangan
kemaslahatan diperlukan pengumuman.

Tampaknya sanksi pengumuman ini merupakan sanksi tambahan dan bukan sanksi pokok,
artinya hukuman yang ditambahkan kepada hukuman pokok tertentu.

Perlu di singgung disini bahwa dengan sanksi pengumuman ini tidak dimaksudkan untuk
menyebarluaskan kejahatan dan kejelekan seseorang. Namun, larangan penyebarluasan isu
kejahatan itu manakala kejahatan atau dosa tersebut masih berupa isu dan belum dibuktikan
kebenarannya melalui proses pengadilan, sesuai dengan prinsip khusnuzhan. Akan tetapi bila
kejahatan itu telah terbukti dan ada maslahatnya bila kasus itu diketahui umum, maka sanksi ta’zir
berupa pengumuman itu perlu dijadikan sebagai hukuman tambahan.
1.4 ASPEK-ASPEK DALAM PIDANA ISLAM YANG BERPELUANG UNTUK
DIKEMBANGKAN DALAM KONTEKS KEKINIAN

Harapan untuk mengembangkan syariat Islam di Indonesia sudah lama terniatkan, sejak
hukum pidana positif berkembang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Para perumus
bangsa (The Founding Fathers) kita sudah merencanakan untuk diberlakukannya syariat Islam di
Indonesia. Namun, dengan mendasarkan pada pluralitas penduduk Indonesia, rencana itu tidak
terwujud dan kemudian menjadian Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Perkembangan politik hukum di Indonesia sudah menjalani pertumbuhan dengan memperhatikan
pengaruh dari faktor nilai-nilai kemasyarakatan dan keagamaan. Maka sudah waktunya para ulama
dan kaum cendekiawan Muslim turut menegaskan kaidah agama, agar para penganutnya tidak lagi
melanggar ajaran agamanya dengan cara self inforcement. Penegakan hukum (kaidah) agama
secara preventif ini sangat membantu pemantapan pola penegakan hukum (law enforcement)
negara secara preventive represive. Tujuannya adalah agar masyarakat memahami dan menaati
kaidah hukum negara dan kaidah agama sekaligus. Dengan demikian, syariah Islam bukan hanya
didakwahkan, tetapi juga dilaksanakan melalui penegakan hukum preventif (bukan represif) guna
mengisi kelemahan hukum pidana positif (A. Malik Fajar, 2001: 18).

Untuk Hukum Pidana Islam (HPI), yang menurut asas legalitas dikategorikan sebagai
hukum tidak tertulis, masih dapat diakui di Indonesia secara konstitusional sebagai hukum, dan
masih terus berlaku menurut pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Namun demikian, ketentuan
dasar itu belum ditindaklanjuti dengan instrumen hukum untuk masuk ke dalam wujud instrumen
asas legalitas. Seperti halnya KUHP di atas, posisi HPI belum terdapat kepastian untuk menjawab
pertanyaan teoritis, mana hukum pidana yang dapat ditegakkan? (Abdullah, 2001: 246). Ketiadaan
HPI secara tertulis di Indonesia menjadi penyebab belum dapat terpenuhinya HPI secara legal
sesuai dengan pertanyaan tersebut. Karena itulah HPI harus benar-benar disiapkan secara tertulis
sebagaimana hukum positif lainnya, bukan langsung mendasarkannya pada sumber hukum Islam,
yakni al-Quran, Sunnah, dan ijtihad pada ulama (kitab-kitab fikih).

Hingga sekarang ini sebenarnya muncul keinginan di hati sebagian umat Islam Indonesia
keinginan untuk diberlakukannya hukum Islam secara utuh di Indonesia, termasuk dalam bidang
hukum pidana. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa dengan diberlakukannya hukum pidana
Islam, maka tindak pidana yang semakin hari semakin merebak di tengah-tengah masyarakat
sedikit demi sedikit dapat terkurangi. Sanksi yang tidak sepadan yang diberikan kepada para

pelaku tindak pidana selama ini tidak membuat jera mereka untuk mengulanginya. Karena
itu, sanksi yang tegas seperti yang ada dalam HPI nampaknya merupakan alternatif terbaik yang
dapat mengatasi permasalahan tindak pidana di Indonesia. Dalam beberapa kasus terlihat
antusiasme masyarakat kita untuk segera menerapkan ketentuan pidana Islam, namun karena tidak
diizinkan oleh aparat pemerintah keinginan untuk melaksanakannya tidak terwujud. Namun
demikian, bukan berarti apa yang selama ini diterapkan oleh pengadilan di Indonesia seluruhnya
bertentangan dengan HPI. Ada beberapa putusan pengadilan kita yang terkadang sama dan sesuai
dengan ketentuan HPI, seperti hukuman mati dan langkah awal pemberlakuan sanksi pidana
cambuk seperti yang diberlakukan di Nanggro Aceh Darussalam akhir-akhir ini.

