Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Tekanan Darah 2.1.1. Pengertian Tekanan Darah

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 11

Tekanan Darah 2.1.1.

Pengertian Tekanan Darah

Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri. Tekanan puncakterjadi
saat ventrikel berkontraksi dan disebut tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan
terendah yang terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai
rasio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik, dengan nilai dewasa normalnya berkisar dari
100/60 sampai 140/90. Rata-rata tekanan darah normal biasanya 120/80 (Smeltzer & Bare,
2001).

Menurut Hayens (2003), tekanan darah timbul ketika bersikulasi di dalam pembuluh darah.
Organ jantung dan pembuluh darah berperan penting dalam proses ini dimana jantung
sebagai pompa muskular yang menyuplai tekanan untuk menggerakkan darah, dan pembuluh
darah yang memiliki dinding yang elastis dan ketahanan yang kuat. Sementara itu Palmer
(2007) menyatakan bahwa tekanan darah diukur dalam satuan milimeter air raksa (mmHg).

2.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah

Menurut Kozier et al (2009), ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tekanan darah,
diantaranya adalah:

1. Umur

Bayi yang baru lahir memiliki tekanan sistolik rata-rata 73 mmHg. Tekanan sistolik dan
diastolik meningkat secara bertahap sesuai usia hingga dewasa. Pada orang lanjut usia,
arterinya lebih keras dan kurang fleksibel terhadap darah. Hal ini mengakibatkan peningkatan
tekanan sistolik. Tekanan diastolik juga meningkat karena dinding pembuluh darah tidak lagi
retraksi secara fleksibel pada penurunan tekanan darah.

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan Journal of Clinical Hypertension, Oparil menyatakan bahwa perubahan


hormonal yang sering terjadi pada wanita menyebabkan wanita lebih cenderung memiliki
tekanan darah tinggi. Hal ini juga menyebabkan risiko wanita untuk terkena penyakit jantung
menjadi lebih tinggi (Miller, 2010).

3. Olahraga

Aktivitas fisik meningkatkan tekanan darah.

4. Obat-obatan

Banyak obat-obatan yang dapat meningkatkan atau menurunkan tekanan darah.

5. Ras

Pria Amerika Afrika berusia di atas 35 tahun memiliki tekanan darah yang lebih tinggi
daripada pria Amerika Eropa dengan usia yang sama.
6. Obesitas

Obesitas, baik pada masa anak-anak maupun dewasa merupakan faktor predisposisi
hipertensi.

2.1.3. Dasar Pengukuran Tekanan Darah

Kecepatan aliran (velocity) suatu cairan dalam pembuluh akan bergantung kepada isi aliran
(flow) dan luas penampang pembuluh (area). Dalam hal ini, kecepatan yang dimaksud adalah
kecepatan linier yang mempunyai rumus V= Q/A dengan V adalah kecepatan, Q adalah
aliran, dan A adalah luas penampang. Berdasarkan rumus di atas, dapat diketahui bahwa
perubahan pada luas penampang, misalnya penyempitan pembuluh, akan sangat
mempengaruhi kecepatan aliran (Singgih, 1989).

Apabila dikaji lebih jauh, kecepatan aliran berpengaruh pada tekanan sisi (lateral pressure)
pembuluh. Tekanan dalam pipa merupakan jumlah tekanan sisi ditambah energi kinetik.
Energi ini dapat dihitung berdasarkan viskositas cairan dan kecepatan aliran (1/2 PV2 dengan
P adalah viskositas cairan dan V adalah kecepatan aliran). Kecepatan aliran yang berubah
akan mempengaruhi energi kinetik dan perubahan pada energi ini akan mempengaruhi
tekanan sisi pembuluh. Hal ini dikemukakan karena pada hakikatnya yang diukur pada
pengukuran tekanan darah secara tidak langsung adalah tekanan sisi pembuluh darah
(Singgih, 1989).

