Bluetongue: 1.1 Etiologi
Bluetongue: 1.1 Etiologi
Bluetongue: 1.1 Etiologi
1.1 Etiologi
Penyakit BT disebabkan oleh virus BT dari kelompok Orbivirus, famili
Reoviridae.Hingga saat ini virus BT mempunyai 24 serotipe. Masing-masing serotipe tidak
dapat memberikan proteksi silang dan masing-masing tipe mempunyai patogenitas yang
berbeda. Virus BT merupakan virus ribo nucleic acid (RNA) yang mempunyai 10 segmen
double stranded RNA dengan diameter virus berkisar antara 40–80 nm. Virus ini tahan
terhadap media dengan pH 6,50–8, kloroform, eter, dan sodium deoksikolat, juga tahan pada
penyimpanan suhu 4oC, -70oC atau pada cairan nitrogen. Namun virus ini sensitif terhadap
tripsin, aktinomisin B, hidroksil amin, B propilakton dan etilenimin, dan tidak stabil pada suhu
-20oC (Yang 1985). Virus BT dapat menginfeksi berbagai spesies hewan seperti sapi, kerbau,
kambing, domba, unta, dan ruminansia liar, termasuk rusa, antelop dan rodensia. Namun
demikian penyakit BT lebih sering ditemukan pada ternak domba dengan menimbulkan gejala
klinis, sehingga menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi peternak. Pada domba,
sensitivitas sangat bergantung pada jenis (breed) dan tipe virus BT yang menginfeksi. Domba
breed Afrika Selatan seperti ras Afrikander, Persia dan Awassi lebih peka dibanding domba
lokal Afrika pada umumnya, tetapi domba breed Afrika Selatan kurang sensitif dibanding
domba Merino, sedangkan domba Merino kurang peka dibanding domba ras Dorset Horn.
Domba lokal Indonesia juga kurang peka terhadap infeksi Blue Tongue (Sendow dan Bahri,
2005).
1.2 Patogenitas
Sejumlah isolat virus telah diperoleh namun keganasannya masih belum banyak
diketahui. Uji patogenitas terhadap isolat BT serotipe 1, 9, dan 21 telah dilakukan pada domba
lokal dan domba impor. Hasilnya menunjukkan bahwa gejala klinis yang dihasilkan pada
domba lokal lebih ringan dibanding pada domba impor. Dari ketiga serotipe yang diuji, BT
serotipe 9 menghasilkan gejala klinis yang paling ringan baik pada domba lokal maupun
domba impor. Gejala klinis yang dihasilkan berupa demam, lesi dan perdarahan pada mulut,
bibir, kaki dan mata, lakrimasi, ingusan dan koronitis dengan derajat ringan. Kematian domba
tidak terjadi. Hasil penelitian patogenitas ini menyimpulkan bahwa isolat lokal tersebut
tergolong tidak patogen. Meskipun BT serotipe 1 dan 21 paling sering diisolasi di Indonesia,
serotipe tersebut tidak menyebabkan gejala klinis. Demikian pula dengan isolat serotipe 9.
Data tersebut mengindikasikan bahwa virulensi virus BT lokal lebih handal dibanding yang
ditemukan di Afrika, Timur Tengah, dan India. Di Eropa, wabah BT yang terjadi tahun 1998
disebabkan BT serotipe 9 dan merupakan serotipe baru yang menarik garis transektoral dari
India ke Australia, menunjukkan bahwa makin ke selatan patogenitas BT makin rendah. Hal
ini terlihat dari ditemukannya kasus klinis di India sedangkan di bagian selatan India. Kasus
klinis makin berkurang bahkan tidak terjadi pada domba lokal. Meskipun antibodi dan isolat
virus dapat terdeteksi, faktor yang menyebabkan penurunan patogenitas BT tersebut masih
belum diketahui (Sendow dan Bahri, 2005).