Telah bertahun-tahun di negara kita diupayakan pembuatan KUHP yang baru yang dapat
disebut KUHP Indonesia. Upaya ini mendapatkan hasil dengan disiapkannya RUU KUHP yang
baru. Dalam RUU ini juga termuat materi-materi yang bersumberkan pada hukum pidana Islam,
meskipun tidak secara keseluruhan. RUU ini juga sudah beberapa kali dibahas dalam berbagai
kesempatan, termasuk dalam forum sidang-sidang di DPR, namun hingga saat ini belum ada kata
sepakat di kalangan para pengak hukum kita tentang materi atau pasal-pasal yang menjadi isi dari
RUU tersebut.

Pengintegrasian HPI ke dalam hukum pidana nasional, seperti yang terlihat pada beberapa
pasal dalam RUU KUHP, merupakan suatu pemikiran yang cukup bijak

Aspek-aspek hukum pidana islam yang berpeluang memasukkan sistem hukum pidana
islam dalam hukum pidana nasional karena alasan-alasan berikut :

1. Sistem hukum islam, tidak membedakan secara tegas antara konsep hukum perdata dan
hukum pidana, sedangkan dalam hukum nasional dibedakan secara jelas. Hal ini terutama
terlihat dalam konsep sanksi qiyash dan diyat, yang memberikan kepada pihak korban hak
untuk menuntut penjatuhan pidana pada pelaku.
2. Dalam sistem pidana islam, kepentingan korban sangat diperhatikan, karena itu ancaman
yang diberikan kepada setiap pelaku kejahatan bersifat sangat tegas, dalam hukum
nasional sanksi hukumannya tidak terlalu berat.
3. Secara historis, penentuan bentuk dan berat ringannya pidana dalam Al-Qur’an maupun
sunnah, mencerminkan kebijaksanaan legislatif yang maju dan berkembang serta semakin
memperhatikan prinsip-prinsip asasi akan rasa keadilan dan kemanusiaan dalam
masyarakat, sedangkan dalam hukum nasional kurang mencerminkan kebijaksanaan
karena tidak dikenal unsur pemaaf.
4. Menegakkan hukum secara adil.

Hal yang menghalangi terjadinya HPI, dikarenakan oleh adanya perbedaan suku,budaya,
adat dan agama di indonesia, namun peluang menetapkan HPI masih diharapkan begitu besar
dikalangan masyarakat mayoritas islam di indonesia, dan untuk mengkokohkan HPI diindonesia
diperlukan partisipasi juga dari kalangan masyarakat islam, yaitu:

1. Umat islam harus memberi jaminan konseptual bahwa implementasi huddud dan qishash
ataupun jild dan rajm, tidak melanggar hak kemanusiaan.
2. Ketika hukum pidana islam telah menjadi materi muatan hukum pidana nasional, umat
islam perlu memberi jaminan yang mengikat bahwa pasal-pasal pidana islam diperuntukan
kalangan masyarakat islam, dan yang beragama non-islam akan diberlakukan hukum
pidana umum.
BAB 3 PENUTUP

Dari paparan diatas maka dapat ditarik kesimpulan akan hikmah dan tujuan hukuman dalam
tindak pidana dalam hal ini kaitanya jarimah baik itu qishas/hudud, diyat, maupun ta’zir yang
diterapkan dalam jinayah Islam. Yaitu sebagai berikut:

1. Memelihara jiwa

2. Melindungi keutuhan keluarga yang merupakan unsur utama masyrakat

3. Menjaga reputasi dan kehormatan manusia

4. Memelihara kemaslahatan umum dan menegakkan akhlakuk al-karimah.

5. Membentuk masyarakat yang baik dan yang dikuasai oleh rasa saling menghormati dan
mencintai antara sesama manusia dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajiban masing-
masing.

6. Mencegah terjadinya pelanggaran, sehingga kedamaian akan dirasakan oleh segenap


masyarakat.

7. Tindakan edukatif terhadap orang-orang yang berbuat maksiat atau orang-orang yang keluar
dari tatanan peraturan.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Faruk, A. (2009). Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam. Bogor: Ghalia Indonesia.

Bakri, M. (1989). Hukum Pidana Islam. Solo: Ramadhani.

Barkatullah, A. H. (2006). Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus Berkembang.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Djazuli, H. ( 2000). Fiqh Jinayah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Marsum. (1988). Jarimah Ta’zir: Perbuatan Dosa dalam Hukum Pidana Islam. Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Munajat, M. (2009). Hukum Pidana Islam di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Teras.

Muslih, A. M. (2005). Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT Sinar Grafika.

Sabiq, A.-S. (1990). Fiqh as-Sunnah. Kairo: Dar ad-Diyan li at-Turas.

You might also like