Untuk mengukur tekanan darah maka perlu dilakukan pengukuran tekanan darah secara
rutin. Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pada
metode langsung, kateter arteri dimasukkan ke dalam arteri. Walaupun hasilnya sangat tepat,
akan tetapi metode pengukuran ini sangat berbahaya dan dapat menimbulkan masalah
kesehatan lain (Smeltzer & Bare, 2001). Menurut Nursecerdas (2009), bahaya yang dapat
ditimbulkan saat pemasangan kateter arteri yaitu nyeri inflamasi pada lokasi penusukkan,
bekuan darah karena tertekuknya kateter, perdarahan: ekimosis bila jarum lepas dan
tromboplebitis. Sedangkan pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan menggunakan
sphygmomanometer dan stetoskop. Sphgmomanometer tersusun atas manset yang dapat
dikembangkan dan alat pengukur tekanan yang berhubungan dengan ringga dalam manset.
Alat ini dikalibrasi sedemikian rupa sehingga tekanan yang terbaca pada manometer seseuai
dengan tekanan dalam milimeter air raksa yang dihantarkan oleh arteri brakialis (Smeltzer &
Bare, 2001).

Adapun cara pengukuran tekanan darah dimulai dengan membalutkan manset dengan
kencang dan lembut pada lengan atas dan dikembangkan dengan pompa. Tekanan dalam
manset dinaikkan sampai denyut radial atau brakial menghilang. Hilangnya denyutan
menunjukkan bahwa tekanan sistolik darah telah dilampaui dan arteri brakialis telah tertutup.
Manset dikembangkan lagi sebesar 20 sampai 30 mmHg diatas titik hilangnya denyutan
radial. Kemudian manset dikempiskan perlahan, dan dilakukan pembacaan secara auskultasi
maupun palpasi. Dengan palpasi kita hanya dapat mengukur tekanan sistolik. Sedangkan
dengan auskultasi kita dapat mengukur tekanan sistolik dan diastolik dengan lebih akurat
(Smeltzer & Bare, 2001).
Untuk mengauskultasi tekanan darah, ujung stetoskop yang berbentuk corong atau diafragma
diletakkan pada arteri brakialis, tepat di bawah lipatan siku (rongga antekubital), yang
merupakan titik dimana arteri brakialis muncul diantara kedua kaput otot biseps. Manset
dikempiskan dengan kecepatan 2 sampai 3 mmHg per detik, sementara kita mendengarkan
awitan bunyi berdetak, yang menunjukkan tekanan darah sistolik. Bunyi tersebut dikenal
sebagai Bunyi Korotkoff yang terjadi bersamaan dengan detak jantung, dan akan terus
terdengar dari arteri brakialis sampai tekanan dalam manset turun di bawah tekanan diastolik
dan pada titik tersebut, bunyi akan menghilang (Smeltzer & Bare, 2001). Adapun prosedur
pengukuran tekanan darah dapat dilihat pada lampiran 4.

2.1.5. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Pada Pengukuran

Menurut Singgih (1989), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran
tekanan darah agar hasil pengukurannya lebih akurat, yaitu:

1. Ruang pemeriksaan.

Suhu ruang dan ketenangan ruang periksa yang nyaman harus diperhatikan. Suhu ruang yang
terlalu dingin dapat meningkatkan tekanan darah.

2. Alat

Alat yang sebaiknya digunakan adalah sfigmomanometer dengan pipa air raksa yang tegak
lurus dengan bidang horisontal. Hindarkan paralaks sewaktu membaca permukaan air raksa.
Gunakan manset dengan lebar yang dapat mencakup 2/3 panjang lengan atas serta panjang
yang dapat mencakup 2/3 lingkar lengan. Penggunaan manset yang lebih kecil akan
menghasilkan nilai yang lebih tinggi daripada yang sebenarnya.

3. Persiapan

Apabila diperlukan dan keadaan pasien memungkinkan, sebaiknya dipersiapkan dalam


keadaan basal karena biasanya hanya diperlukan nilai tekanan darah sewaktu, maka pengaruh
kerja jasmani, makan, merokok dihilangkan terlebih dahulu sebelum diukur.