Kongesti, edema, hemorgi, dan ulserasi pada mukosa organ pencernaan dan pernapasan
(mulut, esophagus, lambung, usus halus)
Pneumonia broncholobular berat pada kasus komplikasi. Pada kasus yang fatal paru-paru
dapat menunjukkan gejala hyperemia interalveolar serta pada bronkus dipenuhi oleh
eksudat
Rongga thoraks dan pericardium dipenuhi oleh eksudat yakni cairan plasma. Perdarahan
khas yang ditemukan di arteri pulmonalis, kongesti pada lamina kuku dan coronary band
Hipertropi pada limpo nodus dan terjadi splenomegaly
1.4 Diagnosa
Diagnosis penyakit BT dilakukan berdasarkan gejala klinis, perubahan patologis
anatomis dan diikuti oleh pemeriksaan serologis, isolasi agen penyebab dan karakterisasi dari
isolat virus yang diperoleh. Pada kejadian wabah BT di Indonesia tahun 1981, diagnosis
dilakukan berdasarkan gejala klinis, perubahan patologis anatomis, dan hasil pemeriksaan
serologis dengan teknik Agar Gel Immunodiffusion (AGID). Uji serologis dengan AGID
mempunyai beberapa kelemahan antara lain terjadinya reaksi silang antara kelompok
orbivirus seperti BT, Epizootic Haemmorhagic Disease (EHD) dan Eubenangee. Untuk
mengidentifikasi serotipe virus BT diperlukan uji serum netralisasi. Kendala lain dalam
pengujian ini adalah diperlukannya seluruh serotipe BT sebanyak 24, yang tentunya hanya
dimiliki oleh laboratorium rujukan saja. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan uji
kelompok yang sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis telah mengembangkan teknik
deteksi antibodi yang spesifik terhadap semua serotipe BT. Teknik tersebut akhirnya diadopsi
sebagai uji penyaringan dengan menggunakan antibodi monoklonal terhadap virus BT yang
dikenal sebagai uji kompetitif ELISA (C-ELISA). Uji ini telah digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kelompok virus BT sebagai pengganti uji AGID dalam rangka penelitian
epidemiologi infeksi BT, sehingga gambaran musim penyakit BT dapat diketahui (Sendow
dan Bahri, 2005).
Hasil penelitian Sendow et al. (1992) menunjukkan bahwa infeksi BT terjadi pada
awal dan akhir musim hujan, dan prevalensi reaktor lebih tinggi pada ruminansia besar
dibanding ruminansia kecil. Hal tersebut berkaitan dengan populasi vektor sebagai penular
BT dari hewan ke hewan. Morbiditas penyakit ini mencapai 90% dengan mortalitas 30%.
Kasus klinis yang tampak berupa demam yang tinggi, mencapai 42oC selama 2−11 hari. Pada
stadium akut, terlihat adanya peningkatan frekuensi pernafasan dan sering disertai dengan
hiperaemia selaput lendir hidung dan pipi. Hipersalivasi, muntah dan bau pada sekitar mulut
sering ditemukan, yang kadangkadang diikuti dengan lidah yang sulit digerakkan. Ingus mulai
dari lendir bening hingga mukopurulen atau disertai darah bila mengering akan menimbulkan
kerak hidung. Terdapat cairan eksudat mata dan konjungtivitis. Oedema pada bibir, lidah, dan
muka sering tampak, yang berlanjut pada bagian leher, dagu, dan telinga yang diikuti dengan
kemerahan pada kulit muka, bibir, pangkal tanduk atau pada seluruh tubuh. Bahkan pada
stadium lanjut, lidah membengkak dan dapat menjadi kebiruan (sianosis). Apabila gejala
klinis tersebut tampak, biasanya ternak tidak mau makan dan menjadi depresi. Kadang-kadang
disertai diare yang dapat bercampur dengan darah. Lesi pada kaki seperti koronitis mulai
tampak, yang menyebabkan kuku kaki terasa panas dan sakit apabila tersentuh sehingga
domba malas berjalan. Kalaupun dapat berjalan sering menggunakan lutut. Beberapa domba
tampak tortikolis. Pada domba yang sedang bunting umur triwulan pertama, BT dapat
menyebabkan keguguran dan berlanjut dengan kemandulan temporer (Sendow dan Bahri,
2005).
DAFTAR PUSTAKA
Sendrow, Indrawati dan Sjamsul Bahri. 2005. Penyakit Bluetongue pada Ruminansia Distribusi
dan Usaha Pencegahannya di Indonesia. Bogor. Diakses pada
http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3242052.pdf Tanggal 14 Maret 2018
pukul 4:41 WIB
Sendow, I., P.W. Daniels, E. Soleha, and Sukarsih. 1992. Epidemiological studies of bluetongue
viral infection in Indonesian livestock. In T.E. Walton and B.I. Osburn (Eds.). Blue tongue,
African Horse Sickness, and Related Orbivirus. Proc. 2nd International Symposium. CRC
Press, Boca Raton. p. 147− 154.