4. Jumlah pengukuran

Apabila memungkinkan, dilakukan pengukuran sebanyak tiga kali untuk diambil nilai rata-
ratanya. Apabila pasien menderita hipertensi, dianjurkan untuk mengukur dalam 3 hari
berturut-turut.

5. Tempat pengukuran

Pengukuran dilakukan pada lengan kanan dan kiri bila dicurigai terdapat peningkatan tekanan
darah. Kesenjangan nilai lengan kanan dan kiri dapat ditimbulkan karena coarctatio aorta.
Posisi orang yang diperiksa sebaiknya dalam posisi duduk. Dalam keadaan ini, lengan bawah
sedikit fleksi dan lengan atas setinggi jantung. Hindarkan posisi duduk yang menekan perut,
terutama pada orang yang gemuk. Untuk pasien hipertensi, terutama yang sedang dalam
pengobatan, perlu diukur dalam posisi berbaring dan pada waktu 1-5 menit setelah berdiri.
6. Pemompaan dan pengempesan manset

Manset seharusnya dipompa dan dikempeskan sebelum mengukur tekanan darah pasien. Hal
ini untuk menghindarkan kesalahan nilai karena rangsang atau reaksi obstruksi sirkulasi
darah. Pemompaan dilakukan dengan cepat hingga 20-30 mmHg di atas tekanan pada waktu
denyut arteri radialis tidak teraba. Pengempesan dilakukan dengan kecepatan yang tetap
(konstan) 2-3 mmHg tiap detik. Pengempesan yang terlalu cepat akan mengakibatkan nilai
diastolik yang lebih rendah daripada yang sebenarnya.

Sumber:

- repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../4/Chapter%20II.pdf

-http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35211/4/Chapter%20II.pdf

Kadar lab normal

a. Hemoglobin (Hb)

Nilai normal : Pria : 13 - 18 g/dL SI unit : 8,1 - 11,2 mmol/L

Wanita: 12 - 16 g/dL SI unit : 7,4 – 9,9 mmol/L

b. Natrium (Na+)

Nilai normal : 135 – 144 mEq/L SI unit : 135 – 144 mmol/L

Implikasi klinik :

• Hiponatremia dapat terjadi pada kondisi hipovolemia (kekurangan

cairan tubuh), euvolemia atau hipervolemia (kelebihan cairan tubuh).

Hipovolemia terjadi pada penggunaan diuretik, defi siensi mineralokortikoid,

hipoaldosteronism, luka bakar, muntah, diare, pankreatitis. Euvolemia

terjadi pada defi siensi glukokortikoid, SIADH, hipotirodism, dan

penggunaan manitol. Sedangkan hypervolemia merupakan kondisi yang

sering terjadi pada gagal jantung, penurunan fungsi ginjal, sirosis, sindrom

nefrotik.

 Hipernatremia. Faktor yang mempengaruhi adalah faktor dehidrasi,

aldosteronism, diabetes insipidus dan diuretik osmotik. Umumnya, rasa

haus pada hipernatremia merupakan mekanisme pertahanan utama untuk

mencegah hipertonisitas. Oleh karena itu, hipernatremia terutama terjadi


pada pasien yang tidak dapat asupan cairan secara adekuat (seperti pada

pasien yang hilang kesadaran dan bayi).

• Kekurangan total air dalam tubuh sebesar 1 liter terjadi pada penambahan

setiap 3 mmol Na+ > normal.

c. Kalium (K+)
Nilai normal: 0 - 17 tahun : 3,6 - 5,2 mEq/L SI unit : 3,6 - 5,2 mmol/L
: ≥ 18 tahun : 3,6 – 4,8 mEq/L SI unit :3,6 – 4,8 mmol/L

Di dalam tubuh kalium akan mempunyai fungsi dalam menjaga

keseimbangan cairan-elektrolit dan keseimbangan asam basa. Selain itu, bersama dengan
kalsium (Ca+) dan natrium (Na+), kalium akan berperan dalam transmisi saraf, pengaturan
enzim dan kontraksi otot. Hampir sama dengan natrium, kalium juga merupakan garam yang
dapat secara cepat diserap oleh tubuh. Setiap kelebihan kalium yang terdapat di dalam tubuh
akan dikeluarkan melalui urin serta keringat

(Irawan, 2007).

Implikasi klinik:

• Hiperkalemia. Faktor yang mempengaruhi penurunan ekskresi kalium yaitu: gagal ginjal,
kerusakan sel (luka bakar, operasi), asidosis, penyakit Addison, diabetes yang tidak terkontrol
dan transfusi sel darah merah.

• Hipokalemia, adalah konsentrasi kalium dalam serum darah kurang dari 3,5 mmol/L. Jika
dari beberapa tes ditemukan kecenderungan rendahnya konsentrasi kalium (contoh: 0,1-0,2
mmol/L/hari) akan lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan nilai yang rendah pada satu
pengukuran. Kondisi hipokalemia akan lebih berat pada diare, muntah, luka bakar parah,
aldosteron primer, asidosis tubular ginjal, diuretik, steroid, cisplatin, tikarsilin, stres yang
kronik, penyakit hati dengan asites, terapi amfoterisin.

•Perhitungan kekurangan kalium total tubuh tidak dapat ditentukan dengan tepat. Setiap 1
mmol/L penurunan kalium dalam serum menunjukan kekurangan kalium 100-200 mmol/L.
Bila kadar serum turun di bawah 3 mmol/L, tiap 1 mmol/L menunjukan penurunan 200-400
mmol/L kalium dari persediaan total kalium tubuh.

• Sintesis protein menurun pada defisiensi kalium

d. Klorida (Cl-)

Nilai normal : 97 - 106 mEq/L SI unit : 97 - 106 mmol/L

Sebagai anion utama dalam cairan ekstraseluler, ion klorida juga akan berperan dalam
menjaga keseimbangan cairan elektrolit. Selain itu, ion klorida juga mempunyai fungsi
fisiologis penting yaitu sebagai pengatur derajat keasaman lambung dan ikut berperan dalam
menjaga keseimbangan asam basa tubuh. Bersama dengan ion natrium (Na+), ion klorida
juga merupakan ion dengan konsentrasi terbesar yang keluar melalui keringat

Implikasi klinik:

• Penurunan konsentrasi klorida dalam serum dapat disebabkan oleh muntah, gastritis,
diuresis yang agresif, luka bakar, kelelahan, diabetik asidosis, infeksi akut. Penurunan
konsentrasi klorida sering terjadi bersamaan dengan alkalosis metabolik.

e. Glukosa (Fasting Blood Sugar/FBS)

Nilai normal : ≥ 7 tahun : 70 - 100 mg/dL SI unit : 3,89 - 5,55 mmol/L

12 bulan - 6 tahun: 60-100 mg/dL SI unit : 3,33 - 5,55 mmol/L

f. Tekanan Parsial Karbon Dioksida (PaCO2)

Nilai normal : 35-45 mmHg SI : 4,7-6,0 kPa

Implikasi Klinik:

• Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada hipoksia, anxiety/nervousness dan emboli
paru. Nilai kurang dari 20 mmHg perlu mendapat perhatian khusus.
• Biasanya penurunan 1 mEq HCO3 akan menurunkan tekanan PaCO2

sebesar 1,3 mmHg.

g. pH

Nilai normal : 7,35-7,45

Nilai kritis: < 7,25 atau >7,55

h. Sistem Buffer Bikarbonat

Nilai normal : 21-28 mEq/L

Implikasi klinis

• Penurunan bikarbonat menunjukan adanya alkalosis respiratori (akibat peningkatan


ventilasi alveolar dan pelepasan CO2 dan air) atau adanya asidosis metabolik (akibat
akumulasi asam tubuh atau hilangnya bikarbonat dari cairan ekstraseluler).

Sumber: http://binfar.kemkes.go.id/?wpdmact=process&did=MTcyLmhvdGxpbms=
Ketidakseimbangan asam-basa

Ada 4 kategori ketidakseimbangan asam-basa, yaitu:

1. Asidosis respiratori, disebabkan oleh retensi CO2 akibat hipoventilasi. Pembentukan


H2CO3 meningkat, dan disosiasi asam ini akan meningkatkan konsentrasi ion H.

2. Alkalosis respiratori, disebabkan oleh kehilangan CO2 yang berlebihan akibat


hiperventilasi. Pembentukan H2CO3 menurun sehingga pembentukan ion H menurun.

3. Asidosis metabolik, asidosis yang bukan disebabkan oleh gangguan ventilasi paru. Diare
akut, diabetes mellitus, olahraga yang terlalu berat, dan asidosis uremia akibat gagal ginjal
akan menyebabkan penurunan kadar bikarbonat sehingga kadar ion H bebas meningkat.

4. Alkalosis metabolik, terjadi penurunan kadar ion H dalam plasma karena defisiensi asam
non-karbonat. Akibatnya konsentrasi bikarbonat meningkat. Hal ini terjadi karena kehilangan
ion H karena muntah-muntah dan minum obat-obat alkalis. Hilangnya ion H akan
menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk menetralisir bikarbonat, sehingga kadar
bikarbonat plasma meningkat.

Mekanisme haus dan peranan vasopresin (anti diuretic hormone/ ADH)

Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (> 280 mOsm) akan merangsang osmoreseptor di
hypothalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron hypothalamus yang menyintesis
vasopressin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalam darah dan akan
berikatan dengan reseptornya di duktus koligen. Ikatan vasopressin dengan resptornya di
duktus koligen memicu terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane bagian apeks
duktus koligen. Pembentukan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan ke
vasa recta. Hal ini menyebabkan urin yang terbentuk di duktus koligen menjadi sedikit dan
hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap dapat dipertahankan. Selain
itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypothalamus akibat peningkatan osmolaritas cairan
ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di hypothalamus sehingga terbentuk perilaku
untuk mengatasi haus, dan cairan di dalam tubuh kembali normal.

Kebutuhan air normal:

1. External fluid exchange, pertukaran antara tubuh dengan lingkungan luar. (Gambar 3)

1.1. Pemasukan air melalui makanan dan minuman 2200 ml

air metabolisme/oksidasi 300 ml

-------------

2500 ml

1.2. Pengeluaran air melalui insensible loss (paru-paru & kulit) 900 ml
urin 1500 ml

feses 100 ml

-------------

2500 ml

2. Internal fluid exchange, pertukaran cairan antar pelbagai kompartmen, seperti proses

filtrasi dan reabsorpsi di kapiler ginjal.

2.3. Gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit

Ganggguan keseimbangan elektrolit umumnya berhubungan dengan ketidakseimbangan


natrium dan kalium. Ketidakseimbangan elektrolit umumnya disebabkan oleh pemasukan dan
pengeluaran natrium yang tidak seimbang. Sedangkan ketidakseimbangan kalium jarang
terjadi, namun jauh lebih berbahaya dibanding dengan ketidakseimbangan natrium (Unit
Pendidikan Kedokteran- Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FKUI, 2007).

2.3.1. Gangguan Keseimbangan Air dan Natrium.

Perubahan yang terjadi pada volume dan komposisi cairan tubuh serta osmolalitas akan
menimbulkan 4 (empat) gangguan dasar di dalam tubuh yang secara klinis dikenal
Hipovolemia, Edema, Hiponatremia, dan Hipernatremia (Unit Pendidikan Kedokteran-
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FKUI, 2007).

a. Hipovolemia

Hipovolemia adalah suatu keadaan dengan volume cairan tubuh berkurang; hal ini
akan menyebabkan hipoperfusi jaringan. Hipovolemia dapat terjadi pada dua keadaan, yaitu
deplesi volume dan dehidrasi (Unit Pendidikan Kedokteran- Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan FKUI, 2007).

Gejala- gejala klinis yang terjadi pada hipovolemia yaitu pusing, kelemahan,
keletihan, anoreksia, mual, muntah, haus, kekacauan mental, konstipasi dan oliguria, HR
meningkat, suhu meningkat, turgor kulit menurun, lidah kering, mukosa mulut kering, mata
cekung (Horne, 2001).

1) Deplesi Volume

Deplesi volume adalah keadaan dimana cairan ekstrasel berkurang; kekurangan air
dan natrium terjadi dalam jumlah yang sebanding. Misalnya hilangnya air dan natrium
melalui saluran cerna seperti muntah dan diare, perdarahan atau melalui pipa naso-gastrik.
Hilangnya air dan natrium juga dapat melalui ginjal (misalnya penggunaan diuretik, diuresis
osmotik, salt-wasting, nephropathy, hipoaldosteronisme), melalui kulit dan saluran napas
(misalnya insesible water losses, keringat, luka bakar), atau melalui sekuestrasi cairan
(misalnya pada obstruksi usus, trauma, fraktur, pankreatitis akut) (Unit Pendidikan
Kedokteran-Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FKUI, 2007).

2) Dehidrasi

Dehidrasi ialah suatu gangguan dalam keseimbangan air yang disertai ”output” yang
melebihi ”intake” sehingga jumlah air pada tubuh berkurang. Dehidrasi dapat terjadi karena
kemiskinan air (water depletion), kemiskinan natrium (sodium depletion), dan water and
sodium depletion bersama-sama (Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2006).

Water depletion atau dehidrasi primer dapat terjadi pada orang yang mengeluarkan
keringat yang sangat banyak, tanpa mendapat penggantian air (Staf Pengajar Bagian Patologi
Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006). Gejala-gejala khas pada
dehidrasi primer ialah haus, air liur sedikit sekali sehingga mulut kering, oliguria, sangat
lemah, timbulnya gangguan mental seperti halusinasi dan delirium. Kematian akan terjadi
bila orang kehilangan air ± 15% atau22% total body water (Staf Pengajar Bagian Patologi
Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006).

Sodium depletion atau dehidrasi sekunder terjadi karena tubuh kehilangan cairan
tubuh yang mengandung elektrolit. Sodium depletion sering terjadi akibat keluarnya cairan
melalui saluran pencernaan pada keadaan muntah-muntah dan diare yang keras. Gejala-gejala
yang terjadi pada sodium depletion yaitu nausea, muntahmuntah, kekejangan, sakit kepala,
perasaan lesu dan lelah (Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2006).

b. Hiponatremia

Hiponatremia dapat terjadi karena penambahan air atau penurunan cairan kaya natrium yang
digantikan oleh air. Gejala neurologis biasanya tidak terjadi sampai kadar natrium serum
turun kira-kira 120-125 mEq/L (Horne, 2001). Menurut waktu terjadinya, hiponetremia dapat
dibagi dalam 2 jenis (Unit Pendidikan Kedokteran-Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan
FKUI, 2007):

1) Hiponatremia akut

Hiponatremia akut adalah kejadian hiponatremi yang berlangsung cepat yaitu kurang dari 48
jam. Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran dan kejang.

2) Hiponatremia kronik

Hiponatremia kronik adalah kejadian hiponatremia yang berlangsung lambat yaitu lebih dari
48 jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran dan
kejang (ada proses adaptasi), gejala yang timbul hanya ringan seperti lemas atau mengantuk.
c. Hipernatremia

Hipernatremia adalah suatu keadaan dengan defisit cairan relatif. Hipernatremia jarang
terjadi, umumnya disebabkan resusitasi cairan menggunakan larutan NaCl 0.9% (kadar
natrium 154 mEq/L) dalam jumlah besar. Hipernatremia juga dijumpai pada kasus dehidrasi
dengan rasa haus (misal pada kondisi kesadaran terganggu atau gangguan mental) (Unit
Pendidikan Kedokteran-Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FKUI, 2007).

e. Isonatremia

Isonatremia adalah suatu keadaan patologis yang tidak menyebabkan gangguan pada kadar
natrium di dalam plasma (osmolalitas plasma tetap berada dalam keadaan normal). Menurut
Unit Pendidikan Kedokteran-Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FKUI ( 2007)
keadaan seperti ini dapat dijumpai pada :

1) Turunnya kadar Na tubuh total diikuti oleh berkurangnya air tubuh total dalam jumlah
seimbang. Terjadi karena pemberian diuretik jangka panjang atau pada beberapa kondisi
seperti muntah, diare, perdarahan dan thrid space sequestration.

2) Kondisi normal (steady state).

3) Peningkatan Na tubuh total diimbangi oleh peningkatan air tubuh total. Terjadi pada
pemberian natrium isotonik berlebihan (hipervolemia).

2.3.2. Gangguan Keseimbangan Air dan Kalium

Kadar normal kalium plasma berkisar antara 3.5-5 mEq/L. Bila kadar kalium kurang dari 3.5
mEq/L disebut sebagai hipokalemia dan kadar kalium lebih dari 5 mEq/L disebut sebagai
hiperkalemia. Kedua keadaan ini dapat menyebabkan kelainan fatal listrik jantung yang
disebut sebagai aritmia, kelebihan ion kalium darah akan menyebabkan gangguan berupa
menurunnya potensial trans-membran sel. Kekurangan ion kalium ini menyebabkan frekuensi
denyut jantung melambat (Unit Pendidikan Kedokteran-Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan FKUI, 2007).

a. Hipokalemia

Hipokalemia merupakan kejadian yang sering dijumpai. Penyebab hipokalemia dapat dibagi
sebagai berikut (Unit Pendidikan Kedokteran- Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan
FKUI, 2007) :

1) Asupan Kalium Kurang

Asupan kalium normal berkisar antara 40-120 mEq per hari. Hipokalemia akibat asupan
kalium kurang biasanya disertai oleh masalah lain misalnya pada pemberian diuretik atau
pemberian diet rendah kalori pada program menurunkan berat badan (Unit Pendidikan
Kedokteran-Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FKUI, 2007).
2) Pengeluaran Kalium Berlebihan

Pengeluaran kalium berlebihan terjadi melalui saluran cerna, ginjal atau keringat. Pada
saluran cerna bawah (diare, pemakaian pencahar), kalium keluar bersama bikarbonat
(asidosis metabolik). Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui ginjal dapat terjadi pada
pemakaian diuretik. Pengeluaran kalium berlebihan melalui keringat dapat terjadi bila
dilakukan latihan berat pada lingkungan yang panas sehingga produksi keringat mencapai 10
L (Unit Pendidikan Kedokteran- Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FKUI, 2007).

3) Kalium Masuk ke Dalam Sel

Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel, pemberian insulin,
peningkatan aktivitas beta-andrenergik, paralisis periodik hipokalemik, hipotermia. Defisit
ion kalium tergantung pada lamanya kontak dengan penyebab dan konsentrasi ion kalium
serum (Unit Pendidikan Kedokteran-Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FKUI, 2007).

Tanda-tanda dan gejala yang terjadi pada hipokalemia yaitu keletihan,

kelemahan otot, kram kaki, otot lembek atau kendur, mual, muntah, ileus, parestesia,
peningkatan efek digitalis, penurunan konsentrasi urin (mis; poliuria) (Horne, 2001).

b. Hiperkalemia

Istilah hiperkalemia digunakan bila kadar kalium dalam plasma lebih dari 5 mEq/L. Dalam
keadaan normal jarang terjadi hiperkalemia oleh karena adanya mekanisme adaptasi oleh
tubuh. Hiperkalemia dapat disebabkan oleh keluarnya kalium dari intrasel ke ekstrasel dan
berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal (Unit Pendidikan Kedokteran-Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan FKUI, 2007).

Sumber: http://staff.ui.ac.id/system/files/users/kuntarti/publication/fluidbalance.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22921/4/Chapter%20II.pdf

You might also like